Siluman Hutan Waringin
tanztj
February 09, 2011
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Istana Sembilan Iblis --oo0oo-- Peta Rahasia Lembah Kutukan |
ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: SILUMAN HUTAN WARINGIN
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: SILUMAN HUTAN WARINGIN
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Fuji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::: 1 ::::
Curah hujan seperti tak pernah puas membasahi dataran yang dipenuhi perbukitan. Salah satu bukit dari kejauhan mirip kepala seekor menjangan. Sehingga, disebut dengan Bukit Menjangan. Kilat saling menyambar, tak ubahnya bagai lecutan malaikat yang menyengat bumi. Alam telah basah. Hewan yang hidup di tanah berlarian mencari tempat perlindungan. Di tengah cuaca seperti ini, dua laki-laki berkepala botak dengan sebuah tasbih di langan kanan terus berkelebalan. Keduanya berpakaian sama warna jingga yang terbuka di bahu sebelah kanan. Wajah mereka pun sama.Bulat. Tubuh mereka langsing. Begitu mirip. membuat mereka sukar dibedakan. Yang membedakan hanya dari tasbih yang dimiliki. Usia mereka sekitar empat puluh lima lahun.
"Brengsek! Kenapa harus hujan-hujan begini, sih Angling Srenggi"!" gerutu yang memegang tasbih dari emas sambil terus berlari.
Dari cara berlari yang secepat angin itu, sudah bisa dipastikan kalau kedua orang ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
Laki-laki yang memegang tasbih dari perak dan dipanggil Angling Srenggi terbahak-bahak. Suaranya diperkeras guna mengalahkan suara hujan yang begitu deras.
"Aku baru ingat, Kakang Tapa Srenggi! Tadi kau belum mandi, kan" Kau tidak usah marah! Tinggal mengeringkan saja bukan?" ledek Angling Srenggi pada saudaranya yang bernama Tapa Srenggi. Tapa Srenggi yang agak pemarah langsung melotot.
"Kau urusi dirimu sendiri!" dengusnya,
"Apa aku prrnah menyuruhmu untuk memandikanku?" seloroh Angling Srenggi sambil terbahak-bahak.
Sadar kalau sedang digoda adik kembarnya, Tapa Srenggi mempercepat larinya, agar bisa segera menemukan tempat untuk berteduh. Angling Srenggi pun menambah kecepatan larinya. Dia tidak heran melihat sikap kakaknya yang pemarah seperti itu. Sebaliknya terkadang dia heran melihat sikap
kakak kembarnya, yang bisa menjelma menjadi seorang yang berkepribadian malaikat. Kini keduanya terlihat bagaikan sedang kejar-kejaran.
Begitu tiba di salah satu bukit yang berjajar, tepat di sebelah bukit yang berbentuk kcpala menjangan, mereka bcrhenti. Dan ketika melihat sebuah gua,
mereka masuk.
"Sialan! Aku harus mengeringkan pakaian ini!" maki Tapa Srenggi, pada diri sendiri ketika herada di dalam gua.
"Hei! Jangan mcmbuka pakaianmu di sini. Aku bisa malu. kan?" goda Angling Srenggi. Sambil tertawa seluruh pakaiannya dibuka, hingga hanya kolor saja.
"Kalau tidak mengejek orang bibirmu gatal, ya?" tukas Tapa Srenggi sambil mengibaskan tangan kanannya ke arah Angling Srenggi. Namun sigap sekali lakilaki bertasbih perak ini memiringkan tubuh ke kiri. Jderr...!
Angin pukulan yang dilepaskan Tapa Srenggi menghantam dinding gua yang langsung sempal.
"Hei it! Hati-hati! 'Tapak Angin Dingin'-mu itu bisa memutuskan kepalaku, Kakang Tapa Srenggi!" seru Angling Srenggi seraya menggerakkan tangannya.
Wusss! Seketika meluruk desir angin ke arah Tapa Srenggi. Kalau pukulan yang dilepaskan Tapa Srenggi tadi mengandung hawa dingin, pukulan adik kembarnya jus-tru mengandung hawa panas.
"Gila! Sialan!"
Tapa Srenggi yang sedang membuka pakaiannya memaki-maki. Namun secepat kilat dia bersalto ke samping. Tak usah disangsikan lagi kehebatannya meringankan tubuh. Karena dalam keadaan tengah membuka pakaiannya, dia bisa menghindari. Malah ketika hinggap kembali di bumi. pakaiannya sudah terbuka.
"Rupanya kau juga sudah sembarangan menggunakan 'Tapak Angin Panas'-mu, ya?" tukas Tapa Srenggi.
Angling Srenggi hanya tertawa-lawa saja.
"Kedudukan kita satu-satu, kan?"
Tapa Srenggi menggerutu. lalu meletakkan pakaiannya di sebuah batu besar yang ada di gua dinding bukit itu. Hujan di luar scmakin deras. Kedua manusia kembar itu pun kini terdiam saling menekuk lutut. Siang yang biasanya meranggas. kini tak ubahnya bagaikan malam belaka. Cahaya sang surya seakan tak mampu menembus gumpalan awan hitam yang terus menutupinya.
"Kang T apa, sudah tiga minggu kila keluar dari Pesanggrahan Utara untuk mencari Pendekar Slebor.
Telapi sampi saal ini batang hidungnya belum juga kelihatan. Bahkan kabarnya saja tidak kita dengar," kata Angling Srenggi, memetah kesepian. Scmentara hujan terus menderu dan kilat terus saling menyambar.
Angling Srenggi mengangguk-angguk.
"Memang sialan pendekar urakan itu! Susah benar dicarinya!"
"Kalau memang susah, apakah tak ada lagi yang bisa mengobati penyakit Guru?" tanya Angling Srenggi.
"Goblok! Sejak kita berangkat dari Pesanggrahan Utara, sudah kukatakan kalau satu-satunya orang yang memakan buah inti petir itu ya, Pendekar Slebor! Heran!
Beruntung sekali nasib pendekar gendeng itu bisa memakan buah inti petir sehingga memiliki tenaga petir yang luar biasa dahsyatnya!"
"Tetapi, ke mana lagi kita harus mencari Pendekar Slebor, Kang?" tanya Angling Srenggi.
"Apalagi menurutmu, kau tidak mengenalnya. Hanya yang kau ketahui, pakaiannya berwarna hijau muda. Huh! Berapa banyak di bumi ini manusia yang berpakaian berwarna hijau muda itu?"
"Mana kutahu"! Aku bukan orang iseng yang mau-maunya menghitung jumlah manusia berpakaian berwarna hijau muda!" dengus Tapa Srenggi.
"Pokoknya kita harus segera mencarinya! Soalnya, hawa panas yang memancar dari tubuh Guru tak bisa lagi dikendalikan! Terlalu berbahaya untuk kita obati! Karena, bisa-bisa kita terkena hawa panas itu pula!! Dan kuperkirakan, orang yang bisa memulihkan kesehatan Guru, hanyalah Pendekar Slebor dengan tenaga inti pelirnya."
"Aku kasihan bila melihat Guru."
"Jangan bodoh! Guru adalah orang tabah dan tak pernah mcncari perkara! Nah! Yang memusingkan ke pala, sampai hari ini pun kita tidak tahu siapa yang melakukannya! Karena, setiap kali kita berusaha mengobati Guru, hawa panas yang terpancar di tubuhnya semakin kuat! Bahkan, bisa-bisa terkena kita sendiri! Apalagi, Guru sendiri pun tidak tahu siapa orang yang bermaksud mencelakakannya."
Lalu Tapa Srenggi menurunkan nada suaranya jadi agak sedih.
"Sebenarnya. aku pun kasihan pada Guru. Kita tidak kuasa mengobatinya. Yah. Jalan satu-satunya untuk mengusir hawa panas itu hanya bisa dilakukan oleh Pendekar Slebor yang sampai sekarang belum kelihatan batang hidungnya!"
Suasana hening kembali. Keduanya terbayang kembali, bagaimana Guru mereka yang bernama Ki Mahesa Luwing atau yang berjuluk si Tua Kepalan Baja kini tergolek lemah di pembaringan. Tanpa daya dan tenaga. Hanya bisa tersenyum saja. Keadaannya yang demikian, hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Karena terbukti Ki Mahesa Luwing yang ilmunya sukar ditandingin pun terkena pula serangan gelap yang mengerikan itu. Dan belum lagi keduanya meneruskan pembicaraan, tiba-liba saja terlihat sebuah cahaya dari gua terdalam. Kedua lokoh kembar itu langsung menolehkan kepala. menembus sinar yang menulupi snsok yang bergerak mendantangi.
"Gila! Mengapa tahu-tahu ada cahaya seperti itu, hah?" seru Tapa Srenggi sambil berdiri. Angling Srenggi menyipitkan matanya, berusaha melihat ke dalam. Karena. cahaya lerang itu justru membuatnya silau.
"Gila!" makinya.
"Mata kita bisa buta kalau melihatnya!"
Cahaya itu semakin lama semakin bertambah terang dan menyilaukan. Keduanya segera mengangkat sebelah tangan, untuk menutupi pandangan dari cahaya yang terang.
"Adi Angling! Aku mencium bahaya di sini!" ingat Tapa Srenggi.
Dan dengan gerakan yang cepat sekali disambarnya kembali pakaiannya yang belum kering benar dan segera dikenakannya. Begitu pula yang dilakukan Angling Srenggi.
"Kau henar, Kang!"
Wusss.. ! Belum lagi keduanya mcmasang kuda-kuda, mendadak saja serangkum angin besar menderu.
"Gila! Angin apa ini'.'!" desis Tapa Srenggi sambil mengerahkan tenaga dalamnya agar bisa bertahan.
Angling Srenggi pun berbuat yang sama. Wajah mereka kini bagaikan ditampar pukulan yang sangat keras. Dan terasa sekali di kepala mereka yang kelimis.
"Busyet! Kepalaku seperti diusap-usap!" maki Angling Srenggi sambil mengalirkan tenaga dalam ke kedua kakinya. Ucapan itu dilontarkan seenaknya. Padahal keadaannya sudah tidak mampu bertahan lagi menerima serbuan angin yang begitu besar. Cahaya yang terang itu sangat menyilaukan mata dua tokoh yang dikenal sebagai Sepasang Tasbih Kepalan Batu. Akibatnya daya pusat pikiran mereka harus terpecah. Karena harus juga menahan serbuan angin raksasa yang menderu-deru hebat.
Selama setengah penanakan nasi mereka mampu bertahan. Hingga akhirnya....
"Wuaaa...!" Bruk! Bluk!
Tubuh keduanya pun terlempar ke luar gua dengan deras, bergulingan di tanah yang becek. Lalu.... "Hoekh...!"
Mereka kontan muntah darah dan sama-sama merasakan sakit luar biasa di dada. Pakaian dan seluruh tubuh mereka kotor akibat tanah becek.
"Siapa makhluk yang berada di balik cahaya dan angin raksasa itu?" tanya Angling Srenggi dengan napas tersengal.
"Aku tidak tahu. Manusia atau sebangsa dedemit. Serangan anginnya sangat dahsyat! Tetapi lelah memancing amarahku!"
Tiba-tiba saja Tapa Srenggi berdiri. Kedua kakinya bergetar. Segera tenaga dalamnya dialirkan ke kaki.
"Siapa pun kau adanya. keluar! Kita bertarung sampai mati!" teriak Tapa Srenggi.
Sebagai jawaban atas seruan itu, tiba-tiba terlontar sebuah bola api dari dalam gua yang begitu kencang. Sepasang Tasbih Kepalan Batu saat itu juga harus jatuh bangun mempertahankan diri. Sementara alam di sekitarnya mendadak bagaikan terang benderang. Dan anebnya, bola api itu tidak padam ditimpa air hujan yang deras.
"Kalau kita terus-menerus begini, lama-lama akan mampus juga!" keluh Tapa Srenggi sambil merunduk, karena bola api mengejarnya.
Baru saja Tapa Srenggi menegakkan badan, bola api itu kembali menyerbunya. Terpaksa laki-laki ini segera berjumpalitan. Begitu luput mcncari sasaran, bola api itu terpental kebelakang dan kembali menderu-deru, menerjang ke arah Angling Srenggi.
"Buat 'Pusaran Tasbih Dewa Marah'. Kau putar ke kiri, dan aku ke kanan! Kita lakukan untung-untungan! Barangkali saja bola api itu bisa ditepiskan! Mulai!" ujar Tapa Srenggi.
Seketika Tapa Srenggi kembali melompat ketika bola api itu terus mengejarnya. Dan tasbih emas yang berada di tangannya telah diputar dengan arah ke kanan. Begitu pula yang dilakukan Angling Srenggi. Namun dia memulai arah putaran tasbih peraknya ke arah kiri.
Wuuttt... wuttt.. !
Seketika terdengar deru angin kencang sekali. Saking kencangnya, beberapa pohon yang tumbuh di Sana tercabut sampai ke akar-akarnya. Bola api yang masih mengejar mereka pun terlontar kembali ke dalam gua. Namun, Sepasang Tasbih Kepalan Batuyangsudah marah karena dipermainkan seperti itu segera meloncat pula kc arah mulut gua. Sementara putaran tasbih mereka dipercepal. Dua angin keras menderu masuk kc arah gua itu. Tidak terjadi sesuatu yang mcncurigakan. Bahkan tak tcrdengar benturan yang kuat atau guncangan karena terhantam angin keras itu. Yang ada justru sebuah angin raksasa yang memukul balik angin yang keduanya lepaskan.
"Adi Angling! Berguling sejauh-jauhnya!" ujar Tapa Srenggi, seraya melompat dan bergulingan di depan mulut gua. ,Angling Srenggi pun berbuat sama. Dan angin raksasa itu langsung ke luar gua, menumbangkan sepuluh buah pohon besar yang terlempar hingga ratusan depa.
"Kang Tapa..... Perasaanku mengatakan, gua itu di huni sebangsa dedemit atau siluman!" teriak Angling Srenggi.
"Persetan dengan dedemit atau siluman! Aku akan menghajarnya sampai lungganglanggang!" dengus Tapa Srenggi.
Tiba-tiba Tapa Srenggi sudah menderu masuk lebih dalam lagi ke gua itu dengan memutar tasbihnya lebih cepat dari yang semula.
"Kang Tapaaa!"
Angling Srenggi sungguh tidak menyangka kalau kakak kembarnya senekat itu. Dia tahu. Tapa Srenggi sudah marah. Begitu pula dirinya. Namun Angling Srenggi masih bisa mengendalikan amarahnya, hingga tidak terjebak pusaran lawan yang tentunya menghendaki hal itu. Akan tetapi. Tapa Srenggi sudah tidak mendengar peringatan adik kembarnya. Amarahnya sudah sampai di ubun-ubun. Dirinya tak akan sudi diperlakukan semenamena seperti itu.
"Kau harus merasakan pembalasanku, Siluman!" teriak Tapa Srenggi, mengguntur.
Tapa Srenggi memutar tasbihnya lebih cepat dan diarahkan pada sasaran. Bersamaan dengan itu Tapak Angin Dingin"nya dikerahkan. Kali ini terdengar suara bagaikan ledakan di dalam gua. Dan Tapa Srenggi merasakan tanah yang dipijak gemetar. Angling Srenggi yakin, kakak kembarnya telah memadukan jurus 'Tasbih Dewa Marah' dan Tapak Angin Dingin' demi melampiaskan amarahnya. Dua gabungan jurus yang sangat dahsyat. Bukan hanya mampu menghancurkan gua hingga runtuh, bahkan menembus dinding gua di ujung Sana. Namun yang diduga Angling Srenggi ternyata tidak terbukti. Meskipun. tanah yang dipijaknya terasa ber-getar. Karena. dengan mata membelalak kaget. dia melihat satu sosok tubuh terlontar deras ke luar.
"Kang Tapaaa!"
Dengan satu pentalan kaki, Angling Srenggi menangkap tubuh kakak kembarnya yang terpelanting deras ke belakang. Lalu dengan satu gerak salto yang ringan, kakinya hinggap kembali di tanah dengan sikap waspada. Kalau Tapa Srenggi sudah nekat, maka Angling Srenggi masih mempergunakan olaknya. Menurutnya, bila menyerang ke dalam gua itu, maka berarti membuang nyawa percuma. Makanya lebih haik menghindar saja, meskipun hatinya sangat penasaran ingin mengetahui sejenis apa yang mendiami gua itu yang sekarang sedang mengamuk bebat.
Tanpa tahu tentang keadaan kakak kembarnya. Angling Srenggi terus berlari. Diterobosnya hujan yang semakin deras dan debaran dada yang semakin mengencang sambil memondong Tapa Srenggi.
***
:::: 2 ::::
Hujan deras sudah berhenti. Sinar matahari kini benar-benar terseret di ufuk barat. Hanya ada kegelapan malam yang terus merangkak. Kalau tadi siang langit begitu gelap dengan hawa dingin mencekam, kini langit begitu cerahnya. Rupanya ratu malam kali ini mendapat kebebasan bersinar, tanpa dihalangi segumpal awan pun.Di sebuah hutan pohon jati sebelah selatan Bukit Menjangan, Angling Srenggi menghentikan larinya. Sejenak diperhatikannya keadaan sekeliling. Dan selelah dirasakannya aman, barulah diletakkannya tubuh Tapa Srenggi di atas rumput yang masih basah. Keadaan Tapa Srenggi sangat menyedihkan. Sekujur tubuhnya penuh luka. Sejenak Angling Srenggi menduga kalau kakak kembarnya sudah mampus. Tetapi ketika memegang dadanya, dia yakin kalau kakak kembarnya masih hidup. Enlah untuk berapa lama. Yang pasti, sekarang berusaha untuk memulihkan kesehatan kakaknya. Paling tidak menyadarkannya dari pingsannya.
Dengan menempelkan kedua langan ke dada Tapa Srenggi, laki-laki botak dengan tasbih perak ini mengalirkan Tapak Angin Panas'nya, semata untuk mengembalikan suhu tubuh Tapa Srenggi yang dingin sekali.Cukup lama juga Angling Srenggi melakukan hal itu. Sehingga, kemudian terlihat keringat bercucuran. Dipegangnya tubuh kakak kembarnya perlahan-lahan. Dan ketika Tapa Srenggi sudah tidak sedingin tadi, segera Angling Srenggi beringsut dan bangkit. Dia segera mcncari dedaunan untuk menutupi tubuh kakak kembarnya dari hawa dingin yang kemungkinan bisa kembali menerpanya. Namun....
"Wuaaalahhh.... Tak jadi deh, dicium gadis cantik.
Huh.... Kabur sudah mimpiku! Siapa, sih yang iseng mengganggu tidurku..."!"
Terdengar bentakan ketika Angling Srenggi mematahkan sebuah dahan kayu. Angling Srenggi tersentak. Dalam keadaan genting seperti ini. sikapnya harus
terus waspada. Matanya memperhatikan rimbunnya dedaunan pohon yang tadi dahannya dipatahkan. Tetapi tak satu sosok tubuh pun yang nampak. Gila! Apakah daerah ini dihuni dedemit pula"
Akan tetapi, di samping penasaran. Angling Srenggi pun berusaha untuk menghindar dari kemungkinan terjadinya pertarungan. Karena yang terpenting saat ini adalah menolong kakak kembarnya. Setelah ditunggu beberapn saat tak ada yang muncul. Angling Srenggi memutuskan untuk kembali menemui kakak kembarnya yang masih dalam keadaan pingsan. Sckaligus, bermaksud berpindah tempat. Saat ini bukanlah saat yang tepat untuk bertempur. Karena keselamatan kakak kembarnya lebih diutamakan. Namun baru saja Angling Srenggi memondong tubuh Tapa Srenggi di bahunya....
"Hayo, Manusia Botak! Mau lari ke mana, hah"! Aku tidak terima! Aku minta ganti mimpiku yang kau usir!"
Tiba-tiba tcrdengar seruan keras. disusul berkelebatnya satu sosok tubuh yang tahu-tahu telah berdiri di hadapan Angling Srenggi. Angling Srenggi memperbatikan orang yang membentak di depannya. Dalam sangkaannya tadi, orang itu berwajah mengerikan dengan usia sudah tua. Namun yang berdiri di hadapannya, justru jauh dari bayangan nya. Menurut perhitungannya, paring tidak berusia dua puluh satu tahun. Pakaiannya berwarna hijau muda, dengan selembar kain bercorak catur tersampir di bahunya. Wajahnya tampan. Sepasang mata yang tajam ditambah sepasang alis hitam yang menukik bagaikan kepakan sayap elang.
Yang sangat menarik lagi, pemuda ini kelihatan kocak sekali. Dia berdiri di hadapan Angling Srenggi sambil menggaruk-garuk kepalanya. Sikap dan suaranya tidak mencerminkan habis tertidur tadi. Matanya melotot dalam satu pelototan gemas. Namun, Angling Srenggi tetap bersiaga. Dia sering mendengar para begundal sering menjual tampang bodoh, tampang baik, bahkan tampang arjuna untuk menipu korbannya.
"Siapakah kau, Anak Muda?" tanya Angling Srenggi-Kening pemuda berbaju hijau itu berkerut.
"Heran! Rasanya aku tadi yang bertanya lebih dulu.... Yang jelas, gara-gara kau, aku tidak jadi dicium gadis cantik. Eh, begitu bangun, malah bertemu simbahnya tuyul. Malas ah, kenalan dengan tuyul," kata pemuda ini, seenaknya.
Angling Srenggi menyipitkan matanya.
Sejenak merasa terheran-heran dengan sikap pemuda ini. Dari nada suaranya yang keras. jelas sekali kalau sedang marah karena tidurnya terganggu. Tetapi melihat sikapnya yang kocak seperti itu, jelas-jelas bukan tergolong pemuda pemarah. Kendati demikian, dia tidak mau mencari masalah.
"Maaf".... Namaku Angling Srenggi. Yang berada dalam panggulanku ini adalah kakak kembarku. Namanya Tapa Srenggi. Kami dikenal dengan julukan Sepasang Tasbih Kepalan Batu. Dan, maafkan aku kalau telah mengganggu tidurmu. Hanya itulah yang bisa kukatakan kalau kau ingin mengetahuinya."
"Kepanjangan malah!"
Pemuda berbaju hijau pupus itu nyengir. Tiba-tiba matanya menalap tajam pada tubuh Tapa Srenggi.
"Maaf, Manusia Bolak!" ucap pemuda itu, acuh saja memanggil demikian.
"Kulihat, manusia botak yang berada dalam panggulanmu itu terluka dalam. Benarkah dugaanku?"
Angling Srenggi memicingkan matanya. Dia berpikir, tentu pemuda berbaju hijau pupus ini bukan orang sembarangan. Buktinya dalam sekali lihat saja, dia bisa tahu kalau kakak kembarnya tengah terluka dalam. Namun baginya saat ini yang lerpenling bukanlah mencari masalah.
"Tidak.... Kakak kemharku ini sedang kolokan saja," elak Angling Srenggi, berdusta.
Namun pemuda berbaju hijau pupus itu malah nyengir. Sepertinya dia tidak percaya dengan kata-kala Angling Srenggi.
"Ayo, jangan bohong! Biar kulihat! Sudah botak sombong lagi! Huh! Mimpi apa aku tadi hingga bisa bertemu dengan manusia-manusia botak seperti kalian ini!
Sini, aku mau melihat luka manusia botak yang berada dalam panggulanmu itu!" ujar pemuda itu.
"Tidak!" tandas Angling Srenggi.
Akibat serangan yang terjadi di gua daerah perbukitan sana, laki-laki botak dengan tasbih perak ini justru menjadi tegang sekarang. Baginya, sangat sukar membedakan manusia dari golongan lurus ataukah golongan sesat. Tetapi kemudian disadari, kalau saat ini bukanlah saat yang tepat untuk bertempur.
"Maaf, aku tidak bermaksud bersikap kasar seperti itu. Tetapi, aku tidak membutuhkan bantuanmu. Aku mampu menolong kakak kembarku ini.
" tolak Angling Srenggi, dengan nada suara diturunkan.
Si pemuda mengerutkan keningnya. Merasa aneh dengan kata-kata laki-laki botak itu. Matanya sepertinya bisa menebak, kalau laki-laki yang berada di panggulan laki-laki yang menolak bantuannya, jelasjelas terluka. Bahkan menurutnya, terluka dalam sangat parah.
"Sudahlah.... Kau boleh berbuat apa saja semaumu. Aku mau tidur lagi!" kata pemuda berbaju hijau muda itu sambil melangkah.
Dan.... Wuuusss! Tahu-tahu tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan. Kening Angling Srenggi sckelika berkerut. Memang sudah diduga kalau pemuda itu tak bisa dianggap sembarangan. Terbukti dengan apa yang dikatakannya tentang Tapa Srenggi. Juga terbukti dengan yang baru saja dilihatnya. Tetapi, apakah pemuda itu berada dalam golongan lurus atau sesat"
Sesaat Angling Srenggi terdiam dalam keraguan. Bila mendengar ketlulusan bantuan pemuda berbaju hijau pupus itu, jelas-jelas dia menunjukkan kebaikannya. Namun, tak jarang orang dari golongan sesat pun berpura-pura menawarkan niat baik, padahal menohok dari belakang. Angling Srenggi tak bisa meneruskan pikirannya, ketika dirasakannya tubuh kakak kembarnya mulai dingin kembali. Bergegas dilelakkannya tubuh Tapa Srenggi dan ditutupinya dengan dedaunan. Sementara, ia sendiri pun merebahkan tubuhnya untuk memeluk kakak kembarnya sekadar memberi kehangatan. Malam pun semakin membentang. Tengah malam telah lewat. Suara hewan malam terus menembangkan nyanyian malam. Dan semakin lama semakin ramai. Suara burung hantu menggema di sekitarnya, menambah keseraman hutan.
Angling Srenggi yang sejak tadi hanya terbaring saja dan tidak bisa memejamkan matanya, tiba-tiba saja ter-bangun. Dia memang tak bisa tidur, karena menurutnya bahaya masih terus mengintai. Terutama, pikiran tentang pemuda berpakaian hijau pupus ladi. Mata lajam laki-laki bolak ini bersiaga. Telinganya dipasang lebar-lebar. Sesuatu vang membuatnya penasaran telah mengusik hai nya.
"Gila! Aku mencium bahaya kembali!" desisnya sambil mcmperhatikan sekilarnya.
Tak ada scsuatu yang mencurigakan. Semuanya tetap berjalan dalam keadaan wajarwajar saja. Namun hanya sesaat saja hal itu berlangsung. Karena kemudian baru disadari kalau angin terasa berhenti berhembus. Suara hewan malam pun mendadak saja lenyap dan pendengaran. Suasana sangai sepi Scpi sekali. Angling Srenggi semakin waspada. Tiba-tiba benaknya teringat pada pemuda berpakaian hijau pupus tadi yang kemudian kembali meneruskan tidurnya, entah di pohon yang mana.
Apakah pemuda itu yang mengganggunya" Tetapi, nalurinya yang terlatih mengalakan, kalau bahaya yang datang ini sangat mengerikan. Bila melihat sikap pemuda itu, bisa dipastikan kalau yang mengusik berbaringnya bukan dia.
Tetapi siapa? Karena, hanya pemuda itu saja yang barusan berjumpa dengannya!
Dan belum lagi laki-laki botak ini semakin menyadari apa yang lerjadi. kembali terlihat sebuah cahaya yang terang perlahan-lahan mendekatinya. Seketika hatinya menjadi tegang, sclelah meyakinkan dirinya. Ternyata ilu adalah cahaya yang sama saat berada di gua perbukitan tadi siang.
"Gila! Bangsa siluman ilu rupanya menghendaki kematianku dan Kakang Tapa," desisnya sambil menyambar tubuh kakak kembarnya dan memondongnya.
Walaupun telah bersiaga, namun Angling Srenggi ciut juga nyalinya. Karena, dia sendiri tidak mengetahui siapakah yang mcnjadi lawannya.
Tiba-tiba saja....
"Hhhh! Tak seorang pun akan kubiarkan mencari pemuda yang telah memakan buah "inti petir', untuk menyelamatkan Ketua Pesanggrahan Utara yang telah kubuat luka parah lanpa daya!"
Angling Srenggi lersenlak mendengar suara dingin dari balik cahaya lerang ilu. Bukankah itu tujuan yang dilakukan bersama Tapa Srenggi" Dan lagi, suara di balik cahaya terang itu seperti bercerita tentang gurunya,siTua Kcpalan Batu, Kalau begitu, apakah makhluk yang berada di balik cahaya terang itu yang telah membuat Guru tanpa daya"
Angling Srenggi bertanya-tanya dalam hati dengan tatapan waspada. Karena dalam keadaan seperti ini sangat mudah untuk dibokong. Dan sudah tentu dia kesulitan untuk mcnyelamatkan diri. Bukan karena memanggul tubuh kakak kembarnya, melainkan harus lebih dulu mengobati luka yang diderita Tapa Srenggi. Angling Srenggi tidak ingin melihat kakak kembarnya mati konyol!
"Makhluk busuk! Siapa kau sebenarnya, hah"!
Perlihatkan wajah burukmu itu!" leriak Angling Srenggi, antara kemarahan bercampur keccmasan.
"Ha ha ha,... Kau memang sungguh berani. Tetapi, ingat! Tak akan kubiarkan siapa pun juga mencari Pendekar Slebor!"
Tiba-liba terdengar suara geraman keras, disusul tawa menggema di seantero hutan ini.
"Kenapa dengannya, hah"! Dia kubutuhkan untuk menolong guruku?" pancing Angling
Srenggi untuk mcngetahui lebih jelas lagi kalau makhluk itulah yang mela kukan kejahatan pada gurunya.
"Karena, aku menghendaki kedatangannya! Bila sebelum tiga purnama mendatang dia belum datang juga, maka si Tua Kepalan Batu akan mampus hari itu juga!"
"Biadab! Siapa kau sebenarnya, hah"! Apa urusannya dengan guruku!" bentak Angling Srenggi dengan wajah terasa panas dan hati tercmas-remas oleh marahnya.
Wesss. . Bukannya menjawab pertanyaan yang diucapkan penuh amarah oleh Angling Srenggi, tiba-tiba saja serangkum angin keras bergulung-gulung menderu ke arahnya.
Sehingga, membuat laki-laki botak harus tunggang-langgang menyelamatkan diri. sekaligus menyelamatkan kakak kembarnya yang masih dalam keadaan pingsan.
"Kau tak akan mampu menghadapi Siluman Hutan Waringin yang mendendam pada Pendekar Slebor! Dan aku telah menunggu kedatangannya untuk menerima ajal dariku. Ha... ha... ha!"
Angin yang menderu-deru itu terus mengejar Angling Srenggi yang semakin bersusah payah menghindarinya.
Dalam keadaan memondong kakak kembarnya, sangat sulit baginya untuk melakukan pembalasan. Namun diam-diam pun dirasakannya kalau menyerang pun tak ada gunanya. Yang dihadapi Angling Srenggi ini adalah bangsa siluman. Dia tadi mendengar jelas sekali kalau makhluk itu menyebutkan dirinya. Sudah tentu tenaganya tak akan mampu menembus ruang gerak bangsa siluman. Jalan satu-satunya memang meninggalkan tempat ini!
Pertama, kembali mencoba menyadarkan kakak kembarnya dan menceritakan semua yang diketahuinya sekarang. Kedua, harus secepatnya mcncari Pendekar Slebor. Yang tak pernah disangka, ternyata siluman itu mempunyai dendam pada Pendekar Slebor.
Sementara itu, angin yang keluar dari cahaya yang terang itu terus menderu-deru. Bahkan mencabut beberapa pepohonan besar yang tumbuh di hutan ini. Dan ternyata, salah sebuah pohon yang tercabut adalah pohon yang tadi digunakan tidur oleh pemuda berbaju hijau pupus. Pohon itu pun terbang, bersamaan satu teriakan keras.
"Waaddooowww! Apa ini ?!"
***
Satu sosok tubuh berpakaian hijau melenting dari pohon yang meluncur deras ke belakang itu. Lalu dalam dua kali gerak saja, pemuda berpakaian hijau pupus itu hinggap ringan di tanah. Pemuda ini mcrasakan angin yang menderu-deru ke arahnya. Busyet! Angin dari mana ini" Begitu dengusnya dalam hati. Dan dia harus menghindari serbuan angin ilu.
Dalam pusaran angin yang besar, mata tajam pemuda ini melihat satu sosok tubuh sedang menghindari diri, agar jangan sampai masuk ke dalam pusaran angin yang bergulung-gulung. Dia adalah Ielaki berkcpala botak yang sedang memanggul Ielaki botak pula. Pemuda berpakaian hijau pupus itu menghentakkan sebelah kakinya yang telah dialiri tenaga dalam kuat. Lalu, tubuhnya mencelat menerobos pusaran angin yang sedang berusaha menggulung Ielaki botak itu
Hup! Sambil meluruk. pemuda itu meluncur ke arah Angling Srenggi. Tangan kanannya yang telah memegang kain bercorakcaturyangsejak tadi tersampirdi bahunya cepat bergerak mengibas.
Wultl...! Seketika arah angin itu seperti terpotong dan, ber-belok ke alas. Tangan kiri pemuda ilu yang bebas, menangkap tangan kanan Angling Srenggi. Kemudian seketika disentaknya dengan mengirimkan tenaga dalam ke tangan laki-laki botak itu.
Sehingga, Angling Srenggi tidak terjerembab, melainkan terbawa gerakan yang dilakukan oleh si pemuda. Dua tubuh itu pun hinggap di tanah. Angling Srenggi yang menyangka kalau nyawanya akan segera putus, melirik penolongnya. Nyatanya pemuda berpakaian hijau pupus itu sedang memaki-maki sambil memperhatikan cahaya yang menerangi hutan besar ini.
"Gila! Angin dari mana. nih"! Jin mana yang sedang kentut hah"!" seru pemuda itu jengkel. Angling Srenggi memperhatikan sekali lagi si pemuda yang sedang menyampirkan kembali kain ber-corak caturnya di bahu. Belum lagi bisa ditebak siapakah gerangan pemuda yang nampaknya urakan ini, tiba-tiba saja....
"Grrrhhh! Hidungku mencium bau busuk dari tubuh Pendekar Slebor! Grrrhhh! Ha ha ha.... Rupanya tidak perlu lagi bersusah payah mencarinya!"
Terdengar suara geraman yang sarat ancaman. Dan mendadak saja cahaya yang bersinar terang tadi itu perlahan-Iahan meredup. Lalu, terlihatlah gumpalan asap yang sangat pekat.
***
:::: 3 ::::
Angling Srenggi tersentak melihatnya. Asap itu terus membumbung. begitu pekat.Sementara cahaya yang sangat menyilaukan menghilang. Keterkejutannya bukan hanya pada cahaya yang berubah menjadi asap hitam, melainkan dengan seruan makhluk yang berada di balik cahaya terang tadi.Laki-laki botak ini memperhatikan dengan seksama pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur yang tersampir di pundak. Pemuda inikah yang selama ini dicari olehnya bersama kakak kembarnya" Pemuda sakti yang telah memakan buah 'inti petir' yang diharapkan mampu mengobati penyakit gurunya, si Tua Kepalan Batu" Pemuda yang dijuluki Pendekar Slebor"
Murid si Tua Kepalan Batu ini hampir-hampir tidak mempercayai pendengarannya. Kalau tahu pemuda ini orang yang dicarinya, sudah tentuakan dibiarkan menolong kakak kembarnya. Dan lagi, mengapa dia melupakan ciri-ciri Pendekar Slebor yang berpakaian berwarna hijau pupus" Tetapi kemudian dia teringat, kalau mencari pendekar sakti berpakaian hijau pupus itu maka akan mengalami kesulitan. Karena, sangat banyak orang yang berpakaian sama. Tetapi kalau kakak kembarnya tahu di leher pemuda itu tersampir kain bercorak catur, bisa dipastikan akan sangat mudah menduga. Pemuda berpakaian hijau pupus ilu memang Pendekar Slebor, yang sekarang menatap tegang asap tehal yang perlahan-lahan menghilang. Ketika asap ilu lenyap sama sekali, terlihatlah satu sosok tubuh mengerikan.
Wajah sosok itu bulat lonjong. Kedua telinganya lebar berbentuk kerucut. Di bibirnya yang panjang, ada dua buah taring mengkilat. Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu mengerikan. Sosok itu hanya mengenakan sebuah cawat. Yang lebih mengerikan lagi, matanya yang hanya sebuah dan terletak tepat di kening, di atas hidung panjangnya yang seperti babi.
Andika bergidik pula melihatnya. Diam-diam ingatannya beralih pada perisliwa yang dialaminya di Alam Sunyi. Peristiwa yang mempertemukannya dengan Eyang Sasongko Murti dan makhluk mengerikan berjuluk Siluman Hutan Waringin. (Untuk lebih jelasnya, silahkan baca : 'Neraka di Keraton Barat').
Meskipun kelihatan terkejut, namun Andika masih tetap menampilkan sikap urakannya.
"O..., rupanya kau siluman jelek! Baguslah itu. Sudah lama memang aku ingin menyunatmu. Bukankah kau belum disunat?"
Makhluk mengerikan yang sekaligus menjijikkan itu menyeringai lebar
"Pendekar Slebor! Gara-gara pertolonganmu, murid murtadku berhasil meloloskan diri! Dan aku tak akan pernah membiarkannya hidup. Termasuk, kau!" desis Siluman Hutan Waringin, mengandung kegeraman luar biasa.
"Yeee!" seru Andika.
"Enak saja ngomong begitu! Aku tidak pernah bermaksud menolong Eyang Sasongko Murti!
Mengenalnya saja tidak! Dia saja yang terlalu kangen padaku. Justru dia sendiri yang menarikku masuk ke penjaramu yang disebut Alam Sunyi itu! Pakai otakmu, dong! Jangan main nuduh sembarangan!"
Tetapi tahu-tahu Pendekar Slebor terkekeh-kekeh sambil nyengir.
"Aku lupa, kalau kau ini tak punya otak!"
Angling Srenggi terkejut sekali lagi mendengar kata-kata yang diucapkan begitu santainya oleh Pendekar Slebor. Tetapi kemudian dia hanya membatin, mengapa Andika berani berseloroh seperti itu. Mungkin pemuda ilu belum mengetahui
keanehan dan kehebatan ilmu bangsa siluman!
Namun sesungguhnya, laki-laki botak itu tidak tahu kalau Pendekar Slebor pernah melihat ilmu-ilmu siluman, ketika terjadi pertarungan hebat antara Eyang Sasongko Murti melawan Siluman Hutan Waringin di Alam Sunyi.
Kalaupun Andika berani berseru seperti itu, disebabkan otaknya yang cerdik. Sengaja makhluk itu diajak berbicara, sementara otaknya berpikir keras bagaimana caranya untuk bisa mengalahkan. Paling tidak, neloloskan diri dari
cengkeramannya. Karena Andika tahu, betapa tinggi dan anehnya ilmu Siluman Hutan Waringin. Siluman Hutan Waringin mengibaskan tangannya yang kurus pcnuh totol-totol mengerikan.
Wusss! Seketika serangkum angin menderu keras. Namun Andika langsung melompat ke kiri. Blarrr...!
Sebuah pohon besar langsung tumbang dan terhempas beberapa puluh meter, terhantam pukulan nyasar.
"Gila! Bagaimana caranya aku menghadapi siluman jelek ini?" rutuk Andika dalam hati. Pendekar Slebor melirik Angling Srenggi yang kelihatan bersiap kalau ada serangan yang mengarah padanya. Melihat hal itu, Andika mendesah pendek. Bisa dipastikan, dalam keadaan memanggul kakak kembarnya yang terluka dalam, laki-laki botak itu tak akan mampu menghindari serangan.
"Hei, Botak! Kau...."
"Namaku Angling Srenggi! Kakakku Tapa Srenggi!" seru Angling Srenggi memutus kata-kata Andika.
Andika cuma nyengir saja. Dan dengan gerakan cepat, Pendekar Slebor melcnting ke arah laki-laki botak itu dan hinggap di sisinya.
"Ingat! Saat ini kesehatan kakakmu terluka parah. Pasti kau pernah menghadapi siluman busuk ini. bukan?" kata Pendekar Slebor.
Angling Srenggi mengangguk.
"Kalau begitu, lebih baik segera minggat dari sini. Nyawa kakakmu lebih penting," ujar Andika.
"Oh! Kau sendiri?" tanya laki-laki botak itu dengan tatapan cemas.
"Tidak usah memikirkanku! Aku tahu bagaimana cara menghadapinya. meskipun tidak yakin apakah mampu mengalahkannya."
"Tetapi...."
"Busyat deh! Kenapa kau jadi keras kepala"!" seru Andika.
"Tetapi biar kucoba dulu...." Andika lantas mengayunkan kepalannya ke kepala laki-laki botak itu.
Tak!
"Benar juga, ya! Ternyata kepalamu keras. Sudah, sudah.... Jangan banyak omong lagi. Cepat minggat setelah mendengar perintahku!" ujar Andika, setelah menjitak kepala Angling Srenggi.
Laki-laki botak itu sendiri cuma mengangguk. Memang hanya itu yang bisa dilakukan. Selebihnya. dia harus melompat karena angin keras menderu ke arahnya.
Begitu pula yang dilakukan Pendekar Slebor. Begitu melenting ke atas, Pendekar Slebor langsung merangkum ajian 'Guntur Selaksa'-nya. Ajian kebanggaan yang didapat dari Lembah Kutukan. Sehingga dia sering pula disebut sebagai Pemuda Sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Bagi Andika sendiri, menghadapi siluman ini haras menggunakan siasat. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencoba menghadang setiap serangan yang datang. Dengan ajian 'Guntur Selaksa' yang terangkum di tangannya, Andika langsung menderu cepat.
"Botak! Cepat pergi dari sini!" teriak Andika sambil meluruk.
Angling Srenggi kelihatan ragu-ragu untuk melarikan diri. Sebenarnya dia tidak mungkin membiarkan Andika menghadapi siluman itu seorang diri. Namun meskipun demikian, dia teringat kata-kata pendekar sakti itu bahwa nyawa kakak kembarnya harus diselamatkan. Dengan rasa berat hati. Angling Srenggi pun melompat ketika Andika terus menderu ke arah Siluman Hutan Waringin.
"Pendekar Slebor! Aku bersumpah, akan mencarimu untuk mengucapkan lerima kasih!" teriak laki-laki botak itu.
Andika tidak sempat lagi mendengar kata-kala Angling Srenggi. Karena, ajian 'Guntur Selaksa' siap dijatuhkan ke tubuh Siluman Hutan Waringin.
"Kau rasakan ajianku ini. Siluman Jelek!" pekik Andika.
Seketika tangan Pendekar Slebor pun menghantam tubuh Siluman Hutan Waringin. Namun yang dirasakan, tangannya seperti menghantam karet saja. Bahkan Andika sendiri merasakan betapa panas seluruh tubuhnya. Dengan cepat ditutupnya kembali ajian 'Guntur Selaksa'nya kalau tidak ingin termakan ajiannya sendiri. Belum tuntas keterkejutan Andika, tiba-tiba saja tangan kanan Siluman Hutan Waringin mengibas.
"Kau tak akan pernah bisa melumpuhkanku. Pendekar Slebor! Malam ini nyawamu akan meregang!" desis makhluk aneh ini.
Wrrr! "Aaakh...!"
Tubuh Andika terpelanting ke belakang, ketika sebuah tenaga besar tak terlihat mendorongnya amat kual. Tubuhnya bergulingan berkali-kali di tanah. Dan dadanya seketika terasa sesak luar biasa disertai getaran cukup hebat.
"Gila!" dengusnya sambil mengalirkan tenaga dalam untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Werrr.... Namun belum lagi Pendekar Slebor bisa berdiri tegak, serangkum api panas yang bergulung menjilat-jilat ke arahnya siap memanggangnya bulat-bulat.
Seketika suasana gelap di hutan dilerangi cahaya api yang besar. Dengan mengemposkan tubuhnya, Andika melompatlompat menghindari sambaran api yang datang bertubi-tubi. Akibatnya beberapa pohon terbakar. hingga tak ubahnya obor-obor raksasa.
"Sudah kukatakan, kau akan mampus, Pendekar Slebor!" desis Siluman Hutan Waringin. dingin.
"Enak saja! Memang nyawanya mbahmu. Biar begini, aku punya nyawa rangkap. tahu"!" seru Andika tak acuhnya. Padahal. nyawanya rasanya sudah siap tercabut.
Api besar yang menjilat-jilat itu sudah siap untuk memanggangnya hidup-hidup. Dan mendengar kata-kata penuh ejekan itu, membuat Siluman Hutan Waringin bertambah garang. Wajahnya seketika merah, tampak mengerikan dan sukar sekali
dilukiskan. Namun yang jelas, serangan-serangan aneh dari ilmu siluman mulai dikeluarkannya. Mendadak saja, dalam pusaran api yang menjilat-jilat panas itu sebelah tangan kiri Siluman Hutan Waringin tiba-tiba terlepas dan melayang-Iayang ke arah Andika.
"Busyet! Kau bisa main sulap juga rupanya, ya" Lebih baik ke kotapraja saja, yuk" Di sana kau bisa mendapat duit dari keahlianmu main sulap yang beginian!"
Sambil mengejek, dengan kelincahannya yang benar-benar terlatih Andika meliukliukkan tubuhnya dan melompat ke sana kemari untuk menghindari sambaran tangan Siluman Hutan Waringin yang mengejarnya bagaikan seekor elang. Namun lama kelamaan Pendekar Slebor pun menjadi kewalahan. Karena gerakan tangan putus itu begitu cepatnya.
Sementara, Siluman Hutan Waringin menyeringai buas. Bila Pendekar Slebor mampus, niatnya hanya akan mencari si murid murtad, Sasongko Murti!
Namun di luar dugaan, tiba-tiba saja Andika melenting ke belakang, dan hinggap di tanah dengan kedua kaki terbuka. Sikapnya penuh ejekan. Bahkan kedua tangannya pun berada di pinggang.
"Yeee! Betul, kan kalau aku punya nyawa rangkap?" ejek Pendekar Slebor sambil menjulurkan lidahnya.
Andaikata Angling Srenggi melihat kelakuan Pendekar Slebor. pasti bertambah keheranan. Tiba-tiba saja tangan Siluman Hutan Waringin yang melayang-Iayang menderu cepat ke arahnya. Wusss! Beberapa rambut saja tangan itu mencengkeram leher, tiba-tiba saja dengan gerakan luar biasa cepat Andika mengibaskan tangannya yang telah menyambar kain pusaka. Seketika kain itu dikibaskan.
Brrrttt! Tangan yang melayang itu langsung tergulung kain pusaka Andika. Dan segera disentakkannya ke tanah. Dengan cepat pula Andika menginjaknya. Akan tetapi itu adalah kesalahan besar. Karena, tangan melayang itu kini mencengkeram kaki kanan Andika yang menginjak. Kukukuku panjang setajam pisau itu mendadak saja muncul, siap menghunjam kaki Andika! Dengan cepat Pendekar Slebor mengirimkan tenaga 'inti petir', seraya membuka paksa tangan yang mencengkeram kakinya. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskannya, namun tangan itu terus mencengkeram dengan ketat.
"Ampun, deh! Bisa lumpuh kakiku!" dengus Andika.
Segera dikerahkannya tenaga 'inti petir' tingkat pertama. Dengan bersusah payah akhirnya Andika berhasil melepaskan cengkeraman tangan melayang dari kakinya. Namun. tubuhnya harus terhempas ke belakang, karena Siluman Hutan Waringin sudah kembali menyerangnya. Kembali Andika bergulingan di tanah. Keadaannya mulai payah sekarang. Dadanya semakin sakit dirasakan. begitu pula kakinya yang penuh luka. Tiba-tiba saja kedua mata Andika terbuka lebar,
karena sosok mengerikan ilu sudah melayang ke arahnya!
Wuuuttt...! Namun agaknya, Yang Kuasa belum menginginkan nyawa Andika. Karena, mendadak saja sebuah cengkeraman dirasakan Andika pada perutnya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya pun terasa bagaikan terbang!
Siluman Hutan Waringin menggcram marah.
"Akhirnya kau muncul juga, Sasongko Murti!" serunya.
Ternyata, makhluk aneh ini bisa membaca gerakan penolong Andika. Karena gerakan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh bangsa siluman. Dan satu-satunya manusia yang bisa mcnggunakan ilmu itu hanyalah Eyang Sasongko Murti. yang pernah menuntut ilmu pada Siluman Hutan Waringin. Namun dengan segera ajaran sesat itu ditingalkan setelah menyadari kalau belajar dari bangsa siluman. Karena kenekatan untuk meninggalkan Siluman Hutan Waringin. Eyang Sasongko Murti tertangkap dan dipenjarakan di Alam Sunyi menunggu pengadilan dari Siluman Hutan Waringin. Namun sebeIum hukuman ilu dijalankan, berkat bantuan Pendekar Slebor yang tak sengaja datang ke Alam Sunyi, Eyang Sasongko Murti pun berhasil meloloskan diri. (Baca : 'Ncraka di Keraton Barat').
Sehingga dia harus rela dikejar terus-menerus oleh Siluman Hutan Waringin. Tubuh mengerikan dari Siluman Hutan Waringin itu pun bergerak dan lenyap dari pandangan. Dia tetap akan mencari Eyang Sasongko Murti dan Pendekar Slebor.
Pagi kembali menjelang, matahari bersinar. Gugusan bebatuan yang terdapat di perbukitan nampak terjal. Di bawahnya, mengalir sebuah sungai berair kuning. Entah karena jenis tumbuhan yang hidup di bawahnya, ataukah sesuatu yang lain
yang menyebabkan air sungai ilu berwarna demikian. Di tepi sungai berjongkok satu sosok tubuh sambil memperhatikan air sungai yang berwarna kuning ilu dengan seksama. Sosok berpakaian warna hitam yang sudah compang-camping itu memperlihatkan tubuhnya yang kurus kering, tak ubahnya mayat hidup. Rambutnya yang putih panjang acak-acakan menutupi hampir seluruh wajahnya. Sehingga boleh dikatakan, wajah sosok itu sukar sekali dilukiskan.
Tiba-tiba sungai yang tenang itu bergejolak, lalu muncul sebuah kepala sambil menghembuskan napas keras.
"Aku tak tahan lagi! Aku tak tahan!"seru sosok yang dalam keadaan telanjang bulat.
"Coblok! Kakimu sudah terkena kuku Siluman Hutan Waringin! Jalan satu-satunnya harus direndam di air!" bentak sosok awut-awutan itu jengkel.
"Sudah tiga jam aku direndam di sini! Mana tidak boleh angkat kepala lagi!" bentak pemuda yang baru muncul dari sungai itu. Anggota tubuhnya mulai dari pusar hingga ke bawah terendam sungai. Sementara, tubuhnya dari pusar ke atas
basah oleh air sungai yang kemudian menetes kembali. Wajahnya begitu gusar.
"Bor! Terserah kaulah! Aku toh. cuma membantumu saja! Eh! Kau tahu..., kalau kau tidak direndam di sungai ini, kuku siluman itu akan membuatmu jadi siluman!" ancam sosok compang-camping.
Pemuda bertclanjang dada yang tak lain Pendekar Slebor terkekeh.
"Biar saja! Asal jangan seperti kau yang seram begitu! Yang mana mata, dan yang mana hidung, tidak ketahuan," ejek Andika. Sosok yang tak terlihat wajahnya itu bukannya marah, tapi justru terbahak-bahak keras. Suara tawanya menggema di scluruh perbukitan.
"Tetapi aku masih lebih ganteng kan dari Siluman Hutan Waringin!" elak sosok yang tak lain Eyang Sasongko Murti.Andika mendengus.
"Sama kambing peot saja, masih bagus kambing! Sudah! Mana pakaianku"!"
Eyang Sasongko Murti menggerakkan tangan kanannya ke arah pakaian Andika yang menumpuk menjadi satu. Bagai ada dorongan tenaga tak nampak, tumpukan pakaian ilu melesat di tangannya.
"Pakaian ini akan kubakar!"
"Hei! Jangan sembarangan kalau ngomong!" bentak Andika terkejut.
"Berendam lagi!"
"Brengsek!"
"Dasar gendeng! Jangan menyebutku seperti itu! Ayo berendam!"
Tangan kiri Eyang Sasongko Murti langsung mengibas ke arah Andika. Namun dengan cepat Pendekar Slebor menyelam kembali, kalau tidak ingin kepalanya berpisah dari tubuhnya.
Byarrr! Terdengar suara bagai ledakan. Dan air di seberang sana muncrat seolah ada gejolak keras yang memaksanya muncrat.
Kepala dengan rambut gondrong itu muncul kembali dan mengibas-ngibaskan air yang melekat di kepalanya. Andika mendengus. melotot pada Eyang Sasongko Murti yang masih berjongkok di hadapannya.
"Kenapa kau harus menyelamatkan aku. sih?" bentak Pendekar Slebor.
"Bego! Kau bisa mampus tabu"!"
"Biar saja! Kan aku ini yang mampus!"
"He! Katanya otakmu cerdik. Kalau ternyata kau bersikap seperti itu, otakmu sama dungunya dengan kerbau!"
"Kalau begitu, mengapa tadi kau tidak menghadapi pula siluman itu, hah'.'!" seru Andika lagi.
"Dasar! Apakah aku akan membiarkanmu menjelma menjadi pengikut siluman di saat aku menghadapi Siluman Hutan Waringin?" bentak Eyang Sasongko Murti.
Andika terdiam, membenarkan juga kata-kala Eyang Sasongko Murti.
"Bodohnya aku! Kenapa tidak kubiarkan saja kau menjadi bangsa siluman, daripada aku mendengar omelanmu yang jelek ilu!"
Tiba-tiba mendengar Eyang Sasongko Murti memakimaki. Kali ini Andika nyengir. Ditatapnya Ielaki yang berusia sekitar seratus tiga puluh tahun yang bentuk wajahnya sukar sekali dilihat jelas.
"Jadi, apa yang harus kulakukan lagi?" tanya Pendekar Slebor kemudian.
"Tetap berendam di sungai itu! Kebetulan sekali, airnya berwarna kuning. Sehingga aku hanya mengalirkan ajian pemunah bangsa siluman yang kudapatkan dari Siluman Hutan Waringin! Kau masih memerlukan waktu tiga penanakan nasi lagi
untuk mengembalikan jalan darahmu!"
"Hanya dengan tiga kali bernapas setiap satu penanakan?" tukas Andika terbelalak. Tadi pun ia melakukan hal itu.
"Bahkan kalau bisa, tanpa mengambil napas sekali pun!" sahut Eyang Sasongko Murti tegas.
"Eh! Kalau bisa, kau bisa saja jadi ikan!"
"Tidak lucu!" gerutu Andika.
"Aku bukan badut yang suka mcmbuat orang tergelak-gelak! Sudah! Jangan cerewet kenapa, sih"! Ayo, cepat berendam kembali sampai kepalamu tenggelam! Atau, kau ingin kupaksa, hah"!"
Andika menjulurkan lidahnya.
"Weee!"
Dan sebelum Eyang Sasongko Murti kembali mengibaskan tangannya. buru-buru Pendekar Slebor menarik napas dan menenggelamkan tubuhnya kembali. Eyang Sasongko Murti terkekeh-kekeh.
***
:::: 4 ::::
Lima hari sudah Angling Srenggi berusaha mengembalikan kesehatan kakak kembarnya. Saat ini, dia sedang mengalirkan kembali hawa murninya pada Tapa Srenggi. Hal itu dilakukan sudah lebih dari dua puluh kali. Perlahan-lahan namun pasti, kesehalan Tapa Srenggi pun sudah bcrangsur-angsur menggembirakan. Pada dua hari sebelumnya, tubuhnya tiba-tiba bisa terasa panas sekali, dan tiba-tiba bisa menjadi dingin sekali. Ini terkadang juga membuat Angling Srenggi kebingungan sendiri. Namun berkat kesabarannya, keadaan tubuh kakak sepcrguruannya s udah mulai teratur kembali.Hanya tinggal memulihkan tenaga danpenyembuhan luka dalamnya. Kini sekujur tubuh Sepasang Tasbih Kepalan Batu sudah dibanjiri keringat. Sementara, Angling Srenggi terus memberikan tekanan hawa murni agar menyerap ke tubuh kakak kembarnya. Terlihat wajah Tapa Srenggi berkali-kali meringis. Dan perlahan-lahan terlihat asap putih mengepul dari kedua tangan Angling Srenggi yang menempel di punggung kakak kembarnya yang terbuka. Setelah hampir sepenanak nasi, laki-laki botak bertasbih pcrak menghentikan aliran hawa murninya.
Diam-diam dia mendesah lega. Lalu kakak kembarnya disuruh kembali mengenakan pakaiannya. Sementar dia sendiri mengatur pernapasannya untuk mengembalikan hawa murninya. Tapa Srenggi tersenyum haru melihat kesungguhan adik kembarnya yang selalu ceria saat mengobatinya. Sejak kecil, dia selalu bersama Angling Srenggi. Dan dia tahu sifat adik kembarnya yang lebih suka mengalah bila ada satu pertikaian. Juga selalu berusaha bersikap gembira dalam menghadapi satu masalah. Tapa Srenggi tidak tahu, kalau adik kembarnya akhir-akhir ini sangat cemas sekali memikirkan keadaannya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Adi Angling Srenggi...," ucap Tapa Srenggi bersungguh-sungguh.
Angling Srenggi tersenyum meskipun jelas kelelahan. Namun di wajahnya terpancar kepuasan.
"Tidak usah berkata begitu, Kakang. Bukankah kita ini sedarah daging. Bocah kembar yang tak pernah tumbuh rambut, ketika ditemukan Guru tergeletak hanya berbalut sebuah kain kusam di sebuah hutan sebelah timur Pesanggrahan Utara?" tukas Angling Srenggi tersenyum.
"Dan hingga sekarang. di usia yang hampir mencapai lima puluh tahun, kepala kita pun tetap tak ada rambut sedikit pun! Licin tandas seperti padang pasir!"
Kakak kembar Angling Srenggi pun tersenyum. Namun diakui Angling Srenggi, kalau sampai saat ini keduanya tidak tahu asal usul mereka. Siapa kedua orang-tua mereka-saja, mereka tidak tahu. Yang mereka tahu, mereka sudah besar dan berada dalam asuhan Ki Mahesa Luwing yang menjadi guru sekaligus orangtua mereka sampai sekarang.
"Adi Angling Srenggi.... Seperti katamu semalam, kau yakin kalau pemuda yang rela menghalangi perbuatan 'Siluman Hutan Waringin itu adalah pemuda yang kita cari?" tanya, Tapa Srenggi kemudian. Angling Srenggi menganggukkan kepalanya.
"Aku yakin sekali, Kakang Tapa. Pemuda itu pasti Pendekar Slebor. pendekar muda yang kita butuhkan pertolongannya untuk mengobati penyakil Guru."
"Mcngapa dia diserang Siluman Hutan Waringin itu?" tanya Tapa Srenggi lagi.
"Secara pasti, aku tidak tahu, Kang. Tetapi aku yakin, Pendekar Slebor pasti sebelumnya telah mempunyai masalah dengan Siluman Hutan Waringin. Kata-kata Siluman Hutan Waringinlah yang membuatku sadar, kalau pemuda berbaju hijau pupus yang menawarkan pcrtolongan untuk memulihkan kesehatanmu adalah Pendekar Slebor! Pemuda yang kita cari!"
"Ah! Apakah dia masih hidup sekarang ini?" desah Tapa Srenggi ragu-ragu.
Meskipun Tapa Srenggi menyadari belapa tingginya ilmu yang dimiliki pemuda sakti itu, namun menghadapi Siluman Hutan Waringin bukanlah hal yang mudah. Karena, ilmu bangsa siluman sangat s ulit ditandingi manusia.
"Aku tidak tahu soal itu, Kang. Sebenarnya pun, aku merasa tidak enak karena tidak membantunya. Dari sikapnya saat menyuruhku meninggalkannya bersama Siluman Hutan Waringin, sudah menunjukkan kebesaran jiwa dan namanya. Dia memang seorang pendekar sakti yang palut diperhilungkan namanya. Namun biar pun begitu, sekali lagi kulandaskan, aku tidak tahu apakah dia berhasil mengatasi Siluman Hutan Waringin. Tetapi, kitaharus tetap mencarinya. Karena, kita membutuhkan bantuannya untuk menyembuhkan Guru," jelas Angling Srenggi.
Tapa Srenggi menganggukkan kepalanya.
"Kau benar, Adi Angling. Apalagi menurutmu penyebab sakitnya Guru adalah perbuatan Siluman Hutan Waringin. Dan itu sengaja dilakukan untuk memancing kehadiran Pendekar Slebor. Sementara Pendekar Slebor mau menolong Guru, maka saat itulah Siluman Hutan Waringin melakukan balas dendamnya. Namun sekarang, keduanya sudah bertemu. Ah! Aku tidak tahu. apa yang harus kita lakukan."
"Kakang T apa.... Yang pasti, seperti yang kukatakan, kita harus mencarinya. Karena, kita ingin sekali mendapat pertolongannya demi kesehatan Guru."
"Siluman itu benar-benar keji! Dia menghancurkan kesehatan Guru demi kepentingan sendiri," desis Tapa Srenggi.
Angling Srenggi tertawa mendengar kata-kata kakak kembarnya.
"Kau ini ada-ada saja, Kakang. Sudah pasti bangsa siluman akan berbuat apa saja demi kepentingannya. Ah!
Aku tidak tahu, bagaimana harus menghadapinya."
Sejenak keduanya terdiam. Suasana jadi hening.
"Yang kucemaskan saat ini adalah keadaan Guru," kata Tapa Srenggi memecah keheningan.
"Sudah cukup lama dia kita tinggal tanpa ada yang mengurusnya. Aku tidak tahu, bagaimana keadaannya sekarang ini?"
Kembali keheningan tercipta. Pikiran mereka sama-sama terhanyut pada nasib Ki Mahesa Luwing yang terbaring sakit.
"Kakang T apa, apakah kesehatanmu sudah pulih benar?" tanya Angling Srenggi tiba-tiba.
"Ya."
"Baiknya, kita segera mencari Pendekar Slebor. Mengingat nasib Guru yang sudah di ambang maut. Juga, untuk mengetahui apakah Pendekar Slebor masih hidup atau sudah tewas."
Tapa Srenggi mengangguk. Karena memang itulah yang bisa dilakukan. Saat itu juga, keduanya berkelebat meninggalkan tanah dekat sebuah rawa yang penuh ilalang dan bunga teratai.
***
Matahari terus bergulir, menyeret waktu. Dan kini si raja siang ini berada di tengah puncak panasnya, memanggang seluruh alam. Juga, memanggang dua sosok tubuh yang melangkah melalui dataran yang membentang panjang. Keduanya adalah Pendekar Slebor dan Eyang Sasongko Murti.
"Eyang.... Bagaimana cara kita menemukan siluman jelek itu?" tanya Pendekar Slebor tanpa mempedulikan sengatan panas.
Tubuh Pendekar Slebor kelihatan sedikit berkeringat. Setelah direndam di s ungai berair kuning, Eyang Sasongko Murti pun mengalirkan hawa panas dalam tubuh Pendekar Slebor, lalu menyuruhnya meminum ramuan yang lelah dibuatnya.
"Aku tidak tahu! Tetapi, aku bisa mencium kehadirannya," sahul Eyang Sasongko Murti sambil terus melangkah.
"Bor!
Menghadapi Siluman Hutan Waringin, bukanlah masalah mudah. Karena, ilmu-ilmu bangsa siluman yang dimilikinya sangat sukar dihadapi! Apalagi saat ini, hanya akulah yang bisa mengimbanginya walaupun sangat sulit mengalahkannya."
"Kalau kau sudah ketakutan sebelum berhadapan dengannya, ya pergi saja dari sini," sahut Andika seenak jidatnya saja.
"Eyang Sasongko Murti menoleh dan melotot. Apa kau pikir aku ini banci, hah"!"
Andika nyengir.
"Untuk membuktikan kalau bukan banci, kau tidak perlu memperlihatkannya kepadaku."
"Sialan! Berbulan-bulan lamanya aku menghindari Siluman Hutan Waringin, agar jangan sampai berada di permukaan bumi. Karena kalau dia berada di sini, maka keadaannya akan menjadi kacau-balau. Akan banyak masalah yang akan
ditimbulkannya," umpat laki-laki berusia ratusan tahun itu.
"Lalau mengapa kau keluar dari alam bawah tanah?" tukas Andika.
"Justru kau yang menjadi penyebabnya!"
"Sialan! Seratus tahun lamanya aku mendiami Alam Sunyi! Aku bosan berada dalam kesunyian. Aku pun bosan berada di bawah tanah terus-menerus, memancing Siluman Hutan Waringin agar jangan sampai naik ke permukaan. Kutekan semua kebosananku itu dengan satu keyakinan, agar keadaan di sini selalu aman. Tetapi rupanya, siluman itu pintar juga. Dia tiba-tiba saja menghentikan pengejarannya padaku! Dan muncul di sini!" tangkis Eyang Sasongko Murti.
Andika yang mendengar kata-kala laki-laki tua bangka itu cuma mendengus saja. Enaknya ngomong di dunia ini tidak ada kekacau balauan yang memusingkan" Kalau segolongan orang sesat membuatonar, apa bukan kekacau balauan"
"Kalau begitu, kita harus cepat menemukannya!" ujar Andika.
"Iya, iya! Aku tahu!" dengus Eyang Sasongko Murti.
"Tetapi saat ini di mana keberadaannya aku tidak tahu. Meskipun, aku bisa mencium kedatangannya. Itu hanya kalau dia datang! Bagaimana kalau dia telah membuat keonaran di tempat lain, hah"!" sergah si tua bangka.
"Mana aku tahu?" lukas Andika lagi seraya menggedikkan kedua bahunya.
Eyang Sasongko Murti menjilak kepala Andika saking gemasnya.
"Jangan asal ngomong saja kau! Kalaupun kita tahu di mana keberadaannya, belum tentu bisa mengalahkannya."
"Itu urusan belakangan!" sahut Andika menggam-pangkan masalah.
Tak! Sekali lagi kepala Pendekar Slebor dijitak Eyang Sasongko Murti. Dan ini membuat Andika nyengir.
"Jaga bacotmu itu!"
"Habis mau bagaimana lagi" Bukankah kita merelakan nyawa untuk keselamalan manusia?"
"Kau betul! Tetapi kalau kita langsung menyerangnya tanpa perhitungan, sama artinya nekat! Kalau pun kita nekat tanpa kemampuan, itn namanya bodoh!"
"Busyet! Susah amat, ya?" Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepalanya.
"Kubantu kau melecehkan kemampuanku. Hhh! Dasar orang tua pikun! Rasanya hanya merasa dia sendiri yang mampu! Kalau sendiri menghadapinya. kau bilang justru tidak akan mampu mengalahkannya. Menandinginya
saja sudah cukup. Bagaimana sih maunya?"
Eyang Sasongko Murti melotot.
"Hei! Aku tahu, kau pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Namun, lawan yang akandihadapi adalah bangsa siluman. yang ilmunya jauh berbeda dengan kita!"
"Dimarahi lagi!" maki Andika.
"Kalau kau memang merasa tidak mampu mengalahkannya, mengapa tidak turunkan saja ilmu siluman itu kepadaku" Dengan begitu, bukankah kita memiliki dua buah tenaga. Kurasa dengan kemampuan kita berdua, bukan hanya mampu menandingi Siluman Hutan Waringin. Bahkan mampu memukulnya sampai lenyap untuk selama-lamanya!"
Eyang Sasongko Murti terdiam. Lalu mendadak saja tua bangka ini melonjak-lonjak seperti monyet dapat pisang. Mulutnya meracau kegirangan. Kening Andika berkerut.
"Hei. kalau mendadak sinting jangan di sini, dong!"
"Hei, Bor! Usulmu boleh juga! Bagus, bagus! Aku akan mengajarkan kau ilmu siluman! He he he.... Dengan kekuatan kita berdua, kita pasti mampu menaklukkan Siluman Hutan Waringin! T ak kusangka, encer sekali otakmu! Kupikir otakmu hanya ada di dengkul. Tak tahunya...?"
Andika melotot.
"Jadi hanya karena kau ingin mengajarkan ilmu siluman, sampai teriak-teriak hingga telingaku budek, hah"!"
"Masa bodoh! Pokoknya kau harus memperlajari ilmu siluman ilu! Ayo. kita mencari tempat sepi!" Andika terkikik.
"Busyet... Aku mau diajak kencan" Pikir dong kau ini siapa ?"
Eyang Sasongko Murti melotot seraya menghentikan langkahnya.
"Mulutmu memang harus disumpal gombal!" umpat orang tua itu.
Andika nyengir.
"Kalau begitu, boleh saja. Awas, jangan-jangan kau mau memperkosa aku ya..., ha ha ha...."
"Kau ini...."
Kata-kata Eyang Sasongko Murti terputus ketika melihat satu sosok tubuh berparas jelita terbungkus pakaian biru melangkah dengan gemulai ke arah mereka. Kini, mereka tidak lagi berada di tanah panjang membentang, tapi sudah memasuki sebuah hutan kecil yang rimbun. Kalau Eyang Sasongko Murti mengerutkan keningnya, Andika justru cengengesan. Baginya, ini memang pemandangan yang tak boleh dilewatkan.
"Mau ke mana, Neng Geulis pagi-pagi begini?" sapa Andika, seraya menghentikan langkahnya dan memasang sikap sok ganteng. Eyang Sasongko Murti melotot. Sementara Andika cuma mengangkal alisnya saja yang seperti sayap elang berkepak. Gadis itu tersipu-sipu.
"Mau..., mau pulang, Kang...," sahut gadis itu.
"Pulang" Lho, Iho..., berani-beraninya sendirian di tempat scpi sepei ti ini?
"Apa tidak takut diculik?" Andika makin menjadi-jadi.
Gadis itu tersenyum, semakin menambah manis wajahnya. Kulilnya sebening susu, dengan wajah bulat telur. Pipinya yang berlesung pipit ilu menambah pesona wajahnya. Mulutnya mungil dan sepasang bibir memerah. Matanya memancarkan sinar kesejukan, membuat laki-laki yang menatapnya mampu merasa berada dalam rangkulannya.
"Ah! Memangnya ada apa, Kang" Sepertinya aman-aman saja, kok... "
"Bagaimana kalau kuantar?" tanya Andika, menge-dipkan matanya. Menyebalkan sekali.
"Jangan, Kang.... Ayah bisa marah.
" tolak gadis ini.
"Lho. ayahmu galak, ya?"
"Bukan itu maksudku, Kang. Ayah tidak suka kalau ada laki-laki yang bertandang ke rumah."
"Ayahmu salah kalau begitu. Masa' punya anak secantik kau dibiarkan pergi sendirian. Namamu siapa?"
Andika tidak mempedulikan Eyang Sasongko Murti yang mengerutkan keningnya.
"Rukmini, Kang...."
"Aih! Bagus sekali. Namaku...."
"Slebor!" tcrabas Eyang Sasongko Murti.
Andika melotot.
"Iri saja! Eh, Eyang! Kalau ingin mendapatkan teman secantik Rukmini, lebih baik pakai topeng dulu. Tapi, Kalaupun kau masih semuda aku..., hmmm. . Paling-paling cuma mendapatkan sapi!" ledek Andika.
"Sialan!"
Gadis bernama Rukmini terkikik.
"Aku pamit dulu, Kang...,' kata Rukmini tersipu sambil terus melangkah.
"Eh! Jadi kuantar tidak?" tanya Andika.
"Tidak usah! Lain kali saja, Kang!"
"Namaku Andikaaa!"
Rukmini sudah berlari menjauh. Sementara Andika menggeleng-gelengkan kepala melihat pinggul gadis itu yang montok. Saat berlari seperti itu, membuat pinggulnya bagaikan memberi isyarat, silakan dikejar kalau bisa,
"Ampun, deh! Ada gadis cantik di tempat seseram ini!
Kupikir, aku hanya bisa menatap pemandangan buruk saja! Seperti... kau, Eyang! Ha ha ha!"
Eyang Sasongko Murti mendengus.
"Mata keranjang! Tak boleh lihat jidat licin!"
"Daripada melihat jidatmu yang jelek" Kan lebih baik melihat jidatnya. Dia cantik, bukan?"
Eyang Sasongko Murti tidak mempedulikan kata-kata Andika. Tubuhnya seketika sudah kembali berkelebat.
"Ayo, kau harus segera berlatih! Andika mencibir.
"Busyet! Tidak tahu malu, sudah jelek seperti itu masih suka nekat juga!"
Lalu Andika bermaksud untuk segera menyusul Eyang Sasongko Murti. Namun....
"Tolooong! Tooolooong!"
Andika tersentak ketika tiba-tiba mendengar satu teriakan keras. Padahal Eyang Sasongko Murti sudah lak terlihat lagi oleh pandangannya. Telinganya menangkap sekali lagi jcritan minta tolong ilu. Dengan sekali sebat, tuhuh Andika sudah
berbalik dan berkelebat!
Pendekar Slebor melihat gadis berbaju warna biru tadi terduduk di rumput, sambil mcmijal-mijat kakinya yang membengkak. Wajahnya mencerminkan kesakitan luar biasa. Sejenak kening Andika bcrkerul sebelum mendekat.
"Ada apa. Rukmini?"
"Oh, Kang Andika...," desis Rukmini dengan wajah cerah, lalu menunjuk kakinya.
"Kenapa?"
"Terkilir."
"Lho, lho...
" Mcngapa bisa begitu?" tanya Andika, mesem-mesem. Itu betis! Amboi, begitu berisi dan bening sekali!
Rukmini tersipu-sipu.
"Aku..., ah! Tadi ketika melangkah, seekor ular melintas di hadapanku.... Aku terkejut, Kang Andika...," desah Rukmini, menggemaskan sekali.
"Nah, nah...! Bukankah tadi sudah kukatakan, lebih baik kuantar saja," sahut Andika nyengir.
Rukmini kembali tersipu-sipu dan masih tersipu pula ketika Andika berlutut.
"Coba kulihat dulu," kata Andika. Dipegangnya betis yang halus dan kuning langsat itu. Dirabanya sesekali.
"Tidak terlalu parah."
Tetapi terasa sangat sakit. Kang Andika....." keluh gadis itu.
Andika mengangguk-angguk. Lalu mulailah betis yang bagus itu diurut perlahan-lahan.
"Cukup, Kakang.... Rasanya sudah lebih baik. Pijatanmu hebat, Kakang...," puji Rukmini.
Andika cuma tersenyum.
"Sekarang, bagaimana?" tanya Pendekar Slebor seperti orang bodoh.
Rukmini mcnalapnya sekilas. lalu menundukkan kepalanya.
"Terserah, Kang Andika. Kalau Kakang mau mengantarku pulang, kali ini aku bersedia."
"Kalau tidak?" goda Andika.
"Ya, aku pulang sendiri, kan?"
Andika terkekeh-kekeh. Lalu dituntunnya gadis ilu untuk berdiri. Dan agaknya keseimbangan gadis itu masih belum pulih. Berdirinya pun timpang ke kiri.
"Kau yakin kalau mampu berjalan?" tanya Pendekar Slebor.
Rukmini menganggukkan kepala meskipun saat melangkah kemudian berkali-kali meringis.
"Hmmm.... Sepertinya kau kesakitan, Rukmini. Bagaimana kalau digendong saja?"
"Tidak! Oh! Maksudku..., jangan, Kang... Jangan."
Andika tersenyum.
"Malu?"
Rukmini mengangguk tersipu.
"Kan, tidak ada siapa-siapa kec uali kita berdua. Tidak usah malu. Biar kau lebih cepat sampai di rumah."
Dan sebelum Rukmini menyetujui, pemuda berbaju hijau pupus itu sudah membopongnya dan melesat cepat. Tinggal Rukmini yang menjerit-jerit terkejut mints dilepaskan, tetapi kemudian gadis ilu pun terdiam. Justru kepalanya direbahkan
di dada Andika. Di sebuah ranting pohon yang kccil. sosok berpakaian compang-camping dengan wajah yang sukar dilukis mendengus.
"Dasar tidak boleh lihat jidat licin! Tetapi..., hmmm.. . Apakah penciumanku tidak salah?"
***
:::: 5 ::::
Andika yang sedang membopong tubuh Rukmini tiba di sebuah gubuk mungil yang tertata rapi. Hanya ada satu-satunya gubuk di tempat ini. Letaknya agak terhalang semak belukar yang cukup lebat. Di belakangnya terdapat sebuah sungai yang mengalir lembut."Turunkan aku di sini, Kang. Nanti kalau Ayah melihat, kau bisa kena bogem mentah...," bisik Andika.
Pendekar Slebor mengangkat kedua alisnya sambil meringis dan memegangi kepalanya. Seolah dia sudah dipukul Ayah Rukmini. Melihat kelakuan pemuda yang konyol seperti itu, Rukmini tertawa-tawa.
"Kang Andika ini bisa saja! Jangan meledek, ya?"
"Habisnya..., belum apa-apa sudah membuatku gemetar."
"Kang Andika takut menghadapi Ayah?" tanya Rukmini, kelihatan sungguh-sungguh.
Andika menggeleng. 'Tidak."
"Kalau begitu. ayo masuk... '
Bersama Rukmini, Pendekar Slebor menaiki tangga menuju gubuk panggung itu. Rukmini mendorong pintu yang tidak terkunci. Sikapnya kelihatan takut-takut.
"Ayah... aku sudah pulang...," seru Rukmini pelan.
Tak ada sahutan apa-apa. Andika mengedarkan pandangan ke sekeliling gubuk. Hanya ada tiga lembar tikar yang sudah kusam dan beberapa alat memasak. Di sisi sebelah kiri, ada ruang tidur yang tertutup pintunya. Rukmini memanggil lagi ayahnya, namun tidak ada scorang pun yang muncul.
"Kita selamat. Kang," kata gadis ini sambil tersenyum.
"Selamat?" Andika mengerutkan keningnya.
"Ya."
Rukmini duduk di lantai gubuk itu. Kedua kakinya ditekuk ke belakang.
"Maksudku, Ayah pasti sedang mencari kayu bakar dan memburu kelinci di hutan sebelah sana. Nah, kita bisa tenang sekarang, Kang?"
Andika tersenyum.
"Nantang atau mengundang nih?" seloroh Andika.
Wajah Rukmini memerah.
"Ih! Omongan apa itu?" tukas gadis ini seraya buru-buru berdiri,
"Kubuatkan air dulu ya, Kang?"
Andika hanya manggut-manggut saja. Sementara tubuh Rukmini menghilang di balik sekat yang ada di gubuk itu. Kembali Andika mengedarkan pandangan. Tempat ini lumayan nyaman. Namun mengapa tak ada orang lain yang tinggal di sini" Mengapa hanya mereka berdua saja?
Dugaan Andika saat itu. pasti mereka sudah sangat kerasan tinggal di tempat sepi seperti ini. Tak lama Rukmini sudah muncul kembali dengan dua buah gelas teh panas. Bau wangi menguap dari sana.
Rupanya teh itu dicampur daun pandan, sehingga menimbulkan aroma nikmat.
"Silakan, Kang Andika...," ucap gadis itu tersipu-sipu.
Andika mengangkat gelasnya. Lalu diteguknya teh itu perlahan-lahan. Ah, nyaman sekali rasanya. Sementara Rukmini menatap tanpa meminum tehnya.
"Lho kenapa menatap aku? Apa ada yang aneh?" tanya Andika sambil memperhatikan sekujur tubuhnya sendiri.
"Oh! Tidak, tidak!"
Rukmini gelagapan sejenak, lalu untuk menutupi ketersipuannya tehnya diminum. Sementara Andika hanya tersenyum melihat sikap Rukmini yang polos dan lugu ini. Obrolan pun mulai terjadi. Waktu perlahan-lahan terus bergulir. Andika sendiri merasa heran, mengapa senang berada di sini dan bercakap-cakap dengan Rukmini tanpa menghiraukan malam yang sudah menjelang kembali. Andika bertanya-tanya dalam hati, mengapa ayahnya Rukmini belum kembali pula"
Tapi, ah! Masa bodoh! Justru itu yang diharapkan.
Tapi kegembiraan Pendekar Slebor mendadak terpenggal, ketika kepalanya terasa pusing. Matanya mulai nanar. Lalu penciumannya menangkap aroma sangat memabukkan.
"Oh.... Kenapa aku ini?" desisnya sambil berusaha mempertahankan kesadarannya.
Namun dari rasa pusing yang diderita, kini Pendekar Slebor merasakan tubuhnya melayang. Bahkan aroma wangi itu semakin tercium hidungnya. Mendayu-dayu seperti membelai segenap jiwa dan perasaannya.
"Rukmini..., kenapa aku ini?" tanya Andika, lirih.
Mata Pendekar Slebor yang nanar menangkap senyum Rukmini yang memabukkan. Perlahan-lahan gadis itu tampak mendekatinya dengan sikap penuh rangsangan. Tangannya yang halus membelai-belai wajah Andika.
"Mengapa, Kang" Bukankah kau menyenangi keadaan seperti ini? Ayolah, Kang.... Kau boleh melakukan apa saja pada diriku...," rayu Rukmini, mengandung kekuatan membiuskan sekaligus memabukkan.
Dan kalau Pendekar Slebor mampu berpikir jernih, seharus nya curiga kalau sikap gadis ini yang tiba-tiba justru malah menawarkan diri. Justru saat ini Andika berusaha mempertahankan kesadarannya. Tidak! Dia tidak boleh membiarkan dirinya terbawa arus yang tidak dimengertinya. Mengapa datangnya begitu tiba-tiba! Ataukah sebelumnya sudah merambat namun perlahan? Andika mencoba berdiri, bermaksud meninggalkan gubuk itu. Namun tubuhnya justru sempoyongan, dan jatuh menindih tubuh montok Rukmini.
"Ah! Kau ini, Kang Andika.... Aku siap diperlakukan apa saja, Kang...," bisik gadis itu, parau.
"Tidak! Jangan, Rukmini! Jangan.... Kita tidak boleh melakukannya!"
Andika mengibaskan tangannya. Namun, terasa lemah sekali. Bahkan seluruh tubuhnya terasa tak lagi memiliki daya tahan berarti.
"Mengapa, Kang" Oh... Apakah wajahku tidak membuatmu tertarik. Kang?"
Suara gadis itu benar-benar memabukkan. Bahkan perlahan-lahan seluruh pakaiannya dibuka. Hingga tak ada selembar benang pun yang melekal di tubuh seindah pualam itu.
"Ataukah..., kau juga tidak tertarik pada tubuhku ini?"
Andika berusaha memalingkan wajahnya. Namun entah dari mana datangnya. kepalanya pun menoleh ke tubuh telanjang Rukmini yang menggairahkan. Tidak! Ini pasti ada yang salah! Pasti ada yang tidak beres!
Begitu teriak hati Andika, berusaha mengusir seluruh pesona aneh yang merasuki seluruh jiwanya.
Namun belum juga perasaan aneh itu terusir tubuh Rukmini yang bak pualam itu telah mendekatinya. Setiap kali gadis ini membuat sebuah gerakan, selalu tercium aroma rangsangan yang membelai-belai sukma Andika.
"Kang Andika..., ayolah! Kita bisa melakukannya sebelum Ayah pulang.... Ayolah, Kang...," rayu Rukmini.
Di alas kesadarannya, Andika masih berusaha menolak semua rangsangan Rukmini. Tangannya berusaha dikibaskan mengusir segenap keanehan di hatinya. Namun semakin berusaha. semakin bertambah sulit melakukannya. Apalagi kini kedua tangan halus Rukmini telah melilit di leher Andika. Tubuh telanjangnya dekat sekali dengan Andika. Membuat Andika perlahan-lahan terbakar.
Kini kesadarannya benar-benar hilang, meksipun masih memiliki akal sehat kalau itu adalah perbuatan terlarang. Namun tetap saja Pendekar Slebor tak kuasa menolak ketika Rukmini mulai memagut bibirnya,yang kemudian berpindah ke leher
dan belakang telinga disertai rayuan membiuskan. Sekuat tenaga Andika berusaha mempertahankan dirinya, namun naluri kelaki-Iakiannya sangat sulit ditahan. Matanya pun redup. Suaranya parau.
"Rukmini.... Kau..., kau cantik sekali?"
Senyum di bibir Rukmini membuka, membentuk lorong kecil yang memabukkan.
"Kau juga tampan, Kang... Ayolah, Kang. Ini kesempatan kita untuk mencicipi kenikmatan dunia...," bujuk gadis itu, makin berani menawarkan.
"Tetapi...."
Hanya kata-kata itu yang bisa diucapkan Pendekar Slebor. Sementara tubuhnya bergetar hebat. Nuraninya mengatakan kalau yang akan dilakukannya adalah perbuatan terlarang. Namun, kelaki-lakiannya sangat sukar dikcndalikan.
"Tidak ada tetapi, Kang Andika.... Ayolah, mumpung Ayah belum pulang...." desis Rukmini. Di bibirnya tersungging sebuah senyum aneh.
Akan tetapi, sebelum Andika membuka bajunya sendiri. satu sosok tubuh mendadak berkelebat masuk ke dalam gubuk. Langsung disambarnya tubuh Andika.
Sementara tangan kanannya menggedor tubuh Rukmini hingga.. terguling ke belakang. Rukmini yang sedang merangkul Andika, tersentak kagel.
"Keparat busuk! Siapa yang berani menggangguku. hah"!"Di luar gubuk, sosok tubuh compang-camping sedang menepuk-nepuk pipi Andika yang terkulai bagaikan orang mabuk. Sosok compang-camping berambut acak acakan yang tak lain Eyang Sasongko Murti malah mengomcl-ngomel.
"Hei. Bor! Sadar! Sadar!" dengusnya.
"Dasar gendeng! Kenapa kau tidak bisa mcmbedakan mana perawan asli, dan mana jelmaan sih" Ini akibatnya!"
"Aaah... kau..., kau ini siapa?" racau Pendekar Slebor.
"Oh.... Kau cantik sekali, Manis.... Cantik.. ."
Tangan Pendekar Slebor terangkat untuk membelai sosok yang berdiri memapahnya. Tentu saja laki-laki tua itu langsung mendengus. Dilepasnya tubuh Andika sambil menarik kepalanya. Sehingga, Pendekar Slebor yang berada di bawah sadarnya harus terjerunuk ke depan dan jatuh menggeletak di tanah.
"Hei! Sadar, Bor! Aku Eyang Sasongko Murti! Bukan gadis cantik!" ujar Eyang Sasongko Murti, seraya menghampiri dan jongkok di sebelah Andika.
"Siapa itu, Manis" Ayolah.... Jangan main-main denganku.... Aku sudah tidak tahan...."
Pendekar Slebor memaksakan kedua tangannya yang lemah itu untuk merangkul tubuh Eyang Sasongko Murti yang telah menyelamatkannya.
"Heran! Kenapa kau bau kambing sih. Manis?"
"Edan!"
Eyang Sasongko Murti meletakkan telapak tangannya ke kening Andika. Dirasakannya kening Pendekar Slebor yang tengah berada dalam rangsangan tinggi itu agak panas.
"Hhh! Kalau kau bergelut juga dengan gadis itu, maka akan menjadi pengikut siluman, Bor!" dengus si tua bangka.
Lalu Eyang Sasongko Murti menotok tubuh Andika di beberapa bagian. Sehingga tubuh pendekar sakti itu tak bisa bergerak. Namun mulutnya masih bisa berkatakata. Bila dalam keadaan sadar, belum tentu semudah itu Andika bisa ditotok.
"Hei" Kenapa, Manis" Oho..., aku tahu. Kau sudah tidak sabar, kan?" racau Andika sambil berusaha memberontak.
"Makanya, jangan nafsu kalau lihat jidat licin!"maki si tua bangka ini jengkel.
Kini Eyang Sasongko Murti duduk bersila di hadapan Pendekar Slebor yang terbujur kaku dan meracau tak karuan. Namun sebelum Eyang Sasongko Murti menyadarkan Pendekar Slebor dari pengaruh rangsangan kuat. tiba-tiba saja satu sosok tubuh melenting ke luar dengan gerakan ringan. Eyang Sasongko Murti menoleh, melihat Rukmini berdiri dengan kedua kaki terbuka. Yang membuatnya tersentak, gadis itu dalam keadaan telanjang bulat!
Namun si tua bangka ini tidak memalingkan wajahnya! Karena, penciumannya menangkap sesuatu yang sangat dikenalnya. Sesuatu yang membuatnya terpaksa harus mengikuti Andika yang pergi bersama Rukmini.
"Hhh! Rupanya Siluman Hutan Waringin menjelma jadi gadis jelita!" seru Eyang Sasongko Murti tiba-tiba.
Mata si tua ini waspada. Dan diam-diam hawa murninya dialirkan pada Andika agar cepat sadar. Bisa di-maklumi, kalau pendekar muda ini bisa terkecoh oleh Siluman Hutan Waringin yang menjelma menjadi gadis cantik bernama Rukmini. Karena, ilmu dari bangsa siluman begitu halus, namun dahsyat luar biasa. Untungnya, di saat Pendekar Slebor pergi bersama Rukmini, penciuman si tua ini menangkap sesuatu yang sangat dikenalnya. Berbau busuk dan menjijikkan.
"Ha ha ha.... Rupanya, penciumanmu sudah tidak setajam dulu untuk melihat kedatanganku! Tetapi, kau telah menggagalkan rencanaku untuk membuat Pendekar Slebor menjadi pengikutku!"
"Itu lebih bagus, daripada harus mengabdi kepadamu selama-Iamanya!" sahut Eyang Sasongko Murti seraya meludah.
"Karena dia akan menjadi penggantimu, Murid Murtad!"
Tiba-tiba saja Rukmini menggoyangkan tangan kanannya. Kelihatan sekali kalau goyangan itu sangat pelan. Namun tiba-tiba saja Eyang Sasongko Murti merasakan bumi yang di njaknya bergetar. Si tua ini semakin yakin, kalau Rukmini adalah
jelmaan Siluman Hutan Waringin. Dia memang tidak cepat tanggap tadi, sehingga Pendekar Slebor hampir terjebak Siluman Hutan Waringin. Bila saja Andika bergelut dengan gadis jelmaan itu, maka seumur hidupnya, bahkan sampai matinya
pun, akan menjadi pengikut Siluman Hutan Waringin!
Eyang Sasongko Murti mengalirkan tenaga dalam ke kedua kakinya, untuk mempertahankan keseimbang-an.
"Bor! Sadar cepat! Bahaya sedang mengancam kita!" bisik si tua ini, sambil bertindak seperti itu.
Namun Pendekar Slebor yang masih berada dalam pengaruh bius Rukmini yang ternyata jelmaan Siluman Hutan Waringin, masih berada dalam keadaan seperti orang kesurupan. Sehingga tak ubahnya bagai orang yang tak pernah bisa mengetahui keadaan diri sendiri. Rukmini terbahak-bahak. Dadanya yang bulat montok bergoyang, merangsang siapa saja yang melihatnya. Tetapi bagi Eyang Sasongko Murti, tak ada pengaruh apaapa. Begitu pula dengan anggota-anggota tubuh lainnya yang terbuka. Baginya, yang terlihat tak lebih dari makhluk yang sangat mengerikan.
"Sasongko Murti! Kini sudah tiba saatnya kau mampus bersama Pendekar Slebor! Kali ini, kau tak akan bisa meloloskan diri!" desis Rukmini.
Tiba-tiba saja sosok Rukmini yang menggiurkan lenyap. Dan sebagai gantinya muncul sosok sangat mengerikan. Sosok kurus dengan kedua telinga lebar. Mon-congnya seperti babi. Sosok Siluman Hutan Waringin!
Eyang Sasongko Murti tersentak melihatnya. Namun dalam keadaan seperti ini, ketenangan memang harus dipertahankan. Dengan gerakan cepat sekali. tangannya mengibas. Wuuuttt...! Maka tubuh Pendekar Slebor yang masih terbujur
kaku terlontar ke belakang. Saat tangan si tua itu mengibas, sudah dikirimkannya satu ajian pemunah dari pengaruh Siluman Hutan Waringin.
Namun sebelum tubuh Pendekar Slebor menyangkut di salah satu sebuah pohon, tangan Siluman Hutan Waringin pun bergerak.
Wuuuttt...! Tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor bagaikan tertahan dari lontaran Eyang Sasongko Murti. Seolah, terpaku di awang-awang.
Eyang Sasongko Murti menyumpah-nyumpah melihatnya. Seketika dikirimkannya satu tenaga kembali untuk melontarkan tubuh Andika. Namun, tubuh itu tetap seperti mengapung di udara.
"Sasongko Murti! Kita jadikan Pendekar Slebor sebagai taruhan!" tantang Siluman Hutan Waringin dengan suara dingin dan penuh geraman.
Eyang Sasongko Murti diam-diam mendesah panjang. Bahaya sekali bila membiarkan Pendekar Slebor dijadikan taruhan seperti itu. Ah!
Seharusnya memang harus cepat disadari kalau Rukmini bukanlah gadis dalam arti sesungguhnya. Dia tak lain jelmaan dari Siluman Hutan Waringin. Seharusnya pula. si tua itu mengajarkan beberapa ilmu siluman pada Pendekar Slebor. Apalagi Eyang Sasongko Murti sendiri tidakyakin. apakah bisa mengalahkan Siluman Hutan Waringin"
"Siluman busuk!" dengus Eyang Sasongko Murti.
"Kenapa sih, kau tidak juga membiarkan aku hidup bebas, hah"! Sudah kukatakan, aku tidak akan terus-menerus menjadi muridmu! Ilmu bangsa siluman terlalu mengerikan!"
"Grrrhhh! Kau berani menghinaku!"
"Kenapa memangnya" Kalau aku tidak berani, nanti kau yang menghinaku lagi" Lebih baik, duluan saja!"
Wuttt...! Tangan Siluman Hutan Waringin mengibas. Terasa hawa panas yang menderu-deru, membuat Eyang Sasongko Murti terhenyak untuk menerima serangan. Dengan sigap tubuhnya melenting ke belakang, menghindari serangan mengandung kekuatan dahsyat itu.
"Hei, sabar dong! Aku kan belum siap!" seru Eyang Sasongko Murti, seperti anak kecil yang didahului temannya saat berebut makanan.
Tetapi Siluman Hutan Waringin sudah mengirimkan serangan-serangan bangsa siluman yang berbahaya. Dan ini membuat Eyang Sasongko Murti harus mati-matian menghindarinya. Seketika di tempat sepi itu terasa bagaikan ada gempa. Dua kekuatan dari ilmu bangsa siluman diperlihatkan.
***
Alam bagaikan diguncang. Pepohonan yang tumbuh di sana tumbang. Bahkan beberapa buah batu besar beterbangan tak ubahnya kerikil yang dilemparkan. Pertarungan antara murid dan guru itu bertambah mengerikan. Ajian-ajian dari bangsa siluman telah diperlihatkan. Sungguh terlalu mengerikan!
"Kau tak akan bisa melarikan diri lagi, Sasongko!" geram Siluman Hutan Waringin.
Dengan gerakan penuh amarah dan dahsyat siluman ini menyerbu Eyang Sasongko Murti. Sementara si tua itu memutar-mutar tubuhnya penuh kekuatan hawa dingin.
Kalau Siluman Hutan Waringin mempergunakan ajian berhawa panas, Eyang Sasongko Murti kebalikannya.
Blarrr.... Setiap kali salah satu ada yang melakukan serangan, terjadilah suara mengguncangkan yang memekakkan telinga. Sedikit banyaknya, Eyang Sasongko Murti memang telah mempelajari ilmu bangsa siluman.
Namun yang dihadapi adalah siluman sejati yang penuh kebuasannya. Bahkan pernah menjadi gurunya. Ajian-ajian mengerikan pun silih berganti dilontarkan satu sama lain. Bagi Eyang Sasongko Murti, ini adalah pertarungan hidup mati baginya. Kalau tidak bisa diatasi, sudah bisa dipastikan bukan hanya Pendekar Slebor saja yang akan menjadi korban. Tapi para tokoh sakti maupun penduduk bisa-bisa menjadi korban, sekaligus pengikut Siluman Hutan Waringin.
Sementara tubuh Andika yang masih mengapung di udara terus meracau dalam keadaan penuh rangsangan. Benar-benar tidak disadari kalau tubuhnya mengapung di udara seperti litu. Kalau saja dalam keadaan sadar. sudah tentu akan mengomel-ngomel berkepanjangan.
Eyang Sasongko Murti terus mengeluarkan ajian-ajian bangsa siluman yang pernah dipelajari. Beberapa kali tubuhnya terkena gempuran-gempuran dahsyat menyakitkan. Kalau dia tidak menguasai ajian bangsa siluman, bisa dipastikan tubuh
yang terkena serangan Siluman Hutan Waringin akan berkeping-keping hangus.
"Kau tak akan bisa melarikan diri, Sasongko!"
"Kenapa sih banyak omong terus" Ayo hajar aku! Kau kuberi kesempatan dulu sebelum aku menghancurkanmu!" seru Eyang Sasongko Murti sambil melenting dan mengirimkan serangan balasan tak kalah dahsyatnya.
Namun lama kelamaan si tua itu pun akhirnya kewalahan juga. Serangan-serangan dari Siluman Hutan Waringin memang tak mungkin dihadapi terus-menerus.
Ilmu bangsa siluman yang dimiliki Eyang Sasongko Murti masih kalah jauh dibanding Siluman Hutan Waringin yang pernah menjadi gurunya. Kalau begitu, ia harus menyelamatkan diri. Sementara, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri harus meminta bantuan Pendekar Slebor, agar bersedia diturunkan ajian-ajian bangsa siluman. Karena, meskipun terkadang jengkel dengan sikapnya. Eyang Sasongko Murti berkeyakinan kalau Pendekar Slebor lah yang bisa dipercayainya.
Tiba-tiba saja saat melenting ke samping menghindari serangan Siluman Hutan Waringin, Eyang Sasongko Murti mengusap kedua tangannya. Seketika dikibaskannya ke arah Siluman Hutan Waringin.
Wusss! Brrr! Serangkum api bergerak menjilat-jilat ke arah Siluman Hutan Waringin. Dengan cepat, makhluk aneh ini bergulingan mcnghindarinya. Lalu mulutnya yang panjang berlendir itu membuka.
"Hooowwwaaa!"
Seketika api besar yang menjilat-jilat tertarik oleh tarikan napas Siluman Hutan Waringin. Dan dengan cepat, masuk ke mulut penuh lendir itu. Kesempatan ini segera dipergunakan Eyang Sasonnko Murti untuk melompat ke atas.
"Hup...!"
Gerakan si tua ini sangat menakjubkan. Saat melompat. kedua tangannya ditepuk. Blaaar...!
Saat itu juga terdengar suara yang memekakkan telinga. Lalu tanpa menginjak bumi lagi, tangannya menepuk sebanyak empat kali, membentuk bujur sangkar.
Tiba-liba saja tubuh Pendekar Slebor meluncur deras ke bawah! Dengan sigap.
Eyang Sasongko Murti menangkap. Dan sekali lagi. tanpa menginjakkan kakinya ke tanah, tubuhnva sudah berjumpalitan beberapa kali dan langsung lenyap dari pandangan. Tinggal Siluman Hutan Waringin yang menggerarn penuh kemarahan menjadi-jadi. Tubuhnya bergerak tak karuan. Sehingga tanah yang berada di sekitar sana guncang. Pepohonan kembali tercabut.
"Sasongkooo! Kau lak akan bisa melarikan diri!"
***
:::: 6 ::::
Dua sosok tubuh berkepala gundul tampak melesat cepat, menerobos setiap hutan dan lembah. Melompati sungai dan ngarai. Keduanya tak lain dari Sepasang Tasbih Kepalan Batu. Setelah mereka tiba di tempat pertarungan antara Pendekar Slebor dengan Siluman Hutan Waringin, keduanya tak menemukan Pendekar Slebor di sana. Setelah disepakati, mereka pun terus melesat, mencari Pendekar Slebor. Memang mereka benar-benar berharap sekali agar Pendekar Slebor sudi menolong Ki Mahesa Luwing, guru mereka. Di satu tempat sepi yang penuh pepohonan tinggi, keduanya menghentikan lari."Kang Tapa.... Ke mana lagi kita harus mencari Pendekar Slebor?" tanya Angling Srenggi sambil memperhatikan sekitarnya.
Tapa Srenggi cuma bisa menggelengkan kepalanya saja.
"Aku tidak tahu. Tetapi naluriku mengatakan, pemuda berbaju hijau pupus itu pasti masih hidup, meskipun menghadapi siluman yang sangat hebat!"
"Aku pun menduga seperti itu. Kang Tapa... kalau saja aku tahu pemuda itu adalah Pendekar Slebor, sudah tentu akan mengatakannya langsung permintaan kita," sesal Angling Srenggi.
"Tidak usah bcrsikap seperti itu. Apa yang kau lakukan benar, Adi Angling. Karena dalam keadaan seperti ini, kita memang harus berhati-hati. Dan yang bisa diketahui sekarang ini, Siluman Hutan Waringin lah yang mencelakakan Guru. Yah.... Kita memang harus waspada. Ayolah.... Kita harus mencari Pendekar Slebor sampai dapat."
Tetapi sebelum mereka melangkah kembali. tiba-tiba satu sosok tubuh jelita berlari mendatangi. Sosok itu kelihatan ketakutan sekali. Lemah dengan wajah pucat. Pakaian putih yang dikenakannya penuh noda darah.
"Tolooong... Tolong aku...," desis wanita ini begitu melihat Sepasang Tasbih Kepalan Batu. Dan hanya itulah kata yang bisa diucapkan wanita ini.
Selebihnya tubuhnya sudah terhuyung bagaikan sebatang pohon rubuh tertiup angin. Lalu, pingsan. Sepasang Tasbih Kepalan Batu dengan sigap segera mendekati gadis itu.
"Kang Tapa.... Lukanya sangat parah...." desis Angling Srenggi setelah memeriksa tubuh gadis itu dengan jalan membuka pakaiannya. Apa yang mereka saksikan memang menggiurkan mata. Tetapi tak sedikit pun keduanya berusaha
menatap sepasang bukit kembar mengkal yang ranum itu. Karena, mata mereka terpaku pada luka yang menganga di perut gadis itu. Sementara di bahu gadis itu terlihat memar cukup besar.
"Adi Angling.... Kau cari air!" ujar Tapa Srenggi dengan suara tenang.
"Kalau tidak segera ditolong, gadis ini pasti tak akan selamat."
Angling Srenggi pun mempunyai pikiran sama. Maka segera dia mencari air yang dibutuhkan kakak kembarnya. Ketika kembali membawa air dengan batang pohon yang telah dibuat ceruk, kakak kembarnya sedang mengalirkan tenaga dalam pada gadis itu. Diam-diam Angling Srenggi menghela napas melihat hal itu. Karena dia tahu betul kakak kembarnya baru sembuh dan tidak boleh terlalu banyak membuang tenaga. Namun menghadapi kejadian seperti ini. Tapa Srenggi masih menunjukkan sikap perikemanusiaannya.
Terkadang, Angling Srenggi sering tak mengerti melihat sikap kakak kembarnya. Tapa Srenggi dikenal sebagai orang panasan. Tak sabar, dan terkadang mau menang sendiri. Apalagi menghadapi lawan yang menjengkelkan. Namun kalau sudah menemui kejadian seperti ini, sikapnya tak ubahnya bagai seorang dewa.
"Adi Angling, alirkan 'Tapak Angin Panas'-mu ke air itu. Cepat! Kita tak punya banyak waktu," ujar Tapa Srenggi ketika melihat Angling Srenggi cepat mengalirkan ajian 'Tapak Angin Panas'-nya ke air yang dibawanya. Dalam waktu beberapa kejapan saja terlihat air telah mendidih.
"Cukup!"
Tapa Srenggi segera mengangkat ceruk pohon berisi air yang masih mendidih, seolah dipanasi oleh panas yang tinggi. Lalu mulutnya terlihat komat-kamit. Dibantu oleh ajian 'Tapak Angin Dingin'- nya, diguyurnya luka di tubuh si gadis
dengan air itu.
"Pegang kedua ibu jarinya. Kalau kukatakan alirkan 'Tapak Angin Panas'-mu, segera lakukan "
Angling Srenggi segera bertindak seperti yang dikatakan kakak kembarnya. Sementara T apa Srenggi sedang menutup kembali pakaian gadis ini, lalu memegang keningnya.
"Lakukan sekarang!" ujar Tapa Srenggi.
Seketika Angling Srenggi mengalirkan ajian 'Tapak Angin Panas'- nya melalui ibu jari gadis itu. Bisa dirasakannya kalau tubuh kakaknya seperti tersengat petir. Namun Tapa Srenggi berusaha menahannya. Pengobatan aneh ini cukup lama dilakukan. Sampai kemudian Angling Srenggi tersadar, kalau kakaknya sengaja menyedot tenaga pukulan yang ada di tubuh gadis itu.
"Kang Tapa!"
"Tidak apa-apa. Tak usah cemas. Pertahankan aliran 'Tapak Angin Panas'-mu. Adi Angling, bila melihat lukanya yang sukar sekali diobati, dia bukan dihantam oleh tenaga kasar."
"Oh, Gusti! Maksudmu tenaga halus?"
"Ya!"
"Siapa yang melakukannya, Kang?"
"Entahlah.... Namun dugaanku, Siluman Hutan Waringin yang melakukan semua ini. Bisa pula bangsa siluman lain. Aku tidak bisa memastikan."
Angling Srenggi kelihatan terkejut mendengarnya. Yang dikuatirkan bila tenaga pukulan yang telah mengendap di tubuh gadis itu berbalik mengenai kakak kembarnya. Namun dia yakin dengan kata- kata Tapa Srenggi. Dan tentunya, kakak
kembarnya melakukan semua ini dengan perhitungan niatang.
"Hentikan aliran 'Tapak Angin Panas'-mu, Adi Angling," ujar Tapa Srenggi.
"Sekarang dengarkan kata-kataku. Berdirilah di belakang tubuhku. Bila tanganku terangkat dari kening gadis ini. segera alirkan 'Tapak Angin Panas'mu. Langsung pada tingkat pamungkas! Kau mengerti?"
"Kang Tapa!" desis Angling Srenggi terkejut. Laki-laki botak bertasbih perak ini bisa mengelahui apa akibatnya bila sampai mengalirkan ajian 'Tapak Angin Panas'nya pada tingkat pamungkas ke tubuh kakak kembarnya. Jelas, Tapa Srenggi bukan hanya bisa hangus seketika, tetapi bisa-bisa nyawanya akan langsung melayang.
"Jangan banyak tanya!" seru Tapa Srenggi melihat adik kembarnya ragu-ragu.
"Sebentar lagi aku tak akan mampu untuk membuang tenaga pukulan siluman ini!"
"Tetapi, Kang...."
"Kau memang selalu membantahku! Lakukan apa yang kukatakan! Mengerti?" Angling Srenggi tak tahu lagi, apa yang harus diperbual. Dia pun segera berpindah tempat. Dan sekarang, berada di belakang kakak kembarnya. Sukar dibayangkan, apa yang akan terjadi. Namun lagi-lagi dia percaya kalau kakak kembarnya melakukan semua ini dengan perhitungan matang.
"Adi Angling! Tidak usah cemas! Semuanya akan berlangsung seperti yang kita harapkan! Ingat! Jangan melepaskan kedua tanganmu yang telah dialirkan ajian 'Tapak Angin Panas' tingkat pamungkas itu! Nah, pusatkanlah pikiranmu sekarang!"
Angling Srenggi menarik napas.
"Aku siap, Kang," kata Angling Srenggi bergetar.
"Bagus!"
Angling Srenggi melihai tubuh kakaknya semakin bergetar. Juga dirasakan dadanya berdebar hebat. Apa yang dilakukannya lebih mengerikan dari seranganserangan Siluman Hutan Waringin. Namun sekali lagi, dia percaya dengan
perhitungan kakak kembarnya, meski pun hati kecilnya begitu was-was memikirkan akibat yang akan terjadi. Karena, bila meleset dari perhitungan, maka nyawa kakak kembarnya akan melayang seketika.
"Sekarang!" tiba-tiba terdengar seruan Tapa Srenggi yang keras, membuat Angling Srenggi tersentak.
Seketika laki-laki botak bertasbih perak menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung kakak kembarnya.
Dialirkannya ajian 'Tapak Angin Panas'-nya tingkat pamungkas!
Angling Srenggi merasakan sesuatu yang dingin menyerap di kedua tangannya. Sementara tubuh kakaknya tampak bagaikan tersungkur ke depan, lalu muntah darah berwarna hitam pekat berkali-kali. Sepertinya darah yang dikeluarkan mengandung racun sangat berbahaya. Dalam keadaan seperti ini, Angling Srenggi ingin segera menghentikan aliran 'Tapak Angin Panas'-nya. Namun bila dilepaskan sebelum mendapat perintah dari kakak kembarnya, bisa dipastikan akan berakibat sangat berbahaya.
Maka laki-laki botak bertasbih perak ini berusaha mempertahankannya, meskipun hatinya teriris melihat penderitaan kakak kembarnya. Tanpa sadar Angling Srenggi menghitung beberapa kali kakak kembarnya muntah darah!
Tujuh kali! Dan pakaian yang dikenakan Tapa Srenggi pun hangus seketika begitu ajian 'Tapak Angin Panas'-nya dialirkan untuk pertama kali.
"Cukup!" seru Tapa Srenggi terdengar keras.
Bagai tersengat petir berkekuatan tinggi. Angling Srenggi segera menarik kedua telapak tangannya. Begitu ditarik, tubuh kakak kembarnya bagaikan sebuah pohon pisang ditiup angin. Ambruk terjerunuk ke depan.
"Kang Tapa!" seru Angling Srenggi sambil membalikkan tubuh kakak kembarnya dengan hati cemas.
Tetapi nyatanya T apa Srenggi malah tersenyum. Penuh rasa sakit, juga penuh senyum gembira.
"Kita telah melewatkan saat-saat yang mengerikan. Aku tidak apa- apa.... Sebentar lagi, tenagaku akan pulih," katanya pelan. Namun, suaranya mengandung kelegaan.
Angling Srenggi menarik napas panjang. Tersenyum haru pada kakaknya yang rela mengorbankan nyawa untuk menolong nyawa orang lain. Padahal, mereka tidak mengenal gadis yang masih dalam keadaan pingsan itu.
"Di punggungmu membekas telapak tanganku, Kang...," jelas Angling Srenggi.
"Tidak apa-apa. Semuanya sudah berakhir...."
Perlahan-lahan Ielaki botak bertasbih emas ini bangkit. Dirasakannya nyeri luar biasa sekali di dadanya.
"Adi Angling.... Aku yakin, gadis ini dilukai oleh siluman."
Angling Srenggi c uma mendesah. Begitu banyaknya persoalan yang dihadapi sekarang ini. Masalah keselamatan gurunya sampai saat ini belum tcrpecahkan. Mencari Pendekar Slebor pun belum tentu bisa ditemukan. Dan sekarang, mereka menjadi buruan dari Siluman Hutan Waringin yang ganas.
"Siluman manakah yang telah melukainya seperti ini?"
desis Angling Srenggi, walaupun telah menduga kalau itu hasil perbuatan Siluman Hutan Waringin.
"Untuk mengetahui jawabannya, kita harus menunggu gadis ini siuman. Darinya, kita bisa tahu bangsa siluman manakah yang melakukan hal ini. Di samping itu, tenagaku belum pulih benar. Aku akan mempergunakan kesempatan ini untuk
memulihkan kembali tenagaku," sahut Tapa Srenggi.
Angling Srenggi hanya mengangguk. Sementara kakak kembarnya s udah duduk bersemadi dengan kedua tangan mengatup di dada. Lagi-lagi Ielaki botak bertasbih perak ini mendesah masygul, menerima kenyataan seperti ini.
Bukan keselamatannya yang dipikirkan, tetapi kesehatan gurunya yang dipikirkannya. Dan dia yakin, kakak kembarnya berpikiran sama.
Setelah lewat beberapa penanakan nasi, sementara mentari kini mulai menuju peraduannya, Tapa Srenggi selesai meuiulihkan tenaganya kembali. Dan belum lama kepulihannya bisa dinikmati, si gadis telah mengeluarkan keluhan tertahan.
Serentak Tapa Srenggi dan Angling Srenggi mendekati.
"Ia sudah siuman, Kang...."
"Ya.... Biarkan dia tenang dulu. Mungkin dia kaget bila melihat kita. Karena aku yakin, gadis ini telah mengalami suatu kejadian yang benar-benar menakutkannya."
Apa yang dikatakan Tapa Srenggi memang benar. Karena begitu si gadis membuka kedua matanya, langsung tersentak. Gadis ini berusaha untuk bangkit.
"Jangan banyak bergerak dulu.... Kau terluka hebat, Nona...," ujar Tapa Srenggi, lembut.
"Oh! Siapakah kalian" Siapakah kalian?" desis gadis itu dengan suara tertahan, sarat ketakutan luar biasa. Untuk menenangkan gadis itu, Tapa Srenggi tersenyum.
"Namaku Tapa Srenggi. Dan ini adikku. Namanya Angling Srenggi. Kami kakak beradik yang kembar. Jangan takut, Nona.... Kau dalam keadaan aman sekarang. Kami berdua akan berusaha melindungimu sekuat tenaga," ujar Tapa Srenggi lagi,
lembut. Rupanya kelembutan itu membuat si gadis mulai sedikit berani. Tetapi sebentar kemudian, kepalanya sudah celingukan dengan mata mengerjap-ngerjap. Penuh sinar ketakutan!
"Oh, Gusti.... Di mana makhluk ganas yang menyeramkan itu" Di mana?" desah si gadis.
"Tenang, Nona...," ujar Tapa Srenggi, sekali lagi.
Lelaki botak bertasbih emas ini semakin yakin kalau gadis ini telah mengalami kejadian yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup.
"Sekali lagi kukatakan. kau aman di sini. Sekarang, ceritakanlah mengapa kau mengalami kejadian seperti ini?" lanjutnya.
Kata-kata lembut Tapa Srenggi memang benar-benar merasuk di hati gadis itu. Lalu dengan suara tersendat, dia mulai menceritakan kejadian menyeramkan yang dialaminya.
"Namaku Minanti, salali seorang murid Perguruan Selendang Putih di sebelah selatan Bukit Menjangan. Guruku hanya mengambil murid dari jenis kaum hawa. Entah mengapa, hanya Guru yang tahu. Nyi Nimas Anjani memang telah bersikap adil dan bijaksana. Dia pun dikenal sangat baik terhadap para penduduk yang tinggal di sekitar Bukit Menjangan," tutur gadis bernama Minanti.
Sejenak gadis ini terdiam, seperti berusaha mengingat-ingat peristiwa yang dialami.
"Semalam, ketenteraman yang telah lama tercipta tiba-tiba dihancurkan kedatangan sosok mengerikan yang mengaku berjuluk Siluman Hutan Waringin. Siluman itu mengamuk sejadi-jadinya, memporak porandakan seluruh isi. Perguruan Selendang Putih. Banyak murid-murid di sana yang gugur, termasuk Nyi Nimas Anjani sendiri...."
Kembali gadis ini menghentikan cerilanya dengan wajah sendu penuh haru.
"Aku yang waktu itu ikut bertarung, terlontar beberapa tombak ke belakang. Dadaku terasa nyeri. Darah mengalir keluar. Namun kesadarannya untuk tidak mati konyol seperti itu membuatku berusaha untuk bangkit dan melarikan diri," lanjut Minanti.
"Sambil menatap dengan linangan air mata bercampur kegeraman. aku terus melangkah ke mana saja. Kulihat, seluruh murid Perguruan Selendang Putih termasuk Nyi Nimas Anjani, harus menemui ajal. Dan aku masih mendengar seruan keras mengandung kemarahan Siluman Hutan Waringin yang mencari Pendekar Slebor.... Begitulah yang terjadi sampai kalian menemukan aku," desis Minanti sambil menunduk.
Tiba-tiba gadis ini menangis pilu.
"Gusti..., mengapa Kau turunkan cobaan yang yang mengerikan ini. Aku telah menjadi pengecut! Yang hanya bisa menyelamatkan diri saja tanpa memikirkan yang lain!
Oh, tidak! Aku tidak boleh hidup lebih lama lagi! Aku harus mati!" rutuk gadis itu. Mendadak saja Minanti menyambar sebuah batu yang runcing, siap dihunjamkan ke perutnya yang masih terluka.
Namun, Tapa Srenggi bergerak cepat.
Tak! Lelaki bertasbih emas ini menjentikkan jarinya, membuat batu itu terlepas. Sementara Minanti menangis tersedu-sedu. Dengan penuh kelembutan Tapa Srenggi merangkulnya.
"Sudahlah, Nona.,, tak usah ditangisi semuanya ini. Apa yang telah terjadi, biarkanlah terjadi....."
"Tetapi, Kang. Aku telah menjadi pengecut. Aku tidak berani mati... hu hu hu....
" Tapa Srenggi memaklumi perasaan gadis ini. Tentu saja Minanti merasa sedih menyadari dirinya masih hidup, sementara saudara- saudaranya yang lain sudah menjadi mayat.
"Minanti..., tak usah diratapi lagi. Hadapilah semua ini dengan tabah. Seperti matahari yang tanpa berhenti terus bekerja, tanpa mempedulikan perbuatan anak manusia yang hidup di bawah sinarnya...."
Kata-kata lembut itu benar-benar menyejukkan hati Minanti.
"Minanti.... Kami pun telah mengalami hal yang sama. Kami pun diserang Siluman Hutan Waringin. Akibatnya aku pernah mengalami luka mengerikan sekali. Kita senasib.... Dan kau benar... Siluman Hutan Waringin itu memang hendak mencari Pendekar Slebor. Ah! Menghadapi siluman yang ganas itu memang tidak mudah. Saat ini, kami pun sedang mencari Pendekar Slebor. Pertama, meminta bantuannya untuk menyelamatkan nasib guru kami yang sudah di ambang maut yang juga telah dibuat celaka oleh siluman itu. Kedua, untuk meminta bantuannya memusnahkan Siluman Hutan Waringin...."
Menyadari kalau ada orang lain mengalami nasib sama, Minanti mengangkat kepalanya. Matanya yang leduh dengan bola mata hitam itu mengerjap-ngerjap.
"Oh.... Benarkah, Kang?"
Tapa Srenggi mengangguk sambil tersenyum.
"Apa yang kukatakan ini benar. Aku bukan sedang menghiburmu, Minanti. Kita memang harus mencari Pendekar Slebor untuk meminta bantuannya."
"Oh.... Di manakah dia berada sekarang ini?"
Di balik mata gadis ini yang memerah karena menangis, terbersit sinar harapan sekaligus kegembiraan.
"Kami pernah berjumpa dengannya. Hanya saja, kami tidak mengetahui kalau pemuda berbaju hijau pupus itu adalah Pendekar Slebor."
Minanti terdiam. Kalau begitu, masih jauh perjalanan yang harus ditempuh. Karena bisa jadi, Siluman Hutan Waringin akan mencari mereka. Itu sangat gawat sekali. Apalagi tadi Tapa Srenggi mengatakan kalau mereka belum tentu mampu menandingi Siluman Hutan Waringin, yang tentunya memiliki ajian-ajian ampuh bangsa siluman.
Namun sedikit banyaknya harapan telah terlihat di mata gadis itu.
"Kang Tapa..., izinkan aku ikut bersamamu," pinta gadis itu sambil menatap lembut. Tapa Srenggi menganggukkan kepalanya. Minanti menoleh pada Angling Srenggi yang sejak tadi diam saja.
"Kau tidak keberatan, Kang Angling?"
***
:::: 7 ::::
Seharusnya Pendekar Slebor menyadari kesalahannya. Karena dalam sekali waktu, siapa pun pasti pernah berbuat salah. Tetapi sikapnya tetap acuh saja. Bahkan terkekeh-kekeh mendengar omelan Eyang Sasongko Murti yang panjang pendek."Habisnya..., gadis itu cantik...," katanya sambil nyengir.
Eyang Sasongko Murti melotot.
"Kalau dia benar-benar gadis asli sih, aku juga tertarik! Tetapi apa kau juga akan tertarik kalau tahu dia ternyata jelmaan Siluman Hutan Waringin?" balik si tua bangka.
"Ya..., daripada tidak ada. Kan lebih baik ada...," tangkis Andika.
"Kentut!" maki Eyang Sasongko Murti.
Sebenarnya si tua ini cukup gembira melihat Pendekar Slebor telah pulih kembali dari pikatan Siluman Hutan Waringin yang menjelma menjadi Rukmini. Dan ia pun tahu, kalau pendekar pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini sebenarnya agak menyesali kecerobohannya. Tetapi Eyang Sasongko Murti pun merasa kalau itu bukanlah suatu kecerobohan. Karena, menolong siapa pun adalah sifat manusia dari aliran lurus. Menolong tanpa pamrih. Dan kebetulan saja, yang ditolong seorang gadis jelmaan Siluman Hutan Waringin.
"Hhh! Aku bisa membayangkan, bagaimana kalau Siluman Hutan Waringin dibiarkan merajalela seperti ini, Eyang. Pasti keadaan akan semakin memburuk saja," desis Andika, sarat kegeraman.
"Nah! Otakmu encer juga rupanya!" puji si tua bangka.
"He he he.... Kebanyakan dikasih air, sih!"
"Sialan! Coba kau berdiri, Bor!"
"Eil, eit! Mau apa" Ayolah. Eyang. Masa' kau bernafsu juga sih denganku" Aku laki-laki, lho"!" seloroh Andika.
Saking kesalnya, Eyang Sasongko Murti mengibaskan tangan kirinya. Wusss!
Serangkum angin berkekualan tinggi menderu ke arah Andika. Namun dengan sigap Pendekar Slebor melompat ke kiri, lalu seketika berada dalam keadaan bersiaga.
"Bagus! Kulihat kau memang patut menjadi orang nomor satu di rimba persilatan." puji si tua.
"Ah.... Jadi tak enak nih!" sahut Andika nyengir.
Eyang Sasongko Murti tak mengacuhkan seloroh Andika.
"Andika.... Waktu kita sangat sempit. Menurut dugaanku, bukan hanya kita saja yang akan diburu Siluman Hutan Waringin. Untuk memancing kemunculan kita, siluman itu pasti akan melakukan apa saja. Kini saatnya kau menerima ajian-ajian
dari ilmu bangsa siluman.
"Eh, benar nih?" goda Andika.
"Jangan banyak omong! Ayo bersiap!"
"Nanti kalau kau kalah denganku, bagaimana?"
Andika masih menggoda lagi. Padahal hatinya senang sekali dengan kenyataan ini.
"Sudah. sudah...! Sekarang, rentangkan kedua kakimu. Dan. angkat kedua tanganmu sejajar dengan dada. Tahan napasmu...," perintah Eyang Sasongko Murti.
"Tahan napas lagi?" tukas Andika.
"Busyet, deh! Temyata mulutmu seperti perempuan"
Mau aku gampar, hah"!" bentak Eyang Sasongko Murti.
Andika cuma nyengir saja. Lalu dilaksanakan perintah Eyang Sasongko Murti.
"Kendalikan napasmu di perul jangan bawa kemana-mana."
Andika yang paham tentang ilmu pernapasan, bisa mengetahui kalau pusat seluruh tenaga dalam berada di dalam perut. Dengan mempertahankan napas di perut. berarti mengumpulkan kembali seluruh tenaga dalam. Kalau saja sampai pindah ke salah satu bagian tubuh, bisa dipastikan akan celaka sendiri. Karena Andika tahu, ajian yang akan diberikan si tua bavvel itu sangat dahsyat.
"Ingat, Andika! Sebelum semuanya selesai, kau tidak boleh mengalirkan napasmu."
"Eyang.... Apakah kau akan mengajariku ajian bangsa siluman satu persatu?" tanya Pendekar Slebor.
"Tidak!" sahul Eyang Sasongko Murti tegas.
"Kau akan mendapatkan seluruh ajian dari bangsa siluman. Yang perlu diketahui, ajian itu tidak akan bisa dipergunakan sembarangan."
"Wah.... Tidak sip kalau begitu!"
Andika menggoyang-goyangkan tangannya dengan wajah sengak.
"Lagipula, tidak usah mempelajari ajian bangsa siluman, aku mampu menghadapi siluman busuk itu, kok!
Kalau aku teringat hampir saja terjebak olehnya, hhh! Rasanya ingin kubuat perkedel saja!"
"Cerewet! Sok tahu! Sok jago! Kau ini benar-benar memusingkan kepalaku, Bor! Sudah! Pokoknya. kau hanya bisa menggunakan ajian bangsa siluman itu bila suda terdesak," sentak si tua. mangkel bukan main.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Andika akhirnya. Diam-diam Pendekar Slebor pun tertarik oleh pernyataan Eyang Sasongko Murti.
"Pertama, kau tidak pantas memiliki ajian bangsa siluman yang ganas. Kedua, usiamu masih terlalu muda. Sehingga, jiwamu masih goyah. Belum mapan! Ketiga, ajian itu sangat berbahaya," jelas si tua ini, mencoba untuk tetap bersabar.
"Kalau yang ketiga sih, aku s udah tahu! Tetapi yang pertama dan kedua itu kan...."
"Diam!" bentak si tua bawel ini, akhirnya tak sabar lagi. Bersamaan bentakan itu terdengar. mulut Pendekar Slebor terkunci. Tinggal pandangan matanya saja yang mencerminkan keheranan, sekaligus kekesalan.
"Kumpulkan seluruh tenaga dalammu di perut. Ingat!
Kau akan mengalami sesuatu yang aneh. Panas, dingin, terkadang penuh getaran hebat. Pendekar Slebor cuma mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Dia telah siap menerima ajian-ajian bangsa siluman dari Eyang Sasongko Murti.
Kini si tua bawel itu merapatkan kedua tangan keriputnya di dada. Mulutnya komat-kamit. Dan sesaat kemudian tubuhnya bergetar. Tiba-tiba saja Andika merasakan ada hawa dingin yang menyergapnya. Dingin sekali sehingga sckujur tubuhnya terasa kaku. Sementara bibirnya bergemeletuk.
"Aaa...!"
Namun tiba-tiba hawa dingin itu berubah menjadi panas luar biasa, membuat Andika mcnjerit keras karena tak kuasa menahan panas seperti itu. Bila tidak berada dalam pengajaran Eyang Sasongko Murti, akan sangat mudah baginya untuk mengusir hawa panas itu. Dan mendadak saja rasa panas itu berubah menjadi rasa mual yang mcmular-mutar seisi perutnya. Dan ini membuat Andika kelabakan dan bagaikan tersentak-sentak ingin muntah. Namun dia berusaha menguatkan diri. Sikapnya dipertahankan agar bisa menyerap ajian-ajian bangsa siluman.
Tidak hanya sampai di sana saja penderitaan Pendekar Slebor. Karena kedua tangan Eyang Sasongko Murti mendadak saja mengibas ke depan! Lalu....
Des! Des! Des! Tiga bagian di tubuh Andika terhantam. Kening, dada, dan perut. Rasa sakit yang diderita pendekar urakan ini sungguh luar biasa. Namun Andika tetap menguatkan dirinya. Aliran tenaga dalamnya yang dipusatkan di pusar sama sekali tidak boleh dipindahkan. Kini. lampak sebuah sinar kuning kcluar dari tubuh Eyang Sasongko Murti. dan masuk ke tubuh Pendekar Slebor melalui pusat kepala. Sesaat seluruh tubuh Andika bergetar. Bulu kuduknya pun mcremang.
Hampir sepenanak nasi Andika menerima gemblengan langsung dari Eyang Sasongko Murti.
Gemblengan untuk mendapatkan ajian bangsa siluman. Hingga kemudian, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor terlempar ke belakang dalam satu sentakan keras. Bersamaan dengan itu, tubuh Eyang Sasongko Murti pun terhuyung ke belakang. Sepertinya. seluruh tenaganya telah terkuras. Andika merasa sekujur tubuhnya bagaikan di injak-injak sekawanan gajah liar, yang membuatnya susah sekali saat bangkit. Tulang-tulangnya pun terasa seperti patah.
Meskipun begitu. mulutnya tetap saja mengumbar kata-kala konyol.
"Hei, Eyang! Lain kali kalau mengajariku yang kalem dikit, dong! Memangnya aku karung basah untuk latihan pukulan?"
"Cerewet! Hei, Bor! Kau sudah menguasai ajian-ajian bangsa siluman yang kumiliki!" jelas Eyang Sasongko Murti sambil berdiri pula. Meskipun sekujur tubuhnya terasa lemas. namun hatinya puas karena berhasil menurunkan ajian
bangsa siluman pada saat yang tepat.
"Kini dengan bantuanmu, kita akan bisa menghancurkan Siluman Hutan Waringin!"
Pendekar Slebor mengangguk. Disadari, lawan yang dihadapi sekarang ini bukanlah jasad kasar. Melainkan, jasad halus yang penuh dendam.
***
Panas meranggas alam. Debu-debu jalan berterbangan menerpa wajah, tak ubahnya bagaikan serpihan besi panas menerpa kulit. Namun tak menghalangi langkah sebuah rombongan yang terdiri dari sepuluh orang laki-laki gagah memegang tombak. Di belakang rombongan tampak sebuah tandu berwarna keemasan. Digotong empat laki-laki berpakaian warna biru.
Di belakang tandu pun berjalan sekitar lima belas laki-laki ber-senjatakan tombak pula. Rombongan itu dipimpin seorang laki-laki berkumis melintang dengan pakaian merah. Selendang sutera warna biru tampak menyampir di pundaknya.
Mereka terus melangkah tenang. Namun mendadak saja Ielaki berselendang sutera biru berusia empat puluh lima tahun itu mengangkat tangannya. Seketika rombongan itu berhenti. Lelaki berkumis melintang memicingkan matanya.
Pendengarannya yang terlatih menangkap sesuatu yang menarik perhatian.
"Hmmm... orang iseng manakah yang berani menghalangi rombongan Dewi Sutera! Aku Abirawa tak gentar menghadapinya...!" serunya, tiba-tiba saja.
Di balik sebuah batu besar, ternyata tengah bersembunyi Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti.
"Busyet! Hebat juga tuh orang!" maki Tapa Srenggi.
Dalam mencari Pendekar Slebor. Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti tadi melihat rombongan itu. Karena tidak ingin mencari masalah. Tapa Srenggi sengaja mengajak mereka untuk hcrscmbunyi. Tetapi rupanya lelaki berselendang sutera biru itu tajam iuga pendengarannya.
"Minanti! Kau jangan menongolkan wajahmu. Tubuhmu masih lemah. Biar kami yang menemuinya. Karena, kami belum mengetahui siapakah rombongan itu. Dan berada dalam golongan mana mereka...," ujar Tapa Srenggi.
Minanti hanya mengangguk-angguk. Lalu bersama adik kembarnya, Tapa Srenggi melesat keluar dengan sekali bersalto. Dan secara bersamaan mereka mendarat di depan rombongan itu.
"Maafkan kami, yang ternyata telah mengganggu perjalananmu. Tak ada maksud apaapa dari kami. Karena. kita tak saling kenal dan tak ada silang sengketa," ucap Tapa Srenggi, seraya menjura. Rupanya. lelaki yang mcngaku bernama Abirawa bukanlah orang mudah percaya. Kembali matanya dipicingkan.
"Terserah, apa yang kau katakan. Yang pasti, kau telah membuat rombongan yang kupimpin ini berhenti!" desis Abirawa. Rupanya Abirawa mcmpunyai sifat pemarah. Dan Angling Srenggi melirik wajah kakak kembarnya yang seketika memerah. Kacau kalau begini. Bila Tapa Srenggi tidak bisa mcnguasai amarahnya. bisa berarti pertempuran. Padahal saat ini mereka hendak mencari Pendekar Slebor untuk meminta bantuan. Karena nasib Ki Mahesa Luwing sudah berada di ujung tanduk. Namun, rupanya Tapa Srenggi pun merasa lebih baik menghindari pertempuran saja.
"Sekali lagi... maafkan kami.... Lebih baik, kami segera melanjutkan pcrjalanan kembali."
"Manusia sombong!" maki Abirawa.
"Tanpa memperkenalkan diri, kalian sudah ingin mengundurkan diri!"
Angling Srenggi melihat Tapa Srenggi menjura kembali. Padahal dia yakin sekali kalau kakak kembarnya sudah berada dalam batas kesabarannya.
"Maaf.... Namaku, Tapa Srenggi. Dan ini adik kembarku. Namanya Angling Srenggi. Kami dikenal sebagai Sepasang Tasbih Kepalan Batu," ucap laki-laki botak bertasbih emas.
Tiba-tiba Abirawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha.... Rupanya kali ini aku bertemu murid-murid Pesanggrahan Utara. Bagus! Dan kalian rupanya memang sengaja memancing keributan di sini!"
Mata Tapa Srenggi menyipit.
"Sekali lagi, maafkan kami," elak Angling Srenggi cepat, saat melihat gelagat buruk.
"Kami tak bermaksud mencari silang sengketa dengan kalian, lzinkan kami melanjutkan perjalanan.
"Ha ha ha.... Sepasang Tasbih Kepalan Batu! Hari ini kalian berkenalan dengan Abirawa yang berjuluk Pencabut Nyawa!
"Sungguh, berbahagia sekali dapat berkenalan dengan si Pencabut Nyawa. Ah! Panas memang meranggas. Tak baik bila kita meneruskan percakapan ini."
Abirawa yang ternyata berjuluk si Pencabut Nyawa menyeringai penuh kesombongan.
"Kalian kuberi kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, asalkan kalian memberitahu di mana Pendekar Slebor berada"!" kata lelaki berkumis ini, dingin.
Angling Srenggi melirik kakak kembarnya yang juga sedang meliriknya. Otaknya yang pintar tidak segera mcngatakan, kalau mereka pun sedang mencari Pendekar Slebor.
"Oh" Apakah yang kau maksudkan si pendekar sakti dari Lembah Kutukan?" tukas Angling Srenggi, bernada heran.
"Tai kucing dikatakan sakti! Aku ingin mencoba kesaktiannya!" sentak Abirawa sambil meludah, penuh kesombongan.
Dalam waktu yang cepat saja, Sepasang Tasbih Kepalan Batu itu bisa menebak maksud Abirawa. Sementara, beberapa laki-laki yang berada di belakangnya, seperti siap menunggu perintah.
"Terus terang, kami tidak tahu keberadaan Pendear Sakti."
"Bangsat! Sekali lagi kau menyebutnya sakti, kucabut nyawamu saat ini juga!" bentak si Pencabut Nyawa dengan sepasang mata lebar melotot nyalang.
Tapa Srenggi sudah mengepalkan tangannya dengan rahang terkatup. Dia benar-benar hampir tak mampu lagi menguasai dirinya.
Tetapi, marahnya masih berusaha ditahan.
"Abirawa..., apa yang kami katakan ini benar. Kami tidak mengetahuinya. Lagipula, kami tidak mempunyai kepentingan dengan Pendekar Slebor. Sehingga tidak perlu mencarinya," katanya berbohong sambil menggertakkan giginya.
"Kalau begitu, kalian tak akan kuberikan kesempatan untuk meninggalkan tempat ini!" desis si Pencabut Nyawa.
"Bagaimana bila kau memberi kesempatan kepada kami untuk mencarinya" Bila bertemu dengannya, kami akan memberitahukannya," tawar Angling Srenggi, buruburu untuk menghindari pertarungan.
"Ha ha ha.... Bagus, bagus sekali! Itu lebih baik!"
"Tetapi, ada masalah apakah kau dengan Pendekar Slebor?"
"Untuk apa kau tahu, hah"!" Abirawa malah membentak.
"Sekadar bila berjumpa dengannya, kami bisa menentukan sikap. Apakah harus mengatakan pesanmu ini, ataukah langsung meringkusnya."
Ternyata, Abirawa terlalu mengandalkan kekuatan jasmaninya. Terbukti, dengan mudahnya dia termakan kata-kata Angling Srenggi.
"Manusia keparat itu telah membunuh kakak seperguruan guruku yang berada di dalam tandu keemasan itu. Dia tak akan pernah kami biarkan hidup terlalu lama. Karena, guruku bermaksud untuk membalaskan sakit hati kakak seperguruannya," jelas si Pencabut Nyawa penuh kegeraman.
"Siapakah kakek seperguruan gurumu itu, Abirawa?" tanya Angling Srenggi semakin tertarik. Dia tidak merasa heran bila Pendekar Slebor banyak dimusuhi orang dari golongan sesat.
"Hhhh! Namanya Wedokmurko yang berjuluk Manusia Pemuja Bulan!" sahut Abirawa.
(Untuk mengetahui siapakah Wedokmurko, silakan baca: 'Manusia Pemuja Bulan'. Dan untuk mengetahui matinya Wedokmurko. silakan baca : 'Cincin Berlumur Darah').
Angling Srenggi menggangguk-angguk.
"Baiklah.... Kalau begitu, kami pun akan membantumu untuk meringkusnya. .
"Ha... ha.. ha. .!" Tertawalah Abirawa, seolah menutupi panas yang terus meranggas.
"Bagus! Kalian kuizinkan untuk meninggalkan tempat ini!" kata si Pencabut Nyawa seraya berbalik.
"Berangkat!"
Sepasang Tasbih Kepalan Batu menyingkir, membiarkan rombongan itu lewat. Ketika tandu keemasan itu lewat, terlihat sedikit celah. Namun, masih bisa dipergunakan untuk melihat isi tandu. Sepasang Tasbih Kepalan Batu tercengang. Karena di dalam tandu terlihat satu sosok tubuh berparas tak ubahnya bidadari! Wanita itukah yang dijuluki Dewi Sutera" Tetapi mereka tak merasa perlu untuk mempermasalahkan, siapa wanita jelita di tandu itu. Yang pasti sekarang, mereka
harus segera mencari Pendekar Slebor. Karena, ancaman demi ancaman terhadap pendekar sakti itu akan semakin menyulitkan mereka, untuk meminta bantuan Pendekar Slebor dalam mengobati Ki Mahesa Luwing.
Tapa Srenggi memanggil Minanti yang keluar dengan tubuh berkeringat. Meskipun sinar matahari tidak tepat mengenainya yang bersembunyi di balik batu besar, namun hawa panas telah membuatnya berkeringat.
"Kang Tapa... ini bahaya sekali...."
Begitu kata-kata pertama gadis itu muncul di hadapan Sepasang Tasbih Kepalan Batu. Minanti tadi telah mendengar seluruh percakapan dan langsung mengambil kesimpulan, kalau ada seromhongan orang gagah yang hendak membunuh Pendekar Slebor.
"Bila Pendekar Slebor disibukkan oleh mereka. kemungkinan besar kita akan gagal meminta bantuannya untuk menghancurkan Siluman Hutan Waringin dan mengobati penyakit guru kalian...," lanjut gadis itu.
"Kau benar, Minanti," sahut Tapa Srenggi.
"Kita memang harus secepatnya menemukan Pendekar Slebor.
Tetapi. di manakah dia bisa ditemui?"
Tak ada yang bersuara.
***
Rombongan yang dipimpin Abirawa terus melangkah. Hingga beberapa penanakan nasi kemudian, malam pun menjelang. Bayangan Bukit Menjangan terlihat jelas, meksipun tertutup kabut yang semakin turun. Dalam jarak ratusan tombak dengan Bukit Menjangan rombongan itu berhenti. Abirawa" berlari mendekati tandu keemasan itu, lalu berlutut.
"Dewi Guru, kita sudah tiba di Bukit Menjangan," lapornya.
"Abirawa......"
Terdengar suara halus penuh pesona, seperti mengandung kekuatan sihir.
"Kita urungkan untuk membuat pemukiman disini. Karena menurut penglihatanku. Pendekar Slebor akan segera muncul. Kita berangkat kembali!" ujar suara dari balik tandu.
Tanpa banyak cakap, Abirawa segera menyetujui. Dan rombongan itu pun berputar arah kembali.
***
:::: 8 ::::
Duuuaaarrr! Ledakan yang terdengar sangat keras, membuat Pendekar Slebor yang baru saja melepaskan pukulan tercengang-cengang. Ternyata pohon besar yang jadi sasaran menjadi serpihan semacam butiran debu, terhantam sebuah pukulan yang tak nampak. Bahkan pemuda ini melakukannya tanpa mengeluarkan tenaga kuat."Eyang!" serunya terkejut.
Eyang Sasongko Murti tersenyum.
"Tidak usah heran. Ajian bangsa siluman memang sangat hebat, Bor! Kau kinisudah menguasai ajian bangsa siluman...," jelas si tua bangka.
"Tunggu!" cegah Andika, mengangkat tangannya.
"Kenapa?" tanya Eyang Sasongko Murti.
"Kenapa, kenapa?" tukas Pendekar Slebor, memaki jengkel.
"Aku yang harus bertanya. Kenapa sih kau memanggilku 'Bor' 'Bor' saja! Namaku Andika! Lebih cakep dari namamu, tahu"! Enak saja main panggil 'Bor', 'Bor' saja!"Mendengar bentakan Andika itu, Eyang Sasongko Murti justru terkekeh-kekeh.
"He he he.... Panggilan itu lebih cocok untukmu!"
Andika menggerakkan tangan kanannya. Wuuusss!
Scrangkum pusaran angin panas menderu ke arah Eyang Sasongko Murti. Terpaksa si tua bangka urakan ini melompal-lompat seperti monyet kebakar ekomya.
"Busyet! Bor! Aku bisa mati nih!"
"Ah tinggal dikubur ini! Lagian sudah bau tanah.... He... he. . he.. !" seru Andika enteng sambil terkekeh-kekeh.
Kini Pendekar Slebor benar-benar yakin, kalau ajian bangsa siluman yang dipergunakannya sangat ampuh.
Bahkan melebihi ajian-ajian dari Lembah Kutukan! Hanya bedanya. ajian bangsa siluman dapat memukul makhluk halus, sementara ajian dari Lembah Kutukan meskipun mampu digunakan untuk memukul makhluk halus, namun tak sedahsyat seperti ini. Eyang Sasongko Murti yakin kalau Pendekar Slebor semata ingin menguji keampuhan ajian bangsa siluman yang baru dipelajarinya. Maka dia melayani.
"Tekan napasmu di dada! Jangan tarik dalam tiga hentakan, tetapi padukan menjadi satu!" seru si tua ini.
Andika pun menuruti kata-kata itu. Tiba-tiba dirasakannya sesuatu yang membangkitkan kelembutan di dirinya. Bahkan terlihat gerakannya tidak sekasar pertama saat menyerang Eyang Sasongko Murti tadi.
"Kekuatanmu saat menggunakan ajian ini ada di mata, yang sekaligus merupakan kelemahanmu!"
"Bagaimana kalau orang mcncolok mataku, Eyang?" tanya Andika sambil terus menyerang.
"Ya, buta!" sahut si tua, seenaknya.
"Sialan!"
Ajian bangsa siluman itu pun diperlihatkan mereka. Sehingga dalam beberapa saat saja, tanah yang dipijak terasa bergetar. Bahkan terasa hingga ke jantung.
"Sekarang kamu putar tubuhmu ke kiri, Bor! Sambil berputar, lakukan Tapa Geni! Waktumu hanya beberapa kejap!"
Tapa Geni adalah tapa tanpa memperlihatkan api. Namun, Tapa Geni yang dimaksud Eyang Sasongko Murti berarti, Andika harus memusnahkan hawa panas yang berada dalam tubuhnya. Bagi Pendekar Slebor yang memang telah menguasai ajian-ajian tangguh dari Lembah Kutukan, hal itu sangat mudah dilakukan.
Tiba-tiba terjadi perubahan mengerikan. Karena mendadaksaja, tubuh Andika membubung tinggi hingga setinggi pohon kelapa!
"Ajian itu bernama 'Ajian Rubah Jasad', yang hanya dimiliki bangsa siluman saja! Kalaupun manusia memilikinya, lebih cenderung pada ilmu sihir!" jelas Eyang Sasongko Murti, berseru. Namun mendadak saja Andika menjejakkan kakinya
ke arah Eyang Sasongko Murti. Mau tak mau si tua cerewet ini memaki-maki terkejut sambil menghindari serangan.
"Tutup!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan Eyang Sasongko Murti yang keras sambil menggerakkan tangannya.
Mendadak saja tubuh raksasa Pendekar Slebor terhuyung ke belakang. Ketika hampir saja terhempas ke bumi, tiba-tiba perubahan jasadnya terjadi kembali. Kali ini, tubuhnya terhempas setelah berubah seperti sedia-kala dan tak bisa lagi menggunakan ajian bangsa silumannya. Kini ganti Eyang Sasongko Murti yang terkekeh-kekeh.
"Sok tahunya kau ini! Baru saja kubuka jalan ajian siluman yang kau miliki, sudah sok!"
Andika mengusap-usap kepalanya sambil nyengir.
"Kini kuakui, ajian bangsa siluman sangat mengerikan. Aku lebih senang bila bisa menggunakannya seeara mendadak saja. Maksudku, bila terdesak atau bagaimana. Karena. aku tidak ingin membunuh orang dengan ajian siluman ini, bila tidak terpaksa. Itu pun, haruslah orang dari golongan sesat yang banyak membuat onar di muka bumi ini!" puji Pendekar Slebor.
"Bagus! Itulah sebabnya aku bersedia menurunkan ajian bangsa siluman ini kepadamu!" Eyang Sasongko Murti balas memuji.
"He he he.... Bisa, bisa kau kalah denganku, Eyang?" seloroh Andika sambil berdiri kembali.
"Sudah, sudah! Malam semakin membentang. Bulan tepat di kepala kita! Aku mencium sesuatu yang sangat kukenal! Sesuatu yang membuat kita harus berhati-hati! Jangan kaget kalau mendadak saja kau mampu menggunakan ajian bangsa siluman itu!" ujar si tua itu.
Werrr.... Baru saja kata-kata Eyang Sasongko Murti habis, tiba-tiba terlihat beberapa buah bola api yang panas menderu-deru cepat ke arah mereka. Seketika hutan pekat itu terang benderang!
Mereka tersentak dan secara serempak bergulingan kalau tidak ingin tcrbakar hidup-hidup. Namun bola-bola api itu terpecah menjadi dua bagian. Dan masing-ma-sing memburu ke arah Pendekar Slebor dan Eyang Sasongko Murti. Seketika, mereka terpaksa bergulingan ke sana kemari.
"Busyet! Siapa sih, yang sedang main bola api ini?" maki Pendekar Slebor sambil mengebutkan kain pusakanya. Crasss! Bola api itu terpental ke belakang, namun kembali memburu dengan kecepatan sangat luar biasa.
"Kutu kupret! Hei, Monyet Jelek! Keluar kau dari persembunyianmu! Biar kupukul pantatmu sampai merah!" maki Pendekar Slebor sambil menggerakkan kain pusakanya kembali.
Sementara itu Eyang Sasongko Murti bisa menebak, kalau bola api yang cepat menderu dan siap mencabut nyawanya bukanlah pcrbuatan bangsa manusia. Dia pun sudah mempergunakan ajian bangsa silumannya, untuk mengusir bola api yang dahsyat ini. Sraaak! Dugaan si tua cerewet ini memang benar. Karena tiga buah bola api yang menderu ke arahnya seketika padam, begitu tersampok kedua tangannya.
"Bor! Gunakan ajian 'Singkir Geni'!" seru Eyang Sasongko Murti sambil menggerakkan tangannya ke arah Pendekar Slebor.
Seketika ajian bangsa siluman yang diajarkannya pada Pendekar Slebor terbuka. Andika pun segera menyampirkan kain pusaka yang bercorak catur. Sambil bersalto beberapa kali, segera digunakannya ajian 'Singkir Geni'.
Wuttt...'! Dan hanya sekali mengibaskan tangan, bola api itu pun padam. Lalu Pendekar Slebor melenting ke arah Eyang Sasongko Murti, beradu punggung dengan mata siaga.
"Eyang! Rupanya siluman monyet itu muncul. ya?"
Eyang Sasongko Murti cuma mengangguk. Diam-diam mata batinnya dipergunakan untuk mcnembus kegelapan malam. Namun, tak ada bayangan Siluman Hutan Waringin di sekitar sana. Akan tetapi, penciumannya tak bisa dibohongi kalau siluman itu ada di sekitar sini.
Belum lagi Eyang Sasongko Murti berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja muncul satu sosok tubuh berperawakan sedang. Rambutnya terurai panjang dengan wajah cantik jelita. Pakaiannya berwarna merah tipis menerawang. Meskipun di tempat gelap, yang mengherankan Andika bisa melihat sampai ke dalam tubuh menerawang itu! Bila dalam keadaan biasa, sudah tentu mulutnya yang usil akan berkata-kata. Namun Pendekar Slebor hanya memperhatikan dengan tajam gadis jelita yang melangkah gemulai ke arahnya.
"Eyang.... Apakah gadis ini jelmaan dari Siluman Hutan Waringin?" tanya Pendekar Slebor sambil menatap gadis yang sedang melangkah sambil tersenyum itu. Tetapi sejurus kemudian dia tertawa-tawa.
"Sayang sekali, ya"
Heran! Siluman itu kenapa selalu menjelma menjadi gadis-gadis cantik saja, sih! Sekali-sekali jadi gadis jelek, kenapa! Biar memusnahkannya sedikit enak!" Eyang Sasongko Murti tidak menggubris kata-kata Andika. Sepasang mata kelabunya menatap penuh ketajaman. Dia tidak bisa membedakan, apakah gadis ini jelmaan dari Siluman Hutan Waringin ataukah hanya dititisi belaka? Pikiran yang kedua itu sungguh menyulitkannya.
Karena bila gadis itu ternyala hanya dititisi, berarti akan mengorbankan sebuah nyawa percuma. Gadis jelita dengan sepasang mata bening dan tubuh aduhai di balik pakaiannya yang mcnerawang itu mendekat. Bibirnya tersenyum, seperti mengandung kekuatan sihir. Eyang Sasongko Murti melirik Andika yang sedang tersenyum pula. Mendadak saja dijitaknya kepala Pendekar Slebor.
"Waaadddooow! Kenapa sih, main jitak-jitak saja! Ngiri ya, dengan kepalaku yang bagus ini"!" maki Andika melotot.
"Jangan terpengaruh tatapannya!" sahut Eyang Sasongko Murti mengingatkan.
"Maafkan kemunculanku ini, dua laki-laki gagah."
Tiba-tiba gadis itu membuka mulut. Suaranya begitu merdu sekali. Dari rasa jengkelnya karena mendadak dijitak tadi, Andika menekap mulutnya agar tidak tertawa mendengar kata-kata itu. Karena kata laki-laki gagah berarti juga ditujukan pada Eyang Sasongko Murti.
"Nona manis, siapakah kau sebenarnya?" tanya Eyang Sasongko Murti.
Sementara, mata si tua ini menatap tajam, berusaha menembus ke arah gadis itu. Bila memang gadis ilu jelmaan dari Siluman Hutan Waringin, akan langsung diserangnya. Tetapi kalau hanya dititisi siluman itu belaka, maka betapa malangnya nasib gadis itu.
"Aduh.... Kau ini. ah! Membuatku malu saja. Tampan...."
Gadis itu terkikik sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan. Sehingga, ketiaknya yang tak berbulu terlihat. Mulut Andika sempat cengar-cengir, meskipun geli membayangkan wajah Eyang Sasongko Murti yang acak-acakan karena dikatakan tampan. Sementara laki-laki berpakaian compang-camping itu terdiam. Seperti dia tengah berpikir.
"Kalau begitu, aku permisi! Ayo, Bor!" ajak si tua ini.
Namun belum lagi Eyang Sasongko Murti bergerak tiba-tiba saja kedua kakinya terasa menjadi dingin. Kaku. Namun dengan cepat segera dimusnahkannya serangan diam-diam itu dengan mengalirkan hawa panas. Dia juga melihat Andika sudah menggerakkan kakinya.
Hmm.... Berarti hanya si tua ini yang diserang!
"Hei, Eyang! Kenapa diam saja?" tanya Andika.
Bukannya menjawab pertanyaan Andika, tiba-tiba saja Eyang Sasongko Murti menggerakkan tangannya ke arah gadis itu. Wusss!
"Heh..."!"
Yang mengherankan, gadis itu justru diam saja. Andika yang melihat kontan terpekik kaget. Dengan cepat tubuhnya bcrkelebat ke arah gadis itu. Lalu dengan sekali melenting ke depan disambarnya tubuh gadis itu. Karena dalam pikirannya, bila gadis itu ternyata jelmaan Siluman Hutan Waringin, dengan cepat serangan itu pasti dielakkannya. Tetapi, dia diam saja seperti layaknya orang yang tak mengerti ilmu silat. Namun, begitu tangan Andika memegang tangannya, gadis itu bergerak hendak menepak punggungnya. Dengan cepat Andika menjatuhkan dirinya, dan berguling.
"He he he... Eyang... Gadis itu memang jelmaan Siluman Hutan Waringin!" kata Pendekar Slebor terkekeh.
Eyang Sasongko Murti menghela napas. Dia tadi sudah terkejut ketika mendadak saja Andika bergerak, seperti menyongsong serangan dan berusaha menyelamatkan gadis itu. Namun sekarang dia tahu, kalau Andika hanya ingin menguji, siapa gadis itu sebenarnya. Sebenarnya Eyang Sasongko Murti tidak tahu, kalau semula Andika memang ingin menyelamatkannya! Namun, pemuda sakti itu lebih tanggap. Malah segala sesuatunya sudah diperhitungkan hingga berhasil melepaskan diri dari serangan diam-diam gadis itu. Akan tetapi di luar dugaan mereka tiba-tiba saja si gadis jatuh terduduk dan menangis tersedu-sedu!
***
:::: 9 ::::
Eyang Sasongko Murti menahan Pendekar Slebor yang hendak melangkah untuk mendekati gadis jelita itu.Andika meliriknya seolah bertanya. Kenapa?
"Kita harus berhati-hati. Siluman itu mampu mengubah wujudnya menjadi apa saja yang diinginkannya," jelas si tua ini.
"Tetapi, Eyang! Mengapa dia menangis?" tanya Andika.
"Mungkin hanya pancingan belaka. Lebih baik, kita pergi saja dari sini," sahut Eyang Sasongko Murti.
"Ingat! Kau pernah tertipu gadis jelmaan dari Siluman Hutan Waringin."
Andika hanya mengangguk-angguk saja. Lawan yang dihadapinya ini sangat berat. Bangsa siluman yang memiliki ilmu mengerikan. Termasuk, mengubah dirinya menjadi apa saja yang dikehendakinya, seperti yang dikatakan Eyang Sasongko Murti. Lalu seperti yang dikalakan si tua ini Pendekar Slebor segera melangkah. Termasuk, Eyang Sasongko Murti yang diam-diam ingin melihat kejadian apa yang akan terjadi. Tiba-tiba tangis gadis itu semakin mengeras, membuat mereka terpaksa berhenti.
"Eyang," bisik Andika.
"Jangan terpancing. Kita harus..., bangsat!" tiba-tiba Eyang Sasongko Murti menggeram hebat.
Andika melirik dengan pandangan tak mengerti.
"Ada apa, Eyang?"
"Gadis itu bukanlah jelmaan Siluman Hutan Waringin. Tetapi, hmmm..., dia akan segera dititisinya. Bor, bersiaplah. Kita akan menghadapi bahaya yang sangat dahsyat!"
Baru saja kalimai Eyang Sasongko Murti habis, dalam penglihatan mata batinnya tampak setitik sinar warna kuning masuk melalui ubun-ubun kepala gadis yang tangisnya semakin lama semakin keras. Bahkan bertambah memilukan, sehingga mau tak mau membuat yang mendengarnya merasa prihatin. Dan mendadak saja, Eyang Sasongko Murti menggerakkan tangannya ke arah gadis yang sedang menangis.
Wusss.. ! Serangkum angin berhawa panas langsung menderu ke arah gadis itu. Dan anehnya, gadis itu lagi-lagi tidak menghindar. Andika sendiri tidak berusaha mencegah seperti yang dilakukan pertama kali saat Eyang Sasongko Murti menyerang gadis itu. Akibatnya, hawa panas yang menderu itu kontan menyambar tubuh si gadis. Seperti terbakar, pakaian yang dikenakannya tiba-tiba luruh menjadi abu. Sehingga, memperlihatkan seluruh auratnya yang tak tertutupi sehelai benang pun.
"Busyet kau, Eyang! Sudah tua masih genit saja! Bilang saja kalau kau hendak membuka pakaian gadis itu!" desis Andika. Tetapi sepasang mata kelabu Eyang Sasongko Murti tidak berkedip. Bahkan tubuhnya tidak bergeming.
"Kau lihat, Bor.... Gadis itu tidak seperti kebanyakan gadis lainnya. Tubuhnya pasti hangus! Tapi dia tidak...!"
Seketika Andika menghentikan tawanya, lalu mengangguk-angguk. Kini sadarlah Pendekar Slebor, siapa gadis yang sedang menangis di hadapannya. Maka mendadak saja tubuhnya meluncur deras ke arah gadis itu.
"Siluman busuk! Jangan kau pergunakan tubuh gadis yang tak berdosa ini sebagai tameng!"
"Andika!" jerit Eyang Sasongko Murti.
Tetapi, tubuh Andika sudah menderu cepat. Seketika si gadis menggerakkan tangan kirinya, sehingga buah dadanya bergoyang menggairahkan.
Des! Pukulan Andika berhasil ditangkis. Maka mau tak mau pemuda itu melenting kembali ke belakang. Saat itu juga tangannya terasa ngilu. Ketika matanya melirik, tangannya membiru!
"Kau lupa, yang kau hadapi bangsa siluman! Ajian-mu tak banyak gunanya!" ingat Eyang Sasongko Murti.
Tiba-tiba saja gadis itu berdiri dan tcrbahak-bahak dengan suara dingin. Tatapannya nyalang. Tubuhnya yang tanpa busana terlihat sangat menggairahkan.
"Sasongko! Kau tak bisa terjebak juga, hah"!" tiba-tiba gadis itu bersuara penuh kegeraman.
"Hhh! Tetapi, aku akan tetap membunuh pemuda sialan itu!"
Andika pun bersiap. Kini diyakini kalau gadis itu telah dititisi Siluman Hutan Waringin. Sementara Eyang Sasongko Murti terlihat melompat dua tindak ke depan Andika pun berbuat sama, dengan merenggangkan jarak dua tombak.
Tiba-tiba saja gadis yang bertelanjang bulat itu menderu maju dengan gerengan mengerikan. Bahkan sampai membuat dedaunan berguguran!
Eyang Sasongko Murti dan Pendekar Slebor yang sudah memperhitungkan akan serangan mendadak segera melenting ke arah berlawanan. Dalam sekali melompat saja, mereka bisa melewati serangan dahsyat. Gadis itu berbalik dengan tatapan menyalang mengandung kegeraman.
"Grrrhhh! Sasongko! Dan kau, Pendekar Slebor! Hari ini riwayat kalian akan tamat!"
"Heran" Apa bangsa siluman bisa menentukan nasib manusia?" tukas Pendekar Slebor, terkekeh-kekeh.
"Bisa! Dan malam ini nasib kita ditentukan oleh nya!" Eyang Sasongko Murti yang menyahuti.
Andika paham, ke mana arti ucapan Eyang Sasongko Murti itu. Maka ketika si gadis yang dititisi oleh Siluman Hutan Waringin itu meluruk cepat, dia segera mempersiapkan diri. Gerakan gadis ini begitu dahsyat, sehingga mampu membuat
jantung terasa mau copot!
"Gunakan ajian bangsa siluman!" seru Eyang Sasongko Murti sambil meluncur kc arah gadis itu.
Andika pun berbuat sama. Bisa dirasakan kedahsyatan ajian bangsa siluman yang baru saja dimilikinya. Begitu merapal, sekujur tubuhnya terasa bergetar. Dan tiba-tiba dia merasa kalau hawa marah melingkupinya.
"Graughrrr...!"
Seketika terdengar gerengan Pendekar Slebor yang luar biasa keras.
"Murid laknat! Rupanya kau menurunkan ajian bangsa siluman pada pemuda gondrong itu!" geram gadis itu.
"Kalau kau takut. pulang saja ke asalmu!" seru Andika.
Eyang Sasongko Murti mengincar bagian atas dari tubuh si gadis. Sementara, Andika menderu-deru menyerang bagian bawahnya. Sejenak pemuda itu gelagapan juga melihat 'benda' rahasia si gadis yang terbuka. Tetapi, dia tidak
peduli. Karena yang terpenling sekarang, mcmusnahkan Siluman Hutan Waringin. sekaligus menyelamatkan nyawa gadis tak berdosa. Siluman Hutan Waringin yang dikeroyok dari dua jurusan rnenggeram-geram penuh amarah. Serangan demi serangan menimbulkan hawa panas dan dingin bergantian. Bahkan terkadang bulatan bola api yang banyak menderu-deru. sctiap kali tangannya mengibaskan.
"Kutu kupret! Monyet jelek! Kurang ajar!" Andika sendiri memaki-maki ketika bahunya terserempet bola api itu. Pendekar Slebor menepuk-nepuk bahunya. hingga api itu padam. Bahunya pun terbuka, karena pakaiannya di sekitar sana telah hangus.
Anehnya, kain bercorak caturnya sama sekali tak hangus. Dengan jengkcl Pendekar Slebor kembali menerjang, sekaligus membantu Eyang Sasongko Murti yang kini menjadi bulan-bulanan serangan Siluman Hutan Waringin. Meskipun dikeroyok dua pendekar sakti, Siluman Hutan Waringin tak kelihatan terdesak sedikit pun. Bahkan serangannya semakin gencar dan ganas.
"Eyang! Gawat kalau begini!" seru Pendekar Slebor yang sempat terserempet pukulan pada dadanya. Kalau saja belum memiliki ajian bangsa siluman, sudah pasti dadanya seketika hangus.
"Tak ada jalan lain lagi! Kita harus menyabung nyawa, Bor!" seru Eyang Sasongko Murti. Beberapa kali dada si tua ini terhantam pukulan sangat dahsyat.
"Aku tidak memikirkan nyawaku, Eyang! Mampus hari ini juga tidak apa-apa!"seru Andika kembali menyerang.
"Tetapi yang kupikirkan, nasib gadis itu!"
"Aku pun memikirkan hal yang sama! Siluman itu sengaja menitis pada gadis tak berdosa, sehingga kita sulit untuk menyerangnya! Mundur sepuluh tombak! Aku minta darahmu!"
"Untuk apa?"
"Jangan banyak tanya! Mundur. Bor!" seru Eyang Sasongko Murti tiba-tiba.
Sementara dia sendiri menderu menyerang. Andika yang mundur sepuluh tombak ke belakang, cepat menggigit lengan kirinya sambil menahan rasa sakit. Darah pun menetes. Buru-buru darahnya ditadahi dengan kain bercorak caturnya.
Karena dia ingat, dulu pun ketika sama-sama terjebak di Alam Sunyi, Eyang Sasongko Murti meminta darahnya sebagai 'jalan ke-luar' dari Alam Sunyi.
(Baca: 'Neraka di Keraton Barat).
"Eyang! Sudah!" seru Andika kembali berguling menyerang ke arah gadis yang dititisi Siluman Hutan Waringin.
"Lemparkan kepadaku, Bor!" pinta si tua itu.
Dengan sigap sambil melenting, Andika mengerahkan tenaganya. Lalu dilontarkannya kain pusaka yang tadi ditadahi darahnya sendiri. Eyang Sasongko Murti pun bcrmaksud menyambarnya. Namun hal itu tidak mudah dilakukan. Karena
beberapa bola api sudah menderu-deru. Bersamaan dengan itu, tubuh si gadis melayang hendak menyambar kain pusaka Andika yang terbuntal darahnya sendiri.
"Heaaa!"
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan. Andika segera mengempos tubuhnya disertai teriakan keras. Kakinya seketika berputar dua kali.
Buk! Buk! Tepat sekali tendangan Pendekar Slebor mengenai dada gadis itu hingga terpental ke belakang diiringi gerengan kemarahan luar biasa. Sedangkan dengan sigapnya Andika kembali menyambar kain pusakanya.
"He he he.... Empuk... Empuk sekali!" desis Pendekar Slebor sambil tertawa.
"Lumayanlah. Yang penting kan tersentuh dada lembut yang montok itu!" sambungnya konyol. Dan Pendekar Slebor pun harus kembali melompat menghindari serangan Siluman Hutan Waringin. Begitu marahnya, hingga serangannya
di ringi lemparan bola api yang melingkar-Iingkar.
Sambil menghindar dengan jalan menyepak bola api yang menderu, Andika melemparkan kain pusakanya ke arah Eyang Sasongko Murti. Lalu untuk mengalihkan perhatian yang ingin merebut kain pusaka, Andika terus mcncecarnya. Pendekar Slebor berusaha terus memukul mundur siluman itu. Akan tetapi, Siluman Hutan Waringin bukan hanya mampu menghindar. Bahkan menyerang balik pada Andika berkali-kali.
Desss.. . desss.. Lagi-lagi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu merasakan nyeri luar biasa di dadanya. Perutnya bagai teraduk-aduk keras. Sementara Eyang Sasongko Murti sedang merapal ajiannya, sambil mendekatkan kain pusaka yang berisi darah Pendekar Slebor. Seketika, darah yang sudah mulai mengering itu tiba-tiba mencair kembali dan mengental. Darah seorang perjaka tulen itu akan dipergunakannya sebagai senjata.
Namun belum lagi si tua ini mempergunakannya, tiba-tiba saja satu sambaran keras bagaikan bunyi gunung marah mengarah kepadanya. Eyang Sasongko Murti mendongak kaget. Sebisanya dia menggulingkan diri, karena sambaran itu datang dari kaki Siluman Hutan Waringin yang telah mengubah diri menjadi raksasa pula. Maka kain yang berisi darah Pendekar Slebor pun terpental entah ke mana.
"Bangsat!" maki Eyang Sasongko Murti sambil berdiri sigap.Si tua ini melihat Pendekar Slebor sedang meringis menahan sakit. Saat itu juga, tiba-tiba tubuh Eyang Sasongko Murti pun berubah menjadi raksasa. Langsung dihalanginya serangan maut Siluman Hutan Waringin pada Pendekar Slebor yang terpental ke belakang, karena sambaran angin tendangannya.
Pendekar Slebor melihat dua sosok raksasa sedang bertarung sengit. Bumi benarbenar bergonjang-ganjing. Kalau saja Eyang Sasongko Murti tidak segera mengubah dirinya menjadi raksasa pula, sudah bisa dipastikan akan terpental-pental.
Terlihatlah pemandangan luar biasa mengerikan, sekaligus menakjubkan. Dua sosok raksasa tengah bertarung hebat. Demikian pula bola api raksasa yang menderu-deru kencang, membakar pepohonan dan mengusir malam yang telah menjelma menjadi pagi!
"Eyang! Kenapa kau tidak menurunkan ajian 'Rubah Jasad' itu kepadaku sih?" Andika berseru keras dengan kedua tangan di mulut berbentuk corong.
"Bukannya aku tidak menurunkan, Bor! Rupanya tubuhmu menolak ajian ini! Kau masih perjaka ting-ting!" sahut Eyang Sasongko Murti dengan suara terdengar bagaikan guntur menyalak.
Mendadak saja Pendekar Slebor kembali menderuderu. Tak dipedulikannya rasa sakit yang menyiksa. Sasaran serangannya adalah kedua kaki besar Siluman Hutan Waringin yang menitis di tubuh gadis jelita itu.
Dig! Dig! Tetapi, lagi-lagi serangan Andika tak ada gunanya. Bahkan tubuhnya terpental kembali dan jatuh bergulingan. Melihat hal itu, Eyang Sasongko Murti semakin murka. Tubuh raksasanya mencoba menghantam tubuh raksasa bugil itu yang dititisi Siluman Hutan Waringin.
"Eyang! Kau bisa membunuh gadis itu!" teriak Andika.
"Tak ada jalan lain, Bor! Terpaksa kita memang harus mengorbankan nyawa gadis itu!" seru Eyang Sasongko Murti sambil mengirimkan bola-bola api panas.
Seketika terlihat suasana berubah terang. Dan hawa dingin pun menjelma menjadi panas menyengat. Belum lagi ketika Siluman Hutan Waringin membalas dengan cara sama. Sehingga, terjadilah benturan bola-bola api yang menimbulkan ledakan dan bunga api yang membakari pepohonan di sekitarnya.
Bagi Eyang Sasongko Murti sendiri, lebih baik mengorbankan nyawa gadis yang dititisi Siluman Hutan Waringin daripada nanli siluman itu menimbulkan kerusuhan di mana-mana. Sementara bagi Andika, masih dipikirkannya cara untuk
menyelamatkan gadis yang tak berdosa. Namun hingga pertarungan berjalan sampai siang hari, jawabannya belum juga ditemukan. Pendekar Slebor lantas melenting ke atas, mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Bagaikan seekor lalat, dihantamnya wajah siluman itu dengan ajian bangsa siluman. Namun, hasilnya nihil.
"Hup!"
Kembali Andika hinggap, kalau tidak ingin tersampok kibasan tangan gadis itu yang besar. Belum lagi kakinya hinggap di bumi, kembali tubuhnya harus berguling, kalau tak ingin terhantam tendangan kaki yang menimbulkan suara angin
laksana topan. Dan pemandangan itu mengejutkan tiga sosok tubuh yang baru tiba di sana. Karena sejak tadi, mereka merasakan bumi yang dipijak bergoyang. Bahkan mereka menyangka, ada sebuah gunung yang terletak tak jauh dari tempat ini hendak memuntahkan laharnya.
"Kang Tapa, apa-apaan ini?" desis salah seorang terheran-heran. Mereka tak lain Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti.
"Aku tidak mengcrti. Bukankah pemuda berpakaian hijau pupus yang scdang menyerang kedua kaki gadis itu adalah Pendekar Slebor" Gila! Pertarungan ini benar-benar mengerikan!" seru Tapa Srenggi sambil memperhatikan penuh takjub.
Sekaligus, ada kengerian di hatinya. Sementara Minanti menundukkan kepala. Dia merrasa risih melihat raksasa yang satunya lagi, yang sedang menyerang raksasa berpakaian compang-camping. Kewanitaannya bergetar. Sungguh, memalukan pemandangan itu. Angling Srenggi yang melirik tersenyum saja. Dia maklum kalau Minanti menundukkan kepala.
"Aku yakin, raksasa wanita tanpa busana itu jelmaan dari Siluman Hutan Waringin," desis Tapa Srenggi.
Mereka kini kembali memperhatikan jalannya pertarungan. Sementara, Minanti sambil menghela napas panjang pun memperhatikan pula. Dari rasa risih melihat tubuh raksasa jelita yang tanpa busana, timbul pula rasa ngerinya. Bila memang benar yang dikatakan Tapa Srenggi tadi kalau gadis itu jelmaan Siluman Hutan Waringin, alangkah mengerikannya! Meskipun saat ini ia seharusnya gembira karena menemukan makhluk yang telah menghancurkan perguruan, saudara-sandara seperguruan. dan gurunya. Tetapi untuk menghadapi Siluman Hutan Waringin, sudah tentu sangat sukar! Tiba-tiba pandangan Minanti terbentur pada seonggok kain bercorak catur takjauh darinya. Diam-diam segera diambil kain itu.
"Oh!"
Minanti mendesis setelah melihat telapak tangannya yang terdapat bercak darah. Rupanya, darah Pendekar Slebor merembes ke tangannya. Dibukanya kain bercorak catur itu yang tak lain milik Pendekar Slebor yang terlontar ketika dipegang
Eyang Sasongko Murti tadi. Ada darah cair di sana. Yang membuatnya heran, darah itu tidak segera mengering"
"Gila! Milik siapakah ini?" desis gadis ilu sambil kembali ke tempat di mana Sepasang Tasbih Kepalan Batu yang tengah memperhatikan jalannya pertarungan.
Minanti pun kembali memperhatikan pertarungan dengan hati semakin ciut. Jantungnya terasa berdetak lebih hebat. Dan tubuhnya berguncang-guncang akibat sentakan kaki-kaki raksasa pada bumi. Sementara, tangan kanannya menggenggam kain bercorak catur yang berisi darah Pendekar Slebor.
***
:::: 10 ::::
Pertarungan aneh sekaligus mengerikan terus terjadi. Keadaan di sekitarnya sudah porak-poranda. Banyak sudah pepohonan tercabut. Ada yang terinjak, ada yang terbakar, dan ada yang memang dicabut untuk dilemparkan ke arah lawan. Dalam keadaan wajar, menghadapi serangan dari siluman itu Andika bisa merasakan betapa tubuhnya telah terluka parah. Dia yakin, dalam beberapa saat kemudian tak akan mampu bertahan. Namun hal itu tak dipedulikannya. Baginya, nyawanya putus hari ini juga bukanlah masalah besar.Yang terpenting, Siluman Hutan Waringin bisa dimusnahkan! Semakin lama pertarungan semakin bertambah seru dan menegangkan. Yang mengherankan Andika. karena dari malam hingga siang hari ini benarung, tubuh? nya belum juga terasa letih. Bahkan tenaganya pun tak berkurang sedikit pun! Padahal, ajian yang dipergunakannya memakan banyak tenaga. Bahkan berkali-kali tubuhnya terhantam serangan raksasa. Namun, otaknya yang encer seketika mampu memecahkannya.
Mungkin, hal ini karena telah memiliki ajian bangsa siluman!
Namun Andika bisa merasakan pula sesuatu yang lain. Meskipun tenaganya tak berkurang, namun luka di tubuhnya akibat pukulan Siluman Hutan Waringin atau sambaran bola api yang dilcmparkan, bisa membuat keadaan tubuhnya semakin lama semakin payah. Eyang Sasongko Murti pun melihal keadaan Pendekar Slebor yang terus-menerus bergulingan menghindari setiap sambaran Siluman Hutan Waringin.
"Lebih baik kau pergi dari sini, Bor! Aku yang akan menghadapinya!" ujar si tua ini.
"Tidak!" seru Andika keras kepala.
"Aku akan bertarung sampai mampus!"
"Jangan bertindak bodoh! Bila aku mampus hari ini. masih ada kau yang menghalangi sepak terjang Siluman Hutan Waringin ini!" seru Eyang Sasongko Murti jengkel.
"Peduli Setan! Kutu busuk itu harus mampus!" geram Andika keras kepala, sambil merangkum kembali tenaganya dan terus menyerang.
"Ha ha ha.... Kau tak akan bisa bertahan lebih lama, Pendekar Slebor! Inilah akibatnya berani-berani lancang menyelamatkan Sasongko Murti!" ejek gadis itu dengan suara aneh. Lalu kaki-kakinya yang besar mencecar tubuh Andika, tak
ubahnya bagaikan menginjak seekor belalang.
Namun bagi Andika, nyawanya melayang bukanlah menjadi soal. Yang penting Siluman Hutan Waringin ini harus bisa dimusnahkan. Dan meskipun berkali-kali menghantamkan pukulan atau tendangan dengan mempergunakan ajian bangsa siluman yang baru dipelajari, tubuh gadis itu tetap tegar. Hanya di beberapa bagian saja menghangus. Akhirnya. diputuskannya untuk menghentikan serangannya. Karena, timbul rasa kasihannya pada gadis tak berdosa itu yang menderita akibat pukulannya.
"Kalau kau tidak mau mundur, jangan bertindak setengah-setengah!" teriak Eyang Sasongko Murti.
"Tetapi Eyang! Tubuh raksasa gadis itu sukar sekali kuhadapi! Jadi salahmu sendiri, kenapa aku tidak diturunkan ajian 'Rubah Jasad'! Lagi pula, gadis itu bukanlah orang jahat!" tangkis Andika.
"Aku tahu! Namun dia dititisi Siluman Hutan Waringin yang tak akan pernah mau tahu siapa yang dititisinya! Sudah berkali-kali kukatakan hal itu! Ingat, Bor! Hari ini adalah hari pengadilan maut bagi kita!"
Pendekar Slebor pun kembali meningkatkan serangannya. Kini dia benar-benar meyakinkan diri sendiri, kalau lawan yang dihadapi bukanlah sosok gadis itu. Dan gadis itu sendiri hanya merupakan wajah yang dititisi Siluman Hutan Waringin. Seorang gadis yang tak mengerti apa-apa. Dengan mempergunakan kelincahannya, Pendekar Slebor berkali-kali mencecar dan sekaligus menghindari setiap sambaran kaki atau tangan gadis itu yang membuat wajahnya terasa panas. Padahal, hanya terkena sambaran angin yang menderu-deru laksana badai.
Wuttt...! Tiba tiba saja Siluman Hutan Waringin menggerakkan kedua tangannya ke depan. Maka, beberapa buah pohon kontan tercabut dan berterbangan ke arah Pendekar Slebor dan Eyang Sasongko Murti. Seharusnya, saat menggunakan ajian 'Rubah Jasad' serangan beberapa buah pohon yang meluneur bagaikan tombak itu bukanlah serangan sulit. Mudah ditepiskan dengan sekali mengibaskan tangan. Ini memang bisa dilakukan Eyang Sasongko Murti. Tetapi, bagi
Andika" Dia harus benar-benar memperlihatkan kelincahannya kalau tidak ingin tubuhnya hancur berantakan.
Namun, lima belas buah pohon besar yang tercabut dan menderu ke arah Pendekar Slebor dan Eyang Sasongko Murti lelah dialiri ajian bangsa siluman. Bila terkena sambarannya seketika tubuh yang terkena akan menjadi hangus. Eyang Sasongko Murti yang lebih dulu menyadari hal itu.
"Hati-hati! Aku belum pernah mempelajari ajian yang satu ini!" seru si tua itu sambil melompat-lompat.
Blammm...! Blarrr...!
Dan ketika pohon-pohon itu terhempas ke bumi. bukan hanya suara berdebam saja yang terdengar, tetapi suara ledakan sangat dahsyat!
"Ke mana kain pusakamu yang telah ditetesi darahmu itu, Bor" Tubuhmu bisa pecah renyah terkena pohon-pohon itu!" teriak Eyang Sasongko Murti.
"Aku tidak tahu!" dengus Andika geram.
"Gila! Kalau begini caranya, dia benarbenar mati kutu! Benar-benar brengsek Eyang Sasongko Murti ini. Dia tidak mengajarkan ilmu 'Rubah Jasad' padaku!"
Tetapi, kemudian Andika yakin dengan kata-kata Eyang Sasongko Murti, kalau ajian 'Rubah Jasad' tidak bisa ke tubuhnya.
Sementara itu, Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti yang mengintip pertempuran aneh dan mengerikan, seketika mengalirkan hawa murni untuk menutupi kedua telinga agar tidak mendengar ledakan keras tadi. Sedangkan Minanti sudah melirik kain bercorak catur yang ada darah cair di sana.
"Inikah yang dimaksudkan Eyang Sasongko Murti?" desisnya dalam hati.
"Kalian akan mampus hari ini! Sasongko! Kembalilah kau ke Alam Sunyi untuk menerima hukumanku!
Dan kau, Pendekar Slebor! Kau harus menyerahkan jantungmu kepadaku!" teriak si gadis raksasa.
"Enak saja ngomong! Di pasar kotapraja, jantung sekilo mahal harganya. tahu"!" seru Andika. Mendadak saja Pendekar Slebor sudah mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa' yang dibanggakan dan diperoleh dari Lembah Kutukan. Begitu ajian itu dilepaskan, Pendekar Slebor juga memadukan dengan ajian 'Tapa Geni' ajaran Eyang Sasongko Murti.
Wurrr..,! Akan tetapi. serangan Andika tetap tidak membawa hasil memuaskan. Jalan satusatunya memang harus mencari kain pusaka yang telah ditetesi darahnya sendiri. Memang hanya itulah satu-satunya cara untuk menghabisi Siluman Hutan Waringin.
Tetapi untuk mencari kain pusaka di saat genting seperti ini, sangat sulit. Malah bisa dipastikan, siluman itu tak akan memberikan kesempatan.
"Kalian harus mampus!" seru gadis raksasa seraya mengibaskan langan. Wurrr...!
Seketika bergulung-gulung angin raksasa ke arah keduanya, sehingga menimbulkan suara ribut bergemuruh. Bumi seperlinya terjadi gempa.
"Selamatkan dirimu, Bor!" seru Eyang Sasongko Murti sambil mcncoba memotong serangan Siluman Hutan Waringin. Namun tubuh raksasa si tua itu pun mendadak saja tcrhempas ke belakang.
Sementara. Andika pun sudah mendcru eepat dengan kedua tangan terangkum ajian 'Guntur Selaksa' yang kali ini dipadukan tenaga 'inti petir' dan ajian 'Tapa
Geni' ajian bangsa siluman. Blasss!
Hasil yang didapat Pendekar Slebor sungguh di luar dugaan. Seketika, pusaran angin raksasa itu diterobos oleh ajian 'Guntur Selaksa'. Bahkan langsung
menembus ke arah si gadis raksasa yang sedang melancarkan serangan tangguh.
Blaaarrr! Kini tubuh si gadis raksasa terhempas ke bumi. Dan mendadak saja tubuhnya menciut dalam ukuran yang sewajarnya. Dan dari ubun-ubunnya, keluarlah setitik cahaya berwarna kuning yang mendadak berasap dan membubung tinggi. Mendadak, asap itu mengelam sosok Siluman Hutan Waringin yang mengerikan tetap berwujud raksasa. SepasangTasbih Kepalan Batu dan Minanti terkc-jut melihatnya. Tapa Srenggi sendiri tanpa banyak bicara lagi langsung bergulingan, dan menyambar tubuh gadis yang dititisi Siluman Hutan Waringin tadi. Dibawanya gadis itu kembali ke tempat persembunyian.
"Gila!" desis Tapa Srenggi setelah melihat luka yang diderita gadis itu.
"Seperti luka yang kau alami, Minanti! Kita harus menyelamatkan nyawanya. Ah! Entah di mana dia tinggal. Dan, bagaimana bisa dititisi Siluman Hutan Waringin itu. "
Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, Tapa Srenggi berusaha menyelamatkan nyawa gadis itu.
"Bantu aku. Adi Angling!"
Sementara itu, pertarungan aneh semakin mengerikan saja.
"Grrhhh! Sasongko Murti! Kenibalilah kau ke Alam Sunyi untuk menerima pengadilanku! He he.... Kau tentu tidak ingin melihat pemuda gondrong ini mampus?" Eyang Sasongko Murti hanya bisa mendengus saja sambil melancarkan serangan. Namun dia pun harus terpukul mundur. karena serangan balik Siluman Hutan Waringin begitu mengerikan. Diam-diam si tua ini mendesah masygul, karena ajian-ajian yang diperlihatkan Siluman Hutan Waringin
sama sekali belum dipelajari-nya.
"Gggrrrhhh! Kembalilah ke Alam Sunyi, Sasongko Murti!" seru Siluman Hutan Waringin lagi. Sementara itu tubuh Pendekar Slebor tampak sudah terhuyung ke sana kemari. Ajian 'Guntur Selaksa' yang dipadukan dengan tenaga 'inti petir' dan ajian 'Tapa Geni', hanya mampu menahan dua gebrakan dari serangan
Siluman Hutan Waringin. Selebihnya, justru Pendekar Slebor yang menjadi bulanbulanan. Tubuh Pendekar Slebor terhuyung. Dan berkali-kali muntahkan darah yang terpaksa keluar dari mulut.
"Siluman busuk itu harus musnah!" desis Pendekar Slebor. Kembali Andika menyerang cepat. Namun kali ini, pemuda itu benar-benar tak mampu lagi menahan
serangan balik dari Siluman Hutan Waringin. Kembali tubuhnya terhantam pukulanpukulan dahsyat.
"Kalau saja kita bisa tcmukan kain corak caturmu, Bor!" dengus Eyang Sasongko Murti sambil menghadang serangan Siluman Hutan Waringin. Minanti yang mendengar semua itu tersentak..Tanpa pikir panjang lagi, dilemparkannya kain itu pada Eyang Sasongko Murti. Dia memang langsung menyadari kalau kain inilah yang dibutuhkan si tua itu. Tiba-tiba saja mata si tua menangkap sesuatu yang melenting ke arahnya. Memang hanya sebatas paha saja. Tetapi dengan sigap ditangkapnya benda yang tak lain kain pusaka milik Andika yang dipegang Minanti tadi.
"Aaagrrrh...!"
Dan begitu kain pusaka itu terpegang si tua ini, mendadak saja Siluman Hutan Waringin menjerit-jerit kesakitan. Tubuhnya bagai terbakar. Namun, Eyang
Sasongko Murti tak mau membuang waktu lagi. Dengan gencar kain bercorak catur yang jadi seperti sangat kecil dikibaskan.
Wuttt...! "Aghrrr...!"
Siluman Hutan Waringin terus meraung-raung keras. Dengan serentak, Eyang Sasongko Murti mengarahkan kain pusaka itu ke mata. Namun, siluman itu langsung menutup kedua matanya. Tubuhnya bergerak bagaikan mabuk, menghancurkan apa saja yang ada di sana. Dan tiba-tiba saja tubuh raksasa Siluman Hutan Waringin lenyap. Lalu. terlihatlah sebuah cahaya berwarna kuning melingkar-lingkar.
"Sasongko! Suatu saat aku akan muncul lagi untuk mencabut nyawamu dan nyawa Pendekar Slebor!"
Terdengar suara Siluman Hutan Waringin.
Plas! Cahaya kuning itu pun mendadak menghilang: Eyang Sasongko Murti menghela napas panjang. Lalu dia mengubah diri menjadi bentuk seperti sediakala. Begitu pula Andika yang langsung terbujur. Seketika Eyang Sasongko Murti langsung memeriksa luka Pendekar Slebor.
"Luka kecil saja!" desis si tua ini. Dioleskannya darah Pendekar Slebor yang ada di kain itu. Seketika, Andika merasakan kalau rasa sakit dan nyeri di tubuhnya
sedikit menghilang. Dan tak lama, tiga sosok tubuh muncul. Mereka adalah Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti. Di bahu Tapa Srenggi tampak sosok gadis yang dititisi Siluman Hutan Waringin, telah diobati namun masih pingsan.
"Wah, wah...! Rupanya dua botak ini yang muncul. Eh! Siapa pula gadis jelita itu?" tanya Pendekar Slebor sambil nyengir.
Minanti menundukkan kepala, malu-malu. Saat itulah Sepasang Tasbih Kepalan Batu mengemukakan maksudnya, untuk meminta tolong kepada Pendekar
Slebor agar bersedia mengobati penyakit guru mereka yang disebabkan oleh Siluman Hutan Waringin. Andika mengangguk-angguk tanda setuju. Belum lagi ada yang sempat bergerak, tiba-tiba saja puluhan sosok manusia dengan senjata di tangan, disusul sebuah kereta kuda yang bagus.
"Abirawa! Benar bukan ucapanku?"
Terdengar suara halus dari balik tandu yang diusung empat orang.
"Pendekar Slebor.... Hari ini aku, Dewi Sutera, menuntut balas atas kematian kakakku Manusia Pemuja Bulan yang telah kau bunuh!" lanjut suara dari balik
tandu. Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Busyet! Baru saja tuntas urusannya dengan Siluman Hutan Waringin, kini sudah muncul lagi yang baru.
"Siapa kau ini" Kalau mendengar suaramu. kau pasti gadis jelita! Tetapi, bisa saja kau ini nenek-nenek yang memiliki suara merdu?" seloroh Pendekar Slebor
asal saja. Sementara, Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti segera bersiaga. Rupanya, rombongan Dewi Sutera sudah tiba di sini. Hanya Eyang Sasongko Murti yang acuh saja. Mendadak satu sosok tubuh melenting ke arah Pendekar Slebor.
"Kau harus mampus, Pemuda Hina!" bentak sosok itu.
"Heeeiittt!"
Andika pun melenting ke samping. Dan dia melihat satu sosok tubuh berpakaian putih menerawang, sehingga memperlihatkan lekuk tubuh yang menggairahkan. Begitu mendarat, sosok itu kembali menyerbu cepat. Wajahnya tak ubahnya bidadari dari kahyangan. Begitu jelita sekali. Rambutnya digelung ke atas, dan sebagian tergerai di punggung. Dia tak lain dari Dewi Sutera yang mendendam pada Pendekar Slebor.
"Wah, wah! Kau cantik sekali! Dewi Sutera! Apakah kau tidak tahu kalau kakak seperguruanmu telah berubah menjadi manusia laknat?" tukas Pendekar Slebor, kalem sambil berlompatan menghindar.
"Aku tak peduli apa yang dilakukannya! Yang kuinginkan adalah nyawamu!" seru Dewi Sutera terus menyerang ganas.
Setiap kali wanita itu bergerak, rangkaian angin panas menderu-deru ke arah Pendekar Slebor dengan cepatnya.
"Baik! Ini adalah urusanku denganmu, Dewi Sutera! Jadi tak kuinginkan dari pihakmu atau pihakku saling bertempur!"
"Aku setuju! Akan kubunuh anak buahku yang menyerangmu!" sahut Dewi Sutera seraya menerjang dengan serangan-serangan berbahaya. Sepuluh jurus pun berlalu, tanpa ada yang kelihatan terdesak atau pun mengalah. Dewi Sutera sendiri segera meningkat serangannya. Dia berusaha mendesak Pendekar Slebor dengan serangan-serangan berbahaya. Bahkan tiba-tiba saja tangannya membuat gerakan bagaikan menebar.
Di balik tebaran yang kasat mata itu, terdapat se-kumpul tenaga dalam teramat kuat. Sehingga Andika akhirnya terpaksa bergulingan. Namun, Dewi Sutera yang memang ingin melihat Pendekar Slebor terkapar segera memburu cepat. Dia menginginkan segalanya berlangsung cepat.
Namun yang dihadapi Dewi Sutera adalah Pendekar Slebor yang sesekali mengoceh seenak perutnya saja.
"Dewi Sutera.... Kupikir tak ada gunanya membela kakak seperguruanmu yang bejat itu," ujar Pendekar Slebor sambil menghindari dan sekaligus membalas serangan Dewi Sutera. Pada dasarnya, Andika berkeyakinan kalau Dewi Sutera bukanlah datang dari golongan hitam. Dia hanya bermaksud membalas sakit
hatinya yang mendengar kakak seperguruannya telah tewas.
"Bila melihat sikapmu, kau bukanlah dari orang golongan hitam, Dewi Sutera! Lebih baik kau sadarkan diri. Ikhlaskan saja kenyataan kalau Manusia Pemuja Bulan memang sudah selayaknya mati sebagai orang sesat," lanjut Andika.
"Dia adalah kakak seperguruanku! Dan kau yang telah membunuhnya! Yeaaa!" Kembali Dewi Sutera menerjang ganas. Kali ini tubuhnya mendadak bergulung-gulung, bagaikan angin. Menderu dan siap menghancurkan Pendekar Slebor!
Andika sendiri akhirnya merasa kalau memang harus menjatuhkan tangan. Kali ini tubuhnya dikempos dengan mempergunakan tenaga 'inti petir'. Sehingga setiap kali menyerang, terdengar suara bagai salakan petir yang keras, membuat Dewi Sutera sejenak terkejut pula.
Akan tetapi, di mata wanita ini Pendekar Slebor hanyalah seorang lawan yang harus dihabisi! Biar bagai-manapun juga, pemuda itu telah membunuh kakak
seperguruannya yang telah dua belas tahun tak jumpa. Di saat telah mendirikan Partai Dewi Sutera, di saat ingin mengajak kakak seperguruannya bcrgabung, justru terdengar kabar kalau manusia ilu telah menemui ajal di tangan Pendekar Slebor!
Memang, Dewi Sutera mendengar kalau kakaknya telah berubah dari sifat semula. Kakaknya telah menjadi orang bejat yang telah membuat keonaran dan meresahkan rimba persilatan. Akan letapi, dia tidak mau tahu. Kakak seperguruannya sudah sangat dirindukan. Dan di saat-saat rindunya tuntas, kakaknya dikabarkan telah tewas! Dan Pendekar Slebor-lah yang harus membayar semua ini dengan nyawanya!
"Dewi Sutera.... Sadarlah.... Kau lak patut menjadi manusia bejat seperti kakak seperguruanmu. Kau tak patut membela manusia bus uk itu! Kehidupan yang telah dan akan kau jalani, adalah kehidupan lurus yang seharusnya dipertahankan. Janganlah diputarbalikkan. Ingat! Manusia Pemuja Bulan telah menjadi manusia sesat yang berdosa!"
"Aku tidak peduli! Aku tidak peduli!" seru Dewi Sutera sambil terus menyerang gencar.
Tetapi Pendekar Slebor menangkap isaknya yang tersendat. Sesungguhnya, hati wanita itu memang berhati murni. Hati yangberada dalam jalan lurus. Sehingga akhirnya perlahan-lahan bisa disadari kenyataan itu.
"Dewi.... Hentikan semua ini. Kita tidak perlu menanamkan bibit silang sengketa! Kita tidak perlu mengumbar amarah hingga saling menumpahkan darah!
Kau orang baik, Dewi...," bujuk Pendekar Slebor.
Tiba-tiba saja Dewi Sutera menghentikan serangannya. Lalu, tubuhnya berbalik meninggalkan tempat itu dengan hati pedih dan mata berkaca-kaca. Dia sedih bukan karena tak bisa mengalahkan Pendekar Slebor, tapi setelah menyadari kakak seperguruannya telah berubah menjadi orang sesat yang menimbulkan keonaran. Melihat sikapnya. sudah tentu Abirawa dan yang lain terkejut. Tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mata Abirawa mcnatap tajam pada Pendekar Slebor.
"Kita kembali! Susul Ketua!" ujar si Pencabut Nyawa.
Serentak rombongan itu berlalu meninggalkan tempat ini menyusul Dewi Sutera yang sedang berlari sambil menyesali diri karena terlalu gegabah menyerang Pendekar Slebor. Di hati kecilnya, dia rela kakak seperguruannya mati di tangan Pendekar Slebor.,
***
Pendekar Slebor mendesah pendek. Hati nurani Dewi Sutera masih bersih sekali. Sangat disayangkan kalau hatinya yang murni dibaluri amarah yang bisa menghancurkannya.
"Ternyata..., dalam jiwa manusia itu masih ada musuh yang paling besar. Yaitu nafsu. nafsu dari segala nafsu yang akan menyengsarakan siapa pun juga," kata Eyang Sasongko Murti sambil lersenyum.
Pendekar Slebor juga tersenyum.
"Eyang... Dewi Sutera termasuk dalam hal itu. Juga, kita semua. Tetapi di dasar hati kita yang paling dalam pula, selalu terdapat kebajikan. Selalu terdapat nurani yang mengatakan kalau hal yang kita lakukan adalah benar dan salah," sahut Pendekar Slebor yang kali ini masih bisa bijaksana.
"Kau benar, Bor! Nih, kukembalikan kain bercorak catur jelek milikmu!" Eyang Sasongko Murti melemparkan kain bercorak catur itu pada Andika.
"Kini aku bisa menikmati alam indah ini dengan bebas. Tetapi aku yakin, Siluman Hutan Waringin suatu saat akan kembali. Sampai ketemu lagi, Bor!"
Tubuh berpakaian compang-camping itu pun berkelebat, dan menghilang dalam sekali kejap.
"Pendekar.... Sekali lagi kuminta, bersediakah kau mengobati penyakit guru kami?" kata Tapa Srenggi, ketika si tua tadi telah lenyap.
"Ha ha ha.... Aku bersedia sekali. Lebih baik, kita berangkat saja sekarang. Karena aku khawatir keadaan Ki Mahesa Luwing semakin parah."
Wajah Sepasang Tasbih Kepalan Batu berseri-seri. Tiba-tiba saja Angling Srenggi menoleh pada Minanti yang terdiam.
"Minanti..., hendak ke manakah kau?" tanya laki-laki botak bertasbih perak. Minanti gelagapan.
"Aku..., aku tidak tahu......"
Angling Srenggi mendesah pendek.
"Minanti..., sudikah kau ikut denganku ke Pesanggrahan Utara?" tawar Angling Srenggi.
Wajah Minanti sejenak terangkat. Sepasang matanya terbelalak. Tetapi sejurus kemudian kepalanya mengangguk. Angling Srenggi mendesah lega. Tapi justru Tapa Srenggi yang mengerutkan keningnya. melihat keberanian adik kembarnya.
Andika menepuk bahunya.
"He! Kau tidak usah iri, Botak! Bukankah masih ada gadis yang kau panggul itu?" sentak Pendekar Slebor sambil tertawa.
Wajah Tapa Srenggi memerah. Andika tertawa lagi.
"Sudahlah, mudah-mudahan saja gadis yang kau pondong itu menerima botakmu yang licin itu.... Ayo, kita segera berangkat ke Pcsanggrahan Utara!"
SELESAI
Segera terbit :
PETA RAHASIA LEMBAH KUTUKAN
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Istana Sembilan Iblis --oo0oo-- Peta Rahasia Lembah Kutukan |