Life is journey not a destinantion ...

Sengketa Di Gunung Merbabu

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Dagelan Setan --oo0oo-- Geisha



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: SENGKETA DI GUNUNG MERBABU

SENGKETA DI GUNUNG MERBABU
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor : Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :
Sengketa Di Gunung Merbabu

## 1 ##

Kabut seperti biasa, uap air itu selalu bergerak bagai tirai di Gunung Anjasmoro. Dinginnya menyengat tubuh. Malah sampai menggigit tulang bila tidak terbiasa berada di sekitar gunung itu. Pagi ini tidak seperti biasanya. Ramai sekali. Murid-murid Partai Gunung Anjasmoro yang biasanya setiap pagi berlatih ini tampak berjejer da-ri mulai lereng jalan setapak, hingga ke bangunan besar tempat mereka tinggal.
Jumlah murid di Partai Gunung Anjasmoro yang sekitar lima puluh orang, rata-rata berpakaian putih dengan senjata sebilah pedang tipis tersampir di punggung. Semua berada dalam keadaan tegap seperti patung. Beberapa orang menunggu di bangunan berbentuk semacam pendopo, yang bertonggak dari kayu untuk menahan atap. Untuk tiba di sana, harus menaiki undakan yang berjumlah lima buah.
Umbul-umbul lambang kebesaran Partai Gunung Anjasmoro telah menari-nari dihembus angin pagi. Meskipun kabut masih tebal dan dingin yang sangat terasa, tetap tak mengurangi kegiatan itu. Memang pagi ini, Ki Lingkih Manuk Ketua Partai Gunung Anjasmoro akan menerima kedatangan empat ketua dari partai gunung lainnya.
Walau telah berusia kira-kira enam puluh tahun, namun tubuh Ki Lingkih Manuk masih tegap. Dengan pakaian hitam yang di pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang berwarna putih, dia masih cukup terlihat gagah. Rambutnya tergerai panjang. Wajahnya memang mulai berkeriput, namun tak mengurangi kewibawaannya. Sudah dua puluh tahun dia memimpin Partai Gunung Anjasmoro. Suasana di perguruan itu begitu tenteram. Sehingga murid-murid yang berlatih di sana, begitu menghormati Ki Lingkih Manuk selaku guru dan ketua mereka. Memang, dalam melatih murid-muridnya, Ki Lingkih Manuk tidak pernah
membeda-bedakan. Ki Lingkih Manuk pun mempunyai muridmurid utama yang terkadang menggantikannya untuk melatih, bila dia tengah bersemadi. Tidak sembarangan untuk menjadi murid utama, karena sebelumnya diadakan ujian yang ketat. Bukan main asal comot saja.
Setelah matahari sepenggalah, datang rombongan yang berjumlah kira-kira lima belas orang yang hampir semua bersenjata tombak berpakaian biru. Hanya seorang yang mengenakan pakaian warna hitam dengan ikat pinggang warna biru. Dan dia nampak berjalan gagah di depan. Usianya kira-kira setara dengan Ki Lingkih Manuk. Rambutnya rapi dengan wajah kelimis. Kakinya melangkah dengan kedua tangan berada di belakang. Namanya, Ki Danang Gumilar. Dialah
Ketua Partai Gunung Semeru. Mereka datang untuk memenuhi undangan Ki Lingkih Manuk. Rombongan dari Partai Gunung Semeru disambut oleh Ki Lingkih Manuk yang berdiri di atas pendopo dengan hangat.
"Selamat dalang, Saudaraku...," sambut Ki Lingkih Manuk seraya bergegas turun. Langsung dirangkulnya Ki Danang Gumilar. Ki Lingkih Manuk segera memerintahkan dua orang muridnya untuk mengantar Ki Danang Gumilar ke belakang pendopo, ke sebelah ruangan tertutup yang lelah dihiasi umbul-umbul indah. Makanan dan minuman pun sudah disediakan di atas meja yang berbentuk lingkaran.
Dalam tempo sepeminum teh, muncul serombongan orang berpakaian merah. Di tangan mereka terlingkar senjata sepasang cakra. Di depan rombongan itu, melangkah seorang laki-laki gagah bertampang dingin. Pakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna merah. Wajahnya dipenuhi kumis dan jenggot. Badannya lebih besar dari Ki Lingkih Manuk dan Ki Danang Gumilar.
Namanya Ki Samundang, Ketua Partai Gunung Arjuno. Ki Lingkih Manuk pun segera menyambut dan merangkulnya. Lalu diperintahkannya dua murid untuk mengantarkan Ki Samundang ke tempat Ki Danang Gumilar berada. Kemudian kembali, muncul rombongan berpakaian hijau. Senjata mereka berupa golok di pinggang masing-masing. Paling depan melangkah seorang gagah berpakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna hijau. Bibirnya selalu mengumbar. Wajahnya nampak ramah dan tenang. Namanya Ki Kalungkung, Ketua Partai Gunung Merapi. Seperti yang sudah-sudah, Ki Lingkih Manuk pun menyambut kedatangan rombongan itu dengan gembira. Ki Kalungkung pun dibawa ke tempat Ki Danang Gumilar dan Ki Samundang berada. Selanjutnya muncul rombongan berpakaian kuning. Di pinggang masing-masing terselip sebuah parang yang bersarung. Di depan melangkah seorang laki-laki gagah penuh wibawa. Pakaiannya berwarna hitam dengan ikat pinggang kuning. Kalau rekan-rekannya yang lain ditumbuhi rambut, orang yang baru datang ini sama sekali kelimis. Licin tandas alias botak tuntas!
Namanya Ki Redamo Rusa, yang menguasai Partai Gunung Slamet. Lagi-lagi Ki Lingkih Manuk menyambutnya dengan gembira. Kalau tiga tamunya tadi diantar dua orang muridnya, kini Ki Redamo Rusa sendiri yang melangkah ke ruang tertutup di belakang pendopo. Sudah hadir semua tamu yang diundang Ki
Lingkih Manuk. Dan nampaknya, acara yang memang diadakan akan segera berlangsung. Sementara di halaman pendopo Partai Gunung Anjasmoro, terlihat lima kelompok murid dari masing-masing Partai Gunung yang mengenakan pakaian berlainan. Semua berdiri tegap, tanpa ada yang berbicara satu sama lain.

***

Memang pada dua puluh lima tahun yang lalu, kelima ketua partai itu adalah kakak adik dalam satu perguruan bernama Partai Gunung Merbabu. Ketuanya waktu itu Ki Panca Giri. Yang tertua dalam hal ini adalah Ki Lingkih Manuk, kemudian disusul Ki Danang Gumilar, Ki Samundang, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa. Masing-masing diberi keahlian yang berbeda oleh Ki Panca Giri. Sebelum Ki Panca Giri wafat, telah berpesan agar kelima muridnya itu saling bahumembahu dalam kebenaran. Dan dia menghendaki masing-masing berdiam di lima gunung berlainan, yang berpedoman pada nama Panca Giri. Artinya lima gunung.
Masing-masing murid itu pun memenuhi amanat Ki Panca Giri. Mereka membentuk Partai Gunung dan banyak mengambil murid. Mereka pun menurunkan keahlian yang berlainan, sesuai keahlian yang didapatkan masing-masing dari Ki Panca Giri. Sehingga perbedaan satu sama lain bisa dilihat dari senjata yang dimiliki anak murid lima Partai Gunung itu.
Setiap lima tahun sekali, mereka selalu bertemu di Puncak Gunung Merbabu. Banyak yang dibicarakan, dan banyak pula yang dirembukkan. Kalau dalam pertemuan ini diadakan di kediaman Ki Lingkih Manuk, sudah bisa dipastikan ada suatu hal penting yang bakal dibicarakan. Ki Lingkih Manuk mengedarkan pandangan pada adik-adik seperguruannya. Mereka duduk membentuk lima tempat, dengan terhalang sebuah meja besar berbentuk lingkaran yang di atasnya terdapat makanan dan minuman.
"Hmmm... Terima kasih atas kedatangan kalian memenuhi undanganku untuk berkumpul di sini," ucap Ketua Partai Gunung Anjasmoro dengan nada berwibawa.
Kewibawaan yang ditunjukkan bukan sebagai kakak seperguruan, melainkan karena sebagai tuan rumah. Dalam suasana seperti ini, Ki Lingkih Manuk merasa tak ada lagi kesan antara kakak dan adik seperguruan. Kini semua sama. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Berada dalam naungan Panca Giri.
"Mungkin, kalian merasa heran mendapatkan undangan dariku, yang begitu mendadak meminta kesediaan kalian untuk hadir di sini. Apalagi, tidak seperti biasanya, pertemuan dilakukan di kediamanku. Bagusnya, kalian jadi memenuhi undanganku," lanjut Ki Lingkih Manuk.
"Ki Lingkih Manuk! Sejak dulu kau tahu bukan, aku tidak suka bertele-tele." cetus Ki Samundang, terus-terang.
"Kupikir, sudah cukup kau memberikan sambutan. Dan lebih baik, segera katakan saja, apa maksud undanganmu... Aku yakin, yang hadir di sini pun tidak sabar untuk mengetahuinya, bukan?"
Ki Lingkih Manuk mengangguk-angguk.
Hatinya tidak merasa tersinggung mendengar kata-kata Ki Samundang yang merupakan adik seperguruannya. Karena, dia memang tahu sifat adik seperguruannya.
"Baiklah.... Seperti yang dikatakan Ki Samundang, memang pertemuan kita ini segera dibuka saja. Karena, hanya membuang waktu bila memberi sambutan terus-menerus. Nah, sebaiknya kumulai cerita ini. Terus terang saja..., sebelum Guru meninggal, aku telah dititipkan sesuatu. Saat itu. Guru memanggilku. Sementara, kalian sedang berlatih di tempat di sekitar lereng Gunung Merbabu. Sesuatu yang diberikan Guru, pasti membuat kalian bertanya-tanya. Sebelum Guru meninggal aku pun sempat menanyakan, mengapa benda itu dititipkan kepadaku? Apa jawab Guru" Karena sebagai murid tertua di Perguruan Partai Gunung Merbabu, sehingga menurutnya aku akan bisa membawa diri dan menyampaikan apa hendak dikatakannya. Memang, ada satu amanat Guru yang harus kujalankan. Dia meminta kepadaku, untuk memperlihatkan benda itu kepada kalian setelah masing-masing mempunyai murid dan mendirikan Partai Gunung. Kebetulan, kita semua dalam waktu dua puluh tahun telah berkibar tegar dalam aliran lurus."
Ki Lingkih Manuk sebentar menghentikan ceritanya seraya mengedarkan pandangan. Bisa dilihatnya keingintahuan yang jelas dari saudara seperguruannya yang hadir.
"Rasanya tak perlu berlama-lama lagi," lanjut Ki Lingkih Manuk.
Tiba-tiba saja Ketua Partai Anjasmoro mengibaskan tangan ke atas.
Wusss! Serangkum angin seketika terlontar dari tangan Ki Lingkih Manuk. Lalu satu benda mendadak saja meluncur deras ke arahnya, bagai menyerangnya! Dengan ringan Ki Lingkih Manuk menggerakkan tangannya kembali. Ditepaknya benda itu dan jatuh tepat di tengah-tengah meja.
Semua yang hadir menajamkan pandangan, melihat benda yang ada di atas meja. Ternya-ta sebuah bokor yang terbuat dari emas! "Ki Lingkih Manuk! Apa yang aneh dan menariknya dari bokor itu?" tanya Ki Danang Gumilar, agak meremehkan. Baginya, tindakan Ki Lingkih Manuk hanya buang-buang waktu saja.
Ki Lingkih Manuk tertawa.
"Ya, memang. Dalam sepintas tak ada suatu kesan yang menarik dari bokor itu, kecuali terbuat dari emas yang tentu harganya sangat mahal. Tetapi aku tahu, di antara kita semua tak ada yang tertarik dengan emas. Karena, itu adalah milik Guru. Tetapi, aku pun tahu dan sangat yakin, kalau kalian semua pasti akan tertarik setelah mengetahui isinya..."
Semua terdiam, mencoba menebak isi bokor yang sebesar dua kepalan tangan orang dewasa. Tetapi tak ada yang bersuara untuk mengatakannya.
"Ki Lingkih Manuk, silakan untuk mengatakan apa isinya," ujar Ki Kalungkung, memecah kesunyian.
"Baiklah, aku akan mengatakannya," desah Ki Lingkih Manuk sambil menghela napas panjang. Jelas sekali kalau sikapnya kelihatan sedikit ragu-ragu
"Isi bokor itu adalah Air Swargaloka yang didapatkan Guru di Gurun Gobi, ketika ber-kelana ke sana selagi muda. Cairan Swargaloka hanya berisi sedikit. Hanya seteguk saja. Tetapi yang sangat penting, khasiat dari air itu."
Tak ada yang bersuara. Kelihatan kalau semua menunggu penjelasan-penjelasannya. Meskipun jelas sekali kalau Ki Samundang yang sedikit penasaran. Dia memang tidak suka bertele-tele dan ingin tahu segala sesuatunya.
"Menurut Guru, barang siapa yang meminum Air Swargaloka akan memiliki tenaga sakti. Namun dia sendiri tidak tahu, kapan tenaga itu bisa muncul. Tetapi menurut Guru pula, bila sudah dalam keadaan terdesak, maka tenaga sakti yang tak akan terkalahkan bisa muncul begitu saja. Dan kalau dipaksakan, tidak akan mungkin tenaga sakti itu dapat muncul."
Terdengar suara decakan kagum "Ki Lingkih Manuk! Kini aku bisa menebak, apa amanat Guru berikutnya. Pasti, Guru menginginkan salah seorang di antara kita yang meminum air itu, bukan?" duga Ki Samundang.
"Kau benar," sahut Ki Lingkih Manuk.
"Hanya saja.... aku tidak diberitahu siapa yang berhak meminumnya."
Kali ini terdengar gumaman bernada sedikit kesal.
"Lalu, siapa yang berhak meminumnya?" tanya Ki Redamo Rusa. yang sejak tadi diam saja Ki Lingkih Manuk menghela napas. Berat untuk mengatakan amanat terakhir yang disampaikan Ki Panca Giri.
"Guru mengatakan, bila di antara kita ada yang berjodoh dengan bokor emas ini, maka dialah yang berhak meminum Air Swargaloka...."
Seketika terdengar gumaman ramai bagai kerumunan lebah. Dan masing-masing menatap satu sama lain dengan sinar mata tajam. Ki Lingkih Manuk segera menenangkan. Sebagai murid tertua di Partai Gunung Merbabu, sebenarnya dia tidak mengerti tentang amanat Ki Panca Giri ini. Bukankah dengan begitu, justru akan membuat keributan dan perpecahan saja di antara Panca Giri yang sudah terbentuk! Namun, amanat tetaplah amanat. Maka amanat itu harus dijalankan meskipun sangat susah.
"Inilah yang susahnya," kata Ki Lingkih Manuk kemudian.
"Tetapi, amanat jelas amanat. Apalagi ya memberikan Guru kita sendiri. Dan kita tidak boleh mengabaikannya."
"Jadi..., dengan kata lain, kita akan berada dalam satu lingkaran pertarungan?" tanya Ki Samundang sambil mendengus.
"Hhh! Boleh, aku terima usul itu!"
"Sebenarnya, aku tidak bermaksud demikian," tukas Ki Lingkih Manuk.
"Aku tidak ingin di antara kita terjadi perpecahan. Perlu diingat, kita telah berada dalam naungan Panca Giri yang berada di jalan lurus."
"Tetapi seperti katamu tadi, amanat tetaplah amanat," serobot Ki Samundang.
"Benar. Baiklah. Sekarang kutanyakan saja pada kalian, apakah kalian suka terhadap amanat Guru yang satu ini?"
Tak ada yang menjawab. Tetapi di air wajah Ki Samundang tergambar jelas kalau sangat menginginkan sekali untuk meminum Air Swargaloka yang terdapat di bokor emas itu.
"Untuk mencegah perpecahan, aku menyarankan agar kita membuang bokor itu saja," usul Ki Lingkih Manuk. Dia berharap semua yang hadir di situ menyetujui usulnya.
"Tidak!" sergah Ki Samundang.
"Amanat tetaplah amanat! Kita harus menjalankannya. Dengan kata lain kita akan melihat, siapakah di antara kita yang paling tangguh.
Itulah satu-satunya cara untuk menentukan, siapa yang berjodoh dengan bokor emas itu. Karena, tidak ada cara lain untuk menentukan siapakah yang berjodoh dengan bokor emas itu."
"Ki Samundang..., bukankah dengan demikian kita justru berada di ambang kehancuran?" tukas Ki Kalungkung, menatap tajam Ki Samundang.
"Habis, mau bagaimana lagi, hah"! Guru sudah menetapkan amanat seperti itu. Dan sudah tentu, sebagai muridnya kita tidak boleh melanggar setiap amanat Guru," sahut Ki Samundang, memberikan alasan kuat.
"Memang, meskipun rasanya sangat berat sekali, tetapi kita harus menjalankan amanat Guru," timpal Ki Danang Gumilar.
"Tidak!" seru Ki Redamo Rusa.
"Amanat Guru memang harus dijalankan, tetapi bukan dalam arti harus berada dalam suatu perpecahan"
Telah lama kita saling mengikat persaudaraan, semasa masih menuntut ilmu di Partai Gunung Merbabu, hingga kita membentuk kelompok yang dinamakan Panca Giri. Kalau kita harus pecah, untuk apa selama ini menjadi persaudaraan?"
"Jadi, bagaimana usulmu?" tanya Ki Samundang agak ditekan suaranya.
"Aku setuju usul Ki Lingkih Manuk. Kita akan membuang saja bokor itu."
"Tidak!" Ki Samundang kontan berdiri. Tatapannya mengedar. Tajam!
"Sebagai murid yang berbakti dan menghormati Guru, kita harus tetap menjalankan amanat Guru. Walaupun, apa yang terjadi." tandas Ketua Partai Gunung Arjuno.
Kali ini tak ada yang bersuara. Memang sangat sulit untuk menentukan sikap di saat seperti ini. Di satu segi perpecahan nampak sudah di ambang mata. Di segi lain, mereka harus menjalankan amanat Ki Panca Giri. Suatu kerikil kehidupan mulai menusuk. Ki Lingkih Manuk mendesah panjang.
"Baiklah.... Kita akan menjalankan amanat Guru. Tiga bulan lagi, kita akan bertemu di Gunung Merbabu. Kita selesaikan semua masalah ini...."
"Dan kita akan melihat, siapa yang berhak untuk meminum Air Swargaloka itu...," sambung Ki Samundang, bernada angkuh, "Aku mohon pamit. Kita bertemu lagi tiga bulan di Gunung Merbabu!" Lalu Ketua Perguruan Partai Gunung Arjuno ini pun keluar.
Tiba di luar murid-murid Ki Samundang segera menghampirinya. Dan tak banyak bertanya, mereka sudah ikut melangkah mengikuti ketua mereka. Satu persatu, para Ketua Partai Gunung itu keluar, meninggalkan Partai Gunung Anjasmoro. Di ruang tadi, Ki Lingkih Manuk mendesah masygul. Memang tak ada jalan lain lagi. Sesuatu akan terjadi. Dan nampaknya, itu sudah di ambang mata. Waktu tiga bulan bukankah waktu yang panjang. Bahkan terasa sangat sempit!
Lagi-lagi Ki Lingkih Manuk tidak mengerti, mengapa Guru memberi amanat yang sangat meresahkan. Memang Guru menitipkan bokor emas yang berisi Air Swargaloka, kalau ternyata bakal terjadi perpercahan di antara Panca Giri? Sudah lama soal itu dipikirkannya. Tetapi hingga hari pertemuan diadakan, dia belum berhasil memecahkannya. Yang pasti hanya satu, kalau amanat Guru itu memang diperuntukkan bagi mereka berlima. Dan, sudah tentu harus dijalankan!
Sungguh! Ki Lingkih Manuk amat teramat tidak mengerti. Namun kesepakatan tadi sudah didapat. Mereka akan membuktikan, siapa yang tertangguh dan berhak meminum Air Swargaloka. Usulnya untuk membuang bokor itu sudah tak ada gunanya lagi. Memang, dengan begitu dia telah membatalkan amanat Ki Panca Giri. Namun, itu adalah jalan yang terbaik menurutnya, agar perpecahan tidak akan terjadi.
Tetapi sekarang jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah bertarung. Dan Ki Samundang yang begitu ingin untuk meminum Air Swargaloka tidak bisa disalahkan. Sedikit banyaknya, Ki Samundang benar. Karena, mereka memang harus menjalankan amanat Ki Panca Giri. Ki Lingkih Manuk merasa begitu berat, bagaikan ada sebuah beban luar biasa yang menindih dadanya. Dan yang sangat dikhawatirkannya, bila segolongan orang sesat mendengar berita ini. Mereka pasti akan memanfaatkan kesempatan. Karena, sepak terjang mereka tak akan pernah lagi dihalangi Panca Giri yang sekarang berada dalam suatu kemelut menyedihkan. Lalu perlahan-lahan Ketua Partai Gunung Anjasmoro menghembuskan napas.
"Akankah berakhir kelompok Panca Giri?" gumam orang tua ini, lirih.



## 2 ##

Tiga hari menjelang pertarungan antara sesama anggota Panca Giri, seorang pemuda berpakaian hijau muda dengan selembar kain bercorak catur tersampir di bahu berhenti di lereng Gunung Merbabu. Rambutnya yang gondrong dipermainkan angin kencang. Sepasang matanya yang tajam dengan sepasang alis yang menukik bagaikan kepakan elang, memperhatikan sekitarnya. Pepohonan bagai pasukan siap tempur yang berjajar rapi. Seolah, siap menunggu perintah untuk menyerang. Juga, ada beberapa bebatuan besar. Pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor menepuk keningnya.
"Edan! Kenapa aku sampai di sini, sih"
Hiii... Tempat ini sepi sekali!" desis Andika sambil memperhatikan sekitarnya.
Pendekar Slebor lantas menaikkan rambutnya yang gondrong ke belakang, karena untaian rambutnya sesekali menutupi mata ketika angin berhembus.
"Andika..., Andika.... Kenapa sih, begitu tolol datang ke sini" Bukankah di kotaraja atau di dusun-dusun banyak gadis-gadis cantik" Kalau di sini, waaahhh! Paling-paling kuntilanak yang menyamar jadi gadis cantik!"
Pendekar Slebor menjatuhkan pantatnya di tanah berpasir. Dijumputnya sehelai rumput dan dihisap-hisap ujungnya. Terasa manis.
"Mengembara, ya mengembara. Tetapi jangan ke tempat seperti ini, dong?" rutuk pemuda itu lagi.
Pendekar Slebor memang tiba tak sengaja di lereng Gunung Merbabu.
"Kalau sendirian begini, aku jadi teringat Sari. Gadis penunggang harimau yang jelita tetapi menjengkelkan itu. Tetapi lumayan juga sih, kalau ada dia. Meskipun kadang-kadang menjengkelkan, tetapi tetaplah salah seorang gadis cantik yang pernah kutemui...."
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum sendirian. Mulai sinting kali!
"Ah," desahan panjang keluar dari mulut Andika.
"Kalau memang ada Sari di sini, asyik sekali! Tetapi..., mbok ya, jangan harimaunya yang besar dan galak itu! Bisa runyam! Kok ada ya, seorang gadis cantik seperti Sari bersahabat dengan harimau jelek itu. Lebih baik kau bersahabat denganku. Jelek-jelek begini, tapi aku kan tampan, ganteng, bijaksana, manis.... Wah, wah.... Mana ada tukang loak menjelek-jelekkan barangnya sendiri! Tapi yang penting lebih ganteng daripada harimau jelek itu?"
Rupanya dalam kekesalannya mengapa tahu-tahu berada di tempat sepi semacam ini, Andika jadi ngoceh sendirian. Tetapi memang mengasyikkan mengenang Sari. Hanya yaitu ya, harimaunya! "Huh! Hewan jelek!" desis Andika tiba-tiba.
Mata Pendekar Slebor yang tajam kembali memperhatikan sekelilingnya. Tak seorang pun yang berada di tempat, kecuali dirinya. Lagi-lagi Andika menepuk keningnya.
"Busyet! Kenapa sih, aku tahu-tahu berada di sini?" dengus Andika lagi.
Pendekar Slebor lantas mengambil sebutir kerikil dan melemparkannya. Hanya sekali sentak saja, kerikil itu sudah tidak terlihat lagi. Bukan karena terhalang semak belukar maupun batu besar, tapi karena kerikil itu bagai dilontarkan sebuah tali busur. Bahkan kecepatannya lebih kencang daripada lesatan sebuah anak panah. Tahu-tahu pemuda urakan ini tersenyumsenyum sendirian.
"Sari..., Sari.... Kok aku jadi ingin bertemu denganmu, ya?" desis Andika lagi.
Pemuda ini membayangkan ketika secara tak sengaja melihat tubuh Sari tanpa busana. Saat itu, Sari berada dalam kekuasaan Raja Akherat.
"Edan benar Eyang Sasongko Murti itu! Masa' aku dipaksa untuk melihat tubuh Sari, sih? Tetapi..., he he he... Lumayan juga. Toh, dia tidak melihatku, kan! Mengasyikkan juga ilmu yang dimiliki Eyang Sasongko Murti! Tetapi..., huh! Dasar murid siluman!" dengus Andika (Baca: "Neraka di Keraton Barat").
Andika mengambil lagi sebutir kerikil. Untuk menghilangkan kejenuhan dilontarkannyakembali. Kali ini lebih cepat bagaikan sebutir peluru! "He he he.... Heran, aku! Mengapa gadis secantik Sari memiliki sahabat si Belang, ya" Harimau jelek
itu! Huh! Mendingan bersahabat denganku! Kan lebih ganteng daripada harimau jelek yang galak itu!"
"Auuuummm!"
Baru saja Andika berkata demikian, tiba-tiba terdengar auman harimau yang berkepanjangan. Seketika Pendekar Slebor terkejut.
"Diamput! Rupanya di sini ada harimaunya juga! Gara-gara ngomong tentang Sari saja, kok ada suara harimau sih!" maki Pendekar Slebor sambil berdiri dengan mata waspada.
Geraman harimau itu terdengar lagi. Kali ini semakin dekat. Pendekar Slebor segera bangkit dari duduknya sambil memperhatikan sekitarnya. Mendadak saja kedua mata Andika melotot, ketika muncul seekor harimau besar dari balik semak di depannya. Kedua mata hewan berkaki empat yang ganas itu memerah tertuju kepadanya.
"Eiiittt! Benar juga, ada harimau di sini!" desis Andika sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Bagus, Belang! Hajar pemuda urakan itu!"
Sebuah seruan keras bernada perintah terdengar. Dan harimau besar yang dipanggil si Belang itu melompat ke arah Pendekar Slebor.
Wuttt! "Uts!"
Cepat pendekar dari Lembah Kutukan itu memiringkan tubuhnya, membuat terkaman itu pun luput. Tetapi harimau itu sudah berbalik lagi kepadanya dan menggeram marah. Lalu diter-jangnya Andika lagi dengan aumannya yang sangat keras. Andika lagi-lagi menghindari terjangan harimau. Namun bagaikan memiliki akal, harimau itu berbalik kembali secepat kilat.
"Busyet! Apakah hewan ini peliharaan Sari"!" rutuk Andika sambil melompat-lompat.
"Tidak, tidak mungkin. Masa iya sih, gadis itu sudah berada di sini" Padahal baru saja kubayangkan"! Mau apa dia di sini" He he he.... Jangan-jangan dia kangen dan ingin bertemu denganku...."
Si Belang menerjang terus menerus, membuat Andika jadi kelabakan juga. Ingin dihantamnya harimau itu, tetapi kok tidak tega. Bukankah hewan itu sesama ciptaan Tuhan, meskipun begitu buas sekali"
Jadinya, Pendekar Slebor hanya melompatlompat seperti monyet terbakar ekornya. Dan anehnya harimau itu terus saja menyerang dengan ganas. Keempat kuku-kukunya mengembang dalam sebuah cakar yang siap mencabik-cabik. Bahkan yang luar biasa, harimau itu sepertinya pandai menirukan gerakan-gerakan silat Dia seperti bisa mengelak, menghindar, dan melakukan gerak tipu dalam menyerang.
"Busyet!" seru Andika.
Dan kali ini. Pendekar Slebor yakin tentang hewan itu. Tak ada seekor harimau pun yang pernah dijumpainya sepandai ini.
"Sariii!" teriak Pendekar Slebor tiba-tiba.
"Keluar dong! Jangan bikin aku kesal!"
"Hi hi hi.... Pendekar bego, coba hentikan serangan peliharaanku itu!" terdengar suara dari satu tempat.
Andika yang memiliki pendengaran tajam bisa segera menebak, kalau suara itu berasal dari sebuah pohon yang terletak lima langkah di depannya, tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan pohon.
"Sari! Kalau kau kangen padaku, bukan begini caranya! Datang saja kepadaku. Lalu, peluk dan..., cup! Nah, kan beres?" seru Andika sambil bergulingan menghindari terjangan si Belang yang ganas.
"Brengsek!" sembur suara di balik dedaunan yang memang Sari.
"Belang! Bikin dia kapok!" Begitu mendengar aba-aba yang dilontarkan Sari, si Belang bergerak makin kesetanan. Dia menerjang dengan aumannya yang ganas.
"Sari! Apakah kau tidak sayang kalau hewan jelek ini kuberi pelajaran!"
Bukannya marah, Sari malah terkikikkikik.
"Coba saja kalau bisa!"
"Baik! Untuk pertama..., kau dulu yang harus keluar dari tempat persembunyianmu! Karena terus terang, aku ingin sekali melihat wajahmu! Apakah makin cantik, ataukah seperti neneknenek sekarang!"
Pendekar Slebor seketika menggerakkan tangannya ke sebuah pohon, tempat Sari menyembunyikan diri di sana.
Wuuusss! Crak! Dari balik rimbunnya dedaunan tampak satu sosok tubuh melenting keluar. Dia bersalto tiga kali di atas, lalu hingga di tanah dengan ringannya. Kini gadis itu telah menampakkan diri. Sepasang matanya yang jernih melotot.
"Brengsek! Belang! Hajar dia! Hajar!" seru gadis berpakaian kulit harimau dengan bagian atas sebelah kanan terbuka. Rambutnya tergerai indah dan menawan. Wajahnya, teramat jelita. Di punggungnya terdapat sebilah pedang tipis, namun tajam (Untuk mengetahui bagaimana pertama kali Pendekar Slebor berjumpa Sari, gadis penunggang harimau silakan baca : "Raja Akherat" dan "Neraka di Keraton Barat").
Kali ini Andika benar-benar ingin menggoda Sari. Heran! Kok tahu-tahu gadis itu berada di sini" Apakah diam-diam dia membuntuti" Begitu kata hati Andika, lagi-lagi sok kecakepan.
"Wah, wah...! Tak kusangka, Diajeng Sari yang berada di sini" Apakah dikau merindukan Kakangmasmu yang ganteng ini, Diajeng?" goda Andika, sambil terus menghindari terjangan si Belang yang semakin ganas.
Sari mendengus.
"Pemuda urakan! Enaknya ya, kau menuduhku seperti itu" Apa bukannya kau sendiri yang mengikuti aku, hah"!" bentak Sari
"Aku?" tukas Andika melotot.
"Enaknya! Mana sudi aku mengikuti gadis galak sepertimu?"
"Mana sudi aku mengikuti pemuda bego sepertimu?" semprot Sari seketika.
"Kebetulan! Aku sendiri memang tidak mau ditemani! Nah, panggil si Jelek ini! Suruh dia berhenti menyerangku yang ganteng seperti ini! Lama-lama tampangku yang ganteng ini jadi ketularan jelek!" ujar Andika.
Kali ini Sari semakin sewot. Harimau itu adalah hewan peliharaan yang paling disayanginya. Dan dia tak akan pernah membiarkan orang lain mengejek hewan itu.
"Belang! Kau ini kenapa bodoh, sih" Hajar pemuda jelek itu!" seru Sari setengah jengkel.
"He he he... Sudah tentu si Belang tidak mau melakukannya. Soalnya dia tahu, yang dihadapinya ini majikan laki-lakinya. Iya, kan" Iya, kan" Iya, kan?"
"Brengsek!"
Tiba-tiba saja gadis itu melenting ke arah Andika. Di udara pedangnya dicabut Sraaat! Wuuut! Wuuut!
Dua kali pedang itu dikibaskan ke arah Andika yang kali ini harus diserang dua jurusan. Pertama oleh si Belang yang bertambah ganas, kedua oleh Sari yang sudah kesal terhadapnya. Andika menghindari dua serangan dengan melompat ke sana ke mari. Tidak disangka kalau gadis yang baru saja dipikirkannya benar-benar berada di sini. Dan yang membuatnya harus geleng-geleng kepala, sikapnya masih galak juga!
Pendekar Slebor kini membiarkan Sari yang menyerangnya beberapa jurus. Sementara dalam menghindarinya, Andika berjoget-joget meledek.
"Payah! Kupikir sekian waktu kita tak bertemu, kemajuan ilmu pedangmu semakin pesat! Tidak tahunya, cukup untuk memotong tahu saja!" ledek Andika.
Sari semakin geram. Maka diserangnya Andika dengan cepat. Sementara mulutnya sesekali berseru pada si Belang untuk segera mencabik-cabik tubuh Pendekar Slebor. Dan kalau bukan Andika, sudah bisa dipastikan akan terkapar
karena dua serangan yang sangat berbahaya. Setelah merasa cukup mempermainkan Sari, tiba-tiba Pendekar Slebor berkelebat. Dan dengan gerakan manis sekali, ditepaknya tangan Sari. Sehingga, pedangnya terlepas. Dan dalam sekali egosan saja, tubuhnya sudah berada di belakang Sari. Seketika dirangkul dan dikuncinya gerakan gadis itu.
"Lepaskan! Lepaskan aku!" teriak Sari kalap. Tubuhnya yang dikunci Andika berusaha di- gerak-gerakkan.
Andika hanya terkekeh-kekeh saja.
"Jangan terlalu banyak bergerak.... Soalnya..., hehe he.... Bila terjadi pergesekan antara dua buah benda, maka akan..."
"Jorok!"
Andika nyengir. Justru si Belang yang kelihatan bingung. Hewan buas ini hanya berdiri saja sambil celingukkan untuk mencari kesempatan menyerang. Dia melihat majikannya nampak sedang berusaha melepaskan diri. Tetapi, bagaimana caranya agar bisa menyerang, karena majikannya berada di depan" Selagi gadis itu masih meronta-ronta...
"Sari...! Suruh Belang bersembunyi! Ada orang yang datang ke sini!" bisik Pendekar Slebor.
Andika seketika mengempos tubuhnya ke atas.
"Hup!"
Sambil menggendong Sari, Pendekar Slebor hinggap di atas sebuah pohon. Sementara, Sari langsung mengisyaratkan pada Belang untuk bersembunyi. Dari atas, gadis ini melihat apa yang dikatakan Andika. Tampak lima orang berpakaian
merah dengan sepasang cakra di pergelangan tangan tengah melangkah mengendap-endap ke arah lereng Gunung Merbabu. Tidak jelas, mengapa mereka bersikap seperti itu. Sangat berhati-hati dan seolah khawatir kedatangan mereka diketahui orang. Mereka tak ada yang bersuara. Sungguh, sikap mereka memang sangat mencurigakan. Sari sendiri tidak mengerti mengapa justru ikut-ikutan bersikap seperti Pendekar Slebor. Diam-diam matanya melirik pendekar urakan nan
tampan yang sedang memperhatikan kelima orang berpakaian merah. Hebat! Pemuda itu bisa mendengar langkah mereka tadi. Ah! Sungguh, sebenarnya hati Sari berdebar-debar tak menentu. Sudah lama Sari sebenarnya merindukan pemuda gondrong ini. Dan karena rindunya itulah kediamannya ditinggalkan. Sekaligus meninggalkan ayahnya yang bernama Ki Wirayuda.
Namun di balik semua itu, gadis ini sebenarnya bermaksud mencari Andika, pemuda sakti yang telah mencuri hatinya. Dan tak disangkanya, pemuda itu terlihat sedang duduk di atas tanah berpasir di lereng Gunung Merbabu. Sari sendiri heran, mengapa bisa tiba di tempat itu. Sungguh mati, dia tidak punya tujuan apa-apa di lereng Gunung Merbabu. Tetapi yang benar-benar tak disangka, ternyata pemuda yang dirindukannya berada di sana
Kalaupun Sari menyuruh si Belang menyerang Andika tadi, semata ingin menutupi kegembiraannya. Begitu pula mengapa sikapnya terlihat marah. Kan tidak lucu, kalau seorang dara lebih dulu menyatakan sukanya" Apalagi, sampai memperlihatkan rasa senangnya pada pemuda yang dirindukan.
Ah! Sari menghela napas panjang dalam hati. Apakah pemuda itu merindukannya juga"
Tadi pun telinganya mendengar kata-kata pemuda itu, meskipun sempat membuatnya memerah.

***

Sementara, kelima orang berpakaian merah-merah itu berhenti melangkah. Mereka memperhatikan sekitarnya. Lalu yang berambut tebal dengan muka tirus dan sepasang mata tajam menoleh ke arah rekannya.
"Hmmm... Kira-kira, di manakah pertarungan antara Ketua dengan saudara-saudaranya dilaksanakan?" gumam lelaki bermuka tebal, bertanya. Tak ada yang menyahuti pertanyaan itu.
Karena mereka pun seperti berpikir.
"Mungkinkah di sebelah kiri lereng Gunung Merbabu ini. Bukankah setiap lima tahun Ketua selalu mengadakan pertemuan di sana?" tanya si wajah tirus, seperti berkata-kata sendiri.
"Ya! Bisa jadi memang di sana, Linggar!"
Kali ini terdengar sahutan serempak.
"Kalau begitu, kita segera bekerja cepat," ujar si wajah tirus yang dipanggil Linggar.
Mereka pun bergerak ke sisi kiri lerengGunung Merbabu. Tampaknya tak ada yang menarik di sana. Tak ada bangunan, tak ada rumah. Yang ada hanya sebuah dataran rata dengan rerumputan basah. Andika yang memperhatikan dari balik
rimbunnya pohon menggaruk-garukkan kepala.
"Siapa sih, mereka" Sepertinya, mereka akan melakukan sesuatu yang menarik."
Sari yang merasa pertanyaan itu tidak diperuntukkan baginya, diam saja. Justru ia terkejut ketika....
"Hei! Nyahut dong kalau ditanya!" bentak Andika, namun dengan suara berbisik.
"Oh!"
Sari gelagapan. Tetapi jadi sebal karena dibentak seperti itu.
"Memangnya aku tahu kalau kau bertanya padaku, hah"!" balas Sari, juga berbisik.
"Masa iya aku bertanya dengan pohon?" tukas Andika, lalu nyengir.
"Jangan-jangan, kau ini tuli, ya" Huh! Sayang, cantik-cantik kok tuli."
"Enaknya ngomong!" seru Sari sambil mendorong Andika.
Pendekar Slebor tersuruk jatuh. Untungnya tangannya yang kekar cepat menyambar dahan pohon untuk berpegangan.
"Heitt! Hati-hati! Aku bisa jatuh nih! Cepat tangkap tanganku yang satu lagi!" ujar Andika, pelan. Dengan cepat Sari menangkap tangan Andika. Langsung disentakkannya ke belakang. Karena terlalu terburu-buru dan khawatir pemuda
itu benar-benar jatuh, tarikannya terlalu cepat. Sehingga, kepala Andika membentur salah satu dahan pohon. Duk! "Aduhhh...."
Pendekar Slebor mengusap-usap kepalanya.
"Pelan-pelan, dong! Kalau kepalaku benjut mau kau ganti?"
Sari hanya tertawa tertahan. Apalagi setelah tahu kalau tadi Andika mempermainkannya. Biar tahu rasa!
Andika nyengir. Kembali dia memperhatikan lima sosok tubuh berpakaian merah itu yang semakin menjauh.
"Kau bisa jawab pertanyaanku tadi," kata Andika tiba-tiba tanpa menoleh pada Sari. Gadis itu mendengus. Benar-benar pemuda tidak tahu aturan. Semau jidatnya saja kalau ngomong! "Apa yang harus kujawab, hah"!" sentak gadis itu jengkel.
"Siapa mereka?"
"Mana kutahu?"
Andika menoleh.
"Lho, kok" Kamu tidak tahu?"
"Ya jelas aku tidak tahu!"
"Iya, sama kalau begitu. Bagaimana kalau kita cari tahu siapa mereka?"
"Apa untungnya?"
"Tidak ada. Tetapi kalau kau tidak mau, ya sudah! Aku ke sana dulu! Kau jangan ke manamana, aku masih ingin melihat wajahmu yang cantik tetapi..., galak!"
Wuuusss! Pendekar Slebor sudah bersalto dua kali, lalu hinggap di tanah bagai sehelai kapas. Lalu tubuhnya melesat menyusul lima orang berpakaian merah tadi. Tinggal Sari yang mendumal jengkel. Enak saja kalau ngomong! Padahal tadi, dadanya sudah berdebar ketika Andika mengatakan kalau dirinya cantik. Tetapi buntutnya..., weee! Tidak enak!
Gadis itu lalu melompat pula. Gerakannya tak kalah ringan seperti Andika. Dan tubuhnya segera melesat menyusul Andika.



## 3 ##

Lima orang berpakaian merah-merah yang dibuntuti Pendekar Slebor tiba di sebuah dataran rata yang banyak ditumbuhi pepohonan. Sehingga sinar matahari yang mulai menyengat tak begitu dirasakan. Linggar menjejak-jejakkan kakinya.
"Kalau tidak salah, di sinilah tempat Ketua berada," tunjuk Linggar di satu tempat, setelah menjejak selama lima belas langkah dalam bentuk lingkaran.
"Kalau begitu, kita harus bekerja cepat." Kemudian setiap lima belas jejak, masing-masing berhenti. Sementara Linggar masih berdiri di tempatnya tadi. Dia melihat keempat temannya mengambil sesuatu dari pinggang. Ternyata sebuah pundi kecil berwarna merah. Lalu, dituangkannya isi pundi itu di tempat yang mereka injak tadi. Cairan berwarna merah pun jatuh ke tanah.
"Taburkan dengan pasir, biar tidak terlalu kentara!" perintah Linggar.
Keempat lelaki berpakaian merah itu segera melakukan perintah. Sementara, Linggar terbahak-bahak.
"Ketua pasti senang dengan apa yang kita lakukan ini! Meskipun kita tidak diperintah, tetapi sebagai murid-muridnya kita harus melakukan
yang terbaik untuk Ketua," kata Linggar.
Keempat orang lainnya pun terhahak-bahak. Suara mereka menggema di sekitar lereng Gunung Merbabu. Memang, bila melihat pakaian yang dikenakan dan senjata cakra yang melingkar di tangan masing-masing, bisa dipastikan kalau mereka adalah murid-murid Partai Gunung Arjuno. Setelah meninggalkan pertemuan di Gunung Anjasmoro, Ki Samundang mengajak muridmuridnya meninggalkan tempat itu. Dia sebenarnya ingin sekali meminum Air Swargaloka yang berkhasiat tinggi itu. Tak heran kalau dia bertekad ingin merebut bokor emas yang berisi Air Swargaloka Memang tidak salah. Karena seperti yang dikatakan Ki Lingkih Manuk, amanat dari Ki Panca Giri memang seperti itu.
Ki Sumandang pun menceritakan tentang pertarungan yang akan dilakukan menghadapi saudara-saudara seperguruannya yang telah menduduki Partai Gunung lainnya. Yang lebih tangguh maka dialah yang berhak meminum Air Swargaloka. Meskipun memiliki sifat yang sedikit panasan dan ingin tahu, Ki Samundang tetap menghargai para saudara seperguruannya. Dia tidak menghendaki adanya kecurangan. Namun di luar sepengetahuannya, Linggar justru mengajak empat murid Partai Gunung Arjuno untuk mencurangi para Ketua Partai Gunung lainnya.
Andika yang menyaksikan perbuatan mereka dari balik sebuah batu besar mengerutkan keningnya.
"Aneh! Untuk apa mereka membuang cairan merah itu di empat tempat" Apakah mereka sedang menyembah dedemit Gunung Merbabu ini?" desis Andika
Dan selagi Andika asyik memperhatikan orang-orang itu, satu sosok tubuh tiba di dekatnya.
"Mau apa ke sini?" tanya Andika, agak sewot.
"Mau lihat!" sahut yang baru datang ketus. Dia tak lain dari Sari.
"Menyebalkan! Heran! Kenapa sih, aku bertemu denganmu lagi!" seru Andika.
"Justru aku yang bertanya-tanya, kenapa harus bertemu denganmu lagi!" balas Sari. Wajahnya ditekuk dengan mulut cemberut
"Sudah, jangan banyak omong!"
"Brengsek! Justru kau yang banyak omong!" Andika melotot. Ingin rasanya menyumpal mulut gadis ini. Tetapi tidak, ah! Soalnya, bentuk mulut dan sepasang bibir yang merah basah gadis itu sangat menarik.
Lalu kedua anak muda ini memperhatikan kembali orang-orang itu. Sari diam-diam mendengus dalam hati. Apa pemuda seperti ini yang harus dirindukan?
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan, Kakang?" Suara itu datang dari salah seorang yang berwajah kelimis. hanya dihiasi kumis tipis saja.
"Kita tinggalkan tempat ini. Biar para ketua dari Partai Gunung lain mampus terkena Bisa Ular Welang yang telah kuramu dengan akar minyak kelawang. Dan yang terpenting lagi, Ketua akan mendapatkan Air Swargaloka!" kata Linggar.
Lalu mereka pun bergegas meninggalkan tempat itu.

***

Begitu mereka pergi, Andika segera keluar dari balik batu besar. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Siapa sih, mereka?" tanya Andika. Sari yang juga sudah keluar dari sana, hanya mengangkat bahu saja.
"Aku tidak tanya padamu!" bentak Andika tiba-tiba.
"Brengsek! Serba salah!" dengus gadis itu sambil menghentakkan kakinya.
"Ketika aku tidak menjawab tadi, kau memaksaku juga untuk menjawabnya! Ketika aku menjawab, justru kau marah-marah sekarang!"
Sebagai jawaban dari dengusan Sari, bibir Andika nyengir. Jelek sekali. Lalu kakinya melangkah ke tempat lima orang berpakaian merah tadi berada. Sejenak Pendekar Slebor memperhatikan tempat orang-orang itu berdiri. Berbentuk lingkaran, dan ada lima buah. Otaknya yang cerdik segera berputar.
"Hmm, apakah lima tempat itu ada yang akan menempatinya" Kalau memang ada, untuk apa" Kalau tidak ada, mengapa mereka menuangkan cairan merah yang dikatakan tadi bisa ular welang" Hmm..., mengapa yang satu tidak dituangkan cairan itu?" gumam Andika.
Andika mengetuk-ngetuk keningnya. Sari memperhatikannya. Heran.
"Kenapa jidatmu" Gatal?" usik Sari.
"Edan! Aku lagi berpikir!"
"Orang berpikir semestinya tidak seperti itu!"
"Masa bodoh!"
Andika lantas melangkah ke tempat Linggar tadi berdiri.
"Hmm.... Kalau mendengar kata-kata orang itu tadi, di sini tempat Ketua. Dan di tempat yang telah dituangkan cairan merah, tempat para Ketua Partai Gunung lainnya. Hmm.... Apakah ada lima Partai Gunung?" gumam Andika lagi.
"Hei" Kau ini mau apa, sih?" tegur Sari yang jadi jengkel karena didiamkan saja.
Andika nyengir.
"Lagi berpikir!"
"Mengapa keningmu tidak diketuk-ketuk lagi?" ledek Sari mendongkol. Gadis ini benar-benar tidak mengerti dengan sifat angin-anginan Andika. Memang tidak heran kalau dijuluki Pendekar Slebor. Andika tertawa.
"Bagaimana kalau kau yang ketuk?" Sepasang mata Sari terangkat. Tetapi kemudian bibir- nya mengembangkan senyum.
"Boleh," sahut Sari, pendek.
"He he he..., silakan... "
Sari mendekat dengan masih tersenyum.
Lalu tiba-tiba saja dipukulnya kening Andika kuat-kuat.
"Waaadddooowww!" jerit pemuda berbaju hijau itu sambil meringis kesakitan. Sari tersenyum puas.
"Tahu rasa kau!"
Andika meringis sambil memegang keningnya. Ditatapnya Sari yang sekarang tertawa-tawa.
"Bandel! Kau harus kubalas!" seru Andika seraya mengejar.
Sari langsung berlari ke tempat orangorang berbaju merah tadi berada. Ketika kakinya menginjak tempat cairan berwarna merah dituang orang berpakaian merah-merah, tiba-tiba saja gadis itu terjatuh terguling. Andika terkesiap melihatnya.
"Sariii!" seru Andika.
Secepat kilat Pendekar Slebor berkelebat, menangkap tubuh gadis itu. Seketika dilihatnya kaki Sari yang menginjak tempat tadi. Dan ternyata berubah hitam.
"Gila! Gairah merah itu benar-benar racun yang membunuh!" sentak Pendekar Slebor.
Dengan cepat Andika membaringkan tubuh Sari. Kini pemuda itu harus berlomba dengan waktu. Dengan cepat ditotoknya beberapa urat syaraf yang ada di kaki Sari. Namun yang membuatnya terbelalak, justru warna hitam itu perlahan-lahan namun pasti, semakin naik ke atas.
"Edan! Racun ini benar-benar ganas!"
Kembali Pendekar Slebor menotok seluruh simpul syaraf di tubuh gadis yang terkulai lemah itu. Tampak keringat telah membanjiri tubuhnya. Lalu dialirkannya tenaga dalam melalui kedua tangan gadis itu. Andika harus bertarung melawan racun ganas itu. Dan perlahan-lahan pula sekujur tubuh Andika mengeluarkan keringat. Seluruh tenaganya berusaha dikerahkan untuk menyelamatkan gadis itu. Aliran racun yang bisa dipastikan akan tiba di jantung Sari, harus ditahannya.
Namun mendadak saja Pendekar Slebor merasakan panas menyengat. Ditahannya agar tenaga dalamnya tidak dilepaskan. Akan tetapi, panas itu semakin membara saja. Tak ubahnya memegang besi yang telah berhari-hari ada di atas api.
"Aku tidak boleh menyerah! Gadis ini harus hidup!" tekad Andika tegang.
Dan mendadak saja, Pendekar Slebor mengubah tenaga dalamnya. Tenaga 'inti petir' tingkat ketiga puluh segera dialirkannya. Namun hasilnya nihil. Kini, warna hitam itu sudah sampai pada batas dengkul Sari. Andika menambah tenaga 'inti petir'nya, menjadi tingkat kedua puluh tujuh. Dan perlahan-lahan terus ditambahnya hingga berada pada puncak tenaga 'inti petir'. Rupanya, usaha Pendekar Slebor untuk menyelamatkan gadis itu berhasil. Karena dengan tenaga 'inti petir' tingkat pertama, racun itu berhasil berhenti. Bahkan perlahan-lahan warna hitam yang ada di kedua kaki gadis itu menghilang. Andika menghela napas panjang seraya menghapus keringatnya.
"Manusia keji!" dengus Andika.
"Awasss...! Rasakan akibatnya dari perbuatan kalian yang hampir saja merenggut nyawa gadis ini...."
Pendekar Slebor melepas semua totokannya di tubuh Sari. Dan perlahan-lahan, dialirkannya hawa murni ke tubuh gadis itu.



## 4 ##

Suasana di Partai Gunung Anjasmoro tetap berlangsung seperti biasa. Setiap pagi para murid berlatih ilmu pedang yang diturunkan Ki Lingkih Manuk. Ki Lingkih Manuk sendiri berada di kamar pribadinya yang menghadap ke samping pendopo. Di halaman samping, ditanami bunga-bunga beraneka warna. Hari demi hari pun dilalui Ki Lingkih Manuk dengan penuh ketegangan dan suasana tidak tenang. Dia masih memikirkan tentang pertarungan yang akan terjadi sesama saudara seperguruannya. Sampai saat ini, Ki Lingkih Manuk masih belum mengerti mengapa Ki Panca Giri, menghendaki amanat seperti itu" Memberikan bokor emas yang berisi Air Swargaloka, yang akhirnya harus diperebutkan antara saudara seperguruan yang telah bergabung dalam Panca Giri"
Apalagi ketika disadari waktu yang ditentukan tinggal tiga hari lagi. Dapat dibayangkan bagaimana nanti para saudara seperguruan yang tergabung dalam Panca Giri, harus saling tempur untuk membuktikan mana yang paling tangguh dan sakti" Dan itu semata untuk mendapatkan Air Swargaloka! Meskipun ini pemecahan pertama dari amanat yang diberikan guru mereka. Yakni, tentang salah seorang anggota Panca Giri yang akan berjodoh dengan Air Swargaloka itu. Sebenarnya Ki Lingkih Manuk belum yakin dengan pemecahan ini. Namun, kesepakatan sudah terjadi. Kalau mereka mengartikan kata-kata perjodohan itu dengan bertarung, mau apa lagi?
Kalau mau menuruti kata hatinya, Ki Lingkih Manuk sendiri justru tidak menginginkan Air Swargaloka. Biarlah salah seorang dari adik-adik seperguruannya yang mendapatkannya. Tetapi sulitnya, siapakah yang berhak meminum Air Swargaloka"
Jelas, semuanya pasti menginginkan. Ketika diusulkannya untuk membuang bokor emas itu saja, sudah terjadi penolakan. Terutama, datang dari Ki Samundang. Namun, Ki Lingkih Manuk sendiri tidak menyalahi sikap adik seperguruannya. Ki Samundang memang benar. Betapapun pahitnya, mereka harus memenuhi amanat sang Guru. Meskipun, Ki Lingkih Manuk bertanyatanya, apakah sebenarnya mereka telah memecahkan amanat Ki Panca Giri!
Apalagi, kini Ki Lingkih Manuk mendengar kalau beberapa orang dari golongan sesat telah unjuk gigi kembali. Dan adanya kemelut di tubuh Lima Partai Gunung itu rupanya sudah menyebar. Entah, siapa yang iseng membuka rahasia ini. Ketika matahari sudah lewat sepenggalah.
"Ki Lingkih Manuk! Keluar kau dari tempatmu!"
Ki Lingkih Manuk menegakkan kepalanya ketika tiba-tiba terdengar suara sangat keras dari luar. Ada apa ini" Ketika telinganya kembali mendengar bentakan bernada menantang dan congkak, kakinya pun melangkah keluar. Di luar, tampak tiga orang laki-laki berkepala botak berpakaian hitam seperti sisik ikan. Pakaian di bagian bahu sebelah kiri tampak terbuka. Mereka telah berdiri di halaman pendopo Partai Gunung Anjasmoro. Di tangan masingmasing terdapat rantai berujung besi bulat sebesar kepala orang dewasa yang penuh duri. Mereka dikelilingi para murid partai itu yang bersiaga dengan pedang di tangan. Para murid itu sendiri terkejut, ketika sedang berlatih tadi. Karena mendadak saja berkelebat tiga orang berkepala gundul, dan langsung berdiri di halaman. Ki Lingkih Manuk hanya tersenyum saja sambil melangkah penuh wibawa.
"Rupanya Tiga Duri Setan yang hadir di sini...." sapa Ketua Partai Gunung Anjosmoro itu.
Salah seorang dari tiga orang yang berjuluk Tiga Duri Setan terbahak-bahak. Wajahnya yang dihiasi kumis tebal namun menjuntai panjang itu jadi terlihat lucu.
"Ha ha ha.... Bagus, bagus sekali, Ki Lingkih Manuk! Kau masih mengenali kami rupanya!" kata laki-laki berkumis itu.
"Siapa yang bisa lupa pada tiga tokoh sesat yang pernah kuhajar sampai terkencing-kencing di Hutan Barangan!" sahut Ki Lingkih Manuk, sambil tersenyum dingin.
Memang, empat tahun yang lalu Tiga Duri Setan selalu banyak membuat onar di dusundusun sekitar lereng Gunung Anjasmoro. Untunglah Ki Lingkih Manuk muncul dan menghajar mereka sampai babak belur. Setelah berhasil dikalahkan Ki Lingkih Manuk, Tiga Duri Setan pun menghilang dari rimba persilatan. Kalaupun mereka muncul sekarang ini, tentunya di samping untuk membalas dendam, pasti ada sesuatu yang ingin didapatkan.
Mendengar kata-kata Ki Lingkih Manuk itu, wajah Tiga Duri Setan memerah geram. Mereka ingat, bagaimana dulu dihajar Ki Lingkih Manuk seorang diri. Tetapi yang bicara tadi sudah kembali terbahak-bahak.
"Aku pun masih ingat tentang itu, Lingkih Manuk. Sekarang, dengarkan! Nyawa tuamu hari ini akan putus! Tetapi, kau akan selamat bila memberikan kepada kami bokor emas itu!"
Meskipun sudah yakin kalau banyak yang tahu tentang Air Swargaloka yang kini justru diributkan dengan saudara-saudara seperguruannya sendiri, Ki Lingkih Manuk cukup terkejut juga. Tetapi sebagai orang yang sudah makan asam garang dalam kehidupan ini, sikapnya tetap tenang sekali. Tetapi berwibawa. Sementara para murid Partai Gunung Anjasmoro sudah tidak sabar untuk mengibaskan pedang melihat kesombongan ketiga laki-laki gundul itu.
"Aku senang mendengar kata-katamu yang berani itu, Sepuh Langit! Tetapi, apa kau yakin mampu mendapatkannya dariku?" tukas Ki Lingkih Manuk. Laki-laki botak berkumis panjang yang dipanggil Sepuh Langit terbahak-bahak.
"Jangan memandang ringan kami sekarang ini, Lingkih Manuk! Kalau empat tahun yang lalu kami mengakui kehebatanmu, kali ini kau harus mengakui kehebatan kami!" sergah Sepuh Langit, sombong.
"Ya, ya. Kalau dulu aku mengampuni nyawa busuk kalian, tetapi sekarang ini.... Jangan harap kuampuni lagi!" sahut Ki Lingkih Manuk sambil melangkah.
Dan kini Ki Lingkih Manuk berada delapan tindak dari Tiga Duri Setan. Sementara para murid orang tua itu pun mundur tiga langkah.
"Kau akan yakin sekarang, kalau ucapanmu tak ada artinya!" dengus Sepuh Langit dengan wajah semakin memerah.
"Kau tak akan bisa meminta bantuan dari Panca Giri lainnya kalau berhasil kami kalahkan, Ki Lingkih Manuk! Karena, Panca Giri akan hancur dengan sendirinya! Tidak lama lagi!"
Diam-diam Ki Lingkih Manuk mendesah masygul. Rupanya perpecahan yang sebentar lagi akan terjadi di tubuh Panca Giri, sudah terdengar ke mana-mana. Tetapi sikapnya tetap tenang.
"Untuk apa minta bantuan, kalau aku sendiri sanggup membungkam kalian bertiga!"
"Aku suka sekali mendengarnya! Panca Giri sebentar lagi akan terkapar di tanah! Lingkih Manuk! Untuk apa kau mempertahankan Air Swargaloka, kalau ternyata hanya terjadi perpecahan di antara Panca Giri sendiri?" seru Sepuh Langit.
Dalam hati, Ki Lingkih Manuk membenarkan pula kata-kata Sepuh Langit. Yah! Untuk apa kalau memang nanya membuat hancurnya Panca Giri" Tetapi itu adalah amanat yang memang harus dijalankan. Lagi pula. Air Swargaloka tak
akan pernah diberikan begitu saja pada siapa pun. Terlebih-lebih, pada tiga manusia gundul ini.
"Kalau memang demikian, mengingat jumlah kalian bertiga, siapakah yang berhak untuk meminumnya?" tanya Ki Lingkih Manuk.
"Sudah tentu aku!" sahut Sepuh Langit sambil menepuk dadanya.
Ki Lingkih Manuk menggeleng-geleng.
"Tak kusangka, ternyata kau orang yang tamak! Apakah kau tidak akan menyisakan untuk kedua kawanmu?"
Wajah Sepuh Langit merah padam mendengar kata-kata ejekan Ki Lingkih Manuk.
"Sudah tentu tidak! Karena, akulah Ketua Tiga Setan Duri!"
"Sayang.... Karena jumlah kalian bertiga, aku tidak jadi memberikannya."
Ki Lingkih Manuk tersenyum melihat wajah Sepuh Langit memerah.
"Mengapa harus berlama-lama" Bukankah kalian ingin unjuk gigi"!" tandas Ki Lingkih Manuk. Sebelum Sepuh Langit berkata lagi, seseo rang yang berada di sebelah kirinya sudah melesat. Diputarnya rantai berujung besi berduri itu.
Wukkk! Wukkk...!
"Hhh! Akan kurobek-robek mulutmu itu, Orang Tua!"
"Rupanya kau ingin mati lebih dulu. Sepuh Bumi!" sambut Ki Lingkih Manuk sambil menghindari besi berduri yang menderu-deru ke arahnya. Wuuusss! "Mampus!" dengus laki-laki yang dipanggil Sepuh Bumi.
"Jangan memandang ringan!" seru Ki Lingkih Manuk sambil melompat ke belakang, sejauh beberapa tombak.
Melihat Sepuh Bumi sudah menyerang, Sepuh Langit dan saudaranya yang dikenal bernama Sepuh Bayu pun menerjang. Kini, tiga buah rantai berujung besi berduri telah menderu-deru mengurung Ki Lingkih Manuk.

***

Rupanya, kemampuan Tiga Duri Setan itu telah meningkat, setelah menghilang dari dunia persilatan. Buktinya dalam sepuluh jurus berikutnya, Ki Lingkih Manuk pun mulai terdesak menahan gempuran dan sambaran rantai berujung besi berduri. Yang datang begitu cepat. Terkadang silih berganti, terkadang secara bersa- maan. Mereka memang ingin benar-benar membungkam Ki Lingkih Manuk.
"Rupanya empat tahun tidak bertemu, tenagamu sudah loyo, Orang Tua!" ejek Sepuh Langit, sambil terus mencecar Ki Lingkih Manuk dengan bandul besinya. Begitu pula dengan Sepuh Bumi dan Sepuh Bayu.
"Ha ha ha...! Itu hanyalah pemanasan untukku saja! Kalian jangan bangga dulu!" sahut Ki Lingkih Manuk sambil berjumpalitan terus menerus. Sebenarnya Ketua Partai Gunung Anjosmoro ini memang dalam keadaan terdesak hebat.
Bandul besi itu terus mencecar, membuatnya menjadi kewalahan. Namun sebagai pendekar yang telah menelan pahit manisnya kehidupan ini, dicobanya untuk bertahan dan menghindari setiap serangan. Sementara itu, para murid Partai Gunung Anjosmoro sebenarnya sudah tidak sabar untuk membantu. Tetapi karena belum ada perintah dari Ki Lingkih Manuk, mereka mau tak mau hanya bisa menahan geram dan amarah saja.
Kenapa tidak membokong" Padahal, itu jalan yang paling baik untuk menyelamatkan guru mereka dan gempuran-gempuran ketiga lawannya. Tidak! Sekali lagi, tidak. Ki Lingkih Manuk memang telah mengajarkan sifat ksatria kepada murid-muridnya. Siapa pun lawan, harus dihadapi secara ksatria. Membokong adalah tindak pengecut! Malah kemungkinan besar, justru Ki Lingkih Manuk sendiri yang akan marah kepada anak buahnya bila ada yang membokong ketiga lawannya. Namun tiba-tiba salah seorang murid melemparkan pedang di tangannya.
"Guru! Terimalah ini!" teriak murid itu.
Siing! Dalam sekali dengar saja, Ki Lingkih Manuk bisa mengetahui sebuah pedang telah meluncur ke arahnya. Dengan cepat disongsongnya pedang itu. Akan tetapi, niatnya harus diurungkan, karena tiga bandul besi lawannya yang bosan
dengan rambut itu sudah kembali menderu ke arahnya. Wusss! Wusss! Wusss!
"Kau tak akan bisa ke mana-mana, Orang Tua! Bahkan ke lubang tikus sawah sekali pun!" ejek Sepuh Bumi sambil menyerang gencar.
Sementara, pedang yang dilemparkan murid Partai Gunung Anjosmoro menancap di tanah.
"Lihat saja! Kepala kalian yang licin itu akan kubuat makin licin! Lihatlah!" seru Ki Lingkih Manuk sambil berjumpalitan menghindari dua bandul besi yang menderu ke arahnya.
Ketika bandul besi milik Sepuh Bumi menderu ke arahnya, dengan manis Ki Lingkih Manuk berputar dua langkah sembari melompat. Begitu menjejak tanah, kakinya menendang sebuah kerikil yang meluncur deras ke arah kepala Sepuh Langit yang siap meluncurkan bandul besinya lagi.
"Settaaannn!" maki Sepuh Langit seraya membatalkan serangan. Dia tahu, apa akibatnya bila kerikil yang ditendang lewat penyaluran tenaga dalam tinggi itu mengenai kepalanya. Kesempatan itu dipergunakan Ki Lingkih Manuk untuk bergulingan. Tangannya sekali lagi menyambar sebuah kerikil. Saat menghindar kejaran dari dua bandul besi yang mengarah kepalanya, dilemparkannya kerikil itu.
Tak! Luncuran dahsyat kerikil tepat mengenai hulu pedang yang menancap di tanah. Bagaikan disentak tenaga malaikat, pedang itu kontan mencelat lepas dari tanah dan meluncur ke arahnya. Lalu dengan sentakan satu kaki, Ki Lingkih
Manuk melompat menyambarnya. Tap! Begitu pedang berhasil ditangkap, Ki Lingkih Manuk bersalto dua kali. Dan ketika hingga di tanah, dia sudah bersiap kembali menerima serangan. Bukan hanya murid-murid Partai Gunung Anjasmoro yang berdecak kagum. Diam-diam Sepuh Langit pun kagum melihat kecepatan gerak Ki Lingkih Manuk. Namun sudah tentu kekagumannya tidak ditunjukkan. Kalau tadi serangannya tanpa berpindah dari tempat berdirinya, kali ini rantai itu diputar di atas kepalanya. Dan sambil melompat ke arah Ki Lingkih Manuk, tubuhnya mencelat untuk melontarkan bandul besinya. Gerakan itu disusul oleh gerakan Sepuh Bumi dan Sepuh Bayu. Dengan pedang di tangan, sudah tentu kali ini Ki Lingkih Manuk bisa membuktikan kalau dirinya adalah salah seorang pendekar yang patut diperhitungkan. Dia melompat lincah ke sana kemari. Bahkan dengan beraninya, jalannya bandul besi itu dipotong oleh gerakan tubuhnya.
Trang! Bandul besi milik Sepuh Bayu bukannya mengarah pada sasaran, justru meluncur kembali ke pemiliknya yang langsung tercekat melihatnya.
Untung dia segera bergulingan dengan cepat. Sehingga, bandul berduri itu menghantam pohon di belakangnya hingga sempal!
Dan bukan hanya sampai di sana saja Ki Lingkih Manuk menunjukkan kepandaiannya. Mendadak saja pedang di tangannya dilemparkan ke arah Sepuh Langit. Laki-laki botak berkumis panjang itu terkejut pula. Cepat tangannya digerakkan berputar, sehingga pedang itu terbelit rantai besinya. Pada saat yang sama Ki Lingkih Manuk melompat ke atas bandul besi milik Sepuh Bumi. Pertunjukan tenaga dalam tinggi oleh Ki Lingkih Manuk diperlihatkan sekarang. Dengan masih berdiri di atas bandul besi milik Sepuh Bumi, dibawanya bandul berduri yang bagaikan menempel di kakinya itu ke pemiliknya. Sehingga, tubuhnya seakan terbang. Bukan main terkejutnya Sepuh Bumi melihat serangan yang aneh namun mengagumkan itu. Mendadak saja rantai besi itu dilepaskan dari tangan dengan jalan membantingnya! Karena menurut perhitungannya, tubuh Ki Lingkih Manuk akan tersentak jatuh.
Namun di luar dugaan, dengan lincahnya Ki Lingkih Manuk telah melenting dan berputaran, mengejar Sepuh Bumi yang bergulingan bagaikan meluncur. Seketika dilepaskannya dua pukulan dahsyat.
Des! Des! "Aaakh...!"
Dua kali pukulan Ki Lingkih Manuk tepat mengenai punggung Sepuh Bumi yang kontan menjerit keras. Sementara dengan lincahnya Ki Lingkih Manuk terus bersalto kembali ke belakang, karena nalurinya yang tajam merasakan dua angin menderu kencang ke arahnya.
"Ini yang dikatakan ilmu kalian bertambah, hah"!" Sepuh Langit menggeram marah. Sungguh, amat tidak disangka kalau Ki Lingkih Manuk mampu melakukan gerakan mengejutkan. Apalagi ketika melihat Sepuh Bumi yang bangkit dengan
terhuyung dan muntah darah.
"Kau harus membayar semua ini dengan nyawamu. Orang Tua!" dengus Sepuh Langit.
Begitu kata-katanya habis, Sepuh Langit meluruk cepat ke arah Ki Lingkih Manuk. Kali ini, bandul besi yang sejak tadi dilontarkannya dipegangnya. Begitu berada tak seberapa jauh dari Ki Lingkih Manuk, baru dilemparkannya dengan tenaga penuh.
Wusss! Ki Lingkih Manuk yang sudah memperhitungkan kalau Sepuh Langit akan melakukan serangan seperti itu cepat bergulingan. Sehingga, bandul besi itu hanya menebas angin. Dan dalam masih bergulingan. Ki Lingkih Manuk mengibaskan kakinya ke atas, ke arah kaki Sepuh Langit.
Duk! "Auhhh....!"
Tepat sekali kaki Ki Lingkih Manuk mengenai tulang kering Sepuh Langit. Laki-laki botak ini langsung kehilangan keseimbangan dan jatuh sempoyongan. Saat itulah Ki Lingkih Manuk memutar tubuhnya. Dia segera melompat untuk menghabisi nyawa Sepuh Langit. Tetapi serangannya harus dihentikan, karena Sepuh Bayu sudah menyerangnya.
"Bagus, bagus sekali! Hanya sayang. Tiga Duri Setan cuma membuang nyawa percuma!" seru Ki Lingkih Manuk.
Dan mendadak saja Ketua Partai Gunung Anjasmoro itu kembali menyerang. Kedua tangannya mengembang, bagaikan serangan elang menyambar anak ayam. Sepuh Bayu melontarkan bandul besinya. Begitu pula Sepuh Langit yang sudah menyambar kembali senjata. Dua bendul besi itu kembali menyerang. Dan mendadak saja, Ki Lingkih Manuk yang masih melayang menghindar merasakan sebuah deru angin kencang ke arahnya. Rupanya Sepuh Bumi mempergunakan kesempatan untuk membokongnya. Sekaligus, membalas sakit hatinya.
"Bagus! Orang yang sudah mau mampus pun, mampu berbuat curang!" seru Ki Lingkih Manuk. Dan dengan gerakan tak terduga, mendadak saja Ki Lingkih Manuk menyongsong bandul besi Sepuh Langit yang sudah kembali mengarah
padanya. Beberapa rambut saja tubuhnya akan lumat dimakan bandul besi berduri yang sangat tajam! Sepuh langit sendiri sudah mengembangkan senyum karena yakin Ki Lingkih Manuk tak akan mampu menghindari serangannya kali ini.
Apalagi dibantu Sepuh Bayu yang juga sudah menyerangnya! Tetapi alangkah terkejutnya Sepuh Langit, ketika melihat Ki Lingkih Manuk justru membuang tubuhnya ke kiri. Langsung ditendangnya rantai besi milik Sepuh Bayu, sehingga bandul besi berduri itu justru berbalik ke arah pemiliknya yang terpaksa menjatuhkan diri untuk menghindari seraya melepas rantainya.
Sementara, bandul besi berduri milik Sepuh Langit terus meluncur deras. Pada saat yang sama, Sepuh Bumi meluruk deras tak tertahankan lagi. Padahal, Ki Lingkih Manuk telah bergulingan di tanah. Akibatnya.... Brettt! "Aaakhhh...!"
"Sepuh Bumiii...!"
Bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan keras dari mulut Sepuh Langit yang tercengang. Tubuh Sepuh Bumi sudah ambruk ke tanah dengan dada robek terhantam bandul besi berduri milik Sepuh Langit. Rupanya Sepuh Langit tidak lagi mampu menahan rantai besinya lagi. Sementara, Sepuh Bumi sudah siap menyerang Ki Lingkih Manuk. Maka tak ayal lagi, tubuh Sepuh Bumi pun harus termakan bandul besi berduri milik Sepuh Langit sendiri. Maka makin murkalah Sepuh Langit. Dia cepat melompat seraya melepaskan rantai besinya.
"Kau harus membayar semua ini dengan darahmu, Orang Tua! Aku bersumpah, akan mencuci mukaku dengan darahmu!"
Seketika dua tangan Sepuh Langit bergerak lurus ke arah Ki Lingkih Manuk.
"Cobalah buktikan sumpahmu itu!" sahut Ki Lingkih Manuk tanpa bergerak, seraya menghentakkan kedua tangannya.
Blarrr...! Blarrr...!
Terjadi benturan dua kali. Sepuh Langit merasakan tangannya kesemutan. Sementara Ki Lingkih Manuk masih berada dalam sikap biasa. Dia tahu, tenaga dalamnya lebih tinggi. Sementara itu. Sepuh Bayu pun membuang pula senjatanya. Lalu tubuhnya meluruk ke arah Ki Lingkih Manuk. Rupanya, Ketua Partai Gunung Anjasmoro itu selain mempunyai keahlian luar biasa dalam ilmu pedang, juga memiliki kemampuan bela diri tangan kosong. Apalagi didukung tenaga dalam tinggi. Dalam sepuluh gebrakan berikutnya, terlihat Sepuh Langit dan Sepuh Bayu yang terdesak hebat. Rupanya Ki Lingkih Manuk sudah mempergunakan ajian yang memang selalu disimpannya, aji 'Pedang Kilat'. Ajian itu membuat kedua telapak tangan Ki Lingkih Manuk seolah berubah menjadi setajam pedang. Memang, lima murid yang tergabung dalam Panca Giri dari Partai Gunung Merbabu telah diturunkan ajian pamungkas yang disesuaikan keahlian dalam mempergunakan senjata masingmasing. Dua kali tangan Sepuh Bayu terhantam sambaran tangan Ki Lingkih Manuk, sehingga mengeluarkan darah. Melihat Sepuh Bayu dibuat kalang kabut seperti itu, kemarahan Sepuh Langit bertambah. Dengan kemurkaannya seluruh kesaktiannya diumbar untuk menjatuhkan Ki Lingkih Manuk. Namun ia sendiri tak kuasa menahan serangan Ajian 'Pedang Kilat'. Bahkan kakinya pun telah mengeluarkan darah tersambar ajian 'Pedang Kilat'.
Melihat kenyataan itu, Sepuh Langit yakin kalau pertarungan ini diteruskan, akan berakhir kekalahan di pihaknya. Mendadak saja dia bersalto ke belakang.
"Sepuh Bayu!! Kita pergi dari sini. Dan kita akan datang lagi untuk mencabut nyawa Orang tua itu!!" teriak Sepuh Langit.
Sepuh Bayu pun segera berbuat sama. Namun sayang. Ternyata Ki Lingkih Manuk tidak mau lagi memberi kesempatan. Ketika Sepuh Bayu melompat ke belakang, laki-laki Ketua Partai Gunung Anjasmoro itu justru mengejar bagaikan meluncur di atas air. Seketika tangan kanannya ditusukkan ke dada Sepuh Bayu. Lalu....
Crasss! "Aaa...!"
Tangan kanan Ki Lingkih Manuk tembus ke jantung Sepuh Bayu! Ketika ditarik, darah muncrat keluar. Kini tangan Ki Lingkih Manuk berlumur darah. Mendengar teriakan menyayat Sepuh Bayu, Sepuh Langit menghentikan larinya. Dengan geram dia melihat keadaan saudara seperguruannya yang bernasib naas.
"Tunggu pembalasanku, Lingkih Manuk!" teriak Sepuh Langit, seraya kembali berlari dengan hati penuh dendam dan amarah.
Ki Lingkih Manuk menghela napas panjang. Pagi ini, dia telah membunuh dua orang. Tetapi yang dibunuh justru akan merugikan orang banyak. Dibayangkannya, apa yang akan terjadi di lereng Gunung Merbabu tiga hari lagi.
"Makamkan kedua mayat ini di belakang pendopo," ujar Ki Lingkih Manuk pada muridmuridnya. Tak ada yang membantah. Padahal, kalau mau menuruti kata hati, mereka lebih suka membuang kedua mayat ini ke hutan. Dibiarkan membusuk dan digerogoti ulat-ulat kecil. Namun perintah tetaplah perintah.



## 5 ##

Tubuh Sari perlahan-lahan mulai bergerak. Wajahnya pun mulai tampak cerah. Bibirnya yang ranum namun kali ini terlihat agak pucat, menimbulkan suara lirih. Andika yang sudah selesai bersemadi menoleh, memperhatikan gadis itu.
"Sari..., masih hidup rupanya, eh. Maksudku, kau sudah sadar?" kata Andika buru-buru meralat.
Perlahan-lahan Sari membuka kedua matanya, yang segera dipejamkannya kembali. Karena, ada silau yang cukup menyengat sepasang matanya. Lalu perlahan-lahan dibukanya kembali. Kali ini dirasakannya sedikit lumayan, dan bisa seperti biasa kembali. Sekujur tubuhnya pun masih sangat lemah.
"Andika...," desah Sari begitu melihat tubuh Andika di dekatnya.
"Oh.... Syukurlah kau sudah siuman," sambut Andika. Pendekar Slebor benar-benar tidak akan memaafkan dirinya bila gagal menyelamatkan Sari. Diam-diam, hatinya teramat marah pada kelima orang berpakaian merah-merah yang telah
menuangkan cairan berwarna merah itu. Andik bertekad, untuk mencari orang-orang itu agar mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang hampir saja merenggut nyawa Sari. Lalu dengan sangat perlahan. Andika membantu Sari untuk duduk.
"Kenapa aku, Andika?" tanya gadis itu sambil memegangi kepalanya. Sedikit pusing.
Kening Andika berkerut, mendengar nada pertanyaan lembut yang dilontarkan Sari. Heran!
Rupanya dia bisa juga bersikap lembut. Kalau begitu, apakah Sari harus dibuat pingsan dulu setiap kali ingin melihatnya bersikap lembut"
"Yang jelas, ini gara-gara kau bandel!" sahut Andika.
"Makanya, jangan suka meninju kening yang tuaan. Beginilah akibatnya!"
Sari teringat kalau sebelumnya bercanda dengan Andika tadi. Meninju kening Andika dan berlari, karena pemuda itu mengejarnya. Tetapi, oh! Mengapa tahu-tahu tubuhnya terjatuh dan terguling begitu saja" Padahal dia yakin, kakinya tidak tersandung sesuatu. Namun kemudian, gadis yang juga dianugerahkan Yang Maha Kuasa memiliki otak cerdik itu teringat runtutan kejadiannya. Dan keningnya sedikit berkerut.
"Andika..., apakah tidak mungkin kalau pingsanku ini disebabkan cairan merah yang tak sengaja kuinjak?" tanya Sari kemudian. Andika tersenyum.
"Betul! He he he.... Apa kau kira menginjak ampas orang buang hajat?"
Sari cemberut.
"Aku sungguh-sungguh."
"Betul, Sari..." kata Andika lebih bersung-guh-sungguh.
"Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Kalau begitu, cairan itu sangat berbahaya. Andika."
"Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Mereka pasti tengah bermaksud mencelakakan seseorang atau beberapa orang."
"Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Tetapi..., siapa mereka?"
"Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Andika!" sentak Sari tiba-tiba.
Andika mengangkat kepalanya.
"Lho" Mengapa kau membentak begitu" Apa aku salah?" tukas Andika seenaknya.
"Jangan mempermainkan aku?" bentak gadis itu lagi, gemas.
Andika menggelengkan kepala.
"Sama sekali tidak. Apa yang kau katakan itu juga menjadi pemikiranku. Sari. Mana mungkin sih, aku mempermainkan gadis cantik tetapi...."
"Diaaammm!" bentak Sari kembali. Gadis ini tahu pasti, apa yang akan dikatakan Pendekar Slebor di ujung kalimatnya. Tetapi kali ini dia kcele....
"Juga sangat ayu dan manis...."
Ternyata Andika tetap berkata-kata. Dan ujung kalimatnya, tidak seperti yang diduga.
"Hah"!" gadis itu melengak, tetapi buru-buru menundukkan kepala.
Andika tertawa dalam hati. Heran! Kok tahu-tahu jadi tersipu-sipu seperti gadis pingitan"
Sebenarnya, bagaimana sih cara untuk membuatnya jadi kalem dan tidak galak seperti begitu"
"He he he.... Kau ini sangat manis sebenarnya kalau tidak galak." Kali ini Sari menundukkan kepala. Hatinya berdebar-debar mendengar kata-kata Andika.
"Sari..., apakah kau yakin kesehatanmu benar-benar sudah pulih?" tanya Pendekar Slebor kemudian.
Sari mengangguk. Dia yakin kalau tidak segera ditolong Andika mungkin nyawanya sudah kembali ke Sang Pencipta.
"Terima kasih atas pertolonganmu...," ucap gadis ini tulus.
Andika tersenyum, seraya mengibaskan tangannya.
"Tak apa-apa. Asal jangan bandel sa-ja." Ganti Sari tersenyum. Andika berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Sari. Kali ini wajahnya kelihatan malu-malu untuk langsung menatap mata Pendekar Slebor.
Andika yang masih tidak mengerti akan perubahan sikap Sari, mengangkat bahunya saja.
"Aku ingin memusnahkan cairan-cairan merah yang kelihatannya jelas-jelas berbahaya itu. Lho,, lho..." Kau sendiri mau ke mana?" tanya Andika ketika melihat gadis itu juga berdiri.
"Aku ingin membantu."
"Jangan! Nanti kau malah pingsan dua kali. Cah Ayu..., ketahuilah. Cairan merah itu sangat berbahaya sekali. Kalau kau pingsan lagi, aku jadi bingung lagi...."
Bukannya menjawab, Sari malah menundukkan kepala. Sementara Pendekar Slebor telah melangkah dengan santainya.

***

"Kenapa diam saja, sih?" tanya Sari.
Dari tadi gadis ini memperhatikan Pendekar Slebor yang hanya terdiam. Berkali-kali kepalanya menelang ke kanan dan ke kiri, sementara tangannya berada di mulutnya. Seperti berpikir. Andika tidak menyahuti kata-kata Sari. Dia
sedang memikirkan bagaimana untuk menyingkirkan sekaligus membuang cairan merah yang sangat berbahaya itu.
"Andika!"
"Iya, iya! Aku dengar!" sahut Andika tanpa bergeming.
Sari mendengus.
"Menyebalkan! Untung aku tidak jadi kekasihmu, huh!"
Kali ini Andika menoleh. Keningnya berkerut "Yeee,.., siapa yang mau jadi kekasihmu" Sudi amat sih!" goda Pendekar Slebor.
"Aku juga tak sudi jadi kekasihmu!" dengus Sari sambil mengangkat tangannya.
"Eit, eit!" seru Andika sambil berlagak hendak menahan pukulan Sari.
"Belum jadi kekasih, sudah main pukul saja. Bagaimana kalau sudah jadi?" Sari menurunkan tangannya Bibirnya cemberut. Namun, hatinya sedih. Sungguh, sukar sekali menebak isi hati Pendekar Slebor yang sangat memusingkan kepalanya. Terkadang, dari setiap ucapannya, mampu membuat Sari terbawa. Namun di lain ucapannya, just membuatnya kesal Andika yang merasa kasihan melihat gadis itu terdiam, tersenyum.
"He he he.... Tidak usah marah. Sekarang, kau berdiri saja di sini. Aku akan mencoba membuang cairan warna merah itu," ujar Andika, lembut. Kali ini Sari menurut.
Andika kini mengangkat kedua tangannya ke atas, lalu menurunkannya ke bawah kembali.
Ditariknya napas dalam-dalam, menghimpun kembali tenaga 'inti petir'nya lagi. Dengan cepat tangannya dikibaskan ke arah salah satu tempat yang dituangi cairan merah tadi.
Wusss...! Serangkum angin kencang yang bersuara bagai salakan petir seketika terdengar. Maka tanah berpasir yang ada di sana mengembang dan buyar terbawa angin pukulan Andika. Tetapi yang mengejutkan cairan merah itu tetap berada di sana. Mengering, dan seperti membatu.
"Busyet!" rutuk Pendekar Slebor.
"Bisa saja sih, aku membuangnya dengan kedua tanganku ini. Tetapi... he he he.... Tadi saja Sari sudah merasakan akibatnya. Masa iya aku begitu bodoh mau melakukannya lagi."
Tetapi meskipun begitu, Andika mengambil sebatang ranting dan melemparkannya ke arah tempat yang dituangi cairan merah tadi.
Pluk! Srrsss! Begitu ranting tadi jatuh tepat di tempat yang dituangi cairan merah, seketika berubah menjadi debu. Hangus bagaikan tersambar petir.
"Busyet!"
Andika menggaruk-garuk kepalanya. Sementara Sari menghela napas panjang melihat ranting yang seketika menjadi debu.
"Kang Andika.... Sangat berbahaya cairan merah itu, meskipun telah cukup lama mengendap di tanah!" seru gadis itu.
Andika menoleh. Bukannya menanggapi kata-kata Sari, dia justru bengong menatap gadis itu. Kang Andika" Busyet! Kok pakai 'kang' segala" Lagi-lagi dia tidak mengerti dengan sikap Sari yang terkadang cepat sekali berubah.
"Kau benar! Cairan merah itu sangat berbahaya! Tetapi, bukan Andika kalau tidak mampu membuangnya!" kata Pendekar Slebor sombong, sambil menepuk dadanya.
"Kau lihat ini!"
Wuuuttt! Lalu dengan gaya yang sok, Andika mencelat ke atas. Tubuhnya diputar dua kali di atas. Seketika kain pusakanya yang bercorak catur dikebutkan. Bletarrr...! Pasir di bawah kontan beterbangan. Sebelum kakinya menjejak tanah, tangan Pendekar Slebor yang telah merangkum ajian 'Guntur Selaksa', salah satu ajian warisan dari Lembah Kutukan, dikibaskan.
Dgerrr! Seketika tanah yang dihantam ajian itu bolong! Lalu dengan ringannya, Andika hinggap di sisi tanah yang bolong itu. Kini tak ada sesuatu yang membuatnya mengaduh atau jatuh pingsan. Sari yang sudah terkejut tadi karena melihat betapa beraninya Andika menginjak tempat itu, kini menghela napas lega. Ternyata pemuda yang diam-diam dicintainya itu tak kurang suatu apa. Andika terkekeh-kekeh.
"Rupanya, hawa panaslah yang menguasai cairan merah itu, sehingga tidak mau pergi juga! Memang bandel! Makanya, dengan mengerahkan kekuatan panas dari ajian 'Guntur Selaksa', panas yang ditimbulkan cairan merah itu bisa dikalahkan. Buktinya" He he he..., kau lihat sendiri kan, Sari?"
Sari hanya tersenyum. Merasa lucu melihat sikap Andika yang lugu seperti itu. Lalu tampak pemuda berbaju hijau pupus itu melakukan gerakan serupa sebanyak tiga kali. Dan di tiga tempat berikutnya, tanahnya pun bolong. Kini, cairan merah beracun itu telah punah. Meskipun Andika tidak mengerti, mengapa kelima orang itu tadi menuangkan cairan ini keempat tempat, namun dia tetap memusnahkannya. Pendekar Slebor memang telah menduganya, tetapi.... siapa keempat calon yang hendak dibunuh itu" Lalu diuruknya kembali tanah yang bolong, sehingga keadaannya seperti semula. Rata dengan tanah.
Sari mendekat sambil bertepuk tangan.
"Hebat, hebat!"
Andika membusungkan dadanya
"Andika...," panggil Sari dengan nada tinggi. Sari tersenyum dan terus mendekat.
Lalu, tiba-tiba dipukulnya dada Andika. Keras.
Buk! "Heigkh! Kenapa lagi ini, sih?" tanya Andika pura-pura.
Padahal kalaupun Andika menangkis pukulan itu, bisa saja dilakukannya. Tetapi lagi-lagi dia ingin menggoda Sari.
"Biar kau tidak besar kepala! Kang Andika..., sebenarnya apa yang telah terjadi ini?" tanya Sari.
"Aku tidak tahu. Tetapi, aku akan mencari tahu."
"Maksudmu?"
"Pertama, ada pertanyaan yang sangat mengganggu sekali bagiku," sahut Andika sambil menatap sepasang mata jernih di hadapannya.
"Pertanyaan apa?" tanya Sari.
"Kenapa kau tiba-tiba memanggilku 'kang'?" tanya Andika pelan. Sari mendadak saja gelagapan. Kepalanya ditundukkan dengan sikap gelisah.
"Aku..., ah! Kau tidak senang?"
"Aku" He he he..., senang banget,"
"Lalu..., mengapa..., mengapa dipermasalahkan?"
"Soalnya...," Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Soalnya apa, kenapa tidak memanggil 'yang'... he he he...."
"Sudah..., sudah...!" teriak Sari, jadi malu.
Wajah Sari bersemu dadu. Andika sangat menikmati sekali wajah yang cantik itu memerah. Apalagi dari jarak dekat seperti ini. Sejenak suasana jadi hening, ketika tak ada yang bersuara.
"Aku ingin mencari tempat yang teduh dan agak tersembunyi" cetus Andika seraya melangkah.
"Mau apa?" seru Sari lagi.
"Aku ingin menunggu di sini. Menurut orang-orang berpakaian merah yang bersenjata cakra di tangannya, pertemuan itu akan diadakan tiga hari lagi di sini. Tidak tahu pertemuan apa"
Tetapi aku justru penasaran. Bila melihat perbuatan mereka tadi, bisa dipastikan kalau pertemuan yang akan terjadi pasti akan menimbulkan pertumpahan darah! Hei, Sari! Kau dengar itu"!" teriak Andika sambil terkekeh.
"Aku ikut!"
Andika terus melangkah.
"Tidak usah!"
"Ikut! Pokoknya ikut!"
"Terserah! Itu urusanmu, kok! Tetapi, lebih baik panggil harimaumu yang jelek itu! Kasihan dia kalau tidak diperintahkan keluar dari persembunyiannya. Bertahun-tahun juga tidak akan keluar!"
"Oh! Kakang Andika suka pada si Belang?" tanya Sari, riang. Pertama. Karena akhirnya Andika mengabulkan permintaannya. Kedua, karena baru tahu kalau Andika menyukai si Belang.
"Siapa bilang" Malah kalau bisa usir saja dia dari sini..."
Sari menghentakkan kakinya lagi. Lalu tubuhnya berbalik untuk mengambil si Belang. Memang, di samping ingin selalu berada dekat pendekar tampan itu, Sari juga penasaran ingin tahu apa maksud kelima orang itu menuangkan cairan merah beracun yang mampu mencabut nyawa dalam beberapa hitungan saja!



## 6 ##

Malam mulai merebak perlahan-lahan. Hembusan angin kini dirasakan semakin dingin. Pendekar Slebor telah menemukan sebuah gua kecil yang terdekat di sisi sebelah kanan Gunung Merbabu. Saat ini, pemuda itu sedang memanggang daging kelinci yang tadi diburunya.
"Jadi bagaimana keputusanmu, Kang Andika?" tanya Sari yang duduk di sisi Pendekar Slebor sambil merangkul Belang untuk menghilangkan rasa dingin yang menyengat. Si Belang sendiri sejak tadi sudah tidak sabar ketika mencium aroma daging kelinci yang dipanggang Andika. Andika membalik-balikkan daging kelinci itu di atas api yang menyala.
"Aku akan tetap menunggu di sini," tegas Andika.
"Sampai kapan?"
"Sampai aku mengetahui, apa yang sebenarnya tengah terjadi. Hmmm... Sari... Apakah kau tidak mencium aroma daging ini yang mengasyikkan?" Sari hanya mengangguk. Wajahnya berkilat-kilat ditimpa cahaya api. Dia pun sudah tidak sabar menyikat daging kelinci itu. Dari aromanya saja, sudah tercium wangi yang sangat nikmat. Apalagi bila memakannya. Ah! Rupanya Pendekar Slebor memang pandai memanggang daging kelinci.
"Sudah matangkah daging itu, Kakang?" tanya Sari.
"He he he.... Jangan khawatir. Sebentar lagi kita akan menikmatinya. Masing-masing mendapat satu buah daging kelinci. Termasuk kau, Belang! Aku tahu, kau sudah tidak sabar segera menyantapnya, bukan?"
Andika membalik-balik lagi daging kelinci itu. Lalu dibawanya ke depan hidung.
"Hmmm.... Tak terkirakan nikmatnya. Hmm, Belang.... Bolehlah kau menikmatinya lebih dulu." Andika melemparkan daging kelinci yang telah matang itu kepada Belang yang dengan sigapnya melahapnya. Kalau si Belang bisa ngomong, tentunya akan mengatakan kalau daging kelinci mentah lebih mengasyikkan daripada matang begini. Kini Andika memberikan potongan daging kelinci lainnya kepada Sari. Dan gadis itu segera menikmatinya. Mereka pun menikmati daging kelinci yang penuh aroma mengasyikkan.
Dan malam pun terus merambat. Suasana yang dingin membuat Sari harus menekuk kedua kakinya ke depan. Meskipun mereka berada di dalam gua, namun gua itu hanya kecil saja. Dindingnya tidak terlalu tinggi, sehingga angin yang masuk hanya berkutat di sekitar dalam saja. Andika yang masih belum bisa memejamkan mata, melirik Sari yang masih meringkuk di atas beberapa lembar daun pisang yang dijadikan sebagai alas. Kasihan. Begitu gumam Andika. Sari memang menyukai petualangan. Dan kini dia sudah berada di sini. Dan Andika pun terkenang kembali bagaimana mula bertemu Sari.
"Sari...," panggil Pendekar Slebor kemudian. Sari mengangkat kepala.
"Ada apa, Kang?"
"Kau belum tidur?"
"Belum."
"Si Belang?"
"Kusuruh menjaga di luar." Belum lagi Andika menyahuti kata-kata gadis itu
"Grrrhhh...!" Terdengar erangan pelan dari luar.
"Belang!" desis Sari. Secepat kilat tubuhnya sudah mencelat keluar. Andika pun menyusul.
Kini mereka melihat si Belang sedang meringkuk dengan auman pelan. Sari memeriksa hewan kesayangannya dengan hati berdebar-debar.
"Oh!" desis gadis itu begitu melihat luka di kaki Belang.
"Aduh, Belang.... Kau kenapa" Kenapa?" Pendekar Slebor berdiri kembali. Matanya memperhatikan sekelilingnya. Dia yakin, ada seseorang berilmu tinggi yang telah melukai si Belang. Tetapi yang mengherankan, kalau memang orang itu berniat mencelakakan, sangat mudah sekali. Tetapi mengapa hanya melukai kaki kiri belakang si Belang saja!
Tiba-tiba Andika mencelat ke satu tempat. Nalurinya yang terlatih mengatakan ada sesuatu yang berkelebat di kejauhan. Dengan menggunakan ilmu larinya disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Slebor mengejar bayangan yang hanya bisa terlihat bayang-bayang saja. Lari bayangan itu memang sangat cepat. Bahkan dalam beberapa tarikan napas saja, Pendekar Slebor kehilangan jejak.
"Brengsek! Siapa manusia itu?" dengus Andika jengkel.
Pendekar Slebor lantas mencari-cari di sekitarnya dengan sikap siaga. Tetapi, dia tak menemukan siapa-siapa di sana.
"Hmmm.... Monyet belang! Kalau kau memang jantan, keluar! Tunjukkan tampang jelekmu?" seru Andika keras sambil bersiaga.
Tak ada yang muncul. Hanya angin malam yang berdesir membelai rambutnya yang panjang.
"Kutu kupret! Cepat keluar! Aku ingin melihat tampang cecungukmu yang sudah tentu jelek sekali!" teriak Andika lagi.
Lagi-lagi tak ada yang keluar. Bahkan tak ada suara yang memancing perhatian Pendekar Slebor.
"Pengecut!" dengus pendekar urakan ini.
Lalu Pendekar Slebor melesat kembali ke tempat semula, tempat Sari yang tengah cemas memeriksa luka hewan kesayangannya. Namun alangkah terkejutnya Pendekar Slebor, ketika dua sosok yang sangat dikenalnya tidak terlihat lagi.
"Busyet, deh! Ke mana lagi gadis galak itu?" rutuk Andika sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Sari! Kalau mau bercanda, jangan begini dong!"
Namun sosok Sari tetap tak muncul. Andika menghentakkan kakinya, jengkel.
"Belang! Kau juga jangan main sembunyisembunyi seperti ini"! Jangan suka main ikut-ikutan seperti majikanmu yang rada brengsek itu!" Hanya angin yang berhembus. Suara gemresek dedaunan terdengar dipermainkan angin.
"Edan! Kenapa sih, aku harus mengalami kejadian seperti begini?" dengus Pendekar Slebor.
"Seharusnya, aku tidak menunggu apa yang akan terjadi di lereng gunung sialan ini! He he he... Mending juga aku mengajak Sari berpacaran"
Apa" Berpacaran dengan gadis galak itu" Tidak usah, ya" Mendingan juga.... He he he.... Tetapi dia juga cantik, kan" Sariii! Belaaanggg! Keluar dong kalian!"
Bukannya sosok Sari ataupun si Belang yang muncul, justru dua sosok lain yang muncul. Sepasang laki-laki dan perempuan yang bersikap begitu mesra sekali satu sama lain. Bahkan ketika muncul, masih berada dalam satu rangkulan mesra. Pendekar Slebor melongo. Dia tertawa keti-ka melihat yang perempuan membelai-belai wajah si laki-laki.
"Hi hi hi.... Apa kubilang. Benar kan, kalau pemuda itu ternyata Pendekar Slebor?" kata yang perempuan terkikik.
"Sejak tadi aku sudah yakin, kalau pemuda itu adalah Pendekar Slebor. Siapa sih, yang tidak tahu ciri-cirinya" Berpakaian warna hijau pupus dengan kain jelek yang bercorak catur itu?"
Ketika rembulan menyinari tubuhnya, Andika bisa melihat jelas wajah perempuan itu yang cukup mengerikan. Dagunya agak memanjang ke bawah. Yang paling aneh, semua giginya ompong.
"Busyet! Kalau melihat tampangnya, kelihaian masih berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tetapi giginya itu... hiii...! Ampun, deh!" gumam Pendekar Slebor, dalam hati. Yang laki-laki menatap si perempuan dengan sinar mata mesra. Tangannya masih melingkar di bahu perempuan itu.
"Kau benar, Dinda Sukesih.... Kau benar. Ternyata pendekar sakti yang ramai dibicarakan orang-orang rimba persilatan mempunyai otak licik juga! Dia lebih dulu menunggu di sini, sebelum waktu pertarungan antara kelompok Panca Giri dilakukan!" sahut yang laki-laki, terkekeh.
Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya panjang sampai menutupi wajahnya. Perempuan yang dipanggil Sukesih semakin menyusupkan kepala di dada si laki-laki. Tangannya melingkar di pinggang laki-laki itu. Bila melihat sekilas, sudah jelas kalau keduanya bukanlah pasangan pas. Tetapi mesranya itu..., ya ampun! Andika kontan sakit perut!
"Sayang, sayang sekali.... Pendekar licik itu akan mampus hari ini juga di tangan Sepasang Kelabang Berbisa. Nah, Kanda Jinar.... Siapa yang bilang kalau dia pendekar yang patut dikagumi! Buktinya, dia mempunyai rencana untuk mencuri bokor emas yang berisi Air Swargaloka itu!"
Pendekar Slebor yang masih jengkel akibat perlakuan sosok yang menghilang tadi dan menghilangnya Sari serta si Belang, mengangkat dagunya.
"O, jadi kalian Sepasang Kelabang Berbisul" Ah, kulihat justru perempuannya yang bisulan... Hm... sebaiknya kalian jangan pacaran di sini , deh...! mengintip kalian berpacaran saja, kambing pun enggan...!"



## 7 ##

Bukannya marah mendengar ejekan Pendekar Slebor, laki-laki dan perempuan aneh yang berjuluk Sepasang Kelabang Berbisa malah saing berpandangan.
"Ha ha ha.... Kau benar, Dinda Sukesih. Rupanya pendekar yang kesohor itu tak ubahnyaorang bego belaka!" ejek laki-laki aneh dari Sepasang Kelabang Berbisa. Dia tadi dipanggil dengan nama Jinar.
"Nah! Apa kubilang, Kanda" Masa dia bilang tadi, kambing saja tidak mau melihat kita pacaran" Kalau tidak mau melihat kita, berarti dia kambing, kan?" cetus yang dipanggil Sukesih.
"Kutu monyet!" dengus Andika dalam hati dibalikkan seperti itu.
Pendekar Slebor memang baru melihat dua tokoh aneh yang baru muncul ini. Memang, sepasang anak manusia yang aneh itu cukup lama menghilang dari dunia persilatan, setelah dikalahkan kelompok Lima Gunung ketika melakukan penculikan bayi-bayi di beberapa dusun untuk penyempurnaan ilmu sesat yang dipelajari.
Selama sepuluh tahun Sepasang Kelabang Berbisa hidup menyendiri di Gua Kelabang Mereka memacu diri dan berlatih demi balas dendam yang akan dilakukan terhadap Panca Giri. Setelah sepuluh tahun, mereka pun keluar dari persembunyiannya. Bertepatan dengan itu, mereka pun mendengar kalau di tubuh Panca Giri telah terjadi perpecahan karena memperebutkan bokor emas yang berisi Air Swargaloka. Maka semakin kuat dendam di hati Sepasang Kelabang
Berbisa untuk memusnahkan lima orang penguasa lima gunung itu. Di samping, juga ingin merebut bokor emas yang berisi Air Swargaloka. Sikap Sepasang Kelabang Berbisa memang selalu mesra. Tak pandang tempat, dan siapa pun yang dihadapinya. Tak terkecuali, Pendekar Slebor yang kini menggaruk-garuk kepalanya. Bila mendengar omongan Nyi Sukesih tadi, adalah tentang bokor emas yang berisi Air Swargaloka dan pertarungan yang akan terjadi di tubuh Panca Giri. Berarti cerita yang didengarnya dari lima orang berpakaian merah yang telah menuangkan cairan merah sangat mematikan makin jelas menuju kebenaran.
Andika kini semakin yakin, kalau memang akan terjadi sesuatu di lereng Gunung Merbabu
"Hei, Kelabang Jorok! Mau apa kalian ke sini" Mau ngorek-ngorek tanah di sini, ya?" kata Andika sambil menahan geli melihat kemesraan mereka yang semakin menjadi-jadi.
"Hi hi hi.... Ternyata pendekar bego itu masih bisa bermain sandiwara. Kanda Jinar?"
"Kau benar, Dinda Sukesih...! Sepertinya dia merasa pasti, kalau dirinya tak ubahnya pemain ludruk!"
"Sialan!" maki Andika.
Pendekar Slebor lantas bermaksud meninggalkan tempat itu untuk mencari Sari dan si Belang. Mereka lebih penting daripada melayani sikap kedua manusia aneh ini. Tetapi mendadak saja Nyi Sukesih sudah berkelebat dan berdiri di hadapan Andika.
"Apakah kau tidak mendengar kata-kataku tadi, kalau kau akan mampus malam ini juga! Karena, hi hi hi... Kau rupanya menginginkan pula Air Swargaloka."
Andika mendengus.
"Kau mau apa sih, Kelabang Perempuan" Kalau mau pacaran denganku, cium dulu pantatku! Hi hi hi...! Hanya laki-laki bego itu saja yang mau menjadi pacarmu!" ejek Andika. Bukannya marah, Nyi Sukesih malah merajuk pada Jinar.
"Kanda..., dia mengejekku...."
"Hhh! Siapa pun orangnya yang mengejek istriku, maka harus mampus!" bentak Jinar, menggeram marah.
"Apalagi orang itu Pendekar Slebor! Pendekar yang selalu menghalangi sepak terjang kami dari golongan sesat!"
"Masa bodoh!" sahut Andika santai.
"Kalau kalian yang ingin mampus, mengapa tidak segera menyerangku, hah"!"
Sebenarnya. Pendekar Slebor masih memikirkan tentang Sari dan si Belang yang lenyap begitu saja. Juga sosok tubuh yang dilihatnya tadi.
Kini Andika yakin kalau sosok itu sengaja mengalihkan perhatiannya. Pasti, sosok tadi balik lagi entah lewat mana, lalu menculik Sari serta si Belang. Tetapi bila melihat betapa mudahnya Sari dan si Belang diculik, sudah jelas kesaktian orang itu sangat tinggi
Selagi Pendekar Slebor berkata-kata, Jinar sudah menyerang dengan satu pukulan bertenaga dalam tinggi.
"Kucabut nyawamu... Pendekar Slebor!"
"Bagus! Atau malah sebaliknya?" tukas Andika sambil mengegos ke kiri. Dan bisa dirasakannya angin yang keras melewati pelipisnya.
"Wiiih! Hebat juga tenagamu, Jelek!"
Lalu dengan gerak ringan sekali, Andika mengirimkan serangan balasan. Namun di luar dugaan, lawannya bukan menghindar justru memapaki serangannya
Plak! Dalam satu gebrak saja, tenaga mereka sudah saling berbenturan. Secara tak sengaja mereka saling mengukur tenaga dalam masing-masing. Andika terkejut ketika benturan itu terjadi. Bisa dirasakannya tenaga dalam
lawannya sangat tinggi.
"Ha ha ha... Rupanya pendekar yang kesohor itu hanya cetek sekali tenaga dalamnya!" ejek Jinar, terbahak-bahak sambil hinggap kembali di tanah.
"Pendekar Slebor.... Malam ini kau berkenalan dengan Sepasang Kelabang Berbisa yang sangat tangguh dan ditakuti siapa pun juga! Aku Jinar. Dan istriku Nyi Sukesih! Ingatlah kedua nama itu, sebelum kau terkubur malam ini!"
"Hei, Sepasang Kelabang Bisulan! Malam ini kau berkenalan dengan Pendekar Slebor yang tersohor ketampanannya! Ingatlah nama bagus itu. Karena sebentar lagi, kalian akan mampus!" balas Andika sambil mencibir.
"Kanda.... Dia menghina kita!" seru Nyi Sukesih.
"Bunuh dia, Kanda! Bunuh!"
Jinar pun meluruk kembali dengan cepatnya. Tenaga dalamnya yang tinggi telah terangkum di kedua tangannya. Kalau tadi Andika hanya menggunakan tenaga dalam biasa, kali ini menggunakan tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh delapan untuk memapak.
Pertarungan pun berlangsung sengit, diiringi seruan Nyi Sukesih yang keras.
"Bunuh dia, Kanda! Bunuh manusia itu!"
Tetapi setelah lima belas jurus berlangsung, Jinar belum juga mampu menjatuhkan Andika. Begitu pula sebaliknya. Pendekar Slebor sendiri sudah mempergunakan otaknya untuk mencari kelemahan Jinar. Memang, julukan Sepasang Kelabang Berbisa itu bukan julukan kosong. Yang maju saja baru Jinar. Belum dibantu Nyi Sukesih yang kemungkinan bisa mengacaukan jalannya pertarungan. Tiba-tiba Jinar melenting ke belakang.
"Bagus! Rupanya kau memang memiliki kebolehan yang tidak bisa dianggap enteng!" kata Jinar.
"Nah! Ngaku, kan" Ngaku, kan" Makanya, jungkir balik saja deh! Nanti kutendang pantatmu yang besar itu!" seloroh Andika, mengejek.
Wajah Jinar memerah mendengarnya. Tiba-tiba kedua tangannya dikatupkan, di gosok-gosoknya. Seketika terlihat asap hitam mengepul dari sana.
"Sekarang, rasakanlah ajian 'Kelabang Berbisa' tingkat kesepuluh ini! Heaaa...!"
Dengan satu teriakan keras, Jinar meluruk deras dengan kedua tangan menunjuk ke depan. Pendekar Slebor sadar, kalau ajian itu sangat dahsyat. Maka tenaga 'inti petir' nya dinaikkan menjadi tingkat kedua puluh lima.
"Bagus, Kanda! Bunuh dia! Biar tubuhnya kelojotan seperti monyet kebakar ekornya!" seru Nyi Sukesih, sambil bertepuk tangan. Andika tidak mau untuk beradu tangan itu. Karena diyakini kedua tangan Jinar mengandung bisa yang sangat mematikan. Benar saja! Ketika tangan kanan Jinar meleset dari sasarannya saat Pendekar Slebor melenting ke atas, sebatang pohon besar yang tercengkeram seketika berguguran daun-daunnya. Dan perlahan-lahan hangus.
"Gila! Kalau mengenai tubuhku, bagaimana ya? Bisa-bisa jadi Andika panggang, nih!"
"Ha ha ha.... Mengapa kau hanya bisa menghindar saja!" ejek Jinar sambil menyerang.
Andika yang sudah melihat keampuhan ajian 'Kelabang Berbisa' milik Jinar sudah tentu tidak ingin beradu tangan. Makanya dicoba mencuri menyerang dari bawah. Namun dengan cepatnya. Jinar menutupi geraknya.
Wuuut! "Kau tak akan bisa ke mana-mana. Pendekar Slebor!"
"Yeee..., memangnya aku mau ke mana" Lagi pula, kalau tahu aku mau ke mana, kau pasti minta ikut, kan" Iya, kan?" sahut Andika sambil melenting ke atas dengan pijakan satu kaki.
Dalam keadaan melenting itu kaki kanan Pendekar Slebor menyambar kepala Jinar, secepat kilat tokoh sesat ini langsung merunduk dan mengibaskan tangannya. Cepat Andika menekuk kedua kakinya. Dalam bentuk koprol, dia berputaran menghindari serangan.
"Kacau balau begini! Aku masih memikirkan tentang nasib Sari dan si Belang!" dengus Andika sambil menghindar kembali.
Begitu mendapat kesempatan, Andika balas menyerang. Tetapi Jinar terus menutup setiap serangan Pendekar Slebor. Malah diam-diam ajian 'Kelabang Berbisa'nya dinaikkan pada tingkat ke tujuh. Dia ingin, dalam sekali pukul saja tubuh
Pendekar Slebor akan ambruk. Namun sudah tentu Andika tidak menginginkan dirinya dijadikan sasaran serangan Jinar. Namun yang jelas, kini Andika yakin maksud Sepasang Kelabang Berbisa datang ke lereng Gunung Merbabu ini. Pasti sehubungan dengan pertarungan yang akan terjadi di sini antara sesama kelompok Panca Giri, seperti yang dikatakan Nyi Sukesih tadi. Pendekar Slebor berada di sini, bukannya ingin merebut bokor emas yang berisi Air Swargaloka yang seperti dikatakan Nyi Sukesih. Justru hanya karena merasa penasaran saja, sehingga mau menunggu saat pertarungan tiba. Ingin dilihatnya sendiri, apa yang sebenarnya diperebutkan. Dan bila mendengar namanya, Panca Giri yang berarti Lima Gunung, sudah bisa dipastikan kalau yang akan bertarung sesama kelompok. Tetapi mengapa mereka harus bertarung" Mengapa mereka memperebutkan bokor emas itu" Inilah yang membuat Pendekar Slebor sangat penasaran. Dan kalaupun sekarang Pendekar Slebor harus bertarung melawan salah seorang dari Sepasang Kelabang Berbisa, karena merasa yakin kalau kedatangan kedua manusia aneh itu untuk mencuri kesempatan selagi lima anggota Panca Giri bertarung dengan mencuri bokor emas yang diperebutkan. Bisa jadi, mereka ingin membalas dendam! Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor melenting ke atas. Dibuatnya gerakan seperti meluncur ke arah Jinar. Jinar terbahak-bahak melihatnya. Karena,
saat-saat seperti inilah yang ditunggunya. Ajian 'Kelabang Berbisa'nya ingin dihantamkannya pada tingkat ketujuh.
Tetapi, ternyata justru Jinar menjadi kelabakan ketika tiba-tiba saja selembar kain bercorak catur menutupi wajahnya. Tubuhnya terhuyung ke belakang, sambil berusaha melepaskan kain itu. Rupanya selagi meluruk tadi, Andika melemparkan kain bercorak catur nya ke wajah Jinar. Lalu dengan gerak sangat cepat sekali Pendekar Slebor sudah menderu maju sambil menghantamkan telapak tangannya.
Desss! "Aaakh...!"
Pukulan yang mengandung tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh lima itu telah telak mengenai dada Jinar. Tubuh Jinar sempoyongan ke belakang. Dan secepat kilat, Andika menyambar kembali kainnya.
"Kandaaa!" terdengar seruan Nyi Sukesih.
Wanita aneh ini terkejut melihat suaminya sempoyongan. Lalu tubuhnya meluruk cepat.
"Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" teriak Nyi Sukesih.
"Nah, nah.... Mengapa tidak sejak tadi kau membantu suamimu itu, Jelek!" seru Andika sambil berkelit.
Serangan Nyi Sukesih dibaluri amarah yang menggelegak. Dia tidak terima suaminya begitu mudah dipecundangi oleh Pendekar Slebor. Perbuatan itu harus dibalas lewat kedua tangannya. Serangan-serangan Nyi Sukesih sangat cepat dan bengis. Bahkan sudah mempergunakan ajian 'Kelabang Berbisa'nya tingkat pertama. Dia memang ingin melihat Pendekar Slebor bukan saja terkapar mampus, tapi juga berubah menjadi hangus! Kalau bukan Andika yang memiliki kecepatan menghindar dan menyerang, sudah tentu tubuhnya akan ambruk seketika. Namun, Andika sendiri merasakan kerepotan juga menahan setiap serangan Nyi Sukesih. Dan Pendekar Slebor makin kelabakan ketika satu sosok besar berkelebat membantu Nyi Sukesih. Jangankan menyerang. Bahkan untuk menghindar saja sangat sulit dilakukannya.
"Kau sudah mendingan, Kanda?" tanya Nyi Sukesih sambil bergerak membentuk setengah lingkaran. Diberinya kesempatan pada suaminya untuk menyerang Andika.
"Manusia itu memang harus mampus, Dinda!" sahut Jinar.
"Hei" Sejak tadi kalian bicara ingin membunuhku. Mana buktinya?" ejek Andika.
Dan Pendekar Slebor sendiri memang harus mengeluarkan kecepatannya menghindar. Memang, hanya itulah jalan satu-satunya yang bisa dilakukan. Karena untuk membalas sangat sulit dilakukan. Sepasang Kelabang Berbisa kembali meluruk cepat. Mereka menyerang dari dua arah yang berlainan. Jinar di sisi sebelah kiri, sementara Nyi Sukesih dari sebelah kanan. Dengan cara seperti itu, ruang gerak Andika semakin sulit saja. Malah kalau tidak berhati-hati, tubuhnya bisa hangus
terkena ajian 'Kelabang Berbisa' milik mereka.
"Kanda! Kita harus bisa membunuh Pendekar Slebor! Nanti dia malah menjadi urusan bila kita hendak mencuri bokor emas itu!"
"Ya, aku memang ingin membunuhnya!" sahut Jinar sambil menderu cepat.
Andika terbahak-bahak mengejek.
"Kalau tadi kalian begitu yakin dapat membunuhku, mengapa sekarang harus pakai kata 'bisa'" Memangnya sulit, ya" Maklum..., yang dihadapi kan Pendekar Slebor yang tersohor!"
Kata-kata Andika membuat Sepasang Kelabang Berbisa semakin penasaran dan marah. Rupanya mereka salah menduga. Meskipun Pendekar Slebor bisa didesak, namun sampai saat ini belum juga berhasil dilukai. Bahkan telinga mereka harus memerah mendengar ejekan-ejekan Pendekar Slebor. Tiba-tiba Jinar melenting ke belakang.
"Dinda! Kita hajar manusia itu dengan ajian 'Sepasang Kelabang Marah'!" teriak Jinar.
Nyi Sukesih cepat melompat ke belakang. Dan tahu-tahu dia sudah hinggap di sebelah kanan suaminya. Lalu tangan kanannya direntangkan ke depan. Sementara kaki kirinya membujur ke belakang. Tubuhnya sedikit membungkuk.
Sedangkan Jinar berdiri tegak dengan kedua tangan terbuka ke depan, menekuk ke dalam. Tubuhnya agak condong ke belakang.
"Lho" Kalian mau menari?" ejek Pendekar Slebor sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Diam-diam Pendekar Slebor yakin, kalau jurus 'Sepasang Kelabang Marah' itu sangat dahsyat. Makanya, diam-diam dirangkulnya ajian 'Guntur Selaksa', salah satu jurus warisan Pendekar Lembah Kutukan yang sangat dibanggakannya. Ketika tubuh Sepasang Kelabang Berbisa menderu ke depan diiringi satu teriakan keras, Andika pun melenting ke depan dengan tubuh meluncur ke muka.
"Heaaa!"
"Yeaaa!"
Dua buah tenaga yang menjadi satu itu pun bertemu dengan ajian 'Guntur Selaksa' milik Pendekar Slebor. Dan....
Glarrr...! Terdengar suara bagai ledakan keras. Dan tiga sosok tubuh pun terpental deras ke belakang.
Namun masing-masing masih mampu menguasai keseimbangan, sehingga bisa jatuh dengan ringan
di tanah.
"Busyet! Hebat sekali jurus yang mereka perlihatkan!" desis Andika dalam hati Sementara itu, Sepasang Kelabang Berbisa sudah meluruk lagi dengan serangan sama. Karena, disadari betul kalau tenaga dalam yang dimiliki seimbang dengan tenaga dalam Pendekar Slebor. Andika tidak menyadari kalau sewaktuwaktu, bisa saja salah satu dari Sepasang Kelabang Berbisa akan melakukan gerakan membokong. Dia terus melayani serangan dengan merangkum ajian 'Guntur Selaksa' di tangan. Seperti yang telah direncanakan, mendadak. Tubuh Nyi Sukesih melenting ke atas. Dilewatinya tubuh Andika. Sementara, Jinar justru membanting tubuhnya ke kiri.
"Heiiit!" desis Andika terkejut.
Sebisanya Pendekar Slebor membuang tubuhnya ke depan. Namun di luar dugaan, Nyi Sukesih mengejar dengan gerakan meluruk cepat. Dalam keadaan yang sangat genting, Andika sebisanya melepaskan kain pusaka bercorak catur. Dan langsung dikebutkannya kain itu ke arah Nyi Sukesih.
Ctarrr! "Auuhhh...!"
Kain pusaka itu tepat mengenai kedua tangan Nyi Sukesih. Secepatnya perempuan itu melenting ke belakang sambil mengaduh-aduh manja pada Jinar yang segera memburunya. Kedua tangannya terasa bagai kesemutan.
"Kanda..., bunuh dia...! Bunuh...! Kedua tanganku dibuat luka olehnya...."
Jinar menggeram marah. Sementara Andika menghela napas lega. Untungnya Pendekar Slebor masih waspada dengan serangan yang mendadak itu. Namun dia tak lagi diberi kesempatan untuk mengatur napasnya lagi, karena Jinar sudah menderu dengan kekuatan tinggi.
"Mampuslah kau, Pendekar Slebor!"
Namun dengan sigapnya, Andika kembali mengibaskan kain pusaka kembali.
Brusss! Serangan kain pusaka itu luput dari sasaran, karena Jinar sudah melenting ke atas. Namun Andika yang melihat celah menguntungkan segera memburu dengan ajian 'Guntur Selaksa'nya. Tubuhnya melesat dahsyat dengan kedua
tangan terbuka. Dan...
Glarrr...! "Aaa...!"
Terdengar suara bagai petir menyalak, yang disusul jeritan menyayat
Pukulan Pendekar Slebor tepat mengenai dada Jinar yang langsung jatuh ambruk. Suaranya berdebam dan pasir di bawahnya berterbangan.
"Kandaaa!" jerit Nyi Sukesih, langsung menubruk suaminya yang telah menjadi mayat. Tanpa malu-malu lagi, menangislah perempuan aneh ini. Sementara Pendekar Slebor segera mengatur napasnya yang memburu. Bukannya menyerang kembali, Nyi Sukesih hanya bangkit. Matanya menyalang dengan tangan bergetar.
"Kali ini, aku mengaku kalah! Tetapi suatu saat nanti, kau harus menebus nyawa suamiku ini dengan nyawamu!" desis Nyi Sukesih.
Andika tidak menyahut. Dia hanya menatap redup pada Nyi Sukesih yang mengangkat mayat suaminya yang bertubuh besar itu.
"Hu hu hu.... Kanda.... Kita gagal membalas dendam pada Panca Giri! Tetapi malam ini, dendam itu kita alihkan pada Pendekar Slebor! Percayalah, Kanda.... Aku akan membalas semua sakit hatimu!"
Lalu masih menangis, Nyi Sukesih berkelebat meninggalkan tempat itu, sedang Andika menghela napas panjang. Beruntunglah Pendekar Slebor bisa mengalahkan dua lawan tangguhnya. Lalu kembali pikirannya berputar tentang Sari, Belang, dan sosok yang dilihatnya. Juga, masih dipikirkannya tentang pertarungan yang akan terjadi di lereng Gunung Merbabu ini. Untuk kali ini, Andika bingung menentukan tujuan. Apakah akan mencari Sari dan si Belang, ataukah menunggu sampai hari yang ditentukan, di mana kelompok Lima Gunung akan mengadakan pertarungan antar sesama"



## 8 ##

Pagi kembali menyelimuti seisi alam. Cahaya matahari sebagai pembangkit kehidupan, memancarkan sinarnya kepada siapa saja. Dan di pagi yang masih berkabut itu, tiga sosok tubuh tampak duduk bersila di Puncak Gunung Semeru. Mereka tak lain tiga dari Panca Giri. Ki Danang Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa. Dan sejak malam tadi, mereka telah duduk bersila di Puncak Gunung Semeru tanpa sedikit pun merasakan sengatan hawa dingin. Karena, masing-masing telah mengalirkan hawa panas dalam tubuhnya. Ki Danang Gumilar memang sengaja mengundang Ki Kalungkung dan Ki Redamo Rusa, untuk datang ke tempatnya. Mereka tengah membicarakan masalah pertarungan yang tinggal dua hari lagi. Ki Danang Gumilar, sebenarnya menyetujui usul Ki Lingkih Manuk, agar bokor emas yang berisi Air Swargaloka dan kini menjadi perebutan para anggota Panca Giri, dibuang saja. Sehingga, perpecahan tidak akan terjadi. Namun, Ki Samundang telah menolak dengan kata-kata bernada menantang. Memang sejak dulu Ki Danang Gumilar tahu betul bagaimana tabiat Ki Samundang, yang memang selalu penasaran dan ingin tahu. Dan itu berarti, pertarungan akan benar-benar terjadi. Namun, Ki Danang Gumilar masih berharap, agar kiranya pertarungan yang bakal menimbulkan perpecahan di tubuh Lima Partai Gunung itu tidak akan pernah terlaksana. Itulah sebabnya, yang diundang hanya Ki Kalungkung
dan Ki Redamo Rusa. Menurutnya, mereka masih berada di pertengahan antara dua pendapat yang diberikan Ki Lingkih Manuk dengan Ki Samundang.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ki Kalungkung setelah sekian lama dicekam pikiran masing-masing.
Ki Danang Gumilar menggeleng.
"Aku masih belum mendapatkan jawabannya. Akan tetapi, aku tetap tidak berkeinginan terjadinya perpecahan di tubuh Lima Partai Gunung hanya karena mencari siapa yang berjodoh dengan Air Swargaloka. Karena, akhirnya akan merugikan diri sendiri. Juga, ketahuilah. Saat ini aku yakin, para tokoh sesat yang dulu kita kalahkan, sudah tentu akan memanfaatkan kesempatan seperti ini...."
Tak ada yang bersuara. Panas sinar matahari yang lebih dekat menyengat tak dirasakan. Kalau semalam ketiganya mengeluarkan hawa panas untuk mengusir dingin, kini mengeluarkan hawa dingin untuk mengusir panas.
"Apa yang dikatakan Ki Lingkih Manuk memang benar. Meskipun kita harus mengkhianati amanat Guru. Tetapi, yang dikatakan Ki Samundang pun benar. Karena, kita menjalankan amanat Guru. Hanya yang sulitnya, mau tidak mau terjadi perpecahan di tubuh Lima Partai Gunung. Dan kita tidak memiliki kekuasaan untuk menahannya," kata Ki Redamo Rusa.
"Berbicara soal amanat, itulah yang paling susah," timpal Ki Kalungkung.
"Dalam keadaan semacam ini, sebenarnya sangat menguntungkan bagi lawan-lawan Panca Giri yang kemungkinan besar akan mempergunakan kesempatan. Ah! Bila saja kita menemukan jalan keluarnya."
Hening. Masing-masing kembali dicamuk pikiran sama.
"Ki Danang Gumilar! Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Ki Redamo Rusa.
"Pernahkah kalian mendengar tentang seorang pendekar yang namanya akhir-akhir ini dibicarakan orang?" kata Ki Danang Gumilar balik bertanya tiba-tiba.
"Maksudmu..., Pendekar Slebor?" tebak Ki Kalungkung.
"Benar! Aku mendengar selain sakti, Pendekar Slebor pun memiliki otak sangat cerdik."
"Apa maksudmu tiba-tiba membicarakan Pendekar Slebor?" tanya Ki Redamo Rusa.
"Kita bisa meminta bantuannya untuk memecahkan kemelut di tubuh Lima Partai Gunung."
"Meminta bantuannya?" tanya Ki Redamo Rusa dengan kening berkerut.
"Benar! Kupikir harus ada seseorang yang bisa menghentikan kemelut di antara kita. Paling tidak, mampu memecahkan maksud dari amanat Guru. Karena aku masih ragu, apakah yang telah kita putuskan ini telah memecahkan amanat Guru atau tidak?"
"Ki Danang Gumilar! Aku tidak yakin seperti yang kau katakan tadi, apakah Guru mempunyai maksud tertentu dengan memberikan amanat," sergah Ki Kalungkung.
"Amanat yang sudah nyata sekarang ini, Guru menghendaki kita untuk berkumpul dan bertarung memperebutkan bokor emas berisi Air Swargaloka. Dengan kata lain, mungkin Guru ingin melihat siapakah yang paling tangguh di antara kita"
"Pendapatmu bisa kubenarkan. Tetapi aku justru tiba pada kesimpulan seperti itu. Karena, tak mungkin Guru memberi amanat yang sangat sulit. Kita ibarat diberi buah simalakama. Dalam hal ini, sekali lagi kupikir, kita harus meminta bantuan seseorang yang cerdik untuk memecahkan kemelut ini. Di samping juga, untuk mendinginkan suasana panas yang mulai tercipta di tubuh Lima Partai Gunung."
Lagi tak ada yang bersuara. Keheningan mulai merambah.
"Usul yang kau berikan itu memang baik dicoba," sahut Ki Kalungkung kemudian.
"Tetapi, apakah itu justru tidak menyinggung perasaan Ki Samundang maupun Ki Lingkih Manuk?"
"Maksudmu, bagaimana?" tanya Ki Danang Gumilar.
"Bila melihat usia kita yang sudah berkepala enam ini, tidak seharusnya meminta nasihat dari orang yang lebih muda. Aku yakin, Ki Samundang akan merasa terinjak-injak kepalanya bila hal ini kita lakukan juga."
"Tidak! Kau salah, Ki Kalungkung. Dalam hal meminta nasihat, kita tidak berpatokan pada usia. Dalam hal ini dibutuhkan adalah orang cerdik, yang mampu mendinginkan suasana panas di tubuh Lima Partai Gunung. Jadi kupikir, jalan satu-satunya adalah meminta bantuan pendekar sakti yang berjuluk Pendekar Slebor itu. Bila kita memakai pendapatmu, siapakah orang yang lebih tua dari kita yang bisa dimintai pendapat?" Ki Danang Gumilar mengedarkan pandangan bergantian pada Ki Kalungkung dan Ki Redamo Rusa.
"Bagaimana bila Ki Samundang marah?" tanya Ki Redamo Rusa.
"Bukankah dengan begitu kita hanya menambah kemelut saja? Memang, dalam hal ini kita membutuhkan orang cerdik yang mampu memecahkan kemelut. Karena seperti diketahui, saat ini kita bertiga berada dalam ikatan persaudaraan. Namun
dua hari lagi di lereng Gunung Merbabu, kita akan menjadi musuh yang harus mempertahankan nyawa demi Air Swargaloka yang berada di dalam bokor emas. Inilah sulitnya. Dari semalam, kita berembuk untuk memecahkan kemelut ini, agar
jangan sampai terjadi pertumpahan darah. Namun, pada akhirnya kita harus melakukannya juga. Padahal, hanya semata untuk memenuhi amanat Guru. Di samping itu juga, bila kita mengizinkan Pendekar Slebor mencampuri urusan ini,
bukankah menambah masalah yang ada pada dirinya?"
Mendengar kata-kata Ki Redamo Rusa. Ki Danang Gumilar terdiam. Memang sangat sulit masalah yang dihadapi ini. Namun Ki Danang Gumilar yang tidak ingin terjadi pertumpahan darah tetap bersikeras untuk meminta nasihat dari orang cerdik. Keputusannya, tetap Pendekar Slebor! "Aku yakin, Pendekar Slebor bersedia membantu kita. Meskipun kudengar dia seorang pemuda urakan, namun otaknya sangat cerdik. Kemungkinan Ki Samundang marah, bisa saja terjadi. Karena aku sendiri tahu bagaimana sifatnya. Tetapi apakah kalian rela, bila melihat darah kita yang berada dalam satu tubuh Lima Partai Gunung mengalir oleh tangan kita sendiri?"
"Ki Samundang rela melihatnya. Buktinya, dia tetap berkeinginan pertarungan di antara kita dijalankan," sahut Ki Kalungkung yang membuat Ki Danang Gumilar lagi-lagi terdiam.
"Tetapi, bukankah kita tidak rela melihat darah sesama kita" Termasuk, Ki Lingkih Manuk yang langsung mengusulkan untuk membuang saja bokor emas itu, meskipun sebenarnya sangat berat melakukannya. Apalagi, membatalkan amanat Guru sama saja telah lancang mengkhianatinya!"
"Itulah yang membuat Ki Samundang tetap bersikeras agar pertarungan memperebutkan bokor emas dilaksanakan," desah Ki Kalungkung sambil menghela napas panjang. Hatinya benar-benar sedih memikirkan kemungkinan itu. Ditatapnya Ki Danang Gumilar.
"Rasanya, sia-sia kita berkumpul di sini untuk memecahkan kemelut yang sebentar lagi akan terjadi," kata Ki Danang Gumilar disertai helaan napas panjang. Hening.
Masing-masing sangat menyesali melihat keadaan ini. Namun apalah hendak dikata" Amanat sudah disampaikan. Ucapan sudah jatuh. Tinggal menunggu hari pelaksanaannya lagi.
"Kalaupun kita akan meminta bantuan Pendekar Slebor..., di manakah keberadaannya sekarang ini?"
Semuanya terdiam kembali. Yah! Di manakah Pendekar Slebor berada sekarang ini" Ki Danang Gumilar yang mengusulkan saja tidak tahu di mana pendekar sakti yang cerdik itu berada.
"Aku memang tidak tahu di mana dia berada," kata Ki Danang Gumilar jujur.
"Berarti, keputusan kita tetaplah seperti yang dikatakan Ki Samundang tiga bulan yang lalu!" tambah Ki Redamo Rusa.
"Kita akan tetap melakukan pertarungan itu dua hari lagi di lereng Gunung Merbabu."

***

Pendekar Slebor yang memutuskan untuk menunggu Sari dan si Belang di lereng Gunung Merbabu, kini bangkit dari duduknya. Pantatnya yang berdebu ditepuk-tepuknya.
"Hhh! Aku jadi cemas memikirkan gadis itu?" desah Pendekar Slebor seorang diri. Tetapi kalau melihat kesaktian yang dimilikinya, dia memang bisa menjaga diri. Apalagi ada si Belang. Tetapi, nampaknya sosok tubuh semalam yang kuyakini sebagai penculik keduanya, menandakan kesaktian Sari tidak seberapa." Andika menatap kejauhan.
"Di mana mereka harus kucari?"
Pendekar Slebor menghela napas panjang.
"Kalau nanti kutemukan Sari dan si Belang dalam keadaan tidak kuinginkan, aku akan membalas perbuatan orang yang melakukannya!"
Di samping memikirkan Sari dan si Belang, Pendekar Slebor juga memikirkan tentang pertarungan yang akan terjadi di lereng Gunung Merbabu. Kedatangan Sepasang Kelabang Berbisa semalam memperkuat dugaannya. Namun yang sampai sekarang membuatnya penasaran, siapakah orang-orang Lima Partai Gunung itu" Mengapa mereka memperebutkan bokor emas di antara sesama saudara sendiri"
"Pasti bokor emas itu sangat mahal harganya! Memangnya, kalau sudah berbicara soal ilmu dan harta, tak akan pernah lagi orang memikirkan siapa yang dihadapi. Bahkan terkadang, anak sendiri pun rela membunuh kedua orangtuanya demi mendapatkan harta yang diinginkannya! Sia-sia saja orang-orang itu berada dalam kelompok Lima Partai Gunung, yang pada akhirnya akan menumpahkan darah saudaranya sendiri," desah Pendekar Slebor.
Memang selama petualangannya, bukan hanya sekali dua kali saja Andika menyaksikan orang-orang memperebutkan harta sampai mengorbankan darah dan nyawa. Bahkan begitu banyaknya, sehingga lupa mengingatnya satu persatu.
"Sariii! Belaaang! Di mana kalian"!" Tiba-tiba Pendekar Slebor berteriak keras.
Suaranya menggema, terbawa angin. Tetapi tak ada satu sosok yang muncul. Andika menunggu beberapa saat, sebelum akhirnya memutuskan untuk segera mencari Sari dan si Belang. Tetapi sebelum beranjak dari tempatnya, seekor hewan berkaki empat dengan seorang penunggang di atas tubuhnya berkelebat ke arahnya.
"Kang Andikaaa!"
Dengan cepat Andika mendekati sosok yang tak lain Sari yang sudah melompat turun dari tubuh si Belang.
"Ke mana saja kau"! Siapa yang menculikmu, hah"! Katakan! Akan kuhajar dia sampai tunggang langgang!" ujar Andika berapi-api, membuat gadis itu malah cekikikan.
"Soknya!" cibir Sari.
"Eh" Kok tidak percaya" Aku akan...."
Tiba-tiba saja Andika memegangi seluruh tubuh Sari. Akibatnya gadis itu melayangkan tangannya. Plak! "Hei!"
"Genit! Tidak sopan! Jorok!" maki gadis itu.
Andika tertawa. Baru sadar, karena terlalu cemas memikirkan keadaan Sari.
"Maaf, aku hanya ingin melihat keadaanmu saja." Gadis itu cemberut.
"Brengsek! Mau mencuri kesempatan, ya"!" sembur Sari.
"Maaf, maaf...," ucap Andika sambil nyengir.
"Sudah, sudah! Kenapa teriak-teriak memanggil namaku dan si Belang tadi?"
Andika hanya nyengir saja. Rupanya suaranya tadi terdengar Sari yang menaiki tubuh si Belang dan sedang melesat ke arah Gunung Merbabu.
"Kang Andika masih ingat Eyang Sasongko Murti?" tanya Sari, tahu-tahu.
"Huh! Orang tua jelek yang mukanya tidak bisa ditebak seperti apa" Jelek kayak dedemit, atau ganteng seperti aku?"
Sari menahan tawanya.
"Ya."
"Kenapa dengan dia?"
"Dialah yang menculikku!"
"Apa?"
Andika menepuk keningnya. Pantas saja dia tidak berhasil mengetahui siapa sosok tubuh yang dilihatnya.
"Rupanya murid Siluman Hutan Waringin yang membelot itu yang membuatku gelisah semalaman, hah"!" (Untuk mengetahui siapa Eyang Sasongko Murti, silakan baca Pendekar Slebor dalam episode : "Neraka di Keraton Barat").
"Benar! Dialah yang menculik aku dan si Belang. Dia juga yang melukai si Belang."
"Edan! Kenapa dia melakukan itu?" tanya Andika gemas.
"Karena Kang Andika tidak berhati-hati!"
"Hei" Apa maksudmu" Enak saja kau ngomong!" seru Andika mangkel.
"Memang Kang Andika tidak berhati-hati. Rupanya, Sepasang Kelabang Berbisa dari golongan sesat itu telah lama melihat kita berada di sini. Mereka bermaksud membunuh kita. Kebanyakan makan daging kelinci panggang, sih!"
"Aku sudah membunuh salah seorang darinya!"
"Nah! Itulah yang diinginkan Eyang Sasongko Murti."
"Busyet! Jadi untuk apa dia melukai si Belang dan menculikmu juga si Belang?" cecar si Andika.
"Menurut perhitungannya, kalau saat itu aku masih berada di sana, jelas akan membuyarkan perhatian Kang Andika dalam menghadapi Sepasang Kelabang Berbisa. Sehingga, dia membuat si Belang luka dan melesat cepat. Sementara, Kang Andika melihatnya. Lalu dia kembali lagi dan membawaku dengan maksud untuk menyingkirkanku."
"Memangnya kau kenapa" Biar saja kau berada di sini! Kalau kau luka, apa urusanku?" sahut Andika, menyembunyikan rasa khawatirnya tadi. Tidak tahu, mengapa dia mengkhawatirkan Sari. Tetapi yang pasti, Sari dianggap sebagai adiknya.
"Menyebalkan!"
"Tetapi manis, kan?"
"Brengsek! Pokoknya, kata Eyang Sasongko Murti, Kang Andika kebanyakan melihat gadis cantik. Jadi, kurang hati-hati! Dasar mata bongsang!"
"Sialan! Kenapa dia tidak membantuku saja, sih" Tetapi..., he he he.... Pantang bagi Andika untuk dibantu. Lagi pula aku yakin, orang tua jelek yang sudah seratus tahun terdampar di Alam Sunyi itu pasti takut menghadapi Sepasang Kelabang Berbisa."
"Jangan mengejek dia! Saat ini, dia sedang dikejar-kejar Siluman Hutan Waringin. Menurutnya, kalau berlama-lama berada di alam nyata ini, bisa-bisa Siluman Hutan Waringin akan muncul kembali dan membuat onar. Jadi, dia sengaja membiarkan dirinya saja yang dikejar-kejar, agar Siluman Hutan Waringin tidak mengganggu yang lain."
"Biar tahu rasa dia! Membuatku bingung saja! Coba kalau dia menga...."
"Kang Andika bingung, ya?" potong gadis itu dengan dada berdebar. Kalau memang Andika memikirkannya, alangkah senangnya. Apakah itu berarti Andika mencintai Sari"
"Ya!"
"Memikirkan aku?"
"Sudah jelas aku..., he he he.... Enaknya memikirkanmu! Buat apa sih, gadis jelek sepertimu dipikirkan!" sahut Andika nyengir. Dan dia bisa melihat sepasang bibir yang ranum itu cemberut. Menggemaskan sekali!
"Eyang Sasongko Murti bilang, kalau sebentar lagi akan ada pertumpahan darah di sini!" jelas Sari kemudian.
"Aku sudah tahu!"
"Dia juga bilang, kalau Kang Andika segera menghentikan pertarungan antara Lima Partai Gunung, Kang! Bukankah itu yang kita ketahui dari lima orang berpakaian merah, bukan?"
"Benar. Dan akupun mengetahuinya lebih jelas dari Sepasang Kelabang Berbisa, kalau sebentar lagi akan ada pertarungan darah di sini. Makanya aku mau menunggu! Kau boleh pergi lagi dari sini!"
"Kang Andika!" seru gadis itu manja.
"Kenapa?" tanya Andika acuh.
"Kang Andika menginginkan aku pergi?" Gadis itu merajuk.
"Terserah kau."
"Huh! Sebel! Mendingan aku tadi tidak kembali lagi ke sini! Biar dimakan harimau saja!"
Andika tertawa.
"Apakah si Belang akan memakanmu?"
Mata jernih Sari melotot.
"Enak saja ngomong! Belang adalah hewan kesayanganku yang pasti menurut kepadaku! Sudah, sudah! Aku mau tidur! Ayo. Belang! Jangan dekat-dekat pemuda edan itu! Bisa-bisa kita ketularan lagi!" semprot Sari.
Si Belang yang sudah merebahkan tubuhnya di tanah tadi, kini tegak berdiri. Andika menghela napas panjang. Rupanya saat ini Eyang Sasongko Murti masih berada dalam pengejaran Siluman Hutan Waringin yang mendendam kepadanya. Dan bila urusan ini telah selesai, Andika berjanji akan membantu menyingkirkan Siluman Hutan Waringin yang mengerikan itu. Lalu, Pendekar Slebor menyusul Sari dan si Belang ke gua.



## 9 ##

Hari yang ditentukan akan terjadinya pertarungan antara Ketua Partai Gunung pun tiba. Andika yang sejak tadi bersama Sari bersembunyi di sebuah pohon besar yang di bawahnya penuh semak belukar, bisa melihat beberapa rombongan yang datang sekaligus. Sementara si Belang sudah diperintahkan bersembunyi oleh Sari tadi. Semua rombongan datang dari jalan yang sama. Yang di depan rombongan berpakaian putih. Berjalan di depan seorang laki-laki gagah berusia kira-kira enam puluhan. Langkahnya tegap penuh wibawa. Laki-laki itu sendiri mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna putih, Di belakang kemudian, rombongan berpakaian biru. Paling depan seorang laki-laki berpakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna biru. Lalu rombongan selanjutnya berpakaian merah.
Seorang laki-laki gagah berpakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna merah berjalan di depan. Andika dan Sari bisa melihat kalau lima orang yang berniat melakukan kecurangan berada dalam rombongan berpakaian merah. Di belakang rombongan berpakaian merah, melangkah rombongan berpakaian hijau. Seorang laki-laki gagah yang berjalan di depan berpakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna hijau. Yang paling akhir adalah rombongan berpakaian kuning. Berjalan gagah di depan adalah laki-laki berkepala botak berpakaian hitam dengan ikat pinggang kuning. Tiba di lereng Gunung Merbabu, laki-laki paling di depan yang tak lain Ki Lingkih Manuk mengangkat tangannya.
"Sebelum kita menuju tempat pertarungan, ada baiknya kita berkumpul dulu di sini!" ujar Ki Lingkih Manuk. Seketika empat laki-laki berpakaian hitam dengan ikat pinggang berbeda berkelebat mendekatinya. Sementara, rombongan berpakaian berlainan warna itu membentuk lingkaran besar. Sedangkan kelima orang-berpakaian hitam tadi sudah duduk bersila membentuk lingkaran kecil.
"Sebelum darah tumpah dan nyawa melayang di antara kita, aku ingin bertanya. Apakah kita akan mengurungkan niat ini?" tanya Ki Lingkih Manuk.
"Tidak!" sahut laki-laki berikat pinggang berwarna merah, tegas.
"Aku tetap menginginkan pertarungan itu dilakukan! Karena, semua ini semata-mata amanat Guru!"
"Tidakkah di hatimu ada keinginan untuk menghentikan semuanya ini, Ki Samundang? Apalagi, aku masih sangsi, apakah pemecahan amanat Guru benar seperti itu?"
"Tak usah disangsikan lagi. Untuk menentukan siapa yang berjodoh, sudah tentu dengan cara membuktikan siapa yang paling tangguh. Nah, itulah pemecahan amanat Guru yang sesungguhnya."
Tak ada yang bersuara. Andika melihat Ki Lingkih Manuk mengeluarkan sesuatu yang terbungkus, dari sebuah tempat yang tersampir di pinggangnya. Lalu dibawanya ke tengah dan dibukanya bungkusan itu. Sebuah bokor emas.
"Kang!" desah Sari terbelalak sambil memegang lengan Andika. Pendekar Slebor mendengus. Perempuan di mana saja sama. Kalau melihat emas, pasti melotot. Tetapi bukan itu yang dimaksud Sari sebenarnya.
"Aku yakin..., bokor emas itulah yang akan diperebutkan mereka?" lanjut Sari.
"Apa lagi kalau bukan itu" Masa iya sih, tidak bisa menebak" Soalnya, tidak ada lagi benda yang diperlihatkan selain bokor emas itu. Sudah, sudah, diam. Lama-lama kita bisa ketahuan, nih!" ujar Andika. Sari mendengus, tetapi menurut juga.
"Inilah bokor emas yang pada akhirnya justru menjadi lambang keributan dan pertumpahan darah di antara kita. Bokor emas yang menjadi penentu, siapakah yang berhak mendapatkan Air Swargaloka yang berada di dalamnya," jelas Ki Lingkih Manuk dengan pandangan beredar.
"Jadi..., keputusan kita ini tetap sama dengan keputusan tiga bulan yang lalu?"
"Ya!" lagi-lagi hanya Ki Sumandang yang menyahut
"Baiklah. Memang tak ada jalan lain lagi, kecuali memperebutkan bokor emas ini yang diperkirakan sesuai amanat Guru. Pada akhirnya, pagi ini... Ikatan Lima Partai Gunung yang sudah terjalin selama dua puluh tahun harus pecah. Dan darah yang akan tumpah tak bisa dibendung lagi!" lanjut Ki Lingkih Manuk.
"Ki Samundang..., apakah tidak bisa dihentikan saja pertarungan sesama kita ini! Karena menurutku, pertarungan ini hanya membuat suasana menjadi keruh!" timpal Ki Danang Gumilar.
Ki Samundang menggeleng.
"Tidak! Pertarungan itu harus tetap dilaksanakan!" Kali ini tak ada yang bersuara. Ki Lingkih Manuk berdiri, disusul keempat saudara seperguruan yang lain.
"Ada baiknya kita melakukan sembah kepada Ki Panca Giri," ujar Ki Lingkih Manuk.
Lalu masing-masing berdiri seraya menundukkan kepala. Mereka memanjatkan doa bagi arwah Ki Panca Giri.
"Kini..., kita akan menuju ke tempat pertemuan...."
Lalu mereka pun beranjak ke tempat yang dikatakan Ki Lingkih Manuk. Sementara anak murid masing-masing tetap berdiri tegap.

***

"Nampaknya, pertarungan itu akan terjadi juga. Sangat disayangkan, kalau sampai terjadi pertumpahan darah di antara mereka sendiri," gumam Andika "Lalu, apa yang akan Kang Andika lakukan?" tanya Sari.
"Aku belum tahu. Tetapi..., ya, ya.... Aku sudah mendapatkan jalan keluarnya sekarang. Kau tunggu di sini. Sari," ujar Pendekar Slebor, mendadak mendapat semacam petunjuk. Sari menganggukkan kepala. Andika yang mau melompat justru menghentikan geraknya. Kepalanya menoleh, menatap Sari dengan kening berkerut.
"Tumben kau tidak membantah?" tanya Andika, meledek.
"Serba salah! Kalau aku mau ikut, kau marah. Kalau aku menurut, kau bertanya! Jadinya, aku harus bagaimana?"
Andika tertawa. Ditepuk-tepuknya pipi Sari. Dan tahu-tahu dikecupnya pula pipi gadis itu.
"Bagus!"
Seketika tubuh Pendekar Slebor pun melompat turun. Sari, meskipun hanya dikecup sekilas, sukmanya terasa melayang. Oh, Gusti.... pemuda yang dicintainya itu mengecup pipi. Ah! Kalau saja Andika melihat perubahan wajahnya yang memerah, pasti akan mengolok-oloknya. Sari tidak mau membantah tadi, karena ingin dinilai penuh pengertian oleh Andika. Andika kini sudah melenting tiga kali, lalu hinggap di depan kelima anggota Panca Giri yang seketika menghentikan langkah.
"Bangsat! Siapa kau, Anak Muda?" bentak Ki Samundang, menggeram.
"Pendekar Slebor!"
Bukannya Andika yang menjawab, justru Ki Danang Gumilar yang berseru. Andika hanya nyengir.
"Maaf, kalau kemunculanku ini mengganggu kalian semua," ucap Pendekar Slebor.
"Kau sudah mengganggu. Lebih baik, menyingkir!" dengus Ki Samundang sambil melangkah satu tindak, tetapi dihalangi tangan Ki Lingkih Manuk.
"Pemarah!" dengus Andika.
"Terus terang, kehebatan Lima Partai Gunung sudah lama kudengar. Sekaligus para tokohnya. Sebenarnya, aku sangat menyayangi, bila kalian yang berada dalam tubuh Lima Partai Gunung harus menumpahkan darah sesama orang sendiri, hanya garagara bokor emas yang berisi Air Swargaloka! Maaf, aku mengetahui hal itu dari lima orang yang berpakaian merah, yang kulihat berada dalam rombonganmu tadi, Ki Samundang!" Kening Ki Samundang berkerut.
"Mengapa mereka memberitahumu, hah"! Pendekar Slebor..., namamu sudah lama kudengar. Tetapi rupanya selama ini aku salah menafsirkan tentang dirimu. Hm..., ternyata kau terlalu banyak ikut campur dalam urusan orang lain!" sindir Ki Samundang.
"Aku tidak mendengar dari mulut mereka, Ki Samundang. Maaf jika kukatakan, kalau kelima muridmu itu tiga hari yang lalu datang ke sini."
"Mau apa mereka?"
"Baiklah. Nampaknya tak ada yang perlu dirahasiakan lagi. Kelima muridmu itu melakukan sebuah tindakan keji, dengan cara menaburkan cairan racun warna merah yang sangat mematikan di empat tempat. Tempat untukmu tidak, Ki Samundang. Dan gara-gara mereka, seorang temanku hampir saja tewas."
"Tidak mungkin!"
"Kau bisa memanggilnya nanti, Ki! Dan satu lagi, aku mengetahui tentang pertarungan yang akan kalian lakukan dari Sepasang Kelabang Berbisa...."
Terdengar beberapa desisan. Tetapi, Andika tidak mempedulikannya.
"Mereka ingin mempergunakan kesempatan untuk mencuri bokor emas itu, selagi kalian bertarung. Rupanya, mereka adalah Sepasang Kelabang Berbisa musuh bebuyutan kahan. Dan syukurnya, aku bisa menghentikan perbuatan busuk mereka dengan berhasil membunuh Jinar. Sementara, Nyi Sukesih meninggalkan tempat ini dengan penuh dendam terhadapku! Dari dua kelompok orang itulah aku mendengar tentang pertarungan kalian!"
"Dusta! Tidak pernah kuperintahkan lima muridku untuk berbuat curang!" bentak Ki Samundang.
"Aku pun yakin kau tidak tahu hal itu. Karena salah seorang muridmu mengatakan, kau tidak mengetahui perbuatan mereka. Yang jelas, mereka berbuat keji agar kau senang. Dan mereka ingin melihat kau berhasil mendapatkan bokor emas yang berisi Air Swargaloka," papar Andika.
Wajah Ki Samundang memerah.
"Siapa mereka?"
"Aku bisa mengenalinya! Tunggu di sini!"
Pendekar Slebor seketika berkelebat. Dan sebentar saja dia sudah kembali lagi bersama Linggar dan empat orang berpakaian merah lainnya.
"Ki Samundang! Silakan tanyakan mereka."
"Baik! Kalau memang benar apa yang kau katakan, mereka harus mati sekarang juga! Tetapi bila yang kau katakan dusta, kau yang akan kubunuh, Pendekar Slebor!" ancam Ki Samundang.
"Aku masih berada di sini," sahut Andika tenang.
Lalu dengan geram Ki Samundang menanyai Linggar dan keempat muridnya yang lain.
Sudah tentu wajah mereka pucat. Tetapi Linggar berusaha menyangkal.
"Tidak, Ketua.... Kami tidak berani melakukan perbuatan hina itu tanpa perintah Ketua!"
"Kurang ajar! Aku tidak akan pernah memerintahkan kalian melakukan perbuatan busuk itu!"
"Kami tidak pernah melakukannya, Ketua! Anak muda itu saja yang mengada-ada!"
"Baiklah....Untuk membuktikan kebenaran itu, aku akan melemparkan sebatang ranting di salah satu tempat ini, yang tentunya telah diberi cairan racun berwarna merah yang mematikan," sahut Andika, kalem.
Andika memungut sebatang ranting di dekatnya. Dan belum lagi tegak, Linggar sudah meluruk penuh kemarahan. Sepasang cakra yang sudah berada dalam genggamannya langsung dikelebatkan.
"Pemuda keparat! Kau menghancurkan rencanaku!"
Seruan itu sudah cukup bagi Ki Samundang untuk mempercayai kata-kata Andika. Tangannya seketika dijentikkan.
Seerrr! Crasss! "Aaa...!"
Serangkum angin kecil namun tajam Langsung melesat, menembus jantung Linggar yang kontan tersuruk ke depan. Melihat Linggar tewas. Seketika keempat orang lainnya meratap-ratap minta ampun di depan kaki Ki Samundang Tetapi laki-laki dingin yang telah dipermalukan akibat perbuatan murid-muridnya sendiri, tidak lagi memberi ampun. Tangannya berkelebat sekali. Maka empat tubuh langsung ambruk dengan leher hampir putus memancurkan darah.
"Itu upah kalian yang telah mempermalukan aku!" desis Ki Samundang, lalu menatap dingin pada Andika.
"Pendekar Slebor! Lebih baik kau angkat kaki saja dari sini!"
Andika hanya tersenyum. Sementara, Ki Danang Gumilar diam-diam gembira melihat kemunculan pendekar yang diharapkannya mampu menghentikan kemelut di tubuh Lima Partai Gunung. Tidak dipedulikannya sikap Ki Samundang yang menurunkan tangan telengas kepada lima muridnya. Karena bila kekejian itu terjadi di tubuh Partai Gunung, sudah tentu dia tak akan segan-segan menurunkan tangan telengas. Memang, murid-murid seperti itu hanya membuat
celaka saja.
"Aku telah berada di sini," kata Andika, menyahuti kata-kata Ki Samundang dengan tenang.
"Dan aku pun tidak menginginkan kalian yang berada dalam aliran lurus harus saling tempur. Sekarang, dengarkan pendapatku. Memang, aku terlalu lancang mencampuri urusan kalian...." Sejenak Pendekar Slebor menghentikan kata-katanya. Matanya beredar ke sekeliling.
"Kalian memang telah mendapatkan amanat dari Guru kalian, akan sebuah bokor emas yang berisi Air Swargaloka. Sialnya, kalian berlima sulit untuk memutuskan, siapa yang berhak meminum Air Swargaloka. Dan jalan yang dipakai adalah dengan bertarung, untuk membuktikan siapa yang paling tangguh. Dengan demikian pemenangnya berhak untuk meminum Air Swargaloka yang tentunya mengandung khasiat sangat tinggi" Lagi-lagi Andika menghentikan kata-katanya. Lagaknya seperti seorang guru di depan murid-muridnya.
"Sekarang, aku mempunyai satu pikiran menarik. Itu pun bila kalian memang tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah di sini, sesama Lima Partai Gunung, Ki Samundang! Sejak tadi aku tahu, kaulah yang paling menginginkan Air Swargaloka. Nah! Mengapa kalian berempat tidak merelakannya saja Air Swargaloka itu diminum Ki Samundang" Toh, dia masih saudara kalian juga" Kalian masih menemuinya. Dan lagi. Air Swargaloka diminum oleh orang yang berada dalam jalan lurus. Bukankah ini usul yang sangat baik? Namun dugaanku tentang amanat Guru kalian itu, karena kalian merasa tak ada yang berjodoh, maka akan bisa ditentukan dengan pertarungan untuk mencari orang yang paling tangguh." Semua terdiam. Namun dalam hati, mereka membenarkan juga usul Pendekar Slebor. Memang, kedatangan pendekar urakan ini sungguh mengejutkan. Terutama bagi Ki Danang Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa.
Sementara kening Ki Lingkih Manuk berkerut, sungguh tidak disangka kalau pendekar sakti yang banyak dibicarakan orang ternyata masih muda. Dan rupanya, sudah mengerti duduk masalahnya yang tengah dihadapi Lima Partai Gunung. Yang tak pernah disangka, ternyata murid-murid Ki Samundang telah melakukan suatu kegiatan keji, ingin membunuh mereka secara serempak. Namun, Ki Lingkih Manuk sangat yakin kalau itu bukanlah perintah Ki Samundang.
Meskipun berada pada titik panasnya, namun Ketua Partai Gunung Arjuno bukanlah orang pengecut. Bukan pula orang yang tergolong suka membokong. Sepasang Kelabang Berbisa" Ki Lingkih Manuk teringat bagaimana Lima Partai Gunung memukul lari Sepasang Kelabang Berbisa. Itu pun setelah mereka berlima mengeroyoknya. Kalaupun Pendekar Slebor mengatakan telah membunuh salah seorang dari Sepasang Kelabang Berbisa, bisa ditebak kesaktian pemuda ini memang sangat tinggi. Suasana sejenak hening.
"Benar!" kata Ki Danang Gumilar memecah keheningan.
"Benar sekali usul Pendekar Slebor! Maksudku, bila memang Ki Samundang menghendaki Air Swargaloka itu, silakan saja. Aku pribadi tidak begitu menginginkan, daripada harus melihat darah sesama kita. Begitulah keputusanku setelah mendengar usul Pendekar Slebor. Lagi pula, aku bisa mengerti kelanjutan dari kata-katanya. Kalau tidak ada yang berjodoh, berarti bokor emas itu memang harus dibuang. Seperti usul Ki Lingkih Manuk, yang sebenarnya telah kita pecahkan pertama kita bertemu."
Mendengar kata-kata Ki Danang Gumilar yang pelan namun sangat pedas di telinga, membuat wajah Ki Samundang memerah. Ki Samundang menggeram. Kejengkelan pertamanya, adalah karena kehadiran Pendekar Slebor. Kedua, malunya karena perbuatan lima muridnya. Ketiga, justru secara tidak langsung
Pendekar Slebor memojokkannya. Keempat, Ki Danang Gumilar telah membuat telinganya memerah.
"Ki Danang Gumilar! Kau berhasil membuatku malu!" desis Ki Samundang.
Ki Danang Gumdar menyadari kesalahan bicaranya.
"Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya mengatakan, kalau tidak begitu menginginkannya. Bukankah amanat Guru, salah seorang di antara kita yang berjodoh berhak meminumnya. Nah! Aku pribadi justru menghendaki, kalau kaulah yang berjodoh untuk meminum Air Swargaloka. Apa yang dikatakan Pendekar Slebor memang benar. Juga tentang bokor emas yang seharusnya dibuang saja. Apalagi kita terlalu sulit untuk menentukan, siapa yang berjodoh dengan bokor emas itu. Sehingga, tidak akan terjadi pertumpahan darah di antara kita.
Sekali lagi kukatakan, kau memang berhak meminum Air Swargaloka itu, Ki Samundang."
Harga diri yang sudah tersinggung itu tak mampu lagi membendung amarah Ki Samundang.
Tiba-tiba saja telunjuknya menjentik ke arah Ki Danang Gumilar.
Werrr...! Sebuah angin yang meluncur seperti jarum menderu ke arah Ki Danang Gumilar. Namun laki-laki ini mampu melihat. Dibalasnya serangan
itu dengan menjentikkan tangannya.
Wesss...! Darrr! Pertemuan dua angin yang dilakukan hanya dengan satu jentikan tangan menimbulkan suara bagai balon pecah. Andika berdecak kagum dalam hati.
"Hebat! Suatu pameran tenaga dalam menakjubkan!" desis Pendekar Slebor dalam hati.
"Tunggu!" seru Ki Gumilar seraya mengangkat tangannya.
"Pertarungan di antara kita belum dilakukan. Tetapi, mendengar usul dari Pendekar Slebor, kupikir merupakan usulan yang sangat baik. Dengan begitu, kita tidak akan meneruskan pertarungan ini! Aku pribadi, setuju dengan usulnya! Apalagi, seperti yang dikatakannya, kalau Sepasang Kelabang Berbisa telah datang untuk memukul kita dari belakang. Memang, aku pun telah kedatangan tamu yang tak kalah dahsyat dan mendendam kepadaku. Mereka adalah Tiga Duri Setan yang juga berniat memiliki bokor emas yang berisi Air Swargaloka itu. Sekali lagi kukatakan, aku setuju dengan usul Pendekar Slebor. Bagaimana dengan kalian, Ki Lingkih Manuk dan Ki Redamo Rusa?"
Ki Lingkih Manuk dan Ki Redamo Rusa saling berpandang, lalu sama-sama menganggukkan kepala. Ki Lingkih Manuk tertawa.
"Ha ha ha.... Rupanya penyelesaian ini sangat mudah! Memang, kehadiran Pendekar Slebor tidak diundang. Namun, otaknya yang encer hanya dalam sesaat saja bisa memecahkan ketegangan di antara kita. Sementara, kita selama tiga bulan berada dalam kegelisahan."
"Tidak!" sergah Ki Samundang geram.
Mata Ketua Partai Gunung Arjuno itu menatap tajam pada Pendekar Slebor. Secara tidak langsung, dia dibuat malu oleh pemuda berbaju hijau pupus yang mendadak saja muncul.
"Ki Lingkih Manuk! Usul itu dikeluarkan oleh orang yang berdiri di luar Lima Partai Gunung. Sehingga, nampaknya tidak sah. Jadi menurut hematku, aku menolak pemberian Air Swargaloka itu secara cuma-cuma. Aku tetap menginginkan pertarungan terjadi Karena, aku menilai amanat dari Guru, kalau yang paling tangguh di antara kitalah yang berhak mendapatkan Air Swargaloka. Pendekar Slebor...! Sekali lagi kukatakan, jangan memancing di air keruh!
Aku tahu, kau sebenarnya yang menginginkan Air Swargaloka itu. Hhh! Lebih baik menyingkir dari sini, sebelum nama besarmu hari ini akan runtuh
di tangan Partai Gunung Arjuno!"
Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepala. Diam-diam bisa ditebak maksud Ki Samundang. Memang secara sekilas tidak terlalu kentara, karena ditekankan pada Ki Panca Giri. Padahal bila dilihat dari sisi lain, semua itu terjadi karena kesombongan Ki Samundang saja.



## 10 ##

Andika terkekeh-kekeh.
"Memang kuakui, apa yang kau katakan itu benar, Ki. Bila kalian tidak setuju dengan pendapatku yang terakhir, kalau kalian merasa tak seorang pun yang berjodoh, lebih baik bokor emas itu dibuang saja. Tetapi, pendapatku yang pertama, secara tidak langsung sudah disepakati.
Maksudku, empat orang di antara kalian sudah setuju, hanya kau seorang saja. Tetapi satu dibanding empat, sudah tentu menang empat. Dalam hal ini, keputusan sudah dicapai. Kalau yang berhak untuk menerima dan meminum Air Swargaloka itu."
Ki Samundang menyipitkan matanya. Berbahaya. Hatinya benar-benar tersinggung oleh perlakuan Andika. Yang terutama lagi ia telah dibuat malu.
Tiba-tiba saja Ki Samundang meluncur dahsyat ke arah Andika.
"Kau memang mencari penyakit Pendekar Slebor!" Gebrakan cepat dan mengandung tenaga dalam tinggi dari Ki Samundang, meleset dari sasaran, karena Pendekar Slebor dengan sigap memiringkan tubuhnya ke kiri. Sementara tangan kanannya bergerak menyerang balik.
Ki Samundang terkejut melihat serangan balik Pendekar Slebor yang sangat cepat itu. Seketika tubuhnya dikempos ke belakang. Begitu menjejak tanah, cepat tubuhnya meluruk ke depan diiringi teriakan cukup keras.
Andika diam-diam bisa merasakan kegeraman Ki Samundang. Karena bila melihat serangan yang penuh tenaga dan mematikan itu, bisa jadi Ki Samundang memang ingin merampas nyawanya. Sudah tentu Andika tidak menginginkannya. Pendekar Slebor pun segera menggebrak tak kalah cepat. Pertarungan yang terjadi itu kini hanya kelihatan bagaikan dua bayangan yang berkelebat, karena saking cepatnya. Dan sekalisekali terdengar teriakan keras.
Ki Lingkih Manuk diam-diam mengagumi kesaktian Pendekar Slebor. Karena dia tahu, jurus Ki Samundang adalah "Sepasang Cakra Mencecar Jantung'. Kedua tangannya bagaikan cakra yang berputar cepat, menyambar bagaikan seekor elang mengintai anak ayam. Namun yang dihadapi Ki Samundang adalah Pendekar Slebor yang sangat kesohor kesaktiannya. Pendekar urakan ini bukan hanya bisa mengimbangi serangan Ki Samundang saja. Bahkan mampu mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyat.
Akan tetapi, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Tiba-tiba saja, Ki Lingkih Manuk meluruk deras masuk dalam pertarungan itu. Ajian 'Pedang Kilat' telah terangkum di tangannya. Sementara sasaran yang ditujunya adalah Andika. Andika terkejut ketika merasakan angin keras menderu ke arahnya. Dengan cepat tubuhnya dikempos ke samping. Maka serangan Ki Lingkih Manuk pun luput.
"Busyet!" dengus Pendekar Slebor dalam hati.
"Kenapa dia justru menyerangku"
Tadi sepertinya usulku disetujui" Apakah ada yang salah sekarang?"
Dan bukan hanya itu saja yang mengejutkan Andika. Karena tiba-tiba saja Ki Danang Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa menerjunkan diri dalam pertarungan. Sasaran mereka adalah Andika!
"Hei! Kenapa jadi begini?" seru Pendekar Slebor pontang-panting menghindari setiap serangan.
Ki Samundang saja tidak mengerti, mengapa saudara-saudaranya yang lain justru menyerang Pendekar Slebor. Namun kesempatan itu dipergunakan untuk mencecarnya.
"Kutu loncat! Monyet belang! Kenapa jadi begini, sih"!" dengus Andika sambil berjumpalitan menghindari setiap serangan.
Yang membuat Pendekar Slebor semakin terkejut ketika menyadari kalau kelima lawannya telah mempergunakan ajian pamungkas masingmasing. Ki Danang Gumilar sendiri telah menggunakan ajian 'Tombak Maut'. Sedangkan Ki Kalungkung merangkum ajian 'Golok Dewa'. Sementara Ki Redamo Rusa menggunakan ajian 'Parang Membelah Bumi'. Belum lagi ajian 'Pedang Kilat' yang dipergunakan oleh Ki Lingkih Manuk, dan ajian 'Sepasang Cakra Mencecar Jantung'.
Lengkaplah kesulitan Pendekar Slebor sekarang ini. Ia mendengus dalam hati, ketika menyadari kalau bantuannya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri.
"Brengsek. Kalau tahu begini, biar saja kalian saling bertempur!" rutuk Andika sambil melompat ke belakang, bermaksud menghindari pertarungan. Namun Ki Lingkih Manuk sudah kembali meluruk cepat.
"Kau sudah masuk kalangan, dan mencampuri urusan kami. Berarti, kau harus menghadapi kami berlima. Lima Partai Gunung!" kata Ki Lingkih Manuk keras.
Kini mau tak mau Andika mulai menggunakan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh. Kare-na yang dihadapinya adalah jago-jago yang namanya sudah menjulang puncak ketenaran. Jagojago yang memang patut diperhitungkan. Dengan mempergunakan kecepatannya, Andika mencoba meladeni serangan yang datang sekaligus. Tiba-tiba saja, dengan keberanian luar biasa, tubuhnya meluruk ke arah lima serangan yang datang secara serempak. Tetapi, sebelum tenaganya beradu dengan lima ajian maut yang dipergunakan Lima Partai Gunung, tubuhnya digulingkan ke samping. Kakinya diangkat dengan satu sentakan kuat ke arah Ki Redamo Rusa.
Ki Redamo Rusa langsung melompat menghindar. Namun dengan gerakan sangat cepat, Pendekar Slebor cepat melepaskan pukulan telak ke dada Ketua Partai Gunung Slamet itu.
Dan.... Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Ki Redamo Rusa terguling. Dia cepat bangkit, tapi tidak untuk menyerang. Segera diambilnya sikap bersemadi, ketika merasakan hawa panas mengalir di tubuhnya.
"Hebat!" puji Ki Lingkih Manuk.
"Tetapi jangan bangga dulu. Masih ada empat orang lagi yang harus kau hadapi, Pendekar Slebor!"
"Hei. hei! Hentikan dong, serangan ini!" pinta Andika seperti anak kecil. Dia tahu, kalau sedikit saja lengah, maka nyawanya akan lewat.
"Aku kan hanya usul! Kalau tidak mau terima, ya sudah!"
Sementara itu, Sari yang melihat pertarungan dari tempat persembunyiannya jadi berdebar-debar cemas. Inikah yang dimaksud Andika kalau siasatnya cemerlang untuk mengatasi kemelut ditubuh Lima Partai Gunung?
Ingin sekali Sari membantu pemuda pujaannya. Tetapi, dia mencoba untuk belajar menuruti kata-kata Andika. Dia ingin menjadi gadis lembut di mata Andika. Makanya, hanya diperhatikannya saja jalannya pertarungan dengan dada semakin berdebar.
Andika sendiri kini sudah melepas kain pusakanya yang bercorak catur. Dengan bantuan kain pusaka yang dijadikan senjata, dia bisa menjaga jarak dari setiap serangan. Bahkan ketika melihat Ki Danang Gumilar melesat ke atas. dengan cepat Andika membuang tubuhnya sambil menyentakkan kain pusakanya ke kaki.
Ctarrr...! "Aaakh...!"
Ki Danang Gumilar terpekik. Dan baru saja mendarat di tanah, dia harus menerima pukulan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh milik Andika yang telah berkelebat kembali. Seperti yang dilakukan Ki Redamo Rusa, Ki Danang Gumilar pun segera bersemadi.
Kini tinggal tiga orang lawan yang harus dihadapi Andika. Namun, bagi Andika semua itu sama sulitnya. Apalagi ketika dirasakannya angin menderu ke arah tangannya yang datang dari serangan Ki Lingkih Manuk. Dengan cepat tubuhnya dimiringkan. Tetapi ajian 'Pedang Kilat' yang dilakukan Ki Lingkih Manuk lebih cepat datangnya.
Dan.... Diegkh...! "Aaakh...!"
Pendekar Slebor terpekik, tersambar tangan Ki Lingkih Manuk yang bagaikan pedang. Darah segera mengalir bersamaan dengan kemarahan Andika yang mulai memuncak. Tiba-tiba saja Pendekar Slebor menerjang membabi buta sambil mengecutkan kain pusakanya ke sana kemari. Bukan hanya itu saja yang dilakukan.
Secepat kilat tubuhnya berkelebat ke arah Ki Kalungkung sambil mengecutkan kain pusakanya.
Ctarrr...! "Aaakh...!"
Ki Kalungkung harus tersuruk ke belakang, ketika tangannya tersambar kain pusaka milik Andika. Belum lagi dia bisa berbuat sesuatu, sebuah tendangan mampir di dadanya.
Desss...! "Aaakh...!"
Kini tinggal dua orang yang dihadapi Andika. Yang sangat berbahaya adalah serangan Ki Samundang yang tetap bernafsu ingin menjatuhkannya. Bahkan sekaligus membunuhnya. Tetapi serangan Ki Lingkih Manuk pun tak kalah berbahayanya.
"Edan! Aku bisa mampus juga nih! Sari..., kau bisa jadi janda!" seloroh Pendekar Slebor sambil melenting ke belakang.
Dan begitu hinggap di tanah, kain pusaka Andika sudah disampirkan kembali ke bahunya. Lalu ajiannya yang sangat dibanggakan dibuka 'Guntur Selaksa'.
"Maaf. Terpaksa aku harus mempergunakan ajianku ini. Karena, kalian adalah orang tua yang keras kepala!" ucap Andika.
"Persetan dengan ucapanmu itu. Pendekar Slebor!" seru Ki Samundang.
"Kau melihat sendiri, bukan" Ternyata saudara-saudaraku pun tidak suka kau ikut campur dalam urusan ini!"
"Aku kan hanya usul! Usul!" seru Andika ngotot.
"Kalau kalian tidak mau terima, ya sudah! Tidak usah marah-marah seperti ini! Dasar, sudah pada pikun semuanya!"
Sementara Ki Lingkih Manuk menghela napas diam-diam. Dia menyerang Andika bukanlah sesuai alasan yang dikatakan Ki Samundang.
Dia mempunyai pikiran lain. Maka tiba-tiba saja tubuhnya meluruk kencang.
"Kita lihat sekarang, siapa yang paling hebat, Pendekar Slebor"!"
"Boleh, boleh!" sahut Andika.
"Tetapi..., maafkan aku!"
Bersamaan dengan itu, Andika pun melesat ke arah Ki Lingkih Manuk yang sudah meluruk maju. Dan.....
Blarrr...! Dua buah ajian sakti berbenturan, menimbulkan suara cukup keras. Sosok Ki Lingkih Manuk terlempar ke belakang disertai muntahan darah. Sementara Andika, meskipun hanya terjajar ke belakang dua tindak, tetapi dadanya terasa sangat nyeri. Dan selagi menahan rasa sakit itu, Ki Samundang segera menyerangnya dengan cepat.
"Kini kau mampus. Pendekar Slebor!"
Naluri Andika yang terlatih segera menangkap bahaya yang mematikan. Seketika kedua kakinya dihentakkan ke tanah, seolah hendak menancapkannya dalam-dalam. Namun, tanah yang dipijaknya tidak jeblos.
Begitu serangan Ki Samundang tiba, mendadak saja dengan gerakan aneh sekaligus menakjubkan, tubuh Andika meluncur ke atas secara berputar. Serangan Ki Samundang luput. Dan orangnya berada di bawah tubuh Andika.
Secepat kilat Andika meluruk ke arah Ki Samundang yang tak bisa menghindar lagi. Lalu.... Des! Buk! Ajian 'Guntur Selaksa' telak sekali mampir di punggung Ki Samundang, disusul satu tendangan berputar yang dilakukan Andika. Tubuh itu pun tersuruk ke depan.
Sementara Andika berdiri dengan tegar. Namun dadanya sangat nyeri sekali. Bahkan diyakini, dalam dua gebrakan lagi, dia bisa mampus. Sedangkan Sari, diam-diam menghela napas lega. Dia memang tak pernah menyangsikan kehebatan Pendekar Slebor. Akan tetapi, ia tahu kalau Andika terluka dalam.
Apalagi ketika Ki Samundang tampak bangkit dan bermaksud menyerang kembali. Sari sudah berniat turun membantu. Tetapi niatnya diurungkan ketika dilihatnya Ki Lingkih Manuk mengangkat tangannya.
"Tahaaannn!"
Ki Samundang menghentikan gerakan, berdiri dengan tubuh gemetar. Kening Andika berkerut. Tidak mengerti, mengapa Ki Lingkih Manuk menyuruh Ki Samundang menghentikan serangan.
"Saudara-saudaraku.... Pertarungan di antara kita telah selesai...," lanjut Ki Lingkih Manuk.
Andika melongo. Apa maksudnya"
"Dengarkan kata-kataku sekarang. Kedatangan Pendekar Slebor memang sangat menentukan dari pertarungan di antara kita yang sebentar lagi dilakukan. Tetapi, justru Pendekar Slebor yang menjadi sasaran. Menurut amanat Guru, yang berjodohlah yang berhak meminum Air Swargaloka. Paling tidak, kita mengartikannya yang paling tangguhlah yang berhak meminum Air Swargaloka. Tetapi kini, kita semua harus mengakui ketangguhan Pendekar Slebor. Bukan
berarti dia yang berhak meminum Air Swargaloka. Tidak. Karena itu, berarti mengkhianati amanat Guru." Semua terdiam.
"Tetapi, dengarkan sekali lagi. Bila kita sepakat memecahkan amanat Guru dengan mengartikan siapa yang paling tangguh, berarti kita sudah melakukannya. Tetapi kenyataannya, kita semua tak ada yang lebih tangguh. Buktinya dapat dipecundangi Pendekar Slebor, yang terpaksa hari ini dijadikan sebagai tumbal! Kita jadikan sebagai lawan kita! Dengan ketentuan, yang bisa menjatuhkannya, maka dialah yang berhak meminum Air Swargaloka...."
Semua masih terdiam.
Andika kini mengerti, apa maksud Ki Lingkih Manuk menyerangnya. Dia juga melihat Ki Danang Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa menganggukkan kepala. Rupanya mereka menyetujui usul Ki Lingkih Manuk, meskipun terpaksa menjadikan Andika sebagai lawan tanding.
"Brengsek!" maki Andika kemudian.
"Kalau memang kenyataannya seperti itu, kenapa tidak bilang dari tadi"!"
Ki Lingkih Manuk tersenyum.
"Pendekar muda yang sakti, maafkan sikap kami yang menyerangmu. Kami akui, kami masih kalah jauh dibandingkan kesaktianmu. Bila tadi niatan kami menyerangmu dijelaskan, sudah tentu kau tidak akan menyambutnya dengan sungguh-sungguh. Padahal, yang tahu hal itu hanyalah aku seorang. Dan kau lihat sendiri, bukan"
Aku tidak main-main menyerangmu! Ki Samundang..., bagaimana sekarang?"
Ki Samundang menunduk. Dia malu sekali dengan sikap lancangnya selama ini. Memang, apa yang dikatakan Ki Lingkih Manuk dapat diterimanya. Rupanya di antara mereka tak ada yang paling tangguh. Buktinya tak ada yang berhasil menjatuhkan Pendekar Slebor. Ki Samundang mengangkat wajahnya. Dihelanya napas seraya menatap Ki Lingkih Manuk.
"Aku setuju dengan kata-katamu itu, Ki Lingkih Manuk. Kau benar. Dengan begitu, kita pun tak menyalahi amanat Guru," ucap Ki Samundang.
"Ha ha ha.... Kemelut di tubuh Lima Partai Gunung rupanya sudah berakhir sekarang ini," desah Ki Lingkih Manuk gembira, seraya menoleh pada Andika, "Pendekar Slebor..., terima kasih atas bantuanmu."
"Terima kasih, terima kasih! Enak saja kalian sudah membikin jantungku hampir copot!" seru Andika melotot
Kelima Ketua Partai Gunung terbahak-bahak. Rupanya ikatan batin dan tali persaudaraan di antara mereka masih erat mengikat. Terbukti sikap mereka seperti tak pernah punya masalah. Terutama, Ki Samundang. Dia kini menyadari sikapnya yang terlalu mau menang sendiri. Dia disadarkan seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda darinya. Seharusnya, di usianya yang mulai memasuki masa senja ini, dia harus banyak berpikir dan merenung.
"Sudah, sudah! " seru Andika ketika kelima orang itu masih terbahak-bahak.
"Kalau begitu, mau diapakan bokor emas yang berada di pinggangmu itu, Ki Lingkih Manuk" Jangan-jangan, hendak kau bawa ke tukang loak?"
Ki Lingkih Manuk tertawa. Diambilnya bokor emas itu.
"Karena tak ada yang berhak untuk meminumnya, juga tidak ada yang menyalahi amanat Guru, lebih baik bokor emas ini dibuang saja! Dan lebih penting, jangan sampai terjatuh ke tangan orang-orang golongan sesat."
Sehabis berkata begitu, dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, Ki Lingkih Manuk melemparkan bokor emas itu ke puncak kawah Gunung Merbabu. Di puncaknya lubang kawah menganga siap menelan bulat-bulat.
"Kini, Lima Partai Gunung bersatu kembali!" seru Ki Lingkih Manuk.
"Pendekar Slebor...! Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu. Kau memang seorang pendekar kesohor dan dianggap sebagai orang nomor satu di rimba persilatan ini!
Kalau bukan kau yang kami jadikan lawan tadi, tak mungkin semua setuju dengan kata-kataku!"
Lalu satu persatu meninggalkan tempat itu. Sedangkan Ki Danang Gumilar menghampiri Andika.
"Sebelumnya, aku pun ingin meminta bantuanmu, Andika. Tetapi rupanya, Gusti Allah telah menuntunmu ke sini," kata Ki Danang Gumilar, terus terang.
Andika tersenyum.
"Itulah sebabnya, kita harus percaya pada Yang Maha Kuasa."
Ki Danang Gumilar menepuk-nepuk bahu Andika.
"Aku percaya, suatu saat nanti kau akan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini bila kau memang menginginkannya," lanjut Ketua Partai Gunung Semeru.
"Aku tidak pernah memimpikan soal itu, Ki. Membantu orang lain dalam kesusahan saja, aku sudah suka," sahut Andika kalem.
Lalu perlahan-lahan rombongan itu pun meninggalkan lereng Gunung Merbabu. Kalau tadi di wajah mereka terlihat ketegangan, kali ini tampak ceria oleh napas persaudaraan yang berhembus kembali. Sari segera melompat turun dan berlari menemui Andika.
"Kau tidak apa-apa, Kang Andika" Tidak apa-apa?" sambut Sari dengan wajah dan suara cemas. Andika melotot.
"Enak saja ngomong! Dadaku sakit, tahu"!" rutuk Pendekar Slebor, tak sungguh-sungguh.
"Oh! Yang mana, Kang" Bagian mana?" tanya gadis itu, cemas.
"Ma.... Mau kupijit, Kang?" Tetapi sesaat kemudian, gadis itu segera menundukkan kepala.
Andika tersenyum, lalu perlahan-lahan menaikkan dagu Sari. Sehingga, mata yang jernih itu menatapnya. Tampak wajah Sari yang tersipu bercampur cemas, memancar di sana. Sungguh! Baru kali ini Andika melihat mata yang teduh yang membuatnya tenang. Sejenak batin pemuda itu teraduk-aduk.
"Tidak usah. Terima kasih atas penawaranmu," ucap Pendekar Slebor.
"Aku..., ah! Aku...."
Gadis itu bingung sekali untuk mengungkapkan isi hatinya. Andika tersenyum.
"Sari... Kau adalah gadis cantik, berani, dan lincah. Aku suka sekali bertemu denganmu. Tetapi nampaknya, aku harus melanjutkan perjalananku."
"Oh!" Gadis itu terhenyak
"Kenapa, Sari?" tanya Andika.
"Kau mau ke mana, Kang Andika?" Gadis itu tidak bisa lagi menyembunyikan rasa kasih sayangnya.
"Ke mana kakiku melangkah, ke sanalah aku pergi. Karena, atap rumahku langit yang luas membentang. Lantai rumahku, bumi yang sangat luas."
"Tetapi, Kang...."
"Tidak ada tetapi. Sari. Aku harus melanjutkan perjalananku kembali."
Sari mendesah pendek.
"Bolehkah aku turut serta denganmu?" tanya Sari, penuh harap.
Andika menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Sari..., kau adalah seorang gadis perkasa. Kau masih muda. Tidak ada gunanya mengikuti aku. Karena dalam perjalananku ini, dalam setiap kakiku melangkah, mata-mata beracun akan selalu mengintai," tolak Andika, halus.
"Aku mampu menjaga diriku, Kang. Kau tidak usah cemas," tukas gadis itu meyakinkan Andika. Besar sekali keinginannya untuk mengikuti Andika.
"Seperti yang kukatakan tadi, kau gadis yang perkasa Sari. Tetapi, aku ingin melanjutkan perjalananku seorang diri."
"Tetapi, Kang,..."
"Tahanlah keinginanmu itu, Adikku. Bila Yang Maha Kuasa mengizinkan..., pasti kita akan bertemu kembali."
Wuuusss! Seketika tubuh Pendekar Slebor melesat. Sebentar saja dia sudah jauh dari pandangan.
"Jangan tinggalkan aku. Kang Andikaaa!" teriak Sari.
"Jaga dirimu baik-baik, Sari!" balas Andika keras "Oya, terima kasih kau mau kukecup waktu itu! Pipimu mulus sekali..., ha ha ha...!"
Tanpa terasa dua titik air bening muncul di sudut mata Sari. Dan tanpa sadar tangannya membelai-belai pipinya yang dicuri kecup Andika. Tiba-tiba satu sosok yang sangat dikenali Sari mendekat. Langsung didekapnya dengan erat.
"Oh, Belang.... Dia menganggapku sebagai adiknya. Dia jahat, Belang. Jahat...!"
Bagaikan mengerti apa yang merisaukan majikannya, si Belang menjilat-jilat wajah Sari. Seolah dia berusaha untuk menenangkannya. Sari mengangkat kepala.
"Ya! Kau benar, Belang. Aku tidak boleh bersedih, Aku masih memilikimu. Seperti yang dikatakan Kang Andika tadi. Kalau Yang Maha Kuasa mempertemukan kembali aku dengannya, pasti akan bertemu. Tetapi mungkinkan aku?"
Lalu perlahan-lahan gadis itu berdiri. Dinaikinya punggung si Belang.
"Kita pulang, Belang!"

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Dagelan Setan --oo0oo-- Geisha


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers