Life is journey not a destinantion ...

Cincin Berlumur Darah

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Manusia Pemuja Bulan --oo0oo-- Dagelan Setan



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: CINCIN BERLUMURAN DARAH

CINCIN BERLUMUR DARAH
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor : Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor Dalam Episode :
Cincin Berlumur Darah

:|: 1 :|:

Pagi mulai menjelang. Suasana sejuk pagi ini mewarnai sebuah desa di sekitar Gunung Pengging. Para penduduk desa yang seharusnya dapat menikmati indahnya pagi, namun kini harus menghadapi satu kenyataan pahit setelah banyak tewas diserang ribuan tawon ganas, lupa, serangan dari manusia-manusia yang mengenakan pakaian dan topeng merah. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja Bulan").
Untunglah, ada seorang pendekar muda gagah perkasa yang telah menolong. Namun sayangnya, akibat suatu bokongan yang hebat, pendekar muda berpakaian hijau pupus yang berjuluk Pendekar Slebor pun harus pingsan.
Para penduduk yang melihat Pendekar Slebor dibawa pergi Manusia Pemuja Bulan dan kawannya yang membokong, hanya bisa menggeram marah. Mereka sendiri tidak menyangka kalau pendekar berwatak konyol yang selalu menyampirkan selembar kain bercorak catur di bahunya akan mendapatkan bokongan mematikan!
Seorang pemuda yang dikenal bernama Sawedo menggeram marah.
"Gila! Keadaan akan semakin gawat saja!" desis Sawedo.
"Kita harus segera mengikuti mereka."
"Sawedo, tahan!" seru seorang laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Dia tak lain Longgom.
"Jangan gegabah! Saat ini yang terbaik adalah menyingkir dari sini. Dengan kata lain, kita segera mengungsi."
"Maksud Paman Longgom bagaimana?" tanya Sawedo. Sawedo adalah anak muda berhati panasan, yang pernah menuduh Andika alias Pendekar Slebor telah melakukan serangkaian pembunuhan. Namun akhirnya dia sadar kalau ternyata semua itu bukanlah perbuatan Pendekar Slebor. Yang diyakini saat ini, semua petaka yang terjadi adalah perbuatan Ki Wedokmurko yang mengakui diri sebagai Manusia Pemuja Bulan. Longgom menghela napas panjang.
"Keadaan di sini benar-benar tidak menguntungkan sekarang. Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bulan, tentunya akan datang kembali ke sini. Mungkin pula, dia dan kawannya telah membunuh Andika. Jadi menurut hematku, lebih baik kita segera mengungsi dari sini."
Sawedo terdiam. Begitu pula orang-orang yang berada di sana. Apa yang dikatakan Longgom memang benar. Kalau saja Pendekar Slebor
dibunuh Manusia Pemuja Bulan dan kawannya, berarti tak ada lagi pembela mereka.
"Tidak!" sentak Sawedo tiba-tiba.
"Maaf, Paman Longgom. Bukan maksudku untuk menolak usulmu. Aku dan beberapa orang akan tetap berjaga-jaga di sini."
"Jangan bodoh!" sergah Longgom.
"Bisabisa kau hanya akan mengorbankan nyawa belaka. Sawedo!"
"Paman..., sudah kepalang basah. Semuanya sudah terjadi. Memang, lebih baik Paman dan kaum wanita serta anak-anak mengungsi dari desa ini. Tetapi aku akan tetap berada di sini, Paman. Bahkan kalau mungkin..., aku tetap akan mencari Andika," sahut Sawedo tegas.
"Meskipun tak memiliki kepandaian berarti, aku akan mencari manusia-manusia busuk itu! Aku lebih puas mati daripada dijajah seperti ini!"
Longgom hanya menghela napas saja. Bila menuruti kata hati, dia pun akan tetap bertahan di sini. Namun bila melihat jumlah para penduduk yang telah mati akibat keganasan Manusia Pemuja Bulan, sudah tentu Longgom tidak menghendaki lagi terjadinya pembantaian di desa ini.
"Baiklah, Sawedo.... Bila memang itu maumu, aku setuju. Tetapi, sama sekali aku tidak sudi menjadi pengecut. Bahkan itu pantang dalam falsafah hidupku. Namun sekarang, yang terpenting lagi adalah menyelamatkan nyawa para penduduk yang masih tersisa. Karena, tidak mustahil Manusia Pemuja Bulan dan kawannya akan datang lagi ke sini," desah Longgom.
"Baiklah, Paman. Kurasa, usul Paman memang benar. Baik! Sekarang juga kita kumpulkan para penduduk."
Lalu dibantu beberapa pemuda di sana, Sawedo dan Longgom mengumpulkan para penduduk. Tidak sulit untuk meyakinkan mereka sekarang, kalau Manusia Pemuja Bulan bukanlah orang baik. Yang lebih utama, dia bukanlah utusan Dewa Bulan. Karena, tak ada Dewa Bulan yang patut disembah. Tak ada Utusan Dewa Bulan. Menurut Pendekar Slebor, pasti Ki Wedokmurko itu mempunyai maksud tertentu, dengan cara memanfaatkan keluguan mereka. Buktinya, berkali-kali dia menipu para penduduk untuk meminta sesajen seorang dara perawan suci yang akan dipersembahkan kepada Dewa Bulan.
Para penduduk pun setuju ketika Longgom mengatakan mereka lebih baik mengungsi.
"Keadaan di sini kemungkinan besar akan semakin parah," papar Longgom.
"Akan semakin rata dengan tanah. Ketahuilah! Manusia Pemuja Bulan bukanlah seseorang yang patut dihormati. Dia adalah manusia bejat yang telah mengorbankan dara-dara perawan milik kita untuk kepentingannya sendiri. Jadi, lebih baik kita akan mengungsi dari sini."
Mereka bersorak setuju. Karena sesungguhnya mereka pun ngeri melihat musibah demi musibah yang datang. Sangat mengerikan sekali!
"Yah! Kita memang harus pindah dari sini, Longgom. Kau benar. Tetapi, ke manakah kita akan mengungsi?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun.
"Ki Purwa.... Aku sudah memikirkan soal itu masak-masak. Kita akan mengungsi ke Lembah Bunga. Di sana terdapat sebuah jeram yang
memang mengalirkan air sangat deras. Akan tetapi, aku telah menemukan jalan menuju ke sana.
Karena, di balik air terjun itu, terdapat sebuah gua yang cukup luas. Di sanalah kita akan mengungsi untuk sementara," jelas Longgom.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki Purwa menganggukkan kepala. Longgom menunggu, barang kali saja ada yang hendak bertanya kembali. Tetapi, sampai sejauh ini tak ada yang bertanya.
Lalu Longgom pun segera memerintahkan mereka untuk membawa barang-barang yang diperlukan. Yang sangat pokok, adalah bahan makanan.

***

Tanah di sekitar Gunung Pengging sepi.
Kalau dulu, setiap malam Jumat selalu ada upacara memuja bulan, tetapi kini hanya kosong belaka. Angin di sana berhembus begitu keras. Dingin menusuk tulang.
Mendadak saja, disela-sela keheningan malam dari tempat itu dua sosok tubuh berkelebat, dan hinggap di tempat itu.
Keduanya mengedarkan pandangan sebentar. Seolah mencari manusia di sana. Setelah tak melihat seorang pun berada di sana, mereka tersenyum
puas. Rembulan yang bersinar penuh, menerangi keduanya. Yang seorang berwajah mirip seekor kera. Dia memakai ikat kepala bergambarkan wajah kera yang buas. Tubuh terbungkus pakaian merah. Yang seorang lagi, bertubuh agak kurus. Kedua tandan lebih panjang dari ukuran tangan biasa. Dia mengenakan pakaian hitam dengan kain bersilangan di dada. Ketika diperhatikan dengan seksama, yang menarik adalah lelaki sebelah kanannya. Karena yang sebelah kanan terbuat dari sebatang besi tajam, mulai dari dengkul. Sedangkan kaki yang satu lagi seperti kaki yang sewajarnya.
"Inikah kesempatan kita untuk mencari mayat Ki Seta, Sudongdong!" kata laki-laki berpakaian hitam.
"Layan! Yakinkah kau kalau harta itu sebenarnya ada di tubuh Ki Seta sendiri?" tanya la-ki-laki berwajah kera yang dipanggil Sudongdong.
Laki-laki berpakaian hitam yang bernama Layan menganggukkan kepala. Memang sebenarnya, kedua orang ini adalah dua tokoh hitam. Sudongdong berjuluk si Kera Sakti, sedang Layan berjuluk Setan Kaki Besi.
Dan bila mereka datang ke Gunung Pengging ini, pasti ada maksud tertentu.
"Yah! Telah lama sebenarnya kuikuti kabar tentang Ki Seta. Tak seorang pun yang tahu tentang dirinya, kecuali guruku bernama Resi Anggada. Karena, dia adalah adik seperguruan Ki Seta di Gunung Rinjani. Konon, kakak adik seperguruan itu berguru pada Eyang Megatantra alias Malaikat Hati Emas, yang kesaktiannya tak ada duanya di dunia ini," tutur Layan.
Sebentar Layan terdiam, seperti berusaha mengingat-ingat apa yang diketahuinya.
"Sebelum ajalnya. Eyang Megatantra memberikan kepada Ki Seta dan guruku, masingmasing sebuah benda pusaka. Resi Anggada,
mendapatkan sebuah kalung yang sangat ampuh, karena, memiliki kekuatan gaib aneh. Kalung itu mampu menyedot tenaga lawan tanpa terlihat dan tanpa disadari. Saat itulah, biasanya guruku menghabisi lawannya. Begitu mudahnya untuk menjatuhkan lawan," lanjut Layan menjelaskan.
"Lalu apa yang diberikan Eyang Megatantra pada Ki Seta?" tanya Sudongdong.
"Sebuah cincin bermata biru," sahut Layan.
"Itukah harta yang disimpan Ki Seta?" cecar Sudongdong dengan pandangan terbelalak.
"Hanya sebuah cincin" Sialan! Hanya sebuah cincin saja dikatakan sebagai harta yang tak ternilai harganya! Kau ini rupanya sangat bodoh, Layan!
Rasanya, sia-sia aku bersahabat denganmu selama ini!"
"Jangan sembarangan ngomong!" dengus Layan mendengar kata-kata Sudongdong yang meremehkannya.
"Cincin bermata biru itu bukanlah sembarang cincin. Dengan cincin itu, kita tak hanya mampu memindahkan tenaga lawan ke tubuh kita. Tetapi, tenaga hewan, tumbuhan, apa saja yang dikehendaki dapat dimiliki hanya sekali mengarahkan cincin itu pada sasaran."
"Gila!" desis Sudongdong, kagum.
"Bisa-bisa, tanpa berlatih pun, kita akan memiliki tenaga dalam dan kesaktian yang tinggi."
"Makanya, jangan sembarang ngomong!" sungut Lanyan kesal.
"Kau ini memang seringkali meremehkan orang" Nah! Katakan sekarang, apakah kau merasa aku bodoh, hah?"
Sudongdong hanya mengibaskan tangannya saja.
"Lalu, di mana cincin pusaka itu berada?" tanya lelaki berwajah kera ini.
"Menurut cerita guruku sebelum mati, dia iri dengan keberuntungan Ki Seta. Karena, cincin pusaka milik Ki Seta mampu mengambil dan memindahkan tenaga dalam siapa saja yang bisa dialirkan ke tubuhnya hingga, tenaga dalamnya semakin kuat. Sedangkan kalung pusaka yang didapatkan guruku, hanya mampu menguras tenaga dalam lawan saja. Itulah yang menyerahkan guruku menjadi iri. Karena, dia serakah!" jelas Layan. Sudongdong mendengus.
"Kau sendiri serakah!"
"Aku kan muridnya!"
"Sialan! Lalu?"
"Terjadilah perkelahian hebat antara Ki Seta dengan guruku, tanpa ada yang kalah. Memang, perkelahian di antara mereka sangat wajar, karena tidak menggunakan bendabenda pusaka itu. Mereka bertarung menggunakan ilmu-ilmu yang diajarkan Eyang Megatantra," jelas Layan sambil memperhatikan sinar mata Sudongdong yang sudah memperlihatkan ketertarikannya.
"Lalu benda-benda pusaka itu?" desak Sudongdong.
"Dijadikan sebagai taruhan. Yang menang, maka akan mendapatkan benda-benda pusaka itu," jawab Layan.
"Gila! Salah seorang bisa berkhianat kalau begitu!"
"Tetapi pertarungan itu berjalan sangat jujur."
"Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Karena keduanya memiliki kesaktian sama, maka akhirnya pertarungan itu pun berjalan berimbang. Ketika mereka melakukannya lagi, hal yang sama tetap terjadi. Hingga akhirnya dipu-tuskan, tak ada yang berhak memiliki benda-benda pusaka itu. Karena...."
"Bodoh!" potong Sudongdong.
"Lalu dike-manakan benda-benda pusaka itu?"
"Mereka memang memiliki otak tidak waras. Kalau guruku termasuk orang jahat, namun hatinya jujur. Ketika Ki Seta menginginkan kedua benda pusaka itu ditelan oleh masing-masing pe-miliknya, dia pun setuju. Ki Seta menelan cincin pusaka, sedangkan guruku menelan kalung pusaka. Dan keanehan pun terjadi. Mendadak saja, keduanya menjadi lumpuh. Seluruh tenaga dalam yang mereka miliki hilang. Begitu pula kesaktian mereka. Jangankan memikirkan soal itu, menggerakkan tangan saja keduanya tidak mampu."
"Gila! Bagaimana gurumu bisa menurunkan ilmunya kepadamu?"
Layan tertawa. Suaranya keras, memecah keheningan malam.
"Mudah saja, karena otakku cerdik. Meskipun guruku tak memiliki tenaga dalam dan kesaktian lagi, namun pikiranku masih waras. Seluruh ilmu kesaktian yang pernah dipelajari masih diingatnya. Meskipun, semuanya telah musnah.
Aku beruntung bertemu dengannya dua puluh tahun yang lalu. Memang, selama ini aku mengabdi sekaligus merawatnya. Sehingga, akhirnya aku mengetahui dari cerita guruku sendiri kalau dulu memiliki kesaktian yang tiada banding. Kecuali, tentunya hanya bisa ditandingi oleh kesaktian Ki Seta.
Dengan hanya memberikan petunjuk kepadaku melalui mulut, dia pun menurunkan ilmunya kepadaku. Kau lihat hasilnya. Aku kini menjadi manusia sakti sekalung!"
Sudongdong mendengus, walaupun mengakui kecerdikan otak Setan Kaki Besi yang berhasil mendapatkan ilmu-ilmu sakti gurunya.
"Layan!" sahut Sudongdong tiba-tiba.
"Dari siapa kini mengetahui cerita tentang dua harta pusaka itu?"
"Guruku sendiri. Kenapa?"
"Bodoh! Di mana gurumu itu" Bukankah dia telah menelan kalung pusaka?"
"Ya."
"Bodoh! Bodoh! Kita harus mengambilnya! Kita harus menggali kuburannya, seperti yang akan kita lakukan pada Ki Seta!" ujar Sudongdong berjingkat-jingkat.
Layan mendengus jengkel.
"Kalau aku tahu di mana mayatnya, tanpa mengusikmu aku sudah melakukannya!!"
"Di mana mayatnya?"
"Setelah menceritakan semua ini kepadaku, Resi Anggada melompat ke dalam jurang yang sangat dalam, di sebelah utara Gunung Rinjani.
Nah! Apakah kau mau mencoba mengorbankan nyawamu sendiri untuk mencari kalung pusaka itu, hah"! Kalau aku sudah tentu tidak. Karena..., hahaha.... Aku masih suka perempuan-perempuan montok untuk kugeluti di kasur!"
Sudongdong mengibaskan tangannya.
"Sudahlah, jangan melecehkan aku! Hanya sangat disayangkan, kalung pusaka itu. Padahal benda langka itu membuat kita akan disegani
kawan maupun lawan."
"Tetapi, hanya satu yang bisa kita dapatkan sekarang. Cincin sakti di tubuh Ki Seta."
"Bagus! Sekarang, kita cari di mana mayat Ki Seta dikuburkan!!"
Lalu mereka segera berkelebat di tengah kegelapan malam. Masing-masing membuka mata lebih lebar lagi. Karena, harta yang dirahasiakan Ki Seta adalah cincin pusaka yang seperti diceri-takan Layan atau Setan Kaki Besi.

***

:|: 2 :|:

Dua sosok tubuh berkelebat menembus keremangan malam. Rembulan di atas sana tak kuasa memancarkan sinarnya ke persada, karena
terhalang gumpalan awan hitam.
Salah satu sosok yang berkelebat, mengenakan jubah berwarna hitam. Dia memanggul satu sosok tubuh yang agaknya pingsan. Sementara
di sebelahnya berlari seorang lelaki bertelanjang dada. Kedua sosok yang ternyata dua orang lelaki itu menghentikan larinya, ketika telah tiba beberapa tombak di depan sebuah gua yang tertutup semak-semak dan tumbuhan merambat.
"Gembel tua! Di sinikah gua yang kau maksudkan?" tanya lelaki berjubah hitam.
"Benar, Wedokmurko," sahut lelaki bertelanjang dada yang dipanggil Gembel Tua.
Tanpa banyak cakap lagi mereka memasuki gua. Jika tak mengenal betul daerah ini, tak akan ada yang mengira di sini ada sebuah gua.
Mereka terus melangkah memasuki gua yang semakin lama semakin melebar. Ada beberapa obor dari getah pohon jarak yang menerangi gua itu didalamnya. Diruangan yang paling luas, lelaki berjubah hitam yang memang Wedokmurko terbahakbahak sambil berputar. Sementara sosok yang pingsan itu masih berada di bahunya.
"Hm... Tak jauh berbeda dengan gua yang kutempati selama ini! Hhh! Gara-gara Pendekar Busuk ini seluruh rencanaku gagal!" desis Ki Wedokmurko yang dikenal sebagai Manusia Pemuja Bulan sambil membanting sosok pingsan, berpakaian hijau pupus. Suara Manusia Pemuja Bulan yang keras membangunkan satu sosok tubuh ramping berambut panjang yang tidur di ruang lain. Dia terkurung oleh tonggak-tonggak besi yang membuatnya tak bisa keluar. Memang, sosok yang tak lain seorang gadis itu sedang dipenjara. Dan ketika mendengar suara ribut-ribut, dia mengetahui kalau ada yang datang ke sini.
"Wedokmurko! Ini adalah kesempatan kita untuk membunuh Pendekar Slebor. Bila dia masih hidup, maka seluruh rencana kita akan gagal"
ujar Gembel Tua.
"Kau benar. Gembel Tua! Hhh! Kita memang telah sepakat sejak lama. Kalau aku mendapat dan mempelajari ajian 'Unggulan Dewa' kau mendapatkan cincin pusaka.
Tetapi sekarang, gara-gara Pendekar Slebor, rencana kita hampir gagal. Gembel Tua! Aku hanya membutuhkan seorang darah perawan lagi, maka seluruh ajian 'Unggulan Dewa' yang kupelajari akan sempurna.
Kau tahu sendiri bukan, aku telah banyak mengeluarkan tenaga untuk menghancurkan Pendekar Slebor. Yang membuatku muak, dia ternyata tahu kelemahanku. Karena ajian 'Unggulan Dewa' belum sempurna kupelajari, sehingga bahuku sebelah kanan tidak memancarkan sinar merah. Untungnya, kau datang dan langsung membokong Pendekar Slebor," papar Manusia Pemuja Bulan.
Kata-kata Manusia Pemuja Bulan membuat sosok ramping yang berada dalam penjara itu tersentak. Yah, dia tahu sekarang. Orang yang berbicara memang Manusia Pemuja Bulan. Lalu, apa yang dikatakannya tadi" Pendekar Slebor"
Benarkah Pendekar Slebor dalam keadaan pingsan dan sekarang berada di dalam kekuasaan mereka" Dan, apakah mereka bermaksud membunuhnya"
"Hanya seorang dara perawan bukanlah suatu masalah yang sulit." kata Gembel Tua.
"Maksudmu?" tanya Ki Wedokmurko.
Gembel Tua tersenyum.
"Saat ini, aku pun memiliki seorang dara perawan yang bisa dikorbankan untuk menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa'."
"Mana dia" Mana?" desak Ki Wedokmurko tidak sabar.
Gembel Tua tersenyum lagi.
"Tadi kukatakan, masalah itu tidak sulit. Yang sulit sekarang, sudahkah kau mendapatkan di mana harta Ki Seta berada?" tukas Gembel Tua. Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bulan menggelengkan kepala.
"Sayangnya, aku tidak tahu di mana harta Ki Seta yang berupa cincin pusaka itu," keluh Manusia Pemuja Bulan.
Mendengar kata-kata itu. Gembel Tua bukannya marah, justru tersenyum.
"Wedokmurko! Kau telah mendapatkan ajian 'Unggulan Dewa' dari sebuah kitab yang tak sengaja kita temukan. Kini, tibalah saatnya giliranku untuk mendapatkan cincin pusaka itu," ujar Gembel Tua sambil tersenyum penuh arti.
"Hei" Kau sudah tahu harta Ki Seta itu?" tanya Ki Wedokmurko.
Sementara satu sosok tubuh yang mendengarkan pembicaraan itu pun tersentak. Harta Ki Seta" Cincin pusaka" Telinganya pun dibuka
lebar-lebar untuk mendengarkan pembicaraan selanjutnya. Karena hal ini sangat menarik hatinya, terlalu sayang bila dilewatkan. Gembel Tua mengangguk.
"Kau tahu, di mana Ki Seta dimakamkan?" Gembel Tua malah balik bertanya.
"Ya"
"Antar aku ke sana."
"Untuk apa?"
"Karena, di perut Ki Seta-lah cincin pusaka itu berada."

***

Untuk sesaat Ki Wedokmurko terdiam.
"Tololnya aku!" bentak Manusia Pemuja Bulan sambil menepuk kepalanya.
"Rupanya harta itu berada di depan mataku!"
"Kau terkadang memang tolol!" sindir Gembel Tua.
"Tetapi yang perlu kau ketahui sekarang ini, rahasia tentang harta Ki Seta yang berupa cincin pusaka itu telah terdengar orang-orang rimba persilatan. Dan dugaanku, dalam waktu singkat saja, maka akan bermunculan mereka. Di mana mayat Ki Seta dimakamkan?"
"Di lereng Gunung Pengging sebelah timur."
"Hmm.... Wedokmurko! Kita harus secepatnya tiba di sana lebih dulu. Menggali makamnya dan membelah mayatnya," ujar Gembel Tua.
"Jangan khawatir! Kita akan mendapatkan semua yang kita inginkan. Kini, tibalah giliranmu untuk mendapatkan cincin pusaka itu...," sahut Ki Wedokmurko sambil menepuk-nepuk bahu kawannya.
"Kapan kita akan mencarinya?"
"Kalau perlu, malam ini juga. Karena, lebih cepat lebih baik. Apalagi kau katakan tadi, orang-orang rimba persilatan sudah mengetahui tentang cincin pusaka yang berada di dalam tubuh Ki Se-ta."
"Bagus! Lalu bagaimana dengan pendekar tengil itu?"
Ki Wedokmurko terbahak-bahak "Mudah saja. Bunuh sekarang juga!"
Gembel Tua pun ikut terbahak-bahak. Sementara satu sosok yang mendengarkan tentang rahasia harta Ki Seta, menghela napas panjang.

***

"Bangsat! Di mana letak makam itu?" rutuk Sudongdong, setelah sekian lama mencari tak ju-ga menemukan makam Ki Seta.
"Hei, Layan.... Yakinkah kau kalau makam itu berada di sekitar lereng Gunung Pengging ini?"
Layan alias Setan Kaki Besi itu mengangguk.
"Hal itu tak diragukan lagi. Tetapi tidak usah ribut-ribut karena sebentar lagi kita pasti akan menemukannya!" ujar Layan.
Belum lagi Sudongdong menyahuti katakata Setan Kaki Besi....
"Hik hik hik.... Rupanya sudah ada dua keroco tak berguna yang menginginkan cincin pusaka itu!"
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh, melengking di keremangan malam.
Keduanya tersentak dan seketika mengangkat kepala. Di ranting sebuah pohon besar tampak duduk tenang satu sosok tubuh sambil
mengayun-ayunkan kedua kakinya yang menjuntai. Sikap duduk begitu ringan sambil mengayunayunkan tubuhnya di ranting sekecil itu. Dalam sekali lihat saja, sudah bisa ditebak kalau wanita tua dengan rambut digelung ke atas itu bukanlah orang sembarangan.
"Camar Hitam...!" desis Ki Wedokmurko dan Gembel tua, berbareng.
Mereka mengenal wanita itu, yaitu sebagai Camar Hitam, seorang tokoh golongan hitam yang merajai daerah selatan.
Tetapi bagi Sudongdong dan Layan, sama sekali tidak merasa gentar. Bahkan mereka sudah mengepalkan kedua tangan. Hati mereka panas melihat sikap si Camar Hitam. Sudongdong rupanya masih bisa menyembunyikan kemarahannya.
"Tak kusangka..., rupanya orang selatan pun hijrah ke daerah barat ini," kata Sudongdong, sambil tertawa.
"Monyet busuk! Apakah kau pikir aku akan berdiam diri di tempatku saja, hah"!" bentak Camar Hitam sambil terkikik.
Wajah Camar Hitam yang tirus penuh keriput. Pakaiannya berwarna keperakan. Di tangan kanannya terpegang sebatang tongkat yang nampak kusam.
"Lalu, untuk apa kau datang ke sini, hah"!" tanya Sudongdong balik membentak.
"Hik hik hik.... Rupanya otakmu sama persis dengan wajahmu itu, Sudongdong! Telingaku masih tajam untuk mendengar tentang cincin pusaka yang diributkan orang! Hhh! Apakah kedatangan kalian di tempat ini untuk merebut benda yang sama?"
Layan yang berjuluk Setan Kaki Besi, tak bisa menguasai amarahnya.
"Camar Hitam! Selama ini, kupandang kau sebagai tokoh hitam nomor satu di selatan! Tetapi sekarang, malam ini sikapmu yang memuakkan itu telah membuat kemarahanku naik!"
Mendengar bentakan yang bernada ancaman bukannya membuat Camar Hitam jeri, justru makin terkikik-kikik. Suaranya mirip kuntilanak yang sedang mencari bayi!
"Hebat! Hebat sekali kata-katamu itu, Layan! Kau memang patut dijuluki Setan Kaki Besi! Tetapi..., hmmm. Rasanya, lebih baik mulai malam ini juga julukanmu itu aku ganti, menjadi Setan Tanpa Kaki!"
"Keparat!"
Layan langsung mengibaskan tangannya ke arah Camar Hitam.
Srrrttt! Serangkum angin keras menderu ke arah nenek itu. Tetapi tanpa berpindah dari tempat duduknya di ranting yang kecil, Camar Hitam menggerakkan tangan kanannya yang memegang tongkat. Teb! Teb! Teb! Tiga buah daun putus karena ayunan tongkat Camar Hitam langsung meluncur ke arah Layan. Siiing! Siiing! Siiing!
Dua buah daun yang telah dialirkan tenaga sakti, menghalau angin keras yang dilontarkan Setan Kaki Besi. Sementara sehelai daun lagi meluncur deras ke arah kaki kiri Layan. Layan menggeram sambil melenting ke samping.
"Anjing peot!" maki laki-laki itu begitu hinggap di tanah.
"Hikhikhik.... Lumayan, lumayan kehebatanmu itu, Layan. Kau memang masih pantas untuk diperhitungkan. Cuma, sayang. Malam ini,
namamu akan terkubur di lereng Gunung Pengging!" Layan sudah tidak mampu lagi menguasai amarahnya. Namun sebelum berbuat
apa-apa....
"Camar Hitam...!" sela Sudongdong.
"Kehebatanmu memang tak perlu disangsikan lagi. Tetapi, bagaimana kalau kita sama-sama mencari mayat Ki Seta dan mendapatkan cincin pusaka itu?"
"Hmmm.... Boleh juga akal licikmu itu, Sudongdong. Kau memang sangat terkenal karena kelicikanmu. Bila aku sudah menemukan di mana mayat Ki Seta, lalu kau akan membokongku" Hik hik hik.... Hebat, hebat sekali!" tukas Camar Hitam.
"Bukan itu maksudku. Setelah mendapatkan mayat Ki Seta, kita akan mencari cincin pusaka itu. Karena menurutku, aku masih menyangsikan kalau cincin pusaka itu berada di dalam tubuh Ki Seta," jelas Sudongdong sudah mengeluarkan akal bulusnya.
Lelaki berwajah tirus itu tahu. Camar Hitam adalah orang yang mudah terpengaruh meskipun kesaktiannya teramat tinggi. Paling tidak, harapan Sudongdong, bila semua itu terlaksana memang akan membokongnya. Wajahnya tadi sempat memerah ketika Camar Hitam mampu menebak maksudnya. Tetapi dia adalah orang licik, yang akan menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan maksudnya.
"Permainan seperti itu tak patut diberikan kepadaku. Sudongdong. Sudah tentu cincin pusaka itu berada di perut Ki Seta," kata Camar Hitam. Sudongdong tertawa meremehkan, memancing rasa penasaran Camar Hitam.
"Tak kusangka, orang yang ditakuti di selatan ternyata percaya kabar burung. Bahkan lang- sung percaya kalau dikatakan cincin pusaka itu
berada di tubuh Ki Seta. Sayang sekali. Padahal seharusnya, harus dibuktikan dulu. Mencari mayat Ki Seta, sekaligus membuktikan apakah
cincin pusaka itu benar-benar berada di dalam tubuhnya. Camar Hitam terdiam. Sudongdong tahu kalau nenek sakti itu telah terpengaruh katakatanya.
"Camar Hitam! Dalam dunia persilatan ini, orang yang paling sakti maka dialah yang akan menang. Nah! Apakah kau masih khawatir aku
dan Layan membokongmu bila sudah menemukan cincin pusaka itu" Jelas tidak mungkin itu kami lakukan. Karena kami tahu akan kesaktianmu. Kami tidak akan mampu melawanmu meskipun berdua. Tetapi, jangan lupa. Itu pun kalau memang cincin pusaka itu berada di perut Ki Seta." lanjut Sudongdong.
Camar Hitam semakin terdiam, mulai termakan kata-kata Sudongdong.
"Hhh! Tidak mungkin kalau cincin pusaka itu tidak ada di perut Ki Seta! Lantas, untuk apa kau dan Setan Kaki Besi mendatangi tempat ini,
kalau bukan untuk memburu mayat Ki Seta, hah"!" dengus Camar Hitam.
"Karena, kami masih ingin membuktikan berita burung itu. Apakah kau tidak malu, nama besarmu sebagai tokoh di selatan akan ditertawakan orang-orang rimba persilatan"
Kau susah payah mendatangi wilayah barat ini hanya untuk menelan kebodohan. Karena, rupanya kabar tentang cincin pusaka itu hanyalah kabar burung" Sangat disayangkan!"
Camar Hitam sudah benar-benar terkena ucapan si Kera Sakti. Ia benar-benar orang bodoh, tak mempergunakan otaknya. Segala sesuatunya hanya ditekankan pada kesaktiannya saja.
"Tetapi, siapakah yang berhak mendapatkan cincin pusaka itu bila memang ternyata benar berada di perut Ki Seta?" tanya Camar Hitam.
"Ha ha ha...! Bagaimana mungkin kau bisa langsung yakin cincin itu berada di perut Ki Seta"
Hah"! Apakah kau melihatnya dia menelan cincin itu" Jangan bodoh, Camar Hitam!" tukas Sudongdong. Kata-kata Sudongdong yang
mengandung bujukan itu kini dimakan bulat-bulat oleh Camar Hitam. Dan tiba-tiba dia melompat dengan satu gerakan ringan manis sekali, lalu hinggap di tanah bagaikan sehelai kapas yang dipermainkan angin dengan mata menatap nyalang.
"Aku menurut kata-katamu. Tetapi bila kalian membokongku, tak akan pernah kubiarkan hidup!" ancam Camar Hitam.
Sudongdong terbahak-bahak. Pertama, untuk menutupi kekhawatirannya akan ancaman Camar Hitam. Kedua, menertawakan kata-kata
Camar Hitam sendiri.
Kalaupun dia akan membokongnya nanti, sudah bisa dipastikan si Camar Hitam akan menjadi mayat. Dan, lelaki berwajah kera itu memang berniat melakukannya.
"Camar Hitam! Tadi pun kukatakan, apakah aku dan Setan Kaki Besi akan mampu menghadapi kesaktianmu?" tukas Sudongdong penuh sanjungan.
"Kami merasa kecil di hadapanmu. Dan lagi, kami cukup gentar mendengar ancaman itu. Sehingga, kami tidak berani mencoba-coba
melakukannya. Kami harus menggunakan otak untuk melakukannya!"
Camar Hitam kali ini bukan hanya menelan bulat-bulat kata-kata Sudongdong yang berbi-sa, bahkan tersenyum sumringah mendengar pujian itu.
"Yah, kalian memang tak ada apa-apanya dibanding kesaktianku!" kata Camar Hitam dengan dagu terangkat
"Nah! Kau sendiri yakin, akan mampu mengalahkan kami...?"
"Sudah, sudah! Sekarang jangan banyak mulut! Kita cari di mana makam Ki Seta!"
Sudongdong tertawa puas. Layan pun tertawa dalam hati, memuji kepintaran Sudongdong untuk menghasut sekaligus membujuk Camar Hitam. Karena dia pun yakin, meskipun berdua akan menyerang Camar Hitam, belum tentu akan
mampu menaklukkannya.

***

:|: 3 :|:

Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas melihat tubuh Pendekar Slebor yang telah terikat dengan rantai besi yang besar dan kuat. Di leher pendekar urakan itu melilit seutas tali besar, yang sangat menyulitkan untuk meloloskan diri. Karena bila Andika bergerak, maka tali yang
melilit lehernya akan semakin mengencang.
Si Gembel Tua yang telah mengambil seember air, segera menyiramkannya ke tubuh Andika berkali-kali. Seketika, pemuda pewaris il-mu Lembah Kutukan itu gelagapan dan basah kuyup. Sebelumnya tadi, dia telah mengobati tubuh Andika yang dibokongnya.
Mata Pendekar Slebor mengerjap-ngerjap. Seluruh tubuhnya terasa sakit luar bisa. Dan alangkah terkejutnya Andika ketika merasa sulit saat menggerakkan kedua tangan dan kakinya. Rasa sakit pun sangat terasa, ketika lehernya bergerak.
"Ha ha ha.... Pendekar Slebor..., selamat bertemu kembali...," kata Manusia Pemuja Bulan.
Telinga Andika sayup-sayup mendengar kata-kata itu. Lalu penglihatannya ditajamkan. Dan dilihatnya dua sosok tubuh sudah menatapnya dengan dingin.
"Apakah kau merasa mampu melepaskan dirimu sekarang, Pendekar Slebor?" ejek Manusia Pemuja Bulan.
"Sudah kukatakan, kau akan mampus karena terlalu lancang mencampuri segala urusanku!"
Andika tersenyum. Meskipun sekujur tubuhnya masih terasa lemas, namun pikirannya sudah bekerja. Pendekar Slebor pun tak heran
melihat sosok di sebelah Manusia Pemuja Bulan yang menatapnya dengan sinis.
"He he he...! Tridarma..., kita bertemu la-gi...," kata Andika, kalem.
Gembel Tua yang tak lain Tridarma tersenyum mengejek "Sekarang, kau tahu siapa aku, bukan?" kata Tridarma. Sikapnya sangat pongah. Andika nyengir.
"Dari semula juga aku tahu, kalau kau bukan pelayan Eyang Ki Saptacakra. Mana ada sih, penghuni Lembah Kutukan kurus kerempeng seperti itu!" cerocos Andika.
Memang, sebelumnya Andika tertipu tingkah laku Tridarma yang mengaku sebagai bekas pelayan Ki Saptacakra, Pendekar Lembah Kutukan beberapa puluh tahun yang lalu. Bersama Andika, dia pun saat itu ikut mencari Manusia Pemuja Bulan. Dan sekarang, tak tahunya lakilaki berusia delapan puluh lima tahun yang tak mengenakan baju itu adalah musuh dalam selimut (Untuk lebih jelasnya, silakan baca episode : "Manusia Pemuja Bulan").
Wajah Tridarma memerah.
"Andika... Tak pernah kusangka kalau pendekar muda yang namanya sangat tersohor itu dapat tertipu oleh sebuah sandiwara kecil!"
ejek Tridarma lagi.
"He he he...! Namanya juga kan manusia. Terkadang suka lupa dan khilaf, kan?" sambut Andika enteng.
"Tetapi ya..., sebenarnya aku juga sudah curiga. Hanya saja, aku sengaja membiar-kanmu merasa bangga karena kau mampu menipu pendekar ganteng dan hebat yang gagah ini,"
"Kau bodoh!" desis Tridarma.
"Lumayan pujian itu," kata Andika enteng.
Tridarma tersenyum mengejek.
"Kau memang sle-bor! Pantas julukan Pendekar Slebor itu untuk- mu!"
"Lumayan buat makan nasi, sih!" sahut Andika lagi. Tetap dengan gayanya yang urakan, "Eh! Apakah kalian sudah yakin, dengan kekuatan rantai dan tali besar ini?"
Justru wajah Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bulan yang memerah sekarang. Dia merasa diejek dengan kata-kata Pendekar Slebor.
"Kau sudah tak berdaya, Pendekar Slebor! Jangan banyak tingkah sekarang!" bentak Manusia Pemuja Bulan.
"He he he....! Aku hanya tanya saja, kok. Boleh, kan?" tukas Andika sambil memperkirakan kekuatan rantai dan tali besar itu. Pendekar Slebor yakin, rantai dan tali besar itu sudah dialiri tenaga dalam kuat oleh Manusia Pemuja Bulan. Diam-diam hatinya menyesali kebodohannya, ketika Tridarma mengaku pelayan Ki Saptacakra. Andika baru menyadari kalau Tridarma adalah musuh dalam selimut, ketika mencari Mayang, gadis desa yang hendak dikorbankan untuk Dewa Bulan. Keselamatan Mayang waktu itu dititipkan pada Tridarma. Dan ternyata, gadis itu tidak ada di tempat semula. Dan satu alasan lagi yang membuatnya semakin yakin kalau Tridarma adalah kawan Manusia Pemuja Bulan, ketika penduduk yang bermukim di sekitar lereng gunung Pengging diserbu ribuan tawon. Saat itu, Tridarma
mengatakan kalau ribuan tawon telah menyerang desa di lereng Gunung Pengging.
Padahal pada saat yang sama Andika pun menajamkan telinganya, namun tak mendengar apa-apa.
Lagi-lagi Andika menyadari kebodohannya, karena telah ditipu Tridarma. Dia yakin, sebenarnya Tridarma sudah tahu kalau hari itu Manusia
Pemuja Bulan akan mengeluarkan tawon-tawon ganasnya. Dan yang terpenting lagi, ketika Andika hendak mengorek keterangan salah seorang manusia berpakaian dan bertopeng merah yang diketahui sebagai anak buah Manusia Pemuja Bulan.
Namun tahu-tahu saja Tridarma muncul dan langsung membunuhnya (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja Bulan").
"Rupanya, Pendekar Slebor adalah orang bodoh!" ejek Tridarma
"Kalau kau iri dengan kecerdikanku, seharusnya jangan mengatakan aku bodoh, dong," sergah Andika.
"Nah.... Biasanya memang begitu. Orang bodoh suka mengaku pintar, dan enak saja mengatakan orang lain yang bodoh. Seperti kalian ini yang seharusnya.... . eagghhkkkhh!"
Sebuah pukulan keras telah menghantam perut Andika.
"Jangan banyak cincong! Nyawamu sudah di ujung Muluk!" bentak Tridarma.
Andika masih nyengir saja.
"Lumayan, memang aku sedang pegal!"
"Bangsat!"
Dengan geram Tridarma kembali melancarkan pukulan ke sekujur tubuh Andika. Meskipun Andika sudah mengeluarkan tenaga dalamnya, namun dalam keadaan tak berdaya seperti itu harus merasakan sakit juga "Mampuslah kau. Pendekar Slebor!" dengus Tridarma sambil menendang wajah Andika.
Duk! Wajah Pendekar Slebor langsung berbelok ke kiri. Bukan sakit akibat tendangan, melainkan karena ikatan tali pada lehernya. Tetapi dasar bandel. Andika cuma tersenyum-senyum saja.
"Yah...! Lumayan tenagamu. Tridarma. Cukup untuk mengocok kue apem yang banyak di jual di pasar!"
Tridarma hendak mengayunkan tangannya kembali, tetapi sudah ditahan Manusia Pemuja Bulan.
"Biarkan manusia ini ngoceh terus menerus sampai berbusa. Sekarang, kita tinggalkan sa-ja dia di sini!" ujar Ki Wedokmurko.
"Tidak! Aku ingin melihat sampai di mana kekuatannya"!" tolak Tridarma, tegas.
"Biarkan saja dia berbuat semaunya! Toh, aku tidak bisa melawannya, bukan" Hei, jubah hitam jelek! Apakah kau tidak ingin memukulku
juga?" sahut Pendekar Slebor, sambil tertawa.
Mendengar tantangan itu, wajah Manusia Pemuja Bulan menjadi memerah. Dia tahu, saat ini tenaganya telah terkuras karena bertarung
melawan Pendekar Slebor sebelumnya. Apalagi tenaganya juga harus disimpan untuk menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang sedang dipelajarinya. Makanya dia hanya bisa menggeram.
"Tridarma! Kalau kau ingin menghabisinya sekalian juga, lakukan! Aku menunggumu di luar!" ujar Manusia Pemuja Bulan sambil melangkah keluar.
"Hei, jangan di luar! Banyak nyamuk yang dapat menggigit tubuhmu..., eeiiggkkhh!" ujar Pendekar Slebor, yang kemudian terputus oleh hantaman Tridarma.
Lelaki tak berbaju itu marah sekali mendengar ejekan-ejekan pendekar urakan yang konyol. Sementara di ruangan lain, di gua itu juga,
satu sosok tubuh hanya bisa menangis mendengar pukulan-pukulan Tridarma pada tubuh Pendekar Slebor. Sosok itu lak lain adalah Mayang, yang telah diculik Tridarma ketika Pendekar Slebor menyelamatkan para penduduk dari serangan tawon-tawon ganas.
Air mata gadis itu terus menitik.

***

"Sawedo! Ke mana lagi arah yang harus kita tempuh?" tanya seorang pemuda pada Sawedo.
Memang, setelah beristirahat untuk memulihkan tenaga, Sawedo segera mengajak tiga kawannya untuk berangkat mencari Pendekar Slebor. Meskipun ini termasuk rencana gila, akan tetapi Sawedo yang merasa berhutang budi terhadap Pendekar Slebor telah bertekad merelakan nyawanya demi keselamatan pemuda sakti itu.
Sawedo sendiri sadar kalau dirinya bukanlah tokoh sakti. Buktinya, Pendekar Slebor saja berhasil dikalahkan Manusia Pemuja Bulan dan kawannya itu. Apalagi dia" Memang, bagi Sawedo ini adalah perjalanan berat yang baru pertama dilakukan. Apalagi, Sawedo pun teringat kalau sebelumnya pernah menuduh Andika telah melakukan pembunuhan terhadap Medi, Kang Menggolo, dan istrinya. Inilah yang membangkitkan tekadnya. Dia ingin menebus kesalahannya waktu itu dengan mencari Pendekar Slebor.
"Aku tidak tahu, Subekti. Tetapi menurut firasatku, ia pasti dibawa ke arah timur," sahut Sawedo pada pemuda yang bertanya padanya.
Saat ini mereka berada di sebuah hutan lebat. Malam sangat pekat. Di samping sinar bulan yang malam ini tertutup awan hitam, juga sinarnya tak mampu menembus lebatnya dedaunan.
"Tetapi, bagaimana kita bisa menolongnya, sementara kita tidak memiliki kemampuan berarti?" tanya pemuda yang berkepala botak. Tangan kanannya memegang sebilah parang besar.
"Itu juga yang kupikirkan, Jalu!" sahut Sawedo seraya menghela napas panjang.
"Nah! Lalu, mengapa kau tetap bersikeras untuk mencarinya. Lagi pula, kita tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati" Kita
sendiri melihat pendekar itu terkapar ketika dibokong laki-laki tua yang bertelanjang dada, lalu di-panggul Manusia Pemuja Bulan dalam keadaan pingsan?" tukas pemuda botak yang dipanggil Ja-lu.
Kali ini Sawedo terdiam, lalu menghela napas panjang, "Memang, ini hanyalah kenekatan belaka. Tetapi budi baik pendekar sakti itu harus dibalas. Mungkin dia mengalami suatu siksaan yang menyakitkan saat ini," desah Sawedo.
"Tetapi, Sawedo. Ke mana lagi kita harus mencarinya?" tanya pemuda lain yang sejak tadi diam saja.
"Belum lagi kemungkinan besar Manusia Pemuja Bulan dan kawannya akan mudah menghancurkan kita."
"Memang pahit kenyataan ini, Giri! Tetapi hatiku sudah mantap, meskipun tahu tenaga kita tidak akan ada gunanya," sahut Sawedo, sejenak Sawedo mengedarkan pandangan pada teman-temannya.
"Sekarang bagaimana" Apakah kalian masih mau ikut bersamaku"
Kalau kalian keberatan, aku tidak apa-apa. Silakan kalian kembali ke desa, atau menyusul rombongan yang dipimpin Paman Longgom ke Lembah Bunga."
Tak ada sahutan. Mereka hanya saling pandang saja.
"Sawedo! Jangan marah dengan kata-kata kami tadi. Kami hanya mengungkapkan suatu kemungkinan, kalau pencarian kita pada Pendekar Slebor akan sia-sia. Ini sama saja mengantarkan nyawa." kata Subekti.
"Kuhargai soal itu. Tetapi, aku akan tetap mencarinya, meskipun sekali lagi kukatakan kemungkinan nyawa kita yang akan melayang. Terserah kalian. Meskipun terus terang, aku sangat mengharapkan sekali kalian ikut bersamaku," sahut Sawedo.
Lagi-lagi mereka saling berpandangan. Merasa tak enak juga mendengar kata-kata Sawedo.
Apalagi sampai membiarkannya pergi seorang diri dalam keadaan gawat seperti ini.
"Sudahlah, kita lupakan saja percakapan kita barusan," kata Subekti lagi.
"Kami akan tetap ikut bersama."
Sawedo tersenyum.
"Terima kasih."

***

Rombongan yang dipimpin Longgom telah tiba di Lembah Bunga. Mengungsi di tempat yang jaraknya tak jauh itu memang membutuhkan keberanian luar biasa. Karena, akan sangat mudah sekali dicari lawan-lawan mereka.
Tetapi yang dikatakan Longgom tentang sebuah gua yang luas terdapat di belakang air terjun, memang benar. Setelah mereka melintasi
Lembah Bunga luas yang penuh ditumbuhi aneka bunga, mereka pun tiba di atas sebuah air terjun yang sangat deras. Suaranya bergemuruh dan sangat menakutkan.
"Jalan mana yang akan kita tempuh untuk sampai ke gua itu, Longgom?" tanya laki-laki tua yang dikenal bernama Ki Purwa.
"Di sebelah sana. Mari semua ikut aku!" ajak Longgom sambil menunjuk satu arah.
Dan rombongan itu pun bergerak kembali. Jalan menurun bebatuan kini dijajaki.
"Jalan satu-satunya untuk tiba di belakang gua itu, hanyalah lewat sini," kata Longgom, begitu berhenti di tempat yang agak rendah.
"Gila!" seru Ki Purwa.
"Apakah kau tidak lihat jalannya begitu landai dan penuh batu-batu tajam?"
"Hanya itu jalan satu-satunya," sahut Longgom, pelan.
"Kau mengada-ada, Longgom."
"Tidak, Ki. Kita memang harus melalui jalan ini untuk tiba di belakang air terjun itu. Banyak yang mengetahui jalan ini sebenarnya. Tetapi, semuanya tak ada yang tahu jalan tembus untuk menuju ke gua di balik air terjun. Ayo, semua berpegangan dan hati-hati."
Lalu satu persatu dengan dipimpin Longgom, mereka pun menuruni jalan berbatu yang landai. Suasana terasa sangat tegang. Apalagi ditingkahi bunyi gemuruh air terjun, yang mampu membuat kengerian semakin menjadi-jadi. Tetapi berkat kesabaran dan tekad yang gigih, mereka pun berhasil menuruni batu-batu itu.
"Lewat sini!" tunjuk Longgom sambil mengibaskan goloknya pada sebuah semak yang ting- gi dan besar. Setelah disibakkan dengan golok, terlihatlah sebuah jalan yang sedikit berliku. Memang, tak seorang pun yang akan menyangka di balik rimbunnya semak itu terdapat sebuah jalan.
Kemudian satu persatu mereka melangkah. Longgom sendiri dengan dibantu tiga orang pemuda, menutupi jalan rahasia itu dengan semaksemak pula. Kini mereka menyusuri jalan yang berliku. Tidak terlalu landai dan banyak batu. Bahkan terasa malah mudah sekali.
Tak lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah tempat yang besar. Longgom memerintahkan beberapa pemuda untuk menyalakan obor
yang dibawa, namun sejak tadi tidak dinyalakan.
Dengan bantuan cahaya penerangan dari obor semakin terlihat gua yang besar itu. Jarang sekali angin berhembus di situ. Sehingga, tempat itu terasa hangat. Meskipun jarang ada angin yang masuk ke sana, namun karena dinginnya percikan-percikan air, suasana di sana tidak terlalu pengap. Ki Purwa mendesah kagum ketika melihat air terjun yang ada di hadapannya dari dekat. Ki-ni dia percaya pada Longgom.

***

:|: 4 :|:

Fajar mulai menyingsing. Sinar mentari memberikan penerangan indah bagi alam. Begitu indah, seolah mampu membuai anak manusia dalam rangkulan alam, dalam kenyamanan hidup yang bisa dirasakan. Hanya sayang, seringkali keindahan itu luluh oleh keangkaramurkaan yang terjadi. Sementara itu tiga sosok tubuh tampak masih mondar-mandir disekitar Gunung Pengging. Mereka tak lain Sudongdong, Layan, dan Camar Hitam yang sedang mencari makam Ki Seta. Namun sampai mentari menampakkan cahayanya, makam itu belum juga ditemukan.
Camar Hitam yang mengetuk-ngetuk setiap jengkal tanah dengan tongkat menggeram jengkel.
"Gila! Di mana sebenarnya makam itu berada?" maki perempuan sakti ini penuh kemarahan. Camar Hitam merasa bosan berjalan, tak ubahnya orang buta yang setiap kali melangkah harus menjejakkan tongkatnya ke tanah, untuk menebak jalan mana yang lebih baik dijalani.
"Lama-lama aku bisa gila mengetuk-ngetuk tanah seperti ini!" semburnya lagi penuh kejeng-kelan.
"Sabar saja, nanti juga ketemu," ujar Sudongdong yang diam-diam juga bosan dengan kegiatan ini. Tanpa sepengetahuan Camar Hitam, berkali-kali lelaki berwajah kera itu melirik Layan yang hanya mengangguk dengan pasti. Agaknya, Setan Kaki Besi itu tetap pada keyakinannya kalau mayat Ki Seta berada di sekitar sana.
Camar Hitam menoleh. Dan ketika melihat senyum mengejek di bibir Sudongdong, dia mendengus. Diam-diam hatinya membenarkan katakata Sudongdong tentang kemungkinan mayat dan cincin pusaka yang ada di tubuh Ki Seta.
"Buang senyum monyetmu itu!" dengus Camar Hitam. Sudongdong tertawa dalam hati. Menertawakan kebodohan Camar Hitam!
"Bila kau sudah menemukan mayat Ki Seta dan kebenaran tentang cincin pusaka itu, maka kau akan mampus!" desis lelaki berwajah kera
itu, tetap dalam hati.
Sudongdong memang telah menemukan suatu cara yang paling jitu daripada membokong.
Tetapi, membokong pun akan dilakukan bila rencananya gagal. Camar Hitam kembali menjejakkan tongkatnya di setiap jengkal tanah sambil menggerutu berkali-kali.
"Aku bukan orang buta! Aku bukan orang buta!" maki Camar Hitam.
Setelah melakukan agak lama, tiba-tiba tongkatnya melesak ke dalam.
"Hik hik hik.... Tak sia-sia pencarianku ini! Hik hik hik.... Ini dia harta yang tak ternilai harganya!" seru Camar Hitam.
Sudah tentu Sudongdong dan Layan segera mendekati.
"Kau menemukan makam itu, hah"!" tanya Sudongdong.
Bukannya gembira, Camar Hitam justru memasang wajah sengit.
"Ya. kalian mau apa?"
"Hei"! Bukankah kau akan membuktikan tentang cincin pusaka itu?" kata Sudongdong sambil tersenyum.
"Phuih...!"
Camar Hitam membuang ludah melihat tampang monyet Sudongdong tersenyum.
"Kini, tibalah saatnya bagi kalian untuk mampus!" kata perempuan cantik itu, menggeram.
Sudongdong dan Layan terkejut. Namun lelaki bertampang kera yang memiliki otak licik itu lagi-lagi segera tersenyum.
"Memang mudah sekali membunuh kami, Camar Hitam. Tetapi bukankah tadi sudah kukatakan, apakah kau percaya kalau cincin pusaka
itu berada di perut Ki Seta?" kata Sudongdong, enteng.
"Itu urusanku!" sentak Camar Hitam dengan tatapan menyalang.
"Mau percaya atau tidak, itu urusanku! Kini urusan kalian, hanya mampus atau minggat dari sini!"
Sudongdong tertawa lagi.
"Sayang, sayang sekali. Hanya tinggal selangkah saja, kau masih tidak mau membuktikan soal kebenaran itu. Kau masih dibawa pengaruh
kabar burung rupanya, Camar Hitam!" sergah Sudongdong, kalem.
"Jangan membodohiku!"
"Ha ha ha.... Semua orang di rimba persilatan ini sangat mengagumi kecerdasanmu!" kata Sudongdong. Dalam hati dia tertawa begitu melihat Camar Hitam mengangkat dagunya.
"Mana mungkin kami berani membodohimu! Yang benar saja kau ini!"
Sudongdong melihat kepala Camar Hitam semakin terangkat. Dia kembali terlena oleh kata-kata berbisa si Kera Sakti.
"Sudongdong benar, Camar Hitam," timpal Layan. Dia tadi sengaja membiarkan Sudongdong sendiri berkata-kata. Karena Layan tahu, Si Kera Sakti lebih pandai mempergunakan lidahnya daripada dirinya sendiri.
"Kami tak akan mampu menghadapi kesaktianmu. Dan lagi, kau adalah orang yang cerdas," lanjut Layan. Dua orang telah memujinya, membuat Camar Hitam menganggukkan kepalanya. Lalu dengan tongkatnya dibongkarnya tanah yang tadi ditekan dengan tongkatnya.
Tanah itu memang membentuk kuburan.
Lalu perlahan-lahan tanah itu terlihat semakin berkurang dan semakin dalam. Sudongdong dan Layan berusaha menahan dirinya untuk tidak melihat ke dalam lubang, agar tidak terlalu kelihatan menyolok dari pandangan Camar Hitam. Keduanya pun yakin, kalau tanah yang digali adalah kuburan Ki Seta.
"Hayya! Bagus, bagus sekali! Tidak sia-sia aku meninggalkan daerah selatan untuk mencari cincin pusaka yang hebat ini!" seru perempuan sakti itu sambil melirik Sudongdong dan Layan.
Si Kera Sakti dan Setan Kaki Besi beranjak untuk melihat satu sosok tubuh yang terbujur di tanah. Kaku. Namun yang mengherankan, tubuh
itu belum hancur. Masih nampak kuat dan layaknya orang tidur belaka.
Namun bisa dimaklumi bila mengingat latar belakang Ki Seta. Meskipun seluruh kesaktiannya telah punah akibat menelan cincin pusaka itu, pengaruh kesaktiannya masih mampu melindungi tubuhnya dari koyakan alam.
Sudongdong mendesah dalam hati. Kini dia harus lebih bersikap hati-hati, karena yang diinginkan sudah di ambang mata. Seperti yang diceritakan Setan Kaki Besi, sudah tentu cincin pusaka itu memang berada di tubuh Ki Seta. Begitu pula kehadiran Camar Hitam Perempuan tua ini tentu sudah yakin sekali kalau cincin pusaka itu memang berada di tubuh Ki Seta.
Tetapi yang menjadi masalah sekarang, bagaimana untuk mengelabui Camar Hitam kembali" Paling tidak, berusaha agar cincin pusaka itu pindah tangan!
"Camar Hitam! Kau baru bisa tertawa bila memang sudah melihat cincin pusaka itu!" ujar Sudongdong dengan suara melecehkan.
"Kalau kau belum melihatnya, mana mungkin bisa tertawa seperti itu?"
Tiba-tiba Camar Hitam menghentikan tawanya. Tatapannya tak sedap dilihat. Mata kelabunya melotot dengan mulut tertarik ke dalam.
Napasnya seperti tertahan.
"Diaammm! Aku tidak mau dibodohi terus menerus, Sudongdong!" bentak perempuan tua ini.
"Hei" Apa maksudmu?" balas Sudongdong sambil tersenyum.
"Aku berkata apa adanya. Lebih baik buktikan saja dulu tentang kebenaran cincin pusaka itu." Bukannya menjawab. Camar Hitam justru
mengibaskan tongkatnya ke arah Sudongdong.
Wuuuttt! "Heeiiittt!"
Sudongdong telah melenting ke atas. Sambaran tongkat itu dirasakan amat kuat sekali. Mampu meredam hawa panas di tubuhnya.
Begitu menarik pulang kembali tongkatnya, Camar Hitam kembali menggerakkannya. Kali ini ke arah Layan yang sejak tadi memang sudah
bersiaga. Dia juga menduga kalau kali ini Camar Hitam tak bisa dibohongi lagi.
"Kau juga harus mampus, Buntung!" desis Camar Hitam.
Layan menghindarinya dengan bersalto, lalu hinggap di samping Sudongdong yang sudah bersiaga. Camar Hitam terkikik-kikik.
"Bagus, bagus sekali! Dua pasangan yang pas! Kini, terimalah kematian kalian!"
"Tahan!" seru Sudongdong.
"Sudah lama aku menginginkan pertarungan ini sebenarnya!"
Si Kera Sakti merasa kali ini tak ada jalan lain lagi, kecuali bicara apa adanya. Namun, mulutnya masih penuh bisa.
"Tetapi, aku paling tidak suka bila bertarung tanpa ada sesuatu yang dipertaruhkan," lanjut si Kera Sakti. Camar Hitam menghentikan gerakannya, menancapkan tongkatnya di sisinya.
"Apa yang akan kita pertaruhkan?" tanya perempuan tua sakti itu.
"Cincin pusaka itu!" sahut Sudongdong, mantap.
Layan tersenyum, memuji kecerdikan Sudongdong.
"Boleh, boleh saja! Tetapi, di mana cincin itu?" tanya Camar Hitam.
"Bodoh! Bukankah kita akan membuktikan kalau cincin itu berada di tubuh Ki Seta?" maki si Kera Sakti.
"Oh, ya... ya. Baik, aku setuju! Tetapi, siapa yang akan membedah mayat itu?"
"Bagaimana kalau kau saja?"
"Aku?" Camar Hitam terkikik.
"Enak saja! Selagi aku melakukannya, kalian akan membokongku! Bagaimana kalau kau saja?"
Sudongdong terdiam sesaat, mempergunakan kemampuan liciknya lagi.
"Baik! Layan yang akan melakukannya, sementara kita berdua menyaksikannya. Bagaimana" Kau setuju dengan usul itu, Camar Hitam?" Camar Hitam mengangguk.
"Lakukan!"
Layan alias Setan Kaki Besi segera melakukan tugas itu. Kedua tangannya digerakkan. Dan seperti ada tenaga kuat sekali, mendadak sa-ja tubuh Ki Seta terangkat. Kalau tadi berada di lubang kuburannya, sekarang berada di tanah yang sejajar pijakan kaki mereka.
Layan mengambil sebatang kayu yang ujungnya agak runcing. Kepalanya menoleh ke Camar Hitam dan Sudongdong yang mengangguk
secara bersamaan.
Lalu tangan Layan pun segera terangkat, siap menghujamkan kayu yang tajam ke tubuh Ki Seta, untuk mencari di bagian mana cincin pusaka yang tersembunyi.
Namun belum lagi tangan itu turun ke tubuh Ki Sela, serangkum angin berdesing.
Trakkk! Kayu yang dipegang Layan patah!

***

"Bangsat! Siapa yang berani berbuat nekat seperti ini?" bentak Layan sambil bangkit dengan mata nyalang.
Sementara Camar Hitam dan si Kera Sakti pun bersiaga. Mereka tak melihat siapa-siapa di sana, kecuali mereka bertiga. Tetapi, tiba-tiba terdengar kikikan Camar Hitam.
"Hik hik hik.... Rupanya Penguasa Alas Roban pun sudah tiba di sini! Silakan keluar dan masuk ke kalangan, kalau tidak ingin dikatakan
pengecut!"
"Tak kusangka! Penciumanmu ternyata sangat tajam, Camar Hitam!" terdengar suara bernada berat, menandakan kewibawaan
penuh.
"Aku jadi malu sendiri karena masih saja nekat untuk bersembunyi! Baiklah, aku akan keluar!"
Tak lama, satu sosok tubuh melenting dari satu tempat. Gerakannya sangat ringan. Dan tahu-tahu dia sudah hinggap di hadapan ketiganya.
Satu sosok tubuh berpakaian putih seperti seorang pendeta. Wajah berkesan bijaksana. Jenggot putihnya cukup panjang. Di tangannya terdapat sebuah tasbih berwarna emas, yang ukurannya lebih besar dari tasbih biasa.
"Ki Abdi Kanwa!" seru Camar Hitam.
"Hik hikhik.... Kiranya cincin pusaka itu pun terdengar di telinga Penguasa Alas Roban, sehingga harus repot-repot keluar dari sarang!"
Lelaki tua berpakaian putih yang dipanggil Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Memang, kemunculan tokoh golongan putih dari Alas Roban dikarenakan telah mendapat wangsit dari mimpinya, kalau sebuah cincin pusaka kelak akan menjadi sumber silang sengketa, yang akan menjadikan bumi bertabur darah.
Sebagai orang golongan putih yang sebenarnya sudah menyepi di Alas Roban, Ki Abdi Kanwa pun merasa terpanggil untuk menyelesaikan masalah ini. Meskipun yang paling aneh, dalam mimpinya ada seorang pemuda berpakaian hijau muda dan memiliki selembar kain bercorak
catur di bahunya, yang akan mampu menyelesaikan masalah ini. Tetapi siapa dia" Selama menyepi itu, Ki Abdi Kanwa tidak lagi menghiraukan masalah dunia ramai. Itu sebabnya, dia tak men-genali pemuda itu.
Karena ingin menyelamatkan cincin pusaka itu, dan rasa penasarannya pada pemuda dalam mimpinya, Ki Abdi Kanwa terpaksa harus keluar ke dunia ramai. Ki Abdi Kanwa tersenyum.
"Aku pun tak menyangka kalau Camar Hitam pun sudah berada di sini. Itu menandakan betapa ramainya kabar tentang cincin pusaka milik Ki Seta yang akan menjadi petaka di dunia persilatan ini." kata Ki Abdi Kanwa bijaksana.
"Dan, apakah kehadiranmu di sini untuk merebut cincin pusaka itu?" sindir Camar Hitam.
Ki Abdi Kanwa menggelengkan kepalanya.
"Tidak.... Aku hanya menghendaki cincin pusaka itu dimusnahkan saja. Karena, akan menimbulkan perpecahan yang semakin menjadi di
antara tokoh persilatan."
Camar Hitam terkikik.
"Ki! Apakah selama ini matamu buta dan telingamu tuli" Secara hukum alam, di rimba persilatan ini pun sejak lama telah bermusuhan antara golongan hitam dan golongan putih!"
"Aku mengerti! Itulah sebabnya, aku akan menghalangi siapa saja, baik dari golongan hitam maupun golongan putih yang menginginkan cincin pusaka itu!" sahut Ki Abdi Kanwa alias Penguasa Alas Roban.
Sudongdong yang merasa bisa mengambil muka di hadapan Camar Hitam sekarang, segera mempergunakan kesempatan.
"Hmmm.... Rupanya kaulah yang berjuluk Penguasa Alas Roban, Ki! Tak kusangka, tokoh putih yang bijaksana ternyata pandai mempermainkan lidah! Berlagak ingin memusnahkan cincin pusaka itu. Padahal dalam hatinya berniat untuk menyerakahinya sendiri," sindir si Kera Sakti sambil melirik Camar Hitam.
"Camar Hitam.... Jangan sampai kau terpancing ucapan- ucapannya yang bercabang itu. Hati-hati! Karena dia sangat pandai berkata-kata."
"Jangan mengajari aku!" bentak Camar Hitam, lalu menoleh ke arah Penguasa Alas Roban.
"Ki Abdi Kanwa..., ketahuilah! Aku berniat memiliki cincin pusaka itu! Bila kau pun berniat pula, maka harus berhadapan denganku!"
Ki Abdi Kanwa mengusap jenggotnya.
"Memang.... Sepertinya pertarungan di antara kita tak akan bisa dielakkan lagi. Tetapi, ada suatu cara yang menurutku sangat menarik, sehingga kita tidak perlu bertarung."
"Apa?" terabas Camar Hitam
"Bagaimana bila kau dan aku tidak ada yang memiliki cincin pusaka itu?" usul Ki Abdi Kanwa.
"Maksudmu?" Camar Hitam mengerutkan keningnya.
"Mudah saja. Cincin itu kita buang di satu tempat yang tak akan mungkin bisa didapatkan orang lain. Jadi, di antara kita tak ada yang me-milikinya. Dan kita tidak perlu repot-repot mem-perebutkannya. Dengan kata lain, kita akan aman dan selamat tanpa memikirkan cincin itu," jelas Ki Abdi Kanwa.
"Camar Hitam!" bentak Sudongdong tiba-tiba.
"Jangan mau dihasut olehnya! Itu hanya bujukan belaka!"
"Diam!" dengus Camar Hitam.
"Jangan campuri urusanku ini, Sudongdong! Ingat! Kau seharusnya sudah mati! Begitu pula kau, Layan!
Sekarang, ini urusanku dengan Ki Abdi Kanwa! Membunuh kalian, sangat mudah sekali! Teramat mudah!" Lalu Camar Hitam berbalik pada Ki Abdi Kanwa yang masih berdiri tegak dengan wajah arif.
"Maaf, aku sangat menginginkan cincin pusaka itu! Dengan izinmu atau tidak, aku tidak peduli! Yang pasti, siapa yang menginginkan cincin bermata biru yang sakti itu, harus melewatiku dulu!" Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng sambil menghela napas masygul. Ia memang sudah menebak sebelumnya, kalau semuanya ini akan menjadi seperti ini. Paling tidak, kekacauan akan semakin timbul karena nafsu orang-orang serakah.
"Apa pun akan kulakukan untuk membuang cincin sakti itu. Camar Hitam!"
Mata Camar Hitam menyipit.
"Berarti, kau memang menantangku. Abdi Kanwa!" ujar Camar Hitam sambil memutar tongkatnya.
"Bagus! Sudah lama sebenarnya aku pun ingin merasakan kehebatanmu, Penguasa Alas Roban! Rupanya, pagi ini kita memang ditakdirkan untuk bertarung!"
"Sebenarnya, aku enggan untuk menggerakkan seluruh tubuhku hanya untuk membela diri dan menyakiti lawan," kata Ki Abdi Kanwa pelan.
"Sombong! Apa kau pikir kau akan mampu menyakitiku, hah"!" bentak Camar Hitam. Saat itu juga tubuh Camar Hitam sudah melenting ringan ke arah Ki Abdi Kanwa. Tongkatnya berputar tak ubahnya baling-baling belaka, menimbulkan angin menderu.
Sementara Ki Abdi Kanwa kelihatan hanya menunggu serangan hingga dekat. Benar saja.
Begitu dekat, bukannya menghindar, dia malah langsung menyongsong serangan Camar Hitam.
"Nekat!" desis si Kera Sakti yang mengama-ti jalannya pertarungan.
Yah! Siapa pun yang melihat akan mengatakan kalau Ki Abdi Kanwa sedang berada dalam kenekatan. Karena, gerakannya hanya mampu dilakukan orang yang kesaktiannya sangat tinggi.
Memapak serangan yang mengandung tenaga dalam tinggi dari jarak dekat dengan hanya satu lompatan saja, sudah tentu dapat menguras tenaga. Karena jarak yang dekat itu bisa ditahan hanya oleh orang yang bertenaga dalam besar. Begitulah pikiran Sudongdong.
Sementara, Layan hanya tertegun saja menyaksikan kenekatan Ki Abdi Kanwa yang menyongsong serangan Camar Hitam. Tetapi yang dipikirkan Sudongdong ternyata jauh sekali dari kenyataannya. Karena, Ki Abdi Kanwa tidak bermaksud memapaki serangan Camar Hitam. Dia hanya mencoba menguras tenaga Camar Hitam dalam sekali gebrak.
Ki Abdi Kanwa yakin sekali, kalau Camar Hitam akan terkejut melihat dirinya yang bergerak bagaikan hendak menyongsong serangan.
Maka secara tidak langsung, Camar Hitam akan berpikiran kalau gebrakan yang dilakukan lelaki tua ini hanyalah suatu kenekatan belaka. Maka mau tak mau dia akan menambah kekuatannya.
Maksudnya, dengan hanya sekali gebrak saja Ki Abdi Kanwa akan tersungkur. Namun dugaan perempuan sakti itu lain sekali. Karena sebelum tangannya yang telah ditambahi tenaga dalam tinggi menyentuh sasaran, mendadak saja sosok Ki Abdi Kanwa bagaikan lenyap. Plas! Dengan kecepatan sukar diikuti mata, tubuh Ki Abdi Kanwa sudah berada di belakang
Camar Hitam. Sementara, perempuan tua sakti itu terus meluncur ke arah sebuah pohon. Pengaruh tenaga dalamnya yang dilipatgandakan,
membuat tubuh Camar Hitam terus meluncur.
Brakkk! Begitu menyentuh pohon besar, bukan hanya tumbang seketika. Begitu rebah di tanah dengan suara debuman keras, perlahan-lahan batang pohon itu berubah menghitam.

***

:|: 5 :|:

Setelah puas menghajar Pendekar Slebor hingga pingsan, Tridarma segera mengikuti Manusia Pemuja Bulan untuk langsung mencari makam Ki Seta. Karena menurutnya saat inilah yang paling tepat. Sudah tentu Tridarma dengan senang hati mengikutinya. Karena, kini tibalah gilirannya untuk mendapatkan sesuatu yang telah lama dinantikannya. Cincin pusaka yang mampu menyerap seluruh tenaga milik siapa pun!
"Kang Andika.... Kang, sadarlah...." Seruan yang terdengar penuh isak, telah dilakukan berkali-kali. Suaranya mengiba penuh rasa kasihan. Tetapi Pendekar Slebor yang baru saja menerima hantaman Tridarma yang bertubitubi masih terkulai tak berdaya.
"Kang Andika..., sadarlah, Kang, sadar...," panggil Mayang lagi. Setelah merasa yakin kedua tokoh sesat itu tidak ada di tempatnya. Mayang mengusap air matanya. Gadis ini berusaha menyadarkan Andika yang terkulai dengan kedua tangan dan kaki terentang terikat.
Mayang memegang tonggak-tonggak besi yang membuatnya tak bisa keluar dari sana, sehingga hanya bisa berseru-seru memanggil Andika tanpa bisa melihat bagaimana keadaan Pendekar Slebor yang diyakini tentunya dalam keadaan menderita sekali. Mayang tahu, dirinya adalah calon korban untuk Dewa Bulan yang berhasil digagalkan Pendekar Slebor. Bisa jadi bila Manusia Pemuja Bulan itu tahu dirinya berada di sini, maka dia pun akan langsung menjadi korbannya. Kini Mayang tahu, untuk apa dirinya dan gadis-gadis itu dikorbankan. Ternyata tumbal gadis-gadis itu bukan untuk Dewa Bulan, melainkan untuk kepentingan Manusia Pemuja Bulan sendiri, demi menyempurnakan ajian dahsyat yang sedang dipelajarinya. Mayang mendesah lega mengingat kalau kini sedikit bebas, meskipun tak heran bila akan tetap menjadi korban berikutnya. Hanya saja, yang membuatnya sedikit heran, ternyata Tridarma tidak mengatakan kalau dirinya berada di sini kepada Manusia Pemuja Bulan.
Padahal, laki-laki berjubah hitam itu sudah mengatakan, kalau masih kurang satu gadis lagi, sebagai syarat penyempurnaan ilmunya.
Entah kenapa Tridarma tidak mengatakan tentang dirinya pada Manusia Pemuja Bulan.
"Kang Andika.... Jangan pingsan terus, Kang.... Jangan.... Ingat, Kang. Keselamatan kita terancam...," ujar Mayang dengan wajah penuh air mata, memikirkan keadaan Andika dan dirinya sendiri yang berada di ujung tanduk.
Tetapi sosok Andika tetap terkulai. Rupanya pukulan dan tendangan bertubi-tubi yang dilakukan Tridarma tadi menyebabkan Pendekar
Slebor pingsan kembali. Seharusnya Andika bisa mengeluarkan tenaga 'inti petir'nya. Akan tetapi ketika hendak melakukan tadi.
Tridarma sudah menotok dua urat di bagian lengan kanan dan kiri di bawah ketiak Urat yang bisa menyebabkan seseorang akan merasa lumpuh dalam beberapa waktu. Mayang masih berusaha menyadarkannya.
Gadis ini tahu, keadaan sangat berbahaya. Setelah mencuri dengar tadi, diam-diam kini Mayang mengerti, harta apa yang sebenarnya diinginkan Manusia Pemuja Bulan dari kakeknya. Rupanya, ada sebuah cincin sakti di perut Ki Seta. Bahkan Mayang pun tahu. kalau dulu
kakeknya seorang pendekar yang tangguh.
Mayang teringat bagaimana setelah ditinggal Andika yang bermaksud menolong para penduduk dari serangan ribuan tawon ganas, Tridarma mengajaknya pergi dari sana. Padahal semula dia menolaknya. Namun alasan yang diberikan Tridarma sangat masuk akal. Barangkali saja, tawon-tawon ganas itu akan menyerang mereka pula. Hingga akhirnya Mayang pun terpengaruh, hingga langsung dibawa ke tempat ini dan dimasukkan ke dalam sebuah ruangan mirip penjara secara paksa. Di sanalah dia tahu, siapa Tridarma sebenarnya. Lelaki itu tak lain adalah sahabat Manusia Pemuja Bulan.
Ketika Tridarma tahu kalau pemuda itu yang berjuluk Pendekar Slebor, dia pun memainkan peranan barunya untuk menipu Andika. Hati Mayang sangat sedih karena harus terkurung di sini dan berpisah dengan Andika. Namun sekarang, dia semakin bertambah sedih ketika melihat Andika justru berada dalam derita seperti itu.
"Kang.... Sadarlah, Kang.... Ini aku, Mayang.... Bangunlah..., Kang Andika...," kata Mayang dengan suara semakin melemah. Tubuh gadis itu pun merosot turun dengan kedua tangan masih berpegangan pada tonggaktonggak besi itu. Meskipun tidak bisa melihat, namun bisa dibayangkan derita yang dialami pemuda urakan itu. Karena pukulan demi pukulan yang dilakukan Tridarma mampu didengarnya.
"Kang Andika.... Sadarlah, Kang.... Sadarlah...." Tak ada sahutan. Mayang mendesah putus asa. Bila saja bisa melihat di mana Andika berada, sudah tentu akan membangunkannya dengan melempar sesuatu. Misalnya, batu-batu kecil yang banyak di sana. Tetapi dia hanya bisa membayangkannya saja. Dan Mayang yakin, kalau Andika sebenarnya berada tak jauh dari tempatnya ditawan. Kini Mayang sudah putus asa. Hanya pasrah saja.
"Ah, Kang Andika.... Kenyataan ini sangat pahit. Sungguh! Aku tidak pernah menyangka kalau akan mengalami kejadian seperti ini...!"
Kebodohan memang pernah dirasakannya ketika Mayang hanya pasrah dan bersedia dijadikan sesajen untuk Dewa Bulan, sebagai penebus
dosa-dosa kakeknya. Hingga ketika Medi datang dan menggodanya, dia hanya pasrah aja. Dan itu justru membuat Medi semakin merasa bebas. Ketika hampir saja merenggut miliknya yang paling berharga, mendadak saja Medi kelojotan dan menjadi mayat. Saat itu, Mayang melihat satu sosok berpakaian dan bertopeng merah keluar dengan cepatnya. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja Bulan"). Sekarang, setelah yakin dengan kata-kata Andika bahwa Manusia Pemuja Bulan adalah tokoh sesat, justru Mayang berada dalam genggaman Tridarma. Dan ternyata, Tridarma adalah teman dari Wedokmurko, alias Manusia Pemuja Bulan. Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Diam-diam, sejak kebersamaannya dengan Andika meskipun terasa sesaat, benih-benih cinta perlahan tumbuh di hatinya. Bahkan semakin lama semakin subur itu kian mengembang. Yah!
Dia memang telah jatuh hati pada pemuda itu.
"Oh, Kang Andika.... Apakah kau tahu tentang....Hei"!" Mayang tiba-tiba menajamkan telinganya.
Dia mendengar suara bagai keluhan datang dari ruang sebelah. Dengan penuh semangat gadis itu berdiri.
"Kang Andika! Kang! Sadarkah kau, Kang?" seru Mayang kembali.
"Ohh..., aagh...," keluhan yang jelas dari mulut Andika terdengar lagi.
Wajah Mayang semakin gembira. Air matanya diusap.
"Kang..., Kang Andika...," panggil gadis itu dengan suara bergetar, bercampur kegembiraan.
"Oh! Ma..., Mayang?"
Memang, Andika sudah siuman dari pingsannya. Dua kali dia jatuh pingsan dalam waktu tak terlalu lama. Namun kali ini lebih menyakitkan, karena dipukuli tanpa bisa membalas.
"Kang Andika! Ya! Aku Mayang, Kang! Aku Mayang!" seru Mayang gembira.
"Mayang.... Hei, di mana kau ini"!"
"Aku di sebelah ruanganmu. Kang!"
"Di balik dinding batu itu?"
"Ya!"


"Kalau begitu, ke sini saja! Aku tidak bisa ke sana! Bukannya tidak mau, tetapi kedua kaki dan tanganku terikat!" ujar Pendekar Slebor, sok tahu.
"Tidak bisa. Kang...," sahut Mayang.
"Lho. kok tidak bisa" He he he..., apa kau tidak kangen denganku yang ganteng ini. Mayang?" kata Pendekar Slebor, seenaknya.
Mayang menundukkan kepalanya sebelum menjawab.
"Aku kangen sekali, Kang Andika. Kangen sekali." Gadis ini hanya menelan semua ucapannya dalam hati. Karena dia tahu, Andika hanya bergu-rau saja. Jelas dari nadanya yang bercanda.
"Hei" Kenapa diam, Mayang?" tanya Andika yang sejak tadi menunggu sahutan Mayang.
"Oh! Tidak, Kang.... Tidak.... Aku tidak bisa ke sana, Kang..., karena aku berada di sebuah dinding yang ditutup tonggak-tonggak besi. Aku
dipenjara. Kang!" jelas gadis itu.
Andika terdiam.
"Ya, sudah!" kata Pendekar Slebor.
"Kita hanya berdiam diri saja di balik dinding masing-masing! Aku juga dalam keadaan terikat."
"Kang Andika...," panggil Mayang.
"Sudah, sudah! Tidak usah ngomong lagi! Hei" Tahukah kau, di mana dua monyet belang itu?" tanya Pendekar Slebor.
"Kedengarannya mereka keluar, Kang!"
"Ke mana?"
"Mencari harta Aki!"
"Hei! Kau tahu dari mana?"
"Mendengar percakapan mereka tadi. Kang."
"Mayang..., di mana harta Aki itu berada?"
"Aku tidak tahu secara pasti. Tetapi aku mendengar kata-kata Tridarma, kalau harta itu berada di tubuh Aki."
"Di tubuh Aki" Hei! Kau yang benar saja, Mayang! Mana mungkin perut Akimu mampu menampung harta yang mungkin sangat banyak! Bahkan mulutnya saja sangat kecil!" sergah Andika sambil tertawa.
"Janganjangan, harta Akimu itu hanya sebuah cincin saja...!"
"Kau benar, Kang Andika. Hanya sebuah cincin."
"Hah"!"
Andika melotot sampai lehernya terangkat. Lalu...
"Hoieek!"
"Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang.
"Leherku tercekik! Sekarang tidak apa-apa, Mayang! Benarkah harta itu hanya sebuah cincin?" sahut Pendekar Slebor.
"Benar, Kang. Aku mendengar kata-kata Tridarma, kalau cincin itu bukan sembarangan. Kang Andika..., ternyata Aki dulunya seorang
pendekar. Dia mendapatkan cincin pusaka itu dari gurunya. Dan karena suatu sebab, dia menelan cincin itu yang justru melumpuhkan seluruh kesaktiannya...."
Andika terdiam. Rupanya, itulah rahasia harta Ki Seta. Sebuah cincin pusaka! Seketika sa-ja otak Andika yang cerdik bisa membayangkan, bagaimana banyaknya tokoh sakti yang sudah tentu akan memperebutkan cincin itu dalam tubuh Ki Seta. Mayang sendiri terdiam. Otaknya pun membayangkan, bagaimana kakeknya yang sudah meninggal masih saja dicari orang-orang sak-ti. Bisa dibayangkan pula
bagaimana tubuh kakeknya nanti akan dibedah oleh orang-orang itu untuk mencari cincin pusaka yang ditelannya.
Oh, Mayang menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hatinya tak kuasa membayangkan semua itu. Tiba-tiba saja Mayang mengangkat kepalanya dengan cepat. Telinganya menangkap suara berderak yang sangat keras sekali.
"Oh, Tuhan"! Ada apa lagi ini?" desis gadis itu ketakutan seraya melangkah mundur sampai ke dinding.
"He he he...! Kenapa takut kau, Mayang?"
tegur satu sosok tubuh di depan tonggak-tonggak besi. Mayang membelalakkan matanya, lalu berlari ke depan.
"Kang Andika!" seru gadis itu gembira.
Tampak wajah Andika memar. Mungkin akibat pukulan yang dilakukan Tridarma.
"Katanya kau terikat" Bagaimana bisa melepaskan diri?" tanya Mayang, bingung.
Andika mengangkat bahunya saja.
"Tidak tahu, ya" Tahu-tahu putus!" kata Pendekar Slebor sambil mengedipkan matanya. Mayang tersipu. Hatinya senang bukan main melihat pemuda yang dirindukan kini berdiri di hadapannya.
Apa yang diucapkan Andika tadi tentu saja main-main. Mana mungkin rantai besar dan tali yang sudah dialirkan tenaga dalam oleh Manusia
Pemuja Bulan putus begitu saja"
Semula Andika memang tidak mampu memutuskannya, karena dalam keadaan tertotok. Tetapi ketika tubuhnya saat bercakap-cakap dengan Mayang tadi dialiri tenaga dalam dengan mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa', totokan yang dilakukan Tridarma pun terlepas.
Menyadari hal itu, Andika lalu menaikkan tenaga 'inti petir'nya tingkat kedua puluh empat.
Hingga perlahan-lahan tepat ketika menggabungkan ajian 'Guntur Selaksa', dia berhasil memutuskan rantai di kedua tangan dan kakinya. Lalu dengan cepat dibukanya ikatan tali pada lehernya. Pendekar Slebor sangat tertarik dengan cerita Mayang tadi.
Makanya, dia segera mencari Mayang. Rupanya, ada rongga yang menghubungkan tempatnya ke tempat Mayang.
"Sekarang kau mundur, Mayang...," ujar Andika.
"Mau apa kau, Kang Andika?"
"Lho" Apa kau tidak ingin kubebaskan, ya" Wah, wah.... Rupanya kau sudah jatuh cinta pada Tridarma, ya" Gawat. Bisa patah hati, nih!" seloroh pemuda urakan ini.
"Bukan, bukan itu maksudku, Kang," tukas Mayang buru-buru.
"Tetapi..., ah! Sudahlah.... Silakan, Kang...." Andika nyengir.
"Agak menjauh, Mayang."
Lalu Pendekar Slebor mengusap-usap kedua tangannya perlahan-lahan. Dan semakin lama terlihat kalau kedua tangan itu mengeluarkan cahaya kemerahan. Mayang yang sudah merapat di dinding gua hanya memperhatikan saja penuh kekaguman. Tampak Andika menempelkan kedua tangannya pada tonggak-tonggak besi. Bersamaan dengan itu terlihat cahaya kemerahan semakin lama semakin terang, menjalari dua tonggak besi yang dipegang Andika. Rupanya kekuatan tenaga petir yang mengalir di tubuh pemuda itu telah dipergunakan kembali.
Lalu terlihatlah tonggak besi itu putus di tengahnya sehingga membuat sebuah rongga yang bisa dilolosi tubuh Mayang yang kecil.
"Cepat!" ujar Andika.
Mayang segera berlari keluar. Hatinya gembira sekali ketika memegang tangan Andika. Andika sendiri merasa berdesir darahnya, ketika merasakan betapa eratnya genggaman tangan gadis itu. Genggaman penuh rindu dan kasih sayang yang tulus. Diam-diam Andika menghela napas panjang. Pemuda ini jadi teringat Ningrum, seorang gadis yang lebih tua darinya. Beberapa tahun yang lalu, gadis itu pernah dicintainya secara diam-diam. Cinta pertama yang dirasakan Andika. (Untuk mengetahui tentang Ningrum, silakan baca episode : "Lembah Kutukan" serta "Dendam Dan Asmara'").
Kini Pendekar Slebor bisa merasakan suatu getaran cinta yang terpancar melalui genggaman Mayang. Ah, entahlah.... Apa yang bisa dilakukannya tentang cinta.
"Mayang.... Kau sudah aman sekarang. Tidak usah memegang lenganku terlalu erat," ujar Andika tanpa sadar.
Dan Andika harus melihat wajah gadis itu yang tiba-tiba menunduk, serba salah.
"Oh! Maksudku..., aku...."
Gadis itu tampak gugup sambil memalingkan wajahnya, membelakangi Andika. Andika menghela napas panjang. Sama sekali pemuda ini tidak bermaksud untuk membuat Mayang malu. Sungguh, ia sangat buta dalam masalah cinta. Lalu, perlahan-lahan dipegangnya kedua bahu Mayang.
"Maafkan aku, Mayang...," ucap Pendekar Slebor, perlahan.
"Aku..., aku yang meminta maaf pada, Kakang.... Tidak sepantasnya aku berbuat seperti itu...," tukas Mayang.
Andika membalikkan tubuh gadis itu untuk menghadapnya. Lalu diangkatnya dagu Mayang untuk menatapnya. Dan bisa terlihat gelepar cinta yang tak terbalas.
"Oh, Tuhan.... Seperti inikah yang kualami dulu?" desah Andika dalam hati, mengingat tentang Ningrum.
Karena tak tahan melihat sepasang mata bening yang mengerjap-ngerjap penuh gelora cinta itu, perlahan-lahan Andika menarik kepala
Mayang dan mendekapnya.
Mayang menyusupkan kepalanya. Seolah dia menemukan apa yang telah lama dicarinya.
Kejadian itu hanya berselang beberapa saat, dengan dua perasaan berbeda. Yang dirasakan Mayang, dia semakin yakin kalau pemuda inilah yang akan menjadi kekasihnya. Sementara yang dirasakan Andika, dia berharap suatu saat Mayang bisa menemukan jodohnya. Pemuda yang menyayanginya setulus hati.
"Mayang,.., ini adalah kesempatan kita untuk meloloskan diri, sebelum Manusia Pemuja Bulan dan Tridarma datang," kata Pendekar Slebor. Mayang menganggukkan kepala.
Padahal, dia masih sangat menginginkan berada dalam rangkulan Andika.
"Akan ke manakah kita, Kakang?" tanya Mayang pelan.
Kali ini Andika bisa menangkap getaran lain dari panggilan itu. Kalau dulu yang dirasakan hanyalah ucapan sebagai rasa hormat belaka, sementara kali ini terdengar nada-nada cinta kasih tulus yang tercurah dari panggilan itu. Andika menghela napas panjang, tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh mati, menghadapi masalah begini, Andika mati kutu!
"Kita kembali ke desamu," ajak Pendekar Slebor kemudian.
"Juga, kita akan mencari makam kakekmu. Aku yakin, kalau saat itu keadaan sudah teramat kacau. Pasti, para tokoh sakti sudah bermunculan, untuk memperebutkan cincin pusaka milik kakekmu itu...."
Mayang mengangguk.
"Kakang! Aku tidak peduli siapa yang akan mendapatkan cincin pusaka itu. Tetapi yang tidak kuinginkan, kalau mereka membedah dan mencabik-cabik tubuh Aki. Aku tidak bisa membayangkannya, Kakang...," ungkap gadis ini.
Andika mengangguk.
"Barangkali, kita masih bisa menyelamatkannya, Mayang. Ayo kita pergi dari sini!" ajak Pendekar Slebor lagi.
Belum lagi gadis itu menganggukkan kepala, Andika sudah menariknya dan siap membawanya lari. Tetapi karena keadaan gadis itu tidak siap, justru malah terjengkang ke arahnya.
"Hup!"
Dengan sigap Andika merangkul.
"Wah, wah.... Masih banyak orang nih!" seloroh Pendekar Slebor tiba-tiba sehingga membuat wajah Mayang memerah.
"Kang Andika sih, main tarik saja," cibir Mayang cemberut.
Andika terkekeh-kekeh. Lumayan, tubuh yang empuk dan sintal itu, meskipun sejenak terasa hangat di tubuhnya.
"Sudah, sudah. Sekarang apakah kau sudah siap kubawa lari?" tanya Pendekar Slebor.
Mayang mengangguk dengan tersipu. Dalam keadaan genting semacam itu, bila bersamasama Andika rasanya begitu menyenangkan sekali. Tetapi Andika justru tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Coba kau bilang belum. Kan aku bisa menarikmu lagi secara tiba-tiba, sementara kau dalam keadaan tidak siap. Kan asyik kalau tubuh- mu nempel lagi!" seloroh Pendekar Slebor yang semakin membuat wajah gadis itu bersemu merah dadu.
"Kang Andika menggoda terus!" sungut Mayang merajuk. Padahal, dadanya berdebar tak karuan.

***

:|: 6 :|:

Camar Hitam langsung berbalik pada Ki Abdi Kanwa sambil menggeram marah.
"Mahligai Permata Bidadari!" dengus Camar Hitam, menyebut jurus yang dikeluarkan Penguasa Alas Roban.
Memang, jurus yang diperlihatkan Ki Abdi Kanwa tadi adalah jurus 'Mahligai Permata Bidadari'. Suatu jurus menghindar yang hanya mempergunakan tenaga lemah saja, namun mampu menguras tenaga lawan. Karena lewat jurus ini, lawan akan mudah terpancing.
"Karena aku tidak ingin bertarung denganmu, Camar Hitam," kata Ki Abdi Kanwa pula.
"Sekarang ini, lebih baik kita selesaikan saja secara damai. Kita lemparkan cincin sakti itu ke kawah gunung, biar ditelan lahar panas. Dan kita kembali ke jalan masing-masing, tanpa membawa silang sengketa. Bukankah ini usul yang sangat menarik daripada kita yang sudah sama-sama tua harus adu kesaktian?"
"Hhh! Orang banyak boleh mengagumimu karena kebijaksanaan, Ki Abdi Kanwa! Tetapi sekarang, ternyata semua ucapan dan sikapmu
hanya omong kosong! Karena, kau tak lebih dari seorang penipu belaka! Makan seranganku ini!"
Bukannya Camar Hitam yang menyahuti kata-kata Ki Abdi Kanwa, justru Sudongdong yang berteriak garang sambil menerjang.
Tubuh si Kera Sakti meluncur dengan satu gerakan seperti monyet berayun. Gerakannya sangat lincah. Terkadang dilakukan dengan bergulingan dan melompat. Sementara tangan dan kakinya akan mencapai sasaran yang dituju. Itulah jurus 'Kera Sakti Mengurung Mangsa'. Suatu jurus yang mengandalkan kecepatan cukup tinggi. Setiap serangannya mengandung ancaman berbahaya. Bahkan mampu membuat lawan kewalahan. Namun yang dihadapi si Kera Sakti adalah Penguasa Alas Roban yang memiliki kesaktian tinggi. Tak heran kalau dengan mudahnya, serangan ganas yang dilakukan Sudongdong mampu dihindari. Rupanya jurus yang diperlihatkan si Kera Sakti merupakan sebuah rangkaian gerak cepat dan mematikan. Gerakan-gerakan sangat aneh.
Mencakari dari atas, mencabik dari bawah, menampar dari samping, bahkan memukul dari belakang. Benar-benar mengurung lawan.
Dan perlahan-lahan bila semula Penguasa Alas Roban hanya menggerakkan tubuhnya tanpa bergerak dari tempatnya berdiri, kali ini mulai menggeser untuk menghindari serangan gencar.
Sudongdong bertindak demikian, bukannya berniat untuk menjatuhkan Ki Abdi Kanwa.
Karena dia yakin, kesaktian sosok berpakaian putih itu hanya bisa ditandingi Camar Hitam. Yang jelas dia bertindak demikian
agar Camar Hitam tidak curiga. Seolah-olah dia berpihak pada perempuan gadis itu. Maka secara tak langsung, lelaki berwajah kera itu bisa
mendompleng Camar Hitam. Setan Kaki Besi berpikiran sama. Dia pun langsung meluruk menggebrak Penguasa Alas Roban. Serangannya pun tak kalah hebatnya. Terutama, setiap kali kaki kanannya yang terbuat dari besi itu berkelebat.
Wuuut! Wuuut! Berdesir angin kencang yang membuat Ki Abdi Kanwa harus bekerja keras juga. Namun sampai saat ini, setelah sekian jurus terkuras, terlihatlah satu kenyataan.
Ternyata Ki Abdi Kanwa belum juga menyerang. Bahkan masih saja menghindari serangan-serangan yang sampai sejauh ini belum juga mengenai sasaran.
Melihat hal itu, Sudongdong menggeram.
"Ki Abdi Kanwa! Apakah selama ini kau lupa bagaimana harus menyerang?" seru si Kera Sakti mengejek.
Ki Abdi Kanwa melompat mundur dengan ringan menghindari sapuan kaki Sudongdong dan sambaran kaki besi Layan.
"Aku tidak perlu melupakannya," sahut Penguasa Alas Roban, kalem.
"Bangsat! Apakah kau hanya besar lagak saja, padahal tidak akan mampu untuk menjatuhkan kami?" dengus Sudongdong lagi.
Si Kera Sakti semakin geram saja. Lebih geram lagi ketika melihat Camar Hitam hanya berdiri terpaku saja menyaksikan pertarungan.
Sedikit pun tak terlihat kalau berkeinginan untuk membantu.
"Ayo, Ki Abdi Kanwa! Perlihatkan kehebatanmu!" teriak Sudongdong.
Lalu si Kera Sakti kembali merangsek dari depan. Sementara Layan sudah menggebrak dari belakang. Namun dengan cepat Ki Abdi Kanwa
melenting sekali lagi ke atas.
"Sudongdong! Aku tidak pernah lupa ilmu yang kupelajari! Bahkan aku sangat ingat, bagaimana orang sepertimu dan Layan
harus diajar adat!" desis Penguasa Alas Roban. Tiba-tiba tubuh Ki Abdi Kanwa bergerak berputar, lalu meluruk ke arah Sudongdong.
Sudongdong yang cukup terkejut mencoba menghindar. Sementara, Layan mencoba membokong, dengan maksud agar Sudongdong tidak terkena serangannya. Namun yang terjadi justru di luar dugaannya. Karena tanpa terlihat lagi, kaki Ki Abdi Kanwa tahu-tahu menyepak ke belakang.
Begkh! "Ukh...!"
Layan terhuyung ke belakang dengan mulut meringis kesakitan. Sementara Ki Abdi Kanwa terus menyerang Sudongdong yang dalam keadaan gawat segera mempergunakan jurus 'Kera Sakti Hindari Kabut'. Jurus itu memang jurus andalan si Kera Sakti untuk menghindari. Dan tiba-tiba saja tubuhnya melompat ke dahan pohon.
"Nguik..., nguik...!"
Si Kera Sakti bersuara mengejek, membuat Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Namun mendadak saja tangannya mengibas. Saat itu juga serangkum angin keras menderu ke arah Sudongdong. Cepat si Kera Sakti melompat ke dahan lain yang kontan berantakan.
"Nenek busuk! Apakah kau akan membiarkan tua putih itu membunuh kami"!" seru Layan yang masih menahan sakit sambil melotot garang pada Camar Hitam.
Camar Hitam terkikik.
"Kalaupun dia tidak mampu membunuh kalian, akulah yang akan membunuh kalian!" sahut Camar Hitam enteng.
"Bangsat! Kau melupakan janjimu!" bentak Layan.
"Hik hik hik! Apakah kau pikir semua manusia dari golongan hitam bisa dipercaya" Dari golongan putih saja banyak yang berdusta. Apala-gi dari golongan hitam"
Sudahlah, Layan. Kalau kau memang ingin memiliki cincin pusaka itu, ki-ta tentukan saja di sini sekarang! Siapa yang bisa hidup di antara kita berempat, maka dialah yang berhak mendapatkan cincin pusaka itu!" sahut Camar Hitam sambil terkikik.
Layan mendengus, marah pada Ki Abdi Kanwa. Padahal seharusnya dia dan Sudongdong sudah berhasil menipu Camar Hitam. Namun sekarang, keadaannya justru menjadi gawat.
Lalu dengan penuh kemarahan, Setan Kaki Besi menyerang lagi. Kali ini bukan Ki Abdi Kan-wa sasarannya, tapi si Camar Hitam!

***

Sejenak Camar Hitam terkejut menerima serangan Layan yang mendadak. Namun nalurinya yang tajam dan kesaktiannya yang tinggi,
cepat memberi perlawanan cukup berarti. Serangan yang dilakukan Layan menderu. Berkali-kali nyaris kaki kanannya yang terbuat
dari besi memakan bagian-bagian tubuh perempuan tua itu.
"Bagus! Bagus sekali!" kata Camar Hitam sambil terkikik-kikik.
"Inilah yang sangat kusukai darimu, Layan! Kau masih berlagak hebat, padahal hanyalah sapi ompong belaka!"
"Diam kau, Nenek Peot!" maki Layan geram. Si Setan Kaki Besi terus menyerang dengan gencarnya. Meskipun tahu tidak bisa menandingi
kesaktian Camar Hitam, namun hatinya geram sekali pada nenek peot itu.
"Sejak semula kita sudah sepakat untuk bersama-sama mencari cincin sakti itu! Tetapi, ketika aku dan Sudongdong kewalahan menghadapi Ki Abdi Kanwa, kau enak-enak saja menonton, hah"!" rutuk Layan.
"Bahkan aku sangat bersyukur bila kalian mampus!" sahut Camar Hitam, santai saja sambil mengayunkan tongkatnya. Lurus dari atas ke bawah. Layan menghindar dengan jalan bersalto ke belakang.
Sementara itu, Sudongdong dengan jurus "Kera Sakti Hindari Kabut" kembali menyerang Ki Abdi Kanwa. Serangannya sangat lincah sekali, diiringi kelincahan tubuhnya saat menghindar. Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang melihat kekeraskepalaan Sudongdong. Kehadirannya di dunia ramai ini bukanlah untuk mencari silang sengketa, melainkan untuk mencoba mendamaikan kehidupan di muka bumi ini.
Yah! Sesuai mimpi Penguasa Alas Roban, maka bisa dipastikan kalau tanah Jawa ini akan bersimbah darah. Hari ini saja sudah muncul tiga orang tokoh yang cukup disegani. Terutama, Camar Hitam. Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang. Entah siapa lagi yang akan muncul.
"Hei, Kakek Busuk! Ayo, hajar aku! Aku ingin lihat kecepatanmu saat menandingi jurusku ini!" tantang Sudongdong dengan sikap pongah.
Tubuhnya lantas bergerak menyambar ke sana kemari dengan gerakan bagai seekor kera.
Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang. Yang menjadi pikirannya bukanlah Sudongdong dan Layan, tetapi si Camar Hitam yang dirasakannya setara dengan kesaktian yang dimilikinya. Tetapi, dia harus memberi pelajaran dulu pada Sudongdong. Biarlah Layan dihajar oleh Camar Hitam. Mendadak saja Ki Abdi Kanwa memutar tubuhnya setengah lingkaran. Gerakan itu dilakukan bersamaan dengan serangan Sudongdong yang langsung luput. Masih dalam keadaan demikian, tangan Penguasa Alas Roban bergerak.
Begkh! "Ugkh...!"
Hantaman itu tepat mengenai punggung Sudongdong yang kontan tersuruk ke depan. Lalu seketika tubuhnya berbalik dengan tatapan nyalang.
"Bangsat kau, Orang Tua!" dengus si Kera Sakti. Ki Abdi Kanwa tersenyum.
"Sudongdong. Lebih baik urungkan niatmu untuk memiliki cincin pusaka Ki Seta! Biarkan dia berada di perut Ki Seta selama-lamanya. Dan biarkan mayat Ki Seta tenang sepanjang zaman tanpa diganggu siapa pun...," ujar Ki Abdi Kanwa, halus.
"Diam kau, Orang Tua! Jangan berkhotbah di sini! Apakah kau pikir aku bodoh yang tidak tahu akal bulusmu untuk menguasai cincin pusaka itu!" bentak Sudongdong lagi.
Ki Abdi Kanwa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tak seorang pun di antara kita yang telah melihat cincin itu, bukan? Mungkin memang benar masih berada di perut Ki Seta. Jadi, biarkan saja. Kalaupun sudah telanjur dibedah dan ditemukan cincin itu, lebih baik dibuang saja ke kawah Gunung Pengging. Dan, mayat Ki Seta kita
kuburkan kembali."
"Bangsat tua! Kau hendak mengangkangi cincin pusaka itu seorang diri rupanya! Heaaa!" Sudongdong sudah menyerang lagi. Kali ini
lebih ganas dan lebih cepat.
Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng. Dia benar-benar sedih kalau sebentar lagi darah akan bersimbah di sini. Apalagi Layan tampak sudah
menjadi bulan-bulanan tongkat si Camar Hitam.
Sudah jelas sekali, Setan Kaki Besi tak akan bisa menaklukkan Camar Hitam. Untuk menandingi saja sudah sulit bukan main!
Akan tetapi, si Setan Kaki Besi nampak gigih. Tidak dipedulikan kalau berkali-kali tubuhnya terkena hantaman tongkat Camar Hitam yang
sudah dialirkan tenaga dalam tinggi. Ki Abdi Kanwa sendiri segera mengelakkan setiap serangan gencar ke arahnya. Lagi-lagi hatinya merasa sedih, bila membayangkan apa yang akan terjadi kelak. Yah! Kini, jumlah mereka saja sudah tiga orang. Sudah pasti akan semakin banyak yang berdatangan menginginkan cincin pusaka itu. Sementara itu Camar Hitam saat ini sedang menggerakkan tongkatnya ke arah Layan yang mencoba menghindar, namun sudah kehabisan tenaga. Berkali-kali tubuhnya menerima pukulan yang sangat mematikan.
Hingga akhirnya....
Prakkk! "Aaakhhhggg!"
Sebuah hantaman tongkat di kepala, tak bisa dihindari Setan Kaki Besi. Tubuhnya pun kontan tersungkur dengan kepala pecah.
Begitu mendengar jeritan Layan sahabatnya yang memilukan dan telah menjadi mayat, Sudongdong menggeram marah. Dari menyerang
Ki Abdi Kanwa, dia melompat ke arah Camar Hitam dengan kekuatan penuh.
"Manusia bangsat! Kau harus membalas nyawa Layan dengan nyawa busukmu!" bentak si Kera Sakti.
"Hik hik hik! Bagus, bagus! Keroco macam kalian ini memang lebih baik mati saja! Daripada memusingkan kepala!" sambut si Camar Hitam. Wuuut!
Tongkat perempuan sakti itu berkelebat, menyambar kaki Sudongdong yang langsung menghindar. Lalu dikirimkannya satu pukulan lurus sambil memutar tubuhnya.
"Hebat!" puji Camar Hitam sungguhsungguh.
"Sayangnya, kau pun akan menyusul sahabatmu itu, Monyet Jelek!"
Gempuran-gempuran yang dilakukan Sudongdong semakin cepat dan gencar dengan tenaga dalam berlipat ganda. Ia sudah tidak sabar untuk melihat Camar Hitam terkapar. Apalagi bila melihat Setan Kaki Besi yang kini telah menjadi mayat. Sementara itu Ki Abdi Kanwa hanya terdiam saja, memperhatikan jalannya pertarungan.
Lalu matanya melirik mayat Ki Seta yang terbujur kaku di atas tanah. Tubuh kaku itu tak bergeming sedikit pun. Kedua matanya terpejam. Bibirnya tersenyum. Kedua tangannya terlipat di atas perut. Ki Abdi Kanwa mendesah pendek. Seorang pendekar tangguh di masa lalunya kini telah terbujur kaku, dalam keadaan menjadi mayat pun masih diributkan. Apa arti senyuman di bibir itu" Tanya Ki Abdi Kanwa dalam hati. Padahal, sebentar lagi mayat itu akan tercabik-cabik.
Tidak! Ki Abdi Kanwa mendesis dalam hati.
Tidak akan pernah mayat pendekar itu dibiarkannya akan dicabik-cabik manusia-manusia serakah yang menginginkan cincin pusaka itu. Dia
bertekad akan mempertahankannya. Akan dibiarkannya saja cincin pusaka itu berada di perut Ki Seta. Pertarungan sengit antara Camar Hitam lawan Sudongdong berlangsung seru. Rupanya tanpa disangka, si Kera Sakti mampu mengimbangi serangan-serangan Camar Hitam. Jurus 'Kera Sakti Hindari Kabut' sangat berguna dalam menghindari setiap serangan.
Jurus itulah yang membuatnya seolah-olah mampu mengimbangi Camar Hitam. Sedangkan perempuan tua itu nampak semakin geram, karena sudah lewat lima belas jurus belum juga berhasil menangani lelaki berwajah kera itu.
Kenyataan itu pun membuat Camar Hitam secara mendadak memutar tongkatnya menjadi seperti baling-baling di atas kepala. Angin yang berdesir sangat kencang, mampu merontokkan jantung orang yang memiliki tenaga dalam rendah. Sementara Sudongdong tersenyum meremehkan.
"Apakah kau hanya bisa bermain balingbaling seperti anak kecil, hah?" ejek si Kera Sakti ini.
"Penutup Jalan Darah!" justru saat itu terdengar seruan Ki Abdi Kanwa.
"Camar Hitam! Perlukah kau mempergunakan jurus yang sangat dahsyat itu hanya mempertahankan mayat Ki Seta saja?" lanjut Penguasa Alas Roban.
Camar Hitam terkikik. Sementara desingan yang ditimbulkan akibat suara putaran balingbaling sangat keras.
"Siapa pun yang menghalangiku untuk mendapatkan mayat Ki Seta, harus mampus!"
Sudongdong malah tertawa-tawa.
"Perlihatkanlah semua jurus rahasiamu, Nek! Aku, akan melayanimu sampai seribu jurus!" tantang Sudongdong sambil menggaruk-garuk
kepalanya bagai gerakan seekor monyet.
Wajah Camar Hitam memerah.
"Hhh! Manusia yang mau mampus, memang bersikap seperti itu! Sudongdong! Lihat serangan!"
"Tahan!" seru Ki Abdi Kanwa sambil meng-hentakkan tangannya.
Tubuh Camar Hitam berhenti bergerak, kalau tidak ingin disambar angin yang menderu. Matanya mendelik.
"Kau ada gilirannya nanti, Tua Bangka!" dengus Camar Hitam.
"Aku menanti giliran itu! Sekarang kita tinggal bertiga. Lebih baik kita sepakati saja, tak ada yang mendapatkan cincin pusaka itu! Mayat
Ki Seta kita kuburkan kembali! Dengan begitu, tak ada perpecahan dan pertarungan yang menimbulkan korban di antara kita!" Ki Abdi Kanwa.
Camar Hitam terkikik-kikik.
"Pintar! Pintar sekali otakmu. Penguasa Alas Roban! Kau mampu menuturkan kata-kata berbisamu. Setelah aku dan monyet itu setuju
mayat Ki Seta dikuburkan kembali, kau diamdiam tentunya akan datang kembali ke sini. Menggalinya dan mengangkangi cincin pusaka itu
seorang diri. Hik hik hik...! Usul yang bagus, tetapi bodoh!"
Wajah Ki Abdi Kanwa memerah. Namun otaknya tetap berpikir keras.
"Baiklah.... Kita bedah tubuh Ki Seta! Setelah cincin itu didapatkan, kita lemparkan ke kawah Gunung Pengging. Bagaimana?" lanjut Penguasa Alas Roban, mengutarakan usulnya.
"Camar Hitam! Apakah kau akan mengurungkan niatmu untuk menyerangku, hah"!
Tongkatmu yang berputar itu hanya membuatku muak! Tak pantas kau memperlihatkan tenaga dalam seperti anak kecil begitu!" bentak Sudongdong keras. Wajah Camar Hitam berpaling lagi pada Sudongdong. Matanya melotot penuh amarah.
"Hhh! Rupanya kau memang ditakdirkan sebagai orang keseratus yang akan mampus dengan jurus 'Penutup Jalan Darahku ini! Bagus! Bagus sekali!" sahut perempuan sakti itu, Sudongdong mengangkat kepalanya.
"Aku merasa tersanjung! Tetapi sayangnya, justru kaulah yang akan menjadi orang keseratus yang akan mati pada jurusku ini!" balas Sudongdong pongah. Tiba-tiba si Kera Sakti membuka kedua tangannya ke muka, dengan tubuh ditarik ke belakang agak condong. Kaki kanannya melangkah satu tindak. Sedang kaki kirinya melipat ke dalam Sepertinya jurus itu memang tak ada artinya.
"Hik hik hik.... Meskipun jurusmu penuh tipuan, tetapi..., hanya pantas diperlihatkan oleh anak kecil saja!" ejek si Camar Hitam sambil terkikik-kikik.
Begitu pula yang dipikirkan Ki Abdi Kanwa. Dia tidak melihat keistimewaan pada jurus yang diperlihatkan Sudongdong. Biarpun dikatakan
penuh gerak tipu, tetapi Ki Abdi Kanwa yang bisa menebak ke mana arah lawan menyerang, sekali lagi tidak melihat sesuatu yang aneh.
Jurus itu biasa-biasa saja. Apakah itu hanya pembuka pancingan saja" Ataukah, ada maksud tertentu dari si Kera Sakti dengan membuka jurus yang nampak kosong" Sudongdong tertawa.
"Nah! Kalau kau menyangka jurusku ini tak berarti, silakan pergunakan 'Penutup Jalan Darah'mu untuk menyerangku!" ejek si Kera Sakti sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya. Tongkat yang sejak tadi berputar di atas kepala Camar Hitam, semakin kencang saja, menimbulkan suara yang menderu-deru. Lalu tibatiba saja tubuh Camar Hitam meluruk ke muka, dengan gerakan cepat sekali
"Kau akan menyesal seumur hidup karena berani menantangku, Sudongdong!"
Hebat! Karena dalam sekali gerak saja, tongkat yang dipegang Camar Hitam sudah bergerak beberapa kali. Seolah-olah sudah tercium jalan darah yang akan dimusnahkan.
Dalam perkiraan Ki Abdi Kanwa, Sudongdong akan hancur dalam sekali serang. Karena sama sekali tidak terlihat keistimewaan jurus
yang diperlihatkannya. Memang, menghadapi 'Penutup Jalan Darah' milik Camar Hitam, haruslah mempunyai ilmu meringankan tubuh tinggi yang ditunjang tenaga dalam serta hawa murni.
Namun yang membuat Penguasa Alas Roban terkejut, bukan karena Sudongdong mampu menghindari serangan Camar Hitam. Bukan pula
dia bisa membalas serangan itu. Tapi ketika tubuh Camar Hitam sudah mendekat. Sudongdong melemparkan tiga buah benda ke arah perempuan sakti itu. Sementara dua buah meluncur ke arah Ki Abdi Kanwa sendiri!
Tanpa banyak pikir lagi, kedua tokoh sakti yang berbeda golongan itu, menepis benda-benda yang dilemparkan si Kera Sakti. Tidak ada ledakan. Tidak ada kejutan apa-apa. Yang ada hanyalah asap hitam yang sangat pekat! Dan..., mengandung racun! Kedua tokoh tua itu terlambat untuk menutup jalan napas, karena hawa racun itu begitu kuat menyergap.
Saat itu juga, Sudongdong langsung bergerak menyambar mayat Ki Seta.
"Makanlah Racun 'Ludah Kera' yang sangat keras itu. Dalam waktu dua hari, tubuh kalian akan diserang rasa sakit luar biasa! Tak satu pun tenaga dalam yang akan mampu menahan rasa sakit itu! Ha ha ha... Layan! Maafkan aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena kau sudah mati! Camar Hitam dan Ki Abdi Kanwa! Kini akulah yang berhak memiliki cincin pusaka itu. Dan sebentar lagi, akan menguasai rimba persilatan ini!"
Lalu sambil terbahak-bahak, si Kera Sakti berkelebat meninggalkan lereng Gunung Pengging, meninggalkan dua sosok tubuh yang tergolek pingsan. Juga, meninggalkan satu sosok tubuh yang telah menjadi mayat.

***

:|: 7 :|:

"Berhenti!"
Satu bentakan terdengar cukup keras disertai berlompatannya sepuluh orang dari balik semak dan langsung mengurung Sawedo dan kawan-kawannya. Mereka semuanya memakai pakaian hitam, dengan ikat kepala putih. Di punggung masing-masing terdapat sebilah pedang tipis, namun jelas sangat tajam.
Sawedo dan ketiga temannya secara tidak langsung menjadi bersiaga. Bila melihat sikap pa-ra penghadangnya bisa dipastikan kalau mereka bukanlah orang baik-baik. Mereka tidak menyangka akan mengalami kejadian seperti ini. Hutan yang sekarang disinggahi sangat lebat, penuh pepohonan besar.
"Hmmm..., ada apa sebenarnya ini" Mengapa kalian semua menghalangi langkah kami?" tanya Sawedo yang mempunyai nyali cukup besar
dengan mata menyipit.
Salah seorang yang mengenakan ikat pinggang berwarna merah terbahak-bahak. Wajahnya kasar, banyak ditumbuhi bulu. Hidungnya besar dengan mulut besar pula. Usianya kira-kira empat puluh lima tahun. Bila melihat ciri khas pakaiannya yang lain daripada yang lain, sudah bisa dipastikan kalau dia bertindak sebagai pemimpin.
"Anak muda.... Lancang sekali kau bicara seperti itu terhadap Gagak Seto...," kata lelaki berwajah kasar ini dengan suara meremehkan.
"Apakah kau sudah bosan hidup?"
Sawedo yakin, yang berdiri di hadapannya bukan orang sembarangan. Nama Gagak Seto memang belum pernah didengar. Namun yang bisa dipastikan sekarang ini, sikap orang itu benar-benar menjengkelkan.
"Baiklah, Kakang Gagak Seto.... Maafkan kelancanganku," ucap Sawedo sambil memutar otaknya yang cerdik.
Sawedo merasa harus bisa mengulur waktu agar tidak terjadi bentrokan berdarah. Sementara ketika matanya melirik teman-temannya, mereka sudah siap mencabut parang di pinggang.
"Bagus! Kau beruntung hari ini, Anak Muda.... Aku tidak sedang ingin membunuh. Kau cukup menjawab pertanyaan-pertanyaanku saja,
maka akan kuizinkan melanjutkan perjalanan. Ingat yang kukatakan tadi. Aku sedang tidak ingin membunuh. Tetapi anak buahku..., ha ha
ha.... Mereka sudah tidak sabar untuk memancung kalian...," kata Gagak Seto.
Sawedo mendengus dalam hati. Benar dugaannya, kalau mereka bukanlah orang baikbaik. Sungguh sial sebenarnya nasib Sawedo dan
teman-temannya, karena harus berjumpa mereka.
"Hhh! Apa yang ingin kau tanyakan, Gagak Seto?" tanya Sawedo dengan suara ditekan.
Gagak Seto tertawa meskipun sempat tersentak sejenak. Karena, anak muda itu memanggilnya tanpa ada rasa hormat. Sedang semua bernada menghormat dengan sebutan 'kakang'. Rupanya anak muda ini memang mempunyai nyali.
"Bagus! Bagus sekali. Aku menyukai anak muda yang penuh keberanian. Memiliki perhitungan matang dan mampu membuat siapa saja terpesona oleh keyakinannya. Tetapi, masalah itu nanti saja kita bicarakan. Hmmm..., Anak Muda! Kenalkah kau dengan seseorang yang bernama Ki Seta?" kata Gagak Seto.
Mendengar pertanyaan itu bukan hanya Sawedo yang mengerutkan keningnya. Tetapi, ketiga temannya pun juga. Ki Seta? Ki Seta yang
mana" Apakah Ki Seta kakeknya Mayang yang telah dibunuh Manusia Pemuja Bulan"
"Maaf, Ki Seta mana yang kau maksudkan?" tanya Sawedo.
"Hmmm.... Kalau tidak salah dengar, dia seorang pendekar tangguh pada masa mudanya dulu," sahut Gagak Seto.
Sawedo mengira, kalau orang yang dimaksud bukan Ki Seta, kakeknya Mayang. Demikian pula ketiga kawannya. Karena sepengetahuan
mereka, kakeknya Mayang bukanlah seorang pendekar di masa mudanya.
"Maaf, kalau itu kami tidak tahu," kata Sawedo.
"Hmm.... Ki Seta yang mana yang kalian tahu?"
"Yang kami tahu selama ini, kami hanya mengenal seorang yang bernama Ki Seta di lereng Gunung Pengging"
"Bagus, bagus sekali! Ki Seta itu yang kami maksud! Seorang laki-laki tua yang tinggal di Gunung Pengging. Karena pengaruh cincin pusaka
yang ditelannya, seluruh kesaktiannya telah hilang. Sehingga, dia tak ubahnya seperti orang bodoh. Bagus, Anak Muda. Bagus sekali...."
Kening keempat pemuda dari lereng Gunung Pengging itu berkerut. Sama sekali tidak dimengerti, apa maksud Gagak Seto. Ki Seta dulunya seorang pendekar sakti" Lalu karena menelan cincin pusaka, maka kesaktiannya lumpuh! Dongeng dari mana lagi ini"
"Gagak Seto.... Kau sudah mendapatkan jawaban kami, bukan" Lebih baik izinkan kami untuk meneruskan perjalanan," ujar Sawedo.
Enggan dia memikirkan dongeng bodoh itu.
"Tunggu! Apakah Ki Seta ada di sekitar lereng Gunung Pengging?" cegah Gagak Seta, bertanya. Sawedo menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Yang mana rumahnya?"
"Sebuah kuburan."
"Hei! Apa maks..., oh! Sebuah kuburan?"
"Ya! Karena, Ki Seta sudah mati."
Gagak Seto menjejak-jejakkan kakinya ke tanah dengan sikap sebal.
"Bodoh! Gila kalau begini! Kita pasti sudah terlambat sekarang! Sudah bisa dipastikan, banyak para tokoh sakti yang bermunculan untuk
merebut cincin pusaka yang berada di perutnya! Hhh! Kita harus secepatnya tiba di lereng Gunung Pengging dan mencari makamnya! Gila! Ayo, kita...." Kata-kata Gagak Seto terputus. Dan mendadak saja kepalanya menoleh pada Sawedo dan yang lainnya.
"Anak muda..., tahukah kau di mana makam Ki Seta itu?"
Sawedo yang cerdik dapat memperkirakan apa yang diinginkan Gagak Seto. Maka kepalanya menggeleng.
"Aku tidak tahu," sahut Sawedo.
"Dusta!" sentak Gagak Seto.
"Kalau kau tidak percaya, aku tidak ada masalah. Yang pasti, aku tidak tahu di mana dia dimakamkan. Karena, aku bukanlah penduduk di sekitar lereng Gunung Pengging! Mendengar nama Ki Seta saja, hanya selentingan," sahut Sawedo, berdusta.
Gagak Seto menyembur geram. Tangannya yang besar dan penuh bulu mengepal-ngepal. Rahangnya terkatup, seolah menahan semburan
panas yang siap terlontar.
Namun tiba-tiba saja tubuh Gagak Seto berkelebat, menyambar Jalu yang tak menyangka. Diseretnya pemuda itu dua tindak, dengan
tangan tertelingkung. Tangan Gagak Seto yang kekar, melingkar di leher Jalu.
Kalau tadi Gagak Seto nampak menyimpan kekesalan, sekarang justru terbahak-bahak.
"Anak muda..., apakah kau akan mungkir dari jawabanmu terus" Ataukah, kau akan melihat leher kepala temanmu ini patah?" kata Gagak
Seto, merasa menang.
"Lepaskan dia!" sengat Sawedo marah.
Sungguh Sawedo tak menyangka kalau laki-laki besar penuh bulu itu akan menyambar Jalu. Meminta Gagak Seto untuk melepaskan Jalu
bukanlah suatu hal yang mudah.
"Ha ha ha...! Kau lihat sendiri, betapa pu-catnya temanmu ini karena tak bisa bernapas. Ha ha ha.... Sebentar lagi, pasti dia akan kehabisan napas!" ujar Gagak Seto, pongah.
"Gagak Seto! Tadi kau katakan tidak ingin membunuh hari ini!" seru Sawedo geram.
"Benar!" sahut Gagak Seto, pendek.
"Mengapa sekarang kau mau membunuhnya, hah"!"
"Tidak, tidak.... Aku hanya memperkecil jalan pernapasannya saja. Urusan membunuh, ha ha ha...! Sudah tentu urusan anak buahku. Jangan khawatir! Gagak Seto tak akan pernah mengingkari janjinya...," kata laki-laki besar itu, terbahak-bahak.
"Lepaskan dia!" bentak Sawedo.
"Antarkan kami ke makam Ki Seta!" balas Gagak Seto.
Meskipun masih tidak mengerti mengapa tahu-tahu ada orang yang mencari makam Ki Seta, Sawedo menghela napas masygul bercampur
kesal. Apalagi melihat keadaan Jalu yang megapmegap. Wajahnya tampak semakin bertambah pucat.
"Anak muda! Aku tidak suka banyak cincong! Antarkan kami ke makam Ki Seta. Atau, temanmu ini mampus?" ancam Gagak Seto.
Sawedo kali ini menyerah, tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara Subekti dan Giri sudah memperhitungkan semuanya. Bila saja Sawedo
nekat menyerang, maka keduanya tak mau bertindak tanggung lagi. Mati bersama menjadi tujuan utama. Sebelumnya pun mereka telah sepakat untuk terus mencari Pendekar Slebor, walau nyawa taruhannya. Dan kini mereka juga tak akan membiarkan begitu saja melihat Jalu yang tampak menderita.
"Baik, kami akan mengantarmu ke makam Ki Seta! Tetapi, mengapa kau begitu bernafsu sekali untuk ke sana?" kata Sawedo, yang memang tak bisa berbuat apa-apa.
Gagak Seto terbahak-bahak. Tangannya yang melingkar di leher Jalu berguncang. Sehing-ga membuat pemuda itu kembali
menahan rasa sakit.
"Bodoh! Apakah kau tidak tahu kalau selama hidupnya Ki Seta merahasiakan sebuah harta"!" dengus Gagak Seto.
Sawedo terdiam, membiarkan Gagak Seto berkata-kata. Ia jadi teringat ketika Manusia Pemuja Bulan memaksakan kehendaknya pada Ki
Seta, agar memberitahukan di mana hartanya disimpan. Harta apa" Apakah Gagak Seto dan sembilan anak buahnya mengetahui tentang harta Ki Seta"
"Hei, Anak Muda! Kau tahu tidak?" bentak Gagak Seto tiba-tiba.
Sawedo langsung menganggukkan kepala.
"Aku pernah mendengar tentang itu. Tetapi, tidak pernah tahu harta apa," sahut Sawedo.
"Ha ha ha.... Bodoh, bodoh sekali! Kau rupanya memang buta, kalau di tempat tinggalmu sebenarnya ada seorang pendekar besar yang tidak bisa berbuat apa-apa, karena seluruh kesaktiannya telah hilang. Hhh! Dulunya Ki Seta adalah pendekar tangguh yang sukar dicari tandingannya, kecuali adik seperguruannya sendiri. Ala, sudahlah.... Yang pasti, di perut Ki Seta terdapat sebuah cincin pusaka yang sangat hebat! Yang tak ada tandingannya untuk masa-masa sekarang! Cincin itulah yang menyebabkannya lumpuh bersama seluruh kesaktiannya!"
Sawedo dan yang lain mendengarkan dengan seksama. Tetapi, apakah yang dimaksud orang penuh bulu ini adalah, Ki Seta kakeknya
Mayang" Gagak Seto mengibaskan tangannya.
"Sudahlah! Ayo kita segera berangkat! Jangan-jangan di sana sudah ramai para tokoh dunia persilatan yang sedang sibuk memperebutkan cincin pusaka itu!" ujar Gagak Seto.
"Lepaskan kawanku dulu, baru kita berangkat!" seru Sawedo keras.
Gagak Seto terbalik padanya dengan tatapan geram.
"Jangan menjual tampang di hadapanku, Anak Muda! Penuhi permintaanku. Atau temanmu ini kukepruk kepalanya sampai hancur, hah"!" gertak Gagak Seto.
Kali ini tak ada jalan lain yang bisa dilakukan Sawedo. Begitu pula Subekti dan Giri yang diam-diam menganggukkan kepala, tanda setuju.
Gagak Seto terbahak-bahak keras begitu melihat kepala Sawedo mengangguk. Lalu dengan bengis, didorongnya tubuh Jalu hingga terjajar ke depan, seraya menendang perutnya.
"Bagus! Kita berangkat sekarang!" ujar Gagak Seto, begitu Jalu menyusur tanah.
Sawedo tak bisa lagi menahan geramnya. Namun, dia harus mundur karena tiga orang anak buah Gagak Seto sudah mencabut pedang,
siap menyabet bagian-bagian tubuh Sawedo.
Namun sebelum anak buah Gagak Seto melangkah... Des, des, des...!
"Aaakh...!"
Tiba-tiba saja tiga orang yang mengurung Sawedo dengan pedang terhunus berpentalan disertai jeritan keras. Lalu mereka ambruk muntah
darah. Dua orang langsung melayang nyawanya.
Yang seorang lagi sekarat, siap menyusul nyawa kedua temannya.
Gagak Seto melotot gusar.
"Manusia busuk! Keluar kau"!"
Dari balik sebuah semak, muncul satu sosok tubuh berpakaian hijau muda dengan kain bercorak catur tersampir di pundak. Pemuda itu
melangkah sambil cengar-cengir seperti orang tak punya dosa.
"Pendekar Slebor...!" Justru Sawedo yang berseru.
Sementara sosok yang memang Andika alias Pendekar Slebor hanya mengangkat tangannya saja. Sikapnya santai sekali.
Mendengar sebuah julukan yang barusan diteriakkan Sawedo, Gagak Seto terbahak-bahak. Kalau tadi marah, kini menyembunyikan kemarahannya di balik tawanya.
"Tak kusangka, rupanya yang muncul di hadapanku Pendekar Slebor?" sambut Gagak Seto, menunjukkan kepongahannya.
"Kau pikir seorang pangeran, ya" Aku memang pantas jadi pangeran, bukan?" balas Andika sambil tertawa.
"Pangeran" Ha ha ha...," ulang Gagak Seto disertai tawa mengejek. Namun tibatiba tawanya berhenti.
"Pendekar Slebor! Lebih baik kau minggat dari sini, sebelum merasakan kehebatan Gagak Seto!"
"Apa?"
Andika memiringkan kepalanya.
"Gagak Bego" O, rupanya julukanmu Gagak Bego?" ledek Andika sambil nyengir.
"Kalau begitu, namaku Gagak Pintar."
Wajah Gagak Seto memerah mendengar selorohan itu. Apalagi melihat tiga anak buahnya telah menjadi mayat, karena yang sekarat tadi kini sudah menyusul kedua temannya.
"Rupanya. Pendekar Slebor memang iseng! Kerjanya hanya mengganggu orang lain saja! Hajar dia!" perintah Gagak Seto.
Serentak enam orang anak buah Gagak Seto mencabut pedang masing-masing. Mereka langsung mengurung Andika dengan wajah angker. Andika masih cengar-cengir saja.
"Kalau hanya begini saja sih, enteng! Kenapa tidak kau sekalian saja, Gagak Bego" Barangkali saja setelah bertarung denganku, kau semakin sadar kalau kau memang bego...," kata Andika seenaknya.
"Bunuh dia!"
Serentak enam buah pedang menyerang pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu. Enam buah mata pedang berkilat ditimpa sinar mentari senja yang sudah menurun.
Sementara Andika masih saja meloncat ke sana kemari dengan santainya.
Wuuut! Srrrt! Pedang-pedang itu terus berkelebatan menyambar dengan cepat disusul seruan-seruan keras yang menambah semangat bagi para penyerang Andika. Sawedo yang tak pernah menyangka kalau Pendekar Slebor yang sedang dicarinya akan muncul di sini, diam-diam menghela napas panjang. Buru-buru didekatinya Jalu yang sedang memegangi perutnya. Sementara Giri dan Subekti bersiap membantu Andika, bila terdesak. Namun keduanya kini sudah tidak menyangsikan lagi kesaktian Andika yang berjuluk Pendekar Slebor.
"Kakang Sawedo...."
Sawedo mengangkat kepalanya, menoleh pada satu tempat.
"Mayang!" seru Sawedo terkejut. Mayang yang muncul dari balik semak mendekat.
"Apa kabar, Kakang?" tanya Mayang, langsung. Tetapi pertanyaannya itu tidak segera dijawab Sawedo. Sebenarnya dalam hati kecilnya, dia juga hendak mencari Mayang. Karena sesung-guhnya, dia sangat mengasihi gadis itu. Dan begi-tu gadis ini muncul, tiba-tiba saja dirangkulnya.
Hanya sejenak, karena sejurus kemudian dilepaskannya dengan wajah tersipu.
"Maaf..., aku terlalu gembira melihat kau selamat," ucap Sawedo memerah wajahnya.
Mayang hanya tersenyum saja.
"Yah, berkat pertolongan Kang Andika."
Sawedo diam-diam menghela napas pendek. Lalu Mayang pun menceritakan tentang dirinya yang ditawan Tridarma, sampai dibebaskan oleh Pendekar Slebor yang juga lolos dari tawanan.
"Syukurlah kalau begitu," desah Sawedo.
Pertarungan Pendekar Slebor melawan enam orang berpakaian hitam yang menyerang gadis itu pun berlangsung seru. Kalau tadi
Andika sengaja memperlambat serangannya sampai terdesak, karena ingin mempermainkan Gagak Seto yang terlihat tersenyum puas.
Namun kini, Pendekar Slebor tampak tibatiba saja bergerak laksana kilat.
Des! Buk! Des! Brak! Tiga tubuh anak buah Gagak Seto langsung terpental ke belakang, muntah darah. Yang satu menabrak pohon yang tumbuh di situ.
"He he he.... Mengapa kau tidak langsung turun saja, Gagak Bego?" leceh Andika.
"Tetapi tidak heran ya, kalau orang pengecut itu hanya bi-sa bersembunyi di balik kegarangan semua!"
"Bangsat busuk!" geram Gagak Seto.
Saat itu juga lelaki kekar ini meluruk dengan kedua tangan berbentuk paruh gagak. Andika melompat menghindari serangan. Sementara Subekti, Giri, dan Sawedo telah mengambil alih ketiga sisa lawan Andika tadi. Andika terus menghindari gempurangempuran hebat Gagak Seto yang menggunakan jurus 'Gagak Membubung ke Langit'. Sebuah jurus yang sangat hebat dan cepat.
Tetapi menghadapi jurus ini Andika justru tertawa-tawa. Sambil menghindar dan membalas mulutnya tak henti-hentinya mengoceh.
"Lumayan! Lumayan juga kau, Gagak Bego! Tetapi, kesaktianmu hanya pantas untuk jadi tukang pukul di pasar kotapraja!"
Sambil mengejek Andika bergerak cepat. Kakinya bagai seribu, seolah sangat hafal dengan bagian-bagian tanah yang diinjak. Dan kali ini. Gagak Seto yang menjadi kelimpungan menghadapi gerakan kilat Andika. Sebisanya tubuhnya melenting berkali-kali ke atas Untuk menghindari sambaran kaki Pendekar Slebor yang cepat. Belum lagi, kedua tangan Andika yang terkadang memukul secara beruntun.
"Hei, hei! Kenapa kau tidak mengepakkan kedua sayapmu untuk terbang?" seloroh Andika memanas-manasi.
"Mungkin keberatan dosa ya, sehingga takut jatuh!"
Pendekar Slebor terus bergerak cepat, membuat Gagak Seto benar-benar kelimpungan.
Diam-diam kini disadari, kalau nama besar Pendekar Slebor bukan hanya omong kosong saja. Namun pendekar muda yang bijaksana namun urakannya tidak ketulungan itu memang sangat santer di seluruh tanah Jawa. Sangat dikenal baik oleh golongan sesat maupun golongan lurus.
Bahkan, namanya pun dikenal para pendekar dari negeri seberang. Namun Gagak Seto yang sudah cukup lama malang melintang sebagai salah satu begundal yang ditakuti, tidak mau menyerah begitu sa-ja.
Selagi Andika menyerang dengan cara mematahkan setiap langkahnya, mendadak saja Gagak Seto bergerak ke atas. Lalu dia hinggap di tanah, bukan dengan kedua kaki. Tapi dengan kedua tangannya. Sementara kedua kakinya lurus ke atas.
"Hei" Sedang apa, sih?" seru Andika sambil memperhatikan gerakan Gagak Seto.
"Apa matamu mendadak juling, sehingga melihatku mesti pakai jungkir balik seperti itu?"
"Anak muda...! Sekarang kau akan mengakui kebebatan Gagak Seto!" desis Gagak Seto.
Bagai baru sadar, Pendekar Slebor menganggukkan kepala.
"O..., itu sebuah jurus, toh" Boleh, boleh! Aku juga ingin melihat seperti apa sih, jurusmu itu!" Tiba-tiba saja Gagak Seto bergerak. Luar biasa! Kedua tangannya yang dijadikan sebagai kaki bergerak begitu cepat. Bahkan mampu melompat-lompat, tak ubahnya kaki.
Andika sampai terkejut bercampur kagum melihatnya.
"Hebat!" puji Pendekar Slebor, tulus.
"Dan kau akan merasakan yang lebih hebat lagi. Pendekar Slebor!" dengus Gagak Seto. Kedua kakinya yang mengangkat ke atas menderu-deru, bagaikan sebuah kepalan tangan yang mampu mematikan langkah lawan.
Andika sendiri beberapa kali cukup terkejut menyaksikan serangan aneh itu. Sementara itu, Sawedo, Giri, dan Subekti harus mendapatkan lawan yang tangguh. Bahkan terlihat lebih tinggi ilmunya dari mereka. Giri sendiri berkali-kali harus bergulingan untuk menyelamatkan selembar nyawanya dari sambaran pedang. Begitu pula Subekti. Serangannya seolah mati saja. Berkali-kali pula tubuhnya terkena sambaran ujung pedang yang tajam. Walau tidak mematikan, namun membuatnya pedih. Mungkin hanya Sawedo saja yang kelihatan bisa mengimbangi lawannya, meskipun tak urung harus sangat berhati-hati.
Jalu yang menyaksikan ketiga sahabatnya bertarung mati-matian, hanya bisa menghela napas saja. Dia tidak kuasa untuk bangun, karena
perutnya yang ditendang Gagak Seto tadi masih sakit sekali.
"Habisi mereka semua! Kita harus cepat ke lereng Gunung Pengging!" seru Mayang, memberi semangat.
Kata-kata itu masuk ke telinga Andika, yang menjadi ingat tujuan utama mereka. Memang sulit untuk masuk ke dalam serangan Gagak Seto yang mempergunakan ilmu anehnya. Namun kali ini Andika tidak mau bertindak tanggung lagi. Tubuhnya segera melesat cepat, setelah mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat ketiga puluh di kedua tangannya.
Des! Des! Dua pukulan Pendekar Slebor berbenturan dengan dua sepakan kaki Gagak Seto yang menjuntai ke atas. Tak ada pengaruh apa-apa. Bahkan Gagak Seto terus mencecar.
"He he he.... Sudah cukup belum kau berdiri dengan kedua tanganmu?" ledek Andika.
Sambil bertarung, Pendekar Slebor memikirkan pula kemungkinan Manusia Pemuja Bulan dan Tridarma yang pergi ke lereng Gunung Pengging untuk mencari cincin pusaka di perut Ki Seta.
Kalau mereka sudah berhasil mendapatkannya, maka akan sulit sekali untuk menghancurkan dua manusia sesat itu.
Sementara Gagak Seto menyerang, tetap dengan serangan-serangan aneh! Saat itulah Andika menderu maju dengan tubuh berguling. Lalu
kedua kakinya tiba-tiba menyepak kedua tangan Gagak Seto yang dijadikan sebagai tumpuan.
Tetapi sungguh luar biasa. Gagak Seto ternyata mampu mengangkat tubuhnya dengan lontaran kedua tangannya. Sebenarnya, itulah yang memang diperhitungkan Andika. Begitu tubuh Gagak Seto terangkat, mendadak saja kaki Pendekar Slebor menyambar. Des! "Aaakh...!"
Tubuh Gagak Seto terhuyung, lalu ambruk.
Belum lagi dia bangkit, kaki Andika kembali menghantam perutnya.
Desss...! Dan seketika kaki kanan Pendekar Slebor menyambar kepala Gagak Seto.
Prak! "Aaa...!"
Kepala itu pecah. Tamatlah riwayat Gagak Seto! Andika telah berdiri berkacak pinggang.
"Cukup sudah, ya" Daripada kau capek"
Eh, Sawedo! Minggir kalian semua! Heaaat!"
Sawedo, Giri, dan Subekti langsung minggir begitu mendengar teriakan Andika. Tetapi yang sangat lucu, ketiga laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan pedang di tangan itu justru menjadi kelabakan. Apalagi begitu melihat Gagak Seto yang merupakan ketua mereka
sudah menjadi mayat.
Lebih baik melarikan diri saja daripada mati konyol. Maka serentak ketiganya serabutan melarikan diri. Andika cepat menghentikan serangannya. Dan kedua tangannya memukul-mukul pahanya sendiri.
"Ayo! Kejar! Pegang, pegang!" Ketiga orang itu terus ngibrit terkencing-kencing. Sikap Andika yang kocak membuat Mayang tersenyum simpul.
"Ah, Andika.... Sikapmu yang semaunya itu justru menjadi ciri khasmu. Orang bukannya marah bila melihat sikapmu yang sedikit tengil dan urakan. Tapi malah akan tertawa bila tahu sifat-mu yang doyan bercanda...," gumam gadis ini dalam hati.
Tetapi, lain lagi bila yang dihadapi Andika adalah tokoh sesat. Mereka yang kegiatannya merasa dihalangi, akan dibuat bertekuk lutut sampai benar-benar tobat.
"Sudahlah, Kang Andika.... Kita harus pergi menyelamatkan mayat Aki," kata Mayang kemudian. Andika berbalik. Segera disalaminya Sawedo, Giri, Subekti dan Jalu. Seolah, saat itulah mereka baru bertemu. Sawedo menceritakan para penduduk yang mengungsi ke Lembah Bunga di bawah pimpinan Paman Longgom.
Sawedo juga menceritakan tentang Gagak Seto yang mengatakan kalau di tubuh Ki Seta terdapat sebuah cincin pusaka. Dan hal itu segera ditanyakan pada Andika. Di luar dugaan Pendekar Slebor mengangguk.
"Yah! Semuanya memang benar. Ki Seta, kakeknya Mayang, dulunya seorang pendekar. Dia telah menelan sebuah cincin sakti, sehingga punahlah seluruh kesaktiannya. Sudahlah.... Kita harus cepat sekarang! Karena aku yakin, sudah banyak para tokoh sakti yang memburu cincin pusaka itu!" ujar Pendekar Slebor.
Setelah mengobati Jalu, mereka pun segera berangkat menuju lereng Gunung Pengging, tempat mayat Ki Seta dimakamkan.

***

:|: 8 :|:

Malam semakin tinggi. Kesunyian mulai menyergap alam sekitarnya. Angin dingin berhembus. Terasa lain dari yang lain, seolah mengi-syaratkan kalau akan ada suatu kejadian yang menggiriskan. Di malam seperti ini Sudongdong alias si Kera Sakti telah siap dengan pekerjaannya, mencari cincin pusaka di dalam tubuh mayat Ki Seta. Mayat itu sudah direbahkan di balik semak. Ketika merasa sudah cukup aman, akan dilakukan- nya pembedahan. Akan dicarinya cincin pusaka yang akan menjadikannya sebagai orang nomor satu di dunia persilatan.
Sejenak si Kera Sakti memperhatikan sekelilingnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin saat ini Ki Abdi Kanwa dan si Camar Hitam dalam keadaan sekarat.
Kini Sudongdong pun memulai maksudnya. Diketuk-ketuknya mayat Ki Seta. Entah apa yang dilakukan, seolah mencari di mana cincin
pusaka itu. Tahu-tahu lelaki berwajah kera itu tersenyum.
"Hmmm.... Rupanya terselip di antara tulang ekor," gumam si Kera Sakti puas. Lalu, dibaliknya mayat Ki Seta.
Kini tibalah saatnya bagi Sudongdong untuk memiliki apa yang diimpi-impikannya. Tangannya pun terangkat, siap mengepruk tulang
ekor Ki Seta. Namun belum lagi sempat menurunkan tangannya, mendadak saja....
Tuk! Tuk! "Ohhh...!"
Saat itu juga si Kera Sakti merasakan tubuhnya menegak kaku. Seseorang telah menotoknya hingga tak bisa bergerak seperti ini.
"Keparat! Keluar kau"!" bentak si Kera Sakti marah.
Sudongdong tidak perlu berteriak sampai dua kali. Karena tak lama kemudian dua sosok tubuh berloncatan ke arahnya. Yang seorang
mengenakan jubah hitam. Sedang yang seorang lagi berambut putih acak-acakan tanpa memakai baju. Mereka tak lain memang Manusia Pemuja Bulan dan Tridarma. Setelah puas menyiksa Pendekar Slebor, Tridarma pun segera mengajak Manusia Pemuja Bulan untuk mendatangi mayat Ki Seta. Karena, kini gilirannya untuk mendapatkan cincin pusaka itu.
Namun karena Manusia Pemuja Bulan ngotot untuk menculik seorang dara perempuan guna menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa', maka perjalanan menuju Gunung Pengging jadi terhambat. Tridarma hanya mendengus saja ketika Manusia Pemuja Bulan membawa seorang perawan dalam keadaan pingsan, yang diculiknya ketika sedang mandi. Dan malam itu juga, seluruh ajian 'Unggulan Dewa' disempurnakannya.
Kini lengkaplah sudah Manusia Pemuja Bulan dalam mempelajari ajian 'Unggulan Dewa' tersebut.Namun, rupanya keterhambatan itu membawa keuntungan. Karena selagi Manusia Pemuja Bulan baru saja selesai menyempurnakan ilmunya, Tridarma mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia pun berkelebat cepat mengikuti satu sosok tubuh bertampang monyet sedang berlari sambil membopong satu sosok tubuh yang lunglai. Mata kelabu Tridarma yang awas itu bisa melihat jelas, kalau yang dibopong manusia bertampang monyet itu tak lain adalah Ki Seta.
Setelah secara singkat menceritakan pada Manusia Pemuja Bulan, Tridarma segera mengejar. Tentu saja diikuti pula oleh Manusia Pemuja Bulan. Ketika manusia bertampang monyet itu telah berhenti dan tengah menerka-nerka di mana gerangan cincin pusaka berada. Tridarma dan Manusia Pemuja Bulan bersembunyi. Baru ketika Sudongdong hendak memukul tulang ekor Ki Seta, barulah Manusia Pemuja Bulan yang bertindak. Dengan sebuah daun, Ki Wedokmurko menotok urat di bawah pangkal lengan kanan Sudongdong. Lalu keduanya mendekati Sudongdong yang kaku dengan tangan kanan terangkat.
"Gembel Tua.... Rupanya nasib kita sangat beruntung. Tidak perlu bertindak seperti maling yang membawa-bawa lari mayat Ki Seta!" kata Manusia Pemuja Bulan, setelah meyakini sosok yang rebah itu memang mayat Ki Seta. Tridarma pun tertawa.
"Ini namanya pucuk dicinta ulam pun tiba. Orang lain yang bersusah payah, kita yang mudah mendapatkannya. Dengan ajian 'Unggulan Dewa' yang telah sempurna kau kuasai serta cincin pusaka yang akan berada di tanganku, kita akan menjadi dua malaikat pencabut nyawa di rimba persilatan ini!" tambah Tridarma. Keduanya terbahak-bahak.
Sudongdong yang sejak tadi menyipitkan matanya jadi jengkel.
"Lepaskan totokan ini! Kita akan bertarung seribu jurus!" dengus si Kera Sakti Manusia Pemuja Bulan berpandangan dengan Tridarma, lalu keduanya tertawa.
"Bagus, bagus sekali.... Aku memang ingin mencoba kehebatan ajian 'Unggulan Dewa'. Dan tak disangka, aku menemukan lawan yang sepertinya memang layak untuk menyambut ajian 'Unggulan Dewa*," kata Manusia Pemuja Bulan.
Manusia Pemuja Bulan menendang sebutir kerikil yang langsung meluncur ke arah si Kera Sakti. Tuk! Totokan yang dialami Sudongdong pun terlepas. Si Kera Sakti langsung menggeram.
"Hhh! Tak akan pernah kubiarkan kalian mendapatkan cincin pusaka itu!" geram Sudongdong sambil membuka jurusnya 'Kera Sakti Mengurung Mangsa'.
Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.
Sementara Tridarma menyingkir.
"Benar tidak yang kukatakan, Gembel Tua" Dia memang pantas untuk mencoba ajian 'Unggulan Dewa' yang telah sempurna ini!" leceh Manusia Pemuja Bulan.
Dalam kesempurnaan, ajian 'Unggulan Dewa' yang dipelajari Manusia Pemuja Bulan secara tidak langsung sudah mengikat dan menyatu pada tubuhnya. Sehingga ketika merapalkannya, tidak menampakkan perubahan warna pada tubuhnya. Kalau dulu selagi berhadapan dengan Pendekar Slebor, seluruh tubuhnya memancarkan warna merah. Kecuali di salah satu bagian bahu kanannya. Saat itu, ajian 'Unggulan Dewa' yang dipelajarinya memang belum sempurna.
"Hhh! Aku ingin tahu kehebatan ajian cacingmu itu!" tantang Sudongdong.
Saat itu juga, si Kera Sakti meluruk maju dengan kekuatan penuh, ia ingin unjuk gigi, dalam sekali gebrak saja lawan akan blingsatan.
Namun, tiba-tiba tangan kanan Manusia Pemuja Bulan telah memancarkan sinar merah.
Begitu mengibas meluncur sinar merah ke arah Sudongdong yang kontan blingsatan.
Sudongdong yang merasa kalau ada sebuah tenaga raksasa mengarah kepadanya, berusaha menghindar. Namun yang membuatnya heran, tubuhnya bagai diikat oleh tenaga raksasa.
Sehingga dia tak bisa bergerak sedikit pun. Aki-batnya.....
Brak! "Aaakh...!"
Tubuh Sudongdong kontan melayang, menabrak pohon hingga tumbang. Dan dadanya terasa sangat sakit.
"Edan! Ajian apa ini"!" sentak si Kera Sakti dalam hati.
Namun Sudongdong bukanlah orang penakut. Begitu bangkit dipersiapkannya bulatan hitam yang mengandung racun. Begitu menyerang,
dilemparkannya lima buah sekaligus bulatan hitamnya. Akan tetapi, semuanya sia-sia saja. Karena ketika laki-laki berjubah hitam itu kembali mengibaskan tangannya tanpa berpindah dari berdirinya, kembali tenaga raksasa menghantamnya.
Seperti tadi, Sudongdong tidak bisa mengendalikan keseimbangannya. Bahkan tidak mampu lagi menahan gempuran tenaga raksasa
yang kuat. Tubuhnya bukan hanya terlontar, bahkan terlempar beberapa tombak. Lalu dia ambruk dengan hidung dan mulut mengeluarkan darah, tanpa dapat bangkit lagi. Sudongdong telah tewas hanya dalam sekali gebrak! Manusia Pemuja Bulan terbahakbahak.
"Gila! Sungguh di luar dugaan! Dia ternyata tidak layak untuk mencoba ajian 'Unggulan Dewa'!" kata Manusia Pemuja Bulan penuh semangat.
"Kuakui, ajian 'Unggulan Dewa' itu sangat hebat. Bagus! Sebentar lagi, kita akan menguasai dunia persilatan!" sahut Tridarma. Tridarma lantas melangkah, mendekati mayat Ki Seta. Kalau tadi Sudongdong yang mengalami keterkejutan karena tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku, kali ini Tridarma. Karena, begitu tangannya terulur siap mengangkat mayat Ki Seta, mendadak saja....
Ctarrr! Terdengar suara keras seperti suara lecutan yang memekakkan telinga.
Tridarma langsung menarik pulang tangannya. Segera dia bergeser dua tindak.
"Bangsat buduk! Siapa yang iseng begini, hah"!" maki Tridarma.
Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bulan pun segera memasang kedua matanya penuh waspada.

***

"Curang! Sangat curang sekali!"
Terdengar suara halus yang disertai langkah gemulai dari sosok ramping berpakaian serba kuning.
Yang muncul memang seorang gadis manis dengan betis mulus, karena celananya hanya sebatas lutut. Di dadanya terdapat hiasan bergambar kalajengking dengan sepasang capit terangkat. Wajahnya memang sangat cantik, tak ubahnya dewi yang baru turun dari kahyangan. Hidungnya bangir menawan dengan sepasang bibir mungil memerah. Sepasang alisnya hitam legam bak semut beriring. Pipinya montok. Kalau saja saat ini siang hari, jelas sekali terlihat kedua pipi itu kemerahan. Matanya jernih dengan bulatan indah, dihiasi bulu-bulu mata lentik. Di tangannya terdapat sebuah cambuk.
Untuk sesaat Tridarma dan Manusia Pemuja Bulan ternganga melihat kecantikan dara yang baru muncul. Namun hanya sesaat.
"Hhh! Seekor ayam bulat menjual lagak di sini!" bentak Tridarma.
Dara itu tersenyum.
"Dan dua ekor kambing tua yang mau mampus masih juga berbuat curang pada manusia bertampang monyet yang sudah mampus!" balas gadis ini tenang.
Manusia Pemuja Bulan masih bisa mengendalikan amarahnya.
"Nona manis..., siapa kau?" tegur Ki Wedokmurko.
"Hhh!"
Dara itu mengangkat dagunya.
"Apakah kau belum mendengar tentang seorang dara jelita yang berasal dari Ngarai Sejuta Madu?" gadis ini malah balik bertanya.
Manusia Pemuja Bulan diam-diam mendengus. Rupanya gadis ini adalah Penguasa Ngarai Sejuta Madu yang terletak tak jauh dari Pesisir Pantai Utara.
"Tak kusangka! Cemeti Melati Kala pun hadir di sini," kata Manusia Pemuja Bulan kemudian.
"Ada perlu apa kau sebenarnya, Ranjani?"
Dara bernama Ranjani yang berjuluk Cemati Melati Kala tertawa.
"Wah, wah...! Rupanya saat ini aku bertemu orang yang pandai bersandiwara" Perbuatanmu yang menipu para penduduk di sekitar lereng Gunung Pengging sudah kudengar. Sayangnya, aku terlambat menyelamatkan mereka dari tangan sesatmu. Tetapi sekarang, hi hi hi.... Tak kusangka di balik tanganmu yang sesat kau juga menginginkan satu kenyataan pahit yang harus kau dapatkan!" kata Ranjani dengan tawa tergelak-gelak
Wajah Manusia Pemuja Bulan memerah. Dia tahu, Ranjani alias Cemati Melati Kala adalah salah seorang tokoh lurus, yang menjadi Penguasa Ngarai Sejuta Madu. Berarti malam ini, keinginan Tridarma untuk membedah mayat Ki Seta guna mendapatkan cincin pusaka harus terhambat. Karena, Manusia Pemuja Bulan yakin, gadis ini akan menjadi penghalang. Tetapi Ki Wedokmurko masih mencoba menggunakan otaknya.
"Kalau cuma ingin menumpasku saja, kau tidak perlu capai-capai mencariku. Ranjani. Karena, ketahuilah. Aku sudah insyaf," ujar Manusia Pemuja Bulan yang tidak mau mencari ribut dengan Ranjani. Karena dia tahu, saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk membedah mayat Ki Seta. Ranjani tertawa.
"Hebat, hebat! Dagelan pepesan kosong yang pernah kudengar! Baiklah, Wedokmurko!
Kau boleh pergi dari sini bersama temanmu. Tetapi, tinggalkan mayat Ki Seta!"
Lagi wajah Ki Wedokmurko memerah. Rupanya Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu pun mengetahui tentang mayat Ki Seta yang menyimpan harta tak ternilai.
"Hhh! Kau hanya mencari penyakit saja, Dara Manis!" dengus Tridarma sebelum Manusia Pemuja Bulan buka suara.
Ranjani tersenyum.
"Atau kau yang sebenarnya mencari penyakit?" tukas Ranjani.
Tridarma menggeram marah. Lalu dengan cepat tubuhnya menerjang Ranjani. Namun tanpa bergeser dari tempatnya, Cemeti Melati Kala
menggerakkan tangannya yang memegang cemeti.
Ctarrr! "Jangan sampai kau tersentuh ujung cemeti itu, Tridarma! Cemetinya mengandung racun ular bludak yang banyak hidup di Ngarai Sejuta Madu!" ingat Ki Wedokmurko pada Tridarma.
"Ternyata kau sangat pandai, Wedokmurko!" seru Ranjani.
"Coba sekarang kulihat gaya menarimu!"
Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu mengebutkan cemetinya ke arah Manusia Pemuja Bulan.
"Bangsat!" rutuk Manusia Pemuja Bulan seraya melenting menghindar.
"Hi hi hi...! Lumayan juga untuk menghiburku!" Tridarma cepat meluruk, coba membokong.
Namun Ranjani telah berbalik seraya mengebutkan cemetinya.
Ctar! "Monyet!" seru Tridarma jengkel, cepat menahan serangannya. Ranjani hanya tertawa-tawa saja.
"Aku suka sekali. Sangat suka sekali dihibur tahan seperti monyet dungu menggaruk pantat!" ejek gadis itu. Ki Wedokmurko menggeram marah. Lalu segera dirangkumnya ajian 'Unggulan Dewa' yang baru saja memakan korban.
Agaknya Tridarma mengetahui gelagat itu. Langsung tubuhnya melenting ke belakang, membiarkan Ki Wedokmurko melepas ajian
'Unggulan Dewa'
"Hhh! Cemeti Melati Kala! Coba lihat jurusku yang satu ini!" dengus Manusia Pemuja Bulan.
"Silakan, silakan!" tantang Ranjani sambil mengibaskan kembali cemetinya.
Bersamaan dengan itu, Manusia Pemuja Bulan mengibaskan kedua tangannya. Seketika angin dahsyat bergulung-gulung menderu ke arah
Ranjani. Cemeti Melati Kala terkejut melihatnya. Segera tubuhnya melenting ke atas. Namun, ada keanehan yang dirasakannya. Karena, angin yang bergulung-gulung itu bagai mengejarnya. Maka tubuhnya pun melenting kembali dengan kalang kabut.
"Gila!" maki gadis itu.
"Ha ha ha...! Aku ingin melihat, sampai di mana kesabaranmu untuk menghindar terus menerus. Ranjani!" ejek Ki Wedokmurko sambil mengibaskan terus menerus kedua tangannya.
Dan selagi Ranjani kerepotan menghindar ke sana kemari, Manusia Pemuja Bulan menderu maju dengan kedua tangan sudah terangkum
ajian "Unggulan Dewa'!
Sebisanya Ranjani mengibaskan cemetinya.
Kalau tadi hanya memecut biasa, kali ini bergerak bagaikan ular yang meliuk-liuk mencari sasaran.
Namun Ki Wedokmurko yang sangat yakin dengan ajian 'Unggulan Dewa'nya terus menerjang. Dan kini, justru Ranjani yang kali ini terkejut melihatnya.
Ctar! Ujung cemeti gadis itu menyambar dada Ki Wedokmurko. Di luar dugaan, tubuh itu tidak bergeming sama sekali! Bahkan terus menderu ke arahnya. Pucatlah wajah Penguasa Ngarai Seribu Madu. Dari sini dia yakin, ilmu yang diperlihatkan Manusia Pemuja Bulan sangat dahsyat.
Jalan satu-satunya memang hanya berusaha menghindar. Namun itu pun sudah sulit. Karena selain angin yang bergulung-gulung itu terus menderu ke arahnya, dia juga harus meng- hindari serangan Ki Wedokmurko yang menderu maju.
"Ha ha ha...! Rupanya nama besar Penguasa Ngarai Seribu Madu ternyata hanya omong kosong belaka!" ejek Manusia Pemuja Bulan.
Panas sekali telinga Ranjani mendengar ejekan itu. Namun, dia tak berani memapak serangan yang dirasakan semakin menjadi-jadi.
Beberapa buah pohon yang tumbuh di sana pun bertumbangan terbawa angin kencang. Pohon yang berjarak dua puluh tombak dari tempat itu harus gugur dedaunannya. Ini menandakan ajian 'Unggulan Dewa' milik Manusia Pemuja Bulan begitu dahsyat dan sudah sempurna sekali.
Sementara itu, Tridarma yang mundur dari pertarungan sudah membalikkan mayat Ki Seta. Tangannya pun siap mengepruk pinggul Ki Seta. Dia pun yakin, cincin pusaka itu berada di antara tulang ekor Ki Seta.

***

:|: 9 :|:

"Si Kera Sakti...!"
Satu sosok berpakaian putih yang kini sudah dikotori debu tampak bergerak mulai siuman dari pingsannya. Yang dipikirkannya pertama kali ketika sadar adalah Sudongdong yang berjuluk si Kera Sakti. Makanya ketika sadar mulutnya langsung menyebut
nama itu. Dengan cepat tubuhnya diangkat dan bersiaga.
Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali mayat Layan yang terbujur kaku dan sosok Camar Hitam yang mulai bergerak, siuman pula.
Camar Hitam sendiri juga segera bersiaga begitu sadar. Yang dilihatnya hanyalah sosok Ki Abdi Kanwa yang nampak pucat dan
sempoyongan. Perempuan sakti ini sendiri merasakan tubuhnya bergetar. Rupanya racun yang dilemparkan Sudongdong tadi sudah meresap ke seluruh tubuh mereka.
"Ki...," desis Camar Hitam parau.
Ki Abdi Kanwa memegang dadanya yang terasa sakit. Jantungnya terasa berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Kita terkena racun," kata Penguasa Alas Roban.
"Bangsat si Sudongdong itu! Hkkhhh! Dia telah berlaku licik untuk membunuh kita!" maki perempuan sakti itu.
"Camar Hitam...! Apakah silang sengketa di antara kita ini harus diteruskan?" tanya Ki Abdi Kanwa.
"Manusia bertampang monyet itu sudah melarikan diri dari sini, dengan membawa mayat Ki Seta!" Camar Hitam mengeluh menahan sakit
Tangannya mengibas.
"Tidak! Kita sudahi saja. Aku harus hidup untuk membalas perbuatan Sudongdong!" sahut Camar Hitam, tegas.
"Aku pun demikian!"
"Hhh!"
Sepasang mata Camar Hitam menyipit menatap Ki Abdi Kanwa.
"Namun bukan berarti berhenti sampai di sini! Bila kau sudah sembuh dari racun keparat ini, kita akan bertemu lagi!"
Ki Abdi Kanwa hanya mengangguk. Rasa sakit di dadanya semakin terasa. Meskipun hawa murninya sudah dikerahkan untuk mengusir racun itu, tetap saja masih merasakan sakit yang menyengat. Ketika tubuh Camar Hitam berkelebat Ki Abdi Kanwa hanya menghela napas panjang. Rupanya, kehadirannya di dunia ramai kembali hanyalah untuk menjemput maut. Tidak! Dia tidak boleh mati dulu. Dia harus mengobati rasa sakit ini.
"Huh! Di mana aku harus mencari pemuda berpakaian hijau pupus yang menyampirkan kain bercorak catur di lehernya?" dengus Penguasa Alas Roban pelan.
Tetapi karena hawa racun yang memang harus disembuhkannya. Ki Abdi Kanwa pun meninggalkan tempat itu dengan penuh kesedihan.
Dia merasa gagal untuk menenteramkan dunia ini. Semua terjadi gara-gara cincin pusaka yang membawa petaka!

***

"Anjing buduk! Siapa lagi yang ingin mencari mampus!" geram Tridarma sekali lagi.
Hati lelaki ini benar-benar geram. Kalau tadi gagal karena kehadiran Ranjani, kini gagal lagi entah ulah siapa. Karena tahu-tahu, gerakan tangannya yang hendak mengepruk Ki Seta melenceng.
"He he he...! Sudah tak sabar, ya?" sahut sebuah suara disertai munculnya satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus yang cengar-cengir.
"Pendekar Slebor!" seru Tridarma terkejut.
"Nah, nah! Papan penggilesan! Apakah kau sudah mendapat wangsit dari Ki Saptacakra untuk mengepruk pinggul Ki Seta, hah"!" kata sosok yang baru muncul.
Sosok itu tak lain dari Andika alias Pendekar Slebor. Pemuda inilah yang menggagalkan rencana Tridarma dengan pukulan jarak jauhnya.
Andika memang sangat geram karena berhasil dikelabui Tridarma.
"Nih! Lebih baik kau makan saja dulu angin dari pinggulku!" ujar Andika seraya menungging. Dan....
Duuut! Tridarma bangkit sambil menggeram marah.
"Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" desis Tridarma, sambil menyerang.
Lelaki kerempeng ini tidak menyangka kalau Andika yang sudah dihajar sampai pingsan ternyata bisa meloloskan diri. Kalau pemuda ini berhasil meloloskan diri, sudah bisa dipastikan Mayang pun berhasil diselamatkan pula. Brengsek! Jelas, dia tidak punya sandera sekarang! Sebenarnya, itulah maksud Tridarma kenapa tidak mengatakan tentang Mayang pada Manusia Pemuja Bulan. Terutama di saat laki-laki berjubah hitam itu membutuhkan darah perawan guna pe-nyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa'.
Andika melenting menghindari serangan. Kali ini dia langsung menyerang, karena hatinya masih kesal. Yang jelas, Tridarma diberi pelajaran. Maka dalam gebrakan pertama saja, Pendekar Slebor sudah menggunakan tenaga 'inti petir' tingkat delapan. Ini menandakan kalau kegeramannya pada Tridarma sudah demikian memuncak Gebrakan pertama Pendekar Slebor sangat menyulitkan Tridarma yang menyerang di bawah pengaruh amarahnya. Apalagi, bila seorang tokoh berada dalam kemarahan saat menyerang, maka sudah bisa dipastikan tidak akan bisa memusatkan perhatiannya.
Makanya, Pendekar Slebor pun mampu membuat Tridarma kalang kabut. Namun meskipun demikian, laki-laki bertubuh kurus itu bukanlah tokoh sembarangan. Mendadak saja tubuhnya mampu bergerak lincah laksana seekor kijang.
"Heeeiiittt! Boleh juga, nih!" seru Andika sambil mempercepat gerakannya. Dan setiap kali tangannya bergerak, terdengar suara bagai petir menyalak.
Tridarma mendengus. Serangan itu belum dibalasnya, karena Pendekar Slebor telah menutup setiap langkahnya. Namun dia masih berusaha menembus.
"Heit! Mau ke mana, Kek" Jangan jauhjauh! Sini, sini, biar tubuhmu itu kupatahpatahkan menjadi tulang bakar!"
Pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu terus menyerang dahsyat dan cepat sekali. Dan ini membuat Tridarma harus
kelabakan. Namun pada satu kesempatan, Tridarma berhasil melepaskan diri dari lingkaran serangan Andika dengan cara melemparkan
pasir yang berada di dekatnya. Kemudian tubuhnya membuat lompatan ke belakang.
Andika sendiri harus menghindari pasir itu. Dalam jeda hanya beberapa kedipan saja, Tridarma telah menggosok kedua tangannya yang
seketika memancarkan sinar berwarna keemasan.
Ketika Pendekar Slebor menyerang, tangannya dikibaskan ke depan.
Sing! Sing! Siiing!
Seketika tiga buah larik sinar keemasan meluncur ke arah Pendekar Slebor! Kalau tadi Tridarma yang kalang kabut, kali ini Andika yang kelihatan kewalahan menghindari serangan dengan berlompatan ke sana kemari. Tridarma bisa bernapas lega.
"Ha ha ha...! Rupanya Pendekar Slebor bisa menjadi monyet juga!"
"Kutu kupret! Monyet pitak! Awas kau, ya?" maki Andika. Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor meluruk ke arah Tridarma yang sudah kembali melontarkan sinar keemasannya.
"Heh..."!"
Tridarma terkejut, karena sinar keemasan itu berhasil ditepis Pendekar Slebor. Bahkan kini berbalik ke arahnya!
Tridarma cepat menjatuhkan diri, bergulingan. Sehingga, sinar keemasan yang berbahaya itu menghantam beberapa pohon yang langsung
tumbang. Rupanya, kali ini Andika tidak tanggung-tanggung lagi. Segera tenaga 'inti petir'nya dikerahkan pada tingkat ketiga! Pada saat itu ju-ga, Pendekar Slebor terus menyerang.
"Kali ini, kau harus merelakan nyawamu pergi ke akherat, Papan Penggilesan!" desis Pendekar Slebor.
Namun belum lagi maksud Andika terlaksana, serangkum angin besar yang bergulunggulung meluruk ke arahnya tanpa dapat dicegah
lagi. Brak! Tubuh Pendekar Slebor kontan terbawa angin dan menabrak pohon hingga tumbang.

***

Rupanya, dalam saat yang gawat bagi Tridarma, Manusia Pemuja Bulan memberi bantuannya dengan mengibaskan ajian 'Unggulan
Dewa' ke arah Pendekar Slebor.
Sementara itu lawan Manusia Pemuja Bulan, Penguasa Ngarai Sejuta Madu yang sudah terombang-ambing dimainkan angin besar, kini
hinggap di tanah dalam keadaan berlutut. Dadanya terasa nyeri karena berkali-kali terhantam angin besar. Kalau saja tenaga
dalamnya tidak tinggi, bisa dipastikan akan mengalami nasib seperti Sudongdong yang tenaga dalamnya berada dua tingkat di bawahnya.
"Ha ha ha...! Kita bertemu lagi, Pendekar Slebor!" seru Manusia Pemuja Bulan sambil terbahak-bahak.
"Untunglah, kau tidak dibunuh Tridarma waktu itu, sehingga bisa menyaksikan ajian 'Unggulan Dewa'ku yang sangat dahsyat ini!" Andika memegang dadanya yang terasa nyeri. Matanya sempat melirik ke arah dara jelita yang sejak tadi bertarung dengan Manusia Pemuja Bulan. Rupanya, gadis berpakaian kuning itu, sedang bersemadi. Gila! Bersemadi di tengah-tengah manusia kejam itu hanyalah mengundang maut! Tetapi, memang hanya itulah yang bisa dilakukan, kalau tidak ingin nyawanya langsung putus. Andika pun berdiri dengan digagahgagahkan. Perhatiannya dialihkan pada Manusia Pemuja Bulan atau Tridarma.
Andika sendiri merasa beruntung. Karena begitu melihat pertarungan sengit antara Manusia Pemuja Bulan dengan dara jelita itu, sementara Tridarma sedang berusaha membedah mayat Ki Seta, Sawedo disuruhnya untuk membawa yang lainnya ke Lembah Bunga. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan, walaupun mereka bersembunyi, akan terbawa angin dahsyat yang keluar dari pukulan Manusia Pemuja Bulan.
Andika menatap Manusia Pemuja Bulan sambil nyengir.
"He he he.... Lumayan, lumayan. Rupanya itu ajian 'Monyet Nangkring' yang sedang kau pelajari. Boleh juga" sahut Pendekar Slebor, enteng sambil mengusap-usap dadanya.
Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.
"Jangan menyembunyikan ketakutanmu di balik suaramu. Pendekar Slebor!" sentak Manusia Pemuja Bulan.
"He he he.... Aku tidak takut. Ini dadaku! Nah, mana dadamu" Kalau Papan Penggilesan itu sih tidak usah memperlihatkan dadanya" Sudah
krempeng seperti itu, eh, masih nekat juga jual tampang!" balas Andika, sok kuat.
"Bunuh dia, Wedokmurko!" seru Tridarma sambil membopong mayat Ki Seta.
"Tak perlu diperintah manusia ini pun akan kubunuh, sebagai balasan dari perbuatannya yang mengacaukan seluruh rencanaku! Sehingga, aku menjadi lebih lama untuk menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang kupelajari!" desis Manusia Pemuja Bulan dengan mata nyalang.
"O...! Jadi..., pendekar ganteng yang membuatmu mati kutu itu, aku ya?" kata Andika sambil tertawa.
"Kalau begitu, apakah kau masih takut juga?"
"Seettaaannn!"
Manusia Pemuja Bulan mengibaskan kedua tangannya kembali, ke arah Pendekar Slebor.
Seketika angin besar meluruk bergulung-gulung ke arah Andika Hawanya sangat panas.
Andika menghindar dengan jalan melompat. Namun angin itu terus mengarah deras kepadanya.
"Kadal buntet!" maki Pendekar Slebor sambil meloloskan kain pusaka bercorak catur yang tersampir di bahunya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Benda cair bagaikan ribuan jarum bagaikan ditumpahkan dari atas
membasahi apa saja yang ada di bawah.
Wuuut! Brrr! Arah angin bergulung-gulung itu bisa dibelokkan oleh Andika. Rupanya, kain pusaka warisan Ki Saptacakra lebih kuat dari pada ajian 'Unggulan Dewa' milik Ki Wedokmurko. Kini angin itu menderu ke arah Tridarma yang sedang membopong mayat Ki Seta.
"Bangsat!" maki Tridarma sambil melompat menghindar. Dan....
Blarrr...! Terdengar suara bagai ledakan, ketika angin itu menabrak sebuah pohon besar.
Melihat hal itu, Ki Wedokmurko menjadi bertambah marah. Tidak disangka arah angin panas yang bergulung-gulung miliknya berhasil dibelokkan oleh Pendekar Slebor. Dengan murka kekuatan ajian 'Unggulan Dewa'nya ditambah.
Wrrr! Wrrr! Kembali angin panas bergulung-gulung ke arah Andika. Dan lagi-lagi Pendekar Slebor mengibaskan kain pusakanya, mengarah pada Tridarma yang lagi-lagi harus menghindari angin balik itu. Bertepatan dengan itu, Penguasa Ngarai Sejuta Madu membuka matanya. Tubuhnya dirasakan sudah lumayan, tidak terlalu sakit seperti tadi. Dan begitu matanya menangkap sosok Tridarma sedang melenting, cemetinya dikibaskan.
Ctarrr! Tridarma terkejut. Namun dalam saat yang gawat tubuhnya bisa bergulingan.
"Monyet!" Ranjani terkikik.
"Kau tak akan bisa membawa mayat Ki Seta begitu saja!" kala Cemeti Melati Kala.
"Hiaaat!"
Diiringi satu teriakan keras kembali gadis itu mengibaskan cemetinya dengan tubuh meluruk ke arah Tridarma. Dengan sigap Tridarma melemparkan tubuh Ki Seta ke atas, dan nyangkut di rimbunnya dedaunan sebuah pohon. Lalu lelaki kerempeng ini cepat menghindari serangan dengan melompat ke samping sambil mengayunkan kakinya.
Namun Ranjani sudah cepat berputar sambil mengibaskan cemetinya ke arah kaki yang terjulur itu.
"Setttan!" rutuk Tridarma, seraya cepat menarik kakinya.
Menghadapi cemeti yang mampu menjaga jarak itu membuat Tridarma mendengus-dengus.
Kemudian segera dilontarkannya pukulan jarak jauh. Saat itu juga, meluruk sinar berwarna keemasan ke arah Ranjani.
Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu mendapatkan perlawanan seimbang. Jarak mereka semakin membentang saja. Tridarma menjaga
jarak sambil melontarkan pukulan sinar keemasannya. Sementara, Ranjani menjaga dengan cemetinya yang mengandung racun pada ujungnya

***

Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Slebor dengan Manusia Pemuja Bulan semakin dahsyat dan seru. Ki Wedokmurko sudah menutup rangkaian serangan dengan cara meluruk maju. Kali ini langsung dikerahkannya aji 'Unggulan Dewa' pada kedua tangannya yang siap mampir di tubuh Pendekar Slebor.
Sudah tentu pemuda sakti itu tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran empuk. Maka segera dikerahkannya tenaga 'inti petir' tingkat pertama. Tingkat pamungkas.
Duarrr! Suara bagai ledakan dahsyat terdengar hebat begitu dua tenaga sakti berbenturan. Dan dua tubuh tampak terlontar ke
belakang. Sama-sama telah terluka dalam, dan sama-sama ngotot. Kembali mereka mengempos semangat setelah mempersiapkan diri dengan tenaga penuh. Kemudian mereka sama-sama meluruk maju.
Blarrr...! Kembali benturan terjadi, disertai ledakan menggelegar. Kembali pula dua tubuh terlontar ke belakang. Kalau tadi keduanya langsung bangkit, kali ini hanya seorang. Dan sosok yang mengenakan jubah berwarna hitam tampak terbahak-bahak keras. Sementara Pendekar Slebor harus merangkak untuk berdiri, karena dadanya terasa panas sekali.
"Kini, ajalmu akan tiba Andika!" desis Ki Wedokmurko keras, karena suaranya mulai tertelan suara derasnya hujan.
Saat itu juga tubuh Ki Wedokmurko pun meluncur deras ke arah Andika.
Meskipun telah terluka dalam, namun Pendekar Slebor tidak ingin ajal menjemputnya sekarang. Dengan cepat kain pusakanya dikibaskan. Ctarrr! Tubuh Ki Wedokmurko kontan tersampok kain pusaka dan kontan terhuyung beberapa tombak. Sementara Andika langsung melepas kain pusakanya, karena terasakan hawa panas menjalar. Dan ini semakin membuat dadanya terasa sakit. Jelas sekali keunggulan ajian 'Unggulan Dewa' milik Manusia Pemuja Bulan. Bila Ki Wedokmurko melontarkannya dari jarak jauh, masih mampu ditandingi kain pusaka Pendekar Slebor.
Tetapi bila dialirkan pada kedua tangannya dan menderu maju, kain pusaka Pendekar Slebor mampu dipatahkan! Bahkan justru mengalirkan panas menyengat!
Sementara itu, Tridarma mencoba memperpendek jarak dengan meluruk maju sambil melepaskan pukulan sinar keemasannya bertubitubi. Ranjani pun berbuat sama. Karena bila mundur, maka keadaannya yang akan terjepit.
Dan dengan lincah sambil menghindari pukulan sinar keemasan yang sedang mengincar nyawanya, cemetinya dikibaskan.
Ctarrr! Suara cemeti itu terdengar keras, mengalahkan hujan yang menderu kencang. Namun, hal ini membuat Tridarma terkejut. Karena tahu-tahu saja kakinya yang jadi sasaran cemeti yang langsung melilit di pergelangan.
Bruk! Tubuh lelaki tua kerempeng itu jatuh ke bumi. Ketika Cemeti Melati Kala menarik cemetinya, wajah Tridarma terkena genangan becek akibat hujan yang terus menerus. Setengah tanah tampak masuk ke mulutnya.
Saat itu juga, Ranjani menghabisi Tridarma. Maka dengan kekuatan penuh tubuhnya melenting maju, siap menjejakkan kakinya ke dada
Tridarma. Namun semua itu harus dibayar mahal.
Karena begitu kaki Ranjani berhasil menjejak tanah.... Jreggg! "Hegkh.... Hih!"
Laki-laki tua berbadan kerempeng itu masih bisa menggerakkan tangannya.
Siiing! Crasss...! "Aaakhhh...!"
Sinar warna keemasan yang meluncur dan tangan Tridarma menghantam tangan kiri Ranjani, yang langsung putus. Menimbulkan sakit bukan kepalang. Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu pun kontan menjerit sambil menjatuhkan diri dan bergulingan. Dia sudah tidak
malu lagi bersikap seperti anak kecil. Memang sakitnya sungguh luar biasa. Belum lagi terkena curahan hujan, yang membuatnya semakin bertambah nyeri.
Sedangkan Tridarma sendiri masih melototkan matanya. Mulutnya yang terbuka mengalirkan darah. Rupanya, injakan kaki Ranjani tadi membuat dadanya serasa pecah.
Namun tenaga dalamnya segera dialirkan meskipun tidak banyak membawa hasil. Jalan satu-satunya bila ingin nyawanya masih tetap melekat, harus melarikan diri. Dengan sisa-sisa tenaganya, Tridarma bangkit dan berlari agak sempoyongan. Tidak dipedulikannya hujan yang turun deras. Tidak dipedulikan lagi pertarungan antara Manusia Pemuja Bulan dengan Pendekar Slebor.
Tridarma bersumpah, suatu saat nanti. Penguasa Ngarai Sejuta Madu akan mendapatkan balasan dari perlakuannya hari ini. Begitu pula Pendekar Slebor!

***

:|: 10 :|:

Sementara Pendekar Slebor sendiri begitu kewalahan menghadapi serangan-serangan Manusia Pemuja Bulan yang ganas dan bertubi-tubi.
Bahkan pada satu kesempatan, Andika tak sanggup menghindari pukulan Manusia Pemuja Bulan. Bruk! Tubuh pemuda ini terlontar beberapa tombak ke belakang dan langsung muntah darah. Kalau saja bukan Andika yang telah mewarisi tenaga sakti Pendekar Lembah Kutukan, sudah bisa dipastikan dadanya akan jebol dan mampus seketika. Tubuh Pendekar Slebor pun semakin lemah. Dan rasa sakit semakin menyiksanya.
"Sekarang, apakah kau akan mampu menahan pukulanku lagi, hah"!" leceh Manusia Pemuja Bulan sambil melirik Ranjani yang masih bergulingan sambil menahan sakit.
Bagi Ki Wedokmurko yang terpenting adalah memusnahkan Pendekar Slebor lebih dulu. Urusan Ranjani bisa dilakukan kemudian. Dia
pun tak mempedulikan kepengecutan Tridarma yang melarikan diri.
Kini Manusia Pemuja Bulan menghimpun kembali seluruh sisa tenaganya yang dirangkumnya dalam ajian 'Unggulan Dewa'. Diiringi seruan sangat keras, tubuhnya pun berkelebat ke arah Pendekar Slebor yang hanya berlutut menahan rasa sakit.
"Yeaaa!"
Sebelum Manusia Pemuja Bulan menurunkan tangan telengasnya....
Glarrr...! Tiba-tiba saja sebuah petir menyambar tubuh Andika yang langsung kelojotan, bagai disengat ribuan kala berbisa secara bersamaan. Melihat hal itu, Manusia Pemuja Bulan menghentikan serangannya. Bibirnya tersenyum gembira, karena Pendekar Slebor pun akhirnya harus mampus tanpa harus bersusah payah.
"Ha ha ha.... Akhirnya kau pun mampus juga, Pendekar Slebor!" seru Manusia Pemuja Bulan sambil menyaksikan tubuh Andika yang masih kelojotan. Sambil tersenyum kemenangan, Ki Wedokmurko bermaksud menghampiri Ranjani yang masih kelojotan. Namun baru saja dua tindak melangkah....
"Kau tak akan bisa ke mana-mana, Wedokmurko!" Terdengar sebuah teguran dari belakang.
Dengan sigap dan penuh keterkejutan, Manusia Pemuja Bulan membalikkan tubuhnya. Matanya hampir saja melompat keluar, karena di hadapannya berdiri Pendekar Slebor dalam keadaan segar bugar. Sepertinya, pemuda itu tak mengalami keluhan apa pun.
Manusia Pemuja Bulan tidak tahu, kalau Pendekar Slebor yang telah memakan buah 'inti petir' mampu mengendalikan petir yang menyambar di tubuhnya. Bahkan bukan hanya itu saja, Pendekar Slebor pun dapat menyerap kekuatan petir yang membuat kekuatan tubuhnya bertambah sepuluh kali lipat. Kalau saja tadi Andika tidak dalam keadaan lemah, tidak akan sampai kelojotan seperti itu.
"Bingung!" ejek Andika.
"Kalau bingung, bunuh diri saja!"
Manusia Pemuja Bulan menggeram marah. Kedua tangannya kembali terkepal.
"Nah! Pasti marah, kan" Bingung, kan" Ti dak usah bingung. Karena sebentar lagi kau akan mampus," ejek Andika enteng.
Manusia Pemuja Bulan tak ingin banyak cakap lagi. Kembali dirangkumnya ajian 'Unggulan Dewa'nya pada kedua tangannya. Lalu
diiringi teriakan keras, tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor sendiri segera mengempos tubuhnya ke arah Manusia Pemuja Bulan, memapaki dengan kekuatan berlipat ganda. Dan....
Duarrr! Terdengar lagi suara benturan bagai ledakan dahsyat. Kalau tadi tubuh keduanya terpental ke belakang, kali ini hanya tubuh Manusia Pemuja Bulan saja. Sementara, Andika masih berdiri kukuh di bawah siraman hujan. Akibat sambaran petir tadi, di tubuhnya bergejolak kekuatan berlipat ganda.
Manusia Pemuja Bulan merasakan dadanya jadi nyeri. Bahkan dari mulutnya menyembur darah agak kehitaman. Lalu dengan penasaran dan penuh nafsu membunuh, dia meluruk kembali. Sedang Andika tetap berdiri di tempatnya dengan mata tak berkedip. Begitu kedua tangan Manusia Pemuja Bulan yang berkekuatan penuh hampir menyentuh tubuhnya, mendadak sontak Pendekar Slebor mengibaskan kedua tangannya pula dengan tubuh sedikit condong ke depan.
Dan.... Duarrr!
Benturan kembali terjadi menimbulkan ledakan keras menggelegar. Tubuh Manusia Pemuja Bulan kembali meluncur deras ke belakang.
Kali ini lebih jauh! Dan kepalanya langsung menghantam sebuah pohon besar hingga pecah.
Andika menghela napas panjang. Entah mengapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Namun
belum lagi beristirahat, terdengar erangan Ranjani.
"Hmmm.... Gadis ini membutuhkan pertolongan," desis Andika dan langsung berkelebat.
Pendekar Slebor mendapatkan sosok Ranjani telah jatuh pingsan. Diangkatnya tubuh itu dan didudukkannya. Lalu, ditempelkannya kedua
telapak tangan ke punggung Rajani. Di bawah siraman hujan, Andika mengalirkan tenaga dalamnya. Hujan telah berhenti. Kini di sekitar tempat itu becek tak menentu. Andika menghela napas panjang. Tenaganya kini benar-benar terkuras.
Dia memang telah berhasil menghentikan darah yang keluar dari tangan kiri Ranjani yang putus. Penguasa Ngarai Sejuta Madu sendiri sudah sadar. Dan dia merasakan kepedihan yang sangat di hatinya. Kini Ranjani telah menjadi gadis cacat.
"Pendekar Slebor...," panggil gadis itu sambil mengangkat wajahnya.
Andika tersenyum.
"Terima kasih atas pertolonganmu...," ucap Ranjani
"Lukamu telah sembuh, Ranjani...," sahut Andika tersenyum.
"Tak pernah kusangka. Penguasa Ngarai Sejuta Madu masih demikian muda dan jelita...."
Ranjani menundukkan kepalanya. Seharusnya, sebagai seorang dara hatinya merasa senang dipuji dengan tulus tanpa mengandung nafsu seperti itu. Namun kini, tangan kirinya telah buntung. Cacat!
Namun sebagai Penguasa Ngarai Sejuta Madu. Ranjani memang tidak ingin bersikap cengeng. Maka perlahan-lahan kepalanya diangkat
dengan tegar.
"Pendekar Slebor.... hendak diapakankah mayat Ki Seta yang menyimpan cincin pusaka itu?" tanya Ranjani.
Andika tersenyum.
"Aku akan menguburkannya," sahut Andika, pelan.
"Di mana?"
Andika menggelengkan kepala sambil tetap tersenyum.
"Maafkan aku, Ranjani.... Bukannya aku tidak percaya denganmu. Aku akan menguburkan mayatnya di satu tempat. Dan, tak seorang pun
yang mengetahui di mana makamnya. Tak terkecuali, cucunya sendiri."
"Kau benar, Andika. Mayat Ki Seta memang harus dimakamkan di tempat aman," dukung Ranjani.
"Kau percaya padaku?"
Ranjani mengangguk
"Yah.... Aku pun tak pernah menyangka, Pendekar Slebor yang ramai dibicarakan orang ternyata masih muda."
Senyum di bibir Andika mulai nakal.
"Kita sama-sama masih muda, bukan?"
Ranjani mengangkat kepalanya.
"Iya. Lalu?" Bukannya menjawab, Andika justru mengedipkan sebelah matanya. Kontan Ranjani gela gapan melihatnya.
"Genit!" seru gadis itu dalam hati. Tetapi entah mengapa, kok gadis ini suka melihat kedipan penuh arti dari pendekar tampan itu.
Tetapi dalam keadaan seperti itu, Ranjani tidak berani lagi memikirkan kemungkinan yang satu itu.
"Cukup lama aku meninggalkan Ngarai Sejuta Madu. Mungkin anak buahku sudah cemas semuanya. Andika, sekali lagi kuucapkan terima
kasih," ucap Ranjani seraya menghela napas panjang. Andika justru mengedipkan matanya. Ranjani jadi tersedak. Pemuda ini pasti
bercanda. Namun tak urung jantung gadis ini dag-dig-dug juga.
"Bila kau ada waktu, mampirlah ke Ngarai Sejuta Madu!" kata gadis itu, seraya berkelebat.
Weeettt! Tubuh dara jelita itu pun menghilang. Andika berdiri.
"Ranjani...! Tunggu aku di sana! Kapankapan aku akan datang ke sana!" teriak Pendekar Slebor.
"Kutunggu kau. Pendekar Slebor!" terdengar sahutan Ranjani di kejauhan, bernada gembira. Andika hanya tersenyum seorang diri. Benaknya membayangkan betapa cantiknya Ranjani. Dan bajunya yang terkena siraman hujan itu masih menampakkan cetakan bagian-bagian tubuhnya. Andika menepuk keningnya sendiri.
"Dasar mata keranjang!"
Lalu Pendekar Slebor menghampiri sebuah pohon tempat mayat Ki Seta tersangkut. Dihentakkannya pohon itu hingga bergoyang. Dan
mayat Ki Seta pun meluncur turun. Andika cepat mengangkat mayat Ki Seta. Dibawanya mayat itu ke desa tempat Mayang
tinggal. Fajar sebentar lagi mulai menyingsing. Suara kokok ayam jantan pun sudah terdengar.
Di belakang rumah Mayang, Pendekar Slebor telah menguburkan mayat Ki Seta. Dia berpikir, di situlah satu-satunya tempat aman untuk
menguburkannya. Agar tidak menimbulkan petaka lagi, kuburan Ki Seta tidak berbentuk gundukan. Tetapi rata dengan tanah.
Selesai dengan tugasnya, Pendekar Slebor berkelebat menuju Lembah Bunga. Cepat saja dia sampai di tempat itu, karena telah diberikan ancar-ancarnya oleh Sawedo.
Sawedo sendiri yang menunggu di Lembah Bunga segera menyambut kedatangan Pendekar Slebor.
"Bagaimana, Andika?" tanya Sawedo.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Semuanya sudah berakhir. Sekarang, kalian aman untuk kembali ke desa. Di mana yang lain?"
"Di balik air terjun."
"Oh! Apa ada jalan menuju ke sana?"
"Paman Longgom yang menunjukkannya."
Andika mengangguk-angguk
"Sawedo. Nampaknya..., aku harus meneruskan perjalananku," kata Andika.
"Oh! Mengapa demikian" Tidakkah kau ingin singgah dulu di balik air terjun itu?" tanya Sawedo kaget.
Andika menggeleng. Ada satu hal. mengapa Pendekar Slebor enggan pergi ke batik air terjun. Dia tidak ingin melihat Mayang bersedih bila di-tinggalnya. Andika tahu, Mayang menaruh hati padanya. Namun, diam-diam pun Andika tahu kalau Sawedo menaruh hati pada gadis itu.
"Tidak! Sampaikan salamku pada semuanya. Katakan, kalian semua sudah aman untuk kembali ke desa. O, ya, Sawedo.... Katakan pada Mayang, mayat kakeknya tak kurang suatu apa. Dia telah kumakamkan disatu tempat aman. Tetapi, maaf. Aku tak bisa mengatakannya tentang tempat itu," kata Andika.
Sawedo pun mengangguk penuh pengertian.
"Itu memang lebih baik, Andika. O, ya. Kini aku tahu, siapa yang membunuh Medi, Kang Menggolo, dan istrinya. Dia tak lain adalah Manusia Pemuja Bulan sendiri. Soal Medi, Mayang telah menceritakannya kepadaku. Laki-laki itu memang patut mati, karena kehadirannya hanyalah mengganggu gadis-gadis dan istri orang saja," ungkap Sawedo.
"Jangan menyukuri yang mati. O, ya. Satu lagi yang perlu kukatakan padamu, sayangilah Mayang...," ujar Andika.
"Apa" Oh!".
"Jangan berlagak!" sahut Andika sambil mendorong kening Sawedo yang tergelak tersipu.
"Aku mohon pamit!"
Wuuusss! Tubuh Andika cepat berkelebat. Dan tahutahu dia sudah menghilang dari pandangan. Sawedo menarik napas panjang. Hatinya bersyukur pernah mengenal pemuda gagah itu. Tetapi berita yang terpenting sekali adalah mengajak pulang para penduduk yang mengungsi di balik air terjun. Terutama, amanat dari Pendekar Slebor tadi.
Kalau dia harus menyayangi Maya. Tetapi tanpa disuruh lagi, pemuda ini memang akan menyayanginya.

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Manusia Pemuja Bulan --oo0oo-- Dagelan Setan


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.