Life is journey not a destinantion ...

Alengka Bersimbah Darah

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Iblis-Iblis Sumur Tua --oo0oo-- Dendam Jasad Dedemit



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: ALENGKA BERSIMBAH DARAH

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


««::|{ 1 }|::»»

Gerombolan yang terdiri dari enam orang itu berjalan mengendap-endap. Kadang-kadang mereka berlari dengan cepat di antara pohon-pohon hutan. Lagipula mereka juga seperti telah mengetahui keadaan hutan ini dan letak setiap pohon yang tumbuh di sana. Buktinya, masing-masing mereka telah tahu kapan harus mengendap-endap dan kapan harus melesat ke balik pohon. Bahkan setiap mereka bergerak seperti telah mengerti giliran siapakah yang harus maju ke balik setiap pohon di depannya di sisi jalan sempit yang membelah hutan itu. Formasi gerakan-gerakan mereka telah terlatih. Meski berlari atau berjalan mengendap-endap, tidak satu pun ranting atau daun kering yang banyak berserakan di tanah berderik terinjak kaki mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik.
Pakaian mereka macam-macam. Pandangan mata mereka tajam memperhatikan sesosok tubuh yang badannya cuma berselempang sebuah kain gelap kasar.
Sebuah golok terselip di ikat pinggang lebarnya, yang juga mengikat celana panjang hitamnya. Kepalanya dililit kain sejenis dengan selempangnya hingga mirip sorban. Sosok itu berjalan tenang sekali, sebagaimana tenangnya suasana hutan.
la seolah-olah tidak menyadari sedang dibuntuti.
Namun sebenarnya tidak demikian. Walaupun tidak ada ranting atau daun kering yang berderik, kibasan angin dari tubuh-tubuh yang berkelebat semakin mendekati dapat tertangkap telinganya. Ketika tiga orang dari mereka telah berada di balik pohon-pohon di depannya pun ia tahu. Tapi tidak sedikit pun ia mengubah kecepatan langkahnya.
Pagi yang tenang dan sejuk itu akhirnya diusik dengan sebuah bentakan.
"Berhenti!" Dan tiga orang menghadangnya. Saat ia mematuhi bentakan itu, kupingnya menangkap ke-basan angin dari tiga kelebatan tubuh di belakangnya.
Berarti ia telah dikepung. Tiga di depan dan tiga di belakang.
"Mau kemana kamu, heh?" Salah satu dari ketiga orang di depannya bertanya.
Sebelum menjawab ia membuka kain selempang dan mengikatnya di pinggang. Golok yang terselip di si-tu jadi cuma kelihatan gagangnya saja serta bagian bawah dari sarungnya.
"Aku mau ke desa Sariadi." Keenam orang yang mengepung itu jadi terkesima sejenak. Begitu terdengar suaranya, Semua orang pasti segera tahu bahwa dia bukan berasal dari daerah ini. Logatnya terdengar kasar. Persis kain selempangnya tadi. Juga wajahnya itu. Segala-galanya dari orang ini jadi terkesan kasar.
"Hei, Barbar! Kamu tahu di mana desa Sariadi?"
"Tidak"
"Maukah kalian memberitahukan padaku?" Kontan ketiga orang di muka itu terkekeh-kekeh, kayak para kakek ompong yang sedang menertawai cucu-cucu mereka yang masih kecil dan lucu.
"Dengan senang hati.. Dengan senang hati. Asalkan kamu mau memberikan seluruh uangmu pada kami. Hehehe...."
"Tunggu," sahut temannya yang satu lagi.
"Aku juga mau selendangnya. Juga kain yang melilit di kepalanya itu Hehehe... Bukankah kain itu unik sekali" Tidak ada yang punya sejenis itu di daerah kita ini.
Siapa tahu aku ketemu dengan orang yang suka koleksi. Aku bisa menjualnya dengan harga tinggi."
"Ya, ya. Benar juga kamu." Mereka terkekeh lagi.
Akan tetapi ketiga orang yang di belakang sama sekali tidak memperdengarkan suara. Paling banyak mereka cuma tersenyum mendengar ocehan teman mereka.
Salah seorang mendekati si Barbar.
"Mana. Berikan semua yang kami katakan tadi. Jangan khawatir, kami pasti memberitahukan di mana Desa Sariadi padamu." Dengan lugu si Barbar mengambil kantung uangnya dari dalam celana, kemudian mengangsurkannya dengan tangan kanan. Orang itu, memandang sambil tersenyum meremehkan wajah si Barbar yang tertunduk, hendak mengambil kantung uangnya.
Sekonyong-konyong tangan kiri si Barbar bergerak dengan amat cepat dari bawah untuk menepak tangan yang sudah hampir mencapai kantung uangnya. Bersamaan dengan tersentaknya tangan orang itu ke atas, kaki kiri si Barbar maju ke depan, dan tangan kirinya yang baru saja menepak tangan orang itu bergerak lurus memukul iga kanan lawan dengan telapak tangan.
Lalu ia mundur selangkah dan menyimpan kembali kantung uangnya.
Tak seorang pun dari mereka menyangka serangan itu. Sikap meremehkan sering kali mendatangkan kecelakaan sendiri. Mereka cuma terlongo menyaksikan tubuh teman mereka mematung selama tiga detik, kemudian memuntahkan darah segar dari mulut dan tumbang seperti pohon. Pukulan itu telah menjadikan paru-paru dan jantungnya pecah.
"Hiaatt!"
"Hiaatt!"
"Hiaatt!" Hampir serentak teriakan dari ketiga orang di belakang si Barbar ketika menyerang dengan golok. Teriakan mereka mengandung kemarahan besar.
Namun si Barbar telah siap sejak tadi. Dengan ringan ia bersalto di udara menyongsong penyerangnya. Ketika berada di atas mereka, dengan cepat telapak-telapak tangannya memukul kepala yang di tengah dan di pinggir. Meski kaget dengan gerakan itu keduanya masih sempat menghindar dengan membuang tubuh mereka ke samping. Yang satu berjumpalitan dan segera bangkit siaga kembali. Namun malang bagi yang di tengah. Ia menabrak temannya.
"Mfthh...." Cuma itu suara yang mampu dikeluarkannya ketika hidung dan mulutnya terasa benyek menghantam lengan atas temannya, lalu melorot ke tanah. Yang ditabrak pun terhuyung-huyung hampir jatuh akibat benturan itu. Selagi kedua-duanya berusaha bangkit kembali, si Barbar telah menyerang lagi. Melihat teman-temannya terpojok, dua orang yang belum bergerak sejak tadi merangsek ke depan. Si Barbar melambatkan gerak maju kakinya. Saat kedua orang yang menyerang dengan golok tegak di tangan itu telah cukup dekat, ia melompat dengan arah menyamping menyambut mereka.
Tak pelak lagi, salah seorang terkena tendangannya dari samping kiri di bagian kepala. Ia terjengkang ke samping kanan, membentur tubuh temannya. Akibatnya, dua-duanya yang terjengkang.
Yang tadi wajahnya menabrak lengan atas temannya, sedang bertumpu pada kedua tangan dan dengkul untuk bangun. Belum lagi sempat ia bangkit, kedua tubuh temannya yang terjengkang itu telah menimpa punggungnya. Ia terjerembab mencium tanah lembab.
"Mffhhh...." Lagi-lagi cuma itu suara yang mampu dikeluarkannya. Dengan menggunakan gaya lenting ketika kakinya mendarat di kepala lawan, si Barbar melesat ke arah orang yang tadi berjumpalitan dan telah berdiri kemba-li. Melihat serangan ke arahnya, ia menyambut golok selagi si Barbar masih di udara. Tetapi cepat si Barbar mencabut golok di pinggang dengan tangan kiri dan menangkis sabetan itu, sambil telapak tangan kanannya menyodok. Kali ini ia tidak kuasa menyelamatkan kepalanya.
Hantaman telapak tangan si Barbar lalu membuat ia telentang di bumi. Tak bergerak lagi. Darah mengalir keluar dari hidung dan telinganya.
Dengan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi si Barbar mendarat di tanah tanpa suara. Kemudian ia berdiri menatap keempat kawanan lain yang masih hidup. Seorang yang masih tegak segera mengambil langkah seribu. Dua lainnya yang baru saja bangkit berdiri mengikuti keputusan teman mereka melarikan diri. Yang terkena tendangan si Barbar masih terkapar pingsan.
"Dasar perampok pengecut!" gerutunya.
Dimasukkannya kembali golok ke sarung kemudian melepaskan kain selempang dari pinggang. Sesudah memasang kain itu ke atas pundaknya, ia melanjutkan perjalanannya lagi dengan tenang.
Suasana hutan seolah turut tenang kembali.

***

««::|{ 2 }|::»»

Tengah hari bolong. Sampai juga akhirnya Andika di desa Sariadi. Beberapa helai rambut gondrongnya melambai-lambai kecil ditiup angin sepoi desa itu. Kain kotak-kotaknya sebagaimana biasa tergantung begitu saja di lehernya. Kain pengikat pinggang kuning yang kontras dengan baju hijau serta celana panjang biru sungguh merupakan perpaduan yang menarik.
Tenggorokannya sudah terasa kering dan perutnya sudah berkruik-kruik sejak tadi. Seperti dituntun haus dan lapar itu kakinya melangkah ke kedai nasi.
Ia sudah banyak mengenal desa itu, dan kali ini ia ingin menuju kedai yang masakannya paling enak.
Meski agak mahal tetapi sesekali menikmati masakan yang benar-benar lezat tak ada salahnya, bukan" Terbayang di kepalanya berapa piring nasi yang akan dilahapnya bersama lauk-pauk lezat itu di tengah-tengah rasa lapar begini.
Ia tidak peduli dengan orang-orang yang banyak memperhatikannya begitu muncul di mulut desa. Mereka mulai berbisik-bisik. Tidak heran. Itu karena Pendekar Slebor memang telah mereka kenal betul (Lihat episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asmara"). Sesekali jika ada yang tepat berpapasan dengannya, orang itu akan menganggukkan kepala pada Andika. Dan Andika pun mau tak mau membalasnya sambil memberikan senyum.
Bapak pemilik kedai nasi itu pun memberikan senyum kecil pada Andika ketika ia masuk.
"Lama tidak kelihatan, Nak," sapa si bapak. Jika dilihat dari suara sapaan dan sikap tubuh pemiliknya, hal itu menyiratkan rasa hormat yang ada dalam hatinya pada Pendekar Slebor. Pendekar yang pernah berjasa menolong orang-orang desa di situ.
"Iya nih, Pak," balas Andika sambil senyum dengan wajah agak menunduk. Maklum, ia masih saja risih menerima perlakuan orang tua semacam bapak ini.
Mungkin perasaan sebagai bekas anak gelandanganlah yang membuatnya demikian.
"Saya pesan lele dan ayam panggang, Pak," lanjut Andika.
Bersamaan dengan selesainya Andika memesan makanan, seorang-laki-laki tegap berdiri di pintu kedai. Tampaknya dia orang asing. Bukan. Bukan karena tampangnya seperti belum pernah dilihat Andika, tetapi dugaannya kuat karena melihat pakaian yang dikenakan. Ia memakai celana panjang hitam. Badannya cuma dihiasi sebuah selendang kasar dan berwarna gelap. Corak tenunannya juga aneh bagi masyarakat sini.
Kepalanya dililit pula oleh selendang kecil yang mirip dengan selendang pada tubuhnya. Andika memandangnya dan berpikir-pikir dari mana gerangan orang asing ini berasal. Empat orang lain yang sedang makan di situ juga meliriknya.
Setelah beberapa jenak berdiri di sana, orang asing itu berjalan ke sebuah meja yang kosong. Meski kekerasan di wajahnya membuat ia tampak seram, namun langkah-langkahnya menunjukkan kejumawaan. Pesanan Andika segera datang diantar oleh seorang pelayan. Ia cuma sempat melihat si bapak pemilik kedai menghampiri orang asing itu untuk menanyakan pesanannya. Selebihnya Andika telah mengangkat kaki kirinya ke atas kursi dan menyantap makan siangnya dengan lahap. Selagi Andika menyuap nasi yang kesekian kali, dua laki-laki muda, kira-kira sebaya dengannya, datang dengan menjura.
"Salam hormat kami, Pendekar Slebor." Andika serta-merta berdiri dari bangku dengan mulut penuh. Setelah mencuci tangan ia membalas jura, tetapi tidak mampu membalas salam mereka. Dahinya mengernyit-ngernyit dan sisi pinggir kedua matanya berkerut-kerut. Mulutnya terus memaksa makanan di sana untuk bisa ditelan cepat-cepat.
Tanpa sepengetahuan Andika orang asing itu mendongakkan kepalanya.
"Rupanya ini Pendekar Slebor yang telah didengar kabar kehebatannya hingga ke kampungku," pikirnya.
"Maafkan kami mengganggu makan siangmu. Kami adalah murid Perguruan Kemangi Sariadi."
"Salam," balas Andika setelah menelan gumpalan makanan terakhir ke perutnya.
"Sudah lama kami mencari Anda, Pendekar. Guru kami ingin mengundang Anda datang berkunjung ke perguruan kami. Beliau ingin menjamu Anda sambil berkenalan lebih jauh."
"Oh, ya?" Andika menggaruk-garuk kepala.
"Kalau boleh, sudilah menunggu sebentar di sini. Kami akan memberitahukan pada Guru. Beliau pasti akan datang menemui kemari."
"Terima kasih. Ini suatu kehormatan buat saya.
Bagaimana, ya" Ng.... Yah, baiklah. Saya tunggu di si-ni." Setelah saling menjura kembali, kedua orang itu meninggalkan Andika. Sejenak kemudian ia mengerutkan kening. Perguruan Kemangi Sariadi" Rasarasanya ia baru sekali ini mendengar nama perguruan itu. Andika meninggalkan mejanya, menghampiri bapak pemilik kedai. Orang asing itu cepat-cepat menundukkan kembali kepalanya dan menyantap makanan.
"Pak, apa benar Perguruan Kemangi Sariadi itu" Aku belum pernah mendengarnya." Orang asing itu lagi-lagi tertegun mendengar pertanyaan Andika. Ia mengunyah perlahan-lahan makanannya dan memasang kupingnya baik-baik.
"Itulah. Anak sudah lama tidak datang kemari, ja-di ketinggalan berita.
Perguruan itu tidak jauh dari si-ni. Itu sebabnya namanya juga mengambil nama desa ini."
"Ah, aku kan baru kira-kira setahun tidak datang."
"Memang. Perguruan itu berdiri juga belum ada setahun, Nak. Kebanyakan muridnya dari desa ini dan beberapa desa sekitar."
"Siapa nama guru mereka?"
"Namanya Pendekar Penjaga Langit. Yang kudengar dia orang seberang. Tapi orangnya baik, kok." Andika manggut-manggut.
"Terima kasih, Pak," katanya lalu balik ke meja.
Ada sebuah harapan dan pertanyaan dalam hati orang asing yang duduk di pojok itu. Benarkah ini orangnya" Setelah sekian lama mencari-cari, menyeberang laut dan berjalan kesana kemari, ia berharap kali ini akan menemukan.
Memang, ia masih kuat kalau pun harus mencari lagi nantinya. Uang yang diberikan Raja Sahala masih lebih dari cukup untuk membiayai hidup selama perjalanan selanjutnya. Tetapi akan lebih baik jika sekarang ia dapat bertemu.
Di pundaknya ada sebuah beban yang diberikan Raja Sahala. Cuma, bukan itu saja. Dan rasa-rasanya bagi dia juga bukan itu yang terutama.
Di hatinya ada sebuah gumpalan yang terusmenerus mengganjal. Gumpalan dendam. Gumpalan yang tidak akan sirna jikalau hasratnya belum terpenuhi. Dendam yang tidak akan lenyap sebelum terbayar. Begitulah jika hati manusia telah dirasuki oleh sesuatu yang dinamakan dendam. Didongakkannya kepala. Ia melirik ke arah Pendekar Slebor. Masih ada di sana, melanjutkan makan yang terhenti barusan. Rencana yang segera muncul di kepala berputar-putar. Setiap hal yang mungkin merupakan kesempatan tidak boleh dilewatkan. Barangkali inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu.
Ia bangkit meninggalkan makanannya yang masih tersisa. Membayar dan melangkah keluar kedai nasi. Dicarinya tempat yang agak tersembunyi tidak jauh dari sana. Sambil duduk ia menunggu.
Ah, Seandainya ketamakan dan keculasan tidak ada dalam dunia ia tidak perlu repot-repot begini.
Seandainya peristiwa itu tidak terjadi, sekarang pasti ia sudah bersanding dengan gadis yang dicintai.
Pikiran itu memunculkan bayangan wajah. Wajah yang manis. Wajah yang menyiratkan kesederhanaan dan tidak banyak menuntut, yang tidak pantas menerima kejinya perlakuan seorang laki-laki laknat.
Peristiwa itu terjadi kira-kira dua tahun yang lalu. Malam yang takkan bisa dilupakannya seumurumur. Malam yang telah memporak-porakkan hatinya.
Betapa tidak" Begitu senang hatinya malam itu tiba kembali di kampung halaman sesudah tiga bulan pergi menjalankan tugas yang diberikan Raja Sahala. Tidak ada lain yang ada di benak kala itu selain untuk cepat-cepat bertemu dengan kekasihnya. Tidak juga untuk melaporkan pada Raja Sahala semua hasil yang telah diperoleh dalam menjalankan tugas. Hanya ingin melepas rindu pada kekasih sesegera mungkin! Laporan itu baru akan disampaikannya esok pagi.
Tetapi apa yang didengarnya kemudian" Perempuan tua itu menceritakan semua dengan terisakisak.
"Dia sudah tidak ada lagi, Nak Patniraga. Ulima sudah tidak ada lagi." Dia masih belum berpikir sejauh itu. Meski tercengang melihat perempuan tua itu langsung menangis, dia belum menangkap maksud sebenarnya.
"Ke mana, Bu" Kenapa dia sampai pergi?"
"Tidak, Nak. Ulimamu sudah tiada. Sudah meninggal."
"Hah?" Bagai disambar petir sekujur tubuhnya mendengar. Tiba-tiba seluruh tenaganya seperti hilang. Pelan-pelan ia merambat mencari pegangan lalu duduk di tumbukan padi yang ditelungkupkan. Dunianya hilang, hatinya nelangsa. Sekian detik ia tidak dapat berkata apa pun. Demikian pula perempuan tua itu. Ia menyadari bagaimana hancur hati anak muda di hadapannya. Barangkali lebih hancur dari hatinya sendiri. Dia tahu betapa dalam cinta pemuda ini pada putri tunggalnya.
Patniraga menutup wajah dengan kedua tangan. Perlahan-lahan pundaknya terguncang-guncang.
Makin lama makin hebat. Suara sesunggukannya makin keras. Ibu itu menghampiri dan memeluknya. Jadilah gubuk itu dipenuhi oleh tangisan kedua calon mertua dan calon mantu itu.
Rentetan kenangan itu segera terhenti.
Patniraga melihat kedua murid Perguruan Kemangi Sariadi tadi muncul bersama seorang yang berusia lima puluhan. Kedua murid itu berjalan di belakangnya. Laki-laki itu brewok dengan kumis melintang. Air mukanya berseri-seri. Mereka berjalan cepat ke kedai nasi.
Apakah benar dia" Ia mengamati seksama si brewok. Namun mereka terlalu cepat menghilang masuk ke dalam kedai nasi. Tidak ada yang tidak mengenal orang ini dulu di kerajaan Raja Sahala, karena ia cukup terkenal sebagai pejabat kerajaan. Tetapi sein-gatnya dulu tidak berkumis dan tidak brewokan.
Mungkinkah sekarang ia sengaja menumbuhkan kumisnya"
"Aku tak boleh cepat-cepat menyangka dialah orangnya," gumamnya.
"Aku cuma baru mengetahui bahwa dia orang seberang. Dan itu belum bisa kupakai untuk memastikan."
"Pendekar Slebor" Ah! Hahaha. Aku sudah lama mencari-carimu. Kau tentu belum mengenalku.
Kenalkan, aku Pendekar Penjaga Langit." Andika menerima jabatan tangannya. Sama sekali tidak terdengar keasingan dalam logat bicaranya yang menandakan dia orang seberang. Pakaian yang dikenakanpun sama dengan pakaian yang dikenakan orang-orang daerah sini. Rupanya dia betul-betul telah bisa beradaptasi dengan bumi yang dipijak.
"Ada apakah gerangan Kisanak mencaricariku."
"Ah, Anda ini. Siapakah sekarang yang tidak mengenal akan namamu" Kau telah menjadi seorang pendekar yang terkenal. Namamu harum dimanamana." Mendengar pujian itu Pendekar Slebor cuma melengoskan kepalanya ke kiri sambil mendengus.
"Itu kan kata orang," katanya.
"Ya. Kata orang pula kau suka menolong yang lemah dan memberantas kekejaman dan kezaliman.
Tidak heran jika semua orang memuji-mujimu." Kedua murid yang terus di belakang Pendekar Penjaga Langit senyum-senyum sambil menganggukanggukkan kepala, mengiyakan semua perkataan guru mereka.
"Sudahlah," kata Andika merasakan kejengahan mulai melanda dirinya.
"Jangan teruskan lagi oce-hanmu yang setinggi langit itu, Pendekar Penjaga Langit. Makin tinggi pujianmu, makin sakit kalau aku jatuh nanti," lanjutnya seraya duduk mengangkat kaki di bangku panjang.
Pendekar Penjaga Langit menanggapi dengan tertawa lepas.
"Silakan duduk, Pendekar Penjaga Langit," Andika mengajaknya duduk.
"Terima kasih." Pendekar Penjaga Langit mele-katkan pantatnya pada bangku di hadapan Andika.
Wajahnya terus saja berseri-seri. Tampaknya dia sejenis orang yang optimistik dan penuh keyakinan diri.
"Adalah suatu kehormatan bagiku dapat bertemu dan berkenalan dengan pendekar besar sepertimu, Pendekar Slebor."
"Tunggu-tunggu. Apanya yang besar" Aku ini masih muda. Belum banyak yang kuperbuat. Aku mendengar Pak Tua juga seorang pendekar yang baik hati. Mungkin kebajikan yang Anda lakukan, setengahnya pun belum ada kuperbuat. Sudahlah, biasabiasa saja, Pak Tua," kata Andika pula.
"Jangan memuji-mujiku lagi. Pak Tua baru mengenalku. Jadi belum tahu bahwa aku pun punya banyak sekali kelemahan." Dalam hati, Andika mulai merasa curiga juga.
Baru kenal, orang ini sudah sedemikian 'galak' memujiku. Jangan-jangan ada maunya, nih.
"Baiklah, Pendekar Slebor. Maafkan aku jika kau tidak suka. Tapi aku justru tambah kagum mengetahui kerendahan hatimu itu."
"Begini," lanjut Pendekar Penjaga Langit tanpa memberi kesempatan Pendekar Slebor bereaksi sebab ia tidak mau berhenti menyanjung, "Karena kekagu-manku, perkenankanlah aku mengundangmu ke perguruanku. Aku ingin menjamu."
"Ahh..., tidak usah pakai jamu-jamuan segala deh, Pak Tua. Aku tidak biasa. Lagi pula aku merasa sungkan menerima penghormatan semacam ini dari seorang yang lebih dua kali lipat umurnya dariku."
"Tidak, Pendekar Slebor. Ini bukan soal mana yang lebih tua atau mana yang lebih muda. Ayolah.
Aku akan kecewa sekali jika kau menolak." Pendekar setengah baya itu bangkit dan mempersilakan Andika dengan tangannya, sambil tak lupa mengumbar senyum simpatik. Kedua muridnya ikutikutan melakukan hal yang sama.
Diperlakukan begitu ramah, Andika sukar untuk menolak. Bagaimanapun darah sebagai orang timur yang menghormati orang yang lebih tua masih kental meskipun dahulu dia sempat menjadi tukang copet. Di luar, mata Patniraga mengamati tajam wajah Pendekar Penjaga Langit kembali, sekeluarnya mereka berempat dari kedai nasi.

***

««::|{ 3 }|::»»

Bulan bersinar bulat penuh.
Bukit Dedemit terpaku kaku. Dalam siraman terang rembulan, dari kejauhan tampak tertidur. Tetapi orang-orang di sekitarnya yang masih bisa memandang bukit itu akan selalu mempunyai kesan seram. Bukan hanya namanya saja yang mengesankan demikian, tetapi juga karena mereka tahu di situlah tinggal Jasad Dedemit bersama para pengikutnya. Dalam kekelaman malam, tak satu makhluk pun yang melintas dekat-dekat dengan bukit itu. Para penduduk telah mahfum, siapa yang berani dekat-dekat Bukit Dedemit sejak matahari tenggelam akan mengalami bencana yang ditimbulkan oleh Jasad Dedemit.
Seolah-olah malam sudah dimonopolinya untuk Bukit Dedemit. Seolah-olah malam ingin dijaganya tenang sehingga Bukit Dedemit dapat tidur tanpa gangguan.
Akibatnya sering penduduk sekitar menjuluki bukit itu dengan Bukit Sunyi Malam.
Namun kali ini sesungguhnya tidak demikian.
Malam ini justru sedang ramai. Tanpa diketahui para penduduk sekitar yang telah terlelap, di tempat tinggal Jasad Dedemit justru sedang terjadi kesibukan lebih dari biasa. Para murid Jasad Dedemit berlalu lalang melayani tamu mereka. Penjagaan di sekitar bukit juga diperketat.
Malam ini sedang terjadi pertemuan seluruh tokoh persilatan golongan hitam di sana. Lihatlah wajah-wajah serius dari Lampor Ireng, Betot Nyawa, Malaikat Siluman dan istrinya Nyi Bengis, Biludak Tengik dan lain-lain. Mereka duduk setengah lingkaran menghadap Jasad Dedemit, sang Tuan rumah.
"Saudara-saudara sekalian. Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan saudarasaudara hadir dalam pertemuan kita," Jasad Dedemit membuka pembicaraan.
"Sebagaimana yang kita mak-lumi bersama bahwa masa kini merupakan masa yang memprihatinkan bagi golongan kita. Terutama hal ini disebabkan karena munculnya seorang tokoh muda dari golongan putih yang bernama Pendekar Slebor.
Dia adalah keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan." Jasad Dedemit menarik napas panjang sejenak sebelum meneruskan perkataannya.
"Keadaan ini tidak boleh kita biarkan berkelanjutan. Akan tetapi kita juga tidak boleh terus-menerus berjalan sendiri-sendiri. Kita telah mengetahui, atau paling tidak mendengar, bagaimana hebatnya ilmu yang dimiliki Pendekar Slebor. Saya berani menjamin, kita tidak akan menang menghadapinya jika sendirisendiri." Sebagian dari para tokoh persilatan aliran hitam itu menundukkan kepala. Mereka itulah yang telah mengalami langsung bagaimana hebatnya ilmu Pendekar Slebor bahkan nyaris terbunuh.
"Karena itu saya mengajak saudara-saudara sekalian untuk bersatu. Kita harus bahu-membahu melawannya. Hanya dengan cara ini baru kita memiliki peluang untuk mengalahkannya."
"Tidak! Aku tidak sudi bekerja sama dengan si Lampor Ireng." Nyi Bengis langsung memotong perkataan Jasad Dedemit.
"Nyi!" tegur Malaikat Siluman pada istrinya itu.
"Biarin! Biar dia tahu."
"Siapa yang mengatakan aku ingin bekerja sama denganmu, Bawel"!" balas Lampor Ireng sinis.
Mata Malaikat Siluman melirik tajam pada Lampor Ireng. Ia merasa tersinggung juga istrinya disebut si Bawel. Lampor Ireng tidak peduli.
"Saya harap semua kita bisa tenang dan mengendalikan diri," cepat-cepat Jasad Dedemit menengahi dengan penuh wibawa.
"Inilah pula salah satu hamba-tan yang perlu kita atasi sekarang, yakni persaingan dan permusuhan kita. Kita harus bisa mengatasinya jika ingin bersatu dan mengalahkan Pendekar Slebor."
"Ya. Tetapi bagaimana caranya, Jasad Dedemit" Ini kenyataan di antara kita," Betot Nyawa membuka suara.
"Kita pasti bisa melakukannya. Yaitu dengan cara menaruh ke belakang semua persaingan dan permusuhan itu untuk sementara waktu. Ingatlah, tujuan kita adalah membuat mampus si Pendekar Slebor. Kita singkirkan dulu penghalang-penghalang di antara kita sampai tujuan tercapai." Rapat itu terus berlangsung hingga jauh malam.

***

Bulan tidak cuma bulat penuh di Bukit Dedemit, tetapi juga di Perguruan Kemangi Sariadi. Kesibukan bukan cuma tampak pada Bukit Dedemit, tetapi juga pada Perguruan Kemangi Sariadi. Bedanya kalau di Bukit Dedemit penuh dengan keseriusan, di Perguruan Kemangi Sariadi penuh dengan keramah-tamahan. Kalau di Bukit Dedemit penjagaan sekitar diperketat, ma-ka di Perguruan Kemangi Sariadi justru longgar karena kebanyakan murid turut serta dalam acara perjamuan yang diberikan bagi Pendekar Slebor.
Akan tetapi justru karena penjagaan yang longgar itu, sepasang mata dengan leluasa mengawasi. Khususnya, mata pengintai itu melekat terus pada Pendekar Penjaga Langit yang asyik ngobrol dengan Andika.
Mata yang sejak tadi terus mengamatinya. Mata yang sarat dendam. Mata Patniraga.
Semakin ia mengamati, semakin yakinlah hatinya bahwa inilah orang yang ia cari. Ingin segera rasanya ia melompat ke hadapan orang yang menamakan dirinya Pendekar Penjaga Langit itu.
Pendekar Slebor sedang ngobrol dengan Pendekar Penjaga Langit di pelataran.
Siuuut...! Tiba-tiba sebuah pisau kecil melesat dari balik rerimbunan pohon. Pendekar Penjaga Langit menarik sedikit kepalanya ke belakang. Lehernya selamat dari terkaman senjata rahasia itu, yang selanjutnya menancap di tiang rumah.
Serta-merta Pendekar Penjaga Langit bangkit bersiaga dan menyapu semua pepohonan yang ada di depan rumah dengan matanya. Murid-murid perguruan belum menyadari kejadian tersebut. Mereka tetap dengan kegiatannya masing-masing.
Andika lebih tangkas berpikir. Ia melihat posisi pisau yang menancap di tiang dan dapat memperkirakan dari mana arah datangnya senjata.
Dari balik rerimbunan Patniraga terperangah melihat perubahan mendadak itu. Telinganya yang terlatih memang mendengar gerakan angin lesatan senjata rahasia tadi. Tapi ia tidak dapat menangkap gerakan si pelempar pisau rahasia meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia cuma melihat Pendekar Slebor melompat dengan ringan ke arah rerimbunan lain yang agak jauh dari dirinya.
Barulah setelah Pendekar Slebor bergerak demikian, beberapa murid di situ menyadari sesuatu yang tak beres.
"Hei, hei!" teriak salah seorang pada rekan-rekannya.
"Ada apa-apa!" Murid-murid yang lain menengok padanya dengan bingung.
"Apa-apa bagaimana?" Yang ditanya gelagapan. Ia melulu tahu Pendekar Slebor melompat. Lain tidak. Dan menurutnya itu berarti ada apa-apa.
"Anu.... Alah! Pake banyak tanya lagi. Sudah sini semua ngumpul!" Kontan para murid Perguruan Kemangi Sariadi beranjak mengikuti rekannya itu menghampiri guru mereka.
"Ada apa kalian berkumpul di sini semua, hah"!" Bentak Pendekar Penjaga Langit.
"Cepat menyebar dan waspada!" Maka mereka pun beranjak kembali ke seluruh pelataran perguruan sambil mengeluarkan senjata mereka. Beberapa orang ngedumel.
Pletak! Pletak! Pletak! Murid yang memanggil rekan-rekannya berkumpul tadi mengusap-usap kepalanya. Sempatsempatnya tiga tangan sigap menjitaknya, melampiaskan kegemasan.
Andika berjalan gontai keluar dari rerimbunan.
"Aku tak berhasil menemukannya, Pak Tua. Dia sudah keburu lari."
"Tak apa, Pendekar Slebor," jawabnya sambil berbalik mengambil surat yang tertancap bersama pisau di tiang. Ia membaca.
"Sejak dari kampung aku telah mengikuti si Patniraga. Dia sekarang berada di balik rimbunan dekat pohon Kamboja. Aku tidak mau menunjukkan diri agar dia tidak tahu keberadaanku, sehingga aku bisa terus menguntit dengan mudah. Setelah dia mati nanti, aku baru akan bertemu muka denganmu." Dari bentuk tulisannya ia segera tahu siapa yang mengirimkan surat itu.
Patniraga tidak dapat melihat bagaimana terkesiap darah Pendekar Penjaga Langit membaca surat tersebut. Dari persembunyiannya ia hanya mampu memperhatikan bagaimana Pendekar Penjaga Langit memasukkan surat itu ke balik bajunya dengan amat tenang. Dan....
Set! Set! Set! Set! Set! Setengah mati kagetnya Patniraga. Sebisa mungkin ia bergulingan ke samping untuk menghindari satu dari lima senjata rahasia yang tepat mengarah padanya. Dengan menggenjot tenaga dalam dari tangannya Pendekar Penjaga Langit sengaja mengirim lima senjata rahasianya ke rerimbunan dekat pohon Kamboja. Ia yakin dari kelimanya pasti ada salah satu yang menuju ke arah Patniraga dan mengacau persembunyiannya.
Dugaannya betul.
"Bunuh pembokong pengecut itu!" Perintah Pendekar Penjaga Langit pada muridmuridnya. Percaya pada gurunya, mereka berhamburan menyerbu Patniraga. Andika mengernyitkan kening menatap Pendekar Penjaga Langit.
Kepalang sudah ketahuan, Patniraga berdiri dan melompat ke tengah pelataran mempertunjukkan dirinya. Murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi mengepungnya rapat.
"Tahan!" seru Andika.
"Apa maksudmu, Pak Tua?" tanya Andika pada Pendekar Penjaga Langit.
"Aku tahu betul dari posisi pisau yang menancap di tiang tadi, bukan berasal pohon kamboja itu. Jadi bukan orang ini yang membokongmu."
"Jangan bercanda, Pendekar Slebor. Tak ada orang lain di balik rerimbunan sini kecuali si pengecut itu."
"Tidak, Pak Tua.
Ketika aku pergi memeriksa, aku masih bisa melihat sekelebat bayangan orang yang membokongmu melarikan diri."
"Pendekar Slebor, aku tak bermaksud merusak pertemuan yang penuh keramah-tamahan ini. Tetapi kita berbeda pendapat. Semuanya gara-gara kehadiran orang asing ini, yang bermaksud jahat padaku!" jawab Pendekar Penjaga Langit dengan suara meninggi.
Pendekar Slebor masih mencari kebenaran di mata Pendekar Penjaga Langit. Ketika ia menoleh, agak terkejut hatinya.
"Bukankah kamu yang berada di kedai nasi tadi siang?" tanyanya pada Patniraga.
"Benar. Tetapi aku tidak ada urusan denganmu, Pendekar Slebor. Aku baru mengenalmu di kedai itu.
Menyingkirlah. Aku cuma punya urusan dengan si Baringin, orang tua yang kau kenal dengan nama Pendekar Penjaga Langit itu. Dia tidak pantas menerima julukan pendekar karena perilaku jahat yang disembunyikannya."
"Hei, Baringin!" lanjutnya pada Pendekar Penjaga Langit, "Walaupun kau sekarang menyebut dirimu Pendekar Penjaga Langit, walaupun kau menumbuhkan brewokmu dan memelintangkan kumismu, dan walaupun pakaianmu sudah sama seperti orang-orang daerah sini, aku tidak silap. Mataku tidak bisa diperdaya untuk mengenal orang yang telah membawa kabur uang Raja Sahala dan memperkosa serta membunuh calon istriku."
"Kurang ajar!" Pendekar Penjaga Langit berjalan mendekati Patniraga. ."Siapa kau" Berani-beraninya kau menuduh orang sembarangan!" Patniraga membuka kain selempangnya dan mengikat di pinggang. Golok yang terselip di situ jadi cuma kelihatan gagang saja serta bagian bawah dari sarungnya. Semua murid Perguruan Kemangi Sariadi terlongo-longo mendengar saling silang bicara antara guru mereka dan orang asing yang masih belum mereka kenal tersebut. Pendekar Slebor terus menyimak dan berpikir.
"Jangan berpura-pura, Baringin. Tidak seperti kau, sama sekali tidak ada yang berubah pada diriku.
Wajahku sama seperti dulu. Pakaianku pun sama.
Namaku juga masih tetap Pendekar Ulos Sakti."
"Kau sudah keterlaluan, Pendekar Ulos Sakti. Sebagaimana kasarnya kain-kain yang melilit tubuhmu itu, begitu rupanya kasar hatimu. Kau orang asing yang tak tahu diri. Fitnahan ini harus kau bayar dengan nyawa mu."
"Minggir semua!" Perintah Pendekar Penjaga Langit pada murid-muridnya.
Para murid Perguruan Kemangi Sariadi menyingkir dengan harap-harap cemas. Harap-harap, karena ingin melihat ilmu yang lebih hebat lagi yang akan di-tunjukkan guru mereka.
Maklum, baru hampir setahun mereka bersama-sama guru mereka. Cemas, jangan-jangan ilmu lawan lebih tinggi sehingga mungkin menewaskan guru mereka.
Pendekar Penjaga Langit menatap dingin Pendekar Ulos Sakti. Yang ditatap balas melakukan hal yang sama.
"Kaulah yang akan mati menebus segala dosa-dosamu, Baringin." Selesai berkata begitu, Pendekar Ulos Sakti ingin maju menyerang lawannya. Tetapi Pendekar Penjaga Langit telah mendahului.
"Hiaaa!" Whassh.... Sebuah pukulan tenaga dalam dilakukan Pendekar Penjaga Langit dari jarak jauh. Pendekar Ulos Sakti yang telah siaga segera melentingkan tubuhnya dari tanah. Ia bersalto di udara dengan manisnya dan menapak di jarak yang makin dekat dengan Pendekar Penjaga Langit.
"Hiiaaa!" Whusssh.... Dengan sengaja ingin tidak memberi kesempatan bernapas pada lawan, Pendekar Penjaga Langit kembali melepas pukulan jarak jauh yang kedua.
Pendekar Ulos Sakti menunjukkan bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh seorang pendekar berilmu tinggi. Begitu kakinya menyentuh bumi, ia lagi-lagi melentingkan dirinya menyilang di hadapan Pendekar Penjaga Langit.
Ctaaar! Bunyi mirip suara cemeti terdengar. Murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi sampai tersentak dan menutup telinga. Gendang telinga mereka seperti mau pecah! Secara refleks Pendekar Slebor menyalurkan tenaga dalamnya ke kuping untuk menahan suara tersebut. Rupanya saat berada di udara Pendekar Ulos Sakti melepaskan kain kasar yang melilit di pinggangnya dan mengkepretkannya kepada Pendekar Penjaga Langit. Ia langsung menggunakan serangan yang dahsyat, melihat Pendekar Penjaga Langit juga tidak tanggung-tanggung mengeluarkan ilmunya. Akan runyamlah tubuh Pendekar Penjaga Langit jika tidak cepat-cepat bersalto ke belakang.
Sejenak kedua pendekar yang bertarung itu tegak dengan kuda-kuda masing-masing.
Ctaaar! Ctaaar! Ctaaar! Berkali-kali Pendekar Ulos Sakti mengkepretkan senjata kainnya ke bumi sambil memperhatikan reaksi lawan. Pendekar Penjaga Langit menahan napas dan menyalurkan tenaga dalam melindungi gendang telinga. Sebaliknya dengan para murid Perguruan Kemangi Sariadi itu. Mereka berlarian menjauhkan diri dengan kedua tangan yang tak lepas dari kuping.
Setiap kain kasar itu menghantam bumi, berhamburanlah tanah meninggalkan lubang sebesar buah kelapa. Bayangkan jika yang dihantam adalah tubuh manusia! Debu beterbangan ke arah Pendekar Penjaga Langit dibantu angin kecil yang ditimbulkan kepretan. Pendekar Penjaga Langit terpaksa menutup matanya dan memasang daun telinga baik-baik guna menangkap setiap gerakan lawan.
Sementara itu Pendekar Ulos Sakti mendekati Pendekar Penjaga Langit. Ia sudah siap dengan pukulan tangan kiri.
Whesssh! Kibasan tangannya menerpa kekosongan. Pende kar Penjaga Langit telah meloncat menghindar. Sebelum mendarat di belakang Pendekar Ulos Sakti, ia menendang ke belakang dengan sasaran kepala lawannya. Pendekar Ulos Sakti menelengkan kepalanya sedikit dan dengan gerakan memutar ia mencoba memukul kaki itu dengan tangan kiri untuk menggoyahkan keseimbangan Pendekar Penjaga Langit.
Pendekar Penjaga Langit menarik kakinya dan merangsek masuk. Maka pertarungan jarak dekat pun tidak dapat tidak terjadi. Ini merupakan strategi yang dipasangnya, berhubung ia memperkirakan akan sangat kerepotan dengan senjata selempang kain Pendekar Ulos Sakti bila meladeni dalam jarak jauh.
Jurus-jurus kelas tinggi dilewati satu demi satu.
Gerakan-gerakan mereka pun sedemikian cepat sehingga hanya bayangan mereka saja yang tampak.
Andika yang sejak tadi memikirkan, mulai menaruh curiga pada Pendekar Penjaga Langit. Kenalan barunya ini sejak dari kedai nasi memang sudah tidak disukainya. Coba, baru bertemu dan kenal sudah mengumbar pujian yang selangit.
Memang sih, tidak salah memuji orang. Tetapi kalau berlebihan, kan orang juga berpikir. Janganjangan ada maksud yang kurang baik. Andika belum tahu 'udang di balik batu'nya. Cuma saja, ia jadi mera-sa bahwa apa yang dituduhkan Pendekar Ulos Sakti boleh jadi benar. Mungkin saja Pendekar Penjaga Langit ini adalah pelarian yang menyamar dan berpurapura baik. Apalagi Andika begitu yakin, bukan Pendekar Ulos Sakti yang membokong dengan senjata rahasianya. Ia betul-betul memergoki kelebatan bayang orang yang melarikan diri di balik rerimbunan sana.
Lalu apa isi surat yang dibaca Pendekar Penjaga Langit tadi" Mengapa ia tidak memberitahukan isi surat itu padanya atau murid-muridnya, dan tiba-tiba ia tahu harus melepas lima senjata rahasianya ke rerimbunan dekat pohon Kamboja" Dari mana ia tahu bahwa Pendekar Ulos Sakti bersembunyi di sana" Itulah pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di otaknya.
Andika belum menemukan jawaban secara pasti.
Tetapi jelas, ini ada suatu permainan! "Terus..., terus.... Ya, sikat!" suara Andika tiba-tiba.
"Goo, salah. Harusnya totok urat ketawanya, tub! Baru modar!"
"Salah, salah, Pendekar Penjaga Langit! Bukan begitu jurusnya." Andika nyerocos terus dengan konyol.
"Begini, nih. Lihat, ya.
Hup..., hup...." Andika lalu mendemonstrasikan sendiri jurus-jurusnya. Sayangnya, jurus-jurus itu adalah jurus-jurus silat tingkat dasar. Lagaknya mirip guru silat kampung yang sedang mengajar muridnya.
"Dan kamu, Pendekar Ulos Sakti, kamu juga salah. Mudah sekali nanti lawan memapakmu. Lihat, nih, begini. Hup..., hup...." Kembali Andika memper-tontonkan jurus-jurus blo'onnya. Kedua pendekar yang sedang mati-matian itu menghentikan pertarungan mereka.
Andika segera menyelesaikan gerakan-gerakan yang dipertontonkannya.
"Nah, kalau begitu kan bagus...," katanya bermaksud menunjuk kepada jurus-jurus konyolnya. Air muka Pendekar Penjaga Langit sangat tidak senang. Ia tidak senang ada orang lain yang mengganggu urusannya. Terlebih ia merasa baru saja mulai dapat mendesak lawan dan melihat secercah harapan untuk menang.
"Apa maksudmu, Pendekar Slebor" Kami sedang punya urusan!" kata Pendekar Penjaga Langit dengan berang.
"Kalian bertarung terus," Andika meneruskan perkataannya.
"Barangkali baru berhenti jika sudah ada salah satu dari kalian berdua yang tewas. Akan tetapi sebab-musababnya sendiri belum jelas."
"Tidak, Pendekar Slebor. Aku kenal betul...," belum lagi Pendekar Ulos Sakti selesai berbicara.
Beg! "Aaakh!" Tubuh Pendekar Ulos Sakti tiba-tiba terpental beberapa tongkat ke belakang. Sebuah pukulan jarak jauh Pendekar Penjaga Langit tiba-tiba mengenai dadanya. Pukulan itu demikian telak karena ia menggunakan kesempatan selagi Pendekar Ulos Sakti tidak waspada. Benar-benar suatu tindakan yang tidak terpuji! Pendekar Ulos Sakti terjengkang dengan luka dalam yang parah. Tapi ia berusaha bangun lagi. Pendekar Penjaga Langit sudah akan mengirim pukulan jarak jauhnya kembali, dan lawannya hampir bisa dipastikan tidak bisa menghindarkan diri. Ia meluruskan tangan kanannya tegak ke langit. Tampaknya yang kedua ini merupakan pukulan pamungkas dan akan mengakhiri hidup Pendekar Ulos Sakti.
"Hiiiaaa!" Pendekar Penjaga Langit melepaskan pukulannya. Matilah Pendekar Ulos Sakti! Oh... tidak, tidak. Malah Pendekar Penjaga Langit sekarang yang terjengkang. Gantian. Dan Pendekar Slebor tampak terhuyung-huyung beberapa langkah mundur lalu jatuh terduduk.
Melihat Pendekar Ulos Sakti sudah tidak berdaya lagi, rupanya Andika cepat-cepat melompat ke tengah serta menahan pukulan Pendekar Penjaga Langit. Ia telah merasakan kedahsyatan pukulan kenalan barunya, yang didahului dengan menegak-luruskan tangannya ke langit. Berarti pendekar ini benar-benar tidak bisa dianggap enteng.
Tetapi tujuan Andika bukan untuk melawan Pendekar Penjaga Langit. Lagi pula ia belum mengetahui duduk perkaranya secara jelas. Maka ia langsung bangkit menghampiri Pendekar Ulos Sakti. Digotongnya, kemudian melompat serta menghilang di kegelapan malam. Pendekar Penjaga Langit yang sudah duduk hanya terpana menyaksikan tindakan tamu yang baru dijamunya itu.
"

***

««::|{ 4 }|::»»

"Sekarang tahanlah untuk tetap duduk begini," kata Andika pada Patniraga yang sedang mengalami luka dalam yang parah.
"Aku akan menolong penyem-buhan lukamu." Lalu Andika duduk bersila di belakang Patniraga.
Ia menyilangkan kedua tangannya dimuka untuk berkonsentrasi sejenak.
Set! Set! Set! Tangannya bergerak cepat.
Plak! Plak! Kedua telapak tangannya menempel pada punggung Patniraga.
"Hhh...." Andika menghembuskan napasnya dengan berat tatkala ia mulai menyalurkan tenaganya ke dalam tubuh Patniraga. Detik demi detik berlalu. Keduanya memejamkan mata. Asap putih tipis mulai mengepul dari kedua tangan Andika. Makin lama makin tebal. Wajah dan dada Andika pun basah dengan keringat. Hingga Patniraga mengejang dan menjerit kesakitan.
"Aaakh!" Tubuh Patniraga terkulai. Ia tak sadarkan diri.
Andika membujurkannya telentang dan menutup dadanya dengan kain kotak-kotaknya. Kain kasar milik Patniraga diletakkannya di samping.
Matahari menjelang pada puncaknya tatkala Patniraga siuman.
"Dimana aku?" tanyanya begitu siuman.
"Ssst! Tenang, tenang. Kamu berada di tempat yang aman," jawab Andika seraya membantunya duduk. Patniraga masih celingak-celinguk kesana kemari.
"Dan masih berada di dunia, kok," lanjut Andika cengangas-cengingis karena memperhatikan tingkah laku Patniraga.
"Kau yang menolongku?"
"Nggak. Tadi ada malaikat lewat yang menolongmu." Patniraga menatap Andika sejenak.
"Oya, kau yang menolongku," kata Patniraga persis orang yang sembuh dari sakit ingatan.
"Terima kasih, Kawan."
"Panggil saja aku Andika."
"Kalau begitu, aku juga. Panggil saja aku dengan Patniraga."
"Ah, sudahlah. Nanti kalau aku kemalangan, gili-ranmu yang menolongku. Iya, kan" Hehehe.... Sudahlah. Minumlah dulu. Nih...," kata Andika mengulurkan minuman.
Kemudian Andika memberinya makanan dan membiarkannya menyantap dengan lahap.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Andika setelah Patniraga selesai makan.
"Rasanya segar dan kuat." Keduanya lalu tersenyum.
"Boleh aku bertanya, Ga?" Patniraga menghela napas.
"Sudah dua tahun aku mencari-carinya...," jawab Patniraga seolah telah tahu apa yang akan ditanya Andika. Ia menceritakan semua dengan panjang lebar.
"Begitulah. Aku mengetahui bahwa pelakunya adalah si Baringin. Ibu Ulima yang memberitahukan padaku.
Sebenarnya si Baringin sudah lama menginginkan Ulima menjadi istrinya. Namun Ulima tidak mau, Ia sudah telanjur mencintaiku, dan memilih aku menjadi calon suaminya."
"Lalu aku mengajak ibu Ulima dan menumpahkan segala kesedihanku di atas tanah kubur Ulima. Aku sama sekali tak menyangka akan begitu akhir seluruh harapan kami." Andika tertunduk dalam merasakan betapa pedihnya ditinggalkan kekasih demikian tragis. Diperkosa dan dibunuh! "Laki-laki itu laknat sejati! Ia pantas menerima hukuman dengan kematian." Tak sadar Andika berkata sendiri.
"Masih dengan kesedihan mendalam aku harus melapor tentang pelaksanaan tugasku pada Raja Sahala. Kau tahu" Di istana, beliau mengatakan bahwa si Baringin keparat itu sudah mencuri uang kerajaan.
Korupsi, An!" Jadi, ia telah membuat rencana rapi terlebih dahulu. Selain korupsi, ia bermaksud melampiaskan keinginannya yang tak tercapai pada Ulima. Bagi dia mungkin, lebih baik wanita yang di inginkannya dibunuh dari pada menjadi milik orang lain."
"Dasar laknat biadab!" maki Andika" sebrengsek-brengseknya aku dulu sebagai pencopet, tak pernah terlintas di otakku pikiran sejahat itu." Keduanya lalu diam terhanyut dengan perasaannya masing-masing.
"Ngomong-ngomong, kamu belum memberitahukan asalmu, Ga." Andika memutus hening.
"Aku dari tanah Toba, An. Dari daerah dalam kerajaan Raja Sahala".
"Oh, ya. Sesudah itu Raja Sahala memerintahkan aku untuk pergi mencari dan menghukum si Baringin.
Beliau memberi bekal lebih dari cukup. Hanya saja, aku tidak boleh kembali sebelum berhasil membunuh si Baringin."
"Dari mana kamu tahu kalau Pendekar Penjaga Langit itu adalah si Baringin yang kamu maksud?"
"Dia adalah pejabat istana, An. Aku sendiri sebenarnya cuma pendekar yang sering diminta bantuan oleh raja guna melakukan tugas tertentu. Aku sering keluar masuk istana dan mengenal si Baringin. Tidak jarang kami juga berbicara berdua. Jadi, aku mengenal betul tampangnya. Aku masih ingat sampai kini bagaimana tebal alisnya, bentuk hidungnya, garis-garis di dahinya serta lekuk-lekuk di wajahnya."
"Ah, masa'..." Suka gitu...," pancing Andika dengan gaya bercanda.
"Nuduh orang tanpa tahu pasti, dosa lho...."
"Aku kenal pasti. An!" jawab Patniraga tegas.
"Dia tidak punya saudara kembar. Itu juga aku tahu pasti!"
"Atau mungkin Pendekar Penjaga Langit cuma mirip-mirip dengan si Baringin." Andika terus menyelidik.
"Baiklah, kalau kau kurang percaya."
"Tidak. Bukan itu maksudku. Aku cuma mau tahu seberapa pastinya kau kenal Pendekar Penjaga Langit itu orang yang membunuh calon istrimu."
"Kau tentu melihat bagaimana dia memukulku dengan pukulan jarak jauhnya. Itu ciri khasnya. Banyak mengandalkan pukulan jarak jauh."
"Dan kau tahu An, sewaktu dia hendak memukulku yang kedua kalinya, dia menegakkan tangan kanannya ke langit, bukan" Itu adalah pukulan yang cuma dimiliki si Baringin. Namanya pukulan 'Tenaga Langit'. Menurutnya ia mengambil kekuatan dari langit untuk kemudian menggunakannya memukul lawan." Andika manggut-manggut. Sekarang ia baru percaya dengan pernyataan Patniraga.
"Sejak berkenalan, aku memang sudah menyangsikan Pendekar Penjaga Langit. Aku sudah menduga bahwa kebaikan yang dikatakan bapak pemilik kedai nasi kemarin siang adalah palsu."
"Benar. Kukira ia memang sengaja menutupi kebusukannya dengan menunjukkan kebaikan-kebaikan pada masyarakat." _ "Lalu bagaimana rencanamu sekarang, Ga?"
"Aku akan mempersiapkan diri kembali untuk, bertarung ulang dengannya."
"Maksudmu?"
"Dalam pertarungan kemarin aku sudah terdesak.
Ternyata ilmu silatku masih sedikit di bawah dia. Karenanya aku ingin berlatih lagi untuk meningkatkan ilmuku."
"Aku mendukung, Ga."
"Terima kasih, An. Tapi biarkan aku sendiri yang bertarung dengannya."
"Tentu. Tapi ada lagi yang mau kutanyakan."
"Apa itu?"
"Kau tahu siapa orang yang mengirim surat dengan melemparkannya bersama senjata rahasia kepada Pendekar Penjaga Langit?"
"Begini. Dalam perjalananku sebelum ini aku telah merasa dibuntuti oleh seseorang. Pernah aku memer-gokinya. Sayang, dia cepat sekali melarikan diri."
"Iya. Sewaktu aku memeriksa ke balik rerimbunan itu juga cepat sekali dia menghilang. Aku Cuma sempat melihat bayangannya saja. Seperti hantu."
"Dari situ, aku punya dugaan bahwa orang itu adalah adik si Baringin. Namanya Togap. Di daerahku dia terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna."
"Ooo.. aku tau sekarang!" potong Andika. Ia segera mengerti.
"Pantas saja Pendekar Penjaga Langit langsung tahu tempat persembunyianmu dan melempar senjata rahasia. Jadi dialah yang memberitahukan keberadaanmu pada Pendekar Penjaga Langit. Itu sebabnya juga ia seperti merahasiakan isi suratnya. Ya.. ya..
Aku mengerti sekarang."
"Akupun makin yakin sekarang, si Togaplah yang membuntutiku. Kemungkinan besar malah dari keberangkatanku ia sudah melakukannya."
"Wah, wah, wah. Kurang kerjaan itu orang. Dua tahun membuntutimu" Ck,ck, ck...."
"Tidak usah heran. Mungkin ia memperoleh uang jasa yang lumayan dari abangnya. Korupsi yang dilakukan abangnya besar lho, An."
"Fuih! Boleh juga dong kalau kubunuh si Togap.
Siapa tahu aku dapat menggantikan tugasnya. Kan, lumayan."
"Dasar kau!" Andika terbahak-bahak.

***

Beberapa hari telah berlalu.
Andika dan Patniraga sedang berjalan dengan santainya menyusuri sungai kecil yang jernih tempat mereka mandi tadi. Pagi terasa hangat karena cerah di langit.
"Pagi seperti ini enak sekali. Langit biru tak ada awan. Matahari sepuas-puasnya menyiram kita," kata Patniraga.
"He-eh. Juga baik untuk kesehatan tubuh kita."
"Aku heran pada orang-orang dari golongan hitam.
Mereka lebih banyak yang berlatih silat pada malam hari. Kan, lebih baik kalau pagi-pagi."
"Memangnya kamu sudah menyelidiki, apa?"
"Jangan menghina, ya. Di daerahku juga ada aliran hitam."
"Hehehe. Namanya juga hitam. Gelap. Ya, maunya yang gelap-gelap."
"Apa tidak cepat keropos itu badan latihan malam-malam."
"Mereka bisa mempelajari ilmu yang memperpanjang umur serta menjaga awet muda, kok."
"Benar juga ya."
"Ya. Awet muda, sehingga bisa mencari daun muda terus."
"Kambing apa?" tanggap Patniraga mesem.
"Mereka memang semua kambing-kambing kok.
Kalau tidak begitu, kenapa mereka selalu bikin onar dan berbuat jahat?"
"Dan kita cuma kebagian sisa-sisanya saja, ya."
"Kalau itu, sih, nggaklah ya. Nggak bakatan aku mau sisa-sisa kambing," jawab Andika lalu beer he-hehe.
"Ssst!" kata Patniraga menyuruh Andika menghentikan tawanya.
"Aku mendengar jeritan wanita." Andika ikut-ikutan memasang telinganya baikbaik.
"Ah, aku tidak mendengar apa-apa," kata Andika.
"Ssst! Aku mendengarnya lagi." Andika menautkan alis.
"Ayo turuti aku," kata Patniraga lalu melesat ke arah datangnya suara yang didengarnya.
Tidak lama kemudian keduanya menemukan suara itu berasal dari seorang wanita yang hendak digaga-hi. Wanita itu tidak berdaya sama sekali. Sepertinya ia telah ditotok sehingga tidak dapat mcnggerakkan anggota tubuh yang mana pun. Laki-laki itu mempermainkan si wanita sambil tertawa-tawa senang.
"Binatang!" teriak Patniraga ketika menyerbu.
Laki-laki itu terpaksa membuang tubuhnya ke samping lalu bergulingan di tanah untuk menjaga pundaknya tidak terkena tangan kosong Patniraga.
Dengan lentur ia segera bangkit dan bersikap siaga.
"Heh, Bocah! Kamu kurang ajar sekali. Masa tidak ada yang mengajarmu untuk tidak mencampuri urusan orang?" Mendengar ucehan itu, darah Patniraga makin mendidih. Tanpa pikir panjang lagi ia menyerang dengan beringas. Kemarahannya meluap-luap. Entah kenapa sekonyong-konyong ia menjadi dirasuki nafsu membunuh laki-laki ini. Ternyata tidak mudah bagi Patniraga untuk melampiaskan kemarahannya. Meskipun ia telah menyerang tanpa ampun dan tanpa memberi kesempatan lawan bernafas, tetap saja lawannya bisa meloncat kesana kemari serta menangkis pukulan dan tendangannya.
"Hati-hati, Ga. Kendalikan dirimu!" teriak Andika setelah memperhatikan sobatnya begitu emosi. Beg! "Ugh!" Selesai Andika memperingatkan Patniraga, apa yang dicemaskannya langsung terjadi. Ketika Patniraga maju dan memukul dengan kedua tangannya ke dada maupun kepala lawan, laki-laki itu berkelit se-dikit dan menghujamkan pukulannya ke punggung Patniraga. Pukulan itu tidak diberikan dengan tenaga maksimum, namun Patniraga cukup merasakan sakit akibatnya. Ia bergulingan dan bangkit pula. Dadanya terasa sesak. Di pinggir bibirnya terdapat segaris darah yang keluar dari mulut.
Laki-laki itu tak bergerak. Biasanya dalam keadaan yang demikian, yang terpukul akan menerima serangan kembali.
Ia cuma menoleh pada Andika.
"Kamu rupanya, Pendekar Slebor."
"Hallo, Biludak Tengik," sapa Andika seolah sedang bertemu dengan sobat lama.
Tiga kata sapaan itu saja yang sempat disimak laki-laki bernama Biludak Tengik tersebut. Selebihnya ia sudah kerepotan menghadapi serangan Andika.
Baru tiga jurus serangannya, Patniraga sudah berteriak.
"Biarkan aku yang meladeninya, Andika." Andika menghentikan pukulan-pukulannya.
"Silakan, Ga. Dengan senang hati." Andika mem-bungkuk sedikit sambil mempersilakan dengan tangannya.
"Manusia bau tengik ini tidak terlalu sulit, kok. Jangan cepat-cepat kamu habisi. Main-mainkan saja dulu, sebagaimana tadi dia mempermainkan wanita yang tak berdaya." Patniraga memegang kain kasar senjatanya.
"Heh, Biludak Tengik! Aku adalah Pendekar Ulos Sakti. Kau akan segera merasakan pembalasan dari ulosku ini atas perbuatanmu."
"Huahahaha.... Dengar dulu. Aku tidak punya urusan denganmu, Pendekar Kain! Aku punya urusan dengan Pendekar Slebor. Beri aku kesempatan bicara dengannya." Patniraga yang telah siap untuk mengkepretkan ulosnya tertegun dan melihat kepada Andika. Ada apa gerangan" Patniraga membatin.
"Hei, Pendekar Slebor," lanjut Biludak Tengik.
"Sudah lama kami tokoh-tokoh golongan hitam tidak mendengar kemunculanmu. Ke mana saja kamu?"
"Itu bukan urusanmu," jawab Andika.
"Huahahaha.... Baiklah. Itu bukan urusanku. Tetapi sekarang aku telah berhasil memancingmu keluar dari persembunyian rupanya. Jangan heran jikalau nanti kamu mendengar terjadi keonaran di manamana. Itu memang kami lakukan untuk memancing kemunculanmu. Ketahuilah bahwa kami para tokoh aliran hitam telah bersatu untuk membunuhmu! Dan setelah kita bertemu sekarang, aku rasa tidak lama la-gi kami akan mengirim tantangan padamu untuk bertarung." Agak terkesiap juga Andika mendengar perkataan Biludak Tengik. Namun itu cuma satu detik.
"Waduh, hebat juga aku, ya," kata Andika seolah-olah kepada dirinya.
"Hingga para tokoh aliran sesat harus bersatu untuk melawanku." Perkataannya sangat bernada mengejek.
"Kurang ajar kamu! Jangan menyebut kami dengan 'sesat'!"
"Memang sesat!" kata Patniraga tidak kalah keras.
"Kalau tidak sesat, kenapa sampai membuat keonaran" Kalau tidak sesat kenapa sampai kau tega hendak menggagahi wanita ini"
"Jangan ikut-ikutan kamu, Bocah!" ejek Biludak Tengik.
"Hei, Biludak Tengik yang sombong!" sergah Andika sebelum Patniraga menjawab.
"Mengenai tantangan kalian, itu soal nanti. Tetapi sekarang kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu." Mendengar perkataan Andika, Patniraga segera mengkepretkan ulos saktinya ke arah Biludak Tengik.
Ctaaar! Biludak Tengik menghindar ke kiri.
"Akh!" jeritnya kecil sambil meringis. Kedua tangannya menutup kuping yang berdenyut-denyut. Sama sekali tidak disangkanya suara kepretan ulos Patniraga begitu dahsyat. Beruntung dia memiliki kepandaian silat yang tinggi, sehingga tidak mengalami akibat yang fatal. Wanita malang yang masih telentang tak berdaya itu juga menjerit bersama Biludak Tengik. Bedanya, wanita ini menjerit lebih keras. Pengaruh suara kepretan itu lebih menyakitkan bagi telinganya.
Ctaaar! Patniraga menyerang Biludak Tengik dengan kepretan berikutnya. Biludak Tengik meloncat sejauhjauhnya agar dia mendapat kesempatan yang cukup guna menyalurkan tenaga dalam melindungi gendang pendengarannya.
Sementara itu Andika cepat-cepat bergerak ke arah si wanita malang yang menjerit lagi. Sebelum membebaskannya dari totokan Biludak Tengik, barulah Andika sadar akan kecantikan wanita itu.
"Pantas saja Biludak Tengik tergiur," batin Andika. Walaupun si wanita sedang meringis kesakitan, ia tetap terpesona mengagumi keindahan salah satu ciptaan Tuhan di jagat raya ini.
Ctaaar! Si wanita menjerit lagi.
Barulah Andika sadar akan ketololannya. Maklumlah, laki-laki. Segera dibukanya totokan Biludak Tengik, membangunkannya duduk, dan menekap kedua telinga si wanita.
Sebenarnya Andika bisa saja menyalurkan tenaga dalam untuk melindungi gendang pendengaran si wanita belaka. Tetapi, kok, ia khawatir jangan-jangan tidak cukup. Ia lebih percaya dengan menekap terus telinga si wanita, sehingga tak satu pun gelombang suara dapat masuk.
"Lagi pula lebih enak begini," katanya dalam hati.
Pikirannya yang nakal terbit.
Karena wajah mereka berhadap-hadapan dan cukup dekat, tak urung si wanita memandang juga pada Andika.
"Hai...," sapa Andika.
Tentu saja si wanita tidak mendengar apa-apa.
Cuma melihat gerak mulut Andika yang disertai dengan senyum nakal wajahnya yang tampan, wanita itu tertunduk merona. Rasanya ia ingin berontak karena jengah.
"Tapi bagaimana" Aku memang membutuhkan perlindungan tangan laki-laki ini," benaknya.
Dan itu berarti Andika dapat puas-puas memandangi kecantikan wajahnya.

***

««::|{ 5 }|::»»

Desa Tulodong berada di sebelah utara. Sampai hari ini dikenal sebagai desa yang aman tentram. Walaupun penduduknya hidup lebih sederhana dibanding kebanyakan desa-desa lain, namun mereka hampir tidak pernah mengalami gangguan yang berarti Kehidupan bertetangga berlangsung dengan baik. Praktek gotong-royong masih amat kental.
Kepala desanya, Pradana Wesa, dikenal hingga ke desa-desa yang jauh karena kepemimpinannya yang arif dan bijaksana. Sikap hidupnya yang sederhana pun menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Bahkan Prabu Bratasena sekali waktu pernah menawarkan padanya sebuah jabatan dalam kerajaan. Tak mungkin Prabu Bratasena menawarkan jika tidak melihat bukti kepemimpinan Pradana Wesa.
Akan tetapi justru desa seperti inilah yang menjadi sasaran Malaikat Siluman bersama istrinya, Nyi Bengis. Sengaja mereka berdua memilih desa Tulodong serta mengajak para pengikutnya untuk mengacau. Jika desa yang terkenal paling aman tentram mereka porak-porandakan, pasti kabarnya akan cepat meluas.
Harapan mereka, akan cepat pula terdengar oleh Pendekar Slebor sehingga ia muncul.
Begitu memasuki mulut desa mereka sudah menunjukkan kekejaman khasnya. Setiap laki-laki dewasa yang mereka jumpai pasti celaka. Boleh dikata, sasaran mereka adalah semua laki-laki dewasa di desa Tulodong. Yang di halaman disikat. Yang berada di dalam rumah dikejar.
Kegemparan tiba-tiba merebak. Para ibu serta anak-anak perempuan dewasa menjerit-jerit dan me nangisi suami atau ayah mereka yang dibunuh secara mengenaskan. Anak-anak kecil menangis ketakutan.
Bayi-bayi ikut-ikutan meraung karena mendengar riuh-rendah antara jeritan dan tangisan di sekitar mereka. Bagaimanakah menggambarkan keadaan ini secara lengkap" Sulit. Kengerian! Hanya kengerian belaka yang tampak. Jika ada orang yang mungkin melihat peristiwa ini dari kejauhan, barangkali bulu kuduknya akan berdiri. Terlebih lagi jika melihat ketidakber-dayaan orang-orang sederhana macam mereka ditindas oleh kekuatan manusia-manusia tanpa hati.
Tak usah menggeleng-gelengkan kepala. Ketidakadilan, penindasan maupun penganiayaan yang mirip dengan kejadian di desa Tulodong tersebut hingga kini masih berlangsung. Hanya mungkin bentuknya saja yang lain. Kalau dulu dilakukan dengan kekuatan, sekarang lebih banyak dilakukan dengan kekuasaan.
Baik kekuasaan birokrasi maupun kekuasaan dalam ekonomi. Barangkali pula sampai dunia kiamat dan suatu zaman baru datang, hal-hal seperti di atas baru berhenti.
Malaikat Siluman dan Nyi Bengis tertawa-tawa saja melihat nyawa-nyawa melayang sia-sia di tangan para pengikutnya. Bahkan kemudian mereka menerjang masuk ke dalam rumah Pradana Wesa, lalu membunuh seluruh anggota keluarga! Mau rasanya berteriak sekeras-kerasnya ke langit melihat itu semua. Tetapi seperti para ibu dan wanita lainnya yang juga melakukan hal yang sama, hal itu tidak memberikan perubahan apa-apa. Para pengikut Malaikat Siluman dan Nyi Bengis tidak sedikit pun menunjukkan belas kasihan. Perikemanusiaan mereka telah hilang direnggut oleh Iblis! Golok dan bumi telah basah oleh darah. Manusiamanusia tak berdosa telah mati dengan konyol oleh nafsu kebinatangan sepasang suami-istri aliran sesat itu. Mereka mati sebagai umpan, sekaligus tumbal! Hanya karena mereka menginginkan kemunculan Pendekar Slebor yang telah lama tak ada kabar sepak terjangnya lagi. Hanya karena mereka ingin menaklukkannya, sekaligus menjadi yang terbesar dan berkuasa kembali dalam rimba persilatan.
Asal tahu saja! Desa Tulodong bukan satusatunya yang mengalami petaka begini. Desa Tambak Sari di selatan, desa Lebak Lestari di timur, desa Sentul Reja di barat dan beberapa desa lainnya juga meradang dan menggelepar-gelepar dianiaya oleh tokohtokoh sesat persilatan yang lain. Jelas, sudah mereka rencanakan untuk mengacau di seluruh penjuru angin! Setelah puas, sebelum meninggalkan desa, para tokoh sesat itu selalu berkata, "Kami mencari Pendekar Slebor. Beritahukan padanya!" Tetapi tangisan dan jeritan tidak terhenti sejenak pun untuk mendengar perkataan itu. Bahkan beberapa ibu menjawab dengan sumpah serapah tidak karuan di tengah-tengah isakan. Sesudah itu mereka bertumbangan pingsan di atas tubuh suami mereka karena tiba-tiba melihat ketiadaan pengharapan.
Terus menangis, menjerit, dan pingsan, hingga malam datang dan matahari terbit kembali.

***

Setelah sebentar terdesak oleh serangan-serangan kepretan ulos yang merepotkannya, Biludak Tengik melakukan cara yang sama dengan Pendekar Penjaga Langit menghadapi Patniraga. Ia melakukan pertarungan jarak dekat.
Berpuluh-puluh jurus berlalu tanpa tanda-tanda salah satunya ada yang akan menang. Andika sejak tadi turut menonton bersama si wanita. Tangan Andika telah mulai terasa pegal menekap kupingnya. Tapi, ya..., namanya juga Pendekar Slebor. Sehari semalam pun dia betah disuruh begitu.
Entah karena iseng karena dari tadi tidak bisa bicara, atau karena bosan menonton pertarungan Pendekar Ulos Sakti dan Biludak Tengik yang tak kunjung usai, Andika melepaskan tangannya. Tapi sebentar saja! Bisa-bisa dia menjerit kesakitan lagi di depan kuping Andika.
"Siapa namamu, Dik?" tanya Andika lalu kedua tangannya kembali menekap. Yakin saja dia kalau wanita itu lebih muda darinya.
"Mirah...." malu-malu.
Dilepaskannya lagi tangannya.
"Mirah tinggal di mana?" Ditekap lagi.
"Di desa Sentul Reja." Dilepas lagi.
"Boleh tidak aku mengatakan sesuatu?" Ditekap lagi.
"Apa?"
"Kamu.... Ng, anu..., ng.... Apa, ya" Ng...." Andika ingin mengatakan bahwa Mirah cantik sekali. Tetapi ia sendiri ragu apakah yang ingin dikatakannya itu akan kedengaran gombal atau tidak. Wong baru kenalan, kok.
"Apaan, sih" Ngomong aja kok susah."
"Anu, ng...." Ctaaar! Mirah menjerit. Andika refleks menekap kembali telinganya. Refleks pula Mirah menarik kepalanya yang ia surukkan ke dada Andika ketika menjerit.
Mirah membuang mukanya yang dijalari hangat ke kiri untuk menjaga agar Andika tidak melihat kalau-kalau wajahnya memerah. Andika membuang mukanya ke kanan untuk menjaga agar Mirah tidak melihat senyum senangnya.
Setelah semuanya itu reda, Andika dan Mirah mengusir perasaan salah tingkah dengan menonton kembali pertarungan Patniraga. Sobatnya itu didapatinya belum kunjung dapat mendesak Biludak Tengik.
Tidak berapa lama, terbit gagasan di kepala Andika tentang serangan-serangan Patniraga.
"Hindari pertarungan jarak dekat, Ga!" teriaknya.
Patniraga mendengar. Namun ia tidak segera menurut. Diambilnya posisi bertahan sambil mempertimbangkan saran Andika. Setelah berpikir ada baiknya ia mencoba, barulah Patniraga mulai merenggangkan jarak.
Jarak renggang ternyata membuat Patniraga dapat lebih sering menggunakan senjata ulosnya. Makin sering ia menggunakan, makin keteteran Biludak Tengik.
Ctaaar! Ctaaar! Suara kepretan ulos Patniraga membahana.
Benarlah jika dikatakan Biludak Tengik sekarang sudah terdesak. Konsentrasinya betul-betul terpecah.
Di satu pihak ia harus menyalurkan tenaga dalam guna menjaga gendang pendengaran, di pihak lain ia harus memperhatikan serangan-serangan Patniraga yang datangnya bertubi-tubi.
Biludak Tengik sudah berusaha menghindar sebisa mungkin. Tetapi akhirnya, sebuah pukulan tipuan dari Patniraga dengan tenaga penuh mengenai tepat di dahinya. Ia terjajar. Kepalanya serasa mau pecah. Dunia di sekitarnya berubah menjadi berwarna jingga temaram. Segalanya berwarna kuning! Nalurinya sebagai seorang yang telah banyak makan asam garam dalam bertarung mengatakan bahaya yang mengancam nyawanya segera akan datang. Refleks ia membuang diri ke samping.
Ctaaar! Benarlah apa yang diduganya. Kepretan Patniraga mengenai tempat kosong. Tetapi tak cukup sebegitu saja. Patniraga terus memburu. Kali ini Biludak Tengik tidak sempat berbuat lebih jauh.
"Aaakh!" teriaknya keras. Ulos Patniraga menghantam punggungnya.
Tubuh Biludak Tengik terlempar tiga tombak bagai karung beras. Ia cuma mengejang sedikit lalu tidak bergerak lagi.
Patniraga menghela napas.
"Kau telah membayar lunas perbuatanmu, Biludak Tengik." Andika berpura-pura melongo menatap badan Biludak Tengik yang remuk terkena hantaman ulos sakti Patniraga. Ia terus saja menekap kuping Mirah.
"Sudah, dong," kata Mirah pelan.
"Eh,.... Oh iya. Jadi keterusan. Maaf, ya. Habis aku terkagum-kagum pada kehebatan ulos si Patniraga."
"Nggak apa. Terima kasih, ya."
"Ah. Mungkin aku yang harus berterima kasih."
"Maksudmu?" Mata Mirah sudah mau melotot.
"Eh, nggak, nggak...," jawab Andika mengangkat kedua telapak tangannya kepada Mirah. Takut diapa-apakan olehnya.
"Maksudku aku berterima kasih pada si Patniraga yang telah berhasil mengatasi Biludak Tengik. Soalnya kalau melihat ilmu Biludak Tengik, wah..., aku bisa kewalahan menghadapi."
"Oh, begitu."
"Iya. Begitu...," kata Andika sambil memalingkan muka, menahan senyum. Tetapi anehnya, Mirah juga menahan senyum.
Mirah adalah sosok wanita yang boleh dibilang tinggi, hampir setinggi Andika. Hal ini tampak jelas ketika ia bangkit berdiri di hadapan Andika. Rambutnya yang lurus tergerai sebahu juga kira-kira sama panjang dengan rambut Andika.
"Kelihatannya sih, cocok nih dengan aku," desis Andika dalam hati.
Mirah membetulkan pakaiannya. Sebetulnya tidak terlalu awut-awutan karena Biludak Tengik tadi tidak sempat berbuat macam-macam, namun tak urung perbuatannya membuat Andika berbalik dan menjauh.
Ia menghampiri Patniraga.
Setelah menepiskan debu yang menempel pada pakaiannya, Mirah mengambil ikat kepalanya yang terlepas dari tanah serta memakainya kembali. Kemudian ia berjalan mendekati Andika. Dari sudut matanya Andika tahu bahwa Mirah mendatanginya, namun ia terus saja bercakap-cakap dengan Patniraga.
"Pendekar Slebor." Mirah memotong pembicaraan mereka. Andika menoleh.
"Ah, panggil saja...." Andika tidak melanjutkan kalimatnya. Ia terpana memandang penampilan Mirah.
Yang di hadapannya sekarang adalah seorang wanita tegar. Sirna sama sekali pandangan tentang wanita lemah tak berdaya yang baru saja ditolongnya. Bahkan sebuah pedang telah tersandang di punggung wanita itu.
"Aku sebenarnya tengah mencarimu, Pendekar Slebor."
"Oh ya, begitu ya?"
"Kamu tidak mendengar kabar buruk yang terjadi?"
"Tidak."
"Kabar buruk apa?" Patniraga nimbrung.
"Orang-orang persilatan dari aliran hitam mencarimu, Pendekar Slebor."
"Ah, biar saja mereka mencari-cariku. Palingpaling mau mengajak bertempur. Apa sih kerja orangorang sesat itu" Ya, jauh dekat kan, cuma mau cari perkara saja. Coba mereka tidak selalu bikin kejahatan. Tidak perlu ada pertarungan dan tidak perlu ada darah yang tumpah," jawab Andika.
"Memang bukan itu kabar buruknya, Pendekar Slebor."
"Eh, ngomong-ngomong, jangan panggil aku dengan itulah. Aku lebih suka kamu panggil aku dengan namaku, Andika."
"Baiklah, Andika. Bukan itu kabar buruknya. Mereka sudah lama tidak mendengar kabar tentang dirimu. Karena itu untuk memancing kemunculanmu, mereka melakukan keonaran di sana sini."
"Apa maksudnya?" tanya Patniraga.
"Beberapa desa telah mereka porak-porandakan.
Mereka menjagal semua laki-laki dewasa itu yang dapat mereka temui di setiap desa tanpa perikemanusiaan. Semua laki-laki, Andika! Mereka cuma menyisakan anak-anak dan para wanita. Bumi desa kami telah menjadi danau darah!"
"Jadi kau berasal dari salah satu desa itu?" tanya Patniraga lagi.
Mirah menganggukkan kepala sambil memandang Patniraga.
"Mirah berasal dari desa Sentul Reja," jawab Andika.
"Kamu tadi mengatakan beberapa desa yang diperlakukan demikian," lanjut Andika.
"Dari mana ka-mu tahu?"
"Gerombolan Lampor Ireng lah yang menyerang desa Sentul Reja. Sehabis puas menjagal dan merusak, ia baru mengatakan bahwa mereka mencarimu, Andika. Ia berpesan, jika kamu mau bertemu dengan mereka, markas mereka ada di Bukit Dedemit. Ia juga memberitahukan bahwa ada desa-desa lain yang mengalami nasib yang sama. Dari situlah aku tahu. Lalu aku berpikir tidak ada jalan lain, selain harus mencarimu."
"Aku sudah berusaha menahan mereka. Namun jumlah mereka terlalu banyak. Apalagi kemampuan silat Lampor Ireng kunilai berada tiga tingkat di atasku.
Maka kupikir sebaiknya aku mundur dan menunggu waktu lain untuk membalas. Sialnya, dalam perjalanan mencarimu, aku bertemu dengan Biludak Tengik. Kemampuannya ternyata setingkat dengan Lampor Ireng.
Tidak terlalu sulit baginya untuk menaklukkanku." Andika menatap mata Mirah penuh selidik.
"Apa tujuanmu mencariku?" Mirah balas menatap tajam mata Andika.
"Siapa lagi yang kamu pikir bisa menghadapi mereka" Dan apakah kamu pikir kamu akan berpangku tangan saja?" tantang Mirah.
Beberapa jenak kemudian Andika tertunduk. Lalu ia berbalik, menaruh kedua kepalan tangannya di pinggang belakang dan berjalan beberapa langkah. Tidak ada yang berbicara.
"Mungkin aku tidak akan menang menghadapi mereka bersama," kata Andika.
"Aku akan membantumu, Andika," jawab Patnira-ga.
"Ya. Aku juga akan membantumu," jawab Mirah. Andika belum memberi reaksi.
"Yang terpenting sekarang, peristiwa ini tentu telah sampai ke telinga Prabu Alengka. Pasti beliau telah menjadi susah hati mengetahui rakyatnya dikacau oleh biadab-biadab itu," kata Andika.
"Langkah pertama yang harus diambil adalah menemui beliau untuk menjelaskan duduk perkara sesungguhnya. Aku tidak mau ada kesalahpahaman antara aku dengan beliau."
"Benar katamu," Patniraga yang telah biasa dengan urusan-urusan kerajaan segera menyetujui langkah Andika.
"Sekarang kau harus berangkat menemuinya. Aku akan menemanimu."
"Aku juga," tambah Mirah.
Andika berbalik menghadap mereka kembali. Kepalannya dilepaskan.
"Terima kasih, Sobat-sobatku."
"Sudahlah, bukankah katamu sendiri akan ada giliranku untuk menolongmu" Ayo, mari kita berangkat sekarang," ajak Patniraga.
Andika membalas senyum Patniraga. Ia merangkul Patniraga penuh keakraban.
"Yuk, Mirah. Kita berangkat sekarang," katanya sambil melangkah berdua dengan Patniraga, seolah tidak begitu mempedulikan Mirah.
"Tunggu!" bentak Mirah.
Mereka berdua tercekat dan berbalik.
"Aku masih ada perlu dengan Pendekar Slebor." Penuh tanda tanya di wajah Andika ketika ia mendekati Mirah.
"Ya?" tanyanya mengandung keingintahuan.
Mirah mendekati Andika.
Plak! Tiba-tiba tangan Mirah menampar wajah Andika.
Tentu saja Andika menjadi bengong. Tidak ada angin tidak ada hujan, tidak ada cemberut tidak ada marah, tahu-tahu cewek cantik ini menamparnya begitu saja.
Sakit juga. Andika mengusap-usap pipinya dengan kening berkerut.
"Kamu telah membuatku serba salah tadi ketika menekap kupingku terus."
"Hah" Tapi kan, aku mau menolongmu."
"Ya. Tapi aku bukan cewek bodoh. Kamu kan, bisa memberikan tenaga dalam saja untuk melindungi gendang pendengaranku. Tidak usah pakai memegang terus kupingku. Dan pipiku!" Selesai berkata begitu Mirah melengos dan menghampiri Patniraga.
"Yuk, kita jalan," katanya pada Patniraga.
Patniraga mau apa, coba" Ia cuma bisa nurut saja perkataan cewek cantik itu sambil tertunduk menahan tawanya melihat air muka si Andika.
"Dasar perempuan!" maki Andika dengan suara sekecil-kecil mungkin. Sebisik-bisik mungkin. Takut kedengaran Mirah.
"Hei! Tungguin aku, dong...," teriak Andika berlari me-rendengi mereka. Ia tidak mau berjalan di samping Mirah. Akibatnya Patniraga menjadi di tengah-tengah, di-kawal Mirah dan Andika.
Andika melirik Patniraga. Melihat muka Patniraga yang kerut-merut menahan tawa, segera disodoknya rusak kawannya itu dengan telunjuk.
"Adouw!" Akhirnya lepaslah tawa yang setengah mati ditahan sejak tadi.
Andika melotot pada Patniraga.
Mirah senyum-senyum melihat Andika.

***

««::|{ 6 }|::»»

Kerajaan Alengka memiliki daerah kekuasaan yang relatif tidak terlalu luas. Prabu Alengka sendiri adalah seorang raja yang cukup arif bijaksana serta bertujuan pada kesejahteraan dan keamanan rakyatnya. Rakyatnya sendiri pun amat senang mempunyai raja seperti dia.
Raja yang amat berdedikasi ini terkejut dengan kabar yang disampaikan oleh Menteri Keamanan. Beberapa desa dari seluruh penjuru angin telah dikacaukan oleh sekumpulan tokoh persilatan jahanam. Kekacauan ini berakibat pula pada terjadinya keguncangan di dalam istana.
Belum pernah terjadi sebelumnya peristiwa di mana wilayah kekuasaan Alengka digerogoti oleh pertumpahan darah seperti sekarang. Bayangkan, seluruh laki-laki dari desa-desa itu dikabarkan terbunuh seca-ra konyol tanpa ampun! Ini semua dilakukan mereka hanya karena mencari seorang manusia! Seorang manusia bernama Pendekar Slebor.
Segera saja Prabu Alengka memanggil para menterinya untuk rapat mendadak. Setelah beberapa lama berbicara Prabu Alengka segera mengetahui bahwa pengaruh peristiwa, teror tersebut benar-benar telah mengguncangkan istananya.
Hal ini terbukti dengan munculnya pro kontra terhadap Pendekar Slebor, meskipun mereka juga tahu bahwa Prabu mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Pendekar Slebor.
"Saya heran, Prabu, mengapa untuk mencari Pendekar Slebor saja, orang-orang itu harus mengambil korban para rakyat tidak berdosa. Kalau mereka memang cuma mencari Pendekar Slebor, harusnya ya..., carilah sendiri sampai ketemu. Jangan orang lain yang dibunuhi," kata Parameswara, Menteri Keamanan.
"Memang benar. Akan tetapi kita tahu bahwa tak ada asap jikalau tidak ada api. Ini semua terjadi kare-na Pendekar Slebor. Ia tentu membuat ulah yang membangkitkan kemarahan dari kaum persilatan golongan hitam," tanggap Hancahera, Menteri Kesejahteraan dan Perdagangan Rakyat.
"Setahuku Pendekar Slebor tidak pernah membuat ulah yang brengsek," jawab Parameswara.
"Kalau tidak, tentu kabarnya sudah kita dengar bersama, karena pengawasan keamanan yang kulakukan cukup baik. Kenyataannya, ia malah telah membantu Kerajaan Alengka selama ini dengan membasmi keangkara murkaan yang ditimbulkan golongan hitam."
"Bukan maksudku mengatakan Pendekar Slebor telah melakukan ulah yang brengsek," tangkis Hancahera.
"Tetapi kita semua maklum bahwa Pendekar Slebor itu masih muda. Ia juga masih muda dalam pengalaman, khususnya politik. Karena itu segala perbuatannya yang baik selama ini bisa dikatakan berlebihan."
"Apa maksudmu, Menteri Hancahera?" tanya Menteri Urusan Istana.
"Maksudku, Pendekar Slebor tidak tahu mengukur sampai di mana perbuatan baiknya harus dilakukan sehingga tidak menimbulkan reaksi yang lebih keras dari pihak hitam. Seharusnya ia memikirkan hal itu.
Sebab jika tidak, akhirnya rakyat juga yang jadi korban karenanya, bukan?"
"Tetapi mereka itu memang telah membuat keonaran. Jadi harus dibasmi!" jawab Parameswara.
"Bukan itu saja yang harus kita pikirkan, Menteri Keamanan. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana keadaan tentram, aman dan sejahtera dari Kerajaan Alengka dapat terjamin. Itu yang menjadi tugas dan konsentrasi pemikiran kita selaku pejabat-pejabat kerajaan. Siapa dan apa pun yang membuat terhalangnya jaminan ke arah situ, harus disingkirkan." Para menteri lain yang hadir dalam rapat mengangguk-anggukkan kepala menyetujui pendapat Menteri Hancahera.
"Maksud Menteri Hancahera bagaimana?" tanya Panglima Andipati.
"Apakah itu berarti Pendekar Slebor yang menjadi penghalang dan harus disingkirkan?"
"Aku berpendapat demikian," jawab Hancahera.
"Kenapa" Sebagaimana yang kujelaskan tadi, Pendekar Slebor itu masih hijau.
Masih terlalu idealis. Pikirnya, pokoknya yang jahat harus dibasmi. Itu cara berpikir orang yang masih hijau dalam politik. Karena itulah, para tokoh golongan hitam bangkit bersatu dan menuntut balas. Akibatnya, kita saksikan sendiri, rakyat yang kena getah." Para menteri lainnya mengangguk-anggukkan kepala kembali.
"Tidak itu saja," Hancahera masih melanjutkan bicaranya.
"Ulah Pendekar Slebor mengakibatkan terganggunya kesejahteraan rakyat dan perdagangan.
Pendeknya perekonomian Kerajaan Alengka jadi terganggu. Dan coba pikirkan, saudara-saudara sekalian, lebih jauh lagi mungkin sekali hal ini akan menjadi ancaman bagi Kerajaan Alengka." Sekali lagi para menteri lain menganggukanggukan kepala. Mereka kemudian melihat kepada Prabu yang tertunduk seperti terpekur.
"Itu tidak benar" Prabu mengangkat kepalanya.
"Aku berbicara begini bukan karena hubunganku cukup dekat dengan Pendekar Slebor. Beberapa dari kalian juga cukup kenal secara pribadi padanya. Tetapi kita harus tetap berbicara berlandaskan kebenaran dan berpikir untuk mencari kebenaran." Suara Prabu Alengka berat berwibawa.
Kalimat-kalimatnya pun berisi kearifan yang dalam. Tokoh-tokoh persilatan aliran hitam telah melakukan teror di masyarakat. Bahkan mereka telah menumpahkan begitu banyak darah rakyat dalam sekejap. Entah apa pun tujuan mereka, jelas ini adalah kejahatan. Dan aku menggaris bawahi, ini adalah kejahatan terbesar, karena belum pernah terjadi sebelumnya di kerajaanku. Ini yang pertama yang hendak kukatakan."
"Yang kedua, membasmi kejahatan adalah kebenaran. Walaupun Pendekar Slebor masih muda, selama ini ia turut membantu Kerajaan Alengka membasmi kejahatan. Jadi, dia tidak dapat dipersalahkan. Kalaupun para tokoh persilatan golongan hitam mau menuntut balas, silakan saja. Tetapi di sini kita seharusnya melindungi Pendekar Slebor, karena dia telah berjasa serta membela kepentingan Kerajaan Alengka."
"Yang ketiga, menyingkirkan Pendekar Slebor adalah kesalahan besar. Kita semua telah mahfum bahwa aliran hitam adalah dalang keonaran. Menyingkirkan Pendekar Slebor tidak akan menghentikan keonaran yang ditimbulkan mereka. Percayalah, mereka akan terus-menerus berbuat sekehendak hati mereka yang merugikan rakyat dan Kerajaan Alengka. Apalagi jika Pendekar Slebor telah disingkirkan, mereka bisa dibilang tidak memiliki penghalang yang berarti lagi. Kesimpulannya kehilangan Pendekar Slebor, Kerajaan Alengka akan rugi. Sebab kehilangan seorang pendekar yang dapat diandalkan untuk memerangi kejahatan, sekaligus guna menjamin kesejahteraan dan keamanan rakyat itu sendiri." Ruangan itu jadi agak ribut karena para menteri membicarakan pendapat Prabu. Kecuali Hancahera, tak lama kemudian mereka serempak berkata, "Kami setuju dengan pendapat Prabu." Prabu Alengka memandang Menteri Hancahera yang masih diam.
Akhirnya Hancahera bangkit berdiri.
"Apa yang Prabu katakan benar. Hamba setuju dengan pendapat Prabu." Semua menteri menghela napas lega.
"Kalau begitu, kita harus segera mencari Pendekar Slebor. Tugas ini saya serahkan pada Menteri Keamanan." Parameswara segera berdiri.
"Daulat, Prabu. Perintah ini akan segera hamba laksanakan." Tiba-tiba seorang prajurit istana datang mengaturkan sembah pada Prabu Alengka.
"Ampun, Paduka. Jika rapat telah mengizinkan, seorang di luar bernama Pendekar Penjaga Langit datang hendak berbicara kepada Paduka dan rapat di sini."
"Siapakah dia, Parameswara" Rasanya aku baru mendengar namanya." tanya Prabu pada Menteri Keamanan.
"Oh, dia adalah pendiri Perguruan Kemangi Sariadi. Perguruan itu masih tergolong baru, Paduka. Baru berdiri hampir setahun. Menurut kabarnya Pendekar Penjaga Langit adalah orang seberang, tetapi hamba belum tahu tepatnya dari daerah mana. Cuma menurut masyarakat sekitar perguruan itu, dia adalah seorang yang baik hati."
"Baiklah. Suruh dia masuk." Prabu Alengka memang terkenal pula sebagai raja yang dekat dengan rakyat dan selalu terbuka menerima siapa saja yang hendak berbicara padanya.
Pendekar Penjaga Langit memasuki ruangan dengan tenang, tanpa setitik pun menunjukkan tingkah laku yang salah tingkah dan semacamnya di tengahtengah kumpulan pembesar kerajaan tersebut. Tenang pula dia membetulkan pakaiannya lalu menekuk lutut mengaturkan sembah.
"Terimalah sembahku, Gusti Paduka Prabu. Terimalah pula hormatku kepada seluruh pembesar Kerajaan Alengka di sini."
"Berdirilah, Pendekar Penjaga Langit. Apakah gerangan yang hendak kamu katakan?"
"Beribu-ribu ampun, Gusti Paduka Prabu, jika saya dianggap lancang menemui pada saat rapat ini berlangsung."
"Tidak apa. Kami sudah selesai membicarakan masalahnya. Tidak apa," jawab Prabu Alengka lunak.
"Begini, Gusti Paduka Prabu. Hamba kira Gusti Paduka Prabu telah mendengar kabar musibah yang melanda beberapa desa di wilayah Kerajaan Alengka.
Hamba ingin menyampaikan rasa penyesalan dan prihatin atas kejadian-kejadian itu. Terus terang, hamba merasa geram pada para tokoh persilatan aliran hitam itu, Gusti Paduka. Hamba ingin membalaskan kekejaman mereka." Prabu Alengka terus mendengarkan.
"Perbuatan mereka sungguh tidak bisa diterima.
Kasihan rakyat yang menjadi korban. Nah, jikalau Gusti Paduka Prabu berkenan, hamba ingin membantu untuk membasmi mereka. Demikianlah yang hendak hamba sampaikan dalam kesempatan yang berharga ini." Prabu Alengka tersenyum.
"Dari manakah asalmu, Pendekar Penjaga Langit" Kabarnya kamu berasal dari negeri seberang."
"Betul, Gusti Paduka. Hamba dari sebelah timur pulau Borneo, dari sebuah daerah yang bernama Tarakan."
"Boleh aku tahu, gerangan apakah yang mem-buatmu ingin membantu Kerajaan Alengka, Pendekar Penjaga Langit?"
"Hamba kira semua orang yang masih normal hatinya pasti akan membenci segala perbuatan kejam dan tak berperikemanusiaan macam yang dilakukan mereka, Gusti Paduka. Hamba pun demikian. Lagi pula, meskipun hamba baru satu tahun bermukim di wilayah kerajaan Gusti Paduka, hamba sudah merasa memiliki kerajaan yang sejahtera ini. Bukankah peribahasa mengatakan, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, Gusti Paduka?"
"Hm, baiklah. Niatmu itu baik sekali, Pendekar Penjaga Langit. Kamu bisa memberikan andil bagi bumi yang kamu pijak sekarang. Lihatlah nanti, di mana dan kapan kamu bisa membantu."
"Hamba mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Gusti Paduka berikan untuk membuktikan ucapan hamba tadi. Hamba juga akan meminta para murid hamba untuk bersedia membaktikan diri bagi Kerajaan Alengka tercinta ini." Prabu Alengka menganggukkan kepala tanpa merubah air mukanya.
"Sekarang perkenankanlah hamba mohon diri pada Gusti Paduka Prabu serta para pembesar kerajaan di sini." Selesai berkata, Pendekar Penjaga Langit menghaturkan sembah dan meninggalkan istana.
"Berarti kita mendapat dukungan dari satu pendekar lagi, Paduka," kata Menteri Keamanan setelah Pendekar Penjaga Langit menghilang.
"Ya. Tetapi karena dia orang pendatang, tolong perhatikan dia, Menteri Parameswara. Aku tidak mau ada orang yang memancing di air keruh," jawab Prabu Alengka.
"Baik, Paduka."
"Sekarang aku menugaskan semua menteri untuk memikirkan langkah-langkah apa yang harus kita lakukan guna menghadapi para tokoh persilatan aliran hitam itu. Besok kita akan bicarakan kembali." Prabu Alengka menutup rapat tersebut, dan para menteri meninggalkan ruangan.

***

Seharian berjalan kaki membuat tubuh menjadi lelah juga. Kerajaan Alengka masih satu hari perjalanan lagi jauhnya, sementara rembang sore telah menguasai alam. Segala sesuatu yang hidup memerlukan istirahat. Demikianlah kata pepatah: Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah" Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Maka ketika Andika mengajak Mirah dan Patniraga beristirahat, tidak ada yang menolak.
"Apa, sih, sebenarnya yang membuat para tokoh persilatan golongan hitam itu mencarimu, Andika?" tanya Patniraga sesaat setelah merebahkan dirinya.
"Aku rasa sih, mereka hendak merajai kembali dunia persilatan, sekaligus menuntut balas atas kematian teman-teman mereka yang kuhabisi," jawab Pendekar Slebor.
"Rupanya kau pendekar yang sangat disegani juga, ya?"
"Wah, disegani bagaimana" Orang-orang menyebutku Pendekar Slebor. Yang namanya orang slebor, mana ada yang disegani?"
"Weh, mungkin saja. Perilakumu mungkin slebor, tetapi kemampuan silatmu yang tinggi bisa saja membuatmu disegani."
"Ah, tidak ada itu. Aku ini biasa saja. Orang-orang saja yang menilaiku keterlaluan. Aku harap kau jangan ikut-ikutan merekalah."
"Hehehe. Kau pandai pula merendah rupanya. Ah, semaumulah. Aku rasanya capek. Biarkan aku tidur dulu barang sejenak," kata Patniraga lalu membalikkan tubuhnya membelakangi Andika. Tak lama kemudian Patniraga sudah mengorok! "Mungkin dia kelelahan sehabis bertarung dengan Biludak Tengik, Andika," kata Mirah.
Terbersit satu pikiran dalam kepala Andika.
"Kalau begitu mari kita menjauh sedikit dari sini, supaya obrolan kita jangan mengganggunya." Mirah menurut saja mengikuti Andika pindah kira-kira sejauh lima puluh tombak.
"Aku belum minta maaf padamu atas kelancanganku tadi," kata Andika.
"Memang aku bisa saja men-gerahkan tenaga dalamku untuk melindungi gendang telingamu, tapi aku begitu khawatir kalau-kalau itu tidak cukup. Jadi aku menekap kupingmu terus."
"Tidak apa-apa, Andika. Aku sudah memaafkanmu, kok." Andika mengusap-ngusap pipinya.
"Tamparanmu sakit juga ya, Mir," Andika menyin-dir.
"Habis kamu kurang ajar, sih."
"Aku belum pernah ditampar cewek, Iho." Mirah malah tertawa kecil.
"Eh, dibilangin malah ketawa."
"Jadi, harus bagaimana, dong?"
"Obatin, kek. Minta maaf, kek. Ini malah ketawa." Andika membuat mulutnya monyong. Cemberut.
"Ngobatinnya gimana?"
"Ya..., gimana, kek. Dielus-elus dengan tanganmu juga bisa."
"Ih! Kamu ini benar-benar kurang ajar, ya". Wajah Mirah segera bersemu dadu.
"Aduh, maaf deh, maaf. Jangan marah, dong. Kan aku cuma bercanda."
"Tuh, kan. Kamu ini memang betul-betul slebor, Andika. Jarang pernah bisa serius," kata Mirah, ngam-bek.
"Masa'" Sok tahu kamu, ah."
"Kalau gitu, salah dong orang menyebut kamu Pendekar Slebor."
"Iya deh, iya. Maklumlah, Mir. Aku ini berasal dari kalangan rakyat jelata.
Bahkan dari kalangan bawah sekali. Jadi tingkah lakuku, ya begini ini."
"Masa' iya?" Lalu Mirah mencibir.
"Kamu ini benar-benar sok tahu, ya. Dibilangin malah mencibir gitu. Aku ini bekas anak tukang copet, tahu. Belum lagi besar aku sudah menjalankan pekerjaan itu. Kamu ngerti kan, tukang copet itu bagaimana" Nggak ada tukang copet yang kaya dan terhormat. Bos tukang copet mungkin ada satu dua. Tapi, ya begitu. Hidupnya munafik."
"Kamu, nih, bercanda atau serius, sih?"
"Nah, kamu sekarang beruntung bertemu dengan sifatku yang jarang. Serius."
"Masa' iya, sih?" Mirah menyelidik sambil cengar-cengir.
"Aku rasanya kurang percaya kamu serius."
"Eh, bandel! Masih saja tidak percaya aku ini serius." Mirah terkikik.
"Mungkin kamu itu kebiasaan bercanda, An." Ja-di kalau kamu serius, tetap saja kelihatan bercanda."
"Konyol!" kata Andika mangkel.
"Tapi sepertinya kamu nggak punya tampang tukang copet, tuh."
"Oh ya" Kenapa kamu menilai begitu" O, aku tahu, deh...," Andika tersenyum nakal. Hal ini membuat Mirah penasaran.
"Apaan?"
"Kamu menilai begitu karena tampangku cakep, kan?"
"Idih..., gede rasa."
"Alah, ngaku aja, deh...."
"Ih, sok tahu!"
"Aku memang tahu, kok. Aku bahkan tahu, sejak berangkat sama-sama kamu suka mencuri pandang padaku," cerocos Andika seolah tak peduli dengan ke-jengahan Mirah.
Mirah tak tahu lagi apa yang mesti dikatakannya.
Begitu saja perkataan Andika, dia sudah seperti ditelanjangi. Tak tahan lagi dia dengan salah tingkahnya sendiri. Mirah bangkit dan berjalan ke sebuah pohon di dekat situ. Ia memetik daunnya sehelai dan mempermainkannya.
"Tuhan, cowok ini telah membuatku malu... sekali. Mataku juga tidak tahu diri untuk tidak mencuri pandang padanya. Uh! Mau kucungkil saja mata yang bikin aku malu begini," kata Mirah dalam hati.
Belum puas Mirah menyampaikan keluhannya pada Tuhan, tahu-tahu Andika telah ada di dekatnya.
"Mir, jangan marah, ya. Aku tahu kalau kamu suka curi pandang karena aku suka curi pandang padamu. Habis kamu cantik sekali, sih." Glegar! Petir menyambar di hati Mirah. Perasaannya campur aduk mendengar pengakuan Andika.
Marah, jengkel, tetapi juga senang dan berbungabunga. Tanpa sadar ia berlari-lari kecil ke tempat Patniraga sedang tidur.
Otomatis, Andika pun beranjak pula ke sana. Ia merebahkan pantatnya di sisi Mirah.
"Jangan di sini ngobrolnya dong, Mir."
"Sebodo."
"Kan, nggak enak didengar si Patniraga nanti."
"Sebodo!"
"Eh, jangan keras-keras, dong. Nanti si Patniraga bangun."
"Sebodo!"
"Waduh! Kalian ini gimana, sih." Patniraga ter-bangun.
"Tidak kasihan sama aku.
Baru tidur sebentar saja sudah diganggu."
"Tuh, kan.... Apa kubilang."

***

««::|{ 7 }|::»»

Bukit Dedemit dilanda duka yang mendalam. Malam ini dilaksanakan pertemuan para tokoh persilatan golongan hitam yang kedua kalinya. Setelah menanti kedatangan Lampor Ireng yang agak terlambat hadir, mereka segera tahu nasib yang menimpa rekan mereka, Biludak Tengik.
"Dalam perjalanan menuju kemari, aku menemui mayatnya," lapor Lampor Ireng.
"Aku tidak tahu apakah ini perbuatan Pendekar Slebor atau tidak. Tetapi melihat penyebab kematiannya, aku rasa mungkin juga dia yang melakukan." Kumpulan tokoh aliran hitam itu memaki-maki Pendekar Slebor tak karuan. Jasad Dedemit mengepalkan tangannya kuat-kuat. Geram sekali dia.
"Apa yang kau lihat sebagai penyebab kematian Biludak Tengik, Lampor Ireng?" tanya Jasad Dedemit.
"Punggungnya remuk sama sekali! Setelah kuperiksa, tak mungkin itu diakibatkan pukulan tangan kosong. Aku yakin itu akibat pukulan sebuah senjata yang cukup besar dan tidak tajam. Salah satu kemungkinannya, dihantam lecutan kain catur Pendekar Slebor." Mereka menyangka Pendekar Slebor yang telah membunuhnya, padahal Biludak Tengik mati di tangan Pendekar Ulos Sakti.
"Bajingan! Belum lagi kita bertemu dengan bocah itu, ia sudah membunuh salah satu dari kita! Awas kalau bertemu denganku nanti. Bukan cuma punggungnya kuremukkan. Seluruh tubuhnya yang kuhancur leburkan!" Serapah Betot Nyawa.
"Sudah! Tidak ada gunanya kita memaki dia di sini," Jasad Dedemit menengahi.
"Hendaknya peristiwa ini menjadi suatu pelajaran tambahan bagi kita semua, bahwa kita takkan mungkin bisa mengalahkan Pendekar Slebor secara sendirian."
"Jadi bagaimana langkah kita selanjutnya?" tanya Nyi Bengis.
"Kita telah melakukan tugas pertama kita dengan baik," jawab Jasad Dedemit.
"Kabarnya pasti sampai ke telinga Pendekar Slebor. Jadi kupikir, sebaiknya sekarang kita menunggu dia muncul."
"Bagaimana kalau dia tidak muncul juga?" tanya Lampor Ireng.
"Kita akan mengulang apa yang telah kita lakukan kepada desa-desa lainnya." Para tokoh itu kemudian tenggelam dalam keheningan.
"Aku ada usul." Betot Nyawa menyeruak.
"Ya?"
"Kita tahu bahwa Pendekar Slebor cukup dekat dengan Prabu Alengka. Barangkali ada baiknya kita mengirim sepucuk surat pada Prabu itu agar dia segera menyerahkan Pendekar Slebor apabila bertemu dengannya."
"Bagaimana jika dia tidak mau?" tanya Malaikat Siluman.
"Kita katakan padanya bahwa kita akan mengacau wilayah kekuasaannya apabila tidak mau. Ini akan menjadi ancaman serta desakan baginya," jawab Jasad Dedemit.
"Akan tetapi hal itu bisa membuat kerajaan Alengka dan Pendekar Slebor memerangi kita," tanggap Nyi Bengis.
"Mereka tidak akan berani," jawab Jasad Dedemit kembali.
"Alengka bukan kerajaan besar. Mereka tidak akan mampu melawan kekuatan kita bersama-sama."
"Baiklah kalau begitu. Kami serahkan urusan surat kepada Prabu Alengka kepadamu, Jasad Dedemit."
"Baik. Aku akan melaksanakan secepatnya." Para tokoh persilatan aliran hitam itu lega, bahwa rencana mereka akan berhasil.

***

"Ampun, Paduka Prabu. Hamba terpaksa menghadap Paduka, karena di luar seorang utusan dari para tokoh persilatan golongan hitam memaksa bertemu dengan Paduka. Dia mengatakan membawa surat yang amat penting dan mendesak." Suasana rapat antara Prabu Alengka dengan para menteri sore itu berubah menjadi tegang. Tidak dinyana ketika sedang membicarakan langkah-langkah yang akan diambil guna menghadapi teror dari para tokoh persilatan aliran hitam, datang seorang utusan dari mereka. Prabu Alengka tertegun seketika.
"Suruhlah dia masuk."
"Daulat, Prabu." Tidak berapa lama kemudian prajurit istana itu telah kembali mengantarkan sang Utusan.
"Saya disuruh mengantarkan surat ini kepada Prabu," kata utusan itu langsung. Ia menyodorkan surat pada Prabu Alengka.
"Hei! Kurang ajar kamu! Hayo cepat mengaturkan sembah dahulu!" hardik Parameswara, Menteri Keamanan.
"Sudahlah, Parameswara. Orang seperti mereka ini sulit untuk diajar tata krama." Prabu Alengka menengahi.
"Percuma saja kamu memaksanya." Prabu Alengka mengambil surat dari tangan utusan tersebut, lalu membacanya. Sejurus kemudian Prabu Alengka tampak berpikir.
"Sekarang cepatlah kamu pergi dari sini," katanya pada utusan itu.
"Katakan pada tuanmu bahwa aku sudah menerima suratnya. Tetapi tidak akan ada satu kata pun jawabanku atas surat ini."
"Baiklah. Tetapi segala sesuatunya menjadi tang-gunganmu," jawab utusan itu lagaknya seorang pembesar.
"Oh, tentu, tentu," jawab Prabu Alengka kalem.
"Tetapi kamu ini cuma seorang utusan. Daripada banyak bicara di sini lebih baik kamu cepat pulang menyampaikan kabar pada tuanmu. Kalau kamu cepat pulang, tentu tuanmu juga akan senang." Utusan itu mendengus. Acuh tak acuh dia melangkah keluar. Dia tidak peduli dengan para menteri yang geram melihat sikapnya.
"Aku ingin membacakan isi surat ini pada saudara Menteri semua, sehingga kalian mengerti masalah apa lagi yang harus kita pecahkan." Jelas dan tegas suara Prabu Alengka ketika membacakan. Prabu Alengka, Kami yakin tidak lama lagi orang yang kami cari akan muncul. Sementara itu kami minta Anda juga turut mencarinya serta memberitahukan atau menyerahkannya pada kami. Cepatlah melakukan tugas ini supaya rakyatmu tidak mengalami celaka.
"Kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Sejak kapan orang-orang sesat itu berani memerintah Raja," kata Panglima Andipati berang.
"Sejak sekarang ini," sahut Prabu Alengka tenang.
Semua mata memandangnya.
"Tidak usah heran. Itu karena mereka merasa bahwa kekuatan mereka lebih kuat dari kita. Kalau mau, mereka memang dapat menumbangkanku dari tampuk kekuasaan. Itu harus kalian pahami. Bahkan menurut perkiraanku, bersama-sama dengan Pendekar Slebor dan Pendekar Penjaga Langit pun mungkin kita tetap takkan mampu mengalahkan mereka." Para menteri itu jadi terdiam.
"Tetapi jangan takut. Kita pasti mempunyai jalan untuk mengatasi mereka."
"Lalu bagaimana sikap Paduka terhadap tuntutan mereka dalam surat itu?" tanya Hancahera, Menteri Kesejahteraan dan Perdagangan Rakyat.
"Aku tidak akan tunduk sedikitpun pada tuntutan mereka. Jangan pikir dengan jalan teror mereka dapat membuatku tunduk!" Selesai Prabu Alengka berkata demikian prajurit istana kembali masuk.
"Ampun, beribu-ribu ampun, Paduka Prabu.
Hamba memberanikan diri menemui Paduka lagi, karena mungkin ini ditunggu-tunggu oleh Paduka dan para Menteri."
"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Alengka tidak sabar karena ia mulai merasa terganggu.
"Kali ini yang datang hendak menghadap Paduka adalah Pendekar Slebor bersama dua orang rekannya.
Apakah Paduka sudi menerimanya?" Prabu Alengka seketika menjadi cerah. Para menteri berpandang-pandangan satu dengan yang lain.
"Suruh dia masuk. Cepat!" Tak lama kemudian Andika, Mirah, dan Patniraga memasuki ruangan. Setelah mengaturkan sembah pada Prabu Alengka, mereka merasa canggung melihat para pembesar istana sedang berkumpul demikian serius.
"Silakan duduk, Pendekar Slebor."
"Apakah kami mengganggu, Paduka Prabu" Prajurit istana tadi tidak memberitahukan pada kami bahwa sedang berlangsung pertemuan ini."
"Ah, tidak apa-apa. Duduklah bersama temantemanmu dan ikut berbicara dalam rapat ini, sebab ini juga menyangkut tentang dirimu." Dengan masih ragu-ragu Andika mengajak Mirah dan Patniraga duduk. Ia memperkenalkan kedua temannya kepada seluruh yang hadir.
"Aku bersyukur kamu cepat muncul, Pendekar Slebor. Tadinya kami sudah pusing juga memikirkan masalah ini."
"Ng..., maafkan hamba, Paduka. Adapun kedatanganku kemari adalah berkaitan dengan peristiwaperistiwa yang kudengar. Beberapa desa di wilayah Kerajaan Alengka telah menjadi korban keganasan para tokoh persilatan aliran hitam. Mereka lakukan semua itu adalah untuk memancing kemunculanku."
"Aku ingin mengatakan kepada Paduka bahwa aku sama sekali tidak ada membuat ulah yang jelek, sehingga aliran hitam menjadi marah. Kurasa mereka berbuat begitu cuma karena ingin menuntut kematianku dan menguasai kembali dunia persilatan."
"Aku paham sekali, Pendekar Slebor," sahut Prabu Alengka.
"Aku pun tidak menyangka yang bukan-bukan padamu."
"Kalau demikian halnya, hamba mengaturkan terima kasih, Paduka," jawab Andika seraya menjura.
"Tetapi..., kita bicara langsung pada intinya saja.
Menurutku, tak ada jalan lain kecuali kamu beserta teman-temanmu secara bersama-sama membantu Kerajaan Alengka menghadapi mereka."
"Dengan senang hati kami membantu, Paduka Prabu."
"Oh, iya. Aku lupa memberitahukan bahwa Pendekar Penjaga Langit juga menyediakan dirinya pula untuk membantu. Dengan demikian kita memiliki harapan untuk mengatasi mereka." Serta merta Andika dan Patniraga terbengongbengong.
"Punggawa!" Dengan tergopoh-gopoh prajurit istana memasuki ruangan.
"Cepat panggilkan Pendekar Penjaga Langit untuk datang kemari," perintah Prabu Alengka.
"Tetapi, Paduka, apakah Paduka telah tahu siapakah orang yang menyebut dirinya Pendekar Penjaga Langit itu?" Sergah Andika selagi prajurit istana itu melangkah meninggalkan ruangan.
"Ya. Menteri Parameswara yang memberitahukannya padaku."
"Kenapa, Pendekar Slebor?" tanya Parameswara.
"Pendekar Ulos Sakti, temanku ini, tahu betul sia-pa orang itu." Andika menoleh kepada Patniraga.
"Ng..., sebenarnya aku tidak bermaksud sama sekali untuk membukakan rahasia ini kepada pembesarpembesar istana Kerajaan Alengka yang mulia di sini.
Namun sekiranya saya diminta, apa boleh buat...," jawab Patniraga.
"Silakan, Pendekar Ulos Sakti. Kebenaran ini tidak perlu kamu tutup-tutupi," kata Prabu Alengka.
Dan Patniraga pun menceritakan semuanya, ditambah bukti-bukti yang menguatkan bahwa Pendekar Penjaga Langit adalah benar-benar si Baringin yang di-carinya.
"Sebetulnya aku pun sudah curiga pada Pendekar Penjaga Langit itu," tanggap Prabu Alengka setelah Patniraga selesai bercerita.
"Di hadapan kami kemarin, ia mengaku berasal dari daerah Tarakan di Borneo Timur. Aku sendiri bersahabat dengan raja Borneo Timur. Aku juga telah beberapa kali berkunjung ke sana.
Akan tetapi setahuku tidak ada daerah bernama Tarakan di sana. Itulah sebabnya aku memerintahkan Menteri Keamanan untuk memperhatikan Pendekar Penjaga Langit."
"Jadi begini saja," sambung Prabu Alengka.
"Pendekar Penjaga Langit akan tiba di sini besok pagi. Nah, sebaiknya kalian bertiga istirahat dahulu. Besok saja kita selesaikan persoalan ini." Pendekar Slebor, Mirah, dan Patniraga mengaturkan sembah lalu pamit. Mereka diantarkan seorang pengawal istana ke kamar masing-masing.
"Aku menduga pertarunganku dengan si Baringin akan terjadi lagi dalam beberapa hari ini. An," kata Patniraga setelah mereka berdua merebahkan diri di kamar.
"Aku rasa juga demikian. Mungkin bisa jadi besok saat dia tiba di sini, Ga."
"Berarti aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk berlatih guna meningkatkan ilmu silatku." Andika tidak segera menjawab.
"Alah! Selama ini yang menjadi kelemahanmu, kalau kuperhatikan, selalu terpancing masuk ke dalam pertarungan jarak dekat. Padahal kamu tidak kuat di situ."
"Ah, iya. Di situ memang kelemahanku. An. Sebaiknya aku bertarung seperti menghadapi si Biludak Tengik kemarin saja."
"Nah, kamu sudah tahu apa yang harus dilakukan sekarang."
"Ya ya ya. Aku tahu sekarang bagaimana menuntut balas pada si begajul korup itu!"
"Apa?" tanya Andika.
Patniraga menoleh pada Andika yang tidur di sampingnya.
"Ya, menjaga jarak pertarungan, kan?"
"Bukan!" Dahi Patniraga berkerut.
"Wah, talilut juga, nih," kata Andika.
"Apaan, dong?"
"Tidur, tahu!" jawab Andika lalu membelakangi Patniraga.
"Ah! Brengsek kau!" maki Patniraga. Telunjuknya memukul kepala Andika, lalu berbalik pula membelakangi Andika. Andika terkekeh-kekeh.
Tak lama kemudian keduanya sudah lelap tertidur saking lelahnya.

***

Burung-burung berkicau riang. Udara sangat cerah karena langit biru tak berawan sedikitpun. Alam di pagi itu sungguh indah dan menyegarkan istana Kerajaan Alengka. Pengawal-pengawal istana menjalankan tugas mereka masing-masing dengan semangat.
Prabu Alengka juga telah mengurusi pekerjaannya di ruangannya. Ia sedang ditemani oleh Menteri Keamanan, Parameswara. Berdua mereka membicarakan sesuatu.
"Menurutku, kita seharusnya memanfaatkan bantuan Pendekar Penjaga Langit. Dengan keikutsertaannya akan menambah kemungkinan kita untuk menang, Paduka."
"Ya memang. Tetapi untuk seseorang yang perilakunya sudah jelas jelek seperti Pendekar Penjaga Langit ini, aku khawatir di kemudian hari dapat menimbulkan pengaruh yang kurang baik bagi kerajaan. Kita mesti menghargai setiap sumbangsih orang pada kerajaan, Parameswara. Jika terjadi kelak gugatan dari Kerajaan Toba terhadapnya, atau bahkan terhadap kerajaan kita. bagaimana?"
"Yah..., itu kan urusan pribadi Pendekar Penjaga Langit sendiri. Kita tidak usah ikut campur," jawab Parameswara.
"Itu berarti sikap kita berpangku tangan saja terhadap seseorang yang telah menunjukkan sikap kepahlawanan bagi Kerajaan Alengka. Sama saja kita ini membuang sepah sehabis manisnya kita ambil. Hal itu tidak memberikan teladan bagi rakyat, sekaligus menciptakan citra yang jelek dalam pandangan kerajaan lain."
"Jadi, maunya Prabu bagaimana?"
"Aku ragu untuk menggunakan Pendekar Penjaga langit. Toh, tanpa dia kita tetap telah memiliki kemungkinan untuk menang dengan adanya kedua teman dari Pendekar Slebor. Asalkan laporan dari matamata kita mengenai jumlah para tokoh persilatan golongan hitam yang bersatu itu benar."
"Saya berani menjamin kebenaran laporannya, Paduka. Selama ini dia tidak pernah salah dalam menjalankan tugas."
"Baiklah. Jadi dengan kematian Biludak Tengik, sebagaimana yang diceritakan Pendekar Slebor kemarin, berarti sekarang ada lima orang tokoh saja dari mereka?"
"Benar, Paduka. Menurut perhitungan Paduka kita dapat mengatasi mereka?"
"Bisa."
"Mudah-mudahan saja perhitungan Paduka tidak meleset."
"Ya. Mudah-mudahan. Jika tidak, Kerajaan Alengka bisa celaka." Seorang prajurit istana masuk.
"Hamba datang memberi laporan, Paduka Prabu," katanya sesudah berlutut.
"Hamba telah melaksanakan tugas yang Paduka Prabu berikan, dan sekarang Pendekar Penjaga Langit telah menanti di luar."
"Suruh dia menunggu di luar gerbang istana, dan panggil Pendekar Slebor serta kedua temannya."
"Baik, Paduka. Hamba laksanakan." Parameswara menautkan alis seperginya prajurit itu.
"Aku tidak mau istana menjadi ajang, seandainya nanti kedua orang seberang itu berkelahi jika bertemu muka," Prabu Alengka langsung memberi jawaban, seolah mengerti keterheranan Parameswara.

***

"Bangun! Bangun, An! Sudah siang, nih," Patniraga mengguncang-guncangkan tubuh Andika yang masih ngorok.
"Aaahhh!" Andika menepiskan tangan Patniraga lalu berbalik menghadap dinding. Ia sedang bermimpi bercumbu dengan Mirah ketika Patniraga membangunkannya. Sudah barang tentu ini adalah mimpi yang indah. Sayang untuk tidak dituntaskan.
"Eeeh..., kita dipanggil menghadap Paduka Prabu, tuh!"
"Sebodo! Aku lagi asyik, nih!" jawabnya sambil berusaha meneruskan mimpinya. Lagi pula ia menyangka Patniraga sedang mempermainkannya.
"Susah amat nih orang dibangunin," gerutu Patniraga. Mirah masuk ke dalam kamar membawa segelas minuman untuk Andika! Patniraga sendiri telah minum sejak bangun tadi.
"Eh, belum bangun juga ya, Ga?" tanya Mirah pa-da Patniraga.
Mendengar suara Mirah yang khas di telinga Andika, maklum, bibir dan mulut Mirah pernah begitu dekat dengan kupingnya kemarin dulu saat Patniraga bertarung dengan Biludak Tengik, ia segera melompat bangun.
"Sudah. Sudah bangun, kok," katanya.
Tentu saja Mirah jadi tersenyum, sementara Patniraga malah cemberut.
"Huh.. Paling-paling kau ini. Sampai kuguncangguncang pun tak mau bangun. Eeh, ini dengar suara Mirah saja langsung lompat." Andika mengedipkan sebelah matanya pada Patniraga.
"Mengerjapkan mata pula kau. Nggak berguna bagiku cara begitu," kata Patniraga lalu ngeloyor.
"Hei! Mau ke mana pula kau?" tanya Andika menirukan logat bicara Patniraga.
"Kencing!"
"Hik... hik... hik...." Andika tertawa geli.
"Sudah, sudah," sela Mirah.
"Kenapa sih baru bangun, An" Capek sekali, ya?"
"Oh" Iya, iya!" Andika mengiyakan cepat-cepat.
Malu hati dia mengingat mimpinya di hadapan Mirah.
Mirah duduk di pinggir tempat tidur dan menyorongkan bak minuman pada Andika.
"Ini minum dulu." Andika mengambil gelas itu. Mulutnya segera ingin tersenyum, ditahannya. Heran, kecenderungannya untuk menggoda setiap kali berdua dengan Mirah besar sekali.
"Nanti, habis itu, cepat-cepat ganti pakaian. Paduka Prabu memanggil kita, lho," tambah Mirah.
"Eehm! Eeehm...!" Jelas sekali Andika mendehem dibuat-buat sebelum menghirup minumannya.
"Kenapa, sih?" tanya Mirah.
"Nggak. Nggak kenapa-napa. Cuma, perasaanku mau minum kali ini kok berbeda, ya?"
"Berbeda kenapa?"
"Iya. Rasanya waktu minum, aku ini merasa sudah punya pacar, ya."
"Ya, ampun! Kau ini benar-benar orang yang gede rasa, deh."
"Oh" Begitu, toh?" jawab Andika dengan wajah yang diblo'on-blo'onkan.
"Awas kamu! Lain kali aku tidak mau kasih minuman lagi."
"Waduh. Jangan sadis begitu dong, Mir...."
"Nggak! Aku nggak mau!"
"Hei, hei, hei! Apa-apaan ini ribut-ribut pagi-pagi begini?" Patniraga telah kembali dari belakang.
Mirah langsung keluar dari kamar itu.
"Tahu, tuh," jawabnya sekenanya.
Patniraga menoleh kepada Andika.
"Ah, kau...," kata Andika meraih pakaiannya.
"Cepat benar kau kencing!" Patniraga jadi bengong.
Andika, Mirah, dan Patniraga memasuki ruangan memenuhi panggilan Prabu Alengka. Mereka bertiga menghaturkan sembah pada sang Prabu. Prabu Alengka memperhatikan sebentar tampang Andika yang masih kusut karena baru bangun tidur dan belum mandi.
"Pendekar Penjaga Langit sudah datang dan aku menyuruhnya menunggu di luar gerbang istana," kata Prabu Alengka tidak mempedulikan Andika lagi.
"Aku telah memutuskan untuk menolak tawaran bantuannya."
"Maksudku memanggil kalian adalah untuk bersama-sama menemuinya. Tetapi kalau boleh aku berpesan, hindarilah dahulu bentrokan. Karena yang terpenting sekarang adalah memusatkan perhatian kita untuk membereskan para tokoh persilatan aliran hi tam itu." Patniraga maju selangkah ke depan serta menjura dengan kaku.
"Terima kasih sebelumnya atas perhatian Prabu," katanya.
"Akan tetapi kalaulah cuma si Baringin seorang, aku sanggup menghadapinya."
"Aku percaya. Yang kumaksud, kalau bisa dihindari, ya dihindari." Patniraga menjura kembali dengan kaku.
"Mengertilah, Prabu. Ini adalah urusanku dan Kerajaan Toba dengan si Baringin."
"Masih ada waktu lain untuk membereskan urusanmu itu, Patniraga. Aku khawatir kau kenapa-napa sebelum kita memerangi orang-orang sesat yang meneror rakyatku. Dan bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku kemarin bahwa kau siap membantu Pendekar Slebor dalam urusan ini?" Prabu Alengka mendesak.
Untuk ketiga kalinya Patniraga menjura kaku.
Andika dan Mirah tersenyum melihatnya berkali-kali menjura. Orang seberang ini berusaha beradaptasi dengan kebiasaan orang-orang di sini ketika berhadapan dengan raja, tetapi berlebihan.
"Mengertilah, Prabu. Aku siap membantu. Tetapi harus kunomor satukan dulu urusanku yang ini." Patniraga tidak kalah kerasnya melawan desakan Prabu Alengka. Prabu Alengka menggeleng-gelengkan kepala.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang mari kita pergi ke luar." Para pengawal khusus Prabu mengiringi beliau keluar dari gerbang istana. Di belakangnya berjalan Menteri Keamanan Parameswara dan Panglima Andipati. Di luar gerbang Pendekar Penjaga Langit dengan sabar menanti. Pendekar Penjaga Langit segera menghaturkan sembah.
"Berdirilah, Pendekar Penjaga Langit. Maafkan kalau aku menyuruhmu menunggu di luar gerbang istana. Tentu kamu heran. Sebabnya adalah karena aku ingin mempertemukanmu dengan seseorang." Pendekar Penjaga Langit terpaku sejenak.
"Siapakah dia gerangan, Paduka Prabu?"
"Panggil mereka, Panglima Andipati." Panglima Andipati memberi aba-aba. Keluarlah mereka bertiga. Andika, Mirah, dan Patniraga.
Pendekar Penjaga Langit terkesiap. Tak disangkanya akan bertemu kembali dengan orang yang dirasakan mengganggu rencana dan ketenangannya. Ia telah berharap sekali dapat menjalin hubungan yang baik dengan Prabu Alengka, sehingga kalau terjadi sesuatu atas dirinya di kemudian hari akan dapat meminta perlindungan sang Prabu. Tetapi baru saja hal itu akan dimulai, ia telah merasa pula akan hancur be-rantakan dengan kemunculan manusia satu ini.
"Ini lagi, ini lagi!" Maki Pendekar Penjaga Langit.
"Jaga sikapmu di depan Prabu, Pendekar Penjaga Langit," Parameswara memperingatkan.
"Ampuni hamba, Paduka Prabu. Tetapi firasat hamba segera mengatakan pasti ada yang tak beres.
Pasti orang yang mengaku Pendekar Ulos Sakti itu mengatakan yang macam-macam pada Paduka Prabu tentang diriku."
"Memang benar, Pendekar Penjaga Langit," jawab Prabu Alengka.
"Tetapi ia berbicara dengan bukti-bukti yang kuat. Ia mengenalmu karena cukup sering bercakap-cakap denganmu di istana Kerajaan Toba. Ia juga mengenalmu karena kamu khilaf dan menggunakan jurus pukulan 'Tenaga Langit' sewaktu bertarung dengannya tempo hari." Air muka Pendekar Penjaga Langit yang semula tampak garang meluruh. Ia menggunakan jurus maut tersebut karena menyangka Patniraga tidak sanggup lagi menghindari pukulannya kala itu. Namun Andika datang menahan pukulannya serta membawa kabur si Patniraga. Malangnya, ia sama sekali tidak berpikir kalau-kalau pukulannya itu justru menjadi tanda yang kuat bagi Patniraga untuk mengenalinya! "Kau juga telah berani membohongiku, Pendekar Penjaga Langit," sambung Prabu Alengka.
"Kau mengatakan berasal dari daerah Tarakan di Borneo Timur.
Kau tidak tahu bahwa aku bersahabat baik dengan Raja Borneo Timur dan telah beberapa kali berkunjung ke sana. Aku tidak pernah mendengar ada daerah Tarakan di sana." Makin lemaslah tampang Pendekar Penjaga Langit mendengar perkataan-perkataan Prabu Alengka yang menguliti dirinya.
"Mati aku! Tak ada lagi yang bisa kupertahankan kalau sudah begini," Pendekar Penjaga Langit membatin. Tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya tegak lurus ke langit. Melihat gelagat yang sudah dimengertinya, Andika berseru kepada Prabu Alengka.
"Cepat minggir, Paduka!" Menteri Parameswara yang paling dekat dengan Prabu Alengka segera menariknya.
Tangan Pendekar Penjaga Langit bergerak melancarkan pukulan 'Tenaga Langit' ke arah Patniraga.
"Matilah kau, Pengacau!" Andika cepat melompat untuk mengulangi apa yang dilakukannya tempo hari, yakni menahan pukulan Pendekar Penjaga Langit. Maksudnya ia ingin mencegah terjadinya pertarungan, sehingga keinginan Prabu Alengka agar menghindari bentrokan dapat tercapai. Perlu diketahui bahwa Parameswara adalah seseorang yang juga memiliki ilmu yang cukup tinggi. Jika tidak, Prabu Alengka tentu tidak memilihnya menjadi Menteri Keamanan. Perkiraannya ia masih sanggup menahan pukulan Pendekar Penjaga Langit itu. Pikir Andika, paling banter dia akan terhuyung-huyung mundur. Tetapi apa yang terjadi" Ketika kekuatan dari kedua tangan mereka beradu..
Jeleger! Terciptalah sebuah pijaran biru yang menyilaukan. Kekuatan pukulan 'Tenaga Langit' yang amat dahsyat mendorong kekuatan pukulan Parameswara kembali. Tenaga pukulannya jelas lebih lemah dari yang dilontarkan Pendekar Penjaga Langit.
Andika yang sama sekali tidak memperhitungkan akan demikian jadinya, menjadi sasaran pukulan Pendekar Penjaga Langit.
"Hhhk!" Ia terjengkang sekitar delapan tombak jauhnya ke belakang. Memang tenaga dalam yang tersalur lewat pukulannya menahan laju kekuatan pukulan 'Tenaga Langit' serta agak mengurangi kedahsyatan pukulan itu. Meski begitu tak urung kepalanya berkunangkunang dan sulit bernapas. Andika megap-megap, seolah memburu oksigen tipis agar masuk ke dalam paruparunya. Dalam keadaan begini ia berharap seperti biasanya ada kekuatan alam yang datang menolong.
Namun sampai Mirah mendekati untuk memberi pertolongan, sia-sia ia berharap.
Pendekar Penjaga Langit kembali melontarkan pukulan mautnya kepada Patniraga. Lelaki itu sendiri segera meloloskan ulos dari pundak dan berkelebat menghindar. Bruaaak! Tanah tempat Patniraga berdiri tadi terbongkar menjadi lobang menganga. Gumpalan-gumpalan tanah beterbangan. Batu-batu kecil yang ada di situ hancur menjadi pasir dan menerpa Prabu Alengka yang berada beberapa tombak jauhnya. Panglima Andipati serta Parameswara sibuk membersihkan pakaian Prabu Alengka, kemudian menariknya lebih jauh lagi.
Ctaaar! Patniraga mulai mengkepretkan senjata ulosnya.
"Aaakh!" jerit Pendekar Penjaga Langit dan orang-orang yang berada di situ.
Gerbang istana bergetar terkena gelombang suara ulos. Andika dapat melindungi gendang pendengarannya, tetapi Parameswara yang sedang kepayahan itu tambah tersiksa akibat suara kepretan ulos sakti.
Ctaaar! Lagi-lagi orang-orang di situ menjerit. Tidak terkecuali Andika yang sedang tidak berdaya. Ia sampai jatuh pingsan.
"Patniraga! Tahan kepretanmu!" teriak Mirah.
"Aku ingin menolong Andika." Mendengar seruan Mirah itu, Pendekar Penjaga Langit merasa mendapat angin. Ia segera merangsek maju untuk menciptakan pertarungan jarak pendek.
Patniraga jadi merasa serba salah. Kalau ia menjaga jarak dan menggunakan ulos terus, Andika bisa-bisa tidak tertolong. Kalau ia tidak menggunakan ulosnya, si Baringin akan dapat menekan untuk bertarung dalam jarak dekat. Dan itu berarti lama-kelamaan ia akan mengalami kekalahan untuk kedua kalinya.
Akan tetapi tampaknya Patniraga lebih memilih untuk tidak menggunakan ulos. Karena itu dia membiarkan si Baringin menyerang dalam pertarungan jarak dekat. Ia berharap dapat bertahan hingga Mirah selesai menolong Andika. Setelah itu barulah ia akan kembali menjalankan rencananya.
Mirah memusatkan perhatiannya kembali menolong Andika dengan menyalurkan hawa panas ke dalam dada Andika guna melonggarkan kembali dari rasa sesak, sehingga paru-parunya dapat bekerja normal.
Mata Mirah terpejam. Telapak tangannya berada di atas dada Andika yang telentang. Dari situ mengepul asap putih tipis. Sedikit demi sedikit pori-pori kulit Mirah mengeluarkan keringat. Patniraga menghindar dan menyerang. Tangan, kaki maupun tubuhnya bergerak lincah. Tetapi tampaknya ke mana pun dia bergerak selalu saja dapat diikuti oleh Baringin. Seolah-olah Baringin ingin berusa-ha menempel Patniraga.
Jurus demi jurus dilewati. Berpuluh-puluh jurus.
Kala itulah Patniraga mulai merasakan dirinya terdesak oleh serangan-serangan Baringin. Makin lama ia makin merasa terdesak. Kekhawatiran mulai tumbuh di hatinya. Ia melihat sempitnya peluang untuk menang. Sementara itu ia melirik Andika masih saja belum siuman dan Mirah masih terus menyalurkan hawa panas padanya. Otak Patniraga berpikir keras sambil menghindar kesana kemari. Ulos sama sekali tidak berarti karena tidak dipergunakan.
Dalam keadaan begitu akhirnya Patniraga mengikuti nalurinya sebagai manusia yang sedang diancam maut. Ia mengemposkan tenaga dalam ke pita suara dan berseru, "Andika!" Pada saat berseru, kewaspadaan Patniraga melorot. Akibatnya sebuah sapuan kaki Baringin menghajar kakinya. Beruntung ia sudah menduga kemungkinan itu, sehingga ketika menjadi gamang ia segera menggenjot kaki yang satu lagi untuk lompat menghindar gebrakan tangan Baringin ke arah tubuhnya.
Namun demikian Baringin terus mengejar mengikuti kemana pun arah Patniraga melesat. Patniraga meloncat sekali lagi begitu kakinya menyentuh tanah untuk meyakinkan dirinya semakin aman untuk mengatur posisi pertahanan kembali.
Ada pun serangan Patniraga yang berisi tenaga dalam itu berhasil mengusik kuping Andika. Mulamula ia merasa seperti ada orang yang memanggil, kemudian membuka mata. Ia siuman! "Nghh...," Andika mengerang sebentar sebelum in-gatannya kembali pada apa yang tengah terjadi.
Ia melihat Mirah masih berkonsentrasi menolong.
Diangkatnya kepala lalu berputar melihat sekeliling.
Penglihatannya segera tertancap pada pertarungan yang kini tampak tidak seimbang itu. Otaknya berpikir keras. Berpikir keras! Ia mencengkeram kedua tangan Mirah. Hal ini membuat Mirah membuka kedua kelopak mata.
"Bawa aku ke istana! Bawa aku ke dalam istana!" teriaknya sambil berusaha menggelayut pada pundak Mirah. Tubuhnya masih terasa lemah. Pertolongan Mirah belum cukup.
Parameswara mendengar, lalu dengan sigap menghampiri dan tanpa berpikir panjang menggotong.
Andika segera berpaling pada Patniraga dan berteriak kembali menggunakan tenaganya yang masih ada.
"Patniraga! Gunakan ulosmu sekarang!" Setelah itu kepalanya terkulai. Ia pingsan kembali. Parameswara berlari-lari membawa tubuh Andika masuk ke istana lewat gerbang. Mirah, Prabu Alengka, Panglima Andipati, dan para pengawal khusus Prabu mengikuti langkah Parameswara.
Patniraga mendengar suara teriakan Andika. Ia juga sempat melihat iring-iringan orang-orang itu memasuki istana. Ada perasaan lega menghalau sekaligus kekhawatiran yang telanjur membesar.
"Inilah saatnya," pikir Patniraga.
Ia mulai berusaha melepaskan diri dari tempelan Baringin. Tetapi tidak semudah yang dikiranya. Baringin, yang juga mendengar teriakan Andika serta melihat pula mereka berlarian ke dalam istana, mengerti apa yang akan terjadi. Ia mengerti bahwa dengan berlindung di dalam tembok istana mereka akan selamat dari gangguan suara kepretan ulos Patniraga. Ia tahu strategi apa yang akan dijalankan lawan kemudian.
Sebab itulah Baringin justru makin mempergencar serangan. Gerakan tangan dan kaki, bahkan kepalanya, bertubi-tubi mengarah kepada Patniraga.
Patniraga kewalahan lagi. Untuk sedikit mempertahankan posisinya agar tidak semakin terdesak, ia melompat kesana kemari, meski ia tahu si Baringin akan terus mengikuti dan berupaya menyarangkan pukulan. Walaupun Andika telah dibawa ke tempat yang aman, hingga kini Patniraga belum dapat menggunakan ulosnya.
Melihat begitu serius wajah si Baringin dalam mempergencar serangan, akhirnya Patniraga mendapat akal. Ia meladeni serangan Baringin sambil bergerak mundur mendekati sebuah pohon yang pendek dan lebat daunnya. Hingga didekat pohon itu, ia membiarkan dirinya semakin terdesak sambil berharap-harap cemas menantikan sebuah pukulan Baringin yang tepat.
Ketika Baringin melihat tubuh Patniraga yang dibiarkan lowong, ia melancarkan pukulan cukup bertenaga. Inilah yang ditunggu-tunggu Patniraga. Pancingannya mengena. Cepat ia berkelit dan tangan kirinya yang kosong memegang batang pohon.
Pukulan Baringin mengenai batang pohon itu.
Kraaak! Patniraga menarik batang pohon yang telah patah itu ke arah Baringin. Rerimbunan daunnya tepat mengarah kepada Baringin yang kaget. Sudah barang , tentu yang dilakukan Patniraga ini mengharuskan Baringin loncat agak jauh, supaya terhindar dari terpaan daun-daun yang lebat dan rerimbunannya yang lebar itu. Perhatian Baringin agak buyar. Patniraga sendiri melihat ke arah mana Baringin akan loncat menghindar, lalu secepat kilat ia meloncat pula ke arah berlawanan. Terlepaslah Patniraga dari tempelan Baringin! Ctaaar! Suara kepretan ulos menggema lagi.
"Aaakh!" jerit Baringin. Ia segera menyalurkan tenaga dalam ke telinga untuk melindungi gendang pendengaran. Ctaaar! Ctaaar! Ctaaar! Suara kepretan ulos berkesinambungan. Baringin, si Pendekar Penjaga Langit, tidak beranjak dari tempatnya. Patniraga menatap tajam. Selangkah demi selangkah ia maju. Debu dan pasir yang beterbangan ke arah Baringin dari tanah karena kepretan ulos, membuatnya memejamkan mata. Ia meraba setiap gerakan Patniraga dengan daun telinga.
Kali ini Patniraga tidak menyerang dengan tangan kiri, seperti yang sudah-sudah. Ia mengkepretkan saja senjatanya ke arah Baringin. Serangan yang lain dari sebelumnya ini dihindari Baringin dengan bersalto ke belakang. Tetapi Patniraga memburu dan menghantamkan ulosnya lagi. Baringin melompat ke belakang lagi. Hingga serangan ulos yang keempat kalinya, Baringin mengubah taktik sedikit. Ia tidak lagi menghindar mundur ke belakang melainkan ke samping, setelah itu ia berusaha cepat masuk menyerang balik dan menempel Patniraga.
Taktik ini mudah dicium. Begitu Baringin hendak masuk, Patniraga pun cepat menarik dirinya dan mengkepretkan ulos. Cara ini bukan saja dapat mempertahankan jarak renggang, juga dapat mengusir Baringin yang mau masuk sekaligus mengancam nyawanya, Strategi ini tetap dijalankan Patniraga setiap kali Baringin hendak masuk. Akibatnya Baringin ke-bingungan.
Akhirnya Baringin menggenjotkan sekuat-kuatnya tubuhnya untuk sebisa mungkin membuat jarak antara mereka sejauh-jauhnya. Memang Patniraga segera memburunya, tetapi ia punya kesempatan yang cukup untuk menegakluruskan tangan kanannya ke langit! Derrr! Pukulan 'Tenaga Langit' dilepaskan. Patniraga yang sedang memburu ke arah Baringin terpaksa berkelit. Pukulan 'Tenaga Langit' dilepaskan lagi. Patniraga berkelit lagi, tetapi ia berkelit sambil bergerak maju.
Sampai pada jarak yang memungkinkan ia mengkepret lagi. Mengkepret lagi. Mengkepret lagi. Bertubi-tubi dengan cepat. Patniraga merasa ia harus melakukan taktik ini meskipun lebih menguras tenaga, agar tidak memberi kesempatan bagi Baringin mengambil tenaga maut dari langit.
Kini giliran Baringin yang merasa terdesak. Dalam pertarungan jarak dekat ia di atas angin, tetapi kini ia sadar bahwa lawan telah mengetahui bagaimana cara untuk memaksanya bertarung jarak jauh. Gendang pendengarannya juga telah terasa sakit dan berdenyutdenyut. Ini dikarenakan konsentrasinya telah benarbenar terpecah-pecah. Ia merasa demikian repot menghindari kepretan ulos Patniraga.
Hingga suatu ketika, Baringin menggenjot kembali dirinya sekuat tenaga. Patniraga menyangka Baringin bermaksud lagi mencari kesempatan mengambil 'Tenaga Langit'nya, karena itu ia terus memburu. Tetapi ternyata Baringin menggenjot kembali tubuhnya berulang-ulang, lalu berlari dengan kecepatan yang tinggi. Patniraga berusaha mengejar, tetapi kecepatan berlarinya tidak dapat menandingi Baringin.
Patniraga jadi teringat pada Togap, adik si Baringin, yang dapat berlari demikian cepat sehingga kadang hanya dapat dilihat bayangannya saja.
"Dasar kalian abang-beradik sama saja! Licik! Kalau sudah terjepit, jadi tukang lari semua!" teriak Patniraga. Dia berharap Togap ada di sekitar situ sedang memata-matai.
Patniraga segera teringat pada Andika. Sudah bagaimanakah dia" Ia bertanya dalam hati. Pertanyaan itu membuatnya membalikkan tubuh lalu berlari menuju istana Kerajaan Alengka.
"Semoga tak ada sesuatu yang tak kuharapkan terjadi," bisiknya tiga kali dalam benak.

***

««::|{ 8 }|::»»

Dimanakah Togap sekarang berada" Sama seperti abangnya, si Baringin, ia juga sedang berlari. Cuma kalau Baringin berlari untuk kabur dari kekalahan pertarungan dengan Patniraga, Togap berlari untuk melaksanakan akal yang telah dipikirkannya. Betapa kecewa hatinya melihat kekalahan abangnya. Apalagi menyaksikan abangnya lari tungganglanggang menyelamatkan diri. Melihat pertarungan barusan, ia kehilangan harapan bahwa abangnya akan bisa mengalahkan Patniraga. Hampir pasti, pikirnya, si Patniraga akan segera mengejar Baringin. Sudah barang tentu tak ada orang yang mau kehilangan begitu saja sesuatu yang telah dicari-carinya selama dua tahun, bukan" Siapa lagi sekarang yang dapat menolong abangnya" Dirinya" Wah, Togap hanya mempunyai kelebihan dalam ilmu meringankan tubuh yang tinggi, lain tidak. Ia tidak memiliki jurus-jurus maut yang dapat diandalkan, seperti abangnya. Pun juga ia tidak memiliki kepintaran seperti abangnya yang diperlukan dalam pertarungan-pertarungan. Keberaniannya juga kurang. Terkadang ada juga akalnya. Tetapi itu tidak cukup. Cuma akal-akalan, demikian ia suka mengeluh.
Andaikata otaknya cukup pintar, maka ia juga akan seperti abangnya menjadi pejabat kerajaan Toba. Kala itu ia merasa cukup bangga memiliki seorang abang yang menjadi pembesar. Tidak jarang ia menyombongkan di depan teman-temannya.
Tetapi setelah abangnya melarikan diri, sirnalah semua kebanggaan maupun harapan-harapan yang ia impikan pada diri abangnya. Harapan-harapan dalam hidup, terutama materil. Yang ada dalam pikirannya waktu itu, ia harus membantu si abang. Apa yang dapat dilakukannya, akan dilakukannya untuk membantu si abang. Itulah pikiran yang terngiang-ngiang dalam benaknya ketika berlari. Berlari sekencang-kencangnya.
"Aku harus mencegah Pendekar Ulos Sakti! Aku harus dapat mencegah!" Kalimat-kalimat ini memacu semangatnya untuk terus berlari tanpa menghiraukan lelah. Dikerahkannya ilmu meringankan tubuh setara maksimal. Ia terus berlari. Terus berlari, menuju tempat yang rasanya menjadi tumpuan harapannya yang terakhir.
Tempat yang diketahui dari menguping percakapan antara Mirah dengan Pendekar Slebor, setelah Patniraga menamatkan riwayat Biludak Tengik. Tempat yang lokasinya telah diketahuinya dari bertanya pada orangorang di sini, sambil terus memata-matai Patniraga.
Tempat yang bernama Bukit Dedemit!

***

"Dimana Pendekar Slebor berada?" tanya Patniraga tergopoh-gopoh pada seorang prajurit istana.
"Di ruangan sana." Ia setengah berlari menuju ruangan yang ditunjukkan prajurit itu.
"Hei, Patniraga! Syukurlah kamu selamat. Bagaimana nasib Pendekar Penjaga Langit?" tanya Andika begitu Patniraga memasuki kamar. Andika duduk di pinggir tempat tidur. Kain caturnya masih tergantung di leher. Mirah berada di dekatnya sambil memegang segelas air.
"Syukurlah kau sudah sembuh."
"Ah, kau ini. Dia ini tak apa-apa," Andika latah menirukan logat Patniraga.
"Aku bertanya, kau jawab-lah...."
"Belum pula aku berhasil menamatkannya, An."
"Wuah! Bagaimana pula kau ini?"
"Dia lari, An. Setelah semakin terdesak dia melarikan diri."
"Melarikan diri" Ya, kejarlah...."
"Sudah kukejar. Tetapi larinya lebih kencang dari aku. Itu abang-adik memang jago-jago lari mereka."
"Kalau begitu, besok kita harus latihan lari cepat rupanya, ya." Andika tertawa.
"An! Kamu ini bagaimana, sih" Orang si Patniraga serius begitu, kamu malah ketawa." Mirah menegur Andika.
"Uf! Ada yang marah rupanya, Ga. Jadi bagaimana maumu sekarang?"
"Entahlah. Yang penting kau sembuh dululah."
"Aku sudah sembuh. Sekarang bagaimana?"
"Bagaimana" Kalaupun kucari, kucari kemana dia" Dia dapat kabur ke mana pun dia mau." Andika terdiam.
Prabu Alengka masuk ke dalam kamar. Ia mengulangi pertanyaan Andika lalu dijawab sama dengan Patrinaga.
"Jadi bagaimana sekarang, Patniraga?" tanya Prabu Alengka.
"Kami sedang pikirkan, Prabu," jawab Patniraga.
"Kupikir," kata Andika menyela.
"Saat ini dia pasti menuju padepokannya di Perguruan Kemangi Sariadi.
Kesanalah kamu harus kejar, Ga."
"Kau yakin?"
"Aku yakin! Ayo cepat kita pergi! Siapa tahu sesampainya disana, dia segera berkemas-kemas untuk kabur lagi."
"Aku rasa tidak perlu terburu-buru," potong Prabu Alengka.
"Perjalanan ke sana dengan berjalan kaki memakan waktu satu harian. Paling Pendekar Penjaga Langit baru sampai esok pagi. Walaupun Pendekar Slebor telah sembuh, akan lebih baik kalau beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga. Kalian bisa berangkat nanti sore dengan mengendarai kuda. Kalian cukup berjalan setengah hari untuk mencapai Kemangi Sariadi. Jadi, begitu Pendekar Penjaga Langit tiba di sana, kalian pun tiba."
"Aku rasa itu lebih baik, An. Kau beristirahatlah dulu."
"Benar, An. Lebih baik begitu," tambah Mirah yang mengkhawatirkan keadaan Andika.
"Baiklah kalau demikian halnya," jawab Andika.
"Aku juga akan memerintahkan salah seorang panglimaku untuk menyertai kalian dengan lima puluh orang prajurit. Mereka akan membawa pesanku pada rakyat dan murid-murid Kemangi Sariadi supaya tidak ikut campur, agar tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih banyak."
"Terima kasih, Paduka." Mirah dan Andika menjura. Melihat kedua sobatnya berbuat demikian, Patniraga pun segera menjura. Masih tetap kaku.
"Terima kasih, Prabu."
"Sampai nanti sore," kata Prabu Alengka sebelum mengundurkan diri dari kamar itu. Sepeninggal Prabu Alengka, Andika menggeret tangan Patrinaga ke dekatnya.
"Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu dari pengalamanku menahan pukulan 'Tenaga Langit'...."

***

Tepat ketika hari telah gelap, Togap tiba di Bukit Dedemit. Ia berjalan mengendap-endap mendekati markas para tokoh persilatan golongan hitam itu. Diamatinya bahwa penjagaan di tempat itu begitu ketat.
Nampak para murid dari seluruh tokoh aliran gelap yang menjaga setiap sudut.
Togap berpikir sebentar, apa yang harus dilakukannya. Tak lama kemudian ia bangkit dari persembunyian serta menunjukkan diri pada salah seorang penjaga.
"Salam, wahai sobatku," sapanya.
"Siapa itu"!" Penjaga itu bertanya dengan meng-hardik. Ia segera bersiaga.
"Aku ini kawan, bukan lawan. Aku membawa kabar bagi para tokoh persilatan golongan hitam di sini tentang Pendekar Slebor.
Bawalah aku bertemu dengan pemimpinmu." Dua orang penjaga lain datang ke situ karena mendengar suara hardikan rekannya. Mereka mengamati Togap dengan seksama.
"Siapa namamu"!"
"Namaku Togap. Aku mengetahui di mana Pende kar Slebor sekarang berada. Aku ingin memberitahukannya pada para tokoh persilatan golongan hitam di sini."
"Bicaramu seperti orang dari seberang. Bagaimana kami bisa percaya?"
"Janganlah pandang aku dari seberang atau tidak.
Yang penting aku membawa kabar penting yang kalian perlukan. Bukankah kalian menginginkan Pendekar Slebor" Aku tidak akan berani berbohong, sebab kalian bisa membunuhku di tempat ini dengan mudah." Masih cukup lama mereka bertiga mengamati Togap, sebelum bersedia mengantarkannya pada para guru mereka. Jasad Dedemit, Lampor Ireng, Malaikat Siluman, dan Nyi Bengis, serta Betot Nyawa sedang berkumpul mengelilingi api unggun di halaman.
"Guru, ini ada orang yang datang mengaku tahu di mana Pendekar Slebor berada. Ia ingin memberitahukan pada Guru," salah seorang dari ketiga murid itu berbicara.
Serentak kelima tokoh golongan hitam itu menengok pada Togap.
"Namaku Togap. Aku ini orang seberang. Tetapi mohon jangan curigai aku," cepat-cepat Togap menjelaskan setelah pengalaman dengan ketiga murid tadi.
"Aku datang sebagai kawan dengan maksud baik."
"Cepatlah katakan di mana Pendekar Slebor!" kata Nyi Bengis.
"Tenanglah sedikit, Nyi Bengis," kata Jasad Dedemit.
"Pendekar Slebor sekarang berada di istana Kerajaan Alengka. Dia baru saja tiba di sana kemarin dulu."
"Dari mana kamu tahu dia ada di sana?" selidik Jasad Dedemit.
"Aku tahu karena aku mengikutinya."
"Mengapa kamu mengikutinya?"
"Aku memang mempunyai dendam padanya. Ia telah membunuh ayahku, dan aku ingin dia mati." Togap berbohong.
Ia merasa harus menutupi maksudnya yang sebenarnya. Ia takut ketahuan sedang berusaha memperalat kelima tokoh persilatan golongan hitam itu. Menurut perkiraannya, jika mereka pergi menemui Pendekar Slebor maka mereka juga akan bertemu dengan si Patniraga dan perempuan bernama Mirah itu. Jika mereka bertarung dengan Pendekar Slebor, maka Patniraga tentu akan turut membantu. Menurut perkiraannya pula, Pendekar Slebor dan Patniraga tidak akan mampu melawan mereka berlima. Pendekar Ulos Sakti akan mati di tangan para tokoh persilatan golongan hitam ini. Dan dengan jalan itu, ia akan berhasil menyelamatkan abangnya dari ancaman Pendekar Ulos Sakti.
"Tetapi aku ini tidak memiliki kepandaian silat yang tinggi, sehingga tak mungkin aku mengalahkannya. Sebab itulah aku memberitahukan keberadaannya. Aku berharap dia dapat mati di tangan kalian."
"Baiklah," kata Jasad Dedemit.
"Tetapi kamu harus ikut dengan kami. Jika ternyata Pendekar Slebor tidak ada di istana Kerajaan Alengka, kau harus menanggung akibatnya!"
"Bagiku yang penting adalah kematian Pendekar Slebor. Untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawa sekalipun!" Togap menggertak untuk meyakinkan mereka.
"Cuma aku mendengar suatu rencana Pendekar Slebor," sambungnya.
"Dia hendak pergi ke Kemangi Sariadi untuk membinasakan guru dari perguruan itu.
Aku kurang tahu sebabnya. Jadi aku usulkan kita melewati Kemangi Sariadi terlebih dahulu. Siapa tahu Pendekar Slebor telah berada di sana. Jika kita tak berhasil menemuinya, barulah kita pergi ke istana Kerajaan Alengka."
"Hm. Kau boleh menunjukkan tempat mana saja, asalkan kepalamu disediakan jika kami tidak berhasil menemuinya," jawab Jasad Dedemit.
"Aku tidak peduli dengan kepalaku," kata Togap gembira melihat siasatnya berhasil.
"Mari kita berangkat! Ajak semua murid-murid kita untuk menghadapi prajurit kerajaan Alengka jika diperlukan!" kata Jasad Dedemit seraya bangkit.

***

««::|{ 9 }|::»»

Pendekar Penjaga Langit belum lama melepaskan lelah di pondokannya setelah berjalan pulang seharian dari istana Kerajaan Alengka. Dalam kepalanya ia telah memutuskan untuk mengambil uang serta miliknya yang berharga, kemudian lari ke daerah lain setelah beristirahat sejenak di sini.
Ia tengah rebah di tempat tidur ketika mendengar suara murid-muridnya ribut di luar.
Seorang murid masuk mendapatkannya.
"Guru, utusan dari istana datang kemari untuk membacakan maklumat Prabu Alengka!" Pendekar Penjaga Langit segera bangun. Ketika ia keluar dari pondokannya, Panglima Andrayana telah membacakan maklumat didengar oleh seluruh murid Perguruan Kemangi Sariadi.
Maklumat. Dengan ini diberitahukan kepada seluruh rakyat Kerajaan Alengka umumnya serta seluruh murid Perguruan Kemangi Sariadi khususnya, bahwa orang yang disebut Pendekar Penjaga Langit sesungguhnya bernama Baringin. Dia adalah pelarian dari Kerajaan Toba di tanah seberang.
Kesalahan yang telah diperbuatnya adalah melarikan uang dari dalam istana Kerajaan Toba, dan memperkosa serta membunuh seorang gadis sana.
Seorang utusan dari Kerajaan Toba, bernama Pendekar Ulos Sakti, telah datang untuk menghukumnya. Dengan ini saya, Prabu Alengka, meminta kepa-da semua rakyatku umumnya dan murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi khususnya agar tidak mencampuri urusan orang-orang seberang ini.
Panglima Andrayana menggulung surat maklumat itu. Langsung saja Perguruan Kemangi Sariadi bergemuruh oleh suara murid-murid membicarakan isi maklumat tersebut. Serentak kemudian mereka berbalik dan memandang guru mereka yang masih berdiri di teras pondokan. Keadaan menjadi tegang. Mereka dihadapkan pada pilihan antara memihak pada raja mereka, atau guru mereka.
"Akulah utusan Kerajaan Toba itu!" Patniraga berjalan memperlihatkan diri ke muka.
Gemuruh kembali terdengar karena mereka semua telah mengenal siapakah Patniraga setelah kedatangannya tempo hari.
Baringin menjadi panik. Ketika ia menoleh ke samping kiri, tampak olehnya Mirah sedang berjalan mendekati pondokannya. Ketika menoleh ke samping kanan, Andika ada di sana. Mirah dan Andika memang sengaja mengatur demikian supaya Baringin tidak dapat melarikan diri lagi.
Patniraga melepaskan ulos dari pundaknya.
Ctaaar! Mirah tidak bereaksi karena Andika telah terlebih dahulu memberikan tenaga dalam untuk melindungi gendang pendengarannya. Akan tetapi murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi dan para prajurit Kerajaan Alengka itu menjerit dan berlarian untuk menjauh.
Kuda-kuda yang ditunggangi prajurit Kerajaan Alengka meringkik, melompat, dan lari serabutan.
Baringin belum bergeming dari terasnya. Ia tidak mengaduh ketika Patniraga mengkepretkan senjatanya karena sudah mengerti kebiasaan Pendekar Ulos Sakti itu, dan melindungi gendang pendengarannya dengan tenaga dalam.
"Kita tak perlu banyak cakap lagi, Baringin." Memang Baringin tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Majulah!" seru Patniraga.
Perlahan Baringin melangkah maju.
Baringin menegakluruskan tangan kanannya ke langit. Patniraga segera bersiap menyambut serangan yang akan dibuka Baringin itu. Dengan tenang ia menghindar sehingga pukulan 'Tenaga Langit' menyambar tempat kosong.
Tiba-tiba Patniraga melihat Baringin menegakluruskan tangan kiri juga! Bruaaak! Sedikit lagi pukulan Baringin menghancurkan tubuh Patniraga. Ia tidak menyangka kalau tangan kiri Baringin pun dapat melancarkan pukulan itu. Mirah dan Andika pun kaget dibuatnya. Rupanya Baringin selama ini sengaja membiarkan Patniraga cuma tahu tangan kanannya saja yang mampu melancarkan pukulan 'Tenaga Langit'. Sekarang, dalam keadaan tidak ada harapan baginya untuk meloloskan diri, ia mengeluarkan simpanan yang hampir menipu lawan.
Tidak berhenti di situ saja. Baringin bertubi-tubi melontarkan pukulan 'Tenaga Langit'nya. Kiri dan kanan bergantian. Lantas saja Patniraga kewalahan menghindar. Ia meloncat kesana kemari dipermainkan pukulan-pukulan itu.
Baringin mulai melangkah maju mendekati Patniraga sambil terus melontarkan pukulannya. Hal ini membuat Patniraga semakin terdesak. Ia benar-benar tidak siap menghadapi perubahan yang dilakukan Baringin. Berpikir pun rasanya ia tidak sempat.
Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga. Begitu juga, sepandai-pandainya Patniraga menghindar, kalau cuma terus-terusan menghindar, akhirnya bisa terkena pukulan Baringin. Saat itu Patniraga sudah amat kewalahan. Pukulan terakhir itu masih bisa dia hindari dengan susah payah, tetapi pukulan berikutnya ia merasa tidak bisa lagi dia elak-kan. Dalam keadaan panik, Patniraga bergerak mengi- kuti nalurinya menyelamatkan nyawa. Tangan kanannya mengkepretkan ulos menyongsong pukulan 'Tenaga Langit' yang sedang menuju kepadanya. Tak ayal, dua pukulan maut dari dua orang seberang itu beradu.
Jegeeerrr!
Baringin terjengkang ke belakang. Patniraga pun terjengkang. Sedetik keduanya terpana. Patniraga melihat bagian tengah hingga ke ujung dari ulosnya telah koyak-moyak. Baringin segera bangkit lagi. Dengan cepat Patniraga juga bangkit. Tetapi dia harus segera meloncat kembali menghindari pukulan 'Tenaga Langit' yang datang. Ia harus menghadapi serangan Baringin yang bertubi-tubi kembali. Dan kewalahan lagi! Sebenarnya Baringin tadi ingin maju mendekati Patniraga sambil mencari kesempatan yang tepat untuk dia masuk dan menempel lawannya. Taktik ini yang paling diyakininya, karena ia tahu betul jurusjurus Patniraga berada satu tingkat di bawahnya untuk pertarungan jarak dekat. Tetapi Patniraga pun menyadari betul kelemahannya dan tidak membiarkan Baringin masuk.
Namun dengan pukulan-pukulan yang silih berganti itu Baringin sudah berada di atas angin. Tidak heran jikalau sekali lagi satu pukulan Baringin tidak dapat dihindari Patniraga dengan meloncat. Sekali lagi ia mengkepretkan ulosnya untuk menahan pukulan itu. Keduanya terjengkang kembali. Namun dengan ulos yang telah koyak separuh, kekuatan ulos Patniraga berkurang. Bahkan sekarang ulos itu telah koyak hampir ke pangkalnya! Patniraga memegang dadanya. Ia merasa agak sesak. Baringin bangkit dan melihat lawannya belum sempat berdiri. Ia menggenjot kakinya dan menapak di dekat tubuh Patniraga sambil terbahak-bahak. Kemenangannya sudah hampir dalam genggaman.
Napas Patniraga nampak berat. Ia berusaha duduk sambil terus memegang dadanya. Baringin tidak menunggu lama-lama.
"Sekarang pergilah kau ke neraka, Patniraga!" Baringin telah menegakluruskan tangan kanannya ke langit. Andika menahan napas.
Mirah membuang muka. Ia tidak sanggup melihat yang bakal terjadi atas diri Patniraga.
Begitu melihat pukulan 'Tenaga Langit' akan segera dihantamkan pada Patniraga, Andika menggenjot tubuh, mendarat tepat di hadapan Baringin dan menyambut tangannya. Kedua telapak tangan mereka berbenturan.
Deeesss...!
Patniraga terhuyung-huyung dan jatuh terduduk kembali. Akan tetapi tubuh Baringin terlempar ke belakang sejauh delapan tombak. Inilah yang diberitahukan Andika padanya! "Jika ada sedikit pun rentang antara tangan kita dengan tangan si Baringin, kita tak akan kuat menahan pukulannya. Tetapi jika kita bisa menapak tepat di telapak tangannya, pukulan 'Tenaga Langit' itu akan berbalik kepada si Baringin." Patniraga segera tahu apa yang harus diperbuat berikutnya. Ia lagi-lagi menggenjot tubuhnya, melenting, dan bersalto di udara, lalu mendarat di dekat Baringin yang telah terjajar lemah. Dalam pandangannya yang tiba-tiba kabur, Baringin masih bisa melihat ulos yang telah berjumbaijumbai itu siap diayunkan. Ia segera menggulingkan tubuhnya ke samping, sehingga kepretan Patniraga sia-sia. Namun upaya Baringin tidak terlalu berarti.
Kepretan kedua yang secepat kilat kembali dilontarkan Patniraga menyambar punggungnya.
"Hhhkkk...!" Suara Baringin seperti tercekik. Ia masih bisa merayap dengan payah menjauhi Patniraga. Ulos yang telah koyak-moyak itu tidak lagi memiliki kekuatan yang cukup untuk mendatangkan kematian dalam sekali kepret.
Dengan dada yang terasa semakin sesak, Patniraga membuang ulosnya dan maju.
"Aaakkhh...!" Baringin mengerang panjang ketika jantung dan paru-parunya pecah saat tangan Patniraga mendarat di punggungnya. Kepalanya mendongak sebentar, lalu rebah ke tanah.
Patniraga merasa tubuhnya lemas. Tenaganya nyaris terkuras habis. Napasnya terasa bertambah berat. la bertumpu pada kedua tangan dan dengkul.
Mirah dan Andika langsung berlarian mendapati.
Berdua mereka menolong Patniraga berdiri.
Dalam langkah-langkah pendek ketiga sobatbersobat itu meninggalkan Perguruan Kemangi Sariadi.
Sementara itu derap kaki kuda gerombolan para tokoh persilatan aliran hitam semakin mendekati Perguruan Kemangi Sariadi.

SELESAI

Segera terbit!!!
Serial Pendekar Slebor dalam episode:
DENDAM JASAD DEDEMIT


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Iblis-Iblis Sumur Tua --oo0oo-- Dendam Jasad Dedemit


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers