Life is journey not a destinantion ...

Undangan Ratu Mesir

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Permainan Tiga Dewa --oo0oo-- Piramida Kematian



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: UNDANGAN RATU MESIR

||| 1 |||

Catatan:
*Kendo = ilmu pedang.
*Papirus = sejenis kertas yang digunakan bangsa Mesir Kuno untuk menulis.
*Oase = mata air di tengah gurun.
*Osiris = Dewa Kematian menurut kepercayaan Mesir Kuno.
*Arigato gozaimash = terima kasih.
*Dewa Anubis = Dewa Penjaga Kematian bertubuh manusia berkepala serigala, yang mengadili 120 jiwa setelah mati menurut kepercayaan Mesir Kuno.


Negeri Sakura. Tempat lahirnya para Samurai perkasa, ksatria-ksatria yang mengarungi kehidupan di ujung maut. Di negeri matahari terbit ini, musim panas bertabur cahaya terik menguasai sebuah daerah bernama Kyoto.
Siksaan musim panas tak berbelas sedikit pun, telah menyengsarakan pepohonan yang biasanya marak dengan bunga berwarna-warni di musim semi. Daun-daun berguguran tak berdaya. Sebagian masih melayang-layang di udara dalam warna coklat matang, lalu tergolek di tanah.
Sehingga menambah lapisan daun-daun yang bertumpuk.
Hampir semua pohon telah telanjang yang tersisa hanya ranting-ranting meranggas yang miskin daun. Jangan lagi yang berwarna hijau. Yang berwarna coklat pun, sudah terkatung-katung menunggu ajal.
Entah datang dari mana, langit musim panas yang tak bersahabat, tahu-tahu sudah disatroni seekor burung berukuran sebesar ayam jantan.
Warna hitamnya menjadi demikian mencolok, ketika terjilat cahaya si raja siang. Dengan kepala yang tak berbulu serta paruh yang begitu besar, burung itu tampak amat menakutkan. Lehernya agak panjang. Di sebagian lehernya tumbuh bulu putih melingkar, seolah sedang mengenakan selendang.
"Koaaak Koaaakkk..."
Suara makhluk angkasa itu mencabik suasana lengang di sekitar hutan di pinggir barat Kyoto.
Ternyata ada satu sosok manusia yang memperhatikan gerak-gerik binatang itu dari bawah sana. Seorang yang berperawakan kelebihan bobot. Perutnya memang tak begitu buncit. Tapi, di seputar pinggangnya bertumpuk lemak. Dengan ukuran yang tak terlalu tinggi, tubuhnya jadi tampak lebih gempal. Ditambah lagi, pakaiannya yang terlalu kecil untuk ukuran badan sebengkak itu.
Seperti layaknya penduduk negeri Nipon, mata lelaki gemuk itu sipit.
Alisnya menghitam lebat melancip seperti mata tombak. Kumisnya tak bedanya ekor tikus selokan. Panjang menjuntai, bergulung, dan melancip.
Bibirnya tampak lebih mancung dari hidungnya sendiri. Di atas keningnya yang melebar, tumbuh rambut panjang yang dikepang teratur.
Di bawah sebuah pohon besar kering, sosok bertubuh gempal itu duduk mengampar. Tak peduli lagi pada lemak perutnya yang berjejal-jejal keluar dari sela-sela pakaian.
"Kurasa burung ini sudah sinting," ucapnya seperti menggerutu dalam bahasa dan logat Jepang kental.
"Setahuku, burung jenis itu hidup di gurun- gurun. Bagaimana dia bisa sampai di tempat ini? Apa dikira musim panas tahun ini akan membuat Kyoto menjadi gurun seperti tempat tinggalnya? Bhuh Tak sudi aku"
"Koakkk"
Gerutuan lelaki gemuk tadi dibayar dengan teriakan serak burung di angkasa.
"Kau membuatku muak" teriak si lelaki gemuk sambil menengadahkan kepala.
"Suaramu membuat telingaku tuli Kenapa kau tak pergi jauh-jauh dari sini Aku memang memiliki kelebihan daging. Tapi, aku tak akan sudi membaginya padamu Kau dengar itu"
"Koak"
"Ada apa Kenjiro?"
Tiba-tiba terdengar suara teguran. Ketika laki-laki yang dipanggil Kenjiro itu menoleh di sebelahnya berdiri seorang lelaki berperawakan kekar. Bahunya yang berotot terlihat menonjol. Begitu juga dada bidangnya, meskipun mengenakan sejenis kimono yang cukup besar.
Wajah tampan laki-laki kekar berusia sekitar dua puluh enam tahun itu dilengkapi rahang kekar persegi yang ditumbuhi jenggot tipis tak sempat dipangkas. Matanya juga sipit, tapi memiliki sorot berpengaruh.
Sedangkan rambutnya hitam legam agak mengkilat, ditata apik membentuk ekor kuda dengan ikatan khas.
Dari sepasang samurai panjang dan pendek yang terselip di masing-masing bagian pinggangnya, langsung bisa diduga kalau dia adalah seorang ksatria.
"Kau lihat itu, Hiroto Ada burung pemakai bangkai dari gurun nyasar ke tempat ini...," kata Kenjiro seperti sedang melapor.
Lelaki bernama Hiroto yang baru datang mendongak ke angkasa. Dari tadi pun dia memang sudah melihat burung itu berputar-putar di sekitar mereka.
"Aku sudah tahu sejak tadi," jawab Hiroto, pendek.
"Apa kau tak merasa aneh, Hiroto...?"
Hiroto cuma mengangguk kecil. Sikapnya benar- benar tenang berwibawa.
"Kira-kira, ada pertanda apa ini?" cecar Kenjiro.
Kepala Hiroto lagi-lagi bergerak. Kali ini dia menggeleng.
"Aku belum tahu," jawab Hiroto menegaskan arti gelengannya.
"Bagaimana? Apa kau sudah siap untuk melanjutkan perjalanan?" sambungnya ke lain masalah. Wajah berpipi tebal Kenjiro meringis.
"Aaah Cepat sekali kita beristirahat. Rasanya keringatku pun belum kering. Dan rasa capekku belum hilang benar...," keluh Kenjiro.
Hiroto tidak mau lagi meminta pendapat Kenjiro. Setelah membenarkan letak dua samurainya, kakinya melangkah di atas humus kering.
"Sebentar lagi kita sudah akan tiba di rumah. Kenapa harus beristirahat lama-lama?" kata Hiroto.
"Baik Baik Kau menang" maki Kenjiro kesal. Laki-laki bertubuh gempal itu pun bangkit bersusah-payah. Kemudian disusulnya Hiroto dengan wajah terlipat.
Kira-kira beranjak dua ratus tindak dari tempat semula, lelaki berpakaian ksatria Jepang yang bernama lengkap Hiroto Yamaguci menahan langkah. Wajahnya tampak menjadi kaku, karena tegang.
Dengan sinar mata waspada penuh, diselidikinya keadaan sekitar. Dua bola matanya bergerak kian kemari, seakan singa perkasa menanti mangsa.
"Ada apa, Hiroto?" bisik Kenjiro di belakangnya, ketika Hiroto membentangkan tangan kanan.
Hiroto tak menyahut. Cara berdirinya tetap tegang, seperti sebelumnya. Sementara, tangannya sudah menggenggam gagang samurai, siap diloloskan jika sesuatu yang tak diharapkan terjadi tiba-tiba.
"Ah Kau ini mengada-ada saja" usik Kenjiro kembali.
Laki-laki gempal itu tak merasakan ada bahaya sedikit pun. Telinganya tak mendengar suara mencurigakan. Tidak juga matanya.
"Diam," bisik Hiroto penuh tekanan.
"Aku mendengar bunyi mencurigakan...."
Kenjiro kini harus benar-benar bungkam. Sepanjang pengetahuannya, Hiroto yang masih bertalian darah dengannya memiliki pendengaran peka.
Sebagai seorang Samurai, Hiroto pantas dikagumi. Kalau kali ini pemuda gagah berusia sekitar dua puluh enam tahun itu berkata ada bunyi mencurigakan, artinya memang benar ada yang mencurigakan.
Firasatnya pun tak kalah tajam, untuk membedakan mana suara yang wajar dan suara yang mengancam.
Wajar saja kalau Hiroto memiliki kewaspadaan tinggi. Di samping sebagai seorang Samurai sejati yang kerap menghadapi hidup keras dan kejam, keluarganya juga memiliki musuh bebuyutan. Dan itu memang sudah lumrah dalam keluarga Samurai.
Sekitar dua abad yang lalu, terjadi perselisihan antara dua orang Samurai seperguruan yang memperebutkan senjata samurai pusaka dari guru mereka. Murid termuda mewarisi samurai itu dari gurunya.
Sementara, murid tertua tentu saja menjadi iri. Bukankah selaku murid tertua yang mestinya mendapatkan benda pusaka itu?
Ketegangan yang lama terpupuk, akhirnya meledak juga. Itu terjadi ketika sang guru meninggal dunia. Dengan semena-mena, murid tertua meminta paksa samurai pusaka dari tangan adik seperguruannya.
Murid termuda sebenarnya bersedia saja memberikan samurai pusaka itu pada kakak seperguruannya. Dia lebih suka memilih tidak bermusuhan dengan saudara seperguruan, hanya karena sebuah benda.
Namun gurunya sendiri sudah jelas-jelas berwasiat bahwa samurai itu tidak boleh sampai dipegang kakak seperguruannya. Dan alasan wasiat itu tak pernah dimengertinya. Hanya saja, dia ingin menjalankan amanat orangtua yang begitu dihormati dan disanjungnya tanpa banyak tanya.
Maka perkelahian antara dua Samurai tangguh itu terjadi. Tidak ada yang menang, tidak juga ada yang kalah. Hanya keduanya mengalami luka-luka berat. Setelah masing-masing berkeluarga, murid tertua rupanya tak puas persoalan berakhir sampai di situ. Dicekokinya semua anak-anaknya untuk bermusuhan dengan keluarga adik seperguruannya.
Permusuhan itu sampai saat itu sudah banyak meminta korban nyawa dari anggota keluarga keturunan mereka. Dan Hiroto dan Kenjiro termasuk salah seorang keturunan dari murid yang termuda.
Tak ada enam tarikan napas, firasat Hiroto ter-bukti.
Srak
Dari sisi kiri Hiroto, terdengar bunyi sesuatu melanggar dahan kering.
Dengan sigap, tangan Hiroto menarik samurai panjang. Kemudian disabetkannya samurai itu dengan satu gerak kendo*, mencoba menghadang arah suara tadi.
Sing..., tas
Mata samurai Hiroto meminta korban. Sasarannya ternyata hanya dahan kayu sebesar paha manusia di depannya yang tak sengaja terkena. Begitu tersambar, dahan kayu besar itu langsung terpapas rata. Padahal, kayu pohon itu termasuk jenis kayu alot
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba menyeruak satu bayangan hitam dari sisi kiri Sambaran pedang yang mestinya langsung membelah bayangan itu ternyata luput, karena terlebih dulu menangkap kelebatan samurai Hiroto. Rupanya, bayangan itu punya naluri untuk melakukan gerakan menghindar yang tak kalah cepat dari ayunan samurai.
"Binatang keparat Benar kataku, bukan? Burung itu tak sekadar berputar-putar tanpa maksud di atas wilayah ini" maki Kenjiro gusar, begitu melihat sosok hitam itu melayang di angkasa.
Bayangan hitam itu rupanya burung gurun besar yang sejak tadi mereka lihat. Begitu tahu dirinya terancam mata samurai Hiroto, dia langsung membuat gerakan melayang kembali ke udara, bersama koakan memekakkan telinga.
"Koaaakkk"
Hiroto tak sempat memperhatikan makian saudara sepupunya.
Perhatiannya tersita oleh gulungan papirus* yang dijatuhkan burung tadi, tepat di kakinya. Gulungan papirus itu terlihat amat tua. Sebagian isinya sudah koyak-moyak.
"Apa lagi yang dikerjakan binatang laknat itu?" sungut Kenjiro, begitu tahu gulungan papirus yang diperhatikan saudara sepupunya.
"Sepertinya dia membawa pesan buat kita, Kenji...," ucap Hiroto tak berkedip sama sekali. Pandangannya terpusat pada gulungan papirus.
Sepertinya, dia hendak menyingkap maksud apa yang ada dalam gulungan.
"Apa berbahaya?" tanya Kenjiro.
"Aku heran. Bukankah ini papirus yang digunakan bangsa Mesir untuk menulis? Kenapa burung itu bisa mendapatkannya?" gumam Hiroto, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Kenjiro.
"Apa berbahaya, Hiroto?" ulang Kenjiro, penasaran.
"Tampaknya tidak," barulah Hiroto menjawab.
"Aku yakin ini hanya pesan."
Dengan ujung samurainya, Hiroto mengangkat gulungan papirus. Setelah memasukkan kembali samurai ke sarungnya, mulai dibukanya lembaran papirus hati-hati sekali. Bukan karena merasa ada ancaman bahaya, melainkan karena gulungan papirus di tangannya sudah begitu rapuh
Kini di depan mata Hiroto terbentang gulungan papirus. Tak ada sedikit pun ancaman bahaya yang mencuat dari dalamnya, tepat seperti dugaannya. Di atas lembaran itu, terdapat gambar kusam berupa piramida besar yang bersisian dengan patung raksasa berbentuk macan berkepala manusia. Tepat di bawah gambar piramida, ada tambahan lukisan telapak tangan terbuka.
"Ini bahasa isyarat, Kenji...," tutur Hiroto.
"Maksudnya?"
"Sepertinya, kita diundang oleh si pemilik piramida untuk datang ke sana...."
"Ratu Mesir?" sentak Kenjiro terlonjak. Mata sipitnya jadi agak membesar. Bibirnya pun jadi makin mancung....

***

||| 2 |||

Tak ada seorang pun tahu, bagaimana waktu dapat terus memburu hari-hari tanpa henti. Berputar dan berputar, bagai tak berujung pangkal. Tak seperti manusia yang mengenal arti lelah. Sehari lagi terlewati. Pagi baru lahir dengan beragam perniknya.
Seorang pemuda tampak berjalan melenggang. Wajahnya yang secerah mentari di kaki langit sebelah timur sana selalu dihiasi senyum tipis. Pakaiannya hijau muda, berselempang kain bercorak catur di bahu.
Rambutnya tak terurus menunjukkan pribadinya yang urakan pula. Kalau bibirnya tampak selalu tersenyum, bukan berarti sinting. Maksudnya, hanya sekadar menyapa hari dengan rasa damai. Terutama ketika mata berkesan tegar dan tegas miliknya memperhatikan hamparan warna hijau alam dikanan dan kiri. Perut yang tak terisi sejak semalam tak pernah dijadikan beban atau sebeber keluhan.
Baik ada masalah atau tidak, pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor seakan siap menghadapi segala kemelut hidup dengan senyum. Baginya, menghadapi hidup mesti disamakan dengan menghadapi kekasih.
Kalau Tuhan sudah memberi sekian banyak kenikmatan sekaligus keindahan, tak semestinya menggerutui sedikit kesusahan. Sebab pada hakikatnya, tidak akan lahir kesenangan tanpa kesusahan. Seperti juga kita mengenal keindahan karena ada keburukan. Mengenal sehat, karena ada sakit. Begitu kata hati Andika sambil terus melangkah pasti menuju utara.
Tak ada tujuan pasti, hendak ke mana pemuda berselempang kain bercorak catur itu menambatkan langkah. Di mana pun bagian bumi yang membutuhkan kehadirannya, maka Pendekar Slebor akan ke sana.
Waktu seperti melesat cepat kalau tidak dicermati. Siang pun menjelang. Tepat ketika sinar matahari menukik tepat pada ubun-ubun, pemuda berpakaian hijau muda tiba di sebuah dataran tandus berbukit-bukit kapur.
Sesaat Andika berhenti. Disapunya peluh di dahi dengan bajunya. Kalau pagi tadi bibirnya mengumbar senyum, jangan heran bila mulai sekarang mengumbar ringisan. Panas siang demikian mendera. Kerongkongannya terasa sudah demikian kerontang. Kalau tak segera mendapatkan air, tubuhnya terasa seperti dikeringkan.
"Bagaimana caranya aku tahu sumber air di tempat segersang ini," gumam Andika. Seraya menaikkan telapak tangan ke depan dahi, pandangannya ditebarkan ke segenap penjuru.
Kekeringan. Hanya kekeringan yang disaksikan. Rumput liar yang biasanya sanggup bertahan, malah sudah berubah kecoklatan. Selebihnya cuma warna putih dari tanah berkapur yang membentuk bukit-bukit kecil seperti gelombang laut membeku.
"Heran Kenapa aku mau-maunya terus melangkah ke tempat ini?" gumam Andika lagi, menggerutui kebodohannya.
"Coba kalau tadi aku mengikuti bapak tua penggembala bebek. Mungkin aku bisa tiba di dekat pedukuhan kecil. Bisa menikmati kopi hangat di warung. Bisa mencicipi buah segar. Bisa melahap dua piring nasi ditambah sepiring ketan kuning...."
Lidah Andika tanpa sadar bergerak di seputar bibir, membayangkan semua itu.
"Ah Kalau cuma berkhayal seperti ini, mana bisa mendapatkan makanan. Memangnya keinginan bisa jatuh dari atas langit Dasar tolol" maki Pendekar Slebor pada diri sendiri.
Lalu, Andika pun memutuskan untuk melanjutkan langkah saja. Apalagi, pikirnya, sudah telanjur jauh kakinya melangkah. Siapa tahu tak berapa jauh lagi, akan menemukan pedukuhan kecil. Tak terlalu jauh mengayun langkah, kembali anak muda itu berhenti.
Ada sesuatu yang menjegal niat untuk meneruskan langkahnya. Karena hidungnya tiba-tiba mencium aroma lezat daging bakar. Belum jelas, dari mana asalnya. Andika sendiri bingung. Siapa orang yang memanggang daging burung di tempat ini. Padahal, sepanjang perjalanan di tempat itu tak terlihat ada seekor burung pun terbang melintas.
Kalau ada, tentu sudah sejak tadi perutnya bisa terisi. Lalu, dari mana pula dia mendapatkan kayu bakar? Sedangkan dataran itu cuma ditumbuhi rerumputan kering. Tak mungkin memanggang daging hanya dengan rerumputan kering, bila tak ingin hasilnya setengah matang.
Sebentar hidung Andika kembang-kempis. Dia ingin meyakinkan penciumannya. Siapa tahu, aroma sedap yang sempat terperangkap dalam lubang hidungnya tadi cuma permainan perasaan.
Cium punya cium, endus punya endus, ternyata aroma sedap menggelitik selera itu tak juga lenyap. Kalau sudah begitu, persoalan tentu menjadi lain lagi. Bisa dipastikan hidung Andika memang sehat walafiat.
Urusannya sekarang, cuma mencari di mana orang itu berada. Pendekar Slebor cuma ingin tahu, bagaimana orang itu mendapatkan daging burung. Dan, dengan apa memanggangnya. Hitung-hitung menemani makan. Itu pun kalau bisa Bibir Andika mulai bisa tersenyum lagi. Berharap dapat menangsal perutnya yang sudah kekuruyuk berat.
Tanpa mengalami kesulitan, anak muda itu sudah dapat menemukan tempat orang yang dicari, di antara dua gundukan bukit kapur.
"Ah Kau lagi, Anak Muda" sambut seorang laki-laki tua yang sedang membalik-balik daging panggang di tangannya. Rupanya, dengan tangannya pula daging itu dimatangkannya.
Andika dipaksa terperangah. Bukan sekadar cara orang tua itu mematangkan daging panggangnya. Tapi, juga karena sudah pernah berpapasan dengan orang tua itu. Dialah penggembala bebek yang dijumpainya lepas pagi tadi Entah, ke mana gerombolan bebeknya yang begitu riuh mengeluarkan bunyi beleter.
"Kau ingin nimbrung menggasak dua potong daging ini, atau hanya ingin menontonku?" tambah lelaki tua penggembala bebek tanpa menoleh.
Andika tersadar. Sambil cengar-cengir, dihampirinya orang tua itu.
"Kalau diizinkan, aku memang ingin sekali menemani...," jawab Andika cepat, seakan takut tawaran baik orang di depannya hanya berlaku sekali.
"Kalau begitu, cepatlah"
Tanpa banyak basa-basi lagi. orang tua berpakaian seadanya itu menyodorkan sepotong besar daging panggang yang masih mengepulkan asap.
"Nih, sikat sampai kenyang"ujar si penggembala bebek berkelakar, meski bibirnya cuma tersenyum tak kentara.
Andika tersenyum-senyum menerima jatah yang demikian besar untuknya. Jangan lagi untuk menghabiskan. Untuk memakannya setengah saja, mungkin sudah menyerah.
"Dari mana kau dapatkan burung sebesar ini, Pak Tua?" tanya Andika ingin tahu.
"Setahuku, di sini tidak ada burung sama sekali...."
"Itu bukan burung. Apa kau tak bisa mengenali? Itu kan bebek..."
Andika yang sudah duduk menekuk lutut di hadapan penggembala bebek mengangguk-angguk
"Pasti ini bebekmu...," tebak Andika sambil mencium bau bebek panggang yang bisa membuat air liurnya menetes tak terasa.
Kalau saja Andika tak merasa harus bertata-krama di hadapan orang tua baik hati ini, sudah diterjangnya daging bebek itu selahap-lahapnya.
"Tentu saja. Perutku tak biasa menerima makanan yang tak halal," balas laki-laki tua itu sambil mengipas-ngipas dada dengan caping lusuh yang sejak tadi hanya diletakkan di sisinya.
"Lalu mana bebek-bebekmu yang lain?" susul Andika.
"Sudah habis dimakan...."
Pemuda itu tertawa. Orang tua itu tentu sedang bergurau, pikirnya.
"Ayo, silakan disantap" kata orang tua penggembala bebek itu mempersilakan. Lalu mereka pun makan dengan lahap.
Selesai makan, penggembala bebek di sebelah pemuda berpakaian hijau-hijau ini menyerahkan tempat air dari kulit pada Andika. Kebetulan sekali, pemuda ini sedang haus tak terkira.
Segera saja Andika menjemput kantong kulit dari tangan penggembala bebek itu. Diteguknya sepertiga air dalam kantong itu. Dahaga berat telah membuatnya jadi tak berhati-hati lagi pada kebaikan orang yang baru dikenalnya.
Setelah puas meneguk, tenggorokan Andika memang dapat dibebaskan dari kekeringan yang menggelantung. Tapi masalah baru yang jauh lebih mengancam jiwanya, malah mendatangi. Kepala pemuda ini perlahan-lahan terasa memberat. Matanya berkunang-kunang tak karuan.
Sementara seisi perut serta dadanya seperti diaduk-aduk tangan makhluk usil.
Sebentar kemudian, Andika melengak. Kerongkongannya kini lebih kerontang dari sebelumnya. Rasanya, dia seperti tercekik tali sebesar lengan.
"Kau...," desis Andika seraya mendekap leher dan dada dengan suara terseret.
"Kau meracuniku...."
Mata Andika menatap gusar pada orang yang telah menipunya.
"Kau menipuku, Orang Tua...," desis Andika lagi, terdengar meletup diguncang kegusaran yang menggelegak dalam diri, berbareng menggelegaknya darah akibat pengaruh racun dalam air tadi.
"Aku tidak menipumu," jawab si penggembala bebek acuh sekali.
"Hanya kau saja yang tidak hati-hati. Di dunia ini, kau harus jeli-jeli memiliki mata. Tak semua orang yang bersikap baik, berarti memiliki hati yang baik pula...."
"Kentut busuk" maki Andika makin terseret karena menderita.
Pemuda itu berusaha bangkit dari duduknya. Namun, seluruh sendi di tubuhnya seperti dipreteli. Dan otot-ototnya terasa lebur. Dia menjadi lumpuh. Tinggal matanya saja yang kini menatap nyalang orang tua di depannya.
"Kau minumlah lagi air dalam tabung ini," ujar si penggembala tua, seakan tak pernah merasa bersalah sedikit pun. Disodorkannya kembali kantong kulit itu pada pemuda yang sudah telentang tanpa tenaga.
"Aku belum sinting untuk meminum racun sialmu lagi, Orang Tua Bau"
maki Andika. Namun suara yang keluar dari mulutnya malah mirip rintihan.
"Terserah maumu, Pendekar Slebor...," tukas penggembala tua amat ringan, sambil menyelonjorkan kaki.
"Kalau aku jadi kau, tentu akan kuminum kembali air itu"
"Kau tahu namaku pula Sekarang, aku tahu. Kau tentunya tokoh sesat yang mengincarku sekian lama" tuding Andika alias Pendekar Slebor, ksatria muda sakti dari Lembah Kutukan yang sepak terjangnya terlalu banyak membuat muak tokoh-tokoh sesat.
"Terserah apa katamu. Kau mau minum kembali atau tidak?"
"Ya Setelah itu, aku mati"
"Kau tetap akan mati, baik meminum airku atau tidak. Aku pun akan mati. Semua orang akan mati. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup terus. Yang berbeda, cuma cara dan waktu matinya...."
"Tapi tidak dengan cara seperti ini"
"Kalau begitu, kau harus turuti kata-kataku. Minum air ini kembali...."
Suara penggembala tua itu seperti memaksa.
Kata-kata itu membuat Pendekar Slebor agak terusik. Air beracun yang diminumnya sudah demikian banyak tadi. Tanpa perlu meminum kembali dari kantong air lelaki tua itu, sudah bisa dipastikan nyawanya akan terlempar keluar dari raga oleh racun ganas dalam tubuhnya. Lalu, akan terasa aneh kalau si tua ini justru agak memaksa untuk meminum kembali airnya.
"Bagaimana? Makin banyak kau menimbang-nimbang, makin cepat racun dalam tubuhmu menjalari aliran darahmu...," tawar si penggembala tua kembali, seraya menyodorkan kantong kulit berisi air untuk kesekian kalinya.
Andika akhirnya mau juga menerima kantong air dari tangan lelaki tua itu, meski harus susah payah menggerakkan tangannya. Sudah telanjur basah, pikirnya. Tanpa meminum kembali air dalam kantong itu, dia toh tetap akan mati digasak racun. Kalau ternyata racun dalam tubuhnya malah bertambah, paling tidak, bisa mati tanpa tersiksa.
Selesai meminum kembali air dalam kantong kulit beberapa teguk, perlahan-lahan Andika merasa kepalanya mulai ringan kembali. Rasa mual dan sesak di dadanya pun enyah entah ke mana. Termasuk cekikan di tenggorokannya.
Tak berapa lama kemudian, Pendekar Slebor sudah pulih benar. Bagian-bagian tubuhnya bisa digerakkan kembali dengan leluasa.
"Sekarang kau percaya kalau aku tidak berniat membunuhmu, bukan?"
kelakar si penggembala tua. Diperlihatkannya sebaris gigi yang tumbuh renggang.
Andika sama sekali tidak menganggap gurauan kecil itu lucu. Dan keningnya pun berkerut.
"Aku tak mengerti, apa maksudmu dengan meracuniku tadi?" tanya Pendekar Slebor ingin tahu. Kegusarannya, entah bagaimana, diganti rasa penasaran.
"Aku tidak meracunimu, Pendekar Slebor Bukankah sudah kukatakan sebelumnya? Dan aku sengaja tak memperingatimu, agar kau bisa menjadikannya pelajaran. Jadi kau nanti bisa tetap berhati-hati terhadap orang yang tampaknya baik, namun sebenarnya memiliki hati keji. Aku tunggu ucapan terima kasihmu" gurau si penggembala tua lagi.
"Jadi, selama ini yang kau minum cuma air racun?" susul Andika agak terperanjat. Memang, cuma orang sinting yang ingin menjadikan air beracun sebagai minuman sehari-hari, Andika tak habis pikir jadinya.
"Kau mau tahu?" tanya si penggembala tua.
Laki-laki tua itu bangkit, lalu melemaskan otot-otot dengan menggeliat sejenak.
"Ini.... Bawalah kantong airku ini. Suatu saat, kau akan tahu kenapa aku melakukannya."
Kemudian si penggembala tua itu melemparkan kantong air kusam pada Andika.
Pendekar Slebor menangkapnya dengan pertanyaan tak terjawab di hati. Sedangkan si orang tua melenggang pergi begitu saja.

***

||| 3 |||

Sebuah kapal yang kalau dilihat dari umbul-umbul yang ada berasal dari Kerajaan Cina, merapat di dermaga sebelah barat tanah Jawa. Megah dan angker dengan layar bertuliskan huruf Cina besar. Gambar seekor naga tampak melatar belakangi tulisan itu. Dari bentuknya jelas sekali kalau itu adalah kapal perang. Panjangnya sekitar lima puluh tombak. Sedang lebarnya sekitar lima belas tombak. Warna kapal perang itu macih cerah. Namun bukan berarti kapal baru.
Justru, usianya cukup tua dan memiliki sejarah sendiri bagi kerajaan yang diperkukuhnya. Bisa jadi kendaraan perang samudra itu telah mengalami pemugaran.
Setelah sauh dibuang, gerbang di lambung kapal tampak menganga. Tak lama, jembatan dari papan berpermadani pun menjulur dari dalamnya.
Begitu ujung jembatan bertemu bibir dermaga, keluarlah seorang putri berwajah cantik. Lelaki mana pun pasti akan ternganga bisa menyaksikan wajahnya yang sarat keagungan sekaligus keanggunan.
Tak seperti layaknya seseorang yang baru tiba di negeri asing, mata sang putri tampak tak memperhatikan suasana dermaga besar yang sarat kesibukan. Bahkan sekalipun matanya tak melirik beberapa penduduk asli yang terlongong menatap kemegahan kapal atau mendapati kecantikan sang putri. Mata yang bergaris dan jeli milik pembesar wanita Cina itu seperti terpaku kaku, pada satu titik di kejauhan sana. Apa yang diperhatikannya? Tidak ada Orang lain tentu menganggap putri dari negeri cina ini angkuh. Namun itu pun tidak benar. Karena, sebenarnya mata wanita agung jelita itu buta
Kaki langsing sang putri mulai bergerak perlahan di sepanjang hamparan permadani tebal buatan Parsi yang menyelimuti jembatan kayu.
Sementara dia berjalan, angin tanah Jawa memberi tabik dengan sapuan ramah. Sehingga, membuat pakaian kebesaran dari sutera hijau miliknya menjadi menggelepar kecil.
Para prajurit, baik yang berdiri tegap di sepanjang sisi buritan atau di kedua sisi pintu kapal, memberi penghormatan pada putri cantik yang buta ini.
Tepat di belakang sang putri, berjalan mengiringi seorang pemuda yang kegagahannya sebanding dengan kecantikan putri di depannya. Pemuda itu mengenakan baju panjang khas Cina berwarna biru tua. Setiap melangkah, kakinya tersembul ringan dari belahan baju panjangnya.
Celana panjang yang dipakainya pun berwarna biru tua pula. Dengan rambut dikepang teratur, ditambah ikat kepala berwarna merah, dia makin tampak berwibawa. Di tangannya yang terangkat ke depan dada, terdapat pedang bergagang kepala naga yang tersimpan dalam warangka kayu berukir, terbungkus kain sutera berjumbai-jumbai benang emas.
Pemuda itu tak lain Chin Liong. Dialah salah seorang sahabat Pendekar Slebor dari negeri Cina yang jauh di seberang samudera sana. Putri di depan Chin Liong, ternyata Putri Ying Lien. Dia adalah pewaris Kerajaan Cina yang telah berhasil memulihkan gejolak pemberontakan di dalam negerinya. Bahkan juga berhasil merebut kembali kursi kerajaan atas bantuan Pendekar Slebor. Dengan begitu, tentu saja kedua orang dari negeri Cina ini merasa amat berhutang budi pada pendekar muda tanah Jawa itu (Baca: "Pusaka Langit" dan "Pengejaran Ke Cina").
Tujuan mereka jauh-jauh membelah samudera pun, sebenarnya berhubungan erat dengan Pendekar Slebor. Bukan sekadar untuk singgah mengunjungi sahabat lama, tapi lebih dari itu. Langkah Putri Ying Lien telah tiba di anak tangga dermaga. Sementara Chin Liong segera mendekati hendak menawarkan jasa.
"Boleh kubantu, Tuan Putri?" aju Chin Liong.
Putri Ying Lien tersenyum, sampai barisan gigi putihnya tersembul kecil.
"Kenapa tiba-tiba kau memanggilku Tuan Putri, Chin Liong?" tanya Putri Ying Lien seraya mengangkat tangan kanannya yang segera disambut Chin Liong.
"Karena aku harus menjaga wibawamu di depan penduduk tanah Jawa ini," jawab Chin Liong berbisik.
"Lagi pula, terlalu banyak prajurit yang akan mendengar. Kalau aku memanggilmu dengan nama saja, apa nanti pikir mereka?"
Lalu pemuda itu pun tersenyum samar.
"Terima kasih, kalau kau begitu memperhatikan wibawaku sebagai Ratu baru kerajaan kita. Tapi rasanya, kewibawaanku tidak terjamin dari panggilan kehormatan saja, bukan?" tukas Putri Ying Lien perlahan, tapi menyentil.
Setelah itu, wanita anggun ini pun mulai menuruni tangga dermaga yang agak licin karena tampias ombak. Tangannya masih berpegangan pada tangan Chin Liong.
"Kalau kau berbicara seperti itu, aku jadi teringat sahabat kita...," ujar Chin Liong lagi.
"Andika maksudmu, bukan?" duga Putri Ying Lien.
Chin Liong menjawabnya dengan deheman.
"Tak ingat kalau dia begitu berpegang teguh pada satu pendapatnya? Katanya waktu itu, nilai manusia hanya bisa ditinggikan dari dalam dirinya sendiri. Apa kau tak ingat pada pemuda itu juga?" lanjut Chin Liong bernada menggoda.
Wajah Putri Ying Lien sedikit bersemu merah. Namun, dia masih bisa menguasai diri untuk tidak menundukkan wajah. Pribadinya memang tak gampang digoyang.
"Tentu saja," ucap wanita itu pasti.
"Apa aku tak boleh rindu pada seorang sahabat?"
Chin Liong mau tertawa saat itu. Tapi, segera ditahannya. Lagi-lagi dia tak mau wibawa Putri Ying Lien yang sudah seperti saudara kandungnya sendiri, menjadi terusik.
"Kau pandai menghindar...," ledek Chin Liong, perlahan sekali.
"Apa katamu?"
"Tidak apa-apa...."
Memang tak salah perkiraan Chin Liong. Putri Ying Lien tampaknya memaksakan diri, untuk memenjarakan perasaan sebenarnya, terhadap diri pemuda urakan berkesaktian tinggi dari tanah Jawa yang sedang dibicarakan.
Chin Liong yakin Putri Ying Lien tak sekadar menaruh perhatian terhadap Pendekar Slebor. Malah lebih tepat jika dikatakan sudah mulai mengagumi. Bahkan mungkin sudah tersemai benih cinta yang selalu saja dicoba untuk menyingkirkannya.
Pada saat Chin Liong mulai membicarakan Pendekar Slebor tadi, Putri Ying Lien malah lebih dahulu memikirkannya. Membayangkan, bagaimana gaya anak muda itu berbicara. Bagaimana dia tertawa. Tentang pribadinya. Juga, tentang pelukan penuh perlindungan yang diberikan ketika mereka berhasil melewati masa genting dalam pertarungan melawan musuh-musuh besar kerajaan dahulu.
"Kau melamun lagi, pasti...," kata Chin Liong. Kata-kata Chin Liong yang terputus, menghanguskan bayangan yang tak sengaja dijalin Putri Ying Lien kembali dalam benaknya.
"Bukankah kau seharusnya naik kereta kuda untuk mencari penginapan sebelum para prajurit menemukan Andika?" susul Chin Liong.
Putri Ying Lien tersipu.
"Aku lupa," katanya.
Kereta kuda kerajaan yang dibawa serta dalam kapal pun tiba di dekat Putri Ying Lien. Putri itu naik ke dalamnya. Dan Chin Liong pun menyusul.
"Kau tunggulah di penginapan. Soal pencarian Andika, biar semuanya aku yang urus," kata Chin Liong dalam kereta yang sudah berlari perlahan menuju barat.
Di belakang, tampak empat orang perwira kerajaan yang ikut serta mengiring dengan kuda masing-masing. Sedangkan puluhan prajurit, berlari-lari di kedua sisi jalan.

***

"Yang Mulia tak ada" lapor seorang prajurit yang baru tiba dari kamar Putri Ying Lien.
Dua hari lalu, rombongan dari negeri Cina itu telah menyewa seluruh kamar di salah satu penginapan mewah di pinggiran kotapraja.
Selama ini, Chin Liong bersama dua perwira dan beberapa prajurit, mencoba mencari Pendekar Slebor. Mereka juga sudah mencoba menghubungi penguasa setempat, agar bisa mendapatkan bantuan.
Setidaknya, keterangan untuk menemukan Pendekar Slebor. Mulanya, penguasa setempat ingin menyiapkan penyambutan bagi rombongan Kerajaan Cina ini. Mereka ingin menjalin persahabatan. Tapi, Chin Liong terpaksa menolaknya karena tidak merencanakan untuk mengadakan kunjungan persahabatan. Mereka ke tanah Jawa semata-mata karena hendak menemui Pendekar Slebor.
Setelah dua hari berusaha mencari, hasilnya nihil. Itu pun sudah dibantu pengerahan prajurit penguasa setempat. Pendekar muda itu memang sulit ditemukan. Seperti juga sifatnya yang angin-anginan.
Tujuan langkahnya pun angin-anginan pula. Datang dan pergi begitu saja. Dia akan bersikeras tinggal jika ada satu masalah yang harus diselesaikan. Sewaktu hendak melapor pada Putri Ying Lien di ruang tamu penginapan, Chin Liong menyuruh salah seorang prajurit menyampaikannya ke kamar Putri Ying Lien. Sekaligus memberitahukan kalau dirinya sudah tiba.
Dan begitu si prajurit kembali ke ruang tamu, Chin Liong justru mendapat berita mengejutkan.
"Apa maksudmu?" tanya Chin Liong hampir menghardik. Bagaimana dia tidak terkejut, mendengar Putri Ying Lien tidak ada.
"Yang Mulia telah menghilang dari kamarnya" ulang prajurit tadi, menegaskan.
Rahang pemuda Cina itu mengeras. Otot-otot wajahnya seperti ditarik mendadak. Apa-apaan ini? Cepat Chin Liong berlari menuju kamar Putri Ying Lien, diikuti prajurit yang melapor.
Setibanya di kamar Putri Ying Lien, Chin Liong menemukan enam prajurit andalan bergeletakkan lunglai, seperti kehilangan tulang. Mata mereka berkedip-kedip takut, begitu tahu kalau Chin Liong yang kini menjadi panglima perang kerajaan datang. Jangan ditanya, bagaimana pucatnya wajah keenam prajurit itu. Sebab, ini perkara amat besar yang menyangkut nyawa Ratu mereka sendiri. Kalau sampai terjadi apa-apa pada diri gadis itu, maka kepala mereka harus dijadikan tebusannya. Meski kemarahan menggelegak di dada, Chin Liong tak segera meledak.
"Apa yang terjadi?" Dengan suara tersendat diamuk kegusaran, Chin Liong bertanya pada seorang prajurit jaga setelah membebaskannya.
Si prajurit bangkit takut-takut.
"Seseorang menculik Yang Mulia, Panglima" lapor kepala prajurit dengan tubuh menegang.
Kepala prajurit itu agak menengadah, takut menghadapi tatapan panas panglimanya. Karena itu pula jakunnya yang besar jadi terlihat jelas turun naik, seperti ada seekor anak katak melompat-lompat dalam lehernya.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" lanjut Chin Liong. Nada suaranya agak meninggi.
Mulut si prajurit megap-megap. Dia mau bicara, tapi begitu sulit.
"Tit... tit... tidak tahu, Panglima. Ses..., sewaktu kami sedang berjaga, tahu-tahu saja berkelebat bayangan seseorang. Begitu cepat, bahkan kami tak sempat menyadari ketika tertotok. Ap... ap... apa di penginapan ini ada hantunya, Panglima?" jelas prajurit itu susah payah.
Otot di bagian rahang Chin Liong tersembul-sembul. Terdengar pula gemeletuk gerahamnya. Dimasukinya kamar dengan langkah terbanting.
Pintu kamar dikuaknya beringas, sebagai sasaran kemarahannya.
Mata memerah ksatria Cina itu mengawasi setiap jengkal kamar. Seolah dia hendak mencungkil apa pun yang tampak mencurigakan. Namun sampai sejauh itu, tidak juga menemukan apa-apa.
"Bagaimana dengan dua perwira yang bertanggung jawab pada penjagaan Putri?" tanya Chin Liong kembali, pada prajurit yang meliriknya takut-takut.
"Maaf, Panglima. Aku tit... tit... tidak tahu...."
"Kau...," rutuk Chin Liong.
Bagai mana mungkin dua perwira yang ilmu bela dirinya tergolong hebat, bisa menghilang seperti ditelan hantu? Pikir Chin Liong, tanpa mau meneruskan kejengkelannya pada prajurit tadi.
Di kerajaan mereka, dua perwira itu bahkan sudah berada setingkat di bawah tokoh kelas atas Cina. Itu sebabnya, mereka diangkat sebagai perwira yang diandalkan.
Diandalkan? Kata itu sekarang sepertinya hanya jadi pepesan kosong.
Tanpa banyak keributan, si penculik sanggup membuat mereka tak berdaya. Bahkan kini tidak diketahui, ke mana mereka.
Mata Chin Liong tiba-tiba tertumbuk tanpa sengaja pada suatu yang tak wajar. Tampak langit-langit kamar agak mencembung keluar. Ada beban yang terlalu berat membuatnya begitu.
Tangan Chin Liong pun merambat menuju pedang di punggungnya.
Kemudian prajurit yang sudah terbebas dari totokan diisyaratkan untuk bersiaga.
Lembut sekali. Tanpa melahirkan suara sedikit pun, pedang panjang Chin Liong terangkat dari sarungnya dan dihunuskan di depan dada. Dia pun mulai mendekat ke bawah langiat-langit kamar, dengan langkah sangat ringan. Seekor tikus pun mungkin tak bisa mendengar langkahnya.
Padahal, belahan-belahan lantai kayu kamar akan berderit bila diinjak kecil sekali pun.
Tetap dengan mata tak berkedip yang terpusat pada langit-langit kamar, Chin Liong tiba tepat di bawah bagian yang dicurigai. Kemudian lambat tapi pasti, mata pedangnya terayun ringan ke belakang. Dan....
Sing Trash
Seperti membeset kulit pelepah pisang, mata pedang Chin Liong bergerak amat cepat, menyambar langit-langit. Sekejap berikutnya, terdengar bunyi berderak riuh akibat patahan langit-langit kamar.
Krak Bruk-bruk
Dua tubuh jatuh berdebam meninju lantai kayu. Ternyata, mereka adalah dua perwira yang semula dikira hilang oleh Chin Liong
Masih dengan sikap waspada, Chin Liong meneliti kedua perwira itu dengan tatapannya. Dada keduanya masih berkembang-kempis teratur.
Wajah mereka pun tak terlihat lebam. Juga, tak ada tanda-tanda kalau mereka mengalami luka dalam. Keadaan mereka tak beda orang yang sedang tertidur pulas.
Chin Liong memasukkan pedang ke dalam sarungnya, lalu berjongkok di dekat dua tubuh perwira tadi. Sebentar dia meraba salah satu bagian tubuh mereka.
"Hm.... Totokan hebat yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Ditempatkan pada bagian yang demikian tersembunyi, membuat mereka kehilangan keseimbangan pada bagian otak yang mengatur keadaan jaga seseorang. Sial Aku sendiri pun belum sanggup mempelajarinya" rutuk Chin Liong, jengkel bukan main.
Pemuda itu berdiri lemas. Bagaimana dia bisa menolong Putri Ying Lien, sementara untuk membebaskan dua perwira dari totokan saja sudah tak sanggup?
Mendadak wajah Chin Liong berubah tegang kembali. Mata sipitnya tak berkedip. Bola matanya bergerak ke satu arah di bagian kamar. Dia ingat sesuatu.
"Astaga.... Pedang Pusaka Langit," desis pemuda itu.
Setelah itu bagai orang kesetanan, Chin Liong memburu ke tempat yang menjadi tujuan pandangannya barusan. Di sana, ada sebuah peti baja yang terkunci dari gembok baja pula.
Chin Liong cukup lega, melihat peti baja maupun gemboknya masih dalam keadaan wajar. Biar begitu, hatinya tetap tak akan puas jika belum meneliti dalamnya. Cepat dikeluarkannya anak kunci dari balik pakaian.
Maka peti pun dibuka. Seketika itu pula, mata Chin Liong membeliak. Wajahnya berubah-ubah cepat. Pucat, memerah dadu, lalu memucat lagi. Cetusan rasa kegeraman yang berbaur menjadi satu dengan rasa kekhawatiran.
Bagaimana tidak jadi was-was? Sementara Putri Ying Lien belum lagi diketahui rimbanya, pedang pusaka kerajaan pun hilang Pedang itu adalah pedang sakti yang amat langka. Seseorang bisa melipat gandakan kesaktiannya sepuluh kali, bila memiliki pedang itu. Adalah sebuah bencana jika pedang pusaka itu jatuh ke tanah orang-orang sesat
"Sial..., sial..., sial" maki Chin Liong.
Pemuda ini tidak bisa lagi membendung kemarahannya. Pertahanan dirinya sudah ambrol. Darahnya terasa seperti hendak menjebol ubun-ubun.
"Ada apa, Panglima?" tukas seorang prajurit sambil mendekat tergesa.
Chin Liong tak cepat menjawab, karena sibuk mengatur napasnya yang memburu.
"Pedang Pusaka Langit pun telah hilang...," kata Chin Liong mendesis berat.
Prajurit itu terbelalak. Dia pun tak kalah was-wasnya, kalau pedang itu sampai jatuh ke salah tangan. Negeri ini bisa menjadi tempat pembantaian biadab. Kalau itu terjadi, maka merekalah orang-orang yang pertama kali harus bertanggung jawab.
"Bagaimana mungkin, Panglima?" ucap si prajurit. Matanya yang sipit kian menyipit.
"Bukankah peti dan kuncinya masih dalam keadaan baik?"
Chin Liong menggeleng lunglai. Kemarahan telah menguras tenaganya sccara berlebihan.
"Aku tak tahu. Tampaknya kita berurusan dengan seorang yang amat lihai. Dia sanggup menotok perwira kita tanpa bisa dibebaskan. Kini pun kita tahu, dia juga mampu mencuri pedang pusaka tanpa merusak peti baja atau membobol kuncinya. Manusia macam apa yang bisa melakukan semua itu dalam waktu demikian cepat, Prajurit.'"
Si prajurit meringis ngeri. Timbul lagi bayangan dalam benaknya. tentang hantu penginapan yang bergentayangan....
Lalu, tengkuk si prajurit pun meremang. Dia bergidik, sampai bahunya pun mengedik-ngedik tanpa disadari.
"Apa benar perkiraanku, Panglima...," prajurit itu berbisik hati-hati di dekat Chin Liong.
Chin Liong menoleh, meminta jawaban.
"Mungkin benar semuanya dilakukan hantu penginapan ini...."
Chin Liong menggelengkan kepala. Mana ada hantu memerlukan pedang?
"Kerahkan seluruh pasukan. Termasuk sebagian prajurit yang masih berjaga di kapal Malam ini juga, kita cari Putri Ying Lien dan Pedang Pusaka Langit" tandas Chin Liong kemudian.

***

||| 4 |||

Malam ini juga, hampir seluruh pasukan dikerahkan Panglima Chin Liong untuk mencari Putri Ying Lien. Bahkan dengan hormat, dia pun meminta bantuan pasukan dari penguasa setempat. Kalau sebelumnya mendapat bantuan untuk mencari Pendekar Slebor, tapi kali ini mendapat bantuan besar-besaran untuk mencari Putri Ying Lien dan Pedang Pusaka Langit.
Agar tak terjadi keresahan di kalangan penguasa setempat, sengaja hilangnya Pedang Pusaka Langit dirahasiakan. Chin Liong hanya mengutarakan permohonan bantuan untuk mencari Putri Ying Lien. Itu saja.
Sinar bulan mendukung pencarian. Bentuknya membulat penuh begitu anggun. Sinarnya merambah ke segenap sela-sela pepohonan. Dini hari nyaris mati. Subuh makin dekat. Ayam-ayam jantan sudah memperdengarkan kokok gagahnya, siap menyambut fajar yang sebentar lagi menampakkan diri. Sejauh itu, pencarian belum menemukan titik terang.
Seluruh penjuru wilayah telah ditelusuri. Sudut-sudut kotapraja, lembah, bahkan hutan di pingiran kotapraja tak luput disatroni. Hasilnya, tetap nihil. Tak ada setitik petunjuk pun. Hambatan utama, karena pencarian dilakukan malam hari. Untuk bertanya-tanya saja sulit. Mengingat, hampir seluruh warga terlelap di kediaman masing-masing. Padahal keterangan dari setiap orang amat diperlukan dalam satu usaha pencarian.
Membangunkan mereka pun tak ada gunanya. Penculikan dilakukan pada malam yang sudah cukup Iarut, saat orang lebih suka mendekati pembaringan. Di samping sakti, si penculik pun sepertinya amat lihai memanfaatkan suasana.
Chin Liong pun mengakui kehebatan kerja penculiknya, meski gusar setengah mampus. Artinya, persoalan yang harus dihadapi bukanlah sepele. Ini persoalan besar, menyangkut calon musuh yang besar pula. Tak mungkin penjahat ketengan mampu melaksanakan kerja sesempurna itu.
"Benar-benar nasib buruk sedang menjerat kita," gerutu Chin Liong ketika seorang perwiranya melaporkan hasil pencarian.
"Baru saja tiba di negeri orang, kita sudah dipecundangi demikian jauh...."
Namun Chin Liong bukan termasuk orang yang gampang patah semangat.
Sebagai seorang ksatria yang mendapat kepercayaan tinggi dalam pemerintahan kerajaan, pantang baginya memiliki mental keropos. Dia hanya khawatir, bahkan teramat khawatir, pada keselamatan Putri Ying Lien. Pertama, karena Putri Ying Lien adalah seorang Ratu kerajaan yang amat dicintai rakyat dengan kepemimpinan yang adil dan bijaksana.
Kedua, karena Putri Ying Lien sejak kecil sudah begitu dekat dengannya. Sempat pula pemuda itu mencintai Putri Ying Lien. Namun, gadis itu selalu menegaskan kalau Chin Liong hanya dianggap sebagai saudara semata.
"Jadi bagaimana selanjutnya, Panglima?" tanya si perwira, agak sungkan mengusik keterpakuan Chin Liong mengenang masa-masa manisnya dulu bersama Putri Ying Lien, semasa di perguruan.
"Aku harap, tak perlu memaksakan para prajurit dan tak terlalu menyusahkan tuan rumah...," kata Chin Liong seperti bergumam.
"Maksud, Panglima?"
"Aku mau pencarian terus dilakukan. Paling tidak, sampai kita mendapat secercah keterangan tentang Tuan Putri kita," kata Chin Liong menegaskan.
"Kalau itu kehendak Panglima, kami akan menjalankannya."
Si perwira, segera beranjak. Sebelum jauh benar, dia menoleh sejenak.
"Asal kau tahu saja, Panglima.... Aku dan seluruh prajurit lebih suka kalau diperintahkan untuk terus mencari. Kau tahu sebabnya? Karena, kami begitu mencintai Yang Mulia Putri Ying Lien...," tambahnya dengan raut wajah prihatin.
Chin Liong tersenyum tawar.
"Kau benar, Perwira," timpalnya, sama tawar.
Sewaktu hari nyaris disapu warna jingga pucat sang mentari pagi, perkembangan terjadi. Seorang prajurit berkuda dari pihak tuan rumah dengan tergopoh-gopoh mendatangi Chin Liong yang sedang menyusuri pinggiran hutan karet.
"Tuan Chin Liong Aku diperintah Adipati untuk melaporkan tentang Yang Mulia Putri Ying Lien," lapor orang itu.
"Teruskan," perintah Chin Liong dengan mata berbinar di antara garis kekhawatiran wajahnya.
"Orang kami telah menemukan Yang Mulia Putri Ying Lien...."
"Benarkah itu?" sentak Chin Liong, terlonjak. Tanpa sadar, laporan yang belum lagi dituntaskan telah dipenggalnya.
"Tapi, dia berada dalam kekuasaan seseorang," sambung orang yang melapor.
"Bagaimana keadaannya?" susul Chin Liong, tergesa.
"Kami belum bisa memastikan, karena hanya salah seorang dari kami yang melihat seseorang berlari membopong wanita berpakaian dan berwajah mirip dengan gambaran Tuan tentang Putri Ying lien"
"Berlari? Artinya, penculik itu kini sedang dikejar?"
Si pelapor menggelengkan kepala ragu.
"Sulit, Tuan. Dia bergerak seperti demit. Waktu itu, kami hanya para prajurit yang berkemampuan tak seberapa."
Wajah Chin Liong menampakkan kekecewaan kembali.
"Tapi, kami tahu arah orang itu berlari"
Secercah harapan kembali tersembul di bias wajah pemuda Cina itu.
"Kalau begitu, cepat katakan ke mana arahnya? Biar aku sendiri yang akan mencoba mengejar"
Lelaki di depannya menautkan alis.
"Tapi, Tuan. Apa Tuan sejak tadi tak melihat seseorang mencurigakan?"
"Apa maksudmu, Prajurit?"
"Aku justru berkuda di sini, karena hendak mencoba menguntit orang itu. Sampai, aku bertemu Tuan...."
"Jadi..., orang itu sebenarnya berlari ke arah sini?" sentak Chin Liong dengan mata agak membesar.
Tanpa sempat menyaksikan anggukan orang yang melapor....
"Hua ha ha he he heee..."
Chin Liong bersama satu perwira dan empat prajurit tersentak dengan suara tawa seseorang yang demikian menggelegar, memporakkan suasana pagi yang damai. Chin Liong terperangah. Sigap sekali tubuhnya diputar ke arah melompatnya suara tawa. Sekedip dari geraknya, tangan kanannya menyambar gagang pedang dari punggung. Lalu, menghunuskannya dengan kuda-kuda siap tarung.
Keterperangahan yang lebih besar harus ditelannya begitu menyaksikan, siapa orang yang datang. Orang itulah yang menculik Putri Ying Lien.
Matanya menyaksikan tubuh gadis itu di bahunya. Tapi, benarkah semua itu akan tetap menjadi persoalan? Karena orang yang berdiri dan masih tertawa terpingkal-pingkal adalah.... Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu dengan semua ini, Andika?" semprot Chin Liong.
Dikatakan gusar, tidak. Dibilang gembira pun sulit. Jantung Chin Liong nyaris tersobek gara-gara khawatir pada keselamatan Putri Ying Lien.
Bahkan khawatir pula pada bencana yang bakal menimpa tanah Jawa, karena Pedang Pusaka Langit. Sekarang setelah dia bertemu penculiknya, orang itu justru adalah pendekar muda yang sedang diharap-harapnya.
"Hey, jangan mengomeliku dengan bahasa Tiongkokmu" kelakar Andika.
"Aku bilang, apa-apaan kau ini?" ralat Chin Liong, sembari menyarungkan pedang kembali. Lalu, dihampirinya Andika.
"Tanyakanlah pada Tuan Putrimu sendiri' jawab Andika, masih dengan sisa cengirnya yang sungguh mati tak bagus Diturunkannya tubuh Putri Ying Lien yang sebenarnya tidak apa-apa itu.
"Apa kau baru kenal Pendekar Slebor, Chin Liong?" ujar Putri Ying Lien disertai senyum tipis yang ditangkap Chin Liong sebagai senyum senang.
"Rupanya dia sudah tahu kalau kita ke sini. Dan dia pun ingin membuat kejutan, yang sedikit sinting untukmu. Mulanya aku menganggap semua itu terlalu konyol. Tapi kau tahu sendiri...."
Kepala Putri Ying Lien menoleh ke arah Andika.
"Pendekar kita ini terlalu keras kepala untuk di tolak..."
Sampai di situ Chin Liong hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Benar kata Putri Ying Lien barusan. Ini benar-benar kejutan yang tidak hanya sedikit sinting, tapi benar-benar gila Hatinya jengkel, campur aduk dengan gemas. Pantas saja Pedang Pusaka Langit bisa menghilang, sementara petinya atau pun kuncinya tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Bodoh sekali dia Bukankah cuma Putri Ying Lien yang memegang kunci peti pedang itu?
"Heee Kau mau memelukku atau hendak menjitak kepalaku, karena sempat kubuat begadang semalam suntuk?" tukas Andika enteng saja.
Sepertinya Pendekar Slebor tak pernah berdosa telah menyusahkan begitu banyak orang, hanya untuk mewujudkan gurauannya yang kelewatan.
"Rasanya aku ingin meninju keningmu, Andika" seru Chin Liong, tak bersungguh-sungguh.
"Kalau begitu, silakan.... Mungkin dengan begitu sifat urakanku akan sembuh."
Chin Liong tertawa renyah. Andika malah tergelak besar. Lalu, keduanya berangkulan akrab.
"Aku rindu kau, Pemuda Brengsek" umpat Chin Liong.
"Heran Aku justru tidak...."
Dengan gemas, perut Andika dihadiahkan bogem oleh Chin Liong.
"Dan kau perlu tahu pula, Tuan Putri kita pun pasti amat rindu padamu.
Buktinya, dia mau diajak jalan-jalan olehmu semalam suntuk. Kau tidak melakukan yang bukan-bukan padanya. kan?" bisik Chin Liong.
"Chin Liong" bentak Putri Ying Lien, rikuh. Telinganya yang selama ini menjadi pengganti matanya, telah menangkap bisikan halus Chin Liong.
Kali ini Chin Liong sempat tergelak.

***

"Jadi apa maksud kalian mengunjungiku? Sekadar berkunjung, atau ada maksud yang lebih penting?" tanya Andika ketika pada keesokan harinya, mereka berada di kapal kerajaan Putri Ying Lien. Ketika kawan seperjuangan itu duduk saling berhadapan di ruang kebesaran Putri Ying Lien, di atas kursi masing-masing.
Putri Ying Lien bangkit dari kursinya. Agak merayap, didekatinya sebuah laci besar di dinding kayu ruangan.
"Sebelum kuberitahu, aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu, Andika...," kata gadis itu.
Dari dalam laci besar berukiran Cina, putri jelita itu mengeluarkan segulungan papirus.
"Kau pernah melihat ini?" tanya Putri Ying Lien pada Andika.
Andika menggeleng.
Putri Ying Lien lantas menghampiri tempat duduk Andika.
"Ini adalah papirus, sarana menulis orang-orang Mesir. Seorang perwira kerajaanku mendapatkannya dari seekor burung gurun. Lihatlah isinya"
Andika menerima gulungan papirus hati-hati dari tangan Putri Ying Lien. Dari rupanya, papirus itu sepertinya sudah demikian tua dan rapuh.
Maka dengan hati-hati pula, pemuda itu membukanya. Papirus terbentang. Dan mata Andika pun menyaksikan sebuah lukisan piramida serta patung singa berkepala manusia. Ditambah gambar tangan manusia yang seolah-olah mempersilakan masuk ke dalam piramida.
"Kau diundang ke Mesir, Ying Lien...," ungkap Andika, mengutarakan pendapatnya.
"Ya Aku pun berpendapat sama denganmu" kata Chin Liong.
"Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Andika kemudian.
Putri Ying Lien duduk kembali di kursinya.
"Aku berniat mengajakmu ke Mesir, Andika," ucap gadis itu.
"Mengajakku? Kalian yang diundang, kenapa aku harus diajak?"
"Firasatku mengatakan, kami akan membutuhkan pertolonganmu di sana...," papar Putri Ying Lien, mengemukakan alasan.
"Ooo, jadi bukan karena kau ingin bersamaku?"
Putri Ying Lien menaikkan sudut bibirnya. Gadis ini termasuk tahan menerima godaan si urakan, Pendekar Slebor.
"Panglima Chin Liong Panglima"
Tiba-tiba seorang perwira masuk ke dalam ruangan tergesa-gesa.
"Ada apa?" tanya Chin Liong.
"Burung gurun itu Aku melihatnya kembali sedang berputar-putar tepat di atas kapal kita"

***

||| 5 |||

Jauh di atas ubun-ubun kapal layar, seekor burung gurun tampak melanglang angkasa, membawa keangkuhan dan ancaman yang sulit dimengerti. Burung inilah yang juga pernah dilihat salah seorang perwira Kerajaan Cina, dan terlihat oleh Kenjiro dan Hiroto di negeri Sakura.
Andika, Putri Ying Lien, Chin Liong serta para perwira dan prajurit berdiri diam seperti tersihir atas kedatangan burung itu. Mereka memandangi dengan mata mencerminkan kesan kekaguman, sekaligus kengerian.
"Kau yakin burung itu yang kau lihat?" tanya Andika pada perwira di sisinya.
Perwira yang ditanya mengangguk pasti.
"Bagaimana menurutmu tentang burung itu, Andika?" tanya Chin Liong.
"Memang ganjil. Tak semestinya burung gurun seperti itu berkeliaran di tanah Jawa...," simpul Andika cepat.
"Tak semestinya juga berkeliaran di atas wilayah kami," timpal Putri Ying Lien.
Biarpun gadis ini tidak melihat langsung rupa burung itu, namun bisa tahu dari penjelasan perwira yang melapor padanya beberapa waktu lalu.
Lalu semuanya kembali mengunci mulut serempak, seakan takut kehilangan burung yang masih tetap melayang-layang berputar jauh di atas kapal. Sampai akhirnya....
"Hey, lihat" seru seorang prajurit di buritan tiba-tiba. Tangannya menunjuk ke arah lain dengan sinar mata takjub tak terkira.
Seperti diberi aba-aba, semua yang berada di sana menoleh serempak ke arah yang ditunjuk prajurit ladi. Bersamaan pula mereka dipaksa takjub. Ratusan burung elang tampak melayang gagah menuju satu titik..., burung gurun
"Apa lagi ini?" tanya Andika, tak habis pikir. Setelah itu dia hanya bisa mengikuti apa yang terjadi.
Ratusan elang perkasa yang merentang sayap lebar-lebar mengendarai bayu, makin dekat pada burung gurun. Mulanya berbondong bondong tanpa suara seperti kawanan ksatria angkasa bisu. Ketika jarak makin dekat, jeritan lantang terdengar susul menyusul, tindih-menindih.
"Kiiing Kiiing"
Mereka yang menyaksikan makin takjub. Benar-benar pertunjukan yang jarang terjadi. Tak lazim burung-burung elang terbang berkawanan seperti itu, membentuk susunan terbang yang sepertinya begitu teratur rapi.
Naluri bahaya dari seekor burung gurun memperingati. Burung dari tempat yang jauh itu bisa merasakan, kalau kawanan elang hendak menyerang dirinya. Karena itu, sayapnya dikepak kuat-kuat. Dite-jangnya udara, terbang sepenuh tenaga untuk menjauh dari tempatnya semula.
Kawanan elang itu tak membiarkan calon korban menyingkir begitu saja.
Satu-satunya tujuan sepertinya hanya mendapatkan tubuh calon korban untuk direncah ramai-ramai dengan cakar tajam mereka.
Seekor burung elang yang paling besar mengepak sayap lebih kuat, memisahkan diri dari kelompoknya. Penuh kesan gagah laksana seekor panglima perang di medan laga, dibuatnya satu tukikan tajam ketika jaraknya sudah cukup dekat dengan sasaran.
"Kiiing"
Dari arah atas, burung elang itu membuka cakarnya lebar-lebar. Dan punuk burung gurun pun langsung menjadi tempat mendarat cakar elang itu.
Namun tak begitu mudah rupanya bagi sang elang untuk menundukkan burung gurun yang sebenarnya tak kalah ganas. Belum lagi cakar sang elang merejam, burung berkepala nyaris gundul itu membuat gerakan menyamping.
Sebentar burung nyaris gundul ini memutar tubuh. Lalu tubuhnya melayang deras, berhadapan dengan arah terbang sang elang.
Dua ekor burung yang sama besar kini siap saling mencabik atau mematuk di udara. Sampai pada saatnya...,
"Kaaakkk"
"Kiiing"
Keduanya sama-sama melepas teriakan menusuk angkasa. Saat yang sama cakar mereka menyambar ke tubuh satu sama lain. Sang elang bisa merobek dada lawannya. Burung gurun pun berhasil menyarangkan cakarnya ke dada sang elang. Maka gerakan terbang keduanya sejenak limbung.
Burung gurun yang terkenal tangguh lebih dapat menguasai keadaan. Otot-otot sayapnya mampu membuat gerakan keseimbangan terbangnya kembali, meski dadanya sudah terembesi darah. Secepatnya, burung itu memanfaatkan kelimbungan sang elang.
Didahului teriakan serak, diburunya lawan dari arah belakang. Sayang Pada kala itu pula, kawanan burung elang yang lain sudah tiba. Cakar-cakar mereka langsung bergantian mencabik. Beberapa di antara nya malah mencengkeram tubuh burung gurun kuat-kuat. Sampai akhirnya, burung gurun itu tak berdaya lagi. Bulu-bulunya bertebaran tertiup angin, melayang-layang lunglai seperti nyawa burung gurun yang ikut melayang direnggut cabikan cakar dan paruh sang elang.
Sementara itu orang-orang di atas kapal tertegun. Mereka seperti menyaksikan sandiwara manusia yang dimainkan secara nyata oleh para makhluk di atas sana. Bukankah manusia pun kerap begitu? Saling mencabik, cakar-mencakar untuk mencari kepuasan dan kemenangan dengan darah sesama?
Selagi mereka tertegun, kawanan burung elang yang mencengkeram tubuh burung gurun menjatuhkan bangkai itu ke geladak kapal.
"Aku tak mengerti, apa maksud kawanan elang itu. Aku yakin mereka adalah burung-burung terlatih...," bisik Andika seraya menghampiri bangkai burung gurun.
Pada kaki burung itu, Andika menemukan gulungan papirus seperti pernah didapatkan Putri Ying Lien. Maka dengan segera dibukanya.
Diperlihatkan isi papirus itu pada Putri Ying Lien.
"Papirus dengan isi yang sama...." ucap Chin Liong, memberitahu Putri Ying Lien.
"Ya Papirus dengan isi yang sama" Tiba-tiba terdengar suara orang lain menimpali. Dan tahu-tahu saja, orang itu sudah ikut hadir di antara mereka.
Andika langsung menoleh ke arah orang itu, dan kontan terkejut. Orang itu sudah dikenalnya beberapa hari lalu. Benarkah cuma dia saja yang mengenal si pendatang baru itu? Tidak Nyatanya, Putri Ying Lien pun agak terkesiap mendengar suara itu. Termasuk, Chin Liong....
"Kau rupanya, Pak Tua Penggembala Tak kukira kau akan bertandang juga ke kapal sahabatku ini" sambut Andika ramah. Lelaki yang baru datang memang Penggembala Tua, yang pernah ditemui Pendekar Slebor beberapa waktu lalu.
"Selamat berjumpa lagi, Orang Tua" sapa Chin Liong hangat. Dari caranya melempar salam jelas sekali kalau dia sudah cukup mengenalnya.
"Kau mengenalnya?" tanya Andika pada Chin Liong.
"Ya Beberapa waktu lalu, dia tinggal cukup lama di kerajaan kami.
Selama disana, dia banyak memberi banyak pelajaran baik pada para perwira, serta para tabib kami...," Putri Ying Lien yang menyahuti pertanyaan Andika.
"Ah Jangan dengarkan ucapan yang berlebihan itu" sergah si orang tua, merasa risih mendapat semua sanjungan Putri Ying Lien.
"Aku hanya seorang petualang kecil, yang mencoba menyusuri setiap jengkal tanah di bumi yang telah ditempati manusia...."
"Petualang?" Andika berbisik sendiri.
Rasanya Pendekar Slebor sempat mendengar desas-desus tentang seorang tokoh golongan putih yang sudah begitu banyak melanglangi wajah bumi. Hampir setiap jengkal tanah berpenghuni telah dijejaki.
Karena itu pula, dia disebut-sebut sebagai si Gila Petualang. Disebut gila, bukan berarti otaknya terganggu. Justru karena dia begitu tergila-gila untuk terus berjalan, sepanjang bumi masih berputar pada sumbunya. Dan sepanjang usianya masih memungkinkan, tentunya.
"Kebetulan sekali kau ada di sini, Orang Tua Bagaimana kalau kau kuajak serta? Bukankah pengalamanmu bisa menjadi penuntun yang baik untuk perjalanan kami?" Putri Ying Lien menawarkan.
"Bicara soal keberangkatan kita ke Mesir, aku jadi teringat pada papirus ini," sela Andika.
"Aku menemukannya terikat di kaki burung gurun tadi. Bagaimana menurutmu, Pak Tua?" tanya Andika.
Diserahkannya gulungan papirus di tangan pada laki-laki penggembala yang ternyata berjuluk si Gila Petualang.
Si Gila Petulang mengamati sesaat.
"Benar.... Ini memang dari negeri Mesir sana. Usianya pun sudah begitu tua...," ungkap orang tua itu kemudian.
"Hm.... Jadi aku memang tak salah lihat. Burung yang direncah elang-elangku memang burung gurun."
"Jadi elang-elang tadi milikmu?" cetus Andika.
"Ah Aku hanya memelihara dan melatih. Tak ada yang bisa memiliki mereka secara mutlak. Mereka punya kebebasan dan naluri hidup sendiri."
Tiba-tiba pemuda dari Lembah Kutukan ini tersenyum seraya menjentikkan jarinya.
"Sekarang aku tahu, kenapa kau dulu mengatakan bebek-bebek milikmu sudah habis dimakan. Rupanya, sudah kaujadikan santapan elang-elangmu itu bukan? Maaf kalau waktu itu aku menggangumu
penggembala... bebek He he he. Rupanya kau hanya hendak memberi makan binatang-binatang peliharaanmu yang hebat itu."

***

Sementara di tempat lain rupanya tengah berlangsung pertarungan puncak antara dua tokoh sesepuh persilatan yang bisa dibilang sama-sama sinting. Keduanya punya sifat berbeda. Yang satu begitu dingin, seperti gumpalan es kutub utara. Sedang yang lain begitu lugu. Biar sifat berbeda, mereka tetap memiliki kesamaan. Di samping sama-sama tua bangka, juga sama-sama memiliki kelainan otak. Alias, kurang waras
Nama keduanya amat santer di dunia persilatan beberapa puluh tahun yang lalu sebagai dua orang seteru. Yang satu berjuluk Hakim Tanpa Wajah. Dan yang lain berjuluk Pendekar Dungu.
Beberapa waktu yang lalu, mereka mulai unjuk gigi lagi. Meskipun, sebenarnya sudah sama-sama kehabisan 'gigi' (Baca episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan "Pengadilan Perut Bumi").
Hakim Tanpa Wajah yang berhasil lolos dari ancaman muridnya sendiri di Pengadilan Perut Bumi beberapa waktu yang lalu, rupanya tetap penasaran terhadap Pendekar Dungu. Dari dulu hingga sekarang, bahkan bila siap terjun ke liang lahat sekalipun, dia akan tetap ingin mempecundangi Pendekar Dungu. Karena saat masa jayanya dulu, Pendekar Dungu adalah salah satu orang yang tak bisa ditundukkannya
Hari itu, setelah mencari demikian lama dan mendongkolkan, Hakim Tanpa Wajah akhirnya berhasil menjumpai si bangkotan bebal musuh lamanya. Dan tanpa salam pertemuan atau basa-basi lagi, langsung saja diterjangnya Pendekar Dungu.
"He he he Biar mampus kau, Bangkotan" seru Hakim Tanpa Wajah seiring satu sambaran pukulan intinya.
Saat itu pertarungan mereka sudah memasuki juus ke seratus dua belas.
"Eee Kau saja yang mampus, sana" balas Pendekar Dungu dengan bibir maju-mundur sambil membalas sambaran dengan depakan kaki, setelah lebih dahulu menghindar.
Hakim Tanpa Wajah melayang ke belakang, lalu berdiri cukup jauh dari lawannya. Sedangkan Pendekar Dungu tak memburu. Sepertinya dia sudah mulai jenuh dengan pertarungan yang demikian lama, tapi belum juga membawa hasil.
"Mana kawan jelekmu si Manusia Berbulu Hitam? Biar kukepruk kepalanya sekalian Bukankah waktu itu kalian sudah bisa berjalan bersama, seperti anjing kura dan kucing kudis yang insaf" cemooh Hakim Tanpa Wajah.
Pendekar Dungu berpikir sebentar.
"Aku tak tahu, ke mana si biang monyet itu.... Apa kau tahu, ke mana dia? Apa tak mungkin dia sedang mengeritingkan bulu-bulunya?"
ucapnya, polos sekali. Orang bebal seperti dia, mana tahu kalau dirinya tadi sedang dicemooh.
Hakim Tanpa Wajah menyeringai. Sulit dikatakan senyum, sulit juga dikatakan geram. Bibirnya yang begitu tersembunyi menjadi terlihat menjijikkan.
"Sebenarnya cuma dongkol yang kutelan, kalau berurusan denganmu.
Tapi tololnya, entah kenapa aku masih saja penasaran denganmu, otak udang sial" dengus Hakim Tanpa Wajah.
"Yang tolol aku, bukan kau Berani-beraninya kau mengaku tolol padaku?"
"Kaaak"
Tiba-tiba terdengar suara serak di angkasa. Keduanya sama-sama menoleh. Kalau burung biasa, jangan harap mereka akan peduli. Yang satu ini, lain sama sekali. Begitu menurut pikiran mereka masing-masing.
"Idih, burung apa itu?" seru Pendekar Dungu.
"Jeleknya kok bisa nyaingi aku, ya?"
Begitu menyaksikan rupa burung yang mereka lihat, keduanya seperti kehilangan semangat untuk melanjutkan pertarungan. Masing-masing tidak peduli lagi pada kelengahan satu sama lain. Ada semacam kekuatan pesona yang dimiliki burung itu.
"Aneh juga..., baru kali ini aku melihat burung seperti itu? Burung dari mana?" bisik Hakim Tanpa Wajah membatin. Alisnya yang tak kentara jadi bertaut.
Tak lama berikutnya, sesuatu dijatuhkan burung itu dari kakinya.
Wajah Pendekar Dungu berbinar. Tak tahu, apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Bisa jadi, dikira si burung menjatuhkan buah dari sorga.
"Tangkap Tangkap" seru Pendekar Dungu blingsatan.
Bersemangat dia memburu ke arah luncuran jatuh benda tadi. Biarpun terbilang keropos, larinya masih lebih lincah daripada biang kadal buduk
"Dapat" teriak Pendekar Dungu setelah benda tadi disergapnya.
"Apa ini Oiii, apa ini? Aku dapat rejeki..., aku dapat rejeki"
"Berikan padaku" ucap Hakim Tanpa Wajah penuh tekanan dengan Wajah mengancam.
Pendekar Dungu mencibir. Dibukanya benda yang ternyata gulungan papirus. Wajahnya lantas cemberut, begitu tak menemukan apa-apa di dalam-nya.
"Benda bau pesing Kau mau ini? Nih, makan" dengus Pendekar Dungu seraya melempar kertas itu pada Hakim Tanpa Wajah.
Hakim Tanpa Wajah menangkapnya, lalu memperhatikan seksama.
Beberapa saat kemudian, kepalanya mengangguk-angguk. Ada sesuatu yang didapatkan dari gambar di papirus. Sebentar kemudian, dicampakkannya papirus itu, lalu pergi begitu saja dengan wajah sungguh-sungguh. Tinggal si bangkotan berotak bebal yang terbengong sendiri. Ditatapnya lama-lama papirus di tanah. Lalu, diambilnya benda itu. Perlahan-lahan dibukanya papirus, dan dipelototinya sekian lama.
Beberapa saat kemudian kepalanya tampak mengangguk-angguk. Seperti Hakim Tanpa Wajah, Pendekar Dungu juga mencampakkan pula papirus tadi ke tanah, lalu ngeloyor pergi. Apakah dia telah pula mendapatkan sesuatu? Mustahil Otak sebesar tempurung dengkul miliknya, tak mungkin mencerna maksud di papirus. Dia cuma latah meniru lagak Hakim Tanpa Wajah barusan

***

||| 6 |||

Siang itu, kapal layar Cina milik Putri Ying Lien siap meniti samudera bebas kembali. Mesir sebagai tujuan utama, memenuhi undangan yang penuh teka teki dari seorang penguasa yang juga tak jelas. Siapa dia?
Dan mengapa mengundang banyak tokoh persilatan untuk memasuki piramidanya? Bukankah amat aneh, kalau piramida itu sendiri sebenarnya adalah sebuah makam raksasa? Mungkinkah penguasa Mesir yang mengundang telah mati?
Teka-teki besar tak perlu dijawab secepatnya. Yang harus mereka lakukan cuma tiba secepatnya di sana.
Layar terkembang lebar, berkibar-kibar disapu sang bayu. Teriakan-teriakan riuh para awak kapal terdengar. Sauh pun sudah diangkat.
Bersama Pendekar Slebor serta si Gila Petualang, kapal perang Cina ini meninggalkan dermaga.
Langit memayungi samudera dengan wajah cerahnya. Sampai ke kaki langit sana, mega-mega tipis saja yang tampak ramah. Angin pun berhembus bersahabat, cukup untuk menuntun kapal layar melaju lurus.
Burung-burung pemburu ikan-ikan kecil terbang riang, seakan menyampaikan ucapan selamat jalan.
Di punggung kapal, Pendekar Slebor berdiri menyendiri, menatap tepian dermaga yang kian menjauh. Ada perasaan kehilangan dalam dirinya saat itu. Perasaan yang sama, seperti ketika meninggalkan tanah Jawa menuju negeri Cina dahulu.
"Selalu tak enak meninggalkan tanah kelahiran, bukan?" usik seseorang di belakangnya.
Ternyata si Gila Petualang telah berada di sana. Sama-sama berdiri, melepas pandangan jauh ke dermaga yang mulai mengabur.
"Aku pun merasakan hal yang sama, setiap kali harus melanglang ke negeri orang. Biar bagaimanapun, tanah pertiwi tetap membuat kita selalu rindu untuk kembali. Sepertinya darah kita adalah darah yang mengalir dalam tubuh Tanah Pertiwi...," papar orang tua itu, terdengar agak lirih.
"Tapi kenapa kau tetap terus melanglang buana?" tanya Andika.
"Karena bumi ini luas, Anak Muda. Biar cinta pada tempat kelahiran, kita tak bisa menjadi katak dalam tempurung"
Andika tertawa kecil.
"Benar katamu, Orang Tua," katanya.
"O, ya.... Bisa kau bercerita sedikit tentang papirus itu? Kudengar dari Putri Ying Lien, kau pernah menyinggahi negeri Mesir. Sedikit banyak kau tentu tahu makna gambar dalam papirus itu, bukan?" susul Andika.
"Mesir...," si Gila Petualang menarik napas dan diam sesaat.
"Negeri yang punya banyak teka-teki. Tentang kuburan raksasa para rajanya, tentang kuil-kuilnya. Tapi, kau tak akan menanyakan itu bukan? "
"Ya Khususnya tentang piramida," tegas Andika.
Si Gila Petualang menggelengkan kepala.
"Aku tak tahu banyak tentang itu. Selama di sana, aku tak pernah masuk ke dalamnya, meskipun begitu berhasrat. Tak bisa sembarang orang masuk kesana, karena kuburan kebesaran seperti itu selalu di jaga seorang Pendeta 'Ka'...."
"Pendeta 'Ka'?" ulang Andika, langsung tergugah keingintahuannya.
"Seorang yang mendapat amanat untuk mengadakan misa 'Ka', sekaligus sebagai pemelihara kuburan itu...."
Andika tercenung.
"Kalau undangan itu benar-benar datang dari seorang penguasa Mesir, tentu kita akan bertemu orang seperti itu," gumam Andika seperti berkata pada diri sendiri.
Pendekar Slebor memang begitu ingin tahu tentang negeri asing yang disebut kawan seperjalanan di sisinya sebagai negeri yang begitu banyak mengandung teka-teki.
"Hey Siapa kau? Kenapa bisa ada di sini?"
Tiba-tiba terdengar hardikan seorang dari ruang bawah gudang kapal.
Andika dan si Gila Petualang cepat-cepat menuju tempat keributan.
Setibanya di sana, Pendekar Slebor menyaksikan seseorang yang sudah tak asing lagi, dengan bentuk tubuhnya yang melengkung seperti tongkat. Wajahnya lucu, namun menyebalkan. Dan orang tua ini pernah membuatnya dongkol setengah mampus.
"Pendekar Dungu?" sebut anak muda itu, seperti tak percaya pada penglihatannya.
Sementara orang tua yang dipanggil namanya malah sedang terbang dibawa mimpi di antara tumpukan gentong-gentong anggur Cina. Salah satu gentong sudah berlubang. Sebagian besar isinya berceceran.
Jangan tanya, ke mana perginya sebagian yang lain. Si bangkotan bebal itu tentu sudah menggasaknya sampai mabuk
Kalau lantai gudang basah dengan genangan anggur, maka dagu keriput tua bangka itu basah dengan genangan air liurnya. Begitu nyenyaknya, sampai-sampai mulutnya yang menganga lupa dikunci hingga seperti lubang tikus sawah.
Pendekar muda dari tanah Jawa itu menggeleng-gelengkan kepala. Tak disangka akan bertemu kembali dengan orang yang bisa membuatnya mati berdiri Kini, si tua itu ikut pula dalam kapal. Artinya, mau tidak mau, dia pun mesti diajak serta memenuhi undangan penguasa Mesir.
"Sial...," rutuk hati Andika membatin.
"Biar orang tua tak tahu adat ini kubuang ke laut, Tuan Pendekar"
Prajurit yang barusan menghardik meminta persetujuan Andika. Wajahnya garang sekali dengan warna merah. Mendengar ucapannya, Andika jadi tertawa.
"Jangan...," cegah pendekar muda itu.
"Jangan-jangan, malah kau yang dilempar jauh-jauh ke tengah laut...."
Mendengar ada nada kesungguhan dalam kata-kata Pendekar Slebor, si prajurit meringis. Bergidik juga mendengarnya. Kalau seorang pendekar kesohor seperti Pendekar Slebor berkata begitu, berarti si keropos yang kelihatan lemah itu sebenarnya memiliki kehebatan setara dengannya. Atau mungkin juga lebih tinggi
"Ya Kurasa aku pun belum tentu sanggup melakukannya," timpal si Gila Petualang jujur dan seadanya. Dia cukup kenal tokoh yang lebih dahulu melabrak dunia persilatan, sebelum dirinya itu.
Nah Makin meringis saja prajurit tadi
"Kalau begitu, biarkan dia tertidur pulas di sana sampai terjaga. Suruh orang mengawasi. Kalau sudah terjaga, cepat beritahu aku," perintah Andika.
Si prajurit mengangguk cepat. Kemudian, Pendekar Slebor dan si Gila Petualang pun naik ke buritan.

***

Mesir kala itu sebenarnya merupakan tempat yang bisa disebut mempesona. Begitu memasuki Sungai Nil, terpampanglah pemandangan yang menjerat perasaan. Warna biru pucat terhampar di sepanjang sungai besar ini. Pantulan mentari menciptakan kepingan-kepingan cahaya, seperti ribuan cermin kecil berkerlap-kerlip.
Di sepanjang sungai itu, banyak terhampar tanah pertanian yang memanfaatkan aliran sungai untuk pengairan. Tak seperti perkiraan Andika sebelumnya, kalau negeri itu cuma dipenuhi gurun dan gurun semata.
Melalui sungai itu, kapal Cina ini terus menyusur menuju tebing barat Sungai Nil. Tepatnya, di daerah 'Thebes'. Menurut si Gila Petualang yang lebih banyak mampu menerjemahkan makna gambar-gambar di papirus, mereka pasti ke sana. Di sanalah mereka akan menemui piramida yang dituju.
Sepanjang aliran sungai, para awak kapal kerap menyaksikan binatang raksasa penghuninya bermunculan.... Buaya dan kuda nil Malah beberapa kali, lambung kapal menumbuk tubuh para makhluk perkasa nan buas itu.
Pada beberapa tempat di tepian sungai yang disesaki tumbuhan liar seperti alang-alang, segerombolan buaya yang berukuran lebih dari dua kali tubuh manusia, sedang berjemur dengan mulut menganga.
Keelokan bentuk kuda nil yang menjadi penghuni khas Sungai Nil, menjadi pusat perhatian segenap awak kapal. Sebagian dari mereka memang baru pertama kali menyaksikan dengan mata kepala sendiri binatang itu. Kecuali, si Gila Petualang tentunya
"Apa nama binatang besar bertampang tolol itu, Pak Tua?" tanya Andika pada si Gila Petualang.
Didahului senyum lebar mendengar pertanyaan yang terdengar ketolol-tololan Andika, si Gila Petualang berpaling ke wajah Pendekar Slebor.
"Yang kutahu, namanya Kuda Nil. Sesuai tempat hidup mereka, Sungai Nil...," sahut si Gila Petualang masih disertai senyum.
"Kau bilang tampang mereka tolol barusan?"
Andika mengangguk.
"Kau jangan salah sangka. Di balik wajah dungu itu, mengalir darah dingin yang tak kalah dibanding seekor buaya luka...," ungkap si Gila Petualang sungguh-sungguh.
Mendadak tawa Andika meledak. Keras, dan memekakkan. Sampai-sampai dua serdadu Cina di sebelahnya terlonjak
"Kenapa?" tanya si Gila Petualang, heran.
"Aku hanya ingat Pendekar Dungu si tua tamu kita. Kau menjelaskan tentang binatang itu, seolah-olah sedang membicarakan dirinya yang bebal, tapi bisa berbahaya karena ketololannya," sambung Andika disertai tawa. Namun....
Dukh
Tawa Pendekar Slebor tidak memanjang ketika sesuatu menimpa kapal besar Cina itu. Dari sisi lambung kiri kapal, sebentuk dorongan amat kuat membuat kapal besar itu oleng kuat ke satu sisi.
Dukh
"Apa kita menabrak sesuatu?" tanya Pendekar Slebor pada nakhoda.
Dukh Dukh
Saat yang sama, kejadian seperti tadi terulang kembali. Lebih keras dan hebat
"Kita tidak menabrak apa-apa. Justru kita yang ditabrak..., oleh sekawanan binatang sungai"
Nakhoda di atas geladak kemudinya memberi sahutan yang memaksa Andika dan si Gila Petualang terperangah.
"Apa telingaku sudah diberaki cecak?" gumam Pendekar Slebor, tak percaya pada apa yang didengarnya.
Berbarengan dengan gumamannya, anak muda itu mencelat lincah ke sisi seberang kapal di mana tumbukan terjadi.
Saat itu juga mata Pendekar Slebor mendelik, menyaksikan permukaan sungai di bawah sana mana-kala melengok. Ada sekitar lima puluh ekor Kuda Nil sedang menghantami lambung kapal
"Aku pasti sudah sinting" rutuk Andika, menyumpahi diri sendiri. Sungguh mati dia tak bisa mempercayainya.
"Ada apa, Anak Muda? Kau seperti melihat dedemit sungai?" tanya si Gila Petualang, bergegas menghampiri.
"Aku rasa, aku memang melihat dedemit sungai yang iseng-iseng menyamar menjadi binatang bertampang tolol itu" gerutu Andika dengan mata tak berkedip, menyaksikan hewan-hewan raksasa penghuni sungai itu menguak mulut bergantian, lalu melempar suara berat berdegam menggetarkan. Setelah itu secara bersamaan mereka mulai menanduki lambung kapal kembali.
"Sulit dipercaya" desis si Gila Petualang. Saat orang tua itu tiba, Chin Liong pun sudah sampai pula di sisinya.
"Jelaskan padaku, Orang Tua Apakah binatang-binatang bertampang tolol itu memang punya kebiasaan jelek seperti itu?" tanya Andika.
"Mereka memang suka mengganggu perahu. Tapi, tidak dengan cara serempak seperti ini. Mereka seperti ada yang memerintah" sahut si Gila Petualang, menjelaskan.
Mata Chin Liong menyergap wajah si Gila Petualang.
"Seperti elang-elangmu dulu?"
Si Gila Petualang membenarkan dengan isyarat kepala.
Dukh
Sekali lagi kapal layar menjadi oleng. Dorongan keras para makhluk air, telah menyeretnya menuju tepi yang bertebing. Alamat buruk pasti akan terjadi bila kapal melabrak tepian sungai itu. Bukan lagi kawanan binatang yang memecahkan lambung kapal, melainkan gigir-gigir tebing
"Tuan Panglima Apa yang harus kami perbuat?" teriak nakhoda kalang-kabut.
"Kapal ini bisa karam, kalau sampai menghantam gigir tepian sungai"
"Kendalikan kemudi" seru Chin Liong.
"Tak bisa Binatang itu terlalu kuat mendorong kapal kita"
Saat itu, semua orang menjadi tegang. Bagi orang seperti Pendekar Slebor, si Gila Petualang, Chin Liong, atau Putri Ying Lien, keadaan itu tak terlalu menyulitkan. Meskipun gigir sungai bertebing tinggi dan curam, mereka masih dapat melenting-lenting di permukaannya menggunakan ilmu meringankan tubuh masing-masing.
Namun bagaimana dengan para awak kapal lain? Mereka belum tentu mampu menundukkan tebing securam itu, dengan kemampuan ilmu meringankan tubuh. Sementara kalau mereka tidak melompat, kapal akan segera menabrak gigir sungai dan segera pula karam. Kalau itu terjadi, maka akan menjadi santapan buaya-buaya besar Sungai Nil
Chin Liong seperti kehilangan akal. Sama sekali di benaknya tak terbetik cara untuk memecahkan masalah yang mengancam jiwa awak kapalnya. Kekalutan anak buahnya justru menambah kekacauan otaknya untuk berpikir jernih.
"Siapkan pasukan pemanah Hujani binatang-binatang itu" perintah Chin Liong, tanpa dapat menemukan cara lain. Padahal tindakan yang diperintahkannya bisa membuat makhluk-makhluk air liar itu malah bertambah liar.
Berbeda dengan Pendekar Slebor yang otaknya begitu terlatih untuk tetap berputar dalam keadaan gawat. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan riuh rendah kekalutan awak kapal.
Benak anak muda itu bergulat pikir sejenak. Se-mentara itu, mata elangnya jelalatan tangkas kian kemari, meneliti cepat keadaan yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan.
Di lain sisi, pasukan pemanah Kerajaan Cina sudah siap membentuk barisan di sisi kiri kapal. Mereka mengunggu aba-aba dari Chin Liong, andaikata gerombolan Kuda Nil mulai melabrak lambung kapal kembali.
Sampai akhirnya mata Pendekar Slebor menghujam di kejauhan, pada segerombolan buaya besar yang sebelumnya sedang berjemur di tepian tumbuhan sejenis ilalang. Dia pun mendapatkan sinar terang di benaknya. Sebuah akal yang jelas-jelas amat konyol"
"Tunggu" seru Andika pada pasukan pemanah.
"Jangan sekalipun melepaskan anak panah pada mereka Mereka belum tentu mati dengan anak panah kalian yang terlalu kecil untuk ukuran tubuh mereka Bisa-bisa, mereka malah tambah sinting"
"Lalu apa yang hendak kita perbuat?" tanya Chin Liong berteriak dengan kening berkerut.
Bagaimana pemuda Cina ini tidak mulai kalut kalau kapal sudah demikian dekat dengan gigir sungai. Padahal, dia amat bertanggung jawab pada keselamatan anak buahnya.
"Kau lihat saja nanti" ujar Pendekar Slebor disertai sebaris senyum konyolnya yang khas.
Chin Liong dipaksa meringis melihat senyum itu. Bagaimana mungkin dia masih bisa tersenyum, pada saat genting seperti ini?
Kalau yang lain sedang bertanya-tanya tentang tindakan yang hendak dilakukan Andika, anak muda itu malah berlari kilat menuju pintu gudang anggur.
"Hey Bukan saatnya bergurau lagi, Andika" hardik Chin Liong.
Sayang, Pendekar Slebor sudah menghilang ke dalam mulut gudang.
Singkat waktu, Andika sudah keluar dengan menyeret tubuh seseorang: Pendeka Dungu
"Lepaskan aku, Pemuda Sundal Apa yang ingin kau lakukan padaku?
Hehhh..." oceh Pendekar Dungu tak kentara.
Pengaruh anggur yang diminum Pendekar Dungu kelewat banyak, membuatnya dalam keadaan setengah sadar.
"Kau benar-benar sinting, Andika Aku tak paham, apa yang hendak kau lakukan?" cecar Chin Liong, tak menerima tingkah Pendekar Slebor yang dianggap aneh dan tengik.
Pendekar Slebor hanya menjentikkan tangan, lalu mengambil sepasang kayuh perahu. Dipatahkannya gagang kedua benda itu, lalu patahan bagian kepalanya dijepitkan ke dalam alas kakinya. Setelah itu, masih dengan mencengkeram leher baju Pendekar Dungu, Andika melompat ke sungai
Dengan kepala kayuh itulah, anak muda sakti yang memiliki ilmu meringankan tubuh amat disegani semua kalangan, meluncur cepat di permukaan sungai Secara bergantian, sebelah kakinya digunakan untuk mengayuh. Sedang yang lain, digunakan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
Cepat seperti luncuran benda di permukaan salju, Pendekar Slebor menuju tepian jauh di sana, tempat segerombolan buaya besar sedang berjemur. Sementara di tangan kanannya, Pendekar Dungu megap-megap di permukaan air.
"Hoi..., Anak Sundal Glep Kau akan membunuhku yahhh, glep... glep"
Setibanya di dekat gerombolan buaya, mulut Pendekar Slebor membuat suara-suara riuh. Para buaya raksasa pun terpancing. Mereka mulai terjun sungai dengan mata bersinar rakus.
Sesaat setelah semua binatang berdarah dingin itu masuk ke sungai, Andika mulai memain-mainkan tubuh Pendekar Dungu di tangan kanannya. Diseret-seretnya tubuh kurus orang tua berotak bebal itu ke kiri dan ke kanan pada permukaan air sungai.
Meski mabuk berat, Pendekar Dungu rupanya masih bisa mengenali makhluk-makhluk yang meluncur deras ke arah mereka. Mata sayunya mendelik sebesar uang logam. Bibirnya yang lebih kusut dari kain gombal, berkibar-kibar mencerocoskan makian kalang-kabut.
"Maaf, Orang Tua Kami dalam bahaya. Dan aku butuh kerjasamamu"
ucap Andika, tenang.
Kerjasama katanya? Ya, akalnya memang tengik. Andika sengaja hendak menggiring kawanan buaya itu ke arah kanan Kuda Nil. Kalau kedua kawanan binatang itu bertemu, sudah bisa dipastikan akan saling membunuh. Itu berarti ada kesempatan bagi nakhoda kapal untuk mengendalikan arah kapal kembali. Dan sebagai umpan untuk memancing kawanan buaya... ya, Pendekar Dungu Malang nian nasib si tua keropos itu....
Kawanan buaya cepat tiba di dekat Andika dan Pendekar Dungu. Begitu moncong salah satu buaya mulai menganga besar tepat di depan tubuh Pendekar Dungu, Andika segera menariknya menuju arah kapal kembali.
Sekarang, si Pendekar Slebor menuju kapal dengan bala bantuan di belakangnya
"Hup"
Pendekar Slebor melompat kembali ke atas kapal bersama Pendekar Dungu begitu tiba. Sedangkan di bawah sana, terjadi pergulatan berdarah yang menakjubkan antara segerombolan buaya besar dengan Kuda Nil perusuh Akal tengiknya ternyata berhasil
Sang nakhoda pun kini bisa mengendalikan kembali kapalnya, sampai bisa melewati tepian sungai bergigir tajam.
"Terima kasih banyak, Orang Tua. Kalau tak ada kau, tentu banyak awak kapal yang menjadi makanan siang para buaya...," seloroh Andika, pada Pendekar Dungu.
"Tai kucing kau" bentak Pendekar Dungu sewot setengah modar.
Kapal armada Cina melaju terus. Tanpa diketahui para awaknya, seorang wanita menatap di kejauhan dari atas perahu khas Mesir. Matanya menyiratkan sehimpun kebengisan, mengikuti ekor kapal yang terus menjauh.

***

Pada akhirnya kapal Kerajaan Cina itu tiba juga di tempat yang dituju. Untuk mencapai piramida yang dimaksudkan dalam papirus, mereka harus menyambung perjalanan dengan berkuda sekitar tiga hari ke bentangan gurun wilayah barat.
Pada saat yang sama, seorang wanita cantik tampak berjalan menempuh padang pasir di utara, menuju piramida tujuan rombongan Pendekar Slebor. Sulit dipercaya, seorang wanita seperti dia sudi menerjang kegarangan gurun yang tak memberi kesempatan manusia untuk hidup.
Jauh dari oase*, jauh pula dari perkampungan penduduk. Sementara, setiap saat bisa saja lahir badai gurun yang menerjang dahsyat disertai angin berpasirnya.
Perempuan itu berpakaian tak lazim untuk orang Mesir. Sementara, wajahnya justru menunjukkan kalau dia adalah penduduk asli negeri itu.
Matanya bulat berbulu lentik. Mengerling atau tidak, tetap akan tampak menggoda. Hidungnya bangir menggemaskan, dipersolek bibir yang merekah menggiurkan. Tak ada olesan sedikit pun di wajahnya. Tapi, itu pun sudah cukup membuat dirinya mempesona, dengan rambut yang mencolok. Pakaian putihnya hanya terbuat dari sejenis gaun bahan sutera yang diikat sabuk linen warna biru tua. Di atas pasir gurun yang bisa mematangkan sebutir telur dalam waktu singkat, wanita itu berjalan tanpa alas kaki Kulit kakinya yang putih mulus tak sedikit pun tampak melepuh. Di samping itu, ada hal yang tak lazim bagi perempuan cantik seperti dia. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat besar berpilin. Ujungnya berbentuk kepala ular kobra dari bahan logam berwarna perak keemasan.
Perempuan itu bernama Nofret, anak seorang Pendeta 'Ka' yang menguasai sejumlah sihir. Ayahnya telah mati lima belas tahun lalu. Dengan kematian itu, Nofret mewarisi seluruh mantera-mantera sihirnya. Nofret tergolong jarang sekali bicara. Dia akan berkata seperlunya. Satu kata yang diucapkan, bisa berarti banyak.
Ayahnya adalah pemelihara piramida yang kini hendak didatanginya. Sebelum mati, si ayah berpesan padanya bahwa pada bulan pertama musim panas hari ke empat belas, tepatnya hari ini, akan datang para undangan dari berbagai penjuru buana. Mereka datang untuk memenuhi undangan Sang Ratu, yang jasadnya kini bersemayam di perut piramida.
"Undangan itu dibuat, ketika nyawa Sang Ratu beberapa saat lagi hendak dijemput Dewa Osiris*" tutur ayahnya waktu itu.
Ketika itu, si Pendeta 'Ka' tua sedang sekarat. Nyawanya sudah tiba demikian dekat. Sebab itu, dia memutuskan untuk segera
mewasiatkannya.
"Kau beruntung mendapat kesempatan ini, anakku. Undangan itu dibuat berabad-abad yang lalu. Dan akhirnya wasiat itu jatuh ke tanganmu.
Tepat ketika hari penentuan undangan itu...," lanjutya tersengal.
"Untuk apa Sang Ratu mengirim undangan itu, Ayah?" tanya Nofret ingin tahu.
"Itu bukan urusanmu," sergah ayahnya setengah menghardik.
"Jangan gegabah menanyakan maksud Sang Ratu...."
"Maafkan aku, Ayah," sesal Nofret.
Setelah itu, ayah Nofret pun wafat. Tugas untuk melaksanakan segala wasiat mengenai undangan Sang Ratu kini berada di atas bahu Nofret.
Biarpun, dia tidak menjadi seorang Pendeta 'Ka*.
Dan untuk maksud itulah, Nofret menuju makam raksasa Sang Ratu.
Dalam hal ini, dia berkewajiban menyambut para tamu, serta untuk mengantar tamu masuk ke dalam piramida yang selama ini belum pernah sekali pun dimasukinya.
Ada apa di dalam sana? Hati Nofret tak kunjung padam membeberkan pertanyaan. Ya Ada apa di dalam sana? Apa maksud Sang Ratu mengundang tokoh-tokoh sakti dari berbagai penjuru bumi?
Sambil tetap melangkah, Nofret terus bertanya-tanya. Jantungnya berdetak-detak kuat. Terasa ada suatu alamat buruk yang bakal terjadi....

***

"Hey Kutu congek kalian semua Kenapa aku ditinggal begitu saja?"
Pendekar Dungu tergopoh-gopoh menyusul rombongan Putri Ying Lien.
Berhari-hari si bangkotan bebal melakukan hal yang luar biasa. Tidur sepanjang perjalanan menuju Mesir. Artinya, dia telah bermimpi indah selama berminggu-minggu seperti bangkai. Andai saja air liur kentalnya terus mengalir, tentu sudah sebanyak isi gentong anggur besar Manusia satu itu memang aneh.
Tak begitu lama, Pendekar Dngu sudah berhasil mengejar iring-iringan kendaraan kuda. Begitu sampai, langsung disemprotnya Pendekar Slebor habis-habisan.
"Bilang padaku Kau mulai culas, ya? Em-em-em.., dasar anak muda kualat kau, ya? Kau pemuda kualat apa bukan, sih?"
Bisa-bisanya Pendekar Dungu menyalahkan Andika atas kesalahan yang diperbuatnya sendiri.
Andika melirik jengkel, tak ingin meladeni kesintingan orang tua aneh itu.
"Bagaimana kau bisa menyusul kami, Orang Tua?" alih Andika.
"Bisa menyusul kalian?" tanya Pendekar Dungu bodoh sekali.
"Bagaimana bisa menyusul kalian?"
Bola mata orang tua berotak udang itu berputar-putar. Sedang berpikir keras rupanya.
"O Tentu saja kau bisa mengikuti kami. Kau melihat jejak kami, bukan?" susul Andika.
Dalam hati, Andika jadi geli sendiri. Tumben, si orang tua bebal ini bisa memakai otaknya.
"Kalau tak salah, sewaktu aku terbangun, tahu-tahu saja kulihat kalian berjalan di depanku...," sahut Pendekar Dungu setelah Andika cukup bisa menunggu jawabannya.
Ternyata, jawaban Pendekar Dungu nyatanya jauh dari perkiraan. Andika kontan menepak kening keras-keras. Jadi, orang tua itu berjalan tanpa sadar dalam keadaan tidur Yang lebih gila lagi, dia menemukan rombongan hanya kebetulan. Bukan karena otaknya yang mulai siuman dari ketololannya yang kelewat batas itu
"Jadi sekarang hendak ke mana?" tanya Pendekar Dungu lagi.
"Apa kau belum tahu tujuan kami? Kupikir kau pun mendapat undangan dari Ratu Mesir...," Andika mengeluarkan papirus dari balik pakaiannya.
"Seperti ini."
Tanpa perlu disodorkan lagi, tangan kurus berbungkus kulit keriput Pendekar Dungu menyambar papirus itu. Hampir saja lembaran rapuh itu sobek.
Lama mata abu-abu si tua bebal itu memperhatikan papirus. Dibolak-baliknya lembaran itu. Di balik..., lalu dibolak. Andika sendiri jadi pusing lihat tingkahnya.
"Kau pernah mendapatkan itu dari seekor burung gurun?" tanya Andika, mulai tak sabar.
Disebut-sebut soal burung, barulah Pendekar Dungu teringat. Memang, kalau menyangkut 'burung' saja dia baru ingat....
"Eee, iya-iya-iya. Burung, ya? Pasti binatang jelek itu yang kau maksud.
Aku memang pernah melihatnya. Dan... hei Dia melempar benda seperti ini pada kami" seru si tua berotak tumpul, sambil melambai-lambaikan papirus di udara.
"Kami?" Andika mengernyitkan dahi.
"Kalau begitu, kau tidak sendiri waktu itu?"
"Sendiri? Siapa sendiri?"
"Kau...."
"Aku? O, iya"
"Dengan siapa.?"
"Siapa? Siapa dengan siapa?" tanya Pendekar Dungu.
Makin lama bicara dengan Pendekar Dungu, makin ruwet saja otak Andika dibuatnya. Jangan-jangan, bisa saja dia jadi bertukar dengan ketololannya.
"Waktu itu kau dengan siapa, Pak Tua?" ulang Andika keras, agak jengkel.
"O, aku.... Iya Tentu saja aku dengan si muka jeIek itu..."
"Iya, siapa?"
"Mmm... nyem-nyem Rasanya sih, si Hakim Tanpa Wajah...."
Pendekar muda buyut Pendekar Lembah Kutukan itu agak terperanjat juga mendengar Hakim Tanpa Wajah disebutkan. Setahu dia, orang itu telah mati ketika terjadi pertarungan besar melawan murid murtadnya di Pengadilan Perut Bumi (Baca episode: Cermin Alam Gaib").
Berarti, urusan di negeri ini akan menjadi ruwet kalau Hakim Tanpa Wajah pun memenuhi undangan Ratu Mesir
"Jadi, manusia bejat berhati kentut itu masih hidup," bisik Andika.
"Ah Aku tidak kentut, kok" sergah Pendekar Dungu. Otaknya memang sudah turun ke dengkul

***

||| 7 |||

Piramida yang dituju Pendekar Slebor dan rombongan terlihat angker dari kejauhan. Setelah menempuh perjalanan berkuda setengah hari, mereka akhirnya tiba.
Piramida Tonggak Osiris nama bangunan tua itu. Dari jarak lebih seribu tombak, terlihat samar-samar awan mengurung puncaknya yang berbentuk runcing. Mengagumkan bahwa maha karya manusia itu hanya tercipta dari susunan batu-batu besar.
Setiap mata yang baru pertama kali melihat pasti terpana. Mereka tak peduli lagi pada tiupan angin keras yang menggangu penglihatannya, kecuali si Gila Petualang. Biar begitu, tak urung juga dia memandangi tanpa berkedip. Seakan, dia merasa tak pernah melihat sebelumnya.
"Kita telah tiba di Piramida Tonggak Osiris," seru si Gila Petualang.
"Mungkin saja seorang Pendeta 'Ka' telah menanti kita...."
"Tapi, Orang Tua," selak Chin Liong yang berkuda tepat di sisi Andika dan Putri Ying Lien.
"Apakah pendeta yang kau maksud lebih dari satu orang?"
"Apa maksudmu?" si Gila Petualang balik bertanya.
Chin Liong menunjuk jauh ke piramida sana. Matanya yang sipit, makin menyipit.
"Coba perhatikan baik-baik. Bukankah di kaki piramida itu ada beberapa orang berdiri di sana?" ujar Chin Liong.
Si Gila Petualang mengikuti arah telunjuk Chin Liong. Benar Dia melihat ada beberapa orang di sana.
"Tampaknya kita telah kedahuluan. Kuduga, mereka juga undangan seperti kita," simpul pendekar yang selalu melanglang buana dari satu tempat ke tempat lain itu.
Mereka terus bergerak. Sampai akhirnya, tiba di dekat orang-orang yang telah lebih dahulu tiba. Di sana, ada orang-orang berbeda penampilan dari negeri yang berbeda pula. Jumlah mereka sebenarnya bisa dihitung dengan jari. Dua orang di antaranya adalah Kenjiro dan Hiroto dari negeri Sakura. Tapi di antara lima orang lainnya, si Hakim Tanpa Wajah tak terlihat.
"Apakah Hakim Tanpa Wajah tidak datang karena perjalanan yang begitu jauh membelah samudera luas? Rasanya, tidak mungkin. Orang seperti dia pasti akan memenuhi undangan Sang Ratu Mesir. Apalagi ini menyangkut nama besar para tokoh ksatria dunia," kata Andika dalam hati.
"Selamat datang" sambut Hiroto dalam bahasa Nipon tanpa senyum.
Di antara mereka, cuma Hiroto dan Kenjiro saja yang nampak ramah.
Keduanya membungkukkan badan memberi penghormatan. Kalaupun bibir Hiroto tampak kering dari senyum, itu karena jiwa Samurainya.
"Senang berjumpa Anda" balas si Gila Petualang dalam bahasa Jepang yang tak kalah kental.
Pengetahuan bahasa si Gila Petualang sempat membuat orang dalam rombongan Putri Ying Lien menjadi kagum. Termasuk, Andika. Entah kalau Pendekar Dungu. Petualangannya selama ini rupanya telah membekalkan banyak hal pada dirinya. Beberapa bahasa dari beberapa negeri sudah dikuasainya cukup mahir. Di samping, ilmu-ilmu obat-obatan, racun, ilmu bela diri, dan olah kanuragan.
"Arigato gozaimash*" hatur Hiroto, berbareng Kenjiro saudara sepupunya.
"Apakah kau sudah bertemu seorang Pendekar 'Ka', Tuan?" tanya si Gila Petualang. Dia agak heran, kenapa mereka masih menunggu di kaki piramida.
"Belum-belum" jawab Hiroto tangkas.
Baru saja dibicarakan, Nofret selaku orang yang mengemban tugas ayahnya pun datang dari kejauhan. Mula-mula, mata Pendekar Slebor yang menemukannya.
"Chin Liong Apa aku tidak salah lihat? Apa ini cuma bayanganku karena panas gurun?" bisik Andika pada Chin Liong.
Dengan ujung matanya, Andika menunjuk seorang gadis berpakaian putih yang terlihat anggun di kejauhan. Rambut hitam legamnya menggelepar-gelepar diusik angin. Dia seperti bidadari yang terdampar di keganasan gurun.
Tak beda dengan Andika, Chin Liong pun langsung terdiam direnggut keterpesonaan.
"Aku rasa kita berdua telah melihat khayalan...," desis Chin Liong.
Wajah Nofret benar-benar sebentuk keagungan, bagi mata Chin Liong.
"Kalian kenapa kasak-kusuk seperti itu? Apa yang sedang kalian bicarakan?" sela Putri Ying Lien.
"Kau tak akan percaya bila kukatakan...," ucap Andika, terputus.
Matanya masih saja tak berkedip mengikuti gerak langkah gemulai Nofret.
Hembusan angin gurun mengusili belahan pakaian linen gadis menakjubkan itu. Sekelebatan, tersingkaplah kehalusan kaki jenjang dengan kepadatannya. Kulit paha Nofret yang sebening susu, memantulkan sinar gerak mentari menjadi lembut. Chin Liong dan Andika makin terpana.
"Tak percaya apa?" tanya Putri Ying Lien bingung.
"Bayangan seorang bidadari...," sahut Chin Liong.
Tak tahu, apa maksud pemuda Cina ini mengucapkan itu. Dia tidak ingin bergurau. Tapi entah kenapa, justru kata itu yang diucapkannya.
Bukankah bodoh sekali terdengar kalau dua orang melihat 'fatamorgana' yang sama?
"Kalian yakin, kalau tidak terkena demam akibat hawa gurun?" tukas Putri Ying Lien agak khawatir.
"Tidak, Putri," sela si Gila Petualang.
Orang tua itu pun sudah menyaksikan kedatangan Nofret di kejauhan.
Hanya karena sudah tidak muda lagi, sehingga dia masih mampu menguasai diri menyaksikan pancaran mempesona diri Nofret.
"Mereka hanya melihat pemandangan mempesona...," sambung si Gila Petualang.
Sementara Nofret makin dekat dengan gerak gemulai memukau. Kini, semua orang yang berdiri di sekitar piramida telah memusatkan perhatian kepada dirinya. Keanggunannya melangkah seakan menyihir mereka semua menjadi patung hidup. Nofret kian dekat.
"Pak Tua Bisa kau katakan pada wanita itu kalau aku, pendekar muda dari tanah Jawa ingin berkenalan dengannya?" bisik Andika, pada si Gila Petualang.
Si Gila Petualang melirik.
"Kenapa bukan kau saja?" tanya orang tua itu seraya tersenyum lebar.
"Mana bisaaa.... Aku tidak tahu sama sekali bahasa Mesir" kata Andika, memaksa.
"Lagi pula...."
Orang tua itu menunggu.
"Lagi pula, mana bisaaa aku menyapa perawan sejelita dia tanpa kata-kata gagap...."
Setelah itu Andika meringis sendiri.
"Atas nama Yang Mulia Ratu di makam sana, aku ditugaskan untuk menyambut kedatangan kalian...," ucap Nofret setiba di dekat para undangan.
Tatapan mata gadis itu amat tegas dan berwibawa. Ketampanan Andika yang sudah seringkali membuat banyak gadis terpaksa terbengong pun, tak bisa mengusik ketegaran sinar matanya.
Andika merasa diremehkan ketika mata lentik yang legam Nofret hanya sekilas menatapnya. Bahkan beralih kepada yang lain.
"Sombong juga rupanya dia," nilai Andika dengan bibir sedikit mencibir.
"Sesungguhnya, apa maksud Ratumu mengundang kami ke tempat ini?" tanya si Gila Petualang menyela sambutan Nofret.
"Aku tidak pernah tahu. Bahkan ayahku yang menjadi Pendeta 'Ka' pun, tak mengetahui. Tugasku hanya mengantar kalian memasuki makam Ratu Yang Mulia. Bisa jadi, kalian akan tahu segalanya di dalam sana...," jawab Nofret ringkas dan padat.
"Ya Kenapa kita tak masuk saja ke dalam sana Aku sendiri sudah tak sabar menyaksikan harta peninggalan Sang Ratu yang pasti begitu berlimpah dalam sana"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara seseorang yang mengguntur. Tidak sulit menentukan asal suara di tempat yang begitu terbuka. Asalnya, dari puncak piramida.
Semua mata serentak mengarahkan mata ke sana. Mereka pun bisa melihat seorang laki-laki tua buruk rupa. Jenggot dan rambutnya amat panjang. Dialah si Hakim Tanpa Wajah yang sedang duduk santai tepat di pucuk bangunan raksasa ini.
Berbeda dengan mata yang lain, mata Nofret tampak berkilat-kilat gusar menyaksikan ulah Hakim Tanpa Wajah. Pipi halusnya berubah warna. Meskipun air mukanya masih tetap mantap.
"Kuharap kau mau turun dari sana, Orang Tua" ujar Nofret memperingatkan dengan suara halus, tapi menghunus. Terlebih tatapan matanya.
Hakim Tanpa Wajah malah cengengesan.
"He he he hek.... Apa katanya? Bukannya aku tuli, Nona. Aku hanya tak mengerti kata-kata yang kau ucapkan"
"Dia minta kau turun dari sana, Hakim Tanpa Wajah" jelas si Gila Petualang, mencoba membantu menyampaikan permintaan Nofret barusan.
"Dia minta aku turun?"
Mata cekung dan besar milik Hakim Tanpa Wajah terbelalak seraya melalap bentuk tubuh yang menggiurkan milik Nofret.
"Kalau aku sudah turun, apa yang diinginkannya dariku?" sambung Hakim Tanpa Wajah, bernada cabul.
"Kalau kau tak segera turun...." Ucapan Nofret terputus, terhalang kegusaran yang menanjak cepat.
Kalimatnya diucapkan dalam bahasa Melayu yang terpatah-patah. Semua yang ada di sana, termasuk si Gila Petualang, tak pernah menduga kalau Nofret cukup menguasai bahasa Melayu.
Memang, semenjak meninggalkan sang ayah lima belas tahun yang lalu, Nofret merasa perlu mempelajari beberapa bahasa, sehubungan tugasnya untuk menyambut beberapa tokoh persilatan dari berbagai belahan bumi yang diundang ke Piramida Tonggak Osiris. Bahasa Melayu adalah salah satu di antaranya.
"Kalau aku tak segera turun, kenapa?" tantang Hakim Tanpa Wajah, kian keterlaluan.
"Kenapa kau tak menuruti saja permintaan Nona ini, Kakek Jelek" hardik Andika. Hatinya ikut mengkelap menelan sikap memuakkan tokoh tua yang pernah berurusan dengannya.
"Pendekar Slebor.... Anak muda yang sok dan merasa telah begitu hebat. Jangan mencoba mengambil hati perempuan cantik ini...," kata Hakim Tanpa Wajah, malah mencemooh.
Andika mendengus.
"Kalau kau memang tak bisa bersikap selaku tamu yang baik, maka aku sudi memberimu pelajaran. Biar kau bisa tahu sedikit tatakrama"
bentak Pendekar Slebor.
Di atas sana, Hakim Tanpa Wajah lagi-lagi memperdengarkan kekehnya.
"Apa yang mau kau perbuat, heh?" tantang Hakim Tanpa Wajah pada Andika.
Tantangan ini benar-benar membuat semua undangan yang hadir di sana menjadi bertambah muak. Bagaimana mereka tidak muak? Tingkah Hakim Tanpa Wajah justru membuang-buang waktu mereka untuk segera memasuki piramida. Padahal, rasa penasaran mereka sudah demikian menggebu-gebu.
Diawali gemerutuk giginya, Pendekar Slebor hendak menegaskan ancamannya. Namun, baru saja kalimatnya hendak terlepas....
Wussshhh
Mendadak angin rasaksa berkejaran cepat menerjangkan pasir gurun yang panas. Orang-orang yang ada di sana bahkan nyaris terseret, karena tidak menduga akan ada tiupan sekencang itu. Akibat paling parah dialami Hakim Tanpa Wajah. Pucuk piramida tempatnya hinggap, sepertinya menjadi sasaran utama tiupan angin kencang itu. Tubuh kerempengnya tersentak. Hampir saja dia tergelincir, kalau saja kesigapannya yang begitu terlatih sebagi tokoh dedengkot tidak menolongnya.
Menurut pengamatan si Gila Petualang yang sudah cukup mengenal keadaan gurun di Mesir, angin seperti itu terhitung ganjil. Terjangan badai gurun memang memiliki kekuatan seperti itu. Tapi, yang terjadi barusan bukanlah badai gurun. Sepanjang pengalamannya, dia tak pernah melihat badai gurun terjadi dalam waktu yang begitu singkat.
Seolah-olah, ada raksasa kasap mata yang terbatuk mendadak. Belum lagi keterkejutan mereka tuntas, kejadian lain yang tak kalah mengherankan terjadi. Sekitar empat depa dari sekeliling pucuk piramida, bermunculan begitu saja ribuan ular berbisa
Semua mata tak sedikit pun menyaksikan gerombolah besar ular itu keluar dari celah-celah batu piramida. Seperti juga angin yang mengawalinya, ular-ular itu pun muncul mendadak tanpa diketahui
Binatang-binatang bersisik menjijikkan itu merayap di dinding curam piramida tanpa terjatuh. Arah utamanya adalah tempat hinggap Hakim Tanpa Wajah. Mereka mendesis-desis ramai. Semuanya menegakkan kepala, menuju sasaran dengan lidah yang menjulur-julur. Sepertinya, mereka merayap tanpa kesulitan. Lebih mantap daripada rayapan seekor cecak sekali pun.
Demi menyaksikan semua makhluk mengancam itu, mata cekung dan besar Hakim Tanpa Wajah jadi bertambah besar. Kalau saja alis panjangnya tak menghalangi, tentu wajahnya akan terlihat lebih memuakkan.
"Sihir Ini sihir" teriak Hakim Tanpa Wajah kelimpungan.
Kaki kurus Hakim Tanpa Wajah yang selangsing batang pohon singkong dan sekeriput gombal bau terangkat-angkat di atas pantatnya. Bibirnya yang diramaikan kerut-merut menjadi berkibar-kibar, karena terlalu kencang berteriak.
Tingkah serabutan Hakim Tanpa Wajah sesungguhnya bisa membuat siapa pun yang melihatnya menjadi terpingkal-pingkal sampai sakit perut. Sayang, daya pesona gerombolan ular melata di dekatnya lebih kuat. Para undangan di bawah piramida hanya bisa membisu dengan kelopak mata tak berkedip, menyaksikan kerepotan Hakim Tanpa Wajah.
Keanehan lain segera menyusul, begitu Hakim Tanpa Wajah cepat-cepat melompat dari pucuk piramida. Gerombolan makhluk berbisa yang hampir tiba, mendadak hilang begitu saja. Tak ada yang tahu, ke mana perginya.
"Sudah kubilang itu sihir Aku tahu itu memang sihir" semprot Hakim Tanpa Wajah tak tahu pada siapa, setibanya di bawah.
"Tak mungkin ular sebanyak itu menghilang begitu saja"
"Kalau tahu sihir, kenapa harus minggat dari tempatmu tadi?" ledek Pendekar Slebor.
"Kau tahu, ular-ular itu bukan sungguhan, bukan?"
Hakim Tanpa Wajah mendongak kesal pada anak muda itu. Benar juga kata pemuda ini.Kalau dia tahu itu cuma permainan sihir, kenapa merasa harus minggat?
"Apakah kau sudah sadar, kalau sekarang kau ternyata bodoh?" tambah Pendekar Slebor lagi.
"Ya Aku di sini" sahut Pendekar Dungu bersemangat, seraya mengacungkan jari tinggi-tinggi. Salah alamat dia....

***

||| 8 |||

"Semua itu pasti perbuatanmu, Anak Perawan" tuding Hakim Tanpa Wajah beringasan. Ditujukannya tuduhan itu pada Nofret.
"Kalau begitu, kau harus kuadili Kau mesti menerima hukumanku"
Nofret tampak hanya melirik lelaki tua bertampang buruk itu dengan tatapan dingin. Kelopak matanya yang menawan agak menyipit, menerima semua tuduhan yang dilimpahkan Hakim Tanpa Wajah. Meski memiliki sihir, Nofret sendiri heran atas kejadian tadi. Jelas-jelas, dia tak merasa telah melepaskan kekuatan sihirnya pada Hakim Tanpa Wajah.
Kalau bukan dia lalu siapa?
"Jangan merasa tidak melakukan kesalahan, Anak Perawan Kau siap menjalani pengadilanku" bentak Hakim Tanpa Wajah kembali sontak.
"Sudah Tutup saja bacotmu yang rata itu, Orang Tua Jelek Aku sudah muak melihat sikapmu yang sok menghakimi" terabas Pendekar Slebor.
Sejak berurusan pertama kali dengan tokoh dedengkot aliran sesat itu, Andika sudah demikian benci. Banyak tokoh aliran putih yang punya nama harum harus mati di tangannya, hanya karena tingkah sinting orang tua itu.
Sewaktu terjadi keributan besar di Pengadilan Perut Bumi antara Hakim Tanpa Wajah melawan muridnya sendiri yang berjuluk Manusia Dari Pusat Bumi, Andika menyangka lelaki bangkotan itu sudah terlempar ke dasar neraka. Nyatanya, tidak. Karena tanpa diduga hari ini, dia harus menelan kembali semua sifat tengik Hakim Tanpa Wajah.
Tapi sebenarnya justru bukan itu yang membuat pemuda sakti dari tanah Jawa ini merasa perlu mencampuri suasana panas yang terbangun antara Hakim Tanpa Wajah dengan Nofret. Kalau mau sedikit jujur, tentu Andika akan mengakui kalau sebenarnya hanya ingin mendapat perhatian dari Nofret, wanita bak bidadari yang membuat dadanya berdebur-debur kencang.
Dasar hidung belang
"Kau pun akan turut kuadili, karena telah lancang mencampuri urusanku dengan perawan ini" sergah Hakim Tanpa Wajah pada Andika.
"Selalu itu saja yang kau tudingkan padaku Masih saja kau merasa menjadi Hakim dari segala Hakim?" dengus Andika.
"Di mataku, kau tak lebih dari orang sinting yang gila kuasa Atau monyet tak punya otak yang merasa paling berhak mengatur manusia." '
"Kau benar-benar anak sundal yang mesti kuhukum gantung" geram Hakim Tanpa Wajah.
Tak biasanya Hakim Tanpa Wajah memperlihatkan kemarahan besar.
Mungkin karena baru dipermalukan di depan hidung tokoh-tokoh dunia manakala serabutan menghindari dari serbuan gerombolan ular.
"Kau mau melakukannya? Ayo, tunggu apa lagi?" tantang Pendekar Slebor.
Pertikaian besar menyangkut adu kesaktian tingkat tinggi antara dua tokoh berbeda usia sekaligus berbeda jalan itu tampaknya tidak bisa dihindari lagi. Namun, mendadak saja sesuatu yang ganjil terjadi.
Dari beberapa tempat di sekeliling Hakim Tanpa Wajah berdiri, mendadak pasir tersibak layaknya kembang api bertaburan. Bahkan diikuti pula dengan suara-suara nyaring yang meletak-letak, seolah ada berpuluh benda yang dimasukkan dalam kuali berisi minyak mendidih.
Kalau Pendekar Slebor saja dibuat terperanjat, apalagi Hakim Tanpa Wajah. Selaku tokoh dedengkot dunia persilatan yang sudah kenyang makan asam garam, tubuhnya langsung berkelit siaga, setiap kali pasir panas di sekitarnya meletak. Walaupun hingga sejauh itu, hanya belum mengancamnya.
"Apa lagi ini?" rutuk hati si tua berwajah buruk itu, gusar.
"Kenapa selalu aku yang menjadi sasaran setiap kejadian ganjil di sini?"
Belum lagi tuntas bunyi bising letupan-letupan tadi, permukaan pasir tempat Hakim Tanpa Wajah berdiri tiba-tiba melesak cepat. Saat itu juga jutaan kati pasir begitu saja tersedot ke dasar bumi.
Tanpa dapat dicegah, tubuh kerempeng Hakim Tanpa Wajah tersedot ke bawah. Dia kelimpungan bukan main. Lebih kelimpungan daripada saat diserbu gerombolan ular aneh.
Segenap kemampuan, Hakim Tanpa Wajah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyelamatkan diri dari sedotan pasir longsor tersebut. Namun, ternyata kehandalan ilmu meringankan tubuhnya yang sanggup melenting di atas selembar daun, belum cukup menolong. Karena dengan tiba-tiba, tumpukan pasir di sekelilingnya menyergap sepasang kaki kurus Hakim Tanpa Wajah. Bahkan menghimpitnya sekuat himpitan dua gunung karang kokoh.
Hakim Tanpa Wajah harus bertindak sesegera mungkin, kalau tubuhnya tak ingin terus tertelan longsoran pasir yang membentuk lubang bergaris lingkar besar itu. Timbunan pasir di bagian kakinya harus dihantam dengan pukulan tingkat tinggi. Barangkali dengan begitu, cengkeraman pada kakinya bisa diatasi.
"Heaaakh"
Seiring teriakan serak melengking, Hakim Tanpa Wajah merangsakkan serangkum tenaga dalam andalannya. Tenaga Sakti Pembelah Bumi Satu ilmu pukulan amat dahsyat yang sempat hilang puluhan tahun, bersama menghilangnya Hakim Tanpa Wajah. Dengan kemunculannya belakangan ini, maka pukulan yang menjadi ciri khasnya pun turut muncul kembali.
Keistimewaannya, sanggup memaksa batu karang sekeras apa pun lebur menjadi bubuk Saat dikerahkan, bumi bagai digoncang oleh naga raksasa di perut bumi....
Jassshhh
Timbunan pasir yang terus menghimpit sepasang kaki Hakim Tanpa Wajah menjadi sasaran ilmu pukulan. Sebentar saja, bagian itu berhamburan ke mana-mana. Butir-butir pasir halus menjadi semakin halus, hingga sanggup diterbangkan angin lembut sekalipun.
Dengan perhitungan matang, Hakim Tanpa Wajah merencanakan untuk mengerahkan kembali ilmu meringankan tubuhnya pada saat itu. Sayang, rencana hanya tinggal rencana. Belum sempat tubuhnya digenjot, serbuan beribu kati pasir yang lain lebih cepat menelan sebagian tubuhnya, hingga sebatas pinggang. Maka keadaan Hakim Tanpa Wajah makin genting
Cepat sekali sedotan pasir dari dasar bumi ini menelan sebagian demi sebagian tubuh lelaki tua itu. Tak ada tiga kedipan mata, pasir sudah menelannya hingga sebatas leher. Sementara tokoh tua nan angkuh kini tak bisa lagi berbuat apa-apa. Jangankan untuk mengerahkan kesaktiannya. Untuk mengemikkan jarinya saja tak mampu. Sementara himpitan yang teramat menyesakkan juga terasa memanggang sekujur kulit tubuhnya. Sehingga memaksa pita suara Hakim Tanpa Wajah melempar teriakan menggidikkan.
"Huaaah"
Andika masih terdiam. Kejap berikutnya dia menyumpahi diri sendiri, karena hanya terpaku seperti orang kehilangan akal. Bukankah saat itu ada seseorang yang membutuhkan uluran tangannya? Ya Andika amat tahu, siapa Hakim Tanpa Wajah. Tokoh tua sesat berhati keji dan haus darah. Mungkin memang lebih baik dia mati, daripada harus menyumpakkan bumi ini dengan tabiat iblisnya.
Tapi biar bagaimanapun, Andika tak bisa berdiam diri. Saat itu, Hakim Tanpa Wajah berada dalam keadaan lemah. Dia bukan lagi pihak yang harus dimusuhi, melainkan pihak yang mesti ditolong.
Maka dengan cepat, Pendekar Slebor memutuskan untuk menolong Hakim Tanpa Wajah.
Dengan kelincahan yang lebih indah dan gesit daripada gerak seekor walet, tubuh pemuda sakti itu melenting ke pasir berlubang yang hanya memunculkan wajah pucat pasi milik Hakim Tanpa Wajah.
Di atas pasir yang terus bergerak menurun ke perut bumi, kaki Pendekar Slebor hinggap ringan. Agar tidak turut tersedot gerakan pasir, sepasang kakinya bergerak-gerak ke belakang, mengimbangi luncuran pasir.
"Mau apa kau, Anak Muda Sundal?" bentak Hakim Tanpa Wajah parau.
"Diam Jangan bergerak kalau kau tak ingin cepat tertelan pasir ini"
balas Pendekar Slebor, lebih keras lagi.
"Aku akan berusaha menolongmu"
Dalam keadaan di ujung tanduk seperti itu, masih juga si tua berpikiran tak waras itu tertawa terkekeh, meski terdengar dipaksakan.
"He-he-hekkk Kau terlalu berhati mulia untuk hidup di dunia yang nista ini, Anak Sundal"
Tanpa ingin mendengarkan ucapan berbau pujian sekaligus cemoohan tadi, Pendekar Slebor mengempos segenap tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan hingga tingkat sembilan belas. Dan ini merupakan tingkat pamungkas tenaga sakti yang dimilikinya
"Hiaaahhh"
Sepasang tangan Pendekar Slebor yang mengejang di sisi-sisi dada dengan telapak tangan terbuka ke atas, seketika menghujam ke pasir yang terus bergerak. Andika tahu, tak akan mudah menembus pasir yang kelihatannya rapuh itu. Kalau si tokoh tua yang pernah menguasai napas dunia hitam tanah Jawa saja tidak bisa berbuat banyak, dia tentu juga tak bisa tanggung-tanggung untuk menembusnya.
Blas
Sepasang tangan Pendekar Slebor berhasil menembus ke dalam pasir hingga sebatas lutut, tepat dua lengkal di kedua sisi kepala Hakim Tanpa Wajah. Sengaja daerah itu yang ditujunya, karena Pendekar Slebor berniat hendak meraih tangan Hakim Tanpa Wajah. Mungkin dengan cara itu, tubuh musuhnya bisa ditarik keluar dari himpitan pasir hidup
Memang himpitan pasir bergerak bisa ditembusnya. Dan memang pula, kedua pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah berhasil diraih di dasar pasir. Tapi selanjutnya, tidak mudah bagi pendekar muda berhati pualam ini menarik Hakim Tanpa Wajah. Begitu tangannya siap dihentakkan keluar, jutaan butiran pasir di sekelilingnya seperti memiliki perekat kuat, menahan Hakim Tanpa Wajah ketat-ketat.
"Gila" desis Pendekar Slebor, tak bisa membendung keterkejutan.
"He-he-he-hek Kenapa? Kaget anak muda sundal?" cemooh Hakim Tanpa Wajah. Padahal, Andika berani bertaruh nyawa untuk menyelamatkan jiwa semata wayangnya.
Sekali lagi Andika mengerahkan segenap tenaga sakti warisan dari buyutnya. Mulutnya tanpa disadari melempar teriakan mengguntur, karena begitu ngotot mengerahkan tenaga dalam. Namun itu pun tak banyak membawa hasil. Tangannya hanya bergeser tak lebih dari setengah kuku
Sementara itu, pasir makin liar menimbun dari segenap penjuru lingkaran. Kalau sebelumnya Hakim Tanpa Wajah masih bisa berceloteh menyakitkan telinga, kali ini tidak bisa lagi. Mulutnya sudah tersumpal pasir. Kepalanya kian tenggelam.
Dengan bertambahnya pasir yang menguruk, tubuh Pendekar Slebor pun ikut terkubur sebagian demi sebagian. Yang masuk ke dalam timbunan pasir bergerak kini tidak lagi sebatas siku, melainkan sudah beringsut hingga sebatas bahu. Tentu saja hal itu mencemaskan. Bukan saja Pendekar Slebor sendiri, tapi juga orang-orang yang menyaksikan pergulatan maut mereka dari atas.
"Andika Cepat menyingkir dari tempat itu Sebentar lagi tentu pasir akan menguburmu kalau tak segera pergi" seru Chin Liong memperingati.
Kalau Andika khawatir dengan nyawa bejat Hakim Tanpa Wajah, justru Chin Liong khawatir dengan keselamatan nyawa sahabatnya. Seperti juga si Gila Petualang, dan Putri Ying Lien. Meski buta, gadis itu bisa merasakan apa yang sesungguhnya sedang berlangsung. 
Biar begitu, Pendekar Slebor masih juga bersikeras menarik keluar tubuh si lelaki tua berwatak bejat dari sana. Keringat sebesar biji jagung sudah menyapu basah seluruh wajah dan tubuhnya. Wajah tampannya tampak memerah saga, akibat terlalu memaksakan tenaga tarikan pada tangannya.
"Percuma kau hendak menariknya dari sana, Tuan" teriak Nofret yang sejak tadi hanya memperhatikan semua itu.
"Kalau masih tetap sayang nyawa, cepat kau lepas tanganmu dari tubuh orang itu. Sebenarnya, hanya dia yang menjadi sasaran kemarahan Sang Ratu"
Selesai Nofret memperingati, kepala Hakim Tanpa Wajah pun tertelan urukan pasir liar. Di lain pihak, tubuh Pendekar Slebor pun sudah terkubur hingga pinggul.
Kalau nyawa anak muda itu sudah di ujung tanduk, bagaimana pula nyawa Hakim Tanpa Wajah? Terlalu sulit dibayangkan. Bisa jadi, si tua renta berjiwa bejat itu sudah remuk redam dihimpit pasir. Mestinya dengan begitu, Andika melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah. Tapi itu tidak dilakukannya. Dia terlalu keras kepala untuk melakukannya, biarpun tahu kalau nyawanya bisa saja ikut dihempaskan ke dasar bumi.
Sampai akhirnya, tarikan pasir dari dasar bumi menyentak cengkeraman Pendekar Slebor. Maka pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah pun terlepas. Usaha hidup dan matinya tidak membawa hasil sama sekali.
Tak ada lagi yang harus dilakukan Andika sekarang, kecuali menyelamatkan diri sendiri.
Sewaktu Chin Liong dan si Gila Petualang hendak terjun pula ke lubang pasir bergerak untuk menolong, Pendekar Slebor telah menggenjot tubuhnya. Anehnya, saat itu tidak mengalami kesulitan sedikit pun.
Bahkan tidak merasakan ada cengkeraman ketat yang menjerat, seperti saat tangannya hendak menarik keluar Hakim Tanpa Wajah.

***

||| 9 |||

Bisu. Hanya kebisuan memanjang dipertahankan sekian lama oleh semua yang hadir di sekitar lubang pasir, tempat tertelannya Hakim Tanpa Wajah. Tak ada lagi gemerisik ramai jutaan butir pasir yang membentuk lubang dalam. Alam seperti ikut bisu. Angin pun enggan untuk sekadar merangkak.
Tak seorang pun bisa menduga, kapan maut menjemput. Begitu pikir masing-masing. Dan sebagian besar orang di situ amat tahu, siapa Hakim Tanpa Wajah. Julukannya telah menggetarkan tanah Jawa dengan tabiat anehnya yang menebar santer hingga ke negeri-negeri di seberang laut.
Seperti beberapa tokoh sakti kawakan tanah Jawa, Hakim Tanpa Wajah kerap menjadi bahan pembicaraan kalangan ksatria atau para durjana di beberapa negeri. Kesaktiannya digembar- gemborkan orang-orang sealiran. Sebaliknya, malah disayangkan oleh orang-orang yang berlawanan aliran.
Kalau kini Hakim Tanpa Wajah mati, maka tuntaslah sebuah cerita besar tentang seorang tokoh sakti mandraguna bertabiat ganjil. Tapi, mereka tetap saja sulit mempercayai. Benarkah si tokoh besar aliran sesat itu sungguh telah tiada? Dengan cara kematian yang begitu mudah pula?
Mereka masih sulit percaya.
"Dia harus menerima hukuman atas sikapnya yang terlalu lancang pada tempat peristirahatan suci Sang Ratu...?" jelas Nofret memecah kebisuan.
"Apa maksudmu, Nona?" tanya si Gila Petualang.
Mata bulat berbulu hitam lebat Nofret mengarahkan pandangan ke arah piramida. Sejenak terdengar desah napas halusnya.
"Aku tak suka kalian menatapku dengan pandangan curiga seperti itu...," lanjut Nofret.
"Bukan aku yang melakukannya."
Yang lain menunggu. Mata mereka menatap, seolah menuntut jawaban selanjutnya.
"Ratu.... Sang Ratu yang telah menentukan hukuman bagi orang tua tadi...," ucap Nofret, lebih terdengar seperti desah berisi kekhawatiran.
Entah mengapa bulu kuduk orang-orang di sekitarnya seperti diusik tangan-tangan halus. Semuanya meremang, mendengar penuturan terakhir gadis jelita mempesona itu.
Kalau di luar piramida saja pengaruh kekuatan gaib Sang Ratu begitu dahsyat, apalagi sudah berada di dalam sana? Lalu, apa yang sebenarnya akan mereka hadapi? Tanya hati masing-masing. Bergidik. Mereka yakin, seyakin-yakinnya, bahwa sesaat lagi akan menghadapi sebentuk peristiwa yang belum pernah diperkirakan sebelumnya. Ya, mereka yakin itu
"Jadi, bagaimana selanjutnya, Nona?" tanya Hiroto tegas.
Selaku seorang Samurai sejati, Hiroto tak mau terlalu lama dihanyut perasaan asing yang sulit dipahami.
"Kita akan masuk ke dalam piramida," putus Nofret singkat.

***

Tepat ketika gurun berbukit-bukit dijajah terik mentari tengah hari, para undangan memasuki Piramida Tonggak Osiris. Nofret sebagai seorang yang diberi tanggung jawab untuk memandu para tamu, melangkah lebih dahulu mendekati sisi utara piramida. Di belakangnya, para undangan mengikuti dalam barisan tak teratur.
Sekitar dua puluh langkah dari dinding sisi utara piramida, Nofret memaku langkah. Bagai sepotong tonggak anggun, tubuhnya mematung sejenak tepat di atas sebongkah batu datar berbentuk bundar. Di atas batu setebal tiga jengkal dengan lebar lingkaran sebesar dua tombak, terdapat guratan-guratan tulisan Mesir Kuno serta gambar-gambar yang aneh bagi setiap mata undangan.
Di sanalah Nofret tepekur dengan kepala mendongak tinggi. Kemudian tangannya lambat-lambat membentang dari sisi tubuhnya. Makin tinggi dan tinggi, hingga akhirnya menjulang seolah hendak menggapai langit pucat. Lalu, tongkat berpilin keperakan di tangannya membersitkan pantulan sinar garang matahari, yang menerobos langsung tepat ke setiap manik-manik mata para undangan.
Dari bibir ranum gadis itu meluncur mantera-mantera. Seperti juga guratan di atas batu, mantera itu pun sulit dipahami. Terdengar seperti sealun senandung, dari masa ratusan tahun yang silam. Mengalun dengan nada naik turun. Sebentar mendayu, sebentar meninggi.
Pada ujung mantera, tangan Nofret perlahan turun kembali ke kedua sisi tubuhnya. Dari keterpakuannya ke langit pucat, pandangannya beralih ke satu bagian dinding utara piramida. Dibanding seluruh batu penyusun dinding piramida, bagian itu tampak berbeda dari yang lain.
Terlihat lebih besar, juga lebih tua. Ukurannya dua kali lebih besar daripada batu penyusun lain.
Setelah lama menatap, barulah tangan kanan Nofret bergerak lambat, namun berkekuatan. Tongkat kunonya diketukkan beberapa kali, tepat di lubang kecil dangkal di atas batu.
Duk Duk Duk...
Pada ketukan kesekian kali, bukan lagi suara batu bertumbukan dengan ujung tongkatnya yang terdengar. Melainkan, telah hadir pula suara lain yang lebih mengguruh sangar, berat, serta menggema. Seakan, suara itu berasal dari abad yang terkubur begitu lama. 
Grrrhhhkkk
Setiap mata para undangan untuk kesekian kalinya disuguhkan peristiwa menakjubkan. Mata mereka seperti tak ingin berkedip, jika tak mau kehilangan kesempatan langka menyaksikan, bagaimana sebuah rancang bangun raksasa dari kebesaran daya pikir manusia, membukakan pintu bagi mereka untuk masuk ke dalam perutnya
Rupanya, batu yang paling besar di dinding utara piramida ini merupakan gerbang masuk ke pemakaman kebesaran Sang Ratu. Geseran lamban batu ke bawah, melahirkan suara bergemuruh tadi.
Padahal di sisi selatan bangunan terdapat undakan tangga batu yang membentang dalam jarak puluhan depa. Sepertinya dinding yang baru terbuka tadi adalah jalan rahasia untuk masuk ke dalamnya.
"Mari," ajak Nofret begitu singkat seperti kebiasaannya.
Ketika menoleh ke arah para undangan, tanpa sengaja mata gadis jelita itu bertumbukan dengan sepasang mata Andika. Memang, di antara mereka, hanya pemuda itu yang paling rajin mencuri-curi pandangan ke arah Nofret. Barangkali hatinya masih penasaran pada sikap dingin Nofret yang dianggap terlalu angkuh. Atau bisa juga merasa kagum mendapatkan kemantapan sikap Nofret. Jadi, tak hanya di sudut lahirnya saja wanita itu bisa dikagumi Andika.
Kejap itulah Nofret menangkap jelas, bagaimana pesona memancar dari mata berkesan garang tapi bersinar lembut. Mata yang menyampaikan padanya sebuah sapaan ksatria. Sebetik ketertegunan merambatinya, tertenung oleh wibawa pandangan mata muda dari tanah Jawa ini.
Sesaat kemudian, Nofret menjadi agak jenggah manakala matanya ternyata tak mampu mengalahkan kekokohan sinar mata Pendekar Slebor.
Biar begitu, tak sedikit pun hal itu membuat Nofret menjadi kikuk.
Dengan pasti, kakinya melangkah mendahului para undangan untuk memasuki mulut gerbang piramida. Ketertarikan dalam diri Andika pun membesar.
"Heh Kita sebenarnya mau ke mana, sih?"
Teguran si tua berotak kerbau Pendekar Dungu di belakang mengejutkan Andika. Keterpanaan Andika pada diri Nofret jadi terbang entah ke mana.
"Dasar tua bangka slompret" maki Pendekar Slebor dalam hati.
"Kau tuli, ya? Aku tanya, kita hendak ke mana?" ulang Pendekar Dungu sewot, karena tidak diladeni Andika.
"Kandang dedemit" sahut Andika mangkel.
"Dedemit Mesir? Pasti tampangnya sejelek aku juga, ya?" gumam si bangkotan lugu. Otaknya memang susah membedakan, mana ucapan sungguh-sungguh dan mana umpatan. Memang sudah nasibnya....

***

Selain rombongan Kerajaan Cina di bawah pimpinan Putri Ying Lien dan Chin Liong, Pendekar Slebor, si Gila Petualang, Hiroto, dan Kenjiro, Pendekar Dungu, siapa lagi undangan yang mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam piramida?
Ada lima orang lain yang selama terjadi keributan kecil di luar piramida hanya diam memperhatikan setiap langkah kejadian.
Orang pertama sulit ditentukan, dari negeri mana asalnya. Pakaiannya sama sekali tidak mewakili salah satu budaya di muka buana. Tubuhnya paling tinggi di antara yang lain. Kulitnya pucat. Rambutnya lurus dan kaku, sepanjang bahu. Dengan pakaian yang terlalu sesak berbentuk balutan kain perca berwarna kelabu, tubuhnya jadi tampak makin jangkung.
Ciri-ciri yang paling mudah dikenali dari dirinya adalah, bentuk wajahnya yang tak sesuai ukuran tubuhnya. Kepalanya terlalu kecil bertengger di leher. Seperti buah apel yang tumbuh di pucuk pohon beringin
Pada Nofret, dia memperkenalkan diri sebagai Kepala Kacang. Satu julukan yang menggelikan untuk sifatnya yang sesungguhnya sangat mengerikan.
Tanpa diketahui siapa pun, Kepala Kacang adalah salah seorang pemuja iblis sejati. Setiap catur purnama, tokoh aneh ini akan memburu seorang manusia untuk dijadikan santapan malam Dengan melakukan hal itu, ilmu-ilmu sesat yang didapatnya dari makhluk durjana bisa tetap dikuasai.
Orang kedua dan ketiga adalah sepasang suami istri yang datang dari negeri tetangga Mesir. Terlihat sekali dari perawakan dan wajah mereka yang khas. Berkulit hitam, serta sama-sama memiliki hidung mancung.
Yang wanita berusia lebih tua daripada si suami. Kalau suaminya masih berusia sekitar dua puluhan, wanita itu berusia sekitar empat puluhan.
Biar begitu, penampilannya masih tetap menarik perhatian. Kerutan kecil di sebagian kening dan sisi hidungnya, justru membuatnya terlihat bertambah manis. Kulit gelapnya tak menghilangkan pesonanya. Apalagi dengan rambut yang panjang lurus terjulur, diimbangi sepasang bola mata bulat nan jeli.
Sayangnya, semua itu tidak diikuti tabiat yang mempesona. Tabiat wanita ini lebih mirip seorang nenek sihir cerewet yang akan mampus kalau tak bicara sebentar saja
Sementara, suaminya terlihat masih lugu. Sepertinya pula, dia berada di bawah pengaruh istrinya. Itu terlihat jelas dari tatapan matanya yang menyerah pasrah, jika harus bertumbukan mata dengan si istri.
Tubuhnya kecil, tak seimbang istrinya yang tinggi semampai serta berpinggul padat. Rambutnya keriting kusam. Wajahnya pun tak bisa dibilang tampan, meski tak bisa pula dibilang buruk. Entah, apa yang menarik dalam dirinya sehingga si wanita sudi diperistri.
Si istri mengenakan pakaian kurung dari kain halus, berwarna kuning terang. Sedangkan si suami mengenakan pakaian kurung pula. Hanya dengan warna berbeda. Coklat pucat.
Pada waktu perkenalan, mereka menyebut nama mereka masing-masing.
Nama mereka sulit untuk diingat, karena begitu rumit diucapkan. Biar tak ada kecanggungan dalam memanggil, Pendekar Slebor sambil berkelakar menghadiahi mereka satu julukan Sepasang Manyar.
Alasannya, karena mereka sama-sama hitam seperti bulu burung Manyar. Dan si perempuannya pun secerewet hewan kecil itu Dasar jodoh Mereka ternyata senang-senang saja....
Sebenarnya Sepasang Manyar adalah suami isri pawang binatang melata dari kalajengking sampai ular berbisa. Dan jangan dikira dengan penampilan seperti itu, mereka tidak membawa binatang taklukan.
Tepat di balik baju kurung masing-masing yang besar itu, justru tersembunyi empat puluh jenis binatang yang paling berbisa di seantero jagad
Sementara itu, dua orang lain amat tertutup. Selama tiba di sana, hanya tepat empat kata yang di ucapkan secara berbarengan.
"Kami Pertapa Dari Tibet," begitu mereka memperkenalkan diri.
Setelah itu, mereka bungkam kembali. Seolah, mulut keduanya memiliki kunci.
Pertapa Dari Tibet memang biksu. Terlihat jelas dari penampilan mereka. Dengan kepala gundul, bertanda bulatan-bulatan kecil. Dan yang lebih meyakinkan lagi, mengenakan pakaian layaknya para biksu.
Ada yang tidak pantas dari diri mereka selaku biksu. Mereka selalu membawa tasbih yang terbuat dari tempurung tengkorak manusia yang telah dikecilkan dengan ramuan khusus Selain itu, sinar mata mereka pun tampak membersitkan kekejian tak terbatas. Semacam kekejian yang dibungkus kulit yang bagus....
Ada rahasia yang mereka sembunyikan. Kalau mereka belum
membukanya, maka siapa yang bisa menduga?

***

||| 10 |||

Piramida Tonggak Osiris adalah sebuah maha karya manusia yang mengagumkan. Kesan tersebut yang pertama kali didapat para undangan.
Dari gerbang masuk, mula-mula para undangan menyusuri lorong panjang persegi yang berliku. Di sepanjang dinding lorong terdapat lukisan yang bercerita banyak tentang peradaban Mesir Kuno pada zaman
berkuasanya Sang Ratu. Tak ada seorang pun yang mengerti tentang gambar serta tanda-tanda itu. Tapi mereka tetap takjub pada ketinggian nilai seninya.
Makin mengikuti lorong, mereka merasakan kalau langit-langit di atas makin memendek. Begitu seterusnya, hingga mereka harus berjalan membungkuk. Tak ada yang tahu, kenapa sebagian lorong dirancang dan dibangun demikian pendek.
Sampai akhirnya, mereka tiba di ujung lorong. Di sana ditemukan satu jalan masuk tanpa pintu. Tingginya, tak lebih dari pinggul orang dewasa.
Karena itu, mereka harus membungkuk cukup dalam untuk melewatinya.
Selaku pemandu, Nofret masuk lebih dahulu.
"Ini yang disebut Ruang Para Dewa," papar wanita jelita ini, setibanya di dalam ruangan sebesar pendopo itu.
Seperti juga dinding lorong, dinding ruang ini pun dipenuhi gambar berwarna buram. Jika memperhatikan dengan teliti, sedikit banyak mereka bisa menduga kalau gambar-gambar itu menceritakan tentang berbagai upacara keagamaan serta gambar-gambar perwujudan Dewa menurut kepercayaan penduduk Mesir. Di samping itu, banyak terdapat patung dalam berbagai bentuk di sekitar ruangan.
"Mengapa kau membawa kami ke ruangan ini?" tanya Hiroto, tak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Di ruang inilah, kita akan mendapatkan amanat Sang Ratu. Dari ruangan ini pula nanti kita akan tahu, apa gerangan tujuan Sang Ratu mengundang kalian," ungkap Nofret, mengulangi pesan terakhir mendiang ayahnya.
Sementara yang lain menunggu penuturan Nofret selanjutnya. Di hati masing-masing sudah membuncah pertanyaan yang enggan dilontarkan, bagaimana cara gadis itu mendapatkan amanat yang diberikan oleh seorang wanita yang telah mati berabad-abad yang lalu?
"Bagaimana caranya?"
Akhirnya mulut lancang Pendekar Dungu tak bisa dibendung lagi.
Didahului tawanya yang kaku dan lebih mirip orang sakit perut, si tua bangka berotak udang itu bertanya.
Sementara dara Mesir itu tak segera menjawab. Dia lebih suka memperlihatkan langsung, bagaimana amanat yang sudah terkubur dalam senjang waktu yang demikian renta itu didapatkannya.
Perlahan namun pasti, kaki jenjang Nofret melangkah ke tengah-tengah ruangan. Pada lantai pualam tempatnya berdiri terdapat gambar besar matahari yang dilukiskan secara sederhana, namun mengandung banyak kesan. Tepat di pusat gambar matahari, terdapat ceruk kecil yang pas sekali dengan ukuran tongkatnya. Dimasukkannya tongkat berpilin itu ke dalam ceruk, sampai berdiri tegak.
Usai begitu, tak ada lagi yang dilakukan Nofret. Dia diam membatu, dengan mata menatap satu lubang sebesar uang logam di langit-langit ruangan.
Melihat hal itu, mulut Pendekar Dungu kembali tak bisa diajak bungkam lebih lama lagi.
"Sedang apa dia? Hah-hah Sedang apa dia?" tanya Pendekar Dungu serampangan pada setiap orang yang ada di dekatnya.
Pendekar Slebor yang kebetulan paling dekat dengannya, sampai terkena semburan air liurnya.
Andika menggerutu.
"Bukankah justru kau yang bertanya tadi?" rutuk Pendekar Slebor agak sengit.
"Aku bertanya? Bertanya apa? Yang ingin kutahu, 'bagaimana caranya kita buang hajat di tempat tertutup yang sumpek ini'" sangkal si bangkotan berotak karatan ini, lugu dan menyebalkan.
Andika hanya bisa menggeleng-geleng. Modal utama untuk menghadapi 'makhluk langka' sejenis Pendekar Dungu, ya hanya ketabahan
Waktu terus melangkah. Sementara para undangan menunggu tindakan Nofret selanjutnya. Ketika lewat dua kali waktu sepeminuman teh, barulah mereka mulai bisa meraba maksud dara jelita itu.
Dari lubang sebesar mata uang di langit-langit ruangan, pada saat itu menelusup seberkas sinar memanjang yang tepat menghujam ke arah ceruk tempat tongkat Nofret. Rupanya, sinar itu adalah cahaya matahari yang menembus langsung, tepat ketika garis edarnya berhadapan dengan arah lubang yang menghubungkan luar piramida dengan ruangan ini.
Kekurangan cahaya dari ruangan, menyebabkan berkas cahaya yang menerobos dari luar itu menjadi tampak jelas, membentuk jejak terang memanjang. Sehingga, terciptalah sudut tajam antara ujung tongkat Nofret dengan sinar tadi.
Beracu pada sudut itulah Nofret mendorong tongkatnya, hingga sejajar jejak cahaya memanjang. Ketika batang tongkat bersinggungan tepat dengan bentangan cahaya, sesuatu tiba-tiba saja terjadi....
Tepat pada moncong gambar Dewa Anubis*, perwujudan Dewa dengan sosok manusia berkepala serigala, tersembullah sebentuk tabung sepanjang satu jengkal.
Pendekar Slebor yang memiliki ketajaman otak, cepat dapat menduga kalau tabung itu semacam tempat menyimpanan papirus. Dan dia agak sedikit bertanya dalam hati, kenapa tabung itu harus keluar dari gambar moncong Dewa Anubis, Dewa Kematian?
Pertanyaan itu pula yang mengusik diri Nofret, demi menyaksikan hal tadi. Ada sebentuk ketakutan tersirat di wajahniya. Ketakutan yang berat, tanpa bisa disembunyikan kecantikannya.
Dan Andika menangkap keanehan itu. Termasuk, si Gila Petualang yang cukup banyak mengetahui tentang kepercayaan orang-orang Mesir Kuno.
Dari laki-laki tua itu pula Andika sempat mengetahui tentang Dewa Anubis.
"Aku rasa ada yang mengganggu pikiranmu, bukan?" usik Andika.
Si gadis pemandu mengangguk samar. Kelopak matanya menyipit, masih tetap terpaku tepat ke arah tabung di gambar mahkota Dewa Anubis.
"Jangan katakan padaku, kalau kejadian ini sebagai pertanda adanya ancaman maut bagi kami," desah si Gila Petualang ragu.
Sepertinya dia mengucapkan demikian berat pada Nofret. Bukannya petualang kawakan itu takut. Dia hanya tak menyangka kalau lawatan mereka akan disimbahi anyir darah, atau sambutan kematian demi kematian
Nofret menoleh pada si Gila Petualang. Sepertinya dia sulit membenarkan pertanyaan ragu si tua tadi. Sesulit dia menyangkalnya.
Selaku anak seorang Pendeta 'Ka', Nofret amat tahu satu-satunya makna di balik gambar Dewa Anubis.... Kematian
"Kau belum menjawab pertanyaan beliau, Nona," desak Kenjiro yang sejak pertama tidak membuka suara.
Meski sama sekali tak memahami apa yang terjadi, namun Kenjiro tidak terlalu bodoh untuk mengendus ketidakberesan pada sikap Nofret,si Gila Petualang, dan Andika.
Lelaki berbadan boros sepupu Hiroto itu, tentu saja tidak sudi Nofret hanya menjawabnya dengan lirikan datar. Hatinya tidak puas. Karena itu, hendak didekatinya Nofret untuk mendesaknya. Tapi sebelum niatnya kesampaian, Hiroto sudah mencegah.
"Biarkan dia menyelesaikan dulu tugasnya," bisik Samurai muda itu pada Kenjiro.
Dengan bersungut, Kenjiro menurut.
Untuk memperjelas kecurigaan, satu-satunya jalan terbaik bagi mereka adalah mengetahui, apa isi pesan pada papirus di dalam tabung. Nofret pun melangkah tegang ke tabung yang tersembul barusan. Langkahnya seperti terhambat-hambat geliat kecemasan dalam dirinya. Setibanya di dekat gambar Dewa Anubis, tangan halusnya hendak menjangkau tabung. Namun, tiba-tiba Andika menahannya.
"Tunggu, Nona" seru Andika. Cepat didekatinya gadis itu.
Nofret mengurungkan niat. Kepalanya mengikuti kedatangan pemuda tampan itu di sisinya. Sedangkan, matanya seolah mewakili pertanyaan tak terungkap, kenapa pemuda itu mencegahnya.
"Kau tak perlu bertanya kenapa aku menahanmu," ujar Andika seperti tahu pikiran Nofret.
"Gambar itu sudah cukup bagiku untuk waspada, terhadap kemungkinan buruk yang bisa saja terwujud sekejap mata."
"Lalu apa maksudmu?" tanya si gadis Mesir itu, bertanya.
"Aku hanya tak ingin kau menjadi korban," jelas Andika kemudian.
"Biarpun aku tahu kau anak seorang Pendeta 'Ka' sekalipun...."
Mata Nofret, entah kenapa jadi berkilat gusar. Ucapan Andika telah menyinggungnya.
"Kau telah mencurigai Ratuku, Tuan," ungkap Nofret tegas.
Mata elang Pendekar Slebor menantang pandangan gusar Nofret.
"Aku tahu, kau sebenarnya cemas pada tabung Dewa Anubis itu. Kau tak bisa memungkiri. Aku bisa melihat dari pandangan matamu. Bukankah mata adalah jendela jiwa yang sulit berdusta?" kata Pendekar Slebor menyudutkan, sambil menyeringai.
Pendekar Slebor kemudian melepaskan tatapan Nofret yang mengundang debur hebat di dada.
"Kalaupun kau berkata seperti tadi padaku, itu semata-mata karena kau memiliki sikap hormat pada Ratumu. Aku dapat memakluminya. Tapi, jangan harap aku akan berdiam diri membiarkan kau celaka," sambung Andika, sok jadi pahlawan.
Sejenak sinar mata anggun Nofret berubah. Ada semacam getaran aneh yang segera ditekannya kembali dalam-dalam. Sebagai wanita, biar bagaimanapun, hatinya tak bisa menghindari dari kekaguman pada jiwa ksatria seorang jejaka. Apalagi, jejaka itu begitu menawan seperti Pendekar Slebor.
"Jadi apa maumu?" tanya Nofret. Nada bicaranya tak setajam sebelumnya.
"Izinkan aku mengambilkan tabung itu untukmu, Nona," pinta Andika, sungguh-sungguh.
Nofret ragu sesaat. Karena pandangan mata si Gila Petualang yang memiliki wibawa kuat mendesaknya untuk meluluskan permintaan Andika, akhirnya kepalanya mengangguk lambat.
"Kuminta kau mengambil jarak," kata Andika lagi.
Sekali lagi, Nofret menuruti anjuran Pendekar Slebor. Tidak ada salahnya dia memberi kesempatan pada orang lain, demi kepentingan mereka bersama.
Tujuh tindak setelah Nofret menyingkir dari depan gambar Dewa Anubis, Andika pun mempersiapkan diri sepenuhnya untuk menarik tabung.
Waktu terseret seperti ayunan langkah para pencabut nyawa, ketika mereka menanti tangan kekar Pendekar Slebor menjemput tabung di dinding. Perlahan, tangan kanan Andika menjangkaunya. Belum lagi tabung ditarik Andika....
Zzz
Mendadak terdengar desisan hingar bingar yang mencuat dari dasar ruangan. Amat bergemuruh, seolah ada naga perut bumi hendak mengamuk
Tak ada yang tak terkejut mendengarnya. Terlebih karena mereka begitu tegang menanti apa yang bakal terjadi bila Andika menarik tabung dari dinding.
Dengan kewaspadaan penuh, Pendekar Slebor mengurungkan niat menjemput tabung. Tubuhnya memasang kuda-kuda siaga, mengarah pada pusat suara desisan barusan. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Tepat dua depa dari tempat Andika berdiri tegang, terbentuk sebuah lubang besar menganga dalam. Di dasar lubang terlihat gerakan pasir seperti buncahan lahar gunung berapi. Gerakan liarnyalah yang menimbulkan desis bernada tinggi.
Sekian kejap setelah mulut lubang menganga, Andika menyaksikan dengan mata kepala sendiri tubuh seseorang muncul dari gelegak pasir berhawa panas di dalamnya. Tubuh yang sudah kehilangan nyawa, dan hampir-hampir kehilangan bentuk aslinya. Hancur seperti diinjak-injak gerombolan 'buto ijo'
"Hakim Tanpa Wajah...," desis Pendekar Slebor. disergap keterpanaan.

***

Apa yang sesungguhnya telah terjadi pada diri Hakim Tanpa Wajah?
Dasar piramida tampaknya berhubungan dengan gurun di luar. Kalau begitu, ada apa sesungguhnya di dasar piramida itu?
Lalu, apa pula yang akan dihadapi Pendekar Slebor jika mengambil bahaya untuk menarik tabung papirus dari dinding? Terbuktikah kecurigaannya?
Benarkah para undangan Ratu Mesir akan menghadapi ancaman maut yang tak terduga dalam bangunan kuno raksasa itu? Teka-teki apa yang sesungguhnya akan ditunjukkan Sang Ratu untuk menyambut para undangan?
Apa yang disembunyikan sepasang biksu dari Tibet dalam diam mereka yang bengis? Bagaimana pula Sepasang Manyar dan si Kepala Kacang?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
PIRAMIDA KEMATIAN

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Permainan Tiga Dewa --oo0oo-- Piramida Kematian


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.