Life is journey not a destinantion ...

Rahasia Di Balik Abu

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Patung Kepala Singa --oo0oo-- Cinta Dalam Kutukan



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: RAHASIA DI BALIK ABU

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«↔└ 1 ┘↔»

Suara lembut yang berwibawa itu seperti mengalun, membelai terbawa angin. Gendala Maung yang hendak merobek pakaian dalam Nawang Wangi yang tergeletak di atas tanah dalam keadaan tertotok, urung melakukan niatnya. Lamatlamat dia segera berdiri tegak di sisi Nawang Wangi.
Sesaat lelaki berkumis baplang ini edarkan pandangannya. Hatinya terasa tak enak mendengar suara tadi. Untuk sesaat dia tak membuka suara. Pandangannya belum menangkap bayangan apa pun di sekelilingnya.
"Hmmm... siapa gerangan orang yang berkata-kata seperti berpuisi itu?" desisnya kemudian dengan kedua tangan mengepal. Pakaiannya yang telah terbuka, tidak segera dirapikan kembali.
"Jahanam terkutuk! Kehadirannya justru mengacaukan semua niatku! Keparat betul! Rupanya dia memang ditakdirkan mati di tanganku, karena lancang berani campuri urusanku!" Sementara itu, Nawang Wangi yang bukan hanya tak mampu menggerakkan tubuhnya tetapi juga tak kuasa untuk membuka suara karena dalam keadaan tertotok, hanya bisa menggerakkan bola matanya saja.
Diam-diam murid Bidadari Tangan Bayangan ini bersyukur karena keinginan busuk Gendala Maung jadi terhalang. Dan dia berharap, orang yang bersuara tadi akan membantunya lepas dari tangan lelaki sesat ini. Seperti dituturkan pada episode "Patung Kepala Singa", setelah berjumpa dengan Pendekar Slebor, Nawang Wangi meneruskan langkahnya untuk mencari gurunya. Dari Pendekar Sleborlah dia tahu kalau gurunya dalam keadaan tak kurang suatu apa, kendati Kuil Putra Langit yang didatangi gurunya telah porak poranda dan seluruh penghuninya tewas.
Sambil terus berkelebat mencari gurunya, Nawang Wangi berusaha keras memikirkan siapa yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit. Dan tatkala teringat bagaimana dia diselamatkan oleh Pendekar Slebor di saat hendak terhantam pohon tumbang akibat sambaran petir, wajahnya sesaat memerah. Selain berterima kasih pada Pendekar Slebor karena bukan hanya sekali, melainkan dua kali diselamatkan, gadis ini sebenarnya ingin Pendekar Slebor mengajaknya.
Namun dia juga sadar kalau hal itu tak mungkin bisa dilakukan. Sampai kemudian dihentikan kelebatannya tatkala dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian biru gelap dengan selendang warna putih yang bersilangan di da-da sedang duduk terpekur di depan sebuah makam.
Karena rasa tertarik itulah yang membuat Nawang Wangi urung meneruskan maksud, yang justru membawa petaka bagi dirinya. Gendala Maung salah seorang dari Dua Iblis Lorong Maut yang masih hidup setelah bentrok dengan Pendekar Slebor mendadak berdiri dan lancarkan setiap pukulannya guna melampiaskan rasa sedih dan kesalnya akibat kematian sahabatnya Ganda Maung di tangan Pendekar Slebor.
Dan salah satu pukulan jarak jauh yang dilepakannya mengarah pada Nawang Wangi yang mau tak mau melompat dari persembunyiannya.
Sudah tentu kehadiran Nawang Wangi membuat Gendala Maung merasa mendapatkan tempat pelampiasan dendam dan amarahnya pada Pendekar Slebor.
Terlebih lagi setelah mengetahui kalau gadis berpakaian ringkas warna biru kehijauan itu adalah murid Bidadari Tangan Bayangan, musuh bebuyutannya.
Kendati Nawang Wangi berusaha bertahan sekuat tenaga, namun dia bukanlah tandingan Gendala Maung. Dengan seringaian lebar, Gendala Maung mendekatinya. Dan di saat petaka yang ditakuti oleh setiap wanita akan menerpa dirinya, mendadak saja terdengar satu suara laksana orang berpuisi.
Saat ini Gendala Maung sedang membatin, "Gila! Siapa orang itu" Nada suaranya begitu lembut... namun di balik kelembutannya itu aku menangkap sesuatu yang begitu dahsyat.... Keparat betul!!" Diam-diam lelaki berkumis baplang ini melirik Nawang Wangi yang masih tergeletak di bawahnya. Begitu mendapati lirikan mata Gendala Maung, gadis itu langsung melotot gusar.
Matanya pancarkan sinar kemarahan yang dalam. Bila saja pita suaranya tidak dalam keadaan tertotok, sudah bisa dipastikan akan keluar sumpah serapahnya.
Sesaat Gendala Maung seperti diingatkan pada niatnya semula. Namun dia tak mau gegabah untuk melakukannya sekarang tatkala disadarinya ada orang yang melihat dan tentunya akan menghalangi perbuatannya. Mengingat hal itu, Gendala Maung mendengus gusar. Kejap berikutnya dia sudah membentak, "Orang iseng yang suka campuri urusan orang! Cepat tampakkan batang hidungmu sebelum kuhancurkan seluruh tempat ini!!" Sesaat sunyi meraja, sebelum terdengar suara lembut namun penuh wibawa, "Dalam setiap langkah, kehidupan adalah perjuangan.
Baik dalam garis lurus maupun persimpangan. Namun tak semua langkah akan membawa kebahagiaan. Menindas yang lemah untuk menunjukkan betapa perkasanya diri, hanya akan menambah dosa belaka."
"Diaaaammm!!" mengguntur suara Gendala Maung dengan wajah mengkelap. Rasa jeri yang tadi muncul di hatinya, perlahan-lahan mulai terkikis. Sebagai gantinya, dia menjadi murka mengingat keinginannya terhalang. Setelah kertakkan rahangnya kuatkuat, dia menghardik keras, "Segera tampakkan batang hidungmu, Pengecut!!" Kejap kemudian, kedua tangannya sudah didorong ke depan, ke kanan, ke kiri dan ke belakang. Ser-ta merta terdengar suara letupan keras yang susul menyusul dan rengkahnya beberapa semak belukar.
"Pelajaran rasanya memang harus diberikan, hingga kesadaran timbul. Ini hanya sekadar pelajaran belaka." Mendengar kata-kata orang yang entah berada di mana itu, lelaki berpakaian biru gelap ini menjadi bersiaga. Kepalanya sesekali diedarkan ke sekelilingnya.
Tenaga dalam telah dialirkan pada kedua tangannya.
Tetapi setelah menunggu beberapa saat tak ada tandatanda serangan yang muncul, kembali dia berseru, "Rupanya kau cuma pandai berucap namun tak berani berbuat! Huh! Apakah kau memang sebangsa...." Seruan Gendala Maung terputus. Bukan dikarenakan dia memang sengaja memutus kata-katanya sendiri, melainkan dirasakan kedua kakinya mendadak menjadi dingin.
"Hei!!" desisnya terkesiap dan tanpa sadar surut satu langkah ke belakang.
Segera dialirkan tenaga dalamnya guna menghilangkan hawa dingin itu. Namun semakin dialirkan tenaga dalamnya, hawa dingin itu semakin kuat menyergap. Bahkan perlahan-lahan dirasakan mulai naik ke atas.
Cukup panik Gendala Maung dibuatnya. Segera dialirkan hawa panasnya. Sejenak hawa dingin itu memang berhasil ditahan, namun bukan berarti hawa dingin itu akan punah. Malah semakin lama dirasakan semakin naik. Mulailah dia benar-benar didera kepanikan. Terlebih lagi tatkala tubuhnya mulai menggigil karena rasa dingin itu sulit untuk ditahan.
"Keparat! Kau hanya berani membokong! Cepat kau keluar! Kita bertarung sampai mampus!"
"Tadi kukatakan... pelajaran akan kuberikan. Bila kau memutuskan untuk berlalu dari sini, pelajaran akan kusudahi. Tetapi bila suatu saat kau tetap berla-ku seperti ini... jangan salahkan aku bila pelajaran akan kutambah...." terdengar lagi suara bernada lembut itu. Kali ini suara itu seperti melingkar-lingkar di telinga Gendala Maung. Sementara itu, Nawang Wangi yang melihat betapa pucatnya wajah lelaki berkumis baplang itu tersenyum dalam hati. Sepasang matanya pancarkan sinar kepu-asan yang dalam.
Sedangkan Gendala Maung sendiri mulai dirundung ketakutan. Karena disadarinya kalau orang yang bersuara itu bukanlah orang sembarangan. Sambil menindih amarahnya dia berseru, "Kupenuhi permin-taanmu!!" Belum habis kata-katanya terdengar, lelaki berbaju biru gelap ini merasakan hawa dingin yang menyergapnya langsung sirna. Dan keadaan ini semakin membuatnya bertambah ciut.
Dia tak keluarkan suara, hanya matanya yang memandang mencari-cari dengan geram. Setelah kertakkan rahangnya, kejap itu pula dia sudah berlalu meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Gendala Maung, Nawang Wangi menghela napas lega. Tubuhnya masih kaku. Mulutnya masih membuka dan sukar digerakkan. Dan mendadak saja dirasakan angin kecil seperti menyentuh tubuhnya, yang melengak sesaat.
Kejap itu pula dirasakan tubuhnya dapat digerakkan. Menyusul dirasakan angin kecil mengenai lehernya, yang membuat mulutnya langsung mengatup.
Dan dapat digerakkan kembali.
Terburu-buru murid Bidadari Tangan Bayangan ini duduk di atas tanah. Terburu-buru pula dirapikan pakaiannya yang telah dirobek oleh Gendala Maung dan kini memperlihatkan bayangan payudaranya pada pakaian dalam tipis warna hijau. Kejap berikutnya, gadis berambut dikuncir dua ini segera rangkapkan kedua tangan didepan dada.
"Siapa pun kau adanya... aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah menolongku dari petaka yang mengerikan ini!!"
"Anakku... aku hanya kebetulan melalui tempat ini. Dan aku senang, karena aku telah mencoba untuk putar yang hitam menjadi putih, kendati semuanya itu kembali kepada orang yang bersangkutan...."
"Orang di balik angin... bolehkah aku tahu siapa kau adanya?" Terdengar tawa lembut yang berwibawa.
"Bukan maksudku untuk tidak ingin menampakkan wajah di hadapanmu, Anakku. Tetapi... kau cukup mengenalku sebagai... Dewa Suci...." Nawang Wangi makin rangkapkan tangannya di depan dada. Selain memang dia tulus melakukan penghormatan, juga untuk menutupi payudaranya yang membayang di balik pakaian dalam tipis yang dikenakannya. Saat berkata tubuhnya agak dibungkukkan, "Maafkan sikapku yang lancang itu...."
"Kesopanan yang kau miliki, akan menjadikan langkahmu terus berada di jalur kebenaran. Ini membuktikan, betapa kau memiliki hati yang tulus....
Anakku... kebetulan aku membawa pakaian pula.
Warnanyapun sama dengan pakaian yang kau kenakan. Mungkin sudah agak kusam karena lama tak terpakai. Tetapi, itu lebih baik ketimbang kau mengenakan pakaian yang robek itu." Habis kata-kata itu terdengar, mendadak saja sehelai pakaian melayang dari samping kanan Nawang Wangi. Gadis ini segera menangkapnya. Sejenak dia merasa terkejut. Karena, suara orang yang berbicara dengannya berasal dari hadapannya. Namun pakaian yang melayang itu datang dari samping kanannya.
"Kenakanlah pakaian itu dulu...." Nawang Wangi cepat melompat ke balik ranggasan semak. Hanya dua kejapan mata saja, dia sudah muncul kembali, mengenakan pakaian yang diberikan Dewa Suci. Memang agak gombrang.
"Nah, kau sudah lebih baik sekarang. Anakku...
pergilah ke arah timur. Di sana... kau akan bertemu dengan gurumu...." Mendengar kata-kata orang yang mengaku berjuluk Dewa Suci, Nawang Wangi seketika mengangkat kepalanya. Bukan dikarenakan dia akan bertemu dengan gurunya seperti yang dikatakan orang yang entah berada di mana, melainkan karena orang itu tahu kalau dia sedang mencari gurunya.
Gadis cerdik ini semakin sadar akan kesaktian yang dimiliki orang yang entah berada di mana. Kembali dia bungkukkan tubuhnya sambil berkata, "Terima kasih atas petunjukmu, Orangtua...."
"Mulailah berjalan sekarang. Karena... senja se-bentar lagi akan datang....
Anakku, dalam setiap langkah kehidupan, adalah perjuangan. Maka, kau harus berhati-hati...." Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. Lamat-lamat gadis berkucir dua ini berdiri.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas bantuanmu, Dewa Suci. Bila suatu saat aku bertemu dengan guruku, akan kuceritakan semua ini...."
"Berhati-hatilah...." Setelah pandangi tempat di hadapannya, seolah dia melihat orang yang mengaku berjuluk Dewa Suci, Nawang Wangi segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Tiga kejapan mata sepeninggal murid Bidadari Tangan Bayangan, entah dari mana datangnya, mendadak saja di mana Nawang Wangi tadi berdiri sebelumnya, telah berdiri satu sosok tubuh agak membungkuk berpakaian dan berjubah putih panjang. Wajah lelaki yang berambut putih sebahu ini begitu teduh sekali. Kumis dan jenggotnya pun berwarna putih. Kedua tangannya berada di belakang pinggul dan di per- gelangan tangannya terdapat gelang terbuat dari giok berwarna hijau muda.
Orang tua yang wajahnya dilapisi kulit yang tipis ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Patung Kepala Singa... pangkal dari semua masalah ini...," desisnya dengan nada lembut namun berwibawa.
"Tetapi, benda itu harus diselamatkan...." Kejap kemudian, seperti datangnya yang begitu tiba-tiba, di saat lenyap pun begitu tiba-tiba. Hingga kejap berikutnya, tempat itu kembali didera sepi. Dua lembar daun gugur dan hinggap di atas makam Ganda Maung yang tak jauh berada dari tempatnya berdiri tadi. Sunyi menggigit dalam.

***

«↔└ 2 ┘↔»

Dua hari kemudian.
Satu bayangan hijau nampak berkelebat lincah, melompati ranggasan semak belukar, akar pohon yang menyembul keluar seperti tumpang tindih dan batubatu yang terkadang menghalangi langkah. Dari caranya berkelebat, sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda berambut gondrong acak-acakan itu, nampaknya tak mau hentikan gerakannya. Pertanda dia memang sedang memburu waktu.
Namun tatkala tiba di sebuah tempat yang agak terbuka, si bayangan hijau yang ternyata seorang pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur, hentikan kelebatannya. Tak ada napas yang terengah, tak ada keringat yang mengalir, pertanda kalau pemuda ini memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi.
Sejenak diperhatikan sekelilingnya. Di lain kejap, dia sudah garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Menyusul seruan-seruan gemas namun terdengar konyol.
"Ampunn! Ampunnn! Pusing betul kepalaku sekarang ini! Huh! Kenapa sih aku harus terlibat dalam urusan Patung Kepala Singa" Apa tidak ada urusan lain yang lebih enak" Misalnya menggoda janda montok"!" Pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor adanya ini, geleng-gelengkan kepalanya seperti hendak membuang segala pikiran yang ada di benaknya.
"Betul-betul ampun nih! Masa sejauh ini aku belum mendapatkan sesuatu yang bisa mengarah pada terkuaknya segala rahasia yang ada" Huh! Sampai saat ini saja aku belum melihat Patung Kepala Singa"! Belum lagi menemukan ke mana perginya Bidadari Tangan Bayangan yang sedang memburu Kepala Besi" Siapa sebenarnya orang yang berada di balik pembantaian Kuil Putra Langit" Lalu bagaimana dengan Nawang Wangi, murid Bidadari Tangan Bayangan" Kutu loncat! Benar-benar bikin kepalaku jadi mau pecah!" Dari mengomel-ngomel tak karuan seperti itu, mendadak saja pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini tertawa sendiri, seperti melihat satu adegan lucu di hadapannya.
"He he he... masa kepalaku akan pecah" Jangan pecah dulu, ah! Aku kan belum kawin! Belum merasakan nikmatnya sorga dunia! Geboi betuuull"!!" Memikirkan apa yang dikatakannya tadi, pemuda berbaju hijau pupus ini tersenyum sendirian. Lalu cengar-cengir tak karuan.
"Benar-benar asyik! Lebih baik cari janda montok saja, ah!" katanya kemudian.
Sementara senyuman di bibirnya makin berkembang lebar, seperti menikmati apa yang dikhayalkannya.
Setelah bertemu dengan Nawang Wangi yang ternyata adalah murid Bidadari Tangan Bayangan, Andika pun meninggalkan gadis itu setelah menceritakan apa yang terjadi. Sebenarnya dia tahu, kalau Nawang Wangi berkeinginan untuk ikut dengannya. Namun bagi Andika, dia merasa lebih baik berjalan seorang di-ri dalam menuntaskan segala urusan yang masih membentang di matanya (Untuk lebih jelasnya silakan baca : "Patung Kepala Singa").
Hingga saat ini, Andika memang belum mendapatkan titik terang dari persoalan yang dihadapinya.
Kendati demikian, dia nampaknya mulai membaca setiap urusan. Sementara itu, mendadak saja apa yang tengah dikhayalkan pemuda urakan ini terputus, tatkala alat pendengarannya yang terlatih menangkap satu gerakan di belakangnya.
"Eiiittt! Ada yang datang"!" desisnya kemudian tanpa palingkan kepala. Tatkala alat pendengarannya menangkap gerakan orang semakin mendekat ke arahnya, dengan sekali lompat saja Pendekar Slebor sudah hinggap di sebuah dahan pohon di hadapannya.
Dalam keadaan rimba persilatan yang bertambah kacau seperti ini, memang sukar menentukan lawan ataukah kawan. Terutama pada orang yang belum dikenalnya. Dari atas pohon itu, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini memperhatikan ke bawah.
Hanya dua tarikan napas dia menunggu sebelum dilihatnya satu sosok tubuh tinggi besar mengenakan pakaian warna abu-abu yang terbuka di bahu kanannya bergerak agak terhuyung ke arahnya.
Hanya sekali lihat saja, Andika tahu kalau lelaki berkepala plontos itu sedang terluka dalam. Dan mendadak saja lelaki tinggi besar itu, ambruk sambil keluarkan erangan. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya.
"Busyet! Apa lagi ini?" desis Andika sambil garuk-garuk kepalanya.
Hanya sekali lompat saja dia sudah berdiri di sisi kanan lelaki berkepala plontos itu yang nampak terkejut melihat kehadirannya.
Jelas dari sepasang matanya yang agak membuka lebar. Tetapi kejap kemudian nampak kalau dia seperti tenang sejenak, seolah menyadari kalau orang yang baru datang itu bukan orang yang ditakutinya.
Andika sendiri melihat perubahan sejenak tadi.
Lalu dengan enaknya dia berjongkok diiringi tanya, "Kau kenapa" Siapa yang bikin seperti ini" Atau jangan-jangan... kau iseng ya memukuli dirimu sendiri karena berlagak kebal" Betul-betul busyet kalau memang itu penyebabnya!" Lelaki berkepala plontos yang tak lain si Kepala Besi adanya, sesaat pandangi si pemuda dengan kening dikernyitkan. Selorohan yang dilakukan si pemuda tadi membuatnya menarik napas dulu sebelum menjawab, "Tolong aku...." Tanpa diminta pun Andika akan menolongnya.
Bahkan akan dilakukannya tanpa peduli yang membutuhkan pertolongannya adalah kawan maupun lawan.
Tetapi dasar urakan, dia justru berkata, "Ah... kenapa harus repot-repot" Kau mampus pun bukan urusanku...." Kendati mulutnya berucap demikian, segera diperiksanya tubuh lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan ini.
"Kura-kura bau! Di dadanya ada tanda bekas pukulan. Nampaknya... bila dia tidak memiliki tenaga dalam kuat, pukulan itu akan menjebol dadanya. Huh! Bisa sekali pukul langsung mampus orang ini! Siapa yang telah lakukan... heiii!!" sejenak Andika memutus kata-kala batinnya sendiri tatkala sesuatu melintas dalam pikirannya.
Sementara Kepala Besi nampak terdiam dengan napas agak memburu, Andika terus memikirkan apa yang barusan singgah di benaknya sambil alirkan tenaga 'Inti Petir' melalui kedua ibu jari kaki si lelaki.
"Dada lelaki ini akan jebol bila dia tak memiliki tenaga dalam dan daya tahan tubuh yang kuat. Dada yang jebol... dada yang jebol... bukankah para penghuni Kuil Putra Langit tewas dengan dada bolong" Jangan-jangan... orang yang telah menghajar lelaki ini adalah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit?" (Untuk mengetahui tentang pembantaian di Kuil Putra Langit, silakan baca : "Patung Kepala Singa").
Untuk sesaat Andika sengaja memutus jalan pikirannya sendiri. Terus dikerahkan tenaga 'Inti Petir' untuk membantu Kepala Besi dari penderitaan yang dialaminya. Lamat-lamat nampak keringat yang tadi membanjir, kini kian membanjir. Itu terjadi karena hawa panas yang keluar dari tenaga 'Inti Petir' yang dialirkan Andika, bentrok dengan hawa panas yang diderita oleh Ke- pala Besi. Setelah meninggalkan Bidadari Tangan Bayangan yang menuduhnya telah melakukan pembantaian di Kuil Putra Langit, Kepala Besi bertemu dengan Dewi Selendang Hitam, seorang tokoh dari golongan sesat yang sejak lama bermusuhan dengannya, terutama menyangkut soal Patung Kepala Singa.
Dengan cara berpura-pura tewas dalam pertarungan itu, Kepala Besi berhasil selamat. Akan tetapi, dia tak mampu menahan luka dalamnya. Kendati sebelumnya Kepala Besi telah bersemadi guna memulihkan keadaannya (Baca: "Patung Kepala Singa").
Sementara itu setelah cukup lama melakukannya, Andika melihat Kepala Besi mulai tenang. Nafasnya pun agak teratur. Perlahan-lahan dilepaskan pegangannya pada kedua ibu jari kaki Kepala Besi.
Sementara Kepala Besi masih terbaring, Andika kini berlutut sambil memperhatikannya. Otaknya yang encer terus diperas untuk memikirkan tentang dugaannya.
"Bila memang benar dugaanku itu, berarti aku sudah menemukan jejak siapa pembantai di Kuil Putra Langit. Hmmm... sebaiknya, kubiarkan saja lelaki ini lebih tenang dulu." Memang hanya itu yang harus dilakukannya guna membuktikan apa yang dipikirkannya. Setelah beberapa saat menunggu dan terus terang, agak tidak sabar, akhirnya terlihat si Kepala Besi membuka kedua matanya. Melirik pada Andika yang membalas sambil cengar-cengir.
"Beruntung aku bertemu dengan pemuda yang nampaknya mau menolongku. Ah... mudah-mudahan dia bukan salah seorang yang terpancing untuk mendapatkan Patung Kepala Singa. Tetapi untuk berjagajaga... lebih baik ku usahakan agar tidak sampai membicarakan soal Patung Kepala Singa...," kata Kepala Besi dalam hati.
Lalu perlahan-lahan dia mencoba bangkit. Andika membantunya dan menyandarkannya di sebuah batang pohon besar.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda...."
"Wah! Pertolongan yang tidak seberapa! Tetapi ba-guslah kau masih mau mengucapkan terima kasih. Itu namanya tahu sopan santun. Ngomong-ngomong...
siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya Andika sambil nyengir.
"Wajahnya begitu polos. Matanya tajam namun jenaka. Dari caranya berucap, nampak dia begitu urakan. Tetapi aku tak peduli semua itu. Dan sekarang...
apakah harus kujawab apa yang ditanyakannya barusan" Bagaimana kalau dia sebenarnya salah seorang yang mencari Patung Kepala Singa juga?" Kepala Besi terdiam dulu seperti mempertimbangkan baik buruknya bila dia menjawab pertanyaan itu.
Andika sendiri nampak tidak mau terlalu mendesak kendati dia penasaran untuk membuktikan apa yang dipikirkannya. Kepala Besi berkata lagi dalam hati, "Bila dia bukan dari golongan baik-baik, tentunya dia akan memaksa. Tetapi dia nampak biasa-biasa saja. Bahkan...
ah, lebih baik kukatakan saja apa yang terjadi. Asal jangan menyinggung soal Patung Kepala Singa...." Berpikiran demikian, lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan ini menatap Andika sejenak.
Lalu diceritakannya apa yang telah terjadi, tanpa mengatakan kalau pertarungan itu disebabkan karena Dewi Selendang Hitam menghendaki Patung Kepala Singa (Silakan baca : "Patung Kepala Singa").
"Dewi Selendang Hitam...," desis Andika setelah Kepala Besi menceritakan semuanya. Setelah itu dia berkata, "Aku bukan berlaku lancang dalam hal ini...
tetapi ya... kalau kau menganggap lancang boleh saja, tapi sedikit saja, ya" Apakah kau bisa menjawab bila kutanyakan, Dewi Selendang Hitam ada hubungannya dengan pembantaian di Kuil Putra Langit." Tersentak Kepala Besi mendengar pertanyaan itu.
Tanpa sadar dia berucap, "Bagaimana kau tahu?" Ganti Andika yang kaget sekarang.
"Tahu" Wah! Cuma nebak saja kok! Tetapi betul, ya?" Kali ini Kepala Besi mengangguk-angguk dan diam-diam membatin dalam hati, "Menilik pertanyaannya... nampaknya pemuda ini tahu banyak. Ah, bila kukatakan tentang Kuil Putra Langit, pasti berhubungan dengan Patung Kepala Singa. Tetapi biar ku usahakan agar tidak sampai membicarakan soal Patung Kepala Singa. Karena... di sanalah rahasia yang telah kupendam selama ini bisa terbongkar." Kembali setelah memutuskan demikian, Kepala Besi berucap, "Kau benar. Dewi Selendang Hitam telah membantai seluruh penghuni Kuil Putra Langit."
"Berarti... Bidadari Tangan Bayangan telah lakukan kesalahan. Sewaktu bertemu denganku, dia mengatakan yang telah lakukan pembantaian keji itu adalah orang yang berjuluk Kepala Besi. Tetapi dari kata-kata lelaki ini, jelas kalau yang lakukan pembantaian itu adalah perempuan yang berjuluk Dewi Selendang Hitam. Dugaan Nyi Dungga Ratih berarti salah pula," kata Andika dalam hati. Lalu kembali diajukan tanya, "Tentunya ini berhubungan dengan Patung Kepala Singa, bukan?" Untuk kedua kalinya Kepala Besi tak bisa menindih seluruh rencananya untuk tidak sampai membicarakan soal itu. Kepalanya mengangguk-angguk.
Andika mendesah pendek.
"Ternyata benar dugaanku. Tetapi... mengapa dia sampai bertarung dengan perempuan berjuluk Dewi Selendang Hitam" Apakah dia mengetahui sesuatu tentang Patung Kepala Singa" Dan siapa sesungguhnya perempuan itu" Atau... jangan-jangan...." Memutus kata batinnya sendiri, Andika ajukan tanya, "Kenalkah kau dengan Bidadari Tangan Bayangan?" Kembali Kepala Besi tak langsung menjawab. Justru dia membatin, "Pemuda ini nampaknya mengetahui banyak setiap persoalan yang ada. Dan rasanya...
aku tak bisa menutupi lagi apa yang terjadi." Setelah membatin begitu, Kepala Besi menjawab, "Ya... aku mengenalnya."
"Wah! Apakah salah kalau kubilang kau telah bertemu dengannya dan dia menuduhmu yang lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit?" Lagi-lagi Kepala Besi menjawab, "Ya." Andika mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, "Berarti... kau adalah si Kepala Besi..."

***

«↔└ 3 ┘↔»

Sesaat tak ada yang membuka suara kecuali tatapan Kepala Besi yang kian melebar sementara Andika cuma cengar-cengir saja, seolah habis memenangkan lotre. Masih memandangi pemuda di hadapannya, Kepala Besi membatin, "Dia benar-benar tahu banyak. Kuil Putra Langit. Patung Kepala Singa. Bidadari Tangan Bayangan. Bahkan tahu pula siapa aku. Hmmm... siapa dia sebenarnya?" Lalu perlahan-lahan Kepala Besi bertanya, "Anak muda... setiap yang kau tanyakan mengandung kebenaran. Dalam setiap ucapanmu, mengandung ke-jujuran, hingga aku sulit untuk mengalihkan pertanyaanmu. Siapakah kau sebenarnya?" Kali ini Pendekar Slebor hanya mengangkat sepasang alisnya yang seperti kepakan sayap elang sambil garuk-garuk kepalanya. Andika memang paling tidak enak menyebutkan julukannya sendiri. Karena Andika yakin, kalau dia tidak 'slebor' (bah!).
Masih garuk-garuk kepalanya, pemuda urakan ini berkata, "Namaku Andika. Aku datang dari Lembah Kutukan...." Andika sengaja menghentikan kata-katanya dengan harapan lelaki berkepala plontos itu akan mengenalinya dan menyebutkan julukannya. Tetapi harapannya gagal (sok ngetop sih).
"Bolehkah kutahu julukanmu?"
"Wah! Kacau juga! Julukanku... Pendekar Slebor.
Tetapi perlu diingat dan dicamkan baik-baik, aku tidak 'slebor', lho. Cuma ya... rada-rada saja...," sahut Andika disusul dia tertawa gede-gede. Mendengar julukan itu disebutkan, nampak wajah Kepala Besi kian tenang. Kemudian katanya, "Aku pernah mendengar julukanmu itu."
"Busyet! Kenapa cuma julukanku saja, sih" Kenapa tidak tahu nama asliku dan dari mana aku datang?" sahut Andika seperti menyalahi.
Kepala Besi tersenyum. Masih tersenyum dia berkata, "Kau memang tidak 'slebor'...." Andika langsung mesem-mesem senang.
"Tetapi keblinger!" Andika langsung melengak hingga kepalanya seperti terlempar ke belakang. Tetapi kemudian ketawa gede-gede, yang benar-benar tidak enak didengar.
Kepala Besi membatin, "Yang kayak begini tidak slebor" Benar-benar edan kalau begitu...." Lamat-lamat tawa Andika mulai mereda. Lalu sambil garuk-garuk kepala dia berkata, "Daripada keblinger, lebih baik slebor sajalah!" Kepala Besi cuma tersenyum. Sekarang dirasakan kondisi tubuhnya semakin membaik. Aliran darahnya mulai terasa normal sementara nafasnya pun mulai teratur. Sambil pandangi Andika yang masih garuk-garuk kepalanya, lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan ini membatin, "Tak kusangka kalau aku berjumpa dengan Pendekar Slebor, tokoh muda yang berada di jalan lurus. Ah, cukup banyak sebenarnya para pendekar yang kutahu namanya tetapi tak kutahu seperti apa rupanya. Mungkin, karena bertahun-tahun belakangan ini aku hanya memusatkan pikiran pada Patung Kepala Singa dan Dewi Selendang Hitam...." Kepala Besi sesaat menghentikan kata batinnya, lalu melanjutkan, "Nampaknya... pemuda ini tahu banyak tentang urusan yang ada.
Rasanya pula, seluruh rahasia yang kupendam selama ini memang akan terkuak. Ketimbang Dewi Selendang Hitam yang sejak dulu memburuku untuk mendapatkan Patung Kepala Singa yang buka mulut, lebih baik kukatakan saja pada pemuda ini mumpung kuyakini dia adalah orang baik-baik." Sementara itu, Andika yang dipandangi menjadi jengah. Segera saja keluar selorohannya yang konyol, "Busyet! Hei, Botak! Apa kau pikir aku ini seorang gadis hingga matamu jadi sebesar jengkol, hah"!" Dikatai seperti itu justru terbahak-bahak. Sekarang Andika yang kerutkan keningnya.
"Kutu monyet! Jangan-jangan... orang ini sudah kemasukan setan lagi"!" desisnya dalam hati.
Kepala Besi yang selama hidupnya memang jarang sekali bergurau, tak marah dipanggil seperti itu. Dan kalaupun tadi dia telah memutuskan untuk mengatakan segala rahasia yang dipendamnya pada Andika, kali ini keputusan itu bertambah kuat. Karena dia yakin, sudah saatnya membuka rahasia yang telah lama dipendamnya. Apalagi, urusan ini bisa berkembang panjang dan menjadi salah paham. Terutama, pada Bidadari Tangan Bayangan yang diyakininya masih memburunya karena menyangka dialah yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit.
Tetapi sebelum diutarakan maksudnya, Andika justru telah berkata, "Ada yang hendak kutanyakan kepadamu, Kepala Besi... eh! Apa benar kepalamu se-keras besi, ya?" Habis memutus kata-katanya sendiri, pemuda urakan ini dengan enaknya menjitak kepala lelaki di hadapannya. Tak! "Waadaaaaauuuuu!!"serunya konyol padahal dia tidak merasa kesakitan. Lebih konyol lagi, buku-buku jari-jarinya ditiup-tiup dengan wajah dibuat meringis.
"Betul-betul terbuat dari besi, nih!" Lagi-lagi Kepala Besi bukannya marah malah kian keras tawanya. Andika kembali geleng-gelengkan kepala.
"Benar-benar sudah kesambet nih! Hmmm... kini persoalan mulai jelas. Kepala Besi bukanlah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit. Orang itu berjuluk Dewi Selendang Hitam.
Tetapi menurut jawabannya tadi, Dewi Selendang Hitam justru memburunya untuk mendapatkan Patung Kepala Singa. Berarti, setelah mendengar berita kalau Patung Kepala Singa didapatkan secara tak sengaja oleh Pendekar Sutera, Dewi Selendang Hitam langsung memburunya. Namun gagal mendapatkan benda yang dicarinya...." Sementara Kepala Besi masih terbahak-bahak, Andika melanjutkan kata-kata dalam hatinya, "Lalu dia bertemu dengan Kepala Besi dan menyangka Kepala Besi telah mengambil Patung Kepala Singa. Tetapi menilik kata-katanya, jelas kalau dia tidak mengambil benda itu bahkan baru tahu kalau terjadi pembantaian di Kuil Putra Langit. Lalu... ke manakah Patung Kepala Singa" Bila memang ada yang membawanya, siapa orangnya?" Andika terdiam sambil mencubit-cubit dagunya.
Alisnya yang hitam legam dan menukik laksana kepakan sayap elang, berkerut bersama keningnya.
Dan mendadak saja diarahkan pandangannya pada si Kepala Besi yang masih terbahak-bahak.
"Kalau memang seperti ini, apakah tidak mungkin kalau Kepala Besi lebih tahu banyak tentang Patung Kepala Singa" Tak mungkin Dewi Selendang Hitam memburunya tanpa sebab yang pasti. Atau janganjangan... dia justru ada hubungannya dengan Patung Kepala Singa" Dalam arti... riwayat patung itu sendi-ri...." Sementara itu, Kepala Besi yang mulai reda tawanya, berkata sambil melotot, "Kenapa lihatlihat" Apakah kau pikir aku ini janda kembang yang punya tubuh montok, hah"!" Andika tertawa mendengar selorohan yang secara tak langsung mengulangi selorohannya tadi.
Setelah beberapa saat, pemuda urakan ini segera ajukan pertanyaan sehubungan dengan apa yang dipikirkannya, "Kepala Besi... aku tidak tahu banyak tentang asal-usul Patung Kepala Singa. Hanya yang kudengar dari Bidadari Tangan Bayangan, kalau Pendekar Sutera mendapatkannya secara tidak sengaja di saat sedang bersemadi. Lantas Dewi Selendang Hitam memburumu karena menyangka kau telah mendapatkan Patung Kepala Singa. Tetapi... ih! Aneh, ya" Kok aku berpikiran, kalau kau sebenarnya mempunyai hubungan erat dengan Patung Kepala Singa" Eh, betul tidak dugaanku" Kepala Besi yang tadi memutuskan untuk mengatakan apa yang selama ini dipendamnya, menghela napas sejenak sebelum menganggukkan kepala.
"Kau benar, Andika.... Bahkan, akulah pemilik sah Patung Kepala Singa...." Andika mendesah napas pendek.
"Ternyata dugaanku betul lagi. Ih! Betul-betul cerdik nih otak!" (Busyet, kok muji sendiri! Dasar kurang kerjaan!).
Kemudian katanya, "Bersediakah kau untuk menerangkan, mengapa kau menganggap dirimu sebagai pemilik sah dari Patung Kepala Singa?"
"Aku bukan menganggapnya, karena aku memang pemiliknya," sahut Kepala Besi.
Sementara Andika menganggukkan kepalanya, perlahan-lahan Kepala Besi bercerita.

***

«↔└ 4 ┘↔»

Empat puluh tahun yang lalu, disaat Kepala Besi berusia sekitar tujuh belas tahun, dia adalah murid dari Eyang Kapi Pitu. Sejak berusia lima tahun si Kepala Besi yang bernama asli Wajayatika, telah menuntut ilmu dari Eyang Kapi Pitu.
Genap dia berusia tujuh belas tahun, Wajayatika yang sejak lahir memang di kepalanya tak tumbuh rambut sehelai pun, dipanggil menghadap kepada Eyang Kapi Pitu.
Banyak wejangan demi wejangan yang disampaikan Eyang Kapi Pitu pada Wajayatika. Bahkan pertemuan yang tak biasanya itu berlangsung hingga dua hari dua malam. Menjelang senja menuju malam ketiga, Eyang Kapi Pitu berkata, "Sebenarnya... ada satu amanat yang akan kusampaikan kepadamu, Wijaya." Wajayatika segera rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Sesungguhnya, dia amat tersiksa sekali dengan rasa kantuk yang terus menyerang. Namun di-tahannya agar dia tidak sampai tertidur. Selama dua hari dua malam duduk bersila bukanlah satu pekerjaan enak. Darahnya seperti berhenti dan terhimpun pada kedua lututnya yang tertekuk. Sementara pinggangnya mulai terasa linu dengan kepala sedikit pusing. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun pada waktu itu, mengusap jenggotnya yang putih memanjang. Dia tak memiliki kumis. Wajahnya begitu arif dengan sorot mata teduh. Eyang Kapi Pitu mengenakan pakaian panjang warna abu-abu. Kalau Wajayatika duduk bersila di atas tanah, Eyang Kapi Pitu duduk bersila di sebuah batu sebesar kambing dewasa.
Dan dia sama sekali tak mengantuk, bahkan justru makin kelihatan bertambah segar.
Eyang Kapi Pitu terdiam dulu sebelum berkata, "Wajaya... tatkala aku berusia sekitar tiga puluh lima tahun, aku melihat sebuah pohon besar yang tumbuh di sebuah hutan. Aku sama sekali tak mengetahui hutan apakah itu. Sebenarnya, tak ada keanehan pada pohon besar itu, karena pepohonan yang tumbuh di sana, sama besarnya. Hanya saja, pohon itu seperti memancarkan sinar keperakan yang sangat indah. Terus terang, aku sangat tertarik pada pohon itu. Yang menarik lagi, bila malam tiba, pancaran sinar perak yang keluar dari pohon itu, seperti menggambarkan wajah seekor singa. Begitu anggun dan bersahaja. Karena rasa tertarik itulah, aku segera membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat tinggal. Dan selama lima tahun aku tinggal di dekat pohon aneh itu...." Eyang Kapi Pitu menghentikan kata-katanya. Sementara itu, Wajayatika merasa kantuknya seakan menghilang. Dia sangat tertarik, sekaligus takjub mendengar cerita gurunya.
"Lalu apa yang terjadi, Eyang?"
"Tak ada yang terjadi selama lima tahun itu, Anakku... kecuali bila malam tiba sinar perak itu tetap menggambarkan wajah seekor singa jantan. Namun pada suatu malam, tatkala aku sedang memandangi pohon itu dari dalam gubuk yang kubangun, aku dikejutkan oleh sesuatu yang memang sungguh sangat mengejutkan...."
"Apakah itu, Eyang?"
"Kalau biasanya sinar perak itu selalu menggambarkan wajah singa, kali ini lambat laun wajah singa itu menghilang. Justru yang tergambar, luruhan abu berwarna perak, yang turun naik. Semula kupikir aku salah melihat, namun kejadian itu tetap berlangsung hingga satu bulan lamanya. Sungguh, aku tidak bisa mencernakan apa yang telah terjadi atau makna apa yang tersirat. Bahkan secara jujur kukatakan, bahkan sampai saat ini aku masih belum tahu apa arti semua itu...." Kali ini tak ada yang bersuara. Beberapa dedaunan trembesi berguguran dihembus angin senja. Di hamparan mata langit sebelah barat, terlihat burungburung beterbangan bermandikan semburat cahaya matahari, "Eyang... apakah pohon itu masih ada hingga saat ini?" tanya Wajayatika kemudian. Eyang Kapi Pitu mengusap jenggotnya sambil menggelengkan kepala.
"Tidak. Pohon itu sudah tidak ada lagi."
"Apakah pohon itu...."
"Tidak, Anakku. Pohon itu tidak tumbang ataupun lenyap. Tetapi... pohon itu telah kutebang."
"Oh! Mengapa, Eyang?"
"Aku sendiri tidak tahu mengapa aku sampai menebangnya. Mungkin semua itu kulakukan, dikarenakan aku merasa harus memecahkan rahasia apa yang terdapat pada pohon itu. Ada rasa penyesalanku saat pohon itu telah tumbang. Lalu dikarenakan pohon tumbang itu dapat menghalangi jalan, maka segera kucacah seperti kayu bakar. Namun yang mengejutkan, tatkala bagian tengah pohon itu kubelah, sesuatu terjatuh dari sana."
"Apakah sesuatu itu, Eyang?"
"Sebuah patung berkepala singa."
"Patung Kepala Singa?" terbelalak Wajayatika mendengar jawaban gurunya.
Sesungguhnya, dia mulai merasa pusing sendiri mendengar setiap kelanjutan cerita gurunya yang bila dipikir jernih seperti tak masuk akal.
"Kau benar. Patung Kepala Singa."
"Apakah patung itu masih ada?"
"Sampai sekarang masih ada. Selalu kusimpan karena hanya itulah kenang-kenangan yang kudapatkan dari pohon besar aneh yang mengeluarkan cahaya perak dan menggambarkan wajah singa serta luruhan abu." Habis kata-katanya, Eyang Kapi Pitu menepuk tangannya tiga kali. Dan entah dari mana datangnya, mendadak saja di telapak tangan kanannya telah terdapat sebuah benda yang memancarkan cahaya keperakan. Sebuah patung berkepala singa.
Wajayatika memandang takjub tanpa kedip.
"Luar biasa... sungguh kejadian yang luar biasa...," desisnya dalam hati. Lalu berkata, "Eyang... bolehkah aku melihat lebih dekat patung itu?"
"Kau bukan hanya boleh melihatnya lebih dekat, bahkan mulai saat ini, Patung Kepala Singa menjadi milikmu."
"Maksud Eyang... Eyang menghadiahkan patung itu kepadaku?" ulang Kepala Besi dengan dada berdebar.
"Aku bukan sekadar menghadiahkan kepadamu.
Tetapi aku ingin kau menjaga, merawat, dan memecahkan rahasia apa yang tersimpan pada patung ini.
Wijaya, usiaku semakin lama akan bertambah. Sementara hingga usia yang memasuki senja ini, aku belum juga dapat memecahkan rahasia apa yang tersimpan pada pohon itu, yang kini kuyakini telah berada pada patung ini. Kuharap... kau dapat melanjutkan keinginanku untuk memecahkan rahasia Patung Kepala Singa...." Lalu perlahan-lahan Eyang Kapi Pitu menjulurkan tangan kanannya. Dan dengan berhati-hati Wajayatika mengambil patung itu. Diamat-amatinya dengan seksama dan lambat laun matanya kian memancarkan sinar kekaguman. Kemudian sambil angkat kepalanya dia berkata, "Eyang.. aku berjanji, akan kupecahkan rahasia apa yang tersimpan di balik patung ini...." Eyang Kapi Pitu tersenyum.
"Aku senang mendengar janjimu itu. Wijaya... malam ini juga, kau harus segera meninggalkan tempat ini." Kalau tadi dia terkagum-kagum, kali ini melengak mendengar kata-kata gurunya.
"Apa maksud, Eyang?" Eyang Kapi Pitu tersenyum.
"Tadi kukatakan, usiaku semakin lama kian bertambah tua. Sementara kau, masih sedemikian muda. Inilah saatnya bagimu untuk melihat dunia luar. Aku bukanlah seorang pendekar tangguh, hingga rasanya, kau belum cukup banyak mendapatkan ilmu kendati kau telah mendapatkan seluruh ilmu yang kumiliki. Pesanku hanya dua. Pertama, kau harus selalu bertindak pada jalan kebenaran. Kedua, jaga Patung Kepala Singa agar jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Bahkan, kau tidak boleh meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama. Aku tak mengerti mengapa kukatakan ini padamu. Hanya karena aku sangat menyayangi benda itu dan tak ingin jatuh ke tangan orang lain sebelum kau memecahkan rahasianya." Wajayatika cuma menganggukkan kepalanya sambil menarik napas.
"Baiklah, Eyang... akan kuingat setiap pesanmu itu."
"Berangkatlah sekarang juga. Ingat, sampai langkah kesepuluh kau jangan menoleh lagi ke arahku.
Pada langkah kesebelas, kau boleh menoleh." Sekali lagi Wajayatika menganggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan dia segera bangkit. Setelah membungkukkan tubuh, sambil membawa Patung Kepala Singa, pemuda berkepala plontos itu pun segera melangkah.
Diusahakan untuk tidak tolehkan kepala sebelum tiba pada langkah kesebelas. Setelah memasuki langkah kesebelas, dia baru tolehkan kepala.
Dilihatnya gurunya sudah tidak ada di tempat semula. Pemuda ini menarik napas pendek seraya berkata, "Akan kujalankan apa yang kau pesankan, Eyang." Mulailah Wajayatika bertualang. Dalam setip langkahnya dia selalu teringat akan pesan-pesan gurunya untuk selalu bertindak di jalan lurus. Pada usia kedua puluh lima, karena sepak terjangnya yang selalu memberantas golongan sesat, orang-orang dari bagian timur menjulukinya si Kepala Besi. Karena Wajayatika selalu mempergunakan jurus anehnya dengan kepala bila dia sudah dalam keadaan terdesak.
Pada usia kedua puluh delapan, Kepala Besi bertemu dengan Dewi Selendang Hitam. Semula pertemuan itu tidak disengaja. Karena pada suatu senja di sebuah dusun, Dewi Selendang Hitam sedang menga-muk. Perempuan yang dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutup oleh selendang warna hitam itu, ingin menguasai dusun tersebut.
Kepala Besi pun merasa terpanggil untuk mengatasinya. Dalam pertarungan pertamanya, dia memang berhasil mempecundangi Dewi Selendang Hitam. Namun setelah lima tahun kemudian mereka bertemu kembali, justru keadaan berbalik.
Dewi Selendang Hitam yang rupanya terus melatih diri dan mendendam pada Kepala Besi, berhasil mengalahkannya. Kepala Besi memang berhasil melarikan diri. Tetapi dua tahun kemudian, mereka tak sengaja bertemu kembali.
Pertarungan terjadi lagi. Saat itulah Dewi Selendang Hitam menyadari, kalau setiap perjumpaannya dengan si Kepala Besi, lelaki berkepala plontos itu selalu membawa Patung Kepala Singa. Karena berpikir kalau benda itu bukan benda sembarangan, Dewi Selendang Hitam berusaha untuk merebutnya.
Tetapi gagal karena Kepala Besi berhasil melarikan di-ri. Namun itu bukanlah pertemuan mereka yang terakhir. Karena dua bulan kemudian, Dewi Selendang Hitam yang makin menginginkan Patung Kepala Singa dan terus memburunya, berhasil menahan langkah Kepala Besi. Pada pertarungan yang kesekian ini, kembali Kepala Besi berhasil dikalahkan. Bahkan bila dia tidak segera meraup pasir dan melemparkannya ke wajah Dewi Selendang Hitam, bukan hanya Patung Kepala Singa yang akan pindah tangan. Tetapi nyawanya akan putus saat itu pula! Di sebuah tempat yang sepi, Kepala Besi berusaha untuk menyembuhkan luka dalamnya. Diam-diam dia pun yakin, kalau Dewi Selendang Hitam tak akan pernah melepaskannya. Karena tak ingin Patung Kepala Singa dapat direbut oleh Dewi Selendang Hitam sementara keadaannya masih belum sembuh betul, Kepala Besi memutuskan untuk menguburkannya.
Namun setelah beberapa tahun lewat, Kepala Besi tidak pernah bertemu lagi dengan Dewi Selendang Hitam. Sampai kemudian dia teringat untuk mengambil kembali Patung Kepala Singa. Namun alangkah terkejutnya lelaki berkepala plontos itu tatkala tidak menemukan Patung Kepala Singa pada tanah di mana dia menguburkannya.
Diusahakan untuk mencoba berpikir lebih jernih sambil menahan kesabarannya. Namun setelah tempat itu terbongkar semua, dia tetap tak menemukan Patung Kepala Singa! "Gila!" serunya gusar dengan hati cukup kalang kabut.
"Siapa yang telah membongkar tanah itu" Siapa yang telah mengambil Patung Kepala Singa"!" Diingat-ingatnya siapa saja orang yang tertarik pada Patung Kepala Singa. Dan satu-satunya orang yang singgah pada pikirannya adalah, Dewi Selendang Hitam. Seketika rasa penasarannya menjadi kemarahan.
"Jahanam! Pantas saja aku tidak pernah bertemu lagi dengannya! Rupanya dia telah mendapatkan Patung Kepala Singa!!" Namun tatkala teringat akan pesan dari Eyang Kapi Pitu sebelum dia menerima Patung Kepala Singa, Kepala Besi untuk sesaat terdiam. Kemarahannya lamat-lamat mulai mereda.
"Bila bukan Dewi Selendang Hitam yang mengambilnya, siapa lagi orangnya" Atau jangan-jangan... ini salah satu keanehan dari Patung Kepala Singa?" Sesaat lelaki berkepala plontos ini terdiam. Hatinya mulai diliputi keresahan kembali. Lalu perlahan-lahan dia berkata, "Hingga saat ini... aku belum dapat memecahkan rahasia Patung Kepala Singa seperti yang diutarakan Eyang Guru. Apakah hilangnya Patung Kepala Singa dikarenakan aku tidak menjaganya seperti yang dimaksud Eyang?" Sungguh pusing kepala lelaki ini memikirkan kemungkinan itu. Setelah beberapa saat tak lakukan tindakan apa-apa, dia menghela napas panjang.
"Jalan satu-satunya... aku harus mencarinya...." Mulailah Kepala Besi menyusuri jejak tentang lenyapnya Patung Kepala Singa. Sampai kemudian dia mendengar kabar kalau Pendekar Sutera, pimpinan dari Kuil Putra Langit memiliki sebuah benda yang bernama Patung Kepala Singa. Namun sebelum dia mengetahui siapakah sesungguhnya Pendekar Sutera, Bidadari Tangan Bayangan telah menghadangnya dan lancarkan tuduhan kalau dialah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit. Menyusul perjumpaannya dengan Dewi Selendang Hitam.

***

"Begitulah yang terjadi, Andika...," katanya kemudian pada Pendekar Slebor yang mendengarkan dengan seksama. Andika manggut-manggut.
"Sungguh rumit masalah ini. Kepala Besi, menurut Bidadari Tangan Bayangan, Pendekar Sutera mendapatkan Patung Kepala Singa di saat dia sedang bersemadi. Kemungkinan yang kau ceritakan kalau lenyapnya Patung Kepala Singa, ini disebabkan oleh kekuatan benda itu sendiri, bisa jadi betul."
"Ya... setelah perjumpaanku dengan Dewi Selendang Hitam, aku semakin kuat menduga seperti itu."
"Luar biasa... aku jadi penasaran ingin melihat seperti apa Patung Kepala Singa," kata Andika dengan mimik serius. Namun keseriusannya segera lenyap di saat dia arahkan pandangan pada si Kepala Besi sambil berkata, "Ngomong-ngomong... Patung Kepala Singa itu tidak tandus kayak kepalamu, kan?" Kepala Besi cuma tersenyum kecut. Lalu katanya, "Andika... pada kesempatan ini, aku meminta ban-tuanmu untuk menemukan Patung Kepala Singa. Bahkan bila kau bersedia, aku juga menginginkan agar kau memecahkan rahasia apa yang ada pada benda itu."
"Wah! Mana bisa begitu" Nanti rambutku cepat ubanan lagi kalau banyak berpikir!" sahut Andika nyo-nyor, akan tetapi di dasar hatinya dia sungguh penasaran sekali. Atau dengan kata lain, tanpa diminta pemuda urakan ini juga akan berusaha untuk memecahkan rahasia Patung Kepala Singa.
"Ubanan atau tidak ubanan toh tidak ada gadis yang mau denganmu?" sambar Kepala Besi.
"Yeeee... mendingan kepalaku ada rambutnya! Daripada kepalamu yang tandus begitu" Huh! Sudah tandus, penjol lagi!!" seloroh Andika sambil memo-nyongkan mulutnya. Lalu sambungnya, "Ngomongngomong lagi... apakah Eyang Kapi Pitu menceritakan perubahan lainnya dari cahaya putih yang menggambarkan kepala singa dan luruhan abu?" Kepala Besi menggelengkan kepala.
"Tidak." Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Cahaya putih. Gambar kepala singa. Luruhan abu. Apakah... ah, tidak, tidak...."
"Apa yang kau pikirkan, Andika?" tanya Kepala Besi yang melihat Andika sengaja memutuskan kata-katanya.
"Tidak, tidak... mungkin aku salah. Kepala Besi, nampaknya kau sudah lebih sehat sekarang ini. Sebaiknya... kita berpisah saja sampai di sini. Masing-masing orang...." Kata-kata Pendekar Slebor terputus tatkala terdengar satu suara keras penuh kegeraman, "Pemuda keparat! Kau telah mencabut nyawa sahabatku! Kali ini, aku akan bertarung mati-matian denganmu!!"

***

«↔└ 5 ┘↔»

Kita tinggalkan dulu apa yang akan dialami oleh Pendekar Slebor dan Kepala Besi. Sekarang kita ikuti perjalanan Bidadari Tangan Bayangan dan Tri Sari yang sedang mencari Dewa Suci. Setelah Kepala Besi berhasil melarikan diri dari serangan perempuan berpakaian kuning bersih itu, Bidadari Tangan Bayangan menahan langkah Tri Sari yang sebenarnya hendak mencari Kepala Besi, yang saat itu dipikirnya adalah orang yang telah lakukan pembunuhan terhadap ayah dan para saudaranya.
Dari percakapan yang terjadi, tahulah perempuan setengah baya yang di pinggangnya melilit selendang warna merah kalau gadis berpakaian putih-putih itu adalah putra sahabatnya, si Pendekar Sutera.
Tri Sari yang sebelumnya berhasil meloloskan diri dari pembantaian di Kuil Putra Langit, memang mendapat amanat dari ayahnya sebelum tewas. Kalau dia harus mencari Bidadari Tangan Bayangan. Dan tak disangkanya, kalau orang yang dicari justru berada di hadapannya.
Bidadari Tangan Bayangan pun mengusulkan untuk mencari Dewa Suci guna memecahkan rahasia apa yang ada di balik Patung Kepala Singa, yang saat ini didekap erat oleh Tri Sari dan dibungkus kain warna hitam (Untuk lebih jelasnya, silakan baca : "Patung Kepala Singa").
Namun mencari Dewa Suci kendati sudah diketahui di mana dia tinggal tak semudah yang dibayangkan. Tatkala siang telah tiba, kedua orang itu mulai jejakkan kakinya pada jalan setapak menuju ke Bukit Kubur. Bidadari Tangan Bayangan sejenak hentikan langkahnya. Sementara itu, Tri Sari mulai merasa dadanya seperti mau pecah. Karena hanya dua kali Bidadari Tangan Bayangan hentikan larinya. Itu pun dalam waktu yang sangat singkat.
Di sekeliling masing-masing orang dipenuhi dengan rerumputan setinggi dada yang berbaur dengan ranggasan semak belukar. Pepohonan tinggi dan besar berjajar laksana prajurit perang yang siap menyerbu.
Tri Sari pun yakin kalau perempuan di sebelahnya ini akan segera meneruskan langkah, karena terlihat bagaimana Bidadari Tangan Bayangan menganggukanggukkan kepalanya seolah memberi aba-aba untuk meneruskan langkah.
Tri Sari yang memang sudah kelelahan segera berkata, "Bibik...tidakkah sebaiknya kita beristirahat dulu?" Bidadari Tangan Bayangan palingkan kepala. Tak keluarkan suara kecuali memandangi si gadis.
"Hmmm... dia nampak sudah kepayahan. Bila saja aku tidak tahu kalau dia putri dari Pendekar Sutera, sudah kutinggalkan dia di sini sementara Patung Kepala Singa akan kubawa kepada Dewa Suci. Tetapi...
aku tak boleh buang waktu." Habis membatin demikian, guru Nawang Wangi ini berkata, "Bila kau sudah tak sanggup lagi untuk melangkah, lebih baik kau beristirahat di sini saja. Biar aku yang mencari Dewa Suci di Bukit Kubur." Tri Sari cuma menganggukkan kepalanya. Kemudian sambil menjulurkan bungkusan yang dipegangnya, gadis ini berkata, "Bibik... bawalah Patung Kepala Singa ini padamu, hingga kau tidak perlu balik lagi bi-la bertemu dengan Dewa Suci."
"Tidak. Biarlah patung itu tetap berada padamu, Tri Sari. Aku berangkat sekarang dan akan kembali secepatnya. Jangan ke mana-mana." Setelah mendapati anggukkan kepala si gadis, Bidadari Tangan Bayangan segera hempos tubuh. Gerakannya begitu ringan sekali, tanda dia memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. Sepeninggal Bidadari Tangan Bayangan, Tri Sari berjalan ke balik ranggasan semak. Di sebuah pohon besar yang rindang, gadis ini duduk bersandar.
Rasa lelah karena sebelumnya di saat dia hendak tidur muncul Kepala Besi, dan kini dia belum beristirahat sudah diajak pergi oleh Bidadari Tangan Bayangan, membuat dirinya kian didera kantuk yang tinggi.
"Tidak... aku tidak boleh tertidur. Aku harus tetap terjaga...," desisnya dengan suara lemah. Namun kantuk itu tetap menyerangnya. Apalagi, kendati panas meranggas, namun di tempat yang dipenuhi pepohonan ini terasa hembusan angin begitu semilir, membuat Tri Sari perlahan-lahan mulai memejamkan matanya. Patung Kepala Singa yang terbungkus kain hitam itu tetap didekapnya erat.
Cukup lama Tri Sari tertidur sebelum akhirnya terjaga tatkala mendengar suara ranting berderak tan-da diinjak orang. Seketika dia bangkit untuk melihat siapa yang datang. Namun saat itu pula putri Pendekar Sutera ini merunduk kembali.
"Aneh! Bukan Bibik Bidadari Tangan Bayangan yang muncul!" desisnya dalam hati dan berusaha untuk tidak keluarkan suara.
Orang yang datang itu, berpakaian hitam. Dari kepala hingga sebagian wajahnya, tertutup selendang warna hitam. Menilik cirinya, jelas dia adalah Dewi Selendang Hitam. Orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit dan orang yang menginginkan Patung Kepala Singa.
Perempuan tua kejam ini hentikan gerakannya.
Pandangannya yang agak menyipit memperhatikan sekelilingnya. Mendadak terdengar makiannya, "Jahanam terkutuk! Ke mana lagi aku harus mencari Patung Kepala Singa" Sia-sia apa yang telah kulakukan di Kuil Putra Langit! Sia-sia kubuang tenaga untuk membantai seluruh penghuni tempat itu, kalau ternyata Patung Kepala Singa tak kutemukan!" Di balik ranggasan semak, Tri Sari yang tak berani bergerak melengak sejenak.
"Aneh! Menilik kata-katanya, jelas perempuan berpakaian hitam itu yang telah menurunkan tangan di Kuil Putra Langit. Orang yang lelah membunuh ayah dan saudara-saudaraku," desisnya heran dalam hati.
Lalu melanjutkan, "Tetapi... bukankah menurut Bibik Bidadari Tangan Bayangan, kalau Kepala Besilah orang yang telah menurunkan tangan" Ah, siapa yang benar kalau begini?" Kendati rasa penasarannya ingin melihat lebih jelas wajah perempuan itu, namun Tri Sari tak berani melakukannya. Bahkan kalau tadi dia mendekam di balik ranggasan semak itu, kali ini dia menelungkup sambil mendekap Patung Kepala Singa erat-erat.
Sejarak delapan langkah dari tempat Tri Sari, Dewi Selendang Hitam nampak terdiam, tanda kalau dia tengah berpikir.
Kemudian terdengar suaranya, "Kepala Besi telah tewas. Dendam lamaku telah tuntas, kendati aku tak mendapatkan benda yang kuinginkan sejak lama. Jahanam terkutuk! Siapa orang yang telah mengambil Patung Kepala Singa"!" Sejenak perempuan kejam ini terdiam. Lamatlamat terdengar suaranya penuh kegeraman, "Jangan-jangan... ada yang luput dari pembantaianku di Kuil Putra Langit, orang yang kemudian lari menyelamatkan Patung Kepala Singa" Benar-benar sial bila memang itu jadi kenyataan!!" Mendadak saja Dewi Selendang Hitam gerakkan tangan kanannya ke depan.
Wrrrrr!! Serta merta menghampar satu gelombang angin yang keluarkan suara bergemuruh. Langsung menghantam sebatang pohon yang berderak dan tumbang.
"Jahanam sial! Harus kucari orang itu! Harus kubunuh dial!" geramnya gusar.
Di tempatnya, Tri Sari kian terlungkup. Bila menuruti kata hatinya, dia akan muncul untuk lakukan pembalasan. Namun disadarinya kalau perempuan itu jelas bukan lawannya. Mengingat dia bukan hanya mampu membunuh seluruh penghuni Kuil Putra Langit, namun ayahnya juga tewas dibunuh.
Makanya, yang bisa dilakukannya hanyalah tetap berada di tempatnya. Diam-diam gadis ini membatin, "Beruntung karena aku cepat terjaga dari tidurku. Bila tidak... ah, tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi...." Sementara itu, di tempatnya Dewi Selendang Hitam masih menggeram panjang pendek. Setelah kertakkan rahangnya, perempuan ini berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Dewi Selendang Hitam, Tri Sari belum berani untuk bangkit berdiri. Ditunggunya saat yang paling tepat. Setelah diyakini kalau perempuan itu tidak kembali lagi, hati-hati dia mulai berdiri. Hati-hati pula disibakkan ranggasan semak di hadapannya. Tak dilihatnya perempuan itu di sana.
Dia pun menarik napas lega.
"Celaka kalau begini... Bibik Bidadari Tangan Bayangan telah lakukan kesalahan, kalau ternyata bukan Kepala Besi lah yang telah membunuh ayah dan yang lainnya. Tetapi perempuan kejam itu. Bahkan...
perempuan itu telah membunuh si Kepala Besi. Ah, semakin rumit keadaan ini." Lalu hati-hati gadis berambut dikuncir kuda ini keluar dari balik ranggasan semak. Sejenak diedarkan pandangannya sebelum kemudian diarahkan ke Bukit Kubur.
"Tak ada tanda-tanda Bibik Bidadari Tangan Bayangan akan datang.... Ah, apa yang terjadi dengannya" Apakah dia berhasil bertemu dengan Dewa Suci" Atau justru malah sebaliknya?" Gadis berkucir ekor kuda ini terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Ada keinginanku untuk menyusulnya. Berita tentang siapa orang yang telah membunuh ayahku dan yang lainnya, harus segera kusampaikan. Tetapi bagaimana kalau aku selisih jalan dengannya, sementara aku sendiri belum tahu jalan menuju ke Bukit Kubur" Hmmm... sebaiknya, biarlah kutunggu saja di sini." Sementara itu, lambat laun matahari pun mulai bergeser dari atas kepala. Perasaan putri Pendekar Sutera ini mulai diliputi kegelisahan. Dia pun agak bimbang untuk memutuskan apa yang akan dilakukannya. Dan selagi si gadis masih terdiam tak tahu apa yang akan diperbuatnya, mendadak saja terdengar suara, "Hmmm... ternyata ada seorang gadis yang menungguku di sini. Rasanya, ketika aku telah tiba di si-ni tadi pun aku yakin kau telah menungguku, Manis.
Tetapi kau hebat bisa luput dari penglihatan serta pendengaranku...." Belum lagi suara itu habis terdengar, mendadak saja di hadapan Tri Sari telah berdiri tegak satu sosok tubuh berpakaian hitam.
Dari kepala hingga sebagian wajahnya, tertutup selendang warna hitam! Di bagian atas kepalanya, nampak selendang itu mencuat, seperti ada sebuah sanggul.

***

Terkesiap Tri Sari melihat siapa yang muncul.
Tanpa sadar wajahnya langsung memucat dengan langkah yang surut dua tindak ke belakang. Tanpa sadar pula tangan kanannya mendekap erat-erat bungkusan kain hitam pada dadanya.
Perempuan yang tak lain Dewi Selendang Hitam adanya ini, melirik sekilas pada bungkusan kain hitam itu.
"Bila gadis ini tadi berhasil menutupi kehadirannya dariku, jelas dia memang berisi. Siapa dia adanya" Apakah dia termasuk salah seorang yang mengetahui tentang Patung Kepala Singa" Dan bungkusan hitam itu... nampaknya dia begitu berhati-hati menjaganya...." Sementara Dewi Selendang Hitam membatin begitu, Tri Sari pun membatin, "Tak bisa kuhindari kehadirannya. Ah, mengapa aku tadi tidak segera menyusul Bibik Bidadari Tangan Bayangan" Tetapi... apa pun yang terjadi, aku harus melawannya. Bahkan kalau mampu, aku harus membalas segala perbuatannya.
Hanya saja... bagaimana bila aku dikalahkan" Berarti... Patung Kepala Singa yang diburunya akan berpindah tangan padanya.... Ah, aku harus mengulur waktu... barangkali saja Bibik Bidadari Tangan Bayangan akan muncul...." Di seberang, Dewi Selendang Hitam berkata dingin, "Gadis Ayu... katakan padaku, sedang apa kau di tempat ini?" Tri Sari berusaha untuk menindih segala perasaannya. Lalu dengan suara agak ketus dia menjawab, "Apakah kau belum pernah melihat seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya, hah"!" Dewi Selendang Hitam tersenyum, jelas terbayang dari selendang hitamnya yang agak bergerak.
"Di mana kekasihmu sekarang?"
"Aku tidak tahu! Sejak tadi aku berada di sini, dia belum muncul juga!"
"Apa yang hendak kau lakukan dengannya di tempat ini, hah"!" suara Dewi Selendang Hitam kian mengandung kesinisan.
"Huh! Betul-betul suka campuri urusan orang! Apa yang akan kulakukan bersama kekasihku, bukan urusanmu! Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum kekasihku datang!!"
"Huh! Benda apa yang ada di bungkusan itu"!"
"Lancang! Bungkusan ini berisi pakaian!" sahut Tri Sari garang. Lalu dengan mengubah mimiknya menjadi sedih dia melanjutkan "Hubunganku dengan Kang Gunarto tidak direstui oleh orangtuaku.... Huh! Aku mencintai Kang Gunarto sepenuh jiwa dan ragaku. Apa yang kuhendaki Kang Gunarto akan kulakukan dengan setulus hati. Aku akan kabur dengannya." Tiba-tiba saja Tri Sari menatap tajam pada Dewi Selendang Hitam.
"Nenek! Kau harus berjanji padaku, jangan memberitahukan semua ini pada ayahku! Bila tidak, aku bisa dibunuhnya!!" Dewi Selendang Hitam hanya terdiam. Sorot matanya tajam tak berkedip, menyelidik kebenaran katakata si gadis. Tri Sari yang merasa kalau perempuan di hadapannya ini mulai terkena ucapannya berkata lagi dengan suara dibuat pilu, "Nek... kau harus berjanji, jangan mengatakan semua ini kepada ayahku.... Kau harus, Nek...."
"Jangan panggil aku 'nenek'!!" bentak Dewi Selendang Hitam keras dengan pandangan gusar. Kemudian sambungnya dingin, "Dan jangan coba-coba kelabui aku dengan kata-katamu...." Sejenak hati Tri Sari berdebar keras. Wajahnya agak berubah. Namun segera diubahnya kembali. Lalu dengan suara dibuat penuh kekesalan dia berseru, "Jangan ngomong ngaco! Kau rupanya termasuk orang yang tidak percaya dengan omongan orang lain! Tetapi terserah kaulah, Nek! Toh bukan urusanku! Sudah, sana kau pergi!!" Kendati Dewi Selendang Hitam kelihatan percaya dengan kata-kata si gadis, namun dia sempat melihat perubahan wajah Tri Sari tadi.
Kemudian katanya, "Aku mempercayaimu! Sekarang, kau tinggalkan tempat ini!"
"Aku menunggu kekasihku!!"
"Tunggu di tempat lain!!" Tri Sari memasang wajah cemberut sementara diam-diam dia membatin, "Mengapa Bibik Bidadari Tangan Bayangan belum muncul juga" Aku kuatir lama kelamaan perempuan ini tahu apa yang ku rahasiakan. Ini kesempatanku untuk menjauh darinya, selagi dia masih terbawa cerita dustaku." Lalu dengan bibir dibuat masih cemberut, gadis ini berkata, "Huh! Kau mengganggu kesenangan orang saja!!" Setelah hentakkan kaki kanannya di tanah, seperti orang kesal, gadis ini mulai melangkah. Namun baru empat tindak melangkah, mendadak saja terdengar suara Dewi Selendang Hitam keras, "Kau boleh tinggalkan tempat ini. Tetapi, berikan bungkusan kain hitam itu padaku!!"

***

«↔└ 6 ┘↔»

Seketika Tri Sari berhenti melangkah dan berbalik. Wajahnya nampak pucat sekarang, apalagi begitu melihat sorot mata Dewi Selendang Hitam yang penuh ancaman kematian.
Tetapi gadis ini berusaha untuk menindih rasa jerinya. Tetap memasang wajah masam dia berseru, "Nek! Kau ini kenapa sih" Apakah kau suka dengan pakaian buruk milikku ini"!"
"Serahkan bungkusan itu kepadaku!"
"Enak saja minta-minta begitu!"
"Jangan main-main!" Sadarlah Tri Sari kalau perempuan di hadapannya sudah tidak bisa lagi dikelabui. Lalu dengan hati-hati dia surut dua tindak ke belakang. Diam-diam dialirkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
"Apa pun yang terjadi... aku harus menyelamatkan Patung Kepala Singa. Patung ini harus kuserahkan pada pemiliknya yang sah, seperti yang diamanatkan ayah padaku...." Di seberang, Dewi Selendang Hitam berseru dingin, "Jangan buang waktu lagi! Serahkan bungkusan itu kepadaku!"
"Tidak!"
"Gadis celaka!!" Habis bentakannya, mendadak saja Dewi Selendang Hitam melayang ke arah Tri Sari. Putri Pendekar Sutera yang sejak tadi memang telah bersiaga, segera surutkan kaki kanan ke belakang. Bersamaan dengan itu mendadak tubuhnya berputar agak menjauh, menyusul tangan kanannya didorong ke depan.
Wuuusss!! Satu gelombang angin segera menggebrak ke arah Dewi Selendang Hitam, yang hanya gerakkan tangan kirinya sementara tubuhnya terus melesat ke arah Tri Sari. Hamparan angin yang dilepaskan si gadis langsung putus di tengah jalan. Sementara itu, dengan tubuh agak mengendap, Tri Sari melompat ke samping kiri guna hindari sergapan Dewi Selendang Hitam.
Namun di luar dugaannya, justru sergapan itu hanya pancingan belaka. Karena begitu tubuhnya berada di samping, kaki kanan Dewi Selendang Hitam bergerak cepat, seperti memotong.
Si gadis keluarkan pekikan tertahan, "Heeiii!" Dia memang berhasil hindari sergapan kaki kanan lawan, namun tangan kanan lawan telah menepak tangan kirinya.
Untuk kedua kalinya Tri Sari keluarkan pekikan tertahan. Bungkusan yang didekapnya terlepas. Hanya dengan gerakkan tubuhnya seperti menjulur, bungkusan itu telah pindah tangan.
"Hhhh! Ingin kulihat seperti apa pakaian busuk milikmu ini"!" geram Dewi Selendang Hitam sambil berdiri tegak kembali di atas tanah. Sementara itu, mendapati kalau perempuan di hadapannya akan membuka bungkusan yang telah disambarnya, dengan kalap Tri Sari menerjang ke depan seraya membentak, "Kembalikan benda itu kepadaku!!" Dewi Selendang Hitam hanya angkat kepalanya sejenak. Sambil keluarkan dengusan, tangan kirinya menepak. Plak! Setelah menahan jotosan Tri Sari, tangan itu dengan cepatnya menepak punggung si gadis, hingga mau tak mau tersuruk ke depan. Masih untung Tri Sari sempat membuang tubuh ke samping kanan. Bila tidak, maka dadanya akan langsung disambut oleh dengkul kaki kanan Dewi Selendang Hitam.
"Kau akan mampus, Gadis ayu... Tetapi, aku ingin tahu apa isi bungkusan ini...."
"Perempuan tua celaka! Kembalikan kepadaku!!" seru Tri Sari kalap sambil berdiri tegak.
Dewi Selendang Hitam hanya pandangi sejenak. Lalu tangan kirinya mulai membuka bungkusan di tangan kanannya. Tri Sari yang tak mau kalau perempuan tua itu mengetahui apa isi bungkusannya, segera menerjang kembali diiringi teriakan membahana. Kali ini sambil lipat gandakan tenaga dalamnya. Angin keras mendahului lesatan tubuhnya.
"Betul-betul cari mampus!" geram Dewi Selendang Hitam.
Serta merta dia mendorong tangan kirinya. Saat itu pula menggebrak lima larik sinar hitam yang keluarkan suara gemuruh dan hawa panas. Untuk sesaat nampak Tri Sari yang sedang lancarkan serangan, melengak kaget. Tak mau dirinya celaka, dengan cepat putri Pendekar Sutera ini membuang tubuh ke kanan.
Bersamaan dengan itu, dikibaskan kedua tangannya ke depan. Wussss! Wuusss!! Dua gelombang angin menderu hebat.
Blaam! Letupan yang keras terjadi. Tanah di mana bertemunya dua pukulan itu langsung terbongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara.
Tatkala semuanya luruh, terlihat Dewi Selendang Hitam berdiri tegak tak kurang suatu apa. Bahkan kakinya tak bergeser dari tempat semula.
Di seberang, Tri Sari terpental delapan tindak ke belakang. Tak mampu kuasai keseimbangannya, gadis itu pun ambruk telentang. Nafasnya memburu. Dadanya terasa sesak bukan main. Sementara aliran darahnya bertambah kacau, kedua tangannya dirasakan ngilu bukan alang kepalang. Tatkala dilihatnya, tangan kanan dan kirinya itu membiru dan agak membeng-kak.
"Celaka... aku benar-benar tak mampu untuk merebut kembali Patung Kepala Singa...," desis Tri Sari pilu. Karena rasa nyeri pada dadanya, dia tak kuasa untuk bangkit kembali. Dipejamkan kedua matanya menahan rasa pedih di hatinya.
"Ayah... maafkan aku, karena aku gagal memberikan patung itu kepada yang berhak...." Sementara itu, Dewi Selendang Hitam hanya keluarkan dengusan dingin. Lalu dengan kasar dibukanya selubung kain hitam pada benda yang terbungkus itu.
"Heiii!!" seketika terdengar seruannya tatkala melihat sebuah benda yang pancarkan warna keperakan! Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, perempuan tua ini mengucak-ngucak matanya dengan tangan kiri. Sejurus kemudian, terdengar tawanya yang keras.
"Tak kusangka! Tak kusangka! Patung Kepala Singa! Gila! Patung Kepala Singa!!" Di tempatnya, Tri Sari makin mengeluh dalam.
"Maafkan aku, Ayah...," desisnya.
Dan wajahnya kian bertambah pucat tatkala si nenek kejam itu tolehkan kepalanya disertai dengusan.
"Anak gadis! Kau berani mengelabuiku, hah"! Bagus! Tetapi sebelum kau mampus kubunuh, jawab dulu pertanyaanku! Ada hubungan apa kau dengan Pendekar Sutera, hah"!" Kendati Tri Sari sadar bahaya sangat tidak menguntungkan, namun dia menjawab lantang, "Pendekar Sutera adalah ayahku, Perempuan Jahanam!!"
"Jahanam sial! Susah payah kucari Patung Kepala Singa yang ternyata berada di tangan gadis sialan itu! Huh! Tentunya, dialah satu-satunya orang yang luput dari kematian yang kuturunkan!" maki Dewi Selendang Hitam dalam hati. Seraya maju satu langkah, dia berseru, "Bagus! Tak seorang pun penghuni Kuil Putra Langit yang akan selamat dari tanganku!!" Habis bentakannya, mendadak saja dikibaskan tangan kanannya.
Wusss! Serta merta meluncur tiga larik sinar hitam yang keluarkan suara menggidikkan. Di tempatnya Tri Sari hanya memejamkan mata. Dia sudah tak mampu untuk menghindar ataupun memapaki serangan itu.
Namun sebelum tiga larik sinar hitam mencabikcabik tubuhnya, mendadak saja satu gelombang angin deras telah menderu dari belakangnya. Dan....
Blaaammm! Seketika menghantam tiga larik sinar hitam ganas tadi yang pecah berantakan. Untuk sesaat tempat itu diselubungi rengkahan tanah yang membubung ke udara. Tatkala semuanya sirap, terlihat satu sosok tubuh berpakaian kuning bersih telah tegak di sisi kiri Tri Sa-ri yang masih tergeletak.
"Bibik Bidadari Tangan Bayangan...," desis si gadis dengan hati lega.
Orang yang menahan serangan maut Dewi Selendang Hitam memang Bidadari Tangan Bayangan. Perempuan jelita ini memandang tak berkedip ke arah Dewi Selendang Hitam yang sedang mendelik gusar.
Dalam sekali lihat saja, Bidadari Tangan Bayangan ta-hu apa yang telah terjadi.
Diam-diam diliriknya Tri Sari yang kelihatan begitu menderita sekali. Sadar kalau gadis itu baru saja dihajar oleh perempuan di hadapannya, seketika dia keluarkan kata-kata dingin dan tajam, "Menilik wujud yang ada padamu... jelas kalau kau adalah Dewi Selendang Hitam. Hmmm... kurasa, kita tak pernah punya urusan. Tetapi, nampaknya kau telah bertindak keji pada gadis ini dan merebut bungkusan yang dimilikinya. Serahkan bungkusan itu kembali, maka segala urusan selesai sampai di sini!" Dewi Selendang Hitam cuma keluarkan dengusan dingin.
"Bidadari Tangan Bayangan... kelancanganmu yang memutuskan keinginanku tak bisa ku maafkan! Lebih baik kau berlutut di hadapanku ketimbang nyawamu akan putus!!"
"Setan keparat! Sepak terjang perempuan ini telah lama kudengar! Dan nampaknya dia telah buka urusan! Menilik begitu nyatanya dia menginginkan Patung Kepala Singa, agaknya jelas kalau dia tak akan melepaskan kesempatan untuk mendapatkan benda itu. Bisa jadi kalau dia pun tahu tentang rahasia yang tersimpan pada Patung Kepala Singa." Sementara Bidadari Tangan Bayangan membatin seperti itu, Tri Sari berusaha kerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menyingkir dari tempat semula. Disadarinya kalau pertarungan hebat akan segera terjadi.
Sementara itu Bidadari Tangan Bayangan sedang buka mulut, "Sekali lagi kukatakan, jangan membuang waktu! Kembalikan Patung Kepala Singa kepada kami!"
"Huh! Aku ingin melihat, tindakan apa yang kau lakukan bila aku menolak menyerahkan benda ini! Tetapi perlu kau ketahui, tak akan pernah kulepaskan Patung Kepala Singa dari tanganku!!"
"Baik! Kata telah bersambut, berarti segala sesua-tunya tak bisa dihindari lagi!" Habis seruannya, mendadak saja Bidadari Tangan Bayangan gerakkan kedua tangannya ke muka. Serta merta menggebrak dua hamparan angin yang keluarkan suara menggemuruh ke arah Dewi Selendang Hitam. Sambil kertakkan rahangnya, perempuan yang dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutup selendang hitam itu, segera buang tubuh ke kanan. Menyusul tangan kirinya dikibaskan ke depan.
Serta merta melesat lima larik sinar hitam yang mengerikan. Udara yang dingin, kali ini seperti tertindih gelombang hawa panas yang cukup terasa. Rupanya, Dewi Selendang Hitam langsung lipat gandakan tenaga dalamnya, tanda dia tak mau bertindak ayal.
Blaaaammm!! Benturan keras terjadi dengan muncratnya sinarsinar hitam ke udara. Sosok Bidadari Tangan Bayangan surut tiga tindak ke belakang, sementara Dewi Selendang Hitam masih tegak di tempatnya.
"Huh! Dengan kemampuan hanya seujung kuku seperti itu kau telah berani jual lagak di hadapanku! Sungguh tindakan tak tahu malu!!" Di seberang, Bidadari Tangan Bayangan merasakan dadanya cukup sesak. Segera saja dialirkan hawa murninya guna menghilangkan rasa sakit.
Kejap kemudian, sambil gerakkan kedua tangan diatas lalu membentuk rangkapan di depan dada, dia berseru dingin, "Berarti... kau harus mencoba menghadapi ilmuku yang seujung kuku ini!!" Sebelum dia lakukan serangan, terdengar suara Tri Sari, "Bibik... perempuan kejam itulah yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit, orang yang telah membunuh ayah dan saudara-saudaraku lainnya...." Mendengar ucapan si gadis, sesaat Bidadari Tangan Bayangan melengak kaget. Sejenak dipandanginya si gadis yang menganggukkan kepalanya. Di lain kejap dia arahkan pandangannya kembali pada Dewi Selendang Hitam yang sedang berkata, "Hmmm... rupanya kau sedang mencari pembantai di Kuil Putra Langit! Hhh! Tak perlu bersusah payah lagi! Karena, akulah orang yang telah membunuh seluruh isi penghuni Kuil Putra Langit! Dan masih beruntung gadis berambut kuncir kuda itu dapat lolos dari kematian! Tetapi sekarang, bukan hanya gadis itu yang akan mampus! Karena dirimu pun akan mampus di tanganku!!" Di seberang Bidadari Tangan Bayangan masih tegak di tempatnya. Lamat-lamat terlihat tubuhnya agak bergetar tanda kemarahan semakin naik. Dia sama sekali tak menyangka tentang kenyataan ini.
"Celaka! Kalau begitu... aku telah lakukan kesalahan yang sulit dimaafkan.
Kepala Besi yang kutuduh dan kuburu, ternyata bersih dari tuduhan itu.
Hmmm... ternyata apa yang dikhawatirkan Pendekar Slebor saat aku bertemu dengannya waktu lalu, menjadi kenyataan. Jahanam terkutuk! Perempuan celaka ini adalah biang keladi dari segala urusan!!" Habis membatin begitu, dengan kertakkan rahangnya segera saja perempuan berbaju kuning bersih ini mengangkat kedua tangannya ke atas. Menyusul kedua tangan itu diputar-putar yang semakin lama bertambah cepat. Menyusul terdengarnya angin yang menderu-deru memekakkan telinga.
Bukan hanya menyambar dedaunan yang seketika berguguran, tetapi juga mematahkan ranting dan dahan pohon yang beterbangan dan bertabrakan satu sama lain. Perubahan angin yang terjadi, membuat Dewi Selendang Hitam membatin, "Nampaknya dia telah keluarkan jurus yang tentunya sangat dahsyat. Keparat! Padahal aku harus secepatnya memecahkan rahasia Patung Kepala Singa, mumpung belum ada lagi orang yang menghendakinya dan akan membuang waktuku! Huhh!! Akan kuhancurkan dia sekarang juga!" Di seberang, diiringi teriakan mengguntur, mendadak saja Bidadari Tangan Bayangan mendorong tangan kanan kirinya ke depan. Seketika menggebah gelombang angin raksasa yang menyeret tanah dan ranggasan semak belukar.
Kejap berikutnya dia sudah hempos tubuhnya ke depan. Kedua tangannya bergerak cepat, mencecar bagian tubuh mematikan dari Dewi Selendang Hitam.
Gebrakan maut yang dilancarkan Bidadari Tangan Bayangan untuk sesaat berhasil membuat Dewi Selendang Hitam tunggang langgang. Namun perempuan kejam yang memiliki ilmu dua tingkat di atas Bidadari Tangan Bayangan, segera lakukan gerakan yang menakjubkan. Tetap dengan tangan kanan yang masih mendekap erat Patung Kepala Singa, dia mencelat ke depan.
Begitu kaki kirinya menjejak tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke samping. Sambaran gelombang angin yang dilancarkan Bidadari Tangan Bayangan berhasil dihindari. Menyusul kaki kanannya dilepaskan dengan cara berputar, siap menyambar leher Bidadari Tangan Bayangan. Bila saja perempuan yang di pinggangnya melilit kain warna merah itu tidak bertindak sigap, tak mustahil lehernya akan patah seketika.
Cepat pula Bidadari Tangan Bayangan mundur lima tindak ke belakang. Nafasnya agak memburu. Wajahnya nampak mulai kelihatan pias. Belum lagi dia lakukan tindakan apa-apa, Dewi Selendang Hitam telah menderu kembali, didahului lima larik sinar hitam yang menggebah.
"Celaka! Perempuan ini terlalu tangguh untukku!" seru Bidadari Tangan Bayangan dalam hati. Seketika dia bergulingan ke samping kiri.
Tatkala dirasakan Dewi Selendang Hitam terus memburunya, Bidadari Tangan Bayangan segera menggerakkan kedua tangannya kembali. Entah karena dia telah kehilangan banyak tenaga atau tidak, gerakannya nampak mulai melambat. Begitulah yang ada di pikiran Dewi Selendang Hitam.
Namun perempuan tua berpakaian hitam ini diam-diam menyadari kalau itu adalah gerakan pancingan belaka. Karena di balik gerakan lambat yang diperlihatkan lawan, tersimpan satu kekuatan dahsyat.
Menyusul sinar putih bening menghampar dengan kekuatan besar dan hawa panas yang tinggi. Rupanya Bidadari Tangan Bayangan telah lepaskan jurus 'Bayangan Matahari' nya yang dahsyat.
Dewi Selendang Hitam urungkan niat menyerang dan surut satu tindak ke belakang. Kejap itu pula dia sudah mengibaskan tangan kirinya. Blaaammm! Entah yang keberapa kali benturan keras itu terjadi. Menyusul muncratnya sinar putih dan hitam ke udara disertai terbongkarnya tanah dan ranggasan semak belukar. Suasana di sekitar sana semakin bertambah panas. Belum lagi semuanya luruh, mendadak saja terdengar gemuruh angin dahsyat ke arah Bidadari Tangan Bayangan yang masih belum kuasai keseimbangannya. Memekik tertahan perempuan berpakaian kuning bersih ini tatkala merasakan hawa panas menderu ke arahnya.
Serta merta dia membuang tubuh ke samping kanan. Dan... Blaaarrr! Gelombang angin panas yang dilepaskan Dewi Selendang Hitam menghantam sebuah batang pohon yang langsung pecah rengkah dan tumbang berdebam.
Merasa serangan lawan luput dan bersamaan semuanya nampak kembali di pandangan, Bidadari Tangan Bayangan segera berdiri dengan penuh kesiagaan.
Agak sempoyongan dengan dada yang terasa sesak.
Namun di depan, sosok Dewi Selendang Hitam sudah tak nampak lagi di pandangannya.
"Jahanam sial!!" serunya geram dan bermaksud memburu. Namun tatkala terdengar suara Tri Sari lemah, perempuan berbaju kuning bersih ini mengurungkan niatnya.
Segera dia mendekati Tri Sari yang nampak semakin kepayahan. Apalagi tatkala benturan demi benturan terjadi yang menggoncangkan tanah hingga tubuhnya terkadang terlontar ke atas, membuatnya semakin kesakitan.
Bidadari Tangan Bayangan mendesah pendek. Lalu segera diobatinya putri Pendekar Sutera ini.
Setelah Tri Sari nampak pulih dari keadaannya, Bidadari Tangan Bayangan berkata, "Tri Sari... kita harus segera mengejar Dewi Selendang Hitam...." Tri Sari menganggukkan kepalanya.
"Bibik... apakah kau sudah bertemu dengan Dewa Suci?" Bidadari Tangan Bayangan menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Orangtua itu tidak ada di tempatnya," sa-hutnya pendek. Lalu mendesah, "Aku telah lakukan kesalahan pada Kepala Besi...."
"Bibik... menurut perempuan kejam itu, dia telah membunuh Kepala Besi...."
"Oh! Berarti... aku belum meminta maaf atas kesalahanku ini...."
"Sudahlah, Bibik... kita harus segera mengambil kembali Patung Kepala Singa...," kata Tri Sari. Bidadari Tangan Bayangan menganggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Bila kau sudah merasa lebih baik, kita berangkat sekarang...." Tri Sari mengangguk dan berdiri.
Kejap kemudian, mereka segera meninggalkan tempat itu.

***

«↔└ 7 ┘↔»

Orang yang keluarkan bentakan yang membuat Pendekar Slebor dan Kepala Besi segera palingkan kepala ke arah kanan, telah berdiri tegak sejarak lima langkah. Pandangan orang ini begitu dingin sekali.
Sesaat sunyi merebak sebelum terdengar bentakannya yang penuh ancaman, "Pendekar Slebor! Kau harus membayar nyawa sahabatku si Ganda Maung!!" Pendekar Slebor yang mengenali siapa orang berpakaian biru gelap yang di dadanya terdapat selendang putih bersilangan cuma keluarkan dengusan.
"Busyet! Rupanya kau belum puas juga kugebuk, ya" Ayo, sini, sini! Biar kujitak kepalamu hingga jadi benjol tujuh! Atau...
kumis jelekmu itu ingin ditarik"!" Orang yang muncul dan tak lain Gendala Maung adanya menggeram dingin, "Jahanam keparat! Tak lagi kupersoalkan masalah Patung Kepala Singa! Yang kuinginkan, adalah nyawa busukmu!"
"Huh! Bila saja ada yang menjual nyawa... pasti nyawaku akan kuberikan padamu! Tapi ya... soalnya tidak ada yang menjual sih" Eh, ngomong-ngomong...
bagaimana kalau nyawamu yang kutukar dengan ubi rebus" Perutku sudah keroncongan nih!" Sementara wajah lelaki berkumis baplang itu semakin mengkelap, Kepala Besi diam-diam melirik Pendekar Slebor. Dia sungguh tidak mengerti melihat sikap pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur itu. Menilik sikap lelaki yang baru muncul begitu garang dan penuh ancaman, jelas kalau memang ada masalah di antara keduanya. Tetapi sikap Pendekar Slebor" Bah! Begitu santainya! Gendala Maung yang memang sedang mencari Pendekar Slebor untuk membalas kematian sahabatnya, jelas tak akan mau melepaskan kesempatan. Namun diam-diam disadarinya kalau pemuda ini bukanlah tandingannya. Mengingat di saat bersama-sama dengan Ganda Maung saja, mereka dibuat tak berkutik, apalagi kini menghadapi seorang diri.
Namun dendam telah membatu di hatinya. Dengan licik lelaki ini berkata, "Pertarungan jelas tak bisa dihindari lagi! Kita selesaikan dalam dua jurus! Bila kau tak bisa mengalahkanku dalam dua jurus, berarti kau harus membunuh diri"!"
"Bagaimana bila aku berhasil mengalahkanmu?" sahut Andika yang diam-diam menyadari apa maksud Gendala Maung.
"Aku akan membunuh diri di hadapanmu."
"Wah! Mana bisa begitu" Aku tidak mau susah payah mengubur mayatmu! Eh! Mengapa tidak dibalik saja" Bagaimana bila kau yang harus mengalahkanku dalam dua jurus?"
"Jahanam! Pemuda ini terlalu cerdik! Dia seperti tahu maksudku! Sudah tentu aku tidak akan sanggup mengalahkannya dalam waktu yang sesingkat itu! Kalaupun tadi aku berani berkata demikian, karena aku yakin mampu menahannya dalam dua jurus!" Habis membatin begitu, Gendala Maung menggeram, "Keputusan tak bisa diubah lagi! Aku yang telah buat peraturan!"
"Wah! Mana bisa begitu" Bagaimana kalau kita jalankan gagasanku" Kau menandak seperti monyet. Bila berhasil, aku akan membunuh diri di hadapanmu" Tetapi... tidak jadi, ah. Kau inikan keturunan bangsa monyet! Pasti kau bisa melakukannya! Ya, ya... kita lakukan saja apa yang kau usulkan tadi!" Gendala Maung benar-benar mengkelap mendengar kata-kata orang. Tak kuasa menahan amarahnya lebih lama lagi, dia segera menerjang ke depan.
Namun sebelum serangan itu sampai pada Andika, mendadak saja Kepala Besi sudah memapakinya.
Desss!! Masing-masing orang surut dua tindak ke belakang. Sementara Gendala Maung bertambah murka, Kepala Besi berkata, "Andika... kau tak boleh membuang waktu untuk mendapatkan Patung Kepala Singa! Lebih baik segera berangkat sekarang!"
"Huh! Kau mengganggu kesenanganku saja! Padahal kan aku ingin menjitak kepalanya!" Sebelum Kepala Besi menyahuti kata-kata si pemuda, Gendala Maung sudah keluarkan bentakan, "Pemuda keparat! Kubunuh kau!!" Menyusul tubuhnya melesat ke depan.
Namun Kepala Besi kembali memapakinya seraya berkata, "Jangan buang waktu lagi, Andika!" Di tempatnya, Andika cuma garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kalau begitu maumu ya... boleh saja. Eh! Aku ti-tip jitakan di kepalanya, ya"!" Setelah berkata begitu, pemuda urakan ini pun segera berlalu. Itu memang lebih baik. Karena Andika berpikir, dia tak boleh membuang waktu lagi. Segala latar belakang Patung Kepala Singa telah didengarnya.
Berarti, dia memang harus memecahkan rahasia Patung Kepala Singa.
Sepeninggal Andika, Gendala Maung segera menumpahkan kemarahannya pada Kepala Besi. Serangan demi serangan yang dilancarkannya begitu ganas dan mengerikan. Setiap kali dia gerakkan tangan atau kakinya, seketika menderu angin yang keras menggemuruh.
Namun Kepala Besi pun bukan orang sembarangan. Dengan gerakan-gerakan aneh di mana dia selalu menyerang dengan kepalanya, Gendala Maung dibuat surut berulangkali.
Lima belas jurus pun berlalu begitu cepatnya, sementara tempat yang tadi tenang itu kini telah porak poranda disertai teriakanteriakan membahana.
Tiga jurus kemudian, Kepala Besi sengaja mulai mengendurkan serangannya. Karena sesungguhnya dia memang tidak ingin melancarkan serangan lebih lama. Yang dilakukannya, hanyalah menahan Gendala Maung belaka dan memberikan kesempatan pada Andika untuk berlalu.
Padahal bila Kepala Besi tahu, usul yang dilontarkan oleh Gendala Maung tadi dengan mudahnya dapat dilakukan Andika. Hanya saja, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu sadar apa yang akan terjadi nanti. Bila dia berhasil mengalahkan Gendala Maung dalam dua jurus, tak mustahil Gendala Maung akan membunuh diri di hadapannya. Hal ini jelas tak dihendaki oleh Andika. Makanya, dia sengaja membiarkan Kepala Besi yang menghadapi Gendala Maung.
Sementara itu, Kepala Besi yang memang sengaja mengurangi serangannya mencoba mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Karena dia memang tidak mau meneruskan pertarungan itu lebih lama.
Namun apa yang dihendakinya itu telah terbaca oleh Gendala Maung. Lelaki berkumis baplang yang murka ini, tak mau membiarkan Kepala Besi lolos dari setiap serangannya. Dan menilik apa yang telah masing-masing orang lakukan, jelas kalau keduanya berimbang. Dengan gusar disertai makian-makian yang memerahkan telinga, lelaki berbaju biru gelap ini terus mencecar dengan ganas.
Mendapati lawan terus menyerangnya, membuat Kepala Besi pun tak dapat bertindak ayal. Kembali dipergencar serangannya pula. Hingga letupan demi letupan yang terdengar, benturan keras yang menyakitkan, berulang kali terjadi.
Akan tetapi, Kepala Besi tetap berkeinginan tidak meneruskan pertarungan itu. Dalam satu kesempatan, dia meluruk dengan kepala tertunduk.
Gendala Maung sejenak terkesiap, sebelum akhirnya melompat ke muka dengan sikut kanan ditekuk dan siap dihantamkan pada kepala lawan.
Memang itulah yang diharapkan oleh Kepala Besi.
Serangan kepalanya yang dilakukan kali ini, hanyalah merupakan sebuah pancingan belaka. Karena begitu tubuh Gendala Maung melayang naik dan siap hantamkan sikut kanannya, mendadak saja dengan kaki kanan menjejak tanah, tubuh Kepala Besi berbalik ke belakang. Saat itulah jotosannya dilepaskan.
Bukkk! Telak menghantam dada Gendala Maung yang tersuruk ke belakang. Bila saja Kepala Besi menghendaki nyawanya, maka dengan mudahnya dilakukan. Selagi lawan masih tak mampu kuasai keseimbangannya, bukanlah hal yang sulit untuk lepaskan pukulan kembali. Tetapi lelaki berkepala plontos ini justru putar tubuh dan kejap itu pula dia berkelebat menjauh.
Sadar kalau telah terjebak oleh serangan lawan, Gendala Maung berteriak garang. Tangan kanannya dikibaskan ke depan. Gelombang angin yang menderu gagal menghantam Kepala Besi karena lelaki itu telah menjauh.
"Jahanam terkutuk!!" maki Gendala Maung keras tetapi tidak mengejar, karena dadanya dirasakan cukup nyeri.
Sesaat lelaki berkumis baplang ini keluarkan geraman dingin. Menyusul dia segera alirkan tenaga dalamnya guna menghilangkan rasa sakit di dadanya.
Setelah beberapa saat, lelaki ini angkat kepalanya lagi.
"Pendekar Slebor dan Kepala Besi... tunggulah pembalasanku kelak...." Habis keluarkan ucapan yang seperti ditujukan pada angin yang berhembus, salah seorang dari Dua Iblis Lorong Maut ini segera berlalu meninggalkan tempat itu.

***

«↔└ 8 ┘↔»

Pagi kembali datang. Burung-burung beterbangan kian kemari dan keluarkan suara bercicitan yang enak didengar. Beberapa dedaunan berguguran dan terbang menjauh dari asalnya. Dalam kesejukan udara dan sinar matahari yang masih terasa suam-suam kuku, Dewi Selendang Hitam tiba di tempat itu.
Sejenak perempuan yang dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutup selendang warna hitam ini, perhatikan sekelilingnya. Mendadak dikertakkan rahangnya seraya mendesis, "Kurang ajar! Seharusnya kubunuh saja Bidadari Tangan Bayangan dan gadis bernama Tri Sari itu! Sungguh tak kusangka kalau ada yang luput dari pembantaian yang kulakukan di Kuil Putra Langit! Tetapi... nasibku masih beruntung... karena bila gadis itu mati kubunuh, niscaya aku tetap tak akan mengetahui di mana Patung Kepala Singa berada!" Perlahan-lahan diarahkan pandangannya pada Patung Kepala Singa yang berada di tangannya. Menyusul dia segera melompat ke balik ranggasan semak belukar. Pancaran matanya berbinar-binar gembira tatkala kembali pandangi Patung Kepala Singa.
"Akhirnya... kudapatkan pula Patung Kepala Singa yang sejak lama membuatku bertanya-tanya, ada apa di balik semua ini...," desisnya gembira.
"Hmmm... Kepala Besi yang dulu memiliki benda ini telah mampus di tanganku. Memang sayang, karena aku tak bisa bertanya lebih lanjut tentang rahasia yang ada pada Patung Kepala Singa ini...." Sejenak perempuan ini terdiam sebelum melanjutkan kata-katanya, "Kendati demikian... apa yang kudengar selama ini tentang Patung Kepala Singa, tak akan kubiarkan begitu saja. Satu-satunya jalan untuk memecahkan rahasia apa yang ada pada benda ini, adalah dengan jalan menghancurkannya. Ya, dengan cara menghancurkannya...." Kembali dipandanginya patung yang keluarkan cahaya perak itu dengan pancaran mata kian berbinar.
Lalu diperhatikan sekelilingnya lagi.
Tatkala disadarinya tak ada orang lain di sana, segera saja perempuan ini angkat tangan kanannya, siap untuk memukul hancur Patung Kepala Singa. Namun sebelum dilakukannya, mendadak telinganya menangkap satu kelebatan tubuh dari kejauhan. Sambil keluarkan dengusan, segera diurungkan niatnya dan mengintip dari balik ranggasan semak belukar.
"Pendekar Slebor...," desisnya begitu melihat siapa orang yang berkelebat.
"Celaka! Urusanku akan menjadi panjang. Pemuda itu sedang mencari pembantai di Kuil Putra Langit, sekaligus mencari Patung Kepala Singa. Keparat betul! Bila menuruti kata hatiku, sudah kuhajar dia sekarang! Tetapi... aku tak boleh membuang waktu! Rahasia Patung Kepala Singa harus kupecahkan...." Sesaat perempuan kejam ini terdiam, sebelum akhirnya memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, pemuda dari Lembah Kutukan tiba sejarak tujuh langkah dari tempat Dewi Selendang Hitam bersembunyi tadi. Sejenak pemuda ini garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Patung Kepala Singa... Patung Kepala Singa...
huh! Pusing amat kepalaku ini dibuatnya"!" makinya pada diri sendiri, karena di sana memang tidak ada siapa pun.
"Menurut cerita Kepala Besi yang ternyata pemilik sah dari Patung Kepala Singa, patung itu me-nyimpan sebuah rahasia yang memang sungguh menakjubkan. Ada luruhan dalam cahaya perak yang pernah dilihat Eyang Kapi Pitu... Luruhan abu... luruhan yang tentunya berasal dari abu patung itu sendiri...." Sejenak Pendekar Slebor terdiam. Otaknya diperas untuk memecahkan rahasia apa yang ada pada Patung Kepala Singa. Kemudian desisnya, "Luruhan abu... apakah rahasia itu terdapat pada luruhan abu Patung Kepala Singa" Tetapi menurut cerita Eyang Kapi Pitu yang kudengar dari Kepala Besi... tak terdapat apa-apa pada luruhan abu itu.
Lantas... apa maksud cahaya yang menggambarkan kepala singa kemudian menjadi luruhan abu. Atau jangan-jangan...."
"Rupanya pemuda konyol lagi yang bertemu denganku! Hei! Apakah kau sedang memikirkan betapa bahenolnya janda yang baru saja bertemu denganmu"!" terdengar seruan bernada nyaring itu yang memutus jalan pikiran Andika.
Serta merta Andika palingkan kepalanya ke arah kiri. Dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian hitam gombrang yang di pinggangnya melilit selendang hitam sedang melangkah. Wajah perempuan itu dipenuhi keriput. Di kepalanya yang berambut putih terdapat sebuah sanggul kecil.
Andika tertawa. Lalu membalas, "Bagaimana aku bisa bertemu dengan janda bahenol, bila yang muncul justru nenek peot jelek yang bau tanah"!" Perempuan tua yang muncul itu tertawa pula dan berhenti sejarak tiga tindak dari hadapan Andika.
"Huh! Pemuda seperti kau ini... kambing diberi bedak pun bisa disikat!"
"Wah! Kalau kambing itu jeleknya seperti kau...
mana aku mau Nek!" Perempuan tua itu keluarkan dengusan.
"Dasar urakan! Ngomong-ngomong... apakah kau sudah mendapatkan Patung Kepala Singa dari tangan Kepala Besi?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Nek! Kau telah lakukan kesalahan bila mengatakan Kepala Besi lah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit!" Perempuan tua yang bukan lain Nyi Dungga Ratih adanya, mengerutkan kening. Lalu bertanya heran, "Mengapa kau berpikir seperti itu?"
"Siapa dulu dong" Andika...," sahut Andika sambil menepuk dadanya. Lalu melanjutkan, "Orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit adalah perempuan tua berjuluk Dewi Selendang Hitam...."
"Dewi Selendang Hitam" Setahuku... bukankah dia telah mengundurkan diri dari rimba persilatan setelah dipecundangi oleh Kepala Besi?"
"Kau benar! Tetapi perempuan itu muncul kembali dan mengalahkan si Kepala Besi, juga menghendaki Patung Kepala Singa yang ternyata Kepala Besi lah pemilik sah benda itu!"
"Jangan bicara ngawur!" bentak Nyi Dungga Ratih.
"Apa-apaan kau bilang Kepala Besi pemilik sah dari Patung Kepala Singa"!"
"Kenyataannya memang seperti itu!"
"Huh! Mengapa kau tiba-tiba seperti membelanya"!" sentak Nyi Dungga Ratih dengan mata melotot.
"Busyet! Mana bisa aku membelanya" Sejak pertama pun aku sudah menduga kalau bukan lelaki berkepala plontos itu yang telah lakukan pembantaian...." Nyi Dungga Ratih tak segera menjawab. Justru pandangannya tak berkedip pada Andika.
"Dari mana kau tahu semua itu" Dan bagaimana kau bisa tahu kalau Kepala Besi tak memiliki sehelai rambut pun?"
"Pertanyaan pertamamu dengan mudah bisa kujawab. Semuanya kuketahui... dari Kepala Besi sendiri.
Pertanyaanmu yang kedua pun mudah kujawab, karena aku telah bertemu dengannya...."
"Hei!!" tiba-tiba saja Nyi Dungga Ratih keluarkan seruan tertahan. Bahkan dia sampai surut satu tindak ke belakang. Wajahnya sejenak menampakkan kehe-ranan yang sangat. Namun kejap berikutnya, sudah diubah lagi mimik wajahnya.
Andika yang memperhatikan diam-diam membatin heran, "Aneh! Mengapa dia begitu terkejut" Apa yang sebenarnya terjadi" Hmmm...
bisa jadi keterkejutannya itu dikarenakan dia tetap menyangka Kepala Besi lah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit." Lalu terdengar suara Nyi Dungga Ratih, "Kapan kau berjumpa dengannya?"
"Aneh lagi! Pertanyaannya itu seolah menggambarkan kalau dia merasa Kepala Besi sudah mampus! Huh! Dasar sudah bau tanah, sudah mulai pikun rupanya!" kata Andika dalam hati. Kemudian berkata, "Nek... kau ini kenapa sih" Sepertinya kau begitu heran mendengar apa yang kukatakan."
"Kapan kau berjumpa dengannya?" ulang Nyi Dungga Ratih, kali ini agak menekan.
"Baru kemarin aku berjumpa dengannya! Nah, nah... menilik suaramu... nampaknya kau begitu tak sabar ingin berjumpa dengannya! Jangan-jangan... lelaki plontos itu kekasihmu ya. Nek" Tapi ya... kalau kekasihmu, mengapa kau pernah menuduhnya" Ih! Bagaimana sih ini?" Nyi Dungga Ratih tak menjawab. Jelas sekali ka lau dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Tahu-tahu perempuan tua ini mengangkat kepalanya dan berkata, "Di mana kau bertemu dengannya?"
"Busyet! Kau benar-benar sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya, ya" Wah... bila kau menghendaki jawaban, carikan aku makanan dulu deh! Perutku lapar! Tidak usah yang mahal-mahal... ubi rebus juga boleh!" Di luar dugaan Andika, Nyi Dungga Ratih justru keluarkan bentakan, "Jangan bertele-tele! Jawab pertanyaanku itu!!"
"Kutu monyet! Apa-apaan sih nenek ini" Mengapa dia tahu-tahu jadi beringas begitu" Huh! Ini pasti disebabkan karena dia tidak percaya mendengar katakataku tadi! Dan jelas pula kalau dia sebenarnya masih menyangka Kepala Besi lah yang telah membunuh orang-orang Kuil Putra Langit. Hmm... ini harus dibe-reskan dulu sebelum akhirnya jadi salah paham, seperti yang pernah dilakukan Bidadari Tangan Bayangan pada Kepala Besi." Berpikir begitu Andika segera menjawab, "Kalaupun kukatakan tempat di mana aku bertemu dengan Kepala Besi, sudah bisa dipastikan kalau lelaki itu sudah tidak ada di sana.
Berarti, kau akan percuma mendatanginya...." Nyi Dungga Ratih hanya mendengus.
Andika membatin lagi, "Aku tidak tahu apakah Kepala Besi berhasil mengatasi Gendala Maung. Tetapi... lelaki tinggi besar itu telah pulih tenaganya setelah bertarung dengan Dewi Selendang Hitam. Paling tidak, bila dia memang tidak mampu mengatasi Gendala Maung, dia bisa meloloskan diri." Habis membatin begitu Andika berkata lagi, "Nek... apa yang kukatakan tadi adalah sebuah kebenaran. Orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit berjuluk Dewi Selendang Hitam. Bukan Kepala Besi. Sementara saat berjumpa dengannya, Kepala Besi dalam keadaan terluka parah akibat pertarungannya dengan Dewi Selendang Hitam. Lelaki itu menceritakan, lalu dia berlagak mampus setelah dihajar oleh Dewi Selendang Hitam! Bila dia tidak melakukan seperti itu, bisa terjadi...." Kata-kata Andika terputus tatkala mendengar suara Nyai Dungga Ratih, "Kita berpisah di sini!" Gondok juga Andika kata-katanya diputus seperti itu. Makanya dia berkata, "Berpisah di sini atau di sa-na juga sama saja! Tetapi... kau ini kenapa" Janganjangan... kau lagi sakit gigi, ya?" Tak menjawab selorohan Pendekar Slebor, perempuan berbaju hitam itu justru arahkan pandangannya lekat-lekat pada Andika. Diam-diam pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini, menangkap sinar tak senang dari pancaran mata itu, jelas dikarenakan pertanyaannya barusan. Menyusul didengarnya suara Nyi Dungga Ratih, tajam dan tegas, "Masih ada beberapa hal yang harus kubuktikan dari penjelasanmu, Pendekar Slebor.... Dan nampaknya, aku tak bisa menjelaskannya sekarang...."
"Bisa atau tidak bisa toh bukan urusanku! Sudahlah, kau pergi sana! Bila kau terus menerus berada di hadapanku, jangan-jangan orang-orang yang meli-hatku menyangka aku sedang bicara dengan orangorangan sawah!" Nyi Dungga Ratih tak hiraukan selorohan Andika.
Setelah keluarkan dengusan, perempuan tua ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Nyi Dungga Ratih, Andika membatin, "Ada sesuatu yang aneh di sini... sesuatu yang harus mendapatkan kejelasan dari semua ini...." Habis membatin demikian, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini segera tinggalkan tempat Itu, yang saat itu pula direjam sepi menggigit.

***

«↔└ 9 ┘↔»

Di sebuah tempat yang cukup jauh dari pertemuan Pendekar Slebor dan Nyi Dungga Ratih, Dewi Selendang Hitam menggeram sendirian di balik ranggasan semak. Patung Kepala Singa masih berada di tangan kanannya.
"Jahanam terkutuk! Rupanya Kepala Besi belum tewas! Sial! Menilik kata-kata Pendekar Slebor, jelas kalau sebelumnya Kepala Besi memang belum tewas! Keparat Plontos! Dia mengelabuiku dengan berlagak mampus! Jahanam sial!!" Perempuan yang dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutup selendang hitam itu menggeram panjang pendek. Mendadak dia keluarkan dengusan diiringi kata-kata, "Peduli setan dengan semua itu! Aku harus secepatnya memecahkan rahasia Patung Kepala Singa sebelum ada urusan lain datang." Setelah memperhatikan tempat di sekitarnya, perempuan ini segera angkat tangan kirinya dan siap memukul hancur patung yang memancarkan sinar perak. Namun sebelum dilakukannya, mendadak terdengar suara, "Apakah kau hanya memandang sebelah mata kepadaku" Atau... kau tak lagi menganggapku sebagai sahabat?" Seketika Dewi Selendang Hitam palingkan kepala membuka lebih lebar. Di belakangnya, satu sosok tubuh berpakaian hijau pekat telah berdiri. Bukan dengan kedua kaki, melainkan dengan kedua tangannya sementara kedua kakinya menjulang ke atas.
"Bocah Liar...," desisnya dalam hati.
"Gila! Sejak kapan lelaki jahanam bertampang bocah ini hadir di sini" Sejak tadi aku tidak melihat dirinya...." Orang yang keluarkan suara tadi, tertawa pelan.
Suaranya tidak enak didengar. Lalu dengan gerakan lincah, dia putar tubuh dan berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Tatkala berdiri itu, sosoknya hanya setinggi bahu Dewi Selendang Hitam. Rambutnya panjang berombak hingga bahu. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang agak memerah. Namun matanya begitu dingin dan kejam, bahkan berkilat-kilat seperti pancarkan niat membunuh. Julukan Bocah Liar bukan julukan kosong belaka.
Lelaki yang sebenarnya berusia tidak jauh berbeda dengan Dewi Selendang Hitam ini dikenal sebagai pembunuh keji yang tak pernah memikirkan rasa belas kasihan. Siapa pun orang yang ingin dibunuhnya, maka dia harus mati saat itu pula.
Tiga puluh tahun yang lalu, Dewi Selendang Hitam memang telah menjalin persahabatan dengan Bocah Liar. Karena sesungguhnya, Bocah Liar secara tidak langsung adalah gurunya. Setelah dulu dikalahkan oleh Kepala Besi, Dewi Selendang Hitam memang berguru pada lelaki bertampang bocah itu. Namun Bocah Liar tak pernah mau dianggap sebagai guru. Hal itu bagi Dewi Selendang Hitam sendiri memang lebih baik, ketimbang dia harus tinggikan segala sopan santun dan tetek bengek peradaban. Namun kehadiran Bocah Liar yang tak disangkanya, jelas tak membuatnya suka. Padahal setahunya, lelaki bertampang bocah itu sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari rimba persilatan. Kalaupun sekarang tahu-tahu muncul, sudah tentu ada urusan yang tak bisa dilepaskan. Pandangannya pun berubah dingin dan penuh kebencian.
"Mau apa kau muncul di hadapanku, hah"!" har-diknya segera.
Lelaki bertampang bocah itu hanya keluarkan tawa pendek.
"Bila saja dulu aku tidak pernah berkata, bahwa kau akan kujadikan sahabatku, bukan muridku, sudah kuhajar kau sekarang, Dewi!!"
"Jahanam terkutuk! Kendati aku yakin dia tak menurunkan ilmu-ilmunya padaku... tetapi aku tak peduli! Bila dia bertindak macam-macam, akan kubunuh dia!" Habis membatin begitu, Dewi Selendang Hitam berkata, "Lantas apa maumu, hah"!"
"Kulihat... di tanganmu ada sebuah benda yang begitu indah dan pancarkan cahaya perak. Kalau tidak salah, bukankah itu Patung Kepala Singa?"
"Bila iya kau mau apa, bila tidak kau mau apa"!" sahut Dewi Selendang Hitam dan diam-diam dialirkan tenaga dalam pada tangan kirinya.
Bukannya sahuti ucapan orang, Bocah Liar justru tertawa keras-keras. Seperti ada hamparan angin yang menghantam, tanah di mana dia berdiri berhamburan.
Menyusul ranting-ranting pohon yang patah beterbangan serta bertabrakan satu sama lain, hingga timbulkan suara berderak-derak.
Diam-diam Dewi Selendang Hitam jeri juga melihat sebagian kecil tenaga dalam yang dipamerkan lela-ki bertampang bocah itu.
Tetapi rasa tidak sukanya karena kehadiran Bocah Liar, membuatnya tak peduli dengan semua itu! "Bocah sialan! Menilik kata-katanya, dia juga mempunyai keinginan untuk mendapatkan Patung Kepala Singa! Hhhh! Biar bagaimanapun juga, akan ku pertahankan benda yang kudapatkan dengan susah payah ini!!" makinya dalam hati.
Lalu didengarnya kata-kata Bocah Liar di sela-sela tawanya, "Kau nampaknya tak menyukai kehadiranku, Dewi! Peduli setan kau suka atau tidak! Dan menilik ketidaksukaanmu itu, jelas dikarenakan Patung Kepala Singa, bukan?"
"Kalau kau sudah tahu, lebih baik menyingkir! Hubungan kita bukanlah murid dengan guru!"
"Kupahami sekali kata-katamu itu! Kita hanya sahabat! Karena persahabatan itulah maka aku pu- tuskan untuk tidak mengganggu apa yang kau hendaki dari Patung Kepala Singa! Dan sekarang, bukankah lebih baik bila aku berada di sini ketimbang kau seorang diri, Dewi?"
"Sial! Kata-katanya seperti menunjukkan kalau dia memang tidak tertarik. Tetapi di balik semua itu, tentunya dia akan merebut bila aku telah berhasil memecahkan rahasia Patung Kepala Singa. Jahanam terkutuk!!" Kendati membatin demikian, perempuan ini berkata juga, "Bila kau pegang ucapanmu itu, maka aku akan menghargaimu!"
"Sudah tentu aku akan memenuhinya! Karena...
aku mencintaimu, Dewi!!" Sampai surut satu langkah Dewi Selendang Hitam mendengar kata-kata orang. Sejenak dia tak keluarkan suara, hanya sepasang matanya menatap tak berkedip pada lelaki bertampang bocah yang sedang tersenyum di hadapannya.
"Gila! Pernyataan gila yang pernah kudengar! Tetapi... suara dan pancaran matanya begitu polos! Huh! Kendati demikian, aku tak boleh terpengaruh!" Habis membatin begitu, Dewi Selendang Hitam berkata, "Bila kau memang jujur dengan yang kau katakan, bantu aku memecahkan rahasia patung ini!"
"Sudah tentu aku akan membantumu.... Tetapi...." Bocah Liar nampak seperti sengaja memutus kata-katanya sendiri. Sementara Dewi Selendang Hitam menggeram dalam hati, "Peranan apa lagi yang akan dimainkannya" Benar-benar manusia celaka yang hanya membuang waktuku saja! Bila bukan dia yang hadir, sudah kubunuh sekarang juga! Tetapi... tenaga dan kesaktiannya dapat kupergunakan bila sesuatu yang tak kuinginkan terjadi...."
"Apa maumu?" serunya kemudian.
Bocah Liar hanya tertawa sambil berkata, "Dewi...
apakah kedua telingamu kini sudah tuli, hingga kau tidak menangkap gerakan yang datang ke sini" Menilik gerakannya, orang yang datang ini memiliki ilmu yang lumayan. Dan menilik desah nafasnya, dia jelas seorang gadis...." Seketika kepala Dewi Selendang Hitam menegak.
Diam-diam dikaguminya kesaktian yang diperlihatkan lelaki bertampang bocah itu.
"Seorang gadis" Apakah bukan putri Pendekar Sutera" Tetapi, bukankah saat kutinggalkan dia bersama dengan Bidadari Tangan Bayangan?" batinnya dan berkata, "Bila memang dia seorang gadis, apakah kau masih memikirkan atau bertanya kepadaku tindakan apa yang akan kau lakukan?" Bocah Liar tertawa keras.
"Kau memang pandai mengetahui apa yang kuinginkan! Seperti dulu, kau tidak pernah marah atau cemburu saat kuculik gadis-gadis dan kucumbu, yang terkadang kulakukan di hadapanmu!"
"Mengapa kau tidak menyambarnya sekarang?"
"Mengapa harus kulakukan, kalau gadis itu justru sedang menuju ke sini"!" Habis kata-katanya, lelaki bertampang bocah yang kenakan pakaian warna hijau gelap itu, melangkah santai keluar dari balik ranggasan semak belukar.
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam menjadi penasaran untuk mengetahui siapa yang datang. Dipandanginya sesaat Patung Kepala Singa.
"Terpaksa harus kutunda lagi keinginanku untuk memecahkan rahasia patung ini. Biar bagaimanapun juga, aku tak bisa mempercayai lelaki bertampang polos itu. Hmmm.. biarlah dia bersenang-senang dengan gadis yang datang ini, sementara akan kupergunakan kesempatan itu untuk memukul hancur patung ini! Mudah-mudahan apa yang menjadi rahasia itu memang ada di dalamnya...." Memutuskan demikian, perempuan yang kepalanya tertutup selendang hitam dan nampak ada sedikit tonjolan, segera menyusul Bocah Liar.
Masing-masing orang tak ada yang keluarkan suara. Tegak bersisian sejarak tiga tindak.
Lima kejapan mata berikutnya, nampak satu sosok tubuh berpakaian ringkas biru kehijauan tiba di tempat itu yang segera hentikan larinya. Bibir gadis berambut dikuncir dua ini tipis memerah, terkatup ra-pat saat sepasang mata jernihnya pandangi kedua orang yang berbeda jenis di hadapannya.
Di hadapannya, Bocah Liar tertawa dan berkata, "Dewi Selendang Hitam... kau lihat apa yang kukatakan tadi, bukan" Bagaimana" Apakah bila kugeluti gadis itu kau tidak cemburu dan tetap menerima cintaku?"
"Cinta taik kucing!!" maki Dewi Selendang Hitam dalam hati. Lalu berkata dingin sementara pandangannya tak berkedip pada gadis yang baru muncul, "Apa yang hendak kau lakukan, bukanlah urusanku! Bila kau memang menghendakinya, mengapa kau tidak segera melakukan sekarang?"
"Sudah tentu akan kulakukan sekarang! Terlalu bodoh bila kutinggalkan kenikmatan yang satu ini!" sahut Bocah Liar tertawa. Lalu seraya maju satu langkah, lelaki bertampang bocah ini berkata pada si gadis, "Anak manis... hendak ke manakah kau ini" Nampaknya begitu tergesa-gesa sekali?" Gadis yang tak lain Nawang Wangi adanya terdiam dengan pandangan tak berkedip pada kedua orang di hadapannya. Murid Bidadari Tangan Bayangan yang baru lepas dari perbuatan terkutuk yang hendak dilakukan Gendala Maung membatin dalam hati, "Celaka! Nampaknya kedua orang ini bukan orang baik-baik! Oh.. Mengapa Dewi Suci justru mengarahkanku ke mereka" Padahal yang kuharapkan adalah berjumpa dengan Guru seperti yang dikatakannya." Karena tak mendapati sahutan, Bocah Liar berkata lagi, "Kendati siang sudah melangkah... tetapi udara begitu dingin. Aku menghendakimu sebagai penghan-gat, gadis manis?" Memerah wajah Nawang Wangi mendengar katakata orang. Saat itu pula hatinya tersinggung. Teruta-ma tatkala teringat perlakuan Gendala Maung kepadanya. Sambil maju selangkah dan alirkan tenaga dalam pada tangan kanan dan kirinya, dia berseru keras, "Manusia terkutuk! Ucapanmu begitu kotor dan menjijikkan! Lebih baik menyingkir dari hadapanku, sebelum kau menyesal!!" Bukannya segera sahuti ucapan orang, Bocah Liar justru palingkan kepala pada Dewi Selendang Hitam, agak mendongak, "Kau dengar kata-katanya, Dewi?" Dewi Selendang Hitam mendengus.
"Hhhhh! Bila kau menghendakinya, mengapa masih banyak bicara"!"
"Kau benar-benar sudah tak sabar ingin melihat pertunjukan masyuk, ya" Akan kulakukan untukmu!!" Habis kata-katanya, tanpa mempedulikan wajah perempuan di sampingnya mengkelap gusar, mendadak saja lelaki yang tingginya hanya sebahu itu, menggerakkan tangan kanannya ke depan. Nawang Wangi yang sejenak tadi sudah bersiaga, ternyata harus dibuat terkejut pula tatkala merasakan hawa dingin seperti menyergap kedua kakinya. Cepat murid Bidadari Tangan Bayangan ini angkat kedua kakinya dan berpindah tempat.
Namun sebelum dia kembali jejakkan tanah, mendadak saja kedua kakinya kembali disergap hawa dingin.
"Heeiii!!" jeritnya tertahan dan segera hempos tubuh kembali.
Rupanya Bocah Liar memang tak mau membuang waktu. Selagi tubuh si gadis semakin melambung, dengan ringan saja kembali digerakkan tangan kanannya. Kali ini serangkum hawa dingin bukan hanya siap untuk menyergap kaki kanan dan kiri, melainkan sekujur tubuh si gadis.
Sudah tentu Nawang Wangi kalang kabut dibuatnya. Dan gadis ini benar-benar tak mampu untuk menghindar kembali. Maka saat itu pula tubuhnya seperti digulung oleh hawa dingin. Anehnya, tubuhnya tidak ambruk, melainkan turun perlahan-lahan yang kemudian seperti tangan lembut membaringkannya di atas tanah. Kejap itu pula terdengar makiannya, "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam diam-diam membatin, "Luar biasa! Kesaktian lelaki tua bangka bertampang bocah ini memang hebat! Hhhh! Aku tahu apa maksudnya dia perlihatkan ilmu seperti itu! Tentunya untuk melecehkanku, karena dia tak menurunkannya kepadaku!" Sementara Nawang Wangi mencoba berontak sambil keluarkan makian-makian keras, Bocah Liar sedang tertawa sendirian. Lalu sambil tengadahkan kepalanya pada Dewi Selendang Hitam dia berkata, "Bagaimana?"
"Jahanam! Dari pertanyaannya itu jelas kalau dia sedang mengejekku!" maki Dewi Selendang Hitam dalam hati. Lalu berseru ketus, "Apa maksudmu dengan bagaimana?"
"Apakah kau sengaja tidak segera menjauh dari sini memang untuk melihat aku menggeluti gadis itu, atau kau berharap aku akan melakukannya juga padamu?" Sebelum Dewi Selendang Hitam yang siap lontarkan makiannya, lelaki berbaju hijau pekat itu sudah melanjutkan kata-katanya, "Jangan kuatir... aku masih sanggup untuk melayanimu!! Bahkan... berkali-kali kau minta, akan kulayani... ha ha ha ha!!"
"Bangsat keparat!" maki Dewi Selendang Hitam dalam hati. Hampir saja dia mengangkat tangan kirinya untuk mengepruk kepala Bocah Liar. Namun masih disadarinya kalau dia harus mempergunakan kesempatan itu untuk memecahkan rahasia Patung Kepala Singa. Makanya dia berkata, "Silakan kau tun-taskan segala keinginanmu!!" Di luar dugaannya, Bocah Liar justru berkata, "Dan tentunya... di dasar hatimu kau senang dengan yang akan kulakukan ini, bukan" Karena kau dapat pergunakan kesempatan ini untuk meneruskan niatmu pada patung itu! Tetapi... he he he... ingatlah, kau tak akan lepas dari tanganku kendati kau berada di seberang lautan sekalipun!" Dewi Selendang Hitam hanya kertakkan rahangnya saja. Kejap kemudian, perempuan yang dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutup oleh selendang warna hitam itu, segera berkelebat cepat. Namun baru tiga tindak dia bergerak, mendadak saja satu gelombang angin menderu dahsyat, menyusul hamparan sinar putih terang menggebubu ke arahnya.
"Heeeiiii!!" memekik tertahan Dewi Selendang Hitam sambil membuang tubuh ke belakang. Blaaaammm!! Gemuruh angin yang melesat mendahului sinar putih terang itu menghantam tanah yang seketika terbongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara.
Sementara sinar putih terang tadi, seperti menambah kedahsyatan akibat gemuruh angin yang pertama. Seketika itu pula tanah yang telah terbongkar tadi, semakin lebar membentuk lubang yang keluarkan asap.
Kejap berikutnya, dua sosok tubuh telah tiba di tempat itu. Yang berdiri di sebelah kanan, seorang gadis jelita berambut dikuncir ekor kuda dan mengenakan pakaian putih-putih. Sementara yang di sebelah kirinya, yang tadi lepaskan serangan ganasnya pada Dewi Selendang Hitam, kenakan pakaian berwarna kuning bersih. Perempuan setengah baya ini yang di pinggangnya melilit selendang warna merah, langsung keluarkan bentakan, "Perempuan sesat! Kembalikan Patung Kepala Singa kepada kami!! Jangan sampai... oh!!" Seruannya terputus tatkala melihat satu sosok tubuh yang dikenalnya tergolek tak berdaya di atas tanah menyusul terdengar seruannya terkesiap, "Nawang Wangi.."

***

«↔└ 10 ┘↔»

Dewi Selendang Hitam segera putar tubuh menghadap ke masing-masing orang yang baru datang. Sementara itu, Bocah Liar hanya tersenyum sendirian dengan pancaran mata yang dingin dan kejam.
Sebelum masing-masing orang ada yang buka mulut, Nawang Wangi telah berseru keras, "Guruuuu!!" Perempuan berpakaian kuning bersih itu cuma menarik napas pendek.
"Celaka! Mengapa Nawang Wangi bisa berada di sini" Apakah dia tahu kalau wak-tu lalu aku memang sengaja menahannya agar dia tidak merengek untuk ikut denganku" Menilik gelagat, nampaknya sulit bagiku untuk menghadapi apa yang telah terjadi ini." Dewi Selendang Hitam berkata, "Bidadari Tangan Bayangan... kalau waktu lalu aku sengaja membiarkan nyawamu masih melekat di badan, kali ini jangan harapkan kalau aku akan turunkan lagi belas kasihan kepadamu...." Perempuan yang tadi lepaskan serangan pada Dewi Selendang Hitam dan memang Bidadari Tangan Bayangan adanya, merandek dingin.
"Hhh! Kau boleh berbangga karena berhasil meloloskan diri dari tanganku! Tetapi sekarang... semua yang kau inginkan akan pupus saat ini juga!!" Sebelum Dewi Selendang Hitam sahuti ucapan orang, terdengar suara Bocah Liar, "Dewi... siapakah kedua perempuan ini" Sungguh, aku tertarik pada gadis berbaju putih itu" Hmmm... sekarang aku benarbenar memiliki dua hidangan nikmat yang tak bisa kulepaskan begitu saja...."
"Jahanam terkutuk! Tutup mulutmu!!" sambar Bidadari Tangan Bayangan keras. Diamdiam disada- rinya kalau orang yang telah memperdayai muridnya seperti itu adalah lelaki bertampang bocah yang barusan bicara.
"Semua ini tak ada urusannya denganmu! Lepaskan muridku!"
"Hmmm... begitu bodoh bila kulepaskan muridmu yang montok ini, Perempuan" Dan kau... ah, aku tahu kau sebenarnya iri melihat keberuntungan muridmu yang akan menerima kenikmatan dariku! Tetapi... kau tak perlu iri dan gundah, karena... kuputuskan pula untuk membagi kenikmatan ini kepadamu!!"
"Jahanam sial!!" maki Bidadari Tangan Bayangan keras. Saat itu pula didorong kedua tangannya ke mu-ka. Segera saja menghampar dua gelombang angin dahsyat ke arah Bocah Liar, yang hanya pandangi saja sambil keluarkan tawa.
Lalu dengan santainya, diangkat tangan kanannya. Dibuat gerakan seperti mengusap dengan telapak tangan membuka. Seperti ada sebuah tenaga yang tak nampak, dua gelombang angin yang menggebrak ke arahnya, putus di tengah jalan.
Blaaaammmm!! Terkesiap bukan alang kepalang Bidadari Tangan Bayangan mendapati serangannya diputuskan dengan cara yang paling santai. Kejap itu pula dikertakkan rahangnya. Pandangannya menyipit tajam dengan sepasang pelipis yang bergerak-gerak.
"Jahanam! Siapa lelaki bertampang bocah itu" Kesaktiannya melebihi Dewi Selendang Hitam! Benarbenar celaka! Menghadapi Dewi Selendang Hitam saja aku sudah dibuat pontang-panting, apalagi ditambah lelaki itu yang sepertinya kambrat dari Dewi Selendang Hitam?" Untuk sesaat perempuan berpakaian kuning bersih ini terdiam dengan pandangan mengira-ngira. Di saat lain, dia membatin kembali, "Peduli setan! Siapa pun dan berapa pun tingkat kesaktian kedua orang celaka itu, aku tak peduli! Bahkan nyawa pun akan kukorbankan untuk kebenaran!!" Memutuskan demikian, Bidadari Tangan Bayangan berbisik pada Tri Sari, "Tri... lebih baik kau menyingkir dari sini. Biar aku yang menangani semua ini...." Tri Sari tahu, kalau sesungguhnya Bidadari Tangan Bayangan tak akan mampu menghadapi kedua orang itu. Gadis ini pun tak mau melepaskan kesempatan untuk bertarung dengan orang yang telah membunuh ayah dan saudara-saudaranya, kendati disadarinya pula kalau dirinyalah yang memiliki ilmu paling rendah.
Makanya dia berkata, "Tidak, Bibik.... Biar bagaimanapun juga, kita akan menghadapi bersama-sama.
Patung Kepala Singa harus kuserahkan pada pemiliknya yang sah, sesuai dengan amanat ayah sebelum meninggal" Diam-diam Bidadari Tangan Bayangan mendesah masygul. Sebenarnya dia ingin mengulangi perintahnya lagi, tetapi tatkala disadarinya pancaran mata Tri Sari yang begitu bersemangat dan tak akan mengurungkan niat kendati terbentur dinding tebal, dia akhirnya diam saja.
Pandangannya kembali diarahkan pada Dewi Selendang Hitam, "Rasanya... tak ada jalan lain untuk segera memulai pertarungan ini!!" Bukannya Dewi Selendang Hitam yang sahuti kata-kata orang, Bocah Liar yang berkata sambil tertawa, "Dia benar, Dewi! Perlihatkan kemampuanmu! Kalau bisa... jangan dibunuh! Ingin kunikmati pula tubuhnya itu!!"
"Lelaki terkutuk!!" hardik Bidadari Tangan Bayangan dan segera menghempos tubuh ke arah Bocah Liar. Dua jotosan yang mengandung tenaga dalam tinggi siap dilepaskan.
Namun sebelum serangannya sampai pada sasaran, satu bayangan hitam telah berkelebat dan memapakinya. Plak! Plak!! Kejap berikutnya, masing-masing orang mundur tiga tindak ke belakang. Pandangan mata Bidadari Tangan Bayangan kian mengkelap tatkala mendapati serangannya dipapaki oleh Dewi Selendang Hitam. Sebelum dia berkata, perempuan tua itu sudah mendahului, "Sekarang... kematian ada di tanganmu!!" Kejap berikutnya, dengan diiringi teriakan mengguntur, Dewi Selendang Hitam sudah menerjang ke muka. Bidadari Tangan Bayangan pun tak mau bertindak ayal. Sesungguhnya, perempuan berpakaian kuning bersih ini masih dibingungkan oleh berbagai pikiran yang datang.
Patung Kepala Singa harus dapat direbutnya kembali. Nyawa Nawang Wangi harus diselamatkan.
Namun, dia juga harus memperhitungkan nyawanya sendiri. Gebrakan demi gebrakan yang dilancarkan oleh masing-masing, saat itu pula membuat suasana di sekitar sana dipenuhi dengan suara letupan-letupan keras. Menyusul rengkahnya tanah, terbongkarnya ranggasan semak belukar dan tumbangnya beberapa buah pohon. Tri Sari sendiri bergeser agak menjauh, sementara Bocah Liar telah membopong tubuh Nawang Wangi yang masih dililit hawa dingin hingga tubuhnya tak bi-sa digerakkan.
Sesekali tangannya dengan menjijikkan menyentuh bagian-bagian terlarang dari tubuh Nawang Wangi, yang memaki-maki keras.
Justru makiannya itu bera-kibat fatal bagi Bidadari Tangan Bayangan.
Perempuan berpakaian kuning bersih yang sedang mencoba mencecar Dewi Selendang Hitam, jadi pecah konsentrasinya. Dipikirnya, Bocah Liar telah melakukan perbuatan terkutuk pada muridnya. Makanya dia segera tolehkan kepala.
Saat itulah Dewi Selendang Hitam menderu masuk, dengan jotosan yang telah menghantam dadanya.
Desss!! "Aaaakhhhh!!" teriakan tertahan terdengar cukup keras, menyusul tubuh Bidadari Tangan Bayangan yang terlempar ke belakang. Dia memang berhasil kuasai keseimbangannya. Namun terlihat wajahnya memerah. Kedua pipinya mendadak mengembung. Kejap berikutnya, dia telah muntah darah.
Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam berseru dingin, "Sudah kukatakan tadi, kali ini tak akan kuampu-ni nyawamu, Perempuan celaka!!" Habis kata-katanya, perempuan berpakaian hitam itu telah menderu dahsyat ke arah Bidadari Tangan Bayangan yang nampaknya mencoba untuk mematahkan serangan mengerikan itu.
Sementara itu, Tri Sari yang melihat gelagat tak menguntungkan yang akan diterima oleh Bidadari Tangan Bayangan, segera mencelat ke muka. Dia melakukan hal itu dengan kumpulkan segenap kenekatan dan keberaniannya. Maka....
Dess! Dess!! Dua jotosan Dewi Selendang Hitam yang dilancarkan secara beruntun mempergunakan tangan kiri, berbenturan dengan dua pukulan Tri Sari. Dewi Selendang Hitam sejenak terkesiap. Kejap kemudian terdengar bentakannya, "Gadis celaka! Susullah ayahmu ke akhirat!!" Habis bentakannya, serta merta perempuan kejam ini mengibaskan tangan kirinya. Saat itu pula mencelat lima larik sinar hitam yang keluarkan hawa panas.
Tri Sari terkesiap kaget. Tanpa sadar dia keluarkan pekikan tertahan. Tak berani untuk memapaki, puteri Pendekar Sutera ini segera membuang tubuh ke kanan. Lima larik sinar hitam itu terus menderu ganas, yang justru berbenturan dengan sinar putih bening.
Dan begitu berbenturan, kedua sinar yang sama-sama keluarkan hawa panas itu, menimbulkan letupan keras dan muncrat ke udara.
Rupanya, Bidadari Tangan Bayangan yang baru saja diselamatkan Tri Sari telah lakukan serangan.
Mendapati kalau Bidadari Tangan Bayangan telah buka serangan kembali, Dewi Selendang Hitam kembali mencecar. Bila saja tangan kanannya tidak sedang mendekap erat-erat Patung Kepala Singa, niscaya hanya dalam delapan gebrakan saja Bidadari Tangan Bayangan akan jatuh bangun.
Kendati hanya mempergunakan tangan kiri, Bidadari Tangan Bayangan pun dapat didesaknya. Bahkan satu tendangan memutar telak menghantam dada perempuan berpakaian kuning itu yang langsung tersuruk ke belakang. Menyusul dengan pencalan satu kaki, Dewi Selendang Hitam sudah menderu, siap mengha-bisi nyawa Bidadari Tangan Bayangan.
Sementara itu, Tri Sari yang telah terbebas dari ancaman maut, bermaksud untuk mengulangi lagi perbuatannya. Namun satu gelombang hawa dingin telah melingkari kakinya. Dan seperti disentak, tubuhnya ambruk terlungkup.
Bocah Liar yang lakukan serangan itu tertawa, "Dua ekor kelinci gemuk telah kudapatkan! Dewi... bunuh perempuan celaka itu!!" Hati Bidadari Tangan Bayangan semakin tak menentu sekarang. Di samping dia sulit untuk hindari gebrakan maut Dewi Selendang Hitam, juga dilihatnya Tri Sari dalam keadaan tak berdaya. Dapat dibayangkan bagaimana bila dia tewas dalam pertarungan ini.
Niscaya nasib buruk akan menimpa Tri Sri dan Nawang Wangi, muridnya.
Diusahakan untuk mencoba memapaki serangan Dewi Selendang Hitam. Untuk kali ini dia memang berhasil. Namun tendangan kaki kiri Dewi Selendang Hitam mendarat tepat di kaki kanannya, hingga mau tak mau tubuhnya agak goyah.
Di saat dia sudah kehilangan keseimbangan, Dewi Selendang Hitam segera memutar tubuh. Dengan pencalan kaki kanannya, dia meluruk deras dan siap hantamkan pukulannya ke kepala Bidadari Tangan Bayangan yang terkesiap hingga kedua matanya terbelalak lebar. Namun sebelum maut menerpanya, mendadak saja satu bayangan hijau telah berkelebat dari balik ranggasan semak sebelah kanan. Tangan kiri bayangan hijau itu menyambar tubuhnya, sementara tangan kanannya dengan enak saja memapaki pukulan Dewi Selendang Hitam. Menyusul dengan cara yang menakjubkan dia menyambar sesuatu dari tangan Dewi Selendang Hitam.
"Jahanam!!" maki perempuan berpakaian hitam itu seraya mundur tiga tindak ke belakang. Wajahnya nampak kian mengkelap, tatkala menyadari Patung Kepala Singa sudah tidak berada di tangannya lagi.
Tatkala dia hendak keluarkan bentakan, mendadak saja suaranya seperti lenyap. Menyusul sepasang matanya membuka lebih lebar tatkala melihat siapa orang yang telah menyelamatkan Bidadari Tangan Bayangan, yang sekarang telah hinggap di atas tanah sejarak sembilan langkah dari hadapannya, sementara Bidadari Tangan berdiri di samping orang itu.
Kejap kemudian terdengar suaranya, geram dan agak gemetar, "Pendekar Slebor...." Bayangan hijau yang tadi selamatkan Bidadari Tangan Bayangan dan tak lain memang Pendekar Slebor. adanya, cuma nyengir. Lalu terdengar katakatanya yang konyol, "Wah! Kau sudah mengenalku rupanya" Hmmm... pasti kau melihat lukisanku dipa-jang di Kotapraja, ya?" Mengkelap wajah Dewi Selendang Hitam mendengar kata-kata orang.
"Selain urakan, pemuda ini kuketahui memiliki ilmu yang tinggi. Rasanya... hmm, bukankah ada Bocah Liar di sini" Akan kupergunakan tenaganya untuk menghajar pemuda dari Lembah Kutukan itu!" Memutuskan demikian, dengan pandangan tak berkedip, Dewi Selendang Hitam membentak, "Berani lancang campuri urusanku berarti hendak mampus! Kembalikan Patung Kepala Singa kepadaku!!"
"Oh! Ini toh yang namanya Patung Kepala Singa?" sahut Andika sambil memandangi patung yang keluarkan cahaya perak di tangan kanannya.
"Bagus sekali! Tetapi ya... jelas tidak pantas benda sebagus ini berada di tangan kotor seperti tanganmu! Ih! Sudah kotor, keriput lagi!"
"Jahanam! Kembalikan padaku!!"
"Enak saja main perintah! Patung ini milik Kepala Besi! Dialah orang yang berhak memilikinya! Ngomong-ngomong... apakah kau tidak terkejut bila kukatakan Kepala Besi belum tewas?" Sebelum Dewi Selendang Hitam menyahut, Andika sudah menyambung, "Atau... kau sudah mendengar berita itu sebelumnya" Dan sudah tentu dari mulutku, bukan?"
"Jangan banyak mulut!"
"Benar-benar dungu nih nenek! Jelas mulutku cuma satu, kok dibilang banyak" Mungkin kau...
aduh, sampai lupa! Kenapa sih kau menutupi wajahmu dengan selendang hitam itu" Atau... kau tak mau kukenali, ya" Dan di kepalamu itu, memang penjol atau ada sebuah sanggul?" Sepasang mata Dewi Selendang Hitam seketika membulat. Lagi-lagi sebelum dia membuka mulut, Pendekar Slebor berkata, "Mengapa kau masih menutupi diri, Dewi Selendang Hitam" Atau kau lebih suka bila kupanggil... Nyi Dungga Ratih"!" Sampai surut satu tindak perempuan berpakaian hitam gombrang mendengar kata-kata Andika. Kejap kemudian terdengar makiannya keras, "Jahanam! Matamu telah tajam rupanya!" Habis bentakannya, dengan kasar Dewi Selendang Hitam merenggut selendang yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya. Saat itu pula nampak seraut wajah yang dipenuhi keriput, dengan sepasang mata agak turun dan rambut putih yang disanggul ke atas. Wajah Nyi Dungga Ratih!! Terdengar suara Andika sambil bertepuk tangan, "Wah! Dugaanku benar juga!" Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam yang ternyata adalah Nyi Dungga Ratih adanya menggeram dalam hati.
"Pemuda keparat! Patung Kepala Singa harus dapat kurebut kembali!" Berpikir demikian, tanpa membuang waktu lagi, perempuan kejam ini sudah menderu ke depan seraya mengibaskan tangan kanan dan kirinya. Sepuluh larik sinar hitam ganas yang keluarkan hawa panas menggebrak dahsyat.
Di seberang, sejenak Andika terkesiap melihatnya.
Kejap itu pula dia segera membuang tubuh ke samping kanan seraya lepaskan pukulan yang mengandung tenaga 'Inti Petir' dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya memegang Patung Kepala Singa.
Dewi Selendang Hitam yang dalam wujud aslinya sebagai Nyi Dungga Ratih dan sebelumnya pernah mencoba mempermainkan pemuda urakan itu, tahu betul akan tenaga yang dilepaskan oleh si pemuda.
Makanya dia mencoba untuk tidak memapaki. (Untuk mengetahui kapan Dewi Selendang Hitam alias Nyai Dungga Ratih mempermainkan Andika, silakan baca: "Patung Kepala Singa").
Sepuluh larik sinar hitam yang dilepaskannya, menghantam ranggasan semak belukar yang langsung pecah. Tak mau membuang tempo, perempuan ini terus mencecar Pendekar Slebor.
"Busyet! Ngotot amat, sih?" seru Andika sambil menghindar dan membalas.
"Ngomong-ngomong... kau tidak bertanya bagaimana aku bisa tahu kalau di dalam diri Dewi Selendang Hitam terdapat sosok Nyi Dungga Ratih"!"
"Tutup mulutmu!!"
"Ih! Jadi tidak enak nih melihat kau gusar seperti itu! Tetapi ya... dasar aku orang baik, biar kukatakan saja!!"
"Diaaaammm!!" makin mengkelap Nyi Dungga Ratih mendengar ejekan si pemuda.
Dipergencar serangan demi serangannya yang saat itu pula membuat tempat itu seperti didatangi puluhan gajah liar.
Tetapi dasar urakan, sambil terus mencoba mencari sela serangannya, Andika berseru, "Aku memang belum mengenalmu sebagai Dewi Selendang Hitam! Tetapi, ingat perjumpaan kita yang kedua" Saat itu kau menanyakan tentang Patung Kepala Singa"! Dan kukatakan kalau Kepala Besi lah pemilik sah dari patung itu" Nah, nah! Kenapa kau heran tatkala kuceritakan kalau aku tahu semua itu dari Kepala Besi sendiri" Bahkan kau begitu ngotot untuk mengatakan di mana dia berada" Wah! Saat itu pula aku menduga kalau kau sebelumnya pernah bertemu dengan Kepala Besi! Eiiittt! Jangan nafsu Nek!!" Memutus kata-katanya sendiri, Andika membuang tubuh ke belakang. Begitu kaki kanannya menjejak tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan. Melewati tubuh Dewi Selendang Hitam yang sedang lepaskan jotosan.
Berada di atas tubuh Dewi Selendang Hitam, Andika gerakkan tangan kanannya tepat ke kepala perempuan itu, yang memaki-maki sambil bergulingan.
Di luar dugaan Dewi Selendang Hitam, Andika justru meluruk turun dengan kaki kanan siap menginjak dada tipis perempuan itu.
"Jahanam!!" makinya keras sambil terus bergulingan. Pemuda urakan ini justru tak teruskan serangan.
Dia berdiri tegak sambil cengar-cengir dan melihat De-wi Selendang Hitam yang sedang berdiri. Menyusul dia berkata, "Nek! Kenapa aku menduga kau pernah bertemu dengannya" Ya... karena kau merasa heran itu! Diam-diam kubayangkan seperti apa Dewi Selendang Hitam! Tetapi... ya gagal! Soalnya yang terbayang cuma kambing peot saja, sih! Busyet! Jangan melotot begitu, dong! Lalu aku tiba pada pikiran, mengapa kau men-jumpaiku dengan wujud Nyi Dungga Ratih" Jelas kau mencoba mengorek setiap keterangan yang kau perlukan! Tetapi ya... dasar nasib! Makanya kuikuti ke ma-na kau pergi setelah bertemu denganku! Ya dasar nasib juga, baru kutemukan sekarang dan kuyakini kalau di balik sosok Dewi Selendang Hitam, juga terdapat sosok Nyi Dungga Ratih! Dan kulihat ada tonjolan di balik selendang di kepalamu! Sama seperti sanggul yang kulihat pada Nyi Dungga Ratih! Eh, betul lagi! Ar-tinya apa?" Mendadak Andika tertawa sendirian. Lalu katanya tandas, masih tertawa, "Kepalamu penjol!!"
"Jahanam terkutuk! Mampuslah kauuu!!" menggeram Nyi Dungga Ratih sambil mencelat kembali. Kali ini dilipatgandakan tenaga dalamnya. Serangan demi serangannya lebih ganas sekarang. Dan ini membuat Andika harus berhati-hati. Dengan mempergunakan satu tangan untuk menyerang sementara tangan yang satu memegang Patung Kepala Singa, membuatnya menjadi agak kerepotan.
Diliriknya Bidadari Tangan Bayangan yang sedang mengatur napas dengan wajah tegang.
"Hmmm... patung ini harus diselamatkan dulu...." Memutuskan demikian, dilemparkannya Patung Kepala Singa pada Bidadari Tangan Bayangan, "Selamatkan patung ini!!" Bidadari Tangan Bayangan dengan sigap segera menyambarnya. Namun mendadak saja dirasakan satu gelombang angin menderu ke arahnya. Urung menyambar Patung Kepala Singa, perempuan berpakaian kuning bersih ini segera gerakkan tangan kanannya.
Blaammm! Letupan yang cukup keras terjadi. Rupanya, Bocah Liar yang paham akan gelagat, tak mau membuang kesempatan untuk mendapatkan Patung Kepala Singa. Sesungguhnya, lelaki bertampang bocah ini memang tak menginginkan Patung Kepala Singa.
Hanya dikarenakan dia mencintai Nyi Dungga Ratih alias Dewi Selendang Hitam, makanya dia segera mencelat ke depan.
Namun sebelum lelaki yang tingginya hanya sebahu itu menyambar Patung Kepala Singa, mendadak dirasakan deru angin ke arahnya.
"Hei!!" Cepat dia putar tubuh bila tak mau dirinya terkena hamparan angin keras yang datang dari arah kiri. Kejap itu pula Patung Kepala Singa disambar oleh orang yang lancarkan serangan pada Bocah Liar.
Tatkala masing-masing orang hinggap kembali di atas tanah, mereka melihat siapa orang yang menyambar Patung Kepala Singa.
"Kepala Besi...," mendesis Bidadari Tangan Bayangan. Disesahnya kini kesalahan yang pernah dibuatnya. Sementara itu, Dewi Selendang Hitam yang melihat siapa yang datang dan tak lain memang Kepala Besi adanya, menggeram gusar. Dia mencoba memutuskan serangannya pada Andika dan bersiap memburu Kepala Besi. Tetapi sudah tentu Andika tak akan membiarkannya, "Lho, Iho" Mau ke mana" Sudah bosan bermain-main" Kalau begitu...
kujitak kepalamu sekarang!!" Habis kata-katanya, pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu segera memburu dengan lepaskan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga 'Inti Petir'. Beberapa kali terdengar suara salakan yang menggetarkan. Sementara itu, Bocah Liar menggeram dingin dengan pandangan tajam. Tanpa buang tempo lagi, lelaki bertampang bocah ini sudah mengebrak ke muka, ke arah Kepala Besi. Tangan kirinya lancarkan serangan, tangan kanannya mencoba merebut Patung Kepala Singa. Kepala Besi yang setelah bertarung dengan Gendala Maung dan segera mencari Andika, segera gerakkan pula tangan kirinya. Bersamaan dengan itu, dia melompat ke belakang guna hindari sergapan tangan kanan Bocah Liar.
Sementara itu Bidadari Tangan Bayangan yang merasa lebih beruntung karena kehadiran Kepala Besi, segera masuk dalam pertarungan sengit itu. Kini masing-masing orang yang sebelumnya pernah terlibat ke- salahpahaman segera bersatu untuk menggempur Bocah Liar. Namun di luar dugaan mereka, kendati dikeroyok berdua, Bocah Liar tetap bukanlah lawan yang dapat dipandang sebelah mata. Lima jurus sebelumnya mereka memang berhasil mendesak Bocah Liar. Namun tiga jurus berikutnya, justru mereka yang menjadi ce-caran serangan-serangan beruntun dari lelaki bertampang bocah itu.
Gebrakan demi gebrakan yang dilakukan Bocah Liar sungguh di luar dugaan. Karena, tak ada gelombang angin yang keluar, tak ada suara yang terdengar, namun hasil setiap gebrakannya sungguh mengerikan.
Merasa sangat berbahaya, Bidadari Tangan Bayangan berseru, "Kepala Besi! Pergi kau menjauh dari sini! Patung Kepala Singa telah kembali padamu, sebagai pemilik yang sah! Lebih baik kau pecahkan rahasia patung itu!!" Kepala Besi yang sedang mencoba menyerang dengan gerakan-gerakan kepalanya yang aneh itu berseru pula, "Tidak! Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi bersama-sama!"
"Jangan lakukan tindakan bodoh!!"
"Benar! Kalian memang orang-orang bodoh yang akan mampus!!" putus Bocah Liar sambil pergencar serangannya, kali ini ke arah Kepala Besi. Mendapati serangan semakin ganas, Kepala Besi harus dibuat morat-marit. Dia bukan hanya berusaha untuk selamatkan Patung Kepala Singa, tetapi juga nyawanya sendiri.
Bidadari Tangan Bayangan keluarkan dengusan melihat kekeraskepalaan lelaki tinggi besar berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan itu. Dengan lepaskan sinar-sinar putih bening yang mengandung hawa panas dan bikin terang tempat itu beberapa saat, perempuan berpakaian kuning bersih ini dapat memperjauh jarak serangan Bocah Liar pada Kepala Besi.
Akan tetapi, Bocah Liar justru perlihatkan kelasnya. Mendadak saja dia putar tubuh dan hingga dengan kedua tangan di atas tanah sementara kedua kaki di atas. Menyusul gerakan aneh yang diperlihatkannya itu, dia mencecar dengan kedua kakinya. Gelombang angin yang bergulung-gulung menderu-deru dahsyat.
Menyeret tanah dan membongkar ranggasan semak.
Bidadari Tangan Bayangan seketika menjadi pucat. Begitu pula dengan Kepala Besi yang kelihatan tak berdaya menghadapi serangan aneh Bocah Liar.
Sekali waktu, dia tersuruk jatuh tatkala dengan gerakan yang benar-benar menakjubkan, tangan kanan Bocah Liar terangkat hingga kini dia bertumpu dengan tangan kirinya saja sementara kedua kakinya tetap menjulang ke atas.
Satu tenaga yang tak nampak namun mengandung hawa dingin, melilit kedua kaki Kepala Besi. Lalu seperti dibetot, tubuh Kepala Besi terseret.
"Heeeiiii!!" tanpa sadar lelaki berkepala plontos ini memekik tertahan.
Kedua matanya membuka lebih lebar tatkala dilihatnya bagaimana kedua kaki Bocah Liar yang menjulang ke atas, membuat gerakan memutar. Mendadak saja dirasakan dua gelombang angin deras menderu ke arahnya. Sementara itu, sadar akan bahaya yang mengancam Kepala Besi, Bidadari Tangan Bayangan membuat gerakan nekat. Tubuhnya meluruk ke depan. Dan....
Tanpa ampun lagi tubuhnya terhantam telak dua gelombang angin yang dilepaskan Bocah Liar. Tubuh perempuan ini terseret jauh ke belakang. Begitu ambruk ke tanah, dia muntah darah.
"Gurruuuu!!" terdengar jeritan Nawang Wangi yang tetap tak bisa menggerakkan tubuhnya. Bukan hanya itu saja yang terjadi. Kendati Kepala Besi selamat, namun tangan kanan Bocah Liar telah menepak Patung Kepala Singa.
Patung itu mencelat ke atas. Dalam waktu yang singkat, Bocah Liar melompat untuk menyambar patung itu. Akan tetapi, satu bayangan hijau telah melompat ke depan. Bersamaan bayangan hijau yang tak lain Pendekar Slebor adanya memegang patung itu, kedua tangan Bocah Liar pun memegangnya.
Kejap itu pula terjadi tarik menarik yang kuat disertai tenaga dalam yang tinggi. Menyusul masingmasing orang kerahkan hawa panas dalam tubuh mereka. Hawa panas itu berpendar dan membuat suasana di sekitar berubah menjadi panas pula. Cukup lama hal itu terjadi, sementara dari tubuh masing-masing orang keluar keringat.
Lalu mendadak saja masing-masing orang terpental ke belakang disertai teriakan tertahan. Patung Kepala Singa terlepas dan jatuh ke tanah.
Begitu menyentuh tanah, terdengar letupan yang sangat keras. Menyusul muncratnya cahaya keperakan yang menerangi segenap penjuru.
Tak ada yang berpindah dari tempatnya, tak ada yang keluarkan suara. Patung Kepala Singa tegak di atas tanah. Sementara itu cahaya keperakan tadi lambat laun mulai menghilang dan hanya melingkari patung itu belaka.
Sebelum ada yang lakukan tindakan, mendadak saja Patung Kepala Singa pecah seperti meledak. Tanah di sekitar tempat itu muncrat naik ke udara dan membentuk sebuah lubang kecil.
Tatkala semuanya sirap, Patung Kepala Singa tak ada lagi di tempatnya. Yang ada hanya luruhan abu berwarna perak yang turun naik....

SELESAI

Segera menyusul:
CINTA DALAM KUTUKAN


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Patung Kepala Singa --oo0oo-- Cinta Dalam Kutukan


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.