Life is journey not a destinantion ...

Manusia Laba Laba

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Lima Jalan Darah --oo0oo-- Macan Kepala Ular



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: MANUSIA LABA LABA

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


¦¦¦[ 1 ]¦¦¦

Dunia seringkali menciptakan hal-hal yang tak terduga oleh manusia. Manusia boleh berencana, tapi Yang Maha Kuasa pula yang menentukan. T ak pula kematian.
Kendati itu hams menimpa orang baik sekalipun.
Kira-kira, begitu yang dialami seorang juragan kaya raya di Desa Wanasari.
Juragan Kama Wijaya panggilannya.
Amat dicintai oleh penduduk sekitarnya, karena kemurahan hatinya. Suka membantu orang-orang melarat.
Tapi, siapa pula yang dapat menduga datangnya malapetaka" Sementara di atas langit sana, angkasa meredup dalam kegelapan. Malam merambat pelan. Angin yang berhembus dingin, tak mampu mengusir gumpalan awan bergumpal hitam yang menghalangi sang Dewi Malam.
Terlalu banyak untuk diusir, karena angin dari selatan terns saja membawa gumpalan-gumpalan awan ke utara.
Di bawah sana, satu sosok bayangan melompat keluar dari sebuah semak. Satu sosok lelaki berpakaian rompi merah, memperlihalkan dada berbulunya. Kepalanya terlalu pelit untuk ditumbuhi rambut.
Mata tajamnya yang memancarkan warna merab menatap ke depan. Ke sebuah bangunan besar dan megah. Di depan bangunan itu berdiri dua orang lelaki bersenjata lombak.
"Hhh! Manusia busuk seperti Karna Wijaya memang harus mati!" desis lelaki berompi merah.
"Jangan harap aku melupakan penghinaanmu pada lima tahun yang lalu, Karna Wijaya! Kini saatnya aku menuntut baias dengan cara lebih mengerikan! Dengan gerakan sangat aneh, lelaki yang ternyata berhidung melesak ke dalam itu bergerak ke arah bangunan yang tak lepas dari matanya. Terlalu aneh bila melihat gerakannya. Pada saat bergerak demikian, kedua tangannya pun sudah digunakan pula untuk berjalan.
Namun luncuran tubuhnya tampak demikian cepat. Dan tahu-tahu, dia telah berada dua tombak di hadapan kedua penjaga bangunan mi.
"Heh"!" Dua lelaki yang menjaga bangunan besar itu tersentak ketika melihat satu sosok tubuh bermata merah telah berdiri di hadapan mereka.
"Siapa kau"!" bentak lelaki penjaga yang berkumis tebal dengan wajah segarang anjing penjaga.
Tombaknya yang sudah terhunus mendadak ditarik kembali dengan wajah kaget melihat sosok mengerikan di hadapannya.
"Setankah yang ada di hadapanku ini?" Belum juga terjawab pertanyaan penjaga berkumis tebal itu, lelaki berompi menggerakkan tangannya.
Serrr...! Sangat aneh sekali apa yang terjadi kemudian.
Karena dari tangan lelaki bermata merah itu meluncur puluhan benang balus yang langsung menjerat leher yang membentak tadi. Lalu dengan tarikan lambat, leher si penjaga bagai tercekik. Tubuhnya kejang sesaat. Tombak di tangannya pun terlepas.
"Hih!" Tas! Dan kejap berikutnya, kepala si penjaga mencelat pisah dari tubuhnya oleh satu sentakan amat cepat.
Penjaga yang satu lagi baru sadar dari terkesimanya ketika melihat kepala si kumis tebal pisah dari jasadnya.
"Setan laknat! Mampuslah kau!" bentaknya.
"Hih...!" Serrr...! Namun belum lagi penjaga ini sempat bergerak, jerat-jerat halus itu sudah mengikat kedua kakinya. Dengan sekali sentak, penjaga itu terjatuh. Maka saat itu pula dengan kejamnya lelaki berompi merah menyala itu menginjak kepalanya hingga pecah.
Jrottt! "Aaa...!"
"Kalian rupanya pekerja baru di sini! Hhh! Hanya membuang waktuku saja!" desis lelaki itu. Lalu dengan gerakan gesit, lelaki yang baru saja menurunkan tangan telengas itu mendekati tembok pagar yang tinggi. Matanya memperhatikan sekelilingnya. Dan setelah merasa aman, perlahan-lahan kedua tangannya ditempelkan pada dinding.
Lalu....
"Hup!" Lelaki bermata merah memanjat tembok pagar dengan enaknya! Gerakannya begitu cepat. Dan ketika tiba di atas tembok, dia merangkak tak ubahnya seekor laba-laba. Dari atas, terlihat dua orang laki-laki menjaga pintu masuk bangunan besar itu.
Dari atas pula lelaki berompi merah itu menggerakkan tangannya. Dua kali. Maka kembali jerat-jerat halus meluncur dari telapak tangannya, langsung menjerat leher kedua lelaki penjaga.
"Hih!" Sekali betot tulang leher kedua penjaga patah tanpa bersuara lagi. Lalu tubuh keduanya ambruk tanpa sempat menyadari apa yang telah menyerang mereka.
"Kini tiba saatnya bagimu, Karna Wijaya! Perbuatanmu yang telah mengusirku dari sini lima tahun yang lalu harus kau bayar dengan nyawa busukmu! Hhh! Pada akhirnya, apa yang kuinginkan selama ini untuk ra i npersunting Den Asti, akan terpenuhi juga," desis lelaki berompi merah. Suaranya begitu dingin, menandakan gelegak dendam mendalam.
Masih dalam keadaan merangkak, si lelaki bertingkah laku mirip laba-laba melompat dan bergerak melintasi halaman cukup luas. Ketika tangannya bergerak ke atas, serat halus pun meluncur ke arah atap bangunan. Erat dan kuat jerat itu menempel pada bangunan besar itu.
Lalu dengan enaknya dia meniti di atas serat-serat halus itu hinggap ke atap.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, si lelaki berambut jarang merangkak ke tengah bangunan. Di tempat yang jadi tujuannya. dibukanya beberapa buah genting. Gerakannya hatihati sekali. Empat buah genting telah terbuka. Kini tatapannya yang memancarkan warna merah semakin melebar begitu melihat lelaki bertubuh gemuk di bawahnya yang sedang tidur nyenyak. Di samping sosok bertubuh boros, tampak seorang wanita cantik yang hanya mengenakan pakaian dalam saja tengah tertidur pulas.
Lelaki aneh itu menelan ludahnya.
"Hhh! Aku tak butuh kenikmatan sekarang. Yang kuinginkan adalah kematian Kama Wijaya." Lelaki ini menurunkan tangan kanannya. Dan.... . .
srraaatt!Jerat-jerat halus kembali meluncur, langsung melibat leher sosok bertubuh gemuk! "Mampus kau, Kama Wijaya!" desis lelaki di atas atap.
"Ohhhkh...?" Lelaki bertubuh boros yang bernama Kama Wijaya langsung terbangun dari tidurnya. Dan seketika napasnya terasa tersengal. Tanpa sadar tangannya memegang ke leher. Dan dirasakannya jerat-jerat halus berwarna putih bening membelit lehernya.
Hanya itu gerakan yang bisa dilakukan Kama Wijaya. Karena kejap berikutnya, nyawanya sudah melayang dengan leher patah.
"Oh..." Kangmas..
"! Kangmas.. !" Wanita cantik di sisi Kama Wijaya kontan terbangun dan seketika menjerit cukup keras begitu menyadari suaminya sudah menjadi mayat. Namun belum juga dia beranjak, jerat-jerat halus sudah melingkari lehernya. Dan dengan sekali sentak saja, lehernya telah patah dengan nyawa melayang. Jeritan si wanita membuat beberapa penjaga rumah Kama Wijaya tersentak. Seketika mereka berlompatan dan berlari ke arah kamar majikan mereka.
Brakkk! Tiga orang lelaki langsung mendobrak pintu kamar itu. Dan seketika, ketiganya terkejut melihat nyawa majikan mereka sudah melayang.
"Bangsat! Ada pembunuh kejam di sini! Siaga!" seru penjaga berwajah lebar, "Cepat sebagian ke kamar Nona Asti. Jaga keselamatannya!" Dua orang dari mereka bergegas menuju kamar putri satu-satunya dari Kama Wijaya. Begitu tiba di sebuah kamar yang terletak di sisi kiri dari bangunan, mereka jadi tegang.
"Nona Asti! Nona Asti!" seru salah seorang sam-bil mengetuk pintu.
Tak ada sahutan apa-apa.
Lelaki penjaga yang mengetuk tadi memandangi orang di sebelahnya, seolah minta pendapat.
"Dobrak saja!" usul lelaki yang berkumis tipis.
'Bagaimana kalau dia terkejut?"
"Kita bisa menerangkannya. Nyawanya saat ini terancam oleh maut." Dengan dua kali tendangan kuat, pintu kamar Asti terbuka paksa. Keduanya segera memburu masuk. Dan mereka tercekat, karena tak melihat Asti berada di kamarnya.
Justru yang terljhat, genting atas kamar ini telah terbuka."Kita lerlambat! Nona Asti telah lenyap. Pasti diculik pembunuh keparat itu. Sebaiknya kita laporkan hal ini pada Banowo!"

***

¦¦¦[ 2 ]¦¦¦

Kletak! "Adauwww.. ! Sial! Hei, Pak Tua! Kau jual batu apa nasi"!" maki seorang pemuda tampan berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahunya.
"Maaf, Den.... . . Aku tadi terburu-buru. Beras tidak sempat kubersihkan, karena harus menghadiri pemakaman Juragan Karna Wijaya. Dan maaf sekali lagi, kedai ini pun harus segera kututup," ucap si pemilik kedai.
"Lho, lho..." Wahhh.... Kalau begini caranya, lebih baik kau jual batu rames saja, Pak Tua. Jangan nasi rames." Wajah si pemilik kedai memerah.
"Bukan, bukan begitu maksudku, Den. Tetapi, aku harus menghadiri...." Iya, aku tidak tuli!" potong si pemuda.
"Tadi kau bilang kau akan menghadiri pemakaman Juragan Karna Wijaya. Hm.... Siapa dia, Pak Tua?"
"Juragan Kama Wijaya adalah orang kaya yang paling baik di desa ini. Dia tak segan-segan membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Kemarin malam, dia dan istrinya ditemukan mati terbunuh. Juga empat orang penjaganya."
"Walah" Orang iseng mana yang tega-teganya membunuh orang sebaik itu?" sentak pemuda beralis tebal seperti kepakan sayap elang sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
Itulah yang sekarang sedang diselidiki. Menurut kepala penjaga di rumah J uragan Kama Wijaya yang bernama Banowo, pembunuhnya pasti memiliki ilmu sangat tinggi. Karena seluruh kejadian itu bagai angin belaka.
Nyata, tetapi tak memiliki bukti siapa pembunuhnya. Saat ini, mereka juga sedang mencari Den Asti yang kemungkinan besar diculik si pembunuh," papar pemilik kedai.
"Siapa pula gadis itu?"
"Dia adalah putri satu-satunya Juragan Kama Wijaya yang saat kejadian berdarah tak ditemukan berada di tempatnya. Yang terlihat, hanya atap yang terbuka.
Maafkan aku. Den.... Aku harus tutup sekarang. Karena aku mengganggu keasyikan Aden makan, maka lebih baik tidak usah dibayar." Pemuda tampan yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor nyengir, lalu berdiri.
"Ah, Pak Tua! Kau tak perlu sungkan-sungkan padaku. Nih, kubayar semua, sekaligus batu yang masih nyempil di gigiku!" kata Andika, lalu ngeloyor pergi Pemilik kedai jadi merasa tidak enak dengan sikap si pemuda. Tetapi, pemakaman Juragan Kama Wijaya baginya sangat penting. Bergegas kedainya ditutup.
Sementara si pemuda urakan itu telah melangkah ke arah selatan. Matanya tak henti-hentinya melihat orang-orang yang bergerak ke arah selatan. Ada yang menjerit-jerit sambil meneriakkan nama J uragan Kama Wijaya. Ada yang menangis sesenggukan bagai kehilangan kekasih tercinta.
"Hebat sekali pengaruh Juragan Karna Wijaya. Aku jadi penasaran ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," desis Andika sambil mengikuti langkah orang-orang itu.
Di sebuah tanah pemakaman, Pendekar Slebor berhenti bersama orang-orang yang memenuhi tempat itu.
Mata tajamnya langsung terarah pada mayat yang sedang dibuka penutup kain kafan di bagian wajahnya. Tampak di leher kedua korban terdapat jerat-jerat halus.
"Hei" Jerat apa itu" Setipis benang dan sukar sekali dilihat mata biasa. Apakah jerat ini yang membunuh mereka?"Ketika para pelayat memegang dan merangkul tubuh Juragan Kama Wijaya dan istrinya, Andika menyempatkan untuk meraba leher mayat Juragan Kama Wijaya.
"Benar dugaanku. Ada jerat halus. Hmmm....Sekarang aku yakin..., jerat-jerat bening inilah yang mengakhiri nyawa mereka. Lalu, apa maksud atap yang terbuka menurut pemilik kedai tadi" Apakah si pembunuh sekaligus penculik itu keluar dan masuk lewat atap?" Sementara itu, Banowo dan tiga kawannya menyuruh agar orang-orang menyudahi pelukan dan pegangan. karena kedua mayat itu hendak dikebumikan.
Saat mayat Juragan Kama Wijaya dan istrinya diturunkan, banyak sekali yang menangis.
"Cari Den Asti! Kasihan nasibnya bila sampai disiksa oleh si pembunuh!" ujar Banowo kemudian.
"Kita harus mencari si pembunuh itu!"
"Ya! Kita harus mencarinya!"
"Cincang pembunuh keparat itu!" Teriakan-teriakan bernada kemarahan terdengar sangat keras sekali diiringi gerakan tangan ke atas berkali-kali.
Dahi si pemuda urakan yang dikenal sebagai Pendekar Slebor berkerut.
"Rupanya J uragan Kama Wijaya sangat dicintai para penduduk di sini.
Mereka tak segan-segan mengorbankan nyawa. Hmm, putri Juragan Kama Wijaya diculik. Tapi, cantikkah dia" He he he.... Ah, sebaiknya, aku pergi dulu dari tempat ini." Namun, sebelum Pendekar Slebor melangkah.....
"Hei! Siapa kau, Orang Muda"!"

***

Andika menghentikan langkahnya ketika terdengar seruan keras. Begitu kepalanya menoleh, tampak wajah-wajah garang di hadapannya.
"Saudara-saudara memanggilku?" Andika malah balik bertanya.
"Di sini tak ada orang asing lagi, selain kau, Anak Muda!" kata salah seorang penduduk, langsung menuding.
"O, itu. Aku hanya kebetulan saja lewat sini. Tadi aku sempat mampir di kedai di desa ini. Kata pemilik kedai, di desa ini ada yang terbunuh. Pas aku lewat pemakaman ini, sekalian saja aku mampir," jelas Andika.
"Lalu mengapa kau masih berada di sini, hah"!" bentak seorang lelaki berwajah kasar. Di tangannya terdapat sebilah parang besar yang sangat tajam. Sambil maju dua langkah, matanya yang memancar kan sinar kemarahan meneliti Andika.
"Lho" Bukankali ini pemakaman umum" Sejak kapan ada larangan orang asing tak boleh memasuki pemakaman" Ah, lucu juga kau, Saudara!" kilah Andika, mulai konyol sifat urakannya.
"Kurang ajar!" dengus si wajah kasar.
"Kawan-kawan...! Jangan-jangan, pemuda inilah yang menurunkan tangan setan pada Juragan Kama Wijaya dan istrinya. Juga dia pula yang menculik Den Asti! Bisa saja dia kembali ke sini untuk mengetahui keadaan di sini. Setelah dipikirnya aman, dia pasti akan melakukan tindakan busuk lagi! Ayo, tunggu apa lagi"! Kita tangkap manusia berhati busuk mi!" Bagai diberi aba-aba, orang-orang itu segera memburu ke arah Pendekar Slebor.
"Hei! Apa-apaan ini"! Saudara-saudara salah tuduh. Aku bukan.... Uts!" Tetapi kata-kata Andika terpenggal oleh puluhan senjata tajam yang melesat ke arahnya. Amarah para penduduk atas matinya orang yang mereka hormati sudah demikian menggelegak.
Si pemuda menghindar dengan gerakan luar biasa cepatnya. Hingga sampai sejauh ini tak satu senjata pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.
"Lihat! Dia memiliki kepandaian! Banowo! Mengapa kau diam saja, hah"! Bukankali kau yang mengatakan kalau pembunuh Juragan Kama Wijaya dan istrinya memiliki kepandaian tinggi! Ayo, cincang pemuda laknat itu!" Andika lama-kelamaan menjadi jengkel melihat kemarahan para penduduk yang tak mau mendengarkan ucapannya.
"Terpaksa aku harus bertindak, tanpa harus membuat mereka celaka. Paling tidak sekadar menyadarkan...," gumam Andika.
Maka dikawal satu bentakan keras, tubuh Pendekar Slebor berkelebat ke sana kemari. Tangannya bergerak cepat, melepas pukulan tak bertenaga dalam.
Duk! Duk! Para pengeroyok yang belum kebagian bogem mentah Andika dipaksa membelalak, melihat kawan mereka berjatuhan satu persatu. Begitu cepat, seolah seperti angin saja pemuda itu bergerak. Andika meringis sendirl Sengaja untuk menyadarkan tindakan brutal para penduduk.
"Kalau kalian mau mendengar penjelasanku tak akan begini jadinya," gumam Pendekar Slebor, enteng.
"Apa yang kalian tuduhkan padaku, tak beralasan sama sekali. Aku hanya kebetulan melewati desa ini."
"Dusta!" seru lelaki berwajah kasar sambil memegangi dadanya yang terasa sakit.
Dia tadi termasuk salah satu orang yang mendapat hadiah satu kibasan pada bagian pinggangnya.
"Jangan terlalu keras bicara, Orang Tua! Jangan-jangan kolormu telah putus," ujar Andika. Mata nakalnya mengerjap-ngerjap ke arah kolor lelaki berwajah kasar itu. Si lelaki kasar seketika merasakan hawa sejuk di antara selangkangannya. Sejenak matanya melirik takut-takut. Dan....
"Walah...!" sentak si lelaki kasar seraya kedua tangannya menutup burung kesayangannya, takut-takut kalau terbang. Wajahnya kontan merah seketika. Lalu dengan kegeraman bercampur malu tak terkira dia menghambur dart tempat ini, setelah menarik kembali kolornya yang melorot sampai betis. Kejadian ini membuat para pengeroyok menurunkan senjata masing-masing. Tindakan Andika seolah menyadarkan mereka kalau si pemuda tak bisa dianggap main-main.
"Maaf, bukannya aku hendak mempermalukan kalian. Aku hanya ingin kalian jangan main tuduh. Oh, ya.
Tadi aku melihat ada yang aneh pada kedua mayat itu. Aku mehhat ada jerat halus di leher mereka. Kemungkinan besar, jerat-jerat yang mirip benang ituiah yang membunuh mereka," ucap Pendekar Slebor.
Mendengar kata-kata si pemuda, orang-orang terdiam.
"Si pembunuh memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Jerat-jerat halus yang dijadikan sebagai senjata merupakan benda sangat berbahaya. Dan terus terang, aku belum tahu dari mana asalnya jerat-jerat halus itu. Akan tetapi, jerat itu mirip seperti jerat laba-laba. Hanya bedanya, jerat itu memiliki kealotan atau kekuatan beribu kali lipat. Kalau kalian bisa sampai tidak tahu saat pembunuhan terjadi, itu artinya si pembunuh bukan orang sembarangan," lanjut Andika memaparkan.
"Siapa kau sebenarnya, Orang Muda?" tanya Banowo, membuka suara. Sementara sepasang matanya tak lepas dari wajah si pemuda.
Banowo memang cukup terkejut mendengar penjelasan si pemuda tentang jerat halus di leher Juragan Kama Wijaya dan istrinya. Sedangkan, dia sendiri tak melihat apa-apa. Jelas kalau begitu, pemuda yang berdiri di hadapannya bukanlah orang sembarangan.
"Namaku Andika!" sahut si pemuda sambil tersenyum.
"Melihat pakaianmu, kau pasti orang rimba persilatan. Lancangkah kami bila mengetahui julukanmu?" tanya Banowo lagi.
Ini yang membuat Andika tersenyum kecut. Dia paling tak suka julukannya diutak-atik. Tapi demi kepentingan adanya kesalahpahaman tadi, Andika jadi berpikiran lain.
"Orang persilatan memanggilku Pendekar Slebor." Seketika wajah Banowo berubah menjadi cerah.
"Maafkan sikap kawan-kawanku tadi yang buta, Pendekar Slebor. Kami tidak tahu siapa yang berada di hadapan kami," katanya sambil menjura!.
"Ya, sudah kalau begitu. Hmm.... Aku permisi dulu.
Mudah-mudahan aku bisa mencari si pembunuh keji dan mencoba menyelamatkan putri Juragan Kama Wijaya," kata Andika seraya berbalik. Lalu....
Wuuttt...! Tubuh Pendekar Slebor berkelebat seketika. Sebentar saja, tubuhnya telah lenyap bagai ditelan bumi.
Sementara Banowo menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Rupanya Pendekar Slebor masih sangat muda.
Sungguh tak kusangka.
Mudah-mudahan dia bisa membantu untuk menemukan Den Asti."

***

¦¦¦[ 3 ]¦¦¦

Enam orang lelaki pekerja di rumah Juragan Kama Wijaya yang tengah mencari Den Asti, menghentikan langkah di sebuah hutan lebat.
Sengatan matahari siang ini tak terasa panas, karena sinarnya terhalang kerimbunan pepohonan hutan.
"Sudah tiga hari kita mencari Den Asti. Lantas ke mana lagi kita harus mencarinya?" tanya lelaki bertubuh kurus. Di matanya memancarkan keletihan yang berbalur rasa geram mengingat kematian majikannya.
"Kita memang tidak tahu harus mencari ke mana.
Namun sebelum Den Asti ditemukan, kita tak usah kembali ke desa. Kita harus tetap mencarinya," sahut lelaki bertubuh tinggi besar.
"Sebaiknya, kita beristirahat saja dulu di sini. Kandolo! Kau cari kelinci hutan untuk mengisi perut!" Lelaki bertubuh kurus yang dipanggil Kandolo hendak bergerak. Namun dari balik sebuah pohon besar melompat satu sosok tubuh kurus dengan rambut bisa dihitung. Hidungnya melesak ke dalam, terlalu mengerikan untuk dilihat. Sosok itu tahu-tahu telah berdiri di depan keenam orang ini.
"Walengkeng!" seru Kandolo, ketika mengenali orang yang baru muncul.
"Sedang apa kalian di sini?" tanya lelaki menyeramkan bernama Walengkeng dengan senyum ganjil. Memang Walengkeng dikenal sebagai pengurus kuda di rumah Juragan Karna Wijaya. Cuma saja lelaki ini punya cita-cita besar, bagai pungguk merindukan bulan. Tanpa melihat keadaan dirinya, Walengkeng diam-diam mencintai Den Asti. Suatu ketika Walengkeng tertangkap basah tengah mengintip Den Asti mandi. Kejadian ini terdengar oleh orang tua Den Asti. Akibatnya, Juragan Kama Wijaya marah besar.
Sejak itu, laki-laki hidung melesak ke dalam ini diusir dari rumah Juragan Karna Wijaya. Namun kini setelah lima tahun menghilang, Walengkeng muncul kembali.
Maka Kandolo pun menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarga Juragan Kama Wijaya. Walengkeng menggeleng-gelengkan kepala.
"Kasihan nasib Den Asti...," desah lelaki yang terlalu pelit dengan rambut itu.
"Betul! Dan lebih kasihan lagi bila ia menjadi istrimu!" ejek lelaki bertubuh tinggi besar sambil terbahak-bahak, langsung disambut lawa yang lainnya.
Walengkeng tersenyum tipis.
"Ya, ya.... Kau benar, Marwoto. Nasibnya akan lebih menyedihkan bila dia menikah denganku."
"Dan karena sikapmu yang konyol dan kurang ajar itulah kau dipecat Juragan Kama Wijaya. Hei, Walengkeng! Sebaiknya kau sadar siapa dirimu dan siapa Den Asti itu," lanjut lelaki yang dipanggil Marwoto.
Walengkeng hanya mengangguk-angguk.
Dan tanpa disadari keenam orang itu, tiba-tiba saja matanya memancarkan sinar warna merah.
"Hmm.... Di mana orang yang telah membunuh Juragan Kama Wijaya dan istrinya?" tanya Walengkeng dengan kepala tertunduk.
Tawa orang-orang itu terhenti.
"Biar bagaimanapun sulitnya, kami akan tetap mencari Den Asti," kata Kandolo.
Walengkeng mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kebencian di dalam hatinya semakin membuncah. Sejak lama harga dirinyadiejek oleh orang-orang ini, karena wajah buruknya dengan kepala nyaris tanpa rambut.
"Kalau begitu, selamat kalian mencari, katanya sambil menundukkan kepalanya, lelaki ini berbalik lalu kakinya melangkah pergi dari tempat ini.
"Hei, Walengkeng!" seru Marwoto, "Di mana sekarangkau tinggal"!" Walengkeng berbalik, membuat orang-orang yang melihatnya kontan bergetar mundur dengan wajah kaget.
Bola mata laki-laki berbidung melesak ke dalam itu semakin memerah sepanas bara.
Tubuhnya bagai bergetar.
Bibirnya yang agak tebal mengatup rapat.
"Di neraka!" bentak Walengkeng sambil mengibaskan tangannya. Sraaat! Jerat-jerat halus kontan melunc ur kencang ke arah keenam orang itu. Mereka melengak, ketika jerat-jerat halus itu bagai mata anak panah melesak masuk ke dada.
"Hih!"
"Aaa...!" Dan ketika ditarik. tubuh mereka ambruk dengan darah muncrat disertai teriakan merobek langit. Hanya sekali gebrak mereka kontan tewas! "Hhh! Tak ada lagi yang bernama Walengkeng! Kalian beruntung. Karena, telah berjumpa si Manusia Laba-laba!" Seketika tubuh Walengkeng yang menamakan diri sebagai Manusia Laba-laba pun mendadak berkelebat amat cepat. Sehingga sebentar saja telah lenyap dari pandangan.
Senja datang lamat. Pendekar Slebor yang tiba di hutan tempat terjadinya pembantaian terhadap Kandolo dan kawan-kawannya langsung mendengus geram. Karena sosok mayat yang bergeletak di depannya ternyata juga terdapat jerat-jerat halus yang me-nembus dada. Saat itu juga dia segera menguburkan mayat-mayat itu.
"Hhh! Kutu kupret! Lagi-lagi jerat-jerat halus ini! Siapa sebenarnya manusia busuk yang sok jadi laba-laba.
Atau laba-laba betulan. Tapi kalau laba-laba betulan, sebesar apa binatangnya?" Andika mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Entah kenapa dia tersenyum sendiri.
"Siapa yang suka ngintip, matanya bintitan.
Orangnya pasti jelek, tapi pemalu. Ha ha ha. Sudah jelek, pemalu lagi. Entah sudah berapa lama kau berada di tempat ini. Sebaiknya keluar saja kalau tak mau kutuduh sebagai pembunuh keenam orang tadi," gumam Andika, entah ditujukan pada siapa.
"Enak saja kau bicara, Pemuda Gombal! Aku sudah berada di sini sejak tadi, tahu"! Dan lagi, aku bukan pembunuh keenam orang tadi. Bahkan kau tak akan pernah bisa mengalahkan Manusia Laba-laba itu!" Tak lama memang terdengar sahutan dari salah satu batang pohon. Lalu meluncur satu sosok tubuh ramping berpakaian rompi merah yang melapisi pakaian hitam tipis. Sebentar saja di depan Andika berdiri seorang gadis, berambut panjang di kat seperti ekor kuda. Di keningnya terdapat poni yang rata. Pendekar Slebor tersenyum cerah. Ketajaman pendengarannya memang tak diragukan lagi. Telinga tajamnya tadi memang mendengar desah napas halus di sekitar tempat ini. Namun dia yakin orang yang ada bukan si pembunuh yang dimaksud. Karena mana ada seorang pembunuh yang mau susah payah menunggui mayat yang habis dibunuhnya.
"Ilmu laba-laba sulit sekali untuk dikalahkan.
Karena terlalu licik dan memiliki segudang tipu daya."
"Hm.... Aku suka denganmu, Gadis!" sambar Andika, hampir tanpa makna.
"Belum apa-apa, seolah-olah kau sudah tahu seluruh kejadian ini."
"Cerewet!" bentak gadis itu.
"Aku tahu, kau sedang mencari Manusia Laba-laba yang telah membunuh keenam orang itu, bukan?"
"Manusia Laba-laba?" ulang Andika dalam keterpanaan.
"Ya! Sejak menemukan mayat-mayat itu, aku yakin pelakunya si Manusia Laba-laba.
Ketika kuperiksa, aku menemukan jerat-jerat halus di tubuh mereka. Sama seperti yang kutemukan pada mayat paman guruku, si Jari Sakti!"
"Dan kesimpulanmu, yang melakukan perbuatan hina itu adalah orang yang berjuluk Manusia Laba-laba?"
"Kau benar. Manusia itu sangat sulit sekali dikalahkan. Ilmunya begitu aneh dan tinggi. Hanya seorang yang mungkin bisa mengalahkannya."
"Siapa dia?"
"Pendekar Slebor." Andika melengak mendengarnya. Kalau begitu, gadis ini belum tahu siapa dirinya"
"Mengapa kau yakin kalau yang mampu membunuhnya adalah Pendekar Slebor?" tanya Andika dengan kening berkerut.
"Dalam perjalananku mencari Manusia Laba-laba, dua kali aku bentrok denganny a.
Yang pertama, aku masih mampu bertahan. Tetapi yang kedua, aku tak mampu lagi menghadapmya. Di saat Manusia Laba-laba siap menurunkan tangan telengas," lanjut si gadis, meskipun jengkel terhadap Andika.
"Tetapi, seorang kakek yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu tiba-tiba muncul dan menyelamatkanku.
Manusia Laba-laba murka.
Dan, pertarungan pun terjadi dengan hebatnya. Namun, kebijakan orang tua itu dimanfaatkan dengan licik oleh Manusia Laba-laba. Saat sudah beberapa kali terkena pukulan maut dari lawannya, Manusia Laba-laba memohon ampun. Dan selagi orang tua itu mengulurkan tangannya penuhwelas asih, manusia culas itu mengirimkan satu serangan maut. Meskipun dapat dihindari, namun tak urung tangan kiri orang tua itu luka parah akibat jerat dari Manusia Laba-laba yang langsung melarikan diri. Kemudian Penghulu Segala Ilmu mengobati dirinya dan diriku. Dari dialah aku tahu, kalau jerat laba-laba dan Manusia Laba-laba hanya bisa dikalahkan oleh orangyang telah memakan buah 'inti petir'. Kalau tak salah julukan Pendekar Slebor. Sayang aku tak me-nanyakan ciri-cirinya."
"Mengapa harus Pendekar Slebor?" ungkit Andika.
Si pemuda merasa heran karena Penghulu Segala Ilmu begitu yakin dengan ucapannya. Namun keheranannya pun tak terlalu lama, karena orang tua itu memang memiliki pengetahuan luas soal ilmu langka maupun biasa.
"Tadi sudah kukatakan, pemuda itu memiliki tenaga 'inti petir'. Bila tubuhnya tersambar petir, maka saat itulah saat yang tepat untuk memusnahkan Manusia Laba-laba. Hei" Apakah kau mengenal Pendekar Slebor?" sahut si gadis.Andika menggeleng. Entah mengapa dia ingin mempermainkan gadis ini.
"Kalau jumpa dengannya, aku ingin mencium tangannya," katanya sambil nyengir.
"Begitu pula denganku. Bahkan aku akan meminta bantuannya untuk memusnahkan Manusia Labalaba," sambar gadis itu sambil mengerutkan keningnya melihat cengir kuda Andika.
"Kalau soal itu, kau tak perlu ragu. Apalagi dia memang tampan dan berwibawa.
Siapa yang berjumpa dengannya, pasti akan merasa suka," bual Andika. Dalam hati dia cengengesan.
Gadis itu menatap tajam Andika.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang Pendekar Slebor" Katanya, kau belum pemah tahu siapa dia?"
"Aku sering mendengar orang-orang membicarakannya," sahut Pendekar Slebor. seraya mengangkat bahunya.
"Hhh! Tetapi mengapa Penghulu Segala Ilmu mengatakan kalau Pendekar Slebor orangnya urakan dan suka berbicara seenaknya?" kata gadis itu bagai bergumam.
Andika mendengus diam-diam. Brengsek juga tuh orang tua! Desisnya dalam hati. Dia teringat bagaimana pengalamannya ketika memasuki Alam Gerbang Neraka bersama Penghulu Segala Ilmu (Baca : "Bunga Neraka"). Dan sekarang orang tua itu mengatakannya urakan dan seenaknya saja" Hhh! Tetapi tiba-tiba pemuda ini tertawa sendiri. Sementara itu si gadis berompi merah mengerutkan keningnya melihat Andika tahu-tabu tertawa sendiri.
"Hei" Apakah kau kemasukan setan hutan ini" Atau..., penyakit ayanmu kumat?" Andika menghentikan tawanya.
"Maaf..., aku sedang membayangkan bagaimana sifat Pendekar Slebor sesungguhnya."
"Hhh! Ternyata aku bertemu orang tolol malam ini! Lebih baik aku meneruskan saja untuk mencari Manusia Laba-laba!" desis si gadis siap untuk me-langkah.
"Nona.... Mengapa kau mencarinya?"
"Manusia keparat itu telah membunuh paman guruku. si Jari Sakti."
"Paman gurumu saja bisa dikalahkannya. Bahkan dibunuhnya. Bagaimana kau bisa menghadapinya?"
"Hhh! Peduli setan! Guruku sudah tiada. Kedua orangtuaku pun sudah tiada. Hanya tinggal paman guruku saja yang seharusnya masih hidup! Tetapi, manusia busuk itu telah membunuhnya secara keji! Dia mempergunakan ilmu 'Laba-laba' yang diturunkan paman guruku selagi beliau bersemadi. Padahal, ilmu 'Laba-laba' itu adalah ilmu simpanannya yang tak pernah dipakai karena begitu kejam!" urai gadis itu sambil mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.
"Meskipun aku tahu akan kehebatannya, aku tak peduli. Lebih baik mati di tangannya daripada membiarkan manusia laknat itu terus menerus menurunkan tangan jahat!"
"Jadi..., Manusia Laba-laba itu murid paman gurumu?"
"Betul. Paman guruku menemukannya di lereng Bukit Tunggul dalam keadaan kelaparan dan tak berdaya lima tahun yang lalu. Laki-laki dengan hidung melesak ke dalam dan rambut jarang itu pun dirawat penuh perhatian oleh paman guruku.
Ketika ditanya mengapa berada di sana, orang yang bernama Walengkeng itu mengatakan kalau baru saja dipecat dari pekerjaannya di rumah Juragan Karna Wijaya...."
"Hei!" seru Andika tercekat.
"Kenapa?"
"Ah, tidak. Tidak apa-apa. Sebaiknya teruskan saja."
"Paman guruku pun menasihatinya agar Walengkeng tidak mendendam pada Juragan Karna Wijaya.
Lalu diajaknya Walengkeng ke tempat tinggalnya. Entah karena melihat ketulusan dan kebaikannya, paman guruku mau mengangkatnya sebagai murid ketika Walengkeng memintanya. Ilmu yang dimiliki-nya termasuk ilmu 'Jari Sakti' pun diturunkannya. Dan karena melihat kejujurannya, paman guruku pun telah menurunkan ilmu andalannya yang jarang sekali dipakai. Ilmu 'Laba-laba'.
Bahkan, paman guruku memberikan seekor laba-laba Gurun Gobi yang telah diawetkannya. Dengan mantera dan ramuan yang dibuatnya, lendir laba-laba Gurun Gobi yang diawetkan itu dicampurkan. Lalu diberikannya pada Walengkeng untuk diminum. Setelah meminumnya, dia memiliki serat laba-laba yang sangat kuat dan tak akan pernah habis sebelum mati seperti yang dimiliki paman guruku. Karena semuanya sudah bersatu dengan darah." Sejenak si gadis menghentikan ceritanya. Sepertinya ada raut penyesalan di wajahnya.
"Sebelumnya, aku sudah memperingati paman guruku agar tidak menurunkan seluruh ilmu pada Walengkeng. Namun paman guruku hanya tersenyum dan mengatakan kalau sudah memperhitungkan semuanya masak-masak. Apalagi, Walengkeng sudah bersumpah akan mempergunakan ilmu yang diturunkannya pada jalan kebenaran. Hingga akhirnya, aku pun tak bisa berbuat apa-apa meskipun dalam hatiku begitu ngeri membayangkan sesuatu yang sebenarnya takut kubayangkan. Dan kengerian itu pun terjadi. Rupanya manusia busuk itu hanya menipu paman guruku.
Dia berlagak baik, padahal hatinya culas. Selesai menamatkan seluruh pelajaran yang diberikan, dia membunuh paman guruku! Apakah aku akan berpangku tangan saja melihat ke-nyataan ini?" Wajah gadis itu merah padam menahan geram mengingat semua itu.
Andika tak berkata apa-apa.
"Hei, tahukah kau, di mana Desa Wanasari berada?" tanya si gadis.
"Hendak apa kau ke sana?"
"Aku yakin, manusia hina itu memiliki dendam pada Juragan Karna Wijaya yang telah mengusimya. Tetapi, tindakan yang dilakukan Karna Wijaya memang benar.
Karena siapa pun tak akan sudi mengawinkan putrinya dengan manusia bertampang setan itu."
"Kau terlambat," sahut Andika.
Gadis itu mengerutkan keningnya.
"Mengapa?"
"Juragan Karna Wijaya dan istrinya mati dibunuh oleh orang yang kau juluki Manusia Laba-laba. Bahkan saat ini, putrinya berada di tangan manusia busuk itu!" Gadis itu mendesah pelan.
"Boleh kutahu, siapa namamu?" usik Andika, mengalihkan perhatian.
Gadis itu menarik napas panjang untuk meredakan gejolak amarahnya. Ditatapnya Andika dengan sengit.
"Namaku Larasati!" kata si gadis, akhirnya.
"Nama yang bagus...."
"Aku tidak suka dengan laki-laki ceriwis!" bentak si gadis tiba-tiba.
"Apakah kau akan mencari Pendekar Slebor?"
"Ya! Sambil lalu pun akan kucari Pendekar Slebor! Mudah-mudahan dia mau membantuku."
"Percayalah dengan ucapanku. Dia pasti bersedia membantu." Gadis itu tersenyum getir, lalu melompat. Dan dalam sekali pandang, tubuhnya lenyap dalam kegelapan.
Sementara Andika masih terpaku di tempatnya.
"Hmm.... Bila mendengarkan penuturan Larasati, ilmu yang dimiliki Manusia Labalaba begitu tinggi. Aku yakin, Larasati pun pernah diajarkan ilmu 'Jari Sakti'.
Dan manusia yang bernama Walengkeng itu pun memiliki ilmu yang sama. Ilmu 'Jari Sakti' itu saja sudah sedemikian hebat. Bagaimana dengan ilmu 'Laba-laba'-nya yang menurut Larasati adalah ajian andalan paman gurunya" Hhh! Memusingkan! Dan lagi, aku belum mengerti tentang penjelasan Penghulu Segala Ilmu yang menurut Larasati hanya aku yang mampu mengalahkannya. Penghulu Segala Ilmu saja belum bisa menaklukkannya. Sementara ilmuku jauh berada di bawah Penghulu Segala Ilmu" Hmm....
Apakah orang tua bangkotan itu sudah sering ngelindur?" Lalu tubuh Andika pun berkelebat.

***

¦¦¦[ 4 ]¦¦¦

Bagaimana nasib Asti di bawah kekuasaan Manusia Laba-laba" Beruntung sekali gadis itu. Walau keadaannya pucat, tapi Manusia Laba-laba alias Walengkeng belum menjamahnya. Sampai saat ini, Asti memang tidak tahu siapa Walengkeng sebenarnya. Yang diketahuinya lelaki berwajah mengerikan itu bekas pekerja di rumahnya pada lima tahun yang lalu. Memang tak jelas asal-usulnya. Walengkeng kecil waktu ditemukan di pasar Desa Wanasari langsung menimbulkan rasa iba. Tapi menurut cerita Walengkeng sendiri, sejak kecil dia telah dibuang keluarganya karena tak menginginkan kehadirannya yang cacat. Tak heran kalau lelaki itu tak pernah mengenal ayah dan ibunya.
Sejak usia tiga tahun dia dipelihara oleh seorang gelandangan pasar. Ketika empat tahun kemudia nsi gelandangan meninggal dunia, Walengkeng mulai menjalani ganasnya hidup seorang diri di Desa Wanasari.
Kejamnya dunia tak dipedulikan Walengkeng.
Dirinya tak pernah sepi dari caci dan ejekan. Namun di usianya yang kesepuluh, nasibnya mulai berubah ketika Juragan Karna Wijaya menawarkan untuk bekerja di rumahnya. Bagai setetes air di padang pasir, tawaran Juragan Karna Wijaya langsung disambut suka cita.
Sepuluh tahun hidup di rumah Juragan Karna Wijaya, Walengkeng selalu memperhatikan Asti yang juga telah tumbuh menjadi gadis cantik. Sejak itu, pemuda ini mulai dihasut iblis. Diam-diam dia mulai mengkhayal bisa memiliki Asti, sekaligus menikmati tubuhnya. Karena untuk mengutarakan cintanya jelas tidak mungkin, maka begitu ada kesempatan Walengkeng mencuri-curi untuk dapat mengintip Asti.
Para pekerja lain yang sejak semula sudah mulai curiga, akhirnya memergoki tindakan Walengkeng. Akibatnya, lelaki itu diusir oleh Juragan Karna Wijaya.
Kini lima tahun kemudian, Walengkeng muncul kembali. Dan Asti hanya tahu kalau kemunculan Walengkeng, menurut cerita lelaki itu sendiri, untuk menolong keluarga Juragan Karna Wijaya yang tengah dirampok.
Untungnya, Asti dapat diselamatkan Walengkeng, kendati kedua orangtuanya terbunuh.
Si gadis mendesah pendek. Hatinya luka dan sedih bila teringat nasib kedua orangtuanya. Terutama ketika mendapati dirinya masih mengenakan pakaian tidur yang tipis, membuatnya semakin risih bila berhadapan dengan Walengkeng.
"Tetapi, mengapa sampai saat ini Walengkeng menolak untuk membawaku kembali ke rumah?" gumam si gadis, bertanya pada diri sendiri. Padahal, dia sudah berkalikali meminta pada Walengkeng untuk mengantarnya pulang. Tetapi selalu ditolaknya dengan alasan, keadaan belum aman.
Selama ini, Walengkeng memang belum memperlihatkan tindakan kurang ajar. Asti tidur di dipan, sementara Walengkeng tidur di lantai beralaskan daun pisang. Namun biar bagaimanapun juga, si gadis tidak merasa aman berada bersama-sama lelaki itu. Terutama, mengingat pakaian yang dikenakannya. Dia ingin kembali ke rumahnya, ingin mengetahui keadaan ayah dan ibunya. Apakah benar mereka telah mati" Kalau memang benar, sudah tentu Asti tak menghadiri pemakaman mereka.
Hati gadis jelita itu menjadi sedih sekali menyadari keadaannya.
"Apakah selamanya aku harus tinggal bersama Walengkeng?" desisnya galau. Otaknya sudah buntu memikirkan, bagaimana caranya bisa keluar dari tempat ini.
Membujuk Walengkeng untuk mengantarnya, nampaknya akan sia-sia belaka. Karena laki-laki bertampang seram itu selalu berjanji dan berjanji. Sedang untuk pulang sendiri, gadis ini tak ada keberanian.
Tiba-tiba telinga si gadis mendengar suara langkah perlahan di depan gubuk itu.
Tampak Walengkeng masuk sambil membawa buah-buahan di tangan kanan. Di tangan kiriny a terdapat sebuah bungkusan.
"Oh! Kau sudah bangun, Den Asti?" tanya lelaki itu tanpa mengangkat wajahnya.
Diletakkannya buah-buahan yang dibawanya di meja kusam. Lalu disodorkannya bungkusan yang dipegangnya.
"Gantilah pakaianmu, Den Asti. Mudah-mudahan pakaian yang kubeli di kotapraja ini cocok untukmu. Maaf, mungkin tidak terlalu bagus dan mahal seperti yang biasa kau kenakan." Asti mendesah diam-diam. Terus terang, perasaannya ngeri melihat tampang setan Walengkeng.
Terutama, bila teringat perbuatan busuk yang dilakukan lelaki itu. Namun diambilnya juga bungkusan itu. Memang lebih baik menutupi tubuhnya dulu yang masih mengenakan pakaian tidur.
Sementara, Walengkeng tidak berpindah dari tempatnya, dan hanya membelakanginya saja.
"Walengkeng.... Kapan kau mengajakku pulang?" tanya si gadis hati-hati setelah mengenakan pakaian warna biru muda yang diberikan Walengkeng. Sementara, lelaki berwajah mengerikan itu s udah menghadap ke arahnya kembali. Dicobanya untuk memperhatikan wajah seram yang menunduk itu.
Tetapi hanya sejenak. Karena kengeriannya muncul kembali "Belum saatnya, Den Asti," sahut lelaki itu pelan.
Asti menghela napas panjang melihat kesopanan yang diperlihatkan Walengkeng. Tetapi bila mengingat perlakuan busuk yang pernah dilakukan lelaki itu, semuanya jadi sirna.
"Aku baru saja dari Desa Wanasari Keadaan masih belum aman. Aku yakin, pembunuh itu masih berkeliaran."
"Tetapi, apakah aku harus di sini terus-menerus" Yang benar saja, Walengkeng! Aku ingin kembali ke rumah.
Aku ingin mengetahui keadaan kedua orang-tuaku?" tukas Asti setengah memaksa dan penasaran.
"Apakah Den Asti tidak suka dengan tempat tinggalku ini?" kata Walengkeng.
"Memang buruk dan berada di hutan yang mengerikan."
"Bukan itu maksudku.... Tetapi, aku ingin kembali ke rumah. Aku ingin melihat keadaan ayah dan ibuku."
"Mereka sudah dimakamkan, Den Asti." Hati Asti kembali menjadi sedih.
"Dan aku tak pernah melihat mereka untuk terakhir kalinya."
"Bila keadaan aman, aku akan mengantar Den Asti kembali pulang."
"Aku ingin sekarang." Tiba-tiba Walengkeng yang sejak ladi berbicara selalu menunduk, mengangkat kepalanya. Hati Asti kontan ciut ketika melihat tatapan mata Walengkeng yang mendadak berubah merah. Dia merasa dirinya hendak ditelan bulat-bulat.
"Bila kukatakan belum saatnya, itu berarti memang belum saatnya, Den Asti," tegas Walengkeng.
Meskipun matanya berubah mengerikan, namun nada suaranya tetap sama.
"Sekarang..., makanlah buah-buahan itu. Dari kemarin kau belum makan, Den Asti." Entah karena memang lapar atau karena ketakutan melihat tatapan membara dari Walengkeng, dengan gemetar Asti mengambil manggis hutan yang disodorkan Walengkeng. Dia memakannya dengan memalingkan wajah dari Walengkeng.
"Hhh! Bisa saja aku menggarapmu sekarang juga, Asti. Tetapi, aku ingin kau menyerahkan seluruh yang kuinginkan dalam keadaan sadar dan pasrah. Bukan harus kutotok, harus kujebak dengan jamu perangsang.
Melainkan, dengan sikap seorang istri pada suaminya.
Tetapi, aku akan bersabar menunggu saat yang tepat untuk mendapatkanmu. Karena, kau tak akan bisa melarikan diri dari tanganku. Tak akan pernah kulepaskan apa yang kudapatkan sekarang ini. Terlalu bodoh bila aku meninggalkan semua yang sudah berada di depan mataku," desis Walengkeng dalam hati.
Asti yang sudah menghabiskan sebuah manggis hutan justru tidak enak bila dalam keadaan berdiam.
Apalagi, berdua-duaan dengan Walengkeng. Tapi bisa saja dia menganggap Walengkeng tak memiliki wajah setan seperti itu, daripada berdiam diri. Dan dia ingin mengetahui sesuatu yang telah lama dipendamnya.
"Selama lima tahun..., apakah kau membenci ayahku, Walengkeng?" tanyanya.
Walengkeng menggeleng sambil tersenyum.
"Tidak, Den Asti. Apa yang dilakukannya memang benar.
Karena aku telah melakukan sesuatu yang buruk. Aku sendiri ingin minta maaf pada Den Asti atas perbuatanku yang berakibat harus diberhentikan dari pekerjaan.
Tetapi terus terang, aku melakukannya karena..., aku mencintai Den Asti." Asti bergidik membayangkannya.
"Dan selama lima tahun kau berada di hutan ini?" tanya si gadis mengalihkan perhatian dari masalah cinta Walengkeng.
"Ya!" sahut Walengkeng, singkat.
"Hutan apa ini namanya, Walengkeng?"
"Hutan Babat Roban."
"Jauhkah hutan ini dari tempat tinggalku?" tanya Asti, sekaligus ingin mengetahui arah mana yang di tempuhnya bila memutuskan untuk melarikan diri.
"Membutuhkan waktu dua hari dua malam untuk tiba di Desa Wanasari. Juga, harus melalui jalan yang sangat sulit. Karena begitu keluar dari hutan ini, terdapat sebuah lembah landai yang mengerikan. Lalu, akan memasuki Hutan Tinggi. Dan setelah melewatinya, barulah tiba di rumah, Den Asti. Bila belum mengenal jalannya, kita pasti akan tersesat. Aku pun membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengakrabi hutan ini, hingga akhirnya terbiasa."
"Kau tidak merasa kesepian?"
"Sejak lima tahun ini aku selalu merasa kesepian.
Tetapi selama empat hari ini, hatiku selalu riang Karena ada Den Asti di sini." Tanpa sadar tubuh Asti menggigil. Secara tidak langsung hati wanitanya menangkap isyarat kalau Walengkeng masih mencintainya. Dan perasaannya kini menjadi tegang dan ketakutan. Kalau begitu, tempat ini memang harus ditinggalkannya. Bila dia terus-menerus di sini, bisa jadi Walengkeng akan memaksakan kehendaknya.
"Kau pandai berbicara rupanya," kata Asti, untuk menenangkan hatinya.
Walengkeng menggelengkan kepalanya.
"Itulah kenyataannya, Den Asti. Selama lima tahun aku me-mendam rindu yang semakin hari terasa semakin da? lam pada Den Asti. Bahkan aku merasa tak akan pernah bertemu Den Asti kembali. Namun, Gusti Yang Maha Kuasa mcngabulkan permohonanku siang dan malam." Asti bertambah gelisah. Dia merasa harus mengubah pokok pembicaraan. Kupingnya terasa panas mendengar pernyataan Walengkeng yang seperti mendapat kesempatan. Apa yang dilakukan lelaki itu memang sebuah bujukan di balik sikapnya yang sopan.
Karena secara tak langsung, apa yang ditunggu selama ini dibuka oleh Asti sendiri. Dan s udah tentu lelaki berwajah menyeramkan ini tak membuang kesempatan yang ada.
Dia tetap menginginkan Asti menyerahkan dirinya dengan suka rela. Bukan dalam paksaan.
"Den Asti.... Apakah kau...," Walengkeng sengaja menghentikan kata-katanya untuk melihat sikap gadis manis itu."Apa... apa yang hendak kau katakan, Walengkeng?" sahut Asti dengan suara bergetar. Sedikit banyaknya dia sudah menangkap isyarat yang menggelisahkan hatinya.
"Sudahlah....
Rasanya belum tepat aku mengatakan yang sebenarnya. Namun aku yakin. Den Asti tahu apa yang kupendam selama ini. Aku mencintai Den Asti. Dan, menginginkan...."
"Walengkeng!" potong Asti dengan kegelisahan merajai tubuhnya. Wajahnya nampak pucat dengan bola mata jernih bergerak cepat.
"Sampai saat ini, aku belum mengetahui keadaan kedua orangtuaku, meskipun kau mengatakan mereka sudah mati di tangan pembunuh kejam itu. Aku ingin sekali melihat makam mereka. Aku ingin menyembangi dan bersujud di makam keduanya, Walengkeng. Tentunya kau mengerti perasaanku saat ini, bukan" Aku begitu sedih memikirkan nasib mereka....
" Walengkeng hanya menganggukkan kepala meskipun hatinya berubah geram. Dia sadar. secara tidak langsung Asti menolaknya.
"Bila kau tetap menolak, aku bisa memaksakan kehendakku dan mendapatkan apa yang kuingin-kan...," kata Walengkeng, mendesis dalam hati.
"Walengkeng....
Berjanjilah untuk segera mengantarku pulang," pinta Asti pelan.
Walengkeng tak menyahut. Sudah tentu permintaan itu tak akan dikabulkan. Dia ingin mendapatkan apa yang telah lama di mpikannya.
Dan sebelum ada yang berkata apa-apa....
"Tempat itu layak untuk kita tinggali sebelum meneruskan mencari Pendekar Slebor, Kawan-kawan!" Terdengar suara keras yang disertai tawa terbahak-bahak.

***

¦¦¦[ 5 ]¦¦¦

Seorang lelaki bertubuh setengah bulat dengan kepala agak botak tengah melangkah bersama tiga orang lainnya. Kepalanya di kat kain berwarna merah yang di lengahnya ada gambar bulan sabit. Di tengahnya terdapat beberapa buah gelang bahar besar.
Lelaki itu terbahak-bahak lagi, memperlihatkan bungkahan dua pipinya yang semakin bertambah bulat.
Suaranya menggema di seluruh hutan itu.
"Kita bisa menyusun kembali semua rencana untuk menuntaskan dendam pada Pendekar Slebor! Hhh! Dua minggu sudah kita mencari Pendekar Slebor. Tetapi sampai saat ini, keparat itu belum juga kelihatan batang hidungnya!" lanjulnya.
"Kau periksa tempat itu, Dwipolko!" ujar lelaki yang bertubuh tinggi besar.
Wajahnya dipenuhi cambang.
"Hhh! Barangkali kita memang bisa memakainya sebagai tempat beristirahat sebelum menuntaskan dendam pada Pendekar Slebor! Aku tak ingin lima sahabat kita mati penasaran karena ulahnya!' Mendengar kata-kata lelaki yang bercambang bawuk itu, lelaki setengah bulat yang dipanggil Dwipolko menggeram sambil mengepalkan tangannya. Lalu kakinya melangkah untuk memeriksa gubuk di depannya. Sementara, tiga orang temannya menunggu di depan gubuk dengan hati penuh dendam pada Pendekar Slebor.
Jelas sekali, kalau mereka memiliki dendam kesumat pada pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu.
Sedangkan di dalam gubuk, Walengkeng yang sebenarnya berjuluk Manusia Laba-laba berdiri tegak ketika melihat gelagat kurang menguntungkan. Dia menggeram penuh amarah, karena manusia-manusia yang datang itu membuyarkan seluruh rencananya untuk merayu Asti. Asti sendiri yang tadi terkejut mendengar suara itu, lebih terkejut lagi ketika melihat mata Walengkeng tiba-tiba memerah kembali. Ketika lelaki setengah bulat tahu-tahu sudah berada di depan pintu. Tanpa sadar si gadis beringsut ke pojok dengan tubuh agak bergetar.
Dwipolko terbahak-bahak keras ketika melihat gubuk itu ternyata berpenghuni.
"Luar biasa! Rupanya ada monyet kesasar di sini! Dan..., oh! Seorang bidadari dari kayangan berada di sini! Menyenangkan! Sangat menyenangkan!" Begitu mendengar suara Dwipolko, ketiga temannya segera melesat ke arah pondok. Mereka tak tertarik dengan kata-kala pertama dari laki-laki setengah bulat itu. Tetapi kata-kata yang kedua yang membuat mereka seperti singa kelaparan. Dan mereka terbahak-bahak ketika melihat apa yang dikatakan Dwipolko.
Walengkeng alias Manusia Laba-laba mengepalkan kedua tangannya.
"Siapa kalian?" tanya Walengkeng. Suaranya bergetar dan dingin.
Asti semakin terkejut menyadari perubahan yang terjadi pada diri Walengkeng. Dulu dia tahu, lelaki itu hanyalah lemah. Tetapi, dari suaranya kini menandakan kalau Walengkeng bukanlah orang lemah seperti dulu. Dan Asti menangkap nada kejam pada bentakannya.
Keempat orang yang berlampang menyeramkan itu terbahak-bahak.
"Hei, Manusia Setan!" seru Dwipolko.
"Apa yang kau lakukan di sini bersama bidadari itu" Serahkan bidadari jelita itu. Maka nyawa setanmu tak akan pernah kami cabut!"
"Lancang bicara, hanya mencari kematian!"
"Setan alas!" maki Dwipolko dengan wajah seketika memerah seperti udang rebus.
"Apa kau belum tahu berhadapan dengan siapa, hah"!"
"Katakan nama-nama busuk kalian! Karena, aku perlu mengingat siapa saja manusia yang mampus di tanganku!" ujar Walengkeng, dingin.
"Monyet hidung sumplung! Kau mencari mampus! Kami adalah empal orang dari Sembilan Iblis! Namaku Dwipolko, berjuluk Iblis Rembulan. Yang berpakaian kuning adalah Bresatar. Julukannya Iblis Kaki Seribu.
Yang tinggi besar bernama Jenggolo. Dia berjuluk Iblis Tangan Dewa.
Dan yang berbaju sehalus sutera bernama Upasonto.
Julukannya Iblis Baju Sutera! Nah! Sekarang, minggat dari sini! Biarkan bidadari jeh'ta itu.menemani kami, daripada nyawa busukmu melayang!" Walengkeng terdiam. Namun, tatapan matanya bertambah membara, menebarkan hawa kematian.
"Aku tak punya silang sengketa dengan kalian! Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum kemarahanku menjadi-jadi!" tegas Manusia Laba-laba, menggetarkan.
"Ha ha ha...!" Ancaman Walengkeng itu dibalas tawa empat orang yang mengaku sebagai Sembilan Iblis. Mereka tak lain adalah para anggota Sembilan Iblis yang pemah dibuat porak-poranda oleh Pendekar Slebor. Lima orang dari Sembilan Iblis telah menemui ajal. Dan kini, sisanya yang telah berpisah setelah bertarung dengan Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam, muncul kembali. Mereka telah bersatu untuk menghancurkan Pendekar Slebor! Karena, garagara Pendekar Slebor kekuatan mereka menjadi kacau (Untuklebih jelasnya, silakan baca: "Istana Sembilan Iblis").
"Aku ingin lihat omong besar orang berhidung sumplung itu!" Begitu habis kata-katanya, tubuh Dwipolko alias Iblis Rembulan berkelebat. Angin dingin menderu tajam mengiringi luncuran tubuh.
Sementara Walengkeng alias Manusia Laba-laba tak bergerak dari tempatnya. Matanya semakin nyalang dengan kemarahan membludak.
Namun begitu tangan kanan dan kiri Iblis Rembulan bergerak, tubuhnya dimiringkan sambil mengibaskan tangan. Siting! Dua buah larik sinar hitam yang menggidikkan melesat. Iblis Rembulan yang tak menyangka akan mendapat serangan mendadak cepat membuang tubuhnya.
"Manusia setan! Pantas kau berani omong banyak!" bentak Iblis Rembulan dengan wajah pias. Begitu bangkit, dia melihat sebuah pohon hangus seketika terkena hantaman sinar hitam yang mengerikan tadi.
"Tempat ini terlalu kecil untuk kita!" dengus Manusia Laba-laba, langsung melompat ke atas. Brosss.. ! Tubuh Manusia Laba-laba menerobos atap rumbia.
Di udara dia berputaran. Dan begitu lelaki ini hinggap di tempat yang agak terbuka, empat anggota dari sisa Sembilan Iblis segera mengurungnya.
Sementara Asti yang beringsut di s udut gubuk, tak terasa tubuhnya menggigiL Kengerian macam apa yang akan dialaminya lagi" Apalagi, melihat perubahan wajah dan sinar mata Walengkeng yang mengerikan. Dan tadi..., oh, Gusti! Sejak kapan Walengkeng memiliki kepandaian mengerikan" Iblis Rembulan yang marah karena serangannya digagalkan dengan mudah segera menyerang kembali. Kali ini lebih mengerikan dari serangan yang pertama. Sambil maju, tangan kanannya bergerak ke arah Manusia Laba-laba berkali-kali.
Sinar merah berbentuk bulan sabit melesat menggiriskan ke arah Manusia Laba-laba. Namun dengan gerakan aneh, Walengkeng merangkakkan tubuhnya. Dia bergerak cepat ke sana ke mari membuat sinar merah itu hanya menghantam beberapa pohon hingga langsung terpolong pada bagian tengahnya.
Dan sambil merangkak menghindari serangan Iblis Rembulan, Manusia Laba-laba mengibaskan tangannya ke atas berkali-kali. Maka seketika jerat-jerat halus menempel di dalam pohon dengan ganjilnya, dia meniti jerat-jerat halus itu. Tindakan ini membuat keempat lawannya sejenak terperangah. Karena, gerakan seperti itu tak mungkin bisa dilakukan siapa pun.
Iblis Baju Sutera yang lebih dulu tersadar dari keterkesimaannya, "Setan alas! Manusia keparat itu menguasai ilmu laba-laba! Iblis Rembulan, hatihati!" Namun seruan itu terlambat. Karena begitu menginjak batang pohon, tangan Manusia Laba-laba langsung bergerak kembali Sraaat! Jerat-jerat halus kontan melilit tubuh Iblis Rembulan yang baru saja hendak melesat mengejar manusia rambut jarang itu. Tubuhnya terpuruk jatuh begitu disentak kuat-kuat oleh Manusia Laba-laba. Dan belum lagi menyadari apa yang terjadi, tubuh Walengkeng sudah bergerak menuruni jerat-jerat halusnya. Kedua tangannya merentang. Dan....
"Heigghkh!" Bagai capitan tang raksasa, kedua tangan Manusia Laba-laba mencengkeram leher Iblis Rembulan.
Dwipolko meronta-ronta hebat, namun tak mampu berbuat apa-apa. Karena, jeratjerat halus itu begitu alot dan menyulitkan gerakannya. Kejap berikutnya....
"Aaa...!" Nyawa Iblis Rembulan pun melayang dengan leher patah dikawal oleh leriakan menggiriskan.
"Heaaah...! Chhuhhh...!" Dengan bengisnya, Manusia Laba-laba melempar tubuh Iblis Rembulan sambil meludah. Tatapannya yang membara mengalih pada tiga lawan lainnya yang hanya terbengong. Karena, baru kali ini mereka melihat ada yang memiliki ilmu dahsyat seperti itu.
"Kurung manusia anjing itu! Hati-hati! Jerat-jerat laba-labanya sangat berbahaya!" teriak Iblis Baju Sutera, memecah keterpanaannya.
Sehabis berkata begitu, lelaki berbaju sutera ini sudah meluruk dahsyat.
Menyusul kemudian, Bresatar alias Iblis Kaki Seribu dengan serangan kaki yang cepat, hingga menimbulkan gemuruh angin bak topan prahara.
Tak ketinggalan Jenggolo alias Iblis Tangan Dewa. Begitu mengibaskan tangannya, cahaya panas dengan kekuatan raksasa langsung meluruk dahsyat. Namun Manusia Laba-laba dengan lincahnya bergerak ke sana kemari di atas jerat-jerat halusnya. Dan selagi menghindar, telunjuknya bergerak membabi buta.
Maka puluhan sinar hitam melesat dari ilmu 'Jari Sakti' nya.
Ketiga lawan mendengus dengan kemarahan menyentak-nyentak. Namun bagi mereka sangat sulit sekali untuk mendekati Manusia Laba-laba. Karena merasa sadar, sekali terjerat jerat-jerat halus namun alot itu, maka sudah dipastikan tak akan bisa melepaskan diri.
Berarti, nyawa sudah di ujung tanduk.
Namun Iblis Kaki Seribu yang geram akibat kematian Iblis Rembulan tak mempedulikan soal itu lagi.
Dengan ilmu 'Kaki Seribu' nya, tubuhnya bergerak bagai baling-baling dengan kepala di bawah. Gemuruh angin bagai topan mengamuk langsung terjadi.
Kini tubuh Manusia Laba-laba terombang-am-bing dalam jerat-jerat halusnya. Dia berkali-kali harus menambahkan kekuatan jerat-jeratnya melalui tenaga dalam. Sementara, Iblis Baju Sutera dan Iblis Tangan Dewa mengalirkan tenaga dalam pada kedua kaki untuk bertahan. Namun wajah dan tubuh mereka terasa bagai ditampar tangan raksasa yang keras sekali. Pepohonan yang berada di sana seketika tumbang terhantam kekuatan dahsyat. Dan kekuatan itu lerus melunc ur ke arah gubuk reyot yang di dalamnya terdapat Asti.

***

Di dalam gubuk reyot itu, Asti semakin terpaku dalam kengerian, begitu melihat perubahan yang terjadi pada diri Walengkeng alias Manusia Laba-laba. Saat melihat pertarungan, si gadis menjeril ketika Walengkeng menggerakkan tangannya yang meluncur sinar hitam mengerikan. Kesadarannya kontan tersentak. Dilihatnya lelaki hidung sumplung itu telah berubah menjadi orang berilmu tinggi.
Kesadaran itu menimbulkan sebuah tekad. Maka Asti pun perlahan-lahan beringsut. Lalu dengan hati-hati dan agak susah payah dia keluar melalui jendela. Dan saat itu pula langkahnya bergerak meskipun berkali-kali harus tersaruk akar pohon besar yang keluar dari tanah. Pada saat yang sama... Brasss. .! "Aauww.. !" Dan si gadis berleriak keras ketika tubuhnya hampir saja terhantam gubuk yang diterbangkan angin yang ditimbulkan serangan Iblis Kaki Seribu.
Menyadari hal itu, Asti menghela napas panjang dan merasa beruntung karena memutuskan untuk melarikan diri. Bagaimana kalau tidak" Dengan menambah semangatnya, Asti pun melangkah lebih bergegas. Tak dipedulikan lagi jalan mana yang harus ditempuh.
Yang di nginkan sekarang ini, pergi sejauh-jauhnya dari Walengkeng!

***

Manusia Laba-laba seketika menoleh ketika gubuk reyot tadi diterbangkan angin. Matanya terbelalak ketika tak melihat Asti berada di sana. Dugaannya, gadis itu pasti sudah melayang diterbangkan oleh angin dari Mis Kaki Seribu. Berpikir seperti itu, Manusia Laba-laba menjadi bertambah geram. Tiba-tiba saja tubuhnya meluncur ke bawah, setelah mengirimkan jeratjerat halusnya. Lalu dengan melompat layaknya seekor laba-laba berpindah tempat, sambil berbalik tangannya me-ngibas.
Srat! Srat! Jerat-jerat halus Manusia Laba-laba langsung mengikat kedua kaki Iblis Kaki Seribu. Dan seketika diputarnya tubuh lelaki itu dengan kekuatan cepat.
Brukk! Gerakan Iblis Kaki Seribu terhenti. Bersamaan dengan itu, tubuhnya ambruk dengan kaki terikat.
"Anjing keparat!" maki Iblis Kaki Seribu sambil mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan kakinya dari jerat-jerat halus yang begitu kuat.
Pada saat yang sama, Iblis Tangan Dewa dan Iblis Baju Sutera langsung memburu ke arah Manusia Laba-laba. Mereka bermaksud menyelamatkan nyawa Iblis Kaki Seribu yang terancam. Namun lagi-lagi gerakan mereka terhenti ketika tangan Manusia Laba-laba mengibas, melepaskan jaring-jaring kuat hingga keduanya sulit untuk masuk. Masih untung mereka mampu menahan laju kecepatan, hingga tak menempel pada jaring halus itu.
Mendapat kesempatan baik, Manusia Laba-laba sendiri sudah melesat meninggalkan tempat itu. Yang terpenting baginya adalah nasib Asti. Dia harus menyelamatkan gadis yang diinginkan menjadi istrinya. Bila tak menemukan gadis itu, akan dihancurkannya tiga manusia dari Sembilan Iblis! "Setan alas!" maki Iblis Tangan Dewa, menyadari lawannya telah lenyap tanpa bekas, kecuali jerat-jerat yang masih menempel di sana sini.
"Bila bertemu lagi, akan kuhajar kau, Keparat Sumplung!" Perhatian Iblis Tangan Dewa beralih pada Iblis Baju Sutera yang sedang mencoba memutuskan jerat laba-laba yang mengikat kedua kaki Iblis Kaki Seribu. Namun meskipun seluruh tenaga dalamnya sudah dikerahkan, jerat-jerat halus itu tak putus juga.
"Gila! Terbuat dari apa jerat-jerat ini?" maki Iblis" Kaki Seribu dengan mulut berbentuk kerucut.
"Hhh! Hanya jerat seperti itu saja kau tak mampu melakukannya!" bentak Iblis Tangan Dewa. Lalu lelaki ini membungkuk. Tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk memutuskan jerat-jerat alot itu.
Namun seperti yang dialami Iblis Baju Sutera, dia pun tak mampu memutuskannya.
"Sialan! Jerat keparat!" Iblis Tangan Dewa kini mengerahkan hawa panas melalui kedua telapak tangan. Akan tetapi, jerat-jerat halus itu tak putus juga.
Dan, justru Iblis Kaki Seribu yang berteriak keras karena kedua kakinya melepuh.
"Setan! Bagaimana cara kita untuk memutuskannya!" maki Iblis Tangan Dewa, seolah tak mempedulikan teriakan kesakitan dari temannya.
Iblis Baju Sutera yang tadi merasa diejek mendengus.
"Jerat-jerat ini memiliki kekuatan sangat hebat.
Hanya hawa panas yang luar biasa yang bisa memutuskannya. Namun bila kita mengalirkannya, akibatnya kedua kaki Iblis Kaki Seribu bukan hanya melepuh. Tetapi, bisa hangus!" 'Peduli setan! Lakukan!" seru Iblis Kaki Seribu.
"Kau bisa lumpuh!"
"Persetan dengan segala kelumpuhan! Aku akan mencoba mengalirkan tenaga dalamku untuk menahannya! Ayo, mengapa kalian jadi ragu"! Apakah kalian menginginkan aku selamanya terjerat oleh benang-benang keparat ini"!"
"Aku sangsi, apakah kau bisa bertahan?"
"Sialan! Kenapa kalian jadi banyak omong begitu, hah"!" maki Iblis Kaki Seribu geram.
"Lakukan apa yang menurut kalian baik. Dan aku yakin bisa tertahan." Iblis Baju Sutera memandang Ibis Tangan Dewa.
Lalu seperti disepakati, Iblis Tangan Dewa memegang kedua kaki Iblis Kaki Seribu yang terlibt jerat-jerat halus itu.
Sementara, Iblis Baju Sutera sendiri duduk di belakangnya dengan kedua tangan menempel di punggung Iblis Tangan Dewa. Perlahan-lahan Iblis Baju Sutera mengalirkan hawa panas dari tubuhnya dengan tenaga dalam melalui punggung Iblis T angan Dewa sebagai perantara. Sementara Iblis Tangan Dewa begitu merasakan panas menyengat tubuhnya, segera mengalirkannya pada kaki Iblis Kaki Seribu.
Iblis Kaki Seribu sendiri mencoba menutup aliran hawa panas itu agar tidak terlalu menyengat dengan tenaga dalam. Namun tak urung, dia pun menjerit keras karena tekanan hawa panas sangat luar biasa! Ketiganya bagai berjuang keras saling bahumembahu. Dalam waktu tiga kali penanakan nasi, jerat-jerat alot itu mulai putus satu persatu! Hingga akhirnya terlepas semua.
Tak lama, Iblis Kaki Seribu sudah jatuh pingsan dengan kedua kaki hangus.

***

¦¦¦[ 6 ]¦¦¦

Senja semakin menurun ketika Asti tiba di sebuah lembah yang terjal.
Kengeriannya menjadi-jadi. Bukan hanya karena tak tahu harus menempuh jalan yang mana, tapi juga karena lembah curam penuh batu itu sangat berbahaya. Kabut tebal menghalangi pandangannya ke depan. Apalagi senja kian merayap gelap.
"Oh, Gusti Allah.... Apakah aku harus mati di sini?" desisnya kecut.
Entah kenapa bayangan puluhan ular melata melintas di benaknya. Seolah hewan-hewan menjijikkan itu siap menantinya bila si gadis nekat menuruni lembah itu.
Belum lagi dengan batu-batu tajam yang akan semakin menggores telapak kakinya.
Alas kaki yang dikenakanya saja sudah sobek bagian depan. Pada jari-jarinya terasa perih.
"Tidak...! Aku harus bertahaa Harus! Lebih baik dipatuk ular daripada berada terus-menerus bersama Walengkeng. Manusia itu bukan hanya mengerikan sekarang. Tetapi aku yakin dia mempunyai niat busuk padaku."Asti mulai melangkah ke depan. Dia berusaha menerobos kabut yang tebal. Namun baru sekali kakinya melangkah. tubuhnya sudah terperosok.
"Oh!" Masih sempat tangannya menyambar sebuah batu hingga tubuhnya tidak jatuh. Lalu dengan mengerahkan sisa tenaga nya, tubuhnya dibawa ke atas. Kedua tangannya menjadi lecet.
"Apakah ada lubang di depanku?" desahnya cemas.
"Atau..., ada sebuah jurang yang menganga" Oh, Gusti...! Apa yang harus kulakukan sekarang?" Tanpa sadar Asti jatuh terduduk. Dan pikiran si gadis jadi kacau hingga akhirnya menangis. Keletihan dan rasa sakit pada kaki yang mendera nya, membuatnya tak sanggup berdiri lagi. Dia semakin menangis, membayangkan dirinya yang tak tahu harus berbuat apa.
Padahal, Asti termasuk gadis tegas. Namun biar bagaimanapun dia hanyalah seorang wanita. Dan tanpa terasa, Asti pun jatuh tertidur di tempat itu.
Pada saat yang sama, satu sosok tubuh tiba di sana. Sosok yang ternyata pemuda tampan berbaju hijau pupus terkejut melihatnya.
Diperiksanya tubuh gadis itu dengan seksama. Sesaat terdengar helaan napasnya.
Lalu diangkatnya untukdibawa ke tempat aman, yang mampu menahan angin dingin.
Perlahan-lahan matahari di timur sana muncul.
Sinarnya bagai gumpalan emas menerangi seisi alam.
Lembah yang kalau malam sangat mengerikan itu, kini pun diterangi cahaya sang Raja Siang yang siap mengedar.
Asti terbangun ketika dirasakannya belai angin sejuk menerpa wajahnya. Telinganya menangkap suara burung menyambut pagi.
"Oh!" desisnya pelan.
Mata si gadis beredar ke sekelilingnya. Baru disadarinya lembah itu begitu hijau. Tetapi menurut ingatannya, kalau tak salah dia berada di tepi lembah.
Karena, tubuhnya hampir terperosok kemarin. Lalu, mengapa kini berada agak jauh dari lembah itu" Bahkan berada di antara pepohonan yang rimbun.
"Apakah aku semalam sewaktu tidur mengigau dan berjalan" Oh! Untung sekali aku tidak berjalan ke arah lembah itu," desah si gadis, bergidik membayangkan apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba Asti teringat lagi akan Walengkeng yang begitu mengerikan. Teringat akan hal itu, tiba-tiba saja dia bergegas bangkit.
"Aku harus segera meninggalkan tempat ini!" gumamnya dengan mata memandang cemas. Namun baru saja hendak melangkah....
"Nah! Sudah bangun rupanya" Hei! Tidurmu nyenyak sekali, ya?" Gadis cantik itu seketika menoleh. Tampak satu sosok tubuh tampan berpakaian hijau pupus sedang melangkah ke arahnya. Di tangannya terdapat beberapa ekor burung yang baru saja diburunya.
Karena saat ini masih dicekam rasa cemas, tanpa sadar Asti segera melarikan diri.
"Hei!" seru pemuda berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor. Memang si pemuda urakan itu yang menemukan Asti saat tertidur kemarin menjelang malam, dan memindahkannya di tempat aman. Andika yang masih mencari orang kejam yang berjuluk Manusia Laba-laba tak sengaja tiba di lembah itu kemarin.
Dan sekarang Pendekar Slebor melihat Asti lari bagai melihat setan. Hanya sekali lompat dengan pencalan satu kaki, Pendekar Slebor sudah melesat dan hinggap di depan gadis itu.
Asti tersentak. Wajahnya bertambah pucat. Sepasang matanya yang bagus bergerak liar bagai kelinci terjebak oleh ular yang siap memangsa.
"Hei, tenang dong! Aku bukan setan. Apa tampangku yang ganteng ini persis setan?" ujar Andika.
Asti mundur dua langkah dengan hati kebat-kebit.
"Si.., siapa kau?" Andika tersenyum.
"Nah, begitu lebih baik" Masa' sih sudah kutolong main kabur saja! Kau lihat sendiri bukan, kedua kakiku menginjak tanah" Berarti, aku bukan setan. Sudahlah, tidak usah takut padaku. Namaku Andika.... . . . . Kau sendiri siapa?" Asti tak segera menjawab. Keningnya berkerut memikirkan siapa pemuda yang berada di hadapannya ini"
"Bingung, ya. Kalau bingung pegangan. Nanti jatuh, lho!" goda Andika, mulai timbul sifat urakannya.
Melihat hal itu, Asti yang pada dasarnya memiliki sifat riang jadi tertawa.
"Siapa namamu?" ulang si pemuda.
Naluri gadis itu mengatakan, pemuda gagah namun sikapnya seperti urakan ini bukanlah orang ja-hat.
"Namaku..., Asti," sahut si gadis, mulai reda rasa takutnya."Asti.... Nama yang cocok. Kau pasti belum makan, ya" Bagaimana kalau daging burung ini buat menyumpal perut?" Sambil berkata, alis mata sayap elang Pendekar Slebor terungkit-ungkit.
Asti yang memang sejak tadi kelaparan terpancing untuk mengiyakan. Tentu saja tawaran itu tak ingin dilewatkan.

***

Meskipun sudah akrab, namun kecurigaan pada Andika masih singgah di hati Asti. Apalagi ketika Andika bertanya tentang keberadaannya di sini.
Sejenak Asti menghentikan makannya. Janganjangan, pemuda ini adalah orang suruhan Walengkeng untuk membujuknya" Begitu hati cemasnya berkata.
Andika menyadari kalau gadis itu masih mencurigainya.
"E-e! Jangan curiga begitu, dong" Apakah semua orang di dunia ini berhati jahat?" cetus Andika.
"Bukan begitu, hanya tak ingin mengalami peristiwa mengerikan untuk kedua kalinya," sahut gadis itu sambil menatap Andika tajam.
"Peristiwa apa?"
"Aku tidak tahu, mengapa kau berada di sini. Yang pasti, aku tengah melarikan diri dari Walengkeng?"
"Siapa Walengkeng" Aneh betul, namanya" Dan kenapa kau melarikan diri darinya?" Asti mulai terpancing oleh pertanyaan Andika "Walengkeng dulu pengurus kuda di rumahku.
Desa Wanasari. Tetapi lima tahun yang lalu, dia diberhentikan oleh ayahku karena ternyata berbuat tak senonoh padaku. Bahkan dia pun menyintaiku. Sungguh tak bisa kubayangkan bila dia menjadi suamiku kelak. Dan aku berterima kasih pada Ayah yang memecatnya.
Lalu tahu-tahu, aku sudah berada di hutan sebelah timur sana bersama Walengkeng.
Meskipun ketakutan bersamanya, namun aku masih mencoba untuk bertahan. Hanya saja, dia mengatakan kalau kedua orangtuaku sudah mati dibunuh oleh seseorang yang tak dikenal. Namun, dia melarangku untuk kembali ke Desa Wanasari sampai aku pernah mencoba untuk melarikan diri Dan...."
"Sudahlah, Asti.... Kedua orangtuamu memang sudah meninggal. Manusia yang...."
"Hei" Bagaimana kau tahu siapa aku?" desis Asti heran, seperti baru sadar kalau dijebak Andika.
Andika cuma tersenyum. Diceritakannya apa yang diketahuinya. Dan perlahan-lahan dia melihat bagaimana gadis itu menundukkan kepalanya dengan napas tersendat. Butiran air mata mengalir Iembut di pipi halusnya."Semuanya sudah terjadi, Asti. Dan kau harus merelakan kepergian kedua orang tuamu. Karena walau kau menangis sambil nungging pun, kedua orang tuamu tak akan kembali." Mendengar kata-kata Andika, gadis itu menghentikan tangisnya.
"Aku mengerti, Kang Andika." Andika memegang tangan putri Karna Wijaya dengan lembut.
"Ceritakanlah apa yang terjadi kemudian," ujarnya kemudian.
Asti pun menceritakan seluruh yang dialaminya.
Setelah selesai bercerita, Andika mengangguk-ang-gukkan kepala dengan tangan terkepal.
"Kau yakin orang-orang itu mengatakan dirinya sisa dari anggota Sembilan Iblis?" Asti mengangguk.
"Kalau begitu, lawan yang kita hadapi bukan hanya orang yang berjuluk Manusia Laba-laba. Tetapi, juga manusia-manusia dari anggota Sembilan Iblis itu."
"Siapa mereka sebenarnya?" tanya Asti kini mulai merasa akrab dengan pemuda di hadapannya. Andika pun menceritakan apa yang terjadi beberapa bulan yang lalu.
"Dan aku yakin, mereka muncul kembali untuk menuntut balas terhadapku," gumamnya di akhir cerita.
Gadis itu terdiam. Matanya menatap nanar pada Andika.
"Siapakah sebenarnya Kang Andika ini?" Andika nyengir.
"Aku ya aku. Asti, lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Aku merasa kau lebih aman bila sudah bersama-sama Banowo. Karena, di sana akan ada yang menjagamu."
"Lalu Kang Andika hendak ke mana?"
"Aku ingin tahu, siapa orang yang berjuluk Manusia Laba-laba itu. Juga menuntaskan urusan lama dengan anggota Sembilan Iblis."
"Kang Andika.... Apakah Walengkeng..., ah! Tidak.
Aku hanya mau mengatakan tentang perubahan matanya yang memerah itu. Bukankah seekor laba-laba bermata merah?" Andika tersenyum.
"Aku pun memikirkan hal itu.
Tetapi. aku belum bisa memutuskan bila belum melihatnya sendiri, meskipun menurut cerita dia mendadak memiliki kehebatan tinggi. Sudahlah....
Lebih baik, kau mandi saja dulu. Nanti baru kuantar kau ke Desa Wanasari." Tak lama kemudian putri almarhum Juragan Karna Wijaya itu sudah selesai mandi. Andika berdecak kagum melihat wajah dan tubuh Asti yang kembali segar itu.
Rambutnya yang masih basah bagai mengeluarkan bau wangi segar. Berarti, dia memang selalu merawat rambut dan seluruh tubuhnya.
"Kenapa menatapku seperti itu, Kang Andika?" tanya Asti sambil menggerakkan tangannya ke rambut.
Sebenarnya si gadis agak risih dipandang dengan tatapan seperti itu. Apalagi seolah baru menyadari, kalau wajah di hadapannya ini begitu tampan meskipun matanya yang seperti mata elang itu terkadang bersinar jenaka.
Andika nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Malu tertangkap basah seperti itu.
"Kalau kau tidak mau dilihat, colok saja kedua mataku ini," kata Pendekar Slebor seenaknya.
"Tetapi, apakah kau tidak sayang bila wajahmu yang cantik itu tak ada yang menikmati?" Asti mendengus.
"Tetapi tidak boleh pemuda konyol sepertimu!" Andika tertawa.
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera berangkat menuju Desa Wanasari. Di tempat yang kau kenal, kau bisa meneruskan perjalanan sendiri. Aku tak bisa mengantarmu sampai ke Desa Wanasari. Karena, aku akan tetap memburu Manusia Laba-laba yang kukhawatirkan akan menurunkan tangan telengas pada siapa pun juga." Gadis itu tak berkata apa-apa. Tubuhnya berbalik dan melangkah. Justru Andika yang memberengut.
"Brengsek! Jadi geregetan aku melihatnya!" Lalu si pemuda pun menyusul Asti yang sudah sepuluh tombak berada di depan. Dan langkahnya berubah menjadi kelebatan cepat ketika...
"Aaaakhhhh!"

***

¦¦¦[ 7 ]¦¦¦

Sekali kelebat saja, Andika sudah berada di depan Asti. Si. pemuda tak perlu mendapatkan penjelasan lagi, apa yang menyebabkan gadis itu menjerit. Karena di depannya, tiga sosok berwajah sangar berdiri dengan tatapan liar.
"Wah, wah...! Kok, kalian sudah berada di sini" Apa kabar. Kuharap kalian baik-baik saja.
Demikian pula aku. Berkat lindungan-Nya, aku...."
"Diaammm...!" bentak salah satu penghadang memenggal ocehan Pendekar Slebor yang ngalor-ngidul. Asti yang ketakutan memegang tangan Pendekar Slebor erat-erat. Matanya melirik cemas, karena melihat sikap Andika yang begitu santai. Gadis ini mengenali orang-orang ini, yang sebelumnya bertarung dengan Walengkeng. Ketiga orang yang muncul memang Iblis Baju Sutera, Iblis Tangan Dewa, dan Iblis Kaki Seribu. Setelah menguburkan mayat Iblis Rembulan, mereka pun bergerak menyusul Manusia Laba-laba. Dan yang mengejutkan sekaligus menggembirakan, mereka menemukan Asti yang mengkerut di samping Pendekar Slebor.
"Hhh! Ajal sudah ada di depan matamu, Pendekar Slebor! Jadi jangan ngoceh macammacam!" desis Iblis Baju Sutera.
"Nah, ini aku suka dengan kalian," gumam Pendekar Slebor.
"Jangan main-main dengan kami, Pendekar Slebor! Kau pikir kami akan begitu saja melupakan dirimu"!" timpal Iblis Tangan Dewa.
Mata lelaki ini menajam, menusuk masuk mata Andika. Terdengar geramnya. Dan tahu-tahu.....
Iblis Tangan Dewa sudah membuka jurusnya.
"Hei, apa aku salah bicara?" lonjak Andika.
"Masa bodoh! Yang penting kau harus dilenyapkan!"
"Sontoloyo! Baru bertemu lagi, kau sudah bisa memastikan kalau aku bisa dienyahkan?" Andika mendelik sejadi-jadinya jangan katakan hatinya tidak sewot.
"Sini kau!" Andika melambaikan tangannya. Lagaknya tak bedanya aki jompo yang berniat menjewer telinga cucu nakalnya."Heaaa...!" Iblis Tangan Dewa menerjang. Tangan kanan dan kirinya bergerak cepat.
Bed! Bed! Bed! .
Bunyi kibasan kencang tercipta. Dengan amat bernafsu, Iblis Tangan Dewa hendak membelah batok kepala Pendekar Slebor saat itu juga. Andika menyambutnya dengan gerakan melompat ke samping. Lalu dengan pencalan satu kaki, dia melompat sambil menyambar tubuh Asti begitu cepat. Si gadis berteriak ketakutan, karena tahu-tahu mendapatkan dirinya berada di bawah sebuah pohon. Seketika dipegangnya beberapa ranting pohon erat-erat dengan mata terpejam. Sementara, tubuh Andika sudah meluruk ke tanah kembali.
Dan begitu Pendekar Slebor hinggap di tanah, kali ini Iblis Baju Sutera yang menyerang dahsyat. Tangannya mengibas, maka angin hebat meluruk. Andika memiringkan tubuhnya, membuat angin itu melesat di sisinya.
Drakk! Sebuah pohon langsung tumbang termakan angin serangan Iblis Baju Sutera. Dahan bagian yang terhantam hancur. Pecahannya berpentalan.
"Nah! 'Kan luput" Kubilang juga apa...," gumam Pendekar Slebor.
Sementara Iblis Kaki Seribu yang terduduk hanya bisa memandang gusar. Dia merasa benci pada diri sendiri karena tak bisa turun tangan untuk membantu kedua sahabatnya. Sepasang kakinya untuk sementara tak bisa digunakan, akibat hawa panas yang dialirkan Iblis Baju Sutera dan Iblis Tangan Dewa ketika menolongnya memutuskan jerat alot dari Manusia Laba-laba.
Iblis Kaki Seribu makin muak. Karena di saat lawan yang dicari selama ini berada di hadapannya, justru dia tak mampu berbuat apa-apa selain memperhatikan dengan rasa geram. Kedua tangannya terkepal karena gatal untuk menghajar Pendekar Slebor yang tampak tenang-tenang saja.
"Heaa...!"
"Heaaa...!" Para lawan makin kalap. Mereka mulai menyerang dari segala penjuru.
"Hea hea heaaaa...!" Andika menimpalinya kendati merasa kesulitan untuk meloloskan diri. Teriakannya malah tak ada juntrungan sama sekali.
Beberapa ekor burung di atas sebuah pohon kontan beterbangan kalang kabur.
Mungkin menyangka teriakan itu adalah angin ribut.
Pada saat yang sama, Iblis Baju Sutera tiba-tiba membentuk pusaran kuat sekali.
Sementara Iblis Tangan Dewa meluruk dengan pukulan-pukulan maut yang mematikan. Namun begitu kedua lawan berada di udara dengan serangan yang tinggal sejengkal lagi, pemuda itu mengenyalikan diri ke sisi kanan. Sebelah kakinya terangkat tinggi menuju Iblis Baju Sutera.
Duk! Masih di udara. Iblis Baju Sutera merasakan kantong menyannya nyeri hingga ke perut. Dia merasa teramat mual sekaligus sesak. Dan dalam keadaan itu membuatnya tak mampu bertahan lagi.
Brukk! Tubuh lelaki itu jatuh berdebam menghantam tanah.
"Hati-hati nyusruk!" ejek Pendekar Slebor.
Buru-buru Iblis Baju Sutera bangkit. Meski masih merunduk-runduk sambil memegangi kantong menyannya yang terasa hendak pecah.
dia bersikeras untuk menyerang kembali Iblis Tangan Dewa yang melihat Pendekar Slebor bisa menjatuhkan Iblis Baju Sutera dalam sekali gebrak jadi terkejut. Hati kecilnya, dia mengagumi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan yang begitu mudah menyongsong serangan. Namun di sisi lain dia bertekad untuk melenyapkan si pemuda. Maka pada saat menyerang, tenaganya segera ditambah berpuluh kali lipat.
"Jangan gegabah! Temanmu saja belum berhasil menjatuhkan aku!" cemooh Pendekar Slebor. Mangkel juga Andika menghadapi orang keras kepala seperti itu.
Padahal, dia sendiri biangnya keras kepala.
Wuuttt! Membabi buta serangan Iblis Tangan Dewa melesat ke arah Andika. Arahnya ke seluruh jaringan tubuh si pemuda urakan.
Namun Pendekar Slebor berkelit enteng. Maka tak bisa tertahan lagi karena dorongan tenaganya sendiri, akibatnya serangan maut Iblis Tangan Dewa justru menghajar telak tubuh Iblis Baju Sutera yang pada saat itu pula tengah membokong Andika. Desss! "Aaakhhhh!" Tubuh Iblis Baju Sutera seketika terlontar deras ke belakang, langsung menghantam sebuah pohon besar hingga tumbang. Saat itu juga nyawa Iblis Baju Sutera melayang dengan tulang iga patah tiga buah. Darah tampak mengalir dari mulut dan hidungnya.
"Apa kubilang" Kenapa kau begitu tega membunuh teman sendiri?" kata Andika, membuat Iblis Tangan Dewa kalap bukan main.
"Setan alas! Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" bentak Iblis Tangan Dewa.
"Lho" Kenapa jadi sewot begitu" Bukankah kau sendiri yang membunuh temanmu?" Rahang Iblis Tangan Dewa mengatup. Matanya memancarkan sinar dendam dan berbahaya. Namun kini semangatnya kendor sudah.
Berdua saja, mereka tak mampu menghadapi Pendekar Slebor. Apalagi kini sendirian. Apalagi, Iblis Kaki Seribu tak dapat membantu.
"Lain kali kita akan berjumpa lagi, Pendekar Slebor!" desis Iblis Tangan Dewa yang sudah putus nyalinya.
Lalu dengan perlahan lelaki ini menghampiri Iblis Kaki Seribu yang juga menggeram marah. Diangkatnya tubuh sahabatnya itu.
"Ingat, kita akan bertemu lagi!" ulang Iblis Tangan Dewa.
"Terima kasih....
Ternyata kau masih menyukaiku.
Jangan lupa kalau bertemu lagi bawa oleh-oleh. Ikan mujair kesenanganku!" sahut Pendekar Slebor, sambil mengiringi kepergian Iblis Tangan Dewa yang membawa Iblis Kaki Seribu, lewat sorot matanya.
Namun Andika teringat sesuatu.
"Hei" Kenapa mayat manusia jelek itu tidak kau bawa"!" seru Andika tiba-tiba.
Tetapi tubuh kedua manusia sesat itu telah hilang dari pandangannya.
Kini Pendekar Slebor berniat menurunkan Asti. Dia cepat melompat ke atas pohon tempat Asti bersembunyi.
Dan wajahnya seketika kelam dengan mata terbelalak.
Karena, Asti tak ada di tempatnya! "Alamak...!" Andika jadi bingung bukan main. Bagaimana gadis itu lenyap begitu cepat. Asti sama sekali tak memiliki kepandaian silat. Apalagi ilmu meringankan tubuh. Lalu ke mana perginya gadis itu?" desisnya tak mengerti.
Diperhatikannya sekelilingnya, namun tak ada tanda-tanda di mana Asti berada.
Andika melompat turun.
"Apakah dia terjatuh dari dahan itu" Ah! Kalau terjatuh, pasti masih berada di sekitar sini. Tetapi sekarang, mengapa tidak ada?" Andika berpikir keras untuk memecahkan teka-teki itu.
"Pasti ada seseorang yang membawanya. Siapa dia" Ilmunya begitu tinggi karena aku tak mendengar gerakan apa-apa yang dilakukannya." Ketika tiba pada satu kesimpulan, Andika melompat lagi ke dahan pohon itu. Diperhatikannya dengan seksama.
"Benar dugaanku. Pasti Manusia Laba-laba yang membawanya pergi," gumam si pemuda sambil mera-ba dahan pohon. Di situ dia menemukan jerat halus yang alot.
"Hhh! Manusia keparat! Kau tak akan bisa melarikan diri dari tanganku!" Setelah mengira-ngira, Andika memutuskan untuk mengejar ke arah utara.

***

Saat itu, Asti memang kembali berada di tangan Walengkeng alias Manusia Laba-laba.
Ketika Andika tengah berhadapan dengan tiga dari Sembilan Iblis, Manusia Labalaba diam-diam telah berada di tempat itu. Dan ketika Asti ditempatkan di tempat aman, lelaki berwajah menyeramkan itu tersenyum licik. Baru saat Pendekar Slebor bertarung, Manusia Laba-laba menyergap Asti.
Ketika mendengar Iblis Baju Sutera meneriakkan nama 'Pendekar Slebor', Walengkeng alias Manusia Laba-laba menggeram. Namun sejurus kemudian bibirnya tersenyum dingin. Dia merasa lebih baik pemuda itu mampus di tangan iblis-iblis itu! Sementara, dia sendiri mengurus putri Karna Wijaya.
Maka ketika pertarungan berlangsung Manusia Laba-laba membawa Asti yang langsung ditotok hingga tak mampu bergerak dan bersuara. Sraatt! "Oh, Tuhan! Walengkeng! Mengapa kau membawaku ke sini?" seru Asti begitu Walengkeng membuka totokannya. Saat ini mereka berada di utara hutan tempat Pendekar Slebor bertarung. Tepatnya di sebuah gua.
Walengkeng mendengus.
"Diaaam!" bentaknya keras, membuat batu-batu di atas gua itu berguguran.
Semetara aliran darah Asti bagai terhenti seketika.
"Sudah beberapa hari ini aku bersabar terhadap sikapmu, Asti. Namun sikapmu tetap tidak membuatku senang." Tetapi..., aku. .," desis gadis itu takut-takut Kali ini si gadis yakin kalau Walengkeng bermaksud jahat. Jantungnya bagai berhenti berdetak ketika melihat tatapan Walengkeng yang semerah darah.
"Aku ingin kembali ke Desa Wanasari, Walengkeng."
"Persetan dengan permintaanmu itu, Asti! Sekarang dengar baik-baik! Aku menginginkan kau menjadi istriku! Saat ini juga kau harus menjawabnya!"
"Oh!" keluh gadis itu.
"Kali ini jantungnya terasa bagai diremas oleh tangan keras.
"Aku tak suka membuang waktu sekarang! Kau harus menjawabnya, Asti...
" Wajah pucat gadis itu nampak sekali.
"Walengkeng..., aku. ., aku. . "
"Kau harus menjawabnya iya, Asti!"
"Tetapi...."
"Setan!" Plak! Si gadis menjerit ketika tamparan keras Walengkeng menerpa pipinya hingga seketika memerah.
Kepalanya bergoyang, dan mendadak menjadi pusing dengan mata nanar.
Mata Walengkeng semakin memerah. Bibirnya menyeringai, membuat wajahnya semakin mengerikan.
Tangannya terjulur, membuat Asti menjerit ketakutan.
Tetapi tangan itu telah mencengkeram tangan si gadis yang merasa bagai dijepit sebuah tang.
"Perlu kau ketahui, Asti... Selama lima tahun aku berada dalam keadaan tidak tenang dan rindu berbalur dendam. Hari ini, kau tak akan pernah bisa kubiarkan untuk melarikan diri dari tanganku." 'Walengkeng..., aku.. . ."
"Kau harus menjawab 'iya', Asti. Aku tak mau mendengar kata 'tidak' dalam hidupku. Terlebih lagi, dengan keinginanku yang satu itu!" Bret! "Ogghhhkhhh!" Pakaian di bagian dada Asti robek ketika Walengkeng menggerakkan tangannya. Manusia bertampang setan itu terbahak-bahak begitu melihat dua bukit berkulit halus di dada Asti. Dia menjilat ludahnya sendiri, membuat gadis itu bertambah ketakutan.
Sebelah tangannya mencoba menutupi dadanya yang menjulang indah. Dalam keadaan seperti ini, ingin rasanya gadis itu mati mendadak. Bisa dibayangkan apa yang akan dialaminya. Dan yang semakin membuatnya sadar, Walengkeng bukanlah orang baik-baik. Terbukti dengan perlakuannya yang mengerikan seperti ini.
"Oh, Tuhan.... Apakah aku akan mengalami sesuatu yang menakutkan?" desah si gadis dengan rasa takut luar biasa.
"Kang Andika.... Tolong aku.. , to-long...
" Sambil terbahak-bahak Walengkeng menarik tangan kiri Asti yang menutupi buah dadanya. Kini lelaki itu terbahak-bahak ketika pemandangan yang tak tertutupi apa-apa terpampang di matanya bulat-bulat.
"Menyenangkan....
Sangat menyenangkan sekali...."Tangan kasar Manusia Laba-laba bersiap merobek kain yang dikenakan AstL Tetapi baru saja hehdak melakukannya, tiba-tiba....
Tak! "Aaakh!" Sebuah kerikil menerpa tangan Manusia Laba-laba dengan kuat. Seketika, lelaki ini berdiri setelah melempar tubuh Asti yang menangis ketakutan. Tatapannya geram penuh kemarahan. Tubuhnya sampai bergetar hebat.
Sementara Asti yang bagai terlepas dari kungkungan mengerikan, beringsut ke sudut gua. Kedua tangannya menutup bagian dadanya yang berbentuk indah.
"Manusia yang mau mampus! Berani lancang terhadap Manusia Laba-laba!" dengus Walengkeng hingga batu-batu gua itu berguguran. Sejurus kemudian tubuh Manusia Laba-laba berkelebat keluar dengan makian panjang.

***

¦¦¦[ 8 ]¦¦¦

Satu tubuh ramping berompi merah berdiri di hadapan Manusia Laba-laba dengan tatapan merah. Wajah cantik memancarkan sinar dingin.
"Manusia setan! Kau harus mampus untuk menebus dosa-dosamu pada paman guruku!" bentak sosok ramping.
Walengkeng alias Manusia Laba-laba mendelik begitu melihat siapa yang mengganggu keinginannya.
"Larasati! Kalau waktu itu kau masih bisa diselamatkan oleh Penghulu Segala Ilmu, sekarang tak akan bisa melarikan diri lagi!"
"Manusia hina! Bila kau tak berbuat curang, kau tak akan bisa mengalahkan Penghulu Segala Ilmu!" sahut sosok ramping yang temyata Larasati.
Walengkeng terbahak-bahak, "Kuakui, memang sangat sulit untuk mengalahkan Penghulu Segala Ilmu! Namun hatinya terlalu lemah. Sehingga dia sangat mudah dibodohi! Tetapi yang perlu kau ketahui, siapa pun boleh berbuat apa saja untuk menang!"
"Dasar iblis! Penghulu Segala Ilmu karena kebijaksanaannya mau mengulurkan tangan baiknya kepadamu. Namun kau memanfaatkannya secara kurang ajar. Dosa-dosamu tak akan terampuni! Kau telah membunuh Juragan Karna Wijaya dan istrinya! Juga, menculik putri mereka...."
"Peduli setan dengan semuanya! Itu adalah urusanku, Larasati! Kau tak usah ikut campur dalam urusanku!"
"Dengan muka setanmu yang dipoles dengan senyuman, membuat paman guruku bersedia menerimamu bahkan menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya kepadamu! Nyatanya, kau masih memiliki dendam berkobar! Bahkan secara keji kau membunuh paman guruku dengan mempergunakan ajian 'Laba-laba'!" Walengkeng terbahak-bahak mendengar kata-kata Larasati."Sudah kukatakan tadi, berbuat curang itu diha-lalkan bila untuk menang! Dan, apa lagi yang bisa dibutuhkan dari paman gurumu si Jari Sakti itu, hah"! Semuanya sudah kudapatkan. Mau apa lagi" Dan aku pun muak mendengar segala nasihat yang diberikannya kepadaku! Aku tahu, ajian 'Laba-laba' tak ada gunanya di dunia ini!"
"Setan alas! Bukan hanya wajahmu yang bertampang setan. Tetapi, hatimu berhati iblis!"
"Dan kau jangan lupa. Sebentar lagi, nyawamu akan putus!" dengus Walengkeng. Dan tiba-tiba tangannya bergerak.Sratt! Srattt! Jerat-jerat halus meluncur ke arah Larasati. Si gadis cepat berguling menghindar sambil menggerakkan tangannya.
Sing! Sing! Sinar hitam meluncur melalui ilmu 'Jari Sakti' yang dikerahkan Larasati. Namun Walengkeng hanya terbahak-bahak. Dan dengan enaknya dia menghindari serangan.
Tubuhnya dienyahkan ke samping klri. Akibatnya, dinding gua tempat Asti berada, gompal di bagian atas, terhantam sinar-sinar itu. Di dalamnya, Asti yang tengah meringkuk ketakutan merasa tubuhnya bagai bergetar.
"Kau tak akan mampu mengalahkan aku, Larasati!?"Manusia setan! Kau mempergunakan ajian 'Laba-laba yang diajarkan paman guruku untuk tindakan keji!" dengus gadis berompi merah itu dan terus mencecar Manusia Laba-laba dengan ilmu 'Jari Sakti'-nya.
Tapi, Manusia Laba-laba yang memang juga mendalami ilmu itu sudah tentu tahu, bagaimana cara mengelak dan sekaligus melumpuhkan. Maka hanya dalam dua jurus berikutnya, Larasati kjni terdesak hebat. Gadis itu pontang-panting dicecar Walengkeng yang mengerahkan ilmu 'Laba-laba'. Jerat-jerat halus yang melunc ur itu membuat Larasati tak berkutik untuk bergerak lebih lama.
Sementara, Walengkeng melompat ke sana kemari.
Dalam waktu tak lebih sepuluh tarikan napas, tubuh gadis berompi merah itu s udah berada dalam keadaan telentang di atas jerat halus yang dibuat Walengkeng. Dia meronta-ronta, namun jerat-jerat halus itu bagai mengekang seluruh tubuhnya pada bagian belakang.
"Setan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan!" seru si gadis yang menjunf ai-juntai dalam jerat alot itu.
Walengkeng terbahak-bahak.
"Larasati! Aku adalah seorang laki-laki bijaksana.
Makanya, kubiarkan kau hidup dalam jerat laba-laba yang kumiliki itu!"
"Setan alas!" maki Larasati dengan wajah pucat.
Gadis ini mengerti, apa yang dimaksud Walengkeng. Dengan membiarkannya telentang tak berdaya dalam jerat itu, berarti membunuh secara perlahan.Karena tubuhnya yang terus-menerus berada dalam jerat tak akan mampu berbuat apa-apa.
Walengkeng hanya terbahak-bahak.
Lalu tangannya membuat jaring serupa, namun berada da? lam jarak tiga tombak di atas tubuh Larasati.
Larasati, tahu apa arti jaring laba-laba di atasnya.
Bila ada yang menolongnya, maka jaring itu akan segera mengurungnya berikut si penolong.
"Nikmatilah kematianmu itu, Larasati! Percayalah! Aku tetaplah orang bijaksana," kata Manusia Laba-laba sambil mendekati Larasati.
Ditotoknya urat suara Larasati, hingga gadis itu mendelik tanpa bisa bersuara.
Sambil terbahak-bahak Walengkeng berkelebat masuk ke dalam gua. Asti yang masih menangis tak mampu berbuat apa-apa.
Keinginannya tadi untuk melarikan diri selagi Walengkeng bertarung, seolah mampus. Karena saking takutnya, kedua kakinya bagai tak mampu digerakkan.
"Tempat ini tak nyaman lagi untuk berbulan madu, Asti. Lebih baik kita cari tempat yang lebih nyaman," oceh Walengkeng.
"Lepaskan aku, Walengkeng... Lepaskan aku...," desis Asti lemah.
Si gadis sudah putus asa sekarang. Apalagi ketika tadi mendengar seruan dari gadis yang membentak Walengkeng. Batinnya menjerit.
"Oh.... GustL..! Apakah manusia bertampang setan ini yang membunuh kedua orangtuaku?" Walengkeng menggeleng dengan tatapan tajam.
"Lima tahun aku menunggu kesempatan seperti ini. Sudah tentu aku tak akan menyia-nyiakannya." Manusia Laba-laba lantas mengangkat tubuh Asti.
Dan si gadis bagai telah kehilangan seluruh tenaganya.
Ketakutannya semakin membesar, namun tak mampu berbuat apa-apa ketika Walengkeng membawanya pergi.
Kejap berikutnya, Asti jatuh pingsan ketika angin keras bagai menampar tubuhnya saat Walenkeng berkelebat.

***

Pendekar Slebor jengkel bukan main ketika tiba di sebuah hutan kecil. Kepalanya benar-benar dibuat pusing menghadapi masalah seperti ini. Karena, lawan sekalipun belum pernah dilihatnya. Apalagi yang membingungkannya sekarang, keadaan putiri almarhum Juragan Karna Wijaya.
"Hhh! Ke mana kutu kuprel itu membawa Asti pergi!" keluh Pendekar Slebor dengan tangan terkepal.
Otak seencer bubur di kepala Andika benar-benar dipaksa harus memecahkan teka-teki itu seorang diri.
Meskipun Larasati sudah menceritakan tentang Manusia Laba-laba lengkap dengan ciri-cirinya, namun sampai saat ini si pemuda urakan ini belum pernah sekali pun berjumpa.
"Aku tak boleh membuang waktu! Keselamatan Asti-lah yang utama. Apalagi Manusia Laba-laba itu memang hendak memaksakan niat busuk padanya. Karena, dialah yang membunuh Juragan Karna Wijaya dan istrinya! Setan betul!" Lalu pendekar pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu pun berkelebat cepat. Gerakannya secepat angin, hingga yang terlihat hanya kelebatan warna hijau saja.
Ketika Pendekar Slebor tiba di depan gua tempat Asti dan Manusia Laba-laba sebelumnya berada, keningnya berkerut, melihat sosok Larasati sedang telentang di sebuah jaring laba-laba.
"Wah, wah! Orang susah-susah mencari Manusia Laba-laba, kau asyik bermain ayunan"!" seloroh Pendekar Slebor sambil mendekati Larasati.
Si gadis hanya mendelik. Mulutnya mengeluarkan suara keluhan, membuat Andika tertawa.
"Kau ini ngomong apa sin?" goda si pemuda.
Larasati makin melotot. Lalu kepalanya bergerakgerak mencoba memberi tahu Pendekar Slebor kalau bahaya mengancam.
Andika tertawa melihatnya.
"Ah, jangan bercanda. Jangan pura-pura gagu. Aku tahu kau tertotok. Tetapi, bagaimana caranya membebaskan totokanmu" Karena jarak kau denganku cukup jauh. Dan aku yakin, bila aku menyentuh jaring laba-laba ini maka akan menempel di tubuhku. Hmm..., aku tahu sekarang. Hei" Kau bersiap.... Aku akan melepaskan totokanmu itu!" Mata Larasati masih melotot sambil menggerakgerakkan kepalanya. Dia menjadi gemas sendiri karena tak bisa mengatakan bahaya yang mengancam bila Andika menyelamatkannya. Si gadis tahu apa yang hendak dilakukan Andika. Tentunya si pemuda akan melompati jaring laba-laba itu dan membebaskan totokannya.
Tentunya cara membebaskan totokan seperti itu haruslah oleh orang yang sangat ahli. Karena, totokan itu harus bisa tepat mengenai urat yang tertotok.
"Ahhg..., auggkk. .
" Gadis berompi merah itu masih berusaha menyadarkan Andika kalau bahaya tengah mengancam. Tetapi pemuda itu seperti tak mengetahui apa yang dimaksudkan oleh Larasati. Bahkan cengengesan saja.
"Bersiaplah!" desisnya.
Mata Larasati melotot, masih berusaha memberitahukan Andika kalau jaring laba-laba di atas tubuhnya akan segera menerkam.
Tetapi tubuh Pendekar Slebor sudah bergerak.
Lalu....
"Hup!" Dengan pencalan satu kaki Andika melompat cepat. Tangannya cepat bergerak.
Tuk! Getaran tenaga dalam yang dilakukan Pendekar Slebor membuat jerat-jerat itu bagai bergetar sejenak. Dan jaring laba-laba yang berada di atas tubuh Larasati jatuh melayang.
"Awaaasss! Kau bisa terjerat, Andika!" seru Larasati begitu totokan pada urat suaranya terlepas.
Dengan tubuh berjingkat sejenak.
Namun di luar dugaan, Andika bukannya meneruskan loncatannya, justru hinggap di sisinya. Maka jaring laba-laba yang alot itu bergoyang. Dan bertepatan dengan jatuhnya jaring laba-laba di atas tubuhnya, Andika mengangkat kedua tangannya.
Hawa panas langsung menebar dari seluruh tubuh Pendekar Slebor. Dan jaring laba-laba yang hinggap di tubuhnya putus satu persatu! "Hhh! Ternyata benar!" desis pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan Dan bukan hanya jaring yang jatuh itu saja yang putus. Jaring yang menjerat tubuh Larasati pun putus.
Tubuh si gadis ambruk ke tanah, sementara Andika melompat cepat.
"Brengsek! maki Larasati yang kini sadar kalau dipermainkan Andika.
Andika tertawa saja. Sebenarnya, ketika menemukan Larasati telentang tak berdaya pada jaring laba-laba itu, Pendekar Slebor sudah melihat jaring laba-laba di atas si gadis. Andika pun teringat apa yang pernah diutarakan Larasati. Menurut Penghulu Segala Ilmu, jaring laba-laba itu hanya bisa diputuskan oleh seseorang yang memiliki tenaga 'inti petir'.
Makanya, Pendekar Slebor pun bermaksud mencobanya. Sambil melompat untuk membebaskan totokan pada diri Larasati, tenaga 'intir petir' tingkat pamungkas telah dirangkum pada kedua tangannya. Lalu seketika hawa panas segera menebar ke seluruh tubuhnya. Dan yang dikatakan Penghulu Segala Ilmu memang benar. Pendekar Slebor bukan hanya mampu memutuskan jaring-jaring halus yang alot itu, bahkan menghancurkannya. Jaring laba-laba yang terkena panas melalui kakinya pun putus, menyebabkan tubuh Larasati ambruk tanpa ampun.
"Kenapa kau bisa berada di sini?" tanya Pendekar Slebor kemudian.
"Brengsek!" Larasati yang masih jengkel karena dipermainkan membentak.
"Usil! Urakan! Kau pikir tubuhku ini nangka bus uk yang bisa dijatuhkan begitu saja"!" lanjutnya geram.
"He he he.... Jatuh, ya" Yah, sekali-kali bolehlah kalau kau mau jadi nangka busuk," oceh Andika.
"Brengsek! Putri Karna Wijaya berada di tangan Walengkeng alias Manusia Laba-laba!" Andika menghentikan tawanya. Dia melengak kaget.
"Ke mana dia membawanya?" tanya Pendekar Slebor.
"Arah timur!"
"Kalau begitu, secepatnya kita harus menuju ke sana! Aku khawatir, akan terjadi apa-apa pada Asti! Larasati! Sebaiknya kau ikut denganku!"
"Buat apa aku berjalan bersama pemuda usilan?" Kali ini Andika mengumpat dalam hati.
"Bukan apa-apa. Terus terang, aku belum pernah melihat wujud Walengkeng alias Manusia Laba-laba. Aku hanya mendengar dari ceritamu saja tentang ciri-cirinya." Meskipun masih jengkel karena dipermainkan, namun Larasati merasa beruntung juga karena Andika muncul di saat yang tepat.
Kalau tidak, dia bisa tergantung sepanjang masa di jaring laba-laba itu dalam keadaan tak berdaya.Tanpa berkata apa-apa, Larasati sudah melesat ke arah timur.
Andika pun segera mengempos tubuhnya, menyusul. Karena dengan begitu, secara tidak langsung Larasati memenuhi permintaannya.

***

¦¦¦[ 9 ]¦¦¦

"Jangan, Walengkeng.... Jangan kau perlakukan itu padaku...," ratap Asti ketakutan. Tubuhnya mengkeret di pembaringan, dalam sebuah gubuk di pinggiran hutan.
"Persetan dengan ucapanmu!" sentak Walengkeng dalam kemarahan memuncak. Lalu tanpa ragu lagi Manusia Laba-laba menggerakkan tangannya, hendak menjamah baju Asti.
"Aku..., aku..., menerima lamaranmu, Walengkeng!" Kata-kata Asti membuat Walengkeng menghentikan gerakan tangannya untuk merobek-robek kembali pakaian si gadis.
Matanya membeliak tak percaya"Kau?" desis lelaki ini terkejut. Lalu tawa keras-nya terumbar, memenuhi ruangan ini.
"Menyenangkan, menyenangkan sekali mendengar kata-katamu itu, Asti." Asti dalam tekanan batin yang menyesakkan, mencoba untuk berpikir waras. Lebih baik dia menerima lamaran Walengkeng lebih dulu daripada mengalami hal yang paling menakutkan dalam hidupnya. Dia berharap, dengan berbuat seperti itu Walengkeng akan mengurungkan niatnya. Sebersit harapan pun terlintas bila suatu saat ada kesempatan untuk melarikan diri. Terutama sekali, kedatangan Pendekar Slebor yang sangat ditunggunya. Namun harapan si gadis hanya tinggal harapan "Aku ingin melihat kesungguhanmu, Asti. Sekarang, bukalah pakaianmu sendiri....
Sementara, aku akan memutuskan jerat laba-laba yang mengikat kaki dan tanganmu." Gemetar, Asti menjamah kancing bajunya. Setitik air bening menggulir di matanya. Tak mampu lagi dia membayangkan apa yang bakal terjadi selan-jutnya.
Namun di saat yang gawat itu....
"Walengkeng! Keluar kau!" Satu bentakan keras membangkitkan kegeraman Walengkeng. Lelaki ini dengan penuh kegeraman bangkit berdiri. Hendak dibelahnya kepala orang usil yang menggagalkan niatnya.
Tiba di luar, Walengkeng mendelik tak percaya melihat Larasati segar bugar. Kalau gadis itu selamat, pasti ada yang menyelamatkannya. Kalau yang menyelamatkan si gadis pun selamat, pasti si penyelamat berilmu amat tinggi. Dan kalau di sisi gadis itu ada seorang pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahu, pasti dialah penyelamatnya. Sekaligus, berilmu amat tinggi.
Sosok yang tak lain Pendekar Slebor.
Bagaimana Pendekar Slebor dan Larasati bisa menemukan Walengkeng" Tak terlalu sulit, memang. Arah yang ditempuh Walengkeng, menurut petunjuk Larasati adalah timur. Ada satu kebodohan yang dimiliki Manusia Laba-laba. Bila bosan berkelebat, Walengkeng menggunakan jeratjeratnya untuk bergayutan dari satu pohon ke pohon lain, tak ubahnya laba-laba yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Dari jerat-jerat yang tertinggal, Pendekar Slebor segera melacaknya. Hingga ketika tiba di pinggir hutan dan mendapatkan sebuah gubuk, telinga tajamnya menangkap suara rintihan. Maka dugaannya makin terbukti.
"O, ini orang yang berjuluk Manusia Laba-laba" Ha ha ha.... Pasti bapakmu kawin dengan onggokonggok, ya?" Sementara Andika yang kini baru pertama kali berjumpa dengan Manusia Laba-laba, membuka mulut usilnya.
"Dan kau yang berjuluk Pendekar Slebor?"
"Terserah kau menyebutku apa." Dalam hati sebenarnya Manusia Laba-laba heran ketika menyadari Larasati berhasil lolos dari jerat-jerat alotnya. Selama ini dia berkeyakinan, tak satu tenaga pun yang akan mampu memutuskan jerat-jeratnya.
Kalaupun mampu, kemungkinan besar akan bahu-membahu dan membutuhkan waktu lama.
"Sialan! Apakah Pendekar Slebor itu yang mampu memutuskan jerat-jerat milikku?" desisnya dalam hati.
Manusia Laba-laba menatap tajam Pendekar Slebor. Namun yang ditatap malah cengengesan tak bermakna.
"Pendekar Slebor! Ternyata kau hanya manusia lancang yang kerjanya mencampuri urusan orang!"
"Alah, jangan banyak lagak lagi, Manusia Laba-laba. Cepat serahkan Asti padaku!" sergah Andika. Hati si pemuda sudah sangat jengkel melihat ulah Manusia Labalaba. Terutama, bila mengingat Asti berada di tangan manusia itu.
"Hhh! Menghancurkan pendekar yang suka ikut campur urusan orang, bukanlah hal yang menyulit-kanbagiku! Larasati! Kalau dua kali perjumpaan kita kau masih hidup, kali ini jangan harap kubiarkan lebih lama hidup!" Sehabis berkata demikian, kedua tangan Manusia Laba-laba mengibas ke arah Larasati dan Pendekar Slebor. Sraat! Sraat! "Hei, jangan sewot dulu, Laba-laba! Kalau kau mau sabar dikit, pasti akan kuberi lalat!" oceh Andika, seraya mendorong tubuh Larasati. Dan mereka segera bergulingan di tanah.
Dalam bergulingannya, Larasati masih sempat mengibaskan tangannya.
Sing! Sing! Dua larik sinar hitam langsung meluruk ke arah Manusia Laba-laba. Namun Walengkeng tak kalah sigap.
Kembali tangannya mengibas. Kali ini dua buah sinar hitam yang sama melesat pula menghantam dua larik sinar yang dilepaskan Larasati.
Duar! Duaaarr! Dua ledakan terdengar keras. Pada saat yang sama, Pendekar Slebor s udah melesat ke depan ke arah Manusia Laba-laba. Akan tetapi.... Srat! Srat! Terpaksa Pendekar Slebor menjatuhkan diri, dan langsung bergulingan cepat ketika jerat-jerat halus kembali dilepaskan Manusia Laba-laba. Selagi Pendekar Slebor bergulingan begitu, Larasati langsung mengirimkan serangannya dengan ilmu 'Jari Sakti'. Sing! Sing! Dua larik sinar hitam dahsyat kembali meluruk ke arah Manusia Laba-laba. Namun sambil terbahak-bahak Walengkeng membuang tubuhnya ke kanan. Akibatnya, dua pohon besar langsung bolong seketika. Dan dengan gerakan menakjubkan, tubuh laki-laki berambut jarang dan bermata merah itu me-ngibaskan tangannya.
Sratt! Sratt! Kalau biasanya jerat-jerat halus itu meluncur, kali ini menebar dan seketika mengurung Larasati.
Si gadis terkejut, melepas pekikan. Bila saja Pendekar Slebor tidak sigap menyambar tubuhnya, bisa dipastikan akan terjerat.
Dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri. Bahkan jerat-jerat halus itu akan mematikan seluruh jalan darahnya.
Namun yang dialami Andika justru menyakitkan.
Karena bertepatan tubuhnya bergerak untuk menyelamatkan Larasati, Manusia Laba-laba sudah meluruk ke arahnya dengan cara merangkak di tanah Begitu cepat gerakannya.
Lalu.... Des! Des! "Aaakh!" Dua kali pukulan telak menghantam punggung Pendekar Slebor. Andika kontan ters uruk ke depan. Untung keseimbangannya masih bisa dikuasai. Ketika tubuhnya sempoyongan, segera dikemposnya untuk melompat dua kali ke muka.
Manusia Laba-laba yang sudah menderu kembali terbahak-bahak.
"Huh.... Rupanya hanya begitu saja kemampuan yang dimiliki Pendekar Slebor!" Begitu merasakan hawa panas yang mengarah kepadanya, Andika membuat gerakan mengejutkan. Masih membopong Larasati, tubuhnya bergerak setengah lingkaran. Maka, pukulan Manusia Laba-laba luput dari sasarannya. Dan begitu Pendekar Slebor bergerak, tubuh Larasati diturunkan. Saat itu juga tubuh si gadis diputarnya, seolah menjadikan sebagai senjata.
Larasati yang mengerti maksud Andika, mengalirkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Lalu.... Buk! Tubuh kurus berwajah mengerikan itu tersuruk ke samping, terhantam kaki si gadis pada bagian punggung.
Ketika tubuhnya berdiri tegak, matanya melotot dengan sorot mata mengerikan.
Rambutnya yang jarang seolah berdiri menandakan kemarahan menggelegak.
Andika sadar, lawan akan berbuat nekat untuk menghancurkan mereka.
"Kau menyingkir dari sini, Laras," ujar Pendekar Slebor.
"Tidak... Aku harus membunuh manusia setan itu."
"Jangan keras kepala, Laras. Ini bukan waktunya untuk bercanda! Kau tahu, tadi aku kewalahan untuk menyelamatkanmu."
"Kau tak usah menyelamatkan aku! Aku bisa mengurus diri sendiri!" Sehabis berkata begitu, gadis keras kepala itu berkelebat ke depan. Gerakannya begitu cepat dengan tubuh mengeluarkan hawa dingin.
"Perempuan slompret!" maki Andika, merasa kehabisan akal.
Tepat ketika Pendekar Slebor berkelebat ke depan, Manusia Laba-laba sambil terbahak-bahak telah meluruk hendak memapak serangan Larasati.
Sraat! Sraat! Andika harus menghentikan gerakan memotongnya terhadap gerakan laju Manusia Laba-laba yang ditujukan pada Larasati. Karena dengan cerdiknya, lelaki itu telah mengirimkan jerat-jerat halusnya. Terpaksa Andika harus membuang tubuhnya. Sementara tubuh Manusia Laba-laba terus meluruk ke arah Larasati.
Plak! Plak! Dua benturan terjadi.
Dalam soal tenaga dalam, sebenarnya Larasati memiliki tingkat kemampuan cukup. Namun lawan yang dihadapinya adalah Manusia Laba-laba yang mampu mengalirkan seluruh tenaga dalam ke urat darahnya sekalipun. Maka tak ampun lagi, tubuh si gadis tersentak ke belakang.
"Laras!" seru Andika.
Pendekar Slebor yang sudah berdiri tegak segera menyambar tubuh Larasati. Dalam dekapannya, si gadis muntah darah dan pingsan.
Melihat hal ini wajah Andika berubah bengis. Tubuhnya bergetar.
"Perbuatanmu benar-benar tak bisa diampuni!"
"Justru aku ingin melihat kehebatanmu, Pendekar Slebor. Dan seluruh rimba persilatan akan tersentak begitu mendengar kau mampus di tangan si Manusia Labalaba!" Andika meletakkan tubuh Larasati. Begitu berdiri tegak, tatapannya memancarkan hawa amarah. Namun dalam keadaan seperti ini, sifat urakan Andika tetap saja tak enyah.
"Heran" Kenapa sih kau mau dijuluki Manusia Laba-laba" Apa karena wajahmu yang jelek itu" Kurasa tidak juga. Karena kupikir, wajahnya cukup mirip kecoa. Ha ha ha...! Mestinya kau berjuluk Manusia, Kecoa. Pantas kepalamu yang gersang itu bau kotoran!"
"Setan keparat!" Manusia Laba-laba mengibaskan kedua tangannya, tepat ketika Andika berhenti mengoceh. Tak ada waktu lagi buat Pendekar Slebor.
Sraat! Sraat! "Ha ha ha...!" Ganti Manusia Laba-laba yang terbahak-bahak ketika melihat Pendekar Slebor terlilit jerat-jerat halusnya.
Kelihatan sekali bagaimana Andika seperti susah bergerak dan bernapas.
"Hanya begitu saja kemampuan yang kau miliki Pendekar Slebor" Nah untuk sementara aku akan menuntaskan urusanku dulu. Kau kutunggu di Bukit Kamparan, Pendekar Slebor. Di sanalah tempat tinggalku yang sebenarnya!" Begitu habis kata-katanya, Manusia Laba-laba langsung berkelebat cepat ke dalam gubuk tempat Asti berada. Setelah menyambar tubuh Asti, dia melompat lewat jendela dan menghilang cepat.
"Kutu kupret! Sapi bangkotan! Aku akan menyusulmu. Heaaa...!" teriak Andika penuh gelegak

***

¦¦¦[ 10 ]¦¦¦

Keheningan Bukit Kamparan yang terlalu tinggi menyambut Andika. Setelah mampu memutuskan jerat-jerat dari Manusia Laba-laba yang membelit tubuhnya dengan tenaga 'inti petir', Pendekar Slebor membawa Larasati ke tempat yang aman. Baru kemudian dia menuju tempat ini. Tak terlalu sukar mencarinya. Karena Andika sendiri pernah mengenal bukit itu.
Di sisi lain pun, Pendekar Slebor harus berhadapan dengan kelicikan Manusia Laba-laba. Karena begitu tiba dia sudah disuguhi pemandanganyang tak mengenakkan. Si pemuda melihat Asti tengah tak berdaya terlilit jerat laba-laba yang menggantung di satu pohon ke pohon lain.
"Ha ha ha.... Selamat datang di gubukku ini, Pendekar Slebor! Menarik bukan, sambutanku?" sambut Manusia Laba-laba, langsung melompat dari gubuknya di atas pohon ke jerat-jerat tempat Asti berada.
"Rupanya kau tengah menjalankan cara licik kuno.
Jangan pergunakan gadis itu sebagai sandera. Mari kita bertarung sebagai lelaki!" teriak Andika dari bawah, sarat dengan kemarahan.
"Majulah, Pendekar Slebor! Aku ingin melihat keberanianmu sekarang ini" Ayo, sini! Melompatlah!" Di tengah kegeramannya, otak encer Andika berkutat keras. Di sisi Asti, tampak tangan Walengkeng sudah berubah menjadi hitam. Ini menandakan laki-lakibertampang setan itu telah merangkum ilmu 'Jari Sakti' yang siap dihantamkan pada gadis itu.
"Ahh! Aku tahu! Kau memang tak punya nyali untuk berhadapan sebagai lelaki!" ejek Andika.
"Ha ha ha.... Apa artinya nyali dan keberanian" Justru aku ingin melihat, apakah kau memiliki nyali dan keberanian untuk datang ke sini"!"
"Monyet pitak!" gerutu Andika dalam hati.
"Aku bisa saja segera menghantamnya. Namun kalau aku kalah cepat, bisa jadi nyawa Asti taruhannya.
Orang seperti dia memang menghalalkan segala cara! Tetapi, apakah aku harus berdiam seperti ini?"
"Hei! Mengapa bengong" Bila kau memang tak punya nyali dan keberanian itu, silakan pergunakan kesaktianmu. Lalu, hantamkan pada tubuhmu sendiri!" seru Manusia Laba-laba sambil terbahak-bahak Dia merasa menang melihat Pendekar Slebor seperti kehilangan akal.
Akal licik Manusia Laba-laba memang patut diberi pujian.
Dengan keyakinan Pendekar Slebor akan menyusulnya, dia memasang tubuh Asti yang telah tertotok pada jerat-jerat yang dibuatnya. Dengan mengancam akan membunuh Asti, dia yakih Pendekar Slebor akan memenuhi seluruh perintahnya.
"Permainan tengik!" maki Andika.
"Di sinilah terlihat kepengecutanmu, Pendekar Slebor. Bila kau memang memiliki nyali, lakukan yang kuperintah. Kalau tidak..., nyawa gadis ini akan segera melayang." Mata setajam elang Andika menyipit. Memang tak ada jalan lain sekarang. Seharusnya dia bisa menguasai pertarungan karena telah mengetahui kelemahan ilmu 'Laba-laba' yang dimiliki Manusia Laba-laba. Namun, lelaki berambut jarang itu memiliki seribu akal licik yang mematikan.
Seperti yang dilakukannya saat ini pada Andika yang bagai tak berkutik. Namun jangan sebuat Pendekar Slebor kalau untuk masalah segede upil ini saja tak bisa memecahkannya. Sebuah rencana telah tersusun rapi dalam beriaknya. Yang jelas rencana itu akan membuat Manusia Laba-laba mengumpat tak karuan.
"Kau janji akan melepaskan gadis itu bila aku menuruti kemauanmu?" tanya pemuda urakan ini mulai memasang akal bulusnya.
"Ha ha ha.... Kecerdikan Pendekar Slebor ternyata hanya pantas untuk anak kecil!" ejek Manusia Laba-laba.
Dan tiba-tiba suaranya berubah.
"Lakukan yang kuperintahkan itu! Bila dalam hitungan ketiga kau belum juga melakukannya, jangan menyesali bila gadis ini akan rebah tanpa nyawa! Satu!" Andika tersenyum kecut. Sebenarnya dia pun tak pasti dengan keberhasilan rencananya. Tapi apa boleh buat" Itulah cara satusatunya.
"Dua!" Andika menatap tajam Manusia Laba-laba.
"Ti... "
"Tunggu!" sentak Pendekar Slebor cepat. Babak pertama rencananya mulai berjalan mengulur-ulur waktu.
"Baik! Aku akan melakukan apa yang kau inginkan! Tetapi...."Tidak ada tetapi! Jangan mengulur waktu lagi! Lakukan yang kuperintah itu, Bedebah!" Andika mati kutu. Otak encernya terus bekerja keras. Ditariknya napas dalam-dalam.
"Setan alas! Kau hanya membuang-buang waktuku!" bentak Manusia Laba-laba. Tangannya siap terayun.
"Sabar, Manusia Laba-laba!" seru Andika sekali lagi.
Seharusnya Pendekar Slebor memang bisa langsung bergerak menghantam Manusia Laba-laba.
Namun kali ini perhitungannya meleset. Karena bila bergerak bersamaan dengan ayunan tangan Manusia Laba-laba, belum tentu gadis itu dapat cepat diselamatkan.
Karena belitan jaring laba-laba pada gadis itu sangat tebal.
"Kau menang kali ini!" gumam Andika.
"Akal ah yang membuatku besar, Pendekar Slebor! Lakukan!" Bagai tak berdaya menghadapi masalah di hadapannya, Pendekar Slebor terdiam. Manusia Laba-laba terbahak-bahak begitu melihat tangan Pendekar Slebor mengencang, memancarkan sinar keperakan. Begitu pula sekujur tubuhnya.
Walengkeng yakin kalau Pendekar Slebor tengah mengerahkan kekuatan dahsyat.
Dan perlahan-lahan tangan yang telah terangkum tenaga 'inti petir' itu dihantamkan Andika pada tubuhnya sendiri. Duarrr...! "Aaa.. !" Terdengar ledakan keras yang disusul lontaran tubuh Andika beberapa tombak. Pemuda urakan itu memekik menyayat, bagai menyambut kematian.
"Ha ha ha.... Kini mampuslah kau, Pendekar Slebor!" sambut Manusia Laba-laba sambil melayang turun.
Perlahan-lahan lelaki ini mendekati tubuh Andika yang tergolek tak berdaya.
Pakaian di bagian dada si pemuda hangus seperti terbakar. Napasnya terdengar tersendat.
"Menyenangkan.... Sangat menyenangkan," decak Manusia Laba-laba.
"Nama besar Pendekar Slebor kini telah terkubur dalam tanah. Hhh! Tenaga dalamnya yang sangat dahsyat itu akhirnya memakan pemiliknya sendiri.
Inilah yang dinamakan senjata makan tuan." Mata merah Walengkeng membulat senang.
"Kau tak perlu kubunuh, Pendekar Slebor. Karena dengan sendirinya kau akan mati akibat pukulanmu sendiri." Lalu Manusia Laba-laba kembali melompat ke jerat-jeratnya. Dibebaskannya Asti yang meskipun ditotok, bisa mengelahui apa yang terjadi. Hatinya pilu begitu menyadari Pendekar Slebor berkorban untuk dirinya. Dalam keadaan seperti ini, hati gadis itu semakin pilu.
Sekarang, tak ada lagi yang bisa menolongnya.
Manusia Laba-laba melompat turun kembali dengan tubuh Asti dalam bopongannya. Kali ini gadis itu tak banyak meronta.
Hatinya sudah pasrah mengikuti nasib apa yang akan terjadi. Hatinya teriris melihat tindakan Pendekar Slebor. Dan rasanya, mati memang lebih baik.
Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi. Karena begitu kaki kurus Manusia Laba-laba menginjak tanah, satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus berkelebat sangat cepat. Lalu....
Des! Buk! Sosok itu langsung menghantam punggung Walengkeng dan menendangnya hingga terhuyung. Asti yang berada dalam bopongannya terlepas. Dan dengan cepat, sosok itu menangkapnya.
Dengan geram penuh kemarahan, Manusia Labalaba berbalik. Kedua matanya seperti hendak melompat keluar, melihat sosok yang memukulnya. Sosok itu tak lain Pendekar Slebor! Masih tak percaya dengan yang dilihatnya, Walengkeng mengalihkan pandangan ke tempat Pendekar Slebor tadi berada. Namun, sosok itu tak ada di tempatnya! "Curang!" bentak Manusia Laba-laba dengan amarah meradang.
"Biarrr...!" balas Andika.

***

Pendekar Slebor sudah bergerak cepat. Bahkan terlalu cepat. Tahu-tahu saja tubuh Asti telah bersandar pada batang pohon. Dia pun telah membuka jalan suara gadis itu yang ditotokoleh Manusia Laba-laba tadi.
Dan sebentar kemudian si pemuda telah berada di depan Walengkeng.
Dan bukan Pendekar Slebor kalau sifat usilnya tak muncul untuk menguras tuntas kemarahan orang lain.
"Nah, kan" Aku yang menang" Kubilang juga apa" Nang-ning-nong, neng-nang-neng gong!" ejek Andika sambil nandak sendirian.
Persis topeng monyet sedang ditanggap.
"Setan alas!" maki Manusia Laba-laba dengan wajah memerah karena dipermainkan.
Sebenarnya, apa yang telah terjadi tadi" Di saat yang gawat tadi di bawah ancaman Manusia Laba-laba, bagai orang terpaksa Andika pun menghantamkan tangannya ke dada sendiri. Namun tanpa sepengetahuan Manusia Laba-laba, Andika sudah meng-alirkan ajian 'Guntur Selaksa' pada tubuhnya. Sinar perak yang melingkupi tubuhnya tadi, dijadikan sebagai tameng untuk menghalangi sebuah keberanian. Namun yang terpenting adalah nyawa Asti.
Begitu pukulan terhantam, sifat tengik Andika pun muncul. Teriakan keras dikeluarkannya boros-boros. Bisa jadi, itu untuk meyakinkan Manusia Laba-laba.
Dan bersamaan dengan itu, si pemuda mengempos tubuhnya ke belakang bagai terlontar akibat pukulannya sendiri.
Pukulan Pendekar Slebor memang tak begitu keras. Kendati demikian, tetap membuat pakaiannya hangus. Bukan oleh pukulannya, tapi karena benturan pukulan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Itulah babak kedua rencana Andika. Dan dia berharap lelaki hidung sumplung itu akan turun untuk memeriksanya.
Makanya, di tangannya sudah di- persiapkan ajian 'Guntur Selaksa' untuk menyelamatkan diri.
Benar saja Manusia Laba-laba memang meraeriksa keadaan Andika. Dasar wataknya kejam, Andika yang disangka sudah tak berdaya diharapkan mati perlahan-lahan. Ketika menyadari Manusia Laba-laba pergi dan bersiap membawa Asti, Pendekar Slebor bergerak cepat membokong.
Andika tertawa.
Aduh, bagaimana ya" Kenapa kau bisa kecolongan?" gumam Andika meledek dengan berpura-pura tolol.
"Keparat busuk!" dengus Manusia Laba-laba.
Dengan gerakan dahsyat Manusia Laba-laba mengibaskan tangannya ke arah Pendekar Slebor. Sing! Sing! Dua larik sinar hitam melesat. Kecepatannya tak terkira. Namun dua jengkal lagi menemui sasaran, Pendekar Slebor sudah tidak ada di tempat.
Ke mana Pendekar Slebor sendiri" Dengan kecepatan yang tak terlihat mata, pemuda pewaris ilmu-ilmu Lembah Kutukan berkelebat cepat ke atas.
"Aku di sini, Kecoa!" susul Andika, seraya melesat cepat ke arah Manusia Labalaba. Lalu.... Des! Jotosan Pendekar Slebor tahu-tahu sudah menghantam dada Manusia Laba-laba. Sambil terhuyung.
rupanya Walengkeng masih sempat melepaskan jerat-jerat halusnya. Dia berharap masih mampu menahan serangan Andika selanjutnya.
Namun, Pendekar Slebor yang memang tahu kelemahan jerat-jerat halus itu sudah merangkum tenaga 'inti petir'-nya. Dan dengan sekali sentak, jerat-jerat itu sudah putus! Tanpa membuang waktu lagi, tubuh Pendekar Slebor berkelebat mengejar. Kini yang terlihat hanya bayangan hijau saja. Di tangannya sudah terangkum ajian 'Guntur Selaksa'.
Manusia Laba-laba,sudah mati kutu. Tak ada waktu lagi untuk menahan gempuran dahsyat Andika.
Dan.... Desss! "Augh...!" Kembali Manusia Laba-laba terhuyung. Pada saat begini, tendangan kaki kanan penuh tenaga dalam yang dilakukan secara berputar dilepas Andika.
Krak! "Aaa...!" Terdengar suara berderak tulang patah disusul jeritan menyayat hati. T ulang leher Manusia Laba-laba patah terkena tendangan dahsyat Andika. Lalu, tubuhnya pun ambruk menggeloso di tanah tak mampu bangkit lagi. Andika menarik napas panjang.
"Impas sudah. Kelicikan kubayar dengan kelicikan pula," gumamnya.
Plok! Plok! Plok! Tiba-tiba terdengar suara tepukan di belakang Andika.
"Hebat.... Memang hebat orang yang berjuluk Pendekar Slebor!" Andika menoleh.
"Penghulu Segala Ilmu!"
"Ilmu laba-laba memang hanya dimiliki si 'Jari Sakti'. Namun lelaki bijaksana itu tak pernah lagi mempergunakan ajian yang sakti itu. Terus terang, tak ada yang sanggup memutuskan jaring laba-laba yang dimilikinya, bila tidak bahu-membahu untuk melepaskan jaring-jaring itu. Namun bagi orang yang telah memakan buah 'intir petir', jerat-jerat halus itu bukanlah masalah besar. Terus terang, aku sendiri tak akan sanggup memutuskan jaringjaring itu tanpa bantuan seseorang atau beberapa orang untuk mengalirkan hawa panas," kata sosok lelaki yang baru datang. Dia memang Penghulu Segala Ilmu.
Andika diam-diam merasa kagum atas kerendahan hati Penghulu Segala Ilmu. Dia yakin, tak seorang pun mampu menyaingi ilmu lelaki tua itu. Dia sepertinya tahu berbagai jenis ilmu aneh yang ada di dunia ini. Bahkan tahu cara memusnahkannya, meskipun harus meminta bantuan orang lain.
Seperti yang terjadi sekarang. Penghulu Segala Ilmu tahu bagaimana cara memusnahkan ilmu 'Laba-laba'.
Namun dia membutuhkan Pendekar Slebor untuk melakukannya. Karena, pemuda urakan itulah satusatunya orang yang pernah memakan buah 'inti petir' yang tersimpan puluhan tahun di Lembah Kutukan.
Kedatangan Penghulu Segala Ilmu pun sebenarnya untuk mencari Pendekar Slebor, sekaligus mencoba menghalangi sepak terjang Manusia Laba-laba. Ketika muncul tadi, pertarungan sudah terjadi. Namun dengan penuh keyakinan, Penghulu Segala Ilmu memegang Andika sebagai pemenangnya.
"Kelicikan itu berbahaya, Andika."
"Kau benar, Orang Tua. Tapi sekali-kali boleh dong digunakan untuk melawan kelicikan pula...."
"Aku percaya, kelicikanmu untuk jalan kebaikan.
Hm.... Manusia itu memang, sangat sulit untuk ditandingi bila sudah mempergunakan ilmu 'Laba-laba'. Andika, tetaplah berjalan di jalurmu. Karena orang sepertimu sangat dibuluhkan untuk mengamankan isi dunia."
"Ah! Yang benar saja, Orang Tua. Sekali-kali jalan di jalur orang lain boleh, dong?" Penghulu Segala Ilmu tertawa renyah. Dia memang paham dengan sifat Andika yang nyeleneh. Untung saja, pemuda ini selalu menjunjung tinggi sifat kependekarannya.
"Bila saja Larasati tak mengatakan tentang kelemahan jaring laba-laba, niscaya aku sendiri belum tentu mampu mengalahkannya," kali ini Andika tak berseloroh. Wajahnya dipasang sungguhsungguh. Penghulu Segala Ilmu tersenyum.
"Berjanjilah kepadaku, bahwa kau akan tetap berada di jalurmu." Andika menarik ujung bibirnya. Balas tersenyum.
Tanpa diminta pun, Andika tetap akan berada pada jalan yang memang telah ditemukannya. Setelah melihat Pendekar Slebor tersenyum, Penghulu Segala Ilmu menghilang dari pandangan.
Ketika Pendekar Slebor berniat hendak menemui Asti...
"Hei, Pemuda Brengsek! Kenapa kau tinggalkan aku, hah"! Apa kau ingin aku mati dengan membiarkan aku pingsan" Hhh! Pemuda urakan konyol!"

***

¦¦¦[ 11 ]¦¦¦

Larasati sudah berdiri di hadapan Pendekar Slebor sambil berkacak pinggang.
Tetapi sebelum meneruskan bentakannya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sosok Manusia Laba-laba yang sudah terkapar menjadi mayat.
"Hhh! Kini puas perasaanku melihat manusia keparat itu sudah mampus! Aku yakin, paman guruku pasti akan tenang di alamnya sana," desah si gadis.
"Kalau begitu, kenapa kau masih berada di sini?" goda Andika. Larasati melotot.
"Brengsek! Apa kau pikir aku berada di sini karenamu" Tak usah ya?"
"Ya, sudah. Pergi sana!"
"Konyol!" maki Larasati.
Tetapi kali ini wajah si gadis memerah. Sebenarnya, sejak bertemu Andika, dia merasakan sesuatu yang lain di hatinya.
Namun disadarinya kalau dirinya dengan Andika jauh berbeda. Larasati mempunyai tempat tinggal meskipun kini seorang diri. Kalau Andika, sudah bisa dipastikan akan meneruskan perjalanannya. Karena, rimba persilatan adalah kehidupannya.
"Hei, Laras! Aku ingin suatu saat kita bertemu lagi." Gadis itu mendelik.
"Mana sudi aku bertemu denganmu lagi" Tetapi, terima kasih atas bantuanmu, Andika." Meskipun mulutnya berkata begitu, tetapi hati si gadis sangat mengharapkan dapat bertemu Andika kembali."Aku permisi!" lanjutnya, mohon diri.
Saat itu juga tubuh gadis itu berkelebat meninggalkan tempat ini dengan dendam yang tuntas terhadap Manusia Laba-laba.
Sementara setengah hatinya tertinggal pada Pendekar Slebor.
Andika tak menghiraukan Larasati lagi, karena memang. tak punya perasaan apa pun pada gadis itu, kecuali membantunya. Kakinya kini melangkah mendekati Asti. Gadis itu tampak tersenyum gembira. Perlahan-lahan dibimbingnya Asti berdiri.
"Terima kasih, Kang Andika...," desah Asti seraya merangkul Andika.
"Semua sudah berakhir. Sebaiknya kuantar kau.
kembali ke rumahmu...." Asti hanya mengangguk-angguk.

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Segera terbit!!!
MACAN KEPALA ULAR


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Lima Jalan Darah --oo0oo-- Macan Kepala Ular


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.