Rahasia Permata Sakti
tanztj
March 11, 2011
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Dewi Ular Hitam --oo0oo-- Pulau Seribu Setan |
ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: RAHASIA PERMATA SAKTI
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: RAHASIA PERMATA SAKTI
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
««::{ 1 }::»»
Beberapa desa terbenam kesunyian, terletak cukup jauh dari Gunung Semeru, berada dalam saputan kabut pagi cukup tebal. Puncak Semeru tersaput kabut. Terbayang di pelupuk mata bagaikan raksasa yang sedang tidur.
Dalam kabut tebal dan dingin menyengat, seorang pemuda berbaju hijau pupus melangkah di jalan setapak. Kira-kira tiga puluh tombak dari lereng Gunung Semeru ia hentikan langkah. Wajah si pemuda yang tampan dengan rambut gondrong tak beraturan itu bagai tak hiraukan keadaan di sekelilingnya.
Diedarkan pandangan ke segenap penjuru.
Yang nampak hanyalah lapisan kabut, dingin, berpendar. Keningnya berkerut hingga wajah tampannya jadi jelek bukan main.
"Hmmm... siapa sebenarnya yang mengundangku ke sini?" desis si pemuda dalam hati.
"Isi pesan yang ditinggalkan dari guratan di batang pohon, meminta kesediaanku datang ke Gunung Semeru ini.
Sialnya, orang itu tidak memberitahukan siapa dirinya.
Dan untuk apa meminta aku datang ke sini. Brengsek! Mau-maunya aku melakukan hal ini" Jangan-jangan hanya orang iseng saja yang melakukannya. Tetapi, melihat dari guratan pesan di batang pohon itu, jelas kalau orang yang memintaku datang memiliki tenaga dalam tinggi." Pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di lehernya itu, menggerutu panjang pendek. Ia teringat saat kemarin malam tidur di sebuah lembah, terletak cukup jauh dari Gunung Semeru. Ketika ia terbangun pagi hari, pandangannya tak berkesip menatap pohon di hadapannya. Sebuah guratan tulisan berisi pesan ditujukan padanya, terpampang di pohon itu.
Pendekar Slebor, kuminta kau datang ke lereng Gunung Semeru. Ada sesuatu yang hendak kusampaikan. Si pemuda berbaju hijau pupus yang tampan itu ternyata tak lain adalah Andika alias Pendekar Slebor. Keningnya berkerut kembali sambil coba terka apa maksud dari pesan itu. Yang pasti, pesan yang tertulis cukup dalam di batang pohon itu jelas ditujukan padanya. Yang membuatnya geleng-geleng kepala, bila melihat betapa dekatnya jarak pohon itu dengan tempat di mana ia tidur, sudah tentu telinganya yang terlatih akan menangkap suara langkah atau tarikan napas seseorang. Namun apa yang dilihatnya sekarang ini, justru membuatnya bertambah yakin, kalau orang yang menuliskan pesan itu bukan hanya memiliki tenaga dalam tinggi, melainkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi pula. Sedikit pun ia tak mendengar suara langkah atau tarikan napas seseorang.
Karena rasa penasarannya, selesai mandi di sebuah sungai, dan memburu seekor kelinci gemuk untuk dijadikan sarapan pagi, Pendekar Slebor segera emposkan tubuh. Dengan pergunakan ilmu larinya yang kesohor, dalam waktu satu hari satu malam ia sudah hampir tiba di lereng Gunung Semeru.
Sekarang, si pemuda urakan dari Lembah Kutukan kembali edarkan pandangan ke sekeliling. Dingin yang menyengat tak dihiraukan. Hatinya penasaran terhadap isi pesan itu. Terutama, ingin mengetahui siapa yang menuliskan pesan padanya.
"Busyet!" desisnya sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Siapa sih yang mengirim pesan untukku itu" Bila ternyata orang itu hanya mempermainkan ku saja, awas, akan kubalas tindakannya! Sebaiknya, aku segera menuju lereng Gunung Semeru!" Memikir begitu, Andika mengempos tubuhnya kembali. Hanya dua tarikan napas saja, jarak tiga puluh tombak di mana ia berdiri dengan Gunung Semeru, sudah dicapainya. Keadaan bertambah dingin dan kabut tebal itu menutupi pandangannya. Dipicingkan mata seksama, dikerahkan sedikit tenaga dalam guna mengusir hawa dingin. Kalau memang isi pesan itu benar, Andika memperkirakan orang yang memintanya datang pasti telah menunggunya. Namun ia tak melihat sosok tubuh di sana.
"Edan! Tak ada siapa pun di sini kecuali aku!" makinya tak karuan.
"Hhh! Lebih baik kuputari saja gunung ini! Barangkali bisa kutemukan orang iseng itu!!" Namun belum lagi ia menjalankan niatnya, ti-ba-tiba terdengar desingan halus menyusul tiga desir angin yang kuat ke arahnya.
****
Tubuhnya mencelat ke atas bagai mengapung, masih berada di udara ia putar tubuhnya. Kakinya bergerak sebanyak tiga kali.
Trak! Trak! Trak! Tiga desir angin itu berpentalan ke berbagai arah. Andika hinggap lagi di tanah sambil edarkan pandangan. Ia yakin, yang barusan mendesing ke arahnya itu hanya tiga buah ranting kecil, yang telah dialirkan tenaga dalam mematikan. Belum lagi ia bisa menentukan dari mana arah serangan itu datang, lima buah kerikil, cepat luar biasa menderu kembali. Dua menyerang bagian atas tubuh dan tiga lagi menyerang bagian bawah.
"Kerbau mabuk!" maki Andika sambil gerakkan tubuhnya. Dua batu yang menyerang bagian atas, di-hindari dengan merunduk. Tiga buah batu lagi yang menyusul belakangan dipapas dengan gerakan tangan tiga kali yang tak kalah cepat. Kali ini rasa jengkelnya sudah naik ke ubunubun.
"Manusia iseng! Lebih baik keluar dari tempat persembunyiamnu! Jangan sampai kuobrak-abrik Gunung Semeru ini!!" Habis kata-katanya, terdengar satu tawa yang luar biasa keras. Tanpa terasa tubuh Andika bergetar.
Ia pun merasakan bagaimana tanah yang dipijaknya bergetar pula. Cepat ia alirkan tenaga dalamnya guna mengatasi serangan tak nampak yang disalurkan melalui tawa keras.
Sambil menahan serangan itu, ia buka pandangannya. Samar matanya yang terlatih melihat dalam gelap, menangkap bayangan satu sosok tubuh yang duduk dalam jarak sepuluh tombak di hadapannya.
"Hhh! Manusia itu yang membuat ulah!" desisnya. Cepat ia menggerakkan tangan kanannya sebagai balasan atas serangan orang di atas batu. Angin panas menderu dahsyat memecah kabut tebal. Terdengar suara ledakan keras. Samar pula pandangannya menangkap satu sosok tubuh melompat dan batu besar yang didudukinya hancur berantakan.
"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau kuundang ke gunung ini!!" terdengar suara laki-laki, serak, mengekeh. Andika yang masih menahan serangan tak nampak melalui suara tawa yang menyakitkan tadi, melihat satu sosok tubuh berdiri di hadapannya dalam jarak tiga tombak. Meskipun pandangannya tertutup kabut tebal, namun ia cukup dibuat terkejut saat melihat rupa orang itu.
"Hmm... apakah aku berjumpa dengan setan beranak di tempat seram ini?" desisnya sambil kerutkan kening.
Sosok yang berdiri di hadapannya bertubuh bongkok. Pakaian compang-camping dengan perlihatkan tulang di tubuhnya, seolah tak merasakan hawa dingin yang sangat kuat. Wajahnya sukar sekali dilukiskan karena rambut putihnya memanjang bagai menutupi pandangannya. Jenggotnya yang putih menjulai hingga setengah meter dari tanah. Celananya berwarna putih yang sudah kotor sekali.
"Siapakah kau, Orang Tua?" desis Andika dengan hati bertanya-tanya. Namun ia yakin, kalau orang tua aneh itulah yang mengundangnya datang ke tempat ini.
"Hehehe... pertanyaan bagus, berarti permulaan yang bagus pula. Selamat datang di tempat sialan ini, Pendekar Slebor." Orang tua itu mengekeh, seperti mentertawai kata-katanya sendiri yang dianggapnya sebagai gurauan yang lucu. Padahal Andika tidak menimpalinya. Ia justru mendengus karena pertanyaannya tak segera dijawab. Ia mengulanginya lagi. Namun lagi-lagi orang tua aneh, kurus kerempeng, dan memiliki tulang seperti udang itu, perdengarkan tawanya. Kali ini tidak terlalu keras menerpa dan tidak menggetarkan. Rupanya, tawanya itu tidak dialirkan tenaga dalam seper-ti tadi.
"Tidak sia-sia aku mengundang seorang pendekar kenamaan ke tempat ini, yang namanya semakin lama semakin merangkak naik ke langit ketujuh. Tetapi perlu kau ketahui, kau sebenarnya beruntung bertemu denganku, Pendekar Slebor!"
"Monyet bongkok!" maki Andika dalam hati.
"Konyol benar kata-katanya itu! Dipikirnya ia seorang dewa apa?" Lalu ia berseru lagi, "Orang tua... lebih baik katakan siapa kau adanya, dan apa maksudmu mengundangku kemari?"
"Tidak sabaran! Memang tak heran, bila kuketahui hal itu! Julukan Pendekar Slebor memang cukup aneh dan sekaligus mengerikan."
"Busyet! Dia masih belum menjawab juga pertanyaanku?" maki Andika dalam hati.
"Jangan-jangan, orang tua ini sinting.
Mungkin kebanyakan makan na-si campur tahi ayam!" Selagi Andika mendumal tak karuan, orang tua aneh itu justru menjawab pertanyaannya, "Hehehe...
kau boleh memanggilku Kakek Buruk Rupa. Padahal, wajahku tak kalah ganteng denganmu, lho." Kalau tadi Andika jengkel karena pertanyaannya tidak segera dijawab, sekarang buyut dari Eyang Saptacakra penguasa Lembah Kutukan itu jadi ingin kencing mendengar kata-kata si orang tua.
"Heran, kok tidak malu ya memuji sendiri," ejeknya sambil perlihatkan seringainya yang paling jelek.
"Padahal wajah-mu tak lebih dari setan kuburan, Orang Tua!" Bukannya marah mendengar ejekan itu, si orang tua yang mengaku berjuluk Kakek Buruk Rupa justru sunggingkan senyum. Karena wajahnya yang mengerikan itu, senyumnya pun tak ubahnya seperti setan yang kebelet kencing.
"Pujian bagus! Aku senang mendengarnya! Mendekatlah! Ada sebuah pesan yang ingin kusampaikan padamu! Duduk!!" Mungkin karena rasa penasarannya itulah yang membuat Andika memenuhi kata-kata si orang tua yang mengaku telah sengaja mengundangnya ke tempat ini. Perlahan-lahan ia duduk bersila. Meskipun wajahnya tertutup panjangnya rambut, namun Andika tak menyangkal lagi kalau wajah orang tua di hadapannya pasti lebih buruk dari kucing kurus! Orang tua itu pun duduk di hadapan Andika.
Dua orang laki-laki berbeda usia itu kini saling berhadapan. Dan saling tatap seolah menjajaki siapa adanya diri masing-masing. Kakek Buruk Rupa kilapkan tangannya seolah sikap seperti itu tak usah diperlihatkan.
Ia justru keluarkan sesuatu dari balik pakaiannya yang compang-camping. Rupanya, di balik pakaiannya itu terdapat semacam ikat pinggang berwarna merah dan sesuatu yang diambilnya tadi itu berasal dari sana. Dibawanya benda yang masih berada dalam genggamannya itu di hadapan Andika.
"Tebak! Apa yang ku genggam ini?" Andika picingkan matanya. Ia hanya melihat sebuah sinar warna biru yang memancar dari genggaman si orang tua. Namun sulit menebak benda apakah itu.
"Katakanlah, Kek."
"Pasti... pasti kau sangat penasaran sekali" sahut Kakek Buruk Rupa yang kelihatan geli dengan permintaan Andika.
"Baik, baik... karena aku yang mengundangmu ke sini, aku akan segera memberitahukannya padamu."
"Ya sudah! Ceritalah, Kek!" seru Andika sewot.
Si orang tua perdengarkan tawanya yang benarbenar tak sedap didengar. Perlahan-lahan ia buka genggamannya. Sinar biru yang tadi memancar, kini bertambah terang, menusuk mata.
"Bola kaca!" desis Andika kagum. Matanya melotot melihat benda di tangan si orang tua.
"Goblok! Ini permata!" Andika garuk-garuk kepalanya sambil nyengir.
Diperhatikannya permata sebesar telur ayam yang berada di telapak tangan si orang tua. Sinar biru yang memancar dari sana, benar-benar cukup menyilaukan.
"Hanya karena permata ini, kau mengundangku kemari, Kek?" tanyanya kemudian.
Kakek Buruk Rupa terkekeh lagi.
"Permata di tanganku ini bukanlah permata sembarangan. Bukan permata seperti yang dimiliki orang kebanyakan. Apa yang kau lihat dari permata ini, Andika?"
"Sinar warna biru yang menyilaukan namun kuakui cukup mempesona."
"Bodoh! Coba perhatikan lagi!" Sebenarnya, Andika sudah jengkel bukan main karena selalu dibentak. Tetapi rasa penasarannya mengunci jengkelnya itu. Ia picingkan matanya sekaligus halau sinar biru yang cukup menusuk mata. Perlahan-lahan dilihatnya sebuah bayangan di dalam permata sebesar telur ayam itu.
"Ada gambar naga di dalamnya," katanya agak ragu. Si kakek justru mengiyakan dan memujinya.
"Tepat! Tepat sekali! Kau memang pintar! Tak sia-sia kau dikatakan pendekar yang memiliki sejuta akal cerdik. Perlu kau ketahui... permata biru ini adalah Permata Sakti yang kudapatkan lima belas tahun lalu di Sungai Biru yang letaknya ribuan tombak dari tempat ini. Semula, aku tidak tahu menahu soal permata yang entah berapa lama terpendam di Sungai Biru. Ketika kudapatkan, sesuatu yang mengejutkanku terjadi. Karena permata ini begitu panas sekali! Satu hal yang mengejutkanku, selama lima belas tahun itu banyak sekali orang-orang yang menginginkan permata ini. Terus terang, aku tidak tahu apa kegunaannya.
Namun ketika setiap saat aku harus bertarung mempertahankan permata ini, barulah aku sadar kalau tentunya permata ini mengandung satu kekuatan sakti yang luar biasa...."
"Apakah itu, Kek?"
"Goblok!" Kakek Buruk Rupa member tak.
"Bertanya terus! Dengarkan saja!" Andika menggeram jengkel. Hhh! Kalau tidak penasaran, ingin dijitaknya kepala si orang tua.
Kakek Buruk Rupa berkata lagi.
"Selama lima belas tahun aku berusaha mempertahankannya, karena meskipun saat itu aku belum mengetahui apa rahasia permata ini, aku terus mempertahankannya. Terus terang, aku menyukainya dan kudapatkan dalam rentang waktu yang sangat jauh dari usiaku sekarang ini yang sudah mencapai sembilan puluh tahun. Kini, Permata Sakti ini kuhadiahkan kepadamu, Andika."
"Heran... tadi kau mengatakan akan mempertahankannya. Lalu mengapa kau begitu saja menghadiahkannya padaku" Jangan-jangan, kau cuma menjebakku saja," seloroh Andika.
"Kurang ajar! Tak pantas kau berkata begitu padaku! Dengar, usiaku sudah lanjut. Aku ingin ada yang mewarisi Permata Sakti ini dan pilihanku jatuh kepadamu."
"Mengapa pilihanmu kau jatuhkan kepadaku, Kek" Bila kau memang ingin menyerahkan Permata Sakti itu, lebih baik kau berikan saja pada yang lainnya."
"Karena, aku tak percaya pada orang lain kecuali kau untuk menjaganya dan mempergunakannya di jalan kebajikan."
"Enaknya ngomong! Apa kau pikir aku ini bajik?" kata Pendekar Slebor. Mulutnya berkata begitu, padahal hatinya bangga sekali. Dasar urakan! "Aku percaya akan sepak terjangmu yang selalu kupantau. Nah, permata ini kuserahkan kepadamu."
"Maafkan aku, Kek... aku sulit menerimanya tanpa alasan yang masuk akal."
"Apakah tadi bukan alasan yang masuk akal?" maki Kakek Buruk Rupa sewot.
"Katakan dulu, apa rahasia Permata Sakti itu.
Tadi kau katakan, permata ini bukanlah jenis permata biasa. Melainkan sebuah permata yang memiliki kesaktian yang dahsyat. Nah, katakan kesaktian apa yang dimiliki permata ini" Jangan-jangan, omonganmu ini tak lebih dari gombal belaka!"
"Enaknya kau ngomong! Kuhadiahkan saja kau sudah beruntung, masih ceriwis ingin mengetahui rahasia permata ini dariku! Kau pecahkan sendiri!"
"Kalau begitu... aku tidak mau. Lagi pula, katamu kan banyak yang menginginkannya, janganjangan... kau sengaja menyerahkannya kepadaku biar aku yang diburu oleh orang-orang yang menginginkannya," kata Andika yang coba memancing kata-kata si orang tua.
"Brengsek!" maki Kakek Buruk Rupa. Matanya yang celong ke dalam melotot dari balik rambutnya yang lebat.
"Pokoknya, kau harus menerimanya dan memecahkannya sendiri!" Andika tertawa dalam hati. Sebenarnya, rasa penasaran di hatinya makin mengikat. Masalah ia akan diburu atau tidak oleh orang-orang yang menginginkan Permata Sakti itu, urusan nanti. Namun, sudah tentu ia tidak akan menerima pemberian Kakek Buruk Rupa begitu saja. Masih banyak pertanyaan yang bergelimpangan di benaknya.
Ia tetap menggeleng. Dilihatnya si Kakek Buruk Rupa mengangguk-angguk, seperti menyetujui katakatanya. Lalu seperti pada kenalan lama saja, ia menepuk perut Andika.
"Kalau kau memang tidak mau, ya tidak apaapa. Kupikir, memang sebaiknya permata ini berada di tanganku saja. Terima kasih kau telah memenuhi undanganku ke sini," Belum lagi Andika berkata apa-apa, mendadak saja tubuh Kakek Buruk Rupa menghilang dari pandangan. Bagai ditelan kabut pekat. Yang tercium kemudian, hanyalah bau tidak sedap.
Andika lebih keburu menekap hidupnya seolah baru menyadari sebenarnya sejak bertemu dengan Kakek Buruk Rupa ia sudah mencium bau tidak sedap itu daripada memikirkan ke mana perginya si kakek bongkok itu.
"Hhh! Seumur hidupnya pasti dia tidak mandi!" gerutunya setelah itu barulah ia ingat kalau si kakek telah meninggalkan tempat itu.
"Busyet! Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya hingga ia bisa lenyap begitu saja! Hhh! Cukup penasaran sebenarnya aku dibuat orang tua jelek itu. Tetapi, cukup mengherankan juga mengapa ia ingin menyerahkan Permata Sakti yang memancarkan sinar warna biru itu kepadaku, padahal ia telah lima belas tahun mempertahankannya. Brengsek! Kok sekarang aku jadi ingin memiliki permata itu. Rahasia di dalamnyalah yang membuatku jadi seperti itu. Tetapi, biarlah permata itu dipegang oleh Kakek Buruk Rupa, Karena ia memang pemiliknya yang sah." Andika pun berdiri, merasa lebih baik segera meninggalkan tempat itu. Namun baru saja kedua kakinya tegak, sesuatu jatuh dari balik pakaiannya.
"Hei!" serunya tanpa sadar. Benda yang jatuh itu memancarkan sinar warna biru.
"Busyet! Orang tua jelek itu mempermainkan ku rupanya! Gerakannya sangat cepat sekali! Rupanya, selagi ia menepuk perutku tadi, Permata Sakti ini diselipkannya di balik pakaianku. Luar biasa!" Masih mengagumi kehebatan Kakek Buruk Rupa dan seolah melupakan kalau ia tadi dipermainkan, Andika memungut permata yang memancarkan sinar biru itu. Diperhatikannya dengan seksama. Dilihatnya bayangan seekor naga di dalam permata sebulat telur ayam itu yang semakin lama nampak semakin jelas.
Bayangan gambar naga itu terdiri dari tiga warna. Kepalanya berwarna kuning. Tubuhnya berwarna merah.
Sedangkan kaki dan ekornya berwarna hitam.
Tiba-tiba dirasakannya panas yang membara, hingga tanpa sadar dilemparkannya permata itu.
"Busyet! Aku seperti memegang bara api saja!" desisnya dan dengan konyol ia meniup tangannya.
"Hhh! Biar bagaimanapun juga, aku tak menginginkan permata ini. Akan kucari Kakek Buruk Rupa dan ku-kembalikan padanya!" Sambil kerahkan tenaga dalamnya, guna hindari hawa panas tadi, Andika mengambil kembali permata itu. Meskipun masih terasa panas, namun tak terlalu menyengat. Dimasukkannya ke balik pakaiannya. Diperhatikan lagi sekelilingnya, "Hmmm... ke mana aku harus cari orang tua itu" Rupanya, ia sudah sinting permata kesayangannya ini diserahkannya padaku. Biar bagaimanapun juga, aku harus mengembalikannya. Karena aku tak berhak untuk memilikinya." Belum lagi ia melangkah, terdengar kekehan yang luar biasa kerasnya dari satu tempat.
««::{ 2 }::»»
Andika menatap tak berkesip pada orang tua berpakaian warna perak menyala itu. Wajah si nenek yang penuh kerut merut cukup mengejutkannya. Apalagi ketika ia mulai ingat siapa gerangan wanita tua yang memegang tongkat kusam di tangan kanannya.
"Hmmm... Si Camar Hitam," desis Andika dan tanpa sadar ia bersiaga. Andika tahu siapa wanita tua itu. Seorang tokoh hitam yang sangat kejam. Bahkan Andika pernah bertarung dengannya. (Untuk mengetahui siapa gerangan si Camar Hitam, silakan baca episode: "Cincin Berlumur Darah").
Wanita tua yang memang si Camar Hitam perdengarkan kekehannya yang tak sedap.
"Tak kusangka, hari ini berjumpa lagi dengan Pendekar Slebor. Bagus, bagus sekali! Sekali datang, dua nyawa kukepruk!" Meskipun tak mengerti nyawa siapa satu lagi yang dimaksudkan oleh wanita berwajah tirus penuh keriput, Andika perlihatkan seringaiannya.
"Kalau begitu, apakah yang satu lagi nyawamu sendiri" Ya... bunuh diri saja dulu, baru kemudian kau berusaha untuk membunuhku!" Kerut merut di wajah Camar Hitam bagai bertambah, berlipat menambah keangkerannya. Mata kelabunya yang celong ke dalam bagai terlempar keluar.
"Setan alas! Dendam lamaku semakin berkarat padamu, Pendekar Slebor! Gara-gara kaulah aku gagal mendapatkan Cincin Sakti milik Ki Seta! Bahkan gagal membunuh Penguasa Alas Roban! Kali ini, kau tak akan bisa hindarkan lagi dari kematian!"
"Heran ya... apakah bukan kau dulu yang akan dijemput ajal" Usiamu bukan lagi sudah magrib, tetapi sudah memasuki isya! Dan satu lagi, malaikat maut biasanya lebih suka dengan orang jelek seperti kau, karena cuma merusak pemandangan!!" sehabis mengejek seperti itu, Andika terbahak-bahak keras. Kelam wajah si Camar Hitam. Masih berdiri di tempatnya, ia menggerakkan tongkatnya.
Wuss! Deru angin dahsyat disertai suara menggidikkan, menderu ke arah Andika. Masih tertawa, Andika melompat ke kiri. Lalu dengan gerakan yang aneh, bagai memotong, ia mengibaskan tangannya! Deru angin itu putus di tengah jalan terhantam pukulan jarak jauhnya. Ia memutar tubuhnya kembali.
Masih penuh seringaian mengejek, ia berkata, "Nah! Kau lihat sendiri, bukan" Apakah kau mampu menghadapiku?" Saat ini Andika sebenarnya jengkel dengan kemunculan si Camar Hitam. Keinginannya untuk mencari sekaligus mengembalikan permata pada Kakek Buruk Rupa jadi terhalang. Dan ia tahu, akan sulit menghindarkan diri dari munculnya si Camar Hitam.
Camar Hitam menggeram. Gebrakan pertama dari serangannya itu merupakan rangkaian jurus tongkat yang dimilikinya. Pendekar Slebor bukan hanya bisa menghindari, bahkan sekaligus mematahkan serangannya.
"Pemuda keparat! Setelah kubunuh kau, baru kucari Kakek Buruk Rupa yang menyimpan Permata Sakti!" Kali ini Andika menghentikan tawa. Matanya tak berkesip pada si Camar Hitam. Kakek Buruk Rupa" Permata Sakti" Hmm, jelas sekali kalau kehadiran si Camar Hitam ini untuk mendapatkan Permata Sakti milik Kakek Buruk Rupa yang sekarang berada di balik pakaiannya. Jadi, apa yang dikatakan Kakek Buruk Rupa itu memang benar adanya, kalau selama lima belas tahun ia harus mempertahankan Permata Sakti itu.
Andika mendengus menyadari kalau sekarang justru ialah yang terkena batunya. Hadangan pertama yang dihadapinya adalah si Camar Hitam, yang memang belum tahu kalau Permata Sakti itu berada padanya. Namun, kehadiran tokoh golongan hitam ini cukup akan merepotkannya.
"Manusia jelek ini jangan sampai tahu kalau Permata Sakti itu berada padaku." desis Andika dalam hati.
"Apa sebenarnya kesaktian permata ini" Dan lagi, kenapa si kakek yang tidak tahu mana hidung dan mulut itu memberikannya kepadaku?" Memikir sampai di sana, guna membuang keterkejutannya Andika terkekeh.
"Apa sih yang kau maksudkan dengan Permata Sakti" Dan lagi, siapa gerangan Kakek Buruk Rupa itu" Apakah kau tidak pantas kalau kusebut Nenek Jelek-jelek Sekali"!" Gusar bukan buatan Camar Hitam. Tubuhnya sampai bergetar bersamaan dengan suara gerengan dari mulutnya. Sebenarnya, yang ia inginkan adalah Kakek Buruk Rupa. Setelah tak mampu mengalahkan Penguasa Alas Roban, si nenek kembali ke asalnya.
Ia pulihkan tubuh dan kesaktiannya. Sampai kemudian terdengar kabar tentang seorang tokoh aneh yang berjuluk Kakek Buruk Rupa. Camar Hitam telah lama mendengar julukan itu. Ia tak pernah tertarik sama sekali. Akan tetapi, ketika didengarnya tentang sebuah Permata Sakti yang dimiliki oleh Kakek Buruk Rupa, ia tinggalkan kediamannya guna merebut Permata Sakti itu.
Dalam rencananya, setelah berhasil mendapatkan Permata Sakti, ia akan mendatangi Penguasa Alas Roban untuk membuat perhitungan, sekaligus mencari Pendekar Slebor yang menggagalkan rencananya untuk memiliki cincin pusaka Ki Seta. Dan sekarang ini, sebelum rencana pertamanya dijalankan, ia telah bertemu dengan Pendekar Slebor. Selentingan ia menyirap kabar, kalau Kakek Buruk Rupa mendiami Gunung Semeru. Tubuh si Camar Hitam sudah berkelebat laksana kilat. Tongkat kusamnya bergerak membabi-buta, menimbulkan suara angin dahsyat. Andika sejak tadi sudah bersiap menerima serangan, bergerak tak kalah cepat. Namun gebrakan selanjutnya yang dilakukan si nenek berbaju perak itu, cukup membuat Andika kerepotan. Bukan hanya tongkat yang menderu-deru siap menghabisinya, juga gerakan bagai seekor camar yang kadang menukik dan meluruk cepat. Andika memakimaki tak karuan.
"Ini tak bisa kubiarkan!!" makinya sewot sambil menggulingkan tubuh menghindari gempuran itu. De-bu di sekitarnya mengepul lebih tebal. Kabut yang menghalangi pandangan terpecah dan berpindah tempat. Suatu saat, Andika membuat satu gerakan yang benar-benar aneh. Karena ketika tongkat di tangan si Camar Hitam siap menotoknya, ia justru maju bagai menyongsong. Kendati kaget dan berpikir kalau Andika hendak menipunya, Camar Hitam tak menghentikan serangan.
Dan benar-benar mengejutkan si Camar Hitam sendiri. Karena Andika memang menyongsong serangannya!
****
Beberapa saat hal itu terjadi, sementara dari senyuman berubah tawa ejekan dari Camar Hitam.
"Rupanya ajal sudah tiba untukmu, Pendekar Slebor. Jurus 'Penutup Jalan Darah'-ku memang tak bisa dikalahkan...." Puas sekali wajah si Camar Hitam melihat bagaimana Andika terus menerus limbung seperti tak mampu menguasai keseimbangannya. Namun detik berikutnya, kedua mata kelabunya bagai hendak melompat keluar melihat bagaimana Andika berdiri tegak dengan tubuh tak kurang suatu apa.
"Setan keparat! Kau menipuku, hah?" Memikir kalau ia hanya dipermainkan oleh Pendekar Slebor, Camar Hitam buat serangan yang lebih dahsyat. Namun seperti tadi Andika menyongsong serangan itu. Tubuhnya bukan hanya terkena totokan tongkat si nenek, melainkan juga gebukan bahkan jotosan tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Hanya saja, sampai sejauh itu, Andika tak sekali pun membalas. Justru membiarkan tubuhnya dihantami berkalikali. Limbung tubuhnya pun semakin cepat, tetapi lagi-lagi tidak jatuh, bahkan berdiri tegak! Sementara itu, sesuatu yang aneh dirasakan Andika.
"Aneh! Ke mana perginya nenek jelek itu" Kutu monyet! Ke mana dia" Mengapa seluruh pandanganku berubah biru dan di mana-mana yang nampak hanya warna biru saja. Apa yang terjadi?" Sementara itu Camar Hitam menghentikan serangannya. Tatapannya benar-benar tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya itu. Penasaran ia menyerang lagi. Lebih dahsyat disertai dengan teriakan-teriakan membahana penuh amarah.
Seperti yang sudah-sudah, Andika tetap membiarkan tubuhnya dihantami dan tak sekali pun membalas. Sedangkan menurut perasaan Andika saat ini, dia hanya melihat warna biru di sekelilingnya.
Sadar lawan memiliki ilmu yang lebih darinya, Camar Hitam menghentikan serangannya lagi.
Ia berdiri tegak dengan napas terengah. Seluruh tenaganya bagai terkuras habis akibat gerakannya sendiri.
"Tak kusangka, Pendekar Slebor memiliki ke-majuan sangat pesat. Padahal ketika pertama kali aku bertarung dengannya, aku bisa mengimbangi sekaligus mengalahkannya. Rupanya ia memiliki ilmu simpanan yang jarang diperlihatkannya. Tetapi, mengapa sejak tadi ia tidak membalas" Peduli setan! Ini kesempatan yang terbaik bagiku untuk meninggalkan tempat ini! Lebih baik aku teruskan mencari Kakek Buruk Rupa untuk dapatkan Permata Sakti. Aku yakin, si kakek tidak berada di sini. Sejak tadi ia tidak tampakkan batang hidungnya! Setelah kudapatkan benda itu, akan kubalas perlakuan Pendekar Slebor yang mempermainkan ku ini!" Memikir sampai di situ, Camar Hitam langsung melompat meninggalkan Pendekar Slebor yang masih berdiri tegak tanpa melakukan apa-apa.
Dalam jarak beberapa saat setelah kepergian si Camar Hitam, Andika menggerakkan tubuhnya. Dari sikapnya yang tegak tak melakukan apa-apa ia celingukan "Busyet! Mengapa pandanganku berubah kembali" Tadi seluruh yang nampak di mataku hanyalah warna biru belaka" Monyet pitak! Kenapa jadi begini" Ke mana perginya nenek jelek tadi" Aneh! Apa yang terjadi sebenarnya?" Merasa penasaran sekaligus heran, Andika berkelebat mencari si Camar Hitam, namun tubuh si nenek berbaju perak itu tak ditemuinya. Ia berdiri tegak dengan kening berkerut.
"Busyet! Ke mana manusia jelek itu" Wah, jangan-jangan dia takut padaku, hingga melarikan diri?" pikirnya sok. Lalu menyambung, "Tetapi, apa yang terjadi denganku barusan" Sepertinya seluruh pandanganku berubah menjadi biru. Dan tak kulihat tempat ini tadi. Bahkan tak kuketahui di mana sosok Camar Hitam berada" Aneh! Ada apa ini" Tetapi, sekarang aku tahu, kalau Camar Hitam menginginkan Permata Sakti ini. Pasti sekarang ia sedang mencari Kakek Buruk Rupa. Agaknya, aku bukan hanya berniat mengembalikan permata ini pada si kakek, tetapi juga memperingatkannya kalau bahaya masih mengancam dirinya." Masih dengan rasa keheranan mengenai perubahan yang terjadi pada pandangannya tadi di samping juga karena tahu-tahu Camar Hitam lenyap dari pandangannya, Andika berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun samar masih diingatnya kalau tadi, ia sedang diserang hebat oleh Camar Hitam.
Andika memang tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya tadi. Ia tidak tahu mengapa apa yang dilihatnya hanya warna biru belaka" Ia tidak tahu kalau ia dengan sengaja menyongsong serangan maut si Camar Hitam dan membiarkan tubuhnya dihajar.
Karena, gebrakan semacam itu akan membuatnya mati. Satu pertanyaan yang akan melanda diri Pendekar Slebor telah tercipta di hadapannya sendiri, tanpa disadarinya.
***
««::{ 3 }::»»
Pemuda pewaris Ilmu Pendekar Lembah Kutukan mengedarkan pandangan ke sekeliling bukit.
"Sinting! Ke mana aku harus mencari Kakek Buruk Rupa" Bikin kepalaku pusing!" makinya tak karuan. Diambilnya permata biru yang berada di balik pakaiannya. Dipegangnya perlahan.
"Hmm, masih agak panas. Brengsek! Apa sih sebenarnya kesaktian permata ini" Kenapa banyak yang menginginkannya" Lagi pula, mengapa Kakek Buruk Rupa mengundangku yang ternyata memberikan permata ini padaku" Dan lagi, mengapa saat bertarung dengan Camar Hitam, seluruh penglihatanku hanya melihat warna biru belaka?" Pemuda tampan berambut gondrong tak teratur itu membiarkan tubuhnya dihembusi angin senja yang sejuk. Ia masukkan lagi Permata Sakti itu ke balik pakaiannya.
Mendadak saja telinganya yang tajam mendengar desisan liar dari samping. Seekor ular belang yang cukup panjang muncul dari balik rimbunnya semak dan meluncur ke arah kaki Andika.
"Dasar ular lapar!" maki Andika sambil putar tubuhnya. Lalu kakinya menyentak.
Preek! Kepala ular itu diinjaknya, pecah dan mengalirkan cairan kuning. Saat itu kabut mendadak turun di muka bumi dan memenuhi perbukitan. Andika mengambil ular yang telah dibunuhnya itu.
"Lumayan untuk pengisi perut," desisnya.
Sambil tenteng ular itu, ia mulai melangkah di antara liputan kabut. Dan mendadak saja terdengar suara ta-wa yang cukup merdu bersamaan dengan seruan "Hei! Kenapa kau bunuh Jelita-ku?"
****
Dalam cuaca remang-remang di dalam kabut, tampak satu sosok tubuh seorang gadis berpakaian kuning. Berusia lebih kurang tujuh belas tahun. Ia tersenyum jenaka pada Andika yang terbelalak melihat betapa cantiknya gadis itu. Raut wajahnya bulat, mulutnya mungil dengan sepasang bibir memerah. Matanya hitam jernih dengan gigi yang putih mengkilat seperti salju. Ketawa yang diperdengarkan gadis itu ke-tawa lincah dan nakal.
Sukar untuk mengetahui makna senyuman yang diperlihatkannya.
Andika yang masih diliputi kagetnya mendesis dalam hati, "Apakah aku bertemu dengan kuntilanak kesorean ataukah ia bidadari yang turun dari kayangan?" Untuk beberapa saat perasaan Andika bagai di-aduk-aduk. Matanya tak tahan lama-lama menatap si gadis yang masih tersenyum.
"Hayo! Kenapa matamu itu?" katanya jenaka masih tersenyum.
Andika gelagapan ditembak' seperti itu. Dasar urakan, ia segera bisa menguasai dirinya lagi.
"Busyet! Kupikir lembah ini tempat jin buang anak! Eh, jangan-jangan kau ini anaknya jin, ya?" selo-rohnya. Bukannya marah mendengar selorohan Andika, gadis itu justru tertawa.
"Kalau aku yang cantik ini anak jin, kau yang jelek itu anak siapa?" Andika tertawa gurauannya dibalas. Ia bertanya, "Siapa tadi yang kau maksudkan dengan si Jelita?"
"Kau telah membunuhnya."
"Aku?" Andika mengerutkan keningnya.
"Kok main tuduh sembarangan saja!"
"Apa yang ada di tanganmu itu?" Andika mengangkatnya.
"Ular!"
"Nah, itu si Jelitaku!" Kali ini sepasang mata tajam bagai mata elang itu melotot.
"Yang beginian kau namakan Jelita?" Gadis itu mengangguk-angguk.
"Aku bersyukur karena kau berhasil membunuhnya! Telah dua hari aku mencarinya untuk membunuhnya."
"Mengapa" Katanya, ular ini binatang kesayanganmu?"
"Betul. Tetapi, ia telah membunuh kelinci kesayanganku. Nah, apa aku tidak jengkel" Lagi pula, ular itu binatang tak tahu berterima kasih. Sudah kuurus, eh malah membuatku susah. Lebih baik kubunuh saja. Tetapi, kau telah membunuhnya!" Meskipun heran mendapati gadis cantik di tempat sunyi seperti ini apalagi dengan sikap yang plinplan begitu, Andika cuma mengangkat bahunya.
"Seharusnya kau berterima kasih padaku, bukan?"
"Itulah sebabnya aku ingin mengajakmu ke rumahku." Lagi-lagi Andika terdiam. Baru kali ini ia mendapati urusan yang agak aneh semacam ini. Dan mendadak saja perutnya berbunyi. Malunya bukan main ketika melihat gadis di depannya tertawa.
"Kau lapar, kan" Nah! Ayo ke rumahku saja! Di sana kau akan mendapatkan makanan yang banyak sebagai ucapan terima kasihku!" Tawaran itu memang mengasyikkan sebenarnya. Namun saat ini, Andika yang sedang mencari Kakek Buruk Rupa, jadi ragu. Akhirnya ia memutuskan untuk menolak.
"Terima kasih. Masih ada urusan yang harus kulakukan."
"Kalau begitu, aku marah karena kau membunuh ularku!"
"Hei!" Andika melotot tak mengerti.
"Tadi kau mengatakan berterima kasih padaku karena aku membunuh ular ini, lalu mengapa kau hendak marah sekarang?"
"Karena, kau menolak tawaran terima kasihku! Ayolah, aku ingin sekali mengajakmu ke rumah! Kau bisa melihat hewan-hewan peliharaanku! Bahkan ada yang diberikan kakekku dulu, ketika aku berusia tiga tahun. Sekarang, monyet yang diberikan kakekku sudah semakin tua usianya. Seiring dengan usiaku. Eh, anaknya banyak lho! Tetapi, sayangnya, aku tidak tahu lagi di mana kakek berada. Memang brengsek si kakek! Hanya tiga kali aku dikunjunginya! Pertama, ketika aku berusia sembilan tahun! Lalu, ia mendatangiku lagi ketika usiaku dua belas tahun dan itu terakhir setahun yang lalu, ketika usiaku sudah lima belas tahun! Sebenarnya kakek baik, ia menurunkan kepandaiannya kepadaku! Cuma ya, sebel aku dibuatnya!! Ia selalu lama pergi dan ketika mendatangiku, ia justru hanya sebentar. Kadang-kadang cepat menghilang lagi tanpa mau bertemu dengan ayahku. Ih! Meskipun aku sebel padanya, tetapi aku merindukannya. Karena aku tahu, kakek sangat baik sekali padaku. Apalagi aku ini kan cucunya satusatunya." Andika mengerutkan keningnya tak mengerti.
Mengapa tahu-tahu gadis ini bercerita tentang dirinya padanya" Kelihatannya ia memang merindukan kakeknya. Andika bisa menebak sekarang, ketika ia tak mendengar bagaimana munculnya gadis ini, jelas dikarenakan gadis ini mempunyai kepandaian. Mungkin, ilmu meringankan tubuh yang diturunkan kakeknya padanya. Tiba-tiba gadis itu menatapnya serius. Ditatap dengan mata hitam jernih itu Andika jadi gelagapan.
"Ayahku selalu meminta kakekku untuk tinggal bersama kami. Tetapi ia selalu menolak. Kakek memang begitu! Tempat tinggalnya aku tidak tahu di mana! Kakek pernah bercerita, ia adalah orang rimba persilatan, hingga hidupnya selalu di mana saja. Tak menetap di satu tempat! Kakek pernah pula bercerita, ia selalu berkelahi terus menerus. Kakekku itu hebat, ia tak pernah kalah. Makanya, ia bilang, lebih baik menjauh dari kami, hingga bila ada musuh-musuh yang mencarinya, kami tidak terlibat. Hhh! Kakek memang menyebalkan! O ya, Kakek juga berpesan kalau kepandaianku ini tak boleh diketahui ayah dan ibuku! Eh, dari cara pakaian yang kau kenakan, kau pasti orang rimba persilatan, ya?" Andika diam saja. Jelas sekali gadis ini adalah bangsa terpelajar. Dari tutur sapa dan sikap sopannya membuktikan ia bukanlah orang rimba persilatan.
Mungkin, keberaniannya muncul di tempat semacam ini diwariskan oleh darah kakeknya.
"O ya, apakah kau pernah bertemu dengan kakekku" Kakekku agak bongkok. Umurnya sudah tua sekali. Ia selalu mengenakan pakaian compang-camping. Ih! Padahal ayahku mampu membelikannya pakaian yang bagus! Tetapi kakekku selalu menolak.
Mengenai wajahnya, katanya wajah kakek menyeramkan! Menurut kakek, ia dulu wajahnya tampan. Tetapi seorang lawan menjahatinya dengan menaruh obat bius pada minumannya. Setelah ia pingsan, wajahnya dilumuri madu dan ia diikat dalam keadaan tertotok di sebuah tempat. Semut-semut ganas mendatanginya dan menggigiti tubuhnya. Aku ngeri sekali membayangkannya! Makanya, sekarang ini Kakek selalu menutupi wajahnya dengan rambutnya yang panjang.
O ya, kakekku dijuluki Kakek Buruk Rupa!" Dari ketersimaannya mendengar penuturan gadis itu, Andika terjingkat. Ular yang dipegangnya terlepas. Ia terbelalak pada gadis itu yang ganti mengerutkan keningnya heran.
"Kau kenapa" Kalau kau menolak ke rumahku, ya tidak apa. Tetapi, jangan tampakkan wajah jelek kayak begitu?" si gadis bergidik.
"Aku jadi ngeri." Andika merubah sikap terkejutnya. Pelan tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah jelita di hadapannya, ia berkata, "Kau bilang, kakekmu berjuluk Kakek Buruk Rupa?" Gadis itu menganggukkan kepalanya.
"Ya. Memangnya kenapa" Kau baru bertemu dengannya, ya?" Andika ganti mengangguk.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya" Ajak aku untuk menemuinya! Aku kangen sekali pada kakek!" seru gadis itu dengan suara dan wajah lebih cerah. Andika menceritakan pertemuannya dengan Kakek Buruk Rupa. Tetapi, karena sejak tadi si gadis tidak menyinggung soal permata yang memancarkan warna biru, Andika tidak menceritakannya. Apakah si kakek memang pernah menceritakan permata itu pada gadis ini lalu memintanya untuk menutup mulut, ataukah ia sama sekali tak pernah menceritakannya" Andika mendengar gadis itu menarik napas panjang. Kelihatan betapa galau hatinya.
"Kakek memang begitu! Ia pasti telah jauh dari sini! Ah, bila saja kau tahu di mana kakekku berada, pastinya aku akan berjumpa dengannya. Akan kubujuk dia untuk tinggal bersama kami. Tetapi, sudahlah... memahami sifat kakek tak cukup memakan waktu sepuluh tahun. Harus selalu dipenuhi kesabaran yang mendalam. Eh, kau mau ke rumahku atau tidak" Sebentar lagi malam?" Kalau tadi Andika menolak permintaan gadis itu, sekarang ia mengangguk. Ada sesuatu yang ingin ia ketahui, tentang Kakek Buruk Rupa yang masih diselimuti misteri. Terutama, soal Permata Sakti yang berada di balik pinggangnya sekarang. Melihat Andika mengangguk, si gadis sunggingkan senyum.
"Nah! Itu baru bagus! O ya, namaku Suci. Namamu siapa" Kau pasti punya nama kan?" Andika cuma tersenyum mendengar gurauan gadis itu. Gadis yang mengaku bernama Suci itu memang bersifat jenaka. Ia selalu riang gembira.
"Namaku Andika."
"Nah! Kalau begitu, kita berangkat sekarang! Biar sampai di rumahku tidak terlalu kemalaman!" Sehabis berkata begitu, Suci langsung memutar tubuh. Andika mengira mereka akan berjalan beriringan, namun ia harus belalakkan matanya ketika tibatiba gadis itu sudah melesat laksana anak panah dilepas dari busurnya.
"Kejarlah aku kalau kau mampu, Andika!!" serunya sambil tertawa.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Busyet! Benar-benar menantang! Biarlah kuikuti saja dulu gadis yang bernama Suci itu! Barangkali saja aku bisa mendapatkan keterangan tentang Kakek Buruk Rupa!" Selesai berpikir begitu, Andika pun segera menyusul Suci yang sudah melesat jauh.
****
Kali ini Suci memperlambat larinya. Mendapati gadis itu memperlambat larinya, Andika berbuat sama.
Sambil melangkah beriringan, Suci berkata, "Kalau ayahku tanya, katakan kau temanku sejak lama, ya" Katakan pula, kita berkenalan di kaki Bukit Serabut."
"Di mana itu?" tanya Andika tak mengerti.
"Pokoknya kau bilang begitu saja. Ayah pasti tidak bertanya. Yang terpenting, jangan katakan apaapa tentang kakekku. Ayah bisa marah besar. Nanti, aku ingin ikut denganmu mencari kakekku, ya" Kau janji, ya?" Lagi-lagi Andika dibuat tak mampu memutuskan sikapnya. Dari nada suara dan pancaran mata Suci, nampak sekali kalau gadis itu sangat merindukan kakeknya.
"Mengapa kau diam saja?"
"Aku belum tahu harus menjawab apa."
"Tetapi, kau mau membantuku mencarinya, bukan" Aku rindu pada kakek. Aku ingin bermainmain dengannya." Andika tak menjawab, justru ia bertanya, "Masih jauhkah rumahmu?" Suci menggelengkan kepalanya. Menunjuk rumah besar di ujung jalan. Di depan rumah itu ada semacam taman yang cukup besar. Pintu pagar rumah itu cukup tinggi.
"Ingat ya, jangan sekali-sekali mengatakan pada ayah atau ibuku kalau kakek pernah mengajariku ilmu silat dan yang lainnya. Ingat ya" Kau akan menjadi sahabatku kalau kau memang memenuhinya." Kali ini Andika menyanggupi keinginan Suci. Ia berpikir, orang tua Suci tak akan menanyakan hal itu.
Keduanya terus melangkah. Tiba di depan rumah yang tadi ditunjuk Suci, dua orang laki-laki yang berdiri di sana dan sedang merokok bergegas meng-hampiri, "Den Suci!" Suci meletakkan telunjuknya di bibir.
"Jangan berisik. Ayah dan Ibu sudah tidur?"
"Belum. Mereka cemas memikirkanmu," sahut yang berkumis tipis. Matanya tajam menatap Andika.
Seperti menemukan maling jemuran! "Wah! Gawat kalau begini!" desis Suci, lalu menoleh pada Andika, "Ingat katakataku tadi ya" Jangan sampai kau keceplosan ngomong. Kalau melihat sikapmu ini, kayaknya kau termasuk orang yang cerewet!" Andika yang hendak menganggukkan kepala, jadi urung dan keluarkan dengusan.
"Brengsek! Gadis ini benar-benar pandai omong! Tetapi masa bodohlah! Yang ingin kutahu saat ini adalah tentang Kakek Buruk Rupa," desisnya dalam hati.
Suci hanya tertawa saja melihat perubahan wajah Andika. Tanpa mempedulikannya, ia menarik tangan pemuda tampan itu mengikuti langkahnya memasuki halaman yang cukup lebar.
Sementara dua orang laki-laki yang menjaga di depan rumahnya, saling pandang melihat keakraban Suci dengan pemuda yang menurut pandangan mereka itu, kumal sekali.
Selebihnya, mereka tak acuh saja. Toh, Den Suci sudah kembali ke rumah. Sepeninggal Suci yang tanpa pamit itu, memang cukup meresahkan kedua orangtuanya, hingga ayahnya mengutus tiga orang penjaga rumahnya untuk mencari gadis itu. Dan sebelum tiga orang yang diutusnya itu menemukan putrinya, sang putri sudah muncul bersama seorang pemuda tampan namun rambutnya seperti tak diurus.
***
««::{ 4 }::»»
Suci jadi iba melihat keadaan ibunya. Ia langsung merangkul ibunya penuh kasih sayang, lalu dengan tulus ia berkata, "Maafkan Suci, Bu.... Suci nakal, ya?" Ibunya tersenyum.
Matanya berkaca-kaca. Tangannya membelai rambut putrinya yang panjang.
"Mengapa kau tidak pamit, Suci?" tanyanya lembut.
"Habisnya, aku kan tidak tahu kalau kelinci kesayanganku dimangsa oleh si Jelita" Aku kesal kan, Bu. Makanya, kucari ular brengsek itu dan kubunuh." Ibunya cuma sunggingkan senyum, Sementara Andika yang sejak tadi masih berdiri dan belum dipersilakan duduk, hanya memperhatikan saja. Dalam hatinya, ia kesal pada Suci karena telah membuat wanita yang lembut itu jadi kebingungan.
Haryo Adilekso mendehem dua kali. Seketika Andika memutar kepalanya dan mengangguk. Suci berdiri, melepaskan rangkulannya dari ibunya. Ia berkata pada ayahnya, "O ya... kenalkan, ini temanku.
Yah. Bu. Namanya Andika." Andika menganggukkan kepalanya lagi sambil tersenyum. Suci memang benar tentang ayahnya. Setelah menatap Andika beberapa saat, laki-laki gemuk itu bertanya, "Terus terang, kami baru mendengar kalau Suci mempunyai seorang sahabat seperti kau, Andika.
Hmm, katakan, di mana kalian berkenalan?" Seperti yang telah direncanakan, Andika mengatakan apa yang diminta Suci. Padahal hatinya bukan main jengkel berbohong seperti ini. Sudah sepatutnya bila Suci menerima hukuman atas perbuatan nakalnya. Haryo Adilekso mengangguk-angguk. Meskipun pemuda di hadapannya ini seperti orang jarang mandi, laki-laki gemuk itu yakin kalau Andika orang baikbaik. Ia menoleh pada putrinya yang tiba-tiba menundukkan kepala.
"Suci... beberapa kali Ayah katakan padamu, bila kau hendak tinggalkan rumah, kau harus berpamitan kepada kami."
"Maafkan Suci, Yah. Habisnya, Suci jengkel pada si Jelita. Ia tak tahu berterima kasih. Padahal sejak kecil Suci merawatnya dan selalu bermain-main dengannya. Eh, dia justru memangsa kelinci kesayangan Suci." Haryo Adilekso tahu betapa manja putri semata wayang ini.
"Ya, sudahlah... kalian lebih baik beristirahat saja. Andika... kau bisa menempati ruangan di belakang."
"Terima kasih," sahut Andika sopan. Hatinya masih jengkel menyadari kalau ia seperti diperalat oleh Suci. Sementara gadis itu mendekati Andika. Kalau tadi sikapnya seperti takut-takut pada ayahnya, sekarang ia seperti bebas dari sebuah tekanan.
"Kamu belum makan, kan?" katanya pada Andika.
"Ayo, kita makan dulu! Perutku juga lapar!" Andika jadi risih ketika tanpa menunggu jawabannya, gadis itu sudah menariknya, membawanya ke ruangan yang cukup besar.
Hartati hanya tersenyum saja melihat sikap putrinya yang begitu akrab dan manja. Mungkin, mereka telah berkenalan lama, pikirnya. Tetapi, mengapa harus pemuda yang kumal itu menjadi kenalan Suci" Sedangkan Haryo Adilekso hanya terdiam. Pikirannya berputar cepat. Meskipun ia sulit menentukan apakah putrinya berbohong atau tidak saat ini, namun diam-diam ia yakin, kalau kepergian putrinya ini sebenarnya hendak mencari kakeknya. Hati Haryo Adilekso sangat jengkel melihat kelakuan ayahnya sendiri yang dijuluki orang Kakek Buruk Rupa. Bukan berarti, ia melarang putrinya berdekatan dengan kakeknya, melainkan karena ia ingin hidup tentram bersama keluarganya. Ia tahu, ayahnya adalah orang rimba persilatan, yang setiap saat selalu harus menurunkan tangan keras guna pertahankan hidup. Berulang kali ia meminta pada orangtua yang berkemauan aneh itu untuk tinggal bersama dan menghentikan semua sepak terjangnya. Namun sebagai orang rimba persilatan, Kakek Buruk Rupa menolak permintaannya.
****
Di kamar yang disediakan, Andika berusaha memecahkan rahasia apa yang terkandung pada Permata Sakti yang memancarkan sinar biru. Diperasnya seluruh otaknya dengan mata tak berkesip menatap permata biru yang berada di tangannya. Semakin ia berusaha memecahkan rahasia apa yang dikandungnya, semakin buntu rasanya.
Bayangan gambar seekor naga jantan di dalam permata sebesar telur ayam itu, bagai mengambang dan berpendar-pendar di matanya. Tak ada keanehan apa-apa dengan bayangan gambar naga itu yang tak bergerak sedikit juga.
"Rahasia apa yang terkandung di dalam permata ini sehingga banyak yang menginginkannya. Lagi pula, yang masih mengherankanku, mengapa Kakek Buruk Rupa menyerahkannya begitu saja padaku" Kalau memang dia sudah mengetahui rahasianya, lalu teka-teki apa yang ada di balik pemberian permata ini" Hmm, sudah saatnya aku mencari keterangan pada Suci." Dalam satu kesempatan ketika Suci mengajaknya bermain-main di Lembah Wangi, di mana terdapat ribuan bunga yang menebarkan aroma wangi itu, Andika mengemukakan keingintahuannya.
Suci yang sedang tertawa sambil mengejar seekor kupu-kupu, menghentikan gerakannya. Kepalanya menoleh seketika dengan sambil tersenyum ketika Andika memanggilnya, "Ada apa, Kang?" Andika membawa langkahnya ke sebuah pohon rindang. Ia duduk di bawahnya. Matahari pagi yang sudah sepenggalah memberikan sinar cerah ke penjuru persada. Suci dengan riangnya duduk pula di sisinya. Mungkin karena sifat riangnya, ia langsung saja memegang tangan Andika.
"Apakah kau ingin mengajakku mencari kakek?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apa yang hendak kau katakan?" Ditatapnya gadis itu yang masih memperlihatkan wajah riang.
"Suci... aku ingin tahu, selama kau bertemu kakekmu, apakah ia pernah menceritakan tentang permata bersinar biru?" tanya Andika sambil mencabut sebatang alang-alang, lalu dihisap-hisapnya. Manis.
Suci memandang Andika.
"Permata bersinar biru" Permata apakah itu, Kang" Baguskah?" Lagi Andika mendesah. Dengan jawaban seperti itu, ia bisa langsung menduga kalau Suci tak tahu menahu soal permata biru itu.
"Ceritakan tentang kakekmu."
"Mengapa Kang Andika jadi tertarik soal kakek" Rasanya, berkali-kali Andika menanyakan soal kakek." Andika gelagapan dibuatnya. Tetapi bukan ia bila tak bisa mengendalikan gelagapannya sendiri.
"Terus terang, aku ingin sekali bertemu dengan kakekmu." Kali ini Suci tersenyum.
"Kakek orang yang ramah. Ia selalu terbuka dan siap bersahabat dengan siapa saja. Namun, banyak sekali orang yang berlagak bersahabat padahal ingin membunuhnya. Kupikir, kakek akan kesulitan hidup. Oh! Rinduku makin membesar saja pada kakek." Andika pun tak meneruskan pertanyaannya.
Bila Suci sudah menjawab seperti itu, berarti pembicaraan soal Kakek Buruk Rupa harus dihentikan. Karena jelas sekali, Suci hanya tahu sedikit tentang kakeknya.
Dan yang terpenting, sekarang Andika yakin kalau gadis itu tidak tahu menahu soal Permata Sakti yang memancarkan sinar biru. Berarti, sang kakek tak memberitahukannya.
Ia mengajak Suci kembali ke rumah dan sepanjang perjalanan menuju rumah, gadis itu terus menerus meminta Andika mengajaknya serta mencari kakeknya. Andika benar-benar dibuat mati kutu!
****
Dan mendadak saja pendengarannya yang terlatih menangkap satu sosok tubuh hinggap di wuwungan rumah. Sigap Andika tiup lentera yang menerangi kamarnya sambil bergulingan. Permata itu langsung dimasukkan kembali ke balik bajunya.
Lalu dibukanya pintu dan setelah melihat keadaan aman, ia kelebatkan tubuh keluar.
"Hmm, ada tamu tak diundang yang mau cari penyakit!" desisnya. Melalui jendela ia lompat keluar dan langsung berkelebat ke atas. Disangkanya ia akan pergoki orang itu namun ketika tiba di atap rumah, ia tak melihat sosok lain kecuali dirinya.
"Gila! Orang itu jelas mempunyai kecepatan dan ilmu meringankan tubuh yang cukup lumayan.
Hmm... aku jadi penasaran untuk mengetahui siapa gerangan dia!" Tubuhnya dikelebatkan kembali. Dan pandangannya samar melihat bayangan melompat ke bawah.
Cepat Andika mengejar dengan rasa penasaran. Lebih penasaran lagi ketika tahu sosok itu berusaha masuk ke kamar Suci.
"Setan alas! Siapa dia?" begitu melihat bayangan itu, Andika kibaskan tangannya.
Wusss!! Sosok tubuh hitam-hitam yang sedang berusaha membuka jendela kamar Suci, terkejut ketika menangkap desing halus ke arahnya. Ia langsung memutar tubuh dan melompat ke samping.
Andika tak mau membuang waktu, ia langsung berkelebat untuk menangkapnya. Namun, sosok tubuh hitam-hitam yang menutup wajahnya dengan secarik kain, telah bergulingan. Cukup terkejut Andika dibuatnya. Ia langsung mengempos tubuh kembali. Dan sosok itu kembali menghindar dengan cepatnya.
"Hhh! Memaksaku main kucing-kucingan! Kau akan gagal, Kawan!" dengus Andika, kali ini ia membuat gerakan seperti melompat.
Dugaannya tepat karena sosok hitam-hitam itu sudah membuang tubuh.
Padahal, gerakan yang diperlihatkan Andika sebenarnya hanya pancingan belaka. Begitu sosok dihadapannya bergulingan, ia langsung menyergap.
Tap! Kedua tangannya menangkap tangan orang itu, lalu diputar ke belakang hingga terdengar jeritan tertahan.
"Aaaakhhh!!" Justru Andika yang langsung melepaskan kuncian tangannya. Ia terbengong sesaat, apalagi melihat orang itu menjatuhkan tubuh dan mendengus panjang pendek sambil mengusap tangannya yang sakit akibat pitingan Andika.
"Kau?" desis Andika terbata. Sesaat kemudian, terdengar suaranya jengkel, "Mau apa kau memata-mataiku, Suci"!" Orang berbaju hitam-hitam itu mengangkat kepalanya. Matanya pancarkan sinar jengkel. Ia menarik kain hitam yang menutup wajahnya. Seketika terdengar seruannya.
"Sakit tanganku kau buat, Kang Andika!" Andi-ka mendengus. Benar-benar jengkel melihat wajah orang itu. Suci. Bila saja Andika lebih keras sedikit, tak mustahil kedua tangan gadis itu patah dibuatnya! "Hhhh! Perbuatanmu keterlaluan, Suci! Mengapa kau melakukan tindakan seperti ini, hah"."
"Karena Kang Andika akan pergi!"
"Kalaupun aku akan pergi, aku tak akan meninggalkan kau secara sembunyi-sembunyi!"
"Aku takut, Kang Andika tak mengajakku serta," kata gadis itu. Kali ini suaranya lebih pelan dan sarat dengan kesalahan.
"Aku tahu, karena Kang Andika belum juga mengiyakan permintaanku."
"Aku memang tak akan mengajakmu! Melihat sikapmu seperti ini apa aku tak akan mengalami kesulitan bila bersamamu, hah" Lagi pula, aku ingin sendi-ri."
"Aku bisa menjaga diri."
"Dan aku tak ingin mendapatkan sulit dan repot karenamu! Masuk kembali ke kamarmu, Suci! Jangan kau lakukan tindakan seperti ini lagi!!" suara Andika tegas, meskipun rasanya ia tidak tega membentak gadis ini terus menerus.
Suci menundukkan kepalanya. Rasa bersalah menjalari hatinya hingga ia tak mampu berkata apaapa. Lalu dengan perlahan ia bangkit dan menatap Andika. Yang ditatap membuang muka. Hatinya masih kesal. Justru melihat sikap Andika, rasa bersalah di hati Suci makin membesar.
Perlahan-lahan terdengar suaranya pelan, agak bergetar, "Maafkan aku, Kang Andika. Aku janji, tak akan berbuat seperti ini lagi." Andika tak menjawab.
Suci sadar kalau Andika marah akan perbuatannya. Dengan hati sedih ia melangkah masuk ke kamarnya. Tak ada maksud apa-apa ketika ia mencoba melihat keadaan Andika, kecuali ingin mengetahui apakah Andika akan meninggalkannya atau tidak. Tetapi, Andika keburu memergokinya.
Sementara Andika yang masih jengkel dengan sikap Suci, merasa saat inilah yang terbaik untuk segera meninggalkan gadis itu. Hatinya masih banyak diliputi pertanyaan yang merisaukan dan membingungkannya. Begitu Suci masuk dan mengunci kamarnya, Andika langsung mengemposkan tubuh tinggalkan tempat itu. Hal inilah yang terbaik menurutnya.
Namun, tanpa sepengetahuannya, satu sosok tubuh yang sejak tadi melihat dari wuwungan mendesis, "Kini aku tahu... kalau Permata Sakti itu berada di tangan Pendekar Slebor.
Sekian lama aku mencari jejak Kakek Buruk Rupa, dan ketika kudapatkan keterangan kalau rumah ini adalah tempat tinggal anak dan cucunya, kudatangi tempat ini. Dan yang kulihat sekarang, Pendekar Slebor-lah yang memilikinya. Tentunya ia tak menyangka kalau aku sejak tadi sudah melihat permata itu saat dikeluarkan dari balik pakaiannya. Untungnya, gadis manja itu mendadak muncul hingga kehadiranku tak diketahuinya. Hhh! Akan kudapatkan Permata Sakti itu darinya!" Memikir sampai di situ, sosok tinggi besar dengan baju panjang itu pun melesat turun menyusul Pendekar Slebor. Gerakannya sangat ringan sekali, tak ubahnya bagai sehelai kapas yang bergerak dimainkan angin.
***
««::{ 5 }::»»
"Sial! Bagaimana caraku untuk melewati sungai yang panjang dan luas ini untuk sampai ke seberang" Bila saja aku bisa berjalan di atas air, tentunya dengan mudah aku bisa menyeberang sungai yang berair deras ini!" dengus Andika sambil memperhatikan aliran sungai yang deras.
Digunakan akalnya untuk memecahkan masalah di depannya. Lalu nampak ia melangkah mengambil potongan dahan pohon. Dibawanya kembali ke tepi sungai.
"Dengan bantuan ranting pohon ini, aku bisa melewati sungai. Akan kulemparkan ranting-ranting ini secara serempak. Namun sulitnya, aliran sungai ini begitu deras. Bisa-bisa sebelum aku melompat, ranting-ranting ini sudah jauh dibawa aliran sungai! Hhh! Sial! Apakah aku harus balik lagi" Tetapi, jalan satu-satunya yang bisa kugunakan adalah merenangi sungai ini." Selagi Andika memikirkan kemungkinan cara yang hendak digunakannya, sebuah sampan yang di-kayuh oleh seorang laki-laki bertudung caping, meluncur dari arah kanan sungai.
Seketika Andika melambaikan tangannya.
Orang dalam sampan, menghentikan sampannya. Bambu kayuhnya yang cukup panjang dihujamkan ke dasar sungai hingga sampannya berhenti dan dipermainkan air.
"Ada apa, Orang Muda?" tanyanya.
Andika berusaha melihat wajah orang di sampan itu. Namun tak bisa karena sebagian wajahnya ditutupi caping bambu kusam.
"Orang tua... bisakah kau mengantarku ke seberang sungai?"
"Hendak ke manakah kau, Orang Muda?" Terus terang, Andika memang tidak tahu hendak ke mana. Yang menjadi tujuannya adalah mencari Kakek Buruk Rupa. Untuk menjawab pertanyaan si pemilik sampan ia berkata, "Aku hanya ingin ke seberang dan melanjutkan perjalananku."
"Aku mencari nafkah dengan sampanku, Orang Muda." Andika mengerti apa maksud orang itu. Ia berkata, "Aku akan membayarmu...."
"Naiklah!" Andika melompat ringan, hinggap di dasar sampan yang tak bergerak sedikit juga. Kalau bergerak, itu dikarenakan sampan masih dimainkan oleh arus sungai.
"Kita akan memotong aliran sungai, Orang Muda." Ketika si tukang sampan mengangkat kayuhnya, sampannya meluncur. Lalu dengan cekatan sekali ia menahannya kembali. Lalu perlahan-lahan sampan itu mulai bergerak ke tengah.
Diam-diam Andika kagum dengan kelincahan si tukang sampan. Ia mampu kendalikan sampannya di arus sungai deras semacam ini. Deburnya terdengar cukup memekakkan. Andika sendiri kerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dengan maksud memudahkan si tukang sampan mengendalikan sampannya.
Dari balik caping bambunya, sepasang mata si tukang sampan memancarkan sinar merah menatap tubuh Andika yang berdiri menghadap ke muka. Mendadak saja, ia lepaskan kayuhnya. Hingga sampannya deras meluncur.
Andika terperanjat. Ia mengendalikan tenaga dalamnya karena sampan oleng. Sementara tangan si tukang sampan yang sengaja melepaskan kayuhnya, terulur. Siap menjambak rambut Andika.
Namun mendadak saja Andika memiringkan kepalanya. Lalu memutar tubuh dengan satu jotosan dari bawah. Si tukang sampan terperanjat melihat gerakan yang tak disangkanya sama sekali. Jotosan yang cepat itu memang tak mungkin untuk dielakkan.
Namun, si tukang sampan bukanlah orang sembarangan. Ketika tangan Andika menjotos, cepat pula ia menarik tangan kanannya menekuk.
Des! Akibat benturan itu, sampan menjadi oleng dan semakin kencang bagai digusur oleh air.
Andika sunggingkan senyum.
"Manusia busuk! Bokongan semacam ini tak berguna sama sekali! Katakan, siapa kau adanya?" Si tukang sampan mencabut capingnya dan terlihatlah seraut wajah kasar dengan hidung besar.
Rambutnya yang digelung ke atas menjuntai panjang.
Ia membuka pakaian kumalnya, yang nampak pakaian warna hitam sekarang. Panjang dengan celana hitam pula. Wajahnya dipenuhi jerawat masak. Ia tertawa.
Sampan itu terus meluncur.
"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau dijuluki orang nomor satu di rimba persilatan ini, Pendekar Slebor! Hanya sayangnya, siang ini kau berjumpa dengan si Rase Maut!" Andika cuma mendengus.
"Kau pantasnya berjuluk si Tikus Jelek!" seringainya. Ketika tadi Andika melihat sampan itu datang, ia sama sekali tak menduga apa-apa kecuali menyangka orang itu memang ke- betulan lewat. Namun, cara orang itu menahan perahu dari derasnya air sungai, seketika Andika bisa melihat kalau orang itu memiliki tenaga dalam yang hebat. Belum lagi saat ia melompat tadi, masih dilihatnya pakaian orang itu di balik pakaian kumalnya. Berwarna hitam. Kecurigaannya makin membesar ketika mengingat akan tudung bambu yang dikenakan si tukang sampan. Tak seperti biasanya seorang tukang sampan mengenakan tudung bambu begitu lebar hingga menenggelamkan sebagian wajahnya. Andika pun mengambil posisi siap menghadapi segala kemungkinan.
"Haram jadah! Nyawamu sudah berada di tanganku, Pendekar Slebor! Sebaiknya, kau serahkan permata itu kepadaku!!" Kalau sejak tadi Andika sudah mencurigai si tukang sampan, kali ini ia jadi kaget. Karena orang yang berjuluk si Rase Maut itu mengetahui tentang Permata sakti biru yang diberikan Kakek Buruk Rupa kepadanya Diam-diam hatinya mendesis, "Bagaimana orang ini bisa tahu kalau permata itu ada padaku" Hm, dugaanku hanya satu. Ia pasti mengintipku. Tetapi, tak mungkin ia bisa lolos dari pendengaranku. Oh! Kini aku tahu sekarang. Ketika Suci mencoba mematamataiku, manusia ini pasti lebih dulu melihatnya dan aku tak menyangka sama sekali. Karena dugaanku, hanya Sucilah yang melakukan tindakan seperti itu.
Sungguh konyol!" Memikir sampai di situ Andika cuma mengangkat kedua bahu.
"O... jadi Permata Sakti biru itu yang kau inginkan" Bila memang begitu, mengapa kau tidak segera mengambilnya?" Kelam wajah penuh jerawat itu. Dan satu lompatan sudah menderu ke arah Andika, cepat, menimbulkan dorongan angin hebat.
Rase Maut menunjukkan kelasnya dalam ilmu meringankan tubuh. Gerakan yang dilakukan dengan satu dorongan tenaga dalam tinggi itu seharusnya membuat sampan oleng, namun tidak sama sekali.
Andika sendiri membuat gerakan yang menakjubkan. Tubuhnya melompati tubuh si Rase Maut yang menggempurnya. Namun di luar dugaannya, Rase Maut justru membiarkan tubuhnya dilompati Andika.
Bersamaan tubuh Andika melompat, telunjuk tangan kanannya menotok.
Tuk! Tuk! Gerakan Andika jadi limbung. Seharusnya ia hinggap kembali di dasar sampan dengan kedua kaki tegak. Akibat totokan yang dilakukan oleh si Rase Maut, ia jatuh dengan posisi tubuh tengkurap.
Laki-laki tinggi besar yang mengintip Andika semalam itu terbahak-bahak.
"Rimba persilatan akan berkabung dengan kematianmu, Pendekar Slebor!" Sehabis berkata begitu, si Rase Maut angkat sebelah kakinya. Dengan tenaga dalam tinggi, ia menjejak kepala Andika.
"Mampuslah kau, Pendekar Slebor!!" Namun di luar dugaannya, Andika yang kelihatan tak berdaya, mendadak mencelat naik, berputar di atas lalu hinggap di ujung sampan. Terdengar tawanya yang mengejek si Rase Maut.
"Wah, kupikir totokan itu benar-benar hebat! Rupanya cuma pantas dilakukan pada tikus got, ya?" Merah padam wajah Rase Maut menyadari kalau ia tengah dipermainkan oleh Pendekar Slebor. Ketika Rase Maut menotoknya, Andika yang memang sudah alirkan tenaga dalamnya, mampu menahan totokan itu. Tetapi dasar urakan, di saat maut sudah di ambang mata ia masih bertingkah saja. Setelah terkena totokan itu, ia berlagak ambruk. Padahal dalam hatinya terbahak-bahak melihat bagaimana si Rase Maut sudah berbesar hati melihat gebrakan pertamanya membawa hasil.
Penuh gerengan amarah. Rase Maut menerjang lagi. Tetapi Andika justru menjejakkan kakinya di dasar sampan. Sampan yang tertahan karena tenaga dalam yang dikerahkan oleh si Rase Maut, bagai anak panah terlepas dari busur.
Wusss! Sampan itu bergerak cepat, kembali dimainkan air. Sedangkan tubuh si Rase Maut jadi limbung, serangannya terhenti seketika.
"Busyet! Kau ini lebih pantas jadi penari jaipong di kotapraja, ya" Eh! Kalau senggang, bagaimana kalau kau mengajari aku?" ejek Andika nyengir.
Rase Maut menggeram keras. Ia kendalikan lagi posisi tubuhnya. Lalu menerjang dengan jotosan ke muka. Namun lagi-lagi Andika menjejakkan kakinya di dasar sampan. Kali ini sampan bukan hanya bergoyang, melainkan pecah berantakan. Secepat itu pula Andika lompat dan hinggap di salah satu pecahan sampan. Tubuhnya mengapung dengan tenaga dalam yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Sementara si Rase Maut yang sebelumnya sudah menebak kalau Andika akan menjejakkan kakinya kembali, berhasil kendalikan diri. Namun, ia tidak menyangka kalau Andika justru akan menghancurkan sampan. Maka tanpa ampun lagi, tubuhnya pun jatuh ke sungai yang mengalir deras itu.
Byuuur! Laki-laki berbaju hitam itu gelagapan terbawa air. Andika melambaikan tangannya. Menirukan suara perempuan genit, ia berkata, "Aduh, Kang! Kenapa sih kau mau mandi di sungai yang kotor ini" Ih! Sampai jumpa, ya?" Bukan buatan geramnya si Rase Maut. Ia berusaha untuk keluar dari gulungan air sungai. Ketika dilihatnya sebuah pecahan sampan mendekatinya, ia bersiap untuk meloncat dan hinggap di pecahan sampan itu. Tetapi mendadak saja kayu pecahan sampan itu, melompat dan mencelat ke atas. Ketika ia putar kepalanya, dilihatnya Andika terbahak-bahak.
"Maaf ya" Kayu itu terlalu jelek untukmu! Jadi kupikir, lebih baik dibuang saja!!" Namun di luar dugaan Andika, si Rase Maut telah mempergunakan ajian andalannya, 'Rase Lompati Pagar Api'. Tubuhnya mendadak mencelat dari dalam air, mengalahkan suara gemuruh. Bahkan dalam jarak yang cukup jauh dengan Andika, seharusnya sangat sulit bagi Rase Maut untuk langsung menyerang.
Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan itu! Begitu tubuhnya mencelat dari dalam air, jotosan tangan kanan dan kiri siap dihadiahkan kepada Andika. Andika cukup tersentak dibuatnya.
Ia segera angkat tangan kanan dan kirinya.
Des! Des! Jotosan Rase Maut yang mengandung tenaga dalam tinggi itu tertahan oleh tangkisannya. Namun Rase Maut kembali menunjukkan kelasnya, kalau ia memang seorang lawan yang patut diperhitungkan.
Masih berada di udara, tubuhnya berputar setengah lingkaran dan kakinya dikibaskan.
Des! Tendangan itu tepat mengenai dada Andika. Keseimbangannya oleng seketika. Rase Maut yang merasa kalau lawan sudah kendor serangannya, menyusulkan tendangan beruntun.
Berkali-kali tubuh Andika terhantam tendangan kerasnya. Tubuhnya limbung berkali-kali. Pecahan kayu yang diinjaknya bergoyang. Dalam pikiran Rase Maut, Andika akan jatuh ke air saat itu juga, tetapi setelah tubuhnya oleng, Andika berdiri tegak kembali.
Sesuatu yang aneh dirasakan oleh pemuda urakan itu.
"Sinting! Mengapa pandanganku berubah menjadi biru kembali dan tak kulihat kembali apa-apa yang ada di hadapanku. Busyet! Mengapa hal ini terjadi" Ada apa sebenarnya" Sulit bagiku untuk melihat Rase Maut berada. Jangan-jangan dia menyerangku" Tetapi, apa yang kulihat sekarang hanya warna biru belaka tanpa ada sesuatu yang kukenal. Semuanya kosong." Selagi Andika dihinggapi perasaan tak menentu. Rase Maut yang sudah hinggap di pecahan sampan, kembali menerjang. Menghajar Andika membabibuta, yang seolah membiarkan dirinya dihantam terus menerus. Namun sampai sejauh itu, ia seolah tak merasakan betapa kerasnya hajaran si Rase Maut. Jatuh dan tegak lagi tanpa membalas.
Sudah tentu hal itu mengejutkan si Rase Maut.
Kalau tadi Andika tak akan membiarkan pukulannya masuk, kali ini justru membiarkannya dipukuli.
"Gila! Ilmu apa yang dipakainya" Tetapi, mengapa ia tidak membalas" Peduli setan! Akan kuhajar habis-habisan!" Namun apa yang terjadi kemudian, Andika tetap menerima dan tak membalasnya sekali pun, hingga akhirnya Rase Maut yang terkuras tenaganya.
"Ada apa ini" Ilmu apa yang dimilikinya?" serunya heran.
Dihentikan serangan dan siap menunggu bila Andika menyerang. Tetapi sampai beberapa kejap, tak ada serangan yang dilakukan Andika. Justru saat ini Andika yang sedang berada dalam keheranannya karena pandangannya yang hanya menemukan suasana berwarna biru kini kembali seperti biasa.
"Busyet! Kenapa ini" Jangan-jangan.... Aku telah lama dihinggapi setan gentayangan?" Dan begitu melihat sosok Rase Maut di hadapannya dia berkata yang membuat kening Rase Maut berkerut, "Lho" Kau bisa menyelamatkan diri rupanya, ya" Hebat-hebat!!" Rase Maut mendidih amarah yang menyelimuti tubuhnya. Ia merasa diejek dengan kata-kata Andika itu.
"Keparat hina! Kuhajar kau!!" makinya.
Dalam sangkaannya, Andika akan kembali membiarkan tubuhnya dihajar habis-habisan, namun begitu Rase Maut menggerakkan kakinya, Andika justru melompat dan membuat gerakan memutar. Kakinya tepat menghajar kepala si Rase Maut yang langsung terjungkal kembali ke dalam air.
"Wah! Kau ini jangan-jangan belum mandi, ya" Ya, mandi dululah kalau begitu!" seloroh Andika dan melihat Rase Maut gelagapan.
Tendangan telak yang mengenai kepalanya membuatnya pusing dan sukar mengendalikan diri lagi. Apalagi air deras itu telah menggulungnya. Sementara itu Andika masih memikirkan keanehan yang terjadi. pada dirinya.
"Apa yang terjadi sebenarnya" Mengapa pandanganku seolah melihat ruang warna biru yang besar" Lalu kejap lain kembali normal?" Kejap lain, pemuda urakan berbaju hijau pupus ini sudah mendengus, "Masa bodohlah! Yang kutahu sekarang, Rase Maut pun menginginkan Permata Sakti ini!" Dengan mempergunakan tenaga dalamnya, Andika membawa pecahan kayu di mana ia berdiri ke tepian. Masih berjarak tiga tombak, dia segera melompat. Hup! Sekarang, ia hinggap di seberang sungai. Dilihatnya bagaimana Rase Maut berusaha untuk mengendalikan dirinya. Sumpah serapah yang panjang terdengar di telinga Andika. Sebenarnya, Andika ingin menolong Rase Maut yang tengah gelagapan. Tetapi menurutnya, biarlah orang itu mendapat pelajaran dari niat busuknya.
Setelah tubuh si Rase Maut yang tergulung derasnya air sungai menghilang, Andika terdiam. Matanya memandangi sungai itu.
"Hmmm... memang banyak yang menginginkan Permata Sakti biru ini, padahal aku sendiri tidak tahu apa rahasia yang ada di balik permata ini. Jalan satu-satunya, aku memang harus memecahkannya. Namun yang lebih penting lagi, aku harus temui Kakek Buruk Rupa yang menyebalkan itu! Tetapi, mengapa dua kali aku merasa aneh. Bahkan aku tidak tahu ketika Camar Hitam mendadak menyerang kembali. Juga, saat Rase Maut muncul dari dalam air tadi. Busyet! Kenapa ini?" Memikir begitu, Andika pun putar tubuhnya.
Namun ia urung melangkah, karena satu sosok jelita berdiri di hadapannya dengan senyuman di bibir.
****
"Aku paling tidak suka dibuntuti!"
"Lho, siapa yang membuntuti Kang Andika" Aku keluar dari rumah karena ingin mencari kakek! Kok, kecakepan sekali Kang Andika ini kalau aku mau melakukan hal itu!" kata sosok jelita di hadapannya dengan senyum mengejek bertengger di bibirnya yang memerah ranum. Ia tak lain adalah Suci.
Andika mendengus dalam hati.
"Sial! Rupanya diam-diam ia mengetahui aku pergi. Hebat juga ilmu meringankan tubuh yang dipelajari gadis ini dari kakeknya! Lalu katanya, "Lebih baik kau kembali ke rumahmu, Suci!"
"Tidak mau! Aku ingin mencari kakek!" Di balik keriangannya gadis ini ternyata juga seorang yang keras kepala.
"Perjalanan yang akan kau tempuh sangat sulit, karena kau sendiri tidak tahu di mana kakekmu berada."
"Bersama dengan Kang Andika, apa yang kutakutkan" Tadi kulihat bagaimana Kang Andika mengalahkan si tukang perahu itu! Lagi pula, aku bisa berjalan sendiri. Aku bisa menjaga diri. Aku bisa berbuat apa-apa sendiri. Aku cuma ikut dengan Kang Andika. Kalau sudah kutemukan kakekku, aku akan pulang. Itu saja, kan" Apa yang merepotkan Kang Andika kalau begitu" Buktinya, aku bisa menyeberangi sungai ini, karena aku tahu ada jembatan gantung di sebelah barat sana." Kali ini Andika keluarkan napas pelan. Yang cukup merepotkannya, karena ia pun hendak mencari Kakek Buruk Rupa. Dan bukan mustahil ia sendiri tidak akan menemukan si orang tua kumal itu.
Kalaupun soal mencarinya memang bukan masalah besar, akan tetapi, soal Permata Sakti biru inilah yang ia pikir akan merepotkannya.
"Aku yakin, kepergianmu ini tak diketahui oleh kedua orangtuamu."
"Biasanya memang seperti itu. Soalnya, mereka bisa marah kalau aku pergi lagi. Lebih-lebih bila mereka tahu kalau aku mencari kakek."
"Kau bukan hanya akan membuat kedua orang-tuamu cemas, Suci... tetapi kau telah membohonginya." Kali ini Suci kelihatan kikuk.
"Habisnya, aku kan rindu kakek. Kalau kukatakan aku hendak mencari kakek, mana mereka mengizinkan?"
"Kau terlalu sering membohongi kedua orang tuamu."
"Kalau sudah kutemukan kakek dan kakek mau tinggal bersamaku, kan tak ada lagi yang perlu kubohongi."
"Bagaimana kalau kakekmu menolak?"
"Bila kakek mau berjanji untuk mendatangiku sebulan atau beberapa bulan sekali, sudah cukup memuaskanku. Pokoknya, aku harus bertemu kakek."
"Kalau begitu lebih baik kau...." Wusss! Andika sudah berkelebat cepat dan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya menjauhi Suci.
Gadis itu menjerit kaget, "Kang Andikaaa!!" Bagi Andika, yang terpenting adalah keselamatan Suci. Karena ia yakin, akan banyak orang-orang yang muncul hendak merebut Permata Sakti biru yang ada di balik bajunya.
Senja sudah menurun ketika Andika memasuki sebuah hutan. Ia celingukan sebentar dari balik sebuah pohon. Ketika ia yakin kalau Suci tidak akan berhasil mengejarnya, ia pun keluar dari sana sambil tarik napas panjang.
"Hmmm.... Suci pasti tak bisa lagi mengikutiku.
Sebentar lagi malam akan datang. Lebih baik aku cari kelinci atau ayam hutan yang bisa kujadikan pengganjal perut. Mudah-mudahan Suci sadar akan kekeraskepalaannya dan kembali lagi ke rumahnya." Selang beberapa saat, nampaklah Andika sedang asyik memanggang daging seekor kelinci. Aromanya sangat mengundang selera sekali.
Dan ketika ia sedang mengerat daging itu, lalu siap dimakannya, tiba-tiba saja terdengar suara, "Ih! Kau jahat sekali kalau tidak mengajakku menikmati lezatnya daging kelinci itu, Kang Andika!!"
***
««::{ 6 }::»»
Dari cara duduk dan wajahnya yang berkerut, jelas sekali ada yang dipikirkan. Orangtua kakek dari Suci itu memang tengah memikirkan tentang Permata Sakti biru yang lima belas tahun lalu ditemukannya.
Sebenarnya, ada perasaan mengganjal di hatinya. Karena, ia sama sekali belum berhasil memecahkan rahasia apa yang ada di balik batu Permata Sakti itu. Yang diketahuinya, begitu banyak orang yang menginginkan Permata Sakti itu.
Lalu pikirannya tiba pada Pendekar Slebor.
"Pemuda itu memiliki otak yang cerdik. Makanya, aku rela menyerahkan Permata Sakti itu padanya.
Karena aku berharap, dengan kecerdikannya ia berhasil memecahkan rahasia permata itu," orang tua itu bergumam sambil usap jenggot putihnya.
"Yah, di tan-gannyalah aku berharap rahasia permata itu terpecahkan." Angin malam berhembus dingin, namun tak dihiraukan oleh Kakek Buruk Rupa yang mengenakan pakaian acak-acakan. Rambut panjangnya yang tutupi wajahnya, tergerai. Hanya sesaat, karena kemudian kembali lagi pada posisinya.
Tiba-tiba, si orang tua membentak, "Tamu tak diundang. Mengapa harus mengintip. Nanti matamu bintit. Silahkan keluar, karena bila kau bermaksud jahat, kau telah dinanti ajal!!" Seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh lima tahun, melengak di atas sebuah pohon. Dari tadi laki-laki berwajah tengkorak dan tubuh kurus kerempeng itu berada di sana dan memperhatikan Kakek Buruk Rupa yang duduk di atas sebuah batu besar.
Rambut panjangnya awut-awutan. Karena malu diketahui kehadirannya, tanpa disadari olehnya, ia melompat turun sambil terbahak-bahak.
Ketika ia berdiri di atas kedua kakinya yang kurus, terlihat sebuah tambang yang besar di panggul di bahu kirinya. Dari cara ia memanggul tambang besar tanpa menimbulkan kesulitan baginya, sudah bisa dipastikan ia bukan orang kebanyakan.
"Mata dan telinga tuamu ternyata masih awas, Kakek Buruk Rupa. Cukup senang aku bisa melihat kehebatanmu itu!" Orang yang baru turun itu terbahak-bahak kembali.
Sedangkan Kakek Buruk Rupa tak bergerak sedikit juga dari duduknya yang membelakangi laki-laki berwajah tengkorak itu. Hatinya mendesis, "Bila melihat cara ia menjejakkan kakinya dan benda yang dipanggul di bahu kirinya, aku yakin, manusia inilah yang berjuluk Iblis Tambang," Si kakek lalu perdengarkan suara, "Senang mendapat teman di tempat sepi seperti ini. Cuma sayangnya, mengapa harus berjumpa dengan manusia jelek seperti tengkorak?" Si wajah tengkorak kelam seketika. Mukanya yang rata tinggal kulit pembungkus tulang bagai tertekuk ke dalam. Mulutnya yang seperti memiliki bibir menggeram, "Aku datang, untuk meminta Permata Sakti darimu, Kakek Buruk Rupa!"
"O... salah seorang yang memiliki jiwa serakah yang berada di belakangku ini. Sayangnya, aku tak pernah akan memberikan Permata Sakti itu pada orang semacammu!!" Laki-laki kurus kering itu perdengarkan geramannya yang dibaluri kemarahan menghemat. Ialah yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan dengan sebutan Iblis Tambang. Cukup lama juga Iblis Tambang malang melintang di rimba persilatan. Tak seorang pun yang tahu dari mana asalnya. Yang diketahui, ia hanyalah seorang laki-laki yang berwatak culas dan memiliki kekejaman yang luar biasa. Tambang besar yang menjadi senjatanya itu, adalah sebuah benda yang dahsyat. Mengenai wajahnya yang mirip tengkorak, orang-orang hanya menyirap kabar, kalau semenjak lahir ia memang sudah berwajah seperti itu.
"Menolak, berarti hanya menantang maut! Lima tahun aku mencari jejakmu, Orang Tua Hina, tak akan mungkin setelah kutemukan aku akan tinggalkan kau begitu saja!"
"Kau betul, karena bila kau berbuat seperti itu, kau hanya membuang waktu lima tahunmu itu secara sia-sia." Marah bukan buatan Iblis Tambang. Tanpa buang tempo lagi, ia buat satu serangan kelebatan dahsyat. Tangan kurusnya menderu hebat. Kakek Buruk Rupa yang sejak tadi memang sudah waspada, segera mencelat ke atas. Tangan Iblis Tambang menghantam batu besar yang tadi didudukinya.
Blaaarrr! Batu besar itu menjadi kerikil dan berpentalan.
Serangan Iblis Tambang menyusul. Kedua kaki kurusnya menderu dahsyat ke muka. Kakek Buruk Rupa cepat mengangkat tangannya menangkis.
Des! Des! Gempuran kedua kaki Iblis Tambang tertahan.
Akibatnya, kedua tokoh aneh itu mencelat beberapa tombak ke belakang. Kakek Buruk Rupa merasa tangannya bagai remuk. Sedangkan yang dialami oleh Iblis Tambang tak jauh berbeda sebenarnya. Kedua kakinya terasa ngilu. Hal itu membuatnya jadi marah tak karuan. Tahu-tahu tangan kanannya sudah mengambil tambang besar yang tergulung dan sepanjang tiga meter di bahunya. Diloloskannya tambang itu hingga sebagian menjulai di tanah. Tatapannya tak berkesip penuh sinar kematian laksana api yang menyala.
"Aku tak ingin banyak bicara, serahkan Permata Sakti itu kepadaku!!"
"Kau tak akan bisa memecahkan rahasianya, Jelek!" Iblis Tambang terbahak-bahak keras.
"Begitu bodohnya bila aku tak bisa mengetahui. Bukankah tenggorakanmu bisa kujadikan sebagai imbalan bila kau mau mengatakannya kepadaku!" Berulang kali Kakek Buruk Rupa selalu mendapatkan jawaban seperti itu dari orang-orang serakah yang menginginkan permata biru yang sekarang berada di tangan Pendekar Slebor. Rata-rata mereka menyangka, kalau ia mengetahui rahasia Permata Sakti.
Belum lagi ia berkata apa-apa, Iblis Tambang sudah menggerakkan tangannya. Tambang berat itu menderu ke arah si orang tua yang terkesiap melihat sinar merah yang dipancarkan dari tambang itu ke arahnya. Cepat ia menghindar bergulingan, namun Iblis Tambang sambil terbahak-bahak dan bagai melihat seekor monyet yang terjebak lingkaran jaring, terus menerus gerakkan tangannya dengan gencar.
Pepohonan yang tumbuh di sana banyak yang tumbang berdebam. Tanah yang semula dipijak oleh Kakek Buruk Rupa, bolong setengah meter! Ia belum punya kesempatan sekali pun untuk membalas. Sebaliknya, Iblis Tambang terus menerus perdengarkan tawanya sambil melakukan serangkaian serangan tambang dahsyatnya yang timbulkan suara bergemuruh dan suara bagai ledakan.
Blaaarr! Sebatang pohon terhantam lagi hingga berantakan. Bersamaan senjata tambang dahsyat itu mengejar dirinya tadi, si orang tua bongkok melepaskan satu tendangan dahsyat yang didahului lompatan satu kaki. Iblis Tambang tak memperhitungkan kalau lawan akan melakukan satu serangan balik yang mematikan. Ia tarik pulang tambangnya kembali. Lalu dihentakkan dengan suara keras, "Heaaaa!!" Namun, Kakek Buruk Rupa yang sudah memperhitungkan kalau lawan akan memotong serangannya, justru berputar. Tambang itu mendesir di atas kepalanya. Tubuh udangnya tak ubahnya bagai bola setengah lingkaran. Mendadak ia mengibaskan rambutnya ke depan.
Wuuuttt! Bau tak sedap menguar, bagai memenuhi hutan di mana mereka bertempur. Menyergap Iblis Tambang yang terhenyak sejenak. Lalu segera menutup jalan napasnya sendiri. Meskipun dilakukan dengan sangat cepat, waktu yang hanya dua detik itu sudah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kakek Buruk Rupa.
Selagi lawan mau tak mau menghentikan serangannya, orang tua bongkok itu memutar tubuhnya.
Tangannya bergerak ke depan.
Des! Jotosannya telak menghantam dada Iblis Tambang. Meskipun dalam keadaan terdesak, Iblis Tambang tidak memperlihatkan wajah pias. Sebisanya ia menggerakkan senjatanya lagi.
Wusss! Tambang yang menderu itu siap mencopot kepala Kakek Buruk Rupa bila ia tak segera menunduk.
Sementara kakinya terus meluncur.
Buk! Buk! Dua kali tendangan berkekuatan dahsyat itu menghantam Iblis Tambang hingga tersuruk ke belakang. Dadanya dirasakan bagai remuk. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Sedangkan Kakek Buruk Rupa yang memang enggan untuk menurunkan tangan telengas, segera angkat kaki dari sana.
"Orang tua keparat! Kau tak akan bisa lolos dari tanganku!!" Tanpa menghentikan larinya, Kakek Buruk Rupa perdengarkan tawa yang keras.
"Maaf, tanganku bisa lumutan bila bertarung dengan orang yang memiliki ilmu picisan!" Panas wajah Iblis Tambang. Ia mencoba untuk bangkit. Namun dadanya yang terhantam tendangan dahsyat si kakek, membuatnya harus rebah kembali.
"Bangsat keparat! Sampai ke mana pun kau akan kukejar!" Sementara itu, satu sosok tubuh hitam-hitam dengan rambut digelung ke atas yang sejak tadi memperhatikan pertempuran itu, segera mencelat menyusul Kakek Buruk Rupa.
"Kehebatan Iblis Tambang tak banyak berarti di tangan Kakek Buruk Rupa. Sekarang, orang tua sialan itu akan menerima batunya di tanganku, si Camar Hitam! Setelah kudapatkan Permata Sakti itu, akan kubunuh Pendekar Slebor! Aneh, mengapa pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu tiba-tiba mampu membalikkan pukulanku. Bahkan, ia membiarkan setiap pukulanku di tubuhnya! Hhh! Kehebatannya semakin bertambah saja!" Wanita tua yang tak lain si Camar Hitam, terus mengejar Kakek Buruk Rupa yang berkelebat laksana angin. Andika yang urung menikmati daging panggangnya, menoleh, dan melotot. Lagi-lagi cucu Kakek Buruk Rupa yang berada di hadapannya.
"Brengsek! Kupikir ia tak akan mampu mengikutiku!" makinya dalam hati. Hatinya makin kesal ketika melihat Suci tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya. Lalu seperti tak menghiraukan kedatangan Suci, Andika putar tubuhnya kembali dan menikmati daging panggangnya.
Suci tahu kalau kehadirannya tidak disukai oleh Andika. Namun ia tidak peduli. Dengan santainya tanpa menghilangkan senyum yang bertengger di bibirnya itu, ia duduk di sisi Andika. Tanpa merasakan kejengkelan Andika, dengan enaknya Suci menatapnya. Kedua matanya dibulatkan. Andika yang meskipun sudah diusahakan berlagak tak acuh, justru jadi risih juga karena ditatap terus menerus.
"Apa sih maumu?" dengusnya jengkel.
Seperti baru sadar kalau Andika tidak mengerti keinginannya, Suci melengak dengan kening berkerut.
"Jadi Kang Andika tidak tahu, ya" Kasihan sekali! Padahal aku sudah mengatakannya beberapa kali! Jangan-jangan, telinga Kang Andika jadi tuli, ya" Pasti kebanyakan makan daging kelinci! Coba kalau Kang Andika membaginya separo denganku, pasti telinga Kang Andika tidak akan tuli." Seharusnya Andika bisa tertawa mendengar kata-kata Suci yang punya dua tujuan. Pertama, dengan kata-kata seperti itu, ia mengejek Andika. Kedua, seca-ra tidak langsung ia mengatakan kalau perutnya lapar.
Tetapi pemuda urakan nan tampan itu kembali perdengarkan dengusannya. Hatinya mendongkol sekali. Benar-benar mati kutu dia menghadapi gadis di sampingnya ini.
Ditariknya napas perlahan, dihentikannya makannya.
"Sekali lagi kukatakan, bukannya aku tidak mau membawamu untuk menemui Kakek Buruk Rupa, tetapi perjalanan yang akan kutempuh ini sangat sulit sekali. Kapan sih kau mau mengerti akan katakataku itu?"
"Berapa kali kukatakan pada Kang Andika, kalau aku mampu menjaga diri. Kang Andika tidak usah cemas," kata Suci berusaha meyakinkan.
"Enaknya ngomong! Kau tidak tahu bagaimana sebenarnya kehidupan ini. Aku tahu kau sering membohongi kedua orangtuamu sementara kau sendiri pergi dengan enaknya ke segenap penjuru. Akan tetapi, sampai saat ini kau tak kurang suatu apa, karena kau memang belum mendapatkan masalah."
"Kalaupun iya, aku akan berusaha menghindarinya."
"Ucapan tak sama dengan tindakan. Sudahlah lebih baik kau kembali ke rumahmu."
"Mana bisa begitu" Aku mau mencari kakek."
"Aku sendiri sedang mencari kakekmu yang jelek itu, tahu!" sengat Andika benar-benar jengkel.
Kalau tadi Suci nampak masih berusaha membantah kata-kata Andika, kali ini gadis itu terdiam.
Seolah tak percaya dengan kata-kata Andika barusan.
Ini berita baru baginya. Dan keningnya yang licin itu, perlahan-lahan mengerut.
"Kang Andika... juga mencari kakekku?" tanyanya meyakinkan pendengarannya.
Andika yang sudah merasa kelepasan bicara, mau tak mau akhirnya menganggukkan kepala.
"Ya! Laki-laki tua bongkok jelek itu menitipkan sebuah permata biru kepadaku."
"Permata apa?"
"Kan tadi sudah kukatakan, permata biru!"
"Maksudku... untuk apa?"
"Aku sendiri tidak tahu." Andika menatap gadis yang masih menatapnya itu. Bagai baru menyadari, ia bisa melihat betapa cantiknya gadis ini. Tetapi meskipun sifatnya riang dan jenaka, ia memiliki sifat yang keras kepala.
"Suci...
apakah kakekmu pernah menceritakan tentang sebuah permata biru?" Suci menggelengkan kepalanya, Matanya masih lekat memandang Andika.
"Aku tidak tahu menahu soal itu."
"Sayang, padahal aku dibuat pusing olehnya."
"Bolehkan aku melihatnya?" Andika menatap Suci dalam-dalam. Lalu memperhatikan sekelilingnya. Memang tak jadi masalah bila ia memperlihatkan permata biru itu pada Suci. Diambilnya benda sebesar telur ayam yang memancarkan sinar biru.
"Wooo... indah sekali. Jadi, permata itu milik kakek, Kang Andika?" Andika menganggukkan kepalanya, lalu memasukkan permata itu lagi ke balik pakaiannya.
"Itulah sebabnya mengapa aku mencari kakek mu. Perlu kau ketahui, menurut kakekmu sendiri, kalau permata ini banyak menimbulkan petaka. Maksudku, banyak sekali orang-orang serakah yang menginginkannya. Dan pertarunganku di sungai sebelah sana tadi, adalah salah seorang yang mempunyai niat busuk terhadapku. Itulah Suci, mengapa aku tidak mengizinkan kau untuk ikut denganku. Karena...."
"Aku kangen kakek!"
"Aku tahu. Tetapi...."
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, aku mau mencari kakek! Kang Andika kan bisa membawaku serta!" Kali ini Andika benar-benar kehabisan akal untuk menghadapi Suci. Tanpa menjawab ia meneruskan lagi menikmati daging panggangnya. Suci yang memang sudah merasa lapar, hanya menatap saja tanpa berani memintanya.
Melihat kesungguhan gadis itu, Andika akhirnya jadi tidak tega. Dibaginya sebagian daging panggang itu pada Suci, dia menerima dan menikmatinya dengan lahap. Karena sulit untuk meminta pengertian dari Suci agar tidak mengikutinya, Andika membiarkan saja gadis itu bersamanya.
Selesai menghabiskan daging panggangnya, Andika bangkit sambil berkata, "Aku ingin tidur! Kau silakan cari tempat untuk kau tidur!"
"Tetapi, Kang Andika jangan meninggalkan aku, ya?" katanya dengan suara mengibakan.
Andika tak menyahut. Ia mematikan api yang dipakainya untuk memanggang. Dan tidak lagi menyalakan api untuk menghangatkan badan. Dibawanya langkahnya ke balik semak.
"Hei! Sana cari tempat untuk tidur!" serunya.
"Apakah kau ingin tidur berdua-dua denganku?" Bagai disentak Suci bangkit, lalu celingukan ke sana-sini. Meskipun ia tahu Andika keberatan mengajaknya serta, tetapi ia bisa menebak kalau pemuda tampan itu tidak tega pada akhirnya.
"Aku tidur di sini saja!"
"Terserah!" Sambil cemberut, gadis itu merebahkan tubuhnya. Dia cukup dibuat jengkel dengan sikap Andika yang semaunya. Diingatnya lagi tentang kakeknya. Lalu pikirannya tiba pada permata biru yang diperlihatkan Andika. Permata yang bagus sekali.
Dan diam-diam, di bibir gadis itu tersungging sebuah senyuman.
"Menurut Kang Andika.... Banyak yang menginginkan, permata itu.
Hmm... Aku pun jadi tertarik untuk mendapatkannya. Yah, suatu saat akan kukejutkan Kang Andika."
***
««::{ 7 }::»»
Andika mendesah pendek.
"Sulit bagiku menghadapi gadis ini. Tetapi, biar dia tahu bagaimana sulitnya perjalanan ini." Namun ketika malam semakin mengedar, lama kelamaan rasa iba datang di hati Andika. Jangan-jangan, gadis itu bisa membeku ketika bangun keesokan harinya. Akhirnya Andika keluar dari balik semak, didekatinya Suci yang menggigil.
"Suci...," dipanggilnya dengan lembut, seperti ada pesona yang menariknya.
Suci yang memang tak bisa tidur karena hawa dingin, menyahut pelan sambil buka matanya, "Kena-pa, Kang Andika...," suaranya bergetar, setengah menggigil.
Andika melihat wajah gadis itu membiru, terutama di bibirnya yang memerah. Rasa ibanya makin menjalar, hati-hati direbahkan tubuhnya di sisi gadis itu. Dilingkarkan tangan kanannya ke tubuh gadis itu, diberinya kehangatan yang dalam.
Dalam dingin menusuk, perlahan-lahan Suci merasa hangat kembali. Diam-diam, ia menyukai rangkulan Andika di tubuhnya. Selang beberapa saat Andika masih juga merangkulnya. Dibuka matanya perlahan-lahan, dilihatnya pemuda tampan itu sudah terlelap. Lalu dengan batin bergejolak hebat, perlahanlahan Suci mengulurkan tangannya untuk balas merangkul. Namun beberapa kali ia tidak jadi melakukannya.
"Tidak, aku bisa malu kalau Kang Andika tahutahu bangun," desisnya. Begitu nyaman sekali pelukan Kang Andika ini, tambahnya dalam hati. Kalau pun ia pernah meninggalkan rumah selama dua hari dan tidur di sembarang tempat, itu dikarenakan ia secara tidak sengaja menemukan gubuk-gubuk milik para penebang kayu, hingga terhalang dari hawa dingin yang menusuk. Dan perlahan-lahan ia pun akhirnya terlelap.
****
"Heran, ada orang tidur tersenyum seperti itu?" Hati-hati ia menurunkan tangan gadis manis itu dari tubuhnya. Ia sendiri segera berdiri. Menggerak-gerakkan tubuhnya sekadar melemaskan otot. Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya. Alam begitu ramah dan asri meskipun belum begitu terang. Di ufuk timur sana, matahari baru memancarkan sinar merahnya yang tipis.
"Hmm... sebenarnya cukup merepotkan bila kuajak gadis ini mencari Kakek Buruk Rupa," desisnya sambil melirik Suci kembali. Dalam pandangannya, wajah gadis itu begitu bersih sekali.
"Tetapi mau bagaimana" Melihat kekeraskepalaannya aku yakin ia tak akan merepotkanku sebenarnya." Andika menarik napasnya lagi. Ia bermaksud untuk mencari sungai guna membersihkan tubuhnya selagi Suci masih tidur. Namun langkahnya urung.
Tiba-tiba saja pemuda dari Lembah Kutukan itu merasa jantungnya berdetak keras. Ia menangkap sebuah isyarat bahaya yang cukup menegangkan. Seketika dibangunkannya Suci yang membuka dan mengucak-ngucak matanya.
"Apakah ini sudah pagi, Kang Andika?" tanyanya dengan suara agak parau.
Andika tidak menyahut. Batinnya mengatakan kalau bahaya semakin dekat. Ia justru berbisik, "Cepat kau naik ke pohon itu, Suci." Meskipun baru bangun tidur dan kepala berpendar pusing, Suci tak banyak bertanya akan perintah Andika. Cepat ia mengempos tubuhnya melompat ke dahan pohon, melompati satu dahan ke dahan lain.
Hal itu tidak mengherankan, karena Suci sedikit banyaknya telah digembleng oleh kakeknya. Bila saja Kakek Buruk Rupa mengajari ilmunya lebih lama lagi, tak mustahil Suci akan menjadi seorang wanita muda yang sukar dikalahkan oleh lawan-lawannya. Dari balik rimbunnya dedaunan dilihatnya Andika sedang berdiri bersiaga. Pijaran mata bagai sepasang mata elang itu berkeliling. Sekarang telinganya menangkap derap cepat ke arah di mana ia berdiri.
"Siapa yang datang sekarang" Kalau mendengar suara yang cukup ramai ini, pasti yang datang dengan menunggang kuda. Hmm... rasanya lebih dari tiga orang. Sebaiknya, aku bersembunyi dulu untuk mengetahui siapa dan mau apa orang-orang ini!" Memikir sampai di situ, Andika langsung mengempos tubuhnya ke sebuah pohon besar. Dilambaikan tangannya pada Suci dan diletakkan telunjuknya ke bibir memberi isyarat agar gadis itu jangan mengeluarkan suara. Suci mengangguk, agak tegang.
Selang beberapa saat, muncul di tempat cukup terbuka itu lima ekor kuda jantan yang gagah. Ditunggangi oleh orang-orang berpakaian hitam. Salah seorang menarik kendali kuda, hingga kudanya berhenti dan keluarkan suara ringkikan cukup keras. Menyusul kuda-kuda yang lain.
Dari tempat di mana dirinya bersembunyi, Andika jelas melihat rata-rata wajah penunggang kuda itu cukup menyeramkan. Tubuh mereka besar. Masing-masing dipenuhi dengan cambang bawuk yang lebat. Pakaian hitam dengan destar merah menambah angkernya penampilan mereka.
"Hmmm, aku pernah mendengar tentang serikat dari golongan hitam yang bernama Serikat Kuda Hitam. Apakah manusia-manusia jelek ini dari Serikat Kuda Hitam?" desis Andika sambil terus memperhatikan. Salah seorang dari penunggang kuda itu, melompat turun. Gerakannya begitu ringan sekali. Ia mendekati kayu bekas Andika memanggang daging kelinci.
"Gadis itu memang berada di sini semalam. Tetapi, ia sudah pergi lagi dari sini!" suaranya kasar dan tak sedap di dengar.
"Kalau begitu, secepatnya kita harus mencari gadis yang bernama Suci itu!" sahut yang rambutnya tipis.
"Selentingan kabar mengatakan kalau ia adalah cucu dari Kakek Buruk Rupa. Telah tujuh bulan kita mencari jejak Kakek Buruk Rupa untuk mendapatkan Permata Sakti berwarna biru, tetapi sampai saat ini belum juga kita dapatkan jejaknya. Bila kita berhasil menangkap cucunya, kita paksa ia keluar dari persembunyiannya dan menukar Permata Sakti itu dengan nyawa cucunya!!" Di atas pohon, Suci merasa dadanya semakin berdebar hebat. Wajah cantiknya berkerut pias. Namun di balik ketegangannya, menyembul pula kemarahan yang hampir saja tak mampu membuatnya untuk menahan diri bila tak dilihatnya Andika memberi isyarat agar ia tetap tenang.
Orang yang pertama berbicara tadi, naik kembali ke kudanya.
"Permata Sakti yang berada di tangan Kakek Buruk Rupa harus kita serahkan pada Ketua. Biar bagaimanapun sulitnya, permata itu harus kita dapatkan. Serikat Kuda Hitam harus mengibarkan sayapnya setinggi langit! Kita harus cepat, paling tidak gadis itu belum jauh dari sini! Hhhh! Seharusnya kita tidak kehilangan jejaknya waktu itu, bila ia tidak berlari secepat kilat di tepi sungai sebelah sana!"
"Moro Alit... bagaimana dengan pemuda berbaju hijau pupus yang bertarung dengan si tukang sampan?"
"Peduli setan dengan pemuda itu!" sahut si rambut panjang yang bernama Moro Alit.
"Meskipun kita menduga kalau pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Slebor dari ciri-ciri yang ada padanya, namun ki-ta tak punya urusan dengannya!"
"Ingat, Pendekar Slebor tak akan pernah membiarkan kita melakukan tindakan seperti yang kita ingin lakukan."
"Kalau begitu, ia harus mampus di tangan Serikat Kuda Hitam!" Sehabis berkata begitu, laki-laki berambut panjang itu menggebrak kudanya. Menyusul yang lainnya menggebah kuda masing-masing.
Di tempatnya Andika mendesis, "Rupanya manusia-manusia itu memang dari Serikat Kuda Hitam.
Hhhh! Cukup lama juga nama golongan itu kudengar namun sampai saat ini belum juga kudapatkan keterangan di mana mereka berdiam. Tetapi yang jelas sekarang, mereka pun menginginkan Permata Sakti itu dan bermaksud menculik Suci untuk memancing Kakek Buruk Rupa. Tentunya, seperti kebanyakan orang lainnya, mereka menyangka permata itu masih berada di tangan Kakek Buruk Rupa." Sedangkan yang dipikirkan Suci, kalau sebelumnya ia berada dalam jalur ketegangannya sekarang nampak kening gadis itu berkerut. Ia memikirkan kata-kata salah seorang dari penunggang kuda tadi.
Pendekar Slebor" Samar ia mengingat kalau kakeknya pernah menceritakan tentang seorang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor. Menurut kakeknya, kepandaian Pendekar Slebor yang memiliki sifat bijaksana namun juga sifat urakan, sangat sulit dicari tandingannya.
Batin Suci bergetar, "Apakah Kang Andika yang berjuluk Pendekar Slebor?" desisnya.
Saat itu ia mendengar suara Andika memanggil, "Hei! Ayo, turun! Apakah kau akan menjadi monyet disana?" Suci melengak dengan mata melotot. Lalu dengan ringannya ia melompat ke bawah dan begitu kakinya hinggap di tanah, dijejakkannya dua kali dengan jengkel.
"Enaknya ngomong! Kang Andika... apakah Kang Andika berjuluk Pendekar Slebor?" Andika menatap gadis itu lekat-lekat. Mengapa tiba-tiba saja gadis ini bertanya soal julukannya segala" Tetapi ia menganggukkan kepalanya juga.
"Kakek pernah bercerita tentang Pendekar Slebor. Ia juga bermaksud untuk mencari Kang Andika.
Kalau menurut cerita Kang Andika pernah bertemu dengan kakek... aku yakin ada sesuatu yang terjadi, bukan?" Andika cuma mengulapkan tangannya.
"Kalau kau mau ikut denganku, silakan! Tapi jangan banyak bertanya! Ingat, sekarang banyak yang mengincar dirimu karena permata itu!" Setelah berkata begitu, ia berkelebat ke arah orang-orang Serikat Kuda Hitam tadi. Suci sendiri tak melanjutkan pikiran yang ada di benaknya. Baginya, ini sebuah keberuntungan karena Kang Andika akhirnya mengizinkannya untuk ikut bersama. Dalam perkiraan Suci, jaraknya dengan kakek yang dirindukannya semakin dekat.
Ia langsung mengejar Andika.
****
"Hhhh! Tak ada tanda-tanda gadis itu datang ke tempat ini!" maki Moro Alit sambil perdengarkan dengusannya. Matanya yang kasar melotot memperhatikan sekelilingnya.
"Sulit untuk menentukan di mana Kakek Buruk Rupa berada! Padahal, yang terbaik adalah menculik cucunya yang sangat disayanginya!"
"Bagaimana kalau kita kembali ke tempat tinggal anak dan menantunya?" tanya Dimar Gondo.
"Itu berarti mengulang dari awal! Hhh! Sebaiknya, kita lanjutkan saja mencari cucu Kakek Buruk Rupa itu! Bila kita sudah berhasil menculiknya, semuanya akan terasa mudah! Ketua sangat menginginkan sekali Permata Sakti biru itu!!" Tanpa setahu mereka, tiga pasang mata mengintip kehadiran mereka di sana. Dua pasang mata yang mengintip dari balik rimbunnya semak saling berdekatan. Salah satu pasang mata memancarkan sinar jengkel, yang satu lagi menatap penuh ketenangan.
"Mereka harus dibunuh, Kang Andika," desis yang memiliki pasang mata jengkel tadi. Ia tak lain Su-ci.
Andika mendesis pelan, "Kita harus menahan amarah, Suci. Manusia-manusia itu tidak tahu kalau Permata Sakti yang diberikan kakekmu itu ada padaku."
"Apakah sebaiknya tidak diserahkan saja pada mereka, hingga kakekku tidak selalu diburu?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Terus terang, aku sendiri tidak tahu apa kesaktian yang ada pada permata ini. Kakekmu juga tidak mengatakannya padaku. Tetapi, meskipun demikian, samar bisa kuyakini kebenaran omongan kakekmu itu, Suci. Kalau permata ini memang mengandung sebuah kesaktian meskipun aku tidak tahu kesaktian apa itu. Jangan bersuara. Aku melihat seseorang di sebuah pohon." Diam-diam Suci membatin, teringat pada keinginannya untuk memiliki permata itu pula.
"Bila ada kesempatan, aku akan mengambilnya." Suci memicingkan matanya untuk mengikuti pandangan Andika. Namun, ia tak bisa melihat siapa yang berada di balik rimbunnya dedaunan.
Sementara itu, Moro Alit yang hendak menggebrak kudanya lagi, menjadi urung ketika melihat satu sosok tubuh berpakaian hitam meluncur turun dengan ringannya dari pohon yang tak jauh dari hadapannya.
Andika mendesis, "Rase Maut! Sinting! Rupanya ia bisa menyelamatkan diri." Orang yang tadi bersembunyi dan meluncur turun itu memang si Rase Maut. Ketika ia tergulung deras oleh aliran sungai dan kepalanya berpendar pusing hingga sulit mengendalikan tubuhnya, mendadak matanya menangkap sebatang pohon yang menjulai ke air. Cepat disambarnya batang pohon itu. Lalu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya ia pun melompat naik. Dialirkan tenaga dalam dan hawa murni guna menghilangkan rasa pusing akibat tendangan Andika.
Ia masih tak mengerti mendapati kehebatan yang diperlihatkan Pendekar Slebor. Membiarkan dirinya dihantam oleh pukulan seorang tokoh tinggi semacam dia, bukanlah suatu pekerjaan yang lunak. Harus mengandalkan kemampuan dan kekebalan. Tetapi, lama kelamaan pun akan roboh juga, karena kekebalan itu pasti memiliki kelemahan. Hanya yang mengherankannya, Pendekar Slebor tetap mampu menahan setiap hantamannya, tanpa sekali pun membalas. Sakit hati Rase Maut memikirkan hal itu.
Akhirnya ia menunggu Pendekar Slebor di tempat itu sambil memulihkan seluruh tenaganya. Ternyata orang-orang Serikat Kuda Hitam yang muncul.
Ia terbahak-bahak melihat wajah kelima penunggang kuda itu melotot padanya.
"Jangan gusar! Aku si Rase Maut adalah sahabat dari Tunggul Manik, atau Ketua Serikat Kuda Hitam!" Moro Alit tatap dengan mata nyalang.
"Jangan menjadi tukang ngibul di sini! Ketua tak punya sahabat buruk seperti kau!" Meskipun hatinya geram bukan buatan, Rase Maut hanya memperdengarkan tawa belaka.
"Jangan marah! Dengar baik-baik, urungkan niat kalian untuk menculik cucu Kakek Buruk Rupa!" Semakin kelam wajah Moro Alit mendengarnya.
Secara tidak langsung ia bisa menangkap kalau lakilaki di hadapannya ini sejak tadi sudah mencuri dengar percakapan mereka.
"Setan alas! Minggir kalau tidak ingin tubuhmu tercacak tak berbentuk di sini!!" Rase Maut hanya sunggingkan senyum.
"Aku tahu apa yang kalian inginkan, Permata Sakti biru milik Kakek Buruk Rupa, bukan" Ketahuilah... meskipun kalian telah berhasil menculik cucu dari Kakek Buruk Rupa, kalian tetap tak akan mendapatkan permata itu!" Dari rasa marah yang menyelimutinya, Moro Alit diam-diam menjadi tertarik juga untuk lebih lanjut mendengar penuturan laki-laki di hadapannya ini.
"Alasan apa yang bisa kau berikan padaku"!"
"Karena, Permata Sakti itu tidak lagi berada di tangan Kakek Buruk Rupa!"
"Haram jadah! Kau ingin membohongi kami, hah?"
"Dengar baik-baik," suara Rase Maut berada di tenggorokan, menandakan ia marah luar biasa.
"Permata Sakti itu telah berada di tangan seorang pemuda dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor!"
"Keparat! Bagaimana kau bisa mengatakan seperti itu?"
"Karena aku melihatnya sendiri! Dan aku sempat bentrok pula dengannya?"
"Kau berhasil dikalahkan?" suara Moro Alit penuh ejekan.
Ganti wajah Rase Maut yang mengkelam.
"Itulah sebabnya, kukatakan semua ini, karena aku ingin kita bergabung untuk membunuh Pendekar Slebor!"
"Kau memiliki kelicikan yang luar biasa! Setelah bergabung dan berhasil merebut permata itu dari tangan Pendekar Slebor, kau akan mengkangkanginya sendiri!"
"Dengar baik-baik, Tunggul Manik adalah sahabatku, bila ia menginginkan Permata Sakti itu, aku akan membantunya! Terus terang, aku juga ingin memilikinya! Tetapi sekarang, yang kuinginkan adalah nyawa Pendekar Slebor! Kalian mendapatkan Permata Sakti itu untuk diserahkan pada Tunggul Manik, dan aku mendapatkan nyawa busuk Pendekar Slebor! Bagaimana?" Moro Alit terdiam. Lalu mengedarkan pandangannya pada keempat temannya yang seperti memberi isyarat mengiyakan.
"Baik! Kita bisa bergabung! Bila kau ingkar, jangan harap kau bisa hidup lebih lama!" Rase Maut terbahak-bahak. Bukan dalam arti ketakutan mendengar ancaman itu yang ia samarkan melalui tawanya, melainkan karena ia merasa mampu menghancurkan kelima orang ini sekaligus. Namun saat ini, ia memang berdiri dalam satu pikiran licik. Bi-la bergabung dengan kelimanya, sudah dipastikan kekuatannya akan bertambah. Dan ini lebih memudahkannya untuk membunuh Pendekar Slebor sekaligus merebut Permata Sakti itu.
Di tempat persembunyiannya, Andika mendesis, "Bisa berabe kalau begini! Pencarianku untuk menemukan Kakek Buruk Rupa akan semakin terhambat!" Rase Maut berkata lagi, "Kalian kujanjikan le-herku sebagai taruhannya!" Lalu menyambung dalam hati, "Itu pun bila kalian mampu melakukannya, Anjinganjing geladak!" Moro Alit tertawa. Ia bangga karena merasa bisa menguasai permainan. Bukannya ia tidak tahu tentang Rase Maut yang mendiami Bukit Tunggul, yang dikenalnya sebagai tokoh dari golongan hitam yang telah lama malang melintang di rimba persilatan.
Namun kenyataannya, meskipun mereka berlima, mereka tak akan mampu mengalahkan Rase Maut.
Betapa dungunya laki-laki itu! Tiba-tiba terdengar tawa keras dari Rase Maut.
Cukup kuat untuk menghancurkan gendang telinga.
"Mengapa harus bersembunyi seperti seekor kelinci! Jadilah seekor musang yang berani muncul menghadapi bahaya!" Moro Alit dan keempat temannya saling pandang tak mengerti mendengar ucapan Rase Maut. Tetapi, Andika tahu sekali siapa yang dimaksud oleh laki-laki itu. Ia pun berbisik pada Suci, "Kau tetap di sini.
Jangan keluar meskipun bahaya mengancam diriku.
Bila kau lihat aku dalam bahaya, lebih baik segera tinggalkan tempat ini." Tanpa menunggu sahutan Suci, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu segera melompat keluar dari persembunyiannya.
"Hebat juga mata belomu itu, Orang Jelek!" se-lorohnya sambil mengangkat kedua alis hitamnya dengan sikap yang lucu pada Rase Maut.
"Jangan-jangan, kau memakai mata ikan mas koki, ya" Besar sekali!"
***
««::{ 8 }::»»
Diam-diam Moro Alit menyadari kedunguannya yang merasa berhasil memenangkan permainan yang diciptakan si Rase Maut. Ia jadi malu sendiri ketika tahu kelihaian si Rase Maut, yang bisa mengetahui keberadaan orang lain yang di dekat mereka.
"O... jadi kalian bergabung toh untuk mengalahkanku" Waduh, rasa-rasanya... kalian hanya jadi pemimpi di siang bolong belaka! Bagaimana bila kalian masing-masing menungging saja dan saling tendang" Bukankah itu permainan yang lebih asyik?" Rase Maut memerah wajahnya. Diingatnya bagaimana ketika Andika membiarkan tubuhnya dihajar terus menerus. Ia menggeram murka, "Kalau waktu itu kau berhasil mempecundangiku, sekarang ajalmu sudah nampak, Pendekar Slebor! Serahkan permata biru itu kepadaku"!" Seperti tak tahu ancaman orang, Andika masih menunjukkan sifat urakannya.
"Jadi yang kau inginkan Permata Sakti. itu" O... sudah kujual ke tukang loak untuk ditukar dengan sebidang tanah."
"Setan alas!"
"Lho, kau tidak bertanya tanah yang kudapat itu untuk apa" Tidak usah sedih, karena aku pasti mengatakannya. Tanah itu akan kujadikan tempat kuburan bagi dirimu. Nah, akan kuhiasi tempat itu dengan bunga-bunga yang indah dan... heeeittt! Kenapa jadi lancang begini?" Andika langsung melompat ke samping, begitu Moro Alit menderu dahsyat. Rupanya laki-laki tinggi besar itu tak bisa menahan amarahnya yang dibaluri dengan kedunguannya karena meremehkan Rase Maut tadi. Serangannya lolos seketika. Laki-laki berambut panjang itu menjadi geram bukan main. Padahal serangan yang dilakukannya itu merupakan gebrak pertama dari rangkaian jurus 'Jaran Mabur'. Ia putar lagi tubuhnya dan tangannya menjotos ke muka.
Dasar urakan, Andika justru teriak-teriak, "Aduh! Ampun, ampun! Jangan pukul!" Tangannya terangkat, menangkis jotosan Moro Alit. Des! Moro Alit mundur dua tindak, dirasakan tangannya kesemutan. Wajah laki-laki berambut panjang itu kelam.
"Setan keparat! Kau akan merasakan akibat perbuatanmu ini!"
"Heran! Kenapa jadi marah-marah?" sahut Andika seperti tak menyadari kemarahan Moro Alit. Lalu seperti baru menemukan jawabannya, ia berkata, "O ya... kau marah karena tidak kupukul, ya" Ayo, sini! Sini! Biar kutendang pantatmu hingga mencelat ke gunung itu!!" Di tempat persembunyiannya, Suci mendesah panjang. Ia tak mengerti melihat sikap Andika yang masih saja bercanda, padahal maut siap menjemputnya. Empat orang kawan Moro Alit, sudah menderu laksana kilat begitu ejekan Andika habis terdengar. Jotosan dan tendangan dilakukan dengan beruntun, cepat dan berbahaya. Kali ini Andika mendengus keras.
Ia mengibaskan tangannya dan membalas dengan serangan tak kalah cepat.
Moro Alit yang juga sudah ikutan menyerang, menggempur dengan serangan luar biasa dahsyatnya.
Kemarahan laki-laki berambut panjang itu sudah tinggi. Sementara itu si Rase Maut sedang memikirkan akal liciknya.
"Hhh! Aku tak ingin melihat ilmu kebal yang pernah diperlihatkan Pendekar Slebor meskipun aku yakin, ilmu itu pasti memiliki kelemahan! Akan, kulihat dulu manusia-manusia dungu itu menghadapi Pendekar Slebor!" Namun setelah lima jurus berlangsung, Pendekar Slebor bukan hanya menangkis dan menghindar, ia juga membalas gebrakan lawan-lawannya. Akibat balasannya, dua dari lima penyerangnya terlontar ke belakang terhantam tenaga 'inti petir' yang sudah dialirkan pada kedua tangannya. Tubuh mereka membiru dengan napas tersendat-sendat.
Rase Maut jadi gusar sendiri.
Tanpa membuang waktu lagi, ia menderu ke arah Andika. Gebrakan tubuhnya menimbulkan angin bergemuruh dan kiblatan bagai sinar hitam menderu dahsyat, membuat pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu sekarang jadi gelagapan.
"Busyet! Aku harus bisa mematahkan serangan dari si Rase Maut. Serangan darinya sangat menyulitkan!" Namun untuk menjatuhkan Rase Maut, bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena selain lincah, lakilaki berjerawat itu juga menyerang demikian cepat. Belum lagi serangan dari Moro Alit dan kedua temannya.
Membuat Andika bertambah sulit untuk mematahkan serangan Rase Maut. Jalan satu-satunya ia memang harus mencari sela.
"Gila! Lama kelamaan aku yang jadi kerepotan!" Rase Maut benar-benar tak mau membuang waktu. Ia terus mencecar dengan gerakan melompat ke sana kemari. Angin jotosannya menggugurkan dedaunan.
****
Ia bermaksud untuk mendatangi cucunya. Tiba-tiba saja ia merindukan cucunya itu. Akan diceritakannya kembali kalau ia sudah berjumpa dengan Pendekar Slebor. Dan diam-diam, di dasar hatinya, Kakek Buruk Rupa menginginkan cucunya berjodoh dengan Pendekar Slebor. Namun, ia beranggapan kalau semua itu adalah kehendak Sang Maha Kuasa.
Ia juga masih memikirkan tentang Permata Sakti yang diberikannya pada Pendekar Slebor dengan harapan kalau pemuda dari Lembah Kutukan itu berhasil memecahkan rahasianya. Karena sampai saat ini, ia sendiri tidak tahu apa kesaktian dari permata itu.
Sejak pertama kali menemukannya, ia sudah jatuh hati pada permata itu. Dasar orang-orang serakah yang tak boleh melihat benda aneh, maka mereka pun berduyun-duyun menginginkannya. Padahal, ia tidak tahu kesaktian permata itu. Hanya saja, ia senang memancing orang lain untuk lebih penasaran lagi. Hingga diam-diam ia pun sadar kalau permata ini memang bukan permata sembarangan.
Bukan sekali dua kali sebenarnya Kakek Buruk Rupa saat bertarung dengan lawannya, tak menyadari kalau lawan tiba-tiba sudah meninggalkannya ataupun sudah terkapar di tanah. Padahal menurutnya, lawan saat itu sedang gencar menyerang. Tetapi mengapa mereka justru meninggalkannya" Pertanyaan itu memang berpendar di dirinya tanpa mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Hanya yang diduganya, kalau ia telah berhasil mengalahkan lawan-lawannya.
"Sebenarnya, aku tak ingin menyerahkan permata itu pada Pendekar Slebor. Aku ingin bertanya pada Srimpil atau yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu.
Tetapi mencari manusia itu, sama saja mencari jarum di tumpukan jerami! Ah, Pendekar Slebor pun memiliki otak yang sangat cerdik. Tak kusangka, kalau pewaris Ki Saptacakra - pendekar legendaris itu - seseorang yang masih muda dan mempunyai sifat konyol. Mudah-mudahan, ia berhasil memecahkan rahasia permata itu. Ini hanya sebuah harapan. Memang cukup merepotkan keadaan Pendekar Slebor sebenarnya, bila orang-orang serakah mengetahui Permata Sakti itu berada di tangannya. Namun, biarlah. Toh aku yakin, ia bisa mempertahankan diri." Kakek Buruk Rupa terus berkelebat ke arah timur. Kali ini terbayang di benaknya sang cucu akan menyambut kedatangannya seperti biasa dengan cara sembunyi-sembunyi. Selang beberapa saat kemudian, ia pun memasuki sebuah desa.
"Hmm... Haryo pasti tidak menyukai kedatanganku, apalagi bila mengetahui aku mendekati anaknya. Tetapi Haryo adalah putraku dan Suci cucuku.
Aku akan tetap ke sana. Hanya saja, aku tidak mau cari gara-gara, sebaiknya... aku datang bersembunyisembunyi." Kelebatan tubuhnya di jalan desa yang memasuki rembang petang itu, cukup menggidikkan bagi para penduduk yang melihat bayangan laksana setan berkelebat. Tetapi mereka tak ambil peduli karena toh ini masih sore. Menurut mereka, setan tak akan mungkin iseng gentayangan di sore ini.
Kakek Buruk Rupa kini sudah berada di atap genting rumah putranya. Ia tahu di mana letak kamar cucunya. Tetapi, pendengarannya yang tajam menangkap suara tangis di bawahnya.
"Bagaimana kita harus menemukan Suci, Pak?" suara wanita yang dikenali sebagai anak menantunya.
"Sudah beberapa hari ini Suci menghilang. Oh, Gusti...
ke manakah kau Suci?" Di depan wanita yang tengah bersedih itu, Haryo Adilekso hanya berdiri mematung. Ia sudah menyuruh beberapa penjaga rumahnya untuk mencari putrinya, namun sampai saat ini belum ada laporan yang memuaskan.
"Sudahlah, Bu... ia pasti kembali. Bukankah begitu biasanya?"
"Tetapi... aku khawatir akan kepergiannya saat ini. Pak... apakah ia mengikuti pemuda yang bernama Andika itu?" tanyanya tersendat. Dihapusnya air matanya dengan saputangan yang bermotifkan sulaman burung merak.
"Mungkin iya, mungkin tidak. Karena, pemuda itu tidak berada di sini pula."
"Apakah dia...." Haryo Adilekso tersenyum.
"Jangan berpikir macam-macam, Bu. Meskipun kulihat sifat pemuda itu agak konyol, namun aku yakin ia adalah pemuda baik-baik." Tetapi istrinya menggeleng-gelengkan kepala sambil menghapus air matanya.
"Maksudku... apakah kepergian Suci untuk mencari ayahmu" Aku yakin... sebenarnya ia sangat dekat dengan ayahmu itu. Suamiku... bisakah kau meminta pada ayahmu untuk tinggal bersama kita, agar Suci tidak menghilang lagi?" Kali ini suaminya terdiam. Sebenarnya, Haryo Adilekso pun menduga akan hal itu. Tetapi, untuk menenangkan istrinya ia tidak mau mengatakan dugaannya. Hanya saja, istrinya sudah mengatakan hal itu.
Dugaannya kembali berpendar-pendar, cukup memusingkan kepalanya sekarang. Bila ia ingat tentang ayahnya yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan sebagai Kakek Buruk Rupa, rasa jengkel mulai merayapinya.
Tetapi lagi-lagi ia memutuskan untuk tidak mengatakan hal itu pada istrinya.
"Entahlah... aku tidak tahu soal itu, Bu. Memang kuakui, kalau Suci sebenarnya merindukan kakeknya. Tetapi, mau bagaimana lagi" Aku sudah berusaha meminta pada Ayah agar mau tinggal bersama kita. Namun kau tahu sendiri bukan sifat Ayah" Sudahlah, kita hanya berharap, semoga tak terjadi apa-apa dengannya. Terus terang, kalau memang ia pergi bersama pemuda yang bernama Andika itu, aku lebih tenang karena aku yakin pemuda itu akan menjaganya...."
"Pak... aku khawatir akan terjadi apa-apa pada Suci," suara istrinya terdengar lemah, mengandung kekhawatiran tinggi.
Haryo Adilekso perlahan-lahan mendekati istrinya. Lalu dirangkulnya dengan penuh kasih sayang.
Ditatapnya seolah memberikan kekuatan agar istrinya tenang.
"Berdoalah, semoga tak terjadi apa-apa. Bukankah seperti biasanya Suci memang seperti itu" Aku yakin, ia pasti kembali tak kurang suatu apa." Di atap, Kakek Buruk Rupa mengerutkan keningnya mendengar percakapan itu. Rambutnya yang menutupi wajahnya tersibak dipermainkan angin.
"Hhh! Cucuku pergi dari sini. Tetapi, mengapa ia bisa bertemu dengan Andika" Mengapa pemuda itu bisa menginap di sini" Aku pun merasa aman kalau cucuku bersama dia sebenarnya" Tetapi... aku pun tahu sangat berbahaya bagi keselamatannya bila ada yang mengetahui tentang permata itu berada di tangan Pendekar Slebor. Sebaiknya, kucari ia sekarang!! Mudah-mudahan, tak ada peristiwa yang mencemaskan." Setelah berpikir begitu, Kakek Buruk Rupa masih menyempatkan diri mendengar isak dari menantunya. Hatinya pilu. Lalu tanpa buang tempo lagi, laki-laki bongkok itu berkelebat cepat. Sosok tubuh kurus dengan rambut disanggul ke atas yang sejak tadi hanya memperhatikan tak mengerti mengapa orang yang dibuntutinya mengintip rumah itu, segera kelebatkan tubuh lagi untuk mengikuti Kakek Buruk Rupa.
"Aku tak boleh kehilangan jejaknya. Manusia sialan itu, harus kubunuh dan kudapatkan Permata Sakti. Kupaksa ia untuk mengatakan rahasianya. Aku yakin kakek bongkok itu tahu rahasia apa yang terpendam pada permata itu. Biarlah kutunggu saat yang tepat, siapa tahu ia akan mengeluarkan permata itu dan mempergunakannya. Setelah kudapatkan, akan kucari dan kubunuh Pendekar Slebor. Gila! Aku masih tak mengerti mengapa ilmunya demikian cepat bertambah." Sosok berbaju perak itu yang tak lain si Camar Hitam, segera menyusul Kakek Buruk Rupa. Hatinya penuh kegeraman, kekesalan, dan dendam.
***
««::{ 9 }::»»
Tenaga 'inti petir' tingkat kelima sudah dikerahkan. Setiap kali ia menggerakkan tangannya, terdengar suara salakan keras. Mampu membuyarkan konsentrasi lawan sebenarnya. Namun serangan lawan yang beruntun itu bagai mengurung geraknya, membuatnya jadi kelimpungan sendiri.
Serangan Moro Alit dan kedua temannya sebenarnya tak begitu menyulitkan. Tetapi, serangan dari Rase Maut-lah yang mematikan. Membuatnya harus mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.
"Gila! Aku harus bisa meloloskan diri kalau tidak ingin konyol!" gerutunya, dan bersalto ke belakang, menghindari terobosan Rase Maut yang menyerang sambil mengeluarkan seruan keras. Bersamaan dengan itu, tiga sosok tubuh berpakaian hitam segera menerjang. Andika kalang kabut dibuatnya. Pukulan Moro Alit menghantam dadanya telak. Meskipun merasa sesak napas sejenak, Andika tak ambil peduli. Ia putar tubuhnya dan dengan ajian 'Guntur Selaksa' ia memapaki hantaman Rase Maut yang sudah mengeluarkan jurus 'Rase Kejar Mangsa'.
Sebuah rangkaian jurus yang cepat dan tak memberikan kesempatan pada lawan untuk menghindar atau bertahan lebih lama. Namun yang dihadapinya adalah Pendekar Slebor, yang bertarung dengan selalu mempergunakan kecerdikan otaknya.
Benturan dua tenaga hebat terjadi.
Des! Blaaarr! Tanah yang mereka pijak bagai bergoyang. Suci yang sedang mengintip pertarungan maut itu pun tak urung dari getaran hebat yang diterimanya. Segera ia alirkan tenaga dalamnya. Hatinya tegang memikirkan keadaan Andika. Tatapannya sejak tadi tak berkesip.
Mulutnya berkomat-kamit panjatkan doa agar Andika diberi kekuatan.
Sedikit banyaknya ia menyesal mengapa ia tidak meminta kakeknya untuk mengajarinya ilmu kanuragan. Bukan hanya ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam. Bila saja ia memiliki sedikit kesaktian, ia pasti akan turut membantu Andika.
Akibat benturan keras yang terjadi itu tubuh Andika mencelat beberapa tombak ke belakang. Dari hidungnya mengalirkan darah segar. Sementara si Rase Maut merasa napasnya sesak dengan aliran darah yang kacau.
Saat itu, Moro Alit dengan liciknya segera menyerbu ke depan. Satu jotosan tangan kanan yang mengandung kekuatan tinggi itu dikiblatkan ke wajah Andika. Namun seruan dari Rase Maut mengurungkan niatnya untuk menghajar wajah Andika.
"Ambil Permata Sakti itu dan balik bajunya!!" Tangannya yang mengarah ke atas tadi diturunkan. Gerakan cepatnya tak mengendor. Tangannya bergerak. Buk! Justru dalam keadaan sempoyongan Andika masih menunjukkan kelasnya. Tangan kirinya bergerak menangkis tangan Moro Alit, yang mengeluarkan seruan tertahan karena tangannya dirasakan ngilu sekali. Tak berkesudahan serangan yang dialami oleh Andika, karena Rase Maut bersamaan dengan dua teman Moro Alit, sudah menggempur dahsyat. Mencoba merebut Permata Sakti dan sekaligus menghabisi Pendekar Slebor. Andika menjadi tegang sekarang. Nyeri di sekujur tubuhnya akibat bentrokan dengan si Rase Maut bagai membuatnya tak bisa bergerak. Rase Maut perdengarkan teriakan mengguntur dan senyuman penuh kemenangan. Tangannya menghantam dada Andika.
Des! Menyusul dua serangan beruntun dari dua anggota Serikat Kuda Hitam.
Des! Des! Tubuh Andika terhuyung ke belakang, namun berdiri kembali dengan tegak. Seperti tak kurang suatu apa. Namun, apa yang ada di pandangannya berubah sama sekali. Karena, dilihatnya sebuah suasana yang seluruhnya berwarna biru.
Rase Maut yang sudah mundur dua langkah menggeram, "Setan alas! Rupanya dia kembali mempergunakan ilmunya yang aneh itu! Hhh! Dengan bantuan dari Moro Alit dan kedua temannya itu, akan kugempur habis-habisan!" Memikir begitu, laki-laki penuh jerawat merah itu menyerang lagi. Bersamaan dengan Moro Alit dan kedua temannya. Suci menahan napas melihat hal itu.
Ia hampir saja melompat keluar untuk menyelamatkan Andika. Namun keanehan terjadi, karena seperti tak tahu diserang habis-habisan, Andika membiarkan saja tubuhnya dihajar. Berkali-kali tubuhnya sempoyongan, namun tak sekali pun ia kelihatan mencoba membalas atau mengaduh. Bahkan seolah membiarkan tubuhnya dihantam terus menerus.
Saat menghajar itu Rase Maut berpikir keras, Apakah memang ada ilmu 'Mengosongkan Diri"' Sejak lama sebenarnya ilmu itu sudah kudengar, dan hanya dimiliki oleh seorang pendekar kenamaan yang berjuluk Penguasa Bukit Sigura-gura atau yang bernama Ki Langlang Jagat" Tetapi, manusia itu tak pernah lagi kudengar beritanya. Apakah diam-diam Pendekar Slebor murid dari Penguasa Bukit Sigura-gura" Tetapi, kusirap kabar, kalau ilmu 'Mengosongkan Diri' merupakan ilmu menyerap tenaga lawan dengan membiarkan tubuhnya diserang habis-habisan. Dan lawan akan merasakan bagai memukul kapas belaka.
Sedangkan yang dimiliki oleh Pendekar Slebor, tubuhnya tetap keras seperti biasa. Hanya saja, ia tak peduli dengan hantaman sekeras apa pun. Setan alas! Bagaimana caranya aku untuk mengalahkan dan merebut Permata Sakti itu! Hhh! Kucoba saja untuk merebutnya!" Penasaran Rase Maut kembali menyerang Pendekar Slebor, sementara Moro Alit dan kedua temannya terus menggempur. Tubuh Andika tak ubahnya bagai sebuah bola yang dipermainkan. Ditendang ke sana kemari. Bagai bergulingan cepat.
Sementara pemuda urakan itu sendiri sedang memaki dirinya keras, "Keparat! Apa yang terjadi" Aku tak melihat apa-apa selain warna biru" Celaka! Sudah beberapa kali hal ini terjadi tetapi aku tak mengetahui apa sebabnya?" Rase Maut menggerakkan tangannya, mencoba menjambret pakaian Andika. Namun yang cukup mengherankannya, selagi ia mencoba menyusupkan tangannya, dirasakan tubuh Andika memancarkan panas yang luar biasa! "Haram jadah!" makinya sambil membuang tubuh dan mengalirkan tenaga dalam guna mengusir panas yang menyengat.
"Kalau kuhajar, ia seolah membiarkan. Mengapa ketika serangan ini ku ubah, tubuhnya bagai memancarkan panas" Setan alas! Ilmu apa yang sebenarnya dimiliki oleh Pendekar Slebor?" Moro Alit dan kedua temannya yang sudah kehabisan napas dan tenaga karena memforsir tenaganya terus menerus, perlahan-lahan mulai mengendor serangannya. Ketiganya mundur teratur dan mengatur napas.
"Jangan menjadi banci! Hajar manusia itu terus menerus!" sentak Rase Maut. Moro Alit melotot.
"Setan jerawat! Apakah kau tidak tahu kalau tenaga kami sudah terkuras habis, sementara Pendekar Slebor tetap berdiri pada posisinya" Jangan hanya bisa memerintah kalau tidak kubuat mencong mulut-mu" Kau sendiri dibuat tak ubahnya seperti banci belaka!" Panas wajah Rase Maut mendengar ejekan orang. Namun untuk saat ini tak dihiraukannya. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat lawan membiarkan tubuhnya dihajar habis-habisan tanpa sekali pun membalas. Bahkan ketika ia dan yang lainnya menghentikan serangan, sang lawan masih tegak berdiri tanpa melakukan gerakan yang mencurigakan.
"Ilmu yang dimilikinya memang aneh sekaligus dahsyat luar biasa! Sebaiknya kita coba rebut Permata Sakti itu!"
"Kau lakukan sendiri, tenaga kami belum pulih!" Dengan suara menggembor menahan geram. Rase Maut bergerak lagi untuk merebut Permata Sakti itu.
Namun kembali dirasakan hawa panas menyergapnya bertubi-tubi, sementara Andika tetap sempoyongan terhantam dan kembali tegak. Dan lagi-lagi pemuda dari Lembah Kutukan ini membatin geram, "Gila! Mengapa ini" Mengapa?" Diusahakan untuk memecahkan keheranan yang melingkupinya. Namun sampai sejauh ini Andika belum bisa mengetahuinya. Bahkan yang dicemaskannya, kalau lawan-lawannya menyerang sementara yang ada dalam pandangannya hanya warna biru belaka.
Rase Maut memutuskan untuk menghentikan serangannya.
"Benar-benar luar biasa! Aku harus bisa memecahkan rahasia ilmu yang dimiliki oleh Pendekar Slebor! Aku yakin, ilmu itu mempunyai kelemahan!" Ia coba berdiam sekarang sambil mencoba menguras seluruh pikirannya. Andika masih tetap tegak dengan mata nyalang.
Sementara Suci menarik napas lega melihat kenyataan itu. Kekagumannya semakin bertambah melihat kelihaian Pendekar Slebor.
"Kulihat... Kang Andika tidak membalas sekali pun. Ia malah membiarkan dirinya dihajar. Bahkan...
sepertinya Kang Andika tidak tahu apa yang sedang terjadi," desis Suci dengan hati galau. Diam-diam dia berkata dalam hati, "Lalu, bagaimana caranya aku bisa memiliki Permata Sakti itu bila Kang Andika memiliki ilmu yang tinggi?"
"Rase Maut... tak mungkin kita bisa mengalahkan Pendekar Slebor sekarang ini," kata Moro Alit yang tenaganya sudah pulih kembali.
"Lebih baik kita lepaskan dulu, untuk kemudian kita hajar kembali dia!"
"Goblok! Ini kesempatan yang telah lama kucari! Permata itu tak lagi berada di tangan Kakek Buruk Rupa! Sekarang, apakah kalian akan melepaskannya begitu saja setelah mengetahui permata itu berada di tangan Pendekar Slebor" Dasar orang-orang bodoh!" Wajah Moro Alit mengkelam. Ia muak dibentak seperti itu. Namun, ia juga membenarkan kata-kata Rase Maut. Hanya saja, bagaimana cara mengalahkan Pendekar Slebor yang telah menguras tenaganya habis-habisan. Masih untung ia bisa memulihkannya, kalau tidak, ia membutuhkan waktu dua hari dua malam guna mendapatkan tenaganya kembali.
Meskipun menyetujui kata-kata Rase Maut, hatinya sudah keburu geram dibentak seperti itu.
"Kau lakukan sendiri dan kami ingin melihat hasilnya!!" Ganti Rase Maut yang menggeram, sementara Andika masih berdiri tegak tanpa bergerak, seolah siap membiarkan dirinya dihajar habis-habisan.
"Bagaimana caranya untuk menghabisi Pendekar Slebor?" desisnya. Diperas seluruh otaknya, namun ia tak menemukan jawabannya.
"Hhh! Yang mengherankanku, ia tak menyerang sama sekali. Tidak seperti pertama kali kami bertempur. Seolah ia menunggu, namun dari sikapnya itu pun sepertinya ia tak peduli dirinya dihajar habis-habisan. Gila! Benar-benar ilmu yang luar biasa! Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan Permata Sakti itu" Menjengkelkan!"
"Mengapa harus memeras tenaga lebih banyak" Aku siap membantumu!" terdengar seruan itu bersamaan satu sosok tubuh melayang dari satu tempat.
Sosok itu tinggi besar dan terdapat sebuah tambang besar di bahu kirinya.
Rase Maut seketika palingkan kepala. Sesaat kemudian terdengar dengusannya, "Mau apa kau ke sini, Iblis Tambang?" Yang hadir itu tak lain adalah Iblis Tambang. Ia perdengarkan tawanya yang mengguntur. Rupanya, manusia itu telah berhasil memulihkan sakit di sekujur tubuhnya akibat serangan dari Kakek Buruk Rupa.
Ia memang masih bermaksud untuk mengejar Kakek Buruk Rupa. Hanya saja, ketika ia tiba di tempat itu, didengarnya sebuah pertarungan dahsyat. Dan dilihatnya seorang pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur yang tersampir di bahunya bagai membiarkan saja serangan-serangan gencar dari lawan-lawannya. Yang cukup mengejutkannya, ketika ia mendengar tentang Permata Sakti yang kini diketahuinya berada di tangan Pendekar Slebor.
"Lama kucari Kakek Buruk Rupa, tak tahunya Permata Sakti itu berada di tangan Pendekar Slebor.
Rase Maut... apakah kau akan mengkangkangi sendiri Permata Sakti itu?" Rase Maut tahu akan kehebatan Iblis Tambang.
Ia tahu pula kalau ilmunya berada satu tingkat di bawah Iblis Tambang. Namun kelicikannya itu kini muncul kembali.
"Jangan tegang begitu. Jangan gusar. Kita bisa bersama-sama merebut Permata Sakti dari tangan Pendekar Slebor. Hanya saja, aku sudah berjanji untuk menyerahkan permata itu pada Tunggul Manik, ketua Serikat Kuda Hitam." Dengan berkata seperti itu, Rase Maut berharap Iblis Tambang akan marah mendengarnya. Hingga ia akan merebut dan mempertahankan Permata Sakti itu dari tangan Tunggul Manik bila berhasil mendapatkannya. Bila keduanya bentrok, maka Rase Maut merasa bisa mengambil kesempatan.
Yang diduganya itu memang benar. Iblis Tambang memerah wajahnya. Sekian bulan ia memburu Permata Sakti, tak akan mungkin bila sudah di tangannya akan dilepaskan.
"Persetan dengan Tunggul Manik! Aku ingin mencoba kekuatan manusia keparat itu!" Rase Maut cuma tersenyum saja, diliriknya Moro Alit dan kedua temannya yang mendadak menjadi gusar. Ketiganya segera melompat ke muka dua tin dak.
"Jangan sembarang omong! Kau akan terserimpung oleh ucapanmu sendiri!!" bentak Moro Alit.
Iblis Tambang terbahak-bahak mendengar ancamannya.
"Rase Maut... karena orang-orang semacam inilah hingga kau membiarkan jiwamu kau jual?" serunya dengan suara ditekan, penuh ejekan.
"Yang kutakutkan adalah Tunggul Manik," sahut Rase Maut menebar hawa panas di antara mereka.
Lalu dengan liciknya ia berkata, "Tak mungkin aku sanggup membantah perintah Tunggul Manik. Entah bagaimana kau sendiri. Apakah mampu atau tidak?" Tetapi menurut penglihatanku...."
"Keparat! Kau hendak mengatakan aku tak akan mampu mengungguli Tunggul Manik?" dengus Iblis Tambang dengan tatapan laksana kobaran mata api.
"Jangan memutar mulut ngaco! Manusia mana pun juga akan kulibas dan rebah sejajar dengan tanah bila menghalangi keinginanku! Tak peduli siapa pun dia! Tunggul Manik... ingin kutahu kehebatan manusia semacam dia. Aku yakin, ia tak lebih dari seorang ban-ci yang berlindung di balik kekuatan anak buahnya." Moro Alit semakin panas bukan buatan. Hatinya bagai dicabik-cabik tangan kasar dan ribuan jarum. Wajahnya tertarik ke belakang. Rambut panjangnya bagai bergetar.
"Iblis Tambang! Tak kuperkenankan kau mengejek Ketua serendah itu! Kau akan merasakan akibatnya!" Iblis Tambang terbahak-bahak.
"Mengapa kau hanya berdiam saja" Cepat lakukan apa yang kau inginkan" Biar aku...." Tak mau menunggu kata-kata Iblis Tambang yang telah menghina ketuanya, Moro Alit sudah maju dengan satu gempuran dahsyat. Dalam sekali gebrak itu, Iblis Tambang bisa dibuat berantakan. Namun laki-laki bersenjata tambang besar itu, cuma menggeser tubuhnya. Dan dengan kecepatan laksana setan, ia menjotos dada Moro Alit yang mengaduh keras dan terlempar ke belakang.
Tanpa mau membiarkan lawan hidup lebih lama lagi, Iblis Tambang melompat. Masih melompat kakinya bergerak.
Praaak!! Moro Alit yang masih terhuyung tak mampu hindari tendangan ke kepalanya. Tanpa ampun lagi, kepalanya terhantam tendangan keras itu. Pecah dan tubuhnya ambruk.
Melihat kawannya mati dalam sekali gebrak, dua orang dari anggota Serikat Kuda Hitam segera berkelebat dengan gerengan yang keras memecah angkasa.
"Keparat! Mampuslah kau, Manusia Hina!".
Iblis Tambang hanya terbahak-bahak saja, seolah membiarkan maut menjemputnya. Namun dengan gerakan tak terlihat, tiba-tiba saja tambangnya sudah berkelebat. Keluarkan suara bergemuruh dan menghantam keduanya.
Des! Des! Bukan buatan maut yang diterima keduanya, lebih parah dari yang dialami oleh Moro Alit. Tubuh keduanya rencah terhantam tambang berkekuatan dahsyat itu. Sesaat kemudian, terdengar lagi tawa dari iblis Tambang. Rase Maut diam-diam mendesah, "Luar biasa! Kecepatannya sangat luar biasa sekali!" Sementara Suci yang bersembunyi sambil kerahkan ilmu meringankan tubuhnya terbelalak menyaksikan semuanya. Hatinya kacau tak karuan. Lebih kacau lagi melihat sikap Andika yang tetap berdiri tegak tanpa berbuat apa-apa.
Dan tak seorang pun yang tahu kalau saat ini Pendekar Slebor sedang berteriak sangat keras sekali. Berharap ada yang mendengarnya dan membawanya keluar dari suasana yang seluruhnya berwarna biru.
Sedangkan saat itu, Iblis Tambang sudah berbalik dan menatap Andika tak berkesip.
"Rase Maut... apakah kau akan menyaksikan kehebatan ilmu tambangku ini, hah" Sekalipun Pendekar Slebor memiliki ilmu kebal yang luar biasa, tak akan bisa menahan dahsyatnya tenaga dan gempuran tambang kesayanganku ini!!" Rase Maut cuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Akal liciknya tetap berputar. Ia tetap menginginkan Permata Sakti itu.
"Iblis Tambang... kau akan bisa mengalahkan Pendekar Slebor dan mendapatkan Permata Sakti itu.
Tetapi, bagaimana tanggung jawabku dengan Tunggul Manik?"
"Manusia bodoh! Bila kau mau bergabung denganku, akan kuhancurkan Tunggul Manik bersama serikatnya itu!" Inilah yang dikehendaki oleh akal licik Rase Maut. Sudah tentu ia senang bukan main. Diperlihatkan senyum dan pujian yang membuat Iblis Tambang semakin bertambah jumawa.
"Kau minggir sekarang! Ingin kulihat kekebalan yang dimiliki Pendekar Slebor! Kau lihat sendiri, bukan" Kalau Pendekar Slebor tak lebih dari mayat hidup belaka! Ia merasa akan mampu menahan serangan tambang kesayanganku ini! Padahal, ia salah besar bila memang berniat melakukannya! Tak akan kubiarkan manusia itu bercokol di rimba persilatan ini lebih lama!!" Sehabis berkata begitu, Iblis Tambang melangkah dan berhenti dalam jarak tiga tombak di hadapan Pendekar Slebor. Segera dialirkan tenaga dalamnya pada tambangnya.
Rase Maut diam-diam tersenyum penuh kelicikan. Ia bergeser dari tempatnya. Untuk saat ini, biarlah ia mengalah dan membiarkan Iblis Tambang memiliki Permata Sakti itu. Setelah Iblis Tambang bentrok dengan Tunggul Manik, ia akan mencoba mengambil kesempatan. Putaran tambang itu semakin lama semakin keras terdengar. Memekakkan telinga dan menggugurkan dedaunan. Suci menggigil menahan kekacauan hatinya. Darahnya bagai beredar dengan cepat. Ia berdoa agar Andika menghindar.
"Tak ada lagi nama Pendekar Slebor sekarang ini!!" terdengar sentakan maut dari Iblis Tambang.
Suci memutuskan untuk mengambil tindakan nekat. Ia benar-benar tak mengerti mengapa Andika tidak menghindar maupun membalas setiap serangan yang datang. Justru berdiri tegak membiarkan tubuhnya dihujani serangan.
Mendadak saja ia melompat dari persembunyiannya, "Heaaaa!!" Teriakannya mengejutkan Iblis Tambang. Selagi Iblis Tambang menghentikan gerakannya, Suci menarik tangan Andika.
Wut! Wut! Dan membawanya menghilang ke satu tempat.
Gusar bukan buatan Iblis Tambang dibuatnya.
Ia menggeram setinggi langit.
"Setan alas! Kubunuh kau, Manusia Lancang!" Rase Maut sendiri terpaku di tempatnya. Sama sekali tak menyangka kalau seseorang akan muncul dan menyelamatkan Pendekar Slebor. Melihat Iblis Tambang sudah melesat. Rase Maut pun menyusul. Ia tak ingin Permata Sakti itu jatuh ke tangan Iblis Tambang.
***
««::{ 10 }::»»
"Mengapa aku berada di sini" Sepi... ke mana manusia-manusia dajal itu?" seru Andika sambil celingukan.
Lagi-lagi Suci cuma melongo mendengarnya.
Dari kata-kata Andika barusan, pemuda sakti itu seolah tak merasa kalau ia dibawa lari Suci.
"Maksud Kang Andika bagaimana?" tanyanya tak mengerti. Justru Andika yang balik bertanya, "Apanya yang bagaimana" Aku malah bingung mengapa bisa berada di sini?" Terheran-heran Suci menceritakan apa yang terjadi. Ganti Andika sekarang yang terheran-heran.
"Kau bilang, aku membiarkan tubuhku dihantami serangan manusia-manusia itu?" Suci menganggukkan kepala.
"Aneh!" desis Andika sambil mengerutkan keningnya.
"Tidak aneh, Kang. Sudah dua kali sebenarnya aku melihat Kang Andika membiarkan dihajar lawan tanpa sekali pun membalas," kata Suci.
"Dua kali?" ulang Andika.
"Ya. Dua kali. Pertama, ketika Andika bertarung di atas sampan menghadapi si Rase Maut. Kedua, ya pertarungan tadi itu. Mengapa Kang Andika seperti keheranan?" Bukannya menjawab, Andika justru mondarmandir kayak mandor pabrik.
"Tak mungkin, Suci... tak mungkin."
"Apanya yang tak mungkin?" Andika menghentikan langkahnya.
"Dan menurutmu aku sama sekali tidak merasa kesakitan?" Suci menganggukkan kepalanya. Aneh, kenapa Kang Andika jadi begini, desisnya dalam hati.
"Tidak membalas?"
"Ya. Tetapi, Kang Andika, mengapa Kang Andika keheranan" Bukankah Kang Andika yang melakukannya?"
"Tidak."
"Bagaimana ini?" kata Suci makin tak mengerti.
"Padahal, aku melihatnya dengan jelas." Andika diam kembali. Lalu katanya, "Ketahuilah Suci, aku tak memiliki ilmu aneh semacam itu.
Bahkan aku seolah baru disadarkan kalau sudah dua kali hal itu terjadi. Malah aku... oh!" Andika berdiri tegak, mematung dengan tatapan melotot.
Suci menjadi tegang sendiri. Mengingat tempat itu sepi dan sikap Andika yang rada aneh.
"Kenapa, Kang Andika?"
"Apakah... oh, ya, ya... bisa jadi itu. Bisa jadi."
"Kang Andika kenapa?" Andika masih belum menjawab pertanyaan Suci, "Tidak, aku belum bisa menentukan itu benar atau tidak sebelum membuktikannya. Hmmm... ya, ya...
memang harus dibuktikan." Merasa ada keanehan dalam diri Andika, Suci berkata, "Kang Andika... sebaiknya, kita tinggalkan tempat ini. Karena, kedua manusia itu pasti akan mencari kita." Kali ini Andika menganggukkan kepalanya.
"Kau benar, Suci. Kita memang harus meninggalkan tempat ini. Tetapi... awaaaasss!!" Andika mencelat menyambar tubuh Suci, ketika didengarnya suara menggemuruh mengerikan mengarah pada keduanya.
Blaaarr! Dua buah pohon tumbang seketika.
Andika menurunkan tubuh Suci dari bopongannya. Bersamaan dengan itu, dua sosok tubuh sudah mencelat ke arahnya. Jotosan dan tendangan siap diterima Andika.
Andika mendorong tubuh Suci. Lalu menekuk kedua lutut dan kedua tangan bergerak.
Buk! Buk! Tendangan dan jotosan itu tertahan, namun meskipun demikian, dua dorongan tenaga dalam tinggi, membuatnya agak terhuyung. Mengubah posisi agar keseimbangannya tidak menghilang, pindah satu tindak ke kiri dan melepaskan tendangan balasan.
Rase Maut yang tengah mencecar, urung dengan satu teriakan keras. Saat itu sebenarnya Andika bisa menghabisi lawan, akan tetapi, tambang besar yang mengeluarkan suara mengerikan menderu menghalangi maksudnya.
"Kerbau bau!" maki Andika sambil membuang tubuh. Tetapi, tambang besar senjata andalan Iblis Tambang terus mencecarnya. Mau tak mau untuk beberapa saat, Andika merasa dirinya seperti monyet kebakaran ekor. Menyusul rangkaian serangan dari Rase Maut.
Benar-benar Andika berada di lingkaran jalan kematian sekarang ini. Suci yang sudah berdiri akibat dorongan Andika tadi, menjadi pias bukan main. Ia berteriak keras, "Gunakan ilmu kebal yang Kang Andika miliki"!" Tetapi yang dilihatnya, Andika terus berusaha menghindar. Tidak lagi menunjukkan 'kebolehan'nya yang menurut Suci sangat menakjubkan.
Tambang besar itu lolos dari sasaran, tetapi jotosan tangan kiri iblis Tambang, telak menghantam dada Andika. Menyusul tendangan Rase Maut. Bukan alang kepalang sakitnya. Napas Andika terasa sesak.
Tetapi dasar urakan, Andika tak mempedulikan hal itu. Ia berkelit, bergulingan, melompat, dan mencoba membalas. Keberanian yang dipadukan dengan kepandaiannya yang tinggi, membawa basil. Rase Maut merasa ngilu ketika tempurung kaki kirinya terhantam tendangan Andika.
Patah dengan jeritan yang cukup keras.
Menyadari kalau lawan belum sepenuhnya terdesak, Iblis Tambang yang melihat Rase Maut menjerit seperti itu, mencoba menambah kecepatan dan tenaganya. Akibatnya, Andika terhantam telak kembali.
Ia terjajar ke belakang. Darah segar mengalir dari mulutnya. Iblis Tambang berdiri pongah, sementara Rase Maut coba berdiri dengan sebelah kaki. Matanya menyiratkan dendam tinggi, penuh ambisi untuk membunuh Andika.
"Nyawamu akan kuampuni, bila kau menyerahkan Permata Sakti itu kepadaku, Pendekar Slebor!" suara serak Iblis Tambang menggetarkan tempat itu.
Andika tersenyum mengejek.
"Kalau kau mampu, mengapa tidak mengambilnya?" Iblis Tambang memutar senjatanya yang menimbulkan gemuruh angin.
"Nyawamu sudah di tanganku, Pendekar Slebor! Kau masih saja mencoba mengulur waktu!!" Andika tersenyum, dengan membentuk monyongan pada bibirnya.
"Heran, kalau mau membunuh ya lakukan saja!" Iblis Tambang yang penasaran tentang ilmu kebal yang dilihatnya ketika Rase Maut dan Serikat Kuda Hitam menghajar Andika, diam-diam mengerahkan tenaga dari pusarnya. Panas menggejolak di tubuhnya.
Desingan tambangnya bertambah kuat, angin makin kencang menggemuruh.
"Kau akan menyesal, Andika!!" Wussss!! Tambangnya sudah digusurkan ke arah Andika. Cepat Andika mengempos tubuhnya dengan pancalan satu kaki. Hup! Lincah ia melompati tubuh Iblis Tambang sendiri. Tanah di mana ia terduduk tadi, membentuk lubang yang sangat besar dan mengeluarkan asap.
"Edan! Kalau aku tidak cepat, bisa jadi perkedel busuk!" maki Andika.
Tetapi, Rase Maut dengan liciknya, menyergap dengan satu totokan.
Tuk! Tubuh Andika bergetar. Lalu menggelosoh lemah dan terbujur kaku di tanah. Ia memaki panjang pendek. Mendapati lawan telah lumpuh, Rase Maut yang kini sebelah kakinya tak berfungsi lagi, melangkah dengan terpincang. Geram bukan buatan. Matanya melotot nyalang.
"Kau akan membayar perbuatanmu ini, Pendekar Slebor!" Tangannya siap dihantamkan pada kaki Andika, tetapi Iblis Tambang berseru, "Siksaan untuknya telah kupersiapkan Rase Maut! Untuk sementara, biarkan ia terbujur tak berdaya!" Rase Maut membuang kesalnya dengan melepaskan pukulan ke depan. Akibatnya, sebuah pohon menjadi berantakan. Sementara Suci menjerit tertahan menyadari keadaan Andika yang tak menguntungkan.
Jeritannya itu memancing Iblis Tambang yang terbahak-bahak melihatnya. Sebuah rencana busuk telah terpampang di benaknya.
"Pendekar Slebor... untuk beberapa saat lalu, kau masih bisa mempertahankan Permata Sakti itu.
Tetapi sekarang, kau tak berdaya. Permata itu akan kumiliki. Setelah itu, kau akan melihat pemandangan yang mengasyikkan di depanmu." Sambil terbahak, Iblis Tambang menggeladah tubuh Pendekar Slebor. Diperlakukan semacam itu, bukan buatan gusarnya Andika. Tetapi ia hanya tertawa-tawa saja.
"Kau tak akan menemukan Permata Sakti itu, Manusia Jelek!" ejeknya menyeringai.
Apa yang dikatakan Andika memang benar. Karena Iblis Tambang tak menemukan Permata Sakti yang memancarkan sinar biru itu di seluruh tubuh Andika.
"Setan alas! Katakan di mana permata itu bila tidak ingin kupenggal?" Kemarahan Iblis Tambang menggunung. Matanya bagai pijaran api, menggelora, mengerikan.
"Aku sih masih sayang dengan nyawaku, makanya kuberi tahu di mana Permata Sakti itu."
"Katakan!"
"Kau lihat gadis itu, bukan" Permata itu ada padanya!" Bukan hanya Iblis Tambang dan Rase Maut yang terkejut, tetapi juga Suci. Ia sampai terjingkat.
Heran, mengapa Andika berkata begitu" Ini memang merupakan sebuah rencana untuk menjelaskan dugaannya. Selagi serangan pertama datang, Andika bisa menebak kalau Iblis Tambang dan Rase Maut yang muncul kembali. Gerakan kilat dilakukan, ia menyelipkan Permata Sakti itu ke balik tubuh Suci. Saking cepatnya hingga gadis itu tidak merasa apa-apa. Andika sendiri sebenarnya bisa memunahkan totokan si Rase Maut yang tak terlalu bertenaga lagi.
Tetapi, teka-teki tentang Permata Sakti kini ia coba pecahkan, bahkan dengan sebuah cara yang mungkin mengerikan! Iblis Tambang memutar tubuhnya, begitu pula Rase Maut. Dua pasang mata kelam menatap Suci yang coba untuk tetap tegar. Namun riak ketakutan mulai menyelinap di hatinya.
"Gadis manis... serahkan permata itu kepadaku!" bentak Iblis Tambang.
"Jangan, Suci! Jangan kau serahkan permata itu!" seru Andika. Tamparan Rase Maut membuat bibirnya berdarah. Andika menggeram. Kalau saja ia tak ingin membuktikan dugaannya, sudah dikerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari totokan Rase Maut.
Tetapi ia masih menunggu, dan ia percaya kalau Suci selamat dari gempuran maut kedua lawan. Karena, ia telah mengarah pada dugaannya tentang teka-teki Permata Sakti. Iblis Tambang tak mau bertindak ayal. Ia menerjang cepat. Meskipun tak memiliki ilmu kanuragan, tetapi Suci memiliki ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang lumayan. Cepat ia berkelit. Iblis Tambang menggeram dan terus menerjang.
Suci benar-benar dibuat tunggang langgang.
Terutama ketika Rase Maut berupaya agar semuanya cepat selesai.
"Hmm... seharusnya Suci membiarkan tubuhnya dihajar, agar aku bisa menduganya," desis Andika, "Tetapi, kalau ia tak mampu menerima hajaran itu, bi-ar kubantai keduanya!" sambungnya sambil kerahkan tenaga dalam, hingga totokan Rase Maut terlepas.
Tetapi Andika masih terbaring dengan sifat urakannya.
Saat ini Suci benar-benar kewalahan menghindari gempuran kedua lawan. Satu tendangan telak diterimanya. Namun yang mengejutkan, Suci langsung tegak berdiri. Hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa.
Iblis Tambang menderu, "Putus nyawamu!!" Des! Tendangan yang siap menjebol dadanya diterima Suci, tetap dengan ketenangan, bahkan tubuhnya yang terhuyung berdiri kembali. Seolah gadis itu tidak merasakan sakit.
Diam-diam Andika mendesis, "Benar dugaanku.
Teka-teki Permata Sakti terpecahkan sudah. Kesaktian yang dimiliki permata itu ternyata mampu menahan seorang yang memegangnya dari serangan sehebat apa pun. Bahkan senjata sakti macam mana pun juga.
Pantas, aku agak keheranan ketika melihat Camar Hitam menghilang. Rupanya tanpa disadari si pemegang Permata Sakti itu, tenaga yang dikandung Permata Sakti telah melindunginya. Hmm... kini aku paham, mengapa Kakek Buruk Rupa tidak dapat memecahkannya. Karena, ia sendiri pasti tidak merasa kalau tenaga Permata Sakti yang membantunya. Benar-benar sebuah permata yang luar biasa! Tetapi...
Apakah pandangan Suci juga melihat suasana sekelilingnya yang berwarna biru?" Dugaan Andika memang terbukti. Karena saat ini, Suci sedang keheranan sendiri. Karena, mendadak saja dia tak melihat siapa pun juga di hadapannya.
Yang ada hanya sebuah ruang yang luas dan kosong.
Semuanya berwarna biru.
"Oh! Mengapa terjadi seperti ini" Mengapa sekelilingku jadi berwarna biru?" desis cucu Kakek Buruk Rupa keheranan sekaligus waswas. Lalu dengan gu-gupnya gadis ini berteriak, "Kang Andika! Di mana kau, Kang"!" Tak ada sahutan apa-apa. Bahkan gema suaranya pun tak terdengar. Gadis itu semakin kebingungan. Sementara itu Iblis Tambang dan Rase Maut menjadi terheran-heran mendapati si gadis nampak tenang-tenang saja dan membiarkan serangan mereka mengenai sasaran.
Rase Maut menggeram, "Sinting! Rupanya gadis itu memiliki ilmu aneh seperti yang dimiliki Pendekar Slebor!"
"Persetan dengan semua itu!" seru Iblis Tambang dengan wajah membesi.
"Hajar sampai lumat!" Tetapi meskipun serangkaian gempuran maut diterima Suci, gadis itu tetap tegak tanpa kurang suatu apa. Andika yang sudah merasa cukup untuk membuktikan dugaannya, menarik napas panjang tatkala mendapati Rase Maut siap menghajar Suci lagi.
"Tak ada jalan lain sekarang. Aku tak bisa membiarkan hal itu terus menerus terjadi," desisnya dalam hati. Dan segera dikerahkan tenaga 'Inti Petir' guna melepaskan totokan yang dialaminya. Lalu dengan teriakan keras pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu menerjang ke depan. Tangannya mengibas, menangkis serangan Rase Maut pada Suci. Masih melayang kakinya berputar.
Des! Menyusul kaki kanannya menghantam kepala Rase Maut. Rase Maut yang tak menyangka kalau Pendekar Slebor bisa terbebas dari totokannya terperangah. Ia mencoba untuk merunduk. Tetapi kaki kanan Andika merupakan sebuah pancingan belaka. Justru kaki kirinya yang menghantam dari bawah.
Prak! Seketika kepala Rase Maut pecah. Tak ada jeritan apa-apa kecuali ambruk bersimbah darah.
Iblis Tambang segera menghentikan serangannya pada Suci yang kali ini sudah tersadar dari pengaruh gaib Permata Sakti.
Gadis itu keheranan sendiri mendapati dirinya masih tegak berdiri dan pandangannya kembali pada hamparan pemandangan semula, tidak lagi berwarna biru.
Bahkan gadis itu hanya teringat, kalau Iblis Tambang dan Rase Maut tengah melancarkan serangan. Ia juga melihat Rase Maut telah menjadi mayat.
Dan Andika yang sedang berdiri tegak sementara Iblis Tambang menatapnya dengan beringas.
Bagaimana semua ini tidak kuketahui" desis Suci bingung. Ia meraba perutnya. Permata Sakti itu teraba, agak panas. Tetapi, terhalang oleh tenaga dalamnya yang memang sudah terlatih. Dari keheranan yang menyelimutinya, mendadak saja si gadis tersenyum.
"Permata yang direbutkan banyak orang kini berada di tanganku. Permata ini semula milik kakekku. Tak jadi soal bila aku memilikinya dari tangan Pendekar Slebor." Sementara itu, Pendekar Slebor sedang menarik napas panjang.
"Tak seharusnya aku menurunkan tangan telengas. Tetapi, dosa orang yang berjuluk Rase Maut itu terlalu banyak...," desisnya seperti menyesal sambil menatap mayat Rase Maut. Dan tatkala mendengar teriakan Iblis Tambang yang sudah menyerang, mau tak mau Andika bergerak memapaki.
"Monyet pitak! Apakah aku harus mencabut nyawa lagi?" makinya tak karuan. Namun, bila Andika tak bertindak, sudah barang tentu dia yang akan menjadi sasaran lawan.
Dengan ajian 'Guntur Selaksa' Andika membalas gempuran Iblis Tambang yang sebenarnya tenaganya sudah terkuras. Orang berwajah mengerikan ini tak mampu berbuat banyak. Berkali-kali tendangan Andika mengenai sasarannya. Bahkan tangan kirinya terhantam keras pukulan ajian 'Guntur Selaksa' yang seketika remuk dan membiru.
Lolongan bak serigala luka terdengar hebat. Andika yang merasa sudah cukup memberi pelajaran pada Iblis Tambang menghentikan gerakannya. Karena dipikirnya, Iblis Tambang tak akan mampu berbuat banyak. Namun dugaannya keliru, karena mendadak saja Iblis Tambang melepaskan serangannya dengan mempergunakan senjata tambang besarnya. Kendati hanya mempergunakan tangan kanannya saja, namun kecepatan tambang yang dilepaskan orang yang tangan kirinya telah remuk itu sama sekali tak terganggu.
Hanya saja, tenaga yang keluar lebih lemah bila mempergunakan dua tangan.
Wuusss! Cepat Andika melompat ke samping. Dan kesempatan itu dipergunakan Iblis Tambang, sambil menahan sakit dan dendamnya, meninggalkan tempat itu. Bila saja Andika tak memiliki jiwa kemanusiaan, sudah tentu akan dikejarnya Iblis Tambang yang sudah kalah itu.
"Sayang sekali. Padahal dia memiliki ilmu yang tinggi.
Bila saja dibawa pada jalan kebenaran...." Dari sudut matanya yang setajam mata elang, Andika melihat Suci mendekatinya. Dia tersenyum.
Dan semakin tersenyum mendengar gadis itu bertanya tentang keheranannya mengenai apa yang terjadi.
"Mengapa aku tidak tahu semuanya, Kang Andika?" Andika tersenyum.
"Maafkan aku, karena terlalu nekat menjadikanmu sebagai umpan, Suci. Tetapi, semuanya sudah kuperhitungkan dengan matang."
"Maksud Kang Andika?" Andika mengatakan dugaannya tentang Permata Sakti yang kini telah terbukti.
"Jadi... Permata Sakti ini bisa membantu si pemegangnya bila dalam keadaan terdesak?"
"Begitulah adanya, Suci. Ketahuilah, apa yang kau lihat selama ini kalau aku mampu menghadapi serangan lawan, sebenarnya bantuan Permata Sakti itu.
Aku tidak memiliki ilmu kebal semacam itu, lagi pula, aku tidak begitu bodoh membiarkan tubuhku dijadikan bulan-bulanan lawan."
"Pantas, begitu banyak yang menginginkan Permata Sakti ini dari Kakek, Kang Andika."
"Ya, sudah sepantasnyalah demikian. Kini aku telah berhasil memecahkan teka-teki Permata Sakti seperti yang diminta kakekmu meskipun secara tidak langsung ia menjebakku. Sekarang, saatnyalah kita mencari kakekmu, Suci." Karena terlalu gembira mendengar kata-kata Andika, tak sadar Suci merangkulnya.
"Oh! Kau berjanji, Kang Andika" Kau berjanji?" Andika cuma mengangkat alisnya dengan wajah memerah.
"Terima kasih, Kang Andika. Terima kasih." Gadis itu mengecup pipi Andika yang bertambah memerah. Andika berbisik, "Ingat Suci, aku ini laki-laki lho!" Seperti baru menyadari hal itu, Suci melepaskan rangkulannya. Wajahnya seketika memerah.
"Maafkan aku, aku terlalu gembira mendengar janji kang Andika."
"Tidak apa-apa. Malah aku ingin dirangkul sekali lagi," kata Andika genit.
Suci melotot, Andika cuma tertawa. Namun, Andika tidak tahu apa yang kemudian dipikirkan oleh gadis itu mengenai Permata Sakti.
***
««::{ 11 }::»»
Telah sepuluh tahun Tunggul Manik mendiami pulau yang mengerikan itu, yang bernama Pulau Seribu Setan. Sepak terjang Serikat Kuda Hitam memang tak bisa dirubah oleh siapa pun juga, terutama kaum golongan lurus.
Tetapi, untuk memusnahkan Serikat Kuda Hitam bukanlah sebuah cara yang mudah. Karena, untuk mendarat di Pulau Seribu Setan yang penuh dengan batu karang, bukanlah hal yang mudah. Kalaupun Tunggul Manik dan anak buahnya yang berjumlah sekitar lima puluh orang itu bisa keluar masuk ke pulau, dikarenakan ia mengetahui sebuah jalan rahasia. Sebuah jalan yang diciptakan dengan kekuatan sihirnya.
Saat ini, laki-laki berwajah kasar dengan pipi yang selalu menggembor itu tengah menggeram. Lima anak buahnya hanya terduduk tanpa berani mengangkat wajah di hadapannya.
Semenjak lima orang anak buahnya diutus untuk mencari Permata Sakti tiga bulan lalu, Tunggul Manik mulai tak sabaran. Apalagi mengingat batas waktu yang diberinya. Karena saat ini kelima anak buahnya tidak memberi kabar apa-apa. Padahal, seharusnya mereka sudah kembali ke Pulau Seribu Setan.
Laki-laki itu tidak tinggi, tetapi terbilang kekar.
Bajunya hitam pekat. Bagian dadanya tak tertutup, memperlihatkan sebuah tato bergambar tengkorak. Celananya hitam panjang hingga mata kaki. Di pinggangnya melilit sabuk warna merah. Matanya agak menukik dengan kelopak mata berlipat ke dalam. Alis mata laki-laki itu setebal brewok yang tumbuh didagunya. Di pergelangan tangannya terdapat dua buah gelang perak yang besar.
"Ke mana manusia-manusia dungu itu?" maki Tunggul Manik, suaranya besar mengerikan.
"Hhh! Seminggu lagi mereka tak kembali, kalian pergi menyusul! Temukan mereka, dan katakan, kalau mereka akan menerima hukuman!!" Lima anak buahnya yang sejak tadi menundukkan kepala, cepat-cepat mengangguk. Dan lega bukan buatan ketika Tunggul Manik membentak agar mereka keluar. Laki-laki berhidung besar dan berbibir tebal itu hilir mudik dengan wajah tertekuk. Sorot matanya yang celong ke dalam begitu mengerikan, Lalu ia melangkah ke sebuah ruangan yang ada di dalam bangunan besar itu. Ruangan itu menguarkan bau yang sangat busuk sekali. Tetapi bagi Tunggul Manik bukanlah hal yang mengherankan. Ia duduk di lantai. Di hadapannya ada sebuah meja kecil. Di atasnya terdapat sebuah dupa yang mengepul.
Dari sanalah bau busuk itu menguar. Di samping dupa itu, terdapat sebuah baskom yang berisi air berwarna kuning.
Mendadak terlihat tubuhnya bergetar dengan mulut komat-kamit. Tangannya yang terangkum di dada bergerak-gerak di atas dupa itu.
Dan mendadak matanya terbuka. Tajam memperhatikan air di baskom yang tadi tenang kini bergerak-gerak. Tiba-tiba, sungguh aneh sebenarnya, karena di dalam itu terlihat sosok Pendekar Slebor dan Suci yang sedang celingukan di sebuah hutan lebat.
"Setan alas!! Aku yakin, permata itu berada di tangan Pendekar Slebor!" Lalu orang ini mengulap-ngulapkan tangannya lagi di atas dupa. Pemandangan yang nampak di air itu kini berganti. Sosok wanita tua dengan rambut digelung ke atas nampak sedang bersembunyi di salah sebuah batu di sebuah Bukit Karang.
"Camar Hitam!" Menyusul sosok Kakek Buruk Rupa yang muncul, sedang celingukan di sekitar Bukit Karang. Lalu wujud Iblis Tambang yang tengah mengobati tangannya yang remuk. Menyusul pemandangan sepasang anak manusia setengah baya berbaju biru.
"Sepasang Dewa Gurun Pasir!" Dan beberapa gambar lainnya. Ketika gambar itu tiba pada sosok anak buahnya yang telah tewas, menjerit setinggi gunung Tunggul Manik. Menggetarkan bangunan di mana ia tinggal.
"Keparat! Kalian akan kuundang ke Pulau Seribu Setan!!" serunya keras. Tangannya dihantamkan pada lantai.
Braakk! Tangan sebatas siku melesak ke dalam lantai.
Sepasang mata orang ini melebar ganas dan wajahnya menekuk liar. Apa yang akan terjadi kemudian" Rahasia Permata Sakti telah berhasil dipecahkan oleh Pendekar Slebor. Maut pun membentang di setiap langkahnya dari orang-orang serakah yang menginginkan Permata Sakti itu. Bahkan, sebuah undangan akan ditebarkan oleh Tunggul Manik. Bukan undangan biasa, melainkan undangan yang dilakukan dengan kekuatan sihirnya.
SELESAI
Segera hadir kembaliSerial Pendekar Slebor dalam episode:
PULAU SERIBU SETAN
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
««::{ 1 }::»»
Beberapa desa terbenam kesunyian, terletak cukup jauh dari Gunung Semeru, berada dalam saputan kabut pagi cukup tebal. Puncak Semeru tersaput kabut. Terbayang di pelupuk mata bagaikan raksasa yang sedang tidur.
Dalam kabut tebal dan dingin menyengat, seorang pemuda berbaju hijau pupus melangkah di jalan setapak. Kira-kira tiga puluh tombak dari lereng Gunung Semeru ia hentikan langkah. Wajah si pemuda yang tampan dengan rambut gondrong tak beraturan itu bagai tak hiraukan keadaan di sekelilingnya.
Diedarkan pandangan ke segenap penjuru.
Yang nampak hanyalah lapisan kabut, dingin, berpendar. Keningnya berkerut hingga wajah tampannya jadi jelek bukan main.
"Hmmm... siapa sebenarnya yang mengundangku ke sini?" desis si pemuda dalam hati.
"Isi pesan yang ditinggalkan dari guratan di batang pohon, meminta kesediaanku datang ke Gunung Semeru ini.
Sialnya, orang itu tidak memberitahukan siapa dirinya.
Dan untuk apa meminta aku datang ke sini. Brengsek! Mau-maunya aku melakukan hal ini" Jangan-jangan hanya orang iseng saja yang melakukannya. Tetapi, melihat dari guratan pesan di batang pohon itu, jelas kalau orang yang memintaku datang memiliki tenaga dalam tinggi." Pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di lehernya itu, menggerutu panjang pendek. Ia teringat saat kemarin malam tidur di sebuah lembah, terletak cukup jauh dari Gunung Semeru. Ketika ia terbangun pagi hari, pandangannya tak berkesip menatap pohon di hadapannya. Sebuah guratan tulisan berisi pesan ditujukan padanya, terpampang di pohon itu.
Pendekar Slebor, kuminta kau datang ke lereng Gunung Semeru. Ada sesuatu yang hendak kusampaikan. Si pemuda berbaju hijau pupus yang tampan itu ternyata tak lain adalah Andika alias Pendekar Slebor. Keningnya berkerut kembali sambil coba terka apa maksud dari pesan itu. Yang pasti, pesan yang tertulis cukup dalam di batang pohon itu jelas ditujukan padanya. Yang membuatnya geleng-geleng kepala, bila melihat betapa dekatnya jarak pohon itu dengan tempat di mana ia tidur, sudah tentu telinganya yang terlatih akan menangkap suara langkah atau tarikan napas seseorang. Namun apa yang dilihatnya sekarang ini, justru membuatnya bertambah yakin, kalau orang yang menuliskan pesan itu bukan hanya memiliki tenaga dalam tinggi, melainkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi pula. Sedikit pun ia tak mendengar suara langkah atau tarikan napas seseorang.
Karena rasa penasarannya, selesai mandi di sebuah sungai, dan memburu seekor kelinci gemuk untuk dijadikan sarapan pagi, Pendekar Slebor segera emposkan tubuh. Dengan pergunakan ilmu larinya yang kesohor, dalam waktu satu hari satu malam ia sudah hampir tiba di lereng Gunung Semeru.
Sekarang, si pemuda urakan dari Lembah Kutukan kembali edarkan pandangan ke sekeliling. Dingin yang menyengat tak dihiraukan. Hatinya penasaran terhadap isi pesan itu. Terutama, ingin mengetahui siapa yang menuliskan pesan padanya.
"Busyet!" desisnya sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Siapa sih yang mengirim pesan untukku itu" Bila ternyata orang itu hanya mempermainkan ku saja, awas, akan kubalas tindakannya! Sebaiknya, aku segera menuju lereng Gunung Semeru!" Memikir begitu, Andika mengempos tubuhnya kembali. Hanya dua tarikan napas saja, jarak tiga puluh tombak di mana ia berdiri dengan Gunung Semeru, sudah dicapainya. Keadaan bertambah dingin dan kabut tebal itu menutupi pandangannya. Dipicingkan mata seksama, dikerahkan sedikit tenaga dalam guna mengusir hawa dingin. Kalau memang isi pesan itu benar, Andika memperkirakan orang yang memintanya datang pasti telah menunggunya. Namun ia tak melihat sosok tubuh di sana.
"Edan! Tak ada siapa pun di sini kecuali aku!" makinya tak karuan.
"Hhh! Lebih baik kuputari saja gunung ini! Barangkali bisa kutemukan orang iseng itu!!" Namun belum lagi ia menjalankan niatnya, ti-ba-tiba terdengar desingan halus menyusul tiga desir angin yang kuat ke arahnya.
****
Tubuhnya mencelat ke atas bagai mengapung, masih berada di udara ia putar tubuhnya. Kakinya bergerak sebanyak tiga kali.
Trak! Trak! Trak! Tiga desir angin itu berpentalan ke berbagai arah. Andika hinggap lagi di tanah sambil edarkan pandangan. Ia yakin, yang barusan mendesing ke arahnya itu hanya tiga buah ranting kecil, yang telah dialirkan tenaga dalam mematikan. Belum lagi ia bisa menentukan dari mana arah serangan itu datang, lima buah kerikil, cepat luar biasa menderu kembali. Dua menyerang bagian atas tubuh dan tiga lagi menyerang bagian bawah.
"Kerbau mabuk!" maki Andika sambil gerakkan tubuhnya. Dua batu yang menyerang bagian atas, di-hindari dengan merunduk. Tiga buah batu lagi yang menyusul belakangan dipapas dengan gerakan tangan tiga kali yang tak kalah cepat. Kali ini rasa jengkelnya sudah naik ke ubunubun.
"Manusia iseng! Lebih baik keluar dari tempat persembunyiamnu! Jangan sampai kuobrak-abrik Gunung Semeru ini!!" Habis kata-katanya, terdengar satu tawa yang luar biasa keras. Tanpa terasa tubuh Andika bergetar.
Ia pun merasakan bagaimana tanah yang dipijaknya bergetar pula. Cepat ia alirkan tenaga dalamnya guna mengatasi serangan tak nampak yang disalurkan melalui tawa keras.
Sambil menahan serangan itu, ia buka pandangannya. Samar matanya yang terlatih melihat dalam gelap, menangkap bayangan satu sosok tubuh yang duduk dalam jarak sepuluh tombak di hadapannya.
"Hhh! Manusia itu yang membuat ulah!" desisnya. Cepat ia menggerakkan tangan kanannya sebagai balasan atas serangan orang di atas batu. Angin panas menderu dahsyat memecah kabut tebal. Terdengar suara ledakan keras. Samar pula pandangannya menangkap satu sosok tubuh melompat dan batu besar yang didudukinya hancur berantakan.
"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau kuundang ke gunung ini!!" terdengar suara laki-laki, serak, mengekeh. Andika yang masih menahan serangan tak nampak melalui suara tawa yang menyakitkan tadi, melihat satu sosok tubuh berdiri di hadapannya dalam jarak tiga tombak. Meskipun pandangannya tertutup kabut tebal, namun ia cukup dibuat terkejut saat melihat rupa orang itu.
"Hmm... apakah aku berjumpa dengan setan beranak di tempat seram ini?" desisnya sambil kerutkan kening.
Sosok yang berdiri di hadapannya bertubuh bongkok. Pakaian compang-camping dengan perlihatkan tulang di tubuhnya, seolah tak merasakan hawa dingin yang sangat kuat. Wajahnya sukar sekali dilukiskan karena rambut putihnya memanjang bagai menutupi pandangannya. Jenggotnya yang putih menjulai hingga setengah meter dari tanah. Celananya berwarna putih yang sudah kotor sekali.
"Siapakah kau, Orang Tua?" desis Andika dengan hati bertanya-tanya. Namun ia yakin, kalau orang tua aneh itulah yang mengundangnya datang ke tempat ini.
"Hehehe... pertanyaan bagus, berarti permulaan yang bagus pula. Selamat datang di tempat sialan ini, Pendekar Slebor." Orang tua itu mengekeh, seperti mentertawai kata-katanya sendiri yang dianggapnya sebagai gurauan yang lucu. Padahal Andika tidak menimpalinya. Ia justru mendengus karena pertanyaannya tak segera dijawab. Ia mengulanginya lagi. Namun lagi-lagi orang tua aneh, kurus kerempeng, dan memiliki tulang seperti udang itu, perdengarkan tawanya. Kali ini tidak terlalu keras menerpa dan tidak menggetarkan. Rupanya, tawanya itu tidak dialirkan tenaga dalam seper-ti tadi.
"Tidak sia-sia aku mengundang seorang pendekar kenamaan ke tempat ini, yang namanya semakin lama semakin merangkak naik ke langit ketujuh. Tetapi perlu kau ketahui, kau sebenarnya beruntung bertemu denganku, Pendekar Slebor!"
"Monyet bongkok!" maki Andika dalam hati.
"Konyol benar kata-katanya itu! Dipikirnya ia seorang dewa apa?" Lalu ia berseru lagi, "Orang tua... lebih baik katakan siapa kau adanya, dan apa maksudmu mengundangku kemari?"
"Tidak sabaran! Memang tak heran, bila kuketahui hal itu! Julukan Pendekar Slebor memang cukup aneh dan sekaligus mengerikan."
"Busyet! Dia masih belum menjawab juga pertanyaanku?" maki Andika dalam hati.
"Jangan-jangan, orang tua ini sinting.
Mungkin kebanyakan makan na-si campur tahi ayam!" Selagi Andika mendumal tak karuan, orang tua aneh itu justru menjawab pertanyaannya, "Hehehe...
kau boleh memanggilku Kakek Buruk Rupa. Padahal, wajahku tak kalah ganteng denganmu, lho." Kalau tadi Andika jengkel karena pertanyaannya tidak segera dijawab, sekarang buyut dari Eyang Saptacakra penguasa Lembah Kutukan itu jadi ingin kencing mendengar kata-kata si orang tua.
"Heran, kok tidak malu ya memuji sendiri," ejeknya sambil perlihatkan seringainya yang paling jelek.
"Padahal wajah-mu tak lebih dari setan kuburan, Orang Tua!" Bukannya marah mendengar ejekan itu, si orang tua yang mengaku berjuluk Kakek Buruk Rupa justru sunggingkan senyum. Karena wajahnya yang mengerikan itu, senyumnya pun tak ubahnya seperti setan yang kebelet kencing.
"Pujian bagus! Aku senang mendengarnya! Mendekatlah! Ada sebuah pesan yang ingin kusampaikan padamu! Duduk!!" Mungkin karena rasa penasarannya itulah yang membuat Andika memenuhi kata-kata si orang tua yang mengaku telah sengaja mengundangnya ke tempat ini. Perlahan-lahan ia duduk bersila. Meskipun wajahnya tertutup panjangnya rambut, namun Andika tak menyangkal lagi kalau wajah orang tua di hadapannya pasti lebih buruk dari kucing kurus! Orang tua itu pun duduk di hadapan Andika.
Dua orang laki-laki berbeda usia itu kini saling berhadapan. Dan saling tatap seolah menjajaki siapa adanya diri masing-masing. Kakek Buruk Rupa kilapkan tangannya seolah sikap seperti itu tak usah diperlihatkan.
Ia justru keluarkan sesuatu dari balik pakaiannya yang compang-camping. Rupanya, di balik pakaiannya itu terdapat semacam ikat pinggang berwarna merah dan sesuatu yang diambilnya tadi itu berasal dari sana. Dibawanya benda yang masih berada dalam genggamannya itu di hadapan Andika.
"Tebak! Apa yang ku genggam ini?" Andika picingkan matanya. Ia hanya melihat sebuah sinar warna biru yang memancar dari genggaman si orang tua. Namun sulit menebak benda apakah itu.
"Katakanlah, Kek."
"Pasti... pasti kau sangat penasaran sekali" sahut Kakek Buruk Rupa yang kelihatan geli dengan permintaan Andika.
"Baik, baik... karena aku yang mengundangmu ke sini, aku akan segera memberitahukannya padamu."
"Ya sudah! Ceritalah, Kek!" seru Andika sewot.
Si orang tua perdengarkan tawanya yang benarbenar tak sedap didengar. Perlahan-lahan ia buka genggamannya. Sinar biru yang tadi memancar, kini bertambah terang, menusuk mata.
"Bola kaca!" desis Andika kagum. Matanya melotot melihat benda di tangan si orang tua.
"Goblok! Ini permata!" Andika garuk-garuk kepalanya sambil nyengir.
Diperhatikannya permata sebesar telur ayam yang berada di telapak tangan si orang tua. Sinar biru yang memancar dari sana, benar-benar cukup menyilaukan.
"Hanya karena permata ini, kau mengundangku kemari, Kek?" tanyanya kemudian.
Kakek Buruk Rupa terkekeh lagi.
"Permata di tanganku ini bukanlah permata sembarangan. Bukan permata seperti yang dimiliki orang kebanyakan. Apa yang kau lihat dari permata ini, Andika?"
"Sinar warna biru yang menyilaukan namun kuakui cukup mempesona."
"Bodoh! Coba perhatikan lagi!" Sebenarnya, Andika sudah jengkel bukan main karena selalu dibentak. Tetapi rasa penasarannya mengunci jengkelnya itu. Ia picingkan matanya sekaligus halau sinar biru yang cukup menusuk mata. Perlahan-lahan dilihatnya sebuah bayangan di dalam permata sebesar telur ayam itu.
"Ada gambar naga di dalamnya," katanya agak ragu. Si kakek justru mengiyakan dan memujinya.
"Tepat! Tepat sekali! Kau memang pintar! Tak sia-sia kau dikatakan pendekar yang memiliki sejuta akal cerdik. Perlu kau ketahui... permata biru ini adalah Permata Sakti yang kudapatkan lima belas tahun lalu di Sungai Biru yang letaknya ribuan tombak dari tempat ini. Semula, aku tidak tahu menahu soal permata yang entah berapa lama terpendam di Sungai Biru. Ketika kudapatkan, sesuatu yang mengejutkanku terjadi. Karena permata ini begitu panas sekali! Satu hal yang mengejutkanku, selama lima belas tahun itu banyak sekali orang-orang yang menginginkan permata ini. Terus terang, aku tidak tahu apa kegunaannya.
Namun ketika setiap saat aku harus bertarung mempertahankan permata ini, barulah aku sadar kalau tentunya permata ini mengandung satu kekuatan sakti yang luar biasa...."
"Apakah itu, Kek?"
"Goblok!" Kakek Buruk Rupa member tak.
"Bertanya terus! Dengarkan saja!" Andika menggeram jengkel. Hhh! Kalau tidak penasaran, ingin dijitaknya kepala si orang tua.
Kakek Buruk Rupa berkata lagi.
"Selama lima belas tahun aku berusaha mempertahankannya, karena meskipun saat itu aku belum mengetahui apa rahasia permata ini, aku terus mempertahankannya. Terus terang, aku menyukainya dan kudapatkan dalam rentang waktu yang sangat jauh dari usiaku sekarang ini yang sudah mencapai sembilan puluh tahun. Kini, Permata Sakti ini kuhadiahkan kepadamu, Andika."
"Heran... tadi kau mengatakan akan mempertahankannya. Lalu mengapa kau begitu saja menghadiahkannya padaku" Jangan-jangan, kau cuma menjebakku saja," seloroh Andika.
"Kurang ajar! Tak pantas kau berkata begitu padaku! Dengar, usiaku sudah lanjut. Aku ingin ada yang mewarisi Permata Sakti ini dan pilihanku jatuh kepadamu."
"Mengapa pilihanmu kau jatuhkan kepadaku, Kek" Bila kau memang ingin menyerahkan Permata Sakti itu, lebih baik kau berikan saja pada yang lainnya."
"Karena, aku tak percaya pada orang lain kecuali kau untuk menjaganya dan mempergunakannya di jalan kebajikan."
"Enaknya ngomong! Apa kau pikir aku ini bajik?" kata Pendekar Slebor. Mulutnya berkata begitu, padahal hatinya bangga sekali. Dasar urakan! "Aku percaya akan sepak terjangmu yang selalu kupantau. Nah, permata ini kuserahkan kepadamu."
"Maafkan aku, Kek... aku sulit menerimanya tanpa alasan yang masuk akal."
"Apakah tadi bukan alasan yang masuk akal?" maki Kakek Buruk Rupa sewot.
"Katakan dulu, apa rahasia Permata Sakti itu.
Tadi kau katakan, permata ini bukanlah jenis permata biasa. Melainkan sebuah permata yang memiliki kesaktian yang dahsyat. Nah, katakan kesaktian apa yang dimiliki permata ini" Jangan-jangan, omonganmu ini tak lebih dari gombal belaka!"
"Enaknya kau ngomong! Kuhadiahkan saja kau sudah beruntung, masih ceriwis ingin mengetahui rahasia permata ini dariku! Kau pecahkan sendiri!"
"Kalau begitu... aku tidak mau. Lagi pula, katamu kan banyak yang menginginkannya, janganjangan... kau sengaja menyerahkannya kepadaku biar aku yang diburu oleh orang-orang yang menginginkannya," kata Andika yang coba memancing kata-kata si orang tua.
"Brengsek!" maki Kakek Buruk Rupa. Matanya yang celong ke dalam melotot dari balik rambutnya yang lebat.
"Pokoknya, kau harus menerimanya dan memecahkannya sendiri!" Andika tertawa dalam hati. Sebenarnya, rasa penasaran di hatinya makin mengikat. Masalah ia akan diburu atau tidak oleh orang-orang yang menginginkan Permata Sakti itu, urusan nanti. Namun, sudah tentu ia tidak akan menerima pemberian Kakek Buruk Rupa begitu saja. Masih banyak pertanyaan yang bergelimpangan di benaknya.
Ia tetap menggeleng. Dilihatnya si Kakek Buruk Rupa mengangguk-angguk, seperti menyetujui katakatanya. Lalu seperti pada kenalan lama saja, ia menepuk perut Andika.
"Kalau kau memang tidak mau, ya tidak apaapa. Kupikir, memang sebaiknya permata ini berada di tanganku saja. Terima kasih kau telah memenuhi undanganku ke sini," Belum lagi Andika berkata apa-apa, mendadak saja tubuh Kakek Buruk Rupa menghilang dari pandangan. Bagai ditelan kabut pekat. Yang tercium kemudian, hanyalah bau tidak sedap.
Andika lebih keburu menekap hidupnya seolah baru menyadari sebenarnya sejak bertemu dengan Kakek Buruk Rupa ia sudah mencium bau tidak sedap itu daripada memikirkan ke mana perginya si kakek bongkok itu.
"Hhh! Seumur hidupnya pasti dia tidak mandi!" gerutunya setelah itu barulah ia ingat kalau si kakek telah meninggalkan tempat itu.
"Busyet! Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya hingga ia bisa lenyap begitu saja! Hhh! Cukup penasaran sebenarnya aku dibuat orang tua jelek itu. Tetapi, cukup mengherankan juga mengapa ia ingin menyerahkan Permata Sakti yang memancarkan sinar warna biru itu kepadaku, padahal ia telah lima belas tahun mempertahankannya. Brengsek! Kok sekarang aku jadi ingin memiliki permata itu. Rahasia di dalamnyalah yang membuatku jadi seperti itu. Tetapi, biarlah permata itu dipegang oleh Kakek Buruk Rupa, Karena ia memang pemiliknya yang sah." Andika pun berdiri, merasa lebih baik segera meninggalkan tempat itu. Namun baru saja kedua kakinya tegak, sesuatu jatuh dari balik pakaiannya.
"Hei!" serunya tanpa sadar. Benda yang jatuh itu memancarkan sinar warna biru.
"Busyet! Orang tua jelek itu mempermainkan ku rupanya! Gerakannya sangat cepat sekali! Rupanya, selagi ia menepuk perutku tadi, Permata Sakti ini diselipkannya di balik pakaianku. Luar biasa!" Masih mengagumi kehebatan Kakek Buruk Rupa dan seolah melupakan kalau ia tadi dipermainkan, Andika memungut permata yang memancarkan sinar biru itu. Diperhatikannya dengan seksama. Dilihatnya bayangan seekor naga di dalam permata sebulat telur ayam itu yang semakin lama nampak semakin jelas.
Bayangan gambar naga itu terdiri dari tiga warna. Kepalanya berwarna kuning. Tubuhnya berwarna merah.
Sedangkan kaki dan ekornya berwarna hitam.
Tiba-tiba dirasakannya panas yang membara, hingga tanpa sadar dilemparkannya permata itu.
"Busyet! Aku seperti memegang bara api saja!" desisnya dan dengan konyol ia meniup tangannya.
"Hhh! Biar bagaimanapun juga, aku tak menginginkan permata ini. Akan kucari Kakek Buruk Rupa dan ku-kembalikan padanya!" Sambil kerahkan tenaga dalamnya, guna hindari hawa panas tadi, Andika mengambil kembali permata itu. Meskipun masih terasa panas, namun tak terlalu menyengat. Dimasukkannya ke balik pakaiannya. Diperhatikan lagi sekelilingnya, "Hmmm... ke mana aku harus cari orang tua itu" Rupanya, ia sudah sinting permata kesayangannya ini diserahkannya padaku. Biar bagaimanapun juga, aku harus mengembalikannya. Karena aku tak berhak untuk memilikinya." Belum lagi ia melangkah, terdengar kekehan yang luar biasa kerasnya dari satu tempat.
««::{ 2 }::»»
Andika menatap tak berkesip pada orang tua berpakaian warna perak menyala itu. Wajah si nenek yang penuh kerut merut cukup mengejutkannya. Apalagi ketika ia mulai ingat siapa gerangan wanita tua yang memegang tongkat kusam di tangan kanannya.
"Hmmm... Si Camar Hitam," desis Andika dan tanpa sadar ia bersiaga. Andika tahu siapa wanita tua itu. Seorang tokoh hitam yang sangat kejam. Bahkan Andika pernah bertarung dengannya. (Untuk mengetahui siapa gerangan si Camar Hitam, silakan baca episode: "Cincin Berlumur Darah").
Wanita tua yang memang si Camar Hitam perdengarkan kekehannya yang tak sedap.
"Tak kusangka, hari ini berjumpa lagi dengan Pendekar Slebor. Bagus, bagus sekali! Sekali datang, dua nyawa kukepruk!" Meskipun tak mengerti nyawa siapa satu lagi yang dimaksudkan oleh wanita berwajah tirus penuh keriput, Andika perlihatkan seringaiannya.
"Kalau begitu, apakah yang satu lagi nyawamu sendiri" Ya... bunuh diri saja dulu, baru kemudian kau berusaha untuk membunuhku!" Kerut merut di wajah Camar Hitam bagai bertambah, berlipat menambah keangkerannya. Mata kelabunya yang celong ke dalam bagai terlempar keluar.
"Setan alas! Dendam lamaku semakin berkarat padamu, Pendekar Slebor! Gara-gara kaulah aku gagal mendapatkan Cincin Sakti milik Ki Seta! Bahkan gagal membunuh Penguasa Alas Roban! Kali ini, kau tak akan bisa hindarkan lagi dari kematian!"
"Heran ya... apakah bukan kau dulu yang akan dijemput ajal" Usiamu bukan lagi sudah magrib, tetapi sudah memasuki isya! Dan satu lagi, malaikat maut biasanya lebih suka dengan orang jelek seperti kau, karena cuma merusak pemandangan!!" sehabis mengejek seperti itu, Andika terbahak-bahak keras. Kelam wajah si Camar Hitam. Masih berdiri di tempatnya, ia menggerakkan tongkatnya.
Wuss! Deru angin dahsyat disertai suara menggidikkan, menderu ke arah Andika. Masih tertawa, Andika melompat ke kiri. Lalu dengan gerakan yang aneh, bagai memotong, ia mengibaskan tangannya! Deru angin itu putus di tengah jalan terhantam pukulan jarak jauhnya. Ia memutar tubuhnya kembali.
Masih penuh seringaian mengejek, ia berkata, "Nah! Kau lihat sendiri, bukan" Apakah kau mampu menghadapiku?" Saat ini Andika sebenarnya jengkel dengan kemunculan si Camar Hitam. Keinginannya untuk mencari sekaligus mengembalikan permata pada Kakek Buruk Rupa jadi terhalang. Dan ia tahu, akan sulit menghindarkan diri dari munculnya si Camar Hitam.
Camar Hitam menggeram. Gebrakan pertama dari serangannya itu merupakan rangkaian jurus tongkat yang dimilikinya. Pendekar Slebor bukan hanya bisa menghindari, bahkan sekaligus mematahkan serangannya.
"Pemuda keparat! Setelah kubunuh kau, baru kucari Kakek Buruk Rupa yang menyimpan Permata Sakti!" Kali ini Andika menghentikan tawa. Matanya tak berkesip pada si Camar Hitam. Kakek Buruk Rupa" Permata Sakti" Hmm, jelas sekali kalau kehadiran si Camar Hitam ini untuk mendapatkan Permata Sakti milik Kakek Buruk Rupa yang sekarang berada di balik pakaiannya. Jadi, apa yang dikatakan Kakek Buruk Rupa itu memang benar adanya, kalau selama lima belas tahun ia harus mempertahankan Permata Sakti itu.
Andika mendengus menyadari kalau sekarang justru ialah yang terkena batunya. Hadangan pertama yang dihadapinya adalah si Camar Hitam, yang memang belum tahu kalau Permata Sakti itu berada padanya. Namun, kehadiran tokoh golongan hitam ini cukup akan merepotkannya.
"Manusia jelek ini jangan sampai tahu kalau Permata Sakti itu berada padaku." desis Andika dalam hati.
"Apa sebenarnya kesaktian permata ini" Dan lagi, kenapa si kakek yang tidak tahu mana hidung dan mulut itu memberikannya kepadaku?" Memikir sampai di sana, guna membuang keterkejutannya Andika terkekeh.
"Apa sih yang kau maksudkan dengan Permata Sakti" Dan lagi, siapa gerangan Kakek Buruk Rupa itu" Apakah kau tidak pantas kalau kusebut Nenek Jelek-jelek Sekali"!" Gusar bukan buatan Camar Hitam. Tubuhnya sampai bergetar bersamaan dengan suara gerengan dari mulutnya. Sebenarnya, yang ia inginkan adalah Kakek Buruk Rupa. Setelah tak mampu mengalahkan Penguasa Alas Roban, si nenek kembali ke asalnya.
Ia pulihkan tubuh dan kesaktiannya. Sampai kemudian terdengar kabar tentang seorang tokoh aneh yang berjuluk Kakek Buruk Rupa. Camar Hitam telah lama mendengar julukan itu. Ia tak pernah tertarik sama sekali. Akan tetapi, ketika didengarnya tentang sebuah Permata Sakti yang dimiliki oleh Kakek Buruk Rupa, ia tinggalkan kediamannya guna merebut Permata Sakti itu.
Dalam rencananya, setelah berhasil mendapatkan Permata Sakti, ia akan mendatangi Penguasa Alas Roban untuk membuat perhitungan, sekaligus mencari Pendekar Slebor yang menggagalkan rencananya untuk memiliki cincin pusaka Ki Seta. Dan sekarang ini, sebelum rencana pertamanya dijalankan, ia telah bertemu dengan Pendekar Slebor. Selentingan ia menyirap kabar, kalau Kakek Buruk Rupa mendiami Gunung Semeru. Tubuh si Camar Hitam sudah berkelebat laksana kilat. Tongkat kusamnya bergerak membabi-buta, menimbulkan suara angin dahsyat. Andika sejak tadi sudah bersiap menerima serangan, bergerak tak kalah cepat. Namun gebrakan selanjutnya yang dilakukan si nenek berbaju perak itu, cukup membuat Andika kerepotan. Bukan hanya tongkat yang menderu-deru siap menghabisinya, juga gerakan bagai seekor camar yang kadang menukik dan meluruk cepat. Andika memakimaki tak karuan.
"Ini tak bisa kubiarkan!!" makinya sewot sambil menggulingkan tubuh menghindari gempuran itu. De-bu di sekitarnya mengepul lebih tebal. Kabut yang menghalangi pandangan terpecah dan berpindah tempat. Suatu saat, Andika membuat satu gerakan yang benar-benar aneh. Karena ketika tongkat di tangan si Camar Hitam siap menotoknya, ia justru maju bagai menyongsong. Kendati kaget dan berpikir kalau Andika hendak menipunya, Camar Hitam tak menghentikan serangan.
Dan benar-benar mengejutkan si Camar Hitam sendiri. Karena Andika memang menyongsong serangannya!
****
Beberapa saat hal itu terjadi, sementara dari senyuman berubah tawa ejekan dari Camar Hitam.
"Rupanya ajal sudah tiba untukmu, Pendekar Slebor. Jurus 'Penutup Jalan Darah'-ku memang tak bisa dikalahkan...." Puas sekali wajah si Camar Hitam melihat bagaimana Andika terus menerus limbung seperti tak mampu menguasai keseimbangannya. Namun detik berikutnya, kedua mata kelabunya bagai hendak melompat keluar melihat bagaimana Andika berdiri tegak dengan tubuh tak kurang suatu apa.
"Setan keparat! Kau menipuku, hah?" Memikir kalau ia hanya dipermainkan oleh Pendekar Slebor, Camar Hitam buat serangan yang lebih dahsyat. Namun seperti tadi Andika menyongsong serangan itu. Tubuhnya bukan hanya terkena totokan tongkat si nenek, melainkan juga gebukan bahkan jotosan tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Hanya saja, sampai sejauh itu, Andika tak sekali pun membalas. Justru membiarkan tubuhnya dihantami berkalikali. Limbung tubuhnya pun semakin cepat, tetapi lagi-lagi tidak jatuh, bahkan berdiri tegak! Sementara itu, sesuatu yang aneh dirasakan Andika.
"Aneh! Ke mana perginya nenek jelek itu" Kutu monyet! Ke mana dia" Mengapa seluruh pandanganku berubah biru dan di mana-mana yang nampak hanya warna biru saja. Apa yang terjadi?" Sementara itu Camar Hitam menghentikan serangannya. Tatapannya benar-benar tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya itu. Penasaran ia menyerang lagi. Lebih dahsyat disertai dengan teriakan-teriakan membahana penuh amarah.
Seperti yang sudah-sudah, Andika tetap membiarkan tubuhnya dihantami dan tak sekali pun membalas. Sedangkan menurut perasaan Andika saat ini, dia hanya melihat warna biru di sekelilingnya.
Sadar lawan memiliki ilmu yang lebih darinya, Camar Hitam menghentikan serangannya lagi.
Ia berdiri tegak dengan napas terengah. Seluruh tenaganya bagai terkuras habis akibat gerakannya sendiri.
"Tak kusangka, Pendekar Slebor memiliki ke-majuan sangat pesat. Padahal ketika pertama kali aku bertarung dengannya, aku bisa mengimbangi sekaligus mengalahkannya. Rupanya ia memiliki ilmu simpanan yang jarang diperlihatkannya. Tetapi, mengapa sejak tadi ia tidak membalas" Peduli setan! Ini kesempatan yang terbaik bagiku untuk meninggalkan tempat ini! Lebih baik aku teruskan mencari Kakek Buruk Rupa untuk dapatkan Permata Sakti. Aku yakin, si kakek tidak berada di sini. Sejak tadi ia tidak tampakkan batang hidungnya! Setelah kudapatkan benda itu, akan kubalas perlakuan Pendekar Slebor yang mempermainkan ku ini!" Memikir sampai di situ, Camar Hitam langsung melompat meninggalkan Pendekar Slebor yang masih berdiri tegak tanpa melakukan apa-apa.
Dalam jarak beberapa saat setelah kepergian si Camar Hitam, Andika menggerakkan tubuhnya. Dari sikapnya yang tegak tak melakukan apa-apa ia celingukan "Busyet! Mengapa pandanganku berubah kembali" Tadi seluruh yang nampak di mataku hanyalah warna biru belaka" Monyet pitak! Kenapa jadi begini" Ke mana perginya nenek jelek tadi" Aneh! Apa yang terjadi sebenarnya?" Merasa penasaran sekaligus heran, Andika berkelebat mencari si Camar Hitam, namun tubuh si nenek berbaju perak itu tak ditemuinya. Ia berdiri tegak dengan kening berkerut.
"Busyet! Ke mana manusia jelek itu" Wah, jangan-jangan dia takut padaku, hingga melarikan diri?" pikirnya sok. Lalu menyambung, "Tetapi, apa yang terjadi denganku barusan" Sepertinya seluruh pandanganku berubah menjadi biru. Dan tak kulihat tempat ini tadi. Bahkan tak kuketahui di mana sosok Camar Hitam berada" Aneh! Ada apa ini" Tetapi, sekarang aku tahu, kalau Camar Hitam menginginkan Permata Sakti ini. Pasti sekarang ia sedang mencari Kakek Buruk Rupa. Agaknya, aku bukan hanya berniat mengembalikan permata ini pada si kakek, tetapi juga memperingatkannya kalau bahaya masih mengancam dirinya." Masih dengan rasa keheranan mengenai perubahan yang terjadi pada pandangannya tadi di samping juga karena tahu-tahu Camar Hitam lenyap dari pandangannya, Andika berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun samar masih diingatnya kalau tadi, ia sedang diserang hebat oleh Camar Hitam.
Andika memang tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya tadi. Ia tidak tahu mengapa apa yang dilihatnya hanya warna biru belaka" Ia tidak tahu kalau ia dengan sengaja menyongsong serangan maut si Camar Hitam dan membiarkan tubuhnya dihajar.
Karena, gebrakan semacam itu akan membuatnya mati. Satu pertanyaan yang akan melanda diri Pendekar Slebor telah tercipta di hadapannya sendiri, tanpa disadarinya.
***
««::{ 3 }::»»
Pemuda pewaris Ilmu Pendekar Lembah Kutukan mengedarkan pandangan ke sekeliling bukit.
"Sinting! Ke mana aku harus mencari Kakek Buruk Rupa" Bikin kepalaku pusing!" makinya tak karuan. Diambilnya permata biru yang berada di balik pakaiannya. Dipegangnya perlahan.
"Hmm, masih agak panas. Brengsek! Apa sih sebenarnya kesaktian permata ini" Kenapa banyak yang menginginkannya" Lagi pula, mengapa Kakek Buruk Rupa mengundangku yang ternyata memberikan permata ini padaku" Dan lagi, mengapa saat bertarung dengan Camar Hitam, seluruh penglihatanku hanya melihat warna biru belaka?" Pemuda tampan berambut gondrong tak teratur itu membiarkan tubuhnya dihembusi angin senja yang sejuk. Ia masukkan lagi Permata Sakti itu ke balik pakaiannya.
Mendadak saja telinganya yang tajam mendengar desisan liar dari samping. Seekor ular belang yang cukup panjang muncul dari balik rimbunnya semak dan meluncur ke arah kaki Andika.
"Dasar ular lapar!" maki Andika sambil putar tubuhnya. Lalu kakinya menyentak.
Preek! Kepala ular itu diinjaknya, pecah dan mengalirkan cairan kuning. Saat itu kabut mendadak turun di muka bumi dan memenuhi perbukitan. Andika mengambil ular yang telah dibunuhnya itu.
"Lumayan untuk pengisi perut," desisnya.
Sambil tenteng ular itu, ia mulai melangkah di antara liputan kabut. Dan mendadak saja terdengar suara ta-wa yang cukup merdu bersamaan dengan seruan "Hei! Kenapa kau bunuh Jelita-ku?"
****
Dalam cuaca remang-remang di dalam kabut, tampak satu sosok tubuh seorang gadis berpakaian kuning. Berusia lebih kurang tujuh belas tahun. Ia tersenyum jenaka pada Andika yang terbelalak melihat betapa cantiknya gadis itu. Raut wajahnya bulat, mulutnya mungil dengan sepasang bibir memerah. Matanya hitam jernih dengan gigi yang putih mengkilat seperti salju. Ketawa yang diperdengarkan gadis itu ke-tawa lincah dan nakal.
Sukar untuk mengetahui makna senyuman yang diperlihatkannya.
Andika yang masih diliputi kagetnya mendesis dalam hati, "Apakah aku bertemu dengan kuntilanak kesorean ataukah ia bidadari yang turun dari kayangan?" Untuk beberapa saat perasaan Andika bagai di-aduk-aduk. Matanya tak tahan lama-lama menatap si gadis yang masih tersenyum.
"Hayo! Kenapa matamu itu?" katanya jenaka masih tersenyum.
Andika gelagapan ditembak' seperti itu. Dasar urakan, ia segera bisa menguasai dirinya lagi.
"Busyet! Kupikir lembah ini tempat jin buang anak! Eh, jangan-jangan kau ini anaknya jin, ya?" selo-rohnya. Bukannya marah mendengar selorohan Andika, gadis itu justru tertawa.
"Kalau aku yang cantik ini anak jin, kau yang jelek itu anak siapa?" Andika tertawa gurauannya dibalas. Ia bertanya, "Siapa tadi yang kau maksudkan dengan si Jelita?"
"Kau telah membunuhnya."
"Aku?" Andika mengerutkan keningnya.
"Kok main tuduh sembarangan saja!"
"Apa yang ada di tanganmu itu?" Andika mengangkatnya.
"Ular!"
"Nah, itu si Jelitaku!" Kali ini sepasang mata tajam bagai mata elang itu melotot.
"Yang beginian kau namakan Jelita?" Gadis itu mengangguk-angguk.
"Aku bersyukur karena kau berhasil membunuhnya! Telah dua hari aku mencarinya untuk membunuhnya."
"Mengapa" Katanya, ular ini binatang kesayanganmu?"
"Betul. Tetapi, ia telah membunuh kelinci kesayanganku. Nah, apa aku tidak jengkel" Lagi pula, ular itu binatang tak tahu berterima kasih. Sudah kuurus, eh malah membuatku susah. Lebih baik kubunuh saja. Tetapi, kau telah membunuhnya!" Meskipun heran mendapati gadis cantik di tempat sunyi seperti ini apalagi dengan sikap yang plinplan begitu, Andika cuma mengangkat bahunya.
"Seharusnya kau berterima kasih padaku, bukan?"
"Itulah sebabnya aku ingin mengajakmu ke rumahku." Lagi-lagi Andika terdiam. Baru kali ini ia mendapati urusan yang agak aneh semacam ini. Dan mendadak saja perutnya berbunyi. Malunya bukan main ketika melihat gadis di depannya tertawa.
"Kau lapar, kan" Nah! Ayo ke rumahku saja! Di sana kau akan mendapatkan makanan yang banyak sebagai ucapan terima kasihku!" Tawaran itu memang mengasyikkan sebenarnya. Namun saat ini, Andika yang sedang mencari Kakek Buruk Rupa, jadi ragu. Akhirnya ia memutuskan untuk menolak.
"Terima kasih. Masih ada urusan yang harus kulakukan."
"Kalau begitu, aku marah karena kau membunuh ularku!"
"Hei!" Andika melotot tak mengerti.
"Tadi kau mengatakan berterima kasih padaku karena aku membunuh ular ini, lalu mengapa kau hendak marah sekarang?"
"Karena, kau menolak tawaran terima kasihku! Ayolah, aku ingin sekali mengajakmu ke rumah! Kau bisa melihat hewan-hewan peliharaanku! Bahkan ada yang diberikan kakekku dulu, ketika aku berusia tiga tahun. Sekarang, monyet yang diberikan kakekku sudah semakin tua usianya. Seiring dengan usiaku. Eh, anaknya banyak lho! Tetapi, sayangnya, aku tidak tahu lagi di mana kakek berada. Memang brengsek si kakek! Hanya tiga kali aku dikunjunginya! Pertama, ketika aku berusia sembilan tahun! Lalu, ia mendatangiku lagi ketika usiaku dua belas tahun dan itu terakhir setahun yang lalu, ketika usiaku sudah lima belas tahun! Sebenarnya kakek baik, ia menurunkan kepandaiannya kepadaku! Cuma ya, sebel aku dibuatnya!! Ia selalu lama pergi dan ketika mendatangiku, ia justru hanya sebentar. Kadang-kadang cepat menghilang lagi tanpa mau bertemu dengan ayahku. Ih! Meskipun aku sebel padanya, tetapi aku merindukannya. Karena aku tahu, kakek sangat baik sekali padaku. Apalagi aku ini kan cucunya satusatunya." Andika mengerutkan keningnya tak mengerti.
Mengapa tahu-tahu gadis ini bercerita tentang dirinya padanya" Kelihatannya ia memang merindukan kakeknya. Andika bisa menebak sekarang, ketika ia tak mendengar bagaimana munculnya gadis ini, jelas dikarenakan gadis ini mempunyai kepandaian. Mungkin, ilmu meringankan tubuh yang diturunkan kakeknya padanya. Tiba-tiba gadis itu menatapnya serius. Ditatap dengan mata hitam jernih itu Andika jadi gelagapan.
"Ayahku selalu meminta kakekku untuk tinggal bersama kami. Tetapi ia selalu menolak. Kakek memang begitu! Tempat tinggalnya aku tidak tahu di mana! Kakek pernah bercerita, ia adalah orang rimba persilatan, hingga hidupnya selalu di mana saja. Tak menetap di satu tempat! Kakek pernah pula bercerita, ia selalu berkelahi terus menerus. Kakekku itu hebat, ia tak pernah kalah. Makanya, ia bilang, lebih baik menjauh dari kami, hingga bila ada musuh-musuh yang mencarinya, kami tidak terlibat. Hhh! Kakek memang menyebalkan! O ya, Kakek juga berpesan kalau kepandaianku ini tak boleh diketahui ayah dan ibuku! Eh, dari cara pakaian yang kau kenakan, kau pasti orang rimba persilatan, ya?" Andika diam saja. Jelas sekali gadis ini adalah bangsa terpelajar. Dari tutur sapa dan sikap sopannya membuktikan ia bukanlah orang rimba persilatan.
Mungkin, keberaniannya muncul di tempat semacam ini diwariskan oleh darah kakeknya.
"O ya, apakah kau pernah bertemu dengan kakekku" Kakekku agak bongkok. Umurnya sudah tua sekali. Ia selalu mengenakan pakaian compang-camping. Ih! Padahal ayahku mampu membelikannya pakaian yang bagus! Tetapi kakekku selalu menolak.
Mengenai wajahnya, katanya wajah kakek menyeramkan! Menurut kakek, ia dulu wajahnya tampan. Tetapi seorang lawan menjahatinya dengan menaruh obat bius pada minumannya. Setelah ia pingsan, wajahnya dilumuri madu dan ia diikat dalam keadaan tertotok di sebuah tempat. Semut-semut ganas mendatanginya dan menggigiti tubuhnya. Aku ngeri sekali membayangkannya! Makanya, sekarang ini Kakek selalu menutupi wajahnya dengan rambutnya yang panjang.
O ya, kakekku dijuluki Kakek Buruk Rupa!" Dari ketersimaannya mendengar penuturan gadis itu, Andika terjingkat. Ular yang dipegangnya terlepas. Ia terbelalak pada gadis itu yang ganti mengerutkan keningnya heran.
"Kau kenapa" Kalau kau menolak ke rumahku, ya tidak apa. Tetapi, jangan tampakkan wajah jelek kayak begitu?" si gadis bergidik.
"Aku jadi ngeri." Andika merubah sikap terkejutnya. Pelan tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah jelita di hadapannya, ia berkata, "Kau bilang, kakekmu berjuluk Kakek Buruk Rupa?" Gadis itu menganggukkan kepalanya.
"Ya. Memangnya kenapa" Kau baru bertemu dengannya, ya?" Andika ganti mengangguk.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya" Ajak aku untuk menemuinya! Aku kangen sekali pada kakek!" seru gadis itu dengan suara dan wajah lebih cerah. Andika menceritakan pertemuannya dengan Kakek Buruk Rupa. Tetapi, karena sejak tadi si gadis tidak menyinggung soal permata yang memancarkan warna biru, Andika tidak menceritakannya. Apakah si kakek memang pernah menceritakan permata itu pada gadis ini lalu memintanya untuk menutup mulut, ataukah ia sama sekali tak pernah menceritakannya" Andika mendengar gadis itu menarik napas panjang. Kelihatan betapa galau hatinya.
"Kakek memang begitu! Ia pasti telah jauh dari sini! Ah, bila saja kau tahu di mana kakekku berada, pastinya aku akan berjumpa dengannya. Akan kubujuk dia untuk tinggal bersama kami. Tetapi, sudahlah... memahami sifat kakek tak cukup memakan waktu sepuluh tahun. Harus selalu dipenuhi kesabaran yang mendalam. Eh, kau mau ke rumahku atau tidak" Sebentar lagi malam?" Kalau tadi Andika menolak permintaan gadis itu, sekarang ia mengangguk. Ada sesuatu yang ingin ia ketahui, tentang Kakek Buruk Rupa yang masih diselimuti misteri. Terutama, soal Permata Sakti yang berada di balik pinggangnya sekarang. Melihat Andika mengangguk, si gadis sunggingkan senyum.
"Nah! Itu baru bagus! O ya, namaku Suci. Namamu siapa" Kau pasti punya nama kan?" Andika cuma tersenyum mendengar gurauan gadis itu. Gadis yang mengaku bernama Suci itu memang bersifat jenaka. Ia selalu riang gembira.
"Namaku Andika."
"Nah! Kalau begitu, kita berangkat sekarang! Biar sampai di rumahku tidak terlalu kemalaman!" Sehabis berkata begitu, Suci langsung memutar tubuh. Andika mengira mereka akan berjalan beriringan, namun ia harus belalakkan matanya ketika tibatiba gadis itu sudah melesat laksana anak panah dilepas dari busurnya.
"Kejarlah aku kalau kau mampu, Andika!!" serunya sambil tertawa.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Busyet! Benar-benar menantang! Biarlah kuikuti saja dulu gadis yang bernama Suci itu! Barangkali saja aku bisa mendapatkan keterangan tentang Kakek Buruk Rupa!" Selesai berpikir begitu, Andika pun segera menyusul Suci yang sudah melesat jauh.
****
Kali ini Suci memperlambat larinya. Mendapati gadis itu memperlambat larinya, Andika berbuat sama.
Sambil melangkah beriringan, Suci berkata, "Kalau ayahku tanya, katakan kau temanku sejak lama, ya" Katakan pula, kita berkenalan di kaki Bukit Serabut."
"Di mana itu?" tanya Andika tak mengerti.
"Pokoknya kau bilang begitu saja. Ayah pasti tidak bertanya. Yang terpenting, jangan katakan apaapa tentang kakekku. Ayah bisa marah besar. Nanti, aku ingin ikut denganmu mencari kakekku, ya" Kau janji, ya?" Lagi-lagi Andika dibuat tak mampu memutuskan sikapnya. Dari nada suara dan pancaran mata Suci, nampak sekali kalau gadis itu sangat merindukan kakeknya.
"Mengapa kau diam saja?"
"Aku belum tahu harus menjawab apa."
"Tetapi, kau mau membantuku mencarinya, bukan" Aku rindu pada kakek. Aku ingin bermainmain dengannya." Andika tak menjawab, justru ia bertanya, "Masih jauhkah rumahmu?" Suci menggelengkan kepalanya. Menunjuk rumah besar di ujung jalan. Di depan rumah itu ada semacam taman yang cukup besar. Pintu pagar rumah itu cukup tinggi.
"Ingat ya, jangan sekali-sekali mengatakan pada ayah atau ibuku kalau kakek pernah mengajariku ilmu silat dan yang lainnya. Ingat ya" Kau akan menjadi sahabatku kalau kau memang memenuhinya." Kali ini Andika menyanggupi keinginan Suci. Ia berpikir, orang tua Suci tak akan menanyakan hal itu.
Keduanya terus melangkah. Tiba di depan rumah yang tadi ditunjuk Suci, dua orang laki-laki yang berdiri di sana dan sedang merokok bergegas meng-hampiri, "Den Suci!" Suci meletakkan telunjuknya di bibir.
"Jangan berisik. Ayah dan Ibu sudah tidur?"
"Belum. Mereka cemas memikirkanmu," sahut yang berkumis tipis. Matanya tajam menatap Andika.
Seperti menemukan maling jemuran! "Wah! Gawat kalau begini!" desis Suci, lalu menoleh pada Andika, "Ingat katakataku tadi ya" Jangan sampai kau keceplosan ngomong. Kalau melihat sikapmu ini, kayaknya kau termasuk orang yang cerewet!" Andika yang hendak menganggukkan kepala, jadi urung dan keluarkan dengusan.
"Brengsek! Gadis ini benar-benar pandai omong! Tetapi masa bodohlah! Yang ingin kutahu saat ini adalah tentang Kakek Buruk Rupa," desisnya dalam hati.
Suci hanya tertawa saja melihat perubahan wajah Andika. Tanpa mempedulikannya, ia menarik tangan pemuda tampan itu mengikuti langkahnya memasuki halaman yang cukup lebar.
Sementara dua orang laki-laki yang menjaga di depan rumahnya, saling pandang melihat keakraban Suci dengan pemuda yang menurut pandangan mereka itu, kumal sekali.
Selebihnya, mereka tak acuh saja. Toh, Den Suci sudah kembali ke rumah. Sepeninggal Suci yang tanpa pamit itu, memang cukup meresahkan kedua orangtuanya, hingga ayahnya mengutus tiga orang penjaga rumahnya untuk mencari gadis itu. Dan sebelum tiga orang yang diutusnya itu menemukan putrinya, sang putri sudah muncul bersama seorang pemuda tampan namun rambutnya seperti tak diurus.
***
««::{ 4 }::»»
Suci jadi iba melihat keadaan ibunya. Ia langsung merangkul ibunya penuh kasih sayang, lalu dengan tulus ia berkata, "Maafkan Suci, Bu.... Suci nakal, ya?" Ibunya tersenyum.
Matanya berkaca-kaca. Tangannya membelai rambut putrinya yang panjang.
"Mengapa kau tidak pamit, Suci?" tanyanya lembut.
"Habisnya, aku kan tidak tahu kalau kelinci kesayanganku dimangsa oleh si Jelita" Aku kesal kan, Bu. Makanya, kucari ular brengsek itu dan kubunuh." Ibunya cuma sunggingkan senyum, Sementara Andika yang sejak tadi masih berdiri dan belum dipersilakan duduk, hanya memperhatikan saja. Dalam hatinya, ia kesal pada Suci karena telah membuat wanita yang lembut itu jadi kebingungan.
Haryo Adilekso mendehem dua kali. Seketika Andika memutar kepalanya dan mengangguk. Suci berdiri, melepaskan rangkulannya dari ibunya. Ia berkata pada ayahnya, "O ya... kenalkan, ini temanku.
Yah. Bu. Namanya Andika." Andika menganggukkan kepalanya lagi sambil tersenyum. Suci memang benar tentang ayahnya. Setelah menatap Andika beberapa saat, laki-laki gemuk itu bertanya, "Terus terang, kami baru mendengar kalau Suci mempunyai seorang sahabat seperti kau, Andika.
Hmm, katakan, di mana kalian berkenalan?" Seperti yang telah direncanakan, Andika mengatakan apa yang diminta Suci. Padahal hatinya bukan main jengkel berbohong seperti ini. Sudah sepatutnya bila Suci menerima hukuman atas perbuatan nakalnya. Haryo Adilekso mengangguk-angguk. Meskipun pemuda di hadapannya ini seperti orang jarang mandi, laki-laki gemuk itu yakin kalau Andika orang baikbaik. Ia menoleh pada putrinya yang tiba-tiba menundukkan kepala.
"Suci... beberapa kali Ayah katakan padamu, bila kau hendak tinggalkan rumah, kau harus berpamitan kepada kami."
"Maafkan Suci, Yah. Habisnya, Suci jengkel pada si Jelita. Ia tak tahu berterima kasih. Padahal sejak kecil Suci merawatnya dan selalu bermain-main dengannya. Eh, dia justru memangsa kelinci kesayangan Suci." Haryo Adilekso tahu betapa manja putri semata wayang ini.
"Ya, sudahlah... kalian lebih baik beristirahat saja. Andika... kau bisa menempati ruangan di belakang."
"Terima kasih," sahut Andika sopan. Hatinya masih jengkel menyadari kalau ia seperti diperalat oleh Suci. Sementara gadis itu mendekati Andika. Kalau tadi sikapnya seperti takut-takut pada ayahnya, sekarang ia seperti bebas dari sebuah tekanan.
"Kamu belum makan, kan?" katanya pada Andika.
"Ayo, kita makan dulu! Perutku juga lapar!" Andika jadi risih ketika tanpa menunggu jawabannya, gadis itu sudah menariknya, membawanya ke ruangan yang cukup besar.
Hartati hanya tersenyum saja melihat sikap putrinya yang begitu akrab dan manja. Mungkin, mereka telah berkenalan lama, pikirnya. Tetapi, mengapa harus pemuda yang kumal itu menjadi kenalan Suci" Sedangkan Haryo Adilekso hanya terdiam. Pikirannya berputar cepat. Meskipun ia sulit menentukan apakah putrinya berbohong atau tidak saat ini, namun diam-diam ia yakin, kalau kepergian putrinya ini sebenarnya hendak mencari kakeknya. Hati Haryo Adilekso sangat jengkel melihat kelakuan ayahnya sendiri yang dijuluki orang Kakek Buruk Rupa. Bukan berarti, ia melarang putrinya berdekatan dengan kakeknya, melainkan karena ia ingin hidup tentram bersama keluarganya. Ia tahu, ayahnya adalah orang rimba persilatan, yang setiap saat selalu harus menurunkan tangan keras guna pertahankan hidup. Berulang kali ia meminta pada orangtua yang berkemauan aneh itu untuk tinggal bersama dan menghentikan semua sepak terjangnya. Namun sebagai orang rimba persilatan, Kakek Buruk Rupa menolak permintaannya.
****
Di kamar yang disediakan, Andika berusaha memecahkan rahasia apa yang terkandung pada Permata Sakti yang memancarkan sinar biru. Diperasnya seluruh otaknya dengan mata tak berkesip menatap permata biru yang berada di tangannya. Semakin ia berusaha memecahkan rahasia apa yang dikandungnya, semakin buntu rasanya.
Bayangan gambar seekor naga jantan di dalam permata sebesar telur ayam itu, bagai mengambang dan berpendar-pendar di matanya. Tak ada keanehan apa-apa dengan bayangan gambar naga itu yang tak bergerak sedikit juga.
"Rahasia apa yang terkandung di dalam permata ini sehingga banyak yang menginginkannya. Lagi pula, yang masih mengherankanku, mengapa Kakek Buruk Rupa menyerahkannya begitu saja padaku" Kalau memang dia sudah mengetahui rahasianya, lalu teka-teki apa yang ada di balik pemberian permata ini" Hmm, sudah saatnya aku mencari keterangan pada Suci." Dalam satu kesempatan ketika Suci mengajaknya bermain-main di Lembah Wangi, di mana terdapat ribuan bunga yang menebarkan aroma wangi itu, Andika mengemukakan keingintahuannya.
Suci yang sedang tertawa sambil mengejar seekor kupu-kupu, menghentikan gerakannya. Kepalanya menoleh seketika dengan sambil tersenyum ketika Andika memanggilnya, "Ada apa, Kang?" Andika membawa langkahnya ke sebuah pohon rindang. Ia duduk di bawahnya. Matahari pagi yang sudah sepenggalah memberikan sinar cerah ke penjuru persada. Suci dengan riangnya duduk pula di sisinya. Mungkin karena sifat riangnya, ia langsung saja memegang tangan Andika.
"Apakah kau ingin mengajakku mencari kakek?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apa yang hendak kau katakan?" Ditatapnya gadis itu yang masih memperlihatkan wajah riang.
"Suci... aku ingin tahu, selama kau bertemu kakekmu, apakah ia pernah menceritakan tentang permata bersinar biru?" tanya Andika sambil mencabut sebatang alang-alang, lalu dihisap-hisapnya. Manis.
Suci memandang Andika.
"Permata bersinar biru" Permata apakah itu, Kang" Baguskah?" Lagi Andika mendesah. Dengan jawaban seperti itu, ia bisa langsung menduga kalau Suci tak tahu menahu soal permata biru itu.
"Ceritakan tentang kakekmu."
"Mengapa Kang Andika jadi tertarik soal kakek" Rasanya, berkali-kali Andika menanyakan soal kakek." Andika gelagapan dibuatnya. Tetapi bukan ia bila tak bisa mengendalikan gelagapannya sendiri.
"Terus terang, aku ingin sekali bertemu dengan kakekmu." Kali ini Suci tersenyum.
"Kakek orang yang ramah. Ia selalu terbuka dan siap bersahabat dengan siapa saja. Namun, banyak sekali orang yang berlagak bersahabat padahal ingin membunuhnya. Kupikir, kakek akan kesulitan hidup. Oh! Rinduku makin membesar saja pada kakek." Andika pun tak meneruskan pertanyaannya.
Bila Suci sudah menjawab seperti itu, berarti pembicaraan soal Kakek Buruk Rupa harus dihentikan. Karena jelas sekali, Suci hanya tahu sedikit tentang kakeknya.
Dan yang terpenting, sekarang Andika yakin kalau gadis itu tidak tahu menahu soal Permata Sakti yang memancarkan sinar biru. Berarti, sang kakek tak memberitahukannya.
Ia mengajak Suci kembali ke rumah dan sepanjang perjalanan menuju rumah, gadis itu terus menerus meminta Andika mengajaknya serta mencari kakeknya. Andika benar-benar dibuat mati kutu!
****
Dan mendadak saja pendengarannya yang terlatih menangkap satu sosok tubuh hinggap di wuwungan rumah. Sigap Andika tiup lentera yang menerangi kamarnya sambil bergulingan. Permata itu langsung dimasukkan kembali ke balik bajunya.
Lalu dibukanya pintu dan setelah melihat keadaan aman, ia kelebatkan tubuh keluar.
"Hmm, ada tamu tak diundang yang mau cari penyakit!" desisnya. Melalui jendela ia lompat keluar dan langsung berkelebat ke atas. Disangkanya ia akan pergoki orang itu namun ketika tiba di atap rumah, ia tak melihat sosok lain kecuali dirinya.
"Gila! Orang itu jelas mempunyai kecepatan dan ilmu meringankan tubuh yang cukup lumayan.
Hmm... aku jadi penasaran untuk mengetahui siapa gerangan dia!" Tubuhnya dikelebatkan kembali. Dan pandangannya samar melihat bayangan melompat ke bawah.
Cepat Andika mengejar dengan rasa penasaran. Lebih penasaran lagi ketika tahu sosok itu berusaha masuk ke kamar Suci.
"Setan alas! Siapa dia?" begitu melihat bayangan itu, Andika kibaskan tangannya.
Wusss!! Sosok tubuh hitam-hitam yang sedang berusaha membuka jendela kamar Suci, terkejut ketika menangkap desing halus ke arahnya. Ia langsung memutar tubuh dan melompat ke samping.
Andika tak mau membuang waktu, ia langsung berkelebat untuk menangkapnya. Namun, sosok tubuh hitam-hitam yang menutup wajahnya dengan secarik kain, telah bergulingan. Cukup terkejut Andika dibuatnya. Ia langsung mengempos tubuh kembali. Dan sosok itu kembali menghindar dengan cepatnya.
"Hhh! Memaksaku main kucing-kucingan! Kau akan gagal, Kawan!" dengus Andika, kali ini ia membuat gerakan seperti melompat.
Dugaannya tepat karena sosok hitam-hitam itu sudah membuang tubuh.
Padahal, gerakan yang diperlihatkan Andika sebenarnya hanya pancingan belaka. Begitu sosok dihadapannya bergulingan, ia langsung menyergap.
Tap! Kedua tangannya menangkap tangan orang itu, lalu diputar ke belakang hingga terdengar jeritan tertahan.
"Aaaakhhh!!" Justru Andika yang langsung melepaskan kuncian tangannya. Ia terbengong sesaat, apalagi melihat orang itu menjatuhkan tubuh dan mendengus panjang pendek sambil mengusap tangannya yang sakit akibat pitingan Andika.
"Kau?" desis Andika terbata. Sesaat kemudian, terdengar suaranya jengkel, "Mau apa kau memata-mataiku, Suci"!" Orang berbaju hitam-hitam itu mengangkat kepalanya. Matanya pancarkan sinar jengkel. Ia menarik kain hitam yang menutup wajahnya. Seketika terdengar seruannya.
"Sakit tanganku kau buat, Kang Andika!" Andi-ka mendengus. Benar-benar jengkel melihat wajah orang itu. Suci. Bila saja Andika lebih keras sedikit, tak mustahil kedua tangan gadis itu patah dibuatnya! "Hhhh! Perbuatanmu keterlaluan, Suci! Mengapa kau melakukan tindakan seperti ini, hah"."
"Karena Kang Andika akan pergi!"
"Kalaupun aku akan pergi, aku tak akan meninggalkan kau secara sembunyi-sembunyi!"
"Aku takut, Kang Andika tak mengajakku serta," kata gadis itu. Kali ini suaranya lebih pelan dan sarat dengan kesalahan.
"Aku tahu, karena Kang Andika belum juga mengiyakan permintaanku."
"Aku memang tak akan mengajakmu! Melihat sikapmu seperti ini apa aku tak akan mengalami kesulitan bila bersamamu, hah" Lagi pula, aku ingin sendi-ri."
"Aku bisa menjaga diri."
"Dan aku tak ingin mendapatkan sulit dan repot karenamu! Masuk kembali ke kamarmu, Suci! Jangan kau lakukan tindakan seperti ini lagi!!" suara Andika tegas, meskipun rasanya ia tidak tega membentak gadis ini terus menerus.
Suci menundukkan kepalanya. Rasa bersalah menjalari hatinya hingga ia tak mampu berkata apaapa. Lalu dengan perlahan ia bangkit dan menatap Andika. Yang ditatap membuang muka. Hatinya masih kesal. Justru melihat sikap Andika, rasa bersalah di hati Suci makin membesar.
Perlahan-lahan terdengar suaranya pelan, agak bergetar, "Maafkan aku, Kang Andika. Aku janji, tak akan berbuat seperti ini lagi." Andika tak menjawab.
Suci sadar kalau Andika marah akan perbuatannya. Dengan hati sedih ia melangkah masuk ke kamarnya. Tak ada maksud apa-apa ketika ia mencoba melihat keadaan Andika, kecuali ingin mengetahui apakah Andika akan meninggalkannya atau tidak. Tetapi, Andika keburu memergokinya.
Sementara Andika yang masih jengkel dengan sikap Suci, merasa saat inilah yang terbaik untuk segera meninggalkan gadis itu. Hatinya masih banyak diliputi pertanyaan yang merisaukan dan membingungkannya. Begitu Suci masuk dan mengunci kamarnya, Andika langsung mengemposkan tubuh tinggalkan tempat itu. Hal inilah yang terbaik menurutnya.
Namun, tanpa sepengetahuannya, satu sosok tubuh yang sejak tadi melihat dari wuwungan mendesis, "Kini aku tahu... kalau Permata Sakti itu berada di tangan Pendekar Slebor.
Sekian lama aku mencari jejak Kakek Buruk Rupa, dan ketika kudapatkan keterangan kalau rumah ini adalah tempat tinggal anak dan cucunya, kudatangi tempat ini. Dan yang kulihat sekarang, Pendekar Slebor-lah yang memilikinya. Tentunya ia tak menyangka kalau aku sejak tadi sudah melihat permata itu saat dikeluarkan dari balik pakaiannya. Untungnya, gadis manja itu mendadak muncul hingga kehadiranku tak diketahuinya. Hhh! Akan kudapatkan Permata Sakti itu darinya!" Memikir sampai di situ, sosok tinggi besar dengan baju panjang itu pun melesat turun menyusul Pendekar Slebor. Gerakannya sangat ringan sekali, tak ubahnya bagai sehelai kapas yang bergerak dimainkan angin.
***
««::{ 5 }::»»
"Sial! Bagaimana caraku untuk melewati sungai yang panjang dan luas ini untuk sampai ke seberang" Bila saja aku bisa berjalan di atas air, tentunya dengan mudah aku bisa menyeberang sungai yang berair deras ini!" dengus Andika sambil memperhatikan aliran sungai yang deras.
Digunakan akalnya untuk memecahkan masalah di depannya. Lalu nampak ia melangkah mengambil potongan dahan pohon. Dibawanya kembali ke tepi sungai.
"Dengan bantuan ranting pohon ini, aku bisa melewati sungai. Akan kulemparkan ranting-ranting ini secara serempak. Namun sulitnya, aliran sungai ini begitu deras. Bisa-bisa sebelum aku melompat, ranting-ranting ini sudah jauh dibawa aliran sungai! Hhh! Sial! Apakah aku harus balik lagi" Tetapi, jalan satu-satunya yang bisa kugunakan adalah merenangi sungai ini." Selagi Andika memikirkan kemungkinan cara yang hendak digunakannya, sebuah sampan yang di-kayuh oleh seorang laki-laki bertudung caping, meluncur dari arah kanan sungai.
Seketika Andika melambaikan tangannya.
Orang dalam sampan, menghentikan sampannya. Bambu kayuhnya yang cukup panjang dihujamkan ke dasar sungai hingga sampannya berhenti dan dipermainkan air.
"Ada apa, Orang Muda?" tanyanya.
Andika berusaha melihat wajah orang di sampan itu. Namun tak bisa karena sebagian wajahnya ditutupi caping bambu kusam.
"Orang tua... bisakah kau mengantarku ke seberang sungai?"
"Hendak ke manakah kau, Orang Muda?" Terus terang, Andika memang tidak tahu hendak ke mana. Yang menjadi tujuannya adalah mencari Kakek Buruk Rupa. Untuk menjawab pertanyaan si pemilik sampan ia berkata, "Aku hanya ingin ke seberang dan melanjutkan perjalananku."
"Aku mencari nafkah dengan sampanku, Orang Muda." Andika mengerti apa maksud orang itu. Ia berkata, "Aku akan membayarmu...."
"Naiklah!" Andika melompat ringan, hinggap di dasar sampan yang tak bergerak sedikit juga. Kalau bergerak, itu dikarenakan sampan masih dimainkan oleh arus sungai.
"Kita akan memotong aliran sungai, Orang Muda." Ketika si tukang sampan mengangkat kayuhnya, sampannya meluncur. Lalu dengan cekatan sekali ia menahannya kembali. Lalu perlahan-lahan sampan itu mulai bergerak ke tengah.
Diam-diam Andika kagum dengan kelincahan si tukang sampan. Ia mampu kendalikan sampannya di arus sungai deras semacam ini. Deburnya terdengar cukup memekakkan. Andika sendiri kerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dengan maksud memudahkan si tukang sampan mengendalikan sampannya.
Dari balik caping bambunya, sepasang mata si tukang sampan memancarkan sinar merah menatap tubuh Andika yang berdiri menghadap ke muka. Mendadak saja, ia lepaskan kayuhnya. Hingga sampannya deras meluncur.
Andika terperanjat. Ia mengendalikan tenaga dalamnya karena sampan oleng. Sementara tangan si tukang sampan yang sengaja melepaskan kayuhnya, terulur. Siap menjambak rambut Andika.
Namun mendadak saja Andika memiringkan kepalanya. Lalu memutar tubuh dengan satu jotosan dari bawah. Si tukang sampan terperanjat melihat gerakan yang tak disangkanya sama sekali. Jotosan yang cepat itu memang tak mungkin untuk dielakkan.
Namun, si tukang sampan bukanlah orang sembarangan. Ketika tangan Andika menjotos, cepat pula ia menarik tangan kanannya menekuk.
Des! Akibat benturan itu, sampan menjadi oleng dan semakin kencang bagai digusur oleh air.
Andika sunggingkan senyum.
"Manusia busuk! Bokongan semacam ini tak berguna sama sekali! Katakan, siapa kau adanya?" Si tukang sampan mencabut capingnya dan terlihatlah seraut wajah kasar dengan hidung besar.
Rambutnya yang digelung ke atas menjuntai panjang.
Ia membuka pakaian kumalnya, yang nampak pakaian warna hitam sekarang. Panjang dengan celana hitam pula. Wajahnya dipenuhi jerawat masak. Ia tertawa.
Sampan itu terus meluncur.
"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau dijuluki orang nomor satu di rimba persilatan ini, Pendekar Slebor! Hanya sayangnya, siang ini kau berjumpa dengan si Rase Maut!" Andika cuma mendengus.
"Kau pantasnya berjuluk si Tikus Jelek!" seringainya. Ketika tadi Andika melihat sampan itu datang, ia sama sekali tak menduga apa-apa kecuali menyangka orang itu memang ke- betulan lewat. Namun, cara orang itu menahan perahu dari derasnya air sungai, seketika Andika bisa melihat kalau orang itu memiliki tenaga dalam yang hebat. Belum lagi saat ia melompat tadi, masih dilihatnya pakaian orang itu di balik pakaian kumalnya. Berwarna hitam. Kecurigaannya makin membesar ketika mengingat akan tudung bambu yang dikenakan si tukang sampan. Tak seperti biasanya seorang tukang sampan mengenakan tudung bambu begitu lebar hingga menenggelamkan sebagian wajahnya. Andika pun mengambil posisi siap menghadapi segala kemungkinan.
"Haram jadah! Nyawamu sudah berada di tanganku, Pendekar Slebor! Sebaiknya, kau serahkan permata itu kepadaku!!" Kalau sejak tadi Andika sudah mencurigai si tukang sampan, kali ini ia jadi kaget. Karena orang yang berjuluk si Rase Maut itu mengetahui tentang Permata sakti biru yang diberikan Kakek Buruk Rupa kepadanya Diam-diam hatinya mendesis, "Bagaimana orang ini bisa tahu kalau permata itu ada padaku" Hm, dugaanku hanya satu. Ia pasti mengintipku. Tetapi, tak mungkin ia bisa lolos dari pendengaranku. Oh! Kini aku tahu sekarang. Ketika Suci mencoba mematamataiku, manusia ini pasti lebih dulu melihatnya dan aku tak menyangka sama sekali. Karena dugaanku, hanya Sucilah yang melakukan tindakan seperti itu.
Sungguh konyol!" Memikir sampai di situ Andika cuma mengangkat kedua bahu.
"O... jadi Permata Sakti biru itu yang kau inginkan" Bila memang begitu, mengapa kau tidak segera mengambilnya?" Kelam wajah penuh jerawat itu. Dan satu lompatan sudah menderu ke arah Andika, cepat, menimbulkan dorongan angin hebat.
Rase Maut menunjukkan kelasnya dalam ilmu meringankan tubuh. Gerakan yang dilakukan dengan satu dorongan tenaga dalam tinggi itu seharusnya membuat sampan oleng, namun tidak sama sekali.
Andika sendiri membuat gerakan yang menakjubkan. Tubuhnya melompati tubuh si Rase Maut yang menggempurnya. Namun di luar dugaannya, Rase Maut justru membiarkan tubuhnya dilompati Andika.
Bersamaan tubuh Andika melompat, telunjuk tangan kanannya menotok.
Tuk! Tuk! Gerakan Andika jadi limbung. Seharusnya ia hinggap kembali di dasar sampan dengan kedua kaki tegak. Akibat totokan yang dilakukan oleh si Rase Maut, ia jatuh dengan posisi tubuh tengkurap.
Laki-laki tinggi besar yang mengintip Andika semalam itu terbahak-bahak.
"Rimba persilatan akan berkabung dengan kematianmu, Pendekar Slebor!" Sehabis berkata begitu, si Rase Maut angkat sebelah kakinya. Dengan tenaga dalam tinggi, ia menjejak kepala Andika.
"Mampuslah kau, Pendekar Slebor!!" Namun di luar dugaannya, Andika yang kelihatan tak berdaya, mendadak mencelat naik, berputar di atas lalu hinggap di ujung sampan. Terdengar tawanya yang mengejek si Rase Maut.
"Wah, kupikir totokan itu benar-benar hebat! Rupanya cuma pantas dilakukan pada tikus got, ya?" Merah padam wajah Rase Maut menyadari kalau ia tengah dipermainkan oleh Pendekar Slebor. Ketika Rase Maut menotoknya, Andika yang memang sudah alirkan tenaga dalamnya, mampu menahan totokan itu. Tetapi dasar urakan, di saat maut sudah di ambang mata ia masih bertingkah saja. Setelah terkena totokan itu, ia berlagak ambruk. Padahal dalam hatinya terbahak-bahak melihat bagaimana si Rase Maut sudah berbesar hati melihat gebrakan pertamanya membawa hasil.
Penuh gerengan amarah. Rase Maut menerjang lagi. Tetapi Andika justru menjejakkan kakinya di dasar sampan. Sampan yang tertahan karena tenaga dalam yang dikerahkan oleh si Rase Maut, bagai anak panah terlepas dari busur.
Wusss! Sampan itu bergerak cepat, kembali dimainkan air. Sedangkan tubuh si Rase Maut jadi limbung, serangannya terhenti seketika.
"Busyet! Kau ini lebih pantas jadi penari jaipong di kotapraja, ya" Eh! Kalau senggang, bagaimana kalau kau mengajari aku?" ejek Andika nyengir.
Rase Maut menggeram keras. Ia kendalikan lagi posisi tubuhnya. Lalu menerjang dengan jotosan ke muka. Namun lagi-lagi Andika menjejakkan kakinya di dasar sampan. Kali ini sampan bukan hanya bergoyang, melainkan pecah berantakan. Secepat itu pula Andika lompat dan hinggap di salah satu pecahan sampan. Tubuhnya mengapung dengan tenaga dalam yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Sementara si Rase Maut yang sebelumnya sudah menebak kalau Andika akan menjejakkan kakinya kembali, berhasil kendalikan diri. Namun, ia tidak menyangka kalau Andika justru akan menghancurkan sampan. Maka tanpa ampun lagi, tubuhnya pun jatuh ke sungai yang mengalir deras itu.
Byuuur! Laki-laki berbaju hitam itu gelagapan terbawa air. Andika melambaikan tangannya. Menirukan suara perempuan genit, ia berkata, "Aduh, Kang! Kenapa sih kau mau mandi di sungai yang kotor ini" Ih! Sampai jumpa, ya?" Bukan buatan geramnya si Rase Maut. Ia berusaha untuk keluar dari gulungan air sungai. Ketika dilihatnya sebuah pecahan sampan mendekatinya, ia bersiap untuk meloncat dan hinggap di pecahan sampan itu. Tetapi mendadak saja kayu pecahan sampan itu, melompat dan mencelat ke atas. Ketika ia putar kepalanya, dilihatnya Andika terbahak-bahak.
"Maaf ya" Kayu itu terlalu jelek untukmu! Jadi kupikir, lebih baik dibuang saja!!" Namun di luar dugaan Andika, si Rase Maut telah mempergunakan ajian andalannya, 'Rase Lompati Pagar Api'. Tubuhnya mendadak mencelat dari dalam air, mengalahkan suara gemuruh. Bahkan dalam jarak yang cukup jauh dengan Andika, seharusnya sangat sulit bagi Rase Maut untuk langsung menyerang.
Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan itu! Begitu tubuhnya mencelat dari dalam air, jotosan tangan kanan dan kiri siap dihadiahkan kepada Andika. Andika cukup tersentak dibuatnya.
Ia segera angkat tangan kanan dan kirinya.
Des! Des! Jotosan Rase Maut yang mengandung tenaga dalam tinggi itu tertahan oleh tangkisannya. Namun Rase Maut kembali menunjukkan kelasnya, kalau ia memang seorang lawan yang patut diperhitungkan.
Masih berada di udara, tubuhnya berputar setengah lingkaran dan kakinya dikibaskan.
Des! Tendangan itu tepat mengenai dada Andika. Keseimbangannya oleng seketika. Rase Maut yang merasa kalau lawan sudah kendor serangannya, menyusulkan tendangan beruntun.
Berkali-kali tubuh Andika terhantam tendangan kerasnya. Tubuhnya limbung berkali-kali. Pecahan kayu yang diinjaknya bergoyang. Dalam pikiran Rase Maut, Andika akan jatuh ke air saat itu juga, tetapi setelah tubuhnya oleng, Andika berdiri tegak kembali.
Sesuatu yang aneh dirasakan oleh pemuda urakan itu.
"Sinting! Mengapa pandanganku berubah menjadi biru kembali dan tak kulihat kembali apa-apa yang ada di hadapanku. Busyet! Mengapa hal ini terjadi" Ada apa sebenarnya" Sulit bagiku untuk melihat Rase Maut berada. Jangan-jangan dia menyerangku" Tetapi, apa yang kulihat sekarang hanya warna biru belaka tanpa ada sesuatu yang kukenal. Semuanya kosong." Selagi Andika dihinggapi perasaan tak menentu. Rase Maut yang sudah hinggap di pecahan sampan, kembali menerjang. Menghajar Andika membabibuta, yang seolah membiarkan dirinya dihantam terus menerus. Namun sampai sejauh itu, ia seolah tak merasakan betapa kerasnya hajaran si Rase Maut. Jatuh dan tegak lagi tanpa membalas.
Sudah tentu hal itu mengejutkan si Rase Maut.
Kalau tadi Andika tak akan membiarkan pukulannya masuk, kali ini justru membiarkannya dipukuli.
"Gila! Ilmu apa yang dipakainya" Tetapi, mengapa ia tidak membalas" Peduli setan! Akan kuhajar habis-habisan!" Namun apa yang terjadi kemudian, Andika tetap menerima dan tak membalasnya sekali pun, hingga akhirnya Rase Maut yang terkuras tenaganya.
"Ada apa ini" Ilmu apa yang dimilikinya?" serunya heran.
Dihentikan serangan dan siap menunggu bila Andika menyerang. Tetapi sampai beberapa kejap, tak ada serangan yang dilakukan Andika. Justru saat ini Andika yang sedang berada dalam keheranannya karena pandangannya yang hanya menemukan suasana berwarna biru kini kembali seperti biasa.
"Busyet! Kenapa ini" Jangan-jangan.... Aku telah lama dihinggapi setan gentayangan?" Dan begitu melihat sosok Rase Maut di hadapannya dia berkata yang membuat kening Rase Maut berkerut, "Lho" Kau bisa menyelamatkan diri rupanya, ya" Hebat-hebat!!" Rase Maut mendidih amarah yang menyelimuti tubuhnya. Ia merasa diejek dengan kata-kata Andika itu.
"Keparat hina! Kuhajar kau!!" makinya.
Dalam sangkaannya, Andika akan kembali membiarkan tubuhnya dihajar habis-habisan, namun begitu Rase Maut menggerakkan kakinya, Andika justru melompat dan membuat gerakan memutar. Kakinya tepat menghajar kepala si Rase Maut yang langsung terjungkal kembali ke dalam air.
"Wah! Kau ini jangan-jangan belum mandi, ya" Ya, mandi dululah kalau begitu!" seloroh Andika dan melihat Rase Maut gelagapan.
Tendangan telak yang mengenai kepalanya membuatnya pusing dan sukar mengendalikan diri lagi. Apalagi air deras itu telah menggulungnya. Sementara itu Andika masih memikirkan keanehan yang terjadi. pada dirinya.
"Apa yang terjadi sebenarnya" Mengapa pandanganku seolah melihat ruang warna biru yang besar" Lalu kejap lain kembali normal?" Kejap lain, pemuda urakan berbaju hijau pupus ini sudah mendengus, "Masa bodohlah! Yang kutahu sekarang, Rase Maut pun menginginkan Permata Sakti ini!" Dengan mempergunakan tenaga dalamnya, Andika membawa pecahan kayu di mana ia berdiri ke tepian. Masih berjarak tiga tombak, dia segera melompat. Hup! Sekarang, ia hinggap di seberang sungai. Dilihatnya bagaimana Rase Maut berusaha untuk mengendalikan dirinya. Sumpah serapah yang panjang terdengar di telinga Andika. Sebenarnya, Andika ingin menolong Rase Maut yang tengah gelagapan. Tetapi menurutnya, biarlah orang itu mendapat pelajaran dari niat busuknya.
Setelah tubuh si Rase Maut yang tergulung derasnya air sungai menghilang, Andika terdiam. Matanya memandangi sungai itu.
"Hmmm... memang banyak yang menginginkan Permata Sakti biru ini, padahal aku sendiri tidak tahu apa rahasia yang ada di balik permata ini. Jalan satu-satunya, aku memang harus memecahkannya. Namun yang lebih penting lagi, aku harus temui Kakek Buruk Rupa yang menyebalkan itu! Tetapi, mengapa dua kali aku merasa aneh. Bahkan aku tidak tahu ketika Camar Hitam mendadak menyerang kembali. Juga, saat Rase Maut muncul dari dalam air tadi. Busyet! Kenapa ini?" Memikir begitu, Andika pun putar tubuhnya.
Namun ia urung melangkah, karena satu sosok jelita berdiri di hadapannya dengan senyuman di bibir.
****
"Aku paling tidak suka dibuntuti!"
"Lho, siapa yang membuntuti Kang Andika" Aku keluar dari rumah karena ingin mencari kakek! Kok, kecakepan sekali Kang Andika ini kalau aku mau melakukan hal itu!" kata sosok jelita di hadapannya dengan senyum mengejek bertengger di bibirnya yang memerah ranum. Ia tak lain adalah Suci.
Andika mendengus dalam hati.
"Sial! Rupanya diam-diam ia mengetahui aku pergi. Hebat juga ilmu meringankan tubuh yang dipelajari gadis ini dari kakeknya! Lalu katanya, "Lebih baik kau kembali ke rumahmu, Suci!"
"Tidak mau! Aku ingin mencari kakek!" Di balik keriangannya gadis ini ternyata juga seorang yang keras kepala.
"Perjalanan yang akan kau tempuh sangat sulit, karena kau sendiri tidak tahu di mana kakekmu berada."
"Bersama dengan Kang Andika, apa yang kutakutkan" Tadi kulihat bagaimana Kang Andika mengalahkan si tukang perahu itu! Lagi pula, aku bisa berjalan sendiri. Aku bisa menjaga diri. Aku bisa berbuat apa-apa sendiri. Aku cuma ikut dengan Kang Andika. Kalau sudah kutemukan kakekku, aku akan pulang. Itu saja, kan" Apa yang merepotkan Kang Andika kalau begitu" Buktinya, aku bisa menyeberangi sungai ini, karena aku tahu ada jembatan gantung di sebelah barat sana." Kali ini Andika keluarkan napas pelan. Yang cukup merepotkannya, karena ia pun hendak mencari Kakek Buruk Rupa. Dan bukan mustahil ia sendiri tidak akan menemukan si orang tua kumal itu.
Kalaupun soal mencarinya memang bukan masalah besar, akan tetapi, soal Permata Sakti biru inilah yang ia pikir akan merepotkannya.
"Aku yakin, kepergianmu ini tak diketahui oleh kedua orangtuamu."
"Biasanya memang seperti itu. Soalnya, mereka bisa marah kalau aku pergi lagi. Lebih-lebih bila mereka tahu kalau aku mencari kakek."
"Kau bukan hanya akan membuat kedua orang-tuamu cemas, Suci... tetapi kau telah membohonginya." Kali ini Suci kelihatan kikuk.
"Habisnya, aku kan rindu kakek. Kalau kukatakan aku hendak mencari kakek, mana mereka mengizinkan?"
"Kau terlalu sering membohongi kedua orang tuamu."
"Kalau sudah kutemukan kakek dan kakek mau tinggal bersamaku, kan tak ada lagi yang perlu kubohongi."
"Bagaimana kalau kakekmu menolak?"
"Bila kakek mau berjanji untuk mendatangiku sebulan atau beberapa bulan sekali, sudah cukup memuaskanku. Pokoknya, aku harus bertemu kakek."
"Kalau begitu lebih baik kau...." Wusss! Andika sudah berkelebat cepat dan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya menjauhi Suci.
Gadis itu menjerit kaget, "Kang Andikaaa!!" Bagi Andika, yang terpenting adalah keselamatan Suci. Karena ia yakin, akan banyak orang-orang yang muncul hendak merebut Permata Sakti biru yang ada di balik bajunya.
Senja sudah menurun ketika Andika memasuki sebuah hutan. Ia celingukan sebentar dari balik sebuah pohon. Ketika ia yakin kalau Suci tidak akan berhasil mengejarnya, ia pun keluar dari sana sambil tarik napas panjang.
"Hmmm.... Suci pasti tak bisa lagi mengikutiku.
Sebentar lagi malam akan datang. Lebih baik aku cari kelinci atau ayam hutan yang bisa kujadikan pengganjal perut. Mudah-mudahan Suci sadar akan kekeraskepalaannya dan kembali lagi ke rumahnya." Selang beberapa saat, nampaklah Andika sedang asyik memanggang daging seekor kelinci. Aromanya sangat mengundang selera sekali.
Dan ketika ia sedang mengerat daging itu, lalu siap dimakannya, tiba-tiba saja terdengar suara, "Ih! Kau jahat sekali kalau tidak mengajakku menikmati lezatnya daging kelinci itu, Kang Andika!!"
***
««::{ 6 }::»»
Dari cara duduk dan wajahnya yang berkerut, jelas sekali ada yang dipikirkan. Orangtua kakek dari Suci itu memang tengah memikirkan tentang Permata Sakti biru yang lima belas tahun lalu ditemukannya.
Sebenarnya, ada perasaan mengganjal di hatinya. Karena, ia sama sekali belum berhasil memecahkan rahasia apa yang ada di balik batu Permata Sakti itu. Yang diketahuinya, begitu banyak orang yang menginginkan Permata Sakti itu.
Lalu pikirannya tiba pada Pendekar Slebor.
"Pemuda itu memiliki otak yang cerdik. Makanya, aku rela menyerahkan Permata Sakti itu padanya.
Karena aku berharap, dengan kecerdikannya ia berhasil memecahkan rahasia permata itu," orang tua itu bergumam sambil usap jenggot putihnya.
"Yah, di tan-gannyalah aku berharap rahasia permata itu terpecahkan." Angin malam berhembus dingin, namun tak dihiraukan oleh Kakek Buruk Rupa yang mengenakan pakaian acak-acakan. Rambut panjangnya yang tutupi wajahnya, tergerai. Hanya sesaat, karena kemudian kembali lagi pada posisinya.
Tiba-tiba, si orang tua membentak, "Tamu tak diundang. Mengapa harus mengintip. Nanti matamu bintit. Silahkan keluar, karena bila kau bermaksud jahat, kau telah dinanti ajal!!" Seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh lima tahun, melengak di atas sebuah pohon. Dari tadi laki-laki berwajah tengkorak dan tubuh kurus kerempeng itu berada di sana dan memperhatikan Kakek Buruk Rupa yang duduk di atas sebuah batu besar.
Rambut panjangnya awut-awutan. Karena malu diketahui kehadirannya, tanpa disadari olehnya, ia melompat turun sambil terbahak-bahak.
Ketika ia berdiri di atas kedua kakinya yang kurus, terlihat sebuah tambang yang besar di panggul di bahu kirinya. Dari cara ia memanggul tambang besar tanpa menimbulkan kesulitan baginya, sudah bisa dipastikan ia bukan orang kebanyakan.
"Mata dan telinga tuamu ternyata masih awas, Kakek Buruk Rupa. Cukup senang aku bisa melihat kehebatanmu itu!" Orang yang baru turun itu terbahak-bahak kembali.
Sedangkan Kakek Buruk Rupa tak bergerak sedikit juga dari duduknya yang membelakangi laki-laki berwajah tengkorak itu. Hatinya mendesis, "Bila melihat cara ia menjejakkan kakinya dan benda yang dipanggul di bahu kirinya, aku yakin, manusia inilah yang berjuluk Iblis Tambang," Si kakek lalu perdengarkan suara, "Senang mendapat teman di tempat sepi seperti ini. Cuma sayangnya, mengapa harus berjumpa dengan manusia jelek seperti tengkorak?" Si wajah tengkorak kelam seketika. Mukanya yang rata tinggal kulit pembungkus tulang bagai tertekuk ke dalam. Mulutnya yang seperti memiliki bibir menggeram, "Aku datang, untuk meminta Permata Sakti darimu, Kakek Buruk Rupa!"
"O... salah seorang yang memiliki jiwa serakah yang berada di belakangku ini. Sayangnya, aku tak pernah akan memberikan Permata Sakti itu pada orang semacammu!!" Laki-laki kurus kering itu perdengarkan geramannya yang dibaluri kemarahan menghemat. Ialah yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan dengan sebutan Iblis Tambang. Cukup lama juga Iblis Tambang malang melintang di rimba persilatan. Tak seorang pun yang tahu dari mana asalnya. Yang diketahui, ia hanyalah seorang laki-laki yang berwatak culas dan memiliki kekejaman yang luar biasa. Tambang besar yang menjadi senjatanya itu, adalah sebuah benda yang dahsyat. Mengenai wajahnya yang mirip tengkorak, orang-orang hanya menyirap kabar, kalau semenjak lahir ia memang sudah berwajah seperti itu.
"Menolak, berarti hanya menantang maut! Lima tahun aku mencari jejakmu, Orang Tua Hina, tak akan mungkin setelah kutemukan aku akan tinggalkan kau begitu saja!"
"Kau betul, karena bila kau berbuat seperti itu, kau hanya membuang waktu lima tahunmu itu secara sia-sia." Marah bukan buatan Iblis Tambang. Tanpa buang tempo lagi, ia buat satu serangan kelebatan dahsyat. Tangan kurusnya menderu hebat. Kakek Buruk Rupa yang sejak tadi memang sudah waspada, segera mencelat ke atas. Tangan Iblis Tambang menghantam batu besar yang tadi didudukinya.
Blaaarrr! Batu besar itu menjadi kerikil dan berpentalan.
Serangan Iblis Tambang menyusul. Kedua kaki kurusnya menderu dahsyat ke muka. Kakek Buruk Rupa cepat mengangkat tangannya menangkis.
Des! Des! Gempuran kedua kaki Iblis Tambang tertahan.
Akibatnya, kedua tokoh aneh itu mencelat beberapa tombak ke belakang. Kakek Buruk Rupa merasa tangannya bagai remuk. Sedangkan yang dialami oleh Iblis Tambang tak jauh berbeda sebenarnya. Kedua kakinya terasa ngilu. Hal itu membuatnya jadi marah tak karuan. Tahu-tahu tangan kanannya sudah mengambil tambang besar yang tergulung dan sepanjang tiga meter di bahunya. Diloloskannya tambang itu hingga sebagian menjulai di tanah. Tatapannya tak berkesip penuh sinar kematian laksana api yang menyala.
"Aku tak ingin banyak bicara, serahkan Permata Sakti itu kepadaku!!"
"Kau tak akan bisa memecahkan rahasianya, Jelek!" Iblis Tambang terbahak-bahak keras.
"Begitu bodohnya bila aku tak bisa mengetahui. Bukankah tenggorakanmu bisa kujadikan sebagai imbalan bila kau mau mengatakannya kepadaku!" Berulang kali Kakek Buruk Rupa selalu mendapatkan jawaban seperti itu dari orang-orang serakah yang menginginkan permata biru yang sekarang berada di tangan Pendekar Slebor. Rata-rata mereka menyangka, kalau ia mengetahui rahasia Permata Sakti.
Belum lagi ia berkata apa-apa, Iblis Tambang sudah menggerakkan tangannya. Tambang berat itu menderu ke arah si orang tua yang terkesiap melihat sinar merah yang dipancarkan dari tambang itu ke arahnya. Cepat ia menghindar bergulingan, namun Iblis Tambang sambil terbahak-bahak dan bagai melihat seekor monyet yang terjebak lingkaran jaring, terus menerus gerakkan tangannya dengan gencar.
Pepohonan yang tumbuh di sana banyak yang tumbang berdebam. Tanah yang semula dipijak oleh Kakek Buruk Rupa, bolong setengah meter! Ia belum punya kesempatan sekali pun untuk membalas. Sebaliknya, Iblis Tambang terus menerus perdengarkan tawanya sambil melakukan serangkaian serangan tambang dahsyatnya yang timbulkan suara bergemuruh dan suara bagai ledakan.
Blaaarr! Sebatang pohon terhantam lagi hingga berantakan. Bersamaan senjata tambang dahsyat itu mengejar dirinya tadi, si orang tua bongkok melepaskan satu tendangan dahsyat yang didahului lompatan satu kaki. Iblis Tambang tak memperhitungkan kalau lawan akan melakukan satu serangan balik yang mematikan. Ia tarik pulang tambangnya kembali. Lalu dihentakkan dengan suara keras, "Heaaaa!!" Namun, Kakek Buruk Rupa yang sudah memperhitungkan kalau lawan akan memotong serangannya, justru berputar. Tambang itu mendesir di atas kepalanya. Tubuh udangnya tak ubahnya bagai bola setengah lingkaran. Mendadak ia mengibaskan rambutnya ke depan.
Wuuuttt! Bau tak sedap menguar, bagai memenuhi hutan di mana mereka bertempur. Menyergap Iblis Tambang yang terhenyak sejenak. Lalu segera menutup jalan napasnya sendiri. Meskipun dilakukan dengan sangat cepat, waktu yang hanya dua detik itu sudah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kakek Buruk Rupa.
Selagi lawan mau tak mau menghentikan serangannya, orang tua bongkok itu memutar tubuhnya.
Tangannya bergerak ke depan.
Des! Jotosannya telak menghantam dada Iblis Tambang. Meskipun dalam keadaan terdesak, Iblis Tambang tidak memperlihatkan wajah pias. Sebisanya ia menggerakkan senjatanya lagi.
Wusss! Tambang yang menderu itu siap mencopot kepala Kakek Buruk Rupa bila ia tak segera menunduk.
Sementara kakinya terus meluncur.
Buk! Buk! Dua kali tendangan berkekuatan dahsyat itu menghantam Iblis Tambang hingga tersuruk ke belakang. Dadanya dirasakan bagai remuk. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Sedangkan Kakek Buruk Rupa yang memang enggan untuk menurunkan tangan telengas, segera angkat kaki dari sana.
"Orang tua keparat! Kau tak akan bisa lolos dari tanganku!!" Tanpa menghentikan larinya, Kakek Buruk Rupa perdengarkan tawa yang keras.
"Maaf, tanganku bisa lumutan bila bertarung dengan orang yang memiliki ilmu picisan!" Panas wajah Iblis Tambang. Ia mencoba untuk bangkit. Namun dadanya yang terhantam tendangan dahsyat si kakek, membuatnya harus rebah kembali.
"Bangsat keparat! Sampai ke mana pun kau akan kukejar!" Sementara itu, satu sosok tubuh hitam-hitam dengan rambut digelung ke atas yang sejak tadi memperhatikan pertempuran itu, segera mencelat menyusul Kakek Buruk Rupa.
"Kehebatan Iblis Tambang tak banyak berarti di tangan Kakek Buruk Rupa. Sekarang, orang tua sialan itu akan menerima batunya di tanganku, si Camar Hitam! Setelah kudapatkan Permata Sakti itu, akan kubunuh Pendekar Slebor! Aneh, mengapa pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu tiba-tiba mampu membalikkan pukulanku. Bahkan, ia membiarkan setiap pukulanku di tubuhnya! Hhh! Kehebatannya semakin bertambah saja!" Wanita tua yang tak lain si Camar Hitam, terus mengejar Kakek Buruk Rupa yang berkelebat laksana angin. Andika yang urung menikmati daging panggangnya, menoleh, dan melotot. Lagi-lagi cucu Kakek Buruk Rupa yang berada di hadapannya.
"Brengsek! Kupikir ia tak akan mampu mengikutiku!" makinya dalam hati. Hatinya makin kesal ketika melihat Suci tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya. Lalu seperti tak menghiraukan kedatangan Suci, Andika putar tubuhnya kembali dan menikmati daging panggangnya.
Suci tahu kalau kehadirannya tidak disukai oleh Andika. Namun ia tidak peduli. Dengan santainya tanpa menghilangkan senyum yang bertengger di bibirnya itu, ia duduk di sisi Andika. Tanpa merasakan kejengkelan Andika, dengan enaknya Suci menatapnya. Kedua matanya dibulatkan. Andika yang meskipun sudah diusahakan berlagak tak acuh, justru jadi risih juga karena ditatap terus menerus.
"Apa sih maumu?" dengusnya jengkel.
Seperti baru sadar kalau Andika tidak mengerti keinginannya, Suci melengak dengan kening berkerut.
"Jadi Kang Andika tidak tahu, ya" Kasihan sekali! Padahal aku sudah mengatakannya beberapa kali! Jangan-jangan, telinga Kang Andika jadi tuli, ya" Pasti kebanyakan makan daging kelinci! Coba kalau Kang Andika membaginya separo denganku, pasti telinga Kang Andika tidak akan tuli." Seharusnya Andika bisa tertawa mendengar kata-kata Suci yang punya dua tujuan. Pertama, dengan kata-kata seperti itu, ia mengejek Andika. Kedua, seca-ra tidak langsung ia mengatakan kalau perutnya lapar.
Tetapi pemuda urakan nan tampan itu kembali perdengarkan dengusannya. Hatinya mendongkol sekali. Benar-benar mati kutu dia menghadapi gadis di sampingnya ini.
Ditariknya napas perlahan, dihentikannya makannya.
"Sekali lagi kukatakan, bukannya aku tidak mau membawamu untuk menemui Kakek Buruk Rupa, tetapi perjalanan yang akan kutempuh ini sangat sulit sekali. Kapan sih kau mau mengerti akan katakataku itu?"
"Berapa kali kukatakan pada Kang Andika, kalau aku mampu menjaga diri. Kang Andika tidak usah cemas," kata Suci berusaha meyakinkan.
"Enaknya ngomong! Kau tidak tahu bagaimana sebenarnya kehidupan ini. Aku tahu kau sering membohongi kedua orangtuamu sementara kau sendiri pergi dengan enaknya ke segenap penjuru. Akan tetapi, sampai saat ini kau tak kurang suatu apa, karena kau memang belum mendapatkan masalah."
"Kalaupun iya, aku akan berusaha menghindarinya."
"Ucapan tak sama dengan tindakan. Sudahlah lebih baik kau kembali ke rumahmu."
"Mana bisa begitu" Aku mau mencari kakek."
"Aku sendiri sedang mencari kakekmu yang jelek itu, tahu!" sengat Andika benar-benar jengkel.
Kalau tadi Suci nampak masih berusaha membantah kata-kata Andika, kali ini gadis itu terdiam.
Seolah tak percaya dengan kata-kata Andika barusan.
Ini berita baru baginya. Dan keningnya yang licin itu, perlahan-lahan mengerut.
"Kang Andika... juga mencari kakekku?" tanyanya meyakinkan pendengarannya.
Andika yang sudah merasa kelepasan bicara, mau tak mau akhirnya menganggukkan kepala.
"Ya! Laki-laki tua bongkok jelek itu menitipkan sebuah permata biru kepadaku."
"Permata apa?"
"Kan tadi sudah kukatakan, permata biru!"
"Maksudku... untuk apa?"
"Aku sendiri tidak tahu." Andika menatap gadis yang masih menatapnya itu. Bagai baru menyadari, ia bisa melihat betapa cantiknya gadis ini. Tetapi meskipun sifatnya riang dan jenaka, ia memiliki sifat yang keras kepala.
"Suci...
apakah kakekmu pernah menceritakan tentang sebuah permata biru?" Suci menggelengkan kepalanya, Matanya masih lekat memandang Andika.
"Aku tidak tahu menahu soal itu."
"Sayang, padahal aku dibuat pusing olehnya."
"Bolehkan aku melihatnya?" Andika menatap Suci dalam-dalam. Lalu memperhatikan sekelilingnya. Memang tak jadi masalah bila ia memperlihatkan permata biru itu pada Suci. Diambilnya benda sebesar telur ayam yang memancarkan sinar biru.
"Wooo... indah sekali. Jadi, permata itu milik kakek, Kang Andika?" Andika menganggukkan kepalanya, lalu memasukkan permata itu lagi ke balik pakaiannya.
"Itulah sebabnya mengapa aku mencari kakek mu. Perlu kau ketahui, menurut kakekmu sendiri, kalau permata ini banyak menimbulkan petaka. Maksudku, banyak sekali orang-orang serakah yang menginginkannya. Dan pertarunganku di sungai sebelah sana tadi, adalah salah seorang yang mempunyai niat busuk terhadapku. Itulah Suci, mengapa aku tidak mengizinkan kau untuk ikut denganku. Karena...."
"Aku kangen kakek!"
"Aku tahu. Tetapi...."
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, aku mau mencari kakek! Kang Andika kan bisa membawaku serta!" Kali ini Andika benar-benar kehabisan akal untuk menghadapi Suci. Tanpa menjawab ia meneruskan lagi menikmati daging panggangnya. Suci yang memang sudah merasa lapar, hanya menatap saja tanpa berani memintanya.
Melihat kesungguhan gadis itu, Andika akhirnya jadi tidak tega. Dibaginya sebagian daging panggang itu pada Suci, dia menerima dan menikmatinya dengan lahap. Karena sulit untuk meminta pengertian dari Suci agar tidak mengikutinya, Andika membiarkan saja gadis itu bersamanya.
Selesai menghabiskan daging panggangnya, Andika bangkit sambil berkata, "Aku ingin tidur! Kau silakan cari tempat untuk kau tidur!"
"Tetapi, Kang Andika jangan meninggalkan aku, ya?" katanya dengan suara mengibakan.
Andika tak menyahut. Ia mematikan api yang dipakainya untuk memanggang. Dan tidak lagi menyalakan api untuk menghangatkan badan. Dibawanya langkahnya ke balik semak.
"Hei! Sana cari tempat untuk tidur!" serunya.
"Apakah kau ingin tidur berdua-dua denganku?" Bagai disentak Suci bangkit, lalu celingukan ke sana-sini. Meskipun ia tahu Andika keberatan mengajaknya serta, tetapi ia bisa menebak kalau pemuda tampan itu tidak tega pada akhirnya.
"Aku tidur di sini saja!"
"Terserah!" Sambil cemberut, gadis itu merebahkan tubuhnya. Dia cukup dibuat jengkel dengan sikap Andika yang semaunya. Diingatnya lagi tentang kakeknya. Lalu pikirannya tiba pada permata biru yang diperlihatkan Andika. Permata yang bagus sekali.
Dan diam-diam, di bibir gadis itu tersungging sebuah senyuman.
"Menurut Kang Andika.... Banyak yang menginginkan, permata itu.
Hmm... Aku pun jadi tertarik untuk mendapatkannya. Yah, suatu saat akan kukejutkan Kang Andika."
***
««::{ 7 }::»»
Andika mendesah pendek.
"Sulit bagiku menghadapi gadis ini. Tetapi, biar dia tahu bagaimana sulitnya perjalanan ini." Namun ketika malam semakin mengedar, lama kelamaan rasa iba datang di hati Andika. Jangan-jangan, gadis itu bisa membeku ketika bangun keesokan harinya. Akhirnya Andika keluar dari balik semak, didekatinya Suci yang menggigil.
"Suci...," dipanggilnya dengan lembut, seperti ada pesona yang menariknya.
Suci yang memang tak bisa tidur karena hawa dingin, menyahut pelan sambil buka matanya, "Kena-pa, Kang Andika...," suaranya bergetar, setengah menggigil.
Andika melihat wajah gadis itu membiru, terutama di bibirnya yang memerah. Rasa ibanya makin menjalar, hati-hati direbahkan tubuhnya di sisi gadis itu. Dilingkarkan tangan kanannya ke tubuh gadis itu, diberinya kehangatan yang dalam.
Dalam dingin menusuk, perlahan-lahan Suci merasa hangat kembali. Diam-diam, ia menyukai rangkulan Andika di tubuhnya. Selang beberapa saat Andika masih juga merangkulnya. Dibuka matanya perlahan-lahan, dilihatnya pemuda tampan itu sudah terlelap. Lalu dengan batin bergejolak hebat, perlahanlahan Suci mengulurkan tangannya untuk balas merangkul. Namun beberapa kali ia tidak jadi melakukannya.
"Tidak, aku bisa malu kalau Kang Andika tahutahu bangun," desisnya. Begitu nyaman sekali pelukan Kang Andika ini, tambahnya dalam hati. Kalau pun ia pernah meninggalkan rumah selama dua hari dan tidur di sembarang tempat, itu dikarenakan ia secara tidak sengaja menemukan gubuk-gubuk milik para penebang kayu, hingga terhalang dari hawa dingin yang menusuk. Dan perlahan-lahan ia pun akhirnya terlelap.
****
"Heran, ada orang tidur tersenyum seperti itu?" Hati-hati ia menurunkan tangan gadis manis itu dari tubuhnya. Ia sendiri segera berdiri. Menggerak-gerakkan tubuhnya sekadar melemaskan otot. Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya. Alam begitu ramah dan asri meskipun belum begitu terang. Di ufuk timur sana, matahari baru memancarkan sinar merahnya yang tipis.
"Hmm... sebenarnya cukup merepotkan bila kuajak gadis ini mencari Kakek Buruk Rupa," desisnya sambil melirik Suci kembali. Dalam pandangannya, wajah gadis itu begitu bersih sekali.
"Tetapi mau bagaimana" Melihat kekeraskepalaannya aku yakin ia tak akan merepotkanku sebenarnya." Andika menarik napasnya lagi. Ia bermaksud untuk mencari sungai guna membersihkan tubuhnya selagi Suci masih tidur. Namun langkahnya urung.
Tiba-tiba saja pemuda dari Lembah Kutukan itu merasa jantungnya berdetak keras. Ia menangkap sebuah isyarat bahaya yang cukup menegangkan. Seketika dibangunkannya Suci yang membuka dan mengucak-ngucak matanya.
"Apakah ini sudah pagi, Kang Andika?" tanyanya dengan suara agak parau.
Andika tidak menyahut. Batinnya mengatakan kalau bahaya semakin dekat. Ia justru berbisik, "Cepat kau naik ke pohon itu, Suci." Meskipun baru bangun tidur dan kepala berpendar pusing, Suci tak banyak bertanya akan perintah Andika. Cepat ia mengempos tubuhnya melompat ke dahan pohon, melompati satu dahan ke dahan lain.
Hal itu tidak mengherankan, karena Suci sedikit banyaknya telah digembleng oleh kakeknya. Bila saja Kakek Buruk Rupa mengajari ilmunya lebih lama lagi, tak mustahil Suci akan menjadi seorang wanita muda yang sukar dikalahkan oleh lawan-lawannya. Dari balik rimbunnya dedaunan dilihatnya Andika sedang berdiri bersiaga. Pijaran mata bagai sepasang mata elang itu berkeliling. Sekarang telinganya menangkap derap cepat ke arah di mana ia berdiri.
"Siapa yang datang sekarang" Kalau mendengar suara yang cukup ramai ini, pasti yang datang dengan menunggang kuda. Hmm... rasanya lebih dari tiga orang. Sebaiknya, aku bersembunyi dulu untuk mengetahui siapa dan mau apa orang-orang ini!" Memikir sampai di situ, Andika langsung mengempos tubuhnya ke sebuah pohon besar. Dilambaikan tangannya pada Suci dan diletakkan telunjuknya ke bibir memberi isyarat agar gadis itu jangan mengeluarkan suara. Suci mengangguk, agak tegang.
Selang beberapa saat, muncul di tempat cukup terbuka itu lima ekor kuda jantan yang gagah. Ditunggangi oleh orang-orang berpakaian hitam. Salah seorang menarik kendali kuda, hingga kudanya berhenti dan keluarkan suara ringkikan cukup keras. Menyusul kuda-kuda yang lain.
Dari tempat di mana dirinya bersembunyi, Andika jelas melihat rata-rata wajah penunggang kuda itu cukup menyeramkan. Tubuh mereka besar. Masing-masing dipenuhi dengan cambang bawuk yang lebat. Pakaian hitam dengan destar merah menambah angkernya penampilan mereka.
"Hmmm, aku pernah mendengar tentang serikat dari golongan hitam yang bernama Serikat Kuda Hitam. Apakah manusia-manusia jelek ini dari Serikat Kuda Hitam?" desis Andika sambil terus memperhatikan. Salah seorang dari penunggang kuda itu, melompat turun. Gerakannya begitu ringan sekali. Ia mendekati kayu bekas Andika memanggang daging kelinci.
"Gadis itu memang berada di sini semalam. Tetapi, ia sudah pergi lagi dari sini!" suaranya kasar dan tak sedap di dengar.
"Kalau begitu, secepatnya kita harus mencari gadis yang bernama Suci itu!" sahut yang rambutnya tipis.
"Selentingan kabar mengatakan kalau ia adalah cucu dari Kakek Buruk Rupa. Telah tujuh bulan kita mencari jejak Kakek Buruk Rupa untuk mendapatkan Permata Sakti berwarna biru, tetapi sampai saat ini belum juga kita dapatkan jejaknya. Bila kita berhasil menangkap cucunya, kita paksa ia keluar dari persembunyiannya dan menukar Permata Sakti itu dengan nyawa cucunya!!" Di atas pohon, Suci merasa dadanya semakin berdebar hebat. Wajah cantiknya berkerut pias. Namun di balik ketegangannya, menyembul pula kemarahan yang hampir saja tak mampu membuatnya untuk menahan diri bila tak dilihatnya Andika memberi isyarat agar ia tetap tenang.
Orang yang pertama berbicara tadi, naik kembali ke kudanya.
"Permata Sakti yang berada di tangan Kakek Buruk Rupa harus kita serahkan pada Ketua. Biar bagaimanapun sulitnya, permata itu harus kita dapatkan. Serikat Kuda Hitam harus mengibarkan sayapnya setinggi langit! Kita harus cepat, paling tidak gadis itu belum jauh dari sini! Hhhh! Seharusnya kita tidak kehilangan jejaknya waktu itu, bila ia tidak berlari secepat kilat di tepi sungai sebelah sana!"
"Moro Alit... bagaimana dengan pemuda berbaju hijau pupus yang bertarung dengan si tukang sampan?"
"Peduli setan dengan pemuda itu!" sahut si rambut panjang yang bernama Moro Alit.
"Meskipun kita menduga kalau pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Slebor dari ciri-ciri yang ada padanya, namun ki-ta tak punya urusan dengannya!"
"Ingat, Pendekar Slebor tak akan pernah membiarkan kita melakukan tindakan seperti yang kita ingin lakukan."
"Kalau begitu, ia harus mampus di tangan Serikat Kuda Hitam!" Sehabis berkata begitu, laki-laki berambut panjang itu menggebrak kudanya. Menyusul yang lainnya menggebah kuda masing-masing.
Di tempatnya Andika mendesis, "Rupanya manusia-manusia itu memang dari Serikat Kuda Hitam.
Hhhh! Cukup lama juga nama golongan itu kudengar namun sampai saat ini belum juga kudapatkan keterangan di mana mereka berdiam. Tetapi yang jelas sekarang, mereka pun menginginkan Permata Sakti itu dan bermaksud menculik Suci untuk memancing Kakek Buruk Rupa. Tentunya, seperti kebanyakan orang lainnya, mereka menyangka permata itu masih berada di tangan Kakek Buruk Rupa." Sedangkan yang dipikirkan Suci, kalau sebelumnya ia berada dalam jalur ketegangannya sekarang nampak kening gadis itu berkerut. Ia memikirkan kata-kata salah seorang dari penunggang kuda tadi.
Pendekar Slebor" Samar ia mengingat kalau kakeknya pernah menceritakan tentang seorang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor. Menurut kakeknya, kepandaian Pendekar Slebor yang memiliki sifat bijaksana namun juga sifat urakan, sangat sulit dicari tandingannya.
Batin Suci bergetar, "Apakah Kang Andika yang berjuluk Pendekar Slebor?" desisnya.
Saat itu ia mendengar suara Andika memanggil, "Hei! Ayo, turun! Apakah kau akan menjadi monyet disana?" Suci melengak dengan mata melotot. Lalu dengan ringannya ia melompat ke bawah dan begitu kakinya hinggap di tanah, dijejakkannya dua kali dengan jengkel.
"Enaknya ngomong! Kang Andika... apakah Kang Andika berjuluk Pendekar Slebor?" Andika menatap gadis itu lekat-lekat. Mengapa tiba-tiba saja gadis ini bertanya soal julukannya segala" Tetapi ia menganggukkan kepalanya juga.
"Kakek pernah bercerita tentang Pendekar Slebor. Ia juga bermaksud untuk mencari Kang Andika.
Kalau menurut cerita Kang Andika pernah bertemu dengan kakek... aku yakin ada sesuatu yang terjadi, bukan?" Andika cuma mengulapkan tangannya.
"Kalau kau mau ikut denganku, silakan! Tapi jangan banyak bertanya! Ingat, sekarang banyak yang mengincar dirimu karena permata itu!" Setelah berkata begitu, ia berkelebat ke arah orang-orang Serikat Kuda Hitam tadi. Suci sendiri tak melanjutkan pikiran yang ada di benaknya. Baginya, ini sebuah keberuntungan karena Kang Andika akhirnya mengizinkannya untuk ikut bersama. Dalam perkiraan Suci, jaraknya dengan kakek yang dirindukannya semakin dekat.
Ia langsung mengejar Andika.
****
"Hhhh! Tak ada tanda-tanda gadis itu datang ke tempat ini!" maki Moro Alit sambil perdengarkan dengusannya. Matanya yang kasar melotot memperhatikan sekelilingnya.
"Sulit untuk menentukan di mana Kakek Buruk Rupa berada! Padahal, yang terbaik adalah menculik cucunya yang sangat disayanginya!"
"Bagaimana kalau kita kembali ke tempat tinggal anak dan menantunya?" tanya Dimar Gondo.
"Itu berarti mengulang dari awal! Hhh! Sebaiknya, kita lanjutkan saja mencari cucu Kakek Buruk Rupa itu! Bila kita sudah berhasil menculiknya, semuanya akan terasa mudah! Ketua sangat menginginkan sekali Permata Sakti biru itu!!" Tanpa setahu mereka, tiga pasang mata mengintip kehadiran mereka di sana. Dua pasang mata yang mengintip dari balik rimbunnya semak saling berdekatan. Salah satu pasang mata memancarkan sinar jengkel, yang satu lagi menatap penuh ketenangan.
"Mereka harus dibunuh, Kang Andika," desis yang memiliki pasang mata jengkel tadi. Ia tak lain Su-ci.
Andika mendesis pelan, "Kita harus menahan amarah, Suci. Manusia-manusia itu tidak tahu kalau Permata Sakti yang diberikan kakekmu itu ada padaku."
"Apakah sebaiknya tidak diserahkan saja pada mereka, hingga kakekku tidak selalu diburu?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Terus terang, aku sendiri tidak tahu apa kesaktian yang ada pada permata ini. Kakekmu juga tidak mengatakannya padaku. Tetapi, meskipun demikian, samar bisa kuyakini kebenaran omongan kakekmu itu, Suci. Kalau permata ini memang mengandung sebuah kesaktian meskipun aku tidak tahu kesaktian apa itu. Jangan bersuara. Aku melihat seseorang di sebuah pohon." Diam-diam Suci membatin, teringat pada keinginannya untuk memiliki permata itu pula.
"Bila ada kesempatan, aku akan mengambilnya." Suci memicingkan matanya untuk mengikuti pandangan Andika. Namun, ia tak bisa melihat siapa yang berada di balik rimbunnya dedaunan.
Sementara itu, Moro Alit yang hendak menggebrak kudanya lagi, menjadi urung ketika melihat satu sosok tubuh berpakaian hitam meluncur turun dengan ringannya dari pohon yang tak jauh dari hadapannya.
Andika mendesis, "Rase Maut! Sinting! Rupanya ia bisa menyelamatkan diri." Orang yang tadi bersembunyi dan meluncur turun itu memang si Rase Maut. Ketika ia tergulung deras oleh aliran sungai dan kepalanya berpendar pusing hingga sulit mengendalikan tubuhnya, mendadak matanya menangkap sebatang pohon yang menjulai ke air. Cepat disambarnya batang pohon itu. Lalu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya ia pun melompat naik. Dialirkan tenaga dalam dan hawa murni guna menghilangkan rasa pusing akibat tendangan Andika.
Ia masih tak mengerti mendapati kehebatan yang diperlihatkan Pendekar Slebor. Membiarkan dirinya dihantam oleh pukulan seorang tokoh tinggi semacam dia, bukanlah suatu pekerjaan yang lunak. Harus mengandalkan kemampuan dan kekebalan. Tetapi, lama kelamaan pun akan roboh juga, karena kekebalan itu pasti memiliki kelemahan. Hanya yang mengherankannya, Pendekar Slebor tetap mampu menahan setiap hantamannya, tanpa sekali pun membalas. Sakit hati Rase Maut memikirkan hal itu.
Akhirnya ia menunggu Pendekar Slebor di tempat itu sambil memulihkan seluruh tenaganya. Ternyata orang-orang Serikat Kuda Hitam yang muncul.
Ia terbahak-bahak melihat wajah kelima penunggang kuda itu melotot padanya.
"Jangan gusar! Aku si Rase Maut adalah sahabat dari Tunggul Manik, atau Ketua Serikat Kuda Hitam!" Moro Alit tatap dengan mata nyalang.
"Jangan menjadi tukang ngibul di sini! Ketua tak punya sahabat buruk seperti kau!" Meskipun hatinya geram bukan buatan, Rase Maut hanya memperdengarkan tawa belaka.
"Jangan marah! Dengar baik-baik, urungkan niat kalian untuk menculik cucu Kakek Buruk Rupa!" Semakin kelam wajah Moro Alit mendengarnya.
Secara tidak langsung ia bisa menangkap kalau lakilaki di hadapannya ini sejak tadi sudah mencuri dengar percakapan mereka.
"Setan alas! Minggir kalau tidak ingin tubuhmu tercacak tak berbentuk di sini!!" Rase Maut hanya sunggingkan senyum.
"Aku tahu apa yang kalian inginkan, Permata Sakti biru milik Kakek Buruk Rupa, bukan" Ketahuilah... meskipun kalian telah berhasil menculik cucu dari Kakek Buruk Rupa, kalian tetap tak akan mendapatkan permata itu!" Dari rasa marah yang menyelimutinya, Moro Alit diam-diam menjadi tertarik juga untuk lebih lanjut mendengar penuturan laki-laki di hadapannya ini.
"Alasan apa yang bisa kau berikan padaku"!"
"Karena, Permata Sakti itu tidak lagi berada di tangan Kakek Buruk Rupa!"
"Haram jadah! Kau ingin membohongi kami, hah?"
"Dengar baik-baik," suara Rase Maut berada di tenggorokan, menandakan ia marah luar biasa.
"Permata Sakti itu telah berada di tangan seorang pemuda dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor!"
"Keparat! Bagaimana kau bisa mengatakan seperti itu?"
"Karena aku melihatnya sendiri! Dan aku sempat bentrok pula dengannya?"
"Kau berhasil dikalahkan?" suara Moro Alit penuh ejekan.
Ganti wajah Rase Maut yang mengkelam.
"Itulah sebabnya, kukatakan semua ini, karena aku ingin kita bergabung untuk membunuh Pendekar Slebor!"
"Kau memiliki kelicikan yang luar biasa! Setelah bergabung dan berhasil merebut permata itu dari tangan Pendekar Slebor, kau akan mengkangkanginya sendiri!"
"Dengar baik-baik, Tunggul Manik adalah sahabatku, bila ia menginginkan Permata Sakti itu, aku akan membantunya! Terus terang, aku juga ingin memilikinya! Tetapi sekarang, yang kuinginkan adalah nyawa Pendekar Slebor! Kalian mendapatkan Permata Sakti itu untuk diserahkan pada Tunggul Manik, dan aku mendapatkan nyawa busuk Pendekar Slebor! Bagaimana?" Moro Alit terdiam. Lalu mengedarkan pandangannya pada keempat temannya yang seperti memberi isyarat mengiyakan.
"Baik! Kita bisa bergabung! Bila kau ingkar, jangan harap kau bisa hidup lebih lama!" Rase Maut terbahak-bahak. Bukan dalam arti ketakutan mendengar ancaman itu yang ia samarkan melalui tawanya, melainkan karena ia merasa mampu menghancurkan kelima orang ini sekaligus. Namun saat ini, ia memang berdiri dalam satu pikiran licik. Bi-la bergabung dengan kelimanya, sudah dipastikan kekuatannya akan bertambah. Dan ini lebih memudahkannya untuk membunuh Pendekar Slebor sekaligus merebut Permata Sakti itu.
Di tempat persembunyiannya, Andika mendesis, "Bisa berabe kalau begini! Pencarianku untuk menemukan Kakek Buruk Rupa akan semakin terhambat!" Rase Maut berkata lagi, "Kalian kujanjikan le-herku sebagai taruhannya!" Lalu menyambung dalam hati, "Itu pun bila kalian mampu melakukannya, Anjinganjing geladak!" Moro Alit tertawa. Ia bangga karena merasa bisa menguasai permainan. Bukannya ia tidak tahu tentang Rase Maut yang mendiami Bukit Tunggul, yang dikenalnya sebagai tokoh dari golongan hitam yang telah lama malang melintang di rimba persilatan.
Namun kenyataannya, meskipun mereka berlima, mereka tak akan mampu mengalahkan Rase Maut.
Betapa dungunya laki-laki itu! Tiba-tiba terdengar tawa keras dari Rase Maut.
Cukup kuat untuk menghancurkan gendang telinga.
"Mengapa harus bersembunyi seperti seekor kelinci! Jadilah seekor musang yang berani muncul menghadapi bahaya!" Moro Alit dan keempat temannya saling pandang tak mengerti mendengar ucapan Rase Maut. Tetapi, Andika tahu sekali siapa yang dimaksud oleh laki-laki itu. Ia pun berbisik pada Suci, "Kau tetap di sini.
Jangan keluar meskipun bahaya mengancam diriku.
Bila kau lihat aku dalam bahaya, lebih baik segera tinggalkan tempat ini." Tanpa menunggu sahutan Suci, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu segera melompat keluar dari persembunyiannya.
"Hebat juga mata belomu itu, Orang Jelek!" se-lorohnya sambil mengangkat kedua alis hitamnya dengan sikap yang lucu pada Rase Maut.
"Jangan-jangan, kau memakai mata ikan mas koki, ya" Besar sekali!"
***
««::{ 8 }::»»
Diam-diam Moro Alit menyadari kedunguannya yang merasa berhasil memenangkan permainan yang diciptakan si Rase Maut. Ia jadi malu sendiri ketika tahu kelihaian si Rase Maut, yang bisa mengetahui keberadaan orang lain yang di dekat mereka.
"O... jadi kalian bergabung toh untuk mengalahkanku" Waduh, rasa-rasanya... kalian hanya jadi pemimpi di siang bolong belaka! Bagaimana bila kalian masing-masing menungging saja dan saling tendang" Bukankah itu permainan yang lebih asyik?" Rase Maut memerah wajahnya. Diingatnya bagaimana ketika Andika membiarkan tubuhnya dihajar terus menerus. Ia menggeram murka, "Kalau waktu itu kau berhasil mempecundangiku, sekarang ajalmu sudah nampak, Pendekar Slebor! Serahkan permata biru itu kepadaku"!" Seperti tak tahu ancaman orang, Andika masih menunjukkan sifat urakannya.
"Jadi yang kau inginkan Permata Sakti. itu" O... sudah kujual ke tukang loak untuk ditukar dengan sebidang tanah."
"Setan alas!"
"Lho, kau tidak bertanya tanah yang kudapat itu untuk apa" Tidak usah sedih, karena aku pasti mengatakannya. Tanah itu akan kujadikan tempat kuburan bagi dirimu. Nah, akan kuhiasi tempat itu dengan bunga-bunga yang indah dan... heeeittt! Kenapa jadi lancang begini?" Andika langsung melompat ke samping, begitu Moro Alit menderu dahsyat. Rupanya laki-laki tinggi besar itu tak bisa menahan amarahnya yang dibaluri dengan kedunguannya karena meremehkan Rase Maut tadi. Serangannya lolos seketika. Laki-laki berambut panjang itu menjadi geram bukan main. Padahal serangan yang dilakukannya itu merupakan gebrak pertama dari rangkaian jurus 'Jaran Mabur'. Ia putar lagi tubuhnya dan tangannya menjotos ke muka.
Dasar urakan, Andika justru teriak-teriak, "Aduh! Ampun, ampun! Jangan pukul!" Tangannya terangkat, menangkis jotosan Moro Alit. Des! Moro Alit mundur dua tindak, dirasakan tangannya kesemutan. Wajah laki-laki berambut panjang itu kelam.
"Setan keparat! Kau akan merasakan akibat perbuatanmu ini!"
"Heran! Kenapa jadi marah-marah?" sahut Andika seperti tak menyadari kemarahan Moro Alit. Lalu seperti baru menemukan jawabannya, ia berkata, "O ya... kau marah karena tidak kupukul, ya" Ayo, sini! Sini! Biar kutendang pantatmu hingga mencelat ke gunung itu!!" Di tempat persembunyiannya, Suci mendesah panjang. Ia tak mengerti melihat sikap Andika yang masih saja bercanda, padahal maut siap menjemputnya. Empat orang kawan Moro Alit, sudah menderu laksana kilat begitu ejekan Andika habis terdengar. Jotosan dan tendangan dilakukan dengan beruntun, cepat dan berbahaya. Kali ini Andika mendengus keras.
Ia mengibaskan tangannya dan membalas dengan serangan tak kalah cepat.
Moro Alit yang juga sudah ikutan menyerang, menggempur dengan serangan luar biasa dahsyatnya.
Kemarahan laki-laki berambut panjang itu sudah tinggi. Sementara itu si Rase Maut sedang memikirkan akal liciknya.
"Hhh! Aku tak ingin melihat ilmu kebal yang pernah diperlihatkan Pendekar Slebor meskipun aku yakin, ilmu itu pasti memiliki kelemahan! Akan, kulihat dulu manusia-manusia dungu itu menghadapi Pendekar Slebor!" Namun setelah lima jurus berlangsung, Pendekar Slebor bukan hanya menangkis dan menghindar, ia juga membalas gebrakan lawan-lawannya. Akibat balasannya, dua dari lima penyerangnya terlontar ke belakang terhantam tenaga 'inti petir' yang sudah dialirkan pada kedua tangannya. Tubuh mereka membiru dengan napas tersendat-sendat.
Rase Maut jadi gusar sendiri.
Tanpa membuang waktu lagi, ia menderu ke arah Andika. Gebrakan tubuhnya menimbulkan angin bergemuruh dan kiblatan bagai sinar hitam menderu dahsyat, membuat pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu sekarang jadi gelagapan.
"Busyet! Aku harus bisa mematahkan serangan dari si Rase Maut. Serangan darinya sangat menyulitkan!" Namun untuk menjatuhkan Rase Maut, bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena selain lincah, lakilaki berjerawat itu juga menyerang demikian cepat. Belum lagi serangan dari Moro Alit dan kedua temannya.
Membuat Andika bertambah sulit untuk mematahkan serangan Rase Maut. Jalan satu-satunya ia memang harus mencari sela.
"Gila! Lama kelamaan aku yang jadi kerepotan!" Rase Maut benar-benar tak mau membuang waktu. Ia terus mencecar dengan gerakan melompat ke sana kemari. Angin jotosannya menggugurkan dedaunan.
****
Ia bermaksud untuk mendatangi cucunya. Tiba-tiba saja ia merindukan cucunya itu. Akan diceritakannya kembali kalau ia sudah berjumpa dengan Pendekar Slebor. Dan diam-diam, di dasar hatinya, Kakek Buruk Rupa menginginkan cucunya berjodoh dengan Pendekar Slebor. Namun, ia beranggapan kalau semua itu adalah kehendak Sang Maha Kuasa.
Ia juga masih memikirkan tentang Permata Sakti yang diberikannya pada Pendekar Slebor dengan harapan kalau pemuda dari Lembah Kutukan itu berhasil memecahkan rahasianya. Karena sampai saat ini, ia sendiri tidak tahu apa kesaktian dari permata itu.
Sejak pertama kali menemukannya, ia sudah jatuh hati pada permata itu. Dasar orang-orang serakah yang tak boleh melihat benda aneh, maka mereka pun berduyun-duyun menginginkannya. Padahal, ia tidak tahu kesaktian permata itu. Hanya saja, ia senang memancing orang lain untuk lebih penasaran lagi. Hingga diam-diam ia pun sadar kalau permata ini memang bukan permata sembarangan.
Bukan sekali dua kali sebenarnya Kakek Buruk Rupa saat bertarung dengan lawannya, tak menyadari kalau lawan tiba-tiba sudah meninggalkannya ataupun sudah terkapar di tanah. Padahal menurutnya, lawan saat itu sedang gencar menyerang. Tetapi mengapa mereka justru meninggalkannya" Pertanyaan itu memang berpendar di dirinya tanpa mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Hanya yang diduganya, kalau ia telah berhasil mengalahkan lawan-lawannya.
"Sebenarnya, aku tak ingin menyerahkan permata itu pada Pendekar Slebor. Aku ingin bertanya pada Srimpil atau yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu.
Tetapi mencari manusia itu, sama saja mencari jarum di tumpukan jerami! Ah, Pendekar Slebor pun memiliki otak yang sangat cerdik. Tak kusangka, kalau pewaris Ki Saptacakra - pendekar legendaris itu - seseorang yang masih muda dan mempunyai sifat konyol. Mudah-mudahan, ia berhasil memecahkan rahasia permata itu. Ini hanya sebuah harapan. Memang cukup merepotkan keadaan Pendekar Slebor sebenarnya, bila orang-orang serakah mengetahui Permata Sakti itu berada di tangannya. Namun, biarlah. Toh aku yakin, ia bisa mempertahankan diri." Kakek Buruk Rupa terus berkelebat ke arah timur. Kali ini terbayang di benaknya sang cucu akan menyambut kedatangannya seperti biasa dengan cara sembunyi-sembunyi. Selang beberapa saat kemudian, ia pun memasuki sebuah desa.
"Hmm... Haryo pasti tidak menyukai kedatanganku, apalagi bila mengetahui aku mendekati anaknya. Tetapi Haryo adalah putraku dan Suci cucuku.
Aku akan tetap ke sana. Hanya saja, aku tidak mau cari gara-gara, sebaiknya... aku datang bersembunyisembunyi." Kelebatan tubuhnya di jalan desa yang memasuki rembang petang itu, cukup menggidikkan bagi para penduduk yang melihat bayangan laksana setan berkelebat. Tetapi mereka tak ambil peduli karena toh ini masih sore. Menurut mereka, setan tak akan mungkin iseng gentayangan di sore ini.
Kakek Buruk Rupa kini sudah berada di atap genting rumah putranya. Ia tahu di mana letak kamar cucunya. Tetapi, pendengarannya yang tajam menangkap suara tangis di bawahnya.
"Bagaimana kita harus menemukan Suci, Pak?" suara wanita yang dikenali sebagai anak menantunya.
"Sudah beberapa hari ini Suci menghilang. Oh, Gusti...
ke manakah kau Suci?" Di depan wanita yang tengah bersedih itu, Haryo Adilekso hanya berdiri mematung. Ia sudah menyuruh beberapa penjaga rumahnya untuk mencari putrinya, namun sampai saat ini belum ada laporan yang memuaskan.
"Sudahlah, Bu... ia pasti kembali. Bukankah begitu biasanya?"
"Tetapi... aku khawatir akan kepergiannya saat ini. Pak... apakah ia mengikuti pemuda yang bernama Andika itu?" tanyanya tersendat. Dihapusnya air matanya dengan saputangan yang bermotifkan sulaman burung merak.
"Mungkin iya, mungkin tidak. Karena, pemuda itu tidak berada di sini pula."
"Apakah dia...." Haryo Adilekso tersenyum.
"Jangan berpikir macam-macam, Bu. Meskipun kulihat sifat pemuda itu agak konyol, namun aku yakin ia adalah pemuda baik-baik." Tetapi istrinya menggeleng-gelengkan kepala sambil menghapus air matanya.
"Maksudku... apakah kepergian Suci untuk mencari ayahmu" Aku yakin... sebenarnya ia sangat dekat dengan ayahmu itu. Suamiku... bisakah kau meminta pada ayahmu untuk tinggal bersama kita, agar Suci tidak menghilang lagi?" Kali ini suaminya terdiam. Sebenarnya, Haryo Adilekso pun menduga akan hal itu. Tetapi, untuk menenangkan istrinya ia tidak mau mengatakan dugaannya. Hanya saja, istrinya sudah mengatakan hal itu.
Dugaannya kembali berpendar-pendar, cukup memusingkan kepalanya sekarang. Bila ia ingat tentang ayahnya yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan sebagai Kakek Buruk Rupa, rasa jengkel mulai merayapinya.
Tetapi lagi-lagi ia memutuskan untuk tidak mengatakan hal itu pada istrinya.
"Entahlah... aku tidak tahu soal itu, Bu. Memang kuakui, kalau Suci sebenarnya merindukan kakeknya. Tetapi, mau bagaimana lagi" Aku sudah berusaha meminta pada Ayah agar mau tinggal bersama kita. Namun kau tahu sendiri bukan sifat Ayah" Sudahlah, kita hanya berharap, semoga tak terjadi apa-apa dengannya. Terus terang, kalau memang ia pergi bersama pemuda yang bernama Andika itu, aku lebih tenang karena aku yakin pemuda itu akan menjaganya...."
"Pak... aku khawatir akan terjadi apa-apa pada Suci," suara istrinya terdengar lemah, mengandung kekhawatiran tinggi.
Haryo Adilekso perlahan-lahan mendekati istrinya. Lalu dirangkulnya dengan penuh kasih sayang.
Ditatapnya seolah memberikan kekuatan agar istrinya tenang.
"Berdoalah, semoga tak terjadi apa-apa. Bukankah seperti biasanya Suci memang seperti itu" Aku yakin, ia pasti kembali tak kurang suatu apa." Di atap, Kakek Buruk Rupa mengerutkan keningnya mendengar percakapan itu. Rambutnya yang menutupi wajahnya tersibak dipermainkan angin.
"Hhh! Cucuku pergi dari sini. Tetapi, mengapa ia bisa bertemu dengan Andika" Mengapa pemuda itu bisa menginap di sini" Aku pun merasa aman kalau cucuku bersama dia sebenarnya" Tetapi... aku pun tahu sangat berbahaya bagi keselamatannya bila ada yang mengetahui tentang permata itu berada di tangan Pendekar Slebor. Sebaiknya, kucari ia sekarang!! Mudah-mudahan, tak ada peristiwa yang mencemaskan." Setelah berpikir begitu, Kakek Buruk Rupa masih menyempatkan diri mendengar isak dari menantunya. Hatinya pilu. Lalu tanpa buang tempo lagi, laki-laki bongkok itu berkelebat cepat. Sosok tubuh kurus dengan rambut disanggul ke atas yang sejak tadi hanya memperhatikan tak mengerti mengapa orang yang dibuntutinya mengintip rumah itu, segera kelebatkan tubuh lagi untuk mengikuti Kakek Buruk Rupa.
"Aku tak boleh kehilangan jejaknya. Manusia sialan itu, harus kubunuh dan kudapatkan Permata Sakti. Kupaksa ia untuk mengatakan rahasianya. Aku yakin kakek bongkok itu tahu rahasia apa yang terpendam pada permata itu. Biarlah kutunggu saat yang tepat, siapa tahu ia akan mengeluarkan permata itu dan mempergunakannya. Setelah kudapatkan, akan kucari dan kubunuh Pendekar Slebor. Gila! Aku masih tak mengerti mengapa ilmunya demikian cepat bertambah." Sosok berbaju perak itu yang tak lain si Camar Hitam, segera menyusul Kakek Buruk Rupa. Hatinya penuh kegeraman, kekesalan, dan dendam.
***
««::{ 9 }::»»
Tenaga 'inti petir' tingkat kelima sudah dikerahkan. Setiap kali ia menggerakkan tangannya, terdengar suara salakan keras. Mampu membuyarkan konsentrasi lawan sebenarnya. Namun serangan lawan yang beruntun itu bagai mengurung geraknya, membuatnya jadi kelimpungan sendiri.
Serangan Moro Alit dan kedua temannya sebenarnya tak begitu menyulitkan. Tetapi, serangan dari Rase Maut-lah yang mematikan. Membuatnya harus mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.
"Gila! Aku harus bisa meloloskan diri kalau tidak ingin konyol!" gerutunya, dan bersalto ke belakang, menghindari terobosan Rase Maut yang menyerang sambil mengeluarkan seruan keras. Bersamaan dengan itu, tiga sosok tubuh berpakaian hitam segera menerjang. Andika kalang kabut dibuatnya. Pukulan Moro Alit menghantam dadanya telak. Meskipun merasa sesak napas sejenak, Andika tak ambil peduli. Ia putar tubuhnya dan dengan ajian 'Guntur Selaksa' ia memapaki hantaman Rase Maut yang sudah mengeluarkan jurus 'Rase Kejar Mangsa'.
Sebuah rangkaian jurus yang cepat dan tak memberikan kesempatan pada lawan untuk menghindar atau bertahan lebih lama. Namun yang dihadapinya adalah Pendekar Slebor, yang bertarung dengan selalu mempergunakan kecerdikan otaknya.
Benturan dua tenaga hebat terjadi.
Des! Blaaarr! Tanah yang mereka pijak bagai bergoyang. Suci yang sedang mengintip pertarungan maut itu pun tak urung dari getaran hebat yang diterimanya. Segera ia alirkan tenaga dalamnya. Hatinya tegang memikirkan keadaan Andika. Tatapannya sejak tadi tak berkesip.
Mulutnya berkomat-kamit panjatkan doa agar Andika diberi kekuatan.
Sedikit banyaknya ia menyesal mengapa ia tidak meminta kakeknya untuk mengajarinya ilmu kanuragan. Bukan hanya ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam. Bila saja ia memiliki sedikit kesaktian, ia pasti akan turut membantu Andika.
Akibat benturan keras yang terjadi itu tubuh Andika mencelat beberapa tombak ke belakang. Dari hidungnya mengalirkan darah segar. Sementara si Rase Maut merasa napasnya sesak dengan aliran darah yang kacau.
Saat itu, Moro Alit dengan liciknya segera menyerbu ke depan. Satu jotosan tangan kanan yang mengandung kekuatan tinggi itu dikiblatkan ke wajah Andika. Namun seruan dari Rase Maut mengurungkan niatnya untuk menghajar wajah Andika.
"Ambil Permata Sakti itu dan balik bajunya!!" Tangannya yang mengarah ke atas tadi diturunkan. Gerakan cepatnya tak mengendor. Tangannya bergerak. Buk! Justru dalam keadaan sempoyongan Andika masih menunjukkan kelasnya. Tangan kirinya bergerak menangkis tangan Moro Alit, yang mengeluarkan seruan tertahan karena tangannya dirasakan ngilu sekali. Tak berkesudahan serangan yang dialami oleh Andika, karena Rase Maut bersamaan dengan dua teman Moro Alit, sudah menggempur dahsyat. Mencoba merebut Permata Sakti dan sekaligus menghabisi Pendekar Slebor. Andika menjadi tegang sekarang. Nyeri di sekujur tubuhnya akibat bentrokan dengan si Rase Maut bagai membuatnya tak bisa bergerak. Rase Maut perdengarkan teriakan mengguntur dan senyuman penuh kemenangan. Tangannya menghantam dada Andika.
Des! Menyusul dua serangan beruntun dari dua anggota Serikat Kuda Hitam.
Des! Des! Tubuh Andika terhuyung ke belakang, namun berdiri kembali dengan tegak. Seperti tak kurang suatu apa. Namun, apa yang ada di pandangannya berubah sama sekali. Karena, dilihatnya sebuah suasana yang seluruhnya berwarna biru.
Rase Maut yang sudah mundur dua langkah menggeram, "Setan alas! Rupanya dia kembali mempergunakan ilmunya yang aneh itu! Hhh! Dengan bantuan dari Moro Alit dan kedua temannya itu, akan kugempur habis-habisan!" Memikir begitu, laki-laki penuh jerawat merah itu menyerang lagi. Bersamaan dengan Moro Alit dan kedua temannya. Suci menahan napas melihat hal itu.
Ia hampir saja melompat keluar untuk menyelamatkan Andika. Namun keanehan terjadi, karena seperti tak tahu diserang habis-habisan, Andika membiarkan saja tubuhnya dihajar. Berkali-kali tubuhnya sempoyongan, namun tak sekali pun ia kelihatan mencoba membalas atau mengaduh. Bahkan seolah membiarkan tubuhnya dihantam terus menerus.
Saat menghajar itu Rase Maut berpikir keras, Apakah memang ada ilmu 'Mengosongkan Diri"' Sejak lama sebenarnya ilmu itu sudah kudengar, dan hanya dimiliki oleh seorang pendekar kenamaan yang berjuluk Penguasa Bukit Sigura-gura atau yang bernama Ki Langlang Jagat" Tetapi, manusia itu tak pernah lagi kudengar beritanya. Apakah diam-diam Pendekar Slebor murid dari Penguasa Bukit Sigura-gura" Tetapi, kusirap kabar, kalau ilmu 'Mengosongkan Diri' merupakan ilmu menyerap tenaga lawan dengan membiarkan tubuhnya diserang habis-habisan. Dan lawan akan merasakan bagai memukul kapas belaka.
Sedangkan yang dimiliki oleh Pendekar Slebor, tubuhnya tetap keras seperti biasa. Hanya saja, ia tak peduli dengan hantaman sekeras apa pun. Setan alas! Bagaimana caranya aku untuk mengalahkan dan merebut Permata Sakti itu! Hhh! Kucoba saja untuk merebutnya!" Penasaran Rase Maut kembali menyerang Pendekar Slebor, sementara Moro Alit dan kedua temannya terus menggempur. Tubuh Andika tak ubahnya bagai sebuah bola yang dipermainkan. Ditendang ke sana kemari. Bagai bergulingan cepat.
Sementara pemuda urakan itu sendiri sedang memaki dirinya keras, "Keparat! Apa yang terjadi" Aku tak melihat apa-apa selain warna biru" Celaka! Sudah beberapa kali hal ini terjadi tetapi aku tak mengetahui apa sebabnya?" Rase Maut menggerakkan tangannya, mencoba menjambret pakaian Andika. Namun yang cukup mengherankannya, selagi ia mencoba menyusupkan tangannya, dirasakan tubuh Andika memancarkan panas yang luar biasa! "Haram jadah!" makinya sambil membuang tubuh dan mengalirkan tenaga dalam guna mengusir panas yang menyengat.
"Kalau kuhajar, ia seolah membiarkan. Mengapa ketika serangan ini ku ubah, tubuhnya bagai memancarkan panas" Setan alas! Ilmu apa yang sebenarnya dimiliki oleh Pendekar Slebor?" Moro Alit dan kedua temannya yang sudah kehabisan napas dan tenaga karena memforsir tenaganya terus menerus, perlahan-lahan mulai mengendor serangannya. Ketiganya mundur teratur dan mengatur napas.
"Jangan menjadi banci! Hajar manusia itu terus menerus!" sentak Rase Maut. Moro Alit melotot.
"Setan jerawat! Apakah kau tidak tahu kalau tenaga kami sudah terkuras habis, sementara Pendekar Slebor tetap berdiri pada posisinya" Jangan hanya bisa memerintah kalau tidak kubuat mencong mulut-mu" Kau sendiri dibuat tak ubahnya seperti banci belaka!" Panas wajah Rase Maut mendengar ejekan orang. Namun untuk saat ini tak dihiraukannya. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat lawan membiarkan tubuhnya dihajar habis-habisan tanpa sekali pun membalas. Bahkan ketika ia dan yang lainnya menghentikan serangan, sang lawan masih tegak berdiri tanpa melakukan gerakan yang mencurigakan.
"Ilmu yang dimilikinya memang aneh sekaligus dahsyat luar biasa! Sebaiknya kita coba rebut Permata Sakti itu!"
"Kau lakukan sendiri, tenaga kami belum pulih!" Dengan suara menggembor menahan geram. Rase Maut bergerak lagi untuk merebut Permata Sakti itu.
Namun kembali dirasakan hawa panas menyergapnya bertubi-tubi, sementara Andika tetap sempoyongan terhantam dan kembali tegak. Dan lagi-lagi pemuda dari Lembah Kutukan ini membatin geram, "Gila! Mengapa ini" Mengapa?" Diusahakan untuk memecahkan keheranan yang melingkupinya. Namun sampai sejauh ini Andika belum bisa mengetahuinya. Bahkan yang dicemaskannya, kalau lawan-lawannya menyerang sementara yang ada dalam pandangannya hanya warna biru belaka.
Rase Maut memutuskan untuk menghentikan serangannya.
"Benar-benar luar biasa! Aku harus bisa memecahkan rahasia ilmu yang dimiliki oleh Pendekar Slebor! Aku yakin, ilmu itu mempunyai kelemahan!" Ia coba berdiam sekarang sambil mencoba menguras seluruh pikirannya. Andika masih tetap tegak dengan mata nyalang.
Sementara Suci menarik napas lega melihat kenyataan itu. Kekagumannya semakin bertambah melihat kelihaian Pendekar Slebor.
"Kulihat... Kang Andika tidak membalas sekali pun. Ia malah membiarkan dirinya dihajar. Bahkan...
sepertinya Kang Andika tidak tahu apa yang sedang terjadi," desis Suci dengan hati galau. Diam-diam dia berkata dalam hati, "Lalu, bagaimana caranya aku bisa memiliki Permata Sakti itu bila Kang Andika memiliki ilmu yang tinggi?"
"Rase Maut... tak mungkin kita bisa mengalahkan Pendekar Slebor sekarang ini," kata Moro Alit yang tenaganya sudah pulih kembali.
"Lebih baik kita lepaskan dulu, untuk kemudian kita hajar kembali dia!"
"Goblok! Ini kesempatan yang telah lama kucari! Permata itu tak lagi berada di tangan Kakek Buruk Rupa! Sekarang, apakah kalian akan melepaskannya begitu saja setelah mengetahui permata itu berada di tangan Pendekar Slebor" Dasar orang-orang bodoh!" Wajah Moro Alit mengkelam. Ia muak dibentak seperti itu. Namun, ia juga membenarkan kata-kata Rase Maut. Hanya saja, bagaimana cara mengalahkan Pendekar Slebor yang telah menguras tenaganya habis-habisan. Masih untung ia bisa memulihkannya, kalau tidak, ia membutuhkan waktu dua hari dua malam guna mendapatkan tenaganya kembali.
Meskipun menyetujui kata-kata Rase Maut, hatinya sudah keburu geram dibentak seperti itu.
"Kau lakukan sendiri dan kami ingin melihat hasilnya!!" Ganti Rase Maut yang menggeram, sementara Andika masih berdiri tegak tanpa bergerak, seolah siap membiarkan dirinya dihajar habis-habisan.
"Bagaimana caranya untuk menghabisi Pendekar Slebor?" desisnya. Diperas seluruh otaknya, namun ia tak menemukan jawabannya.
"Hhh! Yang mengherankanku, ia tak menyerang sama sekali. Tidak seperti pertama kali kami bertempur. Seolah ia menunggu, namun dari sikapnya itu pun sepertinya ia tak peduli dirinya dihajar habis-habisan. Gila! Benar-benar ilmu yang luar biasa! Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan Permata Sakti itu" Menjengkelkan!"
"Mengapa harus memeras tenaga lebih banyak" Aku siap membantumu!" terdengar seruan itu bersamaan satu sosok tubuh melayang dari satu tempat.
Sosok itu tinggi besar dan terdapat sebuah tambang besar di bahu kirinya.
Rase Maut seketika palingkan kepala. Sesaat kemudian terdengar dengusannya, "Mau apa kau ke sini, Iblis Tambang?" Yang hadir itu tak lain adalah Iblis Tambang. Ia perdengarkan tawanya yang mengguntur. Rupanya, manusia itu telah berhasil memulihkan sakit di sekujur tubuhnya akibat serangan dari Kakek Buruk Rupa.
Ia memang masih bermaksud untuk mengejar Kakek Buruk Rupa. Hanya saja, ketika ia tiba di tempat itu, didengarnya sebuah pertarungan dahsyat. Dan dilihatnya seorang pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur yang tersampir di bahunya bagai membiarkan saja serangan-serangan gencar dari lawan-lawannya. Yang cukup mengejutkannya, ketika ia mendengar tentang Permata Sakti yang kini diketahuinya berada di tangan Pendekar Slebor.
"Lama kucari Kakek Buruk Rupa, tak tahunya Permata Sakti itu berada di tangan Pendekar Slebor.
Rase Maut... apakah kau akan mengkangkangi sendiri Permata Sakti itu?" Rase Maut tahu akan kehebatan Iblis Tambang.
Ia tahu pula kalau ilmunya berada satu tingkat di bawah Iblis Tambang. Namun kelicikannya itu kini muncul kembali.
"Jangan tegang begitu. Jangan gusar. Kita bisa bersama-sama merebut Permata Sakti dari tangan Pendekar Slebor. Hanya saja, aku sudah berjanji untuk menyerahkan permata itu pada Tunggul Manik, ketua Serikat Kuda Hitam." Dengan berkata seperti itu, Rase Maut berharap Iblis Tambang akan marah mendengarnya. Hingga ia akan merebut dan mempertahankan Permata Sakti itu dari tangan Tunggul Manik bila berhasil mendapatkannya. Bila keduanya bentrok, maka Rase Maut merasa bisa mengambil kesempatan.
Yang diduganya itu memang benar. Iblis Tambang memerah wajahnya. Sekian bulan ia memburu Permata Sakti, tak akan mungkin bila sudah di tangannya akan dilepaskan.
"Persetan dengan Tunggul Manik! Aku ingin mencoba kekuatan manusia keparat itu!" Rase Maut cuma tersenyum saja, diliriknya Moro Alit dan kedua temannya yang mendadak menjadi gusar. Ketiganya segera melompat ke muka dua tin dak.
"Jangan sembarang omong! Kau akan terserimpung oleh ucapanmu sendiri!!" bentak Moro Alit.
Iblis Tambang terbahak-bahak mendengar ancamannya.
"Rase Maut... karena orang-orang semacam inilah hingga kau membiarkan jiwamu kau jual?" serunya dengan suara ditekan, penuh ejekan.
"Yang kutakutkan adalah Tunggul Manik," sahut Rase Maut menebar hawa panas di antara mereka.
Lalu dengan liciknya ia berkata, "Tak mungkin aku sanggup membantah perintah Tunggul Manik. Entah bagaimana kau sendiri. Apakah mampu atau tidak?" Tetapi menurut penglihatanku...."
"Keparat! Kau hendak mengatakan aku tak akan mampu mengungguli Tunggul Manik?" dengus Iblis Tambang dengan tatapan laksana kobaran mata api.
"Jangan memutar mulut ngaco! Manusia mana pun juga akan kulibas dan rebah sejajar dengan tanah bila menghalangi keinginanku! Tak peduli siapa pun dia! Tunggul Manik... ingin kutahu kehebatan manusia semacam dia. Aku yakin, ia tak lebih dari seorang ban-ci yang berlindung di balik kekuatan anak buahnya." Moro Alit semakin panas bukan buatan. Hatinya bagai dicabik-cabik tangan kasar dan ribuan jarum. Wajahnya tertarik ke belakang. Rambut panjangnya bagai bergetar.
"Iblis Tambang! Tak kuperkenankan kau mengejek Ketua serendah itu! Kau akan merasakan akibatnya!" Iblis Tambang terbahak-bahak.
"Mengapa kau hanya berdiam saja" Cepat lakukan apa yang kau inginkan" Biar aku...." Tak mau menunggu kata-kata Iblis Tambang yang telah menghina ketuanya, Moro Alit sudah maju dengan satu gempuran dahsyat. Dalam sekali gebrak itu, Iblis Tambang bisa dibuat berantakan. Namun laki-laki bersenjata tambang besar itu, cuma menggeser tubuhnya. Dan dengan kecepatan laksana setan, ia menjotos dada Moro Alit yang mengaduh keras dan terlempar ke belakang.
Tanpa mau membiarkan lawan hidup lebih lama lagi, Iblis Tambang melompat. Masih melompat kakinya bergerak.
Praaak!! Moro Alit yang masih terhuyung tak mampu hindari tendangan ke kepalanya. Tanpa ampun lagi, kepalanya terhantam tendangan keras itu. Pecah dan tubuhnya ambruk.
Melihat kawannya mati dalam sekali gebrak, dua orang dari anggota Serikat Kuda Hitam segera berkelebat dengan gerengan yang keras memecah angkasa.
"Keparat! Mampuslah kau, Manusia Hina!".
Iblis Tambang hanya terbahak-bahak saja, seolah membiarkan maut menjemputnya. Namun dengan gerakan tak terlihat, tiba-tiba saja tambangnya sudah berkelebat. Keluarkan suara bergemuruh dan menghantam keduanya.
Des! Des! Bukan buatan maut yang diterima keduanya, lebih parah dari yang dialami oleh Moro Alit. Tubuh keduanya rencah terhantam tambang berkekuatan dahsyat itu. Sesaat kemudian, terdengar lagi tawa dari iblis Tambang. Rase Maut diam-diam mendesah, "Luar biasa! Kecepatannya sangat luar biasa sekali!" Sementara Suci yang bersembunyi sambil kerahkan ilmu meringankan tubuhnya terbelalak menyaksikan semuanya. Hatinya kacau tak karuan. Lebih kacau lagi melihat sikap Andika yang tetap berdiri tegak tanpa berbuat apa-apa.
Dan tak seorang pun yang tahu kalau saat ini Pendekar Slebor sedang berteriak sangat keras sekali. Berharap ada yang mendengarnya dan membawanya keluar dari suasana yang seluruhnya berwarna biru.
Sedangkan saat itu, Iblis Tambang sudah berbalik dan menatap Andika tak berkesip.
"Rase Maut... apakah kau akan menyaksikan kehebatan ilmu tambangku ini, hah" Sekalipun Pendekar Slebor memiliki ilmu kebal yang luar biasa, tak akan bisa menahan dahsyatnya tenaga dan gempuran tambang kesayanganku ini!!" Rase Maut cuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Akal liciknya tetap berputar. Ia tetap menginginkan Permata Sakti itu.
"Iblis Tambang... kau akan bisa mengalahkan Pendekar Slebor dan mendapatkan Permata Sakti itu.
Tetapi, bagaimana tanggung jawabku dengan Tunggul Manik?"
"Manusia bodoh! Bila kau mau bergabung denganku, akan kuhancurkan Tunggul Manik bersama serikatnya itu!" Inilah yang dikehendaki oleh akal licik Rase Maut. Sudah tentu ia senang bukan main. Diperlihatkan senyum dan pujian yang membuat Iblis Tambang semakin bertambah jumawa.
"Kau minggir sekarang! Ingin kulihat kekebalan yang dimiliki Pendekar Slebor! Kau lihat sendiri, bukan" Kalau Pendekar Slebor tak lebih dari mayat hidup belaka! Ia merasa akan mampu menahan serangan tambang kesayanganku ini! Padahal, ia salah besar bila memang berniat melakukannya! Tak akan kubiarkan manusia itu bercokol di rimba persilatan ini lebih lama!!" Sehabis berkata begitu, Iblis Tambang melangkah dan berhenti dalam jarak tiga tombak di hadapan Pendekar Slebor. Segera dialirkan tenaga dalamnya pada tambangnya.
Rase Maut diam-diam tersenyum penuh kelicikan. Ia bergeser dari tempatnya. Untuk saat ini, biarlah ia mengalah dan membiarkan Iblis Tambang memiliki Permata Sakti itu. Setelah Iblis Tambang bentrok dengan Tunggul Manik, ia akan mencoba mengambil kesempatan. Putaran tambang itu semakin lama semakin keras terdengar. Memekakkan telinga dan menggugurkan dedaunan. Suci menggigil menahan kekacauan hatinya. Darahnya bagai beredar dengan cepat. Ia berdoa agar Andika menghindar.
"Tak ada lagi nama Pendekar Slebor sekarang ini!!" terdengar sentakan maut dari Iblis Tambang.
Suci memutuskan untuk mengambil tindakan nekat. Ia benar-benar tak mengerti mengapa Andika tidak menghindar maupun membalas setiap serangan yang datang. Justru berdiri tegak membiarkan tubuhnya dihujani serangan.
Mendadak saja ia melompat dari persembunyiannya, "Heaaaa!!" Teriakannya mengejutkan Iblis Tambang. Selagi Iblis Tambang menghentikan gerakannya, Suci menarik tangan Andika.
Wut! Wut! Dan membawanya menghilang ke satu tempat.
Gusar bukan buatan Iblis Tambang dibuatnya.
Ia menggeram setinggi langit.
"Setan alas! Kubunuh kau, Manusia Lancang!" Rase Maut sendiri terpaku di tempatnya. Sama sekali tak menyangka kalau seseorang akan muncul dan menyelamatkan Pendekar Slebor. Melihat Iblis Tambang sudah melesat. Rase Maut pun menyusul. Ia tak ingin Permata Sakti itu jatuh ke tangan Iblis Tambang.
***
««::{ 10 }::»»
"Mengapa aku berada di sini" Sepi... ke mana manusia-manusia dajal itu?" seru Andika sambil celingukan.
Lagi-lagi Suci cuma melongo mendengarnya.
Dari kata-kata Andika barusan, pemuda sakti itu seolah tak merasa kalau ia dibawa lari Suci.
"Maksud Kang Andika bagaimana?" tanyanya tak mengerti. Justru Andika yang balik bertanya, "Apanya yang bagaimana" Aku malah bingung mengapa bisa berada di sini?" Terheran-heran Suci menceritakan apa yang terjadi. Ganti Andika sekarang yang terheran-heran.
"Kau bilang, aku membiarkan tubuhku dihantami serangan manusia-manusia itu?" Suci menganggukkan kepala.
"Aneh!" desis Andika sambil mengerutkan keningnya.
"Tidak aneh, Kang. Sudah dua kali sebenarnya aku melihat Kang Andika membiarkan dihajar lawan tanpa sekali pun membalas," kata Suci.
"Dua kali?" ulang Andika.
"Ya. Dua kali. Pertama, ketika Andika bertarung di atas sampan menghadapi si Rase Maut. Kedua, ya pertarungan tadi itu. Mengapa Kang Andika seperti keheranan?" Bukannya menjawab, Andika justru mondarmandir kayak mandor pabrik.
"Tak mungkin, Suci... tak mungkin."
"Apanya yang tak mungkin?" Andika menghentikan langkahnya.
"Dan menurutmu aku sama sekali tidak merasa kesakitan?" Suci menganggukkan kepalanya. Aneh, kenapa Kang Andika jadi begini, desisnya dalam hati.
"Tidak membalas?"
"Ya. Tetapi, Kang Andika, mengapa Kang Andika keheranan" Bukankah Kang Andika yang melakukannya?"
"Tidak."
"Bagaimana ini?" kata Suci makin tak mengerti.
"Padahal, aku melihatnya dengan jelas." Andika diam kembali. Lalu katanya, "Ketahuilah Suci, aku tak memiliki ilmu aneh semacam itu.
Bahkan aku seolah baru disadarkan kalau sudah dua kali hal itu terjadi. Malah aku... oh!" Andika berdiri tegak, mematung dengan tatapan melotot.
Suci menjadi tegang sendiri. Mengingat tempat itu sepi dan sikap Andika yang rada aneh.
"Kenapa, Kang Andika?"
"Apakah... oh, ya, ya... bisa jadi itu. Bisa jadi."
"Kang Andika kenapa?" Andika masih belum menjawab pertanyaan Suci, "Tidak, aku belum bisa menentukan itu benar atau tidak sebelum membuktikannya. Hmmm... ya, ya...
memang harus dibuktikan." Merasa ada keanehan dalam diri Andika, Suci berkata, "Kang Andika... sebaiknya, kita tinggalkan tempat ini. Karena, kedua manusia itu pasti akan mencari kita." Kali ini Andika menganggukkan kepalanya.
"Kau benar, Suci. Kita memang harus meninggalkan tempat ini. Tetapi... awaaaasss!!" Andika mencelat menyambar tubuh Suci, ketika didengarnya suara menggemuruh mengerikan mengarah pada keduanya.
Blaaarr! Dua buah pohon tumbang seketika.
Andika menurunkan tubuh Suci dari bopongannya. Bersamaan dengan itu, dua sosok tubuh sudah mencelat ke arahnya. Jotosan dan tendangan siap diterima Andika.
Andika mendorong tubuh Suci. Lalu menekuk kedua lutut dan kedua tangan bergerak.
Buk! Buk! Tendangan dan jotosan itu tertahan, namun meskipun demikian, dua dorongan tenaga dalam tinggi, membuatnya agak terhuyung. Mengubah posisi agar keseimbangannya tidak menghilang, pindah satu tindak ke kiri dan melepaskan tendangan balasan.
Rase Maut yang tengah mencecar, urung dengan satu teriakan keras. Saat itu sebenarnya Andika bisa menghabisi lawan, akan tetapi, tambang besar yang mengeluarkan suara mengerikan menderu menghalangi maksudnya.
"Kerbau bau!" maki Andika sambil membuang tubuh. Tetapi, tambang besar senjata andalan Iblis Tambang terus mencecarnya. Mau tak mau untuk beberapa saat, Andika merasa dirinya seperti monyet kebakaran ekor. Menyusul rangkaian serangan dari Rase Maut.
Benar-benar Andika berada di lingkaran jalan kematian sekarang ini. Suci yang sudah berdiri akibat dorongan Andika tadi, menjadi pias bukan main. Ia berteriak keras, "Gunakan ilmu kebal yang Kang Andika miliki"!" Tetapi yang dilihatnya, Andika terus berusaha menghindar. Tidak lagi menunjukkan 'kebolehan'nya yang menurut Suci sangat menakjubkan.
Tambang besar itu lolos dari sasaran, tetapi jotosan tangan kiri iblis Tambang, telak menghantam dada Andika. Menyusul tendangan Rase Maut. Bukan alang kepalang sakitnya. Napas Andika terasa sesak.
Tetapi dasar urakan, Andika tak mempedulikan hal itu. Ia berkelit, bergulingan, melompat, dan mencoba membalas. Keberanian yang dipadukan dengan kepandaiannya yang tinggi, membawa basil. Rase Maut merasa ngilu ketika tempurung kaki kirinya terhantam tendangan Andika.
Patah dengan jeritan yang cukup keras.
Menyadari kalau lawan belum sepenuhnya terdesak, Iblis Tambang yang melihat Rase Maut menjerit seperti itu, mencoba menambah kecepatan dan tenaganya. Akibatnya, Andika terhantam telak kembali.
Ia terjajar ke belakang. Darah segar mengalir dari mulutnya. Iblis Tambang berdiri pongah, sementara Rase Maut coba berdiri dengan sebelah kaki. Matanya menyiratkan dendam tinggi, penuh ambisi untuk membunuh Andika.
"Nyawamu akan kuampuni, bila kau menyerahkan Permata Sakti itu kepadaku, Pendekar Slebor!" suara serak Iblis Tambang menggetarkan tempat itu.
Andika tersenyum mengejek.
"Kalau kau mampu, mengapa tidak mengambilnya?" Iblis Tambang memutar senjatanya yang menimbulkan gemuruh angin.
"Nyawamu sudah di tanganku, Pendekar Slebor! Kau masih saja mencoba mengulur waktu!!" Andika tersenyum, dengan membentuk monyongan pada bibirnya.
"Heran, kalau mau membunuh ya lakukan saja!" Iblis Tambang yang penasaran tentang ilmu kebal yang dilihatnya ketika Rase Maut dan Serikat Kuda Hitam menghajar Andika, diam-diam mengerahkan tenaga dari pusarnya. Panas menggejolak di tubuhnya.
Desingan tambangnya bertambah kuat, angin makin kencang menggemuruh.
"Kau akan menyesal, Andika!!" Wussss!! Tambangnya sudah digusurkan ke arah Andika. Cepat Andika mengempos tubuhnya dengan pancalan satu kaki. Hup! Lincah ia melompati tubuh Iblis Tambang sendiri. Tanah di mana ia terduduk tadi, membentuk lubang yang sangat besar dan mengeluarkan asap.
"Edan! Kalau aku tidak cepat, bisa jadi perkedel busuk!" maki Andika.
Tetapi, Rase Maut dengan liciknya, menyergap dengan satu totokan.
Tuk! Tubuh Andika bergetar. Lalu menggelosoh lemah dan terbujur kaku di tanah. Ia memaki panjang pendek. Mendapati lawan telah lumpuh, Rase Maut yang kini sebelah kakinya tak berfungsi lagi, melangkah dengan terpincang. Geram bukan buatan. Matanya melotot nyalang.
"Kau akan membayar perbuatanmu ini, Pendekar Slebor!" Tangannya siap dihantamkan pada kaki Andika, tetapi Iblis Tambang berseru, "Siksaan untuknya telah kupersiapkan Rase Maut! Untuk sementara, biarkan ia terbujur tak berdaya!" Rase Maut membuang kesalnya dengan melepaskan pukulan ke depan. Akibatnya, sebuah pohon menjadi berantakan. Sementara Suci menjerit tertahan menyadari keadaan Andika yang tak menguntungkan.
Jeritannya itu memancing Iblis Tambang yang terbahak-bahak melihatnya. Sebuah rencana busuk telah terpampang di benaknya.
"Pendekar Slebor... untuk beberapa saat lalu, kau masih bisa mempertahankan Permata Sakti itu.
Tetapi sekarang, kau tak berdaya. Permata itu akan kumiliki. Setelah itu, kau akan melihat pemandangan yang mengasyikkan di depanmu." Sambil terbahak, Iblis Tambang menggeladah tubuh Pendekar Slebor. Diperlakukan semacam itu, bukan buatan gusarnya Andika. Tetapi ia hanya tertawa-tawa saja.
"Kau tak akan menemukan Permata Sakti itu, Manusia Jelek!" ejeknya menyeringai.
Apa yang dikatakan Andika memang benar. Karena Iblis Tambang tak menemukan Permata Sakti yang memancarkan sinar biru itu di seluruh tubuh Andika.
"Setan alas! Katakan di mana permata itu bila tidak ingin kupenggal?" Kemarahan Iblis Tambang menggunung. Matanya bagai pijaran api, menggelora, mengerikan.
"Aku sih masih sayang dengan nyawaku, makanya kuberi tahu di mana Permata Sakti itu."
"Katakan!"
"Kau lihat gadis itu, bukan" Permata itu ada padanya!" Bukan hanya Iblis Tambang dan Rase Maut yang terkejut, tetapi juga Suci. Ia sampai terjingkat.
Heran, mengapa Andika berkata begitu" Ini memang merupakan sebuah rencana untuk menjelaskan dugaannya. Selagi serangan pertama datang, Andika bisa menebak kalau Iblis Tambang dan Rase Maut yang muncul kembali. Gerakan kilat dilakukan, ia menyelipkan Permata Sakti itu ke balik tubuh Suci. Saking cepatnya hingga gadis itu tidak merasa apa-apa. Andika sendiri sebenarnya bisa memunahkan totokan si Rase Maut yang tak terlalu bertenaga lagi.
Tetapi, teka-teki tentang Permata Sakti kini ia coba pecahkan, bahkan dengan sebuah cara yang mungkin mengerikan! Iblis Tambang memutar tubuhnya, begitu pula Rase Maut. Dua pasang mata kelam menatap Suci yang coba untuk tetap tegar. Namun riak ketakutan mulai menyelinap di hatinya.
"Gadis manis... serahkan permata itu kepadaku!" bentak Iblis Tambang.
"Jangan, Suci! Jangan kau serahkan permata itu!" seru Andika. Tamparan Rase Maut membuat bibirnya berdarah. Andika menggeram. Kalau saja ia tak ingin membuktikan dugaannya, sudah dikerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari totokan Rase Maut.
Tetapi ia masih menunggu, dan ia percaya kalau Suci selamat dari gempuran maut kedua lawan. Karena, ia telah mengarah pada dugaannya tentang teka-teki Permata Sakti. Iblis Tambang tak mau bertindak ayal. Ia menerjang cepat. Meskipun tak memiliki ilmu kanuragan, tetapi Suci memiliki ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang lumayan. Cepat ia berkelit. Iblis Tambang menggeram dan terus menerjang.
Suci benar-benar dibuat tunggang langgang.
Terutama ketika Rase Maut berupaya agar semuanya cepat selesai.
"Hmm... seharusnya Suci membiarkan tubuhnya dihajar, agar aku bisa menduganya," desis Andika, "Tetapi, kalau ia tak mampu menerima hajaran itu, bi-ar kubantai keduanya!" sambungnya sambil kerahkan tenaga dalam, hingga totokan Rase Maut terlepas.
Tetapi Andika masih terbaring dengan sifat urakannya.
Saat ini Suci benar-benar kewalahan menghindari gempuran kedua lawan. Satu tendangan telak diterimanya. Namun yang mengejutkan, Suci langsung tegak berdiri. Hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa.
Iblis Tambang menderu, "Putus nyawamu!!" Des! Tendangan yang siap menjebol dadanya diterima Suci, tetap dengan ketenangan, bahkan tubuhnya yang terhuyung berdiri kembali. Seolah gadis itu tidak merasakan sakit.
Diam-diam Andika mendesis, "Benar dugaanku.
Teka-teki Permata Sakti terpecahkan sudah. Kesaktian yang dimiliki permata itu ternyata mampu menahan seorang yang memegangnya dari serangan sehebat apa pun. Bahkan senjata sakti macam mana pun juga.
Pantas, aku agak keheranan ketika melihat Camar Hitam menghilang. Rupanya tanpa disadari si pemegang Permata Sakti itu, tenaga yang dikandung Permata Sakti telah melindunginya. Hmm... kini aku paham, mengapa Kakek Buruk Rupa tidak dapat memecahkannya. Karena, ia sendiri pasti tidak merasa kalau tenaga Permata Sakti yang membantunya. Benar-benar sebuah permata yang luar biasa! Tetapi...
Apakah pandangan Suci juga melihat suasana sekelilingnya yang berwarna biru?" Dugaan Andika memang terbukti. Karena saat ini, Suci sedang keheranan sendiri. Karena, mendadak saja dia tak melihat siapa pun juga di hadapannya.
Yang ada hanya sebuah ruang yang luas dan kosong.
Semuanya berwarna biru.
"Oh! Mengapa terjadi seperti ini" Mengapa sekelilingku jadi berwarna biru?" desis cucu Kakek Buruk Rupa keheranan sekaligus waswas. Lalu dengan gu-gupnya gadis ini berteriak, "Kang Andika! Di mana kau, Kang"!" Tak ada sahutan apa-apa. Bahkan gema suaranya pun tak terdengar. Gadis itu semakin kebingungan. Sementara itu Iblis Tambang dan Rase Maut menjadi terheran-heran mendapati si gadis nampak tenang-tenang saja dan membiarkan serangan mereka mengenai sasaran.
Rase Maut menggeram, "Sinting! Rupanya gadis itu memiliki ilmu aneh seperti yang dimiliki Pendekar Slebor!"
"Persetan dengan semua itu!" seru Iblis Tambang dengan wajah membesi.
"Hajar sampai lumat!" Tetapi meskipun serangkaian gempuran maut diterima Suci, gadis itu tetap tegak tanpa kurang suatu apa. Andika yang sudah merasa cukup untuk membuktikan dugaannya, menarik napas panjang tatkala mendapati Rase Maut siap menghajar Suci lagi.
"Tak ada jalan lain sekarang. Aku tak bisa membiarkan hal itu terus menerus terjadi," desisnya dalam hati. Dan segera dikerahkan tenaga 'Inti Petir' guna melepaskan totokan yang dialaminya. Lalu dengan teriakan keras pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu menerjang ke depan. Tangannya mengibas, menangkis serangan Rase Maut pada Suci. Masih melayang kakinya berputar.
Des! Menyusul kaki kanannya menghantam kepala Rase Maut. Rase Maut yang tak menyangka kalau Pendekar Slebor bisa terbebas dari totokannya terperangah. Ia mencoba untuk merunduk. Tetapi kaki kanan Andika merupakan sebuah pancingan belaka. Justru kaki kirinya yang menghantam dari bawah.
Prak! Seketika kepala Rase Maut pecah. Tak ada jeritan apa-apa kecuali ambruk bersimbah darah.
Iblis Tambang segera menghentikan serangannya pada Suci yang kali ini sudah tersadar dari pengaruh gaib Permata Sakti.
Gadis itu keheranan sendiri mendapati dirinya masih tegak berdiri dan pandangannya kembali pada hamparan pemandangan semula, tidak lagi berwarna biru.
Bahkan gadis itu hanya teringat, kalau Iblis Tambang dan Rase Maut tengah melancarkan serangan. Ia juga melihat Rase Maut telah menjadi mayat.
Dan Andika yang sedang berdiri tegak sementara Iblis Tambang menatapnya dengan beringas.
Bagaimana semua ini tidak kuketahui" desis Suci bingung. Ia meraba perutnya. Permata Sakti itu teraba, agak panas. Tetapi, terhalang oleh tenaga dalamnya yang memang sudah terlatih. Dari keheranan yang menyelimutinya, mendadak saja si gadis tersenyum.
"Permata yang direbutkan banyak orang kini berada di tanganku. Permata ini semula milik kakekku. Tak jadi soal bila aku memilikinya dari tangan Pendekar Slebor." Sementara itu, Pendekar Slebor sedang menarik napas panjang.
"Tak seharusnya aku menurunkan tangan telengas. Tetapi, dosa orang yang berjuluk Rase Maut itu terlalu banyak...," desisnya seperti menyesal sambil menatap mayat Rase Maut. Dan tatkala mendengar teriakan Iblis Tambang yang sudah menyerang, mau tak mau Andika bergerak memapaki.
"Monyet pitak! Apakah aku harus mencabut nyawa lagi?" makinya tak karuan. Namun, bila Andika tak bertindak, sudah barang tentu dia yang akan menjadi sasaran lawan.
Dengan ajian 'Guntur Selaksa' Andika membalas gempuran Iblis Tambang yang sebenarnya tenaganya sudah terkuras. Orang berwajah mengerikan ini tak mampu berbuat banyak. Berkali-kali tendangan Andika mengenai sasarannya. Bahkan tangan kirinya terhantam keras pukulan ajian 'Guntur Selaksa' yang seketika remuk dan membiru.
Lolongan bak serigala luka terdengar hebat. Andika yang merasa sudah cukup memberi pelajaran pada Iblis Tambang menghentikan gerakannya. Karena dipikirnya, Iblis Tambang tak akan mampu berbuat banyak. Namun dugaannya keliru, karena mendadak saja Iblis Tambang melepaskan serangannya dengan mempergunakan senjata tambang besarnya. Kendati hanya mempergunakan tangan kanannya saja, namun kecepatan tambang yang dilepaskan orang yang tangan kirinya telah remuk itu sama sekali tak terganggu.
Hanya saja, tenaga yang keluar lebih lemah bila mempergunakan dua tangan.
Wuusss! Cepat Andika melompat ke samping. Dan kesempatan itu dipergunakan Iblis Tambang, sambil menahan sakit dan dendamnya, meninggalkan tempat itu. Bila saja Andika tak memiliki jiwa kemanusiaan, sudah tentu akan dikejarnya Iblis Tambang yang sudah kalah itu.
"Sayang sekali. Padahal dia memiliki ilmu yang tinggi.
Bila saja dibawa pada jalan kebenaran...." Dari sudut matanya yang setajam mata elang, Andika melihat Suci mendekatinya. Dia tersenyum.
Dan semakin tersenyum mendengar gadis itu bertanya tentang keheranannya mengenai apa yang terjadi.
"Mengapa aku tidak tahu semuanya, Kang Andika?" Andika tersenyum.
"Maafkan aku, karena terlalu nekat menjadikanmu sebagai umpan, Suci. Tetapi, semuanya sudah kuperhitungkan dengan matang."
"Maksud Kang Andika?" Andika mengatakan dugaannya tentang Permata Sakti yang kini telah terbukti.
"Jadi... Permata Sakti ini bisa membantu si pemegangnya bila dalam keadaan terdesak?"
"Begitulah adanya, Suci. Ketahuilah, apa yang kau lihat selama ini kalau aku mampu menghadapi serangan lawan, sebenarnya bantuan Permata Sakti itu.
Aku tidak memiliki ilmu kebal semacam itu, lagi pula, aku tidak begitu bodoh membiarkan tubuhku dijadikan bulan-bulanan lawan."
"Pantas, begitu banyak yang menginginkan Permata Sakti ini dari Kakek, Kang Andika."
"Ya, sudah sepantasnyalah demikian. Kini aku telah berhasil memecahkan teka-teki Permata Sakti seperti yang diminta kakekmu meskipun secara tidak langsung ia menjebakku. Sekarang, saatnyalah kita mencari kakekmu, Suci." Karena terlalu gembira mendengar kata-kata Andika, tak sadar Suci merangkulnya.
"Oh! Kau berjanji, Kang Andika" Kau berjanji?" Andika cuma mengangkat alisnya dengan wajah memerah.
"Terima kasih, Kang Andika. Terima kasih." Gadis itu mengecup pipi Andika yang bertambah memerah. Andika berbisik, "Ingat Suci, aku ini laki-laki lho!" Seperti baru menyadari hal itu, Suci melepaskan rangkulannya. Wajahnya seketika memerah.
"Maafkan aku, aku terlalu gembira mendengar janji kang Andika."
"Tidak apa-apa. Malah aku ingin dirangkul sekali lagi," kata Andika genit.
Suci melotot, Andika cuma tertawa. Namun, Andika tidak tahu apa yang kemudian dipikirkan oleh gadis itu mengenai Permata Sakti.
***
««::{ 11 }::»»
Telah sepuluh tahun Tunggul Manik mendiami pulau yang mengerikan itu, yang bernama Pulau Seribu Setan. Sepak terjang Serikat Kuda Hitam memang tak bisa dirubah oleh siapa pun juga, terutama kaum golongan lurus.
Tetapi, untuk memusnahkan Serikat Kuda Hitam bukanlah sebuah cara yang mudah. Karena, untuk mendarat di Pulau Seribu Setan yang penuh dengan batu karang, bukanlah hal yang mudah. Kalaupun Tunggul Manik dan anak buahnya yang berjumlah sekitar lima puluh orang itu bisa keluar masuk ke pulau, dikarenakan ia mengetahui sebuah jalan rahasia. Sebuah jalan yang diciptakan dengan kekuatan sihirnya.
Saat ini, laki-laki berwajah kasar dengan pipi yang selalu menggembor itu tengah menggeram. Lima anak buahnya hanya terduduk tanpa berani mengangkat wajah di hadapannya.
Semenjak lima orang anak buahnya diutus untuk mencari Permata Sakti tiga bulan lalu, Tunggul Manik mulai tak sabaran. Apalagi mengingat batas waktu yang diberinya. Karena saat ini kelima anak buahnya tidak memberi kabar apa-apa. Padahal, seharusnya mereka sudah kembali ke Pulau Seribu Setan.
Laki-laki itu tidak tinggi, tetapi terbilang kekar.
Bajunya hitam pekat. Bagian dadanya tak tertutup, memperlihatkan sebuah tato bergambar tengkorak. Celananya hitam panjang hingga mata kaki. Di pinggangnya melilit sabuk warna merah. Matanya agak menukik dengan kelopak mata berlipat ke dalam. Alis mata laki-laki itu setebal brewok yang tumbuh didagunya. Di pergelangan tangannya terdapat dua buah gelang perak yang besar.
"Ke mana manusia-manusia dungu itu?" maki Tunggul Manik, suaranya besar mengerikan.
"Hhh! Seminggu lagi mereka tak kembali, kalian pergi menyusul! Temukan mereka, dan katakan, kalau mereka akan menerima hukuman!!" Lima anak buahnya yang sejak tadi menundukkan kepala, cepat-cepat mengangguk. Dan lega bukan buatan ketika Tunggul Manik membentak agar mereka keluar. Laki-laki berhidung besar dan berbibir tebal itu hilir mudik dengan wajah tertekuk. Sorot matanya yang celong ke dalam begitu mengerikan, Lalu ia melangkah ke sebuah ruangan yang ada di dalam bangunan besar itu. Ruangan itu menguarkan bau yang sangat busuk sekali. Tetapi bagi Tunggul Manik bukanlah hal yang mengherankan. Ia duduk di lantai. Di hadapannya ada sebuah meja kecil. Di atasnya terdapat sebuah dupa yang mengepul.
Dari sanalah bau busuk itu menguar. Di samping dupa itu, terdapat sebuah baskom yang berisi air berwarna kuning.
Mendadak terlihat tubuhnya bergetar dengan mulut komat-kamit. Tangannya yang terangkum di dada bergerak-gerak di atas dupa itu.
Dan mendadak matanya terbuka. Tajam memperhatikan air di baskom yang tadi tenang kini bergerak-gerak. Tiba-tiba, sungguh aneh sebenarnya, karena di dalam itu terlihat sosok Pendekar Slebor dan Suci yang sedang celingukan di sebuah hutan lebat.
"Setan alas!! Aku yakin, permata itu berada di tangan Pendekar Slebor!" Lalu orang ini mengulap-ngulapkan tangannya lagi di atas dupa. Pemandangan yang nampak di air itu kini berganti. Sosok wanita tua dengan rambut digelung ke atas nampak sedang bersembunyi di salah sebuah batu di sebuah Bukit Karang.
"Camar Hitam!" Menyusul sosok Kakek Buruk Rupa yang muncul, sedang celingukan di sekitar Bukit Karang. Lalu wujud Iblis Tambang yang tengah mengobati tangannya yang remuk. Menyusul pemandangan sepasang anak manusia setengah baya berbaju biru.
"Sepasang Dewa Gurun Pasir!" Dan beberapa gambar lainnya. Ketika gambar itu tiba pada sosok anak buahnya yang telah tewas, menjerit setinggi gunung Tunggul Manik. Menggetarkan bangunan di mana ia tinggal.
"Keparat! Kalian akan kuundang ke Pulau Seribu Setan!!" serunya keras. Tangannya dihantamkan pada lantai.
Braakk! Tangan sebatas siku melesak ke dalam lantai.
Sepasang mata orang ini melebar ganas dan wajahnya menekuk liar. Apa yang akan terjadi kemudian" Rahasia Permata Sakti telah berhasil dipecahkan oleh Pendekar Slebor. Maut pun membentang di setiap langkahnya dari orang-orang serakah yang menginginkan Permata Sakti itu. Bahkan, sebuah undangan akan ditebarkan oleh Tunggul Manik. Bukan undangan biasa, melainkan undangan yang dilakukan dengan kekuatan sihirnya.
SELESAI
Segera hadir kembaliSerial Pendekar Slebor dalam episode:
PULAU SERIBU SETAN
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Dewi Ular Hitam --oo0oo-- Pulau Seribu Setan |