Life is journey not a destinantion ...

Iblis Penghela Kereta

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Peta Rahasia Lembah Kutukan --oo0oo-- Malaikat Peti Mati



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: IBLIS PENGHELA KERETA

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

--o [ 1 ] o--

Dewi malam baru saja menunaikan tugasnya, menyongsong sang fajar yang mulai bekerja. Jalan setapak yang penuh ilalang dan pepohonan itu redup oleh kabut ukup tebal. Dan rasanya tak pernah ada orang melalui jalan itu. Karena, hutan di sebelah jalan ini begitu lebat.
Sehingga, sedikit pun tidak pernah dibayangkan untuk mencoba pergi ke sana.
Rumah penduduk pun letaknya sekitar dua hari berjalan kaki dari tempat itu.
Begitu sepinya, semua bagai terlelap dalam peraduan indah menggetarkan.
Tetapi belum lagi sang fajar membedah pagi, belum lagi kabut pergi, sudah terdengar derap langkah kuda dan gebahan penunggangnya mengacaukan suasana kesunyian. Nyaris menerbangkan burung-burung yang hinggap. Malah, membuat kelinci kembali masuk ke sarangnya kembali. Derapnya begitu menggetarkan tanah di sekitarnya.
Tak lama, tampak dua sosok tubuh menunggang dua ekor kuda berwarna hitam. Mereka menghentikan laju kuda di tanah terbuka. Ringkikan dan dengusan kuda terdengar, mengisyaratkan kelelahan yang sangat.
"Paman Kamanda.... Apakah kita sudah memasu-ki wilayah Lembah Ular, tempat kediaman Iblis Penghela Kereta?" tanya penunggang kuda berusia delapan belas tahun.
Pemuda itu agaknya masih menggunakan nafsu amarahnya dalam memutuskan sesuatu. Pakaiannya berwarna putih. Sebuah selendang berwarna merah melilit pinggangnya, di mana sebilah keris di situ ter-selip pula. Matanya memperhatikan sekitar. Sungguh, sebenarnya dia tak suka dengan perjalanan ini. Tetapi jiwa mudanya tidak akan membiarkan sosok manusia berjuluk Iblis Penghela Kereta yang telah menghancurkan saudara-saudara seperguruannya. Bahkan menghancurkan pula penduduk di sekitar tempat tinggalnya di kaki Gunung Kabut.
"Belum, Jaka. Kita masih harus menempuh sekitar enam hari berkuda untuk segera tiba di sana," sahut penunggang kuda satunya, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun.
Dari raut wajahnya terlihat jelas kalau laki-laki setengah baya itu bernama Kamanda tampak arif dan bijaksana. Pakaiannya berwarna hitam. Sikapnya begitu hormat sekali pada pemuda bernama Jaka. Dalam sekejap saja sudah kentara kalau laki-laki itu memiliki ilmu kedigdayaan tinggi.
Itu terlihat dari gerakannya, saat turun dari kudanya.
Begitu ringan dan tak terasa, betapa mereka sudah berkuda selama tiga hari tiga malam!
"Satu setengah hari lagi kita berkuda?" dengus Jaka dengan mata terbelalak sambil mendengus.
"Hhh! Rasanya aku sudah tak sabar menghancurkan gerombolan Iblis Penghela Kereta itu!" "Benar," sahut Ki Kamanda itu sambil menatap Jaka yang memperlihatkan wajah kesal. Sebenarnya, Ki Kamanda pun diliputi amarah menggelegak untuk membalas perbuatan Iblis Penghela Kereta yang telah menghancurkan perguruannya pula.
"Apakah kau sudah merasa lelah, Jaka?" tanya Ki Kamanda, dengan suara tetap tenang.
"Ya...," sahut Jaka pendek, walau masih diliputi hawa amarah.
"Kalau begitu, kita beristirahat saja dulu." Jaka pun melompat ringan dari kudanya. Matanya langsung memperhatikan sekelilingnya. Sungguh tidak menyenangkan berada di tempat sepi dengan pepohonan lebat seperti ini. Tetapi kegeramannya semakin menjadijadi, ketika mengingat-ingat gerombolan Iblis Penghela Kereta yang telah memporak-porandakan perguruan dan penduduk di sekitar perguruannya berdiri.
Jaka menyesali mengapa datang terlambat. Saat itu, dia memang sedang bepergian bersama Kamanda yang dipanggilnya paman ini. Memang, lelaki itu adalah wakil Ki Buwana gurunya yang kini terbujur kaku dengan nyawa melayang.
Si pemuda melangkah mendekati Ki Kamanda yang sedang menjumput tanah. Dibauinya tanah itu dan dibuangnya lagi.
"Belum lama ada yang telah melewati tempat ini, Jaka," cetusnya.
Mata laki-laki setengah baya ini menerawang, mencoba menembus hutan yang gelap. Padahal di atas sana matahari menyorot garang. Hanya saja, sinarnya tidak bisa menembus kelebatan pepohonan di bawahnya. Jaka mendengus. Biar bagaimanapun juga, sebenarnya Ki Kamanda sangat dihormatinya. Sejak berusia sepuluh tahun, di samping digembleng Ki Buwana yang merupakan Ketua Perguruan Cakar Maut, dia pun digembleng bermacam ilmu oleh Ki Kamanda. Bolehlah dikatakan kalau Ki Kamanda adalah gurunya yang kedua.
"Siapa gerangan yang telah melalui jalan ini, Paman?" tanya Jaka penuh kekaguman. Memang, begitu banyak yang membuat si pemuda kagum terhadap Ki Kamanda. Selain ketenangannya yang luar biasa, kepandaiannya pun juga tak kalah hebatnya dengan Ki Buwana.
Akan tetapi, kini Ki Buwana telah terbujur kaku.
Dari sini bisa diduga kalau Iblis Penghela Kereta ber-kepandaian tinggi. Jaka dan Ki Kamanda tahu kalau tokoh sesat itulah yang menebar petaka selama ini.
Karena, salah seorang dari murid Perguruan Cakar Maut sebelum meninggal sempat mengatakannya.
"Itulah yang harus kita ketahui...." Ki Kamanda kembali melompat ke punggung kudanya dengan gerakan ringan pula. Bahkan terlihat kalau kudanya tidak terhenyak sedikit pun. Ini menandakan kalau ilmu meringankan tubuh laki-laki itu sangat tinggi. Jaka mendengus sekali lagi, sebelum melompat pula ke punggung kudanya. Dia tidak heran dengan jawaban yang diberikan Ki Kamanda. Karena, paman gurunya memang lebih suka berdiam diri daripada membicarakan hal yang tak perlu. Dan bila Ki Kamanda sudah menaiki kudanya kembali, berarti perjalanan memang harus dilanjutkan.
Istirahat yang belum beberapa kejapan pun harus terputus. Namun, tiba-tiba saja....
Pak! "Heh"!" Jaka tersentak merasakan tepukan di punggungnya, menyusul desir angin kuat. Sehingga mau tidak mau dia kembali turun dari kudanya dengan gerakan salto yang manis. Setelah berputaran, dia hinggap di tanah dengan kedua kaki terbuka.
"Siapa yang mencoba ingin bermain-main denganku, harap keluar!" teriak pemuda itu dengan wajah in rah padam.
Tatapannya mengedar dengan kemuakan luar biasa. Bila mau jujur, dia yakin bila kepalanya yang ke-na tepuk, maka seketika akan terbelah retak. Buktinya tepukan di punggungnya menimbulkan rasa nyeri yang langsung ditutupnya dengan melonggarkan jalan darah. Tak ada siapa-siapa yang muncul. Justru Jaka melihat Ki Kamanda melompat kembali dari kudanya, langsung berlutut dengan sebelah kaki menyanggah tubuhnya. Sementara, sebelah lagi menyentuh tanah.
Kepalanya tertunduk. Gerakan demikian membuat Jaka kebingungan.
Tiba-tiba pula si pemuda merasakan tepakan pada kakinya. Sehingga, tubuhnya pun ambruk dengan sikap sama seperti Ki Kamanda.
Jaka menjadi penasaran karena sekian lama ditunggu, tak ada sesuatu yang terjadi. Tidak ada suara yang terdengar. Tidak ada sesuatu yang terlihat, kecu-ali ilalang yang dihembus angin dan gemerisik dedaunan. Hal inilah yang membuat pemuda itu menjadi gusar. Bila ada yang berani menghina paman gurunya, sudah tentu hatinya merasa terusik. Apalagi sekarang, hatinya dibaluri kemarahan yang tinggi terhadap Iblis Penghela Kereta.
Jaka pun mengerahkan sedikit tenaga dalamnya, menutup aliran tenaga dalam yang dilakukan Ki Kamanda melalui tekanan lututnya pada tanah. Sehingga dia bisa berdiri.
"Hei, Orang Sombong! Apakah kau terlalu jelek untuk keluar dari persembunyian" Ataukah kau memang tukang membokong yang pengecut!" teriak Jaka, jengkel.
Ki Kamanda menghela napas masygul mendengarnya. Tenaga dalamnya memang hanya sepersepuluh dialirkan melalui bumi, sebagai perantara. Sehingga aliran tenaga dalamnya dapat ditutup Jaka. Dan yang membuatnya sedikit kesal, sikap Jaka yang berangasan itu. Namun hal itu pun dimakluminya, karena tepukan dengan gerakan tak terlihat, ini telah memancing amarah si pemuda.
Tak ada suara apa-apa. Angin seolah berhenti bertiup. Gerakan pepohonan dan ilalang terhenti.
Jaka tidak menyadari keanehan itu.
"Pembokong busuk! Jangan jual lagak di hadapan kami! Lebih baik menyingkir, sebelum kami hajar sampai lintang pukang!" seru Jaka dengan suara be-rapi-api.
Tiba-tiba dari balik semak muncul satu sosok tubuh bongkok dengan raut wajah penuh keriput. Rambutnya panjang namun rapi. Bila malam hari, siapa yang melihat pasti akan berlari ketakutan.
Sama seperti halnya Jaka yang terhenyak sejenak. Tetapi darah mudanya lebih menutupi akal sehatnya. Dia merasa dipecundangi dengan gerakan tak terlihat tadi. Sehingga, amarahnya kembali bergejolak.
Perlakuan semacam ini tidak bisa diterimanya.
"Orang tua bongkok! Rupanya kau yang memang menjual lagak di hadapan kami!" bentak si pemuda.
Orang tua itu mengangkat kepalanya. Sorot matanya tajam, namun bibirnya selalu tersenyum. Dibantu sebatang tongkat, dia melangkah. Tetapi nampaknya itupun tak ada gunanya. Karena gerakannya begitu ringan. Pakaiannya yang berwarna putih tampak hanya asal saja, menampakkan dadanya yang memperlihatkan susunan tulangnya.
"Anak muda yang pemarah, inilah dunia yang bulat," kata sosok laki-laki tua itu.
Jaka tidak mengerti, apa yang dimaksud dengan ucapan si orang tua. Tetapi Ki Kamanda justru semakin menundukkan kepalanya. Kali ini kedua tangannya merangkap di dada, dengan sikap hormat sekali.
"Salam hormat untuk Eyang Purnama," sambut Ki Kamanda yang sudah langsung mengenali laki-laki tua di hadapannya.
"Aku, Kamanda, berniat akan mendatangi Iblis Penghela Kereta...." Orang tua bongkok itu tetap tersenyum.
"Kehormatan itu tak lagi kumiliki, sejak aku tertidur dalam dunia kegelapan.
Dunia fana ini tak lagi menarik perhatianku, Kamanda," kata si orang tua bernama Eyang Purnama.
"Apakah yang menyebabkan Eyang keluar dari dunia kegelapan?" tanya Ki Kamanda dengan suara semakin menghormat.
"Selentingan kabar berbunyi, di mana kau berpijak, darah akan mengalir. Itulah yang menyebabkan ku keluar...." Dada Ki Kamanda berdetak lebih hebat lagi. Lakilaki setengah baya ini telah lama mengenal Eyang Purnama. Dia adalah seorang tokoh yang nyaris setiap hari dibicarakan orang banyak. Namun kemudian tokoh tua ini lenyap tanpa seorang pun yang tahu, ke mana perginya. Banyak yang mengatakan kalau Eyang Purnama telah meninggal. Tetapi Ki Kamanda tidak pernah mempercayai hal itu. Ketidapercayaannya itu pun terbukti sekarang.
Bila bertahun-tahun Ki Kamanda tidak pernah lagi mendengar nama Eyang Purnama disebutkan, kali ini sungguh lain. Dia bisa menangkap sesuatu yang terjadi, sehingga menyebabkan Eyang Purnama harus keluar dari tempat pertapanya.
"Tolong jelaskan padaku yang hina ini, apa maksud dari kata-kata Eyang," pinta Ki Kamanda, penuh rasa hormat.
"Hmmm Rasanya memang tidak perlu dijelaskan lagi. Langkah kalian yang mencari Iblis Penghela Kere-ta, akan membawa pertumpahan darah yang banyak.
Darah akan bersimbah di bumi ini, Kamanda. Karena, aku pun telah mendengar tentang sepak terjang Iblis Penghela Kereta dan para gerombolannya yang sangat kejam itu," jelas Eyang Purnama, perlahan.
Jaka yang sejak tadi merasa tidak dilirik barang sekejap pun juga menjadi jengkel. Hatinya benarbenar muak melihat sikap orang tua bongkok itu. Dia masih tetap tidak mengerti, mengapa Paman Kamanda begitu menghormatinya. Apa yang patut dihormati pada orang bongkok keriput itu" Bahkan tidak ada yang istimewa. Hm.... Apakah paman gurunya menghormati karena kebetulan saja kakek itu lebih tua" Jaka lebih cenderung pada kemungkinan kedua."Hei, Orang Tua! Kalau bicara jangan terbelitbelit!" sentak si pemuda dengan wajah geram.
Eyang Purnama tersenyum.
"Bila kau tak mampu memadamkan api dalam jiwamu, lebih baik kembali ke Gunung Kabut. Karena, api itu akan membakar tubuhmu perlahan-lahan. Dan kau bisa hangus karenanya. Bukan karena alam semesta, bukan karena ulah manusia lain, justru dimakan oleh amarah yang bersemayam dalam tubuhmu...," sahut orang tua bongkok ini, bijaksana.
Jaka menggeram jengkel. Dia tahu, kata-kata itu mengejeknya. Dan diperlakukan semacam ini tak pernah diterima sebelumnya. Apalagi oleh orang tua yang kelihatan tidak memiliki apa-apa. Bahkan Jaka yakin kalau tepukan tanpa diketahui dari mana datangnya itu yang memang orang tua itulah pelakunya, kalau tadi hanya kebetulan saja bisa mengenainya. Karena, dia memang tidak sedang siaga. Bahkan dilakukan dengan cara membokong. Tetapi sungguh Jaka tidak memungkiri, kalau memang tidak pernah tahu serangan gelap itu akan datang.
Hal itulah yang membuatnya geram.
Sekarang Jaka ingin melihat kalau serangan itu dilakukan dari depan. Secara wajar.
"Hiaaah...!" Sambil berseru pendek, Jaka mengegos tubuhnya dengan gerakan luar biasa cepat dan ringan. Kedua tangannya mengepal dan lurus, siap menghantam wajah Eyang Purnama. Sengaja langsung dikeluarkannya setengah dari tenaga dalamnya. Tidak sabar rasanya Jaka ingin melihat hasil gebrakannya yang pertama.
Eyang Purnama tetap tenang dengan bibir tersenyum. Begitu arif.
"Jaka! Tahan!" Justru Ki Kamanda yang berseru keras.

***

--o [ 2 ] o--

Sayang, gebrakan Jaka sudah demikian cepat.
Hingga rasanya tidak bisa ditahan lagi. Paling tidak, Ki Kamanda memang bisa memotongnya. Dengan kata lain, dia harus merelakan tubuhnya terhantam gerakan yang begitu cepat sekali. Namun rasanya itu pun sulit, karena gerakan Jaka begitu cepat.
Sementara itu, Eyang Purnama tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Bibirnya tetap tersenyum, mencerminkan kebijaksanaannya.
Tubuh Jaka memburu. Saat tubuhnya mengegos tadi, dia yakin paling tidak orang tua bongkok keriput itu akan menggeser tubuhnya. Tetapi sekarang, tidak sedikit pun terlihat gerakan si orang tua, selain tetap tersenyum. Hal ini membuatnya semakin murka. Dengan kata lain, Eyang Purnama menganggap remeh serangannya. Padahal jurus yang dipakai sangat dibanggakan. Jurus 'Cakar Maut Menelan Mangsa'! Melihat hal ini, Jaka berniat akan berjumpalitan, membelokkan serangannya. Sehingga dia semakin menambah tenaganya di kedua betisnya.
Batang kelapa yang masih kukuh saja akan langsung tumbang setelah beberapa kejap bergoyang bila terkena sambaran tangan Jaka. Apalagi bila mengenai orang tua keriput bongkok dan kelihatan tidak memiliki apa-apa ini.
Wuttt....
"Uts...!" Sekejapan saja, Jaka siap mendaratkan kedua pukulannya ke dada yang tipis itu. Tetapi mendadak pukulannya berbelok. Karena dengan gerakan yang disertai senyum, Eyang Purnama mengayunkan tongkatnya ke muka. Jaka mau tak mau bergerak ke samping. Seketika terasa hawa panas menyambar dadanya. Bisa dibayangkan, bagaimana bila serangannya tidak dibelokkan. Mungkin dadanya akan bolong tertusuk tongkat.
"Bangsat!" maki Jaka, begitu berhasil mengambil jarak kembali.
"Maaf, tongkat kayu ku ini tidak bisa diajak berdiam!" ucap Eyang Purnama, seenaknya. Saat itu juga, Jaka meluruk kembali. Dia tidak percaya kalau 'Cakar Maut Menelan Mangsa' begitu mudah dipatahkan Eyang Purnama. Bahkan tanpa bergeser dari tempatnya! Paling tidak, seharusnya tongkat kayu miliknya bisa patah hanya terkena getarannya. Kembali si pemuda menyerang dengan hantaman tangannya disertai tenaga penuh pada jurus kesebelas.
"Jaka! Kau mencelakakan dirimu sendiri!" seru Ki Kamanda, keras.
Tetapi Jaka tidak mungkin menghentikan serangannya. Harga dirinya tidak terima diperlakukan seperti itu. Dipecundangi dengan sekali gebrak saja.
Bahkan saat menggunakan jurus yang teramat dibanggakan kehebatannya.
"Anak muda.... Tongkatku ini hanya kugunakan untuk memukul anjing bila menggangguku. Apakah kau ingin kuanggap sebagai anjing?" kata Eyang Purnama, tetap diam di tempatnya.
Kata-kata itu membuat Jaka menjadi merah padam. Akal sehatnya benar-benar tertutup amarahnya terhadap Iblis Penghela Kereta. Dan kini dia diejek seperti itu. Maka kemarahannya pun hendak dilampiaskan. Lelaki tua bongkok ini harus dijatuhkannya.
Bahkan kali ini sudah memperhitungkan, kalau tongkat itu pasti akan bergerak lagi. Makanya, kini tangan kanannya mencoba menutup ke dada. Benar dugaannya. Tongkat Eyang Purnama kembali sejajar mengarah pada dadanya. Tetapi kali ini Jaka tidak berkelit. Tidak menghindar atau pun melencengkan tubuhnya. Segera ditangkisnya tongkat itu dengan tangannya.
Plak! Tangan kanan Jaka meluncur terus ke muka si orang tua. Namun sungguh, tidak disangka sama sekali. Dengan gerakan beruntun, Eyang Purnama mampu membuat tongkat itu kembali mengayun memapak luncuran tangan si pemuda.
Plak! Kali ini, Jaka langsung berjumpalitan mundur, lalu jatuh berlutut bagaikan menghormat di sebelah Ki Kamanda. Gerakannya bagai ada yang memaksa. Ketika melirik kedua tangannya, dia terkejut. Karena, kedua tangannya menjadi hitam legam! "Sudah kukatakan jangan gegabah!" dengus Ki Kamanda jengkel. Langsung tenaga dalamnya dialirkan melalui ujung ibu jari Jaka.
Sementara, Jaka sendiri berusaha menahan desakan sesuatu yang maha dahsyat. Tubuhnya sampai berkeringat dan perlahan-lahan, hitam di tangannya lenyap.
"Berlututlah kau! Dan, memohon ampun!" desis Ki Kamanda.
Ki Kamanda langsung berlutut lagi di hadapan Eyang Purnama yang tetap tersenyum. Sementara dengan tenaga yang tak terlihat, dia menekan Jaka untuk bersikap hormat.
"Maafkan, Eyang. Aku yang sudah tua ini tidak bisa mendidik murid," ucap Ki Kamanda.
"Aku menyukai jiwa muda dengan darah panas.
Dengan taring menyengat dan gigitan kuat. Tetapi, bila darah panas tak pernah dikendalikan, akan mengalahkan pemiliknya!" "Maafkan aku, Eyang." "Hmmm.... Kau seharusnya sudah memperhitungkan keadaan ini sebelumnya, bukan" Kamanda, ketahuilah. Lawan yang sedang kau cari ini adalah manusia keji yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Kekejamannya melebihi iblis dari mana pun! Bukannya aku tidak mempercayai kemampuanmu bersama anak muda ini. Tetapi, ingatkah kalau Perguruan Cakar Maut mu itu telah porak-poranda. Bahkan juga telah menewaskan si Buwana?" Rupanya, kabar tentang hancurnya Perguruan Cakar Maut telah sampai pula di telinga Eyang Purnama.
"Tetapi, Eyang! Kami tetap akan mendatangi Iblis Penghela Kereta!" tukas Ki Kamanda dengan suara tetap penuh hormat.
"Baiklah. Tetapi kusarankan, lebih baik menunggu waktu yang tepat, Kamanda. Dan, pernahkah kau mendengar sepak terjang seorang anak muda yang konon berasal dari Lembah Kutukan?" "Pernah, Eyang." "Hmmm.... Sampai saat ini, aku memang belum pernah mengetahui orangnya. Namun julukannya telah sampai di telingaku. Pemuda sakti buyut dari Ki Saptacakra itu memiliki ajian-ajian dari Lembah Kutukan yang sangat tangguh. Ada baiknya bila kau mencari pemuda itu untuk meminta bantuannya." "Baik, Eyang. Tetapi tahukah Eyang jalan menuju Lembah Ular?" tanya Ki Kamanda kemudian.
Eyang Purnama tersenyum.
"Berjalanlah lurus. Hati harus bersih. Jaga sepak terjang mu. Terutama, anak muda ini," ujarnya.
Ki Kamanda tahu, Eyang Purnama tidak ingin memberitahukan di mana Lembah Ular itu berada.
Mungkin memang ada pertimbangan lain.
"Terima kasih atas nasihat Eyang." "Jangan berterima kasih kepadaku. Kepada Penguasa Jagat inilah kau harus bersyukur...." Sebelum Ki Kamanda berkata lagi, tubuh Eyang Purnama sudah lenyap, tak tertangkap oleh matanya.
Ki Kamanda langsung berlutut dengan wajah menunduk. Suasana kembali sunyi.
"Paman.... Siapa sebenarnya orang bongkok itu?" tanya Jaka yang sejak tadi diam saja menahan jengkel. Pemuda ini sebenarnya sudah siap maju dengan kerisnya! Dan ia yakin, paling tidak bisa mengimbangi kakek bongkok itu tadi.
Tapi entah mengapa, gerakannya seperti tertahan.
Ki Kamanda berdiri seraya menengadah.
"Jaka.... Kau memang masih terlalu muda untuk mengetahui betapa anehnya dunia ini. Eyang Purnama tetap bijaksana seperti dulu," ucap Ki Kamanda.
"Siapa dia, Paman?" tanya Jaka semakin penasaran.
"Dulu..., begitu banyak yang menyeganinya. Dulu, begitu banyak yang menghormatinya. Tetapi setelah tidak pernah muncul dalam rimba persilatan, tak seorang pun yang pernah mengenalnya. Apalagi menyebut namanya. Sungguh, Penguasa Jagat ini telah mempertemukan kita dengannya." "Paman..., mengapa ajian kebanggaan Perguruan Cakar Maut tak ada gunanya saat berhadapan dengan dia?" "Kau tidak pernah tahu, betapa tingginya langit.
Kau juga tidak pernah tahu, betapa dalamnya lautan.
Itulah yang disebut di atas langit masih ada langit." Memang, yang ada dalam pikiran Jaka hanyalah mencari orang yang telah menebarkan maut mengerikan.
"Paman..., siapa pula pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu?" tanya Jaka, kemudian.
"Namanya Andika. Julukannya Pendekar Slebor.
Telah lama aku mendengar sepak terjangnya sebagai orang dari golongan lurus. Dia telah memberantas beberapa tokoh jahat yang telah lama malang melintang di muka bumi ini. Bahkan, aku sempat mendengar kalau dia telah menghancurkan gerombolan iblis yang bersatu dalam kelompok Sembilan Iblis, yang ditunggangi Raja Akhirat," jelas Ki Kamanda sambil mere-nung. (Untuk mengetahui siapakah Gerombolan Sembilan Iblis itu silakan baca episode: 'Istana Sembilan Iblis').
Diam-diam Ki Kamanda yakin, kalau Pendekar Slebor akan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini. Hanya sayangnya, kedudukan itu tidak diinginkan.
"Jaka, sudah seharusnya kau mulai belajar menghadapi kehidupan ini. Sekarang, kita hanya tinggal berdua. Kitalah yang sudah seharusnya membalas sakit hati saudara-saudara kita yang telah tewas dibunuh Iblis Penghela Kereta," lanjut Ki Kamanda.
"Kau benar, Paman. Kita memang harus membalaskan sakit hati saudara-saudara kita!" tandas Jaka, mengepalkan tangannya.
Tiba-tiba tangannya mengibas penuh amarah.
Werr...! Seketika serangkum angin keras menderu ke arah sebuah pohon besar.
Duuuaaarrr! Terdengar ledakan keras bersama robeknya pohon besar itu.
"Kutu monyet! Sinting! Sinting! Siapa yang berani menggangguku yang lagi asyik 'buang hajat ini, hah"!" Tiba-tiba terdengar makian bernada jengkel.

***

--o [ 3 ] o--

Ki Kamanda dan Jaka memandang tajam pada satu sosok tubuh yang muncul sambil memaki-maki.
Dia adalah seorang pemuda berambut gondrong. Matanya setajam elang dengan kedua alis menukik bagaikan kepakan elang yang marah. Pakaiannya berwarna hijau pupus, dengan kain bercorak catur di bahunya.
"Hayo! Ngaku saja, siapa yang iseng mengganggu keasyikan ku, hah"!" seru pemuda ini sambil melotot dan menuding ke arah Ki Kamanda dan Jaka.
Ki Kamanda menjadi terheran-heran. Terutama Jaka. Dia tadi tidak menyangka kalau ada orang yang hampir saja termakan pukulan mautnya. Tetapi ia pun tidak suka dibentak-bentak seperti itu. Mendadak saja tubuhnya melompat tiga tindak ke depan.
"Pemuda bodoh! Apa urusannya kau dengan kami, hah"! Lebih baik pergi dari sini, sebelum pikiranku berubah!" bentak Jaka, sengit.
"Enak saja! Habis mencelakai orang disuruh pergi! Hayo, ngaku! Siapa yang mengganggu keasyikan ku tadi, hah"!" rutuk si pemuda berbaju hijau pupus, melotot. Jaka yang dipecundangi Eyang Purnama dalam sekali gebrak tadi, menjadi jengkel. Apalagi bila mengingat bagaimana perguruannya kini hancur akibat perbuatan Iblis Penghela Kereta. Dan marahnya kian menggelegak saja. Lalu...
"Heaaa!" Mendadak saja tanpa banyak cakap, Jaka berkelebat ke arah pemuda berbaju hijau pupus itu.
Pemuda berbaju hijau jadi garuk-garuk kepala sambil menggeleng-geleng.
"Busyet! Bukannya mengaku malah menyerang!" serunya sambil memiringkan tubuhnya sedikit menghindari serangan Jaka dengan manisnya. Bahkan secepat kilat tangannya bergerak mengibas.
Wuuuttt! Jaka terkejut mendapatkan serangan mendadak itu. Segera serangannya sendiri ditarik langsung dipapaknya pukulan itu.
Plak! Tiba-tiba saja Jaka merasa tangannya kesemutan.
Namun hal itu bukannya membuatnya mundur. Malah diserangnya pemuda berbaju hijau semakin menjadi-jadi.
"Edan! Bukannya minta maaf, malah nekat! Kalau tidak mau minta maaf, ya sudah. Toh buang hajat ku sudah selesai!" kata pemuda berbaju hijau pupus, sambil menggeleng-geleng.
Dan seketika pemuda dengan kain corak catur itu kembali memiringkan tubuhnya, menghindari setiap sambaran tangan Jaka yang berbentuk cakar. Suara keras terdengar, setiap kali Jaka mengibaskan tangannya.
"Jangan hanya bisa menghindari! Balaslah aku kalau mampu!" dengus Jaka, melihat sejak tadi serangannya tak satu pun yang masuk. Sementara itu, Ki Kamanda hanya memperhatikan dengan kening berkerut. Otaknya mengingat sesuatu, namun tak mampu. Makanya dia hanya berdiam sambil mengingat-ingat, apa yang ada di otaknya.
"O, jadi itu maumu" Baik, baik! Nah! Cobalah hadapi seranganku ini!" seru pemuda berbaju hijau pupus sambil melenting ke belakang.
Begitu kedua kakinya hinggap ringan di tanah, dengan pencalan satu kaki pemuda itu tiba-tiba menderu maju. Jaka pun berbuat yang sama, setelah menambah tenaganya. Memang ketika lengannya berbenturan tadi bisa merasakan kalau tenaga si pemuda berbaju hijau pupus sangat tinggi. Maka setelah menambah tenaganya, dicobanya memapak serangan itu dengan cakar mautnya. Plak! Pukulan pemuda berbaju hijau itu bisa diatasi Jaka. Namun Jaka jadi sangat terkejut. Karena dengan gerakan yang sukar diikuti mata, tahu-tahu pemuda berbaju hijau pupus telah berbalik sambil mengibaskan tangannya. Lalu....
Desss...! "Aaakh...!" Mantap sekali dada Jaka terhantam. Dan akibatnya tubuhnya terhuyung ke belakang. Tanpa sadar tangan kanannya memegangi dada.
"Bangsat!" "He he he... Salah kau sendiri! Bukankah kau yang menyuruhku untuk membalas" Ah, sudahlah! Lebih baik aku pergi saja!" tukas pemuda berbaju hijau pupus.
"Bangsat! Jangan harap bisa keluar dari pertarungan ini!" seru Jaka segera memasang kuda-kuda kembali. Tapi sebelum Jaka mengumbar amarahnya kembali, Ki Kamanda sudah melompat ke tengah dengan merentangkan tangannya. Dalam sekali lihat saja, dia ta-hu kalau ilmu yang dimiliki Jaka tidak akan mampu menandingi si pemuda berbaju hijau yang cuma cengar-cengir saja.
"Anak muda, maafkan kelancangan muridku...." Pemuda berbaju hijau pupus itu tersenyum. Sejak tadi dia pun sebenarnya tidak menginginkan pertarungan. Tetapi pemuda berbaju putih itu yang telah mendahuluinya.
"Paman, tak ada yang perlu dimaafkan," sahutnya sambil menjura.
Diam-diam Ki Kamanda tersenyum melihat sikap si pemuda.
"Sudahlah.... Kita tak pernah punya silang sengketa. Tak perlu meneruskan amarah di dada. Anak muda, siapakah namamu?" tanya Ki Kamanda, sambil memperhatikan.
"Namaku Andika, Paman...." "Andika," ulang Ki Kamanda seperti bergumam.
Tahu-tahu kepalanya mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Tak pernah kusangka, kalau hari ini aku, Kamanda bertemu pemuda sakti dari Lembah Kutukan." Pemuda yang ternyata Andika alias Pendekar Slebor itu hanya tersenyum saja.
"Jangan memujiku setinggi langit, Paman. Aku jadi risih-mendengarnya...." "Maafkan atas kelancangan muridku yang bernama Jaka itu. Baru pertama kali keluar dari perguruan, sudah mengalami peristiwa yang cukup menggetar-kannya. Karena selama ini, dia belum pernah bertarung dengan tokoh-tokoh rimba persilatan," jelas Ki Kamanda.
Andika hanya tersenyum saja.
"Tidak ada masalah yang besar, Paman." Sementara itu, Jaka yang mendengarkan percakapan diam-diam mendesah. Jadi, pemuda inikah yang tadi dikatakan Eyang Purnama sebagai pemuda sakti yang telah menggemparkan rimba persilatan" Pantas saja 'Cakar Maut Menelan Mangsa' tak ada gunanya menghadapi dia tadi. Lalu dengan jiwa ksatria, Jaka mendekati Andika.
"Pendekar..., maafkan atas kelancanganku...," ucap laka sambil menjura hormat.
Andika terbahak-bahak.
"Pendekar" Ha ha ha.... Siapa yang jadi pendekar" Jangan terlalu terpengaruh omongan orang lain. Malu rasanya dipanggil Pendekar," sahut Pendekar Slebor merendahkan diri.
"Sudahlah, coba kulihat lukamu." Jaka membuka pakaiannya Seketika terlihat lengan kanannya membiru. Sementara Pendekar Slebor mengobatinya dengan jalan mengurut. Perlahan-lahan dirasakannya sesuatu yang mengaliri lengannya.
"Sebentar lagi, kau akan merasakan tenagamu sudah pulih seperti sediakala. Dan rasa sakitnya perlahan-lahan akan menghilang dengan sendirinya," jelas Andika setelah mengobati.
"Maafkan aku, Paman, karena tak ada lagi yang perlu dibicarakan, izinkan aku untuk meninggalkan tempat ini...." "Andika...," panggil Ki Kamanda, menahan langkah Pendekar Slebor.
"Ada persoalan yang meminta ku untuk menahanmu di sini" Andika berbalik. Ditatapnya Ki Kamanda yang tengah memandangnya penuh harap.
"Hmmm.... Persoalan apakah gerangan, Paman?" Lalu tanpa sungkan lagi, Ki Kamanda menceritakan tentang seorang tokoh sesat berjuluk Iblis Penghe-la Kereta yang tengah membuat keonaran di rimba persilatan. Tanpa sungkan pula, dijelaskan kalau bantuan Pendekar Slebor sangat diharapkan.
"Hmmm.... Siapakah sesungguhnya Iblis Penghela Kereta itu, Paman?" tanya Andika.
"Apakah semacam kusir delman" Ataukah... lebih pantas disebut penarik gerobak?" selorohnya.
Ki Kamanda tersenyum mendengar gurauan itu.
"Aku tidak tahu, siapakah dia sesungguhnya. Julukannya pun baru kudengar saat ini." "Jangan-jangan..., dia cuma pembajak sawah yang kerjanya iseng mengganggu orang lain" Ha ha ha.... Kalau cuma membajak sawah sih, biar saja kita jadikan dia kerbaunya!" Bukan hanya Ki Kamanda yang tersenyum. Jaka yang diam-diam mengagumi kepandaian Pendekar Slebor pun tersenyum mendengar selorohan itu.
"Bahkan kita akan meratakannya dengan bumi, Andika." tambah Ki Kamanda.
"Itulah sebabnya aku meminta bantuanmu, sesuai petunjuk Eyang Purnama." "Nah, nah.... Siapa lagi dia" Kenapa namanya tidak menjadi Eyang Matahari saja?" "Eyang Purnama adalah tokoh sakti yang telah lama menghilang dari rimba persilatan. Kalau kemunculannya kali ini terasa mendadak sudah jelas ada masalah besar yang mengganggunya." "Hmmm.... Aku jadi ingin berjumpa dengannya, Paman. Tetapi, he he he.... Apakah Paman sudah yakin untuk meminta bantuanku?" tanya Andika.
"Aku tidak memiliki kemampuan apaapa yang seperti Paman duga..." Lagi-lagi Ki Kamanda diam-diam memuji sikap Pendekar Slebor. Dia tahu, bila saja pemuda ini memiliki jiwa sesat, bukan mustahil nyawa Jaka akan lenyap.
"Andika.... Nama besarmu sudah terdengar sampai ke telingaku ini." Andika tersenyum.
"Baiklah, Paman. Aku akan membantumu. Aku pun tak pernah suka melihat kejahatan terus-menerus terjadi. Ki Kamanda, di manakah Iblis Penghela Kereta itu tinggal?" Ki Kamanda mendesah lega.
"Menurut kabar, dia telah membangun pemukiman di Lembah Ular." "Oh! Aku pernah mendengar nama tempat itu.
lembah Ular sangat jauh dari sini." "Kau benar, Andika. Kita membutuhkan waktu sekitar enam hari lagi untuk tiba di sana." Andika terdiam.
"Dalam waktu selama ini, aku yakin Iblis Penghela Kereta tentu telah membuat keonaran yang semakin menjadi-jadi. Kalau begitu, Paman, lebih baik kita segera menuju ke Lembah Ular," gumam Andika, akhirnya. Ki Kamanda mengangguk.
"Itu pula yang ku pikirkan. Andika, kau bisa bersama-sama berkuda dengan Jaka," ujar laki-laki setengah baya itu.
Andika terkekeh-kekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku ingin melemaskan otot-otot kakiku. Lebih baik aku berlari saja mengikuti kalian."

***

--o [ 4 ] o--

Lembah Ular membentang luas, dikelilingi pepohonan lebat. Suasana begitu menyeramkan. Sesuai namanya, di tempat itu hidup berbagai macam ular berbisa yang ribuan jumlahnya.
Di tengah-tengah Lembah Ular itulah terdapat sebuah perkampungan yang tidak sebagaimana lazimnya. Di situ, berdiri sebuah perkampungan tempat Iblis Penghela Kereta dan gerombolannya bermukim.
Di sana pula disekap gadis-gadis cantik yang dijadikan pemuas nafsu mereka. Juga, puluhan pemuda yang sengaja dilatih untuk pengawal-pengawal Iblis Penghela Kereta.
Di salah satu rumah yang paling besar, saat ini Iblis Penghela Kereta tengah kedatangan beberapa tokoh sesat. Mereka memang sengaja diundang untuk membantu mewujudkan cita-citanya menjadi orang tak terkalahkan di rimba persilatan.
Sesungguhnya Iblis Penghela Kereta bernama Sunsang. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut gondrong. Wajahnya dipenuhi bisul-bisul menahun yang tak pernah pecah. Matanya memancarkan sinar kemerahan yang mengerikan. Hidungnya bengkok seperti paruh burung betet. Pakaian kelabu, seperti warna kulitnya yang konon terlalu banyak menganut ilmu. Di pinggangnya melilit sebuah tali panjang berwarna kelabu pula. Ia duduk di sebuah kursi besar di belakang sebuah meja panjang yang di atasnya terdapat buah-buahan dan minuman.
Para tokoh sesat duduk di hadapan Iblis Penghela Kereta. Mereka berjumlah tiga orang. Yang berpakaian putih bersih adalah seorang lelaki berusia lima puluh tahun. Wajahnya tampan.
Ikat kepalanya berwarna putih. Di tangannya terdapat sebuah kipas berwarna merah yang sejak tadi dipergunakannya. Namanya Bramantoro. Sejak muda, dia telah memakan ratusan dara perawan. Maka tak heran kalau dijuluki Kipas Dewa Hidung Belang.
Duduk di sebelah Bramantoro adalah laki-laki bercelana pangsi hitam, namun bertelanjang dada. Sepasang matanya sipit. Kulitnya putih bersih agak kemerahan. Rambutnya yang panjang dikuncir kuda. Otot tubuhnya menyembul keluar. Namanya Tek Jien. Tapi di kalangan persilatan dikenal sebagai si Tangan Seri-bu. Yang terakhir adalah seorang wanita tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Wajahnya keriput, tak ubahnya seperti nenek sihir. Pakaiannya kuning. Bibirnya selalu terbuka, menampakkan kegenitannya. Di tangannya terdapat sebuah tongkat berkepala naga.
Dia dikenal dengan nama Ni Muntiti atau berjuluk si Pesolek Tongkat Naga.
Percakapan telah terjadi di antara mereka sekitar penawaran Iblis Penghela Kereta yang meminta untuk bergabung. Dan itu telah disetujui.
"Kawan Sunsang...," sebut Bramantoro.
"Bila melihat kekuatanmu dan kesaktianmu yang semakin bertambah, namun ada kendala yang tak bisa didiamkan." "Hmmm.... Kendala apa itu?" tanya Sunsang dengan wajah memerah. Belum apa-apa Bramantoro su- dah memperlihatkan sikap pengecut. Begitu kata batinnya."Tentang seorang pemuda sakti dari Lembah Kutukan," jelas Kipas Dewa Hidung Belang.
"Maksudmu Pendekar Slebor?" tukas Iblis Penghela Kereta sambil terbahak-bahak.
"Kau tidak perlu takut. Memang, pemuda dari Lembah Kutukan itulah yang sudah lama ku pikirkan sebagai penghalang berat. Akan tetapi, aku telah mempunyai cara untuk mengatasinya." "Bisakah kami mengetahuinya?" tanya Tek Jien, tokoh persilatan dari negeri Tiongkok yang juga sudah mendengar nama besar Pendekar Slebor.
"Ha ha ha...! Mengapa kita harus membicarakan soal itu dulu" Itu tidak terlalu penting. Kalian bisa bersenang-senang dulu bila mau. Gadis-gadis cantik telah siap menghibur kalian," ujar Iblis Penghela Kereta.
"Hhh!" dengus si Pesolek Tongkat Naga.
"Boleh saja kalian bersenang-senang dulu. Tetapi, aku ingin tahu bagaimana cara mengatasi si Pendekar Sialan itu!" Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dia tahu, Pesolek Tongkat Naga memiliki sifat panasan dan tak sabaran.
"Mudah sekali. Pertama, aku akan mengundang para tokoh baik dari golongan lurus maupun sesat, untuk menghadiri pesta yang akan ku adakan." "Gila! Untuk apa kau melakukan itu?" seru Pesolek Tongkat Naga.
"Ha ha ha.... Sudah tentu untuk membunuh mereka. Ini cara yang termudah. Dalam setiap makanan dan minuman yang dihidangkan, akan dibubuhi racun yang sangat mematikan. Bukankah dengan cara seperti itu kita tidak perlu lagi turun tangan terlalu repot, hah"!" Ketiga tokoh sesat undangan Sunsang tertawa mendengar usul yang menakjubkan itu. Tetapi Pesolek Tongkat Naga belum puas.
"Lalu, cara membunuh Pendekar Slebor?" tanyanya.
"Kita akan melakukan cara yang sama." "Hhh! Tak mudah mengelabuinya seperti itu." "Apakah dia akan bisa menolak bila dalam minuman atau makanannya dibubuhi obat perangsang lebih dulu" Bila sudah terjebak, maka beberapa gadis pilihan ku akan siap menghiburnya. Sekaligus membuatnya lemah. Saat itulah cara yang termudah untuk menghancurkan Pendekar Slebor!" Dua tawa sekaligus terdengar dari mulut Bramantoro dan Tek Jien. Sementara, Pesolek Tongkat Naga terdiam.
"Bagaimana bila hidangan yang disediakan tidak diminum atau dimakannya?" "Ada cara lain yang akan membuatmu terkejut melihatnya nanti, Ni Muntiti," sahut Iblis Penghela Kereta sambil terbahak-bahak keras.
"Bila telah berhasil menghancurkan para tokoh rimba persilatan, kita akan melebarkan sayap untuk menguasai beberapa perguruan. Kita paksa mereka untuk bergabung. Cara seperti ini akan mudah sekali kita lakukan. Karena, beberapa tokoh sakti yang akan diundang nanti, juga terdapat beberapa ketua dari perguruan silat." Ketiga kawan Iblis Penghela Kereta terdiam. Mereka mengagumi siasat Iblis Penghela Kereta yang begitu mudah.

***

Lima hari kemudian.
Malam merambat perlahan. Meskipun sekarang purnama terlihat membulat, namun sinarnya seakan tak mampu. menembus Lembah Ular yang dipenuhi pepohonan tinggi besar berdaun rimbun.
Di Lembah Ular suasana tampak ramai sekali. Kalau biasanya hanya dimaraki oleh gerombolan Iblis Penghela Kereta, kali ini didatangi lima belas orang da-ri rimba persilatan yang memenuhi undangan tokoh sesat itu. Obor besar telah menyala di setiap sudut, di rumah besar tempat Iblis Penghela Kereta tinggal.
Dalam undangannya, Iblis Penghela Kereta mengatakan kalau akan membuat perguruan di Lembah Ular. Sudah tentu hal itu lazim di rimba persilatan.
Setiap peresmian perguruan yang baru muncul, memang selalu mengundang para tokoh.
Jamuan pun disediakan. Pesta arak pun berlangsung meriah. Tokoh dari golongan sesat langsung saja menikmati hidangan yang disuguhkan. Sementara para tokoh dari golongan putih tidak menyentuh arak sedikit pun. Namun untuk menghormati tuan rumah, mereka mencicipi hidangan lainnya.
Puluhan gadis jelita berpakaian tipis tembus pandang hingga memperlihatkan auratnya, pun menjadi penghibur mereka. Seketika terlihat pemandangan yang sesungguhnya menjijikkan bagi tokoh-tokoh golongan putih. Para tokoh dari golongan hitam seperti anak kecil yang berebut mainan berburu-buru merangkul gadis pilihannya.
Melihat hal ini, tokoh dari golongan putih hanya mengerutkan keningnya saja. Pesta apa ini" Begitu mereka bertanya dalam hati. Belum terjawab pertanyaan mereka, tiba-tiba saja sesuatu yang aneh di tubuh mereka terjadi. Perlahan-lahan rasa arak itu membakar sekaligus menjilat-jilat birahi mereka.
Apalagi, gadis-gadis itu terus melenggak-lenggok menari dengan suara mendesah-desah. Perlahanlahan tarian yang semula sopan kini berubah menjadi brutal, diiringi suara gendang yang semakin merangsang. Dan perlahan-lahan, para penari membuka pakaian satu persatu. Hingga akhirnya, mereka pun bertelanjang bulat. Bahkan bergerak semakin liar! Di samping telah dibubuhi racun, makanan dan minuman itu pun telah dibubuhi obat perangsang yang kuat. Sehingga, lambat laun para tokoh golongan putih mulai terpengaruh pula. Meskipun mereka bertanya-tanya, namun pengaruh obat perangsang itu sudah menjalari darah dan membakar semangat mereka. Dan seketika mereka kehilangan rasa malu.
Serentak mereka meraih gadis-gadis yang berada paling dekat sambil terbahak-bahak. Sementara, gadis-gadis yang diraih mendesis-desis penuh rangsangan. Perbuatan tak senonoh pun terjadi.
Di lain tempat, Iblis Penghela Kereta tersenyum puas melihat rencananya berhasil.
"Kalian lihat itu, hah"! Sekuat-kuatnya mereka, apalagi ditambah obat perangsang yang telah merasuk ke tubuh dan darah, sudah tentu mereka tak akan kuat menahan gelora birahi yang ada di jiwa!.Apalagi..., ha ha ha...! Gadis-gadisku itu sangat menggairahkan.... Dengan cara seperti inilah Pendekar Slebor akan kita habisi riwayatnya...," bisik Sunsang pada tiga tokoh sesat kawan dekatnya.
Sementara itu tarian penuh rangsangan dan alunan gendang semakin menghanyutkan suasana dan gelora asmara menggelegak. Gerakan-gerakan liar terus menerus menyemaraki pandangan, membangkit rangsangan. ....
Kesadaran para tokoh dari golongan putih telah hilang. Dan tanpa malu-malu lagi, mereka membawa gadis-gadis yang dikehendaki ke kamar yang telah disediakan Iblis Penghela Kereta.
Mereka benar-benar tidak sadar kalau maut mengintai. Begitu sampai di kamar, mereka terburu-buru membuka pakaian serta melompat ke tempat tidur di mana gadis yang dibawa tadi telah merebahkan tubuh tanpa busana. Langsung digelutinya gadis-gadis itu dengan penuh nafsu! Namun sesaat kemudian, mata mereka mendelik dengan suara tertahan. Sebuah pisau berkali-kali dihujamkan di tubuh mereka oleh gadis-gadis itu. Hingga akhirnya, para tokoh golongan putih menggelosor dengan nyawa melayang.
Sementara gadis-gadis itu segera bangkit dan mengenakan pakaian kembali. Sikap mereka begitu dingin. Tak heran, karena mereka telah dipengaruhi jiwanya oleh Iblis Penghela Kereta, sehingga menjelma bagaikan boneka hidup yang mengikuti kemauan pen-ciptanya.
Dalam semalam saja, lima belas nyawa para tokoh telah melayang.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak, begitu mendengar laporan dari para gadis yang menjadi pengikutnya.
"Ha ha ha.. Ini adalah cara terbaik bagi kita untuk menguasai rimba persilatan! Tidak perlu membuang tenaga seperti yang telah kulakukan pada Perguruan Cakar Maut" teriak Iblis Penghela Kereta lantang.
Sunsang lantas memerintahkan anak buahnya menguburkan mayat-mayat tokoh putih di belakang perkampungan.

***

--o [ 5 ] o--

Berita kematian lima belas tokoh rimba persilatan di tangan Iblis Penghela Kereta sampai juga di telinga Ki Kamanda, Jaka, dan Pendekar Slebor.
"Gila! Rupanya Iblis Penghela Kereta memiliki cara yang sangat jitu untuk menghancurkan rimba persilatan. Dengan mudahnya para tokoh rimba persilatan itu dibunuhi," desis Ki Kamanda dengan gigi bergeme-letuk menahan amarah.
Andika mengangguk-angguk. Hatinya pun terasa panas. Akan tetapi ada satu hambatan yang dirasakannya.
"Kurasa, para tokoh itulah yang tidak bisa mengatasi diri sendiri," gumam Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu, Andika?" tanya Jaka, tak mengerti. Semenjak bersama-sama Pendekar Slebor, pemu- da itu berusaha untuk mengatasi rasa marahnya. Baru kali ini dipahami kata-kata yang diucapkan Eyang Purnama beberapa hari lalu.
"Maksudku..., sebagai seorang tokoh yang telah mengenyam banyak asam garam, sudah seharusnya mereka waspada terhadap undangan seorang tokoh sesat macam Iblis Penghela Kereta. Lihat dulu. Apa itu undangan bahwa Iblis Penghela Kereta mau sunat lagi, atau mau kawin lagi" Masalahnya kalau undangan tanpa juntrungan yang mengundang tokoh-tokoh baik dari golongan sesat maupun golongan lurus, biasanya hanya untuk hura-hura saja. Maka bisa jadi kalau kematian lima belas tokoh itu adalah karena nafsu mereka sendiri. Dalam hal ini mereka tidak siap. Mereka hanya menekankan pada nafsu!" duga Andika panjang lebar.
"Andika.... Bagaimana kau bisa menebak kalau mereka termakan nafsu birahi mereka sendiri?" tanya Jaka heran.
"Bukankah mereka terjebak?" Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Mudah saja. Seperti kata-katamu tadi, mereka terjebak. Nah, mengapa mudah sekali mereka bisa terjebak" Karena di rimba persilatan ini ada hukum tak tertulis, bila sebuah perguruan silat didirikan, maka banyak undangan disebar untuk para tokoh persilatan. Dan kabarnya Iblis Penghela Kereta menyebar undangan untuk mendirikan sebuah perguruan silat. Kalau itu benar, maka dalam hal ini para tokoh yang terbunuh telah bertindak teledor. Mereka tak melihat, siapa yang mengundang. Biasanya kalau tokoh sesat mengundang, pasti ada rencana busuk yang akan ditujukan pada tokoh-tokoh golongan putih. Bisa saja mereka dihidangkan makanan dan minuman yang sebenarnya telah dibubuhi racun atau obat perangsang. Setelah itu... hmmm... Pasti mereka disuguhi gadis-gadis cantik yang membuat lupa diri. Dan selanjutnya..., yah....
Mereka pasti masuk ke kamar, lalu dengan mudah dibunuh seperti membunuh kutu busuk saja. Sekali pencet..., cess.... Karena, membunuh lima belas tokoh yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi bukanlah hal yang mudah...," jelas Pendekar Slebor, sambil memperagakan gerakan memencet kutu busuk. Jaka hanya mengangguk-angguk saja. Diam-diam dikaguminya sikap Pendekar Slebor. Karena meskipun urakan, namun memiliki hati bersih, dan ketenangan dalam bersikap.
Begitu pula yang dirasakan Ki Kamanda. Lagi-lagi kekagumannya pada Pendekar Slebor bertambah. Rupanya, pemuda itu tidak hanya memiliki sifat urakan, melainkan juga memiliki jiwa dan pemikiran tinggi.
"Andika... Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Ki Kamanda kemudian sambil menatap pemuda dari Lembah Kutukan itu.
Andika cengar-cengir saja.
"Jadi tidak enak, nih, ditanya seperti itu. Alah, Paman.... Mestinya Paman dong, yang memberikan jalan keluar. Kalau menurutku, lebih baik segera menyerang saja ke Lembah Ular. Kita obrak-abrik pemukiman Iblis Penghela Kereta. Hhh! Aku jadi tidak sabar untuk menghancurkan manusia pembajak sawah itu!" Ki Kamanda mengangguk.
"Aku pun menginginkan hal itu. Karena, bisabisa Iblis Penghela Kereta akan semakin meluaskan kekuasaannya secara keji. Kita harus segera menuju ke Lembah Ular!" Ki Kamanda segera menaiki lagi kudanya. Begitu pula Jaka. Andika yang sejak pertemuannya dengan keduanya, hanya terus berlari cepat saja mengikuti mereka. Sebenarnya, Ki Kamanda ingin menguji kepandaian pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan itu.
Dan dia terkejut ketika melihat Andika berlari di sisi kudanya sambil bersiulsiul! Padahal, kuda yang di-naikinya adalah kuda pilihan.
"Ayo, Andika. Kita harus segera menuju Lembah Ular" serunya.
"Paman...! Dan kau, Jaka! Lebih baik kita berpisah saja," cetus Andika.
"Hei" Apa maksudmu, Andika?" tanya Ki Kamanda dengan kening berkerut tak mengerti.
"Bila kita bersama-sama menyerang ke Lembah Ular, bisa dipastikan akan terkurung. Sekaligus, nyawa kita akan terhempas di sana. Maksudku, bila aku yang lebih dulu datang ke sana, untuk melihat keadaan, dan ternyata terjebak di sana, maka ada Paman dan Jaka yang bisa meneruskan perjuangan untuk menghancurkan Iblis Penghela Kereta." "Hmmm, kalau begitu biar aku dan Paman Kamanda yang mendahului tiba di sana," sahut Jaka.
"He he he..., jangan. Kalian tetap tinggal di sini! Tunggu kabar dariku! Bila dalam tiga hari aku tidak kembali ke sini, maka kalian bisa langsung menuju Lembah Ular," ujar Pendekar Slebor.
"Tetapi, Andika...." "Paman, kepentingan kita sekarang sama. Tanpa Paman suruh pun aku akan mencoba menghancurkan Iblis Penghela Kereta dan gerombolannya," potong Andika.
"Baiklah, Andika....
Kami akan menunggumu di Hutan Witis." "Itu lebih baik. He he he..., aku akan berangkat lebih dulu. Ingat, Paman....
Tiga hari aku tidak muncul di Hutan Witis, segeralah berangkat ke Lembah Ular." Sebelum Ki Kamanda menganggukkan kepalanya, tubuh Pendekar Slebor sudah berkelebat cepat dari pandangan. Wuuusss! Ki Kamanda berdecak kagum.
"Jaka.... Kau harus bisa menyamai pikiran Pendekar Slebor yang menunjukkan tingkat kedewasaannya," ujar Ki Kamanda pada Jaka.
Jaka hanya mengangguk saja.
Ki Kamanda pun mengajaknya untuk menuju Hutan Witis yang letaknya sepenanak nasi dari hutan kecil itu. Akan tetapi, belum lagi mereka berangkat...
"Nyai! Jangan-jangan kedua monyet itu gerombol dari Iblis Penghela Kereta!" Terdengar sebuah suara yang membuat mereka tersentak.

***

Ki Kamanda mengurungkan niatnya untuk menggebah kudanya. Begitu pula Jaka. Serentak mereka melompat dari kuda. Sesaat kemudian, muncul dua sosok tubuh ramping ke tempat itu. Satu berusia muda, dan satunya sudah cukup tua. Sudah tentu kemunculan mereka membuat Ki Kamanda terheranheran. Apalagi Jaka.
"Nyai.... Mereka seperti orang dungu melihat kehadiran kita!" cetus seorang gadis jelita yang berada di sisi wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun. Da-ra jelita itu berpakaian jingga. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Di pinggangnya terdapat sebuah selendang berwarna jingga pula.
"He he he.... Bisa dimaklumi, Manis. Itu sudah pasti. Laki-laki kelaparan seperti mereka, akan bernaf-su sekali melihatmu yang seperti bidadari!" sahut wanita tua berpakaian merah menyala itu. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, dalam pengaturan yang rapi. Wajahnya sedikit dihiasi kerut. Di pinggangnya juga terdapat sehelai selendang warna-warni.
"Cuh! Kurang ajar sekali! Siapakah di antara mereka yang paling kurang ajar, Nyai?" dengus gadis itu sambil meludah. Dirinya tersinggung karena dipan-dangi seperti itu.
"Carilah sendiri!" Gadis itu menggeram.
"Akan kupatahkan lehernya!" Pandangan gadis itu tertuju pada Jaka yang memang sejak tadi begitu terpana. Selama ini bila mengikuti Ki Kumanda keluar dari Perguruan Cakar Maut, sering kali melihat gadis-gadis cantik. Namun dia belum pernah melihat gadis secantik ini.
"Nyai..., aku tahu siapa yang begitu kurang ajar melihatku!" seru gadis itu tiba-tiba.
"Nah! Untuk apa kau berdiam diri! Silakan beri pelajaran kepadanya!" Mendadak saja gadis itu melompat manis sekali.
Gerakannya terlihat begitu gemulai, laksana seorang penari. Tetapi Ki Kamanda yang memperhatikannya, tau kalau gerakan itu sebenarnya begitu dahsyat karena ditunjang tenaga dalam tinggi.
Serangan itu ditujukan pada Jaka, yang justru masih dalam keadaan terpesona! "Kau akan mati dengan sekali gebrak, Jaka!" Jaka terhenyak. Keterpesonaannya lenyap ketika merasakan ada hawa panas mendekatinya. Dengan sigap tubuhnya dimiringkan, maka serangan itu luput.
"Hei, Nyai! Dia bisa menghindari" kata gadis itu, begitu berbalik.
"Langkahkan kakimu dua langkah ke muka, beri dia sedikit napas! Putar tiga jejak, lalu hantam!" Ki Kamanda tahu, gerakan itu sebenarnya teramat sukar dilakukan. Berputar tiga jejak itu berarti lima belas derajat.
Sementara tempat Jaka begitu jauh. Jelas itu suatu perbuatan sia-sia untuk menyerang. Tetapi bisa diduga kalau itu adalah siasat bela-ka. Apa arti hantam itu sebenarnya" "Jaka...! Maju dua langkah ke muka. Tetap berdiri di sana. 'Cakar Maut Mengurung Mangsa' tingkat kesebelas bisa kau gunakan. Jangan memapaki tangannya!" teriak Ki Kamanda.
"He he he.... Hebat, hebat! Kamanda! Telah lama kita tidak jumpa! Biarlah anakanak kita bermain-main sebentar! Aku yakin, di samping digembleng oleh Buwana, pemuda itu pasti mendapatkan ilmu langsung darimu! Putar tubuhmu, Manis! Serang bagian bawah!" "Melompat ke muka, Jaka! Hantam dengan kakimu! Wanita itu berdecak.
"Kau masih tetap hebat, Kamanda! Meskipun kita tidak pernah bertempur, kau tahu jurus itu!" "Bukankah Nyai Harum sendiri yang memberi petunjuk?" tukas Ki Kamanda.
"He he he... Kau tetap sopan, Kamanda! Sopan sekali! Mungkin, tak seorang pun yang bisa menandingi kesopanan mu. Kita lihat sekali lagi, apakah anakmu bisa menandingi anakku?" sahut wanita bernama Nyai Harum sambil terkekehkekeh.
"Silakan, Nyai!" Pertempuran antara Jaka melawan gadis berbaju jingga itu bagai boneka hidup belaka sebenarnya. Pertarungan sepertinya dilakukan wanita berbaju merah menyala dengan Ki Kamanda sendiri. Karena, dua perintah itu datang silih berganti yang cukup baik dilak-sanakan Jaka maupun gadis itu. Setiap gerakan memang begitu mematikan. Setiap perintah adalah kewajiban! Setelah lima belas jurus masih berada dalam keadaan sama.
"Cukup!" seru Nyai Harum.
Gadis itu melompat ke belakang, berdiri tepat di sisi wanita berbaju merah itu. Kedua kakinya dihentakkan ke bumi dengan wajah cemberut.
"Kenapa Nyai menggangguku"! Aku bisa mengalahkannya, Nyai!" seru gadis itu jengkel.
"Aku tahu, Tiwi...." "Dia begitu kurang ajar, Nyai! Dia harus dihukum!" seru gadis bernama Tiwi. Wajahnya geram. Dan pandangannya tajam pada Jaka yang seperti masih terpesona.
"Nanti setelah urusan kita selesai!" Tiwi menghentakkan kakinya. Matanya nyalang pada Jaka yang masih menatapnya. Ada getaran begitu aneh yang merambati hati pemuda itu. Begitu asing! Sebenarnya ini adalah hal wajar. Karena selama ini Jaka belum pernah melihat dara secantik ini. Tetapi sekarang, di alam terbuka ini, ada seorang gadis yang begitu cantik. Bahkan mungkin mengalahkan bidadari.
"Aku bosan dengan semua ini, Nyai!" cibir Tiwi.
"He he he.... Kau mendengar kata-kata murid manisku ini, Kamanda" Apakah kau sudah mulai memutuskan tali persahabatan di antara kita?" "Tidak, Nyai. Tidak sama sekali," sahut Ki Kamanda dengan suara tetap sopan.
Ki Kamanda mengenal betul siapa gerangan wanita berbaju merah itu. Nyai Harum adalah tokoh mulia yang datang dari Tepian Kali Brantas. Telah lama namanya dikenal orang. Bahkan ada yang bilang, kepandaiannya hampir menyamai Eyang Purnama.
Sejak gadis, Nyai Harum memang gemar mempelajari ilmu silat dan bertualang. Orang hanya tahu, karena kegemarannya bertualang itulah hingga sekarang ini tidak pernah menikah. Dan julukannya tetap Perawan Baju Merah. Sebuah julukan yang memang hampir membuat lawan atau kawan menjadi ciut nyalinya.
Tetapi yang sungguh mengherankan, tiba-tiba Perawan Baju Merah muncul ke sini. Itu keheranan pertama. Keheranan kedua, kedatangannya bersama seorang perawan jelita yang begitu akrab dengannya.
Dengan wajah bulat, kulit kuning langsat dihiasi sepasang bibir mungil memerah basah. Alisnya hitam melekat di atas matanya, ditambah lagi hidung bangir yang semakin menambah kejelitaannya. Wajahnya yang menggeletarkan, mampu membuat pesona asmara yang tak bisa di tepiskan.
Siapakah tokoh jelita itu" Bila melihat gebrakannya pada Jaka tadi, Ki Kamanda bisa mengetahui kalau tenaga dalamnya hampir sebanding dengan yang dimiliki. Luar biasa bila dugaannya benar. Dan dia yakin, Nyai Harum telah mengambilnya sebagai murid.
"Kalau kau memang tidak memutuskan tali persahabatan di antara kita, perkenalkan pemuda itu." Ki Kamanda tersenyum.
"Dia bernama Jaka. Salah seorang murid Perguruan Cakar Maut." "Hmmm.... Lumayan juga kepandaiannya. Kau memang patut mendidiknya agar menjadi pemuda tangguh." "Terima kasih atas saran Nyai." "Nyai, biarkan aku bermain-main dengannya!" se-ru gadis berbaju jingga itu.
"He he he.... Jangan salahkan aku, Kamanda.
Anak Masku yang jelita ini tidak bisa menahan diri la-gi! Dia benar-benar ingin menguji ilmu muridmu yang bernama Jaka itu. He he he... silakan, Tiwi!" Tiwi yang memang jengkel terhadap Jaka karena gagal menyerangnya, kini beralih pada Ki Kamanda.
Paling tidak, karena laki-laki setengah baya itu telah membantunya.
Makanya, kali ini Tiwi langsung meloloskan selendang yang melilit pinggangnya. Sambil melompat bagai gerakan seorang penari belaka, diserangnya Ki Kamanda dengan hentakan selendangnya yang terkadang bisa berubah keras lurus dan kaku. Bahkan bisa berbengkok. Sebuah jurus selendang yang begitu hebat hasil ciptaan Nyai Harum.
Melihat hal itu, Jaka langsung melompat untuk menapaki. Biar bagaimanapun juga, dia tidak ingin paman gurunya diserang siapa pun! "Gadis manis.... Lebih baik bermain-main denganku!" Tiwi langsung mengubah arah serangannya. Hatinya jengkel sekali dipanggil sebutan gadis manis.
Panggilan itu membuatnya muak.
"Laki-laki liar! Jaga mulutmu!"

***

--o [ 6 ] o--

Selendang milik Tiwi terus bergerak. Sementara Jaka bisa merasakan kekuatan yang tersalur melalui selendang itu. Karena begitu menghindar, selendang itu menghantam sebuah batu sebesar kambing yang langsung hancur berantakan.
Jaka berdesis kagum.
"Luar biasa! Tetapi keji! " "Untuk orang semacam kau, lebih baik mampus saja!" Serangan demi serangan pun terjadi. Jaka sendiri berkali-kali terkejut, melihat kelihaian Tiwi memainkan selendangnya yang terkadang bisa lurus tegak kaku. Dan terkadang pula bisa membengkok bagai benda lentur. Jaka tidak lagi menggunakan kerisnya. Karena sungguh, baginya Tiwi bukanlah lawan, melainkan kawan. Entah mengapa, dia berpikiran seperti itu. Padahal, Tiwi siap mencabut nyawanya dengan serangan cepat sekaligus ganas.
"Kamanda.... Kudengar Buwana sudah mampus?" tanya Nyai Harum. Nadanya terdengar menjengkelkan di telinga.
"Apa yang Nyai dengar tidak salah," sahut K Kamanda, tetap sopan.
"Iblis Penghela Kereta-kah yang telah membunuhnya?" "Benar, Nyai." "Ceritakan semua itu." Ki Kamanda pun menceritakan kejadian maut yang menimpa Perguruan Cakar Maut.
"Sekarang pun, aku tengah bermaksud untuk mencarinya, Nyai...," jelas Ki Kamanda, setelah menye-lesaikan ceritanya.
Nyai Harum mendesah pendek.
"Kamanda.... Kakak seperguruanku Ki Rusa Tungga, telah diundang oleh Iblis Penghela Kereta.
Undangan itu berkedok peresmian perguruan yang baru didirikannya. Akan tetapi, sudah lima hari ini dia belum kembali juga. Sampai aku mendengar kabar, kalau lima belas tokoh rimba persilatan yang diundang terbunuh. Benarkah itu?" Ki Kamanda mengangguk membenarkan.
"Tidak salah, Nyai. Aku pun mendengar kabar itu.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta telah mengerahkan siasat kejinya untuk menghancurkan seluruh tokoh rimba persilatan." Mendadak saja Nyai Harum menggerakkan tangannya disertai hempasan napas kesal.
Wusss! Blaaarrr! Serangkum angin keras menderu menghantam sebatang pohon besar hingga langsung ambruk.
"Bangsat! Akan kuhancurkan manusia keparat itu!" maki perempuan tua ini.
Ki Kamanda tersenyum dalam hati. Rupanya, kemunculan Nyai Harum untuk mencari Ki Rusa Tungga. Meskipun tak pernah bertemu, Ki Kamanda pernah mendengar nama Ki Rusa Tungga yang berjuluk si Kepulun Sakti. Rupanya, tokoh itu pun juga tewas dalam undangan berdarah yang disebarkan Iblis Penghela Kereta.
"Nyai Harum.... Seorang tokoh muda dalam rimba persilatan ini pun sedang menuju ke Lembah Ular, tempat Iblis Penghela Kereta bermukim," jelas Ki Kamanda.
"Siapakah dia, Kamanda?" "Pemuda sakti pewaris ilmu Lembah Kutukan." "Oh! Pendekar Sleborkah dia?" "Kau benar, Nyai." "He he he.... Telah lama aku ingin berkenalan dengan pemuda itu. Kudengar, berkat kecerdikannya dia telah menyatukan kembali Panca Giri yang bersengketa. (Untuk mengetahui tentang sepak terjang Pendekar Slebor dalam mengatasi sengketa yang ada di tubuh Panca Giri, silakan baca: 'Sengketa di Gunung Merbabu').
"Yah.... Aku pun mengagumi kepandaian dan pemikirannya. Meskipun terkesan urakan, namun jiwanya bersih. Pikirannya menakjubkan," puji Ki Kamanda.
"Bagus! Kita akan bersatu untuk menghancurkan Iblis Penghela Kereta," sambut Nyai Harum.
"Kalau begitu, perlukah kita membiarkan Jaka dan Tiwi bertarung terus menerus?" sindir Ki Kamanda, halus sekali.
"He he he.... Biarkan saja mereka. Biarkan saja!" seru Nyai Harum sambil memandang Jaka dan Tiwi yang tengah bertarung sengit.
Tiwi yang memang begitu mendendam tadi, menyerang tidak kepalang tanggung. Ayunan selendangnya yang bisa berubah-ubah kegunaannya, mencecar Jaka dengan cepat dan dahsyat. Setiap tenaga yang mengalir, berarti maut yang sedang menjemput.
Sementara, Jaka mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Sejak tadi pemuda itu belum bisa menyerang, karena kesempatannya hampir tidak pernah ada. Gerakan selendang yang cepat dan tangkas itu telah menutupi setiap gerakannya.
Untuk mematahkan jurus milik Tiwi ini, memang harus bertarung jarak rapat. Suatu pertarungan yang memang memerlukan perhitungan dan bahaya besar.
Tetapi justru sebenarnya Tiwi sendiri juga merasa jengkel dan penasaran. Karena tak satu pun serangannya yang masuk. Padahal, gadis ini sudah merasa kalau yang dikerahkan adalah rangkaian jurus terakhir dari 'Selendang Maut'. Tetapi hingga saat ini Jaka masih bisa menghindarinya.
"Tiwi.... Lebih baik kita sudahi saja pertarungan ini!" ujar Jaka.
"Sombong! Jangan berpikir kalau aku tidak bisa menjatuhkan mu! Aku tidak akan pernah berhenti sampai melihatmu terkapar!" dengus Tiwi sambil mempercepat gerakan selendang mautnya.
Dan dengan kata-kata seperti itu, berarti pertarungan tidak akan pernah berhenti, bila Jaka tidak membiarkan tubuhnya dihantam. Namun hal itu jelas sesuatu yang tidak mungkin. Karena Jaka sendiri bisa membayangkan, bagaimana akhirnya bila terkena sambaran ayunan selendang itu.
Tetapi sudah tentu Jaka tidak bisa menghindar terus menerus. Karena bisa-bisa selendang maut yang dilepaskan Tiwi mengenai tubuhnya.
"Tiwi...! Ini akan sia-sia saja," teriak Jaka.
"Sombong!" bentak Tiwi.
Gadis itu semakin mempergencar serangannya. Penasarannya berubah menjadi kemarahan besar, karena merasa dipermainkan. Selendangnya mengayun, menyabet, memecut, mementung dengan gerakan cepat dan bertubi-tubi.
Tiwi seperti menyapu semuanya. Tubuhnya terus merangsek dengan selendang yang berubah menjadi tongkat. Sasaran sapuannya hanya satu, batok kepala pemuda itu. Kalau pun bergerak ke bawah, akan langsung mendepak ke atas. Belum lagi bila tiba-tiba selendang itu kembali melemas, bagai pecutan! Dengan serangan seperti itu, Jaka jadi mendengus jengkel. Jelas dia tidak bisa menerapkan serangan berikut. Tetapi, pada dasarnya hatinya memang tidak tertarik bertempur dengan Tiwi.
"Jangan hanya bisa menghindar seperti bajing loncat!" dengus Tiwi jengkel bercampur marah menggelegak.
Meskipun Tiwi terus mencecar, tetapi setiap serangannya selalu mengenai tempat kosong. Ilmu meringankan tubuh yang sempurna dipamerkan Jaka.
Sementara pemuda itu sendiri memang mengalami kesulitan untuk menembus dan merangsek masuk. Karena, kibasan, ayunan, dan pentungan selendang itu begitu membabi buta! Lewat sudah dua puluh jurus. Tetapi, Tiwi belum bisa menjatuhkan lawannya. Sementara, Jaka semakin kewalahan. Dan memang sudah diperhitungkan kalau suatu saat tenaga Tiwi akan terkuras. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Tidak sekali pun Tiwi melonggarkan serangannya. Bahkan tidak pula menam- pakkan kelelahannya.
Jaka mendengus. Jalan satu-satunya memang harus merebut selendang. Dan itu berarti harus merapat. Sementara kesempatannya saja tidak pernah bisa.
Berarti pula, dia harus nekat.
"Maaf...!".
Dengan kebulatan pasti, mendadak saja Jaka menunduk ketika selendang yang kembali berubah menjadi tongkat itu mementung kepalanya. Seketika serangan kaki dipercepat. Setiap kali Tiwi beringsut, tempat yang barusan diinjak ganti diinjaknya. Tak peduli Tiwi mundur ke samping. Bahkan kalau gadis itu merangsek maju, Jaka langsung menutupnya. Lalu dengan gerakan aneh, yang merupakan jurus ketujuh dari 'Cakar Maut Mengurung Mangsa', Jaka meluncur dengan cara berguling menuju ke kaki Tiwi.
Tiwi terhenyak. Cepat dia melompat. Namun saat Itu pula Jaka melompat. Langsung ditotoknya tangan Tiwi. Tuk! Lalu dengan satu gerakan aneh dan sukar, tangan Jaka bergerak mulai dari pangkal lengan Tiwi, hingga pergelangan. Seketika diloloskannya selendang Tiwi. Meskipun begitu, tubuhnya harus rela ditendang dengan kuat oleh Tiwi.
Buk! Breeet! Tiwi tidak menyangka kalau Jaka bisa merebut selendangnya. Tetapi yang membuat Jaka terkejut, gadis itu tiba-tiba berbalik sambil menangis dan berla-ri.
Pemuda itu tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh tidak dimengerti, mengapa Tiwi berlari sambil menangis. Tapi dia tidak bisa lama-lama berpikir ketika punggungnya terasa nyeri.
Nyai Harum yang sejak tadi memperhatikan pertarungan terkejut. Tiba-tiba dia pun berlari menyusul Tiwi "He he he... Kamanda, kita bertemu di Lembah Ular!" kata Nyai Harum sambil terus berlari.
Ki Kamanda mendesah panjang, ketika Jaka menghampiri.
"Paman... mengapa jadi seperti ini?" tanya pemuda itu tak mengerti. Sungguh tidak disangka kalau gadis itu akan berlari dan menangis.
Ki Kamanda hanya tersenyum.
"Pecahkanlah sendiri, Jaka" "Lalu apa yang akan kita perbuat, Paman?" Ki Kamanda melompat ke kudanya dengan gerakan ringan sekali. Sementara Jaka sedang termangu sambil menatap selendang jingga milik Tiwi.
"Jaka...," panggil Ki Kamanda.
"Oh! Ada apa, Paman?" tanya Jaka terkejut.
"Tahukah kau, kenapa Tiwi menangis?" Jaka tergagap. Tiba-tiba dia mendengus.
"Hhh! Karena dia perempuan! Perempuan memang seperti itu! Akan menjadi sombong dan menghina terus menerus, bila merasa menang! Dan akan menangis bila kalah!" "Dia memang kalah." "Ya, Paman melihatnya sendiri, bukan?" Ki Kamanda tersenyum. Dia merasa yakin kalau sebenarnya Jaka menyembunyikan isi hatinya. Dari sikapnya yang sejak tadi seperti memikirkan Tiwi, sudah bisa dipastikan kalau dengusan dan umpatannya untuk menyembunyikan isi hati yang sebenarnya. Ah, anak muda! "Kau akan tahu apa jawabannya kelak," sahut Ki Kamanda.
Jaka menoleh.
"Apa, Paman?" "Naiklah ke kudamu. Kita harus segera menuju Hutan Witis." "Tetapi, Paman.." "Suatu saat kau pasti akan tahu, apa jawabannya mengapa Tiwi sampai menangis." Meskipun penasaran ingin tahu, tetapi Jaka tidak heran bila paman gurunya tidak memberitahu. Hal semacam ini sudah seringkali terjadi. Ki Kamanda lebih menyukai bila Jaka sendiri yang mencari jawabannya. Dalam hal ilmu silat, hal semacam itu memang membuat Jaka semakin penasaran. Sampai kapanpun, dia harus mencoba memecahkan jurus yang diajarkan Ki Kamanda maupun oleh Ki Buwana. Dan karena kecerdikan dan kemauannya untuk memecahkan, hal itu bisa dilakukannya.
Tetapi soal Tiwi yang menangis itu bukanlah soal ilmu silat! Jaka tak mau berlama-lama lagi. Segera dia melompat naik ke kudanya.
Seketika, pemuda itu menyusul Ki Kamanda yang sudah menggebah kudanya dengan cepat.
Meskipun demikian, wajah Tiwi masih terbayang di benaknya. Begitu pula saat Tiwi menangis, lalu berbalik pergi. Ah... Jaka tidak tahu, mengapa begitu memikirkan nya"

***

--o [ 7 ] o--

Angin kembali berhembus seperti biasa. Menggesek dedaunan, membiarkan burung-burung melayanglayang. Mentari semakin turun, lelah dalam perjalanannya. Lelah karena harus memberikan penerang pada keangkaramurkaan yang tengah terjadi.
Di tengah keremangan senja, satu sosok tubuh terlihat terus berlari kencang. Dari cara berlarinya, jelas sekali kalau lakilaki itu sudah keletihan. Tubuhnya berkali-kali sempoyongan. Bahkan berkali-kali ti- dak bisa menguasai keseimbangannya, hingga terus tersuruk I depan, atau terjerembab setelah tersangkut akar pohon dan tersandung batu. Tetapi dia merasa harus berlari dan terus berlari dengan memaksakan sisa tenaga yang tidak seberapa lagi.
Sementara di belakang berkelebat pula satu sosok tubuh sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha.... Kau tak akan bisa melarikan diri Manusia Jelek!" Sosok yang mengejar itu berpakaian ikat kepala berwarna putih. Di tangannya terdapat sebuah kipas terbuka, berwarna merah. Dia tak lain Bramantoro yang berjuluk Kipas Dewa Hidung Belang.
Siapakah yang dikejar" Melihat pakaiannya yang berwarna kuning keemasan dengan lambang burung garuda di dada kiri, jelas kalau dia adalah murid Perguruan Garuda Mas.
Sudah lama para murid perguruan itu menanti ketua mereka yang bernama Ki Darma Kubla atau yang dijuluki Garuda Mas. Hingga seminggu ini, guru mereka belum datang juga setelah menghadiri undangan Iblis Penghela Kereta di Lembah Ular.
Ketika diputuskan untuk mendatangi Lembah Ular, tiba- tiba saja di perguruan muncul seorang lela-ki berwajah tampan meskipun sudah kelihatan berkeriput. Lelaki itu tanpa banyak cakap langsung saja menghabisi murid-murid Perguruan Garuda Mas dengan kibasan kipasnya yang berwarna merah. Sudah tentu kedatangan lelaki yang mengaku berjuluk Kipas Dewa Hidung Belang itu sangat mengejutkan. Apalagi, diawali dengan pembantaian. Segera saja murid-murid Perguruan Garuda Mas mengurung dan serentak menyerang. Namun, Kipas Dewa Hidung Belang memang terlalu tangguh. Apalagi saat ini Ketua Perguruan Garuda Mas sudah mati terkubur di belakang perkampungan Iblis Penghela Kereta. Hingga akhirnya, banyaklah murid Perguruan Garuda Mas yang tewas.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta benar-benar menjalankan rencananya. Dia bermaksud menghancurkan beberapa perguruan silat yang ada di Tanah Jawa. Untuk gerakan pertama, Kipas Dewa Hidung Belanglah yang turun tangan.
Sementara itu salah seorang murid berhasil melarikan diri meskipun sekujur tubuhnya luka-luka. Namun Kipas Dewa Hidung Belang tidak menginginkan ada seorangpun yang luput dari naluri membunuhnya.
Ia kemudian mengejar.
Murid yang di Perguruan Garuda Mas dikenal dengan nama Juratmoko itu dengan sisa-sisa tenaganya terus berlari. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Ki Darma Kubla sudah tewas di Lembah Ular.
Dan lelaki berwajah tampan itulah yang mengatakannya. Keji sekali manusia-manusia biadab itu! Juratmoko tahu, nyawanya bagai telur di ujung tanduk. Dan telinganya pun mendengar seruan lelaki berbaju putih itu yang memburunya.
"Oh!" Tiba-tiba tubuh Juratmoko terguling karena kakinya tersangkut akar pohon. Dengan susah payah dan pengerahan sisa-sisa tenaganya, lelaki ini terus melarikan diri. Tidak! Dia tidak boleh tertangkap. Apalagi terbunuh. Dia harus bisa menyelamatkan diri agar entah dengan cara apa suatu saat akan membalas dendam! Namun harapan Juratmoko gagal, karena mendadak saja satu sosok tubuh berpakaian putih telah melenting melewati kepalanya, lalu hinggap di hadapannya sambil menyeringai.
Wajah pucat Juratmoko makin kentara saja. Bukan karena kelelahan saja, tapi begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
"Manusia keparat! Kau harus mampus!" seru Juratmoko tiba-tiba, langsung menyerang cepat.
Namun apa dayanya yang sudah kelelahan itu" Tadi pun di saat tenaganya masih kuat bahkan bersama-sama para saudara seperguruannya, Juratmoko tak mampu menghadapi sosok di hadapannya yang tak lain Kipas Dewa Hidung Belang. Apalagi sekarang" Dengan hanya memiringkan tubuhnya sedikit, Kipas Dewa Hidung Belang membuat serangan Juratmoko luput. Bahkan tiba-tiba tangannya bergerak cepat, mengibas ke arah leher.
Buk! "Ughhh...!" Tubuh Juratmoko tersuruk ke depan. Rasa sakit kembali menyergapnya. Lebih terasa dari yang pertama. Namun dia berusaha bertahan. Dengan penuh kemuakan tubuhnya berbalik ke arah Bramantoro yang terbahak-bahak, "Manusia hina! Sejengkal pun aku tak akan mundur untuk mengikuti kemauanmu!" desis Juratmoko.
Dengan berani, murid Perguruan Garuda Mas menerjang kembali ke arah Bramantoro. Dipaksanya untuk bertahan meskipun yakin serangannya ini tak ada banyak gunanya.
Memang benar. Dengan sekali mengibaskan kakinya, Bramantoro telah membuat tubuh Juratmoko terpelanting kembali ke belakang. Rahang lelaki itu terhantam tendangan keras bukan main.
Belum lagi Juratmoko bangkit, sebuah injakan kuat menekan lehernya.
"Heeeiiggkhh!" Walau sakit luar biasa, namun lebih sakit lagi hati Juratmoko mendengar Bramantoro terbahak-bahak.
"Ha ha ha.... Tak akan kubiarkan kalian hidup! Hhh! Bukankah tadi sudah kutawarkan agar kalian bergabung dengan gerombolan Iblis Penghela Kereta"! Tetapi, kalian menolak! Inilah akibatnya!" ejek Kipas Dewa Hidung Belang.
"Biar pun kau rencah tubuhku. aku tetap tak sudi bergabung! Lebih baik mati berkalang tanah, daripada menjadi budak iblis!" Meskipun dalam keadaan tak berdaya. Juratmoko masih bersuara. Agak parau karena lehernya terinjak.
"Ha ha ha.... Sudah mau mampus masih berlagak!" seru Bramantoro memecah kesunyian.
Sementara matahari semakin merambat pula Sebentar lagi, malam akan datang.
"Hhh! Mampuslah kau!" dengus Kipas Dewa Hidung Belang.
"Heeerghh...!" Bramantoro menambah tekanan injakannya, siap mencabut nyawa Juratmoko yang tetap tabah. Namun belum lagi sempat melakukan tindakan selanjutnya, mendadak saja satu sosok telah berkelebat menghantamnya. Des! "Ughhh...!" Dengan sigapnya Kipas Dewa Hidung Belang salto hingga tidak jatuh tersuruk.
"Bangsat! Siapa yang berani menjual lagak di depanku hah"!" bentaknya keras sambil mengedarkan pandangan. Bramantoro memang sama sekali tidak menyangka akan ada serangan gelap seperti itu. Bahkan dia terkejut ketika tidak melihat Juratmoko di tempatnya.
"He he he.... Zaman ini sudah edan rupanya.
Orang sudah kalah begitu tetap saja mau dibunuh" Bramantoro menoleh ke belakang, ke arah datangnya suara. Tampak di belakangnya berdiri seorang pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di lehernya. Dia tengah memeriksa keadaan Jeratmoko yang jatuh pingsan.
Kening Kipas Dewa Hidung Belang berkerut merasa heran, yang menyerangnya ternyata masih begitu muda! "Hhh! Rupanya ada yang ingin mati sekarang" dengus Bramantoro. Pemuda berbaju hijau pupus yang tak lain Pendekar Slebor hanya mengangkat bahunya.
"Kalau aku sih mau hidup seribu tahun lagi. Tak tahu kalau kau...," sahut Andika. Pada saat yang sama sebelah tangan Pendekar Slebor tengah mengalirkan tenaga pada Juratmoko. Sekaligus, memulihkan jalan darah pemuda murid Perguruan Garuda Mas ini.
Diam-diam Bramantoro memperhatikan pemuda berbaju hijau pupus itu. Setelah merasa yakin siapa yang dihadapi, sesaat kemudian dia tertawa terbahakbahak. Suaranya memecah kesunyian dataran tinggi yang ditumbuhi pepohonan.
"Ha ha ha.... Tak kusangka, rupanya Pendekar Slebor yang datang mengantarkan nyawa ke sini"!" ejek Kipas Dewa Hidung Belang.
Andika berdiri dan melotot.
"Kalau kau sudah tahu, mengapa tidak segera berlutut saja?" tukas Andika enteng, seperti orang tak berdosa.
"Bangsat!" Bramantoro menggerakkan tangannya. Seketika kipas merahnya mengembang. Bahkan serangkum angin keras berhawa panas juga meluruk ke arah Pendekar Slebor. Bukannya menghindar, Andika justru berdiam diri sambil nyengir. Ketika angin panas itu terasa mendekat ke arahnya, tangannya mengibas.
Wuttt...! Blaaarrr! Tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh tiga dilepaskan Andika. Menerpa tepat, pada arah angin panas yang dilepaskan Bramantoro.
Bramantoro terkejut melihatnya. Sudah lama telinganya mendengar kehebatan Pendekar Slebor. Namun ketika melihatnya sekarang ini, rasanya lebih tinggi dari yang diperkirakannya. Meskipun demikian, sebagai tokoh hitam yang telah makan asam garam, sudah tentu tak membuatnya mundur sedikit pun.
Bahkan merasa ilmunya lebih tinggi daripada Pendekar Slebor.
"Hebat! Hebat!" "Kagum, ya" Kagum?" sambar Andika nyerocos.
"Kalau kagum bilang saja! Nah, lebih baik sekarang berlutut saja di depan lelaki yang pingsan ini!" Wajah Bramantoro memerah mendengarnya. Tiba-tiba dia teringat akan kata-kata Iblis Penghela Kereta, kalau pemuda dari Lembah Kutukan inilah yang menjadi momok nomor satu baginya. Hmmm.... Bila bisa menangkapnya hidup atau mati, sudah tentu akan mendapatkan pujian sekaligus kedudukan tinggi.
Berpikiran seperti itu, Kipas Dewa Hidung Belang membuka jurusnya. Sekaligus membuka kipasnya di depan dada.
"Hari ini kau akan mati, Pendekar Slebor! Seperti orang-orang di Perguruan Garuda Mas yang baru saja kuhancurkan!" "Wah, wah! Memang nyawaku ngontrak"! Enak saja ambil keputusan! Sudahlah.... Berlututlah di depan lelaki ini!" ujar Pendekar Slebor, tak mempedulikan ancaman Bramantoro.
"Ayo, dong!" Mendengar kata-kata Pendekar Slebor yang seenaknya, Kipas Dewa Hidung Belang terbahak-bahak.
"Rupanya aku berhadapan dengan anak kecil kali ni," ejek Bramantoro.
Rupanya Kipas Dewa Hidung Belang tak tahu kalau hati Pendekar Slebor sangat sulit ditentukan. Sekali Waktu kesleborannya yang menjadi ciri khasnya muncul dan sekali waktu, dia bisa menjadi pemikir yang cerdik.
"Eh! Tidak mau berlutut juga?" seru Andika se-wot.
"Siapa sebenarnya kau, sih" Sudah tua bangka masih suka usil saja"!" "Ha ha ha.... Ketahuilah! Aku salah seorang tangan kanan dari Iblis Penghela Kereta!" seru Bramantoro sombong.
"Julukanku Kipas Dewa Hidung Belang!" Justru mendengar kata-kata itu Andika terdiam.
Iblis Penghela Kereta" Hmmm.... Rupanya manusia iblis ini sudah mengambil kawan untuk melengkapi kekuatannya. Pasti bukan hanya seorang saja.
Dengan cerdik Andika membawa Bramantoro ke hal yang diinginkannya. .
"Ooo... pembantu Iblis Penghela Kereta seperti ini rupanya" Pantasnya, kau bekerja sebagai tukang pen-cuci piring di warung nasi!" leceh Pendekar Slebor.
"Eh" tadi kau bilang Hidung Belang" Wah, itu mungkin di hidungmu ada panu...! Jorok, ih! Pasti kau tak pernah mandi...!" "Jangan banyak cakap, Pemuda Slebor! Kau akan merasakan kehebatanku nanti! Kau tak perlu merasakan kehebatan Tek Jien atau Ni Muntiti! Apalagi, kehebatan pemimpin kami, Sunsang!" Kena sudah yang diinginkan Andika.. Walaupun singkat, tetapi sudah cukup baginya. Rupanya, ada dua tokoh golongan sesat lagi yang bergabung dengan Iblis Penghela Kereta, selain Bramantoro.
"Kalau begitu, ya sudah. He he he..., aku lupa.
Ayo berlutut di hadapan lelaki ini" ujar Andika sambil bertolak pinggang.
Kali ini Bramantoro tidak mau lagi membuang waktu. Dengan gebrakan cepat diiringi seruan keras, tubuhnya menderu ke arah Andika. Kipas di tangannya yang terbuka dikebutkan.
"Heaaa!" "Wah, wah...! Sudah merasa hebat, ya" Boleh boleh!" sahut Andika seraya melempar tubuhnya ke kiri.
Akan tetapi, Kipas Dewa Hidung Belang memang benar-benar ingin bertindak cepat. Gebrakan pertamanya yang hanya mengenai angin, segera diubah.
Tubuhnya cepat berbalik seraya mengebutkan kipasnya yang menimbulkan suara angin menderu memekakkan telinga.
Wuuuttt! Andika meliukkan tubuhnya, menghindari serangan. Kulitnya terasa panas ketika kibasan kipas itu lewat di sisi tubuhnya. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau kulitnya yang terkena kipas itu.
"Wah, boleh juga tuh kipas. Maksudku, boleh untuk bakar sate... he he he...," cerocos Pendekar Slebor sambil memutar tubuhnya.
Dan dengan gerakan mendadak, tubuhnya menerjang dengan kekuatan tenaga dalam terangkum di kedua tangannya.
Kipas Dewa Hidung Belang yang memang ingin mengukur sampai di mana kekuatan Pendekar Slebor, segera memapakinya. Bahkan jurus 'Kipas Dewa Menghancurkan Gunung' segera digunakannya.
Wusss...! Lebih dahsyat dan mengerikan serbuan angin yang menderu ke arah Andika. Dan ini membuat Pendekar Slebor langsung mengurungkan niatnya untuk meneruskan serangan. Karena bisa dirasakan angin yang kuat itu bisa merobek-robek tubuhnya. Maka secepat kilat, Andika melompat ke samping.
"Mau lari ke mana kau, Pendekar Slebor?" leceh Bramantoro sambil terus mencecar membabi buta. Serangannya benar-benar dahsyat, menginginkan nyawa Pendekar Slebor sekali gebrak.
Andika kali ini pontang-panting dibuatnya. Bukan hanya tidak bisa membalas, bahkan untuk menghindar pun terasa sulit. Memang serangan kipas yang dilakukan Bramantoro selalu memutari tubuhnya, sekaligus menutup ruang gerak serangannya.
Menyadari hal itu, begitu ada kesempatan tibatiba saja Andika melenting ke belakang seraya bersalto dua kali. Setelah mendarat di tanah dengan pencalan satu kaki tubuhnya menderu menerjang. Bukan dengan gerakan meluruk. Melainkan gerakan berputar yang sangat menyulitkan.
Melihat serangan aneh ini tiba-tiba saja Bramantoro mengubah serangannya. Mendadak saja tubuhnya menekuk ke bawah, mencoba masuk dalam pusaran tubuh Andika.
Gerakan semacam itu sebenarnya sangat sulit dilakukan. Namun Kipas Dewa Hidung Belang agaknya sudah memperhitungkan dengan mantap. Saat mencoba menembus pusaran tubuh Andika, tiba-tiba saja kakinya bergerak aneh. Tubuhnya menekuk, lalu melompat masuk ke pusaran tubuh Andika. Sementara kakinya yang melintir mencoba menghantam kepala Andika. Wuttt.... Dalam keadaan yang gawat itu, Andika dengan sigap menarik kepalanya. Hanya beberapa rambut tendangan Bramantoro luput dari kepalanya. Maka disitulah Andika membuat gerakan aneh, sekaligus menakjubkan. Tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor bagai melorot turun jatuh ke bumi. Akan tetapi sesaat kemudian, kedua tangannya sudah menangkap kedua kaki Bramantoro, lalu menariknya.
"Hih...!" Buk! Tubuh Kipas Dewa Hidung Belang ambruk ke tanah. Cukup terkejut juga dia dengan serangan Andika yang aneh itu. Dan sebelum kaki Pendekar Slebor menjejak jebol punggungnya, Bramantoro sudah melenting ke belakang. Lalu kakinya menjejak tanah dengan wajah memerah.
"He he he.... Bagaimana dengan seranganku" Hebat bukan?" tukas Andika mengejek sambil mengangkat jempolnya.
"Sudah kukatakan sejak tadi, lebih baik berlutut di hadapan lelaki itu daripada nyawamu melayang. Rupanya kemarahan Bramantoro sudah sampai puncaknya. Kini baru disadari, siapa Pendekar Slebor sebenarnya. Dan tiba-tiba diserbunya kembali pemuda dari Lembah Kutukan itu. Tubuhnya meluncur penuh dengan tekanan hebat. Begitu pula kipas merahnya yang tiba-tiba bukan hanya mengeluarkan hawa panas, tapi juga gulungan angin kuat. Bahkan desirnya mampu memecahkan telinga.
Andika sadar kalau lawan nampaknya akan mempergunakan ajian yang paling tangguh. Karena ketika mencoba memapaki, serangkum angin keras itu menerpa bahunya. Dan rasanya sakit luar biasa! Bukan hanya sampai di sana kehebatan serangan Kipas Dewa Hidung Belang. Malah dedaunan yang meranggas itu berguguran, langsung beterbangan entah ke mana. Debu pun bergulung-gulung bersama suara berkesiur yang keras sekali.
Sementara Pendekar Slebor pontang-panting menghindari.
"Ha ha ha.... Mau lari ke mana kau, Pendekar Slebor" Nyawamu begitu berharga untuk Iblis Penghela Kereta!" "He he he.... Jelas, dong namanya juga Andika.
Ketimbang dirimu yang tak berharga sama sekali di hadapan gembel sekalipun," balas Andika sambil berusaha melepaskan diri dari kejaran Kipas Dewa Hidung Belang. Berkali-kali tubuhnya terkena serangan hawa panas yang disusul angin bergulung-gulung.
Andika berusaha keluar dari serangan Bramantoro. Namun sangat sulit dilakukannya. Berulangkali dia mencoba menerobos, bergulingan, bahkan berlompa-tan. Namun serangan Kipas Dewa Hidung Belang terus menyerangnya.
"Ha ha ha.... Tak seorang pun yang mampu meloloskan diri dari ajian 'Kipas Dewa Menari'!" Sebenarnya Andika diam-diam mengakui kehebatan Bramantoro.
"Gila! Bisa konyol nih!" seru Pendekar Slebor.
Dan mendadak saja Andika sudah menyambar kain pusakanya yang bercorak catur. Secepat kilat dikibaskannya kain itu dengan kekuatan penuh.
Ctaaarr! Kain pusaka Andika mengibas, menghalangi serangan angin panas Bramantoro.
"He he he.... Ayo.. ayo, kita main-main lebih hebat lagi!" Sambil terkekeh-kekeh Andika mencoba menerobos serangan Bramantoro. Kali ini Pendekar Slebor bisa meloloskan diri dari kepungan serangan Kipas Dewa Hidung Belang. Bahkan perlahan-lahan bisa memukulnya mundur.
Wajah Bramantoro menjadi pias. Dia benar-benar tidak memperhitungkan kalau Andika akan mempergunakan kain yang tersampir di pundaknya. Semula diduga kain itu hanyalah sebagai hiasan saja. Akan tetapi yang mengherankannya, kain itu tidak robek terhantam ajian 'Kipas Dewa Menari'. Bahkan bisa memukul mundur dan mengeluarkan tenaga kuat.
"Bangsat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" maki laki-laki hidung belang itu. Seketika tubuhnya meluncur kembali.
"He he he.... Apakah sejak tadi kau mengadu jangkrik" Wah, hebat sekali ya?" Wajah Bramantoro semakin memerah mendengar kata-kata Pendekar Slebor.
Kini serangan demi serangan berlangsung sengit.
Akan tetapi, Pendekar Slebor kali ini benar-benar berada di atas angin. Kain pusaka warisan dari Ki Saptacakra sudah digunakan dialiri tenaga 'inti petir' tingkat kelima belas. Hal ini membuat Bramantoro menjadi kewalahan. Karena selain menghadapi kain pusaka yang mengacaukan arah serangannya, juga menghindari pukulan 'inti petir' yang dilontarkan Pendekar Slebor.
"Lho.. lho..." Apakah sekarang kau mempergunakan jurus monyet, hah"!" ejek Andika yang melihat Bramantoro kini berjingkat dan melompat-lompat.
Lalu mendadak saja Pendekar Slebor mengibaskan kainnya ke bawah.
Sraaattt! Sebelah kaki Bramantoro langsung terlibat. Dan seketika Pendekar Slebor menghentaknya kuat-kuat.
"Oh...!" Bruk! Tubuh Kipas Dewa Hidung Belang pun ambruk.
Andika kali ini tidak mau bertindak tanggung lagi. Bi-sa menduga, lelaki berwajah tampan ini telah membunuh ratusan manusia. Apalagi baru saja menghancurkan Perguruan Garuda Mas.
Sambil berputar dua kali, tubuh Andika meluruk ke depan. Dengkulnya tertekuk mengarah pada tubuh Bramantoro yang telentang dengan kaki terikat kain pusaka Pendekar Slebor. Lalu....
Buk! Prak! "Aaakhhh!" Dengkul kanan Pendekar Slebor menghujam tepat dada Bramantoro. Lalu tangan kanannya menghantam patah leher manusia sesat itu. Seketika, nyawa busuk Bramantoro melayang.
Andika mendesah panjang.
"Hhh! Itulah akibatnya bagi orang-orang busuk seperti kau, Kipas Dewa Pantat Belang!" desis Pendekar Slebor, mengejek.
Andika segera menghampiri Juratmoko yang masih pingsan. Dipegangnya dada laki-laki itu. Jalan darahnya sudah mulai seperti sedia kala. Hanya nafasnya belum terasa. Perlahan-lahan Andika mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya kembali.
Setelah beberapa saat. Pendekar Slebor melepaskan kedua tangannya dari dada Juratmoko.
"Kau sebentar lagi akan pulih," desisnya.
Andika bangkit, hendak melangkah. Tetapi sebelum bertindak, tiba-tiba saja kepalanya menoleh pada Bramantoro yang sudah menjadi mayat. Sebuah pikiran bagus mampir di otaknya.
"He he he..., aku akan membuat kejutan untuk Iblis Penghela Kereta," gumam Andika, segera sambil mendekati mayat Bramantoro.

***

--o [ 8 ] o--

Sebuah kereta kuda berwarna keemasan menderu menuju perkampungan Iblis Penghela Kereta. Suaranya keras menggetarkan jantung. Debu mengepul.
Dedaunan berguguran ketika kereta itu menderu.
Yang aneh kereta itu tidak ditarik seekor kuda atau pun binatang penghela seperti biasanya. Sekali lihat saja, bisa dipastikan kalau sosok di dalam kereta itu memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Karena, mampu menggerakkan kereta secepat angin tanpa kuda. Beberapa orang yang sedang lalu lalang lengkap dengan persenjataan menyingkir, kalau tidak ingin dilanggar kereta tanpa kuda itu. Belum lagi kereta itu berhenti, satu sosok tubuh telah melompat indah sekali. Setelah berputaran, dia hinggap di tanah dengan ringan. Sementara, kereta kuda itu dengan serentak berhenti.
Sosok yang berdiri menghadang terbahak-bahak dengan keras. Dia tak lain dari Iblis Penghela Kereta.
"Ha ha ha.... Sebentar lagi tibalah giliran Pendekar Slebor yang akan mampus!" seru Sunsang. Memang, Iblis Penghela Kereta baru saja menghancurkan Padepokan Atas Angin yang mendiami lereng Gunung Kelud.
Tek Jien si Tangan Seribu yang sedang melatih para pemuda yang akan dijadikan barisan depan dari gerombolan ini tertawa pula.
"Kawan... Aku pun tak sabar ingin merasakan kehebatan Pendekar Slebor yang digembar-gemborkan setinggi langit!" seru Tek Jien.
"Kau tak perlu khawatir, Tek Jien. Karena sebentar lagi kita akan memancing keluar Pendekar Slebor dari persembunyiannya. Rupanya, dia kini telah menjadi pengecut karena tidak juga muncul. Padahal berita kematian dari lima belas tokoh telah ku siarkan melalui anak buahku. Ha ha ha..Biar semua tahu, akan keberanian Iblis Penghela Kereta! Hmmm.... Di mana Ni Muntiti".
"Dia sedang melatih para pemuda pula di halaman belakang!" "Bagus! Kita akan..., heiii!" Blarrr...! Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta bersalto. Dan di bekas tempatnya berdiri tadi terlihat sebuah lubang menganga akibat pukulan jarak jauh.
"Bangsat! Siapa yang berani mati?" maki Sunsang ketika mendarat.
"Hi hi hi.... Rupanya seperti ini manusia yang berjuluk Iblis Penghela Kereta!" Terdengar suara yang disusul berkelebatnya dua sosok tubuh. Hampir barengan kedua sosok itu membuat putaran di udara, lalu mendarat manis di tanah saling bersisian.
"Bagus! Bagus sekali! Rupanya Penguasa Tepian Kali Brantas kini muncul di hadapanku! Nyai Harum! Apakah kau akan menyusul Ki Rusa Tungga yang telah terkubur di halaman belakang tempat tinggalku?" kata Iblis Penghela Kereta begitu mengenali siapa yang datang. Suaranya keras menggelegar karena dialiri tenaga dalam.
Kedua orang yang baru datang ternyata Nyai Harum dan Tiwi. Dan agaknya Iblis Penghela Kereta telah paham siapa Nyai Harum itu. Sementara tanpa menjawab, Nyai Harum mengibaskan tangannya.
Sreeettt! Serangkum angin berhawa dingin menderu ke arah Iblis Penghela Kereta dengan kekuatan penuh.
Namun mudah sekali tokoh sesat ini mengalahkannya dengan mengegoskan tubuhnya.
"Ha ha ha...! Bagus, bagus sekali! Nyai Harum..
Kau akan kuampuni, bila menyerahkan anak gadis yang bersamamu itu!" Mendengar kata-kata itu wajah Tiwi memerah.
Maka mendadak saja tubuhnya meluncur ke depan dengan kekuatan penuh.
Tutup mulutmu, Manusia Busuk!" bentak gadis itu. Tepat saat Tiwi bergerak, Tek Jien bergerak pula.
Langsung dipapakinya serangan gadis itu yang mengarah pada Iblis Penghela Kereta.
"Kalau ingin bermain-main denganku, silakan, Manis!" Plak! Plak! Pukulan Tiwi dihantam pukulan Tek Jien. Tiwi bisa merasakan kekuatan tenaga lawan yang cukup tinggi. Buktinya tangannya terasa ngilu dengan tubuh terjajar ke belakang. Tetapi gadis yang berhati panasan itu sudah tentu tidak terima dipecundangi dengan sekali gebrak. Kembali Tiwi mengempos tubuhnya dengan kekuatan dan kecepatan penuh. Tek Jien pun bergerak pula menggunakan jurus kebanggaannya, 'Tangan Seribu'. Mendadak saja tangan lelaki dari Tiongkok ini bergerak begitu cepat dengan kekuatan tak kepalang.
Tiwi sendiri bisa merasakan angin yang menderu kepadanya. Namun dengan manisnya serangan Tek Jien diimbangi. Sementara itu Nyai Harum menggeram penuh amarah pada Iblis Penghela Kereta yang masih terbahak-bahak dengan tatapan meremehkan.
"Bersiaplah manusia busuk! Kau harus mampus sekarang juga!" geramnya sambil membuka jurus.
Iblis Penghela Kereta masih terbahak-bahak.
Meskipun, sedikit banyaknya dia merasa heran juga, karena Nyai Harum yang berjuluk 'Perawan Baju Merah' memasuki perkampungannya bersama gadis jelita ya sedang bertarung melawan Tek Jien. Padahal, yang memasuki Lembah Ular berarti mengantarkan nyawa.
Bukan hanya bisa mampus di ujung senjata anak buahnya tetapi kemungkinan akan tewas disengat ular berbisa yang banyak terdapat di sana.
Rupanya Nyai Harum bisa menebak arah pikiran Iblis Penghela Kereta. Tiba-tiba saja tangannya bergerak ke sebuah pohon di samping kanannya yang ditumbuhi semak belukar.
Wusss Duaaarrr! Suara keras terdengar menghantam rimbunnya dedaunan pohon itu. Lalu mendadak lima belas tubuh meluncur ke bawah dalam keadaan leher patah! Memerahlah wajah Iblis Penghela Kereta. Mendadak saja, tangannya bergerak. Maka kereta yang dijadikan tunggangan tiba-tiba bergerak bagaikan kilat, menderu ke arah Nyai Harum.
"Gila!" dengus Nyai Harum, langsung melompat ke samping.
Diam-diam perempuan tua ini takjub melihat kehebatan tenaga dalam Iblis Penghela Kereta. Kereta tanpa kuda itu bagaikan dikendalikan sebuah tenaga dalam kuat. Menderu-deru ke arahnya! Anak buah Iblis Penghela Kereta yang sudah berkumpul di sana telah pula bersiaga. Meskipun, mereka yakin kalau kedua orang yang baru datang itu tak akan bisa meninggalkan tempat ini dengan selamat. Sementara kereta tanpa kuda itu mendadak berbalik, lalu terus menderu mengancam Nyai Harum yang kini sudah meloloskan selendang warna-warninya. Dicobanya menahan tubrukan kereta yang mendadak berubah bagaikan banteng jantan yang terluka! Suara kereta menggetarkan telinga. Bahkan mampu membuat jantung bagai rontok. Nyai Harum berkali-kali mendengus menyadari kekuatan tenaga dalam lawan. Sementara itu, Tiwi pun tak mampu berbuat banyak. Memang, Tek Jien bukanlah tandingannya.
Meskipun tenaga dalamnya tinggi, namun untuk mengimbangi kecepatan Tek Jien, dia sangat kewalahan.
Berkali-kali tubuh gadis itu terkena gebukan.
Bahkan yang membuatnya menjerit marah, Tek Jien menyerang bagian-bagian tubuhnya yang terlarang.
Dan ini membuatnya harus menghindar susah payah.
"Bangsat!" makinya.
"Ha ha ha.... Sudah lama aku ingin melihat tubuh Gadis Jawa yang sudah tentu menggiurkan!" "Ciiih! Busuk!" maki Tiwi sambil mencoba membalas serangan Tek Jien.
Namun serangan gadis itu sudah tak banyak gunanya. Apalagi, kecepatan Tek Jien sangat sukar diimbangi. Des! Des! Kembali tubuh Tiwi terkena hantaman Tek Jien.
Diam-diam gadis ini mendengus. Kalau saja selendangnya tidak dirampas Jaka, bisa dipastikan kecepatan Tek Jien dapat diimbanginya. Paling tidak, menjaga jarak serangan Tek Jien agar tidak terlalu rapat.
Akan tetap selendang itu kini berada di tangan Jaka.
Sudah tentu membuatnya gusar, sekaligus kewalahan menghadapi serangan.
"Manis.. Lebih baik menyerah saja untuk ku nikmati sebelum mampus kubunuh!" "Cih! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"seru Tiwi keras. Dan mendadak, tubuhnya meluruk ke arah Tek Jien. Namun, bagi Tek Jien serangan semacam itu tidak lah menyulitkan. Tokoh Cina ini merasa sudah berada di atas angin. Maka dengan hanya berkelit sekali, tangannya sudah mampir kembali ke tubuh Tiwi.
Desss...! "Aaah...!" Gadis itu sempoyongan disertai keluhan tertahan. Sedangkan pada saat yang sama, Nyai Harum benar-benar kewalahan menghadapi kereta tanpa kuda yang dikendalikan Iblis Penghela Kereta. Kibasan selendangnya untuk menahan serangan kereta itu tak banyak gunanya.
Tiba-tiba saja perempuan tua ini melenting ke depan dua kali, melewati kereta yang meleset ke arahnya. Dan sambil melenting itu selendangnya dikibaskan ke arah Iblis Penghela Kereta yang sedang terbahak-bahak.
"He! Bangsat!" Ctaaarrr! Iblis Penghela Kereta melompat sigap, kalau tidak ingin tubuhnya hancur dihantam selendang Nyai Harum yang dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi.
Dan begitu Sunsang melompat, kereta tanpa kudanya mendadak berhenti. Dan, ganti Nyai Harum yang terbahak-bahak melihatnya.
"Rupanya kereta jelek mu itu sudah tidak punya tenaga lagi!" ejek Nyai Harum sambil menyerang.
Selendang warna-warni perempuan tua itu terus bergerak cepat. Kali ini bukan hanya bagaikan sebuah cambukan, karena tiba-tiba bisa menjadi tongkat yang keras, dan tongkat seperti karet. Keras namun lentur.
Iblis Penghela Kereta mendengus sambil melompat menghindari serangan Nyai Harum. Namun sekejap kemudian, dengan nekat disongsongnya serbuan selendang warna-warni Nyai Harum.
Des! Buk! Dua buah sabetan selendang yang dialiri tenaga dalam mengenai tubuh Iblis Penghela Kereta. Namun yang mengherankan, lelaki penguasa Lembah Ular itu malah terbahak-bahak. Seolah, serangan Nyai Harum tadi hanyalah sentilan anak kecil saja! "Nyai Harum...! Itulah ajian 'Tameng Baja' yang kumiliki! Ayo, serang aku! Serang!" Dengan hati penasaran, Nyai Harum menyerang lebih cepat. Tenaga dalamnya ditambah. Namun lagilagi serangannya tak membawa arti apa-apa. Wajahnya mendadak saja berkeringat menyadari lawan memiliki ilmu kebal yang sangat tangguh! Sementara Tiwi terlihat dalam keadaan terdesak akibat serangan Tek Jien. Untuk menolong gadis itu, sangat sulit sekali bagi Nyai Harum. Karena Iblis Penghela Kereta kali ini sudah menyerang. tetap dengan melapisi diri dengan ajian 'Tameng Baja'.
Nyai Harum kali ini benar-benar terdesak. Serangan demi serangan tidak lagi banyak berguna. Bahkan berkali-kali tubuhnya terhantam serangan Iblis Penghela Kereta yang membuatnya harus terhuyung dan muntah darah.
"Kali ini benar-benar kututup hidupmu!" desis iblis Penghela Kereta.
Seketika lelaki ini bergerak cepat. Kedua tangannya mendadak mengeluarkan sinar berwarna merah.
Berarti dia tengah mengerahkan ajian pamungkasnya yang nama 'Kereta Darah'.
Nyai Harum masih berusaha menahan serangan dengan mengibaskan selendangnya.
Ctaaarrr! Duaaar! Breettt! Terdengar ledakan kecil, disusul hancurnya selendang Nyai Harum. Pada saat yang sama, perempuan tua itu sendiri melepaskan selendangnya dengan wajah pias. Seketika dirasakannya hawa panas mengalir ke tangannya. Dia berdiri sempoyongan dengan mulut meringis menahan sakit.
Melihat keadaan itu, Iblis Penghela Kereta meluruk, siap mencabut nyawa Perawan Baju Merah.
Namun belum lagi ajal menemui Nyai Harum, tiba-tiba saja satu sosok tubuh berkelebat, langsung memukul Nyai Harum dari samping. Maka, serangan dari Iblis Penghela Kereta luput.

***

"Bramantoro!" bentak Iblis Penghela Kereta, keras. Amarah lelaki ini timbul pada sosok yang baru datang. Karena, kalau saja Bramantoro tidak lancang memukul Nyai Harum, bisa dipastikan nyawa wanita itu akan tewas seketika.
Bramantoro berdiri tegak.
"Kawan Sunsang! Sungguh enak bila manusia busuk ini langsung dibunuh! Dia harus disiksa lebih dulu untuk merasakan kepedihan yang sangat!" Iblis Penghela Kereta menggeram marah.
"Kau tangkap dia untukku! Dan siksa sampai mampus!" "Baik!" sambut Bramantoro seraya membuka kipasnya. Wajahnya dingin.
"Wanita busuk! Begitu lancang kau memasuki Lembah Ular! Kau harus mampus!" Mendadak saja Bramantoro menderu dengan kipas terbuka, menyerang ke arah Nyai Harum yang sudah tegak kembali. Sejenak tadi, Nyai Harum merasa heran. Karena pukulan yang dilepaskan Bramantoro itu tidak terasa sakit. Hanya berupa sebuah dorongan belaka, meskipun ada rasa nyeri di dadanya.
Namun kali ini dengan cepat perempuan tua ini mengibaskan selendang warna-warninya.
Ctarrr! Kibasan selendang itu membuat Bramantoro mengurungkan serangannya. Dan dengan gerakan manis dia meluruk ke arah Nyai Harum. Namun dengan sigap perempuan tua itu melompat ke depan, bersalto dua kali sambil mengibaskan selendang kembali.
Namun dengan cepat pula, Bramantoro memotong gerakan Nyai Harum dengan menerobos lentingannya.
Seketika kipasnya mengebut cepat.
Trakkk! "Aaakh...!" Nyai Harum terpekik waktu kakinya tersambar kipas Bramantoro. Berdarah! Namun karena kesigapannya, berhasil membuatnya mendarat di bumi dengan empuk. Akan tetapi belum lagi bersiaga, serangan Bramantoro sudah datang kembali. Menderu dengan kibasan kipasnya yang cepat dan hebat! Iblis Penghela Kereta tersenyum puas melihat Bramantoro berhasil mendesak Nyai Harum. Matanya melirik Tek Jien yang tengah mempermainkan Tiwi dengan serangan-serangan cabul. Dan itu membuat gadis jelita yang sudah kewalahan semakin geram saja. Tiwi berusaha menghindar, menahan, maupun membalas serangan Tek Jien. Namun kali ini ruang geraknya benar-benar sudah tertutup. Malah tiba-tiba saja Tek Jien cepat memutar tubuhnya. Seketika tangannya menyambar pakaian di dada Tiwi.
Breeet! "Auuuw...!" Pakaian tepat di dada Tiwi sobek, memperlihatkan buah dadanya yang mengkal menggairahkan. Tiwi sendiri terpekik sambil merapatkan kedua tangannya di dada. Tek Jien sendiri tertawa-tawa. Dia berniat untuk membuat malu gadis jelita itu.
Ctaaarrr! Namun mendadak saja sebuah selendang warnawarni meluruk menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga ke arah Tek Jien. Dengan demikian, serangan tokoh dari Cina itu terhambat.
Tek Jien menatap tajam pada Nyai Harum yang dengan sigap menyambar lengan Tiwi. Perempuan tua itu merasa akan membuang nyawa percuma saja bila meneruskan pertarungan ini.
Tek Jien yang merasa dipecundangi niatnya itu segera memburu dengan gerakan cepat. Bersamaan dengan itu, Bramantoro pun menderu pula dengan kipas di tangannya.
Nyai Harum yang merasa keadaannya terjebak dari dua arah, sebisanya mengibaskan selendang warna-warninya. Bukk! Dan di luar dugaan, selendang itu mengenai tubuh Bramantoro yang terpelanting ke arah Tek Jien.
Brukkk...! Tek Jien cepat menurunkan serangannya, kalau tidak ingin kawannya sendiri yang termakan pukulan mautnya. Dan kesempatan itu dipergunakan Nyai Harum yang menarik Tiwi untuk melarikan diri.
"Bangsat!" maki Iblis Penghela Kereta.
"Kejar dan tangkap kedua wanita itu!" Saat itu juga, dua puluh anak buah Sunsang dengan senjata terhunus memburu Nyai Harum dan Tiwi. Sementara itu Tek Jien sedang marah-marah pada Bramantoro, karena tak mampu menahan serangan yang dilancarkan Nyai Harum tadi.
"Maaf.... Aku tidak menyangka kalau serangannya secepat itu," ucap Bramantoro dengan kepala tegak. Matanya nyalang.
Tek Jien tahu, kawannya tersinggung. Tetapi dia tidak mau tahu, karena keasyikannya untuk membuat malu Tiwi menjadi gagal. Ia terus memaki melampiaskan kejengkelannya.
Mendapat makian itu, Bramantoro langsung menyerangnya. Harga dirinya tersinggung. Tek Jien sendiri tidak tinggal diam. Segera dipapaknya serangan Bramantoro.
"Berhenti...!" Iblis Penghela Kereta langsung memisahkan dengan teriakan menggelegar. Memang, dia tak ingin di tubuh gerombolannya terjadi silang sengketa.
"Tak ada yang perlu disalahkan! Perketat penjagaan! Karena terbukti, Perawan Baju Merah dan muridnya itu berhasil menerobos masuk ke sini!" lanjut Iblis Penghela Kereta, tetap dengan suara keras.
Tek Jien menatap tajam pada Bramantoro yang membalasnya dengan sengit. Lalu sambil mendengus dia segera berlalu dari situ. Sementara Iblis Penghela Kereta mendekati Bramantoro, menepuk-nepuk bahunya sambil terbahak-bahak.
"Bagaimana dengan tugasmu menghancurkan Perguruan Garuda Mas?" "Berhasil baik, Kawan Sunsang. Hmmm, maafkan aku. Gara-gara sikapku, kedua wanita itu berhasil meloloskan diri," ucap Bramantoro sambil menjura hormat.
"Itu urusan kecil.
Perawan Baju Merah bukanlah momok yang besar bagi kita. Pendekar Sleborlah yang harus dibuat mampus! Bila dia sudah terkapar rata dengan bumi, maka tak seorangpun yang akan berani menghalangi sepak terjang kita. Hanya saja, aku mendengar kalau Eyang Purnama pun muncul dari persembunyiannya. Ini merupakan kendala dari persiapan kita untuk menguasai rimba persilatan. Akan tetapi, aku yakin, Ni Muntiti bisa menandingi Eyang Purnama. Meskipun, tak seorang pun yang akan mampu menandingi kehebatanku...." Bramantoro mengangguk-angguk. Iblis Penghela Kereta mengajak Kipas Dewa Hidung Belang untuk masuk ke dalam.
Iblis Penghela Kereta yakin, Bramantoro merasa tidak enak. Karena perbuatan lelaki hidung belang itu Nyai Harum dan gadis jelita bernama Tiwi lolos. Maka Sunsang segera memanggil seorang gadis cantik untuk menemani Bramantoro ke kamarnya.

***

--o [ 9 ] o--

"Paman.... Sudah enam hari kita menunggu di Hutan Witis ini, tetapi Iblis Penghela Kereta belum muncul juga," kata Jaka pada Ki Kamanda yang sedang terpekur.
Ki Kamanda menghela napas panjang.
"Aku pun memikirkan soal itu, Jaka. Dan aku tidak bisa menebak, apakah yang tengah terjadi pada Andika" "Paman..., apakah dia sudah tewas di Lembah Ular?" tanya Jaka pelan.
"Entahlah. Tetapi kalau memang sudah tewas, tugas kita akan semakin berat saja. Karena, dengan bantuannya-lah kita kemungkinan besar bisa menghancurkan Iblis Penghela Kereta dan gerombolannya." "Paman..., lebih baik kita segera menuju Lembah Ular saja. Aku tidak peduli apakah Pendekar Slebor sudah mati atau belum. Dendam nyawa Guru harus dibalas Paman!" "Kau betul, Jaka. Yah.... Rasanya memang saat inilah yang terbaik untuk segera menuju Lembah Ular!" sahut Ki Kamanda sambil berdiri, lalu melompat ringan ke kudanya.
Jaka pun berbuat yang sama.
"Sekali lagi, Paman! Apakah Paman menduga kalau Pendekar Slebor sudah tewas?" tanya Jaka, masih penasaran.
Ki Kamanda mendesah pendek.
"Aku tidak tahu.
Kehebatan pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu tidak usah disangsikan, Akan tetapi, bisa saja sekali ini lengah. Karena, setiap manusia mempunyai khilaf dan lupa. Yah.. Tanpa bantuan Pendekar Slebor, seperti niat pertama kali, kita memang harus menghadapi Iblis Penghela Kereta! Yeaaa!" Ki Kamanda segera menggebrak kudanya, disusul Jaka yang juga berkuda di sisinya.

***

Gadis manis yang berkulit kuning langsat itu terheran-heran ketika Bramantoro menyuruhnya mengenakan pakaiannya kembali. Biasanya, lelaki berwajah tampan meskipun dihiasi keriput, tanpa banyak mulut lagi langsung menggumulinya. Bahkan terkadang dengan memaksa. Akan tetapi, sekarang justru menyuruhnya menutup pakaian kembali.
"Maafkan aku, Manis.... Hari ini aku tidak berse-lera," ucap Bramantoro sambil tersenyum. Gadis manis itu hanya mengangguk saja, lalu bangkit dari berbaringnya. Dipijitinya kedua kaki Bramantoro yang terbujur di ranjang. Semalam pun, Bramantoro tidak menyentuhnya. Dan justru menyuruhnya berbaring saja. Sekarang pun menyuruhnya menutup pakaian kembali.
Agaknya Bramantoro merasakan keanehan yang dirasakan gadis itu.
"Tidak usah terkejut, Manis. Saat ini aku masih memikirkan perbuatanku, karena Nyai Harum dan Tiwi berhasil meloloskan diri. Yah.... Aku merasa bersalah pada Ketua Iblis Penghela Kereta" "Ya, Tuan...," desah gadis itu, menganggukkan kepala.
"Hei" Aku belum bertanya, siapakah namamu, dan dari mana asalmu?" tanya Bramantoro tiba-tiba.
Gadis itu menunduk.
"Namaku Rinai, Tuan. Aku berasal dari desa Dukuh Wates yang terletak di lereng Bukit Kembang" sahut gadis ini malu-malu.
"Hmmm.... Mengapa kau bisa berada di sini, Rinai" " Sejenak gadis itu mengangkat kepala dengan kening berkerut. Ditatapnya Bramantoro dengan sinar mata tak mengerti. Apakah lelaki ini berlagak tidak ta-hu, kalau dirinya dan beberapa gadis desa lain diculik gerombolan Iblis Penghela Kereta" Bramantoro tertawa seperti menyadari kesalahannya bertanya.
"Ah! Bodohnya aku. Pasti kau diculik, bukan?" tukas Bramantoro.
Gadis itu mengangguk malu bercampur takut.
Hatinya berdebar. Apakah dia telah melakukan kesalahan tanpa disadarinya" Oh! Bisa-bisa dia dibunuh karena gadis ini tahu, Bramantoro sangat kejam.
"Rinai.... Apakah kau tidak berniat keluar dari tempat ini?" tanya Bramantoro, halus sekali. Tidak seperti biasanya.
Kembali Rinai mengangkat kepala dengan tatap tak mengerti. Sejenak dia terdiam karena tak mengerti maksud kata-kata Bramantoro. Bramantoro tersenyum sambil bangkit duduk. Ditatapnya Rinai yang menundukkan kepala.
"Hei"! Aku tidak main-main, Rinai. Apakah kau menginginkan hal itu?" "Tetapi, Tuan...." "Rinai.... Aku tidak sedang menjebakmu. Aku mengatakan yang sesungguhnya.
"Maukah kau?" Meskipun masih tidak mengerti, dengan takuttakut Rinai menganggukkan kepala.
"Benar?" "Ya, Tuan.... Tetapi...." "Rinai.... Percayalah.... Satu saat, aku akan mem-bawamu keluar dari sini.." "Tetapi, Tuan...." Bramantoro tersenyum. Lalu dibisikkannya sesuatu pada Rinai yang terkejut mendengar usulnya.
"Tuan...." "Kau ikuti segala kata-kataku. Pokoknya, hari ini juga kau akan keluar dari perkampungan ini. Pergilah ke mana saja. Dan, jangan kembali lagi ke sini...." "Oh.... Terima kasih, Tuan.... Terima kasih...." Tanpa canggung-canggung lagi, Rinai merangkul dan mengecup pipi Bramantoro yang hanya tersenyum saja.
"Senja nanti, ikutilah permainan ku!"

***

Iblis Penghela Kereta sedang berbincang-bincang dengan Ni Muntiti. Sementara Tek Jien tengah berasyik masyuk dengan seorang gadis di kamarnya.
"Ni Muntiti.... Mengapa Sampai saat ini Pendekar Slebor belum kedengaran pula suaranya?" tanya Iblis Penghela Kereta dengan wajah geram.
"Anak buahku telah ku sebar untuk menyelidiki tentang pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur yang selalu tersampir di bahunya. Akan tetapi, sampai saat ini belum satu pun yang memberi keterangan memuaskan." "Kawan Sunsang.... Itu pula yang ku pikirkan.
Akupun tak sabar ingin melihat kehebatan Pendekar Slebor yang dipuji setinggi langit itu," sahut Ni Muntiti.
"Hmmm.. Apakah Bramantoro menceritakan kalau bertemu Pendekar Slebor?" "Tidak Tetapi kalau bertemu dengannya, sudah pasti akan mengatakannya. Bangsat, pemuda sialan itu! Berulangkali sudah kubuat keonaran dan pembunuhan untuk memancing kemunculannya, tetapi sampai saat ini pemuda itu belum muncul juga! Hhhh! Kini aku yakin, kalau ternyata dia seorang pengecut!" desis Iblis Penghela Kereta dengan kegeraman semakin menjadi-jadi. Tangannya sudah gatal untuk membunuh Pendekar Slebor. Matanya sudah tidak sabar ingin melihat mayat Pendekar Slebor yang terkapar kaku dengan darah menggenang! "Aku pun menduga seperti itu. Ternyata, dia tak lebih dari seorang pengecut!" sambut Ni Muntiti.
Keduanya terdiam. Suasana jadi hening.
Dan belum lagi keduanya. meneruskan percakapan, tiba-tiba saja....
"Keparat busuk! Kawan Sunsang! Rupanya gadis ini seorang mata-mata yang dikirim Pendekar Slebor!" Terdengar bentakan Bramantoro yang keras.
Bersamaan dengan itu, Kipas Dewa Hidung Belang menarik seorang gadis dengan paksa.
Iblis Penghela Kereta segera berdiri dengan wajah tegang.
"Bangsat! Siapa dia?" "Dia mengaku bernama Rinai!" sahut Bramanto-ro. Sementara, Rinai menangis tersedu-sedu di lantai.
Sebelah tangannya digenggam erat oleh Bramantoro. Pakaiannya robek-robek. Rambutnya acakacakan. Dan wajahnya membiru.
"Gadis busuk! Di mana Pendekar Slebor berada"!" bentak Iblis Penghela Kereta.
"Percuma, Kawan Sunsang! Dia tak akan pernah mau mengaku! Manusia busuk seperti ini seharusnya disiksa dan dibunuh, untuk memancing munculnya Pendekar Slebor!" sahut Bramantoro.
"Bagus!" terdengar seruan Tek Jien alias si Tangan Seribu yang tiba-tiba muncul.
"Bunuh saja di si-ni!" "Terlalu enak baginya! Dan Pendekar Slebor tidak akan muncul kalau begitu!" sergah Bramantoro.
"Umumkan melalui anggota kita, kalau matamata Pendekar Slebor sudah mampus!" seru Tek Jien keras.
"Tidak bisa! Dia harus dihadapkan pada puluhan ekor ular berbisa!" "Baik! Aku akan menangkapnya!" Iblis Penghela Kereta mengerti, mengapa Tek Jien kelihatan bersikeras untuk membunuh gadis itu di sini juga. Menurut dugaannya, Tek Jien masih mendendam pada Bramantoro. Tetapi Iblis Penghela Kereta tidak menginginkan kalau terjadi bentrokan sesama teman di sini.
"Biar aku yang memutuskan! Bramantoro! Siksa dia dipinggiran Lembah Ular! Gantung! Biarkan Pendekar Slebor melihatnya!" ujar Iblis Penghela Kereta.
Bramantoro melirik Tek Jien dengan senyum kemenangan.
"Baik, Kawan Sunsang!" "Tidak! Dia harus dibunuh di sini!" "Tek Jien! Mengapa kau yang membantah, hah"! Apakah menurutmu keputusan Iblis Penghela Kereta tidak bijaksana?" tukas Bramantoro.
Mendengar kata-kata Bramantoro wajah Tek Jien memerah. Kedua tangannya mengepal dengan amarah tinggi.
"Kawan Sunsang," katanya kemudian.
"Tak seorang pun yang berhak membantah keputusanmu! Tetapi] izinkanlah aku untuk ikut dengan Bramantoro!" "Bangsat!" Bramantoro tiba-tiba menolakkan tubuh Rinai hingga gadis itu bergulingan. Lalu dengan sigap diser-bu nya ke arah Tek Jien.
"Kau tidak mempercayai aku, hah"!" bentak Bramantoro.
"Aku khawatir, justru kau yang menjadi pengkhianat di sini!" sahut Tek Jien, seraya menang-kis serangan Bramantoro.
Des! des! Tiba-tiba saja tubuh keduanya terpental ke belakang, karena Iblis Penghela Kereta sudah cepat mengibaskan tangannya.
"Hentikan semua ini! Aku yang akan memutuskan segala sesuatunya di sini! Tek Jien! Kau kuperkenankan untuk mengikuti Bramantoro! Tak ada pertarungan lagi!" Tek Jien tersenyum puas. Bramantoro kelihatan mendengus. Lalu tanpa banyak cakap lagi, diseretnya tubuh Rinai yang terbanting-banting mengikutinya.
Tek Jien pun mengikutinya di belakang.

***

Suasana di sekitar Lembah Ular memang mengerikan. Begitu banyak ular berbisa dari bermacam jenis yang hidup di sana. Namun bagi kedua tokoh kepercayaan Iblis Penghela Kereta, bukanlah hal yang menyulitkan. Mereka dengan mudah melewati puluhan ular yang siap mencabut nyawa.
Di pinggiran Lembah Ular, Bramantoro membanting tubuh Rinai hingga terguling.
"Mata-mata keparat! Di mana Pendekar Slebor berada, hah"!" bentak Bramantoro, keras.
Rinai hanya menangis dengan ketakutan. Sementara, Tek Jien melipat kedua tangannya sambil memperhatikan sikap Bramantoro.
"Bangsat! Jawab pertanyaanku"!" Tetapi gadis itu tetap terdiam.
"Mengapa harus berlama-lama lagi" Bunuh gadis keparat itu!" tuntut Tek Jien, tak sabar.
Bramantoro menoleh sengit pada Tek Jien.
"Kau mau apa, hah"! Yang ditugaskan untuk membunuhnya adalah aku!" "Dan aku yang ditugaskan untuk mengawasi mu!" sahut Tek Jien tenang.
"Keparat! Mengapa kau tidak mempercayai aku, hah"!" bentak Bramantoro.
Tiba-tiba saja Tek Jien terbahak-bahak "Bramantoro! Apakah kau pikir aku tidak tahu, kalau kau sengaja melepaskan Nyai Harum dan gadis jelita yang bersamanya" Dengan berlagak terserang selendang Nyai Harum, kau mempergunakan kesempatan itu untuk menabrakku! Keparat Busuk! Siapakah kau sebenarnya!" "Bangsat!" maki Bramantoro.
"Apakah kau pikir ada orang lain yang menyamar sebagai aku, hah"! Tek Jien Jangan menjual lagak di sini!" "Bramantoro.... Bagaimana kau bisa mengetahui kalau gadis itu adalah mata-mata Pendekar Slebor" Kau pikir aku buta, kalau semua ini adalah sandiwara darimu saja"!" Wajah Bramantoro memerah. Kegeramannya nampak sekali.
"Ketika selesai bergelut denganku, dia tertidur.
Dan dalam tidurnya, dia mengigau mengucapkan nama Pendekar Slebor. Bahkan berkata, kalau dirinya tak mampu menembus pertahanan Iblis Penghela Kereta," jelas Bramantoro.
"Hanya anak kecil yang mempercayai ucapanmu!" cibir Tek Jien.
"Terserah pendapatmu!" "Kalau begitu, bunuh dia! Atau, biar aku yang membunuhnya!" Tiba-tiba saja Tek Jien menderu cepat ke arah Rinai yang masih menangis.

***

--o [ 10 ] o--

Plak! Serangan Tek Jien terhantam pukulan Bramantoro. Keduanya cepat bersalto ke belakang dengan pandangan sama-sama geram.
"Apa urusanmu menghalangiku membunuhnya"!" bentak Tek Jien.
"Apa urusannya denganmu yang mencoba membunuhnya?" balas Bramantoro.
"Ingat, Tek Jien! Aku-lah yang ditugaskan Kawan Sunsang!" "Kalau dia memang mata-mata Pendekar Slebor, kau harus membunuhnya! Paling tidak, mengatakan di mana pendekar sialan itu berada!" Bramantoro terdiam dengan pandangan tajam.
"Kau tanya saja dia!" ujar Bramantoro.
"Baik! Kalau dia tidak mau mengatakannya, akan kubunuh sekarang juga! Ku gantung di dahan pohon besar itu!" seru Tek Jien, lalu melangkah mendekati Rinai yang masih menangis.
"Gadis keparat! Di manakah Pendekar Slebor berada"!" Rinai hanya diam saja sambil terguguk. Tek Jien menjadi gusar. Kakinya bergerak cepat.
Namun lagi-lagi serangannya itu dihalangi Bramantoro. Plak! "Kau?" Tek Jien menuding dengan suara geram.
"Hhh! Tek Jien! Kita tentukan saja. siapa yang berhak membunuh gadis itu!" sahut Bramantoro garang.
"Kalau mengikuti perintah Iblis Penghela Kereta, aku lah yang berkenan membunuhnya! Tetapi, rupanya saat ini kawan telah menjadi lawan!" "Kaulah yang telah mengkhianati kepercayaan ku sesama kawan! Kau pula yang sengaja membiarkan Nyai Harum dan gadis itu meloloskan diri! Baik! Aku pun ingin tahu, sampai di mana kehebatanmu!" Seusai berkata begitu, Tek Jien berkelebat dengan serangan berisi tenaga dalam penuh. Sementara Bramantoro membuka kipasnya.
"Aku pun ingin tahu, apakah Iblis Penghela Kereta tidak salah memilih orang!" kata Bramantoro.
Serangan Tek Jien benar-benar mengandung kekuatan penuh. Sebuah serangan berbahaya. Dan sekali gebrak saja, tangannya terlihat bagaikan berjumlah seribu. Memotong, memukul, menghantam Bramantoro yang dijadikan sasaran.
Bramantoro sendiri mengimbanginya dengan kepandaian memainkan kipas yang dijadikan senjatanya. Dia pun tak mau kalah menunjukkan kepandaiannya. Tek Jien yang yakin kalau Bramantoro sengaja melepaskan Nyai Harum dan Tiwi, terus melancarkan serangannya. Setiap kali tangannya berkelebat, menimbulkan getaran angin yang kuat sekali.
Wuttt.... Sementara itu, Rinai diam-diam menghela napas panjang. Dia sebenarnya tidak mengerti, mengapa lelaki setengah baya yang berwajah tampan itu mau membebaskannya. Padahal, ketika pertama kali bertemu, lelaki itu main paksa saja untuk melayaninya.
Akan tetapi, sekarang begitu baik sekali. Bahkan mau membelanya yang hendak dibunuh Tek Jien. Padahal menurut Rinai, dengan mengeluarkannya dari sini saja sudah sangat sulit.
Diam-diam Rinai mengagumi lelaki berkipas yang kini membalas serangan-serangan Tek Jien dengan hebatnya. Dua sosok tubuh bergerak laksana bayangan. Satu sama lain mencoba untuk mencari kelemahan sekaligus menjatuhkan.
Serangan-serangan yang dilancarkan Tek Jien sangat berbahaya. Di samping muak bila mengingat tingkah Bramantoro yang sudah seperti pengkhianat.
Bramantoro sendiri mengeluarkan jurus-jurus kebanggaannya yang diimbangi jurus 'Tangan Seribu' milik Tek Jien. Dua serangan itu sama-sama berbahaya, mengandung tenaga kuat sekali.
Pada suatu kesempatan, Tek Jien meluruk dengan tangan mengebat ke sana kemari, mencoba mengalihkan perhatian Kipas Dewa Hidung Belang.
Kelihatan untuk sesaat Bramantoro terkejut. Dia berusaha mengelakkan serangan yang membabi buta itu. Buk! "Ughhh...!" Satu pukulan Tek Jien tepat mengenai dada Kipas Dewa Hidung Belang, membuatnya terhuyung ke belakang dan merasakan nyeri yang cukup lumayan. Wajahnya pun memerah.
"Kutu monyet! Pitak! Pitak!" bentak Bramantoro.
"Kau harus merasakan balasan ku, Tek Jien!" Mendadak saja, Kipas Dewa Hidung Belang melompat menyerbu dengan suara angin menderu. Tek Jien yang merasa sudah di atas angin pun memapaki dengan satu keyakinan, kalau kecepatannya lebih hebat daripada Bramantoro.
Plak! Plak! Dua buah benturan terjadi. Justru Tek Jien yang terjajar mundur ke belakang. Tangannya terasa nyeri sekali. Ketika dilihatnya, sudah berwarna biru.
"Bangsat!" geramnya keras, menyadari kalau tiba-tiba saja tenaga dalam Bramantoro mendadak menjadi lebih hebat.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Pengkhianat!" Mendadak saja tubuh Tek Jien meluruk kembali dengan kecepatan luar biasa. Kali ini segenap kemampuannya untuk menjatuhkan Bramantoro benar-benar dikerahkan. Justru kesempatan seperti itu dipergunakan Bramantoro dengan berguling. Karena, serangan meluruk memang hanya bisa ditandingi dengan gerakan seperti itu. Ketika tubuh Tek Jien melenting ke atasnya, Bramantoro mengibaskan kipasnya.
Breet! "Aaakh...!" Kipasnya memakan kaki Tek Jien, hingga tergores dan mengucurkan darah. Melihat hal itu, lelaki dari Tiongkok itu semakin beringas. Serangannya semakin menderu-deru. Dia sudah tidak mampu lagi mengendalikan nafsu membunuhnya! Dan amarah Tek Jien menjadi senjata makan tuan baginya. Karena kejap berikutnya tubuhnya sudah dijadikan bulan-bulanan oleh serangan Bramantoro. Dan serangan penutup yang dilakukan Bramantoro, ketika kipasnya yang dialiri tenaga dalam penuh dikibaskan ke leher Tek Jien. Breeettt! Pluk! Pluk! Kepala Tek Jien kontan terpenggal dari lehernya, terkena hantaman kipas Bramantoro dan langsung menggelinding. Sesaat tubuh tanpa kepala itu bergetar, lalu ambruk dengan darah muncrat dari leher....
Bramantoro mendengus.
"Hhh! Mampuslah kau!" Lelaki ini lantas mendekati Rinai yang tadi menjerit menyaksikan kematian Tek Jien mengiriskan. Dirangkulnya gadis itu.
"Tenanglah.... Kau aman sekarang. Lebih baik, cepatlah kembali ke kampung mu. Atau ke mana saja.
Maaf, aku tak bisa menemanimu. Karena, keadaan semakin genting...," ujar Bramantoro.
Rinai sesenggukan di dada yang bidang itu. Air matanya membasahi baju Bramantoro.
"Tetapi, Tuan...." "Rinai.... Saat ini bukanlah yang tepat untuk bercakap-cakap. Kau bebas. Aku yang akan mempertanggung jawabkan semua ini. Cepatlah pergi dari sini!" Rinai hanya mengangguk-angguk saja. Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali. Lalu sambil mengangkat kainnya, dia berlari meninggalkan tempat itu.
Bramantoro telah selesai menguburkan mayat Tek Jien. Dan sebelum kembali ke pemukiman gerombolan Iblis Penghela Kereta....
"Rupanya... kawan telah menjadi lawan...."

***

Bramantoro menghentikan langkahnya. Seketika terlihat satu sosok tubuh berpakaian putih asal saja dengan rambut panjang namun rapi. Sosok tua itu melangkah dengan tenang ke arahnya. Lalu, berhenti kira-kira berjarak tiga tombak. Wajah sosok baru muncul itu cukup menyeramkan. Di tangannya ada sebuah tongkat yang seolah-olah membantunya untuk melangkah. Dia tak lain dari Eyang Purnama.
"Rupanya dunia ini memang sudah menghitam.
Aku tak tahu, apakah suatu saat akan menjelma menjadi putih," lanjut Eyang Purnama.
"Orang tua, siapakah kau"!" tanya Bramantoro dengan suara tenang, namun terkesan lembut.
"Aku yang tua ini baru muncul untuk menyaksikan pertumpahan darah yang akan terjadi dan selalu akan terjadi." "Hei"! Jangan berlagak seperti penyair India! Sebutkan namamu!" "Orang-orang memanggilku Eyang Purnama," sahut lelaki itu sambil tersenyum.
"Rupanya, aku berhadapan dengan antek-antek Iblis Penghela Kereta yang telah membunuh kawannya sendiri! Bagus! Aku pun ingin menumpas manusia sesat itu! Bersiaplah.... Karena, kau akan mampus hari ini juga!" "Tahan! Eyang Purnama! Kita tak saling mengenal dan baru kali ini saling kenal. Lebih baik, tunda sa-ja pertarungan kita kali ini!" seru Bramantoro, menolak tantangan.
"Di mana aku berpijak, darah akan tumpah.
Sayangnya, darah itu akan mengalir akibat perbuatanku! Bersiaplah!" tandas Eyang Purnama.
"Eyang! Dengar baik-baik sebelum semuanya terlambat! Karena bila kita... heaaa!" Tiba-tiba saja Bramantoro mengibaskan kipasnya ke arah Eyang Purnama. Namun dengan sigap orang tua itu menghindarinya.
Tepat ketika Eyang Purnama bersiaga kembali, Bramantoro telah berkelebat meninggalkan tempat ini.
Sebentar saja, tubuh Bramantoro sudah menghilang dari pandangan.
Eyang Purnama hanya menggeleng-geleng saja.
Dia tidak mengejar. Justru tangannya mendadak saja bergerak begitu lembut, seolah tak bertenaga.
Wusss...! Tetapi akibatnya, di kejauhan Bramantoro yang sedang berlari kencang mendadak saja membuang tubuhnya ke samping.
Blarrr.... Terdengar suara bagai letusan.
"Gila! Rupanya manusia itu memang benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi!" Dengan cepat Bramantoro menambah larinya.
Eyang Purnama hanya mendesah. Dan kakinya melangkah pelan namun pasti, menuju Lemah Ular.

***

Di bawah pohon rindang dua sosok duduk terpekur seperti menikmati malam yang semakin merambat perlahan. Suara binatang malam terdengar ramai, bersahutan.
"Nyai.... Seharusnya kita kembali lagi ke Lembah Ular," kata sosok yang lebih muda dengan suara sengit. Sosok itu tak lain dari Tiwi. Hatinya geram bukan main, karena hampir saja dipermalukan Tek Jien. Ingin rasanya dia mengadu jiwa saat itu. Tak peduli kalau harus tewas! Yang pasti, kehormatannya lebih tinggi di atas segala-galanya. Dan itu dijunjung semurni-murninya.
Nyai Harum bisa memaklumi kejengkelan hati Tiwi yang dipermalukan Tek Jien.
"Tiwi, apa yang ada di hatimu pun sama dengan yang ada di hatiku. Keinginanku hanya satu. Melihat Iblis Penghela Kereta mampus, demi membalas dendam kakak seperguruanku, Ki Rusa Tungga. Akan tetapi, bila kita meneruskan pertarungan dua hari yang lalu, bisa dipastikan hanya membuang nyawa percuma saja. Itu suatu kebodohan yang tak boleh terjadi," sahut sosok tua yang sudah jelas Nyai Harum, bijaksana.
"Nyai! Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang harus mampus! Si keparat kawannya itu juga!" "Siapa pun yang berada di sana harus mati, Tiwi! Kecuali mereka yang insyaf dan kembali di jalan lurus," kata Nyai Harum.
Sebenarnya yang dipikirkan perempuan tua itu adalah sikap Bramantoro yang tiba-tiba muncul. Nyai Harum yakin seyakin-yakinnya, kalau Bramantoro memang hendak menolongnya. Meskipun, disamarkan. Pertama, dari serangan maut Iblis Penghela Kereta. Kedua, dari serangan Tek Jien. Bahkan yang masih diingatnya saat selendang warna-warninya dikibaskan dalam keadaan terdesak. Seharusnya, tokoh seperti Bramantoro yang dikenal berjuluk Kipas Dewa Hidung Belang itu mampu menghindarinya. Akan tetapi lelaki itu justru terhantam selendangnya. Bahkan menabrak tubuh Tek Jien, yang sedang melancarkan serangan maut, siap mencabut nyawanya.
Nyai Harum benar-benar tidak tahu, apa maksud Bramantoro yang sebenarnya. Kalau memang antek Iblis Penghela Kereta, mengapa mesti menolongnya" Kalau bukan antek dari tokoh sesat itu, mengapa menolongnya" "Nyai.... Kau kenapa?" tanya Tiwi, memecah kesunyian karena sejak tadi dia pun berdiam diri.
"Tidak apa-apa, Anak Manis. Kita memang harus kembali ke Lembah Ular. Akan tetapi, bila hanya berdua saja tak akan mampu untuk mengalahkan mereka," desak perempuan tua ini.
"Kau tak perlu khawatir, Nyai Harum.... Karena kami pun akan menuju ke sana...." Mendadak terdengar suara. Tak lama, muncul dua ekor kuda di hadapan mereka.
Justru Tiwi yang langsung bangkit, begitu melihat siapa yang muncul.
"Pemuda keparat! Kembalikan selendang jinggaku!" dengus Tiwi seraya melenting ke arah Jaka yang langsung melompat dari kudanya.
"Tahan, Tiwi! Tahan!" seru Jaka seraya bergulingan menghindari serangan Tiwi yang beruntun.
"Pemuda hidung belang! Kembalikan selendangku!" seru gadis itu jengkel, melihat selendang ke-sayangannya melilit di pinggang Jaka. Dengan cepat Jaka segera meloloskan selendang itu, lalu melemparkannya ke arah Tiwi.
"Kalau hanya ingin meminta selendangmu kembali, jangan bersikap seperti itu! Nih, ambil!" Lemparan selendang itu ternyata bukan lemparan biasa, karena sudah dialiri tenaga dalam oleh Jaka.
Pemuda itu memang jengkel pula melihat sikap Tiwi.
Tiwi sendiri mengetahui kalau selendang itu dialiri tenaga dalam. Terbukti dari sentakannya yang terdengar menderu. Dengan sigap gadis itu bersalto dua kali. Segera disambarnya selendangnya. Lalu kakinya hinggap di tanah dengan ringan.
"Hhh! Kini kau harus membayar semua ulah mu tempo hari!" Mendadak saja Tiwi mengibaskan selendangnya ke arah Jaka. Ctaaarrr! Jaka tersentak, dan buru-buru mengempos dirinya.
"Hei, tahan! Kita satu golongan. Jangan main serang seperti ini!" seru Jaka, mengingatkan.
Tetapi Tiwi tidak mau peduli. Gadis itu terus mencecar Jaka dengan cepatnya. Dalam satu hal, ia membenci Jaka. Karena kalau saja selendang kesayangannya berada di tangannya, sudah tentu Tek Jien tak akan mampu mempermalukannya.
Sementara itu, Ki Kamanda melompat dari kudanya. Segera ditemuinya Nyai Harum, dan duduk di sebelahnya. Keduanya tak mempedulikan Jaka dan Tiwi yang saling serang.
"Kudengar Nyai sudah bertarung dengan Iblis Penghela Kereta?" "Kau benar, Kamanda. Dia sangat hebat. Ilmunya tinggi. Aku dibuat tak berdaya dengan kereta tanpa kudanya yang dikendalikan tenaga dalam." "Nyai.... Apakah Nyai bertemu Pendekar Slebor?" tanya Ki Kamanda.
"Tidak Kenapa?" sahut Nyai Harum, seraya bertanya.
Ki Kamanda terdiam sesaat "Nyai..., Pendekar Slebor sudah pergi beberapa hari yang lalu, menuju Lembah Ular. Dia berjanji akan datang ke Hutan Witis bila sudah tiba di sana. Akan tetapi, setelah enam hari lewat, pemuda itu tidak muncul juga. Nyai.... Apakah Nyai menduga kalau dia tertangkap atau tewas di sana?" Nyai Harum menggeleng.
"Aku tidak tahu," sahutnya.
"Tak ada kalimat dari siapa pun dari orang-orang di sana yang mengatakan tentang Pendekar Slebor." Ki Kamanda terdiam sesaat.
"Hmmm.... Aku yakin sekarang, kalau dia memang belum mati. Ini suatu berita bagus. Karena dengan bantuannya-lah kita bisa menaklukkan Iblis Penghela Kereta," gumam Ki Kamanda, dengan suara sedikit lega.
"Dan jangan lupa, Kamanda. Iblis Penghela Kereta dibantu tiga orang antekanteknya yang tangguh." Ki Kamanda hanya mengangguk-angguk saja. Sedikit banyaknya dia memang telah memperkirakannya. Lalu perhatian lelaki ini beralih pada Tiwi yang masih menyerang Jaka dengan garang. Sementara, Jaka hanya berusaha menghindari serbuan sambil berseru-seru agar Tiwi menghentikan tindakannya. Tiba-tiba saja di bibir Ki Kamanda menyungging senyuman. Begitu pula di bibir Nyai Harum yang juga memperhatikan pertarungan.
"Hei, Kamanda.... Apakah kau tidak menyadari kalau muridmu itu sudah besar?" seru Nyai Harum.
"Bagaimana denganmu, Nyai?" tukas Ki Kamanda.
"Ya, ya... Tiwi sudah dewasa. Sudah pantas mempunyai suami. Kau sendiri?" "Begitu pula Jaka. Tetapi, aku tak berani lancang memutuskan. Karena sesungguhnya dia adalah murid kakak seperguruanku, Ki Buwana." "He! Buwana sudah tewas! Kini kau yang berhak memutuskan." "Aku akan memutuskannya, Nyai." "Bagus! Lamarlah Tiwi kepadaku!" Ki Kamanda menoleh pada Nyai Harum.
"Nyai Harum..., aku melamar Tiwi untuk Jaka." Nyai Harum terkekeh-kekeh.
"Kuterima lamaranmu itu, Kamanda!" Tiba-tiba Nyai Harum mengibaskan tangannya pada dua remaja yang sedang bertarung.
Wusss! Serentak kedua remaja itu bersalto ke belakang.
Dan hampir bersamaan mereka menginjak bumi.
"Nyai! Jangan ganggu aku! Biar manusia keparat itu mampus!" seru Tiwi, keras.
Nyai Harum tertawa-tawa.
"Sini, Anak Mas-ku. Sini...." Sambil menghentakkan kakinya dengan bibir cemberut, Tiwi mendekati Nyai Harum. Matanya menoleh marah pada Jaka yang hanya terpaku di tempatnya.
"Ada apa sih"! Pemuda sialan itu harus dihajar!" Tiwi merajuk, manja.
"Tenang dulu, Anak Mas. Tenang dulu. Sekarang dengarkan aku. Tiwi..., Paman Kamanda telah melamar mu untuk dijadikan istri muridnya," jelas Nyai Harum.
"Siapa muridnya?" tanya Tiwi.
"Ya, si Jaka itu." "Apa?" Suara Tiwi menggema keras. Lalu mendadak saja gadis ini menjadi gelagapan. Sepertinya dia tak tahu harus berkata apa.
Nyai Harum tahu, sedikit banyaknya Tiwi telah jatuh hati pada Jaka. Hanya sebagai seorang gadis, dia harus memperlihatkan keterkejutannya yang bercampur malu. Kalau saja Tiwi membentak-bentak dan ngambek, bisa dipastikan kalau menolak. Tetapi, Tiwi justru gelagapan! "Tiwi..., kau tak perlu ragu. Bila menolak, katakan saja. Dan bila setuju, katakan pula yang sesungguhnya...." "Aku...." "Nah, kenapa?" "Aku... ooh! Nyai..., mengapa dia yang melamar ku?" seru gadis ini tiba-tiba.
"Kenapa, memangnya?" "Pemuda itu jalang! Sialan! Dia pernah memeluk ku! Bahkan mengambil selendang jingga ku! Dia harus mati, Nyai! Bukan menjadi suamiku!" "Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu. Yang kubutuhkan sekarang, menerima lamaran Kamanda untuk Jaka atau tidak?" tukas Nyai Harum sambil tersenyum.
Kembali wajah dara jelita itu memerah, tak tahu harus berbuat apa. Sesungguhnya Tiwi memang telah jatuh hati pada Jaka. Apalagi bila mengingat, bagaimana pemuda itu merangkulnya untuk menahannya agar jangan menyerang lagi. Tetapi sudah tentu gadis ini bingung. Makanya, dia berdiri saja dengan wajah memerah. Gelagapan lagi! "Kamanda..., aku tidak tahu apakah anak masku ini menerima lamaranmu itu. Kau sendiri bagaimana" Apakah Jaka sudah setuju dengan usulmu?" Ki Kamanda tersenyum, lalu mendekati Jaka.
"Nah! Kau pasti sudah mendengarnya pula, Jaka. Aku menginginkan kau dan Tiwi menjadi suami istri abadi yang hanya bisa dipisahkan oleh maut. Kau setuju Jaka?" Meskipun secara tidak langsung sudah mendengar percakapan antara Nyai Harum dengan Tiwi, wajah Jaka pun memerah. Dia juga tidak tahu harus berkata apa. Makanya pemuda ini terdiam seribu bahasa.
Kini, Ki Kamanda yang tertawa-tawa.
"Nyai Harum! Kalau melihat gelagatnya, ponakanku ini setuju bila Tiwi menjadi istrinya," lapor Ki Kamanda.
"Nah, Tiwi, Kau mendengar kata-kata Paman Kamanda itu?" tanya Nyai Harum pada Tiwi.
Tiwi diam saja. Lalu, mendadak gadis itu berlari meninggalkan mereka. Justru Nyai Harum yang tertawa-tawa.
"Jaka, kejarlah dia! Dia adalah calon istrimu!" ujar Nyai Harum setengah meledek.
Jaka ragu-ragu, lalu berpaling pada Ki Kamanda.
"Paman...." "Jaka... Bukankah kau ingin tahu, mengapa Tiwi waktu itu menangis ketika selendangnya kau rebut" Inilah jawabannya. Karena sesungguhnya dia telah jatuh hati padamu. Nah, silahkan mencarinya. Dan, bawa dia ke sini, bila kau memang mencintainya.." Jaka kelihatan masih ragu. Tetapi sesaat kemudian tubuhnya sudah berkelebat mencari Tiwi. Nyai Harum dan Ki Kamanda saling berpandangan dan sama-sama tertawa.
"Tak kusangka, kalau kita akhirnya berbesan, Kamanda...," kata perempuan tua itu, lega.
"Yah, kau benar. Kini kita harus memikirkan, bagaimana caranya menghancurkan Iblis Penghela Kereta.
"Sekalian mencari tahu tentang Pendekar Slebor," sambut Ki Kamanda.
"Kita akan merembukkannya setelah kedua remaja itu datang...," sahut Nyai Harum.
Lalu mereka terdiam. Beberapa saat kemudian, muncullah Jaka sambil menuntun tangan Tiwi yang menundukkan kepalanya. Nyai Harum cekakakan melihatnya. Sedangkan Ki Kamanda hanya tersenyum saja.
"Kau lihat, Kamanda.... Bukankah mereka pasangan yang cocok?" ujar Nyai Harum.
"Aku pun berpikiran sama, Nyai. Hmmm..., Jaka! Apakah kau sudah mantap untuk mempersunting Tiwi?" Jaka menganggukkan kepalanya.
"Ya, Paman.." "Dan kau, Tiwi?" tanya Nyai Harum.
"Jangan menggoda ku terus, Nyai!" Bukannya menjawab pertanyaan gurunya, Tiwi justru merajuk dengan wajah memerah.
Nyai Harum tertawa sambil mengulapkan tangannya agar kedua remaja itu mendekat. Lalu mereka pun segera merembukkan rencana penyerbuan kembali ke Lembah Ular.

***

--o [ 11 ] o--

Waktu sepenanak nasi pun lewat. Sementara, udara berhembus semilir.
Tiwi dan Jaka sejak tadi saling mencuri pandang.
Kalaupun berbenturan, keduanya buru-buru melengos. Atau, saling senyum dengan wajah memerah.
Nyai Harum diam-diam sejak tadi memperhatikan.
"Hei, hei! Kalau kalian mau berpacaran, cari tempat sepi sana!" ledek perempuan tua itu.
"Nyai!" seru Tiwi dengan wajah semakin memerah.
Nyai Harum terkekeh-kekeh.
"Ayolah, Jaka.... Ajak Tiwi ke tempat yang sepi.
Benar bukan, Kamanda?" Ki Kamanda hanya tersenyum saja. Merasa lucu melihat sikap kedua remaja itu yang malu-malu.
Jaka lebih bisa menguasai diri. Tahu-tahu dia bangkit mendekati Tiwi. Tangannya diulurkan. Tiwi mengangkat wajahnya, terperangah. Hanya sesaat, karena sesaat kemudian kepalanya menunduk dengan dada berdebar.
"Hei, hei! Sudah sana!" seru Nyai Harum sambil tertawa pula.
Dengan menahan malu dan wajah memerah, Tiwi bangkit. Bahkan tanpa mengambil tangan Jaka yang masih terulur padanya.
"Lho" Mengapa diacuhkan" Tiwi, genggam tangan kekasihmu itu." "Nyai ini! Menggoda melulu!" Justru Jaka yang meraih tangannya dan menggenggam. Dan dengan senyum mesra, diajaknya Tiwi meninggalkan kedua orang tua itu.
"Hei! Jangan berbuat macam-macam!" seru Nyai Harum.
Di tempat yang rindang, Jaka berhenti melangkah. Tidak berkata apa-apa, karena dadanya pun bergemuruh hebat. Begitu pula Tiwi yang hanya memandang jauh ke depan sana. Sungguh, baru kali ini dia mengalami pesona cinta yang begitu indah. Dan ini membuatnya merasa serba salah melakukan apa saja.
"Adikku...!" panggil Jaka, tetap tanpa menoleh.
"ya, Kakang...." "Apakah..., apakah kau benar-benar setuju dengan usul Paman Kamanda dan Bibi Nyai Harum?" Wajah Tiwi memerah.
"Aku..., ah! Kau sendiri, bagaimana?" Tiwi malah balik bertanya. Kali ini Jaka menoleh, menatap lekat-lekat pada gadis jelita di sisinya.
"Aku, aku..., bersungguh-sungguh, Adikku....
Bahkan..., aku, aku, senang sekali. Bagaimana dengan kau?" Tiwi hanya terdiam. Dadanya mendendangkan kidung cinta yang nyaman.
Justru Jaka yang menjadi gelagapan, karena sekian saat ditunggu, Tiwi tidak menjawabnya.
"Adikku..., katakanlah. Apakah kau setuju?" Tiwi hanya terdiam.
"Adikku...," desis Jaka hampir putus asa. Kali ini Tiwi menoleh. Matanya menatap malu-malu.
"Kakang..., aku, aku..., setuju." "Oh! Benarkah, Adikku?" Tanpa sadar Jaka menggenggam kedua tangan Tiwi yang halus.
Kepala Tiwi mengangguk perlahan-lahan.
"Kau tidak merasa terpaksa?" Kepala Tiwi menggeleng.
"Oh, Gusti.... Terima kasih atas rahmat-Mu," desis Jaka.
Lalu tiba-tiba pemuda ini menatap lekat-lekat pada Tiwi. Yang ditatap menjadi gelagapan. Dia melihat riak-riak cinta yang hangat. Tidak berbalur nafsu.
"Kakang..., kenapa menatap ku seperti itu?" "Kau..., kau cantik, Tiwi...." "Ah...." Tiwi hanya bisa mendesah dengan kepala tertunduk. Perlahan-lahan Jaka mengangkat dagu lancip gadis itu. Sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Tiwi dengan lembut.
Sekarang, wajah mereka berhadapan. Masingmasing bisa melihat binar cinta yang syahdu. Tiwi gelagapan ketika perlahan-lahan Jaka memajukan kepalanya. Dan tanpa sadar, sepasang mata gadis ini yang bening dan jernih terpejam. Dadanya berdebar semakin keras. Akankah Kang Jaka menciumku" Ya, ya...! Dia akan merasakan kasih sayang dari pemuda itu.
Mata Tiwi pun semakin rapat dipejamkan.
"Hei! Mau apa kalian!" Serentak Jaka menarik pulang kepalanya. Sementara Tiwi membuka matanya terperanjat.
Nyai Harum tertawa-tawa. Di sisinya, Ki Kamanda hanya tersenyum saja.
"Nyai!" seru Tiwi gemas.
"Sudah, sudah.... Sekarang kita harus menuju Lembah Ular. He he he... maaf, mengganggu keasyikan kalian. Ayo, Kamanda!" Kedua orang tua itu sudah melangkah.
Sementara sepasang remaja itu berpandangan, lalu tiba-tiba tertawa. Dan mereka segera menyusul kedua guru masing-masing.

***

Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar kata-kata Bramantoro yang mengabarkan kalau gadis bernama Rinai telah mampus digantung.
"Aku suka dengan kerjamu. Tetapi, ke manakah Tek Jien" Mengapa dia tidak muncul bersamamu?" tanya Iblis Penghela Kereta kemudian. Sementara si Pesolek Tongkat Naga duduk menjuntai di sisinya.
"Kawan Sunsang! Aku tak mengerti melihat sikap Kawan Tek Jien. Dia bersikeras menunggu mayat gadis itu, dengan harapan Pendekar Slebor akan muncul," sahut Bramantoro, lantang.
"Bagus, bagus sekali! Aku menyukai kawan yang penuh tanggung jawab seperti itu." "Bramantoro...." Tiba-tiba terdengar suara Ni Muntiti yang dingin.
"Apakah kau berjumpa seseorang yang bernama Eyang Purnama?" lanjut perempuan itu.
Bramantoro kelihatan terhenyak.
"Ya, aku bertemu dengannya. Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" "Melihat sinar mentari yang redup di atas, aku yakin semua itu disebabkan munculnya Eyang Purnama. Beberapa puluh tahun yang lalu, aku sempat bentrok dengannya. Karena saat itu, di rimba persilatan ini hanya aku dan dialah yang diakui sebagai orang nomor satu. Memang, saat itu ada Raja Penyamar, Pendekar Dungu, Lelaki Berbulu Hitam, dan Hakim Tanpa Wajah yang mampus di Mesir. Sampai saat ini pun, sepak terjang ketiga tokoh aneh itu masih kudengar. Maksudku, Raja Penyamar, Pendekar Dungu, dan Lelaki Berbulu Hitam. Aku tak pernah bentrok, karena sikap mereka yang angin-anginan. Akan tetapi, berkali-kali aku bentrok dengan Purnama. Dan terakhir kali kami bertarung, aku sempat dikalahkannya.
Sekarang ini, kesempatan ku untuk membalaskan dendam empat puluh tahun lalu itu!" tukas Ni Muntiti.
Sehabis Ni Muntiti berkata seperti itu....
"Hhh! Aku mencium pupur busuk yang selalu dikenakan oleh Pesolek Tongkat Naga! Ni Muntiti, keluarlah kau!" Mendadak terdengar suara keras bernada angker.
Ni Muntiti berpandangan dengan Iblis Penghela Kereta yang terbahak-bahak.
"Bagus! Kemunculannya bisa mempermudah seluruh rencana kita," kata perempuan tua itu sambil bangkit.
Dan mereka bertiga pun melangkah ke halaman pendopo. Di pendopo tampak satu sosok tubuh Eyang Purnama berdiri tegar. Di sekitarnya, bergelimpangan sekitar dua puluh lima orang anak buah Iblis Penghela Kereta.
Melihat hal itu, sudah tentu wajah Iblis Penghela Kereta merah padam. Diam-diam bisa di ukurnya kehebatan Eyang Purnama, karena mampu menjatuhkan anak buah pilihannya tanpa menimbulkan suara sedikit pun! "Purnama...! Empat puluh tahun kita tak pernah bertemu. Rupanya kehebatanmu sudah semakin bertambah." "Jangan memuji, Muntiti. Aku justru semakin tua. Usiaku semakin lanjut. Dan tenagaku semakin menipis. Yang tak pernah kusangka, seorang tokoh yang namanya ditakutkan orang-orang rimba persilatan rupanya telah menjadi antek dari bajingan busuk seperti Iblis Penghela Kereta! Muntiti! Tidakkah kau berpikir, kalau ilmu yang kau miliki itu berguna untuk membela orang lemah?" "Hhh! Seperti dulu, kau masih sering pula berkhotbah!" geram Ni Muntiti.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengarnya. Sementara Bramantoro diam-diam mendesah panjang dalam hati.
"Eyang Purnama! Aku menawarkan harta yang banyak dan kedudukan tinggi bila kau mau bergabung denganku! Sama seperti yang didapatkan oleh Ni Muntiti," timpal Iblis Penghela Kereta.
Eyang Purnama tersenyum.
"Iblis Penghela Kereta! Sayangnya, aku tak tertarik dengan harta dan kedudukan seperti yang kau tawarkan. Aku berbeda dengan Muntiti yang telah buta oleh harta dan kedudukan. Dan, ketahuilah! Kedatanganku ke sini hanyalah untuk memenggal kepalamu!" Memerah wajah Iblis Penghela Kereta mendengar kata-kata yang dilontarkan Eyang Purnama.
"Bunuh manusia keparat itu!" Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta berseru keras pada beberapa anak buahnya yang berdiri mengelilingi Eyang Purnama. Maka seketika puluhan anak buahnya dengan senjata di tangan menyerbu. Meskipun sekitar dua puluh lima teman-teman mereka yang bergeletakan, namun mereka tetap menyerang Eyang Purnama dengan garang. Dan dalam sekejap, tubuh mereka sudah terpelanting deras ke belakang. Yang masih kuat, bangkit dan menyerbu lagi dengan teriakan semakin garang.
"Sayangilah nyawa kalian! Karena, kalian telah diperbudak iblis sesat itu!" teriak Eyang Purnama, mengingatkan sambil mengebutkan tangannya.
Kembali, mendadak saja tubuh para pengikut Iblis Penghela Kereta berpentalan.
"Mundur!" teriak Ni Muntiti.
Dan bersamaan dengan itu, tubuh perempuan ini melayang ke arah Eyang Purnama.
"Kalau dulu kau bisa mengalahkan aku, kini kau yang akan terkapar di Lembah Ular ini, Purnama!" desis Ni Muntiti sambil mengebutkan tongkatnya.
Wuuut! Wuuuttt! Eyang Purnama menghindari serangan Ni Muntiti yang ganas itu. Tongkatnya pun digerakkan dengan cepat pula. Tak! Tak! Dua kali senjata tongkat di tangan masing-masing beradu. Dari sana, sudah nampak kalau tenaga dalam mereka seimbang. Yang menakjubkan, serangan satu sama lain benar-benar luar biasa, mengandung kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sekali. Setiap kali tongkat bergerak, terdengarlah suara angin menderuderu tajam. Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak.
"Kau akan mampus di sini, Eyang Purnama!" "Kau pun akan mampus di Lembah Ular ini, Iblis Busuk!" Mendadak terdengar suara bernada geram. Tak lama, muncul empat sosok tubuh yang melenting dari satu tempat, dan hinggap di hadapan Iblis Penghela Kereta. Melihat keempat orang itu, Iblis Penghela Kereta hanya terbahak-bahak.
"Rupanya Perawan Baju Merah memang ingin mampus! Dan kau, Kamanda...! Rupanya kau pun hadir di sini! Bagus, bagus sekali!" Jaka yang baru pertama kali melihat sosok yang telah membunuh gurunya, langsung melenting cepat.
Keris yang jarang lepas dari warangkanya, kini dipakainya.
"Keparat! Kau harus mampus, Manusia Sesat!" seru Jaka dengan keris menderu cepat, dipadukan jurus 'Cakar Maut Mengurung Mangsa'.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dan dengan mudah dihindarinya serangan Jaka. Sementara itu, Tiwi langsung meloloskan selendang jingganya, meluruk maju membantu Jaka.
"Kang Jaka! Kita sama-sama membunuh manusia keparat ini!" Sementara itu, anak buah Iblis Penghela Kereta segera menyerbu Nyai Harum dan Ki Kamanda.
Namun, Ki Kamanda dan Nyai Harum justru meluruk ke arah Iblis Penghela Kereta.
"Jaka! Tiwi! Mundurlah! Kalian bukan lawan iblis itu...!" Jaka dan Tiwi yang memang dalam tiga gebrak saja sudah keteter segera bersalto mundur. Kini ganti Ki Kamanda dan Nyai Harum yang menyerang Iblis Penghela Kereta.
Jaka dan Tiwi segera menghadapi serbuan anak buah Iblis Penghela Kereta yang ganas.
"Kawan Bramantoro! Bunuh kedua manusia ini!" Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta membentak Bramantoro yang sejak tadi diam saja.
Bukannya bergerak, Bramantoro justru tersenyum.
"Iblis Penghela Kereta! Bramantoro alias Kipas Dewa Hidung Belang telah mampus! Begitu pula Tek Jien, yang kini terkubur di tepi Lembah Ular!" "Bangsat! Siapa kau sebenarnya"!" maki Iblis Penghela Kereta sambil mencecar Nyai Harum dan Ki Kamanda. Dan mendadak saja tangan Iblis Penghela Kereta bergerak. Seketika kereta tanpa kudanya mendadak menyerbu ke arah Bramantoro yang sedang tersenyum-senyum. Dan dengan cepat, Bramantoro yang jelas-jelas palsu itu melenting menghindari gerakan kereta tanpa kuda yang pasti digerakkan oleh tenaga dalam Iblis Penghela Kereta.
"Iblis busuk! Bukankah kau tengah mencari Pendekar Slebor?" seru Bramantoro sambil membuka pakaiannya setelah bisa menghindari terjangan kereta tanpa kuda. Hal itu dilakukan saat Bramantoro palsu masih melenting di udara. Dibalik pakaiannya, nampaklah sebuah pakaian berwarna hijau pupus. Begitu mendarat di tanah, di lepasnya topeng dari getah pohon yang ada di wajahnya. Kali ini terlihatlah seraut wajah tampan dengan sepasang alis hitam bagaikan elang menukik. Wajah Pendekar Slebor! Iblis Penghela Kereta terhenyak melihatnya.
Kemarahannya menjadi-jadi. Rupanya, selama ini yang berada di dekatnya bukanlah Bramantoro asli, melainkan Pendekar Slebor yang menyamar sebagai Bramantoro! Memang, setelah berhasil membunuh Bramantoro, Pendekar Slebor menyamar menjadi manusia sesat itu. Pendekar Slebor berharap bisa mengetahui seluk beluk di sekitar Lembah Ular, dan menembus masuk ke pemukiman Iblis Penghela Kereta.
Memang, betapa miripnya wajah yang dibuat Pendekar Slebor dengan Bramantoro asli. Ilmu membuat topeng memang salah satu keahlian Pendekar Slebor yang diajarkan Raja Penyamar. Bahkan sampai-sampai suara Bramantoro ditirunya.
Sementara itu, Nyai Harum kini paham, mengapa waktu itu Bramantoro seolah membantu. Bramantoro palsu sengaja menabrak tubuh Tek Jien, sehingga lelaki itu gagal menyerangnya. Rupanya, di balik wajah dan pakaian yang selalu dikenakan Bramantoro, tak lain adalah Pendekar Slebor. Sedangkan Ki Kamanda diam-diam menghela napas lega. Dia semakin yakin kalau pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu memang belum mati. Bahkan berhasil mengecoh Iblis Penghela Kereta dalam penyamarannya.
Tiba-tiba Iblis Penghela Kereta menggeram murka.
Tangannya tiba-tiba bergerak cepat ke arah Nyai Harum yang sedang mengibaskan selendang warnawarninya. Buk! "Akh...!" Serangan aneh yang tak tampak oleh mata itu menghantam tubuh Nyai Harum hingga terjajar. Ki Kamanda bergegas memotong serangan Iblis Penghela Kereta yang sudah siap mencabut nyawa Nyai Harum.
Gerakannya memang membutuhkan keberanian luar biasa. Namun bagi Ki Kamanda, keselamatan Nyai Harum lebih utama.
Sambil menyerang, Ki Kamanda memapaki serangan Iblis Penghela Kereta yang segera mengalihkan serangan padanya.
Buk! Des! Dua buah pukulan Iblis Penghela Kereta menghantam tubuh Ki Kamanda hingga jatuh tersungkur.
Saat itulah Iblis Penghela Kereta menderu, untuk menghabisi nyawa Ki Kamanda dengan teriakan keras.
"Hhh! Bersiaplah untuk menyusul Buwana, Kamanda! Heaaa!" Ki Kamanda berusaha berguling menghindari serangan berkekuatan tinggi. Wajahnya mendadak pias karena merasa kalau nyawanya akan melayang hari ini, juga. Dan sebelum hal itu terjadi, satu sosok tubuh telah menderu, langsung memapak serangan Iblis Penghela Kereta. Plak! Tubuh berbaju hijau pupus itu terhuyung ke belakang sambil menahan nyeri. Ketika hinggap kembali di tanah, tangannya membiru.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak melihat siapa yang menghalangi serangan mautnya pada Ki Kamanda.
"Pendekar Slebor! Kau telah menghancurkan seluruh rencanaku! Kalaupun rencanaku gagal untuk memancing kemunculanmu, karena kau berhasil mengelabui! Tapi kali ini, kau tak akan bisa keluar da-ri Lembah Ular!" desis Iblis Penghela Kereta dengan kegeraman luar biasa.
"Ya nanti aku keluar kalau kau sudah mampus!" sahut sosok yang memang Andika sambil mengalirkan tenaga dalam pada tangannya yang membiru. Diamdiam dia mendengus, menyadari kehebatan tenaga dalam Iblis Penghela Kereta.
Sementara, Ki Kamanda dan Nyai Harum yang terlepas dari maut langsung menyingkir, ketika pertarungan dahsyat kembali terjadi. Iblis Penghela Kereta benar-benar marah karena dibodohi Pendekar Slebor.
Apalagi menyadari kalau Bramantoro dan Tek Jien sudah mampus di tangan pemuda berbaju hijau pupus itu! "Kau hanya mengantarkan nyawamu saja, Pendekar Slebor!" ejek Iblis Penghela Kereta sambil meluruk dengan serangan dahsyat. Setiap kali tubuhnya bergerak, bumi bagai bergoyang akibat menahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
"Wah.... Kalau aku mau membunuhmu waktu itu sih, kecil! Tetapi kalau kulakukan, berarti membuka samaran ku sendiri, ya?" balas Andika tertawa.
Saat itu juga Pendekar Slebor langsung meluruk pula dengan tenaga 'inti petir' tingkat kedelapan.
Wusss! Buk! Sebuah pukulan Pendekar Slebor memang menghantam telak dada Iblis Penghela Kereta. Namun yang mengejutkan Andika, karena tangannya bagaikan menghantam sebuah besi yang sangat keras. Bahkan tubuhnya terjajar beberapa langkah.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak.
"Pukullah aku semaumu, Pendekar Slebor! Kau bisa merasakan keampuhan ajian 'Tameng Baja' ku ini!" "Masa bodoh! Mau pakai apa, kek! Pokoknya, kau harus mampus!" Andika kembali menderu dengan menambah tenaga 'inti petir' nya menjadi tingkat satu yang berarti tingkat pamungkas. Namun yang kembali membuatnya terkejut, karena pukulan tenaga 'inti petir' tingkat pamungkas pun tak membawa hasil menggembirakan.
Sementara Iblis Penghela Kereta hanya terbahakbahak saja.
"Kini, ajalmu telah tiba, Pendekar Slebor!" desis Iblis Penghela Kereta.
Begitu kata-katanya habis, tubuh Iblis Penghela Kereta secepat angin melabrak ke arah Andika. Kali ini, Pendekar Slebor merasa percuma kalau menyerang. Maka kelincahannya dipergunakan untuk berkelit, menghindari serangan Iblis Penghela Kereta.
Nyai Harum dan Ki Kamanda berpandangan. Lalu tanpa diperintah, mereka menderu menyerang Iblis Penghela Kereta.
"Bagus! Lebih cepat, lebih baik melihat kalian semua mampus!" seru Iblis Penghela Kereta.
Dess! Dess...! Dess...! Tiga buah serangan yang datang sekaligus itu tak dihiraukan lelaki bernama Sunsang ini. Bahkan tubuhnya dibiarkan saja dihantam tiga serangan itu.
Dan lagi-lagi, serangan ketiga tokoh persilatan golongan lurus ini tak membawa hasil memuaskan.
Andika merasa akan sia-sia saja menyerang kalau begini. Tubuh Iblis Penghela Kereta yang tinggi besar itu telah dialiri sebuah ajian yang sukar ditembus. Malah, hanya membuang-buang tenaga saja.
"Minggir kalian!" seru Pendekar Slebor tiba-tiba.
Tiba-tiba Andika bersalto dua kali kebelakang.
Dan begitu kedua kakinya hinggap di bumi, bagaikan karet tubuhnya mencelat kembali. Ajian 'Guntur Selaksa' yang sangat dibanggakannya telah terangkum di tangannya.
"Mampuslah kau, Iblis Keparat!" teriak Andika, menggetarkan.

***

Sementara itu pertarungan antara Eyang Purnama dan Ni Muntiti sudah berada di puncaknya. Keduanya sudah sama-sama terluka dalam yang cukup parah.
Tenaga mereka pun telah habis terkuras. Ni Muntiti sendiri merasa tak akan sanggup untuk menandingi ilmu Eyang Purnama yang pernah mengalahkannya puluhan tahun lalu.
"Purnama! Kita sudahi pertarungan ini! Tetapi, yakinlah! Suatu saat kita akan bertemu lagi untuk mengadu jiwa!" teriak Ni Muntiti, keras.
"Mengapa tidak sekarang saja, hah"! Apakah kau sudah merasa tak akan mampu mengalahkan aku?" balas Eyang Purnama.
Tetapi Ni Muntiti tak menghiraukan ejekan itu.
Tubuhnya telah mencelat secepat kilat dan menghilang. Baginya, bila meneruskan pertarungan dengan Eyang Purnama, berarti hanya membuang nyawa siasia. Rupanya, lelaki tua itu pun sudah memperdalam ilmunya. Sedangkan bagi Eyang Purnama sendiri, sebenarnya sudah sangat sedih melihat Ni Muntiti bergabung dengan Iblis Penghela Kereta. Diam-diam dia mendesis. Dia mengakui kehebatan wanita itu semakin tinggi saja. Sementara itu, Pendekar Slebor kembali terheran-heran. Karena ajian kebanggaannya tak mampu pula menembus ajian 'Tameng Baja' milik Iblis Penghela Kereta.
"Busyet! Dengan cara apa aku membunuhnya?" dengus Pendekar Slebor sambil bersalto menghindari serangan balik Iblis Penghela Kereta.
Sedangkan Nyai Harum sudah tersuruk kembali ke belakang dengan dada sesak, ketika pukulan Iblis Penghela Kereta menghantam telak.
Ki Kamanda yang masih berusaha menjatuhkan Iblis Penghela Kereta pun mendapatkan bagian sama.
Bahkan hampir saja maut menjemputnya, kalau Andika tidak mendorong tubuhnya dengan satu sentakan pukulan jarak jauh.
"Iblis busuk! Hadapi aku!" teriak Pendekar Slebor.
Iblis Penghela Kereta yang merasa sudah berada di atas angin terbahak-bahak.
"Omongan mu boleh juga, Pendekar Slebor!" "Hayo, serang aku lagi" Kenapa kau jadi bego begitu, sih" Atau kau sebenarnya memang bego?" Dengan wajah kemerahan marah, Iblis Penghela Kereta berkelebat ke arah Andika. Pukulan saktinya terangkum di tangan.
Andika yang sudah bersiap, sekali lagi meluruk maju dengan menggunakan ajian 'Guntur Selaksa'.
Dia masih kurang yakin kalau ajian kebanggaannya tidak mampu menembus ajian 'Tameng Baja' milik Iblis Penghela Kereta.
Blarrr.... Sekali lagi Pendekar Slebor harus mengakui keunggulan ajian 'Tameng Baja', ketika benturan terjadi. Tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah.
Bahkan dengan satu gerakan sukar diikuti mata, pukulan Iblis Penghela Kereta meluruk telak ke dadanya.
Buk! "Ughhh...!" Pemuda itu tersuruk deras ke belakang. Dadanya dirasakan sakit luar biasa, bagaikan remuk.
Rupanya Iblis Penghela Kereta tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, tubuhnya kembali meluruk ke arah Andika.
"Kini saatnya kau pergi ke akhirat, Slebor!" seru Iblis Penghela Kereta.
Dalam sekali lihat, siapa pun bisa menebak kalau Andika tak akan mampu menghindari serangan.
Akan tetapi, suatu keanehan yang di luar dugaan semua orang termasuk Iblis Penghela Kereta telah terjadi. Mendadak saja tubuh pemuda itu mengeluarkan hawa panas bergulung-gulung. Suatu kekuatan yang membuat siapa pun enggan berdekatan. Karena, hawa yang keluar dari tubuh Pendekar Slebor sangat panas luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana bila berbenturan. Iblis Penghela Kereta mengeluarkan suara kaget.
Tubuhnya seketika mendadak melenting ke belakang.
"Jangan kaget, Monyet Busuk! Kini giliranku!" desis Andika.
Dan dengan suara menggelegar, Pendekar Slebor memburu ke arah Iblis Penghela Kereta. Kedua tangannya telah terangkum pukulan aneh mengandung panas luar biasa. Ajian yang digunakannya adalah ajian bangsa siluman. Ajian 'Tapa Geni' yang diajarkan Eyang Sasongko Murti! (Baca: 'Siluman Hutan Waringin'). Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang terkejut. Nyai Harum dan Ki Kamanda yang sedang menahan rasa sakit pun terperangah melihat ilmu Pendekar Slebor. Begitu pula anak buah Iblis Penghela Kereta yang sedang menyerang Jaka dan Tiwi. Serentak mereka menghentikan serangan, lalu berlarian menyelamatkan diri, kalau tidak ingin hawa panas yang dipancarkan Andika menghanguskan mereka. Sedangkan Tiwi tanpa sudah memegang lengan Jaka eraterat. Hanya Eyang Purnama saja yang tenang. Dia tadi telah mengembalikan tenaga dan jalan darahnya.
"Tak kusangka, kalau Pendekar Slebor memiliki ajian bangsa siluman," desisnya.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta ciut juga nyalinya melihat kehebatan ilmu yang diperlihatkan Pendekar Slebor. Terbukti, dia tidak berani gegabah seperti tadi, menahan setiap serangannya. Bahkan, ajian 'Tameng Baja' miliknya tak mampu menahan hawa panas dari tubuh Pendekar Slebor. Kini kakinya malah melangkah mundur, seperti orang ketakutan.
Andika yang menyadari hal itu terus menyerang.
"Mau ke mana kau, hah"!" seru Andika.
"Mana ajian busukmu yang kau banggakan itu?" Sebisanya Iblis Penghela Kereta menghindar ke sana kemari dengan lompatan-lompatan cepat. Tapi Andika terus memburu dengan menampilkan kecepatannya. Wuuut.... Prakk! Kereta tanpa kuda yang bisa dijadikan senjata Iblis Penghela Kereta kontan hangus terhantam ajian 'Tapa Geni' yang dilepaskan Andika. Sebentar saja, luruh menjadi abu! Semakin pias wajah Iblis Penghela Kereta melihat kehebatan ajian 'Tapa Geni' yang dimiliki Pendekar Slebor.
"He he he.... Lucu, lucu sekali! Kau pantasnya jadi badut, Monyet!" ejek Andika.
Meskipun kelihatan tegang, Iblis Penghela Kereta masih berusaha mencoba melepas serangan dengan mengebutkan tangannya. Tetapi dengan segera serangannya ditarik pulang ketika merasakan hawa panas mendadak menyergap dirinya.
Kali ini Iblis Penghela Kereta benar-benar pias menghadapi serangan Pendekar Slebor. Dia hanya bisa menghindar pontang-panting dengan wajah semakin pucat.
"Ke mana perginya kesombonganmu itu, hah"!" geram Andika. Tiba-tiba saja Pendekar Slebor mengibaskan kain bercorak catur warisan Ki Saptacakra.
Wuttt...! Angin laksana topan yang keluar dari kebutan kain pusaka langsung menderu-deru, menerbangkan pepohonan dan menghancurkan beberapa rumah.
Penghuninya sudah menghilang sejak Andika mengeluarkan hawa panas dari ajian 'Tapa Geni'.
Iblis Penghela Kereta benar-benar tak mampu lagi menghadapi serangan gencar Andika. Tubuhnya pun goyah ketika kain yang mengebut kedua kakinya terhentak. Pada saat yang sama, Pendekar Slebor menghentakkan tangannya menggedor dengan ajian 'Tapa Geni' Dess...! "Aaa...!" Tubuh Iblis Penghela Kereta kontan terlempar, begitu gedoran Pendekar Slebor mendarat telak di dadanya. Nyai Harum dan Ki Kamanda segera melesat untuk mencari tubuh Iblis Penghela Kereta. Mereka menemukan tubuh tokoh sesat itu dalam keadaan terkapar penuh luka. Sebagian hangus akibat pukulan 'Tapa Geni' yang dilancarkan Andika. Dengan hati-hati Ki Kamanda memeriksanya.
"Dia sudah tewas," kata lelaki setengah baya ini.
Nyai Harum meludahi tubuh itu dengan bengis.
"Cih! Habis juga akhirnya riwayatmu!" Lalu mereka kembali ke tempat semula. Tempat Andika sedang mengatur pernafasannya.
"Dia telah tewas, Andika...," lapor Nyai Harum.
Andika menghapus keringatnya.
"Hebat! Hebat sekali ilmu yang dimilikinya! Hanya sayang, dia mempergunakannya untuk kejahatan...." "Seperti yang dilakukan si Pesolek Tongkat Naga," timpal Eyang Purnama yang sudah mendekati Andika. Lelaki tua ini menepuk-nepuk bahu Pendekar Slebor yang langsung kembang-kempis hidungnya.
"Telah lama aku mendengar tentang sepak terjang mu yang berada di jalan lurus. Andika.... Dan aku merasa beruntung, di usiaku yang senja ini..., aku masih diperkenankan bertemu denganmu," puji Eyang Purnama, lalu menoleh pada Ki Kamanda.
"Kembalilah ke Gunung Kabut. Bangun kembali Perguruan Cakar Maut, semata untuk mengenang Buwana." "Baik, Eyang." "Dan kau, Anak Muda.... Kulihat kau begitu dekat dengan gadis itu. Hm.... Bila melihat kau dengan dia, terus terang..., kalian pasangan yang pas! Sudahlah.... Aku harus kembali ke peristirahatan ku.... Luka dalam yang ku derita akibat pukulan si Pesolek Tongkat Naga ini bisa menggerogoti tubuhku bila tidak segera diobati." Wuuutt! Mendadak saja tubuh Eyang Purnama telah berkelebat cepat, dan menghilang dari pandangan. Suasana hening.
"Anak muda.... Terima kasih alas bantuanmu..
Tanpa bantuanmu, tak mungkin Iblis Penghela Kereta bisa dimusnahkan." ucap Ki Kamanda, memecah keheningan.
"Ah! Itu hanya kebetulan saja," sahut Andika merendah. Padahal hatinya berbungabunga.
"Kalau memang sudah tak ada yang perlu dibicarakan, kita berpisah saja." "Kang Andika," panggil Jaka.
"Terima kasih atas bantuanmu...." "Sama-sama. He he he..., aku yang kerepotan menghadapi Iblis Penghela Kereta, kau yang dapat gadis cantik!" guraunya.
Semuanya tertawa.
"Jaka! Kalau kalian menikah nanti. jangan lupa mengundangku! Biar aku bisa mengintip! He he he...!" "Di mana kau tinggal, Kang Andika?" tanya Jaka, tak mempedulikan gurauan Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor terbahak-bahak. Dan tanpa menjawab pertanyaan Jaka, kakinya melangkah.
"Di mana ada langit bumi, di sanalah tempat tinggalku!" seru Andika.
Dan tiba-tiba saja Pendekar Slebor berkelebat cepat. Seketika tubuhnya menghilang dari pandangan.
Hanya gema tawanya saja yang masih terdengar.
Ki Kamanda menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa bangga terhadap Andika. Lalu kepalanya berpaling ke arah Nyai Harum.
"Nyai..., apakah kau akan kembali ke Kali Brantas?" "Ya.. Kau sendiri?" "Sesuai dengan amanat Eyang Purnama.... Aku akan membangun kembali Perguruan Cakar Maut di Gunung Kabul." "Paman. bagaimana denganku" " tanya Jaka.
Ki Kamanda tersenyum.
"Aku hanya ingin berpesan, jaga Tiwi baik-baik!" Wuuut! Tubuh Ki Kamanda pun berkelebat cepat. Dan sebentar saja sudah tak terlihat lagi.
Tiwi yang hendak berkata-kata pada Nyai Harum jadi urung, ketika Nyai Harum menggerak-gerakkan tangannya.
"Jangan berkata apa-apa! Dan jangan bertanya apa-apa. Aku merestui hubungan kalian! Binalah. Dan hanya maut yang memisahkan kalian! Salam, Anak Mas!" ujar Nyai Harum, memberi wejangan.
"Nyai!" seru Tiwi.
Tetapi sosok Nyai Harum pun sudah meninggalkan Lembah Ular. Sementara Jaka merangkul kekasihnya perlahan.
"Sudahlah, Tiwi.... Mereka sudah merestui. Kita bi-sa menentukan jalan kita berdua. Suatu saat, aku mempunyai keinginan untuk menyambangi mereka. Di Gunung Kabut, maupun di Kali Brantas." Tiwi hanya mengangguk-angguk dengan mata basah. Ketika kekasihnya mengajak meninggalkan tempat itu, dia pun setuju saja.
Kini Lembah Ular sepi. Sunyi.
Beberapa ekor ular muncul dari persembunyiannya. Namun, ada sesuatu yang tertinggal. Benarkah Iblis Penghela Kereta mati seperti yang dikatakan Ki Kamanda dan Nyai Harum" Ketika malam membentang. dan suasana sunyi membedah alam, sosok Iblis Penghela Kereta terbangun. Wajahnya penuh kegeraman. Sinar matanya mengandung amarah! "Hhh! Kalian tertipu oleh ajian 'Mati Raga' yang kumiliki!" desis Iblis Penghela Kereta. Lelaki itu lantas bangkit berdiri. Kepalanya menengadah ke langit. Dan....
"Pendekar Slebor! Suatu saat kau akan mampus di tanganku!" teriak Iblis Penghela Kereta, menggema ke seluruh pelosok Lembah Ular...

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Peta Rahasia Lembah Kutukan --oo0oo-- Jodoh Sang Pendekar


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.