Life is journey not a destinantion ...

Dagelan Setan

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Cincin Berlumur Darah --oo0oo-- Sengketa Di Gunung Merbabu



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: DAGELAN SETAN


«§ 1 §»

Hari pasaran jatuh pada hari ini. Seperti telah berlangsung selama ratusan tahun, malam pasaran di Desa Wetan akan banyak menyedot pengunjung. Maklum, di samping digelar panggung hiburan di alun-alun, juga para pedagang dari berbagai penjuru akan menggelar pula dagangan masing-masing.
Malam seperti itu biasanya menjadi kesempatan bagi para penduduk untuk membeli barang-barang murah.
Dari panci sampai terasi. Dari sandal bakiak sampai pewangi ketiak. Bagaimana tidak murah, kalau setiap pedagang bersaing mencuri minat para pembeli"
Sejak matahari terlelap dalam buaiannya di ufuk barat, alun-alun sudah seperti satu-satunya bunga mekar dirubungi segerombolan lebah haus madu. Sendiri-sendiri atau bergerombol, para penduduk sekitar Desa Wetan datang dengan harapan sama. Tak muda. Tak tua. Tak lelaki, tak wanita. Semuanya bersama-sama memadati tempat tersebut. Dan kalau ada seorang kakek jompo tak ingat mati, tentu juga ingin datang dengan senyum berseri. Biarpun tak punya gigi!
Syukur, langit cukup ramah. Tak ada ancaman dari gerombolan awan kelabu pekat. Tak ada. Bentangan langit tampak polos. Namun sesekali diusap oleh sapuan-sapuan awan halus. Sementara bulan di atas sana, menjadi penghias utama keriangan malam pesta rakyat itu. Utara, selatan, barat, dan timur sisi alun-alun menjadi ajang tarung para pedagang dalam bersilat lidah untuk berebut pembeli. Meja-meja sesak dagangan berjejer tak begitu teratur. Ada juga pedagang yang tak ingin repot-repot. Cukup dengan alas tikar pandan lebar untuk memajang dagangan.
Suara mereka tak kalah nyaring dengan pekikan kawanan manyar laut. Belum selesai teriakan di sini, sudah menyambung teriakan di sana. Suasana jadi hingar-bingar. Karena terlalu bersemangatnya, seorang pedagang malah sempat terbatuk-batuk. Bahkan sampai terkencing di celana, karena tersedak suaranya sendiri.
Dagangannya jadi bau pesing!
"Ayo, ayo! Jangan ragu-ragu memilih! Jangan ragu membeli. Dagangan ini memang agak bau. Tapi, itu karena dagangan ini berasal dari luar negeri yang dibawa bersama ikan mentah di dalam kapal dagang dari negeri antah berantah!" kelit pedagang itu, asal cuap.
Dasar penipu! Untuk menarik perhatian, seorang pedagang yang lain pakai mencak-mencak. Kakinya menendang kiri dan kanan. Saking semangatnya....
Bret! Celananya kontan robek di bagian yang terlarang.
Dengan wajah merah dia langsung menutup bagian yang robek dengan kedua tangan sambil cengar-cengir. Tepat di tengah kesimpangsiuran, panggung besar dari susunan bambu kuning telah berdiri. Lampu-lampu minyak di pinggirannya tak kalahterang dibanding lampulampu milik para pedagang. Sepertinya, sinar terang lampu minyak panggung hendak menyombong pada temaram cahaya purnama.
Ketika pengunjung kian membludak, ketika ke-bisingan makin merangkak, ketika waktu terus merayap mendekati pekatnya malam, acara di atas panggung pun dimulai. Tampak panggung dinaiki seorang penghulu desa yang memberikan sambutan membosankan. Suaranya parau, tak mengundang selera siapa pun. Basa-basinya terlalu banyak. Dengan enaknya dia meng-obral banyak janji pada rakyat yang sering dibodohi. Khususnya, sewaktu lelaki itu mendukung pemilihan kepala desa tahun lalu.
"Saudara-saudara yang aku cintai, penduduk desa yang kuhormati, betapa gembiranya hari ini karena menyaksikan kegembiraan saudara sekalian...."
Dan seterusnya..., dan seterusnya.... Semuanya lebih banyak bumbu pepesan kosong! Sewaktu para pengunjung mulai menggerutu, barulah acara hiburan dimulai. Hiburan pertama diisi penyanyi-penyanyi kampung yang akrab dipanggil 'sinden', diiringi tetabuhan gamelan. Lagu-lagu ber-irama kedaerahan dilambungkan. Rakyat ikut melambung. Memang! Lantunan suara seorang sinden pun ternyata lebih diharapkan, ketimbang gembar-gembor sesepuh desa bermuka dua.
Penduduk bertempik-sorak pekat sekali, sewaktu rombongan kesenian daerah turun dari panggung. Mereka puas. Tapi belum cukup puas buat meninggalkan alun-alun. Apalagi malam belum terlalu larut, dan masih ada dua acara lagi. Satu hiburan dagelan. Dan puncaknya, pagelaran wayang sampai pagi!
Plok...! Plok...! Plok...!
"Suit..., suit...!"
"Dagelannya yang lucu! Kalau tak lucu, mending jadi tukang sunat saja!" teriak para penonton.
"Ayo, Kang! Buat supaya kita lupa dengan kesusahan! Kalau bisa, sampean aku jodohkan sama mbahku!"
Demikian sambutan penduduk sewaktu seorang lelaki pendagel daerah naik ke panggung. Wajahnya terlihat tolol sekali. Malah anak kambing tak punya otak pun masih kalah bodoh. Dan itu saja sudah membuat pengunjung terbahak-bahak. Apalagi sewaktu lelaki itu menaik-naikkan kumis tanggungnya yang kurang pupuk.
"Saudara-saudara.... Anu, maaf. Hamba mau mendagel. Tolong jangan ditertawakan, ya.... Anu, hamba masih kikuk. Kalau ditertawakan, hamba nanti tak bisa mendagel...," mulai si pendagel. Tetap dengan tampang bloonnya yang kelewat mengenaskan.
"Hua-hua-ha!"
Penonton menyambut.
"Anu.... Mohon maaf kalau ada kata yang salah. terus terang saja, hamba baru jadi pendagel. Hamba hanya meneruskan kepandaian bapak hamba juga yang jadi pendagel. Bapak hamba itu nerusin kakeknya. Kakek saya itu sudah tua.... Eh, anu... pendagel juga maksud saya."
"Hua-ha-ha!"
"Hua-ha-ha! Lucu juga sampean! Sialan!"
Terus dan terus pendagel bertampang tolol itu bercuap-cuap. Setiap kali kalimatnya terhenti, tawa gelak penduduk pecah. Beberapa saat berselang, masuk lagi lelaki pendagel lain, kira-kira berusia tiga puluh tahun. Yang satu ini berwajah tak kalah mengenaskan dibanding yang pertama. Hanya saja, dia mengenakan semacam polesan hitam arang di sekujur wajahnya itu. Di atas mata, dibuat garis putih seperti alis yang melengkung berkepanjangan,
dan mengeriting pada ujungnya. Baru dua langkah dari anak tangga panggung, lelaki celemongan itu tersandung palang lampu minyak. Dia kontan jatuh berdebam sampai panggung bersuara laksana beduk. Penonton kontan terpingkal-pingkal. Sementara si pendagel yang baru masuk melilit-lilit di lantai panggung, karena keningnya mencium bambu.
"Sampean siapa?" tanya pendagel pertama.
"Sampean brengsek! Masa' kawan jatuh malah ditanya begitu"! Biar disambar geledek pelan-pelan baru tahu rasa!" umpat pendagel yang baru saja terjatuh.
Ditepuk-tepuknya pakaian serba hitamnya yang kedodoran. Bibirnya yang dipoles semerah bibir janda genit meringis berkepanjangan.
"Ah! Aku tak kenal sampean" Sampean jangan main-main. Nanti kupanggilkan keamanan, lho!"
"Lho" Wong keamanannya sudah aku sogok, kok! Kantongnya kusisipkan uang.... Ditambah, bambu panjang ke perutnya. He-he-he. Namanya juga disogok!"
"Hua-ha-ha!"
Tontonan sepertinya menjadi lebih meriah. Dagelan yang dipertontonkan makin seru. Pengunjung tak henti tergelak-gelak. Sementara, si pendagel pertama sesungguhnya bukanlah sedang mendagel. Dia sungguh-sungguh waktu menanyakan rekan tak dikenalnya. Matanya berkilat, gusar campur bingung. Tapi, tak satu mata penonton pun yang menangkap kejadian ini.
"Paijo! Paijo! Sampean bagaimana sih, jadi pemimpin dagelan! Masa' ada orang naik panggung sampean diem saja"!" seru si pendagel pertama, di
antara riuh-rendah suara penonton. Teriakannya ditujuan pada kawannya di belakang panggung. Tak ada jawaban. Tentu saja itu membuatnya penasaran.
"Paijo! Aku tahu telinga sampean setengah budek! Tapi sampean dengar teriakanku, toh"!" teriak si pendagel berwajah tolol itu lagi, sengit. Pendagel berwajah coreng-moreng mendekatinya.
"Ssst..., sssttt! Sampean jangan begitu.... Damai saja, damai...." Kegusaran si pendagel pertama memuncak sudah.
Mendadak, didorongnya lelaki itu dengan kasar. Dan dia segera turun memanggil keamanan. Sementara lelaki yang didorong terjatuh kembali. Pantatnya terantuk ujung panggung, membuat matanya mendelik sebesar mata buto ijo. Ledakan tawa penonton terpancing kembali. Mereka masih mengira kalau kejadian barusan adalah satu babak dagelan. Sayang, mereka tak menyadari sedikit pun kalau satu adegan kematian di panggung akan
segera dimulai....
"Sampean brengsek! Sampean brengsek apa tidak, sih"!" maki pendagel berwajah coreng-moreng seraya bangkit.
"Jangan tinggal aku sendirian di panggung! Aku bisa mati berdiri! Kalau aku mati berdiri, bagaimana nanti menguburnya"!"
Tiba-tiba lelaki berwajah coreng-moreng ini menarik pendagel berwajah tolol keras-keras. Sampai-sampai, pendagel itu terlempar ke tengah panggung kembali.
Cara terlemparnya di mata penonton seperti wajar-wajar saja. Bahkan kembali mengundang tawa. Sampai pendagel berwajah coreng-moreng mendekati, tubuh lelaki itu belum juga bangkit.
"Sampean bagaimana, toh" Mau mendagel, apa mau tidur" Kalau mau tidur, kenapa tak mengajak bini sekalian?"
Dijemputnya tangan lelaki yang tergeletak itu, masih di dalam kepungan gelak tawa penonton. Begitu tangan tadi ditarik untuk membangunkan, ketika itu juga gelak tawa berganti teriakan dan pekikan kengerian! Apa yang terjadi"
Ternyata, tubuh pendagel pertama sudah tak utuh lagi! Bagian-bagian tubuhnya menjadi rapuh. Buktinya, tangannya terlepas ketika ditarik pendagel coreng-moreng....
"Wah! Sampean tak tahu terima kasih. Aku sudah mau menolong berdiri, sampean malah ngasih tangan. He-he-he...!" celoteh pendagel berwajah coreng-moreng.
Bibirnya memperlihatkan senyum samar, yang berkesan begitu bengis!
"Apa-apaan ini!"
Tiba-tiba seorang keamanan desa bertubuh kekar dan berkumis baplang melompat ke atas panggung. Tangan kanannya sudah menghunus golok besar.
"He-he-he.... Sampean linglung" Ini kan hanya dagelan...," kilah pendagel coreng-moreng sambil melambai-lambaikan potongan tangan yang di-pegangnya. Darah dari potongan tangan itu tampak masih menetes-netes ke permukaan panggung.
"Dia bukan anggota dagelan kami, Kang!" jerit seorang perempuan di tengah-tengah penonton.
"Kalau begitu, siapa kau sebenarnya"!" tanya centeng tadi, lantang dengan sikap siaga penuh. Wajahnya sendiri tak bisa menyembunyikan kengerian melihat bagaimana mayat di atas panggung seperti terpotong-potong.
"Hie-he-he! Kau mau tahu siapa aku sebelum tubuhmu pun kubuat seperti lelaki itu" Aku adalah Pendagel Setan! Dengar aku" Pendagel Setan! Hei, dunia persilatan! Kalian dengar aku"! Akulah Pendagel Setan yang akan siap membuat nyali kalian semua menciut!"

***

«§ 2 §»

"Kau benar-benar manusia biadab!"
Bersama makian kalap, centeng alun-alun berkumis baplang itu melabrak lelaki asing yang menyebut dirinya Pendagel Setan. Satu sebutan yang bukan saja aneh, tapi juga ganjil!
Golok di tangan keamanan itu menebas deras bagian dada Pendagel Setan. Tentunya dia sudah benar-benar mata gelap, menyadari kebiadaban orang di depannya. Sebenarnya, centeng itu pun juga merasa ngeri di dasar hatinya. Dari hasil tindakannya pada korban saja, sudah bisa dilihat bagaimana dalamnya kesaktian Pendagel Setan. Ilmu silatnya mungkin hanya seujung jari dibanding Pendagel Setan. Hanya karena nyalinya besar, maka dengan nekat centeng alun-alun itu melabrak juga dengan golok bergerak membabat.
Wuk! Srat! "Heh"!"
Centeng alun-alun menjadi terperanjat sekaligus gembira. Sulit dipercaya kalau golok yang diayunkan ternyata mengenai sasaran. Matanya jelas-jelas menyaksikan baju hitam Pendagel Setan tersayat. Setelah terhuyung sejenak, tubuh Pendagel Setan ambruk. Si centeng terdiam dengan napas memburu. Dadanya turun naik tak teratur. Sedang matanya menatap tanpa kedip ke tubuh lawan yang ter-telungkup.
"Benarkah aku telah berhasil merobohkannya?" tanya hati si centeng bimbang.
Untuk memastikan, lelaki kekar ini melirik mata goloknya. Tak ada darah! Kejap itu juga, disadarinya permainan licik lawan. Sayang kesadarannya terlambat. Karena....
"He-he-he..,."
Wrrr! Tubuh yang semula tergeletak diam di depan centeng itu tiba-tiba memperdengarkan tawa menggidikkan, disusul gerakkan meluncur di atas permukaan panggung. Bagai gerak menerjang seekor ular lapar, tubuh Pendagel Setan tiba di dekat sasaran.
Lalu.... Crep! Cengkeraman kilat tangan Pendagel Setan tahu-tahu telah 'mencuri' benda berharga di selangkangan si centeng! Untuk sebuah serangan, sasaran di daerah itu akan menjadi serangan mematikan.
Apalagi, Pendagel Setan melakukannya dengan cara telengas. Seketika 'benda simpanan' centeng itu tercerabut dari tempatnya!
Crot...! "Aaa...!"
Darah cepat membanjiri celana bagian selangkangan centeng malang itu. Untuk beberapa saat tubuhnya mengejang kuat dengan tangan mendekap erat bagian terluka. Kelopak matanya membeliak. Mulutnya membuka, seperti hendak menggugurkan erangan kematian yang terkunci di tenggorokan. Setelah itu, centeng yang berani mati ini ambruk menemani korban sebelumnya di permukaan panggung. Sementara, Pendagel Setan hanya terkekeh panjang, menyaksikan hasil kerjanya. Raut wajahnya bengis diperlihatkan berkawal kilatan kebiadaban di kedua biji matanya.
Melihat kejadian itu, penduduk makin berubah kalang-kabut. Jeritan dan pekik bertumbukan, saling tindih, saling penggal. Gerombolan orang yang sebelumnya memadat cukup teratur, kini serabutan kian kemari seperti gerombolan semut terusik tangan jahil. Yang mampu lari dalam kekacauan, akan segera mencari jalan keluar. Tak peduli apakah akan menginjak tubuh-tubuh yang terjatuh atau tidak. Beberapa wanita bergelimpangan pingsan. Tubuh mereka nenjadi sasaran empuk jejakan kaki-kaki liar.
Kegemparan memuncak begitu kekacauan merembet pada tempat-tempat para pedagang menggelar dagangan. Lampu-lampu minyak terlanggar, lalu membakar. Api pun lahir, membakar apa-apa yang bisa dibakar. Temaram langit malam pun disaput jilatan warna merah.
"Kebakaraaan!"
"Tolong! Tolong.... Jempolku hilang!"
"Copet! Copeeet! Manusia kutu kupret tidak tahu adat! Kalau mau nyopet jangan lagi kacau begini!"
Dan serentetan kekacauan berlanjut.... Di antara semua itu, menerabas teriakan lantang berisi tantangan!
"Pendekar Slebor! Dengarlah tantanganku! Dunia persilatan boleh kau buat terkagum pada kehebatan-mu. Tapi tidak denganku. Suatu saat nanti, akan kita buktikan siapa sesungguhnya manusia terhebat di 'panggung gila' ini!"

***

Pagi baru saja lahir. Dimulai sapuan cahaya merah saganya di cakrawala belahan timur, matahari mulai merambah naik. Satwa menyambutnya dengan suka cita, bertolakbelakang dengan keadaan di alun-alun Desa Wetan. Di sana, asap tipis masih mengambang lambat menodai udara. Kebakaran semalam tinggal sisa. Puingpuing arang berserakan masih mengepul-kan asap tipis. Delapan mayat berserakan di sekitar panggung yang telah porak-poranda.
Seorang wanita berkebaya merah muda terisak-isak di tengah-tengah kehancuran itu. Dengan selendangnya yang sudah terkena hitam arang di sana-sini, tubuhnya bersimpuh di dekat serakan mayat. Wajahnya sebenarnya cukup ayu. Hanya karena kejadian semalam, membuat wajahnya agak tak karuan.
"Ada apa, Neng?"
Terdengar sapaan halus, seramah hawa pagi. Wanita itu menghentikan tangisnya. Kepalanya menoleh. Tampak sosok gagah berotot berdiri di sampingnya. Wajahnya tampan. Dari wajah itu pula perempuan ini bisa menemukan keramahan. Terlebih dengan sebaris senyum yang sanggup menjerat hati banyak dara. Pakaiannya tak bisa dibilang resik. Berwarna hijau pupus, dan terlihat tak begitu terurus.
"Kakang siapa?" tanya perempuan ini dengan suara tersendat-sendat.
"Aku hanya seorang pengelana, Neng," jawab pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur tersampir di bahunya, menyembunyikan jati diri sesungguhnya.
"Sudikah kau menerangkan apa yang sesungguhnya terjadi di tempat ini?"
Mendapati pertanyaan pemuda berpakaian hijau ini, si wanita berkebaya malah menyambung tangisnya yang sudah kekeringan air mata. Sepertinya, tangis sebelumnya belum dituntaskan.
"Tujuh mayat ini adalah teman-teman serom-bonganku yang mestinya manggung semalam. Satu orang lagi, mayat keamanan desa. Bagaimana aku tidak sedih" Mereka itu kawan senasib se-penanggungan. Mereka sudah seperti saudara...." tutur wanita ini.
"Sudahlah, Neng. Relakan mereka." hibur pemuda itu.
"Kenapa mereka sebenarnya, Neng?" Pemuda itu bertanya lagi, karena jawaban perempuan yang ditanya tidak cukup jelas baginya.
"Mereka dibunuh, Kang...."
"Siapa yang melakukannya?"
"Aku tidak tahu. Lelaki bajingan itu tahu-tahu saja datang dengan menyamar menjadi satu anggota rombongan dagelan kami. Dia mengaku sebagai Pendagel Setan...."
"Pendagel Setan?" bisik pemuda tampan ini mengulangi. Di telinganya nama itu begitu asing dan aneh.
"Setelah membunuh, dia mengancam orang-orang persilatan, Kang. Apa Kakang orang persilatan?" lanjut perempuan itu lagi.
"Kenapa, Neng?"
"Kalau Kakang orang persilatan, sebaiknya hati-hati terhadap orang itu."
Anggota rombongan dagelan yang tersisa itu berhenti sejenak. Dia seperti mengingat sesuatu.
"Dan kalau Kakang bertemu..., Pendekar Slebor, bilang pula padanya agar hatihati," lanjut peremuan itu lagi.
Pemuda berpakaian hijau menjadi tertarik pada kalimat terakhir wanita di sampingnya. Terlihat jelas dari perubahan raut wajahnya.
"Kudengar, lelaki iblis itu sempat mengancam Pendekar Slebor. Katanya, dia akan menantang Pendekar Slebor. Apa Kakang kenal Pendekar Slebor?"
Pemuda ini tidak menyahut, tidak juga meng-gerakkan kepala sebagai jawaban.
Bukannya karena tak ingin menanggapi pertanyaan perempuan anggota rombongan dagelan itu. Tapi dalam pikirannya saat itu hanya ada satu kecamuk yang mengusik. Sampai semuanya dituntaskan oleh....
"Pendekar Sleeebooorrr! Oiii, apa itu kau"!"
Terdengar teriakan mengguntur dari seseorang di kejauhan. Pemuda yang dipanggil dan tak lain Pendekar Slebor sendiri, cepat menoleh ke asal panggilan bernada serampangan tadi. Wajahnya berubah asam, demi menyaksikan siapa yang sedang berlari serabutan menuju tempatnya. Orang itu adalah lelaki besar bertelanjang dada. Di seluruh tubuh hingga wajahnya ditumbuhi bulu-bulu kasar panjang. Dengan berlari sambil melompatlompati puing-puing, orang yang datang itu sudah seperti biang kera dari hutan.
"Kiamat.... Kenapa orang gila seperti dia mesti bertemu aku lagi," rutuk Pendekar Slebor.
Wanita di dekat Andika langsung memekik melihat kehadiran lelaki seram itu. Dalam benaknya, ter-gambar seekor gorila besar tersasar yang bisa saja mengoyakngoyaknya dengan cakarnya yang setajam mata pisau.
"Tenang, Neng. Dia tidak apa-apa. Sudah jinak," ujar Andika, setengah memaki lelaki yang dimaksud.
Siapa lelaki tinggi besar dipenuhi bulu di manamana itu" Andika mengenalnya sebagai Lelaki Berbulu Hitam, tokoh tua sakti yang malang melintang lebih dahulu beberapa puluh tahun dibanding Andika sendiri. Hanya karena awet muda saja, lelaki itu tidak seperti tokoh-tokoh seangkatannya. (Untuk mengetahui lebih jelas tentang tokoh satu ini, bacalah episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan "Pengadilan Perut Bumi"!).
Lelaki Berbulu Hitam adalah salah satu tokoh sinting jajaran atas yang berperangai kasar. Kemarahannya mudah terpancing, seperti mudahnya minyak terbakar api. Dunia persilatan sulit menentukan dari golongan mana asalnya. Hitam tidak, putih pun bukan. Dia hanya bertarung mengikuti kemarahan. Tapi kalau sudah bertemu anak muda buyut Pendekar Lembah Kutukan, sikapnya secara mengherankan bisa berubah sama sekali.
"Aooo, kita bertemu kembali, Tuan Penolong," seru Lelaki Berbulu Hitam seraya menubruk Andika.
Langsung dipeluknya Andika keras-keras, lalu mengguncang-guncangkannya.
"Berhenti!" bentak Andika. Isi perutnya bisa keluar semua kalau terus diurakurak seperti ini.
Lelaki Berbulu Hitam tidak peduli. Mungkin hatinya terlalu girang bertemu Tuan Penolong yang bisa menolong menghilangkan sifat pemarahnya, sesuai wangsit yang dulu didapat.
"Sudah! Sudah!" Pendekar Slebor mulai berteriak-teriak kalap.
Bagaimana Andika tidak mengkelap" Sudah pelukan manusia setengah serigala itu kerasnya seperti jepitan bukit karang, baunya pun lebih menyengat daripada seratus ekor bandot! Karena tak juga dilepas, Andika jadi tak sabar lagi.
Daripada muntah, lebih baik diberinya teman lamanya yang sinting itu sedikit bogem. Begh! Tinju Andika yang sengaja disalurkan tenaga sakti segera memangsa perut Lelaki Berbulu Hitam. Biji mata lelaki itu membeliak seketika. Bibirnya meringis lebarlebar. Sebentar kemudian....
"Khoeeekkh!"
Isi perut Lelaki Berbulu Hitam termuntahkan semua.... Untung Andika cepat menghindar. Kalau tidak, tahu sendiri.
"Tuan Penolong! Apa kau melihat seorang jelek di sekitar tempat ini?" tanya Lelaki Berbulu Hitam beberapa saat kemudian.
"Siapa yang kau maksud?" tanya Andika.
"Orang jelek, ya jelek."
"Yang kumaksud namanya!"
"Aku tidak tahu. Hanya wajahnya saja yang kuingat. Hitam berlumur arang. Wajah jelek itu benar-benar membuatku sebal. Ingin kucopot
wajah orang itu!" jelas Lelaki Berbulu Hitam dengan gigi-giginya bergemeletuk menahan geram.
"Ya dialah orangnya, Kang!" sambut wanita anggota rombongan dagelan itu tibatiba.
"Orang ber-ciri-ciri seperti itulah yang telah melakukan pembantaian semua ini!"
Andika tercenung. Menurut cerita wanita di dekatnya, namanya disebut-sebut oleh bajingan itu. Dan jika bajingan itu masih di sekitar tempat ini, kemungkinan besar dirinya sedang diawasi.
"Hebat," bisik Andika samar.
"Seberapa tinggi ilmu kesaktiannya, hingga aku tidak menyadari sedang diawasi?"

***

«§ 3 §»

Tindakan Pendagel Setan di Desa Wetan sebenarnya merupakan kelanjutan dari sepak terjangnya yang keji selama sepekan ini. Sejak kemunculan pertamanya, lelaki aneh itu terus mencuri nyawa demi nyawa. Tak peduli, apakah korbannya adalah orang persilatan atau bukan. Bahkan tega-teganya dia menjatuhkan tangan pada seorang bocah tak berdosa sekalipun!
Dalam sepekan saja, sudah lebih dari lima belas orang kehilangan nyawa. Sembilan di antaranya mati dalam keadaan serupa seperti nasib naas yang menimpa pendagel di Desa Wetan. Tubuh mereka menjadi amat rapuh. Sampai usikan seekor gagak pun dapat dengan mudah mencabut bagian-bagian tubuh mereka! Sedangkan sisanya, mati dengan cara tak kalah aneh. Mayat mereka mengejang dengan tangan mendekap perut. Sebenarnya, hal itu tidak aneh. Yang aneh justru wajah-wajah mereka memperlihatkan kalau saat menemui ajal mereka sedang tertawa.
Sulit dipahami, apa mau tokoh sesat yang mendadak saja melambung namanya karena kebiadabannya. Di samping karena belum pernah dikenal dunia persilatan sebelumnya. Juga karena kesimpang-siurannya dalam menelan korban. Lalu, anggapan pun merebak. Banyak kalangan persilatan menganggap Pendagel Setan tak lebih dari orang sinting yang haus darah. Dia tak bisa disebut sebagai orang golongan hitam. Apalagi, golongan putih.
Tak sedikit tokoh hitam sendiri menjadi muak mendengar sepak terjang Pendagel Setan. Bagi sebagian golongan hitam, membunuh seorang bocah tak berdaya, tak lebih dari tindakan meludahi kepala sendiri. Harga diri mereka akan dicemooh oleh selaksa bibir warga persilatan.
Namun, Pendagel Setan justru sebaliknya. Dengan kesan penuh kebanggaan, sehabis membunuh, ditinggalkannya tanda berupa boneka kayu berwajah hitam, tepat di atas tubuh mayat si bocah yang tertimpa kemalangan.
Waktu terus melaju menyiduk hari demi hari. Tiga pekan setelah kejadian di Desa Wetan, terjadi keributan antara beberapa bocah hijau di sebentang persawahan kering. Ada empat bocah lelaki berlarian di pematang. Anak yang terdepan membawa lari sesuatu di tangannya. Sementara tiga yang lainnya ngotot mengejar, hendak merebutnya. Perebutan benda di tangan bocah di depan rupanya sudah berlangsung cukup lama dan seru. Keadaan mereka semua sudah tak karuan. Badan mereka yang bertelanjang dada sudah dilumuri lumpur coklat. Rambut mereka kotor dan basah.
"Oi, Pitak! Kasih boneka itu padaku! Kalau kau terus lari, nanti akan kutambah pitakmu jadi dua belas!" teriak salah seorang bocah terbesar, bernada dongkol.
"Kalau mau boneka ini, tangkap aku! Dasar gede bohong! Bisanya cuma makan!" balas anak yang dikejar seraya melompati lubang di pematang dengan kelincahan seekor menjangan.
Kejar-kejaran berlangsung sengit. Anak yang di-buru rupanya jauh lebih gesit dan lincah dibanding para pengejarnya. Padahal untuk ukuran tubuh, anak itu jauh lebih kecil dari yang lain. Kejar-kejaran tiba di atas desa. Kalau saja tak menabrak seorang wanita yang menghadang larinya, tentu anak hitam dekil si pembawa boneka itu sudah menghilang dari para pemburunya.
"Waduh! Maaf, Kak!" ucap si bocah, merasa bersalah karena telah menabrak.
Yang ditabrak adalah seorang wanita berpakaian pendekar. Wajahnya tak cantik. Tapi memendarkan kesan ayu jika diperhatikan. Tanpa pupur atau tambalan di wajah. Pakaiannya cenderung seder-hana. Warnanya hitam dari atas hingga ke bawah.
"Kenapa kau lari-lari tak karuan, Adik Kecil?" tanya wanita berpakaian pendekar seraya menyibak rambut panjangnya yang menutupi wajah.
"Itu, Kak. Ada anak-anak brengsek mau merebut boneka yang kudapat," lapor bocah dekil ini. Sambil berkata, kepala bocah ini terus menoleh ke belakang. Sinar matanya sebentar-sebentar terlihat takut. Sebentar kemudian, terlihat memelas. Tentu saja bocah cerdik itu hendak memancing rasa kasihan orang yang baru ditemuinya.
"Kakak seorang pendekar, bukan?" tanya bocah ini kemudian.
Wanita berpakaian hitam mengangguk.
"Kalau begitu, tolong aku, ya?"
Wanita itu mengangguk lagi.
"Memangnya kau kenapa, Adik Kecil?" Bibir si bocah memancung. Dengan bibir itu pula, ditunjuknya anak-anak yang mengejarnya. Mereka sudah tampak pula di kejauhan.
"Itu...! Mereka mau merebut bonekaku ini, Kak!" lapor bocah pitak ini kelimpungan.
Beberapa saat, bocah ini sudah berlari mengitari tubuh si pendekar wanita. Dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan. Seolah-olah, kawanan bocah yang mengejarnya sudah sampai di dekatnya. Sementara itu anak-anak yang mengejar makin dekat. Dan ini membuat si bocah dekil kian kelimpungan. Sampai akhirnya, dia tak bisa lagi menahan kakinya, hendak lari kembali.
"Tunggu dulu!" cegah pendekar wanita. Dicekalnya pergelangan tangan anak itu. Sengaja ditahannya, karena tertarik pada boneka di tangan si bocah.
Bentuk boneka itu mengingatkannya pada desas-desus yang belakangan terdengar santer.
"Lepaskan aku, Kak! Mereka mau menjadikan aku perkedel!" teriak si Bocah.
"Biar kulihat boneka itu dulu," ujar pendekar wanita berpakaian hitam ini.
Mata si bocah mendelik.
"Apa"! Jadi kakak mau boneka ini juga"!"
"Aku mesti melihatnya. Hanya melihat apa tidak boleh. Nanti akan kukembalikan," bujuk pendekar wanita ini.
"Nih, ambil saja sekalian!" tukas si bocah sengit.
Bocah ini segera menyodorkan boneka di tangannya kasar-kasar. Setelah itu, dia buron. Apa lagi yang mau diperbuatnya kalau kawanan anak-anak yang mengejar sudah demikian dekat"
"Pendekar kok masih senang boneka! Pendekar apa itu"!" maki bocah itu di kejauhan. Sementara para bocah pengejar sudah melewat pendekar wanita itu setelah sebelumnya berhenti sebentar untuk melihat boneka yang diperebutkan.
Sepeninggalan anak-anak kampung tadi, si pendekar wanita mengamati baik-baik boneka di tangannya.
"Jelas. Ini memang boneka yang digemparkan orang persilatan. Ini pasti milik Pendagel Setan," gumam wanita ini.
Sebentar kemudian, kepalanya menoleh ke arah bocah kecil tadi menghilang, seraya menghentak napas.
"Sayang..., aku tak sempat menanyakan di mana boneka maut ini ditemukan," desah wanita ini, menyesali.
Setahu wanita ini, boneka itu adalah tanda khusus Pendagel Setan pada korban kebiadabannya.
"Tentu Pendagel Setan telah kembali bertindak keji di sekitar sini. Manusia busuk itu!" geram pendekar itu.
Lalu. Wanita ini pun berpikir untuk mencari tahu. Akan diperiksanya daerah sekitar. Dia yakin, mayat korban Pendagel Setan masih ada. Entah di mana. Bahkan ada kemungkinan juga Pendagel Setan pun masih berkeliaran.
"Rasanya ingin sekali aku memecahkan tempurung kepala manusia busuk itu!"
Baru saja kakinya hendak melangkah, mendadak saja naluri kependekaran wanita ini menangkap ketidakberesan. Tubuhnya menegang. Seluruh kemampuan inderanya segera dikerahkan. Sekarang perasaannya makin jelas menangkap adanya ketidakberesan. Telinganya menangkap desir halus dari arah utara yang begitu cepat, berkekuatan, serta lurus sepanjang jalan setapak menuju dirinya. Segera pendekar wanita ini bersiaga.
Sekejap kemudian, matanya menangkap gerakan cepat sosok seseorang. Tidak bisa dipastikan, wanita atau lelaki. Gerakanya begitu cepat, hingga matanya sulit memperhatikan bentuk tubuh serta wajah orang yang baru datang.
Wanita itu sendiri sempat terkejut, menyaksikan kecepatan yang mengagumkan di depan matanya. Untuk ukuran dirinya, gerakan itu sudah jauh beberapa tingkat di atasnya. Karena itu tubuhnya makin menegang. Hatinya merasa yakin, bahaya yang akan dihadapinya mungkin bisa membuang nyawa ke neraka!
Sampai....
"Minggir! Minggir! Jangan halangi jalanku! Terdengar teriakan mengguntur orang yang sedang berlari deras di depan.
Wush! Begitu sampai, si pendekar wanita sepenuh tenaga melenting ke udara seraya berputaran tiga kali. Dan tindakannya ternyata cukup untuk menghindari terjangan sosok tadi. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, wanita ini menjadi heran. Ternyata orang yang melesat tadi tidak melakukan serangan lanjutan. Sosok ber-kecepatan tinggi itu malah terus memaju geraknya. Sepertinya, keberadaan si pendekar wanita cuma dianggap kentut!
"Hei, berhenti kau!" hardik si pendekar wanita.
"Jidatmu empuk!" balas orang tadi, lebih sengit.
Meski belum yakin bisa menandingi ilmu meringankan tubuh orang tadi, si pendekar wanita memutuskan untuk mengejar. Namun belum sempat kakinya digerakkan, sudah terdengar lagi desir yang sama dari arah yang sama pula. Wanita ini cepat berbalik. Dan persis seperti tadi, tampak pula sesosok tubuh bergerak demikian cepat. Tak kalah gesit dan tak kalah mengagumkan. Bahkan tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Sekali lagi, si pendekar wanita dipaksa terperanjat tak alang-kepalang. Siapa lagi ini? Kenapa jalan ini tiba-tiba disantroni orang-orang kelas atas dunia persilatan? Tanpa bisa berpikir lebih jauh, dia harus menyelamatkan diri dari labrakan orang brengsek ini.
Seperti cara menghindar sebelumnya, pendekar wanita berpakaian hitam-hitam itu melenting ke udara tinggi-tinggi. Segenap kekuatan harus dikerahkan, karena kecepatan yang harus dihindari begitu dahsyat.
"Bagus! Lompat yang tinggi! Aku mau lewat!" seru orang tadi, enteng. Suaranya seperti seorang pemuda. Sedang gaya seruannya terlalu acuh.
"Berhenti!" teriak wanita ini, begitu mendarat.
Si pendekar wanita berusaha menahan. Tapi, teriakannya dianggap angin lalu saja oleh orang tadi. Siapa yang tak gusar dibegitukan! Maka, wanita ini tak ingin membiarkan orang tak tahu adat tadi lewat begitu saja, seperti orang sebelumnya. Tahu kalau orang yang dikejar tak mungkin di-bekuk dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh tanggung-tanggung, wanita ayu itu langsung mengempos seluruh kemampuan lari cepatnya sampai puncak.
Beberapa saat, si pendekar wanita ini memang masih mampu menguntit. Namun selang sekian saat berikutnya, dia sudah keteter jauh. Buruannya lari bagai setan kesiangan. Maka sebentar saja, buruan-nya sudah lenyap di batas hutan kecil.
"Kunyuk dekil! Brengsek!" Sumpah serapah terlempar dari mulut mungil pendekar wanita ini. Siapa sebenarnya dua orang penuh teka-teki tadi? Apa hubungannya dengan Pendagel Setan yang dicurigai si pendekar wanita telah menyatroni daerah itu"

***

«§ 4 §»

Di pinggir sebentang sungai dangkal berair jernih dua sosok tubuh menghentikan larinya begitu sampai di tempat itu. Yang pertama tiba, langsung saja melompat ke batu besar di tengah-tengah sungai. Belum dua puluh tarikan napas celana buluknya sudah dilorotkan sambil tergesa-gesa jongkok. Lalu bau tak sedap pun mencemari udara.
Sementara yang tiba belakangan mulutnya tak henti-hentinya menggerutu. Dengan agak terengah-engah di tepian sungai, dikutukinya habis-habisan orang yang kini begitu khusuk membuang limbah perutnya!
Memang kedua orang itulah yang telah menyerobot jalan pendekar wanita berpakaian hitam-hitam tadi. Siapa mereka? Tak lain tak bukan, Pendekar Slebor dan Lelaki Berbulu Hitam.
"Biar mati disambar geledek nyasar kau!" rutuk Andika, dongkol bukan main.
Sewaktu mereka berjalan bersama tadi, tiba-tiba saja si tua bangka awet muda itu lari kelimpungan sepenuh tenaga. Andika tentu saja terkejut. Dikiranya, ada bahaya yang ditangkap naluri Lelaki Berbulu Hitam. Karena setahu Andika, si tua tak waras itu memang memiliki naluri tajam. Bukankah dia memang setengah serigala? Andika pun mengejar. Kejar-kejaran berlangsung seru, tanpa juntrungan. Lelaki Berbulu Hitam berlari seperti hendak mampus di tengah jalan. Andika tentu saja makin kebingungan. Makanya dia tak kalah ngotot menguntit manusia batu itu. Untuk mengejar tokoh sekelas Lelaki Berbulu Hitam, bukan kerja mudah buat Andika. Biarpun dirinya telah dibekali ilmu warisan Pendekar Lembah Kutukan yang kecepatannya begitu menghebohkan.
Asal tahu saja, Lelaki Berbulu Hitam adalah tokoh bangkotan yang telah lebih dahulu malang melintang di tengah dunia persilatan puluhan tahun silam. Dia adalah salah satu dedengkot yang sulit dicari tandingannya. Kalaupun perawakan dan wajahnya tak menjadi keriput atau keropos, itu karena pengaruh campuran darah serigala dan manusia dalam dirinya. Bahkan kalau Andika bertarung dengannya, belum tentu dapat menang.
Jika kini tokoh pemberang itu seperti kerbau dicocok hidungnya terhadap pendekar muda dari Lembah Kutukan, penyebabnya karena muslihat tokoh seangkatannya, Raja Penyamar. Raja Penyamar telah memberikan wangsit palsu kepada Lelaki Berbulu Hitam. Dalam wangsitnya, disebutkan bahwa hanya Pendekar Slebor yang bisa menolong Lelaki Berbulu Hitam dalam mengenyahkan sifat pemberangnya yang kelewatan. (Untuk mengetahui cerita itu, bacalah episode: Pengadilan Perut Bumi")
Bahkan Andika tak mempedulikan si pendekar wanita yang sedang melintasi jalan tadi. Padahal, matanya sempat berbsinar-binar sewaktu menemukan betapa ayunya gadis itu. Lalu setelah kejar-kejaran gila itu berujung di tepi sungai, kedongkolan Andika pun meletus. Yang semula dikira keadaan genting, ternyata hanya keadaan 'darurat' buat perut sial Lelaki Berbulu Hitam. Apa tidak keterlaluan?
Belum puas Andika menumpahkan kedongkolannya, mendadak terdengar teriakan sengit seorang wanita melabrak angkasa. Telinga pemuda dari Lembah Kutukan mendengarnya. Sementara Lelaki Berbulu Hitam di tengah sungai sampai menahan kembali 'sesuatu' yang hendak keluar, karena begitu terkejut. Selanjutnya, ketajaman telinga Pendekar Slebor menangkap pula suara-suara yang selama ini sudah begitu dikenalnya. Semacam kericuhan dalam sebuah pertarungan.
"Apa yang terjadi?" tanya Andika, pada diri sendiri.
Sementara itu, pendengarannya dipusatkan untuk menentukan arah kericuhan barusan. Begitu bisa ditentukan, Andika tak menunggu lama lagi segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya digenjot.
"Hei, jangan tinggalkan aku!" teriak Lelaki Berbulu Hitam.
"Tuan Penolong! Sudikah Tuan bersabar sebentar sampai aku menuntaskan 'kewajibanku' ini!"
"Sisakan saja buat besok!"

***

Begitu sampai, Andika melihat seorang wanita berpakaian hitam sedang bertempur dengan orang berpakaian aneh. Wajah dipenuhi coreng-moreng.
Belakangan, nama dan sepak terjangnya menggemparkan dunia persilatan. Dialah Pendagel Setan!
Wanita ini tampak begitu bernafsu menghambur-kan serangan pada Pendagel Setan. Tampaknya kekejian tokoh aneh yang didengar selama ini, telah
membuat hasratnya menggebu untuk mengenyah-kannya.
Segenap jurus telah dikerahkan wanita berpakaian berwarna hitam itu. Namun hingga saat itu, tak ada satu pun serangannya membawa hasil. Rupanya si pendekar wanita itu telah salah duga. Karena memang, Pendagel Setan bukan tokoh sesat sembarangan. Bahkan Pendekar Slebor sendiri pun belum tentu memiliki kesempatan untuk mengalahkannya.
"Ciaaah!"
Satu tusukan jari berkuku panjang milik pendekar wanita berpakaian hitam mencoba merobek tenggorokan Pendagel Setan lewat jurus puncaknya yang diberi nama 'Amukan Macan Hitam Betina'. Setiap sambaran kuku tangannya, bisa berarti kematian. Jangankan kulit manusia. Bahkan kayu paling keras di jagad ini pun bisa dicaciknya dengan mudah. Menghadapi serangan liar ini, Pendagel Setan tak tampak kelimpungan. Santai saja kepalanya melengos. Sepertinya, dia tak bergerak. Tapi hasilnya ternyata bisa mementahkan sambaran kuku ke kerongkongannya.
Wukh! Luputnya serangan tadi membuat pendekar wanita yang baru saja turun ke dunia persilatan menyusuli-nya dengan cabikan tangan yang lain. Ulu hati Pendagel Setan hendak dikoyak dari arah samping. Untuk serangan berikutnya, entah kenapa Pendagel Setan tak tampak berniat menghindar. Dia hanya menanti. Sekejap kemudian, cakar wanita itu pun sampai.
Blep! Terdengar suara lembut yang nyaris tersamar dengan hempasan napas Pendagel Setan, tepat ketika cakaran pendekar wanita itu mendarat. Di kejauhan Andika tak mempercayai kenyataan itu. Kalau serangan pertama yang tak kalah hebat dapat dimentahkan begitu gampang, tak mungkin serangan berikutnya dapat mudah sekali menemui sasaran. Ada sesuatu yang ganjil. Begitu pikir Andika Meski tangan kiri pendekar wanita itu tampak tersangkut di perut Pendagel Setan.
Ketajaman pengamatan Pendekar Slebor memang beralasan. Buktinya di kancah pertarungan sana, Pendagel Setan melontarkan tawa keangkuhannya.
Wajah coreng-morengnya menengadah ke langit, seakan mengejek malaikat maut yang gagal menjemputnya. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Dengan kemahirannya memainkan otot, dengan menakjubkan Pendagel Setan telah menjepit kuku wanita itu di lipatan perutnya! Sungguh satu tindakan yang teramat sulit, sekaligus berjudi dengan nyawa sendiri. Bagaimana tidak sulit dan berbahaya! Sebab kalau saja salah perhitungan dalam meredam sambaran tenaga cakar tadi, tak ayal lagi kulit perutnya akan terkoyak! Bahkan isinya akan ambrol keluar. Kalau Andika sebelumnya curiga, wanita itu justru sebaliknya. Saat ini dia sudah yakin kalau tengah melangkah pada satu kemenangan. Dalam perkiraannya, tentu cakar tangannya telah merejam dalam-lalam ke perut lawan. Dan kini siap membedolnya. Sewaktu hendak melakukan hentakan ke sisi perut Pendagel Setan. Pendekar wanita ini dipaksa menyadari perhitungannya yang luput.
"Hiii!"
Berawal lengkingan seperti erang macan betina, pendekar wanita itu berusaha melepaskan jepitan perut lawan. Gagal. Dua-tiga kali dicobanya lagi. Hasilnya, tetap nihil. Malah jari-jari kukunya terasa seperti hendak terlepas. Pedih bukan main. Menyaksikan ketidakberdayaan lawan, Pendagel Setan melepas tawa kembali. Ocehannya pun mengalir. Suaranya cempreng. Menyakitkan untuk didengar siapa pun.
"Percuma kau terus mencoba menarik kukumu. Nanti malah yang lain keluar dari bagian belakangmu!" oceh Pendagel Setan.
Ucapannya seperti hendak mendagel. Sayang, yang terdengar justru nada menggidikkan.
"Jangan harap kau bisa membunuh Macan Hitam Betina"!" bentak wanita yang menyebut dirinya Macan Hitam Betina.
Cepat sekali satu kaki wanita ini bergerak menyapu ke atas. Gerakan yang dilakukannya benar-benar mempesona. Kakinya menebas ke atas, melewati tangannya yang terjepit. Bagian selang-kangannya seperti tak memiliki tulang. Begitu lentur bergerak. Bahkan dengan lentur, dicobanya membeset kening Pendagel Setan dengan kuku jarinya. Padahal, tubuh laki-laki itu jauh lebih tinggi darinya.
Tap! Sewaktu Pendagel Setan menangkap kakinya Macan Hitam Betina membuat satu gerakan lentur kembali. Sebelah kakinya yang lain menyapu pulang ke atas. Gerakan ini pun tak mudah dilakukan Karena, kaki yang digunakan untuk menyapu harus pula dijadikan jejakan, sekaligus untuk melompat.
Usaha wanita itu kali ini berhasil membuat Pendagel Setan agak kelimpungan. Dua serangan kaki tak terduga, membuatnya harus membuang tubuh ke belakang. Sebelah tangan Macan Hitam Betina memang terbebas. Tapi akibatnya, pendekar wanita pemberani ini harus membayarnya dengan kehilangan empat kuku jarinya yang telah tertarik paksa, karena kulit perut lawan masih menjepitnya.
"Aaakh!"
Begitu merasakan sakit pada tangannya, Macan Hitam Betina mengeluh tertahan. Darah menetes dari keempat kuku jarinya. Perihnya sudah pasti tak terkira. Menahan siksaan rasa sakit. Wajah ayunya sampai menjadi memucat. Sementara, matanya memerah dan agak tergenang.
"Kenapa, Cah Ayu" Kau tak bisa lagi menggaruk dengan jari kirimu?" cemooh Pendagel Setan, diiringi seringai memuakkan di pandangan Macan Hitam Betina.
Dan dengan gaya padat ejekan, Pendagel Setan mengumpulkan kuku-kuku wanita ini yang masih terjepit di kulit perutnya.
"Kau membutuhkan ini?" tanya Pendagel Setan.
"Chih! Manusia tengik!" maki wanita ini penuh gejolak kemurkaan. Macan Hitam Betina meludah kasar.
"Karena aku tak memerlukannya," lanjut Pendagel Setan.
"Nih, ambil kembali!"
Wush! Pendagel Setan seketika melemparkan potongan kuku tadi ke arah pemiliknya. Derasnya luncuran kuku demikian sulit terukur. Sampai-zampai, mata Macan Hitam Betina tak dapat menangkap gerakannya. Tanpa mau menanggung akibatnya, Macan Hitam Betina mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya untuk menghindari hujaman kuku-kukunya sendiri.
Seketika tubuh sintalnya melenting ke udara seraya berputar seperti seekor manyar yang pamer dengan gerakan lincahnya. Namun siapa sangka wanita ini telah terkecoh! Tak heran Macan Hitam Betina menyangka kalau lawan ternyata sama sekali belum melempar kuku-kuku di tangannya. Gerakan melempar tadi dibuat Pendagel Setan hanya untuk menipu. Jadi, kalau tadi mata Macan Hitam Betina tak menangkap gerak laju kuku-kukunya, itu bukan karena kecepatan yang demikian tinggi! Tapi karena Pendagel Setan belum melepas kuku-kuku itu.
Saat diudara seperti itu, Macan Hitam Betina bisa dibilang mati. Di lain pihak, Pendagel Setan menganggapnya sebagai peluang emas. Maka dengan licik, dilemparnya kuku-kuku yang masih ditangannya. Kali ini memang benar-benar dilakukan! Wush! Srrr! Tampaknya, si pendekar wanita perkasa akan mengalami nasib mengenaskan, terhujam kukunya sendiri! Senjata makan tuan"

***

«§ 5 §»

Mati memang selamanya tidak ditentukan manusia. Kalaupun keadaan mungkin sudah tak memungkin-kan seorang bisa hidup, dengan keputusan Penguasa Semesta, hal itu tak akan terjadi.
Tak! Tak! Pada saat-saat genting, mendadak serbuan empat potongan kuku yang mengancam nyawa Macan Hitam Betina tersapu sesuatu di udara. Maka laju menggila dari kukukuku itu kontan terjegal. Kekuatan pem-bunuh yang terkandung di dalamnya saat itu pula terpedaya. Penyebabnya hanya oleh empat butir kerikil kecil yang mendadak meluncur penuh kekuatan, tepat memapas laju gerak semua kuku!
Seketika, kuku-kuku itu berserakan di tanah. Jelas, ada orang yang ikut campur tangan dalam serangan itu. Namun tak sulit untuk mengira, perbuatan siapa itu. Ya, hasil kerajinan tangan Pendekar Slebor!
"Bukankah tak jantan jika seorang lelaki harus bersikap telengas pada lawan yang sudah tak berdaya! Apalagi lawannya seorang wanita...," kata Pendekar Slebor, sok berlagak bagai seorang bijaksana.
Andika keluar dari persembunyian, tak jauh di belakang calon lawannya. Terdengar decak pemuda urakan ini kemudian.
"Kalau kau baru saja melakukan itu, aku jadi sangsi apakah kau masih memiliki kejantanan. Ufh, maaf! Aku tak bermaksud mengatakan kalau kau
sudah tak memiliki...." Andika terkekeh memenggal kata-katanya sebentar.
"Tak memiliki 'gagak' simpanan lagi!" tambah Pendekar Slebor pedas sekali, berteriak menirukan suara gagak.
"Akhirnya kau keluar juga dari lubang persembunyianmu...," kata Pendagel Setan, tanpa menoleh. Andika mengangkat kening.
Bagaimana tokoh sesat ini bisa mengetahui kehadirannya secara jelas! Hati pendekar muda itu langsung bertanya heran. Padahal setahu dia, selama bertarung dengan Macan Hitam Betina, tak sekalipun Pendagel Setan memperhatikan tempat persembunyiannya.
"Sialan! Apa di belakang kepalanya dia memiliki biji mata simpanan!" rutuk Andika.
"Boleh juga orang ini...."
"Dari tadi aku menunggumu untuk ambil bagian dalam dolanan ini. Sayang sekali, sekarang seleraku susut sudah," kata tokoh aneh ini, enteng.
Andika merasa calon lawannya hendak menyingkir.
Dugaan Pendekar Slebor terbukti. Tanpa sempat membiarkan Andika melakukan apaapa, bahkan untuk satu tarikan napas pun, tangan tokoh bertabiat ganjil itu bergerak cepat. Dikeluarkannya sesuatu dari balik baju. Lalu....
Buhs! Tepat ketika tangan Pendagel Setan menghempas mengembangkan kepulan asap kelabu pekat, menyelimuti seluruh tubuhnya beberapa saat.
Menghilangnya kabut kelabu secara perlahan, diikuti pula oleh lenyapnya tubuh Pendagel Setan!
"Kunyuk buduk atau tengik!" maki Andika jengkel sekali.
"Belum waktunya kita bertemu, Pendekar Slebor. Memang aku ingin sekali menggelitiki perutmu atau mencabuti bulu-bulumu. Tapi, aku harus bersabar. Karena aku telah mempersiapkan tempat istimewa untuk kencan kita. O, ya.... Jangan lupa bawa bunga! He-he-he!"
Tak lama berselang, telinga pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu menerima kiriman suara dari kejauhan. Bisikannya begitu halus, seolah-olah terdengar langsung dari lubang telinga Pendekar Slebor. Hebatnya, yang mendengarnya hanya Andika. Tentu saja itu dilakukan dengan keahlian mengirim suara yang tinggi. Andika mendengus. Muak sekali tantangan itu terdengar.
Sepeninggal Pendagel Setan, Andika mendekati Macan Hitam Betina yang masih berkutat menahan pedih luar biasa di ujung jari-jari kirinya. Di samping ingin tahu siapa sesungguhnya si ayu itu, anak muda mata bongsang ini ingin juga mendekatinya. Bukankah pada kesempatan sebelumnya dia hanya sempat melewati perempuan berwajah sejuk itu! Kalau sekarang ada kesempatan buat jadi pahlawan, tunggu apa lagi!" Begitu pikir pendekar urakan ini. Kucing mana mau menyia-nyiakan daging empuk!
"Biar aku bantu, Nona...," kata Andika, menawarkan jasa.
"Siapa kau?" Wanita ayu itu malah bertanya.
Tatapannya memendam bara kecurigaan.
"Aku" Ah, Nona cukup memanggilku Andika," sahut Andika, lugas.
"Julukanmu! Aku ingin tahu julukanmu!" bentak Macan Hitam Betina galak.
Andika tak menyangka wanita berwajah sejuk seperti dia, ternyata ketusnya seperti setan perempuan.
"Biarkan aku menolongmu dulu...."
"Tak perlu!"
Andika menggaruk-garuk jidat, menggaruk-garuk pantat, dan menggaruk-garuk hidung. Mulutnya cengengesan serba salah. Kalau biji matanya bisa digaruk, tentu sudah digaruknya pula.
"Jangan cengengesan seperti itu! Kau sudah melakukan kesalahan, tahu"!" hardik Macan Hitam Betina. Sepasang bola matanya membesar, meng-gemaskan.
"Aku melakukan kesalahan" Kesalahan apa?" tukas Andika.
"Gara-gara kau, manusia busuk itu pergi! Padahal aku sudah akan membuat remuk batok kepalanya!" tuding Macan Hitam Betina, sengit.
"Ah! Yang kutahu, kepala kaulah yang hampir bocor," tukas Andika.
Di samping ketus, ternyata perempuan ini juga sedikit tinggi hati. Tapi Andika senang. Rasanya sifat ugal-ugalannya menjadi gatal kalau bertemu makhluk betina seperti ini.
"Bicara sekali lagi seperti itu, kepalamu akan menjadi ganti kepala manusia busuk itu!" dengus Macan Hitam Betina.
"Jangan," sergah Andika.
"Rugilah aku kalau begitu. Kau tahu sendiri, kepalaku jauh lebih bagus daripada kepala si tengik tadi. Lihat! Betapa tampannya aku. Sedangkan orang itu, ah! Monyet jelek saja mungkin masih kalah jelek!"
Andika sengaja melantur. Biasa, sifat urakannya yang pernah terbentuk sebagai bocah gelandangan kotapraja dulu mulai kambuh.
"Kau memang minta dihajar, heh!"
"Salah! Yang betul, aku ingin sekali minta di...."
Andika memonyongkan bibir. Matanya dipejamkan.
Dasar buaya! "Lelaki bajingan!"
Setumpuk kekesalan yang menggelayuti tenggorokan, diwujudkan Macan Hitam Betina dengan meraih batu sekepalan tangan di dekat kakinya. Lalu langsung dilemparnya wajah Pendekar Slebor. Didasari rasa gemas, lemparannya pun bukan sembarangan. Disalurkannya setengah tenaga dalam tingkat ke sekian. Dia berharap, moncong pemuda di depannya remuk!
Wukh! Batu meluncur deras menuju sasaran. Arahnya begitu tepat menuju bibir Andika yang masih saja memancung hebat. Dan pemuda urakan itu
tampaknya seperti tak mengindahkan bahaya yang bisa membuat bibirnya cacat. Dia masih monyong. Matanya masih terpejam. Apa maunya pemuda urakan satu ini" Apa dia sudah bosan memiliki wajah tampan"
Tepat ketika batu itu sudah tinggal sejengkal lagi dari bibirnya. Andika melengos. Walhasil, batu itu meluncur terus ke belakang. Jauh ke belakang.
Sampai.... Bletak! "Wiaaauuu!"
Terdengar teriakan seseorang. Suaranya menggelegar seperti salakan binatang buas dari pojok bumi. Itu pun kalau bumi ini ada pojoknya.
"Sshiaapaaa yang berani-berani membuat jidatku bengkak seperti ini!"
Lelaki Berbulu Hitam tahu-tahu muncul di sana dengan mendekap jidat. Bibirnya meringis-ringis parah. Sementara matanya mendelik-delik liar, sepertinya siap menelan siapa saja yang berada di dekatnya!
Demi melihat wujud mengerikan orang yang baru muncul. Macan Hitam Betina nyaris memekik. Untung mulutnya cepat ditutup. Selama turun ke dunia persilatan beberapa purnama lalu, belum pernah ditemukannya manusia seseram ini. Saking terkejutnya, rasa pedih di ujung jari kirinya terlupakan. Berbulu hitam. Taring di mulutnya. Tinggi besar. Kalau bukan raja dari segala raja monyet, barangkali orang ini setan penunggu keramat yang keluar siang bolong! Begitu pikir si pendekar wanita.
"Siapa?" ulang Lelaki Berbulu Hitam. Suara laki-laki ini makin menggelegar, sanggup menggetarkan nyali siapa pun. Pendekar Slebor sendiri jadi sempat ngeri juga. Manusia tak waras satu ini tak akan memandang siapa-siapa, kalau sudah berang. Andika hanya takut ubun-ubunnya digeragot!
"Oh! Rupanya ada Tuan Penolong juga di sini." Kalimat lelaki berdarah setengah serigala itu berubah melunak, mendapati Pendekar Slebor. Biarpun tampak dipaksakan, bibirnya masih berusaha tersenyum. Akhirnya, yang muncul malah raut wajah orang telat buang hajat.
"Apa Tuan Penolong tahu, siapa yang telah melempar batu sembarangan?" tanya Lelaki berbulu Hitam.
Andika meringis.
"Memangnya akan kau apakan orang itu?" tukas Andika.
Lelaki Berbulu Hitam memperlihatkan taringnya.
"Akan kukunyah dagingnya! Grrr!"
Melihat itu, maka tubuh Macan Hitam Betina pun menciut. Andika melirik. Dia senang sekali menyaksikan si ayu itu mengkeret seperti karet
terjemur. Permainan usilnya pun diperpanjang.
"Kalau aku jadi kau, Pak Tua. Bukan saja akan kukunyah daging orang itu! Bahkan akan kujemur dagingnya untuk persediaan makan selama satu bulan!" kata Andika memanas-manasi.
"Betul. Tuan Penolong! Akan kujemur dagingnya!
Grrr!" Macan Hitam Betina makin menciut. Biarpun menganggap dirinya sebagai pendekar, namun jiwa kewanitaannya tetap tak bisa dilenyapkan sama sekali. Kalau dia, berani menghadapi Pendagel Setan, semata-mata karena kesombongannya yang kelewat. Macan Hitam Betina menganggap ilmu yang dimiliki sudah hebat. Padahal, dia tergolong hijau di dunia persilatan. Masih belum kenyang makan asam garam. Jadi, tak heran kalau sikapnya begitu. Memang baru seumur hidup dilihatnya orang semengerikan itu. Wajah ayu Macan Hitam Betina jadi memucat. Kalau Andika terus mengompori Lelaki Berbulu Hitam, sebentar saja tentu wanita ini akan pingsan.
"Jadi, siapa yang telah melempar batu itu. Tuan Penolong?" desak Lelaki Berbulu Hitam, tak sabar.
Andika melirik lagi Macan Hitam Betina. Perempuan itu kian memucat.
"Ah! Barangkali batu itu hanya terbawa angin. Pak Tua...," kata Pendekar Slebor kemudian, melegakan hati si wanita ayu di dekatnya.
Lelaki Berbulu Hitam menggerutu. Sekarang keberangannya tak bisa ditumpahkan pada siapa-siapa. Pada angin pun percuma. Bagaimana bisa melabrak angin!
Kemarahan yang tertahan itu berakibat buruk buat diri laki-laki berdarah serigala ini. Perutnya jadi demikian mulas melilit-lilit. Sebentar saja, dia
sudah berlari kembali ke arah kedatangannya.
"Mau ke mana, Pak Tua"!" teriak Andika.
"Sungai!"
"Dasar otak bekas! Mana ada batu sekepal tangan terbawa angin sepoi-sepoi seperti ini." gumam Andika. cengengesan.

***

«§ 6 §»

Ada sebuah tempat rahasia yang tersembunyi dari jangkauan orang-orang persilatan. Tempat yang bisa dibilang kelewat mengerikan bagi siapa saja. Bahkan untuk seorang pemberani sekali pun!
Di sana, menghampar luas sebuah padang kering. Bahkan terlalu kering. Rumput liar yang biasa sanggup bertahan hidup di tanah gersang, tak mampu bertahan di tempat tersebut. Dataran yang lowong. Gundul seperti gurun. Tanahnya berwarna hitam, terlihat rapuh ketika diterjang angin.
Sementara beberapa batang pepohonan yang masih berdiri hanya tinggal batangbatang kering. Cabang dan rantingnya gundul meranggas, seperti gapaian tangan-tangan makhluk dari alam lain. Di atas cabang-cabangnya, berhimpun ratusan burung pemakan bangkai yang bertengger berjajar, seperti serdadu kematian menanti perang. Warna hitam mereka seperti menggantikan daun.
Di atas sana, langit diselubungi mega kelam. Bukan. Gumpalan-gumpalan yang tak beranjak itu bukanlah awan. Itu tak lebih dari kabut beracun yang telah mengungkung tempat ini selama ratusan tahun. Sari pati tanah langka di bawahnya, telah mengikat secara aneh gumpalan-gumpalan kabut beracun itu. Dari tahun ke tahun.
Hanya burung-burung pemakan bangkai di atas cabang-cabang kering yang tetap bertahan hidup, seakan-akan menjadi penghuni tetap. Jumlah mereka begitu banyak, mendirikan bulu roma. Mereka memang telah beranak-pinak. Kadang mereka pergi bergerombol keluar jika harus
mencari mayat untuk santapan!
Di samping mereka, ada manusia yang juga dapat bertahan hidup. Kini, dia berdiri memandangi hasil kerjanya, membangun panggung dari susunan kerangka tulang manusia! Orang itu tak lain dari Pendagel Setan.
Kerangka terakhir telah ditancapkan ke tanah, sebagai bagian terakhir dari panggung ganjil menggidikkan yang dibangun selama sekian pekan. Di salah satu sudut panggung, dia berdiri berkacak pinggang. Dipandanginya panggung hasil karyanya dengan kepuasan pekat di mata.
"Semuanya sudah siap. Tempatku membuktikan diri selaku penguasa rimba persilatan telah ku-bangun! Tinggal tunggu tamu kehormatanku, Pendekar Slebor! He-he-he, Pendekar Slebor! Dia aka tiba di sini pada hari yang kurencanakan untuk mengantar nyawa! Ya, mengantar nyawa!" kata Pendagel Setan sesumbar.
Kembali Pendagel Setan memandangi bentangan tonggak-tonggak tulang manusia berbentuk panggung. Cukup lama, hingga hatinya yang keji merasa puas.
"Padang Mega Racun! Kau akan menjadi saksi untukku. Menjadi saksi terbunuhnya pendekar muda besar tanah Jawa di tanganku. Pada saatnya nanti!" pekik Pendagel Setan ke segenap penjuru dataran kerontang di sekelilingnya.
Burung-burung pemakan bangkai di ranting-ranting pohon kering menyambutinya dengan koakan ramai, bersama suara kepakan sayap riuh. Ringan, kaki Pendagel Setan menjejaki tonggaktonggak tulang manusia. Satu demi satu, menuju tengah-tengah panggung ganjil yang dibangunnya. Setibanya di sana, lelaki itu berdiri untuk beberapa tarikan napas. Selanjutnya, kedua tangan lelaki ini bergerak lamban seirama setiap hembusan napasnya. Selang berikutnya, sepasang tangan kerempengnya menghasilkan suara berkecipak. Terdengar seperti permukaan air yang dimainkan. Dari gerakan lamban, tangan itu terus bergerak kian cepat. Cepat dan terus bertambah cepat.
Pada saatnya, gerak tangan itu membentuk bayangan sayap seekor burung raksasa. Angin besar itu terlahir, berputar-putar liar di sekeliling arah gerak kedua tangan tersebut. Dua pusaran angin dengan arah berbeda terbentuk sudah. Pusarannya terus meninggi, meng-gapai kabut pekat beracun. Seperti memiliki kekuatan, pusaran angin ciptaan itu menarik inti racun dari kabut di atas sana, menuju sepasang tangan lelaki ganjil itu. Semuanya terserap perlahan, seakan air terhisap tanah. Tak lama, tangan Pendagel Setan pun berubah warna. Warnanya kini seperti kabut pekat di atas. Kelabu dan terus makin kelabu. Lalu...
"Khhh!"
Drrrttt! Dari kebutan sepasang tangan yang terus bergerak itu, meluncur deras hawa kasap mata menuju satu sasaran.
Trash! Zhhh! Seketika kawanan burung pemakan bangkai sebatang pohon beterbangan kacau seperti baru digebah angin ribut. Dan memang, pohon kering besar itu telah menjadi sasarannya. Sebentar batang kokoh pohon tersebut bergetar seperti baru saja ada gempa. Begitu angin melewatinya, seluruh kulit pohon itu terkelupas bersamaan! Tak hanya itu. Serat-serat kayu bagian dalamnya pun turut bertebaran.
"Lihatlah, kawan-kawanku!" seru Pendagel Setan pada seluruh burung pemakan bangkai yang setia, memperhatikan gerak-geriknya.
"Dengan sempurna-nya tenaga 'Kepak Racun Pemakan Bangkai'-ku, tubuh Pendekar Slebor akan kubuat bernasib sama dengan pohon itu!"
Lagi-lagi binatang-binatang menjijikkan di atas sana menyambuti seruan Pendagel Setan dengan koakan serta kepakan sayap yang ramai.
"Nah! Kini, tibalah kalian menjalankan tugas!"
Pendagel Setan melanjutkan seruannya pada seluruh burung pemakan bangkai di sana. Dari tengah-tengah panggung ganjil miliknya, tubuh kerempeng itu melompat ringan jauh ke depan. Lalu manis sekali dia hinggap kembali sekitar lima belas tombak dari tempat semula. Di sana, tepat di bawah kakinya, sudah tersedia tumpukan gulungangulungan kecil tanah berwarna hitam.
Plokk! Pendagel Setan bertepuk tangan sekali.
Tampaknya, tepukan itu amat berarti bagi kawanan burung di atas ranting-ranting pepohonan kering. Satu persatu binatang-binatang itu terbang menuju ke arah Pendagel Setan. Ketika tiba, tangan Pendagel Setan menjemput satu gulungan tanah hitam, lalu melemparkannya kepada burung tadi.
Saat itu juga burung itu mencengkeram tanah hitam, dan segera terbang ke angkasa, meninggalkan Padang Mega Racun. Satu persatu begitu. Sampai
seluruhnya menghilang di balik kabut kelabu pekat.

***

"Hei, jangan pergi!"
Andika mengurungkan langkahnya. Kepalanya menoleh ke arah Macan Hitam Betina dengan tatapan gemas.
"Tadi kau menolak niat baikku menolongmu. Sekarang, ketika aku mau pergi, kau malah menahan-ku! Jadi apa maumu sebenarnya
heh"!" tanya Andika, sewot.
"Aku mau kau mengatakan siapa dirimu sesungguhnya!" tandas Macan Hitam Betina.
Memang, sejak Andika keluar dari persembunyian tadi, wanita itu masih saja ngotot ingin mengetahui julukannya.
"Yang pasti, aku bukan siluman pasar burung. Atau, tengkulak kebun singkong. Atau, monyet lupa diri...."
"Diam!"
"Atau kecoak jompo...," kata Andika seraya melanjutkan langkah santai.
"Diam! "
"Atau..., perempuan brengsek seperti kau!" Andika berbalik lagi dengan mata melotot. Dongkol setengah mampus dia diperlakukan seperti anak tiri seperti itu.
"Kau benar-benar mau tahu siapa aku"!" hardik Pendekar Slebor keras-keras, sampai otot-otot di lehernya seperti hendak meletus.
"Katakan kalau kau tak ingin mampus di tanganku!" teriak Macan Hitam Betina, tak kalah keras.
"Aku...."
"Tuan Muda!"
Mendadak seseorang menjegal niat Andika. Dari arah tenggara, datang tergopohgopoh petani tua. Tubuhnya masih berlumur lumpur sawah. Masih basah. Besar kemungkinan, dia baru saja meninggalkan pekerjaannya. Menilik parasnya, orang itu tampaknya sedang dicekam ketakutan.
"Apa Tuan Muda seorang pendekar?" susul petani tua itu tergesa.
Tahu keadaan mendesak, Andika tak ingin ber-lama-lama lagi. Dianggukinya pertanyaan si bapak petani cepat.
"Ada apa, Orang Tua?" tanya Andika.
"Di desa..., di Desa Wetan...."
"Perlahan-lahan, Orang Tua. Biar aku bisa jelas mengerti keadaannya."
"Ah! Aku sulit menjelaskannya, Tuan Muda. Sebaiknya Tuan Muda ikut aku segera," pinta si petani tua mendesak.
"Baik!" sahut Andika mengangguk mantap.
Petani tua ini cepat beranjak. Dan Andika mengikuti dari belakang. "Tunggu! Aku ikut!" ujar Macan Hitam Betina belakang Andika.

***

Andika, Macan Hitam Betina, dan si petani tua tiba di pinggir desa yang dimaksud. Di pematang sawah yang tergelar megah sepanjang tepi desa, mereka berdiri menatap langit. Petani tua telah menunjukkan sesuatu pada Andika dan Macan Hitam Betina.
"Ah! Bukankah itu hanya awan mendung saja. Orang Tua?" kata Andika, menyaksikan gerombolan-gerombolan kecil awan kelabu berarak terpisah angkasa.
"Tapi, tunggu...." Andika langsung menajamkan pandangan.
"Memang aneh," bisik Pendekar Slebor kemudian.
"Benar, Tuan Muda. Gumpalan-gumpalan awan kelabu itu selalu mengikuti ke mana kawanan burung-burung pemakan bangkai melayang."
"Benar, Orang Tua," dukung Andika.
"Lalu, kenapa keanehan itu membuat kau merasa harus memberitahukan aku, Orang Tua?"
"Karena sekitar lima belas tahun silam di Desa Wetan ini terjadi hal yang sama," papar si petani tua.
"Dan apa Tuan Muda ingin tahu kejadian selanjutnya?"
Andika mengangguk. Sementara Macan Hitam Betina di sisinya menampakkan wajah sungguh-sungguh, menanti kelanjutan cerita petani tua itu.
"Puluhan warga desa mati dalam satu hari!"
"Apa sebabnya, Orang Tua?" selak Matan Hitam Betina. Mulut ketusnya rupanya tak bisa ditahan lagi.
"Arakan-arakan awan yang mengikuti kawanan burung pemakan bangkai itu ternyata mengandung racun mengerikan! Begitu tiba di atas desa kami, kabut itu menurunkan semacam embun tipis ke segenap penjuru desa. Siapa saja yang menghirup, akan mati di tempat. Keadaan seluruh korban begitu menggidikkan.... Tuan-tuan Muda mau tahu, apa yang terjadi?"
"Mau, mau!" terjang Macan Hitam Betina bernafsu.
"Mereka mati dengan tubuh menjadi rapuh! Ihhh! Bayangkan saja, tubuh mereka bahkan dengan mudah dipreteli kawanan burung-burung pemakan bangkai. Sepertinya daging dan tulang mereka telah berubah selunak lumut!" papar orang tua ini.
Andika bergidik. Terlebih perempuan di sebelah-nya.
"Kebetulan waktu itu ada beberapa pendekar yang singgah di desa kami. Mereka berusaha mencari tahu, apakah semua itu hanya kejadian alam biasa.
Atau, perbuatan seseorang. Sebelum tahu apa yang sesungguhnya tengah berlangsung, mereka semua ditemukan tewas di tengah sawah," lanjut orang tu ini. Lelaki berkulit gesang itu berhenti sebentar. Tampaknya dia pun nyaris tak bisa menguasai rasa ngeri yang melata liar dalam dirinya "Salah seorang yang sekarat sempat member-tahukan pada kami, bahwa kejadian itu adalah perbuatan seorang wanita yang terusir dari desa. Sayang, sebelum semuanya jadi jelas, ajal men-jemputnya...."
Andika menatap kembali langit di atas sana. Laju gumpalan-gumpalan kabut kelabu di atas sana kian dekat ke arah Desa Wetan, bersama eluncurnya kawanan burung pemakan bangkai tepat di bawah gumpalan-gumpalan kabut. Matanya menyempit. Kerutan tegang terlihat. Kalau Andika memperhatikan keadaan para korban dalam cerita bapak tua tadi, didapatinya ada kemiripan dengan korban perbuatan Pendagel Setan beberapa waktu sebelumnya. Tapi, kenapa pendekar sekarat dalam cerita si petani tua justru mengatakan bahwa kejadian itu didalangi seorang wanita! Lalu apa kaitannya dengan peristiwa kini? Apa pula kaitannya dengan Pendagel Setan? Andika belum bisa menemukan titik terang dalam masalah ini. Semuanya masih samar baginya.
"Begini saja, Orang Tua. Sebaiknya ccpatlah pergi ke desa. Ingatkan mereka untuk segera mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sementara itu, aku akan mencoba semampuku menghalangi gumpalan-gumpalan kabut beracun itu, kalau bisa akan kucoba menyingkirkannya...," ujar Andika mantap.
"Bagaimana denganku?" tukas pendekar wanita di dekatnya.
"Kau" Sebaiknya cepat mencari kain gombal, lalu sumpal mulutmu!"
Andika memang masih menyimpan kejengkelannya pada Macan Hitam Betina.

***

«§ 7 §»

"Koakk! Koakk!"
Angkasa dicemari teriakan-teriakan memekakkan kawanan burung pemakan bangkai. Berjumlah ratusan. Mereka telah tiba di atas desa yang dituju. Desa yang lima belas tahun lalu telah menjadi korban, kini hendak dimangsa kembali! Seperti cerita bapak petani tua, saksi hidup kejadian terdahulu, kawanan burung pemakan bangkai itu akan menggiring gumpalan-gumpalan kabut beracun menuju atas desa. Di beberapa sudut desa, beberapa ekor burung melepaskan gulungan tanah sehitam jelaga dari cakarnya. Gulungan tanah sebesar kepalan tangan itu meluncur jatuh, siap menebar bencana. Demikian pula kejadian di beberapa sudut lain.
Sesungguhnya, bukan gulungan tanah hitam itu yang mengancam nyawa penduduk. Melainkan, awan pekat kelabu di atasnya. Seperti diketahui, gulungan-gulungan tanah itu berasal dari Padang Mega Racun yang memang jenis tanah langka. Dan tanah itu memiliki daya tarik kuat ke bawah, terhadap gumpalan-gumpalan kabut yang mengandung racun tertentu. Seperti daya pada besi sembrani yang bisa menarik besi lain.
Maka, jika gumpalan-gumpalan tanah itu dijatuh-kan di tempat tertentu akan ada gumpalan-gumpalan kabut beracun di angkasa! Kabut beracun itulah yang telah membantai puluhan bahkan ratusan warga Desa Wetan ini, lima belas tahun silam! Dan kali ini, gumpalan-gumpalan kabut racun itu pun siap menebar maut.
Di atas sana, para makhluk yang telah andil menggiring kabut tersebut melayanglayang tiada henti. Mereka terbang dalam gerak bergairah menebar kematian. Bukankah mereka hanya menunggu beberapa saat untuk mendapatkan limpahan makanan lezat bagi mereka yang berupa bangkai-bangkai manusia!
Benarkah mereka akan segera merayakan pesta besar" Tidak! Sebelum mereka tiba, nyatanya penduduk desa telah berhasil diungsikan secepatnya, atas pemberitahuan petani tua tadi. Desa kini menjadi melompong. Suasana senyap meraja. Jalan-jalan lengang. Yang jelas, desa itu berubah menjadi desa mati tak berpenghuni. Senja datang perlahan. Ketika itu, bobot kabut kelabu pekat yang menggelantung di angkasa menjadi lebih berat. Lambat tapi pasti, gumpalan-gumpalan itu merayap turun dari angkasa, menjamah hampir segenap bagian desa. Jalan-jalan menjadi ladang kabut. Begitu juga pekarangan-pekarangan rumah penduduk, kebun-kebun, atau petak-petak tempat bermain para bocah.
Binatang-binatang ternak yang tak sempat dibawa mengungsi mengalami nasib naas saat itu juga. Mereka bergelimpangan di sana sini, dalam lautan kabut yang menggerayang lamban namun mematikan. Tak lebih dari empat tarikan, kabut beracun tadi telah berhasil melempar keluar nyawa binatang-binatang ternak malang dari jasadnya. Ayam, kambing. bahkan seekor kerbau jantan kekar sekali pun. Lalu, bagaimana bila manusia?
Kalau hanya sampai di sana. mungkin tak terlalu menggidikkan. Namun daya kerja racun yang dibawa kabut tadi rupanya tak berhenti sampai di situ saja. Setelah tubuh binatang-binatang mangsanya bergelimpangan, secara lambat kekenyalan daging serta kekerasan tulangnya mulai digerogoti. Tak lama, daging dan tulang bangkai-bangkai itu menjadi demikian rapuh. Begitu rapuh, sampai tiupan angin sepoi-sepoi pun mampu menerbangkan bulu-bulu mereka. Atau lebih mengerikan lagi, dapat membuat kulit terkelupas!
Lebih mengerikan dari itu, ternyata kejadian itu berlangsung ketika korban sedang sekarat. Artinya, mereka akan begitu tersiksa luar biasa, saat bagian
demi bagian tubuh terlepas dan terkelupas!
Itulah kedahsyatan racun dari Padang Mega Racun, tempat Pendagel Setan menyempurnakan ilmunya, sekaligus tempat nanti Pendekar Slebor akan ditantang mengadu jiwa! Itu berarti, sebentuk tantangan amat berat akan dihadapi pendekar muda dari tanah Jawa itu. Sebab, di samping kesaktian lawan yang belum lagi dapat diukur, racun di padang tersembunyi itu pun akan menyambutnya....
Sementara itu, sesosok tubuh tak dikenal memasuki wilayah desa maut tadi. Langkahnya lambat. Dan amat ringan. Bahkan gerak kabut pun masih kalah ringan. Cahaya senja yang sekarat dan tebalnya kabut, membuat perawakan orang itu jadi tidak begitu jelas. Yang pasti, dia bukanlah Pendagel Setan.
Sosok itu terus berjalan lurus. Sekilas ekor jubah panjang hitamnya melambai lamban mengikuti irama lagkahnya. Rambutnya sepanjang bahu. Sulit untuk menentukan, apa warnanya. Tiba di tengah-tengah desa, sosok itu menghentikan langkah. Ditatapnya bangkaibangkai binatang tanpa gerak. Lama dia begitu, sampai akhirnya memutuskan untuk melanjutkan langkah. Siapa orang itu?
Lalu, ke mana Andika? Bukankah anak muda itu sebelumnya berniat akan menghadang gerak gumpalan kabut? Ternyata, dia tak berhasil. Jadi, apa yang telah terjadi? Senja makin tua digerogoti waktu. Hari mulai meredup. Matahari kian terpuruk.
"Tuan Penolong! Hoi, Tuan Penolong! Kemana kau"!" Lelaki Berbulu Hitam memangil-manggil Andika.
Manusia berdarah setengah serigala itu tampak berjalan celingukan di tempat Andika dan Macan Hitam Betina sebelumnya. Mulas di perutnya sudah dapat dienyahkan. Di samping karena 'persediaan'nya sudah terkuras, juga karena keberangannya menguap. Padahal, kepalanya masih benjut sebesar telur angsa.
"Ah! Ke mana dia? Kenapa aku ditinggal begitu rupa!"
Taring Lelaki Berbulu Hitam menyembul. Sifat berangasannya pasti bakal mencelat lagi, kalau bukan Andika yang sedang dicarinya.
"Tuan Penolong! Di mana kau" Beritahu aku! Apa kau dongkol padaku"! Aku janji tak akan buang hajat lagi sepanjang hayat, supaya Tuan tidak dongkol lagi padaku!" Alis lembut Lelaki Berbulu Hitam terungkit.
Sambil memegangi pantatnya, mulutnya meringis kecut. Laki-laki kekar berbulu ini berpikir, bila tidak buang hajat sepanjang hayat, apa nanti tidak
sengsara" "Eh! Maksudku bukan itu, Tuan Penolong! Maksudku, aku janji tak akan pernah lagi buang hajat di sungai!" ralat Lelaki Berbulu Hitam terburu-buru, seolah takut sumpah sebelumnya jadi telanjur.
"Maaf, Kisanak!"
Mendadak terdengar teguran dari belakang. Lelaki Berbulu Hitam menoleh. Tampak di depannya lelaki tua telah berdiri di belakangnya. Usianya tujuh puluhan. Berjubah hitam pudar yang tampaknya tak kalah tua dengan pemiliknya. Tubuhnya tak terbilang renta, jika dibanding usianya. Kumisnya putih tipis tak terawat, seputih rambutnya yang memanjang hingga bahu. Orang tua itulah yang tampak di desa korban keganasan racun di Padang Mega Racun.
Tahu kalau bukan Andika yang menegurnya, acuh saja Lelaki Berbulu Hitam meneruskan langkahnya.
"Maaf, Kisanak. Bisakah kau berhenti sejenak! Aku ingin sedikit bertanya padamu," tegur orang tua itu kembali.
"Aku sedang mencari seseorang!" sahut Lelaki Berbulu Hitam, ketus dan sambil lalu.
"Tapi, bukankah tak rugi bila sedikit menolongku, Kisanak," usik orang tua itu kembali. Nada ramah ucapannya masih terjaga.
"Aku tak peduli," tandas Lelaki Berbulu Hitam.
Orang tua itu menyusul. Langkah Lelaki Berbulu Hitam dijajarinya dengan ringan.
"Maaf sekali lagi, Kisanak. Aku ingin bertanya untuk keadaan yang begitu mendesak. Ini menyangkut keadaan genting yang bisa merenggut korban nyawa," lanjut orang tua itu tak menyerah.
Lelaki Berbulu Hitam menggeram. Dipenggalnya langkah kakinya. Dengan mata membesar, ditatapnya orang tua tadi.
"Apa kau tak dengar perkataanku tadi. Aku bilang, aku tak peduli. Yang aku peduli, aku mesti menemukan Tuan Penolongku!" tegas Lelaki Berbulu Hitam.
Orang tua berjubah hitam itu mengangkat tangan. Bibirnya tersenyum ramah, sekaligus sejuk.
"Baik..., baik.... Begini saja, Kisanak. Kalau kau sudi menjawab pertanyaanku, maka aku akan membantu mencarikan orang yang kau cari. Bagaimana?"
Lelaki menyeramkan berdarah serigala yang di-tawari malah menatap tajam. Parasnya seperti seekor serigala lapar hendak menelan mangsa hidup-hidup. Memang susah berurusan dengan orang semacam dia. Kalau maunya hitam, ya mesti hitam. Tak bisa putih. Apalagi loreng!
"Kau pikir aku butuh pertolonganmu"! Grrr!" Geraman Lelaki Berbulu Hitam pun meluncur.
Orang tua berjubah hitam tetap tenang. Dia hanya mengangkat bahu.
"Baiklah. Aku akan bertanya pada orang lain saja kalau begitu."
"Bagus, grrr...."
"Aku mohon pamit," hatur si orang tua.
"Tidak bagus!" bentak Lelaki Berbulu Hitam, memaksa orang tua tadi mengurungkan niatnya.
"Apa maksudmu?"
"Kepalamu harus kukepruk dulu!"
Bibir keriput orang tua berjubah hitam memperlihatkan senyum samar.
"Kenapa kau hendak mengeprukku" Bukankah aku tak berbuat salah?"
"Siapa bilang"! Kau telah memancing ke-beranganku! Kau tahu, apa artinya itu?"
Si orang tua mengangkat bahu.
"Kalau kau tak kuhajar, itu artinya bakal membuat perutku mulas lagi."
Sekali lagi kening orang tua berjubah hitam dipaksa berkernyit. Apa hubungannya perut mulas dengan semua ini"
"Dan kalau perutku mulas, aku harus buang hajat lagi," susul Lelaki Berbulu Hitam. Si orang tua mulai merasa orang berpenampilan seram ini sudah tak waras. Ucapannya makin ngalor ngidul tak karuan.
"Kalau aku buang hajat lagi, berarti Tuan Penolong akan makin dongkol padaku. Dan kalau Tua Penolong dongkol padaku, aku tak akan diizinkan bertemu lagi dengannya. Dan kalau tak diizinkan bertemu lagi dengannya, aku bakal tak sembuh. Dan kalau aku tak sembuh...."
"Baik..., baik!"
Cerocos yang tak sempat diselingi tarikan napas itu cepat-cepat dihentikan si orang tua. Masalahnya dia merasa jadi ikut sinting kalau terus menyimak ucapan ngelantur yang tak dimengerti itu.
"Kalau aku punya salah, aku minta maaf," lanjut orang tua itu.
"Grrr! Tak bisa begitu!"
Wukh! Tahu-tahu saja, tangan setebal badan ular sanca hutan Lelaki Berbulu Hitam ngeloyor deras ke kepala si orang tua. Jaraknya cukup jauh. Namun, orang tua berjubah hitam dibuat terkesiap mendapati angin pukulan berkekuatan hebat dihasilkan gerakan tangan Lelaki Berbulu Hitam.
Si orang tua cepat menangkis. Dia tahu, apa akibatnya kalau pelipisnya sampai terhajar tinju besar Lelaki Berbulu Hitam.
Plak! Tangan mereka berbenturan. Si orang tua terdorong beberapa tindak ke belakang. Sungguh tak dikira kalau tenaga lawan jauh lebih kuat dari perkiraannya. Pergelangan tangannya pun terasa berdenyut-denyut.
"Kau tak boleh menangkis! Jangan buat aku berang!" dengus Lelaki Berbulu Hitam.
"Bagaimana aku tak menangkis kalau pelipisku bakal remuk oleh kepalanmu?" sanggah si orang tua.
"Kalau begitu, kita berkelahi! Berkelahi!"
Memangnya tadi itu apa" Rutuk orang tua berjubah hitam dalam hati. Wesss! Satu terjangan seekor serigala dilakukan Lelaki Berbulu Hitam. Wajar saja gerakan itu sering dilakukan tanpa sadar kalau sedang marah, mengingat dia dibesarkan oleh sepasang serigala hutan besar. Dan kuku panjang hitamnya pun menebas udara, menuju dada.
Si orang tua tak mau membuat kesalahan kedua. Dia masih belum yakin telah dapat mengukur tingkat kekuatan lawan. Karena itu, tak dipapakinya sambaran tangan, namun hanya menyampingkan badan. Sambaran yang berhasil dimentahkan makin menyuburkan keberangan Lelaki Berbulu Hitam. Kakinya segera membuat tendangan kasar melingkar. Orang tua berjubah hitam memanfaatkan ruang kosong di bawah kaki lawan. Tubuhnya cepat merunduk. Merasa dirinya terancam, dia pun merasa harus melakukan serangan balasan. Punggung tangannya dikibaskan ke selangkangan Lelaki
Berbulu Hitam amat cepat.
Cletat! "Whiaaauuu!"
Tak alang kepalang, Lelaki Berbulu Hitam memekik nyaring. Dua bola rahasia di balik celananya kontan perih berdenyut-denyut. Perutnya sampai dibuat mual.
Sikap meremehkan lawan yang tampil renta di matanya membuatnya ceroboh. Tubuh bongsor Lelaki Berbulu Hitam melintir-lintir serabutan. Tangannya mendekap 'mesra-mesra' miliknya yang paling berharga di seantero jagi raya!
"Akan kumamah dagingmu, Jompo Keparat!" maki Lelaki Berbulu Hitam di antara erangan dan geraman.
"Ada apa ini"!"
Suasana panas pemicu pertarungan besar mendadak dipadamkan oleh sebuah teguran. Lelaki bulu Hitam mengurungkan niat hendak menerkam
tengkuk orang tua berjubah hitam dengan taringnya, meski 'kelereng' kesayangannya masih sakit sampai ulu hati, meski keberangannya sudah naik sampai ubun-ubun, bahkan meski dunia sedang kiamat, dia memang harus menghentikan serangan. Soalnya, yang telah berdiri tidak jauh dari situ bukan orang sembarangan baginya. Dia ternyata Andika, anak muda yang dikira bisa mengenyahkan sifat pemberangnya.
"Ke mana saja kau, Pak Tua Bulu" Aku kelimpungan mencarimu kian kemari! Apa kau tak tahu aku membutuhkan pertolonganmu"!" sembur Andika sewot.
Sewaktu mengatakan pada petani tua hendak menahan gerak burung-burung penggiring kabut beracun, Pendekar Slebor berpikir untuk meminta bantuan Lelaki Berbulu Hitam. Sesepuh sakti seperti dia, biarpun kurang waras, agaknya masih bisa diandalkan bantuannya. Tapi sewaktu kembali ke tepian sungai, Lelaki Berbulu Hitam sudah raib. Yang menjengkelkan, Andika malah hanya menemukan bau busuk sekawanan dedemit!
"Tuan Penolong dari mana saja"!" sambut Lelaki Berbulu Hitam.
Semestinya wajah penuh bulu itu memperlihatkan raut gembira. Karena suasana sedang panas. Wajahnya malah seperti hendak memusuhi Andika.
"Sudah kubilang tadi, aku mencari-carimu, Pak Tua Bulu. Aku butuh pertolonganmu!" sahut Andika.
"Tidak usah, Tuan Penolong...."
"Tak usah apa"!" sentak Andika, naik darah.
"Ini persoalan nyawa banyak penduduk desa!" "Bukan itu, Tuan Penolong."
"Jadi apa"!"
"Tak usah memanggilku 'Pak Tua Bulu'. Kedengarannya terlalu jelek. Kedengarannya mirip-mirip 'ulat bulu', atau mirip...."
"Ah! Siapa yang peduli," gerutu Andika.
"Ayo, sebaiknya cepat ikut aku!"
"Tak usah tergesa, Andika," sapa orang tua berjubah hitam. Mengherankan!
Ternyata dia mengenali pendekar muda dari Lembah Kutukan! Andika menoleh. Sejak tiba tadi, dia kurang memperhatikan siapa lawan Lelaki
Berbulu Hitam. Pendekar Slebor terlalu digerecoki kedongkolan pada manusia kelebihan bulu itu. Di samping itu, hari memang sudah semakin senja. Kegelapan mulai merambah.
"Apa aku tak salah lihat?" gumam Andika.
Dengan terpana, Andika menatap orang tua tadi. Wajah itu pernah dikenalnya. Bukan hanya kenal. Bahkan Andika pernah begitu dekat. Seperti dekatnya seorang cucu pada sang eyang.
"Ki Patigeni?" bisik Andika tak yakin.
Orang tua yang dipanggil Ki Patigeni membuka lebar-lebar kedua tangannya.
"Kau kira siapa" Apa aku mirip hantu salah jalan?" gurau orang tua ini enteng.
Kontan saja Andika memburu. Didekapnya orang tua itu padat kerinduan. Dia seperti bertemu orang yang dianggapnya sudah tak akan pernah lagi dijumpai. Sementara Ki Patigeni menyambutnya dengan pelukan tak kalah hangat. Sesaat mereka saling mengguncang-guncangkan badan seraya terbahak-bahak ramai. Ki Patigeni adalah salah seorang rekan seperjuangan Andika. Dia yang membantu Andika dalam kejadian beberapa tahun silam, ketika dunia persilatan digegerkan oleh kemunculan Ratu Racun. (Baca kisahnya dalam episode: "Geger Ratu Racun").
"Ceritakan tentang kabarmu, Ki!" pinta Andika meletup-letup.
Sesaat Pendekar Slebor jadi terlupa dengan kejadian di desa. Bagaimana dia tidak begitu" Sebab selama ini Andika tahu kalau Ki Patigeni telah mati terkena salah satu racun ganas Ratu Racun. Kalau sekarang bertemu, betapa mengejutkan baginya.
"Tuan Penolong," sela Lelaki Berbulu Hitam.
Andika mengira manusia langka satu itu ingin diperkenalkan dengan Ki Patigeni.
"O, iya, Ki. Perkenalkan ini..."
"Bukan itu, Tuan Penolong," potong Lelaki Berbulu Hitam.
"Aku hanya mau tanya, bolehkah aku pergi ke sungai lagi?" pinta Lelaki Berbulu Hitam memelas.
Gara-gara tak jadi mengepruk batok kepala Ki Patigeni, perutnya jadi ngadat lagi!

***

«§ 8 §»

Malam tak lagi gulita. Api unggun membubung, membentuk tarian aneh membunuh gelap di tempat Andika bertemu Ki Patigeni. Kedua orang itu kini sedang hangat bercakap-cakap. Sementara Lelaki Berbulu Hitam sudah sejak lepas senja tadi bersemadi di semak-semak. Di balik batu besar sekitar tujuh delapan tombak ke selatan, seorang wanita mengintip. Dia adalah Macan Hitam Betina. Sewaktu di pinggir desa siang tadi. Andika meninggalkannya pergi begitu saja. Pendekar wanita ketus itu berusaha menguntit. Tapi, jangan harap Andika bisa dikejar dengan mudah.
Tentu saja, karena di dunia persilatan ilmu meringankan tubuh Pendekar Slebor masih berada dalam jajaran atas. Sementara, Macan Hitam Betina cuma seorang pendekar wanita tergolong bau kencur. Di samping kedigdayaannya masih tanggung. Pengalamannya pun masih seujung kuku.
Andai tahu siapa yang dikejarnya saat itu, tidak akan mau Macan Hitam Betina melakukan pekerjaan bodoh itu. Setelah kehilangan jejak dan berputar-putar tak menentu hingga malam hari. Pendekar Slebor baru bisa ditemukannya lagi. Dan api unggun telah menolongnya sampai di tempat itu.
Macan Hitam Betina segera menguping percakapan Andika dan Ki Patigeni. Dua lelaki bertaut usia itu sedang membincangkan kenangan lama mereka, saat berurusan dengan Ratu Racun. Mereka membicarakan segalanya. Termasuk, tipu muslihat Ki Patigeni. Andika pernah dikecohnya dengan berpura-pura mati. Seperti Pendekar Lembah Kutukan buyut Andika pernah pula mengecoh anak muda itu di Lembah Kutukan (Baca episode:
"Dendam dan Asmara") Orang tua itu melakukannya, karena berharap Andika kian memendam tekad untuk menumpas Ratu Racun. Tipuannya demikian sempurna. Bahkan Andika sendiri yang mengubur-kannya waktu itu.
"Ah! Tanpa kau berpura-pura mati pun, aku tetap memiliki tekat sebulat telur monyet dalam menumpas setiap kebatilan! Ha-ha-ha!" tukas Andika, bergurau pada Ki Patigeni.
"Tapi aku jadi tak habis pikir, kenapa Pendekar Slebor yang digembar-gemborkan berotak seencer bubur bayi, masih bisa kutipu. Bukankah kau tahu, aku pernah mengalahkan guru Ratu Racun" Kalau begitu, mestinya kau berpikir aku tak akan begitu mudah ditamatkan oleh racun muridnya?" cemooh Ki Patigeni. Seperti dulu, dia suka mencemooh Andika sambil bergurau.
"Apa"! Jadi kau ini Pendekar Slebor yang menggemparkan itu"!" Mendadak saja terdengar seruan kaget dari balik batu. Ketika Pendekar Slebor dan
Ki Patigeni menoleh, tampak Macan Hitam Betina keluar dari persembunyiannya. Sejak Andika berkumpul dengan Ki Patigeni dan Lelaki Berbulu Hitam, dia terus menguntit. Wanita sok tahu itu curiga dengan mereka.
"Kau lagi...," gerutu Andika.
"Kenapa tak enyah saja jauh-jauh dari tempat ini?"
Wanita ayu itu mendekati Andika dengan sinar mata berbinar-binar. Bertolakbelakang sekali dengan sebelumnya. Wajahnya pun kini berhias senyum malu-malu. Mekar seperti bunga.
"Aku rasanya harus minta maaf padamu...," kata Macan Hitam Betina di depan Andika. Sikapnya serba salah. Telapak tangannya terus digosok-gosokkan.
Sewaktu bicara, pandangannya tak berani bertemu dengan pandangan Andika.
"Aku tak mengerti maksudmu?" tukas Andika.
"Maksudku, aku minta maaf. Kemarin aku telah begitu lancang," ucap Macan Hitam Betina, menjelaskan.
"Siapa bilang kau lancang" Kau cuma brengsek, ketus, angkuh, dan sok tahu!"
"Ah! Jangan begitu..., Pendekar Slebor. Kemarin kita cuma salah paham. Kalau tahu kau ternyata pendekar besar, tak akan aku berbicara sembarangan..."
Andika mencibir. Jelek sekali.

***

Siang terik. Empat orang memasuki desa siang itu. Sepi mengungkung. Tak seorang penduduk pun yang berani pulang. Mereka masih cemas dengan kabut beracun maut yang masih mengepung desa. Tak seperti kemarin senja, kabut kelabu sudah tak bergentayangan lagi. Panggangan panas matahari telah menyebabkan bobot kabut menjadi ringan. Semuanya perlahan-lahan menguap ke angkasa, berkumpul kembali membentuk gumpalan-gumpalan mirip awan mendung. Dan jika hari menjadi senja, ancaman maut kabut tersebut siap turun kembali mengepung setiap sudut desa.
Kemari sore, ketika Andika hendak mengajak menyelidik desa, Ki Patigeni mencegahnya. Pada Andika dikatakan, bahwa sampai saat itu tak ada korban manusia. Dan pemuda ini tak perlu khawatir.
Di samping itu, Ki Patigeni punya rencana lain. Sebab itu, mereka pun menghabiskan malam dengan membuat api unggun di tempat yang sama, untuk menunggu siang tiba. Pendekar Slebor, Lelaki Berbulu Hitam, Ki Patigeni, serta Macan Hitam Betina yang belakangan mengaku bernama asli Cempaka, memutuskan untuk memasuki desa. Ki Patigeni yang banyak tahu tentang racun, mengatakan bahwa pada siang terik seperti saat itu, mereka bisa memasuki desa. Sesuai petunjuk Ki Patigeni pula, mereka mulai menyingkirkan seluruh gulungangulungan tanah hitam sebesar kepalan tangan yang memenuhi beberapa wilayah desa.
Tak mudah mereka melakukan pekerjaan seperti itu. Karena, mereka harus memindahkan seluruh benda penyebab mengambangnya kabut racun di atas desa ke tempat yang dianggap aman. Satu-satunya tempat sementara yang jarang diinjak penduduk desa hanya hutan lebat di sebelah tenggara desa. Namun jaraknya hampir seperempat hari untuk sampai ke sana.
Dengan sedikit memutar otak encernya, Andika mendapat jalan yang dapat mempermudah mem-percpat pekerjaan itu. Dengan peti-peti kayu bekas tempat telur yang didapat dari sebuah gudang milik penduduk, mereka menghanyutkan seluruh gulungan tanah langka itu. Kebetulan, sungai yang sempat dicemari 'limbah' milik Lelaki Berbulu Hitam memotong hutan sebelah tenggara. Agar tak terus terbawa arus, Andika meminta Macan Hitam Betina untuk menunggu seluruh peti di dalam hutan. Wanita itu pula yang akan mengumpulkan seluruh gulungan tanah ke tempat teraman.
Ketika sebagian demi sebagian gulungan tanah dihanyutkan, maka sebagian demi sebagian kabut kelabu di angkasa pun bergerak mengikuti arah arus sungai. Dengan disingkirkannya seluruh gulungan tanah ke dalam hutan, maka desa pun menjadi terbebas dari ancaman kabut racun.

***

Cempaka alias si Macan Hitam Betina menghempas napas keras-keras. Disapunya peluh yang membanjiri dahi. Letih pun menggelayuti sekujur tubuhnya. Dia pun terduduk di rerumputan hutan. Tugas dari Andika baru saja diselesaikan. Gumpalan-gumpalan tanah dari Padang Mega Racun telah terkumpul di sebuah lubang bekas jebakan binatang. Kalau dipikir-pikir, sampai semua monyet jadi botak pun Cempaka tak akan sudi diperintah seenaknya seperti itu. Selaku seorang yang menganggap dirinya pendekar, harga dirinya seperti di-guyur lumpur hitam. Masa' dirinya diperintah
melakukan pekerjaan kasar seperti kuli batu"
Memindahkan peti-peti dari sungai, mengangkutnya, lalu mengumpulkannya pada lubang. Berhubung yang memintanya Andika, anak muda yang namanya melambung sebagai Pendekar Slebor, Cempaka malah merasa mendapat kehormatan.
Bagi wanita itu, Pendekar Slebor seperti sosok seorang pahlawan pujaan. Sebelum turun ke dunia persilatan, Cempaka memang sudah banyak dengar bagaimana sepak terjang pemuda itu. Bagaimana kekuatan kharismanya. Termasuk, ketampanannya, tentu. Karena begitu sering mendengar berita-berita luar biasa tentang Pendekar Slebor, lama kelamaan hatinya jadi kesemsem. Dia sering berkhayal bisa bertemu pemuda sakti itu. Atau lebih keterlaluan lagi, dia membayangkan dirinya berjalan bergandengan mesra dengan Andika. Atau bahkan, memimpikan menjadi kekasihnya.
Kalau sekarang seluruh impian Macan Hitam Betina terwujud, apa itu bukan kejutan" Apa itu tidak membuatnya mau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap tak pantas bagi seorang pendekar wanita seperti dia! Cempaka membayangkan wajah Andika. Ketampanan anak muda itu benar-benar menggetarkan perasaan. Kekaguman wanita ini bertambah bila melihat mata setajam elang milik Andika.
"Andai aku benar-benar menjadi kekasihnya...," bisik wanita ini lamat.
Tanpa sadar, perempuan ayu itu memainkan ujung-ujung rambutnya. Tak bedanya tingkah gadis desa yang sedang dilanda kasmaran. Sewaktu matanya tertumbuk pada luka di jari-jari tangan kirinya, dia jadi menyesal kenapa kemarin malah menolak pertolongan pemuda tampan itu. Bukankah sungguh membirukan perasaannya jika Andika memegang jemarinya yang terluka, lalu mengobatinya penuh kelembutan! Khayalan dalam benaknya makin liar saja. Sampai....
"Kita bertemu lagi, Nona Ayu!" Cempaka terlonjak ketika tiba-tiba terdengar teguran kasar. Sejurus kepalanya menoleh ke arah suara. Tampak seseorang yang telah menyebabkan jari-jemari lentiknya menjadi rusak. Pendagel Setan!
"Kau rupanya, Manusia Keparat! Aku memang berharap dapat bertemu kembali denganmu dan mencopot kepala jelekmu dari badan!" desis Macan Hitam Betina.
Sifat wanita ini memang sok hebat. Biarpun kemarin sudah hampir mampus di tangan Pendagel Setan, tetap saja seolah-olah bisa mengalahkan lelaki sesat itu. Pendagel Setan terkekeh. Lama-kelamaan dia terpingkal-pingkal. Sampai kedua tangannya mendekap perut. Tak ada yang bisa ditertawakan siapapun pada saat itu. Tapi baginya, tetap ada sesuatu yang lucu.
"Sinting!" maki Macan Hitam Betina dengan wajah mematang.
"Kau mengira akan bisa mengenyahkanku. Sementara, kemarin saja kau sudah nyaris mampus di tanganku. Untung saja Pendekar Slebor segera menolongmu!" ejek Pendagel Setan.
"Kau ingin membuktikannya sekarang?"
"Membuktikan apa, Nona Ayu yang kehilangan kuku?"
"Bahwa aku dapat menumpasmu! Manusia macam kau memang semestinya cepat-cepat mati!" Pendagel Setan terkekeh lagi. Terbahak lagi. Juga mendekap perutnya lagi. Jelas saja sikapnya lebih cepat memancing kegusaran Macan Hitam Betina yang merasa dilecehkan.
"Manusia keparat! Haiii!"
Cempaka pun seketika menerjang Pendagel Setan.
Dari jarak enam tombak, dia melompat tinggi dengan sebelah kaki siap menghantam dada Pendagel Setan di depan.
Wukh! Hanya angin yang menjadi sasaran tendangan terbang Macan Hitam Betina, karena tubuh Pendagel Setan lebih cepat berjumpalitan ke belakang. Tangannya dijadikan tumpuan untuk membalikkan badan kembali. Dengan kalap, Cempaka melanjutkan serangan. Begitu kakinya tiba kembali di tanah, punggung tangan kanannya dibabatkan ke kepala. Seperti serangan sebelumnya, usahanya kali ini pun penuh tenaga. Tampaknya, perempuan itu benar-benar bernafsu hendak menghabisi Pendagel Setan secepatnya. Mungkin baginya lebih cepat melenyapkan tokoh aneh dari muka bumi, akan lebih baik.
Seperti sedang bermain kucing-kucingan, Pendagel Setan sekali lagi berjumpalitan ke belakang. Tahu kalau tokoh aneh ini butuh tempat berpijak belakang. Macan Hitam Betina melompat lebih jauh mencoba lebih dahulu tiba di tempat Pendagel Setan akan berpijak. Kalau tiba lebih dahulu kesempatannya akan lebih besar untuk bisa menyarangkan serangan pada lawan yang belum siap. Begitu pikirnya. Tep! Memang, Macan Hitam Betina bisa menyusul jumpalitan lawan. Kakinya menjejak lebih dahulu, setelah melenting dan berputar di udara. Apakah itu berarti pula dia bisa memanfaatkan kelemahan lawan"
Ternyata, tidak juga, Cempaka terlalu percaya pada kemampuan dirinya. Sementara sejauh itu, dia tak sungguh-sungguh tahu orang macam apa yang dihadapi. Sewaktu Macan Hitam Betina mencoba mencabik wajah lawan dengan jari kanan dari arah bawah, dengan lincah Pendagel Setan membuat pijakan cepat. Dan dengan cepat pula tubuhnya terlempar kembali ke tempat sebelumnya. Tindakan itu bukan sekadar untuk menyelamatkan wajahnya dari sambaran cakar Cempaka. Namun sekaligus juga mengirimkan tendangan dengan dua kaki ke rusuk.
Desss...! "Aaakh...!"
Berbareng bunyi sambaran tangannya. Cempaka merasa uluhatinya bagai dihantam gelondongan pohon. Mual teramat sangat. Bahkan untuk beberapa saat, dia tak bisa menarik napas. Begitu jaringan pernapasannya bisa menarik udara, pandangannya langsung berkunang-kunang. Pendagel Setan rupanya benar-benar mau bermain kucing-kucingan dahulu. Buktinya, serangannya tak segera dilancarkan pada saat dia bisa melakukannya. Sengaja dibiarkan Macan Hitam Betina menikmati rasa mualnya.
"Bagaimana" Apakah kau tadi belum sarapan? Mestinya kau sudah memuntahkan semua isi perut.
Apa pendekar muda tampan itu terlalu kikir untuk membelikanmu sarapan" He-hehe!" cemooh Pendagel Setan memuakkan.
Cempaka menggoyang-goyangkan kepala beberapa kali. Rambutnya jadi kacau. Sebagian menutupi wajahnya yang berkeringat. Pucat. Perutnya masih terasa mual. Dia ingin muntah. Sewaktu mendengar perkataan tokoh menyebalkan ini, keinginan itu sekuatnya ditahan. Dengan tubuh agak membungkuk memegangi perut, pendekar wanita beradat keras itu meludah tanah.
"Kurasa, kau adalah lelaki yang semasa kecilnya tak pernah mendapatkan perhatian orang lain! Tingkahmu terlalu tengik! Kau pikir, orang akan tertawa menyaksikan dagelan busukmu"!" desis Cempaka.
"Setidaknya, aku bisa tertawa. Aku bisa menertawai kesaktian mereka, aku bisa menertawai hilangnya nyawa mereka!" sahut Pendagel Setan, menggidikkan.
"Ya! Kau memang sudah tak waras!"
"Ya! Yang penting, aku bisa tertawa! Ha-ha-ha!"
"Kubunuh kau!"
Dengan gejolak semangat tarung yang semakin payah, perempuan ayu yang menjuluki diri Macan Hitam Betina itu menerkam Pendagel Setan. Dorongan kemurkaan yang sejak awal menguasai membuat gerakannya tak terarah. Kalau gerakannya yang semula teratur saja belum tentu bisa sekadar membuat lawan kelimpungan, apalagi dengan keadaan begitu!
Namun apa memang wanita itu benar-benar sedang dikuasai kemurkaannya? Ternyata, tidak begitu. Cempaka tergolong dara berotak jernih. Dia sering mengagumi kecerdikan Andika karena memang memiliki kelebihan dalam hal itu. Dan salah satu impiannya bila berjumpa Andika adalah
mengadu kecerdikan!
Dengan begitu, tentu Cempaka tahu kalau lawan bukan tanding ilmu kedigdayaannya. Jalan satu-satunya yang terbaik adalah meloloskan diri. Setelah itu, memberitahukan Andika. Berhadapan dengan pemuda itu, Pendagel Setan pasti akan ketemu batunya.
Jadi, apa rencana yang ada di benak Macan Hitam Betina saat itu?
Saat mendekap perut tadi, diam-diam Cempaka mengeluarkan serbuk pupur yang digunakan untuk merawat kulit wajah ayunya. Di depan muka Pendagel Setan, seketika ditaburkannya serbuk pupur itu sekuat tenaga.
Wrrr! Saat itu juga, mata Pendagel Setan terlabrak 'senjata rahasia' si perempuan yang rupanya senantiasa berusaha menjaga keayuannya. Perih dirasa. Tangannya serabutan mendekap kedua mata. Saat itulah Cempaka langsung mempergunakan kesempatan untuk melepas tendangan
putarnya. Wuk! Tendangan pertama berhasil dihindari Pendagel Setan hanya dengan mendengar bunyinya. Namu tendangan kedua yang menyusul cepat di belakang tak bisa lagi dihindari tanpa melihat. Dan....
Begkh! "Ugkh...!"
Sekarang uluhati Pendagel Setan bisa menikmati rasa mual tak terkira. Paling tidak, sebagai bayaran atas tendangannya pada perut Macan Hitam Betina barusan. Saat Pandagel Setan bergulingan di tanah menahan pedih di mata serta mual di perutnya, Macan Hitam Betina langsung menggenjot tubuh. Ditinggalkannya tempat itu dengan senyum cukup puas.
"Kau pun boleh memuntahkan seluruh isi perutmu sekarang manusia busuk!" ejek Cempaka di kejauhan.
Sesaat setelah Macan Hitam Betina pergi, Pendagel Setan bangkit dengan segenap kemurkaan. Tubuhnya pun digenjot pula, mengejar perempuan tadi.
"Kau akan merasakan akibat dari perbuatanmu tadi. Nona Ayu! Kau akan tahu nanti!" ancam lelaki ini.

***

«§ 9 §»

"Ke mana Cempaka" Kenapa dia belum juga tiba?"
Andika mulai khawatir pada keadaan perempuan itu. Hari sudah menjelang senja, namun Cempaka belum juga tiba. Seluruh desa telah bersih dari tanah pembawa kabut maut. Sebetulnya, akan sangat menyulitkan mencari gulungan-gulungan sebesar kepalan yang tersebar di beberapa sudut desa. Untunglah ada seseorang yang bisa diandalkan untuk itu.... Lelaki Berbulu Hitam. Manusia setengah serigala itu memang memiliki kelebihan dalam penciumannya. Seperti seekor anjing pelacak, dia dapat mengendusi tempat-tempat jatuhnya tanah itu. Meskipun, ada di lubang tikus!
Kebetulan pula, tanah dari Padang Mega Racun itu menghasilkan bau yang khas. Anyir seperti bangkai binatang laut. Sudah hampir sepertiga hari mereka menunggu kedatangan Cempaka di balai desa. Sementara orang yang ditunggu belum juga muncul.
"Mungkin sebentar lagi," hibur Ki Patigeni, mencoba menenangkan Andika.
Lelaki tua itu duduk mengangkat kaki di salah satu kursi bambu di pinggiran balai desa. Sementara Lelaki Berbulu Hitam seperti kemarin malam, melakukan semadinya di sebelah gapura. Sebenarnya, Ki Patigeni pun khawatir terhadap keselamatan dara itu. Yang diketahuinya dari Andika, Cempaka belum lama memasuki keganasan dunia persilatan. Tapi, akan lebih bijaksana jika segala sesuatu dilakukan dengan tenang. Begitu pertimbangan Ki Patigeni. Andika berjalan mondar-mandir. Wajahnya ketat, menampakkan kekhawatiran.
"Mestinya dia telah sampai dan melaporkan semuanya pada kita," kata pemuda itu lagi.
"Ya, mestinya begitu," timpal Ki Patigeni.
Andika menghentikan langkahnya tiba-tiba. Di-lepaskannya pandangan jauh ke atas sana, ke arah hutan tempat pembuangan gulungan-gulungan tanah hitam. Wajahnya berubah cepat. Sinar matanya terlihat begitu tegang.
"Ada apa, Andika?" tanya Ki Patigeni.
"Cepat ikut aku, Ki!" ajak Andika.
Tanpa ingin menanyakan tujuan mereka, Ki Patigeni mengikuti Andika. Orang tua itu percaya penuh pada Andika, karena memang sudah kenal baik. Seluruh pertimbangannya terkadang tak bisa diremehkan begitu saja. Mereka berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Tak begitu lama, mereka tiba di bukit batas desa. Dari bukit itu, Andika menunjukkan sesuatu pada Ki Patigeni.
"Lihatlah, Ki...," ujar pemuda ini seraya menunjuk jauh-jauh ke ubun-ubun hutan sebelah tenggara.
"Tuhan...! Tampaknya kita telah salah perhitungan, Andika," desah Ki Patigeni.
Orang tua ini melihat gumpalan-gumpalan kabut beracun kini menggelantung di atas hutan sebelah tenggara desa.
"Gumpalan-gumpalan kabut itu amat dikenali oleh pemiliknya, bukan" Dan dari kejauhan itu bisa dilihat mudah. Artinya...."
"Artinya, kecurigaan Pendagel Setan dapat terpancing," sela Ki Patigeni.
"Kemungkinan besar dia akan mendatangi tempat itu. Dan...."
"Dan Cempaka pasti dalam bahaya. Dia tak akan sanggup menghadapi kesaktian manusia laknat itu!" rutuk Andika ikut-ikutan menyelak, "Sebaiknya kita cepat ke sana, Ki!"
Mereka beranjak lagi. Dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki.

***

Cempaka tiba di desa yang saat ini masih sepi. Biarpun sudah cukup aman dari kabut beracun, penduduk masih belum berani kembali. Setelah mencari-cari beberapa lama, barulah dia menemukan Lelaki Berbulu Hitam di balai desa.
"Mana Kang Andika, Orang Tua?" tanya wanita itu pada Lelaki Berbulu Hitam yang masih khusuk bersemadi.
Tak ada sahutan. Lelaki Berbulu Hitam tetap tak bergeming. Kepalanya menopang ke tanah. Sedangkan kakinya menjulur lurus ke atas. Sementara, kedua tangannya menyangga di kedua sisi untuk menjaga keseimbangan.
"Kang Andika di mana?" ulang Cempaka, lebih keras.
"Aku sedang bersemadi. Aku tak mendengar ucapanmu," jawab Lelaki Berbulu Hitam, akhirnya. Matanya tetap terpejam, tanpa merubah sikap tubuhnya.
"Aku tahu kau sedang bersemadi, Orang Tua. Tapi aku harus bertemu Kang Andika secepatnya," tegas Cempaka. Lelaki Berbulu Hitam tak menyahuti lagi. Keadaannya seperti mayat. Tentu saja hal ini membuat Macan Hitam Betina jadi demikian dongkol. Padahal, keadaannya sedang dalam bahaya besar, karena Pendagel Setan masih memburunya. Sebentar lagi, tentu manusia sesat itu akan sampai juga. Tapi, manusia jelek satu ini
malah menganggapnya nyamuk pengganggu semadi.
"Sialan...," maki Cempaka, menggerutu.
Sebal bukan main wanita ini. Dengan sedikit usil, hendak didepaknya satu tangan penyanggah keseimbangan tubuh Lelaki Berbulu Hitam.
"Hih!"
Sapuan kaki pendekar wanita yang masih hijau di dunia persilatan itu tak menghasilkan apa-apa. Jangankan bisa menjatuhkan tubuh terbalik si manusia setengah serigala. Menyentuh tangannya saja, tidak. Karena, Lelaki Berbulu Hitam cepat mengangkat tangannya. Cempaka makin sebal. Dia masih punya kesempatan mengusili Lelaki Berbulu Hitam cepat terjaga dari semadi anehnya. Satu tangan lain yang masih menyangga tubuh Lelaki Berbulu Hitam akan disapunya juga. Siapa tahu, kali ini berhasil.
Wukh! Macan Hitam Betina gagal lagi. Seperti tadi, Lelaki Berbulu Hitam lebih cepat mengangkat tangannya. Sekarang tubuhnya terbalik tanpa topangan tangan satu pun. Kedua tangannya sudah bersidekap di depan dada. Hanya kepalanya saja yang jadi penyanggah ke lantai balai desa. Keliru kalau Macan Hitam Betina menganggap remeh manusia satu itu. Sejauh ini, Cempaka memang belum tahu secara jelas, siapa Lelaki Berbulu Hitam sesungguhnya.
Jangankan kedigayaan. Usianya saja sudah bertaut terlalu jauh. Seperti jauhnya mata kaki dengan mata kepala. Andika yang memiliki kesaktian tangguh saja, masih berpikir bolak-balik untuk berurusan dengan manusia setengah serigala itu!
Dua kali gagal, menyebabkan Cempaka makin sebal saja melihat Lelaki Berbulu Hitam. Tenaga dalamnya cepat dikerahkan. Akan dihentaknya tubuh terbalik itu dengan sepenuh tenaga. Biar terjengkang sekalian. Demikian pikir Cempaka lagi.
Deb! Begitu tenaga dorongan wanita itu meluruk deras ke sepasang kaki, Lelaki Berbulu Hitam tiba-tiba mencelat.
Duk! Duk! Duk! Sinting! Manusia kurang waras itu melompat-lompat dengan kepalanya!
"Ada apa ini! Kenapa kau berani-beraninya mengusik semadi Lelaki Berbulu Hitam"! Apa sudah bosan hidup"!" bentak Lelaki Berbulu Hitam meledak-ledak, sesudah membalikkan tubuh.
"Maaf, Orang Tua. Aku terpaksa melakukannya. Aku ingin bertanya padamu, di mana Kang Andika?" ucap Cempaka, bergegas. Hatinya ngeri juga melihat wajah berang menakutkan lelaki yang berdiri di depannya.
"Siapa Andika"!"
"Siapa Andika?" gumam Cempaka terheran-heran.
Masa' kawan sendiri dia tidak tahu" "Andika," ulang Cempaka menegaskan. Barangkali saja laki-laki ini salah dengar.
"Aku dengar kau bilang Andika! Tapi, siapa Andika"!" bentak Lelaki Berbulu Hitam berkoar lagi.
Cara bicaranya seperti sedang terjadi gempa bumi di tempat itu.
"Andika.... Masa' kau tidak tahu, Orang Tua" Pemuda yang sering kau panggil Tuan Penolong?"
"Ooo, Tuan Penolong?" Nada bicara Lelaki Berbulu Hitam melandai. Kalau sudah dengar nama itu, dia jadi mesti ngotot menahan keberangannya.
"Ya, betul! Ke mana dia"!" gegas Cempaka.
Waktunya makin mendesak.
"Aku tak tahu. Aku sedang bersemadi ketika dia di sini bersama si kerempeng jelek itu."
Cempaka mendesah. Semakin tipis harapannya untuk bisa lolos dari tangan Pendagel Setan. Dia percaya dan yakin, hanya Andika yang bisa menghadapi manusia sesat itu.
"Ah! Rupanya kau di sini, Nona Ayu!" Kekhawatiran perempuan itu terbukti sudah. Pendagel Setan kini benar-benar muncul di gerbang balai desa!"
"Jangan mengira kau bisa lolos dengan mudah dariku, Nona Ayu," kata Pendagel Setan seraya melangkah perlahan, mendekati Macan Hitam Betina.
"Siapa?" tanya Lelaki Berbulu Hitam pada Cempaka, sambil melirik Pendagel Setan.
Perempuan cerdik ini cepat memutar otaknya. Dan secepat itu pula didapatnya. "Dia musuh Tuan Penolong, Orang Tua!" tunjuk Cempaka penuh keyakinan, supaya mendapat bantuan lelaki berperawakan menyeramkan di dekatnya.
"Bagus! Sejak kemarin aku memang ingin sekali meremukkan batok kepala seseorang. Tapi, selalu gagal...," sambut Lelaki Berbulu Hitam, melegakan Macan Hitam Betina.
"He-he-he! Kau pikir dirimu siapa, Orang Jelek?" leceh Pendagel Setan.
Sama seperti Macan Hitam Betina, lelaki itu pun tak begitu jelas mengenal Lelaki Berbulu Hitam. Dalam hal ini, dia telah melakukan kesalahan besar.
Yakni telah mengusik naga tua yang lama tak membuat kegemparan semenjak masa jayanya puluhan tahun silam!
Lelaki Berbulu Hitam maju dengan langkah yang menggetarkan balai desa. Kalau taringnya sudah diperlihatkan, berarti siap mengepruk batok kepala seseorang dengan kepalan sebesar kelapa!
"Sebaiknya kita menghadapi berdua, Orang Tua...," aju Macan Hitam Betina.
Cempaka menganggap Lelaki Berbulu Hitam termasuk bukan tandingan Pendagel Setan. Kalau dihadapi berdua, mungkin mereka masih punya sedikit kesempatan untuk mengalahkan. Lelaki Berbulu Hitam melirik dengan bola mata mendeliki perempuan ayu itu.
"Kau hendak menghinaku anak perawan bau kencur"!" hardik lelaki keturunan serigala ini menggelegar.
"Kau pikir aku tak sanggup mengorek isi kepala si muka arang ini dengan tanganku sendiri"! Grrr...."
Cempaka mengangkat bahu. Kalau maunya begitu, mau bilang apa"
"Kau tak menyesal kalau seluruh bulumu kubuat rontok"!" ledek Pendagel Setan, pongah. Lelaki Berbulu Hitam sudah tak mau banyak bacot lagi. Dia juga tak mau berkelahi seperti anak kemarin sore. Apalagi sampai bertukar jurus segala macam.
Kalau mau menentukan siapa yang unggul, mesti langsung adu kesaktian!
Dreg! Tanah balai desa kembali bergemuruh manakala Lelaki Berbulu Hitam membuat kudakuda dengan menghentak kakinya. Kedua kakinya etengah mem-bentang, dan agak tertekuk ke dalam. Tangannya membuka ke depan dengan telapak mengepal kuat-kuat. Begitu membuat gerakan ke atas seraya memalangkan pergelangan tangan, tercipta bunyi gemeretak tulangnya, disusul lolongan dari mulut Lelaki Berbulu Hitam yang bagai serigala di tengah malam buta.
Debh! Sekelebat tangan Lelaki Berbulu Hitam menghentak ke depan. Saat itu juga menderu angin pukulan tajam berdesing, mirip suara lempengan baja yang disabetkan ke udara.
"Swing!"
"Uts!"
Kalau saja Pendagel Setan tak cepat-cepat membuang tubuh jauh-jauh ke atas, tak disangsikan lagi kepalanya akan terbelah dua. Dan otaknya akan benar-benar terkuras dari tempurungnya!
Lompatan yang disertai tenaga dalam tingkat tinggi membuat tubuh Pendagel Setan meluncur deras. Atap balai desa jebol seketika. Di atas wuwungan, lelaki sesat itu kini berdiri dengan wajah pias. Pendagel Setan benar-benar dibuat terkesiap oleh serangan Lelaki Berbulu Hitam barusan. Belum lagi terkena angin serangan itu. Mendengar bunyinya saja, telinganya sudah begitu pedih.
Namun, bukan itu yang membuat Pendagel Setan terkesiap. Masalahnya dia pernah mendengar selentingan pukulan khas itu. Pukulan yang hanya dimiliki satu-satunya tokoh kawakan kelas atas yang malang melintang puluhan tahun silam. Tokoh yang bisa dibilang salah seorang sesepuh dunia persilatan.
"Tinju Raja Serigala!" desis Pendagel Setan. Lelaki sesat ini yakin sekali dengan dugaannya. Dari cara Leaki Berbulu Hitam membuat kuda-kuda, suara pukulannya, juga lolongan tadi, amat cocok dengan gambaran selentingan yang didengarnya. Mata lelaki itu menyipit ketat. Wajahnya menegang.
"Keparat! Kalau begitu, aku telah berhadapan dengan Lelaki Berbulu Hitam!" rutuk Pendagel Setan.
"Kenapa bangkotan itu belum mati juga" Kata Nyai Wangkil, dia berusia tua. Tapi kenapa seperti baru berusia empat puluhan" Apa guru salah"
Seruntun pertanyaan bergeliat di benak Pendagel Setan.
Brask! Tanpa sempat mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya, Pendagel Setan dipaksa bersiap kembali. Lawan bertubuh tinggi besar berbulu lebat itu telah menyusulnya menerobos atap balai desa. Wuwungan bertebaran ke mana-mana, mengiringi munculnya Lelaki Berbulu Hitam.
Mereka kini saling berhadapan. Lelaki Berbulu Hitam terus menggeram-geram. Kudakudanya tak berubah seperti sebelumnya.
"Menurut guruku, kau pasti Lelaki Berbulu Hitam, tokoh tua yang menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun silam itu," duga Pendagel Setan.
"Kau pikir sedang berhadapan dengan siapa, kah"!
Dengan kutu busuk"!"
"Bagus! Dengan begitu, aku bisa membuktikan pada dunia persilatan bahwa akulah yang pantas menjadi raja di raja dunia persilatan! Aku akan mengenyahkanmu, Lelaki Berbulu Hitam! Seperti aku akan menundukkan Pendekar Slebor! He-he-he!" kata Pendagel Setan, sesumbar.
"Siapa Pendekar Slebor"!" bentak Lelaki Berbulu Hitam, tak mengerti.

***

«§ 10 §»

Pendekar Slebor dan Ki Patigeni tak menemukan Cempaka di tempat yang dituju. Padahal, di tempat inilah dara ayu itu bisa ditemukan. Tempat pembuangan tanah langka dan aneh itu sepi-sepi saja. Keadaannya kacau balau. Sewaktu mereka memeriksa, Andika menemukan bekas serbuk pupur Cempaka.
"Sepertinya, baru saja terjadi pertarungan di tempat ini, Ki," nilai Andika.
"Benar. Aku pun berpendapat begitu," dukung Ki Patigeni.
"Tapi, kenapa tak ada darah" Hanya terlihat sedikit kacau di tempat ini...."
"Ya! Karena tak ada yang terluka dalam pertarungan itu."
"Maksudmu?"
Andika menyodorkan tangannya. Di ujung jari telunjuknya ada bekas serbuk pupur.
"Ini pupur wanita, Ki. Tertabur di sekitar tempat itu."
Andika pun lantas menunjuk tempat Pendagel Setan berdiri sebelumnya.
"Kalau pupur ini berhamburan tak disengaja, kenapa hanya tersebar di sekitar
situ saja?" sambur Andika.
"Artinya?"
"Aku yakin, Cempaka berhasil melarikan diri dengan siasat serbuk pupur ini," duga Andika yakin.
Ki Patigeni mengangguk-angguk.
"Ya-ya. Aku mengerti sekarang," gumam orang ini Sementara itu benak Ki Patigeni memuji ke-enceran otak si anak muda urakan ini. Sejenak dia jadi teringat ketika bekerja sama dengan Pendekar Slebor dalam memecahkan teka-teki Ratu Racun. Andika pun dapat membuat dugaan yang cemerlang seperti sekarang.
"Masalahnya sekarang, ke mana Cempaka melarikan diri" Lalu, apakah dia bisa meloloskan diri dari kejaran Pendagel Setan?" tanya Andika bimbang serta cemas.
"Apa tidak mungkin dia kembali ke desa, Andika?" tanya Ki Patigeni.
"Kembali ke desa?"
"Mungkin dia merasa butuh pertolongan. Bukankah dia tahu kalau kau adalah pendekar muda besar itu?"
Andika meringis. Sempat-sempatnya dia begitu.
"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke sana, Ki!"
"Kau, bukan kita," tukas Ki Patigeni.
"Maksudmu, Ki?" tanya Andika heran.
"Aku harus berusaha mencari dia di sekitar hutan ini. Hanya untuk menjaga kemungkinan kalau gadis itu belum kembali ke desa," tandas Ki Patigeni.
Sekarang giliran Andika memuji kecemerlangan otak Ki Patigeni dalam hati.

***

Sementara itu, sabung keunggulan antara Pendagel Setan melawan Lelaki Berbulu Hitam memasuki keadaan panas. Menghadapi lelaki keturunan serigala itu, Pendagel Setan baru kena batunya. Tokoh bangkotan itu memang bukan sembarang lawan buatnya. Meskipun Pendagel Setan memiliki kehebatan menggemparkan belakangan ini, namun masih tergolong orang baru dalam dunia persilatan.
'Tinju Raja Serigala' milik Lelaki Berbulu Hitam tak henti-hentinya berdesing, mengepung lelaki sesat tak berbelas itu dari segala sudut. Lesatan tenaga dalam pukulan Lelaki Berbulu Hitam begitu cepat, membuat Pendagel Setan benar-benar kelimpungan kian kemari. Memang, pada masa jayanya dulu, Lelaki Berbulu Hitam amat kesohor dengan kecepatan geraknya yang selincah dan segesit serigala. Tokoh-tokoh seangkatan yang menjadi saingannya seperti Pendengar Dungu (Pernah bertemu di episode : "Manusia Dari Pusat Bumi") hanya memiliki kelebihan pada tenaga dalamnya. Bukan kecepatannya. Swing! Masih melenting-lenting ringan dari wuwungan ke wuwungan lain. Lelaki Berbulu Hitam terus bersemangat menggempur Pendagel Setan dengan seruntun tinju jarak jauhnya. Setiap kali melesat dari sasaran, pasti ada yang jadi korban. Kalau tidak pepohonan terbelah menjadi dua seperti baru saja dihantam kapak raksasa, bisa juga ubun-ubun rumah oran lain. Untung saja, saat itu keadaan desa kosong melompong. Kalau penduduk masih ada di sana, apa jadinya" Dan setiap kali Pendagel Setan berhasil mengelak dari tinju berhawa maut, setiap kali pula kulitnya terasa pedih. Padahal, jarak elakan yang diambilnya sudah cukup jauh dari angin 'Tinju Raja Serigala'.
Kalau saja wajah lelaki tak berbelas itu tidak dicorengmorengkan, tentu paras keterkejutannya sudah nampak jelas. Di bawah mereka, Cempaka, si pendekar wanita sok hebat ini tertegun-tegun menyaksikan pertarungan di atas. Dia dipaksa berdecak berkali-kali.
Selama turun ke dunia persilatan, baru kali ini menyaksikan pertarungan yang demikian memukau. Sungguh tak disangka, manusia menyeramkan yang nampaknya hanya punya adat besar itu ternyata memiliki kesaktian yang sanggup membuat Pendagel Setan kelimpungan. Dan Cempaka semakin kagum dalam hati. Menyesal dia sudah mengusilinya. Kalau tidak, bisa saja dia meminta orang tua bertampang dedemit itu mengajarinya beberapa ilmu simpanan.
Deb-deb! "Grrhhh!"
Sadar dirinya berada dalam keadaan tidak menguntungkan kalau terus terdesak. Pendagel Setan mulai berusaha mengimbangi serangan liar Lelaki Berbulu Hitam. Sambil melenting indah ke atap lain, dia lepasnya pukulan jarak jauh di udara. Bagi Lelaki Berbulu Hitam, serangan awal Pendagel Setan tidak berarti apa-apa. Dia mudah sekali bisa mementahkannya. Bahkan dengan cara memapak telak-telak dengan telapak tangan berkuku panjangnya!
Des! "Grhh.... Ha-ha!" Lelaki Berbulu Hitam tertawa menyaksikannya.
Pamer kekuatan dia! Tapi apa dengan begitu, Pendagel Setan akan mudah dipecundangi" Benarkah? Pertanyaan Lelaki Berbulu Hitam tak mendapatkan jawaban memuaskan. Sebaliknya. Pendagel Setan justru tengah mempersiapkan serangan maut berbahaya. Ilmu simpanan yang telah berhasil di-sempurnakan saat di Padang Mega Racun akan diuji coba pada Pendekar Slebor.
Dalam beberapa tarikan napas, sepasang tanga lelaki sesat itu membuat gerakan teratur, bertenaga dan cepat. Setiap perubahan tangannya, meninggalkan bentuk bayangan seperti kepak sayap seekor burung raksasa.
Werrr...! Pada saatnya, pusaran angin besar tercipta pada ujung sepasang tangan Pendagel Setan. Angin yang membentuk puting beliung, merangsak angkasa membabibuta. Sebenarnya, ilmu itu kurang sempurna jika dikerahkan di luar Padang Naga Racun. Inti racun yang semestinya bisa diserap melalui angin puting beliung, tak akan terjadi di tempat lain. Namun bukan berarti bahaya pukulan andalan Pendagel Setan ini akan berkurang.
Menyaksikan gerakan khas yang dilakukan Pendagel Setan, wajah Cempaka di bawah sana mendadak berubah. Garis-garis kekhawatiran men-jalar cepat. Di mulutnya mendesis tak kentara di antara gemuruh amukan puting beliung ciptaan Pendagel Setan.
"Heaaa...!"
Manakala Pendagel Setan melontarkan segenap kekuatan tenaga pukulan pamungkasnya, tanpa dapat dimengerti Cempaka melenting mendekati dua lelaki di atas wuwungan.
"Pak Tua, menyingkir!" seru Cempaka pada Lelaki Berbulu Hitam di udara.
Lelaki Berbulu Hitam terperangah. Pada saat yang sama, Pendagel Setan telah melepas pukulannya.
Wush! Meskipun otak Lelaki Berbulu Hitam sering tak sehat, tapi dalam keadaan seperti itu, nalurinya bisa merasakan bahaya yang siap menelan bulat-bulat Cempaka.
Tanpa memikirkan akibatnya, Lelaki Berbulu Hitam menyergap tubuh Cempaka. Dash! Namun usaha itu ternyata mesti dibayar dengan mahal. Punggung berotot Lelaki Berbulu Hitam langsung menjadi santapan empuk pukulan pamungkas lawan!
Cempaka selamat. Namun Lelaki Berbulu Hitam tidak. Dia terlempar amat jauh. Begitu tiba di tanah, tubuhnya mengejang, lalu terkulai.
Mengapa Cempaka melakukan tindakan bodoh tadi"

***

Begitu matahari tenggelam sebagian, Andika sampai di Desa Wetan. Balai desa yang semula ditinggalkan dalam keadaan utuh, kini sudah porak-poranda tak karuan. Bangunan itu seolah baru saja disapu angin puting beliung. Potongan-potongan atap rumbia berserakan di mana-mana. Kayu-kayu dinding bangunan pun sebagian telah luruh.
"Sialan! Dedemit buduk mana yang baru saja mengamuk!" rutuk Andika.
Bergegas Andika berlari memasuki balai desa. Sama seperti keadaan di luar bangunan, bagian dalamnya pun sudah tak karuan lagi. Di dalam sana, tubuh Lelaki Berbulu Hitam ditemukan tengah ter-golek.
"Pak Tua Bulu! Kau tak apa-apa"!" tanya Pendekar Slebor, tercekat.
Andika mendekat. Lelaki Berbulu Hitam dilihatnya bergemik.
"Oh, Tuan Penolong.... Kukira siapa," sambut Lelaki Berbulu Hitam payah.
Sudut bibir lelaki keturunan serigala ini masih dialiri darah. Dia berusaha bangkit. Karena masih lemah, dia terjatuh lagi. Andika pun membantu menopangnya.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Andika.
"Orang bermuka arang, Tuan Penolong. Dia datang ke sini tanpa izin. Lalu menantangku berkelahi tanpa izin pula. Sial! Dasar manusia sial! Ukh-ukh!"
"Pendagel Setan?" gumam Andika.
"Bagaimana bisa orang itu mengalahkan Lelaki Berbulu Hitam yang kesaktiannya masih sulit dicari tandingan hingga sekarang?"
Andika kian dibuat penasaran. Kalau begitu, seberapa tinggi tingkat kesaktiannya"
"Kenapa orang itu bisa ke sini?"
"Orang yang mana"!" Lelaki Berbulu Hitam malah balik bertanya.
"Yang mana lagi, Pak Tua Bulu. Bukankah kau tadi sedang membicarakan orang bermuka arang"!" tukas Andika, agak jengkel juga.
"O, itu. Kukira Tuan Penolong menanyakan perempuan bau kencur itu...," tutur Lelaki Berbulu Hitam terseok-seok.
"Siapa maksudmu?"
"Tuan Penolong ini bagaimana" Aku harus jawab yang mana dulu" Pertanyaan pertama tadi atau yang kedua"!" tukas Lelaki Berbulu Hitam. Biar sudah payah, sifat berangnya masih juga tak soak. Andika maklum.
"Ceritakan semuanya!" ujar Andika, mengambil jalan singkat. Biar jadi tak bertele-tele lagi.
Lelaki Berbulu Hitam pun menceritakan sejelas-jelasnya tentang kejadian belum lama. Juga tentang kedatangan Macan Hitam Betina yang disebutnya perawan bau kencur. Kemudian tak ketinggalan laporan pertarungannya dengan Pendagel Setan.
"Sekarang ke mana wanita itu?" tanya Andika cepat sebelum Lelaki Berbulu Hitam menamatkan cerita yang seperti tak mau tamat-tamat itu.
"Wanita yang mana?" Lagi-lagi Lelaki Berbulu Hitam bertanya tanpa juntrungan.
"Perawan bau kencur itu," jelas Andika.
"O. Dia...."
"Ke mana dia"!" bentak Andika.
"Diboyong," jawab manusia setengah serigala itu, singkat.
"Oleh Pendagel Setan?"
"Siapa Pendagel Setan?"
"Biang kunyuk!" maki Andika dalam hati.
Manusia berbadan bongsor satu ini sepertinya hanya kenal orang dari sebutan yang diberikan oleh bacotnya sendiri.
"Lelaki bermuka arang itu!" tegas Andika untuk kesekian kali menegaskan.
"O, iya!"
"Ke mana"!" '
Lelaki Berbulu Hitam menggeleng. Andika berang. Dihantamnya lantai balai desa.
"Kalau terjadi apa-apa pada perempuan itu, kau akan kukuliti, manusia busuk keparat!" geram Andika digebah kemurkaan.
Betapa Andika tahu kalau Pendagel Setan tak akan mempersoalkan siapa yang dibunuhnya, meski seorang pendekar wanita tak punya nama sekali pun. Lebih dari itu, dia bahkan tega membunuh bocah tak berdosa! "Siapa manusia busuk"!" sela Lelaki Berbulu Hitam.
Setelah itu laki-laki ini terjeringkang kembali, ketika Andika menotok jalan darahnya. Mata Pendekar Slebor kini tertumbuk pada tulisan buruk di potongan dinding balai desa. Tulisan itu rupanya berisi tantangan dari Pendagel Setan.
Andika mendekati. Lalu dibacanya tulisan itu.

O-hooo, Pendekar Slebor!
Tentu kau terkejut mendapati kenyataan yang baru saja kau saksikan, bukan"
Jangan terkejut.
Siapa tahu kau berpenyakit jantung dan mati karenanya. He-he-he!
O, iya. Aku pinjam dulu kawan barumu yang ayu ini. Kau boleh mengambilnya pada
akhir pekan ini.
Tempatnya di Padang Mega Racun. Kalau kau terlambat mengambilnya, jangan
salahkan kalau perempuan itu.... He-he-he!
Kau belum tahu tempat itu, bukan" Jangan bingung atau ragu. Kau bisa mengikuti
burung-burungku yang akan datang menjadi petunjuk jalanmu pada hari pertemuan
kita. Kuharap pertemuan itu berlangsung dengan mesra!
Pendagel Setan "Mesra, tai kucing!"


Andika menghajar dinding kayu yang bertuliskan pesan yang digurat oleh tangan Pendagel Setan.
Kalau sebelumnya tantangan hanya bersifat desas-desus mulut ke mulut, kini Andika mendapatkan kepastian tantangan manusia sesat tak berhati itu.
"Bagus! Aku memang ingin sekali menghancurkan wajah jelekmu itu!" geram si anak muda dari Lembah Kutukan, sambil menghantam telapak tangan dengan tinju sendiri.

***

Padang Mega Racun terus dikepung kabut kelabu pekat mengandung racun ganas. Di tengah-tengah padang kering-kerontang itu, terlihat panggung ganjil di kejauhan yang dibangun khusus untuk satu pertarungan maut antara Pendagel Setan dengan Pendekar Slebor.
Ancaman besar akan dihadapi si anak muda sakti, Pendekar Slebor. Pertama, karena racun yang menyelimuti seluruh kawasan Padang Mega Racun telah siap merejamnya begitu Andika mulai mengirup udara di sana. Kedua, kesaktian penantanghya ternyata berada pada tingkat tokoh kelas atas dunia persilatan. Sebagaimana tingginya, berum pernah diketahui Andika. Karena selama ini Pendagel Setan tak pernah sekali pun bertarung dengan Pendekar Slebor.
Yang hanya diketahui Andika, Pendagel Setan nyatanya sanggup mempecundahgi Lelaki,Berbulu Hitam. Setidaknya, kedigdayaan sang penantang sekelas dengan Lelaki Berbulu Hitam!
Di samping itu, Pendekar Slebor sama sekali tak mengenal seluk-beluk Padang Mega Racun, daerah yang bagi lawannya adalah tempat tinggal dan tempatnya menyempurnakan kesaktian. Namun lepas dari semua itu, Andika adalah Andika. Kekuatan tekadnya sudah menjadi sifat yang tak bisa dihadang. Kalau dia merasa harus datang ke satu tempat untuk satu kewajiban, maka bagaimana pun bahayanya, akan disatroninya juga.
Dan ketika burung-burung pemakan bangkai milik Pendagel Setan mulai terlihat di awang-awang sebelah utara desa, Andika pun mengikutinya. Menjelang perjalanan setengah hari, barulah anak muda itu sampai di gerbang Padang Mega Racun.
Dari gapura masuk yang tersusun dari batok-batok tengkorak manusia setinggi sepuluh kaki, Andika merasa seperti hendak memasuki alam lain yang begitu asing. Sepanjang mata memandang melalui gerbang itu yang terlihat berupa kabut kelabu bergulung-gulung, hamparan tanah hitam kering, pepohonan kerontang merangas. burung-burung pemakan bangkai, serta susunan tulang manusia yang membentuk panggung kematian!
Beberapa puluh langkah dari gerbang, udara tempat ini sudah dikuasai racun dan racun. Dan Andika amat menyadarinya. Lalu, bagaimana dia bisa masuk tanpa menjadi santapan racun ganas Padang Mega Racun"
Sebelum berangkat ke tempat itu, Andika sempat bertemu Ki Patigeni. Dari orang tua yang mengenal banyak racun, Pendekar Slebor dibekali sebutir obat pulung pemusnah racun kabut Padang Mega Racun. Hanya sebuah. Itu pun hanya bertahan sepertiga hari. Jika Andika berada lebih lama dari waktu yang ditetapkan, maka akan mati!
Sayangnya, obat pulung itu pun tinggal satu-satunya milik Ki Patigeni setelah dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun. Di kejauhan sana, tepatnya di atas panggung tulang-belulang manusia, Pendagel Setan telah berdiri dengan sikap menantang. Bibirnya tak lekang dari senyum pongah.
"Ayo, Pendekar Slebor! Masuklah ke tempatku!
Kudengar kau memiliki nyali yang begitu besar dalam menghadapi setiap tantangan maut! Apa kau akan berdiri saja di situ sampai menjadi uzur"!" tantangan Pendagel Setan membahana.
Andika berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang. Kemarahannya yang menggelegakgelegak dikendalikannya. Dia sudah cukup mengambil pelajaran dalam petualanganpetualangan mautnya, untuk tidak mengundang maut dengan bertindak mata gelap. Perlahan dikeluarkannya obat pulung dari Ki Patigeni. Digenggamnya kuat-kuat sesaat, lalu ditelannya. Kini, dia siap menghadapi Pendagel Setan dengan taruhan nyawa. Langkah-langkah mantap pun dibuat Andika. Sedikit demi sedikit, jarak antara pemuda itu dengan sang lawan kian dekat. Sampai akhirnya, Pendekar Slebor berdiri di sisi panggung ganjil milik Pendagel Setan calon lawan tandingnya.
"Ayo naiklah! Kenapa kau masih menunggu"!"
Andika tak ingin banyak cakap. Tubuhnya cepat melenting ringan, lalu hinggap di salah satu tonggak tulang.
"Kita mulai?" tanya Andika datar.
Pendagel Setan menyeringai.
"Kenapa tidak?"
Mereka pun bersiap. Sama-sama membuat kuda-kuda. Sama-sama menyiapkan jurus pembuka. Pada jarak sekitar tiga tombak, dua lelaki jantan itu berhadapan penuh ketegangan. Andika tak bisa lagi main-main dengan calon lawannya. Kalau Lelaki Berbulu Hitam dikalahkan, berarti jurus-jurus atau kekuatan tenaga dalam tingkat awal miliknya sudah tidak bisa lagi diharapkan. Itu sebabnya Pendekar Slebor langsung mengerahkan tenaga sakti warisan buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan pada tingkat keenam dari sembilan tingkat yang dimilikinya. Jurus-jurusnya pun adalah hasil ciptaannya yang dulu pernah diandalkan untuk menyelamatkan diri dari terjangan hujan petir di Lembah Kutukan. Jurus yang dapat membentuk benteng cahaya putih di sekujur tubuhnya, akibat pengerahan tenaga dalam pada tingkat puncak.
"Hiaaa!"
Berbareng teriakan menggetarkan seluruh Padang Mega Racun, Pendekar Slebor meluruk ke arah Pendagel Setan. Jurus mengubak hujanan petir memagari dirinya, sekaligus mengancam lawan dari segenap penjuru. Deb! Deb! Dua tinju beruntun hendak disarangkan pendekar muda dari tanah Jawa itu ke arah kepala dan dada Pendagel Setan. Tinju beruntun mematikan, yang mungkin dapat melumatkan karang paling keras yang pernah ada di bumi!
Namun Pendagel Setan memiliki ketajaman peng-lihatan untuk mengetahui arah pukulan Pendekar Slebor. Satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah memapakinya. Hanya saja dia harus tepat meng-empos tenaga dalam ke sepasang tangannya. Sebab, kesalahan pernitungan bisa berakibat maut! Apalagi pukulan bertenaga dalam pendekar muda dari Lembah Kutukan sudah bukan cerita kosong lagi. Bahkan sejak buyutnya sendiri, Pendekar Lembah Kutukan yang menjadi cerita rakyat, pukulan itu telah begitu ditakuti.
Das! Das! Perhitungan Pendagel Setan kali ini tak jauh meleset. Pengerahan tenaga tangkisan di kedua tangannya nyatanya cukup untuk menahan tinju Pendekar Slebor agar tak meredamkan kepala serta dadanya. Namun begitu, bukanlah berarti luput dari akibatnya. Deras juga tubuh Pendagel Setan terdorong ke belakang. Runcingnya tonggaktonggak tulang-belulang pembentuk panggung akan merejamnya kalau sedikit saja keseimbangannya hilang.
Beruntung, seluruh petak-petak tulang telah disusunnya demikian rupa. Seluruh sela bangunan ganjil itu diketahuinya betul, hingga dia pun tahu di mana harus berpijak. Tep! Ringan sekali kaki Pendagel Setan menjejak ujung paling barat tonggak tulang. Sebentar tubuhnya limbung, selanjutnya bisa menguasai keseimbangan lagi.
"Hebat! Hebat!" puji Pendagel Setan, nampak lebih mirip sebagai ejekan.
Andika hanya mencibir. Jurus-jurus kembangan 'Mengubak Hujanan Petir' masih dikerahkannya. Perlahan, tubuh kekar pemuda itu mulai diselubungi sinar putih keperakan, seperti kabut bercahaya. Dimulai dari sekujur tangannya yang terus bergerak hingga membentuk bayangan ganda. Menyusul, sepasang kakinya. Hingga akhirnya, seluruh badan pemuda itu benar-benar diselimuti kekuatan sakti tenaga warisan Pendekar Lembah Kutukan!
"Saatnya kau akan mampus, manusia tak berhati!" desis Andika sarat ancaman.
"Hiaaa!"
Berikutnya, sosok pemuda sakti itu bagai menjelma menjadi bayangan liar. Tubuh Pendekar Slebor terus meluruk secepat kilat menuju Pendagel Setan di ujung panggung ganjil. Sebelumnya, Pendagel Setan pun telah mempersiapkan ilmu pamungkasnya yang baru saja di-sempurnakan. Pukulan yang sanggup menyerap inti racun dalam kabut kelabu di atas sana. Saat sosok Pendekar Slebor berkelebat, tangan Pendagel Setan tak kalah cepat
mengepak bagai irama sayap burung pemakan bangkai. Angin raksasa dari kedua tangannya menyeret segenap racun dahsyat gulungan kabut racun.
Dan.... Dash! Terjadi benturan. Amat keras! Sehingga mampu membuat seluruh batang pepohonan kering menjadi retak terkena getarannya.
Seketika gerombolan burung pemakan bangkai berhamburan ke udara. Sebagian terbang dengan limbung penuh luka. Namun lebih banyak mati seketika, dengan tubuh hancur berserpih!
Usai adu tenaga itu, dua sosok tergeletak tanpa gerak. Satu tubuh Pendekar Slebor, yang lain tubuh Pendagel Setan.
Siapa yang menemui ajal? Sulit menentukan bila menilik keadaan mereka. Pakaian keduanya terkoyak-koyak. Sebagian kulit pun begitu. Darah hitam kental mengalir lamban dari seluruh pori-pori keduanya. Lama keadaan itu berlangsung.
Menilik keadaan Pendagel Setan, ternyata lebih parah. Kedua tangannya hancur dengan dada terkoyak. Sementara dada Pendekar Slebor masih turun naik, walaupun begitu lalu Andika pingsan.
Padahal dia harus segera meninggalkan Padang Mega Racun secepatnya. Pengaruh obat pulung penawar yang diberikan Ki Patigeni beberapa saat lagi akan punah. Menjelang saat-saat segenap kekuatan racun menerobos tubuh Pendekar Slebor yang hampir kehilangan pemunah, mendadak sepasang tangan halus meraih tubuhnya. Diangkatnya tubuh Andika, lalu dipapahnya. Orang itu adalah Cempaka.
Penuh teka-teki, perempuan yang tak terlihat seperti baru saja menjadi tawanan itu berkata samar.
"Kakak seperguruanku itu memang lebih baik mati, Kang Andika. Dia terlalu serakah dalam menyempurnakan ilmu, sehingga telah membuatnya kehilangan akal sehat. Lupa segalanya.... Aku semula memang sudah yakin kalau Pendagel Setan adalah kakak seperguruanku sendiri yang tak lain Kaladewa, walaupun wajahnya dicoreng-moreng yang membuat aku sedikit pangling. Hm..., jadi dia memakai julukan Pendagel Setan.
Siapa sesungguhnya Cempaka?
Pendekar berpengamatan jeli macam Pendekar Slebor sekalipun. akan terperangah jika tahu kalau Cempaka ternyata adik seperguruan Pendagel Setan! Sejak lelaki sesat itu berhasil menyempurnakan ilmunya, otaknya jadi tak waras. Kalau sedang dilanda kegilaan, Pendagel Setan tak bisa lagi mem-bedakan apa-apa. Tidak kebenaran. Tak pula kebatilan. Bahkan adik seperguruannya sendiri terlupakan. Apalagi mengenali. Cempaka waktu berusia sepuluh tahun juga murid Nyai Wangkil selain Kaladewa yang berusia lima belas tahun. Nyai Wangkil sendiri adalah tokoh hitam yang lima belas tahun lain menyebar petaka di Desa Wetan. Perbuatannya, persis dengan apa yang dilakukan Pendagel Setan. Begitu tumbuh menjadi seorang gadis, agaknya pikiran jernih Cempaka terbuka, bahwa gurunya ternyata adalah tokoh sesat. Ini benar-benar bertolak belakang dengan jiwanya.
Pada usia tujuh belas tahun, Cempaka melarikan diri dari Nyai Wangkil. Gadis itu lantas berguru di Blambangan pada seorang tokoh alirah putih. Baru begitu menginjak dewasa, dia turun ke dunia persilatan, sampai akhirnya tanpa diduga bertemu Kaladewa yang berjuluk Pendagel Setan.
Dari gerak silat Kaladewa, Cempaka ingat betul itu adalah jurus-jurus yang diturunkan Nyai Wangkil. Sampai akhirnya Cempaka semakin yakin, setelah melihat sepak terjang Kaladewa terhadap penduduk Desa Wetan. Suatu tindakan yang sama persis dengan apa yang diperbuat Nyai Wangkil lima belas tahun yang lalu. Apalagi, kemudian Kaladewa membawanya ke Padang Mega Racun, tempatnya waktu kecil. Sejak kecil, Cempaka sudah meminum semacam ramuan yang membuatnya dengan leluasa memasuki Padang Mega Racun. Itu sebabnya, ketika dia diculik Pendagel Setan,
keadaannya biasa-biasa saja.
Untungnya juga, Pendagel Setan lupa kalau yang diculik adalah adik seperguruannya sendiri. Nyai Wangkil pun pernah bercerita, kalau terlalu banyak ilmu yang diserap, akan menyebabkan orang jadi edan. Cempaka ingat betul. Maka dia semakin takut berguru pada Nyai Wangkil. Cempaka terus melangkah, keluar dari Padang Mega Racun. Ada satu kebanggaan dalam dirinya, bisa menyelamatkan Andika. Paling tidak pemuda urakan ini nanti
tak akan menganggap sok tahu lagi.

SELESAI


Serial Pendekar Slebor selanjutnya :
SENGKETA DI GUNUNG MERBABU


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Cincin Berlumur Darah --oo0oo-- Sengketa Di Gunung Merbabu


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.