Life is journey not a destinantion ...

Peta Rahasia Lembah Kutukan

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Siluman Hutan Waringin --oo0oo-- Iblis Penghela Kereta



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: RAHASIA LEMBAH KUTUKAN

Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

*** 1 ***

Bagian kedai di pinggiran Kota Karisidenan Karawang ini kelihatan kekeringan pengunjung. Hanya ada lima orang. Tiga di antaranya lelaki. Sisanya wanita. Mereka duduk terpisah di meja masing-masing. Wajah kelimanya menampakkan keletihan. Dan rata-rata berpenampilan begitu semrawut. Kemungkinan besar, mereka adalah pendatang yang baru tiba setelah melakukan perjalanan jauh.
Sudut meja sebelah timur ditempati seorang pemuda berpakaian yang benar-benar tak sedap dipandang. Kata 'kumal' rasanya belum cukup untuk menggambarkan penampilannya. Pada beberapa bagian baju yang berwarna coklat muram terlihat tambalantambalan. Rambutnya agak ikal, cukup panjang berwarna kemerahan dikepang dua. Dari seluruh tamu yang rata-rata lusuh, dialah yang paling lusuh.
Itu penampilannya. Sebaliknya untuk wajah, pemuda itulah yang lelaki paling rupawan. Dagunya yang ditum-buhi brewok tipis memperlihatkan kejantanannya. Sinar matanya membersitkan ketegasan dan ketegaran. Selain itu, cara menatapnya sangat berwibawa disamping berkesan sedikit angkuh.
Ada yang menarik dari sikap pemuda satu ini. Biar pun wajahnya tetap dingin, namun jarinya terus saja mengetuk-ngetuk permukaan meja secara tak teratur.
Agaknya, ada yang membuatnya begitu gelisah. Entah apa. Sesekali pandangannya lepas ke luar kedai dengan gerak mata tajam.
Sementara dua lelaki lain duduk pada deretan bangku dekat dinding pintu masuk. Bertolak belakang dengan pemuda tadi, dua lelaki ini jauh dari rupawan.
Satu di antaranya bahkan berwajah cacat. Bekas sayatan besar tampak menyilang wajahnya. Sebagian cuping hidungnya telah terpotong hingga menampakkan lubang agak besar di wajah beringasnya.
Lelaki ini terus saja menenggak dan menenggak lagi arak dari wadah bambunya. Ketika isi wadahnya sudah terkuras, di tuangnya kembali arak dari guci. Sepertinya, dia tak peduli apakah perutnya yang buncit nanti bakal meledak. Tepat di depan mejanya, tergeletak sebatang toya dari bambu kuning tipis. Orang yang melihat sekilas tentu menganggap benda itu sekadar kayu untuk memancing. Sebenarnya, justru benda itu adalah senjata yang paling ampuh bila sudah berada di tangan lelaki berwajah cacat ini.
Lelaki satu lagi berperawakan biasa. Jeleknya tak kalah dengan lelaki berwajah cacat tadi. Kumisnya yang tipis panjang seperti tikus. Dan mulutnya pun semaju moncong binatang pengerat itu. Dengan rakus, di san-tapnya makanan yang memenuhi meja. Dari petai rebus sampai semur jengkol ada di depannya. Sementara tangannya sibuk menyuap nasi ke dalam mulut dengan suapan besar, tangan yang lain sibuk pula menggarukgaruk kepala atau menggeser-geser kain batik penutup kepala. Seisi kedai jadi riuh oleh suara kecapan yang la-hir dari mulutnya.
Sementara itu dua wanita di dua meja lain terlihat lebih tenang. Mereka duduk tanpa banyak tingkah. Seorang tergolong manis, jika diamat-amati. Sedang yang lain tak cantik. Malah dari gambaran wajahnya terbersit kesan keculasan. Biar pun pakaian mereka lusuh, tetapi bahannya bukan barang murahan. Setidak-tidaknya, harga pakaian itu sebanding harga dua ekor kuda jantan. Perempuan berwajah cukup manis yang duduk di meja sebelah kiri terlihat hanya mengangkat gelas air sesekali. Meneguk isinya perlahan, lalu membuka-buka gulungan kulit berisi peta di atas meja. Setelah lama memperhatikan, baru araknya diteguk kembali.
Dari penampilannya, mengesankan kalau wanita berwajah manis ini pun adalah orang persilatan, seperti empat orang di sekitarnya. Tubuh sintalnya dibalut pakaian berwarna jingga tua. Di belakang punggungnya, tergantung caping lebar yang beratnya tak wajar. Sepertinya, ada sesuatu yang tersembunyi di dalam caping tersebut.
Sedangkan wanita yang satu lagi terpaku diam.
Seolah-olah dia sedang bersemadi dengan mata terbuka.
Wajahnya dipenuhi jerawat. Rambutnya dipangkas menyerupai lelaki. Satu tangannya terus lekat pada gagang senjata berbentuk tongkat pendek di ikatan pinggangnya. Wajahnya agak pucat, dan terlihat letih.
Jelas sekali dia baru saja menjalani suatu yang begitu menguras tenaga beberapa waktu lalu. Pada pelayan, dia hanya minta disediakan secangkir air bening.
Kelima pengunjung terus terlena oleh keasyikan masing-masing, sampai datang seorang pengunjung lain. Cara mendatanginya sama sekali tak pantas sebagai seorang pengunjung kedai!
"Aku menang! Aku menang!" Orang itu berteriak-teriak tanpa juntrungan. Tangannya dipenuhi kantong-kantong yang di acungacungkannya ke atas.
Pengunjung baru itu mengambil tempat di salah satu meja kosong.
"Pak Kedai! Sediakan aku makanan-makanan enak dan paling mahal yang kau punya!" teriak pengu-jung baru, seorang lelaki berpakaian perlente dengan kumis terpangkas rapi.
Lima orang di sekitarnya sesaat seperti melirik sebentar, selanjutnya kembali meneruskan keasyikan masing-masing. Agaknya, hanya pemuda kumal yang tampaknya masih menyimpan kedongkolan. Teriakan lelaki berpakaian perlente itu dianggap telah lancang mengusik. Apalagi saat itu dia sedang begitu resah me-nanti sesuatu.
Akibat dorongan rasa gusar, tanpa disadari ketukan jari jemari pemuda kumal pada permukaan meja menjadi tak terkendali lagi. Mendadak terpercik suara kecil. Kayu jati meja itu bukan hanya gompal, tapi juga telah berlubang-lubang! Kejadian kecil namun luar biasa itu agaknya luput dari pengamatan pengunjung berpenampilan perlente.
Lelaki berwajah panjang yang berusaha tampil menawan tapi tetap tak sedap dipandang itu terus saja tertawa-tawa seenaknya. Dia merasa wajib melakukannya.
Se- lama tujuh tahun bermain judi, baru kali ini memenangkan hasil begitu melimpah! Dan tawa lancangnya pun makin seenaknya saja ketika anak gadis pemilik kedai mendatangi mejanya.
"Suminah! Mau minta beli apa, hah"! Minta apa, ayo"! Minta... jangan malu-malu! Kakang punya duit banyak hari ini, Minah!" umbar lelaki perlente ini lupa diri. Dengan kurang ajar, dirangkulnya pinggul gadis remaja yang baru besar itu.
"Auwww...!" Suminah kontan menjerit. Bukannya agak kaget dengan kelancangan tangan lelaki ini, namun wanita baru mekar itu hanya jijik. Dia tak sudi diperlakukan seperti perempuan murahan! Pemuda kumal disudut makin mual saja. Namun baru saja dia hendak bangkit untuk memberi sedikit kepalan ke bacot lelaki perlente tadi, dari pintu kedai masuk lagi tiga orang kasar sambil mengacungkan golok besar di tangan masing-masing. Mata ketiganya merah, akibat pengaruh arak yang ditenggak. "Dasar kutu kupret lu, ya! Menang ya menang. Tapi jangan pergi seenaknya!" bentak salah seorang seraya terus mendekati lelaki perlente yang sesumbar tadi.
"Apa lu nggak tahu" Gua udah ngejual bini gua sama Juragan Kontet buat main! Lu mesti tahu itu!" damprat yang lain berang sekali.
"Hei hei! Kalian jangan macam-macam! Kalau sudah kalah, ya kalah! Apa yang diharapkan lagi" Kalian mau aku memulangkan uang kalian" Kalau begitu maunya, kenapa main judi"! Keparat sekali!" balas lelaki perlente.
"Lu jangan buang bacot seenak dengkul! Gua mau, lu main lagi. Sampai semua dari kita benar-benar lu bikin bures. Gua belum kalah. Gua masih bisa menangin duit gua yang ada sama elu! Makdekipe banget!" Si lelaki perlente bangkit. Dadanya di busungkan di depan wajah-wajah berang itu.
"Jadi kalian mau memaksa aku, hen"!" "Lu pikir apa, hah"!" Lelaki yang tadi maju lebih dahulu makin sewot.
Dicengkeramnya kerah baju lelaki perlente. Ujung goloknya disodorkan ke leher lelaki di depannya.
"Kalau lu nggak mau main lagi, kepala lu gua jamin bakal ngegantiin semur ceker ayam di nih piring!" Prak! Tepat di ujung ucapannya, golok lelaki itu terayun ke piring tanah liat di atas meja. Pecahannya kontan berhamburan. Tak ada tandatanda kalau tindakan itu dilakukan dengan tenaga dalam. Jangankan dia, bocah belum makan pun sanggup!
"Lepaskan aku! Kalau tidak...," dengus si lelaki perlente. Hidungnya terangkat.
Barangkali mau sedikit menggertak. "Kalau nggak apa, hah"!" serobot lelaki yang lain.
Dengan tak kalah gaya, di sabetkannya pula golok ke atas meja.
Bletak!
"Wadow wadow! Makdirabut lu! Masa' tangan gua lu embat juga"!" teriak lelaki lain yang kebetulan tangannya berada di atas meja sehingga termakan gagang golok kawannya sendiri. Habis sudah mulutnya maju mundur meniup-niup tangannya yang mendadak bengkak. "Jadi lu mau main lagi apa nggak, nih"!" ancam lelaki yang masih mencengkeram si perlente.
Si perlente menggeleng.
"Tidak!" jawab lelaki perlente tegas. Sok jumawa pula dia. Padahal hatinya kebat-kebit tak ketolongan.
"Eeehh! Berani lu, ya"!" "Iya. Memangnya aku takut?" "Curut Buduk! Biar lu telan nih ujung golok gua....
Hih!" Golok terayun. Sampai di situ, baru si lelaki perlente tahu, bagaimana mengerikannya kerjapan sinar golok. Baru melihat pantulan sinarnya saja sudah ngeri begitu. Apalagi kalau sudah tertebas" "Eee, tunggu!" tahan lelaki perlente cepat. Matanya sudah menyipit ketat.
"Ahhh! Gua udah telanjur ngayunin golok!" bentak lelaki yang mengayunkan senjatanya. Golok itu terus melaju. Senjata yang tidak pernah alpa diasah tiap malam Jum'at Kliwon itu bakal membelah tempurung kepala si lelaki perlente. Namun....
Trang! Golok yang siap membelah kepala itu terpental, seperti tanpa sebab. Jelas, seseorang telah campur tangan!
"Aku tak suka kalian bikin kacau di tempat ma-kanku!" Terdengar suara seseorang begitu dalam dan, datar. Ketiga lelaki yang kalap menoleh bersamaan. Mereka melihat lelaki berwajah tikus sudah berdiri sambil mengusap-usap perutnya.
Kekenyangan dia. Santapan kelewat banyak baru saja diselesaikan. Ternyata tulang ayam terakhirnya tadi, dijadikan alat untuk menahan ayunan golok. "Eeh, siapa lu"! Berani-beraninya unjuk congor tikus di depan gua. Nih, jawara daerah sini!" "Bilang siapa nama lu. Biar dia ngeper!" sokong lelaki lain di belakang.
"Nih, gua Sape'i yang nguasain seluruh janda dari kampung itu ke kampung ini!" Dengan golok, lelaki yang mengaku bernama Sape'i menepuk dadanya yang kekurangan daging itu.
"Jeee elu,! Masa janda?" "Eh! Maksud gua, yang nguasain kampung-kampung yang banyak jandanya" ralat Sape'i.
"Jeee... janda lagi..." "Ah! Udah diam lu!" "Keluar!" ujar lelaki berwajah tikus, singkat.
"Gila juga tuh orang! Masa' lu diusir gitu aja" Marah dah, marah.... Kalau gua sih, pasti marah digituin!" timpal teman Sape'i yang lain membakar semangat.
"Jadi gua marah, nih?" kata Sape'i, meminta pen-dapat temannya.
Kedua temannya membulatkan bibir.
"Dooo, marah aja dah!" sambut mereka bersemangat. Sape'i merasa disemangati.
Secepat kilat dipasangnya wajah berang. Kalau sudah begitu, pantasnya nama Sape'i diganti menjadi Sapi-ih! Masalahnya jeleknya jadi mirip sapi!
"Udah, tunggu apa lagi"! Bacok aja!" Sape'i mendongakkan dagu berlagak jumawa.
"Bikin kolak kurang santennya. Pisang kepok di kebon kelapa. Lu orang banyak suara. Gua tebas..., bas! Hang kepala!" Bukannya cepat-cepat menerjang, Sape'i malah berpantun.
"Lu mau gebrak apa mau lenong"!" sungut temannya kesal.
"Lu diam aja dah! Yang penting gaya dulu, Bego!" "Sat, sat, sat!" Sape'i mulai mengayun-ayunkan golok. Jurusnya bukan tak hanya berantakan, tapi juga tanpa juntrungan. Biar terlihat lebih menggidikkan, mulutnya sengaja bersat-sut-sat-sut.
Maksudnya, biar disangka suara dari sabetan goloknya.
"Tunggu dulu!" cegah seorang temannya.
"Apaan lagi" Pan, tadi elu juga yang nyuruh gua ngembat tuh orang?" gerutu Sape'i dongkol.
"Lihat golok lu tuh! Kayaknya tadi masih lengkap...." Sape'i melirik goloknya. Bujubuneng! Sape'i mengutuk dalam hati. Goloknya sekarang sudah tinggal sepotong! Pasti telah disunat sewaktu calon lawannya melempar tulang ayam ke golok itu.
Pikir punya pikir Sape'i mulai mengendusi kalau calon lawannya bukan orang sembarangan. Terbukti, dari perubahan lipatan wajahnya.
Mulutnya mulai meringis tak karuan. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Jeee, kenapa nggak diserimpung tuh orang, !" usik temannya.

Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sape'i nyengir sebentar.
"Nggak usah, dah. Gua jadi nggak tega juga nih...," kilah Sape'i cengengesan. Buru-buru golok cacatnya di-masukkan ke dalam sarung.
"Nah lu! Tumben lu bisa kasihan sama orang?" "Sekali-sekali kan nggak dosa!" tukas Sape'i buat menyelamatkan muka. "Udah, lu seret aja tuh si perlente. Bawa ke meja judi kita lagi!" "Nyok, dah!"

***

*** 2 ***

Sepeninggal tiga bajingan tengik tadi, lelaki berwajah tikus duduk kembali. Sementara, wanita berpakaian jingga tua yang sejak tadi memperhatikan peta kulit binatang menghampirinya.
"Tuan, boleh aku bertanya?" kata wanita ini cukup hormat.
Si wajah tikus melirik sebentar.
"Ha... ha... ha...!" Tanpa berniat menjawab, lelaki berwajah tikus ini berdahak keras-keras. Lebih tak tahu adat lagi, di tenggaknya arak langsung dari guci. Seolah-olah, si wanita di dekatnya tak pernah ada.
"Tuan, bisa aku minta tolong?" ulang si wanita mencoba lagi. Diperlakukan seperti itu, tidak cepat membuatnya jadi berang. Wajahnya pun tak berubah.
Si wajah tikus tetap tak menggubris.
Wanita ini tak terlalu mempersoalkan. Dia hanya mengungkit bahu sejenak, lalu mulai beranjak ke lelaki lain yang duduk di meja sebelah. Kali ini, didekatinya lelaki berwajah cacat yang masih sibuk menguras guci- guci tuak di meja.
"Tuan...," sebut wanita itu.
"Ya, silakan Nona!" Belum juga si wanita menyelesaikan pertanyaannya, lelaki cacat itu sudah mempersilakan.
"Ada yang bisa kubantu, Nona?" lanjut lelaki ini lembut dan teratur.
Sikap lelaki ini bertolak belakang sekali dengan penampilan kasarnya. Cara bicaranya justru penuh tata krama. Meskipun sudah beberapa guci arak masuk ke dalam perut buncitnya, dia tak kelihatan mabuk.
Wanita ini tersenyum.
"Aku ingin bertanya wilayah ini, Tuan," katanya seraya membuka peta dari kulit di depan lelaki buncit. Di tunjuknya satu bagian gambar dari peta.
"Apa Tuan tahu, aku bisa datang ke tempat ini paling cepat melalui jalur mana?" Mata lelaki berwajah cacat agak membeliak ketika melihat daerah yang ditunjuk tadi di dalam peta.
"Apa Nona sungguh-sungguh?" tanya lelaki ini pada si wanita.
Pertanyaan itu mendapat anggukan pasti.
"Apa Nona tahu ini tempat apa?" Lagi-lagi si wajah cacat seperti tak yakin.
"Lembah Kutukan...," sahut si wanita enteng. Empat orang lain di dalam kedai langsung menoleh berba-rengan. Mereka seperti mendengar suara gaib yang memaksa untuk melupakan sejenak urusan masingmasing. Si wajah cacat menatap perempuan di depannya.
"Ada urusan apa Nona menanyakan tempat itu?" tanya si wajah cacat.
Tak ada jawaban.
"Ah! Maaf, Nona. Aku jadi terlalu mencampuri urusan Nona. Aku cuma...." "Cuma heran?" sela si wanita.
Lelaki tadi mengangguk.
"Duduklah dulu, Nona...," hatur lelaki yang di balik wajah bengisnya memendam kelembutan itu.
Perlahan-lahan perempuan itu menurunkan pantatnya ke kursi. Namun gerak turun yang sesungguhnya tergolong manis jika diperhatikan urung tiba di kursi, ketika...
Wesss...! Prakk...! Mendadak saja sebentuk angin mendesir dari bawah, menyusul bunyi derak kursi bagai baru dihantam kaki seekor gajah jantan.
"Berikan peta itu padaku, Nona!" perintah pemuda tampan berpakaian kumal di seberang. Kini pemuda itu sudah berdiri pula. Matanya terus saja menyiratkan keangkuhan kala menatap perempuan yang dibentaknya.
"Kenapa aku mesti memberikan peta ini padamu?" tanya wanita itu tanpa menoleh. Nada suaranya terdengar menantang.
Pemuda berpakaian kumal mendengus. "Kalau kau tak memberikannya padaku, itu sama artinya mencari mampus!" "Tunggu! Tunggu dulu, Tuan Muda...," tukas si wajah cacat seraya bangkit dari kursi. Meja di depannya sampai terserempet permukaan perut buncitnya. "Bisa dijelaskan kenapa tiba-tiba saja kau menjadi sekasar itu pada Nona ini?" Merasa tak setuju dengan kekasaran di depan matanya, si wajah cacat ini buru-buru menanggapi. Apalagi terhadap seorang wanita yang menurutnya patut dihor-mati pula.
"Aku tak punya urusan denganmu. Lebih baik jangan ikut campur!" tandas pemuda kumal ini.
Si wajah cacat tersenyum mengejek. Di liriknya nona manis di sebelahnya.
"Apa Nona keberatan kalau aku membenahi mulut lancang bocah ini?" tanya si wajah cacat.
Perempuan yang ditanya tak menginginkan terjadi keributan di dalam kedai. Dia sama sekali tak ingin ada orang kecil yang menjadi korban, seperti pemilik kedai ini.
"Bukankah Tuan tak ingin terjadi keributan di sini, bukan?" ujar perempuan itu menyabarkan. "Sebaiknya kau katakan pula pada manusia jelek itu, Nona. Dia belum cukup memiliki kepandaian untuk menghadapiku... Tendangan Bayangan Seribu," sesumbar si pemuda kumal.
"O, rupanya kau orangnya! Kalau tak salah, 'Tendangan Bayangan Seribu' mu telah berhasil melempar seribu lalat ke neraka, bukan?" ejek lelaki buncit berwajah cacat.
Muak bukan main lelaki cacat ini melihat keangkuhan pemuda di depannya. Dia cukup tahu pamor Tendangan Bayangan Seribu. Tapi sepanjang pengetahuannya, nama itu besar di dunia persilatan oleh kehebatan seorang setengah umur. Bukan oleh pemuda bau kencur itu! Mungkin, anak ini hanya murid Tendangan Bayangan Seribu yang mencoba mendompleng ketenaran gurunya. Begitu dugaan lelaki berwajah cacat ini.
"Keparat!" Pemuda yang mengaku sebagai Tendangan Bayangan Seribu seketika melepas sabetan tangan ke udara dari tempatnya. Hanya cukup dari tempatnya, dia coba menghantam dari jarak cukup jauh.
Wuttt...! Seberkas pukulan tipis berupa bayangan hitam berkelebat cepat.
"Cukup!" bentak wanita berpakaian jingga tua. Dalam waktu bersamaan, tangannya melepas caping dari punggung. Lalu dilemparkannya.
Sat! Caping itu terus melesat, melabrak bayangan hitam ketika melintas di depan perempuan ini.
Dasss...! Bagai tak mengeluarkan tenaga, pukulan bayangan yang belum lama memporakkan kursi kayu kokoh seperti kerupuk, dapat dimentahkan. Tenaga perusak yang terkandung di dalamnya melepus begitu saja.
Begitu habis mementahkan serangan, caping itu melayang balik ke arah pemiliknya.
Tap! Manis sekali perempuan itu menangkap, dan langsung memasangnya lagi di punggung.
"Aku tak suka ada keributan di tempat ini!" hardik si perempuan lagi pada pemuda kumal berjuluk Tendangan Bayangan Seribu. Kalau semula begitu lembut, kini berubah sekeras baja, segarang jilatan api. "Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, Tuan!" Di tangan wanita itu sekarang sudah tergenggam semacam cakram berbentuk piringan yang tengahnya berlubang. Melihat hal itu, sadarlah lelaki berwajah cacat, siapa sesungguhnya yang berdiri di depannya.
"Bidadari Cakram Terbang...," bisik lelaki berwajah cacat, pelan sekali.
Bidadari Cakram Terbang sebenarnya adalah tokoh wanita yang menggegerkan kalangan atas dunia persilatan, pada dasawarsa silam. Kemunculannya sela-lu disertai senjata khasnya, Cakram Terbang. Senjata yang selalu tersembunyi di balik caping jika tak diperlukan. Sejak berhasil menyingkirkan musuh besarnya, pendekar wanita itu menghilang. Menurut kabar burung, luka parah yang diderita memaksanya menyingkir dari hingar-bingar dunia persilatan. Di tempat penga-singannya dia mengobati diri, sekaligus menyempurnakan kedigdayaannya.
Pendekar wanita rendah hati ini membuat kegemparan lebih dahulu dibanding Pendekar Slebor. Ada selang waktu sekitar enam tahun, sebelum anak muda sakti itu muncul dari masa penyempurnaannya di Lembah Kutukan. Saat pertama kali muncul, usia Bidadari Cakram Terbang sangat muda. Tak lebih dari enam belas tahun! Itulah salah satu keistimewaannya menurut kalangan persilatan. Dan jika kini keluar kembali ke dunia persilatan, artinya usianya menjelang dua puluh enam tahun. Begal Ireng musuh besar Pendekar Slebor, pernah mengirim orang kepercayaannya untuk membunuh Bidadari Cakram Terbang. Sepak terjang wanita muda itu di wilayah selatan memang telah menghambat banyak gerakan kejahatan antek-anteknya waktu itu. Orang kepercayaan Begal Ireng ini malah tak pernah kembali.
Mereka mati di tangan gadis muda perkasa itu.
Sampai akhirnya, Bidadari Cakram Terbang berhadapan dengan tokoh hitam kelas atas yang telah membunuh gurunya. Kedua tokoh tua itu telah bermusuhan selama puluhan tahun. Kemudian Bidadari Cakram Terbang datang untuk menuntut balas atas kematian guru wanitanya. Saat itulah dia mengalami luka amat berat. Sehingga, mengharuskannya mengundurkan diri lagi dari dunia persilatan.
"Sulit kupercaya kalau kau...." Ucapan bernada takjub lelaki berwajah cacat dicegah isyarat tangan Bidadari Cakram Terbang. Wanita itu tampaknya tak mau kemunculan keduanya diketahui kalangan persilatan.
"Sebaiknya kau menuruti kata Nona ini, Anak Muda...," lanjut lelaki berwajah cacat, beralih pada Tendangan Bayangan Seribu.
Lelaki ini merasa harus mengatakannya pada si pemuda. Sebab dia tahu bagaimana kesaktian pendekar wanita di depannya. Sepuluh tahun lalu saja, kesaktiannya sudah begitu membuat kelimpungan tokoh dunia hitam. Apalagi setelah menjalani pengasingan diri selama dasawarsa terakhir" Semuanya diketahui betul oleh lelaki berwajah cacat ini.
Bukannya menyingkir, pemuda kumal itu malah tertawa pongah. Rupanya, dia belum mendengar nama besar Bidadari Cakram Terbang pada sepuluh tahun silam. Benar, penilaian lelaki berwajah cacat. Anak muda itu tak lebih dari salah satu warga bau kencur dunia persilatan. Nama besar yang di sandangnya pun, tak lebih dari mendompleng kesohoran gurunya.
"Kau pikir, bisa apa wanita seperti dia padaku?" cemooh Tendangan Bayangan Seribu. "Kalau pun 'Pukulan Bayangan'-ku dapat di mentahkannya, tidak berarti dia cukup hebat berhadapan denganku" "Lelaki berwajah cacat menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan sesumbar pemuda itu. Sementara itu, Bidadari Cakram Terbang mencoba menguasai diri.
Cakram di tangannya disisipkan kembali di bawah capingnya. "Kalau dia tak mau menyingkir, lebih baik aku yang mengalah," kata Bidadari Cakram Terbang meren-dah. Wanita perkasa rendah hati itu pun melangkah, meninggalkan kedai. Sebelumnya, dia melempar uang logam ke meja tempatnya, membayar arak yang telah diminum. "Nah! Kau lihat, bukan" Dia tak berani menghadapiku?" kata Tendangan Bayangan Seribu lagi, pongah.
Bidadari Cakram Terbang tak menggubris. Sampai di pintu kedai, langkahnya tertahan. Dirasakannya ada angin pukulan yang sama seperti sebelumnya. merang-sek dari belakang.
"Haiiit!" Secepat gerak camar meliuk ke udara, tubuh pendekar wanita itu melenting. Sementara cakramnya telah dilempar lebih dulu tanpa terlihat. Tubuh perempuan itu meluncur di udara begitu menginjak cakram.
Pada pohon beringin besar jauh di sebarang kedai, senjata terbang itu menancap sebagian. Sedang bagian lain tetap dijadikan pijakan. "Apa maumu sebenarnya Tuan?" tanya Bidadari Cakram Terbang dengan suara tetap datar, di atas cakram yang tertancap di batang beringin besar.
Tendangan Bayangan Seribu yang tadi membokongnya menyusul ke luar kedai dengan langkah angkuhnya. "Apa kau tuli, Nona" Aku meminta peta mu tadi...," ucap pemuda kumal itu, di luar kedai.
"Kau rupanya terlalu memaksa, Tuan. Kalau itu maumu...." Bidadari Cakram Terbang turun. Dengan gerakan indah tubuhnya berputar sebentar di udara, sambil mencabut cakramnya. Selang berikutnya, dia sudah berdiri dengan sikap siap tarung.
"Izinkan aku menghajar anak muda tak tahu adat ini, Nona Pendekar...!"

***

*** 3 ***

Pertarungan tak bisa dicegah lagi. Apalagi ditunda.
Namun bukan antara Bidadari Cakram Terbang dengan Tendangan Bayangan Seribu. Karena sebelum wanita yang pernah membuat kegemparan sepuluh tahun silam itu berniat memberi pelajaran, lelaki berwajah cacat sudah maju siap menyerang.
Merasa tak perlu lagi banyak cakap, lelaki berwajah cacat itu langsung berdiri menghadap Tendangan Bayangan Seribu. Ditantangnya anak muda itu dengan gelegak panas di ubun-ubun.
"Perlihatkan kehebatan 'Tendangan Bayangan'-mu, anak muda tak tahu diri," tantang lelaki berwajah cacat.
"Sebutkan namamu, Orang Jelek! Aku tak suka bertarung melawan orang yang tak kukenal. Lagi pula, kalau kau nanti mampus, harus kutulis nama apa di batu nisan mu...," sesumbar Tendangan Bayangan Seribu makin menjadi.

Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki berperut buncit yang berdiri enam depa di depan Tendangan Bayangan Seribu tertawa terbahak.
Dia merasa lucu mendengar kepongahan yang terulur dari mulut anak itu. Di cibirkannya bibir berbareng ge-lengan kepala sarat cemoohan. "Kasihan sekali kau, Anak Muda. Rupanya kau masih terlalu hijau di dunia persilatan sampai tak mengenal siapa yang kini berdiri di hadapanmu," sela sebentuk suara camprang dari arah kedai.
Wanita berambut seperti lelaki yang sebelumnya berada dalam kedai ternyata sudah keluar pula. Tak jauh darinya, si lelaki bertampang tikus sudah pula bertengger di jendela besar kedai. Dia duduk beruncang kaki seperti tengah menonton pertunjukan ludruk.
Terbakar oleh perkataan tadi, pemuda berjuluk Tendangan Bayangan Seribu menoleh. Tatapannya memeram nafsu membunuh. Dia beranggapan siapa pun tak bisa selancang itu pada dirinya.
"O.... Sepertinya ada rencana untuk mengeroyokku...," leceh Tendangan Bayangan Seribu.
Masih juga pemuda kumal ini mengumbar keangkuhannya. Pepatah memang tak salah. Air laut, siapa yang membuat asin, kalau bukan laut itu sendiri. Anak muda itu pun demikian.
Kesaktiannya dianggap sudah cukup tangguh untuk menghadapi tiga orang yang kini mengepungnya dengan tatapan sembilu. Hanya lelaki bertampang tikus yang tampaknya tak mau banyak urusan. Padahal, dugaan lelaki berwajah cacat sama sekali bertolak belakang. Si wajah cacat melihat nama besar yang dibangun guru Tendangan Bayangan Seribu selaku tokoh disegani kalangan lurus. Jelas hendak disalahgunakan untuk hal yang tengik. "Ayo! Tunggu apa lagi" Siapa di antara kalian yang ingin mendapat sial terlebih dahulu?" tantang Tendangan Bayangan Seribu.
"Aku," terabas lelaki berwajah cacat. tak lagi bisa menunda kesabarannya mendengar seluruh ucapan memuakkan anak muda itu.
Sekejap, lelaki berwajah cacat itu berdahak. Panjang dan bersambungan. Aneh. Semestinya hal itu terja-di saat menenggak belasan guci arak. Sebaliknya. sela-ma menenggak belasan guci arak, dahaknya tak kunjung menyembul meski sepelan dengkur anak monyet.
Di akhir dahaknya yang panjang, tubuh si buncit berwajah cacat mulai bergerak. Irama gerak tubuhnya begitu lamban dan lembut. Selamban tarian wanita penghibur. Selembut ayunan perahu di permukaan telaga. Biar begitu, tak ada keteraturan dalam geraknya.
Langkah kakinya pun begitu ngawur. Satu langkah ke depan. Dua langkah berikutnya terhuyung ke belakang.
Kedua tangannya mengimbangi ayunan kaki. Setiap satu kaki bergerak, tangannya melambai maju mundur.
Seluruh kembangan jurus lelaki berwajah cacat ini tak jauh beda dengan tingkah orang mabuk. Di dunia persilatan, hanya ada satu-satunya tokoh yang memiliki jurus itu.
"Kau sedang berhadapan dengan Raja Arak, Anak Muda," kata Bidadari Cakram Terbang seperti mempe-ringatkan seraya tersenyum.
Dia memang merasa mengenali jurus khas itu.
Dulu, ketika wanita itu pertama kali mengobrakabrik kalangan hitam untuk yang pertama, dia sering ingin berjumpa tokoh satu ini.
Tokoh berjuluk Raja Arak sering disebut-sebut juga Si Pemabuk Bijak. Bukan hanya kaya dengan jurus sakti, tapi juga kaya hikmah hidup. Kerap kali dia menjadi tempat menimba nasihat bagi kalangan lurus. Heran. Namanya pemabuk, kok bisa memberi nasihat, ya" Hanya karena Si Pemabuk Bijak tak mau menonjolkan diri, dia sering bersembunyi mati-matian jika ada yang merasa harus meminta nasihatnya. Tak jarang harus berpura-pura dengan seribu satu tambah seribu sa-tu, cara agar tak terlalu disanjung sebagai orang bijak.
Baginya, pemabuk tetap pemabuk. Dia menganggap dirinya masih berlumur lumpur pekat. untuk dijadikan orang yang diharapkan nasihatnya.
Dan semakin tokoh ini buron dari kejaran. semakin penasaran berbondong-bondong orang yang haus petuah dan hikmah ingin menemuinya.
Jika Si Pemabuk Bijak berkata dirinya tak lebih dari seorang pemabuk kotor, maka orang-orang pun akan berkilah, dari mulut pemabuk pun kalau nyatanya mengalir kebijakan, kenapa tak didengarkan" Bahkan seandainya kata-kata bijak itu keluar dari moncong anj-ing sekalipun....
Lalu, apa yang mau dikatakan lagi" "O, jadi inikah Raja Arak itu?" leceh Tendangan Bayangan Seribu.
Di ujung kalimatnya, pemuda besar kepala itu harus melakukan tangkisan, karena Raja Arak alis Si Pemabuk Bijak telah menyerobot bagian dadanya dengan sodokan jari telunjuk.
Gempuran tak putus sampai di situ. Raja Arak mengirim lagi sapuan kaki sambil berputar. Debu mengepul sepanjang sapuan kakinya yang terseret di tanah kering. Terpaksa pemuda jumawa itu meloncat-loncat ke belakang.
Jika tendangan Tendangan Bayangan Seribu lambat sedikit saja, pasti akan terpelanting ke belakang. Derasnya sapuan lelaki berwajah cacat itu terlalu luar biasa. Bukan tak mustahil akan diterimanya juga akibat lain jika terkena. Persendian kakinya bisa langsung terpatah dua! Tendangan Bayangan Seribu tak mau terus dikejar serangan. Begitu mendapat kesempatan, dia mulai balas menyerang. Begitu mencelat, kakinya adu cepat dengan sapuan Raja Arak. Namun arahnya bergerak mendepak ke atas. Tumitnya mencoba meremukkan pelipis lelaki berwajah cacat itu. Tendangan anak muda itu patut di-beri decakan kagum. Sebab, meski tubuhnya sedang mencelat masih mampu melepas tendangan bertenaga, sekaligus amat cepat. Kandungan tenaga dalam tingkat tinggi dalam tendangannya tersembul dari bunyi santer yang tercipta.
Wukh! Namun Raja Arak bukan bocah kemarin sore.
Menghadapi serangan balik dia tak menjadi gelagapan.
Tetap dengan kuda-kuda seperti orang mabuk, tubuhnya sempoyongan ke belakang. Sepertinya, tindakan itu tak disengaja. Namun hasilnya cukup untuk membuat dongkelan kaki pemuda itu hanya memangsa angin.
Kaki Tendangan Bayangan Seribu berusaha mengejar. Begitu satu kakinya bisa menjejak bumi dengan kokoh, kesempatan untuk melancarkan jurus mautnya pun terkuak lebar-lebar. Tanpa ada sekerdipan mata, sebelah kakinya membuat sepuluh tendangan sekaligus.
Dalam satu kelebatan dengan sepuluh titik di tubuh lawan! Deb! Deb! Deb! Sebelah kaki Tendangan Bayangan Seribu menjelma menjadi seperti belalai gurita raksasa dari dasar laut, mengancam dari segala penjuru. Orang yang menyaksikannya hanya akan melihat bayangan kaki itu menjadi berlipat ganda.
Empat lima tendangan masih bisa dihindari Raja Arak. Seperti seseorang kehilangan keseimbangan. Lela-ki buncit itu terhuyunghuyung limbung kian kemari, dalam irama menakjubkan! Sisa ranting tendangan Tendangan Bayangan Seribu sayangnya tak bisa dimentahkan dengan mudah.
Meski Raja Arak sudah mengempos segenap kecepatan tangannya untuk memapak, tapi....
Desss...! Desss...! Desss!
"Aaakh...!" Tak urung tiga hantamam kaki Tendangan Bayangan Seribu mendera tubuh lelaki berperut buncit dalam satu rangkai gerak yang menyatu! Akibatnya, Ra-ja Arak dipaksa memekik nyeri. Dada, bahu, dan pangkal kaki kirinya seperti baru saja digempur godam raksasa dari baja. Sekujur tubuhnya berdenyar, mengiringi rasa nyeri sebelumnya.
Saat itu juga Raja Arak meluruk deras ke belakang. Dia hampir saja jatuh, tapi untung jurus-jurusnya memang terbiasa dalam menjaga ketidakseimbangan.
Hingga dengan agak susah payah kuda-kudanya dapat dikuasainya kembali. Tampak darah mengalir dari sudut bibirnya. Pekat.
Dan belum sempat Raja Arak menepis siksaan dari tiga tempat di tubuhnya. Tendangan Bayangan Seribu sudah memburunya penuh nafsu. Tendangan terbang yang paling disegani di dunia persilatan seketika di per-tunjukkannya.
"Hiaaa...!" Berkawal teriakan mencerabut nyali, tubuh anak muda itu melayang. Satu kakinya membentang ke depan. Yang lain terlipat rapat. Empat tombak dari laju luncurannya, kaki yang belum lama memangsa tubuh lawan, kembali berkelebat membentuk bayangan berlipat ganda. Deb! Deb! Deb...! Dalam keadaan yang jelas-jelas tak menguntungkan, amat tolol kalau Raja Arak bersikeras memapaki.
Yang paling baik untuknya adalah menghindar sejauh mungkin, sejauh kaki pemangsa tak lagi bisa menjangkaunya. Maka, Raja Arak melompat menghindar. Tubuh buntalnya tak membuatnya sulit melakukan lompatan tinggi serta jauh. Dia telah berhasil, mengambil jarak.
"Hai, Orang Jelek! Kenapa kau mundur" Apa kau terkejut dengan tendangan ku tadi?" ejek Tendangan Bayangan Seribu, membentak.
Tanpa menggubris cemoohan, Raja Arak memainmainkan bola matanya. Biji mata besarnya berputarputar tak karuan. Dengan cara itu, lelaki buncit jago mabuk itu berusaha membuat dirinya sepusing mungkin. Baginya, semakin kepalanya memberat, akan semakin lancar jurus-jurus tingkat tingginya mengalir keluar. Terbukti begitu melancarkan serangan, gerakan Raja Arak jadi kian hebat. Deru yang dihasilkan geraknya bertambah kencang.
Kesinambungan jurusnya pun kian meninggi. Meski begitu, semuanya tetap terlihat kacau tak beda sebelumnya.
Jelas, jurus 'Pemabuk Mengencani Angin' telah menampakkan bentuknya! Sementara, Bidadari Cakram Terbang merasa agak heran menyaksikan tindakan Raja Arak. Bukan sifatnya kalau jurusnya diperas hanya untuk perkara kecil tak berarti terhadap seorang pemuda yang pongah. Kalau kini lelaki yang memiliki daya pikat tersendiri di dunia persilatan itu mengerahkan salah satu jurus andalannya, apakah tidak aneh" Sebenarnya sifat Raja Arak yang dikenal Bidadari Cakram Terbang tidak begitu. Biasanya lelaki berpikiran bijak ini lebih suka menyingkir untuk perkara sepele.
Namun kenapa kali ini tidak" Apa ada sesuatu yang tidak beres" Mungkinkah dia bukan Raja Arak sesungguhnya" Runtunan pertanyaan dalam benak wanita itu tak sempat mendapat jawaban, karena perhatiannya kini tersita pada dua petarung tingkat tinggi yang sudah siap bertukar jurus kembali di depan sana....
Werrr...! Tiba-tiba memporakkan segalanya ketika tahutahu berkelebat bayangan tinggi besar yang menerabas deras. Memporakkan hati Bidadari Cakram Terbang.
Memporakkan pula keasyikan orang-orang yang menyaksikan pertarungan.
Gerakan bayangan itu tak terduga dan tak terhindarkan lagi, dari arah matahari siap bertelungkup. Kelebatan-nya menggiring angin besar di sisi-sisinya, menerbangkan debu dan dedaunan kering. Menggeleparkan pakaian kelima orang-orang yang ada di sana. Begitu tiba, semuanya terjadi begitu cepat Desss...!
"Hekh...!" Raja Arak mendadak tersentak di tempat dengan keluhan tertahan. Kembangan jurus yang mengalir terpenggal seketika. Tubuhnya mengejang sebentar. Matanya membesar. Segenap urat-urat wajah dan tubuhnya meregang bersamaan.
Sesudahnya. langkah Raja Arak menjadi demikian limbung. Bukan lagi karena jurus-jurus mabuknya, melainkan ada sesuatu yang menghantam tubuhnya demikian telak tak terhindari.
Tiga-empat langkah ke belakang, Raja Arak tersurut. Wajahnya menjadi pucat sekali. Darah di wajahnya seperti baru saja terperas sekian kejap yang lalu.
"Hoeeekkk...!" Menyusul kejadian itu, dari mulut Raja Arak termuntahkan darah kental kehitaman. Simbahannya menyiram tanah kering di bawah kaki. Dari telinga dan hidungnya pun mengalir darah encer menyertai muntah darahnya. Kelebatan tadi benar-benar menjinjing bahaya tak terduga. Tak hanya bagi Raja Arak, juga bagi Bidadari Cakram Terbang. Dalam selang waktu yang terlalu tipis untuk dihindari, kelebatan bayangan tadi telah pula tiba tepat di dekat wanita itu.
Kalau Raja Arak tak mampu membendung ancaman yang menghampiri, Bidadari Cakram Terbang tidak begitu. Wanita ini masih sempat menyadari. Dengan na-luri tajamnya, perempuan itu berusaha menepis bahaya.
Tak kalah cepat dengan kelebatan bayangan tadi, di pompanya tenaga dalam ke seluruh tubuhnya. Waktunya demikian ketat baginya untuk membuat tindakan seperti itu. Jelas akan menjadi tindakan teramat sulit.
Tapi dia harus melakukannya. Kemudian.... Dash! Terdengar benturan tenaga dalam berkekuatan dahsyat. Seperti keadaan Raja Arak barusan, tubuh Bidadari Cakram Terbang pun tersentak seketika. Tenaga dalamnya sudah tersalur sempurna ke sekujur tubuhnya, ketika bayangan tadi tiba. Tangannya pun berhasil memapak serangan gelap dengan kandungan tenaga dalam tingkat tinggi. Tapi nyatanya, itu sama sekali tak menjamin dirinya luput dari bahaya.
Sebentar kemudian, keadaan wanita itu tak jauh beda dengan Raja Arak. Wajahnya memucat. Tubuhnya terhuyung limbung. Mulut, hidung, dan telinganya ber-simbah darah! Padahal dua tokoh yang baru terpedaya ini adalah orang-orang kawakan yang terbilang disegani! Kedigdayaan mereka tak diragukan lagi. Banyak tokoh sesat tingkat atas yang mesti kehilangan nyawa di tangan mereka. Sekali ini, mereka tampaknya berhadapan dengan tokoh biangnya tingkat atas. Sesepuh sakti yang belum lagi diketahui. Namun telah jelas bagi keduanya kalau orang itu adalah tokoh sesat berperangai iblis!

Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang sesungguhnya terjadi" Begitu tanya wanita berambut pendek dan si wajah tikus di muka kedai.
Mereka dibuat terperangah oleh kenyataan di depan ma-ta. Bahkan beberapa saat kemudian, baru disadari kalau seseorang telah datang melakukan serangan.
Untuk keadaan yang bisa saja mendongkel nyawa keluar dari raga, Raja Arak dan Bidadari Cakram Terbang tak ingin lama-lama mendiamkannya. Dengan susah payah mereka menghempos hawa murni dalam tubuh. Luka yang diderita menggerogot secara cepat. Terlambat dalam hitungan helaan napas saja, bisa berakibat konyol.
Sementara lelaki dan perempuan yang tengah berkutat mengatasi luka dalam, lelaki dan perempuan lain di muka kedai masih dipaksa terpana melihat sosok lain di sisi Tendangan Bayangan Seribu. Di Sana, telah berdiri sosok angker bertubuh besar seperti gambaran tokoh Bima dalam pewayangan. Wajahnya amat memikat, berhias cambang tipis serta lintangan kumis lebat. Bersit matanya kasar, bengis dan telengas. Pakaian rompi kulit macan menutupi sebagian dadanya yang kekar berbulu. Dengan berdiri memancang tubuh perkasa, pendatang baru itu memainkan peta kulit binatang yang sudah berada di tangannya.
Kedua mata Bidadari Cakram Terbang menyempil menyaksikan orang itu. Ada kecamuk amarah yang bergejolak dalam dirinya. Bukan hanya soal peta yang direbut secara menakjubkan saja penyebabnya. Tapi, karena wajah itu pernah dikenalnya....

***

*** 4 ***

Permainan judi koprok sedang seru-serunya di sebuah gubuk reyot, tak terlalu jauh dari depan kedai tempat pertarungan antara Raja Arak dan Bidadari Cakram Terbang melawan Tendangan Bayangan Seribu yang kini dibantu sosok bertubuh tinggi besar.
Tiga lelaki tengik yang petantang-petenteng di kedai kini mulai dibuai kesenangan. Urat leher mereka menggelembung, disesaki tawa penat atau teriakan menggila. Rupanya uang mereka telah berhasil dimenangkan kembali dari kantong uang lelaki berpakaian perlente.
Batok kelapa pengocok dadu dibuka untuk kesekian kali. Tiga dadu di atas piring kayu memperlihatkan beberapa angka.
"Aku dapat!" Satu orang lelaki tengik berseru serak, nyaris kekeringan suara sendiri. Lalu di raupnya keping-keping uang di atas meja penuh kerakusan. Matanya berbinar-binar, seakan memantulkan cahaya ketamakan dari setiap keping uang yang didapatnya.
Sementara lelaki perlente bertubuh kurus melipat wajahnya. Pundi uang yang sebelumnya dimenangkan sudah ludes kembali. Tiga lelaki bertampang sial di depannya telah berhasil menguras kemenangan. Sekarang dia akan miskin lagi. Benar-benar terkapar miskin.
Sebab, pundi uang itu adalah modal terakhirnya setelah menjual seluruh harta kekayaannya! Saat keping-keping uangnya kian menipis, terlintas di benak lelaki perlente itu untuk mencari modal baru.
Modal yang harus lebih besar, agar nanti mengeruk keuntungan sebakul.
Namun belum juga lelaki perlente ini menemukan jalan, seorang pemuda masuk dengan lagak serampangan. Kursi sarang kepinding di sisi meja bundar di tem-patinya. tanpa mempedulikan tatapan keempat para penjudi. Wajahnya keningratan. Tapi jika melihat penampilannya, orang lebih suka menganggapnya gelandangan. Lusuh, tak terurus dengan pakaian hijau pupus. Belum lagi rambutnya yang panjang sebahu. Kain bercorak catur di bahunya dikibas-kibaskan untuk mengusir gerah.
"Kocok lagi," ujar pemuda itu enteng pada Bandar bergigi keropos kehitaman.
"Mau ikut main?" tanya lelaki bertampang jelek di sebelahnya.
Si pemuda menggeleng. Mulutnya cengengesan.
"Kalau ikut main, aku pasti menang," tukas pemuda ini acuh, penuh keyakinan.
"Mana modal mu?" tanya lelaki lain, panas seperti menantang.
Pemuda berbaju hijau pupus itu mengeluarkan kantong uang sebesar kepalan tangan. Diletakkannya kantong itu lambat-lambat di sisi meja. Begitu tangan lelaki di dekatnya hendak meraih.... Slap!
"Hah"!" Kantong itu tahu-tahu sudah menghilang. Keempat lelaki di dekat pemuda itu terperanjat. Mereka tak mengerti, bagaimana kantong uang bisa hilang begitu saja" "Jangan bingung," ujar si pemuda, masih menjaga keen-tengan ucapannya.
Pemuda ini membuka tangan kanan. Nyatanya kantong uang itu telah berada di sana.
"Aku tak akan membiarkan uangku keluar dari kantong ini, kalau tak kalah dalam permainan koprok kalian. Kalian mengerti?" kata pemuda itu lagi, agak sombong. Dengan kebodoh-bodohan, keempat lelaki di sekitarnya mengangguk-angguk seperti sapi di cocok hidungnya. "Ayo, kocok lagi! Tunggu apa lagi"!" bentak pemuda ini, membuat keempat lelaki tadi hampir saja meloncat dari kursi masing-masing. Permainan dimulai lagi.
Dalam berjudi, kecurangan bukan hal aneh. Selama tidak diketahui, tindakan itu tak akan jadi persoalan.
Lain lagi jika kelicikan itu terendusi.
Bandar berwajah brewok yang tak pernah putus mengisap rokok kawungnya dalam beberapa kesempatan, melakukan kecurangan. Satu orang sudah hampir sekarat kehabisan uang. Dua yang lain memang masih cukup mendapat kemenangan. Namun kalau hendak melihat hasil. Bandar itu yang paling banyak mengeruk kemenangan. Tumpukan uangnya terus meninggi. Kalau kecurangannya terus berjalan, bisa dipastikan seluruh uang penjudi bakal di ludeskannya. Namun akankah Bandar brewok itu terus begitu. Sebab,. anak muda yang baru datang agaknya tak gampang dikelabui. Matanya yang bergaris tajam sejeli tatapan elang, bisa menangkap ketidakberesan kocokan Bandar. Tiga dadu dalam tempurung kelapa tidak bisa saja bergulir menentukan angka. Si Bandar, rupanya turut campur dalam penentuan. Dengan kelihaiannya memainkan tenaga dalam, diaturnya biji dadu untuk keun-tungannya.
Sementara, pemuda berpakaian hijau pupus mulai memasang taruhannya. Dua keping uang perak dikeluarkan. Hanya dua keping. Itu pun tidak dikeluarkan dari kantong uang yang sebelumnya diperlihatkan, melainkan dari ikatan pinggangnya. Lambat, digesernya dua keping uang logam itu ke satu angka di atas meja.
Bandar melirik pemuda itu. Sambil melirik, tangannya terus memutar batok kelapa di tangan.
Penjudi lain tak ketinggalan memasang. Pada meja yang sama, pada angka berbeda.
Selanjutnya....
Prak! Batok kelapa telah ditelungkupkan di atas meja.
Tangan sang Bandar siap mengangkatnya. Penjudi lain, termasuk pemuda berbaju hijau pupus boleh menunggu angka berapa yang bakal keluar. Yang lain mungkin menatap dengan mata sesak harap. Namun tidak untuk si anak muda. Dia tenang-tenang saja memainkan kantong uang di depannya.
Mata sang Bandar melirik sebentar ke angkaangka di atas meja.
Sedangkan pemuda berpakaian hijau pupus justru melirik wajah lelaki Bandar yang memegang batok kela-pa. Bibirnya sedikit terungkit manakala menyaksikan bersit kecurangan melintas di mata orang yang dilirik.
Pada saat itu, sang Bandar memang sedang menyalurkan tenaga dalam ke tangan. Pendengarannya yang cukup tajam dimanfaatkan untuk menentukan suara amat halus yang begitu di hapalnya. Perbedaan sua-ra gesekan permukaan dadu pada meja, membuatnya sanggup menentukan angka mana yang bakal muncul.
Selain sang Bandar dan pemuda berbaju hijau pupus, tak ada yang bisa menangkap gesekan sehalus itu. Bunyinya bahkan lebih lembut dari suara sayap seekor le-bah kecil.
"Angkatlah!" ujar si perlente tak sabar.
Di antara yang Iain, wajah lelaki ini paling tegang.
Sebab, ini taruhan terakhirnya. Kalau tak berhasil menang, habislah harapannya.
Istrinya yang menumpang di rumah mertua bakal menceramahinya seumur hidup.
Batok kelapa dibuka.
Bukan alang kepalang terperanjatnya Bandar dan tiga lelaki di dekat pemuda berbaju hijau menyaksikan biji-biji dadu masih berputaran liar. Berputar pelan saja sudah mustahil. Apalagi berputarnya demikian cepat! Cepat sang Bandar menyadari, ada seseorang yang mengusili siasatnya. Kecurangannya diketahui. Dan ca-ra itu pasti untuk menelanjangi kelicikannya.
Dari biji-biji dadu yang masih berpusing liar, mata sang Bandar beralih pada anak muda yang justru memasang wajah tak bersalah. Begitu asyik putaran dadu diperhatikan dengan bibir tak lekang dari senyum.
Tahulah kini sang Bandar kalau anak muda itulah yang menjajal tenaga dalamnya. Geram sekali hatinya.
Tanpa terlihat, disalurkannya lagi tenaga dalam dari telapak tangannya.
Putaran dadu melambat. Melambat dan kian melambat. Sang Bandar ganti tersenyum, mengejek pemuda berpakaian hijau. Dikiranya dadu akan segera berhenti pada angka yang ditentukan. Itu artinya dua kemenangan. Satu untuk kemenangan pamer kekuatan, dua untuk kemenangan taruhan.
Namun bila sang Bandar mengira bakal unggul yang jelas keliru! Begitu ketiga dadu hampir berhenti berputar, mendadak saja putarannya meningkat kembali. Lebih menggila dari sebelumnya. Lebih hebat dari putaran gangsing. "Bangsat...," desis sang Bandar dalam hati. Rasanya dia begitu ditantang oleh anak muda di dekatnya.
Untuk kedua kalinya, sang Bandar memompa tenaga dalam ke dadu melalui meja. Sebelumnya memang terlihat putaran dadu melambat. Sekali ini, malah tidak.
Dicobanya lagi. Putaran dadu hanya berubah sesaat. Selanjutnya makin tak terkendali! Sang Badar penasaran. Kekuatan tenaga dalamnya merasa ditantang habis-habisan. Maka habis-habisan pula dikerahkannya.
Tiga lelaki lain terpana-pana menyaksikan keganjilan di atas meja. Wajar saja, karena ketiganya memang sama sekali awam dengan tenaga dalam. Pengerahan tenaga dalam yang terus digenjot oleh sang Bandar tak cukup berarti. Ketiga dadu di atas piring kayu malah makin hebat berpusing. Sang Bandar berkutat dengan tenaga dalamnya sendiri. Sementara itu pemuda berbaju hijau tak tampak melakukan apa-apa. Sikapnya masih tetap tenang sambil memainkan sudut bibirnya. Bahkan mulai pula mencukil-cukil telinga dengan jari kelingking.
Sedang buat sang Bandar sendiri, keringat sebesar ujung kelingking perlahan bersembulan, membanjiri kening dan lehernya. Tenaga dalamnya benar-benar habis-habisan dikerahkan. Sesaat lagi, pengerahannya akan sampai puncak. Tapi, tak ada yang berubah. Dalam hati, di kutuknya pemuda itu dengan serangkai caci maki terkotor. Siapa anak muda ini" Kenapa begitu enteng menghadapi tenaga dalam yang sudah nyaris di kurasnya" Sampai akhirnya, mulai merebak asap tipis di sekeliling dadu. Kekuatan putaran itu telah membuat gesekan hebat antara dadu dengan piring kayu. Bila gesekan makin sengit, maka panas pun menanjak terus. Tak heran bila asap tipis muncul.
Tak lama berikutnya, bukan lagi asap tipis yang mengepul. Bressshhh! Dalam sekejap, api telah memangsa ketiga dadu.
Piring kayu telah berlubang pada tiga bagian yang masing-masing api menjilat kecil. "Utsss...!" Brakkk...! Kala yang bersamaan, sang Bandar tersentak ke belakang. Kursinya ambruk terpatah. Dia terpuruk di lantai. Nafasnya terengahengah tak beraturan. Dengan ra-sa lemas menggerayangi segenap persendian, dia bang- kit susah payah.
"Heiii, aku menang!" seru pemuda berbaju hijau seraya melonjak girang.
Tiga dadu yang hampir hangus telah memperlihatkan angka. Tentunya, angka yang dipasang pemuda itu. Lalu, diraup keping-keping uang di atas meja, di bawah tatapan kosong ketololan tiga lelaki di sekeliling-nya. "Siapa kau?" tanya sang Bandar.
Bandar ini mulai menyadari kalau dirinya tengah berhadapan dengan salah satu 'naga' dunia persilatan.
Sementara dia sendiri bukanlah apa-apa. Tenaga dalamnya mungkin hanya seujung kuku kemampuan si pemuda. Pertanyaan sang Bandar tak mendapat sambutan.
Di samping pemuda itu tak mau menjawab, ada pula sebab lain. Pintu gubuk reot tiba-tiba ambrol secara aneh. Pecahan daun pintu berhamburan ke luar ruangan. Jelas, ada tenaga yang menghantamnya dari luar.
Dan semestinya, daun pintu terhambur ke bagian dalam ruangan.
Hanya satu pikiran yang terbetik di benak pemuda berbaju hijau. Ada orang lain yang mau turut ambil bagian dalam unjuk kesaktian di gubuk reot itu....

***

*** 5 ***

Dua sosok memasuki gubuk perjudian. Kesemuanya lelaki. Mereka tak lain Tendangan Bayangan Seribu dengan lelaki tinggi besar yang telah mencederai Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak.
Dari wajah, tampak betapa yakinnya mereka masuk tempat perjudian ini. Seakan, mereka tahu sesuatu yang dikehendaki berada di sana. Semua orang di pinggir meja judi mengalihkan pandangan. Bersamaan mereka menatap kedua lelaki pendatang baru. Suasana jadi legang mencekik. Sepi.
Bahkan sisa debu kayu jatuh pun mungkin terdengar

Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemerisiknya. Kecuali pemuda berpakaian hijau, lelaki di meja judi terpaksa harus lebih lama terpana. Sebelumnya mereka terbengong-bengong menyaksikan dadu 'ajaib'. Sekarang menyaksikan pintu berantakan secara 'ajaib' pu-la. Takutnya, di antara mereka ada yang sakit jantung. Bisa-bisa mati berdiri dengan mata membeliak dan mulut menganga. Kesialan tiga bajingan buduk yang petantangpetenteng di kedai tadi belum selesai. Selagi mematung dengan raut wajah tolol kelewatan, tangan besar lelaki seperti Bima mencengkeram kerah baju mereka satu persatu, lalu dilempar ke luar gubuk. Enteng, bagai melempar sekaleng kerupuk kulit. "Wuaaa!" Di luar, terdengar teriakan kacau. Mereka kontan pontang-panting melarikan diri sambil terus menjerit-jerit tak karuan. Mudahmudahan tak ada yang jadi sinting! Sementara lelaki perlente dan sang Bandar pun bakal mendapat giliran. Begitu tiba giliran lelaki perlente, orang kurus berpakaian mencolok itu mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Terima kasih, terima kasih! Aku bisa melakukannya sendiri!" ucap lelaki perlente, cengengesan seraya berlari keluar.
Sebelum tiba di pintu, lelaki itu melompat sekencang-kencangnya, kemudian jatuh berdebam di luar.
Dia lebih suka membuang diri sendiri, ketimbang harus dilempar keluar secara mengerikan seperti yang lain.
Kini tinggal pemuda berpakaian hijau. Sikapnya tetap tak peduli. Terus saja telinganya dikorek-korek dengan asyik. Wajahnya meringis-ringis sesekali.
"Cara kalian masuk tak punya tata krama," kata pemuda ini.
Dua lelaki itu menatapnya. Tajam-tajam, seakan ingin menelannya hidup-hidup.
"Apa kalian tak bisa mengetuk pintu dulu" Atau, kalian ingin agar aku mengajari kalian sedikit sopan-santun?" Ucapan pemuda itu tetap tak digubris.
"Hei, hei!" Dengan lagak tengik, pemuda ini melambai-lambaikan tepat di depan wajah dua lelaki yang terus mengawasinya tanpa gemik.
"Aku tidak bicara dengan monyet-monyet hilang ingatan, bukan?" tukasnya meninggi.
Dongkol juga rupanya anak muda itu, karena dianggap sekadar kentut.
Dari diamnya, si lelaki tinggi besar mendadak membuat gerakan. Telapak tangannya dihadapkan ke arah meja judi. Saat itu juga, meja bergeser ganas. Bahkan mencoba menanduk si pemuda. Jarak yang demikian dekat, membuat pemuda itu tak bisa lagi menghindar. Tubuhnya terseret cepat. Brak! Bersama meja. pemuda berpakaian hijau menjebol dinding kayu gubuk. Tubuhnya terus terbawa sampai di dekat pohon besar, lalu terjepit. Himpitan meja teramat kuat. Pada jarak yang begitu jauh, lelaki tinggi besar masih bisa mengatur tenaga dalamnya pada meja.
Sungguh permainan kekuatan yang luar biasa! Sementara, pemuda berpakaian hijau meringis dalam himpitan pohon besar dengan meja di perutnya.
"Hei" Apa kalian hendak menggagahi ku. Sebaiknya kalian kuberitahu, aku ini lelaki lho!" celoteh si pemuda seenak perut. Rasa sakit luar biasa di perutnya seperti tak pernah dirasakan. Matanya kemudian terpejam. Tak lama berselang, meja judi yang menjepit meluncur kembali ke tempat semula. Geraknya tersendatsendat. Sebentar meluncur ke arah gubuk, sebentar kemudian meluncur kembali ke arahnya.
Tak pelak lagi, adu tenaga dalam terjadi. Berbeda dengan kejadian dadu di atas meja, sabung tenaga dalam kali ini tidak main-main. Dua kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi sedang berlangsung.

******

Sabung tenaga dalam antara anak muda berpakaian hijau pupus yang tak lain Pendekar Slebor melawan lelaki tinggi besar di kedai masih berlangsung. Jarak yang cukup berjauhan, tak menyulitkan keduanya untuk saling menyalurkan tenaga dalam ke meja.
Ajang adu kesaktian makin memuncak. Sementara tekanan berat dari dua arah berlawanan, menyebabkan meja tak kuat bertahan lebih lama. Lalu....
Brak! Hancurlah meja bundar untuk ajang perjudian itu.
Kepingannya berhamburan sederas peluru. Sebagian menancap di dinding gubuk, sebagian lain menembus pepohonan. Kalau saja ada orang tak cukup memiliki ilmu kedigdayaan, tentu akan menjadi korban.
"Nah! Selesai sudah main-main kita," ujar Pendekar Slebor.
Keringat mengkuyupi sebagian pakaian Andika. Diakui, tenaga dalam lelaki tinggi besar barusan tergolong amat sulit dilawan.
Pengerahan tenaga dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat sepuluh telah dikerahkan. Namun tak ada tanda-tanda lawan akan terdesak. Kalau lebih dari setengah kemampuan tenaga dalamnya sudah dikerahkan seperti itu, bisa dinilai kehebatan lawannya yang mungkin setingkat dengan tokohtokoh jajaran atas. Atau malah lebih tinggi. Andika masih sulit menentukan.
Sementara dari gubuk tak mengeluarkan seorang pun dari sana. Andika bersiaga. Dikiranya lawan akan melakukan sesuatu yang gila lagi. Mungkin serangan susulan yang lebih hebat. Serangan yang bisa membuatnya cukup kalang-kabut, mengingat kesaktian lawan masih belum dapat di ukurnya.
Ditunggu sekian lama, tak juga ada serangan. Batang hidung dua lelaki tadi pun tak dilihatnya.
Si pendekar muda godokan Lembah Kutukan jadi tak sabar. "Kalian rupanya mau main kucing-kucingan, heh!" rutuk Andika dongkol setengah mampus.
Sifat usil Pendekar Slebor pun menjangkit. Otaknya berkutat sejenak. Dan ditemukannya cara konyol untuk mengakhiri kucing-kucingan menyebalkan itu.
"Heaaa!" Sekuat tenaga pemuda urakan itu meregangkan otot tenggorokannya. Wajahnya sampai mematang karenanya. Siapa pun yang mendengar teriakan menggelegar barusan akan menyangka pemiliknya sedang murka.
Tentu pula akan disusul amukan menggila.
Tapi, yang dilakukan Pendekar Slebor selanjutnya justru tak ada. Dia hanya berteriak panjang dan keras di tempatnya berdiri. Lalu dengan sedikit mengatur tenaga dalam, Andika membuat teriakan-nya bergerak ke arah gubuk. Dengan cara itu, ada kesan kalau dirinya sedang berlari liar menuju gubuk. Brosss...! Brosss...! Akal bulus Andika membawa hasil. Dua lelaki di dalam sana mendadak saja keluar menjebol wuwungan.
Sungguh mati, disangka akan ada serangan maha hebat menuju mereka. Karena itu mereka berusaha menghindar dengan melompat sebisa-bisanya ke atas.
"He he he!" Pendekar Slebor terkekeh menyaksikan dua lelaki bertengger di atas wuwungan dengan wajah agak terheran-heran. Selanjutnya wajah mereka berubah gusar, setelah tahu kalau baru saja dikadali pendekar muda berotak encer!
"Ngomong-ngomong, kalian ini siapa" Kenapa tiba-tiba saja mengusili keasyikan ku?" tanya Andika. La-gaknya seolah-olah tak punya dosa.
"Kami tak butuh untuk memperkenalkan diri padamu, Pendekar Slebor!" seru Tendangan Bayangan Seribu, pongah.
"Hei" Rupanya kau kenal aku! Pasti kau salah seorang pengagum ku, bukan"!" "Kami punya kepentingan padamu, Pendekar Slebor!" terabas lelaki berperawakan seperti Bima, tak ingin menggubris ocehan ngawur Andika. "Kalian punya kepentingan" Ah! Kalau aku sih tidak!" "Jangan main-main! Kami minta kau mengantar kami ke Lembah Kutukan!" "Kalian pasti sinting! Kenal saja belum, tapi bisabisanya yakin kalau aku akan mengantarkan kalian ke Lembah Kutukan...." Wajah Andika tiba-tiba terbengong. Anak sapi masih kalah jelek dari tampangnya saat itu.
"Kalian tadi bilang Lembah Kutukan?" tanya Pendekar Slebor, baru terperangah karena telat mikir. "Apa kalian mengigau" Ya ya, pasti kalian mengigau di siang bolong!" Memang, Lembah Kutukan bukan tempat asing buat Pendekar Slebor. Di sanalah penyempurnaan kependekarannya dijalani. Di sana pula dia dipaksa amukan lidah petir untuk menciptakan jurus-jurus anehnya.
Juga, di tempat tersebut Andika memakan buah 'inti petir' yang menyebabkan tubuhnya bisa menyerap kekuatan petir! Biar bagaimanapun, tempat itu telah membuat Andika kapok. Biar dipaksa setan belang sekalipun, tak bakalan sudi kembali ke sana. Sebab, hanya orang tak waras yang berniat datang ke tempat itu. Begitu pikir Andika. Kalaupun dulu didatanginya juga, itu semata karena mesti menjalani penyempurnaan kesaktian. (Untuk lebih jelasnya; baca episode 'Dendam dan Asmara') "Hei, aku ingat sekarang! Kalau begitu, kalianlah yang mengundang aku untuk datang ke tempat ini!" tukas Andika begitu terbersit ingatan di benaknya.
Tiga hari lalu, Pendekar Slebor memang telah mendapat kabar dari seorang utusan tak dikenal untuk datang ke tempatnya sekarang di pinggiran Karisidenan Karawang. Kata utusan itu, ada hal amat mendesak yang harus diketahui. Maka Andika pun berusaha datang, dan sampai ini hari.
"Bukan urusanmu, apakah kami mengundangmu atau tidak! Sekarang, jawab permintaan kami. Apakah kau akan mengantar kami memasuki Lembah Kutukan"!" tukas lelaki seperti Bima.
"Ooo," Andika menggelengkan kepala berkali-kali dengan mulut monyong. "Aku tak akan datang lagi ke sana. Aku sudah bersumpah. Sampai mampus tak sudi lagi kembali ke sana!" "Kalau begitu, kau akan kami paksa!" tandas Tendangan Bayangan Seribu. Andika terkekeh. "Memaksa?" tanya Andika dengan wajah mencemooh.
"Ya!" Andika terkekeh lagi. Makin menjengkelkan.
"Jangan...," katanya. "Kalian akan membuang tenaga percuma memaksaku memasuki tempat itu. Aku sudah kapok! Kapok, tahu"!" Si anak muda urakan, terlihat sengit sekali. Wajahnya cepat berubah, menampakkan kedongkolan.
"Kalau kalian mau pergi ke sana, pergilah sendiri.
Kalau kalian mau menjadi gila, kusarankan masuklah ke tempat itu. Tempatnya... ihhh...." Andika bergidik. Bahunya terangkat. Nyalinya sebagai seorang pendekar memang besar. Tapi untuk urusan satu itu, dia sudi dibilang pengecut sekalipun!
"Kalau begitu, aku permisi dulu ah...," kata anak muda itu acuh, hendak beranjak seenak perutnya. Ta-pi.... Wrrr! Jleg! Tendangan Bayangan Seribu sudah berkelebat dan berdiri menghadang Andika. Dari sikap berdirinya tampak sekali kalau pemuda sebaya Andika itu sudah siap tarung.
"Kau...," sungut Andika. "Jangan halangi jalanku!" "Antarkan kami memasuki Lembah Kutukan. Setelah itu, barulah kau akan bebas!" Andika melotot.
"Apa ibumu lupa membersihkan telingamu waktu kau kecil?" tanya Andika sambil menggeleng-geleng.
Pendekar Slebor lantas maju satu tindak, sambil memajukan wajahnya. Telapak tangannya ditegakkan di samping mulut. Lalu....
"Aku tidak mau mengantar kalian ke tempat itu!" teriak Andika. Pendekar muda yang sulit ditebak itu lantas hendak melangkah lagi.
"Kau terlalu memaksa, Pendekar Slebor. Hih!" Mendadak saja, Tendangan Bayangan Seribu menjegal langkah Pendekar Slebor. Kakinya membabat menyamping ke arah leher. Cepatnya seperti sapuan kilat.
Wukh! Namun Andika bukan bocah buduk. Jangankan tendangan kilat. Kilat sebenarnya saja sudah pernah di-hadapinya, sewaktu di Lembah Kutukan, tempat yang membuatnya kapok itu. Dengan sekali beringsut ke bawah, tendangan itu sudah berhasil dihindari.
"Menurutmu, aku yang terlalu memaksa atau kalian?" tanya Pendekar Slebor masih dalam keadaan ber-jongkok.
"Keparat!" Wukh, wukh! Seruntun tendangan pemuda berbaju kumal mencecar Pendekar Slebor. Dengan tangan di belakang tubuh, Andika berkelit ringan kian-kemari. Sementara itu, mulutnya terus mengoceh.
"Tendangan mu sudah bagus. Tapi kalau kau beri tekanan sedikit pada kuda-kudamu, pasti akan lebih bagus," puji Pendekar Slebor, namun seperti mendikte ketika suatu kali lawan menghentakkan kaki ke arah kepalanya. Dari bertahannya, Pendekar Slebor menggebrak.
Kakinya bergerak cepat, menandingi kecepatan kaki andalan Tendangan Bayangan Seribu. Hasilnya....
Desss...! Brukkk! Tendangan Bayangan Seribu ambruk. Sebelah kaki pertahanannya berhasil disapu Andika. Keseimbangannya jadi hilang. Dan mulutnya hanya mendesis geram.
"Tuh.... Ku bilang juga apa...," kata Pendekar Slebor santai.
"Keparat!" Tendangan Bayangan Seribu mengkelap. Dia merasa benar-benar dilecehkan. Cepat-cepat pemuda kumal ini bangkit. Hendak di genjotnya jurus-jurus andalan.
Maka, jurus-jurus berbahaya yang dipergunakan Tendangan Bayangan Seribu untuk menggempur Raja Arak pun mengalir deras di sekujur tubuhnya. Kembangannya dimainkan teramat cepat dan lincah.
Sementara Andika sempat kagum juga melihatnya.
Tentu tak akan mudah untuk menghadapi jurus semacam itu.

Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heeeaaa!" Tendangan Bayangan Seribu menghambur lagi. Kedahsyatan serangannya sudah berlipat ganda dari semula. Sepasang kakinya berubah menjadi senjata maut.
Setiap kibasan, bisa menghancurkan batuan sungai! Serangan baru pemuda itu dilakukan dengan melepas tendangan ganda ke beberapa bagian tubuh lawan yang mematikan. Untuk serangan itu, tentu saja cukup menyulitkan Pendekar Slebor. Jika satu titik tubuhnya bisa diselamatkan, maka titik lain akan terancam dalam selang waktu sedemikian sempit.
Namun, perhitungan Tendangan Bayangan Seribu masih terlalu mentah. Salah satu kemampuan Pendekar Slebor yang justru dikagumi dunia persilatan adalah kecepatan bergeraknya yang menakjubkan. Banyak yang membanding-bandingkan kecepatannya den- gan kecepatan dedemit telat buang air! Kalau musuh lain mungkin menghindar sekaligus membuang diri sejauh-jauhnya dari jarak jangkauan kaki Tendangan Bayangan Seribu. Maka Pendekar Slebor malah sengaja diam di tempat. Hanya tangan dan kakinya yang berkelebatan ngabur. Andika tak mengeluarkan jurus apa-apa. Tidak juga jurus sakti yang tercipta di Lembah Kutukan.
Yang dilakukan hanya memusatkan ingatannya pada saat dia sungsal-sumbel menyelamatkan diri dari gempuran lidah petir di Lembah Kutukan. Dan itu menghasilkan jurus dadakan yang ganjil sama sekali. Kaki dan tangannya seperti hendak kusut saat itu juga. Tapi anehnya, tak ada satu pun tendangan kilat lawan yang berhasil menembus! Sebelum kekalapan Tendangan Bayangan Seribu terlampiaskan, lelaki seperti Bima di atas wuwungan ber-suit nyaring! Wajah pemuda kalap tadi menjadi ketat. Giginya bergemeretuk. Suitan tadi isyarat dari kawannya untuk pergi dari tempat ini secepatnya. Padahal, darahnya sudah sampai ke ubun-ubun.
Terpaksa akhirnya Tendangan Bayangan Seribu menyingkir juga dari tempat itu. Pergi, sebelum keingi-nannya terpenuhi.

***

*** 6 ***

Apa yang menyebabkan dua lelaki bejat tadi menyingkir" Pendekar Slebor baru menyadari setelah datang tiga orang dari arah berbeda.
Dua orang datang bersama-sama. Mereka tak lain Bidadari Cakram Terbang dan si Raja Arak. Tubuh mereka masih limbung akibat luka dalam. Darah di pakaian sudah mengering. Tampaknya selama Andika berurusan dengan dua lelaki tadi, mereka berusaha mengatasi luka dalam masing-masing.
Seorang lagi dari arah berbeda belum lagi diketahui.
Tapi kelihatannya adalah lelaki uzur. Itu terlihat dari rambut panjang berbalut kain putih dan jenggot yang telah memutih rata. Pakaiannya seperti jubah biksu.
Hanya warnanya coklat, sudah agak kusam.
"Kau yang berjuluk Pendekar Slebor, Anak Muda?" sapa orang tua berjubah biksu.
Sementara Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak pun mengajukan pertanyaan sama.
Andika melirik sebentar.
"Mimpi apa aku semalam" Kenapa hari ini tiba-tiba saja banyak orang yang mencariku" Apa ada tengkulak kolang-kaling yang mengaku-aku dengan julukanku" Slompret sekali!" gumam Andika.
"Anak muda! Apa kau Pendekar Slebor?" ulang orang tua berjubah biksu.
"Ya ya ya...," sahut Andika akhirnya, ogah-ogahan.
"Bagus!" "Bagus apanya?" gerutu Andika, sebal. Kalau terus begini, Andika merasa jadi tak leluasa bergerak. Ke sana sulit. Ke sini sulit.
"Perkenalkan.... Aku Kaki Angin Barat!" lanjut orang tua berjubah biksu.
Raja Arak yang baru tiba pun terkejut. "Kau Kaki Angin Barat" Ki Mahesa" Guru Tendangan Bayangan Seribu?" tanya lelaki buncit itu beruntun seperti tak percaya.
"Ya, Saudara. Kau ini siapa?" Kaki Angin Barat atau Ki Mahesa balik bertanya.
"Ah! Aku bukan siapa-siapa. Yang jelas, aku hanya orang persilatan yang merasa mendapatkan kehormatan biasa berjumpa dengan dua tokoh besar sekaligus. Kau, Ki Mahesa. Dan Saudara Pendekar Slebor...." Andika sekarang melirik Raja Arak. Bisa-bisanya dia memuji, sungut Andika membatin.
"Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?" tanya Andika dengan keingintahuan yang sudah sejak tadi membludak. Maka begitu ada kesempatan untuk bertanya pada orang yang sedikit lebih bersahabat, langsung di-lakoninya.
"Biar aku jelaskan, Saudara Andika." sela Bidadari Cakram Terbang.
"Kau siapa?" Andika menemukan wajah manis wanita itu. Sikapnya dijamin berubah sempurna. Dari wajah jengkel, sekarang sarat dengan senyum ramah. Memang begitu adatnya!
"Panggil aku Kemuning," jawab Bidadari Cakram Terbang, menyebutkan nama aslinya.
"Nama bagus. Di mana tinggalmu" Kalau boleh, aku bisa mengantarmu pulang. Kausudah punya suami" Kuharap belum, ya?" cerocos Andika, mulai ngelantur.
"Maaf, Saudara. Kita tidak ada waktu untuk bergu-rau," tepis Kemuning tegas.
"Wah! Bisa galak juga rupanya!" gumam Andika di hati.
"Akulah yang telah mengundang Saudara ke tempat ini," aku Kemuning.
"Mmm.... Kukira dua manusia slompret tadi. Apa maksudmu mengundangku?" Andika mulai bersungguh-sungguh.
"Berkaitan dengan Lembah Kutukan."
"Itu lagi...," sungut Andika.
"Sial! Kenapa dengan tempat itu sebenarnya?"
"Sebelum kuberitahu, sebaiknya aku memperkenalkan diri."
"Sudah tadi."
"Maksudku asal-usulku."
"Aku tak begitu berminat. Bagaimana kalau soal tempat tinggalmu?" Kemuning menarik napas. Benar juga desas-desus yang didengarnya dari banyak sumber. Pendekar satu ini memang urakan. Saking urakannya. Hatinya jadi dibuat mangkel.
"Saudara Pendekar, Nona ini ingin bicara sungguh-sungguh," sela Raja Arak, memohon.
"Silakan. Apa aku melarangnya?" tukas Andika, cengar-cengir.
"Aku sebenarnya masih mempunyai ikatan persaudaraan denganmu," lanjut Kemuning.
"Apa"!" Andika terlonjak. Matanya berbinar. Rezeki besar menimpanya! Tak disangka kalau dirinya masih mempunyai saudara seelok Kemuning.
"Ayahku adalah cucu kemenakan Ki Saptacakra, Pendekar Lembah Kutukan." Andika terus mengamati wajah halus Kemuning.
Dia masih belum percaya.
"Kenapa orang tua sableng itu tak mengatakan kalau memiliki cicit kemenakan sebagus ini," gumam Pendekar Slebor menyumpahi Ki Saptacakra, buyutnya sendiri.
"Saudara Andika...," tegur Kemuning ketika Andika terus saja mendeliki wajahnya.
"Ya. Itu namaku," gumam Andika.
"Ehem!" Raja Arak terpaksa berdehem kencang-kencang.
Kalau tidak dibegitukan, Andika bisa terus terbengong-bengong.
"Oh, iya. Apa kau bilang tadi?"
"Aku cicit kemenakan Ki Saptacakra."
"Yang itu aku sudah dengar. Soal Lembah Kutukan tadi. Apa maksudmu" Kau tak ingin aku mengantar memasuki tempat itu juga, bukan?" Kemuning menggeleng.
"Bagus!" Andika lega. Memang, hatinya selalu ngeri membayangkan keadaan di Lembah Kutukan.
"Aku tak ingin kau mengantarku ke Lembah Kutukan. Aku ingin, kau ikut denganku ke dalam sana," tambah Kemuning, memberi tekanan.
Andika mendeliki Kemuning lagi. Kenapa mulai banyak orang yang bosan hidup" Sayang kalau perempuan sebagus dia mau cari mati di sana. Andika jadi berkasak-kusuk dalam hati.
"Saudara Andika. Cerita ku belum selesai. Kemuning meneruskan penuturan. Kakek Kemuning, kemenakan langsung Ki Saptacakra, menerima amanat dari tokoh yang sudah menjadi cerita rakyat itu berupa peti tua terkunci. Peti itu hanya boleh dibuka, jika sudah ada salah seorang dari keturunan Ki Saptacakra mewarisi kesaktiannya.
Sewaktu Ki Lantanggeni yang merupakan kakek Andika mewarisi kesaktian tersebut, peti itu urung dibuka. Letusan gunung merapi telah mengubur kotak itu. Sampai akhirnya, kakek Kemuning memerintah murid-muridnya untuk mencari.
Menjelang masa pencarian ke empat puluh tahun, kotak itu baru bisa ditemukan kembali. Namun kakek Kemuning sudah tak ada umur. Seperti juga Ki Lantanggeni, dari sang kakek peti kecil tua itu di wariskan kepada sang anak.
Sampai akhirnya Kemuning pun me-nerimanya.
Beberapa waktu lalu sesuai pesan mendiang ayahnya, Kemuning memberanikan diri untuk membuka peti tersebut. Ternyata di dalamnya hanya ditemukan selembar kulit binatang bergambar peta.
Semula, Kemuning tak mengerti. Namun setelah beberapa lama meneliti, didapat jawaban kalau peta itu adalah petunjuk menuju tempat penyimpanan benda-benda berharga milik Ki Saptacakra. Dari sandi berupa gambar dalam peta, bisa diketahui kalau di samping harta berlimpah, di Lembah Kutukan juga tersimpan senjata-senjata pusaka hasil rampasan Ki Saptacakra, dari musuh-musuh yang dikalahkannya. Setelah mengasingkan diri sekian lama, Kemuning memutuskan untuk menjumpai Andika, sebagai salah seorang pewaris kesaktian keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Dengan mengutus seorang utusan, Kemuning mencoba menemui Andika. Pemuda itu hendak diajaknya untuk mengambil seluruh benda berharga yang kini menjadi milik keturunan Ki Saptacakra.
"Aku sudah tahu kalau di sana ada harta berlimpah. Berpeti-peti. Aku memang pernah ke sana," ucap Andika, menanggapi cerita Kemuning.
"Karena itu aku ingin meminta tolong padamu untuk menyertaiku ke sana."
"Aku tidak mau. Dan tidak akan mau!" tegas Andika. Bukan masalah kepala batu Pendekar Slebor saja yang membuatnya bersikeras. Yang jelas, dia tak sudi dihujani lidah petir. Tak sudi berhari-hari mencari jalan keluar. Tak sudi hanya makan buah aneh yang hanya tumbuh di sana. Dan tak ketidaksudian lain berjejer di kepalanya.
"Bukannya aku takut." tukas Andika ngibul.
"Lagi pula apa hidup harus dengan harta berlimpah" Jalan hidupku adalah jalan ksatria. Hidup seadanya sudah lebih dari cukup. Banyak harta, tak selalu membuat seseorang lebih baik...." Kemuning melirik Raja Arak. Di dunia persilatan, Raja Arak adalah raja kebijakan kalau pikirannya sedang benar. Tapi mendengar kalimat arif yang begitu enteng mengalir dari mulut pemuda itu, mau tak mau Raja Arak jadi memuji dalam hati.
"Ini bukan masalah harta, Andika," Kemuning mencoba menjelaskan.
"Sudah kubilang, ini soal senjata-senjata pusaka yang berbahaya bila jatuh di tangan orang keliru."
"Aku tetap tidak mau," tandas Andika. Dasar kepala batu!

******

Hari makin beranjak. Siang makin kehilangan kekuatan. Sore turun sebentar lagi. Di sapuan warna langit yang sedikit menguning, dua sosok tubuh menghadang jalan Tendangan Bayangan Seribu dan kawannya.
"Berhenti kalian!" bentak salah satu sosok.
Tendangan Bayangan Seribu dan kawannya berhenti. Bukan hendak menuruti bentakan suara kasar tadi, melainkan hanya ingin tahu siapa orang yang lancang terhadap mereka.
Di depan mereka berdiri seorang lelaki berwajah tikus dan perempuan berambut pendek yang terlihat pula sebelumnya di muka kedai. Agaknya lelaki dan perempuan itu telah sepakat untuk bekerja sama merebut peta harta Lembah Kutukan dari tangan dua orang yang dihadang.
"Serahkan peta harta Lembah Kutukan itu pada kami!" Dua lelaki yang dihadang mendengus.
"Kalian kira siapa diri kalian'"! Berani benar kalian menghadang perjalananku?" geram lelaki seperti Bima.
Wajahnya cepat terbakar. Merah penat.
"Nama besarmu tak akan membuat nyali ku menciut, Dewa Pencuri Ilmu!" tegas lelaki berwajah tikus, seperti menantang.
"Aku Kera Bukit Tengkorak tak akan mundur menghadapimu!"
"Rupanya kau yang berjuluk Kera Bukit Tengkorak itu?" kata lelaki tinggi besar yang ternyata dikenal sebagai Dewa Pencuri Ilmu, meremehkan.
Di dunia persilatan, Dewa Pencuri Ilmu dikenal dari golongan hitam. Julukan yang disematkan, karena kebiasaannya mencuri ilmu dari satu perguruan besar ke perguruan besar lain, dari satu orang ke orang lain.
Sementara, pemuda yang mengaku Tendangan Bayangan Seribu tak lebih dari muridnya. Pemuda itu mencoba mengaku-aku sebagai salah seorang tokoh disegani yang berjuluk Tendangan Bayangan Seribu, karena telah berhasil mencuri jurus inti 'Tendangan Bayangan'.
"Dan kau perempuan buruk. Aku kenal kau. Si Hantu Tongkat Pendek, bukan" Hm.... Aku tau, kalian hendak bersekongkol merebut peta harta Lembah Kutukan dari tanganku?" Dewa Pencuri Ilmu terbahak pendek. Sebentar kemudian, wajahnya tegang kembali.
"Kalian hanya mimpi!" dengusnya, lantang.
"Kalau begitu, kami akan memaksamu menyerahkannya pada kami! Heaaa...!"

***

*** 7 ***

Hari terpuruk makin lelah. Dalam kepayahan matahari senja yang melempar sinarnya dari hadangan pelipis bumi barat, pertarungan antara Dewa Pencuri Ilmu dan muridnya melawan Kera Bukit Tengkorak dan Han- tu Tongkat Pendek mulai mendekati puncak.
Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek jelas-jelas bukan tandingan kedua lawannya. Jangankan menghadapi guru dan murid itu sekaligus, menghadapi Dewa Pencuri Ilmu sendiri saja, mungkin mereka masih sulit menang.
Di gelanggang dunia persilatan, Dewa Pencuri Ilmu memang berada beberapa tingkat di atas Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek. Menyadari hal itu, maka Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek mengadakan kesepakatan di kedai untuk bersekongkol. Apalagi ketika mereka menyaksikan, bagaimana Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak dapat dilukai begitu saja oleh Dewa Pencuri Ilmu dalam sekali gebrak! Satu hal yang terlupakan, bahwa Dewa Pencuri Ilmu bukan hanya unggul dalam kedigdayaan, tapi juga unggul dalam pengalaman. Dewa Pencuri Ilmu lebih tua satu angkatan ketimbang mereka. Memang, wajah dan penampilannya tak mengundang dugaan orang kalau usianya sudah cukup lanjut.
Hanya karena nafsu keserakahan, memungkinkan Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek menjadi mata gelap. Ada ibarat yang tepat untuk itu. Semut di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk mata tak disadari. Dan kealpaan mereka membawa akibat yang harus diterima.
Weshhh! Degh! "Aaa...!" Satu sambaran berkecepatan angin melabrak Hantu Tongkat Pendek. Senjatanya kalah cepat dibanding tandukan bahu Dewa Pencuri Ilmu ke bagian buah dadanya. Tubuh perempuan berambut cepak itu terlempar disertai jeritan kesakitan. Buah dadanya mungkin hancur, sekaligus bagian tubuh dalamnya. Dewa Pencuri Ilmu memang mempergunakan sebisa-bisanya seluruh anggota tubuh, untuk dijadikan senjata. Gerakannya memang mengagumkan. Dengan kemampuan seperti itu, dia mampu menggunakannya untuk mencuri jurusjurus sakti. Maka tak heran bila jurus-jurusnya jadi campur aduk. Hantu Tongkat Pendek tergeletak berlumur darah.
Wanita buruk itu mati seketika, selang sekejap dari jeritan menyayatnya.
Kini tinggallah Kera Bukit Tengkorak seorang diri.
Meski masih dibakar nafsu menguasai peta harta Lembah Kutukan, otaknya masih bisa menyadari kalau keadaan sudah tak menguntungkan lagi. Menghadapi Dewa Pencuri Ilmu sendiri saja sudah sulit. Apalagi harus menghadapi guru dan murid itu. Maka pikir punya pikir, begitu melihat Hantu Tongkat Pendek terkapar, lelaki berwajah tikus itu berbalik dan langsung melarikan diri. Lain hari, lain kesempatan, dia bisa membuat rencana lagi untuk mere- but benda berharga itu secepatnya. Kalau pun tidak, dia toh masih cukup waras untuk lebih mengutamakan nyawanya yang tak bisa dicari di kedai mana pun. seperti mencari kerupuk! Tuntas satu masalah lagi, membuat Dewa Pencuri Ilmu dan muridnya lega. Mereka bisa secepatnya menyingkir sementara. Akan mereka cari tempat tersembunyi yang mungkin tak akan ditemukan seorang pun. Kalau nanti sudah mendapat rencana baru, mereka bisa langsung bergerak. Semula untuk mempercepat mendapatkan seluruh benda berharga di Lembah Kutukan, mereka mencoba memaksa Pendekar Slebor untuk menjadi petunjuk jalan. Dari mencuri berita di beberapa tempat, murid Tendangan Bayangan Seribu mengetahui Andika diundang seseorang ke suatu tempat.
Karenanya, guru dan murid itu segera mendatangi Andika di tempat gubuk perjudian reot berdiri. Sesungguhnya, bukan hal main-main jika seorang dari dunia persilatan mencoba menantang Pendekar Slebor. Setidaknya, orang itu harus memiliki bekal kesaktian tingkat tinggi. Hanya dengan itu bisa di-dapat kesempatan untuk mengalahkan kesaktian si anak muda pewaris il-mu Pendekar Lembah Kutukan. Dan Dewa Pencuri Ilmu merasa memiliki syarat untuk itu.
Namun, karena kini Pendekar Slebor tak sendiri lagi, mereka akhirnya memutuskan untuk menyusun rencana lain. Jika seluruh rencana terlaksana, mungkin pencurian kali ini akan menjadi pencurian paling besar sepanjang hidup mereka.
Bagaimana tidak" Di samping nanti akan mendapatkan limpahan emas permata, mereka pun akan memiliki sekian senjata pusaka. Bahkan tak mustahil pula kitab-kitab kuno sakti! Mereka sudah membangun seluruh mimpi dalam benak.
"Ayo kita segera pergi dari tempat ini!" ujar Dewa Pencuri Ilmu pada sang murid.

******

"Tak semudah itu mereka lari dari tuntutan ku! Mereka telah menganiaya muridku.
Tendangan Bayangan Seribu. Bahkan mencuri pula jurus-jurus inti 'Tendangan Bayangan' ku. Padahal muridku saja, belum pernah kuajarkan! Sekarang, pemuda itu telah berani pula memakainya untuk kepentingan perut sendiri!" desis Ki Mahesa menggertak gigi. Orang tua yang tergolong sesepuh persilatan itu baru saja selesai menuturkan maksudnya turun gunung.
"Jadi kau bukan eyang guru dari pemuda yang mengaku-aku sebagai Tendangan Bayangan Seribu?" Raja Arak melengak. Sama sekali dugaannya meleset.
"Bagaimana dengan nasib muridmu, Tendangan Bayangan Seribu yang asli?" susul Raja Arak.
"Mali sepekan lalu, setelah cukup lama menderita dalam sekaratnya...." Wajah Raja Arak menjadi mendung. Dia ikut prihatin mengingat nasib Tendangan Bayangan Seribu yang dikenalnya adalah ksatria sejati.
"Bukan salah Tuhan mengatur kehidupan," kata Raja Arak lirih.
"Banyak orang baik harus pulang ke pangkuan-Nya lebih dahulu. Itu semata, Dia menga-sihi mereka.
Mungkin Dia tak ingin mereka lebih lama hidup tersiksa di dunia yang begitu kotor ini. Bukankah dunia semata penjara bagi orang-orang baik seperti mereka?" Andika yang mendengar ucapan mendalam lelaki buncit itu menjadi tersentuh. Bahkan untuk seorang tua seperti Ki Mahesa sekalipun. Pantas saja Raja Arak mendapat sebutan terhormat sebagai raja kebijakan.
Walau dia sendiri sampai mati tak akan mengakuinya.
"Ah! Aku jadi malu padamu, Raja Arak...," kata Ki Mahesa. Ledakan-ledakan ucapannya tak ada lagi. Suaranya kini melandai.
"Kenapa, Ki?"
"Kau jadi menyadarkan aku. Mestinya aku tahu kalau semua ini kehendak Gusti.... Aku yang sudah hampir masuk liang kubur mestinya tak mengikuti dendam ku."
"Tak mengapa, Ki. Setua-tuanya manusia, tak menjamin luput dari kekhilafan," hibur Raja Arak.
Kalau tak sedang mabuk. lelaki buncit ini bisa berpikir seperti seorang paderi.
"Kalau begitu, sebaiknya aku kembali ke tempat pengasingan ku," putus Ki Mahesa.
"Lalu, bagaimana dengan tanggungjawab mereka terhadap kejahatan pada muridmu, Orang Tua?" sela Andika.
Sebagai anak muda yang darahnya masih penuh gejolak, Pendekar Slebor tak setuju dengan pengunduran diri Ki Mahesa.
Ki Mahesa tertawa kecil.
"Bagaimana kalau aku minta tolong padamu untuk menuntut tanggungjawab mereka"!" Andika melengak. Bibirnya memancung.
"Terima kasih..., terima kasih, Orang Tua. Urusan perempuan satu ini saja belum lagi terurus," tampik Andika, seraya menuding Kemuning seenaknya.
"Ah! Aku sering mendengar sifatmu dari banyak orang. Aku tahu kau pasti akan menerima!" tandas Ki Mahesa.
Wajah Andika semrawut.
"Aku pamit dulu, kalau begitu," ucap Ki Mahesa seraya beranjak.
"Orang Tua, tunggu dulu!" cegah Andika.
Tapi lelaki tua itu sudah menghilang di balik lebatnya pepohonan.
"Sialan...," gerutu Andika.
"Jadi, bagaimana tindakan kita selanjutnya, Andi-ka" Peta itu telah berada di tangan Dewa Pencuri Ilmu dan muridnya," Kemuning mulai angkat bicara lagi.
"Apa kau bilang"! Apa aku tak salah dengar" Jadi peta itu telah direbut dua kecoa busuk itu?" sembur Andika.
Memang baru sekarang Kemuning mengatakan kalau peta amanat Ki Saptacakra telah tak ada lagi di tangannya.
"Itu sebabnya...."
"Itu sebabnya apa"!" Andika sewot.
"Benda itu bukan hanya berharga. Tapi, juga bisa sangat berbahaya jika dimanfaatkan manusia busuk semacam mereka!"
"Maafkan aku, Andika!"
"Ah!" Andika berbalik. Pandangannya dibuang jauhjauh. Entah bagaimana parasnya saat sedang dilanda kegusaran memuncak seperti itu.
Kemuning tertunduk. Amat dalam. Matanya agak digenangi garis bening.

******

Malam mulai menyelimuti. Kegelapan merayap lamat. Dingin sekali udara saat ini. Karena hari gelap, Andika, Raja Arak, dan Bidadari Cakram Terbang memutuskan untuk meneruskan pengejaran esok hari nya.
Andika membuat api unggun untuk sekadar mengenyahkan rasa dingin yang merasuk tulang. Sudah cukup lama lidah api menari-nari menjilat kayu bakar yang sebagian sudah menjadi arang.
Kemuning menyendiri di dekat sebatang pohon tua tumbang. Tangannya terlipat di dada. Pakaian jingga tuanya tak cukup hangat.
Sejak Andika membentaknya tadi siang, dia terus diam. Tak bicara sepatah pun. Wajahnya dikepung kemurungan. Andika duduk dekat Raja Arak. Ditatapinya jilatan api yang mencoba menggapai langit, tapi tak bakal mampu. Pikirannya melanglang entah ke mana. Hatinya begitu khawatir dengan peta rahasia di tangan Dewa Pencuri Ilmu dan muridnya. Memang, salah satu yang paling ditakuti seorang berjiwa ksatria adalah keterlam-batan untuk mencegah sebentuk kezaliman.
Sementara lelaki buncit di dekat Pendekar Slebor tak suka diam seperti itu. Dia lebih suka menenggak arak yang dibawanya dalam guci logam besar. Hampir setengah isi guci telah masuk ke perutnya. Sampai sejauh itu, tak kelihatan kalau dia mabuk.
Andika mengalihkan pandangan ke arah Kemuning. Tampak perempuan itu duduk termenung. Lama menatap kemurungannya, Andika jadi merasa kasihan.
Anak muda itu tahu, sikap Kemuning pasti berkaitan dengan kemarahannya siang tadi. Dia jadi merasa bersalah. Maka didekatinya Kemuning. Lalu duduk di atas batang pohon tumbang tepat di sampingnya.
"Maafkan kekasaran ku tadi siang, Kemuning," ucap Andika perlahan.
Dengan mata terus mengamati gerak liar jilatan api unggun, Kemuning mendesah "Kau benar, Andika. Aku memang pantas diperlakukan seperti itu. Kalau mereka berhasil sampai di Lembah Kutukan dan mendapatkan seluruh pusaka keramat di sana, tentu banyak orang akan terancam bahaya," tutur Kemuning.
"Tapi aku tetap menyesal telah berlaku kasar."
"Ya, aku mengerti."
"Kau mau memaafkan ku?" pinta Andika. Ditatapnya perempuan manis yang kian memikat dalam permainan cahaya redup api unggun.
Kemuning mengangguk lamat.
Andika tersenyum. Dilepasnya kain dari bahu.
Diselimutinya tubuh Kemuning dengan kainnya.
"Tidurlah," ujar Andika lagi.
"Besok pagi-pagi sekali kita akan mencari Dewa Pencuri Ilmu dan muridnya"

***

*** 8 ***

Tengah malam. Andika sudah terkantuk-kantuk. Sementara Kemuning tertidur berselimut kain pusaka bercorak catur.
Sedangkan Raja Arak pun tak beda. Rupanya setelah puas menenggak seluruh isi guci besarnya, barulah kepalanya memberat. Dia tertidur dengan dengkurannya yang melata ke mana-mana.
Pada saat sudah merasa tak sanggup lagi menguasai serangan kantuk, Andika segera memperbaiki sikap duduknya. Dia bersila.
Matanya dipejamkan. Bukan untuk tidur, melainkan bersemadi. Dalam keadaan seperti ini, Pendekar Slebor memang tak mau tertidur. Kalau itu sampai terjadi, berarti akan ada kelengahan. Sebab, na-luri kependekaran pemuda itu merasa akan ada sesuatu terjadi malam ini.
Udara kian dingin. Malam semakin matang. Tepat ketika kabut mulai menyatroni tempat mereka, telinga Pendekar Slebor menangkap gerakan mencurigakan dari arah belukar lebat. Seketika kelopak matanya membuka siaga. Kantuknya terberantas cepat. Mata yang semula berat bagai diganduli batu, kini berkeliaran nyalang. Arah suara mencurigakan menjadi pusat perhatian utamanya. Mendadak....
Srak! Suara baru tertangkap telinga Pendekar Slebor. Suara yang tipis berdesing mengikuti bunyi semak barusan. Andika cukup hapal dengan bunyi semacam itu.
Seperti suara yang dihasilkan kelebatan logam tipis dan tajam.
Sekali bergerak saja, pendekar muda itu sudah berdiri. Langsung disambarnya ranting pohon kering, dan segera disapukan dalam gerakan kilat.
Wukh! Trang! Selanjutnya, terdengar makian jengkel seseorang di balik semak yang dicurigai Pendekar Slebor.
Andika tak ingin membiarkan pembokong itu buron begitu saja. Tapi, tanpa harus mengejar pun orang itu keluar juga. Bukan untuk menyerahkan diri. Malah lebih tepat jika disebut ingin melakukan serangan susulan.
"Heaaa!" Sosok kekar menyeruak dari semak-semak. Tubuhnya melayang deras menuju Pendekar Slebor di udara. Kakinya mengejang lurus ke depan. Mata jeli pendekar urakan ini mengenal tendangan semacam itu sebelumnya. Bahaya mengancam seperti itu tak bisa didiamkan.
Andika cepat menangkis. Plak! Tendangan pertama dapat dimentahkan Andika. Namun secepatnya kaki penyerang gelap itu membangun satu sentakan baru dengan selang waktu yang demikian cepat. Dash! "Aaakh...!" Keadaan yang tak menguntungkan di udara, juga serangan tak terduga, membuat Andika kecolongan. Dadanya telak terhantam telapak kaki si penyerang. Kalau melihat bagaimana tubuhnya terpental deras ke belakang disertai keluhan tertahan, bisa dibayangkan ba- gaimana sesaknya dada anak muda itu. Nafasnya sejenak seperti terhenti. Meski tubuhnya sudah jatuh ber-gulingan di tanah, rasa sesak itu terus mengunci perna-pasannya.
Dalam keadaan seperti itu, si anak muda kepala batu dan berhati baja tak mau menyerah begitu saja. Tak dipedulikannya rasa sesak masih meruyak. Dia bersikeras bangkit. Diusahakannya menyentak tubuh, agar bisa berdiri. Tak sampai tubuh Pendekar Slebor tegak, hantaman kaki tiba kembali di tubuhnya.
Degh! "Ughhh...!" Tetap di tempat yang sama, tendangan lawan menghajar dada anak muda itu kembali. Tentu saja sesaknya kian menjadi. Rasanya, dadanya mau hancur saat itu juga. Tulang rusuknya terasa terlepasan.
Untuk semua itu, Andika kembali dipaksa mengerang tertahan. Andika ambruk lagi. Tendangan susulan tadi sama kuatnya dengan yang pertama. Itu pula sebabnya tubuh si pendekar muda dari Lembah Kutukan ini terjengkang hebat lagi ke belakang.
Dengan bersandar pada sebatang pohon, Pendekar Slebor berusaha bangkit. Untuk yang kedua kalinya.
"Heaaa!" Sementara tendangan secepat bayangan hantu terus memburu Andika. Cepat dan buas.
Dighh...! Rahang kekar Pendekar Slebor berderak terhajar.
Bagian itu sebenarnya bagian yang paling rawan untuk kesadaran si pemuda.
Persendian tulang rahang amat dekat dengan pusat kesadaran di belakang kepala. Pendekar Slebor mungkin bisa langsung tak sadarkan diri mendapat hantaman keras barusan.
Namun Pendekar Slebor tetap Pendekar Slebor. Dia adalah sosok pribadi yang dibentuk oleh kerasnya kehidupan kotapraja. Selaku bocah gelandangan dulu, rasa sakit adalah santapan kesehariannya. Dan kekerasan itu justru kini membentuk kekerasan dalam kehendaknya. Semestinya, pemuda itu sudah tak sadarkan diri. Namun karena tekad untuk menyelamatkan nyawa begitu membaja, Andika mati-matian bertahan. Matanya berkunang-kunang. Perutnya seperti diaduk-aduk ratusan tangan makhluk halus. Matanya hampir tak bisa melihat sama sekali. Gelap. Yang ada di matanya hanya gelap. Tapi, dia tetap berusaha bertahan untuk tidak kehilangan kesadaran.
"Hih!" Dagh! Des! Beberapa kali hajaran susulan mengganyang tubuh Pendekar Slebor. Benteng kesadarannya makin rapuh.
Kalau tokoh berkepandaian rendah, mungkin sudah tak sadarkan diri sejak tadi. Tapi, sekali lagi, Andika tetap-lah Andika. Dia tetap bertahan! Sampai suatu saat, meruyaklah kemarahan dari dasar hati anak muda itu. Tubuhnya tak bisa dibiarkan terus dijadikan bulanbulanan. Lawan pun tak bisa dibiarkan seenaknya menggebuki. Andika bukan benda mati. Dia harus melawan, dan harus bisa.
Kemurkaan pun meledak, menerabas deras ke ubun-ubun Pendekar Slebor. Saat-saat seperti itu segenap kekuatan sakti warisan buyutnya yang berjuluk Pendekar Lembah Kutukan terbangkit serentak. Semuanya terpusat dalam amukan gelombang kemarahan tak terhingga pemuda berpakaian hijau itu.
"Huaaa!" Dari tenggorokan Pendekar Slebor, teriakan melengking menerabas dinginnya udara malam. Urat-urat lehernya menggelembung. Juga urat-urat di sekujur tubuhnya. Otot-ototnya meregang tegang, setegang kawat baja terentang! Saat-saat selanjutnya, pancaran cahaya putih keperakan telah menyelubungi tubuh Pendekar Slebor. Putih keperakan seakan ada kabut berserat menjerat dirinya.
Itulah pembentukan benteng tembus padang akibat terpusatnya segenap kekuatan langka warisan Pendekar Lembah Kutukan! Benteng itu tanpa disadari membentuk, siap melindungi tubuh pemiliknya dari terjangan seratus banteng, hantaman ombak setinggi gunung, bahkan serempetan lidah petir sekalipun! Adalah kesalahan besar bagi siapa pun lawannya untuk melakukan serangan pada kala itu. Cahaya putih keperakan itu bukan sekadar membangun benteng teramat kokoh, melainkan juga merupakan pusaran tenaga dalam tak terukur. Bahkan dapat mencederai dalam sekedip mata manusia berotot kawat bertulang baja sekalipun.
Dan nyatanya, kesalahan itu dibuat oleh sosok penyerang. Nafsu terlalu menghasutnya untuk mempermak Pendekar Slebor. Tak dihiraukannya keganjilan yang meliputi lawan, sosok itu pun menerjang.
"Hiahhh!" Blappp! Letupan suara seperti mercon besar yang luput meledak karena lembab terdengar meruyaki udara, tepat saat kaki penyerang gelap menyentuh dinding cahaya putih keperakan Pendekar Slebor.
"Akh!" Hanya teriakan pendek yang terdengar dari mulut si penyerang. Tubuhnya terlalu kencang terlempar ke belakang untuk bisa berteriak panjang. Dan usianya pun terlalu singkat untuk memperdengarkan keluhan.
Begitu jatuh tersangkut di satu batang pohon besar dia langsung mati dengan tulang tubuh hancur. Beberapa saat terlihat tangan dan kakinya menjuntai-juntai tanpa daya. Tak bedanya potongan tubuh seekor ular pohon besar. Ternyata lelaki itu adalah murid Dewa Pencuri Il-mu yang belum lama mengaku-aku sebagai Tendangan Bayangan Seribu. Pencuri yang telah membunuh Tendangan Bayangan Seribu, dan melarikan jurus-jurus inti 'Tendangan Bayangan' bersama gurunya, kini telah menemui ajal tak kalah mengenaskan dengan korbannya.
Di mana Dewa Pencuri Ilmu" Apakah si murid datang sendiri" Ataukah serangan tiba-tiba itu memang menjadi bagian dari rencana mereka"

******

"Andika.... Bangun, Andika...." Lamat-lamat kesadaran Andika beranjak kembali, ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara seseorang yang coba menyadarkannya. Dengan wajah terlipat dan tangan mendekap dada, Pendekar Slebor bangkit terbatuk-batuk. Hari belum berubah. Masih tetap malam.
Masih tetap dingin. Kabut terus saja menggerayang.
Andika mengerjap-ngerjapkan matanya. Pandangannya masih berkunang-kunang. Cukup berat pula baginya untuk memusatkan pandangan saat itu. Begitu pandangannya cukup lumayan tak ditemuinya seorang pun. Andika merasa semata karena penglihatannya belum pulih benar. Maka dia pun berusaha memusatkan pandangan kembali. Seluruh penjuru di liriknya. Namun orang yang menyadarkannya tak terlihat juga. Siapa dia" Bisik hati Andika penasaran.
"Hei siapa kau"!" seru Andika. Tak ada sahutan.
"Slompret! Ini pasti hanya karena pengaruh rasa sakit yang ku derita," simpul anak muda itu akhirnya.
Pendekar Slebor bergegas menggerakkan tubuhnya. Dia harus segera bangkit dan mencari tahu keadaan Kemuning serta Raja Arak.
Di sana, di tempat yang sama, si pendekar sakti hanya menemukan tubuh murid Dewa Pencuri Ilmu menggelantung di dahan pohon. Raja Arak maupun Bidadari Cakram Terbang sudah tak ada di tempatnya Api unggun masih terus menggeliat. Kayu bakar belum lagi menjadi arang. Itu berarti, keduanya menghilang belum lama. Di dekatnya, kain pusaka bercorak ca-turnya tergeletak. Tanpa Kemuning.
"Hai" Apa yang kau cari, Bocah Tolol!" Kembali suara yang membangunkan Andika belum lama, terdengar lagi. Andika bersiaga.
"Hei! Siapa kau"!" tanya Pendekar Slebor, membentak.
"Jangan pakai banyak tanya segala. Mulutmu cerewet seperti banci. Kau tunggu apa lagi" Mau mengharapkan peri hutan mengantarkan kopi buatmu"! Dasar bocah gendeng! Ayo, cepat cari cah ayu itu!" Andika terbengong-bengong. Sama sekali tak terlihat seorang pun di sana. Seperti juga sebelumnya. Kalau ucapan itu semacam suara yang dikirim dari jarak jauh dengan tenaga dalam, Andika pasti mengetahuinya. Ta-pi, ini aneh. Dia merasa mendengarnya tak melalui telinga lagi. Melainkan, langsung sampai di benaknya.
Andika mulai berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan mambang penguasa wilayah ini! Sampai.... Bletak! Mendadak kepala Pendekar Slebor seperti ada yang menjitaknya dari belakang. Andika sampai tersuruk beberapa tindak ke depan seperti bocah dungu kehilangan keseimbangan. Begitu menoleh, tak juga terlihat siapa pun.
"Apa kau minta yang lebih keras"! Kenapa masih berdiri di situ"! Ayo cepat cari Kemuning, Bocah Gendeng!" Andika tak mau ambil bahaya yang siap menjitaknya lagi. Dia cepat-cepat blingsatan dari tempat itu.

******

Mengejar seseorang tanpa jejak memang sama sulitnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Andi-ka tak mau lagi, siapa yang berbicara padanya secara membingungkan.
Yang dipikirkan hanya satu. Nasib Kemuning. Sehebat-hebatnya perempuan itu, sebesar-besarnya julukan Bidadari Cakram Terbang, dia tetap wanita. Andika merasa harus melindunginya. Soal Raja Arak, tak terlalu dipedulikannya. Kalau Kemuning selamat, baru giliran lelaki buncit pemabuk itu dicari.
Andika yakin. Yakin sekali kalau Kemuning diIarikan Dewa Pencuri Ilmu. Raja Arak telah cerita padanya tentang luka yang sebelumnya diderita akibat pukulan tak terduga Dewa Pencuri Ilmu. Dari situ, diyakini kalau Kemuning yang besar dengan julukan Bidadari Cakram Terbang bukan tandingan Dewa Pencuri Ilmu. Jadi, tak terlalu mustahil kalau Kemuning diperdayai saat Andika kewalahan menghadapi muridnya. Lalu, perempuan itu pun dilarikan.
Apa tujuannya" Niat busuk lama! Tentu saja perempuan itu akan dijadikan sebagai jaminan agar Andika mau mengantar ke Lembah Kutukan.
Masalahnya kini, ke arah mana Andika mencari Kemuning"

******

Di lain tempat pada waktu yang sama. Raja Arak sedang mati-matian menghadapi gempuran Dewa Pencuri Ilmu. Sewaktu murid Dewa Pencuri Ilmu melakukan gempuran gencar pada Pendekar Slebor, Dewa Pencuri Ilmu datang dengan gerakan tak terduga. Bidadari Cakram Terbang yang sedang terlelap tanpa menemui kesulitan ditotoknya.
Raja Arak tersentak mendengar teriakan. Nalurinya masih sempat menyadari bahaya. Sewaktu melihat Dewa Pencuri Ilmu membopong tubuh Kemuning, bergegas dia bangkit. Langsung diserangnya tokoh berperawakan seperti Bima itu.
Pertarungan terjadi.
Kebetulan sekali, saat itu pengaruh arak yang diminumnya masih begitu kuat. Saat mabuk berat seperti itu, tentu saja jurusjurusnya justru jadi lebih mantap.
Itu sebabnya untuk sekian lama Raja Arak mampu mengimbangi permainan jurus Dewa Pencuri Ilmu.
Dengan adanya tubuh Bidadari Cakram Terbang di bahu Dewa Pencuri Ilmu, Raja Arak memang bisa memetik keuntungan. Gerakan lawan jadi tak leluasa. Namun begitu, ada pula kesulitannya. Raja Arak jadi tak bisa sembarangan melancarkan serangan. Bisabisa malah Kemuning yang menjadi korban.
Pertarungan berjalan alot. Meskipun pada dasarnya kesaktian Raja Arak berada di bawah lawan, namun dengan keadaan seperti tadi dia masih bisa bertahan.
Seluruh jurus mabuknya mengalir lancar. Bagaimana tidak lancar, kalau semalaman itu saja satu guci besar arak telah di tenggaknya.
Dari tempat awal, pertarungan mereka merambat dan terus merambat. Hingga memasuki jurus ke sembilan puluh, keduanya sudah berada amat jauh dari tempat sebelumnya.
Baik Raja Arak maupun Dewa Pencuri Ilmu samasama sengit mengerahkan jurus masing-masing. Sementara lelaki seperti Bima itu terus saja mengeluarkan jurus demi jurus hasil curian. Gempurannya jadi begitu timpang tindih.
Di lain sisi, Raja Arak habis-habisan mengerahkan jurus-jurus andalannya. Semakin terlarut dalam memainkan jurus, gerakannya akan semakin kacau balau.
Sebentar tubuhnya limbung ke sana, sebentar limbung ke sini. Sebentar memukul, saat yang lain berguling.
Jadilah pertarungan itu seperti sabung jurus yang semrawut! Namun tetap memperlihatkan keganasan, kehebatan dan kekuatan keduanya.
Hingga suatu saat. Dewa Pencuri Ilmu merasa harus mengeluarkan satu jurus yang menurutnya bisa diandalkan, Jurus itu belum lama dipelajarinya dari kitab inti Tendangan Bayangan milik Ki Mahesa yang berhasil dicurinya.
"Mampuslah kau, Pemabuk!" dengus Dewa Pencu-ri Ilmu seraya melepas kembangan pembuka jurus inti 'Tendangan Bayangan'.
"Belum ada satu tokoh pun se-macammu yang bisa selamat dari jurus dan ajian inti 'Tendangan Bayangan'!" Kalau saja Raja Arak dalam keadaan sadar, tentu akan berpikir seratus kali untuk menghadapi jurus dan ajian yang disebutkan lawan. Jurus inti 'Tendangan Bayangan' hanya dimiliki oleh satu-satunya orang yang bisa dianggap sebagai dedengkot persilatan, Ki Mahesa.
Memang, jurus inti Tendangan Bayangan' sangat mematikan, sehingga tak dapat membiarkan lawan selamat dari rejangan tangan maut! Ancaman maut bisa disaksikan dari perubahan kulit kaki Dewa Pencuri Ilmu yang menghitam kebiruan.
Dan ini mengawali kembangan pemuka jurus inti 'Tendangan Bayangan'.
Hanya karena Raja Arak masih dalam pengaruh arak, tak dipedulikannya semua itu. Dia terus menerjang, menyerang, menerkam....
"Huih!" Pada satu kesempatan. Raja Arak meliuk ke muka.
Tangannya mematuk ke arah kening.
Cepat Dewa Pencuri Ilmu menggerakkan kakinya tinggi-tinggi. Patukan penuh kekuatan Raja Arak dapat ditangkisnya dengan tulang kering.
Tak! Dan begitu Raja Arak hendak menangkap kakinya, Dewa Pencuri Ilmu membuat gerakan yang sesungguhnya amat sulit dilakukan pada saat sedang dibebani tubuh Kemuning. Sebelah kakinya yang masih di udara cepat ditarik. Sementara kaki yang lain menghentak dalam waktu bersamaan. Kalau salah perhitungan, tubuhnya bisa kehilangan keseimbangan. Namun....
Dagh! "Aaakh...!" Dagu Raja Arak mendadak terdongkel ujung kaki Dewa Pencuri Ilmu. Lelaki buncit itu terdengak. Berba-rengan dengan itu, darah segar tersembur. Sekali.
Hanya sekali ajian inti 'Tendangan Bayangan' mengenai Raja Arak, tapi hasilnya sudah begitu hebat! Dewa Pencuri Ilmu tak memberinya kesempatan.
Bersama satu kelebatan, kakinya mendaratkan tendangan bertubi-tubi.
Desss! Desss! Tubuh Raja Arak tersentak-sentak mundur. sampai tak kuasa lagi untuk bertahan.

******

Pucuk di cinta ulam tiba, sorak Pendekar Slebor dalam hati. Selagi anak muda itu mandeg di tengah jalan tanpa arah pasti, Raja Arak datang terhuyunghuyung. Rasanya, Andika tahu bukan karena pengaruh arak. Wajah tembam lelaki pemabuk itu memar-memar.
Bibirnya pecah berdarah. Hidungnya pun mengeluarkan darah. Luka dalam tampaknya.
Andika mencegah Raja Arak terpuruk. Di sangganya tubuh seberat anak badak itu.
"Apa yang terjadi pada Kemuning?" tanya Andika tergesa. Raja Arak tergagap. Dia hendak cepat bicara, tapi dadanya demikian sakit.
"Kemuning dibawa lari Dewa Pencuri Ilmu," lapor lelaki buncit ini tersendat dan lirih. Tergambar bagaimana penderitaannya dari suaranya.
"Cepat tolong dia...." Hati lelaki itu memang agung, memikat. Tak sama dengan penampilannya yang membuat perawan kampung lari terbirit-birit. Biar pun nyaris sekarat, dia tetap mengkhawatirkan orang lain.
"Ke arah mana kunyuk itu pergi?" tanya Pendekar Slebor.
Raja Arak menunjuk ke arah matahari mulai menyembul. Warna jingganya mestinya bisa dinikmati saat itu, kalau saja keadaan tak segenting sekarang.
"Kau tak apa-apa bila ditinggal?" tanya Andika.
Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor tak tega juga pada keadaan Raja Arak.
"Pergi. Cepat kejar Dewa Pencuri Ilmu. Jangan pikirkan aku. Aku tak apa-apa." Tak apa-apa katanya" Napas saja sudah Senin tak ketemu Kamis! Tapi karena Raja Arak bersikeras dan keselamatan Kemuning juga dikhawatirkan, pendekar muda itu akhirnya beranjak juga.
Anak muda sakti itu melesat seperti menunggang angin ribut ke arah matahari mulai menampakkan diri.
Segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya yang amat dikagumi di seantero dunia persilatan dikerahkan.
Dewa Pencuri Ilmu harus didapatnya!

***

*** 9 ***

Matahari menyembul pongah. Setengah wajah tajamnya sudah muncul menyengat. Warna jingga tak ada lagi, tersingkir oleh sinar terang menyilaukan mata. Dan bumi pun mulai memanas.
Sesaat lagi hari akan menjerang. Panasnya terus menjangkit. Di satu tempat bertebing lurus dan curam seperti dinding beton alam yang menjulang membentuk celah selebar lima depa, Dewa Pencuri Ilmu terlihat berkelebat sambil membopong tubuh seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Bidadari Cakram Terbang, wanita bernama Kemuning yang mengaku masih memiliki hubungan keluarga dengan Pendekar Slebor.
"Pendekar Slebor! Dengan perempuan ini di tanganku, kau tak bisa lagi menolak untuk membawaku ke Lembah Kutukan. Dan aku akan menjadi penguasa dunia persilatan! Hm..hm..hm..!" Mulut lelaki yang tergolong tampan di antara garisgaris kebengisan wajahnya itu bergumam sendiri. Dia begitu yakin kalau rencananya kali ini akan berjalan semulus permukaan cermin.
"Biar muridku mati saja," gumam Dewa Pencuri Ilmu lagi.
Tak ada betik penyesalan dalam kalimat lelaki ini barusan. Seolah-olah kehilangan nyawa seorang yang dekat dengannya, tak pernah menjadi masalah. Asal, matinya demi kepentingan Dewa Pencuri Ilmu.
Di salah satu ceruk dinding karang yang terlindung dari gempuran sinar matahari atau pun pandangan orang lain. Dewa Pencuri Ilmu meletakkan tubuh molek Kemuning.
Sebentar lelaki menghempas napas puas. Di tatapnya wajah Kemuning lekat-lekat. Wajah menawan itu begitu menggetarkan. Tapi tunggu...! Hati lelaki ini teru-sik. Dia merasa pernah melihat garis dan lekuk wajah itu. Tapi di mana" Dewa Pencuri Ilmu tak bisa mengin-gatnya. Sudah terlalu dalam ingatan itu terkubur di dasar benaknya.
Pertanyaan-pertanyaan dalam hati Dewa Pencuri Ilmu terpenggal ketika melihat tubuh berlekuk luar biasa milik Kemuning. Tanpa sengaja belahan baju jingga tua perempuan elok itu tersingkap di bagian dada.
Ada benda halus menyembul, memanggil-manggil birahi setiap mata pria yang menemukannya. Dua sembulan itu begitu padat. Di antara cahaya pantulan lembut sinar matahari dari permukaan karang, kehalusannya menjadi demikian mempesona. Sekaligus, menyiramkan rasa panas menggejolak dalam dada Dewa Pencuri Ilmu.
Setua apa pun dia, orang sesat itu tetap lelaki waras. Menyaksikan pemandangan luar biasa di depan, naik pula keinginan-keinginan liar ke balik bubur otak warasnya.
Dewa Pencuri Ilmu membuka mulut. Bibirnya bergerak-gerak, menelan air liur sendiri. Tingkahnya seperti seekor serigala lapar mendapatkan mangsa empuk.
"Denok.... Sudah lama aku tak pernah mencicipi perempuan sedenok mu...," desis lelaki ini seraya mendekat jalang.
Tangan Dewa Pencuri Ilmu mulai menelusuri permukaan halus kulit paha padat Kemuning. Jalang, liar, dan meletup-letup. Matanya terus melalapi sembulan padat di celah baju perempuan yang tergolek tanpa daya itu. Hasrat si lelaki sesat ini kian tak terkendali. Menanjak terus tak tertahan. Mendebur-debur, menghan- tami keperkasaannya. Lalu, didekatkannya kepala ke arah benda padat mengundang itu. Mulutnya menelan ludah lagi. Dengan napas mendengus-dengus menerpa kulit kekuningan kepadatan dada Kemuning, lidahnya siap menjulur. Benar-benar seperti binatang lapar. Matanya pun terpejam, ingin menikmatinya dengan seluruh rasa yang bergejolak.
Begitu sampai, Dewa Pencuri Ilmu merasa ada sesuatu yang ganjil. Kenapa dada padat sekal perempuan di depannya terasa kasar" Apa ada yang salah" Ketika mata lelaki ini membuka. setengah mampus jadi terperangah. Yang di jamah lidahnya ternyata punggung kaki seseorang! "He he he.... Geli, ah...!" kata orang yang baru hadir tempat di dekatnya.
Sementara perempuan berpakaian jingga tua sudah tak ada lagi di tempatnya.
Tubuh Dewa Pencuri Ilmu terlonjak. Cepat dia meloncat ke belakang, menyiapkan kuda-kuda. Ditatapnya anak muda yang tak mungkin di lupa. Pendekar Slebor! "Apa kabar" Kau pasti terlalu rindu padaku, sampai-sampai tak dapat menahan diri untuk.... He he he...." Andika terkekeh-kekeh tak karuan. Kemuning sudah berada di punggungnya. Mata Dewa Pencuri Ilmu dipaksa terbeliak. Tak pernah diduga kalau si anak mu-da ksatria bisa mengejarnya sampai ke tempat terpencil itu. Sepanjang pengetahuannya, Pendekar Slebor tak sempat mengejar saat muridnya terus menghantami.
Jadi bagaimana mungkin" Dewa Pencuri Ilmu tetap tak percaya. Memang sebelumnya tak disadarinya kalau Raja Arak yang dianggap telah mati di tangannya, sesungguhnya tak benar-benar mati. Dengan satu keahlian tertentu yang jarang dimiliki, lelaki pemabuk itu mengecoh Dewa Pencuri Ilmu. Dia pura-pura seperti benar-benar tewas. Padahal tidak.
"Kau masih ingin kuantar ke Lembah Kutukan?" tukas Andika acuh tak acuh.
"Kenapa harus pakai menculik perempuan ini jika berurusan denganku" Apa kau pikir aku tak menggairahkan dia?" Dewa Pencuri Ilmu menggeram, mendengar celotehan Pendekar Slebor yang terus memancing-mancing amarahnya.
"Jangan anggap dirimu sudah terlalu sakti, Anak Muda! Aku bukannya takut menjajal kesaktianmu yang terlalu digembar-gemborkan banyak orang! Aku hanya ingin menghemat waktu dan tenaga dengan menculik perempuan itu!" sembur Dewa Pencuri Ilmu.
Di samping gusar karena kedatangan Andika yang tak terduga, lelaki ini juga gusar bukan main karena ha-sratnya mendadak terpenggal.
"Ah, masa'?" usik Andika.
"Kau...." Dewa Pencuri Ilmu makin geram. Jakunnya turun naik lagi. Kepalannya terbentuk.
"Aku tahu, kau memang segan berurusan denganku. Jujur saja.... Siapa tahu kejujuranmu bisa sedikit merontokkan dosa."
"Kunyuk!"
"Ah! Apa benar begitu?" sergah Andika. Mata Pendekar Slebor membeliak. Wajahnya makin dibuat-buat.
Begitu juga tingkahnya.
"Selama ini, aku tahu kau manusia. Kenapa sekarang mengaku-aku kunyuk?" tambah Andika, masih dengan wajah memperlihatkan keterperangahan.
Darah Dewa Pencuri Ilmu mendidih karenanya.
Sudah sering didengarnya, bagaimana Pendekar Slebor begitu lihai mempermainkan kemarahan lawan dengan segala tetek-bengeknya yang tengik. Padahal, dia sudah merasa siap untuk itu.
Tapi ketika harus benar-benar menghadapinya kini, kemarahannya tak bisa dikuasai juga. Bagaimana bisa" Sementara Dewa Pencuri Ilmu sendiri tak pernah menyadari. Ocehan Pendekar Slebor tak semata-mata hendak memancing kemarahannya. Anak muda cerdik itu juga sengaja mengulur-ulur waktu. Dengan begitu hawa murni bisa disalurkan ke dalam tubuh Kemuning di bahunya, supaya pengaruh totokan Dewa Pencuri Ilmu perlahan terbebaskan. Cerdik bukan" Hasilnya, tak begitu lama kemudian Kemuning mulai tampak bergerak.
"Turunkan aku, Andika." pintanya pada Andika.
Andika menurunkan.
"Ah, kau sadar juga rupanya...." sambut Pendekar Slebor. Diturunkannya tubuh perempuan itu. Dewa Pencuri Ilmu menyadari ketololannya. Wajahnya menyeringai. Gusar luar biasa.
"Di mana aku?" tanya Kemuning. Perempuan berjuluk Bidadari Cakram Terbang berdiri. Masih agak terhuyung limbung.
Andika melirik calon musuhnya di depan sana.
"Sepertinya kau berada di 'istana kebesaran' Tuan besar itu," sahut Andika seenaknya sambil menuding Dewa Pencuri Ilmu dengan bibir. Menjengkelkan sekali! "Kau tahu, hampir saja ada seseorang menjadi korban...." Kemuning menatap Andika sungguh-sungguh.
"Apa orang itu baik-baik saja" Tak kehilangan nyawa?" tanya perempuan itu ingin tahu. Bibir Andika membulat.
"Wooo.... Tepat pada saat menegangkan, ada 'benda ajaib' telah menyelamatkannya!" seru Pendekar Slebor urakan.
Siapa lelaki yang tak jadi beringas mendengar semua ocehan itu" Telinga orang waras mana yang tak merah" Hati manusia mana yang tak terbakar" Di sana Dewa Pencuri Ilmu mengeraskan rahang.
Gigi-giginya bergemeletukan. Otot-otot tangannya mengejang, menandai puncak kemurkaan.
"Hari ini, kau akan mampus di tanganku, Pendekar Slebor!" desis Dewa Pencuri Ilmu, menggeram.
Andika cengengesan. Dia maju dengan langkah mantap.
"Kalau begitu, mari kita buktikan...."

******

Di lain tempat, Raja Arak masih berkutat dengan luka dalamnya. Semenjak Pendekar Slebor pergi, lelaki buncit itu mencoba bersemadi. Dicobanya menyembuh-kan luka dalamnya dengan menyalurkan hawa murni.
Cukup lama Raja Arak berusaha. Hasilnya belum juga didapat. Tubuhnya kian melemah. Darah kental kehitaman terus saja mengalir dari mulutnya. Entah, pukulan apa yang telah disarangkan Dewa Pencuri Ilmu.
Di tengah kepasrahannya, seorang lelaki tua muncul dari kegelapan. Didekatinya Raja Arak. Langkahnya teramat ringan. Telinga yang terlatih pun masih terlalu sulit menangkap jejak halus langkahnya.
Itu pula sebabnya Raja Arak tak menyadari sama sekali ada orang mendatangi. Dia tetap bersila. Matanya terus terpejam.
Kalau saja saat itu, si orang tua berniat jahat, ten-tu Raja Arak akan sangat mudah dilemparkan ke kerak neraka. Nampaknya, niat orang tua itu tidak begitu. Perlahan tangannya menyentuh bahu Raja Arak.
Sentuhan itu begitu sejuk. Ada rasa aneh yang meresap ke seluruh tubuh Raja Arak, manakala tangan itu menyentuhnya. Dirasakannya suatu perlindungan, bukan ancaman. Karenanya, Raja Arak membuka mata perlahan. Tak ada kesan kalau lelaki berperut buncit itu terkejut.
"Ki Mahesa?" tanya Raja Arak, menduga. Orang tua di depan lelaki buncit ini menggeleng.
"Siapa kau?" susul Raja Arak.
"Sebaiknya jangan dulu banyak tanya," ucap orang tua di depannya, mantap dan berwibawa. Getar suaranya seperti menebar kekuatan yang menenteramkan.
"Kau baru saja terkena jurus inti 'Tendangan Bayangan'. Jurus dan ajian itu sangat berbahaya jika tidak segera mendapat pertolongan. Semakin lukamu dilawan dengan hawa murni mu, semakin cepat tubuhmu akan digerogoti...."
"O.... Jadi itu sebabnya Ki Mahesa tak mengajarkan pada siapa pun. bahkan pada muridnya sendiri?" ungkap Raja Arak teringat ucapan Ki Mahesa.
Pertanyaan lelaki buncit itu mendapat anggukan.
"Tapi bukan itu saja yang mengkhawatirkan Mahesa." sergah orang tua itu lagi.
Dari caranya menyebut Ki Mahesa tanpa kata 'Ki', kentara sekali kalau orang tua ini cukup dekat dengan guru besar Tendangan Bayangan Seribu.
"Apa yang kau ketahui Orang Tua?" tanya Raja Arak.
"Jurus inti "Tendangan Bayangan' juga dapat membahayakan pemiliknya. Jika saat jurus dimainkan dan ajian dikerahkan dalam keadaan penuh nafsu membunuh, maka akan memakan si pemiliknya sendiri...," jelas orang tua tak dikenal itu.
Raja Arak manggut-manggut tanda mengerti.
"Itu pula yang membuat Mahesa mempertimbangkan untuk memberikan kitab sakti inti Tendangan bayangan kepada muridnya, setelah dirasa sudah siap. Sayang, sebelum semuanya terlaksana, Dewa Pencuri Ilmu berhasil mencuri kitab sekaligus membunuh muridnya. Mahesa malang...," lanjut si orang tua.
"Andai saja aku tak terluka, akan ku usahakan untuk mengambil kitab itu dari tangan Dewa Pencuri Ilmu dan mengembalikannya kepada Ki Mahesa," desah lelaki buncit yang tengah terluka dalam ini.
Raja Arak kini menggeleng kepala perlahan. Dia menyesal tak dapat berbuat banyak.
'Tak perlu," tepis orang tua tak dikenal.
"Kenapa begitu?"
"Nanti kau pun tahu. Sekarang, kosongkan pikiranmu," perintah orang tua tak dikenal tadi.
Segera orang tua itu ikut duduk bersila di depan tubuh Raja Arak.
"Aku akan berusaha menyingkirkan jurus inti 'Tendangan Bayangan' yang bersarang di tubuhmu...." Usai berkata, telapak tangan lelaki tua itu ditempelkan pada sisi-sisi rusuk Raja Arak. Matanya langsung terpejam. Tak lama kemudian. Raja Arak merasakan sesuatu yang sejuk mengaliri kembali seluruh tubuhnya seperti sebelumnya. Hanya saja, kali ini lebih kuat. Kemudian tampak mengepul asap tipis mengambang dari sela-sela telapak tangan si orang tua.
Sampai akhirnya Raja Arak merasakan ada sesuatu yang lain bergerak berlawanan dengan rasa sejuk. Sesuatu itu seperti tersedot telapak tangan orang tua di depannya.
Sss! Desis kecil terdengar, diikuti rasa lega luar biasa dirasa Raja Arak. Rasa sakit yang tak kepalang kini hilang. Dan orang tua tadi pun turut menghilang.
"Siapa dia?" tanya Raja Arak bergumam.

***

*** 10 ***

"Jurus apa yang mesti kuhadiahkan terlebih dahu-lu padamu?" tantang Andika pada Dewa Pencuri Ilmu.
Kedua tokoh itu berdiri berjauhan dalam jarak sekitar sebelas tombak. Celah dinding karang tegak lurus di sisi kiri dan kanan mereka seperti membatasi, sekaligus menjadi saksi bisu sabung nyawa yang bakal mele- dak. Dewa Pencuri Ilmu berdiri tegak di sebelah utara celah dinding karang.
Andika di sebelah selatan. Kemuning alias Bidadari Cakram Terbang berdiri di tempat yang cukup aman dari medan laga, beberapa depa di belakang Pendekar Slebor.
"Kau kupersilahkan menguras seluruh kehebatan yang terlalu besar digembar-gemborkan itu." balas Dewa Pencuri Ilmu, balik menantang.
"O...." Andika memonyongkan mulutnya. Telapak tangannya diusap-usapkan satu sama lain. Sikapnya seper-ti menganggap pertarungan nanti hanya dolanan iseng.
"Tapi sebelum dimulai, sebaiknya kita membuat kesepakatan. Ku tantang kau selaku ksatria sejati, Pendekar Slebor!' kata Dewa Pencuri Ilmu, memberi pena waran.
"Kesepakatan macam apa lagi" Kalau kau kalah, sudi mencium kaki bau ku tujuh kali setiap malam Jum'at Kliwon?" oceh Pendekar Slebor.
Dewa Pencuri Ilmu tak menanggapi. Di benaknya hanya ada satu pikiran untuk diutarakan pada calon lawan.
"Kau akan mengantarku ke Lembah Kutukan. dan membantuku menemui tempat penyimpanan harta peninggalan Pendekar Lembah Kutukan, jika berhasil ku-kalahkan."
"Bicaramu seolah yakin akan menang! Bagaimana bila keok?" tukas Pendekar Slebor.
"Akan kuserahkan kembali peta rahasia itu."
"Tak cukup adil!"
"Baik! Apa maumu?"
"Bagaimana kalau kau kembalikan juga Kitab Inti Tendangan Bayangan yang kau curi!" Bukan. Bukan Andika yang menyahuti. Itu adalah suara seseorang dari ubun-ubun dinding karang seting-gi seratus kaki yang menyahuti. Andika mendongak. Terabasan sinar matahari menjelang tengah hari membuatnya tak begitu jelas mengenali orang yang bersuara barusan. Tapi anak muda itu masih ingat betul jenis suaranya. Padat, wibawa, dan dalam.
"Kutu bengek!" serapah Andika dalam hati.
Andika baru ingat kalau itu suara yang menyuruhnya menyelamatkan Kemuning! Jadi waktu itu bukan ocehan dedemit" Andika jadi agak mangkel. Dia telah dikerjai.
"Siapa kau?" teriak Pendekar Slebor. Tangannya diangkat ke depan mata, mencoba menahan terjangan sinar matahari siang yang menyengat.
"Diam kau, Bocah Gendeng! Aku tak bicara denganmu!" bentak suara itu.
Bocah katanya" Andika makin yakin memang orang satu ini yang mengerjainya semalam. Bukankah suara tanpa orang yang didengarnya waktu itu juga me-nyebutnya 'bocah gendeng'"
"Bagaimana?" ulang orang di atas dinding karang.
menawarkan sekali lagi pada Dewa Pencuri Ilmu.
"Hei, ini pertarungan ku! Bisa-bisanya kau menentukan syarat seenak dengkul!" teriak Andika sewot.
"Kubilang diam, diam kau! Apa perlu mulut ceri-wis mu ku sumpal dengan batu karang sebesar anak monyet"!" hardik orang itu lagi.
Aneh. Saat itu juga Andika merasa jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu memiliki kekuatan. Tak ada tenaga dalam yang dirasa Andika pada hardikan ta-di. Lalu, karena apa" Sulit dia menduga.
Biasanya kalau mulut serampangan Pendekar Slebor sudah mulai mengoceh, siapa pun akan sulit untuk memerintah menghentikannya.
Tapi untuk orang satu ini, Andika benar-benar tak ingin membuka mulut lagi.
Dia sungguh tak habis pikir.
"Aku tak punya urusan denganmu. Dan aku hanya membuat kesepakatan dengan Pendekar Slebor!" jawab Dewa Pencuri Ilmu, lantang.
"Kalau begitu, aku akan mewakili pendekar muda cerewet itu untuk membuat kesepakatan denganmu!" Andika mulai sewot lagi. Orang ini makin lancang saja, pikirnya. Manakala mulutnya baru hendak menganga, tangan lelaki di atas sana menuding ke arahnya.
"Kubilang diam!" Saat itu juga rahang Andika terkunci. Sungguhsungguh terkunci! Andika coba membebaskan dengan mengerahkan tenaga dalam. Tak berhasil. Bahkan telah pula mengerahkan tenaga dalam sampai beberapa tingkat. Slompret benar! Siapa orang itu sebenarnya" Rutuk anak muda urakan itu dalam hati. Kalau melihat pera-wakannya, orang itu sudah uzur. Tampak sekali dari tubuhnya yang agak bungkuk. Tingginya hampir sama dengan Ki Mahesa. Apa mungkin Ki Mahesa" Bukankah barusan dia menyebut-nyebut soal Kitab Inti Tendangan Bayangan" Sepanjang pengetahuannya, kitab itu memang milik Ki Mahesa. Tapi, warna suara Ki Mahesa tak seperti itu.
Andai saja matahari agak condong sedikit, tentu Andika bisa melihat lebih jelas wajah orang itu.
"Bagaimana"!" Terdengar lagi pertanyaan diajukan si orang tak dikenal di atas dinding tebing.
"Baik! Tapi, bagaimana aku tahu kalau Pendekar Slebor pun setuju dengan ketentuan yang kau berikan?"
"Dia akan setuju!" tandas orang itu lagi.
Hati Andika makin mangkel saja. Mau menyumpahnyumpah, sayangnya tak mampu. Sewaktu orang tua semena-mena itu menanyakan persetujuannya, mau tak mau Andika mengangguk.
"Bagus! Nah, Bocah Gendeng! Tugasmu adalah meminta Kitab Inti Tendangan Bayangan padanya, jika kau menang. Dan aku tak mau kau kalah! Itu akan membuatku malu!" Malu" Bagaimana dia bisa mengatakan begitu"
"Hm.... Apa hubungannya denganku?" Hati Andika kasak-kusuk penasaran. Namun lamatlamat, di benaknya muncul juga bayangan seorang tokoh yang sudah begitu lama ditemuinya. Ya, rasanya kini Andika mulai bisa meraba siapa sesungguhnya orang tua brengsek ini. Dia pasti....
Andika hendak berseru menyebut nama orang tua itu ketika rahangnya terasa mengendur lagi. Tanpa sempat terlempar satu kata pun dari mulutnya, orang tua itu sudah tak terlihat lagi di ubun-ubun dinding karang. Entah ke mana.
Ajang sabung nyawa pun mulai digelar antara dua tokoh beda usia. Dewa Pencuri Ilmu setingkat lebih tua dibanding Pendekar Slebor. Kesaktian dan pengalamannya tidak diragukan.
Pendekar Slebor sendiri adalah salah satu dari tokoh yang paling ditakuti kalangan sesat. Usianya memang muda. Tapi tak berarti pengalamannya tak lebih menggunung dibanding calon lawan.
Medan laga yang akan digelar bukan untuk pertarungan biasa. Keduanya telah mengambil kesepakatan lagi, untuk melaksanakan adu kekuatan. Dalam hal ini, tak diperlukan satu jurus pun. Mereka hanya mengan-dalkan tenaga dalam dan kemantapan ajian benteng pertahanan.
"Kau lihat kain ini," ujar Pendekar Slebor, memulai.
Pemuda berpakaian hijau pupus dan Dewa Pencuri Ilmu kini berdiri lebih berdekatan.
"Kain ini memiliki kealotan luar biasa. Andai seratus banteng ditambah seratus lagi dipaksa untuk mero-bek secara bersama, kain ini tetap utuh," lanjut Andika.
Tak ada kesan main-main lagi dalam setiap bilah kata Pendekar Slebor. Parasnya membatu, dengan tatapan sembilu di mata elangnya.
"Kau tak usah berbelit-belit!" sentak Dewa Pencuri Ilmu tak sabar.
"Baik-baik!" sengit Andika.
"Kita akan menjadi-kan kain pusakaku ini ajang adu kekuatan."
"Aku belum mengerti."
"Otakmu pasti tak seencer bubur. Sekali-sekali, go-doklah lebih lama!" Andika jadi muak. Berpanjang kata hanya akan menimbun kemuakan lebih banyak dalam diri anak muda itu. Karenanya langsung saja dia bertindak.
Pendekar Slebor kini membentangkan kain pusaka bercorak catur ke tanah. Satu ujungnya diikatkan ke sebelah kaki dengan ikatan dibuat kuat-kuat.
"Ikatkan ujung kain itu pada kakimu," perintah Andika pada calon lawan.
Dewa Pencuri Ilmu memang sudah tak sabar ingin membuktikan keunggulan kesaktiannya. Tanpa banyak tanya lagi, di turutinya perintah Pendekar Slebor tanpa kecurigaan. Baginya, nama besar Pendekar Slebor sudah bisa dijadikan jaminan kalau tak akan dicurangi. Kini sebelah kaki mereka telah dihubungkan dengan kain pusaka bercorak catur.
"Kita akan mengadu tenaga dengan sebelah kaki terikat satu sama lain. Kau tahu, apa artinya" Artinya, nyawa kita adalah taruhannya. di samping kesepakatan yang telah dibuat. Jika tak ada kata menyerah di antara kita, maka satu-satunya pilihan bagi yang kalah adalah..., terbelah menjadi dua!" Andika menatap lekat-lekat mata menantang Dewa Pencuri Ilmu. Untuk terakhir kalinya, Andika ingin mengejek lawan. Lidahnya masih gatal.
"Kau yakin hendak melakukannya?" kata Pendekar_ Slebor meremehkan. Bibirnya pun memperlihatkan cengiran jelek.
"Kau banyak omong! Hiaaa!" Penuh teriakan nafsu, Dewa Pencuri Ilmu langsung mengempos tenaga dalamnya. Bukan main-main tenaga dalam yang dikerahkannya saat itu. Bisa saja tenaga dalam pada tingkat yang sanggup menghempas batu gunung sebesar gajah! Andika meskipun didahului. tidak menjadi gentar.
Disambutnya teriakan menggelegar lawan dengan sentakan napas mendadak.
"Hehhh!" Tep! Telapak tangan keduanya bertemu. Maka, segenap tenaga sakti dari dua sumber berbeda mengalir deras, lalu bertumbukan di satu titik.... Telapak tangan mereka! Beberapa lama mereka berkutat. Sebentar tangan salah seorang terdorong mundur. Kala yang lain, tangan mereka sama-sama terangkat. Kian merangkak waktu, kian bergeletaran tubuh masing-masing.
Keringat cepat membanjiri pakaian masing-masing.
Otot-otot dua lelaki perkasa itu bagai di regang paksa oleh tarikan sejuta prajurit paling gagah! Kejap demi kejap, benturan maha hebat dalam satu ajang adu kesaktian terus mematangkan saat-saat maut. Dari hidung Dewa Pencuri Ilmu mulai mengalir darah segar yang mengepulkan uap tipis. Panas luar biasa yang menggelegak dalam tubuhnya. telah pula mendi-dihkan darahnya. Lalu darah merambat keluar dari lubang-lubang telinga. Bahkan buliran keringatnya pun kini memerah. Di lain pihak, keadaan Pendekar Slebor tak kalah parah.
Hanya saja darah mengalir dari hidung dan telinganya lebih lambat daripada lawan. Menanjak kian menanjak. Ketegangan pun menjadijadi. Kemuning yang menyaksikan peristiwa itu menyipitkan matanya. Dia bergidik jika membayangkan salah seorang dari mereka tersentak amat kuat, dan tubuhnya terbelah menjadi dua.
Sekarang, pori-pori kedua petarung tak lagi mengeluarkan keringat, melainkan darah kental! Tampaknya tangan-tangan maut kian mendekat ke arah keduanya.
Jangan ditanya, betapa tersiksanya mereka. Tubuh seperti digodok dalam kuali pasir panas. Sendi-sendi dan otot pun bagai ditusuki ratusan paku. Kepala mereka terasa hendak meledak saat itu juga.
Kejap-kejap paling rawan mulai mendekat, manakala tubuh mereka sedikit demi sedikit menjauh satu dengan yang lain. Sementara itu, udara di sekitar ajang adu kesaktian menjadi begitu membakar! Serangga naas yang tak sengaja melewatinya, mendadak hangus terpanggang! Kuda-kuda dua tokoh berilmu tinggi itu perlahan tak la-gi menjejak di bumi.
Benturan teramat dahsyat mengungkit tubuh keduanya ke atas. Sedikit demi sedikit.
Sejengkal dari tanah, gerak naik mereka terhenti.
Darah tampak menetes-netes dari ujung jari kaki keduanya. Darah yang terus mengepulkan asap tipis.
"Hiaaa...!" Pada puncaknya, Andika berteriak! Pengurasan tenaga sakti mengakibatkan daya mukjizat buah 'Inti Petir' menggelembung di sekujur aliran darahnya. Sakit yang diderita menjadi berpuluh kali lipat. Dia nyaris tak kuasa lagi bertahan.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang buah 'Inti Petir', bacalah episode: 'Dendam dan Asmara') Sebaliknya, tenaga sakti Pendekar Slebor pun berlipat mendadak menjadi puluhan kali.
Perubahan mendadak ini sungguh menghentak nyali lawan. Dewa Pencuri Ilmu merasakan tubuhnya makin menjauh dari pemuda itu. Tenaga dalamnya perlahan tertelan dan tertelan.
Pendekar Slebor terus memekik. Dia tersiksa, tapi tak bisa berhenti hingga di situ. Untuk menyerah adalah hal yang paling dipantang baginya! Akhirnya....
"Cukkkuuup! Aku tak kuat lagi! Aku menyerah!" Teriakan Dewa Pencuri Ilmu melabrak angkasa di antara jeritan tinggi Pendekar Slebor. Kaki lelaki sesat itu sudah hampir terlepas dari pangkal pahanya! Mendengar kalimat menyerah, Andika sebisanya mengalihkan tenaga ke arah lain. Melipatnya tenaga sakti, menyebabkan Andika sulit mengendalikan lagi.
Kalau terlambat sekedip mata saja, tenaga saktinya akan mengoyak tubuh Dewa Pencuri Ilmu dalam sekejap! Dan seandainya Dewa Pencuri Ilmu selamat pun, rasanya perlu sepuluh tahun untuk mengembalikan tenaga dalamnya! "Akhu... mengaku khalahhh...," Dewa Pencuri Ilmu terengah-engah di bawah kaki Pendekar Slebor.
Sementara anak muda itu masih sanggup berdiri di atas kuda-kudanya meskipun tergetar.
Di saat yang lemah itu, telinga Andika menangkap bahaya lain melesat menuju mereka. Andika kembali menghidupkan sisa-sisa tenaga.
Sing! Trap! Satu pergelangan tangan halus dicengkeram Pendekar Slebor.
"Kemuning" Apa-apaan ini" Apa yang hendak kau lakukan?" tanya Andika gusar.
Perempuan itu rupanya mencoba menghabisi nyawa Dewa Pencuri Ilmu saat itu juga. Andika jelas tak akan membiarkannya. Bagi seorang ksatria seperti dia, pantang untuk membunuh lawan dalam keadaan lemah.
Kemuning terisak. Tangan yang masih menggenggam cakram turun perlahan.
"Lelaki itu harus mati, Andika," desah perempuan ini memelas.
"Kenapa?"
"Manusia laknat inilah yang telah membuatku hingga mengasingkan diri selama sepuluh tahun! Dia tak hanya mempecundangi ku, tapi juga memperkosaku! Laknat! Aku tahu, meski aku melatih diri sepuluh tahun lagi, tetap tak bisa menandingi kesaktiannya. Karena itu. aku...," tutur Kemuning di geletari isak kecil.
"Apa yang hendak kau katakan, Kemuning?" Kemuning tak bisa menjawab. Malah tangisnya makin terseguk-seguk. Sesaat kemudian, dia berontak dari cekalan tangan Andika.
Lalu, ditinggalkannya tempat itu. Isaknya masih terdengar sayup-sayup ketika tubuh sintalnya terus menjauh.
"Dendam memang selalu buta. Bukan begitu, Andika?" Andika menoleh begitu terdengar suara. Ternyata orang tua yang sebelumnya berdiri di puncak dinding karang telah berdiri di belakang.
Andika perlahan berbalik. Seluruh tubuhnya terlalu lemas untuk berbalik cepat lagi. Bibir berlumur darahnya pun tersenyum menyaksikan orang tua ini.
"Sudah kuduga, kaulah orangnya. Apa kabar Ki Saptacakra?" sapa Pendekar Slebor.
Ya! Orang tua itu memang Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan. Dia adalah buyut Andika yang pernah dikira mati oleh anak muda itu.
Kemuning menurut Ki Saptacakra memang masih keturunannya. Namun dia tak pernah memiliki peta rahasia penyimpanan benda berharga di Lembah Kutukan. Semua itu hanya rencana Kemuning untuk membalas dendam terhadap Dewa Pencuri Ilmu. Dengan mencoba memperalat Pendekar Slebor, Kemuning berharap memiliki kesempatan untuk membunuh musuhnya. Rencana Kemuning berjalan mulus dalam memancing keluar Dewa Pencuri Ilmu. Disebarnya desas-desus tentang peta yang dimilikinya. Dengan desas-desusnya, dia mengatakan akan datang di sebuah kedai di pinggiran Kota Karisidenan Karawang. Maka tak heran kalau murid Dewa Pencuri Ilmu ada pula di tempat itu. Sang murid memang ditugaskan Dewa Pencuri Ilmu untuk memantau gerak-gerik Kemuning. Sedang tokoh sesat itu mengamati dari jarak jauh.
Dalam rencana Kemuning, dia pun mengundang Andika ke tempat yang sama.
Sayang, sewaktu kesempatan itu terbuka, timbul rasa bersalahnya pada diri Andika. Anak muda yang selama ini dikenalnya telah mengunci hati terhadap wani-ta dengan perasaan yang sulit dijelaskan....

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Siluman Hutan Waringin --oo0oo-- Iblis Penghela Kereta


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.