Life is journey not a destinantion ...

Neraka Di Keraton Barat

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Raja Akherat --oo0oo-- Manusia Pemuja Bulan



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: NERAKA DI KERATON BARAT

% [1] %

Malam semakin membentang. Suasana begitu sunyi mencekam. Rembulan di angkasa tak mampu menghalangi timbunan awan hitam yang seperti enggan berpindah tempat. Sementara sebuah bangunan di bawah sinar rembulan yang tipis, kelihatan sunyi senyap. Bau anyir darah tercium. Suara burung gagak yang mengerikan berkaok-kaok, memecah keheningan malam.
Bangunan itu adalah Keraton Kerajaan Pakuan yang kini semakin porak poranda saja. Sementara mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman keraton, bertumpuk tanpa dipedulikan. Rata-rata mereka berpakaian prajurit. Namun dilihat dari seragamnya, mereka memang para prajurit Kerajaan Labuan yang membantu Kerajaan Pakuan, yang saat ini dikuasai Tidar alias Raja Akherat.
Kekejaman Tidar memang sangat mengerikan, iImunya pun sangat dahsyat. Di antara yang mati terlihat tiga sosok tubuh berpakaian putih, dan dua sosok tubuh berpakaian warna hitam. Kelimanya adalah prajurit-prajurit Kerajaan Labuan yang mencoba menyerang Raja Akherat. Namun, akhirnya harus menerima ajal secara mengenaskan. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Raja Akherat").
Sementara saat ini, Sari yang ikut dalam penyerbuan ke Keraton Pakuan masih dalam keadaan pingsan setelah bertarung melawan Raja
Akherat. Gadis ini kini terbaring di kamar Prabu Adiwarman.
Pendekar Slebor yang bermaksud menyusup ke keraton itu, terpaksa harus menyusuri lorong bawah tanah dalam keadaan merangkak. Namun semakin jauh merangkak mulai disadari, kalau saat ini ia tersesat. Setiap Andika mencari jalan tembus, tak pernah ketemu. Bahkan Andika merasakan kalau sudah terlalu lama berada di dalam lorong rahasia ini.
Itu sebabnya, waktu Senapati Monoseta menunggu-nunggu, Pendekar Slebor tak muncul-muncul.
"Kutu kupret! Mengapa lorong ini jadi panjang sekali?" gerutu Pendekar Slebor.
"Padahal menurut Prabu Adiwarman..., jaraknya tidak terlalu jauh. Tetapi, mengapa jadi begini?"
Andika menghentikan merangkaknya. Dan kini pinggangnya terasa pegal-pegal.
"Lebih baik aku kembali ke tempat semula. Barangkali saja aku memang tersesat...."
Lalu dengan susah payah sambil menekuk tubuhnya ke dinding tanah yang pengap, Andika berbalik ke jalan yang dilaluinya tadi. Dan kembali dia harus merangkak. Tetapi lagi-lagi kening Pendekar Slebor harus berkerut. Karena justru dia merangkak bukan melalui jalan semula yang dilalui.
"Kambing congek! Kenapa jadi begini"! Apa dikiranya aku ular tanah"!" rutuk Pendekar Slebor.
"Apakah Prabu Adiwarman membohongiku" Kalau benar membohongiku, aku bersumpah akan kusunat lagi dia!"
Dengan tekad bulat, Andika meneruskan rangkakannya. Tetapi sekian lama merangkak, tidak juga menemukan tempatnya tadi.
Tubuhnya sudah pegal bukan main. Rasanya linu sekali. Sebentar ia menghentikan rangkakannya, lalu duduk dengan cara menekuk kedua kakinya.
"Ke mana lagi jalan yang harus kutempuh?" gumam Pendekar Slebor,
"Aku tidak ingin mati konyol di sini...."
Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat sesuatu, tiba-tiba saja matanya melihat sinar dari ujung sana. Maka cepat dia merangkak mendekati sinar itu.
"Heran"! Mengapa sejak tadi aku tidak melihat sinar ini, ya?" kata Andika sambil memperhatikan sinar itu yang menerobos dari sebuah lubang kecil.
Begitu sampai Andika cepat menggaruk lubang sebesar kepingan uang logam tempat sinar masuk. Beberapa tanah berguguran. Dan semakin lama menggaruk tanah, terlihatlah sebuah lubang yang cukup besar.
Udara segar langsung menyergap indera pernapasan Pendekar Slebor. Andika bisa bernapas lega sekarang. Tidak dipedulikan lagi di mana harus keluar. Yang penting pindah dari tempat ini.
Perlahan demi perlahan Andika menyusupkan kepalanya ke lubang yang telah dibuat. Matanya langsung beredar ke sekelilingnya. Alangkah terkejutnya Pendekar Slebor ketika mendapati dirinya berada di sebuah dataran tinggi, penuh pepohonan dan bukit-bukit! Cepat Andika menarik kepala sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Amit-amit! Kenapa aku berada di sini?" gumam Pendekar Slebor.
Lalu perlahan-lahan Andika kembali menongolkan kepalanya. Tetap suasana yang sama yang terpampang di matanya.
"Gila, berada di manakah aku ini?" tanya Pendekar Slebor dalam hati.
Lalu dengan sekali menghentakkan tubuhnya, Pendekar Slebor sudah keluar dari lorong rahasia yang pengap dan gelap!
Begitu bangkit berdiri, Andika celingukan. Matanya memperhatikan sekitarnya dengan kening berkerut.
Menurut perkiraan, seharusnya Pendekar Slebor berada di belakang keraton, tepat di istal kuda seperti yang dikatakan Prabu Adiwarman. Tetapi, mengapa berada di sini" Suasana sekelilingnya sunyi sekali. Bahkan Andika tidak mendengar suara binatang malam seperti biasanya yang banyak hidup di tempat seperti ini.
Rembulan di atas sana tak nampak, mungkin tertutup awan tebal.
Perlahan-lahan Andika melangkah menyusuri tempat itu. Gila! Semuanya semakin asing saja dirasakannya. Dan ini semakin membuat jantungnya berdebar-debar.
"Oh, Gusti.... Tempat apakah ini?" tanya Andika dalam hati dengan sikap bingung.
Tiba-tiba Pendekar Slebor teringat pada para prajurit Kerajaan Labuan yang tengah menyerang Raja Akherat. Apakah mereka berhasil mengalahkan-nya" Ataukah malah tewas semuanya" Andika pun teringat pada Sari, gadis penunggang harimau yang jelita berpakaian dari kulit harimau. Bagaimana keadaannya" Dan Andika tetap tidak mengerti, mengapa akhir dari lorong rahasia yang dikatakan Prabu
Adiwarman berakhir di sini"
Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat apa....
"Anak muda..., selamat datang di Alam Sunyi...."
Tiba-tiba terdengar suara bernada nyaring dan keras.
Andika celingukan memandang sekitarnya. Matanya tidak melihat siapa-siapa berada di sini, kecuali dirinya. Lalu, siapakah yang bersuara barusan"
"Hei, kau yang bersuara tadi!" teriak Andika lantang. Suaranya menggema ke lima penjuru.
"Kalau memang wajahmu tampan sepertiku, keluarlah! Kalau cuma pas-pasan, lebih baik sembunyi saja!"
Tak ada sahutan apa-apa. Andika menunggu sesaat. Namun tetap tak ada suara apa-apa. Hatinya pun menjadi penasaran.
"Apakah kau budek, hah"! Ataukah sebangsa siluman penghuni tempat ini yang kerjanya mengganggu orang saja?" teriak Pendekar Slebor.
"Ha... ha... ha...!"
Kali ini terdengar tawa yang berat, bernada geli.
"Kau memang telah lama ditunggu, Anak Muda. Seratus tahun aku menunggu kedatanganmu. Dan tak kusangka..., kau telah hadir di
sini...," sahut suara tanpa wujud itu.
"Menungguku seratus tahun lamanya?" seru Andika kaget.
"Kasihan sekali.... Apa tak punya pekerjaan lain, kecuali menungguku" He he he... Kalau begitu berapa tahun usiamu?"
"Kalau kau ingin tahu usiaku, kukatakan dengan jujur. Usiaku sekitar seratus tiga puluh tahun. Seratus tahun lamanya aku mendiami Alam Sunyi ini, tanpa tahu harus berbuat apa. Dan aku selalu berharap ada orang lain yang akan membawaku keluar dari sini...."
Andika sebenarnya jengkel, karena sejak tadi sosok yang bersuara itu tidak muncul juga. Kakinya melangkah, hendak pergi.
"Kalau kau tidak mau muncul juga, aku pergi saja dari sini! Lagi pula, aku toh tidak ada urusannya denganmu!" kata Pendekar Slebor, sok ketus.
"Ha ha ha...! Silakan, Anak Muda. Silakan. Seratus tahun lamanya aku mencari jalan keluar dari Alam Sunyi ini. Tetapi hingga kau datang, aku belum juga menemukan jalannya...," balas suara itu.
Andika tersentak kaget, dan langsung menghentikan langkahnya. Tangannya langsung menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Makanya, keluarlah!" teriak Pendekar Slebor.
"Jawab dulu pertanyaanku, maukah kau membawa ku keluar dari Alam Sunyi ini?"
"Enaknya! Aku sendiri belum mengenalmu!"
"Kau pasti akan mengenalku, bila mau berjanji akan membawaku keluar dari sini!"
"Aku saja bingung mengapa jalan rahasia yang..., Oh! Aku tahu sekarang!" seru Andika tiba-tiba.
"Rupanya kau keturunan manusia yang sengaja menjebak dan membuatku bingung dengan lorong rahasia itu!"
?"Ha... ha... ha...!"
Suara tanpa wujud itu terbahak-bahak lagi.
"Karena aku membutuhkan pertolonganmu."
"Siapa sudi menolong orang jahat sepertimu! Kalau kau tidak iseng, aku kan tidak berada di sini!" kata Andika sewot.
Apalagi bila Pendekar Slebor teringat akan nasib orang-orang segolongan dengannya yang menyerang Raja Akherat. Terutama, Sari. Semakin sewot saja dirinya.
"Cepat kau keluar dari sini! Biar aku bisa melihat tampang pas-pasanmu!" teriak Pendekar Slebor, lantang.
Tak ada suara apa-apa. Andika makin jengkel.
"Hei, Manusia Keturunan Lelembut! Cepat keluar!" teriak Andika.
"Ha... ha... ha...! Sebelum kau berjanji untuk membawaku keluar dari Alam Sunyi ini, aku tak akan memperlihatkan diriku! Ingat, Anak Muda.... Kau akan tersesat dan terpendam di Alam Sunyi ini beratus-ratus tahun lamanya!" sahut suara itu, bernada mengancam.
"Iya, iya! Aku akan membawamu keluar dari sini, meskipun aku tidak tahu harus lewat mana!" kata Andika, meskipun penasaran bercampur kesal.
"Bagus!"
"Kalau begitu, keluarlah!"
"Aku akan keluar. Tetapi jangan kau injak kakiku!"
Mendengar kata-kata itu, Andika terperanjat. Cepat kedua kakinya terangkat dengan melompat dua tindak. Ketika matanya melihat apa yang diinjaknya tadi tak ada tanda-tanda yang aneh. Jelas sekali kalau kakinya hanya menginjak tanah berumput yang basah belaka.
"Kau ini mau main-main denganku, ya?" kata Andika mendongkol.
"Tidak, akan kuperlihatkan wujudku!" sahut suara itu.
Mendadak saja tanah yang diinjak Andika tadi bergerak. Lalu, terlihatlah sebuah kepala yang perlahan-lahan bergerak naik. Kemudian terlihat badannya, lalu kakinya.... Dan kini sosok itu telah berdiri tegak. Sekujur tubuhnya ditutupi tanah. Andika sendiri sedikit terkejut melihatnya.
"Kau..., kau ini sebangsa siluman tanah rupanya...," kata Pendekar Slebor sambil memperhatikan sosok itu.
"Goblok! Namaku Eyang Sasongko Murti!" bentak sosok itu sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Perlahan-lahan nampaklah di mata Andika satu sosok tubuh yang sudah penuh keriput. Wajahnya sukar dipastikan, apakah tampan atau buruk. Jenggot putih yang banyak tumbuh di sekitar wajahnya, semakin sulit memastikan keadaan wajahnya. Yang terlihat hanyalah segaris cahaya yang keluar dari matanya yang menyipit Lalu tangan itu kembali mengusap seluruh tanah yang membaluri tubuhnya. Kini, terlihat kalau sosok aneh di depannya berpakaian hitam yang sudah compangcamping. Keriput di seluruh tubuhnya terutama di badannya, nampak sekali. Dan seperti sosok itu tak lebih dari mayat hidup belaka!
"Nah! Apakah kau sekarang yakin, kalau wajahku tampan?" kata orang aneh yang mengaku bernama Eyang Sasongko Murti, bernada menyombong.
"Ha... ha... ha...!"
Andika terbahak-bahak mendengar kata-katanya.
"Lucu, lucu sekali! Mana bisa wajah seperti mayat begitu dibilang tampan!" ejek Andika, ceplas-ceplos.
"Jangan sembarangan omong, Anak Muda!" desis Eyang Sasongko Murti.
"Heran! Orang bicara jujur, kok masih disalahkan?" sahut Andika tanpa merasa bersalah.
"Apakah kau senang kalau aku tidak bicara jujur" Baiklah wajahmu...."
Eyang Sasongko Murti mengulapkan tangannya.
"Sudahlah.... Kini kau ikut aku!"
"Hei" Katanya kau hendak kukeluarkan dari tempat ini?" seru Andika yang ikutikutan menjadi sedikit gila. Karena., ia sendiri saja tidak tahu., jalan mana yang harus ditempuh agar keluar dari tempat sunyi ini.
"Itu nanti! Kita harus menyusun rencana lebih dulu!" seru tokoh aneh dari dalam tanah sambil melangkah.
Andika menggerutu panjang pendek. Heran!
Mengapa tahu-tahu ia bisa berjumpa manusia aneh seperti itu" Tetapi mau tidak mau Andika pun mengikuti langkah Eyang Sasongko Murti.
Yang dituju tokoh aneh itu adalah sebuah gua yang berada sekitar sepuluh tombak dari tempat mereka semula. Gua itu sangat besar. Banyak batu besar yang tinggi berada di dalamnya. Keadaannya gelap tak ada penerangan apa-apa. Andika mendengus sebal.
"Tempat apa ini?" tanya Pendekar Slebor.
"Inilah istanaku...," sahut Eyang Sasongko Murti sambil duduk di sebuah batu besar. Gerakannya sangat ringan, malah terlihat tidak seperti melompat.
"Ha... ha... ha...!"
Andika terbahak-bahak mendengarnya.
"Apa pendengaranku sudah kurang sejak bertemu denganmu?" kata Andika, enteng.
"Pendengaranmu tidak berkurang. Kau jelas mendengar kata-kataku tadi," sahut Eyang Sasongko Murti kalem.
Mendapat jawaban yang bernada tak acuh itu, Andika mendengus.
"Tempat begini kau sebut istana"!" cibir Andika.
"Karena, tempat inilah satu-satunya yang paling aman di Alam Sunyi ini!" sahut Eyang Sasongko Murti, mantap.
Andika duduk di batu besar, tepat di depan orang tua aneh itu. Gerakannya pun tak kalah ringan.
Keduanya membisu. Tak ada suara apa-apa yang terdengar. Bahkan angin pun tak terdengar suaranya.
"Eyang..., saat ini aku sedang mengemban sebuah tugas yang sangat besar. Kalau di alamku sana...."
"Hei! Di sana pun alamku!" potong Eyang Sasongko Murti jengkel.
"Iya, ya!" sahut Andika jengkel pula.
"Jangan main potong dulu! Pokoknya, saat ini ada sebuah kerajaan yang dikuasai tokoh sesat yang berjuluk Raja Akherat.
Kejahatannya tidak bisa dibendung lagi! Dan sekarang, kawan-kawanku tengah menyerang Kerajaan Pakuan!"
"Aku tahu."
Andika terbelalak.
"Kau tahu?"
"Ya."
"Lalu kalau tahu, mengapa kau sesatkan aku hingga ke sini, heh"!" dengus Andika.
Jengkel juga dia mendapat jawaban Eyang Sasongko Murti yang enteng-enteng saja.
"Karena aku juga membutuhkan pertolonganmu!" sahut Eyang Sasongko Murti kalem.
"Manusia culas!" rungut Andika sambil melompat.
Kakinya lantas melangkah meninggalkan Eyang Sasongko Murti yang tersenyum-senyum.
"Heh"!"
Dan mendadak, Andika merasa susah sekali mengangkat kedua kakinya untuk melangkah. Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan langsung dikerahkan. Namun, hasilnya tidak ada.
"Suittt!"
"Suittt...!"
Dan terdengar siulan Eyang Sasongko Murti yang aneh, bernada mengejek.
Tahulah Andika. Jelas ini ulah Eyang Sasongko Murti.
"Hei! Lepaskan aku!"
Eyang Sasongko Murti hanya bersiul-siul saja.
"Hei! Lepaskan, manusia tanah. Kau pasti sebangsa tikus tanah yang suka mengganggu orang!" teriak Andika.
"Kalau kau berjanji tidak akan pergi dari sini, maka akan kujelaskan!" sahut Eyang Sasongko Murti kalem.
Tidak ada lagi yang bisa diperbuat Andika kecuali menyetujui permintaan itu. Namun lagi-lagi terbayang di benaknya, bagaimana susah payahnya orang-orang yang sedang menghadapi Raja Akherat. Karena Andika tahu, kesaktian Raja Akherat tinggi sekali.
"Iya, ya! Lepaskan sekarang juga!" seru Andika ngotot sambil mengerahkan tenaga sakti. Dan mendadak saja.
"Heh"!" Andika terkejut setengah mati ketika tubuhnya terpental ke depan.
Rupanya, Eyang Sasongko Murti sudah membebaskannya. Karena dorongan tenaga saktinya, maka tubuhnya jadi terpental.
"Sialan!" maki Pendekar Slebor bersungut-sungut.
"Duduklah kembali ke tempatmu tadi! Aku akan memperlihatkan sesuatu kepadamu!" ujar Eyang Sasongko Murti.
Andika yang berotak cerdas yakin, kalau tokoh aneh yang berada di sisinya adalah seorang yang sangat sakti. Makanya diturutinya permintaan itu.
"Apa yang ingin kau perlihatkan kepadaku?" tanya Pendekar Slebor.
"Pejamkan matamu!"
"Apa lagi yang sedang kau mainkan ini" Aku hendak menolong... empph!"
Mulut Andika mendadak terkatup rapat. Lalu perlahan-lahan matanya merapat pula.
Andika berusaha membebaskan diri. Namun semakin meronta semakin kuat dua alat inderanya mengatup. Perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti pun meng-asupkan kedua tangannya di dada. Lalu dengan hembusan lembut, mulutnya meniup ke arah Andika.
Dan mendadak saja, mata Pendekar Slebor seperti terbuka. Padahal dalam keadaan terpejam! Di depan Pendekar Slebor terbayang suasana di Kerajaan Pakuan yang dalam keadaan porak-poranda. Bahkan Andika melihat mayat-mayat prajurit Kerajaan Labuan yang
bergelimpangan. Termasuk juga, mayat dua prajurit pilihan kerajaan itu yang mengenakan pakaian hitam.
Hati Andika kian tercekat.
Lalu Pendekar Slebor melihat keadaan Sari yang masih pingsan. Sementara, tampak pula empat orang gadis cantik berpakaian menerawang, sedang meng-ganti baju Sari. Tanpa sadar Andika memalingkan wajahnya. Tetapi pemandangan selanjutnya tetap terpampang di mata. Tampak bagaimana pakaian Sari yang dalam keadaan pingsan dibuka satu persatu. Lalu empat gadis berpakaian menerawang mengenakan pakaian pada tubuh Sari. Sebuah pakaian berwarna putih keemasan yang indah berkilau.
Tatapan Andika mengedar kembali. Tampak Raja Akherat sedang terbahak-bahak sambil menuangkan air. Sejenak rasa amarahnya muncul. Andika kontan bergerak seperti hendak menyerang Raja Akherat.
Tetapi lagi-lagi keanehan terjadi. Karena seolah tubuhnya tidak bisa digerakkan. Bahkan matanya hanya memandangi penuh kegeraman pada Raja Akherat yang sedang terbahak-bahak. Lalu tahu-tahu di depan Andika sudah terpampang suasana di Jurang Setan. Tampak sepuluh prajurit Kerajaan Labuan yang dipimpin Tiroseta telah tiba di dasar Jurang Setan. Rupanya si Belang, harimau besar
peliharaan Sari, berhasil menunjukkan jalan menuju ke dasar Jurang Setan.
Andika ingin memanggil, untuk menceritakan dimana dirinya berada. Namun lagilagi mulutnya tak sanggup untuk bersuara.
Andika juga melihat Danji yang sedang duduk termenung. Begitu pula Putri Permata Delima yang sedang mengelus-elus si Belang, yang sesekali mengaum pelan. Rupanya harimau itu merindukan tuannya.
Lalu mendadak saja semuanya lenyap. Dan bersamaan dengan itu, sepasang mata dan mulut Andika pun membuka. Matanya
langsung memandang ke sekeliling, kini yang nampak hanyalah dataran tinggi penuh perbukitan yang memanjang, hanya diterangi sedikit sinar rembulan.
Serentak Andika menoleh pada Eyang Sasongko Murti yang tersenyum-senyum. Semakin sadarlah Andika, kalau laki-laki yang mengaku sudah seratus tahun berada di Alam Sunyi ini adalah seorang tokoh sakti.

***

% [2] %

"Eyang...!" panggil Pendekar Slebor.
"Kau sudah melihat bagaimana keadaan teman-temanmu itu, bukan?" tanya Eyang Sasongko Murti.
"Termasuk gadis berpakaian dari kulit harimau, bukan" Bagaimana" Enak juga melihat tubuhnya?"
Andika tertawa dalam hati, namun wajahnya terlihat tegang.
"Sari membutuhkan pertolongan, Eyang. Kita harus menolongnya...," gumam Pendekar Slebor.
"Kau betul," sahut Eyang Sasongko Murti, pendek.
"Keluarkan aku dari sini!"
Eyang Sasongko Murti melotot.
"Enaknya kau ngomong! Aku saja bingung untuk keluar dari sini! Tetapi..., Andika...."
"Eyang tahu namaku?" tanya Andika heran.
Eyang Sasongko Murti terbahak-bahak lebar. Suaranya menggema keras.
"Aku tahu siapa kau, Anak Muda. Namamu Andika, kau berjuluk Pendekar Slebor. Kau banyak disanjung orang-orang dari golongan putih. Dan kau dibenci orang-orang golongan hitam. Kau juga memiliki kemampuan tinggi, karena kau adalah buyut dari Pendekar Lembah Kutukan. Cuma, sayang. Kau terkadang bego!" sahut Eyang Sasongko Murti seenaknya.
Andika memaki-maki dalam hati. Kalau tak ingat kesaktian orang tua di depannya, ingin rasanya Andika mencabuti jenggotnya satu persatu. Kata terakhir yang diucapkan Eyang Sasongko Murti memang membuatnya kesal bukan main.
"Sudahlah, Eyang.... Bagaimana kita harus keluar sekarang?" potong Andika jemu.
"Pertama, kita akan menyelamatkan gadis. Yang bernama Sari," jelas Eyang Sasongko Murti.
"Bagaimana caranya?" kejar Andika.
"Itu urusanku!" sahut Eyang Sasongko Murti, memotong.
"Kedua, aku meminta bantuanmu, Andika."
"Dalam soal apa?" tanya Pendekar Slebor.
"Aku membutuhkan darahmu."
Andika serentak berdiri dengan mata mendelik.
"Enak saja! Nyamuk yang menghisap darahku saja, ku pencet sampai gepeng! Dan kau mau minta darahku!" sentak Pendekar Slebor.
"Apakah kau tidak ingin keluar dari sini?" balas Eyang Sasongko Murti, galak.
"Kalau pakai darah, tidak usah saja. Biar kita berdua berada di sini sampai mampus!" rutuk Andika.
"Bagaimana dengan Sari" Bagaimana dengan Prabu Adiwarman yang sedang bersembunyi di Jurang Setan" Dan, apakah kau akan membiarkan Raja Akherat menguasai dunia persilatan dengan mem-bunuhi para tokoh!" sergah Eyang Sasongko Murti keras.
Agaknya kata-kata itu menyadarkan Pendekar Slebor. Memang, masih banyaknya tanggung jawab yang harus diembannya dan belum dituntaskan.
Sebagai pewaris terakhir Pendekar Lembah Kutukan, pemuda berpakaian hijau-hijau dengan kain bercorak catur tersampir di bahu, memang telah mengemban tugas sangat berat. Yang terkadang juga meng-haruskannya bertaruh nyawa!
Kini Pendekar Slebor pun memahami kata-kata Eyang Sasongko Murti, meskipun hatinya masih mendongkol.
"Baik! Kalau tidak banyak darahku yang diperlukan aku akan memberinya!" sahut Pendekar Slebor, mengalah.
"Bagus!" sambut Eyang Sasongko Murti, kegirangan.
"Tetapi, mengapa harus memakai darahku, sih! Mengapa bukan darahmu saja?"
Kali ini Eyang Sasongko Murti mendelik.
"Bodoh! Setelah seratus tahun hidup seorang diri di Alam Sunyi ini, dengan hanya memakan dedaunan saja, seluruh darahku sudah beku begitu saja."
"Membeku?"
Andika mengerutkan keningnya.
"Ya! Membeku!"
"Bagaimana kau bisa hidup dengan darah yang sudah membeku begitu?" ejek Andika sinis.
"Mana aku tahu"! Itu kan urusan Yang Maha Kuasa!"
"Ha... ha... ha...!" Andika mendadak terbahak-bahak.
"Kenapa tertawa, hah"!" bentak Eyang Sasongko Murti.
"Jangan-jangan itu hanya alasanmu saja, sehingga kau menolak darahmu dikorbankan?"
Eyang Sasongko Murti menggeram marah. Lalu tangan kirinya diangkat, dan digigit hingga menimbulkan luka cukup besar.
"Lihat sendiri, Anak Bego! Apakah ada darah yang menetes?" ujar Eyang Sasongko Murti, jengkel.
Kening Andika berkerut. Apa yang dikatakan manusia aneh itu memang benar. Karena Andika tidak melihat ada setetes darah pun yang keluar. Kini hatinya yakin, kalau darah laki-laki tua itu memang sudah membeku. Tetapi lagilagi yang membuatnya heran, bagaimana Eyang Sasongko Murti masih bisa hidup tanpa darah yang mengalir pada tubuhnya"
"Kau percaya sekarang, hah"! Puas"!" cecar Eyang Sasongko Murti mangkel.
"Kalaupun darahku belum membeku, tak dapat pula kugunakan sebagai 'penerang' untuk keluar dari sini. Nah, kau puas hah"!"
Andika nyengit-nyengir kuda. Baru tahu rasa dia. Malu juga hatinya melihat kenyataan ini.
"Jangan cepat marah. Nanti kau cepat tua. Eh! Bukankah kau sudah tua, ya. He he he.... Aku lupa!"
Andika malah mengajak berseloroh.
Eyang Sasongko Murti mendengus jengkel melihat tingkah Pendekar Slebor.
"Sekarang, dengarkan penjelasanku. Dulu, aku adalah seorang pemuda yang banyak belajar ilmu. Baik ilmu siIat, maupun ilmu batin. Karena terlalu banyak yang kupelajari, aku tidak tahu kalau telah menganut ilmu sesat yang mengerikan," papar Eyang Sasongko Murti.
"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya Pendekar Slebor.
Kali ini Pendekar Slebor kelihatan lebih sungguh-sungguh.
"Diam dulu! Aku tidak suka dipotong begitu!" dengus Eyang Sasongko Murti.
"Semula..., aku tidak tahu kalau ilmu yang kupelajari dari Hutan Waringin adalah ilmu sesat, ilmu pemuja setan. Hingga tanpa sadar, aku pun terjerat dalam lingkaran bangsa siluman yang kejam dan mengerikan. Aku baru tersadar, ketika suatu pagi hendak menolong seorang wanita yang hendak melahirkan, tetapi tak seorang pun yang berada di dekatnya. Dalam hatiku, aku berniat menolongnya. Namun, alangkah terkejutnya aku, ketika tanpa sadar tanganku mengepruk kepala wanita itu hingga tewas. Dengan ganas perutnya kucabik-cabik, lalu bayi merah yang masih hidup kukeluarkan. Bayi merah yang masih berlumur darah itu kubawa ke Hutan Waringin. Dan tanpa sadar jantungnya kuambil dan kutelan."
Eyang Sasongko Murti terdiam. Pandangannya melayang ke masa seratus tahun yang silam.
"Saat itulah aku menyadari, kalau ilmu yang kuanut ternyata ilmu sesat. Baru pula kusadari, kalau guruku selama ini ternyata bangsa siluman. Aku pun memberontak dari mereka. Namun, siluman-siluman itu sangat kuat dan sakti. Aku pun dapat tertangkap.
Akan tetapi, suatu malam, aku berhasil melarikan diri melalui penjara yang kugali. Hanya saja yang mengherankan, aku tiba-tiba muncul di Alam Sunyi ini, setelah melalui jalan yang sangat panjang sekali.
Saat itulah aku menyadari sesuatu, kalau sebenarnya mereka mengetahui rencanaku melarikan diri, namun membiarkan saja," lanjut Eyang Sasongko Murti.
"Jadi..., Alam Sunyi ini adalah penjara milik bangsa siluman?" tanya Andika terkejut.
"Kau benar, Andika," sahut Eyang Sasongko Murti lirih.
"Tetapi, mengapa hanya kau saja yang masih hidup di sini?" tanya Andika dengan kening berkerut.
Eyang Sasongko Murti tersenyum.
"Karena, memang akulah satu-satunya penghuni penjara ini! Akulah satu-satunya yang menganut ilmu dari Hutan Waringin yang memberontak dari para siluman itu!" papar laki-laki tua aneh itu.
Andika manggut-manggut mengerti.
"Lalu apa hubungannya denganku" Dan, mengapa teganya kau membawaku ke sini?" cecar Pendekar Slebor.
"Selama bertahun-tahun kulewati hidupku di sini, dngan memakan dedaunan belaka. Dan bertahun-tahun aku menanti seseorang yang datang ke sini, hingga kulihat kau sedang merangkak melalui lorong rahasia yang terletak tak jauh dari Kerajaan Pakuan. Saat itu pula kulihat sebuah sinar keemasan yang sangat aneh sekali di kepalamu. Seolah sinar itu sebagai isyarat bagiku, bahwa kaulah yang akan bisa
membebaskanku dari sini. Lalu dengan bantuan tenaga dan pandangan batinku, kugiring kau ke sini. Bahkan kau tidak akan pernah menemukan jalan tembus menuju istal kuda di belakang Keraton Pakuan," jelas Eyang Sasongko Murti.
"Jahat!"
"Kau lihat pohon besar itu, Andika?"
Eyang Sasongko Murti tidak menghiraukan gerutuan Andika.
"Sejak seratus tahun yang lalu, aku berada di sini.
Dan pohon itu tetap tumbuh rindang hingga sekarang," lanjut laki-laki tua aneh itu. Andika mendesah panjang. Kini bisa disadari betapa tersiksanya orang tua yang berusia ratusan tahun ini disini. Yah! Sedikit banyak, Andika akan membantunya.
Juga, berharap dapat keluar dari Alam Sunyi yang mengerikan ini!
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya Pendekar Slebor.
Eyang Sasongko Murti tak segera menjawab.

***

Sementara itu di Keraton Pakuan, Sari yang masih dalam keadaan pingsan, sudah disalinkan baju oleh empat gadis manis yang diculik Raja Akherat. Gadis-gadis yang dulu diculik Raja Akherat memang sudah seperti terbuang, setelah puas dan bosan digumuli tokoh sesat itu. Karena, kini Raja Akherat mendapatkan banyak gadis cantik yang berhasil diculik dan dapat digaulinya kapan saja mau. Apalagi sekarang, memang cukup lama juga Raja Akherat menghendaki Sari. Dan malam ini, segalanya yang telah lama terpendam akan dituntaskan!
Keempat gadis manis itu mengangkat kepala begitu mendengar suara tawa Raja Akherat yang sangat keras. Mereka segera minggir, duduk bersimpuh sambil tetap menundukkan kepala.
Raja Akherat mendekati Sari. Tatapannya berkilat-kilat penuh birahi.
"Ha ha ha.... Kini akhirnya kau menjadi milikku, Manis.... Kau tak akan bisa menolak lagi...."
Lalu dengan buasnya, Raja Akherat menciumi wajah dan sekujur tubuh Sari. Keempat gadis yang bersimpuh tadi bermaksud hendak menyingkir. Mereka muak melihat perbuatan Raja Akherat, sekaligus kasihan melihat nasib Sari. Tetapi Raja Akherat yang melihat tindakan mereka segera mengangkat wajah.
"Kalian jangan pergi! Tontonlah pemandangan yang mengasyikkan ini! Bila melanggar, berarti kalian ingin mati!" ujar Raja Akherat sambil membuka bajunya.
Tubuhnya yang penuh bulu tampak terpampang sekarang. Lalu dengan buasnya, Raja Akherat kembali menciumi sekujur tubuh Sari. Dan
perlahan-lahan namun pasti, tangannya merobek pakaian di bagian dada.
Breeet! Seketika terlihat bagian dada Sari. Keempat gadis itu yang terpaksa mengangkat kepala karena takut Raja Akherat marah, hanya bisa menghela napas dalam-dalam.
"Ha ha ha.... Montok, bagus, indah! Tidak sia-sia aku mengincarmu, Manis!"
Lalu dengan gerakan kasar dan tatapan berkilat-kilat, laki-laki ini bersiap menerkam dada yang montok. Tetapi, mendadak saja gerakannya terhenti.
Sudah tentu hal ini mengejutkan keempat gadis yang sejak tadi sudah tegang. Mengapa Raja Akherat menghentikan perbuatannya" Namun diam-diam, mereka merasa bersyukur karena kehancuran tidak jadi menerpa diri gadis itu.
Raja Akherat mendadak saja berdiri. Ada sesuatu yang merasuki otaknya. Dan tiba-tiba saja, nafsunya tak berselera pada gadis itu. Segera pakaiannya dikenakan dengan wajah geram, namun penuh keheranan.
"Rapikan pakaian gadis itu! Tunggu sampai sadar dari pingsannya!" ujar Raja Akherat sambil melangkah keluar.
Keempat gadis itu pun segera merapikan pakaian Sari. Meskipun telah menjadi budak nafsu Raja Akherat, mereka tidak iri dengan keberuntungan gadis itu.
Bahkan mereka gembira, karena gadis yang pingsan ini tidak mengalami hal yang amat menggiriskan.
Begitu tiba di luar, Raja Akherat menuang tuaknya ke mulut. Terdengar bunyi tegukan yang keras. Dalam hati, laki-laki ini merasa aneh. Karena, keinginannya untuk menggumuli tubuh gadis itu mendadak saja surut. Padahal, birahinya sudah begitu bergolak.
Bahkan hatinya yakin, saat itu seluruh gairahnya akan dituntaskannya. Tetapi, mengapa mendadak saja nafsunya surut"
Karena kesalnya tidak jadi menyalurkan birahi, Raja Akherat mengangkat kedua tangan ke depan, lalu menyentaknya kuat-kuat.
Werrr...! Seketika keluar angin dahsyat bergulung-gulung menyambar dan menerbangkan mayatmayat yang bergeletakkan di sana. Jauh terpental dari keraton ini.
"Bajingan! Mengapa aku jadi tidak menginginkan gadis itu, hah"!" maki Raja Akherat tidak mengerti.

***

"Secepatnya kita harus keluar dari sini. Karena.., tepat seratus tahun ini, bangsa siluman akan datang ke sini untuk mencabut nyawaku! Apalagi, bila mereka mengetahui kalau aku telah mendapat seseorang berdarah suci yang dapat mengeluarkanku dari sini," ujar Eyang Sasongko Murti panjang lebar, setelah cukup lama terdiam.
"Gusti! Kalau begitu, kita harus cepat, Eyang!" sentak Andika.
"Bersabarlah, Andika.... Bahaya apa pun, kau tetap akan kujaga. Sekarang yang terpenting adalah, menolong gadis berbaju dari kulit harimau itu lebih dulu," ujar Eyang Sasongko Murti, bijaksana.
Kali ini kening Andika berkerut lagi. Edan ini orang! Bagaimana caranya menolong Sari kalau kini mereka terperangkap di sini" Tetapi
Andika kemudian sadar, kalau tokoh aneh ini memiliki ilmu batin yang hebat.
Apalagi tadi diperlihatkan padanya, bagaimana keadaan Kerajaan Pakuan. Dan juga, Sari. Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau begitu, lakukanlah, Eyang."
"Sudah," sahut Eyang Sasongko Murti, singkat.
"Sudah?" ulang Andika dengan mata melotot.
"Ya, sudah kulakukan. Gadis itu aman-aman saja.
Raja Akherat sudah kubuat tak berselera menyentuh-nya!" papar Eyang Sasongko Murti.
"Kapan kau melakukannya, Eyang?" cecar Pendekar Slebor.
"Edan! Mengapa di dunia luar kau disegani orang-orang rimba persilatan, tapi di sini ternyata begitu dungu?" gerutu Eyang Sasongko Murti.
Andika nyengir saja. Sungguh, begitu banyak kejadian yang tak pernah diketahuinya. Seperti yang dialaminya sekarang ini. Pendekar Slebor yakin, Eyang Sasongko Murti tidak berbohong. Paling tidak, sudah menjaga Sari dari nafsu birahi Raja Akherat yang mengerikan. Entah bagaimana caranya, yang pasti hati Pendekar Slebor sedikit tenang.
"Sekarang, kita akan bersiap-siap melarikan diri dari Alam Sunyi ini. Yah..., dengan darahmu yang belum pernah berhubungan badan dengan seorang wanita, akan menjadi penerang jalan untuk kita keluar dari tempat ini. Andika, ulurkan tangan kirimu...," ujar Eyang Sasonmgko Murti.
Dengan keberanian dan keikhlasan yang dalam, Andika perlahan-lahan mengangsurkan tangan kirinya. Sementara Eyang Sasongko Murti merobek pakaiannya yang telah compang-camping, sehingga lebih menampakkan bagian tubuhnya yang penuh keriput.
Dengan cepat, laki-laki tua aneh ini menotok urat di bawah lengan Pendekar Slebor, agar darah yang mengalir nanti terhenti. Lalu dengan ujung kukunya yang kumal, digoresnya lengan Andika perlahan-lahan.
Andika tak merasakan perih. Bahkan merasa kalau kuku itu hanya berada di atas kulitnya saja. Meskipun halinya bergidik melihat betapa kotornya ujung kuku itu.
Lalu dengan cepat Eyang Sasongko Murti menadahi darah yang keluar dengan kain kumal tadi. Setelah dua belas tetes, seperti gerakan pertama tadi, laki-laki tua ini menggores lagi lengan kiri Andika. Anehnya, luka yang menganga tadi itu terkatup kembali!
Dengan gerakan cepat Eyang Sasongko Murti membuka totokan pada Andika. Untuk selanjutnya, Andika hanya memperhatikan saja, ketika Eyang Sasongko Murti membuntal darah dengan kain kumal tadi. Lalu digenggamnya kuat-kuat kain itu, sementara mulutnya komat-kamit. Matanya yang hanya segaris semakin menyipit saja. Rambutnya yang acak-acakan kelihatan semakin menambah keseraman sosok wajahnya. Andika yang memperhatikan jadi mengerutkan keningnya.
"Kau sebenarnya tidur atau baca mantera, ya?" usik Pendekar Slebor.
"Diam!" tiba-tiba Eyang Sasongko Murti membetak.
"Eh, copot!" desis Pendekar Slebor sambil tertawa.
"Bagaimana, Eyang" Apakah kita bisa segera keluar dari sini?"
Eyang Sasongko Murti menatap ke langit yang gelap. Tiba-tiba kepalanya menggeleng-geleng.
"Andika..., bersiap-siaplah.... Tamu tak diundang sudah datang sekarang?" ujar Eyang Sasongko Murti dengan suara tegang.
"Hei, apa maksudmu?" seru Andika yang ikut-ikutan menjadi tegang.

***

% [3] %

Di Alam Sunyi, keadaan semakin mengerikan saja.
Suasana yang dingin kini semakin menggigit. Andika melihat Eyang Sasongko Murti menegak. Sementara darahnya yang tadi ditampung di kain compang-camping kini diikat di pinggangnya. Lalu perlahan-lahan tubuh Eyang Sasongko Murti berdiri.
"Andika..., bersiaplah.... Kita kedatangan tamu yang tak diundang...," ujar Eyang Sasongko Murti lagi dengan suara tenang. Ketenangannya pun terpancar dari wajahnya yang sukar dilukiskan.
Andika pun ikut-ikutan berdiri. Matanya memandang ke sekeliling dengan mata kecut. Tak ada yang berubah, kecuali cuaca yang endadak bertambah dingin, dan menimbulkan rasa ngeri yang menjadi-jadi. Kalau tadi hatinya sudah ngeri berada di tempat yang sepi dan seperti mati ini, kini lebih ngeri lagi melihat perubahan yang terjadi begitu tiba-tiba!
"Eyang..., apakah siluman-siluman itu sudah datang?" tanya Pendekar Slebor sambil masih memperhatikan sekelilingnya.
"Bersiaplah, Andika...."
Wesss...! Mendadak saja angin berhembus keras, dengan suara menderu-deru. Beberapa pohon yang tumbuh di sana pun tumbang. Daun-daunnya berguguran beterbangan. Andika cepat mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar Slebor yang dialirkan pada kaki dan kekuatan tubuhnya. Dia berusaha bertahan untuk menjaga agar tidak terhempas angin keras. Sementara itu Pendekar Slebor pun memandang heran pada Eyang Sasongko Murti yang kelihatan tetap tenang. Bahkan tidak bergeming sedikit pun.
Padahal angin tampak bergulung-gulung keras!
Rambutnya yang acak-acakan semakin tak karuan. Pakaiannya yang compang-camping pun berkibaran seperti ingin tanggal satu
persatu.
"Andika..., ikuti setiap gerakanku...," ujar Eyang Sasongko Murti tiba-tiba.
Sementara matanya menatap kejauhan, ke arah bukit-bukit yang tinggi itu.
"Apa maksudmu, Eyang"!" tanya Andika setengah berteriak untuk mengalahkan suara deru angin yang keras menderu-deru.
Mata Pendekar Slebor ikut-ikutan menatap ke arah perbukitan. Tidak ada yang aneh menurutnya. Bukit-bukit itu tetap berdiri tegar, bagai menyimpan teka-teki yang dalam.
"Setiap kali aku bergerak, kau harus mengikutinya.
Usahakan, agar kau bisa melakukannya sama dengan gerakanku...!" sahut Eyang Sasongko Murti, juga setengah berteriak.
"Bagaimana kalau tidak sama, Eyang?" tanya Andika lagi.
"Kau akan merasakan sendiri akibatnya...."
"Eyang..., aku semakin tidak mengerti. Kau tidak bisa menyuruhku begitu saja"
"Memangnya aku muridmu yang sudah tahu siap langkahmu?" gerutu Andika.
"Tidak ada lagi waktu untuk berdebat! Seperti kata ku tadi, kau harus berusaha untuk menyamakan gerakanmu dengan gerakanku, Andika!"
"Bagaimana...?"
"Ikuti langkahku, Andika!" ujar Eyang Sasongko Murti tiba-tiba, memotong katakata Andika. Lalu tubuh laki-laki tua itu bergerak ke kiri dua tindak. Kemudian tubuhnya membungkuk dengan kaki kanan di tekuk, dan kedua tangan berada di dalam.
Serentak Andika berbuat yang sama meskipun tidak mengerti mengapa harus berbuat seperti itu.
"Jangan bicara!" ujar Eyang Sasongko Murti lagi.
Andika hanya mendengus. Namun mendadak saja.... Blarrr...! Telinga Andika menangkap ledakan keras. Tampak kedua batu besar yang tadi mereka duduki meledak. Tidak terlihat suatu serangan apa pun di mata Andika.
Hatinya heran, apa yang telah menerpa kedua batu besar itu?
Tetapi kemudian, mata Pendekar Slebor pun melihat sesuatu yang aneh. Tampak sebuah angin bergulung keras, lalu berhenti di depan mereka yang masih dalam keadaan membungkuk dengan kedua tangan di depan dada.
Wing...! Wing...!
Terdengar suara desingan yang memekakkan telinga. Andika bermaksud menutup kedua telinganya dengan tangan, tetapi teringat akan perintah Eyang Sasangko Murti agar selalu mengikuti setiap gerakannya.
"Seratus tahun lamanya kau kubiarkan hidup di sini, Sasongko! Tak kusangka, kau masih mampu bertahan hidup!"
Tiba-tiba terdengar suara dari balik gulungan angin yang berdesir-desir di hadapan mereka.
"Kini, setelah seratus tahun..., aku datang untuk menjemput nyawamu! Dan akan kujadikan kau salah seorang siluman penjaga Hutan Waringin!" lanjut suara di balik angin.
Sebelum Eyang Sasongko Murti menyahuti, mendadak....
"Hei, Siluman Kudis!"
Andika sudah mendahului. Hatinya benar-benar jengkel karena jadi terlibat dalam masalah yang tidak di mengertinya. Yang dibayangkan saat ini adalah keadaan Sari dan Prabu Adiwarman yang menunggu di Jurang Setan.
"Lebih baik kau pergi sebelum kuhancurkan sampai tunggang langgang!" dengus Pendekar Slebor.
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar suara terbahak-bahak dari desingan putaran angin yang keras itu.
"Sasongko! Rupanya kau sudah mendapatkan jalan keluar dari Alam Sunyi ini. Hanya sayang, tumbalmu justru akan mampus hari ini juga!" kata suara itu.
Eyang Sasongko Murti mendesah panjang, di samping jengkel karena Andika tidak menuruti kata-katanya.
"Siluman Hutan Waringin!" Urusan ini adalah urusan kau dan aku! Jangan libatkan pemuda itu!" sahut Eyang Sasongko Murti, mantap.
"Dia akan menjadi jalan keluar untukmu, Sasongko. Berarti dia pun harus mampus!"
Mendadak saja pusaran angin yang menggulung-gulung menerjang ke arah mereka. Suaranya memekakkan telinga. Bahkan gulungan angin itu mampu menerbang kan bukit-bukit yang banyak berdiri tegar di Alam Sunyi.
"Andika! Ikuti langkahku!" ujar Eyang Sasongko Murti berteriak.
Laki-laki tua itu cepat melompat lima tindak samping kanan. Kalau tadi kedua tangannya berada depan dada, kini mengibas ke
arah pusaran angin.
"Pusatkan tenaga dalammu di pusar. Lontarkan dengan hembusan napas! Mulai!" ujar Eyang Sasongko Murti.
Bersamaan dengan itu, Andika pun menuruti perintah Eyang Sasongko Murti, walaupun tidak dimengerti sama sekali. Namun karena kecerdikan otaknya, Pendekar Slebor mampu mengikuti dan menyamakan gerakan Eyang Sasongko Murti.
Werrr...! Werrr...!
Dua rangkum tenaga dalam yang kuat keluar dari tangan Eyang Sasongko Murti dan Andika. Akan tetapi pusaran angin itu terus saja
mengguIung, tanpa berhenti. Bahkan terasa semakin dahsyat, dengan suara bertambah keras.
"Tahan napasmu sekuat tenaga! Jangan bergeser dari tempatmu! Maka, kau akan selamat!" terdengar lagi perintah Eyang Sasongko Murti.
Lagi-lagi Andika melakukan perintah. Pusaran angin yang kuat itu memasuki tubuh mereka, mencoba mengangkat dan menerbangkan. Tetapi keduanya tetap tak bergeming. Hanya saja, Andika merasakan wajahnya sakit, bagai ditampar tangan raksasa yang besar. Namun semua itu ditahannya sekuat tenaga. Karena dia juga tidak ingin melanggar kata-kata Eyang Sasongko Murti.
Pusaran angin terus berusaha menumbangkan.
Dan sekuat tenaga, keduanya bertahan. Terutama yang dilakukan Andika.
"Kita akan keluar dari pusaran angin ini!" teriak Eyang Sasongko Murti di antara suara pusaran angin yang keras.
"Kali ini, pusatkan tenaga dalammu di dada. Tarik napas tiga kali ke perut. Lalu, melompat. Ingat! Pada hitungan ketiga. Satu! Dua! Tigaaa!"
Serentak tubuh mereka melompat keluar dari pusaran angin dalam keadaan merunduk, dengan sebelah tangan kanan menyentuh tanah.
"Ha... ha... ha...!"
Suara dalam pusaran angin itu terbahak-bahak lagi.
"Kau memang pandai menjaga 'jalan keluar'mu, Sasongko! Hanya sayang, kau tak akan bisa melindunginya terus menerus!" kata suara itu lagi.
"Seperti sudah kukatakan tadi, ini adalah urusanmu denganku! Jangan bawa-bawa dia!" sahut Eyang Sasongko Murti.
"Ha... ha... ha...! Dengan begitu, kau akan mempunyai kesempatan untuk melarikan diri, bukan"
'Jalan keluar'mu pun harus mampus, Sasongko!" balas suara itu.
"Kalau kau berjanji untuk membiarkannya hidup kita akan bertarung habishabisan!" "Ha... ha... ha...! Kau terlalu bermimpi untuk dapat mengalahkan bangsa siluman, Sasongko! Meskipun kau banyak mendapatkan ajian sakti dari bangsa siluman namun tak akan bisa menghancurkan aku! Gurumu sendiri!"
"Berjanjilah!"
"Berkhianat adalah kerja bangsa siluman! Menghancurkan dunia adalah kegemaran bangsa siluman. Dan memusnahkan orang-orang
seperti itu, adalah tujuan bangsa siluman! Tak akan kubiarkan kau dan 'jalan keluar'mu berhasil meloloskan diri!"
Dan mendadak saja pusaran angin berhenti. Lalu perlahan-lahan, keluar asap putih tebal. Dan asap itu terus membubung, setinggi pohon kelapa. Ketika asap putih itu menghilang, terlihatlah sosok raksasa mengerikan. Wajahnya bulat lonjong, dengan kedua telinga lebar berbentuk kerucut. Di bibirnya yang panjang, terdapat dua buah caling mengkilat. Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu yang mengerikan. Raksasa itu mengenakan sebuah cawat.
Yang lebih mengerikan lagi, matanya yang hanya sebuah dan terletak tepat di kening, di atas hidung yang panjang seperti badi!
Andika tercekat melihatnya.
"Gila! Inikah bangsa siluman yang menjadi guru dari Eyang Sasongko Murti?" tanya Pendekar Slebor dalam hati.
Lalu di depan mata Pendekar Slebor, terjadilah pertarungan dua raksasa yang sangat aneh. Setiap kali mereka bergerak, terdengar goncangan sangat hebat. Dan akibatnya, membuat perut Pendekar Slebor menjadi mual.
Andika berusaha menahan agar tubuhnya tidak berpindah tempat. Dan dia juga berusaha agar kepalanya tidak terangkat, seperti yang diperintahkan Eyang Sasongko Murti.
Biar bagaimanapun juga, yang ada di hadapan Pendekar Slebor ini adalah dua makhluk dari alam berbeda, namun merupakan murid dan guru yang sedang bertarung.
Pertarungan berlangsung sengit. Kedua raksasa itu selain bertukar jurus, juga mengeluarkan suara memekakkan telinga. Bukan hanya pepohonan yang tumbang, tetapi perbukitan yang ada di sana pun menggugurkan tanahnya, hingga beterbangan. Diam-diam sambil menundukkan kepala, Andika mempergunakan tenaga batin untuk menghitung jurus yang telah berlalu. Namun sungguh tidak bisa dimengerti. Karena ilmu yang diperlihatkan kedua raksasa mengerikan itu adalah ilmu bangsa siluman.
Sehingga, sangat sulit bagi Andika untuk menghitung jumlah jurus yang telah digelar. Untuk mengetahui aba-aba yang akan dilakukan Eyang Sasongko Murti, Andika membuka kedua telinganya lebar-lebar. Tetapi seketika pendengaran-nya ditutup dengan tenaga batinnya, karena gendang telinganya bagai hendak pecah mendengar seruan dan serangan yang ganas.
Tiba-tiba Pendekar Slebor melihat tubuh Eyang Sasongko Murti yang menjelma menjadi raksasa terhuyung ke belakang, karena terkena hantaman tak terlihat yang dilakukan Siluman Hutan Waringin.
Suaranya begitu keras sekali ketika jatuh ke tanah, menabrak sebuah pohon yang langsung tercabut, karena tak kuat menahan berat tubuh Eyang Sasongko Murti.
Andika perlahan-lahan mengangkat kepalanya juga. Toh pikirnya, yang penting jangan sampai melihat mata satu dari Siluman Hutan Waringin.
Tampak kini Siluman Hutan Waringin sedang mengejar tubuh Eyang Sasongko Murti dengan ganas. Sebelah kakinya siap menginjak remuk kepala tokoh aneh yang menjelma menjadi raksasa itu. Melihat hal itu, Andika bermaksud membantunya.
Namun sekali lagi, dia teringat kata-kata Eyang Sasongko Murti, kalau tidak boleh berpindah tempat.
Akan tetapi, hati kecilnya tidak menginginkan melihat Eyang Sasongko Murti harus mampus diinjak siluman mengerikan itu!
"Hiaaa...!"
Dengan mengerahkan tenaga sakti, mendadak saja Andika melesat ke atas, siap menghantam perut Siluman Hutan Waringin. Namun....
Wesss...! Desss...! "Aaakh...!"
Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bagai seringan kapas, terhempas hingga ambruk ke tanah disertai keluhan tertahan. Andika merasakan dadanya bagai jebol.
Dan dari mulutnya termuntah darah berkali-kali, sebelum pingsan.
"Bodoh! Sudah kubilang jangan bergerak dari tempatmu!" dengus Eyang Sasongko Murti dengan suara keras menggelegar.
Pada saat yang sama Eyang Sasongko Murti harus menangkis injakan kaki Siluman Hutan Waringin yang siap menghancurkan kepala dengan tangan. Lalu dicobanya untuk mendorong. Namun tenaga bangsa siluman sudah tentu sangat sulit ditandingi, meskipun Eyang Sasongko Murti menguasai pula ajian-ajian aneh bangsa siluman. Dan mendadak saja, Eyang Sasongko Murti
menyambar kain yang berisikan tetesan darah Andika. Cepat dilemparkannya buntalan kain kecil itu ke arah Siluman Hutan Waringin.
Wuuut! Plak! "Aduhhh...!"
Mendadak saja, Siluman Hutan Waringin menjerit-jerit kesakitan. Rupanya, dia tidak tahan mencium bau darah pemuda suci yang memang milik Pendekar Slebor.
Ketika Siluman Hutan Waringin termundur beberapa langkah, kesempatan itu dipergunakan Eyang Sasongko Murti untuk menendang. Duk!
Laki-laki aneh ini memang dapat menendang siluman itu. Karena, sedikit banyak Eyang Sasongko Murti bisa menguasai ajian bangsa siluman. Dan dengan gerakan cepat, disambarnya buntalan kecil berisi tetesan darah Pendekar Slebor, yang herannya tidak menjadi
kering. Ketika Siluman Hutan Waringin terjajar, dengan cepat Eyang Sasongko Murti menyambar tangan Pendekar Slebor. Tepat ketika tangan itu dipegang tubuh raksasanya menciut kembali, menjelma pada ukuran semula.
Eyang Sasongko Murti langsung memanggul tubuh Pendekar Slebor yang masih dalam keadaan pingsan lalu melompat ke atas. Seketika tubuhnya meluncur keras ke tanah, menembus masuk ke dalamnya.
Laki-laki tua itu terus berlari di dalam lorong yang dengan mudah ditemukannya.
Diangkatnya kain berisi tetesan darah Andika. Dan seketika, matanya melihat sebuah sinar bagaikan cahaya penolong yang menunjukkan jalan. Sekuat tenaga, Eyang Sasongko Murti melarikan diri. Hatinya yakin, Siluman Hutan Waringin tidak akan berani mengejarnya, karena tetesan darah milik Andika lah yang menjadi penghalang. Namun dia juga yakin Siluman Hutan Waringin tidak akan pernah melepaskannya.
Apa yang diduga memang benar. Siluman Hutan Waringin yang menjelma menjadi raksasa tampak mengamuk dengan sengit. Tangannya menampar pepohonan yang tumbuh di sana, hingga tercabut sampai ke akar-akarnya. Lalu kakinya menendang perbukitan yang langsung ambrol dan menimbulkan suara keras.
"Sasongko!" seru Siluman Hutan Waringin bergemuruh.
"Kau tidak akan bisa melarikan diri dari Alam Sunyi ini! Tempatmu di sini. Dan kau harus mampus sini, sebagai peringatan bahwa inilah akhir dari hidup orang yang berani mengkhianati bangsa siluman!"
Lalu mendadak saja, tubuh yang besar itu menjelma menjadi pusaran angin kuat. Seperti datangnya yang tidak ketahuan tadi, menghilangnya pun tidak ketahuan pula. Entah, ke mana perginya!

***

% [4] %

Di Jurang Setan, Prabu Adiwarman tengah menerima kedatangan Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan Labuan. Banyak sekali yang mereka telah bicarakan. Sambil berbincang-bincang, mereka juga menunggu kedatangan yang lainnya. Meskipun, di hati mereka sedikit cemas. Karena, sudah dua hari ini belum juga ada kabar berita.
"Prabu..., izinkanlah hamba untuk melihat keadaan Keraton Pakuan. Menurut hemat hamba, telah terjadi sesuatu pada saudara-saudara hamba...," kata Tirose senapati dari Kerajaan Labuan.
Prabu Adiwarman mendesah pendek. Sebenarnya ia pun memikirkan soal itu. Mengapa Pendekar Slebor belum datang juga" Padahal, Prabu Adiwarman sangat yakin akan kemampuan Pendekar Slebor.
"Aku pun sebenarnya merisaukan soal itu. Tetapi biarlah kita tunggu sampai matahari tepat di atas kepala," sahut Prabu Adiwarman.
Tiroseta tidak berani membantah. Rasa hormatnya pada Prabu Adiwarman penguasa Kerajaan Pakuan, sama besarnya dengan rasa hormatnya pada Prabu Srigiwarman, penguasa Kerajaan Labuan. Maka kepalanya pun hanya mengangguk.
Sementara itu di atas Jurang Setan, Danji yang sejak tadi pagi menunggu kedatangan Pendekar Slebor bersama dua orang prajurit Kerajaan Labuan, diam-diam menghela napas panjang. Hatinya yakin, kalau telah terjadi sesuatu terhadap prajurit Kerajaan Labuan. Bahkan mungkin, pada Pendekar Slebor sendiri!
"Tunggal! Bagaimana bila kita secara sembunyi-sembunyi melihat keadaan keraton Kerajaan Pakuan?" tanya Danji pada salah seorang prajurit Kerajaan Labuan yang bernama Tunggal.
"Saudara Danji, keinginan itu ada di hatiku, dan Riaka. Tetapi kami tidak berani melakukannya, sebelum mendapat perintah dari Kakang Tiroseta. Juga, dari sang Mulia Prabu Adiwarman," sahut Tunggal, seorang laki-laki berwajah keras dengan tatapan tajam. Dari riak suaranya, Danji bisa melihat kalau prajurit itu pun berkeinginan untuk menyusul yang lain ke Keraton Kerajaan Pakuan. Tetapi, Danji pun mengerti. Sebagai seorang prajurit, Tunggal harus taat pada pimpinannya.
"Kalau begitu, biarlah aku yang pergi ke sana," cetus Danji.
"Saudara Danji, itu terlalu berbahaya," tukasnya.
Danji menatap tajam pada Tunggal.
"Tunggal, meskipun tidak menguasai ilmu olah kanugaran tinggi, tetapi aku tidak enak berpangku tangan saja di sini. Aku akan pergi secara diam-diam.
Dan kau tidak perlu mengatakannya pada Prabu Adiwarman. Juga yang lainnya," tandas Danji, mantap.
"Tetapi, Saudara Danji...."
"Tidak apa-apa," potong Danji, disertai senyum manis.
"Aku akan baik-baik saja. Setelah melihat keadaan Keraton, aku akan cepat kembali ke sini. Seperti kataku tadi, bila aku belum kembali, jangan beritahukan pada siapa pun juga...." Tunggal tidak bisa menghalangi niat Danji, meskipun sebenarnya ingin sekali ikut.
"Baiklah kalau begitu," desah Tunggal.
"Bila lewat tengah hari aku belum kembali, barulah ceritakan soal kepergianku pada Prabu Adiwarman."
tambah Danji. Tunggal mengangguk lagi. Sementara pengawal yang bernama Riaka, hanya memandang saja. Sebenarnya Riaka pun ingin ikut serta. Tetapi lagi-lagi, sebelum perintah ada, dia tidak berani melakukannya. Mendadak saja sebelum Danji berlari meninggalkan tempat itu....
"Hauuum...!"
Terdengar auman yang cukup keras yang disertai dengan munculnya si Belang dari jalan rahasia menuju dasar Jurang Setan. Dan binatang itu berjalan perlahan mendekati Danji.
Danji yang semula takut pada harimau besar peliharaan Sari, kini telah bersikap biasa. Dia tahu, naluri hewan besar itu mengatakan bahwa dia adalah temannya. Lalu perlahan-lahan Danji membelai wajah si Belang yang menyeramkan.
"Ada apa, Belang?" tanya Danji, lembut.
Si Belang mengelus-eluskan wajahnya ke tubuh Danji.
"Oh! Tidak, Belang. Kau tidak boleh ikut," kata Danji, yang seolah mengerti keinginan si Belang.
Dan pemuda itu bisa melihat tatapan si Belang yang mendadak saja meredup. Hati Danji tercekat.
Sungguh hewan ini sangat pandai bersikap. Entahlah, bagaimana pemiliknya mengajarkan binatang buas itu sedemikian rupa.
"Belang..., aku mengerti betapa rindunya kau pada majikanmu. Tetapi, kedatanganku ke keraton sangat berbahaya. Dan aku tidak ingin ketahuan gara-gara kau," ujar Danji.
Si Belang kini menjilat-jilat tangan Danji. Sikapnya merajuk. Tubuhnya lantas direbahkan di sisi Danji. Danji mendesah pendek.
"Belang..., kau berjagalah di sini. Dengan kehadiranmu, kekuatan kita akan bertambah, bila ada musuh yang menyerang. Ayolah, Belang....
Mengertilah...," bujuk Danji.
Tetapi si Belang tetap menjilat-jilat tangan Danji.
"Baiklah, kau boleh ikut. Tetapi, jangan sekali-sekali menampakkan diri," kata Danji akhirnya.
Kembali si Belang menjilat-jilat sebagai jawaban tetapi, kali ini dengan sinar mata cerah. Danji mendesah sekali lagi.
"Heran, bagaimana pemilikmu bisa mengajarkan-mu seperti itu, Belang?" tanya Danji, seraya berdiri.
"Ayo, kita pergi sekarang!"
Si Belang menegakkan tubuhnya, seolah menyuruh Danji menaiki punggungnya. Danji hanya tersenyum, lalu perlahanperlahan dinaikinya punggung harimau besar itu. Dan....
Wuttt! Si Belang pun melesat dengan cepatnya, meninggalkan Tunggal dan Riaka yang hanya saling berpandangan.
"Sebenarnya, aku ingin ikut dengan pemuda yang pemberani itu, Riaka...," kata Tunggal.
"Begitu pula aku, Tunggal. Hanya saja, kita tidak bias melakukannya sebelum mendapatkan perintah dari Kakang Tiroseta," sahut Riaka.
Lalu mereka pun melangkah ke rimbunnya semak untuk melihat-lihat keadaan.

***

Di dasar Jurang Setan, kali ini tak ada yang suara.
Putri Permata Delima yang baru saja memasak ayam hutan yang diburu Danji tadi, kini menghidangkannya untuk ayahandanya.
"Ayahanda..., makanlah dulu.... Sejak semalam ayahanda tidak makan...," ujar gadis cantik ini dengan bibir tersenyum.
Prabu Adiwarman pun tersenyum. Hatinya bangga melihat ketabahan putrinya yang dulu selalu di-kelilingi kebahagiaan, kemewahan, dan kemudahan.
Tetapi sekarang, di saat yang genting dan mencekam ini, bibirnya masih bisa mengulas senyum. Namun hal itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan untuk Prabu Adiwarman. Karena putrinya; walaupun tumbuh dalam lingkungan keraton, tetapi sifatnya sangat merakyat. Dan hatinya bangga melihat Permata Delima yang tetap bersikap tabah, meskipun kini keadaan sangat memprihatinkan.
Tiba-tiba saja Prabu Adiwarman merasakan lapar yang luar biasa.
"Terima kasih, Permata...," kata Prabu Adiwarman sambil menyantap ayam hutan panggang itu. Putri Permata Delima pun menyediakan ayam panggang itu pada Tiroseta yang sedang mengangkat kepala, menatap sesuatu yang menarik perhatiannya di dinding Jurang
Setan.
"Kakang Tiroseta..., makanlah dulu...," ujar Permata Delima.
"Oh! Terima kasih, Tuan Putri. Tidak perlu repot. Aku biasa tidak makan bila sedang dalam tugas...,"
sahut Tiroseta dengan wajah memerah. Senapati ini sebenarnya malu karena justru seorang putri seperti Permata Delima yang melayaninya.
"Tetapi, ayam panggang ini sangat lezat sekali, Kakang," bujuk Putri Permata Delima, membuat hati Tiroseta terenyuh.
Memang, betapa bahagianya rakyat Kerajaan Pakuan memiliki seorang putri yang bisa dijadikan panutan.
"Oh, ya... ya..., terima kasih, Putri."
Tiroseta kembali menatap sesuatu yang menarik perhatiannya. Hingga kemudian, Putri Permata Delima pun mengikuti arah pandangan Tiroseta.
Di dinding Jurang Setan, Putri Permata Delima melihat seekor burung hantu berwarna abu-abu dengan sepasang mata memerah menyalang.
"Kenapa dengan burung hantu itu, Kakang?" tanya gadis itu kemudian, ingin mengetahui mengapa Tiroseta memandangi burung hantu itu dengan sikap penuh perhatian.
"Tidak, tidak apa-apa," desah Tiroseta.
"Kalau tidak apa-apa, mengapa begitu tertarik memperhatikannya?" cecar Putri Permata Delima.
Tiroseta menyadari kesalahannya. Senapati ini memang telah mendengar tentang kecantikan Putri Permata Delima yang sangat jelita dan meng-hanyutkan. Tetapi, ia kurang tahu kalau Putri Permata Delima mempunyai naluri ingin tahu yang tinggi.
"Tuan Putri..., selama dua hari hamba berada di sini, hanya..., baru pagi ini melihat burung hantu itu.
Tuan Putri sendiri bagaimana?" tanya Tiroseta.
Putri Permata Delima terdiam. Ia mengingat-ingat. Yah, rasanya ia pun baru melihatnya.
"Aku juga, Kakang. Sepertinya, aku memang baru melihat burung hantu itu.
Memangnya kenapa?" kata Putri Permata Delima, balik bertanya.
Putri Permata Delima melihat wajah Tiroseta terperanjat.
"Oh, Gusti Pangeran!" sentak Tiroseta.
"Kenapa, Kakang?" tanya Putri Permata Delima dengan kening berkerut.
"Tuan Putri..., sebelum lewat tengah hari, kita sudah harus pindah dari sini!"
kata Tiroseta, sedikit waswas. Matanya tak lepas dari burung hantu itu.
"Mengapa, Kakang" Bukankah ini tempat persembunyian yang aman bagi kita?" tanya Putri Permata Delima, tidak mengerti.
"Lagi pula, bukankah rencana Kakang tadi, nanti siang hendak melihat keadaan keraton?"
"Tuan Putri, burung hantu itu..., oh! Pasti itu burung hantu mata-mata...," kata Tiroseta dengan wajah tegang.
"Maksudmu, dia memata-matai kita?" tanya Putri Permata Delima.
"Kau benar, Tuan Putri. Jarang sekali hamba menjumpai burung hantu yang keluar bila ada sinar matahari. Biasanya, burung hantu selalu hanya keluar bila rembulan bersinar. Bukan matahari. Lagi pula, hanya baru kali ini melihat burung hantu di Jurang Setan," jelas senapati ini.
"Apakah itu tidak kebetulan saja, Kakang?" tanya Putri Permata Delima, memberi dugaan lain.
"Tuan Putri..., hamba telah banyak memakan asam garam di rimba persilatan. Hamba bisa membedakan mana burung hantu liar, burung hantu peliharaan, burung hantu yang dijadikan sebagai mata-mata.
Hewan sejenis itu sangat kejam, Tuan Putri. Seperti burung hantu itu. Pasti, dia sedang memata-matai kita," sergap Tiroseta, memberi penjelasan.
Sementara itu, burung hantu berwarna abu-abu itu sudah terbang sambil mengeluarkan suara menyeramkan. Putri Permata Delima pun mengerti maksud dari Tiroseta. Tetapi, ia tidak ingin merisaukan ayahandanya.
"Kakang..., setelah ayahanda selesai makan, barulah kita mengatakan padanya. Dan bila ayahanda setuju, kita pergi dari sini...."
Tiroseta mengangguk. Lagi-lagi hatinya sangat kagum atas kebijaksanaan Putri Permata Delima.
Lalu dilihatnya gadis itu tengah membagi-bagikan ayam panggang pada prajurit yang berada di sana.
Dan mata senapati ini lantas menerawang. Kalau dugaannya tentang burung hantu itu memang benar, keadaan benar-benar gawat!
*** Di Hutan Ringgis yang lebat, satu sosok tubuh kurus dengan pakaian compangcamping dan rambut acak-acakan menutupi wajahnya, berhenti berlari. Di punggungnya terdapat satu sosok tubuh yang terkulai pingsan. Sebentar matanya berkeliling memperhatikan. Sepi.
"Hhh! Dasar pendekar bandel! Sudah kukatakan jangan bergerak, justru menyerang! Keterlaluan!" omel sosok yang tak lain Eyang Sasongko Murti.
Memang setelah berhasil meloloskan diri dari tangan Siluman Hutan Waringin, Eyang Sasongko Murti itu berhasil keluar dari Alam Sunyi sambil membawa tubuh Pendekar Slebor yang pingsan.
Sejenak tadi, bagaikan seorang anak kecil yang telah lama menginginkan sebutir gula-gula, Eyang Sasongko Murti melonjak-lonjak kegirangan begitu meyakinkan dirinya berada di alam luas yang indah.
Cuping hidungnya sejak tadi tidak henti-hentinya mencium udara yang segar di sini. Udara yang sangat berbeda dengan udara di Alam
Sunyi, yang telah didiami selama seratus tahun!
Eyang Sasongko Murti merasa beruntung bisa pergi dari Alam Sunyi, alam gaib yang sulit sekali diterima akal. Juga, beruntung bisa meloloskan diri dari tangan Siluman Hutan Waringin yang kejam, meskipun terpaksa mengorbankan waktu Andika. Itulah sebabnya, untuk membalas budi dari Andika yang telah menolongnya keluar dari Alam Sunyi, laki-laki itu bersedia membantu Andika.
Lalu perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti menurunkan tubuh Andika yang dibopongnya. Direbahkannya pemuda itu di atas rerumputan yang masih basah. Matahari tak mampu memasuki dasar Hutan Ringgis, karena terhalang tingginya pepohonan dan rimbunnya
dedaunan. Kini laki-laki tua itu memeriksa sekujur tubuh Andika. Lalu, dibukanya pakaian pemuda itu yang berwarna hijau. Dan betapa terkejut Eyang Sasongko Murti ketika melihat sebuah garis silang di dada Pendekar Slebor yang masih pingsan!
"Gila! Andika terkena aji siluman yang bernama 'Ikatan Mambang Kahyangan'! Gawat kalau begini! Di dalam sepenanakan nasi bila
tidak tertolong, ia akan menjadi pengikut Siluman Hutan Waringin," sentak Eyang Sasongko Murti dengan suara bergetar.
Dengan cepat laki-laki tua ini menempelkan telapak tangan di kening Andika. Lalu dengan mengerahkan mantera pengusir siluman, mulutnya merapal sambil mengerahkan tenaga dalam. Namun sekian lama bertindak demikian, tidak ada tanda-tanda Andika
siuman. Tetap tergolek lemah tak berdaya. Bahkan Eyang Sasongko Murti melihat tanda silang di dada Andika berubah menjadi merah!
"Kacau! Kacau! Kalau tanda silang itu berubah menjadi hitam, berantakan semuanya!" dengus laki-laki tua ini sambil melepaskan kembali telapak tangannya pada kening Andika.
Tiba-tiba saja Eyang Sasongko Murti memutar kedua tangannya di depan dada, lalu mengangkatnya di atas kepala sambil menengadah. Dihirupnya udara banyak-banyak. Tiba-tiba....
"Pukulan Dewa Matahari! Heaaa...!"
Eyang Sasongko Murti menjerit keras sambil menyentak hawa murninya. Plashh...!
Dan mendadak saja seberkas sinar berwarna keemasan meluncur dari atas, dan singgah di telapak tangan kanan Eyang Sasongko Murti. Setelah itu, tangan kirinya dikibaskan ke depan, dan kembali diangkat ke atas sambil mengembalikan hawa murni pada titik kekosongan. Titik mengosongkan diri.
Pukulan Dewa Angin!" teriak Eyang Sasongko Murti lagi.
Kembali seberkas sinar yang kali ini berwarna putih, jatuh ke telapak tangan kiri Eyang Sasongko Murti.
Dan perlahan-lahan laki-laki tua ini membawanya ke dada Andika, lalu menempelkannya. Terlihat kemudian tubuh Andika mengejang hebat dan mengeluarkan keringat banyak!
Luar biasa! Dalam keadaan pingsan, Andika mengeluarkan keringat. Karena, tenaga dua pukulan maut Eyang Sasongko Murti telah ditempelkan ke dadanya.
Sementara itu, sekujur tubuh Eyang Sasongko Murti pun telah bersimbah keringat. Dan tubuhnya pun bergetar hebat!
"Andika..., kalau kau memang pendekar warisan Pendekar Lembah Kutukan, sadarlah! Sadarlah kalau bahaya sudah mendekatimu...," ujar Eyang Sasongko Murti dengan suara bergetar.
Tetapi sosok Andika tidak juga siuman. Bahkan justru kelojotannya semakin keras.
Eyang Sasongko Murti berusaha menahan dengan dua pukulan mautnya. Seluruh tenaga dalamnya di kerahkan untuk menyelamatkan Andika. Karena ia tahu bila gagal menyelamatkan Andika, berarti pemuda akan menjadi pengikut Siluman Hutan Waringin. Eyang Sasongko Murti adalah murid Siluman Hutan Waringin seratus tahun yang lalu. Maka tak heran bila dia sangat mengenal bahayanya pukulan 'Ikatan Mambang Kahyangan'. Dan tak heran pula, dia juga memiliki ilmu itu. Hanya saja, tidak mempelajari cara memunahkannya!
Kini Eyang Sasongko Murti telah pula menyalurkan hawa murninya.
"Ayolah, Andika.... Kau kuat. Kau kuat...," desis laki-laki tua ini dengan mulut bergetar hebat. Begitu pula sekujur tubuhnya yang bagaikan diguncang gempa sangat kuat.
"Kau mampu, Andika.... Kau mampu mengalahkan ajian Siluman Hutan Waringin!"
Eyang Sasongko Murti berusaha keras menyelamatkan Andika. Hatinya benar-benar khawatir. Bila gagal, maka pemuda tangguh dan gagah ini akan menjadi pengikut dari Siluman Hutan Waringin! Bukan hanya berbahaya. Eyang Sasongko Murti merasakan, kalau semua itu terjadi garagara dirinya. Dan sebelum kekhawatiran laki-laki itu lenyap...
Tiba-tiba saja dari mulut Andika keluar teriakan sangat keras, membedah seluruh Hutan Ringgis. Seketika wajah Eyang Sasongko Murti justru gembira.
"Ayo, terus Andika! Terus, bangkitkan kesadaran-mu! Kalahkan pukulan 'Ikatan Mambang Kahyangan'!" seru Eyang Sasongko Murti sambil menambah seluruh tenaga dalamnya.
"Aaa...!"
Jeritan demi jeritan pun terdengar dari mulut Andika. Sangat keras, bersamaan dengan tubuhnya yang bergejolak hebat. Sementara tubuh Eyang Sasongko Murti kelihatan tegang sekali. Kedua tangannya pun bergetar, mengikuti semua perubahan getar tubuh Andika yang semakin kuat.
Lalu mendadak saja Eyang Sasongko Murti mengangkat kedua tangannya dari dada Andika. Dan tiba-tiba dipukulnya kening Andika dengan keras.
Plak! Seketika jeritan Andika berhenti. Juga getaran tubuhnya yang kelojotan tadi.
"Maafkan aku, Andika.... Kau baru sadar bila matahari sudah turun nanti...," ucap Eyang Sasongko Murti mendesah lega.
Kini Eyang Sasongko Murti melihat tanda silang memerah di dada Andika berangsurangsur memutih, lalu perlahan-lahan menghilang.
Eyang Sasongko Murti jatuh terduduk. Tubuhnya lemas, setelah seluruh tenaganya terkuras.
"Kau hebat, Andika.... Kau hebat...," puji laki-laki tua ini.
Sebentar kemudian Eyang Sasongko Murti bersemadi untuk memulihkan kembali seluruh tenaganya.

***

% [5] %

Kekejaman Raja Akherat yang telah menguasai Kerajaan Pakuan membangkitkan kemarahan para tokoh persilatan golongan putih. Hati mereka teriris bila mendengar betapa gadis-gadis jelita dari berbagai desa diculik, demi memuaskan nafsu birahi Raja Akherat. Juga, penindasan dan pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang oleh Raja Lalim itu.
Para tokoh dari golongan putih itu pun mendengar kabar kalau Raja Akherat berniat menguasai rimba persilatan. Sudah tentu tidak menghendaki. Karena mereka tahu, bila Raja Akherat berhasil mewujudkan keinginannya, keadaan rimba persilatan pasti berada di ambang kehancuran.
Saat ini, di tepi Danau Abadi, telah berkumpul empat orang tokoh dunia persilatan golongan putih. Mereka sedang merencanakan untuk menghancurkan Raja Akherat. Mereka duduk bersila berbentuk lingkaran di tepi danau yang berudara sejuk, meskipun matahari sudah tepat di puncak kepala.
"Kita tidak bisa membiarkan kekejaman Raja Akherat terus menerus. Karena, seluruh rimba persilatan termasuk Kerajaan Pakuan, akan hancur di tangannya!" kata tokoh persilatan yang berpakaian putih dengan sorban putih pula. Sementara tangannya tak henti-hentinya mengelus-elus jenggotnya yang putih.
Wajah lelaki bersorban ini begitu arif. Suaranya pun lembut. Orang-orang persilatan mengenalnya sebagai Ki Pangsawada yang berjuluk, Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Kau benar, Pangsawada!" Suara sahutan itu meluncur dari mulut seorang laki-laki yang usianya kira-kira enam puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari kulit harimau dan bersenjatakan sebuah tongkat berukir kepala harimau pada ujungnya.
"Kita tidak bisa berpangku tangan saja. Kita pun tidak akan membiarkan kesewenang-wenangan Raja Akherat!" tambah laki-laki yang tak lain Ki Wirayuda, Penguasa Harimau. Dialah ayah Sari.
Sebenarnya saat ini, kemunculan Ki Wirayuda adalah untuk mencari Sari. Biasanya, gadis itu meninggalkan rumah hanya dalam waktu tiga hari.
Tetapi sudah dua minggu lebih, Sari tidak muncul juga. Dan tidak disangka, Ki Wirayuda justru bertemu Ki Pangsawa yang segera menceritakan tentang Raja Akherat, yang saat ini menguasai Kerajaan Pakuan dan berkeinginan menguasai rimba persilatan.
"Ya! Apa yang kalian omongkan memang benar." timpal seorang wanita berpakaian berwarna merah tua.
Rambut perempuan tua itu digelung ke atas, dan diberi tusuk konde terbuat dari tulang. Usianya kira-kira tak jauh berbeda dengan Ki Pangsawada dan Ki Wirayuda.
Namanya, Nyai Selastri yang berjuluk Naga Gunung.
"Tetapi, kita tidak tahu di mana saat ini Prabu Adiwarman berada. Karena menurutku, justru Prabu Adiwarman-lah yang harus diselamatkan lebih dulu," tambah si Naga Gunung.
"Tetapi aku yakin, dia telah selamat, Nyai.... Meskipun, kita tidak tahu di mana Prabu Adiwarman berada saat ini," tegas seorang laki-laki berusia dua puluh tahun. Tokoh ini satu-satunya yang termuda di antara kelompok itu. Namanya, Permadi. Dia memang belum mendapatkan julukan apa-apa dari orang persilatan. Bahkan, pemuda itu sendiri belum pula menjuluki diri.
"Tetapi menurutku yang terpenting, aku harus membalas kematian guru yang tewas di tangan Raja Akherat!" tegas Permadi, mendesis.
Ki Pangsawada melihat wajah Permadi memerah garang dengan suara menggeram. Ia tahu, betapa dendamnya pemuda itu pada Raja Akherat. Karena, Ki Kelana, guru Permadi telah tewas di tangan tokoh bejat itu. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode "Raja Akherat").
"Tetapi yang pasti sekarang ini, kita harus segera bergerak untuk menghancurkan Raja Akherat. Sebelum ia semakin bertindak sewenang-wenang."
Tak ada yang bersuara lagi. Ketika Ki Pangsawada bangkit, yang lain pun bangkit. Lalu mereka berjalan beriringan menuju Kerajaan Pakuan.

***

Saat ini, Raja Akherat yang mempunyai cita-cita menguasai rimba persilatan telah memanggil kerabatnya yang lain pula. Dan sudah tentu mereka bersedia membantu. Mereka adalah, Nyai Pamunti yang berwajah mengerikan. Hidungnya bengkok. Matanya sipit memerah. Julukannya, Wanita Burung Hantu.
Orang kedua yang diajak bergabung Raja Akherat adalah seorang laki-laki berwajah pedok, alias masuk ke dalam. Begitu pula hidungnya. Wajahnya mengerikan sekali, tak ubahnya hantu di siang bolong. Namanya, Kokorongko, yang berjuluk Dewa Muka Iblis. Senjata andalannya, sepasang gada besar. Sementara orang ketiga adalah laki-laki bermata picek. Rambutnya kemerah-merahan acak-acakan. Tubuh bertelanjang dada. Celananya berwarna hitam.
Namanya, Anomdoro. Di kalangan tokoh hitam, dia di kenal sebagai Manusia Mata Picek, yang terkenal dengan permainan ilmu racunnya.
Ketiga orang itu tadi pagi datang secara bersamaan. Padahal tempat tinggal masing-masing di daerah sepi dan berjauhan.
Mereka telah dikirimi undangan melalui mimpi, dengan kekuatan ilmu milik Raja Akherat. Raja Akherat pun menyambut mereka dengan
tangan lebar. Di atas meja, telah disediakan arak yang banyak dan makanan melimpah ruah. Bahkan enam orang gadis telah dipaksa menemani Kokorongko dan Anomdoro. Masing-masing, mendapatkan tiga orang. Sementara Nyai Pamunti hanya mendengus saja.
Sebelumnya, Raja Akherat telah menyuruh Nyai Pamunti yang selalu membawa burung hantu untuk melacak jejak Prabu Adiwarman.
Dan kini, burung hantu peliharaan perempuan tua itu telah datang. Nyai Pamunti pun bangkit sambil bersiul, burung hantu berwarna abu-abu dengan mata merah itu pun hinggap di lengannya yang terulur.
"Bagaimana, Manis" Apakah kau menemukan jejak mereka?" tanya Wanita Burung Hantu. Burung itu berkaok-kaok dengan suara mengerikan.
"Bagus, bagus sekali," puji Nyai Pamunti, yang mengerti maksud peliharaannya itu.
"Hm..., siapa saja yang berada di sana?" Burung hantu itu berkaok-kaok lagi.
"Bagus, bagus.... Hanya segitu saja" Hmmm..., apakah kau melihat seorang pemuda berpakaian berwarna hijau, Manis?"
Burung hantu itu kembali bersuara.
"Tidak" Bagus! Sekarang..., kau boleh beristirahat! Nah, kau buru makananmu sendiri!"
Burung hantu itu pun terbang entah ke mana. Yang pasti, akan segera datang pada majikannya. Wanita Burung Hantu duduk kembali. Sementara Raja Akherat tidak sabar ingin mengetahui, apa maksud bunyi burung hantu itu.
"Apa yang didapat burung hantumu itu, Pamunti?" tanya Raja Akherat.
Nyai Pamunti menenggak araknya, sebelum menjawab,
"Raja Akherat..., apakah di sekitar daerah timur dari Keraton ini, ada sebuah jurang?" Nyai Pamunti justru balik bertanya.
"Maksudmu?"
"Menurut laporan si Manis..., dia menemukan Prabu Adiwarman, bersama dua puluh orang prajurit dan seorang dara jelita. Hmmm..., pasti dara itu tak lain dari Putri Permata Delima," papar Wanita Burung Hantu.
Raja Akherat terdiam.
"Jurang" Jurang..., hm.... Aku tidak tahu kalau di daerah scbelah timur sana ada jurang. Kalau begitu, kau dan Kokorongko, nanti malam menyatroni jurang itu dengan petunjuk burung hantu peliharaanmu," ujar Raja Akherat.
"Ha... ha... ha..., jangan khawatir."
"Bunuh Prabu Adiwarman!" tandas laki-laki bengis itu.
"Tugas mudah. Tugas mudah. Tetapi, Raja Akherat, menurut laporan si Manis..., ia tidak melihat seorang pemuda berpakaian hijau-hijau yang menurutmu Pendekar Slebor," jelas Nyai Pamunti.
"Tidak ada?"
"Ya."
"Bangsat! Ke mana pendekar usil itu berada" Hhh!
Tak sabar aku untuk melihat kematiannya!" geram Raja Akherat.
Anomdoro tertawa dengan suara nyaring.
"Aku belum mendapat tugas apa-apa darimu. Akan kucari pendekar keparat itu! Tak lama lagi, orang-orang rimba persilatan dari golongan putih akan menangisi kematiannya! Sementara, orang-orang rimba persilatan dari golongan hitam akan terbahak-bahak penuh kemenangan...," timpal laki-laki bermata picek itu. Mereka pun terbahak. Pesta itu dilanjutkan kembali.
Lalu, Kokorongko dan Anomdoro meng-gandeng tiga gadis yang hanya pasrah saja. Gadis-gadis itu ingin menangis dengan luka yang dalam. Mereka merasa, selama hidupnya hanya menjadi pemuas nafsu orang-orang biadab ini.
Akankah pertolongan akan tiba" Tak ada yang tahu. Sedangkan Nyai Pamunti hanya mendengus saja. Mulutnya menenggak arak lagi, tidak bisa mengikuti pesta cabul yang sedang dilakukan teman-temannya.
Sementara itu, Raja Akherat sendiri melangkah menuju kamar tempat Sari disekap.

***

Sari menggeram begitu melihat sosok Raja Akherat muncul.
"Manusia bejad! Lepaskan ikatanku ini! Kita bertarung sampai mati!" teriak Sari dengan muak. Sari berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan tali yang mengikat kedua kaki dan tangannya. Namun sejak tadi ia gagal. Karena ikatan itu begitu kuat, karena tali itu telah dialiri tenaga dalam Raja Akherat yang sulit ditembus! Raja Akherat terbahak-bahak.
"Aku suka sekali denganmu, Cah Ayu...," kata Raja Akherat sambil menyeringai.
Laki-laki itu melangkah mendekat, dan duduk di sisi Sari yang telentang di ranjang lembut milik Prabu Adiwarman. Lalu tangannya dengan jahil mencolek pipi lembut gadis itu.
Sari menolehkan kepala, menghindari rabaan tangan Raja Akherat.
"Cih! Tangan busuk ini akan membuat kulitku menjadi busuk!" dengus Sari.
"Tenanglah, Manis...," desis Raja Akherat yang mendadak saja kembali merasakan kehilangan birahi. Sungguh, laki-laki ini tidak mengerti sama sekali, Mengapa terjadi hal seperti itu. Padahal, keinginan untuk menggumuli gadis ini begitu menggebu-gebu.
Memang Raja Akherat tidak tahu kalau di sekujur tubuh Sari telah ditamengi semacam sinar yang kasat mata.
Tameng itu diciptakan Eyang Sasongko Murti lewat tenaga batin dengan ilmu yang dipelajari dari Siluman Hutan Waringin. Dan hanya Siluman Hutan Waringin lah yang mampu melihat sinar itu. Bahkan menyingkirkannya.
"Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!" seru Sari kalap. Sementara sampai saat ini, gadis itu tidak mengerti, mengapa Andika belum muncul juga? Apakah pemuda itu termasuk pemuda pengecut? Yang hanya banyak bicara saja" Padahal, sesungguh-nya melarikan diri melalui jalan rahasia itu"
"Bertarung" Ha... ha... ha...! Apakah kau tidak sayang bila kulitmu yang mulus terluka, Cah Ayu?" ejek Raja Akherat.
"Manusia keparat! Dosa-dosamu tak bisa diampuni lagi!" teriak Sari keras.
Dan justru kata-kata Sari kembali membuat Raja Akherat terbahak-bahak.
"Aku tak ingin dosa-dosaku diampuni, Cah Ayu.... Bahkan aku ingin membunuh semua pendekar dari golongan putih. Ketahuilah.... Tak
lama lagi, aku akan menjadi penguasa rimba persilatan, menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini! Ha... ha... ha...!
Dan kau akan menjadi permaisuriku, yang akan melahirkan seluruh keturunanku...," lanjut Raja Akherat.
Sari mengkeret mendengar kata-kata Raja Akherat.
Hatinya ngeri membayangkan bila Raja Akherat benar-benar melakukannya. Meskipun tidak meng-harapkan manusia kejam itu melakukan perbuatan terkutuk padanya, tetapi Sari merasa heran. Karena selama dua hari ini, tubuhnya seperti dibiarkan saja.
"Lebih baik aku bunuh diri daripada harus menjadi penerus keturunanmu!" dengus gadis itu sengit.
"Ha... ha... ha...! Mengapa kau tidak lakukan, hah"!' sahut Raja Akherat enteng. Wajah Sari memerah.
"Baik! Lihatlah!" kata Sari, dengan suara tegar. Gadis itu kemudian bermaksud menggigit lidahnya sendiri. Tetapi tangan Raja Akherat bergerak lebih cepat. Dan....
Tuk! Tuk! Raja Akherat menotok urat di bagian leher Sari, sehingga mulutnya sukar dikatupkan.
"Sebelum melahirkan seluruh penerusku, kau takkan bisa mati, Manis.... Ha... ha... ha...," tegas Raja Akherat.
Kini manusia bengis yang bertubuh tinggi besar menyeramkan itu pun bangkit meninggalkan Sari yang hanya bisa menatap dengan mata garang.
Sementara, mulutnya sulit dikatupkan kembali.
"Oh! Mengapa Andika belum muncul juga?" kata Sari, lirih.
Gadis ini merasa lebih baik mati daripada menjadi ibu dari keturunan Raja Akherat.

***

Dari sebuah pohon tinggi besar berdaun rimbun, sepasang mata memperhatikan suasana di Keraton Pakuan. Meskipun telinganya mendengar suara terbahak-bahak keras, tetapi sosok yang tak lain Danji tidak melihat siapa-siapa di sana.
Berarti, orang-orang itu berada di dalam keraton. Danji sendiri yakin, Raja Akherat kini mengundang sahabatnya kembali. Kalau
begitu, keadaan semakin genting saja. Dan hal ini harus dilaporkan Prabu Adiwarman. Dan diam-diam Danji pun merasa yakin pula, kalau para prajurit Kerajaan Labuan telah berhasil dilumpuhkan Raja Akherat. Mungkin pula telah tewas.
Mendadak saja Danji menundukkan kepala. Kalau begitu, apakah Andika telah tewas? Hati Danji terenyuh memikirkan soal itu. Bila memang benar, ah...! Kasihan sekali nasib pemuda konyol itu.
"Andika.... Kalau kau memang sudah mati, aku bersumpah! Aku akan mencari mayatmu sampai ketemu...," desah Danji, lirih.
Danji pun bermaksud turun, untuk menyampaikan berita itu pada Prabu Adiwarman.
Hanya, mendadak saja matanya tertumbuk pada satu sosok kecil yang menatapnya dengan mata memerah di salah satu cabang pohon.
"Heran" Sejak tadi aku tidak melihat burung hantu itu!" gumam Danji. Lalu tanpa mempedulikan burung hantu itu, pemuda ini pun mulai menuruni pohon.
Namun mendadak saja....
Siuuut! "Heh"!"
Danji tersentak. Tiba-tiba saja burung hantu meluncur, dan menyerangnya dengan ganas. Dengan sebisanya, Danji menggerakkan tangan untuk menangkis.
Crab! Tok!! Cakar dan patukan yang tajam dari burung hantu itu mampir di lengan Danji. Dan burung itu semakin gila menyerang. Danji menjadi kalang kabut, sambil berusaha turun dengan cepat. Dan dia juga harus berusaha untuk tidak terjatuh dari pohon tinggi itu. Burung hantu yang ternyata peliharaan dari Nyai Pamunti terus menyerang ganas.
Rupanya, setelah selesai mencari makan, burung hantu itu kembali ke keraton tempat majikannya berada. Tetapi, burung hantu yang memang telah dilatih Nyai Pamunti untuk selalu berbuat jahat, melihat satu sosok tubuh yang menurutnya orang tak dikenal.
Danji tidak mempedulikan serangan ganas dari burung hantu itu. Dia terus saja turun dengan membiarkan tubuhnya dicakar dan digigit.
"Gila! Akan kubunuh kau nanti!" bentak Danji sambil terus menuruni pohon yang tinggi. Dan gerakan pemuda itu tidak bisa selincah ketika naik tadi, karena mendapatkan serangan ganas dari burung hantu itu.
Danji pun melompat ke tanah ketika diperkirakan jaraknya sudah pendek dari tanah. Namun tubuhnya terus jatuh terguling, sementara burung hantu itu kembali menyerangnya.
"Bangsat! Burung hantu setan rupanya!"
Tangan Danji menyambar sebatang dahan pohon kering yang ada di dekatnya. Cepat diayun-ayunkan dahan itu pada burung hantu yang sedang terbang sambil menatap dengan mata memerah.
"Ayo, ayo sini! Biar mampus kau kulumat kayu ini!"
tantang Danji. Siuuttt...! Dan mendadak saja burung hantu itu menyerangnya kembali. Sementara Danji segera mengibaskan kayunya.
Wuuut! Luput! Karena, burung hantu itu mampu menghindari serangan dengan lincah. Hal ini membuat Danji makin marah dan penasaran. Kembali dahan kayu itu di ayunkan dengan kuat. Pikirnya, sekali ayun pasti burung hantu itu akan mampus.
Wuuut...! Tetapi lagi-lagi serangan Danji gagal. Karena, burung hantu itu dengan lincah berkelit menghindar.
Bahkan kini menyerangnya kembali dengan kedua cakarnya yang terbuka. Meskipun kuku-kukunya kecil, namunruncing luar biasa.
"Ayo, sini! Sini, Bangsat!" tantang Danji kalap.
Ketika burung hantu itu menyerang lagi, Danji pun langsung mengayunkan dahan kayunya. Namun lagi-lagi burung hantu itu mampu menghindar.
"Suiiittt...!"
Mendadak terdengar siulan keras sekali. Seketika burung hantu yang diperkirakan Danji akan menyerang kembali, terbang dan hinggap di pohon yang tadi dinaiki Danji. Sedikit banyak, kening Danji pun berkerut. Karena dahan kayunya sudah siap untuk diayunkan kembali.
Dan belum lagi kening Danji yang berkerut tadi membalik kembali, tampak satu sosok tubuh berkelebat ke arahnya. Begitu tiba, sosok itu menyeringai mengerikan dengan tatapan nyalang.
"He... he... he.... Rupanya ada anak nakal yang nyasar kemari," kata sosok yang tak lain Nyai Pamunti.
Danji sadar, kalau kini terjebak. Rupanya siulan tadi isyarat bagi burung hantu.
Dan dirinya yang sedang sibuk melayani serangan-serangan menjadi tidak sadar kalau berada di sarang lawan. Tetapi Danji bukanlah orang yang pengecut. Meskipun tidak memiliki ilmu olah kanuragan, dia tetap tak hengkang dari tempat ini.
"Hhh! Manusia busuk! Rupanya kau antek-antek dari Raja Akherat itu!" bentak Danji. Nyai Pamunti terkekeh-kekeh.
"Dan kau akan mampus hari ini juga, Anak Muda."
"Mati ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bukan oleh tanganmu. Bila Yang Kuasa belum mengizinkan mati, maka aku tidak akan mati!" sahut Danji gagah. Nyai Pamunti sebenarnya adalah tokoh kejam. Makanya, tanpa banyak bicara lagi tubuhnya segera melayang menyerang Danji.
Danji yang menyadari hal itu, segera mengibaskan dahan kayunya.
Wuuut! Prak! Dahan kayu itu kontan patah terhantam kerasnya tangan Nyai Pamunti yang berjuluk si Wanita Burung Hantu.
"He... he... he.... Sudah kukatakan, kau akan mampus hari ini, Anak Muda!" ejek si Wanita Burung Hantu.
Kembali Nyai Pamunti berkelebat menyerang lagi. Kali ini dengan satu keyakinan, ia akan menghabisi pemuda itu. Danji berusaha menghindar ke samping. Namun tanpa diduga, si Wanita Burung Hantu melenting ke atas, seraya melepaskan hantaman ke punggung.
Desss...! "Aaakh...!"
Danji terhuyung ke depan, dan seketika muntah darah. Pada saat yang sama Nyai Pamunti telah mendarat. Dan dia memang berniat menghabisi Danji.
Maka seketika dia bergerak lagi dengan tangan telah tersalur tenaga dalam. Namun baru beberapa langkah....
"Hauuum...!"
"Heh"!"
Mendadak saja si Wanita Burung Hantu melompat ke belakang. Diiringi raungan keras, sebuah sosok tubuh berkaki empat tampak meluruk ke arahnya dengan ganas.
"Bangsat!" bentak Nyai Pamunti.
Mata perempuan itu kontan terbelalak melihat seekor harimau besar berdiri tegak di dekat Danji dengan tatapan berkilat-kilat.
Danji merasa bersyukur, karena si Belang muncul pada saat yang tepat. Memang sejak tadi harimau itu disuruh menunggu di balik rimbunnya semak, tanpa boleh bersuara. Dan Belang memang menuruti. Tetapi rupanya, penciumannya sangat tajam.
Ia merasa, Danji adalah sahabat majikannya. Makanya binatang itu pun langsung keluar dan menyerang Nyai Pamunti yang sedang melayang untuk menghabisi nyawa Danji. Nyai Pamunti terkekeh-kekeh.
"Kalau tidak salah lihat, kau adalah peliharaan Wirayuda si Penguasa Harimau. Bagus! Di mana dia sekarang"!" bentak Wanita Burung Hantu.
Si Belang ingin menyerang kembali. Tetapi Danji segera mendekatkan wajah ke telinga si Belang.
"Tak ada gunanya melawan manusia terkutuk itu Belang! Lebih baik melarikan diri saja!" ujar Danji.
Belang pun urung menyerang. Lalu tubuhnya merunduk dengan cepat. Dengan menahan rasa sakit di dada, Danji pun segera melompat ke atas punggung si Belang yang langsung berlari cepat.
"Bangsat! Mau ke mana kau!" bentak Nyai Pamunti sambil mengibaskan tangannya, mengirimkan pukulan jarak jauh berkekuatan dahsyat.
Wesss...! Tetapi si Belang memang hewan peliharaan tangguh dan mengerti. Serangan itu bisa dihindarinya dengan berlari secara
melompat-lompat ke kanan dan kiri. Pukulan jarak jauh Nyai Pamunti pun luput, menghantam sebuah pohon besar.
Blarrr...! Krak! Pohon itu langsung tumbang.
"Manis! Ikuti mereka! Cari tahu, di mana mereka berada!" perintah Nyai Pamunti pada burung hantu peliharaannya.

***

% [6] %

Malam kembali merebak. Begitulah hukum alam. Saat ini Eyang Sasongko Murti masih duduk terpekur. Sejak tadi, tubuhnya tidak beranjak dari tempatnya. Matanya yang sipit dan tertutup rambut yang acak-acakan, memandang pada sosok Pendekar Slebor yang masih dalam keadaan pingsan.
Meskipun Andika belum juga siuman, tetapi Eyang Sasongko Murti sudah merasa sedikit tenang. Karena, tanda silang di dada Andika sudah menghilang. Berarti, pengaruh dari pukulan 'Ikatan Mambang Kahyangan' telah berhasil dilumpuhkan.
Meskipun, Eyang Sasongko Murti harus menguras tenaga dalam dan hawa murninya. Namun sekarang semua itu sudah berangsur-angsur kembali seperti semula berkat semadinya. Dan yang diam-diam dipikirkan laki-laki tua ini, jelas Siluman Hutan Waringin tidak akan membiarkannya bebas begitu saja. Pasti siluman itu akan mencarinya.
Kini malam telah datang. Suasana di Hutan Ringgis tetap menyeramkan. Dan ketika Eyang Sasongko Murti tengah mengantuk, tiba-tiba telinganya menangkap erangan Andika. Pelan.
"Oh! Kau sudah sembuh" Hei, bangun! Bangun! Jangan manja seperti itu!" ujar Eyang Sasongko Murti sambil mengguncang-guncang
tubuh Andika.
"Nakal! Bangun!" Perlahan-lahan erangan yang tadi terdengarnya pelan, kini semakin jelas.
Disusul, goyangan kepala Andika yang lembut. Pemuda itu kini sudah merasakan rasa sakit kembali. Kepalanya pusing tak karuan. Sekujur tubuhnya bagaikan kehilangan tenaga.
"Ayo, jangan manja! Keterlaluan sekali kau ini!" dengus Eyang Sasongko Murti lagi sambil meng-goyang-goyangkan tubuh Andika agak
keras. Perlahan-lahan mata Pendekar Slebor membuka. Kesadarannya memang telah pulih.
"Pelan-pelan! Sakit!" bentak Andika agak kesal.
"Ha... ha... ha...!"
Eyang Sasongko Murti hanya terbahak-bahak. Hatinya senang melihat pemuda yang gagah ini telah kembali sedia kala.
"Bagus, bagus! Daya tahan tubuhmu memang hebat! Tidak perlu disangsikan lagi!" puji Eyang Sasongko Murti.
Andika perlahan-lahan mengangkat tubuhnya. Sementara kakinya masih berselonjor. Sekujur tubuhnya masih terasa sangat lemah.
Tetapi untuk membalas selorohan Eyang Sasongko Murti, ia masih sanggup melakukannya.
"Hebat ya, hebat! Tetapi di mana raksasa mata satu yang jelek itu"!" kata Andika sambil memandang ke sekelilingnya.
"Hei" Tidak tahukah kau, kita berada di mana" Ini di alam bebas, Andika! Alam bebas merdeka! Bukan Alam Sunyi yang mengerikan!" seru Eyang Sasongko Murti sambil bersorak-sorak tak ubahnya anak kecil.
Kegembiraan Eyang Sasongko Murti pertama, karena sudah melihat Andika terbebas dari pukulan Siluman Hutan Waringin. Kegembiraan kedua, karena kembali menyadari telah berada di alam yang dirindukan selama seratus tahun.
"Hmmm..., apakah kau tidak membedakan udara yang segar ini dengan udara dingin yang terdapat di Alam Sunyi?" tanya laki-laki tua aneh ini.
Andika memonyongkan mulutnya.
"Jangan sembarangan mengejek! Kau lihat sendiri hidungmu yang penyok kayak gitu! Pasti kau yang tidak bisa membedakan udara yang segar itu!" seloroh Andika sambil mendengus.
"Kau iri ya, melihat hidungku yang mancung seperti ini?"
"Ha... ha... ha...!" Eyang Sasongko Murti justru terbahak-bahak.
"Aku menyukaimu, Andika," ujar Eyang Sasongko Murti.
"Aku malah tidak! Gara-gara kau, aku terdampar di Alam Sunyi! Juga harus meninggalkan kewajibanku membela Kerajaan Pakuan Barat!" gerutu Andika.
Dan kini Pendekar Slebor yakin kalau sudah tidak berada lagi di Alam Sunyi. Entah bagaimana Eyang Sasongko Murti membawanya keluar dari sana.
"Jangan takut! Kita akan menyerang ke sana bersama-sama!" ujar Eyang Sasongko Murti masih terbahak-bahak.
"Enaknya kau ngomong! Kesaktian Raja Akherat sulit ditandingi!"
"Jangan meremehkan aku!" bentak Eyang Sasongko Murti, tiba-tiba.
"Manusia setinggi apa pun ilmunya, tidak akan ada yang mampu menandingi kesaktianku!"
"Sombong!" cibir Andika.
"Kau akan melihat buktinya nanti! Akan kulumat orang yang berjuluk Raja Akherat itu!" tandas laki-laki tua aneh ini.
"Jangan bisanya cuma ngomong!" sengat Andika lagi.
Wajah Eyang Sasongko Murti mengkerut jengkel.
"Lihat saja nanti!"
"Aku lapar!" seru Andika tiba-tiba.
"Nah! Mengapa kau tidak mencari?"
"Enaknya.... Tubuhku masih lemah begini!"
Eyang Sasongko Murti menggaruk-garuk rambutnya yang semakin bertambah acakacakan.
"Kalau begitu, bersemadilah dulu. Aku akan segera mencari makanan!"
Andika nyengir.
"Itu lebih baik."
"Hei! Kau mengakali aku yang lebih tua, ya?"
"Sekali-sekali tidak apa-apa. Hitung-hitung kau sudah kubebaskan dari Alam Sunyi!" sahut Andika kalem.
"Slompret!" Eyang Sasongko Murti bersungut-sungut.
"He... he... he.... Orang yang sudah bau tanah memang suka ngomel!" seloroh Andika.

***

Seperti yang diperkirakan Tiroseta, akhirnya mereka pun meninggalkan Jurang Setan. Senapati ini menerangkan alasan, mengapa mereka harus pindah pada Prabu Adiwarman. Dan akhirnya penguasa Kerajaan Pakuan itu mau mengerti. Mungkin saja memang benar dugaan Tiroseta, kalau burung hantu itu adalah burung 'mata-mata'.
Entah milik siapa. Kini berbondong-bondong mereka keluar dari dasar Jurang Setan. Menurut Putri Permata Delima, barangkali saja Danji masih mengetahui tempat rahasia yang tersembunyi. Tetapi, alangkah terkejutnya mereka ketika tidak melihat Danji. Juga si Belang.
Sementara itu, Tunggal bergegas menghampiri bersama Riaka, begitu melihat rombongan itu muncul dari jalan rahasia Jurang Setan.
"Tunggal! Ke mana pemuda yang bernama Danji?" tanya Tiroseta.
"Maafkan aku, Kakang.... Dia bersikeras untuk melihat keadaan keraton," sahut Tunggal, penuh hormat.
"Gusti.... Kau mengizinkannya?" desah Tiroseta, terkejut.
"Sangat sulit menghalangi keinginannya, Kakang."
Tiroseta menggeram jengkel. Seharusnya, dia memikirkan kemungkinan itu tadi.
"Bersama siapa perginya?" tanya Tiroseta lagi.
"Dengan harimau besar itu, Kakang."
Tiroseta mendesah lagi.
"Aku tidak tahu harus berkata apa," kata senapati ini. Dalam hati dia hanya berharap, Danji dan si Belang mampu menjaga diri.
"Kalau begitu..., kau dan Riaka... berjalan semakin ke timur. Kita harus pindah dari Jurang Setan ini. Karena menurut perkiraanku, akan lebih berbahaya bila masih berada di sini...."
Tanpa banyak tanya lagi, Tunggal segera mendahului bersama Riaka. Tetapi ada satu masalah lagi yang mendadak saja terjadi.
"Aku ingin menunggu Kang Danji di sini!" kata Putri Permata Delima dengan suara cemas.
"Tuan Putri..., keadaan sangat genting. Hamba yakin, burung hantu itu milik salah seorang kawan Raja Akherat. Kita bisa mati konyol bila terus menerus bertahan di sini," sergah Tiroseta.
Tetapi Putri Permata Delima tetap menolak. Hatinya mendadak menjadi cemas akan nasib kekasihnya. Saat itulah diam-diam Prabu Adiwarman mengetahui, kalau putrinya mencintai Danji. Mungkin pula tanpa sepengetahuannya, mereka telah lama memadu kasih.
Sedikit banyaknya Prabu Adiwarman menyesal, karena telah mengadakan sayembara 'Mungut Mantu' yang akhirnya berakibat munculnya Raja Akherat, sekaligus menguasai keraton.
Yang lebih membuatnya sedih, karena Putri Permata Delima tidak pernah ditanyakan pendapatnya tentang keputusan mengadakan sayembara.
Putri Permata Delima telah menunjukkan sikap tegar. Bila Danji selamat, Prabu Adiwarman akan menanyakan kebenaran dugaannya. Tetapi yang terpenting sekarang ini, putrinya harus dibujuk untuk pindah dari Jurang Setan.
"Permata Delima..., keadaan kita semakin gawat.
Ancaman demi ancaman tanpa disadari telah ber-kembang. Kita tidak bisa berdiam di sini terus menerus, Permata...," bujuk Prabu Adiwarman lembut sambil menatap putrinya. Putri Permata Delima menundukkan kepala. Gadis ini tak kuasa menatap mata ayahandanya. Dia khawatir hubungannya dengan Danji diketahui ayahnya, yang sudah tentu dapat melihat riak-riak kecemasan di matanya.
Menurut perkiraan Putri Permata Delima, ayahnya akan marah besar bila mengetahui hubungannya dengan Danji. Terbukti, dengan diadakannya sayembara 'Mungut Mantu'.
"Baiklah, Ayahanda.... Kita segera pindah dari sini...," desah Putri Permata Delima, perlahan.
Prabu Adiwarman mendesah. Justru perasaannya terpukul mendengar kata-kata putrinya.
"Permata.... Pasti Danji akan kembali kepadamu." hibur Prabu Adiwarman.
Seketika Putri Permata Delima mengangkat kepala. Hatinya tersentak mendengar kata-kata ayahandanya.
"Ayah...."
"Percayalah.... Karena ia seorang pemuda yang gagah dan berani...," tegas Prabu Adiwarman, meyakinkan.
Putri Permata Delima tidak berani memperbesar keyakinannya, kalau sedikit banyak ayahnya mengetahui hubungannya dengan Danji. Dari kata-katanya, dapat ditangkap kalau ayahnya merestui hubungannya dengan Danji. Tetapi, Putri Permata Delima tidak berani berharap banyak.
"Baiklah, Ayahanda.... Aku menurut...," desah Putri Permata Delima.
Kemudian rombongan itu pun melangkah meninggalkan Jurang Setan. Tiroseta melangkah sambil memperhatikan sekelilingnya
dengan tatapan waspada. Matanya mencari-cari burung hantu yang menurutnya 'matamata' Raja Akherat. Dan diam-diam keyakinannya terhadap saudara-saudaranya yang telah tewas semakin membesar saja.
Sementara, Putri Permata Delima melangkah dengan kepala tertunduk. Hatinya sangat merisaukan nasib Danji. Ah! Bila saja rencana kekasihnya itu diketahui, sudah tentu ia tidak akan pernah mengizinkannya.

***

Memang, apa yang diduga Tiroseta sangat benar. Karena keesokah harinya, Nyai Pamunti dan Kokorongko berhasil menemukan Jurang
Setan.
"Hhh! Pasti Prabu Adiwarman berada di sini,"
desah Kokorongko sambil memandang ke bawah. Tak terlihat apa-apa, karena jurang itu sangat dalam.
"Kau benar, si Manis tidak pernah salah. Tetapi, dari manakah mereka masuk dan keluar?" tanya Nyai Pamunti.
"Tentunya ada jalan rahasia. Kita tidak usah mencarinya! Akan kita timbun dasar Jurang Setan ini dengan batu-batu besar... ha ha ha! Biar Prabu Adiwarman mampus di sana, beserta para pengikut setianya!" kata Kokorongko.
Lalu mereka pun mulai sibuk menggeser batu-batu besar yang ada di sana, dan digulingkan ke dasar Jurang Setan. Sehingga menimbulkan suara cukup keras. Bahkan tanah yang dipijak terasa bergoncang. Sambil terbahak-bahak dan membayangkan betapa orang-orang yang berada di dasar Jurang Setan itu kalang kabut, mereka terus secara membabibuta mendorong batu-batu besar.
Tiga puluh batu besar sudah masuk ke perut Jurang Setan. Kini, mereka menghentikan tindakan-nya.
"Cukup! Aku yakin, mereka sudah menjadi daging cacah di sana!" ujar Kokorongko dengan suara puas.
"Hhh! Apakah Pendekar Slebor juga berada disana?" tanya Nyai Pamunti.
"Aku tidak tahu. Tetapi kalau memang berada di sana, namanya pun sudah tenggelam di antara puluhan batu yang kita lemparkan tadi."
Nyai Pamunti terdiam sejenak. Kalau memang Pendekar Slebor yang namanya menghebohkan dunia persilatan memang berada di sana, alangkah mudahnya membunuh pendekar itu. Tetapi, apakah pendekar itu berada di sana" Nyai Pamunti masih meragukannya.
"Pamunti, kenapa kau terdiam?" tegur Kokorongko.
"Alangkah mudahnya membunuh pendekar itu. Padahal, aku ingin sekali menjajaki kesaktiannya!" sahut Nyai Pamunti.
"Ha... ha... ha.... Dan kini niatmu terkubur sudah. Tetapi, kau harus bangga. Karena di tanganmu jugalah Pendekar Slebor mampus! Kita kembali ke keraton," ajak Kokorongko, akhirnya.
"Yah! Aku sendiri ingin tahu laporan dari si Manis tentang pemuda yang menunggang harimau itu!"

***

% [7] %

Rombongan Prabu Adiwarman yang dipimpin Tiroseta telah tiba di sebuah hutan yang sangat lebat. Memang, tak ada tempat lain lagi yang bisa dijadikan tempat hunian. Menurut Tiroseta sendiri, tempat itu sudah cukup aman. Paling tidak, bisa jauh dari orang-orang Raja Akherat.
Mereka pun segera mendirikan tenda. Sementara persiapan darurat dilakukan secara mendadak dan cepat. Tiroseta mempersilakan Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima untuk beristirahat. Sementara dia sendiri berjaga-jaga.
Sungguh, saat ini Tiroseta lebih ingin menyerang saja ke Keraton Pakuan. Bila menunggu yang lainnya saat ini belum kembali juga, Tiroseta yakin mereka sudah mati. Begitu pula dengan pasukan yang dipimpin Karnapati (Untuk mengetahui pasukan pertama Kerajaan Labuan yang dipimpin Karnapati, baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Raja Akherat").
Lagi-lagi yang dipikirkan Tiroseta adalah Monoseta dan Ardiseta. Mereka adalah dua orang saudaranya yang menyerang ke Keraton Pakuan. Apakah mereka selamat, berhasil menaklukkan Raja Akherat. Atau, malah hari itu menjadi kiamat untuk mereka" Tiroseta menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya juga merasa bingung dengan Pendekar Slebor. Telah lama dia mendengar nama Pendekar Slebor ramai dibicarakan orang banyak. Baik dari rimba persilatan, maupun orang awam. Tetapi sekarang, mengapa tidak juga datang untuk memberi laporan"
Sungguh, Tiroseta sangat sulit memperkirakan seala sesuatunya dalam keadaan seperti ini. Yang pasti sekarang, nyawa dan keselamatan Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima berada di tangannya.
Dan malam pun semakin merayap perlahan-lahan. Suara nyanyian binatang malam mulai terdengar. Kesiagaan diperketat. Tiroseta berkali-kali memberi peringatan, agar seluruhnya bersiaga dalam kewaspadaan penuh. Karena besok pagi, mereka akan segera melanjutkan perjalanan kembali. Bahkan mungkin, dalam pikiran Tiroseta, akan membawa Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima ke Kerajaan Labuan. Jelas bila keduanya berada di sana, keamanan dan keselamatan terjamin. Dan sebelum lamunan Tiroseta lenyap....
"Hi... hi... hi...!"
"Ha... ha... ha...!"
Mendadak saja terdengar suara tawa yang keras sekali. Menilik suaranya, jelas tawa laki-laki dan perempuan.
Serentak Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan Labuan bersiaga. Sementara prajurit Kerajaan Pakuan, berusaha melindungi Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima yang berada di tenda dengan tombak di tangan.
Belum habis keterkejutan mereka, mendadak berkelebat dua sosok tubuh lalu hinggap di hadapan mereka. Keduanya adalah sepasang manusia bertampang mengerikan dengan tatapan mata licik yang kejam.
"Hi... hi... hi...! Kau lihat sendiri, Kokorongko.... Aku tidak yakin kalau mereka masih berada di Jurang Setan yang telah kita timbun batu itu" Nah, buktinya kau lihat sendiri, bukan?" kata sosok wanita yang ternyata Nyai Pamunti.
Rupanya Wanita Burung Hantu itu mempunyai otak cerdik. Meskipun mempercayai laporan dari burung hantu peliharaannya, namun tidak bisa percaya bila belum melihat buktinya. Memang, Jurang Setan telah ditemukan. Dan mereka telah menggulingkan batu-batu besar dalam jumlah yang sangat banyak. Tetapi Nyai Pamunti tidak puas. Ketika mereka hendak kembali ke Keraton
Pakuan. Nyai Pamunti justru hendak kembali ke Jurang Setan. Meskipun bersungutsungut, Kokorongko yang berjuluk Dewa Muka Iblis menuruti saja. Dan mereka menemukan sebuah lubang yang tertindih batu besar.
Dari sanalah mereka menuruni dasar Jurang Setan, melihat-lihat dan mengibaskan batu-batu besar yang digulingkan tadi. Namun tak satu mayat pun yang di temukan di sana. Berarti, dugaan Nyai Pamunti benar. Jelas, orang-orang itu sudah keluar dari sana. Berarti pula, apa yang dilakukan dengan mendorong batu-batu ke dasar Jurang Setan, adalah suatu kesia-siaan.
Lalu, Nyai Pamunti pun mengajak Kokorongko untuk segera mencari saja rombongan. Hingga akhirnya mereka menemukan di sini.
"Ha... ha... ha...!"
"Tak kusangka kau mempunyai otak encer, Pamunti...," puji Dewa Muka Iblis sambil memperhatikan Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan Labuan yang bersiaga.
"Kalian manusia-manusia dungu! Cepat serahkan Prabu Adiwarman kepada kami!"
Tiroseta menggeram gagah. Dugaannya tentang burung hantu benar. Dan mereka sudah sebisanya untuk meninggalkan tempat itu, meskipun akhirnya dapat di temukan juga.
"Hhh! Semudah itukah kalian memintanya, hah"!" balas Tiroseta membentak.
"Jangan menantang!" dengus Kokorongk0o.
"Justru kami ingin mengatakan, langkahi dulu mayat kami. Baru kalian boleh melakukan sekehendak hatimu!" seru Tiroseta dengan suara yang semakin gagah. Dadanya dibusungkan. Golok besar yang tersampir di pinggang telah dicabutnya.
"Orang bodoh! Mau cari mampus rupanya!" seru Kokorongko.
Mendadak saja Dewa Muka Iblis menerjang Tiroseta dengan tangan siap mencekik leher. , Tiroseta yang sudah bersiaga penuh, sudah tentu tidak menginginkan lehernya menjadi sasaran. Maka segera goloknya dikibaskan untuk menghalau serangan Kokorongko.
Namun di luar dugaan, tangan Kokorongko mampu bergerak lebih cepat lagi. Dengan bantuan gerak tubuhnya, tangannya memutar bagai membentuk segitiga. Lalu disentaknya sedikit tangan Tiroseta dengan jari telunjuk.
Plak! Kembali tangan Dewa Muka Iblis mengarah pada leher Tiroseta.
Tetapi Tiroseta pun sudah memperhitungkannya. Dengan lincah kepalanya diputar dengan tubuh sedikit condong keluar. Lalu goloknya ditusukkan dari bagianbawah ke atas. Gerakan yang dilakukan dengan cepat dan tak disangka, membuat Kokorongko harus mendengus.
"Pantas kau berani bertingkah begitu, hah"!"
"Karena aku akan membunuhmu, Manusia Busuk!" desis Tiroseta sambil mendahului menyerang.
Kali ini senapati itu ingin menyerang lebih dulu. Dicobanya menekan dengan beberapa gebrakan yang mampu membuat lawannya menjadi
keder. Tetapi yang dihadapi bukanlah anak bawang, melainkan seorang tokoh yang cukup disegani karena kekejamannya. Sementara itu, sepuluh prajurit Kerajaan Labuan segera menyerang Nyai Pamunti yang hanya terkekeh-kekeh saja, menyambut serbuan tombak-tombak tajam dari berbagai penjuru.
"Bagus, bagus! Kini kalian harus mampus semuanya!"
Mendadak saja tubuh Wanita Burung Hantu bergerak bagaikan terbang. Kedua tangannya mengibas, bagaikan seekor burung hantu yang sedang marah.
Dan.... Prak! Brak! Crrott!
"Aaa...!"
Tiga prajurit Kerajaan Labuan menjerit menyayat dengan tubuh terhuyung. Kepala mereka pecah, menyemburkan darah. Sedangkan Tiroseta terus berusaha mendesak Kokorongko dengan gencar. Seranganserangan goloknya sangat berbahaya. Kokorongko untuk sesaat memang kehilangan kendali. Namun lewat lima jurus berikut, ganti dia yang menguasai serangan-serangan.
"Cukup sudah pertunjukan yang kau perlihatkan." desis Kokorongko.
Tiba-tiba tubuh laki-laki berjuluk Dewa Muka lblis itu merunduk. Kakinya bergeser ke belakang dengan tangan membuka bagaikan melentur. Itu jurus, 'Pukul Kupu-kupu' miliknya.
Gerakannya bisa nampak pelan namun sangat berbahaya hasil pukulannya. Tiroseta pun dapat membaca kehebatan jurus itu.
Hanya saja yang membuatnya sulit, gerakan Kokorongko benar-benar melentur. Sehingga susah dipastikan ke arah mana yang akan diserang.
Maka dengan sebisanya Tiroseta menggerakgerakan goloknya bila serangan Kokorongko dilepaskan. Hanya saja, tenaganya menjadi lebih banyak yang terbuang percuma. Karena, senapati ini harus mengikuti arah gerak tangan Dewa Muka Iblis yang belum tentu menyerang.
"Keparat! Jurus apa yang kau pakai itu, hah"!" bentak Tiroseta sengit.
Kokorongko terkekeh-kekeh.
"Kau akan mengetahuinya kalau sudah mampus!"
Saat ini, Tiroseta mendesah pendek. Dia berpikir, bila saja di sini ada Monoseta dan Ardiseta, maka sudah tentu akan bisa membentuk gabungan jurus 'Tiga Mata Golok Menguasai Angin'! Sayangnya, keduanya tidak berada di sana.
Sehingga bila jurus itu dikeluarkan hanya merupakan satu gerak yang sangat mudah untuk dilumpuhkan.
Sedangkan Nyai Pamunti sudah memukul roboh sepuluh prajurit Kerajaan Labuan yang menghalangi niatnya untuk membawa Prabu Adiwarman.
Lalu perempuan tua itu pun melangkah ke arah sebuah tenda yang dijaga enam orang prajurit Kerajaan Pakuan. Matanya sempat melirik pertarungan antara Kokorongko dengan prajurit berbaju hitam yang menggunakan golok besar.
Dengan sigap keenam orang prajurit Kerajaan Pakuan, mengelilinginya sambil menjaga pintu masuk ke tenda. Nyai Pamunti melihat dua sosok tubuh berada di sana dalam keadaan berpelukan. Dia yakin, mereka adalah Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima.
"Kalian manusia-manusia tengik! Minggir! Atau kalian akan mampus, heh"!"
"Wanita tua busuk! Kau seharusnya sadar, kalau nyawamu sudah di ambang pintu!"
"Bangsat!"
Mendadak saja Nyai Pamunti berkelebat begitu cepatnya sambil mengibaskan tangannya. Prak! Prak! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Dan seketika itu pula, tiga sosok tubuh berpental dengan kepala pecah.
Tetapi tiga orang sisa prajurit bukanlah bertambah jeri. Malah mereka semakin bernafsu untuk membunuh Nyai Pamunti. Sayang, mereka pun tak kuasa menahan kekejaman Wanita Burung Hantu. Karena hanya sekali gebrak saja, ketiganya pun segera menyusul yang lain Akherat.
Nyai Pamunti terkekeh-kekeh.
"Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima..., ayo keluar! Kita akan kembali ke keraton!" ujar perempuan tua itu dengan suara merayu. Tak ada sahutan.
Nyai Pamunti atau si Wanita Burung Hantu masih terus membujuk. Tetapi lagi-lagi tetap tidak ada sahutan. Sehingga, membuatnya menjadi geram.
"Kalau tidak keluar juga, akan kuseret kalian!" desis perempuan tua ini garang.
Tetapi, tetap tak ada sahutan.
Dengan kasar dan penuh amarah Nyai Pamunti melesat seraya menyingkap pintu tenda.
"Uts!"
Dan mendadak saja tubuh perempuan tua itu melompat ke belakang, ketika dua buah tombak siap menghujam perutnya. Lalu, muncullah dua prajurit Kerajaan Pakuan yang membuat Nyai Pamunti makin geram. Karena, yang berada di dalam tenda sejak tadi bukan Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima. Tapi, kedua prajurit itu.
Amarah Nyai Pamunti semakin membludak, karena merasa dipermainkan. Tentunya Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima sudah melarikan diri entah ke mana.
Sebagai sasaran amarahnya, Wanita Burung Hantu ini segera berkelebat, langsung menghajar. Walau kedua prajurit itu melawan, namun lagi-lagi bukanlah lawan Nyai Pamunti. Prak! Prak! "Aaa..! Aaakh...!"
Dengan sekali gebrak saja, tombak di tangan kedua prajurit itu patah. Dan ketika tangan Wanita Burung Hantu mengibas, kepala mereka kontan pecah. Kedua prajurit itu ambruk di tanah bersimbah darah. Mati.
Setelah menatap mayat-mayat prajurit itu, Nyai Pamunti kembali pada Kokorongko yang sedang mendesak Tiroseta. Perempuan tua itu khawatir kalau Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima semakin jauh larikan diri.
Mendadak saja Wanita Burung Hantu mengibaskan tangan kanan ke arah Tiroseta.
Weeebbb! Meskipun sedang menghadapi serangan dari Kokorongko, Tiroseta dapat merasakan hawa panas dan kencang menderu ke arahnya. Dengan sigap tubuhnya melenting ke samping. Sehingga serangan Nyai Pamunti pun luput.
"Monyet!" maki Nyai Pamunti marah. Kali ini perempuan tua itu mengempos tubuhnya ke arah Tiroseta. Bersamaan dengan itu, Kokorongko pun menyerang dari arah yang berlawanan. Bukan main gugupnya Tiroseta. Sebisanya tubuhnya berguling ke sana kemari menghindari kedua serangan yang sama-sama dahsyat! Namun kelincahannya pun tak bisa dipertahankan lebih lama.
Begitu dia bangkit berdiri, Nyai Pamunti sudah meluruk deras dengan sambaran kakinya. Dan....
Des! "Aaakh...!"
Tubuh Tiroseta terpelanting ke belakang dan terguling-guling. Bersamaan dengan itu, Kokorongko telah meluncur melepaskan satu injakan. Demikian pula Nyai Pamunti. Ketika Tiroseta sudah merasa pasrah, dengan gerak bawah sadar tangannya menjumput tanah berpasir. Begitu kedua tokoh sesat itu dekat, Tiroseta melempar tangan berpasir.
Pyurrr...! "Heh"!"
Nyai Pamunti dan Kokorongko terkejut setengah mati. Dengan kelabakan mereka mengibaskan kedua tangan sambil melenting ke belakang.
Mendapat kesempatan, Tiroseta segera mempergunakannya. Sambil menahan rasa sakit laki-laki ini segera melarikan diri.
"Bangsat!" geram Nyai Pamunti, setelah berhasil membebaskan diri dari tanah yang dilemparkan Tiroseta. Hatinya semakin geram tidak melihat Tiroseta! Tetapi Kokorongko tidak lagi tertarik dengan Tiroseta.
"Di mana Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima?" tanya Dewa Muka Iblis.
"Aku ditipu permainan anak kecil yang dilakukan para prajurit itu! Keduanya sudah melarikan diri."
desis Nyai Pamunti.
"Bodoh! Ke mana larinya?" bentak Kokorongko.
"Aku tidak tahu!"
"Cepat cari mereka, sebelum menjauh!"
Mereka lantas berkelebat cepat.

***

% [8] %

Pagi kembali menjelang. Tidak seperti pagi-pagi yang lalu, kali ini suasana begitu kelabu. Sinar mentari menyapu lembut, menerpa empat sosok di halaman Keraton Pakuan.
Keempat orang yang berdiri gagah itu tak lain dari Ki Wirayuda, Ki Pangsawada, Nyai Selastri, dan Permadi. Sikap keempat tokoh persilatan ini tampak waspada dengan sinar mata menahan kebencian.
Terutama, yang diperlihatkan Permadi, karena gurunya menjadi korban keganasan Raja Akherat.
"Raja Akherat! Keluar kau! Hadapi kami. Dan nyawamu akan melayang hari ini juga!" teriak Permadi yang sudah tidak sanggup menahan dendamnya lagi. Angin berhembus, menebarkan hawa kematian. Sejauh ini tak ada sahutan apa-apa.
"Manusia keparat! Kau harus membayar nyawa guruku dengan nyawa setanmu itu! teriak Permadi lagi.
Baru saja gema suara Permadi hilang...
"Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang keras sekali.
"Kiranya ada tamu yang tak diundang"! Tetapi sebagai tuan rumah, sudah selayaknyalah aku menyambut kedatangan kalian...," lanjut suara itu, yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan.
Kini tahu-tahu di hadapan mereka kira-kira tiga tombak jaraknya, telah berdiri sosok tinggi besar, dengan wajah sedikit menyeramkan. Siapa lagi kalau bukan Raja Akherat. Mata tokoh sesat ini menyapu keempat tamu yang sejenak tertegun menyaksikan kemunculannya yang luar biasa itu.
"Kiranya..., para tokoh persilatan sudah datang kesini. Ah! Sayang sekali..., kalian datang terlalu cepat. Padahal, aku baru saja hendak mengumum-kan, kalau aku akan menjadi nomor satu di rimba persilatan ini.... Ha... ha... ha.... Kalian terlalu baik.
Yah..., dengan bantuan kalianlah aku akan menjulang tinggi di antara barisan puncak!" kata Raja Akherat, sombong.
Wajah keempat tokoh persilatan golongan putih ini seketika merah padam mendengar kata-kata Raja Akherat itu. Namun Ki Pangsawada lebih bisa mengendalikan amarahnya.
"Hmmm..., Tidar! Lebih baik tinggalkan Keraton Pakuan. Kembalilah ke asalmu. Jangan sampai kau luluh lantak dihajar para tokoh dunia persilatan...," desis Ki Pangsawada, alias Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Raja Akherat terbahak-bahak. Padahal hatinya geram bukan main. Pertama, namanya sendiri sudah berusaha dilupakan. Tetapi barusan kembali disebut Ki Pangsawada. Kedua, alangkah enaknya menyuruh-nya pergi dari sini.
"Ha... ha... ha...!"
Raja Akherat tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai perutnya berguncang.
"Ki Pangsawada...! Namamu sebagai Imam Arif Penguasa Gunung Bontang telah lama sekali kudengar. Sehingga, telingaku pun menjadi gatal. Kini kau telah menghadap ke sini. Dan..., kalangan sudah terbuka. Mengapa tidak segera dimulai saja?" tantang Raja Akherat dengan suara merendahkan.
Justru Permadi yang tidak bisa menahan diri. Sejak pertama melihat Raja Akherat, dendamnya sudah sampai di ubun-ubun. Kematian gurunya harus dibalas. Akan dicabik-cabiknya Raja Akherat dengan keris pusaka pemberian Ki Kelana. Maka seketika kedua tangannya menghentak.
"Hih...!"
Wesss...! Angin yang meluruk kencang mudah sekali ditepis Raja Akherat dengan mengebutkan tangannya. Lalu tubuh tokoh sesat ini bergeser, ketika Permadi meluruk disertai sambaran tangan kiri yang cepat.
"Ha... ha... ha.... Anak Muda! Aku menyukaimu... Cuma sayang, nyawamu hanya bertahan sampai hari ini saja...."
Mendadak saja Raja Akherat mengembangkan ke dua tangannya, lalu membukanya bagai seekor burung merentangkan sayap.
Werrr...! Serangkum angin kencang meluruk dari tangan Raja Akherat. Dada Permadi bergetar, begitu tiba terasa angin dingin menyusup hingga ke tulangnya. Dan hal itu pun membuatnya sadar, kalau lawan tengah menggunakan ilmu dahsyat.
Tetapi sebagai murid tunggal Ki Kelana, Permadi sudah tentu tidak akan ciut nyalinya. Dengan membulatkan tekad, Permadi mengemposkan semangatnya. Lalu tubuhnya meluruk deras sambil mencabut keris yang terselip di pinggang bagian belakang.
"Kau harus mampus, Raja Keparat!" bentak Permadi.
Seketika pemuda itu mengibaskan kerisnya dengan gerakan cepat dan mengarah pada bagianbagian berbahaya.
Tetapi Raja Akherat yang memang ilmunya jauh lebih tinggi, dengan mudahnya menghindari seluruh serangan. Bahkan tiba-tiba tangan kanannya diangkat ke atas.
Lalu.... Wesss...! Mendadak saja melesat serangkum angin kencang yang tak dapat dielakkan Permadi.
Des! "Aaakh...!"
Permadi terpekik ketika serangkum angin menghamtam dadanya. Tubuhnya kontan terpental sejauh beberapa tombak.
Ki Pangsawada melompat dengan sigap, menahan tubuh Permadi yang hendak mencium tanah. Lalu dibimbingnya pemuda itu dan didudukkannya.
"Anak Permadi..., beristirahatlah...," ujar si Imam Arif Penguasa Gunung Bontang. Sementara itu Raja Akherat terbahak-bahak.
"Rupanya, anak muda itu hanya hendak dijadikan tumbal belaka" Mengapa kalian tidak segera angkat senjata untuk menghadapiku, hah"!" ejek Raja Akherat.
Sedangkan si Naga Gunung sudah membuka jurusnya. Wajahnya geram sekali melihat perbuatan Raja Akherat pada Permadi.
"Jangan berpikir kau akan lebih lama menikmati hidup ini, Raja Bongsor! Kini kau akan merasakan kehebatan Nyai Selastri, si Naga Gunung!" desis perempuan tua itu.
"Ha... ha... ha...! Silakan, silakan...," tantang Raja Akherat.
Begitu mendengar kata-kata Raja Akherat itu, Nyai Selastri yang berjuluk si Naga Gunung segera meluruk tangan kosong yang dashyat. Setiap kali tangannya bergerak, menimbulkan getaran hebat. Wrrr! Zheb! Sejenak Raja Akherat terkejut juga melihatnya.
Namun perasaan itu cepat ditekannya.
"Hebat! Hanya sayang, kau tak akan lama lagi dapat hidup di muka bumi ini!" leceh Raja Akherat.
"Takabur!" bentak si Naga Gunung.
"Akan kubuktikan!"
Begitu habis kata-katanya, mendadak Raja Akherat menyerang ganas, mengandung kekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Bahkan udara mendadak berubah jadi berbau amis. Sadarlah Nyai Selastri, kalau pukulan Raja Akherat mengandung racun berbahaya.
Namun si Naga Gunung yang sudah malang melintang di dunia persilatan ini, bukanlah anak kemarin sore. Serangan-serangan keji Raja Akherat dapat dihindarinya dengan membuat gerakan-gerakan berputar pada tubuhnya.
Bahkan begitu mendapat kesempatan diimbanginya serangan itu dengan tak kalah hebat. Zebbb! Weeeiit!
Pertarungan dua tokoh itu terus berlangsung sengit. Si Naga Gunung sudah mempergunakan jurus andalannya, 'Naga Membalikkan Gunung'. Sebuah jurus serangan yang sangat dahsyat, mengandalkan kecepatan tangan dan kaki.
Bila tangan si Naga Gunung bergerak, maka tenaga yang luar biasa akan keluar bagaikan terjangan badai dahsyat. Sementara kedua kakinya, seolah-olah berubah menjadi ekor naga besar yang sedang mengamuk dengan kekuatan penuh dan tinggi.
Raja Akherat lagi-lagi terkejut melihat serangan Nyai Selastri.
"Tidak sia-sia kau berjuluk si Naga Gunung! Tetapi, sayang! Hari ini nama besar si Naga Gunung akan terpuruk ketindih gunungnya sendiri! Hiaaa...!"
Mendadak saja Raja Akherat membuka kedua tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Kemudian kedua tangan itu menggebrak dari bawah ke atas. Sementara si Naga Gunung yang tidak pernah mengenal takut terus menyerang dengan cepat. Wuuutt! Zeebbb!
Pada saat demikian, mendadak saja Raja Akherat mengibaskan tangan, untuk memapaki. Plak! Plak!
Dua kali benturan berisi tenaga dalam tinggi terjadi. Tampak si Naga Gunung terhuyung ke belakang. Kedua tangannya terasa seakan mau patah. Dengan cepat tenaga dalamnya dialirkan untuk memulihkan rasa sakitnya. Sementara Raja Akherat hanya terbahak-bahak. Kelihatannya dia tak kurang suatu apa.
"Ha... ha... ha...! Sudah kukatakan tadi, nama si Naga Gunung akan tersungkur hari ini!" ejek Raja Akherat.
"Keparat sombong!"
Dengan gagahnya si Naga Gunung kembali menerjang. Maka pertarungan sengit pun terjadi kembali. Keduanya mencoba mencari
kelemahan satu sama lain dan mencoba memasukkan serangan yang mematikan. Sementara Ki Pangsawada dan Ki Wirayuda hanya memperhatikan saja. Diam-diam Ki Pangsawada dapat melihat, jurus-jurus yang dipergunakan Raja Akherat jelas sangat berbahaya.
Dan ia pun menebak, dalam lima jurus berikutnya, si Naga Gunung tidak akan mampu bertahan.
"Hiaaat...!"
Ki Pangsawada pun segera menerjunkan diri dalam kancah pertarungan.
"Bukan aku tidak jantan. Tetapi..., orang sepertimu memang sudah selayaknya untuk mampus!" teriak Ki Pangsawada.
"Ha... ha... ha...! Mengapa tidak sekalian saja dengan si Penguasa Harimau"!" ejek Raja Akherat pada Ki Wirayuda yang tegak berdiri.
"Ayo, masuk dalam pertarungan ini. Biar kalian cepat mampus!"
Wajah Ki Wirayuda memerah mendengar kata-kata sombong Raja Akherat. Maka lakilaki tua ini segera mengempos tubuhnya ke arah Raja Akherat. Namun baru beberapa tindak bergerak....
Wesss...! Mendadak terdengar desir angin kencang ke arah Ki Wirayuda. Bergegas, laki-laki tua ini menghindar dengan membuang tubuhnya.
"Anomdoro!" serunya ketika sudah melenting bangkit.
Sementara si penyerang yang tak lain Anomdoro tampak terbahak-bahak. Sejak tadi, laki-laki ini memang tidak diizinkan Raja Akherat untuk membantu. Dan hanya memperhatikannya saja.
Hanya saja keningnya pun berkerut. Matanya berkilat-kilat ketika melihat Wirayuda. Memang, antara Anomdoro dan Ki Wirayuda
merupakan musuh bebuyutan. Dulu, mereka terus menerus bertarung, untuk memperebutkan seorang wanita bernama Nimas Sutari. Dan kemenangan berpihak pada Wirayuda, hingga dapat mem-persunting Nimas Sutari. Sementara tinggallah Anomdoro dengan dendam yang sampai sekarang masih sangat sulit dihapuskan! Maka ketika melihat Ki Wirayuda hendak menyerang Raja Akherat, dendam Anomdoro bangkit kembali. Seketika itu pula tubuhnya melesat seraya mengirimkan serangan.
"Tak kusangka..., delapan belas tahun kita tidak pernah bertemu. Akhirnya bertemu di sini." kata Anomdoro dengan tatapan ganas.
"Wirayuda..., kini kau akan mampus!"
Ki Wirayuda yang sebenarnya sangat yakin kalau Anomdoro mendendam padanya. Maka segera dilayaninya serangan-serangan ganas yang mengandung racun milik Anomdoro.

***

"Yang benar kau, Eyang?" kata Andika terbelalak kaget ketika Eyang Sasongko Murti menuturkan sesuatu yang membuatnya terkejut.
Mereka kini sedang berada di tepi sungai dalam perjalanan menuju Keraton Pakuan.
Suara gemuruh air sungai itu menderu-deru. Mereka baru saja selesai mencuci muka, ketika Eyang Sasongko Murti mengemukakan pikirannya. Eyang Sasongko Murti menganggukkan kepala. Matanya menatap air sungai yang mengalir cepat.
"Firasatku mengatakan demikian, Andika. Siluman Hutan Waringin kini telah berada di alam nyata ini.
Dan yang mengkhawatirkan..., bila dia akan menitis pada Raja Akherat. Berarti, akan sulit sekali bagi kita untuk memusnahkannya," papar laki-laki tua aneh ini dengan mata menerawang memikirkan kemungkinan itu.
"Bukannya bagi kau?" kata Andika, membetulkan sambil nyengir.
"Maksudmu?" tanya Eyang Sasongko Murti, dengan kening berkerut.
Andika tertawa.
"Bukankah kau mengatakan sanggup untuk menundukkannya" Nah, mengapa kau katakan tadi itu untuk kita" He... he... he.... Tidak, ya!!
Itu urusanmu, Eyang."
"Iya! Tetapi saat itu, ilmu batin yang diajarkan negeri siluman belum bergetar di dadaku. Hingga aku belum tahu kalau Siluman Hutan Waringin akan menitis.
Sekarang, ilmu batin negeri siluman itu sudah bergetar memberikan tanda akan kemunculan Siluman Hutan Waringin," tegas Eyang Sasongko Murti.
"Mengapa kau begitu yakin kalau ia akan menitis pada Raja Akherat, Eyang?" tanya Andika yang tidak ingin meneruskan candanya lagi.
"Karena ia tahu, saat ini Raja Akherat-lah yang menjadi lawanmu," jawab Eyang Sasongko Murti, sungguh-sungguh.
"Gila! Kenapa aku yang jadi kena getahnya?" rungut Andika terbelalak dan mangkel.
"Karena kaulah yang menjadi 'penerang' bagiku untuk melarikan diri dari Alam Sunyi." Andika bersungut-sungut.
"Ini salahmu! Seharusnya kau yang bertanggung jawab! Bukan aku! Kenapa sih, kau justru menyesatkan aku dulu" Padahal begitu banyak
tugasku yang harus diselesaikan" Kau tahu, Eyang. Aku merasa berdosa pada orangorang Kerajaan Pakuan. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat nanti, bila kuketahui semuanya sudah menjadi mayat!"
"Jangan menyalahkan aku!' bentak Eyang Sasongko Murti.
"Lalu, siapa lagi yang harus disalahkan, hah"!
Siapa lagi?" seru Andika jengkel.
"Tetapi sekarang kita berdua yang harus memusnahkan Raja Akherat! Aku melawan Siluman Hutan Waringin, kau menghadapi Raja Akherat!"
"Enaknya ngomong! Makanya, jangan dulu sesumbar seperti yang kau lakukan di Hutan Ringgis! Toh buktinya, kali malah kebingungan sekarang ini, kan?" cecar Andika. Dan....
Plak! Kening Pendekar Slebor digaplok Eyang Sasongko Murti yang kelihatannya gemas sekali.
"Kupikir kau ini cerdik. Tidak tahunya bodoh! Pokoknya sekarang, kita harus cepat sampai di Keraton Pakuan, lalu membunuh manusia kejam itu sebelum sempat dititisi Siluman Hutan Waringin!" ujar Eyang Sasongko Murti.
"Begitu juga boleh! Tetapi, aku tidak tahu jalan mana lagi yang harus kutempuh menuju Keraton Kerajaan Pakuan Barat," kata Andika akhirnya.
Pendekar Slebor hanya berharap, agar tidak terjadi sesuatu yang mengerikan pada Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima.
"Begitu pula denganku! Ala..., sudahlah! Kita merobos jalan mana saja!"
"Kau juga sih, Eyang! Mengapa kau harus mencari jalan yang jauh sekali, ketika melarikan diri dari Alam Sunyi! Seharusnya ketika kita nongol di alam nyata ini aku telah berada di samping Keraton Pakuan!"
"Enaknya ngomong! Kalau tidak tergesa-gesa untuk membawamu yang pingsan itu, mungkin aku masih bisa berpikir! Masihuntung kita selamat, daripada menjadi sasaran empuk Siluman Hutan Waringin! Kau juga memang bodoh! Sudah kubilang jangan bergerak, malah nekat! Bukan hanya bergerak, malah justru menyerang Siluman Hutan Waringin! Dasar otak udang!"
"Habisnya, kulihat kau akan mampus diinjaknya." kilah Andika.
"Itu siasat! Menghadapi siluman itu bukan menggunakan tenaga kasar! Tak ada hasilnya! Malah tenagamu yang akan terkuras perlahan-lahan diperasnya."
"Jadi ketika kau roboh dan kedua kaki Siluman Setan Waringin siap menginjakmu, kau berpura-pura kalah?" tanya Pendekar Slebor.
"Tolol! Aku sedang menghimpun tenaga halusku!"
Tak ada yang bersuara lagi. Masing-masing terdiam dicekam pikiran yang datang membabi-buta.
"Kita lari sekarang, Eyang!" kata Andika.
"Baik! Aku juga ingin melihat ilmu lari Pendekar Lembah Kutukan yang kini dijuluki Pendekar Slebor.
Ha... ha... ha... ha! Bor, Bor! Kau bisa apa melawan aku, hah"!"
Andika menjadi ngotot. Saat itu juga, mereka lari dengan cepat menuju Keraton Pakuan.

***

% [9] %

Pertarungan yang terjadi di halaman Keraton Keraton Pakuan Barat semakin seru dan menegangkan. Ki Pangsawada bersama Nyai Selastri berusaha sekuat tenaga memukul mundur Raja Akherat. Namun laki-laki yang codet di pipi kirinya itu benar-benar memiliki kesaktian tinggi. Buktinya desakan yang dilakukan Imam Arif Penguasa Gunung Bontang dan si Naga Gunung dianggap sepi saja.
Malah kemudian, Raja Akherat yang menguasai jaannya pertarungan sambil tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa kalian tidak memilih mampus saja dengan jalan bunuh diri?" leceh Raja Akherat. Ki Pangsawada menggeram dalam hati, meskipun diakui kesaktian laki-laki itu begitu tinggi. Namun hal itu semakin membuat Ki Pangsawada hendak bertekad untuk mengadu jiwa. Karena bila sampai Raja Akherat menguasai dunia persilatan, sudah bisa dipastikan segala sesuatunya akan hancur perlahan-lahan
di bawah kekuasaannya.
Mendadak saja Ki Pangsawada memutar tubuhnya ke belakang, hingga jubahnya berkibar.
"Raja Akherat...! Kuakui kau memiliki kepandaian sangat tinggi! Hanya saja, aku tidak akan pernah mundur sebelum melihatmu berkalang tanah!" desis laki-laki berjuluk Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Raja Akherat terbahak-bahak. Sementara si Naga Gunung sedang mengatur napasnya. Dua kali tubuhnya terkena hantaman keras Raja Akherat.
"Aku suka sekali mendengar kata-katamu itu, Ki! Hanya sayang, kau terlalu memandang rendah!"
Ki Pangsawada menghela napas pendek. Lalu diam-diam mulutnya merapal ajian 'Tempur Nyawa', yang sangat dahsyat dan jarang sekali dipergunakan bila tidak terdesak. Namun sekarang, laki-laki tua itu berpikir kalau keadaan sudah benarbenar mendesak.
Memang tidak ada jalan lain. Ajian 'Tempur Nyawa' akan segera dipergunakan Ki Pangsawada. Mendadak saja kedua tangannya bergerak
ke muka, membuat putaran dua kali dengan tubuh condong keluar. Dan seketika tangannya mengibas ke depan bersamaan hembusan napas perlahan-lahan.
Si Naga Gunung tahu kalau Ki Pangsawada sedang mengerahkan ajian Tempur Nyawa'. Dan diam-diam pun dia merapal ajian 'Kemarau Tiga Musim'. Sebuah ajian yang sangat dahsyat sekali, sehingga mampu membuat lawan akan menderita kepanasan yang teramat sangat.
Dan begitu melihat Ki Pangsawada sudah mengeluarkan jurus pamungkasnya, si Naga Gunung pun berbuat sama.
Sedangkan Raja Akherat hanya terbahak-bahak saja.
"Ha... ha... ha...! Mengapa kalian berdiam diri seperti itu, hah"!" ejek lakilaki kekar ini.
"Apakah kini kalian menyadari kalau lebih baik bunuh diri saja, dan mengakui kalau si Raja Akherat adalah orang nomor satu di rimba
persilatan"!" Ki Pangsawada merandek pendek.
"Kau terlalu banyak sesumbar, Raja Akherat! Sejengkal pun aku tidak akan mundur. Bahkan tak pernah merelakan kau menjadi
orang nomor satu di rimba persilatan ini."
Mendengar kata-kata itu, Raja Akherat hanya terhahak-bahak saja seolah merasa lucu mendengarnya. Dan mendadak saja jurusnya yang terdahsyat dibuka. Jurus 'Himpunan Surya-Bayu-Tanah'! Sebuah jurus yang mengambil tenaga matahari, angin, dan tanah. Perlahan-lahan terlihat kedua tangan Raja Akherat berubah menjadi memerah. Dan semakin lama, berubah menjadi hitam legam.
Ki Pangsawada dan si Naga Gunung pun sadar, kalau lawan telah mengeluarkan ajian terhebatnya pula. Tetapi tekad mereka sudah bulat untuk mengadu nyawa dengan manusia keji itu!
"Hiaaa...!"
Tiba-tiba, disertai bentakan keras secara bersamaan, Ki Pangsawada dan Nyai Selastri menyerang. Kedua tangan mereka menghentak ke arah Raja Akherat.
Werrr...! Wesss...! Dua rangkum angin kencang meluruk, mengancam keselamatan Raja Akherat. Namun, laki-laki ini hanya terbahak-bahak saja.
"Hiaaa...!"
Mendadak, Raja Akherat mengempos tubuhnya sambil menghentakkan kedua tangannya. Sementara Permadi yang masih dalam keadaan terluka, hanya menghela napas panjang.

***

Pertarungan Ki Wirayuda melawan Anomdoro terus berlangsung sengit. Racun-racun terus berkelebatan, mendesak si Penguasa Harimau yang selalu berhasil menghalau dengan tongkat kayunya yang berukir kepala harimau pada ujungnya.
Serangan-serangan gagal semakin membuat Anomdoro bertambah penasaran. Maka segera kelincahannya diperlihatkan dalam menghindari setiap serangan Ki Wirayuda. Bahkan juga memperlihatkan kehebatannya dalam memainkan ilmu racun.
Dan ketika tongkat Ki Wirayuda menyambar kepala dengan cepat Anomdoro melompat ke kiri. Wuuuttt! Ki Wirayuda tidak berhenti sampai di situ saja.
Kembali tongkatnya digerakkan dengan jurus 'Pusaran Dewa Angin', yang membuat tongkatnya berubah menjadi seribu.
Namun Anomdoro yang telah menambah kesaktian dan ilmu meringankan tubuhnya, berhasil menghindar darinya. Bahkan sekali-sekali kedua kukunya dijentikkan sehingga langsung terlontar racun-racun yang mematikan. Namun dalam keadaan saat ini, jentikan racun-racun itu sudah tidak berguna. Karena, angin yang keluar dari pusaran tongkat Ki Wirayuda dapat cepat menyingkirkannya.
"Hebat! Permainan tongkatmu semakin hebat, Penguasa Harimau!" puji Anomdoro sambil mengubah jurus berikutnya. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Kaki kanannya ke depan dan kaki kiri condong ke samping kiri, agak mendekati tanah.
Dalam sekali lihat, Ki Wirayuda bisa menebak kalau jurus itu adalah jurus tipuan. Karena menurut-nya, tidak mungkin Anomdoro membuka jurus dengan kaki yang nampak lemah sekali.
Mencondongkan kaki lebih ke bawah mendekati tanah, sangat menyulitkan gerak kaki kanannya.
"Hiaaah...!"
Ki Wirayuda tidak menyerang bagian kaki kiri Anomdoro. Justru yang diserangnya bagian kaki kanannya!
"Uts...!"
Apa yang diperkirakan memang benar. Dengan cepat, Anomdoro merubah bentuk kudakudanya. Namun kali ini Ki Wirayuda harus kecele. Karena gerakan itu memang suatu pancingan belaka. Dan mendadak saja, Anomdoro yang kini mengubah kuda-kudanya, menendang dengan keras ke arah wajah.
Dengan sebisanya, Ki Wirayuda langsung menangkis dengan putaran tongkatnya!
Plak! Begitu habis menangkis dengan gerakan aneh sekali, Anomdoro menelusup dengan satu tinju keras ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! "Aaakh...!"
Tubuh Ki Wirayuda terhuyung ke belakang disertai keluhan tertahan. Saat itulah Anomdoro menderu maju dengan seluruh tangan telah dialiri racun mematikan. Ki Wirayuda tercekat melihat serangan yang tiba-tiba. Dalam hati dia mendengus karena begitu mudahnya tertipu oleh gerakan Anomdoro. Maka sebisanya tongkatnya diputar tetap dengan jurus 'Pusaran Angin Dewa'.
Namun kali ini rupanya Anomdoro tidak mempedulikan lagi. Serangannya tetap diteruskan! Menyadari kalau lawan merasa yakin akan mampu menanggulangi jurusnya, Ki Wirayuda pun akhirnya melompat untuk menghindari serangan mematikan itu.
"Hup!"
"Ha... ha... ha...! Jangan bisanya menjadi topeng monyet saja kau, Wirayuda!
Melompat-lompat seperti monyet. Lihat! Ini adalah pembalasanku yang kau lakukan beberapa tahun lalu!" kata Anomdoro, penuh semangat.
Ki Wirayuda menggeram. Benar apa yang diduga.
Manusia bermata picak itu memang masih menyimpan dendam. Bahkan kini telah menjadi pengikut Raja Akherat. Ki Wirayuda pun cukup terkejut melihat kemajuan kesaktian Anomdoro yang begitu pesat!
Tetapi saat menghindari serangan, Ki Wirayuda kembali memutar tongkatnya.
Rasanya hatinya masih penasaran karena ingin melihat kekuatan Anomdoro ketika kelihatan seperti hendak memapaki serangannya.
"Aku ingin lihat, apakah kau mampu menahan 'Pusaran Dewa Angin'ku ini Anomdoro!"
Lalu dengan menambah tenaga dalamnya, Ki Wirayuda mengejar Anomdoro.
Seperti yang diduga tadi, ternyata Anomdoro hanyalah memancing dan menggertak belaka. Terbukti sekarang, laki-laki bermata satu itu menghindari serangan 'Pusaran Dewa Angin'nya. Ki Wirayuda menjadi jengkel dengan keputusannya tadi. Karena mau tak mau tadi
sempat terdesak.
Maka kini dia pun menyerang dengan ganas pula!

***

Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima terus melarikan diri dengan langkah tersaruk-saruk. Ketika Wanita Burung Hantu dan Dewa Muka Iblis muncul sebenarnya Prabu Adiwarman tenang saja. Sebagai seorang raja, dia memang memiliki ketenangan luar biasa. Bahkan
kesabarannya pun terlihat. Hanya saja, hatinya suka merasa sedih bila melihat putrinya harus menderita.
Bagi Prabu Adiwarman, tidak akan menyerah begitu saja. Bahkan akan melawan sekuat tenaga terhadap dua manusia busuk itu. Namun di saat Wanita Burung Hantu dan Dewa Muka Iblis sedang dihadang Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan Pakuan, Mureksa, salah seorang prajurit Kerajaan Labuan membuat rencana menakjubkan. Prajurit itu menyuruh Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima melarikan diri, sementara di tenda itu segera diisi dua prajurit Kerajaan Pakuan. Hal ini dilakukan untuk mencegah dua manusia jahat itu mengejar Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima. Itu sebabnya, ayah dan anak itu kini terbebas, dan turut melarikan diri.
Sudah cukup jauh mereka berlari. Kelelahan pun sudah sangat dirasakan. Prabu Adiwarman sekali lagi merasa sedih melihat nasib putrinya. Namun sikap Putri Permata Delima tetap tegar dan bersahaja. Bahkan selalu tersenyum.
"Ayolah, Ayahanda.... Kita harus segera lari lebih jauh dari sini...," ujar Putri Permata Delima memberi semangat.
Prabu Adiwarman tersenyum.
"Kau benar, Permata. Ayo...."
Tetapi sebelum mereka melangkah kembali....
"Hauuummm...!"
Terdengar auman seekor harimau yang cukup keras, disusul melompatnya seekor hewan kaki empat yang besar itu. Di punggungnya tampak seorang pemuda berwajah tampan sedang menungganginya.
"Kang Danji!" seru Putri Permata Delima, begitu mengenali siapa yang menunggangi harimau. Gadis ini pun yakin kalau harimau itu adalah si Belang, hewan peliharaan Sari.
Danji segera melompat dengan sigap. Sementara Belang yang telah mengenal ayah dan anak itu, menghampiri Prabu Adiwarman. Kepalanya langsung dielus-elus ke kaki laki-laki setengah baya itu, membuat Prabu Adiwarman tersenyum senang.
Sementara Putri Permata Delima yang hatinya telah cemas dan merindukan kekasihnya, langsung merangkul. Begitu pula yang dilakukan Danji.
Sebenarnya, sejak bertarung dengan burung hantu dan Nyai Pamunti, Danji segera melarikan diri bersama harimau itu. Si Belang memang sangat cerdik. Penciumannya sangat tajam. Setiap kali binatang ini kelihatan merasa aneh, dan memaksa Danji untuk segera menaiki punggungnya.
Semula Danji kebingungan melihat sikapnya yang terkadang sulit dimengerti.
Tetapi ketika si Belang menggeram ke sebuah dahan pohon, barulah Danji mengerti kalau burung hantu itu tengah mengikuti mereka. Lalu Danji pun segera menaiki punggung si Belang, dan meninggalkan tempat itu.
Namun burung hantu tetap mengikutinya. Danji yang sudah khawatir kalau burung hantu itu tiba-tiba akan menyerang, harus bersabar menunggu. Karena, burung itu tidak berbuat apa-apa. Bahkan hanya memperhatikan dirinya dan si Belang.
Hingga kemudian, sadarlah Danji. Ternyata burung hantu itu hanya memata-matainya saja. Makanya, ketika si Belang mengajaknya meninggalkan tempat itu, Danji menolak. Bahkan tubuhnya dan tubuh si Belang dibiarkan saja nampak di mata burung hantu itu.
Yang diduga Danji benar. Ternyata burung hantu itu akhirnya merasa yakin kalau di sinilah tempat tinggal Danji dan si Belang. Lalu ia pun segera terbang kembali untuk mengabarkan pada majikannya. Danji pun segera menaiki punggung si Belang lagi yang langsung melesat dan
sesekali melihat-lihat sekelilingnya, karena khawatir burung hantu itu mendadak muncul kembali. Namun ternyata burung itu tidak muncul juga.
Hingga akhirnya, Danji pun memutuskan untuk kembali ke Jurang Setan. Alangkah terkejutnya Danji ketika sampai di dasar jurang, tak seorang pun yang ditemui.
Justru begitu banyak batu besar yang saling tumpuk berada di sana. Bila melihat keadaannya dan kemunculannya yang tiba-tiba, Danji yakin batu-batu itu pasti dijatuhkan dari atas.
Tetapi melihat tak satu mayat pun yang ditemukan di sana, Danji yakin kalau Prabu Adiwarman dan yang lain sudah pindah dari sini.
Segera Danji mengajak si Belang. Meskipun tidak tahu ke mana arah yang harus ditempuh, Danji meminta si Belang untuk mempercepat larinya.
Danji lantas menemukan mayat-mayat yang ber-eletakan yang dikenali di sebelah timur sana. Mayat para prajurit Kerajaan Labuan dan Kerajaan Pakuan.
Tetapi, Kalau memang Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima telah tewas, di manakah mayatnya"
Danji lantas mencari-cari mayat kedua junjungannya, dan dia juga tidak melihat mayat Tiroseta.
Danji lantas menyuruh si Belang berlari ke arah utara. Rupanya itu adalah jalan pintas. Dan apa yang diperkirakan Danji ternyata benar. Karena akhirnya, pemuda itu bertemu kedua junjungannya. Juga, melihat Tiroseta di antara mereka dalam keadaan penuh luka. Namun Senapati ini masih memperlihatkan kegagahannya.
Rupanya, setelah melarikan diri dari serangan Nyai Pamunti dan Kokorongko, seperti yang telah di-rencanakan, Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima akan menunggu Tiroseta di balik sebuah pohon trembesi yang besar.

***

Prabu Adiwarman yang melihat kalau putrinya masih merangkul Danji dan begitu pula sebaliknya, hanya tersenyum saja. Hatinya terharu dan semakin yakin kalau keduanya secara diam-diam memang telah memadu kasih. Yah, sudah seharusnya laki-laki setengah baya ini mulai mengerti keadaan mereka yang sebenarnya.
Meskipun Prabu Adiwarman tidak berbuat apa-apa untuk mengusik kedua remaja itu, tetapi akhirnya keduanya sadar. Mereka sama-sama melepaskan diri dan sama-sama menundukkan kepala. Kikuk.
Prabu Adiwarman hanya tersenyum saja.
"Dari mana saja kau, Danji?" tanya Prabu Adiwarman kemudian.
"Maaf, Gusti Prabu.... Hamba..., hamba...."
Danji tidak bisa meneruskan kata-katanya, karena merasa malu akan sikapnya barusan terhadap Putri Permata Delima.
"Sudahlah.... Kau bisa menceritakannya nanti.
Danji, akhirnya setelah kupikir, lebih baik kita kembali keraton...," kata Prabu Adiwarman tiba-tiba.
"Ayahanda!" seru Putri Permata Delima terkejut.
"Tidak ada jalan lain. Aku sudah bosan bermain kucing-kucingan seperti ini! Ah, Danji.... Untuk sementara kita bersembunyi lebih dulu. Kau tahu bukan, tempat persembunyian di daerah ini?"
Danji hanya mengangguk.
Sementara Tiroseta, memperhatikan sekeliling dengan mata waspada.

***

% [10] %

Meskipun Ki Pangsawada dan Nyai Selastri alias Naga Gunung telah mempergunakan ajian pamungkas namun tetap saja Raja Akherat masih mampu bertahan. Ajian 'Tempur Nyawa' yang dilepaskan Ki Pangsawada sangat dahsyat. Suaranya bagaikan ledakan begitu tangannya bergerak. Begitu pula ajian 'Kemarau Tiga Musim' yang dilepaskan si Naga Gunung. Setiap kali tangannya berkelebat, terasa hawa panas menerpa ke arah Raja Akherat.
Namun dengan ajian 'Himpunan Surya-BayuTanah', Raja Akherat membuat serangan kedua lawannya hampir-hampir tidak banyak
membawa arti. Hal itu membuat Ki Pangsawada menjadi geram.
Apalagi mengingat kalau Raja Akherat bermaksud menguasai rimba persilatan ini!
Tiba-tiba saja Ki Pangsawada berputar bersalto ke belakang. Dan saat melayang, kedua pergelangan tangannya diadukan menjadi satu.
Blarr! Mendadak saja terdengar suara yang begitu keras sekali, bagai petir menggelegar.
"Ajian Tempur Nyawa' tingkat pertama!" seru Ki Pangsawada langsung meluruk ke arah Raja Akherat.
Pada saat yang sama, tokoh sesat itu berusaha menahan. Sementara si Naga Gunung pun tengah menghimpun kekuatannya.
Plak! Plak! Dua bentrokan antara Ki Pangsawada dengan Raja Akherat pun terjadi. Tampak Raja Akherat tersuruk ke belakang dengan mulut berdarah.
"Bangsat!" maki Raja Akherat murka.
Seketika Raja Akherat merapal ajian 'Melayang Dua'nya yang sangat dahsyat. Maka saat itu juga tubuhnya pun bagai terpisah begitu saja, menjelma menjadi dua.
"Ha... ha... ha...!"
Dan kedua Raja Akherat terbahak-bahak.
"Gila! Ilmu siluman rupanya!" desis Ki Pangsawada sambil bersiap. Begitu pula si Naga Gunung. Kini mereka akan menghadapi satu lawan satu, meskipun yang dilawan tetaplah Raja Akherat.
"Hiaaa...!"
Disertai bentakan keras, satu sama lain meluruk saling menyerang. Pertempuran sengit pun terjadi kembali.
Dengan ajian 'Tempur Nyawa' tingkat pertama, Ki Pangsawada mencoba mendesak Raja Akherat dengan gencar. Serangan-serangannya sangat berbahaya membuat Raja Akherat kelimpungan meng-hadapinya.
Sementara si Naga Gunung yang menghadapi Raja Akherat yang satunya lagi, justru terdesak hebat. Ajian 'Kemarau Tiga Musim'nya belum menjadi patokan untuk dapat melumpuhkan lawan ganasnya. Suatu keadaan mendadak saja terjadi. Saat itu, Ki Pangsawada sedang mencecar gencar Raja Akherat.
Sementara, Raja Akherat yang satunya lagi sedang mendesak si Naga Gunung. Namun tiba-tiba saja, dua tubuh Raja Akherat kembali menjadi satu. Dan Raja Akherat pun jatuh terduduk bersila dengan kedua tangan bersatu di dada, Ki Pangsawada dan si Naga Gunung memperhatikan dengan kening berkerut. Mereka yakin, kalau lawan pasti tengah merapal ajian yang lebih tangguh lagi. Namun sebelum keduanya menyerang kembali, terlihat sebuah cahaya berwarna hitam berkelebat langsung menyusup ke tubuh Raja Akherat melalui ubun-ubun.
Mendadak saja kedua mata Raja Akherat terbuka, memperlihatkan sinar amarah yang nyalang ber-kilatan. Lalu dia berdiri tegak dengan gerakan kaku.
"Ha... ha... ha...! Kalian akan sia-sia saja untuk mengalahkan aku, hah"! Akui aku sebagai orang nomor satu di rimba persilatan, maka kalian akan kubebaskan." kata Raja Akherat yang kelihatan aneh ini, jumawa.
Ki Pangsawada dan si Naga Gunung memperhatikan dengan kening berkerut. Semula mereka melihat betapa Raja Akherat dalam
keadaan kelelahan karena tenaganya terkuras. Namun kini, dia tegak berdiri segar tak kurang suatu apa!
Belum lagi mereka memikirkan apa yang tengah terjadi, tubuh Raja Akherat sudah meluruk deras de ngan pukulan beruntun.
Zeb! Zeb! Zeb! Tiga buah serangan ganas mengandung tenaga tinggi dilepaskan dengan cepat. Ki Pangsawada dan Nyai Selastri kaget bukan main. Mereka merasa yakin, Raji Akherat sedang mengeluarkan ajian pamungkasnya. Maka dengan sebisanya mereka berkelit ke
samping kanan dan kiri, menghindari. Begitu pula Permadi yang masih memperhatikan. Namun mendadak pemuda itu menerjunkan diri dalam pertarungan. Kerisnya cepat
berkelebat dengan ganas.
"Ha... ha... ha...! Kalian akan mampus hari ini juga!" seru Raja Akherat sambil mengibaskan tangannya menangkis keris Permadi.
"Heh"!"
Permadi terkejut setengah mati, melihat kerisnya patah! Sejenak pemuda itu tertegun. Namun keter-tekunannya jelaslah suatu petaka. Tiba-tiba sebuah pukulan keras menerpa dadanya.
Desss...! "Aaakh!"
Permadi langsung terhuyung ke belakang disertai pekik kesakitan. Lalu tubuhnya ambruk setelah muntah darah berkali-kali.
Melihat hal ini Ki Pangsawada dan si Naga Gunung terkejut setengah mati. Namun mereka pun harus kembali tunggang langgang menghindari serangan ganas Raja Akherat dengan teriakan-teriakan keji.
Sementara itu, Ki Wirayuda akhirnya berhasil mendesak Anomdoro, setelah tongkatnya berhasil menyabet kaki lawannya dua kali. Tepat ketika Anomdoro terpincang-pincang, tubuh si Penguasa Harimau berkelebat cepat dengan kaki lurus melepas tendangan.
Anomdoro cepat mengegoskan tubuhnya ke kiri, sambil memapak. Namun di luar dugaan, Ki Wirayuda menarik pulang serangannya. Bahkan seketika tubuhnya berputar sambil mengebutkan tongkat kayunya. Dan....
Prakkk! "Aaakh...!"
Dengan satu gerakan tipu yang manis sekali, Ki Wirayuda berhasil menggetok kepala Anomdoro.
Setika itu juga kepala tokoh sesat ini pecah mengucurkan darah. Begitu ambruk, nyawanya pun melayang.
Ki Wirayuda mendesah panjang sambil memandangi mayat lawannya. Lega sudah, bisa menamatkan riwayat Anomdoro. Ketika kepalanya berpaling, tampak Ki Pangsawada dan Nyai Selastri terdesak hebat sekali, Keduanya bagai tersudut oleh serangan-serangan ganas yang dilakukan Raja Akherat. Saat itu juga Ki Wirayuda pun melesat membantu.
Namun....
"Tolooong! Tolooong...!"
Niat si Penguasa Harimau urung ketika telinganya mendengar jeritan keras.
"Sari!" desis Ki Wirayuda. Saat itu juga laki-laki tua ini langsung melesat ke dalam.

***

Raja Akherat terbahak-bahak melihat Ki Pangsawada dan Nyai Selastri kalang kabut seperti itu. Baginya kedua manusia itu harus mampus, karena tak mau mengakuinya sebagai orang nomor satu di rimba persilatan "Hiaaa...!"
Dengan teriakan keras, Raja Akherat meluruk menerjang dengan sambaran-sambaran tangan yang bertenaga dalam penuh.
Deb! Deb! Gemuruh suara pukulan Raja Akherat sangat keras terdengar, mampu menciutkan jantung yang diserang.
Begitu pula yang dialami Ki Pangsawada dan Nyai Sulastri sekarang ini. Ajian 'Tempur Nyawa' tingkat pertama yang dilepaskan Ki Pangsawada tidak lagi membawa arti banyak. Demikian pula pukulan 'Kemarau Tiga Musim' milik si Naga Gunung.
Kedua tokoh golongan putih ini sangat heran, mengapa tiba-tiba saja Raja Akherat menjadi begitu perkasa dan bertambah sakti"
Apakah pengaruh dari cahaya hitam yang masuk ke tubuhnya tadi"
Gempuran-gempuran Raja Akherat sangat mematikan, membuat Ki Pangsawada dan si Naga Gunung sudah yakin kalau saat
inilah ajal menjemput mereka.
Tepat ketika sambaran tangan Raja Akherat menemui sasaran, mendadak saja si Naga Gunung merasakan sesuatu menyambar dengan cepat. Sehingga, gempuran Raja Akherat pun luput.
Sementara Ki Pangsawada pun merasa terkejut, ketika tidak merasakan sesuatu yang menghantam tubuhnya. Justru laki-laki tua ini melihat satu sosok tubuh berpakaian compang-camping berwajah tak karuan, sedang memapaki serangan Raja Akherat.
"Andika! Bantulah aku untuk mengeluarkan Siluman Hutan Waringin dari tubuh Raja Akherat!" seru sosok berpakaian compang-camping yang tak lain Eyang Sasongko Murti sambil menghindari gempuran Raja Akherat.
Dalam sekali lihat saja, Eyang Sasongko Murti sudah tahu kalau Siluman Hutan Waringin sudah menitis ke tubuh Raja Akherat.
Memang, apa yang dikhawatirkan Eyang Sasongko Murti sudah terjadi. Cahaya hitam yang masuk ke ubun-ubun Raja Akherat adalah jelmaan dari Siluman Hutan Waringin.
Siluman itu akhirnya menitis di tubuh Raja Akherat! Sudah tentu kesaktian Raja Akherat mendadak saja berlipat ganda, lebih hebat dari sebelumnya. Karna kini, ia dikendalikan tenaga Siluman Hutan Waringin!
"Kalau Siluman Hutan Waringin tetap menyatu pada tubuh Raja Akherat, akan semakin sulit bagi kita untuk menghancurkannya!" lanjut Eyang Sasongko Murti.
Andika yang tadi menyelamatkan si Naga Gunung segera bersalto ke depan. Lalu diserangnya Raja Akherat dari bagian kiri. Sementara Eyang Sasongko Murti menyerang dari bagian kanan. Ki Pangsawada dan si Naga Gunung menghela napas panjang menyadari kalau umur
mereka masih ada hingga saat ini. Mereka pun diam-diam merasa beruntung. Entah, siapa dua orang penolongnya itu"
Yang satu kelihatan tua sekali dengan wajah sukar dilukiskan. Sementara kawannya adalah pemuda berwajah tampan dengan sepasang alis hitam seperti mata elang, mengenakan pakaian hijau.
Ketika mendengar seruan dari yang tua itu sadarlah Ki Pangsawada dan si Naga Gunung, siapa sebenarnya pemuda itu.
"Hei, Andika! Percuma kau dijuluki Pendekar Slebor kalau tak bisa membantuku mengeluarkan Siluman Hutan Waringin itu!" seru Eyang Sasongko Murti, seperti menanas-manasi.
"Enaknya ngomong! Yang kuhadapi ini siluman."
hardik Andika sambil melompat menghindari gempuran Raja Akherat yang kini dititisi Siluman Hutan Waringin.
"Kau tinggal menggempur bagian ubun-ubun. Kalau dapat, ketok tiga kali dengan keras! Aku akan menghajar siluman itu, bila keluar dari tubuh Raja Akherat!" ujar Eyang Sasongko Murti.
Andika segera menjalankan perintah. Namun, bukanlah pekerjaan mudah. Karena, Raja Akherat yang dikendalikan dan disatukan ilmunya oleh Siluman Hutan Waringin, justru kini menyerang dengan ganas.
Pendekar Slebor pun segera menggunakan tenaga petir warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sementara Eyang Sasongko Murti mengangkat kedua tangannya sehingga menimbulkan angin menderu-deru.
Akan tetapi, kekuatan Siluman Hutan Waringin yang telah menggunakan tubuh Raja Akherat justru semakin bertambah saja. Selain ilmu siluman yang diperlihatkan, ia juga menggunakan kesaktian Raja Akherat yang tinggi. Sehingga, Andika dan Eyang Sasongko Murti harus tunggang langgang dibuatnya.
"Ha... ha... ha...!"
Raja Akherat terbahak-bahak.
"Pendekar Slebor! Kalau waktu itu aku gagal membunuhmu, kini kau akan mampus di tanganku!" geram Raja Akherat.
Begitu habis kata-katanya, Raja Akherat kembali menyerang. Sambaran tangannya bagaikan angin yang menderu keras.
Pendekar Slebor dengan kelincahan yang didapat dari Lembah Kutukan, menghindari serangan. Lalu kain pusakanya yang bercorak catur di punggungnya disambarnya.
Dan saat itu juga, kain pusaka warisan Ki Saptacakra dikebutkannya dengan kuat, menyambut sambaran tangan Raja Akherat.
Wuuut! Braaat! Suara keras terdengar, begitu kain bercorak catur menyambar dan melilit tangan Raja Akherat. Sejenak terjadi dua kekuatan yang masing-masing dialiri tenaga dalam tinggi.
"Heh!"
Mendadak saja Andika melepaskan kainnya yang melilit di tangan Raja Akherat. Saat itu tangannya terasa panas yang luar biasa menyengat.
Eyang Sasongko Murti menggeram. Segera diserangnya Raja Akherat dengan jurus-jurus siluman yang pernah dipelajarinya!
"Sasongko! Kau memang bandel sekali! Dan tak akan kubiarkan kau untuk bertahan hidup lebih lama!" ancam Raja Akherat alias Siluman Hutan Waringin.
"Siluman busuk! Keluarlah kau dari tubuh manusia laknat itu! Kita bertarung sampai mati! Dan, biarkan manusia busuk itu bertarung melawan Andika!" dengus Eyang Sasongko Murti.
Laki-laki tua ini berusaha memanas-manasi Siluman Hutan Waringin. Karena menurutnya, akan lebih mudah menjatuhkan siluman itu daripada bila menitis pada tubuh seseorang.
Namun tak ada sahutan. Yang ada hanyalah sambaran tenaga yang kuat sekali.
Wesss...! "Ikatan Mambang Kahyangan!" seru Eyang Sasongko Murti. Segera kepalanya berpaling pada Andika.
"Jangan gegabah! Bila kau terkena pukulan itu bisa mampus!" Andika mendengus. Diam-diam kini tenaga 'inti petir'nya disalurkan kembali pada kedua tangannya.
Lalu diambilnya napas dalam-dalam dan ditahannya di perut. Sejenak dalam perutnya terasa ada sesuatu yang bergejolak dahsyat.
Dan mendadak saja Pendekar Slebor memotong serangan Raja Akherat pada Eyang Sasongko Murti.
"Guntur Selaksa tingkat satu!" teriak Pendekar Slebor, lantang.
Seketika meluncurlah tubuh Andika yang telah dipenuhi kekuatan tenaga petir sangat dahsyat. Raja Akherat yang dititisi Siluman Hutan Waringin dan sekarang sedang menyerang Eyang Sasongko Murti dapat membelokkan arah serangannya. Ia bermaksud memapaki serangan, namun tangan Andika yang telah merangkum tenaga 'Guntur Selaksa' lebih cepat mampir tubuhnya. Hingga....
Des! Blarrr! Terdengar ledakan keras bagai sambaran petir yang memekakkan telinga, menyambar tubuh Raja Akherat. Sementara Andika langsung bersalto ke belakang. Ia hanya melihat tubuh Raja Akherat menjadi agak hangus dengan rambut rontok. Namun keadaannya masih tetap tegar. Bahkan lebih garang lagi.
"Bangsat! Mampuslah kau, Pendekar Slebor! Grrr!"
Seketika tubuh Raja Akherat melesat kembali dan menyerbu dengan ganas. Pada saat yang sama, Eyang Sasongko Murti menerjang ke depan. Dengan ilmu dari negeri siluman, cepat ditangkap kedua tangan Raja Akherat.
Tap! "Cepat pukul ubun-ubunnya tiga kali! Cepat, Bor!" ujar Eyang Sasongko Murti, tegang.
Andika langsung melesat dan berputar dua kali di angkasa. Dan tiba-tiba tangannya cepat memukul ubun-bun Raja Akherat.
Prak! Prak! Tepat ketika Pendekar Slebor memukul yang terakhir, Eyang Sasongko Murti melepaskan pegangannya.
"Ghrrhh...!"
Kini terdengar suara bagai raungan yang sangat kuat sekali. Sementara tubuh Raja Akherat berputar tak karuan.
"He... he... he...! Kau memang perjaka murni, Bor," ujar Eyang Sasongko Murti sambil terkekeh-kekeh.
"Namaku Andika! Enaknya main panggil, 'Bor' saja!" rutuk Pendekar Slebor gemas sambil memperhatikan tubuh Raja Akherat yang
kelojotan.
"Kalau kau sudah bukan perjaka lagi, sulit untuk menyuruh keluar Siluman Hutan Waringin dari jasad Raja Akherat! Nah! Sebentar lagi, tubuh keduanya akan memisah! Kau hadapi Raja Akherat, sementara aku akan menghadapi Siluman Hutan Waringin!" ujar Eyai Sasongko Murti dengan wajah tegang.
Andika dapat membaca ketegangan Eyang Sasongko Murti.
"Eyang..., sanggupkah kau menghadapi siluman itu?"
"Aku tidak tahu. Tetapi, satu-satunya yang mampu mengimbanginya adalah aku. Karena sedikit banyaknya aku menguasai ilmu negeri siluman. Jelek-jelek begini, aku pernah belajar sama siluman, kan?" sahut Eyang Sasongko Murti enteng.
"Ya, lalu terdampar di Alam Sunyi selama seratus tahun!" balas Andika sambil terbahak-bahak.
Eyang Sasongko Murti pun terbahak-bahak.
Sedangkan Ki Pangsawada dan si Naga Gunung sedikit bingung memperhatikan. Bukannya Pendekar Slebor dan Eyang Sasongko Murti sungguh-sungguh menghadapi tokoh sesat itu, tapi malah tertawa terbahak-bahak.
Dan mendadak saja mata Ki Pangsawada dan Nyai Selastri terbelalak, ketika melihat cahaya hitam keluar dari ubun-ubun Raja Akherat, lalu berubah menjadi sosok mengerikan bermata satu di keningnya. Kedua tangan dan kakinya agak bengkok bersirip. Kupingnya tinggi
dengan lidah terjulur keluar berbau busuk! Inikah yang disebut Siluman Hutan Waringin yang menitis di tubuh Raja Akherat"
Desis mereka. Dan kedua tokoh itu melihat Eyang Sasongko Murti nampak bersiaga dengan kedua tangan membuka.
"Heaaa...!"
Dan mendadak saja Siluman Hutan Waringin menyerang Eyang Sasongko Murti yang memang sudah mempersiapkan diri dengan ilmu
dari negeri siluman. Sementara Raja Akherat menggeram marah. Ketika dititisi Siluman Hutan Waringin, ingatannya sebenarnya sadar. Makanya, dia menggeram pada Pendekar Slebor.
"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus kau datang ke sini, Pendekar Slebor! Ayo, bersujudlah. Dan, beri kesaksian kalau aku adalah Raja Nomor Satu di rimba persilatan ini!"
"Jidatmu busuk!" balas Andika, sambil memperhatikan sekujur tubuh Raja Akherat yang sudah menghitam akibat sambaran pukulan 'Guntur Selaksa' yang dilepaskannya tadi.
"Kalau kau meminta padaku untuk mengakuimu sebagai raja monyet nomor satu, jelas saja aku setuju! Sejak tadi, sebenarnya aku ragu. Yang kuhadapi ini raja monyet, atau raja orang utan?"
Wajah Raja Akherat merah padam. Maka mendadak saja mulutnya memekik keras. Lalu kedua tangannya merentang, menggelar
jurus 'Himpunan Surya-Bayu-Tanah'. Dan seketika tubuhnya meluruk menderu dengan seruan sangat keras. Begitu tubuh Raja Akherat melesat ke arah Pendekar Slebor, Ki Pangsawada dan si Naga Gunung pun bersiap mengeroyok.
Namun keinginan mereka segera diurungkan, setelah melihat Nyai Pamunti alias Wanita Burung Hantu dan Kokorongko yang berjuluk Dewa Muka Iblis muncul dengan tergesa-gesa. Dalam sekali pandang, mereka yakin kalau Nyai Pamunti dan Kokorongko telah bersekutu dengan Raja Akherat. Maka pertarungan pun segera terjadi dengan sengit.

***

% [11] %

Di dalam Keraton Kerajaan Pakuan, tanpa kesulitan Ki Wirayuda menemukan sumber jeritan minta tolong tadi. Seperti yang diduga jeritan berasal dari mulut Sari.
"Sari!" seru si Penguasa Harimau sambil bergegas mendekatinya.
"Oh, Ayah.... Untung kau datang, Ayah...," desah Sari dengan suara tegar.
Hatinya sudah tidak sabar untuk membalas perbuatan Raja Akherat. Ki Wirayuda bermaksud membuka ikatan Sari, namun....
"Oh! Gila! Rupanya tadi tali ini dialiri tenaga dalam yang langsung terkunci," pekik Ki Wirayuda.
"Bisakah Ayah membebaskannya?" tanya Sari dengan suara tenang.
Sari berteriak tadi, memang menginginkan agar yang berada di luar sana mengetahui dan membebaskannya agar bisa dengan segera membalas perbuatan Raja Akherat yang telah lama mengurungnya di sini. Sejak tadi Sari memang mendengar teriakan dan suara orang
bertarung di luar. Dan sungguh tak disangka, justru ayahnya sendiri yang muncul. Sudah tentu ketenangan Sari semakin nampak.
Ki Wirayuda terdiam sejenak, lalu kedua matanya terpejam. Cukup lama juga dia melakukan hal itu, karena memang harus memulihkan tenaga dalam dan hawa murni setelah bertarung dengan Anomdoro.
Lalu perlahan-lahan mata si Penguasa Harimau membuka.
"Sari..., bantulah aku dengan tenaga dalammu juga untuk membuka ikatan itu," ujar Ki Wirayuda.
"Baik, Ayah...."
Lalu mulailah Ki Wirayuda menempelkan telapak tangan pada ikatan tali yang mengikat tangan Sari. Dan gadis itu pun segera mengalirkan tenaga dalamnya pula. Kini Sari sedikit tenang atas kehadiran bapaknya.
Tetapi si Belang. Di manakah si Belang"

***

Empat pertarungan di halaman Keraton Pakuan pun terjadi dengan sengit. Bahkan sangat mengerikan. Terutama pertarungan antara Eyang Sasongko Murti dengan Siluman Hutan Waringin. Juga tak kalah dahsyatnya pertarungan Andika melawan Raja Akherat.
Gempuran-gempuran yang berbahaya terjadi di antara mereka. Ki Pangsawada sendiri menghadapi serangan-serangan gencar Kokorongko. Sementara si Naga Gunung harus mengimbangi kecepatan Wanita Burung Hantu.
Setelah gagal menangkap Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima, Nyai Pamunti dan Kokorongko memang terus mencari. Namun sebelum kedua buruannya diketemukan, mendadak saja burung hantu peliharaan Nyai Pamunti datang, mengabarkan kalau telah mengetahui keberadaan Danji dan si Belang. Namun ada sesuatu yang lebih menarik lagi yang dapat diketahui Nyai Pamunti.
Rupanya, burung hantu itu mencarinya di Kerajaan Pakuan. Tetapi, tidak ditemukan. Si Manis pun melaporkan hal itu pada majikannya, yang segera mengurungkan niat untuk mencari Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima. Bersama Kokorongko, mereka berlari
kencang, sementara si Manis terbang mengikutinya.
Raja Akherat terus menggempur Andika dengan serangan maha dahsyat dan mengerikan. Namun Andika dengan mengandalkan kelincahan, dapat menghindarinya. Bahkan membuat Raja Akherat menggeram marah. Pertarungan yang sudah berlangsung puluhan jurus, semakin seru saja. Masingmasing ingin menguasai dan menjatuhkan. Andika sendiri merasa, lawan sangat tangguh. Berkali-kali ia harus menghindar, bila tidak ingin terkena pukulan keras Raja Akherat.
"Aku tidak suka bermain kucing-kucingan seperti ini! Lebih baik akui, aku ini orang nomor satu di rimba persilatan!" seru Raja Akherat.
Sementara itu, Ki Pangsawada kini mencecar Kokorongko dengan cepat. Ajian 'Tempur Nyawa' tingkat pertama sudah dipergunakan. Sehingga, menyulitkan Kokorongko. Dan mendadak saja mereka bersalto ke belakang. Dan seketika mereka sama-sama menderu
maju kencang dan sama-sama mengeluarkan tenaga dalam tinggi serta ajian maut.
"Heaaattt!"
"Teaaa!"
Dua seruan keras itu pun terdengar bersama tubuh mereka yang saling menyongsong. Lalu.... Duaaarrr! Dua tenaga dahsyat itu menimbulkan ledakan keras menggelegar. Seketika di tempat mereka bertemu tenaga tadi, mengepul asap putih yang cukup tebal. Sementara dedaunan semakin banyak yang gugur. Lalu terlihatlah dua sosok tubuh terhuyung ke belakang sambil sama-sama memegang dada.
Ki Pangsawada berusaha menekan rasa sakit di dadanya, namun tak kuasa juga. Kepalanya mendadak menjadi pusing. Tenaganya banyak yang keluar. Akhirnya laki-laki itu pun ambruk jatuh pingsan. Sementara Kokorongko begitu jatuh ke tanah, berkelojotan hebat. Rupanya, dia terkena telak ajian 'Tempur Nyawa'. Setelah sempoyongan beberapa saat, tubuhnya pun ambruk dan tak bernyawa lagi. Sementara itu si Naga Gunung terus melabrak Nyai Pamunti dengan hebatnya. Kini tampak Wanita Burung Hantu harus terdesak.
"Suiiittt...!"
Namun wanita sesat ini tak kehilangan akal. Dan mendadak saja terdengar siulan keras Nyai Pamunti, memanggil burung hantunya. Seketika burung peliharaan itu menyerang si Naga Gunung dengan ganasnya. Dan justru hal itulah yang membuat si Naga Gunung menjadi semakin marah. Tibatiba saja dengan gerakan cepat, kakinya berputar. Pada saat yang sama burung hantu tengah meluruk menyerangnya. Sehingga....
Prakkk! "Krieekhh!"
Burung hantu itu hancur berantakan, terkena tendangan berisi tenaga dalam penuh. Serpihan-serpihan dagingnya berjatuhan di atas tanah.
"Manisss...!" jerit Nyai Pamunti keras.
Dengan kemarahan membludak, Wanita Burung Hantu meluruk menyerang.
Pada saat yang sama, Nyai Selastri juga meluruk dengan ajian pamungkas. Begitu kedua serangan itu bertemu....
Desss...! Desss...!
"Aaakh...!"
Wanita Burung Hantu termakan pukulan si Naga Gunung berkali-kali. Tubuhnya seketika terpental, dan ambruk di tanah tak bangun-bangun lagi. Sementara si Naga Gunung sendiri harus terjajar ke belakang.
Dada terasakan sesak. Agaknya, dengan matinya binatang ke-sayangannya, kekuatan Nyai Pamunti seolah sirna.
Sementara itu Raja Akherat terus mendesak Andika dengan ganasnya. Kemarahannya semakin bertambah, setelah menyadari Andika sangat sulit ditaklukkan. Bahkan sekarang dia yang justru terdesak.
"Keparat!" maki Raja Akherat.
"Orang yang ingin menjadi nomor satu di rimba persilatan, mestinya bertampang ganteng. Tidak sepertimu!" ejek Andika. Serangan demi serangan yang semakin dahsyat dilancarkan Pendekar Slebor.
Bahkan tenaga 'inti petir' tingkat kelima warisan Pendekar Lembah Kutukan sudah digunakannya dengan gencar, membuat Raja Akherat kocar-kacir.
Dan mendadak saja laki-laki sesat itu merangsek dengan gempuran sangat kuat.
"Andika! Kita harus mampus bersama-sama!" seru Raja Akherat sambil menerjang deras. Andika terkejut melihat serangan yang nekat.
Cepat Pendekar Slebor melompat ke atas seraya berputaran beberapa kali. Dan tiba-tiba tubuhnya meluruk dengan kedua kakinya menjejak kepala Raja Akherat. Diegkh! Orang kejam itu kontan harus tersungkur di tanah.
Sementara Andika yang merasa kesempatan sudah ada di depan matanya pun segera menghimpun kekuatan dahsyat. Begitu menjejak tanah, tubuhnya meluncur sambil menghujamkan tangan ke tubuh Raja Akherat yang tak berdaya.
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Raja Akherat pun perlahan-lahan melemah dengan tubuh terhuyung-huyung. Dia benar-benar sudah tidak mampu menahan dan melawan serangan-serangan Pendekar Slebor.
Dan begitu sekali lagi Pendekar Slebor menghantam, tubuh Raja Akherat ambruk di tanah.
Seketika Andika menginjak-injak jasad Raja Akherat yang telah menjadi mayat. Eyang Sasongko Murti sedang menggempur Siluman Hutan Waringin dengan dahsyat. Tampak berkali-kali tubuh laki-laki tua aneh itu harus terkena pukulan hebat dari Siluman Hutan Waringin.
Seperti yang terjadi di Alam Sunyi, pertarungan nampak lebih mengerikan lagi. Bumi yang dipijak seakan bergoyang menerima getaran keduanya. Dan mendadak saja Eyang Sasongko Murti mengambil sesuatu dari balik bajunya yang compang-camping.
Gumpalan kain berisi tetesan darah Andika!
Seketika, Eyang Sasongko Murti melemparkan kain itu ke arah Siluman Hutan Waringin yang tak bisa menghindar lagi.
"Aaagrrh...!"
Mendadak saja Siluman Hutan Waringin menjerit-jerit keras. Namun Eyang Sasongko Murti tidak ingin membuang kesempatan lagi. Dan memang, siluman itu harus dimusnahkan. Dicecarnya siluman itu dengan gumpalan kain berisi tetesan darah Andika. Rupanya darah seorang perjaka suci membuat seluruh tubuh siluman itu kepanasan!
Karena tak kuasa menahan derita, Siluman Hutan Waringin pun menghilang, berubah menjadi asap.
"Sasongko! Aku akan datang lagi untuk mencarimu!" ancam suara dari balik asap, terdengar menggema.
Eyang Sasongko Murti mendesah lega begitu asap itu sirna. Demikian pula Pendekar Slebor. Namun mereka yang berada di sana, termasuk Ki Pangsawada dan si Naga Gunung kontan terkejut ketika....
"Pendekar Slebor! Kali ini aku gagal membunuhmu. Juga, menguasai dunia persilatan. Tetapi, yakinlah. Kita pasti akan bertemu lagi!"
terdengar suara dari atap Keraton Pakuan.
Andika tercekat!
"Raja Akherat!"
Andika cepat berpaling untuk melihat mayat Raja Akherat yang tadi diinjakinjaknya dan telah menjadi mayat. Ternyata jasad tokoh sesat itu sudah tidak ada lagi. Sadarlah Andika, kalau manusia bangsat itu telah mempergunakan ilmu 'Melayang Dua'nya.
Belum habis keterkejutan mereka, muncul dua sosok tubuh dari dalam keraton. Ki Wirayuda dan Sari. Rupanya, Ki Wirayuda berhasil membebaskan putrinya. Begitu melihat Andika, Sari melotot.
"Pendekar Bego! Ke mana saja kau, hah"! Kau biarkan aku dan yang lain menanggung petaka!" caci Sari.
Andika terdiam. Tidak berkata-kata. Pendekar Slebor tidak tahu, siapa yang salah. Justru Eyang Sasongko Murti yang kemudian
menjelaskan semuanya, sehingga membuat Sari tersipu malu.
Suasana semakin bertambah lega, ketika muncul Prabu Adiwarman, Putri Permata Delima, Danji, dan si Belang yang langsung mendekati Sari, begitu melihatnya.
Mulai hari ini, mulailah Prabu Adiwarman membangun kembali Kerajaan Pakuan dengan bantuan orang-orang perkasa yang telah menolongnya. Termasuk, Pendekar Slebor.

SELESAI


Serial Pendekar Slebor selanjutnya :
MANUSIA PEMUJA BULAN


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Raja Akherat --oo0oo-- Manusia Pemuja Bulan


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers