Life is journey not a destinantion ...

Geger Ratu Racun

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Mustika Putri Terkutuk --oo0oo-- Darah Pembangkit Mayat



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: GEGER RATU RACUN

Dunia persilatan digemparkan dengan munculnya seorang wanita berpakaian hitam-hitam dan bercadar merah darah.
Dengan kedahsyatan racunnya, dia dikenal dengan julukan Ratu Racun. Setumpuk pertanyaan melanda Pendekar Slebor.
Dari golongan mana Ratu Racun sebenarnya? Hitam atau putih? Mengapa dia membunuh beberapa begal yang memiliki kesaktian tinggi? Kenapa pula harus membunuh orang yang lemah tanpa alasan? Dengan setumpuk kecerdikan dan kekonyolannya, Pendekar Slebor mengungkap misteri di balik Geger Ratu Racun Dan, tanpa diduga, Pendekar Slebor pun menemukan seseorang yang amat dekat dengan dirinya. Siapa dia? Serial Pendekar Slebor dalam episode : GEGER RATU RACUN



||| 1 |||

Hutan Watuabang yang begitu lebat membuat sinar mentari siang ini tak mampu menerabas hingga ke tanah.
Terlebih lagi di malam hari. Ketika gelap telah menyelimuti permukaan bumi, maka hutan menjadi pekat seperti tempat berkumpulnya para makhluk halus.
Di wilayah timur kekuasaan Kerajaan Alengka, Hutan Watuabang terhampar. Perbukitan yang menjadi latar belakangnya, semakin menampakkan keangkeran-nya. Daerah ini memang masih berada di kaki pegunungan. Maka tak heran kalau udara di Hutan Watuabang menjadi dingin menusuk. Tidak saja pada malam hari. Bahkan kala s iang pun udara masih terasa cukup menggigit kulit.
Di kaki pegunungan inilah berdiri sebuah bangunan besar yang berpagar balok-balok kayu randu hutan berdiri.
Bangunan dari papan itu beratapkan pelepah kelapa kering yang sudah berwarna coklat matang. Bentuknya yang terlihat seadanya, membuat bangunan ini tidak sedap dipandang.
Kayu randu yang dijadikan dinding tidak pula dihaluskan.
Sehingga warna dinding bangunan ini tampak suram. Bahkan lumut hijau dan tebal sudah menutupi permukaan dindingdindingnya.
Belum ada yang tahu kalau di tempat itulah sisa-sisa pengikut Begal Ireng menetap. Mereka sengaja membuat markas di sana untuk menghindari pengejaran dari prajurit Kerajaan Alengka (Untuk jelasnya, baca serial Pendekar Slebor dalam episode "Dendam dan Asmara").
Memang, setelah Begal Ireng tewas di tangan Pendekar Slebor, sisa pasukan pemberontak ini dipimpin oleh seorang yang bernama Kranggaek. Dia dulu adalah kaki tangan Begal Ireng, yang merupakan tokoh aliran sesat jajaran atas. Sepak terjangnya juga tak kalah menggiriskan. Banyak tokoh hitam yang mengakui kehebatannya. Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun itu bertubuh tinggi besar. Gagah berotot, meski usianya sudah menjelang senja.
Kulitnya sawo matang. Rambutnya yang dipangkas tipis, melengkapi penampilan garangnya. Wajahnya angker, seangker Hutan Watuabang. Matanya seperti menjorok keluar, alisnya tipis, serta hidung dan bibirnya besar.
Di rumah yang tak begitu sedap dipandang ini, suasana ramai tampak terdengar semarak. Suara gelak tawa yang ditingkahi teriakan-teriakan kegembiraan, mengisyaratkan kalau di tempat itu sedang diadakan pesta. Sore ini, Kranggaek dan anak buahnya memang tengah merayakan keberhasilan mereka dalam perampokan di sebuah desa tadi pagi, tanpa diketahui pihak istana.
Di kursi kebesarannya, Kranggaek duduk sambil meletakkan kakinya di atas meja. Rompi hitamnya tampak tersingkap lebar-lebar, memperlihatkan dada bidang yang berbulu lebat. Celana merahnya terangkat sebatas lutut, membuat otot-otot betisnya yang menonjol terlihat jelas.
"Semoga iblis hutan ini ikut senang atas keberhasilan kita" kata Kranggaek sambil mengangkat gelas bambu berisi tuak.
Sementara anak buahnya yang duduk di kursi masingmasing, mengelilingi meja besar terbuat dari kayu jati kasar, menyambut ucapan itu dengan tawa lebar. Jumlah mereka yang mencapai dua puluh tiga orang, menyebabkan tawa itu terdengar menggelegar riuh, menggetarkan dinding markas ini.
"Ha ha ha... Jayalah para penjahat negeri ini" seru seorang anak buahnya.
"Ya," sambut Kranggaek lantang. "Dan mudah-mudahan, para iblis seluruh jagat mengirim wabah bagi para pendekar yang bersikap sok pahlawan" Kembali tawa riuh menggema, diiringi tegukan tuak keras di gelas bambu masing-masing hingga tandas. Dari sebuah lodong bambu besar tempat menyimpan tuak, mereka mengisi kembali gelas bambu masing-masing, kemudian meneguknya kembali.
Ketika makin banyak tuak masuk ke dalam rongga perut, kedua puluh tiga orang itu mulai mabuk. Mulut mereka mengoceh kian kemari, mengucapkan perkataan yang tidak senonoh. Pikiran yang telah berkarat dengan warna hitam keangkaramurkaan, kini makin dikotori oleh pengaruh minuman keras.
Saat melahap rakus kambing panggang hasil jarahan di desa sasaran perampokan, tingkah orang-orang itu sudah seperti serigala lapar mencabik mangsa. Tak terlihat lagi perilaku manusia yang semestinya berharkat mulia daripada makhluk lain.
Gelap mulai menyergap Hutan Watuabang. Tanpa ada yang tahu, di balik dinding kayu markas Kranggaek, seseorang berpakaian serba hitam diam-diam mengawasi tingkah memuakkan itu. Sinar matanya berkobar-kobar penuh kemarahan. Tubuhnya tampak tak terlalu besar, tidak pula terlalu tinggi. Hitamnya malam yang menyatu dengan warna pakaian, menyebabkan dia sulit ditebak apakah wanita atau lelaki.
Begitu asyiknya mengintai, membuat orang berpakaian serba hitam itu tidak memperhatikan keadaan sekeliling.
Sehingga....
"Hei Siapa kau?" Tiba-tiba terdengar teriakan seorang anak buah Kranggaek, sehingga membuyarkan pikiran yang berkecamuk di benak pengintai ini. Bola matanya langsung bergulir sigap ke arah orang yang berteriak. Di samping kanannya, dalam jarak sepuluh tombak, tampak seorang lelaki kasar sambil membawa tombak bermata golok, sedang memburu ke arahnya. Namun belum lagi anak buah Kranggaek itu mampu menjamah tubuhnya, tangannya bergerak cepat menjentikkan kuku-kukunya yang panjang.
Tik T ik Sss Dalam sekejap, dari kukunya membersit dua pijaran sinar seperti kunang-kunang yang terus melayang cepat, menerabas gelap ma lam. Dan seketika dua pijaran sinar itu segera menghunjam wajah penyerangnya.
"Aaakh..." Wajah anak buah Kranggaek itu langsung terbakar.
Kulitnya berpendar merah seperti bara. Kemudian, perlahanlahan wajah lelaki itu terkelupas sebagian demi sebagian, layaknya daging panggang Tentu saja akibatnya, lelaki itu meraung-raung tak terkira. Tubuhnya berguling-guling liar di atas rumput. Sedangkan tangannya mendekap wajahnya yang tak bisa dikenali lagi.
Sesaat kemudian, tubuh anak buah Kranggaek ini mengejang kaku. Penderitaan yang menyiksa membuatnya tak mampu lagi mempertahankan nyawa.
"Ada apa itu?" teriak Kranggaek sigap, ketika menangkap jeritan membahana seorang anak buahnya.
Tubuh laki-laki tua yang masih kelihatan gagah ini segera berkelebat cepat menuju pintu utama. Tanpa perlu memakan waktu lama, dia telah tiba di luar bangunan. Dengan mata jalang dicarinya sumber teriakan tadi. Tapi yang ditemuinya di samping jendela markasnya, hanya sesosok mayat anak buahnya yang terbubur kaku.
"Keparat Siapa yang melakukan ini?" maki laki-laki berwajah seram itu penuh desakan kemurkaan. Tak sepatah jawaban pun yang ditangkap telinganya.
Sementara itu, anak buahnya yang lain sudah menyusul keluar.
"Ada apa, Ketua?" tanya seorang tangan kanannya.
Kranggaek tak menjawab.
Hanya matanya saja mengisyaratkan ke arah mayat di sisi jendela yang membujur kaku dengan wajah mengelupas.
"Rupanya ada anjing yang mencoba menggonggong di kandang singa...," lanjut orang tadi, berdesis.
Semuanya menjadi tegang. Padahal, mereka sudah kerap kali menghadapi hal-hal semacam itu. Y a Biar bagaimanapun, tidak ada manusia yang benar-benar tidak memiliki rasa takut.
Apalagi, jika berkenaan dengan soal kematian "Kenapa kalian tampak begitu tegang? Apa kalian iri melihat nasib kawan kalian yang telah sampai di neraka lebih dahulu? Kalau hanya itu, kalian akan mendapat jatah juga...." Tiba-tiba terdengar sahutan dari suatu tempat yang sulit ditentukan. Suaranya terdengar berpindah-pindah. Entah bagaimana orang itu mengirim suara dari satu tempat ke tempat lain. Tapi yang pasti, suaranya terdengar halus seperti suara wanita.
"Bedebah Kenapa kau tak langsung keluar menghadapi aku?" teriak Kranggaek. Giginya bergemerutuk keras, membuat rahangnya yang bergaris mengejang sedemikian rupa.
"Aku tak perlu terburu-buru, karena sedang menunggumu sampai terhuyung-huyung tanpa tenaga, setelah beberapa saat kau meminum Racun Sirna Daya-ku Setelah itu, barulah kau akan kuhadapi" balas sosok yang bersembunyi itu.
Mata Kranggaek melirik ke sana kemari, disertai rasa kegusaran dan kecemasan. Sementara hendak menemukan orang yang telah berani menyatroni markasnya, benaknya juga terusik dengan ucapan orang itu.
"Racun," bisik laki-laki tua itu.
Bisa saja dia menganggap ucapan tadi sekadar gertak sambal. Tapi dalam dunia persilatan yang sudah lama diarungi, kecerobohan adalah hal yang harus dihindari.
Kranggaek tak pernah menganggap remeh siapa pun.
Menganggap remeh lawan, adalah suatu kecerobohan yang bisa mengirimnya ke liang kubur.
"Apa benar ucapannya, Ketua?" tanya seorang anak buah Kranggaek yang bertubuh kurus, dengan mimik wajah cemas.
Lagi-lagi Kranggaek hanya menggerakkan mata ke arah mayat anak buahnya yang terlebih dahulu menjadi korban.
"Lihatlah wajahnya, Tengkorak Merah. Apakah kau pikir dia tidak terkena racun yang amat jahat?" ujar Kranggaek, setengah berbisik.
Laki-laki kurus yang dipanggil Tengkorak Merah itu tiba-tiba bergidik. Dapat ditangkap maksud jawaban ketuanya.
Apa yang dicemaskan mereka ternyata benar-benar terjadi.
Perlahan-lahan tubuh mereka terasa melemah dan melemah.
Racun Sirna Daya seperti kata si penyerang tadi rupanya mulai bekerja. Mulanya otot-otot terasa dibetot paksa oleh suatu kekuatan tak terlihat. Selanjutnya, racun itu menyerang tulang. Dan kini tubuh mereka terasa bagai tanpa kerangka lagi.
"Ternyata aku tak hanya menggertak, bukan?" ledek orang yang menebar racun. "Ketika kalian sudah mulai mabuk tadi, tanpa disadari aku menebar racun berbentuk asap tipis. Racun itu kemudian terhirup napas, terbawa ke dalam tubuh, lalu disebarkan darah ke seluruh jaringan tubuh. Kini, hasilnya mulai terlihat. Racun itu memang tidak bekerja cepat. Tapi, hasilnya dapat meluluhkan tubuh kalian untuk selama lamanya. Kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Itu artinya, kalian hidup tidak, mati pun tidak...." Tak lama, dari sebuah pohon besar melayang turun sesosok tubuh berpakaian serba hitam. Dan dia mendarat tujuh tombak tepat di hadapan Kranggaek dan anak buahnya.
Kranggaek sendiri sedang berusaha mati-matian melawan racun yang mulai menggerogoti saraf-saraf di tubuhnya.
Dikerahkannya seluruh hawa murni dari pusat tubuhnya agar racun itu dapat ditawarkan. Paling tidak, mampu menahan gerak racun agar tidak merusak jaringan tubuhnya lebih lanjut.
Namun usaha itu tampak tidak membawa hasil. Tubuhnya makin lemas tak karuan. Sementara, seluruh anak buahnya yang memiliki ilmu lebih rendah telah ambruk semua tanpa tenaga.
"Betapa nikmatnya hidup tanpa dapat berbuat apa-apa lagi," sindir sosok berpakaian hitam, penuh nada ejekan.
"Kalau tak ditolong orang, maka kau tidak bisa minum atau makan. Maka, kau akan mati pelan-pelan dan penuh penderitaan...." Dengan kemurkaan yang berkecamuk dalam dada, Kranggaek menatap lawan di depannya. Dalam kere-mangan cahaya obor yang terpancar dari dalam rumah, orang itu sulit dikenali. Hanya satu yang diketahui Kranggaek, kalau lawannya adalah wanita. Itu pun hanya dari suara saja.
"Kau..., hanya kecoak pengecut" maki Kranggaek murka.
"Siapa bilang aku pengecut? Aku hanya berusaha bijaksana terhadap diriku. Kau tak mungkin kukalahkan, karena kepandaianmu jauh lebih tinggi dariku. Lalu, apa salahnya kalau aku membuatmu sedikit lemah agar dapat kukalahkan. Bukankah itu adil?" "Bajingan busuk" "Hi hi hi.... Dunia ini kenapa seringkah jadi aneh. Banyak maling teriak ma ling. Banyak orang kotor sepertimu, menuduh orang lain nista. Bajingan busuk kau katakan padaku? Apa tak kau sadari kalau dirimu lebih busuk daripada bangkai" kilah wanita berpakaian serba hitam itu.
"Kubunuh kau Hiaaat..." Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Kranggaek segera menyerang. Memang tak ada guna lagi banyak bacot dalam menghadapi musuhnya. Makin lama mengulur waktu, maka tubuhnya makin melemah saja. Itu tentu akan lebih menguntungkan lawan. Lagi pula, dia lebih memilih mati dalam pertempuran adu nyawa, daripada mati perlahan akibat racun yang kini masih terus meng-geragoti tubuhnya sedikit demi sedikit.
Tak tanggung-tanggung lagi, Kranggaek melabrak lawan.
Jurus pamungkasnya yang bernama 'Gajah Murka Melumat Mangsa', dikeluarkan. Sepasang tangannya bertaut menjadi satu. Seperti belalai gajah, kedua tangannya mencoba meremukkan kepala orang berpakaian serba hitam ini.
Wuuut Namun, sabetan tangan Kranggaek luput, ketika lawannya dapat berkelit cepat ke bawah dengan menekuk satu kakinya ke bawah. Sementara kaki yang lain merentang ke belakang.
"Hiaaa..." Bersama satu teriakan melengking, orang berbaju serba hitam itu balas menyerang. Jemarinya yang lurus meregang, menusuk ulu hati Kranggaek. Kalau ditilik dari serangannya, tampaknya dia tidak ingin membiarkan lawannya hidup lebih lama. Buktinya tusukan tadi adalah serangan mematikan yang disertai Racun Ular Laut, yang mampu membinasakan lawan dalam beberapa kedipan.
Wesss Meski tubuhnya kian melemah, Kranggaek ternyata masih mampu menghindari tusukan orang berpakaian serba hitam itu. Tubuhnya segera dibuang ke samping kiri dengan deras, meski beberapa saat limbung. Lalu segera otot kakinya diregangkan agar kuda-kudanya dapat tegak kembali. Tapi, wanita berpakaian serba hitam itu rupanya tidak ingin memberinya kesempatan sedikit pun.
"Hiaaa..." Bet Satu sabetan menyamping dari wanita berpakaian serba hitam itu menyusul. Jari-jarinya secepat kilat mengarah pada tenggorokan pemimpin perampok itu. Untunglah Kranggaek masih mampu mengangkat sepasang tangannya, sehingga dapat memapak jari lawan agar tidak merobek tenggorokannya.
Plak Benturan pergelangan tangan terjadi. Akibatnya, wanita berpakaian serba hitam itu terdorong beberapa tindak ke belakang. Dari sana dapat terlihat kalau dirinya masih jauh di bawah Kranggaek, dalam hal tenaga dalam. Meskipun keadaan lelaki setengah baya itu makin melemah.
"Rupanya kau hanya perempuan kemarin sore yang hanya pandai bermain racun," cemooh Kranggaek, memancing kemarahan lawan.
"Kau boleh berbicara sesukamu sebelum membisu selamanya" geram perempuan berbaju hitam itu. Kemudian dia mulai menyerbu lagi.
"Haaat..." Kali ini perempuan itu mengeluarkan sebuah senjata aneh berbentuk tombak sepanjang lengan. Pada ujungnya terdapat jari-jari yang melingkari batang tombak. Dengan sepasang tangannya, tombak itu diputar seperti baling-baling. Jari-jari sepanjang jengkal lengan yang berputar di ujung tombak, mendadak mengeluarkan asap kehijau-hijauan yang kemudian menebar akibat angin yang ditimbulkan putaran jari-jari tombak. Tentu saja sasaran tebarannya adalah ke arah Kranggaek Sebisa-bisanya Kranggaek melenting ke belakang beberapa kali. Namun dorongan angin yang ditimbulkan tombak berjarijari milik lawan rupanya lebih cepat menghembuskan asap racun yang bernama Perontok Raga. Akibatnya, asap itu langsung menyapu tubuh Kranggaek di udara.
"Aaakh..." Terdengar teriakan memilukan dari mulut lelaki kekar itu.
Sebelum sampai di tanah, satu persatu bagian tubuhnya berpencaran ke bagian yang berbeda Sungguh dahsyat pengaruh racun itu.
Dan Kranggaek sudah terbujur kaku. Mati Memang pantas kalau jurus pamungkasnya dikeluarkan untuk menghadapi lawan. Tubuhnya yang semakin lemah, membuatnya tak bisa lagi bertahan lebih lama menghadapi gempuran-gempuran perempuan itu. Niatnya untuk mengadu jiwa tak kesampaian.
Ternyata lawan telah lebih dahulu melepaskan serangan dengan cara mengerikan.
Begitu telah mengirim Kranggaek ke neraka, penyerang aneh itu melabrak anak buah Kranggaek habis-habisan.
Laksana banteng ketaton, seluruh bajingan itu dihajarnya sampai menemui ajal satu demi satu di ujung tongkat mautnya.
Hanya dengan mengerahkan dua puluh lima jurus, penyerang berbaju serba hitam itu telah membantai habis mereka semua. Kini, mayat-mayat bertebaran mengerikan.
Dan sekitar tempat ini sudah seperti tempat penjagalan hewan saja. Hutan Watuabang kini hening. Rintih hewan malam serta desah angin menyelimuti keheningan, sekaligus membawa kabar kematian.



||| 2 |||

Dalam kehidupan, manusia sering kali mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab. Tentang kematian yang mesti datang, tentang nasib yang sulit diduga, juga tentang hakikat hidup itu sendiri.
Sebagai manusia, Pendekar Slebor pun tak luput dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab. Di antara banyak pertanyaan hidup, persoalan asa l-usul dirinyalah yang paling mengusik hari-harinya belakangan ini.
Setelah Pendekar Slebor yang bernama Andika ini mengetahui kalau dirinya masih termasuk keluarga Kerajaan Alengka ketika menemukan lukisan K i Saptacakra di istana, dia memutuskan untuk mencari orangtuanya sekaligus mencoba menguak asal-usul dirinya (Untuk lebih jelas, silakan ikuti serial Pendekar Slebor dalam episode "Dendam dan Asmara").
Berhari-hari Pendekar Slebor telah menyusuri desa demi desa, bukit demi bukit, hutan dan sungai, dalam usaha mencari orangtuanya. Sepanjang perjalanan, benaknya selalu digerayangi pertanyaan. Siapa ibunya? Siapa pula ayahnya? Kenapa dirinya dibuang di dalam hutan? Apa salahnya? Apakah dia anak haram? Perjalanan yang dihantui berbagai macam pertanyaan benar-benar menyiksanya, ibarat berjalan dalam hutan semak berduri. Namun begitu, tekadnya terus bergelora sehingga tak membuatnya menyerah. Bukan Andika kalau tidak keras hati dan tidak kepala batu. Kini Pendekar Slebor tiba di sebuah desa, ketika hari telah menjelang petang. Matahari tersuruk lelah di sudut barat cakrawala.
Cahayanya tampak menciptakan sapuan lembayung di hamparan langit.
Memasuki mulut desa, mata Pendekar Slebor menemukan kedamaian di sini. Kelengangan menyelimuti. Jauh dari hirukpikuk sebagaimana kotapraja. Rumah-rumah panggung yang berdiri berdekatan seperti hendak memperlihatkan keakraban antar penduduknya.
"Apa nama desa ini?" gumam Andika, seraya terus melangkah.
Tak beberapa jauh memasuki desa, Andika merasakan kedamaian. Namun mendadak....
"Aaa..." Tiba-tiba, kedamaian itu lebur oleh suatu lengkingan nyaring seorang wanita. Kesiagaan yang terlatih dalam dirinya, membuat Pendekar Slebor segera bergerak.
Begitu terkejutnya, sehingga tanpa sadar tubuhnya terus melenting.
Namun bibirnya segera mencibir ketika menyadari kebodohannya ini.
"Manusia setengah goblok Kenapa mesti melenting kalau tidak ada yang menyerang?" rutuk Andika, memaki diri sendiri, ketika kakinya mendarat di sebuah batang pohon.
Dan seketika Pendekar Slebor bergegas melesat dari satu pohon ke pohon lain menuju asal jeritan. Tak begitu sulit untuk menentukan arahnya. Selain pendengarannya yang tajam, jaraknya pun tak terlalu jauh. Maka sebentar saja Andika telah tiba di tempat kejadian. Dengan amat ringan, kakinya menjejak di sebatang pohon yang amat kecil. Tanpa warisan kesaktian dari Pendekar Lembah Kutukan, seumur hidup hal ini tak akan bisa dilakukannya. Ranting yang semestinya hanya kuat menahan tubuh seekor burung kenari, nyatanya tidak patah ketika dihinggapinya. Dari ketinggian seperti itu, Andika bisa leluasa melihat keadaan di bawah. Dan ketika matanya menangkap puluhan mayat yang bergelimpangan di pekarangan-pekarangan rumah, gerahamnya jadi bergemelutuk. Jiwa kependekarannya seketika bergolak.
"Astaga Pembantaian keji macam apa pula ini?" desis Andika geram.
"Aaakh..." Belum juga keterkejutannya pudar, terdengar kembali teriakan memilukan dari dalam sebuah rumah yang terletak tepat searah dengan pohon yang dihinggapi Andika.
Tampak sesosok tubuh terlempar deras ke tanah berlumpur di depan rumah itu. Lelaki tampan gagah berbaju coklat itu sesaat menggelepar-gelepar. Sesaat kemudian tubuhnya kaku.
Dari mulut, hidung, dan telinganya keluar cairan kuning berbentuk busa. T idak itu saja. Dari setiap pori-pori tubuhnya pun keluar darah berwarna kehitaman.
"Astaga..." desis Andika sekali lagi.
Sesaat kemudian, mata Andika menangkap seorang wanita berbaju hitam keluar dari rumah tadi. Langkahnya terlihat demikian angkuh. Tubuhnya memang sintal dan terlihat elok.
Tapi dari caranya berjalan, tampak sekali kalau sifatnya kejam. Dan tampaknya dia adalah perempuan bertangan dingin.
"Wanita jadah Berhenti kau" hardik Andika ketika melihat perempuan itu hendak melesat pergi.
Walaupun tubuhnya berbalik, namun perempuan itu menghentikan langkahnya. Dari pohon pinus, tubuh Andika melayang turun. Lalu mantap sekali dia mendarat dan berdiri gagah tujuh tombak di belakang wanita berbaju hitam. Baju hijaunya serta kain bercorak catur yang tersampir di pundak berkibar ditiup angin senja, saat matanya menatap wanita itu dalam kobaran kemurkaan.
Hal yang paling dibenci dalam hidup Pendekar Slebor adalah penganiayaan terhadap orang-orang lemah. Jadi pantas saja jika saat itu dadanya seperti hendak meledak.
Namun pengalamannya selama ini menyadarkan kalau sebuah kekalapan bisa berakibat buruk bagi suatu pertarungan. Sadar akan hal ini perasaannya yang membara segera dikendalikan.
"Mau apa kau, Bocah?" tanya wanita berbaju hitam, meremehkan.
Berbareng dengan pertanyaannya, wanita itu berbalik ke arah Andika. Kini terlihatlah kalau wanita telengas itu mengenakan kain penutup wajah berwarna merah yang tembus pandang. Meski wajahnya tertutup, namun dia dapat melihat jelas wajah tampan Andika. Sedang bagi Andika yang melihatnya, wajah wanita itu terlihat samar-samar. Sulit untuk dapat mengenalinya.
"Aku seorang penganggur. Aku ingin minta pekerjaan padamu. Kalau tidak diberi, kau akan kupaksa...," jawab Andika ngelantur.
Tampaknya ketenangan diri Pendekar Slebor telah kembali seperti sediakala. Artinya, sifat-sifat gelandangan kotapraja yang mendarah daging dalam dirinya pun siap muncul.
"Enyah kau Aku tak ada waktu untuk meladenimu" hardik wanita itu.
Nada suara wanita itu seakan menganggap Andika hanya patung cakil yang tak menarik perhatian. Apalagi, sampai dipedulikan. Maka tubuhnya kembali berbalik, membelakangi Pendekar Slebor. Kemudian, kakinya hendak melangkah.
"Apa kau tak tahu kalau aku sangat penting bagimu?" kata Andika kembali, membuat wanita itu menghentikan langkah. "Aku tak pernah memerlukan anak ingusan macam dirimu" bentak wanita itu gusar, tanpa berbalik. Sekali lagi, kakinya mulai melangkah untuk pergi dari tempat pembantaian itu.
"Hei, tunggu Aku tak bohong dengan ucapanku tadi. Aku memang sangat penting bagimu, karena memiliki sesuatu yang akan kuperlihatkan padamu" Kembali wanita berpakaian hitam menahan langkahnya.
Wanita berambut panjang itu tampaknya mulai penasaran mendengar ucapan Andika. Padahal, tanpa disadarinya semua itu hanya pancingan, agar Andika bisa mengorek keterangan yang berkaitan dengan pembantaian tadi.
Pendekar Slebor memang tak mau bertindak terge-sagesa.
Dia ingin tahu dulu alasan wanita itu berada di tempat ini.
Mungkin saja dia hanya membela diri, karena suatu kesalahan yang tak diperbuatnya. Mungkin juga yang dibunuhnya adalah orang-orang jahat, yang pernah berhutang nyawa padanya.
Dan kemungkinan-kemungkinan lain pun bisa saja.
Pancingan Pendekar Slebor berhasil. Buktinya wanita bercadar merah itu mengurungkan kepergiannya. Tubuhnya malah kini berbalik kembali menghadap Andika.
"Kau jangan coba-coba mempermainkan aku, Bocah Cepat perlihatkan sesuatu yang akan kau tunjukkan Kalau tidak, kau harus bayar dengan nyawamu" ancam perempuan itu.
Andika tersenyum-senyum. Entah ingin meledek kebodohan wanita di depannya yang begitu mudah dikibuli, atau karena hanya ingin iseng.
"Mana berani aku mempermainkanmu jika banyak mayat berserakan di sekitar sini, karena perbuatanmu. Aku tidak ingin senasib dengan mereka," ucap Andika dengan mimik sungguh-sungguh. “Tapi sebelum aku memperlihatkannya padamu, kau harus mengatakan dulu alasanmu membunuh mereka semua." Andika mencibirkan bibir pada mayat-mayat di sekitarnya.
Sikapnya benar-benar terlihat acuh tak acuh, seolah hendak membalas perlakuan wanita bercadar yang begitu meremehkannya.
"Itu urusanku Kau tak perlu ikut campur, Kau pikir siapa dirimu sampai berani mencampuri urusanku?" "Ooo.... Itu berarti kau tidak ingin kuperlihatkan sesuatu yang kumaksud...?" "Bedebah Kenapa tak langsung saja diperlihatkan padaku? Apa mesti menunggu kulitmu kusayat dulu?" dengus wanita itu. Dan kesabarannya pun mulai tidak bisa dikuasai lagi.
"Tak ada gunanya menyayat kulitku, yang tidak semahal kulit buaya," celoteh Andika.
Rupanya Pendekar Slebor mulai dapat mengambil kesimpulan kalau calon lawannya telah membantai orangorang desa dengan niat busuk.
Memang, bagi Andika, amat mudah menentukan, apakah seseorang memiliki hati busuk atau tidak. Dari tutur kata, pribadi seseorang memang bisa dinilai. Paling tidak, baikburuk sifatnya. Mulut memang penyambung hati seseorang pada lingkungannya. Maka tak terlalu sulit bagi anak muda itu untuk menilai wanita di hadapannya sebagai perempuan berhati busuk, manakala kata-kata yang mengalir dari mulutnya ternyata ucapan kotor dan kasar. Meskipun, Pendekar Slebor. belum tahu pasti niat apa yang disembunyikan wanita itu.
"Rupanya kau lebih suka memilih celaka" desis wanita bercadar, dilanda kemarahan membludak.
Kemudian tangan wanita itu terangkat tinggi-tinggi.
Kesepuluh jarinya mengembang lebar. Kelihatannya, dia akan melontarkan pukulan jarak jauh. "Tunggu" cegah Andika cepat. "Baik, baik... Akan kuperlihatkan sesuatu yang kumaksud tadi...." Tangan kanan Pendekar Slebor segera merogoh sesuatu di balik baju hijau pupusnya. Setelah itu, dilemparkannya sebuah benda dari balik baju ke arah wanita bercadar di depannya.
"Nih, tangkap" Wesss Gerakan tangan Andika yang cepat tak tertangkap mata, membuat wanita bercadar tersentak. Dia ingin menghindar secepat kilat, tapi benda yang dilempar Pendekar Slebor meluncur demikian deras. Tak ada waktu lagi baginya untuk mengelak. Jalan satu-satunya bagi wanita itu adalah menangkap benda yang melayang dalam kecepatan gila.
"Hih" Dengan satu hentakan napas untuk mengerahkan tenaga dalam, wanita bercadar merah menangkap sesuatu yang dilempar Andika.
Tep Betapa terperanjatnya wanita itu ketika menyadari bahwa yang baru saja ditangkapnya ternyata hanya sekepal nasi basi yang terbungkus dalam kertas kumal Jelas saja matanya langsung membelalak sejadi-jadinya. Bahkan mulutnya menganga, sebagai cerminan rasa terperanjat yang berbaur kegeraman. Sayang, mimik wajahnya yang penuh kekecewaan itu berlangsung di balik cadar merahnya. Kalau tidak, tentu akan menjadi bahan ejekan pendekar muda yang ugal-ugalan ini.
"Kenapa kau jadi terpaku seperti itu? Apa tak pernah melihat nasi bungkus? Nasi itu sisa makanku siang tadi. Aku pikir, aku masih bisa menyimpannya untuk makan sore. He he he.... Oh, ya. Apakah benda itu penting bagimu? Yah, kalau tidak penting, buang saja," tukas Andika berpura-pura bodoh.
"Keparat" wanita ini benar-benar kalap. Suaranya menggelegar bagai guntur. "Apa kau tidak kenal Ratu Racun, sehingga berani mempermainkanku?" "Hm... Jadi julukannya Ratu Racun," bisik Andika. Satu hasil dari pancingan Pendekar Slebor telah didapat dari mulut wanita bengis itu. Dalam gelombang amarah, seseorang sering kali melontarkan sesuatu dari mulutnya, yang mestinya tak diucapkan. Itu sebabnya, Andika berusaha membakar kemarahan calon lawannya. "Aku tak kenal segala macam ratu-ratuan," sahut Andika tenang. "Ratu Kodok kek, Ratu Kadal kek. Apalagi, Ratu Racun Tikus, he he he..." "Rupanya kau hanya cari mampus" Selesa i menghardik, wanita yang ternyata berjuluk Ratu Racun itu mengangkat tangan kembali. Sepuluh jemarinya terkembang di udara bersama satu getaran hebat. Beberapa saat kemudian, sepasang tangannya merah membara.
"Wah Tampaknya tanganmu bisa untuk memanggang sate juga, ya?" Lagi-lagi Pendekar Slebor mencemooh.
Sambil berkata tadi, sepasang mata Andika menyipit rapat Seakan, dia adalah seorang kakek tua yang sedang memperhatikan seorang cucu nakalnya.
"Hiaaah..." Ratu Racun langsung memulai serangan. Wanita bercadar ini tak sudi lagi mendengar cemoohan Pendekar Slebor yang membuatnya makin kalap. Bagaimana amarahnya tidak membludak kalau harga dirinya sebagai seorang tokoh sakti diinjak-injak seenak udel oleh bnak ingusan ini? Gebrakan pertama Ratu Racun mengarah pada kening Pendekar Slebor. Jurus 'Jari Beracun'nya memang berisi serangan yang mengarah pada kening. Sepasang tangannya yang semula terangkat tinggi-tinggi, kini menghentak cepat.
Maka berkas merah bara dari sepasang telapak tangannya melesat ke udara, berbarengan dengan luncuran tubuhnya ke arah Pendekar Slebor.
Zesss...
"Weleh-weleh" ejek Andika seraya memutar tubuh ke belakang.
Pendekar Slebor bersalto gemulai dengan kedua tangan sebagai tumpuan. Sehingga terkaman Ratu Racun hanya menebas angin saja. Perempuan itu segera menapakkan tangannya lebih dulu ke tanah. Kemudian tangannya digenjot dengan pengerahan tenaga dalam, hingga tubuhnya bersalto menyusul Andika. Secara berbarengan, tubuh mereka berputar di udara laksana sepasang baling-baling kembar. Dan selagi ada di udara, tangan Ratu Racun terus menjecar Pendekar Slebor dengan pukulan bertubi-tubi ke bagian kening.
Sementara Andika tentu saja tak sudi kepalanya remuk redam seperti adonan perkedel. Maka tangannya segera memapak tusukan jemari Ratu Racun.
"Uts" Dek Dek Dek...
Telapak Pendekar Slebor seketika bertumbukan dengan jemari Ratu Racun yang lentik, namun ganas. Seketika uap putih tampak mengepul di antara pertemuan tangan Andika dengan tangan perempuan itu.
"Akh..." pekik Andika tertahan. Tak disangka kalau tangan Ratu Racun yang sudah tak berwarna merah bara, ternyata terasa begitu panas. Rupanya hanya pada saat awal saja telapak tangan wanita itu berubah merah matang. Yang tertinggal selebihnya hanyalah hawa panas dahsyat Apakah hanya hawa panas? Ternyata tidak. Tanpa disadari Pendekar Slebor, Racun Bara Neraka dari Negeri Tibet milik perempuan itu telah merasuki tubuhnya.
Sementara, kaki Pendekar Slebor sudah menjejak mantap di tanah berumput. Begitu juga Ratu Racun.
"Kalau hanya panas seperti itu yang diandalkan, kau tak akan mampu mengalahkanku, Ratu Racun Tikus.... Aku biasa menerima panas yang lebih dahsyat, panas petir" cemooh Andika, dengan sikap dibuat sesombong mungkin. Tujuannya tentu saja untuk terus memancing kemarahan lawan. Ratu Racun menyeringai, menanggapi ejekan pemuda lawannya.
"Jangan sesumbar dulu, Anak Sundal Coba lihat rumput yang baru saja kau pijak" ujar Ratu Racun.
"Eit... Kau tidak bisa menipuku. Tentu kalau aku menengok ke bawah dan di saat aku lengah, kau akan melabrakku kembali. Mengaku sajalah.... Orang jujur disayang tukang sayur...," sambut Andika enteng.
Tapi ketika hidung Pendekar Slebor menangkap bau rumput hangus yang berasal dari bawah, mau tak mau matanya melirik juga ke sana. Maka terlihatlah rumput yang menyentuh kakinya telah gosong menghitam.
Pendekar Slebor kontan bergidik. Tiba-tiba disadari kalau rumput itu gosong bukan sekadar karena hawa panas. Lebih berbahaya lagi, karena rumput itu telah diganyang racun ganas.
"Racun...," desis Andika.
"Ya, racun. Kalau mayat-mayat di sekitar tempat ini mampus karena Racun Kelabang Biru-ku, maka kau akan segera mampus dengan Racun Bara Neraka...," tandas Ratu Racun tatkala mendengar desisan Andika.
Perlahan tapi pasti, tubuh Pendekar Slebor terasa seperti dipanggang dalam tungku raksasa. Andika sadar, racun yang disebutkan lawannya mulai bekerja. Entah apa yang bakal terjadi pada dirinya, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas, kini rasa panas luar biasa telah menderanya.
"Hi hi hi.... Racun itu akan bekerja, kemudian membakar habis seluruh sel-sel dalam tubuhmu. Dan kau akan mati perlahan-lahan dalam keadaan kering kerontang. Pada puncaknya nanti, tubuhmu akan terpecah pecah seperti tanah kering. Hi hi hi..." kata Ratu Racun, seperti berusaha melemahkan semangat Pendekar Slebor. Apakah kesaktian warisan Pendekar Lembah Kutukan akan mampu menghancurkan Racun Bara Neraka? Pertanyaan seperti itu yang muncul begitu saja dalam diri Andika. Dan dia ragu untuk menjawabnya.
"Hi hi hi.... Selamat menikmati kematianmu, Bocah Sombong" ujar Ratu Racun terdengar puas.
Setelah itu tubuhnya melesat jauh ke balik pepohonan besar, dan menghilang di keremangan senja.
Tinggal Andika sendiri yang terpaku seperti orang tolol.
Bibirnya meringis-ringis menahan penderitaan yang mulai berlangsung.
"Aduh, Maaak.... Aku bisa jadi tempe gosong hari ini" keluh Pendekar Slebor blingsatan.



||| 3 |||

Secara jujur, Andika mengaku kalau dirinya masih tergolong hijau dalam rimba persilatan. Selama turun dari Lembah Kutukan, yang dihadapinya hanya tokoh-tokoh golongan hitam yang tidak mengandalkan racun dalam pertarungan. Jadi wajar saja kalau kali ini Pendekar Slebor agak kelimpungan, menyadari racun yang bersarang dalam tubuhnya akibat pukulan beracun dari Ratu Racun.
Pendekar Slebor segera mengempos tenaganya, untuk melesat pergi dari situ. Dia memang membutuhkan pertolongan. Paling tidak, dia harus mencari tabib, untuk bisa mengeluarkan racun yang bersarang di tubuhnya.
Walaupun dengan sisa-sisa tenaganya, Andika berusaha berlari. Sudah cukup jauh dia berlari tapi tak seorang pun ditemuinya, kecuali sebuah pondok yang kelihatan sepi. Sementara racun dalam tubuh Pendekar Slebor sudah menjalar ke bagian-bagian lain. Tubuhnya kini makin didera panas luar biasa. Sedangkan sendi-sendi di bagian tangan yang terlebih dahulu terkena racun, mulai mengejang tanpa bisa digerakkan. Begitu panasnya, sehingga bagian tubuh yang telah dijalari racun terasa seperti mengelotok.
"Kadal budek Tikus gondrong Kodok pincang Racun ini benar-benar akan menghabisi nyawaku," dengus Andika dalam gelombang penderitaan yang makin memuncak.
Tubuh Pendekar Slebor bergetar hebat. Keningnya pun sudah dibanjiri cucuran keringat berwarna kebiru-biruan akibat pengaruh Racun Bara Neraka.
"Uh Sebaiknya aku bersemadi dulu di sini. Racun ini tidak bisa didiamkan terus-menerus" kata Andika, perlahan.
Andika segera duduk bersila dengan mata terpejam. Cepatcepat Pendekar Slebor memusatkan seluruh pikiran, perasaan, dan panca inderanya ke satu titik dalam benak. Akan dicobanya bersemadi, untuk mematikan pengaruh Racun Bara Neraka. Dan seluruh tenaga sakti yang dimilikinya akan dikerahkan.
Pendekar Slebor mulai melawan keganasan Racun Bara Neraka. Harapannya hanya satu. Mudah-mudahan hawa murni dari kesaktian yang diwariskan Ki Saptacakra yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Lembah Kutukan, mampu menghancurkan kekuatan racun yang menjalari tubuhnya.
Namun harapannya tetap berpulang kepada Tuhan Penguasa Jagat yang berkuasa atas segala sesuatu. Untuk itulah jiwa raganya dipasrahkan dalam semadi kepadaNya.
Saat-saat menegangkan berlalu. Cukup lama sudah Andika bersemadi. Tapi, racun di tubuhnya tidak juga melemah.
Bahkan usaha perlawanan Andika membuat Racun Bara Neraka semakin bekerja cepat. Tapi Andika tidak pernah mengenal kata menyerah dalam kamus hidupnya. Sebagai anak muda keras kepala, pantang baginya untuk putus asa sebelum benar-benar tak mampu berbuat apa-apa lagi.
Pendekar Slebor pun kembali mengerahkan seluruh hawa murninya. Semakin pikirannya terhanyut dalam pengerahan kekuatan hawa murni, tubuhnya semakin bergetar hebat.
Lama-kelamaan, tubuhnya tidak hanya bergetar. Bahkan juga mulai memancarkan sinar berwarna merah kehijau-hijauan.
Tampaknya, pertempuran antara Racun Bara Neraka melawan hawa murni dalam tubuhnya sudah mencapai puncak. Sampai akhirnya....
Jezzz...
Terdengar desisan tinggi yang didahului letupan kecil. Setelah itu, tubuh Pendekar Slebor terjengkang ke belakang. Dari lubang telinga, hidung, dan mulutnya tampak mengalir darah kental kehitam-hitaman. Dan anak muda gagah itu tergeletak tanpa bergerak sedikit pun.
Matikah dia? Sinar matahari hangat menerobos ke sebuah jendela gubuk di tepian Hutan Watuabang. Kehangatan sinar mentari yang menimpa wajah seorang pemuda berpakaian hijau pupus, membuatnya tersadar.
"Uuuh...," keluh pemuda itu lirih. "Di mana aku?" Sambil mencoba bangun, pemuda itu memandang ke sekelilingnya. Sungguh terasa asing.
"Ah Rupanya kau sudah sadar, Nak" sapa seseorang dari pintu masuk di belakang pemuda itu. Pemuda berpakaian hijau pupus itu menoleh, dengan kening berkerut. Lalu, bibirnya melepaskan senyum tipis.
"Kau kutemukan dalam keadaan pingsan, tidak jauh dari pondokku. Apa yang terjadi, Anak Muda?" tanya laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun itu.
Pemuda yang tak lain Andika tak langsung menjawab. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Dan ketika merasakan otot di bagian punggung dan lehernya masih terasa nyeri, Pendekar Slebor baru ingat kalau tubuhnya telah terkena racun, setelah bertarung dengan wanita yang berjuluk Ratu Racun. Dan tampaknya, Racun Bara Neraka telah menyebar hampir ke semua bagian tubuhnya dari tangan hingga punggung. Untung saja racun ganas itu tidak sempat menerabas ke dalam jantung dan otak, karena Pendekar Slebor telah berusaha mementahkannya dengan bersemadi tidak jauh dari pondok yang ditempatinya itu. Dan itulah yang membuatnya pingsan.
"Selamat pagi...," ucap Andika ramah pada lelaki tua yang telah melangkah menghampirinya.
"Pagi...," jawab orang tua itu tak kalah ramah. "Bagaimana keadaanmu? Apa sudah agak baikan?" Andika menjawab hanya dengan meringis.
"Oh, ya. Namaku Patigeni. Kau bisa panggil aku, Ki Pati atau boleh juga Ki Geni," tambah lelaki tua yang mengaku bernama Patigeni itu.
"Aku Andika, Ki...." Seraya mengangguk hormat, Andika pun turut memperkenalkan diri.
"Tunggu dulu...," sergah Ki Patigeni tiba-tiba.
Mata Ki Patigeni yang sudah menyipit karena keriput di sudut-sudutnya, makin menyipit setelah mendengar nama Andika. Dari mimik wajahnya terlihat kalau dia sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Ada apa, Ki? Apa aku salah bicara?" tanya Andika terheran-heran.
"Tentu saja tidak. Tapi aku hanya merasa pernah mendengar namamu. Entah di mana, dan kapan...." "Yah Tentu saja kau pernah mendengar nama seperti itu, Ki. Nama Andika memang nama pasaran yang biasa dipakai setiap ibu-ibu di rumah dukun beranak, untuk menamakan anaknya yang baru lahir," seloroh Andika.
Ki Patigeni mendadak tertawa.
Mulanya Andika hanya menatap wajah Ki Patigeni dengan pandangan terheran-heran. Tapi mendadak pula ikut tertawa.
"Ha ha ha.... Kenapa kita mesti tertawa, Ki? Bukankah ucapanku tak terlalu lucu?" kata Andika kebo-doh-bodohan.
"Aku tertawa bukan karena ucapanmu, Nak. Tapi aku menertawakan diriku yang bodoh ini...," tutur Ki Patigeni dengan bibir masih menyisakan senyum.
"Bodoh?" tanya Andika.
"Ya, bodoh. Karena tanpa kusadari, ada pendekar besar di depanku. Bukankah kau yang berjuluk Pendekar Konyol, dan menjadi bahan pembicaraan orang-orang dunia persilatan belakangan ini? Kehebatanmu dalam menghancurkan Begal Ireng, menjadi bahan pembicaraan hangat orang banyak," urai Ki Patigeni.
"Ah Itu kan hanya kehendak Tuhan, Ki...," kilah Andika sungkan. Pemuda itu memang tidak begitu senang dipuji.
"Jadi dugaanku benar?" Andika tersentak. Hatinya mengumpat habis-habisan.
Betapa tololnya dia, bisa begitu gampang terpancing. Pendekar Slebor yang pernah bertemu Ratu Ra-naran dugaan lelaki tua itu diakuinya.
"Bukan begitu maksudku, Ki...," sergah Andika, ingin meralat ucapannya tadi.
"Ah, sudahlah.... Pendekar berjiwa besar selalu ingin menyembunyikan keharuman namanya. Ibarat padi, makin berisi makin merunduk," tukas Ki Patigeni tanpa maksud menyindir.
"Ya, ya.... Terus kau pujilah aku, Ki.... Biar hidungku terus kembang-kempis dan kepalaku membesar seperti tempayan," gurau pendekar tampan itu.
Sekali lagi K i Patigeni terbahak-bahak.
"Rupanya julukan yang kau sandang memang pantas. Kau memang konyol, Anak Muda," ledek Ki Patigeni di sela tawa meriah.
"Oh iya, Ki Pati. Dari mana kau mendengar tentang diriku?" tanya Andika, selesai Ki Patigeni tertawa.
"Yah.... Biarpun tinggal di daerah terpencil seperti ini untuk menyepi dari hingar-bingar rimba persilatan, tapi aku tetap mengikuti perkembangannya.
Termasuk mengenai kemunculanmu...," jawab Ki Patigeni.
'Kebetulan kalau begitu. Apakah kau tahu tentang Ratu Racun, Ki?" "Ratu Racun?" Ki Patigeni mendekati balai-balai tempat Andika terbaring semalaman. Dia lalu duduk bersila di samping pemuda itu.
"Apa kau mempunyai ganjalan dengannya?" Ki Patigeni balik bertanya.
"Kalau aku tak bertempur dengan orang itu kemarin, mungkin aku tidak akan sampai di depan gubukmu, Ki." "Kau bertempur dengannya? Aneh...." "Aneh Aneh kenapa, Ki Pati?" Ki Patigeni terdiam sesaat. Tangan kanannya membelaibelai kumis putih di atas bibirnya.
"Seperti juga kau, Nak Andika. Ratu Racun pun baru saja hadir dalam kancah dunia persilatan. Awal sepak terjangnya yang membuat namanya melambung adalah, setelah dia membantai sisa-sisa anak buah Begal Ireng di Hutan Watuabang. Entah apa alasannya dia me lakukannya. Yang pasti, dia telah berhasil menumpas gerombolan bajingan di bawah pimpinan Kranggaek, seorang bekas tangan kanan Begal Ireng," urai Ki Patigeni.
"Kalau begitu, memang aneh. Sewaktu aku bertemu, kulihat dia sedang membantai beberapa penduduk sebuah desa yang tak jauh dari tepi hutan ini. Mulanya aku mengira wanita itu sedang memberantas para perampok yang mencoba menjarah desa itu. Sampai akhirnya, aku tidak bisa menghindari pertempuran dengannya," tutur Andika, ganti bercerita.
Untuk beberapa saat, dua lelaki berbeda usia itu samasama membisu.
Mata mereka terlihat menerawang, memikirkan tindak-tanduk Ratu Racun yang ganjil, menurut pandangan mereka. Apa alasan wanita itu membantai gerombolan Kranggaek, lalu membantai pula penduduk yang tidak berdosa? Jika dari golongan putih, tak mungkin akan tega membunuh penduduk secara keji. Kalaupun dari golongan hitam, apa mungkin akan sudi membunuh rekan segolongan seperti Kranggaek? Sepak terjang yang bertentangan itulah yang kini menjadi bahan pikiran mereka berdua.
"Nak Andika, ada satu hal yang perlu kau ketahui. Sebagai golongan muda, kau perlu pula mengenal beberapa tokoh tua aliran sesat. Salah satunya, Guntara alias Iblis Petaka Racun...," tutur Ki Patigeni kembali. "Tokoh tua itu memang menghilang dari rimba persilatan, sejak seorang pendekar golongan putih mempecundanginya tiga puluh lima tahun silam. Maka sejak saat itu, dia tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi, menghilang seperti tertelan bumi. Tak ada seorang pun yang tahu, di mana keberadaannya," Ki Patigeni sesaat menghentikan ceritanya, untuk mengambil napas. Sedangkan Andika tak melepaskan pandangannya ke wajah laki-laki tua itu.
"Ketika aku menjumpai mayat Kranggaek dan anak buahnya, aku sempat dibuat terkejut. Ternyata, ketika kuperiksa, racun yang membunuh mereka adalah racun milik Guntara. Mulanya aku menyangka, lelaki busuk itu turun kembali dalam dunia persilatan dan hendak membuat keangkaramurkaan. tapi ketika seorang penebang kayu menceritakan padaku tentang kejadian yang disaksikannya, aku jadi tahu kalau si pembunuh itu ternyata seorang wanita." Kembali laki-laki tua itu menghentikan ceritanya.
Sepertinya, dia berusaha mengingat-ingat apa yang dialam inya.
"Ketika aku pergi ke kadipaten, kudengar banyak orang membicarakan perihal Ratu Racun yang telah berhasil mengirim Kranggaek ke neraka bersama seluruh anak buahnya. Maka, dugaanku tentang kemunculan Guntara makin tak beralasan. T api, ada satu pertanyaan yang muncul dalam diriku. Mungkinkah Ratu Racun adalah murid tunggal Guntara alias Iblis Petaka Racun?" Ki Patigeni mengakhiri penjelasannya dengan satu tarikan napas panjang dan berat.
Andika ikut menarik napas dalam-dalam. Kalau memang benar Ratu Racun itu murid Guntara, maka tugasnya akan semakin berat. Pundaknya akan semakin menerima beban untuk membasmi keangkaramurkaan di atas jagat ini. Keduanya kembali terhanyut dalam pikiran masing-masing.



||| 4 |||

Sejak Pendekar Slebor merawat diri di gubuk Ki Patigeni hingga berangsung-angsur pulih, belum juga diketahui secara pasti, siapa sesungguhnya lelaki tua itu. Setiap kali Andika mencoba mengorek keterangan tentang dirinya, Ki Patigeni selalu dapat menghindar dengan berbagai alasan.
Siapakah orang tua itu? Bagaimana Andika tidak habis pikir tentang diri Ki Patigeni? Maalahnya, orang tua itu begitu banyak tahu tentang liku-liku dunia persilatan. Padahal, hidupnya cukup terpencil.
Menurut Andika, kerahasiaan diri Ki Patigeni adalah tekateki yang harus segera dipecahkan. Secara tak langsung, benaknya merasa ditantang untuk mengungkapkan tentang jati diri Ki Patigeni. Apalagi, ketika lelaki tua itu merawat luka Andika untuk melenyapkan sisa Racun Bara Neraka di tubuhnya.
"Apa ini, Ki?" tanya Andika saat Ki Patigeni menyerahkan semangkuk ramuan berwarna merah kehijau-hijauan.
"Minumlah. Itu ramuan Bunga Puspatuba yang hanya tumbuh di puncak gunung tertentu, yang dicampur akarakaran.... Ah, sudahlah. Kenapa kau jadi banyak tanya? Minum sajalah. Mudah-mudahan Racun Bara Neraka yang masih mengendap di dalam tubuhmu bisa segera dilumpuhkan," jawab Ki Patigeni.
"Lho Kenapa kau bisa tahu kalau aku terkena Racun Bara Neraka? Bukankah aku belum memberita-hukanmu, Ki?" tanya Andika heran. Ki Patigeni saat itu hanya mengibaskan tangan acuh tak acuh, membuat Andika semakin heran dan penasaran.
Empat hari telah berlalu. Kini Andika yang telah merasa benar-benar pulih sedang menikmati udara tepian Hutan Watuagungyang sejuk. Pagi memang baru saja lahir. Matahari pun belum begitu garang membakar bumi. Sambil menghirup udara pagi yang segar, pandangannya menebar ke sekitar Hutan Watuagung yang terlihat angker.
Saat itulah mata Pendekar Slebor tertumbuk pada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sekitar dua puluh lima depa dari tempatnya berdiri, Andika melihat Ki Patigeni sedang menebang dahan-dahan pohon randu. Sebenarnya pekerjaan itu tak terlalu luar biasa. Para penebang kayu pun sering melakukannya. Tapi tampaknya akan jadi lain lagi, bila pekerjaan itu dilakukan hanya menggunakan punggung tangan untuk memapas batang-batang pohon randu yang cukup besar. Seakan, Ki Patigeni sedang menebas sebatang lidi Terkadang tubuhnya amat ringan merayap seperti cicak di pohon randu untuk mencapai batang pohon yang hendak diambilnya.
"Dugaanku tepat," bisik Andika tertahan. "Ki Patigeni memang bukan orang sembarangan. Dia pasti seorang tokoh tua dari aliran putih yang kini mengundurkan diri dari dunia persilatan." Kini Pendekar Slebor harus mencari akal agar lelaki tua itu bersedia mengatakan siapa dirinya sesungguhnya. Tapi ini tentu perlu sedikit akal bulus. Sesaat Andika menimbangnimbang, takut perbuatannya terlalu kurang ajar terhadap lelaki tua itu. Tapi rupanya sifat nakal dirinya lebih kuat mempengaruhi. "Bolehlah sekali-kali kurang ajar terhadap orang tua seperti Ki Patigeni," bisik Andika perlahan sambil menyeringai bodoh.
"Andika Andika, ke mana kau?" panggil K i Patigeni keras.
Di dalam gubuknya, Ki Patigeni mencari-cari pendekar muda itu. Entah ke mana dia. Yang pasti, Ki Patigeni tidak menemukannya di balai-balai tempatnya biasa terbaring.
Bukan keadaan tubuh anak muda itu yang membuat Ki Patigeni khawatir. Tapi ada satu hal yang membuat lelaki tua berwajah berwibawa itu menjadi agak was-was. Di lantai gubuknya, tampak banyak darah berceceran di mana-mana.
Dalam keadaan masih lemah, memang tidak mustahil ada tokoh aliran hitam yang membokong anak muda itu.
Mendapat dugaan seperti itu, Ki Patigeni berubah tegang.
Wajahnya menegang sedemikian rupa. Pandangan matanya berubah penuh kesiagaan. Sementara, pendengarannya dipasang setajam mungkin untuk dapat menangkap suarasuara mencurigakan. Lama keadaan tegang itu berlangsung.
Sampai akhirnya....
"Patigeni Keluar kau, Tua Bangka" Terdengar seruan lantang dari luar gubuknya. Ki Patigeni terkesiap, walaupun sudah menjaga kewaspadaan.
"Aku tahu, kau berada di gubuk reot itu, Patigeni Apa keasyikanmu menyepi telah membuatmu takut mati dan tak jumawa lagi?" Kembali terdengar teriakan menatang.
Ki Patigeni tak menanggapi. Bukannya takut, tapi hanya ingin memastikan siapa orang di luar sana.
"Baik, kalau kau tak tertarik terhadap tantanganku.
Mungkin kau tertarik bila namaku kusebutkan.... Aku adalah Guntara, Iblis Petaka Racun Kedatanganku untuk membayar kekalahanku tiga puluh lima tahun yang lalu" Untuk yang kedua kalinya, Ki Patigeni terkesiap.
"Guntara? Jadi keparat itu memang masih hidup?" desis Ki Patigeni dalam getaran hebat.
Mendadak orang tua itu diserbu kegeraman memuncak, walau tidak membuatnya kalap. Ketenangannya selaku tokoh kawakan tetap terjaga. Maka dengan langkah tenang dan mantap, Ki Patigeni menuju pintu gubuknya.
"Rupanya kau belum juga menjadi penghuni neraka, Guntara?" seru Ki Patigeni ketika sudah berdiri di ambang pintu.
Tampak samar-samar di dalam rimbunnya pepohonan hutan, terlihat sebuah bayangan yang berdiri gagah menantang. Tak begitu jelas wajahnya, namun mengaku sebagai Guntara.
"Aku mati? Ha ha ha.... Kau mimpi, Patigeni Nyawaku tak akan sudi meninggalkan jasad, kalau kau belum mampus di tanganku" Ki Patigeni tidak menanggapi ucapan orang itu. Dia mematung dalam kebisuan, seraya menatap tajam pada calon lawannya.
"Kenapa kau diam, Patigeni? Rupanya waktu tiga puluhan lima tahun telah memupuskan nama besarmu Tapi, aku tidak Nama besarku tetap ada. Dan tak lama lagi, julukan Iblis Petaka Racun akan berkibar kembali. Lalu, julukanmu...." "Pendekar Tangan Baja bisa saja menghilang dari rimba persilatan. Tapi keinginanku untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, tak akan lenyap sampai mati," penggal Ki Patigeni penuh wibawa.
"Pendekar Tangan Baja? Ha ha ha...." Ki Patigeni melihat sosok orang itu terpingkal-pingkal di kegelapan hutan.
"Kenapa kau tertawa ? Aku tak pernah menganggap ucapanku lucu" hardik Ki Patigeni. "Dan, mana anak muda yang berada di gubukku tadi? Jangan sekali-kali mencoba membunuhnya, Guntara" Jawaban dari orang itu ma lah tawa yang terus semakin bergema.
"Kau menanyakan padaku tentang anak muda tolol itu? Kau pikir darah yang berceceran dalam gubukmu itu darah siapa? Darah ayam?" ejek orang yang mengaku sebagai Guntara setelah puas tertawa.
"Jadi kau telah membunuhnya? Manusia tidak tahu malu Apa kau tak merasa hina dengan membunuh orang yang dalam keadaan lemah?" rutuk Ki Patigeni murka.
"Kau salah jika berbicara tentang welas asih padaku, Patigeni. Apa kau sudah lupa kalau aku tidak segolongan denganmu?" Gigi Ki Patigeni beradu, hingga terdengar gemeletuk yang dalam. Sementara rahangnya mengejang keras dalam garis wajah yang diselimuti api kemarahan, mendengar kalau Andika telah dibunuh Guntara. Kedua tangannya yang pernah membuatnya terkenal dengan julukan Pendekar Tangan Baja, mendadak mengepal kuat-kuat. Sesaat kemudian.....
"Hiaaa..." Tubuh Ki Patigeni me luncur deras di udara menuju orang yang bernama Guntara. Saat itu, tekadnya sudah bulat untuk mengadu jiwa dengan manusia keparat yang pernah dipecundanginya tiga puluh lima tahun lalu. Memang, dialah pendekar yang mengalahkan Guntara. Pada saat Ki Patigeni bercerita pada Andika pada waktu itu, hal dirinya sebagai seorang tokoh kawakan dirahasiakannya. Itu dilakukan hanya untuk menjaga agar dapat menyepi dengan tenang, tanpa harus mengotori tangannya dengan darah. Rasanya, tugas itu sekarang sudah menjadi tanggung jawab pendekar-pendekar muda. Maka, pantas saja kalau lelaki tua itu akan marah besar tatkala pemuda yang diharapkan mampu menerima tongkat tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran, ternyata dibunuh musuh lamanya.
Pada saat Ki Patigeni melayang di udara, lawannya yang tetap berdiri di kegelapan rerimbunan pohon melontarkan sesuatu yang melesat cepat ke arahnya.
Wesss...
Ki Patigeni terkesiap sejenak. T api sebagai tokoh kawakan yang sudah banyak makan asam garam, serangan mendadak itu tak membuatnya kelimpungan. Karena untuk menghindar tidak ada kesempatan lagi, dengan tangkas ditangkapnya benda sebesar kepala manusia itu dengan sepasang tangannya.
Tep Benda itu tertangkap di udara. Bersamaan dengan itu, tubuh Ki Patigeni meluncur ke bawah. Saat itu hatinya benarbenar dibuat was-was, karena sudah menduga kalau benda yang dilempar musuhnya adalah kepala Andika. Tapi apa yang didapatnya? "Astaga" Ki Patigeni berseru bingung.
Ternyata benda di tangannya hanya seekor ayam yang sudah disembelih "Apa-apaan ini?" dengus Ki Patigeni dalam hati. Orang tua itu sama sekali tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
"Hehehe...." Terdengar lagi tawa orang yang mengaku Guntara, sehingga membuat Ki Patigeni tersadar dari keheranannya. "Kita sudah impas, ya Ki Waktu itu, aku terpancing olehmu sehingga tanpa kusadari aku mengakui julukanku. Kini kau yang berhasil kupancing" seru orang itu sete lah menghentikan tawanya.
Sosok itu kemudian keluar dari kerimbunan hutan dengan berlenggang santai. Dia ternyata Andika. Pemuda ugal-ugalan itu lalu mendekati Ki Patigeni yang masih terpana.
"Salam hormatku, Pendekar Tangan Baja, tokoh tua yang telah mempecundangi Guntara a lias Iblis Petaka Racun," ucap Andika seraya menjura hormat. Sementara, mulutnya sibuk menahan tawa yang hendak ambrol begitu saja.
"Kau meledekku, ya? Anak muda brengsek Dari mana kau tahu kalau Guntara itu musuhku?" semprot Ki Patigeni sedikit mangkel dijadikan kambing congek oleh Andika.
"Aku memang tidak tahu, sebelum kau sendiri yang mengakuinya tadi Aku hanya coba-coba melihat tanggapanmu, bila aku berteriak-teriak mengaku sebagai Guntara.
Kupikir untung-untunganlah. Kalau ternyata kau memang pendekar yang telah mempecundangi Iblis Petaka Racun, syukurlah. Kalau ternyata bukan, toh aku tidak rugi...," jawab Andika santai.
"Kau...," ujar Ki Patigeni seraya mendelikkan mata.
"Oh, iya Ki. Lebih baik ayam di tanganmu itu kita bakar untuk makan siang. Dan soal darah di gubukmu itu, aku m inta maaf. Aku lupa kalau gubukmu bukan tempat potong ayam.
He he he..." kilah Andika, berpura-pura tak melihat mata Ki Patigeni yang membesar.
Malam telah menjelang. Seperti hari-hari biasa, angin dingin mulai berlarian bebas di alam terbuka. Daun pepohonan mulai merebah perlahan untuk beristirahat. Matahari benarbenar telah terpulas beberapa saat lalu.
Ki Patigeni dan Andika tengah duduk santai di balai-balai bambu di depan gubuk milik orang tua itu. Sinar lampu minyak menerpa wajah keduanya. Dari gurat-gurat yang tergambar di wajah, tampaknya dua manusia berbeda usia itu sedang membicarakan sesuatu yang sungguh-sungguh.
"Lalu bagaimana caranya kau bisa mengalahkan Iblis Petaka Racun, Ki?" tanya Andika.
Beberapa tarikan napas, Ki Patigeni hanya memandang wajah anak muda itu.
"Aku makin kenal watakmu, Andika," desah orang tua itu seraya tersenyum kecil.
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Andika tak mengerti.
Ki Patigeni mendorong kepala Andika dengan tinjunya.
"Aku mulai tahu, kalau kau mendadak bisa konyol Bisa urakan seperti orang pasar. Kau ingin mengolok-olok aku lagi dengan pertanyaan tadi, ya?" kata orang tua ini, setengah meledek.
"Ah..." Alis legam Andika bertaut rapat. "Aku bertanya seperti itu, karena harus menghadapi lawan yang memiliki ilmu yang sama dengan Guntara." "Huh Kenapa kau jadi besar adat seperti itu...," gurau Ki Patigeni. "Aku hanya bergurau...." Sekali lagi didorongnya kepala Andika dengan tinjunya.
Perlakuannya tampak seperti seorang ayah yang sedang bersenda-gurau dengan anaknya. Mungkin lebih pantas kalau disebut seorang kakek yang berbagi rasa dengan cucunya.
Mengingat, usia mereka bertaut cukup jauh. "Kapan kau mau menjawab pertanyaanku, Ki? Tahun depan...?" usik Andika ketika mata Ki Patigeni tampak menerawang jauh merambah kegelapan malam.
"Oh.... Maaf, Andika. Aku melamunkan masa mudaku dulu," ucap Ki Patigeni setengah mendesah.
"Jadi, bagaimana?" "Apanya?" "Ah Kini kau yang akan mengolok-olokku, Ki Kau akan membiarkan pendekar budiman seperti aku mati terpanggang racun milik Ratu Racun? Apa kau senang melihat aku matang seperti sambal terasi?" "Iya, iya.... Kenapa kau begitu nafsu untuk mengetahui rahasia kemenanganku terhadap Guntara? Tapi, baiklah.
Begini, Andika. Ada dua jenis racun yang paling ampuh milik Guntara. Pertama, Racun Perontok Raga. Sedang yang kedua adalah racun yang telah melukaimu dulu. Racun Bara Neraka.
Tapi seganas-ganasnya kedua racun itu, tetap saja memiliki kelemahan." "Apa itu, Ki?" desak Andika.
"Untuk racun...." Belum lagi lelaki tua itu melanjutkan ucapannya, tiba-tiba mata tuanya menangkap sesuatu di langit lepas.
"Ada apa, Ki?" tanya Andika ketika melihat mata keriput Ki Patigeni menajam.
Tanpa berkata, lelaki tua berwibawa itu menunjukkan jari telunjuknya ke angkasa. Pendekar Slebor pun menoleh ke arah yang ditunjuk orang tua itu. Maka terlihatlah seberkas cahaya merah yang meluncur naik ke angkasa. Setelah mencapai ketinggian tertentu, cahaya itu menukik deras. "Itu tanda bahaya yang biasa digunakan para pengikut Begal Ireng untuk memberitahukan rekan-rekannya," jelas Ki Patigeni datar.
"Jadi sisa-sisa gerombolan Begal Ireng masih banyak yang berkeliaran?" "Ya," sahut Ki Patigeni.



||| 5 |||

Pendekar Slebor dan Ki Patigeni memutuskan untuk mencari tahu, apa yang terjadi sesungguhnya. Maka seketika mereka bersamaan menggenjot tubuh dari balai-balai bambu yang diduduki, lalu segera melesat ke arah cahaya yang tampaknya adalah panah berapi.
Jarak yang harus ditempuh ternyata cukup jauh. Untunglah tubuh Andika sudah pulih benar, hingga tidak ada kesulitan untuk mengiringi ilmu lari cepat Ki Patigeni. Biarpun sudah tua, ternyata Ki Patigeni masih segesit burung camar.
Tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, seakan tanpa bobot sama sekali.
Tapi dalam hal kecepatan serta ilmu meringankan tubuh, Andika tampaknya berada dua tingkat di atas lelaki tua itu. Itu pun berkat kesaktian warisan Pendekar Lembah Kutukan yang memang diakui oleh banyak tokoh kelas atas dunia persilatan sebagai kecepatan dan kekuatan yang sulit ditandingi. Namun karena menghormati Ki Patigeni, Andika tidak ingin lancang mendahuluinya. Padahal, dalam hati ilmu lari cepatnya ingin segera dikerahkan untuk mengetahui peristiwa yang terjadi malam itu.
Dan ketika hampir sampai, telinga mereka sayup-sayup menangkap jeritan seseorang. "Aaa...” Dan jeritan itu terus berlangsung, berkumandang di angkasa.
"Rupanya ada pembantaian gila lagi, Ki," kata Andika pada Ki Patigeni, seraya menghentikan larinya sesaat untuk memperjelas pendengarannya.
"Tampaknya begitu," balas Ki Patigeni. "Apa kau menduga sama seperti aku, tentang orang yang melakukan pembantaian?" "Ratu Racun?" Ki Patigeni tidak bisa memastikannya. Yang pasti, mereka harus segera membuktikan dugaan itu secepatnya.
Kembali kedua orang berbeda usia itu menerabas kegelapan hutan. Tak ada enam tarikan napas, mereka sudah tiba di tengah hutan. Daerah itu tidak begitu dipadati pohon jati besar yang berdiri angkuh menentang malam Tidak seperti bagian lain dari Hutan Watuagung itu, bagian tengah hutan tampak tidak begitu rimbun. Itu sebabnya sinar bulan masih mampu sampai pada tanah berumput di bawah pepohonan.
Kini Pendekar Slebor dan Ki Patigeni menemukan tempat persembunyian. Dari segerombolan semak, Andika dan Ki Patigeni melihat seorang wanita berpakaian hitam sedang mengamuk. Di bawah terpaan sinar bulan, mayat-mayat tampak berserakan mengerikan Dari sembilan belas orang yang ada, hanya tinggal lima orang masih kelimpungan menghadapi amukan wanita berpakaian hitam-hitam.
Selebihnya, telah kehilangan nyawa.
"Racun Perontok Raga...," bisik Ki Patigeni tak sadar, manakala mata kelabunya melihat mayat yang berserakan.
"Kenapa, Ki?" tanya Andika berbisik pula. "Perhatikanlah mayat-mayat itu.
Tubuh mereka yang cerai-berai menggidikkan itu akibat Racun Perontok Raga," jawab Ki Patigeni menjelaskan.
"Astaga...," desis Andika bergidik.
Kalau Ki Patigeni tidak memberi tahu, mungkin Pendekar Slebor tidak akan memperhatikan keadaan mayat-mayat korban wanita berpakaian hitam itu. Yang menarik perhatiannya, justru wanita itu. Andika merasa ada sesuatu yang ganjil. Entah apa, belum bisa dipastikan. Yang pasti, Andika hanya mengenal wanita kejam itu sebagai Ratu Racun.
"Jadi bagaimana, Ki? Apa kita harus turun tangan atau membiarkan perempuan gila itu menghabisi lawannya?" tanya Andika, meminta pertimbangan Ki Patigeni.
"Biarkan saja mereka saling bunuh," jawab Ki Patigeni, dingin.
"Apa? Bagaimana kau bisa berkata seperti itu, Ki? Wanita itu memperlakukan manusia tak lebih daripada binatang Kita harus segera menghentikan perbuatan biadabnya" Andika agak terkejut juga.
'Yang dibantai wanita itu memang binatang. Kau lupa, mereka adalah sisa-sisa gerombolan Begal Ireng?" "Tapi mereka tetap manusia, Ki" sergah Andika.
"Jangan dilupakan perbuatan mereka selama ini, Andika.
Tidak ada manusia yang sebiadab mereka. Mereka lebih buas daripada binatang. Mereka tak lain hewan berwujud manusia, jadi pantas saja kalau mendapat perlakuan seperti itu...," urai Ki Patigeni datar.
Andika terdiam. Setelah dipikir-pikir, ucapan lelaki tua itu memang ada benarnya.
Sementara itu pertarungan antara Ratu Racun melawan sisa-sisa gerombolan Begal Ireng hampir selesai. Dua orang lagi telah terbunuh dengan tubuh cerai-berai. Kini tinggal tiga orang lagi yang tersuruk-suruk ketakutan, tanpa berani melakukan serangan.
"Mana bantuan dari kawan-kawan kita?" teriak seorang lelaki pada kawannya.
"Aku sudah melepas isyarat panah api sejak tadi, tapi mereka belum juga datang," jawab orang yang ditanya, dengan suara tercekat.
"Kalaupun mereka datang juga, kita sudah akan jadi mayat di tangan perempuan keparat ini. Lebih baik, lari saja" usul lelaki lain.
Maka mereka saling bertatapan sesaat, dengan tubuh terus beringsut ke belakang. Jelas, mereka tak ingin mati konyol.
Apalagi, mata secara mengenaskan seperti kawan mereka yang lain akibat racun lawan.
Ketiga orang itu semakin memperlebar jarak dengan wanita berpakaian hitam-hitam ini. Memang, wanita ini berdiri mematung bagai singa betina gurun yang mengintai mangsa.
Dan seketika, ketiga lelaki tadi langsung berbalik, lalu lari tergesa-gesa.
"Kalian pikir, akan diselamatkan iblis hutan ini?' seru Ratu Racun dari belakang.
Belum lagi mereka sempat menghilang di kegelapan malam, Ratu Racun tiba-tiba mengibaskan rambutnya yang panjang terurai.
Zing Zing Beberapa helai rambut Ratu Racun seketika terlepas, lalu meluncur cepat dalam keadaan meregang kuat ke arah tiga lelaki tadi. Naas bagi dua lelaki yang berlari ke arah utara.
Kepala mereka langsung tertembus helai rambut Ratu Racun.
Keduanya tak sempat menjerit, karena rambut Ratu Racun langsung menembus pusat wicara di otak. Beberapa saat mereka jatuh menggelepar-gelepar di tanah, setelah itu mati dengan seluruh otot di tubuh meregang kejang.
Nasib mujur masih dimiliki lelaki yang berlari ke arah selatan. Ketika rambut beracun hampir menembus batok kepalanya, kakinya terantuk akar pohon yang tersembul hingga jatuh tersuruk.
Srak Dukl Jep Sementara rambut beracun milik Ratu Racun menancap pada batang pohon di depannya. Sedangkan orang itu sendiri luput dari maut, meski harus jungkir balik di tanah. Sambil mendelik dengan wajah tanpa darah, dia segera bangkit kembali. Lalu secepat kilat dia buron tanpa ingin menoleh ke belakang.
Hutan Watuagung mendadak disergap kesunyian. Tak ada lagi jeritan kematian atau teriakan haus darah. Bahkan binatang melata pun seolah enggan memperdengarkan suaranya. Mungkin karena terkejut dengan keriuhan barusan.
Ratu Racun masih berdiri tegak di tempatnya. Tak ada sedikit pun gerak yang dilakukan. Hanya sepasang bola matanya yang mengawasi puas pada mayat-mayat korbannya.
Tak jauh di belakang wanita itu, Andika dan Ki Patigeni masih mengawasi gerak-geriknya. Mereka ingin tahu, apa lagi yang hendak diperbuat wanita itu. Ternyata orang yang diawasi hanya bersiap untuk pergi dari tempat itu.
"Kita cegah, Andika. T ampaknya dia akan pergi...," bisik Ki Patigeni seraya hendak bangkit dari semak-semak "Tunggu, Ki," tahan Andika. Dipegangnya bahu kurus Ki Patigeni.
Tentu saja tindakan Andika membuat lelaki tua itu heran.
Belum lama tadi, justru Andika yang ingin segera turun tangan. Kini, setelah Ki Patigeni memutuskan untuk segera mengambil tindakan, anak muda itu malah menahannya.
"Kenapa?" tanya Ki Patigeni ingin mengetahui alasan Andika.
"Aku merasa ada suatu yang ganjil, Ki," ungkap Andika.
"Di dunia ini memang banyak manusia yang ganjil...." "Bukan itu, Ki" "Lalu apa?" "Entahlah. Aku juga belum bisa memastikannya...." "Siapa itu?" Tiba-tiba Ratu Racun berseru lantang. Rupanya telinganya menangkap kasak-kusuk di balik semak-semak di belakangnya. Kalau tadi perhatiannya terpusat pada lawan sehingga tak memperhatikan keadaan sekitar, kini pendengarannya bisa lebih dipusatkan pada suara-suara yang mencurigakan.
Ki Patigeni memandang Andika dengan senyum kecil.
Bahunya dinaikkan sedikit, mengisyaratkan kalau akhirnya mereka mesti keluar juga. Tapi, Andika tak mau mengambil langkah pertama, kalau langkah kedua masih bisa diusahakan.
Maka kembali Ki Patigeni ditahannya.
Sementara Ki Patigeni bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Apa lagi yang ingin diperbuat anak muda ini? Andika memberi isyarat pada Ki Patigeni dengan telunjuknya ke belakang. Orang tua itu pun menoleh ke arah yang ditunjuk Andika. Sekitar tiga tombak di belakangnya tampak seekor ular sanca belang sedang melilit di sebuah lubang pohon.
Dengan cara yang cerdik, Andika menggosok-gosok kedua telapak tangannya di dekat ular sanca itu. Pengerahan tenaga dalam pada kedua telapak tangannya, membuat hawa di sekitar lubang menjadi panas. Beberapa saat kemudian, ular itu beringsut keluar sambil mendesis-desis. Masih dengan hawa panas di kedua telapak tangannya, ular itu digiring sedikit demi sedikit ke arah Ratu Racun.
Tak lama kemudian, ular itu telah terlihat oleh Ratu Racun yang masih memasang telinga, karena mendengar suara mencurigakan tadi. Namun melihat seekor ular sanca besar keluar dari semak-semak dekat persembunyian Andika dan Ki Patigeni, kecurigaan Ratu Racun lenyap begitu saja. Akhirnya disimpulkan, bisik-bisik yang didengarnya ternyata hanya desisan ular.
Dan seraya menghela napas panjang, Ratu Racun akhirnya melesat cepat bagai kilat pergi dari situ. Tubuhnya seketika ditelan kegelapan malam.
"Fhuih..." Andika menghempas napas lega.
"Kau menghindari Ratu Racun bukan karena kapok dengan racunnya, kan?" ledek Ki Patigeni, bercanda.
"Aku memang kapok, Ki...," jawab Andika acuh sambil melangkah keluar dari kerimbunan semak.
"Dasar kecoak pengecut" goda Ki Patigeni lagi.
"Kecoak pengecut..., tapi ganteng tentunya. Ha ha ha..." balas Andika tanpa merasa harga dirinya direndahkan.
Tentu saja Andika mengerti kalau Ki Patigeni hanya berkelakar saja. Dan lelaki tua itu sendiri tentu mengerti, pasti ada alasan yang tepat bagi Andika untuk menghindari Ratu Racun tadi.
Sementara Pendekar Slebor menghampiri tempat pertempuran yang dipenuhi mayat, Ki Patigeni mengawasinya dari kejauhan. Ingin diketahuinya, hasil apa yang didapat anak muda itu. Dari berita yang didengarnya, seringkah disebutkan kalau pendekar muda itu memiliki kecerdikan luar biasa. Tak lama kemudian....
"Ki, cepat ke sini" panggil Andika.
Ki Patigeni cepat menghampiri.
"Ada apa?" tanya orang tua itu singkat.
Andika menunjukkan sesuatu di tangannya.
"Kau tahu, benda apa ini, Ki?" tanya Andika.
Ki Patigeni mengambil benda itu dari tangan Andika.
Diamatinya benda sebesar anak kunci, berbentuk ukiran Bunga Wijayakusuma.
"Ini hanya kerajinan khas dari Desa Wadaswetan," jelas Ki Patigeni. "Biasanya warga desa itu mengenakan benda ini untuk kalung anak-anaknya...." "Nah itu satu petunjuk, Ki..." "Petunjuk apa? Aku belum menangkap maksud-mu....” Andika tak segera menjelaskan pertanyaan Ki Patigeni.
Malah lelaki tua itu diajaknya untuk memperhatikan mayatmayat korban Ratu Racun.
"Apakah ada di antara mereka yang kau kenal, Ki?" tanya anak muda itu kemudian.
Beberapa saat Ki Patigeni mengamati mayat-mayat "Ya Aku kenal orang ini," ujar Ki Patigeni, akhirnya.
"Sudah kuduga. Siapa dia, Ki?" "Rawegenggong, seorang kaki tangan Begal Ireng yang cukup diandalkan," sahut Ki Patigeni lagi.
Andika melangkah mondar-mandir seraya mengacungacungkan jari telunjuknya di depan dada. Lagaknya sudah seperti kakek jompo sedang menghitung jumlah anak cucunya. "Sekarang aku ada pertanyaan untukmu, Ki," kata Pendekar Slebor kembali.
Sedang Ki Patigeni menunggu dengan sabar. "Pernahkah Kranggaek dan Rawegenggong melakukan kejahatan di Desa Wadaswetan?" tanya Andika penuh keyakinan.
Baru saja Ki Patigeni hendak menggerakkan bibir, Andika sudah menggerakkan telunjuknya ke kiri dan kanan di depan dada.
"A... a. Tak usah dijawab, Ki. Karena aku yakin, kau akan menjawab, iya," cegah Andika, sok tahu.
Ki Patigeni hanya menggeleng-gelengkan kepala. Anak muda satu ini memang sering membuatnya gemas. Ingin rasanya kepala anak muda sok tahu itu ditinjunya. Tapi, kenyataannya memang benar. Dia memang ingin menjawab, iya.
"Sekarang aku ingin bertanya lagi padamu, Ki. Dengan siapa lagi kedua orang itu melakukan kejahatan di Desa Wadaswetan?" Ki Patigeni tak segera menjawab. Dia berpikir, pasti Andika akan menyelaknya lagi.
"Ki?" tegur Andika. "Apa kau sudah mengantuk?" "Anak brengsek T entu saja tidak. Aku hanya mengira kalau jawabannya sudah kau ketahui...," sangkal Ki Patigeni agak dongkol bercampur gemas.
Pendekar Konyol jadi tersenyum bodoh pada lelaki tua itu.
Digerak-gerakkan sepasang alis yang melengkung bagai kepakan elang itu.
"Makanya jangan sok tahu" gerutu Ki Patigeni. "Mereka melakukan pembegalan di desa itu, bersama enam orang lain.
Selain Kranggaek dan Rawegenggong, ada Bagaswara, Karangga, Nyi Rorokweni, Baturwedi, Sonagupta, dan Linggaraksa." "Terima kasih banyak, Ki," ucap Andika seraya menjura konyol.
"Jadi kau ingin mengatakan, kalau mereka adalah sasaran dendam Ratu Racun?" tanya Ki Patigeni tanpa mempeduhkan tingkah Andika.
"Tepat Pada saat mereka membegal, mungkin keluarga atau orang yang dicintai Ratu Racun telah dibunuh di Desa Wadaswetan. Kini, wanita itu kembali untuk menuntut balas," urai Andika, memaparkan dugaannya. "Dan kalung itu sebagai tanda kalau Ratu Racun adalah seorang penduduk desa itu." Ki Patigeni mengangguk-angguk pelan. Jadi, berarti kalung itu milik Ratu Racun yang terjatuh sewaktu bertarung tadi. Kini baru dipahami maksud Andika, sekaligus memuji kecerdasan otaknya.
Namun saat Andika baru hendakmeneruskan ucapannya, tiba-tiba....
Zes Zes Zes...
"Andika, awas"seru Ki Patigeni, manakala matanya menangkap serangkum angin pukulan jarak jauh yang mengarah ke tubuh anak muda itu.
Andika terkesiap. Saat itu dirinya benar-benar dalam keadaan tidak waspada penuh. Padahal, Ki Patigeni amat mengenali angin pukulan jarak jauh seperti itu. Itu adalah lontaran Racun Bara Neraka yang nyaris membunuh Andika beberapa waktu lalu



||| 6 |||

Naluri kependekaran Andika memerintah untuk segera melompat. Maka tanpa diperintah otaknya lagi, tubuh Andika pun melenting ke belakang dengan putaran beberapa kali.
Namun pada saat yang bersamaan, Ki Patigeni berusaha menyelamatkan Andika. Sebisa-bisa-nya tubuhnya digenjot untuk menyambar tubuh Andika. Dan akibatnya, kaki Andika malah menimpa dada Ki Patigeni tanpa disengaja.
Begkh Rasa sakit yang diderita lelaki tua itu akibat tendangan tak sengaja Andika memang tidak terlalu parah. Tapi perakan tubuhnya malah jadi terhenti saat itu juga, di tempat Andika berdiri sebelumnya. Sehingga....
Desss "Aaakh..." Ki Patigeni memekik tertahan. Tanpa diduga sama sekali, pukulan beracun Bara Neraka langsung menghajar telak rusuknya. Tubuhnya kontan terseret tenaga dorongan pukulan itu sepuluh tombak ke samping kiri. Dan luncuran tubuhnya baru terhenti, saat sebuah pohon tertumbuk bahu kirinya.
"Ki Pati..." teriak Andika dilanda kekhawatiran, begitu mendaratkan kakinya. Terlebih, ketika melihat pohon besar yang ditimpa tubuh Ki Patigeni menjadi menghitam dalam sekejap.
Tanpa mempedulikan serangan gelap yang mungkin akan menyusul, Andika segera memburu ke arah Ki Patigeni tergeletak tak berdaya.
Andika membalik tubuh lelaki tua yang tertelungkup itu.
Orang tua yang terasa sudah seperti kakeknya sendiri, meski belum begitu lama mengenalnya. Tampak mulut Ki Patigeni mengeluarkan darah kental kehitam-hitaman. Demikian pula kedua telinga dan hidungnya. T ubuhnya terasa begitu panas, saat Andika menyentuhnya. Tapi sekali-kali tidak membuat Andika segera menjauh. Dialirinya tenaga sakti pada kedua telapak tangan, agar dapat menguasai hawa panas yang hendak menghanguskannya.
"Andika.... Jangan sentuh aku terlalu lama," desak Ki Patigeni, terbata.
Andika menggeleng-gelengkan kepala tanpa tahu harus berucap apa.
"Aku telah terkena Racun Bara Neraka. Tubuhmu masih belum s iap menerima serangan racun itu kembali. Menjauhlah cepat Jangan sampai racun itu terserap ke dalam tubuhmu Cepat" bentak Ki Patigeni, setengah mendesis.
"Tapi..., bagaimana keadaanmu, Ki?" "Cepat menjauh Jangan pedulikan aku" "Aku tidak peduli, Ki Kau harus diselamatkan" "Dengan apa kau akan menyelamatkanku? Aku pun belum sempat memberitahukan tentang kelemahan Racun Bara Neraka padamu. Cepat pergi Kalau kita berdua mati, siapa yang akan membela kepentingan orang-orang lemah?" Dengan berat hati, Andika melepas juga tubuh Ki Patigeni.
"Baik aku lepaskan. Tapi, kau harus memberitahukan cara menundukkan racun ganas itu padaku agar aku bisa segera menyembuhkanmu, Ki...," ujar Andika nyaris tercekat karena kesedihan yang tiba-tiba datang.
Namun tak ada jawaban dari Ki Patigeni.
"Ki...," panggil Andika kembali.
Tetap tak ada jawaban. Malah gerakan Ki Patigeni pun tak terlihat lagi, bahkan naik-turun dadanya sekalipun.
"Kiii..." Andika menjerit sejadi-jadinya. Semua kenangan Andika dengan Ki Sanca di Perguruan Trisula Kembar dahulu terbayang kembali. Sama seperti Ki Patigeni, Ki Sanca pun meninggal dalam keadaan menyedihkan di sisi Andika. Padahal, mereka sudah begitu dekat di hati anak muda ini. Keduanya sudah dianggap sebagai keluarga sendiri (Untuk mengetahui tentang K i Sanca, silakan ikuti serial Pendekar Slebor dalam episode perdana, "Lembah Kutukan").
Andika terduduk lemah di sisi mayat Ki Patigeni yang perlahan-lahan mengering bagai batang kayu yang terjemur berbulan-bulan. Itulah akibat kedahsyatan Racun Bara Neraka Setelah itu tubuh orang tua ini mulai retak-retak, seakan tanah tandus "Oh, Tuhan..." desah Andika lirih.
Pendekar Konyol merundukkan kepala dalam-dalam.
Rasanya, saat itu seluruh air mata dikurasnya. Namun tempaan kependekaran selama ini, membuatnya tidak jadi cengeng. T ak ada setetes air mata pun yang menggenang di bawah kelopak matanya. Hanya desahan napas tersekat-sekat yang terdengar.
Kalau pada saat itu pukulan jarak jauh kedua diarahkan padanya, tak dapat disangkal Andika akan langsung terhajar.
Bagaimana dia bisa mengelak, kalau jiwanya sendiri seperti melayang dari raga akibat rasa kehilangan yang demikian dalam.
Lama Andika menunggu dalam sepi malam yang kian terpulas. Namun, serangan gelap itu tak juga muncul.
-o0a-z0o Malam di Desa Wadaswetan, namun keramaian masih menyemaraki sekitarnya. Andika saat ini baru tiba di desa itu.
Saat itu di alun-alun desa memang sedang diadakan upacara adat untuk pengangkatan seorang kepala desa baru. Pantas saja, malam ini jadi ramai oleh warga desa yang berkumpul di alun-alun. Di salah satu sudut alun-alun, Andika melihat seorang wanita desa berpakaian sederhana. Dihampirinya wanita itu, disertai senyum manis di bibir.
"Nyi, apa bisa menolongku, menunjukkan sesepuh desa ini?" tanya Andika.
Wanita berwajah ayu itu me lirik malu-malu. Tampak bibirnya yang merah merekah melepas senyum manis.
"Mari, Kang. Kuantarkan...." "Ah Rejeki nomplok" seru Andika, dalam hati. "Kalau semua wanita cantik seramah dia, bisa-bisa aku berhenti jadi pendekar" "Mari, Kang. Kok jadi melamun?" tegur wanita itu "Eh, iya... iya," Andika kelimpungan.
Wanita itu lalu mengajak Pendekar Slebor kesebu-ah balai pertemuan di bagian barat alun-alun untuk menemui sesepuh desa yang dimaksud Andika. Kata wanita itu, namanya Ki Manik Angkeran. Dialah kepala desa lama yang kedudukannya kini digantikan kepala desa baru. Umurnya sekitar tujuh puluh tahun.
Sebentar saja, mereka telah tiba di balai pertemuan itu.
Sebentar wanita itu mengarahkan telunjuknya pada laki-laki yang menjadi sesepuh desa ini. Sedangkan Andika manggutmanggut, tanda mengerti.
"Terima kasih atas bantuanmu, Nyi," ucap Andika seraya tersenyum.
"Sama-sama.... Mari...," balas wanita itu, lalu berbalik pergi. Setelah wanita itu hilang ditelan banyaknya orang-orang yang lalu lalang, Andika menghampiri laki-laki bernama Ki Manik Angkeran, yang ditunjuk wanita tadi.
"Selamat malam, Ki..," ujar Andika santun, seraya menjura hormat.
"Oh, selamat malam.... Ada perlu apa, Kisanak?" sambut Ki Manik Angkeran tak kalah santun.
Walaupun garis ketuaan tampak di wajahnya, namun orang tua itu terlihat berwibawa. Rambutnya yang hampir putih, merata ditutup blangkon lurik. Perawakannya tidak gemuk, tapi juga tidak kurus. Dari bentuk tubuhnya, akan terlihat kalau selagi muda dia adalah lelaki gagah. Apalagi dengan pakaian kembang-kembang yang dipadu oleh kain lurik sebatas betis.
"Aku ingin menanyakan sesuatu yang berkenaan dengan desa ini, Ki," jawab Andika.
"Kalau begitu, silakan duduk dulu...," ucap lelaki itu, mempersilakan Andika.
Pemuda itu pun duduk pada satu kursi kayu yang disusun berjajar memanjang di bawah tenda besar yang disanggah tonggak bambu tinggi. Di depan jajaran kursi, dibangun sebuah panggung kecil sederhana yang tampaknya digunakan untuk pemilihan kepala desa baru.
Saat itu, suasana balai tampak sepi. Tampaknya pemilihan kepala desa baru telah selesai beberapa waktu lalu. Tadi ketika Andika sampai, Ki Manik Angkeran sedang berbincangbincang dengan seorang warga. Namun warga itu segera mohon diri ketika tahu ada seseorang yang hendak menemui Ki Manik Angkeran. Maka kini tinggal Andika dan sesepuh desa itu di tempat ini. "Apa yang bisa saya bantu, Kisanak? Oh, iya. Nama Kisanak siapa, ya?" tanya Ki Ki Manik Angkeran, setelah Andika duduk di salah satu kursi.
"Namaku Andika, Ki. Aku ingin menanyakan suatu hal yang mungkin diketahui olehmu, sebagai sesepuh desa," tutur Andika.
"Hm.. Aku Manik Angkeran. Dan kau boleh memanggilku, Ki Manik. Ayo, silakan dimulai lagi," ujar orang tua itu.
"Mungkin kau tahu tentang peristiwa perampokan beberapa tahun lalu yang dilakukan Kranggaek dan kawan-kawannya, Ki?" Ki Manik Angkeran terdiam beberapa saat. Benaknya seketika berusaha menggali peristiwa perampokan yang dimaksud Andika. Cukup lama dia terdiam Sampai akhirnya dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghempaskannya penuh beban.
"Ya Memang pernah terjadi perampokan oleh kawanan Kranggaek beberapa tahun lalu. Tepatnya, delapan belas tahun lalu," ucap Ki Manik Angkeran bersama satu desahan.
"Bisa diceritakan kejadiannya padaku, Ki?" Ki Manik Angkeran menatap Andika dengan sinar mata penuh tanda tanya.
"Aku tahu, pertanyaanku memang tampak mencurigakan.
Tapi aku butuh keterangan itu, Ki," kata Andika, seperti tahu isi pikiran K i Manik Angkeran.
"Apa kau ada alasan khusus sampai menanyakan hal itu, Andika?" tanya sesepuh desa itu, belum puas dengan jawaban Andika yang tampak mengambang di telinganya.
"Ya," jawab Andika singkat.
"Apa itu?" tanya Ki Manik Angkeran lagi, setengah mendesak. Andika menarik napas, dan membuangnya perlahan. Kalau alasan menanyakan tentang peristiwa itu diceritakannya, maka mau tak mau harus pula diceritakan tentang tindakan Ratu Racun yang menghebohkan belakangan ini. Hal itu tentu akan memancing rasa ingin tahu Ki Manik Angkeran lebih dalam.
Sesepuh desa itu pasti akan menanyakan, siapa diri Andika sebenarnya. Bahkan bisa jadi akan ikut campur dalam persoalan yang mengundang maut itu. Padahal, Andika tak mau jati diri sesungguhnya diketahui lelaki itu. Dia tak mau kedatangannya malah mengusik kegembiraan penduduk desa, kalau mereka tahu Pendekar Slebor yang menghebohkan belakangan ini ada di sini.
"Apa itu perlu, Ki?" tanya Andika kembali..
"Tampaknya begitu, Andika. Sebab aku tak mau lancang memberi keterangan kalau tidak benar-benar yakin tujuan baik orang yang bertanya," lanjut Ki Manik Angkeran, tegas berwibawa.
Sekali lagi Andika menghela napas.
"Baiklah, Ki.... Kalau itu memang syarat yang harus kulaksanakan untuk dapat keterangan darimu," desah Andika.
Andika pun mulai bercerita, kenapa dia menginginkan keterangan itu. Termasuk, bercerita singkat bagaimana keterlibatannya dalam perselisihan dengan Ratu Racun.
"Kalau begitu, kau tentu seorang pendekar?" tanya Ki Manik Angkeran, yakin. Belum juga Andika menjawab.....
"Kalau boleh kutahu, siapa julukanmu?" Akhirnya yang dikhawatirkan Andika pun terjadi.
"Ah, hanya julukan kosong, Ki. Orang-orang sering meledekku dengan memanggil Pendekar Slebor...," tutur Andika terpaksa merendah. Suaranya sengaja dibuat selemah mungkin, agar tidak ada orang lain yang mendengar. Mendengar ucapan Andika, lelaki berwibawa itu tampak mengangkat alis putihnya tinggi-tinggi. Matanya seketika agak membesar, tanda keterkejutannya.
"Astaga Jadi, kau ini yang berjuluk Pendekar Slebor" seru laki-laki tua itu, agak keras. "Sungguh suatu kehormatan bagi desa ini, karena dikunjungi pendekar besar macam kau." Andika hanya bisa menunduk mendengar pujian sesepuh desa itu.
"Kalau begitu, biar kami membuat acara penyambutan untuk T uan Pendekar," kata Ki Manik Angkeran seraya berdiri.
"Tunggu, Ki" cegah Andika. "Tak perlu acara seperti itu.
Lagi pula, aku tak ingin mengganggu kegembiraan penduduk.
Aku akan senang, kalau kau menceritakan tentang kejadian delapan belas tahun lalu itu..." Ki Manik Angkeran mengangguk-angguk, kagum pada kerendahan hati pendekar muda di hadapannya.
"Baiklah kalau begitu," desah orang tua itu, lalu duduk kembali di kursinya. "Delapan belas tahun lalu...." Baru saja Ki Manik Angkeran memulai ceritanya, tiba-tiba....
"Aaa..." Terdengar pekikan panjang seperti hendak merobek gendang telinga. Asalnya dari keramaian di tengah alun-alun.
Tentu saja jeritan itu mengejutkan Pendeekar Slebor dan Ki Manik Angkeran. Maka keduanya saling pandang sesaat, seakan tak yakin dengan pendengaran masing-masing.
"Aaakh..." Kembali terdengar pekikan lebih menyayat.
Kali ini, Andika tak menunggu lebih lama. Seketika tubuhnya digenjot secepat mungkin, lalu melesat ke arah jeritan bagai anak panah lepas dari busur. Begitu pula Ki Manik Angkeran. Dengan ringan, sesepuh desa itu berlari di belakang Andika. Sebagai seorang yang dipercaya penduduk, sudah tentu Ki Manik Angkeran memiliki kepandaian yang dapat diandalkan.
Namun sebelum benar-benar sampai di tempat kejadian....
"Manik Angkeran Kalau kau tak segera keluar, akan kubunuh satu demi satu wargamu" Terdengar teriakan amarah dari seseorang, sehingga membuat Ki Manik Angkeran terkejut. Tapi, hal itu tidak membuatnya berhenti berlari. Disadari sepenuhnya kalau tanggung jawabnya selaku seorang sesepuh Desa Wadaswetan akan diuji. Hal itu bisa dipastikan dari seruan yang baru saja didengarnya.
Ancaman orang itu tampaknya bukan main-main. Dua teriakan tadi mungkin sebagai peringatan awal bagi Ki Manik Angkeran. Dia yakin, dua nyawa warganya telah terenggut.
Kalau tidak segera tiba di tempat kejadian, nyawa ketiga mungkin akan segera melayang. Ma-kanya larinya kian dipercepat. Begitu tiba di tempat kericuhan, Andika dan Ki Manik Angkeran me lihat seorang wanita berpakaian hitamhitam sedang berdiri angkuh di tengah alun-alun. Sementara, dua mayat warga desa tergeletak tepat di sisi kakinya. Dan Andika mengenalnya sebagai Ratu Racun yang sempat bentrok dengannya beberapa waktu lalu.
Sementara warga desa yang semula berkumpul gembira di alun-alun kini telah pergi dalam keadaan kalang-kabut. Meski begitu, masih banyak juga yang bernyali cukup besar. Mereka berkerumun di sekitar pinggiran alun-alun untuk menyaksikan kejadian selanjutnya.
"Ada apa ini?" seru Ki Manik Angkeran lantang.
Sekitar lima belas tombak dari Ratu Racun, Ki Manik Angkeran berdiri gagah. Sementara, Andika tidak terlihat di dekatnya. Ke mana dia? Di lain sudut, Kepala Desa Wadaswetan yang baru pun telah tiba pula. Namanya, Anom Wijaya. Perawakannya agak gemuk dan pendek. Usianya sekitar empat puluh delapan tahun Matanya besar, berhidung mancung, dan bibirnya dihiasi kumis tipis. Seperti juga K i Manik Angkeran, rambutnya ditutupi blangkon lurik. Pakaiannya pun kembang-kembang yang dipadu kain lurik sebatas betis.
Segera saja Ki Anom Wijaya menghampiri Ki Manik Angkeran.
"Ada apa, Ki Manik?" tanya kepala desa yang baru ini.
"Aku pun baru saja menanyakan hal itu padanya. Tapi, tampaknya dia belum mau menjawab pertanyaanku," jawab Ki Manik Angkeran seraya menoleh sesaat pada kepala desa ini.
Setelah itu mata laki-laki tua ini kembali tertuju pada wanita berpakaian hitam-hitam serta bercadar merah tembus panjang.
"Apa kepentinganmu sebenarnya, sehingga begitu tega membunuh warga kami, Nisanak?" tanya Ki Anom Wijaya dengan suara dibuat seramah mungkin. Padahal dalam dada amarahnya demikian meletup-letup.
"Kau tak ada urusan denganku, Kisanak" sahut Ratu Racun sinis. "Aku hanya ingin berurusan dengan Ki Manik Angkeran...." Ki Anom Wijaya menoleh pada Ki Manik Angkeran, seperti ingin meminta pertimbangan sesepuh desa itu.
"Apa keperluanmu denganku, Nisanak?" tanya Ki Manik Angkeran.
"Tidak banyak.... Aku hanya ingin membunuhmu" Ki Anom Wijaya cukup terkesiap mendengar jawaban lancang wanita yang mengacau desanya itu. Tapi lain lagi bagi Ki Manik Angkeran. Seraya melangkah lebih dekat pada Ratu Racun, dia terus menatap penuh ketenangan.
"Kenapa kau hendak membunuhku? Apa aku pernah berbuat salah padamu?" tanya Ki Manik Angkeran.
"Tak perlu menanyakan kesalahanmu, Manik Angkeran.
Coba diingat-ingat lagi. Maka, kau akan tahu kalau kau punya sangkutan dengan seseorang...," sahut Ratu Racun.
Ki Manik Angkeran mengernyitkan dahi. Sama sekali tak dipahami maksud wanita di depannya.
"Apa kau bisa lebih jelas menerangkan padaku?" ungkit sesepuh desa ini, meminta kejelasan.
"Tak perlu Yang pasti, kau harus menyerahkan nyawamu padaku malam ini juga" Tanpa perlu berucap lebih banyak lagi, Ratu Racun tiba-tiba melabrak Ki Manik Angkeran yang berdiri sepuluh tombak di depannya.
"Hiaaa..." Tampaknya pertempuran tak bisa dihindari lagi....
Tak ada seorang pun yang ingin mati cepat-cepat. Apalagi sampai terkena pukulan beracun milik Ratu Racun. Seperti juga Ki Manik Angkeran. Melihat serangan ganas wanita itu, Ki Manik Angkeran dengan sigap segera memasang pertahanannya.
Ketika telapak Ratu Racun hendak menghantam dada, lelaki tua itu segera berkelit cepat ke samping kiri seraya melakukan serangan balasan. Tangan kirinya cepat menebas ke leher Ratu Racun dengan tak kalah cepat.
"Hih" Wut Tebasan tangan Ki Manik Angkeran luput, ketika Ratu Racun cepat merundukkan tubuhnya. Memang tak ada yang mudah untuk menjatuhkan tokoh setingkat Ratu Racun.
Apalagi, jika melihat korban-korbannya yang rata-rata mati dalam keadaan mengerikan.
Serangan susulan Ratu Racun mengarah pada kaki kanan Ki Manik Angkeran yang menjejak dalama keadaan mantap.
Disapunya kaki orang tua itu dengan kaki kanannya.
Namun, Ki Manik Angkeran sudah menduga datangnya serangan. Apalagi memang disadari kalau kaki kanannya adalah kunci pertahanan dirinya. Maka dengan tangkas pertahanannya dipindahkan ke kaki kiri. Sedangkan kaki kanannya segera diangkat tinggi-tinggi.
"Hap" Wesss Pasir alun-alun seketika bertebaran tersapu kaki kiri Ratu Racun setelah luput menyapu kaki lawan Sementara, Ki Manik Angkeran kembali memindahkan pertahanannya ke kaki yang lain. Namun di saat itu, Ratu Racun mencoba kembali mencecar tubuh sebelah kiri orang tua yang belum benarbenar siap itu.
Bet Bet Bet Tiga pukulan berantai mengarah pada leher, dada, dan kening Ki Manik Angkeran. Untunglah sesepuh desa itu memiliki pengalaman bertarung cukup matang. Sehingga, cecaran seperti itu tidak membuatnya menjadi kelimpungan.
Maka dengan satu gerakan mantap, Ki Manik Angkeran bersalto ke belakang. Sengaja tubuhnya dilempar agar seluruh serangan lawan dapat kandas dalam satu gerakan menghindar.
"Hiaaa..." Ternyata, perhitungannya tepat. Seketika tiga pukulan berantai lawan sanggup dimentahkan sekaligus.
Tep Kini Ki Manik Angkeran mendaratkan kakinya mantap di tanah dengan napas memburu, tujuh tombak di depan Ratu Racun. Matanya mengawasi perempuan itu dengan sinar penuh kesiagaan.
"Ternyata kau cukup punya simpanan, Angkeran. Tak percuma kau dipercaya menjadi sesepuh desa ini. Tapi sayang, tenaga tuamu tak akan mengizinkan kau bertarung lebih dari lima puluh jurus. Cepat atau lambat, kau akan mati di tanganku...," ujar Ratu Racun disertai ancaman.
"Benar katanya, Ki Manik. Kau memang sudah cukup tua untuk bermain-main dengan wanita nakal ini Kenapa tak diserahkan saja pada orang yang lebih muda...?" ujar seseorang di belakang Ratu Racun tenang.
Rupanya tahu-tahu Andika sudah berada di arena pertarungan tanpa diketahui Ratu Racun. Bahkan oleh Ki Manik Angkeran yang menghadap ke arahnya.
Tanpa menoleh, Ratu Racun menggeram angkuh.
"Sebutkan namamu agar aku bisa menguburmu bersama si tua jompo dengan satu batu nisan." Namun tak ada jaban yang terdengar. Bahkan desah napas orang di belakangnya pun tak lagi tertangkap telinga Ratu Racun. Tiba-tiba saja wanita itu merasa telah diperma inkan.
Dengan satu gerakan cepat, tubuhnya berbalik.
"Bangsat Apa kau pikir kau...." Bentakan Ratu Racun terputus ketika matanya tidak menemukan orang yang meledeknya di belakang barusan.
Matanya bergerak liar ke sana kemari di balik cadar, mencari orang yang dimaksud. "Aku di sini, Mbok Mau menyuruhku beli terasi?" kata Andika sembarangan. Kini, pemuda itu telah berdiri tepat di sisi Ki Manik Angkeran.
Ratu Racun berbalik kembali dengan kemarahan memuncak.
"Bedebah kau" bentak wanita itu sambil berbalik "Aha Dia lagi..." ledek Andika, saat matanya bertatapan dengan mata Ratu Racun yang terlihat samar di balik cadar merahnya.
Kalau tak bersembunyi di balik cadar itu, mungkin Andika dan Ki Manik Angkeran akan segera melihat bias keterkejutan pada wajah wanita itu. Bagaimana tidak terperanjat? Selama hari-hari belakangan ini, Ratu Racun begitu bangga pada kesaktian dirinya yang telah mampu membunuh Pendekar Slebor yang kesohor dengan racun andalannya. Dan dia yakin sekali akan kesaktiannya.
Tapi, hari ini kenyataan mengatakan lain. Ternyata pendekar yang selalu menyebalkan bagi tokoh aliran sesat itu masih bisa tersenyum seperti cengiran kuda sableng "Tak usah terkejut.... Kalau orang sepertiku mati cepatcepat, siapa nanti yang akan membuat hidung manusia sepertimu kembang-kempis karena jengkel. He he he..." cerocos Andika kembali.
"Kali ini kau akan mati sungguh-sungguh" hardik Ratu Racun jengkel.
"Memangnya ada mati bohongan? Ih Seperti di lakon sandiwara saja...," tambah Andika, makin membuat lawannya melotot geram.
"Bangsaaat..." bentak Ratu Racun di batas kegusarannya.
"Ada di kasuuur...," timpal Pendekar Slebor, semakin konyol. "Hiaaat" Ratu Racun tak bisa menahan kemurkaannya lagi. Maka satu hentakan berisi tenaga dalam membawa tubuhnya meluncur deras ke arah Andika yang masih berdiri santai dengan bibir mengulum senyum.
"Ki Manik, silakan menyingkir," ujar pemuda itu tenang pada Ki Manik Angkeran seraya membungkuk. Padahal, jarak antara dirinya dengan Ratu Racun nyaris habis.
Tapi, justru itulah akal Pendekar Slebor. Dengan menundukkan kepala seperti itu, berarti sekaligus menghindari cengkeraman jari beracun lawan yang mengarah ke kepalanya.
Wut Cakaran jari Ratu Racun hanya membabat angin.
"Waduh Untung aku sedang merunduk," ocah Andika kebodoh-bodohan.
Sepasang tangan Pendekar Slebor lalu terangkat ke arah dada Ratu Racun. Serangan balasan seperti itu terlihat kurang ajar di mata siapa pun. Apalagi, bagi lawannya.
Dengan mata mendelik gusar, Ratu Racun menghindar cepat ke belakang. Tapi tak dinyana sama sekali, serangan Pendekar Slebor ternyata hanya ledekan saja. Tangan anak muda itu ternyata hanya terangkat tanpa maksud menjamahnya.
"Wah Tertipu, nih?" Ratu Racun semakin marah tak terbendung. Diterjangnya kembali Andika dengan kaki kanannya yang ganas menyapu kepala.
"Haiiit..." Deb Dalam keadaan masih merunduk, sulit bagi Andika mengelakkan serangan. Maka itu tak ada pilihan lain baginya, kecuali menjatuhkan tubuh ke tanah. Pendekar Slebor langsung melakukan putaran ke depan, maka tendangan ganas Ratu Racun pun kandas.
Kali ini Pendekar Slebor tak main-ma in lagi dalam melancarkan serangan balik. Dengan jurus 'Petir Selaksa', serangannya diawali dengan satu terjangan sepasang tangannya ke perut Ratu Racun yang memiliki pertahanan paling lemah.
"Haaat" Ratu Racun tentu saja tak membiarkan perutnya jadi sasaran. Sengaja dicobanya untuk memapak tangan Andika.
Karena pertemuan tangannya dengan tangan Pendekar Slebor, racun yang terpusat di seluruh lengannya secara langsung akan merasuk ke dalam tubuh lawan.
Pendekar Slebor yang pernah bertemu Ratu Racun, tentunya tak mau mengulangi kesalahannya. Segera disadari kalau perempuan itu akan mengadu tangan. Maka secepatnya Andika menarik kembali terjangan-nya.
"Hup" Pendekar Slebor cepat menarik pulang tangannya ke depan dada. Lalu secepat kilat kedua tangannya dihempaskan ke depan, bagai seorang yang hendak menyergap kilatan petir.
Kali ini, leher Ratu Racun yang terancam oleh sepuluh jemari Pendekar Slebor yang merentang tegang hendak menembus leher jenjangnya. Meski sempat terkesiap, Ratu Racun masih dapat mengegoskan tubuhnya ke kanan sepenuh tenaga. Meski begitu, satu jari Andika menggores kulit lehernya.
"Aih" pekik Ratu Racun merasakan pedih yang tak terkira. Sambil mendekap lehernya, Ratu Racun cepat melenting ke belakang beberapa putaran.
Keadaannya yang tidak menguntungkan memaksanya melakukan tindakan itu.
Pendekar Slebor tak ingin membiarkan Ratu Racun menarik napas lega. Diburunya kembali perempuan itu dengan jurusnya yang terlihat ganjil. Untuk serangan kali ini, kepalanya menyeruduk liar ke perut Ratu Racun. Jurus-jurus yang diciptakannya selama di Lembah Kutukan memang terbentuk dari gerakan untuk menghindari sambaran petir.
Sehingga kalau dilihat, jurus-jurusnya hanya berupa gerakan ngawur tak teratur. Namun bagi tokoh kelas atas seperti Ratu Racun sendiri, jurus Pendekar Slebor tergolong sulit dihadapi.
Di samping aneh, jurusnya juga seringkah mengecohkan. Bila Ratu Racun mengira serangan akan tertuju pada satu bagian tubuh, maka yang akan dihajar justru bagian lain. Keganjilan itulah yang membuat gerakan pendekar muda ini sulit diterka.
Seperti juga saat ini. Tatkala Ratu Racun hendak meremukkan kepala Pendekar Slebor yang meluncur deras ke perutnya, namun pendekar muda itu tiba-tiba malah berguling di tanah. Saat berputar, sepasang kaki Pendekar Slebor langsung merangsek kedua perut perempuan itu.
Duk Duk "Egh" Ratu Racun menjerit tertahan ketika sepasang tumit kaki Pendekar Slebor mendera telak bahunya. Tak ayal lagi, tubuh perempuan itu terhempas ke belakang, lalu berguling-guling di atas tanah beberapa kali.
Sementara, Andika cepat bangkit berdiri.
"Hey, Perawan Tolol Apa kau tak pernah berguling-guling di tanah sewaktu kecil dulu?" ledek Andika enteng.
Godokan selama di Lembah Kutukan membuat napasnya biasa-biasa saja.
Kalau melihat begitu keras penyempurnaannya yang dijalani di tempat mengerikan itu, mungkin pendekar muda ini bisa bertempur sehari semalam tanpa henti Diiringi erangan, Ratu Racun bangkit terhuyung-huyung.
"Bedebah kau, Pemuda Sialan" maki perempuan itu.
"Biar...," sahut Pendekar Slebor enteng.
"Kau pikir dirimu telah menang?" "Biar...." "Sontoloyo Kali ini kau akan merasakan kembali Racun Bara Neraka milikku" "Biar...," sahut Andika kembali, seakan tak ada kata lain untuk menanggapi omelan dongkol Ratu Racun.
Seketika Ratu Racun mulai menengadahkan tangannya ke atas dalam rentangan lebar. Sepuluh jemari yang terbuka, menegang bersama getaran hebat. Ucapannya tampak bukan ancaman kosong. Dia benar-benar akan mengeluarkan ajian beracun dari Negeri Tibet yang dimilikinya. Tak ada lima kerdipan mata, telapak tangannya mulai berpijar merah.
Seakan, bara api telah menelusup ke sepasang telapaknya itu.
Menyadari lawan telah mengerahkan jurus ampuh yang pernah membuatnya sengsara, Andika mau tidak mau harus bertindak hati-hati. Segera seluruh pikiran serta panca inderanya dipusatkan ke satu titik dalam benak. T enaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan ini akan dipusatkan pada kedua telapak tangannya.
Wesss Saat Andika memejamkan mata, Ratu Racun secara licik melepas pukulan jarak jauh berisi Racun Bara Neraka. Maka seketika segumpal s inar merah membara membersit di malam gelap, menerangi kancah pertempuran bagai bola lampu raksasa.
Ki Manik Angkeran, Ki Anom Wijaya serta beberapa penduduk yang bernyali cukup besar hingga tak meninggalkan alun-alun, menjadi terperanjat menyaksikan Pendekar Slebor akan segera dilabrak gumpalan sinar maut yang menderu cepat ke arahnya.
Sebelum sinar itu benar-benar sampai, tiba-tiba Andika menghempas tangan dan napasnya berbareng. Sepasang telapaknya yang menghadap ke depan, saat itu pula melontarkan tenaga berkekuatan lima puluh ekor gajah jantan Wusss Blarrr Bagai menimpa benda lentur, pukulan jarak jauh lawan yang berisi racun mendadak berbalik arah, ketika bertumbukan di udara dengan tenaga dorongan Pendekar Konyol. Sinar merah bara itu meluncur balik berlawanan dari sebelumnya. Bahkan mengarah ke tuannya sendiri. "Sinting" maki Ratu Racun kelabakan.
Biarpun pukulan itu miliknya sendiri, namun Ratu Racun sama sekali tak mau menerimanya. Racun Bara Neraka adalah racun dari segala racun. Keganasannya sudah tidak disangsikan lagi. Pemiliknya sendiri pun bisa mati terbunuh, bila terkena.
Ratu Racun melenting serabutan ke udara, menghindari hantaman pukulannya sendiri. Tak diperhatikannya lagi Pendekar Slebor yang pada saat bersamaan turut melenting ke udara. Lalu....
Wusss...
Pukulan kedua dilepas Pendekar Slebor. Sasarannya tentu saja tubuh Ratu Racun yang masih mengambang di udara.
"Aaa..." Ratu Racun memekik ngeri, saat menyadari pukulan lawan mengarah ke tubuhnya. Sedangkan dia sendiri sudah tidak bisa menghindar dalam keadaan melayang di udara seperti ini.
Desss "Aaakh..." Satu hantaman dahsyat, tiba di bahu kiri Ratu Racun Akibatnya perempuan itu melolong tinggi, menembus cakrawala malam yang senyap. Kemudian tubuhnya menukik tajam ke bumi, dengan kepala di bawah. Batu-batu cadas menonjol yang berserakan di sekitar alun-alun, tentu akan meremukkan kepala wanita itu beberapa saat lagi.
Namun....
Tep Dengan gesit, Ratu Racun memutar tubuhnya. Dan tanpa menemui kesulitan berarti, kakinya menjejak ringan di tanah. Tak ada satu tarikan napas, wanita bercadar merah itu cepat melarikan diri dalam lesatan yang cepat.
Bisa saja Andika memburunya. Tapi pendekar muda itu berpikir lain. Rasanya memang berbahaya kalau pertarungan dengan tokoh sakti aliran hitam itu diteruskan. Masalahnya, setiap saat bisa saja ada pukulan jarak jauh yang tersasar.
"Kisanak Kenapa tidak dikejar?" tanya Ki Anom Wijaya setengah berseru. Hatinya tidak puas kalau tidak menangkap hidup-hidup bajingan yang telah membunuh warganya.
"Lain kali aku berjanji akan menghabisinya, sebagai pembayaran atas dua nyawa penduduk desa ini, Ki," jawab Andika dengan mata menatap lurus pada arah menghilangnya lawan.
"Lain kali?" sergah Ki Anom Wijaya. Laki-laki itu memang belum tahu, siapa Andika sesungguhnya. Yang diketahuinya, anak muda itu telah bertarung dengan orang keparat yang membunuh dua warganya.
"Ki Anom...," panggil Ki Manik Angkeran berwibawa.
Pengaruh sesepuh desa itu tampaknya begitu dihargai Ki Anom Wijaya. Kepalanya menoleh pada Ki Manik Angkeran dengan tatapan hormat, mesti jabatannya boleh dibilang lebih tinggi dari K i Manik Angkeran.
"Ada baiknya kalau aku perkenalkan pendekar muda ini padamu," lanjut Ki Manik Angkeran lembut. "Dia adalah pendekar yang membela orang-orang tertindas. Dia juga salah seorang keturunan pendekar besar yang menjadi cerita rakyat, Pendekar Lembah Kutukan. Dialah Pendekar Slebor” Ki Anom Wijaya kontan terpana. Mulutnya terbuka tanpa sadar. Tak ada yang bisa diucapkannya saat itu. Bahkan tak terdengar kata maaf, karena bersikap agak tidak sopan pada Andika.
Namun Andika hanya membalasnya dengan senyum ringan.



||| 7 |||

Bukit Batujajar berbatasan dengan bagian selatan Desa Wadaswetan. Letaknya yang berada di sekitar pegunungan kapur, menyebabkan daerah itu begitu tandus. Kering kerontang seperti sudah akrab bagi bukit ini. Dan kerap kali angin kencang bertiup, debu kapur langsung bertebaran menjelajah permukaan Bukit Batujajar.
Apalagi, di s iang hari yang sangat terik ini. Rasanya tak ada orang yang mau menyinggahi Bukit Batujajar, kecuali orang bodoh. Tapi, rupanya ada juga beberapa orang yang terlihat di sana Mereka bukan orang bodoh, tapi justru beberapa pendekar yang sedang terlibat pertarungan seru dengan seorang wanita berpakaian serba hitam.
"Hiaaa..." Cletar Bet Hingar bingar pertarungan membahana dari bukit tandus ini. Tak dapat dipastikan, sudah berapa jurus telah dikerahkan untuk menjatuhkan lawan masing-masing. Yang pasti, pertarungan telah berlangsung ketika matahari sudah menusuk tepat di ubun-ubun. Sedangkan kini matahari sudah tersuruk sepenggalan.
Para pengeroyok wanita berpakaian serba hitam terdiri dari tiga orang lelaki. Ketiganya sama-sama gagah dan tampan.
Yang seorang adalah laki-laki muda berusia tiga puluhan.
Kumisnya lebat dengan rambut panjang terikat kain bercorak batik. Matanya tajam dihiasi alis mata yang tebal. Dagunya ditumbuhi brewok, halus kebiru-biruan. Dia bernama Bayu. Seorang lainnya juga pendekar muda. Usianya setahun lebih muda daripada Bayu. Sama seperti Bayu, laki-laki yang bernama Soka pun memelihara kumis lebat. Bedanya, dia berambut pendek yang tertata rapi tanpa ikat kepala.
Sementara orang yang terakhir berpenampilan menawan.
Rambutnya ikal sebatas bawah telinga. Wajahnya klimis dan terlihat bersih. Rahangnya yang berben-tuk agak persegi, memperlihatkan kejantanannya. Dan dia sering dipanggil Sena.
Mereka bertiga berpakaian sama. Dari s ini bisa dinilai kalau mereka berasal dari perguruan silat yang sama. Dengan baju putih berlapis rompi kulit berwarna coklat, yang dipadu ce lana berwarna hitam sepanjang lutut, mereka tampak kelihatan gagah.
Dalam rimba persilatan, mereka lebih dikenal dengan julukan Tri Cemeti Puspa. Memang, cemeti bergagang dengan bentuk bunga itu yang membuat mereka dijuluki demikian.
"Menyerahlah, Ratu Racun Perbuatanmu di desa kami harus dibayar dengan nyawamu. Rakyat desa meminta kami untuk membawamu, agar kau dapat diadili karena telah membunuh sepuluh warga desa" seru Bayu setelah mengambil jarak sekitar sepuluh tombak dari lawan.
"Kalian hanya mengada-ada, Kisanak Bagaimana aku bisa menuruti kemauan kalian, kalau mendengarnya saja baru kali ini...," jawab wanita yang dipanggil Ratu Racun oleh Bayu.
"Nisanak Jangan bersilat lidah di depan kami Kami minta, Nisanak sudi ikut dengan niat untuk membayar perbuatanmu" timpal Sena.
Namun, wanita itu malah tertawa.
"Apa kalian hanya bersandiwara untuk memperdayaiku? Kalian ingin merampas kehormatanku di tempat yang diingini.
Bukan begitu?" "Wanita sundal Apa kau pikir kami ini lelaki kotor seperti dugaanmu?" bentak Soka, tersinggung.
"Kang Kenapa kita harus bertele-tele pada wanita busuk ini? Ringkus saja dia, hidup atau mati" Dan tanpa menunggu persetujuan Bayu yang merupakan kakak seperguruannya, Soka melabrak Ratu Racun.
"Hiaaat..." Cemeti di tangan Soka terayun-ayun di udara. Putarannya memperdengarkan bunyi yang membuat ngilu perasaan.
Wut Wut Wut Soka kian dekat pada lawan. Cemeti maut di tangannya siap mencabik. Tapi....
"Tunggu" Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang menahannya.
Soka menoleh cepat. Begitu pula Bayu dan Sena. Mereka ingin mengetahui orang yang hendak ikut campur urusan ini.
Mata ketiganya pun menangkap sosok pemuda berpakaian serba hijau dengan kain bercorak kotak-kotak hitam dan putih tersampir di pundaknya. Rambut pemuda itu sebatas bahu tak teratur. Raut wajahnya tampan dengan mata tajam berhias alis yang menukik bagai kepakan sayap elang perkasa. Hidung pemuda tampan itu mancung dengan bibir tipis menawan.
Garis wajahnya yang gagah sesuai sekali dengan kekekaran tubuhnya. Dia tak lain Andika, si Pendekar Slebor Urusan Pendekar Slebor di Desa Wadaswetan memang telah selesai. Dia telah mendengar seluruh kisah tentang peristiwa perampokan yang terjadi delapan belas tahun lalu.
Menurut Ki Manik Angkeran, ada keluarga pendekar yang terbantai ketika peristiwa itu terjadi. Suami istri pendekar itu mati terbunuh dengan keadaan menyedihkan. Sedangkan dua anaknya hilang tak tentu rimbanya. Anaknya yang perempuan berumur sekitar tujuh tahun. Sementara yang laki-laki, masih berupa bayi berusia sekitar tiga bulan.
Seperti dugaan Andika, perampokan itu memang dilakukan Kranggaek dan kawanannya. Dan dugaannya semakin dekat pada kebenaran ketika mendengar tentang anak perempuan keluarga pendekar yang dibunuh kawanan itu. Dugaan Andika, ini pasti masalah dendam kesumat Sayang, Andika lupa menanyakan nama keluarga pendekar itu. Saat teringat hal itulah, pemuda ini segera kembali ke Desa Wadaswetan melalui Bukit Batujajar yang bisa menjadi jalan singkat. Dan tanpa disangka-sangka, dia melihat pertarungan keempat orang itu.
"Ada perlu apa, Kisanak? Kenapa kau ingin mencampuri urusan kami?" tanya Bayu, sopan.
"Aku sempat mendengar kalian menyebut-nyebut tentang Ratu Racun Apa kalian berurusan dengannya?" kata Andika.
"Ya, memang benar. Kami ada urusan dengan Ratu Racun, kini wanita itu ada di sini. Apa Kisanak punya sangkutan pula dengan dia? Kalau begitu, Kisanak datang pada saat yang tepat...," tutur Sena, lelaki termuda dari T ri Cemeti Puspa.
"Oh Tunggu..., tunggu dulu. Jangan tergesa-gesa begitu, Kisanak," sergah Andika seraya melepas senyum bersahabat.
"Aku memang ada sangkutan dengan wanita yang kau sebutkan barusan. Tapi kurasa, aku tidak berurusan dengan wanita berpakaian serba hitam ini...." Seketika ketiga lelaki itu bersama-sama menyipit-kan mata "Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Bayu, mengungkapkan ketidakmengertiannya.
"Ratu Racun memang berpakaian serba hitam seperti juga wanita ini...," kata Andika kembali. Tapi....
"Aku memang Ratu Racun...," potong wanita itu. Sekarang giliran Andika yang menyipitkan mata. Digarukgaruknya kepala meski tidak gatal.
"Apa ada yang salah, ya?" bisik pemuda itu membatin.
Memang, Pendekar Slebor sendiri sudah begitu yakin kalau wanita itu bukan Ratu Racun yang pernah bertempur dengannya. Ratu Racun yang dikenal Andika berpakaian serba hitam, dan mengenakan cadar merah darah. Sedangkan wanita ini, biarpun mengenakan pakaian yang sama tapi tidak bercadar. Apa mungkin Ratu Racun telah melepas cadarnya? Tapi kenapa tidak terkejut saat bertemu Andika yang jelasjelas dikenalnya sebagai Pendekar Slebor? Padahal Pendekar Slebor adalah musuh yang menghalangi tindak-tanduk-nya beberapa waktu lalu.
"Nah Kau dengar sendiri, Kisanak. Dia telah mengakui sendiri kalau dirinya adalah Ratu Racun," sambar Soka dalam geletar kemarahan yang belum tuntas. "Sekarang, kita tunggu apa lagi?" "Tapi, tunggu..." tahan Andika kembali.
Pendekar Slebor lalu melangkahkan kakinya lebih dekat pada wanita berbaju serba hitam itu. Ditatapnya lamat-lamat wanita berwajah ayu itu. Dari raut wajahnya, wanita itu tidak mencerminkan seorang berhati iblis. Lalu, kenapa mengakuaku sebagai Ratu Racun? Pembunuh keji itu memang sulit dimengerti sepak terjangnya. Karena di samping membunuh tokoh-tokoh sesat, dia juga membunuh orang-orang tak berdosa Apa maunya orang ini dengan mengaku-aku sebagai Ratu Racun? Kenapa persoalan ini jadi dem ikian pelik? "Apa kesalahan yang kau perbuat terhadap mereka, Nisanak?" tanya Andika sopan.
Wanita itu menatap Andika sejenak. Saat itu, sinar yang sulit dijelaskan, terbias dari sepasang bola matanya yang menawan Ya Sulit dijabarkan. Seakan sebuah bayang kabur yang begitu jauh di balik kebeningan tatapannya. "Kau tanyakanlah sendiri pada mereka," jawab wanita itu akhirnya.
"Bagaimana, Kisanak?" lempar Andika, setelah tersadar dari keterpanaan terhadap tatapan wanita di hadapannya.
"Apakah perlu kami ceritakan kesalahan yang dibuatnya?" ujar Soka, mulai tak sabar.
"Aku rasa memang begitu. Sebab, kita harus menyelesaikan masalah ini secara jernih," tutur Andika tenang.
"Baik..., baik. Akan kujelaskan," selak Bayu, lelaki tertua dari ketiga orang itu.
Berbeda dengan Soka yang memiliki watak keras, Bayu memiliki ketenangan yang dalam. Pantas saja kalau penampilannya mencerminkan kewibawaan.
"Wanita ini telah melakukan pembunuhan atas sepuluh orang warga desa kami beberapa pekan lalu. Kami lalu mencarinya, dan bertemu di tempat ini. Mulanya kami meminta agar dia bersedia ikut secara baik-baik. Tapi, dia menolak. Maka terpaksa kami melakukan kekerasan, seperti yang Kisanak lihat," lanjut Bayu.
"Benar begitu, Nisanak?" Andika mengalihkan pertanyaan pada wanita yang mengaku Ratu Racun.
"Hm....Aku memang Ratu Racun. Tapi sungguh mati, aku tak melakukan perbuatan apa-apa seperti cerita mereka barusan," sahut wanita itu datar.
"Nah, kini masalahnya jelas, bukan? Kalian mungkin hanya salah paham...," ujar Andika.
"Bagaimana bisa salah paham, kalau pembunuh warga desa kami mengaku bernama Ratu Racun" sergah Soka, membentak. "Bagaimana aku bisa mengakui perbuatan keji itu kalau aku tidak pernah melakukannya?" timpal wanita berpakaian serba hitam itu, tak kalah gusar dengan nada membentak.
Soka mulai dibakar amarahnya kembali. Kakinya maju setindak untuk menghajar Ratu Racun Untung Andika segera mencegahnya.
"Ah Sabar, Kisanak.... Sabar...," bujuk Andika sambil mengangkat kedua tangan. "Aku merasa ada sesuatu yang ganjil dalam masalah ini." Telah dua kali Andika berkata seperti itu. Pertama, diucapkan pada Ki Patigani. Dan kini, pada tiga pendekar Tri Cemeti Puspa. Namun sampai saat ini, Andika sendiri belum mendapat jawaban pasti tentang keganjilan yang dimaksud.
"Sebelum melanjutkan ucapanmu, sudilah kiranya kau memberitahukan kami, siapa Kisanak sesungguhnya?" tanya Bayu di sela ucapan Andika.
"Aku hanya seorang pengembara yang ingin berbuat baik bagi orang-orang lemah dengan kemampuanku yang tidak seberapa," jawab Andika, merendahkan diri. "Begini saja. Kita akan membereskan masalah ini dengan satu kepastian Hilangkan kecurigaan, lalu kita mencari bukti-bukti nyata yang bisa memberatkan wanita ini, atau malah membebaskannya.
Untuk itu, pikiran harus tetap jernih dan hati harus tetap dingin. Bagaimana? Bukankah kita ini pendekar-pendekar terhormat yang menjunjung harga diri masing-masing?" Bayu yang cukup bijaksana langsung mengangguki usul Andika, meski masih sedikit ragu dengan Andika sebenarnya.
Sementara, kedua adik seperguruannya tak bisa membantah ketika Bayu selaku kakak seperguruan menyetujui.
"Bagaimana denganmu, Nisanak?" tanya Andika pada wanita di sisi kirinya. Sesaat wanita ayu berhidung bangir serta bermata bulat menawan itu hanya menatap Andika lekat-lekat. Sedangkan Andika balas menatap. Kesempurnaan lekuk wajah Ratu Racun tiba-tiba saja menelusup ke relung hatinya yang terdalam. Dan pemuda itu hanya mendesah dalam hati. Siapa sebenarnya wanita ini? Rambutnya panjang tergerai, kulitnya yang seputih lapisan salju, sinar matanya yang bening....
Semua itu seakan pernah ada di dalam dasar ingatannya. Tapi siapa? "Bagaimana aku bisa mempercayai kalian kalau kalian bukan orang jahat?" ungkit wanita itu, mengeluarkan rasa curiganya pada Andika.
Pendekar Slebor membuang napas. Sulit untuk meyakinkan wanita itu kalau dirinya bukan orang jahat. Apalagi membuktikan ketiga pemuda yang membawa wanita itu untuk diadili. Di dunia ini, mana mudah mempercayai seseorang yang baru saja bertemu? Dunia memang sering kali memunculkan tipu daya yang berselimut kebenaran. Tanpa bukti nyata, kepalsuan tidak akan terungkap.
"Aku tidak tahu, bagaimana harus membuktikan kalau aku bukan orang jahat," tutur Andika menyerah. "Bagaimana dengan kalian bertiga, Kisanak?" "Sulit membuktikan kata-kataku sekarang ini, kalau aku orang baik-baik," kata Bayu mewakili adik seperguruannya.
"Ucapan itu pertanda kalau kalian adalah orang baik-baik," ujar Ratu Racun.
Ucapan itu membuat Andika, Bayu, dan kedua adik seperguruannya sama-sama mengernyitkan alis tak mengerti.
"Ah Ini hanya berdasarkan pengalamanku saja. Menurut penilaianku, biasanya orang yang ingin meyakinkan orang lain dengan kata-katanya bahwa dirinya baik adalah orang jahat.
Begitu pula sebaliknya," urai wanita berpakaian serba hitam itu bijak. Mendengar ucapan berkesan falsafah hidup barusan, Andika tersenyum sabar. Dalam hati, dipujinya wanita itu dalam menilai seseorang. Biarpun, tak selalu harus begitu.
"Kalau begitu, kita tunggu apa lagi?" tanya wanita itu bernada mengajak. Sebaris senyum tipis tampak ketika menyaksikan keempat lelaki di dekatnya masih menatap penuh rasa penasaran.



||| 8 |||

Sejak peristiwa di Bukit Batujajar, Andika mengajak tiga pendekar muda serta wanita yang mengaku sebagai Ratu Racun untuk tinggal di sebuah penginapan di Desa Teratai.
Sebuah perkampungan yang cukup ramai, karena terletak di persimpangan jalur perdagangan antar kota kadipaten.
Mereka telah tiga hari berma lam di penginapan sederhana ini. Selama itu, Soka selalu bertanya dengan wajah curiga, bagaimana cara Andika membuktikan kalau wanita yang ikut ini bukan Ratu Racun yang membunuh warga desa tempat tinggal para pendekar Tri Cemeti Puspa.
Mulanya Andika tidak mau memberitahukan rencananya pada pendekar muda itu. T api karena terus didesak, akhirnya Andika menyerah.
"Kita tunggu saja beberapa hari ini. Kalau selama wanita itu berada bersama kita, namun tetap terjadi pembunuhan oleh Ratu Racun, berarti dia bukan orang yang dimaksud. Mungkin hanya mengaku-aku saja. Entah dengan maksud apa," urai Andika pada Soka. Sementara dua saudara seperguruannya menjaga wanita yang mereka curigai. "Bagaimana kalau dia pergi diam-diam, lalu membuat kerusuhan di desa lain dan kembali ke sini secara diam-diam pula?" kejar Soka.
"Karena itu kita harus ketat menjaganya. Dia harus tetap di kamarnya selama beberapa hari ini," jawab Andika mantap.
Selama itu pula, Andika tak habis-habisnya memikirkan keganjilan-keganjilan yang berkaitan dengan sepak terjang Ratu Racun. Lama Andika berpikir di dalam kamarnya untuk memecahkan teka-teki yang harus dipecahkannya. Sewaktu Pendekar Slebor mengintai Ratu Racun bersama Ki Patigeni di Hutan Watuabang, memang ada perbedaan antara dua orang yang mengaku Ratu Racun ini. Apa perbedaan itu? Dia berusaha mengingat-ingat. Sampai akhirnya....
"Aku ingat" bisik Andika setengah terlonjak bicara sendiri.
"Saat itu, aku melihat senjata berbentuk tongkat yang tersembul di balik baju hitam Ratu Racun yang kuintai di Hutan Watuabang bersama Ki Patigeni." Beberapa saat Andika mengangguk-anggukkan kepala perlahan.
"Hm.... Tampaknya ada dua orang Ratu Racun yang membuat heboh dunia persilatan," gumam Andika. "Yang pertama tentu wanita dari Desa Wadaswetan. Seorang wanita yang memiliki dendam kepada Kranggaek dan kawanannya, karena telah membunuh orang-tuanya delapan belas tahun lalu." Kali ini Andika malah mengernyitkan kening dalam-dalam.
"Lalu, siapa Ratu Racun yang kedua? Apa maksudnya melakukan pembantaian terhadap orang-orang tak berdosa? Lalu, apa pula maksudnya mengenakan cadar? Apa karena ingin tak dikenali?" Beberapa lama, Andika memeras otak kembali. Seluruh ingatan yang tersimpan di benak diaduk-aduknya. Sampai akhirnya, dia teringat ucapan Ki Patigeni kalau salah seorang yang menjadi sasaran dendam Ratu Racun adalah wanita, yaitu Nyi Rorokweni.
Mendadak Andika terlonjak, lantas bangkit dari bangku kayu yang didudukinya.
"Jadi kalau begitu, wanita yang mengaku sebagai Ratu Racun memang benar-benar Ratu Racun" desis Andika dengan mata setengah membelalak. "Tentu dia yang telah membunuh Kranggaek, Rawegenggong, dan para anak buahnya. Kini, dia sedang mencari sisa-sisa kawanan yang telah membunuh orangtuanya. Sementara, ada juga orang yang mengaku-aku sebagai Ratul Racun, dengan membunuhi orang-orang tak berdosa...." Untuk memastikan hal itu, Andika segera menggenjot tubuh, meninggalkan kamar. Tubuhnya melesat cepat ke kamar wanita berpakaian serba hitam yang sedang dijaga Tri Cemeti Puspa. Dia bermaksud menanyakan kebenaran semua dugaannya pada wanita yang mengaku sebagai Ratu Racun itu.Sesampainya di tempat yang dituju, mata Andika jadi menyipit. Tiga pendekar muda yang sedang menunggu kamar wanita itu ternyata tergolek pingsan. Ketika hidungnya menangkap bebauan tak sedap, Andika langsung berkesimpulan kalau mereka telah ditebari semacam racun ringan, sehingga membuat pingsan.
"Sialan" gerutu Andika. "Bagaimana aku harus mengatakan pada para pendekar ini kalau Ratu Racun yang hendak dibawa telah pergi...." Pikir punya pikir, Andika memutuskan untuk pergi saja sebelum ketiganya siuman. Mereka tentu tak akan mau mengerti mendapati kejadian itu. Bahkan bisa saja mereka menganggap Andika bersekongkol dengan Ratu Racun.
Tak ada satu tarikan napas, Andika sudah menghilang di balik jendela penginapan.
Di suatu tempat yang berjarak sekitar lima puluh tombak dari penginapan, tampak seseorang sedang berlari cepat dalam kegelapan malam. Tak jauh di belakangnya, puluhan orang mengejar. Ketika sinar bulan yang bersinar penuh menerangi, wajah dan pakaian mereka pun terlihat cukup jelas.
Orang yang berlari di depan adalah wanita berpakaian serba hitam. Rambutnya panjang terurai sebatas pinggang.
Sapuan sinar bulan yang lembut memperlihatkan keayuan wajahnya. Dia adalah Ratu Racun. Sedangkan para pengejarnya terdiri dari para pendekar yang berpakaian seragam. Pakaian mereka rompi kuning, berlapisan dalam berwarna merah. Celana mereka berbentuk pangsi warna merah pula. Dari pakaian itu, rupanya kelima belas orang itu berasal dari perguruan yang sama. Perguruan Elang Merah Rupanya sejak meninggalkan penginapan, Ratu Racun sudah dikuntit terus oleh orang-orang Perguruan Elang Merah.
Bagi Ratu Racun yang bernama asli Mayangsari, kelima belas lelaki itu rasanya tidak pernah memiliki persoalan dengannya.
Maka yang dipilihnya adalah melarikan diri. Di samping itu, dia memiliki urusan lain yang lebih penting. Yakni, mendatangi seseorang yang pernah berhutang nyawa dengannya.
Karangga, seorang rekan Kranggaek. Para pendengar dari Perguruan Elang Merah tentu saja tak sudi membiarkan buruannya pergi begitu saja. Ada alasan yang membuat mereka harus menangkap Mayangsari yang berjuluk si Ratu Racun, hidup atau mati.
Sekitar tiga pekan lalu, seorang wanita berpakaian serba hitam serta berambut panjang seperti Mayangsari, datang ke perguruan mereka Bedanya, wanita yang mengaku Ratu Racun itu mengenakan cadar berwarna merah darah. Di perguruan itulah orang yang mengaku Ratu Racun membantai beberapa murid muda dengan telengas.
Kejar-mengejar terus terjadi, sampai melewati lerenglereng bukit berliku yang curam, bagai liukan ular liar. Mereka terus menerabas semak belukar dan kelebatan ilalang.
Di dunia persilatan, kesaktian Ratu Racun memang mampu menggetarkan setiap orang. Terlebih, kehebatannya dalam hal racun Namun untuk ilmu lari cepat, Mayangsari tampaknya tidak jauh berbeda dengan para pendekar dari Perguruan Elang Merah. Terbukti hingga saat itu, dia belum juga mampu meloloskan diri dari kejaran.
"Berhenti kau, Perempuan Jahanam" "Berhenti Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu" Telinga Mayangsari menangkap teriakan-teriakan murka itu. Ditilik dari kekuatan suaranya, tampaknya para pengejar semakin dekat. Tentu saja hal itu membuatnya menjadi tegang. Peluh dingin mulai membasahi keningnya yang halus.
Dia sendiri sebenarnya tidak takut kalau terpaksa harus bertempur. Biar bagaimanapun, hatinya tak perlu gentar karena merasa tak pernah berbuat salah sedikit pun. Tapi selaku wanita, perasaannya yang rapuh dan peka tidak bisa dibohongi Tanpa pernah dikehendaki sama sekali, timbul rasa gentar pula di hatinya.
Dalam kekalutan yang mulai menggerayangi dirinya, napas wanita itu menjadi tak teratur. Dadanya tera sa hendak pecah akibat mengerahkan seluruh kemampuan lari cepat. Apalagi, jika telinganya makin sering dilabrak teriakan murka para pengejar.
"Hei, Keparat Ke mana pun kau lari, kami tak akan berhenti mengejar" ancam seorang pengejar, penuh kegeraman. "Ini pasti fitnah yang sengaja dilakukan seseorang pada diriku," bisik Mayangsari dengan napas memburu.
Untuk beberapa saat dia berhenti di balik bongkahan batu sebesar kerbau yang bisa untuk menyembunyikan tubuhnya.
"Tapi, manusia keparat mana yang ingin memfitnahku?" lanjut wanita itu, bertanya pada diri sendiri.
Mayangsari menanti tegang di tempat persembunyiannya.
Untuk menarik napas saja, rasanya amat sulit baginya. Dia begitu khawatir persembunyiannya akan tercium para pendekar dari Perguruan Elang Merah yang tentunya berhasrat merencahnya hidup-hidup.
Tiba-tiba....
Tep "Mmmph..." Jeritan tertahan terlepas dari mulut Mayangsari. Benarbenar amat tertahan, karena mulutnya dibekap seseorang.
Menyadari ada seseorang yang menyergapnya, Mayangsari berusaha berontak. Nalurinya langsung memerintah untuk mengerahkan tenaga dalam agar sergapan seseorang di belakangnya dapat dimentahkan.
Sayang, tangan kekar yang kini mendekap mulut serta merengkuh kuat pinggangnya ternyata memiliki tenaga jauh lebih besar. Akibatnya, dia hanya bisa merasakan sakit pada bagian tubuh yang dijepit.
Untunglah kedua tangan Mayangsari luput dari jepitan tangan kekar itu. Dengan begitu, dia masih punya kesempatan untuk menyikut disertai tenaga dalam penuh. Baru saja niatnya hendak dilaksanakan, lagi-lagi si penyergap mendahuluinya. Dari mulut Mayangsari, tangan kekar itu bergerak lincah ke belakang leher melepaskan totokan.
Tuk "Akh..." Mayangsari hanya sempat memekik kecil, lalu tubuhnya seperti kehilangan seluruh tulang-belulang. Tubuhnya lunglai tanpa tenaga sama sekali. Yang dapat dilakukannya saat itu hanya menggerakkan sepasang kelopak matanya dalam kekhawatiran memuncak.
Sesaat kemudian, tubuhnya terasa dibawa lari dalam kecepatan tinggi Sementara, telinganya sayup-sayup mendengar siulan orang yang membopongnya yang terdengar aneh, karena iramanya seperti lagu anak-anak kecil yang biasa dinyanyikan pada malam bulan purnama.
Mayangsari tidak habis pikir dengan keganjilan tingkah orang yang menyergapnya. Kalau menilai dari cara menyergapnya tadi, bisa dipastikan orang itu tidak bisa dianggap sembarangan. Bahkan bisa jadi adalah tokoh kelas atas dunia persilatan. Tapi kalau mendengar siulannya yang terdengar riang dan lucu, perempuan itu jadi menimbang seribu kali untuk menyebutnya sebagai tokoh yang disegani.
Tentu saja Mayangsari dibuat bingung melihat keganjilan tingkah orang yang menyergapnya. Memang, orang itu tak lain Pendekar Slebor, pendekar muda yang akan sakit gigi kalau tidak bertingkah sedikit gila.
"Kau jangan ketiduran, ya. Mentang-mentang keenakan sedang kubopong Bukan apa-apa, aku hanya takut kalau kau ngompoli aku...." Telinga Mayangsari kembali menangkap keganjilan.
Ngompol katanya? Orang ini begal apa pemain ludruk? "Hm.... Aku pernah mendengar suaranya. Di mana, ya?" tanya perempuan itu dalam hati.
Di tengah padang ilalang yang tumbuh tinggi, Pendekar Slebor menghentikan larinya untuk bersembunyi dari kejaran orang-orang Perguruan Elang Merah. Andika hanya ingin menjaga kemungkinan kalau para pengejar Mayangsari sampai di tempat itu. Meski, sebenarnya mereka telah jauh tertinggal di belakang sana. Memang tidak mungkin bagi mereka untuk bisa mengejar Pendekar Slebor yang ilmu lari cepatnya hanya bisa ditandingi beberapa gelintir tokoh persilatan kelas atas.
"Nah, sekarang kau bisa sedikit lega," gumam Pendekar Slebor seraya menurunkan tubuh wanita itu dari bahunya.
Di bawah siraman sinar bulan, Mayangsari dapat melihat wajah orang yang telah menyergapnya. Ternyata, hanya seorang pemuda tampan berambut gondrong tak teratur yang berpakaian hijau pupus, dengan kain bercorak papan catur tersampir di pundaknya. Bibirnya memperlihatkan senyum yang berkesan ketolol-lololan.
"Kau...," ujar Mayangsari singkat, setelah mengenali Andika.
"Ya, aku. Kau terkejut?" tanya Andika santai. Mayangsari menghempas napas. Dadanya yang sejak tadi terasa ingin pecah karena tegang, mendadak lega. Rasanya dia baru saja terbebas dari himpitan dua gunung raksasa.
"Kenapa menghentak napas seperti itu? Lega karena bisa lepas dari kejaran orang-orang yang sudah mata gelap?" sambung Andika sambil menempatkan tubuh di sisi Mayangsari yang masih lunglai.
Sementara wanita itu hanya diam saja, seraya mengucapkan syukur dalam hati.
"Makanya jangan suka mempermainkan orang. Aku sudah berusaha menolongmu dari hukuman tiga pendekar yang mungkin masih pingsan di penginapan itu, tapi kau malah melarikan diri begitu saja," lanjut Andika, seperti tidak peduli dengan keadaan Mayangsari. "Buat apa menunggu lebih lama? T oh, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa?" sahut Mayangsari dengan nada jengkel.
"Dan, buat apa pula kau menunggu lebih lama?" "Aku? Menunggu apa?" tanya Andika tak mengerti "Bebaskan aku Ada jangkrik yang masuk ke dalam pakaianku" bentak Mayangsari kalap.
"Oh, maaf. Aku lupa kalau kau masih tertotok," sesal Andika dengan wajah sungguh-sungguh.
Tapi selanjutnya Andika malah kelihatan bingung, yang membuat kepala Mayangsari nyaris pecah karena jengkel.
"Di bagian mana jangkrik kurang ajar itu masuk? Biar aku bantu mengusirnya...," lanjut Pendekar Slebor.
"Kubilang bebaskan aku Aku tak perlu pertolonganmu yang lain Apa kau tuli?" hardik Mayangsari kembali. Matanya membesar akibat kedongkolan yang mencapai ubun-ubun.
"Baik..., baik. Akan kubebaskan," ujar Andika. Kemudian tangannya bergegas bergerak ke bagian belakang kepala Mayangsari.
Tuk Satu totokan jari telunjuk Andika membebaskan wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun itu dari pengaruh totokannya. Setelah merasa otot-ototnya dapat digerakkan kembali, Mayangsari segera bangkit.
"Kau tak mengucapkan terima kasih padaku?" usik Andika tatkala melihat wanita ayu itu menepuk-nepuk pakaiannya yang dikotori ilalang kering, sekaligus mengenyahkan seekor jangkrik iseng yang masuk ke balik bajunya.
Mayangsari tak menanggapi ucapan Andika barusan. Malah, kakinya melangkah pergi dengan wajah cemberut. "Mau ke mana kau?" seru Andika. Pemuda itu segera bangkit menyusul Mayangsari.
"Bukan urusanmu" jawab Mayangsari, acuh.
"Tapi aku punya urusan denganmu" sergah Andika.
Sementara Pendekar Slebor berusaha menjajarkan langkah di sisi Mayangsari yang terus berjalan dengan langkah terbanting.
"Aku tak peduli," jawab Mayangsari kembali, tetap dingin.
"Sungguh? Ini soal seseorang yang hendak memfitnahmu.
Tentang seorang wanita yang mengaku-aku sebagai dirimu.
Tentang Nyi Rorokweni...," tutur Andika lagi Mendadak Mayangsari menghentikan langkah.
"Kau tadi menyebut Nyi Rorokweni?" tanya wanita itu dengan alis berkerut, tanda perhatiannya timbul tiba-tiba.
Nama yang baru saja disebutkan Andika memang amat berkaitan erat dengan dirinya.
"Apa iya begitu?" tanya Andika, pura-pura.
Timbul kenakalan Pendekar Slebor sebagai seorang yang pernah besar sebagai gelandangan brengsek kotapraja.
Mayangsari menaikkan pangkal hidungnya. Hatinya mulai gusar dengan sikap Andika yang terasa terlalu meremehkan dirinya.
"Kau jangan coba main-main denganku, ya" rutuk Mayangsari seraya menyipitkan mata.
"Tadi katanya kau tidak peduli," ucap Andika tenang.
"Sekarang aku peduli" "Sekarang aku yang tidak peduli He he he..." Mata bulat Mayangsari berkilat gusar. Dipertemukannya sepasang bola matanya dengan mata Andika, tepat ke manik maniknya. Pandangannya seakan hendak melalap bulat-bulat tubuh Andika.
"Sebenarnya kau berdiri di pihak mana? Aku, atau Nyi Rorokweni?" tanya Mayangsari seperti mendesis.
"Apa maksudmu?" balik Andika, masih tetap acuh. Satu alis mata hitamnya terangkat tinggi-tinggi.
"Aku curiga, kau justru kaki tangan Rorokweni si keparat itu. Itu artinya, aku bisa saja melumatmu dengan racunku sekarang juga...," ancam Mayangsari, tidak main-main.
Andika menggaruk-garuk kepala, meski tidak gatal "Tampaknya kau mulai dongkol padaku, ya?" kata Andika enteng. "Ya.... Daripada aku keracunan, lebih baik menjawab pertanyaanmu. Apa yang ingin kau tanyakan tadi?" "Apa hubungannya Nyi Rorokweni dengan orang yang hendak memfitnahku?" tanya Mayangsari, bergegas.
"Kau tidak bisa sedikit menduga?" "Jangan bertele-tele" "Baik..., baik. Nyi Rorokweni telah menyamar sebagai dirimu. Dia membunuh puluhan orang tak bersalah, dengan telengas. Lalu, dia mengaku sebagai Ratu Racun. Sebagai dirimu. Bedanya, dia mengenakan cadar merah dalam setiap pembantaian yang dilakukannya...," tutur Andika, menjelaskan.
"Bagaimana kau bisa tidak terkecoh oleh Nyi Rorokweni, sementara banyak pendekar aliran putih lain bisa tertipu?" tanya Mayangsari, curiga.
"Aaah Kau masih tetap mencurigai aku rupanya? Tapi kalau kau ingin tahu juga, akan kujawab. Yang jelas, aku tahu perempuan yang hendak memfitnahmu itu adalah Nyi Rorokweni." Kemudian Andika pun menceritakan seluruh kejadian yang membawanya pada kesimpulan itu. Bagaimana dia pernah bertarung melawan Ratu Racun yang bercadar merah. Juga dijelaskan, bagaimana dia dapat melihat perbedaan antara Ratu Racun yang pernah bertempur dengannya itu dengan Ratu Racun yang kini dikenalnya.
"Waktu kau menghabisi Rawegenggong dan anak buhanya di Hutan Watuabang, aku tak sempat melihat wajahmu.
Kelebatan hutan itu tak memberi kesempatan untuk melihat wajahmu. Tapi aku melihat sesuatu yang tak dimiliki Ratu Racun bercadar merah...," tutur Andika penuh keyakinan.
"Apa itu?" Mata Andika melirik ke bagian pinggang Mayangsari. Di sana tersembul sebentuk tongkat pendek yang tersembunyi di balik bajunya.
"Aku melihat benda itu tidak dimiliki Ratu Racun telengas itu...," kata Andika, pasti.
Tanpa sadar, tangan Mayangsari memegang benda yang dimaksud Andika.
"Ini senjataku," aku wanita itu.
"Sudah kuduga." "Lalu, bagaimana kau tahu kalau perempuan yang mengaku Ratu Racun adalah Ny i Rorokweni?" desak Mayangsari kembali.
Tanpa ingin bertele-tele lagi, Andika segera menceritakan penyelidikannya selama ini. Dimulai dengan kalung kayu yang ditemukannya di sekitar tempat pertarungan Mayangsari dengan gerombolan Rawegenggong di Hutan Watuabang, hingga kunjungannya ke Desa Wadaswetan untuk menanyai sesepuhnya, Ki Manik Angkeran. "Lalu aku teringat ucapan Ki Patigeni. Dia telah menjadi korban keganasan pukulan Ny i Rorokweni. Dan ketika pukulan itu kuperhatikan, ternyata mirip pada korban-korbannya yang terdiri dari orang-orang tak berdosa. Dan ketika ciri-ciri pukulan itu kutanyakan pada Ki Manik Angkeran, ternyata juga sama dengan pukulan salah satu tokoh yang pernah merampok di Desa Wadaswetan. Tak ada orang lain yanag mempunyai pukulan seperti itu, selain Ny i Rorokweni.
Sementara melihat sepak terjangmu pada orang-orangnya Begal Ireng, maka aku berkesimpulan..." "Kalau aku sedang memburu mereka karena dendam?" selak Mayangsari.
'Tepat" ujar Andika dengan lagak seorang penjual obat.
Mayangsari mengangguk-angguk pelan. Rambutnya yang panjang ikut terayun-ayun. Sinar matanya sendiri terlihat kagum pada Andika, karena mampu mengungkap rahasia dirinya dengan tepat.
"Sekarang kau harus jawab pertanyaanku," pinta Andika lebih lanjut. "Kenapa kau dan Nyi Rorokweni memiliki racun dahsyat yang juga dimiliki oleh seorang tokoh kalangan hitam yang hidup puluhan tahun lalu?" "Ki Guntara?" "Dari mana kau tahu?" Mayangsari menghela napas berat sesaat.
"Dia adalah guruku," kata wanita itu. "Ki Guntara pernah menceritkan tentang Ki Patigeni yang pernah mengalahkannya. Sejak dikalahkan, guruku menjadi sadar kalau di dunia ini tak ada orang yang paling tinggi. Sesakti apa pun orang itu, suatu saat akan tetap jatuh dan tak mungkin menghindari kematian. Ingat pada kematian, dia ingat pada kekuasaan Tuhan. Sampai akhirnya, seluruh kesalahannya disadari dan bertobat...." Mayangsari menghentikan ceritanya. Wajahnya tampak dirundung keprihatinan dalam.
"Tapi kau belum jawab pertanyaanku tadi, kan?" usik Andika.
Mayangsari tersadar.
"Sejak saat itu, guruku menyepi sekaligus mengangkat seorang murid bernama Rorokweni yang kala itu berusia enam belas tahun. Sayang, Rorokweni ternyata memiliki watak buruk. Dan guruku pun bisa mencium hal itu. Karena wataknya itu pula, guruku hanya menurunkan sebagian ilmu kesaktiannya padanya. Dan Rorokweni yang mengetahui hal itu, menjadi mata gelap. Guru pun dikhianati. Dengan racun yang pernah dipelajarinya, Ki Guntara diracuni hingga lumpuh.
Dia berpikir, dengan lumpuhnya guru, maka kitab ilmu racun yang belum dipelajarinya dapat dicuri. Sayang, niat jahat itu tidak berjalan mulus. Ternyata guru telah menyembunyikan kitab itu di suatu tempat rahasia. Tentu saja Rorokweni jadi murka. Guru lalu dipaksa untuk memberitahukan tempat penyimpanan kitab itu. Namun, guru tetap tidak sudi memberitahukannya. Tentu saja hal ini membuat Rorokweni makin kalap. Akhirnya, guru yang lumpuh saat itu disiksa." Kembali Mayangsari menghentikan ceritanya, seperti berusaha menahan kesedihan.
"Ketika guru sekarat, namun tetap tak juga membuka rahasia tempat penyimpanan kitab itu, akhirnya Rorokweni pergi dengan rasa jengkel," lanjut Mayangsari. "Beberapa tahun kemudian, Rorokweni membegal keluargaku. Mereka membunuh kedua orangtuaku secara keji. Aku masih bisa membayangkan, bagaimana kejinya Rorokweni beserta kawanannya membunuh ayah dan ibuku. Untunglah aku dapat meloloskan diri dari kekejaman mereka. Sementara, adikku yang masih berumur delapan bulan, entah bagaimana nasibnya. Dan dalam keputusaasanku karena kehilangan selurh orang yang kucintai, aku berjalan mengikuti kata hati. Sampai akhirnya, aku tiba di kediaman Ki Guntara.
Keadaannya, yang menyedihkan, membuat hatiku iba. Dan hatiku pun tergerak untuk mengurusnya." Keduanya kini sama-sama terdiam. Pikiran mereka samasama dibawa kenangan masing-masing, tentang orang-orang tercinta yang harus menjadi korban kebiadaban manusiamanusia berhati iblis.
"Jadi menurutmu, apa alasan Nyi Rorokweni mengaku-aku sebagai diriku?" tanya Mayangsari pada Andika, mulai membuka percakapan kembali.
Andika mengusap-usap dagu. Benaknya langsung merekareka jawaban pertanyaan Mayangsari barusan.
"Pertama, karena ingin agar kau dibunuh oleh pendekarpendekar aliran putih...," gumam Andika.
"Kedua?" "Yang kedua karena ingin mempersiapkan sesuatu buat dirimu. Karena dia tahu, kau luput dari tangan para pendekar yang memburumu akibat fitnahnya. Dia tidak lahu, kau akan tiba di tempatnya cepat atau lambat. Tentu saja untuk menuntut balas atas kematian orang-tuamu...." "Maksudmu, dia akan mempersiapkan sesuatu untuk menyambut kedatanganku, sementara perjalananku dihambat oleh para pendekar golongan putih yang murka?" tebak Mayangsari.
Andika mengangguk.
"Lalu, apa maksudmu dengan mempersiapkan sesuatu itu?" tanya Mayangsari, ingin tahu lebih jelas.
"Aku pun tidak tahu. Mungkin sedang mempersiapkan jebakan buatmu...." Belum selesai ucapan Andika, tiba-tiba saja... "Hi hi hi.... Semua perkiraanmu memang tepat, Pendekar Slebor. Tak percuma orang-orang dunia persilatan meributkan tentang kecemerlangan otakmu" Tiba-tiba terdengar tawa melengking yang mendirikan bulu roma.
Tubuh Andika menegang. Naluri kependekarannya yang terlatih memperingatkan dirinya kalau bahaya akan segera tiba.
"Kau tahu, apa nama daerah ini?" bisik Andika pada Mayangsari.
"Ini Lembah Burangrang. Kenapa kau menanyakan hal itu?" Andika tidak menjawab pertanyaan heran Mayangsari.
"Kau tahu tempat Nyi Rorokweni?" Andika malah bertanya lagi.
Mayangsari terkesiap. Wajahnya makin terlihat tegang.
"Dia tinggal di Lembah Burangrang, lembah ini," desis wanita itu, menjawab pertanyaan Andika barusan.
Mata Andika menyipit. Sepasang bola matanya bergerak kian kemari, memperlihatkan kewaspadaan.
"Itu artinya, kita telah masuk dalam perangkap Nyi Rorokweni tanpa disadari...," jelas pemuda itu, nyaris mendesis.



||| 9 |||

Dugaan Andika ternyata tak meleset. Beberapa kerdipan mata kemudian, bermunculan puluhan orang dari balik alangalang. Dengan panah di tangan, mereka mengepung Andika dan Mayangsari. Pengepungan ini tampaknya memang benar benar telah dipersiapkan. Terbukti, barisan kepungan demikian rapi, membentuk tiga lapisan.
Pada lapisan kepungan pertama, mereka menyiapkan panah-panah berapi yang bagai kumpulan kunang-kunang raksasa yang menerangi daerah sekitar.
Sedangkan pada lapisan kedua, para pengepung mempersiapkan panah-panah beracun. Hal itu bisa diduga Andika, karena mengingat Nyi Rorokweni amat ahli dalam hal racun.
Sedangkan di barisan ketiga, para pengepung membawa kuali berukuran sebesar kepala manusia.
"Untuk apa kuali tanah itu?" tanya Mayangsari dengan wajah menegang keras.
Andika melirik sekejap pada wanita itu.
"Tampaknya mereka mencoba membakar kita hidup-hidup di tengah padang ilalang ini Aku yakin, kuali kuali itu berisi minyak yang akan dilontarkan ke udara. Kemudian, barisan pertama akan melepas panah-panah api ke kuali-kuali itu.
Dan, saat itulah minyak akan bertebaran di udara bersama api yang siap membakar padang ilalang, sekaligus memanggang tubuh kita," jelas Pendekar Slebor.
Mayangsari bergidik.
"Kalau hanya untuk menyelamatkan diri dari kobaran api, tentu saja mudah bagi kita. Tapi rasanya tidak mudah menghindari jilatan api raksasa, sementara kita dihujani pula oleh panah-panah beracun yang tak boleh menyentuh tubuh sedikit pun," tambah Andika, tanpa maksud menakut-nakuti Mayangsari.
"Tapi racun anak panah itu tak berarti bagiku. Apa kau lupa, kalau aku amat ahli dalam hal racun?" sergah Mayangsari. ' "Tapi apa kau memiliki ilmu kebal, hingga mampu membuat anak panah itu tidak bakal menembus kulitmu?" Mayangsari tidak bisa menjawab pertanyaan Andika.
Kalaupun racun jahat pada anak panah musuh tidak bisa membunuh, tentu saja dia akan tetap mati. Masalahnya, anak panah yang setajam taring serigala itu akan menembus tubuhnya. Dalam hal ini, Andika memang benar.
"Lalu apa akalmu untuk lolos dari perangkap mengerikan ini?" tanya Mayangsari cemas. Sinar kekalutan mulai mengusik wajah ayunya.
Orang yang ditanya tak menyahut. Andika hanya diam mematung dengan tubuh mengejang. Entah apa yang hendak dilakukannya. Yang jelas, hatinya amat geram dengan kelicikan semacam itu.
"Andika, apa yang mesti kita perbuat?" ulang Mayangsari setengah menjerit.
"Tenang, Mayangsari...," sergah Andika singkat.
"Bagaimana bisa tenang, sementara kita tak punya kesempatan lolos dari perangkap mengerikan ini?" "Diam Bagaimana aku bisa berpikir jernih, kalau kau tetap mengoceh seperti itu?" hardik Andika.
Bagi Andika sendiri, perangkap semacam itu tak akan menjadi masalah yang terlalu besar. Cukup mengandalkan ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan, dia mampu lolos dari jilatan api. Bahkan dari puluhan anak panah sekalipun. Namun, urusan akan jadi lain kalau di sampingnya berdiri seorang wanita. Tentu Pendekar Slebor akan kesulitan mementahkan serangan anak panah beracun kalau harus membopongnya. Sedangkan, ilmu peringan tubuh Mayangsari belum cukup sempurna.
Ini betul-betul tantangan besar di depan matanya. Di satu sisi, nyawanya sendiri harus diselamatkan. Dan di sisi lain, Mayangsari tak bisa begitu saja ditinggalkan. Dalam hal ini, Andika merasa harus bertanggung jawab terhadap keselamatan jiwanya. Bukankah dia yang membawa wanita itu ke tempat ini? "Seraaang..." Teriakan wanita dari sebelah selatan membuyarkan pikiran Andika, sebelum sempat menemukan pemecahan masalah yang mengancam jiwa mereka berdua.
Sesaat kemudian, mata Andika melihat barisan ketiga dari para pengepung mulai me lontarkan kuali-kuali berisi minyak pembakar. Dari berbagai penjuru, kuali-kuali tanah itu melayang ke udara, disusul terlepasnya anak panah berapi dari barisan pertama ke arah kuali-kuali tadi. Sekali lagi, perkiraan Andika tidak meleset Apa yang mesti dilakukan Andika? Sedangkan puluhan anak panah berapi itu tak mungkin ditangkapnya satu persatu. Pada saat yang mencekam itu, mata Andika tertumbuk pada kumpulan alang-alang yang nyaris setinggi manusia di depannya. Maka dengan sigap, tangannya meraih alang-alang itu. Sepasang tangannya yang kini dipenuhi alang-alang kemudian bergerak bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wes Wes Wes Bagai puluhan anak panah, alang-alang itu meluncur deras menuju anak-anak panah yang sedang melayang menembus kepekatan malam dengan kobaran api.
Dan.....
Tak, tak, tak...
Terdengar bunyi kayu patah yang bersahutan. Rupanya puluhan anak panah berapi yang sedang meluncur itu terpatah menjadi dua, ketika alang-alang yang dilontarkan Pendekar Slebor melabraknya. Karena kehilangan bagian ekor, puluhan anak panah berapi itu jadi melayang kacau. Sementara kualikuali tanah berisi minyak pembakar yang mestinya menjadi sasaran, luput dari hunjaman anak panah berapi Seluruh kuali itu kemudian jatuh ke bawah, dalam keadaan utuh karena tertahan gerombolan ilalang yang tumbuh lebat.
"Berhasil Ha ha ha... Aku berhasil" pekik Andika, seperti anak kecil mendapat mainan.
Tentu saja hal itu membuat Nyi Rorokweni yang berdiri di sebuah batu besar di sebelah selatan Lembah Burangrang menjadi kalap.
"Bangsat Lepaskan anak panah beracun" seru perempuan itu pada barisan kedua.
Zing Zing Zing Anak panah dalam jumlah puluhan kembali memenuhi udara. Kali ini, tidak lagi menampakkan kobaran-kobaran merah di angkasa, karena yang dilepas anak buah Nyi Rorokweni adalah anak panah beracun Sekali lagi, Andika dan Mayangsari terancam bahaya. Kalau tidak segera mengambil tindakan tepat, maut akan segera menjemput. Dan sekali lagi pula, mereka merasa bagai telur di ujung tanduk.
Pada saat-saat berbau maut itu, mata Andika kembali tertumbuk sesuatu yang bisa memberi peluang untuk lolos dari ancaman maut. Kain bercorak catur yang tersampir di pundaknya tiba-tiba tertiup angin kencang, sehingga menggelepar ke bagian depan tubuh Andika. Saat itulah, dia ingat kalau kain ini adalah pusaka yang tahan terhadap senjata setajam apa pun.
Maka cepat dilepasnya kain itu dalam waktu sekejap mata.
Setelah pindah ke tangan, kain itu digunakannya untuk menyabet seluruh anak panah beracun yang menghunjam mereka. Keduanya memang tak mungkin melompat untuk menghindari, karena hujanan anak panah telah menutup sekitarnya. Tapi dengan kain bercorak catur di tangan, Andika mampu mementahkan hunjaman seluruh senjata berbahaya itu.
Tas Tas Tas...
Wut Wut Wut...
Bagai sebuah benteng aneh, kain bercorak catur milik Andika berputar ke sekitarnya. Sementara, sebelah tangan Pendekar Slebor yang lain memeluk tubuh Mayangsari.
"Ha ha ha..." Andika kembali memperdengarkan tawa kemenangan setelah serangan kedua dapat digagalkan kembali.
"Nyi Rorokweni Perangkapmu tampaknya hanya cocok untuk tikus sawah" ledek Andika dengan bibir mencibir.
Andika terpingkal-pingkal seperti anak kecil, meledek Ny i Rorokweni.
"Bukan begitu, Mayang?" tanya Andika pada Mayangsari yang masih melekat di tubuhnya.
Tidak ada sahutan. Bahkan yang terdengar hanya suara mendesis saja.
"Mayang?" ulang Andika ketika tak ada tanggapan dari wanita yang ditanya.
Dan Andika kini mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.
Tampaknya, memang begitu. Karena tak lama kemudian, tubuh Mayangsari perlahan melorot turun bagai tanpa tenaga.
Tangan kanan Andika bergerak segera. Disanggah-nya tubuh Mayangsari agar tak ambruk.
"Kenapa kau, Mayang?" tanya pemuda itu dalam kecamuk kekhawatiran yang datang begitu cepat. "Dadaku terkena panah...," desis Mayangsari lemah.
"Ya, Tuhan...," desis Andika. Sungguh tak disangkanya kalau benteng pertahanan yang tadi dibuatnya ternyata masih mampu kecolongan. Pendekar Slebor jadi mengutuk dan menyumpahi diri sendiri. Entah mengapa, saat itu Andika menjadi benci pada dirinya yang tak mampu menjaga keselamatan seorang wanita.
"Maafkan aku, Mayang. Ini semua akibat ulahku. Aku terlalu menganggap remeh serangan pasukan Nyi Rorokweni tadi...," sesal Andika, terputus-putus.
"Kau telah berusaha, Andika. Tapi, Tuhan rupanya berkehendak lain. Kalaupun kau tak membawaku ke tempat ini, akhirnya aku sendiri juga yang akan datang ke sini. Justru, akulah yang begitu tolol mengikuti arus dendam dalam diriku.
Padahal, ilmuku hanya mengandalkan racun serta sedikit jurus-jurus tak berarti...." Kali ini Andika yang menggeleng perlahan.
"Kau dan aku hanya manusia biasa, Mayang. Kalaupun aku menjadi dirimu, tentu akan melakukan hal yang sama.
Manusia mana yang tidak akan dendam kalau orang-orang tercinta dibunuh secara keji?" tutur Andika lemah.
"Tapi aku mulai berpikir, bukankah lebih baik dan lebih bijaksana kalau memaafkan mereka?" ucap Mayangsari makin lemah.
Andika tak bisa berkata apa-apa. Perkataan wanita dalam pelukannya memang benar, meski para bajingan yang telah membunuh orangtuanya masih tetap sebagai bajingan yang mesti dienyahkan. Kalaupun harus disingkirkan dari bumi ini, itu karena mereka telah banyak menciptakan keangkaramurkaan. Bukan karena dorongan dendam. "Tapi..., keputusanku untuk mengenyahkan dendam tampaknya sudah terlambat...," kata Mayangsari kembali, lirih.
"Rasanya maut akan segera menjemputku...." Sebentar kemudian, tubuh wanita itu mengejang. Lalu matanya terkatup perlahan disertai hembusan napas perlahan.
Anak panah yang menembus paru-paru sebelah kanan, telah mengakibatkan nyawanya melayang. Jadi bukan karena racun, karena tubuh Mayangsari memang kebal racun.
"Mayang...," panggil Andika masgul.
Tak terdengar sahutan dari wanita itu. Nyawanya memang telah dijemput malaikat maut. Paru-parunya yang tertembus anak panah, membuatnya tak mampu lagi mempertahankan lebih lama selembar nyawanya.
"Keparat kalian...," geram Andika.
Untuk yang kesekian kali, orang baik terbunuh di hadapan pemuda ini. Bagaimana pendekar muda itu tidak menjadi gusar? Kembali masa indah yang harusnya dapat dinikmati Andika dirampas begitu saja oleh perbuatan orang-orang berhati iblis.
Perlahan tubuh Mayangsari diletakkan di tanah berumput.
Sementara itu, api kemarahan makin membesar dalam diri Andika. Api yang mendorongnya untuk segera membasmi bajingan-bajingan tengik yang telah merenggut nyawa wanita ayu di hadapannya.
"Kau harus membayar nyawa wanita ini, sekaligus membayar nyawa Ki Patigeni, Nyi Rorokweni" desis Andika penuh getaran kemurkaan.
Setelah itu....
"Hiaaa..." Dari rimbunnya ilalang tinggi, tubuh Pendekar Slebor melenting ke udara. Bagai sebuah bola, tubuhnya berputaran di udara beberapa kali dengan tubuh menekuk rapat.
Melihat lawannya melayang seperti itu, Nyi Rorokweni merasa memiliki kesempatan untuk memanggang tubuh Pendekar Slebor dengan puluhan anak panah beracun.
"Serang" perintah wanita itu pada pasukan berpanah.
Zing Zing Zing...
Puluhan anak panah kembali memenuhi udara. Di bawah temaram cahaya bulan, senjata-senjata itu terlihat seperti gerombolan hantu terbang. Seluruhnya kini terpusat pada diri Pendekar Slebor yang masih berputar di udara. Sesaat lagi, tubuhnya tentu akan direncah habis.
Tapi....
Wut Wut...
Tas Tas...
Kalau Nyi Rorokweni mengira akan mendapat kesempatan emas, maka dugaan itu meleset sama sekali. Karena dengan kain bercorak catur yang masih tergenggam di tangan kanan, Pendekar Slebor memapak seluruh anak panah beracun tadi.
Akibat yang terjadi sungguh memaksa mata Nyi Rorokweni terbelalak lebar-lebar. Puluhan anak panah pasukannya kontan tersapu kembali ke arah pemiliknya. Padahal, keadaan Pendekar Slebor yang berada di udara termasuk sulit untuk berkelit bagi tokoh kalangan atas dunia persilatan sekalipun Zing Zing...
Jep Jep...
"Aaakh..." Teriakan kematian berbaur menjadi satu tatkala anak panah yang dilepas pasukan Nyi Rorokweni menghunjam seluruh anak buahnya sendiri. Sedangkan Pendekar Slebor telah berdiri enteng, di pucuk alang-alang. Seakan, tubuhnya tak memiliki bobot saja.
Kini, Pendekar Konyol dan Ny i Rorokweni bisa berhadapan langsung. Andika bisa melihat wanita yang berpakaian serba hitam dan berwajah dihiasi keriput itu, meski rambutnya tetap hitam dan panjang terurai. Sedangkan Ny i Rorokweni yang masih berdiri di sebuah batu besar, dapat melihat jelas bagaimana rupa Pendekar Slebor.
"Kau memilih waktu yang tepat untuk membuka cadarmu, Wanita Biang Racun Tikus Karena hari ini, aku bisa melihat wajahmu yang tak beda dengan lipatan kain ompol untuk yang pertama kali, dan yang terakhir" seru Andika, dingin.
Bibir keriput Ny i Rorokweni bergeletar menahan luapan kemurkaan. Ejekan Pendekar Slebor tadi benar-benar menginjak harga dirinya.
"Jangan sesumbar, Bocah Bau Kencur Kalau dulu kau masih bisa selamat dari racunku, kini kau akan mampus dalam keadaan menyedihkan. Aku tahu, lelaki tua itu belum sempat memberitahukanmu tentang penangkal racun milikku" balas Nyi Rorokweni.
"Apa kau pikir aku akan sebodoh itu membiarkan tubuhku tersentuh tangan beracunmu? Kekalahanmu di Desa Wadaswetan sebenarnya merupakan tanda kalau aku sudah paham, bagaimana harus menghadapimu. Meski, aku tak pernah tahu penangkal racunmu" sergah Pendekar Slebor, mantap. "Kau ingin membuktikan?" "Kunyuk buduk Hiaaa..." Dari jarak sekitar dua puluh tombak, tubuh Ny i Rorokweni meluncur deras ke arah Pendekar Slebor. Kedongkolannya sudah tidak bisa lagi dibendung pada setiap ejekan Pendekar Slebor. Wrrr Saat mencapai tubuh Pendekar Slebor, Nyi Rorokweni langsung melayangkan tebasan tangan ke leher. Sedangkan Pendekar Slebor cepat merentangkan kain bercorak catur dengan kedua tangannya untuk melindungi leher.
Bet Tebasan tangan Nyi Rorokweni hanya menemui sasaran angin kosong. Dengan geram, dia menyusuli dengan tendangan tinggi, hendak menyapu kepala Pendekar Slebor.
Tapi, mudah sekali pemuda itu memen-tahkannya hanya dengan menaikkan rentangan kain ke bagian kepala.
Tep Masih tetap menjejakkan kakinya di pucuk ilalang, Andika melakukan serangan balik. Jurus 'Menapak Petir MembabiButa' segera dikerahkannya. Layaknya orang linglung, kepala Pendekar Slebor berayun-ayun cepat.
Nyi Rorokweni yang melihat gerakan aneh itu menjadi terpancing. Perhatiannya tertuju pada kepala Pendekar Slebor.
Maka saat itu pula tangan Andika menghunjam lurus ke ulu hati, seperti hendak menyambar ujung lidah petir.
Dess "Ugkh..." Tubuh Nyi Rorokweni kontan terpental. Rasa sakit luar biasa yang menyerang ulu hati, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan. Wanita keji itu langsung terpuruk di sela-sela ilalang yang semula menjadi tempat berpijaknya.
Bruk "Hey Dilarang buang hajat di tempat itu" ejek Pendekar Slebor. Memang, Andika melihat wanita itu terjerembab dengan pantat jatuh terlebih dahulu di lebatnya ilalang.
Dia sendiri masih tetap berdiri gagah, sambil bertolak pinggang di pucuk ilalang.
"Bocah keparat Kubunuh kau" maki Nyi Rorokweni, kalap.
Wanita itu segera bangkit. Setelah kakinya mantap menjejak tanah, tubuhnya digenjot ke belakang. Dengan bersalto tiga putaran, kakinya mendarat kembali di pucuk ilalang.
Nyi Rorokweni membuka serangan berikutnya dengan luncuran deras disertai putaran tubuh ke arah Pendekar Slebor. Setiap satu putaran, tangannya mencabik ke depan bagai seekor belalang. Seluruh jarinya mengejang keras, seolah ada kawat baja yang menelusup otot-otot tangannya.
Ketika luncuran tubuh Nyi Rorokweni nyaris sampai, Pendekar Slebor tiba-tiba melepas ilmu peringan tubuhnya.
Karena bobot tubuhnya terisi, maka membuat pendekar muda itu menelusup cepat ke dalam lautan padang ilalang yang setinggi manusia.
Srak Wesss Serangan Nyi Rorokweni yang dilakukan di atas ilalang tentu saja jadi memakan angin, karena sasarannya telah menelusup begitu cepat ke bawah. Hal itu membuat putaran tubuhnya terus melaju dan sulit dihentikan, akibat tenaga dorongan yang mestinya untuk melumat tubuh Pendekar Slebor.
Bagi Pendekar Slebor, keadaan seperti itu adalah peluang bagus. Tak beda dengan seekor jangkrik liar, Pendekar Slebor menyeruak rerimbunan ilalang untuk mengejar luncuran tak terkendali dari tubuh Nyi Rorokweni. Lalu....
Tak Secara tiba-tiba, tangan Pendekar Slebor tersembul di atas ilalang. Sepasang tangan yang saling terkait dan sengaja dibentang bagai tiang kokoh itu, membentur kaki kanan lawan. Akibatnya....
Bruk Sekali lagi, Nyi Rorokweni terjerembab keras di lautan ilalang, ketika kakinya terantuk tangan Pendekar Slebor.
Keseimbangan tubuhnya yang memang sudah tak terkendali, tak bisa lagi dipertahankan. Suka tidak suka, Nyi Rorokweni harus bercengkerama mesra dengan gerombolan ilalang "Kudekap engkau dengan mesra, o ilalang.... Tanda cinta tak terhingga, wahai ilalang...," ledek Pendekar Slebor, seperti orang yang sedang membacakan sebait puisi.
Sementara, kaki pemuda itu telah bertengger ringan kembali di pucuk tanaman liar itu.
Dengan meringis menahan sakit tak kepalang di bagian kakinya, Nyi Rorokweni me lompat kembali ke atas ilalang.
Sepasang bola matanya sudah terbakar merah.
Pertarungannya kali ini memang benar-benar membuat ubunubunnya nyaris meledak karena gusar. Ejekan-ejekan pemuda itu terlalu keterlaluan baginya.
"Kini bersiaplah untuk kukirim ke neraka," desis Nyi Rorokweni, penuh ancaman.
Kelihatan sekali kalau perempuan itu akan segera mengeluarkan ilmu andalan, 'Pukulan Racun Bara Neraka'.
Seperti pernah dilihat Andika sebelumnya, tangan Nyi Rorokweni terangkat tinggi-tinggi dengan seluruh jari terbuka.
Dari bawah, sepasang tangannya menegang kaku. Sedangkan kedua matanya terpejam rapat, memusatkan seluruh kekuatan racun dalam dirinya ke telapak tangan.
Tak ada lima helaan napas, tangan Nyi Rorokweni berubah merah. Pancaran warna seterang bara itu menyinari sebagian wajah keriputnya, memperlihatkan garis-garis telengas yang semula tersembunyi dalam hatinya.
Bersama satu jeritan membahana, Nyi Rorokweni menerkam dada Pendekar Slebor.
"Hiaaah..." "Aaa..." Pada saat jemari tangan Nyi Rorokweni yang meregang nyaris mencabik dada, Pendekar Slebor berteriak amat keras.
Suaranya langsung membelah malam yang sepi.
Dan....
Wusss Tiba-tiba saja tubuh pendekar muda itu lenyap dari pandangan mata Nyi Rorokweni. Tentu saja Ratu Racun gadungan itu terkesiap. Pikirannya mulai menduga-duga, mungkinkah pemuda itu memiliki ilmu 'Halimun'? Suatu ilmu yang mampu menyirnakan raga seseorang? Padahal Pendekar Slebor hanya ingin mengecoh lawan.
Pemuda ini memang tidak pernah memiliki ilmu langka yang dahsyat seperti perkiraan Nyi Rorokweni. Selama ratusan tahun belakangan, tak ada seorang pun memiliki ilmu langka itu. Termasuk, Pendekar Slebor yang baru saja mengecap asam garam dunia persilatan. Anak muda itu hanya mengerahkan seluruh ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan pada titik tertinggi. Hasilnya, tubuhnya bergerak menghindari cengkeraman jari lawan dalam kecepatan yang sudah tidak bisa lagi ditangkap mata. Itu sebabnya, dia terlihat seperti menghilang. Sementara, Nyi Rorokweni berdiri tegang. Sedangkan Andika sudah berada di belakangnya dengan senyum ketololtololan.
"Sudah kau temukan jangkrik yang kau cari?" tegur Andika, setengah berbisik pada Nyi Rorokweni.
Menyadari lawan telah berdiri di belakangnya, Nyi Rorokweni berbalik secepat kilat. Sepasang tangannya menyapu dalam satu gerakan mencabik.
"Hih" Wsss Untuk kesempatan ini, Pendekar Slebor tak berusaha menghindar seperti sebelumnya. Dia hanya menanti. Dan ketika tinggal sejengkal lagi tangan merah membara lawan mendarat di lehernya, Pendekar Slebor melibatkan kain pusakanya tepat di pergelangan kedua tangan Ny i Rorokweni hingga kini merapat erat.
Sreset Dan seketika Andika melenting ke belakang tubuh perempuan itu seraya menghentak kain pusaka yang masih tersangkut di pergelangan tangan Nyi Rorokweni.
Hentakan sepenuh tenaga Pendekar Konyol tentu saja menyebabkan tangan Nyi Rorokweni tertarik deras ke wajahnya sendiri. Hingga....
Cras "Aaa..." Tak pelak lagi, tangan beracun Nyi Rorokweni memangsa wajahnya sendiri.
Tubuhnya langsung ambruk dan menggelepar di antara ilalang yang ikut bergoyang liar. Dan dalam sekejap mata, daun ilalang itu menghitam bersama kepulan asap tipis. Sementara tubuh Nyi Rorokweni sendiri perlahan tapi pasti berubah menghitam, terpanggang keganasann racun miliknya sendiri. Pada puncaknya, tubuhnya mulai retak-retak mengerikan. Maka berakhir pula riwayat wanita te lengas yang telah banyak melakukan kebiadaban terhadap manusia lain.
Lama Andika menatap mayat mengerikan lawannya.
Sementara, desahan malam menemani keterpakuan dirinya.
Angin dingin berhembus lembut menyibak asap tipis yang mengepul dari tubuh Ny i Rorokweni. Sedangkan jangkrik malam mulai berani memperdengarkan bunyinya yang lirih.
"Nak Andika...." Andika pasti akan tetap terpaku hingga fajar menjelang, kalau saja seseorang tak menegurnya.
Andika menoleh cepat, tersadar dari keterpakuannya.
"Ki Manik Angkeran?" sebut Andika pelan.
Tanpa diduga sesepuh Desa Wadaswetan itu akan dijumpainya di tempat tersebut.
"Ada apa, Ki?" tanya Andika, heran.
"Aku sengaja mencarimu...," jawab lelaki tua berwibawa itu. "Ada sesuatu yang lupa kusampaikan kepadamu, Nak Andika...." "Apa itu, Ki?" "Bukankah kau masih keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan?" Bukannya menjawab pertanyaan Andika, dia malah balik bertanya.
"Memangnya kenapa, Ki?" tanya Andika, setelah mengangguk.
Ki Manik Angkeran bergumam sesaat "Aku lupa memberitahukanmu, kalau keluarga yang dirampok kawanan Ny i Rorokweni delapan belas tahun lalu adalah anak Ki Panji Agung, seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Jadi, mungkin mereka adalah keluargamu juga...," jelas laki-laki tua itu.
Andika terhenyak. Apa yang mesti dikatakannya pada Ki Manik Angkeran tentang kematian Mayangsari yang ternyata masih berhubungan darah dengannya? "Sayang sekali, waktu itu aku tak sempat menyelamatkan gadis kecil anak keluarga pendekar itu...," desah Ki Manik Angkeran.
"Dia sudah menjadi gadis cantik, Ki. Tapi, kini sudah jadi mayat," selak Andika seraya mengarahkan pandangan ke tubuh Mayangsari.
"Jadi diakah gadis kecil itu?" tanya Ki Manik Angkeran.
"Sayang sekali, padahal aku berharap dia bisa tetap hidup dan mencari adiknya...." "Adiknya?" "Ya. Kau tentu bertanya, kenapa Nyi Rorokweni mendatangiku ke Desa Wadaswetan dengan menyamar sebagai Ratu Racun? Dia ingin membunuhku, karena akulah saksi mata yang mengetahui perbuatan mereka. Mereka takut, anak keluarga pendekar itu menuntut balas dendam, dengan meminta keterangan padaku," tutur Ki Manik Angkeran, tidak membuat Andika puas.
"Tapi kau tadi mengatakan tentang adik wanita itu?" "Ya Akulah yang membawa adik lelakinya yang berumur delapan bulan. Lalu, anak itu kutinggal di pinggir Hutan Watuabang...." Andika mendadak dirasuki ingatan tentang masa kecilnya.
Dia pun ditemukan di tepi hutan oleh orangtua angkatnya seorang ahli mencopet. Tiba-tiba pula, timbul keinginan untuk menanyakannya lebih lanjut pada Ki Manik Angkeran. "Kau masih ingat tanda anak lelaki kecil itu?" tanya Andika.
Ki Manik Angkeran mengangguki pertanyaan Andika.
"Ya Ada tanda berbentuk bintang di tangan kanannya, berwarna biru kehijau-hijauan." Saat itulah seluruh persendian Andika seperti dilepas secara paksa. Tanda yang disebutkan Ki Manik Angkeran memang dimiliki pendekar muda ini pada tangan kanannya.
Jadi? Pendekar Konyol terhenyak lesu. Pencarian keluarganya ternyata tiba pada satu kekecewaan. Wanita yang dikenal sebagai Ratu Racun yang sebenarnya ternyata kakak kandungnya. Tapi belum lagi mengenal lebih dekat, Mayangsari telah pergi untuk selamanya.
"Siapa nama gadis kecil anak keluarga pendekar itu, Ki?" tanya Andika samar.
"Mayangsari...." "Ah Kak Mayangsari. Kenapa kita mesti berjumpa saat kau tidak bisa lagi berbagi kasih pada adikmu ini?" keluh hati Andika yang paling dalam.



||| SELESAI |||



INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Mustika Putri Terkutuk --oo0oo-- Darah Pembangkit Mayat


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.