Lima Jalan Darah
tanztj
March 11, 2011
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Tasbih Emas Bidadari --oo0oo-- Manusia Laba Laba |
ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: LIMA JALAN DARAH
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: LIMA JALAN DARAH
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
¤¤[ 1 ]¤¤
Suasana begitu mencekam dan mengerikan, kala tak seekor binatang malam pun terlihat.
Tak semestinya bila ada orang yang melintasi jalan setapak itu. Malah justru menghentikan larinya di sana. Dan itu yang dilakukan satu sosok berwajah mirip tengkorak. Rambut acak-acakannya tergerai hingga ke pinggul. Mata celongnya yang berwarna kelabu melihat ke kanan-kiri. Hanya kesepian belaka.
"Brengsek! Di mana tempat yang tepat bagiku untuk mengobati manusia jelek ini"!" maki sosok berwajah tengkorak yang ternyata perempuan berpakain hitam. Dari tubuhnya menebar bau yang sangat busuk.
Rupanya, si perempun sedang memanggul satu sosok yang sedang pingsan. Padahal, sosok yang dipanggul berbobot dua kali lebih besar Tapi dia enak saja membawanya. Bisa jadi kepandaian tokoh ini sudah sangat tinggi.
"Pendekar Slebor keparat" desis sosok itu dengan kegeraman menggelegak.
"Setelah kuobati Hantu Gigi Gading ini, kau akan berhadapan kembali dengan Dewi Sungai Bangkai! Akan kubalas kematian Sahabatku si Gampo Sinting!" Sosok berwajah tengkorak ini memang tak lain dari Dewi Sungai Bangkai, Penguasa Sungai Bangkai. Sungai yang bukan berisi air tenang, tapi berisi air busuk yang penuh mayat. Benak Dewi Sungai Bangkai teringat pertarungan terakhirnya dengan Pendekar Slebor di Gunung Kidul. Di tempat itu sahabatnya si Gampo Sinting, tewas. Sedang Hantu Gigi Gading terluka parah (Untuk lebih jelasnya, silakan bacaPendekar Slebor dalam episode: "Tasbih Emas Bidadari").
Sosok bau busuk itu berkelebat lagi. Dia berhenti begitu melihat sebuah gubuk yang sudah miring ke kiri.
"Hmm.... Pasti milik para penebang kayu. Ini menguntungkan bagiku," gumamnya.
Si perempuan merebahkan tubuh Hantu Gigi Gading yang luka parah akibat sambaran pedang murid Malaikat Putih Bayangan Maut yang bernama Nilakanti. Namun Dewi Sungai Bangkai mengesampingkan soal Nilakanti Yang diinginkannya hanya Pendekar Slebor.
Si pemuda berwatak semau udelnya itulah yang menggagalkan seluruh keinginan si Gampo Sinting untuk mendapatkan pusaka Tasbih Emas Bidadari milik Ki Bubu Jagat. Dan yang membuatnya makin uring-uringan setelah tahu kalau Pendekar Slebor-lah yang memiliki pusaka langka itu.
Dewi Sungai Bangkai memeriksa tubuh Hantu Gigi Gading.
"Edan! Lukanya begitu parah! Sabetan pedang ini begitu dalam! Kalau tidak segera kutolong, tamat riwayatnya!" Si perempuan tua berbaju hitam bau busuk itu terdiam. Mulutnya berkomat-kamit.
Kalau sudah begitu, makin seram saja wajahnya. Ketika kedua tangannya berubah hitam legam, perlahan-lahan ditempelkan di tubuh Hantu Gigi Gading. Si lelaki kontan melejang-lejang, namun tetap dalam keadaan pingsan.
Hampir sepeminuman teh Dewi Sungai Bangkai berkutat mengobati Hantu Gigi Gading.
Keringatnya yang baunya seperti kencing kuda membasahi sekujur tubuhnya yang apek.
"Kau berhutang nyawa denganku, Monyet Jelek!" makinya sambil mengambil sikap semadi. Baru saja mata celong si perempuan tua terpejam, tiba-tiba saja terdengar deru angin luar biasa kerasnya. Serentak dengan kecepatan tinggi, Dewi Sungai Bangkai menyambar tubuh Hantu Gigi Gading yang baru saja diobatinya. Dengan pencalan satu kaki, tubuhnya melesat ke luar.
Duaaar! Terdengar suara ledakan keras. Dan gubuk yang baru saja didiami itu telah hancur berantakan.
"Setan keparat! Iblis mana yang berani menjual lagak di hadapanku!" bentak Dewi Sungai Bangkai setelah meletakkan tubuh Hantu Gigi Gading di tempat tersembunyi.
"Malam-malam begini tercium bau busuk! Hai... Siapa orang yang belum mandi"! Makanya, lebih baik mampus saja daripada membuat hewan - hewan disini tak ada yang keluar seekor pun!" Terdengar suara penuh wibawa yang bergema di sekitar. Lalu disusul berkelebatnya satu bayangan biru menyala ke arah Dewi Sungai Bangkai dan berhenti di depannya.
*****
"Orang muda keparat! Siapa kau"!" bentak Dewi Sungai Bangkai keras.
"Brengsek! Rupanya ada mayat hidup di sini! Pantas baunya sampai ke mana-mana!"
"Orang muda kurang ajar! Kusobek mulutmu!"
"Bicaramu yakin sekali. Tapi aku ingin bukti!"
"Pemuda hina dina! Mampuslah kau!" Meski sudah kenyang menelan asam garam dunia persilatan, tak urung Dewi Sungai Bangkai terpancing juga. Tangannya langsung bergerak cepat. Maka lima larik sinar hitam tiba-tiba melesat dahsyat.
Namun si pemuda berpakaian biru menyala hanya tertawa. Lima jengkal serangan itu berada di depannya, dia melompat ke samping.
Jdar! Jdar...! Lima sinar hitam luput mendarat di sasaran, dan hanya menghantam pohon-pohon di sana hingga bertumbangan dan hancur berentakan.
Di luar dugaan si pemuda, bau busuk mendadak tercium. Dan ini sangat menyesakkan dadanya. Malah, lehernya terasa bagai dililit tali kasat mata. Dan napasnya pun tiba-tiba tersendat. Pukulan yang dilepaskan Dewi Sungai Bangkai memang sangat hebat.
"Rasakan ajian kebanggaanku, 'Angin Bangkai Melilit Leher'! Makanya, kau jangan menjual lagak di sini! Dan aku tak pernah mengampuni siapa pun juga!" Sehabis berkata begitu, Dewi Sungai Bangkai mengirimkan ajian kebanggaannya kembali. Maka bau busuk yang sangat menyengat makin mengunci gerak tubuh si pemuda. Semakin keras tawa Dewi Sungai Bangkai melihat pemuda itu tahu-tahu ambruk sambil memegang lehernya.
"Cih! Kau belum mengenalku rupanya!" Tanpa peduli lagi. Dewi Sungai Bangkai melangkah untuk mengambil tubuh Hantu Gigi Gading yang masih pingsan. Dan dia bermaksud untuk meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja kakinya melangkah dua tindak.
"Mau kemana kau, Orang Tua?" Dikawal suatu keterkejutan Dewi Sungai Bangkai menoleh. Dan perempuan tua itu benar-benar hampir tak bisa mempercayai pandangannya sendiri. Pemuda yang tadi sudah ambruk itu berdiri tegak dengan kedua tangan mendekap di dada dalam keadaan baik saja.
"Kau!!"
"Sudah kukatakan tadi, bicaramu terlalu yakin. Kenyataannya, hanya pepesan kosong!" leceh si pemuda berbaju biru. Tatapannya memancarkan sinar panas, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi mpot-mpotan. Termasuk Dewi Sungai Bangkai yang mendadak bulu kuduknya meremang.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" Entah apa sebabnya, pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir keriput si perempuan tua.
"Itukah pertanyaan terakhir menjelang ajalmu" Ha ha ha...! Aku suka sekali memberitahukan siapa diriku pada orang yang akan mampus! Panggil aku dengan sebutan Lima Jalan Darah!" seru si pemuda dengan suara ditekan.
Kening keriput Dewi Sungai Bangkai berkerut. Baru kali ini telinganya mendengar seorang tokoh muda yang berjuluk Lima Jalan Darah.
"Lima Jalan Darah! Sebuah julukan yang lumayan! Tapi, sayang. Tak membuat nyaliku kendor. Huh! Aku jadi ingin melihat kehebatanmu!" Sehabis berkata begitu, Dewi Sungai Bangkai berkelebat laksana anak panah terlepas dari busur. Gebrakannya sangat dahsyat, menebarkan bau busuk luar biasa.
Kalau tadi si pemuda nampak tenang-tenang saja, kali ini tubuhnya pun berkelebat cepat ke arah Dewi Sungai Bangkai.
Des! Tuk! Benturan keras itu terjadi. Tubuh Dewi Sungai Bangkai terlontar empat tombak ke belakang. Malah tiba-tiba saja tubuhnya terasa menggigil hebat. Kaki sebelah kanannya tak dapat digerakkan lagi. Sementara pemuda yang mengaku berjuluk Lima Jalan Darah mendarat empuk di tanah sambil menebarkan senyum dingin.
"Yang baru kulakukan adalah totokan jalan darah ke satu. Masih ada empat buah jalan darah yang harus kumatikan. Sehingga kau tak akan mampu menggerakkan tubuhmu sedikit pun. Hm.... Sangat menyenangkan melihatmu tersiksa. Karena, aku memang gemar sekali menyiksa orang!" Sehabis menyelesainkan kalimatnya, mendadak tubuh Lima Jalan Darah berkelebat sangat cepat. Kedua tangannya bergerak amat cepat, sebanyak dua kali ke arah leher dan pinggul Dewi Sungai Bangkai.
Tuk!Tuk! Dikawal satu keterkejutan yang amat sangat Dewi Sungai Bangkai merasakan lehernya bagai patah. Sementara pinggulnya seakan lepas dari tubuhnya.
"Setan keparat!" maki si perempuan tua dengan tubuh goyah.
"Sesuai julukanku, totokan 'Lima Jalan Darah' terdiri dari lima cara menuju kematian dengan menotok jalan darah di tubuh lawan. Orang yang terkena totokan yang ke satu, maka tubuhnya sudah mati seperlima. Meskipun masih dapat bergerak, namun dalam waktu lima hari akan mati. Bila terkena totokan yang kedua, dia tak akan mampu lagi bernapas seperti biasa. Walaupun masih selamat, namun akan mati dalam waktu empat hari. Bila terkena totokan ketiga maka sendi-sendinya akan mati. Meskipun masih selamat namun akan mati dalam waktu tiga hari. Bila terkena totokan keempat, maka seluruh kekuatan otot yang ada di tubuhnya akan hilang. Meskipun masih selamat, namun akan mati dalam waktu dua hari. Dan bila terkena totokan yang kelima, maka aliran darahnya terhenti. Bahkan jantungnya akan mencelat keluar. Dia akan mati saat itu juga! Kau masih beruntung karena masih kuberi ke- sempatan untuk hidup, Dewi Sungai Bangkai. Sehingga, aku tak melakukan totokan yang kelima secara langsung. Bukankah tadi kukatakan, aku sangat senang sekali menyiksa lawanlawanku" Ha ha ha...!" Tubuh Dewi Sungai Bangkai bergetar hebat. Getaran itu terjadi di samping rasa gelegak marahnya, juga seluruh tubuhnya bagai tak mampu melakukan apa-apa. Sementara, hawa napas terus menyengat.
"Bila kau memang jantan, bunuh aku!" sentak Dewi Sungai Bangkai, mulai putus asa.
"Hm.... Totokan jalan darah pertama, kedua, dan ketiga pada dirimu sudah cukup mengirimmu ke neraka!"
"Keparat buduk! Iblis kau!" Lima Jalan Darah terbahak-bahak.
"Kau sekarang menjadi orang suci rupanya! Nama Dewi Sungai Bangkai sudah lama kudengar karena kekejaman dan kebusukan hati iblisnya. Namun sekarang, begitu suci sekali laksana dewi!" Mata Dewi Sungai Bangkai bagai hendak meloncat dari rongganya. Mulutnya yang keriput tanpa gigi merapat tajam.
"Tetapi, aku akan mengampuni nyawa busukmu, bila kau bersedia memenuhi dua persyaratanku!" lanjut si pemuda.
"Keparat! Tak sudi aku diperintah seperti itu!" dengus si perempuan tua.
"Hm.... Ingat saja. Kau sudah terkena totokan jalan darah ketiga. Berarti, tiga hari lagi kau akan mampus! Dan yang perlu diketahui, setiap tengah malam, tubuhmu akan semakin terasa panas. Sehingga akhirnya kau akan mampus dengan tubuh meledak!" Pucatlah wajah si perempuan keji itu. Meskipun dalam keadaan tak berdaya, otak warasnya masih bisa dipergunakan. Dia harus membunuh Pendekar Slebor. Kalau mampus sekarang, berarti tak pernah bisa membalaskan sakit hati sahabatnya, si Gampo Sinting.
"Katakan!" ujarnya dengan suara ditekan.
"Sudah kuduga kau akan menyetujuinya! Dengar baik-baik! Pertama, setelah kubebaskan dari segala jalan darah yang kulakukan kepadamu, kau harus jadi pengikutku! Katakan sekarang juga, sebelum kulanjutkan yang kedua!" Sambil menahan kegeraman luar biasa, Dewi Sungai Bangkai mengangguk.
"Setan tua bau tanah!" Diiringi satu desisan. tangan Lima Jalan Darah bergerak.
Wusss! Plass! Angin dingin kontan menampar pjpi Dewi Sungai Bangkai. Si perempuan tua terguling ke belakang disertai muntahan darah.
"Aku bukan ingin melihat anggukan atau gelengan! Aku ingin kau bersuara!" tandas si pemuda.
"Ya!" seru Dewi Sungai Bangkai keras dengan tubuh bergetar menahan marah.
Tawa Lima Jalan Darah semakin mengeras.
"Menyenangkan sekali memiliki seekor anjing setia sepertimu! Tetapi, jangan berbahagia dulu! Karena bila kau tak bisa memenuhi persyaratan kedua, akan percuma saja menyetujui persyaratanku yang pertama!"
"Katakan, Keparat!"
"Aku sedang mencari seorang pemuda berbaju hijau pupus dan memiliki sehelai kain bercorak catur! Julukannya, Pendekar Slebor! Bila kau mengetahui di mana pendekat sialan itu, maka kau akan kubebaskan!" Kening Dewi Sungai Bangkai berkerut. Persyaratan yang sangat mudah sekali.
Tetapi dia ingin tahu dulu, mengapa Lima Jalan Darah hendak mencari Pendekar Slebor.
"Mengapa kau mencarinya?" tanya si perempuan tua, tak dapat menahan rasa penasarannya.
"Ini urusanku!" bentak Lima Jalan Darah.
"Aku mengetahui dia berada di mana!"
"Katakan!" tandas Lima Jalan Darah, mengandung kegeraman tinggi.
"Katakan pula, apa maksudmu untuk mencarinya?"
"Hhh! Pendekar Slebor katanya memiliki kesaktian setinggi langit. Tapi dia harus mampus di tanganku! Aku muak mendengar orang-orang rimba persilatan kerap kali menyanjung kesaktiannya. Juga, karena dia telah membuat malu sahabatku yang berjuluk Malaikat Mata Satu!" papar Lima Jalan Darah dengan wajah memerah.
Si pemuda teringat bagaimana ketika Malaikat Mata Satu datang ke kediamannya di Gua Seribu Darah dalam keadaan luka parah. Laki-laki bermata satu itu menceritakan semua yang terjadi. Maka hati Lima Jalan Darah kontan bagai teraduk-aduk ketika mendengar siapa yang telah mempermalukan sahabatnya. Pendekar Slebor-lah orangnya.
Setelah berhasil mengobati sahabatnya itu, si pemuda pun segera meninggalkan Gua Seribu Darah. Dia bermaksud mencari Pendekar Slebor. Di samping ingin membalaskan sakit hati Malaikat Mata Satu, juga ingin membuktikan omongan orang-orang yang membicarakan tentang kehebatan Pendekar Slebor. Telah dua bulan dia mencari Pendekar Slebor (Untuk mengetahui siapa adanya Malaikat Mata Satu, silakan baca : "Jodoh Sang Pendekar").
Lima Jalan Darah sebenarnya dulu hanyalah seorang pemuda kurus yang tak berdaya.
Tak memiliki sanak saudara. Dan secara tak sengaja, dia tiba di Gua Seribu Darah yang sebelumnya dihuni dedengkot sesat rimba persilatan, Setan Seribu Darah. Di tangan laki-laki tua bangka kejam itulah si pemuda digembleng menjadi salah seorang tokoh sesat yang kini patut diperhitungkan.
Sejak pertama kali bertemu Setan Seribu Darah, si pemuda yang sebelumnya bernama Sabur Santang, Telah diubah dengan panggilan Lima Jalan Darah. Sebagai murid Setan Seribu Darah, Lima Jalan Darah pun telah berubah menjadi tokoh kejam. Di tangannyalah seluruh keinginan Setan Seribu Darah berhasil dijalankan. Hingga akhirnya, dia pun mengenal tokoh Malaikat Mata Satu dan menjadi sahabatnya.
Setelah sepuluh tahun berlalu, Setan Seribu Darah pun meninggalkan Gua Seribu Darah untuk mencari musuh bebuyutannya yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu. Pada satu pertarungan, Setan Seribu Darah berhasil dikalahkan Penghulu Segala Ilmu. Dan dia pun mengasingkan diri di Gua Seribu Darah sekaligus memperdalam kesaktiannya. Baru setelah itu dia keluar dari gua untuk mencari Penghulu Segala Ilmu.
Sejak saat itulah Lima Jalan Darah tak lagi keluar dari Gua Seribu Darah, karena sangat mentaati perintah gurunya yang sedang mencari musuh bebuyutannya.
Namun kehadiran sahabatnya yang berjuluk Malaikat Mata Satu yang terluka parah di tangan Pendekar Slebor, menyebabkan Lima Jalan Darah melanggar amanat gurunya.
Karena menurut perhitungannya, dia akan bisa membalaskan sakit hati Malaikat Mata Satu pada Pendekar Slebor sebelum gurunya tiba kembali di Gua Seribu Darah.
Sementara itu, Dewi Sungai Bangkai terdiam. Matanya yang celong ke dalam semakin masuk saja ketika memperhatikan sosok berpakaian biru di hadapannya. Dia pernah mendengar julukan Malaikat Mata Satu. Tetapi bagaimana mungkin pemuda yang menurut perhitungannya baru berusia sekitar dua puluh tiga tahun, bersahabat dengan Malaikat Mata Satu yang berusia sekitar lima puluh tahun" Tetapi, keheranannya tidak diutarakannya. Karena dalam persahabatan tak mustahil hal itu terjadi.
Dan mendengar keinginan Lima Jalan Darah untuk membunuh Pendekar Slebor, Dewi Sungai Bangkai bagai melihat kesempatan emas di depan matanya. Kini dia pun tahu, kalau Lima Jalan Darah yang masih muda dan memiliki kesaktian tinggi, ternyata satu golongan dengannya.
"Aku tahu tentang Pendekar Slebor!" cetus si perempuan tua, tanpa ragu.
"Katakan cepat!" ujar si pemuda mendesis tidak sabar.
Dewi Sungai Bangkai menceritakan apa yang baru dialaminya dengan Pendekar Slebor.
"Dia kini telah memiliki pusaka langka yang ternyata Tasbih Emas Bidadari. Aku pun mempunyai keinginan yang sama denganmu untuk membunuhnya!" ungkap Dewi Sungai Bangkai.
"Bagus, bagus sekali! Malaikat Mata Satu akan senang bila mendengar pendekar keparat itu telah mampus di tanganku! Dan aku bisa kembali ke Gua Seribu Darah!" Lima Jalan Darah lantas berkelebat ke arah Dewi Sungai Bangkai. Tangannya bergerak tiga kali. Tuk! Tuk! Tuk! "Aaah...!" Seketika, totokan jalan darah pada tubuh Dewi Sungai Bangkai terbuka. Tubuh perempuan tua sesat itu bukan hanya mengejut, tetapi juga terjungkir disertai teriakan keras.
Karena, totokan pembuka itu terasa menyakitkan sekali.
Lima Jalan Darah hanya tersenyum dingin.
"Sekarang, kita cari Pendekar Slebor! Akan kuhabisi dia dengan jurus 'Lima Jalan Darah'!" kata Lima Jalan Darah, terdengar memuakkan.
Dewi Sungai Bangkai mengangguk. Nyeri akibat pembuka totokan yang dilakukan Lima Jalan Darah masih terasa. Namun diam-diam keningnya berkernyit, ketika tadi mendengar dari mana asal Lima Jalan Darah.
Gua Seribu Darah, setahu Dewi Sungai Bangkai adalah tempat kediaman Setan Seribu Darah yang pernah dikalahkan Penghulu Segala Ilmu puluhan tahun lalu. Kalau memang cerita pemuda ini benar bisa dipastikan dia adalah murid dari Setan Seribu Darah, salah satu dedengkot rimba persilatan yang banyak menurunkan tangan telengas. Namun si perempuan tua tak mau memikirkan soal itu lagi. Yang terpenting sekarang, dia merasa memiliki bantuan yang tak ternilai dari Lima Jalan Darah untuk menghancurkan Pendekar Slebor! "Hantu Gigi Gading pasti akan senang bila tahu semua ini," pikirnya. Lalu tubuhnya berkelebat untuk mengambil tubuh Hantu Gigi Gading yang masih pingsan.
*****
¤¤[ 2 ]¤¤
"Ngomong-ngomong, masih jauhkah Lembah Matahari itu, Nila?" tanya si anak muda yang berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur tersampir di bahu.
Rambutnya yang gondrong acak-acakan dipermainkan oleh angin lembut.
"Kita masih membutuhkan waktu sekitar tiga hari, Kang Andika...," sahut gadis di sebelah si pemuda. Wajahnya sangat cantik. Pakaian berwarna putih dengan ikat kepala berwarna sama. Rambutnya panjang sebahu. Di punggungnya bertengger sebilah pedang berhulu ukiran kepala naga dengan warangka indah.
Sesekali si pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor melirik Nilakanti.
Entah apa arti lirikannya. Saat ini mereka sedang menuju Lembah Matahari. Sesuai amanat Sapta Jingga sebelum ajalnya, Pendekar Slebor diminta menyerahkan Tasbih Emas Bidadari, kepada Malaikat Putih Bayangan Maut bila telah berhasil mendapatkannya. Dan secara tidak terduga buat Andika, ternyata Nilakanti adalah murid dari Malaikat Putih Bayangan Maut. (Baca : "Tasbih Emas Bidadari").
Andika sebenarnya khawatir terhadap Tasbih Emas Bidadari yang berada di balik baju hijau pupusnya. Karena dia yakin, Dewi Sungai Bangkai yang membawa lari tubuh Hantu Gigi Gading tak akan tinggal diam. Apalagi menurut Nilakanti, mereka masih membutuhkan waktu sekitar tiga hari lagi untuk tiba di Lembah Matahari. Padahal, mereka sudah berjalan selama tujuh hari. Lain halnya Nilakanti. Bila Andika agak cemas memikirkan kemungkinan itu, gadis jelita ini nampak gembira sekali. Kegembiraannya ada dua hal. Pertama, karena telah menunaikan amanat gurunya untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari yang sekarang berada pada Pendekar Slebor. Dan yang kedua, karena berjalan bersama pendekar gagah perkasa yang banyak dibicarakan orang. Meskipun pada awalnya, Nilakanti agak jengkel melihat sikap Andika yang urakan dan suka berbicara seenak jidatnya saja. Namun, lama-kelamaan dia tahu kalau di balik sikap yang urakan Pendekar Slebor tersimpan kelembutan dan kebijaksanaan berpikir. Ketika mereka tiba di sebuah desa, tanpa disadari ada empat pasang mata mengawasi dengan penuh hasrat.
"Ini tak boleh dilewatkan, Gandowoto. Ketua pasti sangat senang bila gadis itu kita bawa kehadapannya!" kata salah seorang yang terus mengawasi. Dia adalah seorang lelaki bercodet di pipi kanan.
"Kau benar, Sutaboga!" sahut lelaki yang wajahnya banyak ditumbuhi jerawat.
"Ketua akan memberikan uang yang banyak untuk kita." lelaki yang berkulit sangat hitam.
"Tunggu, Jatilangor!" cegah lelaki yang bercambang bauk. Kau dan yang lain urus pemuda itu. Dan aku urus bunga jelita itu.
*****
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika tahu-tahu Andika sudah berkelebat sambil menarik tangan Nilakanti. Terpaksa gadis itu mengikutinya "Brengsek! Ada apa sih" Main pegang sembarangan!" maki Nilakanti di balik semak.
Andika cuma mengangkat kedua alisnya yang hitam legam bak kepakan sayap elang.
"Tidak apa-apa, kok. Aku hanya ingin memegang lenganmu saja."
"Hhh! Menyesal aku berjalan bersamamu!"
"Ssstt!" Nilakanti jadi terdiam mendengar desisan Andika. Dia melihat dari celah semaksemak tempat empat orang laki-laki bersenjata parang besar di pinggang sedang celingukan.
"Siapa mereka, Kang Andika?"
"Lho" Kok malah tanya aku" Kalau aku tahu, mengapa aku harus mengajakmu ke balik semak-semak ini." Keempat laki-laki yang sedang celingukan itu memperhatikan sekelilingnya.
"Edan! Aku yakin tadi mereka berada di sini," runtuk lelaki bercambang bauk yang dipanggil Gandowoto.
"Ya! Tetapi ke mana mereka?" lelaki berkulit sangat hitam yang bernama Jatilangor.
"Bunga itu jangan sampai lolos! Ini kesempatan emas untuk kita!"seru lelaki berwajah penuh jerawat. Di balik kerimbunan semak, keisengan Andika timbul lagi.
"Mereka mencarimu, Nila."
"Brengsek!" maki Nilakanti.
"Lho" Kok marah" Baiknya kau temui mereka saja. Siapa tahu kau berjodoh dengan salah seorang dari mereka?"
"Kang Andika ini! Menggoda saja! Tanganku jadi gatal untuk membunuh mereka!"
"Kenapa memangnya" Mereka tampan-tampan, lho! Mungkin monyet buduk kalah tampan dengan mereka!" Nilakanti melotot pada Andika.
"Diam tidak"! Nanti kucubit pinggangmu keras-keras!" Andika nyengir kuda. Dan kuda pun pasti kalah tampan dengan Andika bila sedang nyengir seperti ini.
"Kalau kau tidak mau menjadi jodoh salah seorang dari mereka, kita tinggalkan saja tempat ini," susul Andika.
"Tidak, aku ingin memberi pelajaran pada orang-orang kurang ajar itu!" tegas si gadis. Andika merasa keputusan Nilakanti hanya buang-buang waktu saja. Karena, mereka harus segera tiba di Lembah Matahari.
"Tidak usah. Biar saja. Toh kita..., hei!" Kata-kata Pendekar Slebor terpenggal dan berganti keterkejutan saat tubuh Nilakanti sudah melesat ke depan.
*****
"Rupanya gadis ini mengerti maksud kita! Nona manis..., apakah kau bersedia kami persembahkan pada Ketua?" kata Jatilangor, menyeringai memuakkan.
"Manusia-manusia berotak kotor! Tinggalkan tempat ini. Atau, nyawa kalian akan putus!" bentak Nilakanti.
"Luar biasa sekali! Dia galak! Dan aku yakin, dia pun liar di ranjang! Ketua pasti akan senang mendapat hidangan istimewa seperti ini!" sahut Jatilangor.
"Ke mana pemuda urakan yang tadi berjalan bersamamu" Apakah kau sudah sadar kalau pemuda itu tidak cocok untukmu?" Tiba-tiba saja tubuh Nilakanti berkelebat cepat. Lalu....
Plak! Tubuh Jatilangor terhuyung ke belakang dengan mulut berdarah. Entah bagaimana melakukannya, Nilakanti tahu-tahu sudah menampar mulut kurang ajar itu.
Meradanglah Jatilangor. Parangnya langsung diloloskan. Dan dikawal gerengan keras, tubuhnya melesat ke arah Nilakanti. Namun yang dihadapinya adalah murid tunggal Malaikat Putih Bayangan Maut. Dalam satu liukan tubuh ditambah kibasan tangan.
Desss...! Tubuh Jatilangor kontan terjatuh ke belakang. Begitu mencium tanah, dia tak bangkit- bangkit lagi. Melihat hal itu, kawan-kawan lelaki itu segera bergerak mengurung Nilakanti dengan parang besar siap dikibaskan.
Di balik semak, Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Wah.... Jadi panjang urusannya. Bisa lebih lama tiba di Lembah Matahari!" Andika pun keluar dari balik semak. Diperhatikannya Nilakanti yang sedang diserang tiga bilah parang besar.
Namun hanya sekali berkelebat gadis jelita berbaju putih itu dengan mudah menjatuhkan lawan-lawan. Yang tersisa kini hanya Gandowoto. Itu pun nyalinya sudah tampak ciut. Kegarangannya telah hilang tepat ketika ketiga sahabatnya berjatuhan.
Lelaki ini segera berbalik, langsung mengambil langkah seribu. Nilakanti bermaksud mengejar. Namun...
"Tidak usah dikejar! Kita harus melanjutkan perjalanan!" seru Andika, mencegah gadis itu. Nilakanti memang tidak mengejarnya, dan segera mengikuti langkah Pendekar Slebor.
*****
¤¤[ 3 ]¤¤
"Ketua! Ketua!" teriaknya.
Satu sosok tubuh berpakaian hitam yang duduk di undakan bangunan rusak itu berkelebat cepat.
"Gandowoto! Ada apa?"
"Dewi..., aku..., aku...." Tubuh Gandowoto sempoyongan. Sementara sosok berpakaian hitam yang mengeluarkan bau busuk itu segera menangkapnya. Lalu ditotok luka di paha lelaki itu, agar darah tak keluar lagi. Dan secepatnya dijejalinya mulut Gandowoto dengan obat pulung. Dengan gerakan ringan, sosok berpakaian hitam ini membawa Gandowoto ke dalam.
Tak sepeminum teh kemudian, Gandowoto merasakan kesehatannya membaik "Ceritakan, apa yang terjadi?" ujar sosok berpakaian hitam yang tak lain Dewi Sungai Bangkai. Dengan terpatah-patah, Gandowoto bercerita. Dewi Sungai Bangkai mendengarkan dengan seksama.
"Gadis itu bersama pemuda berbaju hijau pupus dan mempunyai kain bercorak catur pada bahunya! Jelas dia Pendekar SIebor!"sentak si perempuan tua.
"Begitulah, Dewi...."
"Rupanya pendekar keparat itu berada di sini!" Pintu kamar bangunan rusak itu terbuka. Satu sosok tubuh tegap keluar sambil memakai bajunya yang berwarna biru menyala.
"Di mana Pendekar Slebor itu berada"!"
"Dia..., bersama gadis yang bernama Nilakanti.., bergerak ke arah selatan...," sahut Gandowoto, takut-takut.
"Kita kejar mereka, Dewi Sungai Bangkai!" seru pemuda berbaju biru menyala yang tak lain Lima Jalan Darah.
"Apakah tidak kita tunggu Hantu Gigi Gading yang sudah dua hari ini berkeliaran mencari Pendekar Slebor!"
"Orang tua setan! Kau berani membantahku, hah"!" bentak Lima Jalan Darah, keras sekali. Saat yang sama terdengar pula suara gemuruh di belakang bangunan itu. Rupanya bangunan itu runtuh karena getaran yang sangat kuat dari suara Lima Jalan Darah.
"Persetan dengan Hantu Gigi Gading yang bodoh itu! Kita susul mereka! Gandowoto! Kau buang mayat gadis yang mampus di kamarku!" Lalu tanpa berkata lagi, Lima Jalan Darah sudah berkelebat. Sementara, Dewi Sungai Bangkai yang tak bisa berkata apa-apa segera menyusul.
Gandowoto yang sejak tadi membungkuk, kini berdiri. Perlahan-lahan kakinya melangkah ke kamar di mana Lima Jalan Darah tadi keluar. Tampak sosok tubuh bertelanjang bulat di sana. Dia tahu, gadis yang memiliki tubuh menggiurkan itu sudah mati.
Perlahan-lahan lelaki ini mengangkat mayat gadis itu. Dan begitu tubuh indah meskipun sudah menjadi mayat itu tersentuh tangannya, tiba-tiba saja gairahnya timbul.
Direbahkannya kembali sosok itu dan dipandanginya dengan mata berkilat-kilat.
Tepat ketika Gandowoto menindih tubuh kaku itu....
"Aaah..!" Tiba-tiba saja terdengar teriakan si lelaki yang keras setinggi langit. Tubuhnya bergetar dan mendadak saja tersentak jatuh ke lantai. Sebentar dia melejang-lejang, lalu diam tak bergerak lagi dengan mulut mengeluarkan darah.
Di satu lain, Lima Jalan Darah tersenyum dingin.
"Kau tak berguna lagi, Gando. Maka hadiah yang kau terima adalah kematian." desisnya.
*****
"Percayalah, Sayang. Semuanya akan kuakhiri hingga kau bisa tenang dan tidak sakit hati lagi." Di atas pohon tak terlalu tinggi, satu sosok bertubuh kerempeng bertengger.
Wajah jeleknya makin buruk saja ketika mengeluh begitu. Di tangannya yang nyaris tinggal tulang saja, tergenggam sebuah bungkusan yang nampak sangat disayanginya sekali. Rambut panjangnya yang acak-acakan dipermainkan angin.
"Aku tak sadar untuk membalaskan sakit hatimu itu, Sayang. Nenek peot yang berjuluk Dewi Sungai Bangkai harus mampus," lanjut si tubuh kurus seperti berbicara pada bungkusan di tangannya. Siapakah dia" Kalau melihat tampangnya, dia tak lain dari si Hantu Jantan, salah seorang dari Sepasang Hantu Neraka yang mendiami Gunung Kabut. Kenapa dia bicara pada bungkusan di tangannya" Karena isi bungkusan itu adalah kepala kekasihnya yang berjuluk si Hantu Betina yang meninggal karena sakit. Entah bagaimana mulanya, yang pasti kepala kekasihnya itu selalu berada di dalam bungkusan yang dibawa. Dan anehnya, meskipun sudah berbulan-bulan, potongan kepala itu tak mengeluarkan bau busuk sedikit pun. Saat ini si Hantu Jantan telah meninggalkan Gunung Kabut. Dia begitu marah besar pada Dewi Sungai Bangkai yang telah menendang lepas kepala si Hantu Betina dari tangannya. Kemarahannya tak dapat ditahan lagi. Dia bertekad untuk membalas semua ini (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Tasbih Emas Bidadari").
"Sayangku..., Meskipun aku telah bersumpah tidak akan membunuh, tetapi akan kulanggar sumpahku itu. Maafkan aku. Dendamku pada Dewi Sungai Bangkai mengalahkan semua ini. Tetapi aku yakin, kau pasti setuju dengan keinginanku ini, bukan ?" kala si Hantu Jantan lagi dengan tatapan penuh kasih sayang pada bungkusan yang berisi kepala si Hantu Betina. Tiba-tiba lelaki kurus ini mengerutkan keningnya. Telinganya dipertajam.
"Apa yang kau katakan" Oh" Aku tak perlu membunuh Dewi Sungai Bangkai" Baik, baik.... Akan kulakukan untukmu. Ah, ya, ya.... Kau benar, Sayangku. Aku telah bersumpah.
Tetapi, bila kupatah-patahkan tulang-belulangnya dan kubuat cacat perempuan tua setan itu, apakah kau mengizinkan?" desis si tua ini, lalu tertawa.
"Terima kasih, Sayangku Terima kasih atas persetujuanmu." Pembicaraan seperti itu bukanlah hal yang aneh bagi si Hantu Jantan. Dia seolah bisa mendengar kata-kata kekasihnya lewat potongan kepala itu.
"Apa kau bilang" Pendekar Slebor" Ah! Biarkan saja pemuda urakan itu pergi.
Sayangku. Oh, maaf.... Aku tak bermaksud membuatmu luka. Ya. ya.... Apa yang kau inginkan" Oh"! Lembah Matahari" Di mana lembah itu berada" Nah! Kau sendiri tidak lahu. Aku juga. Apa kau bilang" Dewi Sungai Bangkai akan berada di sana juga" Hhh! Bagus! Kalau begitu aku akan segera ke sana! Tetapi, apakah kau tidak ingin beristirahat dulu" Ya, ya.... Aku tahu, kau kuat menahan kantuk. Baiklah.... Kalau begitu, aku akan segera mencari tempat yang bernama Lembah Matahari. Tetapi, bukanlah sahabat kita Malaikat Putih Bayangan Maut mendiami tempat seperti itu" Kalau begitu, sekalian berkunjung ke tempatnya, meskipun aku tak tahu di mana Lembah Matahari berada." Sehabis berkata demikian, si Hantu Jantan mencelat. Bukan turun, melainkan berkelebat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Gerakannya begitu cepat sekali.
Bahkan tak terdengar suara gemeresek sedikit pun ketika sepasang kaki kurusnya menginjak dahan pohon yang dijadikan sebagai tumpuan loncatan.
*****
¤¤[ 4 ]¤¤
Berkuda paling depan seorang lelaki gagah terbungkus baju putih. Di dadanya berselimpang kain berwarna merah. Wajahnya kokoh dihiasi cambang dan kumis tipis. Di punggungnya terdapat dua bilah pedang yang bersilang.
Di belakangnya dua orang lelaki gagah mendampingi seorang gadis cantik yang menunggang kuda putih. Di belakang si gadis, berjalan sekitar lima orang lelaki bersenjata tombak. Dua orang dari mereka menggotong tiga ekor babi hutan dan sepuluh ekor kelinci. Mereka adalah pasukan Kadipaten Karanganyar yang saat ini baru saja pulang mengantarkan putri sang Adipati setelah tiga hari berburu di Hutan Panaran.
Mawar Wangi adalah satu-satunya putri dari Adipati Ramada, penguasa di Kadipaten Karanganyar. Adipati Ramada sangat menyayangi putrinya yang memiliki kegemaran berburu. Dan putrinya selalu diizinkan bila hasrat untuk berburu muncul.
Namun sudah barang tentu. Mawar Wangi tak dibiarkan pergi seorang diri.
Mawar Wangi sebenarnya jengkel dikawal terus-menerus. Dia ingin sekali bisa pergi berburu seorang diri tanpa harus dijaga dan diperhatikan. Akan tetapi, apa yang dikatakan ayahnya tak bisa ditolak. Karena bila menolak, maka hasratnya untuk berburu akan terpendam dan berubah menjadi kekesalan memanjang.
Selagi si gadis bersungut-sungut dalam hati karena rombongan bergerak sangat pelan, tiba-tiba saja kuda-kuda di depannya berhenti.
"Ada apa, Paman Subali?" tanyanya. Panas yang menyengat membuat kulitnya yang putih agak memerah. Pakaian ringkasnya yang berwarna kuning tampak sudah agak kucal. Busur yang dipergunakan untuk berburu tadi tersampir di bahunya.
"Tidak ada apa-apa. Den Mawar," sahut lelaki paling depan yang bernama Subali.
"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa berhenti" Ayo, cepat! Sudah panas sekali! Jalan kok seperti pengantin!" dengus Mawar Wangi.
Benaknya langsung membayangkan alangkah enaknya bila pergi seorang diri. Dan sejak tadi kudanya sudah digebah menuju kadipaten. Dan sekarang ini, langkah kudanya seperti satu-satu. Menjengkelkan! Pertanyaan Mawar Wangi langsung terjawab ketika matanya menemukan jawabannya. Di sebuah batu besar sejauh sepuluh tombak tampak seorang lelaki tinggi besar sedang duduk enak-enakan. Kulitnya yang hitam semakin terbakar matahari. Namun kelihaiannya dia tak peduli. Wajahnya begitu mengerikan. Terutama, tatapan matanya yang memperhatikan rombongan Mawar Wangi.
"Apanya yang aneh dengan orang jelek seperti itu" Biarkan saja!" makinya dalam hati. Sementara Subali yang telah banyak makan asam garam kehidupan melangkahkan kudanya penuh waspada. Ketika laki-laki berpakaian hitam itu terlewati, tampak kalungnya yang berbentuk taring dari gading di lehernya.
Subali menarik napas pendek. Hatinya merasa tenang sekarang. Karena, sebenarnya sudah lama kepala rombongan ini mendengar adanya gerombolan perampok yang suka menghadang dan menjarah pada rombongan atau penjual yang melewati tempat tandus ini. Dan kehadiran laki-laki berbaju hitam yang tahan duduk di bawah sinar matahari cukup membuatnya berhati-hati.
Akan tetapi, hanya sesaat saja ketenangannya. Karena tiba-tiba....
"Hentikan perjalanan kalian! Aku menginginkan gadis itu!" Terdengar bentakan keras bersamaan dengan satu sosok tubuh melesat, dan hinggap di depan rombongan itu dengan kedua kaki terbuka.
*****
"Kau menginginkan gadis itu" Apakah kau tidak tahu siapa dia" Hati-hati bicara, Pak Tua. Dia adalah putri Adipati Ramada!' desis Subali penuh perbawa. Dan dia yakin manusia ini adalah perampok yang sering dibicarakan orang. Kalau begitu, sudah tentu tidak sendiri. Akan tetapi, Subali tidak melihat tanda-tanda kalau lelaki besar itu datang bersama gerombolannya. Untuk bersembunyi di balik bukit-bukit, sudah tentu tidak mungkin. Karena selain jaraknya cukup jauh, juga panas yang akan membakar kulit mereka.
"Persetan dengan segala macam adipati! Jangan membuatku terlalu lama menunggu! Serahkan gadis itu!" bentak lelaki tinggi besar itu garang. Tatapannya mengandung ancaman mengerikan.
"Atau..., kuambil dia secara paksa!" Subali tak mau banyak bicara. Dari atas kudanya, dia mencelat. Di udara dua bilah pedangnya diloloskan, lalu dikebutkan ke arah lelaki berkalung taring.
"Setan keparat! Kau senang cari penyakit rupanya!" Si lelaki tinggi besar terbahak-bahak melibatnya. Lima jengkal serangan akan sampai, tubuhnya dibuang ke kiri. Bersamaan dengan itu kaki kirinya melepas tendangan cepat yang sukar dilihat. Buk! Tubuh Subali kontan terlempar sejauh dua tombak ke samping dengan pinggang bagai terasa patah. Melihat hal itu, dua orang pengawal berkuda segera menggebrak kudanya. Begitu dekat, keduanya melompat dan melesat ke arah si lelaki berkalung taring sambil membabatkan pedangnya.
Wuut! Wuutt! "Kalian lancang bersikap pada Hantu Gigi Gading!" leceh lelaki yang tcrnyata Hantu Gigi Gading sambil tertawa mengejek. Sudah beberapa hari ini dia tengah menjalankan perintah Lima Jalan Darah untuk mencari Pendekar Slebor.
Sekali tubuh Hantu Gigi Gading berkelebat, dua pengawal kontan terjungkal dengan leher patah. Terkejutnya lima pengawal bersenjata tombak melihat dua pengawal berkuda roboh hanya sekali gebrak. Namun tanpa mengendorkan semangat, mereka berlari mengurung Hantu Gigi Gading.
Sedangkan Mawar Wangi sendiri menggeram marah. Dia bukanlah gadis pengecut.
Disambarnya busur dan sarung anak panahnya, lalu melompat turun.
"Mawar! Kau tetap di sini!" cegah Subali, yang menjadi tegang.
"Tidak! Manusia keparat itu telah membunuh Paman Lingga dan Paman Sanur!" sergah si gadis. Sementara itu Hantu Gigi Gading terbahak-bahak begitu melihat Mawar Wangi.
"Manis....Rupanya kau sudah tidak sabar menunggu kakangmu..."
"Lelaki berotak kotor! Rasakan panahku ini!" Dalam keahlian memanah, Mawar Wangi bukan anak kemarin sore. Adipati Ramada telah membayar dua orang guru untuk mengajarkan putrinya memanah. Dua buah anak panah langsung dipasang Mawar Wangi. Dan....
Siing! Siingngng! Hantu Gigi Gading terbahak-bahak saja melihatnya. Sejengkal lagi anak-anak panah mencium sasaran, tangannya diangkat.
Trak! Trak! Dua buah anak panah itu terbelah menjadi empat. Dan anehnya, potongan empat anak panah itu justru melesat pada empat orang pengawal yang bertombak. Mereka terkejut dan tak sempat mengelak. Akibatnya....
Cras! Crab! Keempat pengawal kontan roboh dengan jantung tertusuk patahan anak panah. Kejap itu juga mereka tewas.
Mawar Wangi bertambah geram. Subali yang menyadari kemungkinan bahaya yang tak bisa dielakkan melompat mendekati Mawar Wangi.
"Tinggalkan tempat ini! Cepat, Mawar!" ujar Subali.
Sementara sisa satu pengawal bertombak mencoba bertindak nekat. Dengan keberanian yang dipaksakan dia maju sambil menusukkan tombak ke arah Hantu Gigi Gading.
Namun hanya sedikit memiringkan tubuhnya, Hantu Gigi Gading berhasil menghindarinya. Lantas tangannya bergerak cepat merampas tombak. Dan hanya sekali putar saja, tombak itu telah menancap di perut si pengawal.
"Menyenangkan sekali! Sebelum aku menemukan Pendekar Slebor, aku akan menikmati hidangan manis ini!" Tiba-tiba Hantu Gigi Gading menderu ke arah Mawar Wangi. Namun Subali telah menghalanginya dengan sepasang pedang.
Wuut! Wuuut! Hantu Gigi Gading terpaksa mengurungkan niatnya menangkap Mawar Wangi. Akibatnya kemarahan si lelaki bertubuh besar ini menjadi berlipat ganda. Tiba-tiba saja tangannya mengibas. Wuuss! Subali terkejut. Segera tubuhnya dibuang ke tanah ketika dirasakannya angin panas menderu hebat ke arahnya.
Duar! Pasir berdebu yang panas mencelat ke atas begitu pukulan jarak jauh Hantu Gigi Gading menghantam. Sementara Subali telah bergulingan dan cepat berdiri tegak. Tak menghiraukannya betapa panasnya debu-debu yang menempel di tubuhnya.
"Mawar! Cepat tinggalkan tempat ini! Cepat!" teriak Subali.
"Kau sendiri bagaimana. Paman?" tukas Mawar Wangi.
"Jangan hiraukan aku! Cepat!" teriak Subali sambil mendorong tubuh Mawar Wangi naik ke kudanya.
"Cepat, Mawar! Cepat!" Mawar Wangi hanya mengangguk. Begitu berada di atas kudanya dia berbalik.
Matanya masih sempat melihat Hantu Gigi Gading memburunya. Namun, tiba-tiba dihalangi Subali.
"Setan!" maki Hantu Gigi Gading muak.
Hanya sekali bergerak, tubuh Subali terpental dengan seluruh tulang terasa patah. Setelah muntah darah, dia pun ambruk dengan nyawa melayang.
Sementara Hantu Gigi Gading sudah berkelebat menyusul Mawar Wangi yang melarikan kudanya bagai dikejar setan.
*****
¤¤[ 5 ]¤¤
Mawar Wangi memacu kudanya ke arah perbukitan. Karena, dari sana dia bisa memotong jalan menuju kadipaten. Namun sebelum tiba di perbukitan yang cukup tandus itu, tiba-tiba saja dia tersentak. Tali kekang ditariknya kuat-kuat, membuat kaki depan kudanya terangkat disertai ringkikan keras.
Di depannya, Hantu Gigi Gading telah berdiri dengan kedua kaki terbuka. Sepasang mata tajamnya bersorot mengerikan, membuat jantung si gadis seakan mau copot.
Seringainya membuat batin jadi bergetar.
"Kau tak akan bisa melarikan diri dari tanganku. Manis!" desis Hantu Gigi Gading. Wajah cantik Mawar Wangi menjadi pucat. Kepalanya celingukan bagai anak ayam kehilangan induk, seolah tak tahu harus berbuat apa. Hanya mulutnya yang mengeluarkan suara tergagap. Apalagi melihat lelaki itu perlahan-lahan mendekatinya.
Tergesa-gesa dan kecemasan yang berbalur menjadi satu, Mawar Wangi memutar kudanya. Tetapi anehnya, kudanya tak mampu bergerak dari tempatnya meskipun pinggulnya sudah ditepuk-tepuk.
"Ayo, jalan! Jalan!"
"Sudah kukatakan, kau akan menjadi milikku!" Dikawal suara tawa terbahak-bahak tubuh Hantu Gigi Gading tiba-tiba saja melesat ke arah Mawar Wangi.
Wuss! Tap! "Auuu...!" Mawar Wangi tergagap. Dia berteriak keras ketika tangan penuh bulu itu menyambar tubuhnya. Sebisanya dia meronta-ronta sambil memukuli punggung si lelaki. Namun Hantu Gigi Gading hanya terbahak-bahak saja. Pukulan itu dianggapnya hanya bagai elusan saja.
"Lakukan sepuasmu, Manis.... Karena sebentar lagi, kau tak akan mampu melakukannya," susul Hantu Gigi Gading, melecehkan.
"Lepaskan aku, Keparat! Lepaskan!" teriak Mawar Wangi kalap Hantu Gigi Gading semakin mengumbar tawa keras. Mendadak kakinya menyepak sebuah kerikil hingga langsung meluncur ke arah kuda yang kaku.
Tuk! Kuda yang tadi ditotok dengan gerakan sangat cepat pun terbebas. Begitu terbebas dari totokan, kuda itu meringkik dan berlari kencang tak tentu arah.
"Menyenangkan sekali. Sebelum kulanjutkan untuk mencari Pendekar Slebor..., ada baiknya bersenang-senang dulu." Dibawanya tubuh Mawar Wangi ke arah jalan setapak menuju sebuah hutan. Sedangkan si gadis hanya mampu berteriak dan memukuli punggung si lelaki Akan tetapi, baru saja Hantu Gigi Gading melangkah lima tindak, tiba-tiba saja melesat satu sosok bayangan ke arahnya disertai deru angin keras.
Hantu Gigi Gading terperangah. Lebih terperangah lagi ketika mendadak tubuhnya terasa bergetar. Tangannya yang memanggul Mawar Wangi terlepas. Dan tubuh gadis itu pun lenyap dari punggungnya.
"Setan Alas! Siapa kau"!" bentaknya setelah mengalirkan tenaga dalam untuk menghentikan getaran tubuhnya.
*****
"Apakah kau sudah lupa padaku, Hantu Gigi Gading?" sapa si pemuda yang tak lain Pendekar Slebor.
"Kalau aku sih, tak pernah lupa dengan gigimu yang penuh jigong itu." Hantu Gigi Gading menggeram dengan kedua tangan terkepal.
"Keparat! Kau akan mampus kali ini, Pendekar Slebor!"
"Apakah kau mampu menghadapinya, hah"!" Mendadak terdengar satu suara dari belakang. Cepat tanggap, si lelaki kasar itu membalikkan tubuhnya. Dia terbahak-bahak begitu melihat Nilakanti telah berdiri dengan tatapan sengit.
"Tak mendapat gadis itu, biarlah. Asal kau sebagai gantinya!" oceh Hantu Gigi Gading.
"Setan laknat! Kusobek mulutmu!" Gadis berpakaian pulih itu melesat laksana kilat. Di tangannya telah terangkum tenaga dalam tinggi. Angm lesatannya membawa hawa panas yang bisa jadi akan mengeritingkan bulu-bulu di tubuh Hantu Gigi Gading.
Si lelaki sadar, tingkat kepandaian gadis ini hampir setara dengannya. Maka dia pun tak mau bertindak ayal-ayalan. Tubuhnya pun melesat, menerjang dengan dahsyat.
Buuum...! Dua tenaga dalam kuat berbenturan. Terdengar suara ledakan, ketika dua sosok tubuh terpental ke belakang.
Nilakanti memegang dadanya yang terasa nyeri. Matanya memandang Hantu Gigi Gading yang menggeram murka ketika dari pelipisnya mengalir darah.
"Perempuan sialan! Aku tak akan mengampunimu lagi!" dengus si lelaki, seraya mengempos semangatnya. Seketika itu juga tubuhnya meluruk.
Pada saat yang sama, Nilakanti pun tak tinggal diam. Secepatnya dia berkelebat melayani. Tak dapat dihindari lagi, pertempuran sengit pun berlangsung satu sama lain saling ingin mengalahkan. Terutama, Hantu Gigi Gading. Dia masih merasa beruntung bertarung dengan Nilakanti daripada menghadapi Pendekar Slebor. Karena dia tahu.
kepandaiannya tak jauh berbeda dari si gadis.
Lima belas jurus sudah berlalu. Dan masing-masing telah terluka. Di tempatnya.
Pendekar Slebor cuma mendesah pendek. Sebenarnya dia berkeinginan menolong Nilakanti. Akan tetapi jiwa kependekarannya tidak mengizinkan. Baginya, hanya orang-orang curanglah yang mengeroyok, padahal pertarungan berjalan seimbang. Makanya, Nilakanti dibiarkan saja menghadap Hantu Gigi Gading. Dan hati kecilnya pun yakin, murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu akan mampu menguasai pertarungan.
Sementara Mawar Wangi yang sudah agak tenang dan kini berdiri di samping Andika, diam-diam menghela napas lega. Dia ngeri sekali melihat pertarungan maut di hadapannya. Meskipun tak mengenal siapa muda-mudi yang menolongnya, namun dalam hati berterima kasih sekali. Perhitungan si pemuda urakan yang otaknya tergolong encer itu agaknya tak berlebihan. Dalam jurus berikutnya dia melihat Nilakanti sudah meloloskan pedangnya.
Gebrakan selanjutnya si gadis sudah menguasai pertarungan.
Namun Hantu Gigi Gading pun tak mau begitu saja dijadikan sasaran pedang. Dia harus bertindak hati-hati oleh tajamnya pedang dan sinar putih menyilaukan mata yang keluar dan mata pedang. Bum! Bum! Setiap kali sinar putih melesat dan menghantam ruang kosong, selalu menimbulkan ledakan keras. Debu-debu langsung terangkat naik menghalangi pandangan. Tanah yang jadi sasaran seketika membentuk lubang.
"Gadis ini benar-benar tangguh!" dengus Hantu Gigi Gading.
Cepat Hantu Gigi Gading melenting ke samping untuk menghindari sinar putih ke arahnya. Begitu menjejak tanah, digosoknya kalung taring gading dengan mulut komat-kamit. Set! Tiba-tiba saja melesat sinar hitam menggidikkan ke arah Nilakanti. Si gadis melompat mundur sambil mengibaskan pedangnya. Seketika sinar putih kembali melesat, memapak. Duaaar! Tegangnya pertarungan, kembali dibuncah ledakan dahsyat ketika dua sinar itu beradu di udara. Hantu Gigi Gading terpental dan jatuh keras di tanah. Sedangkan Nilakanti hanya terjajar beberapa langkah.
Si gadis agaknya tak menyia-nyiakan kesempatan. Berikutnya, dia sudah menerjang dengan jurus andalan, 'Kibas Pedang Mengambil Tenaga Lawan'.
Si lelaki bertubuh besar ini cepat bangkit, untuk melayani serangan.
Dua jurus kemudian Hantu Gigi Gading merasa tenaganya semakin lama semakin terkuras. Akibatnya, keadaannya pun melemah.
Malah seketika si gadis membabatkan pedangnya secara menyilang....
Cras! Cras! "Aaakh...!" Pedang di tangan Nilakanti tahu-tahu telah membabat kutung kedua lengan Hantu Gigi Gading. Darah pun bersimbah. Tubuh Hantu Gigi Gading terhuyung ke belakang, lalu jatuh ke tanah. Sementara Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Murid Malaikat Putih Bayangan Maut memang tak bisa dianggap enteng. Luar biasa," pujinya. Saat itu Nilakanti sedang memasukkan pedangnya ke dalam warangka. Didekatinya Hantu Gigi Gading yang bergulingan ke sana kemari. Darah yang keluar semakin banyak. Lukanya bertambah perih saja ketika terkena debu-debu panas. Jeritannya membahana bagai memecah langit.
"Kau masih beruntung karena aku tidak membunuhmu, Manusia Setan! Lekas pergi dari sini!" desis si gadis.
"Bunuh aku! Bunuh aku, Keparat!" rutuk Hantu Gigi Gading.
Nilakanti tersenyum.
"Rasakanlah bagaimana sakitnya luka diderita. Hal itu pun dialami orang-orang yang pernah kau siksa!" kata si gadis, lalu menoleh pada Pendekar Slebor.
"Kang Andika! Akan ke manakah kita sekarang ini?"
"Kalau kau mau bermalam di sini, ya silakan. Aku tak melarangmu, kok," sahut si pemuda, seenaknya. Nilakanti mendengus.
"Tetapi bagaimana dengan gadis itu?" susul si gadis, seraya memandang Mawar Wangi yang sedang berdiri dengan wajah pucat.
"Soal gadis, akan selalu jadi urusanku. Akulah jagonya.... He he he.... Tapi, masa iya sih kau tega mendahuluiku ke Lembah Matahari?" Nilakanti terdiam. Tetapi sejurus kemudian matanya melotot ketika Andika mengedipkan mata kirinya.
"Genit!" Sementara itu Mawar Wangi tampaknya semakin tegang dengan apa yang dialaminya.
Ditariknya napas panjang.
"Maukah kalian kuajak ke rumah?" tanya gadis ini tergagap.
"Siapa namamu?" tanya Andika. Lagaknya sok menjadi Dewa Pelindung. Dan ini membuat Nilakanti mencibir.
"Mawar.... Mawar Wangi."
"Nama yang bagus sekali," puji Andika, lalu menoleh pada Nilakanti.
"Nila, sebaiknya kita antar dulu gadis ini ke rumahnya," susulnya sok berwibawa.
Nilakanti cuma mengangkat bahunya.
"Terserah kau saja." Lalu tanpa menunggu jawaban Andika, murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu sudah melangkah mendahului "Hei! Apakah kau tahu jalan menuju rumah gadis ini?" tanya Andika. Si pemuda tak mengerti mengapa Nilakanti seperti tegang begitu.
"Masa bodoh! Toh ada gadis itu bila aku salah jalan!" jawab Nilakanti seenaknya, tanpa menoleh sedikit pun.
Andika yang menggaruk-garuk kepalanya sekarang dan bersama Mawar Wangi dia melangkah mengikuti.
"Kutu kupret! Kok jadi begini urusannya?" maki Andika dalam hati.
Tetapi kemudian otak encer si pemuda segera menemukan jawabannya. Nilakanti pasti tidak setuju kalau mereka mengantarkan gadis ini dulu. Karena perjalanan menuju ke Lembah Matahari akan semakin lambat saja. Namun pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu tidak tahu sama sekali apa yang ada di hati Nilakanti yang paling dalam.
*****
"Diakah yang bergelar Pendekar Slebor?" tanyanya pada diri sendiri dengan tatapan mata lebih membuka. Diperhatikannya tiga sosok tubuh yang semakin menjauh.
"Hmm, ini kesempatanku untuk membuntutinya. Pusaka ampuh milik Tasbih Emas Bidadari untuk melaksanakan keinginanku dalam menguasai rimba persilatan ini. Bertahun-tahun aku mencoba mendapatkannya dari Ki Bubu Jagat. Namun, lelaki keparat itu berhasil mengalahkan aku terus-menerus. Kini, kutahu dia telah mati. Tak sia-sia kutinggalkan Tepi Kali Musang untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari." Sosok lelaki berpakaian merah darah dengan celana hitam itu menatap ke alas.
Langit tidak begitu terang seperti tadi. Matahari sudah berada di ujung peraduannya. Di benaknya, terbayang kembali peristiwa tiga puluh tahun yang lalu, di saat dia bertarung hebat dan kalah oleh Ki Buyut Jagat yang berbekal kesaktian dari Tasbih Emas Bidadari. Dan selama tiga puluh tahun berlatih di tepi Kali Musang, dia hendak menantang kembali Ki Bubu Jagat. Namun semua keinginan itu kandas. Karena, Ki Bubu Jagat telah tewas di tangan muridnya sendiri, si Gampo Sinting yang membunuhnya secara licik. Dengan hati murka, lelaki yang berjuluk Setan Selaksa Wajah itu pun meninggalkan kediaman Ki Bubu Jagat.
Di sana, secara tak sengaja, Setan Selaksa Wajah mendengar kabar kalau pusaka ampuh Tasbih Emas Bidadari disembunyikan Ki Bubu Jagat. Dalam pencariannya, secara tak sengaja terdengar kabar kalau Tasbih Emas Bidadari telah dimiliki Pendekar Slebor. Kini, dendam dan keinginan Setan Selaksa Wajah untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari beralih pada Pendekar Slebor yang namanya akhir-akhir ini telah menggemparkan dunia persilatan. Tekadnya, dia tak akan pernah kembali ke Tepi Kali Musang sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Sekaligus, membunuh Pendekar Slebor. Karena me- nurut perkiraannya, bila berhasil membunuh pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan itu, maka namanya akan lebih banyak ditakuti orang-orang rimba persilatan.
Sekarang, secara tak sengaja Setan Selaksa Wajah mengetahui bagaimana rupa orang yang dicari nya. Dan seluruh keinginannya akan dituntaskannya sekarang juga! "Selain ingin mendapatkan Tasbih Emas Bidadari, aku juga ingin mengetahui kehebatan Pendekar Slebor yang banyak dibicarakan orang! Hhh! Dia akan terkejut bila berhadapan denganku! Akulah Setan Selaksa Wajah yang akan menghentikan sepak terjangnya yang selalu menghalangi keinginan orang-orang sepertiku!" Lelaki berwajah tampan itu tergelak-gelak keras. Suaranya membahana ke Seantero tempat tandus itu. Dan tiba-tiba saja buntalan kainnya dibuka. Diambilnya beberapa benda dari sana. Lalu dibukanya rambut palsu. Segera dikenakannya rambut yang lebih panjang. Hanya dalam sepuluh hitungan, paras si lelaki sudah berubah. Dari paras tampan tadi, kini terlihat seraut wajah jelita mempesona. Getar pesonanya begitu menjerat sukma. Si gadis jelita jelmaan dari Setan Selaksa Wajah mulai melangkah meninggalkan tempat itu. Tak seorang pun yang tahu bagaimana rupa asli Setan Selaksa Wajah.
*****
¤¤[ 6 ]¤¤
Ketika cerita selesai, Adipati Ramada memandang penuh terima kasih pada Pendekar Slebor dan Nilakanti.
"Bila tak ada kalian, entah bagaimana nasib putriku ini...,"desah lelaki berusia kira-kira empat puluh tiga tahun itu.
Wajah si adipati mencerminkan kebijaksanaannya. Matanya penuh sorot kelembutan.
Wajahnya kukuh menandakan kegigihannya. Pakaiannya terusan batik dengan kain Jingga yang melilit pinggangnya.
"Yang menolong bukan aku,. Adipati," kata Andika hormat.
"Tapi gadis di sampingku ini." Andika menunjuk Nilakanti dengan jempolnya.
"Terima kasih kuucapkan kepadamu, Nisanak," ucap Adipati Ramada.
"Hm....
Kulihat, kalian nampaknya sedang melakukan perjalanan jauh. Ada baiknya bila kalian beristirahat barang satu dua malam di sini." Sementara itu Mawar Wangi sudah duduk di sebelah ayahnya. Gadis itu sudah tidak terisak lagi.
"Terima kasih, Adipati. Kebaikan Adipati bukannya kami tolak. Tetapi mengingat perjalanan kami yang masih jauh, sebaiknya kami mohon diri," sahut Nilakanti, mendahului Andika. Padahal sejak dalam perjalanan tadi, dia tidak bicara sepatah kata pun.
Andika melirik enteng pada Nilakanti. Lalu tatapannya beralih pada wajah Adipati Ramada yang kelihatan agak kecewa. Ketika melirik Mawar Wangi, tatapan mata gadis itu tampak sangat menyayangkan bila kedua penolongnya menolak kebaikan ayahnya.
"Orang-orang rimba persilatan seperti kalian memang selalu menyenangi perjalanan. Baiklah... Aku tidak bermaksud menahan kalian lebih lama lagi, meskipun sangat mengharapkan kalian bisa bermalam di sini. Paling tidak untuk malam ini."
"Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih," sahut Nilakanti, mendahului Andika yang mulutnya sudah terbuka ingin bicara.
"Kalau begitu, terimalah hadiah uang yang jumlahnya kupikir bisa membiayai kalian dalam perjalanan menuju Lembah Matahari."
"Terima kasih, Adipati. Dua ekor kuda, nampaknya lebih berguna untuk kami."
"Kalau begitu, kalian akan mendapatkannya." Adipati Ramada memerintahkan seorang pengawal untuk mengambil dua ekor kuilu terbaik milik kadipaten.
"Mengapa kalian menolak kebaikan ayahanda" Bukankah kalian nampak lelah" Kalian masih butuh makan untuk mengisi perut. Juga, kalian harus beristirahat," tuntut Mawar Wangi, seolah setengah memaksa agar kedua penolongnya bersedia menerima tawaran ayahnya.
"Kami pikir, memang sudah seharusnya untuk melanjutkan perjalanan. Karena semakin cepat kami tiba di Lembah Matahari, rasanya semakin baik," serobot Nilakanti.
"Tetapi...."
"Terima kasih atas kebaikanmu dan ayahmu, Mawar Wangi," potong Nilakanti Si gadis memang melihat kesempatan untuk berdua kembali dengan Andika. Kini disadari, hatinya sudah terpaut erat pada pemuda urakan itu. Dia menginginkan balasannya. Nilakanti tak rela bila Andika justru terpaut pada kecantikan Mawar Wangi.
Dua ekor kuda itu telah disiapkan. Nilakanti dan Andika pun segera berpamitan.
Kepergian mereka dilepas oleh Mawar Wangi dengun mata agak berkacak-kaca.
Setelah keduanya menghilang dari pandangan, Mawar Wangi berlari masuk ke kamarnya. Entah mengapa dalam perjumpaan pertama dengan Andika, hatinya yang belum pernah tersentuh benih cinta, kini terasa bergetar.
*****
Saat ini kuda-kuda mereka memasuki sebuah hutan. Matahari telah tenggelam sejak tadi. Mereka terpaksa memperlambat laju kuda. Suasana tampak sepi dan gelap.
Sementara itu Nilakanti kini menghentikan langlah kudanya. Ringan sekali dia melompat turun.
"Di hutan seperti ini"!" belalak Andika sambil melompat turun.
Sementara Nilakanti dengan tak acuhnya sudah merebahkan tubuh di bawah sebuah pohon.
"Kenapa sih sikapmu jadi lain sekali" Nampaknya kau marah padamu, Nila" Katakan, kenapa jadi begini?" susul Andika, memasang wajah penuh tuntutan.
Sudah tentu Nilakanti tidak mau menceritakan yang sebenarnya. Sebagai seorang gadis, dia tentu saja malu untuk mengutarakan isi hatinya.
"Rewel! Baru aku tahu kalau Kang Andika ini cerewet" bentak si gadis.
"O..., baru tahu ya kalau aku cerewet" Sial! Aku pun juga baru tahu kalau aku cerewet. Sudahlah, katakan saja, ada apa denganmu.
Kalau tidak, kutinggal kau di sini!" ancam Andika dengan kedua tangan berada di pinggang. Nilakanti tak menggubris kata-katanya Hatinya masih dilanda cemburu.
"Tinggal saja!" susul si gadis, menyentak.
Andika tersenyum dalam hati. Dia tahu, meskipun. Nilakanti berkata begitu, namun hatinya tidak menghendakinya. Lalu tanpa banyak cakap lagi. Andika menggebah kudanya.
"Biar kau dimakan macan di situ!" Andika menakut-nakuti.
"Masa bodoh!" Kuda Andika melesat meninggalkan tempat itu. Nilakanti terhenyak. Tiba-tiba baru disadari kalau sekelilingnya menyeramkan. Entah mengapa dia yang terbiasa dalam tempat yang seram seperti ini, menjadi agak ngeri. Mungkin karena mulai terbiasa berdua bersama Andika.
"Kang Andika!" serunya keras.
Tak ada sahutan apa pun. Nilakanti jadi menggigil sekarang. Dia menyesali sikapnya yang membuat Andika menjadi marah dan kesal. Tetapi, dia merasa hal itu lebih baik bila Andika bersikap seperti itu daripada harus berada di dekat Mawar Wangi. Hanya saja, kini dia menjadi kehilangan Andika.
"Apakah aku harus mengatakan yang sesungguhnya?" desah si gadis masygul.
"Tetapi, apakah aku tidak akan ditertawainya?" Hati Nilakanti menjadi kacau sekarang.
"Kang Andika.... Apakah kau tidak tahu mengapa sikapku jadi begini" Karena aku cemburu, Kang. Aku khawatir kau tertarik pada Mawar Wangi.... Padahal, hatiku mulai dekat denganmu, Kang.... Ah! Bila kukatakan semua ini, apakah kau marah" Aku harus mencobanya. Aku tak mau dia bertambah marah padaku," lanjut gadis ini tetap mendesah. Berpikiran demikian, Nilakanti melompat ke kudanya. Namun belum lagi kudanya digebah gebrak, tiba-tiba....
"Ha ha ha...!" Mendadak terdengar suara terbahak-bahak yang sangat keras.
"Kang Andika!" seru Nilakanti terperanjat. Wajahnya langsung memerah karena malu tak terkira.
*****
"Jadi itu sebabnya, Nila" Mengapa tak mengatakannya padaku" Aku tidak akan marah, malah senang sekali." kata Pendekar Slebor.
Nilakanti yang kaget karena tahu-tahu Andika berada di dahan pohon di atasnya, tak dapat menahan sifat kewanitaannya lagi. Ingin menangis rasanya.
Andika melompat turun, setelah menghentikan tawanya. Dia mengerti, mengapa Nilakanti menundukkan kepalanya. Lalu dengan hati-hati didekatinya gadis itu, dan dirangkulnya.
"Kau tidak usah malu, Nila. Tenanglah. Semuanya akan selesai...."
"Tetapi...," Nilakanti tersendat dalam pelukan Andika.
"Sudahlah.... Lebih baik kita beristirahat sekarang. Bukankah kau lelah. Nah, kau lihat itu?" Andika menunjuk ke dahan pohon yang tadi didudukinya.
"Apa, Kang?" tanya Nilakanti. Samar dia melihat sebuah benda bergelantungan.
Andika berkelebat melompat, lalu hingga kembali di tanah. Di tangannya tertenteng tiga ekor kelinci gemuk.
"Bukankah kita bisa mengisi perut sekarang?" Nilakanti tersenyum. Hatinya kini lega dan senang. Lega karena Andika tidak marah, senang karena telah mengatakan isi hatinya secara tidak langsung. Dia baru sadar kalau Andika tidak sungguh-sungguh meninggalkannya. Malah, menjebaknya. Diam-diam Nilakanti pun mengagumi betapa tingginya ilmu meringankan tubuh Pendekar Slebor.
*****
¤¤[ 7 ]¤¤
Gadis yang selama hidupnya baru kali ini tersentuh api cinta, benar-benar sedih atas perpisahan itu. Namun dia tak pernah berpikir kalau semuanya terjadi karena kecemburuan Nilakanti. Malam terus merangkak perlahan namun pasti. Halaman kadipaten yang biasa dijaga ketat, kali ini kecolongan dengan masuknya satu sosok hijau pupus dengan sehelai kain catur yang melompat dari balik dinding sebelah timur gerakannya begitu cekatan sekali.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sosok tubuh ini melesat kembali. Sekarang, dia sudah berada di sisi sebuah dinding. Lalu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun tubuhnya menyelinap mendekati sisi sebuah kamar yang masih terang.
Sampai di situ, sosok yang ternyata pemuda tampan bebaju hijau pupus menajamkan pendengarannya. Dan telinganya menangkap desahan panjang Mawar Wangi.
"Kang Andika.... Mengapa kau tega meninggalkan ku" Padahal aku masih ingin mendapatkan ketenangan bersamamu." Sosok berpakaian hijau pupus itu tersenyum. Ditekuknya jendela kamar Mawar Wangi.
"Mawar.... Mawar...," panggil pemuda yang ternyata Pendekar Slebor.
Mawar Wangi tercekat. Dia ingat betul akan suara itu. Bergegas gadis ini berlari ke jendela kamarnya dan segera membukanya.
"Kang Andika!" serunya penuh gembira begitu melihat sosok pemuda yang dirindunya berada di hadapannya.
Pendekar Slebor tersenyum.
"Tidak usah menangis. Semuanya akan berjalan seperti yang diharapkan," ujar si pemuda. Mawar Wangi tersenyum gembira. Namun ada sesuatu yang membuatnya harus bertanya.
"Adakah yang tertinggal. Kang Andika?"
"Ya."
"Oh! Apakah itu?"
"Kau, Mawar." Dada Mawar Wangi berdebar gembira mendengarnya Semua kesedihan yang baru dirasakannya lenyap begitu saja. Namun sekali lagi, sebagaimana layaknya gadisgadis lain, dia tak mau memperlihatkan kelemahannya.
"Di manakah Kak Nilakanti?" tanya si gadis.
"Dia menunggu kita di tepi sungai sebelah utara."
"Kita, Kang Andika" Apa maksud Kang Andika?"
"Mawar.... Apakah kau tak ingin mengikuti perjalananku bersama dengan Nilakanti'' "Oh! Aku ingin sekali. Tetapi...."
"Kau takut ayahmu akan marah?" tebak si pemuda.
Kepala Mawar Wangi mengangguk cepat.
"Tidak perlu khawatir. Malam ini juga ikut dengan kami. Besok pagi, aku akan mengantarmu datang ke sini lagi untuk meminta izin ayahmu."
"Kita mau ke mana, Kang Andika?" Sosok berbaju hijau pupus itu tersenyum.
"Aku tak ingin membuatmu sedih. Aku ingin menghiburmu." Hati Mawar Wangi berbunga-bunga mendengarnya. Dia berpikir, apa yang dikatakan pemuda tampan gagah ini memang benar.
"Tolong bantu aku keluar," bisiknya kemudian.
Sosok berbaju hijau pupus itu segera mengangsurkan tangannya. Lalu....
"Hup!" Tubuh Mawar Wangi sudah berada dalam rangkulan si pemuda. Begitu padat dan menebarkan harum semerbak.
"Kau sudah siap sekarang, Mawar?" tanya Andika.
"Ya, Kang. Bersamamu, aku merasa senang," sahut si gadis, polos.
"Begitu pula denganku; Mawar. itu sebabnya aku kembali ke sini." Lalu dengan kelebatan yang luar biasa cepatnya, sosok berbaju hijau pupus itu melesat membawa tubuh padat Mawar W angi. Sampai-sampai mata si gadis terpejam karena merasa bagai dibawa terbang.
Hanya dalam lima belas tarikan napas saja, mereka sudah berada di sebuah hutan kecil yang berjarak ratusan tombak dari Kadipaten Karanganyar.
"Di manakah Kak Nila, Kang Andika?" tanya Mawar Wangi yang telah turun dari rangkulan Pendekar Slebor.
Mata indah si gadis agak kecut juga memperhatikan kegelapan di sekelilingnya.
Kalaupun pernah memasuki hutan yang lebih lebat dari hutan ini, itu pun siang hari dan ditemani para pengawalnya. Diam-diam, Mawar Wangi menyadari akan kebenaran larangan ayahnya yang tidak pernah menghendakinya pergi berburu seorang diri.
"Aku juga tidak tahu. Barangkali dia mengerti, kalau kini kita berdua, Mawar," sahut Pendekar Slebor sambil meremas tangan Mawar Wangi.
Dada Mawar Wangi berdebar kembali, senang bercampur tegang.
"Maksud..., maksud Kang Andika bagaimana?" tanyanya tersendat.
Si gadis merasa seluruh sendi di tubuhnya bagai lolos begitu saja ketika melihat pandangan mesra Pendekar Slebor yang menghujam tepat di sudut hati kewanitaannya. Senyum di bibir Pendekar Slebor semakin mengembang.
"Bukankah kau sudah mengetahuinya, Mawar?" tukas Andika penuh getaran.
"Aku..., aku...."
"Kau cantik, Mawar...." Sukma Mawar Wangi kontan bagai melambung ke langit tingkat tujuh mendengar pujian sang pemuda pujaan. Perlahan-lahan kepalanya menunduk guna menghilangkan rasa jengahnya. Dan tubuhnya ganti menggigil ketika perlahan-lahan dengan penuh kelembutan tangan Andika memegang dagunya, lalu mengangkatnya.
"Jangan menunduk, Mawar. Biarkan aku menikmati keindahan wajahmu..." Perasaan Mawar Wangi semakin tak menentu. Tubuhnya mendadak tegang ketika perlahan-lahan bibirnya disentuh benda lunak. Dan didorong oleh nalurinya, perlahan-lahan gadis cantik itu memejamkan mata. Dinikmatinya ciuman hangat yang baru pertama kali dirasakannya. Dan ketika tubuhnya ditidurkan di rumput yang tebal, si gadis pasrah saja.
Seluruh sukmanya seolah telah melayang dalam angan kenikmatan. Dirasakannya bagaimana belaian mesra disertai bisikan yang membuatnya semakin pasrah. Tubuhnya menjadi panas.
Aliran darahnya dirasakan mendadak berjalan cepat.
"Sebentar, Mawar.... Aku ingin melihat-lihat keadaan dulu," bisik Andika, membuat gejolak si gadis tersurut.
Mawar Wangi membuka kedua matanya.
"Semuanya aman, Kakang...," desah gadis itu.
"Aku menyukaimu. Mawar. Tetapi, tunggu dulu sebentar. Aku yakin kau mau bersabar, bukan?" ujar si pemuda sambil tersenyum.
"Tetapi...."
"Aku tidak lama," sela Andika "Aku hanya akan memeriksa keadaan sekeliling tempat ini. Sekaligus mencari tahu di mana Nilakanti berada. Biar bagaimanapun juga, aku bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu...." Mawar Wangi meskipun sedikit kesal, hanya menganggukkan kepalanya. Ditutupinya lagi pakaian bagian atasnya yang sudah terbuka.
"Jangan lama-lama, Kakang...," ingat si gadis.
"Percayalah, aku tidak akan lama. Lagi pula, mana mungkin aku tega meninggalkanmu seorang diri di sini?" Setelah mengecup bibir ranum Mawar Wangi, tubuh si pemuda pun melesat meninggalkan Mawar Wangi.
"Rupanya, Kang Andika menyukaiku pula. Ini suatu hal yang sangat menyenangkan...," desahnya sambil tersenyum penuh harap.
Di satu tempat yang agak jauh dari sana, pemuda berbaju hijau pupus itu berhenti. Telinganya langsung ditajamkan. Lalu dengan cepat tubuhnya melompat ke atas sebuah pohon. Sejenak matanya menatap ke sekitar tempat, di mana dua sosok anak muda berlainan jenis sedang tertawa gembira sambil memanggang daging kelinci.
"Sangat menyenangkan! Yang kuciri-cari ber-ada di sini. Bau harum dari daging panggang itulah yang menunjukkan keberadaanmu, Pendekar Sle-bor. Hmm Mawar Wangi sudah berada di tanganku. Aku harus memainkan seluruh peranan. Akan ku kacaukan keadaan Pendekar Slebor sebelum mendapatkan Tasbih Emas Bidadari!" Tiba-tiba saja pemuda berbaju hijau pupus itu menuju ke satu tempat. Di balik sebuah semak, didapatinya sebuah buntalan kain.
"Hmmmm.... Aku sekarang harus merubah diriku menjadi Mawar Wangi setelah tadi menjadi Pendekar Slebor,"
"Beruntung aku membawa berbagai jenis pakaian wanita," gumamnya.
Pemuda berbaju hijau pupus menghilang di balik semak. Dia melakukakan itu untuk dapat berganti menjadi Mawar wangi.
Tak lama Mawar wangi pun melangkah perlahan ke arah Pendekar Slebor dan Nilakanti yang sedang memanggang daging kelinci.
Siapa tokoh itu sebenarnya" Dia tak lain adalah Setan Selaksa Wajah.
Tengah Andika dan Nilakanti menyantap daging kelinci mendadak mendengar suara tangis. Pendekar Slebor cepat berkelebat untuk mencari sumber suara. Sementara Nilakanti menyusul dibelakangnya. Mereka bergerak penuh waspada.
Dan mereka sama-sama terkejut ketika melihat Mawar Wangi sedang menangis sambil memijat sebelah kakinya.
"Mawar!" seru Pendekar Slebor. Sementara Nilakunti menjadi merengut melihat siapa yang menangis.
"Hhh' Brengsek! Mau apa sih gadis kadipaten itu?" dengus si gadis dalam hati Mawar Wangi yang sebenarnya Setan Selaksa Wajah mengaduh sambil menunjuk kakinya. Andika melihat betis yang halus itu agak membengkak.
"Mengapa kau ke tempat seperti ini, Mawar" Seharusnya kau berada di rumahmu?" tanya Pendekar Slebor, sambil mengurut.
"Aku..., aku ingin ikut denganmu, Kang Andika...."
"Mau apa, Mawar" Mengapa begitu?"
"Karena..., aku..., aku..., ah! Kak Nila...." Nilakanti cuma berdiri tegak sambil melipat kedua tangannya di dada. Wajahnya melengos jengkel. Andika tertawa dalam hati melihatnya.
Tak lama kemudian, bengkak di kaki Mawar Wangi pun agak membaik "Sebaiknya..., kau kuantar kembali ke kadipaten."
"Tidak! Aku ingin bersama-sama, Kang Andika...,* tandas Setan Selaksa Wajah yang menyamar sebagai Mawar Wangi memegang tangan Andika.
Lalu seperti tidak menyetujui usul Andika, si gadis jelmaan merangkul sosok pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Tangan kanannya menyentuh sebuah benda yang berada di balik baju Andika.
Andika yang sudah tahu siapa gadis di hadapannya ini mendesah panjang.
"Kalau begitu..., untuk malam ini saja. Besok, aku akan mengantarmu kembali ke kadipaten. Kau paham maksudku, bukan?" putus Andika.
"Aku ingin selamanya bersama Kang Andika," tegas si gadis jelmaan.
"Mawar..., dengarlah! Perjalananku bersama Nilakanti ke Lembah Matahari bukanlah perjalanan menyenangkan. Aku tak menginginkan kamu mengalami hal-hal yang tidak mengenakan dalam hidupmu," ujar Pendekar Slebor.
"Aku tidak peduli. Aku ingin bersama Kang Andika." Andika menghela napas panjang.
"Baiklah kalau begitu. Tetapi, ingat! Setelah semuanya selesai, kau harus kembali ke kadipaten," desah Andika.
"Itu bisa kita bicarakan lain kali, bukan?" tukas si gadis jelmaan.
Andika mengangguk-angguk. Matanya melirik Nilakanti yang semakin cemberut saja.
"Gawat! Urusan ini bukan hanya akan menahan perjalananku menuju Lembah Matahari, tetapi juga bisa memancing kemunculan orang-orang yang menginginkan Tasbih Emas Bidadari," rutuk Pendekar Slebor dalam hati.
Lalu si pemuda bangkit mendekati Nilakanti. Kepalanya yang mendadak gatal, digaruk- garuk "Kok cemberut sih?" tanyanya.
"Mata bongsan!" maki Nilakanti sambil membuang muka.
"Bilang saja Kang Andika memang menunggu kesempatan seperti ini" Pakai berlagak lagi!"
"Aduh, Nila ____ Mengerti sedikit dong. Bukan aku yang menghendaki semua ini.
Tetapi, gadis itu...."
"Iya.... Tetapi kan, Kang Andika mengharapkan kedatangannya!" Andika jadi serba salah.
"Baiklah.... Kalau kau memang tidak menyukai kedatangannya, lebih baik kita tinggalkan saja dia di sini." Meskipun dalam keadaan cemburu, namun Nilakanti masih memiliki naluri kewanitaannya.
"Enak saja ngomong begitu! Kalau nanti dia...."
"Dimakan macan?" potong Andika sambil tersenyum.
"Sudahlah, Nila. Percayalah kepadaku. Aku...."
"Memang menghendaki kedatangannya, kan?" potong Nilakanti.
"Membalas ya" Mengertilah, Nila.... Keadaan semacam ini tak pernah kuhendaki.
Hmm, begini saja.... Biarkan Mawar Wangi ikut dengan kita ke Lembah Matahari. Setelah itu kita kembalikan ke kadipaten. Kau setuju?"
"Tetapi...." Ingin sekali Nilakanti menolak, namun ketika Andika memegang tangannya hatinya menjadi luluh juga. Dia menghela napas.
"Baiklah, Kang...," desahnya "Kalau begitu, kau mau bukan bila menemaninya tidur" Kalau aku, bisa gawat, kan?" Nilakanti kini tersenyum. Selorohan-selorohan Andika terkadang memang menjengkelkan. Namun terkadang mampu membuatnya tersenyum.
"Hei" Kenapa tersenyum?" tukas Andika. Saat melihat Nilakanti belum beranjak dari tempatnya.
"Apa kau akan membiarkan aku tidur dengannya" He he he.... Nanti kau cemburu?" Kali ini Nilakanti mendengus. Lalu melangkah mendekati Mawar Wangi yang masih duduk di rumput. Tangannya terulur.
"Berdiri! Kita cari tempat untuk tidur!" ujar Nilakanti.
Andika tertawa melihat sikap Nilakanti yang ketus begitu.
"Mestinya kan baik-baik, ya" Kalau kau terus-menerus begitu, jangan-jangan bukan hanya perempuan saja yang takut. Tetapi lelaki juga takut!" Nilakanti mendelik, lalu beralih menatap Mawar Wangi.
"Kita cari tempat untuk tidur, Mawar. Jangan dekat-dekat dengan mata bongsang itu!"
"Bukannya asyik kalau berdekatan?" sambar Andika. Sementara Nilakanti sudah membimbing Setan Selaksa Wajah yang menjelma menjadi Mawar Wangi.
*****
"Aku harus membereskan satu persatu. Setelah itu, barulah giliran Pendekar Slebor," gumamnya dalam hati dengan tangan bergerak cepat.
Tuk! Tuk! Tuk! Tubuh Nilakanti menjingkat sejenak. Dan sejurus kemudian dia pingsan dalam keadaan tertotok. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, diangkatnya tubuh gadis jelita itu. Lalu dibawanya ke arah yang berlawanan dari tempat Pendekar Slebor berada.
Setan Selaksa Wajah membawa Nilakanti ke tempat yang agak tersembunyi. Dia melompat ke atas sebuah pohon. Di situ, tidak akan membuatnya jatuh. Apalagi saat ini Nilakanti sedang pingsan. Kalaupun sudah siuman, sudah tentu tak akan mampu meng- gerakkan tubuhnya dan berbicara.
"Kau akan kuurus nanti, Manis. Sekarang giliran putri Adipati Ramada yang tentunya sudah tak sabar menungguku," gumam Setan Selaksa Wajah.
Mawar Wangi jelmaan Setan Selaksa Wajah kembali ke tempat buntalannya tersimpan.
Gerakannya cepat sekali. Sebentar saja tubuhnya telah menyelinap ke balik semak.
Begitu muncul kembali, yang tampak kini sosok berwajah mirip Pendekar Slebor.
Kemudian Pendekar Slebor jelmaan Setan Selaksa Wajah berkelebat cepat sambil membayangkan apa yang akan dilakukannya. Namun ketika tiba di tempat Mawar Wangi berada, dua sosok telah berdiri menghadangnya Yang semang lelaki berwajah tampan dengan pakaian biru menyala dan rambut digelung ke atas. Tatapannya dingin, menampakkan kekejaman. Yang seorang lagi wanita tua yang mengeluarkan bau busuk. Sementara, sosok Mawar Wangi terbaring di rumput dalam keadaan tertotok dengan tubuh setengah telanjang.
"Ha ha ha.... Rupanya Pendekar Slebor memang mempunyai nyali besar untuk berhadapan denganku!" kata lelaki berwajah tampan.
"Perkenalkan! Aku Lima Jalan Darah!"
"Kang Andika.... Selamatkan aku!" seru Mawar Wangi.
Gadis ini masih tetap menyangka kalau pemuda yang berdiri tiga tombak darinya adalah Pendekar Slebor asli. Tetapi secepat itu dia jatuh pingsan setelah kaki Lima Jalan Darah menyepak kepalanya. Dari pelipisnya mengalir darah.
*****
¤¤[ 8 ]¤¤
"Hmm.... Nama Lima Jalan Darah cukup santer juga sampai di telingaku. Tetapi sayangnya, kita tak punya silang sengketa! Lebih baik, ambil jalan masingmasing!"
"Anjing buduk! Manusia keparat sepertimu sudah selayaknya berkalang tanah! Dan yang terpenting lagi, sebelum mampus, Hantu Gigi Gading mengatakan kalau kau kawanmulah yang membuatnya seperti itu!" sentak Lima Jalan Darah, tetap menyangka orang di hadapannya adalah Pendekar Slebor.
Memang, dalam perjalanan mencari Pendekar Slebor, Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai menemukan Hantu Gigi Gading tengah dalam keadaan sekarat. Dengan terpatah-patah dan napas tersengal, Hantu Gigi Gading menceritakan apa yang terjadi. Dan sesaat kemudian, nyawa busuknya pun melayang.
Dewi Sungai Bangkai geram bukan main. Dia bersumpah akan mencabik-cabik tubuh kawan Pendekar Slebor dan Andika sendiri! Kemudian mereka meneruskan perjalanan, hingga akhirnya menemukan Mawar Wangi.
Gadis ini langsung tercekat melihat kehadiran kedua tokoh yang membuatnya bergetar. Terutama badan Dewi Sungai Bangkai yang mengeluarkan bau busuk. Mawar Wangi mencoba melarikan diri untuk mencari Pendekar Slebor. Namun, Dewi Sungai Bangkai de- ngan cepat menotoknya.
Dari Mawar Wangilah mereka tahu, kalau Pendekar Slebor berada bersama gadis itu sebelumnya. Hanya saja, keduanya tidak tahu siapa yang berada di hadapannya! Yang mereka sangka, tetaplah Pendekar Slebor.
Setan Selaksa Wajah terdiam. Otak busuknya berpikir licik "Hmm.... Bila aku bersatu dengan kedua manusia ini, sudah dipastikan keinginanku untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari sekaligus membunuh Pendekar Slebor akan terlaksana. Dalam penyamaran sebagai Pendekar Slebor saat ini, memang bukan cara yang tepat untuk bekerja sama dengan mereka. Sebaiknya aku tinggalkan saja keduanya!" putus Setan Selaksa Wajah. Berpikir demikian, Setan Selaksa Wajah menginginkan untuk langsung meninggalkan tempat itu. Sementara gadis yang berada dalam bopongan Lima Jalan Darah tak dipedulikannya lagi. Toh dia masih mempunyai Nilakanti yang menggantikan Mawar Wangi. Akan tetapi, sebelum Setan Selaksa Wajah melakukan rencananya, wanita tua yang mengeluarkan bau busuk itu sudah meluruk dengan satu serangan maut.
"Sekarang saatnya kau harus mampus, Pendekar Slebor! Kau harus bayar nyawa Hantu Gigi Gading dengan nyawa sialanmu!" Setan Selaksa Wajah langsung melenting ke atas ketika serangan yang mengeluarkan bau busuk itu melabrak ke arahnya. Dari bau busuk yang tercium, dia yakin wanita tua ini tak lain adalah Dewi Sungai Bangkai! Dewi Sungai Bangkai menyangka kalau lawan yang dihadapi adalah Pendekar Slebor asli. Makanya, dia menyerang secara membabi-buta. Pukulan 'Angin Bangkai Lilit Leher' sudah dilepaskan. Seketika sinar hitam meluruk dahsyat ke arah Setan Selaksa Wajah yang baru saja menjejak tanah.
Dengan lincahnya si lelaki jago menyamar itu meliukkan tubuhnya. Namun tubuhnya pun terhuyung ke belakang ketika napasnya terasa sesak "Gila! Kecepatan dan serangan sinarnya masih tak seberapa! Tetapi, bau busuk ini justru yang akan membunuhku!" rutuk Setan Selaksa Wajah, seraya mengibaskan kedua tangannya. Bet! Saat itu juga serangkum angin dingin meluncur cepat ke arah Dewi Sungai Bangkai yang sedang menyerang ganas. Angin dingin itu langsung membuyarkan bau busuk yang menyengat leher Setan Selaksa Wajah.
Sementara Dewi Sungai Bangkai tampak begitu terkejut. Dia semula yakin lawannya bisa dijatuhkan dalam dua jurus berikutnya. Tetapi dugaannya meleset jauh. Angin sedingin es itu justru membuyarkan serangannya. Bahkan dalam keterkejutannya, Setan Selaksa Wajah telah meluruk cepat bagai kilat dengan satu jotosan keras.
Des! Dewi Sungai Bangkai terhuyung ke belakang. Tubuhnya seketika terasa bagai dikelilingi es. Dalam keadaan terluka dalam itu, keningnya berkerut. Sebelumnya beberapa kali dia bertarung melawan Pendekar Slebor. Dan setiap kali Pendekar Slebor menyerang, yang terasa hawa panas dan terdengar suara bagai menyalak. Tetapi sekarang ini" Mengapa pu- kulannya menjadi sedingin es" Apakah sebenarnya Pendekar Slebor masih memiliki ajian simpanan yang ampuh" Menyadari hal itu, Dewi Sungai Bangkai menjadi penasaran. Segera tubuhnya menerjang kembali dengan serangan bertubi-tubi. Namun agaknya Setan Selaksa Wajah sudah menemukan kelemahan serangan Dewi Sungai Bangkai. Maka segera ditutupnya serangan hawa dingin yang mengarah padanya dengan kibasan pukulan angin sedingin es.
Begitu si perempuan gelagapan, kembali pukulannya mendarat telak.
Dess...! Dewi Sungai Bangkai terlempar beberapa langkah. Kalau tadi hawa panasnya masih mampu dialirkan untuk mengusir hawa dingin yang melingkupi tubuhnya, kali ini dia terjatuh dengan tubuh menggigil hebat. Aliran darahnya seolah membeku.
"Ternyata tak sia-sia kau dibicarakan orang ha nyak, Pendekar Slebor.
"Aku jadi penasaran! Dan sudah tentu, kau akan membayar lunas sakit hati Malaikat Mata Satu!" Sehabis berkata begitu, Lima Jalan Darah membuka serangan mautnya. Totokan aneh jarak jauh yang dilontarkan, membuat Setan Selaksa Wajah terperangah. Sebisanya dia menghindari. Dan setiap kali berhasil meloloskan diri, totokan darah yang dilepaskan Lima Jalan Darah menghantam pohon hingga hangus seketika.
"Benar-benar sinting! Julukan Lima Jalan Darah bukan nama kosong belaka! Bisa berabe kalau begini! Lebih baik aku tinggalkan dulu kedua manusia sialan ini! Kalau di sini terus- menerus, bisa-bisa aku tak akan mampu mengacaukan Pendekar Slebor, sekaligus membunuh dan mendapatkan Tasbih Emas Bidadari!" Berpikir demikian tubuh Setan Selaksa Wajah bergulingan untuk menghindari totokan darah yang dilakukan Lima Jalan Darah. Begitu bangkit dilepaskannya pukulan jarak jauh untuk menjaga jarak. Setelah mendapat kesempatan, mendadak dia melesat meninggalkan tempat itu.
"Setan laknat! Kau tak akan bisa meloloskan diri, Pendekar Slebor!" Lima Jalan Darah melesat ke arah Setan Selaksa Wajah melarikan diri. Namun Pendekar Slebor palsu itu telah menghilang dari pandangan. Geram bukan main hatinya menyadari hal itu.
"Kemana pun pergi, kau tak akan bisa melarikan diri Pendekar Slebor!" desis Lima Jalan Darah. Lalu si lelaki tampan melesat kembali ke tempat semula. Dilihatnya bagaimana Dewi Sungai Bangkai menderita karena kedinginan. Ketika tangannya menyentuh kulit perempuan tua itu, tak ubahnya bagai memegang bongkahan salju es abadi.
"Gila!, PendekarSlebor harus membayar semua ini.
Lima Jalan Darah segera mengerahkan tenaga dalam ke tubuh Dewi Sungai Bangkai.
Hanya dalam tiga tarikan napas saja tubuh Dewi Sungai Bangkai sudah kembali seperti biasa. Dan wanita tua yang memiliki bau busuk dari tubuhnya itu segera bersila untuk memulihkan luka dalamnya.
*****
"Hoi! Nila! Mawar! Kalian di mana. Kalau kalian meledek, tidak lucu!" Tetap tak ada sahutan apa pun juga.
"Hmm.... Apakah Nila kembali datang cemburunya" Apa mungkin dia sengaja mengembalikan Mawar Wangi ke kadipaten" Atau..., jangan-jangan justru membawa Mawar ke satu tempat dan meninggalkannya. Ah! Tidak mungkin Nilakanti berbuat jelek seperti itu. Sebaiknya aku mandi saja dulu. Ih, jangan-jangan mereka sedang mandi. Lumayan sih kalau memang benar," oceh Andika.
Andika pun melesat mencari sungai. Kepalanya celingukan di sekitar sungai yang mengalirkan air jernih itu. Tak ada tanda-tanda Nilakanti dan Mawar Wangi berada di sana.
"Ah! Biar saja dulu. Setelah mandi, baru aku mencari mereka kembali." Sambil bersiul-siul tak ada juntrungannya, Pendekar Slebor mencuci seluruh tubuhnya. Dia berendam, lalu muncul kembali sambil berteriak keras. Norak sekali.
Selesai, Andika mengenakan pakaiannya kembali. Dan baru saja melangkah sepuluh tindak, dia berpapasan dengan dua manusia. Yang seorang sangat dikenalnya. Dia sedang membopong satu sosok tubuh yang pingsan. Sedang yang satunya lagi, lelaki berbaju biru menyala. Andika terperanjat begitu melihat siapa yang berada dalam bopongan orang itu.
"Orang tua bau busuk! Lepaskan gadis itu!" bentak Andika dengan kening berkerut.
Mengapa Mawar Wangi berada di tangan mereka" Kalau begitu di mana Nila" Bukankah dia bersama Mawar Wangi "
"Pendekar keparat! Rupanya kau masih berada disini"Hhh! Kalau semalam kau mengeluarkan ajian busukmu yang memancarkan hawa dingin, sekarang tiba giliranmu untuk mampus!" desis Dewi Sungai Bangkai.
Lima Jalan Darah mengangkat tangannya.
"Biar pendekar sialan ini aku yang urus!" Sementara itu, kening Andika berkerut. Dia sama sekali tak mengerti, apa yang dimaksud Dewi Sungai Bangkai. Dan sebelum bisa menemukan jawabannya....
"Semalam kau menjadi anjing pengecut. Dan sekarang berubah menjadi harimau! Kalau semalam kau dapat meloloskan diri, sekarang kau tak akan mampu melakukannya!" Andika makin tak mengerti. Meskipun dalam keadaan keheranan, tetap saja sifat urakannya tak pernah hilang.
"Hei, Pantat Monyet! Mestinya kau tahu, dengan siapa berhadapan. Kalau hanya pemain ketoprak saja, aku juga bisa menandingimu?" selorohnya sambil menggoyanggoyangkan tangannya. Wajah Lima Jalan Darah kontan memerah. Aliran darah dalam tubuhnya menjalar cepat.
"Kau harus membayar sakit hati Malaikat Mata Satu, Pendekar Slebor!"
"O.... Jadi, Malaikat Mata Satu brengsek itu sahabatmu, ya?" sahut Andika sambil mencoba memikirkan kemungkinan yang dikatakan kedua tokoh hitam itu.
"Kalau begitu, salam deh untuknya KAtakan, aku rindu ingin menghapus beleknya."
"Setan hijau keparat!" Sehabis berkata begitu, Lima Jalan Darah bergerak dengan kaki menyepak.
Gerakannya secepat kilat, mengandung tenaga dalam tinggi.
Andika menyadari adanya serangan hebat. Seketika bergulingan ke arah Lima Jalan Darah seraya melepaskan satu jotosan ke perut. Namun Lima Jalan Darah bergerak cepat, memutar kakinya.
Plak! "Heit! Edan!" maki Andika sambil melenting bangkit. Tangan Pendekar Slebor terasa bergetar. Begitu berdiri, tubuhnya seketika terhuyung. Pada saat yang sama, Lima Jalan Darah sudah meluruk sambil melepaskan totokan darahnya yang mengerikan.
Meskipun dalam keadaan seperti itu. Andika cepat mengubah arah langkahnya, membentuk setengah lingkaran.
Wuut! Seketika Pendekar Slebor merasakan angin setajam mata anak panah melesat di sisi tubuhnya.
"Totokan darah!" seru Andika terkejut ketika menyadari arah yang ditotoknya adalah salah satu urat darah dari tubuhnya.
Lima Jalan Darah terbahak-bahak. Dan serang annya segera diteruskan.
"Kali ini kau tak akan bisa melepaskan diri! Semalam kau masih mampu melakukannya!"
"Apa sih yang dimaksud kedua orang ini" Padahal semalam aku tidur, dan tidak tahu- menahu soal mereka. Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan Mawar Wangi.
Aku juga ingin tahu, di mana Nilakanti berada" Jangan-jangan dia sudah mereka...ah! Tidak, aku tidak boleh berpikiran jelek seperti itu!"
"Eiiit...! Benar-benar nipngerikan serangan yang di l akukan oleh Lima Jalan Darah!" kata Andika dalam hati sambil terus menghindar. Lima Jalan Darah semakin lama jadi bertambah marah karena tak satu totokannya pun yang masuk, bahkan tiba-tiba saja Andika bergulingan ke arahnya. Di tangannya sudah terangkum' ajian 'Guntur Selaksa' Des! Tubuh Lima Jalan Darah terhantam pukulan si pemuda. Namun hanya sesaat tubuhnya bergetar, karena setelahnya, sudah menyerang kembali.
Andika mendengus, lawan ternyata memiliki tenaga dalam lebih tinggi. Kalau begitu, sekaranglah saatnya menyelamatkan Mawar Wangi. Karena, bisa gawat bila terkena totokan darah yang dilakukan lelaki berbaju biru menyala itu.
Dan mendadak saja sambil menghindari serangan Lima Jalan Darah. Andika melesat ke arah Dewi Sungai Bangkai dengan kecepatan luar biasa.
Langsung si perempuan tua membuang tubuh Mawar Wangi, seraya memapak serangan Andika. Dua tenaga beradu. Kalau saja Dewi Sungai Bangkai tidak tengah terluka dalam akibat serangan Setan Selaksa Wajah yang menyamar sebagai Pendekar Slebor, sudah tentu tenaganya akan berimbang. Namun karena dalam keadaan terluka, tubuhnya jadi mencelat ke belakang. Sementara dengan kecepatan luar biasa, Andika menyambar tubuh Mawar Wangi.
Melihat hal itu, Lima Jalan Darah melepaskan lima totokannya sekaligus. Andika masih bisa menghindari dengan jalan melentingkan tubuhnya dua kali. Namun, dua totokan tepat mengenai jalan darahnya.
"Aaakhhh...!" Terdengar jeritan Pendekar Slebor yang cukup keras. Tubuhnya agaknya terhuyung, namun dipaksakan untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Dengan jalan melesat cepat, Andika berhasil meloloskan diri dengan membawa tubuh Mawar Wangi.
Lima Jalan Darah tidak mengejarnya. Bibirnya menyungging senyum dingin.
"Kali ini kau tak akan mampu melarikan diri, Pendekar Slebor! Dalam waktu empat hari, kau akan mampus!" Lalu terdengarlah tawa keras lelaki ini, hingga memecah kesunyian alam. Daundaun berguguran. Hewan hutan yang sejak pertarungan terjadi bersembunyi di sarang mereka, langsung berlarian keluar. Karena, sarang-sarang mereka menjadi bergetar dan hancur. Lima Jalan Darah lantas mendekati Dewi Sungai Bangkai Diperiksanya lagi tubuh wanita yang mengeluarkan bau busuk itu.
"Hhh! Kalau sebelumnya kau terkena pukulan berhawa dingin, sekarang kau terkena pukulan berhawa panas. Seharusnya, kau mampus saja. Orang Tua! Tetapi karena sikapmu yang hormat padaku, untuk kedua kalinya aku bersedia mengobatimu. Sekali lagi kau luka seperti ini, sebaiknya mampus saja!"
*****
¤¤[ 9 ]¤¤
"Monyet pitak! Totokan Lima Jalan Darah membuat aliran darahku bagai terhenti!" maki si pemuda. Cepat Pendekar Slebor duduk bersila, mengambil sikap semedi. Dialirkannya tenaga dalam ke pusat-pusat totokan. Namun apa yang dilakukannya justru membuat keadaannya semakin tersiksa.
"Aaakh...!" Pendekar Slebor menjerit keras ketika terasa ada sengatan pada punggungnya.
Salah satu totokan yang dilakukan Lima Jalan Darah tadi mengenai urat darah di punggungnya. Yang satu lagi, tepat di mata kaki sebelah kanan.
"Bagaimana totokan-totokan ini harus dihilangkan?" dengusnya dengan napas semakin tersengal.
"Hmm.... Siapa sebenarnya Lima Jalan Darah itu" Aku tak tahu apa yang dikatakannya! Ougghkh! Tubuhku terasa panas sekali. Kutu monyet!" Si pemuda berusaha menahan rasa sakit yang dideritanya. Terutama pada saluran pernapasan yang benar-benar menyiksa.
"Ini lebih mengerikan daripada pukulan bau busuk Dewi Sungai Bangkai. Hm.... Apa yang harus kulakukan sekarang?" Selagi Andika kebingungan dengan apa yang di alami....
"Brengsek! Lagi-lagi aku ketemu manusia seperti kau ini, Pendekar Urakan!" Andika menoleh ketika terdengar suara dengusan dari samping kanan. Tampak satu sosok tubuh kurus dengan rambut acak-acakan. Sebuah bungkusan tergenggam di tangannya.
"Hantu Jantan!"
*****
"Kenapa kau duduk di situ" Nah! Ketahuan belangmu sekarang, Pemuda Jelek! Ayo, kau apakan gadis yang pingsan itu" Hm... Sayang sekaligus bodoh sekali. Gadis secantik dia mau dengan pemuda konyol seperti kau ini!" Andika melotot sambil menahan panas di tubuhnya.
"Jangan banyak omong!" bentak Andika dengan napas tersendat.
"Mau apa sih kau ke sini" Sudah bau tanah masih juga kelayapan!" Si Hantu Jantan mengeluarkan suara dari hidung.
"Apakah aku akan mendiamkan saja melihatmu dalam keadaan terluka seperti itu?" tukas si Hantu Jantan.
Andika langsung menoleh.
"Bagaimana kau bisa tahu" Bukankah matamu sudah rabun?" selorohnya. Namun, hatinya mengagumi ketajaman mata si Hantu Jantan.
"Kurang ajar! Sini kuperiksa lukamu?" Si Hantu Jantan melangkah. Dia lantas membungkuk di dekat Andika. Tangannya meraba punggung dan mata kaki si pemuda.
"Hmm... Rupanya nasib Pendekar Slebor hanya sampai di sini saja! Kau akan tewas dalam waktu empat hari!"
"Jangan menakut-nakutiku Pak Tua. Aku sudah biasa menghadapi kematian. Kalau kau merasa kasihan, kenapa tidak kau coba untuk mengobatinya?" seru Andika. Hatinya kesal melihat lagak si Hantu Jantan.
"Aku tak menakut-nakutimu. Tapi perlu kau ketahui, yang mampu mengobati hanyalah orang yang membuatmu begini. Kalau aku yang mengobati, hawa panas dalam tubuhmu justru akan pindah ke tubuhku! Dan aku tak bodoh mau menerima semua itu, sebelum melihat Dewi Sungai Bangkai mampus" Sayangku, ada manusia tolol di sini...." Pendekar Slebor terdiam sejenak. Tak terasa hatinya sedikit kecut mendengar kata-kata si Hantu Jantan.
"Kalau begitu, aku harus kembali menemui Lima Jalan Darah," gumam Pendekar Sleboi, tanpa sadar.
"Nah, nah.... Siapa lagi manusia yang punya julukan mampu membuat hati keder itu?" Andika lantas menceritakan apa yang terjadi. Dan si Hantu Jantan menggelenggelengkan kepalanya, setelah mendengar keseluruhan cerita.
"Seingatku, yang bisa melakukan totokan seperti ini hanya Malaikat Putih Bayangan Maut. Hmm Apakah kau diserang olehnya?" tanya si Hantu Jantan. Sepertinya dia masih memikirkan tentang orang yang berjuluk Lima Jalan Darah.
"Tadi sudah kukatakan orang yang melakukannya! Apa telingamu tuli, Pak Tua?" Si Hantu Jantan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kesaktian Malaikat Putih Bayangan Maut sukar dicari tandingannya. Aku tahu dia mampu melakukan totokan darah seperti ini. Namun semuanya hanya untuk melakukan pengobatan. Bukan untuk menyerang. Apa yang kau alami ini adalah satu serangan berbahaya sekali. Kalau tidak segera ditolong, nyawamu hanya sampai empat hari saja. Bor! Kau mau kalau usiamu tinggal seumur jagung?" Andika berdiri perlahan-lahan. Napasnya semakin tersengal.
"Aku harus mencari obat pemunah totokan ini dari tangan si Lima Jalan Darah."
"Sebenarnya aku pun bisa mengobatinya."
"Hei?" Andika tercekat sambil memandang kesal si Hantu Jantan.
"Tapi kau mengatakan tak bisa?"
"Sekarang kukatakan bisa"
"Kalau begitu, cepat obati aku! Karena, aku harus mencari Nilakanti!" sambarnya.
"Gadis cantik murid Malaikat Putih Bayangan Maut" Heran, kok manusia urakan yang jelek sepertimu ini selalu ditemani gadis cantik, ya?" Si Hantu Jantan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sikapnya membuat Andika mau memaki. Lalu si Hantu Jantan memandangi bungkusan yang berada di tangannya.
"Sayangku..., apakah aku harus mengobati pemuda bandel ini atau tidak" Oh, kau menghendaki aku mengobatinya" Baiklah kalau begitu," si Hantu Jantan menatap kembali ke arah Andika.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan" Kekasihku menghendaki aku mengobatimu" Kau seharusnya berterima kasih padanya!" Walau agak jengkel dengan sikap si Hantu Jantan, Andika hanya diam saja.
"Tetapi..., apakah kau tahan dengan pengobatan yang akan kulakukan?" tanya si Hantu Jantan.
"Lakukanlah.... Aku akan berterima kasih padamu."
"Mulutmu selalu ngoceh, Pemuda Tak Beradab!" bentak si Hantu Jantan.
"Kau jangan berterima kasih padaku. Tetapi, pada kekasihku!"
"Iya, ya!" dengus Andika, mendongkol.
Si Hantu Jantan mengangsurkan tangannya yang memegang bungkusan itu dengan hatihati.
"Nah, ucapkan terima kasihmu pada kekasihku ini."
"Busyet! Iya, terima kasih!"
"Bagus! Aku akan mengobatimu. Tetapi, jawab dulu pertanyaanku. Apakah kau bersedia kuobati?"
"Iya!" sahut Andika, menahan jengkel.
"Dengan cara apa pun aku mengobatimu!"
"Ya!"
"Bagus!" Si Hantu Jantan bangkit. Lalu dia menungging ke arah Andika. Si pemuda tercekat.
"Busyet! Cara apa yang akan kau lakukan, Kek?" sentak Andika.
"Diam, Tolol! Kau sudah menyetujui dengan cara apa pun aku melakukan pengobatan terhadapmu!"
"Tetapi jangan seperti ini!" Si Hantu Jantan meluruskan tubuhnya. Dipandangnya bungkusan di tangannya.
"Rupanya dia tidak mau, Sayangku. Jadi, aku tidak salah, bukan" Hhh! Dia memang sudah mau mampus!" Sementara itu, Andika merasakan panas di sekujur tubuhnya semakin meninggi.
Napasnya terasa Senin-Kamis, membuatnya bagai tak mampu untuk melakukan apa-apa.
Dia rela diobati dengan cara apa pun. Tetapi mbok ya jangan dikentuti! "Iya! Iya! Sudah, obati aku cepat!" sungut Andika, akhirnya menyetujui. Hal itu didasari oleh rasa cemas terhadap nasib Nilakanti.
Si Hantu Jantan terkekeh.
"Kau lihat sikapnya sekarang. Sayangku. Ternyata otak Pendekar Slebor bebal juga! Mana ada sih, pengobatan dengan cara seperti itu?" Sekarang Andika sadar kalau hampir saja dikerjai "Hampir saja aku menelan bulat-bulat angin pinggul'" dengus si pemuda jengkel.
"Hei, Bor! Sekarang, kosongkan dirimu. Jangan sekali-sekali menahan atau mengalirkan tenaga dalammu bila merasakan sakit luar biasa saat aku mengobatimu. Kau harus ingat itu. Sekali kau lakukan, maka justru akan mampus!" Andika sadar, kalau apa yang terjadi ini akan menentukan nasibnya. Dan kepalanya pun mengangguk.
"Lakukanlah, Pak Tua! Tetapi, bagaimana dengan hawa panas yang akan berpindah pada tubuhmu?"
"Tolol! Sudah tentu aku akan menutup semua pori-pori di tubuhku agar hawa panas dari tubuhmu akan berpindah! Aku tentu saja tak mau mati dulu! Kalau aku mampus bagaimana" Siapa yang akan menemani kekasihku ini" Sialan! Jangan-jangan, kau mencintai kekasihku, ya" Kau mengharapkan aku mati, biar kau bisa berpacaran dengannya" Dasar kurang ajar!" Andika melongo mendengarnya. Bagaimana mungkin dia mempunyai pikiran seperti itu" Bila si Hantu Betina masih hidup saja tak akan mau mendekatinya karena pasti sudah tua. Apalagi sekarang sudah mati dan kepalanya selalu dibawa si Hantu Jantan" Orang tua ini sudah sinting rupanya! Atau..., jangan-jangan dia memang sinting! Si Hantu Jantan berjongkok lagi di sisinya. Diletakkannya bungkusan yang berisi kepala kekasihnya di dekatnya.
"Selonjorkan kedua kakimu. Ingat! Jangan alirkan tenaga dalam walau apa pun yang akan kau rasakan...," ingat si lelaki tua.
Andika menarik napas tiga kali. Lalu dipendamnya seluruh tenaga dalam. Jiwanya dikosongkan. Perlahan-lahan tangan kurus si Hantu Jantan terasa memegang kedua ibu jarinya. Lalu terasa aliran hawa dingin yang membuatnya menggigil. Bentrokan hawa dingin yang masuk ke dalam tubuhnya, membuatnya tersentak. Tubuhnya bagai disengat kekuatan dahsyat. Andika berontak berkali-kali untuk melepaskan kedua tangannya yang dipegang si Hantu Jantan karena rasa sakit yang tak terkira. Belum lagi ketika dirasakannya bagaimana ada hawa yang bagai ribuan jarum masuk ke dalam tubuhnya.
"Aaa...!" Si pemuda berteriak keras setinggi langit. Napasnya terasa semakin tersengal.
Kepalanya terasa mau pecah dengan aliran darah kacau. Dia berkali-kali muntah darah sangat kental. Sakit yang menyiksanya belum juga terhenti. Malah semakin menggila.
Seluruh tenaga dalamnya berusaha untuk ditekan agar tidak keluar. Bila tak mendengar penjelasan si Hantu Jantan, sudah pasti tenaga dalamnya akan dialirkan guna melawan sakit yang tak terkira. Sementara tubuh si. Hantu Jantan bergetar hebat. Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat. Namun, pegangannya pada kedua ibu jari Andika tidak terlepas.
Perlahan-lahan terlihat asap mengepul dari sana, lalu keluar dari ubun-ubun kepala Andika.
Andika yang masih menahan sakit, tak kuasa menahannya lebih lama. Dia telah jatuh pingsan. Bersamaan dengan itu, pengobatan yang dilakukan si Hantu Jantan pun selesai. Si Hantu Jantan mendesah panjang. Tubuhnya kelihatan lemas sekali.
"Maafkan aku, Andika. Aku hanya mampu membuatmu bisa hidup lebih lama. Namun tak lebih dari sepuluh hari. Selain Lima Jalan Darah, satu-satunya yang bisa mengobatimu hanyalah Malaikat Putih Bayangan Maut. Apakah sebaiknya aku membawamu sekarang ke Lembah Matahari" Rasanya tidak perlu. Aku harus mencari Dewi Sungai Bangkai terlebih dahulu! Atau..., jangan-jangan nenek peot itu sudah berada di sana" Hmm....
Sebaiknya aku membuang hawa panas yang berpindah dari tubuh Pendekar Slebor ke tubuhku," desah si tua. Kini orang tua penghuni Gunung Kabut itu duduk bersila untuk mengembalikan seluruh tenaganya. Selang beberapa saat, kedua tangannya digerakkan ke depan. Seketika serangkum angin panas menderu dahsyat, menghantam tiga buah pohon hingga hangus.
"Benar-benar keji totokan darah yang dilakukan Lima Jalan Darah. Kalau saja tenaga dalamku pas-pasan, bisa-bisa aku yang mampus." Lalu si tua itu menoleh pada Mawar W angi yang masih terbujur pingsan.
Diperiksanya tubuh gadis itu.
"Hmm.... Luka di pelipisnya ini menandakan tendangan kuat yang diterimanya. Di tubuhnya pun ada totokan cukup kuat. Untungnya bukan totokan darah yang diterimanya." Tangan kurus si tua bergerak dua kali. Dibukanya totokan di tubuh Mawar Wangi.
Si gadis mengejut sebentar.
"Hm.... Tak lama lagi gadis ini akan siuman Begitu pula Pendekar Slebor. Lebih baik aku tinggal saja keduanya di sini." Si Hantu Jantan mengambil bungkusannya.
"Sayangku....
Apakah yang kulaku kan sudah benar" Tetapi sayangnya, aku tak mampu mengobati Pendekar Slebor secara menyeluruh. Sebaiknya, kita meneruskan saja perjalanan menuju Lembah Matahari. Sekaligus, mencari Dewi Sungai Bangkai. Bagaimana" Apakah kau setuju" Ah, kau pasti setuju. Sayangku. Karena, kaulah kekasihku yang setia." Lalu sosok kurus dengan rambut acak-acakan itu pun melesat meninggalkan tempat ini.
*****
¤¤[ 10 ]¤¤
Setelah itu, Setan Selaksa Wajah melenting ringan ke atas pohon tempat Nilakanti berada. Dia terkekeh-kekeh melihat keadaan si gadis yang masih pingsan dalam keadaan tertotok.
"Sangat menyenangkan suasana seperti ini. Nasib Pendekar Slebor sudah di ujung tanduk. Sampai saat ini aku yakin, tak seorang pun yang tahu keberadaanku di sini. Hmm.... Sebaiknya aku tinggal menunggu saja saat yang paling tepat untuk membunuh Pendekar Slebor dan mendapatkan Tasbih Emas Bidadari. Karena, Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai pun menginginkan kematian Pendekar Slebor. Berarti aku tinggal makan nangkanya saja. Mereka yang makan getahnya. Sangat menyenangkan," ocehnya.
Tangan liar Setan Selaksa Wajah perlahan-lahan menggerayangi tubuh Nilakanti yang dalam keadaan pingsan. Sepasang matanya semakin liar menjilati tubuh yang indah itu. Diangkatnya tubuh Nilakanti, dan dibawanya ke bawah. Seketika dia menyelinap masuk ke balik semak. Dibebaskannya totokan tubuh Nilakanti. Si gadis mengejut sebentar, namun belum tersadar dari pingsannya.
"Menyenangkan. Sangat menyenangkan...," desis Setan Selaksa Wajah sambil membuka pakaiannya. Tubuhnya bergetar oleh rangsangan birahi yang tinggi. Tangannya meraba kembali tubuh Nilakanti. Lalu dengan penuh nafsu, disobeknya pakaian si gadis di bagian dada. Brettt...! Seketika dua bukit kembar menyembul dengan bentuk gempal dan mulus. Sepasang mata Setan Selaksa Wajah semakin lia berbinar menjilati. Namun belum lagi maksud jahatnya dilaksanakan, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda dari kejauhan.
"Setan keparat!" makinya geram.
Dari balik semak, Setan Selaksa Wajah melihat sepuluh ekor kuda bergerak dan berhenti di depannya. Dari pakaian yang dikenakan, bisa ditebak kalau mereka adalah orang-orang Kadipaten Karanganyar.
"Hmm.... Manusia-manusia keparat itu pasti mencari gadis yang kuculik!" duga Setan Selaksa Wajah dalam hati.
Apa yang diperkirakan lelaki itu memang benar. Sepuluh laki-laki gagah berkuda itu memang orang-orang kadipaten. Mereka diperintahkan Adipati Ramada yang tadi pagi terkejut ketika melihat kamar putri kesayangannya kosong, sementara jendela kamarnya terbuka. Dengan hati geram Adipati Ramada memerintahkan sepuluh pengawalnya untuk mencari Mawar Wangi.
"Kakang Kataran! Di mana kita harus mencari Putri Mawar Wangi?" tanya seorang lelaki berwajah bulat. Di punggungnya terdapat tombak tajam.
Lelaki bernama Kataran yang memimpin pasukan itu terdiam. Wajahnya yang kukuh nampak bergetar. Dia memikirkan kemungkinan seorang lelaki tinggi besar yang telah membunuh Subali dan para pengawal sepulang dari mengantar Mawar Wangi berburu.
Apakah manusia keparat itu yang membawa lari Mawar Wangi"
"Aku tidak tahu. Tetapi sebaiknya, kita berpencar saja di sini. Lima orang ke sebelah barat, lima orang lagi ke sebelah timur. Bila sampai malam nanti tidak menemukan jejak Putri Mawar Wangi, kita berkumpul kembali di sini untuk menentukan langkah selanjutnya," ujar Kataran. Kataran pun membagi pasukan menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok lima orang. Namun belum lagi mereka bergerak, tiba-tiba....
"Lelaki laknat! Lebih baik kau mampus!" Para prajurit kadipaten tersentak ketika terdengar bentakan keras. Bersamaan dengan itu terdengar menyambar dari balik semak. Lalu, melompat keluar satu sosok tubuh, melewati orang-orang kadipaten.
*****
"Siapa kau sebenarnya, Manusia Hina"!" bentak si gadis disertai serangan yang mengeluarkan angin dingin ke arah Setan Selaksa Wajah.
Sementara itu, Kataran terkejut begitu mengenali gadis yang sedang menyerang lelaki berwajah tampan di hadapannya. Kalau tak salah ingat, gadis itulah yang datang bersama Pendekar Slebor ketika menyelamatkan sekaligus mengantar Mawar Wangi ke kadipaten. Menyadari hal itu, lelaki pengawal ini langsung melompat dari kudanya.
"Kurung laki-laki itu!" seru Kataran.
Seketika para pengawal kadipaten mengurung Setan Selaksa Wajah yang sedang menghindari gempuran-gempuran maut Nilakanti. Si gadis sudah mempergunakan pedangnya. Setiap kali tangannya bergerak, serangkum angin dingin menderu dahsyat. Setan Selaksa Wajah memaki tak karuan. Dia berusaha menghindari serangan dari Nilakanti. Namun si gadis yang tak tahu siapa lelaki tampan yang berada di hadapannya ini tak menghentikan serangannya sekali pun. Karena dia yakin, lelaki liar inilah yang hendak menjelajahi tubuhnya.
Sesaat ingatan si gadis kembali pada Pendekar Slebor. Di mana pendekar urakan itu berada" Dan di mana Mawar Wangi" Berpikir tegang demikian, Nilakanti semakin menerjang ganas.
"Gadis keparat! Kau tak tahu berhadapan dengan siapa!" Tiba-tiba saja tubuh Setan Selaksa Wajah berputar setengah lingkaran, seperti menyongsong pusaran pedang Nilakanti. Gebrakannya mengundang tanya. Karena hanya orang yang mau mati saja yang berani nekat berbuat seperti itu. Dan ini membuat Nilakanti merasa di atas angin. Karena diyakini. dalam gebrakan berikutnya akan menguasai pertarungan. Namun rupanya apa yang telah diduga melesat Karena, Setan Selaksa Wajah justru membuang tubuhnya, ketika pedang di tangan murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu mendekat. Wuutt! Sambaran pedang Nilakanti meleset. Pada saat yang sama. Satu tendangan Setan Selaksa Wajah meluruk cepat, tak terhindari lagi.
Duk! "Aaakh...!" Nilakanti terjajar beberapa langkah disertai pekik kesakitan.
"Tangkap laki laki itu!" teriak Kataran yang sejak tadi memperhatikan pertarungan. Serentak sepuluh orang menyerbu Setan Selaksa Wajah.
Deb! Deb! "Aaakh...!" Namun dalam dua gebrak saja, yang tersisa hanya tinggal tiga orang pengawal.
Selebihnya tewas dengan tubuh bagai tercacah! Kataran menggeram murka melihat anak buahnya berjatuhan. Tombak di tangannya mengayun mencari sasaran. Nilakanti sendiri sudah masuk menyerbu dengan hebatnya. Bet! Bet! "Aaakh...!" Akan tetapi, lagi-lagi Setan Selaksa Wajah menunjukkan kepandaiannya. Setelah lima jurus berlalu, dia berhasil membunuh dua orang dari sisa pengawal kadipaten.
Sementara Kataran sendiri menerima pukulan yang bagai mematahkan tulang iganya.
Nilakanti sendiri mengalami hal yang sama. Tubuhnya terjajar tiga tombak ke belakang, setelah terkena tendangan keras Setan Selaksa Wajah.
"Hhh! Kalian tak pernah memandang betapa tingginya langit!" desis Setan Selaksa Wajah.
"Manusia hina! Kaulah yang tak pernah memandang langit!" balas Nilakanti sambil berusaha bangkit. Namun si gadis tak kuasa melakukannya. Karena, seluruh persendian di tubuhnya bagai mati Kataran hatinya sudah panas segera menerjang dengan sisa tenaganya. Namun hanya memiringkan tubuhya, Setan Selaksa Wajah membuat serangan Kataran hanya menebas angin. Bahkan satu jotosan pada punggung membuat pengawal itu jatuh pingsan.
"Sekurang giliranmu, Gadis Manis. Setelah kau beres, tinggal Pendekar Slebor yang harus kubereskan'" Hati Nilakanti menjadi ciut ketika lelaki tampan itu mendekatinya dengan seringai buas yang membuat bulu kuduk meremang.
'Tak ada yang bisa menolongmu sekarang...."
"Kutu loncat! Apa kau tidak lihat ada aku di sini"!" Mendadak terdengar seruan dari sebelah kiri. Setan Selaksa Wajah menoleh.
"Kang Andika! Mawar!" seru Nilakanti.
*****
Pasti ada yang salah, pikir Andika. Maka segera diajaknya Mawar Wangi untuk mencari Nilakanti. Memang agak terlambat. Namun nasib jelek belum menimpa murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu.
"Hhh! Bila kau ingin selamat, serahkan Tasbih Emas Bidadari kepadaku!" dengus Setan Selaksa Wajah, begitu melihat tampang Pendekar Slebor.
"Menyerahkannya sangat gampang. Tetapi menyerahkannya pada manusia sepertimuu , perlu kesepakatan?" sahut Andika.
"Apa maksudmu?"
"Kau mendapatkan pusaka ini dariku. Sementara aku mendapatkan kepalamu.
Bagaimana" Kesepakatan yang bagus sekali, bukan?"
"Setan alas! Kulumat tubuhmu, Pendekar Slebor!" Sehabis berkata begitu, tubuh Setan Selaksa Wajah melompat ke arah Andika. Si pemuda urakan SEgera berkelit dengan melompat ke sana kemari dengan gerakan cepat mengagumkan. Beberapa kali suara bagai petir menyalak terdengar. Andika yang merasakan betapa kuatnya tenaga dalam lawan, segera mengalirkan tenaga 'inti petir" tingkat ke sepuluh. Kini pertempuran berlangsung sengit. Setan Selaksa Wajah mengeluarkan segenap kemampuan mendesak Pendekar Slebor. Namun si pemuda membalas tak kalah ganas.
Desss...! Bukkk...! Dalam jurus berikutnya, Setan Selaksa Wajah berhasil mendaratkan satu tendangan ke dada. Namun, dia pun harus menerima pukulan yang kuat di punggungnya.
Andika mundur dua tindak sambil cengengesan.
"Tidak sakit! Payah juga! Tendanganmu," oceh si pemuda. Padahal mulutnya meringis menahan sakit. Mendengar ejekan seperti itu, Setan Selaksa Wajah menggeram marah. Kali ini serangan yang dilakukan cepat luar biasa. Tubuhnya berputar melingkari Andika sambil mengirimkan jotosan. Justru sekarang Andika yang kelabakan menerima serangan. Dia mendelik gusar sambil berusaha menghindar. Namun karena gerakannya selalu tertutup oleh pusaran tubuh Setan Selaksa Wajah. Bahkan tubuhnya berkali-kali menjadi sasaran pukulan.
"Biang panu! Ibuku saja tak memukul kepala, dia enak sekali menjitak kepalaku!" maki Andika, dalam hati. Siapa sebenarnya laki-laki tampan ini" Rupanya banyak yang menginginkan Tasbih Emas Bidadari dan nyawaku! Hmm.... Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai bisa menjadi momok yang mengerikan. Tetapi, aku masih belum mengerti apa yang dimaksud Mawar Wangi, Lima Jalan Darah, dan Dewi Sungai Bangkai yang mengatakan kalau aku pernah berjumpa mereka sebelumnya"!' Meski kebingungan, Andika terus berusaha memecahkan kesulitan yang dihadapinya.
Otak encernya terus bekerja sambil melayani serangan-serangan ganas.
Dan tiba-tiba saja, Andika membuat gerakan menakjubkan.
Breeeppp! Di tangan si pemuda tahu-tahu sudah terpegang kain pusaka bercorak catur warisan Ki Saptacakra. Ketika dikibaskan, terdengar suara menggelegar bagai sambaran petir.
Dan tahu- tahu, kain pusaka itu melibat kaki Setan Selaksa Wajah.
"Hih!" Dengan cepat Andika menarik kain itu dan membantingnya.
Bruk! Bersamaan dengan itu, Pendekar Slebor menyusuli dengan satu jotosan telak di dada Setan Selaksa Wajah.
Desss! Setan Selaksa Wajah jatuh terjengkang. Dari mulutnya mengalir darah segar.
Andika terperangah. Karena lelaki itu masih bisa berdiri kembali, meskipun sudah agak sempoyongan Menyadari hal itu. Andika segera menerjang dengan ajian 'Guntur Selaksa' yang sudah terangkum di tangannya.
Des! Kembali tubuh Setan Selaksa Wajah terjengkang sejauh tiga tombak, terkena pukulan keras Andika. Namun tubuhnya yang kedot itu masih bisa untuk bangkit. Kini baru disadari, siapa pemuda lawannya. Dan dia merasa lebih baik menghindar dari pada mati di tangan Pendekar Slebor sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya Begitu bisa bangkit, Setan Selaksa Wajah berbalik dan melesat pergi.
"Hei! Mau ke mana kau?" seru Andika sambil mengejar. Namun sosok lelaki tampan itu sudah menghilang dari pandangan.
"Siapa sebenarnya dia?" Andika lantas mendekati Nilakanti yang masih ditemani Mawar Wangi.
"Siapa sih dia?" tanya si pemuda.
"Pacarmu, Nila?"
"Enak saja! Aku justru ingin membunuhnya! Kau ke mana saja, Kang Andika" Meninggalkan aku begitu saja!" seru Nilakanti ketus.
Andika yang masih bingung dengan apa yang terjadi, tak menghiraukan makian Nilakanli. Dia sudah menatap Mawar Wangi.
"Ceritakan sekali lagi apa yang kau alami," ujar Pendekar Slebor.
Dengan keheranan Mawar Wangi mengulang ceritanya.
"Tetapi, aku tak pernah datang kembali ke kadipaten dan mengajakmu ke hutan ini, Mawar," tandas Andika, setelah Mawar Wangi menyelesaikan ceritanya.
"Oh! Kok bisa begitu?" tukas Mawar Wangi dengan kening berkerut. Dia berpikir, apakah Andika malu mengatakannya karena sekarang ada Nila"
"Bukankah Kang Andika sendiri yang datang mengetuk pintu kamarku?" susulnya.
"Kalau kau tak percaya, kau bisa bertanya pada Nila," ujar Andika.
"Kang Andika benar, Mawar. Sejak meninggalkan kadipaten, dia selalu bersamaku," timpal Nilakanti.
"Tetapi..., kalau begitu siapa yang datang dan mengajakku ke sini?" tanya Mawar Wangi tak mengerti.
"Dia.,., mirip sekali denganmu, Kang Andika." Andika terdiam sesaat "Nila..., bagaimana tiba-tiba kau berpisah dengan Mawar?" tanya si pemuda, akhirnya.
"Aku tidak tahu. Tadi kuajak dia untuk mencari tempat yang nyaman untuk tidur.
Ketika aku terlelap, masih kurasakan totokan yang membuatku terbangun sejenak. Tetapi selebihnya, aku tidak tahu. Karena aku langsung pingsan. Dan ketika terbangun, lelaki kurang ajar itu sudah berada di dekatku!"
"Kalau begitu...."
"Kang Andika...," potong Mawar Wangi dengan suara heran.
"Aku baru sekarang ini bertemu Kak Nila lagi. Aku tak pernah mendatanginya."
"Itu yang akan kutanyakan. Mawar! Semalam ada seseorang yang mirip denganmu mendatangi kami. Dan kau yakin yang datang itu bukan dirimu?"
"Justru aku sedang menunggu kedatangan Kang Andika, sampai munculnya orang yang berjuluk Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai.
"Apa yang terjadi, Kang Andika?" tanya Nilakanti.
"Setelah diobati si Hantu Jantan, kesehatanmu terasa pulih kembali. Meskipun aku tak tahu apakah pengobatannya sudah sempurna atau belum. Hmm.... Aku yakin..., ada sesuatu yang aneh yang kita alami ini. Dan aku jadi penasaran ingin mengetahuinya, Nila, bersediakah kau menjaga Mawar?" papar si pemuda.
"Maksud Kang Andika?" tanya Nilakanti.
"Carilah tempat persembunyian untuk sementara. Aku hendak melakukan sesuatu untuk membuktikan dugaanku. Karena sebelum aku bertarung, Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai pun mengatakan telah bertarung denganku sebelumnya. Hmm.., berjanjilah padaku untuk menjaga Mawar."
"Kang Andika?., aku ingin membantumu."
"Tidak usah. Kau jaga Mawar dan berjanjilah padaku." Meskipun dari sorot matanya Nilakanti tidak setuju, tetapi kepalanya mengangguk pula.
"Kalau begitu, pergilah kalian dari sini. Kulihat lukamu tak seberapa parah, Nila. Bila kau sudah mengalirkan tenaga dalam yang dipadukan dengan hawa murnimu, pasti akan pulih kembali," ujar Andika.
Nilakanti mengangguk-angguk.
"Kang Andika...," panggil Mawar Wangi.
Andika menggaruk-garuk kepalanya. Bisa berabe. Apalagi dia melihat Nilakanti sudah melengos.
"Nila akan menjagamu. Setelah semuanya selesai, kau akan kuantar ke kadipaten.
Kau lihat sendiri, mereka adalah orang-orang kadipaten. Tentunya ayahmu cemas karena kau tak ada di kamarmu semalam."
"Tetapi, bukankah Kang Andika yang menjemputku?" Andika menghela napas.
"Percayalah, Mawar.... Ada sesuatu yang aneh. Dan aku tak pernah menjemputmu semalam." Sehabis berkata begitu, Andika berkelebat cepat Mawar Wangi menundukkan kepalanya. Dia masih tak mengerti, mengapa Kang Andika menyangkal semuanya" Sementara, Nilakanti sebagai gadis rimba persilatan, paham apa yang sebenarnya terjadi.
*****
¤¤[ 11 ]¤¤
Keinginannya untuk membunuh Pendekar Slebor semakin menjadi-jadi.
Ketika lelaki ini bermaksud menyembuhkan luka dalamnya, telinganya mendengar langkah bergegas ke arahnya. Dengan sigap tubuhnya melenting ke atas pohon.
Begitu hinggap, tampak seorang gadis berlari ke arahnya. Si gadis berhenti di bawah pohon tempat Setan Selaksa Wajah bersembunyi, dan celingukan di sana.
"Murid Malaikat Putih Bayangan Maut'" dengusnya begitu mengenali siapa yang datang. Dengan kegeraman yang tinggi, tubuh Selan Selaksa Wajah langsung meluncur ke arah gadis yang ternyata Nilakanti Menyadari ada angin kencang yang menderu ke arahnya, Nilakanti mendongak.
Terdengar seruannya yang cukup keras karena terkejut. Dia mencoba menangkis serangan Setan Selaksa Wajah.
Des! Karena tidak dalam keadaan siap serang dan berdirinya dalam keadaan tidak menguntungkan, mau tak mau tubuh Nilakanti tersuruk oleh hantaman Setan Selaksa Wajah yang begitu keras.
Tubuh Nilakanti terguling. Setan Selaksa Wajah yang masih dalam penyamarannya sebagai lelaki tampan, langsung memburu. Kali ini seluruh keinginannya untuk memiliki si gadis lenyap, berganti kemarahan membludak.
Dalam keadaan terguling, Nilakanti mencoba membuang tubuhnya. Akan tetapi, sambaran kaki Setan Selaksa Wajah lebih cepat lagi.
Des! Tubuh si gadis terlontar tiga tombak ke belakang. Setan Selaksa Wajah bukannya merasa bangga akibat tendangannya, justru menghentikan serangannya dengan kening berkerut. Saat meneruskan serangannya tadi, dia yakin kalau gadis itu mampu menahan serangannya. Bahkan membalas. Akan tetapi, justru si gadis terlempar kembali.
Setan Selaksa Wajah melihat kesempatan di depan matanya.
"Hhh! Aku ingin lihat bagaimana murkanya Pendekar Slebor bila melihat kau mampus di tanganku, Gadis Sial!" Begitu selesai kata-katanya, Setan Selaksa Wajah membuka jurus mautnya.
Nilakanti mengangkat sebelah tangannya seolah memberi isyarat agar Setan Selaksa Wajah menahan gerakannya. Kelihatannya dia tak mampu lagi bergerak.
"Sebelum kau bunuh, aku ingin mengetahui sesuatu. Siapa kau sebenarnya" Dan ada urusan apa?" tanya Nilakanti.
"Orang-orang rimba persilatan menjulukiku Selan Selaksa Wajah," katanya dengan nada pongah.
"Keinginanku sudah jelas. Untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari dari tangan Pendekar Slebor. Sekaligus membunuhnya."
"Aku tak pernah percaya kau berjuluk Setan Selaksa Wajah!" leceh Nilakanti, disertai tawa mengejek.
"Ha ha ha.... Sangat menyenangkan mendengar kata-katamu itu, Gadis Manis. Tetapi sayangnya, hanya ada seorang Setan Selaksa Wajah di dunia ini. Dan, akulah orangnya. Apakah kau tak sadar saat kau dan Pendekar Slebor didatangi gadis manis bernama Mawar Wangi" Gadis itu adalah jelmaan diriku. Sementara, Mawar Wangi, sedang menunggu keda- tangan Pendekar Slebor di tempat yang agak jauh...."
"Apakah kau yang menyamar sebagai Pendekar Slebor, dan membawa Mawar W angi meninggalkan kadipaten?"
"Tepat sekali. Aku senang menjawab pertanyaan orang yang mau mampus!"
"Tetapi aku tetap tidak percaya kalau kau adalah Setan Selaksa Wajah! Hanya seorang yang bisa melakukan penyamaran seperti apa pun. Dan dia adalah Raja Penyamar!"
"Bila aku berjumpa dengannya, orang tua keparat itu akan kubuat mampus!" dengus Setan Selaksa Wajah dengan rahang berkerut geram.
"Tunjukkan kemampuanmu bila kau memang Setan Selaksa Wajah!" Merasa ditantang, kesombongan Setan Selaksa Wajah semakin tinggi.
"Kau lihat sekarang!" serunya sambil mencopot rambut palsunya.
Lalu dengan gerakan sangat cepat, Setan Selaksa Wajah mengubah wajahnya di sanasini, setelah mengambil alat-alat yang ada dalam buntalannya.
Di tempatnya, Nilakanti memekik. Dan kini melihat wajah Mawar Wangi di hadapannya.
"Apakah kau sudah percaya sekarang?" tanya Setan Selaksa Wajah.
Gadis itu hanya terdiam dengan tatapan tak percaya.
"Sekarang! Mampuslah kau!" Setan Selaksa Wajah yang menduga kalau Nilakanti sudah tak mampu bergerak, meluruk dengan satu serangan maut. Dengan sekali pukul, nyawa Nilakanti jelas-jelas akan melayang. Namun di luar dugaan, tiba-tiba saja tubuh gadis manis yang kelihatan tak berdaya itu melenting. Dari udara, dia menerjang ke arah Setan Selaksa Wajah.
Duar! Suara bagai salakan petir terdengar, Setan Selaksa Wajah terperanjat menyadari kalau tubuhnya bagai disengat petir berkekuatan tinggi.
"Rupanya kau sudah diajarkan ajian 'Guntur Selaksa' oleh Pendekar Slebor!" duga Setan Selaksa Wajah.
"Dan kau akan terkejut menyadari siapa yang kau hadapi ini?" tukas sosok Nilakanti dingin. Lalu tangan si gadis terangkat. Dicabutnya rambut palsu yang digunakannya.
Tangannya lantas mengupas kulit wajahnya yang ternyata terbuat dari sejenis getah. Dan disobeknya pakaian pulih yang dikenakannya. Tak lama kemudian, wajah Nilakanti beruubah menjadi sosok..., Pendekar Slebor!
*****
Andika tertawa melihat wajah yang mendadak pias begitu. Inilah rencana yang dijalankannya. Karena sejak mengalami kebingungan demi kebingungan yang dialaminya, otak cerdiknya menduga kalau ada seseorang yang memiliki kemampuan tinggi dalam hal menyamar. Selama ini dalam hal menyamar yang diketahuinya hanyalah Raja Penyamar. Namun dia tak memungkiri kalau ada tokoh lain yang mempunyai kemampuan sama.
Untuk membuktikan dugaannya, Andika sengaja menyamar sebagai Nilakanti. Karena dia berpikir, bila memang ada orang yang seperti dugaannya itu, pasti sudah mengenal Nilakanti. Dan dugaannya pun menjadi kenyataan sekarang. Ternyata sosok di hadapannya mengaku sebagai Setan Selaksa Wajah. Kemampuannya dalam hal menyamar mungkin bisa menandingi si Raja Penyamar, yang pernah menurunkan keahliannya pada Pendekar Slebor.
"Rupanya ada pemain ketoprak di sini!" ejek Andika dengan kedua tangan terkepal.
Sedangkan Setan Selaksa Wajah yang tak menyangka melihat kenyataan ini, hanya melotot tak percaya. Sungguh, tak pernah diketahui kalau Pendekar Slebor memiliki keahlian menyamar yang patut dibanggakan pula.
Dan kemarahannya pun membuat Setan Selaksa Wajah segera menyerang dengan membabi-buta. Andika yang sudah geram pun menerjang pula. Pertarungan sengit pun berlangsung kembali.
Sebelumnya, saat diserang Setan Selaksa Wajah dalam penyamarannya sebagai Nilakanti tadi, Andika sudah membuat pertahanan diri dengan tenaga 'inti petir' pada sekujur tubuhnya. Hingga hantaman Setan Selaksa Wajah tak membawa pengaruh apa-apa terhadap dirinya Saat Setan Selaksa Wajah tadi menyerang, dia sudah membuang diri ke tanah. Pertarungan itu tak terasa sudah berlangsung dua puluh jurus. Mereka saling serang dan hindar. Masing-masing pun menunjukkan kemampuan. Serangan Setan Selaksa Wajah yang ganas itu bisa diimbangi Andika. Apalagi ketika pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu mempergunakan kain bercorak catur. Dan ini membuat Setan Selaksa Wajah harus berpikir beberapa kali untuk masuk menyerang.
Dan beberapa kali pula jotosan Andika masuk, membuat tubuh Setan Selaksa Wajah tersentak dengan aliran hawa panas pada tubuhnya. Menyusul satu tendangan keras, membuat Setan Selaksa Wajah terlempar disertai muntahan darah.
"Busyet! Kok jadi begini, sih" Tadi kau bersama gadis itu. Andika. Sekarang, justru kau menyerangnya mati-matian!" Mendadak terdengar suara dari samping, saat Andika sudah siap melancarkan serangannya pada Setan Selaksa Wajah.
Andika menoleh. Tampak si Hantu Jantan sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lalu ditatapnya bungkusan yang dipegangnya.
"Kau lihat sendiri pemuda brengsek itu, Sayangku" Memang aku yakin, dia tak pantas mendapatkan gadis secantik dia. Tetapi..., rasa-rasanya aku melihat sesuatu yang aneh dari gadis itu. Apakah kau melihatnya pula, Sayangku" Oh, kau melihatnya" Ya, ya...
Tanda silang pada telapak tangan kanannya justru mengingatkan aku pada manusia busuk puluhan tahun yang lalu, Sayangku. Kau mengingatnya pula?" Andika yang tak mengerti apa yang dikatakan si Hantu Jantan, siap melancarkan serangan.
"Tahan!" seru si Hantu Jantan.
"Kau tak akan bisa membunuh manusia keparat itu, Pendekar Slebor."
"Dia bukan Mawar Wangi. Pak Tua. Dia Setan Selaksa Wajah!"
"Aku sudah tahu! Tua bangka keparat yang sudah berusia seratus tahun itu rupanya masih bisa mengubah dirinya menjadi apa yang disukai. Sampai saat ini, aku memang tak tahu bagaimana rupa aslinya. Tetapi aku tahu kalau dia adalah manusia busuk dari tanda silang di telapak tangannya! Minggir! Biar aku yang menangani manusia ini! Dia punya silang sengketa padaku puluhan tahun yang lalu!"
"Sepasang Hantu Neraka! Rupanya kau tinggal sendiri sekarang! Bagus, ingin kulihat kemampuanmu!" kata Setan Selaksa Wajah. Dia sudah bisa bangkit, walau menderita luka dalam cukup parah.
Si Hantu Jantan terbahak-bahak.
"Apakah aku tidak tahu, kalau kau sudah mempersiapkan ajian 'Telapak Akhirat'"! Kalau puluhan tahun yang lalu kau bisa mengalahkan aku dengan ajian keparat itu, sekarang jangan harap mampu melakukannya!" Mendengar kata-kata itu, Pendekar Slebor jadi tercenung sendiri. Ajian Telapak Akhirat'" Desisnya. Rupanya Sepasang Hantu Neraka dulu memang mempunyai silang sengketa dengan Setan Selaksa Wajah.
"Sudah sana! Minggir!" Sehabis membentak begitu, si Hantu Jantan berkelebat cepat ke arah Setan Selaksa Wajah. Desingan angin meluncur cepat. Dan dari kelebatan tubuh si Hantu Jantan memancar sinar kuning menggidikkan.
"Hup!" Setan Selaksa Wajah melompat dengan satu egosan. Lalu mendadak dia menyergap ke arah telapak tangan si Hantu Jantan. Namun dengan cepat si Hantu Jantan menarik tangannya.
"Nah kau lihat sendiri. Andika! Bila dia berhasil menyentuh tanganku yang memancarkan hawa dingin, berarti siap melancarkan ajian 'Telapak Akhirat'-nya! Tetapi sayangnya, dia tak akan mampu melakukannya!" Apa yang dikatakan si Hantu Jantan memang benar. Dalam dua gebrak berikutnya, Setan Selaksa Wajah terdesak hebat oleh serangan-serangannya yang berbahaya. Dan berkali-kali tubuhnya terhantam pukulan dahsyat.
"Aaaakhhh...!" Tiba-tiba Setan Selaksa Wajah menjerit setinggi langit ketika tangannya ditangkap tangan Si Hantu Jantan yang memancarkan panas amat dahsyat lau ditekannya dengan kuat.
"Manusia keparat ini tak akan memiliki kekuatan bila tanda silang merah pada telapak tangannya di tangkap. Lebih tak berdaya lagi, bila tangan ini dipotong!" Jeritan Setan Selaksa Wajah yang setinggi langit disusul kelojotan tubuhnya.
Namun tangan si Hantu Jantan bagai sebuah capit bertenaga raksasa yang sangat keras.
Tak mudah bagi Setan Selaksa Wajah untuk melepaskan diri. Akibatnya, tubuhnya terasa semakin lama semakin lemas. Tenaganya bagai hilang perlahan-lahan. Dan jeritannya pun mulai melemah "Sayangku..... Apakah aku harus membunuh manusia sialan ini?" tanya si Hantu Jantan pada bungkusan yang dipegangnya.
"Oh, kau mengizinkan aku membunuhnya" Baik, baik aku akan melakukannya!" Setan Selaksa Wajah yang tak berdaya membelalakkan matanya. Disadari kalau maut sudah di ambang pintu. Tetapi....
Desss...! Wuutt..! Justru lelaki ini terkejut ketika tubuhnya terlontar ke belakang. Sementara tubuh si Hantu Jantan tertarik ke samping oleh sambaran satu sosok bayangan hijau pupus. Pada saat yang sama, meluruk sinar-sinar hitam yang tak menemukan sasaran.
Duaarr! Duaaarr! Ledakan keras terdengar dua kali. Dan pohon besar di belakang mereka seketika hangus terhantam sinar-sinar hitam itu.
*****
¤¤[ 12 ]¤¤
Yang disambar Andika justru memaki-maki.
"Pemuda brengsek! Mau apa sih kau sebenar nya?"
"Apa kau tidak lihat kalau kedua pohon itu hangus, Pak Tua?" tukas Andika sambil menunjuk pohon yang dimaksud.
"Masa bodoh! Aku ingin membunuh manusia keparat itu! Hei, Manusia Jelek! Sini kau!" seru si Hantu Jantan pada Setan Selaksa Wajah yang terkulai tak berdaya.
Napasnya terlihat terputus-putus.
Andika yang merasa bahaya lain akan datang, bersiaga tanpa mempedulikan makian si Hantu Jantan. Dan kini bisa terlihat siapa yang muncul di hadapannya. Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai! Si Hantu Jantan yang sudah melangkah dua tindak untuk mendekati Setan Selaksa Wajah seketika melotot begitu melihat Dewi Sungai Bangkai, Kemarahannya bertambah tinggi.
"Rupanya kau berada di .sini. Nenek Busuk!"
"Orang tua bau tanah! Apakah kau memang ingin mampus?" balas si nenek sengit.
Menyadari kalau manusia yang dicarinya berada di hadapannya, si Hantu Jantan langsung mengempos tubuhnya. Gerakannya cepat luar biasa penuh tenaga dalam tinggi. Dewi Sungai Bangkai mendengus. Cepat kedua tangannya menghentak, mengirimkan pukulan berbau busuk.
Sementara Lima Jalan Darah tengah memperhatikan Pendekar Slebor dengan tatapan gusar. Dia tidak mengerti ketika melihat pemuda berpakaian corak catur itu dalam keadaan biasa-biasa saja. Bahkan napasnya tak terlihat tersendat. Padahal dia yakin, dua totokan darahnya tepat mengenai tubuh Pendekar Slebor.
"Pendekar Slebor! Serahkan Tasbih Emas Bidadari kepadaku!" bentak Lima Jalan Darah.
"Kalau aku tak mau menyerahkannya, bagaimana?" tukas Andika.
"Setan alas!" Mendadak saja Lima Jalan Darah mengibaskan tangannya. Seketika meluruk angin dahsyat meluncur cepat.
Andika mencelat cepat dengan segala kelincahannya. Dia tahu betapa dahsyatnya serangan Lima Jalan Darah. Makanya dicobanya untuk menghindar sambil mencari sela menyerang. Namun kali ini, Lima Jalan Darah sudah mengerahkan kecepatannya yang luar biasa.
Serangan-serangan totokan darahnya benar-benar mengerikan.
"Monyet busuk! Gembel Kurapan!" maki Andika.
Tak ada jalan lain lagi bagi Andika kecuali harus mempergunakan kain bercorak caturnya. Sekali tangannya mengibas, terdengar suara menggeletar disertai sambaran angin yang mengacaukan serangan Lima Jalan Darah.
"Keparat! Kain pusaka itu menghalangi setiap gerakanku! Dan angin yang keluar seolah mematikan setiap totokan darah yang kulakukan! Aku harus merebutnya lebih dulu!" Mendadak saja Lima Jalan Darah bergerak memutari tubuh Andika. Pendekar Slebor tercekat, karena lagi-lagi harus menerima serangan seperti itu.
"Kutu monyet!" maki Andika.
Pendekar Slebor kelihatannya kebingungan untuk menghentikan serangan Lima Jalan Darah yang berupa jotosan dan tendangan mengandung tenaga dalam penuh. Dua kali tubuhnya terhantam tendangannya. Lalu satu jotosan membuat tubuhnya terpental.
Saking kerasnya tubuh Andika meluncur ke belakang, hingga dari balik perutnya mencelat sebuah benda memancarkan sinar keemasan.
Melihat benda itu, sepasang mata Lima Jalan Darah terbelalak. Dengan cepat disambarnya benda itu. Namun....
"Setan keparat!" Segera tubuh Lima Jalan Darah melenting ke belakang saat satu sosok tubuh menghalanginya dengan kibasan pedang. Bahkan sosok itu pun menyambar benda yang tak lain pusaka darah Ki Bubu Jagat, Tasbih Emas Bidadari.
Tap! Lalu dengan lincahnya sosok ramping itu hinggap di tanah.
*****
"Serahkan Tasbih Emas Bidadari kepadaku!" bentak Lima Jalan Darah.
Sosok ramping yang tak lain Nilakanti melotot garang "Manusia hina! Sebaiknya kau mampus daripada membuat celaka di dunia ini!" bentak Nilakanti.
"Gadis kurang ajar! Kau akan menyesali ocehan busukmu itu!" desis Lima Jalan Darah seraya menggerakkan tangannya cepat "Pergunakan kecepatanmu, Nila! Jangan sampai terkena totokan darah yang dilakukannya!" teriak Pendekar Slebor.
Begitu mendengar seruan Pendekar Slebor, Nilakanti urung untuk menyongsong serangan. Tubuhnya berkelit lincah.
Beberapa kali Lima Jalan Darah melakukan serangannya. Namun, tak satu pun yang mengenai sasaran. Hal ini membuatnya semakin kalap. Dan kini sasarannya adalah Pendekat Slebor.
Wusss! Andika tercekat melihat serangkum angin meluruk ke arahnya.
"Monyel pitak!" makinya seraya bergulingan.
Tak ! Tak ! Tak ! "Auuukhhh...!" Namun gerakan yang dilakukan Pendekar Slebor terlambat. Karena tiga buah totokan sudah singgah di tubuhnya diiringi jeritan setinggi langit. Seketika Andika merasa napasnya tersengal. Hawa panas pun mengalir di sekujur tubuhnya. Lebih menyiksa daripada sebelumnya. Melihat hal itu Nilakanti berteriak kaget. Kalap, dia menderu ke arah Lima Jalan Darah. Dalam keadaan begini, serangannya justru jadi tak menentu. Dan dengan mudahnya Lima Jalan Darah menghindari. Bahkan mengirimkan satu jotosan telak! Desss...! Nilakanti pingsan seketika.
Kini Lima Jalan Darah berdiri dengan tatapan liar ke arah Tasbih Emas Bidadari yang berada di tangan kiri Nilakanti. Dengan perlahan didekatinya gadis itu.
*****
Dewi Sungai Bangkai benar benar tak mampu lagi bertahan. Dalam dua gebrakan berikutnya, mendadak tangan kurus si Hantu Jantan yang sekeras besi memapas lehernya! Crasss...! "Aaakhhh...!" Kepala Dewi Sungai Bangkai terpental, tubuh tanpa kepala yang memuncratkan darah dari leher itu bergerak terhuyung, lalu ambruk. Si Hantu Jantan mendengus puas sambil mengusap wajahnya yang terkena muncratan darah Dewi Sungai Bangkai. Lalu kepalanya berpaling pada bungkusan yang dipegangnya.
"Sayangku, semoga kau puas. Dan aku berjanji, tak akan pernah lagi membunuh," katanya, lirih.
Kepala si Hantu Jantan menoleh, melihat bagaimana Pendekar Slebor tengah dalam keadaan tersiksa akibat totokan Lima Jalan Darah, memaksa tubuhnya untuk bergulingan ke arah Tasbih Emas Bidadari.
Tesss! Begitu kaki si pemuda bergerak, Tasbih Emas Bidadari yang hendak diambil Lima Jalan Darah terpental. Bersamaan dengan itu, sambil mengerahkan sisa tenaganya, Andika melenting. Disambarnya Tasbih Emas Bidadari yang masih melayang.
Tap! Begitu hinggap di tanah, tubuh Pendekar Slebor sempoyongan.
Lima Jalan Darah menggeram murka. Tangan nya bergerak kembali.
"Setan alas kau, Pendekar Slebor!" dengusnya seraya mengibaskan tangannya.
Untungnya si Hantu Jantan cepat melesat ke arah Pendekar Slebor. Segera disambarnya pemuda urakan itu.
Tes! Tes! Totokan darah yang dilepaskan Lima Jalan Darah pun hanya mengenai lima buah pohon hingga hangus.
"Hhh! Rupanya kaulah yang berjuluk Lima Jalan Darah!" dengus si Hantu Jantan, setelah meletakkan tubuh Pendekar Slebor.
"Orang tua sinting! Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum menjadi sasaran!" ancam Lima Jalan Darah.
"Bicara memang gampang. Tetapi sayangnya, aku ingin melihat kehebatanmu!" Sehabis berkata begitu dengan masih memegang bungkusan di tangannya, si Hantu Jantan bergerak cepat ke arah Lima Jalan Darah. Namun dengan tenangnya lelaki tampan ini segera mengibaskan tangannya.
"Setan!" maki si Hantu Jantan. Cepat dia membuang tubuhnya ketika merasakan sambaran panas ke arahnya "Tinggalkan tempat ini, Orang Tua Busuk!" maki Lima Jalan Darah dengan tangan terus bergerak-gerak melepaskan totokan lima jalan darahnya yang mengerikan.
Si Hantu Jantan yang baru saja bangkit berdiri menjadi kalang kabut. Meskipun demikian dia masih bisa menunjukkan kemampuannya sebagai tokoh rimba persilatan. Dengan gerakan luar biasa cepatnya dia menghindar. Tubuhnya melenting ke atas. Dari udara, tangannya mengibas cepat.
Lelaki berbaju biru menyala itu tercekat dan terpaksa mundur beberapa langkah.
"Hhh! Orang tua bau tanah ini tak boleh dianggap enteng! Kecepatannya sangat sukar kuikuti. Hmm.... Sejak tadi dia selalu memegang bungkusan di tangannya. Dan dari cara memegangnya, jelaslah kalau bungkusan itu sangat berharga baginya. Baiknya, aku coba dugaanku ini!" Kalau tadi Lima Jalan Darah mengarahkan serangan pada bagian-bagian jalan darah di tubuh si Hantu Jantan, kali ini diarahkan pada bungkusan yang dipegang Penguasa Gunung Kabut. Dan dugaan lelaki berbaju biru itu tenyata membawa hasil.
"Anak setan! Kau harus membayar perlakuan busukmu pada kekasihku ini!" maki si Hantu Jantan, seraya kalang kabut menyelamatkan bungkusannya.
Lima Jalan Darah merasa sudah menemukan cara menyerang yang paling enak. Maka dia terus mengarahkan serangan-serangan mautnya pada bungkusan di tangan si Hantu Jantan.
"Bangsat setan!" rutuk si Hantu Jantan, kalang kabut. Keringatnya sudah banyak mengalir berbalur dengan ketegangan mendalam.
Pendekar Slebor yang melihat keadaan gawat yang dialami si Hantu Jantan, menarik napas panjang.
"Tak ada jalan lain. Untuk menghadapi Lima Jalan Darah yang kesaktiannya begitu tinggi terutama serangan totokan darahnya, terpaksa aku harus mempergunakan kesaktian Tasbih Emas Bidadari," desis si pemuda sambil menatap Tasbih Emas Bidadari yang berada di tangannya.
"Mudah-mudahan caraku ini berhasil. Aku ingin, tenaga yang dimiliki Lima Jalan Darah melemah. Dan dia tak mampu melakukan serangannya!" Sehabis berkata begitu, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor bergetar hebat.
Dalam keadaan terluka parah akibat terkena totokan Lima Jalan Darah untuk kedua kalinya, si pemuda menjerit setinggi langit. Panas menyengat terasa mendesak-desak sekujur tubuhnya yang terhuyung-huyung.
Pada saat yang demikian, Pendekar Slebor bermaksud melepaskan Tasbih Emas Bidadari. Karena dia yakin getaran hawa panas yang masuk ke tubuhnya berasal dari pusaka sakti itu. Akan tetapi, keinginannya tak bisa dilakukan. Karena, Tasbih Emas Bidadari bagai melekat di tangannya. Sementara tubuhnya terus saja terhuyung-huyung.
Si Hantu Jantan yang melihat keadaan itu menjadi terpecah perhatiannya. Namun untungnya, pada saat yang bersamaan Lima Jalan Darah menghentikan serangannya.
Ketamakannya untuk mendapatkan pusaka Tasbih Emas Bidadari membuatnya tertawa.
Terutama ketika melihat keadaan Pendekar Slebor yang bagai sekarat.
"Ha ha ha.... Kini saatnya bagimu untuk pergi ke neraka, Pendekar Slebor!" seraya terbahak-bahak.
Tangan lelaki itu bergerak beberapa kali. Namun yang mengejutkan, tubuhnya mendadak tersa melemah. Dan dia tak mampu melakukan totokan lima jalan darah! "Edan! Kenapa jadi begini"!" rutuknya.
*****
¤¤[ 13 ]¤¤
"Terima kasih...," desah Pendekar Slebor pelan, seolah berkata pada Tasbih Emas Bidadari. Si Hantu Jantan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ambruknya Lima Jalan Darah dengan kedua lutut tertekuk dan dalam keadaan tak berdaya.
"Pusaka milik Ki Bubu Jagat memang sangat mengerikan. Sudah selayaknya bila Malaikat Putih Bayangan Maut yang menjaga Tasbih Emas Bidadari," kata si Hantu Jantan sambil mendesah panjang. Lalu dihampirinya Andika.
"Untuk kedua kalinya kau terluka akibat totokan yang dilancarkan Lima Jalan Darah. Kali ini aku tak sanggup mengobatimu.
Se- baiknya, kita segera menuju Lembah Matahari." Andika yang merasa seluruh tenaganya terkuras, hanya mengangguk-angguk saja.
Sedikit pun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Napasnya masih terasa tersendat.
"Lima Jalan Darah tak akan mampu bergerak lagi, sebelum kau mencabut kata-katamu pada Tasbih Emas Bidadari. Tetapi untuk manusia busuk seperti dia, nampaknya itu hukuman sangat layak!" kata si Hantu Jantan.
Andika mengangguk-angguk. Namun sejurus kemudian kepalanya celingukan.
"Aku tak melihat Setan Selaksa Wajah...?" katanya, lirih.
Si Hantu Jantan yang juga ikutan mencari menganggukkan kepalanya.
"Rupanya manusia setan itu mencuri kesempatan untuk kabur ketika kita disibukkan oleh lawan masing-masing. Hei, Bor! Apakah kau akan mendiamkan saja murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu?" Andika menggeleng.
"Tolong kau gendong dia, Pak Tua. Mudah-mudahan dalam waktu yang tak terlalu lama dia akan siuman dari pingsannya," ujar si pemuda.
"Bagaimana dengan kau?" tukas si Hantu Jantan.
'Rasanya, aku masih bisa bertahan meskipun kesehatanku bertambah payah." Si Hantu Jantan lantas membopong tubuh Nilakanti yang masih pingsan.
"Kalau begitu, kerahkan ilmu meringankan tubuh yang kau miliki. Ingat! Jangan dipadukan dengan tenaga dalam. Aku yakin, pendekar kenamaan sepertimu akan mampu melakukannya," ingat si Hantu Jantan.
Andika menuruti saran si Hantu Jantan. Dan kejap berikutnya. Pendekar Slebor sudah merasa bagai terbang ketika si Hantu Jantan menyambar tangannya. Sambil membopong tubuh Nilakanti lelaki tua itu membawa lari Pendekar Slebor.
Sementara Lima Jalan Darah tetap terduduk dengan kedua kaki tertekuk. Tenaganya semakin lama semakin lenyap. Untuk merintih saja, dia sudah tak mampu.
Selebihnya, sunyi mendera.
*****
"Hhh! Kali ini kau berhasil mengalahkan aku. Pendekar Slebor.... Namun lain kali, justru kau yang akan berkalang tanah!" Lelaki tampan yang tak lain Setan Selaksa Wajah mengusapkan kedua tangannya ke wajah. Dari wajah tampan, mendadak saja terlihat wajah seorang kakek tua renta tak berdaya.
"Hhh! Suatu saat, Pendekar Slebor! Suatu saat!" desis Setan Selaksa Wajah. Lalu si kakek pergi tertatih-tatih dari tempat ini.
*****
"Kang Andika.... Apakah kita akan berjumpa lagi?" desahnya tersendat Dia adalah Mawar Wangi. Atas saran dari Nilakanti, gadis ini kembali ke kadipaten. Kataran yang sudah siuman dari pingsan pun membantu Nilakanti dalam membujuk Mawar Wangi. Semula Mawar Wangi bersikeras menolak. Namun karena Nilakanti terus membujuk akhirnya hatinya luluh. Dan sekarang ini si gadis kadipaten dilanda rindu mendalam pada Pendekar Slebor.
"Kang Andika.... Aku ingin sekali hidup bersamamu. Datanglah ke sini, Andika....
Datanglah..., aku pasti akan menunggumu...." Karena terlalu lama menangis dan kelelahan yang menderanya, gadis cantik itu tertidur.
SELESAI
PENDEKAR SLEBOR
Segera terbit : MANUSIA LABA-LABA
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Tasbih Emas Bidadari --oo0oo-- Manusia Laba Laba |