Life is journey not a destinantion ...

Cinta Dalam Kutukan

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Rahasia Di Balik Abu --oo0oo-- Pembunuh Dari Jepang



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: CINTA DALAM KUTUKAN

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

↔:: 1 ::↔

Masing-masing orang yang berada di tempat yang dipenuhi pepohonan namun kini sudah banyak yang tumbang itu, tak ada yang membuka suara. Pandangan mereka ditujukan pada sebuah lubang yang terjadi akibat meledaknya Patung Kepala Singa. Dan di atas lubang itu nampak luruhan abu yang pancarkan cahaya perak bergerak turun naik.
Saat ini hari semakin senja. Udara agak dingin.
Dan tak seorang pun yang berniat meninggalkan tempat itu. Nawang Wangi yang masih tergeletak akibat lilitan hawa dingin yang dilepaskan oleh Bocah Liar pun berusaha untuk angkat kepalanya. Sementara itu, Tri Sari yang mengalami nasib yang sama pun berbuat se-rupa.
Pendekar Slebor yang berdiri sejarak tujuh langkah dari luruhan abu yang turun naik itu diam-diam menarik napas pendek seraya membatin, "Seperti yang kuduga selama ini, jelas rahasia Patung Kepala Singa berada di balik abu itu. Luruhan abu... luruhan abu.... Tetapi, tak ada yang menarik selain luruhan abu yang bergerak turun naik...." Sementara itu, lelaki tua namun bertampang bocah yang tingginya hanya sebahu Andika pun membatin dengan pandangan tak berkedip pada luruhan abu itu, "Patung Kepala Singa telah menjadi abu.... Tetapi yang mengherankan, mengapa luruhan abu itu turun naik?" Di sebelah kiri lelaki yang tingginya sebahu yang tak Iain Bocah Liar adanya, berdiri Dewi Selendang Hitam yang juga sedang arahkan pandangan pada luruhan abu itu.
"Celaka! Patung Kepala Singa telah menjadi abu! Sulit menentukan rahasia apa yang ada sebenarnya?" Sementara itu, perempuan berpakaian kuning bersih yang di pinggangnya melilit selendang warna hitam pun membatin, "Sungguh sangat disayangkan....
Patung Kepala Singa telah menjadi abu. Padahal, rahasia yang tersimpan di dalamnya belum terbuka. Rasanya... rahasia itu telah dan akan tertutup rapat dalam-dalam...." Di sebelah perempuan berpakaian kuning bersih yang tak lain Bidadari Tangan Bayangan yang sedang mengatur nafasnya, lelaki tinggi besar berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan membatin dengan tubuh agak gemetar, "Nampaknya... aku melihat apa yang pernah diceritakan Eyang Kapi Pitu puluhan tahun yang lalu. Sebuah pohon aneh yang pancarkan cahaya perak, lalu dari dalam cahaya itu seperti terdapat luruhan abu, dan kemudian saat ditebang mendadak muncul Patung Kepala Singa. Dan sekarang... patung itu telah menjadi abu. Apakah sesungguhnya rahasia Patung Kepala Singa ada di balik abu itu?" Untuk beberapa lamanya orang-orang yang berada di sana tak keluarkan suara. Masing-masing orang masih terpaku dengan kejadian yang ada di hadapan mereka. Seperti pernah diceritakan dalam episode, "Rahasia Di Balik Abu", pertarungan sengit terjadi. Saat itu Dewi Selendang Hitam yang telah berhasil merebut Patung Kepala Singa dari tangan Tri Sari sekaligus mengalahkan Bidadari Tangan Bayangan, bermaksud untuk menghancurkan Patung Kepala Singa, karena berpikir kalau rahasia patung itu terdapat di dalamnya.
Namun sebelum dilakukannya, mendadak saja muncul Bocah Liar yang ternyata adalah gurunya namun tak mau disebut guru. Bocah Liar ternyata mencintai Dewi Selendang Hitam. Kemudian muncul Nawang Wangi yang sebelumnya diselamatkan oleh Dewa Suci dari perbuatan terkutuk Gendala Maung.
Dengan kesaktiannya yang tinggi, Bocah Liar berhasil menjatuhkan Nawang Wangi. Sebelum dia mempermalukan Nawang Wangi, muncul Bidadari Tangan Bayangan dan Tri Sari. Pertarungan sengit terjadi.
Tri Sari dengan mudah berhasil dijatuhkan oleh Bocah Liar. Sementara Bidadari Tangan Bayangan yang tak kuasa lagi untuk hindari serangan maut Dewi Selendang Hitam, diselamatkan oleh Pendekar Slebor.
Saat itulah Pendekar Slebor yang telah menyambar Patung Kepala Singa dari tangan Dewi Selendang Hitam, membuka kedok perempuan berpakaian hitam gombrang yang ternyata adalah Nyi Dungga Ratih. Pertarungan sengit pun terjadi kembali sampai munculnya Kepala Besi yang menyambar Patung Kepala Singa tatkala Andika melemparkannya pada Bidadari Tangan Bayangan dan Bocah Liar bermaksud mendapatkannya. Hingga kemudian Patung Kepala Singa terpental.
Bocah Liar cepat menyambarnya. Bersamaan dengan itu, Andika pun menangkapnya. Patung Kepala Singa kini dipegang oleh masing-masing orang yang sama-sama kerahkan tenaga dalam. Karena kuatnya pengaruh tarik menarik antara tenaga dalam keduanya, patung itu pun pecah menjadi luruhan abu yang sekarang turun naik dan keluarkan cahaya perak.
Suasana hening itu terpecahkan oleh suara Nyi Dungga Ratih alias Dewi Selendang Hitam, "Patung Kepala Singa telah menjadi luruhan abu yang tak ber-guna! Rasanya tak perlu lagi perpanjang urusan soal Patung Kepala Singa!" Lalu perlahan-lahan pandangannya ditujukan pada Pendekar Slebor. Sambil menuding dia berseru dengan suara menggeram, "Pemuda celaka! Kaulah perusak dari semua rencanaku ini! Berarti, kau tetap akan mampus, Pendekar Slebor!!" Pemuda berbaju hijau pupus yang di lehernya melilit kain bercorak catur itu cuma nyengir saja. Ancaman maut Nyi Dungga Ratih seolah dianggap angin lalu belaka. Menyusul terdengar suaranya sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "Mau mampus atau tidak sih itu urusan Yang Maha Kuasa! Eh, bagaimana kalau kau dulu yang mampus" Setelah itu, baru kau ajak aku!" Lalu sambungnya dalam hati, "Ternyata... begitu banyaknya orang-orang yang dibutakan oleh nafsu mereka sendiri. Pertumpahan darah hampir terjadi gara-gara Patung Kepala Singa! Dan sekarang, setelah patung itu hancur menjadi luruhan abu yang cukup mengherankan karena naik turun seperti itu, semuanya seperti dilupakan! Padahal aku yakin... sesungguhnya rahasia Patung Kepala Singa terdapat pada luruhan abu itu...." Di seberang, Dewi Selendang Hitam kian mengkelap.
"Pemuda celaka! Kau telah menantang badai!!"
"Busyet! Sejak tadi kan kita belum bertarung" Nah! Ayolah kita mulai sekarang! Jadi gatal nih tanganku ingin menutup mulutmu yang nyinyir itu! Cuma tidak, ah! Banyak penyakit!" Bergetar tubuh Dewi Selendang Hitam tanda kemarahan kian menanjak mendengar ejekan pemuda di hadapannya. Namun sebelum dia membuka mulut dan lancarkan serangan, mendadak saja terdengar suara Bocah Liar, "Dewi... atau siapa pun namamu.... Jangan berlaku bodoh! Kau tak boleh melepaskan niat dari Patung Kepala Singa yang telah menjadi luruhan abu! Tidakkah kau lihat pandangan lelaki berkepala plontos itu" Dia sepertinya seolah melihat sesuatu di balik abu itu!" Kepala Besi yang dimaksud oleh Bocah Liar melengak sesaat. Lalu buru-buru diubah cara memandangnya pada luruhan abu yang masih turun naik.
Lelaki tinggi besar berkepala plontos ini sebenarnya sedang memikirkan rahasia apa yang sesungguhnya ada pada Patung Kepala Singa. Dia sedang mengingat-ingat apa yang pernah diceritakan oleh gurunya, Eyang Kapi Pitu. Kepala Besi pun tiba pada ke-simpulan, kalau rahasia itu memang terletak pada luruhan abu yang turun naik.
Lalu dia berkata, "Lelaki tua bertampang bocah! Manusia dianugerahkan sepasang mata untuk melihat! Urusan bagaimana caraku memandang luruhan abu itu, bukan urusanmu! Lebih baik kau tinggalkan tempat ini sebelum celaka!!" Meradang Bocah Liar mendengar kata-kata orang.
Namun untuk sesaat ditahan segala amarahnya kecuali kertakkan rahang. Kemudian terdengar katakatanya, "Jangan berlaku bodoh hingga dapat dikela-bui orang-orang itu! Dewi...
periksa luruhan abu itu! Aku yakin, di balik luruhan abu itulah terdapat rahasia Patung Kepala Singa!!" Dewi Selendang Hitam yang mendendam pada Pendekar Slebor karena pemuda itulah yang menggagalkan semua rencananya, sesaat pandangi dulu Bocah Liar. Diam-diam perempuan tua ini membatin, "Rahasia itu terdapat di balik abu" Rahasia apa sebenarnya" Aku tak menangkap sesuatu yang menarik dalam luruhan abu itu...."
"Dewi! Turuti kata-kataku!!" terdengar bentakan Bocah Liar cukup keras.
Dewi Selendang Hitam alias Nyi Dungga Ratih melotot gusar. Namun tatkala pandangannya bentrok dengan pancaran tajam mata Bocah Liar, buru-buru diarahkan pandangannya ke tempat lain.
Kejap berikutnya, dia sudah bergerak untuk mendekati luruhan abu yang turun naik. Namun baru dua langkah, mendadak saja satu gelombang angin telah menggebrak ke arahnya.
Seketika itu pula Dewi Selendang Hitam angkat kepalanya. Menyusul digerakkan kakinya setengah lingkaran. Hamparan angin pun menderu dan melabrak gelombang angin yang siap menghantamnya tadi.
Blaaarrr!! Tanah di mana bertemunya dua gelombang angin itu muncrat ke udara. Belum lagi sirap, orang yang ta-di lepaskan hantaman untuk menahan gerakan Dewi Selendang Hitam sudah berkelebat ke arah luruhan abu. Namun mendadak saja dia memutar tubuh dan kembali ke tempat semula, tatkala merasakan hawa dingin menderu dan siap melilit kedua kakinya.
"Keparat!!" maki orang ini yang tak lain Kepala Be-si adanya pada Bocah Liar.
"Kau membuat kegusaranku menjadi naik, Kepala Besi! Tak seorang pun kuizinkan mencelakakan perempuan yang kucintai!!" maki Bocah Liar keras.
Kepala Besi yang merasa harus cepat mendapatkan luruhan abu itu (sesungguhnya dia tak tahu mengapa), tak mau membuang waktu. Saat itu pula tubuhnya meluruk dengan kepala agak membungkuk, menderu ke arah Bocah Liar.
Sebelum Bocah Liar menghindar atau bergerak memapaki, dua sinar putih bening yang keluarkan hawa panas sudah menggebrak. Rupanya, Bidadari Tangan Bayangan yang sebelumnya menuduh Kepala Besi adalah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit sudah lancarkan serangan pula. (Untuk mengetahui soal tuduhan itu, silakan baca: "Patung Kepala Singa").
Bocah Liar menggeram murka. Mendadak saja dia melompat ke samping kanan, menyusul lakukan satu putaran cepat. Tatkala hinggap di atas tanah, dia bukan bertumpu pada kedua kakinya, melainkan pada kedua tangannya! Kejap itu pula kedua kakinya yang kini tegak lurus dengan langit membuat gerakan memutar-mutar.
Hamparan angin dingin menderu-deru kencang ke arah Kepala Besi dan Bidadari Tangan Bayangan yang cepat menghindar.
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam yang sejak lama mendendam pada Kepala Besi dan pernah dikelabui oleh lelaki itu yang disangkanya telah tewas padahal belum, segera menggebrak ke arah Kepala Besi yang sedang membuang tubuh.
Terkesiap Kepala Besi mendapati serangan ganas itu. Dan diam-diam lelaki tinggi besar yang beberapa kali dipecundangi oleh Dewi Selendang Hitam menjadi pias. Namun dia berusaha tindih segala kejeriannya.
Dengan gerakan-gerakan cepat yang sebenarnya mengandung kenekatan, Kepala Besi mencoba membalas. Sementara itu, menghadapi Bocah Liar seorang di-ri, sudah tentu sangat tidak menguntungkan bagi Bidadari Tangan Bayangan. Dalam dua jurus saja dia sudah dibuat pontang-panting dengan seranganserangan ganas itu.
Di tempatnya, pemuda urakan dari Lembah Kutukan menarik napas pendek.
"Urusan ini ternyata memang belum tuntas. Kare-na rahasia apa yang terdapat pada luruhan abu itu belum diketahui. Aku harus menolong keduanya. Tetapi... lebih baik kubebaskan dulu Nawang Wangi dan Tri Sari...." Memutuskan demikian, dengan cepat Andika bergerak mendekati Nawang Wangi dan Tri Sari. Dia mencoba membebaskan masing-masing gadis dengan mempergunakan tenaga 'Inti Petir' tingkat ketiga belas.
Namun di luar dugaannya, tak semudah itu dilakukan.
Sementara dilihatnya bagaimana Bidadari Tangan Bayangan yang sudah terdesak hebat.
Tak mau mengambil resiko yang berbahaya, Andika lakukan satu tindakan yang mengejutkan. Tangan kirinya memegang ibu jari Nawang Wangi seraya alirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat kesepuluh. Sementara itu, tangan kanannya dengan cepat melepaskan lilitan kain bercorak catur dari lehernya.
Kejap itu pula dikibaskannya kain bercorak catur itu. Wrrrrr!! Suara gemuruh laksana ribuan tawon marah mendengung mengerikan. Menyusul gelombang angin yang sangat dahsyat menggebrak ke arah Bocah Liar yang siap lepaskan tendangan mautnya ke kepala Bidadari Tangan Bayangan.
Desss!! Gelombang angin dahsyat yang keluar dari kain bercorak catur milik Andika, tepat menghantam tubuh Bocah Liar yang sesaat nampak terseret dan goyah saat berdiri tegak di atas tanah. Sementara itu, tanah dan ranggasan semak belukar yang tercabut akibat derasnya gelombang angin yang ditimbulkan kain berco- rak catur, terlempar jauh. Menyusul terdengar suara berderak dan menggemuruh.
Sebuah pohon telah tumbang. Saat itu pula nampak wajah Bocah Liar berubah memerah. Parasnya begitu dingin dengan rahang terkatup rapat. Kejap berikutnya, mendadak saja dia gerakkan kedua tangannya ke atas. Lalu perlahan-lahan dirangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Kejap itu juga terjadi perubahan sekaligus keanehan pada diri lelaki bertampang bocah itu. Kalau sejak semula nampak kulitnya berwarna agak putih, kali ini lambat laun berubah menjadi hijau. Dan seluruh tubuhnya berubah menjadi hijau. Rupanya lelaki ini telah kerahkan ajian pamungkasnya 'Hutan Perangkap Harimau'! Di tempatnya, Andika yang telah berhasil membebaskan Nawang Wangi dari lilitan hawa dingin Bocah Liar berdiri tegak dengan pandangan tak berkedip. La-lu dilihatnya Bidadari Tangan Bayangan yang sempoyongan sambil memegang dadanya. Menyusul perempuan berpakaian kuning bersih itu ambruk, tepat jatuh di sebuah pohon hingga dia mau tak mau harus bersandar dengan napas mendengus-dengus.
Andika mengarahkan pandangannya pada Kepala Besi yang sedang kalang kabut akibat sinar-sinar hitam yang dilepaskan Nyi Dungga Ratih. Kejap berikutnya, pandangannya diarahkan pada luruhan abu yang sejak tadi tetap turun naik.
Mendadak pandangan Andika berubah dengan sepasang mata menyipit. Baru disadarinya kalau luruhan abu itu tak berubah sama sekali. Padahal tadi, gelombang angin dahsyat yang keluar dari kain bercorak catur, tentunya melewati luruhan abu itu.
"Luar biasa! Sungguh menakjubkan! Aku semakin yakin... kalau rahasia Patung Kepala Singa terdapat pada luruhan abu itu...," desisnya dalam hati dan perlahan-lahan pandangannya diarahkan pada Bocah Liar yang seluruh tubuhnya telah berubah menjadi hijau.
Wajahnya pun kian mengangker. Andika sadar betul apa yang akan terjadi.
"Nampaknya... bahaya sudah datang. Kalau begitu keadaannya, sulit bagiku untuk menyelamatkan orang-orang yang berada di sini...." Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini mendesah masygul dan membatin lagi, "Biar bagaimanapun juga, aku harus bisa menyelamatkan semuanya...." Kemudian dia berkata pada Nawang Wangi yang telah berdiri.
"Nawang Wangi... bawa Tri Sari menjauh dari sini.... Setelah itu, bawa tubuh gurumu menjauh pula dari sini...." Nawang Wangi yang sebenarnya mendendam pada Bocah Liar, hanya menganggukkan kepalanya. Disadarinya betul kesaktian yang dimiliki lelaki bertampang bocah itu. Gurunya saja dapat dikalahkan, bagaimana dengan dirinya.
Berpikir demikian, murid Bidadari Tangan Bayangan ini perlahan-lahan membopong tubuh Tri Sari yang juga terkena lilitan hawa dingin Bocah Liar.
Namun begitu dia melangkah dua tindak, mendadak saja terdengar suara menggelegar yang seolah co-ba rentakkan tempat itu, "Diam di tempatmu!!" Menyusul kabut berwarna hijau pekat bergulunggulung dan keluarkan suara menggidikkan ke arah Nawang Wangi.

***

↔:: 2 ::↔

Terkesiap alang kepalang Nawang Wangi mendapati kabut-kabut hijau itu telah meluncur deras ke arahnya, hingga tanpa sadar dia menjerit nyaring. Bagai seekor kelinci yang terjebak perangkap serigala, Nawang Wangi hanya terpaku di tempatnya. Bidadari Tangan Bayangan cepat palingkan kepalanya dengan kedua mata terpentang lebih lebar, nampak dia berusaha untuk menolong namun kelihatan tak sanggup.
Bersamaan dengan itu, Tri Sari yang berada dalam bopongan Nawang Wangi berteriak, "Menghindar!! Cepat menghindar!!" Tetapi Nawang Wangi seperti tergugu, hingga tak mampu gerakkan kedua kakinya untuk hindari serangan kabut hijau pekat itu.
Dalam keadaan yang kritis bagi gadis berpakaian biru kehijauan itu, mendadak saja terdengar suara mendengung laksana ribuan tawon murka, menyusul dengan menyambarnya angin dahsyat ke arah kabut hijau itu. Kejap berikutnya terdengar letupan yang sangat luar biasa dan muncratnya kabut hijau ke berbagai arah.
Blaaammm! Rupanya Andika sudah menyabetkan kain bercorak caturnya. Seperti disadarkan oleh letupan yang keras itu, Nawang Wangi seolah mendapat kekuatannya kembali.
Dengan cepat murid Bidadari Tangan Bayangan ini, melompat ke samping kiri. Bila tidak dilakukan, maka muncratnya kabut hijau itu akan menghantamnya. Terbukti beberapa pohon langsung hangus tatkala terhantam muncratan kabut hijau itu. Berhasil menghindar, Nawang Wangi membawa tubuh Tri Sari menjauh. Kemudian kembali lagi dan menyambar tubuh gurunya.
"Kita menghindar dulu. Guru...." Tak ada yang bisa dilakukan oleh Bidadari Tangan Bayangan kecuali menganggukkan kepala. Diam-diam perempuan berpakaian kuning bersih ini mendesah lega melihat muridnya tak kurang suatu apa.
Sementara itu kendati berhasil menggagalkan niat keji Bocah Liar, Pendekar Slebor sendiri harus terhuyung ke belakang. Astaga! Padahal di saat menggerakkan kain bercorak catur yang sebenarnya memiliki kesaktian sendiri, Andika telah alirkan tenaga 'Inti Petir'. Namun akibat benturan tadi itu, dia merasa tangan kanannya seperti tersengat hawa panas. Padahal tak terasa ada hawa panas yang keluar di saat kabut hijau itu dilepaskan. Ini menandakan betapa dahsyat-nya tenaga yang terpancar dari kabut hijau ganas tadi.
Di tempatnya, si pemilik ajian 'Hutan Perangkap Harimau' tertawa nyaring.
"Sungguh menyenangkan sekali! Permainan akan segera dimulai!!" Habis seruannya, mendadak saja dia menerjang ke arah Andika dengan lepaskan ajian 'Hutan Perangkap Harimau' lagi. Saat itu pula menggebrak beberapa kabut hijau yang keluarkan suara mengerikan ke arah Andika. Sadar akan bahaya yang datang, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera bertindak sigap. Kain bercorak caturnya kembali digerakkan berulang kali. Hingga kemudian beberapa kali terdengar letupan-letupan yang sangat keras. Menyusul reng-kahnya tanah dan terbongkarnya ranggasan semak belukar. Belum lagi akibat pecahnya kabut-kabut hijau itu, yang bagaikan anak panah menghantam ke sana kemari. Sementara itu, serangan Dewi Selendang Hitam yang sedang mencecar Kepala Besi justru menjadi kacau balau, setelah pecahan kabut hijau itu melesat dan siap menghantam kepalanya. Bila saja perempuan tua ini tak merunduk, niscaya kepalanya akan rengkah seketika. Saat itu pula terdengar makiannya gusar menyusul dihentikan serangannya pada Kepala Besi. Kepala Besi sendiri yang terengahengah mendapati serangan ganas tadi, perlahan-lahan surut lima langkah ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan untuk mengatur jalan nafasnya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan main. Terutama kaki kanannya yang sempat terserempet sinar hitam yang dilepaskan Dewi Selendang Hitam. Kalau tadi pandangan Dewi Selendang Hitam alias Nyi Dungga Ratih mengkelap karena niatnya secara tak sengaja terhalang, kali ini sepasang matanya memancarkan sinar berkilatkilat tatkala melihat bagaimana lelaki bertampang bocah itu mencecar ganas ke arah Pendekar Slebor.
Senyumannya mengembang saat berkata dalam hati, "Nama besarmu akan terpuruk saat ini juga, Pendekar Slebor...." Pendekar Slebor sendiri yang dibuat kalang kabut oleh serangan-serangan ganas Bocah Liar, memakimaki sendiri sambil terus menggerakkan kain bercorak caturnya, "Kutu monyet! Bisa-bisa... bukan mereka yang harus kuselamatkan mampus, justru aku sendiri yang bergemang tanah!! Perkedel busuk! Aku tidak boleh mampus dulu! Aku belum kawin!!" Lalu dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor, pemuda urakan ini terus menghindar.
Sementara itu Bocah Liar terus mencecar sambil tertawa-tawa, "Rupanya... hanya begini saja kebisaan pemuda yang julukannya begitu kesohor! Kau lebih pantas menjadi badut di rumah juragan tanah! Hhh!! Seperti kata-kataku tadi, siapa yang mencoba melukai Dewi Selendang Hitam, maka dia akan mampus!!" Kian ganas serangan yang dilancarkan Bocah Liar.
Keganasan itu bukan hanya dirasakan oleh Andika, Dewi Selendang Hitam yang masih segar bugar pun harus menyingkir bila tak ingin muncratan kabut hijau akibat bentrokan dengan kain bercorak catur yang digerakkan Andika.
Nasib malang rupanya harus menimpa Kepala Besi. Lelaki tinggi besar berkepala plontos itu melolong setinggi langit tatkala gagal hindari muncratan kabut hijau yang menyerempet kaki kanannya. Kalau tadi dia sudah merasakan nyeri akibat sambaran sinar hitam milik Nyi Dungga Ratih, kali ini bertambah nyeri luar biasa merasakan akibat sambaran kabut hijau lelaki tua bertampang bocah itu. Tubuh Kepala Besi pun ambruk dan bergulingan menahan sakit disertai lolongan keras.
Keadaan yang dialaminya membuat Andika menjadi tercekat. Apalagi dilihatnya bagaimana Dewi Selendang Hitam yang mempergunakan kesempatan itu langsung meluruk untuk menghabisi Kepala Besi.
Tak ada jalan lain lagi bagi Andika kecuali berusaha menyelamatkan Kepala Besi. Tatkala kabut-kabut hijau yang dilepaskan Bocah Liar mencecar terus ke arahnya, dengan alirkan ajian 'Guntur Selaksa' pada kain bercorak caturnya, digerakkan tangan kanannya.
Terdengar suara salakan guntur yang sangat keras, hingga menghanguskan dedaunan. Menyusul suara mendengung laksana ribuan tawon murka memekakkan telinga. Lalu menggebraknya gelombang angin yang dipadu dengan tenaga yang sungguh luar biasa.
Bocah Liar nampak terkesiap. Mendadak saja lelaki bertampang bocah ini melompat ke samping kanan. Blaaammm!! Kabut hijau yang dilepaskannya pecah diterobos tenaga dahsyat yang dilepaskan Andika. Bahkan tidak hanya sampai di sana saja, karena tenaga itu terus mengarah pada Bocah Liar yang lagi-lagi harus membuang tubuhnya disertai makian jengkel. Tanah di mana Bocah Liar hinggap tadi, langsung terbongkar ke udara dan membentuk sebuah lubang yang cukup besar dan keluarkan asap.
Bersamaan dengan itu, Andika meluruk dengan pencalan satu kaki ke arah Dewi Selendang Hitam.
Tangan kirinya yang telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' digerakkan.
Blaaarrr!! "Heeiiii!!" Dewi Selendang Hitam keluarkan pekikan tertahan, sambil melompat ke samping kanan. Ajian 'Guntur Selaksa' yang dilepaskan Andika menghantam sebuah pohon besar yang langsung berderak tumbang menggemuruh.
Bersamaan dengan itu, Andika cepat menyambar tubuh Kepala Besi. Namun hal itu tak mudah dilakukannya, karena begitu terbebas dari serangan yang dilancarkan Pendekar Slebor, Bocah Liar yang telah ada pada kedudukan semula, kembali lancarkan serangan.
Dalam waktu yang sempit, Andika kembali gerakkan tangan kanannya. Gebrakan yang dilakukannya membuat Bocah Liar surutkan serangan dan dengan gerakan yang luar biasa cepat, Andika segera menyambar tubuh Kepala Besi. Lalu memutar tubuh dan hinggap di atas tanah seolah tanpa beban padahal tubuh Kepala Besi cukup berat.
Kendati begitu dan dalam keadaan napas kembang-kempis, mulutnya yang usilan berkata juga, "Busyet! Aku mengangkat karung beras atau tong sampah nih!" Di seberang Dewi Selendang Hitam sudah berdiri di samping kiri Bocah Liar.
Pandangannya lurus ke arah Pendekar Slebor seraya berkata, "Benar-benar pemuda celaka!!" Setelah melirik Bocah Liar sejenak, dia berseru kembali, "Tak perlu mengasihani pemuda celaka itu! Dia telah bikin semua yang kuimpikan hancur berantakan!" Bocah Liar kertakkan rahangnya.
"Tak usah kau katakan, akan kulakukan semuanya!" Sebelum Dewi Selendang Hitam buka mulut, Andika sudah menyahut, "O... jadi serius nih mau mem-bunuhku"! Kupikir sejak tadi kalian main-main, soalnya aku belum mampus juga sih! Tetapi kalau memang kalian maunya begitu... ya, tidak apa-apa! Ayo sini kalian bunuh aku! Tapi... jangan sakit-sakit ya?" Tak ada yang keluarkan suara. Selorohan Andika sudah membuat darah masing-masing orang kian mendidih. Sementara itu, senja mulai menghilang dan berganti dengan malam yang cukup pekat. Angin kian dingin berhembus.
Andika yang habis berseloroh, diam-diam melirik luruhan abu yang tetap turun naik dan tak terganggu sedikit pun juga padahal beberapa kali terjadi letupan dan benturan yang keras. Cahaya perak yang terpancar membuat tempat itu seperti disinari tiga buah len-tera.
"Keanehan semakin dalam... namun penyelesaian agaknya justru tiba pada jalan buntu.
Tetapi, aku tak memungkiri kalau di balik luruhan abu itulah rahasia Patung Kepala Singa berada.... Hanya saja, sulit untuk memecahkannya, karena jelas kedua orang itu tak akan memberi kesempatan...." Diam-diam Dewi Selendang Hitam juga membatin, "Bocah Liar nampaknya tulus mencintaiku, karena dia mau terlibat dalam urusan ini, padahal seperti katanya, dia tak menghendaki Patung Kepala Singa. Ba gus! Aku bisa memanfaatkannya. Tetapi yang kuinginkan... adalah mengetahui rahasia Patung Kepala Singa.
Hhh! Apa Sebenarnya yang ada di balik luruhan abu itu" Bagaimana caraku untuk mengetahuinya?" Dan sebelum ada yang membuka suara, di saat masing-masing orang mulai merasakan kelelahan, mendadak saja terdengar suara yang keras dan dalam laksana keluar dari dalam sebuah sumur, "Aku mencium uraian darah dari manusia keparat bernama Saptacakra! Manusia celaka yang telah memantekku dengan ilmu anehnya pada sebuah pohon! Siapa pun adanya orang yang punya hubungan dengan Saptacakra dia harus mampus!!" Belum lagi suara itu habis terdengar, mendadak saja luruhan abu yang pancarkan sinar perak itu, semakin meninggi. Kira-kira sampai sepinggang dan bergerak turun naik!

***

Suasana semakin hening dan angker. Tak ada yang membuka suara kecuali membuka mata lebarlebar tatkala menyadari kalau suara itu berasal dari luruhan abu! Di tempatnya, tanpa disadarinya Andika merasa buluromanya merinding. Jelas sekali kalau dirinyalah yang dimaksud oleh suara tadi. Diam-diam dia pun sadar kalau suara itu berasal dari luruhan abu perak yang kini setinggi pinggang dan bergerak turun naik.
"Aneh! Menilik suara itu...jelas kalau ada yang mendendam pada Eyang Saptacakra! Ah, urusan kian berkembang jauh. Tentunya... ada sebuah masalah lalu yang dihadapi Eyang Saptacakra dengan orang yang entah siapa.... Janganjangan... ada sebuah dendam yang terpendam dan terkurung dalam luruhan abu itu." Andika memutus kata batinnya sendiri seraya mendesah, lalu melanjutkan, "Di muka bumi ini, terlalu banyak ilmu-ilmu aneh. Tak mustahil bila ada sebuah kutukan yang masuk ke dalam Patung Kepala Singa...." Kepala Besi yang berada dalam bopongan Andika yang semakin lama keadaannya bertambah lemah berkata dalam hati, "Apakah rahasia yang dimaksudkan oleh Eyang Kapi Pitu suara orang yang nampaknya berasal dari luruhan abu itu" Tetapi mengapa" Dan siapa Saptacakra yang dimaksudnya" Siapa pula di antara kami yang punya hubungan erat dengan Saptacakra"!" Sementara itu, Dewi Selendang Hitam membatin bingung, "Aneh! Siapa orangnya yang keluarkan suara seperti berasal dari luruhan abu itu" Dan tahu-tahu luruhan abu itu naik setinggi pinggang" Janganjangan...." Mendadak saja kata batin Dewi Selendang Hitam terputus, tatkala luruhan abu itu semakin lama semakin meninggi dan tetap bergerak turun naik. Andika sendiri sampai surutkan langkah satu tindak ke belakang melihatnya.
Sementara itu, Bocah Liar yang sejak tadi terdiam diam-diam membatin, "Aku seperti pernah mendengar suara itu... tetapi... di mana dan siapa" Nampaknya suara itu berasal dari luruhan abu yang bertambah tinggi...." Mendadak saja terdengar suara aneh itu kembali, "Bau darah Saptacakra telah dekat dengan hidungku! Siapa pun yang membebaskan diriku dari kutukan ini, kuucapkan terima kasih! Tetapi... nyawa tetap harus kubayar! Terutama... pada orang yang ada hubungan dengan Saptacakra!" Habis terdengar suara itu, mendadak saja luruhan abu yang semakin meninggi dan bergerak turun naik, memutar-mutar laksana seorang penari. Cahaya perak yang memancar bergerak melenggak-lenggok dengan indahnya, semakin terangi malam yang gelap.
Belum lagi ada yang mengerti apa yang terjadi, mendadak saja luruhan abu itu bertambah tinggi. Dan tahu-tahu mengarah pada Dewi Selendang Hitam.
Memekik kaget perempuan peot berpakaian hitam gombrang ini melihatnya. Tanpa sadar dia angkat kedua tangannya untuk menahan laju luruhan abu itu.
Namun luruhan abu itu justru melilit pada kedua lengannya.
Mendadak nampak tubuh Nyi Dungga Ratih alias Dewi Selendang Hitam meregang. Terdengar jeritannya yang menyayat hati laksana orang yang sedang seka-rat. Tahu-tahu luruhan abu yang melilit pada kedua lengannya mencelat naik dan masuk melalui ubunubun kepala perempuan tua itu.
Hanya dalam satu tarikan napas saja luruhan abu itu telah lenyap. Tubuh Dewi Selendang Hitam nampak terdiam. Napasnya terdengar memburu dengan kedua mata membeliak lebar. Satu tarikan napas berikutnya tubuhnya bergetar laksana dipegangi oleh puluhan orang. Kedua tangan dan kakinya menyentak-nyentak keras hingga debu-debu yang diinjaknya naik ke udara. Tak ada yang berani untuk mencoba hentikan gerakan aneh yang mendadak diperlihatkan Dewi Selendang Hitam setelah dimasuki luruhan abu yang telah lenyap itu. Namun Bocah Liar bertindak juga akhirnya. Dengan cepat dia coba tangkap kedua tangan Dewi Selendang Hitam. Namun sebelum berhasil dilakukannya, mendadak saja tangan kanan perempuan itu mengibas. Desss!! Astaga! Bocah Liar yang memiliki ilmu dua tingkat di atas Dewi Selendang Hitam, justru terlempar ke belakang dengan derasnya. Dan berhenti setelah menabrak semua pohon. Dia memang tak kurang suatu apa.
Namun akibat yang baru saja terjadi, membuatnya merandek gusar sekaligus heran.
Di tempatnya Andika membatin, "Sesuatu telah terjadi... petaka akan terjadi...." Apa yang diduganya ternyata benar. Karena setelah beberapa kali meregang-regang dengan kedua tangan dan kaki menyentak-nyentak, mendadak saja kedua tangan Dewi Selendang Hitam terangkat naik lalu bersedekap di dada.
Sosoknya nampak lebih tinggi, karena dadanya dibusungkan. Kepalanya tegak lurus dengan langit.
Pancaran matanya bersinar angker dan mengerikan.
Menyusul terdengar suaranya yang keras dan dalam, "Bau amis darah Saptacakra telah tercium! Aliran darah itu dekat di hadapanku!! Pemuda berpakaian hijau pupus... kaulah orang yang kupilih mati untuk membebaskanku dari kutukan yang pernah kuucapkan sendiri!!" Sadar kalau ucapan itu ditujukan padanya, Andika melengak kaget. Tanpa sadar dia mendesis, "Sebuah kutukan... dan itu bukan suara Nyi Dungga Ratih...."

***

↔:: 3 ::↔

Belum lagi habis pemuda urakan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini membatin, mendadak saja dirasakan satu gelombang angin yang semakin lama. membesar menggebrak ke arahnya.
"Astaga!!" serunya dengan mulut menganga dan kedua mata terbeliak.
Kejap itu pula, masih mentanggul tubuh Kepala Besi, Andika sudah kibaskan kain bercorak catur yang dirangkum dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Terdengar suara salakan guntur dan dengungan laksana ribuan tawon yang menyusul menggebraknya angin dahsyat. Namun justru dia yang memekik sendiri sambil melompat, "Heeeiiii!!" Karena serangan yang dilakukannya seperti nyeplos begitu saja laksana masuk ke dalam gulungan asap. Sementara itu gelombang angin yang menderu dari tubuh Dewi Selendang Hitam yang tadi gerakkan tangan kanannya begitu kaku seperti robot, terus menderu ke arah Andika.
Tak mau mendapatkan nasib sial, Andika segera melompat ke samping kiri. Gelombang angin yang menderu tadi tanpa keluarkan hawa panas mau pun dingin, menabrak sebuah pohon yang langsung tercabut dan melayang jauh. Menabrak dua pohon di belakangnya sekaligus yang timbulkan suara berderak dan tumbang dengan keluarkan suara menggemuruh.
"Kura-kura bau!! Jelas tak mungkin kalau serangan itu berasal dari ilmu yang dimiliki Nyi Dungga Ratih! Serangan itu... tentunya berasal dari orang yang terkena kutukannya sendiri yang arwah dan ilmunya telah menjelma menjadi Patung Kepala Singa! Orang yang pernah dikalahkan oleh Eyang Saptacakra dan kini menitiskan rohnya pada Nyi Dungga Ratih!!" Menyusul keanehan yang terjadi, Dewi Selendang Hitam melangkah dua tindak ke depan. Langkahnya begitu kaku. Dan begitu kakinya menginjak tanah saat melangkah, tanah yang masing-masing orang pijak seperti bergetar.
"Astaga! Jelas yang kudapati adalah bangsa siluman!" desis Andika terkejut.
"Kutu loncat! Kalau tahu begini akibatnya, tak mau aku susah payah memecahkan rahasia Patung Kepala Singa yang terdapat di balik luruhan abu!" Habis makiannya, pemuda berpakaian hijau pupus ini segera melompat lagi bila tak ingin gelombang angin yang dilepaskan Dewi Selendang Hitam menghantamnya. Lagi-lagi sebuah pohon tercabut dan menabrak pohon lain begitu gagal mengenai sasarannya.
Suara yang ditimbulkan sangat mengerikan.
"Kadal buntung! Jelas tak mungkin kuhadapi dengan ilmu dari Lembah Kutukan! Apakah harus kupergunakan ajian bangsa siluman yang pernah diturunkan oleh Eyang Sangsoko Murti?" desis Andika dengan wajah tegang. Keringat mendadak saja menga-liri sekujur tubuhnya. (Untuk mengetahui siapa Eyang Sangsoko Murti silakan baca: "Neraka di Keraton Barat" dan untuk mengetahui bagaimana Andika diturunkan ilmu bangsa siluman oleh Eyang Sangsoko Murti baca: "Siluman Hutan Waringin").
Namun pemuda urakan ini urung melakukan, tatkala dirasakan desah napas Kepala Besi menjadi sa-tu-satu. Keadaan ini membuatnya jadi keblingsatan sendiri. Sadar akibatnya bila dia tak segera menolong lelaki tinggi besar ini, membuat Andika berpikir lain.
"Terpaksa harus kuselamatkan dulu nyawa Kepala Besi. Tubuhnya kini terasa panas sekali. Mungkin karena terkena sambaran kabut hijau yang dilepaskan Bocah Liar tadi. Hmm... bahaya telah datang mengancam. Aku yakin, roh yang masuk ke dalam tubuh Dewi Selendang Hitam akan mencari Eyang Saptacakra. Dan bisa kubayangkan apa yang akan terjadi bila dia gagal melakukannya...." Karena merasa harus menyelamatkan nyawa Kepala Besi, Andika memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Diperhitungkannya saat yang tepat. Tatka-la didapatinya, dia segera berkelebat. Namun bersamaan dengan itu, Bocah Liar justru lepaskan ajian 'Hutan Perangkap Harimau'. Serta merta menderu kabut-kabut hijau yang ganas.
"Kutu monyet!!" Namun sebelum Andika menghindar atau lakukan satu papakan, mendadak saja kabut-kabut hijau itu pecah berantakan disertai suara letupan yang sangat keras. Menyusul terdengar suara keras dan dalam, "Tak seorang pun kuizinkan membunuh orang yang punya hubungan dekat dengan Saptacakra!! Dan ke-lancangan itu harus ditebus dengan nyawa!!" Andika yang telah hinggap kembali di atas tanah, melihat betapa pucatnya wajah Bocah Liar tatkala satu gelombang angin dahsyat menderu ke arah lelaki itu.
Bocah Liar segera bergulingan disertai seruan tertahan. Namun gelombanggelombang angin yang berasal dari gerakan kaku tangan kanan Dewi Selendang Hitam terus mencecarnya.
Kian pucat laksana tanpa darah wajah Bocah Liar.
Dia menghindar seraya berseru, "Dewi! Ingat, ini aku! Sahabat dan sekaligus gurumu! Tahan seranganmu, Dewi!!" Namun Dewi Selendang Hitam yang telah kemasukan roh entah milik siapa itu terus menyerang dengan gerakan-gerakan kakunya.
Mulutnya bersuara kejam, "Kematian layak untuk orang yang ganggu urusanku!!"
"Terkutuk! Dewi, sadarlah! Jangan memancingku untuk menurunkan tangan!!" maki Bocah Liar keras, namun hatinya kebat-kebit.
Karena dia pun menyadari kalau yang lakukan serangan itu bukanlah Dewi Selendang Hitam. Tetapi perempuan berpakaian hitam itu tak peduli. Dengan gerakan-gerakan kaku dia terus lancarkan serangan ganasnya pada Bocah Liar yang berkali-kali kertakkan rahangnya.
"Keparat! Terpaksa aku harus membunuhmu!!" Kendati dia berusaha melakukannya, namun justru dia yang terdesak. Bahkan kali ini pekikanpekikan tertahan disertai rasa ketakutan terdengar da-ri mulutnya.
Sementara itu melihat betapa Bocah Liar telah masuk ke dalam lingkaran maut yang diciptakan Dewi Selendang Hitam, Andika mengurungkan niatnya untuk segera meninggalkan tempat itu. Dia segera mencelat ke muka sambil gerakkan kain bercorak caturnya, "Menjauh dari sini!!" Namun serangan yang dilakukannya tak berarti banyak. Hanya dengan gerakkan tangan kirinya saja, serangan yang dilakukan Andika putus. Sementara tangan kanan Dewi Selendang Hitam terus lancarkan serangan pada Bocah Liar yang menghindar sambil berseru-seru mencoba menyadarkan perempuan itu.
Kendati mulutnya sampai berbusa, namun Dewi Selendang Hitam yang telah berubah dari nurani aslinya, justru kini menggerakkan kedua tangannya. Sa-tu tarikan napas berikutnya, satu gelombang angin menghantam kaki Bocah Liar yang melolong setinggi langit. Sementara gelombang angin lainnya menghantam telak dadanya, Terseret ke belakang Bocah Liar disertai pekikan terputus. Seretan tubuhnya terhenti tatkala menghantam sebuah pohon besar yang langsung tumbang. Saat tubuhnya ambruk, terlibat dadanya bolong besar dengan jantung hangus. Lelaki bertampang bocah itu langsung tewas tanpa keluarkan suara sepatah kata pun lagi. Di tempatnya, Andika menggigil melihat kekejaman yang terpampang di depan matanya. Sebenarnya pemuda dari Lembah Kutukan ini masih mencoba untuk menahan setiap serangan yang dilakukan Dewi Selendang Hitam. Namun begitu dirasakan gerak napas Kepala Besi kian melemah, diputuskannya untuk menyelamatkan Kepala Besi lebih dulu.
Sambil hindari serangan yang dilakukan Dewi Selendang Hitam, pemuda ini bergerak cepat meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Pendekar Slebor, nampak kegeraman meliputi wajah Dewi Selendang Hitam yang sejak tadi tak sekali pun kedipkan matanya. Pancaran matanya kian dingin dan dalam. Mendadak terdengar tawanya yang keras. Saking kerasnya, membongkar ranggasan semak belukar yang semakin lama kian habis dan di tempat itu telah ter-bentuk sebuah tanah kosong yang cukup luas.
"Setelah puluhan tahun, sekarang aku telah bebas dari kuncian yang dilakukan Saptacakra! Kutukan yang kulontarkan akan kubalas kepada cucu buyut Saptacakra! Kini saatnya menghirup udara bebas!!" Tawa yang terdengar kian mengeras disusul suara kembali, "Jala Kunti telah terbebas dari kuncian! Kini tinggal melaksanakan kutukan yang pernah terucap!!" Habis seruannya, sosok Dewi Selendang Hitam yang telah kerasukan roh seorang tokoh sesat bernama Jala Kunti, bergerak meninggalkan tempat itu. Dan setiap kali melangkah, terdengar suara berdebam dan tanah yang sedikit bergetar.
Tempat itu pun kembali direjam sepi. Keheningan dan hawa dingin menyelimuti mayat Bocah Liar.

***

Pagi kembali mengalunkan gita lembutnya dalam semaian sinar mentari yang redup memerah. Angin berhembus sejuk, seolah lambungkan sukma ke langit tujuh. Di sebuah batang pohon yang terdapat di depan sebuah sungai, nampak satu sosok tubuh berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan, sedang duduk bersandar. Sosok tubuh lelaki tinggi besar yang tak lain Kepala Besi adanya nampak lemah. Bibirnya rapat menutup sementara pancaran matanya seolah tak menatap apa pun, tanda dia sedang berpikir.
Kepala Besi yang setelah diobati oleh Pendekar Slebor akibat hantaman sinar hitam Nyi Dungga Ratih kemudian terkena serempetan kabut hijau Bocah Liar pada kaki yang sama, nampak sudah merasa lebih baik. Bahkan kaki kanannya dapat digerakkan seperti biasa kendati masih agak lemah.
"Rupanya... apa yang tersimpan pada Patung Kepala Singa... sungguh sesuatu yang mengerikan... sebuah kutukan yang kini merasuk pada diri Dewi Selendang Hitam...," desisnya masygul tatkala teringat bagaimana perubahan terjadi pada diri Dewi Selendang Hitam.
Angin berhembus, membelai wajahnya, menggugurkan beberapa dedaunan yang sebagian melayang jauh dan sebagian jatuh ke sungai yang segera berlalu mengikuti alirannya.
"Guru... puluhan tahun rahasia itu terpendam, dan yang muncul hanyalah sebuah kutukan.... Kutukan yang mengerikan, kutukan yang mendendam pada orang yang bernama Saptacakra.... Ah, siapakah orang itu" Dan kudengar... Dewi Selendang Hitam yang telah kemasukan roh entah milik siapa, memburu Pendekar Slebor.... Apakah benar kalau pemuda urakan itu keturunan atau ada hubungan erat dengan Saptacakra?" Sebelum Kepala Besi teruskan berpikirnya, mendadak saja satu sosok tubuh menyeruak dari dalam sungai. Byuurrrr! "Wuaaaahhh!! Segar, segar betul!!" terdengar seruan itu bersamaan dengan satu kepala berambut gondrong yang kini basah. Lalu berteriak pada Kepala Besi, "Hei, Gundul! Ayo, sini mandi dulu! Bau badanmu lebih gawat dari kambing buduk!!" Kepala Besi cuma tersenyum saja pada Andika yang barusan tadi berteriak. Lalu berseru, "Aku tidak mandi, karena tubuhku tidak bau! Justru kau yang sedang coba hilangkan bau busuk tubuhmu itu!"
"Jangkrik!!" maki Andika sambil tersenyum konyol. Setelah garuk-garuk kepalanya, dia menyelam la-gi dan berenang gaya bebek.
Kepala Besi cuma memperhatikan saja. Begitu pula tatkala pemuda dari Lembah Kutukan itu tahu-tahu melompat dari dalam air dan hinggap di balik ranggasan semak belukar. Tiga kejapan mata berikutnya, dia sudah keluar lagi, berpakaian lengkap sambil tertawa-tawa.
"Segar, segar!!" desisnya sambil angkat kedua tangannya, lalu mencium ketiaknya.
Dengan sikap yang kian konyol dia berseru, "Kalau jumpa dengan gadis manis, tidak perlu malu, nih!!"
"Itu namanya tidak tahu malu!!" Andika cuma nyengir sambil gerak-gerakkan rambutnya yang basah. Butiran air berlompatan dan seperti berlian yang terkena cahaya mentari.
"Masa bodoh, ah!" katanya sambil duduk bersila di hadapan Kepala Besi. Sesaat dipandanginya lelaki berkepala plontos ini sebelum berkata, "Aku ingin mendengar sekali lagi tentang Patung Kepala Singa yang dikatakan oleh gurumu, Kepala Besi." Kepala Besi terdiam sejenak. Kendati dia merasa heran dengan kata-kata itu, diulanginya lagi apa yang pernah diberitahukan gurunya tiga puluh tahun yang lalu (Silakan baca: "Rahasia di Balik Abu").
Dilihatnya pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesungguhnya, Andika mencoba mencari rangkaian dari rahasia Patung Kepala Singa dengan kutukan yang terdapat di patung itu. Kemudian katanya, "Rahasia yang terpendam beberapa puluh tahun itu, rupanya adalah sebuah kutukan. Kutukan dari orang yang pernah dikalahkan oleh Ki Saptacakra. Mendapatkan kejelasan dari semua pe-ristiwa ini, satu-satunya jalan adalah mencari tahu masalah apa yang dulu pernah terjadi..."
"Andika... siapakah sesungguhnya Ki Saptacakra dan apa hubungannya denganmu?" Andika mendesah pendek sebelum berkata, "Dia...
adalah eyang buyutku sekaligus guruku...." Lalu dice-ritakannya sedikit tentang Ki Saptacakra. (Untuk mengetahui siapa gerangan Ki Saptacakra adanya, silakan baca: "Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").
"Menilik kata-kata Dewi Selendang Hitam yang telah kerasukan roh dari Patung Kepala Singa yang telah lebur menjadi luruhan debu, jelas engkaulah sasarannya sebelum menuntaskan seluruh dendamnya pada Eyang buyutmu itu."
"Kau betul. Jelas dia tak akan melepaskan niatnya untuk membantai semua keturunan dari Ki Saptacakra. Dalam hal ini... adalah aku...." Tak ada yang keluarkan suara.
Kepala Besi mendesah dalam hati, "Aku tak enak melibatkannya waktu lalu dalam urusan Patung Kepala Singa, yang ternyata justru sebuah ancaman pada Andika sendiri...." Sementara itu Andika membatin, "Bila saja aku tidak terlibat dalam urusan ini, sudah tentu aku tak akan tahu kalau ada dendam membara pada Eyang buyutku...." Kemudian terdengar kata-katanya, "Kepala Besi...
urusan kian membentang panjang. Dan tak mungkin kita bisa berpangku tangan saja. Jelas-jelas Dewi Selendang Hitam yang telah kemasukan roh dari luruhan abu Patung Kepala Singa tak akan berdiam diri. Tentunya dia akan turunkan segala murkanya. Hmmm...
apakah keadaanmu sudah baikan sekarang?" Kepala Besi menganggukkan kepalanya.
"Bagus!" sahut Andika sambil acungkan jempol, lalu menyambung dengan suara seperti menggerutu, "Kalau belum juga sih, kebangetan!" Sementara Kepala Besi mendengus, Pendekar Slebor berkata lagi, "Rasanya... kita harus berpisah di si-ni. Kita menempuh jalan masing-masing. Tujuanku saat ini, tetap mencoba untuk patahkan setiap keinginan sesat dari roh yang masuk ke tubuh Dewi Selendang Hitam...." Kepala Besi mendesah dulu sebelum berkata, "Bagaimana bila kita menghadapinya bersama-sama?" Andika yang mempunyai rencana sendiri, menggelengkan kepalanya. Kemudian sambil nyengir dia berkata, "Busyet! Betul-betul aneh kau ini! Masa kau harus ikut denganku" Bah! Kalau kau perempuan jelita, montok dan menggiurkan sih boleh juga.... Tetapi ini... ya, ampun... nenek-nenek peot juga nggak nafsu buat jadi lawan ehm-ehmmu...."
"Dasar urakan! Dalam keadaan seperti ini dia masih bisa bicara seenak jidatnya saja...," maki Kepala Besi dalam hati. Lalu berkata, "Apa yang hendak kau lakukan sekarang?"
"Busyet! Banyak tanya banget! Tetapi ya... terus terang, aku tak bisa mengatakannya! Soalnya... nanti kau contek lagi... ha ha ha!!" Sementara Andika, terbahak-bahak, Kepala Besi keluarkan dengusan. Dua kejapan berikutnya, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur sudah berdiri.
Pandangannya kali ini serius pada Kepala Besi.
"Jaga dirimu baik-baik... jangan sampai kau dikawini oleh Dewi Selendang Hitam...."
"Urakan!!" seru Kepala Besi sambil berdiri kembali. Kaki kanannya dirasakan sudah tidak terlalu ngilu.
Andika sendiri cuma tertawa saja dan masih tertawatawa berlalu meninggalkan Kepala Besi yang kemudian juga berkelebat ke arah yang berlawanan dengan pemuda itu.

