Life is journey not a destinantion ...

Dendam Jasad Dedemit

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Alengka Bersimbah Darah --oo0oo-- Dewi Ular Hitam



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: DENDAM JASAD DEDEMIT

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«:::|{ 1 }|:::»

Dunia persilatan memang tak bisa untuk tenang sedikit.
Selalu saja ada persoalan yang membuat darah tumpah di mana-mana. Tapi dunia memang selalu begitu. Ada hitam ada putih. Ada baik dan ada buruk. Ada kebaikan dan ada kejahatan. Selalu bergulir di setiap waktu dan di setiap tempat. Adanya persoalan itu pula yang membuat beberapa orang pengendara kuda memacu tunggangannya kencangkencang. Padahal kalau kuda-kuda itu bisa bicara, mereka pasti akan merutuki para penunggangnya. Bayangkan saja, sudah terkentut-kentut tapi masih dipacu cepat oleh keenam orang berpakaian sebagaimana tokoh persilatan.
Paling depan adalah seorang lelaki yang badannya mirip papan penggilasan. Kurus seperti orang kurang makan.
Pakaiannya serba hitam dengan jubah abu-abu berlukisan kerangka manusia warna putih. Di pergelangan tangan kanan dan kirinya melilit senjatanya yang berupa rantai besi berujung tengkorak manusia. Aneh sekali kesukaan lelaki ini. Ia suka mengganti tengkorak itu dengan kepala orang taklukannya yang telah dikuliti. Siapa lagi tokoh ini kalau bukan Jasad Dedemit.
Di belakang lelaki bertampang menyebalkan itu berkuda empat orang lainnya dengan beriring-iringan. Paling kiri adalah lelaki berbadan tegap. Tubuhnya dibiarkan telanjang tanpa baju. Mungkin ingin hidup irit. Lengannya dibalut dengan logam untuk menangkis senjata lawan. Tidak ada senjata di tubuhnya, karena kesukaannya memang bertarung tangan kosong. Julukannya cukup menggetarkan juga. Betot Nyawa! Di sebelah Betot Nyawa adalah lelaki berkulit hitam legam. Seperti Betot Nyawa, ia juga tidak suka memakai baju. Konon, lelaki ini bisa merubah-rubah wajahnya dengan bentuk yang menakutkan. Kali ini yang dipasang adalah wajah manusia penghisap darah dengan dua buah taring runcing di sudut-sudut bibirnya. Lelaki ini dikenal sebagai Lampor Ireng.
Sebaliknya,lelaki di sebelah Lampor Ireng justru berwajah putih cerah dan manis. Bahkan terkadang mengumbar senyum ramah bak malaikat kebaikan. Maka tak heran kalau dunia persilatan menjulukinya Malaikat Siluman. Dijuluki begitu, karena wajah itu sewaktu-waktu berubah menjadi demikian menggiriskan, penuh nafsu membunuh. Terutama saat menghujamkan pukulan mematikan, dan menghunuskan pedang panjangnya di tubuh lawan. Yang terakhir adalah satu-satunya wanita dalam rombongan berkuda ini. Seperti Malaikat Siluman, wanita ini juga berpakaian serba putih. Senjatanya juga berupa pedang panjang. Rambutnya yang panjang disanggul. Dan sebenarnya, wanita lumayan cantik itu istri dari Malaikat Siluman. Sementara, dunia persilatan menjuluki pasangan itu adalah Suami-Istri Beradat Setan.
Lantas siapakah lelaki yang berkuda di sebelah Jasad Dedemit" Dialah Togap. Lelaki ini telah dijadikan penuntun untuk menunjukkan tentang keberadaan Pendekar Slebor yang menurut kabar berada di Perguruan Kemangi Sariadi. Dan bila pendekar urakan itu tidak ada di tempat, maka Togap harus rela untuk kehilangan kepalanya. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Alengka Bersimbah Darah").
Sebelumnya Jasad Dedemit, Belot Nyawa, Lampor Ireng, dan Suami Istri Beradat Setan memang telah membulatkan tekad untuk bersatu melawan Pendekar Slebor yang dianggap sebagai penghalang segala sepak terjang golongan hitam.
Awalnya, mereka cukup kesulitan untuk menemui Pendekar Slebor. Bahkan waktu itu, mereka tega-teganya membuat keonaran di Kerajaan Alengka. Maksudnya untuk memancing kehadiran Pendekar Slebor. Sekaligus, mengancam Prabu Alengka untuk ikut membantu mencari pendekar urakan itu.
Dalam sepak terjang itulah mereka mendapatkan Togap yang ternyata bisa menunjukkan di mana adanya Pendekar Slebor. Togap sendiri memang mempunyai dendam pribadi pada Pendekar Ulas Sakti. Menurut perhitungannya, dengan membawa kelima tokoh sesat itu ke Perguruan Kemangi Sariadi untuk menemui Pendekar Slebor, pasti akan terjadi pertarungan. Dia yakin jika Pendekar Slebor bertarung pasti Pendekar Ulos Sakti akan ikut turun tangan.
Dan bisa dipastikan, kedua pendekar itu akan tewas di tangan kelima tokoh sesat ini.

*****

Tiba di halaman Perguruan Kemangi Sariadi mata Jasad Dedemit yang cekung jelalatan mengawasi ke sekitarnya.
Demikian pula keempat kawannya.
Di halaman, murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi tampak sedang berkerumun di depan sebuah pengumuman yang ditempel oleh salah. seorang panglima Kerajaan Alengka tadi pagi. Dalam pengumuman itu dinyalakan bahwa Ketua Perguruan Kemangi Sariadi yang berjuluk Pendekar Penjaga Langit dinyatakan sebagai penjahat berbahaya. Untuk itu terpaksa pihak kerajaan harus melenyapkannya atas bantuan seorang pendekar utusan Kerajaan Toba yang berjuluk Pendekar Ulos Sakti.
Untungnya, para murid Perguruan Kemangi Sariadi yang dikenal berjalan lurus, cukup dewasa menerima kenyataan itu. Sehingga, mereka tidak merasa dendam terhadap Prabu Alengka yang dikenal sebagai raja yang arif dan bijaksana. Tapi sebagai murid, tentu saja mereka merasa prihatin alas kematian guru mereka. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Alengka Bersimbah Darah"). Dua murid Perguruan Kemangi Sariadi segera datangi enam orang berkuda yang baru saja tiba di perguruan mereka. Wajah mereka tampak masih berselimut duka.
"Maaf, Kisanak semua. Ada yang bisa kami bantu?" sapa salah seorang murid.
"Ya, ada! Apakah kalian melihat pemuda sontoloyo berjuluk Pendekar Slebor"!" sahut Jasad Dedemit.
"Maaf, Kisanak. Kami sedang berduka. Guru kami telah meninggal dunia. Beliau terbunuh oleh Pendekar Ulos Sakti," sahut murid satunya.
"Apa..."!" Sebelum Jasad Dedemit membuka suara, Togap telah lebih dulu tersentak. Cepat ia turun dari kuda dan langsung menghambur ke ruang utama, sebuah tempat yang biasa untuk menyemayamkan mayat.
Sebenarnya Jasad Dedemit ingin mencegah. Tapi gerakan Togap cepat bukan main, pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi.
Togap tiba di ruang utama. Dan begitu melihat mayat abangnya, berteriaklah ia sekuat tenaga. Tentu saja hal ini membuat murid-murid di ruangan itu terheran-heran.
Apalagi melihat Togap menangis sambit memeluki mayat Pendekar Penjaga Langit.
"Siapakah kau, Kisanak?" tanya seorang murid.
"Aku adalah adik kandungnya," jawab Togap tersengalsengal. Murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi tersentak kaget. Mereka tak menyangka kalau guru mereka mempunyai adik kandung. Tapi sebelum mereka menjura memberi hormat, Togap telah kembali berdiri tegak, dan langsung berkelebat lewat pintu belakang.
Memang, tentu saja Togap tak ingin kepalanya hilang di tangan Jasad Dedemit dan keempat kawan-kawannya.
Apalagi, saat ini siasatnya untuk mempertemukan kelima tokoh sesat itu dengan Pendekar Slebor serta Pendekar Ulos Sakti gagal. Bahkan Pendekar Penjaga Langit yang ternyata kakak kandungnya telah tewas di tangan Pendekar Ulos Sakti. Maka dengan membawa dendam kesumat, Togap pergi dari tempat ini, untuk membalas dendam di kemudian hari. Sementara itu Jasad Dedemit yang mendengar teriakan Togap tadi sudah tiba di ruang utama.
"Ke mana Togap"!" sentak Jasad Dedemit penuh kegeraman.
"Dia... dia keluar lewat pintu belakang, Tuan!" sahut seorang murid.
"Bajingan!" Jasad Dedemit segera mengejar lewat pintu belakang.
Tapi, Togap sudah tak nampak lagi. Tentu saja membuat Jasad Dedemit murka. Tanpa menghiraukan murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi yang terlongong tak mengerti, Jasad Dedemit berkelebat keluar menemui empat orang temannya yang menunggu di luar.
"Kunyuk sialan! Ia menipu kita," maki Jasad Dedemit begitu berada di luar langsung dinaikinya kuda tunggangannya.
"Bajingan kurap! Akan kupotong-potong jadi seratus dia! Ayo kita kejar!" seru Nyai Bengis, beringas.
"Jangan!" tahan Jasad Dedemit.
"Biarkan dia pergi. Itu persoalan kecil." Beberapa murid perguruan yang masih berada di luar hanya memandang tak mengerti pada kelima tokoh sesat itu. Ketika Jasad Dedemit memanggil dengan lambaian tangan, salah seorang segera menghampiri.
"Siapa yang menewaskan guru kalian" Pendekar Slebor?" tanya Jasad Dedemit, langsung saja.
"Bukan. Dia memang ada tadi. Tetapi yang membunuh Guru adalah seorang utusan Kerajaan Toba, tempat guru kami berasal. Namanya, Pendekar Ulos Sakti," sahut si murid, lugu.
"Hm...." Jasad Dedemit menggumam tak jelas.
Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat Siluman dan Nyai Bengis menyimak, mencoba menangkap apa yang dipikirkan Jasad Dedemit.
"Siapa saja yang bersama Pendekar Slebor selain Pendekar Ulos Sakti?" tanya Jasad Dedemit.
"Panglima Andrayana serta lima puluh prajurit berkuda Kerajaan Alengka."
"Ada lagi seorang wanita," tambah salah seorang murid lain.
"Tapi, namanya kami tak tahu."
"Baiklah. Untuk sementara, kami tak ingin menurunkan tangan kejam pada kalian. Tapi kalau keterangan yang kalian berikan dusta, maka kami akan kembali untuk meminta kepala kalian!" ancam Jasad Dedemit, seraya membalikkan arah kudanya, diikuti keempat kawannya.

***

«:::|{ 2 }|:::»

Dua orang lelaki dan seorang wanita melangkah beriringan di halaman depan Kerajaan Alengka. Mereka tak lain dari Pendekar Slebor, Mirah, dan Patniraga yang dikenal sebagai Pendekar Ulos Sakti.
"Enaknya kita jalan-jalan dulu, yuk," Andika buka suara.
Walaupun bernada mengajak, tapi wajahnya dihadapkan pada Mirah. Pendekar Ulos Sakti tahu gelagat. Sementara Mirah diam saja.
"Aku pergi istirahat dulu, Andika," kata Patniraga, tahu diri.
"Ya, kau memang perlu pergi istirahat, Kawan!" sambar Andika dengan mata mengerling sebelah.
"Biarlah aku dan Mirah cari angin dulu."
"Sehari semalam kita sudah makan angin di luar.
Sekarang, kalian masih mau cari angin pula. Apa belum puas?" goda Patniraga.
"Ah, kau! Seperti tidak pernah muda saja," sahut Andika enteng.
"Brengsek, kau. Apa aku ini sudah tua?" Mirah cuma senyum simpul mendengar pembicaraan itu.
"Kalau begitu mengertilah sedikit," Andika kembali mengedipkan mata pada Patniraga.
"Bah! Mengerjapkan mata pula. Genit sekali kau ini mengerjapkan mata padaku." Patniraga ngeloyor masuk ke dalam kamar. Sementara kuping Andika sempat panas juga.
"Sontoloyo! Tak bisa pegang rahasia itu orang!" umpat pendekar urakan itu dalam hati.
Sepeninggal Patniraga, Andika mengajak Mirah jalanjalan mengitari halaman istana. Cahaya sinar bulan purnama menerangi. Para prajurit Istana Alengka tampak sedang asyik berlatih di sana.
"Mirah... Aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu setelah aku terkena pukulan 'Tenaga Langit' kemarin," ucap Andika, membuka pembicaraan.
"Ah, lupakanlah. Dan lagi, berarti sudah tunas, kan?" sahut Mirah, mendesah.
"Lunas bagaimana?" Andika pura-pura bodoh.
"Lho" Kan kau juga telah menolongku waktu peristiwa si Biludak Tengik."
"Oh, itu toh" Ah, rasanya aku lebih banyak enaknya."
"Tuh, kan. Mulai lagi."
"Iya, deh. Oh ya, Mirah kita ke dalam saja. Yuk. Di sini banyak orang," ajak Andika ketika tepat di depan pintu masuk kembali. Mirah menurut saja.
Mereka kini berjalan kembali masuk ke dalam ruang utama istana. Ada tempat duduk dan sebuah meja di situ.
Mereka duduk berhadap-hadapan.
"Akhirnya Patniraga berhasil juga melaksanakan tujuannya menghukum Pendekar Penjaga Langit," kata Andika.
"Kurasa tidak lama lagi ia akan pulang ke Tanah Toba."
"Kurasa tidak, Andika. Orang seperti Patniraga tidak akan mengingkari janji. Ia akan tinggal di sini hingga selesai membantumu. Lagi pula, kau kan telah banyak menolongnya," sanggah Mirah.
"Menolong apa?"
"Ah, kau berlagak lupa. Waktu dia hampir terbunuh oleh Pendekar Penjaga Langit, kau menolongnya memberikan siasat serta memberitahukan rahasia menaklukkan pukulan 'Tenaga Langit'," urai Mirah.
"Ah, itu sih biasalah," tepis Andika sambil mengulapkan tangan. Enteng sekali gayanya. Lagaknya bagai seorang guru di depan muridnya.
"Tapi harus diakui bahwa bantuan dia kini amat berarti bagi kita semua. Ya bagimu, dan bagi Kerajaan Alengka juga." Andika tidak menjawab. Namun, dalam hati dia mengiyakan.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan ulos sakti Patniraga, ya" Sudah koyak-moyak begitu. Kita berdua telah saksikan, kalau keampuhan senjata itu berkurang jauh, setelah koyak-moyak menghadapi Pendekar Penjaga Langit," Andika mengalihkan pembicaraan.
"Aku yakin pasti ada jalan mengatasinya, An." Andika tersenyum kecil menatap Mirah. Suasana hening kembali. Andika melahap wajah Mirah yang cantik dengan sepasang mata elangnya. Sedang si gadis sendiri memainmainkan jarinya.
Dan saat yang sama mata elang Andika menangkap sebuah bayangan orang berkelebat. Begitu ringan dan cepat.
"Sst.... Aku melihat ada seseorang berkelebat di lorong itu," bisik Andika, memberi tahu Mirah.
"Aku curiga maksudnya tidak baik. Mari kita ikuti, Mir." Andika seketika berkelebat ke lorong. Ringan sekali gerakannya sehingga tak menimbulkan suara sedikit pun.
Di belakangnya, Mirah mengikuti. Tiba di sebuah tikungan sosok hitam yang tadi berkelebat tak terlihat lagi. Tapi itu bukan berarti Andika dan Mirah patah semangat. Mereka segera berkelebat lagi ke pertigaan lorong. Di tikungan, mereka berhenti. Andika mengintip. Benar rupanya.
Seseorang berpakaian ketat serba hitam dengan penutup kepala berwarna hitam juga tengah mengintai di ujung untuk belok ke tikungan lain, ke tempat di mana kamar mereka berada. Begitu sosok hitam itu bergerak, Andika dan Mirah mengekori. Tentu saja dengan i!mu meringankan tubuh agar gerakan mereka tak tertangkap.
Ternyata sosok itu berhenti di depan kamar Mirah.
Dibukanya pintu kamar dan masuk. Tapi tak lama kemudian....
"Ufs!" Andika cepat-cepat menarik kepalanya saat sosok berpakaian ketat serba hitam itu keluar. Hampir saja kehadirannya ketahuan. Namun seketika terbersit sebuah rencana di kepala Andika.
"Kalau dia masuk lagi ke kamarku, kita sergap saja, Mirah! Orang itu tak kan bisa ke mana-mana lagi," bisik Andika. Pendekar Slebor melongok lagi ke lorong itu. Benar! Dari pintu kamarnya yang tampak terbuka sedikit, jelas sosok hitam itu telah masuk ke kamar Andika. Padahal, di situ ada Patniraga yang sedang tidur.
Andika memberi tanda dengan telunjuknya pada Mirah agar mengikutinya.
"Hup!" Dengan sekali lompat Andika dan Mirah telah berada di muka kamar. Kejap berikutnya Andika telah melabrak masuk. Brakk! Patniraga yang mendengar suara gaduh dari pintu yang diterjang Andika kontan terbangun dan segera duduk.
Sementara sosok hitam yang baru saja mengendap-endap ke tempat tidur Patniraga kontan menoleh pada Andika.
Dari sinar matanya yang tak tertutup kain hitam di kepalanya jelas kalau sosok itu terkejut setengah mati.
"Hiaaat!" Merasa yakin kalau sosok itu hendak bermaksud jahat, tanpa bicara lagi Pendekar Slebor langsung menyerang.
Sedangkan Mirah berdiri di pintu berjaga-jaga.
Sebelum Andika sampai, sosok itu telah mengibaskan tangannya ke arah Patniraga.
Benda-benda kecil berkilatan yang tak lain berupa pisaupisau kecil langsung meluncur mengancam keselamatan Patniraga. Sambil melempar senjata rahasia, sosok itu membuang diri, menghindari serangan Andika.
"Uts!" Patniraga yang telah terjaga berusaha berkelit. Tapi karena jarak yang dekat, tak urung lengannya terserempet senjata rahasia.
Cras! "Aaah.." Baru saja Patniraga mengeluh kecil karena terserempet senjata rahasia sebuah senjata rahasia lain kembali meluncur ke arahnya. Terpaksa Pendekar Ulos Sakti mengenyahkan tubuhnya kembali.
Sosok hitam itu kini telah mencabut goloknya, menyadari dirinya telah terkepung. Sambil berdiri tegang, dia mencoba membaca keadaan.
"Heaaaa..!" Dengan suatu lompatan cepat, sosok hitam itu menerjang Mirah disertai sambaran golok. Tentu saja Mirah tak sudi tubuhnya tersambar golok. Langsung saja disongsongnya serangan.
"Hiaaat!" Sambil bergeser ke kiri Mirah menangkis dengan memapak pergelangan tangan orang itu yang memegang golok. Dan tiba-tiba tubuhnya berputar dengan kaki melepas tendangan melingkar ke leher lawan.
"Uts!" Sosok hitam itu menarik tubuhnya sedikit ke belakang, sehingga sabetan kaki Mirah luput.
"Hiaaa..." Namun belum juga sosok itu sempat bernapas, Andika telah datang menerjang. Cepat sekali datangnya serangan Andika yang menggunakan tangan kosong.
"Hup...!" Tidak ada jalan lain bagi orang itu selain bersalto ke belakang untuk menghindari serangan Pendekar Slebor.
Ringan sekali tubuhnya bergerak, pasti ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi.
Namun baru saja sosok itu menginjakkan kakinya di lantai, Patniraga telah melompat dengan sebuah tendangan yang tidak mungkin dapat dielakkan.
Dukk! Telak sekali wajah sosok itu terhajar kaki Patniraga.
Kepalanya kontan terbentur dinding. Tubuhnya langsung melorot bagai kolor putus. Pingsan.
Andika mendekati dan membuka kain penutup di wajah sosok itu.
"Togap!" seru Patniraga.

*****

Keributan di dalam kamar Andika dan Patniraga tentu saja terdengar oleh para prajurit di dekat situ. Mereka segera berdatangan, namun hanya melihat Togap telah pingsan di lantai.
"Tolong ikat dan amankan dia," ucap Andika.
"Sekalian laporkan peristiwa ini pada Prabu Alengka." Sebelum dibawa pergi Togap telah dibuat siuman kembali oleh Andika. Baru kemudian, para prajurit menyeretnya untuk dibawa ke penjara istana.
"Aku akan menuntut kematian abangku di lain waktu, Patniraga!" kata Togap ketika melewati Patniraga dengan digiring oleh dua orang prajurit. Nada suaranya penuh dendam. Melihat hal itu terbit rasa kasihan Patniraga padanya.
Kemampuan silat Togap sebenarnya tidak tinggi. Selain malas berlatih, ia memang tidak terlalu berminat. Kecuali, ilmu meringankan tubuhnya yang selalu dilatih. Tak heran kalau untuk jenis ilmu itu ia tergolong piawai. Dengan mengandalkan kemampuannya itu, ia telah nekat menyusup masuk ke dalam Istana Alengka untuk menyerang Patniraga.
"Mungkin ia tak tahu dosa apa yang telah dilakukan abangnya," pikir Patniraga.
"Baringin Pati rupanya telah mengelabuinya dengan mengarang-ngarang cerita palsu mengapa ia sampai melarikan diri. Kalau benar demikian, kasihan sekali si Togap." Sementara itu Prabu Alengka baru saja tiba di pintu kamar Andika dan Patniraga. Di kanan kirinya, mengawal dua prajurit gagah.
"Tolong jelaskan, siapa penyusup itu padaku, Patniraga," ujar prabu Alengka, langsung saja. Rupanya, ia telah mendapat laporan dari prajuritnya.
"Dia adalah adik kandung Pendekar penjaga Langit, Prabu. Yang kutahu, ia telah menguntitku sepanjang perjalanan. Bahkan ada kemungkinan sejak aku berangkat dari Kerajaan Toba. Aku memergokinya beberapa kali.
Pendekar Slebor juga. Hm.... Rupanya dia telah mengetahui kematian abangnya. Hatinya dirasuki amarah dan dendam.
Itulah sebabnya dia nekat menyusup kemari untuk menuntut balas padaku," papar Pendekar Ulos Sakti.
"Kau telah mengenalnya sejak di daerahmu?" tanya Prabu Alengka.
"Benar, Prabu."
"Lalu mengapa ketika memergokinya tidak kau tangkap"!"
"Itulah, Prabu. Ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi sehingga selalu dapat melarikan diri. Itu sebabnya pula, mengapa dia masih dapat menyusup ke kamarku melalui penjagaan yang ketat di sini. Sayang, kemampuan bertarungnya kurang baik. Setelah Pendekar Slebor memergokinya, kami dengan mudah menangkapnya. Oh ya. Terima kasih ya, Bor!" ucap Patniraga menganggukkan kepala pada Andika.
Andika mencibir melihat gaya Patniraga di hadapan Prabu Alengka.
"Auk, ah! Gelap!" oceh Pendekar Slebor, seenaknya.
Prabu Alengka manggut-manggut. Ia mengerti kini, mengapa para prajurit jaganya bisa kecolongan.
"Kalau boleh, ada satu permohonanku, Prabu," kata Patniraga lagi.
"Apa itu?"
"Aku punya dugaan, si Togap tidak mengetahui duduk perkara sesungguhnya. Si Baringin Pati itu licik, Prabu. Ada kemungkinan ia mengarang-ngarang cerita pada si Togap kenapa sampai melarikan diri. Selain itu, mungkin pula karena ia telah menjejali adiknya dengan uang hasil kejahatannya. Aku ingin berbicara padanya, sekiranya diizinkan."
"Hm.. Baiklah, besok kau boleh menemuinya di penjara.
Sekarang, istirahat saja. Aku permisi dulu," ucap Prabu Alengka seraya berbalik meninggalkan kamar ini.

***

«:::|{ 3 }|:::»

"Whooaahh..." Andika menguap lebar. Untung saja tak ada lalat lewat.
Kalau ada, tak mustahil akan tersedot oleh mulutnya yang masih bau naga. Si pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di pundaknya ini duduk. Tangannya direntangkan selebar-lebarnya dengan mata mengerjapngerjap. Ngulet. Mentari pagi telah menerangi dunia. Ia menemukan Patniraga tengah duduk di lantai membelakangi.
"Wah... Sudah siang ya, Sobat?" sapa Andika, sekenanya. Orang yang ditanya tidak menjawab. Mungkin malas menanggapi kata-kata Andika yang nyerocos begitu saja.
Sudah tahu sinar matahari yang lewat dari jendela menerpa wajahnya. Pakai bilang sudah siang segala! Kebangetan sekali pemuda satu ini.
"Sedang apa kau, Sobat?" ulang Andika, agak mangkel juga didiamkan seperti itu. Memang enak dianggap angin lewat" Tapi Patniraga tidak juga menjawab.
Saking mangkelnya, Andika turun dari tempat tidur.
Dihampirinya Patniraga yang tengah duduk berada.
Matanya terpejam. Kedua telapak tangannya mengatup di muka, mengepit ulos saktinya yang koyak moyak.
Andika lantas mengibas-ngibaskan tangan di depan mata Patniraga. Jahil juga pemuda urakan ini. Tapi Patniraga tidak bergeming juga. .
Andika menghela napas, tanpa mempedulikan Pendekar Ulos Sakti lagi. Ia bergerak keluar kamar, hendak pergi mandi. . Di luar, si pemuda bertemu Mirah. Gadis itu membiarkan rambutnya tergerai lepas. Di telinganya terselip sekuntum bunga kamboja. Cantik sekali.
"Baru bangun, An?" sapa Mirah.
"Oh, sudah dari tadi," jawab Andika, seenaknya.
"Kok wajahmu masih kucel begitu?"
"Maksudku Patniraga yang sudah bangun. Kalau aku sih, baru saja bangun."
"Mana Patniraga?"
"Itu sedang bersemadi. Cari ilham buat pasang dadu kali," jawab Andika, lalu ngeloyor pergi.
Mirah mengerutkan keningnya sambil menahan senyum.
Memang, pemuda satu ini kalau bicara tak pernah dipikir dua kali. Asal nyeplos saja.

*****

Patniraga terus dengan semadinya. Dengan mata dan telinga tertutup, ia berusaha menyatukan jiwanya dalam satu titik. Dengan demikian, dia tak peduli dengan segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya.
Menanti dan menanti. Itulah yang dilakukannya sejak subuh tadi. Menanti kehadiran gurunya yang dihubungi lewat indra keenamnya. Padahal, sang Guru yang sudah renta tinggal di sebuah gua di pegunungan Bukit Barisan.
"Bagaimana kau bisa sampai membiarkan ulos saktimu kayak, hah"!" tiba-tiba terdengar suara amat berwibawa, mengandung kemarahan. Itulah suara sang Guru.
"Beribu-ribu maaf sekali lagi, Guru. Aku dalam keadaan terdesak waktu itu. Si Baringin Pati hampir saja membunuhku dengan pukulan 'Tenaga Langit'-nya. Kalau tidak kutangkis dengan Ulos Sakti, tak tahulah apa jadinya aku," ucap Pendekar Ulos Sakti lewat tenaga batinnya.
"Aku tidak perlu penjelasan itu! jangan mengelak kenyataan bahwa itu semua adalah bukti kalau kau masih kurang dalam berlatih!" semprot sang Guru.
"Ya, Guru. Aku mengakuinya."
"Yang bandel kalilah kau ini, bah! Sudah kubilang jangan turuti dendam dan amarah. Sekarang nyata, bukan" Kau tidak turuti apa yang kubilang. Yang ada di otakmu itu cuma nafsu untuk membunuh si Baringin Pati. Tak kau pikir dan tak kau ingat lagi yang kubilang. Hah! Matilah kau sekarang! Sudah begini, kau desak-desak pula aku...."
"Ampun, Guru. Aku mengakui semua kesalahan itu.
Aku berjanji, setelah ini hendak berlatih silat kembali. Tapi tolonglah, Guru. Sambungkanlah lagi ulosku yang telah koyak ini," ratap sang murid, nyaris bersifat kekanakkanakan.
"Kalau kau tak tepati janjimu, apa hukumannya," sang Guru memberi penawaran.
"Aku bersedia dihukum apa saja."
"Hm...." Guru Patniraga sejenak tak bersuara. Mungkin sedang berpikir, hukuman apa yang akan dikenakan pada muridnya bila mengingkari kata-katanya sendiri.
"Jika kau tak lakukan apa yang kubilang, aku tak akan pernah menolongmu lagi," kata sang Guru, sarat ancaman.
Tek! Jantung Patniraga berdenyut keras. Ini hukuman yang tidak main-main.
Itu berarti gurunya tidak mau menganggapnya sebagai murid lagi.
"Kau paham itu, Patniraga?" lanjut sang Guru.
"Berat kali hukuman ini!, Guru," keluh Pendekar Ulos Sakti. Aku tidak mau kau main-main, Patniraga. Ingat selalu kataku dulu. Sekali aku menerimamu sebagai murid, kau harus berusaha yang terbaik!"
"Baiklah, Guru. Aku akan menuruti kata-katamu."
"Hm! Sekarang bersiaplah. Pegang erat ulosmu. Eraterat! Salurkan semua tenaga dalam yang kau miliki padanya. Nanti, akan datang musuh kita, Sibolis Anggarjago! Dia akan menyerangmu. Taklukkan dia.
Maka, ulosmu akan tersambung kembali. Jika kau kalah, kau akan mati." Indra keenam Patniraga mendadak buntu. Itu artinya, gurunya telah menutup pembicaraan. Padahal, ia belum sempat mengucapkan terima kasih. Namun Pendekar Ulos Sakti tidak ingin lagi mempersoalkannya. Karena bisa jadi gurunya akan marah. Maka segera dia berbuat apa yang diperintah gurunya. Dipegangnya erat-erat Ulos Sakti. Saat itu pula tenaga dalamnya mulai disalurkan ke ulos.
Kini, ulos di tangan Pendekar Ulos Sakti seolah tampak hidup. Benda sakti itu meliuk-liuk perlahan, seperti seekor ular merayap. Makin lama makin cepat. Patniraga merasakan, tetapi tidak membiarkan dirinya terpengaruh.
Tetap digenggamnya erat-erat ulos itu.
Pyas! Tiba-tiba Patniraga merasa seperti sedang berdiri di tengah-tengah sebuah padang pasir yang luas. Mentari terik menyengat. Dinantinya, apa yang akan terjadi kemudian.
Dan kening Pendekar Ulos Sakti mendadak berkerut ketika samar-samar terlihat sesuatu bergerak ke arahnya.
Makin mendekat, Patniraga jadi terkesiap. Ternyata makhluk itu bertubuh seekor binatang yang serba hitam.
Kupingnya tegak mirip kuping anjing. Mukanya mirip serigala. Tinggi besar. Pantatnya berekor yang ujungnya seperti mata anak panah. Di tangannya tergenggam sebuah trisula. Tanpa basa-basi lagi, binatang itu langsung menyerang Patniraga dengan senjata trisulanya.
Wheeess..'! Patniraga mengenyahkan tubuhnya ke samping, membuat serangan lawan anehnya yang bernama Sibolis Anggarjago tak menemui sasaran. Binatang itu berbalik lalu menyerang lagi.
Wesss....
"Hup...!" Patniraga berkelit dan berjumpalitan ke sana kemari. Ia sama sekali tidak diberi kesempatan sedikit pun oleh Sibolis Anggarjago. Jika bertahan terus, bukan mustahil tenaganya akan terkuras.
"Hap!" Begitu mendapat kesempatan Patniraga melompat sejauh-jauhnya untuk mengambil jarak. Begitu mendarat, kedua tangannya menghentak, melontarkan sebuah pukulan jarak jauh.
"Gherrr...!" Binatang itu menghindar disertai gerengan menyeramkan. Tubuhnya berguling-guling di pasir, maju ke arah Patniraga. Saat mendapat jarak memungkinkan, Sibolis Anggarjago bangkit loncat, langsung menerkam seperti singa.
"Grauuungng...!" Pendekar Ulos Sakti bergeser ke kanan seraya menghujamkan kepalan tangan kanan ke iga lawan. Tak dinyana, Sibolis Anggarjago menggerakkan tangan kiri, menangkis. Sementara tangan kanannya menyabetkan trisula. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Crass! "Akh!" Patniraga menjerit tertahan begitu trisula lawan menggores panjang dari pundak hingga ke perut. Darah tampak merembes keluar. Patniraga menyeringai menahan perih. Sementara itu dalam pandangan nyata ulos dalam pegangan tangan Patniraga meliuk-liuk tak karuan setiap kali terjadi bentrokan. Mungkin bila Andika masih berada di kamar, akan melihat tubuh Patniraga yang sedang duduk bersila ikut bergerak ke sana sini Dan pasti pemuda urakan itu akan terbengong-bengong.
Dalam pandangan batin patniraga, tubuh makhluk itu kini berdebum jatuh di pasir. Punggungnya dibiarkan menghantam bumi, dan langsung berguling-guling ke arah Patniraga. Begitu dekat, senjatanya disabetkan.
Bett! Patniraga mundur tiga langkah seraya mencabut golok.
Langsung ditangkisnya trisula yang mengancam dirinya.
Trang! Suara berdentang dari kedua senjata yang beradu terdengar memekakkan telinga. Setiap kali senjatanya beradu tangan Pendekar Ulos Sakti bergetar. Ini berarti tenaga Sibolis Anggarjago lebih tinggi daripada tenaganya.
Tentu saja Patniraga tidak kuat terus-terusan menangkis dengan senjatanya. Apalagi, genggamannya pada golok terasa melemah akibat benturan barusan. Maka kini goloknya kembali dimasukkan ke dalam warangkanya.
Patniraga yang sebenarnya ada di kamar kini tidak duduk bersila lagi, peluh mulai membasahi sekujur tubuhnya. Ia kini tidak hanya memegang ulos dengan tangan kanan, tetapi dengan kedua tangannya. Ada tenaga kuat dari ulos yang ingin melepaskan diri dari genggamannya. Rumbai-rumbai ulas yang koyak meliukliuk hebat. Pertarungan terus berlangsung seru dan menegangkan.
Namun sampai sejauh itu, belum ada yang unggul.

*****

Setelah beberapa jurus berlangsung, Patniraga yang terus mencari kelemahan lawan mulai mendapat titik terang.
Ternyata Sibolis Anggarjago tidak pernah menghindar dengan jalan melompat, kecuali saat menerkam. Kelihatannya, di sinilah kelemahan lawan.
"Heaaa...!" Dalam satu kesempatan Patniraga menyerang setelah mencabut goloknya kembali. Goloknya diayunkan dari atas ke bawah. Tapi Sibolis Anggarjago cepat menangkis dengan trisula. Trang! Saat itulah Patniraga segera menyodok dada lawan dengan kaki kanan ketika binatang itu mundur selangkah, Patniraga menekan goloknya yang masih tertahan oleh trisula lawan. Lalu tiba-tiba tangan kirinya bergerak memapak tangan lawan yang memegang trisula.
Begitu trisula lepas, Patniraga memutar tubuhnya.
Seketika kakinya membuat satu gerakan berputar yang berisi tenaga dalam penuh. Begitu cepat gerakannya, dan....
Beg! Sibolis Anggarjago terjajar mundur ke belakang sambil memegang tulang rusuknya yang terhantam kaki Patniraga.
Bukan main! Kalau lawan biasa, pasti sudah mampus dengan paru-paru dan jantung pecah. Tetapi tampaknya binatang itu jadi susah bernapas. Dadanya terasa sesak sekali. Melihat hal ini Patniraga tidak membuang waktu. Segera tubuhnya menerjang sambil menyabet golok dari samping.
Ketika binatang itu berusaha menghindar, dengan sebuah gerak tipuan lelaki itu pun segera melepas tendangan dengan kaki kanannya ke wajah lawan.
Dess..! Kepala Sibolis Anggarjago kontan tersentak ke belakang terkena tendangan Patniraga. Dan belum binatang itu sempat berbuat sesuatu, telapak tangan kiri Patniraga telah telak mendarat di dada.
Desss! Binatang itu kontan terjengkang empat tombak ke belakang, lalu terhempas di pasir. Sebentar kemudian Sibolis Anggarjago melejang-lejang.
"Ngik.... Ngik...!" Sementara itu, ulos dalam genggaman kedua tangan Patniraga menegang kaku. Lalu, suatu pemandangan yang mengherankan muncul. Di sepanjang dan sekeliling ulos, tampak sinar putih melingkupi.
Lantas perlahan-lahan setiap bagian ulas yang telah koyak merapat satu sama lain. Sedangkan rumbai-rumbai ulos menyambung kembali, menjadi utuh seperti semula.
Bahkan, tanpa sedikit pun bekas-bekas koyakan. Begitu ulos utuh, perlahan-lahan sinar putih meredup. Dan akhirnya, sirna. Barulah setelah itu, ulos melemas dan tergerai di lantai.
"Aaung...." Seiring dengan terdengarnya lolongannya, Sibolis Anggarjago telah dijemput maut. Patniraga melihat darah hitam mengalir dari mulut dan telinga binatang aneh itu.
Paru-paru dan jantungnya ternyata telah pecah.
"Dasar iblis!" Bersamaan dengan rutukan Pendekar Ulos Sakti, gambaran yang ibarat mimpi itu hilang. Patniraga pun merasakan telah berpindah ke alam nyata kembali.
Perlahan-lahan kelopak matanya membuka.

*****

Setelah mendapat izin dari Prabu Alengka, Patniraga ditemani Andika pergi menemui Togap di ruangan penjara.
Pagi itu, Togap sedang melamun. Dan mukanya langsung ditekuk begitu melihat kedatangan kedua pendekar itu. Bahkan kemudian berbalik, membelakangi.
"Mau apa kalian kemari"!" tanyanya tanpa menoleh.
"jangan berprasangka buruk, Togap. Aku hendak menjelaskan duduk persoalan, mengapa aku sampai membunuh abangmu," jelas Pendekar Ulos Sakti.
Patniraga lalu menceritakan secara lengkap apa yang telah dilakukan Baringin Pati terhadap Kerajaan Alengka.
Juga, terhadap kekasih yang akan dinikahinya (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Alengka Bersimbah Darah").
"Tidak!" teriak Togap begitu Pendekar Ulos Sakti selesai dengan ceritanya.
"Kalian membual! Tidak mungkin abangku melakukan itu semua! Kalianlah yang iri padanya.
Iri pada keberhasilannya! Iri pada kemampuannya!"
"Kalau kau tidak percaya, aku membawa surat perintah langsung dari raja kita, Raja Sahala," tegas Patniraga sambit merogoh saku di balik bajunya. Di tangannya kini tergenggam secarik surat dan dijulurkan melalui jeruji.
"Tidak mau! Aku tidak perlu semua itu!" tolak Togap, keras kepaJa. Patniraga membiarkan surat itu terjatuh ke dalam ruang tahanan Togap.
"Togap," Andika buka suara.
"Kau mau percaya kek, mau tak percaya kek, itu urusanmu. Tak perlu berteriakteriak begitu. Memangnya kami budek" Begini saja. Coba kau pikir, Raja Sahala mengutus Patniraga untuk mencari abangmu hingga ke Tanah Jawa dengan biaya cukup banyak jika semua yang di ceritakan tadi tidak benar?"
"Aku tidak percaya semua itu! Aku tidak percaya.
Semuanya bohong..!" teriakan Togap semakin kencang.
"Pergiii..., pergi kaliaaan..!" Andika dan Patniraga saling berpandangan. Setelah menghela napas, Patniraga mengajak Andika meninggalkan tempat ini.

*****

Dua hari berlalu begitu saja. Saat ini Patniraga tengah melatih ilmu silat sebagaimana janjinya pada gurunya. Dan barn saja ia memainkan jurus terakhir, seorang prajurit dalang menemuinya.
"Maaf, Pendekar Ulos Sakti. Hamba datang hendak menyampaikan keinginan Togap untuk berbicara padamu," ucap si prajurit.
"Tolong bawa dia kemari," perintah Pendekar Ulos Sakti sambil terus melanjutkan latihannya tanpa menoleh sedikit pun. Peluh di tubuh Patniraga telah membanjir. Tapi lelaki ini seperti tidak mengenal lelah melatih jurus-jurusnya. Hingga tak terasa, Togap telah hadir dengan tangan terikat diantar dua orang prajurit.
Pendekar Ulos Sakti menutup jurus terakhirnya dengan kedua telapak tangan menangkup di dada. Lalu sambil membasuh keringat, dihampirinya Togap.
"Apa yang akan kau katakan, Togap?" tanya Patniraga langsung saja.
"Lepaskan dulu ikatanku ini," pinta Togap.
"Asal kau berjanji tak akan lari."
"Aku takkan lari." Patniraga meminta pada kedua prajurit itu untuk membuka ikatan tangan Togap dengan jaminan dirinya.
Apabila Togap lari, patnitaga bersedia bertanggung jawab.
"Telah kupikirkan apa yang kau ceritakan padaku tentang Abang Baringin Pati," buka Togap, begitu ikatan pada tangannya terlepas.
"Lalu?"
"Kau benar mengatakan itu semua, Patniraga?"
"Apa ada kemungkinan aku berbohong?" Patniraga balik bertanya. . . Togap melihat bahwa Patniraga berkata jujur. Apalagi, ia mengenal cap Kerajaan Toba dan tanda tangan Raja Sahala dalam surat perintah yang ditinggalkan Patniraga dalam ruang tahanan. Ia tahu, Raja Sahala tak mungkin berbohong. Babkan tak mungkin berbuat begitu rupa, hingga mengutus Patniraga jauh-jauh ke Tanah Jawa hanya untuk mengejar seseorang belaka.
"Aku telah dibohongi oleh abangku sendiri rupanya," desah Togap. Patniraga menghela napas. Hatinya melunak. Firasatnya mengatakan bahwa Togap telah sadar akan kekeliruannya.
"Apa yang dikatakannya padamu?" tanya Patniraga seraya mendekati Togap dengan tatapan tajam.
Togap membuang pandangannya. Dihindarinya tatapan mata Patniraga yang seolah menusuk nuraninya.
"Ia mengatakan padaku bahwa Raja Sahala khawatir pada kemampuan dan pengaruh abangku di dalam istana yang akan merebut kekuasaan di Kerajaan Toba. Raja Sahala iri pada Abang Baringin dan bermaksud membunuhnya. Itulah sebabnya dia melarikan diri ketika mengetahui rencana Raja Sahala," papar Togap.
"Jika Raja Sahala hendak membunuhnya karena alasan itu, buat apa menyuruhku mengejar abangmu hingga ke ujung bumi sekalipun?" tukas Pendekar Ulos Sakti.
"Itulah. Aku juga akhirnya berpikir demikian, setelah membaca surat perintah Raja yang kau tinggalkan di kamar tahanan."
"Lalu, apa katanya pula tentang aku?"
"Ia mengatakan bahwa kau mengejarnya karena disuruh Raja Sahala yang benar-benar ingin melenyapkannya." Patniraga mendengus mendengarkan penuturan Togap.
Cerita itu tidak sedikit pun menyinggung nasib Ulima, calon istri Pendekar Ulos Sakti yang dicintainya.
"Aku ingin minta maaf atas kesalahanku telah menganggapmu sebagai kaki tangan Raja Sahala yang jahat selama ini," desah Togap, lirih.
"Yang kutahu, kau sangat sayang pada abangmu. Tapi, begitu cepat pikiranmu berubah," kata Patniraga.
"Benar. Aku sayang pada abangku si Baringin. Tetapi aku lebih sayang pada negeriku. Juga, pada Rajaku yang ternyata tidak sejahat yang kukira." Patniraga memegang bahu Togap lalu tersenyum.
"Aku percaya pada pengakuanmu. Lalu apa maumu kini?" tanyanya, lembut.
Togap menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tak tahu. Terserah padamulah. Mungkin aku ingin pulang. Dan kalau boleh, aku ingin pulang bersama-sama denganmu. Cuma aku tahu, kau sekarang punya urusan membantu Pendekar Slebor untuk membasmi Jasad Dedemit dan kawan-kawannya. Aku ingin membantumu sebisaku. Anggaplah ini penebus dosa atas kesalahanku."
"Ah, itu tidak perlu. Tetapi kalau kau senang untuk membantu Pendekar Slebor bersamaku, akan sangat kuhargai. Ilmu meringankan tubuhmu yang tinggi mungkin bisa bermanfaat." Mata Togap berkaca-kaca. Dengan perasaan sedih kehilangan abang yang bercampur perasaan terharu atas pemberian maaf dari orang yang hendak dibunuhnya karena termakan fitnah, langsung dipeluknya Patniraga.
"Maafkan aku, Sobat," ucap Togap di tengah keharuannya. Patniraga balas memeluk Togap dengan tulus. Ditepuktepuknya punggung lelaki itu.

***

«:::|{ 4 }|:::»

Bukit Dedemit di waktu malam. Para tokoh persilatan golongan hitam kembali berkumpul, membahas bagaimana caranya melenyapkan Pendekar Slebor. Di situ terlihat Jasad Dedemit, Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat Siluman, dan Nyi Bengis.
Mereka semua duduk bersila melingkari api unggun, di depan sebuah pondok besar, tempat tinggal Jasad Dedemit.
Sementara para murid mereka masing-masing berjaga-jaga di sekitar tempat ini.
"Karena di belakang Pendekar Slebor ada pendekarpendekar lain, aku pikir sebaiknya kita mengincar mereka satu persatu. Kita tunggu kesempatan yang baik ketika pendekar-pendekar itu sedang sendirian. Lalu, kita serang dan bunuh. Dengan demikian, dukungan terhadap Pendekar Slebor semakin berkurang," cetus Malaikat Siluman, membuka suara.
"Boleh juga," tanggap Lampor Ireng.
"Menurut keterangan murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi, di belakang Pendekar Slebor ada Pendekar Ulos Sakti dan seorang wanita yang belum kita ketahui," sambung Malaikat Siluman.
"Nah! Apabila keduanya telah disingkirkan, barulah kita serang Pendekar Slebor di Istana Alengka."
"Kenapa mesti dua-duanya" Menurutku, kalau salah satu telah dapat dibunuh, kita sudah bisa mengalahkan Pendekar Slebor," sergah Betot Nyawa.
"Aku pikir belum," jawab Malaikat Siluman, lugas.
"Ya! Kupikir juga begitu," dukung Nyi Bengis.
"Bagaimana pendapatmu, Jasad Dedemit," tanya Betot Nyawa.
"Entahlah. Aku rasa, pendapat Malaikat Siluman ada baiknya. Cuma saja, mungkin bisa memakan waktu lama."
"Aku kurang jelas maksudmu," tukas Nyi Bengis.
"Begini. Cara itu akan membuat kita harus mengamati terus menerus. Kita harus menunggu saat sampai salah satu dari mereka lengah dan berada sendirian. Sampai kapan itu bisa terjadi" Dalam keadaan semacam ini, kupikir mereka akan lebih banyak bersama-sama. Lagi pula, bisa saja kita kepergok saat mengamati. Kalau tidak terkepung, mungkin kita bisa melarikan diri. Tetapi hal ini akan membuat siasat kita diketahui." Keempat tokoh sesat lain mencerna pendapat Jasad Dedemit.
"Cara itu juga terlalu berbahaya," sambung Jasad Dedemit.
"Kenapa" Karena, selagi kita menunggu kesempatan, mereka bisa saja mengambil keputusan untuk menyerang Bukit Dedemit ini."
"Kalau begitu kita lakukan saja lagi kekisruhan pada desa-desa lainnya. Lalu, kita menuntut Prabu Alengka menyerahkan Pendekar Slebor," usul Nyi Bengis.
"Tidak! Itu hanya akan memancing mereka lebih cepat menyerang kita," tolak Jasad Dedemit.
"Jadi bagaimana" Apa yang mesti kita lakukan" Tidak mungkin kita cuma kongkow-kongkow begini saja, bukan?" desak Lampor Ireng.
"Aku lebih cenderung agar kita mencari bantuan tambahan!" jelas Jasad Dedemit.
"Bantuan tambahan" Maksudmu?"
"Kita menghubungi teman-teman sealiran untuk bergabung bersama kita. Kalau kita bisa menarik dua orang saja dari mereka, aku rasa sudah cukup untuk mengalahkan Pendekar Slebor sekaligus para pendukungnya," papar Jasad Dedemit. Sejenak para tokoh persilatan aliran hitam itu hening memperlimbangkan pendapat Jasad Dedemit.
"Bagaimana" Apakah kalian setuju?" Keempat rekan Jasad Dedemit mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
"Tetapi kita harus cepat! Karena, Jasad Dedemit telah mengatakan bahwa mungkin saja Pendekar Slebor dan teman-temannya akan menyerang kita," tambah Betot Nyawa.
"Kamu benar, Betot Nyawa," sambut Jasad Dedemit.
"Siapa yang akan kita tarik?" tanya Malaikat Siluman kemudian. Jasad Dedemit diam sebentar. Berpikir.
"Bagaimana kalau salah satunya si Pendeta Gadungan yang berjuluk Pandita Perangai Setan?"
"Lalu satu lagi?"
"Apa ada usulan dari kalian?" Jasad Dedemit balik bertanya.
"Bagaimana kalau temanku yang bernama si Nyai Bongkreng?" cetus Nyi Bengis, langsung saja.
"Hm.. Boleh juga," sahut Jasad Dedemit.
"Apakah yang lain setuju?" Tak ada yang bersuara. Diam, berarti setuju.
"Baiklah. Akan menghubungi Pandita Perangai Setan.
Sementara, Nyi Bengis akan menghubungi Nyai Bongkreng," kata Jasad Dedemit.
"Aku siap," jawab Nyi Bengis, semangat.
Baru saja mereka hendak beranjak, tiba-tiba Jasad Dedemit mengangkat tangannya.
"Sekarang dengarlah," ujar Jasad Dedemit.
"Jangan kalian beranjak dulu. Aku merasa ada orang gelap yang memata-matai kita."
"Di mana dia" Akan kutebas kepalanya!" desis Nyi Bengis seraya melihat ke sekeliling.
"Sst.... Jangan celingukan begitu, Nyi Bengis! Dia akan curiga," Jasad Dedemit memperingatkan.
"Tadi aku melihat satu bayangan berkelebat dan melompat ke atas pohon.
Gerakannya begitu mulus. Dari caranya melompat dan hinggap di pohon itu, sudah jelas kalau ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi!" Sejenak Jasad Dedemit terdiam. Berpikir keras bagaimana caranya menangkap si penyusup.
"Betot Nyawa! Kau bersama Lompar Ireng, dan Malaikat Siluman berpurapura masuk ke dalam pondok satu persatu, lalu keluar dari pintu belakang dan memutar ke arah tempat persembunyiannya. Kita kepung dia agar tak bisa meloloskan diri. Pohon tempatnya bersembunyi tepat lurus di hadapanku. Pohon yang paling besar. Setelah kalian mengepung, aku dan Nyi Bengis akan menyerangnya. Nah! Mari kita lakukan tanpa mengundang kecurigaan," cetus Jasad Dedemit. Satu demi satu. mereka meninggalkan api unggun tempat berkumpul untuk menjalankan perintah yang diberikan Jasad Dedemit. Sementara Jasad Dedemit sendiri dan Nyi Bengis segera bangkit berdiri. Dan dengan gerakan cepat, mereka berkelebat ke arah pohon itu.
"Hei! Turun kau dari situ, Lutung! Jangan macammacam! Kau telab terkepung!" teriak Jasad Dedemit sambil berkacak pinggang begitu tiba satu tombak di dekat pohon yang paling besar bersama Nyi Bengis.
Di tempat persembunyian, Betot Nyawa, Lampor Ireng, dan Malaikat Siluman berdiri mengawasi untuk membuktikan perkataan Jasad Dedemit tadi.
"Turun! Atau aku akan memaksamu"!" bentak Jasad Dedemit seraya mengibaskan tangannya.
Set! Sel! Set! Tiga benda putih berbentuk segi tiga melesat dari tangan Jasad Dedemit. Tiga senjata rahasia yang siap merajam tubuh si penyusup.
"Hup!" Ternyala, si penyusup yang berpakaian serba hitam mampu menghindar dengan mudah setelah melompat ke dahan lain.
"Lutung pengecut! Mau lari ke mana kamu, heh"!" bentak Jasad Dedemit seraya kembali melontarkan senjatasenjata rahasianya.
"UtS...!" Si bayangan hitam menghindar lagi, namun kali ini ke pohon lain. Namun begitu kakinya mendarat, Malaikat Siluman, Betot Nyawa, dan Lampor Ireng telah melepaskan pukulan jarak jauh.
Bet! Bet! Bet! Melihat datangnya serangan yang beruntun, kembali si bayangan hitam melompat dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi.
Blarr! Blar! Akibatnya, dahan pohon yang jadi sasaran ketiga pukulan jarak jauh hancur dan berguguran ke tanah.
Sementara sosok bayangan hitam itu telah mendarat di pohon lain.
"Mampuslah kau, Lutung!" teriak Nyi Bengis, begitu melihat si penyusup bisa menyelamatkan diri.
Namun baru saja hendak menghentakkan tangannya...
"Hentikan permainan kalian!"

*****

Semua yang ada di tempat itu langsung menoleh ke arah dalangnya suara bentakan barusan. Dan kesempatan ini digunakan si penyusup untuk melompat ke pohon lain, lalu berkelebat pergi.
"Pandita Perangai Setan!" sebut Jasad Dedemit, begitu mengenali sosok lelaki tua yang terbungkus pakaian warna kuning yang dilibatkan begitu saja.
Lelaki tua gundul yang dipanggil Pandita Perangai Setan ternyata memang telah berdiri tidak jauh dari situ. Tanpa seorang pun yang tahu, bagaimana kehadiran Pandita Perangai Setan di markas Jasad Dedemit ini.
"Huahaha...," tawa Pandita Perangai Setan.
"Kau masih mengetahui betul suara sahabatmu ini, Jasad Dedemit."
"Sedang apa kamu di situ. Mari mendekat, Sobat! Kedatanganmu tepat pada waktunya," ujar Jasad Dedemit.
Pandita Perangai Setan mendekat sambil terus mengumbar tawa. Seolah dengan ketawa ingin menunjukkan ketenangan hatinya. Padahal, bukan. Ia justru ingin menunjukkan perangai setannya! "Tidak baik mempermainkan seorang anak kecil, Jasad Dedemit. Kulihat penyusup itu bukanlah apa-apa dibandingkan diri kalian. Masa untuk menghadapinya saja kalian sampai mengeroyok begitu?" kata Pandita Perangai Setan, kalem.
"Ah, sudahlah. Kami baru saja membicarakanmu. Ayo, masuk ke pondokku," ajak Jasad Dedemit menggamit Pandita Perangai Setan.
"Hahaha..." Pandita Perangai Setan tertawa lagi. Sementara Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat Siluman, dan Nyi Bengis jadi cemberut, karena kehilangan buruan setelah lelaki gundul itu datang. Dan wajah mereka tak luput terlihat oleh Pandita Perangai Setan.
"Biarlah dia pergi. Kalian tidak keberatan, bukan?" ujar Pandita Perangai Setan, menyadari apa yang membuat keempat kawan Jasad Dedemit terlihat cemberut begitu.
"Rencana kalian untuk membinasakan Pendekar Slebor tidak akan terganggu hanya karena bocah begitu.
Percayalah."
"Oh, tentu! Tentu, Sahabatku," jawab Jasad Dedemit, berusaha untuk tidak mengubah keceriaan wajahnya.
Padahal, hatinya sedikit berat menuruti permintaan Pandita Perangai Setan.
"Aku selalu ingat bahwa kau adalah seorang yang tidak suka membunuh orang yang ilmunya di bawah kita, bukan" Hahaha...." Dan untuk menghilangkan kekakuan di antara mereka, Jasad Dedemit kemudian memperkenalkan teman- temannya yang lain kepada Pandita Perangai Setan.
"Sudahlah. Jangan kalian berkecil hati karena kehilangan seorang cecunguk begitu," kata Pandita Perangai Setan lagi, berusaha membesarkan hati mereka.
"Tapi, Pandita Perangai Setan. Si penyusup itu telah menipu kami. Namanya Togap. Jadi, dia harus menerima pembalasan kami," sergah Nyi Bengis.
"Ah, sudahlah, Nyi. Aku ke sini karena mendengar rencana kalian dan ingin bergabung. Percayalah, mendapatkan seorang seperti aku jauh lebih berarti daripada kehilangan dia. Hahaha...," jawab Pandita Perangai Setan.
"Wah... kalau begitu kebetulan sekali. Jasad Dedemit tak perlu pergi ke tempatmu. Benar-benar pucuk dicinta ulam tiba...."

*****

Togap menceritakan semua kejadian yang dialaminya di Bukit Dedemit pada Prabu Alengka serta Patniraga.
Pendekar Slebor, Mirah, dan semua yang hadir di mangan utama Istana Alengka.
"Jadi bagaimana sekarang, Paduka Prabu?" tanya seorang lelaki gagah berpakaian perwira kerajaan.
Togap yang telah selesai memberi laporan hasil pengamalannya di markas para tokoh persilatan golongan hitam tersenyum bangga. Karena dari laporannya itu, dia berharap Prabu Alengka sudah melupakan kesalahannya.
Apalagi, ia memang bertekad untuk menebus dosa-dosanya selama ini.
"Apakah kita sanggup melawan mereka, Parameswara?" Prabu Alengka balik bertanya.
"Apalagi dengan bergabungnya Pandita Perangai Setan" Lelaki berpakaian perwira setingkat menteri yang dipanggil Parameswara tak menjawab. Agaknya ia berusaha berpikir keras, sambil menunggu kesanggupan anak buahnya. Untuk itu kepalanya lantas menoleh pada lelaki lain yang berpakaian panglima. Namanya Panglima Andipati. Menurutku sanggup, Paduka," jawab Panglima Andipati, setelah mendapat tatapan dari Parameswara.
"Justru sekaranglah saatnya kita bertindak. Karena kalau menunggu waktu lagi, sama saja akan memberi waktu pada mereka guna menghubungi Nyai Bongkreng yang akan membuat mereka tambah kuat. Kalau itu sampai terjadi, kita akan semakin sulit mengalahkan. Lagi pula kurasa, semua kami di sini siap untuk bertempur mengganyang para tokoh persilatan aliran hitam itu. Dan kami siap mati bagi negeri tercinta ini."
"Baiklah. Kupikir juga demikian," kata Prabu Alengka.
"Sekarang, marilah kita mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi ke Bukit Dedemit meminta pertanggungjawaban para perusuh terkutuk itu."

***

«:::|{ 5 }|:::»

Pasukan Kerajaan Alengka beserta Pendekar Slebor, Patniraga, dan Mirah yang hendak menggempur persekutuan tokoh-tokoh hitam yang selama ini membuat rusuh tiba di dekat kaki Bukit Dedemit menjelang tengah hari. Kepulan debu yang membubung tinggi akibat terterjang kaki-kaki kuda, tentu saja terlihat oleh muridmurid para tokoh hitam itu yang menjaga markas.
"Hoi! Ada segerombolan pasukan cukup besar datang kemari!" teriak seorang murid penjaga dari atas pohon.
"Pasukan apa?" sambut murid lain.
"Barangkali pasukan Kerajaan Alengka!"
"Cepat laporkan pada Guru!" Bagaikan kilat murid yang berada di bawah berlari ke dalam pondok besar. Begitu tiba di pintu, langsung dilaporkannya tentang kedatangan pasukan berkuda itu pada Jasad Dedemit. Sekejap kemudian ia telah kembali berlari menuju tempat penjagaan.
"Kita belum sempat menghubungi Nyai Bongkreng. Tapi tidak akan terlalu mengganggu bagi kemenangan kita. Mari kita hancurkan mereka. Kawan-kawan!" kata Jasad Dedemit begitu murid yang melaporkan tadi berlalu.
Saat itu juga Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat Siluman, Nyi Bengis, dan Pandita Perangai Setan berkelebat keluar pondok. Gerakan mereka diikuti Jasad Dedemit. Mereka langsung menuruni bukit, setelah Jasad Dedemit memberi perintah pada murid-muridnya untuk bersiaga di tempat masing-masing lengkap dengan senjata.
Demikian pula murid-murid keempat tokoh hitam lainnya.
Sementara itu di kaki bukit, para prajurit Alengka juga telah bersiap. Perisai di tangan kiri, pedang di tangan kanan. Anak panah dipasang, busur ditarik. Para panglima pasukan juga lelah siap. Andika alias Pendekar Slebor telah menyampirkan sarung kotak caturnya dari leher ke punggung. Sementara Mirah telah mencabut pedang dari punggung. Sedangkan Patniraga lelah menggenggam erat ulos saktinya. Matahari di atas kepala terik menyengat ubun-ubun.
Parameswara, sang Perwira Keamanan yang bertindak sebagai panglima perang utama, memandang ke atas bukit.
Matanya tajam mengamati murid-murid para tokoh persilatan aliran hitam yang menuruni bukit.
"Pasukan panah! Arahkan senjata kalian pada setiap lawan!" seru Parameswara.
Lengan setiap prajurit panah bergerak mengarahkan senjata mereka pada titik-titik sasaran yang tampak.
"Hiaa!" Begitu aba-aba yang diberikan sang panglima perang utama terdengar, serentak melesat puluhan anak panah ke arah murid-murid para tokoh persilatan golongan hitam di atas bukit.
"Akh!" terdengar jeritan para korban yang terkena hujaman anak panah.
Begitu satu baris prajurit panah selesai melaksanakan tugasnya, mereka berjongkok dan memasang anak panah lagi. Sedangkan di belakang telah siap satu barisan yang langsung menarik busur.
Trang! Trang! Puluhan anak panah berikutnya melesat. Maka kembali terdengar jeritan yang terkena. Ketika barisan kedua selesai, maka barisan ketiga telah siap pula. Begitu seterusnya.
Inilah yang disebut siasat perang Panah-panah Berlapis.
Serangan dengan cara ini membuyarkan keinginan para murid-murid tokoh persilatan aliran hitam untuk dapat menyerang balik. Mereka tidak berani nekat, kalau tidak mau menjadi bulan-bulanan panah Alengka.
Dalam keadaan yang tidak menguntungkan tersebut, Jasad Dedemit, Betot Nyawa. Lampor Ireng, Malaikat Siluman, Nyi Bengis, dan Pandita Perangai Setan segera berlompatan ke depan.
"Hei, para kunyuk Kerajaan Alengka! Kedatangan kalian kemari hanya mengantarkan nyawa saja!" teriak Jasad Dedemit begitu mendarat secara berjajar dengan kawankawannya menantang prajurit-prajurit Alengka di bawah.
"Hentikan panah!" perintah Parameswara lain, segera menatap ke atas bukit.
"Hei orang-orang tidak berhati! Jangan berpura-pura bodoh! Kedatangan kami justru hendak menjemput nyawa kalian berenam sebagai bayaran ratusan nyawa rakyat yang kalian jagal tanpa perikemanusiaan!"
"Huahahaha....
Sudah pandai bicara si Parameswarainya," jawab Jasad Dedemit yang rupanya telah mengenal siapa lelaki gagah itu.
"Apa kau dilatih untuk ini oleh Prabu Alengka, Parameswara?" Bergemeletuk gigi-gigi Parameswara menahan amarah mendengar nama Prabu Alengka dibawa-bawa dalam ejekan itu.
"Jangan banyak bacot, Jasad Dedemit Serahkan dirimu dan kawan-kawanmu sekalian. Atau, kami sendiri yang akan membinasakan kalian" Ingat, kalian sudah terkepung!" Keenam tokoh persilatan aliran hitam itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Dia kira kita ini anak kemarin sore yang dapat diperdaya dengan gertakan sambal seperti itu. Hahahaha...," teriak Betot Nyawa, menambahi ejekan Jasad Dedemit.
"Hiaa...!" Parameswara memberi aba-aba dengan teriakan dan kibasan tangannya. Maka melesat lagi puluhan anak panah yang mengarah pada keenam tokoh sesat itu.
Tas! Tas! Tas! Tapi mudah sekali anak-anak panah ditepis oleh Jasad Dedemit, Pandita Perangai Setan, dan Lampor Ireng.
Bahkan mereka menangkapi setiap anak panah.
Melihat hal ini keberanian murid-murid tokoh sesat itu bangkit dan mencoba maju. Tapi malang, lesatan panahpanah berikutnya menembus raga sebagian mereka.
Clap! Clap! "Aaakh...." Melihat murid-muridnya dipecundangi demikian, Jasad Dedemit dan kawan-kawan jadi beringas. Tangan mereka langsung menghentak, melontarkan pukulan-pukulan jarak jauh. Wuss! Wusss! Blakk! Blakk! Tak ada waktu untuk menghindar bagi pasukan panah Kerajaan Alengka tersambar pukulan-pukulan jarak jauh itu. Mereka kontan terjungkal ketika barisan di belakang mereka siap membalas, tetapi segera pula mengalami nasib yang sama.
"Serang!" seru Parameswara.
"Maju...!" Para prajurit lain yang sejak tadi menunggu perintah tanpa buang waktu bergerak maju ke atas dengan teriakanteriakan penuh semangat. Tindakan itu segera disongsong oleh para murid tokoh-tokoh hitam yang masih hidup.
Perwira Parameswara, Panglima Andipat dan para perwira lain pun bergerak maju. Sedangkan Mirah dan Patniraga tak mau ketinggalan. Mereka dan para prawira Kerajaan Alengka menerjang para tokoh persilatan aliran hitam itu. Sementara Andika tetap berdiri di tempatnya memperhatikan. Mirah mendapat lawan Nyi Bengis. Langsung dibabatnya perempuan itu guna mencegahnya lebih jauh membunuhi prajurit Alengka. Gadis itu dibantu pula oleh para panglima lainnya.
Patniraga langsung menghadang Lampor Ireng. Parameswara menyongsong Betot Nyawa. Sedangkan Panglima Andipati menghadapi Malaikat Siluman.
Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan yang melihat Pendekar Slebor masih belum beranjak dari tempatnya, menahan diri untuk mengikuti anak buah mereka.
Ke mana Togap" Prabu Alengka tadi meminta Togap untuk tidak usah ikut. Tetapi diam-diam, Togap keluar menyelinap dan meloncat tembok istana,langsung mengikuti pasukan Alengka. Kegemarannya memang memata-matai. Buktinya sekarang, dia sudah nangkring di atas pohon mengamati jalannya pertempuran.
"Panglima Wesi Wungu! Dan kau, Panglima Butong Aji! Kerahkan segenap kemampuan kalian!" teriak Mirah pada dua panglima yang membantunya.
Dua panglima yang dipanggil Panglima Wesi Wungu serta Panglima Butong Aji tak ragu-ragu lagi mengeluarkan segenap kemampuan untuk membekuk Nyi Bengis. Mereka bertiga hingga kini cukup mampu mengimbangi wanita tua berpedang panjang Barangkali jika bukan Nyi Bengis, tidak mungkin sanggup menggunakan pedang yang kelewat panjang melebihi ukuran biasa dengan begitu cekatan. Sekali saja pedang itu menebas, telah dapat membuat pemegangnya yang berkepandaian rendah terhuyung-huyung dan jatuh terbawa tarikannya.
Suara dentang dari pedang yng beradu terdengar memekakkan telinga. Berganti-ganti Mirah, Panglima Wesi Ungu serta Panglima Butong Aji menyerang, dan saling melindungi satu sama lain ketika Nyi Bengis menyerang.
Hal ini membuat serangan-serangan perempuan tua itu selalu dapat diredam.
Sebaliknya, ketika mereka menyerang, Nyi Bengis pun dapat mematahkan.
Di tempatnya, Patniraga ketika membuka serangan dengan kepretan Ulos Sakti yang memperdengarkan suara menggiriskan. Tapi, itu cuma sekali saja membuat kaget para tokoh persilatan aliran hitam. Selanjutnya mereka telah melindungi gendang pendengaran masing-masing dengan tenaga dalam. Alhasil, suara kepretan Ulos Sakti tokoh dari Toba yang dapat memecahkan telinga itu tidak berpengaruh apa-apa lagi.
Kehebatan para tokoh hitam menahan gempuran suara Ulos Sakti tidak membuat Patniraga ciut hati. Lelaki ini terus maju menyerang Lampor Ireng yang dapat bergantiganti wajah berbentuk menyeramkan.
Setelah beberapa jurus lewat, Lampor Ireng menjadi kesal dengan permainan ulos Palniraga.
"Hei, Manusia Tengik! Kau pikir aku ini kuda lumping apa" Hi... hi... hi...," ejek Lampor Ireng dengan tawa menggiriskan.
"Cepat masukkan kembali kain butut itu.
Atau kau kulebur bersama gombal bau itu?" Patniraga masih terkesiap oleh suara tawa Lampor Ireng.
Kesadarannya baru bangkit setelah mendengar bentakan lawan.
"Eh, diberi tahu malah bengong. Dasar goblok! Terima pukulan 'Panas Sinar Melebur Bumi'...! Heaaa...!" Lampor Ireng langsung saja mempertemukan kedua telapak tangan di depan dada, lalu memutarnya. Satu ke atas, dan satu ke bawah. Lantas mendorong kedua telapak tangan ke muka.
Wuss! Wuss! Dua cahaya berwarna kelabu melesat dari kedua telapak tangan Lampor Ireng. Mula-mula merambat perlahan, tapi sekonyong-konyong menjadi cepat. Itulah pukulan 'Panas Sinar Melebur Bumi' yang dikeluarkan Lampor Ireng.
Patniraga sempat terlongo, namun nalurinya segera bekerja ketika kedua garis cahaya amat panas itu hampir menghantamnya. Tubuhnya segera berjumpalitan ke samping. Lampor Ireng tidak berhenti di situ. Ketika Pendekar Ulos Sakti baru saja bangkit, pukulan 'Panas Sinar Melebur Bumi'-nya yang kedua langsung saja meluruk cepat keluar dari kedua telapak tangannya.
"Hup!" Kembali Patniraga harus melompat untuk menghindar dengan arah menyilang sambil mengibaskan ulos pada wajah musuhnya. Lampor Ireng menarik kepalanya kalau kepalanya tak ingin terlepas dari leber. Namun bersamaan dengan itu kedua tangannya menghentak kembali, tepat ketika Patniraga telab menapak di tanah.
Kali ini Patniraga harus merunduk untuk menghindar.
Tapi kejap kemudian, tubuhnya menggenjot lagi ke arah Lampor Ireng sambil mengkepretkan Ulos Sakti-nya ketika berada di udara sebanyak tiga kali. Ini berarti Pendekar Ulos Sakti telah berhasil meningkatkan kecepatan jurus 'Jalan Katak Menembus Sarang Nyamuk' sebelum berlatih di istana. Di tempat lain, Parameswara tampaknya agak kewalahan menghadapi Betot Nyawa. Sabetan pedangnya terus saja dapat ditahan oleh balutan logam di pergelangan tangan Betot Nyawa yang senantiasa membara merah bila dalam sebuah pertarungan.
Malaikat Siluman yang ilmunya sedikit di bawah Betot Nyawa meladeni Panglima Andipati dengan wajah penuh senyum keramahan. Siapa nyana wajah yang putih, tampan dan tampak selalu senyum ramah persis malaikat itu adalah milik seorang jahanam yang menyebut dirinya Siluman" Wajah itu bisa berubah bengis secara sekonyong-konyong apabila menusukkan pedang panjangnya. Apabila tusukannya gagal, maka wajah itu akan kembali tersenyum.
Ramah sekali! Panglima Andipati sendiri tak habis pikir, kenapa ada orang-orang telengas macam Malaikat Siluman ini.
Beruntung pertarungan mereka berlangsung seimbang.
Coba kalau tidak" Hatinya bergidik juga jika terbunuh di tangan manusia satu ini.
Pada pertarungan lain, agaknya para prajurit Alengka berada di atas angin dalam menghadapi murid-murid para tokoh hitam itu. Sebab, jumlah mereka lebih banyak.
Betapa tidak. Satu orang murid dari salah satu tokoh hitam itu harus menghadapi dua sampai tiga orang prajurit. Jadi sudah bisa diduga kalau prajurit Alengka akan memetik kemenangan. Melihat keadaan yang tampaknya tidak menguntungkan ini Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan mulai bergerak hendak turun tangan. Tapi baru saja mereka hendak melepas pukulan. satu bayangan hijau telah berkelebat menghadang sekaligus memapak.
Plak! Plak! Begitu habis memapak, bayangan hijau itu membuat salto ke belakang, dan mendarat manis sejauh tiga tombak di hadapan Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan.
Siapa lagi bayangan itu kalau bukan Pendekar Slebor"
"He he he.... Garing ya, tangkisanku...?" ejek Pendekar Slebor. Biasa, lagak konyolnya mulai kambuh. Padahal, lawan-lawan yang dihadapi berilmu amat tinggi.
"Tapi, kupikir lebih garing kepala plontos lelaki di sebelahmu, Jasad Dedemit. Terkena sinar matahari begini kepala itu jadi mengkeret seperti biji..., ha ha ha...!" Andika tak kuat lagi menahan ledakan tawanya. Apalagi bila membayangkan 'benda' yang ada di benaknya.
"Akhirnya kita bertemu juga, Pendekar Slebor. Sudah lama aku ingin melumatkan tubuhmu. Ke mana saja kau bersembunyi, Pengecut" Rupanya kau enak-enakan berada di bawah ketiak Prabu Alengka, ya?" balas Jasad Dedemit.
Pandita Perangai Setan yang diejek berusaha menahan kegeramannya. Namun begitu tak urung jemari tangannya telah membentuk kepalan.
"Hei, Jasad Dedemit! Yang jadi pengecut itu siapa" Buat apa kau membunuhi orang tak berdosa hanya lantaran ingin bertemu dengan orang ganteng macam aku ini" Jika bukan pengecut, apa lagi julukan buatmu, Jasad Kurapan" Kalaupun tubuhmu kubuat berkeping-keping nanti, itu masih terlalu murah untuk membayar nyawa mereka semua, tahu"!"
"Phuah! Bicaramu bau busuk! Berapa banyak tokoh aliranku yang mati di tanganmu" Berapa rupanya kau hargai setiap nyawa mereka" Berapa lembar nyawa yang kau miliki untuk menebus kematian mereka, hah"!"
"Bagaimana kalau setiap nyawa mereka kuhargai dengan sebutir telur busuk" Adil, kan?"
"Kurang ajar! Anak muda sepertimu tidak pernah diajar bicara sedikit sopan pada orang yang lebih tua. Biar kurajam mulutmu itu. Hih!" dengus Jasad Dedemit sambil mengibaskan tangannya.
Set! Set! Senjata-senjata rahasia Jasad Dedemit yang berbentuk segitiga meluruk dahsyat, membuat Andika harus melenting tinggi. Senjata-senjata rahasia yang terbuat dari tulang manusia itu terbuang sia-sia disaksikan oleh Pandita Perangai Setan yang masih diam saja.
"Akh, Orang Tua! Kenapa tulang-tulang itu kau berikan padaku" Masa makanan anjing dipakai untuk melawanku?" ledek Andika habis-habisan.
Darah Jasad Dedemit jadi mendidih diejek begitu.
Hidungnya kembang kempis dengan dengusan napas keras.
"Sekarang kau rasakan jurus 'Memapak Bumi Menipu Lawan', Keparat!" Jasad Dedemit menggeser kakinya cepat, tanpa terlepas dari tanah. Tiba-tiba tubuhnya meluruk maju dengan pukulan-pukulan beruntun. Bila sekali saja terkena pukulan itu, tulang-tulang lawan dipastikan akan remuk.
Tapi justru saat ini Pendekar Slebor telah mengandalkan kecepatannya menghindari serangan. Tubuhnya berkelebat begitu cepat luar biasa.
"Lho" Ke mana Pendekar Slebor" Kok tahu-tahu dia sudah tidak ada?" Jasad Dedemit jadi celingukan sendirian.
"Jangan linglung, Orang Tua. Penasaran ya denganku?" Terdengar suara dari belakang, membuat Jasad Dedemit berbalik. Mata si tua ini kontan melotot melihat Pendekar Slebor ternyata berada di belakangnya sambil menggoyanggoyangkan kepala.
"Heaaa...!" Jasad Dedcmit segera melabrak kembali dengan pukulan beruntun. Kali ini si pemuda urakan tak hendak menghindar. Iseng-iseng, dicobanya menangkis.
Plak! Plak! Begitu tangannya beradu, Andika merasa bagai menghantam kerasnya batu cadas. Keras sekali! Sedangkan Jasad Dedemit pun terheran-heran. Karena selama ini tak seorang pun yang dapat menahan pukulannya. Meskipun ditangkis, biasanya tetap saja tangannya akan melaju ke tubuh lawan. Di sinilah biasanya lawan sering tertipu.
Tetapi ini" Di tangan Pendekar Slebor, pukulannya bagaikan tertemu baja saja.
Andika yang baru saja bisa menyadari keadaan segera balik menyerang. Satu sodokan yang tak disangka-sangka Jasad Dedemit meluncur deras.
Bless! "Heh..."!" Justru kali ini Andika yang terheran-heran. Pukulannya yang telah dialiri tenaga dalam tinggi tak membuat Jasad Dedemit bergeming sedikit pun.
Keterkejutan Andika cepat dimanfaatkan lawan. Karena tiba-tiba saja Jasad Dedemit ke dada.
Bet! "Uf!" Untung Andika tidak hanyut dalam keterheranannya, sehingga pukulan balasan Jasad Dedemit bisa dihindari dengan meliukkan tubuhnya seperti belut dan meloncat lincah. Inilah salah satu kemampuan yang dimiliki Andika hasil tempaan alam di Lembah Kutukan dahulu.
Melihat serangannya gagal, Jasad Dedemit pun mengubah jurusnya menjadi 'Pusingan Gasing Maut'.
Tubuhnya mendadak berputaran di tempat, sebagaimana halnya sebuah gasing. Sehingga, bayangan tubuhnya seperti sebuah tempayan.
Di tempatnya kening Andika bertautan. Namun kejap kemudian tiba-tiba udara di sekitar dadanya terasa menghangat. Maka tanpa berpikir lebih lama, si pemuda urakau dari Lembah Kutukan itu meloncat secepat kilat.
Andika tahu, diam-diam lawan mengerahkan pukulan jarak jauh. Beruntung naluri pendekar satu ini sudah terlatih ketika berhadapan dengan kilatan-kilatan petir yang sambar-menyambar sewaktu di Lembah Kutukan dulu.
Diam-diam Andika bersyukur, bahwa dirinya bisa lulus di lembah itu. Tapi untuk balik lagi ke sana, pemuda ini bakalan mengumpat serapah.
Memang, orang biasa tentu tak mungkin bisa melihat gerakan tangan Jasad Dedemit yang hendak melepaskan pukulan jarak jauh. Karena yang terlihat hanya gerakan tubuh si tua itu yang terus berputaran. Mana kaki mana tangan, sulit ditentukan. Apalagi menentukan kapan tangan itu memukul. Memang, pukulan jarak jauh Jasad Dedemit begitu saja keluar dari pusingan setiap kali diinginkan.
"Hmm.... Bagaikan melawan seseorang dari gelap, tetapi dia dapat melihat orang yang diincarnya," gumam Andika dalam hati.
"Ah, masa' bodoh! Aku harus membalasnya!" Kini Andika mengerahkan tenaga 'Inti Petir'-nya ke kedua tangan. Lalu saat itu pula kedua tangannya menghentak ke arah lawan.
Jasad Dedemit melenting tegang ke atas sambil terus berputar dan menghindari serangan lawan. Di udara, dia balas melepas pukulan.
Andika cepat menghindar dengan melompat ke samping.
Tapi baru saja bersiap tiba-tiba ia merasakan angin berkesiur bergerak di belakangnya. Secepat kilat tubuhnya berputar. Ternyata Pandita Perangai Setan tengah meluruk dengan serangan mematikan.
Sebelum tengkuknya disambar, Andika bergulingan ke tanah, lalu cepat bangkit dengan lenturan ringan.
"Kadal buduk! Pendeta gundul! Kau biasa main bokong, ya" Eits...." Andika yang baru saja menyumpah harus menghindar lagi, karena pukulan jarak jauh Jasad Dedemit kembali datang.
"Majulah kalian berdua. Aku sangat senang sekarang mempunyai dua mainan," tantangnya.
Bagai termakan ejekan Andika, kedua tokoh sesat itu serentak menghentakkan tangan. Dari tangan Pandita Perangai Setan meluncur sinar kuning yang disertai bendabenda kecil yang ternyata biji tasbih. Sedangkan dari Jasad Dedemit meluncur sinar kelabu.
Pendekar Slebor kembali mengandalkan kecepatan geraknya. Entah bagaimana. tahu-tahu tubuhnya telah jauh dari tempatnya semula yang kini hancur berantakan.
"Hei, Gundul! Apakah kelerengmu juga bisa meledak seperti itu," kata Andika memanas-manasi ketika melihat biji-biji tasbih itu meledak saat menghantam tanah.
Padahal, diam-diam hatinya kebat-kebit juga melihat kedahsyatan serangan lawan-lawannya.
Dan baru saja Pendekar SJebor hendak menyerang balik....
"Akh!" Andika menoleh ke arah dalangnya jeritan barusan.
Ternyata, Parameswara telah gugur di tangan Betot Nyawa.
Suatu pemandangan yang menggidikkan dipertunjukkan salah seorang tokoh aliran hitam itu. Tangan kanannya memegang leher, sedangkan tangan kirinya menahan pundak Parameswara. Lalu dibetotnya kepala perwira itu hingga terlepas dari leher. Kemudian diputar-putarnya kepala itu dengan memegang bagian rambut sambil tertawa puas. Amarah Andika kontan terbakar melihat perilaku yang melebihi binatang ini. Awan kelabu yang dari tadi telah menutupi langit, seolah turut berduka atas perilaku Betot Nyawa yang merendahkan martabat manusia.
JeJeger! Tiba-tiba guntur menyambar, seolah alam ikut marah.

***

«:::|{ 6 }|:::»

Pemuda berjuluk Pendekar Slebor mengangkat kedua kepalan tangan ke atas. Mukanya merah menahan murka.
Urat-urat lehernya menyemburat keluar.
"Inilah saatnya aku mengerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat tinggi!" Jasad Dedemit tidak peduli lagi, apa yang dilakukan lawan. Yang dilihatnya sekarang cuma kesempatan untuk menyerang. Dari dalam putaran tubuhnya, kembali dilepaskannya pukulan jarak jauh. Maka kembali meluncur, sinar kelabu ke arah Andika.
Srattt! Glarrr...! Seberkas sinar petir tahu-tahu muncul dari kedua tangan Andika menyambar sinar kelabu Jasad Dedemit hingga menimbulkan ledakan dahsyat.
Pada saat yang bersamaan, dua larik petir juga telah menempel di kedua kepalan tangan Andika yang sedang teracung ke atas. Itulah kedahsyatan sosok pendekar yang memiliki tenaga'Inti Petir'. Kini kedua kepalan tangan Pendekar Slebor bercahaya menyilaukan. Sesekali keluar kilatan kecil dari sana.
Tentu saja peristiwa ini membuat Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan melongo "Akh!" Sebuah jeritan terdengar lagi. Ternyata. Panglima Wesi Wungu tengah terluka parah terkena sabetan pedang panjang Nyi Bengis. Mirah dan Panglima Butong Aji yang berusaha membantu tak dapat mencegah upaya Nyi Bengis dalam menghabisi nyawa Panglima Wesi Wungu. Bahkan si gadis dan Panglima Butong Aji kini menjadi bulanbulanan Nyi Bengis.
Pada jurus selanjutnya secara mendadak Nyi Bengis kembali membabatkan pedang besarnya ke arahnya Pangiima Butong Aji Crass! "Akh!" Panglima Butong Aji kontan roboh bermandikan darah termakan pedang Nyi Bengis. Malah kini perempuan tua itu mendesak Mirah mati-matian. Ia kelihatan bernafsu sekali hendak mengakhiri pertarungan.
Melihat keadaan Mirah yang terancam, Andika bergerak hendak membantu. Tapi, Jasad Dedemit, pandita Perangai Setan, dan Betot Nyawa yang kini tak mempunyai lawan serempak meluruk menyerang. Mereka tahu, kalau Pendekar Slebor sampai dibiarkan akan membahayakan nyawa Nyi Bengis.
Andika terpaksa memapaki serangan dengan mengayunkan kepalan ke arah Betot Nyawa yang berada paling depan. Akibatnya....
Splasshh.... Blarrr...! Apa yang terjadi terhadap Betot Nyawa membuat Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan menahan langkah.
Sebuah kilatan panjang berkilauan yang keluar dari tangan Andika langsung menjilat Betot Nyawa hingga langsung hangus menjadi abu. Tanpa suara lelaki keji itu melorot.
Mati. Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan terperangah, dan merasa harus mengambil langkah seribu. Mereka ngeri menjadi sasaran berikutnya dari pukulan aneh dan dahsyat dari serangan Pendekar Slebor.
Andika tak mempedulikan Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan lagi. Tubuhnya cepat berkelebat, langsung memapak serangan Nyi Bengis pada Mirah.
Plak! "Nyi Bengis!" hardik Andika begitu mendarat dua tombak di hadapan Nyi Bengis.
"Hadapilah aku." Nyi Bengis menyeringai pada Andika. Jelek sekali saat menunjukkan gigi-giginya yang menghitam.
Tapi begitu seringainya lenyap, pedangnya lelah menebas Pendekar Slebor.
Andika merunduk untuk menghindar sambil membuat sapuan kaki ke pinggang Nyi Bengis.
Dukk! Nyi Bengis agak terhuyung mundur beberapa langkah.
Namun wanita ini kembali mengayunkan pedangnya.
"Hup!" Andika mengangkat tangan kirinya ke arah pedang.
Maka seketika lidah kilat menjilat pedang perempuan tua itu. Blarrr... ! "Akh!" Nyi Bengis berteriak menyayat dengan pedang terlepas dari genggaman begitu tersambar kilat. Tak urung wanita tua dan kejam itu mengalami nasib yang sama seperti Betot Nyawa. Tubuhnya gosong, kemudian melorot begitu saja.
Hancur jadi abu.
Mirah yang tadi merasa telah berada di ambang maut tidak dapat menahan perasaannya sebagai wanita. Si gadis langsung menghampiri Andika. Segera dipeluknya pemuda urakan tapi menawan itu. Ia menangis tertahan di pundak Andika. Peristiwa ini memang mudah sekali mengundang keterpesonaan orang-orang. Tidak terkecuali, Lampor Ireng. Apalagi rekannya Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan sudah tidak terlihat lagi di situ. Rasa takut pun menyergap perasaannya.
Andika yang melihat ketakutan di wajah seram Lampor Ireng jadi tak kuat menahan senyum.
Sementara pada saat yang demikian, Patniraga yang menjadi lawan Lampor Ireng tak ingin membuang-buang kesempatan. Seketika Ulos Sakti-nya dikibaskan dengan tenaga dalam tinggi.
Bet! Bet! Bet! "Aaa..!" Tiga kepretan beruntun dari Ulos Sakti Patniraga menghajar Lampor Ireng tanpa ampun.
Lolongan panjangnya saat maut menjemput membuat Mirah mengangkat mukanya. Disaksikannya bagaimana Lampor Ireng ambruk di tanah dengan tubuh hancur.
Kematian demi kematian yang menimpa orang-orang terdekat membuat Malaikat Siluman geram bukan main.
Apa lagi mengingat kematian Nyi Bengis di tangan Pendekar Slebor. Maka dengan gerakan cepat, Malaikat Siluman melenting meninggalkan Panglima Andipati yang menjadi lawannya. Dan tahu-tahu lelaki murah senyum berhati telengas itu mendarat di depan si pendekar urakan! "Pendekar Slebor..." Matahari telah mulai kelelahan di ufuk barat, saat Malaikat Siluman berteriak dengan suara bergetar.
Andika menyuruh Mirah bergeser lewat jawilan tangannya. Lalu ditatapnya Malaikat Siluman. Tak ada rasa gentar sedikit pun di hati pendekar satu ini.
Di tempatnya Panglima Andipati menahan serangan. Ia hanya tertegun menatap Malaikat Siluman yang telah berhadapan dengan Andika.
Andika membetulkan kain kotak caturnya. Cuek saja gayanya.
"Ada apa, Malaikat Siluman" Apa kau punya urusan denganku" Mari.. mari, silakan,"celoteh Pendekar Slebor.
"Kau tahu apa yang harus kau bayar?" desis Malaikat Siluman.
"Aneh, kau ini. Kau jual apa padaku" Jual lagak" Sayang, aku tak mau membeli lagakmu. Terlalu sepet!" jawab Andika seenaknya.
Gigi Malaikat Siluman bergemeletuk.
"Kau harus membayar nyawa istriku dengan nyawamu!" dengus Malaikat Siluman.
"Oh, Nyi Bengis itu istrimu, toh" Boleh..., boleh. Berapa kau jual nyawa istrimu. Segobang" Dua gobang" Atau..., uts!" Andika tak meneruskan kata-katanya saat Malaikat Siluman mengibaskan pedangnya menyabet kepala. Untung pendekar berwatak menyebalkan itu cepat merunduk.
"Oh, kau ini. Kalau mau nyerang bilang dong"!" maki Andika seraya menegakkan tubuh kembali.
"Tutup bacotmu! Hiaaa! Hiaaa!" Malaikat Siluman kembali menyabet pedangnya dengan kegeraman memuncak. Dan Andika cepat berkelebat mengandalkan kecepatan geraknya. Hingga tahu-tahu Malaikat Siluman jadi celingukan karena tahu-tahu Andika tidak ada lagi di depan matanya.
"Hoei!" Andika yang tahu-tahu telah berada di belakang Malaikat Siluman mendorong punggung lawannya dengan kaki hingga terhuyung ke depan.
"Kurang ajar," sentak Malaikat Siluman langsung berbalik. Tubuhnya cepat meluruk sambil menebaskan pedangnya. Tapi dengan lincahnya Pendekar Slebor berkelit-kelit menghindari sambaran mata pedang yang berkilatan.
"Sekarang terimalah jurus 'Pedang Kipas'-ku!" dengus Malaikat Siluman yang merasa kesal dipermainkan oleh si pemuda. Lelaki sesat itu mengayunkan pedang panjangnya ke sana kemari dengan kecepatan berlipat ganda hingga menimbulkan angin yang bertiup kencang.
"Pantasnya kau jadi tukang sate saja, Sobat. Kipasan pedangmu malah membuatku teringat pada tukang sate di pasar kadipaten," ejek Pendekar Slebor sambil meremmelek seolah menikmati lezatnya sate.
Malaikat Siluman geram bukan main. Diterjangnya Andika penuh dendam kesumat.
"Hup!" Tapi Andika cepat meloncat melewati kepala lawan. Di udara kain catur di bahu disambarnya, dan dilempar ke wajah Malaikat Siluman.
Lelaki tua sesat itu kontan gelagapan. Kesempatan ini segera digunakan Andika.. Masih di udara, langsung ditumbuknya kepala Malaikat Siluman dengan tangan kanan. Prakkk! "Aaa...!" Hantaman kuat yang mengena di kepala membuat tubuh Malaikat Siluman bergetar hebat. Andika sendiri cepat menyambar kain caturnya dan mengalungkannya kembali ke leher. Lima hitungan kemudian, Malaikat Siluman ambruk dengan mata melotot. Kepalanya retak merembeskan darah segar. Sedangkan para murid Jasad Dedemit yang tersisa, segera menyerahkan diri pada para prajurit Alengka.

***

«:::|{ 7 }|:::»

Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan baru berhenti untuk beristirahat pada tengah malam. Di sepanjang perjalanan tadi mereka tak habis-habisnya membicarakan pertarungan yang baru saja dialami.
"Aku rasa kita harus menemukan suatu cara untuk menangkal i!mu Pendekar Slebor, Sahabatku," cetus Jasad Dedemit pada Pandita Perangai Setan setelah mereka menggelosoh dan bersandar di sebatang pohon.
"Ya. Tetapi, bagaimana caranya?" tanya Pandita Perangai Setan.
"Aku rasa kita mesti menggunakan suatu senjata yang dapat mementalkan kembali sambaran petirnya. Senjata itu dapat kita pakai untuk melindungi diri. Kalau bisa, malah yang dapat mementalkan kembali menjadi senjata makan tuan," jelas Jasad Dedemit.
"Ah! Kau mengkhayal saja, Kawan. Aku belum pernah mendengar ada benda seperti itu," sergah lelaki berkepala plontos itu. Jasad Dedemit terdiam. Pandita Perangai Setan juga terdiam, dan kini berbaring kelelahan.
"Huh! Tampaknya kita benar-benar berada di pihak yang kalah," gerutu Jasad Dedemit mendesah.
Pandita Perangai Setan tidak menanggapi. Merasa kelelahan, matanya terpejam. Kini kedua tokoh aliran hitam itu tenggelam dalam kelelahan dan pikiran masingmasing. Tapi sekonyong-konyong....
Plak! "Aduh...!" Sekonyong-konyong Jasad Dedemit merasakan sebuah tamparan keras di pipinya.
Plak! "Aduh!" Ternyata Pandita Perangai Setan juga mengalami hal yang,sama. Mereka berdua langsung bangkit berdiri. Mata mereka membeliak, berusaha melihat di gelapnya malam, mencari-cari sosok yang telah berlaku kurang ajar.
"Siapa kau"! Makhluk sialan! Ayo tunjukkan diri. Jangan pengecut begitu!" bentak Jasad Dedemit.
"Ha ha ha...!" Terdengar tawa melengking berkepanjangan.
"Kunyuk! Hantu rupanya," gerutu Jasad Dedemit.
"Mau apa kau main gampar orang. Kau kira kami takut padamu?" Plak! "Aduhhh...." Sebuah tamparan yang lebih keras menerpa pipi Jasad Dedemit hingga kontan jatuh terduduk sambil memegang pipinya yang berdenyut-denyut.
Sang hantu kembali tertawa melengking.
Sementara, Pandita Perangai Setan segera duk bersila.
Mulutnya komat-kamit merapal ajian. Sesekali meludah, dan menyentakkan kepala ke belakang.
"Hei...lha! Hei... lha, lha! Blablabla! Wuss...!" Lelaki plontos itu memonyongkan mulut dan menyemburkan napasnya keras-keras. Dan....
"Wadouw! Jangan, jangan! Sudah! Sudah! Jangan lakukan lagi."
"Blablabla! Wuss...!"
"Wadpuw! Wadouw! Ampunou. Baik..., baik. Aku akan menunjukkan diri. Tapi, tolong jangan pukuli aku lagi, Pandita," ratap si makhluk yang kasat mata itu.
Lamat-lamat, muncul sosok orang berpakaian compangcamping. Rambutnya sebahu tak terurus. Tubuh masih berupa bayangan maya. Sehingga pepohonan di belakangnya tampak membayang di tubuhnya.
"Heh"! Hantu Pengemis Gila! Kurang ajar kau, ya," hardik Jasad Dedemit.
"Berani-berani kau menggampar kami. Apakah kau tidak tahu siapa kami, heh"! Hajar dia lagi, Sobat!"
"Ampun! Wadouw! Wadouw! Sudah, dong.... Aku kan sudah minta ampun. Kasihan, dong," ratap hantu yang dijuluki Jasad Dedemit sebagai Hantu Pengemis Gila.
Suaranya terdengar mengiba-iba.
"Apa katamu" Kasihan" Lantas kalau kau menggampari wajah kami tidak kasihan, ya?" ucap Pandita Perangai Setan.
"Adouw, adoouw...! Ampun! Toobaaat...!" Tubuh Hantu Pengemis Gila meliuk-liuk tanpa bergeser dari tempatnya. Tangan dan kakinya tetap lurus tak bergerak, seperti terikat.
"Kapok kau!"
"Kapok.... Aku, kapok. Lepaskan aku. nanti kubantu...."
"Bantu" Apa lagi ini" Sejak kapan kita perlu bantuan hantu, Sobat Pandita?" kata Jasad Dedemit pada sahabatnya.
"Jangan sombong. Nanti kalian menyesal," bujuk Hantu Pengemis Gila.
"Eb, masih berani menganggap kami sombong" Sobat, tambahkan lagi.."
"Iya, iya, iyaaa.... Tolong kasih waktu aku untuk bicara."
"Asal jangan bertingkah saja," jawab Pandita Perangai Setan.
"Janji. Aku janji. Begini. Aku tahu, apa yang menjadi kesulitan kalian. Sejak tadi, aku menguping. Kalian ingin mengalahkan Pendekar Slebor, bukan" Nah! Aku tabu caranya," jelas Hantu Pengemis Gila.
"Bagaimana?" tanya Jasad Dedemit mulai tertarik.
"Lepaskan dulu ikatanku," pinta si hantu.
"Eh! Sudah bagus kau tidak kusiksa lagi. Atau, minta tambah?" Pandita Perangai Setan telah memonyongkan mulut hendak menyembur si hantu.
"Jangan, jangan.... Baik, baik. Akan kujelaskan. Begini.
Mungkin kalian dapat mengalahkan Pendekar Slebor seandainya bisa menghilang seperti aku. Pukulan apa pun tidak akan berguna kalau lawan tidak kelihatan, bukan" Nah! Kalau kalian bisa menghilang, Pendekar Slebor dapat dipecundangi," urai si hantu.
Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan saling berpandangan sejenak.
"Maksudmu, kami akan menjadi hantu sepertimu?" duga Jasad Dedemit.
"O, tentu tidak. Kalian bisa menghilang kapan kalian mau, dan tampak kembali kapan kalian mau."
"Beri tahu kami bagaimana caranya!" sambar Pandita Perangai Setan.
"Di Lembah Petilasan, ada sebuah keris yang terkubur di dalam sebuah bongkahan batu besar. Namanya, Keris Penyirna Raga. Carilah batu itu. Dan, hancurkan. Jika keris bisa diperoleh, kalian akan mampu menghilang seperti yang kujelaskan."
"Kau tidak berbohong, Hantu Pengemis Gila?" tukas Jasad Dedemit.
"Jangan katakan aku gila. Aku tidak gila. Kalau gila, aku tidak akan bisa memberitahukan rahasia ini pada kalian," ancam si hantu yang enggan dijuluki Hantu Pengemis Gila.
"Belum tentu. Tapi baiklah, Hantu Pengemis. Kau puas dengan nama itu?"
"Mendingan. Tapi kalau bisa sih, yang bagusan dikit."
"Ab, hantu saja bertingkah! Sudah, Hantu Pengemis saja.
Nah, Hantu Pengemis. Kurasa sekarang kau harus mengantarkan kami ke Lembah Petilasan. Tunjukkan, di mana batu yang kamu maksud itu...."
"Ah, kau ini bagaimana" Sudah diberi tahu masih juga membuatku susah. Pergi sendirilah! Apa dipikir Lembah Petilasan itu dekat?"
"Sudah, sudah! Jangan banyak bicara! Pokoknya, kau ikut kami," desak Pandita Perangai Setan.
"Atau kau memang benar-benar pingin tambah lagi?" Hantu pengemis ngedumel.
"Sekarang aku buka dulu ikatanmu. Tapi, awas jangan lari bila tak ingin disiksa," ancam Pandita Perangai Setan.
Lelaki plontas itu kini komat-kamit lagi. Matanya terpejam. Lalu....
"Hayo jalan!" hardik Pandita Perangai Setan.

*****

Setelah menempuh perjalanan dua hari dua malam, Jasad Dedemit, Pandita Perangai Setan, dan Hantu Pengemis tiba di Lembah Petilasan. Sebuah lembah yang masih berada di dalam wilayah Kerajaan Alengka.
Walaupun lembah itu tidak luas, tetapi ada baiknya juga Jasad Dedemit memaksa Hantu Pengemis mengantarkan.
Karena bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya mencari Keris Penyirna Raga di dalam Lembah Petilasan yang ditutupi Hutan Perawan.
Dengan mengikuti Hantu Pengemis akhirnya kedua tokoh sesat itu menemukan batu yang dimaksud. Batu itu berupa bongkahan besar, berada di tengah-tengah lembah.
Di sekelilingnya terdapat rumput pendek berdaun kering yang tingginya sama. Bukan karena layu tapi memang rumput-rumput itu berdaun kuning, tumbuh dalam dataran melingkar dengan garis tengah kira-kira lima tombak. Di luar lingkaran, barulah ada pohon-pohon yang dahandahannya menjulur hingga di sekitar batu. Sehingga daunnya menaungi batu di bawahnya.
Beberapa saat Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan mengitari tempat itu dengan pandangan kagum.
Tampaknya, tempat itu belum pernah dikunjungi oleh siapa pun.
"Sekarang pekerjaan kalian. Silakan hancurkan batu itu," kata Hantu Pengemis.
Pandita Perangai Setan mendekati batu itu. Ketika kakinya menginjak rumput kuning....
Bress! Lelaki tua plontos itu terperosok tenggelam.
Tap! Untung Jasad Dedemit menjangkau tangannya. Begitu diangkat Jasad Dedemit, dari kaki hingga perut Pandila Perangai Setan basah.
"Mengapa kau tidak memberitahukan padaku kalau ada kubangan di bawah rumput sialan itu, Hantu Jelek"!" maki si tua plontos.
"Lho, kok" Kok, marah" Mana kutahu" Aku kan, hantu.
Mana pernah menginjakkan kaki di atas rumput itu." Pandita Perangai Setan mengebas-ngebaskan baju kuningnya yang basah separo. Sementara Jasad Dedemit memperhatikan bekas tempat Pandita Perangai Setan terperosok tadi. Di tempat itu muncul kembali rumputrumput yang ikut tenggelam, lalu kembali menjadi seperti sedia kala.
"Tempat ini aneh dan berbahaya. Kita harus hati-hati, Sobat," Jasad Dedemit memperingatkan.
Baru saja lelaki bertubuh kerempeng itu memperingatkan, Pandita Perangai Setan merasakan gatal di sekujur tubuhnya yang basah. Tangannya kini sibuk menggaruk-garuk. Tapi makin lama gatal yang dirasakan makin memuncak! "Kenapa kau, Pandita?" tanya Jasad Dedemit heran.
"Aku juga tidak tahu. Aduh, gatal sekali...," ratap si tua plontas.
Pandita Perangai Setan mengeluh-ngeluh sambil berjalan ke sana kemari. Sedangkan tangannya sibuk menggaruk.
Kadang tubuhnya tegak, kadang meringkuk dan menggigil menahan gatal.
"Hah?" Pandita Perangai Setan terperanjat ketika melihat kakinya yang kini memerah tidak berkulit ari. Dicobanya menggaruk lagi. Kontan si tua ini berjingkrak-jingkrak.
Darah pun mengalir dari kulit yang digaruk. Pakaiannya mulai berwarna merah, menyerap darah.
"Aaakh...!" Pandita Perangai Setan menjerit-jerit. merasakan gatal bercampur perih. Sementara Jasad Dedemit kebingungan untuk menolong.
"Bagaimana ini, Hantu Pengemis" Apa kau tahu cara mengobatinya?" tanya Jasad Dedemit.
"Aku juga tidak tahu," jawab Hantu Pengemis dengan wajah bingung. Pandita Perangai Setan kini telah ambruk dan menggelepar-gelepar di tanah sambil terus menggarukgaruk. Jeritannya sungguh memilukan. Darah makin banyak mengalir. Juga, dari kedua tangannya yang menggaruk-garuk. Jasad Dedemit sendiri sampai bergidik menyaksikan tanpa tahu harus berbuat apa. Apalagi saat melihat daging Pandita Perangai Setan meleleh.
Kejap kemudian, lelaki plontos itu mengejang-ngejang.
Matanya melotot. Dagingnya habis. Bahkan perutnya menganga. Selanjutnya, isi perut dan tulang-tulangnya pun habis mencair. Jasad Dedemit dan Hantu Pengemis terpaku di tempatnya. Berikutnya....
"Ha ha ha...." Terdengar tawa gembira Hantu Pengemis.
"Horee.... Sekarang aku bebas! Selamat tinggal, Jasad Dedemit. Hahaha.... Mudah-mudahan kau mengalami nasib yang sama dengan pendeta malang itu." Jasad Dedemit tidak mempedulikan, dan masih termangu di hadapan mayat sahabatnya yang tinggal setengah badan. Mengerikan sekali kematian yang dialami pendeta palsu itu.
Selang beberapa lama, Jasad Dedemit baru terjaga dari kesedihannya.
"Yang sudah mati, sudahlah. Tinggal sekarang aku harus berusaha memperoleh Keris Penyirna Raga," pikirnya.
Kemudian mata lelaki kerempeng ini menatap batu di hadapannya sejenak. Dan....
"Heaaa...!" Bed! Sebuah pukulan jarak jauh dilontarkan Jasad Dedemit.
Tidak terjadi sesuatu.
Jasad Dedemit bersiap lagi. Ia memusatkan seluruh tenaga dalamnya.
"Heaaa...!" Trakkk! Pukulan kedua mengakibatkan retakan-retakan pada batu itu. Sekali lagi Jasad Dedemit memusatkan tenaga dalamnya. Dan begitu kedua tangannya menghentak....
Daar! Batu itu memang hancur berkeping-keping, tapi hanya setengah di bagian atasnya saja. Sementara rerumputan yang tumbuh di sekitar bagian batu yang hancur sudah terbenam. Dan sebelum rerumputan baru itu menutupi benar bagian tersebut, Jasad Dedemit masih dapat melihat ada air di sana. Jadi, batu itu terapung di atas air! Begitu balu itu bergulir menampakkan bagiannya yang utuh ke atas, Jasad Dedemit melihat keris itu menempel.
"Keris Penyirna Raga!" pekiknya.
Hampir saja lelaki kerempeng ini hendak meloncat ke atas batu kalau tidak teringat pada peristiwa yang baru dialami Pandita Perangai Setan. Kontan gerakannya ditahan dengan hati kebat-kebit. Ia berpikir bila berdiri di atas batu itu, tentu akan ikut tenggelam. Bulu romanya berdiri membayangkan apa yang bakal terjadi bila kecerobohannya menutup akal sehatnya.
Jasad Dedemit lantas berjalan mengitari rerumputan maut itu ke bagian samping dari batu. Hatinya yakin, keris itu menempel kuat pada batu. Bila ia bersalto sambil mengambil keris tanpa perlu menyentuh rumput atau batu, tentu harus disertai tenaga dalam. Maka Jasad Dedemit segera mengerahkan tenaga dalam ke tangan. Lalu....
"Hup!" Jasad Dedemit melenting tinggi ke udara. Tubuhnya berputaran, lalu menukik ke arah keris.
Tap! Begitu keris berhasil disambar, lelaki kerempeng itu berputar kembali, lalu meluncur ke tempat yang aman.
Berbinar-binar Jasad Dedemit setelah berhasil mendapatkan Keris Penyirna Raga.
"Tak kusangka, aku bisa mendapatkan keris ini. Dan aku pasti mampu menghancurkan Pendekar Slebor," tandasnya, mendesis. Lama lelaki tua kerempeng ini memperhatikan setiap lekuk dari keris.
"Tapi, bagaimana menggunakan keris ini untuk menghilangkan diri?" tanyanya dalam hati.
"Sayang sekali, Hantu Pengemis telah kabur. Seandainya masih ada, mungkin mau memberitahukannya padaku." Selagi Jasad Dedemit bertanya-tanya dalam hati, mendadak segulung angin berkesiuran meluruk dari samping.

*****

Berada di tempat berbahaya yang bahkan nyawa sahabatnya telah lenyap membuat Jasad Dedemit bersikap waspada. Tubuhnya cepat mengegos, membuat serangan gelap itu luput.
Blarrr...! Seketika sebuah pohon yang jadi sasaran angin berkesiur kencang tadi hancur berkeping-keping.
"Hantu busuk mana lagi yang mau cari gara-gara, heh"!" bentak Jasad Dedemit sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Hahahaha!" Tawa berat disertai tenaga dalam tinggi menggema di Hutan Perawan. Selanjulnya, pohon-pohon di situ bertumbangan.
"Apa kabar, Dedemit" Jasadmu yang cuma tinggal tulang-belulang itu seharusnya jadi makanan rayap saja!"
"Siapa kau"! Pengecut! Ayo tampakkan diri!"
"Hahaha. Sudah tidak ingat lagi dengan suaraku, Dedemit" Kamu ini makin tua saja rupanya, sehingga tambah pikun!" lanjut si suara.
"Kurang ajar! Hayo keluar! Biar kurobek mulutmu yang bawel itu!"
"Tunggu. Sabar, Dedemit. Aku mau mempersiapkan tempat yang lebih luas dahulu untuk kita bertarung." Entah bagaimana caranya, tahu-tahu orang yang bersuara itu telah melepas pukulan jarak jauh. Akibatnya kembali pohon-pohon bertumangan.
Blar! Blar! Begitu ledakan terakhir terdengar di hadapan Jasad Dedemit telah berdiri satu sosok tubuh berpakaian jubah dari kulit harimau.
"Kakek Macan Belang!" Jasad Dedemit terperanjat.
"Bukankah kamu sudah mati?" Lelaki kerempeng ini jadi berpikir bahwa jangan-jangan lelaki tua berjubah kulit harimau yang dipanggil Kakek Macan Belang juga hantu yang akan membalas perlakuan Pandita Perangai Setan terhadap Hantu Pengemis.
"Terkejut" Hahaha. Terkejutlah sepuasmu sebelum kau mati, Dedemit," ejek Kakek Macan Belang.
Jasad Dedemit mengamati Kakek Macan Belang dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tampaknya tidak ada kesamaan dengan Hantu Pengemis. Dia tidak tembus pandang. Kakinya juga menyentuh tanah. Berarti, bukan hantu. Penampilannya juga tidak berubah. Masih seperti dulu dengan jubah dari kulit harimau. Di kakinya terpanggul toya kuku harimau yang tampaknya beracun.
Wajahnya masih menyeramkan dengan mata mencorong tajam. Kumisnya menyatu dengan jenggot. Sementara rahangnya lebar. Mirip sekali dengan harimau! "Sudah puas terkejut, Dedemit?" usik Kakek Macan Belang.
"Bagaimana kau bisa tetap hidup, Kakek Reot?"
"Bodoh! Kamu pikir aku mati di dasar jurang itu" Dasar bodoh!" Jasad Dedemit jadi teringat kembali pada pertarungannya dengan Kakek Macan Belang. Mereka bertarung karena memperebutkan cinta seorang wanita bernama Puspa Telaga Belis. Padahal, wanita itu telah berusia lima puluh tahun, tetapi masih jelita. Kedua lelaki itu tidak ada yang mau mengalah. Alhasil, mereka menyelesaikannya lewat perlarungan hidup-mati.
Pertarungan yang berlangsung alot pada akhirnya membuat Kakek Macan Belang terdesak hingga ke pinggir jurang. Lalu, sebuah pukulan telak Jasad Dedemit membuatnya terjungkal jatuh ke dalam. Pikir lelaki tua kerempeng itu pukulannya yang telak telah dapat menewaskan Kakek Macan Belang. Apalagi, sampai masuk jurang. Dengan keyakinannya itu, Jasad Dedemit merasa tak perlu memeriksa ke dasar, apakah perkiraannya betul.
"Peristiwa itu telah lama, Kakek Macan Belang. Bukan aku yang bodoh. Kita berdua adalah laki-laki yang bodoh," kata Jasad Dedemit.
"Huh! Kalau aku bodoh, aku tak akan menemukanmu!"
"Maksudku kita ini sama-sama bodoh, karena Puspa Telaga Belis tidak mencintai salah seorang di antara kita." Kakek Macan Belang tertegun sejenak.
"Jam, kau tidak berhasil memperistrinya?" Jasad Dedemit tertawa pendek.
"Tidak.
Sudah kukatakan, ketika aku melamarnya dia menolak."
"Di mana dia sekarang?"
"Sejak dia menolakku, aku tak pernah berjumpa lagi dengannya." Kakek Macan Belang tampak sedikit sedih mendengar Puspa Telaga Belis tidak mencintainya. Padahal, waktu itu ia sudah sempat akrab dengannya.
Melihat gelagat ini, terbit gagasan dalam pikiran Jasad Dedemit untuk mengajak Kakek Macan Belang bersatu melawan Pendekar Slebor. Maklum, mereka berdua samasama memiliki kesaktian yang tinggi dan sama-sama beraliran hitam.
"Sudahlah.... Lupakan yang sudah lalu. Aku ingin mengajakmu berkawan untuk satu urusan yang lebih penting," ajak Jasad Dedemit. Suaranya kini berubah ramah.
"Apa"! Berkawan denganmu?" sentak si kakek berjubah kulit harimau, ketus.
"Setelah hampir berhasil membunuhku kau mengajakku berkawan" Sinting barangkali kau, ya?"
"Buat apa kita mempersoalkan hal yang sama-sama tidak bermanfaat lagi, Kakek. Macan Belang?"
"Karena aku masih hidup, kau bisa bicara begitu, Dedemit. Tidak! Aku tidak peduli dengan urusanmu. Yang jelas, sekarang kita punya urusan yang jauh lebih penting! Bersiaplah untuk mampus, Jasad Dedemit! Hiaaa!" Begitu tuntas kata-katanya, Kakek Macan Belang meluruk menyerang disertai teriakan kencang. Toya berkuku macannya diputar-putar di atas kepala.
"Hup!" Jasad Dedemit melompat ke belakang, menghindar.
Begitu mendarat, Keris Penyirna Raga disimpannya ke balik baju hitamnya. Lalu, senjata rantai berujung tengkorak yang melilit kedua tangannya dikebutkan, memapak serangan Kakek Macan Belang selanjutnya.
Namun baru beberapa jurus pertarungan berlangsung, Jasad Dedemit menyadari kalau Kakek Macan Belang sekarang tentu telah lebih hebat daripada dulu sewaktu mereka berdua bertarung. Maka tiba-tiba senjata rantai berujung tengkorak dilemparkan begitu saja ke tanah, dan bersiap dengan tangan kosong.
Sebelum menyerang kembali, kening Kakek Macan Belang berkernyit melihat perilaku Jasad Dedemit yang baru baginya. Tetapi kemudian, lelaki berjubah kulit harimau itu telah melompat dan menyodokkan toya kuku macan. Bed! "Uts!" Jasad Dedemit tak gentar. Cepat tubuhnya bergeser ke samping, lalu bergerak maju seraya menurunkan pukulan maut bertubi-tubi.
Jurus berganti jurus. Pukulan berganti pukulan. Setiap kali merasakan kalau Jasad Dedemit meningkatkan jurusjurus dan pukulan-pukulannya, Kakek Macan Belang juga melakukan hal yang sama. Demikian pula sebaliknya.
Masing-masing mengakui dahm hati bahwa lawan telah lebih hebat daripada pertemuan terakhir waktu itu.
Setelah melewati jurus kesembilan puluh delapan, Jasad Dedemit mulai terlihat kekalahan. Keadaannya mulai terdesak. Rupanya, Kakek Macan Belang benar-benar telah mempersiapkan diri guna menggenapi dendam kesumatnya.
Bed! Sebuah sabetan kuku beracun pada ujung toya Kakek Macan Belang meluncur cepat. Saking cepatnya sehingga lak mungkin dapat dihindari lagi oleh Jasad Dedemit.
Pada saat gawat itu, Jasad Dedemit teringat Keris Penyirna Raga di balik baju. Cepat dicabutnya keris itu, dan ditangkisnya serangan Kakek Macan Belang.
Trak! "Heh..."!" Kakek Macan Belang melongo heran melihat serangannya ditangkis. Lebih heran lagi ketika ternyata kepala Kakek Macan Belang menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari. Tubuhnya lantas berbalik ke belakang.
Desss...! "Aaakh...!" Kakek Macan Belang kontan terjerembab ke depan hingga tiga tombak jauhnya ketika tiba-tiba sebuah hantaman keras menghajar dadanya.
"Hoooekh!" Lelaki berjubah kulit harimau itu muntah darah.
Tetapi kemudian cepat bangkit sambil melihat ke sekeliling seperti mencari-cari sesuatu.
Jasad Dedemit yang belum menyadari keadaannya berjalan perlahan mendekati. Dan lelaki ini jadi heran melihat Kakek Macan Belang tidak menjauhinya. Maka tanpa membuang kesempatan, dipukulnya jidat Kakek Macan Belang dengan tenaga dalam penuh.
Plakkk...! "Akh!" Kakek Macan Belang langsung ambruk dengan kepala pecah. Sejenak tubuhnya melejang-lejang, lalu diam tak bergerak lagi. Mati.
Jasad Dedemit masih terheran-heran dengan Kakek Macan Belang yang seolah-olah tak ingin menghindari serangannya.
"Kenapa, ya?" tanyanya.
Tak lama berselang, lelaki kerempeng itu melirik Keris Penyirna Raga dalam genggamannya.
"Hm.... Pasti keris ini telah bekerja," pikirnya sambil meraba-raba tubuhnya.
"Apakah aku sekarang menghilang" Ah, itu tidak terlalu penting." Jasad Dedemit menyeringai.
"Pendekar Slebor! Tunggulah aku. Kematianmu sudah dekat!" Selesai berseru demikian, lelaki kerempeng itu melangkah bersemangat. Dipegangnya erat-erat Keris Penyirna Raga. Ditinggalkannya begitu saja senjata rantai bel ujung tengkoraknya. Juga, mayat Kakek Macan Belang yang bersimbah darah.

***

«:::|{ 8 }|:::»

Gugurnya Perwira Parameswara, Panglima Butong Aji, dan Panglima Andipati yang akhirnya meninggal pula setelah terluka parah, menjadikan suasana istana Kerajaan Alengka hingga hari ini masih diselimuti duka. Ketiga pahlawan Kerajaan Alengka itu telah dikuburkan melalui suatu upacara kenegaraan.
Bagi Prabu Alengka, dengan dikalahkannya kelompok Jasad Dedemit, berarti ketenteraman dan keamanan diharapkan dapat segera pulih. Jadi, meski berduka dengan gugurnya tiga orang putra-putra terbaik, tetapi di pihak lain Kerajaan Alengka juga bersuka cita akan berhasilnya perjuangan. Hal ini memberi semangat baru bagi setiap pengemban tanggung jawab kerajaan, dari prajurit hingga petinggi. Apalagi, Prabu Alengka saat itu juga telah menyatakan pengganti-pengganti kedudukan mereka yang telah gugur. supaya roda pemerintahan segera berjalan stabil kembali.
Patniraga sendiri belum mau kembali ke Tanah Toba karena merasa apa yang diperbuatnya masih belum tuntas.
Terutama bila mengingat kalau Jasad Dedemit masih hidup. Dengan begitu, ia juga merasa kalau hutangnya terhadap Pendekar Slebor belum lunas. Untuk memanfaatkan waktu luang, Pendekar Ulas Sakti ini berlatih untuk memenuhi janji pada gurunya.
Adapun yang sedang diperdalam lelaki ini adalah jurusjurus yang terdapat pada kitab keempat puluh delapan ilmu 'Ulos Sakti'. Sang Guru memang sengaja menyuruhnya membawa kitab itu agar dapat dipelajari sambil menunaikan tugas yang diberikan Raja Sahala.
Andika sendiri tengah berbincang-bincang dengan Mirah. Memang, hari ini merupakan hari terakhir pertemuan mereka. Karena Mirah telah memutuskan pulang ke Sentul Reja. Itu sebabnya, sebagai pejantan, Andika merasa tak ingin menyia-nyiakan.
"Aku akan kehilanganmu, Mirah...," buka Andika.
"Aku juga, Andika," sahut Mirah.
"Padahal, aku belum bisa membayar hutangku padamu..."
"Ah, kau ini. Kan waktu itu aku yang mengajakmu makan di kedai. Jadi aku yang membayar."
"Jangan gitu, Mirah. Waktu itu aku bilang, aku yang membayar. Jadi hutang adalah hutang. Ah, begini saja, Biar nanti hutangku kuantarkan ke Sentul Reja, tempat tinggalmu."
"Terserahmulah," desah Mirah.
"Kau tak keberatan, kan?" tanya Andika.
"Mengapa mesti keberatan kalau kau mau datang ke rumah?" tukas Mirah. .
"Bukan.... Maksudku, kau tak keberatan kan kalau aku minta sun sedikit...," celoteh Andika, mengalir begitu saja. . Wajah Mirah langsung berubah merona. Jantungnya berdetak lebih kencang. Si gadis ingin langsung mengiyakan, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Hanya saja, kepalanya lantas sedikit mengangguk dengan mata terpejam. Andika tahu isyarat yang diberikan Mirah. Matanya pun ikut-ikutan terpejam dengan bibir monyong, hendak nyelonong ke bibir Mirah. Tapi seujung kuku lagi bibir Andika mendarat....
Tuk! "Aduh!" Si pendekar urakan kontan membekap bibirnya yang terasa menjadi tebal ketika sebuah kerikil menghantam.
Langsung saja pemuda ini membuka mata dan menoleh ke arah datangnya sambutan.
"Slompret! Usil sekali kau ini, Kawan!" maki Andika begitu melihat si penyerang gelap yang tak lain Patniraga.
Lelaki ini tampak berusaha menahan tawa terpingkalnya.
Mirah sendiri yang telah membuka matanya setelah mendengar bentakan Andika jadi salah tingkah dengan wajah merah.
"Maaf. Mengganggu, nih," kata Patniraga, setelah mampu meredam tawa terpingkalnya.
Di belakang Patniraga telah berdiri Togap. Dan saking kesalnya Andika, perhatiannya kini ditujukan pada Togap, tanpa menanggapi Patniraga.
"Hei, Gap! Dari mana saja kau?" sapa Andika, ramah.
"Aku mengikuti Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan," jawab Togap. Selanjutnya, Togap menceritakan semua yang disaksikannya. Dari saat Pandita perangai Setan dan Jasad Dedemit kabur, sampai tewasnya Kakek Macan Belang. Memang, begitu kedua tokoh hitam itu kabur dari medan pertarungan, Togap terus membuntuti dari jarak tertentu. Dan lewat ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi, kehadirannya sama sekali tak diketahui.
"Hm.. Aku pernah mendengar sedikit tentang Keris penyirna Raga itu. Tapi tak tahu di mana. Rupanya di Lembah Petilasan, ya," gumam Andika, ketika Togap selesai dengan penuturannya.
"Jasad Dedemit sedang dalam perjalanan menuju kemari, Pendekar Slebor," beri tahu Togap.
"Kalau begitu mari kita pergi sekarang menyongsong dia."
"Tunggu, Bor!" cegah patniraga, tak peduli apakah nantinya Pendekar Slebor menanggapi atau tidak.
"Kau tahu sekarang kalau Jasad Dedemit memiliki Keris Penyirna Raga. Itu berarti, dirinya dapat menghilang dari pandangan mata. Aku khawatir kau takkan dapat mengalahkannya. Baiknya, kau pikirkan dahulu."
"Aku tak takut mati," sahut Andika, agak ketus.
Keketusannya merupakan ungkapan kekesalan hatinya atas tingkah Patniraga tadi.
"Bukan itu maksudku, Bor. Kau harus pikirkan dahulu, bagaimana mengatasi kesaktian Keris Penyirna Raga!" Andika beranjak, lalu berjalan mondar-mandir. Lalu didekatinya Patniraga.
"Sekali lagi kau ganggu aku, kutendang kau sampai Danau Toba," ancamnya, berbisik. Lalu suaranya dikeraskan.
"Bagaimana menurutmu, Sobat?"
"Begini saja menurutku," sambut Patniraga.
"Besok saja kita pergi. Lagi pula, aku sedikit lagi akan menyelesaikan latihanku. Jadi, kau dapat berpikir leluasa. Dan aku siap membantumu." Andika berjalan mondar-mandir lagi. Lagaknya mirip nenek-nenek yang menunggu cucu nakalnya.
"Baiklah kalau begitu. Kita pergi besok," putus Andika.
"Aku ingin ikut membantu juga, Andika," cetus Mirah.
"Jangan, Mirah. Bukan aku tidak menghargai niat baikmu. Tetapi kukira, kau memang harus pulang. Kasihan ibumu yang baru saja kehilangan suami. Ia pasti memerlukanmu. Aku rasa, kami berdua sudah cukup untuk menghadapi Jasad Dedemit." Mirah yang hatinya memang telah risau memikirkan ibunya sendirian di Sentul Reja akhirnya diam saja.
"Hati-hati, Andika. Aku berharap bisa mendapat kabar yang menggembirakan tentang dirimu sesegera mungkin."
"Kalau begitu aku akan segera menyusulmu selesai mengurus si Jasad Dedemit. Setuju?" Mirah tertunduk dengan senyum cerah. Perlahan kepalanya mengangguk. Sementara, diam-diam Togap dan Patniraga meninggalkan kedua anak muda yang sedang dimabuk asmara itu.

***

«:::|{ 9 }|:::»

Jasad Dedemit yang sedang dalam perjalanannya menemui Pendekar Slebor untuk menuntaskan dendam kesumatnya ternyata masih memiliki satu tanda tanya akan senjata Keris Penyirna Raga yang kini telah di tangannya.
Pertanyaan itu adalah, bagaimana caranya menghilangkan diri dari pandangan lawan lewat keampuhan keris sakti itu kapan saja dia mau.
Pada pertarungan melawan Kakek Macan Belang, lelaki kerempeng ini telah mengetahui bahwa kerja keris itu terjadi saat berbenturan dengan senjata lawan. Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau lawan tidak menggunakan senjata" Lain, apakah bisa jika dibenturkan ke benda lainnya" Misalnya ke tangannya sendiri, ke tanah, atau ke batu" Sampai saat ini Jasad Dedemit masih kebingungan sendiri.
Selagi berada dalam kebingungan Jasad Dedemit berpapasan dengan dua lelaki yang wajahnya serupa satu sama lain. Demikian pula, pakaian ketat warna merah yang dikenakan yang membedakan hanyalah ikat kepala yang dikenakan masing-masing Satu berwarna putih, dan yang satu lagi kuning.
Siapakah kedua lelaki itu" Dalam dunia persilatan, sebenarnya hanya mereka yang mempunyai ciri seperti itu. Maka tak heran kalau mereka dijuluki sebagai Pendekar Kembar.
Apa yang hendak dilakukan Pendekar Kembar dalam perjalanan menuju Istana Alengka untuk menemui Pendekar Slebor" Rupanya, kabar tentang penempuran antara golongan putih serta prajurit-prajurit Kerajaan Alengka melawan tokoh aliran hitam telah merebak di dunia persilatan. Kabar itu menjadi perbincangan yang hangat, baik di kalangan aliran putih maupun aliran hitam. Sebagai orang-orang aliran putih, Pendekar Kembar amat membenci penjagalan yang dilakukan Jasad Dedemit dan kawan-kawan terhadap rakyat kecil. Itu sebabnya, mengapa Pendekar Kembar ingin menemui Pendekar Slebor. yang tak lain ingin menyatakan dukungan atas perjuangan pemuda yang dikenal berwatak ugal-ugalan itu.
"Hm... kebetulan sekali. Mereka bisa dijadikan bahan untuk uji coba," kata Jasad Dedemit dalam hati. Jasad Dedemit tersenyum penuh kelicikan. Dinantinya hingga kedua lelaki kembar itu mendekat.
"Pendekar Kembar!" seru Jasad Dedemit Kedua pendekar yang mirip satu sama lain itu memandang dengan kening berkerut saat berhenti melangkah. Mereka heran bukan main. Karena yang mereka dengar, Pendekar Slebor dan kawan-kawannya mendapat kemenangan dalam pertempuran melawan para tokoh hitam. Bahkan sebagian tokoh hitam tewas di dan laga.
"Jasad Dedemit! Rupanya kau tak ikut mati di tangan Pendekar Slebor?" kata salah satu Pendekar Kembar yang berikat kepala kuning.
"Hahaha. Siapa bilang Jasad Dedemit sudah mati" Apalagi setelah Keris Penyirna Raga sekarang telah berada di tanganku. Aku tidak akan mati," sahut Jasad Dedemit, pongah sambil menunjukkan keris di tangan.
"Apa hubungannya dengan keris jelekmu itu?" tanya Pendekar Kembar yang berikat kepala putih. Nadanya mengejek.
"Kalian tidak perlu tahu. Yang penting, sekarang aku akan mengadakan perhitungan dengan Pendekar Slebor.
Tapi sebelum itu, aku ingin membunuh kalian sebagai tumbal!" desis Jasad Dedemit.
Begitu kata-katanya selesai Jasad Dedemit menyerang Pendekar Kembar. Sebenarnya, serangan itu hanya gertakan. Sehingga tak heran bila Pendekar Kembar dapat menghindar dengan mudah dengan mengenyahkan tubuh ke kiri dan kanan.
"Baiklah kalau itu memang maumu. Kami yang akan menggantikan Pendekar Slebor membalas semua darah rakyat tak berdosa yang telah kau bunuh!" Kedua pendekar berwajah kembar itu segera menyerang Jasad Dedemit serempak.
"Huuup!" Tap! Tapi Jasad Dedemit telah melompat ke atas melewati kepala kedua lawannya. Di udara Keris Penyirna Raga ditepuk dengan tangannya. Begitu mendarat, tubuhnya berbalik untuk memperhatikan kedua lawan.
Benar apa yang diduga Jasad Dedemit. Kini tampak Pendekar Kembar celingukan, mencari-cari.
"Hei, Jasad Dedemit! Keluar kau! Kami bukan anak kecil yang senang diajak main petak umpet," teriak Pendekar Kembar yang berikat kepala putih.
Jasad Dedemit menyeringai.
"Orang-orang tolol!" desisnya seraya menghentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan jarak jauh dengan tenaga dalam penuh.
Bed! Bed! bess! Dess! "Akh!" Kedua orang kembar itu kontan terjengkang hingga lima tombak sambil menekap dada Dari mulut dan telinga tampak mengalir darah segar, karena bagian dalam tubuh mereka hancur. Sebentar mereka meregang nyawa, lalu diam tak bergerak lagi. Aneh! Begitu kedua lawan-lawannya mati, sosok Jasad Dedemit kembali terlihat tak lagi berupa bayangan maya.

*****

"Huahahaha...! Sekarang aku tahu," sorak Jasad Dedemit sambil menatap kerisnya.
"Terima kasih Keris Penyirna Raga! Tak lama lagi...."
"Hiaaat!" Belum juga kata-katanya tuntas, Jasad Dedemit harus bergulingan di tanah ketika merasakan angin menyambar ke arahnya bersama kelebatan bayangan coklat putih.
"Orang busuk sepertimu tidak patut hidup, Jasad Dedemit! Caramu adalah cara banci yang harus ditumpas dari muka bumi!" desis si bayangan putih, begitu mendarat.
"Hahahaha! Datang lagi satu nyawa untuk tumbalku," sambut Jasad Dedemit seraya bangkit berdiri.
"Hei, Pendekar Janggut Putih! Lebih banyak yang mati di tanganku, lebih yakin aku akan kesaktian Keris Penyirna Raga ini. Maka jangan dikira kau dapat lolos hidup-hidup dariku. Tapi sebelum mati, beruntung bagimu dapat menyaksikan kesaktian keris ini!" Sebagaimana julukannya yang disebut Jasad Dedemit, sosok lelaki tua yang baru datang dan langsung menyerang memang berjanggut putih sampai ke leher. Pakaiannya terbuat dari kulit kayu. Senjatanya berupa tongkat pipih yang setajam pedang berada di tangan kanan.
Rupanya, Pendekar Janggut Putih mempunyai tujuan sama dengan Pendekar Kembar, diam-diam memergoki pertarungan tadi. Lelaki tua yang berada di golongan putih ini pun demikian benci menyaksikan cara Jasad Dedemit bertarung melawan Pendekar Kembar.
"Hatimu busuk, mulutmu bau! Jangan banyak cincong.
Bersiaplah untuk menebus kelicikanmu!" Pendekar Janggut Putih melompat menyerang. Tapi mudah sekali Jasad Dedemit menghindar sambil tertawa lebar. Begitu tubuhnya bergeser ke samping, Keris Penyirna Raga ditepuk. Pak! Tahu-tahu saja, sosok Jasad Dedemit kembali menghilang. Bingung tidak melihat sosok lawannya, Pendekar Janggut Putih berputar di tempat mengikuti suara desir angin yang mengitari dirinya. Kupingnya dipasang dengan cermat berusaha menangkap gerakan lawan. Pada saat yang dirasa tepat, tiba-tiba tangan kiri menghantam ke depan.
"Heaaa...." Bed! "Uf!" Terdengar suara Jasad Dedemit. Melihat telapak tangan pendekar berjanggut putih itu terarah tepat padanya, tubuhnya segera berjungkir balik di udara. Tawanya kontan berhenti. Matanya memandang geram pada lawan yang tengah menyimak dengan kuping.
Tapi lelaki sesat bertubuh seperti papan penggilasan itu segera tersenyum geli melihat perilaku-perilaku lucu lawannya setelah Keris Penyirna Naga digunakan.
Kini Jasad Dedemit memusatkan penuh tenaga dalamnya. Lelaki ini tahu, yang dihadapinya adalah salah satu pendekar digdaya di rimba persilatan.
"Hup...!" Pendekar Janggut putih tiba-tiba membuang diri ke samping secepat kilat, saat indra keenamnya merasakan lesatan pukulan jarak jauh yang dilontarkan Jasad Dedemit.
Begitu serangannya luput, Jasad Dedemit langsung melompat ke udara. Dilewatinya kepala si tua berjanggut putih itu, dan mendarat di belakangnya.
Saat itu juga segera dilepaskannya satu pukulan dahsyat ke arah kepala.
Prakkk...! "Aaakh...!" Akibat Jasad Dedemit menggunakan secara penuh tenaga dalam di tangannya, pendekar tua itu terjengkang ke depan sejauh lima tombak dengan kepala pecah! Begitu ambruk di tanah, tak dapat bangkit lagi. Tewas.
"Ha ha ha...!" Jasad Dedemit tertawa senang sambil mengusap-usap kerisnya. Kini lelaki ini mendapat dua pengetahuan tambahan. Keris Penyirna Raga cukup ditepuk agar tubuhnya dapat menghilang dari pandangan lawan. Kedua, tubuhnya dengan sendirinya akan terlihat kembali setelah lawannya bertarung tewas.
"Keris sederhana, tetapi kesaktiannya mengagumkan," desisnya.
"Siapa nyana aku dapat memiliki. Bahkan dengan keris ini aku dapat menguasai rimba persilatan!"

***

«:::|{ 10 }|:::»

Pagi itu, Andika, Mirah, Patniraga, dan Togap telah berjalan meninggalkan istana setelah berpamitan pada Prabu Alengka. Di persimpangan jalan, air mata Mirah telah meleleh membasahi pipi ketika hendak berpisah dengan Andika. Sedangkan Patniraga dan Togap menyingkir, sebentar memberi kesempatan kepada kedua anak muda yang tengah berpelukan itu.
"Tunggulah aku di Sentul Reja, Mirah. Aku pasti segera datang. Tapi jangan lupa. Sediakan aku ikan bakar serta lalap petai, ya?" kata Andika lembut. Sifat konyolnya tak juga lenyap.
"Aku menunggumu dan berdoa untuk keselamatanmu, Andika. Jaga dirimu baik-baik," ucap Mirah.
Andika melepaskan dekapannya. Dihapusnya air mata Mirah dengan jari-jari tangannya. Keduanya tersenyum.
Andika lantas berbalik, melangkah meninggalkan si gadis.
"Salamku untuk ibumu!" Mirah melambaikan tangannya sambil mengangguk.

*****

Patnirnga dan Togap membiarkan Andika tenggelam dalam perasaannya beberapa lama dalam perjalanan.
Mereka tak tahu kalau sebenarnya Andika sedang berpikir keras, bagaimana caranya melumpuhkan Jasad Dedemit yang telah memiliki Keris Penyirna Raga.
"Kau sedih rupanya berpisah dengan gadismu itu," bisik Patniraga.
"Sedikit," jawab Andika enteng.
Patniraga terkekeh menyadari pertanyaan tololnya.
"Tapi tidak apa-apa. Aku akan segera menemuinya setelah mengalahkan Jasad Dedemit. Habis, aku penasaran sih...," kata Pendekar Slebor.
"Dengan pelukan dan ciumannya?"
"Bukan. Itu, lho. Ikan bakar dan lalap petainya!" sahut Andika sambil merem melek membayangkan makanan yang dimaksud.
"Ah, kau ini. Oh, ya apa sudah kau pikirkan bagaimana caranya mengalahkan Jasad Dedemit?" tanya Pendekar Ulos Sakti.
"Sudah," sahut Andika enteng.
Mata Patniraga kontan berbinar-binar. Sungguh, hatinya mengagumi kehebatan pendekar muda satu ini.
"Bagaimana" Ingatlah! Pukulan petirmu atau pukulan apa pun, tidak akan berarti jika tidak tahu lawan di mana," kejar Patniraga.
"Gampang.... Tenang saja...," ujar Andika, membuat penasaran Patniraga.
"Iya.... Tapi bagaimana?"
"Bagaimana latihanmu?" Andika malah membelokkan arah pembicaraan. Hal ini membuat Patniraga kian mangkel saja.
"Apakah kau sudah berhasil meningkatkan seperempat lagi tenaga dalammu seperti yang kau ceritakan?" Lagak si pendekar urakan satu ini memang menyebalkan. Enak saja mempermainkan rasa penasaran orang lain. Bahkan gayanya dibuat bagai seperti seorang guru terhadap murid. Ingin rasanya Patniraga mencekiknya.
"Ya. Semalam akhirnya aku berhasil. Kenapa rupanya?" sahut Patniraga, akhirnya. Padahal hatinya masih kesal dikerjai begitu.
"Bagus! Beruntung sekali aku memiliki teman sepertimu.
Berarti aku bisa dibantu," cetus Andika.
"Maksudmu?" tanya Pendekar Ulos Sakti heran.
Sambil terus melangkah, Andika menceritakan gagasannya.
"Begini. Kupikir, menghilangnya Jasad Dedemit dengan kesaktian Keris Penyirna Raga dari pandangan mata, tidak berarti bahwa ia menjadi roh halus. Jadi, ia masih dapat terkena pukulan. Begitu, bukan?" papar Pendekar Slebor.
Patniraga mengangguk. Sedangkan Togap menyimak dengan sungguh-sungguh.
"Hanya persoalannya sekarang, bagaimana aku tahu keberadaan lawan jika menghilang" Nah! Di sinilah kupikir kau dapat membantuku, Kawan."
"Lantas apa yang harus kulakukan?" tanya Patniraga, belum mengerti.
"Dengan suara kepretan Ulos Sakti-mu! Tentu Jasad Dedemit akan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melindungi pendengarannya. Tapi, dia pasti tak menyangka, seberapa kuat suara kepretanmu setelah kau berhasil meningkatkan satu tiga perempat kali lipat dalam beberapa hari ini. Jika kau benar-benar telah berhasil meningkatkan tenaga dalam, maka suara kepretan ulosmu akan membuatnya mengaduh, bukan" Nah! Pada saat dia mengaduh, aku akan bisa menentukan keberadaannya...." urai Andika. Patniraga manggut-manggut mulai menangkap jalan pikiran Andika. Sungguh hatinya mengagumi kecerdikan pendekar satu ini, walau sifatnya menyebalkan.
"Jadi maksudmu pada saat dia mengaduh dan kau tahu keberadaannya, barulah petirmu dikirim ke arahnya?"
"Tul!"
"Jadi aku melecut, kau menyambar?"
"Tul sekali! Seratus untuk Patniraga." Mereka tertawa.
"Bagus juga jalan pikiranmu," tanggap Patniraga.
"Cuma kalau luput, bagaimana?"
"Ini dia yang repot," kala Andika sambil nyengir.
"Aku ragu kepretan ulosmu yang kedua dan seterusnya akan mampu membuatnya menjerit. Soalnya, tenaga dalam si penggilasan itu tergolong tinggi. Aku yakin setelah pengalaman pertama, dia tidak bisa dikadali lagi."
"Apa itu dikadali?"
"Diakal-akali! Huh! Tua-tua otakmu tumpul juga! Masa' tidak tahu 'dikadali'?"
"Eee..., pakai bahasa yang baiklah."
"Sudah, sudah! pokoknya artinya begitu."
"Jadi bagaimana selanjutnya, Bor?" tanya Patniraga lebih lanjut.
"Bagaimana lagi" Menurutku kalau aku gagal, ya aku akan mati. Karena kali ini tak ada kesempatan kedua.
Kesempatan pertama harus diraih kalau tidak mau runyam," sahut Andika, mangkel juga menghadapi otak bebal Pendekar Ulos Sakti.
"Ada. Ada, kok, kesempatan kedua," jawab Patniraga.
"Bagaimana, coba?" tanya Andika.
"Kabur!"
"Slompret!" maki Andika.
Matahari di atas terus bergerak perlahan. Cahayanya agak tertahan oleh awan-awan kelabu yang mulai bergerombol. Mereka terus berjalan dengan hati penuh keyakinan bahwa Tuhan menyertai.
Sementara di suatu tempat dalam arah yang berlawanan, Jasad Dedemit juga terus melangkah dengan keyakinan sama. Jubah abu-abunya yang bergambar kerangka manusia melambai-lambai ditiup angin. Sesekali ia memeriksa ke balik bajunya, untuk memastikan bahwa Keris Penyirna Raga masih ada.

***

«:::|{ 11 }|:::»

"Cucuku, Andika." Sebuah suara panggilan membuat Andika tersentak.
Ketika menoleh, tampak seorang lelaki tua tengah duduk bersila di atas batu besar. Pendekar Slebor yang tengah beristirahat bersama Patniraga dan Togap segera beranjak mendekati dengan wajah cerah. .
"Eyang Ki Saptacakra!" panggil Andika perlahan. Segera pemuda ini menghaturkan hormat pada eyang buyutnya.
Patniraga dan Togap yang tak beranjak hanya memandang heran. Mereka tak tabu, siapa orang tua itu.
"Ada apa gerangan Eyang datang kemari dari Lembah Kutukan?" tanya Andika, masih terkejut bertemu eyang buyutnya di tempat ini.
"Aku sengaja menemuimu, karena engkau dalam bahaya," sahut lelaki tua yang ternyata Ki Saptacakra.
"Maksud Eyang?"
"Ketahuilah! Raga yang menghilang dari pandangan karena kesaktian Keris Penyirna Raga, tidak dapat disambar petirmu, sebagaimana yang pernah kau lakukan terhadap lawan-lawanmu yang lain." Andika tersentak kaget. Berarti rencananya bakalan siasia.
"Aku juga tahu rencanamu berdua dengan Patniraga yang akan menaklukkan Jasad Dedemit. Ketahuilah.
Rencana kalian sama sekali tidak akan berarti bagi Jasad Dedemit."
"Dari mana Eyang tahu semua ini?"
"Di zaman aku masih hidup, Keris Penyirna Raga sebenarnya telah dimiliki seorang tokoh hitam. Namanya, Bejeng Warok. Dengan Keris penyirna Raga, dia merupakan orang yang paling ditakuti di dunia persilatan.
Baik di aliran hitam maupun putih. Karena ilmunya termasuk alira hitam, maka ia tidak pernah membiarkan hidup setiap tokoh persilatan aliran putih yang ditemuinya."
"Gila! Kejam sekali!"
"Begitulah. Sampai akhirnya, eyang buyutmu ini menemukan Air suci di Lembah Kutukan. Kusebut namanya dengan Air Suci Penangkal Raga Sirna. Kau tidak menemukannya sewaktu berada di sana. Aku juga tidak menunjukkannya padamu. Karena kupikir, saat itu belum perlu. Sekarang aku membawakannya untukmu. Minumlah," ujar Ki Saptacakra.
Ki Saptacakra mengambil tempurung kelapa yang tergeletak dekat dengkulnya. Disodorkannya tempurung itu pada Andika. Pendekar Slebor segera meminum air suci di dalam tempurung hingga habis.
"Lalu bagaimana dengan nasib Bejeng Warok, Eyang?" tanya Andika. Ki Saptacakra tersenyum menatap Andika.
"Mudah-mudahan di tanganmu Jasad Dedemit bernasib sama dengan Bejeng Warok di tanganku. Selamat berjuang, Buyutku!" katanya menyebut Andika dengan panggilan Buyut. Sehabis berkata begitu, Ki Saptacakra raib begitu saja.
Patniraga serta Togap segera banyak bertanya pada Andika tentang orang tua itu. Dan seperti biasa Andika menjawab asal-asalan saja.

*****

"Ha ha ha...!" Sebuah tawa pongah berkepanjangan membuat langkah Pendekar Slebor, Pendekar Ulos Sakti, dan Togap terhenti.
Ternyata, Jasad Dedemit tahu-tahu telah berdiri menghadang. Di tangan kirinya Keris Penyirna Raga tergenggam. Tangan kanannya menunjuk Pendekar Slebor.
"Hei, Slebor!" ejek Jasad Dedemit.
"Kau sudah memberi pesan mau dikubur di mana" Kalau belum, cepatlah pesan dulu pada kawan-kawanmu itu. Ha ha ha! Biarlah. kali ini aku akan membiarkan mereka berdua hidup, supaya bisa melaksanakan pesanmu. Ha ha ha!"
"Hei, Tua Bangka papan penggilasan!" balas Andika.
"Kau yakin sekali rupanya" Tapi. tunggu dulu. Kalau kau kalah bertarung denganku, bolehkah kupinjam Keris Penyirna Raga barang sebentar?" Terkesiap Jasad Dedemit mendengar Andika telah mengenali keris di tangannya. Seketika matanya menghujam pada Togap.
"Ooo, pasti kampret itu yang memberi tahu. Hei, Tikus Buduk! Rupanya kamu mengikuti terus ke mana aku pergi.
Tunggu giliranmu habis ini, ya," ancam Jasad Dedemit pada Togap.
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku!" kata Pendekar Slebor.
"Buat apa kau ingin meminjam kerisku?"
"Kalau nanti aku bisa menghilang, aku kan bisa leluasa mendatangi kamar perempuan.... He he he.... Pasti kau juga begitu, ya" Sudah berapa perempuan yang kau jahili?" oceh Andika seraya menggerakkan tenaga 'Inti Petir' dengan kedua tangan terangkat ke atas.
Glaa! Suara guntur yang menggemuruh terdengar ketika dua larik kilat menyambar kepalan-kepalan tangan Andika.
Jasad Dedemit pun segera menepuk keris saktinya.
Sementara Patniraga dan Togap cepat-cepat menjauh.
Mereka berdua tidak heran lagi melihat Jasad Dedemit lenyap dari pandangan.
Tepat ketika terjadi pertarungan, gerimis turun. Suara geledek terdengar sambung-menyambung.
Meski telah mendapat petunjuk dari Ki Saptacakra, namun Andika tetap mengerahkan tenaga 'Inti Petir'.
Pendekar satu ini ingin menggertak Jasad Dedemit, apakah benar-benar tahan terhadap sambaran petirnya kini"! Saat itu pula tangannya bergerak ke arah lawan.
Blarrr.... Tak ada seorang pun di dunia yang dapat menghindar dari cepatnya sambaran petir. Tidak juga Jasad Dedemit.
Sampai-sampai, lelaki sesat itu menjerit melihat larik sinar itu menjilatnya.
Tapi kali ini ucapan Ki Saptacakra terbukti. Andika melihat tubuh Jasad Dedemit tidak cidera barang setitik.
Bahkan bergetar pun tidak. Hampir saja, lelaki sesat itu melompat-lompat kegirangan.
"Kali ini, kau sungguh-sungguh akan mampus, Slebor! Apa lagi yang kau punya, heh "!" katanya sambil bergerak mengelilingi Andika.
Si pendekar ugal-ugalan itu membiarkan lawannya hingga ke belakang. Dibiarkannya Jasad Dedemit yang mengira kalau dirinya tak terlihat oleh Andika.
"Heaaa...!" Tiba-tiba dengan bentakan keras, Pendekar Slebor berbalik. Langsung diterjangnya Jasad Dedemit.
"Heh..."!" Jasad Dedemit terkejut setengah mati mengetahui Andika mampu mengetahui keberadaannya. Lelaki sesat ini berusaha berkelit dengan membuang tubuh ke kiri. Tapi....
Plak! Gerakan Jasad Dedemit sedikit terlambat, karena tangan Andika sempat menyenggol lengan kiri atasnya. Sungguh sama sekali tidak disangka kalau lawan mudanya masih dapat melihat dirinya.
Karena lengan kirinya yang terpukul tidak dapat digerakkan lagi, Jasad Dedemit memindahkan Keris Penyirna Raga ke tangan kanannya. Pada saat yang sama, Andika kembali menyerang ganas.
Jasad Dedemit meloncat mundur, menghindari serangan.
"He he he. Mau lari ke mana, Jasad Dedemit" Jangan coba-coba kabur, ya. Malu, dong, sama kami-kami yang masih muda," sindir Andika, tajam menusuk perasaan Jasad Dedemit.
"Bedebah! Hiaah!" Jasad Dedemit menghentakkan tangan kanan sambil memegang keris. Langsung dikirimkannya pukulan jarak jauhnya.
"Eit!" Pendekar Slebor berkelebat cepat, mengandalkan kecepatan gerakannya. Kini tubuhnya tiba-tiba raib. Dan tahu-tahu, telah berada di belakang Jasad Dedemit sambil menepak bahu Jasad Dedemit.
"Bedebah!" Geram bukan main Jasad Dedemit dipermainkan anak muda kemarin sore. Jasad Dedemit langsung berbalik, menyerang dengan pukulan- pukulan beruntun.
Andika menghindar dengan meliuk-liukkan tubuhnya.
Lincah sekali gerakannya, tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya. Hingga suatu ketika, terbit akal baru untuk mempermainkan musuhnya. Seketika tangan Andika bergerak cepat.
Tap! Tangan Andika berhasil menangkap bagian bawah Keris Penyirna Raga. Maksudnya, ingin merampas. Karena bisa terjadi pengaruh kesaktian keris akan hilang hingga Jasad Dedemit akan terlihat kembali. Sebaliknya, jika Andika berhasil memegang keris, mungkin gantian dia yang menghilang dari pandangan Jasad Dedemit.
Tapi kenyataan yang terjadi di luar perkiraan. Saat tangan Andika menangkis keris, keduanya langsung terlibat tarik-menarik menggunakan tenaga dalam.
"Heh...?" Jasad Dedemit tersentak merasakan perubahan keris yang menjadi panas bukan main. Bahkan kemudian muncul asap putih dari keris itu. Tak urung, hal ini juga membuat Andika heran. Ketika Jasad Dedemit tidak sanggup lagi menahan panas di lengannya, keris itu dilepaskan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya pun menjadi nyata kembali.
Di tangan Andika, keris itu berubah menjadi asap putih tebal membubung ke udara. Ketika semua asap itu sudah naik, yang tergenggam di tangan si pemuda hanyalah udara hampa. Beberapa saat semuanya terpaku. Terpana.
Jasad Dedemit lebih dahulu terjaga. Bisa dimaklumi, karena lelaki ini merasa nyawa terancam. Dasar tidak tahu malu, tubuhnya segera saja berbalik.Namun baru saja hendak mengempos tenanganya...
"Mau ke mana lagi, Kunyuk kerempeng"!" Andika yang tidak ingin membiarkan lawan lolos telah menghadang begitu keterpanaannya tadi pudar. Tahu-tahu pemuda itu telah dua tombak di depan Jasad Dedemit.
Tangan si pemuda terangkat dalam pengerahan tenaga 'Inti Petir' langsung dikibaskan ke arah Jasad Dedemit.
Duerrr...! "Aaakh...!"
"Bruk!" Suara berdebum dari tubuh Jasad Dedemit yang jatuh ke tanah terdengar keras. Tak ada gerakan dari tubuh lelaki sesat itu yang kini sudah menghitam gosong.
Patniraga mendekati Andika yang masih memandangi mayat lawan. Sementara, Togap keluar dari persembunyiannya di atas pohon. Kedua orang dari Tanah Toba itu segera menyalami si pemuda urakan yang tampak ngos-ngosan karena keletihan.
Di lain tempat, di tengah perjalanan hampir di dekat Sentul Reja, Mirah tiba-tiba merasakan kesejukan mengalir dalam hatinya. Entah kenapa, gadis ini tak tahu. Yang jelas, ia cuma menebak-nebak sendiri.

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Alengka Bersimbah Darah --oo0oo-- Dewi Ular Hitam


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.