Tasbih Emas Bidadari
tanztj
March 11, 2011
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Pulau Kera --oo0oo-- Lima Jalan Darah |
ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: TASBIH EMAS BIDADARI
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: TASBIH EMAS BIDADARI
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
~~[ 1 ]~~
Malam dingin seperti tergugah oleh suara derap langkah dua ekor kuda. Teriakan-teriakan dari mulut penunggangnya seakan tak ingin membiarkan malam terus terkungkung sepi. Dua sosok penunggang kuda hitam meluncur cepat, memecah malam. Sementara di depan mereka, berlari terseok-seok satu sosok tubuh berpakaian keemasan.
Kepalanya memakai sebuah tu-dung dari bambu.
Sekujur tubuh lelaki yang sedang dikejar kedua penunggang kuda yang marah itu tampak dipenuhi luka. Darah mengalir membasahi pakaiannya. Namun semua itu tak dihiraukan. Baginya yang terpenting adalah terus melarikan diri dari kejaran dua penunggang kuda yang justru kian dekat saja.
"Ke mana pun kau pergi, tak akan mampu untuk melarikan diri, Sapta Jingga!" bentak salah seorang penunggang kuda yang bertubuh gemuk. Pakaiannya yang merah terbuka. Rambutnya hanya sejumput. Wajah mengerikan dengan codet di pipi kirinya. Lelaki bernama Sapta Jingga yang dibentak itu terus menambah larinya.
Tapi, siapa pun yang berlari dalam keadaan terluka yang terus menerus mengeluarkan darah, tenaganya akan cepat terkuras habis.
Maka tak heran kalau dalam waktu beberapa kejap saja, kedua orang penunggang kuda itu hampir menyusulnya.
"Hup!" Si lelaki bertubuh gempal langsung melenting ringan, sementara kudanya terus berlari. Dibuatnya beberapa putaran di udara guna menyerang Sapta Jingga dengan sebuah tendangan dari belakang.
Des! Karena tak menyangka, Sapta Jingga tersurut deras ke depan dan berguling-gulingan. Apalagi tubuhnya telah begitu lemah. Sementara lelaki gempal berbaju merah itu berdiri menatap penuh amarah.
"Sapta Jingga! Nyawa busukmu kini sudah berada di tanganku! Cepat serahkan peta warisan Ki Bu-bu Jagat!" bentak lelaki gemuk itu. Pelan saja, Sapta Jingga mengusap darah yang mengalir dari mulutnya. Matanya menatap sengit penuh kebencian. Dicobanya untuk bangkit. Namun tulang-belulangnya seakan tak kuasa diajak berdiri tegak. Sementara itu malam semakin merangkak, menyelimuti seluruh alam. Sinar sang ratu malam tak bi-sa menembus tingginya pepohonan. Namun, matamata orang-orang yang terlibat amarah itu mampu menembus kegelapan.
"Gempo Sinting!" bentak Sapta Jingga, susah payah. Kegeramannya semakin bertambah tinggi.
"Bi-arpun nyawaku putus, meskipun tubuhku kau cacah habis, tak akan pernah kuserahkan potongan peta itu kepadamu!"
"Keparat!" tangan lelaki bertubuh gempal bernama Gampo Sinting itu mengibas.
Angin deras bak air bah tumpah meluruk cepat disertai sinar warna hitam menggidikkan.
Meskipun tak kuasa menghindari serangan maut itu, Sapta Jingga masih bisa merebahkan tubuhnya rata dengan tanah. Namun tak urung tangan kirinya terpapas juga.
"Aaakh...!" Tubuh Sapta Jingga sempat terguling beberapa tombak. Darah mengalir dari luka yang membesar itu.
"Mengapa kau tidak segera membunuhku, Gampo Sinting?"
"Membunuhmu soal gampang. Tapi serahkan peta warisan itu kepadaku!" desis lelaki bertubuh tambun yang punya nama Gampo Sinting. Sementara itu penunggang kuda satunya yang bertubuh tinggi besar terbungkus pakaian hitam hanya memandang sengit.
Di dadanya tampak melingkar sebuah kalung berbentuk taring.
"Kau terlalu bermimpi untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari warisan Guru, Gampo Sinting!"
"Manusia laknat! Kau mau mampus, tahu"! Jangan banyak lagak! Peduli setan dengan semua itu.
Kau harus mampus!"
"Aku memang tak mampu untuk melawanmu lagi, Gampo! Apalagi ditambah manusia busuk tinggi besar itu! Bunuh aku! Mungkin ini lebih baik bagiku, karena aku bisa menyusul Mega Kemuning! Kasihan benar nasibmu, Gampo.... Kau tak pernah bisa mendapatkan Mega Kemuning yang akhirnya berhasil kau bunuh! Dosa dan kejahatanmu sudah berlipat-ganda! Dan bila kau membunuhku, kau tak akan pernah mendapatkan potongan peta warisan Guru yang ku sembunyikan di satu tempat!"
"Kurang ajar! Mampuslah kau!" Gampo Sinting mengibaskan tangan kanannya.
Kembali angin deras mengeluarkan gemuruh sangat dahsyat meluruk cepat.
Sapta Jingga yang kali ini tak mampu lagi menghindari serangan, justru membuka matanya lebar-lebar. Tak ada yang ditakuti lelaki perkasa itu. Tak terkecuali kematian! Namun siapa yang bisa menentukan kematian" Bahkan Malaikat Maut pun, kalau belum mendapat persetujuan dari-Nya, tak akan berani bertindak sewenang-wenang. Apalagi manusia yang masih banyak keterbatasannya. Maka dalam waktu yang berselisih sepersekian kejap sebelum serangan datang, Sapta Jingga merasakan tubuhnya bagai ada yang menyambar. Lalu....
Blammm! Pukulan keras Gampo Sinting menghantam tanah tempat Sapta Jingga rebah tadi, seketika terbentuk sebuah lubang setelah terdengar ledakan keras!
***
Mata Gampo Sinting melotot sebesar jengkol.
Kemarahannya meluap, karena maksudnya digagalkan pemuda dengan kain bercorak catur di bahunya.
"Bangsat! Siapa kau?" bentak Gampo Sinting, gusar. Sementara temannya sudah siap untuk menyerang pula.
Pemuda berambut gondrong dengan wajah tampan ini hanya cengar-cengir seperti kuda meringis.
Matanya yang setajam elang dengan kedua alisnya yang menukik bagaikan kepakan elang, mengerjapngerjap bagai orang sakit ayan. Menyebalkan sekali! "Kenapa tanya-tanya namaku" Naksir, ya?" tukas pemuda ini dengan sikap santai, seolah tak me- nyadari pelototan lelaki buntal berpakaian merah yang seperti hendak menelannya bulat-bulat. Sementara itu, Sapta Jingga yang terluka telah diletakkan si pemuda tidak jauh di belakangnya. Dia menggelosoh lemah. Sejenak hatinya merasa gembira karena ada yang menolongnya.
"Orang muda! Lebih baik kau minggat dari sini! Jangan campuri urusan orang!" bentak Gampo Sinting lagi. Suaranya lebih keras.
"Lho, lho..." Aku tidak mencampuri urusan siapa-siapa. Justru kalian yang mengganggu tidurku sampai terbangun, Sompret! Suara kalian yang seperti lolongan anjing-anjing geladak terlalu jelek di-telingaku"!" bantah pemuda itu jadi sewot.
"Setttaaannn...!" Dikawal bentakan keras, serta kegeraman menjadi-jadi, Gempo Sinting melompat menyerang. Sementara, pemuda berbaju hijau pupus itu hanya tertawa-tawa sambil menghindari serangan dengan gerakan cepat bukan main.
Gempo Sinting bingung setengah mati melihat cara menghindar pemuda itu. Suatu ilmu meringankan tubuh yang hebat diperlihatkan si pemuda. Padahal, gebrakan yang dilakukan Gempo Sinting sangat hebat.
Dalam sekali sabet saja, biasanya lawan tak akan mampu menghindar! Tetapi bukan hanya mampu meloloskan diri saja, bahkan pemuda itu tahu-tahu telah berdiri dengan sikap mengejek.
"Cuma buang-buang tenaga saja. Hei, Buntalan Kentut! Lebih baik kau pulang saja. Masih banyak pe-kerjaan lain ketimbang menganiaya orang. Misalnya, jadi pejantan buat sapinya kakekku, bagaimana?" Kelam sudah wajah si lelaki buntal. Harga dirinya benar-benar terasa diinjak-injak. Saat itu juga, Gempo Sinting kembali menyerang si pemuda.
Dan kembali Gempo Sinting tercekat. Kali ini keheranannya makin menumpuk. Tidak hanya melihat cara pemuda berbaju hijau pupus itu menghindar saja, justru karena melihat pemuda itu melancarkan serangan. Karena tak terlihat oleh matanya, tahu-tahu....
Desss...! Dada Gempa Sinting sudah digedor keras! Tubuhnya tersuruk ke belakang.
"Keparat! Pantas kau berani menjual lagak!" dengusnya sambil menahan sakit.
"Kalau aku menjual, mengapa kau tidak membeli" Biarlah.... Denganmu kujual murah. Malah kau beli satu, akan dapat dua..., enak kan?" Lelaki tinggi besar di sisi Gempo Sinting kali ini yang naik darah! "Sebutkan nama sebelum kau mampus!" Pemuda tampan berbaju hijau pupus itu cuma menganggukkan kepalanya saja. Sikapnya kali ini kembali santai.
"Oh, namaku Andika. Bagus, ya" Dan aku tak perlu tahu nama kalian, soalnya pasti hanya namanama pasaran yang pantas untuk tukang sado atau tukang kerak telor...." Dari rasa terhina, kening si lelaki tinggi besar berkerut. Dicobanya mengingat-ingat seorang pendekar yang selama ini menggemparkan dunia persilatan yang punya nama Andika.
"Hm.... Kau pasti yang berjuluk Pendekar Slebor! Huh! Hantu Gigi Gading tak gentar menghadapi pendekar kemarin sore!" dengus si lelaki tinggi besar.
"Ha... ha... ha...! Aku maklum..., aku maklum.... Jelas saja..., yang kau hadapi Pendekar Kemarin Sore.... Coba kalau Pendekar Slebor..., pasti kau..." Belum sempat pemuda yang ternyata Andika alias Pendekar Slebor melanjutkan ejekannya, Hantu Gigi Gading tiba-tiba menggeram hebat.
"Hhh! Bagus! Aku ingin lihat kehebatanmu sekarang! Heaaat...!" Berkawal teriakan, lelaki tinggi besar berjuluk Hantu Gigi Gading berkelebat cepat. Gerakannya secepat angin, menimbulkan suara gemuruh bak prahara marah. Sosok Pendekar Slebor melompat ke kiri dengan gerakan begitu cepat.
"Kutu koreng! Serangan mautnya cukup mengerikan. Aku memang masih sanggup menandinginya.
Tetapi..., nasib lelaki berpakaian keemasan itu tampaknya sudah tak berdaya.
Akibatnya bisa berbahaya kalau tidak segera ditolong. Jelas sekali dia tengah mengalirkan tenaga dalam.
Tapi kulihat, sesekali ia ke-sakitan, pertanda tak mampu lagi untuk mengatur pernafasannya. Hmm, aku harus menyelematkannya lebih dulu." Pendekar Slebor tak banyak ragu lagi segera mengibaskan sebelah kakinya ke kaki Hantu Gigi Gading. Tepat ketika lelaki tinggi besar itu melompat, kesempatan ini dipergunakannya untuk menyabet-kan kaki kanannya dengan gerakan memutar.
Hantu Gigi Gading mendengus, seraya membuang tubuhnya. Dia tak menyangka kalau pemuda berbaju hijau pupus itu bukan hanya berhasil menghindari serangannya, namun juga balas menyerang.
Namun Hantu Gigi Gading pun bukanlah orang baru di rimba persilatan ini. Seketika kakinya dikibaskan pula.
Des! Benturan kedua kaki yang dialiri tenaga dalam penuh terjadi. Pendekar Slebor tersuruk dua tindak, namun segera mengembalikan keseimbangannya. Ketika celana panjangnya tersingkap, tampak kakinya membiru. Sementara Hantu Gigi Gading merasakan hal yang sama.
"Gila! Nama besar Pendekar Slebor memang bukan omong kosong!" dengusnya.
"Lihat leher!" Begitu kata-katanya habis, lelaki tinggi besar itu meluruk deras. Serangannya kali ini lebih berbahaya daripada yang pertama.
Kedua tangannya yang menyergap, membentuk cengkeraman maut yang dahsyat diselingi angin keras.
Andika tak mau lehernya dijadikan sasaran.
Seketika tubuhnya ditarik ke belakang. Namun, itu belum berarti Andika keluar dari lubang jarum. Karena, di saat mencecar leher, kaki kanan dan kiri Hantu Gigi Gading menderu-deru mencari sasaran, bagaikan ombak di lautan.
"Edan! Hebat juga si tinggi besar bulukan ini!" maki Andika dalam hati.
Pada saat yang sama, Gempo Sinting melesat dengan satu sergapan mematikan.
"Uts!" Bukan Pendekar Slebor namanya kalau cuma menghadapi serangan silih berganti menjadikan dia keok. Berkat kelincahan yang didapat dari Lembah Kutukan, tubuhnya segera berkelit cepat luar biasa. Bahkan tiba-tiba, tangannya mengibas mencari sasaran.
Tapi bersamaan dengan itu, kaki Hantu Gigi Gading memapaki pukulan Andika pada Gempo Sinting. Pak! "Sialan!" rutuk Andika.
Belum puas Andika memaki, kembali satu serangan tangan Gempo Suiting menyambar keras. Sekejapan mata saja sambaran itu menemui sasaran, Pendekar Slebor telah bergerak lincah ke belakang.
Pada saat menghindar, Andika melirik keadaan Sapta Jingga yang benar-benar membutuhkan pertolongan secepatnya. Namun untuk menghindari serangan dua manusia kejam ini saja sudah sulit sekali.
Apalagi, mendekati Sapta Jingga. Ditambah lagi Gempo Sinting seolah mengerti maksudnya.
"Halangi dia! Jangan sampai mendekati Sapta Jingga yang sudah mau mampus!" teriak Gempo Sinting.
Hantu Gigi Gading kembali meluruk dahsyat dengan kedua kaki mengibas ke sana kemari menimbulkan angin menderu-deru.
"Permainan kalian cukup hebat. Tapi belum cukup hebat kalau tak bisa mencegahku menyelamatkan orang itu...!" Selesai berkata tiba-tiba saja Pendekar Slebor berkelebat laksana kilat.
Wusss! Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi, tubuh Pendekar Slebor seakan-akan menghilang dari pandangan dua manusia telengas ini.
Seketika, disambarnya tubuh Sapta Jingga, lalu kabur dari tempat ini.
"Jangan biarkan dia lolos!" teriak Gempo Sinting sambil berkelebat, disusul Hantu Gigi Gading. Namun, bayangan tubuh Andika sudah menghilang dari pandangan mereka.
Begitu tak berhasil mengejar, kedua lelaki ini berhenti.
"Bangsat! Pendekar Slebor sudah melibatkan diri dalam urusanku! Tak akan pernah kubiarkan dia hidup! Kawan Hantu Gigi Gading! Kau terus mencari Pendekar Slebor. Sementara, aku akan segera berangkat menuju Gunung Kabut. Menurut potongan peta yang ada di tanganku, Tasbih Emas Bidadari pusaka Ki Bubu Jagat berada di Gunung Kabut. Tepatnya, aku tidak tahu. Karena, potongan peta selanjutnya berada di tangan Sapta Jingga. Tetapi meskipun demikian, untuk memudahkan jalan menuju Gunung Kabut, aku harus melalui Sungai Bangkai. Dan di sana, ada seorang sahabatku yang berjuluk Dewi Sungai Bangkai.
Di samping hendak menjadikannya penunjuk jalan menuju Gunung Kabut, aku akan meminta bantuannya untuk memusnahkan Pendekar Slebor," ujar Gempo Sinting.
Hantu Gigi Gading menganggukkan kepalanya.
"Ketemu atau tidak, selama seminggu..., kau harus menyusulku ke Gunung Kabut," tambah Gempo Sinting.
***
~~[ 2 ]~~
Melihat keadaan Sapta Jingga, Andika jadi khawatir sekali. Napas lelaki itu mulai melemah. Degup jantungnya hanya lamat-lamat saja terdengar. Tapi yang terpenting bagi Andika, berusaha semampu mungkin menyelamatkannya.
Di tengah hutan Pendekar Slebor menemukan sebuah gubuk yang kemungkinan besar milik para penebang kayu. Kedatangannya disambut kicau-kicau burung yang mulai berangkat mencari makan. Saat ini hari sudah memasuki pagi.
Sang surya baru saja me-nyapa ramah pada seluruh penghuni permukaan bumi dengan sinarnya yang keemasan.
Andika memasuki gubuk kosong yang sudah tak terpakai itu. Perlahan-lahan dibaringkannya tubuh Sapta Jingga yang tengah sekarat di balai-balai bambu. Dicobanya untuk mengobati luka-luka di tubuh lelaki itu. Dan Andika tercekat setelah melihat lukalukanya.
"Gila! Tipis harapanku untuk menyembuhkannya. Tetapi, biar bagaimanapun juga aku harus berusaha." Ketika tangan Andika menyentuh tubuh Sapta Jingga, tangan lelaki yang lemah itu menggenggamnya.
"Tuan Pendekar...," desis Sapta Jingga dengan mata setengah terpejam menahan nyeri di tubuhnya, "Percuma saja kau mengobatiku. Pukulan 'Hawa Kematian' yang dilancarkan Gempo Sinting tak ada yang mampu menahannya, kecuali guruku."
"Lalu, di mana aku harus mencari gurumu?" tanya Andika.
"Percuma. Dia sudah mati." Andika terdiam sambil menahan napas. Sapta Jingga mendesis dengan napas sudah hampir putus.
"Pendekar Slebor.... Namamu sudah lama kudengar. Sekarang, maukah kau menolongku?" pinta Sapta Jingga.
Saat ini bagi Andika tak ada lagi yang bisa diperbuatnya, selain mengangguk.
"Terima kasih. Hhh.... Ambillah sebuah peta yang terbuat dari kulit di balik pakaianku bagian belakang...," ujar Sapta Jingga, lirih. Perlahan-lahan agar tidak terlalu menyakitkan Sapta Jingga, Andika meraba punggung lelaki yang sekarat itu. Ketika tangannya ditarik, tampak sebuah pe-ta yang sudah kumal.
"Bentangkan peta itu di hadapanmu," ujar Sapta Jingga lagi.
"Hmm.... Mengapa hanya sepotong saja?" tanya Andika setelah melihatnya.
Potongan peta terbuat dari kulit yang kumal itu tak utuh. Ada beberapa goresan dari tinta hitam.
Meskipun kulit itu telah kumal, namun jalur-jalur yang ada masih sangat nyata. Jelas kalau orang yang membuatnya mempergunakan tenaga dalam.
"Karena, potongan yang lainnya dimiliki Gempo Sinting," jelas Sapta Jingga memecahkan keheranan Pendekar Slebor.
"Mengapa bisa begitu" Dan, siapakah manusia itu?"
"Dia adalah kakak seperguruanku. Pendekar Slebor, dengarlah.... Ada yang hendak kuceritakan kepadamu." Andika pun memasang telinganya baik-baik, mendengarkan cerita Sapta Jingga yang terputusputus.
***
Saat itu, Ki Bubu Jagat sedang menghadapi dua orang muridnya yang sejak kecil sudah belajar il-mu dengannya. Yang termuda bernama Sapta Jingga.
Sedangkan yang tertua bernama Gempo. Kedua muridnya sejak kecil sudah menunjukkan perangai berlainan. Kalau Sapta Jingga memiliki kesabaran dan tanggung jawab yang tinggi, Gempo yang bertubuh gemuk pendek selalu berbuat seenaknya. Bahkan terkesan sinting. Itulah sebabnya, dia dipanggil dengan sebutan Gempo Sinting.
Mendapati sebutan itu, Gempo hanya tertawa-tawa saja.
Ki Bubu Jagat baru saja selesai menceritakan tentang sebuah senjata pusaka yang berbentuk tasbih yang selama ini disimpannya.
Diberikannya sebuah pe-ta yang disobek menjadi dua, lalu memberikannya pada masing-masing muridnya.
"Mungkin kalian bertanya, mengapa aku melakukan hal seperti ini?" kata Ki Bubu Jagat sambil mengusap jenggot putihnya yang panjang.
"Ini dikarenakan, aku tak bisa memutuskan siapa yang berhak mendapat senjata pusaka yang tak ada duanya di dunia ini. Pada potongan kertas yang kalian pegang, adalah sebuah peta yang menunjukkan di mana Tasbih Emas Bidadari berada. Jadi maksudku, kalian tak per-lu memilikinya. Karena, aku tak ingin terjadi silang sengketa. Aku pun tak ingin memberikan pada salah seorang dari kalian. Kalaupun aku memberitahukan tentang Tasbih Emas Bidadari, dikarenakan bila aku sudah berpulang, kalian bisa bersatu dan menjaga senjata itu." Tak ada yang bersuara. Sapta Jingga mendengarkan penuh perhatian. Sementara Gempo Sinting tetap asyik dengan sepasang jangkrik yang sedang diadu. Tangannya yang gempal sesekali menusukkan kayu kecilnya ke bumbung bambu kecil tempat dua jangkrik itu bertarung. Mulutnya sesekali memakimaki bila salah satu jangkrik kalah atau menghindar.
Kenyataan itu memang tak membuat kedua murid Ki Bubu Jagat bersilang sengketa. Ilmu-ilmunya tetap diturunkan pada keduanya. Tak ada yang dibe-dakan.
"Guru," panggil Sapta Jingga.
"Maafkan bila aku lancang berkata-kata. Apakah Tasbih Emas Bidadari sebuah senjata yang maha sakti?" Ki Bubu Jagat tersenyum.
"Tak ada sebuah senjata pun yang mampu menandinginya, Sapta," sahut si orang tua.
"Lalu, mengapa Guru memberitahukan kepada kami?"
"Yang kukhawatirkan, bila ada yang tak sengaja menemukannya. Tasbih Emas Bidadari adalah senjata yang kupergunakan puluhan tahun yang lalu, ketika masih malang melintang di dunia persilatan. Setelah usiaku semakin menua, dan aku memiliki kalian sebagai murid, Tasbih Emas Bidadari kusimpan di tempat yang sangat aman. Tak mudah untuk mendapatkannya. Namun, tak bisa dipungkiri bila ada yang bisa dengan mudah mendapatkannya secara tak sengaja.
Jadi maksudku, bila aku sudah wafat nanti, kalian bi-sa menjaganya dengan baik.
Dan bila kalian hendak mendapatkan dan menjaga Tasbih Emas Bidadari, berarti harus menyatuhkan kedua potongan peta itu. Berarti pula, persaudaraan di antara kalian tak akan pernah putus. Dan bila kalian sulit memutuskan untuk menyerahkan pada siapa senjata pusaka itu diberikan, aku menghendaki salah seorang untuk menyerahkan Tasbih Emas Bidadari pada sahabatku. Tentu saja setelah di antara kalian diadakan kesepakatan."
"Siapa gerangan dia, Guru?" Sapta Jingga yang merasa hal itu lebih baik bertanya.
"Dia adalah seorang tokoh golongan putih yang dulu malang melintang pula di dunia persilatan. Julukannya Malaikat Putih Bayangan Maut. Tinggalnya di Lembah Matahari yang berada jauh dari sini. Harus berjalan tiga bulan lamanya untuk tiba di sana."
"Guru.... Lebih baik senjata pusaka itu kami berikan saja kepada sahabatmu. Karena, kami pun khawatir tak sanggup mempergunakannya."
"Aku tak pernah akan mengatakan, bagaimana cara kalian mempergunakannya. Karena senjata itulah orang-orang rimba persilatan menyeganiku. Masalah kau akan menyerahkannya kepada Malaikat Putih Bayangan Maut, itu terserah kalian. Itu pun kuminta, bila aku sudah meninggal dan kalian berhasil menemukannya. Yang terpenting, persaudaraan di antara kalian tak akan pernah putus," ingat lelaki tua itu.
Sapta Jingga hanya mengangguk saja. Sementara Gempo Sinting tetap sibuk dengan jangkrikjangkriknya. Setelah itu, seperti biasa Ki Bubu Jagat menurunkan kembali ilmu-ilmunya. Untuk melihat kemajuan kedua muridnya, lelaki tua ini menyuruh keduanya bertarung. Dan setiap kali melihat uji coba itu, Ki Bubu Jagat selalu menilai kalau Sapta Jingga lebih sering kelihatan mengalah. Memang, sesungguhnya pemuda itu berjiwa penyabar.
Sementara itu Gempo selalu berusaha menurunkan tangan kejamnya. Bahkan seranganserangannya terkadang sulit dikendalikan. Dia bukan hanya ingin menghantam Sapta Jingga, tetapi jelas ingin membunuhnya.
Melihat kenyataan ini Ki Bubut Jagat jadi bingung, apakah tindakannya salah setelah memberikan dua potongan peta itu kepada mereka" Apakah dia seharusnya memberikannya pada Sapta Jingga saja" Tidak! Itu tidak boleh. Dengan begitu, dia akan bersikap membeda-bedakan.
Ki Bubu Jagat juga selalu gembira melihat kemajuan yang didapatkan kedua muridnya yang begitu pesat. Bahkan bila keduanya bersatu, belum tentu Ki Bubu Jagat bisa mengalahkan mereka! Hari demi hari pun berlalu tanpa peristiwa yang tidak mengenakan. Meskipun, sikap sinting Gempo terkadang menjadi-jadi.
Dan dua satu setengah tahun kemudian, Ki Bubu Jagat menemukan seorang gadis yang tersesat di lereng Gunung Kemintir.
Gadis yang mengaku bernama Mega Kemuning itu memang tak punya rumah dan keluarga, setelah kampungnya dilanda gempa bumi.
Karena kebaikan Ki Bubu Jagat, Mega Kemuning diambil untuk tinggal di tempatnya.
Namun, kejadian yang tak diinginkan pun terjadi. Pada suatu malam, Gempo dipergoki Ki Bubu Jagat sedang mengintip Mega Kemuning yang sedang tidur. Tentu saja lelaki tua ini marah besar. Gempo di-marahi. Namun bukannya sadar akan perbuatannya, Gempo justru berniat memperkosa Mega Kemuning.
Niat busuknya ternyata diketahui Sapta Jingga.
Pertarungan pun terjadi. Dan Gempo justru menuduh Sapta Jingga memata-matainya. Pertarungan hebat yang hampir memakan korban itu berhasil di-hentikan Ki Bubu Jagat.
Gempo yang kembali didamprat Ki Bubu Jagat pergi begitu saja selama tiga bulan. Ki Bubu Jagat tidak pernah menyesali kepergian muridnya yang satu itu, meskipun sedih melihat kelakuannya.
Setelah tiga bulan berlalu, akhirnya Ki Bubu Jagat mengawinkan Sapta Jingga dengan Mega Kemuning. Tiga bulan kemudian, Mega Kemuning pun hamil muda. Betapa gembiranya Sapta Jingga dan Ki Bubu Jagat. Si orang tua terkadang menyuruh Sapta Jingga untuk mencari Gempo. Karena, sesungguhnya dia memang mengasihi muridnya yang sinting itu.
Namun, ketika Sapta Jingga baru pulang mencari Gempo dan hendak menemui gurunya, ternyata Ki Bubu Jagat ditemukan telah menjadi mayat. Di punggungnya terlihat bekas tusukan bergambar jari lima tangan yang menghitam. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah kental.
Sapta Jingga yakin, yang mampu membunuh gurunya pasti seorang yang memiliki kesaktian tinggi.
Atau juga, dilakukan secara membokong karena gurunya pun memiliki ilmu tinggi pula.
Keterkejutan Sapta Jingga menjadi kemarahan yang luar biasa, karena tiba-tiba saja Gempo Sinting muncul bersama seorang lelaki tinggi besar yang berpakaian hitam. Di leher lelaki itu, bergantung kalung dengan bandul sebuah taring. Dia dikenal sebagai Hantu Gigi Gading.
Gempo Sinting mengakui, kalau dialah yang membunuh Ki Bubu Jagat, berkat bantuan Hantu Gigi Gading. Pertarungan hebat pun terjadi Sapta Jingga akhirnya harus menderita luka-luka mendapat serangan maut dari Gempo Sinting dan Hantu Gigi Gading.
Dalam satu kesempatan, Sapta Jingga berhasil meloloskan diri dan berlari ke sungai. Pada saat itu, Mega Kemuning sedang mencuci. Maka tanpa banyak cakap lagi, dibawanya Mega Kemuning lari se-cepat kilat.
Mereka berhasil meloloskan diri dari kejaran Gempo Sinting yang menginginkan Mega Kemuning menjadi istrinya, sekaligus mengharapkan potongan peta warisan Ki Bubu Jagat yang berisi peta untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari.
Kehidupan pahit pun dialami Sapta Jingga dan Mega Kemuning. Mereka harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Malah harus pula menyamar.
Namun pengejaran dari Gempo Sinting dan Hantu Gigi Gading tak pernah berhenti. Di sebuah penginapan, Sapta Jingga harus merelakan kematian istrinya yang terkena serangan maut Gempo Sinting.
Sementara, dia sendiri berhasil meloloskan diri. Hatinya benar-benar terpukul, memikirkan nasib malang istrinya dan memikirkan bayinya yang tak pernah dilihatnya. Setelah tiga bulan melarikan diri dari kejaran, Sapta Jingga berhasil ditemukan kembali oleh Gempo Sinting dan Hantu Gigi Gading. Usaha melarikan diri yang dilakukannya sia-sia. Maka, pertarungan maut pun tidak terelakkan lagi.
***
"Ah! Kasihan istri dan calon bayiku yang malang itu. Andika, pecahkanlah teka-teki peta itu. Aku hanya bisa mengetahui, kalau Tasbih Emas Bidadari berada di Gunung kabut. Jangan sampai manusia sinting itu mendapatkannya lebih dulu. Karena bila dia memiliki Tasbih Emas Bidadari, maka akan menjadi tokoh yang tak terkalahkan. Sangat sulit untuk mengalahkan Tasbih Emas Bidadari..., huk huk huk.... Manusia Sinting itu telah menjadi setan dalam dirinya sendiri...."
"Sudahlah.... Lebih baik kau kuobati lebih dulu," ujar Andika, perlahan.
Sapta Jingga menggelengkan kepalanya. Semakin lemah.
"Usiaku sudah sampai di sini. Aku akan menyusul istriku dan calon bayiku. Andika..,, penuhilah segala keinginanku ini.
Aku tak rela Tasbih Emas Bidadari dimiliki oleh Gempo Sinting. Yang perlu kau ketahui, tindakannya sangat di luar dugaan siapa pun juga. Satu hal lagi, bila kau berhasil mendapatkannya..., aku minta kau menyerahkannya pada Malaikat Putih Bayangan Maut yang berdiam di Lembah Matahari.... Ah, Andika.... Aku bahagia karena kau..., mau membantuku." Kepala Sapta Jingga pun terkulai berbarengan dengan hembusan nafasnya yang terakhir. Andika hanya terpekur di sisi mayat Sapta Jingga sambil menghela napas panjang. Diliriknya potongan peta yang berada di tangannya.
***
~~[ 3 ]~~
Lumayan, bau busuk itu tidak terlalu menyengat.
Si pemuda dari Lembah Kutukan ini menatap tajam, mencoba menyingkap kegelapan sekitar Sungai Bangkai. Padahal, hari sudah menjelang pagi ketika dia tiba di sana. Pepohonan tinggi yang menghalangi bias-bias sinar matahari, membuat suasana begitu gelap.
Perlahan-lahan Andika menapak. Sepasang mata dan telinganya dipentang setajam mungkin. Baru saja lima tindak melangkah, pendengarannya diusili oleh suara ranting patah.
Krak! "Hup...!" Sulit memang menangkap gerakan pemuda satu ini. Tahu-tahu saja tubuhnya telah melayang ke atas dan hinggap di dahan sebuah pohon. Di tempat seperti ini dalam keadaan memburu waktu. Andika tak menginginkan terlibat halhal yang tidak diinginkan-nya. Dan baru beberapa tarikan napas si pemuda telah berada di atas pohon....
"Sialan! Bau busuk ini membuatku ingin muntah! Hhh! Heran, kok bisa-bisanya nenek peot itu bertahan hidup di sini!" Terdengar suara-suara keras yang disusul berkelebatnya satu sosok tubuh gemuk pendek terbungkus pakaian serba merah dari satu tempat ke tempat lain dengan gerakan ringan. Perlahan-lahan Andika pun melompat turun, lantas berkelebat pula mengikuti sosok itu.
"Rupanya manusia sinting itu pun sudah tiba di sini," gumam Andika.
"Hmm.... Ke manakah si manusia tinggi besar yang dijuluki Hantu Gigi Gading?" Andika berhenti melangkah pula ketika Gempo Sinting berhenti melangkah dengan kepala celingukan sebentar. Selain ingin segera menuju Gunung Kabut, Gempo Sinting pun ingin menemui Dewi Sungai Bangkai.
"Brengsek! Kalau aku tidak membutuhkan bantuannya ini, mana sudi menginjak tempat yang busuk seperti ini!" dengus Gempo Sinting lagi.
"Heran" Mengapa Dewi Sungai Bangkai tidak mampus hidup di tempat busuk ini" Ha ha ha..., dia sendiri mengeluarkan bau yang sangat busuk." Tawa Gempo Sinting terdengar keras, menggidikkan. Lalu tubuhnya berkelebat.
Andika pun berkelebat pula, mengikuti.
"Dewi Sungai Bangkai" Edan! Jadi, ada manusia yang tahan hidup di Sungai Bangkai yang busuk seperti ini" Ah, apakah aku membiarkan saja manusia itu mencari Dewi Sungai Bangkai, sementara aku terus menuju ke Gunung Kabut?" gumam Andika dalam ha-ti.
Tetapi pikiran itu segera ditepiskannya sendiri.
Keingintahuan Pendekar Slebor tentang orang yang dimaksud Gempo Sinting justru semakin membesar.
Sementara itu, mendadak Gempo Sinting kembali menghentikan kelebatannya.
"Sial! Berhenti tak bilang-bilang!" maki Andika, langsung berhenti pula.
"Gobloknya aku ini! Bukankah aku memiliki obat yang diberikan Dewi Sungai Bangkai lima tahun yang lalu" Hmm.... Obat itu memang belum pernah ku coba. Katanya bila diteteskan ke hidung, maka aku tidak mencium bau busuk ini!" Dari balik pohon besar, Andika melihat si lelaki bertubuh tambun itu mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik bajunya. Lalu tampak pula Gempo Sinting menuangkan isi botol kecil ke hidungnya.
Sesaat kemudian....
"Edan! Obat ini benar-benar manjur!"
"Uh! Enak sekali dia" Apakah aku bisa mendatangi dan memintanya sedikit obat ajaib itu" Napas ku sudah terasa sesak sekali!" rutuk Pendekar Slebor.
Gempo Sinting masih terbahak-bahak.
"Setelah meminta bantuan Dewi Sungai Bangkai, aku akan segera menuju ke Gunung Kabut! Di tempat itulah Tasbih Emas Bidadari berada! Sialnya, aku tidak tahu di mana Ki Bubu Jagat menyimpan Tasbih Emas Bidadari!" lanjut lelaki ini.
Andika yang mendengarnya tersentak.
"Benar dugaanku! Dia meminta bantuan sahabatnya untuk ke Gunung Kabut." Andika tak sempat berpikir lebih lama, karena tubuh orang itu sudah berkelebat. Pendekar Slebor kembali berkelebat mengikuti. Beberapa saat kemudian, Andika melihat Gempo Sinting tegak berdiri. Di depannya terbentang sebuah sungai yang sangat hitam. Terlihat asap yang menguap, menandakan bau busuk menyengat. Tetapi Gempo Sinting malah terbahak-bahak, lalu berkelebat kembali.
Andika yang tadi sempat melirik ke sungai itu rasanya ingin muntah ketika melihat mayat-mayat yang menjijikkan bergelimpangan di sana. Dicobanya untuk memejamkan matanya, mencoba mengalihkan ingatannya pada hal-hal yang lebih enak. Setelah beberapa saat, Andika pun berkelebat mengikuti Gempo Sinting yang telah tiba di sebuah gubuk.
"Apakah itu tempat kediaman Dewi Sungai Bangkai?" pikir Andika, langsung bersembunyi di balik semak.
"Bila yang kuduga memang benar, pasti Gempo Sinting sedang menuju ke Gunung Kabut. Tetapi, dia pun tak tahu di manakah letaknya Tasbih Emas Bidadari itu. Uh! Kalau tak ingat aku ingin tahu apa yang akan dilakukan si Gempo Sinting di sini, sudah kuha-jar dia!" Andika pun mengendap-endap perlahan-lahan dengan gerakan sangat ringan sekali. Lalu....
"Hup!" Pendekar Slebor melompat, lalu hinggap di dahan sebuah pohon yang berada dekat di gubuk tua.
Bau busuk semakin menyengat hidungnya rasanya Andika sudah tak bisa menahannya lagi. Tetapi hatinya tetap bersikeras untuk mengetahui apa yang di-rencanakan Gempo Sinting.
Di dalam gubuk tua itu terdengar suara terkekeh seperti kuntilanak yang menyeramkan, menyusul suara yang begitu dingin dan angker.
"Rupanya kau, Gempo Sinting! Selamat datang di istanaku yang megah ini."
"Dewi Sungai Bangkai! Masa' tempat busuk seperti ini kau sebut istana" Jangan-jangan otakmu yang miring!" Dewi Sungai Bangkai terkekeh-kekeh. Wajahnya tirus mirip tengkorak hidup. Rambutnya panjang sekali hingga ke pinggul. Acak-acakan dan menjadi sa-rang kutu. Karena, beberapa kali dia menggarukgaruknya. Pakaian yang dikenakannya berwarna hitam pekat. Bahkan juga sudah sangat busuk. Matanya celong ke dalam dengan deretan gigi yang ompong.
"Sudah tentu ini adalah istana abadi bagiku. He he he.... Gempo Sinting! Ada apa kau kemari, hah"!"
"Seperti yang kau ketahui, aku menginginkan nyawa Sapta Jingga dan peta warisan Ki Bubu Jagat.
Tetapi...."
"Kau belum mendapatkan potongan peta itu, bukan?" potong perempuan berwajah mengerikan ini.
"Tidak jadi masalah! Bukankah sudah kukatakan, kalau Tasbih Emas Bidadari berada di Gunung Kabut?"
"Tetapi, di manakah letaknya itulah yang tak kuketahui."
"Dasar sinting dan berotak bodoh! Hancur leburkan saja gunung itu. Masa' tidak kelihatan Tasbih Emas Bidadari?"
"Kau yang sinting! Bila kuhancurkan gunung itu, maka Tasbih Emas Bidadari akan semakin terkubur!" maki Gempo Sinting.
Dimaki seperti itu Dewi Sungai Bangkai terkekeh lagi.
"Kau benar, kau benar. Lalu, untuk apa kau minta bantuanku?"
"Sebenarnya, potongan peta itu berhasil kudapatkan bila saja seorang pendekar muda tidak menolong Sapta Jingga," keluh Gempo Sinting.
"Hei" Mau mencari mampus rupanya pemuda sialan itu! Siapa dia?" tanya Dewi Sungai Bangkai.
"Pendekar Slebor."
"Huh! Aku sudah pernah mendengar julukan jelek itu. Tetapi, sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengannya. Lalu, apa yang kau khawatirkan dengannya, hah"! Masa' sih, kau tak mampu membunuh anak ingusan itu!" Di luar, Andika merutuk.
"Sialan! Suatu saat akan kukejutkan kau, Peot!"
"Soal Pendekar Slebor bukanlah masalah yang besar. Tetapi, aku yakin kalau Sapta Jingga sudah menyerahkan potongan peta itu kepadanya." Kembali terdengar suara Gempo Sinting.
"Apa"!" Kali ini Dewi Sungai Bangkai terjingkat mendengarnya.
"Anjing geladak! Ini benar-benar tantangan buatku! Akan kubunuh manusia itu untukmu! Hhh! Biar pun otaknya cerdik, tak mudah baginya untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari."
"Jadi dengan kata lain, kau sudah bersedia membantuku?" tanya lelaki bulat ini.
Gempo Sinting menyeringai. Bertambah menyeramkan raut wajahnya. Dan dia tertawa dalam hati ketika melihat Dewi Sungai Bangkai menganggukkan kepalanya.
"Seperti yang telah kuduga kalau nenek peot ini mau membantuku," pikirnya.
Kemudian Gempo Sinting menatap dalamdalam Dewi Sungai Bangkai.
"Kau bisa menahan amarahmu untuk saat ini, Dewi. Sekarang, antarkan aku ke Gunung Kabut. Tasbih Emas Bidadari harus kutemukan meskipun aku tak memiliki potongan peta yang lengkap."
"Itu soal mudah, soal mudah."
"Jangan hanya ngoceh tak karuan! Meskipun dibantu Hantu Gigi Gading, aku tak bisa memecahkan potongan peta ini. Apalagi potongan lainnya tidak ada."
"Kupikir kau hanya sinting saja. Tidak tahunya, bodoh dan penuh kecemasan."
"Jangan membuatku marah?" geram Gempo Sinting. Tatapannya begitu sengit.
Bukannya takut Dewi Sungai Bangkai malah terkikik-kikik.
"Sekali lagi membentakku, Sungai Bangkai akan bertambah mayat satu lagi." Gempo Sinting mendengus.
"Busyet! Dua-duanya memang sudan sinting.
Meskipun seperti bercanda, tetapi satu sama lain bisa menurunkan tangan telengas pada siapa saja!" desis Andika.
"Kita harus secepatnya untuk ke Gunung Kabut.
Tasbih Emas Bidadari ingin kumiliki."
"Tak peduli untuk siapa pusaka Ki Bubu Jagat itu. Yang terpenting..., aku menginginkan nyawa Pendekar Slebor. Manusia itu telah mengusik kemarahanku. Karena..., kau adalah sahabatku, Gempo...." Gempo Sinting terbahak-bahak.
"Aku tak pernah menganggap kau sebagai sahabat."
"Sialan! Kau selalu..., heiii!" Tiba-tiba Dewi Sungai Bangkai terdiam. Mendadak saja tangan kanannya mengibas.
Wusss! Angin Dahsyat mengandung hawa dingin langsung meluruk ke satu arah.
***
~~[ 4 ]~~
Duaarr! Pohon yang tadi dijadikan sebagai tempat persembunyian si pemuda pecah seketika menjadi serpihan, terhantam angin dahsyat barusan. Bahkan bukan serpihan kayu yang berterbangan ke udara, melainkan serpihan arang yang menebar sekitarnya.
"Astaga! Tenaga apa itu?" Di antara kepulan serpihan itu, tampak dua sosok tubuh berkelebat cepat dari gubuk tua. Dan secepat kilat, Andika melenting lalu bersembunyi di semak-semak. Begitu kepulan hitam tadi menghilang, diperhatikannya dua sosok tubuh sedang berdiri tegak dengan tatapan tegang.
"Rupanya ada cecurut yang mendengarkan percakapan kita," dengus Dewi Sungai Bangkai. Matanya yang celong berkeliling, nanar penuh kemarahan.
"Ini membuatku terusik! Manusia mau mampus" Tampakkan wajahmu!" Andika masih berdiam di tempatnya. Kalau keduanya diladeni Pendekar Slebor akan banyak kehilangan waktu untuk tiba di Gunung Kabut. Memang, dia secepatnya harus berlomba dengan Gempo Sinting yang dibantu nenek peot berbau busuk itu.
Sementara tiba-tiba Dewi Sungai bangkai mengibaskan kedua tangan kanan dan kirinya.
Wrrr! Wrrr! Angin dahsyat berhawa dingin tiga kali berturut-turut meluruk, menghantam semak belukar serta pepohonan hingga hancur berantakan. Sebuah pohon tampak tak kuasa bertahan, luruh ke Sungai Bangkai.
Byuurrr! Air sungai penuh bangkai itu berterbangan dalam gumpalan-gumpalan bagai ada sebuah ledakan.
Bau busuk semakin menyengat di hidung, membuat Andika berusaha menahan napas. Malah, kain bercorak catur yang menutupi hidungnya seakan tak mampu menahan bau busuk yang sangat menyengat.
"Hebat juga kepandaian nenek peot itu!" puji Andika mendesis.
Dewi Sungai Bangkai kembali mengibaskan tangannya berkali-kali.
Wesss...! Blarr...! Suara keras bak ledakan terdengar kembali.
Kepala Andika sudah pusing melihat seranganserangan aneh namun dahsyat itu. Dia sudah bersiap bila serangkum angin dahsyat itu menderu ke arahnya.
"Dewi! Tak ada siapa-siapa di sini selain kita," ujar Gempo Sinting setelah beberapa saat "Hei, Buntalan Kentut! Jangan ngomong sembarangan! Apakah kau tak yakin kalau aku mendengar dengus napas dari manusia busuk itu! Meskipun nafasnya agak aneh, tetapi aku yakin dia adalah manusia!" rutuk Dewi Sungai Bangkai.
"Tetapi, tak ada siapa pun selain kita," sergah lelaki berpakaian merah itu jengkel. Pipinya bulat semakin menggembung menahan kejengkelannya mendengar ejekan Dewi Sungai Bangkai.
"Bodoh!" Di tempat persembunyiannya, Andika diamdiam mendengus masygul. Rupanya Dewi Sungai Bangkai memiliki pendengaran sangat tajam. Terbukti, dia bisa mendengar desah napas Pendekar Slebor.
Mungkin yang dimaksudkan agak aneh itu, karena nafasnya ditutupi kain bercorak catur.
Sesaat si pemuda melihat Dewi Sungai Bangkai hendak mengibaskan tangannya lagi. Tetapi....
"Jangan kau membuang tenaga untuk hal yang percuma, Dewi! Lebih baik, antar aku ke Gunung Kabut," cegah Gempo Sinting.
"Tidak! Sebelum manusia itu kutemukan, aku akan tetap berada di sini! Sialan! Berani-beraninya manusia itu menantang Dewi Sungai Bangkai!" Gempo Sinting sekarang hanya bisa membiarkan saja wanita tua itu berkelebat ke sana kemari, mencari sosok yang didengarnya dengan melepas pukulan-pukulan dahsyatnya.
Setelah puas, baru Dewi Sungai Bangkai kembali ke sisi Gempo Sinting.
"Kau temukan manusia itu?" tanya Gempo Sinting. Tetapi, nada suaranya lebih kentara mengejek.
"Diam kau! Ayo, kita segera menuju Gunung Kabut!" Mengapa Andika tidak ditemukan" Setelah mendengar kata-kata Gempo Sinting yang menginginkan keduanya segera menuju Gunung Kabut, Andika pun langsung melesat dengan gerakan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dia yakin, kedua manusia itu akan segera menuju Gunung Kabut.
Dan Pendekar Slebor harus memanfaatkan keadaan ini. Bila keduanya sudah tiba di Gunung Kabut, maka tak sulit baginya untuk menentukan di mana letak Tasbih Emas Bidadari. Menurut perhitungan Andika, apa yang akan dilakukan Gempo Sinting, maka tinggal meneruskannya saja. Titik di mana Gempo Sinting nanti berada, di sanalah Andika harus meneruskan petunjuk yang terdapat pada peta yang dipegangnya. Setelah melewati Sungai Bangkai yang berbau busuk. Pendekar Slebor kini bisa bernapas lega. Kain bercorak catur yang menutupi hidung dan mulutnya sudah diturunkan. Di hadapannya sekarang berdiri sebuah bukit terjal, bagaikan seorang raksasa yang sedang tidur.
"Alamak...! Ini perjalanan yang sangat melelahkan!" desah si pemuda.
Namun seketika Pendekar Slebor mengempos tubuhnya, berlari cepat untuk tiba di atas bukit.
Setelah sepeminum teh, Pendekar Slebor pun tiba di atas bukit. Dan matanya kontan terbelalak memandang takjub melihat sebuah gunung di balik bukit itu. Gunung yang sangat besar sekali dengan puncak tertutup kabut.
Baru kali ini Andika melihat sebuah gunung yang berada di balik bukit. Ketika matanya memandang ke bawah, sungai bagai tarikan sebuah benang berkelok-kelok indah, tak ubahnya seekor ular melata.
"Inikah Gunung Kabut?" desisnya bertanya.
Rambut dan pakaiannya dipermainkan angin, menggerai penuh pesona.
Di sini mata Pendekar Slebor bisa memandang lebih jelas. Sesaat Andika masih terpana dengan kein-dahan alam yang dilihatnya.
Alam memang selalu penuh teka-teki yang terkadang sukar dipecahkan.
Tiba-tiba si pemuda pewaris ilmu-ilmu Lembah Kutukan itu melihat dua sosok tubuh yang berkelebat pula, sedang menaiki bukit tempat tadi dia berdiri.
"Rupanya dua manusia itu pun sudah tiba. Secepatnya aku harus tiba di Gunung Kabut, dan bersembunyi. Aku ingin melihat, di mana mereka berada nanti." Wusss! Lagi-lagi tubuh Andika berkelebat cepat. Dia bertekad, harus lebih dulu mendapatkan Tasbih Emas Bidadari. Begitu tiba di Gunung Kabut, Andika segera mencari tempat persembunyian yang menurutnya tepat. Akan ditunggunya kedua manusia itu di sini, Cukup lama juga Andika menguji kesabarannya. Dan kini dia bisa mendesah lega begitu melihat dua sosok tubuh yang berkelebat telah menjejakkan kakinya pula di Gunung Kabut. Mata kedua manusia itu memandang Gunung Kabut yang tinggi menjulang.
"Apakah patokan yang bisa kau gunakan, Gempo?" tanya Dewi Sungai Bangkai sambil memperhatikan sekelilingnya.
Gempo Sinting mengambil potongan peta dari balik baju merahnya, lalu membukanya.
"Patokan pertama adalah mencari batu seperti kepala beruang. Setelah menemukannya, kita harus mencari Tiga Jalan Matahari yang terus terang aku tak bisa memecahkan maksudnya.
Dan setelah itu..., hilang. Potongan peta ini hanya sampai di sini." Andika yang mendengar berusaha mengingat tentang itu. Kalau Gempo Sinting hanya tahu sampai di sana saja, berarti tinggal meneruskan saja apa yang akan dicari Gempo Sinting. Dan selama beberapa saat nafasnya ditahan sebelum kedua sosok itu berkelebat kembali.
"Kutu koreng! Kalau aku masih terus menahan napas seperti ini, bisa-bisa mampus sendiri sebelum bertarung!" dengusnya.
Lalu Pendekar Slebor melompat turun, dan berkelebat melalui arah yang berlawanan dengan kedua manusia itu.
Pohon yang berjajar tak beraturan tak menyulitkan Andika untuk menerobos dengan kelincahannya.
Andika memang memutar agak jauh. Tetapi, kata-kata Gempo Sinting tadi sudah didengarnya, Dia harus mencari batu berbentuk kepala beruang. Dan si pemuda tak ingin kedua manusia ini lebih dulu menemukannya. Andika mempercepat larinya. Sejak tadi perutnya berbunyi terus minta diisi. Mencari batu berbentuk kepala beruang di gunung yang ditumbuhi pohon tinggi itu, bukanlah hal yang mudah.
Tiba-tiba Andika menangkap dua sosok tubuh yang berkelebat. Seketika larinya dihentikan dan bersembunyi di balik pohon besar.
"Busyet! Keduanya sudah tiba di tempat ini!" Pendekar Slebor melihat Dewi Sungai Bangkai tiba-tiba berhenti melangkah. Kepalanya seketika memutar sekeliling.
"Hhh! Aku yakin, kita dibuntuti orang!" dengus Dewi Sungai Bangkai dengan suara pelan. Gempo Sinting menoleh pula, dan memperhatikan sekeliling. Tetapi matanya tak melihat sosok yang dicurigai Dewi Sungai Bangkai. Dia tertawa, hingga menggema ke pelosok Gunung Kabut.
"Apakah kau melihat seorang gadis telanjang" Kalau memang iya, lumayanlah untukku daripada terus menerus bersamamu yang keriput!" Dewi Sungai Bangkai melotot garang.
"Kurang ajar! Kutampar kepalamu bolak-balik, celeng kau!"
"Memang banyak celeng di sini, Dewi! Kau mau" Nanti ku buru dan kupanggang untukmu yang gemuk!" Dewi Sungai Bangkai menggerutu dengan mulut berbentuk kerucut.
"Kalau tak salah, kira-kira pada ketinggian dua ribu depa dari dasar laut, kita akan tiba di batu kepala beruang."
"Hei" Kau sudah tahu rupanya?"
"Bodoh! Kau sudah menceritakan padaku tentang senjata pusaka itu sebelumnya! Dan sudah tentu, aku telah mereka-reka sebelumnya." Gempo Sinting tertawa.
"Kalau begitu, secepatnya kita harus menemukan batu kepala beruang itu." Tetapi Dewi Sungai Bangkai justru tak bergerak dari tempatnya. Matanya menatap tajam ke beberapa tempat. Sedangkan Gempo Sinting menghentikan langkahnya.
"Apakah kau sudah menjadi patung di sini, hah"! Ataukah ingin tubuhmu ku cacah habis?" rutuk Gempo Sinting.
"Tunggu!" Dewi Sungai Bangkai berkata tanpa menoleh pada Gempo Sinting.
Wrrr! Tangan kanan Dewi Sungai Bangkai mendadak mengibas. Kali ini angin bak prahara yang menebarkan bau busuk menyengat melesat bergulung-gulung.
Blar! Blar! Angin dahsyat itu kontan menghantam lima buah pohon sekaligus, hingga langsung jadi serpihan arang yang bertebaran ke angkasa.
"Siapa pun yang membuntuti kita, sekarang pasti sudah menjadi mayat. Karena, 'Angin Bangkai Lilit Leher' sudah ku kuasai.
Kita teruskan lagi langkah, Gempo!" jelas Dewi Sungai Bangkai, jumawa.
Mereka lantas berkelebat laksana setan. Dan bagaimana dengan Andika" Dalam sekali lihat tadi, Pendekar Slebor tahu kalau Dewi Sungai Bangkai akan memukulkan hantaman jarak jauhnya. Makanya, sebelum pukulan itu menemukan sasaran, Andika sudah berkelebat cepat menghindar ke satu tempat. Gerakannya laksana kilat, hingga hantaman Dewi Sungai Bangkai lolos dari sasaran.
Si pemuda memang terhindar dari pukulan maut Dewi Sungai Bangkai. Namun hawa busuk yang menderu kemudian segera menyesakkan nafasnya. Lehernya terasa terlilit tali kasat mata menjadikan nafasnya tersengal. Bahkan Andika sampai muntah berkali-kali. Perutnya terasa diaduk-aduk. Rasa lapar yang dideritanya semakin melilit-lilit. Dan sebelum bau busuk itu seluruhnya terserap penciumannya, Andika sudah berkelebat cepat ke tempat yang lebih lega.
Di sana, Andika terbatuk-batuk dan muntah kembali. Tubuhnya terasa panas dengan mata berair.
Sangat menyakitkan siksaan semacam ini. Buru-buru Andika mengalirkan tenaga dalam untuk menyumbat aliran pernafasannya. Lalu diganti dengan hawa mur-ni.
Setelah beberapa saat Pendekar Slebor melakukannya, suhu tubuhnya terasakan kembali seperti sediakala. Baru kemudian seluruh tubuhnya digerakkan.
Terdengar suara berkeretekan menandakan tulangbelulangnya sudah lega kembali.
"Bangsat congek! Kunyuk bodong! Pukulan bau busuk itu bisa membuat orang mampus! Wah, perempuan jelek itu memang tak bisa dianggap enteng. Ini bisa membuatku jatuh sakit, pingsan, atau bisa-bisa mampus!" makinya tak karuan.
"Hhh! Aku harus secepatnya menyusul mereka!" Dalam sepeminum teh, Pendekar Slebor sudah tiba di sebuah tempat yang benar-benar dingin. Kabut bak tirai alam semakin bertambah tebal, membuatnya harus memicingkan mata lebih lekat lagi untuk menembus lewat sorot matanya.
Samar, Pendekar Slebor melihat sosok Gempo Sinting dan Dewi Sungai Bangkai sedang melangkah mendekati sebuah batu besar yang menempel di dinding tebing dan Andika jadi memaki dalam hati begitu melihat ke arah batu besar yang benar-benar mirip kepala beruang.
"Hhh! Kita harus mencari Tiga Jalan Matahari, Dewi," jelas Gempo Sinting.
"Inilah yang membingungkanku! Bila saja kau memiliki potongan peta lainnya, sudah tentu tak sebingung ini!" dengus Dewi Sungai Bangkai.
"Apakah Tiga Jalan Matahari merupakan titik-titik matahari" Tetapi, di mana menemukannya"!" Dewi Sungai Bangkai menumpahkan kekesalannya dengan menepak batu berbentuk kepala beruang. Pak! Tak dinyana terdengar suara gemuruh hebat.
Gunung ini seakan hendak memuntahkan isi perutnya. Getarannya membuat tanah gunung yang dipijak bergoyang. Andika pun merasakan hal itu.
"Monyet pitak! Apa lagi ini?" dengus Pendekar Slebor sambil mempertahankan keseimbangannya.
Batu kepala beruang itu tiba-tiba runtuh bergulingan. Sementara batu-batu lain berpentalan ke udara, bagaikan dilempar tangan raksasa. Gempo Sinting dan Dewi Sungai Bangkai tercekat. Mereka segera melompat menghindar. Bunyi tanah longsor semakin keras membahana. Debu-debu mengepul dan beberapa pohon tumbang seketika.
"Gempo! Lebih baik kita tinggalkan tempat ini! Aku yakin, tak lama lagi tebing ini akan runtuh!" ajak Dewi Sungai Bangkai berseru keras. Gempo Sinting yang sedang bergulingan menghindari serbuan batu-batu besar langsung berkelebat, menerobos masuk dan menghindar mengikuti langkah Dewi Sungai Bangkai yang mendahului. Dari kejauhan, keduanya melihat batu-batu besar itu semakin menggelinding menerabas pepohonan hingga tumbang.
"Gila! Kau hampir membunuhku!" maki Gempo Sinting sambil menepiskan debu di pakaiannya.
"Mana aku tahu kalau menyentuh kepala beruang itu bisa membuat tanah berguguran?" geram Dewi Sungai Bangkai.
"Kau kurang berhati-hati! Kalau aku tadi jadi mati, arwahku akan menggerayangimu!" ancam Gempo Sinting.
"Coba kau lihat peta itu, Gempo," pinta Dewi Sungai Bangkai tak mempedulikan makian Gempo Sinting. Gila! Kalau saja mereka tadi tidak sigap, tiba-tiba terkubur dalam timbunan batu yang tumpah itu.
Gempo Sinting membuka lagi potongan peta di tangannya. Diperhatikannya dengan seksama, lalu terbahak-bahak.
"Ini mudah sekali."
"Kau sudah menemukan Tiga Jalan Matahari?" tanya Dewi Sungai Bangkai.
"Bukan itu maksudku. Kalau aku menikmati tubuh wanita yang montok dengan dada besar, itu pasti sangat mudah."
"Sinting!" maki Dewi Sungai Bangkai, sambil menyambar peta itu. Diperhatikannya cukup lama. Sementara itu gemuruh bebatuan di kejauhan semakin hebat terdengar.
"Hm.... Kalau melihat garis peta yang melengkung ini, bisa dipastikan itu menuju ke timur laut.
Sayangnya, garis peta ini putus sampai di sini. Tak peduli susah atau tidak, aku akan tetap membantumu, Gempo. Ayo, kita segera mencari Tiga Jalan Matahari," lanjut Dewi Sungai Bangkai.
Gempo Sinting terbahak-bahak. Diikutinya tubuh Dewi Sungai Bangkai yang sudah berkelebat.
***
~~[ 5 ]~~
"Sambal terasi! Monyet kurap!" sumpah sera-pah pun berhamburan dari mulut Pendekar Slebor.
Apalagi ketika tubuhnya sesekali terhantam lontaran batu yang keras. Gemuruh bebatuan itu bertambah hebat. Seperti seekor tikus, Andika tetap merunduk di balik batu besar.
Setelah beberapa saat Andika bersembunyi di balik batu, suara gemuruh itu pun perlahan-lahan mulai menurun. Dan lama kelamaan lenyap. Si pemuda mendesah lega, lalu keluar dari persembunyiannya.
Di bawah, Andika melihat batu-batu itu saling tumpuk menjadi satu. Ketika perhatiannya tertuju ke arah batu kepala beruang tadi berada, ternyata bekas tempat batu tadi terdapat sebuah mulut gua.
Kening Andika berkerut.
"Astaga! Rupanya di balik batu kepala beruang itu terdapat sebuah gua. Hmm.... Apakah Tiga Jalan Matahari itu berada di sana dan kepala beruang yang tak sengaja disentuh nenek peot bau busuk itu merupakan sebuah pintu?" Andika segera membuka peta yang diberikan Sapta Jingga padanya. Sesaat keningnya sesekali terlihat berkerut, sambil menggigit-gigit bibirnya.
"Sayang sekali peta ini tidak lengkap. Tetapi, coba aku menguraikan dulu." Andika segera mengambil sebatang ranting kecil. Lalu dengan ranting itu digoresnya tanah perlahan-lahan. Berkali-kali dia melakukannya, dan berkali-kali menghapusnya. Setelah cukup lama Andika berdiri tegak dengan senyum ragu-ragu.
"Dari coret-coretanku ini, jelas sekali kalau Tiga Jalan Matahari kembali pada buku kepala beruang.
Apakah memang sesungguhnya Tiga Jalan Matahari berada di sana" Dan apakah aku berarti harus masuk ke dalam gua itu" Wah.... Keanehan dan petaka apa yang kujumpai saat masuk ke sana?" Setelah mempertimbangkan dengan seksama, Andika pun melangkah ke arah mulut gua yang menganga. Suasana semakin menegang. Degup jantungnya kian berdetak lebih kencang. Tatapannya begitu waspada. Satu langkah di depan mulut gua, Andika berhenti. Diambilnya sebuah batu yang berada di sisi gua.
Lalu digulingkannya batu itu. Tak ada apa-apa.
Kepala Pendekar Slebor melongok. Gelap tak ada penerangan apa pun di dalamnya. Perlahan-lahan Andika memasuki mulut gua. Dan kelengangan pun seketika meringkusnya. Tak ada selintas bunyi apa pun. Sampai-sampai detak jantungnya terdengar.
"Gelap sekali sekelilingnya. Tetapi biar bagaimanapun juga, aku harus mencoba keberuntungan- ku," desah Pendekar Slebor.
Perlahan-lahan Andika terus memasuki ke dalam gua yang berbau lembab dan gelap. Agar tidak me-lahirkan bunyi mencurigakan, sengaja pendekar muda ini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sampai tingkat tertentu. Tangannya meraba-raba dinding gua yang penuh lumut itu.
Cit! Cit...! Terdengar suara tikus bercericit.
"Rupanya ada juga makhluk hidup di sini," pikir Andika sambil terus melangkah dengan meraba- raba. Tatapannya sangat sulit menembus kegelapan gua itu. Namun tiba-tiba Pendekar Slebor terhenyak.
Sekujur tubuhnya bergetar seketika saat sebuah sinar matahari masuk melalui sebuah celah. Entah, bagaimana celah itu bisa terjadi.
"Apakah aku sudah menemukan salah satu dari Tiga Jalan Matahari?" tanya Andika ragu-ragu.
Perlahan-lahan, Pendekar Slebor mendekati sinar matahari yang masuk melalui sebuah celah. Ketika mendongak, tampak kalau celah itu sangat kecil.
"Aku yakin, jelas-jelas ini salah satu dari Tiga Jalan Matahari. Tetapi, di mana yang dua lagi?" Andika meneruskan langkahnya, menelusuri gua yang semakin lama semakin melebar. Dan tak lama kemudian, matanya menangkap kembali sebuah sinar matahari yang menerobos masuk.
"Mungkin ini yang kedua. Berarti, tidak susah lagi mencari yang ketiga. Kalau begitu, aku harus terus masuk ke gua ini. Entah, sampai di mana akhirnya," desis Andika. Apa yang diduga Andika tadi pun menjadi kenyataan. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan seakan menemukan tambang emas yang besar ketika melihat sebuah titik sinar matahari di hadapannya.
"Gila! Inikah yang dimaksud Tiga Jalan Matahari" Rupanya berada di dalam gua ini. Dan kepala beruang yang tak sengaja disentuh Dewi Sungai Bangkai tadi sebagai pintu. Lalu, apa yang harus kulakukan setelah ini?" tanya Pendekar Slebor dalam hati.
Belum lagi Andika dapat menduga....
Wrrr! Tiba-tiba saja tubuh si pemuda terpental ke depan begitu merasakan serangkum angin dahsyat menghantam. Sedikit pun dia tak sempat mempersiapkan kuda-kuda tempurnya Brak! Tubuh pemuda itu menghantam dinding gua yang merupakan sisi bagian dalam dari Gunung Kabut. Andika merasakan tubuhnya seperti patah. Kepalanya berdenyut keras. Rasa sakit tergambar jelas di wajahnya.
"Sompret! Apa yang tadi menghantamku?" makinya sambil mengusap-usap kepalanya.
Perlahan, Andika berdiri. Kini kuda-kuda siap tempurnya dipasang bila ada serangan mendadak lagi.
Namun selama berdiri menunggu, tak ada lagi serangan dahsyat tadi.
"Tuyul bunting! Bagaimana serangan itu datang begitu cepat" Semakin banyak saja keanehan yang ku alami ini?" desisnya.
Perlahan-lahan dengan waspada Andika melangkah. Tetap tak ada serangan lagi. Namun begitu kakinya menginjak sinar yang menerpa debu-debu di gua itu.... Wuuuttt! Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor terpelanting. Kali ini lebih dahsyat dari yang pertama.
Brak! Kembali Andika merasa kepalanya berpendarpendar ketika menabrak dinding gua. Dari hidungnya mengalir darah segar.
"Gila! Hei, Kutu Monyet! Kalau memang manusia iseng, lekas keluar! Kalau setan, lebih baik minggat saja!" Bentakan itu menggema di dalam gua, semakin mengeras. Andika sampai menekap telinganya sendiri. Kali ini Pendekar Slebor sudah mempersiapkan tenaga 'inti petir' tingkat ke lima belas. Kalau datang lagi serangan dahsyat itu, dia akan menghantamnya.
Namun lagi-lagi serangan itu tak terjadi. Dan begitu kakinya kembali menginjak debu tempat sinar matahari yang ketiga ditemui, kembali serangkum angin laksana topan prahara menerpa ke arah Andika.
Kali ini Andika lebih dulu waspada. Hingga dia bisa bergulingan memepet pada dinding gua.
Blarr...! Angin deras itu kembali menghantam dinding gua, menimbulkan suara menggelegar.
Sejenak gua itu bagaikan bergeming. Beberapa buah batu jatuh. Andika mengusap-usap kepalanya yang penuh debu.
"Aku tahu sekarang.... Rupanya di tempat sinar matahari yang ketiga jatuh, tak boleh diinjak. Tetapi, mengapa yang pertama dan kedua tadi aku tak menga-lami apa-apa?" tanya pemuda cerdik ini.
"Luar biasa! Tentu saja hanya Ki Bubu Jagat yang mampu mengendalikan tenaga matahari hingga mampu menyerang. Entah tenaga apa yang dipergunakannya. Tentunya sangat dahsyat. Kalau begitu, aku harus membungkuk dari belakang, sehingga sinar matahari itu tidak ku injak lagi." Dengan memepetkan tubuhnya pada dinding gua, si pemuda berhasil melewati jalan sinar matahari yang ketiga. Sejenak diperhatikannya sinar matahari yang jatuh itu. Keningnya berkerut terus menerus.
Di-ingatnya lagi isi peta yang sudah setengah dipecahkan.
"Hmm. Setelah Tiga Jalan Matahari berhasil kutemukan, berarti aku harus mengikuti peta yang ada padaku. O, ya. Aku harus terus melewati Tiga Jalan Matahari untuk mencari batu nisan. Dalam peta itu bernama Nisan Tak Bertuan. Gila! Di mana aku bisa menemukan batu nisan itu. Menurut peta ini, batu nisan itu menjadi patokan bagiku untuk menemukan Tasbih Emas Bidadari. Tetapi, apa yang bisa kujadikan sebagai petunjuk" Sialan!" rutuk Andika.
Lalu perlahan-lahan pemuda itu kembali meneruskan langkahnya. Kalau tadi pertama kali masuk gua itu kecil kemudian membesar, sekarang mengecil kembali. Tetapi, kini keadaan kembali gelap.
"Busyet! Di mana sih letaknya?" desis Andika menggerutu.
Tak sengaja, tangan Pendekar Slebor bertelekan pada dinding gua di sisinya. Dan tiba-tiba saja, terdengar suara gemuruh kencang. Andika sampai terjingkat karena kaget. Dilihatnya dinding yang dipegang tadi perlahan-lahan membuka, bagaikan sebuah pintu yang memudahkan siapa saja untuk masuk.
Sejenak Andika melongokkan kepalanya. Samar-samar terlihat cahaya terang di kejauhan. Tempat itu benar-benar lebih nyaman daripada yang semula.
Karena, Andika merasakan angin perlahan berdesir.
"Di sinikah Nisan Tak Bertuan itu berada?" tanya pemuda ini seraya melangkah.
Begitu melewati pintu itu, tiba-tiba saja terdengar kembali suara bergemuruh. Andika tercekat, dan siap melompat keluar. Tetapi, terlambat.
Brakkk! Pintu itu sudah tertutup kembali.
***
"Kalau aku berada di Alam Sunyi, seluruhnya sepi sekali dengan tempat luar dan pemandangan mengerikan. Kalau di sini, hhh! Apa yang bisa kulihat, meskipun dari kejauhan ada cahaya yang berpendar?" (Untuk mengetahui bagaimana Andika sampai terjebak di Alam Sunyi, silakan baca: "Raja Akhirat" dan "Neraka Di Keraton Barat").
Sejenak Andika menggaruk-garuk rambutnya dengan kegemasan menjadi-jadi. Di samping ingin menemukan Tasbih Emas Bidadari, Andika juga bermaksud untuk mencari jalan keluar. Tentu saja, dia tak sudi terkubur hidup-hidup di sini. Kembali Andika meneruskan langkahnya. Setelah lima belas tombak melangkah, sinar yang dilihatnya semakin menerang. Bahkan sejenak Andika harus mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi pandangannya, karena sinar itu sangat menyilaukannya.
"Gila! Kalau memang di sini tempat Nisan Tak Bertuan itu berada, di mana nisan sialan itu"!" makinya. Belum juga terjawab kata-kata Pendekar Slebor.... Sing...! Tiba-tiba saja terdengar suara berdesing yang cepat sekali. Andika tercekat. Seketika tubuhnya melenting saat sepuluh buah tombak bagaikan keluar da-ri dinding batu itu meluncur ke arahnya.
"Kutu kupret! Orang gila kurapan. Siapa sih yang masih suka jahil?" makinya sambil bergulingan cepat. Kesepuluh tombak itu menancap pada dinding batu hingga tengahnya.
"Gila! Kalau kena tubuhku, bisa jadi Sate Andi-ka!" desisnya sambil menggelenggeleng kepala.
"Nampaknya Ki Bubu Jagat memang sangat pandai menyembunyikan senjata pusakanya. Tetapi kalau begini terus, aku yang bisa celaka.
Aku yakin, bukan hanya tombak-tombak itu saja yang tersembunyi. Pasti masih ada senjata edan lainnya!" Menyadari akan hal itu, kewaspadaan Andika semakin ditingkatkan. Dia merasa beruntung karena tempat ini tidak gelap seperti gua yang dimasukinya.
Dan apa yang diduga pun terjadi. Karena tibatiba saja tubuhnya terperangkap oleh sesuatu yang tak sadar diinjaknya.
Plas! Tubuh Pendekar Slebor masuk ke sebuah jaring yang ada di tengah. Seketika jaring berisi tubuh Andika bergerak ke atas, dan kini menjutai-juntai bagaikan sebuah beban timbangan.
"Keparat! Sialan! Monyet, monyet, monyeeettt!" Pendekar Slebor cepat mengerahkan tenaga dalamnya untuk memutuskan jaring yang mengikatnya.
Tetapi, jaring itu sangat alot. Tenaga 'inti petir' pun tak ada gunanya.
Sesaat Andika ingin melontarkan ajian 'Guntur Selaksa' untuk meloloskan diri dari perangkap itu.
Namun cepat diurungkan. Karena bila melontarkan ajian itu tak mustahil dinding batu ini akan runtuh.
Dan tubuhnya tak mau terkubur di dalamnya.
Pendekar Slebor berusaha memeras otaknya sambil memaki-maki tak karuan.
***
~~[ 6 ]~~
"Brengsek! Di mana letaknya Tiga Jalan Matahari itu?" dengus Dewi Sungai Bangkai. Bukannya menjawab, Gempo Sinting justru menggerakkan tangannya ke satu tempat.
Wuusss! Serangkum angin dahsyat ke depan, menghantam tiga buah pohon hingga langsung tumbang.
"Keparat busuk! Keluar kau!" bentak Gempo Sinting, menggelegar.
Dewi Sungai Bangkai mengerutkan keningnya, bersiaga. Begitu angin dahsyat menghantam tiga buah pohon sekaligus, tampak satu sosok tubuh aneh keluar dari persembunyiannya. Tampangnya acakacakan dengan keriput memenuhi wajahnya. Sikapnya biasa saja, seolah tak tahu kalau serangan yang dilakukan Gempo Sinting tadi sangat berbahaya.
"Siapa yang berani mengganggu tidurku"! Hayo, angkat tangan. Biar kubikin mampus!!" maki sosok yang ternyata seorang lelaki tua. Kedua mata lelaki yang celong ke dalam ini menatap nyalang. Di tangannya terdapat sebuah bungkusan. Seolah tak mempedulikan bentakannya tadi, matanya kini menatapi bungkusan yang dibawanya dengan sinar mata memelas.
"Rupanya ada tamu yang tak diundang datang ke tempat kita ini, Sayang. Apakah aku harus mengepruk kedua manusia ini?" kata si lelaki pada bungkusan yang kelihatan amat disayangnya. Sejenak Gempo Sinting dan Dewi Sungai Bangkai saling berpandangan melihat kelakuan si kakek.
"Manusia hina yang kerjanya hanya menguping pembicaraan orang! Sebutkan nama sebelum mampus!" bentak Gempo Sinting. Dari suaranya terdengar suatu kegeraman.
"Kau dengar, Sayang" Manusia bulat itu membentakku. Tanganku jadi gatal. Izinkan aku untuk menghajarnya sampai mampus," kata orang tua kerempeng itu pada bungkusan di tangan. Seolah, tak dipedulikannya bentakan Gempo Sinting.
Mendengar kata-kata itu, wajah Gempo Sinting memerah.
"Orang tua edan! Tinggalkan tempat ini, sebelum kau mampus tercacah-cacah...!" Tiba-tiba saja orang tua itu mengangkat kepalanya. Tatapannya setajam sembilu menatap pada Gempo Sinting.
"Kurang ajar! Mulutmu harus kutampar sampai berdarah! Kau sebutkan namamu, Juga kau, Nenek Peot!" Dewi Sungai Bangkai mengeluarkan hembusan napas dingin.
"Kakek keparat! Bila kau ingin mampus, mengapa harus bersembunyi, hah"!"
"Keterlaluan! Benar-benar cari penyakit!" Wajah Dewi Sungai Bangkai sudah berubah kelabu dengan kemarahan meluap. Kepalanya lantas didekatkan pada telinga Gempo Sinting.
"Gempo..., telah lama aku mendengar kabar kalau Gunung Kabut ini berpenghuni. Tetapi kusirap kabar, dihuni sepasang kakek nenek yang saling cinta dan setia. Tak ada waktu tanpa memadu kasih. Mereka dijuluki Sepasang Hantu Neraka. Tetapi, sekarang mengapa hanya seorang saja?" bisik Dewi Sungai Bangkai.
"Itu urusanku!" teriak kakek itu keras dan tiba-tiba.
"Astaga! Pendengarannya tajam sekali. Dia bahkan mendengar bisikanku, Gempo," desis Dewi Sungai Bangkai terperanjat.
"Tinggalkan tempat ini kalau tak mau mampus!" bentak lelaki tua kerempeng itu.
Dewi Sungai Bangkai merasa sudah terinjakinjak harga dirinya.
"Aku dijuluki Dewi Sungai Bangkai. Kini mampuslah kau!" teriak perempuan berbau busuk itu seraya melesat menyerang.
"Pantas aku sejak tadi mencium bau busuk!" balas si kakek sambil melentingkan tubuhnya.
Tiga buah larik sinar yang dilepaskan oleh Dewi Sungai Bangkai memang berhasil dihindari si kakek.
Namun, bau busuk sempat menyumbat jalan nafasnya. Lehernya bagai tercekik.
Begitu mendarat, dengan cepat orang tua bertampang mirip setan itu mengerahkan tenaga dalamnya. Sesaat, nafasnya terasakan longgar kembali. Tiba-tiba saja gerengannya terdengar keras, kedua tangannya bergerak ke kanan dan kiri.
Dewi Sungai Bangkai terkejut ketika merasakan serangan sepasang api neraka meluruk ke arahnya.
Dia coba bergeser ke samping sambil hendak melanjutkan serangan, namun tanpa terlihat bagaimana gerakannya, kaki si kakek telah menderu ke dadanya.
Dan.... Buk! "Aaakh...!" Tubuh Penguasa Sungai Bangkai itu terjajar ke belakang. Kalau bukan Dewi Sungai Bangkai, mungkin akan hangus seketika. Dewi Sungai Bangkai cepat mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya ketika rasa panas menyelimuti tubuhnya.
"Keparat! Keluarkan seluruh ilmumu!" bentak si perempuan itu lagi sambil menerjang kembali.
Tanpa bergerak dari tempatnya, si kakek mengangkat sebelah tangannya. Kali ini seluruh tubuhnya bagaikan dialirkan hawa yang sangat panas.
Melihat kenyataan ini Dewi Sungai Bangkai kembali terperanjat. Seketika serangan lompatan yang mengarah pada leher si kakek dirubahnya. Tubuhnya berjumpalitan, lalu kakinya melayang.
Buk! Tendangan itu sangat telak menghantam dada si kakek. Tetapi lelaki tua berwajah penuh keriput ini tak bergerak sedikit pun.
Dan, justru Dewi Sungai Bangkai yang terpelanting ke belakang.
Sejenak Dewi Sungai Bangkai terperanjat "Luar biasa tenaga dalam yang dimiliki orang aneh ini. Bila apa yang kupikirkan itu benar, pasti orang tua ini salah seorang dari Sepasang Hantu Neraka. Tetapi, di manakah si Hantu Betina?" Dewi Sungai Bangkai yang penasaran, kali ini tak tanggung lagi. Segera dikerahkannya ajian 'Sungai Bangkai Menceburkan Mayat'. Kedua tangannya yang mengeluarkan beberapa larik sinar hitam dan bau busuk menyengat, mencoba menyergap tubuh si kakek yang memang salah satu dari Sepasang Hantu Neraka.
Perhitungannya bila tertangkap, maka akan segera di-bantingnya tubuh orang tua itu! Tap! Perempuan itu hanya berhasil menangkap lengan kanan si kakek yang masih berbicara dengan bungkusan di tangannya. Dan seketika, Dewi Sungai Bangkai lepaskan lengan itu ketika panas menyengat terasa di tangannya, tak ubahnya memegang bara neraka! Sambil menggeram murka, Dewi Sungai Bangkai melompat ke belakang.
"Keparat!" Kali ini Gempo Sinting menggeram. Dia cukup terkejut ketika melihat bagaimana orang tua itu menghantam Dewi Sungai Bangkai seperti sedang mempermainkannya. Si kakek berpaling dengan tatapan tajam.
"Si Buntal ini juga ingin mampus, Sayang," desis si kakek dingin, pada bungkusan di tangannya.
"Tahan!" Dewi Sungai Bangkai menangkap tangan Gempo Sinting yang sudah siap menyerang dengan kemarahan membludak.
"Jangan gegabah, Gempo. Nampaknya kita bertemu bukan orang sembarangan. Gempo! Jelaslah kalau manusia ini salah satu dari Sepasang Hantu Nera-ka, meskipun aku tak melihat di mana istrinya berada."
"Tinggalkan tempat ini! Aku sudah berjanji pada istriku untuk tidak membunuh lagi! Tetapi kalau kalian keras kepala, aku tak segan-segan lagi!" bentak si kakek, keras menggelegar. Kali ini Gempo Sinting mengibaskan tangannya dari genggaman tangan Dewi Sungai Bangkai.
"Hiaaa...!" Sambil berseru keras, lelaki bulat itu pun menderu ke arah si kakek yang masih berdiri tegak. Melihat hal itu, Dewi Sungai Bangkai pun meluruk pula membantu. Karena, bila dugaannya benar, berarti keadaan akan semakin kacau. Yang baru muncul ini si Hantu Jantan. Bagaimana bila si Hantu Betina pun muncul" Padahal, Sepasang Hantu Neraka telah menjadi momok bagi dunia persilatan puluhan tahun lalu.
Tak seorang pun yang tahu ke manakah mereka menghilang. Tak seorang pun yang tahu, dari golongan mana mereka. Hanya saja, tahu-tahu yang seorang sudah muncul begitu saja.
Kini pertarungan berlangsung sengit. Kali ini Hantu Jantan pun menggerakkan anggota tubuhnya dengan tetap memegang bungkusan yang sangat di kasihinya di tangan kiri. Tanah gunung yang dipijak seakan bergetar hebat. Pepohonan beberapa kali tercabut dari akarnya membentuk lubang besar. Serangan-serangan Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sinting benar-benar luar biasa. Si kakek kali ini sampai mendengus berkali-kali, karena tak diberi kesempatan untuk membela diri. Namun berkat kelincahannya, serangan-serangan maut yang dilancarkan Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sinting tak menghasilkan apa-apa. Justru keduanya semakin penasaran dan membabi buta.
"Ini tidak boleh dibiarkan!" teriak Hantu Jantan tiba-tiba.
"Sayangku, maafkan bila aku menurunkan tangan pada manusia-manusia keparat ini. Sejak tadi, sudah kuminta baik-baik agar mereka meninggalkan kediaman kita ini. Tetapi, mereka keras kepala. Tidak! Aku tidak akan membunuh mereka. Karena, aku tetap memegang teguh janjiku kepadamu, Sayang." Setelah berkata begitu, si kakek membuat gerakan sangat mengejutkan. Tangan dan kakinya bergerak secara bersamaan. Selintas, sepertinya dia hanya terbang belaka. Lalu ketika tangannya mengibas, api bergulung-gulung menderu ke arah keduanya dengan dahsyat. Tersentak Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sinting. Mereka segera mundur ke belakang dengan satu lentingan sambil mengeluarkan bentakan keras secara bersamaan.
Melihat kedua lawan menjaga jarak, si Hantu Jantan mengibaskan kembali bola-bola api raksasanya yang membakar pepohonan.
"Ayo, tinggalkan tempat ini! Hhh! Kalau saja aku belum berjanji pada istriku, kalian sudah kupanggang hidup-hidup!" teriak si kakek keras. Namun keanehan pun terjadi, ketika Dewi Sungai Bangkai menjentikkan tangannya. Lima larik sinar hitam meluncur deras, menghantam bola-bola api raksasa yang dilepaskan si Hantu Jantan.
Blar! Blarrr...! Terdengar ledakan-ledakan dahsyat.
"Sayangku.... Rupanya si peot jelek itu hebat juga. Apakah aku terpaksa membatalkan janjiku kepadamu?" Si kakek cepat bergulingan menghindar ketika tiga larik sinar hitam kembali menderu ke arahnya.
Angin bergulung-gulung meluruk deras dengan sinar menggidikkan. Namun si Hantu Jantan bukannya menghindar dalam arti menjauh, justru bergulingan semakin dekat ke arah Dewi Sungai Bangkai. Dan....
Duk! "Aaakh...!" Kaki si Hantu Jantan menghantam dada Dewi Sungai Bangkai sampai terpekik kaget. Seluruh tulangnya terasakan bagai patah. Dan tubuhnya langsung bergulingan, ketika si kakek berkelebat ke arahnya. Blarrr! Tanah tempat perempuan itu berpijak tadi bolong seketika, saat tangan kanan si kakek menghantamnya. Sementara itu, Gempo Sinting mencoba mengambil kesempatan selagi si Hantu Jantan dalam keadaan membungkuk karena menghantam tanah tadi Namun itu adalah kesalahan buat Gempo Sinting. Karena di saat tubuhnya berada dalam keadaan tak menguntungkan, si Hantu Jantan justru melenting untuk melepas serangan balik. Des! Des! Tubuh Gempo Sinting terpental hebat ke belakang. Ketika mencoba bangkit, darah kental mengalir dari hidung dan mulutnya.
Dewi Sungai Bangkai menggereng hebat setinggi langit melihat kawannya terjungkal. Kembali diserbunya si Hantu Jantan.
"Minggir kau, Gempo! Manusia ini bukan tandinganmu!" teriak si perempuan jelek ini sambil mengibaskan tangannya.
Lima larik sinar hitam langsung melesat cepat.
Namun dengan gerakan mengagumkan, si Hantu Jantan segera bergulingan.
"Kau dengar, Sayang" Kata-katanya membuatku muak. Aku ingin sekali membunuhnya!" kata si kakek sambil bergulingan.
Si Hantu Jantan melakukan gerakan cepat. Tubuhnya yang berguling ke belakang tadi, tiba-tiba menderu ke depan. Bergulung, menimbulkan gemuruh hebat dan hawa panas menyengat.
Melihat hal itu, Dewi Sungai Bangkai bukannya ngeri. Justru kekuatan tenaga dalamnya ditambah.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Keparat!" Bentrokan yang akan terjadi sudah bisa dipastikan akan merenggut nyawa satu sama lain secara bersamaan. Karena tenaga dahsyat siap bertemu, maka tak ubahnya dua buah gunung yang memuntahkan laharnya secara bersamaan.
Blarrr! Ledakan dahsyat terdengar, mengguncangkan Gunung Kabut dan menggugurkan bebatuan. Dewi Sungai Bangkai terpental deras ke belakang. Sementa-ra si Hantu Jantan hanya terhuyung tiga langkah.
Namun, bungkusan yang ada di tangannya terlepas.
"Sayangku!" teriak si Hantu Jantan, langsung melenting.
***
~~[ 7 ]~~
"Benar-benar edan!" makinya mangkel.
"Apakah aku harus mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa'" Hhh! Bisa mampus aku terkubur di sini! Tetapi, bagaimana caranya keluar dari sini" Padahal aku harus memburu waktu untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari" Lagi pula, apakah aku sudah salah jalan masuk ke sini" Tak kulihat Nisan Tak Bertuan di sini?" Dan tiba-tiba saja Andika menepuk kepalanya.
"Goblok! Goblok! Dungu! Mengapa aku tidak ingat pada ilmu yang diajarkan Eyang Sasongko Murti" Baiknya ku coba saja dengan ajian bangsa siluman itu.
Hmm, ajian 'Tapa Geni'." Dengan bersusah-payah, Andika berusaha berdiri dengan bantuan ilmu meringankan tubuhnya. Setelah beberapa saat, tangan kirinya mencekal ujung ja-la yang menjerat tubuhnya.
Sedangkan tangan kanan perlahan-lahan bergerak bagaikan mengibas, namun lembut. Tras! Seketika bola api kecil yang panas keluar dari tangan Andika, menempel di bawah jala dan mulai membakar. Sesaat si pemuda merasa cemas juga ketika melihat jala itu seakan tak mampu terbakar ajian 'Tapa Geni'. Tetapi kemudian hatinya bersorak ketika melihat salah satu bagian jala putus terbakar.
"Ya, ya! Terus, terus! Bakar sampai habis!" desis Pendekar Slebor, kembali menggerakkan tangannya. Api yang panas itu terus membakar untaian jerat jala. Lama kelamaan pun terbentuk sebuah lubang dari jala yang besar.
Andika melepaskan pegangannya. Dan....
Wusss! Tubuh si anak muda urakan ini melorot turun, hinggap dengan ringan. Kemudian tangannya mengibas lagi. Kali ini serangkum angin dingin menghembus. Api yang sedang membakar untaian jerat itu pun perlahan-lahan padam.
"Nah.... Kalau begini, kan aman" Tetapi, jebakan apa lagi yang akan kuhadapi sekarang?" tanya Pendekar Slebor dalam hati.
Andika mulai melangkah kembali. Suasana di sana semakin terang saja. Lalu dilihatnya sebuah tempat seperti lubang yang mengeluarkan api. Diam-diam Andika berdecak.
"Siapa yang membuat tabunan, tapi lupa mematikan apinya" Benar-benar hebat! Entah sudah berapa lama api itu tak pernah padam" Atau memang ada yang sesekali datang untuk menambah kayu bakar?" Tetapi alangkah terkejutnya Andika ketika tidak melihat kayu bakar, atau sejenis bahan bakar lain yang mampu mempertahankan nyala api.
"Gila! Bagaimana api itu bisa terus menyala?" tanyanya, mendesis. Segera diambilnya kembali potongan peta di balik bajunya.
Keningnya berkerut.
"Di sini ada gambar kobaran api, sebelum mengarah pada Nisan Tak Bertuan. Bila melihat urutan jalur peta ini, Nisan Tak Bertuan terdapat di dalam lubang api ini. Keparat! Benar-benar bisa mampus aku sekarang! Masa' iya sih, aku harus masuk ke lubang api ini" Apakah tidak ada jalan lain untuk menemukan Nisan Tak Bertuan?" Tiba-tiba Andika mengibaskan tangan kanannya. Maka serangkum angin dingin meluruk ke dalam lubang. Namun jangankan padam api itu. Bergoyang saja tidak, karena hembusan angin keras itu. Penasaran, Andika melakukannya berkali-kali. Dan hasilnya tetap sama.
"Apakah aku harus benar-benar masuk ke dalam api itu" Benar-benar cari mampus!" rutuk si pemuda sambil menepuk kepalanya sendiri. Kepalanya lantas melongok lagi ke dalam. Dan rasa panas yang menyengat semakin dirasakan.
"Hm.... Apakah bentrokan panas dengan panas akan mampu menciptakan rasa dingin" Biar tidak penasaran, aku akan mencobanya saja." Kini Pendekar Slebor merangkum tenaga 'inti petir' tingkat ke sepuluh. Dan kedua tangannya dihentakkan ke dalam lubang api itu. Wusss! Brrr! Andika terpelanting ke belakang. ketika tibatiba saja lubang api yang berjilat-jilat itu justru menyambar ke arahnya.
"Brengsek! Api itu justru semakin membesar dan mengerikan!" dengus si pemuda.
Dan Andika bangkit kembali tanpa dihiraukan tubuhnya yang sudah kotor penuh debu.
"Aku jadi teringat ketika terdampar di Alam Gerbang Neraka. Seluruh tempat itu pun dipenuhi api yang menjilat-jilat. Apakah aku harus memanggil Ra-wangi, Ratu Penguasa Gerbang Neraka?" (Untuk mengetahui tentang Alam Gerbang Neraka dan Ratu Penguasa Gerbang Neraka, silakan baca: "Bunga Neraka").
Andika berusaha memeras otaknya memikirkan semua itu. Tetapi tiba-tiba...
"Masa bodoh, aku harus mencobanya! Ya..., ya aku harus mencobanya!" tegasnya.
Tiba-tiba saja bagaikan seorang penerjun, Andika langsung meluruk masuk ke dalam kobaran api.
Wusss!
***
"Aaa...!" Andika menjerit keras ketika tubuhnya meluncur turun, membuatnya bagaikan melayang-layang di sebuah alam aneh. Bau wangi menguap dari bawah, membuatnya terasa nyaman sekali.
Akan tetapi, tiba-tiba tubuh si pemuda urakan ini bagaikan disedot oleh gaya tarik yang kuat sekali.
Tubuhnya meluncur laksana bintang jatuh. Sebisanya Andika berusaha mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Tetapi, gaya tarik itu telah membelenggunya dengan hebat.
Dan tubuh Pendekar Slebor langsung terpelanting di dasar lubang api itu. Cukup keras. Untungnya bukan kepalanya lebih dulu.
Dan pinggulnya yang jatuh lebih dulu terasa bagaikan mau patah.
Sejenak Andika mengusap-usap pinggulnya yang terasa nyeri.
"Gila! Di manakah aku sekarang ini?" dengus Pendekar Slebor.
Andika bangkit sambil menahan nyeri di pinggulnya. Seluas mata memandang, yang terlihat benarbenar aneh. Penuh perbukitan dan pepohonan tinggi "Benar-benar edan! Apakah aku sedang bermimpi" Mula-mula masuk ke dalam gua. Lalu ke satu tempat di dalam dinding gua. Kemudian masuk ke lubang api. Dan sekarang, berada di tempat yang sangat luas ini. Apakah ini tandatanda aku mau mampus?" Udara di tempat ini begitu sejuk. Meskipun tak terlihat ada matahari, namun cuaca sangat terang.
Bahkan yang mengejutkan di sana ada sebuah sungai berair sangat jernih. Namun herannya, air itu berwar-na kuning! Andika yang sudah berada di tepi sungai lagilagi mengerutkan keningnya. Tangannya meraba air yang sejuk itu.
"Ih! Badanku sudah lengket semua! Mau mandi rasanya. Tetapi melihat air yang kuning ini, aku jadi jijik!" celoteh Andika.
Namun karena badannya sudah sangat lengket, Andika pun perlahan-lahan membuka pakaiannya. Sejenak kepalanya celingukan memperhatikan sekelilingnya. Tetapi kemudian nyengir sendiri.
"Kalau ada gadis di sini lumayan." Lalu... Byuurrr! Tubuh si anak muda ini pun masuk ke sungai berair kuning. Sambil bernyanyi-nyanyi tak karuan, dia berenang ke sana kemari dengan riang. Setelah puas, dia pun bermaksud untuk mentas ke atas. Namun tiba-tiba saja, tubuhnya masuk kembali ke dalam air kuning itu.
Sejenak Andika terperanjat. Dia merasakan tarikan yang lebih kuat lagi yang berusaha menenggelamkannya. Wajahnya kali ini pias seketika, setelah menyadari tak kuasa untuk menahan tenaga tarikan yang keras itu.
Andika menjadi gelagapan. Dia berusaha untuk mengerahkan tenaga dalamnya, namun tarikan itu semakin kuat.
"Keparat! Apa lagi ini"!" maki Pendekar Slebor sambil mencoba mengerahkan tenaga 'inti petir'. Tetapi! sebelum berhasil melakukannya, tubuh Andika sudah tenggelam ke sungai kuning itu. Sesaat, dia masih berusaha menyelamatkan diri. Tetapi di kejap lain, mulutnya telah menelan air sungai kuning itu.
***
~~[ 8 ]~~
Desss...! "Aaakh...!" Si kakek terlempar ke belakang disertai muntahan darah. Nafasnya terasa sesak bukan main. Pada saat yang sama, Dewi Sungai Bangkai sudah menerjang kembali dengan hantaman dahsyat.
Des! Des! Tubuh si Hantu Jantan bukan hanya terlempar ke belakang tapi juga bergulingan keras. Kesempatan itu dipergunakan Gempo Sinting untuk membalas serangan si kakek padanya tadi. Ketika tangannya telah terangkum pukulan kebanggaannya yang bernama pukulan 'Hawa Kematian', tubuhnya langsung meluruk deras.
"Sayangku, aku memang telah berjanji padamu untuk tidak membunuh. Tetapi kedua manusia ini keras kepala. Ah! Apakah aku harus mengingkari janji" Tidak, Sayangku! Janjiku begitu agung," kata si Hantu Jantan, seolah tak menyadari bahaya maut yang men-gancamnya.
Pukulan yang dilancarkan oleh Gempo Sinting sudah tinggal beberapa jengkal lagi. Namun, si Hantu Jantan masih tetap tak bergerak dari tempatnya. Kalaupun bergerak sekarang, mustahil bisa meloloskan diri. Namun pada saat yang gawat Zing! Mendadak saja tiga buah desingan keras menderu ke arah Gempo Sinting.
"Bangsat! Tunjukkan wajah bila ingin mampus!" teriak lelaki bulat itu seraya membuang tubuhnya. Dewi Sungai Bangkai yang sejak tadi sudah tak sabar ingin melihat kematian si Hantu Jantan pun ter-perangah. Sekilas tadi dia melihat satu sosok bayangan melesat, menyambar si Hantu Jantan.
Dan begitu keduanya tersadar, tubuh lelaki tua itu telah lenyap dari pandangan.
***
Sinar hitam menggidikkan menderu kencang.
Tak lama, di bawah terdengar ledakan sangat dahsyat hingga gunung itu bergoyang bagai gempa. Dewi Sungai Bangkai tak kalah geramnya. Dia memaki-maki panjang pendek dengan mata melotot.
"Gempo! Kita tinggalkan manusia keparat itu! Sudah bisa dipastikan dia tak akan mengganggu kita lagi," ajak perempuan itu, akhirnya.
"Selain penasaran ingin membunuhnya, aku juga ingin tahu apa isi bungkusannya itu. Sepertinya, dia sangat khawatir sekali bila bungkusan itu jatuh ke tangan kita. Hhh! Pe-nolong sialan! Bila bertemu, akan kukorek jantungnya dan ku telan mentah-mentah!" Sementara itu Gempo Sinting yang berteriak marah. Suara teriakannya seperti lolong anjing, menggema sampai ke lereng Gunung Kabut. Lalu seperti ke-setanan tubuhnya berkelebat ke sana ke mari. Kakinya menghantam apa saja yang ada di hadapannya.
***
dari serangan maut yang dilancarkan Gempo Sinting" Padahal sudah bisa dipastikan dia tak akan mampu menghindari serangan, selain kelihatan juga memang sengaja tak menghindar.
"Gadis keparat sok tahu! Apa urusanmu dengan membawaku ke sini, hah"!" bentak si Hantu Jantan ketika telah diturunkan dari pondongan sosok ramping di tempat yang aman.
Dengan penuh kasih sayang si kakek memegang erat bungkusan yang ada di tangannya. Tatapan tajamnya menghujam pada gadis berbaju putih dengan ikat kepala berwarna putih. Di pakaian gadis itu terdapat untaian benang emas bergambar bunga mawar.
Wajahnya begitu cantik dengan hidung bangir. Bibir mungil memerah. Sebilah pedang berukiran kepala naga tersampir di punggung dengan warangka yang indah. Begitu mendengar lelaki bertampang setan itu membentaknya, si gadis mendengus sambil bertolak pinggang.
"Orang tua tak tahu diri! Apakah kau hendak membiarkan tubuhmu dicacah habis oleh kedua manusia itu, hah"!" balas si gadis.
"Apa pedulimu"!" tukas si Hantu Jantan.
"Aku ingin menyusul Sayangku yang telah lama pergi! Kau harus membayar perlakuan busukmu itu, Gadis!" Wusss! Tangan si Hantu Jantan mengibas ke arah si gadis dengan gerengan keras.
Si gadis terperanjat melihat serangan yang mematikan itu. Dengan cepat tubuhnya dibuang ke kiri.
"Orang tua keparat! Tak tahu membalas budi!" bentak si gadis.
"Tak ada budi yang pernah kutanggung. Tak ada yang pernah kubalas! Kau telah lancang menggangguku!" dengus si Hantu Jantan.
"Kalau kau tak suka, tak perlu menurunkan tangan telengas!" bentak si gadis yang sudah berdiri tegak kembali. Wajahnya memancarkan sinar jengkel luar biasa.
"Aku menyesal telah menolongmu!" Tiba-tiba kening si gadis berkerut ketika melihat si kakek yang tadi garang luar biasa kini tampak memelas.
"Sayangku, gadis sialan ini telah menggagalkan keinginanku untuk bersamamu.
Apakah aku harus berterima kasih, atau memberi pelajaran padanya" Ah! Aku memang telah berjanji untuk tidak membunuh.
Tetapi, kedua tangan gadis itu pantas sebagai pengobat rasa jengkelku ini," kata si kakek pada bungkusan di tangannya. Suaranya terdengar lembut.
"Edan! Apakah aku berjumpa orang gila" Apa isi bungkusan itu, sehingga si kakek galak ini berkata-kata padanya," pikir si gadis.
"Oh! Kau tak ingin aku menurunkan tangan telengas kepadanya" Tetapi, aku tak ingin mengucapkan terima kasih kepadanya," desah si kakek, pada bungkusan di tangannya.
"Aku juga tidak perlu ucapan terima kasihmu!" bentak si gadis sewot. Hatinya benar-benar menyesal menolong si kakek dari maut.
Kalau tahu begini, tak akan sudi dia menolong.
"Dia sendiri tak menginginkan ucapan terima kasihku, Sayangku. Berarti, aku memang tak perlu melakukannya. Oh! Apa, Sayangku" Kau mengatakan kalau kedua manusia edan itu perlu dibunuh" Kenapa" Oh, siapakah yang kau maksudkan dengan orang yang tengah tenggelam di Sungai Kuning saat ini" Seingatku, selama kita mendiami Gunung Kabut ini, tak pernah kudengar ada Sungai Kuning segala. Tetapi, aku tahu sekarang. Kau telah mampu menembus ruang dan waktu. Mungkin kau telah melihatnya. Aku harus menolongnya" Untuk apa, Sayangku" Aku ingin berdua-dua denganmu," celoteh si Hantu Jantan, tak karuan. Si gadis benar-benar tak mengerti dengan kata-kata si Kakek. Dan karena sudah jengkel diperlakukan tidak enak tadi, tubuhnya pun memutar.
"Gadis keparat tak tahu sopan santun!" bentak si kakek menggelegar keras.
"Apakah kau tak merasa perlu berpamitan kepadaku bila hendak pergi, hah"!" Si gadis menghentikan langkahnya. Kepalanya menoleh dengan wajah sewot.
"Untuk apa kulakukan itu pada orang gila"!" balas gadis ini.
"Kubunuh kau!"
"Melihat ilmu yang kau miliki, jelas aku tak akan mampu untuk menghadapimu! Tetapi, menghadapi orang yang tak tahu berterima kasih, aku rela mengadu nyawa!"
"Nyalimu sungguh besar, Anak Manis! Siapakah kau sebenarnya" Dan, mau apa berada di sini?"
"Untuk apa kau ingin tahu namaku"!"
"Barangkali aku memang harus mengenangmu!" Si gadis benar-benar tak mengerti dengan sikap lelaki yang memegang bungkusan itu. Hah! Kalau tahu begini, lebih baik ditinggal saja tadi. Kok urusannya jadi berkepanjangan" Padahal, dia harus menunaikan tugas yang diberikan gurunya.
"Namaku Nilakanti! Aku berada di sini, karena ingin melihat teka-teki apa yang ada di Gunung Kabut.
Guruku meminta aku untuk mendatangi tempat ini.
Nah! Kau sudah puas, Orang Tua?" papar si gadis setelah menelan kejengkelannya.
"Siapa gurumu?"
"Malaikat Putih Bayangan Maut." Si kakek tahu-tahu mendengus.
"Bagaimana kabar si orang tua jelek itu?" tanya si Hantu Jantan, dengan mulut berbentuk kerucut.
"Kau sendiri jelek. Berani benar kau mengatai guruku jelek, hah"!" bentak gadis yang ternyata bernama Nilakanti sewot.
Si gadis benar-benar tak mengerti melihat sikap orang tua di hadapannya ini. Apa yang dikatakan gurunya sebelum turun gunung memang benar, kalau dia nanti akan banyak menjumpai tokoh yang memiliki tabiat aneh dengan ilmu sangat tinggi. Salah satunya, ya si orang tua ini! Kali ini si kakek tertawa.
"Pantas kau tadi bisa menghindari seranganku.
Rupanya si jelek itu sudah mempunyai murid?" kata si Hantu Jantan dengan sikap membuat Nilakanti sakit perut.
"Hmm.... Apakah gurumu tak memberi-tahukan kalau dia mempunyai sahabat Sepasang Hantu Neraka?"
"Untuk apa dia memberitahu kepadaku. Dan, apa gunanya untukku" Sudah! Aku harus mencari Tasbih Emas Bidadari!" sahut Nilakanti dengan suara bertambah jengkel. Kalau bukan orang tua aneh ini, sudah pasti tangannya akan melayang untuk menampar mulut kurang ajar itu.
"Tasbih Emas Bidadari" Ah! Benda apakah itu" Dan berada di mana?" desah si kakek Sebenarnya, Nilakanti jengkel ditekan terusterusan dengan pertanyaan bertubi-tubi. Kepalanya jadi pusing tujuh keliling. Namun cepat rasa jengkel-nya ditekan dalam-dalam.
"Guruku hanya mengatakan benda itu berada di Gunung Kabut. Dan pusaka darah milik Ki Bubu Jagat itu akan mendatangkan petaka yang besar, bila didapatkan oleh manusiamanusia sesat. Aku harus menyelamatkannya," jelas Nilakanti.
Suara tawa si Hantu Jantan semakin keras, membuat Nilakanti bertambah jengkel.
"Lama aku berada di Gunung Kabut, tetapi belum pernah mendengar soal Tasbih Emas Bidadari.
Atau..., apakah aku terlalu tenggelam penuh kasih dan rindu pada istriku" Masa bodoh dengan semua itu! Hei, anak gadis! Meskipun kau murid Malaikat Putih Bayangan Maut, apakah kau merasa ilmumu sudah begitu tinggi untuk menaklukkan teka-teki Gunung Kabut?"
"Persetan dengan semua itu! Perintah Guru adalah suatu tugas agung. Mati pun aku rela untuk-nya!" tandas Nilakanti.
"Bagus, bagus sekali! Bila saja aku mempunyai murid sepertimu, sudah tentu hidupku akan selalu aman. Karena, ada yang akan mengurusi hidupku ini" Sudahlah..., semua itu toh aku tidak menginginkannya. Kalau begitu..., aku akan membantumu untuk mencari Tasbih Emas Bidadari," sahut si kakek.
"Aku masih mampu untuk berjalan sendiri!" sahut si gadis, tandas.
"Hei" Apakah kau tak mendengar kata-kata Sayangku tadi" Dia bilang, ada seorang pemuda berba-ju hijau pupus yang sedang tenggelam di Sungai Kuning. Sumpah mampus, aku belum tahu tentang sungai itu. Aku memang tak pernah mencoba untuk menguak tabir yang menyelimuti Gunung Kabut."
"Siapa pun pemuda itu, aku juga tidak peduli! Mau mampus atau tidak, bukan urusanku!"
"Malaikat Putih Bayangan Maut adalah sahabatku. Berarti, kau secara tidak langsung juga muridku, karena kau muridnya. Berarti pula, aku harus menjaga keselamatanmu," jelas si Hantu Jantan.
Nilakanti benar-benar merasa pusing sekarang.
Dia tidak mengerti sikap aneh dan plin-plan yang diperlihatkan si Hantu Jantan.
"Tak perlu menatapku curiga. Lagi pula, aku masih punya perhitungan dengan si manusia bulat dan si nenek peot bau busuk tadi!" Lalu tanpa mempedulikan Nilakanti, si Hantu Jantan sudah melangkah lagi untuk menaiki Gunung Kabut. Kali ini langkahnya begitu ringan.
Tinggallah Nilakanti yang masih terdiam sambil mengerutkan keningnya. Dia benar-benar heran melihat sikap si kakek suka bicara pada bungkusan yang dibawanya. Apa sih isi bungkusan itu" Sepertinya dia teramat menyayanginya" Konyol! Nilakanti bertanya sendiri, mengapa gurunya tak pernah menceritakan tentang Sepasang Hantu Neraka yang mendiami Gunung Kabut" Kalau memang ada sepasang, mengapa yang dilihatnya hanya seorang" Ke mana yang seorang lagi" Ini benar-benar memusingkan kepalanya.
Tiba-tiba si Hantu Jantan menoleh.
"Tak perlu heran, mengapa gurumu tak pernah menceritakan tentangku dan istriku. Karena, aku dan istriku tak pernah memberitahukannya telah mendiami Gunung Kabut. Soal di mana istriku, suatu saat aku akan mengatakannya." Nilakanti terkejut sampai kepalanya tertarik ke belakang. Kakek ini bisa tahu apa yang dikatakannya dalam hati!
***
~~[ 9 ]~~
Mengapa Andika memiliki tenaga dalam tinggi itu tak mampu keluar dengan sekali sentak" Memang dia merasakan kedua kakinya bagai dipegang tangan yang mencengkeram sangat kuat. Ketika Pendekar Slebor hendak membebaskan diri, air sungai kuning itu sudah tertelan. Dan ini mengganggu pernafasannya.
Rasa cemas mulai hinggap di hati Andika. Sekujur tubuhnya terasa sangat dingin. Dan hentakan itu bertambah kuat menyeretnya lebih ke dalam.
"Sontoloyo! Apakah kali ini aku benar-benar mampus!" desisnya.
Pendekar Slebor masih berusaha untuk menahan nafasnya. Namun tarikan yang keras itu semakin kuat, dan terasa sangat menyiksa. Di kejap lain, Andika sudah tak dapat berpikir apa-apa. Pandangannya gelap. Pingsan!
***
Pendekar Slebor membuka matanya perlahanlahan. Dan matanya yang semula masih lemah itu kini terbelalak. Tahu-tahu dia berada di sebuah tempat yang sangat indah, menebarkan bau wangi yang sangat melenakan penciumannya.
"Hei" Apakah aku berada di surga?" Perlahan-lahan Andika berdiri seraya memandang ke sekeliling. Keningnya berkerut dengan tatapan agak menyipit. Tak percaya. Dia terheran-heran melihat semua ini. Diingat-ingatnya apa yang telah terjadi.
"Hmm, ya, ya.... Aku tenggelam di Sungai Kuning. Dan tahu-tahu sudah berada di sini" Di manakah ini?" Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-nya, Andika melangkah keluar dari ruangan. Dan pandangannya kembali terbelalak ketika melihat sebuah padang rumput yang sangat indah. Tak ada pohon selain rumput. Tak ada gunung dan bukit. Ketika berbalik, tempat tadi dia berbaring juga laksana hamparan permadani hijau.
Samar-samar Andika mendengar suara air bergemericik.
"Busyet! Ini benar-benar memusingkan kepalaku" Di mana sih, aku berada?" desisnya. Tiba-tiba tangannya memegang pinggangnya.
"Ah! Peta ini masih ada. Coba kulihat lagi. Barangkali saja aku bisa menguak tabir ini." Andika membentangkan peta di udara yang semilir. Saat ini dia tak tahu, apakah siang atau malam. Yang diyakini, dia kini berada dalam perut Gunung Kabut yang benar-benar membuatnya tak habis mengerti. Perlahan-lahan kening Andika berkerut.
"Hmm, benar dugaanku. Ini memang jalan menuju Nisan Tak Bertuan. Dan lagi-lagi, secara tak sengaja aku memasukinya melalui Sungai Kuning itu. Di potongan peta ini, aku harus melangkah ke timur. Be-rapakah jauhnya, sulit direka-reka. Di sanalah Nisan Tak Bertuan berada. Kalau begitu, aku akan melakukannya sekarang juga." Andika memasukkan kembali potongan peta itu ke balik bajunya, lalu perlahan-lahan membedah tingginya rumput yang bergoyang ditiup angin. Cukup lama juga kakinya melangkah hingga akhirnya melihat sebuah makam yang sangat banyak.
"Busyet! Yang mana Nisan Tak Bertuan itu?" desisnya sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hmm, terpaksa aku harus melihatnya satu persatu." Lama sekali Andika meneliti setiap nisan. Dan nisan-nisan itu selalu ada tulisan yang tak dimengerti.
Sampai satu ketika, dia bersorak ketika melihat sebuah nisan yang tak ada tulisan atau goresan apa-apa.
"Apakah ini Nisan Tak Bertuan?" desisnya kemudian.
"Peduli setan! Bila aku ingin mengetahuinya, aku harus mencobanya." Cepat Pendekar Slebor menyingsingkan kedua lengannya. Lalu kedua tangannya disiapkan untuk menggali tanah makam. Namun belum juga kedua tangannya sampai di tanah makam....
"Grrr! Manusia yang hendak mendapatkan Nisan Tak Bertuan dan Tasbih Emas Bidadari, harus mampus terlebih dahulu." Andika berbalik ketika mendengar suara yang amat keras menggetarkan. Kedua matanya terbelalak besar.
***
Wajahnya sangat menyeramkan dengan kedua telinga mirip babi. Hidungnya panjang, mirip belalai gajah.
Mulutnya tertutup hidungnya yang panjang. Kedua matanya celong ke dalam. Tak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Tangan dan kakinya begitu kurus, penuh sisik mengerikan berwarna perak. Sosok mengerikan itu mengenakan cawat yang kusam sekali.
"Nah, kalau ini aku yakin, kalau sedang bermimpi!" kata Andika mencoba menepis kenyataan yang ada. Tapi ketika Andika mencubit lengannya sendiri.
"Aduh! Aku tidak bermimpi!"
"Anak muda dari negeri luar! Tak akan kubiarkan kau menjamah Tasbih Emas Bidadari!" dengus sosok itu dengan suara berdebamdebam, bagai dihimpit gunung.
Bukan Andika kalau akhirnya semakin ngeri.
"Kau siapa, Orang tua" Kau laki atau perempuan" Namamu siapa" Orang tua siapa" Dimana kau tinggal" Tanggal berapa kau lahir" Dan, kapan kau akan kawin?" cerocos Andika, bagai nenek-nenek kehi-langan sirih.
Mendadak, tangan sosok aneh itu bergerak.
Andika terkejut ketika tangan itu mendadak seperti mulur dan berusaha menangkapnya.
"Kutu kupret! Ini benar-benar setan!" maki Andika langsung bergulingan dengan kaki menendang.
Duk! Andika merasa nyeri tulang keringnya, ketika melepas tendangan.
"Grrrhh! Kelancangan tak akan membawa arti banyak. Kesombongan akan menjadi neraka pribadi! Kematian telah menanti!"
"Jangan-jangan kau ini penyair dari India, ya?" oceh Andika sambil berdiri tegak dengan waspada. Di tangannya telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' yang siap digunakan bila bahaya semakin mengancam.
"Tasbih Emas Bidadari telah bertahun-tahun ku jaga. Bila bukan Ki Bubu Jagat yang menyerahkan amanat itu kepadaku, tak akan pernah kuberikan pada siapa pun yang mengambilnya."
"Dia mengenal Ki Bubu Jagat" Setan dari liang lahat mana yang bisa berteman Ki Bubu Jagat?" desis Andika dalam hati. Andika lantas memasang senyum.
"Kalau begitu, aku adalah utusan dari Ki Bubu Jagat!"
"Tak pernah dia mengabarkan soal ini kepadaku!" Andika merasa harus menceritakan apa yang terjadi selama ini. Dan setelah diceritakannya....
"Akan kubunuh manusia yang telah membunuh junjunganku! Kaulah yang pertama kali harus mampus!" Sosok mengerikan itu mendadak berteriak sangat keras, bagai ledakan guntur yang sambar menyambar. Andika sendiri sampai menekap kedua telinganya.
"Tahan! Aku hanya mengemban amanat dari Sapta Jingga. Tasbih Emas Bidadari tak boleh sampai jatuh ke tangan Gempo Sinting dan kawan-kawannya."
"Hhh! Kalau kau memang orang yang diembani tugas. Perlihatkan potongan peta itu kepadaku!" Andika mengambil potongan peta dari balik bajunya.
"Kau lihat sendiri, bukan?" tukas Andika.
"Kau mencurinya dari Sapta Jingga!" tuding makhluk ini.
"Busyet! Kok bodoh sekali aku ini, ya" Dengar! Aku memang tak sengaja bertemu dengannya yang sudah sekarat hendak mampus dibunuh Gempo Sinting dan kawannya. Sebelum ajalnya, Sapta Jingga memberikan semua ini kepadaku!" sergah Pendekar Slebor.
Sosok mengerikan itu terdiam. Meskipun terdiam, namun kegarangannya tak berkurang sedikit pun.
"Ki Bubu Jagat memang mengabarkan soal itu kepadaku. Ah! Aku menyesal karena tak memantau keadaannya. Tetapi, ini permintaan dari Ki Bubu Jagat sendiri. Dia sendiri yang mengirimkan berita melalui tenaga batinnya. Dan aku hanya diperkenankan menerimanya tanpa boleh bertanya ataupun ingin tahu, apa yang telah terjadi dengannya. Bila saja aku melakukan hal itu, mungkin dapat ku cegah kematian Ki Bubu Jagat."
"Apakah kau yang menarik kedua kakiku di Sungai Kuning?" tanya Andika tiba-tiba ketika teringat kejadian di Sungai Kuning.
"Ya," sahut makhluk itu, singkat.
"Mengapa kau lakukan itu?"
"Aku tak ingin kau mendapatkan Tasbih Emas Bidadari. Bila kau sudah berada di sini, maka kau akan sulit untuk menemukan Nisan Tak Bertuan."
"Tetapi nyatanya, aku menemukannya."
"Karena kesabaranmulah yang membuatmu menemukannya, Anak Muda! Siapa namamu?"
"Andika. Kau sendiri?"
"Ki Bubu Jagat memanggilku Gerontlo, alias Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan. Hmm.... Sekarang aku yakin, kaulah yang memang berjodoh dengan Tasbih Emas Bidadari," sahut sosok bernama Gerontlo.
"Jangan salah sangka.... Aku hanya mengemban tugas untuk menyelamatkannya. Bukan memilikinya," sergah Andika.
"Rupanya kau memiliki hati yang mulia." Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan menatap dalam. Dan Andika jadi malu dipuji seperti itu.
"Bagaimana caranya untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari?" tanya si pemuda.
"Apa yang hendak kau lakukan tadi?" Gerontlo balik bertanya.
"Menggali makam ini."
"Beratus-ratus tahun kau melakukannya. Kau tak akan pernah berhasil mengangkat tanah di Nisan Tak Bertuan."
"Oh!"
"Sekarang, tekanlah batu nisan itu ke bawah.
Setelah itu, tarik ke belakang sekuat tenaga! Lakukan!" Dengan terheran-heran mengetahui cara membuka Nisan Tak Bertuan, Andika melangkah ke balik batu nisan itu. Kedua tangannya diletakkan di atas, la-lu menoleh pada sosok berjuluk Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan.
Setelah sosok mengerikan itu menganggukkan kepalanya, Andika menekan kuat-kuat nisan itu. Tak bergerak sama sekali. Tenaga dalamnya dikerahkan, tetap tak bergerak.
"Ketenangan adalah kunci dari semua ini!" ujar Gerontlo.
Begitu mendengar kata-kata itu, Andika menurunkan seluruh tenaganya. Dan bagaikan sedang menyentuh seorang dara manis, nisan itu ditekan lembut-lembut. Wrrr! Suara lembut itu terdengar bersamaan melesaknya nisan itu ke dalam. Dan sebelum nisan itu habis ditelan tanah, Andika menariknya ke belakang.
Brak! Aneh. Tanah di atas makam itu terlontar kencang. Dan terlihatlah dua buah lempengan besi besar terbuka, menciptakan lubang berbentuk persegi panjang, seluas tiga kali empat depa.
Andika mengusap-usap matanya tak mengerti saat melihat ke dalam. Tampak sebuah sinar berwarna keemasan memancar dari salah satu bagian dalam makam itu.
"Gila! Banyak sekali yang tak bisa kumengerti.
Rupanya batu nisan itu memang harus ditekan oleh tenaga lembut. Meskipun orang yang melakukannya mempunyai tenaga dalam setinggi langit, dia tak akan mampu membukanya," pikir Andika.
"Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan! Apakah aku akan mengambilnya sekarang?" tanya Andika kemudian.
"Mengambilnya tak mudah. Ki Bubu Jagat memang telah merancang semua ini ketika hendak menyimpan senjata pusakanya. Aku hanyalah abdi yang dikalahkannya. Bila ada yang mampu membunuhnya, pastilah dia sedang bersemadi. Dan orang itu membokongnya dengan keji." Setelah berkata begitu, tiba-tiba saja sosok mengerikan itu berbalik dan melangkah.
"Hei" Kau belum memberitahukan bagaimana cara mengambil Tasbih Emas Bidadari ini?" sentak Andika.
"Pikirkan saja olehmu.
Karena aku sendiri tidak tahu, bagaimana cara mengambilnya. Sebagai seorang abdi dari Ki Bubu Jagat, aku tak pernah tahu bagaimana caranya mengambil Tasbih Emas Bidadari." Lalu tubuh mengerikan yang melangkah itu perlahan-lahan lenyap dari pandangan Andika. Tinggallah pemuda tampan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan memaki-maki tak karuan.
"Apa yang harus kulakukan sekarang ini" Tekateki yang kuhadapi semakin bertambah sulit dan mengerikan!" rutuk Pendekar Slebor.
Hati-hati Andika melongokkan kepalanya ke bawah. Sinar keemasan itu semakin berpendar-pendar terang.
"Apakah aku harus melompat masuk" Tetapi bila kulakukan, bahaya apa yang kudapati" Sialan ju-ga si Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan!" Setelah menimbang-nimbang baik dan buruknya, Andika perlahan-lahan membungkuk. Lalu sebelah kakinya masuk. Tak ada apa-apa yang dirasakan.
"Aman." Lalu Andika memasukkan kedua kakinya. Dan tubuhnya pun turun perlahan dengan ringan.
Bluk! Kedua kaki si pemuda menginjak tanah makam itu. Tak ada kejadian apa-apa.
"Sialan! Apakah ini jebakan atau memang hanya menguji keberanian saja" Hm.... Aku harus mengambil Tasbih Emas Bidadari sekarang juga." Ketika Andika hendak mengulurkan tangannya, tiba-tiba saja benda seperti tasbih yang memancarkan sinar keemasan meluncur ke arahnya. Begitu deras, hingga cukup menggidikkan.
"Itukah Tasbih Emas Bidadari?"
***
~~[ 10 ]~~
"Busyet! Tenaga apa yang melontarkan senjata pusaka itu"!" Wrrr! Wrrr! Angin bagaikan topan bergemuruh ke arah Andika. Pendekar Slebor terus berusaha menghindar dengan bergulingan ke sana kemari. Dan ruang makam yang sempit itu membuat gerakannya sangat menyulitkannya. Dinding makam itu berguguran ketika benda keemasan yang tak lain Tasbih Emas Bidadari menghantam dengan keras.
"Alamak...! Bagaimana caranya menangkap senjata pusaka itu?" rutuk Andika sambil berkelit.
"Jangan-jangan ada dedemit lain yang menggerakannya" Bisa pula Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan yang mempermainkanku! Sialan, panas sekali!" Andika tak berani menangkap dengan kedua tangannya. Hawa panas yang menyiksa, membuatnya berpikir seribu kali bila ingin menangkapnya.
Dan sejenak serangan yang dahsyat dan ruang yang sempit itu membuat Andika gelagapan. Pendekar Slebor berusaha mempergunakan kecepatannya untuk menghindari hantaman-hantaman Tasbih Emas Bidadari yang sangat cepat.
"Hmm.... Di ruang sempit seperti ini aku bisa mampus karena sulit bergerak! Sebaiknya, aku melompat keluar dari sini!" kata Andika.
Namun ketika Pendekar Slebor hendak bergerak melompat, hantaman-hantaman Tasbih Emas Bidadari justru semakin hebat. Desingannya semakin memekakkan telinga. Sinar keemasan yang terpancar semakin menyilaukannya.
"Walah.... Apa aku bisa bertahan di sini lebih lama" Hmm.... Kalaupun tadi gagal..., kini aku harus bergerak nekat!" tandas Andika, seraya merunduk menghindari terjangan Tasbih Emas Bidadari.
Setelah berpikir demikian, Andika berdiri tegak dengan mata tak berkesiap. Begitu tajam memperhatikan Tasbih Emas Bidadari yang berbalik dan menderu kembali kepadanya.
Bertepatan dengan itu, Andika meloloskan kain bercorak catur, warisan Ki Saptacakra. Tepat ketika senjata pusaka Ki Bubu Jagat itu menderu ke arahnya, Pendekar Slebor mengibaskan kainnya.
Blam...! Suara yang ditimbulkan saat Pendekar Slebor mengibaskan kain bercorak catur benar-benar memecahkan gendang telinga.
Brrr! Tasbih Emas Bidadari tergulung oleh kain bercorak catur. Namun, satu sentakan keras membuat Andika yang memegangi kain bercorak catur tertarik ke depan. Dan tubuhnya terbanting menabrak dinding makam. Brak! "Monyet pitak! Kuat sekali tenaga sentakan Tasbih Emas Bidadari!" maki Andika.
Pendekar Slebor berusaha mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menahan gerakan Tasbih Emas Bidadari yang berada di dalam gulungan kain pusaka bercorak catur. Tubuhnya sampai bergetar hebat ketika pusaka peninggalan Ki Bubu Jagat bergerak-gerak. Keringat sampai mengalir di sekujur tubuhnya.
"Busyet! Bisa-bisa aku terlempar lagi! Bagaimana caranya menjinakkan Tasbih Emas Bidadari! Hei" Ada asap!" Dari gulungan kain bercorak catur mendadak keluar asap putih.
"Apakah kain pusakaku ini tak mampu menahan Tasbih Emas Bidadari" Dan, saat ini sedang terbakar?" desisnya ragu-ragu. Andika segera menyentakkan kainnya dengan susah payah. Namun, justru dia yang tersentak ke depan.
Brak! Tubuh Pendekar Slebor kembali menabrak dinding makam dengan keras. Rambutnya sudah penuh tanah dan debu yang berguguran menimpanya.
"Bagaimana ini?" desisnya.
Kali ini si pemuda mengerahkan ajian 'Guntur Selaksa' untuk menarik kekuatan Tasbih Emas Bidadari. Tenaganya jadi berlipat ganda. Terjadilah tarik menarik yang sangat kuat, sementara asap putih itu semakin banyak keluar. Keringat semakin membanjiri tubuhnya.
"Hiaaa...!" Tiba-tiba, Pendekar Slebor berteriak sangat keras, sehingga tanah kembali berguguran. Dan seketika Andika melepas kain bercorak caturnya.
Plasss! Kain bercorak catur yang dipegang Andika meluncur ke depan, bersama Tasbih Emas Bidadari. Dan tiba-tiba kedua benda itu meluncur balik ke arahnya.
Dengan kecepatan sangat luar biasa, Andika menangkap Tasbih Emas Bidadari, di dalam gulungan kainnya. Tap! "Aaakh...!" Rasa panas begitu menyengat. Namun Andika tak melepaskannya meskipun harus berteriak-teriak keras. Pendekar Slebor harus bisa memegang Tasbih Emas Bidadari kuat-kuat dan tak akan melepaskannya. Untuk beberapa lama Andika tersiksa oleh panas yang menyengat. Meskipun tubuhnya mengeluarkan hawa panas pula, namun masih bisa dikalahkan Tasbih Emas Bidadari.
Setelah beberapa saat, barulah Andika merasakan panas itu agak berkurang. Dan gerakan yang dilakukan Tasbih Emas Bidadari mulai melemah. Lama kelamaan terdiam, namun tetap tegak di dalam gulungan kain pusakanya.
Perlahan-lahan Andika menjulurkan tangannya. Dan.... Tap! Kini Tasbih Emas Bidadari berada di tangan Pendekar Slebor. Andika mendesah lega ketika melihat kain bercorak catur miliknya tak kurang suatu apa.
Rupanya, asap yang keluar tadi karena gesekan panas yang memancar dari kain bercorak catur dan Tasbih Emas Bidadari. Pendekar Slebor memperhatikan senjata pusaka itu dengan decakan kagum. Butiran tasbih itu lima kali besarnya dari ukuran tasbih biasa. Di setiap bukit yang berjumlah tiga, terdapat sebuah intan bulat berwarna keemasan. Dari intan itulah memancarkan sinar keemasan, mengalahkan butiran tasbih lainnya yang berwarna putih. Hingga secara keseluruhan seolah tasbih itu berwarna emas.
"Inikah senjata pusaka yang akhirnya menjadi sumber penyebab kematian Sapta Jingga dan Ki Bubu Jagat" Benar-benar luar biasa! Untuk mendapatkannya begitu sulit sekali. Selain itu, setelah menemukannya, harus menghadapi maut yang amat mengerikan," desah Andika sambil menepis debu dan tanah yang ada di rambutnya.
Tiba-tiba Andika tersentak. Karena dinding makam di hadapannya seolah bergerak, siap hendak menghimpitnya.
"Busyet! Ada apalagi ini?" rutuk Andika terte-gun. Sementara gerakan dindingdinding makam itu semakin cepat. Tanpa membuang waktu lagi, Andika melenting ke atas, keluar dari lubang makam. Bersamaan dengan itu, terdengar suara berderak yang sangat kencang, disusul suara berdebam yang sangat kencang! Tanah yang dipijak mendadak saja terbelah, membuat Pendekar Slebor menjadi blingsatan tak karuan. Andika berusaha meninggalkan tempat itu, namun pecahan tanah semakin memanjang seolah mengejar.
"Busyet! Aku harus keluar dari sini! Aku ingin keluar!" Suatu keanehan terjadi. Tiba-tiba saja tubuh Andika bergetar hebat, bagai diguncang tangan raksasa. Aliran darahnya terasa kacau.
"Edan! Kenapa aku ini" Kenapa jadi begini?" dengusnya tak mengerti.
Dan Pendekar Slebor berusaha mengendalikan keseimbangannya agar getaran tubuhnya yang berguncang tak terlalu menyiksanya. Keringat telah men-gucur di seluruh tubuhnya.
Dan keanehan semakin terjadi, karena mendadak saja tubuh Pendekar Slebor lenyap dari pandangan.
Sementara tanah yang retak itu semakin memanjang.
***
Lelaki bertubuh bulat itu bersama Dewi Sungai Bangkai masih berusaha mencari Tiga Jalan Matahari.
"Gempo! Gunung Kabut seolah hendak memuntahkan seluruh isi perutnya! Kita harus meninggalkan tempat ini!" ajak Dewi Sungai Bangkai berteriak serta mengalirkan tenaga dalamnya pada kedua kakinya.
"Tidak! Sebelum mendapatkan Tasbih Emas Bidadari, aku tak akan meninggalkan tempat ini! Lagi pula, aku menunggu kedatangan Hantu Gigi Gading yang saat ini sedang mencari Pendekar Slebor! Ditemukan atau tidak, dia tetap akan kemari!"
"Kau lihat sendiri, batu-batu sudah berguguran!" paksa Dewi Sungai Bangkai "Peduli setan! Justru aku ingin telan semua ba-tu-batu itu!" sentak Gempo Sinting. Dewi Sungai Bangkai mendengus, tetapi tak berbuat apa-apa kecuali mengalirkan lagi tenaga dalamnya. Guncangan yang terjadi itu bukan hanya membuat gunung itu bergerak, namun pohon-pohon yang ada di sana pun bertumbangan bagai dicabut tangan-tangan raksasa mengamuk.
Sementara Gempo Sinting justru terbahakbahak "Inilah saat-saat yang paling menggembirakan untukku! Kudapatkan atau tidak pusaka Ki Bubu Jagat, hatiku tetap gembira! Karena, sudah pasti senjata pusaka itu akan terkubur dalam-dalam! Hei, Gunung Keparat! Kau tidak boleh meletus lebih dulu sebelum kudapatkan Tasbih Emas Bidadari!" Untuk beberapa lama guncangan itu bertambah mengeras. Namun perlahan-lahan melemah, dan tibatiba saja berhenti.
"Hm.... Apakah ada sesuatu yang terjadi di dalam perut Gunung Kabut?" tanya Dewi Sungai Bangkai menggumam sambil mengusapusap dagunya yang lancip penuh keriput.
"Gempo! Mungkin Tiga Jalan Matahari berada di dalam perut Gunung Kabut."
"Hhh! Kalaupun iya, bagaimana cara kita untuk masuk?" tanya Gempo Sinting, mendengus.
"Sinting bodoh! Pasti ada gua di sekitar ini! Ayo, kita cari gua itu!"
***
"Sayangku, aku menangkap sesuatu yang tidak enak di dalam perut Gunung Kabut" Oh! Kau mengatakan si pemuda itu sudah terlepas dari Sungai Kuning" Sialan! Aku jadi penasaran ingin tahu, siapa pemuda itu. Hei, Gadis Manis" Apakah kau hanya berdiam saja di sini" Ataukah kau sudah lupa keinginan-mu untuk naik ke atas?" Nilakanti mendengus jengkel. Dia benar-benar sulit memahami sifat yang diperlihatkan si kakek bertampang seram ini. Lalu tubuhnya pun berkelebat naik ke atas Gunung Kabut. Sementara si Hantu Jantan menyusul sambil terkekeh-kekeh.
"Dia marah, Sayangku. Ah! Wajahnya mirip denganmu sewaktu kau masih muda."
***
Dan kini dia berada di sisi Gunung Kabut sebelah timur.
"Walah.... Apa lagi yang terjadi" Tadi kurasakan tubuhku bergetar hebat dan seperti ada yang membawaku dari tempat mengerikan itu?" tanya Andika sambil memandang berkeliling.
Dicobanya memikirkan keanehan apa yang terjadi tadi. Dan, disebabkan oleh apa" Siapa yang telah melakukannya" Tiba-tiba dia kembali merasakan lapar yang luar biasa.
"Oh! Kalau perutku kenyang, aku bisa bergerak leluasa." Mendadak Andika merasa tubuhnya bergetar hebat.
"Sinting! Gerakan aneh ini lagi?" makinya dengan perasaan tak menentu.
"Apakah sebentar lagi aku akan merasakan seperti melayang-layang tadi?" Tubuh Andika yang bergetar hebat itu perlahan-lahan mereda. Dihapusnya keringat yang mengalir dengan perasaan semakin tak mengerti.
"Ada apa ini" Hei..., mengapa rasa laparku mendadak hilang?" pikirnya dengan kening berkerut.
"Heran! Mengapa bisa terjadi seperti ini" Baru saja aku mengatakan ingin perutku kenyang, kok sekarang sudah kenyang" Tadi juga begitu. Aku berteriak ingin keluar dari alam yang mengerikan itu, dan tahu-tahu sudah keluar. Monyet belang! Setan mana yang sedang berbaik hati kepadaku" Dan, apa sebabnya tubuhku mendadak jadi sering bergetar" Jangan-jangan memang ada setan yang mengikuti dari tempat mengerikan tadi. Benar-benar tak bisa dimengerti." Pendekar Slebor menatap Tasbih Emas Bidadari yang kini berada di tangannya dengan kening berkerut.
"Mungkinkah..., ah! Aku harus mencobanya." Sejenak Andika terdiam.
"Aku ingin kembali ke daerah Nisan Tak Bertuan." Kembali Pendekar Slebor merasakan tubuhnya bergetar. Kali ini lebih hebat sampai keringatnya terus menerus mengalir. Dan mendadak, dia merasa bagai melayang-layang tak ubahnya terbang, lalu lenyap dari pandangan.
Kini Pendekar Slebor tiba kembali di daerah Nisan Tak Bertuan yang telah menjadi tanah retak. Seluruh tanah di tempat itu porak poranda. Rerumputan rebah. Sementara, Nisan Tak Bertuan sendiri sudah tertutup gumpalan tanah. Sulit untuk mencarinya sekarang.
"Aku tahu sekarang!" sentak Andika.
"Mungkin inilah yang dimaksud kekuatan Tasbih Emas Bidadari.
Tanda tubuh bergetar yang ku alami tadi merupakan isyarat kalau kekuatan Tasbih Emas Bidadari sedang bekerja. Gila! Benar-benar luar biasa! Aku yakin, bila sudah mampu mengendalikan kekuatan yang keluar dari Tasbih Emas Bidadari, niscaya orang itu pun akan mampu mengendalikan getaran tubuh yang diaki-batkan senjata pusaka ini. Memang sangat sulit untuk mengalahkan senjata pusaka ini. Apa yang diinginkan si pemegangnya akan terkabulkan. Hmm.... Aku ingin kembali ke sisi Gunung Kabut." Kembali hal yang sama dirasakan Andika. Dan kini dia berada di tempat semula.
"Luar biasa! Memang sangat berbahaya bila senjata pusaka ini jatuh ke tangan orang jahat.
Hmm.... Yang memegangnya pun harus berhati-hati menjaga-nya. Lebih baik kumasukkan saja ke balik ba-juku ini." Setelah memasukkan Andika jadi tercenung.
"Apakah berbahaya bila aku ngomong sesuatu dan nanti tahu-tahu terjadi" Huh! Mending aku jadi monyet saja deh! Hei!" Andika menekap mulutnya tersentak. Sesaat dia menjadi tegang, tetapi tak ada perubahan apa-apa di tubuhnya. Lagi-lagi, si pemuda menjadi kebingun-gan.
"Hmm... berarti khasiat senjata pusaka ini bila berada di tangan. Baguslah kalau begitu." Tiba-tiba Andika mendengus ketika serangkum angin bak air bah tumpah menderu ke arahnya.
"Monyet pitak! Kadal buduk!" makinya sambil menghindar ke samping.
Blarrr! Angin deras itu menghantam tanah yang dipijak Andika.
***
~~[ 11 ]~~
"Jadi manusia keparat ini yang berjuluk Pendekar Slebor, Gempo?" tanya perempuan itu.
"Nan! Kalau kau sudah tahu..., aku yakin kau pasti jatuh cinta padaku, 'kan" Cuma sayang, aku bisa gatal-gatal bila berdekatan denganmu," sambar Andika sambil mendengus.
Rupanya kedua manusia itu masih berada di sini. Dan, teka-teki Gunung Kabut telah terkuak. Pasti tak akan ada yang percaya bila Andika bercerita tentang isi perut Gunung Kabut yang penuh keanehan itu. Sumpah mampus! "Serahkan potongan peta itu kepadaku!" bentak Gempo Sinting.
"O..., peta itu," sahut Andika. Lalu diambilnya potongan peta dari balik baju sebelah kiri. Dan, dilem-parkannya ke arah Gempo Sinting yang segera menangkapnya.
"Nah, bukankah kau sudah mendapatkannya sekarang?"
"Rupanya kau masih sayang nyawa, Pendekar Slebor!" desis Gempo Sinting.
"Sekarang, mampuslah kau!" Tubuh buntal itu meluruk deras. Andika kali ini mendengus. Memang, potongan peta itu sudah tak ada gunanya lagi, karena senjata pusaka Ki Bubu Jagat sudah berada di tangannya. Bila keduanya berhasil memecahkan isi peta itu, bisa dipastikan akan sulit keluar dari alam gaib yang mengerikan itu. Namun, si manusia buntal itu masih ingin membunuhnya.
Begitu tubuh Gempo Sinting menderu. Andika cepat mengangkat kakinya.
Plak! Tendangan Andika beradu dengan kibasan tangan Gempo Sinting. Cukup keras, membuat Andika menggeram. Apalagi Dewi Sungai Bangkai sudah menerjang pula.
"Ih! Baumu busuk sekali!" seloroh Andika sambil menghindar.
Dua buah serangan yang datang sekaligus dihadapi si pemuda dengan cepat. Gempo Sinting sudah mengeluarkan pukulan 'Hawa Kematian'. Begitu pula Dewi Sungai Bangkai yang berkelebat dengan jurusjurus mautnya. Kali ini Andika kesulitan menghindar. Terutama, bila Dewi Sungai Bangkai mengibaskan tangannya. Hawa busuk yang menguap sangat menyulitkan Andika untuk bernapas. Begitu pula pukulan maut yang dilancarkan Gempo Sinting, membuatnya harus mempergunakan segala kelincahannya.
"Mana nama besarmu, Pendekar Slebor?" ejek Dewi Sungai Bangkai dengan serangan menggebu.
"Heit! Sabar saja, dong! Jagoan memang begini.
Harus mengalah dulu!"
"Kau memang pandai bicara! Padahal, nyawamu sudah berada di ujung tanduk!" leceh Dewi Sungai Bangkai.
"Busyet! Jangan-jangan kau sudah ketularan sinting seperti si kodok buncit itu! Nyawaku berada di jasadku. Kok kau bilang ada di ujung tanduk! Benar-benar sudah edan dunia ini!" balas Andika, sambil terus berusaha menghindari setiap serangan.
Pendekar Slebor memang belum mendapat kesempatan untuk membalas. Karena setiap kali bergerak, dua serangan sekaligus langsung menutupi ruang geraknya. Begitu Andika bergulingan ke belakang untuk menghindari dua serangan yang datang bersamaan, saat yang sama meluruk angin serangan lain yang sangat kuat ke arahnya.
Blarrr! Untunglah Pendekar Slebor cepat menghindar dengan membuang tubuhnya ke kiri. Kalau tidak, bukan hanya tubuhnya tersuruk ke depan. Bahkan nyawanya pun akan melayang.
Andika cepat menoleh ke arah datangnya serangan. Tampak seorang lelaki kurus telah berdiri di situ.
"Hantu Gigi Gading!" sambut Gempo Sinting terbahak-bahak.
"Lama aku mencari Pendekar Slebor, Gempo! Hhh! Aku ingin sekali mencabut nyawanya yang telah membuang-buang waktuku!" Orang yang baru datang dan langsung membokong Andika tak lain Hantu Gigi Gading. Dan sehabis berkata begitu, dia meluruk ke arah Andika. Bersamaan itu pula, Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sinting menyerbu pula.
Kali ini Andika benar-benar kesulitan untuk menghadapi serangan-serangan maut yang mengeluarkan angin menggebu dan sinar menggidikkan. Menghadapi dua serangan yang datang saja sudah sangat menyulitkan. Apalagi dibantu Hantu Gigi Gading yang mencecarnya dengan ganas.
Bahkan tubuh Pendekar Slebor dua kali terhantam pukulan Hantu Gigi Gading. Sehingga membuatnya harus bergulingan ke belakang. Tetapi sifat konyolnya masih ada.
"Tidak sakit, tidak sakit! Kau kurang tenaga rupanya, Hantu Monyet-Monyetan!" Dengan geram Hantu Gigi Gading kembali menyerang. Tiga serangan yang dilancarkan sekaligus membuat Andika pontang-panting. Dia berusaha menghalau setiap serangan dengan kain bercorak catur yang dikibaskannya hingga mengeluarkan suara menderu sangat keras.
Duk! Tangan kiri si pemuda beradu dengan tangan Dewi Sungai Bangkai. Andika merasakan nyeri hingga ke pangkal lengannya. Sementara Dewi Sungai Bangkai merasa hawa panas menderanya.
"Ajian 'Guntur Selaksa' ternyata memang hebat!" maki si wanita sambil mengalirkan hawa murni ke sekujur tubuhnya.
"Sayangnya, kau baru setengah saja merasakannya!" seru Andika.
Saat yang sama, cengkeraman tangan Gempo Sinting mengancam leher Andika. Sedikit Andika bergeser, sementara tangannya yang memegang kain bercorak catur mengibas pada Hantu Gigi Gading yang sedang menyerbunya.
Brrrt! Des! Tubuh Hantu Gigi Gading terlontar deras ke belakang. Melihat hal itu, Gempo Sinting menggeram murka. Serangannya yang tadi gagal, kini meluncur dan bertambah ganas. Sedang Dewi Sungai Bangkai yang sudah tegak kembali menyerbu pula.
"Curang! Mengeroyok hanya dilakukan oleh orang-orang yang curang!" Mendadak terdengar seruan keras, membuat pertarungan berhenti sejenak. Orang-orang yang menjadi lawan Andika menatap marah pada Hantu Jantan yang sudah tiba di sana. Di sisi si Hantu Jantan berdiri Nilakanti yang memandang dingin.
Hantu Gigi Gading sudah bergerak di sisi Dewi Sungai Bangkai.
"Manusia keparat! Kalau waktu itu kau luput dari maut, sekarang kau tak bisa melarikan diri!" bentak Dewi Sungai Bangkai sambil menerjang.
"Sayang, aku sudah berjanji tidak akan membunuh. Tetapi sekarang kedua tanganmu menjadi tumbal dari kelancanganmu bicara!" seru si Hantu Jantan sambil berkelebat menghindar.
"Tangkap gadis itu! Aku yakin dialah yang menyelamatkan si manusia kerempeng itu dari maut!" teriak Gempo Sinting pada Hantu Gigi Gading. Hantu Gigi Gading sudah menyerbu sambil tertawa-tawa menyadari lawannya hanyalah seorang gadis cantik.
"Dan kau, rupanya lebih suka memilih aku yang perkasa ini, bukan?" sela Pendekar Slebor, mengejek. Si manusia buntal itu menoleh, langsung menyerang. Pertarungan maut yang mengerikan itu pun terjadi. Terdiri dari tiga kelompok yang sebenarnya tidak saling mengenal.
Terutama Pendekar Slebor, Hantu Jantan, dan Nilakanti.
Pertarungan benar-benar mengguncangkan Gunung Kabut. Batu-batuan dan pepohonan yang tumbuh di sana bertumbangan jatuh menimbulkan suara bergemuruh yang kencang sekali. Tempat itu tak ubahnya kiamat.
Si kakek yang merupakan salah seorang Sepasang Hantu Neraka jengkel, karena kediamannya diusik orang-orang tak beradab. Meskipun tidak berniat membunuh, namun seranganserangan yang dilakukan membuat Dewi Sungai Bangkai Benar-benar kewalahan. Tiba-tiba saja nenek peot itu seperti tersenyum.
Dia telah mendapatkan satu cara untuk melumpuhkan si Hantu Jantan. Dan mendadak saja, tubuhnya bergerak setengah lingkaran dengan kaki kanan mengibas.
Si Hantu Jantan memiringkan tubuhnya. Namun di luar dugaan, Dewi Sungai Bangkai telah bergerak laksana kilat dengan serangan kaki kiri.
Duk! Tendangan itu tepat mengenai bungkusan yang dipegang si Hantu Jantan, hingga terlepas dan terpental.
"Aauuu...!" Terdengar suara lolongan seperti seekor serigala yang keluar dari mulut si Hantu Jantan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya meluruk untuk menyambar bungkusan yang terlempar tadi.
Dewi Sungai Bangkai yang sudah mempergunakan siasat licik, melesat kencang.
"Sayang, nyawamu akan putus hari ini juga!" teriak Dewi Sungai Bangkai.
Namun di luar dugaan, masih dengan usahanya menyambar bungkusan yang terpental, kaki si Hantu Jantan mengibas.
Dewi Sungai Bangkai mengeluarkan suara makian panjang pendek. Seketika meluncur melewati tubuh si Hantu Jantan di atasnya dengan tangannya mengibas. Des! "Sayangku!" Hantaman si wanita tepat mendarat di perut si Hantu Jantan hingga terjengkang. Bukan keluhan yang terdengar dari mulut si lelaki, namun gerengan kemarahan yang berbalur kekhawatiran. Bungkusan itu terus terpental. Dan kali ini jatuh bergulingan hingga ke lereng Gunung Kabut. Tubuh si Hantu Jantan bergerak kembali. Dia benarbenar begitu mencemaskan bungkusan yang terpental, hingga tak dipedulikannya lagi dirinya sendiri yang di-hantam Dewi Sungai Bangkai. Padahal, sebenarnya wanita itu mengerti mengapa si Hantu Jantan begitu mengkhawatirkan bungkusan itu.
Dengan dua kali mengibaskan tangan, si Hantu Jantan berhasil meloloskan diri dari seranganserangan maut Dewi Sungai Bangkai. Tubuhnya terus berkelebat, memburu bungkusan miliknya yang kini tergeletak di lereng Gunung Kabut.
Dewi Sungai Bangkai tak mengejarnya. Karena, sasaran berikutnya adalah Pendekar Slebor yang sedang bertarung hebat melawan Gempo Sinting.
"Hiaaat...!" Dengan teriakan keras, si wanita meluruk ke arah Pendekar Slebor yang saat ini sedang mendesak Gempo Sinting.
"Lebih baik kau bunuh diri daripada Gunung Kabut menjadi tempat peristirahatanmu yang terakhir, Pendekar Slebor!" Andika mengurungkan serangannya pada Gempo Sinting. Tubuhnya bergerak melingkar, menghindari serangan Dewi Sungai Bangkai.
"Atau..., kau yang akan terkubur di sini" Teta-pi, Gunung Kabut yang indah ini akan hancur karena dari tubuhmu mengeluarkan bau busuk! Sayang sekali!"
***
~~[ 12 ]~~
Sesaat Andika berusaha menepiskan seluruh bau busuk itu. Namun, dia juga harus menghindari gempuran Gempo Sinting yang kini sudah merasa di atas angin.
"Akan kucongkel kedua matamu dan kumakan mentah-mentah jantungmu, Pendekar Slebor!" makinya.
"Wah.... Mending kau rebus dulu! Mungkin akan lebih nikmat lagi bila diberi sambal!" seloroh Andika. Padahal, nafasnya sudah Senin-Kamis karena pengaruh bau busuk yang ditebarkan Dewi Sungai Bangkai. Andika kembali menggunakan kain pusakanya untuk menghalau bau busuk yang menerpa ke arahnya. Setelah jalan pernafasannya terasa tidak terlalu terganggu, dia mulai menyerang hebat kembali.
Ajian 'Guntur Selaksa' meledak-ledak keras diiringi setiap gerakan dari kain bercorak catur. Dan ini membuat Dewi Sungai Bangkai merah padam, karena hawa busuk yang dilepaskannya tidak membawa arti bagi Pendekar Slebor.
Begitu pula halnya Gempo Sinting. Meskipun berhasil menjatuhkan tangannya ke tubuh Andika, namun tak urung tubuhnya terpental ketika kedua kakinya terlilit kain bercorak catur milik si pemuda da-ri Lembah Kutukan itu.
"Heaaa...!" Bersamaan dengan itu Andika menerjang, dikawal teriakan keras. Namun, tendangan kaki Dewi Sungai Bangkai menghalangi serangannya, sekaligus menghantam dadanya.
Desss...! Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan terjungkal ke belakang.
"Gila! Bagaimana cara untuk mengalahkan keduanya" Sebenarnya, yang membahayakan adalah hawa busuk dari Dewi Sungai Bangkai. Hawa busuk itu mampu membuat napas bagaikan terhenti." Tiba-tiba Andika memasukkan tangannya ke balik bajunya. Tasbih Emas Bidadari berada di tangannya. Dan, terlihatlah wajah Gempo Sinting dan Dewi Sungai Bangkai terbelalak.
"Keparat! Serahkan senjata pusaka itu kepadaku!" teriak Gempo Minting menggelegar.
***
Apalagi setelah Nilakanti mencabut pedangnya.
Serangan-serangan pedang yang dilakukan gadis jelita itu benar-benar menimbulkan suara angin keras setiap kali mengibaskannya. Belum lagi jotosan mau-pun tendangan yang dilancarkannya, membuat Hantu Gigi Gading membentak-bentak penuh amarah.
Tiba-tiba, lelaki ini melompat ke belakang. Dan ketika berdiri dengan wajah garang, tangan kanannya sudah memegang kalung taring yang terbuat dari gading.
"Hhh! Kali ini aku menghendaki nyawamu!" dengus Hantu Gigi Gading.
Nilakanti yakin Hantu Gigi Gading akan melakukan satu serangan sangat berbahaya. Maka gadis ini pun bersiap. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pa-da pedangnya, hingga tiba-tiba memancarkan sinar putih. Pada saat yang sama, dari kalung taring gading di leher Hantu Gigi Gading, melesat sinar warna hitam menggidikkan. Hal ini membuat Nilakanti menjadi pias. Maka sambil membentak pedangnya digerak-kan.
Sing! Sinar putih yang sangat terang melesat, menghantam sinar hitam. Suara ledakan terdengar. Tubuh Nilakanti bergetar hebat. Dan dari mulutnya keluar darah segar. Rupanya, tenaga dalamnya masih di bawah Hantu Gigi Gading.
Belum sempat si gadis berbuat sesuatu, dua buah sinar hitam melesat ke arahnya. Kalau tadi Nilakanti berani memapak dengan sinar putih yang keluar dari pedangnya, kali ini justru bergulingan menghindar.
Bum! Bum! Dua sinar itu menghantam pohon, hingga langsung hangus. Dan belum lagi Nilakanti berdiri tegak, sinar-sinar hitam itu terus memburu ke arahnya dengan gencar. Bulu kuduk gadis itu meremang dengan wajah semakin pias.
"Apakah aku harus terus bergulingan seperti itu" Bisa-bisa justru tenagaku yang akan terkuras!" kata gadis ini sambil bergulingan kembali. Nilakanti memeras otaknya memikirkan cara untuk mengatasi serangan maut Hantu Gigi Gading ini. Namun sampai sejauh itu, belum juga berhasil menemukan cara yang paling tepat. Bahkan pakaian di bagian lengan kirinya telah hangus karena terlambat bergerak tadi.
Sementara Hantu Gigi Gading semakin liar menyerang. Namun kejap berikutnya dia menjadi terkejut.
Karena kini gadis itu bergerak bagaikan kilat, berjumpalitan tiga kali ke belakang. Lalu menyusul satu gerakan dahsyat. Tangannya yang memegang pedang tadi mendadak mengibas.
Sing! Sing! Sing! Tiga buah larik sinar putih seketika melesat menahan sekaligus menghantam sinar hitam yang dilepaskan Hantu Gigi Gading. Maka tiga buah ledakan terdengar berturut-turut, bagaikan guntur marah sambar menyambar.
Kalau tadi tubuh Nilakanti bergetar dan dari mulutnya mengeluarkan darah, kali ini justru tubuh Hantu Gigi Gading yang terpental ke belakang.
Sudah tentu perubahan yang terjadi membuat Hantu Gigi Gading menjadi keheranan. Untuk sesaat, dia masih tak percaya melihat lawannya yang sudah kewalahan tadi justru bertambah kuat tenaga-nya.
Apalagi, sejak tadi dia sudah merasa di atas angin.
"Kau tak perlu kaget, Orang Jelek! Barusan adalah salah satu ajian pamungkas yang diajarkan guruku 'Kibas Pedang Mengambil Tenaga Lawan'!" cibir Nilakanti.
Dan sesaat kemudian, Hantu Gigi Gading merasa tenaganya berkurang.
"Gila! Ilmu apa ini" Bagaimana tahu-tahu tenagaku bisa tersedot?"
***
"Mana bisa seperti itu?" desis Andika sambil nyengir.
Tubuh Gempo Sinting sudah menderu keras.
"Serahkan Tasbih Emas Bidadari kepadaku!"
"Wah, .wah.... Enak saja kau minta seperti itu. Mengapa tidak kau pecahkan saja rahasia peta yang kuberikan kepadamu" Bukankah kau sudah lengkap memilikinya?" sahut Andika sambil berjumpalitan.
Dewi Sungai Bangkai pun sudah menerjang dengan keheranan semakin menjadi-jadi. Bagaimana Tasbih Emas Bidadari itu bisa berada di tangan Pendekar Slebor" Sadarlah dia, kalau selama ini orang yang membuntutinya adalah Pendekar Slebor. Bukan si Hantu Jantan yang memang berada di Gunung Kabut. Kemarahannya semakin menjadi-jadi. Dan diamdiam, dikaguminya kecerdikan Pendekar Slebor yang berhasil memecahkan potongan peta Ki Bubu Jagat.
"Busyet! Apakah kalian tidak ingin bersujud kepadaku agar kuampuni nyawa kalian?" dengus Andika.
"Serahkan senjata pusaka itu!" rutuk Gempo Sinting. Dan tubuhnya benar-benar berkelebat sangat cepat.
"Atau..., kau sebenarnya ingin mengetahui kehebatan senjata pusaka ini" Baik! Akan kutunjukkan kepadamu!" Andika cepat melompat menghindari serangan Gempo Sinting. Lalu....
"Aku ingin manusia buntal seperti kodok buntet itu terpental!" Sehabis Pendekar Slebor berkata begitu, tibatiba saja tubuhnya bergetar hebat. Sementara tangannya bagaikan ada yang menggerakkan, mengibas ke arah Gempo Sinting hingga terpental deras ke belakang. Terjangan lelaki bulat itu bagaikan dihalangi sebuah tembok tebal berkekuatan raksasa. Tubuhnya bergulingan bagaikan bola dengan dada terasa sesak sekali! Melihat hal itu timbul kengerian di hati Dewi Sungai Bangkai. Padahal dia siap menyerang. Namun keserakahan dan nafsu membunuhnya untuk menghancurkan Pendekar Slebor mengalahkan rasa ngerinya.
"Meskipun kau memiliki Tasbih Emas Bidadari, jangan harap aku mundur dari hadapanmu!" desis perempuan berbau busuk itu.
"Lho, lho..." Justru aku ingin kau mampus di hadapanku" Bagaimana sih, ini" Ayo sini, biar kau ju-ga bergulingan menyusul manusia buntal itu!" Dewi Sungai Bangkai jadi mengurungkan niatnya untuk menyerang, karena khawatir apa yang menimpa Gempo Sinting terjadi pula padanya. Justru Andika yang terbahak-bahak.
"Kok jadi begini" Aku belum mempergunakan kesaktian Tasbih Emas Bidadari, kok!" ledek Andika.
Merahlah wajah Dewi Sungai Bangkai. Segera gerakannya dihentikan. Dan dia berbalik menyerang Andika. Brak! Des! Tapi mendadak tubuh Dewi Sungai Bangkai sudah terpental kencang ke belakang bagai dikibas tangan raksasa yang besar. Karena, bersamaan dengan itu Andika sudah meminta pada Tasbih Emas Bidadari agar manusia peot itu juga terpental ke belakang.
Dewi Sungai Bangkai terus meluncur deras.
Untungnya, Gempo Sinting yang sudah berdiri dan kembali pada keseimbangannya berhasil menahannya.
"Gempo...! Berat untuk mengalahkan Pendekar Slebor," desis Dewi Sungai Bangkai dengan dada terasa sakit sekali. Bahkan merasa tak mampu berdiri kembali.
"Peduli setan! Aku harus membunuh pemuda sialan itu!" Gempo Sinting sudah kembali berkelebat naik, dan berdiri tegak di hadapan Andika yang masih cengar-cengir.
"Masih penasaran" Aku hanya memperlihatkan kepadamu, kalau senjata ini sudah berada di tanganku. 'Kan kasihan, kau yang sangat menginginkannya, namun harus mampus terlebih dulu tanpa melihat kesaktian Tasbih Emas Bidadari?" ejek Andika sambil memasukkan kembali senjata itu ke balik bajunya.
"Seharusnya kau berterima kasih karena kuberi kesempatan untuk mencoba kesaktian pusaka ini." Gempo Sinting tak mempedulikan lagi katakata Andika. Tubuhnya sudah meluruk dengan kecepatan sangat hebat. Andika sendiri langsung menyambut dengan merangkum ajian 'Guntur Selaksa'.
Bum! Dua pukulan maut bertemu di udara. Suara ledakan terdengar. Dua tubuh tampak terjajar ke belakang. Andika merasa ada hawa panas yang menjalari tubuhnya. Dia berusaha mengalahkan sekaligus mengendalikannya. Untungnya, akibat pernah memakan buah 'inti petir', dengan segera rasa panas itu bisa dikalahkan.
Sementara Gempo Sinting sudah menderu kembali. Melihat Andika siap memapaki, Gempo Sinting menambah kecepatannya.
Namun di luar dugaan, begitu tenaga maut Gempo Sinting siap menghantam, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor melenting ke atas. Dilewatinya kepala lelaki bulat itu. Dan....
Duk! Pukulan Pendekar Slebor yang terangkum tenaga 'inti petir' menghantam telak punggung Gempo Sinting. Manusia bulat itu kontan tersuruk ke depan dengan punggung mengeluarkan asap. Sesaat terdengar lenguhannya bagai sapi disembelih. Dia berusaha berbalik. Matanya melotot geram. Dan makiannya keluar.
"Kau...." Hanya itu yang bisa diucapkan Gempo Sinting.
Karena, nyawanya pun melayang untuk selamalamanya.
"Satu lagi kejahatan ini berhasil kuatasi, meskipun terkadang maut selalu mengancamku. Ah! Sampai kapankah keadaan ini akan terus berlangsung?" Andika tak sempat lagi memikirkan soal itu, karena terdengar teriakan keras di belakangnya.
Saat itu, Nilakanti tengah meluruk sambil menusukkan pedang ke dada Hantu Gigi Gading. Lelaki itu tercekat. Dan bagai tikus yang terjebak, dia tak mampu bergerak lagi.
Namun belum lagi tusukan pedang Nilakanti mengenai sasaran, berkelebat satu sosok tubuh langsung menyambar Hantu Gigi Gading. Bahkan sosok itu langsung pula melepaskan serangan. Cepat Nilakanti melenting ke kiri kalau tidak mau terhantam.
Tepat ketika tubuh gadis itu hinggap di tanah kembali pada jarak dua tombak....
"Jangan berbangga dulu, Pendekar Slebor! Nyawa Gempo Sinting harus kau bayar lunas!" Terdengar teriakan yang semakin menghilang, ketika tubuh Dewi Sungai Bangkai melesat kabur.
"Dewi Sungai Bangkai!" desis Pendekar Slebor.
Ketika Pendekar Slebor hendak mengejar, sosok Dewi Sungai Bangkai yang membopong Hantu Gigi Gading tinggal bayangan belaka.
Justru Nilakanti yang memaki-maki geram.
"Sialan! Manusia keparat itu harus mampus!" maki si gadis. Sungguh disesali, mengapa dia tidak memperhitungkan kalau Dewi Sungai Bangkai akan menghalangi serangannya. Hhh! Biar bagaimanapun juga, dia menghendaki manusia-manusia keparat itu mampus berkalang tanah! Andika merasa ketegangan sudah memulih kembali. Dan dia menoleh pada Nilakanti yang sedang menyentak-nyentakkan kakinya di tanah.
"Mengapa harus sewot begitu" Tanpa dibunuh pun, manusia-manusia itu akan mati sendiri," usik Andika, mulai kumat lagi.
"Brengsek!" maki Nilakanti ketika tahu pemuda tampan itu meledek. Tatapannya yang bening melotot sebesar gundu.
"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Slebor?"
"Ya, kalau kau maunya menyebut demikian, tak apalah...," sahut Pendekar Slebor enteng.
"Pantas kelakuanmu urakan seperti itu! Main ngomong sembarangan! Apa kau belum pernah ditampar?" desis si gadis.
"Sudah! Tapi kalau dengan hidungmu, belum...," seloroh Andika sambil tersenyum.
Nilakanti mendengus.
"Minggir! Aku harus mencari Tasbih Emas Bidadari. Berbicara denganmu, sama saja melayani pemuda bodoh!" Andika tersenyum saja.
"Untuk apa mencari Tasbih Emas Bidadari?" tanya Pendekar Slebor, iseng-iseng.
"Apa pedulimu, hah"!" bentak Nilakanti ketus.
"Ah, hanya bertanya saja." Nilakanti yang hendak melangkah berbalik menatap tajam Andika.
"Pendekar Slebor! Apakah senjata yang kau pegang tadi itu Tasbih Emas Bidadari?" tanya si gadis.
"Kalau iya, kenapa?" sahut Andika, makin mempermainkan gadis ini.
"Aku bertanya!" bentak gadis itu.
"Kalau kau yang bertanya, aku jawab iya."
"Kalau begitu, serahkan kepadaku!" Kali ini Nilakanti berhadapan dengan Pendekar Slebor. Tatapannya nyalang.
"Untuk apa?" tanya Pendekar Slebor.
"Untuk kuserahkan kepada guruku!" sentak Nilakanti.
"Siapa gurumu?"
"Peduli apa kau bertanya, hah"!"
"Karena, aku harus tahu! Aku juga hendak menyerahkan Tasbih Emas Bidadari ini pada seseorang! Hanya sayang, aku belum mengenalnya. Kecuali, tahu namanya saja."
"Guruku bernama Malaikat Putih Bayangan Maut." Andika tersentak mendengarnya. Namun, tak ditampakkan pada raut wajahnya.
Malah bibirnya cen-gengesan. Sifat konyolnya masih nyata.
"Bagaimana aku bisa percaya begitu saja kalau kau murid Malaikat Putih Bayangan Maut" Bagaimana bila kau mengaku ngaku saja, dan akhirnya melarikan pusaka Tasbih Emas Bidadari?" kata Andika seenaknya.
"Sialan! Kau boleh ikut aku untuk membuktikannya!" Hati Andika yakin kalau gadis ini memang murid Malaikat Putih Bayangan Maut. Dan itu bisa dirasakan dari sorot mata Nilakanti yang memancarkan kesungguhan. Hanya saja, kekonyolan Andika sedang kumat. Jadi ya begitu sikapnya.
"Berjalan dengan seorang gadis sebenarnya tidak menyenangkan. Karena, pasti banyak maunya! Tetapi berjalan bersama gadis cantik sepertimu tentu sangat menyenangkan," celoteh Andika sambil terbahak-bahak.
Dari sikapnya yang membentak-bentak kini, wajah Nilakanti memerah. Biar bagaimanapun juga, seorang gadis akan senang dipuji begitu. Tetapi, sudah tentu Nilakanti tidak mau memperlihatkannya. Makanya dia segera berbalik.
"Kita berangkat sekarang!" ajak Nilakanti.
"Wah, wah.... Kenapa terburu-buru" Aku jadi curiga nih! Jangan-jangan kau nanti akan mengatakan kepada gurumu kalau aku ini calon suamimu!" goda Andika lagi.
Nilakanti menghentakkan kakinya.
"Kurang ajar! Omonganmu busuk! Siapa yang sudi menjadi kekasihmu yang urakan itu, hah"! Berjalan bersamamu saja aku masih mikir-mikir sebenarnya!" bentak Nilakanti.
"Tetapi pada kenyataannya kau mengajakku, bukan" Kalau kau tidak mau, aku toh bisa mencari Malaikat Putih Bayangan Maut seorang diri. Berjalan bersamamu, apa iya bisa menyenangkan?" Nilakanti mendengus jengkel. Lalu tanpa menghiraukan Andika, dituruninya Gunung Kabut.
Andika hanya tertawa-tawa sambil melangkah menyusul. Di lereng Gunung Kabut, mereka melihat si Hantu Jantan sedang terisak. Andika heran, bagaimana mungkin lelaki bertampang seram yang malang melintang di dunia persilatan menangis seperti itu" Tentunya ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti anak kecil begitu.
Hati-hati Pendekar Slebor mendekatinya.
"Tak ada guna menangis, Kek. Karena air mata yang mengalir hanya diperuntukkan perempuan. Sebagai laki-laki, tak pantas untuk...."
"Kunyuk!" Bukannya sahutan pelan yang diterima justru bentakan yang mampu memecahkan gendang telinga Andika.
"Sekali lagi kau berkata seperti itu, kucabikcabik tubuhmu!" Andika melengak.
"Kalau tidak mau dinasihati, ya sudah. Jangan main bentak seperti itu, dong! Telingaku tidak tuli untuk mendengar kentutmu sekalipun..." cibir Andika.
Bersama Nilakanti, Pendekar Slebor masih melihat si Hantu Jantan menangisi bungkusan di tangannya. Tak dipedulikannya kata-kata Andika barusan.
"Maafkan aku, Sayangku.... Kau tidak merasa sakit, bukan" Tidak sakit, bukan" Akan kubalas perlakuan nenek peot yang telah menendangmu itu. Aku bersumpah atas nama langit dan bumi, akan kubalas semua perlakuan manusia jelek itu padamu, Sayangku. Kau tidak usah menangis. Kau kuat, bukan?" ra-tap si Hantu Jantan.
Perlahan-lahan si Hantu Jantan berdiri, lalu menatap Andika dan Nilakanti bergantian. Sementara yang ditatap mengerutkan kening tak mengerti melihat sikap si Hantu Jantan.
"Di manakah Dewi Sungai Bangkai berada?" tanya si kakek keras. Tekanan suaranya yang penuh kegeraman nyata sekali.
"Dia harus membayar semua ini" Dia harus mampus di tanganku!"
"Dia sudah melarikan diri, kek," sahut Andika, hati-hati.
"Keparat! Ke mana pun dia pergi akan kukejar!" dengus si Hantu Jantan, seraya menatap tajam Andika.
"Anak muda.... Apakah kau yang dimaksud istriku, yang tenggelam di sungai berair kuning?" Andika menganggukkan kepalanya dengan rasa heran. Bagaimana hal itu bisa diketahui" Padahal, tak seorang pun yang melihatnya, kecuali Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan"
"Untunglah kau selamat. Jadi, aku tidak perlu repot membantumu. Karena, toh kau dalam keadaan segar bugar sekarang. Kau harus berterima kasih pada istriku yang telah mengatakan hal itu kepadaku," kata si Hantu Jantan." Andika celingukan.
"Di mana istrimu?"
"Pemuda tolol! Dia berada di hadapanmu!" bentak si Hantu Jantan.
Kembali Andika celingukan. Sesaat, bulu kuduknya meremang karena menyadari bahwa mereka bertiga di sana. Apakah ada arwah yang datang" Ataukah, si kakek ini sudah gila" Tangan si Hantu Jantan menepak kepala Andika, "Adah...!" Pendekar Slebor meringis sambil mengusapusap kepalanya yang ditepak.
"Pemuda bodoh!" Lalu perlahan-lahan tangan si Hantu Jantan membuka bungkusan yang dipegangnya.
Bukan hanya Andika yang terbelalak. Malah Nilakanti sampai menekap mulutnya agar tidak menjerit.
Bungkusan yang selalu dipegang si Hantu Jantan ternyata sebuah kepala dengan mata terpejam! "Hei! Kalian ketakutan melihat istriku, ya" Kalian tidak senang" Kubunuh nanti!" Andika buru-buru menggeleng.
"Tidak, tidak.... Aku justru bahagia bisa berte-mu istrimu," cegah Andika.
"Bagus!" si Hantu Jantan menutup lagi bungkusan itu.
"Sekarang, minggir! Aku akan mencari Dewi Sungai Bangkai!" Tubuh itu pun berkelebat laksana setan. Sekali kelebat saja, sudah hilang dari pandangan. Andika mendesah panjang. Kasih sayang dan cinta pada istrinya, masih terpatri lekat di dalam hati si Hantu Jantan. Bahkan kepala istrinya masih dibawa-bawa.
Andika menoleh pada Nilakanti yang masih terdiam dengan wajah tegang. Gadis itu sungguh tidak pernah menyangka kalau bungkusan yang dipegang si Hantu Jantan sebuah kepala istrinya sendiri.
"Hei! Daripada kau ingat-ingat kepala itu, lebih baik menatapku yang ganteng ini, 'kan?" goda Pendekar Slebor.
Namun Nilakanti tak tertarik dengan ucapan itu. Dengan kepala terpekur, kakinya melangkah menaiki bukit yang ada di depan Gunung Kabut. Kepalanya masih berpendar-pendar pusing. Baru kali ini dia keluar dari Lembah Matahari, dan sudah bertemu tokoh-tokoh aneh yang memiliki ilmu sangat tinggi.
Sementara Andika tak bermaksud mengusiknya. Kakinya melangkah saja, di sisi Nilakanti sambil bersiul-siul.
Sekarang, Pendekar Slebor akan menjalankan amanat terakhir yang diberikan Sapta Jingga untuk menyerahkan Tasbih Emas Bidadari kepada Malaikat Putih Bayangan Maut.
Bukan karena Andika tak percaya pada Nilakanti yang mengaku murid dari Malaikat Putih Bayangan Maut. Selain Pendekar Slebor memang ingin mengenal tokoh yang baru diketahui julukannya itu, hatinya merasa tak tenteram bila Tasbih Emas Bidadari dibawa Nilakanti.
Hari pun sudah berubah senja.
Dap perjalanan itu rupanya tak seperti yang dibayangkan Andika. Karena, maut sebenarnya tengah mengintai....
SELESAI
Segera hadir: LIMA JALAN DARAHINDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Pulau Kera --oo0oo-- Lima Jalan Darah |