***

↔:: 4 ::↔

Malam kian dalam bergerak, membentuk kegulitaan semata. Gumpalan awan putih telah sirna diganti awan hitam yang menggelembung, tanda sebentar lagi hujan akan turun bila angin tak gerakkan awan-awan hitam itu berlalu.
Dan mendadak saja kandungan awan-awan hitam itu tumpah. Laksana air bah, hujan turun dengan derasnya. Angin berubah bergulung-gulung dengan udara yang terasa kian dingin menusuk tulang. Petir sambar menyambar seolah hendak luluh-lantakan kehidupan di muka bumi ini. Kilat sesekali menerangi puncak sebuah bukit terjal yang mengerikan. Dalam keadaan alam yang murka, nampak satu sosok tubuh bergerak cepat. Dari gerakannya yang sejak semula memang cepat, nampak tak ada tandatanda orang itu akan hentikan kelebatannya. Bahkan sejenak pun dia tak berhenti atau tengadahkan kepalanya. Jelas sekali kalau orang yang tak pedulikan betapa derasnya butiran hujan yang membasahi tubuhnya, memiliki satu urusan yang tak mau ditinggalkan barang sekejap.
Dan menilik gerakannya yang seperti tak terhalang oleh kabut tebal, menandakan kalau bayangan yang kenakan pakaian berwarna biru gelap dengan selendang putih yang berselempangan di dadanya, sangat hafal dengan jalan menuju ke bukit yang dipenuhi batu-batu terjal yang setiap saat bisa berjatuhan.
Tiba di lereng bukit, tanpa hentikan gerakannya sekali pun, lelaki yang berkumis baplang dan tak lain Gendala Maung adanya, segera melesat naik ke bukit itu. Kabut tebal kian menutupi pandangannya, namun dia tak peduli. Bahkan lereng bukit terjal itu pun terus didekatinya dengan penuh kepercayaan diri. Bila salah seorang dari Dua Iblis Lorong Maut ini tidak hafal betul jalan yang harus dilaluinya, niscaya dia akan jatuh terguling atau paling tidak tersesat.
Setelah gagal mencoba kelicikannya pada Pendekar Slebor dan maksudnya untuk membalas sakit hati sahabatnya yang tewas di tangan pemuda itu karena dihadang oleh Kepala Besi, Gendala Maung kerahkan segenap kebisaannya untuk membunuh Kepala Besi.
Namun rupanya, dia memiliki ilmu yang seimbang dengan Kepala Besi. Sementara itu, Kepala Besi sendiri tak menghendaki pertarungan itu diteruskan lebih la-ma mengingat dia hanya bermaksud untuk menahan Gendala Maung saja, agar Pendekar Slebor dapat meneruskan mencari Patung Kepala Singa.
Di saat bentrokan terjadi, Kepala Besi mempergunakan kesempatan itu untuk meninggalkan Gendala Maung. Gendala Maung sendiri kian meradang, lalu dia pun segera meninggalkan tempat itu (Baca: "Rahasia Di Balik Abu").
Lelaki berkumis baplang yang mendendam pada Pendekar Slebor karena telah membunuh sahabatnya yang bernama Ganda Maung dan sekarang mendendam pula pada Kepala Besi, tak mau menunda segala keinginannya untuk membalas dendam. Gendala Maung yang sebelumnya menginginkan Patung Kepala Singa kini benar-benar menindih segala keinginannya itu. Sambil berkelebat dia berpikir untuk menjumpai gurunya di Bukit Balu-Balu. Karena sesungguhnya, keinginannya bersama Ganda Maung untuk mendapatkan Patung Kepala Singa atas perintah gurunya yang berjuluk Dedemit Tapak Akhirat.
Dan sekarang, lelaki yang tengah dirasuk dendam ini telah tiba di puncak Bukit Akhirat. Begitu kedua kakinya menginjak puncak bukit itu, dia langsung berkelebat ke arah sebuah bangunan kecil yang nampak tak terganggu sama sekali akibat angin dahsyat.
Bahkan petir yang menyambarnya seolah berbelok.
Menghantam gugusan puncak bukit hanya sejarak satu langkah dari gubuk reot itu.
Tak mau membuang waktu lagi, Gendala Maung langsung masuk ke dalam gubuk itu seraya berseru, "Guru...." Sesaat tak ada suara yang terdengar, bahkan Gendala Maung tak bisa melihat seisi gubuk itu. Namun dia hafal betul dengan bau tubuh gurunya yang seperti menebarkan aroma kemenyan.
Setelah beberapa saat terdiam, terdengar suara, "Sudah kuduga kau akan datang tanpa membawa hasil yang kuperintahkan...." Mendengar kata-kata orang yang bernada dingin itu, Gendala Maung langsung jatuhkan tubuh. Baru sekarang dirasakan betapa penat dan lelah sekujur tubuhnya. Apalagi ditingkahi oleh rasa takut yang mendadak muncul.
Saat berkata nafasnya agak terengah, "Maafkan aku, Guru.... Seorang pemuda telah menggagalkan semua ini...."
"Seorang pemuda" Apakah kau hanya sebangsa tikus air yang tak mampu menghadapinya?" Suara yang kian dingin itu semakin menciutkan hati Gendala Maung.
Tetapi ditahan rasa takutnya. Lalu berkata, "Ku akui... kalau dia memiliki ilmu yang lebih tinggi, Guru...."
"Siapa pemuda itu?" Gendala Maung mengatur nafasnya dulu sebelum menjawab, "Pendekar Slebor...." Sesaat tak ada sahutan.
"Pendekar Slebor....
Sebuah julukan yang nampak kosong belaka...." Terdengar sahutan itu lalu menyambung, "Tetapi... bisa tunda urusan itu sesaat. Sekarang, pejamkan kedua matamu...." Menuruti perintah gurunya, Gendala Maung segera memejamkan kedua matanya. Lamat-lamat dirasakan hawa panas melingkupi tubuhnya yang nampak mulai menggigil. Rasa dingin pun dirasakan perlahan-lahan menghilang. Lalu seperti ada satu sentuhan halus, kedua matanya yang terpejam nampak sesaat bergerak.
"Buka kedua matamu sekarang...." Lamat-lamat Gendala Maung membuka sepasang matanya kembali. Saat dibuka, dirasakan satu perubahan yang berbeda. Kalau tadi sebelumnya dia tak melihat apa-apa karena seisi gubuk itu hanya kegelapan semata, kali ini dia dapat melihat dengan terang.
Seolah di tempat itu matahari sedang berada tepat di tengah-tengah kepala.
Sejarak tiga langkah dari hadapannya, nampak satu sosok tubuh kurus sedang duduk bersila. Wajah orang itu demikian mengerikan, karena seperti tak ter-lapis daging dan kulit.
Begitu kurusnya hingga wajahnya nampak seperti tengkorak belaka. Rambut orang itu panjang tak beraturan. Sepasang matanya menjorok ke dalam dan pancarkan warna kelabu pekat.
Orang yang berusia kira-kira sekitar tujuh puluh tahun ini, mengenakan pakaian hitam-hitam yang terbuka di dada dan memperlihatkan dadanya yang kurus agak membungkuk. Dari wujudnya yang mengerikan ini, ada juga ketakjuban bagi orang yang memandangnya. Karena orang tua itu bersila dengan kedudukan satu jengkal di atas tanah! Orang inilah yang berjuluk Dedemit Tapak Akhirat, orang yang puluhan tahun lalu julukannya pernah menggemparkan rimba persilatan karena sepak ter-jangnya yang ganas, orang yang menjadi guru dari Dua Iblis Lorong Maut, yang selama berguru padanya telah menjadi manusia-manusia kejam yang dapat diperin-tah apa saja.
Lelaki berwajah tengkorak ini mendehem lalu berkata, "Urusan sekarang sudah berkembang.... Ceritakan apa yang telah terjadi...." Laksana seorang anak kecil yang mengadu pada ayahnya karena dicurangi bermain kelereng, Gendala Maung menceritakan apa yang telah terjadi.
"Jadi sampai saat ini, kau sesungguhnya belum tahu pada siapa Patung Kepala Singa berada?" tanya Dedemit Tapak Akhirat setelah Gendala Maung habis bercerita. Gendala Maung menganggukkan kepalanya. Didengarnya lagi suara gurunya, kali ini lebih sengit, "Sekarang... apa maksud kedatanganmu ke sini" Lari pulang seperti perawan dicegat seorang perjaka?" Gendala Maung tak segera membuka mulut. Disadarinya betul bila dia salah berucap maka akibatnya akan fatal. Namun dendamnya atas kematian Ganda Maung membuatnya menindih segala ketakutannya.
Perlahan-lahan diangkat kepalanya.
Hanya sesaat. Karena begitu bentrok dengan sepasang mata kelabu milik gurunya itu, Gendala Maung segera tertunduk. Setelah tarik napas dia berkata, "Saya datang ke sini, justru ingin meminta pelajaran lagi dari Guru. Saya akui, karena saya tak mampu untuk menandingi kehebatan Pendekar Slebor."
"Hhhh! Seperti apa kesaktian pemuda celaka itu"!"
"Bila dibandingkan dengan kesaktian yang Guru miliki, tentunya Pendekar Slebor bukanlah tandingan Guru," sahut Gendala Maung mencoba menjilat.
Namun dia kecele karena gurunya justru membentak, "Jangan menjadi manusia dungu di hadapanku, Gendala Maung!" Gendala Maung langsung bungkam mendengar bentakan itu. Di dasar hatinya, dia jengkel bukan main. Namun dia benar-benar tak berani lakukan tindakan apa-apa. Bahkan menunjukkan kejengkelannya melalui dengusan saja tak berani dilakukannya.
Sesaat di dalam gubuk itu hening. Di luar gubuk, hujan terus turun dengan derasnya. Berulang kali kilat menyambar, entah yang kali keberapa hingga menerangi Bukit Balu-Balu beberapa kejap. Menyusul petir yang salak menyalak. Kendati alam seperti didera kiamat kecil, gubuk yang didiami kedua orang itu tak bergerak sedikit juga! Masing-masing orang yang terdiam itu, akhirnya dipecahkan oleh suara Gendala Maung, "Guru... menurut kabar yang kudengar...
Pendekar Slebor berasal dari Lembah Kutukan...." Begitu habis kata-kata Gendala Maung, terdengar seruan tertahan Dedemit Tapak Akhirat, "Gila! Apakah aku tidak salah mendengar apa yang kau katakan itu, hah"!!" Kendati agak terkejut mendapati kekagetan gurunya, Gendala Maung buru-buru menggeleng, "Tidak, Guru.... Berita itulah yang kudengar...." Sesaat tak ada lagi yang keluarkan suara. Gendala Maung yang kini matanya telah dapat melihat dalam gelap, melihat gurunya nampak seperti tercenung.
Namun pancaran sinar kelabu sepasang matanya begitu nyalang. Mendadak terdengar suara makiannya yang keras, "Jahanam sial! Hanya seorang yang tinggal di Lembah Kutukan... dan dia bernama Saptacakra! Orang yang telah mengalahkan kakak seperguruanku puluhan tahun lalu! Orang yang telah menguncinya pada sebuah pohon hingga kakak seperguruanku itu mampus! Tetapi... sebelum dia mampus, dia telah keluarkan satu kutukan! Kelak, rohnya akan menitis pada pohon itu!" Mendengar kata-kata gurunya, Gendala Maung nampak kerutkan kening.
"Apa maksud Guru berkata-kata seperti itu" Baru kali ini kudengar dia memiliki kakak seperguruan. Hmm... siapakah orangnya?" Kendati hatinya diliputi tanya, Gendala Maung tak berani mengajukannya. Lalu didengarnya kembali suara gurunya, "Gendala Maung... tahukah kau mengapa aku memerintahkanmu untuk mencari Patung Kepala Singa?" Lelaki berkumis baplang itu buru-buru menggelengkan kepala.
"Tidak, Guru...."
"Hmmm... kini tiba saatnya kuceritakan padamu.
Kakak seperguruanku bernama Jala Kunti, seorang perempuan yang mudah sekali tersinggung. Emosinya selalu meluap. Bahkan aku tak pernah berani membantahnya. Dia pun berani melawan guruku yang sekaligus gurunya. Namun, Guru sangat sayang padanya... karena sesungguhnya, Jala Kunti adalah putrinya sendiri...." Dedemit Tapak Akhirat terdiam dulu, seolah mengingat masa lalunya. Setelah beberapa saat dia berkata lagi, "Kala itu... Jala Kunti selalu hidup dalam setiap amarahnya. Terlebih lagi... tatkala dia mencintai seorang pemuda yang bernama Saptacakra. Dan sungguh malang nasibnya, karena Saptacakra tak pernah mau membalas cintanya. Jala Kunti marah besar. Dia berusaha untuk membunuh Saptacakra... namun Saptacakra selalu berhasil mengalahkannya. Sebagai pelampiasan amarahnya, dia membunuhi pemuda-pemuda yang ditemuinya. Siapa pun pemuda itu...." Dedemit Tapak Akhirat menghela napas dulu sebelum melanjutkan, "Karena tindakannya yang telengas itu. Guru memerintahkanku untuk mengatasi semua tindakannya. Namun aku tak mampu mengatasinya. Kendati aku dihajar habis-habisan, namun aku tidak marah sama sekali.
Justru aku mendendam pa-da Saptacakra yang semakin membuatnya bertambah beringas. Dan kuputuskan untuk mencari Saptacakra.
Setelah berbulan-bulan lamanya, aku berhasil bertemu dengannya. Kuminta dengan sangat, bahkan aku sampai berlutut padanya, agar dia mau mencintai Jala Kunti. Paling tidak, berpura-pura. Tetapi Saptacakra yang kala itu berusia sekitar lima belas tahun di atasku, tetap menolak. Aku menjadi murka. Dan aku pun menyerangnya. Tetapi aku berhasil dikalahkannya. Pada saat Saptacakra hendak meninggalkanku, muncul Jala Kunti yang dengan membabi buta menyerangnya. Pertarungan yang terjadi berlangsung sekitar tiga kali penanakan nasi dan kemenangan berada di pihak Saptacakra. Karena Jala Kunti begitu nekat terus mencoba menyerangnya kendati sudah kepayahan, Saptacakra akhirnya memantek Jala Kunti dengan ilmunya di sebuah pohon. Saat itu, aku mencoba menolongnya, namun karena keadaanku sendiri sudah payah aku tak mampu melakukannya. Saptacakra pun meninggalkanku dan Jala Kunti yang menempel di sebuah pohon. Sebelum Saptacakra meninggalkan tempat itu dan sebelum aku pingsan, Jala Kunti telah lemparkan kutukan, bila dia mendapatkan kesempatan hidup kedua dia akan membunuh Saptacakra hingga tujuh turunannya. Aku pun terbangun setelah pingsan yang tak kuketahui berapa lama. Saat itulah kulihat Jala Kunti telah tewas membunuh diri dengan cara menggigit lidahnya sendiri...." Dedemit Tapak Akhirat mendesah masygul, "Dengan hati pedih, akhirnya kukuburkan mayatnya. Dan kuceritakan semua itu pada guruku yang hanya terdiam. Lalu, entah karena umur guru yang sudah tua atau karena pedih memikirkan nasib Jala Kunti... akhirnya Guru pun meninggal.
Tinggal aku yang kemudian selalu mendatangi pohon di mana Jala Kunti menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Setelah beberapa tahun aku selalu mendatangi tempat itu, akhirnya kuputuskan untuk mencari Saptacakra. Tetapi, aku selalu gagal bertemu dengannya.
Akhirnya kuputuskan untuk kembali melihat pohon tempat Jala Kunti menemui ajalnya. Saat itulah baru kusadari kalau pohon itu telah ditebang oleh seseorang yang kuketahui bernama Kapi Pitu yang lalu kudengar memiliki Patung Kepala Singa.... Aku tak pernah memikirkan soal itu, karena tak kuingat sama sekali tentang kutukan Jala Kunti. Tatkala aku teringat akan kutukan Jala Kunti, kucoba untuk mencari Kapi Pitu guna mendapatkan Patung Kepala Singa. Tetapi aku pun gagal mendapatkannya... hingga kemudian kudengar, kalau Patung Kepala Singa dimiliki oleh seseorang yang berjuluk Pendekar Sutera... Makanya, kutugaskan kau dan Ganda Maung untuk mendapatkannya. Karena aku yakin, pada Patung Kepala Singa tersimpan roh Jala Kunti yang membawa kutukan...." Mendengar cerita gurunya yang panjang lebar, Gendala Maung terdiam dengan kening dikernyitkan berkali-kali.
"Tak kusangka kalau persoalan Patung Kepala Singa ada hubungannya dengan Guru. Hmmm... pada siapakah patung itu berada sekarang" Atau jangan-jangan... rahasia itu telah terbuka dan kutukan Jala Kunti telah menyebar?" Di luar gemuruh hujan belum mereda juga. Bahkan terdengar semakin ganas. Di lereng bukit sebelah kanan, tiga batang pohon kelapa hangus tersambar petir. Dedemit Tapak Akhirat tarik napas. Pancaran matanya kian tajam menusuk. Berkilat-kilat kelabu.
"Kini... Saptacakra nampaknya telah menurunkan ilmunya pada seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor! Mencari manusia itu sendiri tak akan mudah dilakukan! Berarti... Pendekar Slebor lah satu-satunya jalan untuk mendapatkan manusia celaka itu! Pejamkan matamu!!" Saat itu pula Gendala Maung memejamkan matanya dengan dada berdebar. Dia berharap kalau gurunya akan menurunkan ilmunya kembali. Apa yang diduga lelaki berkumis baplang ini memang benar, karena tiba-tiba saja dirasakan hawa panas melingkupi tubuhnya, yang semakin lama semakin menguat. Dalam tiga kejapan mata saja, dalam udara yang sedemikian dingin menusuk, Gendala Maung telah alirkan keringat.
Menyusul lelaki ini berteriak mengaduh, disertai makian Dedemit Tapak Akhirat, "Jangan bodoh! Sekali lagi kau berteriak, hawa panas itu akan merejam jan-tungmu!! Tetapi bila kau memang sudah ingin mampus sebelum membalas kematian Ganda Maung, itu urusanmu!!" Mendengar peringatan gurunya, Gendala Maung berusaha untuk tindih segala kesakitannya. Tubuhnya pun mulai meregang-regang dengan kepala tengadah.
Seluruh urat di tubuhnya seperti menonjol keluar, tanda dia menahan rasa sakit.
Cukup lama Gendala Maung bagai berada dalam satu siksaan pedih yang menyakitkan. Namun dia mulai tak peduli. Dicobanya untuk lupakan segala yang menyakitkannya itu dengan cara membayangkan wajah Pendekar Slebor.
Semakin dibayangkannya wajah pemuda itu, Gendala Maung seakan lupa pada rasa sakitnya.
Setelah beberapa kejap kemudian, hawa panas dan rasa sakit yang melingkupinya lenyap. Di depan, Dedemit Tapak Akhirat yang sejak tadi mensejajarkan kedua tangannya di depan dada tetapi tidak menempel pada salah satu anggota tubuh Gendala Maung, perlahan-lahan turunkan kedua tangannya. Mulutnya menghembuskan angin pelan. Namun akibatnya, tubuh Gendala Maung ambruk. Tatkala lelaki berkumis baplang ini hendak bangkit kembali, Dedemit Tapak Akhirat telah berkata, "Jangan bergerak, tetap pada kedudukan seperti itu!" Gendala Maung yang kini tak lagi merasakan sakitnya, bahkan dirasakan tubuhnya bertambah ringan, hanya menurut. Di tempatnya mulut Dedemit Tapak Akhirat nampak berkemak-kemik. Lalu menghembuskan udara ke wajah Gendala Maung yang sesaat menjadi gelagapan.
"Bagus! Kini kau telah mewariskan ilmu 'Tapak Akhirat' yang kumiliki, Gendala Maung! Sekarang juga kau tinggalkan tempat ini! Cari dan tangkap Pendekar Slebor! Paksa dia untuk mengatakan di mana Saptacakra tinggal! Satu hal yang terpenting lagi, jangan lupakan untuk mendapatkan Patung Kepala Singa!" Gendala Maung cuma menganggukkan kepalanya, lalu perlahan-lahan duduk kembali di hadapan gurunya. Dari gerakan mulutnya, dia nampaknya hendak berkata, tetapi terputus karena mendengar suara gurunya, "Tinggalkan tempat ini sekarang!!" Urung untuk berkata, Gendala Maung hanya rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Kejap itu pula dia berkelebat keluar, menerobos hujan badai dahsyat. Kalau tadi saat dia datang dalam keadaan gelisah, kali ini dia berkelebat dengan hati gembira. Mulutnya berkali-kali berucap, "Tak lama lagi... tak lama lagi kau akan mampus, Pendekar Slebor...." Sementara itu, di gubuk reyot yang tak mengalami pengaruh apa-apa kendati berada dalam cuaca dahsyat mengerikan itu, Dedemit Tapak Akhirat duduk dengan kepala tegak. Matanya memancarkan sinar kelabu yang angker.
"Saptacakra... kini tiba saatnya untuk membalas semua perbuatanmu pada kakak seperguruanku...," desisnya geram. Lalu menyambung, "Jala Kunti... aku telah bersumpah untuk membalas semua sakit hati-mu! Dan kuharap... kutukan yang telah kau lontarkan akan menjadi kenyataan!! Hhhh! Pemuda berjuluk Pendekar Slebor... akan menjadi tumbal kematian Saptacakra!! Jala Kunti... biar bagaimanapun sikapmu padaku, biar bagaimanapun kau suka menyakitiku, kau tetaplah kakak seperguruanku, kakak yang sangat ku sayangi...." Habis kata-katanya, mendadak saja atap gubuk reyot itu pecah berantakan dengan keluarkan suara yang keras. Bukan dikarenakan sambaran petir atau angin, melainkan kekuatan tenaga dalam dari tubuh Dedemit Tapak Akhirat. Begitu atap gubuk itu bolong, lelaki berpakaian hitamhitam yang terbuka di dada dan menampakkan tulang belulangnya, segera melesat ke atas. Dan seperti ditelan oleh gulungan angin, sosok lelaki ini telah lenyap dari pandangan.

***

↔:: 5 ::↔

Di tempat yang sangat jauh dari sana, Pendekar Slebor hentikan kelebatannya. Kalau di Bukit BaluBalu hujan sedemikian ganas melabrak lama, di tempat di mana Pendekar Slebor menginjakkan kakinya sekarang, udara begitu cerah. Tak ada timbunan awan hitam di langit. Kendati demikian, tempat yang dipenuhi ranggasan semak belukar dan pepohonan itu cukup angker.
"Gila! Ke mana perginya Dewi Selendang Hitam yang kemasukan roh dari Patung Kepala Singa?" desis pemuda dari Lembah Kutukan ini dengan mata berke-liling.
Setelah meninggalkan Kepala Besi, Andika memang kembali lagi ke tempat semula. Dia bermaksud mengikuti Dewi Selendang Hitam. Begitu tak dijumpainya lagi, dia pun coba melacak jejaknya.
"Kutu monyet! Bahaya akan segera tumpah bila tak segera dihentikan tindakan telengas Dewi Selendang Hitam! Betul-betul kutu monyet! Mengapa aku harus berhadapan dengan sebangsa roh segala" Dan ada hubungan apa dengan Ki Saptacakra" Dasar gemblung! Apa...."
"Bicara sembarangan! Kau yang gemblung!!" terdengar makian keras itu memutus kata-kata Andika.
Seketika Andika palingkan kepalanya ke belakang.
Tetapi tak ada siapa pun di sana. Andika kerutkan ke-ningnya seraya garuk-garuk kepalanya.
"Busyet! Apa aku salah dengar"!"
"Jangan konyol! Hei, Urakan! Telingamu tidak tuli sama sekali! Atau kau yang berlagak tuli, hah"!" terdengar lagi bentakan itu.
Kali ini Andika melotot ke depan, tetapi tak ada siapa pun di hadapannya. .
"E, benar-benar busyet! Siapa yang...." Kata-katanya terputus tatkala kepalanya dijitak.
Menyusul terdengar jeritannya, "Wadaaooowwww!!"
"Gemblung! Apa kau memang jadi dungu seperti itu hah, sampai tidak mengenaliku"!" terdengar lagi makian itu yang kali ini berada di samping kanannya.
Andika yang tengah meringis sambil usap-usap kepalanya, tak memalingkan wajah ke kanan. Justru dia berkata menggerutu, "Enak banget main jitak begitu! Kalau kepalaku benjol, kau mau menggantinya"!"
"Ya! Dengan batok kelapa!" sahutan orang terdengar lagi.
"Dasar tua bangka! Begitu muncul sudah main jitak kepala orang saja!!" gerutu Andika lagi. Lalu seolah melihat orang itu di hadapannya dia berkata, "Eyang! Kebetulan kau datang! Ada yang ingin kutanyakan padamu!"
"Soal janda bahenol atau perawan kebluk"!"
"Busyet! Sudah tua masih doyan daun muda juga," kata Andika dalam hati. Lalu sambil nyengir dia berkata, "Eyang! Apakah kau mendengar tentang Patung Kepala Singa"!"
"Kalau Patung Kepala Monyet aku sudah mendengar! Tuh di hadapanku!!"
"Eh, busyet!" gerutu Andika lagi.
"Aku serius!"
"Gemblung! Siapa bilang aku tidak serius, hah"!"
"Kalau aku monyet, kau ini sebangsa...."
"Manusia paling tampan sedunia!!" putus suara itu yang entah berada di mana sambil terbahak-bahak.
Andika sendiri ngakak sejadi-jadinya.
"Kalau kau tampan, bagaimana denganku yang keren bin ganteng ini, hah"!"
"Ya terserah bagaimana penilaianmu sendiri pada dirimu! Slebor! Urusan Patung Kepala Singa yang telah pecah menjadi luruhan abu, adalah urusan masa lalu yang pernah kuhadapi! Tetapi... ya dasar nasib! Justru kau yang ketiban sial!"
"Betul! Nasibku sungguh sial! Tolong deh, kau ceritakan padaku!" kata Andika dengan nada suara seperti pada seorang sahabat.
Dia tahu kalau orang yang entah berada di mana sekarang ini adalah Eyang buyutnya, Ki Saptacakra.
Majikan Lembah Kutukan. Kendati yang diajak bicara adalah Eyang buyutnya sekaligus gurunya, tetapi dasar urakan, Andika tetap saja bicara seenak perutnya saja meskipun tak menghilangkan adab kesopanan.
"Dengar baik-baik, aku khawatir telingamu sudah menjadi tuli!" kata orang itu yang memang Ki Saptacakra adanya. Karena ketinggian ilmu yang dimilikinya, Andika tidak bisa mengetahui di mana dia berada.
Lalu Andika mendengar kata-kata eyang buyutnya kemudian. Setelah itu dia mendengus, "Sok kecakepan! Mengapa kau menolak cinta Jala Kunti, Eyang" Katamu tadi, dia cantik jelita! Huh! Sok menolak!"
"Busyet! Ingin rasanya kurobek mulutmu itu!"
"Kalau kau robek, bagaimana caranya aku makan?"
"Ya, dari hidung!" Andika cuma mendengus. Lalu katanya, "Jadi...
roh yang masuk pada diri Dewi Selendang Hitam adalah roh Jala Kunti yang masih terbebas karena kutukannya sendiri?"
"Betul! Di samping itu... ada adik seperguruannya yang berjuluk Dedemit Tapak Akhirat yang sejak dulu mencari-cariku untuk membalas dendam kematian Jala Kunti! Tetapi aku selalu berhasil menghindarinya karena aku memang tak ingin memancing permusu-han! Kalaupun Jala Kunti akhirnya tewas, itu karena kesalahannya sendiri! Dia membunuh diri!"
"Gara-gara cintanya kau tolak! Sok kecakepan!"
"Sulit berbicara soal cinta! Karena cinta adalah sebagian dari rahasia Tuhan!"
"Busyet! Jangan-jangan selama ini kau pergi ke India belajar menjadi penyair, ya"!" seloroh Andika yang memang mulutnya selalu gatal untuk menggoda eyang buyutnya.
"Atau kau sudah kebanyakan mem...." Belum tuntas kata-kata Andika, mendadak saja satu gelombang angin menderu ke arahnya.
"Heeiii!!" memekik tertahan pemuda urakan ini yang segera gerakkan tangannya ke depan. Blaaammm! Terdengar suara laksana salakan petir yang keras.
Di tempatnya, Andika nampak surut dua tindak ke belakang. Mulutnya berbunyi, "Apa-apaan ini" Kenapa pakai menyerangku segala" Kalaupun kau menolak cintanya kan bukan urusanku!"
"Nah! Kalau kau sudah tahu bukan urusanmu, mengapa kau masih banyak tanya, hah"!" Mendengar ucapan balik Ki Saptacakra, Andika cuma nyengir.
"Ya... pengen tahu saja...." Kemudian masih nyengir dia melanjutkan, "Aku sudah ketiban pulung dari urusan lalu antara kau dengan Jala Kunti, Eyang! Dan nampaknya, bukan hanya pada Dewi Selendang Hitam yang telah dirasuki roh Jala Kunti yang harus kuhadapi! Tetapi juga Dedemit Tapak Akhirat!"
"Betul! Manusia itu telah lama berdiam diri di Bukit Akhirat! Dan rasanya... dia pun telah mendengar tentang Patung Kepala Singa di mana roh Jala Kunti hinggap! Bisa jadi pula dia telah mendengar tentang kutukan Jala Kunti yang akan menggegerkan rimba persilatan! Ingat! Kau juga harus berhati-hati menghadapinya!"
"Enteng banget tuh bacot, apa dia tidak tahu kalau aku sudah panas dingin menghadapi Dewi Selendang Hitam yang kemasukan roh Jala Kunti?" gerutu Andika dalam hati. Lalu berkata, "Bagaimana caraku untuk mengalahkannya?"
"Betul-betul celaka! Mana aku tahu" Aku belum pernah bertarung dengannya!"
"Busyet! Tadi kau cerita, kalau Jala Kunti kau pantek di sebuah pohon...."
"Kau yang busyet! Kupikir kau bertanya soal Dedemit Tapak Akhirat!" Andika keluarkan dengusan lagi.
"Makanya, jangan main asal jawab saja bila belum paham betul!"
"Sialan! Menghadapi Jala Kunti di kala dia masih hidup, dapat kulakukan walau dengan bersusah payah! Tetapi menghadapinya dalam kedudukan menjelma menjadi roh atas sumpahnya sendiri, jelas tak bisa kugambarkan bagaimana cara menghadapinya! Hei! Kudengar orang-orang mengagumimu karena keenceran otakmu yang seperti air comberan! Lebih baik coba kau gunakan otakmu, siapa tahu sudah mampet"!"
"Ngomong memang gampang!"
"Busyet! Kenapa jadi begini"! Jangan-jangan justru kau sendiri ya yang mengatakan kau pintar kemudian kau sengaja menyebarkannya?" Di tempatnya Andika melotot. Dan sebelum dia membuka mulut, Ki Saptacakra telah keluarkan katakata lagi, "Dulu... dia kukalahkan karena aku tahu ke-lemahannya yang terletak pada telapak kaki kirinya! Sekarang... ya kau cari sendiri! Barangkali saja terletak di tempat yang asyik!"
"Betul-betul busyet! Tak kusangka kalau kau masih gatel juga, Eyang"!" Entah berada di mana, Ki Saptacakra keluarkan tawanya keras-keras. Di tempatnya Andika menggerutu panjang pendek dan kembali menjerit tatkala dirasakan kepalanya dijitak, "Kepalaku lama kelamaan bi-sa benjol nih!"
"Benjol dua jamak! Malah kelihatan lebih ganteng! Orang akan bertanya-tanya, kau ini sebangsa kambing atau orang utan ajaib!" sahut Ki Saptacakra sambil tertawa lagi.
Andika menggerutu panjang pendek hingga bibirnya monyong membentuk kerucut. Setelah itu dia ajukan tanya, "Aku ingin tahu... apakah kau mengenai seseorang yang berjuluk Dewa Suci, Eyang?"
"Dewa Suci" Jelas saja kukenal! Manusia yang selalu meninggikan derajat kesopanannya! Nah, nah! Kau mau apa bertanya tentangnya?"
"Aku cuma ingin tahu di mana dia berada"!"
"Betul-betul gemblung! Silakan kau cari sendiri! Kenapa pakai bertanya padaku, hah" Hei, Slebor! Lebih baik kau segera menuju ke arah barat, karena roh Jala Kunti yang telah menitis pada Dewi Selendang Hitam akan membuat kekacauan?"
"Kau sendiri hendak ke mana?"
"Ke mana" Kenapa kau pakai tanya, hah"!"
"Urusan Jala Kunti itu bagaimana?"
"Ya urusanmu! Bukankah kau juga sedang dicaricari olehnya" Bisa jadi kau juga akan dicari oleh Dedemit Tapak Akhirat! Ah, nasibku sungguh baik betul! Memiliki tumbal untuk hadapi urusan masa lalu!!" Habis kata-kata itu, terdengar suara tawa keras yang semakin lama semakin menjauh. Andika menganggap eyang buyutnya telah meninggalkan tempat itu. Di tempatnya Andika menggerutu panjang pendek.
"Brengsek! Aku jadi yang kena batunya! Tetapi... sejak semula aku memang sudah terlibat dalam urusan ini! Menghindar pun tak mungkin lagi! Dan sialnya, ada dua orang yang akan memburuku! Huh! Betul-betul kutu monyet!!" Untuk beberapa lamanya pemuda yang memiliki sepasang alls menukik laksana kepakan sayap elang ini menggerutu. Kejap kemudian dia berkata, "Biar bagaimanapun juga... aku harus menghadapi urusan ini." Tahu-tahu dirangkapkan kedua tangannya di depan dada dan berkata hormat, "Akan kuhadapi segala urusan ini, Eyang.... Lebih baik kau memang berada dalam hidup yang nyaman...." Habis kata-katanya terdengar, tahu-tahu....
Tak! Kepalanya dijitak kembali.
"Eyang!!" Terdengar tawa Ki Saptacakra, "Busyet! Baru kali ini kulihat kau bisa bersikap sopan! Jangan-jangan...
besok pagi dunia sudah kiamat nih!" Andika yang tadi semula menganggap eyang buyutnya sudah menjauh cuma nyengir seraya berkata, "Aku lagi latihan main sandiwara nih! Bulan Mau-lud kan aku akan pentas di Kotapraja" Eh! Kalau kau senggang Eyang, kau bisa nonton!!"
"Lagakmu! Hati-hati!!" Andika melihat ranggasan semak belukar di hadapannya bergerak. Kini dia yakin kalau Ki Saptacakra memang sudah meninggalkan tempat itu. Tiga tarikan napas kemudian, Andika pun segera berkelebat menuju ke arah barat.

***

↔:: 6 ::↔

Kita tinggalkan dulu Pendekar Slebor yang sedang menuju ke barat. Sekarang kita ikuti perjalanan Nawang Wangi, Tri Sari, dan Bidadari Tangan Bayangan.
Setelah Nawang Wangi berhasil membawa tubuh Tri Sari kemudian menyambar tubuh gurunya, Nawang Wangi membantu gurunya untuk memulihkan keadaannya. Setelah itu, Bidadari Tangan Bayangan sendiri mencoba melepaskan lilitan hawa dingin yang dilakukan oleh Bocah Liar pada Tri Sari. Setelah melakukannya dengan susah payah, barulah dia berhasil membebaskan Tri Sari.
Setelah masing-masing orang pulih keadaannya, Bidadari Tangan Bayangan yang masih ngotot, mengajak untuk kembali lagi ke tempat semula. Nawang Wangi dan Tri Sari sendiri hanya mengikuti saja. Namun sudah barang tentu mereka tak menemukan siapa pun di sana. Sesaat tak ada yang membuka suara.
"Apa yang telah terjadi...," desis perempuan berpakaian kuning bersih ini.
"Ke mana manusia-manusia itu" Dan apa yang dialami oleh Pendekar Slebor serta Kepala Besi?" Tak ada yang buka mulut untuk jawab pertanyaan itu. Masing-masing orang mencoba memikirkan apa yang telah terjadi sepeninggal mereka.
Bidadari Tangan Bayangan berkata lagi, "Luruhan abu yang berasal dari Patung Kepala Singa sudah tak nampak. Hmmm... apa yang sebenarnya telah terjadi?" Sementara itu Tri Sari melihat sesuatu yang menarik perhatiannya di ujung sana. Perlahan-lahan gadis ini melangkah untuk memastikan apa yang menarik perhatiannya. Kejap itu pula terdengar seruannya, "Bibik!!" Dengan gerak cepat Bidadari Tangan Bayangan mendekat. Nawang Wangi menyusul kemudian. Masing-masing orang melihat Tri Sari menunjuk sesuatu di atas tanah.
Sesaat Bidadari Tangan Bayangan memicingkan matanya.
"Bocah Liar.... Gila! Bagaimana caranya lelaki bertampang bocah itu bisa mampus" Dan menilik luka yang dideritanya, sungguh mengerikan sekali!" desisnya kemudian lalu menyambung, "Bisa jadi... yang melakukan semua itu adalah Pendekar Slebor. Kalau begitu dia tentunya selamat. Begitu pula dengan Kepala Besi. Lantas, ke manakah perginya Dewi Selendang Hitam?" Lagi tak ada yang sahuti pertanyaannya. Masingmasing orang justru arahkan pandangan pada mayat Bocah Liar.
"Hanya mayat Bocah Liar dan tempat yang porak poranda yang terlihat. Sungguh, aku dibuat penasaran untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi?" desis Bidadari Tangan Bayangan lagi.
"Guru... apakah tidak lebih baik kita segera tinggalkan tempat ini?" tanya Nawang Wangi.
"Terus terang, aku masih tidak tenang bila berada di sini." Bidadari Tangan Bayangan arahkan pandangannya pada murid jelitanya yang berambut dikuncir dua, "Aku pun merasakan kekosongan yang dalam. Tetapi...
naluriku seolah mengatakan, sesuatu yang lebih mengerikan telah muncul, sesuatu yang diakibatkan dari Patung Kepala Singa...." Mendengar ucapan gurunya, Nawang Wangi tak membuka mulut. Justru Tri Sari yang berkata, "Bibik... Dewi Selendang Hitam telah membunuh ayah dan saudara-saudaraku. Menilik hanya mayat Bocah Liar yang berada di sini, tentunya perempuan celaka itu masih hidup. Biar bagaimanapun juga, aku harus menuntut balas padanya. Apalagi, aku gagal menjalankan amanat yang diberikan Ayah untuk menyerahkan Patung Kepala Singa pada orang yang berhak memilikinya...." Bidadari Tangan Bayangan mendesah. Lalu katanya pada gadis berambut ekor kuda itu, "Kau benar, Tri Sari.... Tetapi untuk saat ini, jelas semuanya tak akan bisa kau jalankan. Paling tidak, kau tentunya sudah gagal untuk menyerahkan Patung Kepala Singa pada yang berhak. Kendati demikian, barangkali kau akan dapat melihat perempuan celaka yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit mampus." Tri Sari menganggukkan kepalanya. Dan bersuara agak geram, "Kalau begitu... kita harus segera menca-rinya, Bibik...."
"Kau benar. Tetapi, aku memiliki pikiran lain," ka-ta Bidadari Tangan Bayangan.
Untuk sesaat dia terdiam sebelum berkata, "Tri Sari... kita pernah mencoba menemui Dewa Suci tetapi gagal. Dan aku minta...."
"Guru!" potong Nawang Wangi.
"Kau mengatakan kau dan Tri Sari pernah mencari Dewa Suci?" Kendati sebenarnya tak suka karena kalimatnya dipotong seperti itu, Bidadari Tangan Bayangan palingkan pandangannya seraya anggukkan kepala.
"Aku pernah ditolong oleh seseorang yang berna-ma Dewa Suci...," kata Nawang Wangi kemudian.
Tak menyangka mendengar pengakuan muridnya, Bidadari Tangan Bayangan sesaat tak membuka mulut. Kemudian katanya, "Kapan kau berjumpa dengannya?"
"Aku tidak berjumpa dengannya Guru... tetapi dia menolongku. Maksudku... aku tak tahu dia berada di mana...," kata Nawang Wangi, lalu diceritakan penga-lamannya di saat diselamatkan oleh Dewa Suci tatkala Gendala Maung hendak mempermalukannya. (Baca: "Rahasia Di Balik Abu").
Bidadari Tangan Bayangan menganggukanggukkan kepalanya selesai muridnya bercerita seraya mendesis, "Pantas dia tak kutemui di kediaman-nya...." Kemudian katanya, "Kalau begitu... kau dan Tri Sari segera mencari Dewa Suci. Katakan padanya, kalau aku membutuhkan bantuannya."
"Guru sendiri hendak ke mana?"
"Nawang Wangi... aku masih penasaran dengan segala urusan yang membentang di depan mataku.
Kendati Patung Kepala Singa telah hancur, aku ingin tahu rahasia apa yang sesungguhnya telah tersimpan.
Di samping itu, aku juga hendak mencari Kepala Besi untuk meminta maaf" atas tuduhanku waktu lalu...." Sesaat hening meraja sebelum Tri Sari membuka mulut, "Bibik... sebelum Ayah meninggal, dia berpesan padaku untuk menjumpaimu.
Dan sekarang kita telah bertemu kendati aku gagal menyerahkan Patung Kepala Singa kepadamu untuk diserahkan pada pemiliknya yang sah."
"Apa maksudmu, Tri Sari?"
"Bukankah lebih baik bila kita berjalan bersama-sama" Maksudku... kita bisa saling menjaga satu sama lain...."
"Aku tahu kekhawatiranmu, karena sesungguhnya aku juga khawatir. Tetapi kupikir, bila bersama-sama dengan Nawang Wangi...
kalian tentunya dapat saling membantu. Paling tidak untuk saat ini, kita saling membagi tugas. Kau dan Nawang Wangi mencari ke mana perginya Dewi Selendang Hitam, sementara aku mencoba untuk tetap mengetahui ada rahasia apa sebenarnya pada Patung Kepala Singa. Dengan kata lain, aku harus menemukan Pendekar Slebor atau Kepala Besi." Lalu sebelum Tri Sari membuka mulut lagi, Bidadari Tangan Bayangan sudah berkata, "Sekarang juga kita berpisah! Kalian harus berhati-hati!" Habis kata-katanya terdengar, perempuan yang di pinggangnya melilit selendang warna merah itu sudah berkelebat cepat, hingga yang nampak hanyalah bayangan kuning belaka.
Sepeninggal Bidadari Tangan Bayangan, Tri Sari berkata, "Nawang Wangi... apa yang dikatakan gurumu memang benar. Yah, kita memang harus menempuh segala risiko di depan mata. Apapun yang terjadi, nampaknya kita memang harus bergerak cepat!" Tri Sari terdiam sejenak. Pancaran matanya kini menjadi dingin. Suaranya agak menggeram saat berkata, "Hhh! Dewi Selendang Hitam! Dendamku padamu semakin tinggi!" Gadis berpakaian ringkas warna biru kehijauan itu cuma menganggukkan kepalanya. Dapat dirasakan bagaimana kegeraman gadis berpakaian putih-putih yang berdiri di sebelahnya.
"Yah... lebih baik kita segera bergerak sekarang.
Mencari Dewi Suci, sekaligus menemukan di mana Dewi Selendang Hitam berada...." Setelah masing-masing gadis sama-sama anggukkan kepala, keduanya pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu.

***

Sinar matahari pagi kembali bekerja seperti sedia kala. Entah pagi keberapa sejak dimulainya kehidupan ini. Sinar redup matahari mengantar Nawang Wangi dan Tri Sari tiba di sebuah dusun. Begitu menginjakkan kaki mereka di jalan masuk dusun itu, masingmasing gadis sudah hentikan langkah dengan kening berkerut. Di kanan kiri mereka, beberapa rumah nampak porak poranda. Beberapa pohon tumbang tumpang tindih seolah halangi langkah. Dan yang membuat keduanya saling pandang sejenak, karena baru menyadari kalau mereka tak melihat seorang pun di sana.
"Aneh... apa yang telah terjadi?" tanya Tri Sari seperti ditujukan pada diri sendiri.
"Sebaiknya, kita teruskan saja langkah. Barangkali kita akan mendapat jawabannya...," sahut Nawang Wangi.
Lalu kedua gadis ini pun terus melangkah memasuki dusun itu. Dan semakin keduanya menjejaki dusun itu, mereka melihat di sana-sini seperti habis dila-brak gerombolan gajah liar. Dan ada keramaian di ujung sana. Kehadiran kedua gadis yang sama-sama jelita itu sebenarnya dapat memancing perhatian para lelaki. Namun mereka hanya sekali melirik, dan setelah itu melengos kembali.
Nampak serombongan orang bergegas menuju ke sebuah tempat. Begitu pula dengan orang-orang yang lainnya. Kedua gadis itu melihat tak ada warung yang buka. Ketergesa-gesaan orang-orang dusun itu memancing perhatian kedua gadis ini.
"Aneh! Mengapa orang-orang itu seperti berkumpul di sini?" desis Tri Sari.
Nawang Wangi tak segera menjawab. Dia perhatikan dulu kesibukan yang terjadi. Dilihatnya ada beberapa sosok mayat yang digotong. Ada pula orang-orang yang membawa buntalan seperti hendak mengungsi.
"Nampaknya... dusun ini seperti diserang penyakit yang mengerikan..."
"Tetapi... menilik mayat-mayat yang diangkut itu, jelas bukan disebabkan oleh penyakit. Dada masing-masing orang bolong. Bahkan... oh! Tidakkah kau lihat kalau ada beberapa mayat yang kepalanya buntung?" Kalau tadi begitu mereka masuk ke dusun itu suasana begitu hening, kini di tengah-tengah dusun ke-hiruk-pikukan kian menjadijadi. Apalagi tatkala terdengar isak tangis dari beberapa orang perempuan.
"Nawang... aku menangkap sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar penyakit!"
"Aku juga menduga seperti itu!"
"Lebih baik kita berpencar untuk mencari tahu ada masalah apa gerangan?" Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. Dia bergerak ke arah kiri, sementara Tri Sari ke arah kanan. Tangis yang terdengar kian menjadi-jadi, disertai teriakan-teriakan memanggil nama seseorang yang sudah menjadi mayat.
Selang beberapa saat kedua gadis itu bertemu kembali di tempat semula.
"Apa yang kau dapatkan?" tanya Tri Sari segera.
"Seseorang yang mengaku bernama Jala Kunti datang memporakporandakan dusun ini! Perempuan itu memaksa orang-orang di sini mengatakan di mana orang yang bernama Saptacakra berada," sahut Nawang Wangi.
"Benar! Dan karena tak seorang pun yang mengetahui siapakah serta di manakah orang yang bernama Saptacakra berada, maka perempuan bernama Jala Kunti itu mengamuk dan membunuhi mereka dengan ganas. Kalaupun masih ada yang hidup, karena mereka kebetulan tak berada di tempat saat petaka itu terjadi. Atau berhasil meloloskan diri. Nawang... apakah kau mendengar pula ciri orang yang bernama Jala Kunti?" Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
Tri Sari berkata lagi, "Apakah ciri orang yang bernama Jala Kunti itu tidak mengingatkan kau pada seseorang?"
"Ya!" sahut Nawang Wangi sambil menganggukkan kepalanya lagi.
"Sungguh aneh sebenarnya! Kala kutanyakan ciri-ciri orang yang bernama Jala Kunti, aku langsung teringat pada perempuan celaka yang berjuluk Dewi Selendang Hitam."
"Kau benar! Aku pun menduga seperti itu! Menga-pa Jala Kunti mempunyai ciri yang sama dengan Dewi Selendang Hitam" Lantas apa yang kau pikirkan sekarang?"
"Kemungkinannya... perempuan yang bernama Jala Kunti adalah Dewi Selendang Hitam sendiri. Tidakkah kau ingat, bagaimana Pendekar Slebor membuka samaran Dewi Selendang Hitam yang sesungguhnya adalah Nyi Dungga Ratih, perempuan yang mencoba menjebaknya?"
"Jadi maksudmu... kau menduga Jala Kunti adalah Dewi Selendang Hitam?"
"Benar."
"Pikiran itu pun ada di benakku. Tetapi, mengapa dia justru mencari seseorang yang bernama Saptacakra" Mengapa dia bukan mencari Pendekar Slebor" Bukankah Pendekar Slebor yang mengacaukan semua rencana jahatnya?" tanya Tri Sari dan wajah gadis ini merah padam tatkala membayangkan wajah Dewi Selendang Hitam, yang diketahui sebagai pembunuh ayah dan saudara-saudara angkatnya di Kuil Putra Langit. Nawang Wangi tak segera membuka mulut. Setelah berpikir sesaat dia berkata, "Aku tidak tahu."
"Ini harus dicari kejelasannya. Orang yang berjuluk Jala Kunti mengingatkan kita pada Dewi Selendang Hitam. Namun tujuan yang kita ketahui, Dewi Selendang Hitam berkeinginan untuk mendapatkan Patung Kepala Singa yang telah pecah. Dan dia pun sangat mendendam pada Pendekar Slebor yang menurutnya adalah orang yang bertanggungjawab atas kegagalannya itu. Kalau memang Dewi Selendang Hitam menyamar sebagai Jala Kunti, mengapa dia mencari orang yang bernama Saptacakra" Inilah yang membuatku jadi agak ragu."
"Tri Sari... bisa jadi kalau Jala Kunti memang Jala Kunti, begitu pula Dewi Selendang Hitam. Hanya kebetulan saja ciri-cirinya sama satu sama lain."
"Tidakkah mereka kembar?" cetus Tri Sari memikirkan kemungkinan lain.
"Aku tidak bisa menjawab secara pasti. Akan tetapi, rasanya tak mungkin bila dia kembar."
"Jadi bagaimana sekarang?"
"Kita harus memburu orang yang bernama Jala Kunti yang dikatakan oleh orang yang kutanya berlalu ke arah barat. Perempuan celaka itu harus mendapatkan ganjaran atas segala perbuatannya...." Tri Sari menganggukkan kepala.
"Ya! Kita kejar perempuan celaka itu!!" Dua kejapan mata kemudian, masing-masing gadis segera berkelebat ke arah barat dengan kerahkan ilmu peringan tubuh. Di dusun yang telah porak poranda itu, isak tangis masih terdengar memilukan.

***

↔:: 7 ::↔

Perempuan berpakaian kuning bersih dengan selendang merah yang melilit pada pinggang rampingnya itu, hentikan kelebatannya di sebuah tanah yang dipenuhi bebatuan. Sesaat perempuan ini arahkan pandangannya ke berbagai penjuru. Menyusul dia mendesis, "Sungguh keadaan yang membingungkan... apa yang telah terjadi sepeninggalku" Siapa yang telah membunuh Bocah Liar" Ke mana pula perginya Pendekar Slebor dan Kepala Besi" Yang terutama, ke mana larinya perempuan celaka yang ternyata adalah orang yang turunkan tangan telengas di Kuil Putra Langit?" Perempuan ini tarik napas panjang tatkala tak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Kembali pandangannya diedarkan ke segenap penjuru.
Begitu pandangannya tertuju ke samping kanan, perempuan ini melengak kaget dengan kedua mata membuka.
"Gila! Sejak tadi tak kulihat seorang pun berada di sini! Dan tahu-tahu lelaki berkumis baplang itu telah berdiri di sana" Celaka! Jelas urusanku akan tertunda sekarang!" maki perempuan ini dalam hati.
Sejarak lima belas tombak, lelaki berkumis baplang yang di dadanya terdapat selendang warna putih bersilangan, perlihatkan seringaian lebar. Lalu melangkah perlahan-lahan mendekati perempuan berpakaian kuning bersih yang nampak bersiaga.
Masih berjalan lelaki yang tak lain Gendala Maung adanya sudah buka ejekan, "Tak kusangka... kita bertemu lagi, Bidadari Tangan Bayangan! Apakah kau sudah melupakanku, atau kau berlagak lupa?" Bidadari Tangan Bayangan kertakkan rahangnya.
"Keparat betul! Mengapa di saat urusan masih belum dapat kujelajahi secara utuh, manusia celaka ini sudah muncul kembali" Hhh! Ke mana sahabatnya yang bernama Ganda Maung?" Habis membatin begitu, dengan pancaran mata melecehkan dan nada suara mengejek, Bidadari Tangan Bayangan buka mulut, "Hhhh! Apakah kau belum merasa puas kugebuk beberapa waktu lalu" O ya, ke mana sahabatmu itu" Apakah dia sudah putus nyali begitu melihatku"!" Sejarak lima langkah, Gendala Maung hentikan langkahnya. Lelaki berkumis baplang ini langsung keluarkan tawa keras dan mengejek.
"Bicaramu seolah masih membuktikan betapa hebatnya kau ini, Bidadari Tangan Bayangan! Dan kau merasa, dapat menyelami lautan yang paling dalam! Tetapi sayang... nyawamu kini sudah berada di tanganku"!"
"O ya" Apakah kau...."
"Bagaimana dengan muridmu yang bernama Nawang Wangi?" putus Gendala Maung dengan seringaian.
"Bila kau mau menyerahkan muridmu itu untuk menjadi gundikku, maka nyawamu akan kulepas hari ini!"
"Jahanam terkutuk!!" maki Bidadari Tangan Bayangan dalam hati. Kemudian membentak, "Me-nyesal aku tak membunuhmu dulu! Padahal orangorang seperti kau tak layak untuk hidup lebih lama!!"
"Yang dulu sudah basi! Yang kita hadapi adalah urusan sekarang!!" sahut Gendala Maung. Lalu suaranya berubah tajam, "Perbuatanmu yang menghentikan segala keinginanku... akan kubalas hari ini!!"
"O ya" Atau kau sebenarnya sudah tak sabar untuk pergi ke akhirat" Bagus! Akan kutunjukkan jalan kepadamu!" Belum habis suara Bidadari Tangan Bayangan terdengar, Gendala Maung sudah menerjang ke depan.
Tangan kanan dan kirinya diputar cepat.
Bidadari Tangan Bayangan, hanya keluarkan dengusan saja. Begitu tubuh lawan mendekat, dia segera melesat ke depan.
Des!! Jotosan tangan kanan Gendala Maung berhasil dipapakinya. Bersamaan dengan itu tubuh Bidadari Tangan Bayangan mencelat ke samping, lalu lepaskan jotosan ke bagian samping kiri tubuh Gendala Maung.
Namun hanya dengan tekuk sikunya, jotosan itu berhasil diputuskan. Menyusul dengan gerakan yang aneh, kaki kanan kiri Gendala Maung bergerak bersamaan mengarah pada leher dan kepala Bidadari Tangan Bayangan. Guru Nawang Wangi ini kertakkan rahangnya seraya melompat ke belakang. Kejap kemudian dia sudah menderu ke depan. Kedua tangannya mendadak ber-putar dan menjelma laksana bayangan belaka. Gendala Maung sesaat melengak, tetapi di saat lain dia sudah memapaki serangan itu dengan kedua kakinya.
Des! Dess!! Bidadari Tangan Bayangan langsung mundur dua langkah ke belakang. Tangannya dirasakan ngilu.
"Gi-la! Tenaga dalamnya begitu besar sekali! Padahal dulu, tenaga itu akan menjadi besar bila digabungkan dengan tenaga dalam Ganda Maung!" Perubahan yang terjadi pada tenaga dalam Gendala Maung, ini disebabkan karena ilmu yang diturunkan oleh Dedemit Tapak Akhirat.
Bahkan gerakan Gendala Maung terlibat lebih ringan dari biasanya.
Mulutnya berbunyi, "Mengapa kau mundur seperti itu, hah"! Ataukah kau sudah tak sanggup untuk imbangi lagi kehebatanku ini" Hmmm... sebenarnya aku ingin kita bermain-main lebih lama! Tetapi sayang, urusanku masih banyak!!" Habis kata-katanya, mendadak saja kedua tangannya disentak-sentakkan ke depan. Menyusul tubuhnya sudah melesat ke depan. Desingan angin prahara melabrak dahsyat ke arah Bidadari Tangan Bayangan yang cepat menghindar. Namun serangan itu datang susul menyusul, bahkan dilakukan dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan sekaligus.
Bukan main gusarnya Bidadari Tangan Bayangan.
Sambil melompat ke belakang untuk hindari sergapan kedua kaki lawan, tangan kanan dan kirinya dikibaskan. Wrrrrr!! Serta merta menderu dua sinar putih bening yang keluarkan hawa panas. Karena saat menyerang Gendala Maung semakin mendekat dengan maksud mematikan ruang gerak, maka sulit baginya untuk hindari sergapan dua sinar putih itu.
Memekik tertahan lelaki berkumis baplang ini saat tubuhnya secara telak terhantam dua sinar putih bening itu. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Bersamaan dengan itu, Bidadari Tangan Bayangan yang sudah geram, mencelat ke depan untuk habisi lawannya.
"Manusia celaka seperti kau ini tak layak untuk hidup! Lebih baik kau mampus berteman dengan cac-ing tanah!!" Tangan kanan dan kirinya pun telak bersarang pada dada Gendala Maung. Makin deras tubuh Gendala Maung terhuyung ke belakang. Lalu berhenti setelah menabrak sebuah batu besar. Rupanya tak sampai di sana penderitaan yang nampaknya dialami oleh salah seorang Dua Iblis Lorong Maut ini. Tubuhnya pun ter-banting ke depan. Dan tak bergerak.
Di tempatnya, Bidadari Tangan Bayangan mendengus.
"Hhhh! Kau telah memilih jalanmu sendiri! Dan rasanya... akan kusesali bila tak kubunuh kau sekarang juga!!" Kejap kemudian diarahkan pandangannya ke depan.
"Hari sudah semakin menanjak. Aku harus lebih cepat untuk mengetahui apa yang telah terjadi...." Memutuskan demikian, perempuan berpakaian kuning bersih ini pun siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun satu gelombang angin yang bergerak menyeret tanah dan kerikil, melabrak ke arahnya.
"Heeiiii!!" memekik tertahan Bidadari Tangan Bayangan sambil membuang tubuh ke kanan. Blaaarrr!! Tanah di mana Bidadari Tangan Bayangan berdiri tadi seketika terbongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara. Belum lagi tanah itu sirap, mendadak terdengar gemuruh angin kembali yang menerobos gumpalan tanah.
Untuk kedua kalinya Bidadari Tangan Bayangan melompat ke samping kanan. Begitu hinggap kembali di atas tanah, dia bersiaga penuh untuk menyambut serangan yang datang.
Namun yang mengejutkannya, tatkala semuanya sirap, satu sosok tubuh berkumis baplang telah berdiri tegak sejarak delapan langkah dari hadapannya dengan bibir menyeringai.
"Gendala Maung...."

***

Orang yang tadi dua kali lancarkan serangannya memang Gendala Maung. Astaga! Bagaimana cara lelaki berkumis baplang ini masih tetap dalam keadaan segar bugar kendati sudah dihajar berulangkali oleh Bidadari Tangan Bayangan" Ini disebabkan karena pengaruh ilmu 'Tapak Akhirat' yang diturunkan oleh Dedemit Tapak Akhirat.
Ilmu 'Tapak Akhirat' dapat melindungi diri pemiliknya dari serangan-serangan lawan. Memang bila langsung terkena pukulan lawan, si pemilik ilmu 'Tapak Akhirat' akan kewalahan menghadapinya. Namun bila telah dialirkan tenaga dari ilmu 'Tapak Akhirat' maka orang itu akan mampu berdiri lagi dalam keadaan segar bugar. Tetapi bila yang melakukannya Dedemit Tapak Akhirat sendiri, maka pukulan yang dilancarkan Bidadari Tangan Bayangan tadi tak akan mampu menggoyahkannya. Karena ilmu itu sudah merasuk dalam tubuhnya. Di seberang Gendala Maung tertawa keras melihat wajah terkejut Bidadari Tangan Bayangan.
"Tadi sudah kukatakan... lain dulu lain sekarang! Perempuan celaka! Bersiaplah kau untuk mampus!!" Habis kata-katanya, mendadak saja lelaki berkumis baplang ini rangkapkan kedua tangan di depan dada. Kejap kemudian ditepuknya satu kali. Suara yang keluar dari tepukan itu sungguh mengejutkan.
Begitu keras, laksana guntur di siang hari. Bahkan tanah di sekitarnya berdiri beterbangan. Bidadari Tangan Bayangan sendiri merasakan dadanya berdegup keras akibat suara yang ditimbulkan oleh tepukan Gendala Maung. Segera dialirkan tenaga dalamnya ke telinga bila tak ingin alat pendengarannya pecah.
"Gila! Ilmu apa yang diperlihatkannya itu" Kema-juannya nampak begitu pesat sekali! Hhhh! Biar bagaimanapun juga, aku akan menghadapinya sekuat tenaga! Tetapi sungguh berbahaya bila Ganda Maung muncul" Hanya saja... bukankah saat itu Nawang Wangi bercerita kalau dia melihat lelaki celaka ini tengah berdiam di depan sebuah makam" Janganjangan... itu makam Ganda Maung yang telah mampus?" Di seberang, Gendala Maung perlihatkan seringaian lebarnya.
"Kini... ajalmu telah datang, Bidadari!!" Habis seruannya, mendadak saja ditepukkan tangannya tiga kali. Saat itu pula satu tenaga raksasa yang mengandung hawa panas dan menyeret tanah serta bebatuan menderu ke arah Bidadari Tangan Bayangan. Tak menyangka serangan seganas itu yang datang, perempuan berpakaian kuning bersih ini langsung melompat ke samping kanan. Akibatnya....
Blaaaammmm!! Lima buah batu besar yang berada di belakangnya, langsung rengkah menjadi kerikil dan berpentalan ke sana kemari. Bidadari Tangan Bayangan sendiri berdiri tegak dengan napas memburu.
Di tempatnya Gendala Maung terbahak-bahak keras.
"Tak ada jalan untuk menghindar dari tangan-ku! Kenyataan pahit nampaknya sudah membentang di matamu! Bersiaplah untuk kukirim ke neraka!!" Belum habis dia berucap, kembali kedua tangannya ditepukkan. Terdengar suara menyalak keras serta menderunya tenaga besar yang ganas. Untuk kedua kalinya Bidadari Tangan Bayangan harus berjumpalitan. Dari hawa yang terpancar dari tenaga besar itu, dia sadar betul kalau tak mungkin untuk memapakinya. Maka jalan satu-satunya adalah menghindar. Begitulah seterusnya. Dengan terbahak-bahak Gendala Maung terus lancarkan serangannya. Sebenarnya dia memang sengaja menyerang seperti itu untuk menguras tenaga Bidadari Tangan Bayangan.
Sementara itu, si perempuan sendiri nafasnya sudah kembang kempis. Keringat semakin banyak membanjiri sekujur tubuhnya. Pakaian bersih yang dikena-kannya sudah dipenuhi kotoran, ini diakibatkan kare-na dia terlalu sering berguling untuk hindari gempuran lawan.
"Celaka! Aku bisa mampus sekarang!" desis Bidadari Tangan Bayangan dengan wajah pucat. Tenaganya sudah banyak keluar. Dan dia yakin tak lama lagi dia tak akan mampu untuk menghindari gempuran ganas yang dilancarkan lelaki berkumis baplang itu.
Tetapi mau tak mau dia memang harus menghindar. Lima kejapan mata bukanlah waktu yang lama sebenarnya, namun dirasakan begitu lama oleh Bidadari Tangan Bayangan sebelum akhirnya Gendala Maung hentikan serangannya.
Kedua tangannya masih merangkap di depan dada. Sambil menyeringai dia berseru, "Permainan telah selesai! Kini kita memasuki permainan yang sesungguhnya!" Habis ucapannya, mendadak saja tubuhnya mencelat ke depan. Kedua tangan yang tadi terangkap di depan dada kini terangkat dan siap digerakkan.
Sadar akan bahaya yang mengancam, Bidadari Tangan Bayangan segera menghindar bersamaan tangan kanan Gendala Maung mengibas dan keluarkan suara.. Blaaarrr!! Serta merta menderu gelombang angin panas yang percikkan warna merah ke arah Bidadari Tangan Bayangan. Memekik tertahan perempuan ini dengan wajah laksana tanpa darah. Dia memang masih berhasil menghindari sambaran tenaga ganas itu yang menghantam rengkah tanah di mana dia berdiri tadi yang seketika membentuk sebuah lubang yang keluarkan asap. Namun dua gebrakan berikutnya, Bidadari Tangan Bayangan mengalami nasib sial. Karena di saat dia hendak menghindar, keadaannya yang memang sudah lelah, membuat kaki kanannya terantuk batu.
Mau tak mau perempuan berpakaian kuning bersih ini ambruk dengan wajah menimpa tanah. Saat itulah tenaga dahsyat yang dilepaskan Gendala Maung melabrak mengerikan.
Namun rupanya nasib masih berpihak pada Bidadari Tangan Bayangan. Selagi tenaga dahsyat itu siap mengirimnya ke akhirat, mendadak saja terdengar suara menggelegar laksana salakan guntur dari samping kanan. Dan menghantam tenaga yang dilepaskan Gendala Maung.
Blaaammmm!! Bukan buatan akibat yang ditimbulkan. Tanah di mana bertemunya dua pukulan itu terbongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara. Cukup tinggi hingga cukup lama pula mengapung di udara sebelum akhirnya luruh kembali.
Tatkala pandangan tak terhalang lagi oleh gumpalan tanah itu, terlibat satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus telah membopong tubuh Bidadari Tangan Bayangan yang nampak lemah namun tersenyum lega.
Di seberang, sepasang mata Gendala Maung membuka lebih lebar. Kemudian terdengar suaranya yang dipadu dengan tawa sengit, "Bagus! Rupanya kau datang sendiri untuk mengantar nyawamu padaku, Pendekar Slebor!!"

***

↔:: 8 ::↔

Orang yang menyelamatkan Bidadari Tangan Bayangan memang Pendekar Slebor adanya. Sesungguhnya pemuda dari Lembah Kutukan ini sempat terkejut tatkala disaat dia tiba di sana, dilihatnya Gendala Maung sedang lancarkan serangan dahsyat pada perempuan berpakaian kuning ini. Keterkejutan Andika bukan dikarenakan nasib sial yang akan menimpa Bidadari Tangan Bayangan, melainkan melihat betapa ganasnya serangan yang dilancarkan Gendala Maung.
Jelas sekali dalam ingatannya tatkala bertarung dengan Gendala Maung dan Ganda Maung, kalau tak ada ilmu sedahsyat itu yang diperlihatkan masingmasing orang. Saat itu pula Andika sadar, kalau lawan telah menuntut ilmu kembali. Dan dalam waktu yang singkat, bukanlah waktu yang tepat guna menuntut ilmu aneh itu bila tidak diturunkan oleh seseorang yang memiliki kesaktian cukup tinggi.
Kendati demikian, sambil menurunkan tubuh Bidadari Tangan Bayangan, pemuda urakan ini berkata, "Busyet! Kok dunia sempit amat, ya" Kenapa bisa bertemu denganmu lagi, sih" Kau juga yang keganjenan, pakai mencari-cari segala!!"
"Tutup mulutmu!!" Andika cuma mengangkat sepasang alisnya yang laksana kepakan sayap elang. Mulutnya nyerocos lagi, "Kalau yang menyuruh seorang gadis dan menutup mulutku dengan bibirnya, amboooiii asyik betul! Tetapi sayang... yang bicara cuma kambing buduk belaka!!"
"Keparaattt!!" bergetar tubuh Gendala Maung mendengar ejekan itu. Tetapi sebelum salah seorang dari Dua Iblis Lorong Maut ini membuka mulut, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur sudah berkata lagi.
"Busyet! Kenapa mesti marah" Masih mending kau kubilang kambing buduk! Coba kalau kubilang babi celaka, kurus, budukan, bau dan lain-lain! Kan lebih parah!!" Pemuda dari Lembah Kutukan ini memang sengaja mengajak Gendala Maung untuk bercakap-cakap lebih lama, mengingat dia harus mengobati Bidadari Tangan Bayangan. Diam-diam, sambil bercakap-cakap, Andika telah menempelkan telapak tangannya pada punggung Bidadari Tangan Bayangan yang segera dialirkan tenaga 'Inti Petir'.
"Jahanam sial! Gagal membunuh Bidadari Tangan Bayangan, tak boleh kubiarkan gagal membunuh pemuda celaka itu! Dia telah mempermalukanku di hadapan semua orang! Terutama, nasib sial yang dialami Ganda Maung!" maki Gendala Maung geram. Lalu berseru, "Jangan bicara seenak perutmu saja! Kini yang ada di hadapanmu telah jauh berubah! Kau akan terkejut bila tahu siapa aku sekarang ini?"
"Oh!" desis Andika dengan kepala melengak. Wajahnya dibuat terkejut dengan mata dibeliak- beliakkan. Lalu dengan suara dibuat gemetar dia berkata, "Gila! Jadi kau...
sebenarnya perempuan" Atau...
kau mendadak begitu saja telah berubah menjadi perempuan" Sayang betul... mengapa tampangmu masih jelek seperti kambing hendak buang wajah begitu"!"
"Pemuda celaka!! Kubunuh kauu!!" Habis makiannya, Gendala Maung yang sudah tak sabar menahan diri lagi mendengar ejekan Pendekar Slebor, segera rangkapkan tangannya di depan dada.
Kejap itu pula ditepukkannya hingga terdengar suara menggelegar keras. Kejap itu pula satu gelombang tenaga dahsyat menggebrak ke arah Pendekar Slebor.
Hawa panas yang ditimbulkan oleh tenaga itu seolah menyengat Pendekar Slebor, belum lagi percikan sinar merah yang memantulkan cahaya matahari.
Sesaat Andika terpana melihatnya.
"Gila! Mengerikan sekali ilmu yang diperlihatkannya!!" makinya dalam hati. Kejap itu pula dia menarik tangan Bidadari Tangan Bayangan dan membawanya bergulingan. Bummmmm!!! Tanah di mana dia berpijak tadi langsung rengkah beterbangan. Sebuah batu sebenar anak kambing pecah berpentalan laksana puluhan anak panah.
"Hebat tapi kejam!" dengus Andika tatkala berdiri kembali. Dia berbisik pada Bidadari Tangan Bayangan, "Cepat menyingkir dari sini...."
"Tidak! Manusia laknat itu harus membayar atas perbuatannya!" geram Bidadari Tangan Bayangan. Setelah dialirkan tenaga 'Inti Petir' oleh pemuda yang berdiri di sisi kanannya, dirasakan tubuhnya sudah terasa lebih baik dan agak segar.
Andika mengeluh dalam hati, "Kura-kura bau! Bila dia masih berada di sini, sulit bagiku untuk imbangi setiap serangan yang dilakukan Gendala Maung!" Kemudian katanya lagi, "Jangan keras kepala! Bi-sa-bisa kita berdua akan celaka!"
"Tak peduli apakah hari ini aku akan mampus atau tidak! Manusia celaka itu harus mendapatkan ganjarannya!"
"Busyet! Nanti saja kau pikirkan soal itu! Kalau ki-ta berdua mampus di sini...
siapa yang akan menjaga muridmu yang cantik itu?" Ucapan yang dilakukan Andika barusan sebenarnya asal saja. Tetapi Bidadari Tangan Bayangan sesaat memandanginya. Kejap kemudian dia berkata lagi, "Urusan kau mencintai muridku atau tidak, bisa diatur belakangan! Justru aku lebih rela mati sementara kau bisa bersanding dengan muridku sesuai keinginanmu!" Andika tergagap sejenak.
"Busyet! Kok jadi begini?" desisnya dalam hati. Lalu berseru, "Jangan banyak membantah lagi sekarang! Lebih baik...."
"Tak ada waktu lagi untuk membiarkan kalian hidup!!" seruan Gendala Maung memutus kata-kata Andika. Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke depan. Tangan kanan dan kirinya digerakkan. Seketika nampak gelombang angin yang percikkan sinar merah keluar dari tapak kedua tangannya. Menyusul suara mengerikan laksana salakan guntur.
Blgaaarrr!! Pendekar Slebor segera mendorong tubuh Bidadari Tangan Bayangan ke samping kiri. Sementara dia sendiri sudah menggebrak ke depan. Tenaga 'Inti Petir' tingkat ketiga telah dipergunakan.
Blaaammm! Blaaammm!! Suara menggelegar saat itu pula terdengar mengerikan. Nampak sosok Pendekar Slebor terlempar ke belakang dengan deras. Bila saja dia tak segera kuasai keseimbangannya, maka tak ampun lagi tubuhnya akan menabrak batu besar di belakangnya.
Sementara itu, Gendala Maung berdiri tegak sambil terbahak-bahak. Dia hanya surut tiga tindak.
"Ajal telah datang padamu, Pendekar Slebor! Ilmu 'Tapak Akhirat' yang baru saja kupelajari akan menjemputmu dalam kematian!!" Sementara Bidadari Tangan Bayangan akhirnya membenarkan kata-kata Andika, pemuda itu sendiri sedang membatin, "Ilmu 'Tapak Akhirat'" Nampaknya aku pernah mendengar nama itu.
Oh, bukan! Bukan sejenis ilmu! Tetapi sebuah julukan! Ya, sebuah julukan yang dikatakan Eyang Saptacakra! Dedemit Tapak Akhirat! Apakah ilmu itu diturunkan dari Dedemit Tapak Akhirat?" Berpikir demikian, masih tetap bersikap konyol padahal nafasnya sudah senin-kemis, pemuda urakan ini berkata, "O... jadi itu toh yang dinamakan ilmu 'Tapak Akhirat'" Masih cetek! Masih kalah dengan ilmu yang kumiliki! Ilmu 'Tapak Kaki Akhirat Yang Jauh'! Nah! Apa coba itu"!" Wajah Gendala Maung mengkelap mendengar ejekan orang. Sebelum dia lancarkan serangan kembali, Andika sudah membuka mulut, "O ya sampai lupa! Bagaimana kabarnya Dedemit Tapak Akhirat"!" Pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Slebor sebenarnya asal saja, lebih banyak ditujukan sebagai pembuktian hasil pikirannya. Dan dia sempat melihat perubahan wajah Gendala Maung, yang kali ini menyeringai lebar.
"Hebat bila kau mengenal guruku! Hhhh! Bersiaplah untuk mampus!!" Di tempatnya Andika membatin, "Rupanya dia murid dari Dedemit Tapak Akhirat! Menurut Eyang Guru... Dedemit Tapak Akhirat adalah adik seperguruan Jala Kunti yang kini menitis pada Dewi Selendang Hitam! Hmmm... seharusnya bukan manusia sebangsa Gendala Maung yang kuhadapi! Tetapi Dewi Selendang Hitam yang entah berada di mana sekarang!!" Selagi Andika membatin demikian, Gendala Maung sudah lancarkan serangannya kembali. Kali ini membabi buta. Bukan hanya diarahkan pada Pendekar Slebor saja, tetapi juga pada Bidadari Tangan Bayangan. Kejap itu pula terdengar suara menggelegar yang dahsyat disertai letupan-letupan keras. Entah sudah berapa banyak bebatuan yang pecah terhantam. Tak terhitung lagi tanah yang kini telah membentuk lubang-lubang yang keluarkan asap.
"Kutu monyet! Manusia itu tak memberi kesempatanku untuk membalas!" maki Andika keras.
"Bisa-bisa... aku benar-benar mampus nih!!" Sambil menghindari serangan lawan yang tengah mengumbar ilmu 'Tapak Akhirat', Andika melihat betapa pucatnya wajah Bidadari Tangan Bayangan yang berusaha keras menghindari setiap serangan ganas itu. Berulangkali perempuan ini keluarkan jeritan tertahan. Berulangkali pula dia berlompatan laksana kelinci dikejar serigala.
Andika menggeram jengkel.
Untuk menyerang masuk bukanlah suatu hal yang mudah. Karena, setiap kali Andika mencoba bergerak, setiap kali pula serangan dahsyat itu menderu.
"Astaga! Apa yang harus kulakukan sekarang?" maki Andika dalam hati. Jantungnya berdetak dengan cepat dan aliran darah yang kacau.
"Peduli kutu-kutu monyet! Aku harus berusaha membalasnya!!" Lalu tanpa hiraukan keselamatannya sendiri, mendadak saja pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini melompat ke samping. Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, kejap itu pula tubuhnya menerjang ke depan. Tangan kanannya telah menyambar kain bercorak catur yang segera dikibaskan.
Terdengar suara laksana ribuan tawon murka diiringi gelombang angin raksasa yang mengerikan.
Wrrrrrr! Blaaammmm!! Sungguh keanehan terjadi. Setelah gelombang angin raksasa yang ditimbulkan oleh kain bercorak catur bertemu dengan serangan ilmu 'Tapak Akhirat' yang dilepaskan Gendala Maung, mendadak saja kain bercorak catur itu seperti menangkap tenaga Gendala Maung. Sadar akan hal itu, Andika seketika melompat untuk membetot. Bersamaan dengan itu tangan kirinya dipukulkan. Ajian 'Guntur Selaksa' sudah diki-rimkan.
Memekik tertahan Gendala Maung menyadari dirinya telah masuk ke pusaran lingkaran. Dengan cara menahan napas dalam perutnya, tenaga yang dilepaskannya tadi terlepas dari lilitan kain bercorak catur. Bersamaan dengan itu, dia dorong tangan kanan kirinya ke depan.
Kembali terdengar letupan yang sangat keras.
Masing-masing orang kini mundur lima tindak ke belakang. Dan sama-sama memandang tak berkedip.
Kalau Andika masih sempat menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, Gendala Maung justru melotot kejam.
"Terkutuk! Kupikir kain bercorak catur yang sejak tadi melilit di lehernya itu hanyalah sebuah gombal belaka! Tidak tahunya sebuah senjata yang ampuh!!" maki Gendala Maung dalam hati.
Sementara itu Andika membatin, "Sebenarnya urusanku bukanlah dengan manusia ini. Melainkan dengan Jala Kunti yang telah menitis pada Dewi Selendang Hitam. Juga dengan Dedemit Tapak Akhirat! Huh! Sungguh konyol Eyang membiarkanku menghadapi semua ini!!" Di seberang, Gendala Maung yang kian menjadi penasaran sudah menggebrak kembali. Andika pun langsung menyambutnya dengan menggerakkan kain bercorak catur.
Memekik tertahan lelaki berkumis baplang itu tatkala merasakan wajahnya seperti ditampar oleh tangan kasar. Cepat dia menghindari menjauh sambil dorong kedua tangannya ke depan. Andika kembali menggerakkan kain bercorak caturnya. Kali ini dengan cara memutar.
Sraaappp!! Tenaga yang keluar dari ilmu 'Tapak Akhirat' tertangkap oleh lilitan kain bercorak caturnya. Bersamaan dengan itu, dia melesat maju. Kaki kanannya menendang tumit kaki kiri Gendala Maung yang saat itu tertekuk seperti hendak rubuh.
Bersamaan dengan itu, tangan kiri Andika yang telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' bergerak. Tepat menghantam dada Gendala Maung. Kendati demikian, dia juga berhasil menyarangkan pukulannya pada dada Andika. Des! Des!! Masing-masing orang terlempar ke belakang. Begitu ambruk ke tanah, tak ada yang segera berdiri. Bidadari Tangan Bayangan melihat kesempatan untuk menyerang Gendala Maung.
Namun sebelum dilakukannya, mendadak saja tanah yang dipijaknya bergetar. Andika dan Gendala Maung sendiri juga merasakannya.
Cepat masing-masing orang berdiri tegak. Dirasakan kembali bagaimana tanah yang mereka pijak bergetar kembali, dan getaran tanah itu seolah naik ke dada, hingga keduanya yang memang telah terluka dalam merasakan betapa nyeri dada mereka.
Dua kejapan kemudian satu sosok tubuh muncul dan langsung keluarkan suara, "Kucium bau darah Saptacakra yang mengalir pada dirimu, Pemuda berpakaian hijau pupus!! Dan kutangkap... ilmu 'Tapak Akhirat' milik adik seperguruanku!! Tetapi dia tak ada di sini! Berarti, yang memilikinya harus mampus, bersamaan dengan cucu buyut Saptacakra!!" Masing-masing orang tak ada yang keluarkan suara. Sepasang mata Bidadari Tangan Bayangan membuka. Kejap itu pula dia mendesis, "Dewi Selendang Hitam... tetapi, mengapa gerakannya begitu kaku" Dan suaranya... begitu dingin mengerikan...."

***

↔:: 9 ::↔

Tri Sari dan Nawang Wangi yang sedang mencoba melacak jejak perempuan bernama Jala Kunti yang telah lakukan pembantaian di dusun yang mereka singgahi, hentikan langkah di sebuah jalan setapak. Napas masing-masing gadis terengah-engah.
"Perempuan itu mungkin sudah menjauh.... Dan rasanya, tak mungkin untuk dikejar lagi...," kata Tri Sari sambil mengatur napas.
"Kau benar. Lebih baik... kita teruskan langkah mencari Dewa Suci...," sahut Nawang Wangi.
"Mencari Dewa Suci pernah kulakukan bersama Bibik Bidadari Tangan Bayangan. Dan ternyata tak mudah menemukannya."
"Itu disebabkan dia sedang keluar dari Bukit Balu-Balu. Tri Sari... apakah tidak lebih baik kita mendatangi Bukit Balu-Balu kembali" Kau kan pernah ke sana, tentunya kau masih ingat jalannya, bukan?" Putri Pendekar Sutera yang tewas di tangan Dewi Selendang Hitam itu terdiam sesaat sebelum berkata, "Ya... lebih baik kita ke sana saja. Mudah-mudahan...."
"Tak perlu kalian bersusah payah mendatangi Bukit Balu-Balu. Aku telah tiba di sini." Terdengar satu suara bernada sopan dari belakang keduanya.
Serentak kedua gadis itu membahkkan tubuh. Sejarak sepuluh langkah dari hadapan mereka, telah berdiri satu sosok tubuh berpakaian dan berjubah putih. Agak membungkuk dengan wajah dan pancaran mata begitu teduh sekali. Rambut orang tua ini sudah memutih sebahu. Demikian pula dengan kumis dan jenggotnya. Kedua tangannya berada di belakang pinggul dan di pergelangan tangan kanan dan kirinya terdapat gelang terbuat dari giok berwarna hijau muda.
Orang tua yang wajahnya dilapisi kulit yang tipis ini tersenyum melihat pandangan terkejut dari kedua gadis itu.
Nawang Wangi yang sebelumnya pernah mendengar suara seperti yang diucapkan orang tua di hadapannya segera mengubah sikapnya. Dia langsung rangkapkan kedua tangannya di depan dada, "Dewa Suci...." Orang tua yang tak lain Dewa Suci adanya tersenyum.
"Apa kabarmu, Nawang Wangi?"
"Aku baik-baik saja. Terima kasih sekali lagi kuucapkan atas pertolonganmu waktu itu...."
"Aku cuma kebetulan saja lewat." Tri Sari yang kini yakin kalau orang tua yang mereka cari telah berada di hadapannya berkata, "Kakek Dewa Suci... kami datang untuk meminta bantuan-mu...." Dewa Suci tersenyum, begitu arif.
"Aku sudah tahu.... Tentunya Bidadari Tangan Bayangan yang mengutus kalian, bukan" Jala Kunti telah terlepas dari kuncian yang dilakukan Ki Saptacakra... majikan Lembah Kutukan yang mempunyai seorang murid yang berjuluk Pendekar Slebor. Jala Kunti pun siap untuk jalankan segala kutukannya dan kini dia menitis pada perempuan kejam berjuluk Dewi Selendang Hitam. Kesaktian Jala Kunti hanya bisa dikalahkan oleh Ki Saptacakra belaka. Bahkan boleh dikatakan, aku pun masih belum mampu untuk mengalahkannya. Tetapi mudah-mudahan... muridnya yang agak urakan itu mampu melakukannya...." Sesaat kedua gadis ini saling pandang, sebelum akhirnya mengerti apa maksud Dewa Suci. Mereka kini disadarkan, kalau perempuan bernama Jala Kunti yang telah menghancurkan sebuah dusun untuk mencari seseorang yang bernama Ki Saptacakra adalah sebuah roh yang masih melayang akibat kutukannya sendiri. Dan kini telah menitis pada Dewi Selendang Hitam. Mereka pun paham kalau sasaran berikut dari roh Jala Kunti adalah Pendekar Slebor.
"Lalu... bagaimana bila Pendekar Slebor gagal mengalahkannya, Kakek?" tanya Nawang Wangi kemudian. Tatkala teringat wajah pemuda itu, wajahnya sejenak memerah.
"Jalan satu-satunya... haruslah mencari Ki Saptacakra! Dialah yang dulu pernah mengalahkan Jala Kunti."
"Bagaimana bila membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menemukan di mana Ki Saptacakra berada?" Kakek berwajah teduh itu tak segera menjawab.
Dia justru usap-usap jenggotnya, "Terpaksa... aku pun harus turun tangan. Tetapi aku yakin, pemuda slebor itu dapat mengalahkan atau paling tidak mencari kelemahan dari Jala Kunti. Setahuku, di saat aku dulu berjumpa dengan Ki Saptacakra, kelemahan perempuan itu terletak pada kaki kirinya. Entah bagaimana sekarang... apakah masih tetap atau sudah berubah karena dia telah menitis pada jasad seseorang yang masih hidup...." Masing-masing orang tak membuka mulut. Beberapa helai daun berguguran dihembus angin.
Lalu terdengar Tri Sari ajukan tanya, "Aku masih belum mengerti... mengapa roh Jala Kunti tidak segera kembali kepada Sang Pencipta?"
"Karena kutukannya sendiri! Kutukannya telah didengar oleh arwah-arwah dari kegelapan.... Dan nampaknya dia mendapat restu untuk menitis kembali guna menuntaskan segala dendam lamanya.... Memang sulit diterima oleh akal, tetapi itulah yang terjadi...," sahut Dewa Suci.
Kemudian katanya, "Anakanakku.... Sekarang... pergilah kalian menuju ke arah barat. Bila Pendekar Slebor berhasil mengalahkan roh Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang Hitam... katakan padanya, kalau aku menunggunya di Bukit Balu-Balu. Dan bila dia justru yang dikalahkan olehnya, kalian datanglah mengabarkan soal itu padaku di Bukit Balu-Balu...." Tri Sari dan Nawang Wangi sama-sama anggukkan kepalanya. Dewa Suci berkata, "Satu hal yang perlu kalau ingatkan pada Pendekar Slebor...
saat menghadapi manusia itu, jangan sekali-sekali menatap matanya...."
"Mengapa, Kakek?" tanya Nawang Wangi.
"Kalian akan tahu sendiri nanti...." Habis kata-katanya, seperti datangnya yang tibatiba Dewa Suci menghilang dari pandangan.
Tinggallah kedua gadis itu yang terdiam. Keheningan dipecahkan oleh kata-kata Tri Sari, "Nawang... kita harus segera bergerak menuju ke barat...." Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
"Tri Sari... entah mengapa aku merasa satu getaran yang aneh di dadaku...."
"Tentang apa?"
"Tak bisa digambarkan. Tetapi... aku begitu khawatir mengingat nasib Pendekar Slebor...." Tri Sari terdiam sejenak. Diam-diam dia paham betul apa yang sedang dipikirkan oleh gadis berbaju biru kehijauaan ini.
"Rupanya dia telah jatuh cinta pada Pendekar Slebor.... Ah, cinta memang begitu cepat datangnya....
Bahkan sulit dibendung bila sudah muncul...." Kemudian sambil menepuk bahu Nawang Wangi, Tri Sari berkata, "Biar kau tidak terlalu merasa cemas, lebih baik kita segera berangkat ke arah barat. Barangkali, apa yang dikatakan oleh Kakek Dewa Suci tadi, membawa kita pada Pendekar Slebor. Atau... pada siapa pun juga. Aku tidak begitu pasti...." Nawang Wangi menarik napas panjang. Dia agak malu mengingat dirinya telah jatuh cinta pada Pendekar Slebor. Lalu dia berkata, "Yah... kita segera berangkat sekarang. Mudah-mudahan kita juga tahu apa yang dialami guruku saat ini...." Tri Sari menganggukkan kepalanya. Lalu kedua gadis perkasa ini pun segera berangkat menuju ke barat.

***

Suasana hening seolah cengkeraman kaki burung garuda raksasa pada tanah yang dipenuhi gugusan bebatuan itu, kian menggigit dalam. Rambatan matahari terus menanjak naik.
Pendekar Slebor menarik napas pendek begitu melihat siapa yang muncul. Diam-diam pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini membatin, "Dewi Selendang Hitam... orang yang telah dititisi roh Jala Kunti...." Bidadari Tangan Bayangan yang masih memandang tak berkedip membatin, "Gila! Apa yang telah terjadi pada perempuan kejam itu" Sikapnya... sungguh angker dan mengerikan!"
"Darah Saptacakra telah kucium! Dan tak ingin kuputuskan segala apa yang telah kudapati ini!!" terdengar suara dingin itu. Sosok tubuh Dewi Selendang Hitam tetap tegak tak bergerak. Matanya tak berkedip sekejap pun juga.
Lalu mendadak laksana robot, perempuan ini memalingkan kepala ke arah Gendala Maung yang juga sedang menatapnya penuh keheranan.
"Kau bukanlah Dedemit Tapak Akhirat! Tetapi mengapa kau bisa memiliki ilmu Tapak Akhirat' miliknya, hah"!" Melengak dan sampai mundur satu langkah Gendala Maung mendengar suara yang dingin itu. Begitu teringat akan cerita gurunya, dia langsung merangkapkan kedua tangannya di depan dada.
"Bibik Guru... namaku Gendala Maung, murid dari Dedemit Tapak Akhirat, adik seperguruanmu...."
"Manusia itu tak memiliki murid! Jangan bicara ngaco bila tak ingin tubuhmu kucabik-cabik!!"
"Tidak, Bibik Guru! Apa yang kukatakan ini sungguh sebuah kenyataan! Beliau adalah...." Terputus kata-kata Gendala Maung tatkala merasakan satu gelombang angin yang semakin lama membesar menggebrak ke arahnya. Terkesiap lelaki berkumis baplang ini sambil menghindar. Namun belum lagi dia berdiri, kembali dirasakan gelombang angin yang menggemuruh menderu ke arahnya.
"Bangsat! Terkutuklah kau, Jala Kunti!!" makinya geram.
Lalu segera ditepuk kedua tangannya dan bersamaan dengan itu didorong ke depan. Terdengar suara yang mengerikan dengan menggebraknya gelombang angin yang percikkan sinar merah.
Yang terjadi kemudian membuat wajah Gendala Maung menjadi pucat pasi, karena serangan yang dilakukannya seperti nyeplos begitu saja laksana masuk ke dalam gulungan asap. Sementara itu gelombang angin yang menderu dari tubuh Dewi Selendang Hitam yang tadi gerakkan tangan kanannya begitu kaku seperti robot, terus memburu ke arahnya.
Memekik tertahan Gendala Maung sambil coba papaki kembali dengan ilmu 'Tapak Akhirat' nya. Namun hasilnya sama saja seperti yang pertama tadi.
"Kau tak pantas menjadi murid Dedemit Tapak Akhirat! Tak seorang pun boleh menurunkan ilmunya! Kau harus mampus!!" terdengar suara dingin itu berulang-ulang.
Dengan gerakan-gerakan kaku dia terus lancarkan serangan ganasnya pada Gendala Maung yang dibuat lintang pukang. Wajahnya kini benar-benar pucat laksana tanpa darah.
Kendati tahu ilmu 'Tapak Akhirat' yang dilepaskannya tak banyak membantu, namun lelaki berkumis baplang ini masih berusaha keras untuk melakukannya. Akibatnya, bisa ditebak.
Begitu serangannya nyeplos, satu gelombang angin yang tak keluarkan hawa dingin maupun panas telah menggebrak ke arahnya.
Melihat kalau Gendala Maung sudah berada di ambang maut, Pendekar Slebor mencoba bertindak.
Dia langsung cabut kain bercorak caturnya yang sege-ra dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Suara salakan yang bersatu dengan gemuruh angin laksana ribuan tawon murka menggebrak. Namun serangan itu nyeplos begitu saja. Sementara gelombang angin yang dilepaskan oleh roh Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang Hitam tak bisa dihentikan lagi.
Siap menghajar mati Gendala Maung.
Dalam keadaan yang kritis itu, Andika masih bisa bertindak cepat sekaligus nekat. Kaki kanannya melayang, menendang tubuh Gendala Maung yang sekaligus diselamatkannya.
Blaaamm!! Dua buah batu besar langsung hancur menjadi serpihan begitu terhantam gelombang angin tadi. Di tempatnya, wajah Dewi Selendang Hitam yang kaku dan tak sekali pun kedipkan matanya, bergerak ke arah Pendekar Slebor yang sedang berdiri.
Sementara itu tak menyangka kalau dirinya akan diselamatkan oleh orang yang dibencinya, Gendala Maung menggeram. Dia tak suka nyawanya diselamatkan oleh Pendekar Slebor. Namun biar bagaimanapun juga, bila dia tak diselamatkan, bisa jadi nyawanya akan putus saat itu juga.
Terdengar suara dingin Dewi Selendang Hitam, "Keturunan Saptacakra harus mampus hari ini juga!!" Habis seruan itu, dengan gerak yang kaku tangan kanan dan kiri Dewi Selendang Hitam terangkat, lalu mendorong ke arah Andika.
Sadar kalau akan percuma bila serangan ganas itu dipapaki, Andika mencoba menghindar. Dan belum lagi pemuda dari Lembah Kutukan ini menginjak tanah, gelombang angin lain sudah menderu ke arahnya.
"Celaka! Bagaimana caraku untuk menghadapinya?" desisnya dengan wajah mulai dipenuhi kerin-gat. Mendadak dia teringat akan kata-kata Ki Saptacakra.
"Kaki kiri... ya, kaki kirinya yang harus kuserang sekarang. Kendati Eyang buyut tak begitu yakin lagi akan kelemahan Jala Kunti, aku harus menco-banya...." Memutuskan demikian, sambil menghindari serangan-serangan aneh yang ganas yang dilancarkan oleh Dewi Selendang Hitam, Pendekar Slebor mengarahkan serangannya pada kaki kiri Dewi Selendang Hitam. Namun hasilnya tetap tak bisa diharapkan. Kare-na begitu kain bercorak catur yang telah dialirkan ajian 'Guntur Selaksa' menggebrak, manusia itu tetap saja berdiri kokoh. Bahkan dengan ganas melancarkan serangannya.
Sementara itu Gendala Maung seolah mendapatkan kesempatan untuk meneruskan niatnya membunuh Pendekar Slebor. Lelaki berkumis baplang yang tak tahu membalas budi ini segera melancarkan serangannya tatkala Pendekar Slebor sedang keblingsatan. Namun sebelum ajian 'Tapak Akhirat' mengenai sasarannya, mendadak saja satu gelombang angin deras telah menggebrak ke arahnya.
Saat itu pula terdengar pekikan tertahan Gendala Maung bersama satu suara dingin, "Mencoba mengha-langi keinginanku untuk membalas keturunan Saptacakra, berarti akan mampus!!" Kejap itu pula Gendala Maung terseret deras ke samping kanan tatkala dadanya dihantam gelombang angin yang tak keluarkan hawa panas maupun dingin.
Tubuhnya ambruk tatkala menghantam sebuah batu besar yang langsung retak bersamaan dengan suara 'krak'! Tanda tulang punggungnya patah.
Belum lagi dia sadar betul dengan nasib sial yang di alaminya, mendadak saja gelombang angin menderu kembali ke arahnya. Andika yang melihat nasib naas akan menimpa Gendala Maung mencoba menahan serangan itu. Namun dia gagal melakukannya. Maka tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berkumis baplang itu telak terhajar gelombang angin yang dilepaskan roh Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang Hitam.
Terdengar lolongan yang menggema di tanah luas yang dipenuhi bebatuan itu. Saat tubuhnya berhenti dari kelojotannya, terlibat dadanya bolong besar dengan jantung hangus.
Di tempatnya, Andika menggeram keras melihat nasib sial yang dialami oleh Gendala Maung.
"Rasanya... sungguh sulit menghadapi manusia celaka itu sekarang! Lebih baik... kupergunakan ajian 'Tapa Geni' yang pernah diajarkan oleh Eyang Sangso-ko Murti...." Memutuskan demikian, perlahan-lahan pemuda dari Lembah Kutukan ini menarik napas panjang. Lalu diarahkan tenaga dalam pada perutnya. Kejap berikutnya, hawa panas segera terpancar dari tubuhnya.
Bidadari Tangan Bayangan yang tadi sempat terbanting akibat kerasnya letupan yang terjadi, menahan napas melihat perubahan yang terjadi pada diri Pendekar Slebor. Sesaat dia terdiam. Dirasakan pula hawa panas itu menerpa tubuhnya.
"Sungguh luar biasa pemuda ini.... Kendati dia tengah diburu orang yang membencinya, namun dia berusaha untuk menolong orang itu.... Bahkan nampaknya, dia bersiap untuk menempuh satu jalur, hidup atau mati...." Andika yang kini sudah keluarkan ajian 'Tapa Geni', ajian bangsa siluman yang pernah diturunkan oleh Eyang Sangsoko Murti, terdiam dengan pandangan tak berkedip. Sedikit banyaknya, dia kebat-kebit juga mengingat setiap serangannya selalu nyeplos begitu saja.
"Mudah-mudahan... aku berhasil mengatasinya...." Habis mendesis demikian, pemuda urakan ini sudah menggebrak ke depan. Tak ada gelombang angin yang keluar. Tak ada deru yang terdengar. Namun satu tenaga yang tak nampak mengandung kekuatan panas luar biasa menderu ke arah Dewi Selendang Hitam.
Di seberang Dewi Selendang Hitam yang begitu dititisi roh Jala Kunti tak pernah mengedipkan mata se-kalipun, segera mendorong kedua tangannya.
Gelombang angin dahsyat yang menyeret tanah dan kerikil menggebrak ke arah Andika.
Dan... astaga! Lagi-lagi ilmu bangsa siluman yang dilepaskan oleh Pendekar Slebor nyeplos begitu saja.
Kejap itu pula Andika berjumpalitan ke samping kiri bila tak ingin mengalami nasib sial. Sementara itu gelombang angin yang dilepaskan Dewi Selendang Hitam menderu ke arah Bidadari Tangan Bayangan yang terpekik. Belum lagi dia sadar betul apa yang terjadi, satu sosok tubuh tinggi besar telah menyambarnya.
Blaaammm!! Gelombang angin itu menghantam hancur tanah di mana Bidadari Tangan Bayangan berdiri. Sementara itu, orang yang menyelamatkan Bidadari Tangan Bayangan yang tak lain Kepala Besi adanya mendesis, "Kita menjauh dari sini...." Bidadari Tangan Bayangan cuma mengangguk lemah. Ada perasaan malu karena dia ditolong oleh Kepala Besi yang mendadak muncul, padahal beberapa waktu lalu dia berusaha menyerang bahkan membunuh Kepala Besi yang disangkanya adalah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit.
Sementara itu Andika menarik napas lega melihat siapa yang muncul dan telah menyelamatkan Bidadari Tangan Bayangan. Namun kendati begitu, hatinya kian kebat-kebit karena menyadari ajian bangsa siluman tak mampu menandingi Jala Kunti.
Sebelum dia lakukan tindakan apa-apa, mendadak terdengar suara keras, "Kini... terimalah kema-tianmu!" Menyusul menggebraknya dua gelombang angin deras ke arah Andika. Tanah dan kerikil yang terseret, membuat Andika harus memejamkan matanya agar tidak kemasukan debu. Masih memejamkan kedua matanya, pemuda urakan ini hinggap di atas tanah, tepat berhadapan dengan Dewi Selendang Hitam yang berdiri sejarak lima tombak.
Dan yang mengejutkan Andika, tatkala dia melihat satu bayangan yang berada dalam tubuh Dewi Selendang Hitam. Bayangan seorang perempuan tua berparas jelita dan kenakan pakaian warna jingga yang cerah. Pada wajah orang tersirat kepedihan yang begitu dalam.
Andika terdiam beberapa saat. Baru kemudian disadarinya, kalau dia masih memejamkan mata.
"Oh, Tuhan... inikah rahasia yang tersimpan di balik titisan Jala Kunti" Dengan membuka kedua ma-ta, kulihat sosok Dewi Selendang Hitam. Tetapi dengan cara menutup mata seperti ini, kulihat wujud yang penuh kepedihan.... Wujud seorang perempuan yang ditolak cintanya...." Belum lagi Andika dapat mencernakan apa yang ada dalam pikirannya, mendadak dilihatnya bayangan yang ada dalam diri Dewi Selendang Hitam mendorong kedua tangannya sementara dilihatnya pula sosok Dewi Selendang Hitam tetap terdiam. Dan Andika melihat semua itu dengan mata masih dipejamkan.
"Aku harus menghadapinya dengan mata tertutup!" desisnya yakin.
Kejap itu pula dengan cara menutup matanya, yang seolah dapat melihat apa yang ada di hadapannya, Andika menerjang dengan kain bercorak caturnya yang dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Kalau biasanya serangan itu selalu nyeplos, kali ini serangannya berbenturan dengan gelombang yang dilepaskan oleh lawan.
Blaaarr! Masih dalam keadaan mata dipejamkan, Andika bisa melihat betapa tubuh Dewi Selendang Hitam surut ke belakang. Sementara bayangan yang laksana roh itu melengak kaget.
Menyusul terdengar suara, "Pemuda jahanam! Kubunuh kau!!" Serangan berikut yang dilancarkannya memang semakin ganas dan kian menjadi-jadi. Namun Andika yang kini menemukan titik kelemahan dari lawannya terus menyerang. Kalaupun dalam keadaan mata dipejamkan Andika dapat melihat, ini disebabkan karena daya balik dari ilmu yang dimiliki roh Jala Kunti. Dengan kedua mata membuka, roh Jala Kunti yang telah menitis pada Dewi Selendang Hitam justru membutakan mata lawan. Dalam arti, dapat melemahkan serangan lawan ke arahnya.
Dan dalam keadaan mata tertutup, lawan dapat melihat dengan jelas ke mana arah serangan yang dilakukan oleh Jala Kunti. Dengan cara seperti itulah Andika terus mencoba mematahkan setiap serangan Jala Kunti. Bahkan satu ketika, dia meluruk cepat dengan pergunakan ajian 'Tapa Geni' yang diarahkan pada ka-ki kiri Jala Kunti. Nampak di mata Andika yang masih tertutup sosok Jala Kunti berjingkrak sementara sosok Dewi Selendang Hitam tetap bergerak kaku.
Serangan pertamanya memang berhasil dihindari oleh Jala Kunti. Namun Andika yang telah menemukan bentuk penyerangannya tak mau bertindak ayal. Dia bergerak cepat dengan kerahkan ajian 'Tapa Geni' bahkan disatukan dengan kain bercorak catur. Akibatnya...
"Waaaaaaa!!!" bayangan putih yang berada dalam jasad Dewi Selendang Hitam melonjak-lonjak.
Ajian 'Tapa Geni' nampak membakarnya hingga tubuh bayangan perempuan itu kelabakan. Jeritannya terdengar sangat mengerikan. Lima tarikan napas berikutnya, nampak sosok bayangan perempuan itu pun lunglai dan jatuh.
Andika menarik napas panjang. Begitu sepasang matanya dibuka, dilihatnya sosok Dewi Selendang Hitam telah ambruk menjadi mayat dengan dada keluarkan asap. Sementara di sampingnya, terdapat seonggok abu yang pancarkan sinar perak.
Dua kejapan mata berikutnya, Tri Sari dan Nawang Wangi tiba di tempat itu. Begitu melihat sosok Dewi Selendang Hitam telah menjadi mayat, mereka sadar apa yang telah terjadi. Rupanya, tanpa mereka beri tahu pun Pendekar Slebor telah berhasil mengalahkan roh Jala Kunti, sekaligus memunahkan kutukannya. Lantas ke manakah Dedemit Tapak Akhirat"

SELESAI

Segera menyusul:
PEMBUNUH DARI JEPANG


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Rahasia Di Balik Abu --oo0oo-- Pembunuh Dari Jepang


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers