Life is journey not a destinantion ...

Manusia Pemuja Bulan

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Neraka Di Keraton Barat --oo0oo-- Cincin Berlumur Darah



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: MANUSIA PEMUJA BULAN

MANUSIA PEMUJA BULAN
Serial Pendekar Slebor Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor .Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau Seluruh buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit

{{{ :1: }}}

Purnama sejak tadi sudah membedah alam ditemani bintang-bintang yang bertaburan di langit cerah. Bulan penuh saat ini tak
ubahnya seorang ratu jelita yang didampingi para dayang.
Di lereng Gunung Pengging, malam yang biasanya sepi kini nampak ramai sekali. Penduduk yang hidup di sekitar gunung itu
berbondong-bondong mengunjungi lereng. Mereka duduk bersila, membentuk lingkaran yang di tengahnya terdapat
sebuah api unggun.
Suasana nampak sepi, meskipun banyak sekali penduduk yang baru saja hadir. Mereka pun tak bersuara, bagaikan ada sesuatu
pantangan yang melarang untuk mengeluarkan suara. Semuanya menunduk, sementara api unggun di tengah-tengah terus menyala.
Sekitar enam orang berpakaian merah yang mengenakan topeng berwarna merah juga, tampak mulai bergerak ke dekat api
unggun. Kemudian mereka menyebar, dan berlutut mengelilingi.
Baru saja berlutut, mendadak keenam orang itu bertingkah seperti kesurupan. Dengan tubuh mengejang-ngejang mereka menyembah ke arah rembulan. Tak lama, muncul seorang laki-laki berjubah serba hitam dari kegelapan. Kemunculannya memang tidak terlihat. Tahu-tahu dia sudah menyisih jalan, dan berada di dekat api yang menyala di kelilingi enam orang berpakaian dan bertopeng merah yang masih bertingkah seperti orang kesumpan.
Mata laki-laki berjubah hitam yang baru datang itu tajam memandang ke sekitarnya, memperhatikan orang-orang yang duduk bersila tetap dengan kepala tertunduk.
"Terima kasih atas kedatangan kalian, wahai para pengikutku," ucap laki-laki berjubah hitam tiba-tiba dengan suara berat.
Begitu laki-laki itu terkena jilatan cahaya api unggun tampak jelas bentuk wajahnya yang berbentuk tirus.
Bibirnya tipis berlekuk ke atas, menampakkan kec ulasan. Hidungnya agak panjang dan sedikit bengkok. Kedua matanya tak ubahnya mata harimau yang mencorong tajam. Begitu pula alisnya yang naik ke atas. Rambutnya yang panjang tergerai, dipermainkan angin.
"Kini, angkatlah wajah kalian. Lihatlah sesembahan kita yang telah berdiri tegak di mata langit...," lanjut laki-laki ini.
Perlahan-lahan orang-orang yang berada di tempat ini mengangkat kepala, menatap rembulan yang tetap bersinar.
"Hmmm.... Kalian adalah pengikut-pengikutku yang setia.... Bagus! Karena Dewa Bulan akan marah bila kalian tidak ikut dalam upacara ini...."
Laki-laki berjubah hitam yang oleh orang-orang itu dikenal dengan nama Wedokmurko itu tersenyum puas.
"Upacara akan kita segerakan, mengingat korban sudah didapatkan... Kini, mulailah kalian menyanyikan lagu pujaan untuk Dewa Bulan," ujar Ki Wedokmurko.
Semua orang yang ada di situ tetap menatap rembulan. Sementara kali ini mulut mereka komat-kamit melantunkan senandung
pelan yang telah diajarkan Ki Wedokmurko. Dan suasana pun terasa menggiriskan, oleh teriakan keras dan gerak limbung enam orang berpakaian dan bertopeng merah.
Lalu entah dari mana datangnya tiba-tiba saja satu sosok tubuh melayang dan jatuh di tengah-tengah lingkaran. Sosok itu dalam keadaan pingsan, dibalut pakaian berwarna hitam.
"Lihatlah.... Dewa Bulan telah merestui kita, karena telah mengambil sesembahan itu...," kata Ki Wedokmurko dengan suara mengeras.
Suara senandung itu semakin lama semakin keras terdengar.
"Wahai, Dewa Bulan.... Kami berada di sini untuk memujamu. Dalam hembusan angin dingin, dalam kabut menebal yang perlahan-lahan membasahi sekujur tubuh kami.... Namun, kami tidak mengenal diam, tidak mengenal lupa. Kini, kami persembahkan seorang gadis yang masih suci, agar menjadi temanmu di atas sana.
Dewa Bulan yang perkasa...., terimalah sesembahan kami ini.... Dengan harapan, agar kau jauhkan kami dari penderitaan yang berkepanjangan. Dan, makmurkanlah hidup kami ini...." Lalu orang-orang itu menghentikan senandung. Dan mereka melihat lakilaki berjubah hitam itu tengah mengangkat kedua tangannya ke atas dengan kepala menengadah. Dari mulutnya meluncur kata-kata seperti mantera. Semakin lama semakin mengeras. Dan tiba-tiba saja gadis yang terkulai di atas tanah lenyap!
Sementara tubuh Ki Wedokmurko pun ambruk dengan kedua tangan menyentuh tanah.
Keringat membanjir di seluruh tubuhnya, seperti orang habis melakukan perjalanan sangat melelahkan. Dan perlahan Ki Wedokmurko bangkit dan berdiri tegak. Matanya memandang angker ke sekelilingnya.
"Dewa Bulan telah menerima sesembahan kita.... Dan percayalah, dia tak akan membiarkan kita hidup dalam kesusahan. Wahai,
pengikutku yang setia.... Setiap malam J umat kit a akan tetap melaksanakan upacara memuja Dewa Bulan. Sekarang, katakanlah.... Apa keluhan kalian...."
Serentak terlihat banyak orang-orang yang mengacungkan tangan. Ki Wedokmurko menunjuk seorang laki-laki tua kira-kira
bcrusia tujuh puluh tahun yang segera bangkit dituntun seorang gadis cantik jelita.
"Hmm.... Kenapa denganmu, Ki?" tanya Ki Wedokmurko. Sementara yang lain memperhatikan dengan rasa tegang, juga tidak sabar menunggu giliran.
"Ketua Wedokmurko. Hamba bernama Mayang, sedang kakek hamba bernama Seta. Sudah lima tahun ini kakek hamba menderita batuk yang berkepanjangan.
Kalau batuknya kambuh, sampai muntah darah...," jelas gadis cantik berkain kemben batik yang mengaku bernama Mayang.
"Itu soal mudah. Sangat mudah."
Seperti layaknya seorang tabib, Ki Wedokmurko memeriksa tubuh Ki Seta yang sudah terbatuk-batuk. Batuknya terdengar sangat keras dan memilukan.
"Hmm... rupanya, Dewa Bulan marah padanya, Nini...," lanjut laki-laki berjubah hitam itu dengan suara berat. Wajah Mayang
terperanjat "Mengapa, Ketua?" tanya Mayang.
"Karena..., dia menyimpan banyak harta yang tidak pernah dipersembahkan kepada Dewa Bulan...
" Kali ini Mayang menoleh pada kakeknya.
"Aki, benarkah yang dikatakan ketua?" tanya gadis itu dengan kening berkerut.
Rasanya, Mayang tidak pernah mendengar tentang harta milik kakeknya. Bagaimana mungkin kakeknya yang diketahuinya miskin itu memiliki harta banyak
" Harta apa"?
Hidup mereka sudah pas-pasan. Masih untung kakeknya memiliki sebidang tanah yang bisa ditanami umbi-umbian dan dedaunan. Sehingga. cukuplah untuk makan seharihari. Tetapi soal harta?
Ki Seta menganggukkan kepala sambil terbatuk. Laki-laki tua ini kelihatan sangat menderita dengan batuknya.
"Oh, harta apakah itu, Aki?" tanya Mayang semakin tidak sabar.
Ki Seta menarik napas panjang. Kelihatannya, dia enggan menceritakan soal harta yang telah lama dirahasiakannya. Namun melihat wajah Mayang yang begitu penasaran, apalagi Ketua Wedokmurko sudah menekannya, maka mau tak mau dia harus menceritakannya.
"Mayang... aku memang merahasiakan soal itu. Karena tak baik bagimu untuk mengetahuinya.... Huk.. huk... huk..," kata Ki Seta dengan susah payah.
"Kenapa, Aki" Lebih baik Aki mengatakannya saja daripada sakit batuk terus menerus...," ujar Mayang yang kali ini kelihatan cemas bila memikirkan sakit batuk kakeknya.
"Huk huk huk.... Ketua...," kata Ki Seta susah payah.
"Aku akan menyerahkan seluruh hartaku itu kepada Dewa Bulan.... Tapi, sembuhkanlah penyakitku ini...."
"Ha... ha.. ha. .!" Ki Wedokmurko terbahak-bahak.
"Apakah kau tidak percaya dengan ku, Ki" Hhh! Aku adalah utusan Dewa Bulan, yang sudah tentu tidak akan menyelewengkan
amanat siapa pun untuknya...," lanjut Ki Wedokmurko.
"Bukan.... Bukan itu maksud Aki, Ketua...," sergah Mayang dengan takut-takut. Ia ngeri melihat pancaran mata Ketua Wedokmurko yang menakutkan.
"Maksud Aki..., dia akan segera menyerahkannya nanti...."
"Dengan kata lain, kakekmu tidak percaya?" tukas Wedokmurko dengan suara keras.
Kali ini bukan hanya Mayang yang mendadak pias. Tetapi, juga yang hadir di sana. Mereka tahu, apa akibatnya bila Ki Wedokmurko sudah marah. Dan itu berarti sama saja dengan membangkitkan kemarahan Dewa Bulan.
"Aki..., katakanlah...," ujar Mayang.
Tetapi wajah Ki Seta tetap tegar. Bibirnya hanya mengulas senyum meskipun kelihatan sangat tersiksa dengan batuknya.
"Ketua..., aku akan mengatakannya bila batukku sudah diobati...," tegas lakilaki tua ini sekali lagi.
Memerahlah wajah Ki Wedokmurko mendengar kata-kata Ki Seta. Sementara, Mayang makin kelihatan ketakutan.
"Aki...."
"Grrr! Rupanya laki-laki tua ini tidak mempercayaiku sebagai Manusia Pemuja Bulan. Dengan kata lain, dia juga tidak percaya pada kalian ssmua yang telah memasrahkan diri pada Dewa Bulan. Mungkin saat ini aku.... Grrr!
Akkgghhh! Grrr!"
Tiba-tiba tubuh Ki Wedokmurko limbung ke kanan dan ke kiri. Wajahnya kelihatan semakin mengerikan. Tangannya mengacung pada Ki Seta.
"KiSeta...," panggil Ki Wedokmurko.
Suaranya bergetar.
"Dewa Bulan telah marah kepadamu.... Aku tidak sanggup menahannya.... Cepat, katakan. Di mana harta itu berada.... Kalau kau mengatakannya, niscaya Dewa Bulan akan mengampuni semua kelancanganmu...."
Tetapi sikap Ki Seta tetap tegar.
"Aku akan mengatakannya, bila kau bisa menyembuhkan sakit batukku ini....
" Aki!" sentak Mayang.
"Kau diam, Mayang.... Huk.. huk... huk... Ini urus-mku, biar aku yang menyelesaikannya.... Wedokmurko, ketahuilah.... Akulah satu-satunya orang yang mungkin tak percaya pada pemujaan terhadap Dewa Bulan ini. Kita sejak lama diharuskan menyembah kepada Gusti Al ah.
Tetapi mengapa kau.... Huk.. huk.. huk.. menyuruh kami menyembah Dewa Bulan?"
Sebentar Ki Seta menghentikan kata-katanya untuk menarik napas dengan susah payah.
"Dulu, sebelum kedatanganmu:.., kami yang menghuni lereng Gunung Pengging selalu hidup aman penuh keakraban. Tetapi sejak kau datang, semuanya menjadi sirna. Justru ketakutan yang diam-diam merayapi hati kami...," lanjut Ki Seta.
"Aki!" sentak Mayang kaget sambil melirik wajah Ki Wedokmurko yang semakih geram dengan tubuh masih limbung ke kanan dan ke kiri
"Mayang..., ketahuilah.... Aku tidak percaya pada manusia seperti ini. Sebelum kedatangannya, kita tidak pernah mengorbankan
nyawa dara perawan yang mendadak saja lenyap begitu dia mengatakan kalau Dewa Bulan menerima sesajen kita. Sudah berapa kali" Sudah lima perawan dikorbankan. Apakah kita masih mengorbankan yang lainnya, hah"! Mengapa harus sesembahan seperti itu" Mengapa tidak dengan yang lainnya saja, hah"! Mengapa?" sergah Ki Seta dengan suara semakin mengeras.
Kali ini laki-laki tua itu memandang ke sekeliling kearah para penduduk yang berada di sana.
"Di samping itu..., kita juga harus..., aaakkhhh!"
Mendadak saja tubuh Ki Seta terhuyung ke belakang dan ambruk. Dadanya sudah bolong. Tampak asap mengepul keluar dari sana. Seketika Mayang menubruk tubuh kakeknya.
"Aki i...!" jerit gadis itu menangis.
Namun tubuh laki-laki tua itu sudah tak bergerak, karena nyawanya sudah meninggalkan jasadnya. Dengan mata basah oleh airmata, Mayang berbalik ke arah Wedokmurko yang sudah tegak kembali. Sementara, enam laki-laki berpakaian dan bertopeng merah itu tetap bergerak dengan suara-suara mencekam, seakan membuat suasana tambah mengerikan.
"Ketua..., apakah Aki tidak bisa diampuni" Ampuni dia, Ketua! Kembalikan lagi nyawanya!" pinta Mayang, menjerit.
"Nini... Akimu telah berbuat kesalahan. Sehingga Dewa Bulan menjadi murka.... Aku tidak dapat mencegahnya...," kata Ki Wedokmurko dingin, sedingin tatapannya.
"Mengapa kakekku tidak bisa diampuni" Mengapa?" seru Mayang masih menangis.
"Karena..., dia telah berani melanggar perintah Dewa Bulan....
" Mayang menangis sambil merangkul kembali tubuh kakeknya yang telah menjadi mayat. Sementara yang hadir tak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun diam-diam mcnyalahi Ki Seta yang
telah berani lancang membantah perintah Dewa Bulan. Dan diam-diam pula, mereka pun bertanya-tanya, harta apa yang dimaksudkan Ketua Wedokmurko"
Wedokmurko lantas mengedarkan matanya berkeliling.
"Ini adalah contoh orang yang berani membantah perintah dari Dewa Bulan.... Orang yang tidak mempercayai akan kesaktian dan kehebatannya. Hhh! Siapapun yang membantahnya, maka akan mati. Kalian mengerti"!" jelas Ki Wedokmurko, tajam.
"Mengerti i...!"
Terdengar sahutan secara serempak dari orangorang di sekeliling api unggun.
"Dan kalian akan tetap patuh padanya?"
"Patuuuh...!" Kembali sahutan terdengar.
"Bagus! Sekarang, kuburkan mayat itu! Nini..., apakah kau mau agar Akimu diampuni?" tanya Wedokmurko menatap tajam. Membuat siapa pun yang melihatnya akan langsung mengkeret.
Mayang mengangguk tanpa menoleh. Matanya yang berair menatap lekat pada kakeknya yang terbujur kaku. Kepiluan sangat terasa di hatinya.
"Kalau begitu, malam Jumat yang akan datang..., kau menjadi sesembahan dari Dewa Bulan! Upacara seIesai!" lanjut Ki Wedokmurko, seraya mengibaskan jubahnya. Dan mendadak saja, sosoknya lenyap seperti ketika datang tadi. Setelah Ki Wedokmurko menghilang, enam orang berpakaian dan bertopeng merah pun perlahan-lahan melangkah dari lingkaran orang-orang itu. Nyala api unggun semakin tipis.
Sebagian lenyap karena kayu-kayu yang membakarnya sudah habis. Juga karena terkena angin yang berhembus semakin dingin.
Gerakan enam orang itu tak ubahnya bagaikan robot belaka, lalu perlahan-lahan lenyap dari pandangan.
Tepat ketika mereka semua tak terlihat lagi, barulah orang-orang itu berlarian mendekati Mayang yang masih menangisi mayat kakeknya.
Mereka melihat jasad Ki Seta dengan dada bolong. Tak seorang pun yang melihat tenaga atau serangan apa yang mengenai Ki Seta. Karena tahu-tahu, dia sudah ambruk.
"Sudahlah, Mayang.... Akimu memang salah. Dia telah berani membantah perintah Dewa Bulan....
" hibur salah seorang yang
berkumis tebal.
Mayang hanya mengangguk-angguk.
Beberapa pemuda gagah segera mengangkat mayat Ki Seta, lalu beramai-ramai membawanya turun dari lereng Gunung
Pengging. Selebihnya sepi. Hanya angin yang berhembus semilir.

***

Sebenarnya, sebagian penduduk yang mendatangi lereng Gunung Pengging, ada juga yang membenarkan kata-kata Ki Seta. Yah! Sebelum kedatangan Manusia Pemuja Bulan, segala sesuatunya di desa dekat lereng Gunung Pengging aman dan semuanya berjalan lancar. Tetapi setelah kedatangan Manusia Pemuja Bulan yang meminta dirinya disebut sebagai Ketua, keadaan mulai berubah. Laki-laki yang selalu berjubah berwarna hitam itu selalu mendatangi desa mereka, dan mengatakan hukuman Dewa Bulan akan datang bila tidak menyediakan sesajen.
Memang, pertama kalinya para penduduk di sana tidak mau mengindahkan kata-kata laki-laki berjubah hitam itu. Mereka tak acuh saja. Karena selama ini yang ada di hati mereka, hanya Gusti Allah yang patut disembah. Namun, malam-malam berikutnya, terjadilah sesuatu yang mengerikan. Karena mendadak saja, api bagai gulungan panjang, bergulung-gulung dari atap rumah satu ke atap lainnya.
Membakar apa saja. Hingga mereka menjadi kalang kabut. Di sela-sela keributan dan kesibukan memadamkan api, terdengar suara keras Ki Wedokmurko yang mengatakan kalau itu adalah hukuman dari Dewa Bulan karena para penduduk tidak mengindahkan kata-katanya sebagai utusannya!
Lambat laun ketakutan mulai merayapi hati setiap penduduk. Karena, bukan hanya bencana kebakaran saja yang melanda. Bahkan angin topan pun datang bergulung-gulung, menimpa mereka.
Juga ditemukan pula beberapa ekor ternak mati secara aneh.
Sejak itu, satu persatu para penduduk di sana pun mulai mengikuti Ki Wedokmurko yang selalu mengadakan upacara di lereng Gunung Pengging. Yang ikut itu selalu aman, tanpa gangguan. Yang belum mengikuti jejaknya, selalu saja mendapat gangguan yang dikatakan Ki Wedokmurko sebagai hukuman Dewa Bulan.
Hingga kemudian, seluruh penduduk di desa itu pun mengikuti jejak Manusia Pemuja Bulan karena tidak ingin mendapatkan hukuman.
Tak seorang pun yang berani membantah ketika Ki Wedokmurko meminta harta benda, makanan enak, juga pakaian yang bagus. Bahkan setiap malam Jumat, para penduduk yang mempunyai anak gadis harus mengorbankannya kepada Dewa Bulan.
Ada rasa sedih yang tak terhingga sebenarnya di hati mereka, mengorbankan anak gadis untuk Dewa Bulan Seperti yang sudah-sudah, anak gadis mereka dalam keadaan pingsan dalam upacara itu. Lalu kemudian, tahu-tahu lenyap dari pandangan. Entah ke mana. Apa yang terjadi terhadap mereka" Apa yang dialaminya"
Semua berjalan lancar selama tiga bulan. Dan kejadian barusan di lereng Gunung Pengging itu, sebenarnya membuka mata mereka pula, kalau yang dikatakan Ki Seta memang benar. Tetapi, apakah mereka berani melawan perintah Manusia Pemuja Bulan" Apakah mereka akan membiarkan diri dan keluarga mendapatkan hukuman dari Dewa Bulan"

***

{{{ 2 }}}

Mayat Ki Seta dikuburkan keesokan harinya. Pelayat yang datang sangat menyesali tindakan bodoh Ki Seta yang berani menentang kehendak dan perintah Dewa Bulan. Hingga akhirnya, dia menerima ajal yang mengerikan.
Dan hari-hati berikutnya yang justru sedih dan merasa sepi adalah Mayang. Gadis ini tak mengerti, mengapa Ketua Wedokmurko
tidak memintakan ampunan pada Dewa Bulan
" Mengapa dia tidak menolong Aki"
Sungguh! Hati gadis itu sangat sedih. Kini Mayang sebatang kara di dunia ini. Kedua orang tuanya telah lama meninggal
dunia. Sejak itu dia tinggal bersama kakeknya yang telah menduda. Namun mcskipun begitu, masih ada sesuatu yang menjadi pertanyaannya.
Harta apakah yang disembunyikan Ki Seta" Di mana harta itu disembunyikan"
Mengapa kakeknya selama ini tidak pernah memberitahukan soal harta itu. Harta apa" Namun, kesedihan karena ditinggal mati kakeknya, Mayang pun tak memikirkan soal harta itu lagi. Yang dipikirkannya sekarang, malam J umat yang akan datang, dia menjadi giliran sesembahan kepada Dewa Bulan.
Mayang bersedia saja melakukannya, karena itu adalah jalan satu-satunyabagi kakeknya untuk diampuni Dewa Bulan.
Mayang kini mulai merasakan sepi dalam kesendiriannya. Dia masak seperti biasanya. Namun kali ini untuk makan sendiri
saja. Sungguh, jelas sekali perbedaannya.

***

"Sampurasuuunnn!" Tiba-tiba terdengar suara orang bersalam di depan pintu.
Mayang yang masih sibuk memasak air bergegas ke depan setelah merapikan pakaiannya. Meskipun masih sedih karena ditinggal kakeknya, namun sifatnya yang! memang rajin tidak pemah ditinggalkannya.
"Rampeeesss!" sambut Mayang, sambil melangkah menuju pintu.
Gadis berusia delapan belas tahun itu membuka pintu untuk tamunya.
"Oh, Kang Medi," desah Mayang begitu pintu terkuak. Dan gadis ini langsung mengenali tamunya.
"Silahkan masuk, Kang...."
Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun masuk. Dia duduk di kursi yang sudah agak rusak. namun masih layak diduduki. Laki-laki ini cukup tampan, dengan rahang kukuh dan sepasang mata memancarkan sinar membara. Dari pakaiannya yang cukup bagus, agaknya laki-laki bernama Medi ini cukup kaya.
Mayang pun sudah tahu tentang tabiat laki-laki ini yang memang mata keranjang. Namun gadis ini bersikap tenang saja. Karena toh pikirnya, Medi hanya bertamu Mungkin pula sekali lagi menyampaikan bela sungkawa atas kematian kakeknva.
"Bagaimana, Mayang. Apakah kau kesepian sepeninggal kakekmu?" tanya Medi, begitu duduk di kursi ruang tamu.
Begitulah, Kang.... Biasanya aku selalu ditemani kakek, kini tinggal sendiri," sahut Mayang, juga duduk menghadapi tamunya.
Bibir Medi tersenyum-senyum. Matanya semakin liar memperhatikan sekujur tubuh Mayang bagaikan hendak menelannya bulat-bulat.
"Mayang.... Sebenarnya, kakekmu itu memang telah melakukan kesalahan. Seharusnya, kehendak Ketua Wedokmurko yang menjadi Utusan Dewa Bulan tidak boleh ditentang. Kedatangannya mengabarkan sesuatu yang menggembirakan, kalau Dewa Bulanlah yang paling kuasa di dunia ini," kata Medi.
Mayang menundukkan kepalanya. Bila teringat tentang kakeknya, hatinya sedih sekali.
"Kau benar, Kang... Aku sendiri tidak mengerti, mengapa Aki berbuat seperti itu. Bahkan menentang. kehendak Dewa Bulan," desah Mayang.
"Itulah yang kusesali. Sehingga.... kau akhirnya yang akan menjadi korban...."
"Maksud Kang Medi?" tanya Mayang mengangkat kepalanya, menatap Medi yang tersenyum-senyum.
"Bukankah malam Jumat depan adalah giliranmu untuk dipersembahkan pada Dewa Bulan?"
"Ya! Karena menurut Ketua Wedokmurko.... bila aku tidak berkenan atau bersedia, maka dosa-dosa kakekku tidak akan diampuni Dewa Bulan...."
Medi mengusap-usap dagunya yang klimis. Matanya yang liar semakin jelalatan. Menurut kata hatinya, sangat sayang sekali gadisgadis manis dan cantik itu dikorbankan kepada Dewa Bulan. Gadis-gadis yang begitu dikorbankan, mendadak lenyap entah ke mana. Menurut Medi, mungkin mereka mati. Dan sekarang, Mayang..., yang diam-diam dicintainya itu akan dikorbankan. Hhh!
Sayang sekali. Bukan kah lebih baik dinikmati dulu baru dikorbankan" Berpikir seperti itu, Medi pun memulai memasang
perangkapnya.
"Mayang..., apakah kau tidak sayang dengan wajah dan tubuhmu?" tanya laki-laki ini sambil tersenyum.
Kening Mayang berkerut, merasa aneh dengan pertanyaan Kang Medi. Karena, sepertinya, laki-laki ini pun menentang Dewa
Bulan. Padahal, Mayang sedang bersiap-siap untuk menunggu malam Jumat depan untuk mengorbankan diri kepada Dewa Bulan sebagai penebus dosa-dosa kakeknya. Dan gadis ini merasa yakin kalau Medi sudah memasang perangkapnya.
"Mengapa Kang Medi berkata begitu?" tanya Mayang.
Medi tersenyum lagi. Matanya mengedip.
"Kau cantik, Mayang.... Kau ayu. Sayang bila untuk dikorbankan kepada Dewa Bulan...."
"Aku tidak berani membantah perintah Manusia Pemuja Bulan alias Ketua Wedokmurko," tukas Mayang.
"Apakah Kang Medi tidak tahu, bagaimana akibatnya kalau berani menentang kehendaknya?"
"Kau benar, Mayang. Akan tetapi, mengapa kau begitu merelakan tubuhmu dijadikan sesajen Dewa Bulan?" tanya Medi.
"Karena..., aku menghendaki seluruh dosa-dosa Aki dihapuskan Dewa Bulan.... Itulah sebabnya, aku bersedia dijadikan sesajen, Kang Medi...."
Sepasang mata Medi yang liar semakin jelalatan. Sayang sekali, sayang sekali. Lalu mendadak saja Medi bangkit, pindah duduk di samping gadis itu. Sementara Mayang hanya diam saja.
"Mayang...,"
Medi memulai niat busuknya. Kedatangannya ke kini selain ingin melihat keadaan Mayang, juga ingin mengambil kesempatan. Sudah lama dia menginginkan Mayang.
"Tahukah kau..., kalau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Dewa Bulan tak akan pernah kembali lagi?" lanjut Medi.
"Aku tahu, Kang."
"Tidak sayangkah kau dengan tubuh dan wajahmu vang jelita ini?"
"Maksud Kang Medi?"
"Maksudku..., apakah tidak dimanfaatkan dulu tubuhmu ini, Mayang?"
Mayang mengerutkan keningnya.
"Aku tidak mengerti, Kang..."
Medi mengembangkan senyumnya. Duduknya pun semakin merapat.
"Kau paham akan maksudku, Mayang. Kau tahu, karena kau sudah dewasa, bukan?"
Mayang terdiam seraya menundukkan kepala. Sikapnya mencerminkan kepasrahan belaka.
Tiba-tiba Medi menyergap Mayang. Dan mereka sama-sama terjerembab ke lantai. Lalu dengan buas laki laki ini menciumi sekujur wajah dan meraba sekujur tubuh gadis itu. Herannya, Mayang diam saja. Tidak berbuat apa-apa. Meladeni tidak,
berontak pun tidak. Medi yang merasa mendapat angin. perlahan-lahan melucuti pakaian Mayang satu persatu. Inilah kesempatan yang sangat langka sekali. Sebuah kesempatan yang telah lama ditunggu-tunggunya.
Dan yang tak pernah disangkanya, gadis itu hanya mandah saja. Diam-diam Medi merasa sangat beruntung dengan datangnya I
Manusia Pemuja Bulan, sehingga ia mendapatkan apa yang telah lama dicarinya.
"Kau cantik, Mayang.... Kau cantik... "
Napas laki-laki mala keranjang ini memburu dengan suara bergetar. Tangannya meraba sekujur tubuh Mayang dengan buas.
Namun sebelum sempat Medi membuka celananya sendiri untuk merenggut milik Mayang yang paling berharga, mendadak saja....
Brrr...! Serangkum angin yang kuat menderu ke arah Medi Dan.... Prakkk! "Aaa...!"
Medi kontan terlontar dengan kencangnya, menabrak pintu rumah. Tubuhnya terbanting ke tanah dengan keras, lalu menemui
ajalnya setelah kelojotan sejenak.
Sementara itu, seolah tidak mengalami suatu kejadian yang mengerikan, Mayang mengenakan lagi pakaiannya- Dia berdiri tegak, melihat sosok Medi yang sudati menjadi mayat.
Pandangannya dingin dan kaku, ketika melihat satu sosok berpakaian dan bertopeng merah muncul dan mengangkat mayat Medi. Sebentar kemudian sosok itu berkelebat entah ke mana.

***

"Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan selembar kain bercorak catur, melanglah di jalan setapak. Sikapnya riang sekali. Sepertinya dia sangat menikmati udara pagi yang cerah. Wajah pemuda ini tampan, meskipun rambutnya gondrong takberaturan. Di atas matanya yang kelihatan cerdik itu bertenggcr dua buah alis hitam legam laksana seekor elang sedang mengarungi samudera luas.
Pemuda yang kelihatan gembira itu tiba-tiba menghentikan langkahnya, ketika....
"Berhenti kau, Pemuda Busuk!" Terdengar suara yang membuat pemuda ini menoleh
"Jangan kabur kau!"
"Bunuh saja dia!"
"Bikin mampus saja!"
Kening pemuda ini jadi berkerut melihat puluhan laki-laki berduyun-duyun berlari mendekatinya. Di tangan mereka terdapat
bermacam senjata dengan wajah beringas dan marah. Dan pemuda ini jadi semakin tak mengerti.
"Tenang, Saudara-saudara.... Ada apa ini?" tanya pemuda ini dengan suara tenang dan pandangan mata jernih.
"Jangan banyak omong!" bentak salah seorang pemuda yang berkumis tebal dengan rambut di ikat.
"Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu itu, heh"!"
Pemuda berbaju hijau pupus itu makin mengerutkan keningnya lagi.
"Mempertanggung jawabkan perbuatanku" Aku berbuat apa" Lihat, di tanganku tidak ada jemuran yang kubawa. Tapi, ah tanggung kalau hanya jemuran!" tukas pemuda ini, bukannya takut malah mengajak bercanda
"Bangsat! Rupanya kau pintar omong juga, hah" bentak pemuda berkumis itu lagi sambil mendekatkatkan lagi wajahnya ke muka
pemuda ini. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang telah membunuh Medi. Kali ini pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahu itu terjingkat. Bukan karena tuduhan tadi, tapi karena bau mulut lelaki di depannya.
"Membunuh Medi" Siapa Medi" Kambing congek peliharaanmu" Bagaimana mungkin" Aku baru saja tiba di desa ini. Lalu, mengapa tiba-tiba kau menuduhku telah membunuh kambing yang bernama Medi?"
"Guoblok! Medi itu adalah warga kami. Dan kami menemukan mayatnya di tepi kali sebelah utara sana Dan kau sendiri sebelumnya dilihat salah seorang dari kami sedang mandi di sana juga, bukan"!" bentak laki-laki berkumis itu, merasa kesal
bukan main. Pemuda itu terdiam, lalu mengangukkan kepalanya!
"Temanmu benar. Aku memang mandi di sana. Tetapi bukan berarti telah membunuh orang yang bernama Medi. Kalian salah
sangka...."
"Ala..., sudah Kang Sawedo. Jangan banyak bercakap lagi! Dia harus mampus!" seru salah seorang yang memegang parang tidak
sabar.
"Ya, bunuh saja!" sambut yang lain.
"Bunuh!"
"Bunuh!' Pemuda berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor itu melihat gelagat tidak menguntungkan.
Dia tadi memang mandi di kali sebelah utara sana, tetapi tidak melihat ada mayat di sana. Jangankan membunuhnya, melihatnya saja tidak. Pasti Orang-orang ini salah sangka. Sebelum orang orang itu bertindak, mendadak....
"Tahan semuanya! Jangan gegabah!"
Terdengar sebuah suara mencegah.!"

***

{{{ 3 }}}

Dari balik kerumunan para penduduk, menyeruak seorang laki-laki berpakaian ringkas berwarna biru. wajahnya kukuh dengan kumis tipis. Matanya memancarkan sinar kesejukan. Rambutnya di kat secarik kain keningnya.
"Hmmm.... Jangan bertindak sembarangan. Jangan menuduh terlalu cepat!" ujar laki-laki ini di hadapan orang-orang itu, langsung membelakangi Andika.
"Kakang Menggolo! Jangan halangi kami untuk membunuhnya! Pemuda itu jelmaan setan! Dia harus hadapkan pada Manusia Pemuja Bulan!" teriak laki-laki berkumis tebal yang dipanggil Sawedo.
"Ya, benar! Dia harus dihukum oleh Dewa Bulan
"Kakang Menggolo.... Jangan memaksa kami untuk berbuat yang tidak-tidak terhadap Kakang! Minggir! biarkan pemuda
itu mempertanggung jawab kan seluruh perbuatannya!"
Seruan-seruan keras bernada menentang itu terdengar, namun laki-laki berpakaian biru berusia kira-kira tiga puluh dua tahun yang dipanggil Menggolo tetap tegar berdiri. Wajahnya tetap tenang.
Sementara di belakangnya, kening Andika berkerut. Siapakah Manusia Pemuja Bulan itu" Siapa pula Dewa Bulan" Andika yang berotak encer itu pun diam-diam yakin, kalau telah terjadi sesuatu yang aneh desa ini. Matanya tanpa sadar melirik Gunung Pengging yang tertutup kabut.
"Saudara-saudaraku! Kita jangan main hakim sendiri. Kita memang menemukan mayat Medi di tepi sungai sebelah utara sana. Dan kebetulan, Maruko melihat pemuda ini mandi di sana. Tetapi bukan berarti dia yang telah membunuhnya. Karena menurut Maruko sendiri, mayat Medi ditemukan di dekat sebatang pohon kelapa.
Sementara, dia melihat pemuda itu ketika hendak melaporkan berita kematian Medi kepada kita. Apakah tidak mungkin kita melakukan kesalahan?"
"Kakang, jangan menghalangi niat kami!" ujar Sawedo.
"Sawedo!' bentak Menggolo dengan suara menggelegar.
"Jangan main hakim sendiri! Lebih baik tanya dulu pada pemuda berbaju hijau pupus itu"!"
"Sudah bisa dipastikan, dia akan membantahnya. Mana ada maling yang mau mengakui dirinya sebagai maling, hah"!" seru Sawedo yang di ringi teriakan keras yang lainnya. Perlahan-lahan wajah Menggolo kelihatan memerah.
"Aku tidak ingin kita melakukan kesalahan...," kata Menggolo datar.
"Baik!" kata Sawedo kemudian.
"Kita akan menanyai pemuda itu! Kakang Menggolo...! Bila dia mengatakan tidak membunuh Medi. maka, harus mencari pembunuhnya!"
Andika diam-diam menghela napas panjang. Sementara Menggolo berbalik, menatap Pendekar Slebor dalam-dalam.
"Apa yang kau ketahui, temang pembunuhan itu. Anak Muda?" tanya Menggolo.
"Aku tidak tahu menahu soal itu. Bahkan, aku tidak melihat mayatnya," kilah Andika.
"Anak muda..., siapakah namamu?" tanya Menggolo yang diam-diam meyakini katakata pemuda itu.
Sejak tadi pun Menggolo sudah yakin kalau pemuda itu tidak bersalah. Dia bisa melihat ketenangan dan sinar kejujuran di mata
Pendekar Slebor.
"Namaku Andika."
"Hmmm..., Andika... Kau dengar sendiri, bukan" Nyawamu saat ini dimaafkan..., tetapi kau harus mencari siapa pembunuh Medi
sebenarnya?" kata Menggolo, tersenyum ramah.
Kalau mau mcnuruti kata hatinya, Andika ingin mendengus keras-keras. Nyawanya saat ini dimaafkan"
Enak saja! Bukannya sombong, dengan sekali samber saja, dia bisa memusnahkan mereka. Pendekar Slebor berpikir
demikian, karena merasa dikecilkan.
Tetapi Andika tidak menampakkan kesombongannya saat ini, karena ingin mengetahui apa yang telah terjadi di desa ini. Terutama, siapakah Manusia Pemuja Bulan itu?
"Baiklah, Kakang Menggolo.... Aku menuruti perintah itu...," desah Pendekar Slebor memanggil Menggolo dengan sebutan kakang, sambil menatap Sawedo yang tersenyum puas. Sial! Ingin rasanya Andika menabok bibir yang tersenyum
melecehkan itu. Menggolo berpaling pada yang lainnya lagi.
"Nah, kalian mendengar kata-katanya itu?"
Sawedo lagi-lagi mengambil alih pembicaraan.
"Bagus! Dan kami ingin membuktikan kebenaran kata-katanya itu! Teman-teman. kita kembali untuk menguburkan mayat Medi!"
Lalu orang-orang itu pun segera meninggalkan tempat ini. Tinggal Menggolo yang hanya menghela napas tanjang. Diam-diam, di
hatinya mulai terusik sesuatu.
Sesuatu yang membangkitkan kesadarannya. Terutama, kata-kata Ki Seta sebelum ajalnya.

***

"Kakang Menggolo.... Mengapa kau tidak berbuat seperti mereka tadi?" tanya Pendekar Slebor kemudian.
Saat ini angin berhembus. Sinar matahari semakin panas, menembus melalui rimbunnya pepohonan. Menggolo berbalik. Matanya tepat menatap mata Andika, lalu bibirnya tersenyum.
"Tidak."
"Kenapa?"
"Karena, aku yakin..., bukan kaulah yang telah melakukan perbuatan itu, Andika...," jelas Menggolo.
Andika tersenyum.
"Terima kasih, Kakang.
" Menggolo mengangkat kepalanya.
"Sebenarnya, hendak ke manakah kau ini?" tanya Menggolo.
"Aku" He he he.... Tidak ke mana-mana. Pekerjaanku hanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu negeri ke negeri lain," jelas Pendekar Slebor enteng.
"Ya! Tetapi..., aku yakin..., ah! Sudahlah. Kau tinggal di mana di daerah ini, Andika?" tanya Menggolo. Dan mendadak saja wajahnya kelihatan memucat.
Perubahan wajah Menggolo tidak luput dari pandangan Andika yang diam-diam perasaannya semakin yakin mengatakan, kalau
telah terjadi sesuatu di daerah ini Tetapi Pendekar Slebor berlagak tidak melihatnya.
"Aku" Wah! Hanya bumilah yang menjadi tempat tinggalku," seloroh Andika.
Menggolo tidak menghiraukan selorohan. Tangannya mendadak saja menarik tangan Andika.
"Kita pergi dari sini! Tinggal di rumahku saja!" ajak Menggolo.

***

Di rumah Menggolo, Andika dijamu makan sekedarnya. Istrinya yang berwajah cukup ayu itu yang menyediakan. Andika yang
memang sudah dari semalam tidak makan, bagai menemukan harta karun. Memakan lahap meskipun masih berusaha kelihatan sopan.
Lalu setelah kenyang, Pendekar Slebor bersama menggolo duduk di beranda belakang, menghadap sepetak ladang pisang. Segelas kopi pahit dan sepiring ubi rebus telah dihidangkan oleh istri Menggolo yang bernama Narti. Andika yang memang menunggu kesempatan untuk bertanya tentang Manusia Pemuja Bulan, segera menanyakannya. Namun bukannya menjawab, Menggalo malah menghela napas berkali kali
"Andika..., lebih baik kau tidak usah menanyakan soal itu," kata Menggolo kemudian.
"Kenapa" Takut kalau aku mengadu, ya?" canda Andika.
"Bukan, bukan soal itu.
Tetapi, keadaan akan berbahaya bila kau banyak bertanya tentang Manusia Pemuja Bulan," sergah Menggolo, kali ini suaranya agak takut-takut.
"Kenapa" Apakah dia suka makan orang" Kalau soal itu sih, tidak usah takut. Aku biasa menaklukkan binatangg buas," seloroh Andika diiringi tawanya. Padahal hatinya sangat penasaran ingin mengetahui tentang Manusia Pemuja Bulan. Diam-diam Andika pun memperhatikan lagi wajah Menggolo, yang semakin tegang. Hmmm.... Kalau begitu..., memang ada sesuatu yang telah terjadi di desa ini. Dan Pendekar Slebor akan menyelidikinya.
Andika tidak lagi meneruskan pertanyaannya, karena melihat wajah Mengolo semakin bertambah tegang saja. Tetapi kemudian...
"Dia adalah manusia yang dipuja oleh orang-orang di daerah ini. Termasuk aku dan istriku...," jelas Menggolo, mengejutkan Andika.
"Siapa?" tanya Andika berlagak tidak mendengarnya.
Padahal dia ingin melihat perubahan wajah Menggolo. Setelah dilihatnya Menggolo mengangkat kepalanya ia berkata, "Jadi... Menusia Pemuja Bulan itu sangat dipuja?"
Menggolo menganggukkan kepala.
"Yah..., juga sangat ditakuti," desah Menggolo.
"Kenapa?" cecar Andika.
"Karena..., dia adalah utusan Dewa Bulan."
"Dewa Bulan" Siapa pula itu?"
"Andika..., jangan bertanya begitu enteng. Kau bisa dikutuknya! Kau akan mendapat hukuman! Kesaktian Dewa Bulan sangat tinggi. Dia bahkan bisa mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Dia juga akan mendengar kata-katamu itu. Cepatlah minta amun, Andika.... Cepat!" seru Menggolo dengan wajah bingung.
" Ampunkan aku, Dewa Bulan...," ucap Andika, meskipun tidak mengerti. Dan itu hanya untuk menenangkan Menggolo yang nampak ketakutan.
Kini Pendekar Slebor melihat Menggolo mendesah lega.
"Ah! Kalau saja kau tidak minta ampun padanya niscaya...." Menggolo terdiam. Kata-katanya terputus. Lalu mendadak dia mendengus sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak, tidak! Aku tidak percaya Manusia Pemuja Bulan! Aku tidak percaya pada Dewa Bulan! Hhh! Apa yang dikatakan Ki Seta benar! Semenjak kedatangan Manusia Pemuja Bulan, keadaan desa ini menjadi kacau balau. Tidak ada lagi kedamaian dan persaudaraan seperti itu.... Hhh! Ki Seta memang benar. Dia benar! Dan karena itulah dia dibunuh! Tetapi siapa yang membunuhnya" Kalau Manusia Pemuja Bulan yang bernama Wedokmurko itu tidak mungkin. Karena, aku tidak melihat gerakannya kalau dia membunuh Ki Seta.
Ah! Pasti Dewa Bulan. Ya, Dewa Bulan... Oh, ampunkan hamba, Dewa Bulan., ampunkan hamba...."
Pendekar Slebor yang sejak tadi memperhatikan laki-laki yang duduk di hadapannya mengerutkan keningnya, melihat perubahan sikap Menggolo. Kalau tadi begitu ketakutan dan menyuruhrrya meminta ampun pada Dewa Bulan, kemudian sikapnya seperti seorang penantang. Seseorang yang berani karena merasa yang dilakukannya benar. Namun pada sikap yang terakhir, justru berubah kembali menjadi ketakutan. Bahkan harus menyembah seolah-olah yang ditakuti ada di hadapannya.
Perasaan Andika semakin kuat mengatakan, kalau ada seseuatuyang terjadi di sini. Sesuatu yang membuatnya ingin mengorek lebih dalam lagi.
"Kakang Menggolo...! Kenapa, Kakang?" tanya Pendekar Slebor berlagak pilon.
Menggolo menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya berkeringat.
"Ah! Aku tidak tahu, Andika.... Aku tidak tahu...."
"Kenapa, Kakang" Apakah kau lupa namamu sendiri?" tanya Andika sambil nyengir. Menggolo tersenyum tipis.
"Aku tidak mengerti pada diriku sendiri, Andika."
"Kalau begitu. kau boleh bertanya pada istrimu. Dia pasti tahu. Soalnya kan..., hanya dia yang bisa melihat dirimu. Iya kan, Kang"
Ayo, jangan bohong! Aku melihat kok, kalian berdua saling tatap di atas ranjang kalau malam. Nah! Kalau lupa bentuknya, tentunya istrimu ingat, Kang. Kau bisa bertanya pada istrimu kalau memang kau lupa....
"Gurauan Andika membuat Menggolo tersenyum. Hatinya merasa senang pada pemuda tampan berpakaian hijau pupus itu.
"Ah! Kau memang pandai menghibur, Andika. Kau berusaha membuat orang lain senang," puji Menggolo.
"Karena, aku menyukai kegembiraan, Kang," sahut Andika.
"Demikian pula aku. Juga orang-orng di daerah ini. Juga, alam di sekitar sini. Tetapi, itu dulu. Dulu sekali, sebelum kedatangan
Manusia Pemuja Bulan. Yah! Semuanya menjadi berantakan. Apa yang dikatakan Ki Seta memang benar...," tutur Menggolo.
"Kang Mcnggolo..., sebenarnya apakah yang telah terjadi di daerah ini?" tanya Andika, menggunakan kesempatan.
Andika melihat Menggolo menghela napas panjang.
Ditunggunya sesaat, tidak ingin memotong pembicaraan. Karena, sepertinya Menggolo sudah bisa menguasai dirinya.
"Andika..., sungguh! Aku benar-benar tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Di satu segi, aku takut. Takut sekali. Di segi lain, sejak Ki Seta berani menentang keputusan Manusia Pemuja Bulan, kesadaranku seolah bangkit. Yah! Kuakui..., daerah ini sekarang sudah berada di ambang kehancuran," tutur Menggolo lagi.
"Apakah sebabnya, Kang...?" cecar Andika.
"Manusia Pemuja Bulan. Yah.... Dialah penyebab semua ini."
"Bagaimana sebenarnya, Kang?"
Lalu menggolo menceritakan tentang kejadiankejadian yang dialami daerah itu, hingga kejadian yang menimpa Ki Seta.
"Jadi.... malam Jumat nanti, giliran Mayang cucu Ki Seta yang akan menjadi korban?" tanya Andika kemudian.
"Kau benar, Andika. Sudah sepuluh perawan tak berdosa yang dikorbankan untuk Dewa Bulan. Karena, kalau kami tidak mau melaksanakan, akibatnya kehancuran akan menimpa daerah ini seperti beberapa waktu lalu...."
Andika terdiam.
Otaknya yang cerdik dapat menduga. kalau seseorang yang memiliki kesaktian telah memanfaatkan orang-orang di daerah ini, yang begitu ketakutan. Tetapi, seperti yang dikatakan Menggolo tadi, ke manakah perginya gadis-gadis yang dijadikan tumbal"
Katanya, muncul begitu saja dalam keadaan pingsan, lalu lenyap begitu saja. Menurut Manusia Pemuja Bulan, gadis-gadis itu
sudah berada di sisi Dewa Bulan.
Berarti, sesajen yang diberikan diterima.
"Kang Menggolo.... Di mana biasanya upacara itu diadakan?" tanya Andika.
"Di lereng Gunung Pengging."
"Di manakah Manusia Pemuja Bulan itu tinggal?"
"Tak seorang pun yang tahu, Andika. Dia datang dan muncul begitu saja."
"Kang Menggolo.... Kalau begitu, malam Jumat depan, ajaklah aku bergabung dengan yang Iain untuk mengikuti upacara itu,"
pinta Andika. Menggolo hanya menganggukkan kepala. Nampaknya hatinya lega setelah berhasil menguasai diri danmengatakan seluruh kejadian demi kejadian kepada Andika.
"Satu lagi pintaku. Di manakah rumah Mayang?" Menggolo menyebutkan di mana letak rumah Mayang.
Tiba-tiba saja kepalanya mendongak, menatap Andika.
"Andika.... Bila melihat pakaianmu, sudah jelas kau orang dari dunia persilatan. Benarkah dugaanku itu. Andika?" tanya Menggolo.
Andika mengangguk.
"Ya."
"Oh, Tuhan.... Terima kasih. Hei!" Menggolo terkejut sendiri. Andika memperhatikannya.
"Mengapa, Kang Menggolo?"
Menggolo memegang tangan Andika. Wajahnya gembira.
"Andika.... Tidakkah kau tadi mendengar kalau aku menyebutkan kata Tuhan?"
"Ya," sahut Andika, pendek.
"Oh! Kalau begitu..., aku masih mempercayaiNya. Yah! Aku memang tidak mempercayai Dewa Bulan yang dijadikan sesembahan," tegas Menggolo.
Andika tersenyum.
"Kang Menggolo.... Karena sebenarnya, di dasar hatimu yang paling dalam, kau mengingkari kehendak Manusia Pemuja Bulan untuk menyembah Dewa Bulan.
Karena sesungguhnya, nuranimu telah mengatakan yang sebenarnya, kalau yang patut disembah hanyalah Gusti Allah...," ujar Pendekar Slebor, sok memberi nasihat.
"Ya, ya... Kau benar, Andika. Hmm.... Kalau kau memang orang dunia persilatan, aku pernah mendengar soerang pendekar muda yang arif bijaksana dan selalu menolong orang lemah," kata Menggolo.
"Siapakah dia, Kang Menggolo?"
Menggolo terdiam, seperti berpikir.
"Kalau tidak salah dengar, pendekar itu berjuluk Pendekar Slebor. Andika..., tahukah kau di mana dia?"
"Maksud Kang Menggolo, Pendekar Slebor?"
"Ya! Aku ingin meminta bantuan pendekar perkasa itu. Kau tahu, di mana dia, Andika?" Andika tersenyum.
"Kang Menggolo tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Karena sekarang ini dia berada di hadapan Kakang."
"Apa..."!"

***

{{{ 4 }}}

Seperti yang diberitahukan Menggolo, keesokan paginya Andika mendatangi rumah Mayang. Rumah yang terletak menyendiri di ujung desa hanya kecil saja, namun berkesan apik dan rapi. Andika yakin, yang menghuni adalah orang yang rajin menjaga kebersihan.
Tetapi yang membuat kening Andika berkerut, ketika melihat kenyataan kalau di depan rumah itu berdiri tiga orang lelaki berbadan tegap. Mereka mengenakan pakaian dan topeng berwarna merah, menutupi seluruh kepala dan wajah. Hanya
matanya saja yang terlihat dan tampak bersinar dingin.
"Ada perlu apa kau, Anak Muda?" tanya salah seorang sambil bersedekap. Sikapnya seperti seorang jagoan. Nada suaranya menyentak. Dengan sekali bentak, dia mungkin ingin menggertak Andika.
Tetapi yang dihadapi adalah pendekar urakan yang sudah tentu hanya tersenyum-senyum saja. Meskipun, otaknya berputar memikirkan siapa ketiga manusia itu.
"Hei, Orang Pakaian Merah! Aku ingin menemui kekasihku! Nah! Sekarang katakan, apakah dia ada"!" sahut Andika dengan suara menyentak pula. Bahkan sudah memasang sikap tengil, dengan dagu terangkat dan bibir mencibir.
Andika melihat sepasang mata itu bersinar merah.
"Apa yang kau katakan, hah"!" kata laki-laki itu dengan suara ditekan.
"Tidak ada kekasihmu di sini! Lebih baik pergi saja dari sini, sebelum kemarahan kami naik!"
"Nah, nah.,.. Kok aneh" Jelas-jelas ini rumah kekasihku. Nama kekasihku Mayang,"
kilah Andika, jengkel melihat sikap ketiga orang itu.
"O ya, kalau kau sendiri mau apa" Oho! Aku tahu sekarang. Kalian bertiga ini pasti orang-orang yang datang untuk menjaga kekasihku, bukan" Bagus! Kalau begitu, minggirlah. Tuanmu berkenan ke rumah itu."
Dari sikap bersedekapnya, orang yang bertanya tadi menurunkan tangannya. Kakinya melangkah, menahan langkah Andika. Sementara yang dua lagi, tetap dengan kedua kaki terbuka dan tangan bersedekap di dada.
"Lho, Iho..." Kenapa ini" Minggir! Kalau tidak, nanti aku tidak gaji, ya?" ejek Andika. Sebenarnya, Pendekar Slebor paling tidak suka melihat orang yang suka meremehkan orang lain seperti ini. Apalagi sikapnya begitu memuakkan. Hanya yang membuatnya merasa heran, apakah sebenarnya ketiganya memang penjaga Mayang" Wah! Kalau begitu, tentunya Mayang bukan gadis
sembarangan. Tetapi kata Menggolo, gadis itu kini sebatang kara. Hidup dalam kemiskinan, meskipun mempunyai harta yang dikatakan Ki Seta sebelum ajalnya. Tetapi, tak ada yang mengetahui di mana harta itu berada.
Berpikir seperti itu, Andika yakin kalau ada sesuatu yang semakin aneh saja di sini. Pertama, siapa ketiga orang berpakaian dan bertopeng merah ini" Kedua, harta apakah yang diributkan, sehingga Ki Seta mempertahankannya dan menemui ajal secara mengenaskan. Mata di balik topeng itu memancarkan sinar amarah.
"Anak muda! Sudah kukatakan, lebih baik pergi dari sini!" Andika menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Wah! Ini bagaimana, sih? Aku hendak menemui kekasihku, kok dilarang! Memangnya kamu bapaknya, ya? Kalau bapaknya, mengapa mukamu ditutup seperti itu"
"Aha! Aku tahu, aku tahu. Pasti ada bopengnya. kan?" ledek Andika sambil nyengir.
Sebagai jawaban, orang bertopeng merah itu melepas sebuah pukulan lurus ke wajah Andika. Wuttt!
"Uts.. !"Dalam sikap mengejek, Andika hanya memiringkan kepala sedikit saja. Maka, pukulan itu meleset.
Melihat pukulannya meleset, orang bertopeng merah itu semakin ganas. Kembali diserangnya Andika dengan cepat.
"Hei ittt!" seru Andika, sambil melompat.
"Kalem saja. Bung! Aku tidak lari!" Orang itu terus memburu Andika dengan seranganscrangan berbahaya. Tangan dan kakinya berkelebat cepat ke arah bagian tubuh Andika yang mematikan. Namun pemuda yang mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu dengan mudah menghindarinya. Sepintas saja sudah terlihat, kalau. kesaktian orang bertopeng merah itu kalah jauh dibanding Pendekar Slebor.
"Bangsat! Pantas kau berani bertingkah, Anak Muda!" seru laki-laki itu geram sambil menyerang lagi.
Wuuuttt! "Heaaa! Sabar, Bung.... Sabar! Kiamat masih jauh!" ejek Andika sambil terus menghindari serangan. Namun mendadak Pendekar Slebor menghentikan gerakannya.
Saat lawannya menyerang, dengan manis ditangkapnya tangan itu, lalu dipuntirnya.
Seketika Andika memukul punggung laki-laki ini. Desss.. ! "Aaakh...!"
Laki-laki bertopeng merah tersungkur disertai jerit kesakitan.
"He he he., lumayan juga kulitmu!" ejek Andika sambil terkekeh.
Begitu bangkit, orang itu berbalik. Kedua tangannya cepat dikibaskan dengan kegeraman menjadi-jadi. Lalu dengan suara keras, tubuhnya meluruk menerjang.
"Heaaa! Mampuslah kau!"
"Uts.. !"
Andika cukup memiringkan tubuhnya, menghindar. Sehingga serangan yang penuh tenaga itu pun luput dari sasaran
Sementara itu, dua orang berpakaian dan bertopeng merah yangsejak tadi hanya tegak bersedekap, kini saling berpandang. Mereka marah melihat kawan mereka dipermainkan pemuda beralis seperti kepakan sayap elang itu. Maka seperti mendapat aba-aba, keduanya maju ikut menyerang Andika.
"Wah, ini kacau!" seru Andika berlagak kebingungan.
"Hei, Monyet-monyet Bertopeng! Aku Tuanmu, yang ingin bertemu kekasihku!"
Tetapi ketiga orang bertopeng terus menyerang. Dan yang paling ganas adalah orang yang pertama tadi, yang sudah jengkel dipermainkan Andika.
Andika yang semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi, kali ini pun bertindak. Dia merasa sudah cukup dipermainkan. Maka
dengan kecepatan mengagumkan, tubuhnya berkelebat sambil melepas pukulan dahsyat.
Des! Des! Des! "Aaakh...!"
Dalam sekali gebrak saja, ketiga orang bertopeng itu sudah ambruk dalam keadaan pingsan. Andika mengangkat alisnya. Nyengir.
"Hanya begitu saja sudah sombong!" kata Andika sambil menepuk-nepuk kedua tangannya. Lalu dia menepuk-nepuk pakaiannya, seolah menyingkirkan debu.
Kini Pendekar Slebor melangkah ringan memasuki rumah itu. Tepat pada saat itu pintu rumah Mayang terbuka. Andika melihat seraut wajah jelita, namun penuh kedukaan berdiri di hadapannya. Tubuhnya nampak layu dengan mata memancarkan
kesedihan.
"Inikah Mayang?" desis Pendekar Slebor di hati.
"Kakang.... Aku tidak mengenalmu. Tetapi kusarankan, agar meninggalkan rumah ini..." kata gadis cantik yang memang
Mayang. Kening Andika berkerut. Sungguh tak pernah disangka kalau sambutan Mayang seperti ini.
"Mayang..., aku datang untuk menolongmu...," jelas Andika setelah berpikir.
"Untuk menolongku?"
Mayang mencibir, meskipun jelas sekali dalam kedukaan.
"Ya."
Hanya itu yang bisa dikatakan Andika, karena tidak tahu harus berkata apa. Gadis itu menggeleng.
"Kakang..., tidak ada yang perlu ditolong.... Aku baik-baik saja...," tegas Mayang.
"Tetapi...."
"Pergilah dari sini, Kakang...," potong Mayang.
Menghadapi gadis yang kaku tak ubahnya mayat seperti ini, Andika yang biasanya lincah, kini mati kutu. Dia tidak tahu harus
berbuat apa. Tetapi keingin tahuannya tentang kesediaan Mayang yang hendak dijadikan lumbal oleh Manusia Pemuja Bulan, semakin mendesaknya.
"Mayang..., aku datang ingin menolongmu," tegas Pendekar Slebor sekali lagi.
"Maaf, jangan dipotong dulu. Apakah kau bersedia dijadikan tumbal oleh Manusia Pemuja Bulan?"
"Kalau itu yang Kakang ingin ketahui..., yah! Aku bersedia...."
"Namaku Andika...."
"Sekarang, tinggalkanlah tempal ini, Kang Andika...," ujar gadis ini.
"Mayang, mengapa kau bersedia melakukannya? Apakah kau tidak tahu kalau Manusia Pemuja Bulan hanyalah orang sesat yang memanfaatkan keluguan kalian dengan kesaktiannya?"
Gadis itu tersenyum hambar.
"Jangan menghina Ketua Wedokmurko, Kang Andika. Kau akan mengalami hal yang mengerikan sekali. Seperti Aki," ujar Mayang.
"Kakekmu meninggal bukan karena amarah Dewa Bulan, tetapi dibunuh Manusia Pemuja Bulan," tukas Andika.
"Kang Andika salah. Dewa Bulan marah pada Aki, karena tidak memberitahukan harta apa yang disembunyikannya. Bukan Ketua Wedokmurko yang membunuh Aki! Tetapi, Dewa Bulan yang marah pada Aki,"sergah Mayang, mantap.
Kali ini Andika benar-benar mati kutu, tidak tahu cara menghadapi gadis ini.
"Mayang..., seharusnya kau mengerti, bahwa aku"
Brakkk! Kata-kata Andika terpotong, karena Mayang sudah mcnutup pintu.
"Monyong!" sungut Pendekar Slebor.
"Aku jadi penasaran ingin mengetahui kayak apa sih Manusia Pemuja Bulan itu?"

***

Andika kembali lagi ke rumah Menggolo, hendak menanyakan tentang ketiga orang berpakaian dan bertopeng merah di rumah Mayang tadi. Juga memberitahukan sikap bulat Mayang yang tetap bersedia menjadi korban Dewa Bulan.
Yang mengherankannya wajah Mayang begitu kaku, tak ubahnya mayat hidup. Setiap kali berkata-kata tadi, tak ada perubahan wajah sesuai kata-katanya. Tak lebih bila dikatakan, Mayang seperti tengah menghafal kalimat-kalimat saja sebagai jawaban.
Andika pun semakin bergegas ke rumah Menggolo.
Namun alangkah terkejutnya Andika, ketika dari kejauhan terlihal kerumunan orang di rumah Menggolo.
Batinnya bergetar. Apakah sesuatu telah terjadi?
Bergegas Pendekar Slebor melangkahkan kakinya. datang ke sana. Namun belum lagi ia berbuat apa-apa.
"Itu dia orangnya!"
Orang-orang itu kontan berbalik, menatap Andika dengan wajah garang dan tatapan marah.
"Hhh! Sudah kukatakan kemarin, kalau pemuda inilah yang membunuh Medi! Dan sekarang, dia membunuh Kang Menggolo dan istrinya!"
Andika masih ingat, kalau yang membentak itu lakilaki berkumis tebal yang dikenal bernama Sawedo.
"Saudara Sawedo..., sabar dulu. Ada apakah ini"
Apakah yang dialami Kang Menggolo dan istrinya?" tanya Andika tanpa bisa menyembunyikan ketegangannya.
"Jangan banyak omong! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang telah membunuh Kang Menggolo dan istrinya!" dengus Sawedo.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Sawedo sudah maju dengan golok besar di tangannya. Cepat dibabatkannya golok itu.
"Hih!"
Bet...! Andika berkelit. Kini Pendekar Slebor tahu, kalau ajal telah menjemput Kang Menggolo dan istrinya. Oh, Tuhan...!
Siapakah yang telah membunuhnya" Apakah ini petaka yang dikatakan Menggolo kctika bercerita tentang Manusia Pemuja Bulan"
Namun Pendekar Slebor sudah tidak bisa berpikir lagi. Karena sekarang bukan hanya Sawedo yang menyerangnya. Berpuluh-puluh laki-laki dengan senjata di tangan telah memburunya.
"Sabar! Sabar! Kita semakin salah paham!" ujar Pendekar Slebor, sambil terus berkelit menghindari serangan.
"Manusia hina!" maki Sawedo geram sambil mengayunkan kembali golok besarnya.
"Kau balas pertolongan Kang Menggolo dengan mencabut nyawanya!"
"Kalian salah paham!" seru Andika.
"Aku tidak membunuh siapa-siapa!"
Namun tak seorang pun percaya akan kata-kata Andika. Terutama, Sawedo. Dia sejak pertama memang tidak mempercayai Andika.
Namun karena merasa Kang Menggolo yang bertanggung jawab, sesuai janji Andika untuk menangkap pembunuh Medi, makanya Sawedo membiarkan Andika dibebaskan. Tetapi sekarang, semua kecurigaannya terbukti.
Andika sendiri mendengus melihat orang-orang itu menyerang dengan ganas. Tak ada jalan lain kecuali melarikan diri dari tempat itu. Dan Andika tahu, ini hanyalah kesalah pahaman telah terjadi. Kalau dirinya masih berada di sini, tidak mustahil orang-orang itu akan bertambah kalap.
Maka begitu mendapat kesempatan, Pendekar Slebor melenting tinggi ke udara, melewati kepala orang-orang yang mengepungnya. Begitu menjejak tanah, tubuhnya langsung berkelebat meninggalkan tempat ini.
Orang-orang itu pun langsung memburu Andika dengan seruan-seruan keras. Namun sudah tentu mereka lidak mampu mengejar Andika yang memiliki ilmu lari secepat angin.

***

{{{ 5 }}}

Tak seorang pun yang tahu kalau di bagian kanan Gunung Pengging terdapat sebuah gua. Tempatnya gelap dan sepi, terhalang
tetumbuhan merambat. Letaknya memang sulit dicapai, berada di sisi sebuah jurang.
Bahkan terhalang rimbunnya semak belukar. Hanya Manusia Pemuja Bulan dan orang-orang berpakaian dan bertopeng merah saja yang tahu kalau di sana ada sebuah gua. Di sanalah tempat persembunyian Wedokmurko, bersama pengikut-pengikutnya
yang berpakaian dan bertopeng merah.
Malam ini, suasana di sekitar gua itu tetap sunyi, gelap, sekaligus menyeramkan. Di luar gua,berkeliaran beberapa orang yang berpakaian dan bertopeng merah. Sementara di salah satu bagian gua, teri hat sebuah api unggun menyala, menerangi sekitarnya.
Di antara jilatan cahaya api unggun, laki-laki berjubah hitam dan berwajah tirus sedang duduk berlutut, di hadapan sebuah pilar
batu. Di atas pilar terdapat satu sosok tubuh yang tergolek lemah dalam keadaan telanjang bulat.
Mulut laki-laki yang tak Iain Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bulan komat-kamit, membaca mantra.
Lalu diambilnya dupa yang mengepulkan asap di antara kedua kaki gadis itu.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba Ki Wedokmurko terbahak-bahak, suara-nya menggema keras.
"Aku hanya membutuhkan empat orang perawan lagi untuk menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang sedang kupelajari! Bila sudah selesai, dengan ajian 'Unggulan Dewa' ini aku akan menguasai dunia persilatan!
Ha ha ha...," lanjut laki-laki berwajah tirus ini.
Mata Ki Wedokmurko menatap tubuh gadis yang terbujur tanpa busana itu. Lalu perlahan-lahan, dia bangkit berdiri sambil
melepas jubahnya. Kemudian kedua tangannya dimasukkan ke dalam sebuah cawan yang berisi cairan berwarna kuning.
Seketika terlihat kedua tangannya berwarna kuning pula.
Mulut laki-laki ini berkomat-kamit sambil meniup kedua telapak tangannya berkali-kali. Lalu diusapnya wajah dan sekujur tubuh
gadis yang pingsan itu. Gerakannya begitu perlahan. Sementara tubuhnya bergerak bagai orang mabuk.
Bertepatan dengan itu, mulut Ki Wedokmurko komat-kamit kembali.
Suasana yang menggetarkan sekaligus mengerikan, berubah menjadi suasana dalam pengaruh sihir.
Mendadak saja teri hat sekujur tubuh Ki Wedokmurko memerah dan bergetar hebat. Semakin lama getarannya semakin
mengencang. Sementara gadis itu tetap dalam keadaan pingsan.
Setelah beberapa saat, getaran tubuhnya pun melemah, seiring pudarnya warna merah yang menyelimuti tubuhnya.
"Ha ha ha.... Tak seorang pun yang akan mampu menandingi kesaktianku ini!" kata Manusia Pemuja Bulan pongah.
Lalu Ki Wedokmurko membuka kedua telapak tangan, dan mengusapkannya satu sama lain. Mendadak terlihat asap hitam mengepul dari sana. Semakin lama semakin banyak.
Wedokmurko meniup-niup asap hitam itu, lalu menariknya melalui napas. Berbondong-bondong asap itu masuk ke mulutnya dalam satu tarikan napas.
Tiba-tiba Ki Wedokmurko mengibaskan kedua tangannya ke muka, ke arah sebuah batu besar yang ada di situ. Gerakannya teri
hat sangat lambat. Bahkan seolah tidak ada tenaga yang dihempaskan. Namun....
Duaaarrr! Mendadak saja terdengar suara menggelegar keras. Batu besar itu hancur seketika.
"Ha ha ha...!"
Kembali Ki Wedokmurko terbahak-bahak penuh kepuasan. Wajahnya semringah dengan kedua mata terbuka lebar.
"Ajian 'Unggulan Dewa' sebentar lagi akan ku kuasai dengan sempurna! Ha ha ha.... Begitu mudah kudapatkan tumbal untuk penyempurnaan ilmuku. Darah perawan itulah yang akan menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa'! Ha ha ha...."
Tawa Ki Wedokmurko semakin menggema.
Ya! Hanya tinggal beberapa kali saja Manusia Pemuja Bulan menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa'
Hanya tinggal empat kali lagi mengorbankan dara perawan. Sementara itu, tubuh gadis malang yang telah dikorbankan Ki Wedokmurko sebagai tumbal ilmunya mendadak saja menyusut bagai nenek-nenek kurus kering.
Darahnya bagai kering tiba-tiba. Lalu, teriihat asap mengepul dari sekujur tubuhnya. Dan perlahan-lahan bagaikan ada sebuah aliran aneh, sekujur tubuhnya me pelupas. Yang ada hanya tinggal tulang-belulang saja!
Ki Wedokmurko menggerakkan tangannya. Wuuuttt!
Mendadak saja tulang-belulang gadis itu lenyap dari pandangan. Dan sinar kepuasan semakin membayang di wajahnya yang menyeramkan.
"Hhh...!"
Tiba-tiba saja Manusia Pemuja Bulan mendengus.
"Mengapa manusia gembel itu belum datang juga hingga saat ini" Apakah dia hendak mempermainkan aku?"

***

Seorang laki-laki tengah melangkah di jalan setapak. Usianya kira-kira delapan puluh lima tahun. Tubuhnya kurus, namun masih nampak gagah. Cara berpakaiannya pun seperti seorang pendekar. Hanya mengenakan celana pangsi berwarna hitam dengan rambut terurai panjang tak beraturan. Kumis putihnya cukup le-hat. Dia tidak mengenakan baju, sehingga memperlihatkan tubuhnya yang kurus dan menampakkan tulang-tulang di tubuhnya. Wajahnya yang kukuh dan keras, mencerminkan wataknya sebagai seorang yang keras. Tetapi, juga patuh.
Tiba-tiba saja laki-laki tua itu menghentikan langkahnya. Telinganya seperti menegak, mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya. Dan mendadak saja, dia melompat ke sebuah dahan pohon tinggi tak jauh dari tempatnya.
Wuuuttt! Dari atas sana laki-laki tua ini melihat seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur tersampir di bahu, sedang berlari. Tak lama, pemuda itu berhenti tepat di bawah pohon yang diduduki laki-laki tua itu.
Kening laki-laki tua ini berkerut. melihat dari mana pemuda itu datang. Tak ada yang mengejarnya, tak ada siapa-siapa di sana. Kenapa anak muda itu berlari seperti dikejar setan"
Lalu tiba-tiba saja laki-laki tua ini melompat turun tepat di depan pemuda berpakaian hijau pupus.
"Ops! Copot, copot!" Pemuda itu tersentak kaget.
Sementara laki-laki tua ini langsung menatap tajam Biji matanya yang kelabu lekat ke bola mata pemuda itu yang masih mengusap-ngusap dadanya seolah untuk mengusir kekagetannya.
"Siapakah kau, Anak Muda?" tanya laki-laki tua itu dengan suara sedikit angker.
"Aku? Namaku Andika. Kau sendiri?" kata pemuda itu yang tak lain Andika, alias Pendekar Slebor.
Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Belum pernah seorang pun berani bertanya kepadanya seentang itu.
"Anak muda! Kau punya nyali juga rupanya, hah"!' kata laki-laki tua ini. Suaranya terdengar dingin.
Kening Andika berkerut. Dia agak heran kenapa laki-laki tua di depannya seperti marah padanya" Andika pun menyadari kesalahannya, karena terlalu enteng bertanya.
"Maatkan aku, Ki... Hmmm, siapakah namamu?" ucap Pendekar Slebor.
"Ha ha ha...!"
Kali ini laki-laki tua itu terbahak-bahak. Dan Andika pun membelalakkan matanya, mendengar suara tawa itu.
"Hei"! Apa kau sedang latihan nyanyi, Ki?" dengus Andika kesal sambil mengalirkan tenaga dalam ke gendang telinganya.
"Kalau memang iya, suaramu hanya pantas diadu dengan burung gagak!"
Laki-laki tua itu masih terbahak-bahak. Sampai urat-urat di lehernya menegang.
Dan mendadak saja, tangannya melesat ke wajah Andika.
Wuuuttt! Brrr! "Uts.. !"
Angin dingin menerpa wajah. Namun Andika cepat menarik kepalanya ke belakang. Lalu dengan gerakan ringan tubuhnya melenting ke atas, sambil menangkis scrangan berikut yang datang dengan cepat dengan kakinya.
"Hei"! Aku belum tahu siapa kau, Orang Tua Keriput!
Kenapa tahu-tahu menyerangku, hah"!" seru Andika, begitu mendarat di tanah.
Namun laki-laki bertelanjang ada itu kembali menyerang Andika dengan gencarnya. Serangan- serangannya sangat berbahaya. Bahkan teriihat kalau bukan ingin menguji Andika, namun ingin membunuhnya!
Gerakan laki-laki tua ini demikian cepat, penuh gerak tipu yang mematikan dan daya gempur yang dahsyat.
Kalau bukan Andika alias Pendekar Slebor, sudah bisa dipastikan akan mapus dalam sekali gebrak saja. Tetapi karena diserang terus menerus seperti itu, Andika kerepotan juga akhirnya.
"Gila! Lama kelamaan aku bisa mampus juga, nih!" dengus Andika dalam hatinya, Lalu Pendekar Slebor bersalto dengan lincahnya.
Namun Andika harus langsung melenting kembali, karena serangan berikutnya datang. Kali ini Pendekar Slebor tidak mau menghindar terus menerus, seperti monyet yang dikejar buaya. Begitu serangan berikut datang, mendadak saja tubuh Pendekar Slebor meluncur deras ke arah laki-lakl tua itu yang tengah menyerang.
"Heaaah...!"
Plak! Duk! Benturan tangan terjadi. Andika terjajar beberapa tindak. Tangannya langsung terasa bergetar. Bisa dirasakan, betapa kuatnya tenaga dalam laki-laki bertelanjang dada itu.
Sementara, laki-laki itu pun mundur beberapa tindak. Wajahnya tidak menggambarkan apa-apa, walaupun sebenarnya tangannya sangat nyeri. Justru matanya terbelalak kaget.
"Hei! Kau?" seru laki-laki tua ini terperangah.
"Kenapa, hah"! Kau tahu tidak, benturan ini sangat sakit! Enaknya saja main serang! Siapa sih, sebenarnyaj kau ini" Sebangsa manusia yang iri karena kau jelek,,. ataukah setan yang lagi menyamar"!" dengus Andika mendongkol.
Tetapi lagi-lagi orang tua itu tidak menghiraukan kata-kata Andika. Justru kembali diserangnya Andika dengan ganas.
"Kutu busuk! Kadal buntet! Monyet pitak!"
Sumpah serapah Andika pun keluar karena harus kembali melayani serangan-serangan yang aneh dan cepat itu.
Setiap kali tangan laki-laki itu bergerak, maka hawa dingin yang sangat kuat langsung menyergap. Untunglah Andika sudah mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat ke tiga puluh, sehingga tubihnya tidak menjadi kaku kedinginan.
Lalu dengan gerakan dan ilmu yang didapat dari Iembah Kutukan, Pendekar Slebor tidak lagi hanya menghindar. Bukan pula hanya mengimbangi Bahkan mulai membalas.
"Bagus! Aku memang ingin melihat jurus-jurusmu!" seru laki-laki tua itu sambil menyilangkan kedua tangan di dada dan menyerang kembali. Andika yang memang kali ini harus melawan pun mengeluarkan jurus yang didapat dari Pendekar Lembah Kutukan.
Tenaganya yang mengandung petir pun mcngimbangi pukulan dingin dari laki-laki tua itu. Ketika Andika hendak mengeluarkan ajian 'Guntur Selaksa', tiba-tiba saja laki-laki tua itu bersalto ke belakang.
"Tahan!" seru laki-laki tua ini. Andika mendengus.
"Enaknya! kau sudah menyerangku! Sekarang, giliranku! Ayo, bersiap!" seru Pendekar Slebor tak ubahnya anak kecil yang
sedang bermain sesuatu dan sekarang mendapat giliran.
Tetapi laki-laki tua itu hanya menggelengkan kepala saja. Andika melihat biji matanya yang kelabu yang Kcjak tadi memancarkan sinar angker, kini nampak cerah.
"Aku tahu, aku tahu sekarang.... Anak Muda, kau kah yang digembar-gemborkan orang rimba persilatan sebagai pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan?" tanya laki-laki tua ini tiba-tiba dengan tatapan cerah meminta jawaban.
Kening Andika berkerut. Kenapa lagi laki-laki ini?
Tadi menyerang begitu saja, kini justru bersikap baik.
"Kenapa memangnya?" tanya Andika yang sua telanjur kesal.
"Jawab saja, Anak Muda. Apakah kau pewaris ilmu Lembah Kutukan?"
"Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?. Aku tidak punya urusan denganmu, Akiaki Peot!" semprot Andika.
"Aku bertanya!" seru laki-laki tua itu keras.
"Kalau aku tidak mau jawab, kenapa?" balas Andika, tidak kalah kerasnya.
Mata kelabu laki-laki itu kembali nyalang. Tetapi kemudian meredup kembali.
"Baik! Kita tidak usah bertengkar. Jawablah pertanyaanku tadi...," desah laki-laki tua ini kemudian.
Andika memalingkan wajahnya. Hatinya masih jengkel melihat sikap laki-laki bertelanjang dada itu. I
"Kau benar. Aku memang pewaris ilmu Lembah Kutukan. Buyutku Pendekar Lembah Kutukan."
"Oh, Tuhan! Gusti Allah.... Kau.. , kau... "
Wajah laki-laki tua itu terperanjat. Dan tiba-tiba saja dia menjatuhkan tubuhnya dan bersujud di kaki Andika.
"Maafkan hamba...," ucap laki-laki tua ini.
"Hei"
Andika berjingkat kaget. Kenapa laki-laki ini" Gila" Benar-benar tidak bisa dimengerti. Kalau tadi marah marah bertanya, kini
menyembah. Busyet! Mimpi apa pendekar muda ini semalam kalau ada orang yang menyembah kakinya yang baunya cukup lumayan.
"Orang tua..., bangunlah! Apa-apaan kau ini...," ujar PendekarSlebor.
"Tuanku..., maafkan hamba...," ucap orang tua ini.
"Kenapa sih?" tanya Andika sambil menggaruk-ga-nik kepala yang tidak gatal.
"Hamba bernama Tridarma, Tuanku. Hamba dulu Pelayan di Lembah Kutukan. abdi setia Ki Saptacakra .," jelas laki-laki tua itu, tanpa mengangkat kepala yang bersujud.
Andika mengerutkan keningnya. Abdi setia Ki Saptacakra" "Ki Tridarma..., bangunlah...."
"Ampunkan hamba, Tuanku.... Karena hamba telah menyerang Tuanku.... Itu hamba lakukan, semata ingin membuktikan dugaan hamba tadi, kalau yang hamba lihat adalah jurus-jurus dari Lembah Kutukan...," ucap laki laki tua yang mengaku
bernama Tridarma.
Andika menggaruk-garuk kepala tidak mengerti. Mau apa lagi ini"
"Sudahlah.... Kau kumaafkan. Bangunlah...."
"Begitulah, Tuanku.... Setelah Ki Saptacakra melakukan tapa suci, hamba pun keluar meninggalkan Lembah Kutukan," tutur
Tridarma bercerita pada Andika.
Keduanya duduk di bawah rindangnya pohon.
"Tetapi, setelah keluar dari sana..., hamba justru ragu untuk kembali ke Lembah Kutukan. Karena hamba tahu, Ki Saptacakra sangat marah bila ada yang keluar dari Lembah Kutukan tanpa izin. Apalagi, hamba sudah keluar terlalu lama. Karena..., terus terang, dunia luar sangat indah dan mengasyikkan. Sehingga hamba melupa untuk kembali ke Lembah Kutukan. Setelah ingat har kembali, justru ketakutan itulah yang mendera ham Karena rasa takut itulah, akhirnya hamba memutus" untuk tidak kembali ke sana. Dan sungguh, hamba ti tahu..., apakah yang sekarang terjadi dengan Ki S tacakra..."
Andika mendesah pendek. Matanya lekat mena Tridarma yang berkata-kata sambil menunduk" kepala.
"Ki Tridarma...."
"Jangan panggil hamba seperti itu, Tuanku. J-jungan KiSaptacakra memanggil hamba dengan sel an nama saja," tolak Tridarma, lagi-lagi tanpa me angkat kepala.
"Apa bedanya?"
"Jelas ada, Tuanku. tuanku adalah majikan ham Dan hamba pelayan Tuanku.... Sehingga, Tuaku n mangil hamba dengan sebutan apa pun, hamba me rimanya."
Andika tersenyum.
"Bagaimana kalau kau kusebut, Kebo Kurus?" ge Andika.
"Hamba, Tuanku."
Andika mengulapkan tangannya. Ini orang kok gitu patuhnya, ya"
"Sudahlah.... Kau akan kupanggil dengan nama saja. Tridarma, ketahuilah.... Sampai saat ini, Ki Saptacakra mungkin masih melakukan tapa suci. Aku tidak tahu secara pasti. Tetapi ketika pertama kali aku berjumpa dengannya, dia memang sedang melakukan tapa suci jelas Andika. (Untuk mengetahui tentang Ki Saptacakra silakan baca episode: "Dendam dan Asmara").
"Apakah.... Junjungan Ki Saptacakra menanyakan hamba, Tuanku?" tanya Tridarma takut-takut.
"Tidak. Dia tidak bertanya apa-apa...." sahut Andika.
"Oh! Apakab dia marah kepada hamba?"
"Aku tidak tahu. Tetapi, sudahlah. Sekarang ini..., kau hendak ke mana?"
"Ke mana?"
Tridarma mengangkat kepalanya.
"Sudah tentu hamba akan mengikuti Tuanku," tegas Tridarma Kali ini ganti Andika yang membelalakkan matanya.
"Ikut denganku" Oh! Lebih baik jangan. Aku lebih suka menyendiri...," tolak Andika.
"Tetapi, Tuanku. Hamba ingin menebus segala dosa yang telah hamba perbuat pada Ki Saptacakra. Maka, perkenankanlah hamba melakukannya pada Tuanku, vang merupakan turunan terakhir dari Pendekar Lembah Kutukan...," tegas Tridarma.
Andika menggeleng-geleng.
"Ah! Aku tidak tahu, apakah aku mengizinkan atau tidak," keluh Pendekar Slebor.
"Tetapi untuk sekarang mi, bila kau memang ingin mengikutiku..., silakan...-" Andika bangkit.
"Ke manakah Tuanku akan pergi?"
"Aku hendak kembali ke desa di lereng Gunung Pengging"
"Apakah ada persoalan, Tuanku?"
"Kuceritakan sambil berjalan "

***

{{{ 6 }}}

Malam Jumat. Kembali orang-orang yang tinggal di sekitar gunung Pengging mendatangi lerengnya, untuk mengikuti upacara pemujaan Dewa Bulan dan penyerahan korban.
Seperti biasanya, sebelum malam Jumat, gadis yang hendak dikorbankan sebagai tumbal mendadak saja lenyap dari rumahnya. Orang-orang yang mengalami seperti itu sudah tidak terkejut lagi, meskipun sedih bukan main.
Dan mereka hanya pasrah saja, sehingga rel mengorbankan anak gadisnya. Apalagi menurut Ketua Wedokmurko, justru dia telah memilih anak gadis mereka untuk dijadikan teman di alam sana. Kini mereka pun yakin, kalau Mayang sudah lenyap
dari rumahnya. Karena, biasanya memang begitu. Seperti biasanya pula, orang-orang itu membentuk sebuah lingkaran besar yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah api unggun besar. Lalu, muncullah enam orang laki-laki berpakaian dan bertopeng merah.
Mereka bergerak bagaikan orang mabuk, menari mengelilingi api unggun di ringi senandung para penduduk. Suasana sangat mencekam, bagai di alam gaib. Susasana yang mencekam itu dapat dirasakan pemuda berpakaian hijau pupus yang tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan pohon besar, tak jauh dari tempat upacara dilaksanakan.
"Tuanku..., upacara apakah ini?" tanya seorang laki laki tua bertelanjang dada. di sebelah pemuda yang tak lain Pendekar Slebor.
"Mungkin, inilah upacara memuja Dewa Bulan yang sebentar lagi akan dilaksanakan...," jawab Andika berbisik di telinga laki-laki tua yang tak lain Tridarma. Mereka melihat suasana mencekam dari tempat ynng tak jauh. Suatu s uasana yang penuh kekuatan sihir kuat sekali. Lalu, mendadak muncul satu sosok tubuh berjubah hitam.
"Inikah Manusia Pemuja Bulan" Manusia laknat yang mempergunakan kesaktian dan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi para penduduk...," desis Andika pcrlahan.
Sekali lagi, Andika melihat satu sosok tubuh bagai melayang tiba di dekat api unggun itu.
"Gila! Tenaga dalam yang sangat kuat!" sentak Andika tetap berbisik.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu sudah banyak makan asam garam dalam dunia persilatan. Sehingga dengan sekali lihat saja bisa tahu, kalau tubuh yang melayang itu dikendalikan tenaga dalam yang luar biasa tingginya.
"Saudara-saudaraku semua.... Kini sesajen akan kita serahkan pada sesembahan kita, Yang Muha Dewa Bulan!"
Terdengar suara dari mulut laki-laki berjubah hitam.
"Gila! Itu pasti Mayang, gadis yang memasrahkan dirinya dijadikan sesajen.
Rupanya, ajaran menyembah bulan yang diajarkan Manusia Pemuja Bulan sudah meresap di hati mereka. Hingga pengorbanan nyawa pun dilakukan dengan suka rela...," kata Andika lagi, jengkel.
Andika memperhatikan apa yang terjadi kemudian. Tampak kedua tangan Manusia Pemuja Bulan terangkat ke atas. Dari mulutnya keluar kata-kata bagaikan mantera. Lalu tubuhnya naik turun. Sementara senandung dari mulut para penduduk terus
terdengar, perlahan-lahan dan menggema di sekitar lereng Gunui Pengging.
"Dewa Bulan yang kami cintai..., terimalah sesajen yang kami berikan ini!"
Wuuuttt! Mendadak saja sosok tubuh yang berada di hadapannya tadi itu lenyap dari pandangan"Hei, ke mana gadis itu?" desis
Tridarma kaget.
Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas, lalu meminta orang-orang itu yang mempunyai keluhan untuk datang kepadanya. Dan
nyatanya satu persatu yang sakit berhasil disembuhkan.

***

Setelah upacara selesai, Manusia Pemuja Bulan langsung menuju gua persembunyiannya.
"Ha ha ha..., orang-orang bodoh yang memang sangat mudah dibodohi! Sebentar lagi ilmuku akan sempurna!" seru Wedokmurko sambil tertawa keras.
Lalu Manusia Pemuja Bulan berkelebat menuju ke satu tempat yang berada di sisi sebelah kiri gua dengan mempergunakan tenaga dalamnya, Wedokmurko menarik keluar dan mengirimkan lagi korbannya ke tempat itu.
Sambil terbahak-bahak, Ki Wedokmurko membuka sebuah pintu yang terbuat dari batu. Begitu masuk. tawanya semakin menggema keras.
"Ha ha ha.... Manis... Kau tidak akan kukorbankan dulu untuk penyempurnaan ilmuku. Tetapi..., kau harus memberitahukan di mana kakekmu menyimpan hartanya... ha ha ha.... Harta itu kuperlukan untuk membangun istanaku kelak, sebelum mengukuhkan diri menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini...," kata Manusia Pemuja Bulan. Dengan kasar, Manusia Pemuja Bulan menyibakkan sebuah tirai berwarna hitam yang memagari tempat itu dengan tempat gadis korbannya. Sinar matanya sudah tidak sabar untuk melihat gadis itu kembali. Karena, malam ini juga, dia akan mengorek keterangan dari mulut Mayang tentang harta yang disembunyikan kakeknya.
Setelah itu, barulah darah perawannya dimanfaatkan sebagai tumbal penyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa'
"Heh"!"Alangkah terkejutnya Ki Wedokmurko ketika tidak melihat sosok Mayang di sana.
"Manusia Pemuja Bulan celingukan, lalu memeriksa sekelilingnya dengan cepat. Tetapi sosok Mayang tidak berada di sana.
"Hm.... Apakah aku salah melemparkan tubuh Mayang dengan menggunakan ajian 'Silap Mata' sehingga tidak jatuh pada tempat
yang biasanya?" tanya laki-laki berwajah tirus ini dalam hati.
Tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin Manusia Pemuja Bulan salah melakukan gerakan ajian 'Silap Mata' yang sudah sangat tinggi kesempurnaannya.
Tiba-tiba Ki Wedokmurko menggeram keras. Murkalah Manusia Pemuja Bulan setelah menyadari pasti ada seseorang yang sakti
telah menantangnya.
"Keparat busuk!" geram Manusia Pemuja Bulan dengan kedua tangan terkepal.
"Siapa pun kau adanya aku tidak akan membiarkan mu hidup lebih lama lagi!" dengus Ki Wedokmurko.
Manusia Pemuja Bulan lantas berkelebat, kembali ke tempatnya semula. Sebentar saja, Ki Wedokmurko telah sampai di tempat itu.
Dia langsung duduk di sebuah batu besar setelah mengambil cawan yang berisi cairan berwarna kuning. Perlahan-lahan kedua tangannya dijadikan menjadi satu, dan diusap-usapnya hingga mengeluarkan asap berwarna hitam.
"Di mana pun kau berada, kau harus mampus!" desa Manusia Pemuja Bulan.
"Gila! Ini kacau, Tuanku. Oh! Tuanku" Tuanku Andika.... di manakah kau?" Tridarma jadi celingukan ketika menoleh, Andika
sudah tidak ada. Sementara rombongan orang-orang itu semakin lama semakinmenjauh dengan bersuara berbisik, seolah pantang bagi mereka berbicara keras kalau masih berada di lingkungan tempat pemujaan. Laki-laki ini sama sekali tidak memperhatikan kalau Andika mendadak saja lenyap.
Tridarma menggeleng-gelengkan kepala, mengagumi kesaktian pemuda yang telah mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Ilmu yang sangat sulit dicarikan tandingannya, kecuali memang para tokoh yang teramat sakli.
Tridarma melompat bersalto dengan ringan ke bawah. Kepalanya kembali celingukan. Tak ada siapa-siapa di Sana. Rembulan mulai tersaput awan hitam, tidak lagi sebulat tadi.
"Tuanku Andika.... Di mana kau" Di mana?" bisik laki laki tua ini sambil menajamkan pandangan dan pendengarannya.
Tetapi sosok Andika tidak muncul juga, membuat Tridarma kebingungan. Dia mencari-cari lagi di sekitarnya sambil memanggilmanggil. Tetapi, Andika tetap tidak ada.
"Oh! Ke manakah dia?" gumam Tridarma sambil mengingat-ingat kejadian tadi. Laki-laki tua ini memang terlalu asyik memperhatikan upacara pemujaan bulan tadi. Tetapi, diam-diam dia pun yakin akan kesaktian pemuda berbaju hijau pupus yang di bahunya selalu terdapat kain bercorak catur. Pasti Andika telah menggunakan ilmu meringankan tubuh yang paling tinggi, sehingga Tridarma tidak menyadari sama sekali. Tridarma memutuskan untuk segera mencarinya.

***

Sebenarnya, apa yang dilakukan Andika tadi" Dari mata yang tcrlatih dan pendengarannya yang tajam, Andika merasa yakin kalau sosok Mayang tadi didatangkan dengan menggunakan tenaga dalam tinggi.
Pendekar Slebor pun teringat cerita Menggolo sebelum ajalnya, kalau sesajen yang akan diberikan kepada Dewa Bulan akan lenyap mendadak. Katanya, Dewa Bulan berkenan menerima sesajen yang diberikan.
Tcringat itu, semakin yakin di benak Andika, kalau sosok Mayang akan kembali dilenyapkan menggunakan tenaga dalam Andika pun menunggu dengan hati berdebar. Dia harus berlomba dengan waktu sebelum terlambat. Maka begitu yakin Ki Wedokmurko
akan kembali melenyapkan Mayang, dengan cepat tubuhnya melesat mcnangkap tubuh gadis itu. Gerakannya sangat ringan dan cepat.
Namun sejenak tadi dia hampir saja terbawa lemparan tenaga dalam tinggi. Untung saja, Andika sudah mempersiapkan diri dengan tenaga dalam pula. Sehingga, dia bisa menghentikan laju sosok gadis itu yang hendak lenyap ke satu tempat.
Pendekar Slebor segera membawanya tubuh Mayang yang terselimuti kain hitam ke sebuah tempat yang cukup jauh. Di tepi
sungai yang terdapat di hutan kecil kaki Gunung Pengging, Pendekar Slebor berhenti. Andika membaringkan tubuh gadis itu. Lalu dengan cepat dialirkannya tenaga dalam dan hawa murni untuk menyadarkan Mayang dari pingsan. Sesaat Andika terkejut. Baru disadari kalau gadis itu bukanlah pingsan akibat sesuatu yang wajar, melainkan seperti terkena pengaruh sihir.
Andika segera membuka kain bercorak catur yang tersampir di bahunya. Lalu kain pusaka itu direndam dengan air sungai, dan
diusapkan ke wajah gadis itu. Pada saat yang sama kembali dialirkannya tenaga dalam. Perlahan-lahan Pendekar Slebor membuka kain hitam yang menyelimuti tubuh gadis itu, tetapi terburu-buru segera membalutnya lagi. Karena di balik kain hitam itu, Mayang tidak mengenakan pakaian penutup secarik pun! Wajah Andika memerah.
"Bangsat kau. Manusia Pemuja Bulan! Perbuatanmu sudah tidak bisa dimaafkan lagi!" rutuk Pendekar Slebor.
Tetapi kemudian Andika tersenyum, seperti geli menyadari kalau dirinya telah melihat tubuh gadis itu.
"Untung tidak ada orang lain di sini. Kalau ada..., he he he !Aku jadi malu juga, kan?"
Kembali Andika merendam kain pusakanya. Dan dengan kain itu kembali dibasuhnya wajah Mayang. Lalu disusurinya tubuh gadis itu. Dibiarkannya saja kain hitam yang menyelimuti tubuh Mayang sampai basah.
Selanjutnya, Pendekar Slebor menekan kedua jempol kaki gadis itu sambil mengalirkan hawa murninya.
Perbuatan itu dilakukan cukup lama juga, sampai kemudian....
"Okh..., di mana aku ini?" Terdengar suara dari mulut Mayang.
Andika mendesah panjang. Dia bersyukur karena berhasil melepaskan pengaruh Manusia Pemuja Bulan pada gadis itu.
"Mayang...," panggil Andika sambil memperhatikan sepasang mata yang bergerakgerak.
"Tenanglah.... Kau sudah aman sekarang...."
"Apakah aku berada di sorga" Ataukah di neraka?" tanya gadis itu bingung. Dia merasakan kepalanya berat sekali.Andika mengangkat tangan kanan gadis itu, lalu mencubitnya. Pelan.
"Sakitkah?" tanya Pendekar Slebor.
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Kau tidak berada di sorga atau di neraka. Kau masih memiliki rasa sakit. Berarti kau belum mati...," jelas Andika.
"Tetapi aku di mana?" tanya Mayang sambil mengangkat tubuhnya perlahan-lahan. Sementara kedua kakinya masih dalam
keadaan berselonjor.
Untungnya, tadi Andika mengikat kembali lipatan kain itu ke dada Mayang. Sehingga ketika gadis iti mengangkat tubuhnya, kain itu tidak melorot Dan Andika pun terkekeh membayangkannya.
"Kau berada di satu tempat yang sungguh, aku sendiri tidak tahu namanya," jawab Andika.
"Tetapi, kau aman. Kau jauh dari tangan Manusia Pemuja Bulan," jelas Andika lagi.
Mata gadis itu membuka.
"Manusia Pemuja Bulan?" tanya Mayang.
"Ya. Kau ingat dia?"
Gadis itu terdiam.
"Ya, ya...," kata Mayang seperti masih merenung.
"Aku ingat. Tetapi, mengapa aku berada di sini" Bukankah seharusnya malam Jumat aku akan dikorbankan untuk Dewa Bulan?"
"Sekarang malam Jumat, Mayang."
"Malam Jumat" Oh! Seingatku masih satu hari lagi.
Bukan! Sekarang bukan malam Jumat. Aku harus kembali ke rumah. Aku harus bersiap-siap untuk dijadikan sesajen. Kasihan Aki. Kalau aku tidak melakukannya, maka dosa-dosanya tidak akan diampuni.... Dia akan disiksa sepanjang masa," keluh Mayang.
Andika mendesah panjang. Rupanya pengaruh Manusia Pemuja Bulan itu sudah sangat kuat.
"Mayang! Dengarkan kata-kataku. Ini sudah malam Jumat.... Dan kau baru saja akan dikorbankan oleh Manusia Pemuja bulan...," ujar Pendekar Slebor. Mayang terdiam. Matanya terpekur.
"Bukankah masih ada waktu satu hari lagi?" gumam Mayang masih bingung.
Andika menangkap sesuatu yang asing pada gadis ilu.
"Ceritakanlah, Mayang... Apa yang kau alami?" pinta Andika.
Mayang terdiam beberapa saat.
"Senja itu..., aku baru saja ingin mandi. Ya, kau ingat.... Aku ingin mandi. Tetapi mendadak saja kurasakan kepalaku sangat pusing. Rasanya begitu menyengat. Aku ingin sekali berteriak, namun tak kuasa. Suaraku seolah hilang. Lalu tubuhku
terasa bagai melayang. Ingatanku hilang. Dan aku tidak tahu, dibawa ke mana. Karena..., aku tidak ingat sama sekali.... Yah! Hanya itu yang aku tahu. Selebihnya tidak....," tutur Mayang.
Kini Andika yakin, kalau Manusia Pemuja Bulan dengan kekuatan sihirnya, telah lebih dulu menculik Mayang. Kini gilirannya
untuk mengatakan kepada Mayang, kalau Manusia Pemuja Bulan adalah tokoh sesat.
"Mayang..., kau telah kuselamatkan darmya...," jelas Pendekar Slebor.
"Kau selamatkan" Oh, hei" Aku ingat...! Bukankah kau pemuda yang datang ke rumahku tempo hari?"
"Benar.... Namaku Andika."
"Aku pun ingat nama itu. Kang Andika..., apa maksud dengan mengatakan kau telah menyelamatkan aku?" tanya Mayang.
Andika mendesah pendek.
"Mayang..., ketahuilah... Manusia Pemuja Bulan itu bukanlah orang baik-baik. Dia adalah orang sesat yang menggunakan
kesaktiannya untuk menipu kalian. Termasuk, mengorbankan perawan sebagai sesajen untuk Dewa Bulan," jelas Andika.
"Tetapi...."
"Mayang!" potong Andika.
"Seluruh warga di sekitar Gunung Pengging ini percaya dengan Manusia Pemuja Bulan. Tetapi masih ingatkah kau, kalau kakekmu tidak mempercayainya?"
Mayang mengangguk-angguk.
"Ya.... Aki menentangnya...," desah gadis itu.
"Kakekmu benar, Mayang. Dialah satu-satunya orang yang tidak terpengaruh Manusia Pemuja Bulan. Entahlah, bagaimana sebenarnya perasaannya. Yang jelas, meskipun pernah terpengaruh, namun pada akhirnya dia sadar kalau yang diajarkan Manusia Pemuja Bulan...."
"Tetapi Dewa Bulan murka, sehingga kakek harus menerima hukuman...," tukas Mayang.
"Ya! Tetapi bukan Dewa Bulan yang melakukannya, karena tak ada Dewa Bulan yang patut disembah. Apalagi orang yang datang bulan, he he he...!" kata Pendekar Slebor, berseloroh.
"Oh! Siapa yang melakukannya?" tanya Mayang.
Andika jadi malu sendiri, karena selorohannya tak ditanggapi. Namun dia segera mendesah pelan
"Seperti yang pernah kukatakan padamu tempo hari, yang melakukannya adalah Manusia Pemuja Bulan," jelas Andika, kembali sungguh-sungguh. Sebenarnya Pendekar Slebor paling benci kalau berbincang-bincang tidak pakai canda. Namun karena gadis itu tak bisa diajak bercanda, akhirnya Andika jadi mengalah saja.
"Ketua Wedokmurko" Oh, tidak...! Kau salah, Kang Andika. Dia adalah seorang laki-laki baik hati. Dialah yang mampu menghadapi malapetaka yang seringkali datang menimpa desa kami. Dia juga yangmemberi jalan keluar bagi kami untuk menanggulangi bahaya-bahaya alam. sehingga tidak pernah lagi terjadi bencana seperti itu," papar Mayang.
"Ya! Karena dia sendiri yang melakukannya!" desis Andika dalam hati.
Memang sulit untuk menerangkan persoalan ini pada Mayang. Tetapi, Andika tetap bertekad untuk memulihkan kesadaran Mayang kembali.
"Percayalah kepadaku, Mayang.... Manusia Pemuja Huian yang kalian sebut sebagai ketua itu, adalah manusia sesat yang memantaatkan kesaktiannya. Ah, sudahlah. Mayang..., aku ingin bertanya kepadamu.... Harta apakah yang dimaksudkan
kakekmu?" Mayang menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, Kang Andika...," sahut Mayang, lirih.
"Kakekmu tidak pernah menceritakannya?"
"Tidak."
"Mayang, sekarang dengarkan aku. Manusia Pemuja Bulan bukanlah orang baik-baik. Buanglah segala pikiran kalau dia adalah laki-laki yang telah berbuat baik dengan memberitahukan cara menanggulangi segala macam bencana. Hu salah besar, Mayang... Karena, justru dia sendirilah yang telah membuat bencana-bencana itu.
Mayang, sayangkah kau kepada kakekmu?" ujar Pendekar Slebor.Mayang mengangguk sambil menggigit bibirnya.
"Kalau begitu, taatilah dia. Kakekmu telah menentang ajaran yang diberikan Manusia Pemuja Bulan. Dan sudah seharusnya kau pun berbuat yang sama, Mayang."
"Tetapi..... "
"Hilangkanlah segala keyakinanmu tentang ajaran sesat Manusia Pemuja Bulan yang mengorbankan perawan untuk kepentingannya sendiri. Mayang! Mulai aat ini, taatilah kata-kata terakhir kakekmu...," ujar Andika menyudutkan gadis itu.
Mayang terdiam. Angin menghembus rambutnya. Dingin begitu menusuk. Fajar hampir segera tiba di ufuk timur. Tiba-tiba air
mata gadis jelita itu menitik.
"Aki...," desis Mayang pelan.
Pendekar Slebor mendesah pendek. Sedikit banyaknya, kata-katanya sudah meresap di hati Maya Lalu dirangkulnya gadis itu
erat-erat. Mayang sendiri yang sudah cukp lama tidak merasakan kasih sayang kecuali dari kakeknya, meresapi rangkulan hangat Bahkan kepalanya disusupkan, membuat kening Andika sejenak berkerut. Tetapi kemudian Andika tak acuh saja. Toh tak ada maksud lain kecuali untuk menenangkan gadis itu.
"Mayang..., lebih baik kita beristirahat saja dulu."

***

Andika datang membawa buah-buahan yang dipetik dari pohon di sekitar kaki Gunung Pengging ini. Sejenak Pendekar Slebor terkejut ketika tidak melihat Mayang di tempat semula.
"Hei" Apa lagi yang terjadi?" desis Andika. Diletakkannya buah-buahan itu, lalu mencari ke sekeliling.
Namun tak ada Mayang di sana.
"Busyet! Kenapa jadi begini sih?"
Tiba-tiba Pendekar Slebor menangkap suara air berkecipak. Bergegas dia melompat mencari sumber suara itu. Alangkah terkejutnya Andika ketika melihat Mayang sedang mandi dalam keadaan tanpa busana. Andika cepat memalingkan kepala.
Wajahnya bersemu merah.
"Ya, ampuuunnn.... Tapi, he he he... menyenang-Karena merasa Mayang dalam keadaan aman, Andika kembali ke tempat semula. Ditunggunya gadis itu nampai muncul kembali.
"Makanlah buah-buahan ini dulu, Mayang," ujar Pendekar Slebor.
"Kang Andika tidak mandi?" tanya gadis itu sambil mengibaskan rambutnya yang bsah.
Andika menggelengkan kepala. Dia teringat lagi, kalau telah dua kali melihat tubuh Mayang tanpa busana.
Pertama, ketika tak disengaja melihatnya saat hendak mengobati gadis itu. Kedua, barusan tadi!
"Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang, yang melihat Andika jadi geli sendirian.
"Ah, tidak.... Makanlah dulu," kilah Pendekar Slebor.
Andika kini memperhatikan Mayang yang tengah memakan buah-buahan yang tadi dipetiknya. Cantik. Sayang sekali kalau sempat menjadi korban dari Manusia Pemuja Bulan.
Mayang yang diam-diam sadar kalau diperhatikan Andika, tersenyum senang. Dalam pertemuannya yang kedua kalinya, entah mengapa di hatinya sudah tertanam sesuatu yang sangat sulit ditebak. Diperhatikan begitu rupa, lama kelamaan Mayang
tidak tahan juga. Tiba-tiba saja wajahnya diangkat, memergoki Andika yang kontan gelagapan.
"Kenapa, Kang Andika" Apakah ada sesuatu yang aneh?" tanya Mayang.
Andika makin blingsatan.
"Oh, tidak. Tidak...," kilah Pendekar Slebor. Sungguh mati, baru kali ini Andika tersipu-sipu seperti itu.
"Kalau tidak apa-apa, mengapa Kang Andika tida memakan buah-buahan ini?"
"Oh, ya, ya.. "
Andika mengambil sebuah jambu segar dan langsung menggigitnya. Tetapi seketika itu juga disemprotnya keluar.
"Kenapa, Kang?" tanya Mayang dengan wajah ter kejut.
"Semut!" sahut Andika.
Mayang terkikik melihatnya.
"Makanya, jangan terburu nafsu!"
Andika tersenyum. Hatinya senang melihat Mayang sudah tidak tegang seperti tadi.
Setelah yakin Mayang sudah benar-benar tenang, Pendekar Slebor pun mengajaknya untuk meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum menggandeng tangan Mayang....
"Heh"!"
Betapa terkejutnya Pendekar Slebor ketika tiba-tiba telah berlompatan enam orang berpakaian dan bertopeng merah. Dan tahu-tahu mereka sudah berdiri di hadapan Pendekar Slebor dengan tatapan nyalang!

***

{{{ 7 }}}

Andika mendengus. Dia yakin, mereka adalah para pcngawal dari Manusia Pemuja Bulan. Buktinya, Andika memang melihat mereka tadi saat upacara penyembahan sesajen pada Dewa Bulan.
"Kang Andika...," desis Mayang ketakutan, bersemnunyi di balik tubuh Andika Melihat sikap Mayang ketakutan seperti itu, Andika hanya nyengir. Sikapnya benar-benar tenang sekali, meskipun tatapan matanya begitu membenci orang-orang
bertopeng merah yang mengurungnya.
"He he he..., tenang saja, Mayang. Enteng menghadapi para topeng monyet ini...," ujar Andika.
"Mereka orang yang kejam, Kakang...," tukas Mayang.
"Aku tahu, mereka juga yang telah menjaga rumahmu waktu itu...."
"Ya, Kakang.... Mereka utusan Manusia Pemuja Bulan yang menjagaku dengan ketat. Karena, dia khawatir aku melarikan diri saat penyembahan sesajen untuk Dewa Bulan...," jelas gadis itu.
Andika mendesah lega. Dari ucapan gadis itu, dia yakin kalau sekarang Mayang sudah sadar akan kesalahannya. Kalau tidak, mengapa berkata seperti itu"
"Tenanglah, Mayang.... Menghadapi yang beginian sih, kecil. Kecil sekali!" ujar Andika sambil menjentikkan ibu jarinya dengan jari kelingking. Lalu dia bertolak pinggang, mengangkat dagunya.
"Hei, orang bertopeng yang mukanya bopeng! Mau apa sih, kalian"!"
Sementara Mayang makin menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Andika.
"Kalau hanya mau berkenalan denganku yang ganteng ini, tidak usah pakai tolak pinggang seperti itu!" lanjut Andika.
"Serahkan gadis itu kepada kami!' bentak salah seorang dengan suara ditekan.
Tatapannya nyalang, geram melihat tingkah Andika yang menjengkelkannya itu.
"Serahkan" Wooo..., aku mendapatkannya saja susah, kok enaknya meminta begitu" Tidak usah, ya?"
Andika menggoyang-goyangkan tangannya dengan bibir mencibir.
"Anak muda...! Kau sudah membuat kami pusing...! Jadi, jangan banyak tingkah sekarang!"
"He he he.... Kalau pusing, mengapa tidak membeli jamu godok saja" Jangan diminum, tetapi pupurkan di matamu yang belo dan jelek itu!" ejek Andika.
"He he he.... Kontan bopeng-bopeng di wajahmu itu akan hilang! Eh" Apa hubungannya, ya" Kok mata yang dikasi pupur, bopengnya yang hilang" Wah, wah... salah! Maksudku..., hidung kalian yang akan hilang!"
Andika semakin ngoceh tak karuan. Sedang Mayang yang ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh Andika, mau tak mau tersenyum juga melihat tingkah Andika yang konyol. Namun gadis itu tetap saja ketakutan melihat keenam orang bertopeng yang bermata sengit itu. Sementara wajah di balik topeng merah itu menggeram.
"Anak muda..., sayangilah nyawamu yang hanya selembar itu...."
"Lho" Apa kau punya nyawa dua lembar?" balas Andika.
"Enak juga ya, kalau mampus digigit ular masih bisa hidup lagi!"
"Jangan memancing kemarahan kami!" bentak orang bertopeng itu.
Andika hanya nyengir.
"Habisnya, menyuruh kalian tertawa juga perc uma Karena, gigi kalian tidak kelihatan! Jadinya, aku tidak tahu apakah kalian bergigi ompong atau rata!"
Bukannya menjawab, keenam orang itu secara serempak menyerang dengan hantaman telapak tangan.
Wuuuttt! Srattt! "Heeii ttt!"
Andika melenting sambil mendorong tubuh Mayang ke samping. Sehingga, gadis itu jatuh terduduk. Namun tidak terhempas, karena Andika sudah menggunakan tenaga dalam pengendali beban yang memang jarang sekali digunakan.
"Kalem saja! Aku akan melayani serangan kalian yang kayak banci itu, kok!" kata Andika, mengejek.
Keenam orang bertopeng merah itu terus merangsek dengan ganas. Serangan-serangan mereka sangat berbahaya. Orang bertopeng yang melakukan gebrakan pertama tadi, semakin marah saja melihat tingkah Andika yang menjengkelkan.
"Bikin mampus manusia iseng ini!" bentak orang bertopeng itu sambil mengirimkan pukulan kuat ke wajah Andika, disusul yang lainnya. Wuuuttt!
"Heaaa!"
Andika cepat berkelit ke sana kemari. Namun menghadapi serangan secara serempak yang bertujuan untuk mematikan ruang
geraknya, membuat Andika harus mengeluarkan kecepatannya dalam menghindar.
Gerakan Pendekar Slebor pun semakin gencar saat menghindari setiap serangan beruntun yang datang. Di samping itu ketika tangannya berkelebat, terdengar bagai menyalak.
Memang pelan. Namun hasilnya sungguh mantap. Rupanya Pendekar Slebor sudah mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat ketiga puluh dua di tangannya Dengan tenaga dan kecepatan itulah dicobanya untuk menghadapi setiap serangan yang datang.
"Heerri! Sabar, sabar!
Ntar juga kebagian!" seru Pendekar Slebor sambil berkelit dengan menarik kepala. Lalu Pendekar Slebor mengangkat sebelah kakinya sambil berjumpalitan ke depan. Dan tiba-tiba kedua tangannya dikibaskan ke samping, lalu meluruk ke salah seorang lawan yang tengah bersiap menyerang.
Duuuk! "Aaakh...!"
Pukulan itu tepat menghantam dada orang bertopeng merah yang bersiap menyerang. Tubuh orang itu terhempas ke belakang disertai pekik kesakitan. Setelah muntah darah, dia meregang nyawa.
Melihat salah seorang kawannya mati, lima orang yang lain semakin mempergencar serangan. Dan ini membuat Andika semakin berhati-hati saat menghindar dan membalas.
"Bentuk rangkaian 'Lima Iblis Membunuh Naga'l" teriak salah seorang, keras.
Mendadaksaja kelima orang bertopeng itu membuat gerakan melingkar, lalu saling mendekat. Satu orang berada didepan, dua orang berada di tengah, dan dua orang lainnya berada paling belakang. Masing-masing membuat gerakan berlainan. Yang berdiri di depan
membuka kedua tangannya. Kaki kanannya membujur ke bawah dan tubuh berlutut, bertopang pada kekuatan kaki kiri. Sedangkan yang di tengah salah seorang melebarkan kaki kirinya ke samping. Kaki kakannya di tekuk.
Sementara seorang lagi melebarkan kaki kanan ke samping dengan kaki kiri ditekuk pula. Tangan mereka mengembang bagaikan kepakan
sayap rajawali. Yang berada paling belakang berdiri tegap dengan kedua tangan mengepal ke depan.
"Itulah jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga'. Sebuah jurus yang sangat ampuh dan hebat! Andika yang tadi menganggap ringan lawannya, kini
harus mengerutkan keningnya. Dia yakin, jurus yang diperlihatkan lawan-lawannya bukanlah jurus kosong belaka. Suatu jurus yang tangguh dan sudah pasti sangat hebat. Tetapi bukan Andika yang berjuluk Pendekar Slebor kalau dalam suasana seperti itu tidak mengejek.
"He he he..., apakah kalian ingin bermain dolanan bocah yang kalau tak salah namanya dolanan ular tangga? Wah, wah...! yang depan menjadi dadu, yang di belakang menjadi ularnya, dan yang paling belakang menjadi tangga. Aku peserta yang paling tangguh, pasti! Pialanya, sudah tentu Mayang, bukan?" leceh Andika.
"Pemuda sinting! Serahkan gadis itu kepada kami. Maka kau akan selamat!" bentak yang berada di depan.
"Lho, enak saja ngomong! Memangnya tape yang bisa diserahkan begitu saja. Bilang saja, kalian iri kan?"
Lima wajah di balik topeng itu merah padam.
"Sekali lagi kuperingatkan, serahkan gadis itu!" desak salah seorang.
"Baik! Aku akan menyerahkannya. Tetapi..., sudah tentu kalau kalian sudah terkapar di tanah. Bagajmana? Usul yang menarik, bukan?" balas Andika, enteng.
Kali ini tak ada yang bersuara lagi. Karena orang bertopeng yang berdiri paling depan sudah menyerbu dengan gerakan berguling, Andika terkejut menerima serangan semacam itu!
Karena tak mungkin dalam keadaan seperti itu, seseorang bisa menggerakkan tubuhnya secara bergulingan. Lebih terkejut lagi, ketika dua orang yang berada di tengah menerjang bagaikan melunc ur! Kemudian disusul serangan dari arah samping yang berlawanan oleh dua orang paling belakang Andika harus menghindar ke sana kemari sambil memapak setiap serangan. Rupanya, di balik serangan aneh yang dilakukan secara serempak itu. tenaga mereka bisa terangkum menjadi satu.
Buktinya begitu Andika memapak salah satu pukul? n yang melesat ke arahnya, tidak lagi merasakan tenaga | lembek dibandingkan tenaga miliknya. Tetapi, suatu tenaga yang berlipat ganda!
"Kutu busuk! Hebat juga jurus kalian itu!"semprot Andika sambil melenting.
"Sejak tadi kukatakan, jangan banyak tingkah! Sekarang sudah terlambat, Anak Muda!"
"Terlambat, terlambat! Kok lucu, ya" Apanya yang terlambat? O iya, aku ingat. Kalian bangun kesiangan, sih! Makanya jangan jadi pemalas, dasar kebluk!" ejek Pendekar Slebor sambil membalas serangan yang datang beruntun itu. Tubuhnya berkelebat ke sana kemari dengan cepatnya.
Namun seperti yang dialami tadi, setiap benturan yang terjadi, bukannya membuat kelima lawannya mundur, malah semakin ganas
menyerang. Kini justru Andika yang harus kalang kabut menghindari seranganserangan yang mematikan itu.
Sementara itu, Mayang hanya bisa menekuk kedua lututnya ke dada sambil mendekap wajah. Gadis ini ngeri melihat pertarungan yang
mendebarkan itu. Kini, lambat laun di hatinya timbul kesadaran, kalau yang dikatakan Andika ternyata benar.' Manusia-manusia ini adalah makhluk jahat!
"Oh, Aki.... Kau menjadi korban kejahatan mereka pula!" desah gadis itu.
Sementara itu, Andika terus menerus menghindari tanpa diberi kesempatan membalas. Karena setiap kali hendak menyerang, kelima
lawannya sudah menutup ruang geraknya dengan cara mengirimkan serangan secara serempak.
"Ini sih tidak boleh dibiarkan!" dengus Pendekar Slebor.Tiba-tiba Andika melenting ke belakang dua kali. Dan ketika hinggap di tanah dengan ringan, Pendekar Slebor sudah merangkum jurus 'Guntur Selaksa', salah satu jurus dahsyat yang didapat dari Pendekar Lembah Kutukan.
"Ayo! Sampai di mana kehebatan jurus 'Monyet Bu-duk Membunuh Nyamuk'!" tantang Pendekar Slebor.
Dan mendadak saja, Andika mengempos tubuhnya.
Pada saat yang sama, kelima lawannya menyerang secara bersamaan dengan jurus berbeda, namun berada dalam satu mata rantai jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga'.
Plak! Des! Duk!
Tiga benturan keras terjadi. Namun kelima lawannya hanya mundur selangkah, dan kembali menyerang dengan ganas.Andika mendengus lagi dalam hati. Dia tidak percaya kalau jurus 'Guntur Selaksa' bisa lumpuh hanya sekali gebrak. Maka kali ini tenaga dalamnya ditambah hingga tingkat kedua puluh.
Dengan satu gerakan manis sekali, setelah melenting ke kiri dan meluruk dengan satu gerak tipuan, Anddika kembali memapak serangan lawannya.
Buk! Des! Plak!
Kalau tadi Andika merasa seimbang dalam soal tenaga dalam dibanding kelima lawannya yang terangkai menjadi satu, kini akibatnya menjadi lain. Karena, tiga dari lima lawannya bukan hanya mundur satu tindak, tapi segera terpelanting deras ke belakang tak bangun-bangun lagi.
Andika yang melihat kesempatan untukmenghabisi lawan-lawannya, segera bergerak laksana kilat. Des! Duk!
"Aaakh...! Aaakh...!"
Dua pukulan Pendekar Slebor mampir di dua dada yang tertutup pakaian berwarna merah. Seperti yang dialami ketiga lawannya tadi,
tubuh mereka pun terlon-tar deras ke belakang. Yang satu menabrak pohon, yang satu lagi tercebur ke sungai dan segera digulung arus yang cukup deras.

***

Andika mendengus. Matanya melirik Mayang yang masih menutup kedua mata dengan tangannya.
"Hhh! Masih cetek ilmu kalian!" Sambil mengejek, Andika melangkah memeriksa lawan-lawannya yang terkapar. Tiga orang telah menjadi mayat. Namun yang seorang lagi masih bernapas dalam rasa sakit yang luar biasa. Andika berjongkok di depan sosok itu.
"Hei, Kutu Koreng! Katakan, di mana Manusia Pemuja Bulan itu berada?" bentak Pendekar Slebor.
Bukannya jawaban yang didapatkan Andika, justru pelototan marah.
"Wah, masih nekat! Padahal, kau sudah mau mampus! Katakan di mana Manusia Pemuja Bulan"!" ulang Pendekar Slebor.
Mata orang itu semakin memerah.
"Carilah dia di neraka!"
"Tempatnya memang pantas di neraka. Hei, hati-hati kalau ngomong. Nanti didengar manusia bau tau itu, bisa mampus kau dibuatnya!" desis Andika, memasang wajah ketakutan.
"Hii ! Memang, kalau yang sudah mau mampus suka ngelantur!"
"Kau tak akan bisa menemuinya...."
Seperti kesalahan bicara, orang yang tengah menahan rasa sakit itu berkata lagi.
"Eh! Nekat, ya?"
Mendadak saja Andika menunggingi laki-laki itu.
Dan.... Dut! "He he he.... Makanlah uap beracun yang mematikan itu!" Orang itu nampak gelagapan. Dan gerakannya itu justru menyakitkan napasnya yang sudah Senin-Kemis
' "Ayo, katakan di mana dia"!" desah Andika. Orang itu hanya melotot dengan pancaran sinar kemarahan yang tinggi.
"Kau tak akan mampu mengalahkannya!" kau ! orang itu dengan suara ditekan meskipun dikeluarkan susah payah.
"Eh! Kau menantang, ya" Sayangnya kau akan mampus! Tetapi..., he he he.... Tunggu, kau pasti akan mau mengatakan di mana manusia monyet itu berada," ujar Andika yang mendapat akal paling mengasyikkan.
Andika berdiri dan menghampiri tanah yang ditumbuhi rumput. Diambilnya sehelai, lalu dia melangkah kembali lagi ke tempat orang yang sekarat itu berada Namun ketika sampai, telah berdiri satu sosok tua tanpa baju dengan wajah bengis menatap sosok berbaju merah yang telah meregang nyawa.
"Hei! Apa yang kau lakukan itu, Tridarma?" seru Andika terkejut.
Sosok yang berwajah bengis itu tiba-tiba menjuna pada Andika.
"Maafkan hamba, Tuanku.... Manusia seperti itu sudah selayaknya mampus," ucap Tridarma.
"Tetapi, aku membutuhkannya untuk mengetahui di mana Manusia Pemuja Bulan berada!" sahut Andika gemas.
"Maafkan hamba, Tuanku...," ucap Tridarma lagi.
Andika yang nampak jengkel kembali mendengus.
"Tridarma...! Lain kali, jangan sembarangan bertindak sebelum kuperintahkan!"
"Hamba, Tuanku!"
Andika berbalik, menghampiri Mayang yang nampak begitu ketakutan. Dirangkulnya gadis itu perlahan-lahan.
"Sudahlah, Mayang... Kau sudah aman...," ujar Pendekar Slebor, lembut.
"Kang Andika.... Kini aku sadar, mereka memang manusia-manusia jahat...," kata Mayang sambil menangis pelan di rangkulan Andika.
"Ya, kita akan membasmi Manusia Pemuja Bulan itu hingga ke akarakarnya.... . . . "
"Oh! Aku menyesal mengapa aku mau saja dijadikan sebagai korban untuk Dewa Bulan.... Kang Andika, bila saja kau tidak berada di sini..., entah apa yang akan kualami...," desah gadis itu.
Andika membelai-belai rambut Mayang. Tiba-tiba matanya melotot pada Tridarma yang sedang tersenyum-senyum.
"Kenapa kau senyam-senyum begitu, hah"!" bentak Andika yang membuat laki-laki tua tanpa baju itu tersentak.
"Oh, maaf, Tuanku...," ucap Tridarma.
"Jangan berpikir yang jorok, ya" Aku hanya menenangkan gadis ini saja!" ujar Pendekar Slebor.
"Hamba, Tuanku...," sahut Tridama sambil menahan geli.
"Masih nyengir kau?" bentak Andika lagi.
"Maaf, Tuanku...."
"Maaf, maaf! Cepat kuburkan mayat-mayat itu!"

***

Ki Wedokmurko yang melihat kejadian itu dari pandangan batinnya melalui cawan yang berisi cairan wama kuning, menggeram
marah.
"Bangsat! Rupanya pemuda itu adalah Pendekar Slebor! Pemuda pembuat onar yang telah banyak menghancurkan orang-orang golonganku! Hhh! Kali ini kau akan mendapat batunya, dan merasakan akibatnya dan kelancanganmu itu!!'
Tangan Manusia Pemuja Bulan terangkat. Seketika serangkum sinar berwarna putih melesat, menghantam dinding gua.
Blarrr...! Terdengar suara bagai ledakan yang cukup keras Dan seketika dinding gua itu pun berantakan.
"Kau akan mampus, Pendekar Slebor! Kau akan mampus!" desis Ki Wedokmurko.
Tiba-tiba Manusia Pemuja Bulan bangkit. Dengan gerakan ringan kakinya melangkah menuju ke satu tempat yang berada di sudut gua.
Tiba di hadapan sebuah keranjang yang bersusun dua. Dari dalam keranjang terdengar suara mendengung yang ramai dan panjang.
"Ayo, Manis-manisku.... Kini tibalah saatnya bagi kalian untuk bekerja...," kata Manusia Pemuja Bulan sambil membuka pintu
keranjang. Lalu berkeluaranlah makhluk-makhluk kecil yang ganas. Rupanya, ribuan tawon yang telah dipelihara Manusia Pemuja Bulan.
"Datanglah kalian ke desa-desa. Buat onar di sana Biar semua orang merasakan kepedihan kembali. Biar Pendekar Slebor kelabakan, karena akan mendapatkan amukan dari mereka. Dan dia akan dituduh sebagai biang keladi malapetaka ini! Ha ha ha..," ujar Manusia P muja Bulan, tertawa girang.
Lalu tawon-tawon itu bergerak cepat, menimbulkan suara mendengus yang sengau memekakkan telinga. Suara yang mengandung kemarahan!

***

{{{ 8 }}}

Mata Sawedo terbelalak begitu mendengar penuturan seorang pemuda tanggung di depannya. Dia sampai berdiri dari duduknya, dan memegang bahu pemuda berusia sekitar enam belas tahun ini. Saat ini senja baru saja datang. Angin berhembus sejuk.
"Benarkah yang kau katakan itu, Sawung"!" sentak Sawedo.
"Beb..., benar, Kang.... Aku melihat Kak Mayang tengah berjalan bersama seorang pemuda berpakaian warna hijau," tegas pemuda tanggung bemama Sawung, takut-takut. Dia ngeri melihat mata Sawedo yang menatapnya nyalang begitu.
"Juga..., seorang..., seorang laki laki tua... yang tidak mengenakan baju...."
"Gila!" desis Sawedo.
"Rupanya pemuda sialan itu belum pergi dari sini! Bagus! Ini kesempatan kita untuk membalas kematian Medi, Kang Menggolo, dan istrinya!"
"Tetapi, justru yang mengherankan tentang Mayang," kata pemuda lain yang bertubuh gempal dengan kening berkerut.
Saat ini beberapa pemuda memang sedang berkumpul di halaman depan rumah Sawedo, membicarakan tentang Mayang yang dijadian korban kepada Dewa Bulan.
"Mengapa Mayang bersamanya" Bukankah dia sudah dikorbankan kepada Dewa Bulan?" lanjut pemuda bertubuh gempal itu, seperti
bertanya pada diri sendiri.
Kali ini bukan hanya para pemuda itu yang merasa keheranan. Bahkan Sawedo sendiri harus terdiam beberapa saat, mendengarkan penuturan pemuda bertubuh gempal yang dikenal bernama Barojo. Yah! Bukankah Mayang sudah dipersembahkan kepada
Dewa Bulan"
Ketika Sawedo hendak menanyakan lagi kebenaran berita yang dibawa Sawung, anak tanggung itu sudah tidak ada di tempatnya. Diam-diam dia telah minggat meninggalkan pembicaraan tadi. Katanya, lebih baik pergi dari pada harus dibentak-bentak begitu.
"Mayang. Mayang bersama pemuda sialan itu? Bagaimana mungkin? Jelas sekali diketahui kalau malam Jumat kemarin Mayang dijadikan sebagai tumbal untuk Dewa Bulan" Pertama, untuk keselamatan daerah ini. Kedua, untuk menebus dosa-dosa Ki Seta. Tetapi yang dikatakan Sawung tadi"
"Hm.... Apakah anak tanggung itu hanya mengada-ada saja! Tetapi kemudian, Sawedo mempunyai pikiran lain.
"Hmm.... Kini aku tahu. Aku tahu...," kata Sawedo sambil berjalan mondar-mandir.
"Apa yang kau ketahui?" tanya seorang pemuda bertubuh kurus sambil memperhatikannya. Sawedo menghentikan langkahnya.
"Seperti yang kita ketahui, Mareko! Pemuda itu telah membuat keonaran di daerah ini. Dia bukan hanya telah membunuh saudara-saudara kita yang lain, tetapi juga mengacaukan upacara sesembahan."
"Maksudmu?" tanya pemuda bertubuh kurus yang dipanggil Mareko. Kali ini dia agak tegang.
"Pemuda itu memang harus diajar adat!"
"Mengapa?"
"Karena telah mengacaukan jalannya upacara, Mungkin, dia mengambil tubuh Mayang selagi Ketua Wedokmurko lengah."
"Tetapi bagaimana mungkin dia melakukannya! Bukankah kita semua melihat, tubuh Mayang mendadak saja lenyap dari hadapan Ketua Wedokmurko?" tukan Mareko.
Kali ini Sawedo tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Pikirannya benar-benar bingung dengan somua ini. Yah! Bagaimana mungin Mayang yang siap dikorbankan kepada Dewa Bulan, ternyata masih segar bugar seperti yang diberitahukan Sawung.
"Untuk meyakinkan kebenaran berita yang dibawa Sawung, kita harus membuktikannya!" ujar Sawedo
"Maksudmu?" tanya Barojo.
"Kita harus melihat, apakah memang Mayang yang bersama pemuda sialan itu," jelas Sawedo.
"Kalau ternyata bukan?"
"Pemuda itu tetap harus membayar nyawa saudara saudara kita dengan nyawanya."
"Kalau ternyata iya?"
Sawedo merenung pelan.
"Berarti..., kita akan menghadapi bencana.... Tak ada yang bersuara Para pemuda itu kelihatan sangat tegang. Mengacaukan jalannya upacara korban untuk Dewa Bulan, sama saja menantang maut. Ya! Seperti yang sudah-sudah, kalau belum ada korban yang dijadikan sesajen untuk Dewa Bulan, maka desa ini selalu dicekam ketakutan dan malapetaka. Apa yang dikatakan oleh Sawedo kemungkinannya
memang bisa jadi kenyataan. Oh! Akankah bencana bencana lalu itu sekarang ini terjadi lagi"
Terlalu lancang pemuda itu. Tetapi, bagaimana caranya Mayang sampai bisa diculik" Mengapa tahu-lahu Mayang berada bersamanya"
Seperti biasanya, mereka akan melihat tumbal yang dipersembahkan kepada Dewa Bulan akan lenyap begitu saja. Entah ke mana. Sampai saat ini, belum ada yang tahu pasti. Tetapi cukup puas bila Ketua Wedokmurko mengatakan kalau gadis yang dijadikan sesajen sudah diterima Dewa Bulan.
Lalu, bagaimana tiba-tiba Mayang bersama pemuda gondrong berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahunya" Apakah
telah menculiknya dari Dewa Bulan" Lho" Mengapa dia bisa melakukannya" Lalu, siapakah sebenarnya yang membunuh Medi, Kang
Menggolo, dan istrinya" Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu singgah di benak mereka.
"Pemuda itu memang biang keladi dari semua ini! Dia justru membuat desa ini kembali tidak aman! Kalau waktu itu membunuh Medi,
Kang Menggolo, dan istrinya, kini dia berani-beraninya menculik Mayang! Hhh!
Ini bahaya yang sangat besar untuk kita! Kita harus mengembalikan Mayang pada Ketua Wedokmurko! Aku khawatir, bencana akan datang lagi kepada kita! Pemuda itu memang harus mampus! Ayo, Kawan-kawan.... Kita bersiap untuk mencari mereka, dan membunuh pemuda keparat itu!" seru Sawedo lantang, penuh kegeraman.
Namun sebelum mereka melangkah....
"Tolooong...! Ada ribuan tawon ganas menyerang desa kita!"
Terdengar suara minta tolong, membuat mereka tersentak kaget.
Tridarma menghentikan langkahnya. Kepalan menegak, seolah ada sesuatu yang mengusik pendengarannya. Andika sendiri juga sudah menghentikan langkahnya. Melihat Tridarma berbuat seolah-olah ada sesuatu yang mencurigakan, Pendekar Slebor ikut-ikut menajamkan telinganya. Namun, tak mendengar scsuatu yang menarik perhatiannya.
"Kenapa, Tridarma?" tanya Pendekar Slebor.
Sementara Mayang tampak sudah duduk di atas batu.
"Tuan, nampaknya akan sangat berbahaya sekali kalau kita mendatangi desa tempat tinggal gadis ini sekarang," ujar Tridarma letap dengan sikap seperti sedangmendengarkan sesuatu yang semakin menarik perhatiannya. Andika menajamkan telinganya. Namun lagi-lagi
tidak menangkap s uara yang mencurigakan. Dia tahu, dari jarak mereka berada sekarang ini dengan desa itu masih sangat jauh. Paling tidak masih membutuhkan waktu empat kali menanak nasi.
Namun bila melihat kemampuan pendengarannyal Tridarma yang tajam seperti itu, sungguh Andika menjadi kagum pula. Padahal, Pendekar Slebor sudah mengerahkan pendengarannya yang paling tajam!
"Apa yang menyebabkan kau berkata begitu?" tanya Pendekar Slebor karena memang jadi penasaran.
Tuan..., hamba mendengar suara berdengung yang sangat keras dan banyak sekali," lapor Tridarma. Kening Andika berkerut "Berdengung?" tanya Andika.
"Ya. Seperti..., ada ribuan lebah yang sedang menyerang desa itu," jelas Tridarma.
"Oh.Tuhan! Tridarma! Benarkah yang kau katakan itu?" seru Andika terperanjat.
"Kalau pendengaran hamba masih bekerja baik, tcntunya tidak salah, Tuanku...," kata Tridarma merendah.
"Dan agaknya, yang hamba dengar itu berasal dari ribuan tawon yang tcngah menyerang! Mereka berada dalam puncak kemarahan! Bahkan siap membunuh siapa saja yang berada di dekat mereka."
Andika menghela napas panjang. Apalagi yang terjadi ini" Rasanya, terlalu banyak peristiwa mengerikan yang dialaminya. Namun
mendengar ribuan tawon menyerang desa itu, lebih mengerikan lagi. Saat itu juga bulu romanya berdiri karena membayangkan kengerian.
"Tridarma.... Dan kau juga, Mayang. Aku harus ke sana. Ingat, Tridarma! Keselamatan Mayang menjadi tanggung jawabmu. Aku tidak ingin ada sesuatu yang mencelakakannya," ujar Pendekar Slebor.
"Baik, Tuanku," sahut Tridarma. Andika merasa kalau harus mengusir tawon tawon yang menurut pendengaran Tridarma sedang mengamuk di desa tempat Mayang tinggal. Dari manakah sebenarnya datangnya binatang kecil yang memiliki sengat yang mematikan itu"
Tanpa bcrpikir panjang lagi, Pendekar Slebor segera berkelebat meninggalkan mereka. Dengan ilmu lari cepatnya, sebentar saja Andika sudah tak tampak lagi
"Jangan tinggalkan aku, Kang Andika!" teriak Mayang, namun sudah tak terdengar oleh Andika lagi.
Ribuan tawon menyerang ganas salah satu desa di lereng Gunung Pengging.
Sengatnya kecil, namun mematikan. Saat itu juga terjadi kegemparan yang disertai jerit kesakitan. Bukan hanya manusia yang menjadi
sasaran, tetapi hewan-hewan ternak pun tak luput dari sengatan mematikan, ribuan tawon ganas itu.
Suasana tak ubahnya terjadi wabah penyakit yang menyakitkan. Kali ini lebih mengerikan. Tawon-tawon itu menyengat bagian-bagian
yang mematikan. Tak terhitung korban yang langsung jatuh dengan wajah memar. Bahkan ada yang lebih mengerikan lagi. Mata beberapa korban ada yang bolong!
Sawedo bersama beberapa oraug yang lain mengibaskan pedangnya ke sana kemari dengan geram, sambil berusaha menutupi wajahnya dengan tangannya.
"Pergi kau, Bangsat-bangsat! Pergi dari sini! Heaaa! Heaaa...!"
Namun tawon-tawon itu dengan ganas memburu ke arah Sawedo yang menjadi kelabakan. Dari sudut matanya dia sempat melihat Mareko
sudah menjadi mayat dengan tubuh penuh luka mengerikan. Begitu pula yang lainnya. Meskipun mereka berusaha mengusir hewan-hewan
ganas itu, namun nampaknya sia-sia belaka.
Suasana sungguh menggiriskan, tak ubahnya bagai datangnya kiamat. Dan tanpa sepengetahuan mereka, tiga orang perawan telah lenyap dari tempatnya.
Jerit tangis dan orang yang berlarian bagai dikejar maut menjadi pemandangan mengerikan pagi itu. Pagi berdarah yang tak akan pernah terlupakan. Ini gara-gara pemuda keparat itu yang telah mencampuri urusan Ketua Wedokmurko! Ia harus dicari! Ia harus merasakan
penderitaan yang teramat pedih! Aaakh!" teriak Sawedo, di sela-sela kesibukannya mengenyahkan tawon-tawon ganas. Namun tak urung tangannya tersengat pula. Pemandangan mengerikan semakin nampak di mata. Mayat-mayat bergelimpangan tak berdaya, dengan sekujur tubuh penuh darah.
Juga hewan-hewan ternak yang berkeliaran, berlarian mengamuk menahan sakit, lalu ambruk menimbulkan suara memilukan. Werrr...!
Di tengah-tengah kematian itu mendadak saja serangkum angin keras menyerbu ke sana. Rupanya Pendekar Slebor telah muncul dengan mengibaskan kain pusakanya yang bercorak catur. Melihat pemandangan yang menyedihkan dengan jerit tangis yang keras dan tubuh yang perlahan-lahan ambruk, hati Andika pun teriris. Dengan kegeraman luar biasa, kain pusakanya dikibaskan ke sana kemari.
Wrrrttt! Breeettt! Setiap kali kain pusaka Andika mengibas, menimbulkan suara cukup keras. Kemudian menyusul sekelompok tawon tersambar dan mati. Terus menerus Andika berbuat seperti itu sambil mempergunakan kecepatannya, sekaligus harus menghindari serangan-serangan sengat tawon yang mematikan.
"Pergilah kalian dari sini! Mampus semuanya!" bentak Andika kerasnya.
Pendekar Slebor kini berusaha menolong orangorang yang tengah diserang tawon-tawon itu.
"Cepat kalian masuk! Masuk! Jangan ada yang keluar! Tutup semua pintu dan jendela!" ujar Andika keras.
Namun orang-orang itu bukannya masuk, malah berlarian keluar. Karena bagi mereka, berada di dalam rumah justru sulit keluar. Lebih baik berada di luar. Namun akibatnya, nyawa mereka pun terbuang percuma. Hal ini mcmbuat Andika semakin kalap.
"Masuk kalian! Masuk! Jangan membuang nyawa percuma! Brett! Werrtt!"
Kain pusaka Pendekar Slebor kembali mengibas ke sana kemari dengan cepatnya, mengandung tenaga semakin kuat. Namun jumlah tawon-tawon itu sangat banyak.
"Masuk kalian ke rumah! Selamatkan nyawa anak istri kalian! Cepat! Tawon-tawon ini sangat berbahaya!" teriak Pendekar Slebor.
Sebisanya orang-orang itu berusaha masuk, menyambar siapa saja yang berada di dekatnya untuk menghindari sengatan tawontawon ganas. Wuttt! Brettt! Andika terus mengibaskan kain pusakanya ke arah tawon-tawon itu yang mendengung-dengung mengancamnya. Dan mendadak saja tubuhnya berputar setelah mcnyampirkan kain pusakanya. Dan ketika putarannya bcrhenti, Andika berdiri tegak seperti menantang.
"Ayo, kalian hewan-hewan bersengat! Sengat aku! Kerubungi aku! Bunuh aku!" lantang Pendekar Slebor.
Seperti melihat kalau ada sasaran yang berani menanlang maut, tawon-tawon itu menyerbu ke arah Andika. Perlahan-lahan kini kedua kaki Pendekar Slebor ludah dikerubungi ribuan tawon. Lalu, kedua tangannya dan berlanjut ke sekujur tubuhnya. Bahkan kini wajahnya. Hingga akhirnya, terlihatlah sebuah pemandangan hagaikan sebuah patung yang dibuat dari ribuan tawon. Hanya satu dua saja yang masih beterbangan, selebihnya hinggap di tubuh Andika.
Orang-orang yang terluka dan masih bisa bergerak, berusaha masuk ke rumah. Kali ini mereka menuruti kata-kata Andika, setelah
melihat tubuh pemuda itu kini tertutupi ribuan tawon yang ganas. Dari jendela mereka, para penduduk memperhatikan pemuda yang masih dirubungi ribuan tawon. Mereka yakin, dalam waktu beberapa hitungan saja, pemuda itu sudah tewas seketika.
Sawedo yang semula geram begitu melihat kedatangan Andika, kini harus menahan diri. Karena sejak tadi, dia melihat kalau pemuda itu berusaha menyelamatkan mereka dari serbuan tawon yang ganas. Apalagi sekarang, pemuda itu seperti menyediakan tubuhnya untuk dijadikan sasaran tawon-tawon itu, sebagai pengalih perhatian dari sasaran yang lain.
"Gila! Siapakah dia sebenarnya?" desis Sawedo, diam-diam kagum melihat pemuda itu yang seperti rela berkorban.
" Dia pasti akan mampus dalam sekejap."
Namun tak seorang pun yang tahu, kalau Andika sudah mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh untuk melindungi diri dari sengalan-sengatan tawon itu.
Tentu saja, Pendekar Slebor belum begitu tolol mau mengorbankan diri. Padahal, pentolan dari semua peristiwa ini belum dihancurkan.
Lagi pula, Andika masih suka makan nasi kebuli! Setelah hampir seluruh tawon-tawon hinggap di tubuhnya dan berusaha menusukkan sengatnya yang paling berbahaya, diam-diam Andika memperkuat tenaga 'inti petir'nya. Sehingga yang dirasakan hanyalah sebuah tusukan-tusukan pelan yang tak berarti.
Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bergetar cukup kuat. Dan seketika terlihat pula beberapa ekor tawon yang menempel di
tubuhnya jatuh dan hancur. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, tawon-tawon itu berusaha melepaskan diri dari tubuh Andika.
Namun Andika tidak akan membiarkannya begitu saja. Pendekar Slebor akan menghancurkan seluruhnya!
Pendekar Slebor mengendalikan tenaga dalamnya yang berpusat dari pusar ke seluruh tubuh, dan memainkannya bagaikan berada dalam suatu gelombang. Lalu....tenaga dalam itu dibawanya ke depan.
"Phuih...!"
Bersamaan dengan itu Andika menghembuskan napasnya perlahan-lahan. Sehingga tenaga dalam yang keluar bagaikan sebuah perekat, yang membuat tawon-tawon itu tidak bisa melepaskan diri. Tubuh Andika semakin bergetar. Dan tawon itu perlahan-lahan meluncur jatuh dan mati. Hingga kemudian, seluruh tawon pun berjatuhan mati. Di bawah kaki Andika, hewan-hewan pembunuh itu bergeletakan.
Orang-orang yang melihat kehebatan itu merasa aneh sekali, menyaksikan seorang pemuda yang nampak segar bugar. Padahal, habis
dikerubungi tawon pembunuh kejam, yang sudah tentu pasti telah menyengat salah satu bagian tubuhnya.
Hal yang serupa pun singgah di benak Sawedo yang diam-diam juga mcnaruh kagum pada pemuda itu. Kini dia yakin, pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Namun masih ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya. Mengapa pemuda itu membunuh Medi. Kang Menggolo,
dan istrinya"
Andika yang tengah mengibas-ngibaskan tangannya ke seluruh pakaian, mengangkat wajahnya. Dan tatapannya membentur pada tatapan Sawedo yang masih berdiri tegak di sana. Tampak kedua tangan Sawedo penuh sengatan. Juga pakaian dan celana yang dikenakannya telah koyak moyak.
Dalam sekali lihat saja, Andika bisa mengetahui kalau Sawedo dalam keadaan luka parah.
"Saudara Sawedo.... Anda membutuhkan pertolongan...," kata Pendekar Slebor, hati-hati. Sawedo mengibaskan tangannya.
"Tidak... Aku tidak apa-apa...," tolak laki-laki ini. Padahal Sawedo merasa sekujur tubuhnya sangat panas.
Tatapannya berkunang-kunang dengan tubuh terasa limbung.
"Saudara.... Kalau Saudara tidak segera ditolong, maka... okhhh!"
Andika cepat bergerak, menangkap tubuh Sawedo yang hendak ambruk.
"Keterlaluan! Sudah dibilang terluka, masih berlagak jago! Begini akibatnya!" dengus Andika.
"Aku tidak apa-apa," kata Sawedo lemah.
"Lebih baik kau tidak usah berkata-kata, karena hanya membuang tenaga saja. Saat ini, tenagamu sangat diperlukan sekali untuk mempertahankan hidupmu" ujar Pendekar Slebor.
Sementara orang-orang yang merasa sudah aman itu pun segera keluar dari rumah.
"Tolong orang-orang yang masih hidup itu. Rawat mereka!" seru Andika.
Tetapi Andika salah duga. Karena, orang-orang itu justru mendekatinya. Wajah mereka..., begitu garang. Penuh amarah dan siap membunuhnya!

***

{{{ 9 }}}

Kening Andika berkerut ketika orang-orang itu mengelilinginya. Matanya langsung melirik Sawedo yang terkulai lemah dalam rangkulannya. Pemuda itu benar-benar tak berdaya, merasakan hawa panas yang mengalir di tubuhnya semakin kuat mengikat. Andika mendengus dalam hati. Kalau Sawedo tidak segera diselamatkan, maka nyawanya akan lepas percuma. Pendekar Slebor kembali memperhatikan orangorang yang mengelilinginya dengan pandangan geram. Sekali lihat saja Andika yakin, kemarahan orang -orang itu ditujukan kepadanya.
"Pemuda setan! Gara-gara kaulah desa kami yang damai ini diserang petaka!" dengus salah seorang laki-laki yang tangannya nampak penuh sengatan tawon ganas tadi. Bahkan beberapa diantara luka itu mengeluarkan darah.
"Tahan! Jangan salah pabam... ini semua... "
"Diaaamm!!" bentak laki-laki itu, membuat kata-kata Pendekar Slebor terpenggal.
Di tangannya terdapat sebuah parang besar.
"Kau telah mengacaukan upacara tumbal untuk Dewa Bulan! Akibatnya, justru kamilah yang terkena petaka akibat kemarahan Dewa Bulan!!"
Kini sadarlah Andika, kalau dirinya dituduh sebagai biang keladi dari serangan tawon-tawon yang kini sudah bergeletakan dengan jumlah sangat banyak.
"Sadarlah kalian," ujar Andika masih berusaha menyadarkan mereka dari kekeliruannya.
"Kalau selama ini kalian telah diperalat dan dibodohi Manusia Pemuja Bulan. Tidak ada Dewa Bulan. Manusia Pemuja Bulan hanya ingin memanfaatkan kalian. Tentunya untuk tujuan kotor."
"Jangan banyak omong! Yang kini teri hat hanyalah saudara-saudara kami yang telah menjadi mayat! Kalau saja kau tidak mengacaukan upacara dengan menculik Mayang, kami tidak akan mengalami hal yang mengerikan seperti ini!"
Semakin sadar Andika, kalau mereka sudah tahu tentang Mayang yang diculik ketika hendak dilenyapkan Manusia Pemuja Bulan.
"Kalian seharus nya sadar, kalau selama ini dibodohi Manusia Pemuja Bulan. Kalian telah dimanfaatkan untuk kepentingannya. Ingatkah kalian akan kata-kata Ki Seta sebelum ajalnya" Selama ini, kita hanya mempunyai satu keyakinan. Hanya Gusti Allah yang patut disembah. Bukan Dewa Bulan. Dan karena berani membantah itulah, maka Ki Seta harus mati! Karena, Manusia Pemuja Bulan tentunya akan takut bila kalian tidak lagi menjadi pengikutnya!" papar Pendekar Slebor.
"Ki Seta memang patut mati, karena berani membantah permintaan Manusia Pemuja Bulan. Ki Wedokmurko adalah utusan dari Dewa Bulan yang harus dihormati! Tetapi..., kedamaian yang selama ini kami dapatkan harus kandas karena perbuatanmu!"
"Kedamaian?" balas Andika pula. Dia tahu, kesalahpahaman nampaknya sudah di ambang mata.
"Apakah kalian menamakan semuanya ini kedamaian" Kalian harus menyerahkan anak gadis kalian setiap malam Jumat untuk dipersembahkan kepada Dewa Bulan" Kalian harus menyediakan harta kalian untuk Dewa Bulan" Inikah yang kalian namakan kedamaian" Justru kalian telah melakukan suatu kebodohan. Kalian telah mengorbankan nyawa gadis-gadis yang tak berdosa! Bukan untuk Dewa Bulan, tapi untuk Manusia Pemuja Bulan yang tentunya berbuat keji!"
"Kau memang pandai bicara!" dengus laki-laki ber-senjata itu lagi.
Diam-diam laki-laki ini merasakan sekujur tubuhnya menjadi panas. Sangat panasnya, sehingga justru harus menahan getaran tubuhnya.
"Kau sakit, Saudara...," kata Andika yang dapat melihat keadaan Sunjoyo.
"Tidak! Kau harus mati!" dengus laki-laki itu sambil menyerang Andika dengan parangnya.
"Jangan lakukan itu, Sunjoyo...." Terdengar seruan pelan dari mulut Sawedo yang semakin melemah.
Tetapi laki-laki bernama Sunjoyo sudah menyerang. Namun hanya selangkah saja mampu bergerak, selebihnya sudah ambruk ke bumi. Dan nyawanya pun meregang.
Kejadian ini membuat yang lainya menjadi bertambah marah. Mereka siap menyerang Andika. Tetapi baru saja mereka bergerak....
"Jangan..., jangan lakukan itu. Pemuda ini benar... Kita memang sudah dibodohi Manusia Pemuja Bulan...."
Sawedo yang semakin lemah keadaannya mencegah dengan suara pelan.
"Sawedo! Kau akan dikutuk Dewa Bulan!" bentak seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun dengan geram. Wajahnya bulat dengan kumis baplang. Di lengan kirinya pun terdapat tiga buah bekas sengatan tawon-tawon kejam.
"Tidak.... Tidak ada Dewa Bulan seperti yang dika takan Ketua Wedokmurko. Dia..., dia membohongi kita...," kata Sawedo.
"Sawedo! Mengapa kau mendadak saja berbalik padanya" Apakah matamu mendadak menjadi buta, tidak melihat betapa banyaknya
mayat yang bergelimpangan gara-gara ulah pemuda gondrong itu" Juga kau lihat sendiri, nasib Sunjoyo yang mencoba membela kebenaran harus tewas di depan mata kita! Dan kau sendiri, seben-tar lagi pun akan mati...," sergah laki-laki berkumis ini Sawedo mengangkat kepalanya. Sementara tubuhnya masih dipegang Andika.
"Tidak! Itu tidak benar. Sunjoyo mati bukan karena membela kebenaran, tetapi bodoh. Sama seperti kita. Hanya Ki Seta yang patut disebut sebagai pembela kebenaran...," tandas Sawedo.
"Sawedo!"
"Paman Longgom.... Kini aku baru sadar, kalau kita selama ini keliru.... Aku yakin, kalau yang mendatangkan bencana ini adalah Manusia Pemuja Bulan..., yang telah memaksa kita untuk menjadi pengikutnya...."
"Kau?" laki-laki berkumis yang bernama Longgom menggeram marah.
"Paman Longgom! Selama ini kita telah mengorbankan gadis-gadis tak berdosa sebagai tumbal untuk Dewa Bulan. Yah! Aku yakin sekarang..., tentunya Manusia Pemuja Bulan memiliki ilmu tinggi. Dengan ilmunya itulah dia mendatangkan dan melenyapkan gadis-gadis yang dikatakan dipilih dan telah diterima Dewa Uulan...," tutur Sawedo.
"Mengapa kau berpikiran begitu, Sawedo" Rupanya kau sudah gila berani menentang Dewa Bulan!" desis Longgom.
"Paman Longgom...! Ada alasan yang sangat masuk akal. Bila memang Dewa Bulan adalah sesuatu yang patut disembah, yang mampu mendatangkan dan mengambil gadis-gadis yang dipilihnya, mengapa pemuda ini..., mampu mengambil Mayang kembali" Mengapa" Di mana kekuatan terdahsyat yang dimiliki Dewa Bulan bila memang patut dijadikan sesembahan"
Pikirkanlah itu, Paman Longgom...," ungkap Sawedo.
Longgom kelihatan serba salah sekarang. Hati kecilnya yang terdalam pun membenarkan alasan itu. Begitu pula yang lainnya. Tetapi Longgom belum puas
"Sawedo...! Bagaimana dengan Medi, Kang Menggolo dan istrinya yang mati dibunuh pemuda itu?" Sawedo menggeleng-geleng lemah.
"Kini aku yakin, bukan pemuda itulah yang membunuh mereka," jelas Sawedo semakin pelan.
"Lalu siapa?"
"Manusia Pemuja Bulan."
"Hhh! Mustahil. Dia justru datang memberi perlindungan dari musibah-musibah yang mengerikan pada wanita. Lantas bagaimana mungkin telah melakukan pembunuhan itu?" sergah Longgom.
la juga telah membunuh Ki Seta, Paman Longgom...," tambah Sawedo. Kali ini Longgom terdiam. Orang-orang yang marah pada Andika pun menurunkan tangan yang memegang berbagai senjala lajam.
Andika diam-diam mendesah lega. Dia sendiri tidak menyangka kalau Sawedo akan membelanya. Bahkan Sawedo berpihak kepadanya. Tetapi kini dia yakin, kalau manusia-manusia ini masih memiliki kepercaya yang tulus dan hati nurani yang dalam. Mendadak saja Pendekar Slebor melihat orang-orang itu menjerit-jerit kesakitan. Rupanya sengatan yang dialami tadi, kini sudah mulai bekerja. Mereka memang tidak segera mati, karena hanya menderita beberapa sengatan saja. Namun, hawa panas itu mulai menjalari tubuh! Termasuk Longgom!
Di tempat persembunyiannya, Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bulan tengah menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa' nya dengan mempergunakan darah tiga perawan yang diculik.
Sebenarnya dia sangat geram terhadap Pendekar Slebor yang telah mengacaukan seluruh rencananya.
Kalau tidak ingat pantangan ajian 'Unggulan Dewa' yang sedang disempurnakannya, sudah tentu Pendekar Slebor sudah diserangnya.
Namun, selama berada dalam tahap penyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa' tenaga dalamnya pantang dikeluarkan terlalu banyak Karena, tanpa tenaga dalam kuat, maka ajian 'Unggulan Dewa' tidak akan pernah berhasil disempurnakan.
Tetapi kelak, bila Manusia Pemuja Bulan berhasil menguasai ajian 'Unggulan Dewa', tak seorang pun yang akan bisa mengalahkannya.
Tak seorang pun!
Ki Wedokmurko tersenyum puas membayangkan sesuatu yang tak sabar dinantinya. Kini dengan kejamnya, Manusia Pemuja Bulan menekan perut gadis-gadis itu kuat-kuat, sehingga darah perawan mereka muncrat.
Setelah tiga pertanakan nasi Ki Wedokmurko melakukan hal itu. namun bukan wajahnya menjadi gembira, justru menggeram marah.
"Bangsat! Tinggal satu dara perawan lagi yang harus kudapatkan. Maka, ilmuku akan sempurna! Hhh! Bila aku terus menerus seperti ini, maka tenagaku untuk menculik mereka akan hilang perc uma. Lain bila orang-orang bodoh itu menyediakan gadis-gadis itu untukku! Sialnya, aku tak menemukan lagi dara perawan di sana! Rata-rata masih berusia di bawah dua belas tahun!" dengus Manusia Pemuja Bulan. Dan tiba-tiba, matanya berbinar.
"Hmm..., Mayang. Ya..., tinggal dia saja perawan di desa itu! Ini semua gara-gara Pendekar Slebor! Hhh! Pendekar Slebor.... Tunggu balasanku!"
Kali ini Andika sangat sibuk, bekerja mati-matian untuk menyelamatkan tubuh-tubuh yang tengah menahan sakit. Rasa letihnya tak
dihiraukan lagi. Bahkan tenaganya pun harus terkuras, karena hanya seorang diri bekerja. Namun semuanya tak dipedulikannya lagi. Yang ada dibenaknya, hanyalah menyelamatkan tubuh-tubuh itu.
Dengan mempergunakan kain pusaka yang bercorak catur, Andika mengalirkan tenaga dalam dan mengusapkannya pada dada si sakit. Hasilnya, hawa panas yang mengaliri tubuhtubuh itu mulai berkurang. Dan lama kelamaan, menghilang. Namun karena begitu banyaknya yang harus ditolong, beberapa orang tak sempat diberikan bantuan. Sehingga, mereka pun mati.
Pagi pun berjalan. Matahari sudah sepenggalah. Sinarnya yang sejuk seharusnya membuat orang mampu menikmati, dan mempergunakan
untuk menjemur pakaian, dan makanan. Bahkan sebagai tanda sudah waktunya bekerja di sawah dan ladang.
Tetapi pagi ini, tak seorang pun yang mampu menikmati pagi dan matahari. Tak seorang pun yang pergi menuju sawah dan ladang.
Karena, mereka harus berjuang melawan maut. Sementara Pendekar Slebor terus berusaha menyelamatkan mereka.
Ketika pekerjaannya selesai, barulah Andika merasakan tenaganya sangat letih. Dia segera duduk bersemadi untuk memulihkan tenaga dalam dan hawa murni yang benar-benar terkuras.
Selama satu penanakan nasi Pendekar Slebor duduk memejamkan matanya. Bila saja ada orang yang ingin membunuhnya, maka akan sangat mudah dilakukan.
Karena Andika benar-benar sudah melepas semua kesadarannya, membiarkan seluruh tubuhnya kosong dan mengisinya dengan kesegaran. Lalu Andika mendesah panjang dan berdiri kembali.
Dilihatnya sudah ada beberapa orang yang bisa bangun dan merasakan hawa panas yang menyiksa tadi menghilang. Namun tubuh mereka masih terasa lemah. Sawedo yang tadi membujur di sisi Andika pun sudah duduk. Ditatapnya Andika.
"Sobat..., lerima kasih atas pertolonganmu...," ucap Sawedo tulus.
Andika tersenyum.
"Aku pun berterima kasih kepadamu, karena kau akhirnya mau mengerti segala peristiwa ini. Kalau kau tidak membantah kata-kata mereka tadi, sudah tentu aku tidak bisa berbuat apa-apa selain pergi dari sini. Dan akibatnya, akan banyak nyawa yang melayang percuma...."
Sawedo mengangguk-angguk.
"Sobat, siapakah namamu?" tanya Sawedo.
"Andika."
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu, Andika...," kata Sawedo lagi.
Andika mengangguk.
"Untungnya, petaka itu bisa diselesaikan, meskipun memakan korban yang sangat banyak. Hmm, Sawedo.... Kini kita tinggal menghadapi otak licik Manusia Pemuja Bulan yang telah menimbulkan seluruh petaka ini," kata Pendekar Slebor.
"Kau benar, Andika. Yah..., aku memang bodoh," kata Sawedo jujur.
"Sebenarnya, aku tidak percaya pada Manusia Pemuja Bulan. Hanya saja..., ah! Sudahlah.... Tidak baik mengingat kebodohan itu..."
"Kau benar. Tetapi, Sawedo. Tahukah kau, di mana Manusia Pemuja Bulan tinggal?" Sawedo menggeleng.
"Aku tidak tahu. Dia datang dan pergi begitusaja...."
Inilah yang sulit. Kalau dibiarkan saja, maka petaka demi petaka akan menimpa masyarakat di sini.
Orang-orang pun sudah mulai bisa berdiri dan bercakap-cakap. Juga terdengar tangis yang memilukan dari beberapa orang ibu yang melihat anak dan suami mereka telah menjadi korban sengatan tawon-tawon ganas.
Saat itulah Andika teringat Mayang.
"Sawedo...! Bila tenagamu sudah pulih kembali, ajaklah penduduk di sekitar sini untuk mcmbangun desa ini kembali. Sadarkanlah mereka, kalau selama ini telah dibodohi Manusia Pemuja Bulan...," ujar Pendekar Slebor.
"Baik, Andika. Kau sendiri hendak ke mana?" Andika nyengir.
"Apakah kau tidak ingin melihat Mayang?" Andika malah balik bertanya.
"Oh! Ya, ya.... Aku sendiri ingin tahu, bagaimana keadaannya dan apa yang dirasakannya...."
"Tunggulah di sini. Saat ini dia aman di satu tempal bersama kawanku yang bisa dipercaya."
Sawedo mcngangguk.
Andika pun berkelebat cepat. Dan diam-diam Sawedo menghela napas panjang.
"Ah! Siapakah sebenarnya Andika itu" Bila melihat gerakan dan sikapnya, jelas sekali dia seorang pendekar yang meskipun agak urakan tetap memiliki kebijaksanaan. Kalau saja tidak ada Andika, sudah pasti kehidupan di desa ini akan hancur. Karena tidak mustahil, akan selalu berada di bawah pengaruh Manusia Pemuja Bulan!" kata Sawedo dalam hati.
Sawedo semula merasa yakin kalau Andikalah yang membunuh Medi, Kang Menggolo, dan istrinya. Namun perlahan-lahan keyakinannya mulai sirna. Dia menangkap sesuatu yang sangat sulit dilacak Namun hati kecilnya mengatakan, Manusia Pemuja Bulan-lahyang telah melakukannya. Entah mengapa, sampai saat ini dia belum menemukan jawabannya.
Tetapi kayakinan yang lebih pasti, Ki Seta jelas dibunuh Manusia Pemuja Bulan. Seharus nya, mendengar kata Ki Seta yang menentang
Manusia Pemuja Bulan, mereka segera sadar. Segera mengerti bahwa yang dilakukan selama ini adalah suatu kesalahan.
Namun, saat itu pikiran mereka telah menghitam, penuh ajaran-ajaran yang diberikan Manusia Pemuja Bulan. Hingga saat itu mereka mempunyai satu keyakinan, kalau Ki Seta yang memang patut mati karena berani menentang kehendak Dewa Bulan. Diam-diam Sawedo mendesah panjang.
"Hmm, sebenarnya harta apa yang disembunyikan Ki Seta"
Kecuali Manusia Pemuja Bulan sampai saat ini tak seorang pun yang tahu kalau Ki Seta menyimpan harta yang tentunya sangat banyak.
Karena harta itulah Ki Seta harus mati! Lalu perlahan-lahan Sawedo bangkit, berusaha menyadarkan teman-temannya yang lain dari pengaruh Manusia Pemuja Bulan.
"Pemuda berbaju hijau itulah yang patut kita sebut dewa penolong! Dialah yang mencoba menyadarkan kebodohan kita, meskipun semula harus dimusuhi karena telah kita tuduh sebagai biang onar!"

***

Hari sudah siang. Matahari tepat di pusat kepala, ketika Andika kembali ke tempat sebelumnya dia meninggalkan Mayang dan Tridarma. Namun ternyata Pendekar Slebor tidak menemukan mereka di sana.
"Hei" Ke mana mereka, ya?" tanya Pendekar Slebor sambil menggaruk-garuk kepalanya. Seluruh tenaga dan hawa murni Pendekar Slebor
kini s udah kembali berjalan seperti biasa, Andika mencari-cari di sekitar sana, tetapi tak ada tanda-tanda keduanya berada.
"Edan! Berani-beraninya Tridarma melanggar perintahku! Dibawa ke mana Mayang sebenarnya?" rutuk Pendekar Slebor.
Andika menempelkan kedua tangannya di mulut membentuk corong. Lalu....
"Tridarma! Mayaaang! Di mana kalian"!" teriak Pendekar Slebor.
Tak ada sahutan.
Angin semilir berhembus, menggoyang dedaunan. Andika berteriak sekali lagi, tetapi hasilnya sama.
"Brengsek Tridarma! Hhh! Tak heran aku kalau dia berani meninggalkan Ki Saptacakra, ketika sedang bersemadi!" dengus Andika.
Tetapi mendadak saja Pendekar Slebor terdiam. Ada sesuatu yang dipikirkannya. Sesuatu yang seperti baru menyadarkannya. Lalu
dihelanya napas panjang, dan berkelebat kembali ke desa tempat tinggal Sawedo.

***

{{{ 10 }}}

Sebenarnya Andika cukup malu juga ketika kembali ke desa tempat tinggal Sawedo tanpa Mayang. Apalagi tadi Sawedo nampak menunggu kedatangannya.
"Maaf, Sawedo... Mayang dan Tridarma tidak berada di sana.... Mungkin, mereka meninggalkan tempat itu," ucap Pendekar Slebor, mau tak mau harus mengatakan juga.
"Sudahlah, Andika. Lebih baik, beristirahat saja dulu. Kulihat beberapa orang ibu sudah pulih dari kekagetan mereka. Mereka nampak
sudah bersedia menanak nasi," ujar Sawedo, sangat ramah.
Andika mendesah panjang. Dia menyesali, mengapa hal itu harus terjadi" Berkali-kali Pendekar Slebor menotol-notol kepala dengan
telunjuknya. Dan sekarang, dia masih menunggu kemunculan Tridarma dan Mayang. Sawedo mendekati.
"Andika.... Nampaknya malam ini akan kita lewati dengan aman...," desah Sawedo.
"Itu lebih baik. Apakah kau ingin kerusuhan terjadi lagi?" tanya Andika sambil nyengir.
"Ya, tidak. Malah aku berkeinginan agar Manusia Pemuja Bulan segera pergi dari sini."
"Ya, sayangnya tak seorang pun yang tahu di mana manusia itu berada. Bahkan tadi pagi, aku sudah mendatangi dan mengelilingi Gunung Pengging. Namun tak satu tempat pun yang bisa dijadikan tanda-tanda sebagai tempat persembunyian Manusia Pemuja Bulan dan para anak buahnya. Tetapi.., he he he.... Sudah tentu Manusia Pemuja Bulan telah memagari persembunyiannya dengan ajian yang tak bisa ditembus mata."
"Itu sudah pasti. Hhh! Kalau saja selama ini aku tidak bodoh, tidak akan pernah ada korban perawan berikutnya!" geram Sawedo. sekali lagi menyesali kebodohannya.
"Sudahlah.... Tidak sudah dipermasalahkan lagi Yang terpenting... hei!"
Andika tiba-tiba berdiri disertai rasa kagct. Segera" dia melesat ke satu tempat. Sawedo dan teman-temannya segera berlari ke tempat Andika dengan senjata terhunus. Sementara sebagian berjaga-jaga di tempat semula. Begitu tiba, mereka melihat Andika sedang berlutut memeriksa dua sosok tubuh yang telah menjadi mayat dengan leher hampir putus.
"Rupanya manusia itu telah menebarkan petaka kembali!" desis Andika.
Sawedo menghela napas panjang. Hatinya teriris melihat luka yang diderita dua pemuda yang ditugasi untuk meronda. Luka yang teramat mengerikan.
"Andika..., siapakah yang telah melakukannya?" tanya Sawedo geram.
"Hanya satu dugaanku, Manusia Pemuja Bulanlah yang melakukannya. Rupanya, kini dia sendiri yang datang menyerang. Bila melihat kelebatannya yang sangat cepat, dugaanku jelas-jelas Manusia Pemuja Bulan. Karena, berkali-kali aku bentrok dengan anak buahnya yang
berpakaian dan bertopeng merah. Namun tak seorang pun yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi seperti itu. Kita harus..., oh, Tuhan! Sawedo! Cepat kita kembali ke desa!" sentak Pendekar Slebor.
Andika kembali berkelebat lebih dulu. Dia harus berpacu dengan waktu. Dadanya bergetar cemas. Begitu tiba di tengah desa yang ditakutkannya Pendekar Slebor pun terjadi Tampak lima belas tubuh telah meregang nyawa dengan leher hampir putus.
"Bangsat! Manusia busuk, keluar kauuu! Kita ber-tarung sampai mampus!" semprot Andika keras dengan kedua tangan mengepal keras.
Sawedo dan yang lainnya pun tiba di sana. Mereka kontan terkejut melihat mayat-mayat itu.
"Andika!" serunya pada Andika yang tengah menumpahkan kekesalannya.
"Sawedol Suruh semuanya masuk ke rumah! Jangan ada yang keluar! Manusia Pemuja Bulan telah muncul di sini!" ujar Andika berteriak.
"Andika..., mereka bisa menjaga diri. Aku lebih ingin mengorbankan nyawaku untuk membantumu! Untuk menghancurkan Manusia Pemuja Bulan yang telah membodohiku selama ini! Lagi pula, Paman Longgom dan beberapa orang yang lain kurasa sudah cukup untuk menjaga keselamatan mereka."
Andika mengangkat bahu.
"Terserah kaulah. Tetapi kuperingat kan, hati-hati!"
Begitu mendengar Andika berkata hati-hati, Sawedo dan temannya pun segera bersiaga. Mereka melihat Pendekar Slebor nampak seperti terdiam. Namun mereka yakin kalau Andika dalam siaga penuh. Tiba-tiba saja, dari tempat yang gelap berloncatan beberapa sosok tubuh
berpakaian dan bertopeng merah berjumlah sekitar sepuluh orang. Kalau biasanya mereka tidak membawa senjata, kini di tangan masing-masing tergenggam sebilah golok besar. Andika mendengus.
"Mana manusia kodok itu, hah"!" bentak Pendekai Slebor.
"Suruh dia keluar! Hadapi aku, Pendekar Slebor yang menghancurkannya!
Sawedo menegakkan telinganya.
"Pendekar Slebor? Oh, Tuhan...! Andika kah yang berjuluk Pendekar Slebor?" gumam Sawedo, dalam hati Selama ini sayup-sayup
Sawedo memang pernah mendengar tentang seorang pendekar bijaksana, namun sedikit urakan. Dia dijuluki Pendekar Slebor. Lalu yang dikatakan Andika tadi" Sungguh Sawedo tak pemah menyangka kalau Pendekar Slebor yang begitu harum namanya berada di dekatnya. Bahkan, sudah selama dua minggu berada di dekatnya. Namun saat itu, kemarahan dan kebencian masih membalut tubuhnya.
Sehingga, dia tidak tahu siapakah orang yang dibencinya. Orang-orang di balik topeng merah itu menggeram, Salah seorang mengangkat goloknya.
"Hhh! Pendekar Slebor...! Kau terlalu banyak mencampuri urusan kami! Tetapi kini, kau akan membayar semua perbuatanmu itu dengan nyawamu!"
Dalam keadaan sesulit dan setegang apa pun, naluri urakan Andika tetap saja muncul.
"Wah, wah...! Bagaimana kalau kuganti dengan uang dua ketip" Lalu, kubeli nyawa kalian seharga satu ketip! Lumayan, kalian bisa membeli pecel di ujung pasar sana!" kata Pendekar Slebor, seenak udelnya.
"Bangsat!"
Orang itu segera melesat dengan cepat ke arah Andika.
"Lihat serangan! YeaaaF" Wuuuttt! "Uts.. !"
Andika melenting ke atas dengan ringan. Dan secara serempak, Sawedo dan kawan-kawannya segera menyerang pula yang segera disambut sembilan orang bertopeng merah yang lain. Pertempuran sengit pun berlangsung seru. Sawedo begitu geram. Dia bergerak dengan gesiL Rupanya pemuda itu memiliki kepandaian yang cukup lumayan. Ge-rakannya gesit dan ringan. Serangan parangnya mantap.
Trang! Trang! Trang!
Suara senjata beradu semakin ramai terdengar, seolah menyemarakkan malam yang semakin berjalan. Orang-orang yang berada di dalam rumah tak ada yang berani melihat pertempuran. Mereka saling dekap dengan anak, istri, atau suami. Andika berkelebat ke sana kemari. Dan dia tidak mau bertindak tanggung lagi. Tenaga 'inti petir'nya sudah dipergunakan sampai tingkat kedua puluh lima. Blarrr!
Glarrr! Terdengarlah suara bagai petir menyalak setiap kali langan Andika berkelebat. Hasilnya, lima orang pun terpental dengan tubuh muntah darah dan meregang nyawa. Sisa lima orang lagi pun menjadi sasaran kemarahan Sawedo dan teman-temannya yang tinggal
enam orang. Karena, dua orang sudah tewas.
Kalau saja Andika tidak membantu, maka akan siasia saja perlawanan Sawedo dan teman-temannya. karena, lawan mereka amat tangguh. Andika sudah kembali berkelebat ke sana kemari dengan pukulan 'inti petir'nya.
Sementara itu, Longgom dan dua belas orang yang menjaga keselamatan para penduduk harus menghadapi pula serangan yang datang
mendadak. Untungnya sejak tadi mereka sigap, sehingga tidak sampai kecolongan. Sebenarnya tadi mereka sudah ingin membantu Andika, Sawedo dan yang lainnya. Namun, Longgom menahan. Karena dia berpikir, barangkali saja nanti ada lawan yang melakukan
pembokongan. Lagi pula, tadi pun telah didengar siapa Andika sebenarnya. Pendekar Slebor yang kesohor!
Dan mereka pun perlahan-lahan melihat orang-orang berpakaian dan bertopeng merah itu mulai terdesak, lalu ambruk satu persatu.
Memang, perhitungan Longgom sangat mantap Karena mendadak saja delapan orang berpakaian dan bertopeng merah muncul dari balik semak dengan cara melompat sambil mengayunkan golok besar di tangan.
"Ayo, Kawan-kawan! Kita musnahkan manusiamanusia bangsat ini!" teriak Longgom yang kini sudah sadar, kalau selama ini hanya diperalat Manusia Pemuja Bulan. Pedang di tangannya pun terayun cepat ke sana kemari. Trang! Wuuuttt!
"Aaakkkhhh!"
Salah satu orang bertopeng menjerit sambil mendekap tangan kirinya yang buntung akibat sabetan pedang Longgom. Namun meskipun lebih sedikit, mereka lebih tangguh dari kelompok Longgom. Karena, hanya Longgom saja yang memiliki kepandaian. Sementara, yang lainnya hanya mengandalkan semangat. Mereka harus melampiaskan kemarahan, karena selama ini dibodohi.
Maka sebentar saja teri hat Longgom dan sisa teman-temannya mulai terdesak, menghadapi gempurangempuran yang hebat dari lawannya.
Trang! Trang! Wuuuttt! "Aaakh!"
Satu orang teman Longgom ambruk meregang nyawa. Namun Longgom terus memberi semangat pada kawan-kawannya.
"Ayo, jangan mundur! Kita harus maju terus! Hancurkan mereka! Hancurkan!" teriak Longgom.
Lalu dengan penuh kegeraman dan keberanian, Longgom menyerang sekuat tenaga. Namun, dia pun harus menghadapi tiga orang
lawannya yang rata-rata memiliki kepandaian tangguh.
Kali ini Longgom harus terdesak. Begitu pula teman-temannya. Namun di saat yang gawat, melesat satu bayangan hijau sambil mengibaskan tangan ke sana kemari.Desss.. ! Desss!
"Aaakh...!"
Orang-orang itu pun berpentalan disertai muntah darah. Melihat sosok bayangan yang tak lain Andika, nyali Longgom yang mulai menciut, kini mekar kembali. Maka langsung diterjangnya lawan- lawannya.
Andika sendiri merasa harus menyelesaikan semua ini dengan segera. Karena menurut perkiraannya, Manusia Pemuja Bulan akan muncul
sekarang juga. Pendekar Slebor pun bergerak cepat sambil mengibaskan pukulannya yang mengandung tenaga 'inti petirl "Mampuslah kalian semua!" bentak Andika.
"Sawedo! Kang Longgom, cepat tinggalkan tempat itu! Kembali kalian ke rumah masing-masing! Karena menurut perkiraanku, Manusia
Pemuja Bulan akan muncul! Sekali ini, turuti kata-kataku!" Setelah berkata demikian, Andika bersalto ke depan.
Namun belum lagi hinggap di tanah....
Blarrr...! "Aaa...!"
Terdengar ledakan dahsyat yang disertai jeritan menyayat.
"Edan...!" Andika merutuk melihat Longgom dan tiga orang temannya telah tewas dengan tubuh pecah berantakan.
"Sawedo! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru Pendekar Slebor sambil berbalik ke belakang. Matanya bersiaga penuh, dengan kewaspadaan sangat tinggi.
Di atas sebuah pohon, Andika melihat satu sosok berjubah hitam menatap nyalang kepadanya. Inikah Manusia Pemuja Bulan" Serangan pertama yang diperlihatkan tadi sungguh sangat hebat!
"Hei, Jubah Hitam Dekil! Turun sini, biar kulihat mukamu itu! Apakah lebih dekil daripada jubahmu"!" seru Pendekar Slebor sambil mengulapkan tangannya.
Sosok yang tak Iain Ki Wedokmurko menunjuk ke wajah Andika.
"Kau terlalu banyak ikut campur, Pendekar Slebor!"
Werrr...! Andika tertawa. Tetapi Pendekar Slebor segera mengibaskan tangannya pula, ketika merasakan serangkum angin menyambarnya. Rupanya, Manusia Pemuja Bulan mencoba membokongnya, atau menjajaki kekuatan tenaga dalamnya" Saat itu juga Andika mengalirkan kekuatan 'inti petir' ke sekujur tubuhnya.
Wusss.. ! Ganti Ki Wedokmurko yang harus berjumpalitan ketika merasakan sebuah dorongan angin besar yang menderu ke arahnya.
"Luar biasa! Nama besar Pendekar Slebor memang bukan omong kosong belaka!" sentak Manusia Pemuja Bulan, begitu mendarat di tanah.
"He he he...! Siapa dulu dong orangnya?" seloroh Andika.
"Hanya sayang, nama besar Pendekar Slebor hari ini akan musnah bersama angin lalu!"
"He he he.;.! Boleh saja, boleh saja ngomong begitu. Ngomong memang mudah, kok," sahut Andika, mengejek.
"Akan kubuktikan omonganmu!" desis Ki Wedokmurko sambil membuka jurusnya.
Kedua tangan Manusia Pemuja Bulan mengembang ke muka. Kaki kirinya berada sedikit menyerong ke arah kanan, sementara kaki
kanan berada di belakang, sejajar pinggul.
"He he he.... Jurus kedok buntet kau perlihatkan, ya?" Ejek Andika disambut gerakan menyusur tanah sangat cepat sekali. Satu serbuan Manusia Pemuja Bulan yang mampu membuat Andika menjadi kalang kabut tak karuan. Karena, gerakan itu mengandung kekuatan penuh
dari satu jurus pembuka yang mematikan.
"Edan! Hebat juga jurusmu itu, Orang Jelek!" leceh Pendekar Slebor sambil melenting dan berputar dua kali di atas, dengan gerakan ringan manis sekali.
Mendadak saja Pendekar Slebor meluruk ke arah Manusia Pemuja Bulan, dengan satu gerak tipu. Namun gerakan Pendekar Slebor rupanya berhasil digagalkan Ki Wedokmurko hanya dengan satu sontekan kaki ke depan. Sehingga mau tak mau, Andika harus mengubah jurusnya lagi. Bahkan menarik pulang dengan satu hembusan napas.
"Gila!"
"Ha ha ha.... Kau akan merasakan, betapa bodohnya malam ini, karena berani menantang dan mengusik Manusia Pemuja Bulan!" seru Ki Wedokmurko sambil terus menyerang gencar.
Wuuuttt! Deb! Deb! "Hei ittt! Boleh, boleh! Boleh saja kau ngomong begitu! Tetapi sekarang kukatakan. Kalau kau merasa bodoh, ya jangan mengajak orang lain ikut bodoh, dong!" ejek Andika.Sambil berkata demikian, Pendekar Slebor memulai tubuhnya berkali-kali, bagai berlari menghindari serangan Manusia Pemuja Bulan. Padahal, gerak yang dilakukannya salah satu gerak tipuan yang telah dikembangkannya dari jurus 'Memapak Petir Membabibuta'. Bila lawan terbawa arus gerakannya, maka Pendekar Slebor secara mendadak akan menghentikan langkahnya.
Tubuhnya cepat merunduk. Lalu dengan pencalan satu kaki, dia melenting ke atas. Sementara tangannya siap menghantam kepala.
Namun lagi-lagi gerak tipu itu tidak membawa arti. Karena bukannya mengikuti gerakan Pendekar Slebor, Manusia Pemuja Bulan justru
memotong geraknya dalam satu gerak lurus membentuk serangan berputar.
'Mampuslah kau!"
Deb! "Hei ittt!"
Andika mengubah gerakannya dengan melompat kekiri.
"Kutukupret! Kodok bantet!"omeI Andika jengkel.
"Ha ha ha...! Kau sudah merasakan ketangguhan jurusku itu, bukan" Kini, bersiaplah menerima kembangannya dari jurus 'Dewa Bulan Menebar Cahaya'," ejek Ki Wedokmurko.
Andika tahu kalau jurus yang akan diperlihatkan Manusia Pemuja Bulan merupakan jurus tangguh.
"Kasih lihat deh! Dan kau juga akan melihat jurusku 'Dewa Bulan Menebar Kentut'!"
Dalam keadaan demikian, masih sempat-sempatnya Andika mengejek, membuat wajah Manusia Pemuja Bulan memerah. Tiba-tiba saja Ki Wedokmurko bergerak cepat, bagai gerakan terjun ke sungai. Jubah hitamnya mengembang.
Kedua tangannya yang tadi mengatup menjadi satu, kini membuka. Seolah dia sedang menebarkan sesuatu ke bawah.Benar saja! Pendekar Slebor merasakan getaran cukup kuat, yang seolah mengalir dari kedua tangan Manusia Pemuja Bulan. Dengan cepat tubuhnya berguling ke kanan. Namun, Manusia Pemuja Bulan terus mengejarnya.
"Edan! Aku bisa mampus kalau begini!" dengus Andika.Lalu mendadak saja Pendekar Slebor melompat ke atas, setelah sebelumnya bergulingan sekali lagi menghindari serangan. Begitu berdiri tegak, tatapannya menyipit dengan wajah dingin. Tetapi tetap saja tidak mengurangi kekonyolannya.
"Kalau begitu, baiklah.... Kini kau akan mendapatkan perlawanan yang hebat dariku! Tetapi..., he he he.. . Asalkan kau tidak membalas, aku pasti menang," kata Pendekar Slebor sambil tertawa, karena merasa lucu dengan ucapannya sendiri. Dan mendadak saja, Andika memutar kedua tangannya di atas. Kemudian perlahan-lahan dikerahkannya ajian "Guntur Selaksa' yang diciptakannya sendiri di Lembah Kutukan, dan secara tidak langsung adalah salah satu jurus warisan dari Pendekar Lembah Kutukan. Terlihat kalau sekujur tubuh Pendekar Slebor kini bagai dikelilingi sinar berwarna putih keperakan.
"Manusia Pemuja Bulan! Kita lihat, siapa yang digdaya!" bentak Pendekar Slebor, garang.
"Hhhh! Kau akan menyesali kenekatanmu ini, Pendekar Slebor!"
Lalu dengan kecepatan penuh, Manusia Pemuja Bulan menyerang. Begitu pula dengan Andika yang mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa'. Tubuhnya cepat bergerak memapaki.
Orang-orang yang memperhatikan pertarungan itu bergetar hatinya. Terutama, Sawedo yang kini sudah merasa dekat dengan Andika
yang dikenal sebagai Pendekar Slebor.
Des! Des! Des! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Dua kali benturan terjadi, menyusui dua buah tubuh yang terlontar deras ke belakang disertai jerit kesakitan.
Tubuh Pendekar Slebor tampak menabrak sebuah po-on. Begitu pula Ki Wedokmurko atau Manusia Pemuja Bulan. Keduanya sama-sama merasakan rasa sakit di dada masing-masing. Namun seketika mereka sudah tegak kembali.
Masing-masing membuka jurusnya. Ki Wedokmurko diam-diam menggeram dalam hati. Nama besar Pendekar Slebor memang cukup lama dikenalnya, sebagai pendekar muda yang memiliki kesaktian tinggi.
Akan tetapi, tokoh itu telah bertekad untuk memusnahkan pemuda berpakaian hijau pupus ini. Dan mendadak saja Manusia Pemuja
Bulan duduk bersila, dengan kedua tangan terkatup menjadi satu di dada.
Andika pun berbuat yang sama, sekaligus untuk memulihkan rasa sakit yang diderita. Pendekar Slebor melihat tubuh Manusia Pemuja
Bulan mengeluarkan asap. Dan mendadak saja, perlahan-lahan sekujur wajah Ki Wedokmurko teri hat memerah.
Namun yang membuat kening Pendekar Slebor berkerut, karena bagian bahu di lengan kanan Manusia Pemuja Bulan tidak terlihat warna merah.
Rupanya' Manusia Pemuja Bulan telah mengeluarkan ajian pamungkas yang belum sempurna betul. Ajian 'Unggulan Dewa' memang masih membutuhkan satu darah perawan lagi agar menjadi sempurna. Namun Manusia Pemuja Bulan berpikir, menghadapi Pendekar Slebor bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan bisa-bisa nyawanya sendiri akan terancam.
Kesempatan itu pun dipergunakan Ki Wedokmurko untuk memulihkan tenaga dalamnya. Karena dalam taraf kurang sempurna, ajian
'Ungulan Dewa' akan kurang kedahsyatannya. Meskipun, kepakan tangannya mampu menumbangkan sebuah pohon. Lantas, bagaimana bila sudah sangat sempurna" Cita-citanya untuk menjadi orang nomor satu di dunia persilatan pasti akan tercapai!
Lalu masih dalam keadaan bersila, Manusia Pemuja Bulan mengibaskan kedua tangannya ke muka.
Wesss. .! Andika merasakan hawa panas menderu kepadanya. Dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Brak!
Dan angin keras itu menghantam sebuah pohon hingga langsung tumbang.
"Gila!" seru Andika terkejut.
Pendekar Slebor lebih terkejut lagi ketika bagian tubuhnya bergerak, menimbulkan angin cukup keras. Andika merasa kelabakan juga. Sudah dua kali tubuhnya terdorong tenaga angin yang kuat, membuat dadanya terasa sakit. Bisa dibayangkan, bagaimana bila terkena pukulan atau tendangan itu secara langsung!
Namun mendadak saja Pendekar Slebor melayang dengan jurus 'Guntur Selaksa' tingkat tinggi. Bertepatan dengan itu, Ki Wedokmurko pun berbuat yang sama. Dua tubuh tampak melenting ke depan, lalu beradu dengan tenaga sakti penuh. Des! Duk! "Aaakh...!"
Dua benturan barusan menimbulkan sinar cukup menyilaukan, meskipun sesaat.
Satu sosok tubuh terlontar cepat ke belakang. Sedangkan satu lagi hanya mundur tiga tindak. Yang terlontar ternyata Pendekar Slebor. Sementara Manusia Pemuja Bulan hanya menggeram kecil. Dia memang hanya berani memapak dengan satu tangan saja. Karena, ajian 'Unggulan Dewa' belum menyerap ke lengan kanan bagian atas. Namun, hasilnya sungguh luar biasa!
Tubuh Pendekar Slebor melunc ur cukup jauh. Bisa dibayangkan kalau saja Manusia Pemuja Bulan telah menyempurnakan ajian 'Ungulan Dewa' ini, niscaya tubuh Pendekar Slebor akan hancur seketika. Pendekar Slebor berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit yang luar bisa di dada. Tubuhnya sedikit limbung. Ternyata ajian 'Guntur Selaksa' tak banyak gunanya!
Namun Pendekar Slebor melihat Manusia Pemuja Bulan memegang lengan kanan bagian atas. Nampaknya laki-laki berjubah hitam itu tengah menahan sakit yang luar biasa pula. Andika ingat. Sebelum terlontar tadi. kakinya masih sempat menendang bahu itu.
Manusia Pemuja Bulan mendengus. Rupanya baru kini dia merasakan sakit yang menyengat bahu kanannya. Diam-diam Pendekar Slebor terus memperhatikan, hingga tiba pada satu kesimpulan. Jelas bagian bahu kanan atas Manusia Pemuja Bulan yang tak berwarna merah seperti sekujur tubuhnya yang Iain adalah titik ke-lemahan dari ilmunya yang sangat dahsyat.
Andika pun menghimpun lagi tenaga saktinya. Kini dia siap memburu dan menggedor bahu bagian kanan Manusia Pemuja Bulan. Dan....
"Heaaa! Kini mampuslah kau, Manusia Pemuja Bulan!"Disertai tcriakan keras, Pendekar Slebor menerjang cepat ke depan. Namun
sebelum sempat menyarangkan pukulan sebuah bayangan berkelebat cepat menghantamnya. Des! Brak! "Heigkhhh!"
Bukannya Manusia Pemuja Bulan yang menjerit, justru Andika yang ambruk sebelum serangannya mengenai sasaran. Pendekar Slebor kontan pingsan karena mendapat bokongan keras.
"Ha ha ha...!"
Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.
"Kukira kau tidak akan muncul, Gembel Tua!"
Sosok bayangan yang baru datang itu mendengus.
"Lebih baik dia kita bunuh saja, sebelum seluruh rencana yang telah tersusun berantakan! Kau sudah menemukan harta Ki Seta?" kata sosok itu.
"Belum.... Tetapi, tak lama lagi."
Para penduduk di sana terkejut melihat Pendekar Slebor ambruk dan pingsan. Mereka pun berlarian keluar, ketika tubuh Pendekar
Slebor dibawa Manusia Pemuja Bulan, di kuti temannya yang barusan membokong. Siapa sebenarnya orang yang membokong Pendekar
Slebor" Harta apa yang disimpan Ki Seta" Di mana Mayang dan T ridarma berada saat ini" Kali ini, nasib Pendekar Slebor berada di ujung tanduk. Karena, kedua manusia keji itu sudah merencanakan untuk membunuhnya!

Bagaimana nasib Pendekar Slebor akhirnya" Ikuti
kelanjutan kisah ini dalam episode:
CINCIN BERLUMUR DARAH


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Neraka Di Keraton Barat --oo0oo-- Cincin Berlumur Darah


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers