Life is journey not a destinantion ...

Pulau Seribu Setan

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Rahasia Permata Sakti --oo0oo-- Darah Darah Laknat



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: PULAU SERIBU SETAN

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«¦¦¦¦[ 1 ]¦¦¦¦»

Rambatan sinar surya telah memasuki tiga perempat perjalanan, sengatannya tak lagi terlalu garang. Angin berhembus sejuk di tanah luas yang dipenuhi rerumputan setinggi mata kaki.
Di tempat itulah Andika alias Pendekar Slebor menghentikan langkah. Di sisinya, Suci berdiri, tegak pula. Mengedarkan pandangan ke seantero tempat yang indah. Di hadapan mereka, menjulang sebuah gunung, indah, tinggi, dan puncaknya tersaput gumpalan awan putih, lembut dan menyejukkan. Sejak pertempuran mereka menghadapi si Rase Maut dan Iblis Tambang, Andika bermaksud untuk meneruskan perjalanan mencari Kakek Buruk Rupa.
Secara tidak langsung, Andika telah berhasil memecahkan teka-teki tentang Permata Sakti yang diberikan Kakek Buruk Rupa (Silakan baca serial Pendekar Slebor, dalam episode sebelumnya : "Rahasia Permata Sakti").
"Sulit menentukan di mana kakekmu berada, Suci," kata Andika sambil melirik gadis jelita di sisinya.
Suci hanya mengangguk.
"Tak mengherankan hal itu sebenarnya, Kang Andika. Kakek selalu berada di mana saja yang ia hendaki." Andika mengangguk-anggukkan kepalanya. Di samping hendak menyerahkan kembali Permata Sakti yang memancarkan sinar biru pada Kakek Buruk Rupa, akan dikabarkannya pula pada orang tua aneh yang tidak ketahuan mana hidung dan mana mulut itu, kalau banyak tokoh- tokoh sakti kelas atas mencarinya guna merebut Permata Sakti yang dimilikinya.
"Sebelum malam tiba, sebaiknya kita bergerak lagi, Suci. Kulihat ada hutan di depan sana. Agaknya, cukup lumayan dijadikan tempat bermalam daripada alam terbuka semacam ini." Suci mengangguk. Sungguh, perjalanan ini sebenarnya sangat berat sekali baginya, tetapi membuatnya senang. Senang karena dua hal.
Pertama, karena ia bermaksud mencari kakek yang dirindukannya. Kedua, karena pada akhirnya Pendekar Slebor mengabulkan keinginannya untuk ikut serta. Satu hal lain yang singgah di hati gadis itu, diam-diam dia ingin memiliki Permata Sakti yang ada pada Pendekar Slebor. Karena pikirnya, toh permata itu semula milik kakeknya.
Hari menjelang malam ketika Pendekar Slebor dan cucu Kakek Buruk Rupa memasuki sebuah hutan kecil namun lebat. Andika menghentikan langkahnya di antara jajaran pohon.
Dikagumi ketahanan fisik Suci. Tak sia - sia Kakek Buruk Rupa mengajarkan beberapa ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam. Lagi - lagi Andika berpikir, bila saja Kakek Buruk Rupa mengajarkan pula cucunya ilmu kanuragan, tak mustahil suci akan menjadi seorang gadis yang tak mudah dikalahkan.
Andika menyuruh Suci untuk beristirahat, sementara ia sendiri bermaksud untuk mencari buah - buahan sebagai pengisi perut. Sepeninggal Pendekar Slebor, Suci mendesah pendek, "Ah....
Bagaimana caranya aku bisa memiliki Permata Sakti itu?" Sementara itu, Andika sudah menemukan banyak pohon manggis hutan. Cekatan dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang kesohor, Andika berlompatan memetiknya. Setelah dirasakannya cukup, Andika bermaksud untuk menemui Suci kembali.
Namun tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke samping, buah-buahan yang dipegangnya terlepas ketika beberapa senjata rahasia mendesing halus ke arahnya.
"Manusia hina! Keluar kalian!!" bentak Andika dengan tatapan jengkel.
Ketika kata-katanya habis, bermunculan sepuluh orang berpakaian compang-camping berwajah bengis yang tanpa basa-basi langsung mengurungnya. Di tangan masing-masing terdapat parang tajam. Salah seorang dari mereka berwajah tirus dengan kumis dan jenggot merah, mengeluarkan tawa dingin dan angkuh. Rambut panjang bergetar ketika tawanya berderai.
"Ada manusia nekat berani masuk ke Hutan Sengkalan yang dikuasai oleh Setan Hitam Compang-camping!" Pendekar Slebor memandang dengan tatapan semakin menyipit, nyalang memerah. Kewaspadaannya jelas-jelas menguasai dirinya.
Tetapi mulutnya yang usil berseloroh, "Kalau kau memang menjuluki diri sebagai setan, tanpa kau juluki pun orang-orang sudah menganggapmu sebagai setan! Apalagi aku yang cerdik ini"
" Wajah Setan Hitam Compang-camping memerah.
"Keparat! Berani beraninya kau berkata begitu, hah?"
"Bahkan aku herani menyuruh kau untuk kembali menemui ibumu dan menete padanya!" Wajah Setan Hitam Compang-camping bertambah memerah mendengar ejekan Andika. Tiba-tiba saja ia membuang ludah seraya berseru, "Tangkap manusia hina itu!!' Sembilan orang yang bersamanya menerjang serempak. Kilatan sembilan parang mengarah pada Andika, bagaikan desingan angin yang datang berkali-kali. Andika mengeluarkan dengusan. Lalu tubuhnya berkelebat menghadapi serangan-serangan ganas yang datang, tubuhnya tiba-tiba menukik ketika tiga sambaran parang mengarah pada lehernya Wuuut! Wuuuut! Wuuuut! Bersamaan dengan menukuknya tubuh Andika, tangan kanannya menghantam disusul dengan kaki kiri dan kanan.
Buk! Buk! Buk! Tendangan yang dilakukan secara beruntun itu mendarat dengan telak di dada ketiga orang penyerangnya hingga ketiga orang itu terpental kebelakang. Untuk sesaat ketiganya berusaha bangkit, tetapi rasa sakit di dada membuat ketiganya harus telentang menahan sakit.
Seharusnya Andika bisa langsung menghabisi mereka. Namun, ia tak melakukan hal itu. Karena ia belum bisa menduga siapakah orang - orang garang ini. Menurunkan tangan telengas tanpa mengetahui sebab yang pasti bagi Andika adalah pantangan.
Tetapi hal lain yang menyebabkan ia tak menurunkan tangan telengas, karena enam buah parang berikutnya mendesaknya dengan hebat. Tiga buah parang menghantam bagian atas, sementara tiga buah lagi menghantam bagian bawah.
Andika memperlihatkan kehandalannya dalam menghindar. Gerakan keenam lawannya itu bagaikan setan. Sementara Setan Hitam Compangcamping mengerutkan keningnya melihat gerakan yang dilakukan oleh Andika.
" Edan! Siapakah anak muda ini" Ilmunya begitu tinggi sekali!" Andika berkelebat cepat, melepaskan pukulan dan tendangannya, yang membuat empat orang penyerangnya terkapar pingsan setelah tersambar serangan balasannya.
"Nah, nah! Apakah kalian masih mau meneruskan main-main ini?" katanya sambil menghindari dua serangan lainnya.
Melihat hal itu, Setan Hitam Compang-camping menderu maju sambil meloloskan parangnya yang beronce merah. Wuttt! Andika berkelit dengan ringannya.
"Nah, kenapa tidak sekalian saja sejak tadi" Merepotkan saja!" Geram melihat serangannya bisa dielakkan dengan mudah, dikawal gerengan garang, Setan Hitam Compang Camping menderu kembali.
Parang di tangannya mendadak bagaikan menjadi banyak. Desingan angin yang ditimbulkannya membuat bulu kuduk Andika terasa dingin.
Terlambat saja dia membuat gerakan menghindar, salah satu serangan lawan, pasti akan mampir di tubuhnya Melihat hal itu. Andika berkelebat secepat kilat ke sana kemari. Memasuki jurus ketiga, ia bukan hanya mampu menahan setiap serangan dari tiga lawannya, bahkan mulai dapat menyusup masuk.
Terutama terhadap serangan yang dilancarkan oleh Setan Hitam Compang-camping.
Dua anak buah Setan Hitam Compang-camping bagaikan berlomba untuk membunuh Andika. Di samping geram melihat yang lainnya terkapar pingsan, keduanya geram karena sejak tadi serangan-serangan mereka tak berhasil. Bahkan berkali-kali dipatahkan oleh Andika, sehingga ini membuat mereka bertambah murka.
Setan Hitam compang camping yang mulai kacau petahanannya akibat gerakan Andika yang seperti hantu dan sangat sulit diterka, kali ini mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Hingga sambil melompat kesana kemari ini mengelebatkan parangnya yang menimbulkan suara berdesing.
Namun itu adalah kesalahan. Karena Selagi Setan Hitam Compang-Camping mencecarnya. Andika membuat gerakan melurup ke arah dua anak buah laki-laki berwajah tirus itu. Tiba-tiba jotosan dan tepat menghantam wajah dan perut dua lawannya.
Yang terkena jotosan rontok giginya dengan wajah sembab, sementara yang terkena tendangan pada perutnya, mengaduh dan seketika mendekap perutnya, karena bagaikan terasa tulang iganya yang patah. Melihat hal itu, Setan Hitam Compang-camping bertambah geram. Serangannya semakin ganas dan mengerikan. Tetapi, Andika yang sudah menemukan bentuk serangannya, dengan mudahnya menjotos punggung lawan yang mengaduh, yang masih mampu mengibaskan tangannya ke belakang.
Wuuuttt! Andika langsung merunduk menghindari sambaran parang yang cepat itu. Lalu....
But, Kakinya menendang ke depan hingga Setan Hitam Compang-camping tersungkur. Belum lagi ia sempat bangkit, Andika sudah menjejakkan kakinya di kepala lawan yang menggeram sambil memaki-maki tak karuan.
"Nah, mengapa kau tidak mencoba untuk mengangkat kepalamu, bah?" Setan Hitam Compang-camping kali ini benarbenar kena batunya. Ia menepuk-nepuk tangannya ke tanah.
"Aku menyerah."
"Ya, sudah kalau begitu," kata Andika. Lalu seolah tak ada masalah yang berarti ia memunguti lagi buah-buahan yang berserakan. Ketika ia hendak melangkah, terdengar seruan Setan Hitam Compang-camping, .
"Pendekar muda, tunggu!!" Andika berhentii dan menoleh.
"Kenapa lagi" Apakah kau ingin benar-benar kukemplang pecah kepalamu?"
"Tidak Aku mangaku kalah. Tetapi, sebutkan nama."
"Brengsek! kalau mau berkenalan, kenapa harus menyerangku seperti tadi" Untungnya aku masih sabar. Kalau tidak, kepalamu sudah jadi bubur." Tak mempedulikan makian Andika, Setan Hitam Compang-camping berkata lagi, "Aku ingin mengetahui nama dan julukanmu, Orang Muda."
"Namaku Andika. Orang-orang menjulukiku Pendekar Slebor. Nah, kau sudah mendengar, kan" Kalau begitu, aku permisi!" Mendengar nama dan julukan yang disebutkan oleh Andika, laki-laki berwajah tirus itu terdiam sesaat. Lalu terdengar seruannya bagai disengat kalajengking, "Pendekar Slebor!" Andika menoleh lagi.
"Kenapa lagi" Tidak usah panggil-panggil begitu aku juga dengar!" dengusnya gusar. Dilihatnya Setan Hitam Campang camping merangkak ke arahnya, lalu tiba-tiba lelaki yang tadi begitu garang, kini bersujud dihadapan Andika.
"Maafkan aku Tuan Pendekar. Sungguh, aku tak tahu siapa gerangan Tuan Pendekar Tadi" Kalau tadi Andika gusar melihat sepak terjang laki-laki itu. Kini ia menjadi risih dengan sikap yang diperlihatkan bekas lawannya tadi."Tadi garangnya kayak setan, sekarang ko kayak abdi dalem. Hei, kau kenapa" Aku bukan ibumu yang suka membelai kepalamu!"
"Pendekar Slebor, ingatkah kau pada Menur?" tahu-tahu Setan Hitam Compang-camping bertanya begitu. Kali ini, sinar matanya begitu hormat.
Sejenak Andika terdiam.
"Menur" Oh ya, bagaimana kabarnya?"
"Ia baik-baik saja, Tuan Pendekar."
"Tetapi, bagaimana kau bisa mengenal gadis itu?"
"Lima bulan yang lalu, ia melewati hutan ini.
Kami bersepuluh bermaksud menangkapnya untuk dijadikan pemuas nafsu. Tetapi, rupanya gadis itu bukan orang sembarangan. Ia menghajar kami tunggang langgang dan mengampuni nyawa kami asalkan kami berjanji tidak akan membegal lagi."
"Lalu mengapa kau tadi ingin membegalku, hah?"
"Bukan itu maksud kami. Tadi kau lancang telah mengambil buah-buahan yang selalu kami jaga." Andika nyengir.
"Wah, kalau begitu ada yang punya, ya" Aku minta ya?" Setan Hitam Compang-camping menganggukkan kepalanya. Lalu melanjutkan ceritanya, "Dari Menur yang tinggal bersama kami selama satu bulanlah kami mengetahui tentangmu, Pendekar Slebor.
Katanya, ia hendak terus mencarimu. Karena sesungguhnya ia mencintaimu. Kami saat itu ingin sekali membantunya untuk mencarimu, tetapi ia menolak. Dan sepeninggal Menur, kami menjadi kesepian, karena, tak ada lagi yang bernyanyi dan bisa diajak bersenda gurau." Andika diam-diam mendesah pendek. Menur, ah....ia memang tahu kalau gadis itu mencintainya, ia pun tahu mengapa Menur tidak kembali pada gurunya, Kaliki Lorot. Dikarenakan, Kaliki Lorot akan menolaknya datang bila tidak bersama dirinya.
Andika kembali mendesah mengingat semua itu.
Persoalan cima memang memusingkan (Silakan baca: "Jodoh Sang Pendekar").
"Kalau begitu ya, sudah."
"Pendekar Slebor, setelah kedatangan dan kepergian Menur, kami berjanji tidak akan membegal lagi. Tetapi, kami hampir saja kehilangan kepercayaan. Pendekar Slebor, terus terang, aku dan kesembilan anak buahku ingin mengabdi kepadamu."
"Wah, apa-apaan ini?" desis Andika yang tak menyangka kalau Setan Hitam Compang-camping yang garang itu ingin mengabdi padanya.
"Aku bukan siapa-siapa yang patut dihormati, aku bukan juga pendekar tangguh yang hebat. Aku hanya...."
"Bila kau menolak, aku akan membunuh kesembilan temanku yang pingsan ini, lalu membunuh diri." Andika hanya mengangkat bahu, lalu berkata seraya melangkah,"terserahlah" Wajah Setan Compang Camping kelihatan sedih ditolak seperti itu. Memang, semenjak kepergian Menur ia bagaikan kehilangan pegangan. Ia dan kesembilan temannya memang bermaksud untuk menjadi orang baik-baik. Dan kini, Pendekar Slebor menolaknya untuk mengabdi padanya.
Lalu tiba-tiba ia mengambil senjatanya yang jatuh tadi. Dan perlahan-lahan ia mendekati salah seorang temannya yang pingsan."Maafkan aku, Kawan. Kita memang tak berguna hidup di dunia ini. Kalian akan pergi di tanganku, dan aku akan menyusul".
Lalu tangannya diangkat dan siap dihujamkan kepada temannya yang pingsan.
Trak! Sebuah kerikil membuat tangannya bergetar dan parangnya jatuh.

****

"Apa-apaan sih kau ini?" dengus Pendekar Slebor sambil melotot. Meskipun begitu, sifat konyolnya justru makin nampak, "Kalau mau mampus ya mampus saja! Jangan di depanku! Memangnya enak menguburkan sepuluh mayat"!" Wajah Setan Hitam Compang-camping semakin kuyu.
"Tak ada gunanya kami hidup lagi."
"Konyol! Kau ini tidak mempergunakan otakmu! Apakah kau pikir dengan jalan membunuh diri kau sudah merasa berhasil mengatasi kegagalanmu itu" Bodoh! Kau justru menista dirimu sendiri!!" 'Tetapi...."
"Tidak ada tetapi! Ketegaran harus kau jaga! Jangan membuat tindakan yang konyol!"
"Bila Tuan Pendekar menolak kami untuk mengabdi, kami memilih jalan membunuh diri!" 'Tak ada pengabdian apa-apa! Aku bukan orang yang patut dijadikan sebagai tuan! Bila kau memang ingin melakukannya, bisa menjadi temanku! Dasar gemblung!!" Wajah Setan Hitam Compang-camping seketika berseri-seri meskipun ia dibentak-bentak seperti itu.
lalu ia berkata, "Aku akan segera menyusulmu. Tuan Pendekar. Bila teman-temanku ini sudah siuman dari pingsannya!!"
"Ya,sudah! Kasihan temanku sudah menunggu!" Andika terus ngeloyor saja.

****

Dua hari berada di Hutan Sengkalan, Andika merasa sudah cukup. Perjalanannya untuk mencari Kakek Buruk Rupa memang harus dilanjutkan Suci menyetujui rencananya itu. Sementara ketika Andika mengatakan keinginannya pada Setan Hitam Compang-camping, wajah laki-laki itu seketika menjadi kuyu.
"Izinkanlah kami ikut serta, Tuan Pendekar. Kami akan mengabdi kepadamu."
"Tidak usah. Asal kalian berjanji tidak akan membegal lagi, aku sudah senang."
"Tetapi. ."
"Tidak ada tapi-tapian. Ayo. Suci! Kita segera berangkat" kata Andika sambil melangkah.
Setan Hitam Compang Camping beserta sembilan anak buahnya tak ada yang bersuara. Mereka hanya memperhatikan kepergian Andika dan Suci dengan wajah kuyu. Bagi Andika, memang lebih baik begitu.
Sebenarnya ia ingin pergi sendiri saja, tanpa kehadiran Suci. Namun gadis yang keras kepala itu mana mau tahu keinginan Andika. Bahkan berkalikali dengan cerdiknya berhasil menemukan Andika.
(Baca : "Rahasia Permata Sakti") Akan tetapi sesuatu yang aneh terjadi Baru saja Andika dan Suci berjalan sepuluh langkah, mendadak sebuah asap hitam muncul.
Begitu pekat dan membuat keduanya terpana sesaat sebelum kemudian Pendekar Slebor mendorong tubuh Suci ke kiri.
"Awaasss!!" Asap hitam tebal bergulung-gulung itu, mengeluarkan deru angin yang mengerikan. Dan menerjang ke arah Andika yang bergulingan cepat.
"Busyet! Apa itu?" makinya tak karuan.
Asap tebal itu tiba tiba terpecah menjadi dua. Satu mengarah pada Pendekar Slebor dan satu lagi mengarah pada Suci. Dari gumpalan asap tebal itu bagai ada satu tarikan yang sangat kuat. Begitu kuatnya hingga Andika dan Suci tak mampu menahannya. Di samping mereka masih terkejut dengan kemunculan asap hitam yang tiba-tiba dan langsung menyerang.
Sementara itu, Setan Hitam Compang-camping sudah meluncur begitu dilihatnya Suci meronta dalam asap hitam tebaL Tangannya siap menarik tangan Suci keluar dari pusaran asap, namun justru ia sendiri yang tertarik ke dalam.
"Gila!" makinya berusaha berontak. Tetapi tarikan itu bagai magnit raksasa, memaksanya dengan kuat.
Siksaan cukup menyakitkan dirasakan oleh mereka. Pendekar Slebor berusaha memecahkan gumpalan asap hitam tebal. Namun belum lagi ia mengeluarkan tenaganya, asap hitam itu mengeluarkan bau yang sangat wangi.
Tercium cepat di hidungnya.
Sesaat kemudian. Pendekar Slebor tak tahu apa yang terjadi. Begitu pula halnya dengan Suci dan Setan Hitam Compang camping.
Selebihnya, asap tebal itu lenyap.
Yang tinggal, hanya sembilan anak buah Setan Hitam Compang-camping, termangu dan tak mengerti apa yang terjadi.

***

«¦¦¦¦[ 2 ]¦¦¦¦»

Bukit Karang. Sebuah tanah tandus yang terjal.
Matahari seakan begitu dekat dengan kepala.
Daerah yang cukup terpencil. Terlihat menghampar luas. Di sebelah utara, terdapat hutan yang berlumpur pasir.
Daerah tandus yang sulit untuk mencari makan, rasanya tak ada yang nekat untuk datang, apalagi memilih tempat itu sebagai tempat tinggal.
Tetapi, satu sosok tua berpakaian keperakan dengan rambut digelung ke atas, berdiam di belakang batu karang besar. Dialah si Camar Hitam.
Tokoh sesat yang selalu membuat sengketa.
Matanya yang cekung ke dalam, memperhatikan Kakek Buruk Rupa yang celingukan lima belas tombak dari tempatnya bersembunyi "Hhh! Tak perlu aku menghabisi manusia laknat itu sekarang, karena aku tahu Permata Sakti berada di tangan Pendekar Slebor!" dengus Camar Hitam tajam. Panas meranggas.
Sementara itu, Kakek Buruk Rupa yang tengah mencari cucunya yang hilang, mendesis lirih, "Ada manusia jelek di balik batu karang itu. Kurang ajar! Mengintip hanya kerjaan orang iseng! Apakah ia tahu kalau Permata Sakti itu tidak berada di tanganku" Mendapati manusia kepalat itu masih berdiam saja aku yakin, ia tahu Permata Sakti itu berada di tangan Pendekar Slebor." Berpikir demikian, Kakek Buruk Rupa melesat dari tempat berdirinya. Selang beberapa detik, Camar Hitam berbuat serupa. Ia tak mau ketinggalan sedikit juga. Dalam pikirnya, ia yakin Kakek Buruk Rupa akan mencari Pendekar Slebor.
Itulah yang ditunggunya. Pendekar Slebor adalah musuh bebuyutannya semenjak peristiwa berdarah beberapa bulan lalu (Untuk mengetahui hal itu, silakan baca: "Cincin Berlumur Darah").
Di sebuah tempat yang lapang, Camar Hitam berhenti. Memandang seantero tanah yang luas. Ia tak mengerti bagaimana tahu-tahu Kakek Buruk Rupa menghilang. Pandangannya tak berkesip pada sebuah batu besar yang tak jauh darinya. Hari sudah memasuki rembang senja.
"Kurang ajar! Manusia aneh itu pasti tahu aku menguntit!" makinya.
"Atau... ia bersembunyi dibalik batu sialan itu?"
"Bagaimana aku tidak tahu, kalau tapakmu sekeras gajah?" terdengar suara itu sambil terkekehkekeh. Entah dari mana datangnya, Kakek Buruk Rupa sudah berdiri lima tombak di hadapan Camar Hitam. Merdang. Gusar dan penuh amarah Camar Hitam merasa dipernalukan seperti itu.
"Katakan padaku, dimana Pendekar Slebor berada"!" serunya keras, memecah seantero tanah Kakek Buruk Rupa terkekeh kekeh.
"Zaman sudah edan rupanya! kau yang sudah bau tanah masih mencari perjaka semacam Pendekar Slebor!"
"Orang tua hina! Lancang mulutmu bicara!"
"Aku hanya menyadarkan kau, Camar Hitam."
"Setan alas!!" Tangan Camar Hitam bergerak. Angin dahsyat mengerjap ke arah orang tua aneh berambut panjang menutupi wajah.
Wuuuttt! Tubuh bongkok itu tetap tak berkutik. Masih mengumbar tawa yang keras. Mendapati sikap Kakek Buruk Rupa seperti itu, membuat Camar Hitam marah, karena merasa diejek sekaligus terhina. Belum lagi serangan pertamanya mengenai sasaran, ia langsung susulkan serangan kedua.
Wuuuttt! Bersamaan angin deru dari serangan pertama Camar Hitam, tubuh Kakek Buruk Rupa mencelat begitu cepat. Menyusul bunyi ledakan keras.
Ia telah mengibaskan tangannya untuk memapaki serangan kedua dari Camar Hitam.
Menyadari hal itu, merahlah wajah Camar Hitam.
Apalagi melihat Kakek Buruk Rupa sudah berdiri di batu besar. Camar Hitam kembali menggerakkan tangannya, ke arah batu besar itu. Bagaikan ada sebuah bom yang meletus, batu besar itu pecah seketika. Sementara si orang tua aneh yang berada di atasnya tadi tidak nampak di mata.
Camar Hitam celingukan dengan bersiaga dan wajah memerah. Tiba-tiba terdengar suara dingin bernada angker dari sisi kirinya.
"Cukup bermain-main untuk hari Ini! Jika kau tidak segera pergi, aku tak segan-segan menurunkan tangan telengas padamu'" Camar Hitam berbalik segera. Matanya yang kelabu bagai memancarkan serat api.
"Jangan sesumbar! Justru kau tak akan hidup lebih lama lagi!" Kakek Buruk Rupa kembali berkata dengan suara yang semakin dingin, "Tinggalkan tempat ini. Kalau tidak, nyawamu tak akan pernah lagi melekat di tubuh busukmu itu!!" Tanpa membuang tempo, Camar Hitam bergerak laksana kilat ke arah Kakek Buruk Rupa. Tongkat kusamnya digerakkan, menimbulkan kesiur angin yang sangat keras sekali.
Kakek Buruk Rupa mengangkat sebelah kakinya.
Wuuuuttt! Sigap Camar Hitam membuang tubuh ke kiri dengan cara bergulingan.
"Gila! Hebat sekali kesaktian yang dimilikinya! Hhh! Aku ingin tahu, apakah ia mampu menandingi 'Ajian Penutup Jalan Darah' milikku ini!" Camar Hitam segera mengatupkan kedua tangan di dada. Menarik nafas sejenak dan dihembuskan perlahan-lahan. Bersamaan denganitu tangannya bergerak ke atas. Namun belum lagi ia melepaskan ajian andalanya, dilihatnya asap hitam tebal bergulung-gulung ke arah Kakek Buruk Rupa.
Bagai sebuah jaring, asap tebal itu menerjang Kakek Buruk Rupa. Dilihatnya bagaimana orang tua aneh itu seperti berada dalam sekat yang sempit dan ketat. Penuh rontaan namun tak mampu melepaskan diri. Merasa ada kesempatan untuk menghabisi Kakek Buruk Rupa, Camar Hitam segera menerjang. Ajian "Penutup Jalan Darah' telah dipergunakan.
Wuuusss! Dikawal angin mengerikan, ajian yang mampu memusnahkan jalan darah lawan dalam setiap totokannya dan membuat lumpuh tak berdaya, meluncur ke arah Kakek Buruk Rupa.
Keanehan terjadi. Karena asap yang menggulung Kakek Buruk Rupa, mendadak terpisah. Membentuk tiga gumpalan sekaligus. Dan menahan ajian 'Penutup Jalan Darah' milik Camar Hitam.
Tercengang Camar Hitam melihatnya. Detik lain, tercekat ia melompat ke kiri karena tiga asap itu menderu ke arahnya.
"Sinting! Apa-apaan ini?" makinya kalap. Ia berusaha menghujankan asap-asap itu dengan ajian andalannyu Namun seperti yang pertama tadi, asap itu terus menderu dan seperti yang dialami Kakek Buruk Rupa. tubuhnya juga terkurung asap lebal.
Napasnya sesak. Darahnya kacau. Uratnya kaku.
Lebih parah lagi ketika asap hitam itu mengeluarkan aroma wangi yang memabukkan. Dalam waktu tiga detik, Camar Hitam terkulai pingsan, menyusul Kakek Buruk Rupa yang lebih dulu pingsan.
Asap itu pun lenyap dengan anehnya, membawa tubuh keduanya.

****

Pulau Seribu Selan.
Pulau yang menyimpan banyak misteri di dalamnya, menghampar dalam senja yang redup.
Matahari seakan tak mampu lagi bertahan lebih lama memberikan penerangan. Debur ombak yang memecah batu karang, sahut menyahut terdengar di kejauhan. Di salah satu ruangan yang terdapat pada sebuah bangunan yang cukup besar, di tengah-tengah pulau, Tunggul Manik terbahak-bahak melihat kejadian demi kejadian pada sebuah wadah yang berisi air berwarna kuning. Di sisi wadah yang tak besar itu, terdapat dupa yang mengeluarkan bau busuk. Di air kuning itu, dilihatnya bagaimana Kakek Buruk Rupa dan Camar Hitam dalam keadaan pingsan.
"Kalian akan menemani tiga pendatang sebelumnya!" desisnya dengan suara keras. Laki-laki berbaju hitam pekat dengan bagian dada tak tertutup, hingga memperlihatkan sebuah tato bergambar tengkorak, mengatupkan kedua tangan di dada. Sejurus kemudian tubuhnya bergetar.
Matanya yang agak menukik dengan kelopak mata berlipat ke dalam, makin menyipit Mulutnya berkomat kamit hingga brewok yang memenuhi wajahnya bergetar pula.
Air kuning dalam wadah pun bergetar. Terlihat asap tebal yang melingkupi tubuh Kakek Buruk Rupa dan Camar Hitam melayang dalam alam yang kasat mata. Tak lama kemudian Tunggul Manik membuka kedua matanya "Permainan yang sangat menarik akan dimulai," katanya terbahak "Pendekar Slebor dan yang lain nya, akan mampus di Pulau Seribu Setan ini!" Lalu suaranya menggema keras, bagai meretakkan dinding ruang yang berbau busuk.
"Iblis Tambang dan Sepasang Dewa Gurun Pasir akan kuundang pula ke sini!"

****

Apa yang dialami Pendekar Slebor memang sungguh aneh. Tubuhnya tahu-tahu ambruk di sebuah ruangan yang kotor. Agak gelap. Sebelum berhasil membuka matanya lebih lebar, Andika merasa kepalanya pusing bukan alang kepalang.
"Kerbau bunting! Apa yang sebenarnya terjadi?" makinya jengkel. Pandangannya seperti tertutup dalam gelap. Namun, ketajaman matanya yang terlatih di delik lain tak membuatnya linglung lagi.
"Tempat apa ini?" desisnya pula.
Dirabanya dinding pekat itu. Diketuk-ketuknya.
Suaranya nyaring. Berarti dinding itu kosong.
Ingatan Pendekar Slebor beralih pada Suci. Ia mendesis pelan, "Suci... Suci...." Tak ada sahutan apa-apa. Sesaat, Andika berusaha memanggil lagi. Yang terdengar justru keluhan seorang laki-laki, dari sudut ruangan.
"Pendekar Slebor...."
"Busyet! Kok suaramu jadi berubah. Suci!"
"Aku Setan Hitam Compang ramping," suara dari sudut ruangan itu terdengar.
"Celaka! Ke mana Suci!" Dengan meraba dan dibantu oleh Setan Hitam Compang-camping, Andika mencari Suci di setiap jengkal ruangan. Tetapi tak ada sosok Suci.
"Apakah aku sedang mabuk?" serunya jengkel.
"Ke mana Suci" Oh, aku ingat sekarang. Ada asap tebal yang bergulung ke arahku, melingkupi dan membuat seluruh persendianku tak bisa digerakkan.
Tahu-tahu aku sudah berada di sini! Sinting! Apakah Suci mengalami hal yang sama?"
"Pendekar Slebor... kurasa Suci memang berada di sekitar sini. Tetapi terpisah."
"Mengapa?"
"Aku tidak tahu." Andika terdiam. Belum lagi Andika menemukan jawaban atas kebingungannya, suara keras menggema di telinga, bagai hendak merobekrobeknya.
"Selamat datang di Pulau Seribu Setan, Pendekar Slebor!" Dada Andika berdetak. Pulau Seribu Setan" Ia pernah mendengar nama pulau itu dan disangkanya pulau itu hanya ada di alam khayal.
Benarkah ia berada di Pulau Seribu Setan"
"Orang jelek yang bau selokan! Siapa kau sebenarnya"!" seruya tak kalah keras "Kekeraskepalaan Pendekar Slebor patut diacungkan jempol. Hanya sayang, tak lama lagi hanya tinggal kenangan. Ketahuilah. aku Tunggul Manik, ketua dan Serikat Kuda Hitam!"
"O... bagus kalau begitu! Anak buahmu sudah menjadi makanan cacing tanah!" sahut Andika geram.
"Dan kau akan tercacah di pulau ini, Pendekar Slebor!" suara keras itu berkumandang diiringi tawa.
"Manusia buduk!" maki Andika dalam hati. Untuk mengetahui kebenaran itu, ia memang harus lebih banyak memancing. Tetapi untuk saat ini, pikirannya tiba kembali pada Suci. Seruannya terdengar lagi, "Orang jelek yang suka ngumpet! Katakan, di mana gadis yang bersamaku itu?" Gema tawa berkumandang.
"Ini permainan yang akan kita jalani! Pertama, kau harus berusaha menemukan gadis yang bernama Suci itu! Kedua, kau harus bisa menghadapi lawanlawan tangguh! Setelah kau berhasil melewati keduanya, tantangan lain akan datang! Menghadapi aku! Dan terakhir, kau harus menemukan jalan keluar dari Pulau Seribu Setan!"
"Monyet buntung! Jangan mengumbar pepesan kosong!"
"Kita akan melihat permainan ini, Pendekar Slebor. Nyawa anak buahku harus kau bayar dengan nyawamu!"
"Apa yang akan kudapatkan bila aku berhasil lepas dari semua ini?" seru Andika menahan marah.
"Permata Sakti!" Seketika Andika meraba pinggangnya. Tak ada Permata Sakti itu di sana.
"Keparat itu pasti telah mengambilnya," desisnya marah dalam hati "Kau tak akan menemukannya, Pendekar Slebor Selagi kau terlelap pingsan entah kau bermimpi bagus atau sebaliknya, Permata Sakti itu sudah kuambil. Tetapi sekarang aku yakin, mimpi buruklah yang membentang di hadapanmu, Pendekar Slebor! Kuharap, kau akan menikmatinya!"
"Keparat!" geram Andika berusaha menentukan dari mana asal suara itu.
"Sekarang, dengar baik-baik! Bila kau berhasil melewati permainan yang kuciptakan ini, kau akan mendapatkan Permata Sakti kembali."
"Kau sudah merasa seperti dewa! Bagaimana bila tantangan ketiga yang kau berikan, kau mampus lebih dulu" Bagaimana bisa kudapatkan Permata Sakti itu?"
"Jalan keluar dari tantangan keempat, adalah Permata Sakti itu! Bila kau berhasil menemukannya, maka kau akan selamat keluar dari sini!"
"Manusia kambing! Kau akan menyesali semua' ini!" maki Andika keras. Dia menggeram mengetahui kelicikan Tunggul Manik.
"Rasanya, kau akan terlalu sulit untuk menghadap tantangan ketiga! Karena, akulah lawanmu!"
"Menghadapi manusia picik seperti kau, anak kecil yang baru bisa buang ingus pun akan mampu menjatuhkanmu"
"Sesumbarmu kelewat besar. Kita buktikan semua ini. Dan permainan yang mengasyikkan ini bisa kita mulai! Perlu kau ingat, setiap tantangan bisa datang kapan saja! Hingga tugasmu mencari Suci, akan selalu dihadang oleh maut. Bukankah ini sebuah permainan yang mengasyikkan! Selamat berjuang Pendekar Slebor!" tawa itu berkumandang keras dan lamat akhirnya lenyap sama sekali Tinggal Pendekar Slebor yang menggeram setinggi langit. Manusia yang bernama Tunggul Manik atau Majikan Pulau Seribu Setan, sulit ditentukan di ruangan mana dia berada. Marah, diterjangnya dinding yang melingkupinya.
Des! Tak jebol. Bahkan bergeming saja tidak. Justru tangannya yang agak ngilu. Dikerahkan tenaga 'inti petir' dan dihantamnya lagi. Berulang kali. Tetapi dinding itu tetap tegak berdiri.
"Laknat! Terbuat dari apa dinding ini"!" maki Andikn kesal. Tangannya nyeri bukan main. Dan ia teringat akan tantangan pertama dari Tunggul Manik, la harus menemukan Suci secepatnya.
Andika menduga, Suci berada di sebuah tempat entah di mana. Mungkin dalam keadaan tak berdaya. Mengingat semua Ini, Andika bertambah yakin, ucapan Tunggul Manik tidak main-main.
"Hhhh! bila kutemukan di mana kau berada, Tunggul Manik, akan kucabik-cabik tubuhmu!"serunya geram dan memeras otaknya memikirkan jalan keluar dari sini.
Karena, dia harus berpacu dengan waktu! "Pendekar Slebor...," panggil Setan Hitam Compang-camping yang sejak tadi terdiam.
Karena jengkel akibat kata-kata Tunggul Manik, Andika menyahut dengan nada membentak, "Apa?"
"Benarkah Pulau Seribu Setan itu ada?"
"Apakah kau tadi tidak mendengarnya, hah?"
"Aku mendengarnya."
"Bagaimana pendapatmu sendiri?"
"Bila kau yakin akan adanya Pulau Seribu Setan, aku pun yakin akan hal itu."
"Bagus! Tetapi, jangan cuma jadi kambing congek saja!" seru Andika yang tahu keinginan Setan Hitam Compang-camping untuk mengabdi padanya. Dan itu sangat tidak disukai Andika.
Kali ini Setan Hitam Compang-camping terdiam.
Karena dia merasa, salah bicara saja akan memancing kemarahan Pendekar Slebor.

***

«¦¦¦¦[ 3 ]¦¦¦¦»

Jalan yang harus ditempuh oleh Pendekar Slebor sekarang, keluar dari ruangan gelap ini. Mengingat tenaga 'inti petir' tak mampu menghancurkan dinding ruangan, Andika merapal ajian 'Guntur Selaksa' yang diciptakan di Lembah Kutukan.
Tubuhnya mendadak bagai dilingkupi sinar perak. Tempat di mana dirinya disekap, menjadi terang seketika. Setan Hitam Compang-camping mendesis takjub melihal hal itu. Dia mundur tiga langkah mengingat Andika bermaksud menghantam dinding di hadapannya Dikawal seruan keras penambah semangat, Andika meluncur menghantam dinding itu.
Blaaaarrrr! Dinding itu seketika jebol. Pecahannya berpentalan keluar. Sesaat Andika bersiaga. Matanya menatap ke depan melalui dinding yang jebol besar itu. Tak ada tanda-tanda jebakan. Diputuskannya untuk segera meninggalkan ruangan di mana dia disekap.
"Kita keluar dari sini!" katanya memberi tahu Setan Hitam Compang-camping.
Dengan sekali lompat, Andika mencelat melalui dinding yang bolong itu. la harus berpacu dengan waktu, karena diyakini ucapan Tunggul Manik bukan ancaman kosong. Menyusul Setan Hitam Compang camping yang sudah berada di sisinya.
Berada di luar ruangan, keadaan agak terang meskipun temaram. Anehnya, meskipun tempat di mana Andika menjejakkan kaki sekarang tertutup rapat dinding, angin dingin terasa berlarian bagai berada di alam terbuka. Suasana angker dan mencekam. Andika tak tahu, saat ini malam atau sebaliknya.
"Busyet! Apakah bangunan ini benar-benar berada di Pulau Seribu Setan?" desisnya tak tahu harus ke mana. Di hadapannya ada lorong panjang. Di sebelah kirinya berbentur tembok, ke kiri nampaknya ada jalan.
Andika memutuskan untuk melewati lorong panjang di hadapannya.
Ditolehkan kepalanya pada Setan Hitam Compang-camping yang sejak tadi terdiam.
"Aku akan memasuki lorong di hadapanku ini.
Sebaiknya, kau memasuki lorong sebelah kiri."
"Baik."
"Ingat, kita berada di Pulau Serihu Setan, yang sebenarnya rada tak masuk akal. Tetapi ucapan Tunggul Manik bisa kita jadikan pegangan. Jadi, kau harus berhati-hati "
"Aku akan melakukannya "
"Sebaiknya pula, hindari bila terjadi bentrokan.
Karena dari ucapan manusia keparat itu, dia hanya menginginkan aku. Meskipun belum diketahui apa tujuannya melakukan semua ini" Setan Hitam Compang Camping menganggukkan kepalanya.
"Mulailah. Dan hati hati." Setelah menatap Andika, lelaki berpakaian compang-campmg itu menganggukkan kepalanya.
Seolah meminta kekuatan batin pada Andika. Sosok tinggi besar itu pun sudah berkelebat ke arah kiri, mengikuti lorong panjang di hadapannya.
Andika mendesah pendek.
"Aku harus memburu waktu. Nasib Suci belum kuketahui." Ia segera berkelebat memasuki lorong di hadapannya. Semakin dia melangkah angin dingin makin menusuk tulang. Dikerahkan tenaga dalamnya guna mengatasi angin yang datang seperti menampar seluruh tubuhnya.
Manusia semacam apa Tunggul Manik itu yang mampu menciptakan semua ini" desis Andika dalam hati menyadari keanehan ini adalah ciptaan dari Tunggul Manik Lorong panjang itu telah dilalui. Dan membentur pada sebuah pemandangan aneh. Ada lima buah pintu di hadapannya, masing-masing berjarak satu meter.
"Busyet! Seperti buntu apa yang ada di hadapanku ini!" dengusnya.
"Lima buah pintu. Hmm... pintu mana yang harus kumasuki?" Keras Andika memeras otaknya. Menentukan pintu mana yang ditempuh. Tak mustahil kalau pintu pintu itu berisi jebakan. Setelah terdiam beberapa saat. Andika memutuskan untuk masuk melalui pintu pertama. Karena, semuanya harus dari awal. Disiagakan dirinya. Ajian 'Guntur Selaksa' sudah terangkum sebagai senjata. Perlahan Andika membuka pintu, agak bergetar dengan dada berdebar. Begitu pintu dibuka, matanya segera memicing dan memalingkan kepala. Sinar yang sangat terang begitu mencolok menghantam kedua matanya. Tak sadar Andika menggerakkan tangannya untuk menutupi pandangan.
"Kucing buduk! Apa apaan ini"!" dengusnya sambil menutup pintu kembali. Napasnya agak terengah.
"Gila! Pintu itu bukan jalan yang benar.
Tak mustahil bila aku terus menatap sinar panas itu, kedua mataku akan jadi buta! Pintu kedua harus kumulai sekarang." Kali ini Andika kembali bersiap bila memang cahaya panas itu ada lagi di pintu kedua. Tetapi, begitu pintu kedua dibuka, angin dahsyat bergulung-gulung ke arahnya.
Memekik pemuda urakan itu melompat keluar dan menendang pintu hingga tertutup.
Hiaaat! Hantaman angin dahsyat itu menghantam pintu.
Ruangan itu bagai bergetar hebat. Anehnya, pintu tak jebol sama sekali. Sesaat Andika menunggu. Tak ada lagi gempuran dari angin yang menggulunggulung ke arah pintu.
Selebihnya sunyi seperti sediakala.
"Kutu busuk! Pintu manaa lagi yang halus kumasuki"!" makinya geram. Namun tekadnya untuk menentukan jalan keluar dari lorong panjang yang baru dilaluinya makin membulat. Tantangan semacam apa pun tak akan dipedulikan pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini, sebelum dia puas mengetahui rahasianya.
Dibukanya pintu pintu lainnya, hati-hati dan penuh kesiagaan. Dari pintu ketiga, meluncur puluhan tombak ke arahnya. Dari pintu keempat mengeluar asap busuk yang menyengat. Dari pintu kelima, terlihat dua orang aneh terbungkus pakaian dari emas menyerangnya.
Bukan bualan tegangnya pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu. Semua pintu telah dibuka. Namun tak ada tanda-tanda pintu mana yang harus ia masuki.
"Monyet buduk! Tak ada di antara kelima pintu ini yang memberikan kenyamanan," desisnya sambil menghapus kuingat.
"Semuanya penuh bahaya mengancam. Mungkin pula jebakan. Apakah jebakan-jebakan itu melupakan sebuah jalan" Ataukah memang jebakan semata?" Sesaat Andika tak bisa memutuskan apa yang akan dilakukan berikutnya. Sampai terlihat, lamat tangan kanannya memegang hendel pintu kedua kembali.
"Angin! Ya, barangkali saja aku bisa menerobos pusaran angin itu! Pintu-pintu ini memang penuh jebakan Aku tak peduli sekarang. Biar bagaimanapun juga, aku harus lebih dulu membuktikan!!" Sebelum membuka pintu, dialirkan tenaga dalam ke seluruh tubuh. Bobot tubuhnya ditambah melalui aliran tenaga dalam itu. Sigap Andika membuka pintu kedua kembali Tegak ia berdiri dengan kedua tangan siap dikibaskan ke depan. Matanya dibuka lebar-lebar, siaga menanti serangan dahsyat yang datang. Tetapi sejenak ia tertegun tak lagi angin keras bergulung.
Justru sebaliknya lorong panjang yang nampak di matanya. Kaget Andika menutup pintu kembali.
"Aneh! Apa sebenarnya yang terjadi" Ataukah...." Cepat Andika membuka pintu pertama. Tak ada lagi cahaya panas menyilaukan. Begitu pula ketika ia membuka pintu ketiga, keempat dan kelima. Tak ada serangan apa-apa. Yang nampak dari balik setiap pintu, hanyalah lorong yang panjang.
Tertegun Andika menyaksikan semua ini. Sesaat kelihatan ia mengangguk-angguk.
"Hmm... apakah sebenarnya ini sebuah kunci" Bila aku membuka semua pintu, maka serangan itu akan lenyap" Karena, tak mustahil orang lain enggan untuk membuka pintu lainnya bila mengetahui ada serangan berbahaya. Hhh! Tadi kubuka pintu kedua, berarti, akan kulewati lorong di balik pintu kedua itu." Memikir demikian, dibukanya lagi pintu kedua.
Setelah menarik napas, Andika melesat melalui lorong panjang di hadapannya.

****

Di satu tempat Tunggul Manik menggeram melihat kecerdikan Pendekar Slebor dari wadah yang berisi cairan kuning "Cerdik! Tak sia-sia pemuda itu dijuluki pendekar sejuta akal. Ia telah berhasil memecahkan rahasia Lima Pintu Kematian. Akan ku lihat, apakah ia akan bisa memecahkan rintangan-rintangan berikutnya yang telah ku siapkan?" Tak lama kemudian, mulut lelaki kasar itu nampak berkomat-kamit.

****

Bukit Cadasgering, sebuah tempat yang jauh dari Pulau Seribu Setan. Letaknya yang berada di sekitar pegunungan kapur, menyebabkan daerah itu begitu tandus. Kekeringan akrab sekali dengan bukit itu.
Setiap kali angin berhembus kencang, debu kapur langsung bertebalan menjelajah tanah Bukit Cadasgering. Apalagi di siang yang terik ini.
Namun, tempat yang jarang didatangi orang, justru tengah terjadi satu pertarungan dahsyat.
Seorang laki laki bersenjata tambang besar, sedang mencecar sepasang anak manusia berbaju biru.
Gempuran tambangnya begitu dahsyat, menghancurkan kapur-kapur yang langsung beterbangan. Siapa lagi manusianya kalau bukan Iblis Tambang yang memiliki senjata tambang besar dan sedang melancarkan serangan dahsyat itu.
Sejak pertarungan dengan Pendekar Slebor dan terluka pada tangan kirinya, ia menghindar dan berhasil mengobati luka-luka tangannya.
Sementara yang sedang digempur ilu adalah Sepasang Dewa Gurun Pasir. Pasangan serasi dari orang-orang muda yang berusia paling tidak tiga puluh tahun dan dua puluh enam tahun.
Julukun Sepasang Dewa Gurun Pasir bukan julukan kosong. Namanya cukup dikenal sejak lima bulan terakhir. Datang dari dataran pasir yang cukup panjang di pantai timur pulau Bali. Tak seorang yang mengerti apa maksud mereka tiba di tanah Jawa. Hanya desas-desus mengatakan, mereka selalu menantang siapa saja yang dijumpai.
Konon, di pulau Dewata, tak ada lagi yang mampu menandingi mereka.
Dalam menghadapi setiap lawan yang ditantang, Sepasang Dewa Gurun Pasir selalu menyerang serempak. Tidak alang kepalang, gempuran mereka dahsyat dan mematikan.
Gempuran Iblis Tambang dibalas cepat, bersamaan dan beruntun. Mencecar bagian-bagian yang berbahaya. Kelebihan dari Sepasang Dewa Gurun Pasir, kelincahan yang luar biasa. Menyusul jurus-jurus yang mematikan.
Pertarungan itu sebenarnya singkat saja, bila Iblis Tambang tidak segera mundur dan berseru, "Tahan!" Gempuran dari dua lawannya terhenti. Menatap tak berkesip pada lawan "Sepasang Dewa Gurun Pasir tak akan melepas lawan sebelum bekalang tanah" seru yang laki-laki Wajahnya tampan dengan rambut gondrong. Ikat kepala berwarna putih. Pakaian birunya berkebyar dimainkan angin. Kejantanan begitu nampak, namun matanya memancarkan keculasan.
"Kita tak saling kenal, tak punya silang sengketa! Mengapa menyerang?" seru Iblis Tambang menahan napas. Memperhatikan lawan yang sedang menatap dingin.
"Pulau Jawa gudang dari para pendekar! Kami menyeberang untuk menjajal kemampuan!" Otak culas yang dimiliki Iblis Tambang berputar cepat Ia merasa ada kambrat yang bisa dijadikan sekutu.
"Jelas tak mampu aku menghadapi kalian. Jauh ilmu yang kalian miliki dibanding kepandaianku!" katanya memulai rencana busuk yang terjalin begitu saja di benaknya.
"Raka Gunarsa! Jangan buang tempo! Bunuh manusia itu!" seru yang wanita. Kecantikannya sungguh luar biasa. Memiliki dada yang besar, yang sejenak akan membuat mata laki-laki yang belum mengenal betapa kejamnya wanita itu akan tergiur dan tak akan mengarahkan tatapannya pada obyek lain. Kulitnya pulih, bening. Tetapi, senyum yang bertengger di bibirnya dingin sekali, sedingin tatapan matanya.
"Kau dengar kata-kata kekasihku, Manusia Laknat" Kau tak bisa kuampuni lagi! Tak akan pernah Sepesang Dewa Gurun Pasir meninggalkan lawan-lawannya tanpa nyawa lawan-lawannya putus dari badan!"
"Tunggu!" semakin culas pikiran yang ada di benak Iblis Tambang. Dengan memasang wajah mengalah dan sikap pasrah, dia berkata lagi, "Aku tak akan melawan. Karena menghadapi kalian hanyalah sebuah kesia-siaan. Ampuni selembar nyawaku yang hina ini,"
"'Tak ada yang mampu menghentikan keinginan Sepasang Dewa Gurun Pasir!" seru Raka Gunarsa dengan seringai lebar.
"Akan kuberikan imbalan pada kalian bila kalian mau mengampuni nyawaku!"
"Hhhh! Kami tak membutuhkan harta benda! Yang kami butuhkan adalah pengakuan!"
"Akan kutunjukkan pada kalian lawan tangguh untuk menjajal kemampuan!" Raka Gunarsa terbahak-bahak.
'Tak seorang pendekar pun yang mampu menghentikan sepak terjang Sepasang Dewa Gurun Pasir! Berani menantang, berarti siap menghadapi ajal! Menolak tantangan Sepasang Dewa Gurun Pasir, akan mampus seperti anjing lapar!"
"Pendekar Slebor mampu mengalahkan kalian!" seru Iblis Tambang terus memasang jeratnya.
"Keparat!" meradang Raka Gunarsa keras.
Tawanya terhenti seketika. Kedua matanya mendelik besar pada Iblis Tambang yang dalam hati tersenyum.
"Siapa orang yang kau sebutkan itu"! Sehebat apa kesaktian yang dimilikinya"!* Merasa lawannya terpancing ucapannya. Iblis Tambang bagai menemukan sasarannya, "Di tanah Jawa ini, telah lama malang melintang seorang pemuda berbaju hijau pupus yang menjuluki dirinya Pendekar Slebor! Pemuda itu pun memiliki keinginan seperti kalian, menjajal kemampuan siapa saja yang dirasakannya cukup tangguh menghadapinya! Akupun terpaksa menerima tantangannya dan aku kalah! Jadi kupikir, satusatunya yang mampu mengatasinya adalah kalian.
Sepasang Dewa Gurun Pasir. Yang aku yakin kemampuan kalian lebih tinggi dari Pendekar Slebor! Tetapi perlu kalian ketahui, kesombongan Pendekar Slebor harus dihentikan! Seperti yang diinginkan oleh banyak pendekar di tanah Jawa ini!" Sepasang Dewa Gurun Pasir merandek gusar.
Berpandangan sesaat. Keduanya adalah manusiamanusia yang tak pernah puas dengan kemampuan yang mereka miliki. Terutama, pada kemampuan orang lain. Setiap saat mereka mengisi kehidupan yang mereka jalani untuk menebarkan tantangan.
Bagai disepakati, keduanya menganggukkan kepala.
Raka Gunarsa menoleh lagi pada Iblis Tambang yang makin tersenyum dalam hati.
"Tunjukkan di mana manusia keparat itu! Akan kami buktikan, bahwa Sepasang Dewa Gurun Pasir tak akan terkalahkah!"
"Tentu, tentu aku akan menunjukkannya," kata Iblis Tambang sambil tersenyum. Terbayang di benaknya ia akan memetik keuntungan dari pertarungan antara Pendekar Slebor dengan Sepasang Dewa Gurun Pasir.
"Bila manusia berjuluk Pendekar Slebor itu tak mampu menghadapi kami, kau harus mati!!" Tak cukup membuat Iblis Tambang ketakutan dengan ancaman itu. Baginya, bila terjadi pertarungan hebat antara Pendekar Slebor dan Sepasang Dewa Gurun Pasir, ini suatu hal yang sangat menarik. Permata Sakti yang dimiliki Pendekar Slebor sekarang, adalah sasaran yang diinginkannya. Juga, membalas sakit hatinya akan kekalahannya waktu itu.
Namun kata-kata dari Ida Ayu Mantri mengejut kau Iblis Tambang "Kami ingin mengambil sebelah tanganmu, agar kau tak lepas dari tangan kami!!" Bersamaan dengan itu, tubuh lda Ayu Mantri berkelebat laksana kilat. Iblis Tambang terkejut dengan wajah pias. Sebelum dia sempat melakukan gerakan apa-apa, entah bagaimana terjadinya, tahutahu tangan kirinya telah putus.
Jeritan keras terdengar menyayat. Tubuh Iblis Tambang bergulingan. Bersamaan dengan itu, Ida Ayu Mantri menjentikkan tangan kanannya.
Tuk! Tuk! Urat darah Iblis Tambang tertotok. Darah yang mengalir dari tubuh Iblis Tambang terhenti seketika, bersamaan dengan gerak tubuhnya yang kelojotan.
Raka Gunarsa terbahak-bahak sambil merangkul kekasihnya. Lalu penuh nafsu dikecupinya leher dan wajah Ida Ayu Mantri yang kegelian.
"Menyenangkan. Sangat menyenangkan. Aku menyukai kekejamanmu, kekasihku. Sepasang Dewa Gurun Pasir tak akan menemui lawan sepadan!" Ida Ayu Mantri menatap mesra pada kekasihnya.
"Tak seorang pun akan mampu lari dari tangan Sepasang Dewa Gurun Pasir!" Penuh kemesuman, Raka Gunarsa merebahkan tubuh kekasihnya di atas tanah yang cukup panas.
Namun hal itu tak dirasakan oleh keduanya.
Tertawa-tawa mulai dibukanya pakaian kekasihnya disertai kecupan liar yang panas.
Ida Ayu Mantri banyak terkikik geli. membiarkan tangan kekasihnya merajah seluruh tubuhnya. Hal itu memang sering terjadi. Kedua anak manusia berhati mesum itu melakukan hubungan badan dimana saja mereka suka. Tak peduli dihadapan orang banyak. Karena, nafsu telah mengalahkan akal sehat mereka. Namun sebelum apa yang mereka inginkan terlaksana, terdengar seruan Raka Gunarsa.
"Lihat! Asap apa yang melingkupi tubuh laki-laki buntung itu"!"

****

Ida Ayu Mantri cepat merapikan pakaiannya.
Terbelalak dan kening berkerut ia menyaksikan apa yang dikatakan kekasihnya. Tubuh Iblis Tambang mengapung tak berdaya dalam gumpalan asap hitam. Belum lagi menyadari apa yang terjadi, keduanya terkesiap ketika muncul asap hitam lainnya. Bergulung ke arah mereka "Gila! Apakah ini perbuatan manusia yang berjuluk Pendekar Slebor" Baik, kita lihat siapa yang lebih kuasa!" sentak Raka Gunarsa sambil bersiap menyongsong asap hitam yang melesat ke arahnya.
Jotosan penuh tenaga dalam dilepaskan.
Plossss! Jotosan itu bagai nyeplos belaka. Belum keheranan melanda Raka Gunarsa habis, tubuhnya mendadak bagai ditarik, memasuki asap tebal itu secara paksa. Ida Ayu Mantri berusaha menolong. Tetapi, hal yang sama pun dialaminya. Rontaan keduanya, tak mampu meloloskan diri dan tak berdaya dalam gulungan asap hitam.
Tak lama kemudian, keduanya pun terkulai pingsan

***

«¦¦¦¦[ 4 ]¦¦¦¦»

Lorong yang dilalui Andika semakin panjang.
Rasanya sudah cukup lama Andika berlari, namun belum menemukan ujungnya pula. Dia seolah sedang mengejar dinding hitam panjang di kanan kirinya. Dalam berlari Andika berbisik di hati, "Aneh! Ini benar-benar aneh! Baru kali ini kudapati bangunan memiliki lorong demikian panjang. Hhh! Di mana aku harus menemukan Suci. Manusia keji bernama Tunggul Manik memaksaku untuk marah rupanya.
Aku pun harus mempertanggungjawabkan Permata Sakti yang memancarkan sinar biru pada Kakek Buruk Rupa." Penuh pertanyaan yang belum terjawab dalam benaknya. Andika tak menghentikan larinya barang sekejap. Penasaran dibawanya terus larinya.
Dalam jarak lima tombak. Andika melihat sebuah taman di hadapannya. Memancarkan bau wangi yang mampu membuat siapapun terbius beberapa saat. Dihentikan lariya disana. Sukar ditebak, berapa lama dia berlari melewati lorong. itu Dan matanya memandang takjub apa yang terpampang di hadapannya.
"Hmmm... taman apa ini" Banyak bunga-bunga beraneka warna tumbuh di sini dan menebarkan semerbak wangi. Aku yakin, ini mirip kaputren di mana selir para raja tinggal. Busyet! Pulau Seribu Setan bukan hanya banyak menyimpan misteri! Tempat yang kuyakini berupa bangunan ini pun menyimpan keanehan yang dalam. Sebesar apakah bangunan ini" Apakah seukuran dengan ikan paus raksasa?" Diperhatikan sekelilingnya dengan rasa keheranan makin menggunung. Belum lagi Andika menduga apa yang akan terjadi, sayup-sayup telinganya menangkap suara di kejauhan.
"Kang Andika! Tolong akuuuu!" Terdengar teriakan penuh duka dan kesedihan.
Andika tersentak.
"Suci!" desisnya. Diputar tubuhnya berkali-kali, mencoba menemukan dari mana asal suara itu.
"Suci, itu suara Suci. Apakah dia berada di sekitar sini" Suciiii! Di mana kau berada"! Succciiii!!"
"Kang Audikaaaa! Tolong aku! Bebaskan aku, Kang!" Suara yang dikenal Andika sebagai milik Suci, menggema di tempat itu. Membuat Andika harus mendengus berkali-kali karena sulit menentukan darimana asal suara itu. Tak ada tanda-tanda dia bisa menemukan. Karena yang terpampang di hadapannya, hanyalah taman bunga belaka.
"Apakah itu hanya ilusi saja" Ataukah desir angin yang membawa suara Suci dari satu tempat" Tetapi, pendengaranku tak salah, kalau suara itu berasal dari sekitar taman." Diputuskan unluk menyelidiki taman besar penuh bunga-bunga itu. Tetapi, tak ada tanda-tanda Suci disana. Disesali kebodohannya mengapa harus membuang tenaga memeriksa taman, karena dari tempatnya berdiri tadi dia tak melihat tubuh Suci di sana.
"Suci!! Katakan, kau di mana" Aku akan menolongmu?" serunya keras.
"Kang Andika, aku tidak tahan! Sakit, Kang Andika! Sakiitttt!!" suara itu menggema lagi, kali ini diiringi isak yang memilukan.
Geram bukan buatan Andika menyadari sukar baginya menentukan dari mana asal suara itu.
Karena, bagai terseret, berpindah dari satu tempat ke tempat lam. Kegeraman itu makin bertambah, membayangkan kemungkinan Suci saat ini berada dalam satu penderitaan. Itu terbukti dari suaranya yang serak dan penuh duka.
"Berabe kalau begini. Aku cuma bisa jadi kambing congek belaka! Rupanya Tunggul Manik memang sudah mempersiapkan semuanya." Namun mendadak saja Andika tersentak, dengan bola mata membulat besar. Di hadapannya mendadak terlihat sebuah tiang gantungan. Cukup tinggi. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi, Suci terikat terikat diujung atas sana.
"Gila! Tak kulihat ada tiang ini tadi" Bagaimana bisa muncul mendadak" Kurang ajar! Siapa lagi kalau bukan Tunggul Manik," makinya dalam bati.
Penuh kegeraman dan kekhawatiran Andika melompat lima tindak ke depan. Mendongak dan berseru, "Suci! Tahan, aku akan menolongmu!"
"Sakit, Kang Andika! Aku ngeri!!" seru Suci dengan wajah pucat. tubuhnya tak bisa digerakkan.
Sungguh bukan bualan kelu hati Andika melihat keadaan Suci. Diperhitungkannya tinggi tiang gantungan yang mengikat tubuh Suci.
Tetapi, satu pikiran menyelinap di benaknya.
"Apakah ini bukan sebuah jebakan?" pikirnya.
"Sejak tadi aku tidak melihat ada tiang gantungan di sini. Lalu tahu-tahu muncul begitu saja dengan tubuh Suci terikat. Hmm... aku harus berhati-hati! Jangan-jangan, ini permainan berikutnya dari Tunggul Manik."
"Kang Andika... mengapa kau diam saja" Mengapa kau tidak segera menolongku" Manusia laknat itu akan membunuhku, Kang! Tolong aku, Kang! Tolooong!!" Serua Suci membuat hati Andika menjadi galau.
Sukar menebak apakah ini sebuah jebakan atau bukan. Untuk beberapa saat Andika masih terdiam, tak berbuat apa apa.
Ketika melihat tubuh Suci bergetar hebat diiringi teriakan bagai lolongan serigala, Andika tersentak.
"Sakit, Kang! Sakiiiittt!!" Diputuskan untuk melompat menyambar tubuh Suci. Diperhitungkan sekali lompat ia akan memutuskan tali-tali pengikat tubuh Suci.
Dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya Kedua tangannya dialiri tenaga dalam tinggi. Dengan pencalan dua kaki, tubuh Andika meluncur ke atas.
Tak ada angin yang terasa menyambar. Semua mendadak seperti mati. Begitu tiba di hadapan Suci, tanpa membuang tempo, Andika memapas putus tali yang mengikut tubuh Suci. Tangan kirinya sigap menyambar tubuh Suci yang terpental begitu tali pengikat tubuhnya putus.
Cepat Andika kendalikan diri. Masih merangkul Suci, dia putar tubuhnya dua kali. Dan meluncur ke tanah dengan kedua kaki di bawah.
"Kau aman, Suci!" hiburnya ketika melihat gadis itu merapatkan kedua matanya erat-erat.
Begitu kedua kakinya hinggap di tanah, sesuatu yang luar biasa terjadi....

****

Kakek Buruk Rupa mengerutkan kening yang tertutup rambut panjangnya. Tempat di mana dia berada sekarang ini cukup terang, hingga bisa dilihatnya Camar Hitam yang duduk tak jauh di hadapannya. Dikelilingi oleh tembok hitam.
Wanita tua kejam itu pun telah bangun dari pingsannya Sesaat dirasakan kepalanya pusing dan tubuhnya yang lemah. Namun semuanya sirna, begitu melihat siapa yang berada di hadapannya.
Seketika dia bangkit dan siap melepaskan ajian 'Penutup Jalan Darah' "Tahan!" seru Kakek Buruk Rupa yang melihat Camar Hitam siap melepaskan satu serangan,dengan tangan kanan kedepan. Telapak tangan terbuka ke atas. Gerakan tangannya itu bukan sebuah gerakan biasa. Melainkan mengeluarkan tenaga dalam, menahan gerakan Camar Hitam. Camar Hitam mendengus gusar. Bukan karena mendengar seruan itu, melainkah karena dirasakan tubuhnya bagai terhalang dinding tebal tak numpak "Peduli setan dengan ucapanmu! Kau harus mampus, Lelaki tua!" 'Tunggu, Camar Hitam! Tinggalkan sejenak kemarahanmu itu. Tidakkah kau merasa asing dengan tempat di mana kita berada" Buka kedua mata jelekmu itu, tatap sekelilingmu! Bukankah sebelumnya kita berada di...."
"Diam!" potong Camar Hitam. Tetapi tak urung kedua mata kelabunya memperhatikan pula sekelilingnya. Tangannya yang siap melepaskan ajian 'Penutup Jalan Darah' diturunkan. Penuh rasa heran wanita tua itu berjalan ke sekelilingnya.
"Kau percaya bukan?" seru Kakek Buruk Rupa.
Camar Hitam tak mempedulikannya.
"Hhh! Tempat apa ini sebenarnya" Apa yang telah terjadi?" kata wanita tua kejam itu dengan suara mendesis, pada dirinya sendiri.
"Mana aku tahu," sahut Kakek Buruk Rupa Seenaknya "Aku tidak tanya padamu!" bentak Camar Hitam.
"Aku ingin tahu, tempat apa sebenarnya ini?" makinya ketus. Dialirkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Menghantam dinding hitam itu.
Blaaar! Dinding itu tak goyah sedikit juga.
"Setan belang! Terbuat dari apa dinding ini!"
"Sebelum memutuskan untuk menghancurkan dinding itu, sebaiknya kita menebak dulu di mana kila berada sekarang," kata Kakek Buruk Rupa yang tertawa melihat pukulan Camar Hitam pada dinding itu tak berfungsi sama sekali.
Camar Hitam menoleh gusar. Mata celongnya bagai tertarik ke dalam, menyipit.
"Setelah semua ini, tak akan kuurungkan niatku untuk membunuhmu!"
"Memangnya gampang?"
"Setan!" Tangan kanan Camar Hitam mengibas.
Wusss! Serangkum angin dahsyat menderu ke arah Kakek Buruk Rupa. Yang tiba-tiba saja sudah tak ada di tempatnya. Pukulan Camar Hitam menghantam tembok di belakang si kakek.
Duaaar! Tembok itu tidak jebol sama sekali.
"Tenang dulu, tenang," kata Kakek Buruk Rupa.
"Meneruskan pertarungan kita sangat mudah sekali! Di tempat semacam ini pun bisa dilaksanakan! Tetapi, apakah tidak lebih baik kita mengetahui tempat apa ini dulu sebelum meneruskan pertarungan, hah?" Camar Hitam terdiam meskipun mengeluarkan dengusannya. Dibenarkannya pula kata-kata Kakek Buruk Rupa. Tanpa sadar kedua tangan kurusnya yang terbungkus baju keperakan meraba-raba diding itu. Di belakangnya Kakek Buruk Rupa berbuat yang sama.
"Hmmm... menembus dinding ini adalah jalan pertama untuk keluar dari sini. Tak ada pintu sama sekali, Gila! Bagaimana caranya kita masuk tadi?" membatin si kakek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Di lain pihak. Camar llilam sudah merangkum kembali tenaga dalamnya. Dilipatgandakan dari pukulan pertama tadi. Tanpa berkata apa-apa pada Kakek Buruk Rupa, dihantamnya dinding di hadapannya. Suara gemuruh terdengar hebat. Kakek Buruk Rupa seketika menoleh dan terkekeh-kekeh.
"Lumayan pukulanmu itu!" desisnya dan melompat keluar mendahului Camar Hitam yang menggeram. Kalau sebelumnya dua orang tua berbeda aliran itu berada dalam pertikaian yang sengit, kali ini tanpa disadari masing-masing berkeinginan untuk lebih dulu mengetahui di mana mereka berada.
Seperti diketahui. Kakek Buruk Rupa sedang mencari cucunya yang pergi bersama Pendekar Slebor. Maka, ingatannya pun beralih pada Suci.
"Di mana cucu jelitaku sekarang ini" Sebenarnya cukup aman bagiku mengingat dia bersama si Slebor. Tetapi awas, akan kupatahkan tangan si Slebor bila pemuda itu mulai bersikap lancang." Sementara itu Camar Hitam berkata seraya memandang sekelilingnya.
"Tempat ini seperti sebuah bangunan. Namun langit-langitnya begitu tinggi sekali. Dan ada dua lorong yang sangat panjang. Apakah tempat ini didiami oleh raksasa?"
"Boleh juga pendapat seperti itu," sahut Kakek Buruk Rupa sambil memperhatikan lorong panjang di sebelah kanannya.
"O ya, kalau kau masih mau berada di sini, silahkan' Aku ingin melihat keadaan." Tanpa menghiraukan Camar Hitam Kakek Buruk Rupa mulai melangkah. Hanya satu tindak dia berhasil melangkah, selebihnya bagai ditahan oleh ribuan tangan kasar.
"Kau jangan ke mana-mana! Urusanku untuk mendapatkan Permata Sakti yang kau miliki dan kau berikan pada Pendekar Slebor masih menjadi urusan!" Kakek Buruk Rupa menyahut tanpa menoleh.
"Jelas itu urusanmu!" Lalu dikerahkan tenaga dalamnya untuk memupus serangan gelap Camar Hitam. Lalu melangkah lagi dengan santainya.
Tinggal wanita tua berbaju perak dengan rambut disanggul ke atas yang menggeram. 'Tenaga dalamnya tak jauh bedanya dengan tenaga dalamku.
Setelah kuketahui tempat sialan ini, akan kuteruskan pertarunganku dengan orang tua sialan itu! Terutama, keinginanku untuk mendapatkan Permata Sakti yang dimilikinya dan kuketahui telah dipegang Pendekat Slebor " Berlainan arah dengan yang ditempuh Kakek Buruk Rupa, Camar Hitam berkelebat ke sebelah kanan.

****

Andika memekik keras seraya melontarkan tubuh Suci dari boponganya bulu kuduknya meremang tatkala mendapati tubuh yang dibopongnya tadi berubah menjadi seekor ular besar.
"Benar dugaanku! Hanya jebakan belaka!" makinya geram. Ular besar warna kuning itu bergerak-gerak dengan liar. Mulutnya mendesis-desis mengerikan, mengeluarkan lidah bercabang dua pada ujungnya.
Bola mata bundar berwarna merah tak luput sedikit pun menatap Andika. Mendadak saja desisan yang menandakan kegarangan terdengar. Menyusul kepalanya mencelat ke arah Andika.
Terperangah pemuda urakan itu menghindar dengan jalan membuang tubuh kesamping. Namun bersamaan dengan Andika menghindar, ekor ular besar itu bergerak menyapu kedua kakinya begitu hinggap di tanah.
Gerakan ekor ular itu menimbulkan angin laksana debur ombak. Menerabas bunga-bunga beraneka warna yang langsung luruh dan memuncratkan tanah setinggi satu meter.
Ular jejadian yang mengerikan itu terus mengurung Andika dengan dua serangan serempak.
Kepalanya mencelat siap mencaplok kepala Andika, sementara ekornya mengibas untuk menggempur lumat tubuh Andika.
Andika tak mau tinggal diam. Dikawal dengan gerengan keras dan angm kuat, Andika meluncur dengan merangkum tenaga 'inti petir' tingkat kedua belas. Gerakan tubuhnya tak ubahnya bagai elang belaka, siap mencengkeram mangsa.
Des! Des! Dua kali jotosan tangan kanan dan kiri yang mengandung tenaga 'inti petir' menghantam kepala ular besai itu. Ular itu justru bertambah liar bergerak. Makin banyak bunga yang terpapas dan tanah yang muncrat. Andika mundur sepuluh tindak untuk melihat apa yang terjadi.
"Gila!" desisnya tertahan.
Ular besar kuning itu tetap menyerang dengan kepala masih utuh! Belum lagi Andika mengerti apa yang terjadi, mendadak mulut ular besar itu terbuka, menampakkan deretan gigi runcing yang siap mencabik-cabik tubuh Andika. Dari sana, menyembur kabut warna kuning, menderu ke arah Andika! "Sinting!" maki pemuda sakti itu sambil mengibaskan kedua tangannya, mencoba mengusir gumpalan kabut yang keluar dari mulut besar itu terus menerus. Tetapi semakin dikebutkan kedua tangannya, semakin banyak kabut kuning panas itu.
Bergumpal, bergulung dan menderu ke arahnya.
"Ular buduk!" geramnya melompat ke belakang. Dan ketika hinggap sepuluh tombak di antara bungabunga warna warni, di tangannya sudah tergenggam kain pusaka bercorak catur.
Bersamaan kabut kuning menderu lagi ke arahnya. Andika mengebutkan kain pusaka warisan Ki Saptacakra. Suara bagai ribuan tawon marah mendengung, memenuhi taman itu.
Beeet! Wussss! Bukan hanya gumpalan kabut kuning itu yang pecah, bunga-bunga yang tumbuh pun terpapas habis, beterbangan, terkena besarnya angin yang menderu. Melihat kesempatan, Andika mengempos tubuhnya, menembus pecahan kabut kuning itu sambil mengebutkan kain pusakanya kembali.
Wusss! Pyaaarr! Kain pusaka yang dikebutkannya berhasil dihindari ular besar itu dengan cara meliukkan tubuhnya. Menyusul ekornya menggebah dahsyat.
Andika melompat dan diiringi teriakan mengguntur, kembali dikibaskan kain pusakanya. Menghantam kepala ular itu. Telak. Suara raungan membahana, diiringi dengungan bagai ribuan tawon marah yang ditimbulkan oleh kebutan kain bercorak catur.
Begitu dahsyatnya hingga debu-debu tebal menyelimuti tempat di mana ular besar tadi berada.
Menghalangi pandangan Andika yang bersiap dengan mata memicing. Bila asap hitam itu lenyap.
Andika bersiap untuk menghantamkan kain pusakanya lagi.
Akan tetapi, dari picingan mata menunggu, justru membelalak lebar ketika tak lagi melihat ular besar itu di hadapannya. Serentak Andika memutar tubuhnya, menghamparkan pandangan pada seluruh tempat.
"Sinting! Ke mana ular besar sialan itu"!"serunya seraya melompat ke depan. Memperhatikan sekelilingnya. Disampirkan kembali kain bercorak catur ke lehernya.
"Makin besar dugaanku kalau ular itu ular jejadian belaka! Hhh! Tunggul Manik, tak akan kubiarkan kau meneruskan permainan busukmu ini!"

***

«¦¦¦¦[ 5 ]¦¦¦¦»

Di ruangan yang tersembunyi, Tunggul Manik menggeram hebat menyaksikan ilmu sihirnya berhasil ditumbangkan oleh Pendekar Slebor dari dalam wadah berisi cairan kuning. Matanya terbelalak tak percaya melihat ular besar ciptaannya menjadi asap.
"Keparat!" makinya dengan kedua tangan mengepal keras, hingga otot-otot tangannya menyembul. Rahangnya dikertakkan dengan mata melotot gusar.
"Setan alas! Pemuda itu ternyata tidak hanya memiliki kesaktian tinggi, tetapi otaknya sangat cerdik! Ketabahannya menjadi jaminan dia akan mampu menghadapi segala rintangan! Hhh! Ternyata ilmu sihirku tak mampu menghadapi kain bercorak catur itu! Ada kekuatan apa yang tersembunyi pada kain bercorak catur itu" Ingin kulihat kehebatannya lebih lanjut!" Diperhatikannya Pendekar Slebor yang melesat ke kiri dari taman yang kini berantakan.
"Tak akan mudah menghentikan permainan yang kuciptakan ini, Pendekar Slebor! Dalam tempo yang singkat, Rimba persilatan akan kehilangan tokohtokoh kelas atasnya! Setelah semua ini berhasil, berarti ilmuku telah sempurna. Tibalah saatnya bagiku untuk muncul di dunia ramai! Bukan hanya mengirim anak buahku untuk menjajaki rimba persilatan. Tetapi, diriku sendiri yang akan muncul dan akan kubuat kacau rimba persilatan dengan menculik dan membunuh para tokohnya!" Tawa keras mengumandang di ruangan bau busuk itu.
"Hhhh! Memasuki lorong kelima, kau akan menghadapi sepak terjang anak buahku yang untuk sementara ini masih kutahan keberadaan mereka, Pendekar Slebor! Sementara, kau masih harus mencari gadis yang bernama Suci itu! Sebaiknya, kulihat keadaan Sepasang Dewa Gurun Pasir dan Iblis Tambang. Sudah saatnya mereka untuk siuman." Mulut Tunggul Manik berkomat-kamit kembali.
Tangan kanannya dikatupkan di dada. Lalu perlahan sekali tangan kanannya bagai mengambil asap dupa dari wadah yang menyala. Diarahkannya pada wadah berisi air kuning.
Sesaat kemudian, dia telah melihat apa yang diinginkannya....

****

Raka Gunarsa menggeliat pelan. Kepalanya terasa pusing sekali dengan mata yang nyeri.
Tubuhnya terasa pegal. Lamat disertai keluhan, lelaki dari Sepasang Dewa Gurun Pasir membuka sepasang matanya.
Mata yang tadi sulit dibuka dan menimbulkan rasa nyeri, terbelalak begitu melihat sekelilingnya Sebuah kehampaan bagai merasuki perasaannya "Di mana ini?" desisnya berusaha berdiri. bagai orang baru bangun dari tidur selama bertahuntahun, dia memutar tubuhnya melihat sekeliling.
"Rasanya, aku seperti berada dalam sebuah ruangan.
Terkurung rapat!" desisnya.
"Keparat! Ini tantangan buat Sepasang Dewa Gurun Pasir." Tak sengaja kakinya menyentuh satu sosok tubuh di bawahnya.
"Ida Ayu Mantri," desisnya.
Tertegun dan terburu-buru dengan kecemasan menyelinap di hati, dibangunkannya kekasihnya yang tak sengaja tersentuh kakinya tadi.
Ida Ayu Mantri terbangun dengan kepala berpendar pusing. Keluhannya terdengar pelan sambil memegang kepalanya dengan tangan kanan.
"Di manakah kita berada sekarang ini, Raka?" tanyanya pelan, menyadari yang membangun kannya kekasihnya. Wajah cantiknya sedikit memucat.
"Aku tidak tahu. Yang kuingat, ada asap tebal yang menyelimuti Iblis Tambang. Lalu mengurung kita Selebihnya kita pingsan."
"Oh! Kepalaku sakit sekali!"
"Alirkan tenaga dalammu. Ida. Dengan cara begitu, rasa sakit di kepala dan pegal di tubuhmu akan menghilang " Ida Ayu Mantri melakukan petunjuk kekasihnya.
Sesaat dirasakan tubuhbta menjadi segar kembali.
"Mana manusia keparat yang berjuluk Iblis Tambang itu" Jangan-jangan dia yang melakukan semua ini," tebak Ida Ayu Mantri.
Raka Gunarsa memiringkan matanya menatap sekitar. Membuktikan kebenaran kata kata kekasihnya tentang Iblis Tambang Pada saat yang sama, Iblis Tambang juga sudah siuman. Terbelalak diperhatikan sekelilingnya.
Empat dinding mengurungnya dengan langit-langit tinggi- Belum lagi disadari di mana dia berada, satu serangan yang dilakukan oleh Raka Gunarsa sudah menderu ke arahnya. Sigap meskipun kesadarannya belum pulih benar, Iblis Tambang menggerakkan tubuhnya. Wusssh! Cepat dikirimkan satu tendangan ke samping, memutar cepat. Raka Gunarsa menekuk sikunya.
Plak! "Katakan, apakah semua ini ulahmu, ataukah Pendekar Slebor yang kau sebutkan waktu itu yang melakukannya, hah"!" bentak Raka Gunarsa.
Iblis Tambang tak segera menjawab. Kalau dia yang melakukannya, sudah tentu dia tak merasa keheranan. Kalaupun Pendekar Slebor yang melakukannya, sepanjang ingatannya Pendekar Slebor tak memiliki ajian semacam gumpalan asap yang membuat orang pingsan.
Mendapati lawan tak menjawab pertanyaannya.
Raka Gunarsa makin meradang. Dibantu oleh kekasihnya, keduanya melabrak Iblis Tambang bertubi-tubi. Ruangan itu bergetar hebat. Beberapa kali dinding yang melingkupi mereka bagai mau ambruk.
Menghadapi Sepasang Dewa Gurun Pasir, Iblis Tumbang memang tak mampu bertahan lama.
Terutama, karena keseimbangan tubuhnya belum pulih benar, sementara kedua lawannya telah memulihkan kondisi tubuh mereka.
Otak lelaki bersenjata tambang besar itu yang licik berputar. Dia sengaja menghindari setiap serangan yang datang memepet ke tembok. Berkelit lincah dengan sesekali membalas. Serangan yang dilancarkan kedua lawannya berkali-kali menghantam dinding di belakangnya.
Inilah yang memang ditunggu Iblis Tambang.
Sengaja dia tak menghindar kebagian lain. Tetap di belakang dinding yang terus terkena hajaran dua lawannya. Akibatnya, dinding itu pun akhirnya jebol. Bersamaan itu, dengan pencalan satu kaki sambil mengibaskan tangannya mengirimkan satu pukulan ke depan, sekaligus menahan serangan Ida Ayu Mantri, Iblis Tambang melompati dinding jebol itu, dan berkelebat meninggalkan Sepasang Dewa Gurun Pasir yang geram bukan main.
"Kelicikan bangsat itu sungguh mengagumkan!", geram Raka Gunarsa dengan rahang terkatup.
"Biar bagaimanapun juga, manusia itu harus mampus!"
"Tunggu. Raka!"seru Ida Ayu Mantri ketika Raka Gunarsa hendak melompati dinding jebol itu..
Raka Gunarsa menoleh. Pancarannya sedikit geram karena ditahan seperti itu. Berarti, hanya membuang waktu dan membiarkan Iblis Tambang lolos.
"Ada apa?"
"Tidakkah kau merasa heran dengan tempat ini?" tanya Ida Ayu Mantri. Sekali melompat dia telah melewati dinding jebol itu.
Raka Gunarsa menyusul. Pandangannya mengedar melihat lorong di depan dan di belakangnya.
"Peduli setan dengan tempat ini! Sekalipun tempat ini tempat berdiamnya Raja Iblis, aku tak peduli! Manusia keparat berjuluk Iblis Tambang itu harus mampus! Aku tak sabar untuk melakukannya dan menantang Pendekar Slebor!"
"Tenang, Raka. Kau lihatlah dulu sekelilingmu.
Angin dingin berhembus kencang. Lorong-lorong ini sangat panjang. Apakah kau tidak merasakan keanehan di sini?" Raka Gunarsa menurunkan sedikit kemarahannya. Setelah menoleh ke sana-kemari dia menatap kekasihnya dan menganggukkan kepalanya.
"Kau benar, Ida. Tak ada lubang angin di sekitar sini. Tetapi angin begitu kencang menusuk."
"Apakah kita berada di tepi pantai?"
"Tak ada debur ombak yang kudengar."
"Lalu tempat apa ini?" Raka Gunarsa tak menyahuti kata-kata kekasihnya. Keheranannya mulai membulat menyadari tempat yang asing ini. Ditatapnya lagi Ida Ayu Mantri yang sedang menatapnya, menunggu jawaban atas pertanyaannya.
"Kita tak bisa menebak begitu saja. Bahkan untuk mengetahui tempat ini, penyelidikan yang akan kita lakukan belum tentu berhasil. Tetapi sebaiknya, kita memang harus menyelidiki tempat ini, Ida" lda Ayu Mantri tak banyak bertanya. Menyepakati kata-kata kekasihnya, dia menganggukkan kepala "Kita mulai, Raka!" Keduanya pun berkelebat ke arah Iblis Tambang melarikan diri.

****

Kakek Buruk Rupa menghentikan langkahnya di sebuah tempat yang mirip pendopo. Lelaki yang tak ketahuan mana hidung dan mana mulut itu bergumam tak jelas. Tubuh bongkoknya berputar melihat sekelilingnya. Angin dingin menghembusi wajahnya yang tertutup rambutnya yang putih panjang.
"Sontoloyo! Tempat apakah ini" Seumur hidupku, baru sekarang aku melihat tempat semacam ini." Lalu dia menggerutu tak jelas.
"Perginya Pendekar Slebor yang membawa cucuku masih membingungkan lebih-lebih lagi bila memikirkan Permata Sakti yang kuberikan pada Pendekar Slebor. Apakah dia bisa memecahkan rahasia Permata Sakti itu" Brengsek! Mengapa aku bisa berada di sini?" Dari balik rambut putih panjang yang menutupi wajahnya, sepasang mata Kakek Buruk Rupa berkeliling "Ke mana pula Camar Hitam pergi" Pedulilah dengan wanita serakah itu! Aku harus mencari jalan keluar dari sini'" Bersamaan angin menghembus terdengar suara dikawal tawa membahana.
"Selamat datang di Pulau Seribu Setan, Kakek Buruk Rupa!" Di balik rambut pulih panjang yang menutupi wajahnya, Kakek Buruk Rupa mengerutkan kening.
"Suara itu seperti datang dari sampingku. Begitu dekat. Tetapi, bagai terseret angin hingga menggema di seluruh tempat aneh ini. Pulau Seribu Setan.
Apakah aku memang berada di Pulau Seribu Setan, sebuah pulau yang tak diketahui di mana berada," membatin si kakek. Lalu dia terkekeh-kekeh, "Wah, wah... kalau begitu kuucapkan terima kasih atas sambutanmu. Ngomong-ngomong, apakah di Pulau Seribu Setan ini terdapat delman" Aku mau pulang! Mau buang air besar!" Suara keras itu menggeram.
"Jangan sesumbar di sini, Orang Tua! Kau tak lebih dari tikus kurus yang terjebak di sarang kucing lapar!"
"Atau... bukan kau sendiri yang semacam tikus kurus?" balas Kakek Buruk Rupa sambil terbahakbahak.
"Orang tua keparat!" makian keras terdengar kembali.
"Jangan menjual lagak di hadapanku! Akulah Tunggul Manik, Majikan Pulau Seribu Setan!"
"Wah! Kalau begitu, kau boleh memanggilku dengan sebutan Majikan Pulau Bidadari! Itu terjadi karena ketampanan wajahku dan selalu dikerubungi para bidadari!"
"Apakah kau akan sesumbar lagi bila mengetahui cucumu dan Permata Sakti itu ada di tanganku, hah?" suara keras itu bertalu lagi diiringi kegeraman Kakek Buruk Rupa menghentikan tawa setannya.
"Cucuku" Oh! Apakah cucuku berada di sini pula" Kurang ajar! Aku ingat sekarang, ketika asap tebal menggulung tubuhku. Pasti asap hitam tebal itu yang membawaku ke sini. Manusia keparat yang bernama Tunggul Manik yang melakukan semua ini.
Dan Permata Sakti" Bukankah permata itu berada di tangan Pendekar Slebor" Kalau begitu, pemuda dari Lembah Kutukan itu pasti berada di sini juga!"
"Mengapa kau diam, hah" Apakah telingamu sudah semakin budek?" Kakek Buruk Rupa terkekeh.
"Bagaimana dengan kau sendiri" Apakah kau malu unjuk diri di hadapanku" Jangan-jangan, wajahmu lebih jelek dari wajah tampanku ini!" Bentakan dibaluri geram tinggi terdengar dahsyat.
"Jangan menjadi badut di sini! Kakek Buruk Rupa, bila kau menginginkan cucumu dan Permata Sakti itu, kau harus mengikuti perintahku!"
"Main perintah! Kau seperti orang-orang kotapraja saja! Biar kau yang kuperintahkan! Ayo, keluar! Aku ingin lihat apakah kau sebangsa kodok bantet apakah tikus got?"
"Keparat! Sesumbarmu terlewat besar, Orang Tua! Dengar baik baik aku akan memberikan sebuah permainan yang pasti sangat kau sukai!"
"Aku tak pernah suka bermain-main!!" kata Ka kek Buruk Rupa makin ngawur. Dia memang sengaja memancing kemarahan orang dibalik suara keras itu untuk keluar "Apalagi, untuk menghadapi manusia pengecut seperti kau ini"'"
"Diam! Aku ingin kau dengan Pendekar Slebor bertarung sampai mampus! Bila kau tidak melakukannya, maka cucumu akan mati di tanganku!"
"Keparat itu tidak main-main dalam ancamannya," batin si kakek.
"Bagaimana aku tahu cucuku masih dalam keadaan segar bugar, hah?"
"Dia aman di tanganku. Saat ini, Pendekar Slebor sedang berusaha mencari cucumu karena padanya telah kusuguhkan sebuah permainan! Dan untukmu, bertarung sampai mampus dengan Pendekar Slebor! Hadiahnya, cucumu itu!"
"Pendekar Slebor pasti akan menemukan cucuku!"
"Kita lihat nanti! Hahahaha!" suara tawa keras itu terdengar bertalu-talu. Selebihnya sepi melanda kembali. Angin dingin yang tadi bagai tertahan berhembus, kini bertiup lagi. Lebih dingin dari sebelumnya. Kakek Buruk Kupa membatin, "Aku yakin, ini hanya sebuah permainan sihir. Nama Pulau Seribu Setan memang kudengar. Tetapi setahuku, tak seorang pun yang tinggal di sana. Bahkan pulau itu bagai tertutup kabut, tak ada yang pernah menemukannya. Kalau Tunggul Manik mengatakan semua ini, berarti dia bukan orang sembarangan.
Hhhh! Mau apa sebenarnya manusia keparat itu berbuat seperti ini" Bila cucuku disakiti, akan kuhancurkan tempat ini! Peduli setan apakah aku bisa keluar dan sini atau tidak!"

***

«¦¦¦¦[ 6 ]¦¦¦¦»

Apa yang dialami oleh Pendekar Slebor memang sesuatu yang aneh. Pulau Seribu Setan sepenuhnya dikuasai oleh ilmu sihir Tunggul Manik. Beberapa kali Andika merasa lorong panjang yang setiap kali dimasukinya seolah buntu. Dan ketika dia berbalik ke arah jalan semula, ada bentangan lorong panjang kembali.
"Astaga! Teka-teki lorong-lorong ini saja begitu memusingkan kepalaku. Setiap kali kntelusuri, selalu bagaikan buntu. Tetapi setelah dekat masih terdapat bentangan lorong lainnya. Dan bila aku kembali ke tempat semula, rasanya begitu panjang.
Kurang ajar! Di mana aku bisa menemukan cucu Kakek Buruk Rupa itu?" hatinya agak galau dibaluri kemarahan. Belim lagi Andika melakukan apa-apa, dirasakan satu keras ke arahnya. Cepat dia memutar tubuh menghindar. Blaaar! Angin dahsyat itu menghajar tembok hingga sempal.. Ketika Andikamenoleh, dilihatnya Iblis Tambang telah berdiri dengan wajah dingin.
"Astaga! Rupanya manusia dajal ini pun tiba disini pula!" desis Andika "Kucari di alam sana tak ku temukan! Kini ada di hadapanku! Bagus! Pendekar Slebor, serahkan Permata Sakti biru itu kepadaku?" Membentak Iblis Tambang dengan tatapan dingin.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Ngomongmu gaya juga! Apa kau belum puas bila kuhajar kembali" Hei, ke mana perginya tanganmu yang satu itu" Kau jual ya sebagai pengganti tambangmu?" Membesi wajah Iblis Tambang. Urat wajahnya bagai tertarik keluar, menimbun daging kecil di bawah matanya, hingga kedua matanya menyipit.
"Jangan jual lagak di hadapanku! Kali ini kau akan mampus di tanganku, Pendekar Slebor!" bersamaan dengan itu, Iblis Tambang menderu dahsyat.
Dengan mempergunakan tangan kanannya, senjata tambangnya saat dilepaskan ke arah Andika, menimbulkan suara gemuruh keras.
Andika yang sudah tahu kehebatan senjata aneh itu, mencoba membuang tubuh ke samping. Namun belum lagi hinggap di tanah, kaki Iblis Tambang sudah memapas kedua kakinya. Sigap Andika melompat dan meluruk dengan satu jotosan ke wajah Iblis Tambang.
Tetapi, senjata tambang yang berat itu berputar hingga menimbulkan desingan bak ratusan anak panah diluncurkan dari busurnya. Membuat Andika urung melakukan maksudnya.
Satu tendangan mengenai perutnya, hingga dia terjajar ke belakang.
"Boleh juga!" desisnya sambil menyeringai. lalu sambungnya dalam hati, "Kecepatan tambang itu tak jauh berbeda bila dia menggunakan kedua tangan.
Tetapi, tenaga yang keluar tak sebesar bila dia mempergunakan kedua tangannya. Berarti, kelemahannya jelas berada di tangan kanan."
"Kau akan melihat kelebihanku yang lain!" Andika yang sedang berpacu dengan waktu untuk menemukan cucu Kakek Buruk Rupa, tak mau bertindak tanggung. Lagi pula, dia sudah memperkirakan kelemahan ilmu senjata tambang lawan. Sebelum Iblis Tambang menyerangnya kembali, dia sudah mendahului.
Melalui pencalan satu kaki, tubuhnya meluruk ke depan. Namun, lagi-lagi bersamaan tubuhnya menyerang, tambang besar itu menderu. Membuat Andika kembali urung. Dan kali ini dia berusaha menghindar sekaligus menemukan sela untuk melakukan serangan.
Sekali pun senjata maut Iblis Tambang sangat hebat, mengeluarkan suara menderu-deru, namun dia tidak mampu menandingi kegesitan Pendekar Slebor. Justru berkali-kali manusia dajal ini terkejut karena serangan Andika selalu mengarah pada tangan kanannya "Keparat! Dia mencecar tangan kananku terus! Setan alas!! Geraqkanku jadi semakin susah!!" Iblis Tambang keluarkan keringat dingin ketika pada jurus selanjutnya dia bagai tak mampu bertahan lagi. Dalam keadaan kedua tangannya utuh, dia sungguh sulit mengalahkan Andika. Lebihlebih kini hanya satu tangannya yang berfungsi.
Andika sendiri memang tak mau membuang waktu lama. Beberapa kali serangannya yang dilancarkan tiba-tiba membuat Iblis Tambang memekik. Bahkan pakaian Iblis Tambang di bagian dada, sobek terpapas tangan kanannya.
Iblis Tambang melompat mundur dengan wajah pucat. Sebaliknya, Andika tertawa-tawa.
"Kau tidak usah tegang! Pokoknya, kau akan pergi ke akhirat dengan cara yang paling menyakitkan!" Mendidih darah Iblis Tambang mendengar ejekan itu. Dilipatgandakan tenaga dalamnya dan diputar senjata tambangnya lebih hebat. Kali ini, seluruh tubuh Andika terbungkus serangan lawan yang gencar dan bertubi-tubi.
Justru Andika sengaja membiarkannya. Karena, dengan cara begitu secara tidak langsung dia telah menguras tenaga Iblis Tambang.
Apa yang diduga berikutnya memang benar.
Karena lama kelamaan serangan Iblis Tambang mengendur. Mukanya merah mendapati tak satu serangannya pun yang mengenai sasaran. Hal ini membuat kemarahannya semakin menjadi.
Namun Andika yang sudah menemukan bentuk penyerangannya, dengan mudah menyarangkan jotosan dan tendangannya. Berkali-kali, hingga membuat Iblis Tambang menekan erat perutnya.
Bagi Andika, manusia seperti Iblis Tambang memang tak perlu dikasihani. Akan diberinya pelajaran pada lelaki dajal itu. Maka, dengan cepat dan mengalirkan kembali tenaga 'inti petir'-nya, Andika menderu, siap memapas tangan kanan Iblis Tambang. Pikirnya, tanpa kedua tangan, Iblis Tambang hanyalah menjadi orang pesakitan belaka.
Namun belum lagi Andika melakukan hal itu, satu sosok biru menderu cepat ke arahnya. Memapaki serangannya. Plak! Cepat Andika melenting ke belakang tiga tombak.
Begitu hinggap kembali, dilihatnya dua sosok tubuh berbaju biru sedang menatap dingin ke arahnya

****

Sebelum Andika berkata apa-apa, Iblis Tambang yang merasa selamat dari sambaran maut Andika, cepat bergulingan mendekati sepasang anak manusia yang memasang wajah dingin.
"Raka Gunarsa!"serunya pada yang laki-laki, penuh dengan sikap menjilat Apalagi mengingat dirinya telah diselamatkan dari serangan Pendekar Slebor. Pandangannya berkilat kilat penuh kelicikan.
Orang yang baru datang itu bukan lain adalah Sepasang Dewa Gurun Pasir.
"Bila kau ingin mengetahui orang yang berjuluk Pendekar Slebor, pemuda itulah orangnya!" Pada saat Iblis Tambang mendekatinya, Raka Gunarsa hendak menghantamkan tangannya pada lelaki itu,menjadi urung ketika mendengar keterangannya. Pandangan matanya lurus tek berkesip pada Andika yang tengah mengira-ngira siapakah kedua orang ini. Bila melihat cara memapaki serangannya pada Iblis Tambang tadi, jelas-jelas lelaki yang dipanggil dengan nama Raka Gunarsa bukan orang sembarangan. Benturan lengannya barusan cukup membuat tangannya bergetar. Nampaknya kemampuan yang sama pun dimiliki oleh wanita yang berdiri dengan dua tangan terlipat di dada di samping lelaki itu. Keduanya memasang wajah dingin.
"Hhh! Pemuda masih bau kencur rupanya yang kau maksudkan, Iblis Tambang!" seru Raka Gunarsa.
Keinginannya untuk diakui sebagai orang tak terkalahkan, membuat kepongahan merambati wajahnya. Andika masih terdiam, sementara otaknya terus berpikir. Apakah kedua manusia itu kambratnya Iblis Tambang" Tetapi bila melihat sikap Iblis Tambang yang seperti orang pesakitan itu, jelas-jelas justru lelaki jelek itu tunduk pada keduanya Raka Gunarsa berkata lagi, berat dan menunjukkan tenaga dalam pada suaranya, "Pendekar Slebor! Cukup membuat keder julukan itu! Tetapi tidak bagi kami, Sepasang Dewa Gurun Pasir yang ingin menjajal kemampuan!" Kalau sejak tadi Andika terdiam memperhatikan, sekarang terdengar dengusannya.
"Orang-orang yang tak pernah puas dengan apa yang dicapainya! Hhh! Sepasang Dewa Gurun Pasir... bila kau ingin menjajal kemampuan, bukan saat yang tepat!"
"Peduli setan!" maki Raka Gunarsa dengan rahang terkatup rapat. Matanya membiaskan kemarahan yang luar biasa.
Melayani omong kosong seperti ini, hanyalah mengundang diri masuk ke sebuah kebodohan Andika tidak pernah tertarik untuk meladeni orang orang yang terlalu tidak puas dengan apa yang mereka miliki. Dan selalu ingin diakui sebagai yang terbesar. Apalagi saat ini. Andika.merasa berpacu dengan waktu untuk menemukan Suci.
Dia berkata dingin, "Sebaiknya... bila memang kau bermaksud menantangku, kita tunda untuk beberapa saat!" Raka Gunarsa terbahak-bahak. Dia menoleh pada Iblis Tambang, lalu berkata dengan nada melecehkan, "Kau dengar sendiri, bukan" Orang yang kau tunjuk sebagai orang yang mampu memuaskan keinginan kami, ternyata tak lebih dari kambing congek belaka! Mana keberanian yang kau gembargemborkan itu, hah" Ayam sayur kau berikan pada kami!" Bila menuruti kata hatinya, Andika akan langsung menampar mulut kurang ajar itu. Tatapannya dialihkan pada Iblis Tambang. Otaknya segera berpikir, "Manusia keparat itu rupanya sengaja menjebakku. Hhh! Bila melihat sikapnya, aku yakin kalau Iblis Tumbang bukan apa apa dibandingkan Sepasang Dewa Gurun Pasir. Lengan kirinya yang kutung pasti tanda mata dari Sepasang Dewa Gurun Pasir. Kalau menuruti kata hatiku, akan kugebrak keduanya. Tetapi ini bukanlah saat yang tepat, mengingat aku masih harus menemukan di mana suci berada." Lalu dia berseru kepada Raka Gunarsa, "Kesombongan Sepasang Dewa Gurun Pasir sebenarnya memaksaku untuk menerima tantangan kalian! Tetapi, bila kalian merasa diri nomor satu...
coba tunjukkan jalan keluar dari Pulau Seribu Setan."
"Jangan berdalih! Bila kau takut katakan terus terang hingga kami rela menahan diri tidak langsung membunuhmu!" Ida Avu Mantri yang berseru. Andika tersenyum dalam hati melihat wajah cantik di hadapannya.
"Sayangnya, wanita itu pun berhati kejam." Lalu katanya dengan ketenangan luar biasa, "Takut hanyalah setipis kulit ari. Rasa takutlah yang membuat setiap manusia gamang dalam melakukan tindakan" 'Banyak omong!" geram Ida Ayu Mantri.
"Rasanya sulit melepaskan diri dari orang-orang celaka yang suka mengumbar kepandaian," batin Andika.
"Sebaiknya, kucoba saja untuk melunakkan hati mereka." Dengan pandangan tetap tenang Andika berkata, "Untuk saat ini, kuakui kalian memang hebat meskipun aku tidak tahu apakah kalian memang pantas mendapat pujian seperti itu.
Sebaiknya...."
"Setan alas! Kau hanya membuang waktu, Pendekar Slebor! Tanpa kau layani keinginan kami, kau tetap akan mampus!" Dikawal dengan geraman tinggi, tubuh Ida Ayu Mantri berkelebat. Saking cepatnya yang nampak hanyalah bayangan biru belaka. Tak ada jalan lain bagi Andika selain memapaki serangan itu. Dia sengaja tak beranjak dari tempatnya, semata untuk menjajaki tenaga dalam lawan. Begitu jotosan Ida Ayu Mantri siap menghantam wajahnya, Andika mengangkat sebelah tangannya dengan kibasan cepat.
Des! Andika surut tiga tindak ke belakang ketika dirasakan tangannya bergetar.
"Bukan buatan! Tenaga dalamnya cukup tinggi! Terpaksa aku harus melayani orang orang ini dulu!" Ida Ayu Mantri sendiri saat ini sedang memular tubuhnya di udara Begitu serangan pertamanya di papaki Andika, dia segera susulkan serangan kedua.
Tendangan kaki kanan dan kiri dilepaskan bersamaan tubuhnya berputar.
Kembali Andika menangkis serangan serempak itu. Tetapi kali ini disusul dengan satu serangan balasan. Kakinya menyepak ke atas. Ida Ayu Mantri terkejut dan terburu-buru membuat silang kedua tangannya ke bawah.
Des! Seharusnya selagi lawan dalam keadaan terjepit seperti itu, Andika bisa segera menyusulkan serangannya. Tetapi Andika yang memang enggan untuk melayani manusia-manusia yang berkeinginan seperti Sepasang Dewa Gurun Pasir justru mundur dua tindak.
Satu teriakan keras terdengar. Raka Gunarsa sudah menderu dahsyat. Di samping kemarahannya dia juga jengkel melihat lawan seperti memberi angin pada kekasihnya. Dia tahu kalau lawan bisa menjatuhkan kekasihnva saat itu juga.
Berarti ini tantangan! Tidak tanggung lagi. Saat menyerang Raka Gunarsa melipatgandakan tenaga dalamnya. Mendapati perubahan angin serangan yang datang.
Andika mencelat ke samping. Tetaoi kibasan kaki kiri Raka Gunarsa, membuatnya harus melompat.
Bersamaan dengan itu, Ida Ayu Mantri yang tak tahu kalau Andika sengaja melepaskannya, menyepak ke muka.
Cepat Andika memutar tubuhnya. Dirasakan pula perubahan angin serangan Idu Ayu Mantri.
"Keduanya tidak main-main rupanya" dengus nya yang mau tak mau harus menghindar dan membalas. Dua gempuran dahsyat datang sekaligus. Beruntun dan bertubi-tubi. Membuat Andika menjadi kacau pikirannya. Di satu segi, dia merasa harus memburu waktu, sementara di segi lain, menghadapi dua manusia celaka ini akan memakan waktu. Dilihatnya Iblis Tambang yang menyeringai penuh kemenangan. Dia berseru, "Raka Gunarsa! Pendekar Slebor telah mencuri Permata Sakti milikku!"
"Persetan dengan ucapanmu!" bentak Raka Gunarsa dan meningkatkan kecepatannya. Begitu pula dengan Ida Ayu Mantri. Keduanya telah mempergunakan ajian andalan mereka 'Gabungan Dua Dewa'. Hingga setiap kali keduanya melancarkan serangan, terdengar suara menggebah keras. Andika sendiri akhirnya mulai turun tangan pula.
Kalau tadi serangannya tidak begitu diarahkan, kali ini dia tak mau bersikap tanggung. Diputar tubuhnya ke samping, menghindari serangan dua lawan sekaligus.
Bersamaan dengan itu, Andika merunduk.
Kakinya menendang keras. Mengenai kedua lawannya yang terhenyak dan segera bangkit kembali. Menyerang dengan kemarahan berlipat ganda. Melihat Sepasang Dewa Gurun Pasir mulai terdesak, Iblis Tambang memperlihatkan wajah aslinya.
"Keparat! Ternyata dua manusia ini tak mampu menghadapi Pendekar Slebor! Bisa aku yang celaka!" Selagi Iblis Tambang ketakutan seperti itu, Pendekar Slebor sedang melancarkan serangannya. Tenaga 'inti petir' sudah dipergunakan. Dengan mengandalkan ketepatannya yang kesohor, dia menyodok masuk dan memukul dua kali.
Des! Des! Raka Gunarsa terpelanting dan terkapar. Sementara kekasihnya terbanting dan berguling sampai dua tombak. Melihat hal itu, wajah Iblis Tambang makin memucat Walau tubuh Sepasang Dewa Gurun Pasir terasa sakit tak karuan dengan jantung berdebar dan darah mengalir kacau, keduanya masih bisa berdiri.
Mengalirkan hawa murni ke dada yang bagai remuk.
"Setan alas!" maki Raka Gunarsa.
"Jangan berbangga dulu dengan hasil perbuatanmu itu! Kau akan menerima ganjarannya!" Andika yang sudah mundur lima tindak menggeleng-gelengkan kepala.
"Manusia-manusia yang tak tahu diuntung!" dengusnya dalam hati. Dengan mata memicing yang memancarkan kegusaran dia berkata, "Sebaiknya, lupakan semua ini! Karena, di dunia ini tak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kalau pun merasa lebih tinggi, masih ada yang lebih tinggi lagi begitu seterusnya. Kuakui, kehebatan Sepasang Dewa Gurun Pasir sangat tinggi. Sebaiknya. kalian berusaha membebaskan diri d Pulau Seribu Setan ini." Sehabis berkata bergitu Andika berkelebat cepat meninggalkan mereka yang tertegun mendengar kata-kata Andika Perasaan tidak enak tiba-tiba muncul.
"Raka Gunarsa. baru kali ini kutemui seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi dan hati bijak seperti dia," kata Ida Ayu Mantri.
Raka Gunarsa menganggukkan kepalanya "Kau benar, Ida. Tak kusangka, kalau orang yang berjuluk Pendekar Slebor itu masih sedemikian muda. Kesaktiannya begitu tinggi Aku jadi malu mengingat, kalau dia sebenarnya mampu menghabisi kita. Seperti yang kulihat saat kau pertama kali menyerangnya, Ida." Seketika Ida Ayu Mantri menoleh dengan kening berkerut.
"Apa maksudmu, Raka?"
"Kulihat, tadi pun Pendekar Slebor membiarkan kau bebas. Padahal, dia bisa meneruskan serangannya." Hati Ida Ayu Mantri menjadi bergetar tak karuan.
Perasaannya yang menduga kalau Pendekar Slebor tak berani menyerangnya tadi pupus perlahan.
"Benarkah yang kau katakan itu?" Raka Gunarsa mengangguk pasti.
"Gila! Sungguh gila!" rutuk Ida Ayu Mantri tak karuan.
"Aku jadi malu dengan sikap kita selama ini, Ida...."
"Bodoh! Mengapa hanya karena ucapan Pendekar Slebor saja kalian seperti lumpuh?" bentakan itu terdengar keras. Iblis Tambang yang tidak suka melihat Sepasang Dewa Gurun Pasir bagai pasrah dan melupakan keinginan mereka, menjadi geram.
Terutama mengingat Sepasang Dewa Gurun Pasir tak mampu menjatuhkan Pendekar Slebor. Padahal, dia menginginkan Permata Sakti yang disangkanya masih berada pada Pendekar Slebor.
Kalau sebelumnya Raka Gunarsa sudah jengkel terhadap Iblis Tambang, kali ini kejengkelannya makin menjadi. Dia berbalik dengan tatapan gusar.
"Jangan banyak bacot!" sentaknya penuh kegeraman.
"Justru kau yang harus mengganti malu kami!"
"Setan alasi Dengan cara seperti itu, kalian justru menunjukkan kepengecutan kalian sendiri! Kalian tak pantas disebut sebagai... eeeittt!"
"Kusumpal mulutmu, Keparat!" Ida Ayu Mantri sudah menerjang mendahului kekasihnya.
Iblis Tambang terperanjat. Dia berusaha menghindar. Tetapi, Raka Gunarsa lebih cepat menghantam dadanya hingga tubuhnya terhuyung ke belakang. Belum lagi keseimbangannya normal, Ida Ayu Mantri telah mengirimkan serangan selanjutnya.
Menyusul serangan Raka Gunarsa. Dalam tempo beberapa kejapan saja. Iblis Tambang sudah pingsan.

***

«¦¦¦¦[ 7 ]¦¦¦¦»

Pendekar Slebor kembari menghentikan larinya.
Dia benar-benar pusing, memikirkan di mana harus mencari Suci. Apalagi bila memikirkan jalan keluar dari bangunan aneh yang terus menerus berbentuk lorong. Bahkan terkadang Andika tidak yakin apakah lorong-lorong itu pernah dimasuki sebelumnya.
"Tuyul botak! Semuanya dinding hitam terus. Tak ada lagi taman seperti yang kujumpai sebelumnya! Sinting! Ilmu sihir milik Tunggul Manik memang sangat tinggi!" Dirabanya dinding di hadapannya, yang dalam setiap lorong selalu berwarna kehitaman itu.
Diketuk-ketuknya. Beberapa kali Andika mendengar suara menggema.
"Hmmm... di balik dinding ini aku seolah merasa ada tempat kosong." Untuk beberapa lama Andika terdiam, dan mengetuk kembali dinding-dinding itu.
Sampai kemudian dia bergumam, agak tidak jelas.
"Sejak pertama keluar dari tempatku disekap, aku selalu mengikuti setiap lorong yang di kanan kiri terdapat dinding panjang kehitaman ini. Bagaimana bila sekarang kutembus dinding-dinding ini" Apakah ada sesuatu di balik setiap dinding" Baiknya, kucoba saja untuk menembus dinding di hadapanku ini" Memutuskan seperti itu. Andika merangkum ujian 'Guntur Selaksa' di kedua tangannya. Lalu dihantamnya dinding di hadapannya.
Duaaarr! Dinding itu jebol dengan menimbulkan suara bak ombak menghantam karang di pantai. Ada cahaya redup di dalamnya. Andika tidak segera masuk, karena dikhawatirkan ada jebakan yang menantinya.
Hati-hati dilongokkan kepalanya melihat ruangan yang terang itu.
Ada sebatang besi di hadapannya. Ketika diarahkan pandangannya ke bawah, ada semacam sumur yang dalam sementara besi itu terus membujur ke bawah.
"Tempat apakah ini?" desisnya dengan kening berkerut. 'Adakah sesuatu yang bisa kujadikan patokan untuk menemukan Suci" Atau, hanya jebakan belaka" Sebaiknya, biar kucoba untuk masuk ke dalamnya." Dengan sekali lompat. Andika sudah melingkarkan kedua tangan dan kakinya pada batang besi itu. Dipejamkan kedua matanya untuk mengonsentrasikan diri. Dilipatgandakan tenaga dalamnya, siaga bila datang satu serangan. Setelah membulatkan tekad mulailah dia meluncur di batang besi itu, ke bawah.
Semakin ke bawah dirasakan angin begitu keras bertiup. Dan batang basi yang masih ke tempat semacam sumur, terus berlangsung. Entah berapa lama sudah berlalu. Yang dirasakan, sudah lama sekali dan bertambah dalam Mendadak saja pegangan pada besi itu terlepas.
Rupanya besi bulat itu sudah habis. Cepat Andika mengendalikan tubuhnya dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya.
Bruk! Ia terjatuh dengan pantat terduduk. Rupanya batas besi itu tidak terlalu jauh dengan dasar. Sigap dia berdiri dan meraba ke atas. Tangannya menggapai batas terakhir dari besi yang tadi dibuat sebagai luncuran.
"Edan! Kepalaku jadi pusing melihat semua ini?" dengusnya. Matanya mencoba tembusi kegelapan tempat.
"Apakah ini semacam lorong pula" Ataukah sebuah ruangan?" Mengandalkan ketajaman mata dan nalurinya, Pendekat Slebor melangkah ke samping kanan. Tak ada dinding yang tersentuh. Dilakukannya ke sebelah kiri. Lalu ke belakang.
"Hmmm... ini bukan semacam ruangan. Kalau pun ini sebuah lorong, pasti sangat lebar sekali.
Sebaiknya, aku melangkah terus ke depan." Mulai dilangkahkan kakinya dengan kesiagaan penuh. Semakin jauh melangkah, mulailah dilihatnya cahaya terang di hadapannya. Dan dia tiba di sebuah ruangan yang memancarkan bau sangat wangi sekali.
Tak ada suara apa pun yang terdengar. Bahkan angin pun seperti berhenti bertiup. Mendadak saja pandangannya terhalang kabut putih yang cukup tebal.
"Apa-apaan ini" Bagaimana tahu-tahu bisa ada kabut keparat di hadapanku?" Sesaat Andika berusaha menajamkan pandangannya dengan kesiagaan membesar. Batinnya mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi.
Benar saja. Begitu tatapannya membaik dan kabut putih itu menghilang, di hadapannya berdiri sepuluh orang laki-laki berpakaian hitam dengan destar merah. Masing-masing menunjukkan wajah garang. Dan di tangan mereka terdapat senjata parang tajam, berkilat-kilat tertimpa cahaya yang entah datang dari mana, menatap tak berkesip ke arah Andika.

****

"Kura-kura bau!" rutuk Andika sambil tak berkesip menatap sepuluh lelaki garang di hadapannya.
"Melihat penampilan mereka, jelas mereka adalah anggota Serikat Kuda Hitam.
Beberapa anggotanya pernah kuhajar di alam luar sana!" Sesaat kemudian, Andika membatin lagi, "Kampret! Kalau mereka adalah anak buah Tunggul Manik atau majikan Pulau Seribu Setan... mengapa justru mereka yang mengacau di rimba persilatan sementara Tunggul Manik berdiam diri di Pulau Seribu Setan ini'' Hanya satu jawaban, kalau Tunggul Manik tidak menghendaki dirinya untuk muncul di rimba persilatan lebih dulu. Dia mengirimkan anak buahnya ntuk melihat keaadan.
Gambaran tentang Tunggul Manik mulai jelas sekarang. Dia sengaja mengundangku atau mungkin ada lagi yang datang ke tempat ini untuk emnguji kesaktiannya. Setelah berhasil mengalahkan orang yang diundangnya kesini, dia akan muncul di rimba persilatan! Keparat! Tak akan kubiarkan semua itu berlangsung!" Sepuluh lelaki berwajah garang itu, maju satu tindak. Tak berkesip menatap Andika.
Salah seorang dari mereka yang mempunyai hidung bulat dan besar berkata geram, "Kau telah membunuh sejumlah kawan kami, Pendekar Slebor! Hal itu tak akan pernah kami maafkan sebelum melihatmu terkubur di Pulau Seribu Setan ini!"
"Lagi pula, siapa yang mau minta maaf?" sahut Andika seenaknya sambil menjulurkan lidah.
"Justru aku datang ke sini, buat mengemplang kepala kalian! Ayo, maju satu-satu! Berbaris, dan jangan berebut!" Sebagai jawaban atas tingkah Andika yang penuh ejekan, lima dari lelaki garang bercambang bauk itu, menderu seraya mengibaskan parang di tangan mereka. Wussshhh! Bersamaan dengan itu, Andika melompat kedepan. Lima parang yang dikibaskan ganas lolos dari sasaran. Dari lompatannya, pemuda dari Lembah Kutukan ini menendang dengan kaki kanan dan kiri ke arah lima orang dari lelaki berbaju hitam dan berdestar merah lainnya, semata untuk membuat mereka jeri. Tetapi, orang-orang itu justru bertambah beringas karena mendapati Andika yang tak segera menurunkan tangan.
"Kutu busuk! Mereka rupanya tak mau mengerti kalau aku sengaja takmenurunkan tangan," makinya dalam hati. Lalu menyambung sambil menghindari sambaran parangiparang tajam, 'Tak ada jalan lain rupanya..." Memikir demikian, pemuda sakti itu mencelat ke depan. Kedua tangannya bergerak cepat.
Wuuut! Prak! Prak! Tiga orang bisa menghindar, sementara dua orang lagi terkapar dengan kepala pecah. Lolongan keras terdengar mewarnai tempat itu ketika tangan Andika menghantam pecah kepala dua lawannya.
Menyadari hal itu, kemarahan dari sisa orangorang itu bertambah tinggi. Dikawal dengan gerengan kemarahan yang memecahkan telinga, delapan parang tajam menderu ke arah Andika yang menarik napas panjang melihat perbuatan yang terpaksa dilakukannya.
"Kutu monyet! Ini makin membuang waktu saja untuk menemukan Suci! Aku tak bisa tinggal diam sekarang. Rasanya, terpaksa aku harus menurunkan tangan telengas. Orang-orang semacam ini tak akan mau mengerti betapapun yang mereka lakukan adalah sebuah dosa dan kekejian. Begundal tengik macam mereka ini hanya akan mempersempit jalan kedamaian. Apalagi, mereka tentunya sangat patuh akan perintah Tunggul Manik! Padahal, aku hanya bermaksud menakut-nakuti mereka biar kapok!" Dengan mempergunakan kecepatan dan tenaga 'Inti Petir' nya, dalam tiga jurus berikutnya Andika berhasil membunuh kedelapan lawannya.
Ditarik napas sambil memandangi masing-masing mayat yang tumpang tindih bergelimpangan. Ada rasa penyesalan di hati pendekar yang berjiwa lembut itu.
"Maafkan aku, terpaksa kulakukan hal im. Aku tidak boleh membuang waktu! Meskipun aku tidak tahu di mana Suci berada tetapi ... Hei!!" Kata katanya terhenti. Pandangannyamembulat besar tak berkedip Keningnya berkerut yang membuat tampangnya menjadi jelek.
Di hadapannya, delapan orang yang tadi dilumpuhkannya, bangkit dalam keadaan segar bugar.
"Sihir!" dengus pemuda urakan itu.
"Seperti ular jejadian itu!!" Tetapi Andika tak bisa memikirkan soal itu lebih lama. Karena delapan lawannya tadi sudah menggempurnya dengan ganas. Hampir saja tiga parang dari delapan parangyung menderu ke arahnya, membuat putus kedua tangan pemuda berbaju pupus ini.
Menyadari kalau lawan-lawannya ini seperti berada dalam pengaruh sihir, kembali Andika bertindak cepat. Kali ini tak segan-segan lagi menurunkan tangan, karena bisa-bisa nyawanya yang melayang. Dua orang dari mereka pecah kepalanya terkena tendangan kerasnya. Sementara enam orang lainnya ambruk dengan tubuh penuh luka dan mengalirkan darah. Belum lagi Andika menarik napas panjang, enam orang itu lebih bangkit kembali. Lebih garang dan mengerikan.
"Benar-benar sinting!" maki Andika sambil menghindar. Kali ini dia tak langsung menurunkan tangan telengas. Dihindarinya setiap serangan yang datang dengan otak berpikir keras.
"Hmm...
bagaimana bisa begitu?" batinnya.
"Semula mereka ber-jumlah sepuluh. Dua orang mati dengan kepala pecah. Tinggal delapan. Lalu kedelapan orang itu mati pula. Tetapi bangkit kembali. Dua orang pecah pula kepalanya. Tersisa enam orang dengan ganas menyerang. Dan kini...Aku tahu! Aku tahu!" Bagai anak kecil yang mendapatkan kue apem, Andika memutar tubuhnya berkali-kali. Ditendangnya kepala tiga lawannya sekaligus dan ambruk dengan kepala pecah. Sementara tiga lainnya dijotos pada dadanya. Darah makin banyak mengalir. Diperhatikannya mayat-mayat itu dengan hati tegang. Mendadak tiga lawan yang terhantam pada dadanya bangkit, sementara yang terhantam kepalanya hingga pecah tak berkutik.
"Kepalanya! Bila kuhancurkan kepalanya, mereka tak akan bisa bangkit lagi! Karena, yang lainnya pun demikian!" desisnya dalam hati.
Tanpa membuang waktu lagi, Andika mendahului menyerang. Jotosannya sekarang diarahkan ke kepala. Sebenarnya, lagi-lagi Pendekar Slebor tak ingin melakukan hal demikian. Namun, semuanya sangat terpaksa memang harus dilakukan.
Prak! Prak! Prak! Seketika ketiga lawannya ambruk dengan kepala pecah. Ditunggunya kembali dan ditariknya napas setelah melihat bahwa peihitungannya benar.
"Kepalanya! Ya. kepala mereka kunci dari semua ini. Bila kepala pecah, mereka tak berdaya. Tetapi, mengapa di alam luar sana mereka bisa mampus" Hmmm... mungkin pula ini kelemahan dari ilmu sihir yang dimiliki Tunggul Manik" Diperhatikannya mayat itu satu persatu dengan perasaan tak enak. Tetapi kejap lain si anak muda muda mengalihkan perhatiannya pada sekelilingnya. Di hadapannya ada sebuah lorong panjang berliku. Dilihatnya pula ada sebuah pohon besar tak jauh dari hadapannya.
"Semakin membingungkan sebenarnya sekarang ini. Tetapi, aku tak akan berhenti sebelum mengetahui seluruh rahasia yang tersimpan di Pulau Seribu Setan." Diperhatikannya mayat-mayat itu. Satu pikiran timbul di benaknya....

****

Sehabis melihat keadaan Sepasang Dewa Gurun Pasir, Iblis Tambang dan setelah mempermainkan Kakek Buruk Rupa, Tunggul Manik memutuskan untuk melihat keadaan Pendekar Slebor.
Dia merasa cukup berhasil menguji setiap ilmu sihirnya. Namun mengingat dua kali Pendekar Slebor berhasil memusnahkan ilmu sihirnya, rasa marah pada pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu makin membesar.
Kembali dia berkomat-kamit dan wadah yang berisi cairan kuning bergoyang dan berubah.
Pemandangan lain terpampang.
Sejenak Tunggul Manik mengerutkan keningnya.
"Keparat! Di mana Pendekar Slebor berada?" makinya. Dikendalikan lagi cairan kuning dalam wadah. Ditelusuri setiap tempat di bangunan besar itu. Tetapi sosok Pendekar Slebor tidak nampak "Setan alas! Terlalu lama aku melihat manusiamanusia lain yang kutawan, hingga kini Pendekar Slebor luput dari pantauanku! Tetapi, tak mungkin dia bisa menghilang begitu saja! Tak seorang pun yang tahu jalan keluar dari Pulau Seribu Setan kecuali aku!" Penuh kegeraman dia terus mencari Pendekar Slebor melalui wadah berisi cairan kuning di hadapannya. Dilihatnya Sepasang Dewa Gurun Pasir sedang bersemadi dan tubuh Iblis Tambang yang pingsan.
"Hhhh! Mereka telah bertarung rupanya! Biar tahu rasa! Tetapi... aku membutuhkan lelaki jelek yang berjuluk Iblis Tambang! Hatinya dingin dan kejam! Sepasang Dewa Gurun Pasir akan terkubur dan menjadi penghuni abadi Pulau Seribu Setan! Saat ini, kuketahui kalau keduanya menginginkan Pendekar Slebor! Akan kupertemukan mereka nanti! Tetapi...
setan keparat! Di mana Pendekar Slebor berada!" Kembali ditelusurinya setiap lorong dari wadah yang berisi cairan kuning, hingga dilihatnya sebuah dinding jebol. Sejenak Tunggul Manik terdiam.
Bibirnya melebar dengan tarikan pada kedua pipinya. Matanya mengembung geram.
"Keparat! Rupanya pemuda itu benar-benar cerdik. Dia berhasil kembali memecahkan rahasia ilmu sihirku dengan cara menghancurkan dinding di mana di balik setiap dinding selalu terdapat besi menuju ke bawah. Hhh! Sebaiknya kulihat disana!" Ditelulusuri besi yang mengarah ke bawah itu dari wadah berisi cairan kuning. Mukanya membesi ketika melihat sepuluh orang anak buahnya tergeletak dengan kepala pecah.
"Aku yakin, Pendekar Slebor yang melakukan semua ini. Kembali dia bisa memecahkan rahasia sihirku yang kuletakkan pada setiap kepala manusia keparat itu. Kepala mereka pecah! Kurang ajar! Pasti dia menuju ke penjara dimana gadis bernama Suci itu ku tahan." Kembali ditelusurinya tempat itu dari wadah berisi cairan kuning. Dilihatnya puluhan anak buahnya lalu lalang di sana. Dengan kehebatan ilmu sihirnya, Tunggul Manik atau Majikan Pulau Seribu Setan telah membaluri tempat itu dengan kekuatannya. Dari jalan itulah dia mengirim dan mengeluarkan anak buahnya ke dunia ramai.
Tentunya dikendalikan dengan ilmu sihirnya.
Namun yang membuat keningnya berkerut dan wajah makin membesi, tak dilihatnya sosok berbaju hijau pupus di sana "Keparat! Di mana pendekar itu bersembunyi?" makinya geram. Disesali mengapa dia tidak memantau gerak gerik Pendekar Slebor terus menerus.
"Tak mungkin sosoknya bisa luput dari pandangan wadah cairan kuning ini. Pasti pemuda itu berada di sekitar sana!" Kembali ditelusuri tempat itu. Namun orang yang dicarinya tak ada di tempat itu.
"Setan alas! Berabe kalau Pendekar Slebor bisa menemukan gadis itu! Tetapi... tak semudah yang dibayangkan biar bagaimanapun cerdiknya dia.
Kutunggu saja, barangkali ada yang masuk ke sana!" Dari wadah berisi cairan kuning, dilihatnya cucu Kakek Buruk Rupa tengah meringkuk dengan menekuk kedua lutut di sebuah ruangan yang diberi jeruji besi. Sementara di depan jeruji itu, puluhan anak buahnya lalu lalang.

****

Suci mendesah berkali-kali. Keheranan masih meliputi dirinya. Disesalinya pula perjalanannya untuk melepas rindu pada kakeknya harus berakhir di sini. Semenjak tadi ditahan tangisnya. Dia harus tegar. Dia harus bisa mengatasi semua masalah ini.
Dipikirkannya tentang Pendekar Slebor. Di mana pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu berada"
"Kang Andika... selamatkanlah aku, Kang...," desisnya dengan batin galau. 'Tak terasa ada ketakutan yang menyelinap. Dirasakan pula kalau dirinya seperti kehilangan sesuatu, kehilangan diri Pendekar Slebor yang sebenarnya sudah begitu dekat sekali dengan dirinya.
Secara diam-diam, sebenarnya Suci pernah mencoba untuk meloloskan diri, dengan jalan membengkokkan beberapa buah jeruji besi yang melingkupinya. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya, dia sebenarnya mampu melakukan hal itu. Tetapi begitu hendak dilakukannya, dan saat kedua tangannya siap ditempelkan pada jeruji besi itu, mendadak saja dirasakan tenaganya melemah.
Ada sebuah kekuatan gaib yang mengunci seluruh aliran tenaga dalamnya.
Pada dasarnya, Suci memiliki sifat keras kepala.
Dicobanya lagi dan dikerahkan berkali-kali. Namun seluruh tenaga dalamnya benar-benar bagai terkuras hingga akhirnya dia yakni tak akan mampu mengerahkan tenaga dalamnya.
Dari balik jeruji besi, dilihatnya para lelaki berbaju hijau dan berdestar merah lalu lalang. Mereka nampaknya sibuk sekali. Beberapa orang berkali-kali menengok keadaannya. Memberinya makan dan minum. Namun tak satu pun yang disentuh oleh Suci. Yang diinginkannya, selain keluar dari sini, juga menemukan kakeknya. Rasa rindu pada kakeknyalah yang membuat Suci masih bersemangat. Tiba tiba dia tersentak. Tiga orang lelaki muncul dengan wajah beringas.
" Hmmm... bila saja gadis ini bukan tawanan Ketua, aku ingin sekali tidur dengannya!" kata salah seorang dengan seringaian lebar menakutkan.
"Tenanglah, Ketua tak akan melupakan kita," kata yang bermata lebar. Dan dengan matanya seakan telah menjarah sekujur tubuh Suci.
"Ini sangat menyenangkan. Tak sabar rasanya aku untuk melakukan. Di tempat ini, kita tak pernah bisa menyalurkan keinginan kita. Hhhh! Mengapa Ketua tidak mangirim kita kembali ke dunia ramai?" sahut yang berbibir tebal.
"Tak usah khawatir... semuanya akan kita dapatkan," terdengar satu suara di belakang mereka.
Ketiganya menoleh dan tertawa.
"Kau benar, Singkil Gambir," kata yang bermata lebar.
"Kita akan mendapatkannya." Kawan yang mereka panggil Singkil Gambir menyeringai.
"Ketua tak akan pernah melupakan kita. Gadis itu begitu cantik sekali. Aku pun tak sabar untuk mendapatkannya." Tak sengaja tangan Singkil Gambir terjulur hendak memegang salah satu jeruji besi itu. Tetapi dengan cepat di tepak oleh yang berbibir tebal.
"Goblok! Apakah kau lupa bila kita menyentuh jeruji besi itu maka tubuh kita akan hangus?" Singkil Gambir menyeringai dengan keringat sedikit mengalir.
"Ini karena aku tak sabar untuk mendapatkannya." Yang lainnya tertawa-tawa.
"Seperti katamu tadi, bila Ketua telah selesai dengan urusannya, kita akan mendapatkan gadis ini.
Bukankah biasanya seperti itu" Meskipun kejam, Ketua tak akan pernah melupakan kita. Ayo! Kita teruskan bekerja" Tempat ini harus selesai dibangun, karena Ketua akan mengurung tawanan- tawanannya di sini."
"Gila! Aku sampai lupa soal itu" Siapa saja yang Ketua bawa ke sini?"
"Pendekar Slebor, Kakek Buruk Rupa, Sepasang Dewa Gurun Pasir, Iblis Tambang, dan Camar Hitam." Singkil Gambir menggeram.
"Yang kuinginkan adalah mencabik cabik tubuh Pendekar Slebor.
Manusia itulah yang lelah membunuh kawan-kawan kita."
"Aku pun tak sabar unntuk melakukannya, Singkil. Perlu kau ketahui, kita baru saja menangkap salah seorang dari mereka." Kata si bibir tebal sambil tersenyum.
"Siapa?"
"Lelaki jelek berbaju Compang Camping. Dia mengaku berjuluk Setan Hitam Compang Camping."
"Manusia keparat mana itu" Dimana dia ditawan! Ingin kucabik cabik tubuhnya sebelum mengerat tubuh Pendekar Slebor!"seru Singkil Gambir menggeram.
"Dia kumasukkan ke penjara bawah tanah! Biar bagaimana juga, akan tiba saatnya bagi kita untuk berpesta membunuh mereka satu persatu. Bila Ketua sudah selesai dalam permainannya, berarti kita akan mendapatkan bagian."
"Sebenarnya, aku pun penasaran di manakah Ketua berdiam?" Si bibir tebal terbahak-bahak. Kau sudah ngaco rupanya! Jangan main-main dengan Ketua!" Lalu katanya berbisik, "Tetapi, aku pernah dipanggil menghadap Ketua. Tempatnya memang sukar ditemukan bila kita tidak tahu Tetapi, aku tahu."
"Di mana?"
"Ini rahasia di antara kita. Jangan sampai Ketua tahu. Yang mengherankan, seluruh tempat ini dipenuhi dinding hitam, bukan" Nah, kau carilah sebuah dinding yang bermotifkan kuda hitam yang sedang mengangkat kedua kakinya."
"Bagaimana cara masuknya?"
"Aku tidak tahu. Ketua hanya menyuruh memejamkan mata dan tiba-tiba kita berada di ruangannya."
"Bagaimana bisa kau menduga di balik dinding bergambarkan kuda hitam yang sedang mengangkat kedua kakinya merupakan tempat Ketua?"
"Karena, setelah aku selesai dipanggil, aku kembali disuruh memejamkan mata dan tahu-tahu sudah berada di hadapan dinding bergambar kuda hitam itu. Jadi...," kata-kata yang berbibir tebal terhenti ketika melihat seorang kawannya datang tergopoh-gopoh. Cepat diarahkan pandangan pada orang yang baru dalang itu.
"Ada apa, Lanun" Wajahmu seperti habis melihat setan gentayangan?" Bukannya menjawab pertanyaan si bibir tebal, orang yang dipanggil Lanun justru menoleh dan berkata cepat pada Singkil Gambir, "Singkil Gambir, anak buahmu tewas di lorong pertama dari besi panjang!"

***

«¦¦¦¦[ 8 ]¦¦¦¦»

Kelima orang itu segera menuju ke tempat yang dikatakan Lanun. Mereka terbelalak melihat mayatmayat yang bergeletakan di sana.
"Setan alas!" maki Singkil Gambir dengan wajah membesi "Siapa yang berani melakukan hal ini, hah"!" Dia membungkuk dan diperiksanya mayat kawan-kawannya itu.
"Kepala mereka pecah! Bersiaga! Mungkin salah seorang tawanan Ketua telah tiba di sini dan membuat kekacauan." Serentak yang lainnya pun bersiaga.
"Sirat Sedah!" seru Singkil Gambir pada yang berbibir tebal.
"Siagakan teman-teman! Ketua bisa marah bila mengetahui hal ini!" Si bibir tebal yang ternyata bernama Sirat Sedah segera bergerak. Dalam sekali panggil saja, dua puluh teman-temannya sudah berkumpul.
Singkil Gambir berseru, "Selidiki setiap lorong! Manusia celaka itu harus mendapatkan ganjaran!" Serentak mereka berlarian memasuki lorong yang terdapat tiga buah di sana. Sementara temantemannya menyelidik, Singkil Gambir berlari ke penjara di mana Suci tertawan.
Sejenak dia ragu-ragu untuk memegang jeruji besi di depannya. Dilihatnya Suci tengah meringkuk dan tatapannya berubah garang begitu mengetahui kedatangannya.
"Tenang, Nona... jangan tunjukkan sikap bermusuhan!" seru Singkil Gambir.
"Manusia keparat! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mampus!"
"Justru sekarang aku sedang berusaha melepaskanmu!" kata Singkil Gambir tak disangka.
Pandangannya menyatakan ketulusan hatinya.
Sejenak Suci terdiam dengan kening berkerut.
Dalam keadaan seperti ini sudah tentu dia tidak bisa menelan bulat-bulat perkataan Singkil Gambir.
Tetapi ketika dilihatnya lelaki berbaju hitam dan berdestar merah itu, nampak mengangkat kedua tangannya dan siap menghantam jeruji besi itu, tanpa sadar Suci beringsut ke belakang.
Tak disangkanya lelaki itu memegang jeruji besi dengan kedua langannya. Sesaat Suci seperti tak tahu harus melakukan apa, seolah terkesima oleh pemandangan di hadapannya. Padahal yang cukup mengherankan, ketika dicobanya untuk membengkokkan besi besi itu, dari jarak satu tombak, dirasakan tubuhnya melemah, seolah ada tenaga yang menyedotnya.
Tetapi Singkil Gambir bukan hanya memegang.
Bahkan dibengkokkannya dua buah jeruji besi hingga membentuk lubang yang besar.
"Cepat, Nona! Kita tak punya banyak waktu!" serunya sambir memperhatikan kanan dan kiri.
Justru Suci yang masih berdiam.
"Siapa kau sebenarnya?" serunya.
"Pendekar Slebor yang menyuruhku untuk membebaskanmu! Aku tahu jeruji itu mengandung kekuatan yang bisa menghancurkan kedua tangan yang memegangnya. Tetapi aku telah menutupi kekuatan tak nampak itu hingga memudahkanku untuk melakukan apa yang kuinginkan. Ayo, Nona Suci! Kita tak punya banyak waktu!" Mendengar kata-kata bernada mendesak itu, Suci langsung berkelebat mendekat. Singkil Gambir memegang tangannya. Sejenak Suci hendak melepaskan, tetapi masih memegang tangannya Singkil Gambir sudah berkelebat.
Wussshhh! Tak mau tersungkur. Suci mengerahkan ilmu larinya.
"Di mana Setan Hitam Compang-camping dita wan?" tanya Singkil Gambir.
"Aku tidak tahu."
"Brengsek! Kita telusuri lorong ini, meskipun nanti untuk keluar dari sini kita pasti berhadapan dengan manusia manusia celaka itu!" Meskipun masih ada rasa tak percaya pada lelaki itu, Suci menurut saja. Dua orang muncul dari lorong di sebelah kiri. Singkil Gambir bergerak cepat. Tanpa melepaskan pegangannya pada Suci, dihajarnya kedua lawannya hingga kepala mereka pecah.
"Kejam!" desis Suci dalam hati.
Mereka tiba di sebuah tempat yang agak temaram.
Di sana Singkil Gambir melihat sebuah jeruji besi semacam di mana Suci disekap sebelumnya. Seperti yang dilakukannya pada Suci, dibengkokkannya pula jeruji besi di mana Setan Hitam Compangcamping disekap.
Melihat siapa penolongnya, Setan Hitam Compang-camping langsung melancarkan satu serangan. Tetapi Singkil Gambir segera memiringkan tubuhnya.
"Tahan!" serunya keras.
Setan Hitam Compang-camping berbalik dan menggeram.
"Manusia keparat! Lepaskan gadis itu!!" Bagai menurut Singkil Gambir melepaskan tangan Suci. Lalu menatap serius pada Setan Hitam Compang-camping yang hendak membentak lagi, "Tak perlu gusar! Urusan ini sangat rumit sekali! Pendekar Slebor menyuruhku untuk menyelamatkan kalian!"
"Di mana pemuda sakti itu berada?" tanya Setan Hitam Compang-camping tanpa merubah sikapnya.
Hanya suaranya yang diperkecil.
"Tak banyak waktu untuk menerangkannya. Setan Hitam, kau jaga keselamatan Suci. Kita bergerak kembali ke depan. Biar aku di posisi pertama untuk menghadapi segala kemungkinan. Nanti, di ujung lorong ini, ada sebuah besi panjang menjulur dari atas ke bawah. Pergunakan ilmu meiingankan tubuh kalian, dan panjat besi itu. Mengerti?" Kalaupun setan Hitam dan Suci mengerti, namun mereka belum mengerti mengapa lelaki kejam yang pernah menggelandang mereka ke penjara berubah baik seperti itu Setan Hitam Compang Camping geram bukan main teringat bagaimana tiba-tiba muncul sepuluh lelaki hitam dan berdestar merah dihadapannya.
Pertarungan terjadi. Namun yang mengejutkannya, para penyerang yang sudah terhantam penuh luka, bangkit kembali. Hingga akhirnya tenaganya terkuras dan dirinya berhasil dikalahkan.
Setan Hitam berkata, "Untuk saat ini, kami menuruti kata-katamu. Bila kau memang suruhan Pendekar Slebor, tunjukkan kepada kami di mana dia berada?"
"Itu urusan nanti! Ingat, bila kalian menemukan lawan dari Serikat Kuda Hitam, hantam kepalanya hingga pecah, niscaya mereka tak akan bangkit lagi.
Kita mulai!" Mulailah rombongan kecil yang dipimpin oleh Singkil Gambir bergerak ke depan. Beberapa anggota Serikat Kuda Hitam yang melihat kemunculan Singkil Gambir, harus ambruk dengan kepala pecah sekali jotos dan tendang.
Setan Hitam dan Suci benar-benar tak mengerti akan sikap yang diperlihatkan Singkil Gambir.
Tetapi mereka tak mau memperdulikannya saat ini.
Sirat Sedah yang sedang menerima laporan anak buahnya yang tak menemukan orang asing di sana, terkejut melihat kemunculan Singkil Gambir.
"Bagaimana, Sirat?" tanya Singkil Gambir, sementara sebelumnya disuruhnya Setan Hitam dan Suci untuk bersembunyi.
"Tak ditemukan manusia keparat yang telah membunuh teman-teman kita!"
"Setan alas! Bergerak lagi! Jangan sampai Ketua mengetahui semua ini!" Kembali orang-orang itu berkelebat memasuki setiap lorong. Sirat Sedah menatap Singkil Gambir.
"Bagaimana menurutmu?"
"Kalau memang tak ditemukan orang itu, berarti dia sudah keluar melalui besi bulat panjang itu!"
"Keparat!" geram Sirat Sedah.
"Ingin kucabik-cabik tubuhnya!"
"Kita segera menuju ke sana!"
"Tidak! Ketua akan marah besar dan menghukum kita!"
"Biar aku yang melihatnya! Kemarahanku tak bisa dibendung lagi!"
"Kau mencari penyakit, Singkil!"
"Peduli setan dengan semua ini!" seru Singkil Gambir dan mendekati besi bulat di atasnya.
"Singkil!"
"Diam kau, Sirat Sedah! Jangan campuri urusanku!" bentak Singkil Gambir melotot "Kau sudah berani melancangi perintah Ketua?" seru Sirat Sedah gusar.
"Hatiku sakit melihat yang lain terkapar tak berdaya!"
"Tetapi...," kata-kata Sirat Sedah terhenti, bersamaan tubuhnya ambruk dan kepalanya rengkah. Setan Hitam Compang Camping sudah menghajarnya. Singkil Gambir berseru.
"Cepat naik! Jangan membuang waktu!!" Suci pertama kali naik. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, dia sudah segera tiba di atas.
"Tak perlu banyak Tanya sekarang! Kau jaga keselamatan Suci!" seru Singkil Gambir melotot.
"Bagaimana kau sendiri"'"
"Aku harus berada disini untuk sementara.
Mengingat .... Gila! Cepat, Setan Hitam! Terdengar langkah menuju ke sini!" Setan Hitam Compang-camping menajamkan pendengarannya. Dia sama sekali tak menangkap suara-suara yang dimaksud oleh Singkil Gambir.
Tetapi melihat kesungguhan Singkil Gambir yang menyuruhnya bergegas, dia pun segera melesat naik. Meninggalkan Singkil Gambir yang bergerak menyongsong teman-temannya.

****

"Setan Hitam... bagaimana dengan manusia yang bernama Singkil Gambir itu?"tanya Suci begitu Setan Hitam Compang camping muncul.
"Dia tidak mau ikut."
"Mengapa?"
"Mungkin untuk mengelabui teman-temannya.
Hmmm... siapa pun dia dan apa hubungannya dengan Pendekur Slebor...' sebaiknya kita tinggalkan. Kita harus mencari Pendekar Slebor, Suci." Suci hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebelumnya, dia sangat membenci lelaki itu, karena beberapa kali pernah mendatanginya dan memandangnya dengan tatapan penuh birahi.
Tetapi rupanya, lelaki itu justru yang menolongnya.
"Kalau begitu... kita harus cepat!" kata Suci seperti menangkap gelagat yang tak menguntungkan.
Namun belum lagi keduanya bergerak, satu sosok tubuh keperakan telah tiba di hadapan mereka.

****

"Hi hi hi.... kulihat cucu Kakek Buruk Rupa berada di sini pula," kata orang yang baru muncul dan tak lain si Camar Hitam. Seringaian lebar membuat pipi kempotnya bagai tertarik ke dalam. Mata celongnya bagai melihat kelinci empuk di hadapannya.
"Bagus, bagus sekali... Kakek Buruk Rupa tak akan banyak cincong sekarang!" Mendengar kata-kata yang bernada mengancam, Setan Hitam Compang-camping maju tiga langkah, berdiri membelakangi Suci. Pandangannya lurus ke depan, penuh kegeraman.
"Nenek tua yang bau tanah! Ucapanmu keren betul mencoba membikin orang keder! Sayangnya, lakon yang baru kau perlihatkan itu, seperti lakon ketoprak yang sering kulihat!" Tertarik ke dalam sepasang mata kelabu si wanita tua.
"Aku tak ada urusan denganmu, Orang Jelek! Minggir, ingin kudapati cucu Kakek Buruk Rupa! Entah di lorong mana orang tua keparat itu!" Mendengar kata-kata itu. Suci berkala, memotong Setan Hitam yang ingin berseru lagi.
"Maksudmu...
kakekku berada di sini pula?"' "Kau pintar. Anak Manis. Memang, kakek sialanmu itu berada di sini pula. Tapi sayangnya, aku tidak tahu. Dan aku memang tak memperdulikannya! Hhh! Tempat sialan ini membuatku bagai mati langkah untuk menemukan di dimana Pendekar Slebor yang telah membawa Permata Sakti. Tetapi ada umpan bagus di hadapanku'" Sehabis berkata begitu.Camar Hitam bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan mencoba menjambak kepala Suci. Tetapi Setan Hitam Compang-camping cepat mengibaskan jotosannya ke atas. Plak! Membuat Camar Hitam menghentikan serangannya dan mundur tiga langkah. Matanya menatap penuh hawa kematian. Tajam dan tak berkesip memandang.
"Kau hanya mencari penyakit!"
"Siapa pun tak akan kubiarkan menyentuh gadis ini! Apalagi manusia busuk seperti kau!"
"Setan alas! Kutampar mulutmu!"
"Aku ingin merasakannya!" tantang Setan Hitam Compang camping yang membuat darah Camar Hitam mendidih.
Tanpa buang tempo lagi, Camar Hitam sudah menderu dahsyat. Kecepatannya saat menyerang itu memang sukar dicari tandingannya. Terbelalak Setan Hitam Compang-camping menerima serangan dahsyat ilu. Dicoba untuk memapakinya. Tetapi justru tubuhnya yang terpental ke belakang, disusul satu tendangan keras menghantam dadanya.
Remuk dadanya dirasakan. Aliran darahnya seketika kacau. Wajahnya tertekuk pias. Belum satu jurus, dirampungkan, dia sudah tak berdaya menghadapi kehebatan wanita tua berbaju keperakan yang tengah berdiri tiga tombak di muka.
Mendapati Setan Hitam Compang-camping tak berdaya, Suci memburu cepat.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya pelan.
Setan Hitam mengeluarkan suara keluhan.
"Aku tak mampu menghadapinya, Suci. Jelas dia bukan tandinganku. Lebih baik, kau tinggalkan tempat ini dan kucoba untuk menahannya...."
"Tidak... aku akan membawamu serta."
"Tak banyak waktu yang kita punya, Suci. Dalam satu gebrak berikutnya, pasti aku sudah mampus.
Berarti, aku tak menjaga pesan Singkil Gambir sesuai dengan amanat Pendekar Slebor." Dicobanya untuk bangkit. Tetapi keluhan tertahan justru terdengar dan tubuhnya sukar dibawa berdiri.
Terharu Suci mendengar kesetiaan Setan Hitam Compang-camping. Hatinya mulai memberangus marah. Lamat dia berdiri dengan tatapan tajam ke arah Camar Hitam.
"Kami memang bukan tandinganmu! Tetapi, kami tak akan mundur barang selangkah juga!"
"Bagus! Kakek Buruk Rupa harus tahu kalau cucunya berada di tanganku!"
"Kakekku tak akan memberi ampun manusia busuk seperti kau ini!" Camar Hitam menggeleng gelengkan kepalanya sambil umbar senyum "Keberanian dan kekeraskepalaanmu itu mewarisi sifat Kakek Buruk Rupa yang terkadang angin anginan! Aku menyukaimu, Anak Manis. Dan ingin sekali aku menjadikanmu murid untuk meneruskan segala cita-citaku!"
"Hanya orang bodoh yang mau melakukan hal itu!" sentak Suci dengan tatapan memicing.
Membesi wajah Camar Hitam.
"Kau harus diberii pelajaran'" Sesudah berkata begitu, tubuhnya berkelebat lagi.
Kali ini mencoba menotok Suci, karena dirasakan kalau gadis ini sangat berharga sebagai penukar Permata Sakti yang menurut wanita tua itu berada di tangan Pendekar Slebor.
Namun dia cukup terkejut dibuat oleh Suci. Gadis yang digembleng oleh kakeknya itu berkelit dengan lincah. Lagi lagi disayangkan, Suci hanya diberi pelajaran ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam. Bila saja Kakek Buruk Rupa menurunkan ilmu kanuragan, bisa dipastikan selelah berkelit akan menyusul satu serangan berikutnya.
Seperti dituturkan pada episode sebelumnya, Kakek Buruk Rupa saat mengajarkan Suci memang diam-diam. Karena ayah Suci, putra dari Kakek Buruk Rupa, selalu melarang Suci untuk menemui kakeknya sendiri (Silakan baca : "Rahasia Permata Sakti"). Tetapi kelitan yang dilakukan gadis itu tadi, membuka mata Camar Hitam akan kepandaian yang dimiliki Suci. Terkikik diteruskan serangannya.
Dan pada dasarnya Suci memang bukanlah tandingan Camar Hitam. Dalam satu gebrak berikutnya dia tak mampu lagi bergerak. Karena kecepatan Camar Hitam bagai memantek ruang geraknya. Namun sebelum Camar Hitam melaksanakan maksudnya, satu suara terdengar dari belakang, "Lho, lho! Edan-edanan sekali! Berani mencoba meringkus cucuku!"

***

«¦¦¦¦[ 9 ]¦¦¦¦»

"Kakek!!" seru Suci kencang dan selagi Camar Hitam terkesima, dia sudah berlari mendapati kakeknya. Dan merangkulnya penuh keharuan.
"Ke mana saja Kakek pergi" Kakek jahat! Katanya berjanji untuk menemuiku, tetapi mana janjinya" Mana?" Kakek Buruk Rupa hanya terkekeh-kekeh. Seolah melupakan tatapan tajam dan geram dari Camar Hitam dia berkata, "Anak nakal! Mengapa kau berada di sini, hah?"
"Aku mencari Kakek! Aku rindu Kakek!"
"Nah, sekarang kita sudah bertemu. Bukankah...."
"Orang tua keparat! Lakonmu busuk berkasihkasihan di hadapanku?" bentak Camar Hitam memotong. Kakek Buruk Rupa memandang ke depan.
"Sudah tentu yang kurangkul cucuku ini! Merangkulmu, sama saja merangkul gedebong pisang yang sudah rubuh!"
"Keparat!" membesi wajah Camar Hitam. Dikawal gerengan keras dan angin mendesis hebat.
Tubuhnya sudah berkelebat cepat ke arah Kakek Buruk Rupa. Tongkat kusam di tangannya telah digerakkan dengan kekuatan penuh.
Masih merangkul cucunya. Kakek Buruk Rupa melangkah dua tindak ke kiri, menghindari sambaran penuh tenaga dari tongkat kusam si nenek. Lalu menghantam dengan tangan kanannya.
Wuuut! Plak! Jotosan tangan kanan si kakek dipapaki dengan cara mengibaskan tangan kiri. Si nenek tersentak kaget dan surut dua langkah ke belakang. Mukanya yang mendongak berubah memerah sedang kedua matanya bergerak liar.
Justru sikap Kakek Buruk Rupa yang masih santai saja. Dia memang tak mau membuat cucunya cemas di saat bentrokan terjadi.
"Kau minggirlah. Suci. Nenek jelek itu memaksaku untuk memukul pinggulnya!" Suci menatap wajah kakeknya yang tertutup rambut.
"Hati-hati. Kek...," katanya cemas.
"Tidak usah tegang. Si Peot itu memang harus diberi pelajaran. Kalau tidak... wah! Tidak sabaran!" Si kakek sudah menghindar dengan jalan berputar di atas. Sedangkan si nenek yang sudah kelebatkan hantamannya, menyusulkan serangan kedua, kali ini melalui tusukan yang dilakukan pada tongkatnya.
Satu gelombang angin menderu ke arah Kakek Buruk Rupa. Si kakek berteriak keras dan melompat ke atas. Dari atas mendadak dikibaskan kaki kurusnya, menyambar ke arah kepala lawan. Camar Hitam tersentak, sebisanya dihalau dengan kibasan tongkatnya. Tak! Kekuatan kaki rupanya lebih besar dari kekuatan tangan. Tangan kanan Camar Hitam yang memegang tongkat, berhasil dihantam. Seketika si nenek merasa tangannya ngilu. Tongkatnya terlepas.
Mendapati hal semacam itu, Kakek Buruk Rupa meneruskan hantamannya kembali. Masih berada di udara, dia putar tubuh dan melancarkan jotosannya ke kepala si nenek. Camar Hitam melipat kedua lututnya hingga merendah. Begitu hantaman tangan kanan Kakek Buruk Rupa mendekat, dia langsung menghantam dengan dua tangan sekaligus.
Dua gelombang angin laksana topan mengarah pada Kakek Buruk Rupa, yang berteriak dan segera mengurungkan serangannya. Menghindar dengan jalan bergulingan.
Camar Hitam jelas tak mau memberi kesempatan lagi. Belum lagi kedua kaki Kakek Buruk Rupa berdiri, dia kembali melancarkan dua jotosan sekaligus mengandung tenaga dalam tinggi. Dalam keadaan yang mencemaskan, Kakek Buruk Rupa cepat membuang tubuhnya kembali.
Blaaar! Dinding hitam yang berada di belakang si kakek ambrol. Si kakek mengusap dadanya sambil menggelengkan kepala.
"Hebat juga serangannya!" desisnya Dan ia tak bisa banyak berpikir lagi, karena lawan sudah kembali menyerang.
Kali ini si kakek mencoba lipat gandakan tenaga dalamnya. Lalu dengan pencalan satu kaki, dipapaki serangan dahsyat Camar Hitam.
Des! Des! Bentrokan dua tenaga dalam tinggi itu terjadi.
Menimbulkan gemuruh angin yang keras. Suci sampai terpekik melihatnya dan dia bergerak cepat untuk menyambar tubuh Setan Hitam Compangcamping agar tidak terhantam derasnya tubuh Camar Hitam yang terlontar ke belakang. Si kakek pun mengalami hal yang sama. Namun dia cepat bangkit. Nampak tubuh Kakek Buruk Rupa bergetar.
Dari wajah yang tertutup rambut, di bagian bawahnya mengalirkan darah. Jelas keluar dari mulutnya. Sementara Camar Hitam merasa tulang iganya seperti patah. Agak sempoyongan dia bangkit dan mata kelabunya bagai dibetot setan meradang ke depan.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengusnya geram dan cepat menyambar tongkat kusamnya.
Kali ini ajian 'Penutup Jalan Darah'-nya sudah dikerahkan. Membuat si kakek kembali harus menghindar. Untuk jenis pukulan yang satu ini, si kakek tak berani bentrok. Karena bila saja dia bentrok sementara akibat benturan tadi tenaganya terkuras, maka tak ampun lagi jalan darahnya akan kaku dan beberapa detik kemudian mati dengan jalan darah pecah.
Tongkat yang dipegang lawannya mengarah pada bagian-bagian urat darah si kakek yang mematikan.
Kecepatannya tinggi sekali. Bahkan dalam sekali pandang, tongkat di tangan si nenek seakan berubah menjadi puluhan. Menyambar dan menebarkan hawa maut. Kalang kabut Kakek Buruk Rupa dibuatnya.
Namun di detik lain, mendadak saja dikibaskan kepalanya. Rambut putihnya yang menutup wajah mendadak berubah memanjang. Dan melilit tongkat Camar Hitam.
"Keparat! Ilmu apa yang kau perlihatkan itu, hah?" maki si nenek.
"Hehehe... itulah ajian simpananku yang jarang kupergunakan. 'Titian Rambut Merenggut Nyawa'." Ajian yang disebutkan si kakek tadi bukan buatan hebatnya. Masih melilit tongkat Camar Hitam yang seakan tak mampu menggerakkannya, rambut putih itu makin memanjang. Dan menampar wajah si nenek. Plak! Camar Hitam tergugu menerimanya. Belum lagi disadari apa yang terjadi, jotosan Kakek Buruk Rupa telah menghantam dadanya.
Menjerit setinggi langit Camar Hitam dan tersuruk ke belakang. Terpelanting lagi ke depan begitu tubuhnya menabrak dinding. Jatuh telungkup dengan dada dan wajah menghantam lantai.
Sakitnya bukan alang kepalang. Bahkan membuatnya tak bisa bangkit kembali. Kakek Buruk Rupa menggelengkan kepalanya tiga kali. Rambutnya yang mendadak memanjang tadi, kini kembali seperti biasa, menutupi wajahnya yang buruk.
"Maafkan aku .. kau yang terlalu memaksa...." Camar Hitam tak bersuara, karena dia sudah pingsan. Suci langsung merangkul kakeknya dengan hati gembira. Justru si kakek hanya terdiam saja, Sementara Setan Comapang Camping hanya menghela nafas panjang. Seumur hidupnya baru kali ini dilihatnya pertarungan dahsyat yang mengerikan. Selagi ketiganya terdiam dicekam perasaan masing-masing dua sosok tubuh berbaju biru berkelebat datang. Dan sesaat hanya saling pandang dalam jarak tiga tombak di hadapan orang-orang itu.

****

Kakek Buruk Rupa yang pertama kali menyadari kehadiran keduanya. Dilepaskan rangkulan cucunya dan ditolehkan kepalanya pada dua orang yang baru datang.
"Sepasang Dewa Gurun Pasir... tak kusangka kalian berada di sini pula. Apakah kalian sudah menemukan lawan yang sepadan di tanah Jawa ini?" serunya sambil terkekeh. Kakek Buruk Rupa memang pernah mendengar sepak terjang sepasang anak manusia dari tanah Dewata yang selalu menjajal kemampuan.
Dipikirnya Sepasang Dewa Gurun Pasir akan menampakkan wajah meradang karena ejekannya itu, tetapi justru keduanya mengatupkan tangan di dada.
"Nama besar Kakek Buruk Rupa telah tiba pula di telinga kami. Kami yang datang dari jauh, ternyata hanyalah mengumbar kesombongan belaka. Seorang pendekar tanah Jawa telah membuka mata hati kami." ' Kakek Buruk Rupa yang memiliki sifat anginanginan itu terkekeh lagi.
"Siapakah yang kau maksudkan?"
"Pendekar Slebor. Pendekar muda itulah yang membuat kami harus menyimpan seluruh malu dalam diri dan tak kuasa untuk berlama-lama bertemu." Kakek Buruk Rupa terdiam. Di manakah Pendekar Slebor berada" Diingatnya lagi akan ancaman dari Tunggul Manik. Berarti, jalan satusatunya memang harus mencari Tunggul Manik.
Tetapi, di manakah manusia dajal itu berada" Selagi mereka terdiam belum menemukan apa yang harus mereka lakukan, Singkil Gambir muncul dari dinding yang jebol. Sesaat dia terperangah melihat apa yang terjadi. Tetapi detik kemudian dia berseru, "Cepat kalian tinggalkan tempat ini. Kita menuju ke taman di sebelah sana. Di tempat yang terbuka, kita bisa lebih waspada menerima serangan yang datang."
"Siapakah kau, Kawan?" tanya Kakek Buruk Rupa.
Singkil Gambir menangkupkan kedua tangan di dada.
"Kalau tidak salah.... Kakek Buruk Rupa yang berada di hadapanku ini. Hmm... namaku Singkil Gambir. Aku orang kepercayaan Pendekar Slebor."
"Di mana pemuda sakti itu berada?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Sebaiknya, kita segera menuju ke taman saja. Tak perlu saling berobat kembali." Singkil Gambir mendekati Setan Hitam Compang-camping "Biar cepat, kau kubopong saja!" Dengan sekali angkat, tubuh besat Setan Hitam Compang-camping sudah dibopongnya Singkil Gambir berkata pada Raka Gunarsa, "Kawan...tolong angkat si nenek yang pingsan Itu" Setelah itu, mereka berkelabat mengikuti Singkil Gambir menuju ke taman. Meskipun demikian, tak mudah untuk menemukan jalan menuju ke taman yang dimaksudkan Singkil Gambir. Mereka harus nyasar dua kali. Dan barulah tiba di sana.

****

Di tumpal kediamannya, Tunggul Manik menggeram murka melihat sepak terjang Singkil Gambir dari wadah berisi cairan kuning.
"Keparat! Kau harus mampus, Singkil Gambir!" geram lelaki berkalung tengkorak itu dengan kedua rahang mengatup rapat dan mata mengecil.
"Hhhh! Di mana Pendekat Slebor berada" Setan alas! Mengapa sejak tadi aku tak bisa menemukannya" Tak mungkin seluruh tempat ini bisa luput dari penglihatanku, karena aku yang membangun dan menciptakannya." Dibiarkannya orang-orang itu menuju ke tempat yang mereka inginkan. Dengan hati panas karena beberapa ilmu sihirnya berhasil dipunahkan Pendekar Slebor, Tunggul Manik berkomat-kamit dan pemandangan dalam wadah berisi cairan kuning itu bergerak kembali.
Dicarinya sosok Pendekar Slebor dengan rasa penasaran yang tinggi. Namun sekian lama dicari, orang yang dimaksud tak ditemukan.
"Setan alas! Rasa-rasanya... permainanku akan usai. Keinginanku untuk melihat Kakek Buruk Rupa dan Pendekar Slebor bertarung gagal. Pertama, Suci telah berada di antara mereka. Begitu pula dengan Setan Hitam Compang-camping. Kedua, sosok Pendekar Slebor tak ada di tempat. Berarti aku harus menjalankan permainan terakhir. Biar aku muncul di hadapan mereka dan kupaksa Pendekar Slebor untuk muncul!"

***

«¦¦¦¦[ 10 ]¦¦¦¦»

Orang orang yang mengikuti langkah Singkil Gambir, telah tiba di taman yang luas, di mana di tempat itu sebelumnya Pendekar Slebor hampir saja tertipu oleh ilmu sihir Tunggul Manik.
Suci bertanya, "Singkil Gambir... di manakah Pendekar Slebor berada?" Singkil Gambir menoleh dan menjawab, "Aku tidak tahu di mana Pendekar Slebor berada saat ini.
Mungkin, dia hendak menjalankan rencananya"
"Apa maksudmu dengan rencananya?"
"Setelah aku diperintah untuk membebaskan kau dan Setan Hitam, aku diharuskan membawa kalian ke tempat ini. Dan sungguh tak kusangka kalau akan bertemu dengan yang lain. Sementara setelah kau dan Setan Hitam keluar dari sini, aku bertemu dengan Pendekar Slebor. Dan mengatakan di mana Tunggul Manik berada. Pendekar Slebor pun bermaksud untuk mencari Tunggul Manik. Tetapi entah mengapa, dia merasa tak akan menemukannya."
"Apa maksudmu?"
"Aku sama sekali tidak mengerti. Naluri Pendekar Slebor mengatakan, kalau Tunggul Manik telah kalah dalam permainan sesat yang dijalankannya ini."
"Kau benar, Singkil Gambir! Pendekar Slebor memang telah berhasil meruntuhkan seluruh rencanaku sebelum tiba waktunya! "suara keras bersamaan angin dahsyat bergemuruh itu terdengar.
Membuat orang-orang yang berada di taman itu melengak dan mengedarkan pandangan.
Asap hitam tebal tiba-tiba bagai menyembur dari tanah berjarak Lima tombak dari hadapan mereka.
Masing-masing menajamkan pandangan. Begitu asap tebal menghilang, mendadak satu sosok tubuh tinggi besar berdiri di hadapan mereka. Bagian dadanya tak tertutup, memperlihatkan sebuah tato bergambar tengkorak. Celananya hitam panjang hingga mata kaki. Di pinggangnya melilit sabuk warna merah. Matanya agak menukik dengan kelopak mata berlipat ke dalam. Alis mata laki-laki itu setebal brewok yang tumbuh didagunya. Di pergelangan tangannya terdapat dua buah gelang perak yang besar.
Tunggul Manik yang segera mmgirimkan tawa keras, menindih angin bergemuruh. Dan masingmasing segera alirkan tenaga dalam mereka. Kakek Buruk Rupa cepat bertindak menotok pingsan Setan Hitam Compang-camping yang jelas tak berdaya menghadapi gempuran tersembunyi melalui tawa yang dialirkan tenaga dalam. Hingga dalam keadaan pingsan, Setan Hitam Compang-camping tak akan terganggu oleh tawa keras itu.
"Kalian telah kuundang ke Pulau Seribu Setan.
Dan menerima permainan yang menarik! Terutama Pendekar Slebor! Sayangnya, pemuda itu seperti ayam kehilangan induk yang cuma bisa bersembunyi tanpa berani muncul'" Raka Gunarsa menggeram.
" Tunggul Manik kau tak akan lagi bisa meneruskan permainan busukmu ini!"
"Hahaha... jangan lupa, permainan ini langsung kuubah menuju puncaknya Karena, kecerdikan Pendekar Slebor telah mengalahkan aku sebelum waktunya!"
"Kau tak akan berdaya menghadapinya!" seru Kakek Buruk Rupa.
"Dan kenyataannya, pendekar muda itu justrubersembunyi, lari sipat kuping seperti seekor kelinci yang khawatir diterkam serigala!"
"Keparat!" geraman itu keluar dari mulut Sepasang Dewa Gurun Pasir secara bersamaan.
Meskipun sebelumnya mereka ingin sekali membunuh Pendekar Slebor dan ternyata di saat bertarung justru Pendekat Slebor membiarkan mereka hidup, tidak menerima cacian Tunggul Manik terhadap pendekar besar urakan yang bijaksana itu. Dengan tenaga penuh, keduanya sudah berkelebat menggempur Tunggul Manik yang masih terbahakbahak. Dan ketika serangan keduanya berjarak demikian dekat, Tunggul Manik menepuk tangannya dua kali.
Seolah melesat dari tubuhnya, sosok Tunggul Manik berubah menjadi tiga. Yang dua langsung memapak serangan Sepasang Dewa Gurun Pasir, sementara yang satu lagi masih terbahak-bahak.
"Sihir!" seru Raka Gunarsa terkejut dan menghindar. Sementara itu Kakek Buruk Rupa berbisik pada Suci, "Kau tetap di sini. Jaga kedua manusia yang pingsan itu. Meskipun Camar Hitam memiliki hati busuk, tetapi sekarang dia tak berdaya."
"Hati-hati, Kakek...." Kakek Buruk Rupa menganggukkan kepalanya dan maju tiga tindak.
"Kau tak akan bisa berbuat lebih banyak, Tunggul Manik! Pendekar Slebor telah mengalahkanmu!"
"Hhh! Tetapi kali ini, aku akan memenangkan semua permainan!* seru Tunggul Manik dan mendadak dia membentak Singkil Gambir, "Kau tak akan luput pula dari kematian karena pengkhianatanmu itu!" Singkil Gambir cuma tersenyum saja.
Mendadak pula Tunggul Manik menepuk tangannya sekali. Sosoknya kembali muncul dan menyerang Singkil Gambir. Lalu ditepuk tangannya lagi. Apa yang tadi terjadi, kembali terjadi lagi.
Kali ini, empat sosok Tunggul Manik tengah menggempur lawan masing-masing. Sementara Tunggul Manik yang seorang lagi sedang terbahakbahak.
"Sangat kusukai permainan ini! Sayang, Pendekar Slebor tidak ada!" serunya terbahak-bahak.
Sementara Suci membelalakkan matanya melihat apa yang terjadi di depannya. Sosok Tunggul Manik berubah menjadi lima orang! Masing-masing terus menggempur setiap lawan.
Raka Gunarsa, berhasil menjatuhkan lawannya, tetapi lawan itu sudah bangkit kembali dan menyerang dengan garang. Begitu pula halnya dengan yang lain.
Setelah lima belas jurus terjadi, terdengar teriakan Singkil Gambir, "Hantam Kepalanya!" Mendengar seruan itu, masing-masing bergerak cepat. Serangan diarahkan pada kepala lawan. Dan dalam tempo yang singkat, mereka berhasil menghantam kepala masing-masing Tunggul Manik pecah. Jatuh ambruk.
Anehnya, mendadak lawan-lawan itu berubah menjadi asap, dan mengarah pada Tunggul Manik yang meradang pada Singkil Gambir.
"Setan Keparat! Rupanya banyak yang kau ketahui tanpa kusadari! Siapa yang mengatakan rahasia ilmu sihirku itu, hah?" Singkil Gambir terbahak-bahak.
"Pendekar Sleborlah yang mengatakan semua ini kepudaku. Bahkan dia tahu, kalau Permata Sakti biru itu ada pada tubuhmu!" Tunggul Manik menggeram. Apa yang dikatakan Singkil Gambir memang benar. Di balik pinggangnya terdapat Permata Sakti yang memancarkan sinar warna biru "Setan alas!!" menggembor lelaki itu dengan suara kalap. Singkil Gambir tertawa lagi.
"Pendekar Slebor mengatakan kepadaku, bila Permata Sukti itu berhasil pindah tangan, maka kau akan menunjukkan jalan keluar dari Pulau Seribu Setan."
"Singkil Gambir! Nyawamu sudah di tanganku!" Sehabis berkata begitu, dengan kemarahan setinggi langit, Tunggul Manik menderu pada anak buahnya itu. Kedua tangannya mendadak memancarkan sinar warna merah dan siap menekuk kepala Singkil Gambir. Namun yang mengejutkan, dengan lincahnya Singkil Gambir menghindari gempuran itii. Terkejut dan meradang, Tunggul Manik menyusulkan serangannya. Akan tetapi, dengan kelincahan yang sama Singkil Gambir berhasil menghindar. Hal ini membuat Tunggul Manik makin murka. Sambil menyerang dia berseru, "Siapa kau sesungguhnya, hah?"
"Aku, adalah Singkil Gambiryang menghentikan semua sepak terjang busukmu!" Tunggul Manik menambah kecepatannya. Kedua tangannya yang memancarkan sinar merah bergulung-gulung dan mencoba menjambak lawannya. Untuk seterusnya, Singkil Gambir nampak tunggang-langgang menghadapi serangan Tunggul Manik. Baju bagian belakangnya terkena cengkeram. Bila saja dia tidak segera meliukkan tubuhnya, tak urung dagingnya terbawa pula. Tunggul Manik melompat ke belakang sambil terbahak-bahak.
"Sebentar lagi, nyawamu akan sirna!" Singkil Gambir cuma tertawa saja. Justru terdengar teriakan Suci keras, "Kang Andika!" Singkil Gambir menoleh. Lalu nyengir. Cengiran itu sudah sangat akrab sekali dengan Suci.
Lalu dengan santainya dia berkata, "Brengsek kau, Tunggul Manik! Bajuku yang kau robek itu pasti memperlihatkan baju dalam yang kututupi hingga Suci tahu siapa aku!" Masih dengan sikap santai, Singkil Gambir membuka seluruh pakaiannya Yang nampak kemudian, pakaian hijau pupus dengan selembar kain catur yang diikat di pinggang. Lalu dengan enaknya dibuka kain bercorak catur itu dan disampirkan ke lehernya. Lalu kedua tangannya mengusap wajahnya menarik kumis lebat yang ada di bawah hidungnya Yang ada sekarang, adalah wujud Pendekar Slebor! Bagaimana asal muasalnya Pendekar Slebor menyamar sebagai Singkil Gambir" Setelah mengalahkan sepuluh anggota Serikat Kuda Hitam.
Pendekar Slebor mempunyai satu pikiran begitu dilihatnya ada sebuah pohon besar di hadapannya.
Dibukanya pakaian yang dikenakan oleh salah seorang dari yang tewas. Dipakainya untuk menutupi pakaian khasnya. Lalu dihampirinya pohon besar itu. Dipatahkannya beberapa dahan.
Ada getah di sana. Ditirunya wajah orang yang tewas di tangannya itu setelah diingat-ingat wajahnya. Dengan mempergunakan getah itu.
Andika membuat sedikit codetan. Mempergunakan panas dari tenaga 'inti petir'-nya, diambilnya rambut dari salah seorang yang tewas. Dipilinnya lalu dengan bantuan getah dari pohon itu, diciptakannya sebuah kumis. Jadilah sosok Pendekar Slebor berubah. Dan baru dikelahui kalau sosok yang ditirunya itu bernama Singkil Gambir setelah Sirat Sedah memanggilnya demikian. Otak Andika yang cerdik yakin sekali, kalau Tunggul Manik entah dari mana mengetahui gerakgeriknya. Untung-untungan dia melakukan penyamaran semula untuk menutupi dirinya dari pandangan mata Tunggul Manik. Kebetulan sekali saat itu, Tunggul Manik sedang mengalihkan wadah berisi cairan kuning pada Kakek Buruk Rupa.
Lengkap sudah apa yang dikehendaki Andika.
Sebenarnya, dari omongannya dengan Sirat Sedah, Andika bermaksud mencari Tunggul Manik yang diketahui berada di balik dinding bergambar kuda hitam yang sedang mengangkat kedua kakinya.
Akan tetapi, nalurinya mengatakan, kalau saat ini Tunggul Manik sedang kehilangan dirinya dan kemungkinan besar akan muncul.
Apa yang diduganya memang benar.
"Ih! Lengket benar getah ini!" dengus Andika sambil mengerik getak di tangannya. Ketika dialirkan panas dari tubuhnya, getah itu mencair dan jatuh. Membesi wajah Tunggul Manik melihat keadaan ini. Tak disangkanya kalau orang yang dicarinya menyamar sebagai Singkil Gambir. Yang lain pun menarik napas panjang melihat kecerdikan Pendekar Slebor. Dalam hal menyamar, Andika memang tak ada bandingannya. Secara tidak langsung, dia pernah menjadi murid dari Raja Penyamar yang mengajarkannya ilmu menyamar! "Setan alas! Kucabut nyawamu, Pendekar Slebor!" Andika cuma tersenyum.
"Permainanmu telah selesai. Sebaiknya, kau menyerah dan menunjukkan jalan keluar!"
"Sudah kukatakan, bila kau mendapatkan Permata Sakti ini kembali, secara tak langsung kau telah menemukan jalan keluar dari sini! Tetapi sekarang, kau dan manusia-manusia lainnya itu, akan terkubur di Pulau Seribu Setan!" Sehabis berkata begitu, Tunggul Manik menggeduk kakinya tiga kali. Bukan buatan yang terjadi kemudian. Tanah yang mereka pijak bergetar dahsyat. Dinding-dinding di kejauhan terdengar berderak. Bunga bunga yang sebagian sudah terpapas sebelumnya, kini berpentalan. Keadaan tak ubahnya bagai gempa belaka.
Orang-orang yang berada di sana menjadi panik.
Seketika mereka kerahkan tenaga dalam masing masing agar tubuh tidak terpelanting.
Namun lain halnya dengan Pendekar Slebor Meskipun dia berusaha agar tubuhnya tidak terbawa gerakan aneh yang dahsyat itu, otaknya berpikir keras. Kain bercorak catur! desisnya dalam hati.
Mendadak saja sambil kendalikan tubuh, diambilnya kain bercorak catur, lalu dikibaskibasnya hingga menimbulkan gemuruh dahsyat dan dengungan bagai ribuan tawon marah.
Suaranya menindih gelegar angin yang terjadi.
Dan semakin lama angin dahsyat dan suasana mirip gempa itu mereda dan menghilang. Ketika mata memandang, tak ada dinding yang hancur, tak ada bunga-bunga yang beterbangan, semua utuh.
Yang terdengar justru teriakan Tunggul Manik memecah kesunyian yang mendadak mengerjap.
"Setan alas! Lagi lagi kau bisa memusnahkan ilmu sihirku!" Sadarlah yang lainnya, kalau yang barusan mereka rasakan hanyalah akibat dari pengerahan ilmu sihir yang dilakukan Tunggul Manik. Raka Gunarsa dan Ida Ayu Mantri tak kuasa lagi menahan amarahnya. Begitu tubuh Tunggul Manik mencelat ke arah Andika, keduanya segera bergerak menyongsong. Justru Andika yang bergerak cepat, memapas serangan Sepasang Dewa Gurun Pasir, dan meliuk menahan jotosan Tunggul Manik. Karena Andika bagai menahan dua serangan sekaligus, tubuhnya pun terpental dua tombak ke belakang terkena hantaman Tunggul Manik.
Andika memang punya pikiran lain. Terutama bila ingat Permata Sakti berada di tangan Tunggul Manik. Dia telah memecahkan rahasia Permata Sakli itu, jadi tahu kalau Tunggul Manik tak akan merasakan apa-apa bila terkena pukulan.
Menyadari hal ini, lagi-lagi Andika berpikir akan kain bercorak catur yang masih dipegangnya.
"Barangkali saja kesaktian kain bercorak catur ini lebih tinggi dari Permata Sakti!" pikirnya sesaat, lalu sudah bergulingan ketika Tunggui Manik telah menggempur lagi.
Tidak tanggung-tanggung yang dilakukan Andika. Berpikir dia harus menggunakan kain bercorak catur, maka segera dialirkan tenaga 'inti petir' pada kain itu, hingga kekuatan yang ada jadi berlipat ganda.
Tunggul Manik terbelalak menerima serangan dahsyat itu. Kini dia justru bernafsu untuk memilikinya. Kecepatannya ditambah untuk menjambret kain bercorak catur milik Andika. Akan tetapi, Andika yang tak mau bertindak tanggung segera mengibaskan kain pusakanya itu.
Beet! Beeet! "Aaaaakhhhh!!" Jeritan keras terdengar dari mulut Tunggul Manik, menyusul tubuhnya terpental ke belakang. Menabrak dinding taman dan muntah darah.
Seluruh tulangnya bagai patah. Di saat tubuh Tunggul Manik terpental tadi, Permata Sakti yang berada di balik pinggangnya terpental.
Andika cepat menyambarnya. Bersamaan dipegangnya permata itu, mendadak terdengar ledakan di kejauhan. Menyusul suara debur ombak bagai menghantam bangunan besar itu.
"Gila! Ada apa ini?" maki Andika sementara di yakininya kekuatan kain bercorak catur lebih tinggi dari Permata Sakti yang kini dipegangnya .Mungkin tak ada senjata lain yang bisa menandingi kehebatan permata itu kecuali kain bercorak catur milik Pendekar Slebor.
Tetapi sekarang, tempat itu bagai digonjangganjing tangan-tangan raksasa. Mereka kali ini benar-benar menghadapi guncangan dahsyat.
Menyusul suara seperti air bah tumpah. Entah dari mana datangnya air itu mendadak memenuhi taman, hingga sebetis.
Dalam kepanikan semacam itu, Andika mencoba bersikap leriang. Diingat ingatnya kata-kata Tunggul Manik. Permala Sakti itu adalah kunci jalan keluar dan Pulau Seribu Setan.
Mendadak saja Andika menatap permata itu dalam dalam. Di dalam permata itu terlihat dua ekor naga yang biasanya berdiam, kini bergerak-gerak.
Lalu menghilang dan muncul di dalamnya gambaran sebuah lorong yang terdapat sebatang besi di dalamnya. Andika teringat akan lorong itu.
Cepat dia berseru, "Kita berlari cepat! Jangan ada yang tertinggal!" Serentak orang-orang itu mengikuti Andika. Satu persatu dengan cepat menuruni besi bulat di mana Andika menyelamatkan Suci dan Setan Hitam Compang-camping. Sambil berlari Andika terus memperhatikan Permata Sakti itu.
Dan terpampang di dalamnya, tempat di mana Suci pernah di penjara. Bergegas Andika mengajak yang lainnya masuk. Dilihatnya lagi di dalam permata itu dinding di sebelah kirinya. Dan retakan yang perlahan membesar.
Andika sadar berarti dia harus memukulnya.
Dihantamnya dinding itu sekuat tenaga hingga jebol. Bergegas diperintahnya yang lainnya untuk masuk. Begitu semuanya berada di sana, air laut yang entah dari mana datangnya menggenang. Anehnya, dinding jebol itu tertutup rapat. Dan sesuatu yang aneh terjadi. Karena orang-orang itu bagai mengapung dalam ruang hampa udara, berputaran cepat dan bagai terlontar ke sebuah tempat yang sangat jauh sekali.
Andikalah yang pertama kali tersadar ketika mendapati dirinya berada di sebuah bukit tandus dibentengi perbukitan batu karang. Entah sudah berapa lama dia tergeletak di sana bersama dengan yang lainnya.
"Gila! Pengalaman ini sangat aneh sekali! Dan aku baru tahu kehebatan kedua dari Permata Sakti ini.
Dalam suasana terkurung, dia akan menunjukkan jalan keluar." Dilihatnya Kakek Buruk Rupa mulai siuman.
Andika cepat mendekati Kakek Buruk Rupa.
Berbisik diterangkanlah rahasia Permata Sakti itu. Si kakek cuma mengangguk-anggukkan kepala dan menerima Permata Sakti yang diberikan Andika.
"Tidakkah kau berkeinginan memilikinya?" Andika nyengir.
"Tidak usah. Yang pasti, permata itu akan aman di tanganmu, Kek. Sebaiknya, aku permisi!" Tanpa menunggu jawaban Kakek Buruk Rupa, Andika sudah berkelebal cepat. Menghilang dari pandangan si kakek.
"Tak kusangka, kecerdikan dan kehebatanmu itu sangat luar biasa, Pendekar Slebor..."puji Kakek Buruk Rupa. Tanpa menghiraukan Camar Hitam dan Sepasang Dewa Gurun Pasir, Kakek Buruk Rupa membopong cucunya dan Selan Hitam Compang Camping.
"Aku khawatir, putra dan menantuku cemas memikirkan kepergian Suci.
Sebaiknya aku menuju ke sana." Ketika Suci siuman dari pingsannya, yang pertama kali ditanyakan pada kakeknya adalah Pendekar Slebor.
Kakek Buruk Rupa segera menjawab pertanyaan cucunya itu.
"Dia sudah pergi, Suci."
"Oh! Mengapa Kakek tidak menahannya?"
"Sulit untuk menahan kepergiannya, karena langkahnya sangat panjang." Suci terdiam, tak terasa hatinya menjadi pilu.
Sementara Setan Hitam Compang-camping hanya tertunduk saja sambil menahan nyeri pada tubuhnya. Kakek Buruk Rupa menarik napas pendek. Bisa dirasakan kalau sebenarnya cucunya mulai tertarik pada Pendekai Slebor. Hanya itu yang diketahuinya, karena sesungguhnya selain mulai mencintai Pendekar Slebor, Suci pun menyesali keinginannya untuk merebut Permata Sakti dari pemuda sakti itu.
"Kang Andika.... Maafkan aku, kalau aku ternyata punya niat jelek kepadamu. Tetapi, semuanya karena permata itu semula milik kakekku, bukan" Dan rasanya sah saja aku memilikinya. Suatu saat, Kang Andika. Suatu saat, Akan kukatakan kepadamu niatku yang jelek ini "

****

Pulau Seribu Setan telah terkubur dalam air yang semakin banyak tumpah. Tunggul Manik terperanjat begitu dia tersadar dirinya berada dalam genangan air. Mengerahkan sisa-sisa tenaganya, dan mengeluarkan ilmu sihirnya, tubuhnya mendadak melayang di atas air tinggi itu.
Memasuki sebuah tempat yang mana di hadapannya terdapat dinding bergambar kuda hitam sedang mengangkat kedua kakinya, Tunggul Manik berkomat-kamit. Dan mendadak tubuhnya berada di balik dinding itu.
Aman dari air yang semakin tinggi.
Di dalam sana terdapat sosok Iblis Tambang yang pingsan. Kegeraman Tunggul Manik makin membesar pada Pendekar Slebor.
Diangkatnya tubuh Iblis Tambang. Dan dia berkomat-kamit. Entah dari mana datangnya asap hitam, dibawanya tubuhnya yang membopong tubuh Iblis Tambang ke dalamnya.
Bersamaan asap itu lenyap, lenyap pula tubuh Tunggul Manik dan Iblis Tambang.
Pulau Seribu Setan telah terkubur dan kembali menjadi misteri yang berkepanjangan.

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Segera menyusul!!
Serial Pendekat Slebor dalam episode:
DARAH-DARAH LAKNAT


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Rahasia Permata Sakti --oo0oo-- Darah Darah Laknat


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.