Life is journey not a destinantion ...

Darah-Darah Laknat

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Pulau Seribu Setan --oo0oo-- Goa Terkutuk



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: DARAH DARAH LAKNAT

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«¤¤¤[ 1 ]¤¤¤»

Pagi masih muda. Angin berhembus semilir, seperti mengabarkan berita baik bagi siapa sa-ja yang merasakan belaiannya.
Matahari belum begitu menyengat. Mengkristalkan panah merahnya bersama hembusan angin.
Bukit kecil yang ditumbuhi pepohonan rindang itu terletak di sebelah utara Gunung Kerinci.
Berjarak ribuan tombak dari sana. Tempat yang nyaman dan permai itu ternyata berpenghuni dan disebut Bukit Teduh. Ada sebuah bangunan yang tak begitu besar di sisi sebelah kirinya. Di belakang rumah itu terdapat ladang jagung yang cukup subur. Di ladang jagung itu, seorang lelaki berusia kira-kira empat puluh lima tahun, sedang asyik memanen jagung. Yang sedianya dijual di pasar yang cukup jauh jaraknya dari sana. Tetapi lelaki yang berwajah cukup cakap dengan tubuh kekar bertelanjang dada itu, tak menghiraukan berapa jauhnya jarak pasar dari tempat tinggalnya.
Baginya, bertempat tinggal di bukit itu, sangat menyenangkan sekali. Jauh dari segala masalah yang membisingkan. Dia teringat beberapa kali istrinya yang berusia dua puluh tujuh tahun itu mengajak untuk pindah. Tetapi dengan sikap yang bijak si lelaki yang bernama Gamang Markuto selalu memberikan jawaban yang bisa menyenangkan istrinya. Padahal sesungguhnya, ada sesuatu di balik semua ini. Dan Gamang Markuto tak ingin hal itu diketahui istrinya.
Di tepi ladang jagung yang diberi pagar dari kayu-kayu itu, nampak seorang anak yang berusia sepuluh tahun sedang asyik bermain. Rupanya dia tengah membuat perahu-perahuan dari pelepah daun jagung.
Bocah itu bernama Dali Gunarso. Putra dari Gamang Markuto dan istrinya.
Selagi Gamang Markuto asyik memanen jagung sementara anaknya terus sibuk dengan kegiatannya, tiba-tiba terdengar seruan bocah itu.
"Ayah! Ada orang datang!" Gamang Markuto menghentikan kegiatannya sejenak. Dia berdiri tegak. Butir-butir keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Di kejauhan, dilihatnya tiga ekor kuda sedang menuruni bukit di sebelah selatan. Kegembiraannya memanen jagung itu mendadak sirna. Hatinya berdebar keras tak menentu. Sesuatu yang selama ini dipendam dan dirahasiakannya, mendadak bergejolak. Suasana yang nyaman itu terasa oleh Gamang Markuto sangat mencekam sekali.
"Merekakah yang datang?" desisnya panik.
Dipicingkan matanya kembali. Sesaat perasaannya makin tak menentu.
"Kalau benar manusia-manusia dajal itu yang datang, bisa berabe!" Bergegas dia menghampiri putranya dan bermaksud mengajaknya masuk.
Tetapi sebelum dia melakukannya, tiga ekor kuda yang ditunggangi oleh tiga lelaki berjubah hitam panjang dan tergerai dipermainkan angin, telah tiba di hadapannya. Berhenti pada jarak sepuluh tindak.
Masing-masing penunggang kuda itu menatap tak berkedip pada Gamang Markuto yang mendadak menjadi tegak.
"Lama kami mengarungi tempat, menjelajah penjuru, tidak tahunya yang dicari bersembunyi di sini," salah seorang dari ketiga laki-laki itu berkata sambil terbahakbahak. Wajahnya penuh codetan. Rambutnya tergerai panjang dengan mata tajam yang membersitkan kelicikan.
"Apa kabarmu, Gamang Markuto?" Untuk sejenak Gamang Markuto mengerutkan kening. Dicobanya untuk mengenali wajah laki-laki yang berseru tadi, "Ronggo Kosworo!" serunya tersentak.
Orang bercodet yang dipanggil Ronggo Kosworo terbahak-bahak, keras hingga menggema ke seluruh bukit. Sumirah, istri Gamang Markuto yang sedang menanak di dapur rumah, bergegas keluar karena suara tawa itu sangat asing sekali.
Begitu melihat istrinya keluar, Gamang Markuto mendesah panjang. Tak mungkin sekarang ia bisa menahan istrinya. Sumirah mendekati anak dan suaminya. Dipegangnya tangan Dali Gunarso dengan erat. Wanita cantik yang memiliki otak cerdik itu bisa meraba apa yang terjadi.
Karena, tak biasanya suaminya bersikap tegang seperti itu. Apalagi, ketika ia melihat wajah ketiga penunggang kuda berjubah hitam itu. Rata-rata menyeramkan. Dan tatapan mereka melebar begitu melihat dirinya.
Ronggo Kosworo kembali terbahak-bahak.
"Kulihat hidupmu begitu nyaman, Gamang. Istri yang cantik dan anak yang cakap.
Hmmm... tetapi sikapmu tadi tak mengenakanku, Gamang. Apakah kau sudah tidak mengenali kami lagi, hah?" Gamang Markuto terdiam. Pandangannya tak berkedip menatap Ronggo Kosworo yang masih terbahak-bahak. Perasaan Gamang Markuto tidak tenang lagi. Tetapi sikapnya yang jantan membuatnya berusaha untuk tenang.
"Sekarang, kita tak lagi mempunyai urusan. Semua sudah selesai. Lebih baik, pergi dari sini!" suaranya gagah, mengandung tekanan.
"Kakang Ronggo...," kata yang menunggang kuda di sebelah kiri lelaki bercodet itu. Matanya sebelah picak. Ada daging yang tercacah di sana, namun sudah lama mengering.
"Manusia ini ternyata masih punya nyali, tak pengecut seperti du-lu.
Dia mengusir kita. Apakah pantas kedatangan kita yang sudah tiga bulan mencari manusia keparat itu harus menerima perlakuan buruk semacam ini?" Ronggo Kosworo mengalihkan pandangannya lagi pada Gamang Markuto.
"Kau dengar itu, Gamang" Kami datang sebagai tamu, tak layaknya kau sebagai tuan rumah memperlakukan kami seperti ini, bukan?"
"Lima belas tahun yang lalu, semua masih jadi urusanku! Tetapi sekarang, hidupku sudah tenang! Jangan ganggu kehidupan yang kubangun dengan susah payah ini!" seru Gamang Markuto. Ronggo Kosworo meradang.
"Manusia keparat! Bila kau tidak mengatakan di mana persembunyian kita waktu itu, tak mungkin hidup kami harus berakhir di penjara kadipaten! Apakah kau pikir selama lima belas tahun hidup kami enak dan penuh kelayakan" Codet di wajahku ini, picak di mata Gonggo Sirat dan pincangnya kaki kiri Jombrang, ini adalah hasil siksaan manusia-manusia laknat di kadipaten! Sementara kami terkena siksaan yang sangat pedih, kau enak-enakan hidup bahagia! Menggeluti istrimu yang cantik dan mempunyai anak yang cakap! Memiliki rumah yang bagus, dan lading jagung yang subur! Apakah kami akan diam saja untuk tidak membalas perlakuan busukmu itu, hah"!" Gamang Markuto terdiam. Ingatannya kembali pada peristiwa lima belas tahun yang lalu. Dulu, ketiga orang berjubah hitam itu adalah konco-konconya. Rencana perampokan di rumah seorang saudagar kaya datang dari Ronggo Kosworo. Gamang Markuto saat itu menolak untuk ikut serta. Meskipun ketiganya adalah sahabatnya, namun ia tak mau melakukan perbuatan makar. Tetapi ketiga temannya justru mengancam akan membunuhnya bila ia tak mau ikut serta.
Dengan terpaksa, Gamang Markuto ikut serta dalam aksi perampokan itu. Tiga korban melayang jiwanya. Saudagar kaya itu luka parah, sementara istrinya diperkosa beramairamai. Gamang Markuto yang tidak mau ikut saat memperkosa istri saudagar kaya itu, dengan berat hati mau tak mau melakukannya karena golok di tangan Ronggo Kosworo sudah menempel di lehernya.
Dengan membawa hasil jarahan yang melimpah, mereka melarikan diri ke Gua Arca. Sebulan lamanya mereka di sana dan sesekali keluar untuk melihat keadaan. Aksi perampokan yang disertai dengan kekerasan itu, sangat santer sekali pada waktu itu. Hingga Adipati Gaung Surya yang menguasai Kadipaten Harum Raksa pun turun tangan, karena saudagar itu juga termasuk familinya. Pencarian besar-besaran pun dilakukan. Gamang Markuto yang pada dasarnya menolak aksi kejahatan itu, memutuskan untuk keluar dan menyerah. Ia tak sanggup berdiam diri lebih lama di Gua Arca dengan membayangkan bagaimana pedih dan sakitnya hati orang-orang yang telah terbunuh dan istri saudagar kaya itu yang mereka perkosa.
Sudah tentu Ronggo Kosworo marah besar dengan usulnya. Ia ditempeleng habis-habisan disertai cacian yang menyakitkan. Namun agaknya, pelarian mereka memang harus berakhir.
Prajurit kadipaten berhasil menemukan jejak mereka dan laporan seorang tua pemancing yang merasa heran karena Gua Arca kini dihuni.
Para prajurit kadipaten pun melacak ke sana. Bertepatan saat itu, Gamang Markuto sedang mandi di sungai. Alangkah terkejutnya ia ketika kembali ke Gua Arca, dilihatnya ketiga temannya dalam keadaan terikat diseret oleh tiga ekor kuda. Padahal yang diketahuinya, ketiga temannya itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Namun keadaan itu tidak begitu mengherankan, karena di samping jumlah prajurit Kadipaten yang sangat banyak, juga penangkapan itu dipimpin oleh Panglima Darta Sena, tangan kanan Adipati Gaung Surya yang memiliki ilmu tinggi.
Tetapi, andaikata Panglima Darta Sena seorang diri, dia pun tak akan mampu menangkap ketiganya. Jangankan menangkap, mengalahkannya saja belum tentu.
Masih didengarnya makian Ronggo Kosworo, "Ini ulah Gamang Markuto! Ia yang melapor-kan kita berada di sini! Aku bersumpah, akan melakukan pembalasan pada pengkhianat itu!!" Gamang Markuto menjadi ketakutan luar biasa. Di samping khawatir, ia akan ditangkap pula, juga ketakutan karena ancaman Ronggo Kosworo yang sebenarnya salah paham. Gamang Markuto tak pernah melakukan hal itu. Meskipun ia tak mau melakukan semua ini sebelumnya, namun ia tak memiliki jiwa pengkhianat! Ia bersembunyi di dalam sungai ketika para prajurit kadipaten mencari-carinya. Dari keterangan Ronggo Kosworo yang sangat geram pada Gamang Markuto, para prajurit itu tahu kalau masih ada seorang lagi buronan yang belum tertangkap. Menyelami sungai Gamang Markuto menyeberang dan berlari sejauh mungkin. Tiba di satu tempat ia menarik napas panjang. Tiba-tiba ia teringat akan harta hasil jarahan mereka. Tak dilihatnya sebelumnya para prajurit kadipaten membawa hasil jarahan itu. Sudah tentu mereka tak akan menemukannya. Karena hasil jarahan itu diletakkan di bawah batu yang cukup besar setelah dibuat lubang di dalamnya.
Setelah seminggu menunggu keadaan aman, barulah Gamang Markuto mendatangi lagi Gua Arca. Sekuat tenaga ia mendorong batu itu dengan bantuan sebatang kayu besar sebagai pengungkit. Digalinya lubang di bawah batu itu dan ia pun kabur dengan hasil jarahan mereka.
Namun, tak sekali pun Gamang Markuto mempergunakan hasil jarahan itu. Ia memutuskan untuk bekerja di pasar yang terdapat di kotapraja. Di sanalah ia bertemu dengan istrinya yang rela meninggalkan rumah dan menghuni tanah di sekitar Bukit Teduh itu.
Dan sekarang, manusia-manusia itu muncul kembali. Gamang Markuto menghela napas panjang.
"Ronggo... yang kau katakan itu salah besar. Aku tak pernah mengkhianati kalian. Tak pernah memberitahukan di mana kita bersembunyi!"
"Setan keparat! Sejak dulu kau pandai ber-silat lidah!"
"Dengar Ronggo, bila yang kau inginkan adalah hasil jarahan kita waktu itu... aku masih menyimpannya," kata Gamang Markuto merasa hal itu lebih baik. Ia melirik istrinya yang terkesiap dan seketika menoleh padanya dengan ken ing berkerut dan pandangan yang menyipit. Gamang Markuto tak mempedulikan soal itu terlalu lama. Istrinya harus tahu rahasia apa yang dipendanmnya selama ini.
"Di mana harta itu?"
"Berjanjilah... setelah kalian mendapatkan hasil jarahan itu... segera pergi dari sini dan jangan mengganggu kehidupanku lagi!" Jawaban dari Ronggo Kosworo hanya terbahak-bahak saja. Gamang Markuto berpaling pada istrinya, "Maafkan aku, Sumirah...."
"Kang Gamang... mengapa semua ini terjadi?" tanya Sumirah dengan rasa penasaran dan sedih yang makin meraja.
Gamang Markuto memegang bahu istrinya sambil menarik napas panjang.
"Setelah kuberikan hasil jarahan itu, aku akan menceritakan semuanya padamu." Lalu dengan sikap gagah, ia menoleh pada Ronggo Kosworo.
"Kita berangkat sekarang!"
"Naik di belakangku!" Gamang Markuto melangkah dan melompat naik ke punggung kuda Ronggo Kosworo.
Ronggo Kosworo menggebrak kudanya. Menyusul Gonggo Sirat dan Jombrang.
Sementara itu Sumirah mendekap erat-erat Dali Gunarso. Perasaannya tidak tenang sekarang. Ia berdoa banyak-banyak agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkannya pada suaminya. Sementara bocah kecil dalam dekapannya, hanya memandang terbengong pada kepergian ayahnya.
Ia heran, karena biasanya ayahnya selalu mengajaknya serta bila bepergian. Tetapi sekarang mengapa tidak"

****

Matahari sudah sampai di tengah luasnya cakrawala. Sinarnya menyengat cukup panas ketika mereka tiba di sebuah hutan kecil yang cukup jauh dari bukit di mana Sumirah dan putranya menunggu harap-harap cemas kepulangan suaminya.
"Berhenti di sana!" seru Gamang Markuto sambil menunjuk dua buah pohon yang berjarak satu meter. Ronggo Kosworo mengarahkan kudanya ke sana, begitu pula dengan dua temannya. Di tempat yang ditunjuk Gamang Markuto mereka menghentikan langkah kuda.
Gamang Markuto melompat turun. Tanpa mempedulikan mereka, ia berjalan lurus ke arah timur. Ketiganya segera menambatkan kuda dan mengikuti langkah Gamang Markuto.
Sambil melangkah, Jombrang yang pincang kaki kirinya berbisik, "Apakah setelah mendapatkan harta itu kita bunuh manusia keparat ini, Kakang?" Ronggo Kosworo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum licik.
"Tidak, Aku mempunyai rencana lain untuknya. Penderitaan jasad yang cacat hanya membuat sakit hati seberapa. Namun penderitaan batin yang dalam, tak akan pernah terlupakan.
Seperti yang kita alami. Dan manusia keparat itu harus menerima hal yang sama.
Bahkan lebih menyakitkan." Jombrang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Gonggo Sirat menyeringai lebar. Ia seolah menangkap apa rencana yang ada di benak Ronggo Kosworo.
Di hadapan mereka, Gamang Markuto terus melangkah. Hingga akhirnya terbentang sebuah sungai yang mengalirkan air cukup deras.
Di tepi sungai di mana sejak tadi Gamang Markuto melangkah lurus dari dua batang pohon yang berdekatan, laki-laki itu membungkuk. Diambilnya sebatang kayu yang tergeletak di sisinya. Ditancapkannya kayu itu pada tanah gembur di tepi sungai. Setelah terdiam dan menelengkan kepalanya seolah menentukan di mana harta jarahan mereka lima belas tahun lalu disembunyikan, mulailah Gamang Markuto melangkah turun ke sungai. Tak menggulung celananya. Setelah beberapa langkah dan air sungai sudah membasahi pinggangnya, ia menyelam.
Cukup lama juga Gamang Markuto berada di dalam sungai itu, hingga membuat ketiga manusia berjubah hitam menjadi tak sabar. Tetapi mereka tak sempat bertindak apa-apa, karena Gamang Markuto sudah muncul kembali dengan tubuh basah kuyup. Melangkah terseret dan tangannya menarik sesuatu dari dalam sungai itu.
Ronggo Kosworo menyeringai ketika dilihatnya apa yang ditarik oleh Gamang Markuto.
Sebuah kain kusam.
"Di dalam kain itu ada sebuah peti kecil! Di peti itulah hasil jarahan itu kusimpan!" Ronggo Kosworo memberikan isyarat pada Gonggo Sirat dengan menggerakkan dagunya.
Yang diberikan isyarat tahu kalau ia harus memeriksa hasil jarahan mereka. Segera lelaki itu membungkuk. Membuka kain itu dan mencongkel paksa peti di dalamnya dengan golok besar yang tersampir di pinggangnya.
Trak! Peti itu terbuka. Seketika terdengar suara Gonggo Sirat sambil terbahak-bahak, "Inilah kekayaan kita, Kakang! Kita kaya, Kakang!!" Ronggo Kosworo membungkuk.
"Hmm... tak kurang satu pun juga. Aku ingat hasil jarahan itu," katanya setelah memeriksa.
Gamang Markuto yang sejak tadi menggeram, berkata dingin, "Kalian sudah mendapatkan apa yang kalian cari. Kuminta, kalian memenuhi janji untuk tidak lagi mengganggu kehidupanku!" Bagai bersahabat Ronggo Kosworo menepuk-nepuk punggung Gamang Markuto yang terdiam sambil menahan gejolak kemarahan di dadanya.
"Sudah tentu kami tidak akan mengingkari janji, Gamang," katanya bernada kepuasan.
"Kau ternyata memang kawan yang baik. Tidak memakan hasil jarahan ini.
O ya, berapa banyak yang kau minta?" Gamang Markuto menggelengkan kepalanya.
"Sedikit pun tidak! Aku hanya ingin kete-nangan dan mendapatkan janji kalian!" Sambil terbahak-bahak penuh kelicikan dan kemenangan, Ronggo Kosworo berkata, "Sudah tentu! Gonggo, bawa harta itu!" Lalu ia berka- ta lagi pada Gamang Markuto, "Kerja sama ini sangat kuhargai! Sampai jumpa!" Ketiga orang berjubah hitam dengan golok besar di pinggang itu melangkah meninggalkan Gamang Markuto yang menghela napas panjang sambil terbahak-bahak.
Laki-laki yang masih bertelanjang dada itu mendesis, "Kuharap... peristiwa ini tidak panjang lagi dan hidupku lebih tenang bersama anak dan istriku...." Dialihkan kepalanya ke atas. Matahari mulai melangkah pada tiga perempat perjalanannya.
Sebentar lagi senja. Gamang Markuto bergegas melangkah ketika didengarnya suara derap langkah kuda di kejauhan.
Gamang Markuto tak mau anak dan istrinya terlalu lama menunggu dalam kecemasan.
Ia pun tak mau sampai di rumah saat malam sudah berjalan. Ditinggalkannya hutan kecil itu dengan hati agak lapang, karena menurutnya, segala persoalan yang selama lima belas tahun dipendamnya, kini telah berakhir.

****

«¤¤¤[ 2 ]¤¤¤»

Tepat matahari terbenam dan sinar rembulan mulai merambah perlahan, Gamang Markuto tiba di sisi bukit sebelah kiri. Dia tersenyum menyadari kebebasan yang telah didapatkannya. Dibayangkannya kehidupan yang lebih layak, aman, dan terjamin bersama istri dan anaknya.
Terbayang pula dia akan mendapatkan rangkulan hangat dari istri dan anaknya karena kembali tanpa kurang suatu apa. Lalu dengan rasa ingin segera bertemu pada anak dan istrinya, bergegas Gamang Markuto berlari menuruni bukit untuk tiba di lereng bukit itu, di mana rumahnya berdiri dan istri serta anaknya yang diyakinnya telah menunggu.
Tetapi, langkahnya mendadak terhenti dalam jarak lima tombak dengan rumahnya. Keningnya berkerut melihat keadaan rumah yang gelap. Baru disadarinya di kejauhan tadi dia tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan. Mengapa istrinya belum menghidupkan lampu sentir" Batinnya. Perasaannya makin gelisah ketika ia menangkap satu gelagat yang tidak menguntungkan. Tetapi ditahannya perasaan itu saat ia berlari mendekati rumahnya.
"Sumirah! Sumirah!" dari jarak dua tombak ia sudah berseru-seru.
Tak ada sahutan apa-apa, Tak ada yang keluar dari rumah itu. Hati Gamang Markuto tadi sudah gembira karena kehidupan yang baik akan berlangsung di depan matanya, berubah menjadi galau dan semakin tak menentu.
Kegelisahan mulai menjalari perasaannya hingga membuatnya tegang sekaligus cemas bukan main. Diketuknya pintu berkali-kali disertai panggilan pada anak dan istrinya. Tetapi tak ada sahutan yang bisa membuatnya merasa lega. Ada apakah ini" Pikirnya bertambah galau.
Lebih mengejutkan lagi ketika ia tahu ternyata pintu tidak terkunci. Sejak kapan istrinya melupakan hal ini" Batinnya galau. Bergegas ia masuk dengan hati risau dan bertanya-tanya. Ia memanggil kembali.
"Sumirah! Dali! Di mana kahan?" serunya dan dihidupkannya lampu sentir di dalam rumah. Dengan membawa lampu sentir itu, dia berjalan ke kamar. Dibukanya pintu kamarnya dengan seruan memanggil, "Sumirah! Dali!" Kamar yang gelap tadi kini menjadi agak terang. Dan dia tak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui apa yang terjadi. Di atas dipan di mana ia biasa tidur bersama istrinya, istrinya tergolek dengan leher putus. Pakaiannya acak-acakan. Terutama baju di bagian dada dan kain yang menutupi bagian bawah. Dilihatnya ada bercak darah yang telah mengering di kedua paha istrinya.
"Sumiraaahhh!!" jeritnya menggelegar.
Lampu sentir cepat diletakkan di atas meja kecil yang kusam. Lalu ditubruknya tubuh istrinya yang telah menjadi mayat dengan hati hancur di balai-balai. Dibelainya wajah yang telah kaku dan lemah itu dengan tangan gemetar.
"Sumirah...
maafkan aku.... Oh, Tuhan... inikah hukuman atas kesalahanku lima belas tahun yang lalu....
Tetapi mengapa harus istriku" Mengapa?" Tibatiba, bagai disentak setan, Gamang Markuto berdiri tegak dan berseru dengan kalap seraya keluar dari kamar itu, "Dali! Di mana kau Dali!" Dicarinya putranya itu dengan hati bertambah tak karuan. Diperiksanya setiap sudut kamar. Tetapi bocah itu tak ditemukannya. Ketika matanya melihat pintu belakang terbuka, hatinya bertambah kacau.
Bergegas Gamang Markuto melesat keluar melalui pintu belakang. Dan seketika terdengar jeritannya yang sangat keras, melolong bagai serigala lapar ketika pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang tergantung di pohon.
Putranya! Dali Gunarso yang tergantung di pohon itu! Dengan hati hancur, Gamang Markuto bergegas naik ke pohon itu dan menurunkan putranya yang telah menjadi mayat. Didekapnya putranya dengan kepedihan yang teramat sangat.
"Dali... Dali... mengapa harus engkau dan ibumu yang mengalami semua ini.... Maafkan Ayah, Dali... maafkan Ayah...," desisnya pilu. Ia menjerit lagi. Lebih keras dari yang pertama. Ia tahu, siapa yang melakukan semua ini. Siapa lagi kalau bukan bekas teman-temannya yang membawa sejuta dendam padanya.
"Manusia-manusia keparat! Kalian harus menerima balasan dari semua ini!" Gamang Markuto menangis lemah dengan tubuh yang bagai kehilangan tenaga. Dibayangkannya bagaimana manusia-manusia durjana itu setelah meninggalkannya kembali ke rumahnya.
Sudah tentu istri dan anaknya menjadi ketakutan. Namun apalah daya istrinya yang lemah dan anaknya yang masih bocah.
Gamang Markuto tak sanggup membayangkan penderitaan istrinya, yang sudah tentu diperkosa lebih dulu sebelum dibunuh. Dan ia tak sanggup membayangkan bagaimana jerit kesakitan dari putranya yang digantung sedemikian kejam. Selagi ia berada dalam kesedihan yang dalam, mendadak di kejauhan terdengar suara tawa yang sangat keras sekali. Bertalu-talu.
Sambil membopong putranya yang telah menjadi mayat, Gamang Markuto berlari ke depan.
"Manusia-manusia biadab! Kalian akan menerima balasan dari semua ini!!"
"Begitulah penderitaan yang kami alami, Gamang! Dan kau pun harus merasakannya!" terdengar seruan yang sangat keras.
Gamang Markuto tahu kalau Ronggo Kosworo yang berteriak.
"Ronggooo! Akan kuhancurkan kepalamu!"
"Hahaha... terima kasih, Gamang. Kuucapkan terima kasih! Kau mau menunjukkan di mana harta hasil jarahan kita lima belas tahun lalu! Dan kau mau berbagi kenikmatan pada kami untuk menikmati tubuh indah milik istrimu!"
"Keparaaattt! Hayo! Keluar kalian semua! Kita bertarung sampai mampus!"
"Tantangan yang menyenangkan! Tetapi, kami tak ingin membuatmu lebih berduka lagi!" Gamang Markuto masih berteriak-teriak keras. Tiba-tiba teriakannya terhenti. Berubah menjadi jeritan. Dua buah anak panah menancap di bahu dan kakinya. Tubuhnya menjadi limbung dan ia ambruk ke tanah. Mayat putranya menindihnya.
"Keparaaattt!" makinya sambil menahan sakit. Dengan susah payah dan menahan penderitaan yang dialaminya, Gamang Markuto mencabut anak panah dibahunya.
"Aaakkkh!" seruan kesakitan terdengar ketika ia berhasil mencabut anak panah itu. Darah segera menyembur. Menyusul ia mencabut anak panah yang menancap di kakinya. Darah semakin banyak yang keluar.
Dalam waktu yang singkat, wajah Gamang Markuto menjadi pucat pasi. Namun belum lagi ia tahu apa yang terjadi, pandangannya yang mulai nanar melihat lima buah bola api menderu ke arah rumahnya. Rupanya anak panah yang ujungnya telah diberi buntalan kain dan dibakar.
Kelimanya menancap tepat di atas rumahnya.
Atap yang terbuat dari rumbia itu seketika terbakar. Api menyala dengan cepat dan membuat tempat itu menjadi sedikit terang.
Hati Gamang Markuto menjadi kalap. Dengan menahan rasa sakit dan tubuh limbung dengan langkah terpincang, dikerahkan sisa-sisa tenaganya untuk masuk ke dalam rumah yang terbakar dengan cepat itu.
Susah payah ia menyambar tubuh istrinya yang telah menjadi mayat. Lalu ia bermaksud untuk segera keluar. Tetapi sebuah balok di bagian atas yang mulai terbakar, mendadak runtuh.
Hampir saja menimpa tubuhnya.
Panas dari api yang menguar itu sangat menyengat sekali. Dirasakan bagai telah membakar sekujur tubuhnya. Dan penderitaan ini sangat menyiksanya apalagi dengan darah yang terus mengucur dan tubuh yang semakin melemah.
Dengan panik ia berusaha menerobos api.
Tetapi kakinya tersandung balok yang jatuh tadi.
Tubuhnya tersungkur ke depan. Kepalanya menghantam sebuah meja. Sangat keras dan membuatnya pusing bukan main.
Masih dicobanya untuk bangkit. Akan tetapi, tenaganya sudah sangat lemah sekali dan tak mampu ia untuk bangkit menyelamatkan diri.
Sayup-sayup didengarnya suara tawa yang bertalu-talu. Keras dan mengerikan.
Ia hanya sempat berdoa sekali mohon keselamatan Yang Maha Kuasa, sebelum di detik lain ia sudah tergolek pingsan.
Agaknya kematian sudah sangat dekat sekali dengan laki-laki malang itu....

****

«¤¤¤[ 3 ]¤¤¤»

Namun agaknya Yang Maha Kuasa menghendaki lain. Di saat api tengah mengurung Gamang Markuto yang dalam keadaan tak sadarkan diri, mendadak terdengar dengungan bagai suara ribuan tawon yang sedang marah. Menyusul satu angin deras bergemuruh ke arah rumah yang terbakar itu. Dengungan seperti ribuan tawon marah dan dahsyatnya angin yang meluncur itu ternyata berasal dari sebuah kain bercorak catur yang dikibaskan oleh satu bayangan hijau, menghampar ke arah rumah. Brrr! Atap rumbia pada rumah yang terbakar itu terbang terseret angin deras tadi. Api di bagian atas rumah itu seketika padam.
Sesaat bayangan hijau yang mengibaskan kain bercorak catur dan menimbulkan suara keras itu menerobos masuk ke dalam rumah yang terbakar. Gerakannya sungguh sangat luar biasa cepatnya, bagai kilat yang menyambar. Kain bercorak catur yang jelas merupakan sebuah senjata dahsyat, telah disampirkan di bahunya, di mana memang di sanalah bayangan hijau itu meletakkan senjatanya yang berupa kain bercorak catur.
Sosok bayangan hijau itu tersentak ketika melihat dua sosok tubuh yang tergolek di lantai dan di atasnya balok-balok yang terbakar tengah siap menimpa keduanya. Menimbulkan suara keretek yang mencekam.
Tanpa mengurangi kecepatannya, bayangan hijau itu menyambar dua sosok yang tergolek. Sangat cepat dan terlatih, hingga dalam seka-li sambar saja, tubuh kedua sosok itu telah dibopongnya. Lalu dengan gerakan yang sama, dia mencelat melalui pintu belakang rumah. Bersamaan dengan itu rumah yang terbakar tadi ambruk. Menimbulkan suara berkeretek, berderak, dan bergemuruh. Asap keluar dari sana, cukup tebal. Bayangan hijau tadi, yang sudah mengambil jarak lima tombak dari rumah yang terbakar itu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat rumah yang terbakar itu ambruk.
"Gila! Manusia mana yang tega membakar rumah itu beserta isinya! Untungnya dari atas bukit sebelah tenggara aku sempat melihat api yang menjilat-jilat. Kalau kambing yang dibakar masih enak! Orang yang dibakar apa enaknya" O ya, tadi sempat kulihat seorang anak kecil yang terkapar. Lebih baik aku membawa dua manusia ini ke sana. Tetapi, aku yakin, sosok yang perempuan ini telah menjadi mayat.
Agaknya bukan karena terbakar. Entah karena apa. Kutu monyet!" Memikir sampai di sana, pemuda berbaju hijau pupus itu mencelat ke depan. Diletakkannya kedua manusia dalam bopongannya tadi di hadapan bocah kecil yang terkapar.
Lalu ia membungkuk.
"Sadis! Bocah ini pun telah tewas. Di lehernya terdapat guratan yang cukup dalam menembus daging. Seperti habis digantung. Keparat! Siapa yang melakukan perbuatan hina ini!" si pemuda memaki-maki dengan hati panas dan tangan terkepal. Lalu ia membalikkan tubuh pada tubuh Sumirah.
"Wanita ini mengalami siksaan yang lebih sadis. Jelas ia dihina dan dipermain- kan lebih dulu sebelum dibunuh." Kemudian si pemuda beralih pada Gamang Markuto.
Diperiksanya tubuh lelaki malang itu.
"Masih hidup.
Meskipun detak jantungnya lemah. Untungnya, aku tadi mengecek ke dalam rumah yang terbakar ini. Bila tidak, manusia ini akan jadi daging panggang." Dialirkannya tenaga dalamnya sedikit, sekadar menjaga suhu tubuh Gamang Markuto.
Pemuda berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur di lehernya itu memutuskan untuk segera menguburkan dua mayat di dekatnya.
Dengan mempergunakan tenaga dalamnya, dalam waktu singkat kedua mayat itu telah dikuburkan.
"Hmmm... aku tak yakin bila kebakaran ini terjadi karena keteledoran orang-orang ini yang kuyakini sebagai penghuni rumah itu. Pasti ada yang telah membakarnya dengan sengaja. Apalagi bila melihat kondisi wanita yang kuyakini istri da-ri laki-laki yang pingsan ini dan bocah kecil yang tentunya putra mereka, yang nampak habis menerima siksaan pedih. Monyet pitak! Siapa manusia-manusia yang tega melakukan semua ini" Akan kujitak kepalanya sampai benjol tujuh biji!" Si pemuda memutuskan untuk menunggu sampai lelaki itu siuman dari pingsannya. Dibawanya tubuh yang pingsan itu ke bawah pohon, sekadar melindungi dari udara dingin.

****

Si pemuda langsung terbangun dari tidurnya begitu telinganya yang tajam dan terlatih mendengar kokok ayam jantan di kejauhan. Pagi masih sangat muda. Udara masih dingin dengan butiran embun di dedaunan.
Diliriknya lelaki yang masih tergolek lemah di sisinya. Digaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan rasa penasaran yang mulai menggigit hatinya. Dia tak pernah suka menerima kenyataan pahit di depan matanya, bila ada manusia yang menurunkan kekerasan pada manusia lain.
Si pemuda teringat sebelum dituruninya bukit bagian tenggara semalam, dilihatnya ada mata air di sana. Cepat dia berkelebat untuk segera mandi. Dibersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Setelah itu, dia bergegas kembali ke tempat semula.
Namun alangkah terkejutnya dia, ketika tak melihat sosok lelaki yang pingsan itu.
"Celaka! Ke mana orang itu" Sudah mau mampus masih menghilang juga! Kujewer kupingnya kalau ketemu! Tetapi, apakah dia...," si pemuda memutuskan selorohan yang bercampur kejengkelannya, ketika didengarnya suara teriakan keras yang memilukan berasal dari dua makam yang baru saja dikuburkannya.
Cepat dia berkelebat ke sana dan melihat lelaki malang itu sedang menangis di depan dua makam yang baru saja dibuatnya semalam.
Ditahan keinginannya untuk segera memanggil. Menurutnya, biarlah lelaki itu melepaskan semua kegundahan dan kesedihan yang meraja dalam hatinya.
Setelah beberapa saat, lelaki itu berlutut dan terpaku di hadapan dua makam. Tubuhnya agak bergetar sedikit.
"Sumirah.... Dali Gunarso... siapa pun yang telah menolongku dan menguburkan kalian... aku sangat berterima kasih. Maafkanlah diriku yang telah membuat hidup kalian mengalami kejadian tragis seperti ini...." ?"Hehehe... kalau mau tahu orangnya sih gampang saja! Maaf, ya... sebelumnya aku tak meminta izin darimu. Akulah yang telah menguburkan mayat istri dan anakmu...," suara di belakangnya, halus tetapi diiringi ketawa membuyarkan kesedihannya dan membuat lelaki itu menoleh. Dilihatnya pandangan mata lelaki itu melebar. Bukan dalam arti terkejut, namun keheranan karena dia tak mendengar suara pemuda itu datang tadi. Tetapi, Gamang Markuto yang telah merasa bersyukur karena ada yang menyelamatkannya tak mempedulikan lebih lama lagi soal keheranannya tadi. Dia segera berdiri. Berkata pelan, agak bergetar, dan suaranya tersekat di tenggorokan, "Kuaturkan banyak terima kasih atas perto-longanmu Tuan...."
"Andika. Nama yang keren! Sekeren orangnya! Hmmm... siapakah namamu, Kakang?"
"Namaku Gamang Markuto."
"Maafkan kelancanganku, karena telah menguburkan mayat istri dan putramu tanpa seizinmu."
"Justru aku sangat berterima kasih padamu. Karena aku tahu, engkaulah yang tentunya telah menyelamatkanku."
"Wah urusan terima kasih-terima kasihan sudah lewat! Sekarang, bolehkah aku tahu apa yang telah terjadi?" Gamang Markuto membuang napas masygul, seolah mencoba membuang segala kegelisahan, kemarahan, dan kesedihan di hatinya. Ketika dia siuman dari pingsannya tadi, yang pertama-tama diingatnya adalah keadaan istri dan putranya. Dengan kepala pening dan tubuh yang lelah luar biasa, dibawa langkahnya dengan terseret-seret menuju rumahnya. Dilihatnya rumahnya sudah ambruk, menjadi puing dan debu. Sisasisa api masih nampak di sana-sini.
Hatinya galau bukan main menyadari mayat istrinya yang masih berada di dalam rumah itu. Tetapi, rasa galaunya berubah menjadi keheranan yang dalam, ketika diingatnya kalau dirinya berada cukup jauh dari rumah itu dalam keadaan tak kurang suatu apa pun. Padahal yang diingatnya sebelum dia jatuh pingsan, tubuhnya tergolek tak berdaya di dalam rumah yang terbakar. Menyadari hal itu, Gamang Markuto menjadi yakin, kalau seseorang yang baik hati telah menyelamatkannya. Dengan kata lain, berarti memindahkan pula mayat istrinya. Diingatnya pula mayat Dali Gunarso.
Segera Gamang Markuto mencari mayat putranya. Dan yang ditemukan justru dua buah gundukan tanah. Yang satu agak panjang dan yang lainnya lebih kecil. Keyakinan Gamang Markuto makin menjadi-jadi kalau ada seseorang yang telah menolong mereka dan menguburkan mayat kedua orang yang dikasihinya. Dan sekarang, si penolong yang mengaku bernama Andika telah berdiri di hadapannya.
Dengan mencoba menahan kepedihan hatinya, Gamang Markuto menceritakan apa yang terjadi. Si pemuda yang memang Andika alias Pendekar Slebor hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia maklum, kalau Gamang Markuto masih terbawa arus kesedihan dan emosi dari malapetaka yang menimpa diri dan keluarganya.
Ditunggunya sampai lelaki itu kelihatan agak lebih tegar. Setelah itu barulah Andika berkata, "Gamang... apakah kau mempunyai famili?" Gamang Markuto mengangkat kepalanya, menatap lurus pada Andika, "Bagaimana maksudmu, Andika?"
"Bila kau mempunyai famili, lebih baik kau tinggal bersama mereka untuk sementara. Kau bisa tidur nyenyak dan makan enak! Kan sedap, tuh!"
"Tidak! Aku harus membalas semua perlakuan manusia-manusia biadab itu!" seru Gamang Markuto dengan wajah membesi dan rahang ter-katup rapat.
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.
Keras kepala juga nih orang! Batinnya. Lalu dia berkata sambil menatap lelaki yang tengah tegang itu, "Gamang... dari penjelasanmu tadi, aku yakin sesungguhnya engkau bukanlah orang yang memiliki jiwa sejalan dengan ketiga manusia durjana itu. Pertama, sebelumnya kau menolak ajakan sesat manusia-manusia itu. Tetapi karena ancaman mereka, kau terpaksa melakukannya juga. Kedua, meskipun kau tidak mau ikut dengan mereka, tetapi kau masih memandang tinggi persahabatan hingga tidak membocorkan rahasia di mana kalian bersembunyi. Ketiga, kau tidak menikmati hasil jarahan itu selama lima belas tahun. Bulat keyakinanku kalau kau sebenarnya berada dalam jalur kebimbangan. Lebih baik, kau urungkan niat manusia-manusia sesat itu. Biarlah aku yang mengurus mereka dan mengembalikan mereka pada kadipaten untuk menerima hukuman kembali." Gamang Markuto tetap menggelenggelengkan kepala.
"Mereka telah menghancurkan hidupku.
Masa depanku. Dan membunuh dua orang yang sangat kusayangi yang akhirnya hanya menjadi tumbal dari segala kesalahanku lima belas tahun yang lalu. Tak akan kubiarkan manusia-manusia itu hidup lebih lama lagi. Meskipun aku yakin tak akan mampu menandingi mereka, tetapi... aku akan mencobanya!" Andika sadar, kekeraskepalaan lelaki ini lebih banyak disebabkan karena rasa bersalah pada anak dan istrinya yang menjadi korban atas ulahnya lima belas tahun lalu. Tetapi dia mendumal juga dalam hati, "Ingin kujitak kepala orang ini! Apa benar-benar keras?" Kembali dia berkata sambil tarik napas panjang, "Dendam hanya akan membawa petaka...
lebih baik...."
"Lagi pula Andika," potong Gamang Marku-to, "Aku tak mempunyai famili lagi.
Hidupku seorang diri sekarang. Orang dekat pada belahan jiwaku, hanyalah istri dan anakku. Mereka mati mengenaskan karena ulahku dulu! Apakah aku akan berpangku tangan saja, hah?" Andika tersenyum. Mencoba mengerti akan kemarahan dan rasa bersalah Gamang Markuto.
Tetapi, dia tetap tak menghendaki lelaki itu melakukan apa yang diinginkannya sekarang.
"Sudahlah... lebih baik pembicaraan ini kita sudahi dulu. Sekarang, pergilah mandi untuk membersihkan tubuhmu. Barangkali air dingin akan menyejukan jiwa dan ragamu. Sementara kau mandi... aku akan mengambil jagung dari ladang yang tentunya kau punyai. Kita akan sarapan jagung bakar. Eh, berapa banyak yang bisa kau makan" Lagi pula, kau marah tidak nih, jagung-jagung itu kuambil?" Gamang Markuto hanya menganggukanggukkan kepalanya. Lalu tanpa berkata apaapa, lelaki itu melangkah menuju mata air.
Andika berseru, "Cepat kembali lagi ke sini! Aku khawatir, kau tak akan kebagian! Soalnya, aku juga sudah kelaparan nih!" Memang pada akhirnya Gamang Markuto tidak kebagian jagung bakar itu. Karena setelah delapan jagung bakar telah matang dibakar Andika dan Andika tidak bermaksud untuk segera memakannya, karena dia ingin menikmati jagung itu bersama Gamang Markuto, lelaki itu tak pernah muncul. Andika mencoba menunggu. Tetapi karena lelaki itu tak muncul juga, penasaran Andika berkelebat ke mata air. Tak dilihatnya lelaki itu berada di sana.
Sadarlah Andika, kalau sebenarnya Gamang Markuto tidak pernah mendatangi tempat itu. Mungkin, dia telah pergi selagi Andika sibuk membakar jagung.
"Kampret! Manusia itu benar-benar keras kepala! Aku jadi ingin menjitaknya sampai benjol! Hhh! Aku harus menemukannya secepatnya! Bisa berabe kalau begini. Jangan-jangan, justru lelaki itulah yang akan celaka!" Andika hendak berkelebat tetapi urung. Jelas wajahnya kelihatan bimbang. Bukan karena apa, melainkan....
"Brengsek! Aku belum sempat menikmati jagung bakar yang lezat itu! Tetapi sudahlah, keselamatan Gamang Markuto lebih penting sekarang! Karena, tak mustahil ia justru termakan dendamnya sendiri." Tetapi lain kalimat yang keluar, lain pula perbuatannya. Terburu-buru pemuda urakan itu mengambil dua buah jagung bakar. Sambil menggigit dan memakan jagung bakar, Andika berkelebat ke arah tenggara, setelah mengira-ngira ke mana perginya Gamang Markuto.
Ke manakah Gamang Markuto pergi" Yang diperkirakan Andika tadi memang benar. Karena, lelaki itu tak pernah mendatangi mata air. Ketika dilihatnya Andika mulai sibuk memetik jagung dari ladangnya, Gamang Markuto melangkah ke kanan, lalu bergegas memutar tubuh ke arah timur. Dia tak mau menunggu terlalu lama. Tak dipedulikan keadaan dirinya yang sebenarnya penat, lapar, dan lelah bukan main. Yang terpenting sekarang, dia harus mencari manusia-manusia dajal yang telah membasmi kedua orang yang dicintainya dan melukai jiwanya yang paling dalam.
Sedikit banyaknya dia mengucapkan terima kasih atas pertolongan Andika, yang telah menyelamatkan dirinya hingga tak menjadi korban karena ulah manusia-manusia dajal itu. Sebenarnya, dia pun ingin sekali mengikuti saran Andika, agar tidak perlu membalas dendamnya.
Namun, hal itu tak bisa dia tahan begitu saja. Gamang Markuto merasa tak akan mampu melakukan saran Andika. Yang terbaik, dia memang harus mencari manusia-manusia keparat yang telah menghina istrinya sebelum dibunuh dan mengantung putranya dengan sadis.
Rasa bersalah pada anak dan istrinya telah mengikat jiwanya. Baginya tak ada jalan lain lagi kecuali mencoba mencari manusia-manusia keparat itu. Tak tahu apa yang akan terjadi, Gamang Markuto terus mengikuti arah langkah dan perasaan bersalahnya....

****

«¤¤¤[ 4 ]¤¤¤»

Waktu terus berlalu. Tiga hari telah terlewati sejak Andika pertama kali mencari Gamang Markuto. Matahari terus beranjak. Dan kini sinarnya telah tiba pada perjalanan menuju senja, ketika Andika alias Pendekar Slebor tiba di sebuah dusun. Mencari Gamang Markuto, bukanlah hal yang mudah. Karena sangat mustahil bila dia tahu kata hati Gamang Markuto. Jalan yang terbaik menurut Andika, sambil mencari jejak Gamang Markuto, dia pun merasa harus mencari manusia-manusia sesat itu. Yang terpenting lagi, dia harus mengetahui latar belakang manusia-manusia itu. Apalagi, sampai sekarang dia belum juga mendapati jejak yang berarti dari Gamang Markuto. Andika memasuki sebuah kedai yang cukup ramai di dusun Bojong Kenanga. Orangorang yang berada di sana, tak mempedulikan kehadirannya. Karena, sebagai orang yang sedang makan di kedai itu pun kebanyakan pendatang yang kebetulan singgah untuk mengisi perut. Jadi menurut mereka, pemuda berbaju hijau pupus dengan rambut gondrong dan wajah keren itu, hanyalah seorang pendatang yang kebetulan tengah kelaparan. Tanpa memikirkan kehadirannya membuat orang-orang di sana menjadi keheranan atau tidak, Andika duduk di sudut kedai setelah memesan nasi kebuli dan sekendi air putih. Diedarkan pandangannya ke sekeliling kedai, barangkali saja dia melihat manusia-manusia berjubah hitam itu.
Atau kalau dia beruntung, bisa menemukan Gamang Markuto berada di antara orang-orang yang sedang sibuk mengisi perut.
Tetapi yang dicarinya tidak ada di sana.
Saat pesanannya dihidangkan Andika bertanya, "Bapak... tahukah Bapak jalan mana yang harus kutempuh untuk menuju ke Kadipaten Harum Raksa" Kalau tidak tahu ya sudah, aku tidak marah, kok!" Pelayan setengah baya dengan blangkon kusam dan kumis agak memutih menyahut sambil tersenyum geli, "Masih jauh dari sini, Den.
Aden harus menuju ke arah barat. Dan itu membutuhkan waktu sekitar lima hari perjalanan."
"Cukup jauh Gamang Markuto membawa istri dan anaknya bersembunyi dari manusiamanusia sesat itu," batin Andika. Lalu bertanya lagi, "Pernahkah Bapak melihat tiga orang laki-laki berjubah hitam dengan menunggang kuda" Dan aku yakin pasti tampang ketiga orang itu jelek-jelek!" Si pelayan terdiam sejenak seolah mengingat-ingat. Andika menunggu dengan sabar. Tetapi jawaban si pelayan itu membuatnya mendesah pendek, "Tidak, Den... rasanya tidak pernah." Andika mengejar lagi pertanyaannya, "Kalau seseorang yang bernama Gamang Markuto?"
"Juga tidak. Den." Karena si pelayan jelas tak bisa memberikan keterangan yang dibutuhkannya kecuali Kadipaten Harum Raksa, Andika merasa tak ada lagi yang perlu ditanyakan.
"Terima kasih atas jawabannya, Bapak.
Nah, menyingkir deh! Aku sudah kelaparan nih!" Pelayan itu hanya tersenyum geli. Baru kali ini dia bertemu pemuda urakan seperti itu Setelah pelayan itu berlalu, Andika menikmati pesanannya. Dasar kebluk! Cara makannya seperti berhari-hari belum ketemu nasi! Seorang gadis berbaju jingga dengan celana pangsi berwarna hitam yang duduk tak jauh darinya mendengarkan percakapan itu.
Wajah si gadis yang cantik dengan rambut panjang dikuncir ekor kuda berkerut ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan Andika tadi.
"Hmmm... siapa dia" Bila mendengar pertanyaan keduanya tentang manusia-manusia berjubah hitam, apakah bukan Tiga Iblis Golok Setan yang akhir-akhir ini membuat keonaran" Aku harus tahu darinya, karena ketiga manusia itu pun tengah aku cari." Ketika dilihatnya pemuda berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang melilit di lehernya bangkit dan keluar dari kedai, si gadis pun mengikutinya.
Dilihatnya si pemuda dengan langkah santai berjalan menuju ke arah barat. Si gadis teringat akan pertanyaan pertama dari si pemuda pada pelayan kedai tadi.
"Mau apa dia menuju Kadipaten Harum Raksa" Dan lagi, kalau memang Tiga Iblis Golok Setan yang dicarinya, ada hubungan apa dia dengan manusia-manusia durjana itu" Kambratnya atau kaki tangannya?" Masih dengan pikiran-pikiran yang ada di benaknya, si gadis terus mengikuti langkah Andika yang sepertinya tak sadar kalau seseorang membuntutinya. Hal ini membuat si gadis kelihatan senang, karena tak terlalu sulit untuk mencari tahu dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya. Dia tahu, dalam jarak dua puluh tombak ke muka, membentang sebuah sungai dan sekelilingnya ada tanah yang cukup lapang dengan beberapa pepohonan besar. Si gadis memutuskan untuk menghentikan langkah si pemuda dan bertanya untuk memenuhi keingintahuannya.
Tetapi, justru gadis berbaju jingga dengan sebilah pedang berwarangka hitam di punggungnya yang terperangah. Karena, entah bagaimana mulanya, tubuh pemuda yang diikutinya lenyap begitu saja.
"Hei! Ke mana pemuda itu?" serunya sambil celingukan. Suara derasnya air sungai yang ada di hadapannya berjarak tiga langkah, sangat keras sekali. Si gadis masih memutar-mutar tubuhnya.
"Tak mungkin pemuda itu bisa menghilang begitu saja dari pandanganku!" desis si gadis antara percaya atau tidak. Tetapi sesuatu me-nyentil perasaannya, "Kalau dia memang bisa lenyap begitu saja, menandakan betapa tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Siapa dia sebenarnya?" Selagi si gadis celingukan penuh keheranan, terdengar suara tawa yang keras, "Yang jelas sih, aku bukan tuyul! Masa' sih ada tuyul yang keren kayak begini!" Si gadis memutar tubuhnya ke kiri dan pandangannya lurus ke depan. Dilihatnya si pemuda yang tadi diikutinya berdiri tegak di sebatang ranting kecil! "Hebat sekali ilmu meringankan tubuhnya!" batin si gadis berkata.
"Ranting kecil itu tak bergoyang menahan berat tubuhnya.
Bahkan dia berdiri dengan seenaknya saja tanpa berpegangan apa pun dalam keseimbangan badan yang utuh!" Si gadis berkata, "Maafkan sikapku yang telah mengikutimu," katanya yang kini diyakini kalau si pemuda mengetahui kalau dirinya dibuntuti.
"Nah! Kalau begitu katakan, apa sebabnya kau membuntutiku" Kalau mau kenalan boleh saja! Memang, orang sekeren aku ini pasti banyak yang ingin mengenal!" kata Andika masih tegak berdiri di ranting kecil itu sambil nyengir. Otak nakalnya berdesis, "Cantik sekali gadis itu! Siapa sih dia sebenarnya" Untuk menjadi pacarnya aku mau barang satu-dua hari... hahaha...." Tak tahu apa yang dipikirkan Andika, si gadis berkata, "Namaku Wening! Aku berasal dari dusun Karimata! Tak ada maksud jahat membun-tutimu, kecuali ingin mengetahui siapakah orangorang yang kau tanyakan di kedai tadi?" Andika yang sejak semula tahu kalau dia dibuntuti gadis berbaju jingga yang sedang makan pula di kedai, melompat turun dengan ringannya bagai segumpal kapas belaka.
"Apa urusannya denganmu itu" Janganjangan, mereka kekasihmu, ya" Busyet!" Tak menghiraukan selorohan Andika, gadis yang bernama Wening itu menjawab, "Karena... aku pun tengah mencari manusia-manusia yang kau maksudkan," sikap si gadis kali ini agak berhati-hati.
Karena, bila pemuda yang di hadapannya bermaksud jahat dan ternyata kambrat atau kaki tangan dari Tiga Iblis Golok Setan yang dicarinya, dia bisa bersiaga. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu tak segera menjawab pertanyaan Wening. Dia justru bertanya, "Nah, kau sendiri, siapa yang kau maksudkan dengan orang-orang yang kucari tadi dan sedang kau cari juga?" Wening terdiam sesaat. Dia tak segera menjawab. Otaknya berpikir keras menentukan siapakah pemuda di hadapannya ini, yang bersikap kocak" Tetapi untuk mendapatkan kejelasan akhirnya Wening berkata, "Di tempat tinggalku, dua hari yang lalu, kedatangan manusia-manusia berjubah hitam yang mengaku berjuluk Tiga Iblis Golok Setan. Kedatangan mereka dengan maksud jahat. Mereka merampok dan membunuh. Bahkan para tiga perawan dari desaku dibawa serta setelah selesai melakukan aksi kejahatannya. Entah dibawa ke mana. Setelah kejadian itu berlalu, aku baru tiba ke dusunku dari mengunjungi gu-ruku di Gua Mata Air. Sudah tentu hatiku marah mendapati desaku yang telah porak poranda. Setelah mendapatkan keterangan dari para penduduk desa yang terluka, aku pun segera meninggalkan desa, bermaksud mencari manusiamanusia dajal itu. Hatiku sakit sekali melihat kedua orangtua ku terluka akibat ulah mereka. Dan perlu kau ketahui, salah seorang dari perawan yang dibawa manusia-manusia keparat itu, adalah Harti, adikku satu-satunya!" Andika terdiam setelah mendengarkan cerita Wening. Hatinya menjadi marah bukan main.
Lagi-lagi keangkaramurkaan yang terjadi. Tetapi dasar urakan, sifat slebornya tidak surut juga.
"Pasti kau tidak tahu siapa orang-orang itu, kan?"
"Mereka menyebutkan diri Tiga Iblis Golok Setan. Tetapi menurut ayahku, salah seorang dipanggil dengan sebutan Gonggo Sirat, saat ayahku tak berdaya dihajar oleh salah seorang yang bercodet di wajahnya." Andika terkesiap mendengar nama itu.
Gonggo Sirat, salah seorang yang disebutkan Gamang Markuto! Kini sadarlah Andika siapa Tiga Iblis Golok Setan yang dimaksudkan oleh Wening.
Lalu katanya, "Kalau begitu, kita pun punya kepentingan yang sama. Manusia-manusia itulah yang sedang kucari karena telah membuat seorang kawan baruku mengalami musibah yang tragis." Kali ini Wening mendesah lega. Kalau begitu, pemuda di hadapannya bukanlah lawan.
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu?" Andika menyeringai.
"Jelas saja boleh, siapa tahu kita berjodoh! Dan aku yakin kau ingin mengetahui namaku lebih banyak disebabkan kau tertarik padaku, kan" Namaku Andika, orang-orang rimba persilatan menjuluki Pendekar Slebor." Kedua mata Wening melebar dengan mulut terbuka. Bukan karena mendengar selorohan Andika tadi, melainkan terkejut karena mendengar julukan yang disebutkan si pemuda. Dia jadi teringat akan cerita gurunya tentang sepak terjang seorang pemuda dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor yang selalu membela kebenaran dan akhir-akhir ini menjadi momok bagi orang-orang golongan hitam. Sementara, menjadi pujian bagi orang-orang golongan putih, terutama orang-orang yang pernah mendapatkan pertolongan darinya. Dan sekarang, pemuda yang diceritakan gurunya itulah yang berdiri di hadapannya dalam jarak dua tombak.
Masih dengan rasa terkejut Wening berkata, dalam nada suaranya tersirat kekaguman dan kebanggaan yang tak bisa ditutupi, "Tak kusangka, kalau aku bertemu dengan seorang pendekar besar sekarang ini."
"Hei! Aku bukan raksasa!" kata Andika tertawa.
"Coba kau lihat, wujudku sama dengan manusia kebanyakan, bukan" Cuma bedanya, aku lebih keren!" Mendengar selorohan itu, mau tak mau Wening tersenyum.
"Sekarang, hendak ke manakah Kang Andika melangkah?"
"Aku hendak ke Kadipaten Harum Raksa.
Karena menurut kawanku itu, manusia-manusia dajal yang kau sebutkan Tiga Iblis Golok Setan itu dulunya adalah tawanan Kadipaten Harum Raksa. Kau sendiri hendak ke mana?" Mendapati pertanyaan seperti itu, sebenarnya Wening ingin ikut serta. Tetapi dia malu men-gutarakannya. Karena, bila dia berjalan bersama seorang pemuda, berarti itu pengalaman baru baginya, karena selama ini dia tak pernah pergi berdua-duaan dengan seorang lawan jenisnya. Lagi pula, dia pun bermaksud untuk segera mencari manusia-manusia itu. Dikhawatirkannya, kalau manusia-manusia keparat itu melakukan perbuatan makar lebih lanjut.
Dan yang terpenting sekarang, Pendekar Slebor berada pada jalur yang sama dengannya.
Lalu katanya, "Aku akan meneruskan perjalanan mencari Tiga Iblis Golok Setan."
"Sudahkah kau menemukan di mana mereka berada?" Wening menggelengkan kepalanya.
"Belum. Entah di mana mereka akan kucari. Tetapi, aku tak akan kembali sebelum menemukan dan menangkap mereka!" Diam-diam Andika memuji keberanian dan sikap tegas yang dimiliki Wening.
"Kalau begitu... terpaksa kita berpisah di sini. Soalnya... hehehe... kau tahu, kan... apa jadinya seorang pemuda dan seorang gadis jalan berduaan?" seloroh Andika sambil tersenyum nakal Wening cuma tersenyum saja.
"Berhati-hati, kudengar manusia-manusia itu memiliki ilmu yang tinggi." Wening menganggukkan kepala. Dan ketika diangkatnya lagi kepalanya, sosok Pendekar Slebor sudah lenyap dari pandangannya. Tersentak dan celingukan dia mencari. Yang didengarnya suara dari kejauhan, "Hati-hati, Wening! Dan perlu kau ingat, kau seorang gadis yang cantik!" Kali ini Wening tersipu dan dia segera mengubah sikapnya menjadi biasa kembali. Karena rasa malu mengapa dia menjadi tersipu. Lagi pula, pujian itu diucapkan dari jauh. Namun entah mengapa dalam pertemuannya yang pertama dengan Pendekar Slebor dia merasa seakan telah lama mengenalnya. Dan begitu dekat sekali dengan hatinya. Wening cepat-cepat membuang perasaan yang tiba-tiba datang itu. Lalu berkelebat ke arah kiri untuk mencari Tiga Iblis Golok Setan yang telah membawa Harti, adiknya.
Entah apa yang dialami adiknya sekarang ini. Yang pasti, Wening merasa sesuatu yang tak enak telah terjadi pada adiknya. Kalau begitu, dia harus secepatnya menemukan di mana Tiga Iblis Golok Setan berada.

****

«¤¤¤[ 5 ]¤¤¤»

Lembah Tirai, sebuah lembah yang sangat menyeramkan sebenarnya. Lembah yang dipenuhi dengan pepohonan besar. Konon, tak seorang pun yang mendiami lembah itu. Karena, di samping jalan yang sangat susah dan bisa membuat orang tak berdaya bila sudah tergelincir, juga karena banyaknya ular-ular yang hidup di sana. Dari permukaan lembah sejauh mata memandang, yang nampak di pelupuk mata hanya kengerian belaka. Akan tetapi, di pagi ini, terdengar suara tawa keras yang bersahutsahutan dari Lembah Tirai. Bila mata memandang dari atas sisi lembah itu, tak akan tertangkap oleh mata karena ting-ginya pepohonan. Akan tetapi, di lembah itu ternyata ada sebuah bangunan yang cukup besar, meskipun sudah agak doyong ke kiri. Dari bangunan itulah asal suara yang terjadi tadi. Entah bagaimana mulanya bangunan itu berasal di sa-na. Orang-orang yang pernah mendiami Lembah Tirai dulu, hanya mengatakan kalau tiga puluh tahun yang lalu, di Lembah Tirai bagian tengah, hidup sepasang suami istri yang sekarang tak diketahui rimbanya.
Pagi yang cerah, penuh selubung kabut yang mulai menipis, tetapi tawa yang keras itu tak juga berhenti.
"Jombrang! Kau tak puas-puasnya menggeluti gadis itu, hah" Bukankah kita masih bisa mendapatkan lebih banyak lagi?" terdengar satu suara yang keras begitu si empunya suara melihat kawannya keluar dari salah satu kamar di bangunan itu.
"Kakang Ronggo... kau perlu tahu, kalau aku sudah jatuh cinta dengan gadis ini...," sahutan itu terdengar.
Ronggo Kosworo terbahak-bahak mendengar sahutan temannya. Dituangnya tuak merah dari kendi, langsung ke mulutnya. Terdengar suara menggelegak berkali-kali. Setelah puas, diusapnya bibirnya dengan punggung tangan kiri.
"Kalau kau memang menginginkan gadis itu terus-menerus, tak mengapa. Tetapi, kau tak boleh iri bila dua gadis yang kita culik baru-baru itu kami nikmati berdua."
"Tak jadi masalah, Kakang. Gadis yang bernama Harti ini telah memikat hatiku," sahut Jombrang sambil melangkah mendekati Ronggo Kosworo dan Gonggo Sirat yang sedang menikmati tuak merah. Dia duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Diraihnya kendi tuak yang memang untuknya. Diminumnya dengan cara yang sama yang dilakukan Ronggo Kosworo tadi.
Ronggo Kosworo terbahak-bahak.
"Kalau begitu, setelah kau habiskan tuak dalam kendimu itu, seperti biasa kau lakukan tugasmu."
"Hahaha... soal itu beres, Kakang. Baru kali ini, selama lima belas tahun lamanya mendekam dalam penjara, kudapati kebebasan yang lebih nikmat dan membahagiakan sebelumnya. Terlebih lagi kau yang sejak lama mengatur hidupku, Kakang.... Hingga rasanya, aku dan Gonggo Sirat tak keberatan menyebutmu 'Kakang'."
"Bagus, bagus!" Gonggo Sirat berkata, "Yang sebenarnya ingin kunikmati apa" Melihat bagaimana sakit hatinya Gamang Markuto mengetahui anak dan istrinya telah mampus. Hhh! Sayangnya, kesempatan itu tak pernah ada! Tetapi aku bisa membayangkannya."
"Membayangkannya pun telah menyenangkan, bukan" Lagi pula, kutaksir manusia sialan itu sudah mampus termakan api bila dia bermaksud menyelamatkan mayat istrinya. Bila pun dia masih hidup sekarang, tentunya berada dalam keterombang-ambingan yang sangat dalam. Tak ubahnya bagai orang dungu belaka. Jombrang...
kau lakukan tugasmu.... Sudah semalaman mayat-mayat itu ada di belakang rumah belum dikuburkan." Jombrang melakukannya sambil tertawatawa. Dia melangkah ke belakang rumah, berjarak dua puluh tombak dari sana, dia menghentikan langkahnya. Tiga mayat wanita dalam keadaan telanjang tergolek mulai membusuk. Memang, setelah mempermainkan wanita-wanita itu, mereka tak segan-segannya membunuh. Dibawanya mayat-mayat itu satu persatu ke tempat yang agak terbuka di sekitar Lembah Tirai.
Di sana sudah terdapat dua gundukan tanah. Kini menjadi lima buah. Setelah menyelesaikan tugasnya, Jombrang kembali ke bangunan besar itu. Tak lagi dilihatnya Ronggo Kosworo dan Gonggo Sirat di tempatnya.
Jombrang yakin, keduanya mempermainkan dua gadis yang mereka culik semalam di kamar masing-masing.
Karena merasa tak enak sendiri, Jombrang memasuki kamarnya. Di kamar itu, Harti yang tak lain adalah adiknya Wening langsung beringsut agak menjauh begitu melihat kemunculan Jombrang. Sungguh mati, Jombrang sebenarnya sangat sedih melihat sikap Harti yang ketakutan setiap kali mendekat. Pertama kali mendapatkan Harti, Jombrang memang memaksakan kehendaknya. Tetapi ketika dilihatnya baik-baik wajah Harti, Jombrang jadi teringat akan kekasihnya dulu, Swasti. Wajah Harti tak jauh berbeda dari Swasti yang kini telah tenang di sisi Sang Pencip-ta.
Sebelum mengenal Ronggo Kosworo dan Gonggo Sirat, Jombrang memang mempunyai kekasih. Tetapi, wabah kolera yang menyerang dusunnya, tak mau peduli siapakah Swasti. Swasti meninggal direnggut wabah kolera. Sementara dengan hati pedih, Jombrang meninggalkan dusunnya. Mencoba melupakan kenangan atas Swasti dan menghindari wabah kolera.
Dalam perjalanan meninggalkan dusunnya, bertemulah dia dengan Ronggo Kosworo dan Gonggo Sirat, dua pemuda begundal dari sebuah desa yang memiliki ilmu bela diri yang tinggi.
Bahkan, mereka pun memiliki ilmu tenaga dalam dan meringankan tubuh. Jombrang tidak pernah bertanya dari siapa keduanya mempelajari ilmu yang sangat dahsyat. Bahkan Ronggo Kosworo dapat menghancurkan batu sebesar kambing dengan sekali pukul. Dari keduanyalah, Jombrang yang semasa tinggal di desanya memiliki dasar-dasar ilmu silat, diajarkan ilmu yang keduanya miliki. Bersahabat dengan keduanya, membuat Jombrang seolah bisa melupakan semua kepedihannya. Tak pernah diceritakannya soal Swasti, yang dikatakan tentang dirinya, dia pergi dari desa karena wabah kolera menyerang. Lama kelamaan, keduanya tak ubahnya bagai saudara belaka. Apa pun yang dilakukan mereka, pasti diikutinya. Sampai kemudian dia dikenalkan dengan pemuda yang bernama Gamang Markuto. Kenakalan yang mereka lakukan mulai menjalar menjadi kejahatan. Pencurian. Perampasan dan bentuk-bentuk yang masih kecil kadarnya. Hingga Ronggo Kosworo mengusulkan untuk melakukan aksi perampokan. Kalau selama ini mereka sering melukai orang lain tanpa membunuh, Ronggo Kosworo berpikiran lain. Siapa yang menghalangi sepak terjangnya, akan dibunuh. Lalu gadis yang di hadapannya ini, yang menatapnya penuh kepucatan dan ketakutan tak jauh berbeda wajahnya dengan Swasti. Itulah yang menyebabkan Jombrang bersikeras mempertahankan Harti agar jangan dibunuh, seperti dua gadis lainnya yang sama-sama mereka culik dari dusun Karimata.
"Harti...," desisnya pelan, malah berkesan lembut. Jombrang memang sudah tahu nama gadis itu, karena dia memaksa agar gadis itu menyebutkan namanya. Dan sebenarnya, apa yang diduga oleh Ronggo Kosworo dan Gonggo Sirat kalau dia habis mempermainkan gadis itu tadi, salah besar. Karena, Jombrang tak akan mau memaksakan kehendaknya lagi. Di hadapannya, gadis ini tak lebih dari Swasti yang pernah dan masih dicintainya.
"Pergi! Pergi!" seru Harti dengan wajah semakin memucat. Ketakutan mencekam dan men- cengkeram jantungnya. Di hadapannya, meskipun lelaki pincang ini bersikap laksana seorang dewa, dia tetap tak akan pernah tertarik. Teruta-ma bila mengingat harga dirinya telah direnggut lelaki pincang ini.
Jombrang merasa sedih. Dalam bayangannya, Swastilah yang tengah mengusirnya.
"Jangan berkata seperti itu, Harti...."
"Keparat! Pergi jauh-jauh dari sini! Pergi!" seru gadis itu sambil mengibas-ngibaskan tangannya dengan kalap.
"Dengarlah, berulangkali aku minta maaf atas perbuatanku itu... aku...."
"Pergi! Jangan ganggu aku lagi! Pergiii!" se-ru Harti dengan kemuakan yang menjadi-jadi. Sebelum Jombrang berkata untuk menenangkan Harti, terdengar teriakan Ronggo Kosworo di luar kamar.
"Jombrang! Sekali lagi gadis itu berteriak dan memusingkan kepalaku, akan kubunuh dia! Peduli kau mencintainya atau tidak!" Jombrang menyahut, "Akan kutenangkan dia, Kakang." Ronggo Kosworo masuk lagi ke kamarnya.
Jombrang berkata pada Harti, "Kau dengar itu, Harti.... Kakangku tak akan segan-segan membunuh.... Dan aku yakin itu bukan ucapan di mulut saja...."
"Aku tidak peduli! Aku tidak peduliii! Pergi kau dari sini! Pergi!" Kali ini Jombrang kelihatan terdiam. Ditariknya napas berkali-kali. Dia merasa Ronggo Kosworo akan muncul lagi dan menjalankan niatnya. Makanya diputuskan untuk meninggalkan Harti seorang diri di kamarnya.
"Baik... aku berada di luar dan kau...."
"Pergiii!" Terburu-buru karena tak mau Ronggo Kosworo menurunkan tangan telengasnya pada Harti, Jombrang buru-buru keluar. Dia melangkah terpincang ke halaman depan bangunan itu.
Dipandanginya seantero Lembah Tirai yang mengerikan. Entah mengapa, suatu yang baru disadarinya datang, kalau dia telah melangkah terlalu jauh mengikuti kemauan Ronggo Kosworo. Ditariknya napas berkali-kali dan ditatapnya kejauhan tanpa tahu apa yang ditatapnya.
Sementara itu, sepeninggal Jombrang, Harti menangis tersedu-sedu. Dia teringat akan kedua orang-tua, Wening, dan teman-temannya.
Disesali mengapa dirinya yang menjadi sasaran kebiadaban manusia-manusia itu. Pikiran nekat sudah tiba di benaknya.
Harti merasa dua temannya lebih beruntung karena tak lagi terus menerus berada dalam cengkeraman manusia-manusia biadab itu. Mereka telah terkubur dengan sejuta kepedihan yang tak dirasakan kembali.
Sedangkan dirinya" Harti tak bisa membayangkan apa yang akan menimpanya lagi, kecuali kenistaan demi kenistaan yang akan berlanjut.... Harti terus menangis menyesali keadaan yang menimpanya.

****

"Jombrang!" panggilan keras itu terdengar dari ambang pintu. Jombrang berdiri, tubuhnya agak miring ke kiri. Dilihatnya Ronggo Kosworo menyeringai di ambang pintu.
"Ada apa, Kakang?"
"Yakinkah kau tak ingin menikmati...."
"Tidak, Kakang!" potong Jombrang yakin.
Justru kalimat yang diucapkannya lebih cepat dari biasanya itu membuat kening Ronggo Kosworo berkerut. Tetapi sejurus kemudian dia terbahakbahak.
"Kalau kau tidak mau, bunuh gadis itu! Dan kuburkan seperti biasa! Gadis itu sedang pingsan sekarang! Kurasa, Gonggo Sirat pun telah selesai!" Tanpa banyak cakap, Jombrang berjalan ke kamar Ronggo Kosworo. Untuk pertama kali selama mengikuti aksi kejahatan Ronggo Kosworo hati Jombrang trenyuh melihat keadaan gadis malang yang tergolek lemah dengan tubuh tak berdaya dan pakaian acak-acakan.
Dengan menahan kepedihan yang mendadak muncul itu, Jombrang merapikan pakaian si gadis. Lalu dibopongnya keluar, bertepatan dengan Gonggo Sirat keluar dari kamarnya.
"Hahaha... bagus, bagus! Gadis di dalam kamarku sudah tidak kubutuhkan!" Untuk kedua kalinya Jombrang merasakan kepedihan itu. Kini, dua gadis malang yang baru saja dipermainkan kedua temannya berada dalam bopongannya. Pingsan, dan Jombrang diharuskan untuk membunuh keduanya dan menguburkannya di tempat biasa.
Tubuh kedua gadis yang pingsan itu pun dibawa ke tempat biasa dia menguburkan mayatmayat gadis lainnya. Diletakkannya kedua gadis itu di tanah. Sejenak keraguan membaluri hatinya. Apakah dia akan melakukan lagi tugas yang diberikan Ronggo Kosworo, atau menolaknya" Punyakah dia keberanian untuk menolak perintah Ronggo Kosworo" Kegalauan menyelimuti hati lelaki pincang itu hingga untuk beberapa jenak dia masih berdiri kaku. Tidak mencabut goloknya dan menebas kepala dua gadis pingsan itu. Lalu menguburkannya seperti biasa.
Dan tiba-tiba saja, Jombrang menolehkan kepalanya ke arah bangunan besar. Satu pikiran baru muncul di benaknya. Dengan gerakan yang terlatih, digalinya tanah seukuran dua gadis yang pingsan itu.
Mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, Jombrang berkelebat dan kembali lagi dengan membawa potongan kayu yang banyak berserakan di sana. Dimasukkannya ranting, dahan, dan kayu kering ke dalam tanah yang digalinya.
Setelah itu ditimbun lagi tanah ke dalam dua lubang itu, hingga membentuk sebuah makam.
Setelah selesai, Jombrang membopong dua gadis itu. Berkelebat cepat ke arah timur. Berada di atas Lembah Tirai, Jombrang terus berkelebat cepat. Jauh sudah dia berada sekarang, dan diletakkannya dua gadis yang pingsan itu di sebuah hutan kecil. Setelah itu Jombrang kembali ke tempat semula. Baginya, inilah yang terbaik. Sungguh, hatinya trenyuh karena perasaan cintanya tibatiba saja tumbuh pada Harti yang masih dianggapnya sebagai jelmaan dari kekasihnya yang telah meninggal. Ketika dia tiba di bangunan besar itu, Ronggo Kosworo menyambutnya dengan bentakan, "Gila! Mengapa begitu lama kau melakukannya, hah?" Untuk sesaat Jombrang gelagapan ditembak' langsung seperti itu. Tetapi, dia sudah mem-persiapkan jawabannya, "Maafkan aku, Kakang... sehabis membunuh dan menguburkan dua mayat gadis itu, aku duduk-duduk di sana."
"Apa yang kau perbuat, hah?"
"Membayangkan kata-kata Gonggo Sirat tadi. Aku juga ingin melihat apa yang dialami oleh Gamang Markuto setelah anak dan istrinya kita bunuh. Hhhh! Mungkin lebih menyedihkan daripada nasib kita yang masuk penjara selama lima belas tahun!" Jawaban itu memang masuk akal, hingga Ronggo Kosworo terbahak-bahak.
"Manusia itu pasti telah mampus membunuh diri!" Gonggo Sirat menimpali, "Kini, tinggal kita yang menikmati seluruh apa yang kita cita-citakan dulu." Ketiganya terbahak-bahak. Dan untuk per tama kalinya, Jombrang merasakan tawanya sumbang.
"Kita bersiap sekarang," kata Ronggo Kosworo di sela-sela tawa mereka.
"Kita akan melakukan lagi aksi perampokan! Hahaha... akan kita dapatkan lagi gadis-gadis jelita yang mengasyikkan, dan harta kekayaan yang kita miliki akan semakin banyak." Lalu diiringi tawa Gonggo Sirat dan Jombrang, ketiganya terbahak-bahak. Menggema keras di seantero Lembah Tirai.
Tak lama kemudian, tiga ekor kuda yang ditambatkan di belakang bangunan besar itu digebrak kencang oleh tiga penunggangnya yang mengenakan jubah hitam.

****

«¤¤¤[ 6 ]¤¤¤»

Pada masa itu, kejayaan Kadipaten Harum Raksa, tengah berada di puncaknya. Dipimpin oleh Adipati Gaung Surya yang membawahi berpuluh dusun terdekat maupun terjauh. Kebijaksanaan Adipati Gaung Surya sangat dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Dia selalu adil dalam bersikap, lembut dalam bertutur. Yang salah, siapa pun orangnya, akan mendapat hukuman. Begitu pula sebaliknya.
Dan di pagi yang cerah ini, dia kedatangan tamu seorang pemuda berbaju hijau pupus. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor" Di lantai di mana pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu duduk bersila, duduk pula Panglima Darta Sena.
Seorang panglima yang menjadi tangan kanan dari Sang Adipati.
Setelah mengatakan maksud kedatangannya, Pendekar Slebor menjura sekali lagi, "Maafkan atas kelancangan saya datang ke sini dan ingin tahu tentang tiga tawanan kadipaten lima belas tahun yang lalu." Adipati Gaung Surya yang juga sudah mendengar nama besar Pendekar Slebor, tersenyum. Meskipun usianya sudah memasuki kepala lima, wajahnya masih menyiratkan sisa-sisa ketampanannya. Adipati Gaung Surya mengenakan pakaian kebesaran berwarna biru, penuh dengan pernik yang menakjubkan.
"Kalau kau ingin mendapatkan keterangan lebih jelas lagi, kau bisa menanyakan pada Darta Sena. Bukan begitu, Darta?" kata Adipati masih tersenyum.
Darta Sena menganggukkan kepalanya.
"Daulat, Adipati."
"Agar kalian bisa berbicara lebih akrab lagi, aku akan meninggalkan ruang pertemuan ini."
"Terima kasih atas kebijaksanaan Adipati," kata Pendekar Slebor, namun dia menangkap kalau Adipati Gaung Surya dalam rundung duka.
Lalu Adipati Gaung Surya segera bangkit dari tempat duduknya, diantar oleh dua pengawalnya yang sejak tadi berdiri di sisi kanan dan kirinya.
Setelah Adipati Gaung Surya meninggalkan tempat itu, Panglima Darta Sena membalikkan tubuh pada Andika. Andika pun berbuat yang sama, hingga kini keduanya saling berhadapan.
"Lebih baik, segera kujelaskan siapa orangorang yang kau maksud itu, Andika," kata Darta Sena yang mengenakan pakaian berwarna hitam menyala. Di ikat pinggangnya yang berwarna merah keemasan, terdapat sebilah keris berlekuk sembilan. Matanya yang jernih dengan hidung yang mancung, menatap Andika.
Andika menganggukkan kepalanya.
Setelah Darta Sena menjelaskan siapakah orang-orang yang ingin diketahui oleh Andika, pemuda sakti bersenjata kain bercorak catur mengangguk-anggukkan kepalanya. Sampai sejauh itu, Andika merasa cerita yang disampaikan oleh Darta Sena, tak banyak berbeda dengan yang dijelaskan Gamang Markuto.
"Seorang buronan lagi yang bernama Gamang Markuto, tak pernah kami temukan. Meskipun pencarian masih dilakukan, namun manusia itu lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Pernah sekali waktu, beberapa orang anak buahku menyirap kabar kalau Gamang Markuto bersembunyi di sebuah bukit. Tetapi, ketika sampai di sana, kami tak mendapatkan keterangan lebih banyak tentang Gamang Markuto."
"Bukit apakah yang Panglima maksud?"
"Bukit Teduh. Oya Andika, jangan memanggilku dengan sebutan 'Panglima'. Rasanya, bila yang menyebutkan sebutan itu dirimu, aku merasa tidak enak. Karena, kaulah pendekar besar yang banyak dipuji orang." Andika tak menghiraukan kata-kata Panglima Darta Sena. Justru mendengar nama bukit itu disebutkan seketika dikerutkan kening.
"Bukit Teduh?" ulangnya tanpa dapat me-nyembunyikan keheranannya.
Panglima Darta Sena menangkap nada keheranan dalam suara Andika.
"Mengapa kau seperti merasa aneh, Andika?"
"Tidak, tidak," kata Andika menyembunyi-kan sesuatu dalam hatinya.
"Lalu, siapakah orang-orang yang dimaksudkan anak buahmu itu yang mendiami Bukit Teduh?"
"Hanya ada seorang kakek tua."
"Seorang kakek tua?" desis Andika bertambah heran. Diingat-ingatnya tentang keadaan Bu- kit Teduh, di mana Gamang Markuto dan istri serta anaknya mendiami tempat itu. Seingatnya, Andika tidak melihat ada rumah lain di sana ataupun orang lain yang menghuni Bukit Teduh.
"Ya."
"Jadi... berita yang dikabarkan oleh anak buahmu itu tidak terbukti?"
"Tidak. Bahkan siratan kabar yang tertangkap oleh telingaku, buronan yang bernama Gamang Markuto itu masih hidup, beserta anak dan istrinya."
"Sudahkah kau mengecek ke sana sebelumnya?"
"Lima bulan yang lalu, aku sendiri yang datang ke sana. Justru yang kutemukan, seorang kakek yang bernama Rawung Menggolo." Andika terdiam. Ini suatu kabar baru yang bisa ditangkapnya. Mengapa Panglima Darta Sena beserta anak buahnya, tak berhasil menemukan di mana Gamang Markuto, istri, dan anaknya berada di sana" Yang terlintas dalam pikiran Andika saat ini, kalau mereka sebelumnya sudah bersembunyi dan seorang kakek tua kebetulan mau menghuni rumah itu sementara, selagi orangorang kadipaten datang menyelidik. Lalu di mana kakek yang bernama Rawung Menggolo itu sekarang" Andika mencoba tak menghiraukan lagi jalan pikirannya karena dilihatnya tatapan Darta Sena penuh kecurigaan. Guna mengatasi masalah itu, dia berkata, "Kita kembali ke soal bekas tiga tawanan kadipaten. Setelah mereka dilepaskan, apakah tak ada yang mengikuti dari kadipaten?"
"Kalau para prajurit yang kau maksudkan, sudah kami lakukan. Bahkan lima orang prajuritku tewas mengerikan, sementara ketiga bekas tawanan itu menghilang entah ke mana. Itu semua atas rencanaku. Karena, sampai sejauh ini, harta hasil jarahan mereka di rumah saudagar kaya yang masih famili dari Adipati, tak berhasil ditemukan." Andika terdiam. Ternyata apa yang didapatinya ini begitu banyak perkembangannya. Bahkan ada terselip teka-teki yang nyasar ke otak cerdiknya. Selagi Andika terdiam, Darta Sena berkata lagi, "Andika... sekarang ini aku pun mengudap kabar, kalau ada tiga manusia dajal yang menjuluki diri Tiga Iblis Golok Setan sedang melakukan aksi kejamnya.
Mereka tak segan-segan membunuh siapa saja yang menghalangi sepak terjang mereka. Dan kekejaman mereka tak ada tandingannya saat ini."
"Tahukah Panglima, siapakah mereka?"
"Kabar yang makin santer kudengar, mereka hanyalah orang-orang yang kejam. Tetapi, fira-satku mengatakan kalau mereka adalah tiga manusia keparat yang pernah menghuni penjara bawah tanah kadipaten."
"Apa yang Panglima lakukan saat ini?"
"Aku sudah mengirim mata-mata untuk melacak jejak mereka. Dan aku akan membawa mereka kembali. Bahkan Andika, dua hari lagi, setelah tak mendapatkan kabar dari mata-mata yang kusebarkan, aku akan keluar dari kadipaten ini untuk mencari manusia-manusia itu." Andika cuma menganggukkan kepalanya.
Panglima Darta Sena bertanya, "Bersediakah kau ikut serta denganku, Andika?"
"Sebenarnya, aku ingin sekali melakukannya. Tetapi, aku masih mempunyai urusan yang harus kuselesaikan," kata Andika yang kini mulai menangkap keanehan dari peristiwa yang sedang dihadapinya. Dan ketika dilihatnya tatapan penuh harap dari Panglima Darta Sena, Andika bisa menangkap kalau sesungguhnya lelaki gagah itu tengah memikirkan suatu masalah yang mengganggunya. Andika yakin, ini sama sekali tidak berhubungan dengan Tiga Iblis Golok Setan. Lalu dia berkata dengan hati-hati, "Adakah sesuatu yang merisaukanmu, Panglima?" Panglima Darta Sena terkejut mendengar pertanyaan itu. Dan keterkejutannya tak luput dari mata tajam Pendekar Slebor. Dilihatnya lelaki gagah itu menarik napas berkali-kali "Yah... memang ada sesuatu yang merisaukanku, Andika. Sebenarnya, bukan hanya aku yang merisaukan hal ini, juga Adipati Gaung Surya." Andika memutuskan untuk tidak segera berlalu. Dia bertanya lagi, "Bolehkah aku mengetahui hal apakah itu, Panglima?" Panglima Darta Sena menatap lurus-lurus pada dua bola mata Andika. Ada kerisauan yang jelas di sana, batin Andika dan bisa merasakan kegalauan di hati sang Panglima. Biar bagaimanapun juga, kedudukannya sebagai kepala pasukan dan sekaligus kepala keamanan di Kadipaten Harum Raksa, peristiwa hilangnya keris Gagak Biru itu dapat menjatuhkan namanya. Paling tidak, membuatnya merasa tak berdaya menghadapi kejadian itu.
"Andika... ini adalah berita yang memalukan bagi Kadipaten Harum Raksa."
"Kalau begitu... tutup muka saja biar tidak malu." Panglima Darta Sena tersenyum mendengar kata-kata Andika.
"Tiga hari yang lalu, aku dipanggil oleh Yang Mulia Adipati. Kupikir, panggilannya itu hanyalah bersifat laporan rutin yang biasa kulakukan. Tetapi, ternyata jauh dari dugaanku semula." Panglima Darta Sena membuang napas, seolah menyingkirkan kegalauan di hatinya.
"Sang Adipati... kehilangan keris pusaka Gagak Biru.
Sebuah keris bertuah warisan dari ayahnya yang dulunya menguasai pula Kadipaten Harum Raksa ini. Meskipun demikian, Adipati Gaung Surya tidak mudah mendapatkan keris itu. Dia bertarung mati-matian menghadapi para prajurit kerajaan sebagai pengetesan. Juga, menghadapi orangorang kepercayaan Raja. Keris itu sebuah keris yang lain jauh dari keris-keris biasa. Keris itu be-reluk tiga belas. Dan merupakan senjata yang tangguh. Ilmu kebal macam apa pun yang dimiliki lawan, akan bisa ditembus oleh keris itu. Keris bertuah Gagak Biru itulah yang menjadikan kerisauan ini, Andika."
"Bagaimana keris pusaka Gagak Biru itu bisa hilang?" tanya Andika pelan. Mungkin ini sebab adipati kelihatan berduka.
"Menurut Sang Adipati... seperti biasa, keris itu disimpan di sebuah peti di ruang simpan, bersama senjata bertuah lainnya. Dan ketika Sang Adipati melihatnya, keris itu tidak ada di tempat. Hanya keris itu saja yang hilang. Sementara golok pusaka, tombak, dan panah pusaka, masih tetap ada di tempatnya. Pencuri itu sangat hebat sekali, Andika. Dia bisa masuk ke ruang simpan tanpa merusak kunci pintu maupun atap.
Dan sepertinya si pencuri tahu kalau keris itulah yang paling ampuh dari pusaka lainnya yang ada di ruang simpan."
"Siapakah yang memiliki kunci ruang simpan Panglima?" tanya Andika lain.
"Hanya aku dan Sang Adipati," kata Panglima Darta Sena sambil menatap Andika.
"Apakah ada yang mengetahui tentang keris pusaka itu?" Panglima Darta Sena menggelengkan kepalanya.
"Hanya aku dan Sang Adipati."
"Hmm... pencuri itu pasti memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Sejauh ini, adakah berita tentang keris Gagak Biru itu?"
"Tidak. Rupanya si pencuri hendak bersembunyi dulu. Itulah sebabnya Andika, mengapa aku menginginkan kau untuk ikut bersamaku. Di samping aku ingin mengembalikan Tiga Iblis Golok Setan ke penjara bawah tanah, aku juga ingin menghajar pencuri keparat itu." Andika terdiam. Persoalan ini ternyata makin bertambah. Diangkat kepalanya lagi, ditatap nya Panglima Darta Sena yang nampak murung kali ini.
"Panglima... bukankah lebih baik kita berjalan masing-masing" Aku memang masih ada urusan yang harus kuselesaikan, tetapi sambil lalu, akan kucari si pencuri itu."
"Maafkan aku karena telah merepotkan mu."
"Jangan bertindak sungkan seperti itu." La-lu perlahan-lahan pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu berdiri, "Terima kasih atas jawaban yang diberikan Panglima."
"Kuminta, jangan mengatakan tentang hilangnya keris Gagak Biru pada siapa pun juga, Andika. Karena, ini merupakan aib bagi Kadipaten Harum Raksa. Dan kau perlu tahu satu rahasia yang sangat rahasia, Andika," kata Panglima Darta Sena sambil berdiri pula.
"Apa itu, Panglima?"
"Barang siapa yang memegang keris Gagak Biru sebagai lambang kekuasaan Kadipaten Harum Raksa, maka secara tidak langsung, dialah yang berkuasa di kadipaten ini. Peduli apa pun dia mendapatkannya dengan cara mencuri, menemukan atau diberikan sekalipun juga. Di mata Raja, orang itulah yang berhak. Karena berarti dialah yang menguasai lambang kekuasaan Kadipaten Harum Raksa. Di samping itu, kekuasaan Adipati yang sebelumnya dalam hal ini Yang Mulia Adipati Gaung Surya akan meluntur. Karena, dia tak mampu menjaga keris pusaka Gaung Raksa itu."
"Persoalan keris Gagak Biru?"
"Bukan. Mengapa kau sangat tertarik untuk mengetahui latar belakang manusia-manusia itu, Andika?" Bukan Andika kalau tidak bisa menjawab cerdik, "Aku pun mengudap kabar tentang Tiga Iblis Golok Setan, yang kuyakini sangat erat hu-bungannya dengan tiga orang bekas tawanan di kadipaten. Dan tak akan kubiarkan manusiamanusia itu lebih lama lagi merajalela melakukan aksi kejahatannya." Panglima Darta Sena mengangguk puas.
Masih menyiratkan kepuasan, Panglima Darta Sena mengantar Andika sampai ke pintu gerbang.
Sebelum Andika berlalu dia berkata, "Aku bersyukur, karena pernah bertemu dengan pendekar besar yang berjuluk Pendekar Slebor."
"Aku pun beruntung bertemu panglima besar yang bernama Panglima Darta Sena," balas Andika yang membuat panglima itu tertawa. Tidak menjadi semakin bangga atau menyombongkan kedudukannya. Andika berkata lagi, "Aku permisi. Sampaikan salam takzimku untuk Adipati."
"Akan kusampaikan." Lalu mulailah Andika melangkah meninggalkan kadipaten, diiringi dengan pancaran mata Panglima Darta Sena.

****

«¤¤¤[ 7 ]¤¤¤»

Pagi telah berlalu, siang menjelang. Tak lama kemudian siang pun berganti senja. Sinar matahari tak lagi panas menyengat. Langkah Andika yang perlahan itu kini membawanya ke sebuah sungai yang terdapat pohon rindang. Di bawah pohon itu Andika duduk bersandar. Ada satu pikiran yang membuatnya merasa harus merenungkannya lebih dulu.
"Keterangan dari Panglima Darta Sena sangat lengkap sekali. Dan aku yakin, lima prajurit yang ditemukan tewas itu adalah ulah kejam dari manusia-manusia dajal yang kini menjuluki diri Tiga Iblis Golok Setan. Tetapi yang masih mengherankan aku, adalah keterangan tentang tak ditemukannya Gamang Markuto beserta istri dan anaknya di Bukit Teduh. Mungkin dia telah membawa anak dan istrinya pergi dari sana, dan menggantikan kedudukannya dengan seorang kakek yang bernama Rawung Menggolo. Kalau begitu, di manakah si kakek berada sekarang" Atau...
ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini?" Andika mencoba menemukan langkah yang terbaik dari pikirannya yang mulai bercabang.
"Apakah sebaiknya aku kembali ke Bukit Teduh untuk mencari si orang tua yang bernama Rawung Menggolo itu" Hmm... secara tidak langsung, aku pun telah mengemban tugas dari Kadipaten Harum Raksa untuk mencari keris pusaka Gagak Biru. Bila mendengar cerita dari Panglima Darta Sena... aku yakin pencuri itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Hmm...
siapakah pencuri itu?" Pikiran Andika kini bercabang. Persoalan mencari Tiga Iblis Golok Setan dan mencari keris pusaka Gagak Biru.
"Biar bagaimanapun juga, kedua masalah itu akan kutuntaskan. Lebih baik aku... heiiittt!" Andika memutuskan kata-katanya dan mencelat dengan satu lompatan indah dan ringan ke atas pohon. Telinganya yang terlatih menangkap suara sesuatu muncul dari dalam sungai.
Dari balik rimbunnya dedaunan, Andika mengintip ke asal suara itu. Dan segera dipejamkan kedua matanya dengan tubuh yang mendadak gemetar. Pandangannya tadi sekilas melihat satu sosok tubuh indah dalam keadaan polos sedang keluar dari dalam sungai. Dan sempat dilihatnya, tubuh yang tentunya milik seorang gadis itu, begitu menakjubkan.
"Gila! Siapa gadis itu?" desisnya masih memejamkan matanya.
"Tidak, aku tidak boleh melihatnya," katanya melawan perasaannya yang mulai menggigit. Sejenak tubuhnya makin bergetar. Apa yang dilihatnya itu memang merayapi semua perasaan kelaki-lakiannya. Tetapi dasar urakan dia berkata, "Ah, begitu bodohnya kalau aku tidak menikmatinya lagi.
Mumpung masih ada kesempatan." Lalu dengan hati-hati dibukanya kedua matanya lagi, disibakkan rimbunnya dedaunan. Tetapi dia kecele, karena gadis itu sudah keluar dari sungai dan telah mengenakan se- luruh pakaiannya. Gadis itu sedang duduk sambil mengeringkan rambutnya dengan kedua tangannya, membelakangi pohon di mana Andika berada.
"Ya... rugi deh. Tetapi baguslah, aku jadi tidak buat dosa," kata Andika disusul tawanya sendiri, "Kalau mengintip beginian kan, dosanya cuma sedikit... hehehe...." Tetapi sebelum Andika melompat, terdengar teriakan ketakutan diiringi dengan gebahan kuda dan teriak-teriakan keras berbalur tawa.
Dari atas pohon, dilihatnya si gadis berbaju jingga dengan sebilah pedang di punggungnya berdiri dan menoleh.
"Wening!" desis Andika pelan setelah melihat wajah gadis itu yang sedang menghadap ke kiri.
"Wah, jadi tubuh Wening yang kulihat tadi" Kacau, kacau! Tetapi... siapakah yang berteriak ketakutan itu" Seperti suara perempuan. Dan suara kuda itu berjumlah tiga ekor!" Bukan hanya Andika yang memikirkan hal itu, Wening pun memikirkan yang sama. Baik Andika maupun Wening tak lagi terlalu lama menunggu jawabannya, karena satu sosok tubuh dengan tubuh lemah dan penuh keringat telah tiba di sana. Berlari, jatuh bangun dan berusaha bangkit untuk berlari lagi.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Wening bertindak cepat. Dihampirinya gadis yang bukan main pias wajahnya.
"Ada apa?" tanya Wening, kebiasaannya yang bersikap tegas membuatnya tak banyak berbasa-basi. Gadis itu terengah-engah, lalu dengan penuh ketegangan dia berkata terputus-putus, "Aku... aku... dikejar manusia-manusia iblis itu....
Tolong aku, Nyi... tolong aku...." Wening sendiri tidak perlu memikirkan siapakah yang tengah mengejar gadis ini. Karena derap langkah kuda yang semakin mendekat itu telah berhenti di hadapan Wening, berjarak tiga tombak. Tali kekang yang ditarik tadi membuat kaki-kaki kuda itu terangkat dan meringkik keras. Tiga ekor kuda dengan masing-masing penunggangnya! Masing-masing mengenakan jubah hitam panjang! Melihat keadaan itu, Andika yang sejak tadi bermaksud untuk melompat, tetapi ditahannya dulu karena didengarnya Wening sudah membentak, "Apakah kalian yang berjuluk Tiga Iblis Golok Setan?" Orang-orang itu berpandangan. Lalu tertawa satu sama lain seolah mengecilkan Wening.
"Kau benar, Cah Ayu! Nah, apakah kau bersedia menemani kami bersenang-senang" Kebetulan sekali, kami hanya mengejar seorang gadis. Dan bila kau bersedia, kita berlima akan lebih banyak mendapatkan kesenangan, bukan?" Wajah Wening membesi dengan tubuh bergetar karena marah. Di balik punggungnya, dirasakan pegangan tangan gemetar yang dilakukan oleh gadis berwajah pucat dengan peluh yang bertambah banyak mengalir.
"Setan alas! Di mana adikku kalian sembunyikan?" bentak Wening seketika.
"Adikmu" Hahaha... kau tak perlu iri melihat keberuntungan adikmu itu! Perlu kau ketahui, namaku Ronggo Kosworo. Yang picak itu bernama Gonggo Sirat, dan yang pincang bernama Jombrang! Siapakah di antara kami yang berkenan di hatimu" Atau... kau bermaksud melayani kami sekaligus?" Wajah Wening bertambah mengeras. Kejelitaannya sirna seketika berubah menjadi kekerasan. Amarahnya tak bisa dibendung lagi. Dengan gerak yang cepat diloloskan pedangnya dari warangkanya. Suara 'srak' terdengar.
Lalu dia berbisik pada gadis di belakangnya, "Selagi aku melabrak mereka, kau agak menyingkir. Cari batang kayu, untuk mempertahan- kan diri." Setelah mendapati gadis itu menganggukkan kepala, Wening kembali menatap manu- sia-manusia jubah hitam di hadapannya.
"Manusia-manusia dajal! Kalian harus mampus!" sehabis berkata begitu, Wening langsung menerjang.
Jurus 'Pedang Papas Kumbang' telah dipergunakannya. Satu rangkaian jurus pedang yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Begitu pedangnya bergerak, yang dituju adalah Ronggo Kosworo yang berkata melecehkan.
Tetapi pedang yang dikibaskannya itu lolos dari sasaran, karena Ronggo Kosworo sudah melompat dan mencabut golok besarnya.
Wening membabat ke kiri, bersamaan Ronggo Kosworo menangkis.
Trang! Benturan antara pedang dan golok itu cukup keras terdengar, menimbulkan percikan api sejenak. Wening tak mau membuang waktu, dia terus mencecar penuh amarah. Ronggo Kosworo berusaha menghindar dan membalas. Dalam dua jurus berikutnya dia bagai anak ayam kehilangan induk. Untuk meloloskan diri dari kejaran pedang Wening tak mungkin bisa dilakukan.
Di saat yang genting itu, dua kawannya datang membantu. Langsung menyabetkan golok di tangan masing-masing, membuat Wening mau tak mau menghentikan serangannya pada Ronggo Kosworo ketika merasakan angin menyambar di belakangnya. Di atas pohon, Andika mendesis, "Kehebatan Wening patut dipuji. Meskipun dikeroyok seperti itu, Wening kelihatannya akan tetap berada di atas angin. Tetapi, hei!" Andika tersentak. Matanya yang tajam dan terlatih menangkap satu keanehan. Diperhatikannya dengan seksama jalannya pertarungan itu. Tiba-tiba dia mendesis, "Kurang ajar! Ternyata ada orang yang ingin mengambil keuntungan! Baiknya, kulihat saja dulu...." Di bawah, pertarungan itu bertambah sengit. Apa yang diperkirakan Andika memang benar, Wening berhasil mengatasi lawan-lawannya. Bahkan Jombrang sudah tergores lengan kanannya, dan menyusul satu tendangan kaki kiri yang telah menghantam dadanya. Lelaki itu tersuruk tiga tombak ke belakang dan jatuh pingsan.
Menyusul Gonggo Sirat yang terkena tendangan telak di kepalanya. Keseimbangannya hilang seketika dan dia pun ambruk jatuh pingsan.
Menghadapi Ronggo Kosworo yang diduga Wening adalah pimpinan dari begundal-begundal itu, agaknya Wening menurunkan tangan lebih keras. Berkali-kali pedangnya berkelebat. Paha ki-ri Ronggo Kosworo telah tersayat dan mengalirkan darah. Sementara jubah hitamnya telah koyakmoyak terkena sabetan pedang Wening. Darah yang mengalir, membuat lelaki bercodet di wajahnya itu tak mampu menguasai keseimbangannya lagi. Tetapi, pada dasarnya dia memang telah berhasil dikuasai Wening.
Dalam satu jurus berikutnya, Ronggo Kosworo sudah terkapar di tanah. Dengan amarah yang telah membludak, terutama mencemaskan keadaan adiknya, Wening menginjak dada lelaki yang terkapar itu dengan kaki kanannya, memberikan tekanan hingga mata lelaki itu terbeliak.
Sementara ujung pedangnya ditempelkan pada tenggorokan Ronggo Kosworo yang menjadi pias.
Kegarangannya yang jelas-jelas diperlihatkan tadi, kini lenyap bagai menggantung antara langit dan bumi.
"Ampun... ampuni aku...." serunya mengiba.
Wening menyeringai.
"Apakah kau mengampuni orang-orang yang hendak kau bunuh, hah?"
"Aku... aku...."
"Setan alas!" Kaki Wening menekan dada Ronggo Kosworo yang merasakan dadanya bagai melesak ke dalam. Dia melengak dengan kedua mata melebar. Ludah menyembur dari mulutnya begitu dadanya ditekan.
"Katakan, di mana adikku dan dua gadis dusunku yang kau culik?"
"Aku... aku...."
"Apakah kau hanya bisa menjawab 'aku...
aku...' saja, hah?" bentak Wening dengan hati panas. Apalagi bila membayangkan bagaimana na- sib adiknya sekarang ini" Apakah dia dalam keadaan tak kurang suatu apa, apakah sudah berada dalam titik kehancuran" Wening lebih percaya pada pikirannya yang kedua, dan hal itu semakin membuatnya bertambah gusar.
"Bila kau tidak mengatakannya, ujung golokku ini akan menem-bus hingga tulang lehermu bagian belakang."
"Aku... aku...."
"Keparat!" Wening siap menusukkan ujung pedangnya, tetapi satu suara di belakangnya mengurungkan niatnya dan membuatnya menoleh tanpa hilang kewaspadaannya pada Ronggo Kosworo yang sudah tidak berdaya.
"Dia tak tahu apa-apa, Wening. Dia hanya mengambil kesempatan saja. Orang-orang jelek yang usil!"
"Kang Andika!" seru Wening. Gadis itu gembira sekali bisa bertemu lagi dengan Pendekar Slebor. Tetapi, kata-kata Andika barusan membuat keningnya berkerut. Bernada keheranan dia bertanya, "Apa maksud ucapan, Kang Andika?" Andika menyeringai "Karena... mereka bukanlah Tiga Iblis Golok Setan."

****

"Oh!" Wening terperanjat bukan main mendengar kata-kata yang diucapkan dengan nada meyakinkan itu. Lain halnya dengan si gadis yang bersembunyi di balik pohon. Siapa pun ketiga orang itu, tetaplah orang-orang yang mengedarkan hatinya. Sementara Wening tengah menatap lurus pada Andika balas menatap sambil menganggukkan kepala.
Anggukan kepala Andika sebenarnya sudah menjelaskan apa yang dikatakannya itu memang benar, tetapi Wening masih belum puas dengan kata-kata Andika. Makanya dia bermaksud bertanya, "Bagaimana...."
"Ya, ya... pemuda itu benar! Kami bukan Tiga Iblis Golok Setan!" kalimat Wening terpotong oleh orang yang sedang diinjaknya. Suaranya mengandung pengharapan sekali agar dibebaskan dari injakan dan tusukan pedang Wening.
Wening tak mempedulikan seruan itu, dia berkata lagi pada Andika, "Bagaimana ini bisa terjadi" Dan bagaimana Kang Andika bisa menduga seperti itu?" Bukannya menjawab, Andika menghampiri Jombrang yang pingsan. Sambil berlutut dia berkata, ?"Nih! Kau perhatikan Wening! Sejak perke-lahianmu tadi, aku sudah berada di sini dan memperhatikan. Manusia inilah yang membuatku yakin kalau, mereka bukanlah Tiga Iblis Golok Setan. Kau lihat, Wening...." Andika meluruskan kaki kiri Jombrang.
"Kau lihatlah, tak ada bekas patah tulang atau cacat bawaan yang bisa membuatnya pincang. Kakinya normal seperti kaki kita. Tetapi untuk melengkapi penyamarannya sebagai salah seorang Tiga Iblis Golok Setan, dia membuat langkahnya terpincang. Manusia inilah yang pertama kali membuatku yakin kalau dia tidak pincang. Gerakan pertamanya saat menggempur mu, memang masih memperlihatkan dia pincang. Tetapi setelah itu, lenyap sama sekali.
Bahkan gerakannya lebih mirip kaki orang normal. Bukannya sombong nih! Aku terlatih dalam hal begituan, dan aku bisa menduga kalau manusia-manusia ini bukanlah Tiga Iblis Golok Setan." Wening yang masih terheran-heran hanya menatap Andika dengan mulut terbuka. Dilihatnya Andika tengah mendekati Gonggo Sirat yang juga pingsan.
"Gonggo Sirat si begundal itu menurut kabar yang kuketahui, matanya sebelah kanan memang picak. Tetapi, tidak ditutupi dengan kain hitam yang mengikat dari belakang kepala. Kau lihat, Wening...." Andika membuka kain hitam kecil yang mirip bajak laut itu.
Wening terbelalak. Dilihatnya mata itu normal, tak ada tanda-tanda rusak. Rasa kesalnya makin menjalar ketika tahu dipermainkan.
Dengan amarah membludak dia berbalik pada Ronggo Kosworo, "Manusia kurang ajar! Kau berani-berani menipuku, hah?"
"Tidak... maaf, maafkan aku... aku dan kedua temanku itu... memang sengaja menyamar sebagai Tiga Iblis Golok Setan, karena aku tahu kalau tiga manusia itu sangat ditakuti...."
"Apa maksudmu melakukan semua ini, hah?"
"Kami... kami butuh makan, sementara tak ada pekerjaan untuk kami....
Dengan menyamar sebagai Tiga Iblis Golok Setan kami bisa mendapatkan makan, uang, dan harta. Karena orangorang yang kami datangi sangat ketakutan...."
"Kurang ajar!" maki Wening sambil menyepak kepala Ronggo Kosworo palsu itu hingga pingsan. Dadanya naik turun menahan geram dan gemas. Andika mendiamkan saja gadis itu berbuat seperti tadi. Karena, manusia semacam Ronggo Kosworo palsu itu memang harus diberi pelajaran.
"Eit! Jangan galak begitu dong! Kau jelek kalau galak-galak! Manusia-manusia itu sudah mendapat ganjarannya, dan aku yakin mereka tak akan berani lagi melakukan perbuatan itu kembali! Apalagi kalau berhadapan denganmu yang tahu-tahu jadi galak begitu!" Wening berbalik pada Andika, "Justru aku mencemaskan keadaan adikku, Kang Andika...." Andika mengangkat sepasang alis legamnya.
"Aku mengerti...." Wening menatap lagi tiga sosok tubuh yang pingsan itu. Bila dituruti kata hatinya, ingin dilampiaskan rasa kesal dan marahnya karena merasa dipermainkan oleh ketiga orang ini. Tetapi, seperti yang dikatakan Andika tadi, ketiga orang itu jelas tidak akan berani lagi melakukan penyamaran sebagai Tiga Iblis Golok Setan.
Diangkat lagi kepalanya, dan ditatapnya Andika dengan perasaan tak menentu. Kesal, marah, sedih, galau, dan malu menjadi satu. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja Wening melangkah menghampiri Andika. Tiba di hadapan Andika, dia mendongak, menatap wajah tampan di hadapannya yang sedang tersenyum. Lalu perlahan-lahan direbahkan kepalanya ke dada Andika, yang untuk sejenak melengak, karena tak menyangka gadis itu akan berbuat seperti ini, sangat di luar dugaannya.
Tetapi kemudian Andika sadar, biar bagaimanapun juga, Wening hanyalah seorang gadis.
Meskipun ketegarannya sangat menakjubkan, dia masih membutuhkan pula orang lain sebagai tempat berbagi kekesalan dan kesedihannya.
Berpikir demikian, perlahan-lahan Andika merangkul gadis itu. Lembut dan penuh pengertian. Tak ada nafsu birahi sedikit pun yang membalut tubuh Andika. Rangkulan itu dilakukan semata guna menenangkan si gadis berbaju jingga itu. Perlahan-lahan dirasakan dadanya basah, yang tentunya air itu berasal dari mata Wening.
"Aku cemas memikirkan adikku, Kang...."
"Sudahlah... kita akan mencari adikmu itu...," kata Andika menenangkan padahal dalam hati dia berkata, "Hehehe... mau nih seumur hidup begini terus!" Tanpa disadari keduanya, gadis jelita yang ditolong Wening tadi menarik napas panjang. Dia teringat kekasihnya telah tewas di ujung golok manusia-manusia itu karena menyelamatkannya.
Dan malam pun mulai turun, menyelimuti tanah di sekitar sungai itu.

****

«¤¤¤[ 8 ]¤¤¤»

Lelaki setengah baya dengan tubuh kurus dan wajah penuh keriput itu keluar dari dusun Karang Batu. Dibawa langkahnya satu-satu dengan tubuh yang sepertinya lelah sekali ke arah timur. Pakaiannya yang berwarna putih kusam tersibak dipermainkan angin, padahal sudah tertutup rapat. Rambutnya panjang hingga bahu, beriap-riap bagai berlomba mengikuti arus angin.
Mata tuanya nampak menyiratkan kedukaan.
Langkah perlahannya dihentikan di sebuah hutan kecil di hadapannya. Diperhatikan sekeliling tempat di mana dia berdiri. Dia tak mau mendapati satu musibah karena kurang berhati-hati.
Setelah dirasanya cukup aman, dia duduk di bawah sebuah pohon rindang dan mulailah dibuka nasi bungkus yang dibelinya di dusun yang dilaluinya tadi. Dalam waktu yang singkat, nasi itu telah habis dimakan.
Dan tanpa disadarinya, dua pasang mata memperhatikannya dari atas pohon di mana lakilaki tua itu duduk menikmati nasi bungkusnya.
Dua orang di atas pohon itu tak mengeluarkan kata sama sekali, terus memperhatikan si lelaki tua itu. Padahal, yang seorang, yang mengenakan pakaian berwarna jingga berkeinginan untuk turun karena pikirnya, lelaki tua itu tidak berbahaya. Tetapi kawannya yang berambut gondrong dan mengenakan pakaian warna hijau pupus menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti ada satu pikiran di benaknya, yang harus dilepaskan.
Si lelaki tua masih asyik bersandar. Perutnya telah kenyang. Lelahnya sedikit terbayar.
Tiba-tiba terdengar gumamannya, "Hmmm... ke mana lagi harus kucari manusiamanusia biadab itu. Tak akan pernah kubiarkan mereka hidup lebih lama setelah membunuh Sumirah dan Dali Gunarso...." Si pengintip yang berbaju hijau pupus mengerutkan kening. Sumirah dan Dali Gunarso" Bukankah itu nama istri dan anaknya Gamang Markuto" Dugaannya semakin kuat saja, kalau dia bisa menebak siapa lelaki tua ini.
Memikir sampai di sana, diberinya isyarat melalui anggukan kepala pada gadis di sebelahnya. Melompat ke arah yang berlawanan, lalu mendatangi lelaki tua itu seolah belum melihat sebelumnya. Si gadis menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, keduanya melangkah mendekati si tua yang masih duduk bersandar. Begitu melihat ada yang datang si tua itu langsung berdiri. Keningnya berkerut memperhatikan keduanya.
"Siapa kalian?" Si pemuda yang mengenakan pakaian hijau pupus tersenyum. Tetapi pada dasarnya si pemuda memiliki sifat yang urakan dan kocak, senyumnya jadi jelek bukan main.
"Maafkan, kalau kami mengganggu istirahatmu, Bapak. Namaku Andika dan gadis ini sahabatku, namanya Wening. Siapakah Bapak adanya" Pasti Bapak punya nama, kan?" Lelaki tua itu memperhatikan keduanya satu persatu. Lalu perlahan-lahan dia berujar, "Namaku Rawung Menggolo." Andika menarik napas lega. Tak salah dugaanku, batinnya. Memang, sebelumnya Andika dan Wening tiba pula di dusun Karang Batu setelah mengantar gadis yang bernama Marni ke desanya. Membantu penduduk di sana merapikan keadaan yang agak porak poranda. Mereka sarapan di sebuah kedai. Saat sarapan itulah, si lelaki tua ini muncul. Didengarnya lelaki itu menanyakan tentang Tiga Iblis Golok Setan pada pemilik kedai, yang dijawab dengan menggelengkan kepala. Setelah si tua keluar kembali dengan membeli nasi bungkus, Andika memberikan isyarat pada Wening untuk menyelesaikan sarapannya lebih cepat. Hatinya mengatakan ada sesuatu yang selama ini mulai tergambar di benaknya. Dibuntutinya lelaki tua itu dan dengan ilmu meringankan tubuh yang keduanya miliki, mereka berhasil dengan mudah melakukannya. Bahkan melompat ringan ke pohon di mana si lelaki tua itu duduk menikmati nasi yang baru dibelinya tadi.
Andika menatap lurus pada lelaki tua itu.
"Kalau memang Bapak bernama Rawung Menggolo, tentunya Bapak mengenal Gamang Markuto, bukan?" Lelaki tua itu tak segera menjawab. Kalau tadi tatapannya sudah membiaskan rasa persahabatan, kali ini tatapannya menyelidik.
"Siapa yang kau maksudkan, Anak Muda?" Andika sadar, kalau Rawung Menggolo agaknya mencurigainya. Lalu diceritakan siapa dirinya dan bagaimana pertemuannya dengan Gamang Markuto. Juga, bagaimana Gamang Markuto melarikan diri darinya.
Setelah beberapa saat terdiam, Rawung Menggolo barulah menjawab, "Yah... aku mengenal lelaki yang kau maksudkan itu, Anak Muda." Lagi-lagi Andika tersenyum yang jeleknya bukan main. Untuk melanjutkan pembicaraan, diajaknya Rawung Menggolo dan Wening duduk.
Di bawah kerindangan pohon yang ditemani oleh burung-burung bernyanyi, percakapan itu dilanjutkan.
"Bapak Rawung... aku ingin tahu tentang Gamang Markuto," kata Andika santai.
"Ceritakan deh! Mumpung aku berada di sini!" Lelaki tua itu menarik napas panjang. Pancaran matanya menyiratkan keengganan dan kedukaan dalam. Dan yang diceritakan kemudian oleh Rawung Menggolo, sama seperti yang diceritakan Gamang Markuto sendiri dan Panglima Darta Sena. Andika bertanya lembut, "Aku menyirap kabar, kalau prajurit Kadipaten Harum Raksa beberapa bulan lalu mencari Gamang Markuto yang dinyatakan sebagai buronan karena dialah yang belum tertangkap dari empat bajingan yang melakukan tindak kejahatan pada seorang saudagar.
Bahkan berkali-kali mendatangi Bukit Teduh.
Hanya yang mengherankan, mengapa Gamang Markuto tidak ditemukan oleh mereka?" Rawung Menggolo menarik napas pendek.
"Yah... itu dikarenakan, setiap kali para prajurit kadipaten datang, Gamang Markuto mendatangiku bersama istri dan anaknya. Lalu, aku menggantikan kedudukan mereka sebagai pemilik rumah. Bila prajurit-prajurit itu bertanya, kujawab aku telah lama mendiami tempat itu dan tak mengenal orang lain di sana. Terutama, yang mereka cari."
"Jauhkah tempat tinggal Bapak dari kediaman Gamang Markuto?" tanya Andika pula.
"Lumayan. Membutuhkan waktu dua kali penanakan nasi. Aku tinggal di sebelah timur dari Bukit Teduh, di sebuah hutan kecil yang sunyi namun nyaman. Tetapi, beberapa hari yang lalu, ketika aku bertandang ke rumahnya, rumahnya telah hangus dan rata dengan tanah. Kecemasanku datang, terutama ketika kulihat ada dua buah gundukan tanah yang masih baru. Melihat ukurannya, aku yakin itu adalah makam Dali Gunarso dan Sumirah. Lalu, di mana makam Gamang Markuto" Setelah kucari beberapa saat, tak kutemukan di mana makamnya. Dugaanku hanya satu, dia telah tewas di satu tempat, ataukah pa-ra prajurit itu berhasil menemukannya. Tetapi, keyakinanku kalau bukan para prajurit yang melakukannya mulai timbul, ketika mempertimbangkan tak akan mungkin para prajurit kadipaten membunuh anak dan istrinya. Dan kemudian aku ingat, tentang teman-temannya yang pernah mengancamnya dulu untuk melakukan tindak kejahatan. Apakah tidak mungkin kalau mereka yang melakukannya" Akhirnya kuputuskan untuk mencari kebenaran dugaanku itu. Kusirap kabar, kalau sekarang tengah terjadi tindak telengas dari Tiga Iblis Golok Setan. Dugaanku, tiga manusia itulah yang menjuluki diri Tiga Iblis Golok Setan, karena aku juga mendengar kalau mereka telah keluar dari tahanan. Ah... malang nian nasib yang dialami Gamang Markuto." Andika diam-diam memuji kecerdikan orang tua ini, sekaligus rasa persaudaraan yang ada di hatinya. Didengarnya lagi si orang tua berkata, "Anak muda... aku yakin, Gamang Markuto tak bersalah sedikit pun. Berkali-kali sudah kukatakan, sebaiknya menyerahkan diri saja pada kadipaten. Tetapi ditolaknya, karena baginya masih ada yang lebih penting lagi. Soal anak dan istrinya. Sampai akhir hayatnya, mungkin istri dan anaknya tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya."
"Adakah dugaan ke mana Gamang Markuto pergi?" tanya Andika kemudian.
"Karena, ketika kusuruh untuk membersihkan badan dan aku menyiapkan jagung bakar untuk sarapan, dia sudah menghilang begitu saja." Rawung Menggolo menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku tidak punya dugaan dia pergi ke mana. Karena yang kutahu, Gamang Markuto tak mempunyai sanak famili lagi. Kalaupun dia pergi sekarang, mungkin dia tengah mencari manusia-manusia keji yang telah membunuh istri dan anaknya. Ah, aku bersyukur sekarang dan perasaanku jauh lebih tenang dari sebelumnya, karena dari kata-katamu tadi, aku yakin Gamang Markuto masih hidup." Andika menarik napas panjang. Masih banyak teka-teki yang ada di benaknya. Ke mana Gamang Markuto pergi" Di mana Tiga Iblis Golok Setan bersembunyi" Juga, beberapa pertanyaan yang masih tersimpan di benaknya.
Karena tak ada lagi keterangan yang bisa didapatinya, dia berdiri. Wening yang sejak tadi hanya mendengarkan, berbuat yang sama. Rawung Menggolo pun berdiri pula.
"Bapak... terima kasih atas penjelasan Bapak. Sekarang, Bapak hendak ke manakah?"
"Aku tak akan kembali ke tempat tinggalku sebelum kujumpai Gamang Markuto." Andika bisa merasakan kekerasan hati si orang tua.
"Kalau begitu, berhati-hatilah...."
"Aku bisa menjaga diri, Anak Muda. Lagi pula, meskipun aku merasa terlibat dalam urusan ini, Tiga Iblis Golok Setan tak mengenalku dan tahu siapa aku." Andika tersenyum.
"Berhati-hatilah...." Andika mengajak Wening meninggalkan Rawung Menggolo yang telah meneruskan langkahnya. Diam-diam, ada sesuatu yang mengganggu Andika. Tetapi lagi-lagi untuk saat ini dia tak tahu pikiran apa yang membingungkannya.
Namun di benaknya, ada sebuah rencana yang akan dilakukannya.

****

Kedatangan tiga lelaki penunggang kuda dan mengenakan jubah hitam ke tempat pelacuran Mawar Hitam, disambut dengan sikap manja, centil dan penuh rangsangan dari para pelacur yang mendiami tempat itu. Kuda-kuda hitam mereka yang ditambatkan di depan pintu tempat pelacuran itu, bagai mendapat perlakuan yang istimewa. Beberapa pekerja di sana segera mengurus kuda-kuda itu. Dengan cepat memandikan, memberi makan dan minum.
Seorang germo bertubuh gemuk dengan rambut disanggul mengajak ketiganya ke ruang dalam. Germo yang bernama Nyai Idah Merah memang sudah mengenal siapa yang datang, tiga langganannya yang royal. Sebenarnya, sambutan Nyai Idah Merah pada ketiga manusia yang tak lain adalah Tiga Iblis Golok Setan, bukan dikarenakan keroyalan mereka, tetapi karena dia pernah mendengar kabar tentang sepak terjang Tiga Iblis Golok Setan yang selalu menurunkan tangan telengas. Di samping itu, Nyai Idah Merah sendiri telah mengenal mereka sebelum ketiganya dipen-jara.
"Nah, kalau Kangmas menginginkan yang baru, kami memang baru mendapatkannya. Ini istimewa lho. Tak seorang pun langgananku yang kusuguhkan gadis-gadis itu," kata Nyai Idah Merah sambil mengerling genit. Dandanannya sangat medok, penuh dengan pupur di sana-sini. Bibirnya dipoles sangat merah. Pakaiannya yang kuning keemasan sebenarnya sangat indah sekali. Tetapi karena dikenakan oleh perempuan yang bertubuh gemuk dengan buah dada besar dan wajah penuh pupur, justru jadi jelek sekali. Penampilan Nyai Idah Merah sebenarnya tak lebih dari badut-badut di kotapraja.
Ronggo Kosworo terbahak-bahak.
"Bagus, bagus sekali, Nyai. Kau tahu saja keinginan kami. Tetapi, bagaimana dengan perintahku waktu itu" Sudahkah kau mendengar kabar tentang Gamang Markuto?"
"Belum, Kangmas. Tak ada anak buahku yang pernah mendengar namanya," kata Nyai Idah Merah sambil mengerling genit.
"Padahal, aku juga heran dulu biasanya kalian berempat tetapi mengapa sekarang bertiga?"
"Kau tak perlu tahu soal itu!" bentak Ronggo Kosworo.
Lelaki setengah baya berbaju putih kusam masuk ke ruangan itu. Nyai Idah Merah seketika melotot gusar. Dia bangkit dari duduknya dan berdiri berkacak pinggang di hadapan lelaki itu.
"Ruangan ini untuk tamu-tamu istimewaku, Orang Tua!!" Si orang tua hanya tersenyum saja. Mengeluarkan kantong kecil dari balik pakaiannya. Dikeluarkannya isinya ke telapak tangannya.
"Kau lihat, Nyai... aku mempunyai uang perak yang cukup banyak, bukan" Lima belas gadis-gadismu pun sanggup kubayar malam ini." Wajah Nyai Idah Merah yang tadi sengit kini menjadi cerah. Tetapi ketika dia melirik Ronggo Kosworo yang menekuk wajah, terburu-buru dia berkata, "Apakah kau sudah mendapatkan salah seorang gadisku?" Orang tua itu menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, silakan kau bersenangsenang."
"Aku sudah melakukannya," kata si orang tua berbohong.
"Selagi aku ingin meninggalkan tempat ini, aku mendengar tentang nama seseorang disebutkan." Nyai Idah Merah hendak membuka mulut, tetapi Ronggo Kosworo sudah memotong, "Maksudmu... Gamang Markuto?" Orang tua itu menganggukkan kepalanya.
"Benar. Gamang Markuto." Ronggo Kosworo menatap tajam pada orang tua yang nampaknya tenang-tenang saja.
"Siapakah kau sebenarnya, Orang Tua?"
"Namaku Rawung Menggolo. Aku tinggal di daerah pesisir barat," kata orang tua itu berbohong kembali.
"Apa yang kau ketahui tentang Gamang Markuto?"
"Perjumpaanku dengan lelaki yang bernama Gamang Markuto terjadi tiga hari yang lalu, di hutan sebelah timur dari sini.
Lelaki itu bertanya padaku tentang Tiga Iblis Golok Setan. Dan melihat penampilan kalian, aku yakin kalianlah yang dimaksudkan olehnya." Ronggo Kosworo mendesis dingin.
"Ya, kamilah yang berjuluk Tiga Iblis Golok Setan. Apa yang kau katakan padanya?"
"Dia mencari kalian karena kalian telah membunuh anak dan istrinya." Secara bersamaan, tiga lelaki berjubah hitam itu terbahak-bahak. Begitu kerasnya hingga dua orang tukang pukul di tempat pelacuran itu masuk dan melongok. Tetapi setelah melihat isyarat dari Nyai Idah Merah melalui gerakan dagunya yang gemuk, keduanya keluar kembali. Sementara Nyai Idah Merah diam-diam merasa ngeri mendengar keterangan itu.
"Bagus! Bagus sekali! Sekarang... kau ikut dengan kami untuk mencari manusia keparat itu!"
"Aku tidak tahu lagi di mana dia berada."
"Kita akan mengeceknya ke hutan yang kau maksudkan. Karena kau yang mengetahui tempat itu, kau harus menunjukkan tempat itu.
Ingat, jangan sekali-sekali berlaku dusta kepada kami bila kau masih sayang dengan nyawa busukmu!" Wajah Rawung Menggolo menyipit.
Lalu katanya dengan suara tegar, "Baik! Kita pergi sekarang!"
"Usul yang menyenangkan!" Ronggo Koswo-ro berkata pada Nyai Idah Merah.
"Jaga ketiga gadis yang kau katakan pada kami tadi. Setelah manusia keparat yang bernama Gamang Markuto itu mampus, kami akan kembali lagi!"
"Ronggo Kosworo...," kata Rawung Menggolo.
"Jangan salahkan aku bila kita tak menjumpai lelaki yang bernama Gamang Markuto itu di sa-na." Sepasang mata Ronggo Kosworo menyipit.
"Berarti... lehermulah sebagai jaminannya!" Wajah Rawung Menggolo tiba-tiba menjadi pias. Tubuhnya agak bergetar dan dia tak bisa melakukan apa-apa kecuali mengikuti ketiganya ketika dengan enaknya dan seolah menganggapnya sebuah bungkusan, tubuhnya didorong oleh Ronggo Kosworo keluar dari tempat pelacuran itu.

****

«¤¤¤[ 9 ]¤¤¤»

Bukit yang ditunjukkan Rawung Menggolo ternyata sebuah bukit kapur yang dikelilingi oleh pegunungan karang. Lelaki tua yang mempunyai maksud tertentu di benaknya itu tiba di sana bersama Tiga Iblis Golok Setan, tepat ketika ratu malam bersinar terang di atas kepala.
"Mana manusia laknat itu?" bentak Ronggo Kosworo sambil melompat dari kudanya.
Mata liarnya memperhatikan sekitar. Ketika tak ditemukannya orang lain di sana, gusar ditariknya leher baju Rawung Menggolo yang mengikutinya setengah terhuyung. Kembali diedarkan mata tajamnya mengelilingi bukit itu.
Gonggo Sirat dan Jombrang pun berbuat yang sama. Mereka berdiri di dekat Ronggo Kosworo yang sedang menendang Rawung Menggolo hingga tersungkur.
"Di mana manusia itu"!" Rawung Menggolo mengusap wajahnya yang terkena debu-debu kapur. Tatapannya memicing nyalang. Perlahan-lahan dia berdiri dengan kegusaran yang kentara.
"Manusia keparat!" dengusnya dengan kedua tangan terkepal.
"Bukankah sudah kukatakan tadi, aku tidak menjanjikan akan menemukan Gamang Markuto di sini! Tetapi kau lancang memaksaku untuk datang!"
"Setan! Berani bicara kurang ajar pada tuan besarmu ini, hah"! Mau mencari mampus!" Ronggo Kosworo mengibaskan tangan kanannya.
Serangkum angin dingin mendesir keras ke arah Rawung Menggolo.
Akan tetapi, rupanya lelaki tua itu tak selemah dugaan Ronggo Kosworo. Gerakan yang sangat cepat diperlihatkan dan dia berdiri tegak berjarak lima tombak dengan tatapan gusar. Sementara tanah di mana tadi Rawung Menggolo terjatuh, kini membentuk sebuah lubang yang cukup besar, akibat hantaman pukulan jarak jauh Ronggo Kosworo. Debu-debu kapur muncrat sejenak dan luruh kembali ke bumi.
Tertawa Ronggo Kosworo membedah seantero tempat. Namun nada gusar dalam suaranya tak bisa disembunyikan.
"Hebat! Sangat hebat sekali yang kau perlihatkan itu, Setan! Rupanya kau memiliki kepandaian yang cukup lumayan! Hhh! Sayangnya, kepandaian semacam itu hanya pantas dipakai untuk menakut-nakuti tikus! Kalaupun tak kujumpai Gamang Markuto, nyawa tuamulah sebagai penggantinya! Gonggo Sirat habisi lelaki tua itu!" Usai mendengar perintah, Gonggo Sirat melompat tiga tindak dengan gerakan ringan. Matanya yang picak sebelah menatap dingin pada Rawung Menggolo.
"Tak tahu diuntung! Nyawa tua di badan siap dilempar ke neraka!"
"Manusia-manusia keparat yang membunuh Sumirah dan Dali Gunarso, tak akan pernah diampuni! Yang Kuasa pun setuju bila nyawa busuk kalian kucabut!" balas Rawung Menggolo dengan suara tak kalah angker.
"Anjing tua geladak! Siapa kau sebenarnya"!" membentak Gonggo Sirat dengan kedua tangan terkepal.
"Peduli setan siapa pun aku! Kecuali datang untuk menghabisi nyawa busuk kahan!!"
"Geladak!" menjerit murka Gonggo Sirat.
Dengan pencalan satu kaki, tubuhnya sudah melesat ke arah Rawung Menggolo dengan dua jotosan yang siap dilepaskan.
Akan tetapi, jotosan penuh tenaga yang diarahkan pada kepala dan dada lelaki tua itu, berhasil dielakkan dengan hanya melompat ke samping kanan. Bahkan sambil mengelak, Rawung Menggolo mengirimkan satu tendangan balasan melalui gerakan memutar yang sangat cepat.
Wusss! Bila saja Gonggo Sirat tidak cepat menarik kepalanya beberapa centi, bisa diduga kalau kepalanya akan terkepruk tendangan penuh tenaga itu. Apa yang dilakukan oleh Rawung Menggolo tadi membuat kemarahan lelaki picak itu menjadi bertambah membludak.
Dengan gerengan keras seperti serigala luka, dia kirimkan serangan beruntun. Serangan yang mengandalkan kecepatan tangan itu, sejenak membuat Rawung Menggolo gelagapan. Sebisanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, lelaki tua itu menghindar. Namun tak urung satu tendangan menghantam dadanya dengan telak. Mendapati lawan telah tergedor tendangan kaki kanannya, Gonggo Sirat tak mau membuang tempo. Gebrakannya dilanjutkan kembali. Satu jotosan tangan kanannya siap menghantam dada lawan kembali. Tetapi kali ini, Rawung Menggolo tak mau mendapati kesialan macam tadi. Bergegas dia membuang tubuhnya ke kanan, menghindari sergapan jotosan lawan. Akan tetapi, karena keseimbangannya belum sempurna, tubuhnya jadi agak sempoyongan dan jatuh berguling. Namun kembali dia bergerak cepat, menghindari serangan lawan yang menyusul. Tak menghiraukan betapa sekujur tubuh dan wajahnya dipenuhi debu-debu kapur. Bila saja saat ini siang hari, tak mustahil Rawung Menggolo merasakan debu-debu kapur itu bagai batu bara! Bukan buatan gusarnya Gonggo Sirat. Karena dalam keadaan hilang keseimbangan, lawan masih bisa menghindar. Dia berdiri tegak dalam jarak tiga tombak di hadapan Rawung Menggolo yang sedang bangkit.
"Tak kuampuni nyawa busukmu!" geram Gonggo Sirat. Dan dia telah bergerak cepat dengan melipatgandakan tenaga dalamnya. Gebrakannya kali ini lebih berbahaya dari semula.
Akan tetapi, Rawung Menggolo yang merasa tak mampu menghadapi lawannya, mengandalkan taktik lama yang saat ini berguna sekali.
Begitu tubuh lawan menderu ke arahnya, cepat-cepat dia membungkuk. Diambilnya dua genggam debu kapur dengan kedua tangannya, bersamaan dengan itu dia tegak kembali dan menebarkan debu-debu kapur itu ke arah Gonggo Sirat. Bukan buatan terkejutnya Gonggo Sirat melihat lawan menyerangnya dengan debu-debu kapur. Cepat dia menutupi mata kanannya dengan tangan dan memutar tubuh menghindari debu-debu kapur itu.
Justru Rawung Menggolo melihat satu serangan kosong sekarang. Di saat lawannya tengah berusaha menghindari debu-debu kapur itu, dia meluruk masuk dengan satu jotosan ke dada Gonggo Sirat.
"Heaaa!" Akan tetapi.....
Plak! Des! Ronggo Kosworo sudah menderu maju, memotong serangan Rawung Menggolo pada kambratnya. Jotosan Rawung Menggolo dipapasnya dengan tendangan kaki kanan, dan kaki kirinya dengan gerak yang luar biasa cepat menghantam dada Rawung Menggolo, hingga terguling ke belakang lima tombak.
Berdiri dengan wajah semakin dingin Ronggo Kosworo.
"Kelicikanmu boleh juga! Tetapi, nyawamu sudah ada dalam genggamanku!" Dalam keadaan terdesak dan maut yang siap menjemput, Rawung Menggolo masih berani membuka mulut, "Manusia-manusia iblis! Biar-pun kau cabut nyawaku saat ini juga, masih ba- nyak orang lain yang menghendaki kalian binasa!"
"Berarti, hanya mencari penyakit! Bersiaplah untuk kujemput bersama maut!" Habis berkata begitu, Ronggo Kosworo menggeram. Tubuhnya mencelat ke arah Rawung Menggolo yang merasakan dadanya sakit luar biasa. Dia berusaha untuk bangkit. Tetapi, tulang dadanya bagai remuk dan membuat dia tak mampu menyangga bobot tubuhnya sendiri.
Yang dilakukannya kemudian, hanya merentangkan kedua matanya lebar-lebar, siap menyambut kematian yang akan dikirimkan melalui jotosan Ronggo Kosworo.
Namun belum lagi dirasakan hebatnya jotosan itu, tiba-tiba saja satu bayangan hijau berkelebat dari arah kiri. Menarik tubuhnya dan kaki kanannya menyepak jotosan Ronggo Kosworo yang memekik terkejut. Bukan karena kecepatan bayangan hijau itu yang menolong Rawung Menggolo, melainkan sambaran kaki si bayangan hijau yang menghantam tangannya.
Dia cepat mundur tiga langkah dengan wajah pucat. Tangan kanannya dirasakan ngilu bukan main tersambar kaki si bayangan hijau. Kemarahannya makin membesar dengan dada turun naik menandakan kegusaran yang membludak.
Bentakannya seketika menggema keras, "Manusia lancang! Berani menghalangi keinginan Tiga Iblis Golok Setan, berarti mampuslah jawabannya!"
"Ah, masa' sih" Mampus itu anak mana ya" Kok kucari di gang senggol tidak ada tuh anak!" selorohan itu terdengar bersamaan si bayangan hijau menurunkan tubuh Rawung Menggolo ke tanah. Memijat dada lelaki tua itu sebentar. Setelah itu, "Tidak apa-apa. Cuma remuk sedikit. Paling-paling juga bertambah sakit," katanya santai.
Rawung Menggolo melotot pada si penolongnya. Dia sudah mengenal pemuda tampan berbaju hijau pupus itu. Siapa lagi orangnya yang suka berucap asal saja selain Andika alias Pendekar Slebor" Andika nyengir kuda. Rawung Menggolo duduk di tanah. Dia tahu kalau dirinya sebenarnya tak terlalu parah. Karena bila dadanya remuk seperti yang diselorohkan Andika, masa' iya pemuda sakti itu tidak menolongnya" Kegusaran Ronggo Kosworo merayap naik.
Kedua matanya membuka lebar menatap pemuda di hadapannya yang sedang cengar-cengir. Jombrang yang telah menolong Gonggo Sirat pun tak berkesip menatap pemuda yang baru saja menyelamatkan Rawung Menggolo dari kematian. Kesempatan itu dipergunakan oleh Gonggo Sirat untuk membuang debu-debu yang dilemparkan oleh Rawung Menggolo di matanya. Hebat apa yang diperlihatkan Gonggo Sirat. Mengalirkan tenaga dalamnya pada urat di bagian bawah matanya, debu-debu itu meluncur keluar. Matanya memerah mengeluarkan air.
Geram lelaki bermata picak itu menatap ke arah Rawung Menggolo yang membalas dengan mengangkat kedua alisnya, menambah kegusaran lelaki picak itu.
Tetapi, ketika dia hendak langsung menyerang. Ronggo Kosworo merentangkan tangan kanannya, yang secara tidak langsung mengisyaratkan pada Gonggo Sirat untuk tidak menyerang.
Gonggo Sirat menelan kegusarannya bulatbulat. Helaan napasnya bagai suara dari dalam liang kubur.
"Anak muda!" membentak Ronggo Kosworo.
"Siapakah kau adanya, hah" Kau telah lancang menghalangi maksud kami! Berarti...."
"Mampuslah jawabannya...," potong Andika sambil menyeringai jelek bukan main mengulangi kata-kata Ronggo Kosworo tadi.
"Huh! Kalimat yang sering diucapkan oleh badutbadut kayak kalian sih aku sudah tahu!"
"Setan alas! Kau memang mencari mampus!"
"Sudah kukatakan tadi, si Mampus itu anak mana sih" Kok, kau getol amat menyebutkannya" Dia anakmu, ya?"
"Orang muda, kau berani-berani bercakap kurang ajar! Apakah kau sudah siap dijemput ajal?" Sebelum Andika berkata-kata, terdengar satu suara dari sebuah pohon, "Kang Andika... mengapa masih berlama-lama" Apakah kau akan membiarkan manusia itu lebih lama hidup" Bagaimana nasib adikku?" Andika mendongak, "Hehehe... ingat Wening, bukankah tadi kita berjanji, kalau tiga manusia jelek ini bagianku" Apakah kau sudi tanganmu yang mulus berbenturan dengan tangantangan kasar penuh penyakit"!" Kalau tadi kemarahan Ronggo Kosworo siap meledak, kali ini begitu melihat siapa yang berucap tadi, dia terbahakbahak.
"Cah Ayu... kau tahu saja kakangmu berada di sini. Ayo, turunlah... kita bisa bersenang-senang sekarang...." Bila menuruti kata hatinya, Wening sudah tak bisa mengendalikan diri lagi untuk menabok hancur mulut kurang ajar itu. Tetapi dia ingat akan janjinya pada Andika tadi sebelum Andika memutuskan menolong Rawung Menggolo.
Diam-diam gadis berbaju jingga itu kagum pada kecerdikan Pendekar Slebor. Kalaupun mereka bisa berada di tempat ini sekarang, itu se mua karena keenceran otak Pendekar Slebor. Setelah bertemu dengan Rawung Menggolo, Pendekar Slebor yang masih mempunyai sebuah tekateki di benaknya, memutuskan untuk mengikuti Rawung Menggolo. Semula Wening menolak usul Andika itu, tetapi dia teringat pula akan kecerdikan Pendekar Slebor yang bisa menebak kalau tiga orang berjubah hitam yang bertarung sebelumnya dengannya adalah Tiga Iblis Golok Setan.
Akhirnya, dia pun turun serta dengan Pendekar Slebor. Dan semuanya terbukti sekarang. Rawung Menggolo berhasil bertemu dengan Tiga Iblis Golok Setan. Saat itu, kemarahan Wening naik ke ubun-ubun mengingat kalau ketiga manusia itulah yang telah melarikan adiknya, tetapi Andika melarangnya untuk menurunkan tangan. Bahkan Andika memaksanya berjanji untuk tidak ikut campur dalam urusan ini. Bila Wening tidak mau menurut, Andika akan menahannya dan membiarkan ketiga lelaki berjubah hitam itu lolos.
Semua itu dilakukan Andika, sehubungan sebuah teka-teki yang belum terpecahkan di otaknya. Bahkan dia menangkap sesuatu yang mulai tergambar sebenarnya, mengingat bagai telah direncanakan pertemuan antara Rawung Menggolo dengan Tiga Iblis Golok Setan. Ini merupakan salah sebuah teka-teki baru yang muncul di benak Andika, dan menguatkan pikiran sebelumnya. Melihat wajah Wening membesi, Andika maju satu langkah, kini berjarak tiga tombak dengan tiga lelaki berjubah hitam itu.
"Wah, wah... mana mau dia dengan kau yang jelek begitu, Ronggo! Denganku yang lebih tampan kayak pangeran saja dia tidak mau! Pikir dong pakai otak, jangan pakai pantat!" Ronggo Kosworo alihkan pandangannya pada Andika kembali.
"Kurobek mulutmu, Orang Muda!"
"Yeee... kurobek nanti jubah jelekmu itu!" Tak kuasa menahan kemarahannya lebih lama, dikawal dengan teriakan dan angin menderu keras, tubuh Ronggo Kosworo sudah mencelat ke arah Andika. Tenaga dalamnya langsung dilipatgandakan. Dia ingin sekali jotos saja lawan sudah dibuat tak berdaya.
Tetapi dengan masih sempat-sempatnya berseloroh, Andika menghindar, "Wah! Benarbenar mau kujitak kepalamu, ya" Ayo sinikan kepalamu yang benjol itu!" Wusss! Serangan mematikan dari Ronggo Kosworo lewat di sisi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu. Namun tak urung dirasakan Andika, hawa panas yang menguar dari sisi tubuhnya. Luput serangan pertama, Ronggo Kosworo menyusulkan serangan kedua.
Kali ini Andika tak mau menghindar lagi.
Dia memutar tubuh dan memapaki serangan itu dengan pergelangan tangannya.
Plak! Benturan, kuat itu terjadi. Ronggo Kosworo langsung menarik pulang tangannya yang terasa mau patah, sementara Andika sendiri terlongohlongoh merasakan hebatnya tenaga dalam lawan.
"Luar biasa! Hanya dua tingkat di bawahku! Kalau dua temannya membantu bisa berabe!" Dan dugaan Andika jadi kenyataan. Jombrang yang sejak tadi hanya memperhatikan, langsung menderu. Menyusul Gonggo Sirat yang sudah pulih pandangannya.
"Yeee... main keroyok, nih?" Andika cepat membuang tubuh seraya mengirimkan serangan balasan melalui tangan kanan dan kiri.
Des! Des! Benturan itu kembali terjadi. Karena dua tenaga lawan menjadi satu, mau tak mau tubuh Andika terhuyung ke belakang menerima gempuran hebat itu. Ronggo Kosworo yang sudah memulihkan getaran pada tangannya, menderu pula.
Tiga gempuran dahsyat mengarah pada Andika. Lima jurus pun berlalu dan Andika hanya bisa menghindar tanpa mendapatkan celah untuk menyerang. Setiap kali dia bergerak, masingmasing lawannya yang datang, dari tiga penjuru langsung mengurung. Begitu terus menerus hingga sekarang Andika bagai anak ayam yang terperangkap terkaman musang.
Tetapi bukan Andika yang memiliki sejuta kecerdikan masih tak mampu meloloskan diri dari tiga sergapan beruntun itu. Mendadak saja dia menggebah dengan mengalirkan tenaga dalam pada suaranya. Gebahannya itu tak ubahnya salakan halilintar. Cukup membuat tiga lawannya terkejut, hingga pormasi mereka jadi merenggang.
Lalu dengan enaknya Andika bergulingan keluar dari kepungan itu.
"Nah! Kenapa kalian jadi pias begitu" Kagum dengan suaraku, ya?" selorohnya yang membuat ketiga lawannya berpandangan dan bagai dikomando langsung mengurung kembali.
Kali ini Andika tak mau lagi terperangkap pada tiga serangan susul menyusul itu. Begitu Ronggo Kosworo menyerang disusul dengan Gonggo Sirat dan Jombrang, Andika justru menghantam pada Jombrang yang menjadi terkejut melihatnya. Cepat lelaki pincang itu berguling dan bertepatan dengan itu, Andika menderu ke arah Ronggo Kosworo yang siap melancarkan serangan berikut. Lawannya terkejut pula dan menghindar, bersamaan dengan itu Gonggo Sirat yang menderu ke arah Andika pun mau tak mau bergulingan pula. Serangan yang dilakukan Andika merupakan rangkaian gerak susul-hindar yang dilakukan asal saja. Merupakan rangkaian kecerdikan yang dimiliki yang dapat melihat kelemahan serangan tiga lawannya. Dan begitulah yang dilakukannya terus menerus. Akan tetapi, tenaga 'inti petir' sekarang telah dirangkum di tangannya.
Hingga setiap kali dia menjotos, memukul, dan menghantam, suara bagai salakan petir terdengar.
Tiga lawannya kali ini menjadi kebingungan. Karena setiap kali mereka menyerang, Andika tak menghindar, justru menghantam serangan itu secara acak. Ini memusingkan sebenarnya.
"Bingung, kan" Bingung, kan" Bunuh diri saja kalau bingung!" seru Andika tertawa.
Ronggo Kosworo menggeram gusar.
"Merapat! Jangan beri kelonggaran lagi!" serunya dan seketika dua kambratnya mendekatinya. Bersamaan, dipadu, ketiganya menyerang.
Andika melenting, melompati ketiganya dan kakinya menendang keras.
Prak! "Waduh! Maaf nih!" serunya sambil melenting ke belakang.
Tulang iga bagian kanan Gonggo Sirat patah menyusul tubuhnya ambruk dengan lolongan tinggi. Bukan buatan gusarnya Ronggo Kosworo.
Dia berbalik dan siap menyerang, tetapi suara Jombrang menghentikan niatnya, "Tahan, Kakang!"
"Apa-apaan kau ini, hah?" bentak Ronggo Kosworo dengan mata melebar.
"Kakang... bukankah sebaiknya kita hentikan saja semua ini...."
"Demi iblis gentayangan! Apa maksudmu, Jombrang" Mengapa kau menjadi pengecut seperti itu, hah?"
"Tidak, Kakang... aku sama sekali tidak berubah. Hanya saja, perbuatan kita telah banyak menimbulkan dosa... kita...."
"Keparat! Kucabut nyawamu, Jombrang!" Tetapi Jombrang tetap berdiri, tak memperlihatkan ketakutannya. Sesuatu yang telah disadarinya semenjak dia jatuh hati pada Harti, telah melentingkan kesadarannya. Pada dasarnya Jombrang memang melakukan semua itu karena pelampiasan sedih atas meninggalnya Swasti, di samping itu dia juga merasa ngeri pada Ronggo Kosworo. Hanya saja sekarang, kesadarannya makin melambung dan menindih kengeriannya.
"Kakang... banyak sudah kita menurunkan tangan kejam. Tidak sadarkah Kakang kalau cukup lama kita mendekam di penjara" Apakah kita akan menghabiskan sisa hidup kita di...."
"Setan alas!!" Ronggo Kosworo sudah melepaskan tendangan kaki kanannya pada kepala Jombrang. Di luar dugaannya, Jombrang berkelit mundur.
"Kau"!" dengusnya terbelalak.
"Maafkan aku, Kakang... selama ini aku tak pernah membantah perintah Kakang. Tetapi kali ini... kita sudahilah semua perbuatan kita. Harta yang telah dikumpulkan, sangat banyak jumlahnya, Kakang. Apakah kita masih harus menurunkan tangan telengas dan membunuh orang?"
"Wah, wah! Jangan pada bertengkar sendiri dong! Aku masih sanggup bikin kepala kalian benjol, kok!" seru Andika yang membuat kemarahan Ronggo Kosworo pada Jombrang makin men- jadi-jadi.
"Bangsat berotak kerdil! Aku tahu, garagara perempuan sialan itu kau berubah, hah" Akan kubunuh perempuan itu!"
"Tidak!" seru Jombrang keras.
"Jangan Kakang lakukan hal itu pada Harti! Aku mencin- tainya!" Mendengar nama adiknya disebutkan, Wening menegakkan kepala. Seketika dia melompat turun, "Lelaki pincang hati busuk! Siapa yang kau maksudkan dengan Harti?" Jombrang menoleh pada Wening yang membuka kedua kaki agak lebar, tanda bersiaga.
"Gadis itu kuculik dari dusun Karimata bersama dua orang gadis lainnya. Dia...."
"Setan pincang! Kucabik-cabik tubuhmu!" geram Wening dan dengan kecepatan penuh dia menerjang ke arah Jombrang.
Tetapi sambaran tangan Andika membuat gadis itu mau tak mau menghentikan serangannya. Sekarang melolot gusar pada Andika.
"Apa-apaan ini" Lepaskan tanganku, Kang Andika!"
"Tenang, Wening...," kata Andika lembut.
"Aku menangkap sesuatu yang akan terjadi di antara mereka. Sekali-sekali jadi penonton kan tidak apa-apa" Lebih baik menunggu apa yang terjadi." Tetapi, mereka tak terlalu lama menunggu. Karena Ronggo Kosworo sudah meloloskan goloknya siap memenggal leher Jombrang. Bila saja si kaki pincang itu tak berkelit, kepalanya akan pisah selama-lamanya dari badan. Dan dengan gerakan yang tak kalah gesitnya, dia juga meloloskan goloknya. Pertarungan dua lelaki yang menjadi sahabat sebelumnya itu sangat sengit. Benturan golok yang terjadi menimbulkan suara keras dan me-mercikkan bunga api. Tetapi tiga jurus kemudian, Ronggo Kosworo berhasil memapas lengan kanan Jombrang hingga putus. Jeritan tak ubahnya lolongan serigala terdengar. Darah menyiprat, membasahi bumi.
"Itulah upah atas kepengecutanmu, Jombrang!" Gonggo Sirat yang berseru.
Dia tak mampu menggerakkan tubuhnya karena tulang iganya remuk.
"Kau...," desis Jombrang pada Ronggo Kosworo yang menyipitkan mata dengan tatapan dingin. Sakit tak tertahankan rasanya.
"Seluruh setan penghuni jagat ini... akan mengutuk perbuatan busukmu, Ronggo!"
"Manusia sundal bernyali tikus! Kau tak lebih dari seonggok sampah di selokan! Tanpamu, semuanya masih bisa kulakukan, Jombrang! Kubunuh gadis itu!" Sehabis berkata begitu, tubuh Ronggo Kosworo melesat meninggalkan tempat itu. Yang hadir disana tercekat, termasuk Pendekar Slebor.
Namun, Pendekar Slebor tak bermaksud mengejar karena menurutnya Jombrang membutuhkan pertolongan. Dengan cepat ditotoknya urat saraf pada bagian bawah lengan kanan Jombrang. Darah seketika berhenti mengalir. Lalu dibebatnya lengan yang buntung itu dengan jubah Jombrang yang disobeknya. Lalu dibaringkannya tubuh lelaki pincang itu hingga menatap ke atas.
"Jombrang... aku terpaksa tak menghentikan pertarungan itu tadi, karena kau harus mendapatkan ganjaran dari perbuatanmu selama ini," kata Andika. Jombrang mendesis pelan. Senyumannya pedih.
"Aku mengerti. Tolong... selamatkan gadis yang kucintai...," suaranya lirih, terputus-putus.
"Di mana gadis itu berada?"
"Lembah.... Tirai...," habis berkata begitu, lelaki pincang itu jatuh pingsan.
Andika mendesah. Lalu katanya pada Wening, "Tunggui lelaki ini! Jangan membantah! Urusan adikmu biar aku yang menyelesaikan! Dan kau Rawung... hei!" Andika terperanjat karena tak melihat Rawung Menggolo di sana.
"Busyet! Ke mana orang tua jelek itu?" Tetapi sesaat kemudian tak dihiraukannya.
Andika mendekati Gonggo Sirat yang kini diketahui telah tewas.
"Lelaki celaka ini memilih jalan membunuh diri dengan menggigit bibirnya sendiri. Hhh! Manusia-manusia tak punya otak!" geramnya jengkel. Lalu ditolehkan kepala pada Wening yang tengah menatapnya.
"Wening... aku harus secepatnya ke Lembah Tirai! Ingat pesanku itu!" Lalu tanpa menunggu jawaban Wening, Andika berkelebat cepat. Tinggal Wening yang mendumal panjang pendek. Dia ingin sekali menjumpai adiknya. Tetapi dia yakin, Andika pasti akan menyelamatkan adiknya.

****

«¤¤¤[ 10 ]¤¤¤»

Siang sudah menanjak ketika Ronggo Kosworo tiba di Lembah Tirai. Dengan kegeraman luar biasa mendapati tingkah konyol dari Jombrang, dia langsung menuju ke kamar di mana gadis yang diculik dan dicintai Jombrang berada.
Dia yakin, gara-gara gadis itulah Jombrang berubah pikiran. Disesalinya mengapa dia tidak memaksa Jombrang untuk membunuh gadis itu. Atau, dia sendiri yang melakukannya mengingat sekarang, Jombrang bersikap menghalangi sepak terjangnya. Akan dilampiaskan seluruh kekesalannya pada gadis itu.
Bagi Ronggo Kosworo, membunuh kawan sendiri bukanlah suatu hal yang menakutkan.
Malah, dia akan tertawa-tawa melakukannya.
Hanya saja, dalam keadaan kritis Jombrang berubah arah. Apalagi mengingat keadaan Gonggo Sirat sekarang. Hatinya makin lebur dalam kemarahan. Brak! Pintu langsung jebol ditendang keras.
Harti yang tengah terkulai dengan tubuh lemas hanya menatap tak bergairah pada lelaki yang tengah gusar itu. Sepanjang malam dia menangis. Dan kini, gadis malang itu merasa tak ada gunanya untuk hidup lagi.
Ronggo Kosworo langsung menjambak rambut gadis itu mencengkeramnya kuat-kuat.
Tak ada suara kesakitan, tak ada wajah ketakutan. Yang terlihat di wajah Harti hanya sebuah kebekuan belaka. Bahkan gadis itu seperti tak merasakan apa yang dialaminya ini.
Plak! Kasar Ronggo Kosworo menamparnya. Kepala Harti bergoyang. Bibirnya pecah, mengeluarkan darah. Tubuhnya ambruk di tempat tidur.
"Gadis busuk! Gara-gara kaulah lelaki pincang celaka itu membelot dariku!" makinya gusar dan kembali menamparnya. Tetapi Harti jelas-jelas sudah kehilangan jati dirinya. Penderitaan yang dialaminya tak kuat ditahannya. Membuat seluruh pikiran sehat di otak gadis itu menguap entah ke mana. Menyadari gadis itu sudah berubah menjadi dungu, keberingasan Ronggo Kosworo makin menjadi-jadi. Dengan gusarnya dipukulinya sekujur tubuh gadis itu. Tetapi lagi-lagi Harti bagai tak merasakannya sama sekali.
Kecuali tubuhnya sesekali menggeliat setiap kali pukulan lelaki bercodet itu mampir di tubuhnya.
"Gadis keparat!" geram Ronggo Kosworo.
Dia ingin sekali mendengar jeritan kesakitan dan lolongan minta ampun dari mulut gadis itu. Apa yang dilihatnya sekarang, justru membuatnya bertambah gusar. Dicabut goloknya dan diacung-acungkannya di depan Harti.
"Kau lihat ini, Gadis Pelacur"! Kepalamu akan kupenggal dan tubuhmu akan kucacah!" suaranya keras, seolah hendak meruntuhkan atap di kamar itu.
Gadis itu tetap terdiam dalam keadaan lemah dan terkulai. Tatapannya makin kosong. Kalaupun terdengar suaranya, hanya tawa kecil yang seakan mengejek.
Gusar Ronggo Kosworo siap mengayunkan goloknya.
"Heaaa!" Akan tetapi...
Trak! Sebatang ranting meluncur menghalangi goloknya yang siap membelah kepala Harti. Geram lelaki berwajah codet itu menoleh. Dilihatnya Rawung Menggolo telah berdiri di ambang pintu dengan tatapan menyipit! "Orang tua mau cari mampus" Berani benar kau memberikan nyawamu ke sini!" bentak Ronggo Kosworo dengan kegeraman berantai. Rawung Menggolo menyeringai dingin.
"Aku datang justru ingin mencabut nyawamu, Manusia Laknat! Kini tiba saatnya kau mampus!"
"Setan!" dengan bengis Ronggo Kosworo melompat, mengalihkan serangannya pada lelaki tua yang berdiri di hadapannya. Goloknya sudah diayunkan. Sebelum golok lawan mengenai sasarannya, Rawung Menggolo cepat melompat keluar.
"Tempat ini terlalu kecil untuk bersenangsenang! Kulayani kau di luar!"
"Keparaaattt!" Ronggo Kosworo langsung melenting ke muka dengan kegeraman yang makin menjadi-jadi. Berdiri tegak dengan sepasang mata terbuka lebar tak berkedip menatap Rawung Menggolo yang berdiri dalam jarak dua tombak di hadapannya.
"Kucincang tubuhmu, Orang Tua!"
"Nyawamu yang akan kukirim ke neraka sebagai pengganti nyawa Sumirah dan Dali Gunarso!" seru Rawung Menggolo gagah. Tatapannya pun tak kalah sengit dalam kesiagaan besar. Namun tak urung dadanya berdebar pula. Ada sesuatu yang membuatnya menjadi kecut, namun diusahakan agar tak diperlihatkan.
"Ingin kulihat apa kau bisa membuktikan bacotmu itu!" tak mau membuang tempo, Ronggo Kosworo sudah menderu laksana angin. Goloknya mengibas dengan kecepatan tinggi.
Wuuut! Wuttt! Rawung Menggolo kelihatan tersentak mendapati serangan golok yang bersambungan, bagai mematikan ruang geraknya. Tetapi orang tua yang sarat dengan kemarahan di dada, cepat menyambar sebatang kayu di dekatnya. Dengan kayu sebagai alat pertahanan, dia berhasil mengimbangi cecaran golok Ronggo Kosworo.
Hanya sesaat, karena golok di tangan lawan sudah memapas buntung batang kayu yang dipegangnya. Crak! Bila lelaki tua itu tidak buru-buru mundur, tak mustahil kepalanya akan tercacak pula.
"Gila! Dengan tangan kosong saja aku belum tentu berhasil mengalahkannya, apalagi sekarang manusia laknat itu mempergunakan golok!" dengus Rawung Menggolo dengan wajah pias. Dan kembali harus menghindari cecaran golok yang datang beruntun itu. Baju putih kusamnya tercacak, menyerempet kulitnya yang terasa perih. Melihat goresan di bagian dada lawan, Ronggo Kosworo semakin beringas.
Bertubi-tubi goloknya diayunkan.
Wuuut! Wuuuttt! Dan semakin tunggang-langgang lelaki tua itu dibuatnya. Celana di bagian paha kanannya kembali tergores, kali ini bukan hanya menggores kulitnya pula, bahkan daging di pahanya tercacah.
"Aaakhhh!!" Lelaki tua itu jatuh terduduk. Darah mengalir dari pahanya yang terluka.
"Mampuslah kau, Orang Tua hinaaa!" teriakan mengguntur mengudara, menyusul kilatan golok terterpa sinar matahari mengarah pada kepala Rawung Menggolo.
Rawung Menggolo seakan tak mampu lagi menahan gempuran mematikan itu. Namun, satu bentakan keras mengurungkan niat Ronggo Kosworo.
"Tahaaannn!" Satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam dengan wajah diselubungi kain hitam muncul di sana. Di punggung lelaki yang tak kelihatan wajahnya terdapat sebilah pedang.
"Tuan!" seruan Ronggo Kosworo terdengar dan orangnya sudah menjatuhkan diri.
Sementara Rawung Menggolo menoleh dengan kening berkerut menatap sosok hitam-hitam yang baru datang yang berdiri tegak dengan melipat kedua tangannya.
"Mana keris pusaka Gagak Biru, Ronggo?" suara berat dan dingin terdengar.
"Oh! Ada, Tuan... ada...."
"Ambil cepat!" Kalau tadi Ronggo Kosworo berada dalam kemarahan dan kekejamannya, nampak sekali sekarang dia ketakutan menghadapi lelaki yang baru datang ini. Terburu-buru dia masuk kembali ke dalam bangunan besar itu menuju ke kamarnya. Salah satu tegel yang ada di kamar itu di bagian sudut kiri, dibukanya.
Diambilnya satu bungkusan kain kusam di bawahnya. Bergegas dia kembali lagi ke depan.
Membungkuk dia memberikan bungkusan itu pada lelaki bertopeng hitam yang mengambilnya. Sementara Ronggo Kosworo mundur lima tindak, lelaki bertopeng hitam itu membuka bungkusan. Dan terdengar tawanya yang keras.
Di tangannya terdapat sebuah keris yang luar biasa bagusnya. Ketika ditarik, cahaya biru berpendar menyilaukan mata.
"Hahaha... dengan keris pusaka ini, aku akan menuju ke kerajaan. Dan tentunya, tak lama lagi aku akan menguasai Kadipaten Harum Raksa!" Lelaki bertopeng hitam memasukkan lagi keris pusaka Gagak Biru ke warangkanya. Lalu berkata pada Ronggo, "Di mana Gonggo Sirat dan Jombrang?"
"Maaf, Tuan.... Gonggo Sirat terluka, sementara Jombrang telah mampus."
"Gila! Apa yang terjadi?" bentak lelaki bertopeng hitam. Dari balik topengnya, kedua matanya memancarkan kegusaran tinggi.
Ronggo Kosworo bagai menemukan satu tempat mengadu. Diceritakan apa yang terjadi.
"Setan alas! Pendekar Slebor! Ingin kuketahui apakah dia mampu menghadapi kesaktian keris pusaka ini!" geram lelaki bertopeng hitam.
Tiba-tiba dia meloncat dan keris Gagak Biru di tangannya ditusukkan pada sebatang pohon.
Clep! Pohon yang tertusuk oleh keris Gagak Biru, mendadak saja bergetar. Ketika dicabut keris itu, mendadak pohon yang tadinya segar kini melayu.
Daun-daunnya berguguran. Dalam waktu singkat rontok seluruhnya.
Bukan hanya Ronggo Kosworo yang terperanjat, Rawung Menggolo pun menjadi pucat. Sesuatu yang makin dirasakan mengerikan, semakin kuat mengikat tubuhnya.
Sementara lelaki bertopeng hitam itu memasukkan lagi keris pusaka Gagak Biru ke warangkanya kembali. Tawanya mengumandang keras.
"Luar biasa! Sekian lama aku mendambakan keris pusaka ini dan sekarang telah berada di tanganku! Kau menjaganya dengan baik, Ronggo!" Ronggo Kosworo tersenyum.
"Karena, Tuanlah yang membebaskan aku dan kedua temanku dari penjara kadipaten!"
"Rasa terima kasihmu kuterima. Masa hukumanmu seharusnya masih lima tahun lagi, Ronggo!"
"Aku mengerti, Tuan."
"Mata jeliku tak sia-sia melihat kau dan kedua temanmu akan menjadi kaki tanganku untuk mencapai apa yang selama ini kucita-citakan! Sudahkah kau mengumpulkan harta yang kuminta?"
"Ya, ya... Tuan, jumlahnya sangat banyak sekali."
"Bagus! Dengan harta itu aku akan mengumpulkan para pemuda untuk menjadi para prajurit. Bila Raja tidak menerima keinginanku untuk menjadi adipati di Kadipaten Harum Raksa, dengan pemuda-pemuda yang kubujuk menjadi prajurit itu akan kubawa untuk melakukan aksi pemberontakan."
"Rencana yang sempurna, Tuan...," kata Ronggo Kosworo semakin menjilat, Sementara Rawung Menggolo makin merasa getaran kematian yang mengikat dirinya.
Dan dia melangkah ketika mendengar bentakan keras dari lelaki bertopeng hitam itu pada Ronggo Kosworo, "Habisi lelaki tua hina itu!"
"Pencuri kurang ajar! Rupanya engkaulah yang melakukan tindakan busuk di dalam kadipaten!" terdengar seruan itu sebelum Ronggo Kosworo melakukan perintah yang sangat menye-nangkannya. Serentak yang berada di sana menoleh. Dan melihat satu sosok tubuh berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang melilit di lehernya, sedang duduk menguncang kaki di sebuah ranting pohon, di bibirnya tergigit sebatang alang-alang.
"Ayo lepas selubung kepala jelekmu itu! Aku ingin lihat tampang kayak monyetkah yang ada di balik selubung itu"! Atau, genderuwo kesiangan yang lagi menyamar?" Menggigil tubuh lelaki bertopeng hitam mendengar kata-kata itu. Lebih menggigil lagi sarat dengan kemarahan ketika melihat siapa yang berada di ranting pohon itu.
"Sejak kemunculanmu ke Kadipaten Harum Raksa, aku tahu kau akan menjadi duri dari segala cita-citaku ini, Pendekar Slebor!" Andika menyeringai. Membuang alangalang yang diisapnya.
"Pahit!" desisnya lalu meng-garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu seperti berkata pada alang-alang yang barusan dibuangnya dia berkata tak acuh, "Ada orang bodoh yang mengatakan aku ini duri! Padahalkan rum-put ya... hahaha!" Sikapnya yang tak acuh itu diartikan mengejek oleh lelaki bertopeng hitam. Di balik topeng, wajah lelaki itu memerah.
Darahnya mendidih.
"Setan keparat!" geramnya tinggi.
Andika mengangkat kepalanya. Lalu seperti orang dungu pemuda urakan itu celingukan dan seolah tak menemukan apa yang dicarinya, dia kembali menatap pada lelaki bertopeng hitam yang sedang menatapnya marah.
"Siapa sih yang kau maksudkan dengan setan keparat" Jangan-jangan, kau memelihara setan, ya" Pantas, perbuatan mencuri itu cuma dilakukan oleh setan belaka!" Ronggo Kosworo yang merasa bisa mengambil perhatian lelaki bertopeng hitam itu, melompat lima tindak ke muka. Tatapannya dingin mengarah pada Andika yang masih bersikap santai.
"Pemuda yang selalu ingin mencampuri urusan orang lain! Lembah Tirai akan menjadi kuburanmu, Pendekar Slebor!"
"Nah! Bagus itu! Jadinya aku tidak merepotkan orang lain, bukan" Tetapi, aku masih doyan makan nasi kebuli! Bagaimana bila kau dulu yang mampus" Dan nasi kebuli yang siap kau makan buatku?" Gerengan keras dan kemarahan yang siap tumpah tak bisa dibendung lagi. Dengan mempergunakan kekuatan kedua kakinya, lelaki bercodet itu menderu ke arah Pendekar Slebor.
Golok tajamnya diayunkan.
Wuuuttt! Crak! Ranting yang diduduki Andika terpapas menjadi dua. Tetapi, pemuda yang mendudukinya tak ada di tempat. Geram Ronggo Kosworo menginjakkan kedua kakinya lagi di tanah. Dia celingukan seperti anak ayam kehilangan induk mencari Andika. Tahu-tahu dirasakan bahunya ditepuk seseorang dari belakang. Cepat dia menoleh dan....
Tak! Jidatnya dijitak oleh orang yang menepuk bahunya tadi, yang tak lain Pendekar Slebor.
"Kena deh!" seringai Pendekar Slebor.
Jitakan yang dilakukan itu bukan jitakan sembarangan. Tetapi jitakan penuh tenaga. Maka tak urung lelaki bercodet itu kelojotan dan jidatnya menonjol seperti telur sambil memegang jidat nonongnya.
"Nah! Aku masih baik kan" Coba kalau aku jahat! Telur di jidatmu ada tiga biji! Dan kalau aku jahat lagi, kantong menyanmu yang akan ku-bikin jadi besar!" Sementara Ronggo Kosworo menjerit kesakitan dan Rawung Menggolo hanya memperhatikan dengan tegang, lelaki bertopeng hitam sudah maju tiga tindak. Bola mata di balik topeng hitamnya membesar.
"Kuperingatkan kepadamu, Pendekar Slebor! Jangan campuri urusan ini bila tidak ingin mampus!" suaranya dingin, penuh hawa kematian.
"Campur telur bebek atau telur ayam, nih?" seloroh pemuda urakan masih bersikap santai.
Bahkan dengan santainya, dia menyatukan dua tangannya ke belakang dan melangkah dua tindak. Sikap berdirinya agak doyong.
"Kau membuka jalan kematianmu sendiri, Pendekar Slebor!" bentak lelaki bertopeng hitam sengit.
"Nah, lewat kanan atau kiri" Atau... kau sendiri yang telah tahu jalan kematianmu itu" Lelaki jelek, lebih baik ikut aku ke kadipaten untuk diadili karena perbuatan busukmu itu! Mana pantas sih, lelaki busuk seperti kau menjadi adipati.
Ini kan lucu" Mengalahkan badut-badut di kotapraja!"
"Setan keparat! Terimalah kematianmu, Pendekar Slebor!" dikawal angin keras, tubuh lelaki bertopeng hitam sudah meluncur. Pedang di punggungnya sudah diloloskan.

****

«¤¤¤[ 11 ]¤¤¤»

Mendapati serangan berkekuatan tinggi, pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu memiringkan tubuhnya. Dan ketika dia hendak susulkan satu jotosan, pedang di tangan lawan menekuk dan menusuk dari bawah.
"Wiiihhh!! Hebat juga kau, Jelek!" dengusnya sambil melenting ke belakang.
"Kenapa tidak jadi penggembala kambing saja, sih?" Tetapi lawan tak mau menghentikan serangannya. Lelaki bertopeng hitam itu pun sadar kalau lawan bukanlah orang sembarangan. Jurus 'Pedang Membelah Langit' segera dipergunakan.
Mengarah pada bagian-bagian yang mematikan.
Setiap kali pedang dikibaskan, suara angin bergemuruh terdengar hebat.
Sesaat Andika pun kehilangan bentuk penyerangannya. Yang dilakukan hanyalah berusaha menghindar dari setiap sabetan pedang. Setelah beberapa kali hal itu terjadi, otaknya yang encer bisa menangkap kelemahan jurus pedang yang dimainkan lawan.
Berulang kali pedang lawan selalu mengarah pada bagian-bagian yang mematikan. Bahkan tangan dan kaki Andika seolah tak diinginkan sebagai sasaran. Selain itu, setiap kali lawan menyerang, Andika melihat bagian kanan di mana lawan memegang pedangnyalah sebagai bagian terlemah. Berpikir begitu, ketika lelaki bertopeng hitam itu mengarahkan pedang ke arah tenggorokan, Andika tidak lagi menghindar seperti tadi.
Tetapi seakan membiarkan saja lehernya menjadi sasaran senjata lawan.
Hal itu membuat lawan makin bernafsu.
Namun ketika beberapa centi saja pedangnya siap menusuk lehernya, Andika cepat memiringkan kepalanya ke kanan dan tangan kanannya bergerak. Bukan memukul bagian kiri lawan yang terbuka, melainkan menghantam pangkal lengan lawan bagian kanan! Buk! Aliran darah di tangan lelaki bertopeng hitam itu bagai membeku. Tak sadar dia mengeluarkan seruan kecil, bersamaan tubuhnya yang terhuyung ke belakang. Kalau Andika ingin segera menghabisinya, dengan satu gebrakan lawan pasti sudah meregang nyawa.
Tetapi, jeritan yang terdengar tadi, meskipun hanya sebentar, telah menggugah satu pikiran lain di otaknya yang encer. Andika merasa mengenali suara itu. Kalau sejak semula, lelaki bertopeng hitam bersuara berat, namun jeritannya yang tak sengaja tadi telah menunjukkan suara aslinya. Berarti, suara berat itu bukan suara aslinya! Namun belum lagi Andika berhasil mengenali siapa pemilik suara itu, Ronggo Kosworo yang kini di jidatnya ada sebuah benjolan, menyerang dengan goloknya.
Wuuuttt! "Fuih!" dengus Andika dan sekali memutar tubuh, kakinya sudah mendarat telak di kepala lelaki bercodet itu. Terhuyung dan hilang keseimbangan, lelaki bercodet itu ambruk jatuh pingsan.
"Tuh akibatnya kalau berani membokong!"
"Heaaa!" seruan keras itu membahana, bersamaan lelaki bertopeng hitam sudah menyerang lagi, memupuskan pikiran Andika kembali.
Namun kali ini, Andika yang telah berhasil memecahkan kelemahan jurus lawan tanpa banyak kesulitan kembali menggedor tangan kanan lawan. Kali ini rasa linu menjalari tubuh lelaki bertopeng hitam.
Dia segera mundur dan buru-buru mengalirkan tenaga dalamnya, menghentikan linu yang tak terkira.
"Kini terbuka mataku tentang siapa kau sebenarnya, Pendekar Slebor! Tetapi, bersiaplah menerima kematian!!" sehabis berkata begitu, lelaki bertopeng hitam membuang pedangnya dan mencabut keris pusaka Gagak Biru yang tadi diselipkan di pinggangnya.
Andika yang sebelumnya sempat melihat cahaya biru menyilaukan keluar dari keris pusaka itu, diam-diam mengaguminya. Sebenarnya ketika Ronggo Kosworo tadi hendak menghabisi Rawung Menggolo yang terduduk tak berdaya, Andika sudah tiba di sana. Ketika dia hendak menolong lelaki tua yang lemah itu, mendadak sudut matanya menangkap kelebatan bayangan hitam ke arah keduanya. Segera Andika mengurungkan niatnya ketika mendengar orang yang muncul itu berteriak menahan serangan Ronggo Kosworo pada Rawung Menggolo. Dan kini disadarinya kalau lenyapnya Rawung Menggolo dikarenakan lelaki tua itu mengikuti ke mana perginya Ronggo Kosworo. Di hati Andika, teka-teki yang membentang di kepalanya makin membesar.
Hanya sekarang, siapakah lelaki bertopeng hitam itu"
"Tak pantas lelaki hina semacam kau memegang keris pusaka itu!" serunya dengan tatapan menyipit. Kali ini kemarahan mulai menjalari hatinya.
"Bukan hanya manusia yang akan mengutuk perbuatan busuk itu, alam pun akan marah padamu!" Lelaki bertopeng hitam terbahak-bahak.
"Peduli setan dengan ucapanmu! Kau beruntung, Pendekar Slebor. Karena begitu pertama kali melihat pusaka ini, kau sudah akan merasakan kehebatannya."
"Omonganmu cukup mengedarkan sapi ompong! Sayangnya aku bukan sapi dan tidak ompong!"
"Laknat! Lihat serangan!" Usai berkata begitu, tubuh lelaki bertopeng hitam sudah menderu. Dalam jarak tiga tombak, Andika sudah merasakan hawa panas menderu ke arahnya. Rasa panas yang menjalar itu, mendadak bagai membuat sekujur tubuhnya terbakar ketika keris pusaka Gagak Biru mengibas ke arahnya. Cepat dia bergulingan dan merasakan bulu kuduknya meremang. Belum lagi dia tegak berdiri, serangan berikutnya menyusul. Hawa panas yang luar biasa menyambar-nyambar mengerikan. Dirasakan oleh Andika kalau saat ini matahari begitu dekat dengan ubun-ubunnya.
"Monyet pitak! Bagaimana caraku untuk menerobos serangannya" Bila aku mencoba mendekat, panas yang menjalar itu terasa membakar tubuhku. Sulit bagiku untuk menahannya. Bila aku terus menerus berlompatan kayak monyet kebakar buntutnya, bisa-bisa tenagaku yang terkuras. Apakah bila kualirkan tenaga 'Inti Petir' di sekujur tubuhku, panas itu bisa dikalahkan?" Memikir sampai di situ, masih dalam keadaan bersalto, Andika mengalirkan tenaga 'Inti Petir'. Tenaga yang mengalir setelah dia memakan buah 'Inti Petir'. (Untuk mengetahui hal itu, silakan baca episode pertama dari serial Pendekar Slebor: "Lembah Kutukan") Bertepatan dengan itu lawan sedang meluruk ke arahnya. Pancaran panas dari keris pusaka Gagak Biru, membuat Andika tercekat. Lebih kaget lagi menyadari aliran panas dalam tubuhnya menjadi kacau. Seketika Andika melompat menjauh seraya menurunkan tenaga 'Inti Petir'.
"Kura-kura bau! Keris itu benar-benar senjata yang ampuh! Panas pengaruh tenaga 'Inti Petir' justru merupakan satu paduan yang kontras! Bisa-bisa aku yang terbakar!" Kembali sambil menghindari serbuan beruntun itu, Andika memikirkan cara untuk meloloskan diri sekaligus membalas. Mendadak dia berteriak keras dan memutar tubuh, bersamaan dengan itu, suara dengungan laksana ribuan tawon marah menggemuruh.
Wusss! Lelaki bertopeng hitam tercekat. Cepat dia melompat bila tak mau tersambar kain bercorak catur yang telah dikebutkan Andika. Wajah di balik selubung hitam itu pias. Namun tak mengurangi niatnya untuk menghabisi Pendekar Slebor.
Akan tetapi, dalam sekali gebrak saja, Andika tahu kalau kekuatan kain pusaka warisan Ki Saptacakra yang merupakan sebuah senjata sakti mengerikan, mampu mengimbangi keris pusaka Gagak Biru. Makanya, ketika lawan menyerbunya kembali, dengan pencalan satu kaki Andika pun meluruk seraya mengibaskan kain bercorak caturnya lagi. Ngngng!! Dengungan dahsyat membedah Lembah Tirai, dedaunan berguguran. Tubuh lelaki bertopeng hitam terdorong dua tombak terkena sambaran angin kain bercorak catur. Tubuhnya gemetar. Namun kemarahannya makin meninggi.
Andika yang sekarang menemukan bentuk penyerangannya, tak mau bertindak ayal. Yang terpenting sekarang, keris pusaka Gagak Biru harus berpindah tangan.
"Maaf, ya" Aku menyerang nih!" Dengan satu sentakan kuat, dikibaskan kembali kain bercorak catur di saat lawan tengah berdiri dengan gamang. Di saat lawan menghindar, dengan satu totokan tajam, Andika menotok pangkal lengan kanan lawan. Keris yang dipegangnya jatuh. Cepat Andika menyambarnya dan berdiri mundur tiga tombak.
Ditatap penuh kekaguman keris di tangannya.
"Bukan main! Senjata pusaka di tangan manusia biadab ini akan banyak menimbulkan korban. Dan keris ini salah satu tanda seseorang menguasai Kadipaten Harum Raksa," batinnya.
"Pemuda lancang! Kembalikan keris itu kepadaku!" bentakan itu terdengar, tidak lagi bersuara berat.
Andika mengerutkan keningnya. Kali ini dia yakin, mengenali orang di balik topeng itu. Ketika lawan menyerang, dia bergerak cepat. Memapaki dua jotosan sekaligus, melenting ke atas tangan-tangannya menyambar selubung hitam di wajah lawan. Sebelum dia hinggap di tanah, seruannya terdengar, "Panglima Darta Sena keparat! Seluruh permainanmu telah usai!" Orang dibalik selubung hitam itu tergagap, menoleh dengan kemarahan tinggi.
Andika berbalik, "Tepat dugaanku."
"Setan alas! Kucincang tubuhmu!" dalam keadaan kalap, orang di balik selubung hitam yang ternyata Panglima Darta Sena menerjang dengan kekuatan tinggi.
Namun kali ini Andika tak bertindak ayal.
Disongsongnya serangan itu dan dihantamnya dada Panglima Darta Sena yang terhuyung ke belakang. Muntah darah sambil mendekap dadanya kuat-kuat.
"Teka-teki telah terbuka sekarang," desis Andika.
"Panglima... dari kata-katamu sebelumnya pada Ronggo Kosworo tadi aku yakin, kalau engkaulah yang telah membujuk Adipati untuk membebaskan mereka. Dikarenakan kau mempunyai rencana lain di balik semua ini. Kau yang memiliki kunci ruang simpan dalam Kadipaten Harum Raksa, tak sulit untuk masuk ke sana.
Dan mengambil keris pusaka Gagak Biru yang kemudian kau serahkan pada Tiga Iblis Golok Setan yang tentunya menurut perintahmu karena mereka berhutang budi padamu!" Panglima Darta Sena meringis. Sesungguhnya, kedatangannya ke Lembah Tirai selain untuk meminta keris pusaka Gagak Biru yang dititipkan pada Tiga Iblis Golok Setan, juga untuk mengambil harta jarahan tiga manusia laknat itu.
Yang tak disangkanya, dia justru bertemu dengan Pendekar Slebor.
"Andika... topeng telah terbuka, jalan makin membara. Kuakui, semua ini memang rencanaku. Aku bosan menjadi panglima terus menerus. Hingga kuputuskan untuk merencanakan semua ini. Kubujuk Adipati untuk melepaskan tiga bajingan tengik itu. Dengan kunci yang kumiliki, kucuri pusaka Gagak Biru. Rencanaku selanjutnya, membiarkan Tiga Iblis Golok Setan menjarah penduduk, sesuai dengan keinginanku. Harta telah terkumpul, dan siap untuk menghadap Raja dan melakukan pemberontakan pada Kadipaten Harum Raksa."
"Dan aku yakin, engkaulah yang mengatakan kepada tiga begundal itu di mana Gamang Markuto bersembunyi."
"Kau tak salah, Andika. Otakmu sangat cerdik. Aku yakin, ketiganya sangat mendendam pada Gamang Markuto. Biarlah mereka yang membunuh lelaki itu. Sementara aku tetap bersikap sebagai seorang panglima, yang memerintahkan untuk menjaga keselamatan kadipaten dan menangkap kembali Tiga Iblis Golok Setan."
"Pantas tak ada yang berhasil menemukan di mana manusia-manusia itu berada. Tentunya, kau telah menyesatkan langkah anak buahmu sendiri. Sekarang aku yakin, mengapa kau mengatakan tentang hilangnya keris pusaka Gagak Biru kepadaku. Karena, kau ingin menutupi belangmu, sehingga sepak terjangmu tak akan ketahuan siapa pun juga."
"Dan kau sangat cerdik berhasil memecahkan semua ini. Selamat tinggal, Pendekar Slebor!" dengan gerak cepat, Panglima Darta Sena menyambar pedangnya yang dibuangnya tadi. Lalu ditusukkan ke dadanya.
Andika tercekat, tetapi dia telah terlambat.
"Sayang sekali... kau dibutakan oleh kekuasaan, Panglima." Keheningan melanda tempat itu. Burungburung elang meneriakkan suara mengerikan di angkasa. Keheningan dipecahkan oleh suara Rawung Menggolo, "Terima kasih atas bantuanmu, Andi-ka. Bila kau tidak muncul, nyawa tuaku akan me- layang...." Andika cuma tersenyum.
"Mengapa harus berpura-pura lagi, Gamang Markuto?" Lelaki tua itu melengak. Tetapi detik kemudian dia menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.
"Yah, kau sangat cerdik, Andika...," terdengar suara itu, lebih rendah dari suara Rawung Menggolo. Lalu tangan kanan lelaki tua itu mengusap wajahnya. Ketika tangannya diturunkan, nampaklah wajah Gamang Markuto! "Banyak sekali teka-teki yang kuhadapi saat ini," batin Andika.
"Dendammu sudah terba-las, Gamang Markuto. Meskipun aku tak menyu- kai dendammu itu, namun semuanya telah terjadi."
"Bagaimana kau bisa menebak semua ini, Andika?" Andika tersenyum.
"Pertanyaan mudah. Pertama, aku mendengar satu keanehan dari cerita Panglima Darta Sena ketika aku datang ke kadipaten dan masih menyangkanya orang baik-baik. Menurut Panglima, setiap kali mereka mendatangi kediamanmu, selalu tak menjumpai kau, istri, dan anakmu. Keherananku makin berlanjut ketika kusadari tak satu rumah pun berada di sana. Tak seorang pun mendiami tempat itu kecuali kau, istri, dan anakmu. Kedua, pertama kali bertemu denganmu sebagai Rawung Menggolo kau mengatakan tempat tinggalmu membutuhkan dua kali penanakan nasi dari Bukit Teduh. Bagaimana bisa Gamang Markuto mengatakan semua itu bila tiba-tiba dilihatnya prajurit kadipaten datang" Ketiga, kau dengan mudahnya bisa tahu tempat pelacuran di mana Tiga Iblis Golok Setan datang. Dan bagai direncanakan kau bisa bertemu mereka. Kesimpulanku, kau memang tahu tempat itu, karena kau sendiri sering datang ke sana." Gamang Markuto mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Heran aku jadinya! Apa yang menyebabkan kau menyamar seperti itu, sih" Tidak usah menyamar wajahmu juga sudah jelek!"
"Karena aku tahu, kau pasti akan menghalangi niatku untuk membalas dendam."
"Dari mana kau pelajari cara menyamar itu?"
"Kebisaan yang kudapatkan begitu saja.
Karena, sebelum aku menikah aku menjadi seorang buronan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Lalu kucoba untuk menyamar dan berhasil mengelabui orang-orang, hingga kebisaan ini pun melekat padaku."
"Di mana kau sembunyikan anak dan istrimu bila prajurit kadipaten datang dan kau menyamar sebagai Rawung Menggolo" Tentunya kau tidak menelan mereka dalam perutmu kemudian kau muntahkan lagi, kan?"
"Di kamarku, telah kugali sebuah lubang besar yang kututupi dengan kayu-kayu. Di sanalah kusembunyikan anak dan istriku yang sekarang telah tiada...." Andika mendesah pendek.
"Gamang... semuanya sudah selesai. Lebih baik, kau ikut aku ke kadipaten. Katakan, kaulah yang menangkap begundalbegundal ini sekaligus menemukan jejak siapa pencuri keris pusaka Gagak Biru. Mudah-mudahan... Adipati mau mengampuni segala kesalahanmu...." Gamang Markuto tak menjawab. Namun, perasaannya membenarkan kata-kata Andika.
Perlahan-lahan dianggukkan kepalanya.
Andika teringat akan adik Wening. Cepat dia berkelebat ke dalam dan melihat seorang gadis tengah pingsan. Rupanya, meskipun tak merasakan sakit akibat pukulan Ronggo Kosworo, Harti tak kuasa juga bertahan.
Diperiksanya tubuh gadis malang itu. Setelah dialirkan tenaga dalam dan diberi pil penghilang rasa sakit, Andika membopong tubuh Panglima Darta Sena.
Bersama Gamang Markuto yang membopong tubuh pingsan Ronggo Kosworo, Andika berkelebat untuk menjumpai Wening. Untuk selanjutnya menyerahkan begundal-begundal itu pada Adipati Gaung Surya.
Hanya sesuatu yang pedih mengaliri perasaannya. Dibayangkan bagaimana sikap Wening nanti bila mengetahui keadaan adiknya.
"Ah... mudah-mudahan gadis itu tabah menerimanya."

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Segera terbit!!
Serial Pendekat Slebor dalam episode:
GOA TERKUTUK


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Pulau Seribu Setan --oo0oo-- Goa Terkutuk


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.