Life is journey not a destinantion ...

Jodoh Sang Pendekar

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Malaikat Peti Mati --oo0oo-- Bunga Neraka



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: JODOH SANG PENDEKAR

JODOH SANG PENDEKAR
Serial Pendekar Slebor Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

_=0 { 1 } 0=_

Malam pekat menyapa alam. Sunyi! Binatang malam seperti enggan bernyanyi. Entah kenapa. Mungkin terganggu oleh satu sosok tubuh berpakaian kuningkuning yang terus berkelebat cepat bagai dikejar sesuatu. Berkali-kali tubuhnya terpuruk mencium tanah.
Karena kakinya terantuk akar-akar pohon. Namun dipaksakannya untuk terus berlari. Larinya pun sempoyongan. Keringat sudah banyak mengalir di sekujur tubuhnya. Kelelahan benar-benar menyiksanya.
Empat puluh tombak di belakang sosok itu, tiga lelaki berwajah menyeramkan mengejar dengan kuda.
Berkali-kali mereka berteriak-teriak memanggil nama sosok yang dikejar, diiringi nada marah. Tentu saja sosok ramping berpakaian serba kuning yang ternyata seorang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Wajah cantiknya menjadi pias. Dia merasa harus bersembunyi. Tetapi dalam keadaan seperti ini, di mana harus bersembunyi" Kalau tidak sedang dikejar, sudah tentu gadis berpakaian serba kuning tak akan berani memasuki hutan lebat seperti ini. Membayangkannya saja tak pernah. Apalagi sampai memasuki tempat mengerikan ini. Namun gadis itu tetap memaksakan diri dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk melepaskan diri dari kejaran. Gadis ini tidak mau sampai ditangkap ketiga pengejarnya. Dia harus menyelamatkan diri dengan cara apa pun. Karena bila ditangkap, ia tahu apa yang akan dialaminya. Sudah tentu sesuatu yang sangat menakutkan! Tiga lelaki di atas kuda yang semua berpakaian warna merah itu terus memburu. Kuda-kuda mereka berlari tak terlalu cepat, juga tak terlalu lambat. Kegelapan hutan itu membuat mereka harus berhati-hati.
Sesekali mereka berhenti memperhatikan sekeliling.
Jika merasa pasti tak melihat, atau mendengar sosok yang diburu, mereka melanjutkan pencarian.
Di sebuah tempat yang agak terbuka, ketiganya kembali menghentikan laju kuda. Kini pakaian warna merah yang dikenakan semakin nyata, Di pinggang masing-masing terdapat sebilah parang besar.
"Savitri! Ayolah keluar, Manis.... Dewa Api menunggumu! Kau harus mau dijadikan istrinya! Ayolah, Savitri! Jangan sampai membuat kemarahanku menjadi-jadi! Ku bakar nanti hutan ini!" teriak salah seorang penunggang kuda.
Sementara gadis berpakaian serba kuning yang bernama Savitri itu sebenarnya sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dia merasa tak sanggup lagi melanjutkan larinya.
Dadanya semakin berdebar kencang. Gemuruh jantungnya disertai napas tersengal te- rus mencecarnya. Savitri berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Maka dengan susah payah mulutnya sesekali ditutup.
"Jangan sampai aku memaksamu untuk keluar, Savitri! Ayo. keluar! Atau, benar-benar akan ku bakar hutan ini!" ancam orang berkuda itu, menggebah ke-sunyian alam. Saking kerasnya, membuat seekor tupai yang tengah mencari makan di atas ranting pohon pun terjatuh. Savitri semakin ketakutan. Dia berusaha merapatkan tubuhnya. Sementara angin malam yang dingin membelai-belai sekujur tubuhnya. Tidak! Dia tidak mau dijadikan istri Dewa Api. Terbayang bagaimana ayah, ibu dan kedua adiknya tadi dibantai ketiga manusia durjana itu gara-gara dia menolak diminta menjadi istri Dewa Api. Dan sekarang, hanya ialah satusatunya yang tersisa dari keluarganya. Maka tak heran kalau Savitri berusaha sekuat tenaga agar tidak sampai ditemukan ketiga manusia laknat itu.
"Ayolah, Manis,... Dimana kau bersembunyi?" Suara menyebalkan itu terdengar kembali. Dan sosok tubuhnya sudah melompat dari kudanya, diikuti kedua penunggang kuda yang lain.
Savitri berusaha untuk menahan semburan nafasnya yang memburu. Dia harus tetap bertahan di sini. Namun apa yang diharapkan tak pernah terjadi.
Karena....
"Auuuwww...!" Tiba-tiba saja gadis cantik itu menjerit setinggi langit saking kagetnya. Tahu-tahu di hadapannya telah berdiri salah seorang dari ketiga sosok berpakaian merah-merah. Dengan seringai buas dan sinar mata keji, dia perlahan-lahan menghampiri Savitri.
Dengan ketakutan luar biasa, serentak Savitri melompat untuk berlari. Dan malang benar nasibnya. Karena, tangan orang itu sudah berhasil menangkap tubuhnya. Gadis ini langsung meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. Namun, orang bercambang bauk yang menangkapnya justru semakin erat merangkulnya.
Bahkan membawanya ke tempat kedua temannya menunggu.
"Bagus, Jaradeta! Naikkan dia ke kudamu! Kita harus segera kembali!" seru lelaki lain sambil melompat kembali ke punggung kudanya.
"Tentu saja, Gumila! Tentu ketua akan senang melihat kerja kita..." Sambil terbahak-bahak lelaki bercambang bauk yang bernama Jaradeta memaksa Savitri untuk naik ke kudanya. Sementara gadis manis itu berusaha berontak sekuat tenaga. Teriakan-teriakannya menggema ke seluruh hutan yang lebat ini Dan ini membuat Jaradeta menjadi jengkel. Dengan sekali mengayunkan tangan, Savitri terkulai pingsan.
"Hhh! Begini lebih baik!" desisnya. Langsung di-lemparnya tubuh molek Savitri ke atas punggung kudanya. Lalu, dia sendiri naik di belakang tubuh Savitri yang terkulai pingsan.
Ini adalah kesempatan pertama kita yang baik sekali untuk seterusnya mengabdi pada Dewa Api! Kita kembali ke Bukit Harimau!" ujar lelaki teman Jaradeta, yang dipanggil Gumila.
Akan tetapi, begitu ketiganya mencoba membalikkan arah kuda, tiba-tiba saja ketiganya tersentak. Karena kuda-kuda mereka tak bergerak sedikit pun! "Bangsat! Ada apa lagi ini"!" maki Gumila.
Kembali lelaki ini mencoba menyentakkan tali kekang kudanya. Namun, kudanya tetap berdiri tegar tanpa bergeser sedikit pun. Dengan penuh kegeraman Gumila melompat memeriksa kudanya.
"Manusia edan mana yang berani mati"!" dengus Gumila keras, mengandung kegeraman yang meledak-ledak di ubun-ubun.
Begitu mendengar seruan Gumila, Jaradeta dan teman satunya segera melompat dari kuda. Pandangan ketiganya tajam, mencoba menembus kegelapan hutan dan malam yang semakin menyeret waktu.
"Manusia busuk! Keluar kau!" seru Gumila geram.
Lelaki ini benar-benar tersentak menyadari kalau kuda-kuda mereka telah ditotok, sehingga tak bisa bergerak. Untuk menemukan di mana letaknya totokan itu sangat sulit.
Dan sebelum ketiganya berteriak keras...
"Ada apa sih ribut-ribut. Kenapa" Kuda kalian mau buang hajat kali..." Atau, kalian tak begitu pandai menunggangnya" Nah, ini kesempatan baik untuk ber-latih!" Mendadak terdengar seruan mengejek dari atas pohon, membuat ketiga lelaki berpakaian serba merah ini tersentak.

***

Seketika ketiganya mengangkat wajah. Dan tampaklah sosok tubuh tengah duduk santai di sebuah ranting pohon besar dengan kedua kaki menjuntaijuntai.
"Keparat! Rupanya kau ingin mampus! Cepat turun, Anak Kemarin Sore! Biar ku sunat burung mu!" maki Gumila, sewot.
"Wah, wah.... Biar anak kemarin sore, tapi kalau sunat-menyunat, pasti daging burung mu lebih alot, kan?" Gumila menggeram. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya sudah melenting ke atas dengan parang di tangan dikekebut. Crasss! Ranting yang tadi diduduki sosok tubuh itu pecah berantakan. Sementara Gumila sendiri sudah hinggap kembali di antara teman-temannya. Tetapi yang membuatnya terkejut, ternyata sosok tubuh tadi tak terlihat lagi.
"Gila! Anak kemarin sore dari mana berani menantang Tiga Parang Penunggang Kuda"!" makinya murka.
"Tentu saja anak kemarin sore dari kayangan yang berani menantang sapi-sapi busuk bau apek!" Tiba-tiba terdengar sahutan dari belakang. Serentak ketiganya berbalik dengan tatapan geram. Kali ini mereka bisa melihat jelas, siapa gerangan sosok tubuh itu. Wajahnya tampan dengan sepasang alis mirip kepakan sayap elang. Rambutnya yang gondrong dan tak rapi dipermainkan angin malam. Begitu pula pakaiannya yang berwarna hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur di bahu.
"Kenalkan nama sebelum nyawamu ku cabut!" sentak Gumila dengan kegeraman membludak.
"Wah.. Namaku terlalu mahal untuk diperkenalkan ke telinga kalian yang congekan itu. Dan asal tahu saja aku ingin agar gadis itu dilepaskan...," sahut si pemuda.
"Sok jadi pahlawan! Mampuslah kau!" Gumila sudah melompat dengan kibasan parangnya. Begitu pula yang dilakukan kedua kawannya.
Pemuda berbaju hijau pupus itu hanya tertawatawa saja. Dia tak bergerak sedikit pun dari berdirinya.
Namun begitu ketiga penyerangnya mendekat, tiba-tiba saja kedua kakinya diangkat dan tangannya diayunkan. Duk! Duk! Duk! "Aaakft!!!" Tiga tubuh lelaki berjuluk Tiga Parang Penunggang Kuda terbanting ke belakang. Namun serentak mereka bangkit dengan kegeraman menjadi-jadi.
Sementara Gumila merasakan asin di mulutnya.
Dan wajahnya langsung kelam menyadari hanya sekali gebrak saja telah dibuat berantakan.
Maka tanpa membuang waktu lagi, Tiga Parang Penunggang Kuda menderu kencang ke arah si pemuda yang masih tegak berdiri di tempatnya.
"Monyet buduk! Bukannya pergi dari sini, malah memaksaku berbuat lebih!" maki pemuda itu. Kembali kaki dan tangannya bergerak.
Kecepatannya sangat sulit ditangkap dengan mata.
Kembali pula seperti halnya yang pertama tadi, ketiga lelaki Seram bergulingan ke belakang. Gumila merasa tulang hidungnya patah. Jaradeta tiba-tiba merasakan nafasnya menjadi sesak. Sementara yang seorang lagi meraung keras karena tangannya yang menggenggam parang tadi patah. Sedangkan parangnya sendiri jatuh entah ke mana.
Orang ini sering dipanggil dengan nama Marsusa.
"Itu upah kalian yang mengganggu keasyikkan tidurku!" rutuk si pemuda dengan tersenyum.
"Ayo, pergi dari sini sebelum ku sunat burung kalian. Hus...! Hus...! Hus...!" Kegarangan Tiga Parang Penunggang Kuda pun meluntur sudah, meskipun mata mereka memancarkan dendam yang besar. Apalagi diusir macam ayam kampung.
"Orang muda..., siapa kau sebenarnya, hah"!" tanya Gumila.
"Mau apa sih, tanya-tanya segala"! Baik supaya kalian tak penasaran, namaku Andika! Orang-orang rimba persilatan menjuluki Pendekar Slebor! He he he...! Julukan yang bagus, bukan?" Terbukalah mata Tiga Parang Penunggang Kuda, Terutama sepasang mata besar dari Gumila. Pantas bila mereka tak berhasil merobohkan pemuda ini. Namun meskipun kegarangannya telah luntur, kegeraman di hatinya semakin mengeras! "Pendekar Slebor..., kau tunggu pembalasan kami!" ancam Gumila.
"Lho, kok" Ngancam, nih" Sudah, sudah! Pergi sana. Aku bosan melihat tampang kalian!" Gumila masih sempat melemparkan pandangan sengitnya, sebelum bergegas meninggalkan hutan itu dengan menahan rasa sakit di bagian tubuh. Tindakannya diikuti dua temannya.
Pemuda berbaju hijau pupus yang ternyata Andika menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dihampirinya sosok Savitri yang masih terkulai di atas punggung kuda yang tak bisa bergerak. Diangkatnya tubuh ramping berbau harum itu. Lalu direbahkannya di atas rumput yang mulai basah oleh embun.
"Cantik," gumam Pendekar Slebor setelah memperhatikan wajah Savitri yang kedua matanya terka- tup. Dalam sekali lihat saja Andika tahu di mana letak totokan yang membuat Savitri pingsan. Dibukanya totokan itu dengan sekali menekan ibu jarinya.
Sejenak tubuh Savitri terlonjak kaget, terdengar keluhan lembutnya dengan mata tetap terpejam.
"Aaakh...!" Pendekar Slebor menunggu gadis itu membuka matanya. Namun nampaknya Savitri benar-benar kelelahan. Hingga meskipun sudah terbebas dari totokan itu, gadis ini segera tertidur.
Andika pun merebahkan tubuh di sisi Savitri.
Ditatapnya pohon-pohon besar itu sambil telentang. Sinar rembulan hanya sedikit sekali yang bisa menerobos rimbunnya pepohonan.

***

_=0 { 2 } 0=_

"Pokoknya, kau harus mencari Pendekar Slebor, Menur! Aku menghendaki dia berjodoh denganmu!" Mungkin suara orang habis buang hajat kalah keras dibanding suara bentakan yang barusan terdengar.
Penuh semangat. Sepertinya perintah itu adalah sabda yang harus dilaksanakan gadis yang dipanggil Menur.
"Tetapi, Guru.... Bukankah Guru sudah mendengar sendiri kalau Kang Andika menginginkan perjodohan itu ditunda?" sanggah si gadis dengan alis sudah hampir bertaut.
"Hhh! Setan alas dengan pemuda urakan itu! Apa kau tidak tahu kalau dia sengaja menundanundanya?" tukas si lelaki tua yang dipanggil Guru.
Dia tak lain adalah Kaliki Lorot.
"Itu berarti keinginan guru, agar dia berjodoh denganku tidak disetujuinya."
"Pokoknya aku tidak mau tahu! Hari ini juga, kau harus berangkat mencarinya!" tandas Kaliki Lorot.
"Guru!"
"Jangan membantah, Menur! Berangkatlah! Cari calon suamimu itu...," ujar Kaliki Lorot, tak ingin di-bantah lagi.
Memang, dua orang itu adalah guru dan murid. Si murid yang bernama Menur duduk di lantai pendopo sebuah bangunan kecil. Wajahnya bulat telur dengan rambut tergerai. Pakaiannya ringkas berwarna biru, mencetak bentuk tubuhnya. Di punggungnya terdapat sebilah pedang berwarna hitam.
Berkali-kali Menur menghela napas, mendengar perintah gurunya yang memang sangat sukar dibantah. Dan teringat pada Pendekar Slebor yang dikatakan gurunya, membuat Menur teringat kembali pada peristiwa beberapa bulan yang lalu.
"Guru..., apakah masalah perjodohan ini tidak bi-sa ditunda lagi?" tanya Menur seraya mengangkat kepalanya.
Kaliki Lorot yang juga berwajah bulat menggelengkan kepalanya. Dia mengenakan pakaian warna hitam.
"Tidak! Aku hanya ingin melihat kau berjodoh dengan Pendekar Slebor!" sahut Kaliki Lorot tegas.
"Tetapi, Guru..." Sepasang mata hitam Kaliki Lorot kontan melotot.
Mungkin mata orang yang sekarat kalah besar dengan mata melotot lelaki tua ini.
"Mengapa kau selalu membantah, hah"! Apakah kau sebenarnya tidak mencintainya?" Menur terdiam. Gadis cantik dengan hidung bangir dan bibir memerah tipis itu menundukkan kepalanya. Bayang-bayang beberapa bulan lalu kembali menari-nari di benaknya. Mengejeknya, agar cintanya terbangkit kembali. Ah! Sudah jelas dia jatuh hati pada Pendekar Slebor. Hanya saja,' malu menunjukkannya pada siapapun juga. Terutama mengingat Pendekar Slebor yang menginginkan masalah perjodohan itu ditunda lebih dulu.
Akan tetapi, Menur yakin kalau sesungguhnya Pendekar Slebor menolak secara halus. Mungkin hal itu dilakukan Pendekar Slebor karena merasa didesak terus-menerus oleh gurunya (Untuk lebih jelas mengetahui siapa Menur dan Kaliki Lorot, silakan baca episode : "Malaikat Peti Mati").
"Hei, kenapa kau terdiam lagi, hah"! Kasmaran, ya?" ledek Kaliki Lorot.
Menur mengangkat kepalanya. Memperhatikan wajah bulat gurunya. Dia mendesah panjang.
"Baiklah Guru... Aku akan mencarinya...," kata Menur, menyetujui.
Seketika terdengar tawa keras Kaliki Lorot. Perutnya sampai terguncang-guncang.
"Itu baru muridku! Kalau kau sudah bertemu dengannya, seret dia ke sini! Mengerti?" Menur kembali hanya menganggukkan kepalanya saja. Tak tahu harus berbuat apa. Karena dia yakin, bila menolak perintah, gurunya akan marah besar.

***

Dengan seekor kuda, Menur meninggalkan pondok kecil di lembah tempat tinggalnya selama ini. Dalam hal menunggang kuda, Menur termasuk salah seorang jagonya. Dia tak melihat gurunya melepas kepergiannya. Berarti, Kaliki Lorot akan muncul di hadapannya bila gadis itu sudah membawa Pendekar Slebor. Di punggung kudanya yang berjalan tak begitu kencang, berjuta pikiran bermain di benak Menur. Berjuta kegalauan simpang siur dalam perasaannya.
Duh..., mencari seorang pemuda" Apakah ini pantas dilakukan seorang gadis" Namun Menur akan lebih gelisah lagi bila membayangkan bagaimana kemarahan gurunya bila menolak perintah. Rasanya memang sakit. Namun mau diapakan lagi" Meskipun tak tahu ke mana harus mencari Pendekar Slebor, Menur terus mengarahkan kudanya ke arah selatan. Dia pun tak yakin bisa menemukan pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan yang mempunyai berjuta langkah.
Kalaupun bisa menemukannya, apakah Menur akan mengatakan, Kang Andika..., ingatkah kau pada perjodohan kita" Aku ingin segera menjadi istrimu.
Oh, tidak! Tidak mungkin dia mengatakan seperti itu. Rasanya terlalu bodoh dan memalukan! Benarbenar tak menentu perasaan gadis itu sekarang ini.
Tepat matahari di tengah kepala, Menur tiba di sebuah desa. Kini kudanya digebah cepat. Kelincahannya benar-benar nampak sekali saat menunggang kuda. Namun kegalauan di hatinya benar-benar membuatnya tak tenang.
Namun, tiba-tiba saja laju kuda Menur terhenti.
Sepasang kaki depan kudanya langsung terangkat disertai ringkikan keras. Menur tersentak dan segera berusaha mengatasi keseimbangan kudanya. Akibatnya, dia harus terlempar ke tanah. Kalau saja tidak sigap, tubuhnya bisa terbanting di tanah. Selagi kudanya mengamuk tak menentu, Menur cepat menyergap dan menenangkannya. Sesaat bisa terlihat kalau kudanya begitu gelisah. Pasti ada sesua-tu yang mengganggunya.
Ini bukan omong kosong, karena Menur sangat mengetahui sifat kudanya.
"Tenang Manis.. tenang...," bujuk Menur.
"Auummm...! Mendadak saja terdengar auman yang sangat keras, seperti hendak menggetarkan isi alam ini. Tak la-ma, melompat seekor hewan besar dengan kulit belang. Si Manis kembali meringkik. Sementara Menur sendiri bergidik sejenak melihat binatang yang ternyata seekor harimau besar.
Belum lagi Menur bisa menguasai keterkejutannya....
"Busyet! Ke mana lagi si Belang?" Terdengar bentakan keras yang disusul munculnya satu sosok tubuh ramping berwajah cantik dengan rambut tergerai panjang. Pakaiannya terbuat dari Kulit harimau. Bagian bahu sebelah kanan terbuka. Di punggungnya terdapat sebilah pedang.
Gadis cantik ini mengomel-ngomel ketika melihat harimau yang ternyata peliharaannya sudah merebahkan tubuhnya.
"Bandel! Kau harus dikurung saja, Belang".
Lalu bagaikan seorang ibu, gadis berpakaian harimau ini menepuk kepala harimau yang kelihatan sangat menurut padanya.
Menur menarik napas lega melihat kalau gadis berpakaian kulit harimau adalah majikan dari harimau itu. Gadis berpakaian harimau itupun berdiri.
"Maaf ya" Memang bandel si Belang ini! Tahu-tahu dia sudah menghilang tadi!" ucap gadis itu pada Menur. Menur hanya tersenyum saja. Bila melihat wajahnya, sudah tentu gadis ini tidak berbeda jauh usia dengannya.
"Tidak apa-apa, meskipun cukup mengejutkan tadi," sahut Menur.
"Tetapi si Belang baik, Asalkan jangan dijahati. Oh ya.... Namaku Sari"
"Namaku Menur".
Kedua gadis ini saling melepas senyum. Gadis bersama harimau yang mengaku bernama Sari itu memang putri Ki Wirayuda, si Penguasa Harimau (Untuk lebih mengenal Sari, silakan baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Raja Akherat", "Neraka di Keraton Barat" dan "Sengketa di Gunung Merbabu") "Hendak kemanakah kau Menur"
"tanya Sari sambil memperhatikan wajah cantik dihadapannya.
Sedikit banyaknya, Sari bisa melihat kedukaan di mata yang bening itu. Oh.... Kedukaan apakah yang tengah dialami kawan barunya ini"
"Aku...,sedang mencari seseorang"
"Siapakah dia"!"
"Maafkan aku, Sari, Bukannya aku tak ingin mengatakannya kepadamu. Tetapi, kau kan tahu, sekali waktu, orang pasti mempunyai rahasia," desah Menur.
Meskipun sebenarnya rasa penasaran mengganggu hati Sari, tetapi dia maklumi juga.
"Kau sendiri?" tanya Menur kemudian.
"Oh! Aku sedang mencari si pemuda urakan! Huh! Sebel! Katanya ingin mengunjungi ku. Tetapi sudah beberapa purnama, dia tak pernah datang! Jadinya aku mencarinya!" Justru kebalikan dari sikapnya, Sari langsung menggerutu dan berkata terus terang.
"Siapa dia, Sari?" tanya Menur tersenyum. Hatinya yakin, kalau yang sedang dicari adalah kekasih Sari sendiri. Ah! Alangkah bahagianya mencari seorang yang disayangi dengan penuh rindu bercampur penasaran.
"Kang Andika!" sebut Sari, terus terang.
Kalau tadi Menur tersenyum, kali ini mengerutkan keningnya.
"Kang Andika?" ulang Menur.
"Ya. Pemuda brengsek itu!" mulut Sari membentuk kerucut.
"Tetapi biarpun begitu, aku menyukainya, lho!" Kali ini Menur terdiam. Ada sesuatu yang asing di hatinya, sesuatu yang tak bisa dimengerti mengapa bi-sa muncul secara tiba-tiba.
Apakah Andika yang dimaksud Sari adalah....
"Hei, kenapa diam?" celetuk Sari membuyarkan lamunan Menur.
Menur mencoba tersenyum. Ditatapnya dara jelita di hadapannya. Sekali bertemu Sari, Menur bisa menebak sifatnya yang polos, terbuka dan jujur. Bahkan ada terkesan manja. Kalau sifat yang terakhir itu, dia pun mempunyainya.
"Bolehkah aku tahu, siapa dia?" tanya Menur.
Kali ini wajah Sari memerah. Hatinya kelihatan ragu untuk mengatakannya.
"Sebenarnya sih..., dia bukan apa-apa ku. Tetapi ya tadi, aku menyukainya," tutur Sari, agak manja.
Bukan.... Bukan itu yang dimaksudkan Menur.
Karena dia ingin tahu siapakah yang dimaksudkan dengan 'Andika' oleh Sari.
"Tetapi selain menyukainya, kau juga mencintainya, kan?" tanya Menur, halus.
Sari tersipu-sipu.
"Ah, kau ini.. Rupanya senang menggoda, ya?" desah Sari pelan. Tetapi kemudian Menur bisa melihat wajah Sari yang menjadi mendung.
"Meskipun aku mencintainya, tetapi belum tentu pemuda urakan berjuluk Pendekar Slebor itu membalas cintaku...." Kalau ada berita yang lebih mengejutkan lagi, sudah tentu Menur tak seterkejut sekarang. Jadi, benar dugaannya. Kang Andika yang dimaksud gadis berkulit kuning langsat dan mengenakan pakaian kulit harimau itu tak lain dari Pendekar Slebor.
Dan ini membuat perasaan Menur jadi tidak enak.
"Oh, Kang Andika.... Ternyata bukan hanya aku yang mencintaimu. Dan yang berdiri di hadapanku ini pun sangat mencintaimu. Mungkin pula, masih banyak gadis cantik yang jatuh cinta padamu, Kang Andika...," desis Menur dalam hati.
Sesungguhnya, meskipun belum tau harus berkata apa jika bertemu Andika, tetapi Menur sebenarnya sangat senang mencari pemuda yang dicintainya. Tetapi sekarang, apakah dia harus bersaing dengan gadis bernama Sari ini" Sari melihat perubahan wajah Menur. Dipandanginya gadis itu dengan kening berkerut.
"Kenapa, Menur" Sepertinya, kau tengah memikirkan sesuatu yang sangat merisaukan!" usik Sari.
Menur mengangkat wajahnya. Lalu perlahanlahan menggeleng.
"Tidak apa-apa. Sari, mudah-mudahan kau bisa bertemu pemuda yang kau kasihi itu," desah Menur.
"Huh! Mencari pemuda urakan semacam dia sih, bukan soal gampang!" dengus Sari. Bibir merahnya yang indah itu kembali membentuk kerucut.
"Tetapi, kau akan tetap mencarinya, bukan?"
"Ya, sudah pasti! Kalau bertemu dengannya, huh! Akan kulabrak dia! Berani-beraninya membatalkan janjinya untuk mengunjungi ku! Padahal, aku menunggunya sangat lama!".
Menur tersenyum. Bisa dirasakannya betapa besarnya cinta kasih yang tertanam di dada Sari pada Pendekar Slebor. Lalu bagaimana dengan dirinya" Tetapi Menur tetap tersenyum, meskipun bingung bagaimana menghadapi gurunya nanti. Yang secara tidak langsung sudah berpesan kalau tidak berjumpa Pendekar Slebor, maka dia tidak akan pernah menemuinya. Dan masalah yang dihadapinya ini ternyata melebar menjadi pelik. Membentuk satu kesatuan yang membingungkan.
"Menunggu sebentar lagi kan tidak apa-apa, ya?" usik Menur. Sari tersenyum.
"Memang tidak apa-apa. Tetapi kan, aku sudah tidak sabar berjumpa dengannya."
"Itu wajar, Sari. Kalau kita merindukan seseorang atau sesuatu, maka perasaan tidak sabar akan mende-ra hati kita. Yah..., seperti yang sedang kau alami" desah Menur mencoba memberikan ketenangan pada dirinya sendiri.
"Iya, tetapi kan... awaaass...!"

***

Api besar tiba-tiba menyambar ke arah Menur.
Sebelum diperingatkan Sari, Menur sendiri sudah menangkap desir panas yang menderu ke arahnya.
Seketika gadis itu bergulingan ke samping. Sementara kudanya meringkik keras, dan berlari meninggalkan tempat itu dengan gerakan cepat.
"Manis!" Tetapi kuda milik Menur terus berlari kencang.
Sementara Sari bersiaga setelah mencabut pedangnya. Si Belang sudah berdiri tegak dengan raungan keras, menatap pada api yang membakar rumput yang diinjak Menur tadi.
"Bangsat busuk!! Perlihatkan diri sebelum kucincang tubuhmu!" bentak Sari keras.
Sementara, Menur masih berusaha tenang, meskipun berdiri dengan ke-siagaan penuh.
"Ha ha ha...!" Tiba-tiba, terdengar satu suara tawa yang sangat keras, sampai menggugurkan dedaunan. Bahkan si Belang sampai mengaum keras.
"Inilah yang paling cocok menjadi istriku! Cantik, pandai, dan benar-benar bisa memuaskan ku!" Belum juga gema tawa itu lenyap, terdengar suara bernada keras. Bahkan disusul oleh satu sosok tubuh tinggi besar yang melenting dari balik sebuah pohon.
Kedua dara jelita itu pun semakin bersiaga, menatap satu sosok tinggi besar berpakaian merah menyala.
Celananya berwarna hitam dengan selembar kain berwarna keemasan melingkar di pinggangnya.
Wajah sosok tinggi besar itu boleh dibilang sangat menyeramkan. Rambutnya pirang acak-acakan, dengan hidung bengkok mirip paruh betet. Telinga kanannya tidak ada. Sementara di telinga kirinya yang caplang bergantung sebuah anting panjang berbentuk lidah api. Dan yang paling mengerikan, dari sekujur tubuhnya memancarkan hawa panas luar biasa.
"Manusia jelek! Siapa kau, hah"!" bentak Sari penuh amarah.
Amarah gadis ini semakin menggelora setelah melihat betapa buruknya wajah yang baru muncul itu. Lebihlebih bila mengingat andai kata saja sahabat barunya ini tidak sigap, bisa-bisa menjadi manusia panggang.
Sosok mengerikan yang mengeluarkan hawa panas itu terbahak-bahak.
"Dua kelinci manis yang akan menghibur ku setiap saat," desisnya sambil menyeringai, menjijikkan.
Kedua gadis manis itu sadar kalau merekalah yang dimaksudkan 'dua kelinci manis'. Dan secara bersamaan, kegusaran keduanya menjadi naik. Menur sendiri sudah mencabut pedangnya.
Tetapi melihat sikap kedua dara jelita yang marah, tawa sosok tinggi besar itu bertambah keras.
"Kalian beruntung, karena ku pilih menjadi pen-damping ku! Ha ha ha...! Kalian akan melahirkan anak-anakku, anak-anak Dewa Api!" lanjut sosok berhawa panas ini.
Sari dan Menur berpandangan. Dewa Api" Siapa dia" Nampaknya baru kali ini keduanya mendengar julukan yang angker seperti itu.
"Lebih baik pergi dari sini, sebelum tubuhmu kucincang!" bentak Sari dalam kemarahan menggelegak.
"Itu lebih baik, Manis. Ingin sekali ku rasakan betapa lembutnya pedangmu!" sahut lelaki berjuluk De-wa Api.
"Hiaaa...!" Sebagai jawabannya Sari langsung menerjang dengan kejengkelan membara. Pedangnya siap menyambar tubuh Dewa Api yang berdiri di hadapannya dengan tawa terbahak-bahak sampai tubuhnya berguncang. Melihat lawannya hanya diam saja, Sari menambah tenaga dalam pada serangannya. Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi. Karena, belum lagi pedangnya menebas batang leher Dewa Api, tiba-tiba saja....
"Aaawww...!" Pedang yang dipegangnya cepat dilepaskan, Seketika dia merasakan pedangnya berubah menjadi bara! "Gila!" dengusnya sambil bersalto ke belakang.
Begitu mendarat, Sari melihat pedangnya telah lumer menjadi cairan berwarna merah yang panas! "Ha ha ha...!" Dewa Api terbahak-bahak "Mengapa tidak kau teruskan, Manis"!" ejeknya, sombong.
Menur yang berniat menyerangpun mengurungkan niatnya. Diperhatikannya pedang Sari dengan mata terbelalak. Bisa dibayangkan bagaimana bila tangan atau kakinya yang mampir ke tubuh Dewa Api. Sudah dapat dipastikan kalau dirinya pun akan terbakar begitu saja! Maka bergegas didekatinya Sari.
"Manusia ini sangat sukar dihadapi, Sari. Lebih baik kita menghindar saja," usul Menur berbisik. Dia menduga bila nekat menyerang, maka tak ampun tubuh mereka akan lumat.
Meskipun kekeraskepalaan sangat menampak di wajah Sari, tetapi akal sehatnya pun bisa dipergunakan untuk menyetujui usul Menur. Tetapi, sebelum mereka bergerak, Dewa Api sudah mengibaskan kedua tangannya. Wrrr! Api yang besar itu berkelebat ke arah kedua gadis ini. Namun Menur dan Sari langsung bergulingan. Saat itu juga, tempat tadi mereka berpijak sudah terbakar.
"Ayolah manis.. Bila kalian berdua bersedia menjadi istriku..., kalian akan kuperlakukan dengan baik!"
"Cih, Tidak tahu malu! Anjing pun menolak untuk kau gauli!" ejek Sari.
Sementara itu si Belang sudah tidak sabar menunggu perintah majikannya untuk menyerang manusia berhawa panas itu.
Mendengar kata-kata Sari yang pedas Dewa Api justru terbahak semakin keras. Bahkan tiba-tiba saja dari mulutnya yang terbuka keluar angin yang menderu kencang, memadamkan api yang bisa menjalar menghanguskan seluruh hutan.
"Itu tandanya aku masih mengasihani kalian," desis Dewa Api, seusai menggelar totokannya. Kembali dua gadis jelita itu berpandangan.
"Sari.... Aku yakin..., manusia api ini tak akan pernah melepaskan kita" bisik Menur.
"Lalu apa maksudmu, Menur?"
"Aku akan menyerangnya. Sementara manusia busuk itu kuserang, cepatlah tinggalkan tempat ini."
"Tidak! Kita telah menjadi sahabat. Dan kita harus bersama-sama menghadapi manusia busuk itu!" sahut Sari, membantah Menur pun sebenarnya menginginkan hal itu. Tetapi, entah mengapa di dasar hatinya yang terdalam merasa kasihan pada Sari, yang sama-sama merindukan Pendekar Slebor. Baginya, Pendekar Slebor memang lebih cocok bersanding dengan Sari.
"Sari..., saat ini tak perlu berdebat. Cepatlah tinggalkan tempat ini selagi kuserang manusia keparat itu!" bisik Menur lagi.
"Tidak! Kalaupun harus mati, kita harus mati bersama!" tandas Sari, tetap menggeleng. Sehabis berkata begitu, tiba-tiba saja Sari melompat menyerang Dewa Api yang masih terbahak-bahak dengan sebuah hantaman berisi tenaga dalam tinggi.
Namun sebelum tangan yang mengandung kekuatan penuh itu menerpa tubuh Dewa Api....
"Aaakh...!" Sari sudah melompat ke belakang. Hawa panas yang keluar dari tubuh Dewa Api sangat sulit ditahannya.
"Sariii!" seru Menur.
Gadis ini melihat pakaian Sari berubah menjadi hitam di bagian lengan kirinya. Dan mendadak saja, Menur mengempos tubuhnya. Satu kekuatan angin bak topan prahara mengiringi serangannya. Paling tidak barang sejenak bisa membuatnya tahan terhadap rasa panas yang menjilat-jilat.
"Uhh...!" Namun dalam jarak dua tindak saja, Menur sudah tak mampu lagi meneruskan serangannya.
Dewa Api terbahak-bahak.
"Batas kesabaranku sudah habis! Kalian berdua harus menjadi milikku!" Sehabis berkata begitu, tubuh Dewa Api pun menderu ke arah keduanya. Maka Sari dan Menur segera langsung berloncatan menghindar. Hawa panas benar-benar dirasakan, menjilat-jilat sekujur tubuhnya. Si Belang yang sejak tadi menunggu perintah, tak bisa lagi menahan diri melihat majikannya dibuat tunggang-langgang seperti itu. Dengan auman keras diterjangnya Dewa Api.
"Belaaang! Jangaaannn...!" teriak Sari.
Tetapi si Belang sudah menderu ke arah Dewa Api. Sejurus kemudian, terdengarlah raungannya yang sangat keras. Ekornya terbakar akibat kibasan tangan Dewa Api yang melakukannya sambil terbahak-bahak.
Sari cepat melompat mendekati peliharaannya, setelah meraup debu yang banyak terdapat di sana.
Dengan debu, dipadamkannya api yang membakar ekor si Belang. Binatang buas ini terduduk dengan wajah penuh geraman dan rintihan bercampur raungan.
"Tinggalkan tempat ini, Sari! Satu yang tertangkap lebih baik daripada keduaduanya!" teriak Menur, keras. Sehabis berkata begitu, Menur menginjak ekor si Belang. Akibatnya, binatang buas ini langsung melompat bagaikan tersentak. Sari yang masih memegang leher si Belang kontan terbawa. Dan mau tak mau, cepat ditungganginya si Belang yang sedang kesakitan.
Masih sempat dilihatnya Menur yang berusaha menghindari setiap serangan Dewa Api. Dan sebelum pemandangan itu menghilang karena si Belang sudah menyusup ke bagian hutan lebih dalam, Menur sudah jatuh pingsan. Bahkan masih didengarnya suara tawa Dewa Api. Hati Sari menjadi sedih. Namun untuk menghentikan si Belang saat ini, tidak semudah yang biasanya dia lakukan. Jadi, mau tak mau pegangannya pada si Belang justru diperketat agar tidak terjatuh.

***

_=0 { 3 } 0=_

"Mereka memaksaku untuk dijadikan istri Dewa Api, Kang Andika" desah Savitri mengakhiri ceritanya mengapa sampai dikejar orang-orang yang tadi mengejarnya.
Andika alias Pendekar Slebor hanya menganggukanggukkan kepalanya saja. Walaupun sifatnya urakan, namun bila melihat nasib malang gadis yang duduk tertunduk di hadapannya, hatinya trenyuh juga.
"Savitri, siapakah sesungguhnya Dewa Api itu?" tanya Pendekar Slebor, hati-hati.
Savitri menggelengkan kepalanya.
"Aku tak pernah tahu, siapa dia, Kang Andika. Tetapi yang pernah kudengar..., dia selalu menculik gadis-gadis untuk dijadikan sebagai pemuas nafsunya.
Konon kabarnya, ilmunya sangat tinggi." Andika mendesah.
"Kalau begitu, aku akan segera mencari Dewa Api.
Biar ku kawinkan dia nanti dengan kambing sekalian..!" desis Pendekar Slebor, tak menghilangkan ba-nyolannya.
"Tetapi, Kang Andika!.. Ilmu Dewa Api sukar dicari tandingannya," kata Savitri yang memang belum tahu siapa sesungguhnya pemuda tampan yang duduk di hadapannya. Andika tersenyum.
"Meskipun demikian, aku yakin.... Dewa Api pasti takut dengan Dewa Air. Kan kedua benda itu tak pernah akur.... Betul, kan" Nah, jadi setiap manusia pasti ada kelemahannya. Hm..., kalau begitu, kita berpisah di sini,"
"Kang Andika, aku ikut," kata gadis itu tiba-tiba.
Andika menggeleng. Bisa repot kalau gadis ini juga ikut.
"Tidak usah, Savitri. Biar aku yang pergi mencarinya," ujar Andika.
"Tetapi, aku ingin sekali membunuh manusia keparat itu."
"Dengar, Savitri! Kesulitan yang akan ku alami.
Dan aku tak mau kau ikut dalam kesulitan itu," tandas Andika, menekan suaranya.
"Masa bodoh! Pokoknya aku ikut! Lagi pula, aku hendak ke mana" Rumahku sudah hancur terbakar.
Kalaupun aku kembali, tak ada yang kutemui. Pokoknya, aku ikut!" Gadis yang keras kepala. Andika masih mencoba menghalangi keinginan Savitri, tetapi gadis itu tetap saja pada keinginannya.
"Ya, sudah! Kalau mau ikut, tapi jangan bandel, ya"!" kata Andika mendengus.
"Aku tak mau kau re-potkan! Kita berangkat sekarang untuk mencari tahu di mana Dewa Api tinggal." Savitri tersenyum senang. Dia yakin, pemuda tampan yang baru dikenalnya ini adalah orang baikbaik. Dan suatu saat, Savitri ingin sekali mengabdi pa-da Andika, menyandarkan hidupnya pada ketulusan sikap Andika.

***

Ada sesuatu yang memaksa Savitri untuk ikut bersama Andika. Yakni, dia seperti tak ingin kehilangan pemuda itu. Namun yang mengejutkannya, perjalanannya bersama Andika bukanlah perjalanan nyaman. Karena berulangkali Andika terlihat bertarung dengan beberapa tokoh persilatan golongan hitam.
Bahkan ada beberapa di antaranya yang memang ingin membunuh Andika. Maka, dari sanalah dia tahu, kalau pemuda yang berjalan di sisinya tak lain dari Pendekar Slebor.
"He he he...! Tidak usah takut. Memang begitulah hidupku. Selalu diintai maut," kata Andika di suatu malam.
Tangan Pendekar Slebor sedang sibuk mengipasi kelinci panggang. Aroma wangi daging panggang menyusup ke hidung, membuat perut siapa pun yang mencium menjadi lapar.
"Kang Andika..., mengapa mereka menginginkan nyawa Kang Andika?" Savitri yang penasaran ingin mengetahui siapa sesungguhnya Andika bertanya lagi.
Sementara Andika hanya mengangkat alisnya yang hitam bagaikan kepakan sayap elang.
"Tidak tahu, ya" Barangkali mereka iri karena aku lebih tampan..., ha ha ha...!" Savitri tersenyum kecut. Mulai lagi kesleboran Andika.
"Nah! Sudah matang sekarang! Ayo, kita sikat sampai habis!" Andika yang melihat kalau Savitri masih ingin bertanya, memutuskan gerak bibir gadis itu.
Kelinci besar yang dipanggang itu dibagi dua. Andika makan dengan lahapnya. Sementara Savitri sambil makan masih sesekali memperhatikan Andika.
"Nah, kenapa lagi?" sentak Andika tiba-tiba.
"Apakah kau juga ingin mengatakan, betapa tampannya aku ini?" Savitri yang merasa terpergoki buru-buru menundukkan kepalanya.
"Aku penasaran." Andika menggaruk-garukkan kepalanya.
"Kenapa sih?"
"Sebenarnya, siapakah Kang Andika ini?"
"Aku" Ya, namaku Andika. Kalau kau mau tahu orangnya, ya ini.... Yang berada di hadapanmu dengan perut kelaparan," sahut Andika nyengir.
Savitri tidak banyak bertanya lagi, karena tibatiba saja perutnya terasa lapar kembali.
Setelah selesai makan, Andika memadamkan api.
Karena, di tempat sunyi seperti ini bahaya akan selalu mengancam.
"Bisakah kau tidur di atas pohon, Savitri?" tanya Andika beberapa saat kemudian.
Gadis itu terbelalak.
"Oh"! Bagaimana kalau aku jatuh?"
"Ya ke bawah!" sahut Andika enteng.
Savitri yang melotot jadi tertawa mendengar jawaban itu. Kepalanya menggeleng.
"Kalau begitu, kita tidur saja di sini. Besok pagi, barulah meneruskan perjalanan lagi," ujar Andika sambil merebahkan tubuhnya.
Savitri bukanlah gadis manja. Maka, baginya lebih baik tidur di tanah saja daripada di atas pohon. Maka tubuhnya pun direbahkan di samping Andika.
Malam semakin membentang. Terbayang lagi, bagaimana rumahnya tiba-tiba terbakar dan tiga orang berparang besar menerobos masuk. Memaksanya agar ikut menghadap Dewa Api. Ayahnya yang berusia empat puluh lima tahun mencoba menghalangi tindakan ketiga manusia bengis itu. Tetapi, ajal segera menjem-putnya ketika salah seorang dari mereka mengibaskan parang. Begitu pula nasib ibu dan adik-adiknya. Untungnya dia masih bisa meloloskan diri.
Savitri menghela napas masygul. Apa yang bisa dilakukannya sekarang ini" Tiba-tiba saja gadis ini terbangun, ketika terdengar suara ranting patah dan langkah mendekat. Ketika menoleh ke samping, tampak Andika sudah terbujur kaku dengan dada berdarah.
Savitri menjerit keras, ketika melihat seorang lakilaki tinggi besar dengan tubuh mengeluarkan hawa panas terbahak-bahak mendekatinya.
Sebisanya gadis ini bangkit dan berlari. Namun, sosok tinggi besar itu terus mengejarnya. Jatuh bangun Savitri dibuatnya. Hingga satu saat, dia tak mampu lagi berlari. Sementara sosok tinggi besar itu menyeringai di hadapannya.
"Sudah kukatakan, kau harus menjadi istriku!"
"Tidak, jangan! Oh..., tidak!" seru Savitri sambil beringsut.
Sosok tinggi besar itu semakin menyeringai sambil mendekatinya.
"Kau harus menjadi istriku!" Lalu dengan buasnya, lelaki menyeramkan itu menyobek pakaian Savitri. Dirasakannya tubuh besar itu menindihnya sambil menciumi wajahnya dengan ganas.
"Tidak! Tidak! Tolooong.'" teriak Savitri keras.

***

"Savitri! Sadar! Sadar, Savitri!" Mendadak satu suara menerpa telinga Savitri, disertai guncangan tubuhnya. Savitri membuka matanya. Lalu dilihatnya Pendekar Slebor sedang menatapnya.
"Oh, Kang Andika!" desis gadis ini sambil merangkul Andika. Dan Pendekar Slebor pun balas merangkul.
"Tidak apa-apa. Kau aman, Savitri...." Savitri menangis di dada bidang Andika.
"Kau bermimpi buruk?" Savitri mengangguk.
"Sudahlah, tidak apa-apa. Hanya mimpi saja. Lebih baik tidur kembali...." Lalu hati-hati sekali Andika merebahkan tubuh gadis itu kembali. Diselimutinya dengan kain bercorak catur miliknya, kain pusaka warisan Ki Saptacakra.
"Tidurlah.... Aku akan menjaga mu sampai kau terbangun esok pagi...," ujar pemuda ini lembut.
Savitri berusaha memejamkan matanya. Namun, gagal. Karena, bayang-bayang mimpi yang mengerikan tadi masih melintas di benaknya. Begitu menakutkan! "Kang Andika...," desah gadis ini, memanggil.
Andika yang belum tidur membuka matanya.
"Kenapa, Savitri?"
"Aku takut, Kang...." Andika membalikkan tubuhnya. Ditatapnya wajah cantik yang berkeringat. Mata lembut itu mengerjap berkali-kali.
"Aku akan menjaga mu...," tandas Andika, lirih.
"Kang Andika...."
"Ya?"
"Maukah..., maukah..., kau...." Andika langsung merangkul gadis itu dengan lembut.
"Kalau kau memang ingin ku rangkul agar tenang, aku sudah melakukannya, bukan?"
"Bukan, bukan itu, Kang...," sahut gadis itu tiba-tiba. Andika langsung melepaskan rangkulannya dengan muka merah menahan malu.
"Lalu apa?"
"Maukah Kang Andika mengantarku buang air kecil?" Andika tertawa pelan sambil menepuk jidatnya.
Busyet! Ku pikir merangkulnya. Daripada malu, Andika pun mengiyakan.

***

_=0 { 4 } 0=_

Menur tersadar dari pingsannya. Yang pertama kali dirasakan adalah pusing yang benar-benar menyiksa. Tiba-tiba rasa dingin menyusup ke seluruh tubuhnya. Dan alangkah terkejutnya dara jelita itu, keti-ka menyadari kalau pakaian yang biasa dikenakan sudah berganti sehelai gaun tipis menerawang.
"Oh!" Gadis itu mendesah sambil menekuk lutut dengan kedua tangan. Matanya membelalak begitu mencium aroma wangi yang menebar ke seluruh ruangan yang berdinding kain warna merah muda. Ranjang yang ditempatinya pun beralaskan kain berwarna sama.
Di sisi ranjang, Menur melihat tiga orang gadis jelita berpakaian tipis menerawang berwarna biru langsung berdiri dan mengatupkan kedua tangan di dada, melihat Menur bangun.
"Dewi sudah bangun?" sapa salah seorang gadis.
Menur menoleh pada ketiga gadis yang baru dilihatnya. Wajah ketiganya begitu cantik dengan rambut tergerai panjang hingga punggung.
"Siapa kalian" Kenapa dengan pakaianku?" tanya Menur dengan wajah makin tak mengerti.
"Maafkan kami, Dewi.... Pakaian yang Dewi kenakan tak pantas dipakai lagi," ucap gadis itu.
"Namaku Menur! Bukan Dewi!" dengus Menur jengkel. Otaknya yang cerdik segera tahu kalau dirinya berada di bawah kekuasaan Dewa Api.
"Kami diperintah Dewa Api untuk menyebut mu dengan panggilan Dewi.... Mari, Dewi... kami akan segera memandikan Dewi...."
"Tidak! Aku ingin keluar dari sini!" dengus Menur dengan mata memperhatikan sekelilingnya.
"Maafkan kami, Dewi. Lebih baik, turuti saja kata-kata kami. Karena, semua ini perintah Dewa Api." Membayangkan betapa tingginya ilmu Dewa Api, Menur kini hanya menurut saja.
Apa yang diduga Menur memang benar. Karena sesungguhnya Dewa Api telah menutupi bangunan besarnya dengan ajian 'Bayangan Dalam Kabut'. Sehingga dari luar, bangunan itu tidak nampak.
Kini dengan hati-hati, ketiga gadis itu menuntun Menur yang rasanya tak sabar ingin memberontak saja. Diperlakukan seperti ini, Menur lagi-lagi hanya menurut saja. Dia dibawa ke sebuah tempat yang benarbenar mengeluarkan aroma harum semerbak.
"Maafkan, kami harus membuka seluruh pakaian Dewi."
"Aku tidak perlu mandi. Lebih baik, tunjukkan jalan keluar dari sini," kata Menur.
"Dewi., Dewa Api tentunya akan murka pada Dewi...." Kembali kesadaran Menur timbul. Saat ini dia memang harus menurut saja. Oh.... Kalau saja keinginan gurunya untuk mencari Pendekar Slebor tidak dipenuhi, sudah tentu dia tak akan mengalami nasib mengenaskan seperti ini.
Berada di bawah kekuasaan Dewa Api, berarti telah mencelupkan sebelah kakinya ke neraka. Bila memberontak, berarti pula mencelupkan kedua kakinya ke neraka.
Makanya, akhirnya Menur menurut saja semua aturan yang dibuat Dewa Api. Dan memang, dia mendapat layanan bagai seorang putri raja.

***

Baru saja Menur selesai makan, pintu ruang makan yang terbuat dari ukiran kayu jati terbuka. Satu sosok tinggi besar masuk sambil terbahak-bahak. Ketiga gadis berbaju biru tipis langsung duduk bersimpuh.
"Bagus, bagus sekali! Tak salah memang pilihan ku ini!" kata sosok tinggi besar yang tak lain Dewa Api.
Menur berdiri dengan wajah garang.
"Manusia keparat! Lepaskan aku dari tempatmu yang busuk ini!" sentak gadis itu.
Bukannya marah mendengar makian Menur, Dewa Api justru terbahak-bahak.
"Aku menginginkan mu hari ini juga, Manis..,." Menur membuang ludahnya ke lantai. Justru ketiga gadis berpakaian biru tipis itu yang menjadi ciut.
Mereka tahu, bagaimana bila Dewa Api sudah marah.
"Langkahi dulu mayatku, Manusia Biadab!" maki Menur.
Dewa Api menyeringai.
"Kau benar-benar memuaskan seleraku, Manis," kata Dewa Api, menyebalkan.
"Justru aku bertambah muak melihat tampang anjingmu itu! Aku tahu, aku tak akan mampu menghadapimu! Tetapi, sampai darahku yang penghabisan pun, akan kuhadapi kau!"
"Ha ha ha...! Ini sangat menyenangkan!"
"Hhh! Bila kekasihku datang, lehermu akan dipatahkannya!" Kali ini wajah Dewa Api memerah.
"Siapa kekasihmu itu?" tanya Dewa Api dengan suara menggelegar.
"Pendekar Slebor!" Wajah Dewa Api semakin memerah. Tangannya tiba-tiba bergerak. Seketika api yang panas menjilat-jilat menyambar makanan dan minuman yang ada di meja.
Bukan hanya makanan atau minuman saja yang hangus, tetapi kursi dan meja itu langsung jadi arang! "Manusia keparat itu! Hhh! Tak kusangka kalau kau kekasih Pendekar Slebor! Ini kesempatan bagiku untuk memancingnya datang. Karena dia telah mempecundangi ketiga anak buahku yang setia!" Betapa murkanya Dewa Api begitu menyadari kalau gadis yang berada di hadapannya ternyata kekasih Pendekar Slebor. Ketika Tiga Parang Penunggang Kuda melaporkan kegagalan mereka membawa Savitri karena ulah Pendekar Slebor, Dewa Api menggeram setinggi langit. Tubuhnya bagai bergetar. Merasa harga dirinya terinjak-injak kenekatan Pendekar Slebor.
Akan dibumi hanguskannya tubuh pendekar sialan itu. Itulah sebabnya, Dewa Api sengaja keluar dari sa-rangnya untuk mencari Pendekar Slebor. Dan yang pertama ditemuinya justru Menur dan Sari yang saat ini entah berada di mana. Kalau memang gadis yang berada di hadapannya ini kekasih Pendekar Slebor, sungguh suatu kebetulan! Sementara itu, nyali Menur menjadi ciut seketika mendengar kata-kata Dewa Api. Rupanya, saat ini Dewa Api sedang mendendam pada Pendekar Slebor. Entah, masalah apa. Tetapi karena sudah mempergunakan nama Pendekar Slebor, mau tak mau gadis ini harus lebih kelihatan berani, meskipun tahu betapa murkanya lelaki berwajah mengerikan itu.
"Jangan sesumbar kau, Manusia Busuk! Apakah kau tidak pernah mendengar nama kekasihku itu, hah"! Tubuhmu akan hancur berantakan dipatahpatahkan!" pancing Menur.
Dewa Api mengibaskan tangannya.
Des! "Aaakh...!" Tubuh Menur langsung terjajar ke belakang dan pingsan. Lalu dengan kegeraman sangat, Dewa Api keluar dari ruangan itu. Sementara ketiga gadis berbaju biru bergegas menolong Menur dan mencoba membuatnya sadar.
"Tak kusangka, kalau Dewi senekat ini," desis salah seorang dengan wajah muram.
Biar bagaimanapun juga, kewanitaannya terusik melihat Menur dianiaya.
"Sudahlah, jangan banyak bicara. Nanti kalau didengar Dewa Api, kita bisa luluh menjadi debu," sahut yang seorang lagi.
"Kencana benar, Harum," kata yang berbadan paling tinggi.
"Lebih baik kita diam saja bila masih sayang dengan nyawa masing-masing." Gadis yang dipanggil Harum menganggukkan kepalanya. Memang, salah sedikit saja bicara, bisa putus nyawa mereka selamalamanya. Dan dia baru sadar kalau setiap dinding di bangunan besar ini memiliki telinga yang tajam.
Lalu dengan hati-hati, Harum mengajak dua gadis yang masing-masing bernama Kencana dan Tari, membawa Menur ke pembaringan semula.

***

Begitu keluar dari ruang makan tadi, Dewa Api langsung mengumpulkan sahabat-sahabatnya. Saat itu juga kematian Pendekar Slebor sangat diinginkannya. Maka, lima orang pengikutnya termasuk Tiga Parang Penunggang Kuda pun segera meninggalkan tempat. Dua orang lainnya, adalah seorang lelaki tua yang selalu membawa sebuah batu giok berwarna hijau cemerlang. Kepala si tua yang berusia sekitar enam puluh lima tahun itu kelimis. Pakaiannya berwarna merah semacam rahib. Ada sehelai kain berselempang mulai dari bahu kiri ke pinggang kanan. Kumisnya putih menjuntai, dengan kedua alis putih mendongak ke atas. Dari kedua matanya yang merah, memancarkan sinar kekejaman. Dia dijuluki si Giok Selatan.
Sementara yang seorang lagi, wanita berparas bidadari. Bila melihat wajahnya, bisa diperkirakan usianya berkisar tiga puluh tahun. Namun sesungguhnya, wanita berbaju putih tipis yang menampakkan lekuk tubuh dan pakaian dalamnya berusia sekitar tujuh puluh tahun. Dia memang memiliki ilmu awet muda yang membuatnya sesegar gadis belia. Rambutnya yang berwarna hitam mengkilat digelung ke atas. Dihiasi sebuah tusuk konde bergambar bunga mawar.
Dia dijuluki Bidadari Bunga Mawar. Selalu menggunakan sebuah senjata semacam cambuk berlidah lima.
Tiga Parang Penunggang Kuda bergerak ke arah utara. Sementara Bidadari Bunga Mawar dan si Giok Selatan bergerak ke arah timur.
Dengan menyimpan dendam membara di hati masing-masing, Tiga Parang Penunggang Kuda bertekad untuk membalas kekalahan mereka pada Pendekar Slebor. Mereka pun menginginkan Savitri berhasil direbut. Tepat senja hari, Tiga Parang Penunggang Kuda tiba di sebuah lembah yang cukup tandus. Namun karena matahari sebentar lagi hendak kembali ke peraduannya, sinarnya tidak terlalu menyengat.
"Hhh! Gara-gara Pendekar Slebor, tugas kita jadi berantakan! Dia memang harus mampus!" geram Gumila. Terbayang lagi, bagaimana mereka dipecundangi Pendekar Slebor.
Jaradeta mengangguk dengan sorot mata memancarkan kemarahan teramat sangat. Begitu pula Marsusa yang kini lengan kirinya tak bisa digunakan lagi.
Dengan menggebah kuda masing-masing, mereka melintasi lembah tandus itu. Debu mengepul, namun tak begitu terasa panas di wajah.
Namun tiba-tiba saja, ketiga kuda mereka meringkik keras ketika.....
"Auuummm...!" Mendadak terdengar suara auman yang menggema ke seluruh lembah. Bila saja ketiganya tidak tangkas mengendalikan kuda, sudah pasti akan terbanting! "Bangsat! Hewan mana yang berani unjuk gigi!" bentak Gumila sambil melompat ringan ke tanah. Debu yang dipijaknya mengepul.
Begitu pula Jaradeta dan Marsusa. Suara auman yang keras itu terdengar lagi di telinga mereka.
Dan belum lagi mereka bergerak, seekor hewan berkaki empat yang besar muncul dari salah sebuah semak. Matanya yang liar menatap ketiga tokoh sesat ini. Langkahnya bagaikan menebarkan maut saja.
"Gila! Aku baru tahu kalau di Lembah Nista ini ada seekor harimau yang begitu besar!" seru Jaradeta, tercekat.
"Dan harimau ini akan menerkam kalian satu persatu!" Tiba-tiba terdengar satu suara disusul munculnya satu sosok tubuh ramping jelita yang hinggap ringan di samping harimau besar tadi.

***

_=0 { 5 } 0=_

Mata buas Tiga Parang Penunggang Kuda melotot melihat betapa jelitanya sosok ramping yang baru muncul. Seketika terdengar tawa menggema dari bibir menyebalkan ketiga lelaki itu.
"Pucuk di cinta ulam pun tiba!" seru Gumila.
"Hei, Manis.,.. Apakah harimau itu perliharaanmu?"
"Ya!" sahut Sari ketus.
"Dan dia akan menerkam kalian bila bersikap macammacam!" Gumila tertawa-tawa lagi. Di matanya, Sari tak ubahnya bagaikan seekor kelinci montok. Ini adalah saat-saat mengasyikkan. Karena menurut Gumila, apa yang diinginkan bisa didapatkan tanpa harus membawa gadis ini ke hadapan Dewa Api.
"Yang kuinginkan hanya satu macam. Kau layani kami di hari yang menjelang malam ini!" Wajah Sari seketika memerah. Sejak tadi gadis ini memang sudah melihat ketiganya yang menunggang kuda dari kejauhan. Dari sikap yang diperlihatkan, sudah jelas kalau ketiganya bukanlah orang baik-baik.
Apalagi tadi mendengar lelaki yang berbicara barusan menggeramkan nama Pendekar Slebor! "Manusia busuk! Lebih baik kalian bunuh diri saja dengan parang di pinggang kalian, daripada mampus digigit harimau ku ini!" Bukannya marah, Gumila terbahak-bahak. Tetapi hanya sesaat, karena di kejap lain tubuhnya sudah dikempos menyerang Sari.
"Hajar manusia keparat itu, Belang!" perintah Sari pada harimaunya.
Gumila pun membuang tubuhnya ketika si Belang dengan sigap melompat menerkam. Kalau saja tidak bertindak sigap, bisa dipastikan tubuhnya akan robekrobek terkena kuku tajam si Belang.
Sementara itu, Marsusa dan Jaradeta pun bergerak menangkap Sari. Tetapi mereka terkecoh, karena dengan ringannya Sari berkelit. Bahkan mengirimkan satu serangan cepat.
Menyadari kalau gadis berbaju dari kulit harimau ini bukan lawan sembarangan, dua dari Tiga Parang Penunggang Kuda pun meningkatkan serangan. Untuk sejenak, Sari menjadi gelagapan juga menerima dua serangan yang datang secara beruntun. Apalagi ketika keduanya sudah mencabut pedang masing-masing.
Kalau saja pedangnya tidak dihanguskan Dewa Api, dengan mudahnya Sari bisa mengimbangi. Dan kali ini, gadis itu memang tak bisa membalas. Dia hanya mengandalkan kecepatan dan kegesitannya saja untuk menghindari serangan yang datang bertubi-tubi disertai tawa keras dari kedua penyerangnya.
"Hiaaah...!" Tiba-tiba saja Sari membuat gerakan aneh. Tubuhnya tiba-tiba bergulingan. Lalu bagaikan seekor harimau, dia menerkam ke arah Jaradeta.
Jaradeta yang tadi merasa sudah berada di atas angin, terbelalak melihat serangan aneh itu. Parangnya berusaha dikibaskan.
Wuuttt...! Namun serangan Sari adalah satu gerak tipu belaka. Bukan tangannya yang menyerang, melainkan kakinya yang menyambar telak.
Desss...! "Aaakh...!" Jaradeta terpekik dengan tubuh terjungkal. Dadanya kontan terasa jebol. Ada darah yang mengalir di bibirnya.
Melihat Jaradeta dibuat terpelanting, Marsusa menggeram. Seketika parangnya dikibaskan secara kasar dan beruntun. Namun Sari yang sudah menemukan cara untuk mengatasi justru membuat Marsusa kerepotan sendiri.
Sementara itu, Gumila pun sudah mencabut parangnya pula. Dia benar-benar tak menyangka kalau seekor harimau mampu melakukan gerakan menyerang dan menghindar, mirip gerakan silat. Bahkan mampu membuatnya kelabakan sesaat.
Namun dengan parang di tangan, kali ini Gumila merasa benar-benar berada di atas angin. Si Belang pun dibuat pontang-panting.
Melihat hal itu, perhatian Sari menjadi terpecah.
Biar bagaimanapun juga, gadis ini teramat menyayangi si Belang. Sambil menghindari serangan Jaradeta dan Marsusa, tubuhnya bergerak ke arah Gumila. Dan....
Des! Tangan Sari mendarat telak di pinggang Gumila yang terhuyung dengan pinggang terasa mau patah.
"Belang! Kau tidak apa-apa?" tanya Sari sambil merangkul peliharaannya. Si Belang mengeluarkan suara auman pelan.
"Heiii! Awas, Belang!" Melihat Sari lengah, kesempatan ini dipergunakan Jaradeta dan Marsusa untuk menyerang kembali. Mereka tahu, kelemahan gadis ini justru terletak pada rasa kasih sayangnya terhadap hewan peliharaannya.
Bahkan kali ini bersama Gumila yang sudah menderu lagi, sesekali mereka juga menyerang si Belang. Hal ini tentu saja membuat Sari menjadi kerepotan. Malah hampir-hampir dirinya sendiri tidak terpikirkan.
Bahkan nasib Sari benar-benar sudah berada di ujung tanduk. Tak mungkin lagi bisa dihindari kurungan dari dua buah parang tajam yang cepat menyerangnya. Namun ketika gadis manis itu hampir saja berhasil ditangkap, tiba-tiba saja melesat dua bayangan kecil. Tak! Tak! Tahu-tahu dua buah parang terpental. Sementara dua bayangan kecil yang tak lain dua buah kerikil telah bergulir di tanah.

***

"Wah, wah! Masih belum kapok juga rupanya!" Tak lama, terdengar suara bersama munculnya satu sosok pemuda berpakaian hijau pupus. Si pemuda berwajah tampan menggeleng-geleng. Sementara Jaradeta dan Marsusa bergegas mengambil kembali parangnya.
"Kang Andika!" panggil Sari, bernada gembira.
Si pemuda memang Andika alias Pendekar Slebor.
Di sisi Andika berdiri seorang gadis berwajah lembut.
Sari yang hendak melangkah cepat mengurungkan niatnya. Hatinya bergetar. Siapakah gadis jelita yang berada di samping Andika itu" Melihat pendekar urakan yang dicarinya mendadak muncul, Gumila pun menghentikan serangannya pada si Belang. Binatang buas itu pun bergegas mendekati majikannya. Sementara Gumila sendiri berdiri di tengah-tengah Marsusa dan Jaradeta. Mereka memandang geram ke arah Pendekar Slebor yang masih tersenyum-senyum.
"Hei, Pemuda Urakan! Kalau waktu itu kau bisa mengalahkan kami, kali ini jangan berharap bisa melakukannya lagi!" bentak Gumila sengit.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sikapnya norak sekali. Sedangkan Savitri mendekati Sari yang menurutnya juga mengenal Pendekar Slebor. Menghadapi Savitri, entah kenapa perasaan Sari menjadi tak menentu.
"Aduhh..., jangan dong.... Waktu itu kan aku pura-pura menang...," ledek Andika, sambil memasang wajah takut. Jelek sekali.
"Sekarang begini saja. Bagaimana kalau kalian yang pura-pura kalah" Ha ha ha...." Gumila begitu geram mendengar pelecehan Andika.
Dan dia tak mau membuang waktu lagi. Kegeramannya sudah sampai ke ubun-ubun. Kebenciannya pada Pendekar Slebor sudah menggunung dan siap meledak.
"Hiaaat...!" Dengan ayunan ganas Gumila menderu mengibaskan parangnya. Begitu pula Jaradeta dan Marsusa.
Pendekar Slebor cepat menghindar dengan melenting ke belakang. Namun belum lagi hinggap di tanah dengan sempurna, ketiga parang itu sudah mengejarnya. Apa yang dikatakan Gumila memang benar. Kali ini mereka benar-benar tak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Slebor. Jurus-jurus parang yang berbahaya diperlihatkan. Andika sempat dibuat kerepotan sesaat. Namun berkat kecerdikan dan ketangkasannya, Andika berhasil menyusup masuk dan mencerai beraikan serangan yang beruntun itu.
Bahkan sambil berkelebat, Pendekar Slebor mendadak melepaskan bogem mentah ke iga Marsusa.
Diegkh...! "Aaakh...!" Marsusa langsung ambruk tak mampu bangun lagi. Tiga buah tulang iganya patah.
Hanya beda waktu lima kejapan saja, Andika telah berkelebat kembali sambil mengibaskan tangan ke kepala Jaradeta. Prak! "Aaa...!" Lelaki itu kontan ambruk dengan kepala pecah.
Darah langsung menggenangi tanah.
"Wah, nekat...!" seru Andika.
Kini tinggal Gumila yang kelihatan celingukan bingung. Namun kesombongannya mematikan segala ketakutannya. Dengan gagah tubuhnya meluruk menyerang.
"Sapi bunting! Mestinya kau melihat kawankawanmu itu!" seru Andika, langsung menyongsong serangan itu. Dengan satu kelitan dan sambil memutar tubuhnya, Pendekar Slebor melepas tendangan menggeledek.
Diegkh! "Aaakh...!" Tepat sekali tendangan Andika mendarat di wajah buruk Gumila. Hidungnya terasa pecah mengeluarkan darah. Tubuhnya terjajar ke belakang beberapa langkah.
"Apa kubilang"!!' kata Andika, seperti orang ter-paksa sekali melepaskan serangan. Dengan langkah ringan Andika mendekati Gumila yang masih menjerit-jerit kesakitan.
"Sakit, ya?" ejeknya.
"Kasihan. Hmm.... Kau bisa hidup lebih lama lagi kalau memberitahukan tempat tinggal Dewa Api jelek itu!"
"Phuih...!" Bukannya menjawab, Gumila malah meludahi wajah Andika.
"Busyet! Bau ludahmu busuk banget! Pasti kau tak pernah gosok gigi, ya"!" , Tiba-tiba Pendekar Slebor menyentil rusuk Gumila disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tak! "Aaakh...!" Gumila kontan roboh tak mampu bergerak lagi.
Urat geraknya hancur, terhantam sentilan Pendekar Slebor. Walaupun dia hidup, toh tak akan mampu bergerak lagi, alias lumpuh secara keseluruhan. Untuk saat ini Gumila tak sadarkan diri.
Pendekar Slebor lantas mendekati Sari dan Savitri.
Andika mengangkat kedua alisnya sambil nyengir.
"Apa kabarmu, Penunggang Harimau?" sapa Pendekar Slebor.
"Apa kabar, apa kabar"! Hei, Pemuda Urakan! Mana janjimu, hah"! Aku tunggu lama, kok tidak muncul-muncul juga! Brengsek! Brengsek! Aku jadi malu sendiri pada ayahku, karena mengharapkan kehadiranmu!" Sari langsung nyerocos.
Andika hanya tertawa saja.
"Maafkan aku, Sari.... Tapi jangan terus nyerocos begitu dong. Seperti mercon saja," sahut Andika, enteng.
"Brengsek! Kau ini memang tidak...." Tiba-tiba Sari menghentikan makiannya, begitu menyadari kalau di sisinya masih ada Savitri.
Savitri yang merasa kata-kata Sari terhenti karenanya, langsung tersenyum.
"Tidak apa-apa."
"Aku..., ah! Tidak, tidak.... Aku...." Andika tertawa.
"Kenapa jadi gelagapan" Makanya jangan sewot dulu. Apa kau mau kalau kau kubilang habis makan kroto, sehingga terus mengoceh persis seperti burung cucak rawa" Pokoknya, aku mengaku salah...."
"Iya, kau memang salah!" Andika tertawa lagi.
"Kalau sudah puas berkicau, ceritakan mengapa kau sampai bentrok dengan ketiga manusia itu?" ujar Andika.
Tiba-tiba saja Sari teringat akan sahabat barunya.
Ah! Bagaimana nasib Menur sekarang ini" Des9snya gelisah. Dan Andika menangkap kegelisahan itu.
"Ada apa, Sari" Kenapa gelisah seperti itu" Kurang sesajen, ya?" tanya Andika.
Sementara, si Belang sudah kembali merebahkan diri di sisi kaki majikannya, seolah tak ada masalah yang dihadapinya tadi.
"Ayolah, Sari. Ceritakan apa yang terjadi...," ujar Pendekar Slebor, penasaran.
Sambil menghela napas Sari menceritakan seluruh peristiwa yang dialaminya. Dan Pendekar Slebor mendengarkan penuh perhatian.
Andika mengerutkan keningnya setelah Sari menyelesaikan ceritanya.
"Menur" Apakah..., dia mengenakan pakaian berwarna biru, dengan pedang berwarangka hitam, Sari?" tanya Andika. Kini Sari yang mengerutkan keningnya. Dia jadi heran juga, kok Andika bisa tahu ciri-ciri Menur.
"Bagaimana Kang Andika bisa tahu?" tanya Sari, penasaran.
"Ah! Kalau begitu dia pasti murid Kaliki Lorot Sari! Kau yakin yang menghadang kalian waktu itu Dewa Api?" Sari mengangguk, meskipun heran bagaimana Andika bisa mengenal Menur. Tetapi kemudian, dia yakin kalau sebelumnya Andika memang pernah berjumpa. Gadis itu melihat wajah Andika yang tiba-tiba memerah. Dilihatnya pula bibir pemuda tampan itu tersenyum-senyum sendiri.
"Kenapa, Kang Andika?" usik Sari.
Andika mengangkat wajahnya.
"Tidak, tidak apa-apa," kilah si pemuda berbo-hong.
Padahal, Andika teringat kembali bagaimana Kaliki Lorot bersikeras agar Menur berjodoh dengannya.
Ah! Apakah kehadiran Menur kembali karena masalah perjodohan itu" Sari sendiri tidak mau meneruskan pertanyaannya, meskipun ada sesuatu yang lain di hatinya. Dia mengartikan kalau senyum-senyum dan wajah memerah Andika ada hubungannya dengan Menur. Dalam hubungan apa, Sari belum bisa menebaknya Andika sendiri masih menyadari arti tatapan Sari.
"Sari..., apakah kau juga hendak mencari Menur?" tanya Pendekar Slebor. Sari mengangguk.
Andika pun menceritakan kalau sebenarnya juga tengah mencari Dewa Api. Bila saat ini Menur berada dalam kekuasaan Dewa Api, Andika pun bermaksud menyelamatkannya pula.
Sari melirik Savitri yang hanya mengangguk saja berkali-kali, saat Andika menceritakan kesulitan yang menimpa.
Ah! Bila melihat tatapan mata penuh kasih milik Savitri pada Andika, perasaan tak menentu di hati Sari semakin menjadi-jadi.
Terus terang, hatinya iri melihat kemesraan yang diberikan Savitri pada Andika.
Apakah mereka sudah menjadi sepasang kekasih" Pertanyaan itu bergayut dalam hati Sari. Kalau memang iya, rasanya dia tak berhak mendekati Andika lagi. Tetapi, apakah dia bisa mendustai perasaannya sendiri yang semakin berkembang pada Andika" Apakah akan dibiarkannya bunga asmara yang telah bertunas dan semakin membesar ini layu kembali" Andika yang sejak tadi berkata-kata dan memperhatikan, bisa melihat kalau sinar cinta kasih di mata Sari begitu membara dan menghanyutkan. Ah! Apakah itu memang cinta" Tetapi saat ini, memang bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah cinta. Meskipun Andika tahu, cinta kasih gadis berbaju dari kulit harimau itu memang tulus.
"Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat mencari Dewa Api sekaligus menyelamatkan Menur," cetus Pendekar Slebor.
Sari tak bersuara. Ingat Menur, dia jadi teringat bahwa Menur pun tengah mencari seseorang pula. Andika-kah yang dicari sahabat barunya itu" Diam-diam keyakinan itu mulai merayapi hatinya. Yah.... Untuk apa Menur tidak menjawab pertanyaannya waktu itu" Apakah Menur enggan mengungkapkannya karena Sari sendiri pun mencari Pendekar Slebor" Oh.... Apakah di hati Menur ada rasa cinta yang sama seperti dirinya"
"Sari... Kau setuju?" tanya Andika, membuyarkan lamunan Sari.
"Oh, bagaimana" Apa..., apa yang kau tanyakan itu, Kang?" Sari gelagapan.
"Maksudku begini, Sari...," kata Andika, masih melirik Savitri.
"Kita akan segera berangkat untuk mencari Dewa Api, sekaligus menyelamatkan murid Kaliki Lorot."
"Oh, ya, ya! Tetapi, ah...! Biar aku pergi bersama si Belang saja."
"Wah, kalau gitu aku bersama Savitri saja. Kau tahu saja, Sari. Aku memang paling bersemangat berjalan dengan seorang gadis. Apalagi tanpa gangguan si Belang...," kata Andika, seenaknya.
"Aku..., ah! Rasanya..., aku harus segera pergi...," desah Sari seraya berkelebat pergi bersama si Belang.
Dasar tak berperasaan! Andika yang menyangka Sari akan tertawa karena canda, kini malah melongo.
Sementara Sari ingin sekali Andika menahannya.
Tapi lagi-lagi Andika tak menyadari kesalahannya.
"Apakah aku salah ngomong?" tanya Andika pada diri sendiri.
"Hei, Sari...! Jangan bertindak gegabah." Kata-kata Andika dirasakan Sari bagaikan satu pukulan. Karena, selama ini Pendekar Slebor memang selalu bertindak semaunya saja, sesuai sifatnya. Apakah ini berarti sudah jelas kalau Andika tidak menyukainya" Dan hanya menganggapnya hanya adik belaka, seperti yang dilakukannya waktu itu" (Silakan baca serial Pendekar Slebor dalam episode "Sengketa di Gunung Merbabu").
Kalau memang nyatanya seperti ini, keputusan Sari pun bulat. Dia memang tak perlu lagi bersamasama Andika, meskipun sangat mengharapkan sekali.
Apalagi, bila melihat tatapan mesra Savitri pada Andi-ka.

***

"Kang Andika.... Sudah lamakah kau bersahabat dengan Sari?" tanya Savitri.
"Oh, lama sekali."
"Dia cantik."
"Betul. Aku memang selalu pilih-pilih, Hanya gadis cantik saja yang pantas jadi temanku," kata Andika, mengobral kesombongan walaupun dengan maksud berseloroh.
"Dia juga seorang gadis berkepandaian tinggi, Kakang."
"Ya.... Tapi, sikapnya itu, lho! Dia terkadang membuatku kesal. Tindakannya tanpa perhitungan yang matang."
"Karena..., dia ingin diperhatikan, Kakang...," sahut Savitri.
Andika hanya tersenyum saja.
"Sudahlah.... Kita tak perlu lagi membicarakan soal Sari. Aku yakin, dia bisa menjaga dirinya. Sari telah lama ditempa oleh alam yang keras," ujar Pendekar Slebor akhirnya.
"Tapi, tidak seperti diriku, bukan?" tukas Savitri.
"Wah.... Kenapa jadi begini" Savitri..., aku tetap akan membantumu untuk membalas kematian kedua orang tua dan adik-adikmu. Di samping itu juga, aku ingin menghentikan sepak terjang Dewa Api. Ayolah, jangan bersikap cengeng seperti itu."
"Tetapi, Kakang...." Andika merangkulnya. Si pemuda benar-benar tidak paham kalau sesungguhnya gadis itu ingin mendengar pernyataan lain darinya selama dalam perjalanan. Tetapi yang disangka Andika, gadis itu sedang sedih karena teringat kembali nasib kedua orangtua dan adik-adiknya.
"Sudahlah.... Aku akan membantumu Savitri. Ayo, kita segera meneruskan perjalanan ini sebelum malam semakin larut." Savitri hanya menangguk saja.
"Kang Andika, tahukah kau kalau aku mulai mencintaimu?" gumam Savitri dalam hati.

***

_=0 { 6 } 0=_

Hujan turun deras menghantam bumi bertubitubi. Kegelapan malam menyambut dengan kelembutannya. Andika mendekap Savitri yang nampak kedinginan. Mereka kini berteduh di sebuah pohon rindang.
Meskipun tak sepenuhnya bisa menghindari dari basah, tetapi masih lumayan dijadikan tempat berteduh.
Saat merangkul Savitri, tak ada perasaan apa-apa di hati Andika. Tetapi lain halnya gadis itu. Malah kepalanya semakin dibenamkan ke dada bidang Andika.
Saat-saat seperti inilah yang diinginkannya.
Sementara benak Andika diam-diam memikirkan Sari dan Menur. Teringat Sari, teringat pula bagaimana perjumpaannya dulu dengan dara jelita penunggang harimau itu (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Raja Akherat").
Dan mengenai Menur, Pendekar Slebor teringat bagaimana guru Menur yang bernama Kaliki Lorot memaksanya untuk menikah dengan muridnya. Dan dengan satu kecerdikannya, Andika bisa menghindari dari paksaan perjodohan.
Memang persoalan macam inilah yang lebih memusingkan Andika. Pendekar Slebor merasa lebih baik menghadapi seorang lawan berkepandaian tinggi daripada masalah perjodohan.
Belum lagi Savitri yang semakin membenamkan kepalanya di dadanya. Bahkan tangan kanan gadis itu melingkar di pinggang Andika, seolah takut dilepaskan. Apakah akan ada masalah lain dengan gadis ini" Tiba-tiba saja kepala Andika menegak. Telinganya yang tajam mendengar suara orang berdendang. Suaranya bernada gembira, meskipun tak ketahuan juntrungannya lagu apa yang dinyanyikan.
Merasakan tubuh Pendekar Slebor bergerak, Savitri yang sedang menikmati rangkulannya mengangkat kepalanya.
"Ada apa, Kakang?" tanya gadis ini dengan sinar mesra.
Sejak tadi gadis ini menunggu Andika mencumbunya. Atau paling tidak, mengecupnya. Tetapi justru gadis itu menjadi malu, karena Andika tidak melakukan apa-apa.
"Jangan bersuara," ujar Pendekar Slebor mende-sis.
"Ada yang datang."
"Siapa yang datang, Kakang?" tanya Savitri, yang tak mendengar suara apa-apa.
"Aku tidak tahu."
"Aku tidak mendengar suara apa-apa."
"Lebih baik kau tetap di sini, Savitri. Aku tak ingin, ada kejadian yang akan menimpa kita," ujar Andika sambil berdiri. Hujan semakin deras saja.
"Jangan tinggalkan aku, Kakang...," pinta Savitri takut. Andika menatap sekilas.
"Aku tidak lama. Jangan ke mana-mana." Sebelum Savitri berkata lagi, Andika sudah berkelebat menerobos hujan yang deras dan pekatnya malam. Suara senandung itu semakin lama semakin keras di telinga.
Di sebuah tempat yang agak lapang, Pendekar Slebor melihat seorang lelaki berusia kira-kira sekitar seratus dua puluh tahun.
Laki-laki ini melangkah sambil bersenandung tak karuan. Wajahnya penuh keriput. Rambutnya yang panjang, basah oleh air hujan.
Di tangannya terdapat sebuah tongkat kecil dari bambu. Tiba-tiba sosok tubuh itu berhenti melangkah, tetapi mulutnya tetap bersenandung. Bila ingin melihat, mengapa tak keluar" Bila ingin mengenal, mengapa tak menjabat" Bila ingin jadi pengecut, silakan Bila ingin mampus, keluar saja.
Senandung aneh bernada tak karuan itu menye-lusup telinga Andika bagai menggelitik. Dan Pendekar Slebor menjadi malu hati ketika menyadari kalau kakek aneh berpakaian compang-camping berdada kerempeng itu menyindirnya. Berarti dia tahu kalau Andika sedang mengintip.
Sambil menggerutu Pendekar Slebor keluar dari tempat persembunyiannya. Sementara kakek itu terkekeh-kekeh melihatnya.
"Tadi kupikir sebangsa cecurut yang mengintip.
Tidak tahunya, monyet!" ledek kakek ini.
Dalam gelap itu wajah Andika memerah mendengar ejekan si Kakek.
"Tepat! Tepat sekali. Tadi pun kupikir yang muncul monyet tua. Tak tahunya memang monyet tua beneran." Kakek itu semakin keras kekehannya, mengalahkan deru hujan yang semakin deras. Tubuh mereka basah. Andika merasa angin yang bertiup semakin dingin dan keras. Apalagi ketika si Kakek terkekehkekeh.
"Kutu kupret! Ada monyet kecil berani melawan monyet tua"!" Wesss...! Tiba-tiba saja angin yang keras berkesiur ke arah Andika. Pendekar Slebor jadi tercekat melihatnya, karena tak melihat serangan yang dilakukan si Kakek.
Dan tahu-tahu tubuhnya bagai terbawa angin yang deras. Buk! Cukup keras tubuh Andika menabrak pohon di belakangnya, sehingga ngilu dan pegal sekali.
"Mau nambah lagi, Monyet Kecil"!" kata si Kakek dengan nada bersenandung, Andika melotot gusar.
"Biang panu! Ayo, sini maju! Huh! Beraninya main angin-anginan. Kenapa kita tidak bertarung barang beberapa jurus, hah"!" maki Andika, sewot. Bukan karena serangan tadi. Tapi, bisul dipantatnya yang mau sembuh terluka lagi. Sakitnya nyut-nyutan.
"Eh! Melawan aku, hah"!" Wuusss...! Tiba-tiba Andika kembali merasakan satu tenaga halus keras menderu ke arahnya. Kali ini Pendekar Slebor yang sudah menduga serangan bisa menghindar dengan melompat ke samping. Namun mendadak kakinya terasa bagai dihantam pukulan keras sekali.
Bruk...! Pendekar Slebor terjatuh keras di tanah. Mulutnya meringis menahan sakit.
"Busyet! Siapa sih kau ini, Kek"!" tanya Pendekar Slebor, sambil bangkit berdiri.
"Huuu.... Katanya mau bertarung beberapa jurus.... Tapi sekarang, malah mau kenalan. Genit juga kau, ya?" sahut si Kakek.
"Sialan!" Andika menggerutu.
"Orang-orang menjulukiku Dewa Senandung. Nah! Dengarlah senandungku yang merdu ini." Lalu tanpa disuruh, si Kakek bersenandung. Sepertinya dilakukan dengan sangat pelan. Tetapi bagi Andika, suara itu sangat keras dan sember. Mungkin suara orang telat buang air kalah jelek dibanding sua-ra si Kakek.
"Wah! Bisa mulas perutku ini!" desis Andika.
"Sudah, Kek! Jangan habiskan suaramu! Nanti saja bila kau sekarat. Bersuaralah sepuas-puasmu...!" Lelaki tua berjuluk Dewa Senandung terkekehkekeh.
"Benar juga kau. Sudah, minggir sana! Aku harus mencari si Murid Murtad itu!" ujar Dewa Senandung.
Lalu tanpa mempedulikan Andika, Dewa Senandung melangkah sambil bersenandung pula. Dilewatinya Andika yang sedang menggaruk-garuk kepalanya. Kini dia yakin, kalau di dunia ini begitu banyaknya orang aneh yang memiliki ilmu tak kalah anehnya. Bahkan begitu mengerikan.
Tiba-tiba Andika mengejar.
"Kek! Siapa murid murtad yang kau cari itu?" tanya Pendekar Slebor, keras.
Lelaki tua itu berhenti. Dan Andika berdiri di depannya. Bibir Dewa Senandung berbentuk kerucut.
"Apa maumu, hah"! Lagi pula, kau tak mengenalnya! Orang seperti kau ini, bisa apa?" Wajah Andika memerah mendengar ejekan seperti itu, tetapi tak dipedulikan.
"Barangkali saja aku bisa membantu mencari murid murtad mu itu".
Dewa Senandung menatap Andika sejenak, lalu terkekeh-kekeh.
"Kalau melihat kenekatan mu ini, aku yakin kau punya ilmu lumayan. Yah, barangkali buat mengusir kambing. Heh, Pemuda! Kalau kau memang tahu di mana muridku, kau akan kuberi hadiah seekor kambing. Lumayan, buat teman perjalananmu. He he he...!"
"Busyet! Banyak omong juga ini orang! Siapa nama muridmu?"
"Namanya Galang Nirka! Tetapi dia menjuluki dirinya Dewa Api!" Mendengar julukan itu disebutkan, Andika tersentak. Tapi dia cepat menguasai diri agar keterkejutannya tak diketahui.
"Dewa Api?" ulang Andika.
"Iya! Budek!" Andika tak mempedulikan makian itu.
"Kalau itu aku mengenalnya, Kek! Tetapi, di mana dia berada aku tidak tahu!" Dewa Senandung meneruskan langkah.
"Percuma!" cibirnya.
"Tunggu!" ujar Andika.
Dan belum lagi Pendekar Slebor mendekati Dewa Senandung, tiba-tiba saja tubuhnya terpental ke belakang.
"Edan!" makinya.
Pendekar Slebor mengempos kembali tubuhnya.
Dan ketika dirasakannya angin besar yang berliuk-liuk ke arahnya dengan cekatan Andika berlompatan menghindarinya.
Pendekar Slebor memang sudah terbiasa oleh serangan mendadak seperti ini. Apalagi, saat dia di Lembah Kutukan. Pendekar Slebor harus membuat jurus menghindar sendiri untuk melayani hujan petir yang menyerangnya. Maka tak heran kalau Andika mampu menghindari serangan aneh yang tak terlihat itu. Hing-ga kemudian, dia sudah berdiri di hadapan Dewa Senandung yang kali ini mengerutkan keningnya.
Senandung yang biasanya dilantunkan terhenti.
"Hei, Anak Muda! Bila melihat gerakanmu itu, rasanya aku pernah mengenalnya! Busyet! Hei, Pemuda Urakan! Kau dari Lembah Kutukan, ya?" Andika tersenyum bangga. Seolah setelah tahu siapa dirinya, Andika yakin kakek ini akan memujinya.
"Brengsek! Mana mungkin Ki Saptacakra mau mengangkat murid seperti kau ini, hah"!" Kontan senyum bangga Andika lenyap, berganti dengan wajah jengkel. Andika menggaruk-garuk kepala. Benar-benar menjengkelkan orang tua aneh ini.
"Kalau tidak percaya ya sudah! Aku sendiri tidak mengharapkan kau percaya!" tukas Andika, gondok.
"Aku percaya, percaya.... Kau memang murid K Saptacakra. Yang ku herankan, mau-maunya dia mengangkat murid dari orang jelek sepertimu...!" sahut Dew Senandung enteng, seraya melangkah. Andika menggerutu. Dibiarkannya saja Dewa Senandung meninggalkan tempat itu. Meskipun hatinya penasaran ingin tahu mengapa Dewa Senandung mencari Dewa Api yang ternyata muridnya.
Andika pun bermaksud menemui Savitri. Namun alangkah terkejutnya Pendekar Slebor, ketika tidak melihat gadis itu di tempat semula. Justru yang dilihatnya adalah seorang wanita berparas bidadari. Pakaian berwarna putih tembus pandang. Di rambutnya yang digelung ke atas, terdapat sebuah tusuk konde bergambar bunga mawar. Dan sosok itu semakin menggairahkan saja ketika pakaiannya yang tipis basah oleh air hujan. Semakin memperlihatkan lekuk tubuhnya!

***

_=0 { 7 } 0=_

Andika terdiam sesaat, meskipun sempat tergoda dengan penampilan sosok bidadari di hadapannya.
"Di mana gadis yang tadi berada di sana, Nisanak?" tanya Pendekar Slebor.
Sosok berpakaian tipis dengan senjata cambuk berlidah lima yang tak lain Bidadari Bunga Mawar tersenyum. Dari senyumnya memancar sebuah pesona yang benar-benar sukar ditepiskan.
"Apakah kau bertanya padaku, Tampan?"
"Apakah aku bicara dengan tuyul, Perempuan?" balas Andika kalem.
Bidadari Bunga Mawar lagi-lagi hanya tersenyum.
"Mengapa kau ribut memikirkan gadis itu, Tampan" Bukankah masih ada aku yang bisa mengisi kekosongan mu di udara yang dingin seperti ini?"
"Sebetulnya aku mau mengisi kekosongan ini denganmu.... Tapi maaf, deh.... Perutku lagi mulas, nih....
Nah, sekarang coba kau dengar...!" ujar Andika seraya menunggingi Bidadari Bunga Mawar. Duuttt...! Sehabis mengeluarkan angin tanpa ampas, Andika melangkah meninggalkan tempat ini hendak mencari Savitri. Namun kedua kakinya tiba-tiba terasa menjadi berat.
"Busyet, ingin main-main rupanya," desisnya dalam hati. Seketika Pendekar Slebor mengalirkan tenaga 'inti petir'nya. Sebentar saja, dia sudah terbebas dari belenggu tak terlihat itu. Dan bagaikan tak pernah dijerat belenggu tak terlihat itu, Andika meneruskan langkah-nya. Justru Bidadari Bunga Mawar yang terkejut.
Dia tahu betul, serangannya tak bisa dianggap sembarangan. Sambil menahan merah wajahnya, tubuhnya melenting ke arah Andika yang sedang melangkah menerobos hujan.
"Mau lagi?" tukas Pendekar Slebor begitu Bidadari Bunga Mawar berdiri di hadapannya dengan penuh senyum.
"Kau tak akan pernah kubiarkan meninggalkan tempat ini sebelum menemaniku tidur...," desah Bidadari Bunga Mawar sambil mengerahkan seluruh pesona yang dimilikinya.
Berdesir darah Andika. Tak dipungkiri, birahinya terbangkit saat itu juga. Namun sejurus kemudian, Pendekar Slebor yakin kalau wanita ini tergolong wani-ta cabul yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasan.
Andika menatap Bidadari Bunga Mawar yang masih tersenyum padanya.
"Kau lebih baik...." Kata-kata Andika terhenti mendadak. Sebuah perasaan aneh kembali merayapi seluruh hati dan jiwanya. Namun kali ini sangat dahsyat. Dan yang paling aneh, mendadak saja wanita itu melepaskan pakaiannya satu persatu. Andika ingin mencegah, tetapi rasanya tak mampu dilakukannya.
Kini sepasang bola matanya berbinar-binar penuh nafsu membara. Kelaki-lakiannya tergugah melihat tubuh indah yang sekarang tanpa selembar benang sehelai pun.
"Gila! Wanita ini mau mengobral tubuhnya"!" Kalau sudah begini, apa yang mesti dilakukan Andika" Padahal, Bidadari Bunga Mawar sudah mendekati dengan langkah gemulai penuh tantangan, membuatnya semakin tak menentu. Apalagi ketika tangan lembut itu menyentuh bahunya. Semakin melayanglah perasaan Andika.
Andika tak ingin menjatuhkan hasrat dirinya sendiri dengan terbuai oleh budak nafsu. Gejolak birahi dalam dadanya berusaha ditekan, memadamkan nafsu yang telah membakar jiwanya. Bagai digebah suatu kekuatan dahsyat...
"Heaaa...!" Pendekar Slebor berteriak keras. Suaranya menggema, mengalahkan derasnya air hujan.
Bersamaan dengan itu, terlihat kalau Bidadari Bunga Mawar masih berpakaian! Jelas, wanita ini diam-diam mengirimkan ajian pesona yang entah apa namanya.
"Ha ha ha...! Dasar penipu! Kau mau menipu mataku, ya..." Tak usah ya...!" ledek Andika, malah dengan tawa menjengkelkan.
Bukan apa-apa, Andika pun telah terbiasa menghadapi lawan yang menggunakan ilmu sihir.
"Aduh, Cah Tampan.... Mengapa kau begitu kejam padaku?" tukas Bidadari Bunga Mawar. Suaranya benar-benar penuh rangsangan.
Padahal dalam hati dia menggeram karena gagal mempengaruhi Andika dengan ajian 'Balik Mata*.
"Eh, ngomong-ngomong siapa sebenarnya kau ini?" tanya Andika, tenang tapi penuh kewaspadaan.
Kekuatan batinnya telah ditingkatkan secara penuh.
Bidadari Bunga Mawar terkikik. Matanya mengerling genit.
"Namaku" Hi hi hi..! Inilah yang aku sukai, Cah Tampan. Orang-orang menyebutku Bidadari Bunga Mawar. Nah! Datanglah ke pelukanku. Akan kubawa kau ke alam yang tak akan pernah terlupakan!" rayu Bidadari Bunga Mawar.
Kembali Andika merasakan ada getaran aneh di hatinya. Kali ini semakin berusaha ditahan, justru semakin menjerat sukmanya. Di bawah hujan yang deras, Andika merasa tubuhnya berkeringat.
"Heaaa...!" Tiba-tiba saja Pendekar Slebor membentak sambil melompat ke arah Bidadari Bunga Mawar! Wuuuttt! Pukulan cepat dan keras yang dilepaskan Andika meleset dari sasarannya, karena Bidadari Bunga Mawar berhasil menghindari dengan memutar tubuhnya sambil melompat ke kanan.
Sesungguhnya apa yang dialami Savitri saat Andika meninggalkannya" Savitri waktu itu sangat terkejut ketika tiba-tiba saja di hadapannya muncul Bidadari Bunga Mawar dan si Giok Selatan. Si Giok Selatan yang mengenal Savitri sebagai gadis yang diinginkan Dewa Api, langsung menyambar dan membekapnya.
Sudah tentu Savitri tak mampu melawan, karena memang tak memiliki kepandaian apa-apa.
Dari Savitrilah mereka tahu, kalau Pendekar Slebor tadi bersamanya. Akhirnya diputuskan, si Giok Selatan akan membawa Savitri ke tempat kediaman Dewa Api, sementara Bidadari Bunga Mawar menunggu kedatangan Pendekar Slebor.
Sebenarnya Bidadari Bunga Mawar ingin melakukan pembokongan terhadap Pendekar Slebor. Apalagi bila mengingat kalau Dewa Api menginginkan nyawa Pendekar Slebor. Namun begitu melihat kalau yang muncul sangat tampan, Bidadari Bunga Mawar yang memang tak mampu menahan dirinya, menjadi terpikat pada Pendekar Slebor.
Wanita ini bermaksud mengajak Pendekar Slebor berkencan sebelum akhirnya dibunuh. Namun dua kali serangannya bisa digagalkan Pendekar Slebor.
Bahkan ketika kembali mengerahkan ajian 'Balik Mata', tiba-tiba saja pemuda itu menyerangnya.
Tak ada lagi keinginannya untuk mendapatkan Pendekar Slebor. Yang ada hanya keinginan untuk membunuh! "Hm.... Aku yakin, kau pasti menyembunyikan Savitri! Di mana dia berada?" tanya Andika sambil terus menyerang.
Bidadari Bunga Mawar terkikik-kikik sambil berkelit. Dan setiap kali wanita itu berkelit, tercium aroma yang begitu wangi membuat orang mabuk kepayang.
Tetapi, pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu telah menutup jalan nafasnya saat menyerang.
"Hi hi hi...! Bila kau mau tidur denganku, dengan senang hati akan kukatakan di mana dia...," balas Bidadari Bunga Mawar, meremehkan.
Pendekar Slebor memang paling kesal diremehkan. Tapi bukan berarti dia jumawa. Dia hanya tak ingin harga dirinya diinjak-injak. Apalagi juga merasa harus bertanggung jawab atas keselamatan Savitri.
Dua hal ini sudah cukup menjadi alasan bagi Pendekar Slebor untuk menghentikan sepak terjang Bidadari Bunga Mawar. Kini setiap kali tangan Pendekar Slebor mengibas, suara bagai ledakan petir kecil terdengar. Dan ini sejenak mampu membuat Bidadari Bunga Mawar terhenyak. Dan berulang kali wanita ini menghindar dengan gerakan-gerakan gemulai, yang tetap penuh rangsangan. Dan ketika hinggap di tanah, di tangannya sudah tergenggam senjata pecut yang langsung bergeletar ke arah Pendekar Slebor.
Ctarrr! Andika cepat menghentikan serangannya. Namun dengan cepat tubuhnya bergulingan.
Bidadari Bunga Mawar tak mau memberikan kesempatan lagi. Pecutnya terus mencecar Andika. Angin panas yang keras menderu setiap kali senjatanya dikibaskan. Bahkan sebatang pohon langsung tumbang begitu terhantam.
"Busyet! Dikiranya aku kuda lumping, kali"!" maki Andika.
Mendadak Pendekar Slebor bersalto ke depan. Di tangannya telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa'.
Bertepatan dengan itu, Bidadari Bunga Mawar pun sedang menderu ke arahnya dengan tenaga penuh yang tersalur pada kebutannya.
Blarrr...! Tak ayal lagi, dua tenaga penuh itu beradu, menimbulkan ledakan keras.
Tubuh Andika terhuyung ke belakang dengan dada nyeri. Sedangkan Bidadari Bunga Mawar terhuyung dengan darah mengalir dari mulutnya. Yang membuatnya semakin geram, senjata kebutannya ternyata sudah berantakan.
"Bangsat keparat! Kau harus mengganti senjataku ini dengan nyawamu!" Tiba-tiba saja tangan Bidadari Bunga Mawar mengembang bagaikan kuncup mawar yang berbunga. Tubuhnya lantas meluruk dengan tangan mengarah pada kepala Andika. Dengan kelincahannya, berulangkali Pendekar Slebor berusaha menyelamatkan kepalanya. Dia mengegos ke sana kemari. Setiap kali tangan wanita itu bergerak, Andika merasakan udara yang menusuk tulang. Dan ini membuatnya yakin, kalau bentrokan tangan harus dihindari.
Apa yang diperkirakannya memang benar. Karena begitu tangan Bidadari Bunga Mawar menghantam si batang pohon, kontan langsung hangus! Untuk sesaat Andika menjadi kelabakan menghindari serangan itu. Apa yang harus dilakukannya" Ternyata kegesitan Pendekar Slebor lebih banyak dipergunakan daripada menyerang. Ketika melihat satu sela yang baik, Andika cepat berkelebat menerobos.
Tangannya yang telah terangkum tenaga 'inti petir' tingkat ketujuh, langsung bergerak mengibas.
Des! "Aaakh...!" Tubuh Bidadari Bunga Mawar terhuyung ke belakang begitu kibasan tangan mendarat pada sasaran.
Dadanya terasa semakin sakit. Andika kali ini tak mau memberi kesempatan lagi.
Diegkh! Kaki Andika seketika menerjang, tepat menghantam dada wanita berbaju putih tipis itu hingga bergulingan. Wajahnya yang jelita belepotan terkena tanah basah. Dengan satu gerakan manis, Andika melompat memetik sebuah daun pohon di atasnya, lalu melemparkan ke arah Bidadari Bunga Mawar.
Tas! "Uhh...!" Daun yang berisi tenaga dalam tinggi itu tepat mengenai urat di bawah lengan kiri wanita itu. Seketi-ka Bidadari Bunga Mawar sulit bergerak, namun mulutnya meracau penuh amarah.
Andika melangkah mendekatinya. Ditatapnya Bidadari Bunga Mawar yang terus menyerocos marah.
"He he he.... Kau tidur sama cacing saja, ya" Oh ya.. Di mana sahabatku Savitri berada?" oceh Pendekar Slebor, kalem.
Sementara diam-diam dialirkannya hawa murni untuk menahan rasa nyeri yang dideritanya.
Mulut Bidadari Bunga Mawar bukannya menjawab, justru memaki-maki. Lama kelamaan membuat Andika menjadi jengkel sendiri. Tetapi dia berusaha menahannya.
"Hei"! Kalau ditanya, kau harus menjawab. Bukan memaki-maki begitu. Ibumu tak pernah mengajar sopan santun, ya" Ayo, jawab. Di mana Savitri" Aku tahu, kau menyembunyikannya...!" sentak Andika, sok berwibawa.
"Lalu kau mau apa, hah"!" balas Bidadari Bunga Mawar.
"Jangan kau pikir aku tidak tahu akal bulus mu, Pendekar Slebor! Kau sengaja menotok ku agar bi-sa memandang tubuhku dari dekat, bukan?" Walau tak dipungkiri merasa tergoda juga memandang tubuh padat Bidadari Bunga Mawar dalam keadaan telentang tak bergerak itu, namun Andika berusaha menepisnya jauh-jauh.
Lalu tanpa bertanya lagi, Pendekar Slebor berkelebat meninggalkan tempat itu. Tinggal Bidadari Bunga Mawar yang menjerit-jerit minta dilepaskan. Tetapi, Andika tidak lagi mempedulikannya. Yang ada di benaknya sekarang ini, adalah mencari Savitri.

***

Dewa Api terbahak-bahak begitu melihat Savitri yang dibawa si Giok Selatan.
"Memang sudah ditakdirkan, kalau kau akan menemaniku tidur, Savitri...," gumam Dewa Api.
Savitri mengangkat kepalanya dengan tatapan nyalang.
"Manusia biadab! Apakah kau tak pernah puas mengejar-ngejarku"!"
"Justru aku akan merasa puas bila berhasil menggeluti tubuhmu yang indah!"
"Keparat!" Gadis jelita itu tiba-tiba saja menjadi berani. Dia berlari ke arah Dewa Api dengan tangan terkepal, siap dipukulkan. Semua ini muncul karena kemarahan yang tak kuasa ditahannya.
"Kau harus membayar nyawa kedua orang tuaku dan adik-adikku!" Tetapi tiba-tiba saja tubuh gadis itu tersungkur mental ke belakang. Wajahnya yang mulus menimpa lantai keras.
"Bawa dia! Mandikan! Dandani yang cantik! Satukan dia dengan gadis bernama Menur itu! Aku tidak ingin memaksanya sekarang!" ujar Dewa Api pada para pembantunya.
Dua orang gadis muda yang berada di sana langsung mengangkat tubuh Savitri yang pingsan. Darah mengalir dari hidungnya. Bibir ranumnya pecah sedikit. Sementara itu, secara singkat si Giok Selatan sudah menceritakan apa yang ditemui.
"Aku yakin, Bidadari Bunga Mawar telah menghabisi Pendekar Slebor!" cetus lelaki ini. Dewa Api terbahak-bahak.
"Ini berita yang paling mengasyikkan bagiku!" sambut Dewa Api.
"Pendekar Slebor memang lancang ingin mencampuri urusan orang lain! Itulah akibatnya bila ingin bermain-main denganku! Hmm.... Si Giok Selatan! Besok pagi bawa tiga puluh pengawal untuk menghancurkan beberapa padepokan dan membunuh para pendekar. Aku ingin orang-orang tak memandang sebelah mata kepadaku!" Si Giok Selatan hanya mengangguk saja, meskipun tadi sempat melihat mata kelabu itu mengerjap.
Sepertinya, ada yang merisaukan Dewa Api.
Memang, sampai saat ini Galang Nirka alias Dewa Api tak bisa tenang, karena yakin kalau gurunya yang berjuluk Dewa Senandung akan selalu mencarinya.
Dia memang telah mencuri Kitab Ajian Geni, bahkan telah mempelajarinya sampai tamat. Kendati demikian Dewa Senandung datang, dia telah siap menghancurkan riwayat gurunya sendiri! Setelah mengatur rencana selanjutnya, Dewa Api bangkit menuju sebuah kamar tempat Menur disekap.
Saat itu Galang Nirka pun telah mengundang sahabatnya yang berdiam di Puncak Gunung Akherat.
Seorang tokoh sesat yang ilmunya sangat tinggi. Dewa Api yakin, paling lambat, Malaikat Mata Satu akan hadir di tempatnya.
Si Giok Selatan yang sejak tadi tersenyumsenyum, langsung menyambar tubuh dua gadis yang sedang duduk bersimpuh.
"Ayo, layani aku!" ujarnya sambil terkekeh.

***

_=0 { 8 } 0=_

Sari mengumbar perasaannya terhadap Pendekar Slebor. Sementara matahari yang baru sepenggalan mengintip dari sela pepohonan. Desahan napas panjang berkali-kali meluncur dari hidung dan mulut gadis ini.
"Belang.... Rupanya Pendekar Slebor sudah memiliki kekasih yang sangat menyayanginya," desah Sari pelan dan penuh kepasrahan.
"Apakah dengan begitu, aku tak memiliki kesempatan lagi untuk mendapatkan cinta kasih Pendekar Slebor Belang?" Harimau besar nan perkasa itu hanya menggesekgesekkan kepalanya ke kaki majikannya. Memberi semangat hidup pada majikannya, yang terjerat asmara.
"Belang, aku tidak patah hati. Aku tidak putus asa. Bila memang Pendekar Slebor berjodoh dengan Savitri, ya itu memang takdir. Anggaplah aku tidak beruntung, ya.. Belang?" Si Belang hanya menggereng pelan, menyambut kegalauan yang nampak di mata Sari. Namun di balik semua itu, gadis ini tetap berusaha tegar. Sekali lagi Sari menekankan pada sisi kehidupan lain yang akan dijalaninya! Tiba-tiba terdengar suara auman si Belang.
Meskipun pelan namun Sari tahu, kalau si Belang mencium sosok lain yang baru datang. Seketika gadis ini bersiaga. Di jalan setapak yang sepi ini bahaya memang selalu mengancam.
Tiba-tiba saja telinga Sari mendengar suara bersenandung yang tidak merdu sama sekali. Bahkan menyakitkan telinga. Meskipun begitu, bisa ditangkap kalau senandungnya bernadakan cinta kasih yang tak terbalas. Seketika wajah dara penunggang harimau itu memerah, karena secara tak langsung senandung yang terdengar seperti menyindirnya. Sementara si Belang berdiri tegak dengan geraman pelan.
"Tenang, Belang...," bisik Sari.
"Kita tunggu, siapa yang datang ini?" Semakin lama, senandung .yang didengar Sari semakin mengeras. Dan tak lama kemudian muncul satu sosok tubuh dengan mulut mencang-mencong masih bersenandung. Dia tak lain Dewa Senandung.
"Kasihan, seorang dara manis sedang patah hati," kata Dewa Senandung, terkekeh pelan.
Wajah Sari semakin memerah.
"Siapa kau ini, Orang Tua"! Berani-beraninya mengejek aku!" dengus Sari.
"Kasihan, kasihan...." Sari menjadi jengkel. Tiba-tiba saja tubuhnya meluruk dengan satu serangan cepat. Tetapi belum lagi tangannya menghantam wajah Dewa Senandung....
"Ohhh..."!" Tubuh Sari sudah terpental. Begitu jatuh di tanah, dia bergulingan dengan dada terasa nyeri.
"Tidak usah diteruskan seranganmu, Cah Ayu! Bila kau ingin bertemu Pendekar Slebor, aku tahu di mana dia berada...," sindir Dewa Senandung sambil bersenandung lagi.
Sari mengusap dadanya. Pandangannya nyalang.
Keringat seketika membasahi wajahnya.
"Apa urusannya denganmu...?" cibir Sari.
"Aku tidak punya urusan apa-apa. Seorang pemuda tampan seperti Pendekar Slebor memang selalu digandrungi para gadis," kata Dewa Senandung lagi. Bila saja Pendekar Slebor mendengar kata-katanya sudah pasti kepalanya menjadi besar.
"Aku tidak heran." Lalu dengan tak acuhnya, Dewa Senandung melangkah kembali, tetap dengan senandung yang tak enak didengar. Sari benar-benar sudah merasa diejek. Tiba-tiba kembali tubuhnya berkelebat ke arah Dewa Senandung. Namun lagi-lagi, dia terpental sebelum serangannya sampai. Dewa Senandung terus melangkah. Sambil terduduk kesal, Sari memandang kepergian Dewa Senandung. Gadis ini tak ingin melakukan kesalahan dua kali. Kalau serangannya dilanjutkan, sudah pasti kejadian serupa akan terulang.
Dan lagi bukankah Dewa Senandung melarangnya untuk melakukan serangan" Dari sini Sari menduga, kalau orang tua itu memang tak ingin cari perkara. Hanya saja senandung berisi sindiran tak lepas dari mulutnya.

***

Sekian lama berjalan, Andika menghentikan langkahnya. Dia melihat tiga puluh laki-laki yang bersenja-ta tombak tengah mengurung seorang wanita tua berambut tergerai yang mulutnya terus mengunyah sirih.
Tak jauh dari situ, tampak seorang laki-laki berpakaian mirip seorang rahib sedang menyerang seorang lelaki berbaju hitam yang mengenakan caping.
Sekali lihat saja Andika tahu kalau lelaki bercaping itu sudah kewalahan menghadapi lelaki berpakaian rahib yang memegang sebuah batu giok bersinar cemerlang. Bahkan dari batu giok itulah menyambar sinar keras bagaikan hentakan tenaga puluhan kuda ke arah lelaki bercaping.
Menyadari hal itu, Pendekar Slebor cepat berkelebat. Disambarnya tubuh lelaki bercaping, lalu bersalto dua kali dan merebahkannya di rumput.
"Jangan banyak bergerak, kau terluka parah," ujar Pendekar Slebor ketika lelaki bercaping yang tak lain berjuluk si Caping Maut hendak bangkit.
Melihat lelaki itu diselamatkan oleh seorang pemuda, lelaki berpakaian rahib yang tak lain si Giok Selatan menggeram murka.
Namun sejurus kemudian dia terbahak-bahak ketika menyadari siapa yang berdiri tegak di hadapannya, meskipun sedikit terkejut melihatnya.
"Rupanya Pendekar Slebor yang muncul di hadapanku!" seru si Giok Selatan yang langsung menduga kalau Bidadari Bunga Mawar berhasil dilumpuhkan Pendekar Slebor. .
"Hm... Aku senang dengan orang ini. Belum kenalan sudah mengenalku. Rupanya namaku cukup menyentuh perasaanmu, ya?" seloroh Andika.
Wajah si Giok Selatan memerah.
"Rupanya kau sudah merasa yakin dengan kemampuanmu, Pendekar Slebor! Ini kesempatan baikku untuk menangkapmu dan menghadapkan wajah jelek mu pada Dewa Api!" Seketika telinga Andika menegak. Dewa Api" Ini pun kesempatan baginya untuk mengetahui di manakah Dewa Api berada. Tetapi sebelum sempat berpikir lebih lanjut, si Giok Selatan sudah menggosok batu gioknya. Sing! Sinar berwarna hijau cemerlang seketika melesat ke arah Andika.
"Uts...!" Pendekar Slebor langsung bergulingan. Akibatnya, sinar itu menghantam sebuah pohon besar yang langsung hangus seketika! "Sontoloyo! Baru sekali bertemu, kau sudah bisa memastikan kalau aku bisa ditangkap" Nehi..., nerd...," Andika mendelik sejadi-jadinya, begitu bangkit. Dan kembali Pendekar Slebor harus tungganglanggang menghindari setiap sambaran sinar giok yang berbahaya. Kecepatan dan kegesitannya dalam mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya diperlihatkan.
Namun kesempatan untuk menyerang menjadi pudar.
Karena si Giok Selatan seakan tak memberikan kesempatan padanya.
Sementara itu, puluhan pengawal si Giok Selatan terus mengurung wanita berambut tergerai yang mengunyah sirih. Kelihatan sekali wanita yang tak lain adalah Ratu Pelangi itu terdesak. Namun kejap berikutnya, mendadak saja wajah-wajah penyerangnya diludahi. Crot! Crot! Biasanya, orang yang memakan sirih akan mengeluarkan ludah berwarna merah. Tetapi, ludah yang keluar dari mulut Ratu Pelangi beraneka warna, bagaikan pelangi. Hasilnya sungguh dahsyat. Seketika, lima belas orang penyerangnya ambruk terkena ludah Ratu Pelangi. Wajah mereka bagaikan terbakar disertai raungan kesakitan. Bukannya menjadi ketakutan, para pengeroyok lainnya justru bertambah nekat dan geram. Semakin buas menyerang dengan kurungan tombak-tombak tajam. Akan tetapi, lagi-lagi Ratu Pelangi melontarkan ludah-ludahnya.
Crot! Crot! "Aaakh...!" Saat itu juga penyerangnya yang tersisa hanya tinggal lima orang saja.
Sementara si Giok Selatan yang sedang menggempur Andika sempat melihat sepak terjang wanita tua itu. Rupanya julukan Ratu Pelangi bukan omong kosong belaka. Tidak sudi kalau anak buah yang dibawa habis saat itu juga, si Giok Selatan mengarahkan batu giok pada Ratu Pelangi yang sudah bertekad menghabisi lawan-lawannya.
Sing! Lima buah sinar maut menderu ke arah Ratu Pelangi. Namun sambil mengeluarkan seruan kecil, perempuan itu cepat menghindari sinar-sinar berbahaya.
Diam-diam sebuah petaka mengincar Ratu Pelangi. Selagi lima buah sinar maut yang dilepaskan si Giok Selatan menderu ke arahnya, lima buah tombak pun melayang pula ke arahnya.
"Hup...!" Ratu Pelangi berhasil menghindari dengan melompat dan berputaran di udara. Tetapi....
Crap! "Aaakh..,!" Sebuah tombak tepat menancap di pahanya. Seketika, Ratu Pelangi ambruk disertai erangan kecil.
Sementara itu, bagi si Giok Selatan pun merupakan satu masalah. Selagi dia mengarahkan sinar batu gioknya ke arah Ratu Pelangi, Andika mempergunakan kesempatan yang hanya beberapa kejap untuk meluruk dengan satu hantaman keras.
Des! "Aaakh...!" Pukulan yang mengandung tenaga 'inti petir' tingkat ke dua belas menghantam perut si Giok Selatan hingga terhuyung ke belakang. Rasanya perutnya bagai diinjak oleh puluhan ekor gajah saja! Dengan cepat pula Andika menderu kembali, setelah bersalto tiga kali menghindari serangan sinar batu giok. Des! Kembali tenaga 'inti petir' yang dilepaskan Pendekar Slebor mampir ke perut si Giok Selatan. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, Andika sudah melepaskan totokannya di urat-urat di tubuh si Giok Selatan. Tuk! Tuk! Bersamaan dengan itu, tubuh si Giok Selatan ambruk tak bertenaga lagi. Sementara, Pendekar Slebor sudah menghadap ke arah Ratu Pelangi yang telah melontarkan ludahnya tepat menghujam ke jantung. Akibat-nya, kelima lawannya langsung terkapar dengan dada bolong. Ratu Pelangi mengatur napas, lalu menghampiri si Caping Maut dengan tergesa-gesa.
"Kakang...," panggil wanita ini penuh kekhawati-ran.
"Aku tidak apa-apa, Nyai," sahut si Caping Maut.
Rupanya, mereka suami istri.
"Nyai.... Tidakkah tadi kau mendengar kalau yang menolongku adalah Pendekar Slebor?" Ratu Pelangi menganggukkan kepalanya, seraya melirik pendekar urakan yang sedang menggelitiki agar lelaki berkepala kelimis itu mau mengatakan di mana kediaman Dewa Api.
"Rupanya, pemuda yang kita cari itu ada di sini, Nyai..."
"Kau benar, Kakang. Luka yang kau derita akibat hantaman Malaikat Mata Satu hanya bisa disembuhkan oleh Pendekar Slebor. Karena, dialah satu-satunya pendekar yang memiliki tenaga 'inti petir'. Seperti yang dikatakan sahabat kita, Ki Mahesa Luwing alias si Tua Kepalan Baja. Ki Mahesa Luwing pun pernah diselamatkan nyawanya oleh Pendekar Slebor, akibat serangan hawa panas yang sangat membuatnya menderita (Untuk mengetahui siapa Ki Mahesa Luwing silakan baca : "Siluman Hutan Waringin").
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.
Lalu mereka memperhatikan kembali bagaimana Pendekar Slebor sedang mengorek keterangan dari si Giok Selatan yang sudah minta ampun, karena tak tahan digelitik terus menerus. Air matanya sampai keluar. Bahkan sampai terkencing-kencing karena menahan geli luar biasa. Hingga akhirnya dia pun menjelaskan tentang keberadaan Dewa Api.
Pendekar Slebor tersenyum.
"Nah.... Begitu kan lebih baik. Eh, ngomongngomong, apakah kau habis makan jengkol, Botak?" Wajah si Giok Selatan yang biasanya garang dan memancarkan naluri membunuh, kini pias. Tak kuasa lagi dia berbuat apa-apa karena tubuhnya benar-benar sudah terasa mati, akibat totokan Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor berdiri.
"Botak! Kalau kau bohong, aku akan kembali lagi ke sini untuk menjitak kepalamu yang seperti biji....
Ha ha ha...!" Pendekar Slebor tak meneruskan pikiran joroknya.
Tiba-tiba saja diangkatnya tubuh si Giok Selatan.
Dan sekali lempar, tubuh itu menyangkut di rimbunnya pepohonan yang cukup tinggi. Wajah si Giok Selatan benar-benar pucat. Dia tak berani melakukan apaapa, kalau tak ingin tubuhnya ambruk.
Pendekar Slebor tersenyum puas.
"Begitu lebih baik, kan?" Lalu Pendekar Slebor berbalik pada si Caping Maut dan Ratu Pelangi, dan bergerak menghampiri.
Terlihat sekali bagaimana Caping Maut kelihatan semakin menderita.
"Kau terluka, Orang Tua?" Si Caping Maut menganggukkan kepalanya. Pendekar Slebor segera memeriksa lukanya. Setelah ditemukan di mana letak luka yang diderita, segera dialirkannya tenaga 'inti petir'nya.
"Untuk sementara kau tidak apa-apa, Orang Tua.
Tetapi, kau membutuhkan perawatan khusus. Bila saja terlambat, hawa panas yang menjalari tubuhmu akan segera menghanguskan jantungmu," kata Pendekar Slebor, selang beberapa saat dengan wajah berkeringat. Caping Maut menganggukkan kepalanya, merasakan hawa panas yang menyerang tubuhnya tidak lagi terlalu kuat.
"Terima kasih, Pendekar Slebor...."
"Kau masih membutuhkan pertolongan yang lebih dari yang kulakukan sekarang ini. Tetapi, maaf.... Ada masalah yang masih harus ku selesaikan. Tetapi, per-cayalah. Setelah masalah ini selesai, aku akan membantumu untuk memulihkan kesehatanmu kembali...." Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.
"Ini pun aku sudah bersyukur, Andika. Kami akan menunggumu di sini." Andika berdiri.
"Bila hawa panas itu menyerangmu kembali, kau bisa menutup semua jalan darahmu. Lakukan tiga kali setiap kali kau merasa kesakitan." Si Caping Maut tersenyum lagi.
"Ini pun sudah cukup."
"Baiklah kalau begitu, aku harus menyelamatkan nyawa dua orang gadis yang berada di tangan Dewa Api. O ya, siapakah yang telah mengirimkan pukulan maut kepadamu?"
"Malaikat Mata Satu."

***

_=0 { 9 } 0=_

Tak ada yang mampu menahan guliran waktu.
Jadi sudah tiga hari Malaikat Mata Satu berada di kediaman Dewa Api.
"Benarkah yang kau katakan itu?" tanya Dewa Api, setelah Malaikat Mata Satu menceritakan tentang apa yang dilihat oleh mata batinnya.
Malaikat Mata Satu menganggukkan kepalanya.
Rambutnya yang berwarna pirang berombak tergerai saat kepalanya bergerak. Wajahnya boleh dibilang sangat mengerikan, dengan sebelah mata picak. Pakaiannya berwarna hitam.
"Pendekar Slebor tak lama lagi akan tiba di daerah ini, Dewa Api. Bidadari Bunga Mawar sekarang dalam keadaan sekarat. Begitu pula halnya Giok Selatan yang kau perintahkan membunuh para tokoh dari golongan putih."
"Maksudmu, Giok Selatan pun dalam keadaan sekarat?" tanya Dewa Api bernada tak yakin.
Sekali lagi Malaikat Mata Satu menganggukkan kepalanya.
"Bahkan, boleh dikatakan sudah lumpuh! Kalaupun bisa membebaskan diri dari totokan Pendekar Slebor, seluruh urat-urat di tubuhnya tak akan berguna lagi. Bahkan menurut penglihatan mata batin ku, Pendekar Slebor telah mengobati si Camping Maut yang kuhantam dengan 'Pukulan Kayangan'," lanjut lelaki menyeramkan ini.
Dewa Api menggertakkan giginya. Lagi-lagi Pendekar Slebor! Jadi selama ini dia salah mengira. Rupanya, Pendekar Slebor belum mampus seperti yang dikatakan si Giok Selatan! "Rasanya tak sabar aku untuk menghancurkan Pendekar Slebor!" geram Dewa Api, seraya bangkit berdiri.
"Kita harus berhatihati menghadapinya," ingat Malaikat Mata Satu.
Dewa Api melotot.
"Mengapa kau menjadi jerih dengannya, hah"!" Malaikat Mata Satu menggelengkan kepalanya.
"Siapa pun akan kulumat, tak terkecuali Pendekar Slebor! Tetapi jangan lupa, pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu juga memiliki senjata sangat ampuh."
"Hei! Tak pernah kudengar dia memiliki sebuah senjata?" tukas Dewa Api dengan kening berkerut. Sedikit banyaknya hatinya menjadi jengkel dengan keterangan Malaikat Mata Satu yang dirasakannya berteletele. Malaikat Mata Satu tersenyum. Tak dihiraukannya pandangan Dewa Api yang melecehkannya.
"Kau salah, Dewa Api. Pendekar Slebor memiliki sehelai kain pusaka yang aku yakin warisan Ki Saptacakra. Kehebatan kain pusaka itu luar biasa. Senjata jenis apa pun tak akan sanggup membuat rusak kain bercorak catur itu."
"Hhh! Aku ingin melihat kehebatan kain pusaka itu!" geram Dewa Api.
Tiba-tiba saja lelaki ini menggerakkan tangannya.
Seketika satu titik cahaya melesat dan melayang keluar. Semakin lama, cahaya itu semakin membesar dan membentuk bola api raksasa, langsung membakar hutan yang ada di dataran itu.
"Apakah dia mampu menghadapi ajian 'inti api' milikku ini?" Kembali Dewa Api menggerakkan tangannya. Maka sebuah angin kecil melesat, membentuk menjadi angin laksana topan badai, lalu memadamkan api berkobar itu seketika.
Malaikat Mata Satu yang duduk bersila di hadapannya hanya tersenyum saja.
"Kuakui kehebatanmu, Dewa Api. Akan kuperlihatkan kepadamu, kalau kau tak sia-sia mengajakku untuk menghancurkan Pendekar Slebor!" Dewa Api tersenyum kecut.
"Dan akan kau lihat, betapa tingginya ilmuku nanti!" serunya keras.
Malaikat Mata Satu cuma tersenyum saja.

***

"Sekarang bagaimana, Savitri?" tanya Menur pelan. Gadis ini sekarang ada teman.
Savitri! Gadis yang kini diketahui juga mencintai Pendekar Slebor. Savitri menghapus air matanya. Wajahnya pucat pasi dengan mata sembab.
"Aku tidak tahu, Menur. Sungguh, aku tak mengharapkan semua ini terjadi. Bila saja Pendekar Slebor selalu berada di sisiku, mungkin aku masih bisa dis-elamatkannya. Ah, apakah Pendekar Slebor akan menyelamatkan kita?" desis Savitri pelan.
"Itu pasti. Aku yakin sekali," tegas Menur pula.
Lagi-lagi kini Menur disadarkan kalau ada dua orang gadis yang mencintai Pendekar Slebor pula. Pertama Sari, yang entah bagaimana kabarnya sekarang.
Dan kedua, Savitri yang semalaman terus menerus mengigaukan nama Pendekar Slebor. Bila sudah merasakan hal ini, Menur menjadi ragu, apakah bisa mendapatkan Pendekar Slebor sebagai suaminya" Paling tidak, menjadi kekasihnya" Bila gagal, apakah Menur akan kembali menghadap gurunya" Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menari-nari dibenaknya. Dan ia tak tahu harus memutuskan bagaimana. Yang pasti, dalam keadaan terjepit ini, dia memikirkan bagaimana caranya meloloskan diri dari kurungan Dewa Api.
Savitri mengangkat wajahnya, menatap Menur.
Menur bisa melihat, betapa jelitanya gadis di hadapannya ini.
"Aku sangat merindukannya, Menur" desis Savitri kemudian.
"Begitu pula denganku," desis Menur dalam hati.
Sudah tentu Menur tak mau memperlihatkannya. Karena, dia merasa lebih tabah daripada Savitri.
"Dia pasti merindukan mu pula, Savitri...," sahut Menur, sambil berusaha menahan gejolak hatinya.
"Oh, benarkah hal itu?" Menur menganggukkan kepalanya. Semakin dekat, dia bisa melihat binar-binar kebahagiaan di sepasang mata yang bening itu.
Justru hal ini semakin membuatnya tak menentu saja.
"Kalau memang dia merindukan ku, mengapa sampai saat ini belum tiba juga?" Menur tak tahu harus menjawab apa.
"Barangkali, Kang Andika belum tahu di mana tempat tinggal Dewa Api," kata Menur, untuk mengenakan hati Savitri.
Bukannya menjawab atau senang mendengar sahutan Menur, justru Savitri mengangkat kepalanya.
Menatap lekat-lekat pada Menur. Tentu saja Menur menjadi risih.
"Mengapa kau menatap ku seperti itu?"
"Menur..., apakah kau mengenal Kang Andika?" Savitri malah bertanya.
"Mengapa kau bertanya begitu?" tukas Menur dengan debaran jantung semakin kencang.
"Pertama tadi, kau yakin sekali kalau Kang Andika akan menyelamatkanku.
Maksudku, kita. Kemudian, kau tahu namanya."
"Maksudmu, nama siapa?"
"Pendekar Slebor. Sejak tadi aku tidak pernah menyebut namanya, bukan" Lalu, tiba-tiba saja kau menyebutkan namanya. Berarti, kau mengenalnya, bukan?" Menur tersenyum sambil mencoba menenangkan perasaannya sendiri. Bila saja keadaannya tidak seper-ti ini, sudah tentu dia akan mengatakannya. Namun bagi Menur, urusan pribadinya tidak terlalu dipentingkan, meskipun tahu kalau gurunya tak akan pernah mengizinkannya kembali ke tempat tinggalnya sebelum bersama-sama Pendekar Slebor. Hatinya sudah cukup bahagia bila bisa melihat orang lain bahagia karenanya.
"Aku memang mengenalnya. Maksudku, sebatas biasa saja. Lagi pula, siapa sih yang tak mengenal Pendekar Slebor," kilah Menur, untuk mengenakan ha-ti Savitri lagi.
"Kapan kau pernah berjumpa dengannya?" Menur menangkap nada cemburu dalam suara itu. Dia yakin, betapa besarnya cinta Savitri terhadap Pendekar Slebor.
Lalu secara jujur Menur menceritakan perjumpaannya dengan Pendekar Slebor. Tetapi sudah tentu, urusan perjodohannya tak pernah diceritakannya.
"Kau sudah puas sekarang?" tanya Menur kemudian. Savitri tiba-tiba terdiam sambil menundukkan kepala.
"Menur..., apakah kau mencintai Kang Andika?" tanya Savitri lirih.
Menur tertawa jengah.
"Mengapa kau bertanya seperti itu?" Savitri menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak apa-apa." Menur menepuk bahu Savitri lembut.
"Sudahlah, lebih baik kau beristirahat saja. Kulihat Semalam kau kurang tidur." Savitri hanya terdiam. Kelihatannya seperti tengah berpikir keras.
"Percayalah dengan kata-kataku. Dan kupikir, sekarang lebih baik kau tidur saja. Aku tidak ingin meli-hatmu terlalu banyak memikirkan hal-hal yang mengerikan di depan mata kita," ujar Menur lagi.
Tetapi sebelum Savitri menjawab, pintu kamar itu terbuka. Dewa Api muncul sambil terbahak-bahak.
"Rupanya kalian sudah mengakrabkan diri," kata Dewa Api dengan suara besar.
"Nah! Siapa di antara kalian yang ingin menghibur ku, lebih dulu?" Mendengar kata-kata itu, Savitri langsung menjerit. Didekapnya tubuh Menur dengan wajah pucat.
"Manusia busuk! Ucapanmu sangat menjijikkan!" maki Menur. Sepasang mata Dewa Api memerah penuh amarah.
"Aku tidak suka bertele-tele!" Dewa Api mendekat. Tiba-tiba disentaknya tangan Savitri.
"Auuwww...!" Gadis itu kontan menjerit-jerit ketakutan. Menur langsung bangkit, langsung mengirimkan serangannya. Tanpa diduga, Dewa Api mengibaskan tangannya sekali. Wuuttt! Brak! Menur kontan terjungkal menabrak dinding.
"Terlalu percaya diri! Ha ha ha...! Ayo, Manis....
Berilah kenikmatan yang luar biasa padaku...!" Savitri terus meronta-ronta sekuat tenaga. Kedua tangannya dan kakinya berusaha memukul dan menendang. Jeritannya begitu keras. Tetapi menghadapi tenaga kuat dari Dewa Api, akhirnya dia takluk juga.
Sementara itu, Menur hanya memperhatikan saja dengan kepala pusing, akibat menabrak tembok tadi.
Perasaan ngeri dan takut mulai merayapi hatinya.

***

Dengan geram Dewa Api menghempaskan tubuh Savitri ke ranjang di kamarnya. Gadis jelita itu beringsut dengan wajah pucat dan ketakutan menjadi-jadi.
Dia seolah melihat seekor serigala buas yang perlahan-lahan mendekatinya.
Ketakutannya semakin menjadijadi ketika Dewa Api membuka pakaiannya.
"Tidak usah takut! Layani aku. Atau, kubunuh kau!"
"Bunuh! Bunuh saja aku, Manusia Keparat!" seru Savitri, berbalut kengerian.
"Kurang ajar!" Plak! Pipi mulus Savitri seketika memerah ketika menerima tamparan Dewa Api. Savitri merasa kepalanya oleng. Rasa pusing langsung menyengat.
Dan dengan geram Dewa Api menerkam tubuh Savitri yang terus memberontak. Namun belum lagi Dewa Api berbuat apa yang diinginkannya, tiba-tiba saja....
"Ada murid murtad mencari celaka...!" Terdengar sebuah suara bersenandung, membuat Dewa Api langsung serentak bangkit. Matanya memerah.
"Rupanya manusia itu sudah hadir di sini!" desis Dewa Api.
Bergegas lelaki ini mengenakan pakaiannya kembali, lalu meninggalkan Savitri yang menangis sambil menutupi tubuhnya dengan pakaian yang sudah compang-camping akibat dirobek-robek Dewa Api.

***

_=0 { 10 } 0=_

Dewa Api melangkah bergegas dengan amarah membludak, keluar dari bangunan besar tempat tinggalnya. Apa yang diperkirakannya memang benar. Dewa Senandung telah tiba di tempatnya. Dan sekarang sedang dikurung lima belas anak buahnya. Di hadapan mereka, berdiri Malaikat Mata Satu dengan kedua tangan disatukan di dada.
"Akhirnya kau muncul juga, Murid Murtad!" desis Dewa Senandung begitu melihat Dewa Api berdiri di si-si Malaikat Mata Satu.
"Apakah kau bisa mengelabui mataku dari ajian 'Bayangan Dalam Kabut' yang kau pergunakan untuk menutupi tempat tinggal busukmu ini" Ha ha ha.... Jangan terlalu mengkhayal! Sekarang, orang tak berilmu pun bisa melihat bangunan busuk ini!"
"Orang tua keparat! Lebih baik menyingkir dari si-ni sebelum ku cabut nyawamu!" bentak Dewa Api, geram. Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya.
Kali ini terasa lebih tidak enak didengarnya. Dan suaranya bagaikan sembilu yang menyayat-nyayat telinga.
Rupanya, kali ini sebagian kecil tenaga dalamnya disalurkan. Lima belas anak buah Dewa Api yang tak memiliki tenaga dalam tinggi kontan bergeletakan dengan telinga mengucur darah.
Melihat hal itu, Dewa Api menggeram marah. Tiba-tiba saja tangannya mengibas.
Wuuuttt! Api besar bergulung-gulung langsung meluruk ke arah Dewa Senandung. Namun si orang tua hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan tiba-tiba tongkat kecilnya diangkat dan digerakkan beberapa kali.
Maka, api besar itu padam seketika.
"Rupanya kau sudah menguasai Kitab Ajian Geni."
"Dan kau akan merasakan kehebatannya, karena sebentar lagi api ini akan menghanguskan tubuhmu! Hiyaaa...!" Dengan teriakan keras, Dewa Api menyerbu ke arah Dewa Senandung yang masih bersenandung. Saat menyerang nafasnya ditahan. Sebagai seorang murid, sudah tentu dia tahu apa yang dimiliki gurunya. Tubuh Dewa Senandung bagaikan dilindungi sebuah tameng yang sangat kuat dan besar, yang bisa membalikkan lawan melalui nafasnya. Bahkan mengirimkan serangan balik melalui napas lawannya.
Tetapi kali ini Dewa Api harus menghindari karena Dewa Senandung tahu kunci dari ilmunya itu. Tentu saja, sebab ilmu itu pun dimiliki Dewa Senandung.
"Rupanya kau masih sayang nyawa tuamu itu, Orang Tua!" ejek si Murid Murtad sambil terus melayang. Hawa panas yang keluar dari tubuhnya sangat luar biasa. Terlalu mengerikan untuk dibayangkan bila mengenai tubuh lawan.
Sementara Malaikat Mata Satu pun sudah mengempos tubuhnya. Dikerahkannya ilmu-ilmu tingkat tingginya untuk menggempur Dewa Senandung. Dan akibatnya, si orang tua guru Dewa Api harus berlompatan untuk menghindari serangan.
Dewa Senandung tidak diberi kesempatan untuk membalas. Dan Dewa Api pun sudah memberitahu Malaikat Mata Satu agar menutup jalan nafasnya bila sedang menyerang.
Tiga manusia yang bertarung benar-benar melebihi seratus ekor banteng mengamuk. Tenaga-tenaga sakti dan jurus yang aneh pun diperlihatkan. Saking cepatnya, yang terlihat hanya kelebatan tubuh mereka saja. Sementara setiap ledakan dan benturan terdengar bertambah keras, membuat suasana di halaman depan bangunan itu bagai terjadi kiamat.
Di kamar Savitri masih mengisak dengan hanya mengenakan pakaian compang-camping saja. Gadis ini bangkit dari ranjang indah itu. Tetapi pantatnya kembali lagi dihenyakkan ke ranjang dengan hati kecut.
Seolah baru disadari kalau di kamar itu tak ada jende-la.
"Apakah Kang Andika yang datang di luar sana?" tanya batin gadis ini.
Begitu pula Menur, di ruang tahanannya. Gadis itu terdiam beberapa saat.
"Kang Andika" Tetapi mengapa dia bersenandung jelek seperti itu?" tanya gadis ini, mendesah.
Brak...! Saat gadis itu masih menebak-nebak siapa yang datang, tiba-tiba saja pintu yang terbuat dari kayu jati itu jebol. Serpihanserpihannya berlompatan ke segala arah. Kalau saja Menur tidak sigap merunduk, bisa dipastikan salah sebuah pecahan kayu jati itu akan menancap di tubuhnya.
"Kang Andika!" Dari rasa terkejut, Menur berubah menjadi pekikan gembira. Rupanya yang memecahkan pintu itu adalah Pendekar Slebor.
Setelah Dewa Senandung memunahkan ajian 'Bayangan Dalam Kabut', dengan mudahnya Andika menemukan tempat tinggal Dewa Api. Bergegas disuruhnya Menur keluar. Bagaikan burung yang telah lama diletakkan di dalam sangkar, gadis ini melompat keluar. Dari sini bisa terlihat puluhan pengawal Dewa Api bergeletakan di lantai. Andika nyengir begitu melihat pandangan mata Menur padanya.
"Terpaksa aku harus melakukannya. Menur, apakah kau melihat seorang gadis yang bernama Savitri?" tanya Andika. Meskipun Menur mendengar nada kecemasan dalam suara Pendekar Slebor. Saat menanyakan Savitri, dia hanya menganggukkan kepala. Untuk saat ini, dia memang tak perlu terlalu ingin dipermainkan perasaannya. Maka diceritakannya apa yang dialami Savitri.
"Kita harus mencarinya, mudah-mudahan belum terlambat," gumam Andika.
Lalu mendahului Menur, Pendekar Slebor berkelebat. diperiksanya setiap ruangan. Dan ketika tiba didepan kamar Dewa Api, pendengarannya yang tajam mendengar suara isak.
"Savitri!" desisnya. Lalu diangkatnya tangannya yang telah terangkum tenaga 'inti petir', Dihantamnya pintu kokoh itu hingga jebol hancur berantakan.
Begitu melihat siapa yang muncul, Savitri langsung melompat. Dirangkulnya Pendekar Slebor penuh rasa haru dan rindu.
"Kang Andika...." Andika mengelus rambut gadis itu saja. Sementara Menur membalikkan tubuhnya, menyembunyikan rasa iri yang sudah bertalu-talu di hatinya.
"Tenanglah, kau aman sekarang. Menur, tolong jaga Savitri. Aku masih harus membuat perhitungan dengan Dewa Api." Menur hanya menganggukkan kepalanya. Sejenak Menur melihat Andika sedang menatap mesra Savitri yang mendongak dengan pancaran mata bahagia.
"Kau bersama Menur dulu, Savitri." Savitri mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sebaiknya, kalian segera tinggalkan tempat ini.
Tunggu aku di suatu tempat yang aman," lanjut Pendekar Slebor.
Menur mengangguk.
"Baik! Kami menunggumu di jarak lima ratus tombak sebelah timur dari bangunan ini, Kang Andika." Andika menganggukkan kepalanya.
"Cepatlah!" Pendekar Slebor melepas kepergian kedua gadis itu berlari ke arah timur, dengan pandangan matanya.
Masih sempat dilihatnya Savitri meliriknya berkali-kali.
Diam-diam Andika menghela napas panjang. Urusan percintaan nampaknya sudah mulai memasuki lagi dalam kehidupannya.
Tetapi Andika tak mempedulikan soal itu. Dengan cepat tubuhnya berkelebat laksana angin keluar dari bangunan. Sejak kemunculannya tadi, dia melihat bagaimana Dewa Senandung terdesak oleh dua sosok tubuh yang penuh kegeraman.
Andika yakin, salah seorang dari mereka adalah Dewa Api. Karena, pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kobaran api selalu menderuderu keluar. Entah, siapa yang satunya lagi. Yang jelas, matanya picak dan serangannya sangat berbahaya.
"Dewa Senandung! Biar si Picak bagianku...!" seru Pendekar Slebor keras sambil meluruk, mengirimkan pukulan tenaga 'inti petir'nya pada sosok yang tak lain Malaikat Mata Satu.
Dewa Senandung tertawa-tawa melihat Pendekar Slebor mencecar Malaikat Mata Satu.
"Edan! Rupanya bocah slebor yang muncul!" Mendengar kata-kata itu, Dewa Api menghentikan serangannya pada Dewa Senandung. Matanya melihat, bagaimana pemuda tampan berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di lehernya sedang menyerang Malaikat Mata Satu.
"Keparat!" dengusnya dalam hati.
"Diakah si Pendekar Slebor?" Tetapi Dewa Api tak sempat untuk meneruskan pertanyaan-pertanyaan di benak, karena dirasakannya satu serangan tanpa wujud menderu ke arahnya.
"Orang tua keparat! Rupanya kau benar-benar ingin mampus!" bentak Dewa Api.
Dewa Senandung mengeluarkan senandung kecilnya yang benar-benar tidak merdu. Begitu senandungnya keluar, Dewa Api merasakan gerakan tubuhnya bagai terhambat, berubah menjadi lamban! "Senandung Membalik Sukma!" bentak Dewa Api sambil bersalto ke belakang. Kedua kakinya dibuka dan tangannya disatukan di dada.
"Jangan kau pikir aku tak bisa menghancurkan jurusmu itu, Orang Tua!"
"Siapa yang berpikir seperti itu?" tukas Dewa Senandung tetap bersenandung seperti tadi. Dan mendadak saja si orang tua menghentikan senandungnya, ketika merasakan sebuah benda bagai dinding tebal menderu ke arahnya. Lalu, tahu-tahu tangannya yang memegang tongkat kecil bergerak.
Blarrr...! Terdengar suara bagaikan ledakan keras! Seolah ada yang dihantam Dewa Senandung.
"Tidak tahu malu! Kau menyerangku dengan ilmu yang kuajarkan!" maki Dewa Senandung. Dan tubuhnya tiba-tiba meluruk.
Kembali dua sosok guru dan murid itu saling serang dengan ajian-ajian tingkat tinggi.
Dewa Api pun menyerang dengan jurus-jurus api nya yang benar-benar luar biasa. Kelihatan sekali kalau Dewa Senandung terdesak.
Si Orang tua ini berusaha menerobos setiap pusaran api bekas muridnya.
Namun, setiap kali bergerak, tubuhnya terasakan bagaikan terbakar.
Melihat hal itu Dewa Api terbahak melecehkan.
"Lebih baik bunuh diri saja, Orang Tua! Daripada tubuhmu hangus!"
"Enak saja ngomong!" maki Dewa Senandung padahal sudah terdesak sekali.
Dan sebelum akibat yang parah dari setiap serangan yang dilakukan Dewa Api, mendadak saja tubuh Dewa Senandung bagaikan kilat berkelebat ke sana kemari. Dari mulutnya keluar hembusan angin lembut ke arah api yang menjilat-jilat.
Sungguh luar biasa. Hembusan angin itu sebenarnya sangat pelan. Tetapi bukan hanya bisa memadamkan api yang mengarah kepadanya, melainkan membalikkan kepada pemiliknya! Dewa Api memekik terkejut. Cepat tubuhnya bergulingan menghindari serangan balik itu.
"Nah! Jangan heran, Dewa Busuk! Bukankah kau ingat, kalau seorang Guru mempunyai naluri sangat tajam pada setiap muridnya" Bila diperkirakan muridnya akan menjadi golongan lurus, maka dia tak akan segan-segan menurunkan seluruh ilmunya! Tetapi kau, ha ha ha...! Sudah nampak sekali dari pancaran matamu kalau suatu saat kau akan membokongku!" Dewa Api menggeram tak karuan. Api-api yang dikeluarkannya yang membuat tempat itu bertambah terang dan beberapa pohon terbakar, tak lagi mampu mendekati Dewa Senandung. Bahkan kembali menyerang ke arahnya! Menyadari hal itu, Dewa Api pun memutuskan untuk sementara menghentikan serangan menggunakan jurus-jurus apinya. Tubuhnya pun melenting ke arah Dewa Senandung yang juga menghempos tubuhnya dengan kecepatan sama.
Plarrr...! Meskipun Dewa Senandung memiliki tenaga dalam sangat tinggi, namun saat bentrokan dengan Dewa Api, dia bisa merasakan kalau tulang tangannya terasa mau patah. Rupanya, jurusjurus dari Kitab Ajian Geni yang dicuri dan dipelajari Dewa Api benar-benar sudah menyatu. Sehingga, tenaga dalamnya pun berubah menjadi hembusan angin sangat panas.
Menyadari hal itu, Dewa Api pun menyerbu membabi buta.

***

_=0 { 11 } 0=_

Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Slebor melawan Malaikat Mata Satu semakin seru. tenaga 'inti petir' tingkat pamungkas milik Pendekar Slebor pun tak mampu menembus setiap pertahanan sekaligus penyerangan Malaikat Mata Satu.
"Rupanya kehebatan Pendekar Slebor hanya omong kosong belaka!" ejek Malaikat Mata Satu dengan serangan-serangan aneh.
Setiap kali menyerang, hembusan angin bak topan prahara menderu. Dan yang anehnya, setiap kali Andika berhasil menghindari serangan, hembusan angin kuat itu berbalik lagi ke arahnya.
"Busyet! Jurus apa ini?" makinya blingsatan.
Pendekar Slebor pun merangkum ajian 'Guntur Selaksa'nya. Kedua tangannya dihantamkan ketika angin keras serangan Malaikat Mata Satu berbalik ke arahnya. Blarrr...! Terdengar suara bagai ledakan yang sangat keras.
Angin keras itu bagai terpecah-pecah. Karena tibatiba saja tiang bangunan besar milik Dewa Api roboh, disusul suara bergemuruh lain yang dahsyat.
Malaikat Mata Satu terbahak-bahak melihat hal itu.
"Kau hanya melihat sebagian kecil saja dari ilmuku, Pendekar Slebor!" Andika menggerutu. Sebagian kecil" Busyet! Apa ada lagi yang lebih besar"
"Paling-paling hanya pantas untuk membakar sate!" selorohnya sambil mempersiapkan diri.
Wajah Malaikat Mata Satu memerah. Dari mulutnya keluar suara bagai desisan seekor ular naga.
"Coba lihat jurusku yang satu ini. Kau akan tersiksa seumur hidupmu seperti yang dialami si Caping Maut!" geram lelaki bermata picak ini.
Andika seketika terdiam mendengar kata-kata itu. Si Caping Maut" Dan tiba-tiba saja, dia teringat penjelasan si Caping Maut, kalau terkena pukulan hebat dari Malaikat Mata Satu. Apakah manusia ini yang berjuluk Malaikat Mata Satu" Otaknya yang cerdik itu pun mulai bisa menebak, siapa lawannya. Tetapi Andika bukanlah orang yang pengecut. Keberaniannya mampu membuatnya terjun ke kawah gunung merapi yang membludak, bila memang perlu.
"Hei, Picak! Hati-hati! Jangan-jangan matamu yang sebelah lagi malah kubuat picak pula!" ejek Pendekar Slebor sambil mengangkat alisnya berkali-kali.
Kegeraman membias di wajah Malaikat Mata Satu.
Tiba-tiba saja kedua tangannya diputar ke atas dan ke bawah. Lalu, terasa satu sentakan panas-dingin menderu-deru.
Andika pun mempersiapkan dirinya lagi dengan ajian 'Guntur Selaksa'. Dalam sekali lihat saja, dia yakin kalau jurus yang akan dipergunakan Malaikat Mata Satu teramat dahsyat.
Apa yang diperkirakan Pendekar Slebor memang benar. Karena kemudian, pemuda dari Lembah Kutukan ini harus dibuat pontang-panting oleh serbuanserbuan Malaikat Mata Satu yang benar-benar luar biasa. Benda apa saja yang terkena sambaran pukulannya, terbang jauh dan jatuh ke bumi. Bahkan pohon besar yang banyak tumbuh di sana pun tercabut begitu saja, bagai ada tangan raksasa yang menggerakkannya.
"Mana nama besarmu, Pendekar Slebor"!" ejek Malaikat Mata Satu.
"Kira-kira besar mana dibanding biji mu, ha ha ha...!" Diejek seperti itu membuat Malaikat Mata Satu semakin geram. Seketika kembali dia menyerang ganas, sampai Andika kalang kabut dibuatnya. Bahkan yang membuatnya sempat kalut, ajian 'Guntur Selaksa' Pendekar Slebor tak mampu menghalangi serangan Malaikat Mata Satu! Tubuhnya dua kali terbawa pukulan maut lelaki bermata picak itu. Bahkan membuat dadanya terasa bagaikan dihantam godam. Dari hidungnya pun, tanpa permisi darah mulai mengalir. Kasihan, Andika. Selagi nyawa Pendekar Slebor benar-benar terancam, tiba-tiba....
Srattt! Andika telah meloloskan kain pusakanya yang bercorak catur. Seketika dihantamnya angin besar dari serangan Malaikat Mata Satu dengan kain pusakanya.
Duarrr...! Terdengar ledakan dahsyat. Angin serangan Malaikat Mata Satu pun punah.
Melihat sehelai kain bercorak catur di tangan Pepdekar Slebor, wajah Malaikat Mata Satu menjadi pias.
Senjata itulah yang ditakutinya. Karena, angin yang ditimbulkan kain pusaka itu membuat penglihatannya yang hanya sebelah hampir tak berguna.
Andika pun menyadari keterkejutan Malaikat Mata Satu. Maka, tanpa buang tempo lagi, tubuhnya meluruk sambil mengibaskan kain warisan Ki Saptacakra yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.
Wuuttt...! Angin yang menderu laksana topan prahara mengacaukan penglihatan Malaikat Mata Satu.
Keadaan kini berbalik. Kalau tadi Malaikat Mata Satu berada di atas angin, justru sekarang terdesak.
Andika sendiri tak ingin memberikan kesempatan lagi.
Setiap kali kain pusakanya dikibaskan, suara bagaikan dentuman keras terdengar.
Plasshhh...! Sesuatu yang di luar dugaan Andika pun terjadi.
Tiba-tiba saja, tubuh Malaikat Mata Satu lenyap! "Busyet!" maki Andika sambil celingukan.
"Ilmu iblis apa lagi yang dipergunakannya?"
"Hari ini aku mengaku kalah, Pendekar Slebor! Tetapi, tunggu! Suatu saat, aku akan datang lagi untuk membuat perhitungan!" terdengar suara Malaikat Mata Satu.
"Pengecut! Kenapa tidak sekarang saja" Ayo, keluar kau!" Hanya suara terbahak yang menggema di siang bolong itu. Selebihnya, lenyap. Yang terdengar hanyalah dua sosok tubuh yang saling gempur.
Andika merutuk-rutuk sendiri sambil memperhatikan bagaimana Dewa Senandung saat ini sedang mendesak hebat Dewa Api. Namun meskipun demikian, Dewa Api belum kelihatan kalah. Bahkan bisa membalas pula dengan jurus-jurus yang benar-benar aneh.
"Banyak sekali rupanya jurus di dunia ini...!" desah Andika.
Pertarungan antara Dewa Senandung dan Dewa Api sudah melewati hampir seratus jurus. Namun keduanya belum kelihatan ada yang menyerah.
Andika melihat pakaian Dewa Senandung sudah tidak karuan lagi bentuknya. Sebagian sudah hangus tersambar api yang dilepaskan Dewa Api.
Crap! Tiba-tiba saja Dewa Senandung menancapkan tongkat bambu kecilnya ke tanah di hadapannya. Bukan hanya Dewa Api saja yang heran melihat apa yang hendak dilakukan bekas gurunya. Andika pun sampai mengerutkan keningnya.
Sebagai seorang pendekar, Andika tidak menginginkan pertarungan yang tidak jujur. Makanya, sejak tadi hanya diperhatikannya saja jalannya pertarungan.
Bila Dewa Senandung sudah terdesak, barulah dia akan menyerang Dewa Api.
"Apalagi yang hendak kau lakukan, hah"!" bentak Dewa Api dengan hati bertanyatanya.Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya lagi.
"Bila kau takut, lebih baik pukul kepalamu sendiri"
"Setan alas! Kau harus mampus, Orang Tua!" Kembali Dewa Api meluruk ke arah Dewa Senandung. Namun orang tua itu tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.
Justru Andika yang memekik. Dia hampir saja berkelebat untuk memapaki serangan Dewa Api. Namun keanehan pun terjadi. Karena tiba-tiba saja, tongkat kecil yang menancap di tanah itu mendadak menjulang. Lalu bagaikan sebuah benda lentur, langsung menghantam kepala Dewa Api.
Tak! Si Murid Murtad kontan tersuruk ke belakang.
Kepalanya berdarah.
Sementara tongkat yang mendadak menjulang pun mengecil kembali seperti sediakala.
"Rupanya kau masih mempunyai ilmu-ilmu simpanan, Orang Tua!" maki Dewa Api geram.
Kembali si Murid Murtad berkelebat sambil mengerahkan jurus-jurus apinya yang dahsyat. Namun lagi-lagi dia harus tersuruk ke belakang, karena tongkat kecil itu mendadak menjulang dan menghantamnya.
Yang lebih mengejutkan, tongkat itu tidak musnah terkena sambaran api yang berkobar! Sebenarnya, itu bukanlah ajian pamungkas milik Dewa Senandung. Lelaki tua ini hanya menerapkan ajian 'Balik Mata'nya saja, yang mempergunakan kekuatan mata untuk mengelabui pandangan mata lawan. Sebenarnya sejak tadi tongkat kecil itu tetap menancap di tanah, tidak menjulang tinggi seperti yang dilihat Dewa Api ataupun Pendekar Slebor. Kalaupun hal itu terjadi, karena keduanya telah terkena ajian 'Balik Mata' yang dikerahkan Dewa Senandung.
Dewa Api benar-benar ngotot. Dia berusaha untuk menerobos masuk pada pusaran tongkat kecil yang dilihatnya bisa menjulang tinggi. Tubuh dan kepalanya berkali-kali terkena sambaran tongkat membuatnya terkadang menjerit setinggi langit.
"Setan alas!" makinya sambil berdiri tegak. Dan mendadak Dewa Api menggosok kedua tangannya. Seketika sebuah titik cahaya keluar dari tangan itu. Inilah jurus 'Api Neraka' yang sangat dahsyat. Setitik cahaya itu bergerak meliuk-liuk ke arah Dewa Senandung. Dan tiba-tiba, titik cahaya itu menjadi kobaran api raksasa! Andika melihat bagaimana Dewa Senandung berlompatan menghindari kobaran api itu.
Sementara, Dewa Api terus terbahak-bahak.
Dalam sekali lihat saja Pendekar Slebor yakin Dewa Senandung tak akan mampu menghindari serangan api raksasa itu. Andika merasa harus melakukan sesuatu. Dengan cepat Andika bergulingan melewati kobaran api raksasa yang menderu ke arah Dewa Senandung. Lalu dengan satu sontekan keras disambarnya kaki lelaki tua ini.
Tak! Bruk! Dewa Senandung jatuh bergulingan dan luput dari sambaran api raksasa itu.
Meskipun diselamatkan Andika, tetapi orang yang diselamatkan justru ngomel-ngomel dengan gaya bersenandung. Pendekar Slebor tak meladeni, karena kobaran api raksasa itu kembali menderu-deru ke arah mereka.
"Heaaau!" Dengan nekat dan tak memperhitungkan keselamatan dirinya, Andika menerjang api raksasa itu dengan sambaran kain pusaka warisan Ki Saptacakra yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.
Wut! Wut! Wut! Tiga kali Pendekar Slebor menggerakkan tangannya, tiga kali api raksasa itu tersambar dan berpentalan hingga kembali membakar pepohonan. Satu pentalan api membakar atap bangunan kediaman Dewa Api yang sebagian sudah runtuh. Hawa panas sudah menderu-deru di sekitar sana. Kobaran demi kobaran api telah membakar hampir di seluruh tempat itu.
Betapa murkanya Dewa Api melihat Pendekar Slebor menghancurkan serangan 'Api Neraka' miliknya.
Baru disadari kini kalau kain pusaka bercorak catur itulah yang sempat membuat Malaikat Mata Satu jeri.
Dan yang membuatnya jengkel, dengan pengecutnya, Malaikat Mata Satu telah tak terlihat batang hidungnya, alias kabur.
Menyadari kalau tak akan mampu menghadapi keduanya, diam-diam Dewa Api pun bermaksud melarikan diri. Tetapi, Andika yang sudah mencium gelagat, langsung bergerak dengan kebutan-kebutan kain pusakanya. Akibatnya Dewa Api dibuat menjadi kalang kabut. Pada satu kesempatan, Andika berhasil menyambarkan kain pusakanya ke dada Dewa Api.
Lelaki ini terjajar. Dadanya tergores mengeluarkan darah. Dalam keadaan demikian Pendekar Slebor kembali mengebutkan kainnya.
Wuuut! Krak! "Aaah" Dewa Api meraung setinggi langit ketika tangannya tersambar kain pusaka Andika. Bukan hanya sampai di sana saja penderitaan yang dialaminya. Karena kaki Andika tiba-tiba memapas kaki kanan Dewa Api. Krak! Bruk! Seketika sambungan tulang di kaki Dewa Api patah. Kali ini keseimbangannya sudah benar-benar hilang hingga terpuruk di tanah.
Pada saat Dewa Api jatuh bersimpuh, Andika mengibaskan kain pusakanya.
Wuuut! Tak! Prak! Kaki kiri dan sebelah tangan Dewa Api pun patah akibat sambaran kain pusaka milik Andika. Kini, lelaki itu bagaikan sosok lumpuh yang bersimpuh tanpa bisa berbuat apa-apa lagi.
Ketika Andika hendak menghabisi nyawa Dewa Api....
"Tahan!" cegah Dewa Senandung. Andika mengurungkan niatnya, menatap heran pada Dewa Senandung yang sedang berdiri. . Dewa Senandung melangkah mendekati Andika. Agak sempoyongan.
"Terlalu enak untuknya bila mati sekarang. Biarkan dia hidup, karena tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dengan patahnya seluruh tulang pada kedua kaki dan tangannya, maka seluruh ilmu yang dimilikinya pun lumpuh seketika," jelas si orang tua.
Andika menganggukkan kepalanya. Baru dirasakannya betapa letihnya dia. Seluruh tenaganya bagaikan terkuras.
"Murid laknat...! Di mana kau sembunyikan Kitab Ajian Geni itu?" tanya Dewa Senandung dengan keleti-han teramat sangat.
Meskipun dalam keadaan tak berdaya, kesombongan Dewa Api masih mengental dalam hati.
"Carilah di neraka sana! Karena, kitab itu sudah ku bakar habis!" sahut Dewa Api, kasar. Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya.
Terlihat kegeramannya mendengar kata-kata Dewa Api.
"Kekeras kepalaanmu sudah tak ada gunanya.
Dengan kelumpuhanmu seperti itu, kau akan menjadi orang yang paling tersiksa sepanjang hidupmu...:"
"Peduli setan dengan ucapanmu itu, Orang Tua!" Dewa Senandung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tak guna memang berbicara denganmu. Tetapi sebagai seorang Guru, aku memaafkan seluruh tindakanmu. Karena, kau telah mendapatkan balasan atas perbuatan hina mu itu," ucap Dewa Senandung lalu berpaling pada Pendekar Slebor.
"Terima kasih atas bantuanmu, Andika...." Andika menganggukkan kepalanya. Merasa terharu melihat kebesaran hati Dewa Senandung. Lelaki ini mau memaafkan murid murtadnya yang hampir saja membunuhnya.
"Aku pun senang bertemu denganmu, Orang Tua".
"Mudah-mudahan, kita bertemu lagi," kata Dewa Senandung lagi.
Lalu dengan perlahan dan ringannya Dewa Senandung mencabut kembali tongkat bambu kecilnya.
"Andika, jangan lupa.... Kau ditunggu tiga orang gadis sekarang ini...." Seperti baru teringat akan Menur dan Savitri, Andika menepuk keningnya.
"Mengapa bertiga, Orang Tua?"
"Karena..., seorang berbaju harimau pun telah berkumpul dengan mereka." Lalu seolah tanpa ada kejadian apa-apa, Dewa Senandung melangkah meninggalkan tempat itu, tetap dengan senandungnya yang tak enak didengar.
Andika menghela napas panjang. Tiga orang gadis" Ah, persoalan cinta seperti inilah yang selalu membuatnya pusing. Selalu membuatnya tak mengerti bagaimana mencari jalan keluarnya.
Andika tahu, ketiga gadis itu mencintainya. Dan bukan karena Andika sok, tetapi hatinya benar-benar tak punya niatan untuk memilih salah seorang dari mereka. Namun sekarang, bagaimana ketiga gadis itu harus dihadapi, sementara cinta tak pernah terpatri di hatinya terhadap salah seorang dari mereka.
Andika mendesah sembari menatap langit yang mulai secerah jingga. Matahari sudah mulai bergulir dan senja sudah menurun.
"Biar bagaimanapun juga, aku harus menghadapi ketiganya," tegas Andika pelan.
Tiba-tiba Pendekar Slebor urung melangkah. Lalu dihampirinya Dewa Api. Kepalanya menggeleng-geleng.
Dan... Tak! Tangan Andika menjitak kepala Dewa Api.
Dan dengan bersiul kecil, Andika meninggalkan Dewa Api yang memandangnya penuh kegeraman.
Namun semakin lama, tatapan itu menurun. Kegarangannya hilang. Dan dia benar-benar menyadari kalau kelumpuhan sudah di ambang mata.
Hidup tak ada gunanya lagi bagi Dewa Api.
"Heek...!" Mendadak saja, lelaki ini menekan mulutnya. Mulutnya meringis. Ketika mulutnya terbuka, dari sana keluar darah kental yang cukup banyak. Rupanya, manusia itu terlalu pengecut dalam menjalani hidupnya yang sekarang. Dia lebih rela mengambil tindakan bunuh diri!

***

_=0 { 12 } 0=_

Apa yang dikatakan Dewa Senandung ternyata benar. Lima ratus tombak sebelah timur dari bangunan milik Dewa Api yang kini telah hancur termakan api, telah menunggu tiga orang gadis. Ketiganya samasama jelita. Sukar kalau disuruh memilih salah satu.
Sari memang berada di sana. Gadis berbaju dari kulit harimau ini telah tiba tak jauh dari bangunan besar itu bersama tunggangannya. Tadi waktu menuju ke tempat ini, dari kejauhan dia melihat api besar menjilat-jilat. Dengan cepat si Belang diperintahkan untuk segera mendatangi tempat itu. Namun begitu bergerak, satu panggilan terdengar.
Dan Sari terkejut bercampur gembira ketika melihat Menur bersama Savitri berada di balik sebuah pohon besar. Dari Menur lah Sari tahu keadaan Andika sekarang. Memang, ada keinginan untuk membantu Andika. Tetapi sudah tentu Sari menjadi tidak enak.
Memperlihatkan perasaannya pada dua gadis yang diyakini memiliki perasaan sama dengannya, sungguh tidak enak. Makanya, dia pun bersedia menunggu Andika. Andika mendesah masygul menyadari kalau harus menghadapi masalah yang paling pelik dalam hidupnya. Sesaat, dia tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi ketika dirinya muncul, ketiga gadis ini meneriakkan namanya dalam waktu yang bersamaan. Namun, hanya Savitri yang berlari merangkulnya.
Andika gelagapan sejenak. Lalu, diajaknya Savitri untuk mendatangi Menur dan Sari. Kedua gadis ini saling berpandangan dengan wajah jengah, karena meneriakkan nama yang sama.
"Bagaimana keadaan di sana, Kang Andika?" tanya Menur membuat suasana tidak kaku.
Andika tersenyum. Sementara Savitri menggandeng tangannya penuh kegembiraan.
"Semua sudah berakhir. Malaikat Mata Satu berhasil melarikan diri."
"Manusia keparat itu sudah mampus, Kang Andika?" tanya Savitri penuh gembira.
Andika mengangguk.
"Apa kabarmu, Sari?" sapa Pendekar Slebor. Sari gelagapan sejenak.
"Aku..., baik-baik saja." Andika berusaha mencari sela yang tepat untuk membicarakan persoalan yang diam-diam membuatnya gelisah. Akhirnya diputuskannya untuk berbicara.
"Kulihat, kalian sudah aman dan selamat. Tak kurang suatu apa. Lebih baik, kita berpisah saja dulu".
"Kang!" seru Savitri terkejut.
Andika tersenyum.
"Savitri.... Kehidupanmu sudah aman. Tak ada lagi manusia jahat seperti Dewa Api yang akan mengganggu kehidupanmu."
"Tetapi, Kang.... Bukankah Kang Andika tahu kalau hidupku seorang diri di dunia ini?"
"Ya! Dan aku yakin, kau bisa memulai hidupmu itu, bukan?" Sedikit banyaknya Savitri tahu, secara tidak langsung Andika berkata memang mereka harus berpisah.
Hati gadis itu menjadi sedih. Rasa cintanya pada Pendekar Slebor yang sudah semakin dalam, justru teraduk-aduk tak menentu.
Tiba-tiba saja gadis itu berlari sambil menangis.
Sari yang diam-diam semakin yakin kalau Andika menganggapnya tak lebih dari yang diharapkannya, segera menaiki si Belang.
"Kang Andika dan Menur! Biar aku mengejar Savitri! Akan kuajak dia tinggal bersamaku!" kata Sari.
Seketika gadis ini menghentak si Belang yang berlari bagaikan melompat. Di hatinya pun dirasakannya puing-puing yang mulai berserakan. Sari tidak tahu kapan akan menata kembali menjadi bangunan utuh dalam hatinya. Kini tinggal Menur yang kelihatan serba salah. Tiba-tiba benaknya teringat akan gurunya. Ah! Apakah dia memang tak akan bisa lagi kembali kepada gurunya" Bukankah sudah jelas Kaliki Lorot tak akan mau menerimanya lagi sebelum berjodoh atau pulang bersama Pendekar Slebor" Namun saat ini, hanya tinggal mereka berdua saja. Maka gadis itu pun mengutarakan apa yang ada di hatinya. Andika mendesah pendek. Tepat seperti yang diperkirakannya. Kemunculan Menur pasti ada hubungannya dengan perjodohan yang dilakukan Kaliki Lorot.
"Menur..., aku tahu. Hal itu sangat berat. Aku ta-hu, bagaimana kekeras kepalaan gurumu itu. Tetapi kau tidak usah takut untuk kembali kepadanya...," ujar Andika pelan.
"Tetapi...."
"Percayalah kepadaku.... Dia tak akan marah." Menur mengangkat wajahnya. Andika bisa melihat tatapan dari hati yang tercabik-cabik.
"Kang Andika, aku sangat mengenal guruku."
"Aku tahu."
"Dan dia tetap tak akan mau menerimaku bila tidak datang bersamamu."
"Inilah yang repot, bukan" Tetapi, Menur.... Bukan maksudku untuk menolak perjodohan itu. Hanya saja, kita masih membutuhkan waktu yang sangat panjang. Mungkin terlalu panjang. Bukankah kau tahu sendiri, dua hati yang bertaut belum tentu bisa menja-di satu. Apalagi, orang semacam kita. Aku tahu kau tidak mencintai ku, bukan" Begitu pula denganku. Dan untuk menjadi satu kesatuan yang utuh, kita harus menunggu waktu," papar Andika sambil memegang kedua tangan Menur. Dia sengaja mengatakan, kalau Menur tidak mencintainya.
Gadis itu menundukkan kepalanya. Getaran suara sumbang mengalun di hatinya. Sangat tidak merdu dan menyiksanya. Tetapi dia adalah gadis tegar. Gadis yang berani menghadapi segala macam tantangan.
Kembali diangkatnya kepalanya.
"Mungkin kita memang membutuhkan waktu, Kang...," kata Menur, bergetar.
Andika tersenyum. Dikecupnya pipi Menur yang seketika menjadi merah dadu.
"Terima kasih atas pengertianmu. Sekarang, kembalilah kau ke gurumu." Menur tak menjawab.
"Aku harus mengobati si Caping Maut yang luka akibat pukulan Malaikat Mata Satu. Menur, bila kita memang berjodoh, pasti suatu saat akan bertemu lagi.
Dan kita bisa memulainya, bukan?" Menur hanya menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan dirasakannya genggaman Andika melemah dan terlepas. Lalu....
Wuuuttt! Tubuh tegap berpakaian hijau pupus itu berkelebat meninggalkan Menur yang kini menundukkan kepalanya. Kini dia tahu, cintanya jelas-jelas tak terbalas. Dan satu hal yang merisaukannya, adalah tentang gurunya. Dan Menur bertekad untuk tidak kembali kepada gurunya, sebelum datang bersama Pendekar Slebor.
Lalu dengan hati masygul, gadis ini pun melangkah ke arah selatan. Entah ke mana. Yang pasti, hendak menenangkan dirinya untuk saat ini.

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Malaikat Peti Mati --oo0oo-- Bunga Neraka


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers