Life is journey not a destinantion ...

Patung Kepala Singa

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Goa Terkutuk --oo0oo-- Rahasia Di Balik Abu



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: PATUNG KEPALA SINGA

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«⸗⸗⸗┌ 1 ┘⸗⸗⸗»

Lintasan malam semakin jauh membentang dalam kesenyapan tinggi yang dingin dan suasana mencekam. Keangkeran meraja, hingga terasa ke tulang paling dalam. Ratu Malam yang biasanya hangat bersinar, kali ini seperti tak mampu tembusi gumpalan awan hitam yang sepertinya enggan bergeser. Angin datang bergulung-gulung dari arah barat, seperti membawa tabir kematian yang harus dikuakkan.
Dalam keangkeran yang kian menggigit dan di bawah naungan tipis sinar bulan, nampak sebuah bangunan berdiri tegak laksana raksasa yang sedang berlutut. Kengerian akan dirasakan oleh siapa saja yang arahkan pandangannya pada bangunan itu.
Hembusan angin yang meraja, membawa bau anyir darah ke berbagai penjuru. Suara burung gagak yang mengerikan berkaok-kaok memecah keheningan malam dan menambah keangkeran.
Di kejauhan, nampak satu sosok tubuh berkelebat dengan cepatnya. Dari gerakannya yang sangat cepat, nampak kalau sosok tubuh itu hendak lalui malam dengan segera. Namun mendadak sosok tubuh itu hentikan kelebatannya tatkala hidungnya menangkap bau yang sangat busuk. Dengan kesigapan yang kentara, sepasang mata sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda ini diedarkan ke sekelilingnya.
"Busyet! Bau apa ini?" desisnya sambil garuk-garuk kepalanya. Pandangannya diarahkan ke bangunan besar yang nampak porak poranda itu. Dan semakin lama dia berada di sana, semakin tak kuat indera penciumannya guna menahan aroma anyir yang sungguh tak sedap. Kejap kemudian, pemuda yang berambut gondrong ini keluarkan dengusan lagi, "Kutu monyet! Bau busuk yang nampaknya berasal dari bangunan yang sebagian sudah hancur itu, biasanya berasal dari bangkai! Tetapi, bangkai apa yang baunya seperti berjibun-jibun"! Benar-benar busyet! Masa aku harus bertahan dengan bau tak sedap ini"! Konyol banget!" Kembali pemuda berpakaian hijau pupus yang di lehernya melilit sebuah kain bercorak catur ini mendengus-dengus. Sikapnya sungguh konyol! Dan tampangnya yang tampan itu kini mendadak seperti jadi orang dungu! "Sinting gila miring! Perutku seperti diaduk-aduk oleh tangan kasar! Huh! Mendingan aku tinggalkan sa-ja, ketimbang muntah tidak karuan!!" Memutuskan demikian, pemuda yang memiliki sepasang alis hitam legam dan menukik seperti kepakan sayap burung elang ini, mulai melangkah. Tetapi baru tiga langkah dilakukan, dia sudah hentikan langkahnya lagi.
Dan bersuara agak geram, "Brengsek! Justru aku jadi penasaran ingin tahu asal bau tak sedap ini!" Setelah mendumal tanpa keluarkan suara, pemuda berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika adanya, alias Pendekar Slebor, segera berkelebat ke arah bangunan besar yang di sana-sini,sudah porak-poranda.
Dengan kerahkan tenaga dalamnya guna hindari bau tak sedap itu, Andika segera berkelebat masuk ke dalam bangunan. Di ruangan besar yang diperkirakan seperti sebuah tempat pertemuan, dia kembali hentikan kelebatannya.
Kali ini pandangannya tak berkedip, mengarah pada puluhan mayat yang tumpang tindih. Lalat-lalat sudah menari-nari di tubuh puluhan mayat itu.
"Celaka tiga belas setengah! Rupanya ada pembantaian di sini! Menilik bau busuk dari mayat-mayat ini yang telah mengundang para lalat berpesta, kematian ini sepertinya sudah berkisar sekitar dua sampai lima hari! Kutu monyet! Siapa yang telah lakukan pembantaian keji gila-gilaan seperti ini"!" Lalu dengan melangkahi beberapa sosok tubuh yang telah menjadi mayat, Andika meneliti tempat itu.
Dilihatnya, kalau mayat-mayat itu rata-rata tewas dengan dada bolong! "Keji!" desisnya geram. Lalu dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian sutera yang tergolek menjadi mayat.
Dada lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun itu pun bolong. Dalam sekali lihat saja Andika yakin, kalau jantung lelaki itu sudah tidak ada! Dan perlahan-lahan kemarahan mulai meraja di hati pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini. Tangannya berulang kali mengepal sementara mulutnya tak henti-henti keluarkan desisan geram.
"Monyet belang! Aku ingin tahu siapa yang telah lakukan semua ini"!" Sebelum Andika putuskan untuk berbuat apa, mendadak saja terdengar makian keras di belakangnya, "Begitu pula denganku! Tetapi, Jangan berlagak pilon! Karena engkaulah yang telah melakukan semua ini!!" Serta merta pemuda dari Lembah Kutukan ini putar tubuh. Saat itu pula dilihatnya seorang perempuan berpakaian kuning bersih dengan selendang warna merah yang melilit di pinggangnya telah berdiri tegak.
Wajah perempuan yang kira-kira berusia sekitar empat puluh tahun itu, sedemikian jelitanya. Namun pancaran matanya begitu tajam. Bibirnya merapat tanda perempuan itu dilanda kemarahan.
Untuk sesaat Andika terdiam. Dapat dirasakan kalau perempuan yang tiba-tiba muncul tanpa diketahuinya itu bukan orang sembarangan. Dari menilik wajahnya yang perlahan-lahan kian mengkelap, Andika merasa yakin kalau keadaan yang dilihatnya ini akan membangkitkan kesalahpahaman.
"Brengsek kalau begitu!" desisnya dalam hati.
Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan pamerkan cengirannya yang konyol itu, dia berkata, "Wah! Kalau begitu... kita sama-sama punya keinginan untuk mengetahui siapa pelaku keji pembantaian ini, ya" Bagaimana" Apakah kau bersedia bersama-sama denganku untuk mencarinya" Tetapi...
jangan, ah! Kalau aku berjalan bersamamu dan bertemu dengan gadis-gadis lain, mereka bisa cemburu nanti!" Mendapati kata-kata si pemuda yang tidak tahu juntrungannya, untuk sejenak si perempuan terdiam.
Pandangannya tetap tajam dan menusuk.
Diam-diam perempuan ini membatin, "Menilik pakaian yang dikenakan dan sikapnya yang konyol itu, rasa-rasanya... aku pernah mendengar julukan orang yang bersikap seperti ini. Tetapi... apa mungkin memang dia" Rasanya... tak mungkin. Karena, dia dikenal sebagai pemuda dari golongan lurus kendati sikap konyolnya tidak ketolongan lagi!" Di seberang, karena si perempuan terdiam Andika berkata lagi, "Kalau tak ada urusan yang hendak dibicarakan, lebih baik aku...." "Tutup mulut!" seru si perempuan tiba-tiba. Sebelum dia melanjurkan kata, kembali perempuan berpakaian kuning bersih ini membatin, "Sikapnya memang benar-benar memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Tetapi, rimba persilatan saat ini sedang kacau. Sulit meyakinkan satu dugaan sebelum membuktikan. Apalagi memutuskan kalau dia adalah kawan atau lawan." Habis membatin begitu, si perempuan ajukan tanya, "Keinginan kita memang sama! Tetapi, apa maksudmu hadir di Kuil Putra Langit ini"! Apakah kau memang semata datang karena tak sengaja, ataukah kau datang untuk meyakinkan semua orang yang telah kau bunuh benar-benar sudah mampus" Atau kau...." Si perempuan memutus kata-katanya sendiri begitu pandangannya membentur pada sosok tubuh lelaki berpakaian sutera yang telah tewas. Sesaat nampak dia melengak dengan kedua mata membesar, Tetapi kejap kemudian, nampak pula kalau dia tengah berusaha tindih keterkejutannya.
Dalam sekali pandang, Andika tahu kalau perempuan itu mengenali mayat berpakaian sutera.
"Menilik sikapnya, nampak kalau perempuan itu mengenal lelaki berpakaian sutera! Kuil Putra Langit" Fuih! Angker betul nama tempat ini!" desis Andika dalam hati. Lalu katanya sambil nyengir, "Wah! Gampang banget pertanyaanmu itu! Jawaban-nya, dari katakatamu yang pertama tadi! Sekarang aku balik tanya! Mengapa...." "Diam!" seru si perempuan memutus kata-kata Andika.
"Jangan coba-coba bangkitkan kemarahanku!" "Kutu kupret! Galak betul! Siapa sih sebenarnya perempuan ini?" seru Andika dalam hati. Lalu didengarnya lagi kata-kata si perempuan, "Apakah kau sudah mendapatkan barang yang kau cari" Patung Kepala Singa"!" Kali ini Andika benar-benar terdiam mendengar pertanyaan orang. Dan dia tidak tahu kalau sesungguhnya si perempuan sedang membuktikan mengapa dia hadir di tempat yang telah porak poranda ini" Sesaat sunyi meraja. Bau anyir darah makin menguat. Bau busuk mayat-mayat itu bertambah menyengat, hingga bila tidak alirkan tenaga dalam guna menutup sebagian indera penciuman, orang yang berada di sana akan langsung muntah dengan kepala pusing.
Tiba-tiba terdengar suara seperti dinding runtuh dari bagian dalam bangunan itu.
Masing-masing orang sesaat palingkan kepala ke arah suara itu. Setelah meyakinkan kalau memang hanya dinding bangunan yang runtuh, keduanya saling pandang kembali. ' Kejap kemudian, terdengar kata-kata Pendekar Slebor "Aku tak tahu apa yang kau maksudkan. Patung Kepala Singa" Benda apa itu?" "Hmmm... wajahnya begitu polos, Keheranannya jelas tak dibuat-buat. Bisa jadi apa yang dikatakannya,, tadi memang benar.
Patung Kepala Singa... sebuah benda yang sedang ramai dibicarakan orang," ka-ta batin si perempuan.
Lalu setelah tarik napas pendek dia bertanya, "Siapakah kau sebenarnya?" Karena ingin mengetahui urusan apa yang telah terjadi, Andika berkata, "Namaku Andika. Aku datang dari Lembah Kutukan. Orangorang menjulukiku...
Pendekar Slebor!" Lalu buru-buru disambungnya, "Tetapi aku tidak slebor lho.
Hanya... ya, cuma dikitlah!" Mendapati sahutan itu, nampak si perempuan mendesah lega.
"Dugaanku ternyata benar. Dia memang Pendekar Slebor. Pemuda yang julukannya se- makin ramai dibicarakan orang karena sepak terjangnya yang selalu menggagalkan perbuatan makar dari orang-orang tak beradab!" Kemudian katanya, "Apakah kau melihat mayat seorang gadis di antara tumpukan mayat-mayat ini?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu. Mungkin memang tertindih mayat-mayat yang lainnya. Siapa dia?" Bukannya jawab pertanyaan itu, si perempuan justru berkelebat ke sana kemari. Saat berkelebat, kakinya menyepak-nyepak dengan cepat, hingga beberapa mayat bergulingan.
"Busyet! Apa yang sedang dilakukannya" Apakah dia sedang mencari gadis yang dimaksudnya?" desis Pendekar Slebor dalam hati dan diam-diam mengagu-mi ilmu peringan tubuh yang diperlihatkan si perempuan. Tak mau mengganggu apa yang sedang dilakukan si perempuan, Andika hanya memperhatikan saja. Sepuluh larikan napas kemudian, perempuan berpakaian kuning bersih yang di pinggangnya melilit sebuah selendang warna merah, telah berdiri tegak kembali sejarak lima langkah dari hadapan Andika.
Sesaat keduanya saling pandang. Kemudian seraya putar tubuh si perempuan berkata, "Kita berbica-ra lagi di luar kuil ini! Aku tidak tega melihat mayat-mayat ini!" Belum lagi Andika menjawab, si perempuan sudah berkelebat keluar dari bangunan itu. Untuk sesaat Andika kembali dibuat terpana melihat gerakan yang dilakukan si perempuan.
"Edan! Aku cuma melihat bayangan kuning saja! Hmmm... jadi penasaran nih"!" Karena rasa penasaran itulah Andika memutuskan untuk menyusul si perempuan, yang ternyata menunggunya sejarak lima belas tombak dari bangunan yang telah porak poranda itu.
"Eh, sudah lama menungguku"! Apa kabar"! Ada yang bisa kubantu?" seru Andika konyol setelah berdiri sejarak lima langkah dari hadapan si perempuan. Lalu dengan enaknya dia nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Si perempuan tak menggubris selorohan Andika.
Sesaat dipandanginya wajah si pemuda yang justru dengan noraknya mengangkat-angkat alisnya.
Setelah keluarkan dengusan melihat tingkah konyol Pendekar Slebor, si perempuan berkata, "Namaku Dewi Puspa dan orang-orang menjulukiku Bidadari Tangan Bayangan. Aku datang dari Lembah Pinus. Andika... aku adalah sahabat dari Lelono Jaka, atau yang berjuluk Pendekar Sutera.
Dialah pimpinan dari Kuil Putra Langit. Kedatanganku ke sini, adalah untuk memenuhi undangannya seminggu yang lalu. Saat itu, salah seorang muridnya, datang menyampaikan undangannya. Karena ada urusan yang harus kuselesaikan lebih dulu, makanya aku tak segera datang. Teta-pi, undangan itu pun diperuntukkan buatku sekitar tujuh hari di muka setelah salah seorang muridnya menyampaikan undangan Pendekar Sutera kepadaku...." Perempuan yang mengaku berjuluk Bidadari Tangan Bayangan ini sejenak menghela napas, sementara Andika mendengarkan dengan seksama.
Kejap kemudian, Bidadari Tangan Bayangan melanjutkan lagi, "Sebenarnya... aku bisa menduga, apa maksud Pendekar Sutera mengundangku mene-muinya. Dapat kuyakini kalau dia hendak membicara kan tentang Patung Kepala Singa." "Lagi-lagi benda itu yang disebutkannya," kata Andika dalam hati. Sambil maju selangkah, pemuda dari Lembah Kutukan ini bertanya, "Benda apa sebenarnya Patung Kepala Singa?" "Sampai saat ini, aku memang belum pernah melihat seperti apa Patung Kepala Singa itu. Sekitar seta-hun yang lalu, Pendekar Sutera mengatakan kepadaku, kalau dia mendapatkan Patung Kepala Singa secara tak sengaja di saat dia sedang bersemadi di Lembah Singa. Patung itu tibatiba saja muncul dlhadapannya setelah dia selesai bersemadi. Dengan penuh keheranan Pendekar Sutera membawanya pulang. Dan beberapa kali dia bermimpi, kalau di dalam Patung Kepala Singa terdapat sesuatu yang sangat sakti. Tetapi dia tidak tahu apa sesuatu itu karena dia selalu terbangun sebelum mimpinya selesai. Dia pernah membicarakan soal itu kepadaku sekitar tujuh bulan yang lalu. Aku pun tak bisa banyak membantu, tentang apakah sesuatu yang terdapat pada Patung Kepala Singa itu." "Apakah saat itu Pendekar Sutera tidak menunjukkan Patung Kepala Singa kepadamu?" "Justru aku yang tak ingin melihatnya. Aku cuma ingin membantu." "Mengapa?" "Karena kuanggap, dia telah mendapatkan satu keberuntungan. Dan aku tak ingin lancang mengetahui lebih lanjut dari keberuntungannya itu" "Tetapi pada kenyataannya, justru dia mendapat musibah," sahut Andika seperti menyesali. Dan dia memang melihat wajah si perempuan yang jelita itu nampak juga menyesali.
"Apakah kau memperkirakan kalau pembantaian itu terjadi disebabkan Patung Kepala Singa?" tanya Andika dengan mimik serius. Dan saking seriusnya, sikapnya jadi seperti sapi ompong! Dasar! Sejenak Bidadari Tangan Bayangan terdiam sebelum menjawab, "Aku juga menduga seperti itu. Karena sekitar sebulan yang lalu, aku mendengar orang-orang ramai membicarakan tentang Patung Kepala Singa.
Sayangnya, aku tidak tahu di mana Patung Kepala Singa itu disimpan. Apakah patung itu berhasil direbut oleh orang yang melakukan pembantaian, ataukah masih aman tersimpan entah di mana." "Sulit menjawab pertanyaan itu. Karena dia sendiri tidak tahu seperti apa benda yang bernama Patung Kepala Singa," kata Pendekar Slebor dalam hati.
Kemudian tanyanya, "Lalu apa yang kau lakukan tadi dengan menyepak-nyepak beberapa mayat?" Bidadari Tangan Bayangan tarik napas dulu sebelum menjawab, "Aku mencari Tri Sari." Andika mengernyitkan keningnya.
"Siapakah gadis itu?" "Dia adalah putri Pendekar Sutera. Tetapi... aku tak melihat mayatnya di sana bila dia memang mati bersama-sama yang lain." Untuk sejenak tak ada yang membuka suara. Andika seperti tengah berpikir keras. Kemudian katanya, "Ada beberapa dugaan mengenai putri Pendekar Sutera. Pertama, kemungkinan besar dia telah melarikan diri dengan atau tidak membawa Patung Kepala Singa.
Kedua, dia telah tewas di satu tempat karena orang yang melakukan pembantaian itu berhasil mengejar dan menghabisinya. Ketiga, gadis itu belum tahu apa yang telah terjadi." Mendengar dugaan-dugaan yang dituturkan Andika, perempuan berpakaian kuning bersih ini terdiam.
Hanya matanya yang nampak terlihat kalau dia membenarkan dugaan-dugaan itu.
Kejap kemudian dia berkata, "Aku hanya berharap, kalau Tri Sari berada dalam dugaanmu yang pertama." Lalu sambungnya dengan suara geram, "Jahanam terkutuk! Tak akan kubiarkan orang yang telah lakukan pembantaian ini hidup lebih lama!"

***
«⸗⸗⸗┌ 2 ┘⸗⸗⸗»

Andika dapat merasakan kegeraman yang tersirat dari kata-kata itu. Sebelum dia berkata, terdengar suara Bidadari Tangan Bayangan mendahului, "Selama ini... Pendekar Sutera dikenal sebagai seorang pende- kar yang selalu baik pada siapa pun. Bahkan dia tak memandang siapa pun orang yang akan dijadikan sahabat. Hingga rasanya... dia jarang mempunyai musuh. Dan sungguh biadab orang yang telah lakukan pembantaian itu!!" "Dia nampaknya terbawa oleh arus amarahnya, Dan ini membuktikan betapa dia memang bersahabat dengan lelaki berjuluk Pendekar Sutera yang tentunya mayat yang mengenakan pakaian terbuat dari sutera tadi," kata Andika dalam hati. Lalu segera ajukan tanya, "Apakah kau bisa menduga siapakah orang yang telah lakukan semua ini?" Bukannya jawab pertanyaan Andika, Bidadari Tangan Bayangan justru kertakkan rahang. Jelas sekali kalau dia teringat akan sesuatu. Sepasang matanya tiba-tiba terbuka lebih lebar dengan sorot mata dibaluri kemarahan. Kejap kemudian nampak kedua tangannya dikepalkan kuat-kuat.
"Siapa lagi orangnya kalau bukan si Kepala Besi!" serunya keras.
Di seberang, Andika memperhatikan dengan seksama perempuan berpakaian kuning yang nampak begitu geram.
"Menilik suaranya, dia begitu pasti sekali kalau orang yang berjuluk si Kepala Besi lah yang melakukan semua ini. Apakah dia memang tahu semua ini?" batinnya dalam hati.
Kemudian sambil nyengir dia berkata, "Hebat kalau kau begitu pasti dengan katakatamu! Ingat, lho...
menuduh orang sembarangan berdosa!" Tak menanggapi selorohan konyol pemuda berbaju hijau pupus, Bidadari Tangan Bayangan berkata dengan suara geram, "Sebulan yang lalu... aku sempat didatangi oleh lelaki tinggi besar berkepala gundul itu! Dia menanyakan tentang Pendekar Sutera! Dan begitu bodohnya aku ini, yang langsung mengatakan di mana Pendekar Sutera berada! Jahanam keparat! Sudah pasti dia orangnya!!" "Apakah si Kepala Besi mengatakan ada urusan apa dia mencari Pendekar Sutera?" tanya Andika.
"Yang dikatakannya, dia hendak bertamu! Jahanam terkutuk! Aku sungguh bodoh membenarkan apa yang dikatakannya!!" "Hmmm....sepertinya, aku-menangkap sesuatu yang tidak beres di sini. Nampaknya dia hanya menuduh saja. Cuma dikarenakan si Kepala Besi pernah menanyakan di mana Pendekar Sutera berada. Tetapi tak menutupi kemungkinan apa yang dikatakannya memang benar. Paling tidak, kini ada yang harus dicari untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan keji ini!" Habis membatin begitu Andika berkata, "Apakah kau...." Belum habis kata-kata Andika, Bidadari Tangan Bayangan sudah berseru, "Kita bertemu lagi nanti!!" Kejap itu pula dia putar tubuh dan berkelebat cepat.
"Hei!!" seru Andika menahan, tetapi sosok si perempuan telah menjauh. Dan yang nampak di matanya hanyalah bayangan kuning belaka.
Kini tinggal Andika sendiri yang kemudian menarik napas panjang.
"Kutu monyet! Urusan ini tak bisa kubiarkan begitu saja! Aku jadi penasaran ingin tahu seperti apa benda yang dinamakan Patung Kepala Singa! Si Kepala Besi... si Kepala Besi...
benarkah dia orang yang bertanggung jawab atas pembantaian keji itu?" Untuk sesaat Andika terdiam. Diperas otaknya yang encer untuk memecahkan urusan yang mulai membentang di hadapannya. Tetapi tiga tarikan napas berikutnya, pemuda berambut gondrong ini menggeleng-gelengkan kepala.
"Tak bisa kuputuskan tentang semua ini sekarang. Lebih baik aku...." Memutus kata-katanya sendiri, Andika kembali lagi ke Kuil Putra Langit. Sejarak sepuluh langkah dari muka kuil yang kini menyebarkan bau sangat tak sedap itu, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur hentikan langkah.
Dipandanginya kuil itu sesaat.
"Bila kukuburkan mayat-mayat itu, justru akan membuang waktu yang tak sedikit. Lebih baik...." Kembali diputus kata-katanya. Kejap kemudian, nampak pemuda tampan ini terdiam. Sorot matanya yang tajam semakin bertambah tajam. Tahu-tahu di sekitar tubuhnya nampak percikan-percikan sinar keperakan yang menyelubunginya. Hawa panas mendadak saja mendera dan menindih hawa dingin di tempat itu. Rupanya dia tengah keluarkan ajian 'Guntur Selaksa'! Salah satu ajian yang didapatkan dari Lembah Kutukan (Untuk mengetahui hal ini si-lakan baca : "Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asmara").
Menyusul kedua tangannya disentakkan ke depan diiringi teriak mengguntur.
"Heaaaa!!" Gelombang angin raksasa yang dipadu dengan suara salakan guntur yang sangat dahsyat menggebah ke depan. Melabrak bangunan yang telah porakporanda itu. Terdengar suara letupan yang sangat keras. Menyusul runtuhnya bangunan besar itu, menimbun mayat-mayat yang bergeletakkan di bawah. Debu-debu mengepul ke udara, hingga untuk beberapa lamanya nampak kepulan debu-debu itu seperti menggunung.
Dan perlahan-lahan mulai menipis.
Lima kejapan mata berikutnya, nampak bangunan besar itu telah roboh tumpang tindih.
Pendekar Slebor menarik napas panjang melihat perbuatannya. Kejap kemudian dia berkata, "Mungkin inilah yang terbaik untuk mengubur pemandangan yang mengerikan itu. Sebaiknya, kucari Bidadari Tangan Bayangan sebelum menemukan si Kepala Besi.
Karena bila dugaannya salah, ini hanya akan memancing permusuhan yang dalam...." Saat itu pula pemuda pewaris ilmu Ki Saptacakra ini sudah berkelebat meninggalkan tempat itu dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor.
Mengikuti jejak Bidadari Tangan Bayangan yang bergerak secepat angin itu ternyata memang tak mudah.
Tatkala matahari sudah sepenggalan, Pendekar Slebor belum juga menemukan di mana perempuan berpakaian kuning bersih itu berada.
Di sebuah jalan setapak yang dipenuhi pepohonan dan ranggasan semak belukar, pemuda berbaju hijau pupus ini hentikan kelebatannya. Tak ada napas memburu yang keluar, dia sama sekali tak kelelahan.
Sejenak diperhatikan sekelilingnya. Tak ada tanda-tanda Bidadari Tangan Bayangan di sana.
"Monyet pitak! Kenapa aku jadi dungu berlaku seperti ini" Sudah pasti dia telah menghilang!" gerutu Andika sendiri. Lalu menyambung, "Huh! Seharusnya kutahan saja kepergian perempuan itu! Bila ternyata dugaannya salah, justru akan memancing permusuhan yang lebih kacau lagi! Rimba persilatan saat ini sedang kacau dan justru akan bertambah kacau lagi dengan segala urusan! Huh! Patung Kepala Singa" Seperti apa patung itu" Mendingan Patung Kepala Monyet! Hingga aku mengira-ngira seperti apa bentuknya! Apa seperti aku... eh, tidak ya" Masa aku seperti monyet!!" Lalu dengan tengiknya dia berjalan mirip seekor monyet. Lalu berdiri tegak kembali sambil mencakmencak! "Monyet! Monyet! Monyet!!" serunya tak ketahuan juntrungan.
"Busyet! Baru kali ini aku melihat ada pemuda yang mengaku dirinya monyet! Kalau begitu, tak perlu ragu dan tak perlu kau katakan semua orang juga sudah tahu kalau kau seperti monyet!!" terdengar seruan itu diiringi kikikan yang cukup keras.
Serta merta Andika palingkan kepala ke atas. Dilihatnya satu sosok tubuh kurus berpakaian hitam gombrang sedang asyik duduk beruncang-uncang kaki di sebatang ranting! "Eh, busyet! Kapan munculnya nenek jelek itu" Sejak tadi aku tak melihatnya di sini" Hmmm... jangan-jangan dia baru muncul! Kalau begitu, tentunya dia tak mendengar apa yang kukatakan sebelumnya." Perempuan tua yang rambut putihnya disanggul ke atas itu, perlihatkan seringaiannya. Tak sebuah gigi pun yang masih tumbuh.
Andika bergidik. Karena mengingatkannya pada kuntilanak yang pernah dia dengar ketika masih kecil.
"Eh, Nek! Kau jangan nyengir seperti itu! Bisa-bisa aku mati berdiri nih!!" cerocosnya kemudian.
Bukannya marah mendengar ejekan orang, si nenek makin perkencang kikikannya. Kali ini berhamburan dedaunan dari tempatnya. Menyusul patahnya beberapa ranting yang bertabrakan satu sama lain.
"Busyet! Hebat juga tenaga dalam si nenek! Aku yakin, dia hanya sedikit mempergunakan tenaga dalamnya," kata Andika dalam hati sambil kerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya, karena dirasakan satu gelombang angin menderu seperti hendak merubuhkannya. Di atas pohon, si nenek berseru di sela-sela kikikannya, "Kalaupun kau akan mati berdiri, bisa jadi aku akan mati duduk seperti ini karena melihat monyet yang suka membentak!" "Busyet! Sudah bau tanah masih banyak omong lagi!" dengus Andika dalam hati.
"Hhh! Lebih baik kutinggalkan saja dia untuk meneruskan mencari Bidadari Tangan Bayangan!" Memutuskan demikian, sambil nyengir Pendekar Slebor berseru, "Wah! Maaf nih, Nek! Aku tidak bisa lebih lama berada di sini! Soalnya perutku bisa mulas kalau lebih lama melihat wajahmu yang seperti orang hendak buang hajat itu!!" Habis mengejek demikian, si pemuda segera balikkan tubuh dan siap berkelebat. Namun yang mengejutkannya, karena kedua kakinya seperti terpantek di tanah! "Kutu monyet!" makinya geram dan langsung tahu siapa yang bikin ulah. Tanpa membalikkan tubuhnya Andika berseru, "Nek! Kalau mau jual lagak, jangan di sini! Lebih baik kau ke kotapraja saja! Barangkali ada yang mau memberimu sedekah dari aksi akrobat yang akan kau lakukan!" "Lho, apa urusannya denganmu" Kalau kau mau pergi ya pergi saja!" sahut si nenek masih mengikik.
"Brengsek! Dia betul-betul mau menguji rupanya! Biarku... hei!!" mendadak saja Andika memutus kata batinnya sendiri. Bukankah dia tadi sudah salurkan tenaga dalamnya guna menahan gelombang angin yang timbul dari kikikan si nenek" Lalu mengapa kini tahu-tahu kedua kakinya seperti terpantek" "Busyet! Hebat juga kalau begitu!! Hmmm... biar kuladeni sikap konyolnya ini!" Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera lipatgandakan tenaga dalamnya. Namun begitu dilipatgandakan tenaga dalamnya, justru dirasakan perlahan-lahan kaki kanan dan kirinya seperti melesak masuk ke tanah! "Hei!!" serunya terkejut.
"Monyet Buduk!" "Gila! Apakah aku bertemu dengan pemuda gila" Katanya mau pergi, kenapa masih berada di sana" Pakai memaki-maki segala lagi!" seru si nenek tetap terkikik.
Mulut Andika segera mencang-mencong menggerutu, tetapi tak ada suara yang keluar.
"Brengsek! Biar kupergunakan tenaga 'Inti Petir' untuk memusnahkan totokan jarak jauh si nenek!" ' , Tetapi sebelum dia melakukan, justru terdengar suara si nenek, seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
"Sebulan sudah aku keluar dari Pesanggerahan Kematian! Tetapi tak kunjung kutemukan Pendekar Sutera yang memiliki Patung Kepala Singa" Busyet! Apakah aku sudah menjadi dungu karena sebulan lamanya aku cuma jadi macan ompong"!" Andika yang tak menyangka akan mendengar kata-kata itu, untuk sejenak terdiam. Tetapi pemuda konyol ini untuk sejenak pula tak menghiraukan katakata itu. Justru dia berseru, "Busyet! Kenapa kau bilang seperti macan ompong" Kau tak lebih dari jalangkung Nek!" Si nenek terkikik lagi.
"Jalangkung atau bukan, aku tidak peduli! Malah asyik melihat pemandangan pemuda geblek yang terus berdiri seperti itu!!" Mendengar ejekan si nenek, Andika keluarkan dengusan. Kejap itu pula dikerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat kesepuluh. Hawa panas mendadak saja muncul. Begitu diarahkan pada kaki kanan-kirinya yang seperti terpantek di tanah, dirasakan ada hawa dingin yang mendadak menindih.
"Kutu monyet!" geram Andika dalam hati. Lalu di-tingkatkan lagi tenaga 'Inti Petir' pada tingkat kesembi-lan. Pada tingkat kedelapan, barulah dirasakan hawa dingin itu lamat-lamat mengikis. Tetapi tak semudah itu bisa dilakukannya.
Karena tiba-tiba saja hawa dingin itu bertambah menguat.
"Benar-benar brengsek tuh nenek!" maki Andika dalam hati. Kali ini dia tak tanggung lagi, tenaga 'Inti Petir' tingkat kedua dikerahkan.
Hawa panas seketika meluncur deras. Seperti menebas, langsung memupus hawa dingin yang mendera kedua kaki Andika.
Mendadak saja terdengar seruan tertahan dan menyusul jatuhnya satu sosok tubuh. Sosok tubuh yang jatuh ternyata si nenek adanya.
Rupanya, si nenek yang diam-diam alirkan tenaga dalam dan menjadikan pohon yang didudukinya serta tanah sebagai perantara untuk lakukan totokan pada kedua kaki Andika, tak kuasa lebih lama untuk perlihatkan kehebatannya. Tenaga 'Inti Petir' yang dikerahkan Andika, bukan hanya memutus serangan gelap si nenek, tetapi juga membalikkannya dengan kecepatan tinggi. Hingga pada akhirnya si nenek harus mengakui keunggulan Andika.
Masih untung dia mampu untuk kendalikan tubuh hingga jatuh dengan kedua kaki tegak di atas tanah. Sementara itu, pemuda dari Lembah Kutukan yang telah terbebas dari pengaruh totokan si nenek, segera balikkan tubuh. Kejap itu pula terdengar selo-rohannya diiringi tawa tak sedap, "Busyet! Kupikir ada nangka busuk yang jatuh! Tidak tahunya nenek-nenek busuk!" Si nenek yang tak menyangka kalau si pemuda mampu memutuskan sekaligus mendorong masuk tenaga dalam yang kerahkannya, langsung pentangkan kedua mata lebih lebar. Pancarannya dingin dan berbahaya. Lain dengan sikap sebelumnya, kali ini si Nenek rapatkan mulutnya yang tak bergigi. Tetapi Pendekar Slebor tak mempedulikannya. Dia masih tertawa mengejek si nenek.
"Kalau ada nangka sih masih lumayan buat dimakan. Tetapi ini... tak uk-uk, ya"!" Dari pancaran mata yang tajam itu, lamat-lamat nampak kembali pada sikap semula. Kejap kemudian, si nenek berkata, "Hebat, hebat! Siapakah kau sebenarnya, Anak Muda?" "Aku" Wah! Yang pasti bukan penjual toge goreng!" sahut Andika asal saja. Lalu dalam hati menyambung, "Bidadari Tangan Bayangan tentunya sudah semakin menjauh dan tak mungkin lagi kulacak jejaknya. Urusan Patung Kepala Singa masih membingungkanku. Tetapi si nenek tadi mengatakan, kalau dia sedang mencari Patung Kepala Singa. Hmmm... untuk saat ini, aku akan berlaku tidak pernah mendengar tentang benda itu." Si nenek cuma perlihatkan senyuman sinis. Sejenak dia terdiam sebelum berkata, "Menilik pakaian yang kau kenakan dan sikap cengengesanmu seperti itu... rasa-rasanya... aku pernah mendengar seorang pendekar yang memiliki sifat konyol seperti itu. Apakah... kau pemuda yang dijuluki orang Pendekar Slebor?" "Wah! Mana bisa begitu" Enak saja orang-orang itu menjulukiku Pendekar Slebor!" sahut Andika mencak-mencak. Lalu sambungnya dengan gaya yang tengik, "Kalaupun mau menjulukiku... lebih pantas dengan julukan Pendekar Slebor Yang Tampan Bin Ganteng! Haya! Bagus itu!" Si nenek keluarkan dengusan dan diam-diam dia membatin, "Aku bertambah yakin kalau dia memang Pendekar Slebor." Setelah terdiam beberapa saat si nenek berkata, .
"Namaku Nyi Dungga Ratih! Pendekar Slebor... kudengar kau banyak tahu setiap urusan karena otakmu yang encer! Sekarang katakan kepadaku, apakah kau mengetahui tentang Patung Kepala Singa?" "Patung Kepala Singa" Wah, mana aku tahu itu! Kalau Patung Kepala Dungga Ratih aku tahu!!" Nyi Dungga Ratih tak pedulikan ejekan itu. Dia terus berkata, "Ternyata dugaanku salah! Kau tak secer-dik yang pernah kudengar!" "Siapa bilang aku cerdik" Kalau sangat cerdik, ba-ru betul!!" sahut Andika seenak perutnya saja. Lalu katanya, "Kenapa kau menanyakan soal Patung Kepala Singa?" "Huh! Rupanya kau tertarik juga untuk mengetahui soal itu"!" ejek Nyi Dungga Ratih.
"Tertarik sedikit, bolehlah...." "Aku belum pernah melihat seperti apa benda yang dinamakan Patung Kepala Singa yang kudengar dimiliki oleh Pendekar Sutera! Dan aku pernah pula mendengar, kalau di dalam patung itu terdapat sebuah benda langka yang...." Mendadak saja si nenek memutus kata-katanya sendiri. Sementara itu, kendati penasaran untuk mengetahui kelanjutannya, Andika justru berkata, "Kenapa" Apakah gigimu mendadak tumbuh"!" Nyi Dungga Ratih malah menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, "Aku tidak tahu secara pasti tentang kebenaran benda sakti yang ada di dalam Patung Kepala Singa. Tetapi yang ku khawatirkan, bila urusan itu akan berkembang menjadi sesuatu yang tak diharapkan." "Kau ini bicara selalu berbelit-belit, ya" Kenapa tidak langsung saja," kata Andika masih bersikap tidak penasaran.
"Karena sebelum aku tiba di tempat ini, aku melihat seorang lelaki tinggi besar berkepala gundul berkata sendiri tentang Patung Kepala Singa. Dan dia berte-kad untuk memilikinya!" "Apakah dengan begitu kau merasa pasti urusan akan jadi panjang" Nek! Jangan-jangan kau keblinger ya"!" Nyi Dungga Ratih tak mempedulikan lagi selorohan Andika. Dia berkata tegas, "Orang itu berjuluk si Kepala Besi!" Kali ini cengengesan di bibir Andika seketika lenyap mendengar julukan itu disebutkan. Tetapi kejap kemudian dia bersikap asalasalan kembali.
"Mau berjuluk Kepala Batu, Kepala Koral, atau Kepala Kayu aku tidak peduli! Kalau kau memang mau mencari Patung Kepala Singa, silakan saja! Toh ini bukan urusanku!" Kali ini terdengar suara Nyi Dungga Ratih menggeram, "Itu memang bukan urusanmu!!" Habis berseru demikian, perempuan tua berambut disanggul ke atas ini segera berkelebat cepat. Andika masih sempat melihat kelebatannya menghilang di penghujung jalan.
Beberapa lembar dedaunan berjatuhan.
"Si Kepala Besi... Apakah dugaan Bidadari Tangan Bayangan memang akan menjadi kenyataan" Nyi Dungga Ratih mengatakan pula tentang si Kepala Besi.
Busyet! Ada beberapa urusan yang harus kupecahkan sekarang! Dan rasanya itu tidak mudah!" Kejap kemudian, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini menarik napas panjang. Setelah celingukan sebentar, dia segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Kendati dia yakin untuk menemukan Bidadari Tangan Bayangan tidak mudah, tetapi dia tetap akan mencarinya. Tiga kejapan mata berikutnya, nampak satu sosok tubuh berpakaian hitam muncul di tempat itu. Sepasang mata si pendatang ini begitu tajam sekali.
"Aku akan mempergunakanmu untuk mendapatkan Patung Kepala Singa, Pendekar Slebor!" Kejap berikutnya, orang ini sudah berkelebat menyusul.

***
«⸗⸗⸗┌ 3 ┘⸗⸗⸗»

Matahari sudah semakin menurun di ufuk barat.
Bias-biasnya yang kemerahan nampak menggenangi persada langit. Begitu indah dan penuh pesona. Nampak pula beberapa ekor burung beterbangan membentuk siluet-siluet yang sangat indah.
Di sebuah jalan setapak, nampak satu sosok tubuh berpakaian putih-putih berkelebat dengan cepatnya. Sosok tubuh yang ternyata seorang gadis ini, nampak mendekap sesuatu yang terbungkus kain hitam erat-erat. Dari caranya berlari, nampak kalau dia tak mau sekali pun hentikan larinya. Bahkan sambil berlari berulangkali gadis berambut dikucir ekor kuda ini menoleh ke belakang, seolah khawatir ada orang yang mengikutinya.
Napasnya mulai terdengar satu-satu. Kedua kakinya sudah terasa ngilu sekali sementara keringat bertambah mengucur di wajahnya yang jelita.
"Aku harus menjauh... aku harus menjauh...," desisnya berulangkali diselingi nafasnya yang memburu.
Tepat ketika matahari sudah masuk ke peraduannya, gadis ini telah tiba di sebuah jalan hutan yang dipenuhi jajaran pepohonan tinggi. Lima tindak kemudian dia bergerak, mendadak saja sosoknya ambruk.
Bukan dikarenakan akar yang melintang dan bukan pula disebabkan oleh kaki yang terserimpung. Tetapi dia memang telah kehabisan tenaga.
Begitu tubuhnya ambruk, bungkusan yang sejak dia berlari didekap di dadanya, terlempar ke depan.
Bergulingan sejenak dan berhenti dengan kain yang membungkusnya telah terbentang.
"Oh!" desis si gadis terkejut.
Nampaklah sebuah benda berwarna keperakan yang terguling jatuh.
Lalu dengan susah payah dan kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya, gadis ini merangkak untuk menggapai benda yang memancarkan sinar warna perak itu.
Begitu berhasil didekatinya, dengan tangan yang lemah benda itu dipegangnya. Lalu ditegakkan. Sebuah benda yang terbuat dari kayu yang berwarna keperakan. Benda yang nampaknya diciptakan oleh seorang ahli pahat yang menakjubkan. Dan benda itu...
bermotifkan kepala singa! Dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, kembali si gadis merangkak. Kali ini menuju ke bawah sebuah pohon rindang. Susah payah dia mencoba untuk menyandarkan tubuhnya. Begitu berhasil, nafasnya terdengar kian memburu sementara benda yang ternyata sebuah patung kepala singa yang telah dibungkus kembali dengan kain hitam, didekap erat-erat.
Gadis ini nampak begitu ketakutan sekali. Tatkala terdengar suara semak menguak, cepat si gadis tolehkan kepalanya. Nampak pula kalau dia bersiap untuk lari kendati disadari kalau tenaganya sudah tak akan mampu untuk membawanya berlari. Ketika dilihatnya seekor kelinci yang menyebabkan ranggasan semak di sebelah kanannya menguak, barulah gadis itu bisa menarik napas lega.
Lamat-lamat nampak sepasang matanya meredup.
Sinarnya seolah menandakan dia tak ingin lagi menikmati kehidupan ini.
Siapakah sebenarnya gadis itu" Dia adalah Tri Sari, putri dari Pendekar Sutera. Lima hari yang lalu, malam itu, di saat Tri Sari sedang tertidur nyenyak, mendadak saja terdengar suara ribut-ribut di halaman depan Kuil Putra Langit.
Untuk sesaat si gadis yang masih menahan kantuk tertegun di tempat tidurnya. Dia seperti tengah bermimpi. Tetapi tatkala didengarnya teriakan kematian dan suara beradunya senjata, sadarlah Tri Sari kalau yang didengarnya itu bukan mimpi. Tetapi suara orang bertarung di halaman Kuil Putra Langit! Bergegas Tri Sari melongok dari jendela kamarnya.
Tetapi karena malam begitu pekat, yang dilihat hanyalah bayangan-bayangan orang yang sedang mencoba mendesak seseorang yang tak diketahui rupanya.
Bayangan-bayangan orang yang diyakininya adalah murid-murid ayahnya itu, ternyata tak mampu mendesak si perusuh yang justru menghabisi mereka dengan garang.
Jeritan kematian terdengar beruntun dan begitu menyayat. Sebagai putri dari Pendekar Sutera, Tri Sari memiliki kepandaian bela diri yang tidak sedikit. Dia pun bersiap keluar untuk membantu.
Namun baru saja dia tiba di ambang pintu, pintu kamarnya telah lebih dulu terbuka. Muncul ayahnya dengan napas terengah dan tubuh dipenuhi luka-luka.
"Ayah!!" serunya kaget bercampur gugup.
"Jangan bersuara, Anakku! Sekarang, dengarkan kata-kata Ayah! Jangan membantah dan segera kau laksanakan perintah Ayah ini!" seru Pendekar Sutera sambil menutup pintu kembali. Kemudian ditatapnya putrinya itu yang menatapnya dengan sinar mata penuh kecemasan.
"Seorang tamu yang tak diundang telah datang! Dan melakukan pembantaian yang sangat keji! Ayah minta...." "Siapa perusuh itu. Ayah?" potong Tri Sari.
"Jangan banyak tanya! Waktu kita sangat sempit! Tri! Kau tahu bukan, kalau Ayah menemukan sebuah benda yang Ayah namakan Patung Kepala Singa" Benda itu Ayah sembunyikan di kaki bukit Wengker! Bera-da di tengah-tengah dua pohon kembar yang sama tinggi dan bentuknya. Galilah. Lalu ambillah benda itu dan segeralah pergi menjauh! Karena... perusuh itu menghendaki Patung Kepala Singa! Sementara, sampai saat ini Ayah masih menunggu siapakah orang yang berhak memiliki benda itu! Cepat, Tri!" "Tidak, aku akan menghadapi perusuh itu!" "Tri...," sahut Pendekar Sutera sabar, kendati demikian hatinya cemas bukan main mengingat si pendatang menginginkan Patung Kepala Singa dengan cara biadab dan memiliki kesaktian tinggi.
"Hanya engkaulah satu-satunya orang yang Ayah percayai. Bawalah Patung Kepala Singa itu! Cari Bidadari Tangan Bayangan yang sering Ayah ceritakan kepadamu di sebuah tempat yang bernama Lembah Pinus! Mudah-mudahan kau tidak berselisih jalan dengannya karena Ayah telah mengundangnya untuk datang. Sudahlah! Cepat pergi, Tri! Ayah tidak bisa berada di sini lebih lama!!" Kendati keinginan untuk membantu ayahnya menghadapi perusuh itu bertambah menguat, namun Tri Sari dapat merasakan kecemasan ayahnya. Dengan perasaan berat dia menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Cepat kau pergi melalui pintu belakang!" kata Pendekar Sutera sambil membuka pintu kembali.
Di muka pintu kamarnya, Tri Sari sejenak menatap ayahnya kembali.
Pendekar Sutera mendesah pendek.
"Pergilah!" Lalu dengan hati berat, Tri Sari segera bergegas.
Masih sempat dilihatnya ayahnya yang segera kembali ke halaman depan. Ada perasaan di hati si gadis untuk melihat siapakah perusuh kejam itu. Tetapi mengingat amanat ayahnya, dia pun segera berkelebat meninggalkan Kuil Putra Langit. Dan Tri Sari tidak tahu apa yang dialami oleh ayahnya itu kemudian.
Bukit Wengker terletak sekitar dua ratus tombak dari Kuil Putra Langit di sebelah timur. Tepat ratu malam mulai menurun, Tri Sari pun akhirnya tiba di bukit itu. Diperhatikan sekeliling bukit yang dipenuhi dengan pepohonan dan dinding bukit landai yang cu-ram. Sejenak Tri Sari arahkan pandangan pada jalan yang telah ditempuhnya. Ada keinginan untuk melihat keadaan ayahnya. Namun lagilagi setelah mengingat amanat yang diberikan ayahnya, gadis itu mengurungkan maksud. Segera dicarinya dua pohon kembar yang sama tinggi dan bentuk. Tetapi mencari dua pohon itu ternyata tak mudah, karena begitu banyaknya jajaran pepohonan yang tumbuh di sana.
Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhirnya Tri Sari menemukan pula kedua pohon itu. Tanpa membuang waktu lagi, dengan mempergunakan kedua tangannya, si gadis segera menggali tanah yang terdapat di tengah-tengah kedua pohon itu. Melewati waktu yang tak begitu lama namun tanah yang digalinya sudah sedalam lengan orang dewasa, Tri Sari melihat sebuah benda yang terbungkus kain hitam. Segera diambilnya benda itu. Dilihatnya dulu untuk meyakinkan kalau memang benda itulah yang dicarinya.
Tatkala dia hendak meninggalkan tempat itu, mendadak saja didengarnya suara orang berkelebat.
Sejenak Tri Sari dongakkan kepala seraya berdiri. Gadis itu sadar kalau keadaan saat ini sangat genting.
Makanya dia tak mau ambil risiko berada di tempat yang dapat dilihat seperti itu.
Tanpa menutup lubang yang telah digali, putri Pendekar Sutera ini sudah berkelebat. Tetapi malang, dia tidak melihat sebuah lubang besar yang ditutupi dedaunan.
Krosaak! Bruukkk! .
Tubuhnya jatuh ke dalam lubang itu. Dia tak menderita luka yang berarti, hanya lecet-lecet kecil sa-ja. Gadis ini memaki jengkel. Tetapi, karena masuk ke lubang itulah dia jadi selamat dari ancaman maut orang yang berkelebat yang ternyata adalah orang yang telah lakukan pembantaian keji di Kuil Putra Langit.
Gadis itu sendiri jadi urung untuk segera melompat keluar, tatkala didengarnya kelebatan orang itu semakin mendekat ke arahnya.
Diyakini kalau kemudian orang itu hentikan gerakannya. Sejurus kemudian terdengar geramannya, "Jahanam terkutuk! Di mana Pendekar Sutera menyembunyikan Patung Kepala Singa! Keparat! Apakah ini berarti usahaku untuk mendapatkan benda itu sia-sia belaka" Huh! Imbalan dari perbuatan busuknya yang tak mau mengatakan di mana benda itu berada, akhirnya dia harus tewas ditanganku bersama dengan murid-muridnya yang lain! Jahanam sial! Kendati telah kuobrak-abrik bagian dalam kuil itu, tetap tak kutemukan Patung Kepala Sin-ga! Hhh! Sampai kapan pun aku harus mendapatkan benda itu!" Habis umbar kemarahannya, si pembunuh kejam yang gagal mendapatkan apa yang diinginkannya segera berkelebat cepat.
Di dalam lubang, Tri Sari merasa sekujur tubuhnya lemas. Dan dia jatuh menggelosoh di dasar lubang sementara Patung Kepala Singa tetap didekap erat-erat.
"Ayah...," desisnya bagai desahan belaka. Si gadis yang ketika berusia lima tahun ditinggal mati ibunya karena sakit ini, mencoba untuk menindih segala kepedihan di hatinya.
Dia memang gadis yang tegar, gadis yang mampu mempergunakan pikirannya untuk mempertimbangkan apa yang hendak dilakukannya. Namun kendati demikian, tak urung air matanya menitik.
Setelah dua belas tarikan napas berada dalam lingkaran kesedihan, perlahan-lahan Tri Sari bangkit berdiri. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-buskannya kuat-kuat.
"Aku harus mencari Bidadari Tangan Bayangan!" desisnya tegar.
Dengan kerahkan sedikit ilmu peringan tubuhnya, segera saja dia melompat keluar dari lubang yang cukup dalam itu. Sejenak diedarkan pandangan memperhatikan sekitarnya. Matahari telah lewati batas sepenggalan. Udara mulai cukup memanas dan menguapkan sisa-sisa embun.
Setelah beberapa saat, Tri Sari pun segera berkelebat ke arah barat, menuju ke Lembah Pinus.

****

Si gadis menarik napas panjang. Diselonjorkan kedua kakinya, lalu dilonggarkan setiap urat darahnya. Udara senja yang semilir membuat rasa kantuk mudah menyerangnya. Namun dia berusaha untuk menahannya. Karena yang dipikirkan, dia harus cepat tiba di Lembah Pinus.
Ada keinginan yang kuat untuk mencari pelaku pembantaian keji itu. Disesalinya mengapa dia tidak mencoba untuk melihat si pembantai yang sebenarnya sudah dekat dengannya di saat dia terjatuh ke dalam lubang.
Dan ditindihnya segala ingatan tentang ayahnya, tentang Kuil Putra Langit yang telah dihuninya selama enam belas tahun. Tentang semua-muanya. Lamat-lamat dirabanya Patung Kepala Singa yang terbungkus kain hitam. Ada perasaan sedih yang mendera kembali. Hanya dikarenakan Patung Kepala Singa yang ditemukan ayahnya tak sengaja inilah pembantaian keji itu terjadi.
Tri Sari memang mengetahui tentang hal itu. Bahkan ayahnya pun menduga kalau di dalam patung kepala singa terdapat sesuatu yang tentunya sangat rahasia. Hal itu bisa diketahui bila merabanya dengan mempergunakan hawa murni. Satu hal lain lagi yang menarik, patung itu sangat ringan.
Sementara itu semakin dilawan rasa kantuknya, Tri Sari semakin tak kuasa untuk menahan lebih lama.
Angin yang bertambah semilir laksana tangan seorang ibunda yang lama dirindukan membelai-belai wajahnya. Namun tatkala dia mulai merapatkan matanya dan sebagian jiwanya seperti terbang ke alam lain, mendadak terdengar suara langkah yang cukup berat.
Serta merta Tri Sari membuka sepasang matanya.
"Oh!!" Seperti telah pulih tenaga yang terkuras, putri Pendekar Sutera ini segera berdiri tegak. Patung Kepala Singa yang terbungkus kain hitam itu semakin erat didekapnya. Sejarak lima langkah di hadapannya, telah berdiri seorang lelaki tinggi besar. Mengenakan pakaian warna abu-abu yang terbuka di bahu kanannya, memperlihatkan betapa bidang dadanya dan betapa besar otototot di tubuhnya. Wajah lelaki itu cukup menyeramkan, kelimis dengan sepasang bibir tebal. Kepala yang agak lonjong itu, plontos tanpa dihiasi oleh selembar rambut pun. Sepasang matanya tajam tak berkedip memandang Tri Sari.
Lelaki itulah yang berjuluk Kepala Besi!

***
«⸗⸗⸗┌ 4 ┘⸗⸗⸗»

Untuk beberapa lama, tak ada yang membuka suara. Beberapa helai dedaunan berguguran. Dua ekor kelinci menyeruak dari gerumbulan semak dan langsung masuk lagi terbirit-birit setelah sesaat dongakkan kepala pada dua anak manusia itu.
"Celaka! Siapakah lelaki tinggi besar ini" Dari tampangnya, jelas dia bukan orang baik-baik. Tetapi aku ingat akan kata-kata Ayah. Menilai seseorang jangan dari bentuk tubuh maupun rupanya," kata Tri Sari dalam hati.
Putri Pendekar Sutera ini segera tindih rasa khawatirnya. Sambil mendekap Patung Kepala Singa yang terbungkus kain hitam dengan tangan kirinya itu, dia berkata, "Orang tak dikenal... ada perlu apa kau berdiri di hadapanku?" | Si Kepala Besi terdiam dulu sebelum menjawab, "Justru pertanyaan itu ada padaku. Mengapa gadis se-cantik kau berada di tempat sepi seperti ini?" Tri Sari pandangi dulu lelaki yang mengenakan pakaian warna abu-abu terbuka di bahu sebelah kanan itu. Lalu dengan hati-hati dia menyahut, "Ini urusanku! Bila kau tak senang, kebetulan aku hendak meninggalkan tempat ini!" Dan dia siap mengadu jiwa bila ternyata lelaki berpakaian abu-abu itu menahannya. Namun di luar dugaan si gadis, lelaki itu justru menyingkir tiga tindak ke samping kanan, seperti membiarkan dirinya melangkah. Tindakan yang dilakukan si Kepala Besi justru memancing kecurigaan Tri Sari.
"Hmmm... aku harus berhati-hati." Karena si gadis belum juga ayunkan langkah, si Kepala Besi berkata, "Mengapa kau tak segera meninggalkan tempat ini" Dalam kesunyian dan malam yang sebentar lagi datang, bahaya akan lebih mudah mengancam." Tri Sari tak membuka mulut. Diam-diam dialirkan tenaga dalam pada tangan kanannya, bersiap bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Sejenak dipandanginya dulu lelaki berkepala plontos itu. Lalu sambil perbesar kehati-hatiannya, gadis ini mulai melangkah.
Pandangannya tetap diarahkan pada si Kepala Besi yang justru membalikkan tubuh seolah memberikan kesempatan padanya lewat.
Perasaan Tri Sari agak tenang tatkala dia sudah berada sekitar tujuh langkah dari si Kepala Besi sementara lelaki itu tak melakukan apa-apa.
Tetapi dia tersentak tatkala mendengar suara tegas, "Tunggu!!" Serta merta gadis ini putar tubuh dan bersiaga.
Si Kepala Besi yang memanggil tadi menjadi urung untuk segera berkata begitu melihat kedudukan si gadis yang telah membuka kudakuda. Kepala Besi cukup lama malang melintang di rimba persilatan ini.
Kendati si gadis hanya berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar satu sama lain, namun dia tahu kalau gadis itu berada dalam posisi siap menyerang.
Lelaki berkepala plontos ini keluarkan dengusan.
"Jangan bersikap tegang! Sebelum kau tinggalkan tempat ini, ada satu pertanyaanku untukmu!" "Cepat katakan!!" sambar Tri Sari.
"Apakah kau mengenal seorang lelaki yang berjuluk Pendekar Sutera?" Tak menyangka pertanyaan seperti itu yang didengarnya, Tri Sari melengak. Bahkan tanpa sadar dia surut satu tindak ke belakang. Sepasang matanya terbuka lebih lebar.
"Lelaki ini menanyakan tentang ayah" Apakah dia belum tahu keadaan Ayah" Atau...
jangan-Jangan...
dia salah seorang yang hendak membunuh Ayah untuk mendapatkan Patung Kepala Singa" Huh! Aku tak akan... oh! Bagaimana bila ternyata dialah orang yang telah lakukan pembantaian mengerikan itu"!" kata Tri Sari dalam hati dengan dada berdebar.
Kendati demikian, kemarahan berkobar di dadanya tatkala teringat nasib malang yang menimpa ayahnya. Lalu dengan suara lantang dia berseru, "Mengapa kau menanyakan soal itu kepadaku, hah"!" Wajah si Kepala Besi nampak mengkelap mendengar kata-kata yang ketus. Tetapi jelas kalau dia berusaha untuk tindih kemarahannya.
"Aku tak bisa mengatakan apa maksudmu mencarinya! Tetapi kau cukup menjawab... ya atau tidak!" "Aku tidak mengenalnya!" "Itu pun bukan jadi masalah buatku! Baik! Kita berpisah di sini!" seru Kepala Besi. Kejap itu pula dia segera putar tubuh. Namun sebelum dia melangkah, mendadak saja terdengar suara gemuruh angin yang keras mengarah padanya!! "Heeeiiii!!" seru Kepala Besi tertahan.
Dengan gerakan yang menakjubkan, lelaki bertubuh tinggi besar ini segera membuang tubuh ke ka nan. Menyusul terdengar suara letupan yang cukup keras tatkala gelombang angin itu menghantam tanah di mana tadi dipijaknya.
Kejap itu pula tanah itu terbongkar dan menerbangkan bongkarannya di udara.
Bukan hanya Kepala Besi yang terkejut, Tri Sari pun tersentak hingga tak sadar dia bukannya segera meninggalkan tempat itu, tetapi justru menunggu. Sementara itu Kepala Besi sudah tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dibuka agak lebar.
Mendadak terlihat satu bayangan kuning berkelebat cepat dari balik ranggasan semak disertai makian keras, "Manusia hina pemakan bangkai! Lama kucari...
rupanya kau berada di sini! Bagus! Kau harus terima balasan dari segala perbuatan terkutukmu itu!" Belum lagi habis suara itu terdengar, telah berdiri satu sosok tubuh berpakaian kuning bersih dan di pinggang ramping sosok tubuh itu melilit ikat pinggang warna merah.
"Bidadari Tangan Bayangan...," desis si Kepala Be-si. Tri Sari yang mendengar desisan lelaki berkepala plontos itu serta merta arahkan pandangannya pada Kepala Besi, lalu mengarahkannya lagi pada perempuan yang baru datang yang memang tak lain Bidadari Tangan Bayangan.
"Bidadari Tangan Bayangan..." desisnya.
"Bukankah orang ini yang harus kucari" Perempuan sahabat Ayah" Oh, sungguh beruntung nasibku kalau begini...." Perempuan berpakaian kuning bersih itu hanya sejenak menatap Tri Sari. Dari sikapnya jelas dia tak pandang sebelah mata pada gadis itu, karena di kejap lain dia segera arahkan pandangannya pada Kepala Besi yang nampak sedang kerutkan keningnya.
Dan sebelum perempuan itu buka mulut, terdengar suara dengusan. Menyusul kata-kata yang mengandung amarah, ?"Bidadari Tangan Bayangan... kudengar selama ini kau adalah perempuan dari golongan lurus! Tetapi sekarang, mengapa kau justru lakukan serangan keji ini kepadaku"!" Bidadari Tangan Bayangan yang menyangka si Kepala Besi adalah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit berseru dingin, "Aku bukan hanya akan lakukan serangan padamu! Tetapi...
juga akan membunuhmu!!" "Tunggu!" tahan si Kepala Besi tatkala mendapati Bidadari Tangan Bayangan siap lepaskan serangan.
"Katakan sebabnya mengapa kau hendak membunuhku"!" "Jangan bersilat lidah lagi!" Perlahan-lahan keheranan di wajah Kepala Besi menghilang. Sebagai gantinya, nampak wajahnya memerah tanda tak suka mendengar ucapan orang.
"Bidadari Tangan Bayangan! Selama ini kita tak pernah buka urusan satu sama lain, apalagi urusan yang menyangkut soal nyawa! Tetapi, aku pun bukan orang yang sabar dan senang dihina seperti itu!" "Karena kau memang layak dihina!!" Habis ucapannya, perempuan berpakaian kuning ini segera gerakkan kedua tangannya ke muka. Serta merta menggebah dua gelombangan angin yang keluarkan suara menggemuruh ke arah Kepala Besi.
Lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan itu, kertakkan rahangnya sebelum lakukan satu lompatan indah ke samping itu.
Blaaaammm!! Dua gelombang angin yang dilepaskan oleh Bidadari Tangan Bayangan membongkar tanah di mana tubuh Kepala Besi berdiri tadi, yang seketika membentuk sebuah lubang yang keluarkan asap.
"Hebat!" serunya sinis.
"Tetapi jangan berbangga dulu! Karena... aku akan tetap mencabut nyawamu!" "Tunggu! Katakan dulu, urusan apa yang harus diselesaikan hingga kau menginginkan nyawaku"!" "Manusia durjana! Kau memang pandai bermain kata-kata rupanya! Baik! Apakah pembantaian di Kuil Putra Langit mengingatkanmu pada sesuatu" Atau kau sudah terlalu dungu hingga kau sekarang hendak mencuci tangan"!" "Gila! Apa yang dimaksudnya dengan Kuil Putra Langit" Aku memang pernah mendengar tentang kuil itu yang dihuni oleh Pendekar Sutera! Tetapi hingga hari ini, aku tidak tahu di mana kuil itu berada! Bahkan aku tidak tahu seperti apa rupanya Pendekar Sutera?" Habis membatin demikian, Kepala Besi berseru lagi, "Apa maksudmu dengan pembantaian di Kuil Putra Langit"!" "Lelaki celaka! Kau telah membunuh Pendekar Sutera beserta para muridnya untuk mendapatkan Patung Kepala Singa! Sekarang, apakah kau akan mungkir dari kenyataan yang kukatakan ini"!" sambar Bidadari Tangan Bayangan kalap.
"Patung Kepala Singa!" tanpa sadar Kepala Besi berseru tertahan.
Sementara Tri Sari merasakan hatinya mulai dilanda kepedihan karena apa yang diduganya tentang ayahnya ternyata terbukti, Bidadari Tangan Bayangan perlihatkan sinisannya pada Kepala Besi.
"Rupanya otakmu sudah bisa bekerja dengan baik! Bagus! Sekarang... kau harus mempertanggung jawabkan segala perbuatanmu itu!" serunya dengan tangan kanan dan kiri dikepalkan.
"Katakan, di mana kau sembunyikan Patung Kepala Singa"!" "Tunggu! Urusan ini masih mengambang di benakku kendati aku tahu apa maksudmu! Paling tidak, kau menuduh aku yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit!" ' "Tak perlu kau ulangi lagi aku sudah yakin soal itu!!" "Keparat! Semakin kuladeni, semakin kacau omongannya"!" maki Kepala Besi dalam hati. Lalu berseru, "Mengapa kau menyangka aku yang telah melakukan tindakan keji itu!" "Kau masih mau mungkir rupanya! Dan aku bosan menghadapi manusia pengecut seperti kau!!" Habis bentakannya, segera saja perempuan berbaju kuning bersih ini mengangkat kedua tangannya ke atas. Kejap berikutnya, kedua tangannya itu digerakkan yang semakin lama nampak semakin cepat. Menyusul terdengarnya deru angin yang berkesiur kuat.
Bukan hanya menyambar dedaunan yang seketika berguguran, tetapi juga mematahkan ranting dan dahan pohon yang beterbangan.
Di seberang, Kepala Besi membatin, "Nampaknya perempuan ini tidak main-main! Dan rasanya, dalam keadaan seperti ini sulit untuk menjernihkan suasana.
Mau tak mau aku harus menghadapinya ketimbang aku mendapat celaka!" Memutuskan demikian, lelaki tinggi besar berkepala plontos ini segera silangkan kedua tangannya di depan dada. Pandangannya lurus ke muka, tak berkedip. Sementara itu, Tri Sari yang sejenak tadi dilanda kesedihan, lamat-lamat merasakan kemarahan dan dendam tinggi pada Kepala Besi yang dikatakan Bidadari Tangan Bayangan adalah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit.
Namun untuk saat ini, dia tak mau bertindak. Karena disadarinya kalau kedua orang yang berbeda jenis itu siap lakukan pertarungan yang hebat. Kendati demikian, diam-diam dia sangat berharap agar Bidadari Tangan Bayangan dapat mengalahkan si Kepala Besi.
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan menggelegar dari mulut Bidadari Tangan Bayangan, "Manusia hina! Terimalah kematiaaaaan!!" Menyusul kedua tangannya yang digerakgerakkan ke atas, didorong ke depan. Tidak hanya sampai di sana tindakan perempuan berpakaian kuning bersih ini. Karena kejap itu pula sosoknya sudah mencelat ke depan sambil menggerakkan tangan kanan kirinya yang laksana bayangan belaka.
Kepala Besi yang sudah duga akan ganasnya serangan Bidadari Tangan Bayangan, cepat membuang tubuh ke samping. Saat melompat itu dia segera dorong kedua tangannya dengan posisi mengepal.
Wusss! Wuuusss! Bersamaan terdengar letupan dan tumbangnya sebuah pohon besar akibat sambaran serangan Bidadari Tangan Bayangan, dua gelombang angin panas menghampar deras, menerbangkan rerumputan dan menahan pukulan berantai Bidadari Tangan Bayangan. Sejenak perempuan berbaju kuning bersih ini ter-henyak, Tubuhnya mundur satu tombak ke belakang ketika pukulannya bagai ditahan tangan raksasa.
Meskipun demikian, dia segera angkat tangannya yang kembali bergerak tak ubahnya bayangan belaka. Dan...
Wusss! Terkesiap bukan alang kepalang Kepala Besi tatkala merasakan sambaran angin mengarah pada lehernya. Tak mau lehernya patah akibat serangan ganas itu, Kepala Besi kembali membuang tubuhnya ke kiri dan berputar dua kali sebelum hinggap di tanah.
Di seberang, Bidadari Tangan Bayangan sengaja surutkan langkahnya. Sejenak diatur nafasnya yang agak terengah. Pandangannya menyipit tajam.
"Hebat!" desisnya dalam hati.
Kejap kemudian, dia sudah menerjang kembali ke muka. Hanya yang agak aneh, kali ini gerakannya begitu lambat. Kendati demikian, gerakan tangannya justru tak kurang. Malah nampak semakin cepat dan keluarkan suara berdesing-desing.
Dalam sekejap saja Kepala Besi sudah bisa menduga kalau lawan coba mengalihkan perhatiannya. Dia tak mau bertindak ayal ketika tangan kanan dan kiri Bidadari Tangan Bayangan mengibas ke muka.
Wrrrrr! Sinar putih bening menghampar dengan kekuatan besar. Menerangi tempat yang sudah mulai diremangi oleh malam. Kepala Besi memekik tertahan karena pada jarak dua tombak dia sudah rasakan panas yang sangat tinggi. Inilah jurus 'Bayangan Matahari' yang sedang dilepaskan oleh Bidadari Tangan Bayangan. Sementara itu, serta merta Kepala Besi meluruk dengan tubuh laksana seekor banteng.
Bidadari Tangan Bayangan yang geram setinggi langit, tak mau bertindak ayal. Dilipatgandakan tenaga dalamnya dan melepaskan jurus 'Bayangan Matahari'.
Wusss! Menyusul tubuh seperti dibetot setan melesat ke muka. Sepintas gerak menghindar yang diperlihatkan Kepala Besi lebih cepat karena Bidadari Tangan Bayangan memang seperti sengaja memperlambat gerakannya. Namun dalam lambat gerakannya itulah tersimpan sebuah perangkap yang bukan hanya akan menjatuhkan lawan, tetapi sekaligus akan melumpuhkannya! Karena gerakan itu akan berubah menjadi cepat bila dikehendaki oleh pemiliknya. Yang terjadi pun demikian.
Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi yang sama-sama mengandung hawa panas luar biasa terjadi.
Ledakan dahsyat terdengar. Tempat itu bagai digoncang sebuah gempa hebat. Tanah di tempat bertemunya benturan itu muncrat setinggi dua tombak. Dedaunan langsung meranggas dan rumput serta semak belukar tercabut paksa dari akarnya.
Kejadian itu segera halangi pandangan keduanya.
Bidadari Tangan Bayangan mengibas-ngibaskan tangannya agar pandangannya lebih terbuka. Ketika tanah, semak dan dedaunan terhempas ke tanah, sepasang matanya terbuka lebih lebar dengan mulut menganga membentuk lorong.
Si Kepala Besi, sudah tidak ada di hadapannya! "Siaaaalll!!" geramnya tinggi. Menyusul dilepaskan pukulan demi pukulannya.
Serta merta menderu-deru angin luar biasa kerasnya yang segera menghantam beberapa buah pepohonan yang langsung tumbang berantakan. Sementara itu, Tri Sari yang sejak tadi hanya memperhatikan, pun terkesiap kaget tatkala tak lagi melihat sosok Kepala Besi di hadapannya. Gadis yang kini dibaluri dendam itu pun siap melompat untuk menyusul. Tetapi satu suara menahannya, "Diam di tempatmu!!"

***
«⸗⸗⸗┌ 5 ┘⸗⸗⸗»

Saat itu pula si gadis urungkan niat dan palingkan kepala. Kendati disadarinya dalam suara perempuan berpakaian kuning bersih itu terdapat nada kemarahan, namun gadis ini tak sekali pun merasakan takut ataupun marah. Karena dia yakin, perempuan inilah yang dimaksudkan oleh ayahnya.
Serta merta dia menjura dengan satu tangan, sementara tangan kirinya tetap mendekap Patung Kepala Singa yang dibungkus kain hitam.
"Salam untukmu Bidadari Tangan Bayangan...," katanya hormat.
Sesungguhnya, Bidadari Tangan Bayangan adalah seorang perempuan yang menghargai kesopanan. Namun dikarenakan dia sedang marah besar akan lenyapnya Kepala Besi, dia hanya kertakkan rahangnya melihat sikap Tri Sari.
"Jangan menjual lagak di hadapanku! Katakan, siapakah kau sebenarnya" Ada urusan apa kau dengan lelaki celaka itu, hah"!" Tak mau membuang waktu, Tri Sari segera menjawab, "Namaku Tri Sari...." Hanya itu yang dikatakannya, karena dia hendak melihat sikap perempuan di hadapannya. Dan ternyata apa yang diharapkannya terjadi. Karena sejenak terlihat Bidadari Tangan Bayangan melengak.
Pandangannya lurus tak berkedip.
"Tri Sari...," desisnya seperti mengingat-ingat. Kemudian katanya, "Apakah...
kau Tri Sari putri dari Pendekar Sutera?" Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah gadis ini berseri-seri.
"Ya! Aku adalah putri dari Pendekar Sutera!" Seraya melangkah mendekat, Bidadari Tangan Bayangan berkata, "Oh, Tuhan... ternyata kau selamat." Sejenak dipandanginya gadis itu dengan seksama.
Lalu dengan suara penuh prihatin dia berkata, "Apakah kau sudah tahu bagaimana nasib ayahmu?" Tri Sari yang sudah mendengarnya secara tidak langsung dari percakapan Bidadari Tangan Bayangan dengan Kepala Besi tadi, menganggukkan kepalanya.
Nampak kalau dia berusaha untuk tidak tampakkan kesedihannya. Diam-diam Bidadari Tangan Bayangan berkata kagum dalam hati, "Ketegarannya sungguh menakjubkan." Kemudian katanya, "Tri Sari... ceritakan bagaimana kau bisa selamat dari pembantaian keji yang telah dilakukan oleh Kepala Besi?" Dengan tetap tak menunjukkan kesedihannya, Tri Sari segera menceritakan semuanya.
"Patung Kepala Singa...," desis Bidadari Tangan Bayangan setelah si gadis selesai bercerita. Pandangannya sejenak ditujukan pada benda yang terbungkus kain hitam dalam dekap tangan kiri Tri Sari. Kemudian katanya, "Tri Sari...
aku tidak tahu mengapa ayahmu menyuruhmu menemuiku. Tetapi ada dua maksud yang mungkin bisa dijadikan patokan. Pertama, agar aku melindungimu dari pembantaian keji yang telah dilakukan Kepala Besi. Kedua, juga melindungi Patung Kepala Singa dari rebutan manusiamanusia serakah. Sekarang, apakah kau tahu apa yang tersimpan di dalam Patung Kepala Singa?" Tri Sari menggelengkan kepalanya.
Bidadari Tangan Bayangan mendesah panjang.
"Persoalan ini semakin pelik. Sebenarnya, aku tak ingin melepaskan nyawa Kepala Besi. Biar bagaimanapun juga, dia harus membayar seluruh perbuatannya dengan nyawanya. Tetapi kupikir, kita lebih dulu harus memecahkan apa isi dari Patung Kepala Singa.
Hanya saja... untuk mengetahui soal itu, terpaksa kita harus memecahkannya...." Untuk sejenak tak ada yang keluarkan suara. Di kejauhan terdengar lolongan serigala yang cukup mencekam.
Lalu terdengar suara putri Pendekar Sutera, "Bibik... bagiku, tak mengapa kalau kita harus memecahkan benda ini untuk mengetahui apa isinya. Karena, aku juga penasaran. Tetapi Bibik... Ayah pernah berkata kepadaku, kalau dia akan menunggu orang yang berhak atas Patung Kepala Singa." Bidadari Tangan Bayangan menganggukanggukkan kepalanya.
"Memang sebuah masalah yang cukup rumit sebenarnya. Dan semua ini...." Mendadak perempuan yang di pinggangnya melilit ikat pinggang warna merah ini memutus kata-katanya sendiri. Lamat-lamat terlihat wajahnya menjadi cerah.
"Aku tahu siapa orang yang bisa melihat benda apa yang ada di dalam Patung Kepala Singa. Tri Sari... sekarang kau ikut denganku ke Bukit Kubur! Kita akan menjumpai dan meminta pertolongan Dewa Suci." Karena merasa percaya pada Bidadari Tangan Bayangan, Tri Sari menganggukkan kepalanya.
Kejap kemudian, dia sudah menyusul kelebatan tubuh Bidadari Tangan Bayangan. Dan saat itu pula, tempat tadi didera sunyi kembali. Meninggalkan beberapa pohon tumbang dan tanah serta ranggasan semak belukar yang telah hancur.
Pada saat yang bersamaan, satu sosok tubuh sedang hentikan kelebatannya di sebuah jalan setapak.
Di kanan kirinya dipenuhi ranggasan semak belukar.
Tatkala sinar rembulan berhasil membebaskan diri dari kukungan awan hitam, nampak sosok tubuh yang mengenakan pakaian warna hijau itu sedang garukgaruk kepalanya. Lalu menyampirkan kain bercorak catur yang agak turun pada lehernya.
"Betul-betul bikin pusing!" makinya jengkel.
"Ke mana perginya Bidadari Tangan Bayangan sampai sekarang belum kuketahui. Hmmm... jangan-jangan dia sudah bertemu dengan si Kepala Besi dan membuat perhitungan yang sebenarnya tak diperlukan. Tetapi, kata-kata Nyi Dungga Ratih juga mengarah pada Kepala Besi. Bisa jadi kalau sebenarnya memang lelaki itulah yang telah lakukan pembantaian...." Untuk sesaat Andika terdiam. Sepasang matanya yang tajam memperhatikan sekelilingnya. Kegelapan menghentak dan beberapa burung malam beterbangan dengan keluarkan suara yang cukup mengerikan.
Lalu mendadak saja terlihat sepasang mata pemuda dari Lembah Kutukan ini membuka lebih lebar.
Menyusul dia membatin dalam hati, "Hmmm... aku menangkap satu gerakan dibelakangku. Begitu lembut sekali pertanda orang ini tengah kerahkan ilmu peringan tubuhnya." Pendekar Slebor tetap berdiri di tempatnya sementara indera pendengarannya yang terlatih itu semakin dipertajam. Bahkan kali ini dia menangkap desahan napas yang betul-betul sangat pelan.
"Siapa orang ini" Mengapa dia pakai bersembunyi segala" Bila kedatangannya dengan cara seperti ini, aku akan mengagetkannya...." Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera rentangkan kedua tangannya ke samping kanan dan kiri dengan keluarkan suara, "Aaaaah.... ngantuk betul nih! Tetapi, kalau aku tidur di sini, bisa-bisa ada ular buduk lapar yang akan menerkamku!" Di balik ranggasan semak belukar, sepasang mata tajam yang memperhatikannya mendengus dalam hati.
"Kurang ajar! Nampaknya dia tengah mengejekku! Keparat! Bila aku tidak membutuhkannya, sudah kupatahpatahkan lehernya! Tetapi... rasa-rasanya tidak mungkin dia mengejekku. Apa yang dikatakannya tadi bisa jadi hanya kebetulan belaka! Hmmm...
biar bagaimanapun juga, aku harus mempergunakan tangannya untuk mendapatkan Patung Kepala Singa." Sejarak delapan langkah, Pendekar Slebor menepuk-nepuk mulutnya.
"Busyet! Kok justru malah semakin mengantuk"!" serunya keras-keras. Lalu garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Mak dirabit!" gerutunya kemudian dengan kata yang diucapkan semau jidatnya saja.
"Lebih baik aku cari tempat untuk tidur saja, ah! Masa bodoh dengan segala urusan! Toh tidak membuat perutku kenyang!!" Seperti benar-benar telah diserang rasa kantuk dan lelah, pemuda berbaju hijau pupus ini segera berkelebat ke depan. Gerakannya sungguh cepat sekali.
Sesungguhnya, Andika bermaksud untuk mengejutkan si pengintip. Dengan kerahkan ilmu peringan tubuhnya, Andika berharap orang yang mengintip itu akan mengejarnya. Kemudian dia akan berbalik menunggu sekaligus mengejutkan orang itu.
Andika memang menangkap satu gerakan yang mengikutinya. Diam-diam dia tersenyum dalam hati.
"Kau akan terkejut nanti!!" Tetapi justru dia yang terkejut. Karena setelah yakin kalau orang yang mengintip itu mengikutinya, mendadak saja Andika justru jejakkan kaki kanannya ke tanah. Serta merta tubuhnya melenting balik di udara, ke tempat semula.
Gerakan yang diperlihatkan sangat cepat dan menakjubkan. Paling tidak, sekarang dia telah berada di belakang si pengintip.
Namun yang terjadi, justru Andika tidak melihat siapa pun di hadapannya!! Untuk sesaat pemuda urakan ini melongo seperti sapi ompong dengan mulut membuka mendapati hasil yang dilakukannya. Lalu nampak dia garuk-garuk kepalanya.
"Busyet! Jangan-jangan yang mengikutiku itu bukan manusia... tetapi sebangsa jin penunggu tempat ini....
Hiiii.... Bisa mati konyol kalau aku dicekiknya!!" Kendati mulutnya berbunyi demikian, namun sesungguhnya pemuda ini tak takut sedikit pun. Lalu dengan suara tangan kanan kiri yang ditempelkan pada kedua pipinya dan membentuk sebuah corong, dia berseru konyol, "Hoooiii!! Bila kau sebangsa jin jelek yang suka mengganggu orang, silakan nongol! Kalau kau ternyata cuma manusia sebangsa cecunguk, lebih baik pulang saja menetek pada ibumu!!" Suaranya menggema cukup keras, membuat beberapa ekor hewan malam berlarian kembali ke sarangnya. Lalu terdengar lagi suaranya, "Eh! Apa tidak terba-lik tadi" Kalau benarbenar jin yang menggangguku, bisa mati kelenger nih! Hoooiiii! Nggak jadi! Nggak jadi! Bila kau ternyata jin serem, silakan pulang ke kampung halamanmu! Tetapi bila kau ternyata manusia jelek, silakan nongol!" Kata-kata konyolnya itu kembali menggema. Namun tak satu sosok tubuh pun yang keluar.
Kali ini diam-diam Andika membatin, "Menilik cepatnya orang ini bergerak, sudah tentu dia bukan orang sembarangan! Tetapi apa maunya dia yang datang dengan cara diam-diam dan menghilang begitu! hendak kujebak"!" Memang sulit untuk mendapatkan jawaban atasi pertanyaannya. Kali ini, pemuda berotak encer ini berkata dalam hati, "Lebih baik... kutinggalkan saja tempat ini sekarang.... Barangkali saja dengan cara begitu, orang yang mengintipku akan terus membuntuti. Huh! Rasanya sudah tidak sabar ingin kujitak kepalanya yang sudah tentu penjol itu!!" Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya dan senyum-senyum sendiri, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Di satu tempat yang tersembunyi, si pengintip yang ternyata memiliki ilmu peringan tubuh sebanding yang dimiliki Pendekar Slebor berkata dalam hati di balik ranggasan semak belukar setinggi dada, "Gila! Hampir saja aku terjebak permainannya tadi! Tetapi masih untung aku bisa bertindak sigap! Bila tidak, urusan akan semakin membentang. Biar bagaimanapun juga, aku yakin kalau pemuda konyol itu mengetahui tentang Patung Kepala Singa! Huh! Patung itu harus kukuasai! Karena menurut kabar yang kudengar, di dalam patung itu terdapat daun-daun yang di atasnya tertulis sebuah ilmu langka tiada banding!" Setelah menunggu beberapa saat, si pengintip kemudian memutuskan untuk kembali mengikuti Pendekar Slebor. Gerakan yang diperlihatkannya tadi sungguh luar biasa. Bila seseorang melompat keluar dari balik ranggasan semak, paling lidak ranggasan semak belukar itu akan bergoyang. Terkena bagian tubuhnya atau terkena angin lompatannya. Akan tetapi, semak belukar itu tetap tak bergerak sama sekali! Kalaupun bergerak, itu disebabkan oleh belaian angin yang bertiup.

***
«⸗⸗⸗┌ 6 ┘⸗⸗⸗»

Angin berdesau dingin. Berlarian dari satu pohon ke pohon lain, menggugurkan dedaunan, bergalayutan sejenak di hamparan semak belukar, lalu berdesir lagi menjauh. Jalan setapak yang sunyi itu semakin ditim-bun kesunyian mencekam. Hanya suara beberapa ekor burung yang terdengar lalu beterbangan. Matahari kembali muncul dari ufuk timur. Entah kali yang keberapa matahari muncul dari tidurnya semenjak dimulainya kehidupan ini. Dan setiap pergerakan matahari adalah waktu. Entah kali keberapa pula waktu telah menggilas dan meninggalkan manusia dalam kehidupan ini. Pendekar Slebor tiba di sebuah sungai yang airnya mengalir cukup deras. Di tengah-tengah sungai itu terdapat beberapa buah batu besar.
Pemuda ini segera hentikan gerakannya di tepi sungai itu. Dia tak segera arahkan pandangan ke belakang, untuk meyakinkan apakah orang yang mengikutinya masih terus melakukan aksinya. Kendati demikian, Pendekar Slebor tetap menduga kalau orang itu masih mengikutinya.
"Kura-kura peot! Aku jadi makin penasaran ingin mengetahui siapa orang itu! Tetapi, rasa-rasanya aku mulai tidak mendengar gerakan maupun desah nafasnya.
Meskipun begitu, aku yakin dia masih mengikuti-ku. Busyet! Kenapa ya dia mengikutiku" Jangan-jangan... yang mengikutiku itu seorang gadis manis yang tergila-gila akan kegantenganku" Wah! Kalau ta-hu begitu, tadi ku usahakan untuk mencarinya. Kan asyik... wah! Bagaimana kalau ternyata yang mengikutiku cuma seorang nenek yang kegatelan"! Ih! Sebenarnya tubuhku sudah lengket oleh keringat! Tetapi bagaimana kalau aku sedang mandi kemudian ternyata nenek yang mengikutiku mengintip" Wah! Tidak jadi mandi deh!" Kali ini dia putar tubuhnya dan diperhatikan sekelilingnya. Tahu-tahu pemuda urakan ini berteriak keras, "Hoooiiii!! Kalau mau meminta tanda tanganku keluar saja! Tidak usah malu-malu!!" Tak ada sosok tubuh yang keluar. Karena, memang tak ada yang mengikutinya lagi. Rupanya, orang yang mengikuti Pendekar Slebor sengaja mengurungkan niatnya tatkala dilihatnya satu sosok tubuh tinggi besar berkepala plontos berkelebat cepat sejarak sepuluh tombak di samping kanannya. Dalam sekali lihat saja, orang ini yakin kalau yang berkelebat itu adalah si Kepala Besi. Untuk sejenak orang ini menjadi agak ragu-ragu.
Siapakah yang harus diikutinya" Namun setelah mempertimbangkan agak lama, dia justru berkelebat menyusul perginya si Kepala Besi yang sengaja menghindari Bidadari Tangan Bayangan tatkala terjadi benturan keras.
Sementara itu, Pendekar Slebor masih bcrteriakteriak keras.
"Hoooiiiii!! Di sini banyak ikannya!! Mendingan di sini saja! Hoooiiii!!!" Setelah berulang kali berteriak dengan seruan yang tak tahu juntrungannya, justru yang muncul dua orang lelaki bertampang mengerikan yang berusia kira-kira lima puluh tahun.
Saat itu pula Pendekar Slebor arahkan pandangannya. Sejenak dia terdiam. Kendati demikian, mulutnya cengar-cengir saja (sok kecakepan).
Dua lelaki yang baru datang itu tak berkedip memandang ke arahnya. Wajah masing-masing orang yang mengenakan pakaian warna biru gelap itu tidak ramah. Di dada masing-masing terdapat dua selendang bersilangan warna putih.
Orang yang berdiri di sebelah kanan, yang berkumis baplang itu keluarkan suara setelah pandangi te-mannya, "Pemuda berpakaian hijau! Ada urusan apa kau berteriak-teriak seperti orang gila, hah"!" Pendekar Slebor tak segera menjawab. Dia justru makin perlihatkan cengirannya.
Lalu katanya dengan kedua tangan disatukan di belakang pinggul, "Heran! Kenapa yang muncul dua orang, ya"! Apa belum cukup umur untuk menghada-piku seorang diri?" Sudah tentu kedua orang itu keheranan mendengar kata-kata Andika. Kendati mereka keheranan, namun mereka tak suka mendengar kata-kata yang diucapkan dengan sikap keblinger itu. Kedua lelaki berpakaian biru gelap ini bukanlah orang baik-baik. Mereka dikenal dengan julukan Dua Iblis Lorong Maut, yang telah lama malang melintang di rimba persilatan ini dengan tindakan telengas yang selalu mereka perlihatkan. Dan kalaupun mereka keluar dari Lorong Maut di mana mereka berasal, karena mereka hendak mencari Patung Kepala Singa.
Si kumis baplang yang bernama Gendala Maung, kembali keluarkan suara, "Pemuda aneh! Sikapmu sungguh keterlaluan sekaligus mengherankan! Tetapi peduli setan dengan apa yang kau katakan tadi! Kare-na, bila kau bisa jawab pertanyaan kami, maka kau akan dapat melihat rembulan nanti malam!" Andika yang masih menyangka kalau salah seorang dari mereka itu orang yang membuntutinya tadi, kali ini mengangkat sepasang alisnya yang hitam legam dan seperti kepakan sayap elang.
"Busyet! Apakah nanti malam kedua mataku akan jadi buta bila tak bisa menjawab pertanyaanmu hingga tak bisa melihat rembulan" Wah! Jangan bicara sembarangan!" Mendapati sahutan seperti itu, Gendala Maung tertawa lebar, keras dan bertalu-talu. Andika bukannya tidak merasakan kalau dalam suara itu mengandung gelombang tenaga dalam yang akan memaksanya surut bila dia tidak segera bertindak dengan menamengkan dirinya dengan tenaga dalam pula.
Di sela-sela tawanya si kumis baplang keluarkan kata, "Baru kali ini kutemui pemuda tolol! Bila kau memang menghendaki kedua matamu menjadi buta, akan kulakukan bila kau bisa menjawab pertanyaanku! Tetapi bila tidak, kau harus mampus!!" Masih mengangkat-angkat alisnya seperti sakit mata, Andika cuma nyengir saja. Diam-diam dia berka-ta dalam hati, "Merasakan tenaga dalam yang dipa-merkan melalui tawanya tadi, memang cukup mengkederkan. Tetapi aku yakin, kalau bukan salah seorang dari kedua orang ini yang membuntutiku. Karena dari gerakannya, orang yang membuntutiku dapat kuyakini memiliki tenaga dalam melebihi tenaga dalam yang dimiliki kedua orang ini." Kejap kemudian dia berkata, "O... jadi maksudnya aku akan mampus bila tidak bisa menjawab pertanyaanmu" Kalau begitu, cepat tanya deh. Mumpung aku lagi mau menjawab nih!" Bukan si kumis baplang yang segera keluarkan suara, melainkan si wajah tirus yang bernama Ganda Maung yang sejak tadi sudah mengkelap mendengar setiap kata-kata Andika.
"Pemuda keparat! Katakan pada kami, apakah kau tahu di mana Pendekar Sutera berada"!" Andika tak segera menjawab, justru dia berkata dalam hati, "Menilik pertanyaannya... jangan-jangan ini ada hubungannya dengan Patung Kepala Singa" Hmm... aku harus berhati-hati." Kemudian sambil menganggukkan kepalanya, pemuda yang di lehernya melilit sebuah kain bercorak catur ini berkata, "Aku pernah mendengar julukan itu!" "Di mana dia berada sekarang?" sambar Ganda Maung tak sabar.
"Kalau kau tanyakan soal itu, jelas mudah jawabnya. Dia sudah berada di surga!" "Apa maksudmu, hah"!" "Lelaki perkasa itu telah tewas dalam satu pembantaian yang hingga saat ini belum diketahui siapa orangnya!!" Mendapati jawaban Andika, kedua orang itu saling pandang. Pancaran mata masing-masing orang jelas tak mempercayai kata-kata Andika.
Ganda Maung kembali arahkan pandangannya dan berkata, "Kau tak tahu siapa yang membunuhnya, atau... kau telah menyembunyikan apa yang kami ca-ri"!" "Dia sudah mengarah pada benda itu," kata Andika dalam hati dan berkata, "Apa maksudmu dengan yang kalian cari"!" "Jangan berlaku bodoh! Sekarang katakan padaku... di mana Patung Kepala Singa yang telah kau rampas"!" Seperti baru menyadari maksud orang Andika menyahut, "Patung Kepala Singa" Wah! Tentunya itu sebuah benda yang sangat langka karena kalian nampak begitu tak sabar untuk memilikinya! Betul tidak"!" "Jangan banyak omong! Serahkan benda itu kepada kami!" Andika menggeleng-gelengkan kepalanya seraya membatin, "Jelas kalau mereka memang termasuk salah seorang yang menginginkan Patung Kepala Singa.... Tetapi tidak seperti yang diinginkan oleh Bidadari Tangan Bayangan dan Nyi Dungga Ratih. Kedua perempuan itu menghendaki Patung Kepala Singa untuk diselamatkan." Kemudian katanya, "Terus terang, benda yang kalian cari itu tidak ada padaku! Justru aku sedang mencari siapa orang yang harus bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit!!" Gendala Maung membuka mulut, "Huh! Rupanya kau termasuk salah seorang yang pandai bersilat lidah! Tetapi sayangnya, kau berhadapan dengan Dua Iblis Lorong Maut!" Habis kata-katanya, lelaki berkumis baplang ini sudah melompat ke muka. Tangan kanan kirinya siap lepaskan jotosan. Sementara angin menderu keras saat tubuhnya melesat.
Andika yang sudah perhitungkan serangan itu buang tubuhnya dan tangannya dengan sigap lancarkan satu pukulan ke bagian iga lawan. Namun dengan gerakan yang aneh, lawannya mampu menangkis serangan itu. Bukan dengan tangan, melainkan dengan kaki. Padahal sungguh sulit untuk menangkis serangan itu dengan mempergunakan kaki! Des! Andika mundur dua langkah.
"Gila! Jurus apa yang diperlihatkannya ini?" desisnya dalam hati.
Sementara itu, Gendala Maung juga terkejut. Karena, jarang orang yang bisa menghindari sekaligus memapaki serangan pembuka yang dilakukannya tadi.
Sebelum dia siap lakukan serangan berikut, terdengar suara Ganda Maung, "Tahan seranganmu!!" Sambil rapatkan mulutnya, lelaki kejam berwajah kelimis ini arahkan pandangannya pada Andika. Sejenak dia seperti mengingat-ingat sesuatu. Kemudian .serunya, "Pemuda jahanam! Apakah salah... bila kukatakan kau adalah Pendekar Slebor?" Andika cuma mengangkat kedua bahunya.
"Wah! Kalian boleh kok menyebutku seperti itu! Tetapi... saat menyebut 'Slebor', ya... jangan keras-keras!! Malu kalau didengar tetangga!" Ganda Maung yang memang mengarahkan ingatannya tentang siapa pemuda ini, keluarkan dengusan keras mendengar sahutan si pemuda.
"Huh! Jadi Pendekar Slebor yang menjual lagak di hadapanku! Bagus! Gendala Maung... biar aku yang hadapi pemuda konyol ini!!" Sementara Gendala Maung mundur tiga langkah ke belakang, Ganda Maung maju tiga langkah. Digerakkan lehernya yang segera terdengar suara, "Krak! Krak!" Lalu disentak-sentakkan kedua tangannya ke depan yang kembali keluarkan suara seperti tadi.
"Aku ingin tahu seperti apa kebisaan pemuda yang banyak dibicarakan orang!!" "Wah! Kalian kan sudah tahu, nih! Kalau yang dalamnya, sih.... ya jangan!" sahut Andika nyengir.
"Hhh! Kami tak segan-segan turunkan tangan telengas kepadamu! Tetapi... kau bisa memikirkannya lebih baik untuk menyerahkan Patung Kepala Singa pada kami!" Ancaman itu jelas bukan ancaman kosong.
Sayang yang dihadapi keduanya adalah Pendekar Slebor yang dalam keadaan bagaimanapun masih tetap bertingkah seenaknya. Kata-kata itu hanya disambuti dengan senyuman mengejek, sementara otaknya berpikir, "Sulit menghindarinya sekarang sementara Bidadari Tangan Bayangan jelas sudah tak bisa dikejar lagi.
Mudah-mudahan dia belum membuka urusan dengan Kepala Besi!" Tetapi, sebelum Andika buka mulut, Ganda Maung yang gusar tadi, sudah kelebatkan tubuhnya.
Desingan angin bak topan prahara menderu dahsyat ke arah Andika yang cepat menghindar. Namun serangan itu datang susul menyusul, bahkan dilakukan dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan sekaligus.
"Benar-benar hebat!" puji Andika sambil terus menghindar. Dan dengan satu gerak tipu yang manis, Andika bisa menyusup masuk dan siap hantamkan pukulan yang telah dialirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat kesepuluh. Gendala Maung kelihatan terkejut mendapati serangan yang cepat itu. Sambil kertakkan rahangnya, lelaki berkumis baplang ini langsung memutar tubuh dan lepaskan tendangannya.

***
«⸗⸗⸗┌ 7 ┘⸗⸗⸗»

Des! Jotosan yang dilepaskan Andika terpapaki oleh kaki kanannya. Seperti mendapatkan satu gerak lowong yang bisa dipergunakan, mendadak saja Gendala Maung gerakan kedua tangannya.
Wusss! Wusss!! Serta merta menderu dua gelombang angin deras yang keluarkan suara menggemuruh. Andika yang baru saja mundur nampak tercekat. Tak mau berakibat konyol, dia segera putar tubuhnya dan melompat ke samping kanan. Blaaarrr!! Tanah di mana Andika berdiri tadi seketika terbongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara.
Belum lagi tanah itu sirap, mendadak terdengar gemuruh angin kembali yang menerobos gumpalan tanah.
Rupanya Ganda Maung mempergunakan kesempatan itu untuk lepaskan serangan. Hanya dengan jejakkan kaki kanannya, sosok Pendekar Slebor sudah mencelat ke samping kiri.
Blaaarr! Untuk kedua kalinya terdengar letupan keras dan terbongkarnya tanah ke udara.
"Hmmm... aku bisa mati konyol kalau terus menerus menghindar," pikir Andika sambil bersiaga.
Tatkala semuanya sirap, dilihatnya Dua Iblis Lorong Maut telah berdiri tegak berdampingan. Pancaran mata masing-masing orang tajam dan kejam.
Ganda Maung berseru, "Tunjukkan pada kami, di mana Patung Kepala Singa kau simpan"!" "Itu sih gampang banget! Seingatku, benda itu kusimpan di kepala salah seorang dari kalian! Tetapi aku lupa... kepala siapa"! Lebih baik kalian ketok saja kepala kalian satu sama lain!" Mendengar kata-kata itu, kedua orang itu saling pandang dengan wajah mengkelap dan tinju dikepalkan. Seperti disepakati, kejap itu pula masing-masing orang segera meluruk dengan gerakan seperti meluncur diiringi teriakan keras.
"Heaaaa!!" "Yeaaaa!!" Andika mendengus lalu bergulingan menghindari serangan ganas yang dilakukan serempak itu. Gulingan tubuhnya bukan ke belakang, melainkan ke depan. Kaki kanannya menyepak kaki Gendala Maung, dan langsung melompat dengan pencalan satu kaki ke arah Ganda Maung.
Ganda Maung tak mau tubuhnya dijadikan sasaran empuk serangan Andika. Selagi Andika melompat ke arahnya, dibuang tubuhnya ke kiri dan mendadak saja terdengar angin dahsyat berdesingan.
Dengan gerakan yang menakjubkan lelaki berwajah kelimis namun sorot matanya kejam itu, berbalik dengan posisi kepala di bawah. Gerakan yang menakjubkan itu disusul dengan bergeraknya kedua kakinya laksana baling-baling. Angin dahsyat segera menderu hebat.
Serta merta terdengar suara yang sangat mengerikan. Menggugurkan dedaunan. Menerbangkan kerikil dan debu-debu secara serempak. Bukan hanya sampai di sana saja akibat dari gemuruh angin itu.
Beberapa ranggasan semak belukar tercabut dan berpentalan. Ranting dan dahan pohon patah, lalu bertabrakan satu sama lain.
Andika yang sudah membuang tubuhnya merasa wajahnya bagai ditampar dari jauh. Selagi Andika ke-repotan menghindari serangan Ganda Maung, Gendala Maung sudah kirimkan jotosan berkali-kali.
Mendapati serangan dua lawan yang demikian gencar, tak ada jalan lain kecuali memotong setiap serangan. Di saat Gendala Maung gulingkan tubuh ke arahnya, Andika lakukan satu tindakan yang menakjubkan. Dengan ringannya dia melompat dan menjadikan tubuh Gendala Maung sebagai tumpuan. Gerakan semacam itu tak mungkin bisa dilakukan bila tidak memiliki ilmu peringan tubuh dan kecepatan yang tinggi.
Bersamaan tubuhnya melenting dari tubuh Gendala Maung, dengan kerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat ke-tiga, disongsongnya serangan Ganda Maung yang masih menderu dengan kedua kaki di atas dan bergerak bagai baling-baling.
Sergapan yang dilakukan Andika benar-benar harus matang. Bila dia lengah sedikit saja, kepalanya akan menjadi sasaran empuk serangan Ganda Maung.
Dengan cepat, dia merunduk hingga gebrakan kedua kaki lelaki berwajah kelimis itu lolos dari sasarannya.
Lalu didekatkan tubuhnya pada Ganda Maung yang sulit untuk menjauh.
Pada saat yang bersamaan, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera lepaskan jotosan. Des! Des! Terdengar pekikan tertahan dan menyusulnya sosok Ganda Maung mencelat ke belakang. Tanpa ampun lagi, dengan kedudukan kepala masih berada di bawah, tubuhnya menghantam sebuah pohon besar.
Andika sendiri bergulingan ke belakang dan berdiri tegak. Wajahnya yang tampan nampak berkerut, nyeri menahan sakit. Sementara Gendala Maung menggeram murka melihat sahabatnya yang telah lama malang melintang di rimba persilatan ini dengannya menjadi sasaran hantaman Andika. Dengan gerengan keras dia sudah menggebrak kembali, menyusul Ganda Maung yang sudah bangkit sambil menahan sakit. Tak dipedulikannya apa yang dirasakan tadi. Prinsipnya, dia harus membalas setiap serangan lawan. Mendapati ganasnya serangan lawan, Andika pun tak mau bertindak setengah-setengah. Segera saja dialirkan ajian 'Guntur Selaksa'. Bersamaan itu pula dia segera mencelat ke depan, menyongsong dua serangan ganas lawan-lawannya.
Dua buah tenaga yang dijadikan satu, berbentrokan dengan tenaga ajian 'Guntur Selaksa' milik Pendekar Slebor.
Akibatnya sungguh mengerikan. Suara keras berdentum dua kali. Dari benturan itu mengepul asap hitam yang pekat. Tubuh Andika terlempar ke belakang lima tombak. Sementara dua tokoh dari Lorong Maut ini mengalami nasib serupa. Bahkan Ganda Maung yang masih menahan sakit tadi, tak bisa bangkit kembali.
Karena kepalanya telak terhantam ajian 'Guntur Selaksa' yang dilepaskan Andika tadi.
Mendapati Ganda Maung tewas, Gendala Maung menjerit keras sambil memelukinya. Dia menjerit-jerit seperti seekor serigala yang melihat kematian kekasihnya. Kepedihan itu lamat-lamat berubah menjadi kegeraman tinggi.
Seketika kepalanya ditolehkan. Sorot matanya laksana kobaran api yang siap membakar siapa saja.
Bahkan untuk sesaat Andika merasa ngeri melihatnya.
"Pemuda keparat! Perhitungan akan dimulai lagi kelak!!" serunya dengan suara menggelegar. Pendekar Slebor cuma terdiam dengan dada kembang kempis. Sungguh, dia tak mengharapkan kematian Ganda Maung. Akan tetapi, bila dia tidak bertindak, tak mustahil dirinya yang akan menemui kematian karena kedua orang itu sudah tentu tak akan membiarkan dirinya selamat.
Sementara itu, lamat-lamat Gendala Maung berdiri sambil membopong tubuh sahabatnya. Diputar tubuhnya hingga menghadap ke arah Pendekar Slebor.
"Kali ini... kau menang, Pendekar Slebor! Tetapi sekarang... bukan hanya Patung Kepala Singa yang kuinginkan... tetapi juga nyawamu!!" Habis kata-katanya, lelaki berkumis baplang ini segera putar tubuh kembali. Kejap itu pula tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu dengan membopong mayat Ganda Maung.
Sepeninggal orang-orang itu, Andika menarik napas panjang masygul.
"Patung Kepala Singa... sebuah benda yang ternyata akan banyak menimbulkan korban.... Hmm, berada di tangan siapakah Patung Kepala Singa itu" Satu hal lagi... siapakah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit?" Tak ada suara yang terdengar, karena dia memang hanya seorang diri di sana.
Setelah terdiam beberapa saat, Pendekar Slebor pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu pada arah yang berlawanan yang dilalui Gendala Maung tadi. Tempat itu kembali diselimuti sepi.

****

Lima belas tarikan napas telah berlalu. Tempat di mana bertarungnya Pendekar Slebor dengan Dua Iblis Lorong Maut tadi, semakin dirajai kesunyian dalam. Di angkasa, arakan awan putih mendadak menjelma menjadi gumpalan awan hitam. Rambatan matahari yang kian meninggi, seolah tak mampu tembusi timbunan awan hitam, hingga suasana di sana seperti redup.
Selang beberapa saat, satu sosok tubuh tiba di tempat itu. Sosok seorang gadis berparas jelita dengan sepasang mata jernih dan hidung bangir. Bibir gadis berambut dikuncir ekor kuda ini tipis memerah, terkatup rapat saat sepasang mata jernihnya memandangi tempat yang sebagian telah berantakan itu.
Gadis berambut dikuncir dua ini mengenakan pakaian ringkas warna biru kehijauan. Lamat-lamat pancaran matanya yang agak heran mendapati tempat yang telah porak-poranda ini, mulai membesar dengan kening dikernyitkan.
"Aneh! Apakah aku tidak salah melihat keadaan di sini" Jangan-jangan... tempat ini tadi telah didatangi serombongan gajah liar"!" batinnya dengan hati bertanya-tanya.
Lalu gadis ini maju dua langkah ke muka, berdiri tepat di depan tanah yang telah membentuk sebuah lubang.
"Sekalipun gajah-gajah liar itu cukup banyak, namun tak mungkin rasanya bisa membuat lubang yang cuma satu buah ini. Hmmm.. tentunya telah terjadi pertarungan di sini" Siapa kira-kira mereka?" Kembali gadis jelita ini terdiam. Tangan kanannya diangkat dan memegang alisnya yang hitam. Gadis yang memang selalu bersikap seperti itu bila sedang berpikir ini tak membuka mulut untuk beberapa lama.
Kejap kemudian dia menarik napas pendek.
"Hmmm... ke mana lagi aku harus mencari Guru?" desisnya kembali dengan tangan diturunkan kembali dari alis matanya, "Sampai saat ini... aku tak mengerti sebenarnya, mengapa Guru justru menyuruhku untuk lebih memperdalam lagi ilmu 'Bayangan Bulan Pijarkan Matahari'. Padahal Guru sendiri tahu kalau aku sudah sangat lihai akan ilmu itu. Tetapi...." Si gadis memutus kata-katanya sendiri. Lalu nampak kepalanya manggut-manggut.
"Kini aku tahu apa maksud Guru sebenarnya. Dia menyuruhku berlatih, sementara dia meninggalkanku.
Tentunya... ini ada hubungannya dengan orang yang datang mengundangnya ke Kuil Putra Langit di mana Pendekar Sutera berada. Tetapi... mengapa dia harus menyingkirkanku lebih dulu?" Siapa sebenarnya gadis jelita ini" Dia bernama Nawang Wangi, murid tunggal Bidadari Tangan Bayangan. Memang, setelah menerima kehadiran utusan dari Pendekar Sutera, Bidadari Tangan Bayangan langsung memanggil muridnya itu. Sesungguhnya, Bidadari Tangan Bayangan sedikit banyaknya sudah merasa kalau undangan yang disampaikan utusan Pendekar Sutera itu sehubungan dengan Patung Kepala Singa yang pernah didengarnya.
Bidadari Tangan Bayangan tak mau kalau muridnya terlibat dalam urusan ini. Karena menurutnya, muridnya belum layak untuk turut terlibat dalam setiap masalah yang sangat memusingkan.
Saat itu, Nawang Wangi sebenarnya hendak bertanya lebih lanjut. Tetapi gadis ini tak membantah perintah gurunya kendati dia sudah sangat lihai mempergunakan ilmu 'Bayangan Bulan Pijarkan Matahari'.
Setelah tujuh hari berlatih, Nawang Wangi pun kemba-li ke tempat semula.
Dia tak terlalu heran tatkala tak mendapati gurunya berada di tempat biasa. Karena keadaan seperti ini sebenarnya sering terjadi kendati terkadang gurunya lebih sering mengatakan ke mana tujuannya.
Namun kali ini, gurunya tak mengatakan tujuannya. Nawang Wangi semula mencoba tak peduli. Tetapi entah mengapa, gadis yang memiliki perasaan peka ini seolah menangkap gejala yang tak enak. Terutama mengingat ada seseorang yang meminta gurunya pergi ke Kuil Putra Langit.
Di samping itu, sebenarnya Nawang Wangi cukup lama berkeinginan untuk melihat dunia luar. Makanya kali ini, dengan menindih segala perintah gurunya, dia pun mulai melangkah meninggalkan Lembah Pinus.
Hatinya memang gembira melihat keadaan yang sungguh jarang dilihatnya. Namun setelah dua hari meninggalkan tempat, gadis ini merasa tidak enak. Ke-rinduannya mulai timbul terhadap gurunya. Dan dia cukup dibuat gelisah sendiri dengan tindakannya ini.
"Ah... tak seharusnya aku meninggalkan Lembah Pinus yang sebenarnya lebih banyak dikarenakan keinginanku untuk melihat dunia luar selain Lembah Pinus...," desisnya resah. Gadis ini sejenak terdiam sambil pandangi sekitarnya.
Kemudian dia berkata la-gi, "Tetapi... untuk kembali ke Lembah Pinus... aku tidak tahu lagi ke mana jalan yang harus kutempuh.
Sebaiknya, kuteruskan saja langkahku. Mudahmudahan aku bisa menemukan di mana Kuil Putra Langit berada" Memutuskan demikian, gadis berambut dikuncir dua ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Setelah lalui perjalanan sepenanakan nasi agak menjauh dari tempat semula, Nawang Wangi kembali hentikan langkahnya. Saat itu timbunan awan hitam yang terus berarak rupanya tak kuasa lagi untuk menahan isi perutnya. Didahului suara salakan petir, hujan deras pun turun! "Celaka! Aku bisa basah kuyup!" seru si gadis dan seketika berlari untuk mencari tempat berteduh. Karena tak menemukan bangunan atau gubuk yang bisa dijadikan tempat berteduh, Nawang Wangi memutuskan untuk berteduh di bawah sebuah pohon.
Dikerahkan sedikit hawa murninya guna menahan dingin yang cukup menusuk. Kilat sambar menyambar dengan suara petir yang menggelegar. Angin bertiup keras, menambah kengerian yang telah ada.
Mendadak saja petir menyambar pohon di mana Nawang Wangi berteduh. Gadis itu seperti tersentak tatkala merasakan aliran petir seperti bergerak dari atas pohon ke bawah.
Dengan gerakan cepat Nawang Wangi menghempos tubuhnya. Dia memang berhasil untuk hindari sambaran petir yang tak mustahil akan mengarah padanya. Namun tumbangnya pohon itu akibat sambaran petir, sukar untuk dielakkan.
Tercekat gadis ini tatkala menyadari gerakannya agak terlambat hingga pohon besar yang tumbang itu siap untuk menindihnya! Namun sebelum dia mengalami nasib konyol, seperti dihembus angin. Dan....
Pohon yang tumbang itu ambruk dengan suara nindih ranggasan semak belukar.

***
«⸗⸗⸗┌ 8 ┘⸗⸗⸗»

Gerakan bayangan yang menyambar tubuh Nawang Wangi berhenti sejarak lima tombak dari jatuhnya pohon besar itu. Sekujur tubuh bayangan hijau itu pun basah kuyup. Nawang Wangi yang berada dalam bopongannya, untuk sesaat masih tertegun, seolah tak menyadari apa yang terjadi.
Namun kejap berikutnya, murid Bidadari Tangan Bayangan ini tersentak tatkala menyadari tubuhnya berada dalam bopongan seorang pemuda.
"Oh!!" Dengan gerakan lincah gadis ini melompat dari bopongan si pemuda yang untuk sesaat nampak terkejut melihat cara si gadis melompat, namun kemudian sudah cengar-cengir sambil garuk-garuk kepalanya.
Bila saja merasa tidak diselamatkan, sudah tentu Nawang Wangi akan marah besar karena mendapati tubuhnya berada dalam bopongan pemuda yang tak dikenalnya. Dan dia sendiri agak kikuk tatkala melihat betapa tampannya wajah pemuda itu, yang memiliki sorot mata tajam namun jenaka.
Untuk sesaat hati Nawang Wangi agak bergetar.
Keadaan seperti itu memang tak mengherankan. Karena selama ini, yang dikenal Nawang Wangi hanyalah gurunya seorang. Kalaupun dia mengenal pemudapemuda lain, hanya berkisar yang tinggal di sekitar Lembah Pinus.
Tetapi gadis yang memiliki hati tegar ini buru-buru segera tindih perasaannya.
Sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada dia berkata, "Terima kasih atas pertolonganmu...." Si bayangan hijau yang tak lain Pendekar Slebor adanya cuma nyengir.
"He he he... kebetulan saja aku berada tak jauh darimu. Lagi pula... siapa sih orangnya yang tidak akan menolongmu dan menyia-nyiakan untuk bisa membopongmu?" Selorohan konyol itu sebenarnya dapat memancing kemarahan Nawang Wangi. Namun begitu dilihatnya kalau si pemuda tak memiliki nafsu birahi saat berkata-kata, gadis yang sesungguhnya memiliki sifat jenaka ini langsung membalas, "Seharusnya kau membayar! Tetapi ya... karena kau telah menolongku, kubiarkan gratis untuk kali ini...." Pendekar Slebor yang lagi-lagi gagal menemukan jejak Bidadari Tangan Bayangan, ketawa gede-gede.
Hanya karena gemuruh hujan yang keras itu saja suara tawanya yang jelek tak begitu kentara.
"Baru kali ini aku bertemu dengan pemuda yang agak keblinger.... Tetapi baguslah... barangkali dia ta-hu di mana Kuil Putra Langit yang kuyakini Guru berada di sana," kata si gadis dalam hati sambil memperhatikan pemuda di hadapannya. Tawa Pendekar Slebor pun lenyap. Dipandanginya pula gadis di hadapannya itu. Lalu tanyanya, "Dan kuharap... kau terus memberikan gratis untukku"!" "Boleh saja bila kau...." Kata-kata Nawang Wangi terputus tatkala terdengar suara keras Andika bersamaan dengan salakan petir yang menggelegar, "Heeeiiii!!" Nawang Wangi tercekat tatkala menyadari sebuah petir ganas telah menggebrak laksana cambuk ke arahnya. Sebelum petir itu menyambar hangus tubuhnya, Andika telah lakukan satu tindakan yang sangat mengejutkan. Dia cepat bergerak dan....
Tap! Srrrrrr!! Petir yang siap menghanguskan tubuh Nawang Wangi ditangkapnya! Terlihat sejenak bagaimana petir itu seperti pijaran api melilit dan masuk ke tubuhnya.
"Heeeiii!!" seru Nawang Wangi terkejut dan kelihatan dia berusaha menolong.
Namun alangkah terkejutnya gadis berkuncir dua ini tatkala mendapati Andika tak kurang suatu apa.
Bahkan dengan enaknya pemuda itu berseloroh, "Kenapa" Mau memelukku, ya?" Nawang Wangi yang masih tak mengerti sekaligus takjub melihat apa yang dialami pemuda berbaju hijau pupus itu, hanya terdiam dengan mulut terbuka. Lebih terkejut lagi tatkala dilihatnya si pemuda seperti sedang menahan napas. Lalu terlihat tangan kanannya digerakkan seperti melempar! Plaasss!! Laksana ada pijaran api yang melesat dari lemparan tangan si pemuda. Lalu....
Blaaaarrr!! Sebuah pohon langsung tumbang menggemuruh tatkala petir yang ditangkap Andika tadi dan dilempar-kan menghantamnya.
Sementara Nawang Wangi masih memandang tak percaya, Andika sedang menepuk-nepuk kedua tangannya seolah membersihkan dari kotoran dengan sikap enak saja.
"Kau?" desis Nawang Wangi tergugu.
Andika nyengir.
"Kenapa?" "Tidak... aku tidak apa-apa...," sahut Nawang Wangi bingung. Diam-diam dia menyadari siapa pemuda ini sebenarnya. Sudah tentu bukanlah pemuda yang bisa dipandang sebelah mata.
Andika membiarkan si gadis terdiam dulu. Setelah beberapa saat dan hujan semakin membasahi tubuh keduanya, dia berkata, "Apakah kau tidak ingin, mencari tempat berteduh?" Pada dasarnya, selain memiliki ketegaran, Nawang Wangi juga memiliki sifat jenaka. Ketakjubannya dengan apa yang dilihatnya tadi lamat-lamat menghilang.
Lalu dia berkata dengan nada jenaka, "Memangnya kenapa?" "Busyet! Tubuhmu akan semakin basah kuyup!" "Aku sudah terlatih dalam soal itu!" "Bukan itu masalahnya! Tetapi pakaianmu akan semakin lekat pada tubuh dan... he he he... tidak jadi, ah...," sahut Andika sambil garuk-garuk kepalanya yang basah.
Nawang Wangi yang tahu maksud omongan Andika tertawa. Lalu berkata seperti menantang, "Kenapa kalau pakaianku semakin lekat pada tubuhku" Aku tidak takut tersambar petir" Kan ada kau yang rupanya majikan petir-petir itu!?" Andika cuma nyengir kuda.
"Soalnya akan men....
Tidak jadi, ah!" "Hayo kenapa?" Ditantang seperti itu, pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini seperti mati kutu. Setelah nyengir sebentar berkata, "Lebih baik... kita cari tempat berteduh dulu. Baru kita bicarakan lagi!" "Itu juga lebih baik!" sahut Nawang Wangi. Dalam sekali lihat tadi, apalagi pemuda di hadapannya dua kali telah menyelamatkannya, murid Bidadari Tangan Bayangan ini tahu kalau pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur itu adalah pemuda baik-baik.
Makanya dia bersedia mengikutinya.
Sementara itu, bagi Andika sendiri, apa yang dilakukannya ini bukan dikarenakan dia suka perjalanannya didampingi seorang gadis. Melainkan dia tahu, dalam suasana seperti ini, tak mustahil banyak orangorang jahat yang siap menurunkan karmanya. Apalagi dalam sekali lihat pula dia tahu kalau gadis ini sedang kebingungan.
Namun mencari tempat berteduh sungguh tidak mudah. Tubuh keduanya semakin basah diguyur air hujan. Dan sialnya, tatkala mereka menemukan sebuah gubuk yang layak dijadikan tempat berteduh, hujan mendadak saja berhenti! "Kutu monyet!" maki Andika.
"Betul-betul busyet! Kalau tahu begini... tidak usah sibuk mencari-cari!" Sementara itu, Nawang Wangi tertawa cukup keras.
"Heran! Kok ada ya yang mau membuang-buang waktu seperti ini"!" Andika cuma nyengir saja. Lalu katanya, "Eh! Dengan sebutan apa kau kupanggil" Tulkiyem" Warsiyem" Atau... Bondol"!" Kali ini Nawang Wangi cemberut.
"Enak saja ngomong! Kau yang akan kupanggil dengan sebutan Slebor!!" "Eh!" Andika mengerutkan keningnya. Lalu dengan mimik serius dia berkata, "Bagaimana kau tahu julukanku itu?" Sudah tentu Nawang Wangi tidak tahu sama sekali siapa pemuda di hadapannya. Kalaupun tadi dia berkata seperti itu, karena menilai dari sikap si pemuda sendiri.
Lalu katanya, "Mana aku tahu julukanmu" Tapi...
betul ya julukanmu si Slebor"!" "Waduh! Pakai 'Pendekar' dong!" kata Andika seperti anak kecil.
"Atau kalau keberatan... ya pakai kata 'Tuan Besar' lah. Tuan Besar Slebor!" Kembali pecah tawa Nawang Wangi. Disela-sela tawanya dia berkata, "Namaku Nawang Wangi... aku datang dari Lembah Pinus...." Sejenak Andika terdiam mendengar kata-kata si gadis. Kemudian dia sendiri berucap, "Namaku Andika... aku datang dari Lembah Kutukan!" "Ih! Jangan-jangan sifatmu yang slebor itu karena kutukan, ya?" '.
"Enaknya ngomong!" gerutu Andika. Lalu sambil pandangi si gadis dia bertanya, "Nawang Wangi... kau datang dari Lembah Pinus. Aku juga mengenal orang yang datang dari Lembah Pinus yang berjuluk...." "Bidadari Tangan Bayangan?" putus Nawang Wangi dengan suara gembira. Begitu melihat Andika menganggukkan kepalanya gadis itu berkata, "Dia guruku!" "Oh! Gurumu?" ulang Andika dan seperti orang penting dia manggut-manggut.
"Nawang Wangi... bila kau anggap aku lancang terserah. Mengapa kau keluar dari Lembah Pinus?" Karena sejak semula Nawang Wangi sudah yakin kalau pemuda di hadapannya ini adalah orang baikbaik, segera diceritakan semuanya.
Andika menghela napas sebentar dan berkata, "Kuil Putra Langit... telah hancur di tangan pembantai kejam, yang telah membunuh seluruh penghuninya." "Andika!" seru Nawang Wangi tercekat.
"Apakah maksudmu guruku...." "Tidak! Aku berjumpa dengan gurumu dalam keadaan segar bugar. Dia datang terlambat memenuhi undangan Pendekar Sutera. Kini aku tahu mengapa dia terlambat. Tentunya dia hendak menyingkirkanmu dulu agar kau tidak terlibat dalam urusan yang akan dilakukannya." "Lalu... di mana guruku sekarang?" tanya Nawang Wangi yang kini bisa menghela napas lega mendengar kabar baik tentang gurunya.
"Sejak bertemu dengannya, aku mencoba membuntutinya. Tetapi hingga hari ini, aku belum bertemu dengan gurumu itu. Yang ku tahu... dia sedang mengejar seseorang yang berjuluk Kepala Besi yang diyakininya sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit." Nawang Wangi terdiam. Ternyata apa yang telah terjadi di luar dugaannya sama sekali. Bahkan sekalipun tak terlintas kejadian itu di benaknya.
Andika sendiri membiarkan si gadis terdiam seperti itu. Sementara itu, pakaian basah yang mereka kenakan lamat-lamat mulai mengering ditiup angin.
Sambil pandangi si gadis, Andika membatin, "Patung Kepala Singa tetap menjadi masalah utama. Sulit bagiku untuk menjejakinya lebih lanjut sebelum menemukan titik terang yang berarti. Seharusnya, aku menahan kepergian Bidadari Tangan Bayangan. Karena nampaknya, perempuan berbaju kuning itu tahu banyak tentang semua ini. Dan paling tidak, aku harus mencari orang yang berjuluk Kepala Besi. Karena secara tidak langsung dialah orang yang dinilai bertanggung jawab, bukan hanya oleh Bidadari Tangan Bayangan tetapi juga oleh Nyi Dungga Ratih. Satu hal lagi yang memusingkan kepalaku, siapakah orang yang mengikutiku dan lenyap begitu saja?" Kejap kemudian terdengar suara Nawang Wangi, "Aku sama sekali tak menyangka semua itu. Dan tentunya... Guru tak akan membiarkan orang yang telah melakukan pembantaian kejam itu. Sekarang... kau hendak ke mana, Andika?" Pertanyaan itu sebenarnya tak diharapkan oleh Andika. Karena dia ingin melanjutkan perjalanannya seorang diri. Tetapi dijawabnya juga, "Aku ingin men cari orang yang telah melakukan pembantaian keji di Kuil Putra Langit...." Nawang Wangi sendiri sebenarnya ingin ikut ke mana Andika pergi. Paling tidak, pemuda ini diharapkan akan membawanya pada gurunya. Hanya saja dia berkata lain, "Andika... aku pun ingin mencari siapa pembantaian kejam itu, sekaligus mencari guruku...." "Bila kau menghendaki seperti itu, kau harus menjaga dirimu baik-baik, Nawang Wangi." Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu... kita berpisah di sini." "Hati-hati. Karena... rimba persilatan ini sedang kacau balau. Apalagi mengingat kau baru pertama kali terjun ke rimba persilatan ini." Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih atas nasihatmu, Andika." Sesaat si gadis pandangi wajah tampan Andika yang sebenarnya saat ini jelek betul karena dia sedang nyengir. Kejap berikutnya, setelah anggukkan kepalanya, Nawang Wangi segera melesat ke arah timur. Sepeninggal gadis itu, Andika mendesah panjang.
"Hmmm... aku harus cepat mencari titik terang dari urusan ini. Bila tidak, keadaan akan semakin buruk. Hanya saja, belum kudengar orang lain membicarakan si Kepala Besi kecuali Bidadari Tangan Bayangan dan Nyi Dungga Ratih.
Sementara itu, Gendala Maung pasti makin mendendam padaku...." Setelah membatin begitu, Andika pun memutar tubuh. Lalu berkelebat melalui arah yang berlawanan dari yang ditempuh oleh Nawang Wangi.

***
«⸗⸗⸗┌ 9 ┘⸗⸗⸗»

Jauh dari tempat pertemuan Andika dengan Nawang Wangi, si Kepala Besi terus berkelebat. Sosoknya yang tinggi besar ternyata tak mempengaruhinya saat berlari. Bahkan gerakannya begitu ringan sekali.
Lelaki berkepala plontos ini sebenarnya masih tidak mengerti akan sepak terjang Bidadari Tangan Bayangan yang ingin membunuhnya. Selama ini dia mendengar kabar, kalau Bidadari Tangan Bayangan adalah tokoh dari golongan lurus.
"Benar-benar bikin pusing kepala. Mengapa Bidadari Tangan Bayangan menuduhku yang telah melakukan pembantaian di Kuil Putra Langit" Lebih gila la-gi dia menuduhku telah mengambil Patung Kepala Singa! Gila!!" Gerakannya kian lincah saat melompati ranggasan semak belukar dan liukan akar pohon yang menyembul keluar.
"Seharusnya... kukatakan saja siapa aku sebenarnya.... Tetapi tidak, sebelum kulihat secara jelas Patung Kepala Singa... aku tidak akan membuka rahasia lama yang telah kupendam. Yang membuatku tak habis pikir... mengapa Patung Kepala Singa tiba-tiba muncul di tangan Pendekar Sutera" Pertanda apakah ini" Apakah Eyang Guru marah kepadaku dan menghukumku dengan cara seperti itu?" Hati Kepala Besi semakin dibalut dengan kecemasan demi kecemasan. Sesungguhnya, dia memang menyimpan sesuatu yang hingga saat ini masih dirahasiakannya. Sambil terus berkelebat tak tahu tujuan, Kepala Besi membatin lagi, "Yang terbaik sebenarnya adalah menjernihkan masalahku dengan Bidadari Tangan Bayangan. Tak mustahil perempuan berbaju kuning itu akan terus memburuku. Ah, bila saja dia tahu kalau akulah pemilik sah Patung Kepala Singa, apakah dia akan mengurungkan niat membunuhku" Hmmm...
tentunya tidak. Karena, dia telah beranggapan akulah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit. Berarti... orang kejam itulah yang harus kucari! Tetapi ke mana aku harus mencarinya sementara aku harus mendapatkan kembali Patung Kepala Singa?" Sambil terus membatin, lelaki tinggi besar berkepala plontos itu terus berkelebat. Sampai kemudian dihentikan kelebatannya. Sepasang matanya menatap tak berkedip ke depan. Sejarak lima langkah di hadapannya, telah berdiri satu sosok tubuh kurus berpakaian hitam gombrang. Dari sikapnya berdiri, sosok perempuan kurus yang menilik dari urat-urat di punggung tangannya berusia sekitar enam puluh tahun itu, nampak seperti sedang menunggunya.
Sesaat nampak wajah Kepala Besi berubah.
"Dewi Selendang Hitam...," desisnya.
Di seberang, perempuan yang kepalanya tertutup selendang warna hitam yang melingkar menutupi sebagian wajahnya, keluarkan dengusan. Sepasang matanya tajam tak berkedip.
"Kau hadir di sini rupanya, Kepala Besi!" suaranya dingin dan tajam.
"Huh! Kutukan mungkin yang telah kau dapati hingga Patung Kepala Singa berpindah tangan! Tetapi... aku yakin, kau telah merampasnya kembali! Karena... telah kuobrak-abrik Kuil Putra Langit dan kubunuh semua penghuninya... Patung Kepala Singa tetap tak kutemukan! Sekarang... serahkan patung itu kepadaku!!" Kepala Besi tak buka suara. Diam-diam lelaki berkepala plontos ini jeri hatinya. Dia sama sekali tak menyangka akan berjumpa dengan Dewi Selendang Hitam.
"Sejak dulu perempuan yang tak kuketahui seperti apa rupanya ini selalu mengejarku untuk mendapatkan Patung Kepala Singa yang kusembunyikan di tempat yang kunamakan Ladang Siluman. Dan entah bagaimana tahu-tahu benda itu lenyap tatkala hendak kuambil. Lalu kudengar berita kalau benda itu berada di tangan Pendekar Sutera. Menilik kata-katanya tadi, jelas kalau dialah orang yang telah menurunkan tangan terhadap orang-orang di Kuil Putra Langit. Seharusnya... dia kutangkap dan kuserahkan pada Bidadari Tangan Bayangan hingga urusan ini tidak berkembang! Tetapi... ah, aku jelas-jelas tak bisa menghindarinya...." Karena belum mendapatkan jawaban dari Kepala Besi, Dewi Selendang Hitam keluarkan seruan lagi, "Cepat katakan padaku, sebelum jantungmu kucabut!!" "Tak ada jalan lain selain menghadapinya.... Apalagi, telah terjadi kesalahpahaman dengan Bidadari Tangan Bayangan. Dan nampaknya... semua rahasia yang kusimpan ini akan terbuka...," kata Kepala Besi dalam hati.
Di seberang Dewi Selendang Hitam kian mengkelap. Tak kuasa lagi menahan amarahnya, tangan kanannya segera digerakkan.
Serta merta melesat lima larik sinar hitam yang keluarkan suara gemuruh dan hawa panas. Untuk sesaat nampak Kepala Besi melengak kaget. Tak mau dirinya celaka, dengan cepat lelaki berkepala plontos ini membuang tubuh ke kanan.
Bersamaan dengan itu, dikibaskan kedua tangannya ke depan.
Wussss!! Wuusss!! Dua gelombang angin yang kemudian menyatu, menghampar deras dan menghantam lima larik sinar hitam yang dilepaskan si perempuan.
Blaaaarr! Tempat yang agak temaram meskipun saat ini siang makin meranggas, menjadi terang. Letupan terdengar beberapa kali dan tempat yang tadi temaram la-lu jadi terang berubah temaram kembali. Dedaunan beterbangan entah ke mana.
Tatkala semuanya lurus, terlihat Dewi Selendang Hitam berdiri kaku dengan kedua tangan dikepalkan.
Sementara itu, Kepala Besi telah surut dua tindak dari tempat semula dengan napas agak memburu.
"Benar-benar sial nasibku kali ini! Belum lagi kutemukan di mana Patung Kepala Singa berada, sudah diburu oleh Bidadari Tangan Bayangan! Lebih sial lagi aku harus berjumpa dengan perempuan celaka ini!" desis Kepala Besi dengan hati keder. Namun dia berusaha untuk tindih perasaannya.
"Biar bagaimanapun juga, aku akan menghadapinya sekuat tenaga.
Karena, dialah pangkal dari semua kesalahpahaman yang terjadi." "Manusia keparat! Kau belum juga mengatakan di mana kau sembunyikan Patung Kepala Singa, hah"! Benar-benar mencari mampus!" geram Dewi Selendang Hitam dengan sorot mata dingin tak berkesip pada orang di depannya.
Di seberang, Kepala Besi benar-benar harus berusaha untuk menenangkan dirinya.
"Dewi Selendang Hitam telah lama memburuku untuk mendapatkan Patung Kepala Singa! Dan perempuan kejam ini tak akan hentikan maksudnya bila belum tercapai! Rasanya aku...." Kata-kata dalam hati si Kepala Besi pupus begitu merasakan deru panas dari sinar warna hitam melesat ke arahnya. Tak ada jalan lain menghindari serangan itu kecuali melakukan satu gempuran balik. Segera sa-ja dia lepaskan jurus 'Lingkar Tinju Besi'. Kedua tangannya seperti menggebah dan keluarkan hamparan angin mengerikan.
Karena disadarinya kesaktian perempuan yang dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutupi selendang hitam itu bukan orang sembarangan, begitu hantaman baliknya memapaki serangan Dewi Selendang Hitam, dia kembali kirimkan serangan. Kali ini gerakkannya mirip banteng sedang mengamuk. Kepalanya meluruk cepat dan keluarkan cahaya warna putih berkilat-kilat! Dewi Selendang Hitam agak terkesiap mendapati serangan aneh itu. Dia tahu kalau lawan telah pergunakan jurus pamungkasnya yang bernama 'Kepala Besi Cabut Nyawa'.
Tetapi bagi Dewi Selendang Hitam, serangan itu tak terlalu berbahaya. Saat itu pula kedua tangannya bergerak bagai mendorong.
Gelombang angin menghampar dahsyat, membuat tempat itu bagai dilanda gempa, menerjang ke muka. Yang bukan hanya akan memapaki serangan lawan, tetapi juga akan memukul pecah kepala si lelaki plontos.
Kalau tadi Dewi Selendang Hitam yang terkesiap, kali ini Kepala Besi yang terkejut. Selagi tubuhnya meluruk dengan kepala agak membungkuk, kaki kanannya cepat dijejakkan ke depan.
Wuuuttt! Tubuhnya langsung berputar balik ke udara dan bersamaan dengan itu didorong kedua tangannya.
Letupan keras terdengar bersamaan tubuh si Kepala Besi mencelat ke belakang. Lelaki ini agak terhuyung karena tenaga yang dilepaskan oleh Dewi Selendang Hitam lebih besar. Masih untung dia mampu menguasai keseimbangannya.
Sementara Dewi Selendang Hitam hanya surut dua langkah ke belakang sambil pegangi dadanya, yang tak urung terasa nyeri. Namun dia lebih dulu menguasai keadaan dirinya.
Setelah kertakkan rahangnya, perempuan kejam ini sudah menyerbu kembali, hingga membuat Kepala Besi yang menjadi kalang kabut.
Sebisanya lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan itu berusaha menghindar sekaligus mencoba memapaki setiap serangan yang datang.
Tiga jurus kemudian, nampak dia tak mampu untuk membendung serangan demi serangan yang dilancarkan Dewi Selendang Hitam. Wajahnya kian memucat sementara tubuhnya semakin surut ke belakang.
Dan.... Dess! Desss! Dua kali dadanya terhantam pukulan dahsyat Dewi Selendang Hitam yang membuat dadanya seperti remuk. Seketika itu pula pakaian di bagian dadanya menghangus. Sementara di dadanya sendiri bagai ter-peta lima buku jari nenek baju hitam.
Mendapati lawan sudah terhantam pukulannya, Dewi Selendang Hitam kian pergencar serangannya.
Angin bergemuruh datang susul menyusul disertai pancaran sinar-sinar hitam yang mengerikan. Keringat telah menderas disekujur tubuh Kepala Besi yang kian memucat.
Bukkkk! Kembali satu jotosan mampir di dada lelaki tinggi besar itu yang kian terhuyung ke belakang. Menyusul mulutnya mengembung dan...
"Huaaakk!" Darah hitam menyembur keluar. Rupanya si Kepala Besi tak mampu kuasai dirinya lagi. Karena sebelum Dewi Selendang Hitam lancarkan gempuran dahsyatnya lagi, lelaki tinggi besar ini sudah jatuh ambruk! Muntah darah dua kali sambil pegangi dadanya.
Kejap berikutnya, kepalanya terkulai.
Dewi Selendang Hitam hentikan gerakannya. Dari selendang hitam yang menutupi sebagian wajahnya itu, nampak kalau dia tengah tersenyum yang tentunya senyuman sinis. Sedangkan sepasang matanya pancarkan nafsu membunuh! "Hhh! Tak seorang pun yang bisa menandingiku! Apalagi bila kudapatkan Patung Kepala Singa! Aku yakin, benda itu tidak berada di tangan manusia ini!" Lalu dengan langkah pelan yang angker, Dewi Selendang Hitam menghampiri Kepala Besi. Dengan kaki kanannya dibalikkannya tubuh itu. Dilihatnya wajah Kepala Besi memucat. Dari sela-sela bibirnya, masih mengalir darah hitam yang kental. Tak ada gerak dada turun naik tanda dia masih bernapas.
Dengan senyum puas perempuan ini tengadahkan kepala.
"Puas hatiku melihat manusia yang bertahuntahun kuburu ini mampus! Huhh! Siapa kira-kira yang telah memiliki Patung Kepala Singa?" Sejenak perempuan berpakaian hitam longgar ini terdiam. Lalu sambungnya agak keras, "Biar bagaimanapun juga, aku harus mendapatkan benda itu!" Dengan kepuasan yang masih dibaluri rasa penasaran, Dewi Selendang Hitam memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Dalam tiga tarikan napas saja, sosoknya sudah lenyap sama sekali dari pandangan. Tetapi, benarkah apa yang diduganya barusan, kalau Kepala Besi telah mampus" Ternyata tidak sama sekali. Orang tinggi besar itu tahu kalau dia tak akan mampu menghadapi Dewi Selendang Hitam. Jalan sa tu-satunya yang terbaik adalah berlagak mampus.
Kendati dia tak menyukai perbuatannya sendiri, namun itu memang jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri. Ditahan nafasnya karena dia yakin Dewi Selendang Hitam tak akan meninggalkan dirinya sebelum yakin kalau dia telah mampus. Sesungguhnya, dengan tubuh terluka dalam seperti itu, menahan napas sangat menyiksa sekali. Tetapi mau tak mau itu harus dilakukannya.
Dan sepeninggal Dewi Selendang Hitam, Kepala Besi belum berani bergerak kendati dia berani untuk bernapas lagi. Setelah beberapa saat membiarkan dirinya seperti itu dan setelah diyakininya tak ada tanda-tanda si nenek akan muncul kembali, perlahan-lahan barulah dia berdiri.
Rasa sakit luar biasa menderanya. Cepat dialirkan hawa murni dalam tubuh guna hilangkan rasa sakit.
Setelah itu diambilnya tiga butir obat dari balik pakaiannya yang segera ditelannya sekaligus.
Untuk beberapa saat lelaki yang pakaiannya di bagian dada telah hangus ini, duduk bersemadi. Setelah itu lamat-lamat dia membuka kedua matanya.
Kendati sudah merasa agak segar kembali, namun dadanya masih terasa nyeri.
"Urusan semakin panjang... Aku harus bertindak.... Ya, aku harus bertindak.... Tak kupedulikan la-gi, apakah nyawaku akan putus hari ini juga... Dan tak kupedulikan... soal rahasia yang telah lama kupendam...." Memutuskan demikian, dengan kerahkan sisasisa tenaganya, Kepala Besi bangkit. Berjalan terhuyung sambil menekap dadanya yang terasa nyeri meninggalkan tempat itu.

***
«⸗⸗⸗┌ 10 ┘⸗⸗⸗»

Tatkala matahari sungguh sepenggalan, Nawang Wangi menjejakkan kakinya di sebuah pedataran luas.
Sejenak murid Bidadari Tangan Bayangan hentikan langkahnya. Diaturnya napas yang agak memburu. Seluas mata memandang, yang nampak hanyalah rerumputan belaka. Dan tempat itu seperti menjadi ajang deraan matahari yang sebenarnya tak terlalu menyengat.
"Ah... bila saja aku tidak malu untuk mengutarakan maksud, aku ingin bersamasama dengan Andika.
Paling tidak, aku akan merasa aman karena tentunya dia akan melindungiku. Tetapi, dia nampaknya memang mempunyai urusan. Begitu pula denganku. Aku harus menemukan Guru...." Kembali gadis berpakaian ringkas warna biru kehijauan ini terdiam.
"Aku tak boleh membuang waktu.... Menurut Andika, Guru sedang mengejar Kepala Besi. Berarti... ada dua orang yang harus kucari. Kalau begitu... lebih baik aku segera berlalu dari sini." Memutuskan demikian, gadis berkuncir dua ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Setelah melalui tanah pedataran yang cukup luas, gadis ini ti-ba di sebuah jalan setapak yang dipenuhi ranggasan semak belukar. Nawang Wangi tak bermaksud untuk berhenti sebenarnya. Namun sesuatu menarik perhatiannya hingga gadis ini mau tak mau berhenti melangkah.
Dari balik ranggasan semak belukar, dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian biru gelap dan di punggungnya nampak sebuah selendang warna putih bersilangan, sedang duduk di hadapan sebuah gundukan tanah. Orang itu nampak begitu khusuk sekali.
"Siapa orang itu" Dan nampaknya dia sedang mengalami musibah kematian. Entah siapa yang mati itu...," desis Nawang Wangi dalam hati.
Orang yang dilihat Nawang Wangi tak lain adalah Gendala Maung, salah seorang dari Dua Iblis Lorong Maut yang telah dikalahkan Andika. Dan sudah tentu gundukan tanah di hadapannya adalah makam dari Ganda Maung yang telah tewas.
Setelah dikalahkan Pendekar Slebor, Gendala Maung terus membopong tubuh Ganda Maung. Dan di tempat itulah dia menguburkan mayat kambratnya.
Sudah dua hari dua malam Gendala Maung tidak berpindah dari tempatnya sekarang. Di samping dia masih sedih akan kematian Ganda Maung, Gendala Maung juga mempergunakan kesempatan itu untuk bersemadi. Lelaki berkumis baplang ini tak akan melepaskan kesempatan untuk membalas kematian kambratnya pada Pendekar Slebor.
"Ganda Maung... telah lama kita malang melintang bersama-sama.... Banyak suka duka yang kita alami bersama. Urusan Patung Kepala Singa pun atas kesepakatan kita bersama. Tetapi... umurmu harus sampai di sini! Tak akan kubiarkan Pendekar Slebor, orang yang telah membunuhmu, hidup lebih lama." Sementara Gendala Maung larut dalam dendamnya, Nawang Wangi yang mendengar kata-kata itu tercekat.
"Pendekar Slebor" Oh! Jadi orang itu ada urusan dengan Andika. Melihat sifat Andika yang kendati agak keblinger, nampaknya mustahil dia membunuh tanpa sebab." Gadis itu terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Kemungkinannya... kedua orang itu menyerang Andika dan Andika harus membela diri hingga terpaksa membunuh. Ya, barangkali kemungkinannya seperti itu." Sejarak dua belas langkah dari tempatnya, lamatlamat Gendala Maung berdiri. Lelaki berkumis baplang ini pandangi makam kambratnya tak berkedip.
Ditahan segala sedihnya. Yang makin timbul, rasa marah dan dendam tinggi.
Mendadak saja dia berseru keras dengan kepala tengadah dan kedua tangan diangkat ke atas.
"Pendekar Slebooorr!! Sampai kapan pun kau akan kuburu!!" serunya keras.
Lalu mendadak saja sambil berteriak-teriak tak karuan, lelaki berpakaian biru gelap ini memutar tubuh berulangkali sembari gerakkan kedua tangannya.
Seketika melesat hamparan-hamparan angin yang langsung menghantami apa saja yang berada di sekitarnya. Beberapa kali letupan terdengar.
Nawang Wangi yang tak menyangka akan hal itu, langsung melompat disertai pekikan tatkala satu gelombang angin menderu ke arahnya.
Blaaaarr! Bersamaan ranggasan semak belukar yang tadi menghalangi tubuhnya hancur berantakan, Gendala Maung hentikan gerakan liarnya dengan pandangan tak berkedip. Lamat-lamat sepasang matanya terbuka lebih lebar. Bibirnya yang menghitam menyeringai tatkala melihat sosok seorang gadis berpakaian ringkas biru kehijauan berdiri tak jauh dari hadapannya.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba!" desis Gendala Maung dengan seringaian kian melebar. Di tempatnya, Nawang Wangi menyesali dirinya yang tak segera meninggalkan tempat itu setelah mengetahui apa yang terjadi. Untuk sesaat dia agak ngeri melihat pandangan tajam yang dibaluri nafsu birahi itu.
"Celaka! Rasanya... aku tak bisa menghindar dari tempat ini! Huh! Mengapa aku tidak segera berlalu?" Di seberang, Gendala Maung lamat-lamat terbahak-bahak yang semakin lama bertambah keras. Dia seperti menemukan tempat pelampiasan segala kekesalan yang ada di hatinya. Setelah beberapa saat, mendadak saja diputuskan tawanya.
Kali ini pandangannya agak menyipit. Namun kilatan birahinya tak bisa ditutupi.
"Anak manis... kau rupanya diturunkan para setan untuk menghiburku! Mari, mari sini!!" Nawang Wangi jijik mendengar kata-kata itu. Rasa jerinya perlahan-lahan lenyap. Sebagai gantinya, dia segera keluarkan bentakan, "Tutup mulutmu!!" Gendala Maung terbahak-bahak lagi.
"Luar biasa! Ternyata bernyali harimau! Bagus! Silakan kau tutup mulutku ini dengan bibirmu yang merekah itu!" "Terkutuk!" maki Nawang Wangi dengan tubuh menggigil. Tanpa sadar, kedua tangannya mengepal.
Pandangannya bersiaga penuh.
"Jangan membuat kemarahanku naik!" "Justru aku ingin merasakan kemarahan kucing liar seperti kau!!" Kendati marahnya sudah sampai di ubun-ubun, namun Nawang Wangi masih mencoba untuk mengendalikannya.
"Saat ini... apa yang dikatakannya tidak terlalu penting. Mencari Guru dan orang yang berjuluk Kepala Besi yang terpenting. Lebih baik aku menyingkir saja dari sini!" Berpikir demikian, murid Bidadari Tangan Bayangan ini berkata, "Lelaki bermulut kotor! Untuk saat ini kumaafkan segala ucapanmu itu! Tetapi ingat, bila kelak bertemu lagi... akan kurobek mulutmu!!" "Ha ha ha... tak ada lain kali, Kucing liar! Yang ada saat ini! Kau harus melayani kemauanku!!" Makin menggigil tubuh Nawang Wangi. Gadis ini benar-benar tak mampu untuk menahan diri lagi. Tetapi dia berusaha keras menindihnya.
Tak ada suara yang keluar. Namun pancaran matanya menandakan betapa tak sabarnya dia untuk merobek mulut kurang ajar itu.
Di seberang, mendapati si gadis tak membuka mulut, Gendala Maung berkata lagi, "Nampaknya kau mulai luruh, hah" Siapa pun akan luruh melihat ke-tampananku ini! Ayo, Anak manis... kita bersenangsenang sekarang!" Sebelum Nawang Wangi buka mulut, lelaki berkumis baplang itu arahkan pandangannya pada makam yang di sisi kanannya dan berkata, "Ganda Maung... bila saja kau masih hidup... tentunya kita akan bersenang-senang menikmati hidangan yang datang tanpa diundang ini seperti dulu...." "Terkutuk!!" menggelegar suara Nawang Wangi tak kuasa menahan lebih lama lagi kesabarannya. Gendala Maung kembali arahkan pandangannya.
"Kau nampaknya memang liar. Dan aku sangat menyukai keliaranmu itu!" "Setan alas!!" maki Nawang Wangi yang terpancing oleh kata-kata Gendala Maung.
Dengan teriakan yang keras, gadis ini mencelat ke depan dan lepaskan joto-sannya.
Angin keras mendahului saat tubuhnya mencelat.
Sejenak Gendala Maung terkejut juga mendapati serangan itu. Tetapi dengan mudahnya, dihindarinya serangan itu dengan cara pindahkan kaki kanan ke samping. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya bergerak. Desss!! " Cukup terkejut Gendala Maung tatkala merasakan tenaga si gadis saat berbenturan tadi. Sementara Nawang Wangi sendiri sudah memutar tubuh ke belakang dan berdiri tegak di atas tanah.
"Kita berjumpa lain kali!" serunya dan segera balikkan tubuh.
Namun belum lagi dia meninggalkan tempat itu, mendadak saja dilihatnya sosok lelaki berpakaian biru gelap yang di dadanya bersilangan sebuah selendang warna putih telah berdiri di hadapannya sambil menyeringai.
"Sebelum kau memuaskan diriku... kau tak akan lepas dari tanganku, Anak Manis...." "Keparat!!" maki Nawang Wangi dan segera mendorong kedua tangannya ke depan.
Serta merta menggebrak dua gelombang angin dengan kecepatan tinggi ke arah Gendala Maung. Namun dengan mudahnya lelaki berkumis baplang itu mematahkan serangannya. Bahkan mendadak saja dia melompat ke depan. Tubuhnya agak membungkuk.
Kaki kanannya menyapu cepat yang menerbangkan tanah dan kerikil.
Tak menyangka kalau lelaki itu bergerak sedemikian cepat, Nawang Wangi segera melompat. Namun tatkala tubuhnya masih di udara, tangan kanan Gendala Maung meluncur lepaskan satu jotosan yang mengarah pada dada si gadis.
Nawang Wangi terkejut, Cepat dia tekuk sikutnya.
Buk!! Sosoknya terhuyung ke belakang tiga tindak sementara Gendala Maung tetap tegak di atas tanah.
"Hebat! Hebat!!" Di seberang, Nawang Wangi merasa sikut kanannya agak ngilu. Tatkala dilihatnya, agak membiru.
"Rasanya... tak ada jalan lain kecuali menghadapinya. ..," katanya dalam hati.
Habis membatin demikian, murid Bidadari Tangan Bayangan ini segera angkat tangan kanan dan kirinya ke atas. Kejap berikutnya, kedua tangannya itu digerakkan. Semakin lama semakin cepat. Menyusul terdengarnya suara angin menderu-deru.
Di seberang, dari rasa terkejutnya, Gendala Maung justru mengerutkan keningnya.
"Rasa-rasanya... aku pernah melihat jurus seperti ini...." desisnya dalam hati.
"Bukankah... hei!! Jurus itu adalah jurus Bidadari Tangan Bayangan!!" Kejap berikutnya, lelaki berkumis baplang ini segera membuka mulut, "Gadis manis! Ada hubungan apa kau dengan Bidadari Tangan Bayangan"!" Mendengar orang mengenali gurunya dari jurus yang dimainkannya, Nawang Wangi perlihatkan senyuman mengejek.
"Dia guruku! Cepat kau berlutut sebelum nyawamu kucabut!" Sahutan Nawang Wangi justru membuat Gendala Maung mengkelap.
"Bagus! Ternyata kau murid Bidadari Tangan Bayangan! Kau makin membuatku bergairah, Manis!! Ketahuilah... telah lama aku bermusuhan dengan gurumu itu! Dan sekarang... kau bukan hanya sebagai gantinya, tetapi juga akan kupermalukan kau hingga seluruh kejadian ini berkumandang di rimba persilatan dan mau tak mau akan mencoreng wajah Bidadari Tangan Bayangan!" Mendengar ancaman itu, Nawang Wangi semakin bersiaga penuh. Sementara deru angin yang keluar da-ri gerakan kedua tangannya, dia membatin, "Apa pun yang terjadi... aku tidak peduli! Lebih baik kudahului menyerang!!" Memutuskan demikian, tanpa keluarkan bentakan, Nawang Wangi segera mendorong kedua tangannya ke depan. Gendala Maung kertakkan rahangnya. Menyusul dia segera membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu, kedua tinjunya didorong pula.
Wusss! Wuuusss! Dess! Dess!! Sejenak murid Bidadari Tangan Bayangan ini terhenyak dan surut tiga langkah ke belakang akibat benturan yang terjadi tadi.
Namun gadis yang tengah dira-suki amarah ini tak mempedulikan keadaannya.
Dia segera angkat tangannya yang kembali bergerak tak ubahnya bayangan belaka. Menyusul didorongnya kembali.
Wusss! Satu hamparan angin melesat ke arah leher Gendala Maung. Sambil keluarkan makian, lelaki berkumis baplang ini justru melesat ke depan seperti menyongsong serangan itu.
Tatkala gelombang angin tadi siap menghantam patah lehernya, sosoknya mendadak melenting ke atas dengan gerakan memutar tubuh. Masih berada di udara, tangan kanannya menjulur siap menotok punggung Nawang Wangi. Namun gadis itu adalah murid Bidadari Tangan Bayangan. Kendati baru kali ini menghadapi pertarungan yang sesungguhnya, namun dia sudah cukup lama digembleng oleh Bidadari Tangan Bayangan.
Dengan cara liukkan tubuh, dia lolos dari totokan Gendala Maung. Bahkan kaki kanannya telah meluncur siap menendang dada Gendala Maung.
Kembali Gendala Maung kertakkan rahangnya.
Dengan telapak tangannya dipapaki tendangan keras itu. Dan dia terkesiap tatkala mendapati sinar putih bening menghampar dengan gemuruh angin mengerikan. Sekejap menerangi tempat itu yang kendati siang sudah meraja namun karena pepohonan yang tinggi sinar matahari seperti tertahan. Rupanya Nawang Wangi sudah melepaskan jurus 'Bayangan Matahari' yang diajarkan Bidadari Tangan Bayangan.
"Keparat!!" maki Gendala Maung sambil melompat ke belakang. Dia memang melihat kalau gerakan si gadis semakin lambat. Namun dia tahu kalau gerakan lambat itu mengandung tenaga yang mengerikan.
Dan selagi si gadis keluarkan jurus 'Bayangan Matahari' lagi, Gendala Maung langsung meluruk. Didahului dengan dorongan kedua tangannya yang mengandung tenaga dalam berlipat ganda.
Blaaaammm!! Benturan keras tak terelakkan. Tempat itu sesaat seperti bergetar. Tanah di mana terjadinya benturan keras itu rengkah dan muncrat ke atas! Tatkala semuanya luruh, terlihat sosok Nawang Wangi terhuyung ke belakang. Rupanya, tenaga dalam yang dimilikinya kalah tinggi dari Gendala Maung. Gadis ini benar-benar tak mampu lagi untuk kuasai keseimbangannya. Karena kejap itu pula, sosoknya ambruk.
Sementara itu, Gendala Maung yang tak kurang suatu apa segera berkelebat cepat. Tangan kanannya terjulur. Tuk! Tuk! Dua totokannya bersarang di dada bagian atas dan pangkal lengan kanan Nawang Wangi, hingga si gadis langsung merasa tubuhnya nyeri dan kaku.
"Sudah kukatakan tadi... kau telah diutus oleh para setan untuk menjadi pemuas nafsu. Dan kau me-rupakan obat sementara penghilang dendamku pada Pendekar Slebor dan menutupi sejenak keinginanku untuk mendapatkan Patung Kepala Singa!" "Jahanam! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mampus!!" seru Nawang Wangi keras dengan mata mendelik gusar.
"Kau tak perlu menunggu terlalu lama untuk mampus! Karena... setelah aku puas menggeluti tubuhmu... maka kau akan merasa jiwamu sudah mati!!" Lalu dengan seringaian lebar dan langkah angker, Gendala Maung berlutut mendekati Nawang Wangi.
Tangan kasarnya membelai-belai wajah si gadis yang berusaha mengelakkannya. Namun karena sekujur tubuhnya kaku, yang bisa dilakukan hanyalah berteriak-teriak.
"Cuuuh!!" Dengan gusar disemburkan ludahnya yang tepat mengenai wajah Gendala Maung. Bukannya gusar, Gendala Maung cuma terbahakbahak.
"Menyenangkan... sangat menyenangkan.." desisnya puas dan mendadak saja tangan kanannya bergerak. Breettt!! Seketika pakaian di bagian dada Nawang Wangi sobek. Memperlihatkan pakaian dalamnya yang tipis berwarna hijau. Dan memperlihatkan bayangan bungkahan payudara yang mengkal menggiurkan.
"Luar biasa...," desis Gendala Maung.
"Ganda Maung... bila saja kau masih hidup... tentunya kita akan berbagi kenikmatan ini bersama-sama...." Sementara itu, Nawang Wangi berusaha untuk tetap tegar. Dia sadar apa yang akan dialaminya. Sesua-tu yang sangat menakutkan dan tak pernah dibayangkan sama sekali. Untuk saat ini, kembali disesalinya mengapa dia harus meninggalkan Lembah Pinus.
Namun semuanya sudah dilakukan dan malapetaka ini nampak tak akan bisa dielakkan lagi.
Dirasakan bagaimana payudaranya dipegang dan diremas-remas dengan kasar dan penuh bernafsu. Ketika dia hendak membuka mulut, mendadak dirasakan satu sentuhan pada urat suaranya hingga kini dia tak bisa keluarkan suara.
Dipejamkan matanya rapat-rapat tatkala melihat lelaki berkumis baplang itu mulai membuka pakaiannya sendiri.
"Guru... maafkan aku...." Namun sebelum malapetaka itu terjadi, mendadak terdengar suara lembut berwibawa, "Menista sesama adalah perbuatan terkutuk.
Kendati tak bisa dimaaf-kan, tetap masih bisa diperbaiki...."

SELESAI

Segera menyusul:
RAHASIA DI BALIK ABU


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Goa Terkutuk --oo0oo-- Rahasia Di Balik Abu


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

POPULAR POST

MUTIARA KATA

MINI IKLAN


Copyright © Tanztj's | Powered by Blogger
Design by Theme in Progress | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com