Malaikat Peti Mati
tanztj
March 10, 2011
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Iblis Penghela Kereta --oo0oo-- Jodoh Sang Pendekar |
ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: MALAIKAT PETI MATI
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: MALAIKAT PETI MATI
-=0 { 1 } 0=-
Menutupi sebuah tabir yang sukar terpecahkan.
Suasana yang hening menambah keangkeran Gunung Anjasmoro yang gagah perkasa, tak ubahnya bagaikan seorang raksasa yang sedang tidur.
Di sanalah Ki Lingkih Manuk tinggal. Salah seorang dari anggota Panca Giri yang dengan arif bijaksana memimpin Partai Gunung Anjasmoro, sejak dua puluh satu tahun yang lalu.
Tak heran kalau laki laki berusia kira kira enam puluh tahun itu, rambutnya yang- -panjang teratur telah memutih. Mungkin terlalu banyak pikiran tercurah demi kemajuan perguruannya. Wajah keriput mulai menghiasi. Pakaiannya jubah hitam dengan ikat pinggang putih. Pakaian khas murid Partai Gunung Anjasmoro keseluruhannya berwarna putih.
Di perguruannya Ki Lingkih Manuk mengajarkan ilmu pedang yang sangat tinggi. Dan itu memang ilmu warisan yang didapat dari gurunya, Panca Giri.
Sebelumnya, murid Panca Giri hanya lima orang. Dan kini masing masing sudah -menguasai dan mendirikan partai gunung lainnya.
Beberapa bulan yang lalu, di tubuh murid murid Panca Giri hampir saja terjadi -keributan yang nyaris menghasilkan pertumpahan darah itu terjadi gara gara -amanat yang disampaikan Ki Panca Giri sendiri sebelum pulang ke akhirat sana.
Namun berkat bantuan dan kecerdikan seorang pendekar urakan yang berkelakuan menjengkelkan, kemungkinan hancurnya tubuh Panca Giri berhasil ditepiskan. Siapa lagi kalau bukan hasil pemikiran Pendekar Slebor" (Untuk lebih jelasnya, silakan baca : "Sengketa di Gunung Merbabu").
Untuk itulah, Ki Lingkih Manuk tak akan pernah melupakan jasa jasa Andika.
-Setiap hari pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu selalu diharap -harapkan mampir ke kediamannya. Namun sampai sejauh ini, belum sekali pun Pendekar Slebor menyambanginya. Entah bila seandainya Ketua Partai Gunung Anjasmoro adalah seorang wanita cantik. Tanpa diharapkan pun, Andika selalu akan mengunjunginya, walau dengan alasan yang dicari cari dan tak masuk akal.
-Pagi ini kegiatan di halaman Partai Gunung Anjasmoro berlangsung seperti biasa.
Sehabis berlatih yan dipimpin seorang pemuda tampan bertubuh tegap mereka membuat barisan rapi. Sementara, Ki Lingkih Manuk memperhatikan dengan seksama.
Suasana hening, membawa alur pikiran masing masing. Namun mendadak....-Weerrr...! Ketenangan mendadak digebah oleh satu benda berbentuk kotak panjang yang menderu ke arah murid-murid Partai Gunung Anjasmoro. Dari luncurannya tercipta suatu suara, bagaikan ribuan tawon yang sedang marah karena sarangnya diusik.
"Bubar!" Serentak barisan yang teratur tadi terpecah oleh teriakan Ki Lingkih Manuk.
Mereka berlarian. Namun sial bagi seorang murid. Kakinya terserimpung kakinya sendiri. Kalau tak ada bahaya mengancam ingin rasanya dia mencubit kakinya sendiri. Tubuhnya kontan jatuh terguling. Dan dia tak sempat lagi menghindar, ketika benda yang mirip sebuah peti mati menderu ke arahnya. Dan....
Bukkk...! "Aaakhhhh...!" Jeritan menyayat terdengar. Tubuh murid naas itu pun hancur berantakan terhantam benda kayu berukir naga itu. Keadaannya tak terbentuk lagi. Dan anehnya, peti kayu yang seukuran manusia dewasa ini kembali menderu, mencari mangsa lain. Dari gerakannya jelas kalau itu dikendalikan oleh tenaga dalam dari jarak jauh.
"Hindari serangan! Jangan ada yang memapaki!" seru Ki Lingkih Manuk, hampir terbatuk. Karena mendadak cairan kental di tenggorokannya hendak mencelat keluar.
Setelah dengan enaknya menelan cairan kental itu, dengan sigap tubuh orang tua ini melenting ke arah peti kayu berukiran naga yang sedang melayang layang di -udara. Dicobanya untuk menahan desakan benda itu.
Namun sungguh di luar dugaan. Ketika kedua tangan Ki Lingkih Manuk mampu menahan gerak lajunya, tiba-tiba saja bagian belakang peti kayu itu bergerak. Dan kontan menghantam tubuh Ki Lingkih Manuk hingga tersuruk ke belakang.
Desss...! "Aaakh...!"
"Guru!" seru pemuda tampan bertubuh tegap yang tadi memimpin latihan.
Ki Lingkih Manuk mengibaskan tangannya.
"Minggir, Kusuma! Perintahkan yang lain untuk menjaga pendopo! Jangan biarkan benda keparat itu masuk ke sana!" Tanpa diperintahkan lagi, pemuda tampan yang tak lain Kusuma segera melesat ke pendopo. Dia segera berseru seru pada beberapa rekannya untuk berjaga-jaga di -sana. Bangunan pendopo yang terdiri dari beberapa tiang yang menyanggah atap itu kini dijaga sepuluh orang murid Partai Gunung Anjasmoro.
Sedangkan yang lainnya bersiaga.
"Edan! Manusia jahil mana yang cari penyakit"!" maki Ki Lingkih Manuk sambil menghindari serbuan benda kayu yang diyakini sebuah peti mati. Di atas peti itu terdapat ukiran naga sedang bertarung! Peti mati itu terus melayang layang dengan suara dahsyat menderu deru. Dalam - -hati, Ki Lingkih Manuk mengagumi kehebatan tenaga dalam si Pengendali peti mati itu. Dari sini bisa diduga kalau orang yang mengendalikannya bertenaga dalam kuat. Debu di halaman partai itu berterbangan ketika peti mati ukiran naga itu menghantam tanah, tak berhasil menghantam Ki Lingkih Manuk yang sudah bergulingan. Dan belum lagi orang tua itu sempat bernapas, peti mati itu kembali menderu deru -ke arahnya. "Gila!" Sambil mendesis Ki Lingkih Manuk melenting.
Sementara suasana di lereng Gunung Anjosmoro itu kini bagaikan sarang semut yang terusik. Kacau balau.
Apalagi ketika peti mati itu melayang ke arah murid-murid yang berdiri bagaikan pagar kokoh, siap menghadang. Wuuusss! menderu tajam tercipta, membelah udara. Peti mati itu meluncur dengan kecepatan tinggi ditunggangi hawa maut. Mereka yang jadi sasaran kocar kacir. Dua orang -tak sempat menghindarkan diri.
Buk! Buk! "Aaakh...!" Tubuh keduanya bagaikan terbawa satu dorongan yang kuat, lalu menghantam salah sebuah tiang pendopo.
Krakkk...! Begitu tiang yang besar itu patah, runtuhlah sebagian dari pendopo Partai Gunung Anjasmoro. Ki Lingkih Manuk menggeram murka. Langsung diterjangnya peti mati itu yang masih melayang layang.
-Namun bagaikan memiliki mata yang tajam mendadak saja peti itu seperti mengegos, seraya menghantam.
Duk! "Uhh...!" Sebuah hantaman keras mampir di tubuh Ki Lingkih Manuk hingga terjajar ke belakang. Dari hidungnya perlahan lahan meluncur darah.-"Suiiittt...!" Tiba tiba saja terdengar suara siulan sangat keras, menerabas angkasa dan mampir -di telinga yang mendengarnya.
Baru saja gema siulan lenyap, mendadak saja peti mati ukiran naga itu berbalik.
Bukan untuk menyerang, tapi melayang hinggap di tanah.
Bersamaan dengan itu, pintu peti mati terbuka. Lalu, satu sosok tubuh tinggi besar dengan rambut berwarna keemasan melenting dari dalamnya. Setelah berputaran di udara, dia mendarat manis di tanah.
Jadi salah besar kalau Ki Lingkih Manuk menduga bahwa peti itu dikendalikan dari jarak jauh. Buktinya, sosok yang melenting berasal dari dalam peti itu sendiri.
Pakaian yang dikenakan pun berwarna kuning keemasan. Di pergelangan tangannya terdapat beberapa buah gelang bahar. Begitu pula di kakinya.
Wajahnya bisa dibilang tidak menarik sama sekali.
Penuh goresan bekas luka. Namun melihat raut wajahnya yang tak berkeriput, bisa ditebak, kalau usianya kira kira dua puluh dua tahun.
-"Ha ha ha...!" Terbahak bahak pemuda itu. Suaranya dingin dan angker.
-"Rupanya hanya begitu saja kehebatan Ki Lingkih Manuk, Ketua Partai Gunung Anjasmoro!" ejeknya, jumawa.
Ki Lingkih Manuk menyipitkan matanya, memperhatikan sosok berambut emas itu dengan seksama. Rasanya, dia sama sekali belum pernah bertemu manusia satu ini. Yang jelas, bila melihat peti mati ukiran naga yang bisa dikendalikan itu, bisa dipastikan sosok berambut emas bukanlah tokoh sembarangan. Tenaga dalamnya luar biasa sekali. Dan yang mengagumkan, sosok itu masih muda. Tetapi sayang, kedatangannya agaknya untuk menebar bencana. Sementara itu tanpa diperintah lagi, Kusuma dan beberapa murid Partai Gunung Anjasmoro segera mengurung lelaki berambut emas itu dengan pedang di tangan. Meskipun mereka menyaksikan kehebatan tenaga dalam sosok itu, namun sedikit pun tak gentar.
"Orang muda rambut emas! Siapakah kau sebenarnya" Tak ada angin dan hujan, tahu tahu sudah membuat keonaran di Partai -Gunung Anjasmoro...," tegur Ki Lingkih Manuk dengan suara ditahan, mencoba menutupi kegeramannya. Dia memang tidak ingin mencari masalah, lebih baik mencoba untuk berdamai.
Sosok berambut emas itu terbahak bahak.
-"Bagus! Sopan sekali kedengarannya, Ki Lingkih Manuk! Namaku, Seta Lelono! Aku datang dari wetan, yang jaraknya memakan waktu sekitar satu bulan berjalan kaki.
Orang orang menjulukiku Malaikat Peti Mati!" -Ki Lingkih Manuk kembali mengira ngira, apakah pernah mendengar julukan itu -sebelumnya" Akan tetapi, ia gagal mengingatnya. Justru kesimpulannya semakin bulat, kalau memang belum pernah mendengar julukan itu.
"Malaikat Peti Mati! Ada apa gerangan, sehingga kau menebar petaka di sini dengan melenyapkan tiga nyawa muridku?"
"Pertanyaan bodoh, Ki Lingkih Manuk! Aku datang, untuk bertanya padamu, di manakah Pendekar Slebor berada?" tukas pemuda berjuluk Malaikat Peti Mati.
Sombong sekali lagaknya.
Kening Ki Lingkih Manuk berkerut.
"Ada apa kau menanyakan Pendekar Slebor?" tanya lelaki Ketua Partai Gunung Anjasmoro. "Hhh!" dengus Malaikat Peti Mati tiba tiba saja.
-"Telah lama aku mendengar tentang sanjungan orang rimba persilatan pada Pendekar Slebor! Dan aku yakin, hanya orang orang bodohlah yang memujinya setinggi -langit! Karena, tak lama lagi dia akan mampus di tanganku!"
"Mengapa" Apakah kau punya silang sengketa dengannya?" Wusss! Sebagai jawaban atas pertanyaan Ki Lingkih Manuk, serangkum angin kencang menderu ke arahnya. Dengan cepat lelaki tua ini melompat ke samping. Serangan itu memang luput. Namun yang mengherankan, sama sekali tak terlihat bagaimana Malaikat Peti Mati melancarkan serangan"
"Aku tak suka orang yang banyak tanya! Jawab pertanyaanku! Atau, kau akan mampus beserta nama Partai Gunung Anjasmoro!" dengus lelaki berbaju keemasan itu dingin. Tatapannya menusuk, membuat siapa saja menjadi keder melihatnya.
Dalam sekilas saja, Ki Lingkih Manuk bisa menebak apa kemauan Malaikat Peti Mati. Tentunya dengan modal keberanian, dia ingin membuktikan diri sebagai orang yang patut disanjung ketimbang Pendekar Slebor.
Hhh! Suatu usaha yang hanya akan menumpahkan darah saja. Tapi dunia persilatan memang selalu begitu.
Ada saja orang yang suka mencari bencana, hanya untuk kepuasan pribadi saja.
"Terus terang, aku tak tahu di manakah Pendekar Slebor berada saat ini.
" kata Ki Lingkih Manuk kemudian. "Karena, pemuda itu hanya akan mengikuti langkahnya saja. Ke mana langkahnya membawanya di sanalah dia berada."
"Keparat! Jangan mencoba mempermainkan aku, Ki Lingkih Manuk! Kudengar kau bersahabat erat dengannya sejak Pendekar Slebor membantumu mempersatukan keutuhan di tubuh Lima Partai Gunung! Apakah kau masih mau mungkir, hah"!" Ki Lingkih Manuk terdiam. Rupanya manusia ini banyak tahu tentangnva dan juga tentang Pendekar Slebor.
"Kukatakan sekali lagi, demi langit dan bumi. Aku tak tahu di mana pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu berada.
" katanya tegas.
Tiba tiba saja Malaikat Peti Mati terbahak bahak.- -"Baiklah kalau begitu! Tapi sekarang kau harus mengakui bahwa aku lebih hebat daripada Pendekar Slebor!" Wajah Ki Lingkih Manuk memerah mendengar kata-kata penuh hinaan itu.
"Tak semudah itu aku mengatakannya!" desis lelaki tua ini.
"Kalau begitu, cepat ambil pedangmu! Penggal kepalamu sendiri!"
"Sombong!"
"Ha ha ha.... Ki Lingkih Manuk! Usiamu sudah semakin senja. Kekuatanmu akan semakin pudar. Kau harus mengakui, kalau akulah orang nomor satu yang patut dipuji, ketimbang Pendekar Slebor! Karena, yang menolak mengakuiku sebagai paling teratas di rimba persilatan, hukumannya adalah mati!" Kemarahan Kusuma yang sejak tadi ditahan kontan jebol begitu mendengar ejekan terhadap gurunya. Dan tiba tiba saja, dia menyerbu -dengan pedang.
"Pemuda sombong! Mampuslah kau!" Sementara, sikap Malaikat Peti Mati tak bergeming sedikit pun. Menunggu serangan yang dalam pandangannya sangat lambah. Begitu serangan mendekat, tangan kanannya bergerak mengibas.
Wuttt...! Desss...! Mendadak saja tubuh Kusuma terpental ke belakang.
Begitu ambruk di tanah, nyawanya putus seketika. Satu serangan balik yang kasat mata telah menghantamnya.
Ki Lingkih Manuk melengak.
"Keparat!"
"Kau pun akan mampus seperti yang akan terjadi terhadap Pendekar Slebor! Untuknya, telah kupersiapkan peti mati yang berukir naga itu. Tetapi untukmu, kau hanya patut dibuang di kawah Gunung Anjasmoro!" Mendengar penghinaan terhadap gurunya, murid-murid Partai Gunung Anjasmoro langsung menyerbu gagah berani. Apalagi, hati mereka juga panas dan marah melihat Kusuma sudah tergeletak tanpa nyawa.
Wuuttt...! Namun lagi lagi tubuh mereka yang berterbangan ke belakang, begitu Malaikat Peti-Mati mengebutkan langannya. Ketika ambruk di bumi, mereka sudah tak bernyawa lagi. Ki Lingkih Manuk akhirnya tak kuasa lagi menahan amarahnya yang sudah naik sampai ubun ubun.
-Diambilnya sebatang pedang yang tadi dipegang salah seorang muridnya yang telah menjadi mayat. Lalu seketika diserbunya Malaikat Peti Mati. "Keparat hina! Kau harus membayar nyawa murid-muridku dengan nyawamu!" bentak lelaki tua itu seraya menyabetkan pedangnya.
"Bagus! Karena, orang yang tak mau mengakui kehebatanku dan menunjukkan keberadaan Pendekar Slebor, maka jawabannya hanya satu. Mati!" Dengan jurus 'Pedang Kilat' yang sangat diandalkan, Ki Lingkih Manuk terus menggebrak Malaikat Peti Mati yang sedang tertawa tawa jumawa.
-Wusss...! Namun saat Malaikat Peti Mati mengebutkan tangannya, sebuah angin telah menderu kencang. Ki Lingkih Manuk cepat menyadari kalau serangan ini cukup berbahaya bila dipapak. Maka tubuhnya segera dibuang ke kiri. "Ha ha ha...! Satu persatu orang orang yang bersahabat dan menyembunyikan -Pendekar Slebor akan mampus!" Ki Lingkih Manuk yang sudah bangkit, kembali menerjang dengan kekuatan dan kecepatan penuh.
Namun kembali dia harus melompat ke samping, karena serangkum angin berkekuatan dahsyat telah menderu ke arahnya. Dan belum lagi hinggap sempurna di tanah, tiba tiba saja peti mati yang tadi tergeletak di tanah sudah melesat cepat.
-Dan.... Desss...! "Aaakh...!" Tubuh Ki Lingkih Manuk kontan terpental, terhantam peti mati pada bagian dadanya. Dari mulut termuntah darah segar, sepanjang luncuran tubuhnya. Dan baru saja dia bangkit, mendadak saja satu sosok tubuh telah menderu ke arahnya dengan kaki terjulur.
Des! "Aaakh...!" Jeritan menyayat terdengar bersamaan ambruknya tubuh Ki Lingkih Manuk dengan dada jebol! Malaikat Peti Mati tersenyum puas. Dia berdiri gagah.
Rambutnya yang berwarna keemasan dipermainkan angin pagi. Matanya menyapu mayat-mayat murid Ki Lingkih Manuk, lalu beralih pada peti matinya yang sudah tergeletak kembali di tanah.
Hanya dengan mengibaskan kepala, Malaikat Peti Mati mampu membuat peti mati itu melayang kembali ke arah pendopo.
Brak! Sesaat kemudian, terdengarlah suara berderak keras ketika peti mati ukiran naga itu menghancurkan pendopo Partai Gunung Anjasmoro hingga rata dengan tanah.
***
-=0 { 2 } 0=-
Lagaknya seperti mandor perkebunan saja.
Langkahnya tenang dengan tatapan beralih ke kiri dan kanan. Menurutnya, dia seperti tengah menikmati pemandangan. Tapi bila ada yang melihat, malah seperti maling jemuran yang takut ketahuan. Sepasang alis menukik bagaikan kepakan elang menghias wajahnya yang berseri seri. Rambut gondrongnya dimainkan angin senja -yang semilir.
"He he he.... Rasanya indah sekali pemandangan di sini. Apalagi kalau jadi burung. Aku akan terbang ke mana saja. Bahkan..., mengintip orang mandi," ocehnya, ngawur.
Mulut pemuda itu bersiul siul mendendangkan -kidung yang tak jelas.
Tiba tiba saja pemuda berbaju hijau pupus itu berhenti melangkah. Telinganya -yang peka menangkap suara rintihan dari balik semak. Untuk beberapa saat, dia mencoba menangkap suara rintihan lebih jelas lagi.
Lalu dengan sigap si pemuda melompat mencari asal suara.
Sebentar saja pemuda itu melihat satu sosok tubuh wanita berusia kira kira enam -puluh lima tahun tengah tergolek tak berdaya. Pakaiannya yang berwarna merah itu dilumuri darah pekat yang berasal dari luka di sekujur tubuhnya. Rambutnya yang digelung ke atas dengan tusuk konde terbuat dari tulang terbuka.
Pemuda berbaju hijau pupus itu tersentak.
"Nyai Selastri!" serunya.
Wanita yang tengah tak berdaya itu membuka kedua matanya, ketika kepalanya terasa diangkat lembut dan berada di pangkuan seseorang. Tiba tiba saja sepasang -matanya yang redup terbuka, dan bibirnya tersenyum.
"Oh! Kau rupanya, Andika...," desis wanita itu setelah mengenali siapa pemuda itu. "Nyai! Sedang apa kau tidur tiduran di sini?" tanya pemuda yang memang Andika -alias Pendekar Slebor.
Maksud Pendekar Slebor, mungkin hendak bertanya, ada apa sebenarnya sampai wanita itu tergolek di sini dengan luka luka di sekujur tubuh. Namun karena -kesleborannya yang meluncur dari mulutnya malah kata kata bernada berkelakar.
-Padahal wanita yang dihadapi dalam keadaan sekarat.
Pendekar Slebor memang mengenal wanita berpakaian merah tua ini. Dia bernama Nyai Selastri, atau yang berjuluk si Naga Gunung (Untuk lebih jelasnya bagaimana Pendekar Slebor mengenal si Naga Gunung, silakan baca : "Neraka Di Keraton Barat").
Nyai Selastri sendiri tidak menyangka kalau akan berjumpa Pendekar Slebor, pemuda urakan pewaris ilmu Lembah Kutukan yang dikaguminya.
"Goblok! Andika, Andika. Sudah tahu aku terluka, malah dibilang tidur-tiduran.... Ini hanya kecelakaan kecil, tahu"!" tukas Nyai Selastri.
Andika melotot. Busyet! Dalam luka separah ini masih dibilang kecelakaan kecil.
"Anu, maksudku..., apa yang telah terjadi, Nyai?" ralat Andika. "Rupanya kau bisa perhatian juga, ya?" desisnya.
"Hm..., Andika. Ada seorang pemuda yang mengaku bernama Seta Lelono. Wajahnya penuh goresan luka.
Dia mencarimu. Kalau tak salah, dia mengaku berjuluk Malaikat Peti Mati.
"Mencariku" Kenapa, Nyai?" Terus terang, aku belum butuh peti mati. Entah kalau kau sendiri...."
"Dia ingin menantangmu adu kesaktian," sahut Nyai Selastri, tak mempedulikan kelakar Andika. Namun dia cukup maklum.
"Oh, Gusti! Sombong sekali dia!" desis Andika. "Lalu, mengapa kau jadi begini, Nyai?"
"Manusia keparat itu memaksaku untuk mengatakan di mana keberadaanmu, Andika.
Meskipun sudah kukatakan kalau aku tak tahu, dia tetap tak percaya.
Bahkan kemudian, membuatku terkapar seperti ini.
Andika.... Ilmu yang dimiliki pemuda itu sangat luar biasa. Tenaga dalamnya pun sangat tinggi. Terbukti dengan hebatnya dia menggerakkan sebuah peti mati ukuran naga yang katanya akan dijadikan tempat mayatmu, Andika...."
"Peti mati ukiran naga?" ulang Andika. "Untuk mayatku" Wah..., gegabah sekali dia. Kenapa tidak kau katakan, kalau aku sudah menyiapkan keranjang sampah untuknya"
"Dia begitu yakin sekali dapat membunuhmu, Andika! Jangan terlalu meremehkan.
Dia menginginkan semua orang menjunjungnya sebagai manusia teratas di rimba persilatan ini....
" Dasar pendekar urakan, bukannya merenungi kata -kata Nyai Selastri, Andika malah cengengesan. Bagi Andika, kalau belum berhadapan langsung dengan Malaikat Peti Mati, dia belum mau percaya.
"Nyai..., bertahanlah sedikit.... Aku akan mengobatimu...," kata Pendekar Slebor malah hendak memeriksa luka tanpa peduli peringatan Nyai Selastri.
Bila melihat lukanya, memang disebabkan ilmu yang sangat hebat. Karena untuk mengalahkan si Naga Gunung, dibutuhkan kemampuan yang tinggi.
Nyai Selastri tersenyum. Lalu, kepalanya menggeleng. Percuma, Andika.... Seluruh ilmu yang kumiliki telah punah. Manusia keparat itu telah memutuskan urat-urat di pergelangan tangan dan kakiku....
" Baru Andika trenyuh.... Sial! Kelihatannya Malaikat Peti Mati tidak bisa dibuat main main! Gerutu Andika.-"Satu yang perlu kau ketahui. Andika.... Manusia itu telah membunuh Ki Lingkih Manuk, Ketua Partai Gunung Anjasmoro. Dia memang sengaja tidak membunuhku; biar bisa mengatakan semua ini padamu....
" Kembali Andika terhenyak. Bahkan wajahnya memerah. Pendekar Slebor tahu Ki Lingkih Manuk memang Ketua Partai Gunung Anjasmoro yang bijaksana. Kepandaiannya sudah sangat tinggi. Dan bila Malaikat Peti Mati bisa membunuhnya...
" Bukan.... Andika bukannya takut. Bagi kamus hidupnya, tak ada kata takut. Yang ada kata waspada! Orang itu memang patut diwaspadai.
Andika berusaha menekan kegeramannya mendengarkan kematian Ki Lingkih Manuk. Dia juga merasa sedih. Namun kesedihannya tidak untuk ditunjukkan.
Kini Pendekar Slebor tersenyum.
"Maaf, Nyai.... Biar kuobati luka lukamu ini...," ujar Pendekar Slebor.-"Tidak usah," sahut Nyai Selastri, tegas.
"Nyai.... Kau masih bisa ditolong. Jadi biarkan aku menolongmu," desak Andika.
Lalu tanpa mempedulikan kata kata si Naga Gunung, Pendekar Slebor segera -mengalirkan tenaga dalam demi memulihkan tenaganya kembali.
"Andika.... Kau hanya membuang tenagamu saja," desis si Naga Gunung pelan.
"Tenanglah, Nyai.... Kau akan pulih kembali...," kata pendekar yang juga terkenal keras kepala.
"Andika.... Urat di pergelangan tangan dan kakiku telah putus.... Aku tetap tak bisa mempergunakan ilmuku lagi. Dengan kata lain, seluruh ilmuku telah punah...."
"Tidak! Kau akan pulih seperti sedia kala, Nyai Selastri...," Andika ngotot, seraya terus mengerahkan tenaga dalam dan hawa murninya.
Dalam sesaat saja sekujur tubuh Pendekar Slebor telah mengeluarkan keringat.
Kedua telapak tangannya yang menempel di punggung Nyai Selastri telah mengepulkan asap putih.
"Andika.... Jangan buang tenagamu...," desah Nyai Selastri sekali lagi.
Perempuan ini bisa merasakan hawa panas yang mengaliri sekujur tubuhnya yang perlahan lahan akan mengusir hawa dingin yang mengendap di tubuhnya.
-Dirasakan pula sebuah dorongan tenaga halus menyusup.
Tetapi Andika tidak mempedulikan kata kata si Naga Gunung. Tenaga dalam dan hawa -murninya tetap dialirkan.
"Andika...." panggil si Naga Gunung.
Perempuan ini benar benar terharu melihat -kesungguhan Andika untuk menyembuhkannya.
Padahal, dia sendiri tidak yakin, apakah masih bisa mempergunakan seluruh ilmunya" Apakah bisa mengembalikan urat urat pergelangan tangan dan kakinya menjadi utuh kembali" -Teringat kembali dalam benak perempuan tua itu, bagaimana tiba tiba pemuda -berambut emas dengan peti mati ukiran naga menyerang secara tiba tiba. Saat itu, -dia menjawab tidak tahu keberadaan Pendekar Slebor seperti yang ditanyakan Malaikat Peti Mati. Di usianya yang senja ini, Nyai Selastri baru pertama kali melihat suatu serangan yang tak terlihat. Namun hasil dari serangan itu sangat menakjubkan dengan kekuatan tenaga dalam yang sukar sekali dibayangkan.
***
Hanya sinar rembulan yang menjadi penerang. Suara hewan malam mulai terdengar, seolah berlomba untuk unjuk gigi.
Pendekar Slebor perlahan lahan membaringkan-tubuh si Naga Gunung yang tertidur. Rupanya, kelelahan sudah mendera Nyai Selastri sehingga tak mampu menahan kantuknya.
Andika sendiri pun merasa sudah cukup mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya. Dibukanya kain bercorak catur yang tersampir di bahunya. Diselimutinya sosok berpakaian warna merah tua itu dari desir angin malam yang dingin menusuk tulang.
Lalu Pendekar Slebor sendiri duduk bersemadi, untuk mengembalikan kekuatan tubuhnya yang terkuras dari penyembuhan Nyai Selastri.
Selang sepeminuman teh, Pendekar Slebor menarik napas panjang. Tubuhnya terasakan segar kembali.
Tubuhnya digerakkan beberapa kali guna melancarkan peredaran darahnya.
Pendekar Slebor sendiri melirik si Naga Gunung yang masih tertidur. Di wajahnya terpancar senyuman yang agung. Membuat siapa saja merasa yakin kalau si Naga Gunung saat ini tidak mengalami penderitaan.
"Malang benar nasibmu, Nyai...," desahnya.
Pendekar Slebor mengingat ingat -kembali pertemuan pertama kali dengan si Naga Gunung. Saat itu dengan gigihnya dia mencoba menghentikan sepak terjang Raja Akherat yang sedang mengamuk setelah menguasai Keraton Barat! (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Neraka Di Keraton Barat").
Lalu ingatan Pendekar Slebor beralih pada Ki Lingkih Manuk yang menurut si Naga Gunung telah tewas.
Andika memang pernah berjanji untuk menyambangi Ki Lingkih Manuk, setelah berhasil memecahkan kemelut yang terjadi di tubuh Lima Partai Gunung. Namun sebeIum janjinya bisa ditunaikan, Ki Lingkih Manuk dikabarkan telah tewas.
"Ah! Maafkan aku, Ki.... Gara gara aku, kau harus menemui sang Pencipta dengan -cara seperti itu. Tetapi aku yakin, kau mati tidak sia sia. Mati kesatria...!" -desah Andika pelan. "Tetapi, percayalah! Aku akan mencari Malaikat Peti Mati.
Bukan untuk membalaskan sakit hatimu, namun untuk menghentikan perbuatan gilanya.
" Andika pun menjadi tidak tenang ketika mengingat sahabat sahabat dan orang orang - -yang dikenalnya.
Siapakah saat ini yang tengah mendapat giliran" Sukar sekali ditebaknya. Apalagi begitu banyak orang yang mengenalnya. Apakah orang orang yang mengenalnya akan -mengalami nasib sama seperti dialami Ki Lingkih Manuk maupun si Naga Gunung" Hati Andika redup kembali. Dirinya memang tak bisa disalahkan, karena berkenalan dengan orang orang itu termasuk Ki Lingkih Manuk dan si Naga Gunung. Yang bisa -dilakukannya, hanyalah mencari Malaikat Peti Mati! Menghentikan sepak terjang gilanya! Kembali Pendekar Slebor melirik si Naga Gunung yang masih tertidur. Andika tidak yakin dengan pengobatan yang baru saja dilakukan. Memang, si Naga Gunung akan kembali pulih seperti sediakala. Hanya saja, seluruh ilmunya lenyap sudah.
Karena urat urat di pergelangan tangan dan kakinya telah diputuskan.
-Meskipun begitu. Andika terharu juga melihat ketabahan si Naga Gunung yang bisa menerima semuanya dengan senyum. Padahal, bagi seorang tokoh rimba persilatan, tanpa memiliki ilmu sudah tentu tak akan pernah dipandang! Sudah tentu akan menjadi bulan bulanan yang berilmu.
-Sekali lagi. Andika mendesah masygul. Dibayangkannya, bagaimana penderitaan si Naga Gunung sebelum ditemukannya.
Andika yakin, kalau saja terlambat menemukan si Naga Gunung, tak mustahil wanita berpakaian warna merah tua akan menyusul Ki Lingkih Manuk.
Perlahan lahan Pendekar Slebor bangkit. Diambilnya kembali kain bercorak catur -miliknya, lalu disampirkan kembali ke lehernya yang seperti biasa. Kemudian, dicarinya beberapa helai daun pisang. Ditutupinya tubuh si Naga Gunung dari angin dingin. Sejenak ditatapnya sosok yang sedang tidur itu.
"Nyai.... Suatu saat kita akan bertemu kembali. Aku akan mencari manusia keparat yang telah membuatmu menderita seperti ini. Manusia yang telah menyebabkan Ki Lingkih Manuk menemui ajalnya....
" Sesudah berkata begitu. pemuda berbaju hijau pupus itu pun mengempos tubuhnya.
Dalam sekali kelebat, tubuhnya telah menghilang menerobos kegelapan malam.
***
-=0 { 3 } 0=-
Satu sosok tubuh dengan lincah menggebrak kudanya yang berwarna coklat pekat.
Dari mulutnya terdengar suara seruan keras.
Kuda itu bergerak lincah. Si penunggang kuda ternyata seorang gadis manis berusia tujuh belas tahun.
Wajahnya bulat telur dengan hidung bangir. Sepasang bibirnya memerah basah.
Pakaiannya agak ketat berwarna biru. Sehingga tubuhnya yang padat menantang terpetakan. Di usia yang menjelang dewasa ini, rupanya gadis itu sudah memiliki bentuk tubuh yang bagus. Di punggungnya terdapat sebilah pedang berwarangka hitam. Sementara di belakang kuda gadis itu, terdengar suara derap kuda pula.
"Menur! Tunggu! Hhh! Ke mana lagi anak nakal itu!" seru si penunggang kuda berwarna hitam, menggerutu kesal.
Penunggang kuda hitam adalah seorang lelaki bertubuh gempal. Wajahnya bulat, sebulat bentuk tubuhnya. Pakaiannya berwarna hitam yang terbuka, seolah tak kuasa menutupi tubuhnya yang gendut.
Celana pangsinya yang berwarna hitam pun agak kesempitan.
"Menuuurrr! Jangan cepat cepat!"-"Guru! Ayo, kejar aku! Masa sih tidak bisa mengejar" Mungkin yang kau tunggangi bukan kuda, tapi keledai...?" sahut gadis bernama Menur. Si tubuh gempal mendengus, seraya mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Maka kudanya terlihat berlari secepat angin. Kalau tadi kelihatan keberatan membawa beban tubuhnya, kini justru seolah tanpa beban. Bahkan ada dorongan tenaga dari si lelaki tubuh gempal yang ternyata guru gadis itu. Tak heran kalau dalam sekejap saja, dia bisa menyamai laju kuda Menur.
"Curang! Guru mempergunakan ilmu meringankan tubuh!" desis Menur cemberut, ketika menoleh dengan wajah terkejut.
Si tubuh gempal hanya terkekeh kekeh saja.
-"Bukankah kau bilang, aku sedang naik keledai?" tukas lelaki itu.
"Tetapi Guru curang! Kenapa pakai ilmu meringankan tubuh sih" Kalau begini, aku mengaku kalah!" cibir Menur, seraya menarik tali kekang kudanya tiba tiba. Kuda itu meringkik keras, lalu berhenti -tiba-tiba. Sementara itu kuda yang di tunggangi si tubuh gempal terus melesat. Dan ternyata, penunggangnya tak bisa mengendalikan lagi.
"Hei, hei! Berhenti! Berhenti!" teriak lelaki itu, kalang kabut.
Menur bukannya menolong, tapi malah tertawa-tawa.
"Ayo, Guru! Kendalikan kuda itu!" serunya. "Jangan-jangan, kuda itu malah membanting Guru nanti!" Si tubuh gempal mendengus mendengar ejekan muridnya. Tiba tiba saja salah sebuah urat di kudanya - ditotok. Tuk! "Hieeekh...!" Dan seketika kuda itu berhenti berlari. Dan kalau saja si tubuh gempal tidak menahan tubuhnya bisa dipastikan akan terpental ke depan, menabrak beberapa buah pohon. "Hiyaaa! Aku bisa! Aku bisa!" soraknya bagai anak kecil.
yang sudah membawa kudanya mendekati gurunya hanya tersenyum saja.
"Curang! Curang! Guru curang!" cibir gadis itu.
"He he he...! Muridku yang manis, kalau tidak begini, aku bisa kalah darimu. Kau kan tahu, seorang Guru tidak boleh kalah dari muridnya?"
"Boleh saja!" sambar Menur.
"He he he..., tidak boleh. Tetapi, ya, ya.... Boleh saja.
Karena, toh, seluruh ilmunya akan diturunkan pada muridnya. Bukan begitu?" Kali ini Menur tersenyum.
"Guru betul!"
"Aku memang selalu betul! Namanya juga Kaliki Lorot....
" Menur cemberut. "Takabur!" Si tubuh gempal cuma tertawa tawa saja. Lalu dia melompat dari kudanya dengan -gerakan ringan sekali.
Tindakannya diikuti Menur.
Percakapan seperti itu selintas memang aneh.
Karena, tak wajar dilakukan antara seorang guru dan murid. Tetapi bagi lelaki bertubuh gempal yang ternyata bernama Kaliki Lorot bukanlah sesuatu yang aneh.
Lelaki bertubuh gempal yang dalam rimba persilatan dikenal sebagai Dewa Api Angin itu memang sangat menyayangi muridnya yang cuma satu satunya. Dia tidak -ingin sikapnya seperti layaknya seorang guru.
Melainkan ingin mencoba akrab dengan muridnya dalam bentuk persahabatan, tanpa menghilangkan batas batas kewajaran.
-Tiba tiba saja Kaliki Lorot menoleh pada muridnya yang jelita itu. Tapi yang -ditatap justru melotot.
"Ayo, kenapa melihat lihat seperti itu?" tegur Menur. "Tidak sopan! Guru selalu -mengajarkan, kalau ada pandangan lelaki seperti itu pada seorang gadis namanya tak sopan."
"Hush! Tidak semuanya, dong."
"Maksudnya, kalau Guru boleh?"
"Boleh, tapi sedikit saja.
" Menur terbahak bahak. "Mengapa Guru melihatku seperti itu?"-"Menur....
Rasa rasanya, -kau sudah pantas mempunyai suami," kata Kaliki Lorot tiba tiba.
-Mulut Menur terbuka sesaat, lalu terdengar suara tawanya yang merdu.
"Guru ini ada ada saja! Usiaku baru tujuh belas tahun! Dan lagi, aku belum mau -menikah!"
"Eh! Untuk yang satu ini, kau tak boleh membantah! Kau harus menurut!"
"Guru ini plin plan! Waktu itu Guru bilang, kalau ada sesuatu yang tak berkenan -di hati, boleh berterus terang dengan mengemukakan alasan yang masuk akal.
Kok, sekarang malah dilarang?" tukas Menur.
Kaliki Lorot menggaruk garuk kepalanya yang -berambut pendek.
"Aku pernah ngomong begitu, ya?" tanyanya lugu.
"Iya! Nah, aku kan boleh membantah?" tukas Menur yang sangat mencintai dan menghormati gurunya.
Meskipun sikapnya nampak seperti layaknya seorang teman, namun tetap menghormati gurunya. "Tidak! Tidak boleh! Kau tidak boleh membantah yang satu ini! Pokoknya, kau harus menikah!"
"Kok Guru jadi marah marah?" tanya Menur tanpa rasa takut sedikit pun.
-"Aku bukannya marah marah. Karena sudah tua, aku ingin melihat ada orang lain -yang menjagamu."
"Kata siapa Guru sudah tua?"
"Hei" Usiaku sudah delapan puluh tujuh tahun!"
"Tetapi wajah dan kelakuan Guru masih seperti remaja layaknya."
"Ini gara garamu yang secara tidak langsung memaksaku untuk bersikap sepertimu!" -Menur cemberut.
"Aku lagi yang disalahkan!"
"Menur.... Menurutlah dengan permintaanku ini....
Ayo, mengangguklah. Toh, aku bukan sembarangan saja menjodohkanmu.
" Menur terdiam sesaat. Tiba tiba dia merasa sedih dan berat bila memang harus -menikah dan berpisah dari gurunya. Sebagai seorang gadis yatim piatu yang tak pernah mengenal kedua orangtua, Menur teramat menyayangi Kaliki Lorot. Kalaupun harus berpisah" Oh, rasanya tak akan sanggup.
"Guru.... Siapakah pemuda yang kau inginkan menjadi suamiku?" tanya gadis itu kemudian. Mendengar pertanyaan itu, wajah Kaliki Lorot berseri seri.
-"Kau ingat, kalau aku pernah menceritakan padamu tentang seorang pemuda berjuluk Pendekar Slebor?"
"Ya! Pendekar urakan itu?" tukas Menur.
"Hush! Jangan ngomong begitu!" dengus si Dewa Api Angin.
"Lalu maksud Guru, aku hendak dijodohkan dengannya?" belalak Menur.
"Tidak salah."
"Oh, tidak! Mana mau aku punya suami yang urakan seperti itu!" Menur memasang wajah cemberut. Kedua tanganya dilipat di dada.
"Kau harus mau, Menur! Pemuda itu sangat bijaksana dan cerdik. Pokoknya kau harus menjadi istrinya...!" desak Kaliki Lorot. Dan tiba tiba dia tertawa, -"Aku yakin.... Pendekar Slebor akan jatuh hati melihat kecantikanmu."
"Masa bodoh! Aku tidak mau dengannya, Guru!" dengus Menur. "Kau harus mau!"
"Guru terlalu memaksa!"
"Menur.... Sudah kukatakan tadi, usiaku sudah semakin senja. Paling lama, aku hanya bertahan sepuluh tahun. Nah, setelah itu..., kau sendirian. Kalau kau menikah dengan Pendekar Slebor, selain memiliki suami yang akan menemanimu, juga akan dijaga olehnya.
Pokoknya..., awas, Menurrr!" Tiba tiba saja tubuh gempal Kaliki Lorot mendorong tubuh Menur, seraya menepak -kedua kuda yang sedang memakan rumput, seketika sebuah benda terbuat dari kayu berbentuk kotak panjang, meluncur deras. Di atas benda yang seperti peti mati terdapat ukiran naga sedang bertarung!
***
Peti mati ukiran naga itu sempat terpental ke belakang, namun sesaat kemudian menderu lagi ke arah Kaliki Lorot. Kecepatannya lebih cepat dari yang pertama.
Lagi lagi Kaliki Lorot bergerak cepat. Rupanya tubuh gempalnya bukanlah suatu -penghalang untuk bergerak secepat angin. Dan kembali kakinya menghantam peti mati itu. Duk! "Ha ha ha...!" Peti mati berukir naga melayang ke belakang. Dan bersamaan dengan itu, terdengar tawa angker. "Tak kusangka! Ternyata ada seorang gendut seperti botol yang mampu menendang peti mati kesayanganku sebanyak dua kali!" Tepat ketika peti mendarat di tanah, penutupnya terbuka. Lalu dari dalamnya melenting satu sosok tubuh tinggi besar, dan hinggap di hadapan Kaliki Lorot dan Menur. Sedangkan peti mati ukiran naga itu menutup kembali di sebelah kaki sosok tubuh yang ternyata berambut emas. Kaliki Lorot menyipitkan matanya. Dan merasa baru melihat sosok yang baru datang ini. "Hei, Rambut Emas! Kau hampir saja membuatku mampus dan muridku itu, tahu"!" bentak Kaliki Lorot.
Sosok berambut emas tak lain dari Malaikat Peti Mati. Tujuannya terjun ke dalam rimba persilatan jelas, mencari Pendekar Slebor! "Orang tua bertubuh gempal, aku tak banyak cakap! Katakan, di mana Pendekar Slebor?" tanya Malaikat Peti Mati, langsung.
Sejenak Kaliki Lorot mengerutkan keningnya. Apa-apaan orang ini" Menanyakan Pendekar Slebor padanya. Dia sendiri tidak tahu, di mana pemuda itu.
"Jangan mengigau! Mana aku tahu"!" serunya sewot "Sialan juga kau, ya"! Tanya, ya tanya! Jangan main serang begitu! Apa kau sudah merasa jago?"
"Hhh! Tadi kau menyebut nyebut namanya!-Ketahuilah.... Siapa pun yang bersahabat dengannya dan tak mau mengatakan dimana keberadaannya, maka kematianlah imbalannya!"
"Masa bodoh! Aku memang tidak tahu! Ayo, Menur! Kita tinggalkan tempat ini! Rupanya ada orang gila yang telah mencat rambutnya dengan warna emas!" Belum lagi Kaliki Lorot melangkah....
Wesss...! Mendadak serangkum angin menderu ke arah lelaki tua ini.
"Busyet! Gendeng juga, nih orang!"
"Siapa pun yang ada hubungan dengan Pendekar Slebor, maka akan mampus! Ketahuilah! Aku si Malaikat Peti Mati akan menghancurkan Pendekar Slebor!" desis Malaikat Peti Mati, jumawa.
"Itu urusanmu!" sahut Kaliki Lorot tak acuh. Padahal, dia sedang mengira ngira -kalau kekuatan tenaga dalam sosok berambut emas itu sangat luar biasa! "Orang tua gempal! Kau lihat peti mati ukiran naga ini, hah"! Di peti mati itulah akan membujur tubuh Pendekar Slebor.... Ha ha ha.... Dan, semua orang rimba persilatan akan mengakui, kalau akulah yang patut disanjung!"
"Gila!"
"Apa kau bilang?"
"Hei! Guruku bilang, kau gila!" Bukannya Kaliki Lorot yang menyahut, Menur sudah berseru dengan nada muak.
Memerah wajah Malaikat Peti Mati. Tatapannya dingin mengarah pada Menur yang mendadak seolah ditelanjangi bulat bulat.
-"Kalian harus mampus!" Tiba tiba saja peti mati yang berada, di sisi Malaikat Peti Mati kembali -meluncur deras. Suaranya menderu dahsyat, seperti hendak memecahkan gendang telinga. "Menur! Minggir! Kau tak pantas meladeni orang gila seperti dia!" teriak Kaliki Lorot. "Guru.... Aku ingin menampar pipinya!" sahut Menur, keras kepala.
"Nanti aku akan melakukannya dua kali! Satu untukmu, dan satu lagi untukku! Sekarang, menyingkirlah!" desak Kaliki Lorot sambil melompat dan bergulingan, menghindari serbuan peti mati ukiran naga yang sangat dahsyat itu.
Sedangkan Menur pun mengikuti perintah gurunya.
Gadis itu mundur beberapa langkah saja. Dipandanginya Kaliki Lorot yang sedang menghindari serbuan peti mati ukiran naga itu.
"Monyet! Ke mana aku menghindar, peti sialan itu pasti akan mengejar!" gerutu Kaliki Lorot. "Bahkan akan membunuhmu, Orang tua gempal!" sahut Malaikat Peti Mati terbahak bahak.-Kaliki Lorot mendengus dan memaki maki. "Enak saja kau ngomong! Kau pikir mudah -untuk mengalahkan aku, hah"!" bentaknya.
Dan tiba tiba tubuh Kaliki Lorot melesat. Di tangannya terlihat sebuah cahaya -kemerahan yang cukup terang. Dan dengan tangan bersinar merah itu dihadangnya laju peti mati ukiran naga itu. Lalu dihantamnya sekuat tenaga. Dukkk...! Begitu menghantam, Kaliki Lorot langsung membuang tubuhnya ke belakang. Dan seketika, terdengar kembali makiannya.
Memang, ajian yang baru dipergunakannya bukan sembarang ajian. Sebenarnya, ajian 'Hawa PanasMengaduk Laut' mampu menghantam dinding gunung hingga hancur. Bahkan anginnya saja, membuat dedaunan sebuah pohon akan meranggas seketika.
Tetapi peti mati yang hanya terbuat dari kayu itu tidak pecah sedikit pun. Hanya terpental ke belakang! Bersamaan dengan itu, tubuh Malaikat Peti Mati melenting dan mendaratkan kedua kakinya di bagian atas peti mati. Melalui aliran tenaga dalam pada kakinya, dibawanya peti mati itu turun perlahan lahan.-"Hebat! Hanya sayang, hari ini nyawamu akan putus!" desis Malaikat Peti Mati dengan wajah memerah.
Baru kali ini pemuda berwajah penuh luka itu melihat ada yang mampu menandingi kecepatan dan kekuatan peti matinya yang dikendalikan melalui tenaga dalam.
"Hm.... Kau akan kumaafkan, Orang Tua Gempal! Tapi katakan, di mana Pendekar Slebor berada. Dan paling tidak, kau harus mengakuiku sebagai orang nomor satu yang patut dipuja!"
"Gila pangkat!" cibir Menur. "Kalau kau sudah merasa kalah, ya pergi saja sana menetek pada ibumu! Jangan sesumbar dan jual lagak kayak kambing mau kawin seperti itu!" Malaikat Peti Mati menoleh ke arah Menur.
Dikirimkannya pandangan maut pada gadis itu. Dan kali ini Menur terpaksa mempergunakan hawa murni agar tidak terpengaruh tatapan penuh undangan maut.
Bahkan matanya dibelalakkan. Dan secara tiba tiba, lidahnya melelet.
-"Yeee! Dipikir aku tak tahu itu" Tidak usah ya?" kata Menur berkacak pinggang.
Kelamlah wajah Malaikat Peti Mati.
"Rupanya kalian memang manusia manusia dungu yang tak tahu terima kasih. Kini, -tibalah saatnya bagi kalian untuk terbang ke neraka! Dan kalian akan mengakui kehebatanku sebagai orang nomor satu! Orang yang akan menginjak injak kepala Pendekar -Slebor!"
"Enaknya ngomong!" sentak Menur. "Apa kau pikir akan mampu menandingi Pendekar Slebor, hah"! Anak yang baru selesai berguru saja, pasti mampu mengalahkanmu, Rambut Jelek!" Tanpa banyak cakap lagi, tubuh Malaikat Peti Mati sudah meluruk ke arah Menur.
Namun gadis itu telah mencabut pedangnya.
"Menuuurrr! Hati hati!" ingat Kaliki Lorot. "Kau jangan mati dulu. Karena, aku -ingin melihat kau bersanding dengan Pendekar Slebor!"
***
-=0 { 4 } 0=-
Memang tak heran kalau Kaliki Lorot menciptakan jurus jurus pedang bagi Menur -yang memang pantas memilikinya. Karena, bentuk tubuhnya langsing, ditunjang gerakan yang sudah terlatih.
Seharusnya dalam sekali kibas saja, pedang Menur bisa membabat tubuh Malaikat Peti Mati. Namun mudah sekali serangan Menur dihindari. Hal itu membuat gadis itu jadi ngotot dan tak percaya. Bahkan tak terlihat bagaimana Malaikat Peti Mati menghindar.
Dengan cepat Menur kembali mempergencar serangannya, sehingga menimbulkan suara bagai desingan kuat. Namun lagi lagi -serangannya tak mengenai sasarannya. Bahkan dengan satu gerakan aneh yang sukar diikuti mata, Malaikat Peti Mati meliukkan tubuhnya seraya mengibaskan tangannya. Lalu.... Desss...! "Aaakh...!" Gadis itu tahu tahu merasakan dadanya sesak dengan tubuh terjajar ke belakang.
-Dia berusaha menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Sementara itu. Kaliki Lorot sudah bergulingan ketika melihat Malaikat Peti Mati sudah menderu kembali hendak menghabisi nyawa Menur yang dalam keadaan sulit menghindar.
"Pemuda jelek! Ayo hadapi aku!" teriak Kaliki Lorot dengan kemarahan luar biasa.
Hatinya panas melihat murid kesayangannya dihantam seperti itu. Segera tubuhnya meluruk sambil menghentakkan tangannya.
Wuusss! Gerakan Kaliki Lorot sangat cepat, mengandung kekuatan tinggi. Namun Malaikat Peti Mati kelihatan tenang tenang saja.
-"Tak perlu kau suruh, aku akan membuat kau mampus!" seru pemuda itu dingin, penuh keangkeran.
"Sombong! Bisa bisa bukan Pendekar Slebor yang akan menempati peti mati ukiran -naga itu, tetapi jasadmu sendiri!" seru Kaliki Lorot sambil terus menyerang.
"Mana mungkin kau mampu menghadapi pemuda sakti itu hah"! Kau hanya besar mulut.
Hanya bisa jual tampang dengan rambut norakmu itu!" Mendengar kata kata itu, wajah Malaikat Peti Mati jadi kelam. Pendengarannya -terasa bagaikan ditusuk sembilu. Hatinya penuh kegeraman, hingga membuat wajahnya merah padam.
"Heaaa...!" Dengan teriakan keras memancarkan kemarahan, Malaikat Peti Mati bergerak secepat angin. Sementara, Menur yang baru saja lolos dari maut, mendesah pendek. Buru buru hawa -murninya dialirkan untuk mengusir rasa sakit di dada. Baru disadari kalau ilmu pemuda berambut emas itu sangat tinggi. Akan tetapi, hal itu bukan membuat ciut nyalinya. Hatinya justru penasaran ingin menghadapi lagi. Hanya saja, saat ini dia merasa lebih baik menyaksikan saja pertarungan sengit antara gurunya menghadapi pemuda berambut emas itu.
Dua sosok tubuh berbeda usia dan bentuk saling serang dengan jurus jurus -dahsyat. Tanpa terasa, sepuluh jurus sudah berlalu. Dan dua sosok tubuh itu bagai kelebatan bayangan saja yang terus saling libas.
Hanya sesekali terdengar seruan mereka, menambah semangat pertarungan, ditingkahi suara benturan beberapa kali.
Diam diam Kaliki Lorot mendengus. Disadari, betapa tingginya ilmu Malaikat Peti -Mati. Kalaupun manusia itu sesumbar ingin menantang sekaligus membunuh Pendekar Slebor, karena merasa yakin dengan ilmunya.
Terbukti, ia sendiri cukup kewalahan menghadapi serangan serangan mengandung -hawa maut. Sedangkan Malaikat Peti Mati merasa heran karena sampai sekian jurus berlalu, belum juga mampu menjatuhkan lelaki bertubuh gempal itu. Biasanya dalam beberapa jurus saja, lawan sudah terjengkang menjadi mayat atau terluka parah.
Dengan geram dan amarah yang semakin menjadi-jadi, pemuda berambut emas itu mencecar Kaliki Lorot dengan serangan serangan berbahaya. Serangkum angin -laksana topan dahsyat berkelebat setiap kali menyerang Kaliki Lorot.
Bagi Kaliki Lorot sendiri, dia merasa yakin dalam beberapa jurus berikutnya tak akan mampu menandingi pemuda berambut emas. Beberapa kali pula tubuhnya di hantam pukulan dahsyat, yang bagaikan godam sangat besar.
"Katakan, di mana Pendekar Slebor bila tak ingin mampus?" bentak Malaikat Peti Mati sambil meluruk dengan satu tendangan penuh bertenaga dalam tinggi.
Kaliki Lorot menghindari serangan dengan berguling-gulingan.
"Manusia busuk! Justru kau yang akan mampus.
Entah di tanganku, atau di tangan Pendekar Slebor!"
"Keparaaat! Tak seorang pun yang mampu menandingi kesaktianku! Tak terkecuali Pendekar Slebor!" Dan serangan Malaikat Peti Mati pun semakin dahsyat. Menur yang menyaksikan pertarungan tak urung dibanjiri keringat dingin. Selama ini gurunya dianggap yang nomor satu di rimba persilatan. Tetapi nyatanya, dalam lima belas jurus saja Kaliki Lorot sudah kewalahan menghadapi serangan Malaikat Peti Mati yang datang bertubi tubi.-Lalu dengan berani dan kemarahan membludak, tiba tiba saja Menur bergerak dengan -pedang berkelebatan. Justru Kaliki Lorot yang terkejut melihatnya.
"Menuuurrr! Kau melanggar perintahku!" seru orang tua ini sambil berjumpalitan.
Malaikat Peti Mati tertawa dingin ketika Menur menyerangnya. Bahkan mendadak saja tubuhnya berputar dengan mengibas, menghantam kedua kaki Menur hingga ambruk. Gadis itu pun bergulingan secepatnya, ketika kaki Malaikat Peti Mati hendak menjejak punggungnya. Brolll...! Tanah sebatas dengkul amblas ketika sebelah kaki Malaikat Peti Mati menjejak tanah. Sementara Menur bangkit dengan wajah pucat. Dadanya terasa semakin sesak. Keringat dingin mengucur di wajahnya yang jelita.
Malaikat Peti Mati terbahak bahak.
-"Sekali lagi kukatakan, kemunculanku hendak menantang Pendekar Slebor. Tetapi kalian, orang orang yang menyembunyikan pun harus kubunuh! Kecuali, kalau kalian -mau mengatakan keberadaannya, dan mengakuiku sebagai orang nomor satu di rimba persilatan ini!" Kaliki Lorot mengeluarkan suara mendengus. Berat.
"Kau bermimpi di siang bolong! Mengalahkan aku saja kau tak akan mampu!"
"Kusumbat mulutmu yang kurang ajar itu!" geram Malaikat Peti Mati.
Lalu dengan gerakan secepat angin dan tenaga kuat menderu deru, pemuda berambut -emas itu kembali menerjang Kaliki Lorot. Kali ini serangannya benar-benar luar biasa, menutup setiap gerak Kaliki Lorot.
Sekali pun tak diberikannya kesempatan pada Kaliki Lorot untuk membalas. Bahkan ruang geraknya menghindar pun dengan cepat ditutupnya.
"Guruuu!" sentak Menur dengan wajah pucat.
Serentak gadis itu menyerbu kembali ke arah Malaikat Peti Mati. Tak diingatnya lagi kalau bahaya mau tengah mengintainya. Baginya, yang ada saat ini adalah membunuh manusia keparat yang kejam itu.
Akan tetapi ketika Malaikat Peti Mati mengibaskan tangannya....
Desss! "Aaakh...!" Tubuh Menur mendadak sontak terpelanting ke belakang terhantam pukulan yang sangat hebat! Darah tampak menetes sepanjang luncuran tubuhnya.
Seketika gadis cantik itu jatuh pingsan.
"Menuuurrr!" seru Kaliki Lorot, kalang kabut.
Orang tua itu mencoba menerobos serangan Malaikat Peti Mati. Tetapi serangan balik yang dahsyat pemuda rambut emas itu membuat niatnya diurungkan bila tidak ingin segera mampus. Cepat tubuhnya melompat kesamping, menghindari.
"Kau pun akan mampus, Orang Tua!" Gempuran-gempuran berbahaya mengandung kekuatan maha dahsyat membuat Kaliki Lorot harus menghindar berkali kali. Dan sekali tubuhnya -kembali dihantam.
Rupanya, Kaliki Lorot memiliki tubuh cukup kedot, sehingga masih mencoba bertahan. Tetapi yang dipikirkan orang tua itu saat ini adalah Menur. Kalau tidak segera diobati, bisa bisa nyawa gadis itu melayang. Maka dengan nekat dia berkelebat -menyeIamatkan gadis itu. Seketika tubuhnya bergulingan ke arah Menur. Sambil bergulingan tubuhnya mengeluarkan api yang menjilat jilat. Itu adalah salah satu simpanan miliknya, ajian 'Gulungan Api -Membelah Laut' yang dahsyat.
Malaikat Peti Mati sejenak terhenyak. Sehingga, tubuhnya harus dibuang ke samping. Namun seketika, dia telah melancarkan serangan kembali, meluruk kearah Kaliki Lorot yang bergulingan terus ke arah Menur.
Desss! Tubuh Kaliki Lorot yang gempal terpental bagaikan bola beberapa tombak begitu terhantam tendangan Malaikat Peti Mati.
"Ha ha ha...! Siapa saja yang mencoba menyembunyikan Pendekar Slebor, maka akan mampus!" leceh Malaikat Peti Mati, begitu mendarat dengan tawa terbahak bahak.-Lalu Malaikat Peti Mati melompat ke atas peti mati ukiran naga. Seketika tubuhnya melayang meninggalkan tempat itu bersama peti mati. Tapi baru saja bergerak beberapa tombak....
"Hei, Tukang Kayu! Mau ke mana?" Terdengar teriakan keras, membuat Malaikat Pet Mati tersentak.
Tubuhnya lantas melompat dari peti mati ukiran naganya, dan mendarat kokoh di tanah. "Keparat busuk! Siapa yang ingin menjual lagak di hadapan Malaikat Peti Mati!" bentak Malaikat Peti Mati.
Sementara, peti mati ukiran naganya telah mendarat di sisinya.
*** Satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus melompat dari satu tempat. Wajahnya yang tampan cengengesan di depan Malaikat Peti Mati.
"Siapa kau" Apa kau ingin cepat mampus"!" bentak Malaikat Peti Mati.
"Wah, wah.... Sepak terjangnya hebat juga, ya.... Tapi sayang, lawanmu hanya seorang lelaki tua yang sudah keropos. He he he.... lawan dong orang yang sepantaran seperti aku ini...," kata pemuda berbaju hijau pupus yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor.
Sejenak mata Andika memperhatikan pemuda berambut emas yang malah terbahak bahak. Matanya pun melihat sebuah peti mati -berukir naga yang menurut si Naga Gunung adalah tempat jasadnya.
"Luar biasa! Seorang pemuda kemarin sore berani lancang berbicara seperti itu! Hhh! Bila kau tahu di mana Pendekar Slebor, aku akan membiarkanmu hidup!" seru Malaikat Peti Mati, angker.
Dari wajahnya yang cengengesan, Pendekar Slebor mengerutkan keningnya. Rupanya, manusia keparat ini belum mengenal dirinya. Ini di luar dugaannya sama sekali.
Pendekar Slebor memang bermaksud mencari Malaikat Peti Mati. Dia tadi sempat melihat pertarungan antara Malaikat Peti Mati dengan sosok tua yang belum sempat dikenalinya. Kedatangan Andika memang terlambat. Karena begitu tubuhnya sampai di tempat, sosok tua lawan Malaikat Peti Mati sudah terhajar hingga melayang entah ke mana.
Seperti yang dikatakan si Naga Gunung, kalau pemuda yang mencarinya memiliki rambut emas. Tadi, Pendekar Slebor dari kejauhan memang melihat sosok berambut emas yang tengah bertarung. Makanya, dia segera mendatangi. Dan ternyata dugaannya tak meleset sosok itu memang Malaikat Peti Mati.
Sementara, pemuda rambut emas itu ternyata tidak mengenalnya! "Jangan sesumbar.... Aku sih cuma mengingatkan, kau tak akan mampu mengalahkan Pendekar Slebor...," kata Andika, kalem.
"Bangsat!" bentak Malaikat Peti Mati keras, "Katakan pada Pendekar Slebor, Malaikat Peti Mati akan membunuhnya! Seperti yang kulakukan pada Ki Lingkih Manuk, si Naga Gunung, Perguruan Naga Emas, dan barusan seorang lelaki tua yang mungkin sudah mampus! Demikian pula seorang gadis jelita muridnya...."
"Aku akan mengatakan di mana Pendekar Slebor berada. Tetapi aku tak percaya kalau kau bisa membunuh lelaki tua tadi. Mana buktinya! Tunjukkan di mana mayat lelaki tua dan muridnya seperti yang kau katakan tadi?" pancing Andika, pura-pura.
Malaikat Peti Mati kembali terbahak bahak.
-Suaranya menggetarkan sampai menggugurkan dedaunan."Baru sekali ini kudengar ada yang mau mengatakan di mana Pendekar Slebor berada" Bagus, bagus! Kau memang tahu adat, dan menyayangi nyawamu sendiri! Baik! Tetapi, bila kau membohongiku, ke ujung dunia pun kau akan kucari! Mayat gadis jelita yang bernama Menur itu berada di balik semak di belakangmu.
Sedangkan lelaki tua gurunya, entah di mana! Tubuhnya terpental beberapa tombak! Ha ha ha.... Kau akan menemukan mayat keduanya dalam kedaan mengerikan!" Pendekar Slebor tak menampakkan kemarahannya, walaupun hatinya bergemuruh. Pada dasarnya, dia tak tahan untuk menurunkan tangan pada Malaikat Peti Mati yang dia yakini memiliki ilmu sangat tinggi.
Terbukti, dibunuhnya Ki Lingkih Manuk dan melukai si Naga Gunung. Tetapi, Andika harus membuktikan dulu apakah lelaki tua yang tadi dilihatnya serta muridnya telah tewas.... Kalau itu benar, hari ini juga dia akan mengadu jiwa dengan Malaikat Peti Mati. Untuk itulah dia harus berpura-pura, seakan tidak melihat pertarungan.
"Aku akan memeriksa mayat mereka!" cetus Andika kemudian.
"Baik! Dan aku percaya, kau tak memiliki nyawa rangkap!" Andika tidak mempedulikan kata kata sombong -Malaikat Peti Mati. Tubuhnya melompat ke balik semak.
Dan seperti yang dikatakan pemuda berambut emas itu, dia menemukan tubuh Menur.
Segera diperiksanya keadaan gadis itu.
Ada denyutan lembut di dadanya. Belum! Gadis ini belum mati. Hanya pingsan.
Andika cepat memeriksa bagian bagian tubuh gadis itu lainnya. Tampak bekas -pukulan di perut gadis itu. Untuk menyelamatkan gadis ini, membutuhkan waktu dua kali penanakan nasi.
Lalu Andika bergerak ke satu tempat, mencari tubuh lelaki tua yang tak lain Kaliki Lorot. Ketika ditemukan, hatinya begitu masygul. Disadari kalau luka yang diderita lelaki tua itu lebih parah dari muridnya, tetapi masih bernyawa.
Otak Pendekar Slebor yang cerdik segera berputar.
Dia tak mempunyai waktu untuk menghadapi tantangan pemuda berambut emas itu sekarang. Lebih baik menyelamatkan lelaki bertubuh gempal dan muridnya bila tidak ingin melihat keduanya tewas akibat kekejaman Malaikat Peti Mati.
"Pemuda baju hijau! Apakah kau mencoba melarikan diri?" bentak Malaikat Peti Mati keras. Andika sebenarnya marah bukan main. Namun karena ketenangan dan kesleborannya, wajahnya tampak biasa biasa saja. Kini dia -muncul membawa tubuh Kaliki Lorot yang pingsan.
"Malaikat Peti Mati! Sebenarnya, kekejamanmu memang mengerikan!" kata Pendekar Slebor, di tengah ketenangannya. "Kau memang pantas berhadapan dengan Pendekar Slebor. Tapi hati hati Iho! Pendekar itu, suka menghisap darah lawannya.
" -"Jangan bertele tele! Katakan saja di mana Pendekar Slebor berada" Karena, -beberapa kejap lagi kau lambat mengatakannya, nyawamu pun akan tiba pada gilirannya!" Kembali otak cerdik Andika berputar. Rupanya, Malaikat Peti Mati hanya memiliki ilmu tinggi, tetapi otaknya bebal. Kalaupun bermaksud mencari Pendekar Slebor yang ditanyakan tentu ciri cirinya lebih dulu.
-Sehingga, dia bisa mengenali dan menemukannya dengan mudah.
Dan bagi Andika sendiri, lebih baik memang menyelamatkan nyawa Menur dan gurunya daripada bertarung.
"Aku bukan orang yang tak pernah menepati janji.
Kemarin, aku bertemu Pendekar Slebor di Bukit Sigura-gura! Dia menunggu lewat satu purnama dari sekarang.
Katanya, darahmu akan dihisap sampai tandas. Sampai tubuhmu tinggal tulang -belulang dan kentut. Tapi jangan lupa, ampas perutmu dibuang dari sekarang.
Karena jangan jangan, ikut terhisap Pendekar Slebor -pula..., " ujar Andika, memanas manasi.
-"Keparat! Pendekar Slebor akan merasakan akibat perkataannya itu!" geram Malaikat Peti Mati. "Aku akan menunggunya di Bukit Sigura gura satu purnama dari -sekarang! Kau akan saksikan nanti, bagaimana tubuh pemuda yang tak pantas diagungkan itu akan terbujur kaku di peti mati ukiran naga yang memang kusediakan untuknya!" Lalu mata Malaikat Peti Mati menatap tajam dan dingin.
"Tetapi kalau kau bohong, aku akan mencarimu! Dan akan mematah matahkan seluruh -tulang di tubuhmu!" desis pemuda berwajah penuh bekas luka itu.
Lalu dengan ringan tubuh Malaikat Peti Mati melenting ke atas peti mati ukiran naga, dan segera melayang di atasnya. Tawanya yang keras seketika menggema.
Pendekar Slebor mcnganggukkan kepala. Apa yang di katakan si Naga Gunung bukan omong kosong. Andikapun bisa memperkirakan betapa tingginya ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam Malaikat Peti Mati.
Pendekar Slebor tak bisa berpikir lebih lama lagi.
Segera direbahkannya tubuh Kaliki Lorot di tanah. Lalu tubuhnya berkelebat mengambil tubuh Menur. Tak lama, dia mulai melakukan penyembuhan.
***
-=0 { 5 } 0=-
Menur berusaha bangkit, ketika melihat seorang pemuda tampan di sisinya. Namun Andika buru buru mencegah. Apalagi perutnya masih terasa sakit bukan main.-"Oh, siapakah kau ini?" tanya Menur, lirih.
"Namaku Andika," sahut Pendekar Slebor.
"Ke mana..., ke mana manusia busuk itu?"
"Bila maksudmu Malaikat Peti Mati" Dia sudah meninggalkan tempat ini...."
"Gusti..., oh! Di mana Guru" Di mana dia sekarang?" Mata bening itu terbuka dan tubuhnya bergerak lagi.
"Tenanglah.... Jangan terlalu banyak bergerak dulu Nona. Gurumu berada di sampingmu. Mungkin sedang bertemu gadis cantik dalam mimpinya. Dia telah kuobati. Sebentar lagi juga akan siuman...," sahut Pendeki Slebor, sedikit berkelakar. Menur mengeluarkan suara tertahan. Perutnya masih terasa sakit sekali.
"Terima kasih, Kang Andika.... Kau telah menyelamatkan kami...," ucap Menur.
Andika tersenyum. Matanya terus menerus menatap wajah Menur yang diakuinya memang cantik. Sayang kalau dilewatkan begitu saja.
Beberapa saat kemudian, Kaliki Lorot pun tersadar dari pingsannya. Meskipun lukanya lebih parah dari Menur, tetapi tetap memaksakan diri untuk bangkit sambil mengalirkan tenaga dalamnya sendiri.
Begitu melihat sosok pemuda di hadapannya, Kaliki Lorot tertawa pelan.
"Ah! Rupanya kau, Pendekar Slebor....
" Andika hanya menganggukkan kepala saja. Rupanya, lelaki bertubuh gempal yang berjuluk si Dewa Api Angin mengenalnya. Sementara itu, Menur yang mendengar gurunya memanggil si pemuda dengan sebutan Pendekar Slebor, kembali membuka mata.
Oh! Inikah pemuda Lembah Kutukan yang diinginkan Guru menjadi suaminya" Meski dalam keadaan letih, Menur menjadi berdebar debar juga. Bisa dilihatnya -ketampanan pemuda itu yang membuatnya menjadi deg degan. Berkali kali matanya - -melirik, mencuri pandang pada Pendekar Slebor ketika sedang menceritakan bagaimana Malaikat Peti Mati meninggalkan tempat itu.
"Rupanya, dia tidak mengenalku, Ki," kata Andika mengakhiri ceritanya. "Berarti aku kurang terkenal, ya?"
"Ah! Tapi dia pasti akan tetap mencarimu, Andika.
Aku yakin, dia akan datang ke Bukit Sigura gura purnama mendatang.
" -"Walau tak yakin dapat mengalahkannya, aku pun bersedia menerima tantangannya.
Aku takut, dia akan menurunkan tangan mautnya pada siapa saja, bila tantangannya kutolak. Maklumlah, Ki. Orang terkenal memang selalu dicari cari orang...," kata -Andika, tak begitu menjanjikan kemenangan. Tapi paling tidak, dia berusaha menampilkan sikap ksatrianya.
Kaliki Lorot menceritakan bagaimana tingginya ilmu pemuda berambut emas itu.
Seperti yang diceritakan oleh si Naga Gunung pada Pendekar Slebor.
"Dan, ketahuilah.... Aku tidak ingin kau mampus sebelum bersanding dengan muridku...," tambah Kaliki Lorot sambil terbahak bahak.
-Kali ini kening Andika berkerut. Apa apaan ini" -Bersanding dengan muridnya"
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Andika sambil mengaruk garuk kepalanya.-Kaliki Lorot melotot.
"Bodoh! Kau pemuda dungu juga, ya" Aku menghendaki kau berjodoh dengan muridku yang jelita itu! Kau mau, kan" Iya, kan?" Andika cengengesan. Sifat urakannya muncul kembali. "Wah.... Kalau berjodoh dengan gadis cantik itu siapa yang tidak mau?"
"Berarti kau mau, kan?"
"Belum tentu."
"Lho"! Kenapa belum tentu?" Andika tahu, rupanya Kaliki Lorot sangat menghendaki sekali dirinya berjodoh dengan Menur.
Tetapi baginya, soal perjodohan belum terpikirkan.
"Kita lihat saja nanti," ujar Andika, merasa tak enak.
"Bagus! Bagus!" Menur yang memejamkan matanya, tiba tiba -mendesah lega dalam hati. Oh, Gusti.... Betapa tampannya pemuda ini" Tutur katanya begitu lembut meskipun dari jiwanya mencerminkan sifat slebornya.
"Hei, Menur! Bangun! Aku tahu, kau mendengarkan percakapanku ini, bukan?" sentak Kaliki Lorot tiba tiba.
-Menur membuka matanya. Langsung melotot! Kaliki Lorot terbahak bahak melihat wajah muridnya bersemu merah. Dia yakin, -kalau muridnya tak akan menolak berjodoh dengan Pendekar Slebor.
"Hei, hei...! Jangan melotot begitu. Kau setuju kan, berjodoh dengan Pendekar Slebor?" ledek orang tua itu sambil terbahak bahak hingga perutnya yang gempal -terguncang guncang.
-"Guru! Kau membuatku malu!" bentak Menur.
Matanya melotot, tetapi hatinya tersipu sipu.-"Tidak apa apa, tidak apa apa. Aku hanya ingin mendengar jawabanmu. Kau setuju, - -bukan?" Bukannya menjawab, Menur malah menunduk.
Wajahnya memerah. Hatinya semakin tak karuan.
Andika tertawa.
"Menur.... Kau lihat sendiri bukan kalau aku baru saja mengenal gurumu itu" Kini tiba tiba saja dia menjodohkanmu denganku" Nah ini, kan lucu.
" -Kali ini Kaliki Lorot melotot pada Pendekar Slebor yang hanya menggaruk garuk -kepala sambil mengangkat kedua alisnya. Nyengir.
"Jadi dengan kata lain kau menolak!" tukas Kali Lorot, keras.
"Kan tadi sudah kujawab. Belum tentu aku menerima, dan belum tentu pula menolak."
"Mana bisa begitu"! Kau harus mau berjodoh dengan muridku yang manis ini! Kau harus mau!"
"Enaknya!"
"Busyet! Kau memaki yang lebih tua, hah"! Tidak sopan!"
"Guru! Kalau dia tidak mau, kenapa Guru memaksa, sih?" tukas Menur karena tak enak melihat gurunya membentak bentak -Pendekar Slebor. Padahal sesungguhnya gadis ini ingin sekali Pendekar Slebor mengiyakan usul gurunya.
"Tidak! Pokoknya, dia harus mau!"
"Itu namanya memaksa!"
"Ah, aku tidak merasa memaksa?" kelit Kaliki Lorot, keras kepala. "Pokoknya, aku hanya mengharuskan dia mau menerimamu menjadi istrinya!" Andika lagi lagi tertawa. Busyet! Baru kali ini di melihat orang keras kepala -yang tak menyadari kekeliruannya.
"Hei, kenapa tertawa?" bentak Kaliki Lorot lagi.
"Habisnya, kau marah marah terus. Seharusnya, kau memberi kesempatan padaku -untuk berpikir...," kilah Andika.
"Berpikir monyet buduk! Masa kau tidak mau dengan muridku yang cantik ini?" Andika hanya tersenyum. Sementara, Menur memejamkan matanya dengan hati semakin tak karuan.
Tiba tiba Kaliki Lorot mengibaskan tangannya.
-"Sudah. sudah...! Aku akan mencari Malaikat Peti Mati! Lebih baik aku yang mati daripada kau yang mati! Huh! Bisa bisa muridku menjadi janda nanti!" -Andika tertawa mendengar kata kata Kaliki Lorot.
-Belum juga mereka menikah, sudah berkata seperti itu.
Tetapi dia tak bisa menahan, karena lelaki bertubuh gempal itu sudah berkelebat pergi mencari Malaikat Peti Mati.
"Guru!" panggil Menur.
"Jangan manja!" bentak Kaliki Lorot dari kejauhan.
"Kau akan aman di sisi Pendekar Slebor! Hei, Pemuda Lembah Kutukan! Kalau kau mempermainkan dan menyakiti hati muridku, kau akan kubunuh, tahu"!" Andika hanya mengangkat bahu saja. Memang bukan sekali dua kali dia melihat sikap tokoh rimba persilatan yang sukar sekali ditebak. Seperti Kaliki Lorot yang langsung mengancamnya kalau menolak menikahi Menur. "Kang Andika...," panggil Menur hati hati. -Perasaannya benar benar teraduk aduk. Dia merasa tidak enak melihat sikap - -gurunya itu. "Maafkan sikap guruku.
" Andika tertawa.
"Tidak apa apa. Lagi pula, kau ini cantik, kok.
" -Wajah Menur memerah.
"Tetapi...."
"Menur, bagaimana kalau urusan perjodohan itu ditunda saja dulu" Karena, tugas yang kuemban belum selesai. Malaikat Peti Mati menginginkan aku. Katanya, aku mau dikasih peti mati. Kan lumayan, bila peti mati itu kujual. Kau setuju?" tanya Andika, tak menghilang kan sifat kesleborannya.
Hanya mengangguk yang bisa dilakukan Menur.
Padahal dia ingin sekali mendengar Andika menyetujui usul gurunya.
Angin berhembus di antara pepohonan.
"Dingin?" tanya Pendekar Slebor berbisik lembut telinga Menur.
Menur mengangguk malu malu. Tiba tiba dia- -merasakan tubuh Pendekar Slebor sudah rebah di sisinya. Sementara tangan kanan Andika pun merangkul tubuhnya. Seketika dirasakannya kehangatan yang tercipta dari rangkulan Pendekar Slebor. Untuk beberapa saat gadis itu berdebar debar dengan wajah memerah. Tetapi untuk -melarang Pendekar Slebor yang masih merangkulnya, tak kuasa dilakukannya. Tak dapat dipungkiri kalau dia sendiri merasakan kesenangan yang mendadak muncul.
"Hei" Apakah kau sendiri setuju atas usul gurumu" Andika memecah kesunyian dengan bertanya sambil tertawa. Menur gelagapan.
"Aku....
" "Nah! Kau sebenarnya memang setuju, kan?" sambar Andika, "Siapa sih yang tidak mau denganku yang tampan ini?" Seharusnya Menur marah mendengar kata kata itu.
-Karena, bisa bisa harga diri kewanitaannya tersinggung.
-Tetapi karena diucapkan dengan nada bercanda, dia menjadi tertawa.
"Kenapa tertawa?" tanya Andika.
"Yang seperti ini dikatakan tampan?" tukas gadis ini tidak malu malu lagi.
-Sikapnya biasa.
"Memang tampan."
"Ih! Memuji sendiri!"
"Habisnya, tak ada yang memuji. Paling paling, yang memujiku hanya nenek nenek - -yang rabun matanya. He he he...!"
"Eh, kenapa Kang Andika tidak segera mencari Malaikat Peti Mati yang kemungkinan akan banyak menimbulkan keonaran?" tanya Menur, mengalihkan pembicaraan. Andika nyengir.
"Justru itu.... Kalau aku meninggalkanmu, siapa yang akan memeriksa luka lukamu -itu" Karena, kau mati belum sembuh benar."
"Kenapa Kang Andika jadi prihatin?" kejar Menur penasaran.
"Siapa sih, yang mau meninggalkan gadis secantik ini.
" tukas Andika, sambil tertawa. Dalam keremangan malam, wajah Menur kembali memerah. Dia benar benar tidak -mengerti dengan dirinya sendiri. Sebelumnya, dia melecehkan Pendekar Slebor ketika gurunya memintanya bersedia menjadi istri pendekar itu. Tetapi sekarang, setelah berjumpa, Menur malah tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya malu dan senang. Apalagi pemuda itu sekarang tengah merangkulnya, memberikan kehangatan.
Sementara bagi Pendekar Slebor sendiri, tidak ada maksud lain kecuali memberinya kehangatan sekaligus perlindungan. Dia juga tidak bermaksud berbuat lebih jauh.
Padahal bila otaknya ngeres, kesempatan itu bisa dipergunakannya. Apalagi, Menur hanya pasrah saja.
Di samping itu, Andika memang tidak ingin meninggalkan Menur yang masih terluka. Mungkin, bila sudah pulih dari lukanya, gadis itu akan ditinggalkannya.
Sekaligus, melupakan permintaan Kaliki Lorot yang menurutnya permintaan aneh! Hati Menur sendiri semakin lama semakin deg-degan, ketika menyadari malam semakin membentang.
Dia khawatir terjadi hal hal yang tak diinginkan, meskipun dia yakin juga tak -akan kuasa memberontak.
Namun, nampaknya Pendekar Slebor bukanlah hidung belang yang selalu memanfaatkan keadaan. Gadis itu pun menjadi tenang sekarang.
Hanya saja, tiba tiba Menur tersentak. Mendadak saja, Andika mengecup bibirnya.
-"Cup...!"
"Oh!" Andika nyengir.
"Habisnya, siapa yang tahan melihat bibir yang bagus seperti ini?" kata Andika dengan wajah kebodoh-bodohan.
Wajah Menuh memerah. Dan perlahan lahan -kepalanya disusupkan di dada Andika.
Kenyamanan yang tak pernah dirasakan semakin terasa. Bahkan dia lupa kalau sedang terluka! * * * Di satu tempat, si Naga Gunung sudah dua hari menunggu kemunculan Pendekar Slebor. Tubuhnya terasa sudah pulih seperti sediakala, meskipun pergelangan tangan dan kakinya masih terasa sakit.
Tetapi, tidak separah ketika belum diobati Pendekar Slebor.
Kedua tangan dan kaki perempuan tua ini masih bisa digerakkan. Rupanya Pendekar Slebor telah berusaha menyatukan kembali urat uratnya yang diputuskan Malaikat -Peti Mati. Nyai Selastri alias si Naga Gunung yakin, saat ini Pendekar Slebor sedang mencari pemuda rambut emas itu. Huh...! Kekejaman Malaikat Peti Mati memang sangat mengerikan! "Heh"!" Tiba tiba saja Nyai Selastri tersentak ketika melihat tiga sosok tubuh -bermunculan dari satu tempat. Mereka mengenakan pakaian berwarna hitam hitam. Di -bagian dada tampak sulaman bergambar garuda mengepak sayap dari benang emas.
"Bibi Naga Gunung!" Tiba tiba salah seorang yang berambut sebahu dengan wajah tampan namun berkulit -agak hitam berseru.
Si Naga Gunung tersenyum. Dia langsung mengenali ketiga orang baru datang ini.
Bukan mengenali karena wajah, tapi karena pakaian yang dikenakan. Ketiganya pastilah murid murid Perguruan Garuda Mas.
-Ketiga pemuda itu menjura.
"Bibi Naga Gunung.... Terimalah hormat kami....
" Si Naga Gunung terkekeh kekeh. Dia beberapa kali memang pernah bertandang ke -Perguruan Garuda Mas.
Karena, Ki Sulis Lawang yang berjuluk si Garuda Mas adalah sahabatnya.
"Hmm..., murid murid Garuda Mas. Ada apa kalian sampai meninggalkan perguruan?" -tanya si Naga Gunung.
"Bibi.... Kami bertiga bukannya meninggalkan perguruan, tetapi tengah menyelamatkan diri dari maut," hatur pemuda tampan berambut sebahu.
Kening si Naga Gunung berkerut.
Apa maksudmu?"
"Namaku Sumadi. Sedangkan kedua temanku ini, Waluyo dan Santoso. Kami berhasil meloloskan diri dari maut yang ditebar seorang pemuda berjuluk Malaikat Peti Mati.
" Si Naga Gunung mendesah pendek. Lagi lagi manusia keparat itu! - "Bagaimana nasib ketua kalian?"
"Bibi Naga Gunung.... Ketua mati di tangan Malaikat Peti Mati yang menanyakan tentang keberadaan Pendekar Slebor. Memang, saat itu kami sedang membicarakan tentang Pendekar Slebor, karena Ketua bermaksud mengundangnya. Tetapi tiba tiba,-Malaikat Peti Mati muncul, langsung menebar maut. Padahal, Ketua menjawab pertanyaannya, kalau saat ini tidak tahu tentang keberadaan Pendekar Slebor.
" Si Naga Gunung terdiam. Lalu diceritakan kalau dirinya pun menderita luka parah akibat perbuatan Malaikat Peti Mati. Untung saja, telah diobati Pendekar Slebor.
"Bibi Naga Gunung.... Di manakah Pendekar Slebor berada?" tanya Sumadi. "Saat ini, kami bertiga sedang mencarinya. Kami hendak meminta bantuannya untuk menghentikan sepak terjang Malaikat Peti Mati, sekaligus membalaskan kematian Ketua.
" Si Naga Gunung menggeleng geleng.
-"Aku tidak tahu di mana dia berada. Aku berjumpa dengannya pun, secara tidak sengaja. Ketika selesai diobati, aku tertidur karena kelelahan. Ketika aku bangun, Pendekar Slebor sudah tidak ada di tempat.
" Ketiga murid Perguruan Garuda Mas saling pandang.
"Bibi Naga Gunung.... Kita harus mencari Pendekar slebor. Hanya dialah yang mampu menghentikan sepak terjang Malaikat Peti Mati.
" Si Naga Gunung mengangguk anggukkan kepala. Dia-pun sangat mendendam pada Malaikat Peti Mati.
Memang, satu satunya yang mampu menandingi dan menghentikan sepak terjangnya, -hanyalah Pendekar Slebor.
"Baiklah kalau begitu, kita segera mencarinya. Tapi, kalian jangan melangkah terlalu cepat. Karena urat urat di kedua kakiku dalam taraf penyembuhan akibat -hantaman maut Malaikat Peti Mati.
" Ketiga murid Perguruan Garuda Mas berpandangan.
Mereka melihat betapa susah payah si Naga Gunung bangkit dari duduknya. Mereka pun akhirnya menuntun si Naga Gunung, dan melangkah perlahan lahan. Hati mereka -semakin marah pada Malaikat Peti Mati yang juga telah melukai Bibi Naga Gunung yang mereka hormati.
Sementara si Naga Gunung mendengus dalam hati menyadari kelemahannya, sekarang ini. Tetapi, dia merasa beruntung karena nyawanya belum putus.
Sekali lagi Nyai Selastri harus berterima kasih pada Pendekar Slebor, karena dua kali menyelamatkannya dari maut. Pertama, dari gempuran Raja Akherat (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Neraka di Kraton Barat). Dan kedua, dari maut yang sedang menyiksanya.
***
-=0 { 6 } 0=-
Dengan serentak, gadis ini bangkit. Namun alangkah terkejutnya dia ketika tidak melihat pemuda berbaju hijau pupus di sisinya.
"Oh! Kang Andika....
" panggilnya sambil berdiri.
Mata Menur celingukan memperhatikan sekelilingnya. Telinganya dipasang tajam tajam. Tapi yang dilihatnya hanya -beberapa ekor kelinci yang berlompatan. Semakin sadarlah Menur kalau Andika sudah meninggalkannya.
"Kang Andika! Di mana kau?" teriak Menur.
Tak ada sahutan apa apa. Hanya angin berhembus perlahan mempermainkan dedaunan.
-Ketika Menur hendak melangkah mencari, pandangannya tertumbuk pada guratan -guratan di tanah. Seketika dibacanya.
Menur nan cantik, yang belum pernah diutak atik....
-Maaf, terpaksa kita harus berpisah sekarang. O, ya.
Kalau kau bertemu gurumu, katakan saja, kalau kita sama sana masih memikirkan -soal perjodohan itu.
Karena, aku tidak mau kau kena marah olehnya. Terima kasih atas pelukan dan ciumannya semalam. He he he....
Andika. Seketika gadis itu merasakan sekujur tubuhnya lemas.
"Oh, Kang Andika.... Mengapa kau meninggalkan aku?" desisnya pilu.
Sebenarnya, gadis ini merasa senang bersama-sama pemuda yang baru dikenalnya.
Bahkan sudah lama gurunya menghendaki dia berjodoh dengannya.
Samar samar Menur masih merasakan dekapan -Andika semalam. Juga dirasakannya bibirnya sedikit menebal, ketika dikecup Andika. Ada keanehan yang tak pernah dirasakannya selama ini.
Tiba tiba gadis itu menengadah, menatap mentari yang sudah sepenggalah. Dia -tahu, dengan kata lain Pendekar Slebor menolak perjodohan yang ditentukan gurunya. Tetapi bila mengatakan kalau Pendekar Slebor menolak, bisa bisa gurunya -marah. Meskipun hatinya tiba tiba terasa nelangsa, Menur meyakinkan diri kalau memang -harus mengatakan seperti yang diminta Andika. Padahal dalam hati kecilnya dia mulai mencintai pemuda itu.
Mendadak saja, gadis ini mengempos tubuhnya meninggalkan tempat itu. Dia tahu, di mana Andika sekarang berada. Di Bukit Sigura gura. Tetapi, itu pun harus -menunggu sampai purnama mendatang.
* * * Kaliki Lorot terus mengempos tubuh gempalnya yang sama sekali tak mengganggu gerakannya saat berkelebat secepat angin. Dia harus mencari Malaikat Peti Mati, sekaligus harus membunuhnya. Karena menurut keyakinannya, bila memang masih ingin melihat Pendekar Slebor berjodoh dengan muridnya, Malaikat Peti Mati harus dibunuh, sebelum dia membunuh Andika.
Meskipun yakin akan kehebatan Pendekar Slebor, namun Kaliki Lorot ingin perjodohan antara muridnya dengan pendekar itu dilangsungkan segera mungkin.
Namun orang tua itu pun yakin, pemuda seperti Pendekar Slebor yang selalu menegakkan kebenaran, pasti tak akan mau menerima perjodohan bila tugasnya belum selesai. Tantangan Malaikat Peti Mati sudah bisa dipastikan akan diterima Andika.
Terbukti, Pendekar Slebor mengatakan akan menunggunya di Bukit Sigura gura.-Dari kejauhan, nampak Bukit Sigura gura yang tandus di matanya yang berwarna -kelabu. Bukit itu dulu dikenal sebagai tempat tinggal Ki Langlang Jagat atau yang dijuluki Majikan Sigura gura. Kesaktian tokoh itu sangat luar biasa. Konon, -tak seorang pun yang mampu menandinginya. Hanya saja, sejak lima puluh tahun yang lalu, namanya sudah tidak terdengar lagi.
Selentingan kabar terdengar, kalau Ki Langlang Jagat sudah meninggal karena sakit dimakan umur.
Selentingan kabar lain terdengar, kalau Ki Langlang Jagat nemang sengaja meninggalkan tempat tinggalnya.
Namun sampai saat ini, tak seorang pun yang tahu pasti kebenaran itu.
Kaliki Lorot memicingkan matanya. Tak tampak di matanya seorang pun di Bukit Sigura gura. Apakah Malaikat Peti Mati bersembunyi di satu tempat.
-Ataukah memang dia akan menunggu sampai purnama mendatang" Namun belum lagi Kaliki Lorot berhasil memutuskan di mana Malaikat Peti Mati, tiba tiba terlihat satu sosok tubuh berkelebat menuju Bukit Sigura gura. Dan - -meskipun dalam kelebatan, dia yakin kalau sosok itu berambut emas! Dengan sigap Kaliki Lorot mengejarnya. Dalam tiga kelebat saja, dia berhasil meyakinkan diri, kalau yang dilihatnya adalah Malaikat Peti Mati.
Wuuuttt...! Mendadak saja Kaliki Lorot mengibaskan tangan nya ke depan. Maka, serangkum angin besar langsung menderu ke arah Malaikat Peti Mati.
"Hup...!" Sebagai tokoh persilatan berkepandaian tinggi, Malaikat Peti Mati cepat menyadari adanya serangan berbahaya. Secepat kilat, dia melenting seraya mendengus. Ketika hinggap di bumi, tampak Kaliki Lorot telah berdiri dengan siaga. Pemuda ini cukup heran juga melihat Kaliki Lorot masih hidup. Karena menurut dugaannya tokoh tua itu telah menjadi mayat terhantam serangan nya.
"Pemuda busuk! Kau tak perlu bersusah payah menunggu Pendekar Slebor satu purnama mendatang! Karena aku, Kaliki Lorot, akan menghentikan sepak terjangmu!" bentak Kaliki Lorot. Malaikat Peti Mati tertawa menggelegar untuk menghilangkan keterkejutannya.
Suaranya terdengar sampai ke Bukit Sigura gura.-Siapakah yang menyelamatkan orang tua itu"
"Kaliki Lorot! Orang tua macam kau, sangat mudah dibunuh! Tetapi sekarang, Pendekar Slebor sudah ada di depan mataku! Justru dialah yang akan tewas di tanganku!"
"Sesumbarmu setinggi langit! Kau tak akan mampu mengalahkannya, Pemuda Busuk!" Sepasang mata Malaikat Peti Mati menyipit, mengeluarkan sinar berbahaya.
"Sekali lagi kau bicara seperti itu, kurobek robek mulutmu!" desis Malaikat Peti -Mati, mengancam dengan suara angker.
Kaliki Lorot hanya tertawa tawa saja. "Kalau beberapa hari lalu kau mampu -mengalahkan aku, karena aku belum menggunakan ilmu yang lain!" dengus orang tua itu.
Lalu tiba tiba Kaliki Lorot terbahak bahak.
- -"Mana peti mati ukiran naga milikmu yang sedianya untuk mayat Pendekar Slebor, hah"!" ejek orang tua ini ketika baru sadar kalau peti mati ukiran naga yang selalu bersama Malaikat Peti Mati tidak ada di sisi pemuda itu. "Apakah kau takut membawanya, karena khawatir akan termakan oleh ucapanmu sendiri" Jangan jangan, pada akhirnya justru kau yang akan bersemayam selama lamanya di - -dalam peti mati itu?" Malaikat Peti Mati memerah wajahnya. Sementara Kaliki Lorot semakin terbahak-bahak.
"Kau tak akan mampu mengalahkan Pendekar Slebor, Manusia Busuk! Pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu adalah calon suami muridku!"
"Persetan dengan ucapanmu! Dan jangan kau pikir pemuda itu akan menerima perjodohanmu" Mana sudi dia punya mertua manusia gempal seperti itu?" Kali ini wajah Kaliki Lorot yang memerah. Dan mendadak saja, tubuhnya dikempos.
Dan kini di tangannya terangkum tenaga dalam kuat. Tubuhnya meluruk tajam melepas serangan.
"Keparat! Kau yang akan kurobek robek mulut mu!" -Saking cepatnya luncuran yang dilakukan Kali Lorot, tiba tiba saja tubuhnya -bagaikan sebutir bola yang mengarah pada Malaikat Peti Mati.
"Kalaupun waktu itu kau ternyata belum mampus, kali ini akan mampus, Kaliki Lorot!" dengus Malaikat Peti Mati.
Tubuh pemuda itu pun meluruk pula. Bahkan lebih dahsyat dari serbuan Kaliki Lorot. Tapi mendadak saja orang tua ini membuang diri karena tak mau berbenturan dengan pemuda rambut emas itu. Sudah disaksikan kehebatan Malaikat Peti Mati.
Makanya lebih baik mencoba mencari kesempatan dan sela untuk menghantamkan pukulan mautnya.
Malaikat Peti Mati tertawa mengejek.
"Kau tak pantas menghuni dunia persilatan ini, si Tubuh Gempal! Kau pantasnya mendiami kandang sapi.
" Kaliki Lorot semakin panas saja mendengarnya.
Seketika kecepatan dan tenaga dalamnya ditambah.
Baginya, sepak terjang Malaikat Peti Mati memang harus bisa dimusnahkan dan dihentikan. Paling tidak, membuatnya lumpuh untuk selama lamanya. Namun hal itu -tak semudah yang diperkirakannya. Karena kepandaian pemuda rambut emas itu benar benar sangat tinggi! -Tiba tiba saja tubuh Kaliki Lorot yang bergulingan -bagaikan bola melenting ke atas. Dan ketika hinggap di bumi, terlihatlah kedua tangannya memancarkan sinar warna hitam.
"Selama ini, aku tak pernah mempergunakan ajian 'Kala Hitam' yang sangat dahsyat ini! Tetapi menghadapi manusia busuk sepertimu, sudah sangat pantas kugunakan!"
"Keluarkan seluruh ajian milikmu itu, Gempal! Kau akan merasakan akibatnya dari kelancanganmu ini!" seru Malaikat Peti Mati.
Kaliki Lorot tak mau membuang tempo lagi.
Tubuhnya seketika melesat dengan tangan telah terangkum ajian 'Kala Hitam' yang sangat dibanggakannya.
"Kau lihat serangan! Yeaaa!" Malaikat Peti Mati rupanya tahu kalau ajian 'Kala Hitam' yang dipergunakan Kaliki Lorot sangat dahsyat.
Terbukti, dia tidak mau memapaki serangannya. Bahkan langsung membuang dirinya.
Kaliki Lorot terbahak bahak.-"Mau ke mana kau, Manusia Busuk?" ejek orang tua itu.
Serangan angin ajian 'Kala Hitam' Kaliki Lorot menghantam sebuah pohon yang langsung hangus seketika. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau ajian itu langsung mengenai tubuhnya" Malaikat Peti Mati lagi lagi melompat untuk menghindari -serangan. Wajahnya yang selalu memancarkan kegarangan dan keangkeran, mendadak menjadi pias. Kaliki Lorot menyadarinya. Sehingga dia terbahak bahak dan terus memburu Malaikat Peti Mati.
-"Mau ke mana kau, hah"! Mau ngacir" Silakan saja tidak usah bilang bilang! -Tetapi kau harus mampus!" ejek Kaliki Lorot terus mencecar.
Malaikat Peti Mati bagaikan kehilangan kegarangannya. Lagi lagi serangan itu tak berani dipapakinya. Meskipun dia masih - sempat melontarkan serangan jarak jauh, tetapi bagi Kaliki Lorot yang merasa sudah berada di atas angin, bukanlah suatu penghalang.
Bahkan terus memburu! "Menghadapiku saja, kau tak mampu. Apalagi menghadapi Pendekar Slebor"!" Tak ada sahutan apa apa dari Malaikat Peti Mati. Dia terus berusaha menghindari -serangan Kaliki Lorot.
Hingga suatu ketika....
"Hup! Heaaa...!" Mendadak saja Malaikat Peti Mati melenting ke belakang. Begitu mendarat, dia langsung berkelebat dan meninggalkan tempat itu setelah melepaskan pukulan jarak jauhnya. Terpaksa Kaliki Lorot menghindari serangan dengan melenting ke samping. Dan begitu siap memburu kembali, Malaikat Peti Mati sudah tak ada di tempatnya.
"Keparat! Manusia busuk! Jangan lari kau!"
"Kaliki Lorot! Bila aku ingin membunuhmu, sangat mudah! Tetapi yang kuinginkan hanyalah Pendekar SIebor! Kau akan melihat nanti, kalau mayat pemuda sialan itu akan terbujur di peti mati ukiran naga milikku!" Terdengar suara Malaikat Peti Mati di kejauhan.
"Pengecut! Besar mulut! Di mana pun kau berada, aku akan mencarimu!" Seketika lelaki bertubuh gempal itu meloncat, menyusul Malaikat Peti Mati. Kini dia yakin, ajian 'Kala Hitam'nya sangat ditakuti pemuda rambut emas itu.
***
-=0 { 7 } 0=-
Bahkan kini daftar korban telah bertambah dengan tewasnya beberapa tokoh persilatan seperti Bayangan Setan dari golongan hitam dan Ruyung Sakti yang dikenal sebagai tokoh dari aliran lurus. Maka tak heran kalau kemudian para rokoh rimba persilatan dari dua golongan berbeda mencari Malaikat Peti Mati.
Tetapi, tujuan kedua golongan itu berlainan. Kalau dari golongan lurus mencari untuk menghentikan sepak terjang Malaikat Peti Mati, sedangkan dari golong sesat ingin mengabdi. Bahkan juga ada yang mencoba mengajaknya bergabung. Di antaranya adalah Partai Tumbal Iblis yang dipimpin Dewi Kemuning atau yang dijuluki si Tumbal Iblis. Dewi Kemuning berparas cantik luar biasa. Kulitnya kencang. Bentuk tubuhnya padat merangsang, selalu mengenakan pakaian kuning muda yang nyaris tembus pandang, sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang benar benar menggairahkan.-Konon, Dewi Kemuning telah berusia sekitar seratus dua puluh tahun. Tetapi, karena memiliki ajian awet muda bernama 'Walet Merah', sampai selama hidupnya, wajahnya tetap saja seperti ketika masih berusia dua puluh satu tahun.
Partai Tumbal Iblis berdiam di Bukit Iblis, yang terletak setengah hari dari jalan kaki dari selatan Bukit Sigura gura.
-Dewi Kemuning selama ini telah memerintahkan beberapa anak buahnya yang semuanya gadis berparas jelita, untuk mengajak Malaikat Peti Mati bergabung.
Dan bila Malaikat Peti Mati menolak, maka harus dibunuh! Sesungguhnya, Dewi Kemuning telah lama ingin melebarkan Partai Tumbal Iblis ke seluruh pelosok Mataram. Dia memang membutuhkan para tokoh yang sakti untuk membantunya melebarkan sayap partai yang dipimpinnya.
Di samping itu, perempuan ini pun teringat akan desas desus tentang Malaikat -Peti Mati yang hendak membunuh Pendekar Slebor. Kalau pemuda rambut emas itu berani sesumbar akan membunuh Pendekar Slebor, bisa dipastikan kepandaiannya memang sangat tinggi. Hanya saja, dia tidak tahu, siapakah Malaikat Peti Mati" Dari mana datangnya, dan murid siapakah sehingga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi yang terpenting, Dewi Kemuning harus bisa mengajak Malaikat Peti Mati untuk bersatu dengan Partai Tumbal Iblis. Sekaligus, membunuh Pendekar Slebor! Karena menurutnya, bila hendak melebarkan sayap kekuasaannya, maka si penghalang utama tak lain adalah Pendekar Slebor. Berarti bila Dewi Kemuning berhasil meminta Malaikat Peti Mati bergabung dengannya, bisa dipastikan kekuatannya akan bertambah. Sudah tiga hari empat orang muridnya melakukan perjalanan untuk mencari Malaikat Peti Mati. Dan mereka menjumpai pemuda berambut emas itu di tepi sebuah sungai kecil yang terdapat tak jauh dari sebuah hutan.
Serentak mereka mendekati pemuda itu yang tengah merenung. Sesekali dia membuang kerikil ke sungai sambil mendengus.
"Salam untuk Malaikat Peti Mati," sapa gadis yang berbaju hijau.
Malaikat Peti Mati mengangkat wajahnya dan menoleh. Sejenak keningnya berkerut melihat keempat gadis jelita berpakaian warna warni mendekatinya.-Tetapi sejurus kemudian, tawanya yang dingin dan angker terdengar.
"Gadis gadis jelita, siapakah kalian?" tanya Malaikat Peti Mati.
-"Aku Kenanga Hijau...," kata gadis yang pertama menyapa Malaikat Peti Mati.
"Yang berbaju merah, Kenanga Merah, lalu Kenanga Kuning.
" Memang semua nama asli yang dimiliki gadis gadis itu diganti Dewi Kemuning, -pemimpin mereka.
Semuanya memakai nama 'Kenanga'. Sementara nama belakang disesuaikan pakaian yang dikenakan.
Kenanga Hijau menerangkan kedatangan mereka menemui Malaikat Peti Mati.
"Hmm.... Nama besar Dewi Kemuning telah lama kudengar. Tetapi, aku menolak untuk bergabung," tegas Malaikat Peti Mati, dingin.
Kenanga Hijau memperlihatkan wajah berkerut.
Menurut Ketua, kemungkinan besar Malaikat Peti Mati tak akan menolak keinginannya. Tetapi kata kata barusan, sudah membuktikan. Berarti, pemuda ini -harus dibunuh! Kenanga Merah, Kenanga Biru dan Kenanga Putih pun sudah bersiaga.
Sementara, lain yang ada di hati Kenanga Hijau.
Meskipun nampaknya sudah marah, tetapi dia ingin membuat keputusan lain. Akan dicobanya membujuk Malaikat Peti Mati.
Tetapi, lagi lagi pemuda rambut emas itu tetap menoIak sambil acuh tak acuh -melemparkan kerikil lagi ke sungai. Permukaan air seketika berpendar pendar, -membentuk beberapa gelombang bulat yang semakin membesar dan akhirnya menghilang. "Pemuda rambut emas! Sejak tadi kedatangan kami dan memintamu untuk bergabung dengan baik baik, tetapi sikapmu benar benar menjengkelkan!" seru Kenanga Hijau - -dingin. "Katakan pada Dewi Kemuning, jangan menjual lagak di hadapanku!" ujar Malaikat Peti Mati, tetap dingin.
Kenanga Hijau menggeram. "Pemuda tak tahu adat!" Mendadak saja wanita berbaju hijau ini mengibaskan tangannya dengan cepat. Angin berkekuatan dahsyat, seketika menderu ke arah Malaikat Peti Mati yang masih melemparkan kerikil dengan santai.
Blarrr...! Dan mendadak saja terdengar ledakan keras saat angin keras itu menghantam. Bukan menghantam Malaikat Peti Mati, tapi menghantam air sungai itu.
Sehingga permukaan air sungai bergerak bagaikan diamuk ikan paus luka. Kemana Malaikat Peti Mati" Sebab, sosok berambut emas itu kini tak ada di tempat" Keempat gadis ini pun celingukan penuh keheran.
Mereka tak melihat, bagaimana Malaikat Peti Mati meloloskan diri dari serangan yang dilepaskan Kenanga Hijau dengan cepat dan dahsyat.
"Kenapa kalian bengong seperti orang tolol, hah"
" Mendadak terdengar suara di belakang mereka di sertai tawa mengejek.
Serentak keempatnya berbalik ke belakang. Tampak Malaikat Peti Mati sedang terbahak bahak.-"Keparat!" desis Kenanga Hijau. "Mana peti ukiran nagamu itu, hah"!"
"Kenapa" Kau ingin menempatinya?" tukas Malaikat Peti Mati.
"Bangsat! Pemuda hina! Kaulah yang akan menempati peti mati ukiran nagamu itu sendiri! Lihat serangan!" Tubuh Kenanga Hijau sudah meluruk cepat. Satu serangan maut dilakukannya. Tetapi lagi lagi Malaikat Peti Mati menghindari serangan dengan gerakan tak terlihat.
-Kini, sadarlah mereka kalau lawan yang dihadapi memang berkepandaian sangat tinggi. Maka seketika keempatnva mengurung Malaikat Peti Mati. Sedangkan pemuda itu hanya terbahak bahak melihat empat paras jelita berwajah geram.
-"Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini. Katakan pada Dewi Kemunin,. segera urungkan niatnya. Dan jangan berpihak pada golongan sesat!"
"Kau penuh sesumbar, Rambut Emas!" bentak Kenanga Putih dengan kegeraman luar biasa. "Katakan pula padanya, aku tak akan mau bergabung dengan manusia manusia busuk -seperti dia! Yang kuinginkan hanyalah Pendekar Slebor! Tak ada lainnya! Lebih baik, kalian mengabdi kepadaku! Lumayan....
Wajah cantik dan tubuh kalian yang indah, tentu akan membuat tidurku nyenyak!"
"Menjijikkan!" Kali ini Kenanga Putih yang sudah meluruk dengan kemarahan berlipat lipat. Ajian -'Bunga Kematian' pun ditebarkan. Beberapa kuntum bunga berwarna hitam melesat ke arah Malaikat Peti Mati.
Kali ini pemuda berambut emas itu bergulingan dengan cepat. Namun sebelum dia berdiri, Kenanga Merah, Kenanga Kuning, dan Kenanga Hijau telah pula menebarkan 'Bunga Kematian'.
Set! Set! Berpuluh bunga beracun yang mematikan langsung berdesingan ke arah Malaikat Peti Mati. "Tarik kembali kata katamu itu! Dan, ikuti kemauan Ketua kami kalau ingin -selamat!" seru Kenanga Hijau, sengit.
Bukannya ketakutan dengan serangan beruntun itu, Malaikat Peti Mati malah hanya tertawa tawa saja. Tapi mendadak tubuhnya bergerak laksana kilat. Sehingga -keempat murid dari Partai Tumbal Iblis menjadi terhenyak. Mereka sukar sekali menentukan arah serangan.
"Ha ha ha...!" Tahu tahu terdengar suara tawa bernada dingin dari sebatang pohon. Malaikat Peti -Mati ternyata telah duduk di salah satu ranting pohon dengan kaki menjuntai.
Keempatnya memandang penuh amarah.
Dan diam diam mereka menyadari kalau ilmu -meringankan tubuh Malaikat Peti Mati sangat tinggi.
Terbukti dengan santai dia duduk menjuntai di sebuah ranting sangat kecil! Hanya yang mengherankan, menurut Ketua mereka, Malaikat Peti Mati selalu membawa sebuah peti mati yang diberi nama Peti Mati Ukiran Naga. Tetapi sejak tadi, peti itu tak pernah terlihat.
Kenanga Hijau langsung mengibaskan tangannya ke arah Malaikat Peti Mati.
Bummm! Suara ledakan terdengar. Bukan hanya ranting yang diduduki Malaikat Peti Mati saja patah. Bahkan batang pohon itu langsung tumbang. Tetapi, sosok pemuda rambut emas itu tak nampak lagi.
"Kalian memang benar benar bodoh!" -Kembali terdengar suara dari salah sebuah pohon.
Keempat gadis itu pun serentak berbalik dengan hati panas karena merasa dipermainkan. Dan sejenak mereka terkesiap melihat Malaikat Peti Mati kali ini sudah menjuntai dengan kepala ke bawah dan kaki terkait pada salah satu ranting pohon. "Aku sudah bosan dengan kalian! Kalian tinggal pilih.
Tinggalkan tempat itu dan mengatakan pada Dewi Kemuning agar menghentikan niat busuknya, atau mampus berkalang tanah!" Tetapi bagi murid murid Partai Tumbal Iblis yang telah dipersiapkan untuk -mengabdi setulus tulusnya, tak gentar mendengar ancaman maut itu.
-Kali ini secara serentak, keempatnya mengibaskan tangan melepas 'Bunga Kematian'. Berpuluh puluh bunga warna hitam kontan menderu ke arah Malaikat Peti -Mati. "Kalian memang benar benar bodoh!" maki Malaikat Peti Mati.
- Tap! Tap! Tap! Tubuh pemuda itu langsung meluruk ke arah keempat gadis ini. Sementara pohon yang tadi ditempatinya perlahan lahan -mengering, lalu hangus dan terencah menjadi debu akibat 'Bunga Kematian' yang menancap ke batangnya! Malaikat Peti Mati bergerak laksana topan. Dan ini membuat keempat murid Partai Tumbal Iblis menjadi pucat. Serangan pemuda itu memang tak terlihat, namun mengandung kekuatan sangat dahsyat. Maka sebisanya mereka melontarkan pukulan 'Bunga Kematian'. Set! Set! Dan ketika Malaikat Peti Mati hanya mengibaskan tangannya....
Crep! Crep! "Aaa...!" Tiba tiba saja terdengar pekikan Kenanga Merah yang terjajar ke belakang. Begitu -ambruk di tanah dia langsung tewas. Tubuhnya menghangus, menimbulkan bau sangit seperti daging terbakar.
Belum sempat gadis gadis -itu hilang keterkejutannya, mendadak satu sosok tubuh melenting ke belakang.
"Sekali lagi kuperingatkan! Jangan menggangguku! Malaikat Peti Mati tak akan pernah tunduk pada peraturan dan pada siapa pun! Lebih baik kalian kembali. Dan sekali lagi, katakan pada Dewi Kemuning, keinginannya untuk mengembangkan partainya tak akan pernah berhasil!" Rupanya kata kata Malaikat Peti Mati yang -sebenarnya bernada mengampuni dan kelihatan segan untuk berurusan, tak dihiraukan dara dara jelita itu.
-Mereka justru semakin marah dan muak melihat Kenanga Merah telah menjadi mayat.
Kembali tubuh mereka menderu deru menginginkan - kematian Malaikat Peti Mati.
"Manusia manusia bodoh!" maki pemuda itu.-Tepat ketika ketiga gadis itu meluruk, Malaikat Peti Mati pun bergerak sangat cepat. Saat itu juga tubuh-tubuh yang bertarung bagai bayang bayang yang saling -menggebrak. Masing masing -menginginkan menjatuhkan lawan. Dan sebentar saja, sudah lima jurus terlewati.
Kali ini ketiga gadis itu memang benar benar sudah nekat dan tak mengenal takut.
-Mereka menginginkan nyawa Malaikat Peti Mati. Bukan lagi karena perintah dari Dewi Kemuning, melainkan untuk membalas kematian Kenanga Merah! Tetapi yang dihadapi adalah tokoh baru berkepandaian sangat tinggi. Maka tiga jurus berikutnya, sudah terlihat tiga sosok warna warni itu mundur karena terdesak hebat.
-"Jangan takut! Nyawa kita korbankan pada Dewi Kemuning! Kita harus membunuh manusia keparat yang dungu ini!" teriak Kenanga Hijau memberi scemangat.
Tubuh Kenanga Hijau pun berkelebat kembali dengan hebat. Tetapi rupanya, maut memang sedang menantinya. Dengan gerakan tak terlihat, tubuh Malaikat Peti Mati menderu. Dan....
Desss...! "Aaa...!" Terdengarlah pekik kematian dari Kenanga Hijau.
Tubuhnya terpelanting berkali kali ke belakang. Dan nyawanya pun seketika lepas -dari jasadnya.
Kenanga Kuning dan Kenanga Putih serentak menghentikan serangan. Pandangan mereka geram dan penuh dendam pada Malaikat Peti Mati. "Jangan pikir kau sudah menang, Pemuda Busuk!" sentak Kenanga Kuning.
"Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini! Jangan mengganggu seleraku untuk membunuh Pendekar Slebor!" Kenanga Kuning mengangkat mayat Kenanga Hijau dengan hati luka. Begitu pula yang dilakukan Kenanga Putih pada mayat Kenanga Merah.
"Tunggu pembalasan kami!" seru Kenanga Kuning bergetar.
Malaikat Peti Mati mengeluarkan suara tawa yang dingin dan sangat keras.
Menggema di sekitar sungai itu dan menembus ke hutan yang lebat dan pekat.
"Katakan pada Dewi Kemuning! Dia hanyalah orang bodoh yang tak tahu betapa tingginya langit!" Kenanga Kuning dan Kenanga Putih tak menghiraukan kata kata ejekan itu. Keduanya pun berkelebat membawa dendam yang -berkarat di hati.
Malaikat Peti Mati tergelak gelak.
-"Sombongnya! Suatu ketika, akan kuratakan Partai Tumbal Iblis dengan tanah!" desis pemuda itu.
Lalu Malaikat Peti Mati duduk kembali di tepi sungai.
Kembali dilemparkannya kerikil, seolah kejadian barusan itu bukanlah suatu hal yang menyusahkan.
Namun baru saja melemparkan beberapa kerikil, tiba tiba....
-Wesss...! Tahu tahu menderu serangkum angin kencang arah Malaikat Peti Mati. Namun dengan -sigap, pemuda rambut emas itu melompat.
"Manusia busuk mana yang mau mencari mampus"!"
***
-=0 { 8 } 0=-
Yang seorang berpakaian putih bersih, dengan sorban dan jenggot putih pula.
Wajahnya begitu arif. Usianya kira kira lima puluh tahun. Yang seorang lagi, -berpakaian jingga menyala dengan kumis baplang dan ikat kepala berwarna jingga pula. Di pinggangnya terdapat sebilah golok besar.
Malaikat Peti Mati sejenak terdiam, seolah ada yang dipikirkannya. Tiba tiba dia -terbahak bahak.
-"Rupanya yang datang Imam Arif Penguasa Gunung Bontang dan si Golok Maut yang telah lama malang melintang di dunia persilatan! Hhh! Mengapa kalian berdua muncul kembali, hah"! Bukankah kudengar kalian sudah mengundurkan diri dari rimba persilatan" Ki Pangsawada! Aku pernah mendengar kemunculanmu ketika membantu Pendekar Slebor saat menghadapi Raja Akherat! Kebetulan sekali, sebenarnya aku hendak mendatangi Gunung Bontang untuk membunuhmu.
Karena, kau salah seorang sahabat Pendekar Slebor! Hhh! Kemunculan kalian berdua hanya ingin mencari mati!" Ki Pangsawada yang dikenal berjuluk Imam Arif Penguasa Gunung Bontang mendesah dalam hati. Dia menjadi malu sendiri, karena kata kata yang dilontarkan Malaikat -Peti Mati terasa mengejeknya. Karena, bukan dia yang membantu Pendekar Slebor saat menghadapi Raja Akherat, melainkan justru Pendekar Slebor yang menyelamatkannya dari maut (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Neraka Di Keraton Barat").
Sedangkan si Golok Maut memerah wajahnya mendengar kata kata terakhir dari Malaikat Peti Mati.
-Kakinya lantas melangkah setindak.
"Manusia busuk! Kau harus membayar nyawa saudaraku, si Ruyung Sakti yang telah kau bunuh!" bentak si Golok Maut, garang.
Malaikat Peti Mati terbahak bahak.
-"Apakah telingaku tidak salah mendengar" Bukankah justru kau yang hendak membuang nyawa percuma?" Wajah si Golok Maut langsung berubah kelam. Dia teringat, bagaimana ketika saat menyambangi si Ruyung Sakti. Tenyata sahabatnya itu telah dalam keadaan sekarat.
Dan sepatah patah dikatakannya kalau Malaikat Peti Mati lah yang menurunkan maut -kepadanya. Dan yang membuat si Golok Maut murka, karena kedatangannya hanya terlambat beberapa saat saja, sejak Malaikat Peti Mati meninggalkan tempat kediaman si Ruyung Sakti di Gua Merah.
Lelaki berkumis baplang ini memutuskan untuk segera mencari manusia keparat itu.
Dan di perjalanan, bertemu Imam Arif Penguasa Gunung Bontang yang juga tengah mencari Malaikat Peti Mati. Memang Pangsawada mendengar selentingan kabar kalau sahabatnya yang berjuluk si Naga Gunung telah dibuat sekarat oleh manusia sesat itu. Kendati demikian, dia pun belum bertemu si Naga Gunung.
"Pemuda rambut emas! Sebenarnya apa yang kau hendaki dengan membuat onar seperti ini?" tanya Ki Pangsawada, sambil menekan amarahnya.
Malaikat Peti Mati kembali terbahak bahak.-"Yang kuhendaki hanya satu. Melihat Pendekar Slebor mampus!"
"Apa pula yang kau hendaki bila berhasil mengalahkan pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu?"
"Setelah membunuhnya, yakinlah aku..., bahwa akulah yang patut menduduki puncak papan atas di rimba persilatan ini! Dengan demikian semua orang akan menyanjungku...!"
"Kau tak tahu, betapa dalamnya lautan dan betapa panasnya lahar gunung?" tukas Ki Pangsawada alias Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Apa maksudmu, Orang Tua?" dengus Malaikat Peti Mati.
"Maksudkan, kaulah yang akan terkapar di sini!"
"Keparat busuk!"
"Hhh! Mana Peti Mati Ukiran Naga mu yang disediakan untuk mayat Pendekar Slebor" Apakah kau menyembunyikan, karena takut justru mayatmu sendiri yang akan menempati peti mati itu, hah?" Memerah wajah Malaikat Peti Mati.
"Aku ingin lihat sampai di mana kehebatanmu, Orang Tua!" Sesudah berkata begitu, tubuh Malaikat Peti Mati berkelebat sangat cepat.
Sehingga hanya terlihat rambut emasnya saja yang berkilat kilat terjilat sinar -matahari yang sudah membubung semakin tinggi.
"Kau akan menyesali kesombonganmu itu!" seru Imam Arif Penguasa Gunung Bontang sambil melesat pula, disusul si Golok Maut yang telah meloloskan golok besar dari pinggangnya.
Seketika tiga sosok tubuh terlihat bagaikan bayang bayang yang saling gebrak.
Serangan serangan dari si Golok Maut memang benar benar sangat berbahaya.
- -Goloknya berkelebat bagaikan memiliki mata. Meski pun tubuh Malaikat Peti Mati berkelebat laksana kilat tetap saja goloknya mampu mengibaskan dengan satu serangan terarah.
Begitu pula Ki Pangsawada, lelaki ini berkelebat pula dengan serangan maut penuh tenaga dalam tinggi.
Malaikat Peti Mati mendengus, menyadari kalau kedua lawan yang dihadapi benar-benar tangguh.
"Kalian akan mampus saat ini juga, Orang Tua Busuk!" bentak Malaikat Peti Mati.
Tiba tiba saja tubuh pemuda itu bergulingan dengan kecepatan dahsyat. Lalu -ketika kedua tangannya mengibas, angin laksana topan prahara menderu deru ke -arah kedua lawannya.
Seketika Ki Pangsawada dan si Golok Maut mengalirkan tenaga dalam ke kedua kaki, lalu melesat masuk ke pusaran angin yang kuat. Adu tenaga dalam pun terlihat sekarang. Namum meskipun tenaga dalam Imam Arif Penguasa Gunun Bontang dipadukan tenaga dalam si Golok Maut, tetap saja tidak bisa masuk menembus pusaran angin yang dilontarkan Malaikat Peti Mati.
"Kini kalianlah yang harus membuka mata, siapakah lawan yang dihadapi! Lebih baik kalian menyingkir dari sini. Karena saat ini, aku tidak membutuhkan nyawa kalian! Yang kubutuhkan hanyalah nyawa Pendekar Slebor yang akan kubunuh di Bukit Sigura gura purnama itu!" -Tetapi kedua tokoh dari golongan lurus itu tak mau menerima begitu saja.
Terutama si Golok Maut yang memang sudah sangat muak melihat sepak terjang Malaikat Peti Mati. Apalagi bila terbayang bagaimana sahabatnya si Ruyung Sakti menemui ajalnya di tangan manusia sesat itu.
"Heaaa...!" Tiba tiba terdengar bentakan si Golok Maut yang sangat kuat. Tangannya yang -memegang golok seketika diayun ayunkan dengan gerakan memutar.
-Wuusss...! Mendadak saja tercipta sebuah angin keras luar biasa, bergulung gulung dan -memasuki pusaran angin yang dilepaskan Malaikat Peti Mati.
Kali ini ganti Malaikat Peti Mati yang terkejut menerima serangan balik itu.
Belum lagi, Imam Arif Penguasa Gunung Bontang segera mempergunakan kesempatan dengan meluruk masuk ke arah pertahanan Malaikat Peti Mati.
"Heiiittt!" Malaikat Peti Mati cepat bersalto sambil membentak membcri semangat pada diri sendiri. Sementara si Golok Maut pun masuk dengan gerakan golok yang tetap menimbulkan angin gelombang berkekuatan dahsyat.
Sambil bersalto, kedua kaki Malaikat Peti Mati masuk ke dalam pusaran angin si Golok Maut. Keseimbangannya mendadak saja menghilang. Tubuhnya hampir saja terpelanting bila tak segera menguasai keseimbangannya kembali. Tapi akibatnya, serangan si Golok Maut pun sudah cepat meluruk ke arahnya.
Desss...!"
"Aaakh...!" Satu gedoran keras berhasil menghantam perut Malaikat Peti Mati hingga tersungkur. Saat itu juga si Golok Maut pun meluruk siap menyudahi hidup Malaikat Peti Mati. Namun, itu adalah kesalahan.
Karena mendadak saja pemuda itu menyerang dengan gerakan yang sama sekali tidak terlihat. Hingga....
Bukkk...! Tubuh si Golok Maut kontan terpental ke belakang.
Dan kesempatan itu dipergunakan Malaikat Peti Mati untuk berkelebat, melarikan diri dengan gerak sukar diukur.
"Aku tak ingin membuang tenaga menghadapi kalian! Karena, Pendekar Slebor lah yang harus mampus! seru pemuda itu di kejauhan.
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang urung mengejarnya, karena merasa lebih baik melihat sekaligus menyembuhkan si Golok Maut yang terkena hantaman dahsyat dari Malaikat Peti Mati. Diam diam disadari -betapa tingginya ilmu yang dimiliki pemuda berambut emas itu.
Bahkan orang tua ini yakin, kalau saja Malaikat Peti Mati mau mempergunakan ilmunya lagi, niscaya putaran golok yang dilakukan si Golok Maut tak ada hasilnya. Entah kenapa, manusia itu melepaskan mereka. Mungkin seperti yang dikatakannya, karena telah menemukan jejak Pendekar Slebor! "Ki Pangsawada!" Tiba tiba saja terdengar suara memanggil, yang disusul munculnya satu sosok -tubuh berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahu.
Ki Pangsawada tersenyum melihat siapa yang datang. "Kita berjumpa lagi, Pendekar Slebor...." Andika cengengesan.
"Kenapa temanmu itu, Ki?" tanya Pendekar Slebor.
"Kami baru saja bertarung dengan Malaikat Peti Mati, Andika...," tutur orang tua arif ini, langsung menceritakan apa yang baru saja terjadi. Andika mendengus geram, ketika Ki Pangsawada selesai dengan ceritanya.
"Monyet sinting, manusia itu! Kupikir sepak terjangnya akan dihentikan karena sudah kujanjikan akan bertarung sampai mampus di Bukit Sigura gura! Ki, bolehkah-aku mengobati sahabatmu itu?" dengus Pendekar Slebor.
"Silakan...." Ki Pangsawada menyingkir. Diperhatikannya Andika yang berusaha menyembuhkan luka si Golok Maut.
*** "Telah lama kudengar nama besarmu, Pendekar Slebor. Aku beruntung masih sempat bertemu denganmu. Terima kasih," ucap si Golok Maut, ketika kesehatannya telah pulih.
Andika tersenyum.
"Ya, beruntung kau bertemu denganku. Coba kalau bertemu dengan macan lapar.... Apa tak jadi runyam?"
"Andika...," desis Ki Pangsawada. "Tahukah kau siapa manusia rambut emas itu sebenarnya?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Yang sebenarnya, aku tak tahu. Tapi menurut dugaanku, dia manusia yang jarang mandi, hingga rambutnya jadi kuning begitu. Sukanya membuat onar, membunuhi siapa saja yang bersahabat atau mengenalku, Ki,!" sahut Pendekar Slebor seenaknya.
"Andika. Menurut kabar..., Malaikat Peti Mati selalu membawa sebuah peti mati ukiran naga yang dikhususkan untuk mayatmu. Tetapi, mengapa aku tadi tidak melihatnya?" tanya Ki Pangsawada kemudian.
"Aku tidak tahu. Mungkin dia takut petinya kutukar dengan peti sampah. Karena bisa jadi dirinya sendiri yang bersemayam di peti sampah....
" Ki Pangsawada tersenyum melihat sikap Pendekar Slebor yang tetap urakan.
Sikapnya benar benar tenang tidak mencerminkan ketakutan. Padahal, maut sedang -menanti.
Si Golok Maut pun diam diam mengagumi ketabahan -Pendekar Slebor yang namanya telah lama dikenal. Dan baru kali ini dia menyaksikan sendiri, siapa Pendekar Slebor sesungguhnya. Ternyata sosok pendekar itu masih muda sekali. Tiba tiba....
-"Busyet! Mana muridku yang jelita itu, Bor! Gila! Kenapa kau tinggal, hah"!" Terdengar makian keras. Andika menoleh, dan langsung mendengus melihat kedatangan sosok yang tak lain Kaliki Lorot. Bisa runyam urusan ini. Tetapi bukan Andika kalau tidak bisa membalas.
"Aku tidak meninggalkannya. Hanya kami sedang menyesuaikan diri," kilah Pendekar Slebor. "Mana bisa begitu" Menyesuaikan diri, kok harus berpisah seperti ini" Kalian harus bersama sama! Selalu dan selalu bersama sama! Kalau terjadi apa apa - - -terhadap Menur, kau akan kubunuh!" dengus Kaliki Lorot. "Eh, kau Pangsawada! Busyet.... Kenapa kau nongol lagi, hah"! Dan, kalau melihat bentuk golok yang berukir di ujungnya, pasti dia si Golok Maut!" Kaliki Lorot seperti baru menyadari kalau di sana ada Ki Pangsawada dan si Golok Maut. Namun si Golok Maut hanya mengangguk. Dia juga telah mendengar tentang tokoh hebat bertubuh gempal ini.
Ki Pangsawada tersenyum. Dia tahu bagaimana sifat sahabatnya yang satu ini.
"Kaliki Lorot.... Kenapa kau sendiri muncul dari kediamanmu itu?"
"Ini gara gara muridku yang mengajarkan aku naik kuda! Padahal sudah kubilang -berkali kali, kalau aku tak bisa naik kuda! Eh tidak tahunya aku ketemu manusia -bangsat berambut emas itu! Sialan! Juga sialan untuk pemuda baju hijau pupus ini. Enak enaknya calon istrinya ditinggalkan begitu saja" Nah, Pangsawada! -Apakah menurutmu aku harus menurunkan tangan padanya?" Bukannya menjawab, Ki Pangsawada malah mengkerutkan keningnya.
"Siapa calon istri Pendekar Slebor?"
"Siapa lagi kalau bukan muridku yang jelita itu. Hhh! Kalau dia menolak, kupecah kepalanya!"
"Waadddooouuuwww!" seru Pendekar Slebor sambil memegangi kepalanya seolah olah -sudah dihantam Kaliki Lorot.
"Bagaimana aku bisa menerimamu sebagai mertua kalau kau sudah mengancam begitu?"
"Peduli setan! Pokoknya kau harus menjadi suami muridku! Hei, Pangsawada! Kau belum menjawab pertanyaanku tadi?" Ki Pangsawada tersenyum arif, meskipun sangat paham dengan sifat sahabatnya.
"Aku tak bisa memberikan tanggapan. Karena, satu perjodohan tidak bisa dipaksakan. Bila kedua belah pihak menyetujui, maka perjodohan bisa dilakukan.
" Kaliki Lorot mengibaskan tangannya.
"Sudah, sudah! Hei, Pemuda Lembah Kutukan!" serunya pada Andika. "Sehabis menghadapi manusia busuk itu, kau harus menikah dengan muridku!"
"Wah, wah.... Kasihan muridmu itu, Ki. Dia cantik.
Tubuhnya menggairahkan...."
"Nah, nah," potong Kaliki Lorot. "Bukankah itu yang kausukai?"
"Betul. Tetapi, apakah kau tidak kasihan bila muridmu menikah denganku nanti harus mengikuti aku yang terus menerus bertualang?" tukas Andika.
"Masa bodoh! Pokoknya kau harus menikahi dia!" Pendekar Slebor menggaruk garuk -kepalanya. Kepalanya benar benar pusing menghadapi perjodohan yang dihadapinya sekarang -ini, Enak saja Kaliki Lorot main menjodoh jodohkan begitu saja. Tetapi kalau -menolak sekarang, bisa dipastikan Kaliki Lorot akan semakin nyap nyap.
-"Kaliki Lorot, bagaimana...."
"Busyet! Kukemplang kepalamu berani beraninya memanggil namaku begitu saja tanpa -embel embel penghormatan!" bentak Kaliki Lorot melotot.
-Sementara Ki Pangsawada hanya tersenyum saja.
Sedangkan si Golok Maut tertawa dalam hati.
Andika terbahak bahak.
-"Iya, iya! Heran.... Kok ada orang tua sableng begini ya" Hei, sudah, sudah! Pokoknya, sekarang ini ditunda saja dulu masalah perjodohan itu."
"Tidak bisa!"
"Lho" Bukankah kau tahu sendiri, Ki. Aku akan bertarung dengan manusia sesat itu purnama mendatang di Bukit Sigura gura?" tukas Andika.-"Kau tidak usah datang. Biar aku yang bikin mampus manusia busuk itu! Rupanya, dia takut dengan ajian 'Kala Hitam' milikku! Kali ini.., hei" Kenapa kau tertawa?" Andika menekap mulutnya.
"Tidak, tidak.... Teruskan saja...," ujar Andika, geli.
Meskipun tak mengerti mengapa tiba tiba Pendekar Slebor terbahak bahak seperti - -itu, Kaliki Lorot meneruskan kata katanya.
-"Manusia busuk itu harus mampus di tanganku! Kau tak usah bertarung dengannya! Jaga muridku yang manis itu! Nikahi dia! Ayo, kau cari sana muridku itu! Dia pasti sangat merindukanmu sekarang ini.... Kau juga merindukannya, bukan?" Andika mendengus. Tetapi karena tatapan melotot dari Kaliki Lorot itu, kepalanya pun mengangguk.
"Iya, iya! Nanti aku akan mencarinya!"
"Sekarang!"
"Kaliki Lorot," timpal Imam Arif Penguasa Gunu Bontang. "Kita ketahui, kalau saat ini ada manusia sesat yang sedang unjuk gigi. Dan satu satunya yang -dikehendaki manusia keparat itu hanyalah Pendekar Slebor. Kita tidak boleh berbuat curang, selaku orang golongan lurus. Meskipun hati kita geram, tetapi Pendekar Slebor telah menerima tantangan dari Malaikat Peti Mati di Bukit Sigura gura. Jadi, kita pendam seluruh amarah pada manusia sesat itu. Dan..., -kau pendamlah dulu apa yang diinginkan terhadap Pendekar Slebor. Kau paham maksudku?" Kaliki Lorot terdiam beberapa saat, lalu menganguk-angguk. Bisa dimengerti kata -kata sahabatnya.
"Baiklah kalau begitu. Kita sudahi dulu pembicaraan tentang perjodohan. Tetapi, di mana muridku sekarang berada, hah"!"
"Dia kutinggalkan di hutan sebelah tenggara sana!"' Kaliki Lorot melotot.
"Gila kau, Bor! Kalau muridku kenapa kenapa, kau harus bertanggung jawab!" -Andika nyengir.
"Belum juga aku apa apakan. Bagaimana aku mempertanggungjawabkannya?" -"Busyet! Otakmu ngaco juga!" bentak Kaliki Lorot.
Dalam hati orang tua itu yakin kalau muridnya mampu menjaga diri. Asalkan saja tidak bertemu Malaikat Peti Mati.
"Hei, Bor! Dua pekan lagi, purnama yang kau janjikan pada Malaikat Peti Mati akan tiba! Kau harus berhasil mengalahkan manusia monyet itu! Kalau kau mampus, muridku tidak akan menikah! Bahkan, bisa bisa ia menjadi perawan tua!"-Andika tertawa. Dia teringat ketika Kaliki Lorot mengatakan muridnya bisa menjadi janda, sekarang malah berkata bisa menjadi perawan tua.
"Sebisanya aku akan mengalahkan Malaikat Peti Mati. Baiknya, kalian menerangkan saja bagaimana kehebatan dari pemuda yang suka mengadu ilmu itu.
" Lalu mereka pun kini duduk bersila. Masing masing menceritakan kehebatan -Malaikat Peti Mati.
"Lebih baik kita berpisah dulu di sini," usul Pendekar Slebor, setelah merasa cukup mendapat keterangan.
"Hei" Mana bisa kau lakukan itu!" bentak Kaliki Lorot.
Andika mendengus gemas.
"He! Tadi kau sudah mengatakan, kalau urusan perjodohan itu ditunda dulu! Yang hendak bertarung menghadapi Malaikat Peti Mati adalah aku!"
"Baik, baik!" sungut Kaliki Lorot. "Kau mau ke mana?"
"Aku membutuhkan waktu untuk menenangkan seluruh pikiranku," sahut Andika.
"Juga, memikirkan cara bagaimana untuk melumpuhkan Malaikat Peti Mati. Karena menurut kalian, kehebatannya sangat luar biasa. Tetapi, menurut Ki Pangsawada dan Kaliki Lorot ternyata dia tidak membawa peti mati ukiran naganya.
Juga seperti yang kau katakan, Ki Kaliki Lorot. Ternyata kau pun kemudian bertarung kembali dengan manusia itu yang ngacir karena ajian 'Kala Hitam' milikmu. Pertanyaannya sekarang, di manakah Peti Mati Ukiran Naga itu yang sedianya akan dijadikan tempat mayatku" Nah, Ki Kaliki Lorot! Apakah kau akan menahanku juga.
Karena, aku tidak ingin kita sebagai orang orang golongan putih dicap curang dan -pengecut. Sekuat tenaga aku akan mengalahkannya. Bukan dengan jalan mengempurnya bersama sama, karena aku yakin -Malaikat Peti Mati menginginkan satu pertandingan jujur.
" Kaliki Lorot mengangguk, membenarkan alasan Andika. "Baiklah kalau begitu. Kami akan tetap datang Bukit Sigura gura untuk -menyaksikan pertarungan."
"Aku terima kedatangan kalian. Karena, siapa tahu akan membuatku bertambah semangat. Dan yang perlu kalian ketahui, aku mendengar kabar, kalau Partai Tumbal Iblis yang dipimpin Dewi Kemuning akan membuat torehan darah di rimba persilatan."
"Apa maksudmu?" tanya Ki Pangsawada yang telah lama mendengar tentang Partai Tumbal Iblis. "Mereka akan melebarkan sayap kekuasaan dan menginginkan para tokoh rimba persilatan baik dari golongan putih maupun hitam bergabung."
"Cuiihhh!" Si Golok Maut membuang ludah mendengarnya.
"Sombong sekali Dewi Kemuning itu! Kalaupun hendak melebarkan sayap kekuasaan, dia harus melangkahi mayat mayat kami yang akan menjadi pecundang baginya!" -lanjutnya, mendesis.
"Bagus! Aku pamit!"
"Hei!" seru Kaliki Lorot ketika Andika hendak melangkah. "Kau harus membuat kejutan, Bor!" Andika menghentikan langkahnya. Di bibirnya menyungging senyum.
"Aku akan membuat kejutan. Dan kalian pun pernah merasakan kejutan yang luar biasa akibat perbuatanku.
" Kaliki Lorot hendak berkata lagi, tetapi tubuh Pendekar Slebor sudah berkelebat cepat. Tempat itu sunyi. Tinggal ketiga manusia itu yang terdiam, tercekam pikiran masing masing.
***
-=0 { 9 } 0=-
Meski terlihat sangat susah melangkah, tetapi sosok berpakaian merah tua itu tetap tersenyum. Dia tak lain dari si Naga Gunung yang sedang mencari Pendekar Slebor bersama tiga murid Perguruan Garuda Mas.
Selama melakukan perjalanan, belum ada bayangan Pendekar Slebor ditemukan. Di hati Naga Gunung, tersimpan bara dendam terhadap Malaikat Peti Mati yang mengakibatkan dirinya menderita seperti ini.
Begitu pula tiga murid Perguruan Garuda Mas.
Terbayang bagaimana maut yang ditebarkan Malaikat Peti Mati di mata. Pekik kematian terdengar diselingi tawa keras yang meluruhkan dedaunan. Lalu sosok guru mereka ambruk bergelimpangan darah. Semuanya bagaikan menikam dari belakang. Terasa menyayat-nyayat hingga ke relung hati.
Tiba tiba saja si Naga Gunung menghentikan-langkahnya. Meskipun ilmunya telah lumpuh, tetapi pendengarannya sangat terlatih. "Hentikan langkah! Aku mendengar suara berlari ke arah sini!" ujar si Naga Gunung. Ketiga murid Perguruan Garuda Mas saling berpandangan. Mereka diam diam mengagumi ilmu yang dimiliki si Naga Gunung.
-Terbukti betapa tajamnya pendengarannya. Hanya saja, kini mereka tahu kalau wanita perkasa ini sebenarnya dalam keadaan tak berdaya. Dan tanpa diperintahkan ketiga pemuda itu bersiaga.
"Bila mendengar cara berlarinya, bisa dipastikan ilmu meringankan tubuhnya lumayan. Dan jelas jelas dia seorang gadis.
" -Semakin bertambah kekaguman ketiga pemuda itu mendengar penjelasan si Naga Gunung. Selang beberapa saat, di tempat itu tiba satu sosok jelita.
Sosok yang memang seorang gadis ini mengerutkan keningnya. Dalam sekali lihat, dia tahu kalau wanita berbaju merah tua itu dalam keadaan terluka. Masih dalam taraf penyembuhan. Tanpa sadar gadis ini bersiaga. Karena belum mengetahui, apakah yang berdiri di hadapannya ini lawan atau kawan.
"Anak manis, hendak ke mana seorang diri?" sapa si Naga Gunung.
Sosok jelita itu tersenyum mendengar sapaan ramah.
Sikapnya tidak setegang tadi.
"Maafkan aku. Bibik. Aku hendak ke Bukit Sigura-gura," sahut gadis itu.
"Oh, jauh sekali Bukit Sigura gura itu jaraknya dari sini. Hendak apakah di -sana?" kejar si Naga Gunung.
Bila melihat pakaian ringkas yang dikenakan dan sebilah pedang yang tersandang di punggung sudah jelas kalau gadis itu bukanlah orang sembarangan.
Sosok jelita itu nampak kelihatan bimbang. Si Naga Gunung tertawa pelan.
"Kalau kau bimbang, tidak usah dikatakan. Lanjutkan saja perjalananmu. O, ya.
Sebagai perkenalan, namaku Nyai Selastri. Orang orang menjulukiku si Naga -Gunung. Dan ketiga pemuda ini yang sejak tadi melotot terpana melihat kecantikanmu adalah murid murid perguruan Garuda Mas," jelas si Naga -Gunung.
Sosok jelita yang tak lain Menur itu terdiam sejenak.
Samar samar julukan itu pernah didengarnya.
-"Baiklah, Bibik. Namaku Menur. Dan maafkan karena tidak bisa melanjutkan percakapan ini," ucap Menur.
"Oh, silakan, silakan, Menur. Tetapi, sudikah menjawab pertanyaanku?"
"Silakan, Bibik."
"Apakah kau pernah berjumpa Pendekar Slebor?" Mendengar julukan itu disebutkan, wajah Menur tiba tiba memerah. Mendadak saja -dia teringat, bagaimana pemuda itu merangkul, mengecupnya. Dan juga meninggalkannya.
Sementara itu, si Naga Gunung dalam sekali lihat saja merasa yakin kalau gadis ini ada sesuatu dengan Pendekar Slebor.
"Kalau kau tahu, sudikah kau memberitahukan padaku?" lanjut Nyai Selastri.
Menur berusaha menenangkan gemuruh hatinya.
"Bibik..., maksudku pergi ke Bukit Sigura gura, adalah untuk melihat pertarungan -Pendekar Slebor dengan Malaikat Peti Mati," sahut Menur, hati hati.
-Wajah si Naga Gunung mendadak memerah. Begitu pula ketiga murid Perguruan Garuda Mas yang sejak tadi mendengarkan percakapan sambil mengagumi kecantikan paras Menur. "Menur.... Benarkah yang kaukatakan itu?" tanya si Naga Gunung.
"Aku mengatakan apa adanya, Bibik.
" Si Naga Gunung terdiam. Matanya memandang kejauhan. "Menur..., siapakah sebenarnya kau ini?" Menur benar benar mengurungkan niatnya untuk melanjutkan langkah kembali. Dia -segera menjura penuh hormat.
"Bibik.... Aku adalah murid Kaliki Lorot yang mendiami Lembah Perkasa. Mengenai Pendekar Slebor, aku dan guruku, sempat bertemu dengannya. Bahkan sebelum berjumpa, kami bertarung menghadapi angkara murka yang ditimbulkan Malaikat Peti Mati.
Terus terang, saat itu kami tak mampu menandingi kehebatannya. Sehingga, kami dibuat pingsan. Baru kemudian, muncul Pendekar Slebor yang segera mengobati luka luka kami.
" -"Gusti!" sentak si Naga Gunung terbelalak terkejut.
"Apakah yang akan terjadi di Bukit Sigura gura adalah pertarungan kedua antara - Pendekar Slebor dan Malaikat Peti Mati?"
"Tidak, Bibik. Rupanya Malaikat Peti Mati belum mengenal Pendekar Slebor. Dan orang keparat itu berhasil dikelabuinya dengan secara tak langsung menerima tantangannya di Bukit Sigura gura. Aku yakin, yang dilakukan Pendekar Slebor -semata ingin menyelamatkan kami. Maksudku, aku dan guruku, Bibik.
" Si Naga Gunung mengangguk angguk. Memang lebih -baik menyelamatkan nyawa seseorang lebih dulu.
"Menur, keberatankah kau bila kita bersama sama menuju Bukit Sigura gura?" - -Menur terdiam beberapa saat. "Baiklah, Bibik. Sama sekali aku tidak keberatan," kata Menur, akhirnya.
"Terima kasih. Menur. Dan kami memang ingin mencari Pendekar Slebor, sekaligus meminta bantuannya untuk memusnahkan seorang tokoh sakti yang menjuluki dirinya sebagai Malaikat Peti Mati.
" Si Naga Gunung pun segera melangkah perlahan-lahan. Sementara ketiga murid Perguruan Garuda geram sekali mendengar cerita Menur tentang Malaikat Peti Mati.
Hhh! Mereka berharap, Pendekar Slebor akan mampu membunuh manusia setan itu! Dan dalam perjalanan itu, pemuda yang bernama Sumadi lebih banyak melirik Menur yang melangkah sambil bercakap cakap.
-*** Siang hari di Partai Tumbal Iblis.
Brakkk...! Dewi Kemuning menggebrak meja di hadapannya dengan keras. Meja kuat yang terbuat dari kayu jati itu kontan hancur berantakan. Hidangan yang ada di atasnya berhamburan. Wajahnya mendadak saja berubah menjadi ungu, memperlihatkan betapa marahnya mendengar laporan Kenanga Kuning. Apalagi mengingat kata kata yang -bernada melecehkan dari Malaikat Peti Mati.
"Keparat busuk! Manusia itu harus mampus!" serunya geram. Kenanga Kuning dan Kenanga Putih hanya menunduk. Dia tahu, bagaimana akibatnya bila tugas yang diberikan gagal dijalankan. Tetapi rupanya, kali ini Dewi kemuning tidak sedang berniat menurunkan tangan mautnya. Hatinya benar benar-murka mendengar Malaikat Peti Mati meremehkannya.
Namun, dari kemarahan itu mendadak saja Dewi Kemuning terbahak bahak.
-"Bodohnya aku! Bodoh!" serunya berkali kali.
-Melihat kelakuan Dewi Kemuning. Kenanga Kuning dan Kenanga Putih jadi berpandangan secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak mengerti kata kata Dewi -Kemuning. Sementara tawa Dewi Kemuning semakin keras terdengar.
"Hhh! Lebih baik kita tunda saja dulu keinginan untuk melebarkan sayap kekuasaan. Manusia seperti Malaikat Peti Mati ternyata memang sulit ditentukan golongannya. Tetapi, Pendekar Slebor sudah jelas akan menentang keinginannya.
Dan kemungkinan, dialah yang akan menjadi momok utama bagiku! Bagus! Kalau begitu, biarkan saja kedua manusia itu bentrok di Bukit Sigura gura! Tidak perlu -menyaksikannya, kita cukup mendengar beritanya! Lebih bagus lagi, bila Pendekar Slebor mampus di tangan Malaikat Peti Mati! Ha ha ha...!" Kali ini Kenanga Kuning dan Kenanga Putih mengerti arti tawa ketua mereka. Dan yang terpenting, mereka tidak mendapatkan hukuman.
Sementara itu, mayat Kenanga Hijau dan Kenanga Merah sudah dikuburkan di belakang pendopo Partai Tumbal Iblis.
"Aku baru ingat kata katamu tadi, Kenanga Kuning," -kata Dewi Kemuning, tiba tiba.
-"Oh! Tentang apa, Ketua?"
"Tadi kau bilang, pemuda rambut emas itu tidak membawa Peti Mati Ukiran Naga?"
"Benar, Ketua. Dia tidak membawa peti mati itu.
" Dewi Kemuning terdiam. Otaknya mencerna Iaporan Kenanga Kuning.
"Aku tahu sekarang. Sudah jelas dia telah meletakkan Peti Mati Ukiran Naga di Bukit Sigura gura.-Karena, di sanalah Pendekar Slebor akan menemukan ajalnya. Ha ha ha...!" Terdengarlah tawa wanita itu yang sangat keras.
*** Tiga hari pun berlalu kembali.
Seluruh rimba persilatan kini ramai membicarakan tentang pertarungan dahsyat antara Malaikat Peti Mati melawan Pendekar Slebor. Mereka sudah jauh jauh hari -berbondong bondong mendatangi Bukit Sigura gura.
- -Tokoh tokoh dari Banyuwangi, Blambangan, Madura, Ponorogo, bahkan dari Pulau -Bali pun berdatangan ke sana.
Mereka sudah mendengar sepak terjang berhawa maut yang dilakukan Malaikat Peti Mati. Mereka pun telah lama mengetahui tentang nama besar Pendekar Slebor.
Kalaupun mereka datang untuk menyaksikan pertarungan, sudah tentu dengan tujuan masing-masing. Dari golongan putih, kebanyakan ingin menyaksikan bagaimana Pendekar Slebor menghajar adat Malaikat Peti Mati yang telah banyak membuat onar dan pertumpahan darah.
Sedangkan dari pihak golongan hitam, berharap sekali menyaksikan Pendekar Slebor mampus di tangan Malaikat Peti Mati. Bahkan di antaranya ada yang ingin nencuri kesempatan untuk mengabdi pada Malaikat Peti Mati. Tetapi, itu hanya sedikit saja. Yang terbanyak, mereka mengharapkan kalau Malaikat Peti Mati berhasil membunuh Pendekar Slebor, dan meletakkan mayatnya di Peti Mati Ukiran Naga. Sehingga, mereka akan bebas melakukan apa saja sekehendak hati tanpa mendapatkan gangguan dari siapa pun. Terutama dari Pendekar Slebor.
Tokoh urakan yang berilmu tinggi.
***
-=0 { 10 } 0=-
-Para tokoh persilatan yang hendak menyaksikan pertarungan Pendekar Slebor melawan Malaikat Peti Mati di Bukit Sigura gura ramai bersuara, bagai suara -gerombolan tawon waja. Dari pihak golongan hitam, dengan menggebu gebu berharap -Pendekar SIebor akan mampus. Sementara dari pihak golongan putih hanya memperhatikan saja dengan hati cukup tegang.
Di puncak bukit, belum nampak dua petarung yang akan menentukan orang yang paling unggul. Namun selama beberapa saat kemudian, melayang sebuah benda berbentuk persegi panjang menderu deru dengan kencang. Di atas benda itu, -berdiri satu sosok tubuh sambil melipat kedua tangan di dada. Wajahnya begitu dingin dan angker. Rambutnya yang keemasan berkibaran di tiup angin. Sosok itu adalah Malaikat Peti Mati yang langsung bersalto sebelum 'tunggangannya' peti mati ukiran naga hinggap di tanah.
Dari pihak golongan hitam terdengar suara tepuk tangan bergemuruh, mengumandang ke seluruh bukit.
Wajah dingin Malaikat Peti Mati memancarkan senyum kesombongan. Dia puas ternyata banyak sekali yang akan menonton pertarungannya dengan Pendekar Slebor.
Dia bertekad, dalam lima gebrakan, Pendekar Slebor akan ambruk bergelimang darah. Akan disiksanya pemuda itu perlahan lahan, -lalu dibunuhnya dengan cara paling mengenaskan.
Tangan Malaikat Peti Mati bergerak pelan ke arah peti mati berukir naga. Dan seketika, peti itu terbuka.
Menguarlah bau harum ke seantero Bukit Sigura gura.
-Rupanya pemuda berwajah penuh luka itu memang menyembunyikan Peti Mati Ukiran Naga. Begitu yang ada dalam pikiran Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Perasaan yang sama pun ada di hati si Golok Maut dan Kaliki Lorot yang hadir pula di sana. Melihat sikap jumawa dari Malaikat Peti Mati, hampir hampir saja Kaliki Lorot -tak sanggup menahan amarahnya. Tetapi niatnya urung, karena yang sekarang berhak bertarung adalah Pendekar Slebor.
"Sebentar lagi kalian akan melihat, Pendekar Slebor yang diagungkan setinggi langit terkapar mampus di dalam Peti Mati Ukiran Naga!" Malaikat Peti Mati mengeluarkan suaranya yang bagaikan meledak ledak, memenuhi - Bukit Sigura gura.-"Horeee.... Hidup Malaikat Peti Mati...!" Suara sorakan terdengar dari pihak golongan hitam.
Sementara pihak golongan putih hanya menahan napas saja, dan berusaha bersabar.
Dan suasana pun menjadi sunyi, ketika dengan sombongnya Malaikat Peti Mati melipat kedua tangannya di dada. Rambut dan pakaiannya bergerak-gerak dimainkan angin. Sekian lama ditunggu tunggu, para hadirin bertanyatanya akhirnya. Karena sosok -Pendekar Slebor belum muncul juga. Wajah dingin Malaikat Peti Mati pun berubah memerah.
Saat purnama berada tepat di atas kepala, sosok Pendekar Slebor belum muncul juga. "Keparat busuk! Mana manusia itu, hah"!" bentak Malaikat Peti Mati keras bukan main. Tak ada yang bersuara. Mereka hanya meyaksikan.
Namun, mendadak saja satu sosok tubuh melenting dengan cara bersalto. Gerakannya sangat ringan dan cepat, lalu hinggap di hadapan Malaikat Peti Mati.
Hadirin serentak menahan napas dan terlongo-longoh. Begitu pula Malaikat Peti Mati. Karena, sosok yang baru datang itu dari pakaian, bentuk tubuh, dan wajah serupa dengannya! "Apa apaan ini?" desis Malaikat Peti Mati terkejut.
-"Hhh! Rupanya kau yang selama ini diperbincangkan orang orang rimba persilatan.
-Seta Lelono!" Malaikat Peti Mati terhenyak. Dia heran, mengapa orang ini seperti mengenalnya begitu dekat"
"Bangsat busuk! Siapakah kau sebenarnya" Mengapa kau berani cari mampus dengan menyamar sebagai aku, hah"!" bentak Malaikat Peti Mati yang bernama asli Seta Lelono. "Seta Lelono! Justru aku yang terkejut karena kehadiranmu di sini! Beberapa kali aku bentrok dengan orang orang yang mendendam padamu! Rupanya, kau telah membuat -onar!" kilah sosok yang serupa dengan Malaikat Peti Mati. Suaranya tak kalah angker. "Keparat! Siapa kau sebenarnya"!" bentak Malaikat Peti Mati lagi.
"Hhh! Apakah Guru tidak pernah mengatakan kalau kita bersaudara kembar?" tukas Malaikat Peti Mati satunya. Wajah Malaikat Peti Mati berkerut.
"Jangan dusta! Sekalipun Guru tak pernah mengatakan hal itu!"
"Karena Guru tak ingin kau menjadi gundah ataupun merindukan saudara kembarmu ini, bila hal ini dikatakannya!"
"Jangan banyak oceh! Kalau begitu, kau pun berguru dengan Eyang Srimpil atau yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu!" seru Malaikat Peti Mati keras.
Sementara itu, gumaman terdengar keras. Penghulu Segala Ilmu yang menjadi Guru dari Malaikat Peti Mati" Gila! Pantas saja ilmunya sangat tinggi. Karena, seluruh tokoh rimba persilatan tahu, siapa Penghulu Segala Ilmu. Kesaktiannya, hanya bisa ditandingi oleh Ki Langlang Jagat.
Tak seorang pun yang tahu, di manakah Penghulu Segala Ilmu tinggal. Karena dia berdiam dalam kegelapan. Dan kali ini, muridnya yang penuh sesumbar telah membuat onar dan menantang Pendekar Slebor.
Sosok kembaran Malaikat Peti Mati yang datang tanpa Peti Mati Ukiran Naga, mengangguk. "Justru aku diperintahkan Guru untuk menjemputmu pulang! Karena, Guru akan menghukummu!"
"Tidak mungkin!" sambar Malaikat Peti Mati. "Guru sangat baik padaku!"
"Dan dia kecewa karena ilmu yang diturunkan dipergunakan hanya untuk pamer kesombongan!"
"Karena aku tak suka mendengar Pendekar Slebor dipuji setinggi langit! Akan kutunjukkan, bahwa aku yang paling hebat di rimba persilatan ini!"
"Bodoh! Dengan kata lain, kau sudah mengangkangi Guru! Apakah kau merasa lebih hebat dari Guru, hah"!" bentak kembaran Malaikat Peti Mati. "Tak pernah kuduga, kalau kau telah mempermalukan Guru!" Kata kata sosok kembarannya itu membuat Malaikat Peti Mati terdiam. Ada sesuatu -yang bergejolak hatinya.
Sungguh, baru kali ini diketahui kalau ternyata dirinya memiliki saudara kembar.
Tetapi tiba tiba....
-"Hhh! Lebih baik kau minggir dari sini! Akan kubunuh dulu Pendekar Slebor, lalu membuat perhitungan denganmu!"
"Kesombonganmu sudah melewati takaran! Seseorang dipuja karena tingkah lakunya yang baik dan sopan. Bukan dengan cara dungu seperti yang kau lakukan!"
"Setaaan alas! Dengan kata lain, kau mengatakan ilmuku lebih rendah daripada Pendekar Slebor, hah"
" "Kau yang menarik kesimpulan seperti itu!"
"Keparat! Kau lihat sendiri, hah"! Mana Pendekar Slebor itu" Mana" Dia tak lebih dari seorang pengecut belaka. Dia tak berani muncul karena takut mampus!"
"Sebelum aku tiba di sini, aku bertemu dengannya.
Kukatakan padanya, kalau antara dia dan kau hanya terjadi salah paham belaka.
Kusarankan padanya agar jangan menurunkan tangan telengas padamu. Dan rupanya, pendekar urakan itu bijaksana. Dia setuju dengan usulku. Perlu kau ketahui, dia tidak akan menurunkan tangan hanya untuk menghentikan kesombonganmu. Tetapi, tangan saktinya akan diturunkan karena kau telah membunuh dan melukai para sahabatnya. Juga beberapa tokoh lainnya."
"Peduli setan dengan ucapanmu! Lebih baik minggat dari sini! Karena, aku muak melihat tampangmu!" bentak Malaikat Peti Mati.
"Berarti, kau muak melihat tampangmu sendiri! Karena, wajahmu dan wajahku tak ada bedanya!" kilah kembaran Malaikat Peti Mati.
Kali ini Seta Lelono tak bersuara lagi. Justru tubuhnya menderu cepat.
Gerakannya laksana angin ke arah sosok yang mirip dengannya.
Sosok kembaran Malaikat Peti Mati hanya tersenyum saja. Dan ketika serangan Malaikat Peti Mati hampir mengenai tubuhnya, dengan satu serangan aneh yang tak terlihat tubuhnya berkelit sekaligus membalas.
Malaikat Peti Mati terhenyak melihatnya. Hatinya penasaran. Maka diserangnya kembarannya lagi dengan hebat. Tubuhnya bergerak laksana angin. Dan mendadak saja Bukit Sigura gura bagaikan bergetar.-Yang hadir di sana menahan napas. Mereka tak menyangka kalau Malaikat Peti Mati memiliki saudara kembar. Kesaktian kedua duanya begitu tinggi. Ketika tubuh keduanya bertarung, hanya terlihat bagai kelebatan belaka, diiringi deru angin kencang dan suara bagai ledakan petir! Imam Arif Penguasa Gunung Bontang semakin sadar kalau yang dihadapinya bersama si Golok Maut pastilah kembaran Malaikat Peti Mati. Karena, dia tak membawa Peti Mati Ukiran Naga. Bahkan tak menurunkan tangan telengasnya. Tetapi, bila memang kembaran dari Malaikat Peti Mati, mengapa berniat pula membunuh Pendekar Slebor seperti yang dikatakannya" Begitu pula yang dirasakan Kaliki Lorot. Dia jadi malu sendiri karena merasa yakin ajian 'Kala Hitam' kebanggaannya telah membuat Malaikat Peti Mati kocar kacir. Padahal yang -dihadapi hanyalah saudara kembar dari Malaikat Peti Mati yang masih memberi kesempatan hidup baginya. Kalau yang dihadapinya Malaikat Peti Mati asli, bisa dipastikan dia akan mampus! Pertarungan di Bukit Sigura gura semakin seru. Suara angin menderu deru keras.
- -Beberapa kali terdengar ledakan keras ketika dua sosok tubuh berpakaian dan berambut emas itu berbenturan.
Tetapi yang membuat mereka terheran heran, -karena sampai saat ini Pendekar Slebor belum muncul juga. Bila memang sebelumnya sempat bertemu kembaran Malaikat Peti Mati yang memintanya agar jangan hadir, seharusnya sebagai seorang pendekar yang dijunjung tinggi di rimba persilatan tetap menonjolkan diri. Paling tidak, mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi. "Seta Lelono! Kembalilah ke jalan yang benar! Tidak ada gunanya sesumbar untuk menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini! Karena secara tidak langsung kau sudah menghina Guru!"
"Setelah kubungkam mulutmu yang panas itu dan membunuh Pendekar Slebor, barulah aku kembali pada Guru untuk mohon ampun!" seru Malaikat Peti Mati sambil meluruk menderu deru laksana topan.
-"Kau akan kena batunya, Seta Lelono! Kau telah mengangkangi kepala Guru!" sergah kembaran Malaikat Peti Mati sambil meluruk pula tak kalah hebat.
Pertarungan tak ubahnya bagaikan dua ekor naga yang sedang marah. Terutama yang dilakukan Malaikat Peti Mati. Di dasar hatinya yang terdalam, sebenarnya dia merasa malu dengan kata kata sosok yang mirip dengannya. Apa yang dikatakan -kembarannya memang benar. Dia telah melupakan gurunya sendiri. Bukankah bila menganggap dirinya nomor satu, berarti mengangkangi gurunya sendiri" Berarti pula, menganggap ilmu gurunya lebih rendah dibandingkannya.
Tetapi Malaikat Peti Mati sudah merasa panas sekali.
Dia telah dibuat malu oleh kembarannya yang masih sangat disangsikan.
Wuuttt...! Tiba tiba saja tangan Malaikat Peti Mati bergerak.-Maka Peti Mati Ukiran Naga yang sejak tadi ada di tengah melayang ke arah kembarannya dengan kecepatan tinggi.
"Uts...!" Kembaran Malaikat Peti Mati dengan lincah berkelit dengan memiringkan tubuhnya.
Bahkan mendadak ditendangnya Peti Mati Ukiran Naga itu.
Duk! Peti itu terpental kembali ke arah pemiliknya.
Bahkan lebih cepat dari serangannya sendiri.
Malaikat Peti Mati terpekik keras. Tubuhnya melenting ke atas dengan kecepatan tinggi. Wajahnya menjadi pias. Bila melihat kehebatan sosok yang mirip dengannya, bisa ditarik kesimpulan kalau sosok itu memang berguru pada gurunya.
Tetapi, untuk menerima sebagai kakak kembarnya, hatinya masih sangsi. "Hup...!" Tiba tiba saja Malaikat Peti Mati melompat dan hinggap di atas Peti Mati Ukiran -Naga yang mengapung di udara.
"Manusia busuk! Sekali lagi katakan, siapakah sebenarnya"!" bentak Malaikat Peti Mati. "Hhh! Bila seseorang dalam keadaan gila dan marah, maka bisa melupakan kakak kembarnya sendiri.
"Jangan mempermainkan kata kata!" -"Justru kau yang mempermainkan kata kata! -Malaikat Peti Mati! Sebagai kakak kembarmu, hatiku pedih menyaksikan perbuatanmu yang penuh sesumbar. Seharusnya kau paham, kalau di dunia ini tak ada yang melebihi kekuasaan Gusti Allah. Kalaupun ada orang yang merasakan hal itu. Dia tergolong manusia laknat.
" Kata kata itu semakin membekas di hati Malaikat Peti Mati. Disadari, kalau -selama ini hatinya hanya dibaluri kesombongan belaka. Di dasar hati kecilnya yang paling dalam, dia sadar kalau kemunculannya membuat onar dan dendam dari tokoh tokoh rimba persilatan.-Sementara, Malaikat Peti Mati jadi seperti terpekur.
"Seta Lelono..., sadarlah. Jalan yang berada di hadapanmu masih panjang. Bila kau mau mengabdikan ilmumu bagi keselamatan umat manusia, niscaya akan menjelma menjadi orang yang dipuja. Sama seperti yang dialami Pendekar Slebor. Tetapi, ketahuilah. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu bukanlah orang yang ingin dipuja. Dia melakukan semua itu demi membela kaum lemah dan kebenaran.
Semuanya karena semata ketulusan hatinya...," lanjut kembaran Malaikat Peti Mati. Kepala Malaikat Peti Mati jadi tertunduk. Akal sehatnya semakin sadar. Diam diam -dia yang tadi menganggap kalau Pendekar Slebor tidak berani muncul karena kepengecutannya, justru menghargai kebesaran jiwa Pendekar Slebor. Karena, bila saja pendekar urakan itu muncul, niscaya akan terjadi pertarungan darah yang memungkinkan akan merenggut salah satu nyawa di antaranya.
"Aku akan menuruti kata katamu itu. Tetapi, ceritakanlah tentang dirimu. Karena -selama ini, aku belum pernah tahu kalau ternyata mempunyai saudara kembar," ujar Malaikat Peti Mati.
"Kau pikirkanlah sendiri jawabannya. Niscaya satu saat, kau akan menemukannya.
" Sementara itu, beberapa orang dari golongan hitam diam diam menjadi marah karena -ternyata Malaikat Peti Mati mengurungkan niatnya.
"Heaaa...!" Tiba tiba saja tiga orang melayang ke atas disertai teriakan membahana. Gerakan -mereka sangat ringan.
Begitu mendarat di depan, tampak wajah mereka yang mengerikan. Pakaian hitam yang dikenakan terbuka di dada, memperlihatkan kekekaran tubuh mereka. Di tangan mereka tergenggam sebatang clurit tajam. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Clurit Sambar Nyawa. Di daerah utara, ketiga tokoh ini cukup terkenal.
Sementara Malaikat Peti Mati memicingkan matanya. "Mau apa kalian?" tegur Malaikat Peti Mati.
"Pemuda berhati kelinci! Ternyata kau memang tidak pantas menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini!" bentak laki laki berwajah tirus, satu dari Tiga -Clurit Sambar Nyawa.
Sepasang mata Malaikat Peti Mati terbuka. Lebar memancarkan kemarahan. Tetapi amarahnya ditahan karena kini disadari kalau kemarahan dan kesombong hanya akan mengundang petaka saja.
"Apa urusannya dengan kalian?"
"Selama ini, kami berkeyakinan dan siap mengabdi diri padamu bila kau berhasil membunuh Pendekar SIebor! Tetapi sebelum kau bertindak lebih jauh, hatimu sudah ciut! Tak sudi kami mempunyai pimpinan seperti mu!"
"Siapa pula yang sudi mempunyai anak buah seperti kalian ini"! Tak akan pernah aku mengangkat anak buah! Kalaupun aku ingin membunuh Pendekar Slebor, itu hanya urusan pribadi saja!"
"Huh! Terimalah kematianmu!" Seperti mendapat kata sepakat, Tiga Clurit Samb Nyawa menerjang, ke arah Malaikat Peti Mati dengan hebat. Tiga buah clurit berkelebat mengurung bagaikan cahaya, menimbulkan suara berdesingan.
Malaikat Peti Mati mendengus hebat. Amarahnya seketika bangkit. Dia tidak pernah mau dianggap sebagai pemimpin. Dan dia pun tak mau diperbudak seseorang atau satu golongan. Yang ingin dibuktikannya, bahwa dia memang patut dipuja orang-orang rimba persilatan! Tubuh Malaikat Peti Mati pun telah digulung serbuan clurit itu dengan hebatnya. Namun, mendadak saja tubuh pemuda itu berputaran dengan tangan mengibas.
Wuuuttt...! Crasss! "Aaakh...!" Tiga Clurit Sambar Nyawa kontan berpentalan.
Begitu ambruk nyawa mereka telah putus.
"Hhh! Ilmu kalian masih cetek!" dengus Malaikat Peti Mati sambil meludah. "Ayo, siapa yang berani menantang aku" Maju! Maju kalian ke sini! Siapa yang tak sudi melihatku mengurungkan niatku untuk membunuh Pendekar Slebor yang bijaksana itu" Biar aku rencah tubuh kalian!" Tak ada yang bersuara. Dari pihak golongan putih terdengar desahan napas lega, meskipun masih tidak mengerti, mengapa Pendekar Slebor belum juga muncul.
Sedangkan dari golongan hitam, meskipun kesal pada sikap Malaikat Peti Mati, mereka merasa lebih baik diam saja daripada nyawa melayang. Karena mereka tahu, betapa tingginya ilmu Malaikat Peti Mati.
Terbukti dengan begitu mudahnya membunuh Tiga Clurit Sambar Nyawa.
Karena tak ada yang mengeluarkan pendapat, Malaikat Peti Mati berpaling pada kembarannya.
"Kakak kembarku.... Terima kasih atas penjelasanmu.
Mungkin, selama ini aku memang dibutakan oleh ilmu yang kupelajari dari Guru.
Sehingga, kesombonganku muncul. Juga keirianku terhadap Pendekar Slebor, Kakang.... Aku akan mencari jawaban atas siapa dirimu.
Terima kasih atas kemunculanmu. Sehingga aku tahu, ternyata aku memiliki saudara di dunia ini.
" Kembaran Malaikat Peti Mati tersenyum.
"Sekarang kau hendak ke mana?" tanya kembaran Malaikat Peti Mati.
"Aku akan kembali menghadap Guru. Aku akan meminta maaf dan mohon ampun padanya."
"Bagus!" Untuk pertama kalinya, Malaikat Peti Mati tersenyum. "Terima kasih, Kakang. Bila kau bertemu Pendek Slebor, katakan aku minta maaf padanya."
"Akan kusampaikan." Tiba tiba-Malaikat Peti Mati menggerakkan tangannya. Wuuttt...! Brakkk! Peti Mati Ukiran Naga itu pun pecah seketika.
"Hhh! Tak ada lagi Peti Mati Ukiran Naga! Selamat berpisah, Kakang! Kutunggu kau di hadapan Guru!" Seketika tubuh Malaikat Peti Mati berkelebat laksana kilat. Dalam sekejap saja, dia sudah tidak nampak di mata.
Kembaran Malaikat Peti Mati terlihat menghela napas panjang. Matanya melihat beberapa sosok tubuh yang baru datang. Tampak pula gadis jelita yang mendekati Kaliki Lorot. "Guru! Apakah pertarungan itu sudah berlangsung?" seru gadis yang ternyata Menur.
Sementara si Naga Gunung menyalami sahabatnya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Sedangkan tiga murid Perguruan Garuda Mas memperhatikan sosok yang berdiri tegar di atas Bukit Sigura gura dengan hati-mendendam.
Kaliki Lorot tersenyum.
"Belum, Menur."
"Oh, apakah Kang Andika belum datang?"
"Dia memang belum datang."
"Guru.... Kalau begitu..., lebih baik kita bunuh saja manusia keparat yang berdiri di atas Bukit Sigura gura itu!" -"Kau salah, Menur.... Pemuda rambut emas itu bukanlah Malaikat Peti Mati.
" sahut Kaliki Lorot, lalu menceritakan apa yang telah terjadi.
"Kalau begitu, di manakah Kang Andika sekarang ini, Guru?" kejar Menur, penasaran. "Tak seorang pun dari kami yang mengetahuinya.
Inilah akhir dari semua peristiwa yang ditimbulkan Malaikat Peti Mati. Lebih baik, memang kita berdamai saja. Maafkanlah Malaikat Peti Mati!" Kata kata kembaran Malaikat Peti Mati mengundang dengusan dari pihak golongan -hitam. Dan satu satu mereka meninggalkan tempat itu. Meskipun Pendekar Slebor dianggap pengecut karena tidak muncul, akan tetapi mereka menganggap pula akan kebijaksanaan pendekar itu yang mau menuruti nasihat kakak kembar Malaikat Peti Mati. Hanya yang disayangkan, kalau Pendekar Slebor belum mampus juga! Malam semakin melangkah. Di Bukit Sigura gura hanya tinggal orang orang dari - -golongan putih saja.
Tiba tiba, sosok rambut emas itu melenting ke arah mereka dan berdiri di tengah - -tengah. Bibirnya mengulum senyum.
"Terima kasih atas kedatangan kalian. Kuminta, kalian memaafkan Malaikat Peti Mati. Karena sesungguhnya, hatinya begitu suci.
Tidak ada keinginannya yang busuk selain ingin dipuja dan diakui sebagai orang nomor satu," ujar kembaran Malaikat Peti Mati.
"Terima kasih atas kemunculanmu, sehingga pertumpahan darah antara Pendekar Slebor dan Malailat Peti Mati tidak terjadi. Kalau saja yang menghadapinya bukan kau, dalam pertarungan singkat itu, pasti penyerangnya akan mati," kata Imam Arif Penguasa Gunu Bontang.
"Kau benar, Ki..., ilmunya sangat tinggi. Sulit menghadapinya bila bertarung secara kasar. Dan ternyata akal pun bisa dipergunakan, asal dengan keyakinan kalau kita mampu menghadapinya. Berarti, tidak membuang nyawa percuma."
Semua yang hadir di sana mengakui kebenaran kata-kata kembaran dari Malaikat Peti Mati. "Hei, Rambut Emas!" seru Kaliki Lorot. "Di mana kau bertemu Pendekar Slebor?"
"Oh! Memangnya kenapa?"
"Mana dia! Dia harus menikahi muridku ini!" tuntut Kaliki Lorot, membuat Menur menundukkan kepalanya.
Sementara si Naga Gunung tersenyum. Kini dia yakin, mengapa wajah gadis itu memerah ketika menyebutkan nama Pendekar Slebor. Rupanya, Menur memang mencintai pendekar muda itu.
"Ki Kaliki Lorot.... Kalaupun kau menginginkan muridmu menikah dengannya, kau harus menunggu beberapa saat."
"Hei" Apa urusannya denganmu?"
"Dia juga menceritakan soal itu padaku. Karena, untuk saat ini dia belum ingin menikah."
"Busyet! Kurang ajar sekali! Di mana dia"!"
"Ki Kaliki Lorot.... Bila kau memang menyetujui usulnya, aku akan mengatakan dia di mana saat ini."
"Brengsek! Ayo, katakan!"
"Aku sudah berjanji padanya. Janji seorang rimba persilatan, adalah jantungnya sendiri. Bila dia mengingkarinya, berarti secara tidak langsung bunuh diri.
" Kaliki Lorot mendengus.
"Baik! Katakan, di mana dia berada?"
"Bila kau menyetujui usulku itu, kau harus berjanji tidak akan memaksanya untuk menikah sekarang juga...."
"Banyak omong!"
"Berjanjilah!"
"Iya, aku berjanji!"
"Janjimu didengar orang orang berilmu di sini,"-tekan kembaran Malaikat Peti Mati sambil tersenyum.
"Busyet! Kau ini bangsa perempuan juga rupanya?" rutuk Kaliki Lorot. Tetapi kemudian mulutnya nyengir ketika melihat si Naga Gunung melotot.
"Kupegang janjimu, Ki. Sesungguhnya, Pendekar Slebor tidak jauh berada di sekitar kita," kata kembaran Malaikat Peti Mati.
"Di mana" Di mana?" kejar Kaliki Lorot.
Bukan hanya Kaliki Lorot yang menolehkan kepalanya mencari cari Pendekar Slebor, tetapi juga para tokoh yang berada di -sana.
"Dia berada di hadapan kalian.
"
***
-=0 { 11 } 0=-
Selebihnya, tampak seraut wajah tampan dengan alis hitam seperti kepak elang berpakaian hijau pupus dan selembar kain bercorak catur tersampir di bahunya.
"Kang Andika!" seru Menur keras. Kalau saja tidak malu, gadis ini sudah berlari menubruk orang yang sangat dirindukannya.
Semua tercengang melihatnya. Rupanya, kembaran Malaikat Peti Mati adalah Pendekar Slebor yang sedang menyamar! Tak heran kalau samarannya begitu sempurna, karena dia memang memiliki ilmu menyamar yang didapat dari Raja Penyamar! Andika hanya nyengir saja.
"Gelo! Edan! Sinting! Apa apaan kau ini, hah"!" maki Kaliki Lorot.
-Lelaki tua ini benar benar terkejut melihat siapa sosok di balik rambut emas -yang telah membuat Malaikat Peti Mati menyadari kesombongannya dan sempat bentrok dengannya. Dia memang membuat kejutan seperti yang dijanjikannya.
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang hanya menggeleng gelengkan kepala.
-"Tak kusangka, kalau sosok rambut emas itu adalah kau sendiri, Andika."
"Maafkan aku, Ki Pangsawada.... Sebenarnya, aku tidak menginginkan menyamar seperti ini. Tetapi, setelah aku bertemu Eyang Srimpil, aku baru tahu tentang Malaikat Peti Mati yang sesungguhnya. Aku yakin, dia bukanlah dari golongan sesat. Dia pemuda yang memiliki darah muda yang cepat bringas. Dia hanya ingin diakui sebagai orang nomor satu dan dipuja orang orang rimba persilatan. Lalu -kupikirkan cara bagaimana agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Setelah aku bertemu Eyang Srimpil, maka kuputuskan untuk menyamar sebagai kembarannya. Secara kebetulan, ketika aku meninggalkan Menur, aku bertemu lelaki tua yang mengaku bernama Eyang Srimpil. Dia saat itu memang hendak mencari muridnya yang bernama Seta Lelono yang mengaku berjuluk Malaikat Peti Mati. Firasat Eyang Srimpil mengatakan kalau pemuda itu memiliki sifat ingin dipuja, walaupun sebenarnya baik hati. Maka ketika mendengar kabar kalau Malaikat Peti Mati berniat menantang Pendekar Slebor, Eyang Srimpil keluar dari pengasingannya. Ketika bertemu aku, dia minta pendapatku, bagaimana menyadarkan Malaikat Peti Mati.
Maka atas persetujuannya, aku menyamar sebagai kakak kembar Malaikat Peti Mati.
Dan sekaligus, aku diajarkan jurus-jurus dasar milik Eyang Srimpil. Jadi, aku bisa menahan gempuran Malaikat Peti Mati.... Hebat, ya...!" tutur Andika panjang lebar. Imam Arif Penguasa Gunung Bontang tersenyum melihat kecerdikan Andika.
"Kalau begitu, kau telah mempermainkan kami, Andika! Apakah kau yang bertarung denganku dan si Golok Maut?" Andika terbahak bahak.
-"Siapa lagi yang tidak segera mengirim kalian ke akherat, kalau bukan aku" Bila yang dihadapi Malaikat Peti Mati sudah tentu kalian tak akan diberi ampun.
" Si Golok Maut mendengus.
"Kurang ajar! Kau menghantamku dengan keras!"
"Bukankah kemudian aku muncul dengan wajahku yang tampan ini dan mengobatimu?" desis Andika tersenyum.
"Kurang ajar! Kau pasti yang juga bertarung denganku, setelah aku kau obati"!" maki Kaliki Lorot.
Lagi lagi Andika nyengir saja.
-"Sudah kuduga!"
"Andika.... Mengapa kau kelihatan begitu marah pada dirimu sendiri saat menyamar sebagai Malaikat Peti Mati?" tanya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Kalau tidak begitu, gagallah rencanaku bila kau atau siapa pun tahu kalau aku sedang menyamar. Eh! Tidak tahunya aku bertemu Kaliki Lorot yang langsung menyerangku. Saat itu, dia sengaja kuhadapi karena sekaligus aku ingin membuktikan kalau samaranku sempurna. Dan ternyata, memang sempurna. Dalam penyamaranku sebagai kakak kembar Malaikat Peti Mati, aku pun bertarung dengan murid murid Partai Tumbal Iblis yang menginginkan Malaikat Peti Mati untuk -bergabung. Saat itulah aku yakin, Partai Tumbal Iblis akan membangun kekuasaan yang berguna baginya untuk melebarkan kekuatan."
"Pantas kau memberitahukan soal itu kepada kami, " desis Imam Arfi Penguasa Gunung Bontang.
"Tidak bisa! Tidak bisa!" Tiba tiba Kaliki Lorot memaki maki sendiri.- -"Kenapa, Ki?" tanya Pendekar Slebor.
"Kau harus menikah dengan muridku!"
"Ki.... Bukankah kau sudah berjanji untuk mengurungkan dulu masalah perjodohan ini?" tukas Andika.
"Itu karena kau menyamar sebagai kakak kembar Malaikat Peti Mati."
"Kalau begitu, aku akan menyamar kembali. Dan itu berarti kau akan mengurungkan dulu niatmu, bukan?" Kaliki Lorot mendengus. Dia menjadi malu sendiri.
"Baik! Kita tunda dulu masalah perjodohan ini. Tetapi awas, aku akan mencarimu bila tidak menikahi muridku yang jelita ini! Ayo, Menur! Kita kembali!" Menur belum melangkah. Matanya yang bening menatap Andika. Penuh sorot kecewa berbalur cinta.
"Kang Andika....
" Andika mendekat. Dipegangnya kedua lengan yang mulus itu, lalu tersenyum.
"Menur.... Tidak usah berkecil hati. Bila Yang Maha Kuasa menghendaki kita bersatu, pasti akan terlaksana.
Tetapi, he he he.... Aku belum berjanji, ya?" Menur terdiam. Tetapi, matanya berkaca kaca -memperlihatkan kekecewaan di hatinya.
"Baiklah, Kakang. Aku akan menunggumu."
"Terima kasih."
Menur pun berbalik mengikuti Kaliki Lorot yang sudah melangkah. Andika merasakan sesuatu yang hangat menerpa tangannya. Air mata Menur.
Diam diam Pendekar Slebor mendesah panjang. Lalu - tubuhnya berbalik ke arah yang lain.
"Apakah masih ada yang perlu dibicarakan?" tanya Andika.
Tak ada yang bersuara.
"Nyai.... Latihlah tangan dan kedua kakimu dengan mengalirkan tenaga dalam yang kini bisa kau pusatkan di dada. Dalam kesinambungan dan ketekunan, mudah-mudahan seluruhnya akan kau peroleh kembali," ujar Pendekar Slebor, memecah keheningan.
"Terima kasih, Andika.
" Andika memandang kejauhan, menatap Bukit Sigura-gura yang kini sudah membiaskan sinar matahari. Fajar sudah datang. Tiba tiba -saja pemuda ini tersentak.
"Oh!" Seketika yang lainnya mengikuti arah pandangan Andika.
"Apa yang kau lihat tadi, Andika?" tanya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Ki.... Apakah aku tidak salah lihat" Aku.... melihat satu sosok tubuh berpakaian putih bersih menjurai dengan rambut bergerai panjang berdiri di sana tadi. Dia memegang sebuah tongkat berwarna hitam," desis Andika masih memperhatikan puncak Bukit Sigura gura.
-Imam Arif Penguasa Gunung Bontang mendesah.
"Rupanya, dia masih mendatangi tempat kediamannya ini."
"Siapa dia, Ki?"
"Dia adalah Ki Langlang Jagat. Andika.... Kau beruntung masih sempat melihatnya.
Karena sudah puluhan tahun lelaki sakti itu tak pernah kelihatan.
" Andika hanya terdiam saja. Lalu tanpa pamit lagi, kakinya melangkah meninggalkan tempat itu dengan otak berpikir keras. Ki Langlang Jagat, Penguasa Bukit Sigura -gura. Oh! Andika berharap sekali satu saat akan berjumpa tokoh agung itu.
Dan perlahan lahan, yang lain pun meninggalkan tempat ini. Tak ada yang -tersinggung melihat sikap Andika yang berlalu tanpa pamit.
***
"Bangsat! Manusia manusia hina itu harus kubunuh!-Hhh! Satu saat, mereka akan terkejut melihat kehadiran dan kekuatan Partai Tumbal Iblis di rimba per silatan ini!"
SELESAI
Segera terbit: JODOH SANG PENDEKAR
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Iblis Penghela Kereta --oo0oo-- Jodoh Sang Pendekar |