Life is journey not a destinantion ...

Goa Terkutuk

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Darah Darah Laknat --oo0oo-- Patung Kepala Singa



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: GOA TERKUTUK

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«₪₪₪①₪₪₪»

Pernahkah sekali waktu manusia merasakan alam terlelap dalam tidurnya. Hanya, dalam tidur tenanglah umat manusia merasakan hal sedemikian rupa. Alam tak pernah berhenti bergerak dalam sekejap mata juga. Alam datang penuh pesona, tetapi juga penuh kengerian bencana.
Seperti yang terjadi di tubuh Gunung Larangan. Gunung menjulang tinggi dengan pepohonan lebat dihantam hujan deras dan kabut tebal dari subuh hingga pagi hari ini.
Suaranya menderu-deru. Angin besar menegakkan bulu roma, mengerikan. Petir menggelegar hendak menggoyangkan Gunung Larangan.
Dengan udara dingin membeku membuat beku jalan darah. Tak seorang pun berani mendatangi Gunung Larangan yang terkenal angker. Selain itu, jalan untuk mencapai kaki gunung saja sudah sedemikian sulit karena didahului hutan lebat yang tak terjamah. Apalagi untuk mencapai puncak yang begitu terjal dengan batu-batu besar yang sewaktu-waktu dapat terguling.
Lolongan anjing tak mampu menembus gemuruh hujan.
Entah yang ke berapa puluh kali kilat menyambar dan menerangi seluruh tempat mengerikan itu sesaat selebihnya gelap kembali. Di pagi yang mengerikan dengan kabut tebal dan alam gulita, ketika kilat menerangi tempat itu beberapa saat, terlihatlah sebuah pemandangan yang benar-benar membuat kening berkerut, Di dinding Gunung Larangan sebelah barat, terlihat sebuah goa yang terbuka karena belukar yang terkena basah hujan tersibak. Lalu mengatup kembali didorong oleh angin keras. Plaass!! Kilat kembali menyambar. Bila mata dipicingkan seksama, goa itu seakan mengundang orang masuk ke dalamnya, dengan sesekali semak di depannya yang setinggi dada manusia dewasa terbuka.
Lebih aneh lagi karena di tempat yang tak pernah didatangi orang itu, terlihat tiga sosok tubuh yang telah basah kuyup. Ketika kilat menerangi kembali tempat itu, terlihat tiga laki-laki berbaju hitam dan ikat pinggang kuning, sedang merayap melewati tanjakan hutan terakhir.
Dan kini ketiga lelaki berambut gondrong dengan ikat kepala hitam telah tiba di depan goa dalam jarak dua tombak. Mereka tak hiraukan betapa air yang meluncur bertubi-tubi dari langit itu bagai menusuk seluruh kulit.
Dalam hujan yang lebat dan angin dingin menusuk, ketiga lelaki itu bagaikan terpana menatap semak belukar yang sesekali tersibak oleh tiupan angin dan memperlihatkan goa yang berada di belakangnya. Rasa penat dan muak karena hujan yang bertambah deras dan tak berhenti juga, hilang begitu saja.
Bila melihat keberadaan mereka di sini dalam cuaca yang, sangat buruk namun mereka seperti tak kekurangan suatu apa, bisa dipercaya, ketiganya orang-orang rimba persilatan yang memiliki cukup ilmu.
"Tak kusangka, kalau berita tentang Goa Terkutuk memang benar," kata yang berkumis lebat. Suaranya keras, mencoba mengalahkan gemuruh angin dan hujan.
"Kau benar, Singaranu. Menurut kabar yang kita dengar, di Goa Terkutuk-lah Dewi Putih Hati Setan menghabiskan sisa hidupnya. Aku yakin, wanita yang puluhan tahun lalu pernah menggemparkan dunia persilatan itu sekarang telah mampus. Inilah kesempatan kita untuk mendapatkan dua benda pusaka miliknya. Kitab Pusaka Rembulan Mambang dan Pecut Sakti Bulu Babi!" sahut yang berjenggot lebat tanpa memalingkan wajahnya dari goa yang tersibak di depannya. Ia bernama Kuntara.
"Dan aku yakin, tak seorang pun yang pernah berhasil menginjak Gunung Larangan ini, apalagi menemukan Goa Terkutuk!" kata yang bercambang lebat dengan berteriak pula. Lalu orang yang bernama Sampurno itu terbahakbahak keras.
"Kesempatan ini tak boleh disia-siakan!" Singaranu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan wajah puas. Lalu ia berkata, "Sesuai dengan kesepakatan di antara kita, Pecut Sakti Bulu Babi akan menjadi milik kita bersama. Kedahsyatan pecut itu tak ada tandingannya.
Hmmm, rencana yang telah bertahun-tahun kita susun untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, harta, takhta dan wanita, nampaknya sebentar lagi akan terwujud. Yang terpenting lagi, kita akan mendapatkan ilmu ampuh yang tiada tanding dari Kitab Pusaka Rembulan Mambang. Kita mulai!" Kala-kala Singaranu terakhir itu merupakan komando.
Secara serempak ketiganya loloskan ikat pinggang berwarna hitam dari pinggang masing-masing. Lalu segera menyimpulkannya menjadi satu dan kedua ujungnya dipegang oleh Sampurna dan Singaranu. Sementara Kuntara memegang bagian tengah. Sambil mengerjakan semua itu, pandangan mereka tak putus dari goa di balik semak belukar yang sesekali tampak karena semak yang menutupi goa itu tersibak tertiup angin keras.
Ketiga lelaki yang tak mempedulikan betapa lebat hujan dan betapa dingin cuaca, perlahan-lahan mulai melangkah mendekati goa yang mereka sebut Goa Terkutuk. Mereka siap untuk masuk. Dalam pikiran mereka, sesudah menempuh perjalanan jauh dan sangat sukar, semuanya akan terbalas begitu mereka mendapatkan dua benda pusaka milik Dewi Putih Hati Setan yang tersimpan puluhan tahun di Goa Terkutuk. Namun mendadak mereka tercekat ketika terdengar suara yang sangat keras bagaikan halilintar menyalak.
"Siapa yang mengganggu tapaku, mereka akan mati!" Serentak ketiganya celingukan dengan kening berkerut.
Tak sadar wajah mereka yang semula berseri tampakkan wajah cukup tegang. Setelah terdiam beberapa saat dan suara itu tak terdengar lagi, Singaranu yang panasan membentak, "Gila! Apakah Dewi Putih Hati Setan itu masih hidup" Mustahil! Wanita itu pasti sudah lama menjadi santapan cacing tanah! Kita tetap untuk menerobos masuk dan mendapatkan dua benda sakti tiada tanding!"
"Siapa yang mengganggu tapaku, ia akan mati!" Suara menggemuruh menebar kembali. Mencekam.
Tanpa sadar ketiganya saling pandang dengan perasaan tak karuan. Diam-diam di hati masing-masing cukup ciut memikirkan kemungkinan Dewi Putih Hati Setan masih hidup. Namun mereka adalah orang-orang yang nekat dan dibuai ambisi. Ketiganya tajamkan pendengaran, namun mereka tak menemukan sumber suara itu, karena suaranya bagai menggema di empat penjuru.
"Setan gentayangan laknat! Tampang busukmu tak perlu kau sembunyikan!!" bentak Singaranu yang jadi jengkel karena ketegangan itu cukup melanda hatinya.
"Akan kucacah dan kulemparkan kau ke neraka!!" Tak ada sahutan apa-apa. Sampurna yang sejak tadi memperhatikan goa di hadapannya, berbisik pelan, "Apakah tidak mungkin kalau suara itu berasal dari dalam goa itu" Dan berarti.... Dewi Putih Hati Setan memang masih hidup seperti katamu tadi, Singaranu?"
"Jangan berpikir bodoh! Tak mungkin wanita itu masih hidup!" sentak Singaranu kasar, sedikit jengkel mendengar kata-kata Sampurna. Dan lebih jengkel lagi mengingat dialah yang pertama kali melontarkan dugaan itu.
"Singaranu teras terang aku jadi cukup ngeri memikirkan kata-kata Sampurno," kata Sampurno," kata Kuntara sambil pandangi Singaranu yang mendengus melecehkan.
"Orang-orang sundal yang bodoh! Apakah kalian akan sia-siakan kesempatan yang sudah di depan hanya karena pikiran tolol itu" Peduli setan dengan ancaman tadi! Kitab Pusaka Rembulan Mambang dan Pecut Sakti Bulu Babi harus kita miliki!" sembur Singaranu dengan pipi menggembor. Lalu dengan mata yang bagai mau melompat karena kejengkelan yang sudah tiba di ubun-ubun, ia membentak kembali, "Apakah kalian akan mundur padahal apa yang kita inginkan sudah ada di depan mata, hah" Bodoh! Kehidupan yang kita dambakan selama ini, bisa kita dapatkan melalui dua benda pusaka yang ada di dalam Goa Terkutuk itu! Karena, semua orang rimba persilatan akan takut pada kita!! Kita mulai sekarang!!" Lelaki yang penuh ambisi itu segera mengalirkan tenaga dalamnya pada ikat pinggang yang telah dijadikan satu.
Hawa panas segera dirasakan oleh Kunlara dan Sampurno yang segera melakukan hal yang sama. Ikat pinggang yang tadi kelihatan lemas itu, sekarang tiba-tiba menjelma bagaikan sebuah tombak yang terbuat dari baja.
"Kita bersiap untuk masuk!" kata Singaranu lagi.
"Alirkan seluruh tenaga dalam! Heaaaa!!" Diiringi dengan teriakan sambung menyambung yang keras, ketiganya berkelebat ke arah Goa Terkutuk, tepat ketika semak di depannya tersibak.
Namun ketika ketiga laki-laki nekat itu tiba dalam jarak satu tombak dari goa, tubuh mereka tiba-tiba mencelat ke belakang, bagai ada tenaga raksasa menghantam tubuh mereka. Bergulingan hingga lima belas tombak bagaikan sebuah batu yang lemparkan. Dan muntah darah dengan tubuh yang terasa sakit. Seluruh tulang penyangga raga mereka seakan patah.
Singaranu yang pertama kali bertindak cepat. Segera dialirkan tenaga dalamnya lagi dan menggeram dengan wajah muak. Kedua matanya turun ke bawah dengan pipi menggembor.
"Keparat! Siapa yang melakukan serangan setan itu"!" makinya penuh kebencian.
Kuntara yang tengah mengalirkan hawa murninya untuk menghilangkan rasa sakit, menjawab setelah muntah darah kembali, suaranya tak bisa sembunyikan nyerinya, "Aku khawatir Dewi Putih Hati Setan masih hidup dan ia tak menginginkan kita berada di sini." Semangat yang ada dalam dadanya tiba-tiba saja luntur, namun ia sudah tentu tak berani mengatakannya pada Singaranu yang seketika melotot gusar padanya.
"Kita tidak usah jeri!" sentak Singaranu satelah bisa berdiri. Sesaat tubuhnya limbung namun segera dikuasainya kembali. Dari ketiganya, memang dialah yang paling berambisi untuk mendapatkan dua benda pusaka di dalam Goa Terkutuk. Dia pula yang sebelumnya membujuk Kuntara dan Sampurno agar mengikutinya menuju Goa Terkutuk. Sebagai sahabat, keduanya menyetujui ajakan itu. Terlebih-lebih setelah diiming-imingi dengan harapan untuk menguasai rimba pcrsilatan. Paling tidak mendapatkan kedudukan, harta dan wanita secara mudah.
Pada dasarnya, Kuntara dan Sampurno memang orangorang yang serakah, Namun, mereka sendiri tidak menyangka kalau begitu sulit untuk mendapatkan dua benda pusaka itu, Apalagi sekarang, mengingat kemungkinan Dewi Putih Hati Setan yang pernah mereka dengar pula tentang sepak terjang telengasnya puluhan tahun yang lalu, masih hidup.
"Singaranu.... Dewi Putih Hati Setan telah memberi peringatan pada kita. Lebih baik, kita batalkan rencana ini," desis Sampurno yang menderita sakit yang sama.
"Bodoh! Kalian masih meyakinkan diri kalau Dewi Pulih Hati Setan masih hidup! Keparat! Aku ingin tahu hal itu! Kerahkan tenaga 'Sekati Gajah Mati' untuk menahan bobol tubuh kita agar tidak termakan oleh serangan gelap sialan itu! Hayo, jangan loyo seperti itu! Kita kembali terobos ke dalam!" Kuntara dan Sampurno saling pandang. Meskipun mereka tegang dengan aliran darah yang kacau, namun mereka pun membenarkan kala-kala Singaranu yang mengatakan kalau mereka telah menyia-nyiakan kesempatan. Keberanian itu muncul kembali. Memang percuma menempuh jarak berminggu-minggu untuk tiba di Gunung Larangan kalau mereka mundur perlahan-lahan hanya gara-gara ancaman dari dalam goa itu.
Lalu ketiganya secara bersamaan mengalirkan ajian 'Sekati Gajah Mati'. Sebuah ajian. dahsyat, mampu membuat bobot tubuh bertambah ribuan kati. Namun bagi pemiliknya, seakan tak ada tambahan bobot, karena mereka bisa bergerak dengan mudah.
Sekarang, ketiganya tiba kembali dalam jarak tiga tombak di hadapan Goa Terkutuk. Tak berkesip menatap ke depan. Air makin banyak ditumpahkan dari langit. Dingin makin menusuk tulang paling dalam. Singaranu menganggukkan kepalanya pada kedua temannya, tanda bersiap.
"Heaaaa!!" teriakan menggelegar terdengar bersamaan.
Lentingan tubuh mereka yang bertambah bobot ribuan kati, getarkan tempat itu. Namun lagi-lagi sebuah tenaga raksasa yang mengeluarkan gemuruh angin, menghantam tubuh mereka dengan keras, hingga ketiganya terpental beberapa tombak ke belakang.
Ajian 'Sekati Gajah Mati' yang, dipergunakan tak membawa banyak arti. Karena kali ini mereka harus muntah darah berkali-kali. Hanya sesaat ketiga lelaki berbaju hitam itu menahan sakit, karena selebihnya nyawa sudah lepas dan badan diiringi jeritan menyayat mengalahkan gemuruh hujan.
Keanehan itu berlanjut, karena bagai ada tangan-tangan gaib mayat ketiganya terangkat, melayang-layang dan jatuh seperti nangka busuk di depan Goa Terkutuk.
Satu detik kemudian, meluncur dari dalam goa tiga buah sinar hitam. bergulung-gulung, menyelingkupi mayat ketiganya bagaikan puluhan tawon yang mengeluarkan dengungan kematian. Dan tiba-tiba saja bagaikan seutas tali sinar-sinar hitam itu mencengkeram erat mayat tiga laki-laki malang, memutar-mutar, hingga ketiga mayat itu tak ubahnya bagai sebuah bandul yang lengah dimainkan.
Bummm!! Sebuah ledakan terdengar keras. Halilintar seolah berhenti menyalak. Kilat seolah terdiam. Mayat ketiga lelaki itu telah pecah menjadi serpihan.
Sinar hitam tadi melesat kembali ke dalam goa. Seolah tak pernah ada kejadian yang mengerikan, semuanya kembali sunyi. Tinggal hujan lebat, angin dingin, halilintar menyalak, dan kilat sambar menyambar. Juga bentakan ingin yang menggema dari dalam goa, "Sudah kuperingatkan pada kalian, tetapi kalian tetap membangkang! Hhh! Caping Dewa Sakti, aku masih menunggu kedatanganmu!" Selebihnya, diam.

*****

«₪₪₪②₪₪₪»

"Kerbau bau! Orang gundul! Kucing mabuk! Kapan hujan ini akan berhenti?" makian itu terdengar dari sebuah gubuk yang terdapat di hutan belantara tak jauh dari Gunung Larangan.
Pemuda yang memaki itu menekuk kedua lututnya di balai-balai usang yang terdapat di gubuk itu. Tubuhnya sedikit menggigil karena menahan dingin padahal ia sudah alirkan tenaga dalamnya. Wajah tampan dengan rambut panjang acak-acakan berkerut-kerut karena jengkel. Sungguh jelek jadinya! "Apa harus seumur hidupku berada di sini terus" Astaga! Mau jadi apa aku kalau sudah besar?" Kalau barusan ia memaki, sekarang terdengar tawanya yang merasa lucu dengan ucapannya sendiri, "Apa sekarang aku belum besar juga" Padahal pipisku sudah lempeng! Edan!" Pemuda berbaju hijau pupus itu masih menggerutu panjang pendek. Bibirnya membentuk kerucut. Sepasang alis hitamnya bergerak-gerak turun naik.
Namun tiba-tiba saja kepalanya menegak. Wajahnya tegang, dan bagai dibetot setan ia memandang keluar dari gubuk itu, menerobos hujan yang turun dengan deras.
Duaaarrr! ! Gubuk itu hancur berantakan tersambar halilintar. Si pemuda yang tadi bergulingan kini perlahan-lahan tegak kembali sambil mengelus dadanya. Tak pedulikan hujan yang sudah membasahi seluruh tubuhnya.
"Konyol! Mengejutkanku saja!!" gerutu si pemuda panjang pendek.
"Memang aku tidak mampus kalau tersambar petir atau halilintar. Tetapi, kan sakitnya tetap sama!! Di mana lagi aku bisa berteduh sekarang" Kasihan juga para penebang kayu karena gara-gara aku mereka sudah tentu tak punya tempat beristirahat. Brengsek! Brengsek!" Pemuda berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang tersampir di lehernya, menoleh ke sana kemari seperti orang linglung.
"Busyet! Apa aku harus terus membiarkan sekujur tubuhku terus menerus basah kuyup seperti ini?" makinya tak karuan. Saat itulah didengarnya suara berdentuman, keras, hampir-hampir mengalahkan gemuruh hujan dan salakan halilintar. Kepala si pemuda menoleh ke satu tempat "Sinting! Aku yakin yang menggelegar itu bukanlah halilintar! Tetapi apa?" desisnya tak mengerti, "Hmmm, sekarang sudah basah kuyup! Tempat berteduh pun tak ada, sebaiknya aku mencari saja dari mana asal suara menggelegar barusan tadi! Pepohonan yang berada di dekatku seakan bergetar, dedaunan luruh begitu saja! Gila! Kekuatan apa itu" Apakah alam yang sedang marah?" Setelah mempertimbangkannya, pemuda berbaju hijau pupus yang tak lain adalah Andika alias Pendekar Slebor, segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Diterobosnya curahan air laksana ribuan jarum menusuk sekujur tubuhnya. Pepohonan lebat dan jalan terhalang kabut, tak mengganggu kelincahan dan mata tajamnya.
Namun licinnya jalannya cukup membuatnya berhati-hati.
Selang beberapa lama, Pendekar Slebor tiba di lereng Gunung Larangan. Pandangannya tak mampu menembus betapa pekatnya kabut. Dicoba untuk mengagumi keindahan yang samar terpancar, namun kepalanya jadi menggeleng-geleng sendiri.
"Busyet! Kenapa sih aku tahu-tahu berada di sini?" makinya pada diri sendiri.
"Jangan-jangan, suara yang kudengar tadi suara setan yang sedang berpesta!" Mendadak didengarnya suara yang sangat keras sekali.
Membuat pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu mendengus karena jengkel sendiri.
"Monyet buduk! Siapa yang mengeluarkan kata-kata yang mengalahkan gegap gempita, hujan dan halilintar! Hhhh! Asal suara itu dari sisi kiriku! Aku jadi penasaran, apa yang sebenarnya terjadi?" Lincah Andika berkelebat, melompati batu-batu besar dan menghindari halilintar yang berkali-kali menyambar.
Beberapa saat kemudian ia tiba di sebuah tempat yang agak lapang. Suasana di situ sangat gelap sekali. Pendekar Slebor mencoba memicingkan matanya, namun gagal menembus kegelapan.
"Heran! Kenapa kilat tidak menerangi tempat ini" Hei, Kilat! Ayo dong berkelebat lagi!! dalam keadaan mencekam dan membuatnya penasaran, Andika masih tak lupa dengan sifat slebornya.
Pendekar Slebor menggerutu tak karuan.
"Brengsek! Kalau memang dari sini asal suara itu rasanya tak masuk akal! Aku tak merasa ada yang mencurigakan!! Hhh Jangan-jangan memang setan yang kudengar tadi!! Lebih baik aku mencari tempat berteduh saja daripada pusing memikirkan keanehan ini. Baiknya kutunggu dulu barangkali saja suara keras itu terdengar lagi.
Memikir sampai di situ, Pendekar Slebor membiarkan tubuhnya diterpa hujan. Sekian lama ia berdiri di sana, membuka pandangan dan pendengarannya lebih tajam, tak terlihat atau terdengar sesuatu yang seperti diharapkannya.
Lalu ia putuskan meninggalkan tempat itu.

*****

Hujan deras perlahan-lahan mereda. Angin dahsyat bergemuruh kini berhembus lembut. Tak ada lagi halilintar menyambar, tak ada kilat sambung menyambung. Alam berubah terang. Seluruh dedaunan basah. Satwa yang hidup di sana segera keluar dari sarang, bergembira.
Andika yang bernaung di sebuah pohon besar berdiri sambil merentangkan kedua tangannya.
"Busyet! Entah berapa lama aku menekuk lutut di situ!" desisnya celingukan. Ketika mendongak, dilihatnya pohon di mana ia bernaung tadi dipenuhi buah.
"Wah, kalau tahu dari tadi, perutku pasti kenyang." Sekali sentak, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan sudah mendapatkan buah-buahan itu. Dimakannya untuk mengganjal perut yang sudah keroncongan. Setelah itu barulah dirasakan tubuhnya lengket karena keringat yang menyatu dengan air hujan telah mengering pada tubuhnya. Diangkat tangan kanan, diciumnya, seketika hidungnya bergerak-gerak mirip hidung tikus.
"Kecut! Hmm... sambil mengeringkan pakaianku ini, aku ingin mandi. Di mana ya ada sungai di sini?" Andika celingukan lalu kelebatkan tubuh untuk mencari sungai, tak lama kemudian ditemukannya sebuah sungai yang terletak dalam jarak seratus tombak dari Gunung Larangan. Sungai itu mengalirkan air yang cukup jernih. Namun suaranya bergemuruh tinggi. Mungkin disebabkan hujan terus menerus turun semalaman hingga air sungai itu lebih deras. Sebelum membuka seluruh pakaiannya, Andika celingukan lagi. Setelah diyakini tak ada yang mengintip, segera dibuka pakaiannya dan meletakkan di sebuah batu besar. Lalu....
Byur! Gembira bersenandung lagu yang tak karuan, Andika berenang-renang sambil menggosok seluruh tubuhnya. Rasa penatnya, hilang perlahan-lahan. Tubuhnya segar kembali.
Setelah puas mandi, Andika berenang ke tepian. Setelah memperhatikan sekelilingnya, terburu-buru Andika berlari ke atas. Bagai melihat setan sedang bercumbu, langkahnya mendadak terhenti. Mulutnya terbuka, tatapan matanya melotot. Sejurus kemudian dengusan dan makiannya terdengar, "Kutu kudis! Orang iseng mana yang berani mengambil pakaianku"!"
"Hik hik hik... baru saja sampai di sini, sudah disuguhi tontonan memalukan! Aku jadi tidak enak melihatnya!!" terdengar satu suara dari salah sebuah pohon dengan kekehan panjang keras membahana.
Bagai digigit kalajengking Andika melompat kembali ke dalam air. Byyurrr! Tubuhnya keluar lagi hingga sedada dari dalam sungai sambil menggerakkan kepalanya membuang air yang menempel di rambut dan wajahnya. Sepasang matanya mendelik besar tak berkedip pada seorang nenek yang duduk di sebuah pohon besar di dekatnya.
"Keparat! Kuntilanak kesiangan! Kembalikan pakaianku!!" bentaknya pada si nenek yang duduk menguncang kaki di sebuah ranting pohon. Di tangan kanannya tergenggam seluruh pakaian termasuk kain bercorak catur milik Pendekar Slebor. Andika bertambah sewot melihatnya, "Hei, Nenek usilan! Kembalikan pakaianku!!" Perempuan tua ini mengenakan baju merah menyala.
Rambutnya digelung ke atas, dengan sebuah tulang yang dijadikan tusuk konde. Pakaian bawahnya sebuah kain batik usang. Parasnya pucat, penuh kerut merut. Dalam cuaca yang terang seperti ini saja sudah ngeri orang memandangnya, apalagi bila Andika bertemu dengannya di saat hujan lebat dan kabut yang menutupi seluruh hutan ini.
Bisa tunggang-langgang dibuatnya karena menyangka ada kuntilanak nyasar.
"Hik hik hik... konyol sekali kau, Pendekar Slebor! Sikapmu sungguh memalukan! Apakah kau akan terus menerus berada di sungai itu, hah" Jangan-jangan 'burung'mu tak jadi bertelur nanti!!" suara mirip kuntilanak itu terdengar lagi diiringi kekehan yang membuat Andika ingin mengemplang kepala si wanita tua.
Siapa sebenarnya nenek itu'! Ia mengenalku, sementara aku sendiri tidak tahu siapa dia, pikir Andika.
"Nenek peot jelek! Kembalikan pakaianku!!" Sambil uncang-uncang kaki, si nenek menyahut dengan seringaian jelek, "Mengapa kau tidak mengambilnya, hah?"
"Kurang ajar! Apa kau pikir aku tidak punya malu?" gerutu Andika sewot.
"Cepat kembalikan pakaianku, sebelum kugedor perutmu!!"
"Hik hik hik... nama jelekmu itu sudah lama kudengar! Apa yang selama ini kudengar ternyata memang benar! Kau bukan hanya urakan, tapi juga slebor! Eh, sama saja ya?" Nenek itu terkikik-kikik.
Kerut di wajahnya bagai tertarik masuk keluar. Deretan gigi ompongnya memperlihatkan keseramannya.
Pipi Andika mengembung melihat tingkah menjengkelkan si nenek. Tiba-tiba saja dikibaskan tangannya. Wusss! . Serangkum angin keras menderu bak air bah tumpah ke arah si nenek, yang masih terkikik-kikik. Tetapi mendadak terdengar suara dentuman yang menggugurkan dedaunan.
Andika tercekat melihatnya. Tak dilihatnya bagaimana si nenek menghalangi serangannya. Bagaimana ini bisa terjadi" Padahal si nenek masih terkikik seolah tak mempedulikan pukulan jarak jauhnya.
"Hmmm, rupanya bukan manusia sembarangan, si peot ini. Bisa berabe. Kalau begitu aku harus membujuknya. Uh! Kalau saja tidak telanjang seperti ini, sudah kujitak jidatnya yang nonong itu!" batin Andika salut bercampur jengkel.
"Hei, Nek! Jarak langit dan bumi masih jauh, mengapa kau mengambil pakaianku" Apakah kau sebenarnya ini seorang pencuri pakaian yang kesiangan?"
"Kurang ajar! Tutup mulutmu! Mengapa kau meninggalkan pakaianmu ini, hah" Kusobek mulutmu nanti!!" sentak si nenek membentak. Sepasang mata kelabunya yang celong ke dalam, bagai melompat keluar.
"Iya, iya! Kau bisa melakukannya nanti, kalau kau sudah mengembalikan pakaianku!"
"Apakah kau pikir aku tak bisa melakukannya, hah?" bentak si nenek keras. Tiba-tiba tangan kirinya mengibas.
Wuss! Andika tercekat merasakan angin panas menderu ke arahnya. Cepat Andika keluar dari sungai dan bergulingan ke balik semak. Sementara sambaran angin raksasa itu menghantam air sungai yang menggelegar muncrat begitu hebat dan menimbulkan suara menggeledek.
"Hik hik hik... ayo keluar kau dari persembunyianmu itu, Pendekar jelek!"
"Iya! Iya! Kembalikan dulu dong pakaianku! Keenakan kau Nek, kalau melihat tubuhku yang tegap dan gagah ini! Kambing pun tak akan mau memperlihatkan auratnya kepadamu!!"
"Pemuda gendeng!!" Wusss!! Si nenek sudah mengibaskan tangannya kembali. Semak di mana Pendekar Slebor berada bagai tersibak dan terpapas habis dengan suara dentuman yang keras.
"Sudah, sudah! Kembalikan dulu pakaianku!!" terdengar suara Pendekar Slebor dari salah sebuah pohon. Rupanya ia sudah mengempos tubuhnya ke balik pohon.
"Hik hik hik... aku akan mengembalikan pakaianmu, bila kau mau menjawab pertanyaanku!!"
"Keparat betul," maki Andika dalam hati.
"Cuma mau bertanya saja harus mengambil pakaianku. Bahkan sudah menyerangku dengan dahsyat seperti itu." Lalu ia berteriak, "Hei, Nek! Aku akan menjawab pertanyaanmu, tetapi kembalikan dulu pakaianku!!"
"Jawab dulu pertanyaanku!!" bentak si nenek menggelegar keras. Andika merasa pohon yang dijadikannya sebagai tempat berlindung, bergoyang.
"Busyet! Tenaga dalamnya sangat tinggi sekali. Siapa sih nenek jelek ini sebenarnya" Nek, cepat kau tanyakan apa yang ingin kau ketahui!!" serunya kemudian.
Si nenek terkikik kemenangan.
"Apakah kau melihat muridku yang jelita, hah?"
"Selama aku berada di hutan ini, aku belum bertemu dengan siapa pun juga kecuali kuntilanak yang mengenakan baju merah menyala! Mana aku tahu di mana muridmu berada?"
"Brengsek!" maki si nenek mendumal dikatai Andika barusan. Tetapi kelihatannya si nenek memang sangat ingin sekali mencari muridnya.
"Hei, muridku sangat cantik sekali! Namanya Sri Kasih! Bila kau bertemu dengannya, pasti kau jatuh cinta! Tetapi... hhh! Mana kuizinkan ia menjadi kekasihmu, Urakan!!" , "Masa bodohlah dengan ucapanmu! Kau harus menepati janjimu bila aku sudah menjawab pertanyaanmu! Ayo, kembalikan pakaianku itu!!"
"Aku bukan orang yang tak pernah menepati janji! Nih!!" Wrrrr! ! Bagai anak panah yang diluncurkan dari busurnya, baju hijau pupus dan kain bercorak catur menderu deras ke arah pemiliknya. Andika tercekat.
"Kadal buntung!!" makinya.
Ditepuk kedua tangannya. Pakaiannya yang meluncur itu bagai tersentak, seolah-olah ada tenaga yang menahannya, lalu seperti melompat ke arahnya.
Tap! Andika menangkapnya. Segera dipakainya setelah membersihkan tubuhnya dengan dedaunan. Setelah itu barulah dia keluar dari balik pohon besar tadi.
"Terima kasih, Nek! Kalau aku bertemu dengan muridmu itu, tentu aku akan mengatakannya kalau kau mencarinya."
"Hei! Kau tak tanya siapa namaku!!" Andika menyeringai.
"Untuk apa sih" Masa' aku harus mengingat-ingat wajah jelekmu itu!!"
"Bocah keparat!" si nenek sudah mengangkat tangannya.
Andika buru'-buru berkata-kata, "Iya, iya! Sebutkan namamu, Nek!!"
"Keterlaluan! Katakan pada Sri Kasih, kalau aku, Si Tua Naga Merah menunggunya di sini!!"
"Baik, Nek! Kalau begitu, aku permisi!"
"Mau ke mana kau?"
"Ke mana saja! Aku justru pusing bila berhadapan denganmu terus!!" Sebagai jawaban dari selorohan Andika, tangan wanita tua yang mengaku berjuluk si Tua Naga Merah sudah mengibas ke arahnya. Dalam keadaan sudah berpakaian, pemuda sakti itu melompat ringan sambil terkekeh-kekeh.
"Sayang, aku tidak bernafsu denganmu, Nek!" Lalu tubuhnya berkelebat cepat.
Tinggal si Tua Naga Merah yang menggerutu panjangpendek.
"Hhhh! Aku harus secepatnya menemukan Sri Kasih! Aku kuatir bila murid jelitaku itu tak mampu menemukan di mana Pecut Sakti Bulu Babi milik Dewi Putih Hati Setan itu! Tetapi sekarang ini, mengapa firasatku mengatakan kalau Dewi Putih Hati Setan masih hidup'! Sialan benar! Ah, sebelum terlambat, sebaiknya aku mencarinya kembali." Lalu bagai ditelan bumi, tubuh si Tua Naga Merah hilang begitu saja.

*****

Pendekar Slebor yang sudah menjauh dari si Tua Naga Merah menghentikan larinya ketika dilihatnya dua sosok tubuh berpakaian putih-putih, berzig-zag menerobos pepohonan yang hampir-hampir rapat.
Cepat pendekar urakan itu lompat ke sebuah pohon dan kerutkan kening sambil memperhatikan keduanya.
"siapa kedua orang itu" Aku saja ingin keluar dari sini, justru keduanya seperti hendak menerobos masuk" Ada rahasia apa sebenarnya di Gunung Larangan" Apakah ada hubungannya dengan suara menggelegar mengalahkan gemuruh hujan yang kudengar" Tetapi siapakah yang berbicara itu" Hmm Jangan-Jangan SI Tua Naga Merah itu yang melakukannya" Sialan, kenapa aku tidak bertanya tadi!!" Dua laki-laki berpakaian putih-putih itu sudah jauh dari tempat di mana Andika mengintip. Penasaran Andika memutuskan untuk mengikuti keduanya. Ada apa sebenarnya di tempat sesunyi ini ternyata didatangi orang, batinnya penasaran.
Meskipun dua lelaki yang dibuntuti Andika bergerak laksana hantu, tetapi pemuda urakan yang kesohor memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, berhasil mendekati. Menjaga jarak.
Di tempat di mana Andika berada tadi bersama si Tua Naga Merah, kedua laki-laki itu berhenti.
"Kakang Suryopati. kurasa di sebelah barat Gunung Larangan Goa Terkutuk itu berada," kata yang seorang.
Wajahnya kelimis, sinar matanya dingin. Pakaian putih dengan celana hitam menambah kegagahannya. Terlilit di pinggangnya kain batik. Di belakang ikat pinggang itu terselip sebatang keris berlekuk tujuh. Di kepalanya sehuah blangkon indah bertengger.
"Kau benar Adi Gumilang," sahut Suryopati. Kalau wajah Gumilang kelimis. wajah Suryopati dipenuhi bulu.
Berpakaian sama dengan Gumilang. Kita harus membuktikan kabar angin yang mengatakan Dewi Putih Hati Setan masih hidup. Puluhan tahun yang lalu, ketika kita masih kecil, dengan telengasnya wanita keparat itu telah membunuh kedua orangtua kita. Bila saja Guru tidak menceritakan semua ini, kita tidak pernah tahu bagaimana kedua orangtua kita mati. Tetapi terus terang, aku mengharapkan kalau wanita keparat itu memang sudah mati. Dan dikutuk selamanya oleh sumpah manusia yang pernah dibuatnya sakit hati." Keduanya terdiam. Terpampang di mata mereka kejadian empat puluh tahun yang lalu, ketika mereka masih berusia dua belas tahun dan delapan tahun.
Kedua orangtua yang mereka sayangi, mereka temukan sudah mati terbunuh di dalam rumah. Keadaan mereka sangat menyedihkan. Dengan leher hampir putus dan darah membanjiri lantai. Saat itu keduanya sedang asyik mandi di sungai di sebelah kiri kaki Bukit Melati di mana mereka tinggal. Tangis dan kesedihan melanda tiada henti. Sampai muncul seorang laki-laki setengah baya yang mengaku bernama Ki Pati Suci atau yang berjuluk Dewa Tangan Baja. Keduanya dibawa ke tempat tinggal Dewa Tangan Baja, di Lembah Jenjang, terletak ratusan tombak dari Gunung Kerinci. Mereka diasuh dan dijadikan murid.
Perlahan-lahan mereka melupakan tragedi empat puluh tahun lalu. Sampai sebulan lalu ketika Ki Pati Suci atau Dewa Tangan Baja yang telah mengundurkan diri dari dunia persilatan. merasa perlu menceritakan kejadian yang dialami oleh orangtua kedua muridnya. Karena, cerita itu memang terlalu lama dipendam dan dirasakan kalau kedua muridnya sudah cukup pantas untuk mengetahui latar belakang kehidupan mereka.
Meskipun waktu itu, keduanya bisa mengingat kejadian mengerikan yang dialami oleh kedua orangtua mereka, namun agak samar untuk diingat lebih jelas.
Seorang wanita yang berjuluk Dewi Putih Hati Setan telah membunuh sepasang suami-istri karena merasa kalah cantik dengan ibu Gumilang dan Suryopati. Hati keduanya geram bukan buatan. Hanya gara-gara masalah kecantikan saja, wanita itu membunuh kedua orangtua mereka dengan kejam. Ki Pati Suci juga mengatakan, selama itu dia berusaha mencari tahu di mana Dewi Putih Hati Setan berada. Terakhir disirap kabar kalau wanita itu berada di Goa Terkutuk. Yang belum diketahui oleh lelaki dedengkot dunia persilatan, wanita itu masih hidup atau sudah mati.
Tak ada pesan dari Ki Pati Suci melarang atau memperbolehkan kedua muridnya yang sudah mulai berumur pula membalas sakit hati mereka atau tidak.
Baginya, segala keputusan berpulang pada diri kedua muridnya. Namun sekarang, kedua kakak beradik itu justru jadi penasaran untuk mengetahui siapa gerangan wanita yang berjuluk Dewi Putih Hati Setan. Mereka memutuskan mendatangi Gunung Larangan di mana Goa Terkutuk berada. Setelah berhenti beberapa saat, keduanya berkelebat kembali. Tinggal Andika yang sejak tadi mencuri dengar mengerutkan keningnya. Lagi-lagi tentang Dewi Putih Hati Setan yang didengarnya. Siapakah sebenarnya wanita itu" Sambil mendengarkan percakapan kedua lelaki gagah itu matanya mencari-cari di mana si Tua Naga Merah itu berada. Tetapi tak dilihatnya nenek peot baju merah itu.
Pasti dia sudah meninggalkan tempat itu, entah ke mana..
"Hmm, baiknya, kuikuti saja keduanya. Aku jadi ingin tahu sekali tentang Dewi Putih Hati Setan. Tetapi... entah mengapa sepertinya aku menangkap isyarat kematian yang sangat mengerikan....." Segera diempos tubuhnya untuk mengikuti ke mana arah kedua lelaki berpakaian putih itu berkelebat.

*****

«₪₪₪③₪₪₪»

Puluhan tahun lalu, ada seorang pemuda tangguh yang selalu muncul dengan caping bambunya. Pemuda itu memiliki tubuh yang gagah dan wajah tampan dengan sepasang mata jernih yang membiaskan ketenteraman.
Pakaian putih bersih yang dikenakannya menandakan pemuda itu memang selalu menjaga kebersihannya. Ikat pinggangnya berwarna hitam. Rambut bagian atas selalu tertutup caping bambu yang jarang sekali dibukanya, beriap hingga ke punggung, dibiarkan tergerai.
Kemunculan pemuda ini sebenarnya tak pernah diketahui dari mana dia datang. Hanya saja, ketika suatu hari ada keributan di kotapraja, yang bermula dari sebuah kedai makan, pemuda bercaping bambu itu turun tangan dan menuntaskan masalah yang cukup merepotkan beberapa prajurit kadipaten.
Juga kemunculannya yang mendadak saat terjadi perampokan besar-besaran di desa Randu, Para penduduk mengelu-elukannya. Namun sampai sejauh itu, si pemuda hanya tersenyum saja tanpa pernah mengatakan siapa namanya. Kemunculan si pemuda yang kemudian dijuluki Caping Dewa Sakti memang cukup mengejutkan para tokoh dari golongan hitam kala itu. Mereka berbondong-bondong untuk menghentikan sepak terjangnya yang mereka pikir sebagai penghalang utama. Namun sampai sejauh itu, tak seorang pun yang bisa mengalahkan si pemuda yang diketahui memiliki kesaktian cukup tinggi.
Banyak sekali yang mendendam padanya, dan banyak pula yang berlindung padanya. Hingga dalam waktu kurang dari dua tahun, julukan Caping Dewa Sakti benar-benar telah menggemparkan rimba persilatan, Pada masa itu pula, hidup seorang wanita berparas dewi namun memiliki hati kejam laksana setan. Dia merasa dirinya paling cantik, dan bila menurutnya ada seorang wanita yang mengalahkan kecantikannya, tak segan-segan wanita itu menurunkan tangan kejam.
Banyak tokoh golongan lurus yang mencoba menghentikan sepak terjangnya. Namun, akhirnya mereka justru menemui ajal di tangan Dewi Putih Hati Setan.
Hanya seorang yang berhasil menghentikan kekejaman Dewi Putih Hati Setan. Caping Dewa Sakti yang muncul ketika wanita itu mencoba membunuh seorang gadis dari Desa Batu Ampar yang sedang mencuci baju di sungai.
Nama telengas Dewi Putih Hati Setan pun lenyap dari pendengaran. Begitu pula dengan julukan Caping Dewa Sakti. Hanya saja, Caping Dewa Sakti masih muncul ke dunia ramai bila didengarnya terjadi kerusuhan yang membahayakan. Meskipun nama Caping Dewa Sakti dan Dewi Putih Hati Setan hanya selentingan saja terdengar, orang-orang banyak tahu, kalau sebenarnya Dewi Putih Hati Setan masih mendendam pada Caping Dewa Sakti.
Karena, tokoh itulah satu-satunya yang mampu menghentikan sepak telengasnya.
Kini, setelah puluhan tahun berlalu, pemuda gagah yang berjuluk Caping Dewa Sakti sudah berubah baik fisi,k maupun wajahnya. Ketuaan mulai menggerogoti tubuhnya.
Namun kebijaksanaan dan capingnya masih tetap bertengger di benak dan kepalanya.
Orang tua yang berjuluk Caping Dewa Sakti itulah yang kini tengah merenung di kediamannya, di puncak kaki Gunung Batu. Sepasang mata si kakek yang cekung menatap ke kejauhan. Kabut tebal menyelimuti Gunung Batu.
Pepohonan yang sepertinya bagai sedang lari menanjak dan menurun, ditutupi oleh kabut. Udara dinginnya bukan main. Akan tetapi si kakek tenang saja seolah tak merasa apa-apa walaupun pakaian yang dikenakannya rombeng, ia tetap duduk di atas batu besar. Matanya menatap satu tempat dalam kegelapan, seolah tak tahu apa yang sedang di tatapnya.
"Puluhan tahun berlalu sudah. Seperti yang kuduga, kalau Dewi Putih Hati Setan masih hidup. Kini, telinga tuaku masih menangkap denyut hawa kematian yang siap ditebarnya," pikir si kakek sambil mengusap Jenggot putihnya yang panjang. Tubuhnya begitu bongkok sekali.
Di dekat batu yang diduduki ada sebuah tongkat berwarna hitam. Kepalanya yang tertutup caping bambu menggelenggeleng seolah membuang keresahan dalam pikirannya.
Kembali si kakek mendesah, "Aku tak bisa membiarkan hal ini terjadi terus menerus, Dewi Putih Hati Setan pasti akan segera turun kembali dari tapanya. Hmm, nampaknya keangkaramurkaan akan berlaga lagi di rimba persilatan ini...." Angin semakin dingin menghembus. Kabut semakin tebal menyelingkupi Gunung Batu. Keresahan si kakek semakin membesar saja.
Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Membuat si kakek tersentak dan seketika berdiri. Wajahnya bagai ditampar oleh tangan raksasa yang sangat dahsyat Gubuk di mana dia tinggal terlempar jauh.
Tubuh si kakek bergetar, "Dewi Putih Hati Setan... bila kau sedang mampir di kediamanku, aku menerima dengan senang hati...." Angin semakin dahsyat berhembus, berputar-putar dalam gelombang yang sangat hebat. Pepohonan seketika tumbang dan berpentalan. Dalam angin yang bergemuruh itu, terdengar sebuah suara, "Enam puluh tahun sudah berlalu.
Cukup sudah tapa yang kulakukan dengan menuntaskan segala ilmu yang kupelajari. Dendam naik ke permukaan, ajal sudah datang!"
"Dewi!!" si kakek mengangkat wajahnya, mencoba mencari dari mana asal suara itu. Wajahnya tampak agak tegang.
"Jangan panggil namaku, Caping Dewa Sakti! Kematian sudah dekat, kau tak bisa lolos dari mati!!" Dari angin yang bergemuruh dahsyat itu, tiba-tiba meluncur sinar menggidikkan. Menderu mengeluarkan suara mengerikan ke arah laki-laki tua yang masih memicingkan mata dan menajamkan pendengaran. Si kakek cepat melompat dan sinar hitam itu menghantam batu besar di mana ia berdiri sekarang.
Blaaarrr!! Batu itu hancur seketika.
Caping Dewi Sakti sudah berdiri di tanah dengan tatapan dingin.
"Dewi... enam puluh tahun sudah berlalu, namun dendammu kepadaku masih terpatri dalam! Kupikir, Dewata sudah cabut nyawamu!"
"Sebelum melihatmu terkapar, tak pernah aku meninggalkan dunia. Sebelum dendam tuntas, aku tak akan mati dengan tenang! Masih ada keinginanku setelah kau mati di tanganku!"
"Katakan!"
"Kau harus menemui ajalmu lebih dulu Manusia Hina!" Wrrrr! Singg!! Bersamaan dengan gemuruh angin yang menderu dahsyat, sinar hitam menggidikkan kembali mengarah pada Caping Dewa Sakti yang seketika mengempos tubuhnya.
Gunung Batu bagai bergetar dahsyat, batu-batu bergulingan, pepohonan tumbang berpentalan.
"Tahan, Dewi!!" desis Caping Dewa Sakti.
"Kita sudah sama-sama lanjut usia! Tak ada guna kita teruskan silang sengketa ini! Kau hanya menambah dosamu saja!" Terdengar suara kikikan yang sangat dahsyat.
"Dulu aku tak mampu mengalahkan kau, Caping Dewa Sakti! Sekarang, kau Lak akan pernah bisa mengalahkanku lagi!"
"Takabur!"
"Demi membuktikan ucapanku ini, kutantang kau ke Goa Terkutuk! Di sana, kau akan menyesali dirimu sendiri karena tak mempercayai kata-kataku!! Perlu kau ingat, bila kau tidak segera tiba di Goa Terkutuk, maka puluhan nyawa akan tewas di tanganku!" terdengar suara keras yang datangnya entah dari arah mana, menyusul gemuruh angin panas yang mengeluarkan suara mengerikan ke arah lakilaki tua itu. Wusss! Caping Dewa Sakti segera lompat hindarkan serangan itu. Begitu dia berdiri kembali, tak lagi dirasakan serangan baru yang datang. Malah angin yang berhembus dahsyat tadi perlahan-lahan mereda, dan bertiup seperti biasa.
Sadarlah laki-laki tua itu, kalau Dewi Putih Hati Setan sudah tak lagi di tempatnya.
"Luar biasa! Ilmunya sudah maju sekali! Bukan buatan jauhnya Gunung Batu ini dengan Goa Terkutuk! Usiaku sudah tua dan tubuh yang renta, namun tak akan kubiarkan wanita itu muncul kembali ke rimba persilatan ini!" Memikir demikian, laki-laki tua itu duduk di sebuah batu. Lalu bersila dengan kedua tangan menyatu di dada.
Terlihat getaran tubuhnya yang perlahan-lahan menghebat.
Angin berputaran kacau. Daun-daun berguguran dan bebatuan berpentalan.
Sedang beberapa saat, terdengar tarikan napas laki-laki bongkok itu.
"Hmm... rupanya kematian sudah menebar di sekitar Goa Terkutuk. Kulihat ada beberapa orang di sana.
Sebaiknya aku segera menuju ke Goa Terkutuk sekarang juga...." Selesai berpikir begitu, laki-laki tua itu berpindah tempat tanpa menggerakkan badannya sedikit pun. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan jarak yang cukup jauh.
Hingga lama kelamaan tubuhnya pun lenyap dari pandangan. Sungguh satu unjuk kebolehan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi sekali dan mungkin hanya dimiliki oleh beberapa orang tokoh rimba persilatan.

*****

"Dewi Pulih Hati Setan... siapakah dia" Mengapa banyak sekali yang, menginginkan dirinya" Apakah ini berkaitan dengan dendam yang pernah dibuat wanita itu". Ataukah..
ada hal lain yang diinginkan orang-orang ini?" Masih dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, Andika terus berkelebat mengikuti kedua lelaki berbaju putih itu. Namun tiba-tiba saja dihentikan larinya, celingukan dengan kedua alisnya yang seperti kepakan sayap elang tertekuk.
"Gila! Ke mana kedua orang itu" Apakah mereka tahutahu berbalik arah dan mengurungkan niat menuju Goa Terkutuk" Atau... Jangan-jangan keduanya hantu Gunung Larangan yang menghilang begitu saja! Monyet buduk! Aku harus.,. heeiii!!" Andika melompat ke samping ketika dirasakan desingan halus menderu ke arahnya. Dilihatnya sebatang pohon di sampingnya menjadi layu.
Bersamaan dengan itu, muncullah dua lelaki berpakaian putih di hadapannya dalam jarak tiga tombak dengan wajah bengis.
"Kau benar, Adi Gumilang! Rupanya ada monyet yang mengikuti kita!!" Andika celingukan, lalu kembali menatap keduanya sambil berkata, "Tidak ada monyet di sini" Siapa yang kalian maksud?" Suryopati yang berseru tadi menggeram dengan gigi berbunyi, ia merasa diejek dengan sikap pemuda berbaju hijau pupus di hadapannya.
"Keparat! Mau apa kau mengikuti kami, hah?"
"Nah, kalau kau bertanya begitu, jelas pertanyaan itu ditujukan kepadaku," sahut Andika santai.
"Jangan banyak cincong! Nyawa hinamu sudah menjadi milik kami!!" seru Gumilang sengit.
Andika cuma menyeringai.
"Tak ada maksud apa-apa untuk mengikuti kalian, Aku cuma penasaran saja dengan yang kalian bicarakan. Siapa sih yang kalian maksudkan dengan Dewi Putih Hati Setan?" Kedua lelaki yang tengah jengkel itu berpandangan. Lalu tiba-tiba Gumilang sudah menderu dengan serangan dahsyat.
"Keparat hina! Rupanya kau mencuri dengar percakapan kami, hah"!!" Andika tahu kalau serangan yang dilancarkan itu bukanlah serangan sembarangan, terbukti dengan pohon yang mendadak layu di belakangnya tadi. Begitu tubuh Gumilang menderu, ia pun mengempos tubuhnya.
Des! Dua tangan yang terangkum tenaga dalam kuat itu berbenturan. Tubuh Gumilang terpental lima tombak ke belakang dengan dada yang sakitnya bukan alang kepalang.
Sementara Andika terhuyung tiga langkah. Dari mulutnya mengeluarkan darah.
"Hebat juga tenaga dalamnya," desisnya.
Gumilang yang juga tak menyangka akan hal itu, segera mengalirkan hawa murninya untuk menghilangkan rasa sakit. Tiba-tiba ia tersedak dan muntah darah. Kepalanya mendadak pening sejenak. Melihat hal itu, Suryopati menggeram murka.
"Lihat serangan!!" Andika yang bisa mengukur kekuatan keduanya sekarang, langsung membuang tubuhnya ke kiri begitu serangan bak angin topan bergemuruh ke arahnya. Sambil membuang tubuhnya, jotosan dilancarkan ke pinggang kiri SuryopaLi yang menekuk tangan kirinya.
Duk! Andika merasa tangannya kesemutan. Suryopati berteriak marah. Tangan kanannya cepat cabut kerisnya yang memancarkan sinar merah dan mengelebatkannya ke arah Andika yang baru saja mundur dua tombak.
Wuuuttt! Ujung keris yang tajam itu menyambar hanya sejengkal di depan mata pemuda pewaris Ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Andika tercekat dengan tengkuk yang mendadak dingin. Cepat dia menjatuhkan tubuhnya begitu Suryopati memburu lagi dengan kilatan sinar merah yang cukup menyilaukan matanya.
Wuuuttt! Bila saja Andika terlambat menjatuhkan dirinya, sudah bisa dipastikan keris yang tajam dan memancarkan sinar merah itu melobangi batok kepalanya.
"Astaga! Ini benar-benar gawat!!" maki Andika dan mengibaskan kaki kanannya untuk menendang kaki Suryopati. Namun dengan sigapnya lelaki berbulu tebal di wajahnya melompat setengah tombak dan melurup kembali dengan tusukan kerisnya. Andika mendengus dan bergulingan. Namun kaki Suryopati sudah menjejak, siap menginjak jantungnya. Andika bergerak lebih cepat dari semula. Tangannya dengan serempak dikibaskan.
Duk! Bergetar setelah beradu dengan jejakkan kaki Suryopati yang menjadi kehilangan keseimbangannya. Bersamaan dengan itu, Andlka bangkit dan menghantamkan telapak tangannya yang sudah terangkum tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh tiga.
Buk! Suryopati merasa tulang rahangnya bagai berpindah dari posisinya ketika telapak tangan Andika menghantam dagunya dengan keras. Lelaki itu menjerit keras sambil jatuh bergulingan.
Gumilang tercekat melihatnya. Ia benar-benar tak menyangka kalau lawan yang kelihatan masih muda itu mampu menjatuhkan kakangnya yang dikenalnya memiliki ilmu yang tinggi. Begitu sadar apa yang terjadi, Gumilang langsung melurup sambil mencabut kerisnya.
"Pemuda keparat! Kau harus membayar semua ini!!" Wuuuutt! Andika yang sudah memperhitungkan hal itu, memiringkan tubuh. Begitu tubuh Gumilang lewat di sampingnya, tangan kanannya bergerak.
Prak! Menghantam punggung Gumilang yang tersungkur ke tanah. Namun pemuda berwajah kelimis itu langsung bangkit dengan membuat lompatan pendek.
Andika mendengus dan memapakinya dengan gerakan yang sangat aneh. Kedua tangannya bagai berputar cepat menekuk tangan kiri Gumilang dan menghantam tangan kanan Gumilang. Keris yang dipegang pemuda kelimis itu jatuh. Dan dengan gerakan yang sangat cepat Andika menotok tubuh laki-laki itu hingga kaku terdiam. Namun mulutnya bisa berbicara dan mengeluarkan makian-makian sengit.
"Dalam suasana dan tempat seperti ini, memang wajar bila kita saling curiga! Namun, menyerang tanpa memberikan penjelasan adalah konyol!" gerutu Andika tak mempedulikan sumpah serapah yang menerpa telinganya.
Sewot juga dia dimaki-maki seperti itu, tetapi ditahan kesewotannya. Karena dipikirnya, ini hanyalah salah paham belaka.
"Banyak omong! Lepaskan totokanmu ini, kita bertarung sampai mampus!!" sentak Gumilang dengan sorot mata laksana melontarkan api.
"Busyet! Tuh mulut tidak pernah diajar sopan santun barangkali," batin Andika sewot. Lalu katanya sambil mendengus, "Dengan begitu, kalian hanya membuang waktu saja. Dengar baik-baik, meskipun aku belum tahu siapa yang kalian maksudkan dengan Dewi Putih Hati Setan, namun aku bisa menangkap isyarat kematian yang siap ditebarkannya. Sebaiknya kalian berhati-hati, karena kemungkinan kalian tak akan bisa membalaskan sakit hati kedua orangtua kalian!" Gumilang memicingkan matanya. Hatinya geram bukan buatan mendengar kata-kata Andika.
"Benar -benar pemuda hina yang kerjanya mencuri dengar percakapan orang lain!!"
"Terus terang, aku sendiri penasaran ingin mengetahui siapa gerangan Dewi Putih Hati Setan itu!" Kali ini Gumilang terdiam. Suryopati yang sudah bangkit dan siap menyerang Andika pun terdiam. Tetapi sejurus kemudian terdengar bentakannya, "Lebih baik kau tinggalkan tempat ini!!" Andika menoleh pada Suryopati.
"Tanpa kalian suruh pun aku akan meninggalkan kalian manusia-manusia bebal! Manusia-manusia yang mau menang sendiri tanpa mempedulikan kata-kata orang lain" Apakah kalian pikir, otak kalian sudah cukup normal hah" Kalian tak lebih dari monyet buduk yang sok tahu!" Suryopati menggeram mendengar ejekan pemuda di hadapannya. Ia membentak dengan rahang mengeras.
"Sebutkan nama!" Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Namaku Andika... orang-orang rimba persilatan menjuluki Pendekar Slebor!!"
"Hhh!" dengus Suryopati dan untuk sesaat dia terdiam ketika mendengar julukan itu disebutkan. Lalu bentaknya dengan nada melecehkan, "Setahuku Pendekar Slebor berdiri di jalur lurus dan membela orang-orang tertindas! Tetapi sekarang, tahu-tahu sudah menjadi pencuri pembicaraan orang!!" Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Busyet! Benar-benar tidak pernah belajar sopan santun nih! Apa mesti kutabok mulut keduanya biar mereka tahu betapa usil mulut mereka!" batinnya makin jengkel. Diiringi dengusannya dia berseru "Aku tak peduli apa yang kalian katakan tentang diriku! Tetapi, perlu kalian camkan! Dendam tak akan membawa hasil yang baik!" Tiba-tiba Andika mengibaskan tangannya ke arah Gumilang. Tuk! Totokan yang dilakukannya terlepas. Lalu tubuhnya pun berkelebat secepat angin. Tinggal kedua lelaki berpakaian putih itu yang terdiam sesaat.
Kata-kata Gumilang memecah kesunyian, "Kakang Suryo... kurasa... yang dikatakan oleh Pendekar Slebor itu benar adanya. Sebaiknya kita memang hati-hati. Kudengar pula, kalau ia adalah orang dari golongan lurus. Dia pula yang menyelamatkan kerajaan Pakuan dari serangan seorang tokoh sesal yang menjulukinya Raja Akhirat." (Untuk mengetahui tentang; hal itu, silakan baca: "Raja Akhirat").
Suryopati menganggukkan kepalanya.
"Kau benar Adi Gumilang. Tetapi, rasa penasaranku ingin mengetahui seperti apa wajah wanita keparat yang telah membunuh kedua orangtua kita itu tetap masih ada!" .
"Kakang... sayang sekali kita sudah memperlihatkan sikap tak bersahabat tadi dengannya."
"Kau benar, Adi...," kata Suryopati seperti merenung.
"Sudahlah, kita harus secepatnya menemukan Goa Terkutuk." Lalu tubuh keduanya pun berkelebat meninggalkan tempat itu.

*****

«₪₪₪④₪₪₪»

Hari sudah memasuki rembang petang ketika Andika menghentikan larinya di satu tempat. Matahari sudah melampaui tiga perempat perjalanannya di sebelah barat.
Ratu malam siap menyongsong, menggantikan tugasnya.
"Selagi pemuda urakan itu memperhatikan sekelilingnya, tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kelinci gemuk sedang berlari. Perutnya mendadak menjadi lapar.
Terbayang sudah kelinci panggang yang akan mengenyangkan perutnya.
Andika bermaksud menangkapnya. Namun sebelum dia bergerak, sebuah desingan terdengar ke arahnya. Andika menoleh sambil menyipitkan mata dan langsung membuang tubuh ke kanan. Kelinci yang hendak ditangkapnya melompat ke balik semak dan menghilang.
Ctar! "Buruan itu punyaku, kau lak berhak menangkapnya!" seman itu terdengar bersamaan munculnya satu sosok tubuh ramping berbaju biru. Dan berseru lagi melihat Andika melongo memperhatikannya, "Kau harus mengganti buruanku yang lenyap itu!!" Dari terpananya melihat kecantikan gadis berambut panjang dengan ikat kepala di kening berwarna biru, Andika mendengus ketika menyadari kalau gadis itu tidak bersikap ramah.
"Kelinci yang menghilang itu bukan urusanku! Kenapa justru kau menyerangku, hah?" serunya sewot.
"Karena kau lancang hendak menangkapnya!" seru si gadis sengit. Wajah cantiknya seperti ditarik setan gentayangan. Matanya yang jernih dengan bola mata hitam legam melotot gusar, tak berkedip pada Andika.
"Kelinci liar itu belum menjadi milikmu! Siapa pun masih berhak untuk mendapatkannya!! Enaknya main serang begitu! Konyol! Telur busuk!"
"Eh!!" ejekan Andika barusan membuat wajah gadis itu seperti kepiting rebus.
"Kau mengatai aku telur busuk, hah" Kau yang ayam busuk!" Gadis berbaju biru itu menggerakkan tangannya yang memegang sebuah cambuk.
Cletarrr! ! Sambaran cambuknya dihindari Andika dengan melompat ke samping. Namun tak urung dirasakan bulu kuduknya meremang akibat angin yang ditimbulkan cambuk itu.
"Masih mending ayam busuk cuma seekor! Kalau telur busuk jumlahnya beratus-ratus butir bagaimana"!"
"Ayam busuk itu jumlahnya beribu-ribu ekor!" sentak si gadis dan kembali menggerakkan tangannya. Cambuknya kembali mencecar Andika yang makin sewot.
"Main labrak orang sembarangan!" makinya dan melihat di mana tanah yang dipijak tadi bagai berukir garis sedalam satu jengkal. Menyadari gadis itu tidak main-main, Andika mendumal.
"Kau senang kalau tiba-tiba kuserang, ya?"
"Justru aku ingin melihat kebisaanmu!! Jangan-jangan kau hanya jual tampang dan lagak saja dengan pakaian seperti itu!" Setelah berkata begitu, si gadis memburu sambil mengibaskan cambuknya berkali-kali. Suara keras itu menerpa telinga Andika yang bersungut-sungut sambil bersalto ke sana kemari.
"Benar-benar nasib sial! Kalau sebelumnya si Tua Naga Merah, lalu dua lelaki berpakaian putih itu menyulitkan aku, sekarang gadis pemarah ini! Mengapa tiba-tiba begitu banyak orang yang tiba di tempat sepi seperti ini, hah?" rutuk Andika dalam hati.
"Nona, kita tak saling kenal, tak pernah pula punya silang sengketa! Hentikan seranganmu!!"
"Apakah dengan larinya kelinci milikku itu kita tak punya silang sengketa" Kau yang pertama kali menimbulkannya!!" geram si gadis yang jadi jengkel dan penasaran karena sejak tadi serangannya tak satu pun yang masuk pada sasarannya. Sekarang ia menerjang dengan disertai tenaga dalam tinggi, hingga bukan hanya suara gemuruh angin saja yang terdengar, suara bagai ledakan di udara pun berkali-kali mengerjap dahsyat.
"Hei! Mana aku tahu kalau kelinci itu sedang kau incar juga! Kita sama-sama lapar! Apakah lapar membuat kita harus jadi bertindak konyol seperti ini"!" maki Andika dan mencoba mencari sela untuk membalas. Akan tetapi, serangan gadis itu demikian gencar hingga membuatnya pontang-panting.
Hanya sejenak serangan itu menyulitkannya, karena detik berikutnya Andika buang tubuh ke kanan, lalu dengan pencalan satu kaki, melompat ke muka. Si gadis langsung sambarkan pecutnya.
Ctaar! Tetapi, Andika justru menghentikan lompatannya dan bergerak melompati Si gadis. Ketika dia hinggap di tanah tubuhnya sudah berada di belakang si gadis. Kedua tangannya langsung didekapkan sambil berseru, "Tahan, Sri Kasih!!" Si gadis yang sedang berusaha melepaskan diri dari dekapan Andika mengerutkan keningnya. Merasa si gadis akan hentikan serangannya, Andika melepaskan dekapannya dan nyengir.
"Lumayan, tubuh gadis itu empuk juga," pikirnya nakal.
Si gadis putar tubuhnya. Wajahnya tegang dengan tatapan tak berkesip pada pemuda di hadapannya. Ia berseru sewot, "Siapa kau yang mengetahui namaku, hah?" Andika menyeringai.
"Dugaanku ternyata tepat," desisnya dalam hati.
"Tidak usah sewot seperti itu.
Kalaupun aku mengenalmu ya... karena aku memang menduga yang tepat."
"Katakan dari mana kau mengetahui namaku, hah" Aku sendiri tidak tahu siapa kau!!" Kali ini wajah si gadis memerah mengingat dirinya baru saja didekap oleh seorang pemuda yang tak dikenalnya.
"Barangkali saja kita berjodoh, bukan?" seloroh Andika sambil nyengir.
"Jaga mulutmu!"
"Tahan, tahan!" seru Andika ketika melihat gadis itu hendak menggerakkan tangannya lagi yang memegang pecut.
"Benar-benar gadis panasan," pikirnya. Merasa gadis itu menuruti kata-katanya dia berkata.
"Aku tahu tentangmu dari Si Tua Naga Merah! Puas?" Gadis itu terdiam lagi, seolah sedang mempertimbangkan kebenaran kata-kata andika.
"Tidak mungkin!" serunya kemudian.
"Guru berada di kediamannya!! Jangan sembarangan menyebut nama guru!!"
"Kau salah, Sri Kasih. Aku sudah bertemu dengan nenek jelek yang mengaku gurumu itu. Heran kok bisa-bisanya ya ia mempunyai murid yang cantik seperti kau!!" Meskipun wajahnya memerah mendengar kata-kata Andika barusan, gadis berbaju biru yang memang Sri Kasih murid dari si Tua Naga Merah membentak keras," Brengsek! Kau mengata-ngatai guruku, hah!!" Andika mengulapkan tangannya sambil menyunggingkan seringaian.
"Sudahlah, aku toh sudah menyampaikan pesan gurumu yang harus kusampaikan kepadamu!" seru andika yang tiba-tiba saja merasa laparnya lenyap melihat sikap si gadis yang menjengkelkannya. Pemuda sakti itu berpikir lebih baik segera meninggalkan gadis ini saja daripada terusmenerus melayani bentakannya.
Memikirkan begitu Andika mendadak berkelebat, namun mendadak pula harus bersalto karena Sri Kasih sudah mengibaskan cambuknya.
Ctar! "Brengsek!" maki Andika begitu hinggap di tanah. Lalu putar tubuh dan menatap gadis itu.
"Apaapaan sih kau ini" Kok terus menerus menyerangku?"
"Tak sopan orang meninggalkan pembicaraan yang belum tuntas!" sahut murid si Tua Naga Merah.
"Dan kau harus membayar semua perlakuanmu barusan"!"
"Apa lagi" Toh semuanya sudah kukatakan kepadamu!!" maki Andika yang saat ini memang penasaran ingin mengetahui tentang Dewi Putih Hati Setan.
"Lagi pula, masih untungkan kau kupeluk!"
"Konyol!" Wajah si gadis makin memerah. Lalu sambil menekan kemarahannya ia berkata, "Kalau yang kau katakan itu dusta, kucabik-cabik tubuhmu dengan cambukku ini!!"
"Terserah kau mau percaya atau tidak!" Wusss! Andika berkelebat cepat. Pikirnya, lebih baik menuntaskan rasa penasaran di hatinya tentang Dewi Putih Hati Setan dan Goa Terkutuk. Meninggalkan Sri Kasih yang menjadi terpana sekarang karena tak dilihatnya gerakan yang dilakukan oleh pemuda berbaju hijau pupus itu. Gerakan itu lebih cepat dari gerakan yang diperlihatkan Andika barusan.
"Hmm! Siapa pemuda itu sebenarnya" Meskipun sikapnya konyol begitu, tetapi aku yakin dia bukan orang jahat. Lagi pula, salahnya sendiri, mengapa buruanku tadi hendak diburunya pula?" kala Sri Kasih yang tiba-tiba wajahnya memerah sendiri.
"Apa yang dikatakan pemuda itu benar. Kelinci liar itu bukan milik siapa-siapa. Aku sendiri belum mendapatkannya, Ah, masa bodoh! Perutku lapar! Kalau begitu, yang dikatakan Guru memang benar.
Aku harus lebih banyak belajar mengendalikan diri. Masa' gara-gara kelinci yang tak tahu juntrungannya itu aku harus marah dan menyerang pemuda tadi. Tetapi... oh! Benarkah Guru berada di sini" Berabe kalau begini! Dia bisa marah besar karena aku belum menemukan Pecut Sakti Bulu Babi.
Lebih baik, kuikuti saja pemuda konyol itu sekarang!! Tetapi, ke mana dia pergi tadi" Kelebatannya seperti setan saja!" Dan mendadak gadis itu terdiam. Wajahnya mendadak memerah ketika teringat betapa eratnya dekapan pemuda tampan tadi di tubuhnya. Entah mengapa dari rasa sewotnya tadi, diam-diam hatinya berbunga. Tetapi buruburu ditepisnya.
"Konyol! Kenapa aku justru membayangkan kembali dekapan pemuda brengsek itu! Hhh!" Segera diempos tubuhnya meninggalkan tempat itu.

*****

Suryopati dan Gumilang telah tiba di sebuah tempat yang cukup sepi. Di sekeliling mereka berdiri pepohonan tinggi dan belukar setinggi dada manusia. Kedua lelaki berpakaian putih yang sudah mengobati tubuhnya sendiri akibat luka dalam yang mereka derita, menatap waspada di tempat yang agak lapang itu. Angin berhembus sangat dingin, seolah mengirimkan kabar kematian pada keduanya.
"Kakang, Guru mengatakan, Dewi Putih Hati Setan berdiam di Goa Terkutuk. Tetapi, aku tidak melihat ada goa di sekitar sini," kata Gumilang waspada.
"Kau benar, Adi. Jelas kita menuju ke arah barat dari Gunung Larangan. Mungkin... goa itu tersembunyi di balik semak," sahut Suryopati tanpa menoleh pada adiknya kecuali menatap sekelilingnya. Kita cari!" Keduanya segera melangkah, berhati-hati. Keris yang memancarkan sinar merah sudah berada di tangan. Segenap indera penglihatan dan pendengaran dibuka lebar-lebar.
Namun tiba-tiba saja tubuh keduanya terpental ke belakang dengan deras disertai jerit kepanikan dan keterkejutan. Bergulingan bagai sebuah bola yang dilempar dan muntah darah dengan tubuh yang seperti remuk.
"Kakang... tenaga apa yang barusan menyerang kita?" tanya Gumilang gelagapan sambil bangkit perlahan-lahan.
Dadanya sakit bukan buatan Wajahnya pias seketika.
Begitu pula yang dilakukan oleh Suryopati, "Aku tidak tahu... yang pasti, ada bahaya yang mengancam kita."
"Siapa yang datang ke sini, maka kematian akan diterima." Suara bergemuruh dahsyat itu tiba-tiba terdengar.
Jantung keduanya seakan tanggal dari tempatnya.
Dedaunan berguguran.
"Kakang, siapa yang bersuara itu?" tanya Gumilang, kali ini ketegangan mulai menyelimuti tubuhnya.
Suryoti tak segera menjawab. Dia memperhatikan sekelilingnya sebelum berkata, "Aku tak tahu."
"Kakang... mungkinkah suara itu berasal dari Dewi Putih Hati Setan" Hmm, kalau begitu di sekitar sini pasti Goa Terkutuk berada. Meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi, sebaiknya kita mencari lagi Kakang."
"Jangan gegabah. Serangan aneh dan mendadak itu telah membuat, kita terpental dengan dada yang terasa remuk.
Bisa jadi sekarang kita akan mampus!!" sahut Suryopati tcgang pula. Keduanya terdiam, masing-masing mulai dicekam oleh keraguan yang tiba-tiba muncul. Rasa tak tenang berdendang di hati mereka. Wajah keduanya benar-benar tegang dengan kening berkerut.
"Adi Gumilang... kau tetap di sini! Aku yang akan mencari goa itu!!" desis Suryopati dengan kesiagaan menjadi-jadi.
"Mengapa tidak bersama-sama saja, Kakang?" Maksudku, bila terjadi apa-apa denganku, kau masih bisa menikmati hidup lebih lama."
"Kalau begitu, biar aku saja yang melakukannya Kakang!" seru Gumilang.
"Jangan membantah ucapanku! Kau tunggu di sini!!" sahut Suryopati dan melangkah kembali dengan sikap bertambah waspada. Dilindungi dirinya dengan tenaga dalam yang tinggi guna menghalangi serangan mendadak yang tadi menerpanya.
"Manusia-manusia yang mau cari mampus!" Suara bergemuruh keras itu kembali terdengar.
"Kakang!!" seru Gumilang tercekat dan melihat bagaimana tubuh Suryopati terpental ke belakang dengan derasnya. Segera diempos tubuhnya, menangkap tubuh Suryopati. Namun dorongan tenaga dahsyat yang menerpa tubuh Suryopati, justru membuat tubuhnya terpental pula, jatuh bergulingan tiga puluh tombak dengan masih merangkul tubuh Suryopati.
"Kakang...
bagaimana keadaanmu" Bagaimana?" tanyanya risau yang melihat tubuh Suryopati tak bergerak.
Digoncang-goncangnya dengan hati cemas. Darah mengalir di sekujur tubuh Suryopati. Mata lelaki itu tertutup rapat.
Kecemasan semakin kuat mengikat diri Gumilang. Dia berusaha membangunkan Suryopati dengan mengalirkan tenaga dalamnya, namun sampai sejauh itu belum membawa hasil yang diharapkan. Sadarlah Gumliang, kalau kakaknya sudah tak bernyawa.
Sedih, geram dan kemarahan membaur jadi satu.
Sebelum dia berdiri dan berteriak melampiaskan rasa amarahnya, tiba-tiba sebuah tenaga yang tak terlihat menghantam tubuhnya hingga terguling ke belakang.
Namun kekerasan hati yang terpatri begitu melihat Suryopati sudah menjadi mayat, membuatnya segera bangkit cepat. Matanya melotot. Darahnya mendidih. Ketegangan mengikat erat. Tubuh Suryopati mengapung di udara dan bagai ditarik kekuatan aneh, melesat ke arah berlawanan.
"Kakang!!" serunya sambil mencoba menarik mayat Suryopati, namun justru dia yang tersungkur karena tenaga itu begitu kuat. Susah payah, tak mempedulikan rasa sakit yang menyiksa, Gumilang mencoba memburu kembali.
Dan lagi-lagi tubuhnya terpental lagi ke belakang.
Jeritannya yang semakin serak berbaur dengan nyeri yang tak terkira terdengar, "Kakang!!" Kembali dicobanya mengejar mayat Suryopati yang melayang-layang ke tempat semula, di mana ia melihat kakak seperguruannya terhantam tenaga aneh yang dahsyat. Dan kini jatuh di tanah.
Tergesa Gumilang memburu mayat yang terbujur kaku itu. Namun urung ketika melihat angin kencang menyibakkan semak-semak. Sekujur tubuhnya bagai diserang penyakit kaku mendadak. Sepasang matanya terbuka lebar dengan mulut terbuka. Di balik semak itu, dilihatnya sebuah celah cukup besar.
"Goa Terkutuk!!" desisnya tanpa sadar.
Tiba-tiba pula dirasakan kecemasan yang kuat, ketika menyadari kemungkinan Dewi Putih Hati Setan masih hidup. Namun dikuatkan hatinya. Ditekannya seluruh rasa kejut dan khawatirnya.
Jantung Gumilang seakan copot ketika melihat sinar warna hitam tiba-tiba berkelebat keluar dari dalam goa itu.
"Astaga! Sinar apa itu?" desisnya sambil melompat menghindar karena pikirnya sinar hitam itu akan menyerang ke arahnya. Akan tetapi justru sinar hitam itu menggulung mayat Suryopati. .
Secepat itu pula kesadaran muncul di benak Gumilang dan lelaki kelimis itu segera melompat untuk menyelamatkan kembali mayat Suryopati. .
Namun ketika ia menyentuh mayat itu, rasa panas yang sangat kuat menyengatnya hingga cepat ditarik pulang kedua tangannya sambil mengaduh. Dan dilihatnya bagaimana sinar hitam yang menggulung di sekujur tubuh Suryopati mengangkat mayat itu perlahan-lahan.
"Kakang!!" teriak Gumilang dan merasakan pijaran panas yang lebih kuat hingga kulitnya bagai terbakar saja.
Matanya terbelalak melihat bagaimana Sinar hitam itu semakin lama seperti melihat mayat Suryopati.
Dan dilihatnya mayat itu kelojotan.
Sebelum Gumilang sempat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan mayat Suryopati, mendadak dilihatnya kelebatan bayangan hijau menderu ke arah mayat Suryopati. Sosok tubuh itu pun terguling oleh sinar hitam yang mengeluarkan panas luar biasa. Jeritannya terdengar keras membahana, dan tangan kanannya melontarkan mayat Suryopati yang segera ditangkap oleh Gumilang.
Sementara sosok tubuh hijau pupus itu tengah berusaha melepaskan diri dari lilitan sinar hitam dengan jeritan yang keras sekali.

*****

«₪₪₪⑤₪₪₪»

"Pendekar Slebor!!" seru Gumilang terkejut dan melihat bagaimana tersiksanya Pendekar Slebor dalam lilitan sinar hitam yang memancar dari dalam Goa Terkutuk.
Setelah meninggalkan Sri Kasih, Andika yang memang dicekam rasa penasaran ingin mengetahui siapa gerangan Dewi Pulih Hati Setan, segera meneruskan langkah.
Perasaannya semakin kuat kalau hawa kematian tengah berputar di sekitarnya, sedang mengintai siapa saja. Apalagi bila dikaitkan dengan suara menggelegar yang pernah didengarnya, rasa penasarannya semakin menjadi-jadi.
Soal Sri Kasih yang bertemu dengannya tak sengaja, adalah urusan kedua dari janjinya pada Si Tua Naga Merah. Dan betapa terkejutnya Pendekar Slebor begitu melihat sosok tubuh yang dikirakannya sudah menjadi mayat sedang dililit oleh sinar hitam menggidikkan. Melayanglayang dipermainkan di udara. Dia juga melihat Gumilang yang terpelanting seperti terhantam tenaga raksasa yang tak terlihat. Tanpa pikir panjang, Andika segera berkelebat untuk menyelamatkan mayat yang ia yakini adalah sosok Suryopati. Perbuatan baiknya itu justru bisa mencelakakannya, karena tubuhnyalah yang terkena lilitan sinar hitam itu sekarang.
"Setan,alas! Keparat!!" teriak Andika dengan napas yang terasa sesak. Seluruh anggota tubuhnya bagai tak kuasa digerakkan. Sangat mengikat dan menyiksa.
Dicoba untuk mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya, namun lilitan sinar hitam itu semakin menjungkirbalikkannya. Tenaga 'inti petir' pun dikerahkan, namun tak bergeming sedikit juga. Bahkan, lilitan sinar hitam itu semakin kuat. Wajah tampannya tertekuk ke dalam. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya.
"Busyet! Apakah aku harus mampus sekarang ini?" dengusnya sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
"Barangkali dengan ajian 'Guntur Selaksa' aku mampu melepaskan sinar sialan ini!!" Akan tetapi, sinar hitam itu bertambah kuat, membuat tubuhnya bagai disayat pisau yang sangat tajam. Di beberapa bagian tubuh Andika sudah mengalirkan darah.
Sakitnya tak terkira.
Dalam petualangannya, Andika telah sering menderita luka dan menerima serangan-serangan aneh yang mengerikan, namun serangan yang dialaminya sekarang ini membuat bulu kuduknya meremang dengan ketegangan luar biasa. Dirasakan seluruh aliran darahnya kacau balau.
Kepalanya pusing berpendar. Isi perutnya seakan hendak tumpah.
"Tidak, aku tidak boleh mampus sekarang," pikirnya sambil mencoba meloloskan diri, Dikerahkan seluruh tenaganya yang telah dipadukan, antara tenaga 'inti petir' dengan ajian 'Guntur Selaksa'. Namun lagi-lagi tak membawa arti apa-apa kecuali tubuhnya semakin terjepit dan napas sangat sesak.
"Hik hik hik... rupanya Pendekar Slebor sedang siap menerima kematiannya!!" terdengar suara terkikik itu dari satu tempat.
"Kasihan, sering kali dibicarakan orang, namun menghadapi hal semacam itu saja sudah tak mampu!" Gumilang segera menoleh. Pendekar Slebor justru memaki keras ke sosok yang baru muncul, "Jangan cuma tertawa saja! Aku bisa mampus nih, Nek!!"
"Kau sudah bertemu dengan muridku?" seru yang terkikik tak lain adalah si Tua Naga Merah. Seolah menonton orang kesurupan, dia hanya memperhatikan Andika, yang dalam keadaan kritis tanpa bisa berbuat apaapa, dengan tenangnya.
"Setan betul nenek jelek ini! Orang sudah mau mampus dia masih bisa bertanya santai begitu!" maki Andika sambil menahan sakit yang luar biasa.
"Sudah, sudah!!" serunya menjawab pertanyaan si Tua Naga Merah.
"Di mana dia sekarang?"
"Mana aku tahu! Kalau mau menolongku, cepat kau lakukan!! Bila tidak, cepat tinggalkan tempat ini! Perutku semakin sakit melihat tampang jelekmu!" Wanita tua keriput itu tertawa.
"Sabar, menurut penglihatanku, sinar itu membutuhkan waktu sepeminuman teh untuk membuat tubuhmu meledak. Bila kau tidak memiliki tenaga 'inti petir', dalam waktu hanya sepuluh kali tarikan napas, tubuhmu sudah hancur! Nah, jawab pertanyaanku tadi" Di mana murid Jelitaku itu?"
"Aku tidak tahu! Tetapi, bila kau menolongku, sebagai imbalannya, aku akan mencarinya nanti!"
"Dia cantik?"
"Keparat!! Cantik, cantik!!" rutuk Andika sewot, sementara Gumilang hanya mengerutkan kening melihat keadaan ini. Dia sendiri merasa tak mampu untuk menolong Pendekar Slebor yang Justru mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan kakangnya yang sesungguhnya sudah menjadi mayat.
"Bagus! Kau suka dengannya?"
"Nenek poet keparat! Apa-apaan pertanyaanmu itu, hah"!"
"Wah Pemarah betul ya" Kau bisa menjawab pertanyaanku dengan santai, bukan?"
"Kadal ompong!" maki Andika dan masih mengerahkan tenaga dalamnya guna melepaskan diri.
"Ckk ckk ckk... kasihan sekali!" tiba-tiba Si Tua Naga Merah menepuk tangannya tiga kali. Kepulan asap putih keluar dari tangannya, perlahan-lahan bertambah banyak dan tiba-tiba membubung serta menyelimuti tubuh Andika yang terbatuk-batuk. Hal itu semakin membuatnya blingsatan.
"Busyet! Apa yang dilakukan Nenek peot ini" Kalau aku bertambah celaka, kukepruk kepalanya!" Andika merasa seluruh urat di tubuhnya lemas mendadak. Tenaganya bagai hilang seketika. Namun yang sedikit membuatnya terkejut, karena lilitan sinar hitam itu bagai mengendor terkena asap putih yang dilakukan oleh si Tua Naga Merah.
Sementara tubuh si nenek sendiri bergetar hebat. Dari hidung dan mulutnya keluar darah segar perlahan.
Tiba-tiba Andika merasakan seluruh lilitan sinar hitam yang menyiksanya terlepas dan tubuhnya ambruk ke tanah.
Asap putih yang membubung dan membuatnya terbatukbatuk ditarik kembali oleh pemiliknya yang mengeluarkan desahan panjang.
Andika melihat si Tua Naga Merah terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. Si nenek langsung mengatupkan kedua tangannya di dada, seperti sedang mengatur seluruh pernapasan dan memulihkan tenaga dalamnya. Semen tara sinar hitam yang melilit Andika tadi, langsung lenyap begitu saja.
"Gila!" dengus Andika begitu melihat sebuah goa yang berada di balik sebuah semak yang tersibak. Entah mengapa Andika merasa bulu kuduknya meremang. Dia mencium hawa kematian yang sudah sedemikian dekatnya. Cepat diaturnya pernapasannya lagi.
"Huaaak!" Terdengar si Tua Naga Merah muntah darah. Andika cepat berkelebat mendekati si nenek yang tampak sangat menderita. Cepat segera dialirkan tenaga dalamnya melalui kedua telapak tangannya pada punggung si nenek.
"Kerahkan tenaga dalammu, Nek! Luka dalammu bisa segera mengirimmu ke alam lain." Si nenek menuruti kata-kata Andika. Perlahan-lahan dirasakan resapan hangat mengaliri punggungnya. Satu gumpalan hangat lainnya menjalari sekujur tubuhnya.
Keringat yang mengalir perlahan-lahan lenyap.
Andika duduk di samping si nenek. Didengarnya suara si Tua Naga Merah yang bagai desisan, "Dewi putih Hati Setan ternyata masih hidup. Goa Terkutuk dan sinar hitam tadi merupakan bukti. Kekuatan tenaga yang melilit tubuhmu tadi, Andika, begitu dahsyat sekali. Tenagaku sebenarnya tak banyak berarti." Sebelum Andika menyahuti kata-kata si nenek, terdengar suara tawa mengerikan dari dalam goa.
"Apa yang kau duga itu memang benar. Lebih baik kembali daripada kuturunkan tangan telengas!"

*****

Andika tercekat dengan jantung yang berdebar kencang.
Suara itulah yang pernah didengarnya, yang mengalahkan gemuruh hujan badai. Hmmm kalau begitu, memang sudah ada korban yang terjadi sebelumnya.
Si Tua Naga Merah mengeluarkan suara seruan takjub, "Bukan main!! Setan mana yang sedang bersuara ini, hah?" ejeknya namun sikapnya menunjukkan kalau dia sangat waspada. Sedangkan Gumilang seperti anak kecil yang khawatir kehilangan gula-gulanya, mendekap mayat Suryopati.
"itulah suara yang kudengar ketika aku, dan Kakang Suryopati tiba di sini. Hatiku tak puas bila belum membalas!" lelaki yang tengah bersedih itu berdiri.
Tangannya Siap melepaskan satu pukulan ke Goa Terkutuk. Andika cepat melenting mendekatinya dengan sikap waspada, "Jangan bertindak gegabah. Saat ini yang kita tahu, yang kekuatan dahsyat yang dilakukan oleh Dewi Putih Hati Setan. Kita belum tahu bagaimana mengatasinya. Gumilang, lebih baik kau kuburkan saja dulu mayat kakangmu itu...." Gumilang menatap Pendekar Slebor sesaat dan perlahanlahan menurunkan tangannya. Lalu diperhatikan mayat kakaknya, nanar. Pandangannya menjadi sedikit kabur karena terhalang oleh air mata yang menetes perlahan. Biar bagaimanapun juga kesedihannya, dia tetap tegar.
Tanpa berucap sepatah kata pun juga, dia bangkit membopong tubuh Suryopati, dan melesat meninggalkan Pendekar Slebor dan si Tua Naga Merah.
Si Tua Naga Merah yang memiliki sifat angin-anginan sudah berdiri dan membentak Andika yang tengah menatap Goa Terkutuk kembali "Hei, katanya kau memiliki otak cerdik! Ayo, pikirkan! Apa yang akan kita lakukan" Bagaimana caranya kita menerobos masuk ke goa itu?" Andika hanya menatap si Tua Naga Merah dengan kening berkerut. Sungguh, dia tak tahu apa yang diperbuatnya. Tetapi dia berkata mengemukakan jalan pikirannya, "Yang kupikirkan sekarang, bukanlah bagaimana caanya klta bisa masuk ke dalam goa itu saat ini" Melainkan...
kalau memang benar orang yang kau katakan berjuluk Dewi Putih Hati Setan itu masih hidup, siapa sebenarnya yang ditunggunya" Puluhan tahun telah berlalu, namun dia tidak keluar dari goa itu." Si Tua Naga Merah terdiam. Semakin lama dia bertambah kagum melihat kecerdikan Andika. Diam-diam, wanita tua yang tak sabaran itu menginginkan muridnya berjodoh dengan Pendekar Slebor. Tetapi di mana muridnya itu" Sampai saat ini ia belum bertemu juga dengannya. Ada rasa penyesalan di dirinya karena menyuruh muridnya untuk mendapatkan Pecut Sakti Bulu Babi milik Dewi Putih Hati Setan di Goa Terkutuk.
"Masa bodoh dengan semua itu! Aku hendak mencari muridku dulu! Kau harus ikut!" Andika menoleh.
"Kenapa?"
"Pakai tanya lagi! Hayo, ikut! Sambil lalu kita memikirkan bagaimana caranya menerobos masuk ke Goa Terkutuk!"
"Kita bisa melakukannya sekarang!"
"Lakukan sendiri kalau kau ingin mampus!" Andika membenarkan kata-kata si Tua Naga Merah.
Adakah sesuatu yang bisa mereka pergunakan untuk masuk" Melihat si Tua Naga Merah sudah melesat, Andika menarik napas panjang. Sejenak ditatapnya Goa Terkutuk di hadapannya.
"Si Tua Naga Merah memang benar, lebih baik menghindar dulu sebelum menemukan cara yang tepat untuk masuk. Dan bila memang dugaanku benar tentang seseorang yang ditunggu oleh Dewi Putih Hati Setan, siapakah orang itu?" Andika pun berkelebat menyusul si Tua Naga Merah.

*****

«₪₪₪⑥₪₪₪»

Tak sengaja, keduanya tiba di sebuah bukit yang tak jauh dari Gunung Larangan. Sebuah bukit karang yang cukup terjal. Malam sudah berlalu. Kini matahari di ufuk timur sudah membiaskan cahayanya.
Andika bertanya selesai mandi di sebuah mata air pada si Tua Naga Merah, "Apa yang hendak kita lakukan di sini, Nek?"
"Lho, aku hendak mencari muridku" Kalau kau memang ingin menerobos Goa Terkutuk, silakan saja!" Andika mendengus mendengarnya. Untuk saat ini, dia tidak terlalu bodoh nekat menerobos. Dialihkan pandangannya pada bukit karang di hadapannya. Lalu ditolehnya Gunung Larangan yang berjarak ratusan tombak dari tempat mereka berdiri, terhalang hutan yang sangat lebat. Alam memang begitu aneh dan terkadang menakutkan.
Terkadang pula memberikan ketenangan dan kenyamanan, alam banyak menyimpan misteri.
"Sudah kukatakan aku telah bertemu dengan muridmu itu. Dia tak kurang suatu apa." Si Tua Naga Merah terkekeh, padahal otaknya pun dipenuhi dengan kebingungan tentang Dewi Putih Hati Setan.
"Apakah kau tertarik dengan muridku itu'!"
"Heran, masih saja omongannya seperti itu" Apakah aku ini benar -benar tampan?" meskipun mulut Andlka mendumal, tetapi hatinya bangga juga. Lalu katanya, "Soal tertarik atau tidak, bukan urusan yang penting saat ini."
"Kalau begitu, pergunakan otakmu yang katanya cerdik untuk memecahkan semua ini!" sinis suara si nenek.
Andika terdiam mendengar kata-kata si Tua Naga Merah. Memang, belum ada yang bisa dijadikan patokan oleh Pendekar Slebor untuk memecahkan semua teka-teki yang terpampang di hadapannya sekarang.
Selagi keduanya terdiam, mendadak berkesiur angin dingin ke arah mereka.
Keduanya menoleh, tercekat dengan tubuh tegang.
Karena, entah bagaimana dan dari mana munculnya, di hadapan mereka terlihat satu sosok tubuh jelita berpakaian putih tipis menerawang. Tubuhnya yang indah bagai tercetak dan siap dilahap bulat-bulat oleh pandangan mata setiap laki-laki. Rambutnya panjang tergerai, mengeluarkan aroma wangi yang lembut dan menusuk hidung. Sepasang matanya jernih namun dingin menusuk. Bibirnya merekah Plak. Tangan si Tua Naga Merah menepak kepala Andika yang langsung meringis.
"Matamu itu!" dengus si nenek.
"Usil amat sih" Ini kan pemandangan yang indah. Di tempat sesepi ini, mana boleh dilewatkan?" balas Andika bagai selorohan, padahal hatinya bertanya-tanya siapa gerangan gadis itu"
"Apa aku harus terus menerus menatap tubuhmu yang aduhai itu?"
"Mata lancang itu tak bisa dimaafkan!!" Sosok baju putih menerawang itu melangkah. Gerakannya ringan, seakan tak menginjak bumi. Mata tajamnya menyorot, berbinar marah. Aroma yang penuh dengan ikatan pesona menguar menerpa hidung Andika yang bagai tersedak. Hanya sesaat dia bisa menikmati keindahan itu, karena di detik lain Andika merasa napasnya sesak.
"Kurang ajar! Rupanya ini serangan tak langsung!" makinya sambil mengerahkan hawa murni untuk mengaliri seluruh tubuhnya, sehingga pernapasannya tidak begitu terganggu.
"Hik hik hik... kau memang pandai, Anak Muda.
Otakmu sangat cerdik sekali hingga kau tahu ini serangan tidak langsung!" sosok cantik merangsang itu terkikik.
Getaran suaranya bagai meredam jantung.
Kening Andika berkerut hingga kedua alisnya yang bagai kepakan sayap elang itu hampir bertautan.
"Siapa gerangan wanita muda ini?" pikirnya.
Belum lagi didapat jawaban yang dicarinya, mendadak Andika sudah berseru sambil mendorong tubuh si Tua Naga Merah yang sedang menahan jengkel mendengar ucapan Andika tadi.
Blaaarrr!! Tanah di mana si Tua Naga Merah berdiri langsung membentuk sebuah lobang setelah terdengar dentuman keras. Pasir dan kerikil beterbangan ke sana kemari.
"Kau?" dengus si nenek sambil menuding si gadis jelita yang menyeringai mirip setan. Si nenek benar-benar heran, mengapa dia tidak mendengar atau mengetahui kalau serangan tengah dilancarkan oleh sosok di hadapannya.
Justru Pendekar Slebor yang mengetahuinya.
Saat itu, si Tua Naga Merah memang sedang merasa jengkel, hingga kewaspadaannya hilang. Tak dipikirkan hal lainnya kecuali ejekan Andika barusan. Sedangkan Andika, dalam waktu yang sangat sempit, masih sempat melihat mulut sosok itu terbuka, membentuk lorong indah dan mengarah pada si Tua Naga Merah. Andika yakin itu satu serangan maut, makanya dia langsung mendorong tubuh si nenek.
"Aku menginginkan pemuda itu, tidak menginginkan kau!" suara itu bertambah dingin. Dan sepasang bibir memerah itu kembali membentuk lorong.
Kali ini Si nenek memaki sambil menggebrak tubuhnya ke depan ketika dirasakannya angin yang menderu dahsyat ke arahnya.
"Keparat! Kau belum mengenal siapa aku, hah"!" makinya dan tangannya sudah mengibas. Dikawal suara keras, sinar putih meluncur ke arah si gadis yang hanya terkikik. Tiba-tiba, saja kembali mulut si gadis meniup. Angin yang keluar dari tiupan lembut itu benar-benar dahsyat. Si Tua Naga Merah terpekik dan langsung membuang tubuh, menghindari angin bergulung-gulung. Sebuah batu karang besar terpental tiga puluh tombak. Si nenek bangkit dengan wajah pias.
"Edan! Siapa gadis ini! Serangannya benar-benar mengerikan. Pantang bagiku dihina seperti itu," pikir si nenek, kali ini kedua tangannya kelihatan memerah. Ajian 'Surya Darah' telah dialirkan. Sebuah ajian yang meminjam tenaga surya. Gadis jelita berbaju tipis menerawang itu terkikik. Keluar dari mulutnya kata-kata, "'Surya Darah'. Rupanya kau murid dari Buyut Jala Gandring! Sayang, ajian 'Surya Darah' tak mampu menghalangiku!" Tua Naga Merah benar-benar tak mengerti, karena gadis itu tahu ajian yang akan dipergunakannya. Bukan hanya sampai di situ saja yang mengejutkannya, bahkan gadis itu tahu tentang gurunya.
"Kurang ajar! Siapa gadis itu sebenarnya" Bagaimana dia bisa tahu tentang guruku yang sudah meninggal lebih dari lima puluh tahun! Menurut per hitunganku, gadis ini paling tidak baru berusia dua puluh lima tahun! Benar -benar luar biasa, murid siapakah dia'!" desisnya dalam hati dengan tatapan tak berkesip pada sosok jelita di depannya.
Dan seperti tahu apa yang dipikirkannya, si gadis terkikik, "Tak perlu heran dan memusingkan siapa aku, Orang Tua! Nyawamu sudah menjadi milikku!!"
"Tahan! Sebutkan siapa kau sebenarnya!!"
"Namaku Cempaka! Orang-orang menjulukiku Dewi Putih Hati Setan! Nah, apakah kau sudah siap nyawamu kukirim pada setan neraka'!" Kali ini kening si Tua Naga Merah yang sudah berkerut, semakin mengerut. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tak mungkin dia gadis yang pernah menggemparkan dunia persilatan delapan puluh tahun yang lalu. Kalaupun dugaanku tentang Dewi Putih Hati Setan masih hidup, tentunya dia tidak seperti gadis belasan tahun ini. Paling tidak, usianya jauh di atasku! Mungkin, kebetulan saja dia memiliki nama dan Julukan yang sama.
Dewi Putih Hati Setan menghilang setelah dikalahkan oleh Caping Dewa Sakti puluhan tahun lalu! Kudengar kabar dia memang mendiami Goa Terkutuk! Tetapi... mengapa dia masih semuda ini?"
"Hik hk hik... kau telah memikirkan soal Caping Dewa Sakti, Nek! Berarti kau harus mampus!" sentak Si gadis yang mengaku bernama Cempaka dan berjuluk Dewi Putih Hati Setan yang lagi-lagi seakan mampu membaca pikiran si Tua Naga Merah.
Lalu dengan kelebatan seperti setan gentayangan, tubuh Si gadis sudah bergerak ke arah si Tua Naga Merah.
Kelebatan tubuhnya menimbulkan gemuruh yang luar biasa. Si nenek yang sudah mempersiapkan diri dengan ajian Surya Darah berteriak keras sambil mengempos tubuhnya dengan kecepatan hampir sama.
Des! Benturan dahsyat yang menerbangkan batu-batu karang dan mengeluarkan asap, terjadi di udara. Tubuh Si Tua Naga Merah terpental lima tombak ke belakang, dadanya bagai dihantam oleh godam raksasa darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Sementara tubuh gadis berbaju putih tetap tegak dengan tatapan yang semakin dingin. Tak kurang suatu apa.
"Sudah kukatakan tadi, ajian 'Surya Darah' milik buyut Jala Gandring tak ada gunanya! Dulu manusia itu pun mati di tanganku!!" Wajah si nenek yang sedang bangkit dengan susah payah menjadi pias. Meskipun ia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya, namun kata-kata gadis itu membuat bulu kuduknya meremang.
Pendekar Slebor yang tidak mengerti akan semua itu, membentak keras, "Siapa pun namamu, kau telah melakukan sebuah tindakan telengas yang tak bisa dimaafkan!" Si gadis pamerkan senyumnya. Tetapi, di mata Andika senyum itu begitu mengerikan, bagai memancarkan satu bahaya yang luar biasa jahatnya.
"Aku tahu siapa kau adanya, Orang Muda! Kalau pemuda yang dijuluki orang sebagai Pendekar Slebor! Tetapi, melihat kain bercorak catur yang ada di lehermu, ada hubungan apakah kau dengan Ki Saptacakra?" Kali ini Andika yang mengerutkan keningnya. Benarbenar semakin membingungkan. Sejak tadi pemuda urakan itu juga merasa heran ketika mendengar pengakuan gadis itu yang mengaku berjuluk Dewi Putih Hati Setan. Sejak pertama kali mendengar julukan itu, diduganya kalau orang yang berjuluk itu sudah lanjut usia namun masih memiliki kesaktian yang tinggi. Otaknya diperas habis-habisan untuk memecahkan teka-teki yang semakin bertambah.
Sementara, si Tua Naga Merah menggeram, "Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya!!" Kedua tangannya ditepukkan tiga kali. Seketika asap. putih yang tebal membubung dan mengarah pada Si gadis berbaju putih yang terkikik-kikik.
"Ajian 'Asap Dewa' yang tak banyak artinya!" serunya sambil membuka mulutnya dan menyedot seluruh asap itu masuk ke perutnya. Tiba-tiba saja dihembuskannya. Bak meriam, asap itu meluncur deras ke arah si Tua Naga Merah yang menjadi terkesiap. Kedua matanya terbelalak lebih lebar. Segera si nenek membuang tubuhnya lagi, namun asap putih miliknya itu justru terus mencecarnya dengan menimbulkan suara ledakan berkali-kali.Membuatnya bagai monyet kebakaran ekor, yang harus berlompatan dan berlompatan dan sekali waktu punggungnya terpapas asap putih itu.
"Aaaakhhh!!" jeritnya keras dan tubuhnya ambruk dengan luka besar di punggung.
Pendekar Slebor segera melakukan tindakan yang benarbenar nekat. Dia berguling cepat ke arah si Tua Naga Merah dan menarik tubuhnya, hingga asap putih yang ditiupkan oleh si gadis luput dari sasaran.
Selagi andika melenting menghindar dengan membawa tubuh si Tua Naga Merah, tangan kanan si gadis yang mengaku berjuluk Dewi Putih Hati Setan itu mengibas ke arahnya. Satu serbuan angin mengerikan siap mencacah tubuh Pendekar Slebor terlepas cepat, menimbulkan gemuruh yang menakutkan.
Wusss!!! Telinga andika yang tajam itu menangkap desingan dahsyat ke arahnya. Tanpa mengurangi keseimbangan dan pegangannya pada si Tua Naga Merah digerakkan tangan kanannya. Wuuuttt!! Duaaarr! Serangan dahsyat itu tertahan, berbenturan, hingga menimbulkan percikan api yang cukup menyilaukan.
Akibat tenaga lawan lebih kuat dari milik Andika, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembab Kutukan yang masih membopong tubuh si Tua Naga Merah yang sudah tak berdaya, terpental deras ke belakang. Masih dicoba kendalikan diri agar keseimbangannya tetap terjaga dengan jalan memutar tubuh dua kali.
Bersamaan dengan itu, tangan kanan dan kiri gadis berbaju putih bergerak diiringi seringaian mengerikan. Lima larik sinar hitam menderu bagai untaian benang menuju ke arah Pendekar Slebor yang dengan susah payah sedang berusaha bangkit sambil membopong tubuh si Tua Naga Merah. Sraat! Sraatt! Serangan aneh itu membuat Andika tercekal. Mengandalkan kecepatannya diusahakan agar serangan itu tidak mengenai tubuhnya. Gempuran pertama lawan berhasil dihindarinya, namun lima larik sinar lainnya menderu lebih cepat.
Memekik Andika merasa tak mampu menghindar lagi.
Namun sebelum sinar hitam itu melilit tubuhnya, sekaligus tubuh si Tua Naga Merah, dirasakannya satu sentakan kuat menerpanya. Tubuhnya terlempar deras ke belakang, sementara tubuh si Tua Naga Merah yang berada dalam bopongannya terlepas. Terpental pula entah ke mana.

*****

«₪₪₪⑦₪₪₪»

Apa yang sebenarnya telah terjadi" Dalam keadaan kritis bagi Andika, untuk kedua kalinya terjebak lilitan sinar hitam yang mematikan itu, apalagi dalam kondisi si Tua Naga Merah yang tak berdaya, satu sosok tubuh ramping telah melakukan satu tindakan yang luar biasa beraninya. Ia adalah Sri Kasih yang sekarang tengah terengah dan menatap tak percaya pada sosok ramping berpakaian tipis menerawang yang menatapnya gusar dalam jarak tiga tombak di hadapannya. Lima larik sinar hitam tadi menghantam pepohonan kembali, hingga berantakan. Sepeninggal Andika, Sri Kasih memang bermaksud untuk mencarinya. Bukan karena Andika menyebabkan kelinci buruannya lenyap, melainkan kata-kata andika yang mengatakan kalau gurunya berada di sini pula. Bila pemuda itu berbohong, Sri Kasih berkeinginan untuk menghajarnya.
Tetapi, hatinya pun tidak enak bila berpikir tentang sifat gurunya yang suka muncul tiba-tiba, dengan cara berkatakata yang membuat hati yang mendengarnya mau muntah.
Dan bukan main terkejutnya Sri Kasih melihat pemuda yang pernah bertarung dengannya berada dalam keadaan kritis. Terutama melihat satu sosok tubuh yang sangat dikenalnya dan kelihatan tak berdaya.
Segera dengan pekikan keras ia mengempos tubuhnya dan menendang keras ke arah tubuh keduanya yang hampir terkena sambaran lilitan sinar hitam.
Setelah itu, ia melenting dengan lincahnya.
"Keparrrraaattt!!" suara itu menggelegar hebat, bagai meluruhkan dedaunan. Menyusul lima larik sinar hitam mengarah pada Sri Kasih yang segera menggerakkan cambuknya. Ctaarrr! Ujung cambuknya menghantam sinar hitam yang dirasakannya bagai menghantam kerasnya gunung. Tubuhnya terpental ke belakang dan muntah darah.
Dirasakan tubuhnya bergetar hebat. Aliran darahnya kacau seketika. Sinar hitam yang kali ini dikendalikan oleh gadis yang mengaku berjuluk Dewi Putih Hati Setan itu membubung dan meliuk-liuk mengarah pada Sri Kasih yang segera bergulingan, Blar!! Tanah di mana tadi terjatuh, bolong seketika. Dan Sri Kasih segera berguling lebih jauh. Ia segera berdiri sigap untuk menerima serangan selanjutnya. Napasnya seninkemis. Dan keringat membanjiri wajahnya yang cantik dan sekarang pucat bagai ditarik setan.
Andika yang telah berdiri dan melihat kemurkaan di wajah gadis berbaju putih itu cepat berteriak dan menerjang, "Sri Kasih! Kau cari gurumu yang terpental tadi! Biar aku yang menghadang gadis setan ini!!" Tubuh pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu sudah menderu. Ajian 'Guntur Selaksa' telah terangkum di tangannya dan siap dihantamkan pada gadis berbaju putih yang tengah meradang. Bersamaan dengan itu, si gadis angkat sebelah tangannya dan memutarnya dengan cepat. Satu gelombang angin yang menimbulkan suara menyengat telinga dan jantung menerjang ke muka.
Menghantam tubuh Andika yang terpental kembali ke belakang. Nyeri tak tertahankan. Seluruh darahnya bagai muncrat ke ubun-ubun. Hatinya mendesis kaget, "Gila! Tenaganya luar biasa sekali! Ajian 'Guntur Selaksa' seperti barang mainan saja terhadapnya!" Sementara Sri Kasih begitu mendengar kata-kata Andika, segera berkelebat mencari gurunya. Ketika ditemukan, Sri Kasih terbelalak melihat luka di punggung gurunya.
Dibawanya tubuh gurunya jauh dari tempat itu. Hatinya bagai diremas keras oleh tangan raksasa. Pikirannya seketika kacau.
Di satu tempat yang menurutnya cukup aman, segera dialirkan tenaga dalamnya pada tubuh gurunya. Napasnya dirasakan sesak luar biasa. Namun baginya, yang terpenting adalah nyawa gurunya yang mengasihi dan membesarkannya. Setelah itu, dimasukkan lima buah bulatan kecil berwarna merah ke mulut gurunya.
Sri Kasih mendesah ketika merasakan panas di tubuh gurunya sedikit menghilang. Segera diatur napasnya, duduk bersemadi dengan dada tegak. Dialirkannya kembali seluruh hawa murninya guna menghilangkan rasa sakit.
Sedangkan saat ini Andika benar-benar menjadi bulanbulanan dari gadis berbaju putih. Sebisanya pemuda urakan itu menghindari setiap serangan mautnya yang dilepaskan dengan tatapan mata berkobar laksana api.
"Tak mungkin aku bisa mengalahkannya di saat kondisiku luka dalam seperti ini. Ada baiknya aku tinggalkan gadis keparat ini dulu dan mencari titik kelemahannya." Memikir sampai di situ, mendadak saja andika kelebatkan kain pusaka bercorak catur ketika sinar hitam menderu dahsyat ke arahnya.
Pyaaarr!! Kelebatan kain bercorak catur yang keluarkan suara bagai ribuan tawon mengamuk itu menghantam sinar hitam yang mengarah padanya.
Lagi-lagi andika tersentak ke belakang karena kuatnya tenaga yang dilepaskan oleh si gadis. Namun kesempatan itu pun dipergunakannya untuk meninggalkan tempat itu.
Dengan cara berzig-zag andika berhasil loloskan diri.
Tempat itu telah hancur berantakan, bagai diamuk oleh ratusan kerbau liar.
Si gadis menghentikan serangannya. Wajahnya yang cantik tertekuk dengan kerut-merut yang kentara. Matanya berpendar penuh amarah.
Entah apa yang dipikirkannya, tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap. Dan entah bagaimana caranya, gadis yang telah membuat andika pontang-panting dengan serangan gencar yang mematikan sudah tiba di Gunung Larangan, dan melesat masuk ke dalam Goa Terkutuk.
Suasana dalam goa itu sangat pekat sekali. Meskipun mata telah dipicingkan tetap saja tak tampak apa-apa kecuali gelap yang menyeramkan. Namun bagi si gadis semuanya tampak biasa saja.
Ia duduk di sebuah batu di dalam goa.
"Bukan hanya kalian yang terkejut melihat keadaanku sekarang ini. Berkat ramuan puluhan dedaunan yang terdapat di hutan ini dan kuminum saat terluka parah akibat serangan Caping Dewa Sakti, secara tak sengaja membuatku awet muda sampai saat ini." Tangannya meraba dalam gelap. Bibirnya menyeringai ketika merasakan dua buah benda di tangannya.
"Dulu, Caping Dewa Sakti berhasil mengalahkanku karena aku belum sepenuhnya menamatkan Kitab. Pusaka Rembulan Mambang. Sekarang, dengan Ilmu yang kuciptakan lagi dan Pecut Sakti Bulu Babi, akan kubuat rencah tubuhnya!" Lalu gadis itu terdiam. Kedua matanya terpejam kembali.

*****

Andika menghentikan larinya ketika melihat Sri Kasih yang sedang duduk bersemadi dan si Tua Naga Merah yang terbaring di rerumputan.
"Tindakanmu barusan bisa mencelakakanmu sendiri, Sri Kasih...," katanya pelan setelah atur napas.
Sri Kasih yang sudah selesai melakukan pengobatannya sendiri, menoleh.
"Aku tahu, Kang Andika... tetapi, aku tak ingin kalian tewas." Pendekar Slebor cuma menyeringai sambil menahan rasa sakit, mendengar kata-kata lembut Sri Kasih. Pada dasarnya, gadis itu memang memiliki hati yang lembut, polos dan jujur. Kalaupun ia marah waktu itu pada Andika.
karena ia merasa Andika menggagalkan niatnya untuk menangkap kelinci gemuk.
"Terima kasih kalau kau berpikir demikian," kata Andika yang yakin kalau gadis itu memiliki hati yang baik.
"Aku yakin, gadis yang mengaku Dewi Putih Hati Setan itu, adalah penghuni Goa Terkutuk. Ia harus merasakan seluruh sakit hatiku atas perbuatannya!"
"Jangan terlalu bernafsu. Keadaan sangat tidak menguntungkan sekarang ini. Karena, gurumu dalam keadaan pingsan. dan aku sendiri terluka dalam.
Kemungkinannya, bila ada serangan yang datang, itu berarti kita hanya membunuh diri saja." Sri Kasih mendesah pendek, membenarkan kata-kata Andika. Setelah napasnya normal kembali, Andika membungkuk dan memeriksa tubuh si Tua Naga Merah.
Dalam sekali periksa, ia yakin tubuh wanita tua yang pemarah itu telah berada dalam pengobatan yang tepat.
Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan muridnya yang jelita itu"
"Sebaiknya, kita beristirahat saja dulu di sini. Sepertinya, gurumu sedikit banyaknya mengetahui tentang Dewi Putih Hati Setan. Terus terang, aku ingin mengetahuinya pula." Sri Kasih menganggukkan kepalanya sambil menatap pemuda tampan di hadapannya. Diam-diam ia menyesal pernah membentak Andika. Itu pun dilakukan karena ia jengkel kelinci gemuk yang hendak dijadikan santapannya kabur.
"Sebaiknya kita beristirahat di sini. Tempat ini cukup aman," kata andika sambil melangkah tiga tombak dari jarak Sri Kasih dan si Tua Naga Merah.
Direbahkan tubuhnya di sana.
Meskipun lelah tak terkira, namun sepasang matanya belum bisa segera dipejamkan. Masalah yang dihadapinya ini sangat memusingkan kepalanya. Kalau memang gadis berbaju putih menerawang itu Dewi Putih Hati Setan, mengapa si Tua Naga Merah seperti keheranan" Apakah karena si Tua Naga Merah menganggap seharusnya Dewi Putih Hati Setan sudah lebih tua darinya" Lalu, mengapa wanita itu masih demikian muda" Sementara itu Sri Kasih pun tak bisa memejamkan matanya. Entah mengapa pikirannya tertuju pada Andllka yang berada pada jarak tiga tombak dengannya. Perasaan aneh yang tak pernah dirasakan selama ini, coba ditekannya dalam-dalam. Dan perlahan-lahan matanya pun terpejam.

*****

«₪₪₪⑧₪₪₪»

Matahari telah bekerja kembali. Sinarnya yang berwarna kekuningan indah mewarnai seluruh alam. Embun pagi masih bergelayut manja di dedaunan, ketika Andika terjaga dari tidurnya. Ketika ia berdiri, dilihatnya si Tua Naga Merah sedang duduk sambil menikmati buah-buahan.
"Kau sudah bangun?" sapa si nenek.
Andika cuma nyengir saja sambil melangkah. Ia gembira melihat si nenek sudah siuman dari pingsannya.
"Di mana Sri Kasih, Nek?"
"Untuk apa kau menanyakannya, hah"!"
"Wah! Orang bertanya masa harus dibentak!" dengus Andika sambil mencomot buah-buahan yang ada di depan si nenek. Tangan si nenek langsung menelepak tangannya.
"Jangan main comot saja!" Kembali Andika nyengir. Lalu tak acuh saja ia menikmati buah yang sudah dipegangnya itu.
Si Tua Naga Merah berkata lagi, "Kau belum menjawab pertanyaanku?"
"Memangnya kenapa" Aku kan cuma bertanya saja?" sahut Andika dan mencomot lagi buah yang ada di hadapannya, kali ini manggis hutan yang sudah masak.
"Apakah kau..." Kata-kata itu terpotong oleh suatu suara bernada riang.
"Nek, air di sungai itu jernih sekah! Aku sudah... oh!!" Sri Kasih menghentikan kalimatnya, berhenti melangkah begitu melihat Andika yang nyengir sambil menunjukkan buah yang dimakannya pada Sri Kasih.
"Kau enak, Kang Andika," kata Sri Kasih sambil melangkah kembali "Aku yang mencari susah payah, kau yang memakannya!"
"Nanti aku kembalikan. Di mana sungai yang kau katakan tadi?" Andika tersenyum sambil tatap Sri Kasih " Gadis ini cantik sekali," pikirnya nakal "Ih! Bau merang dari tubuhnya benar-benar menunjukkan keaslian bau tubuh gadis jelita ini."
"Tauk! Cari saja sendiri!" sahut Sri Kasih ketika menyadari pandangan nakal Andika padanya sambil duduk di sisi gurunya yang cuma tersenyum.
Andika bangkit dan melangkah sambil berseloroh, "Kalau tidak mau kasih tahu ya tidak apa-apa. Aku tahu, sebenarnya kau masih ingin mandi bersamaku, kan?" Sri Kasih putar kepalanya seketika. Sepasang matanya bagai melompat keluar mendengar seloroh Andika.
"Brengsek!" makinya diiringi satu gerakan tangan ke arah andika. Wusss! ! Andika memiringkan tubuh sedikit. Serangan yang dilakukan oleh Sri Kasih luput dari sasarannya, menghantam pohon yang bergetar. Beberapa buahnya jatuh yang segera ditangkap Andika dengan lincah.
"Lumayan! Hei, apakah kau masih menganggap ini milikmu juga?" serunya dan sebelum Sri Kasih membentak, tubuh Andika sudah lenyap dari pandangan.
"Konyol!" Sri Kasih tertawa.
"Bagaimana kau bisa bertemu dengan pemuda konyol itu, Nek?" tanya Sri Kasih pada gurunya. Ia bebas memanggil 'guru' atau 'nenek' pada si Tua Naga Merah yang cuma tersenyum.
Ia tahu kalau muridnya yang diam-diam itu menyukai Pendekar Slebor.
"Sudahlah, Sri Kasih. Persoalan bagaimana caranya aku bertemu dengan Pendekar Slebor bukanlah sebuah masalah.
Kuakui... kalau Pendekar Slebor memiliki ilmu yang tinggi.
Aku berharap, dengan bantuannya kita bisa mengalahkan Dewi Putih Hati Setan, Sri Kasih."
"Hhhh! Percuma, Nek! Melihat sikapnya, Andika jelas sekali tergolong pemuda urakan," kata Sri Kasih melecehkan.
"Apa dengan pemuda yang memiliki sifat urakan itu, kita bisa meminta bantuannya, Nek?"
"Entahlah, Sri Kasih. Hanya saja, aku melihat sisi lain dari sifat Andika yang urakan itu." Sri Kasih jadi penasaran ketika melihat bibir gurunya tersenyum. Dan entah mengapa gadis jelita itu jadi risih menatap bola mata gurunya.
"Sisi lain apa yang Nenek maksudkan" Sudah jelas pemuda itu suka bersikap seenaknya saja!" katanya mencoba mengubur sesuatu yang bergejolak di dadanya.
Orang tua berbaju merah itu tersenyum penuh arti, justru Sri Kasih menjadi memerah wajahnya.
"Apakah kau tidak melihat sisi lain pada dirinya, Sri Kasih?" Sri Kasih tak menjawab. Justru menyatukan kedua tangannya dengan sikap gelisah. Si nenek tersenyum sendiri dan tak acuh menikmati lagi buah-buahan yang ada di hadapannya. Sedikit banyaknya, sikap yang diperlihatkan oleh muridnya sudah jelas menandakan gadis itu diamdiam menyukai Andika.
Selang beberapa lama, Pendekar Slebor sudah tiba kembali dengan rambut yang masih basah. Sementara Sri Kasih sudah menggelung rambutnya ke atas.
"Nek, ceritakan kepadaku tentang Dewi Putih Hati Setan. Terus terang, aku masih bingung karenanya," pinta Andika setelah duduk kembali di hadapan Si Tua Naga Merah. Si Tua Naga Merah mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku hanya mendengar dari guruku Buyut Jala Gandring. Puluhan tahun lalu, ada seorang tokoh rimba persilatan yang berjuluk Caping Dewa Sakti. Sepak terjangnya sangat disegani oleh setiap orang rimba persilatan. Di mana ada orang golongan sesat melakukan aksinya, di sana juga Caping Dewa Sakti akan muncul.
Kemudian kudengar ada seorang gadis jelita yang memiliki kesaktian sangat tinggi namun memiliki tangan telengas. Ia tak peduli siapa pun juga, bila ia ingin membunuhnya, pasti ia akan melakukan. Melihat hal itu, Caping Dewa Sakti turun tangan. Hingga terjadi pertarungan yang sangat hebat sekali. Dalam pertarungan itu, Dewi Putih Hati Setan berhasil dikalahkan dan menghilang entah ke mana. Banyak pendapat yang mengatakan kalau ia sudah meninggalkan rimba persilatan dan menjadi pertapa. Ada juga yang mengatakan ia mati membunuh diri. Ada juga yang mengatakan ia mati di tangan Caping Dewa Sakti. Tetapi yang kudengar dari guruku, tentang Caping Dewa Sakti yang kemudian menjadi pertapa di Gunung Batu. Entahlah ia masih hidup atau tidak."
"Lalu bagaimana tahu-tahu muncul gadis yang mengaku bernama Dewi Pulih Hati Setan itu, Nek?" Si Tua Naga Merah tarik napas berkali-kali sebelum menjawab, "Aku tidak tahu soal itu. Seharusnya, seiring dengan bertambahnya usia, tubuh dan wajah Dewi Putih Hati Setan, sudah berubah. Namun, cukup mengejutkan hatiku bila melihat keadaannya masih seperti itu. Yang pasti, kesaktiannya hampir setara dengan yang pernah diceritakan oleh guruku. Yang mengejutkan lagi, ia tahu jurus-jurus yang hendak kulakukan."
"Berarti kesimpulanmu, Nek... yang muncul itu memang Dewi Putih Hati Setan'!"
"Entahlah, aku sendiri tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Hanya saja... kalau memang yang muncul itu Dewi Putih Hati Setan, mengapa ia tidak membawa senjata pusakanya yang bernama Pecut Sakti Bulu Babi" Terus terang, aku memang telah menduga wanita itu sudah meninggal, hingga aku menginginkan Sri Kasih untuk mendatangi Goa Terkutuk guna mendapatkan Pecut Sakti Bulu Babi. Tetapi sekarang... dugaanku yang mengatakannya ia masih hidup, ternyata benar." Andika terdiam mendengar penjelasan si Tua Naga Merah. Otaknya terus berpikir berusaha memecahkan tekateki yang semakin mengembang di depannya.
"Jauhkah jarak Gunung Batu dari sini, Nek?" tanyanya kemudian.
"Kau membutuhkan waktu lima hari lima malam bila menunggang kuda."
"Cukup jauh."
"Kang Andika... apakah kau bermaksud mencari Caping Dewa Sakti?" tanya Sri Kasih yang sejak tadi diam mendengarkan. Tatapannya yang bening menatap sepasang mata elang milik pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan yang tahu-tahu mengerutkan keningnya.
"Busyet, suaranya bisa bikin aku lupa diri, nih," desis Andika dalam hati. Tapi ia tak terlalu lama memusingkan soal itu.
"Kau benar, Sri Kasih. Karena menurutku, kelemahan dari Dewi Putih Hati Setan itu hanya diketahui oleh Caping Dewa Sakti. Paling tidak, kita bisa mengetahuinya dari orang tua sakti itu. Hanya saja, sangat sulit untuk menemuinya, bukan?" Tak ada yang bersuara. Angin pun seakan enggan bertiup. Selang beberapa lama, Andika bangkit dari duduknya.
"Daripada pusing memikirkan soal itu, lebih baik aku kembali ke Goa Terkutuk."
"Oh! Kang Andika! Apakah tidak terlalu berbahaya?" seru Sri Kasih dan saat itu ia tak bisa lagi menutupi perasaan cemasnya terhadap Andika.
Si Tua Naga Merah yang memperhatikan, diam-diam tersenyum dalam hati.
"Ah, dasar anak muda," desisnya.
"Berbahaya atau tidak, aku akan tetap mencoba untuk menghentikan sepak terjang Dewi Putih Hati Setan.
Karena, kukhawatirkan akan banyaknya korban yang berjatuhan. Mungkin mereka berusaha untuk mendapatkan Kitab Pusaka Rembulan Mambang dan Pecut Sakti Bulu Babi. Atau juga, ada pula yang mencoba keberuntungan untuk membalas dendam lama mereka. Lebih gawat lagi, bila Dewi Putih Hati Setan muncul kembali ke rimba persilatan ini, sementara kita sendiri belum mengetahui kelemahannya. Terutama, kita tidak tahu apakah Caping Dewa Sakti akan muncul atau tidak..." Tiba-tiba Andika menghentikan kata-katanya. Sikapnya itu membuat si Tua Naga Merah dan muridnya menjadi keheranan. Keduanya menatap lurus pada Andika yang sedang bergumam pelan, "Apakah sebaiknya tidak kucoba saja...." .
Tanpa hiraukan pandangan mata guru dan murid itu, perlahan-lahan Andika mengangkat kedua tangannya. Lalu menepuknya tiga kali, sangat lembut. Dan bibirnya keluar suara pelan, "Rawangi... datanglah...." Belum lagi desisannya habis,. mendadak bau wangi yang sangat kuat menebar di tempat itu. Si Tua Naga Merah seketika bersiaga. Begitu pula dengan Sri Kasih. Bau wangi itu begitu menyengat hingga sangat mengherankan sekali.
Namun sikap Andika tetap tenang saja.
"Ah, ternyata janji gadis itu benar...," desisnya pelan.
Dari aroma wangi yang kuat itu perlahan-lahan dari kejauhan memancar cahaya merah yang cukup kuat dan bagai mengambang cahaya itu mendekati ketiganya.
Si Tua Naga Merah alihkan pandangan dan tak berkesip menatap cahaya merah itu, sementara Sri Kasih bersiaga.
"Andika... ada apakah kau memanggilku?" dari balik cahaya merah itu terdengar suara begitu lembut sekali. Dan perlahan-lahan cahaya yang diselingi bau wangi yang kuat, menghilang. Sebagai gantinya, muncul satu sosok tubuh jelita nan ramping yang mengenakan pakaian warna merah menerawang, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Di balik pakaian yang menerawang itu terdapat dua helai kain berwarna biru yang menutupi auratnya. Wajah sosok yang muncul secara aneh itu begitu cantik sekali, tak ubahnya wajah dewi-dewi dalam dongeng. Bibirnya tipis tersaputkan pemerah yang menawan. Hidungnya bangir bagai melengkapi kecantikannya. Matanya bersinar lembut dengan bulu mata lentik dan alis hitam. Rambutnya yang indah mengkilat hitam tergerai panjang. Kedua pipinya bening sehalus pualam.

*****

«₪₪₪⑨₪₪₪»

Andika tarik napas sekali lagi. Wajahnya sedikit cerah.
Ia mendekat dan berkata, "Terima kasih atas kehadiranmu, Rawangi...." Sosok jelita nan ramping yang dipanggil Rawangi itu tersenyum.
"Janji telah kuucapkan. Aku pasti akan muncul bila kau memanggil namaku, Andika." Andika perlihatkan senyumnya yang bagus. Gadis penghuni Gerbang Neraka ini memang telah menjanjikan padanya ketika secara tak sengaja ia memasuki Gerbang Neraka, bila Andika membutuhkan bantuannya, maka ia akan hadir. (Untuk lebih mengetahui siapa Rawangi dan pengalaman apa yang dialami Andika, silakan baca : "Bunga Neraka").
"Maafkan aku yang telah merepotkanmu, Rawangi.
Tetapi terus terang, aku membutuhkan bantuanmu untuk menyelidiki tentang Dewi Putih Hati Setan yang mendiami Goa Terkutuk."
"Baiklah... kau tunggulah sebentar Andika." Gadis cantik itu memejamkan kedua matanya. Andika geleng-geleng kepala melihat kesempurnaan yang ada pada gadis itu. Sementara Si Tua Naga Merah ubah sikapnya dan penuh siaga menjadi tenang. Sedangkan hal yang lain dirasakan oleh Sri Kasih. Mendadak sesuatu yang tak pernah disadarinya di hatinya bergejolak. Ia rasa hatinya panas membara hingga tanpa disadarinya pula kedua pipinya merona. Hatinya benar-benar jengkel melihat kehadiran gadis berpakaian menerawang itu.
"Tidak sopan!" pikirnya dengan gelisah.
Sementara itu perubahan pada tubuh Rawangi tampak jelas terjadi. Dan sikapnya yang berdiri tegak sambil memejamkan matanya, mendadak tubuhnya bergetar.
Makin lama makin hebat. Tampak sekali kalau ia berusaha menenangkan dirinya. Dan getaran itu berangsur-angsur melambat dan lama kelamaan tubuhnya normal kembali.
Ketika ia buka kedua mata, terdengar tarikan napasnya.
"Sulit untuk menembus diri Dewi Putih Hati Setan itu, Andika...." katanya dengan suara yang terdengar letih sekali, seolah habis melakukan perjalanan yang jauh.
"Meskipun demikian aku bisa menangkap kekejaman dan ketinggian ilmu yang dimilikinya. Dalam aliran darahnya, ada semacam gumpalan sebesar sawo mentah, yang berfungsi sebagai pusat pengendali tenaga miliknya. Kulihat pula ada kilatan cahaya hitam di sekujur tubuhnya, yang bisa melontarkan sinar hitam sangat dahsyat. Nampaknya, ia telah meminum sebuah ramuan yang entah apa bisa mempertahankan keremajaan kulitnya. Aku yakin, wanita itu berusia lebih kurang delapan puluh tahun." Andika yang mendengarkan dengan seksama, bertanya, "Kau mengatakan ada gumpalan sebesar sawo mentah. Di manakah letaknya?"
"Sulit. kukatakan, karena gumpalan itu bergerak terus menerus."
"Rawangi...," desis Andika yang tiba pada satu pikiran.
"Apakah itu merupakan kelemahan dan Dewi Putih Hati Setan?"
"Kemungkinannya iya. Tetapi bisa juga tidak. Karena, sekujur tubuhnya bagai dialiri kilatan hitam." Andika angguk-anggukkan kepalanya. Si Tua Naga Merah yang sejak tadi juga mendengarkan bertanya, "Apakah kau melihat sebuah pecut di dekatnya?" Rawangi menoleh pada si nenek.
"Kau benar, Nek.
Senjata itu memang sebuah pecut yang di ujungnya seperti ada puluhan duri tajam."
"Kalau begitu, gadis itu memang Dewi Putih Hati Setan." Rawangi putar lagi kepalanya pada Andika, "Adakah yang bisa kubantu lagi?" Andika yang masih memikirkan tentang kelemahan Dewi Putih Hati Setan tersentak, "Oh! Y a, ya... tahukah kau jalan masuk ke Goa Terkutuk?" Rawangi terdiam kembali. Matanya terpejam. Tak lama kemudian ia membuka matanya dengan desahan seolah habis melakukan perjalanan yang jauh.
"Aku melihat dua puluh buah sinar hitam yang melingkari Goa Terkutuk. Sinar itu jelas berasal dari kekuatan penghuni Goa Terkutuk., Aku yakin, tak seorang pun yang bisa menembus sinar-sinar hitam yang merupakan sebuah pintu, kecuali Si penghuni Goa Terkutuk. Maafkan aku, Andika...."
"Tidak apa-apa."
"Kalau kau ingin bantuan, aku bisa menahan sinar hitam itu untuk beberapa saat." Andika mengulapkan tangannya., "Tidak! Aku tidak ingin merepotkanmu lebih lama lagi, Rawangi. Aku tahu, kau sangat dibutuhkan oleh penduduk di Gerbang Neraka.
Terima kasih atas bantuanmu, Rawangi." Rawangi perlihatkan senyumnya. Matanya yang teduh bersinar sedih.
"Untukmu, aku rela melakukan apa saja, Andika." Sudah tentu seperti itu dan Andika yakin sekali akan kebenaran ucapan Rawangi. Ia tahu, kalau gadis yang berasal dari sebuah alam yang disebut Gerbang Neraka memang mencintainya. Bahkan pernah sekali berharap untuk menikah dengannya.
"Teima kasih atas bantuanmu."
"Kalau begitu... aku permisi." Sehabis berkata begitu, dari tubuh Rawangi memancar cahaya merah yang cukup menyilaukan. Sinar itu bergerak bagai meninggalkan mereka dan semakin lama lenyap dari pandangan.
Terdengar desisan lembut bersama angin, "Aku merindukanmu, Andika...." Bersamaan dengan itu, cahaya merah tadi pun lenyap dari pandangan. Andika tarik napas pendek.
"Sekali waktu... aku pernah pula merindukanmu, Rawangi....
" Lain yang dialami oleh Andika dan si Tua Naga Merah, lain pula yang dialami oleh Sri Kasih. Gadis yang sejak tadi terdiam dengan menahan getaran hatinya yang tak menentu, kali ini hembuskan napas perlahan. Ia senang karena gadis jelita berpakaian menerawang tadi sudah berlalu dan hadapannya.
Diam-diam ia melirik pemuda tampan dari Lembah Kutukan yang masih terdiam. Satu pertanyaan mendesis galau dalam hatinya, "Apakah gadis Itu kekasih, Kang Andika?" Andika mengangkat wajahnya, menatap Si Tua Naga Merah.
"Nek... tahukah kau di mana gumpalan darah yang dimaksudkan oleh gadis dari Alam Gerbang Neraka?" Si Tua Naga Merah menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu sama sekali soal itu." Andika mendesah.
"Untuk mencari tahu, kita memang harus ke Goa Terkutuk kembali. Karena, aku masih menunggu siapa orang yang dimaksud oleh Dewi Putih Hati Setan. Selama orang itu belum muncul, akan banyak korban lain yang berjatuhan." .
Dan selagi semuanya terdiam, dicamuk oleh pikiran masing-masing, mendadak saja satu gemuruh angin kencang menderu hebat laksana topan badai.
Ketiganya tersentak dengan wajah terperangah!

*****

Bummm!! "Monyet pitak! Setan itu lagi yang berseliweran!!" maki Andika sewot sambil bergulingan, ketika ia berdiri tegak bukan hanya ia yang terperangah, melainkan juga si Tua Naga Merah dan Sri Kasih.
Mata mereka seperti melompat keluar dengan mulut ternganga. Kening mereka berkerut-merut. Di hadapan mereka, sebuah kepala menyeringai sedang mengapung di udara. Wajah Dewi Putih Hati Setan, hanya saja tanpa tubuh. Darah menetes dari lehernya yang penuh luka.
Matanya melotot bersinar merah. Lidahnya yang panjang terjulur keluar bersama air liur yang bercampur darah.
Lidah itulah yang menggebubu tadi.
"Iblis gentayangan!!" maki Andika bergidik. Sementara tanpa sadar Sri Kasih yang berdiri di sampingnya memegang tangannya erat-erat. Kalau tidak dalam suasana mengejutkan ini, sudah pasti mulut Andika yang usil berbicara, "Mengapa tidak peluk sekalian saja?" Si Tua Naga Merah lebih bisa menguasai keadaan.
"Ilmu apa lagi yang telah dimilikinya?" desisnya dalam hati.
Potongan kepala itu menyeringai.
"Sebelum kuhadapi Caping Dewa Sakti, aku ingin menguji kemampuan ilmu baruku ini ajian 'Pengembang Mata'!" Srrrttt! Lidah penuh darah itu melesat ke arah si Tua Naga Merah yang menyongsong dengan ajian 'Surya Darah'.
Namun ia jadi tersentak sendiri, karena lidah panjang itu meliuk menghindar dan melilit wajahnya bagai dililit puluhan ular berbisa ditambah dengan tusukan menyayat yang membuatnya berteriak keras terhuyung ke belakang.
Sebisanya ia untuk melepaskan wajahnya dari lilitan lidah yang mengeluarkan bau busuk. Namun, tenaganya bagaikan lumpuh dan perlahan-lahan ia merasa ada yang keluar dari tubuhnya dan tersedot oleh lidah itu.
Melihat maut siap menjemput si nenek Andika segera bertindak dengan tangan memapas. Akan tetapi, sebelum tangannya mengenai lidah panjang yang tengah melilit wajah si Tua Naga Merah, bagai tambah memanjang lidah itu melihat tangannya yang membuatnya menjerit.
"Tak sia-sia aku berdiam puluhan tahun di Goa Terkutuk!" suara dingin itu menggelegar.
Sri Kasih yang telah meloloskan cambuknya pun menggerakkannya, namun tubuhnya terhantam kepala Dewi Putih Hati Setan yang melayang laksana bom ke arahnya. Tubuhnya terpental deras ke belakang dan muntah darah. Tulang iganya terasa patah. Ia meringis kesakitan sampai mengeluarkan air mata.
"Pendekar Slebor... aku akan membuat perjanjian denganmu daripada nyawamu dan nyawa nenek keparat itu kucabut!" potongan kepala itu berbicara.
"Arwah jahanam! Siapa sudi membuat perjanjian denganmu"!" Wuusss!! Kepala tanpa jasad itu mencelat ke udara mengeluarkan suara menggidikkan. Sambil melayang di udara potongan kepala itu umbar tawa yang mengerikan.
"Pemuda keparat! Bila saja kau mau, bersekutu denganku, nyawamu akan kuampuni! Tetapi kau telah lancang bicara! Darahmu akan kusedot habis hingga kau mati kehabisan darah!" Didahului tawa yang tak berkesudahan potongan kepala itu melayang ke atas, dan menukik menimbulkan angin bergemuruh ke arah batok kepala Andika.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan yang tangan kanannya penuh darah dan kulitnya dirasakan terkelupas segera jatuhkan tubuh dan bergulingan. Kaki kanannya cepat menendang sebuah pohon di dekatnya yang langsung tumbang.
Potongan kepala yang membuka mulut dengan memperlihatkan taring sekeras besi itu terus melurup ke arah batang pohon yang meluncur ke arahnya. Lilitan lidahnya pada tangan Andika dan tubuh si Tua Naga Merah dilepaskan.
Braaakkk! ! Pohon itu hancur berantakan dihantam lidah besi kepala Dewi Putih Hati Setan. Begitu pohon itu hancur, potongan kepala itu kembali membubung tinggi dan menukik lagi ke arah Andika yang sedang berusaha bangkit.
Namun sebelum taring-taring sekeras besi itu menghujam di batok kepala Andika, si Tua Naga Merah sudah kelebatkan tubuh.
Des! Potongan kepala itu terpental terkena ajian 'Surya Darah'. dan mengeluarkan pekikan yang sangat keras.
Begitu mencelat ke belakang, potongan kepala itu langsung berputar, dan kali ini sasarannya diubah.
Mengarah pada si Tua Naga Merah yang terperangah dan langsung buang tubuh.
Wusss!! Lidah itu bergerak laksana kilat, membuat si Tua Naga Merah kalang kabut. Sebisanya ia kibaskan tangan yang telah terangkum ajian 'Asap Dewa', yang segera membubung asap putih yang tebal.
Lidah terjulur itu langsung tertarik dengan cepat. Lalu potongan kepala itu memburu dikawal angin deras yang menggebubu ke arah si Tua Naga Merah yang lagi-lagi gulingkan tubuh hindarkan serangan itu.
Melihat hal itu, Andika yang tengah mengalirkan hawa murninya pada tangan kanannya yang terasa panas, langsung memburu pula ke arah potongan kepala Dewi Putih Hati Setan.
"Kalau begitu caranya, aku sulit menemukan di mana letak gumpalan darah seperti yang dikatakan oleh Rawangi!" desisnya dengan perasaan kacau.
Ajian 'Guntur Selaksa' sudah menderu dahsyat. Namun yang membuatnya terperangah, karena pukulannya itu bagai ceplos belaka. Dan karena dorongan tenaganya sendiri, tubuhnya tersuruk ke depan, justru mengarah pada si Tua Naga Merah!

*****

Andika memekik keras, sebisanya ia membuang tubuhnya agar jotosan tangannya tak mengenai si nenek. Sri Kasih yang melihat keadaan yang tak menguntungkan itu, cepat kelebatkan tubuh dan tendang kaki Andika, hingga pemuda itu tersuruk dan jotosannya yang tak sengaja mengarah pada si Tua Naga Merah berpindah arah, menghantam sebatang pohon yang langsung menjadi serpihan didahului dengan ledakan bagai salakan petir.
"Busyet kau, Bor! Kira-kira dong!" maki si nenek dengan menggemborkan pipi peotnya.
"Bisa-bisa aku yang kau kirim ke akhirat lebih dulu!" Bersamaan dengan itu, potongan kepala mengerikan menderu dahsyat ke arah Andika, menghantamnya, hingga terpental sepuluh tombak. Tulang iganya bagai patah, muntah darah dialaminya lagi.
"Pendekar Slebor, kini saatnya kau akan mampus!!" Lalu menggebubu potongan kepala Dewi Putih Hati Setan.
Dalam keadaan kritis bagi Andika, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan masih sempat loloskan kain bercorak catur dan mengebutnya sekuat tenaga.
Wuuuttt!! Potongan kepala yang siap kirim Andika ke akhirat, bagai naik dua tombak hindari serbuan angin yang mengeluarkan suara bagai ribuan tawon marah, lalu melurup dengan jeritan yang keras.
Andika bagai lumpuh kedua kakinya melihat mulut yang penuh taring sekeras besi itu membuka lebih lebar, siap mencaplok kepalanya. Dalam keadaan kritis pemuda urakan itu jatuhkan tubuh dengan kedua lutut ditekuk, kepalanya ditundukkan namun tangannya mengibas.
Wuusss!! Kain bercorak catur itu tepat melurup di potongan kepala Dewi Putih Hati Setan. Bagai menemukan kekuatannya kembali, Andika melilitkannya dengan kuat. Potongan kepala itu bagai bandul ajaib bergerak ke sana kemari dengan menyentak. Andika yang telah mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya, harus terpelanting beberapa kali dengan tubuh menghajar pohon.
Sakitnya tidak ketulungan lagi. Tangannya yang masih mempertahankan kain bercorak catur yang melilit potongan kepala itu terasa kesemutan. Namun sekuatnya ia berusaha agar kain itu tidak terlepas.
Akan tetapi, justru ia yang melepaskannya, karena panas bak api neraka mengalir dan seperti membakar tangannya.
Tubuhnya mencelat ke belakang lima tombak dengan tangan bagai melepuh. Potongan kepala itu menggereng keras sambil bergoyang-goyang, kain bercorak catur milik Andika terlepas entah ke mana.
Lalu terlihatlah seringaian yang luar biasa seramnya.
Taring-taring tajam itu lebih membuka, "Kini ajalmu telah tiba, Pendekar Slebor!!" Habis berkata begitu, potongan kepala Dewi Putih Hati Setan menderu dahsyat ke arah Andika yang rasanya tak mampu untuk berbuat apa-apa lagi.
Sri Kasih memekik keras penuh rasa kekhawatiran. Si Tua Naga Merah hanya terperangah tanpa mampu berbuat apa-apa. Akan tetapi, keanehan terjadi. Karena sebelum serangan yang dilancarkan oleh potongan kepala itu menghantam hebat Pendekar Slebor, tiba-tiba saja potongan kepala itu berbelok arah dan terdengar makiannya yang keras.
"Keparat! Caping Dewa Sakti, kini ajalmu telah tiba!!" Sebuah caping kusam menderu keras bak bumerang yang keluarkan getaran dahsyat halangi serbuan potongan kepala itu dan dengan indahnya, berbalik pada satu tempat. Dan dengan santainya, sosok bongkok yang berdiri dengan kepala menggeleng-geleng menangkapnya. Mata kelabunya tak berkesip menatap potongan kepala yang mengambang di depannya. Perasaannya tak menentu.
"Kehebatannya semakin menjadi-jadi," desisnya.
Di sisi sosok bongkok itu, berdiri Gumilang!

*****

«₪₪₪⑩₪₪₪»

Bagaimana itu bisa terjadi" Bagaimana tahu-tahu Gumilang bisa muncul bersama seorang kakek bongkok" Di satu tempat sepi, di sebelah timur Goa Terkutuk, dengan hati sedih bercampur geram. Gumilang menguburkan mayat kakang yang dikasihinya. Meskipun dendam begitu besar di hatinya, Gumilang merasa tak akan mampu untuk menghadapi Dewi Putih Hati Setan. Apalagi setelah membenarkan kata-kata Pendekar Slebor agar dia jangan bertindak gegabah.
Dengan berat hati, akhirnya Gumilang memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Dengan hati sedih, perlahan-lahan Gumilang berdiri. Sepasang matanya tak lepas dari makam Suryopati yang baru dibuatnya.
"Kakang, aku yakin kau tak menginginkan semua ini terjadi. Aku pun yakin, kau tak ingin aku menjadi pengecut.
Akan tetapi, seperti yang kau katakan, bila kita mati bersama, maka tak ada lagi yang akan melanjutkan keturunan keluarga kita. Meskipun demikian, secara tidak langsung aku sudah menunjukkan sifat pengecutku, Kakang. Maafkan aku, kupikir... ini adalah jalan yang terbaik." Sekali lagi lelaki berpakaian putih-putih berwajah kelimis itu tarik napas panjang. Menatap langit, kelam.
"Pendekar Slebor dan Tua Naga Merah, terima kasih atas bantuan kalian. Pertemuan ini tak akan pernah kulupakan." Lalu dengan berat hati penuh penyesalan, Gumilang pun melesat meninggalkan tempat itu. Di satu tempat dihentikan larinya. Keraguannya kembali muncul dan menusuk seluruh relung hatinya. Tali sukmanya bagaikan berdenting.
"Oh, apakah aku telah melakukan satu tindakan yang salah" Aku telah memperlihatkan ketidakberdayaanku, kepengecutanku dan rasa ketakutanku. Apakah ku harus kembali lagi untuk membalaskan sakit hati kedua orangtuaku dan Kakang Suryopati pada Dewi Putih Hati Setan" Namun, apa yang bisa kulakukan?" desisnya dengan kebimbangan yang makin menjadi.
Rasa bimbang itu makin menyergap erat, makin membuatnya bagai berada dalam lingkaran api yang membuatnya sulit untuk keluar.
Tiba-tiba kedua tangannya mengepal. Rahangnya merapat dan tatapannya semakin tajam. Wajahnya tegang bukan main.
"Tidak, aku harus kembali lagi ke sana! Biar bagaimanapun juga, aku harus membalaskan sakit hati kedua orangtuaku dan Kakang Suryopati! Mati secara ksatria lebih baik dari seorang ksatria." Kepalanya perlahanlahan tengadah, yang tampak hanyalah pucuk-pucuk pohon Jati. Namun sesuatu yang lain singgah di hatinya. Seperti melihat Suryopati lelaki itu berkata, "Maafkan aku, Kakang. Amanat yang kau sampaikan kepadaku, tak bisa kujalani. Aku bukan orang pengecut. Kakang, bila memang ini sudah tulisan Yang Kuasa, kita akan bersama-sama lagi...." Gumilang pun menundukkan kepalanya. Tekadnya bulat sudah untuk kembali lagi, namun sebelum dia beranjak, terdengar suara di belakangnya, "Keputusan yang berada di persimpangan jalan, memang sangat sulit untuk kita ambil.
Kenyataan semacam ini tak bisa kita hindari dalam setiap kehidupan, karena bila kita hindari maka dia akan semakin mengejar dan semakin dalam bersemayam." Secepat kilat Gumilang membalikkan tubuh. Kedua tangannya siap untuk menyerang.
"Kemarahan terkadang tak bisa kita hindari. Namun, kemarahan hanyalah batu ujian dalam kehidupan.
Kesabaran akan mampu mengalahkannya."
"Kakek bongkok! Siapa kau, hah" Apa urusanmu mencampuri urusanku"!" bentak Gumilang dengan sipitkan mata. Kakek bongkok yang baru datang itu berpakaian kumal dengan tudung kepala berbentuk caping. Wajahnya tertutup caping itu. Di tangan kanannya ada sebuah tongkat yang seharusnya dipergunakan untuk membantunya melangkah.
Namun tongkat itu seakan tak ada fungsinya.
"Ah, tak ada maksudku untuk mencampuri urusanmu.
Aku hanya kebetulan saja lewat tempat ini. Sementara tujuanku masih jauh," kata si kakek dengan sikap tenang, bijaksana dan penuh senyuman di mata dan bibirnya.
"Lekas tinggalkan tempat ini! Uruslah segala urusanmu!!" Orang tua itu memperlihatkan senyum.
"Baik, baik... aku akan melakukannya. Karena urusanku ini akan bertambah besar. Orang muda, bila kau memang kesulitan untuk menentukan pilihanmu, tekadkan di hatimu, kalau salah satu keputusan itu bila kau lakukan, akan mendatangkan kebaikan padamu. Bila kau tinggalkan, akan mendatangkan hal yang sama pula." Setelah berkata begitu, si kakek bongkok itu balikkan tubuh dan mulai melangkah.
"Tunggu!!" Si kakek berbalik dan tersenyum.
"Orang muda, bukankah tadi kau mengatakan uruslah urusanku" Nah, aku sudah hendak melakukannya."
"Siapakah kau sebenarnya, Kek?" Si kakek menyeringai. Gumilang berusaha untuk melihat wajahnya, namun tetap ketutupan oleh caping bambu yang usang itu.
"Suaramu sudah melembut sekarang. Berarti, kau memang bukan orang yang tidak sabaran." Mendengar kata-kata itu, Gumilang jadi tidak enak sendiri. Sesungguhnya, dia berbuat seperti ini karena perasaannya sedang kacau. Perlahan-lahan lelaki yang dalam kebimbangan itu mendesah, "Apa yang kau katakan itu benar, Kek. Ini semua dikarenakan aku sedang risau." Dengan penuh kebijaksanaan, si orang tua lagi-lagi memperlihatkan senyumnya. Kedua pipinya yang penuh kerut, bagai tertarik keluar.
"Tidak perlu bingung. Hhmm, kalau kau ingin tahu siapa namaku, aku sendiri tidak tahu. Otakku sudah melupakan nama pemberian kedua orangtuaku dulu. Tetapi, kau bisa memanggilku seperti orang-orang rimba persilatan memanggilku, Caping Dewa Sakti.
" Gurnilang terdiam. Matanya mati berusaha melihat wajah si kakek yang berjuluk Caping Dewa Sakti.
Dirasakan satu ketenangan merambati hatinya yang benarbenar tanpa disadarinya berada di dekat si kakek ini.
"Maafkan atas kekasaranku tadi, Kek."
"Sudahlah. Siapakah yang sedang kau risaukan tadi" Kulihat, tak ada sosok siapa pun di sini. Kalaupun kau memang sedang merasa sedih, mengapa?" Entah mengapa perasaan tenang di hati Gumilang semakin menjadi-jadi. Tanpa diminta kedua kalinya diceritakan apa yang dialaminya. Kali ini, didengarnya suara bagai tersedak dari Caping Dewa Sakti, membuat Gumilang menatap tak berkesip pada wajah yang tertutup caping kusam.
"Aku terlambat," begitu kata si kakek.
"Apa maksudmu, Kek?"
"Kita tak perlu membicarakannya sekarang, yang terpenting, kita harus mencari Dewi Putih Hati Setan.
Wanita itu benar-benar menurunkan terornya. Ah, aku yang salah, aku yang salah." Si kakek menggelenggelengkan kepalanya dengan wajah gelisah. Diangkat lagi kepalanya dan menatap Gumilang yang masih tak mengerti melihat perubahan sikap si kakek.
"Aku tak boleh buang waktu lebih lama! Pegang tanganku!" Tak mengerti apa yang diinginkan oleh Caping Dewa Sakti, Gumilang memegang tangan keriput si orang tua.
Dan begitu tangannya memegang, tubuhnya dirasakan bagai terbang ke alam sukma. Saking takjubnya, Gumilang tak mampu keluarkan suara apa pun kecuali setiap kali dia menarik napas, setiap kali pula kelebatan itu dirasakan makin cepat. Apa yang dikatakan oleh Caping Dewa Sakti memang terbukti. Gumilang melihat si Tua Naga Merah sedang meringis tak berdaya. Dilihatnya pula seorang gadis jelita yang sedang berusaha untuk bangkit namun tak kuasa dilakukannya. Yang membuat pandangannya bagai melihat wanita telanjang namun penuh dengan kejijikan, ketika melihat sebuah potongan kepala wanita cantik yang sedang mencecar Pendekar Slebor yang tengah kibaskan kain bercorak catur di tangannya.
"Kita belum terlambat," telinganya mendengar desisan Caping Dewa Sakti.
Gumilang merasa kepalanya berpendar-pendar. Rasa pusing datang mendadak. Potongan kepala itu tengah melayang-layang mengerikan dengan leher bagai tercacah teteskan darah dililit lidah panjang memerah penuh darah serta gigi-giginya yang keras setajam besi.
Gumilang bagai tersedak dan hilang napasnya ketika melihat Pendekar Slebor terlempar ke belakang setelah lepaskan kain bercorak catur yang dipegangnya. Dan potongan kepala darah itu melurup ke arah Pendekar Slebor dengan keluarkan suara gerengan penuh hawa kematian.
Saat itulah Caping Dewa Sakti kibaskan tangannya.
Caping kusamnya melesat cepat menggebubu keluarkan deru angin bak topan prahara.

*****

Potongan kepala Dewi Putih Hati Setan tertarik ke belakang dengan tatapan tak berkedip. Namun di saat lain sudah terdengar geramannya, begitu melihat sosok bongkok di hadapannya. Sesaat wajah itu tampak tegang.
"Caping Dewa Sakti, kematian sudah siap menerpa! Kau tak akan pernah luput dari kematian!" Caping Dewa Sakti yang sudah kenakan caping kusamnya lagi, melangkah tiga tindak. Mata lembutnya tak berkesip menatap potongan kepala di depannya.
Pendekar Slebor yang merasa terbebas dari belenggu kematian itu berdiri tegak dan menyambar kain bercorak caturnya yang tersangkut di ranting sebuah pohon.
Si Tua Naga Merah yang melihat dan mendengar semua itu, merasa kepalanya jadi pusing. Caping Dewa Sakti, rupanya nama besar itu bukanlah dongeng belaka. Apa yang pernah diceritakan gurunya dulu memang suatu kenyataan. Dan kini ia bertemu dengan Caping Dewa Sakti.
"Dewi... rupanya dendammu padaku makin membesar saja. Tak pernah pupus. Kau telah menyiksa dirimu sendiri, Dewi Putih Hati Setan."
"Jangan banyak bacot. Orang Tua Hina! Semua ini terjadi gara-garamu sendiri!"
"Sepak terjangmu dululah yang membuat aku harus turun tangan dan hentikan semuanya."
"Secara tidak langsung kau telah menghinaku!!"
"Itulah kenyataannya. Au tak bisa berdiam diri melihat kejahatan yang kau turunkan."
"Kini semuanya sudah siap di akhiri bersama dengan kematianmu!" Habis berkata begitu, tiba-tiba saja lidah penuh darah itu terjulur dengan kekuatan dahsyat.
Wuuuttt! Caping Dewa Sakti tak beranjak dari berdirinya. Tak berusaha menghalau juluran lidah itu ke arah capingnya.
Capingnya terpental ke atas, namun dalam waktu beberapa detik caping itu bagai mengenali tuannya bertengger lagi di kepalanya.
"ilmu semacam itukah yang kau pelajari sekian tahun di Goa Terkutuk?" suara Caping Dewa Sakti penuh ejekan.
Yang lain termasuk Pendekar Slebor menahan napas melihat sikap yang diperlihatkan oleh si kakek bongkok.
Dan orang-orang yang sedang melongo itu semakin terlongoh-longoh dengan kening mengerut. Karena, tak melihat bagaimana cara Caping Dewa Sakti menghindar, tahu-tahu saja tubuhnya sudah lenyap dari pandangan dan telah berada di sebelah kiri sambil masih perdengarkan tawanya. Masih setengah terkekeh mendadak saja Caping Dewa Sakti gerakkan kepalanya. Bagai anak panah yang dilepaskan dengan tarikan seluruh tenaga dalam, caping kusamnya melayang dan menderu hebat.
Memapas arah potongan kepala Dewi Putih Hati Setan yang sedang menggebubu. Potongan kepala itu tiba-tiba melenting setengah lingkaran, lebih tinggi dari apungannya di udara tadi. Dan menderu lagi. Namun, Caping Dewa Sakti telah meluncur dengan jotosan ke muka.
Des! Potongan kepala itu terpental dan mengeluarkan gerengan keras.
"Kuundang kau ke Goa Terkutuk, Manusia Hina!!" Lalu.... Wusssssh! Potongan kepala aneh itu telah menghilang. Andika yang melompat mengejar, ditahan oleh Caping Dewa Sakti dengan satu gerakan tangan yang mengeluarkan angin dingin. Terheran-heran Andika berbalik dan menatap lakilaki bongkok aneh itu.
"Mengapa?" serunya langsung.
"Tak seharusnya manusia keparat itu dibiarkan hidup lebih lama lagi." Caping Dewa Sakti tersenyum.
"Dia hanya membalas dendam, dan dendam itu ditujukan kepadaku. Tak ada sangkut pautnya dengan kalian." Apa yang dikatakan Caping Dewa Sakti memang benar.
Itu bertanda Caping Dewa Sakti tidak ingin yang lainnya terlibat dalam urusan dendam mengerikan.

*****

«₪₪₪⑪₪₪₪»

Mereka tiba di tempat yang agak terbuka. Di balik semak di hadapan mereka terdapat sebuah goa. Sejenak terasa kengerian yang lebih mendalam di hati Andika. Entah mengapa begitu matanya melihat kembali Goa Terkutuk, bulu kuduknya meremang.
Kegelapan goa itu seolah pancarkan kebengisan dan kekejaman yang sangat luar biasa. Begitu mereka tiba, mendadak saja terdengar kesiur angin dahsyat bergulunggulung ke arah mereka, yang serabutan berlompatan menyelamatkan diri. Gumilang yang terlambat menghindar, terpelanting deras dan menabrak sebuah pohon. Lelaki berpakaian putih-putih itu pingsan saat itu juga. Sri Kasih merasa dadanya sesak, padahal ia terkena tak secara langsung, hanya terkena sambarannya saja. Andika merasakan tubuhnya menggigil. Ia alirkan tenaga dalamnya dengan cepat. Hal yang sama pun dialami oleh si Tua Naga Merah. Hanya Caping Dewa Sakti yang tampaknya tetap berdiri tegar. Kedua matanya yang masuk ke dalam menatap tak bergeming goa di depannya.
"Setelah nyawamu kucabut, Manusia hina, yang lain pun akan segera menyusulmu!" terdengar suara penuh gelegar dahsyat itu. Habis suara itu, mendadak saja berdesing angin bak topan prahara ke arah Caping Dewa Sakti. Angin itu muncul bersamaan bergeraknya satu sosok tubuh dari dalam Goa Terkutuk.
Caping Dewa Sakti hanya geleng-gelengkan kepalanya.
Kejap lain jotosannya sudah dilancarkan akan tetapi kelebatan sosok tubuh yang cepat itu justru mengejutkannya. Karena, sesuatu yang keluarkan sinar hitam berkelebat.
Ctaaar! ! Menerbangkan kerikil dan membuat tempat itu semakin berdebu. Sesaat Caping Dewa Sakti mundur beberapa tindak.
Pandangannya mulai dibaluri kemarahan. Namun, sebelum si kakek bongkok ini bertindak, Andika sudah mengemposkan tubuh sambil menggerakkan tangannya yang memegang kain bercorak catur.
Ctaaar! Suara keras terdengar bersamaan dengan itu kain pusaka bercorak catur melilit sinar hitam yang bergerak-gerak yang keluar dari Pecut Sakti Bulu Babi yang dikibaskan oleh sosok tubuh jelita yang tak lain Dewi Putih Hati Setan.
Dewi Putih Hati Setan mundur dua tombak. Tangannya dirasa kesemutan. Matanya hampir lompat keluar tak percaya dengan apa yang dialaminya. Pecut Sakti Bulu Babi yang dibanggakannya dapat dikalahkan oleh kain bercorak catur di tangan Pendekar Slebor.
Dewi Putih Hati Setan yang geram karena keinginannya untuk segera membunuh Caping Dewa Sakti telah terhalang, segera putar kepala dan tatapan bengis pada Andika yang cuma nyengir saja.
"Keparat!" suara itu terdengar keras sementara Pecut,Sakti Bulu Babi di tangannya semakin pancarkan sinar warna hitam. Pecut itu tak bertangkai pada hulunya.
Mengikat erat pada tangan Dewi Putih Hati Setan. Suara geramannya menyusul, "Kau akan mampus, Setan Muda!!" Tiba-tiba saja pecut itu menggebubu lagi dengan pancarkan sinar hitam menggidikkan. Andika yang memang sudah siap untuk menerjang segera bergerak dengan kecepatan laksana setan. Tangannya yang mengandung kekuatan penuh digerakkan.
Bummm! Pecut itu terlilit oleh kain pusakanya dan ketika ia coba tarik, justru tubuhnya yang tersentak ke depan.
"Monyet pincang! Bisa mampus aku kalau wanita jalang itu hantamkan pukulannya!" Masih dalam posisi tubuh dibawa oleh pecut yang pancarkan sinar hitam itu, Andika buat satu gerakan aneh.
Ia justru tambah tenaganya sendiri hingga tubuhnya lebih cepat melesat ke arah Dewi Putih Hati Setan yang siap hantamkan pukulannya. Bersamaan dengan itu, Andika langsung lompat ke kanan dengan lepaskan kain bercorak catur yang di pegangnya.
Wusss! "Setan alas!!" maki gadis cantik berhati kejam itu sambil buang tubuh karena lesatan kain bercorak catur yang melilit pada ujung pecutnya bagai meteor belaka.
Keterkejutannya makin menjadi. Karena Andika sudah buat satu gerakan menyerang kembali. Tubuhnya meluncur deras! Wuutttt!! Dalam keadaan terjepit, Dewi Putih Hati Setan masih memperlihatkan kelasnya. Selagi ia melompat menghindar lesatan kain bercorak catur, ia gerakkan tangan kirinya.
Wuuutt! Des! Pukulan Andika yang mengandung tenaga dalam tinggi dipapasi dengan cepat. Menyusul kibasan Pecut Sakti Bulu Babi ke arahnya, cepat. Keras menimbulkan angin maut.
Sing! Sing! Bum! Bum! Bukan hanya Andika saja yang harus tunggang-langgang dibuatnya, yang lain pun segera berlompatan dan melihat tanah yang mereka pijak tadi sudah membentuk lobang dengan mengeluarkan asap.
Saat itu, tiba-tiba saja si Tua Naga Merah yang masih terluka dalam berkelit dua kali hindari serangan yang mengerikan. Begitu merasa ada kesempatan, ia segera berdiri tegak. Kedua tangannya dikatupkan di dada dan ditepuknya tiga kali.
Terlihatlah asap putih perlahan-lahan mengepul dan semakin lama semakin banyak. Ajian 'Asap Dewa' sudah dikeluarkannya.
Dengan hebatnya, asap putih itu bergulung-gulung semakin tebal dan menutupi ruang serangan dari sinar hitam yang sulit untuk ditembus.
Setelah berkali-kali melakukan, terdengar gerengan dahsyat, "Kau juga akan mati, Perempuan Peot!!" Dengan kalap Dewi Putih Hati Setan gerakan tangannya berkali-kali. Desingan sinar hitam itu semakin lama semakin banyak dan bertubi-tubi. Sebisanya si Tua Naga Merah mempertahankan ajian 'Asap Dewa'-nya. Perlahanlahan terlihat tubuhnya bergetar hebat dengan darah yang mengalir dari hidung dan mulut.
Andika terperangah melihatnya.
"Kacau, nampaknya si Tua Naga Merah tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Aku harus berbuat sesuatu kalau tak ingin keselamatan si Tua Naga Merah terancam." Berpikir seperti itu, Andika mencoba menerobos asap putih itu dan menderu ke arah Dewi Putih Hati Setan.
Akan tetapi, justru tubuhnya yang digenjot cepat itu terpental ke belakang. Tak mampu terobos asap putih tebal milik si Tua Naga Merah. Seolah ada dinding yang tebalnya sepanjang lengan manusia dewasa yang menghalanginya.
Begitu tubuhnya terlontar ke belakang, getaran tubuh si Tua Naga Merah semakin kuat. Darah yang mengalir dari hidung dan mulutnya semakin banyak.
Tiba-tiba terdengar teriakannya yang setinggi langit.
Bersamaan dengan itu tubuhnya terpental deras.
"Aaakhhhh!!" Sri Kasih yang sudah cemas sejak tadi, dan harus menghindari serangan sinar hitam membabi buta, langsung bergerak dan menangkap tubuh gurunya. Namun akibatnya, justru ia yang terpental bersama dengan tubuh gurunya. Brak! Sri Kasih masih bisa mengendalikan keseimbangannya hingga meskipun terjatuh namun tidak terlalu deras. Tak pula dirasakan tubuh gurunya yang menindih yang membuat napasnya makin terasa sesak. Segera ia balikkan tubuh gurunya dengan tergesa dan hati cemas.
Dilihatnya di bahu kanan gurunya sebuah lobang kecil yang mengalirkan darah dan mengepulkan asap.
"Guru!" desisnya dan segera dialirkannya tenaga dalamnya untuk memberikan tambahan tenaga pada gurunya yang sedetik kemudian jatuh pingsan. Rasa panik semakin muncul di hati Sri Kasih. Ia masih terus melakukan tindakan penyelamatan yang menurutnya tepat.
Sementara itu, begitu tubuh si Tua Naga Merah terpental, seketika ajian 'Asap Dewa' yang dikerahkannya untuk menahan serangan Dewi Putih Hati Setan, lenyap.
Dan ini memudahkan sinar hitam yang berasal dan Pecut Sakti Bulu Babi itu terus meluncur, menyerang membabi buta pada Andika.
"Setan betul!!" makinya dan menghindar lagi dengan cepat. Sementara Andika berjumpalitan, Caping Dewa Sakti memperhatikan tak berkedip.
"Pemuda berpakaian hijau pupus ini benar-benar keras kepala! Biar kulihat dulu, apa yang akan terjadi dengannya!" Sementara itu Dewi Putih Hati Setan sambil terus mempergencar serangannya pada Pendekar Slebor.
"Kau telah menjelma menjadi monyet buduk, Pendekar Slebor!! Dan kau kakek bongkok keparat! Giliranmu akan tiba!"
"Hal ini tidak boleh dibiarkan," pikir Andika masih menghindar.
"Bila tidak segera dihentikan, tenagaku dan yang lainnya akan terkuras kayak monyet habis nandak! Aku harus memotong serangannya!" Memikir sampai di sana, mendadak saja kenekatannya muncul. Tiba-tiba Andika lentingkan tubuhnya ketika sinar hitam itu kembali mengarah kepadanya, dan tangannya dengan gerakan yang sangat cepat bergerak, melilit sekujur tubuhnya dengan kain pusaka warisan Ki Saptacakra.
Dengan masih berputar di udara itu, tubuhnya membentuk satu pusaran dan menderu ke arah Dewi Putih Hati Setan yang cukup kaget melihat kenekatan Andika. Ia makin menambah tenaganya. Namun sinar hitam yang melesat ke arah Andika bagai terpental kembali begitu mengenai tubuhnya. Ini dikarenakan pusaran tubuhnya yang sangat cepat dibantu dengan kesaktian kain bercorak catur miliknya. Suara keras menggelegar menyadari serangan sinar hitam itu tak berguna lagi terdengar, "Keparat! Kau harus mampus!!" Tiba-tiba saja terdengar suara berderak yang sangat keras. Dan bumi bergoyang seketika. Bahkan Andika yang masih berputar di udara itu tiba-tiba ambruk. Tubuhnya bagai tersedot oleh gaya gravitasi bumi.
Segera ia berdiri. Dan kedua matanya terbuka, mulutnya menganga. Ia melihat Dewi Putih Hati Setan tengah pancarkan tenaga dalamnya dan memulai Ilmu baru yang diciptakannya!

*****

Caping Dewa Sakti yang lihat pula akan keanehan itu, segera melenting di sisi Andika. Ia berkata pelan, "Menyingkirlah! Yang diinginkan hanyalah nyawaku! Selamatkan si Tua Naga Merah dan muridnya! Bawa pula tubuh Gumilang!" Andika putar kepalanya dan kerutkan kening. Ia sadar, dengan perkataan seperti itu, secara tidak langsung Caping Dewa Sakti memberitahukannya kalau lawan mengeluarkan ilmu yang sangat luar biasa.
Tetapi bagi Andika, ia tak akan mundur bila belum melihat kezaliman di depan matanya terhenti. Dengan keras kepala ia menggeleng, "Aku akan tetap di sini. Kita coba untuk hancurkan manusia itu!"
"Terlalu berbahaya! Cara ia pergunakan Pecut Sakti Bulu Babi-nya, lain dengan puluhan tahun lalu. Kali ini tenaganya lebih tinggi dan aku yakin, ilmunya makin bertambah. Menyingkir dari sini Andika." Andika tidak mengiyakan dan tidak pula menolak. Ia justru berkata-kata, "Menurut Rawangi, kelemahannya ada pada gumpalan darah di tubuhnya. Sialnya, kita akan kesulitan menentukan di mana letak gumpalan darah itu!"
"Siapa, Rawangi?"
"Wah! Terlalu panjang menceritakannya!"
"Biarpun kau mencarinya, kau akan terlambat menemukannya. Karena, tubuhmu sudah hancur!" terdengar suara menggelegar yang sangat dahsyat. Kaki kanan Dewi Putih Hati Setan melangkah.
Bum! Andika merasa tubuhnya goyang, begitu pula dengan Caping Dewa Sakti. Untungnya mereka memiliki tenaga dalam yang tinggi. Hingga keseimbangannya masih terjaga.
Sementara itu, Sri Kasih bergetar dadanya.
"Astaga! Apakah ada gempa bumi?" desisnya sambil berpegang pada sebatang pohon yang daun-daunnya berguguran. Ia melihat tubuh gurunya yang pingsan terjingkat sejenak. Mendadak ia teringat akan Gumilang.
"Gila, di mana dia sekarang?" Segera Sri Kasih berkelebat dan begitu menemukan Gumilang yang pingsan segera dibawanya ke tempat di mana gurunya pingsan pula.
Di tempat yang agak terbuka, Andika mendesis, "Luar biasa! Seumur hidupku aku baru melihat kehebatan tenaga dalam seperti itu!"
"Dan kau akan merasakan kedahsyatannya! Bersiaplah Andika!" Andika cuma mengangguk-anggukkannya. Ia merasa bulu kuduknya meremang dan tubuhnya menjadi dingin.
"Benar-benar sinting! Bagaimana caranya menghentikan manusia keparat itu?" desisnya dengan kepala berpendar pusing.
"Biar bagaimanapun juga, aku harus menemukan gumpalan darah yang ada pada tubuhnya!" Dan mendadak saja ia bersama Caping Dewa Sakti, bergulingan hindari satu serangan yang benar-benar mencengangkan. Karena, tubuh Dewi Putih Hati Setan sudah bergerak secepat kilat. Gerakannya menimbulkan gemuruh yang sangat dahsyat sekali. Saat itu benar-benar terasa bagai kiamat. Belum lagi ketika kedua kakinya melangkah dan memijak tanah. Andika sampai terpental ke atas sepuluh hasta! "Gila! Kekuatan apa yang sebenarnya dimiliki oleh wanita itu?" makinya sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya agar tidak terjatuh. Namun begitu kedua kakinya hinggap di tanah, tiba-tiba saja dengan bengis Dewi Putih Bati Setan sudah melesat lagi ke arahnya. Wusss! Andika cepat merebahkan tubuhnya di tanah. Namun tak mungkin punggungnya terserempet angin yang kuat.
Perih sekali dirasakannya. Bersamaan dengan luputnya serangan itu, datang lagi satu serangan melalui injakan kaki Dewi Pulih Hati Setan yang bagai bertambah ribuan kali dan mampu mematahkan seluruh tulang Pendekar Slebor dalam sekali injak.
Segera Andika bergulingan cepat kalau tidak ingin ajalnya segera tiba.
Bummm! Suara dentuman keras terdengar begitu kaki gadis kejam itu menginjak tanah di mana ia rebah tadi.
Kekuatan injakannya itu membuat Andika terpental ke atas dan menukik ambruk ke tanah. Sakitnya sudah tak ketulungan lagi. Bahkan Andika merasa sudah tak sanggup lagi untuk bangkit.
Samar matanya melihat bagaimana Dewi Putih Hati Setan sedang mencecar Caping Dewa Sakti yang menghindar dan kesulitan untuk membalas. Karena setiap kali ia menghindar dan hinggap di tanah, getaran dahsyat yang mampu membuat aliran darahnya kacau dirasakannya.
"Seluruh dosa-dosamu akan kau tebus hari ini, Manusia Keparat!!" suara menggelegar itu terdengar bersamaan dengan tangan yang bergerak menghantam.
Caping Dewa Sakti mencoba bergulingan di saat bergulingan ia hantamkan kakinya ke kaki Dewi Putih Hati Setan. Des! Tubuh Dewi Putih Hati Setan terhuyung sesaat.
Wajahnya terlihat agak pias. Namun, perempuan sesat yang menyimpan dendam setinggi langit, bergerak kembali dengan hebatnya.
Caping Dewa Sakti menarik napas pendek. Kejap berikutnya dia menggeser tubuhnya ke kanan, bersamaan dengan itu tongkatnya pun digerakkan.
Wuutt! ! Gebrakan Dewi Putih Hati Setan tertahan beberapa saat.
Kepiasan yang dibaluri kemurkaan tampak di wajahnya.
Lalu mendadak saja dia menggereng keras, "Kau memang berilmu tinggi! Tetapi cita-citaku adalah untuk menuntut balas semua! Bersiaplah, Kakek Keparat!" Caping Dewa Sakti terdiam sesaat. Belum lagi dia menentukan jalan pikirannya, Dewi Putih Hati Setan sudah keluarkan suara kembali.
"Inilah ilmu terakhir yang kupelajari dari Kitab Pusaka Rembulan Mambang! 'Raksasa Memetik Rembulan'!"

*****

«₪₪₪⑫₪₪₪»

Caping Dewa Sakti yang berdiri tegak, membatin resah.
"Dendam rupanya telah membuat perempuan ini menjelma menjadi iblis! Rasanya, terpaksa aku harus menurunkan tangan juga!" Tetapi sebelum si kakek bongkok melakukannya, mendadak saja satu sosok tubuh berkelebat dengan cepat, melenting setengah lingkaran melewati kepala Dewi Putih Hati Setan. Andika yang masih menahan sakit telah melakukan tindakan yang memerlukan keberanian luar biasa. Saat ia berada tepat di kepala Dewi Putih Hati Setan yang terkesiap kaget, tangannya yang sudah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' menjotos kepala itu.
Des! Dewi Putih Hati Setan keluarkan suara erangan yang luar biasa. Tubuhnya sempoyongan. Andika yang sudah hinggap di tanah memperhatikan dengan seksama.
"Gila, kalau sejak tadi tak satu serangan pun yang mampu membuatnya bergetar seperti itu, kali ini bahkan tubuhnya sempoyongan," desisnya dan otaknya yang cerdik segera tahu apa kelemahan yang dimiliki oleh Dewi Putih Hati Setan.
"Kepalanya! Ya, kepalanyalah kelemahannya!! Pasti gumpalan darah yang dimaksud oleh Rawangi berada di dalam kepalanya!" Andika berkelit dengan lincah ketika dengan gerengan setinggi langit yang getarkan jantung Dewi Putih Hati Setan menderu dengan amukan dahsyat.
Andika cepat berkelit yang dilanjutkan dengan lompatan yang cukup tinggi dan kali ini kaki kanannya menendang kepala Dewi Putih Hati Setan.
Des! Tangan Dewi Putih Hati Setan masih sempat menahan serangannya. Meskipun kakinya terasa remuk, Andika tak mau hentikan serangan. Bersamaan kakinya terhantam, masih berada di udara ia putar tubuhnya. Tangannya dikibaskan kembali.
Des! "Keppaarrraaattt!!" suara keras itu kali ini terdengar bagai suara jauh dari lobang sumur. Tubuh Dewi Putih Hati Setan semakin bergetar hebat. Dari hidungnya mengalir darah segar. Caping Dewa Sakti yang melihat hal itu, mendesah pendek, "Tindakan pemuda dari Lembah Kutukan ini memang tepat! Terpaksa semua memang harus dilakukan!" Lalu dilihatnya Pendekar Slebor menghantamkan serangannya ke kepala Dewi Putih Hati Setan. Yang makin lama makin bergetar hebat dengan erangan dahsyat mengerikan. Menyusul satu serangan yang dilakukan Andika melalui kain pusaka bercorak catur yang dialiri dengan ajian 'Guntur Selaksa'. Bukan hanya membuat Dewi Putih Hati Setan sempoyongan, bahkan ambruk dengan suara berdebam keras.
"Injak kepalanya, Andika!!" seru Caping Dewa Sakti yang baru menyadari kalau kepalalah kelemahan dari wanita kejam itu.
Tanpa diperintah pun Andika memang akan melakukan tindakan itu. Dengan lincahnya kedua kakinya bagai melompat jangkit menginjak kepala Dewi Putih Hati Setan.
Suara berderak terdengar bersamaan dengan lolongan yang menggetarkan sukma. Akan tetapi, yang dialami oleh Andika pun tak kalah mengerikannya.
Tangan kiri Dewi Putih Hati Setan masih sempat tangkap sebelah kakinya dan bagai sebuah kerikil tubuh Andika dilontarkan jauh beberapa tombak. Dan berhenti dengan tulang bagai patah setelah menabrak sebuah pohon.
Namun kekeraskepalaan Andika memaksanya membuat ia tetap berdiri dan siap menyerang kembali. .
Akan tetapi apa yang dilihatnya kemudian membuatnya terbelalak. Begitu pula dengan Caping Dewa Sakti yang telah siap untuk membantu Andika.
Keduanya melihat tubuh Dewi Putih Hati Setan bergetar sangat dahsyat dan terdengarlah ledakan yang sangat kuat.
Tubuhnya pecah dan berpentalan bagai meteor! Andika cepat merebahkan tubuhnya. Sementara Caping Dewa Sakti masih berdiri tegak. Pecahan daging dan tulang yang meluncur ke arahnya tertahan. Sementara sebagian menghajar pepohonan yang kembali tumbang berdebam. .
Setelah beberapa saat, hujan pecahan daging, dan tulang yang berasal dari tubuh Dewi Putih Hati Setan mereda.
Sebagai gantinya, keduanya melihat sosok transparan penuh amarah dan darah yang mengalir dari mulutnya menyeringai.
"Dewi Putih Hati Setan!" desis Caping Dewa Sakti dengan suara berat. Sosok transparan itu perlihatkan wajah tua penuh kerut merut dan Caping Dewa Sakti meyakinkan diri kalau sosok transparan itulah sesungguhnya wajah dari Dewi Putih Hati Setan yang sudah menua.
"Bila sekarang aku gagal mencabut nyawamu, Orang Bongkok, lain kesempatan kau pasti kudapatkan! Dan kau Pendekar Slebor, kau telah menorehkan dendamku padamu! Kau pun tak akan luput dari sasaran kematian!" Diiringi dengan tawa yang menggema keras, sosok transparan yang merupakan arwah penasaran dari Dewi Putih Hati Setan perlahan-lahan lenyap dari pandangan.
Tinggal keduanya yang menghela napas panjang.

*****

"Rupanya dendamnya padaku akan semakin panjang, entah kapan akan selesai...," desis Caping Dewa Sakti dengan kepala tertunduk.
Andika tak segera menjawab. Ia masih merasa aneh dengan semua yang dihadapinya ini. Tiba-tiba didengarnya suara dari belakang, "Andika! Di manakah Dewi Putih Hati Setan?" Andika menoleh dan melihat Sri Kasih dan si Tua Naga Merah yang sudah pulih dari pingsannya mendekat. Ia hanya menganggukkan kepalanya. Perasaannya masih tak menentu. Pertama, bingung sekaligus takjub dengan kesaktian Dewi Putih Hati Setan. Kedua, saat ajalnya tiba pun wanita itu berubah menjadi arwah penasaran yang masih mendendam pada Caping Dewa Sakti.
Si Tua Naga Merah mendesah pendek, "Maafkan aku...
karena tak kuasa membantu kalian."
"Sudahlah, Nek... toh semuanya sudah berakhir," kata Sri Kasih.
"Apakah kau masih menginginkan Pecut Sakti Bulu Babi untukku, Nek?" Si Tua Naga Merah gelengkan kepalanya. Matanya lekat menatap pada Pecut Sakti Bulu Babi yang tergeletak di tanah. Sementara itu Andika melangkah perlahan seolah tak menyadari ada mereka di sana. Sri Kasih hendak memanggil, tetapi Caping Dewa Sakti melarangnya, "Biarkan pemuda itu berlalu. Karena, dia masih dipusingkan dengan apa yang terjadi barusan.
"Tetapi, Kek..."
"Sri Kasih," potong si Tua Naga Merah.
"Bila kau memang mencintainya, kau kuizinkan untuk mengikutinya." Kali ini terlihat Sri Kasih menjadi serba salah. Ia menunduk dengan wajah memerah. Lalu desisnya malu, "Nenek...." Diperhatikannya sosok pemuda yang mulai dicintainya itu melangkah. Ah, mengapa ia tak sempat lagi bercakapcakap dengan Andika" Akankah ia bertemu kembali" Sri Kasih semakin menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba kepalanya terangkat ketika mendengar suara Pendekar Slebor, "Sialan! Aku kan belum sempat mencium Sri Kasih sebagai ucapan selamat berpisah!!"
"Memalukan!!" justru terdengar desisan Sri Kasih bernada gembira.
Yang lainnya tertawa. Seperti hendak, melakukan apa yang dikatakannya, Andika berlari ke arah Sri Kasih. Gadis itu tertawa dan menghindar.
"Eh, memaksaku main kucing-kucingan ya" Awas kau!" seru Andika sambil mengejar.
Si Tua Naga Merah dan Caping Dewa Sakti tertawa.
Membiarkan Pendekar Slebor dan Sri Kasih dalam urusannya. Setelah itu, Caping Dewa Sakti melangkah untuk mengambil Pecut Sakti Bulu Babi yang tergeletak. Namun alangkah terkejutnya laki-laki bangkok itu ketika ia pegang pecut itu, telah berubah menjadi asap.
"Gila!" desisnya.
Si Tua Naga Merah pun memperhatikan dengan kening berkerut. Ia mendesis, "Aku yakin.... Kitab Pusaka Rembulan Mambang pun lenyap begitu saja bersamaan matinya Dewi Putih Hati Setan...." Keduanya terdiam, lalu memutuskan untuk menemui Gumilang.

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Darah Darah Laknat --oo0oo-- Patung Kepala Singa


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.