Pulau Kera
tanztj
March 11, 2011
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Lamaran Berdarah --oo0oo-- Tasbih Emas Bidadari |
ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: PULAU KERA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: PULAU KERA
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
-- ( 1 ) --
Tangannya disilangkan di dada dengan sikap tegak.
Wajah wanita ini sangat menawan. Di samping karena memiliki hidung yang mancung membentuk bayangan tinggi memanjang di sisinya, berbibir mungil merah matang, juga karena matanya berbulu lebat dan lentik. Namun begitu, kecantikan wajahnya tidak menyembunyikan sedikit pun kesan kekerasan yang tergurat di wajahnya saat itu. Tampaknya dia sedang menanti sesuatu yang membuat dirinya menegang.
Meski tubuhnya tergolong mungil untuk ukuran wanita seumurnya, tetap tampak sekali kekokohannya selagi berdiri. Rambut panjang hitamnya dikepang, berayun-ayun di sisi pedang yang diletakkan di belakang punggung.
Matanya terus menatap lurus ke arah barat, di mana matahari terus saja merambat turun. Sinar benda langit raksasa itu mulai pula meredup matang kemerahan. Sejak tengah hari bolong dia menunggu seperti itu. Pekerjaan yang sebenarnya amat menyebalkan baginya. Hanya karena ada satu hal penting yang mesti diurusnya, mau tak mau dia melakukan juga hal itu.
Tepat ketika ubun-ubun matahari benar-benar dibenamkan di sudut bumi sebelah barat, di kejauhan terlihat seseorang berjalan menuju dirinya. Tak terlihat tanda-tanda kalau dia sedang tergesa. Untuk seorang yang sedang ditunggu, cara berjalan orang ini tergolong begitu santai. Padahal orang yang menunggu tentunya sudah begitu menghendaki dia tiba secepatnya. Dari kejauhan, terdengar senandung ngalorngidulnya. Entah apa yang sedang dilantunkan. Terlalu sumbang untuk dikatakan merdu. Cuma dari lirikannya, bisa disimak kedalaman hikmah kehidupan dari orang satu ini.
Aduh Emak, aduh Bapak...
Cinta menabur selaksa cahaya.
Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.
Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam setiap jengkal napas langit bumi Wangi, meninggi Lalu mengitari liang nyawa-nyawa Mengelanainya....
Setibanya di dekat si wanita, lelaki yang ternyata seorang pemuda tampan berambut panjang sebatas bahu, berpakaian hijau-hijau itu mendapati gelengan kepala.
"Kenapa geleng-geleng kepala?" tegur pemuda tadi.
"Tak suka aku sedikit menghibur diri?" lanjutnya dengan bibir mencibir.
Menanggapi teguran tak nyaman barusan, si wanita tak kalah mencibir. Bahkan nyaris cemberut.
Wajahnya keruh. Tampak sekali dia sedang jengkel.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu di sini" Setengah harian! Selama itu, aku digarang matahari Lalu kau datang seenaknya dengan berse-nandung seperti itu" Bayangkan"!"
"Sebentar aku bayangkan...," sahut si pemuda seraya mendaratkan jari telunjuknya ke kening. Wajahnya berubah kebodohan.
Wanita di depannya tentu jadi jengkel.
"Huh!" dengusnya.
"Huh" Kenapa huh"!"
"Aku jengkel tahu!"
"Kenapa jengkel" Aku tidak...," tukas si pemuda lagi, tanpa perasaan bersalah.
Wajahnya makin terlihat bodoh, sekaligus mendongkolkan.
Dari kesal yang kelewatan, akhirnya wanita muda tadi berbalik tersenyum terpaksa menyaksikan mimik wajah pemuda di depannya.
"Andika... Andika.... Kenapa kau tidak pernah berubah dari dulu...," katanya terseret tawa tertahan.
Bibir mungil ranumnya didekap.
Pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu menjadi lega. Sebelumnya dia mengira bakalan kena dampratan habis-habisan karena sudah terlambat datang.
Bukan cuma terlambat malah. Masa' iya sekadar terlambat sampai setengah hari. Sampai membuat wanita yang menunggunya hampir kering terjemur" Keterlaluan.
"He he he!" Andika ikut tertawa.
"Diam!" bentak si wanita.
"Aku tertawa bukan berarti kejengkelanku padamu hilang." Lalu.... Duk! Satu tinju dari tangan mungil si wanita mencumbu hidung Pendekar Slebor. Anak muda itu meringis-ringis menahan sakit sambil memegangi batang hidungnya yang berdenyut-denyut.
Andika ingin memprotes kesewenang-wenangan wanita tadi. Dia memang terlambat. Tapi kalau main jotos sembarangan itu urusan lain! Mulutnya baru hendak melancarkan gempuran. Sayang, kalah cepat dengan 'gempuran' wanita di depannya. Pemuda itu tiba-tiba saja dirangkul erat-erat.
"Biar bagaimanapun, aku tetap rindu padamu, Andika...," ujar perempuan tadi mendayu seraya menggoyang-goyangkan tubuh Andika.
Pendekar Slebor mendelik. Ada sepasang benda padat menggelitiki dada bidangnya! Dia makin membelalak lagi ketika bibir tipis memerah si perempuan memagut bibirnya sepanas gejolak lahar.
"Mhfff..., aufhh..., fuafhhh!" Pendekar Slebor ge-lagapan.
Usai membuat pendekar muda itu nyaris kehilangan napas, perempuan berwajah cantik namun agak judes tadi menarik pergelangan tangan Pendekar Slebor.
"Sekarang kau ikut aku!" ucapnya ketus.
Pendekar Slebor sudah seperti sapi ompong, diikutinya saja tarikan tangan perempuan itu. Sepertinya dia baru saja mengalami guncangan batin! Guncangan yang sedap, tentu.....
Anak muda itu diajak si wanita berpakaian putih ini ke balik bukit pasir sekitar seratus depa dari tempat semula.
Di sana tertambat dua ekor kuda hitam jantan pada sebongkah batu besar. Dari beban di punggung kedua hewan itu, Andika menyimpulkan kalau wanita yang mengundangnya ke tempat ini berencana melakukan perjalanan jauh.
"Kau minggat dari istana ayahmu," tanya Andika usil.
"Justru Ayahanda yang memintaku melakukan ini," sahut si wanita sungguh-sungguh, tak berniat menanggapi gurauan Pendekar Slebor.
"Beliau menyuruhmu melakukan apa?" Tak ada jawaban segera atas pertanyaan Andika barusan. Wanita yang dikuntitnya terus mendekati seekor kuda. Dari balik tas beban besar di punggung kuda, wanita muda yang terpaut usia lebih tua beberapa tahun dari Andika itu mengeluarkan gulungan kulit binatang sepanjang lengan. Warna kusam-suram benda itu menandakan kalau usianya sudah tua. Diperkirakan lebih dari tiga ratus tahun.
Di depan Pendekar Slebor, gulungan kulit tadi dibentangkan.
"Lihatlah...," kata si wanita.
Andika membuka mata jelas-jelas. Di atas permukaan lembar kulit tua itu, samar-samar dilihatnya semacam peta kuno. Guratnya sudah mengabur. Namun masih cukup jelas untuk diteliti. Tepat di tengah-tengah gambar mata Andika terpancing sebaris huruf Jawa Kuno.
"Pulau Kera?" Pendekar Slebor mengeja.
"Ya, Pulau Kera. Aku memintamu datang agar kau mau mengantarku ke sana.
*****
(Untuk mengetahui lebih jelas tantang tokoh wanita ini, bacalah episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asmara"!) Sebagai seorang salah seorang warga dunia persilatan, perempuan itu dikenal dengan julu-kan Naga Wanita, pendekar yang selalu membawa pedang besar bergagang kepala naga di punggungnya.
Sekitar sepekan lalu, seorang utusannya datang menemui Pendekar Slebor. Prajurit istana itu memberikan Andika surat yang ditandatangani Purwasih. Purwasih meminta anak muda itu untuk datang ke kaki Gunung Tengger.
Andika sebenarnya agak malas memenuhi permintaan Purwasih. Bagaimanapun anak muda itu tahu sifat Purwasih. Menghadapi wanita seperti dia, bagi Andika sama saja menemani sekumpulan bu-rung Cucarawa. Cerewet. Bikin pusing. Menyebalkan. Andika yang sebenarnya tergolong bermulut bawel saja masih tak tahan menghadapinya. Mana judesnya tak tertolong. Hanya karena Purwasih mengatakan tentang suatu hal penting, Andika mau juga menemuinya. Di samping itu, si anak muda sakti dari Lembah Kutukan memang sudah cukup rindu dengan Purwasih. Secerewet-cerewetnya dia, sejudes-judesnya dia, Andika tetap harus mengakui Purwasih memiliki kenangan manis bersama wanita itu dalam masa perjuangan perdananya dulu. Di pihak Purwasih sendiri, tugas dari ayahandanya disambut dengan kegembiraan. Bukan cuma hal itu akan memuaskan jiwa petualang dan semangat kependekarannya. Lebih dari itu dia akan bertemu kembali dengan Andika alias Pendekar Slebor, pemuda yang sejak dulu membuat gemas hatinya.
Padahal ayahandanya justru tak pernah menganggap main-main tugas yang diembankan kepada putri tunggalnya ini. Kalau bisa, malah lelaki itu ingin menugaskan orang lain saja. Patih istana misalnya.
Tapi, raja penuh wibawa itu tak bisa memilih selain Purwasih. Karena cuma Purwasih yang bisa menjalankan tugas itu. Namun sampai saat keberangkatan Purwasih, dia tak pernah diberi tahu alasan ayahandanya memilih dia.
"Kau harus hati-hati, Anakku!" cuma pesan itu yang disampaikan ayahandanya pada Purwasih. Dengan wajah yang mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik kewibawaannya. Purwasih tak begitu mempedulikan. Pokoknya, dia bisa bertemu kembali dengan Andika!
*****
Angin keras mendadak melintas cepat di sisi kiri kuda Purwasih. Hewan tunggangannya meringkikringkik karena demikian terkejut. Dua kaki depannya terangkat tinggi-tinggi seakan hendak melemparkan tubuh Purwasih sejauh mungkin. Wanita bertubuh tak terlalu tinggi itu terlonjak-lonjak di atasnya. Untuk beberapa hentakan punggung kuda, dia nyaris terlempar.
Untung saja kesigapan tangannya mencengkeram tali kendali tak kalah kuat dari hentakan punggung kuda.
Kuda pemuda di sebelahnya menyuruk ke samping. Kaki binatang itu bergerak-gerak gelisah. Kalau tak segera ditenangkan Pendekar Slebor, tentu binatang itu pun akan turut panik.
Andika baru hendak melompat dari punggung kuda untuk menolong Purwasih. Namun tampaknya pendekar wanita itu sudah sanggup menenangkan tunggangannya kembali. Dengan sedikit usapanusapan pada lehernya, kuda hitam tersebut akhirnya tak lagi menyentak-nyentakkan kaki depan. Meskipun keadaannya masih sedikit gelisah.
"Ada apa?" aju Andika, tak mengerti pada apa yang sesungguhnya terjadi.
"Angin telah mengejutkannya," sahut Purwasih.
Nafasnya masih turun-naik tak teratur. Dibenarkannya letak duduk setelah sebelumnya sudah tersudut ke belakang pelana.
"Angin" Angin apa" Aku tak mengerti. Aku tak merasakan ada angin melintas. Kalaupun ada, aku tak yakin dapat membuat kuda itu menjadi liar seperti itu," tukas Pendekar Slebor.
"Tapi aku merasakannya, Andika. Angin itu bergerak cepat di sisi kiri kuda ini!" ujar Purwasih bersikeras. Andika curiga ada seseorang yang hendak usil pada mereka. Untuk membuktikan kecurigaan itu, dilepas pandangannya ke sekeliling mereka. Tidak ada apa-apa. Sepanjang jangkauan penglihatannya, hanya ada bentangan pasir yang menyapu rata hingga ke puncak Gunung Tengger. Selain itu, hanya ada gerombolan-gerombolan rerumputan liar.
Yakin semuanya beres, anak muda itu menganggap perkataan Purwasih tidak keliru. Mungkin ada angin yang terlalu keras mengejutkan kuda tunggangannya. Sementara Andika sendiri mungkin tak begitu menyadari.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan.
"Apa tujuanmu ke Pulau Kera ini?" tanya Andika pada Purwasih setelah beberapa jauh berlalu.
"Ada satu benda milik kerajaan yang harus kuambil."
"Benda rahasia apa?"
"Ayahanda ku tak pernah memberi tahu."
"Aneh...."
"Menurutku juga begitu."
"Kau pernah mencoba bertanya?" kejar Andika, penasaran.
Purwasih mengedikkan bahu.
"Ya, aku pernah mencoba. Tapi Ayahanda tampaknya hendak merahasiakan." Rasa penasaran Pendekar Slebor makin membengkak. Keingintahuannya akan sesuatu memang besar. Itu salah satu sifat khasnya sejak menjadi gelandangan di kotapraja sewaktu kecil dulu. Dan itu pula yang menyebabkan otaknya menjadi terlatih.
Jika sesuatu dirahasiakan, biasanya karena ada hal teramat penting terkandung di dalamnya, pikir anak muda berotak seencer bubur bayi itu.
"Coba aku lihat lagi peta kulit itu," pinta anak muda itu.
Purwasih berusaha mengeluarkan kembali benda yang diminta Andika dari dalam kantong di sisi kuda. Tangannya meraba-raba sejenak, sampai akhirnya wajah mungil nan jelita wanita itu berubah. Garis-garis parasnya menegang. Sedang warna ronanya memucat sebentar, dan sebentar kemudian menjadi amat memerah.
"Hilang... benda itu hilang!" serunya hampir memekik. Kepanikan melandanya.
Sudah terbayang di benaknya saat itu bagaimana ayahandanya nanti demikian murka. Bagi Purwasih, kemurkaan lelaki itu lebih menakutkan ketimbang amukan angin topan! "Bagaimana mungkin bisa hilang?" lengak Pendekar Slebor.
"Bukankah belum lama tadi kau baru sa-ja menyimpannya kembali?"
"Aku juga tidak tahu!" hardik Purwasih, kesal.
Tak lama Pendekar Slebor menyadari sesuatu.
Dan mungkin itu telah terlambat. Dia ingat kejadian sebelumnya, angin yang tiba-tiba berhembus hanya melewati sisi kuda Purwasih. Tentu itu bukan sekadar angin biasa, melainkan sapuan dari gerak teramat cepat seseorang yang telah merampas peta kulit dari kantong di sisi kuda. Yang tak habis pikir bagi Andika, bagaimana mungkin orang itu dapat bergerak demikian hebat. Sementara dia sendiri, pendekar muda yang sering digembar-gemborkan kalangan dunia persilatan sebagai siluman dalam hal kecepatan gerak, merasa tak cukup sanggup melakukannya. Terlebih lagi, Purwasih tak merasakan kantong di kudanya dijarah tangan seseorang.
Siapa yang akan dihadapi sesungguhnya"
-- ( 2 ) --
Kumis dan jenggot putihnya memanjang sampai dada.
Rambutnya agak panjang, putih seperti juga jenggotnya, serta sama sekali tak tertata. Pakaiannya putih.
Tapi warnanya sudah demikian kacau-balau. Di sanasini kainnya sudah koyak-moyak. Dekilnya pun minta tobat. Barangkali air rendamannya bisa untuk meracuni kerbau satu kandang! Tangan orang tua ini asik menimang-nimang gulungan kulit hewan. Benda itulah yang telah dicu-rinya dari kantong pelana kuda Purwasih.
"Dasar dua anak muda tak punya otak! Masa' bisa dikerjai orang jompo seperti aku begitu gampang.
Wuh, bikin malu saja!" gerutunya seraya bangkit.
Sejenak dia mondar-mandir di tempat. Tangannya disilangkan di belakang punggung.
"Bagaimana mungkin aku mempercayakan urusan besar seperti ini pada mereka?" gerutunya lebih jauh. Wajahnya jadi demikian kusam. Lebih kusam dari jubah yang dikenakannya.
Dia berhenti melangkah. Alis putihnya mengkerut ketat.
"Bisa berabe urusannya kalau mereka melanjutkan usaha itu. Tapi, memang cuma anak gadis si Bratasena itu yang bisa melaksanakan tugas berat ini.
Jadi bagaimana, ya" Sialan, kenapa aku jadi dibikin pusing sendiri!" Langkahnya mulai terayun kembali. Seperti sebelumnya, lelaki tua yang tetap bergerak gagah meski usianya dapat ditaksir sudah lebih dari seratus tahun itu mondar-mandir kembali di tempat. Gayanya tak kurang meyakinkan dari mandor kerupuk! "Aku ada akal bulus, eh maksudku ada akal bagus!" serunya mendadak.
"Mereka tetap akan kuper-cayakan untuk melaksanakan tugas berat ini. Tapi, untuk itu mereka harus menjalani dulu semacam godokan kecil dariku. Godokan kecil, he he he... aku su-ka kata itu! Biar mereka sedikit kubikin kalang-kabut!" Selesai menertawai sesuatu yang hanya dimengerti dirinya sendiri, orangtua uzur itu bergerak amat cepat. Tempat itu seketika sunyi. Tak ada lagi geru-tuannya. Tak ada lagi sosok keropos tadi. Si orangtua hilang seperti siluman telat buang hajat!
*****
Andika sudah mulai meruntunkan caci-maki 'sakti'nya. Dongkol bukan main hati anak muda itu mengetahui dirinya telah dipermainkan seseorang. Dia merasa dilecehkan begitu rupa. Purwasih bukannya tak dongkol. Lebih dari itu, sudah sulit rasanya dia menjelaskan bagaimana perasaannya saat itu. Serba campur-aduk, serba tak karuan. Seperti tak karuannya perasaan, wajah wanita itu pun turut tak karuan. Inginnya dia meloloskan pedang besarnya dari punggung dan merencah-rencah apa saja yang bisa dijadikan sasaran kegusarannya.
"Manusia keparat mana yang telah berani mencuri gulungan peta kulit rahasia milik ayahandaku!" geramnya.
"Aku tak tahu seberapa berharganya benda itu bagi Ayahanda, tapi aku yakin...."
"Sssttt!" Kedongkolan Purwasih dijegal desis mulut Pendekar Slebor. Mata anak muda itu menatapnya tanpa berkedip. Sementara wajahnya tampak mengeras.
"Ada orang datang...," bisiknya, memperingati Purwasih. Perempuan yang semula sedang meruntunkan kegusaran melalui mulut mungilnya kali ini mencoba menajamkan pendengaran. Belum lagi niatnya terlaksana, selantun suara amat tajam mendadak tercipta, menyeruak angkasa, dan menerjang gendang telinga kedua muda-mudi itu telak-telak.
Aduh Emak, aduh Bapak...
Cinta menabur selaksa cahaya.
Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.
Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam setiap jengkal napas langit bumi Wangi, meninggi Lalu mengitari liang nyawa-nyawa Mengelanainya....
Andika terperanjat. Bukankah itu senandung yang dinyanyikannya ketika hendak menemui Purwasih" Kalau begitu, tentunya orang usil ini telah mengikuti mereka sejak awal. Bagaimana dia sampai tidak menyadarinya" Anak muda itu tak sempat memperpanjang keheranan, karena gendang telinganya sudah terasa hendak terkoyak. Cepat didekapnya telinga dengan kedua tangan.
Bukan cuma Pendekar Slebor yang merasakan hal itu. Purwasih di sebelahnya pun merasakan hal yang sama. Bahkan dia merasakan siksaan rasa sakit yang lebih parah dari Andika. Penyebabnya mungkin karena tingkat tenaga dalamnya berada beberapa tingkat di bawah tenaga dalam Pendekar Slebor.
Andika sungguh mampus menerima perlakuan seperti itu. Cepat darahnya bergejolak naik ke ubunubun. Dia mengkelap. Masih dengan tangan mendekap telinga, dikerahkannya tenaga sakti warisan buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan, ke saluran napas di tenggorokan.
"Berhentiii!" teriakan mengguntur keluar dari pita suara anak muda itu, bagai hendak menggempur langit! Tak ada lain yang hendak diperbuat Pendekar Slebor dengan teriakan tadi, kecuali melawan suara senandung berkekuatan tenaga dalam amat tinggi milik si orang usil. Andika berharap, cukup dengan mengerahkan tenaga sakti tingkat ke sepuluhnya, serangan suara senandung tadi bakal lantak seketika.
Dugaannya meleset sama sekali! Suara senandung yang melantunkan lirik milik Pendekar Slebor ternyata tetap bergeletar amat kuat di udara. Bahkan kekuatannya tak sedikit pun berkurang. Ini benar-benar mengejutkan Pendekar Slebor, sekaligus memancing kegusarannya lebih jauh.
Sekali lagi, Pendekar Slebor mencoba mengerahkan tenaga saktinya. Dari tingkat sepuluh pada permulaan menuju pengerahan tingkat ke lima belas.
Pada tingkat itu tenaga saktinya sudah menjelang kekuatan puncak. Jarang orang persilatan dapat menandingi kekuatan sakti Pendekar Slebor pada tingkat demikian. Saat bersamaan, si Naga Wanita pun hendak melakukan hal yang sama. Tanpa perlu tahu apakah Andika membutuhkan bantuannya atau tidak, Purwasih merasa harus melawan serangan suara lawan yang membuat gendang telinganya nyaris pecah. Maka....
"Heaaa!" Berbarengan dua teriakan terlepas dari dua kerongkongan berbeda. Keduanya telah mengerahkan kekuatan tenaga dalam masing-masing hampir ke tingkat puncak.
Namun, apa hasilnya" Senandung tadi tetap tak berubah! "Kunyuk buduk bau pesing...," desis Pendekar Slebor seraya meringis menahan sakit luar biasa yang mulai menjalar ke bagian saraf-saraf di kepalanya.
Keadaan itu membuat tubuhnya mulai terasa lemas.
Otot-otot kenyalnya seperti digerogoti dari dalam.
Sementara itu, si Naga Wanita malah tak kuat lagi menahan rasukan tenaga suara lawan ke segenap jaringan sarafnya. Pertahanan tubuhnya kehilangan kendali. Tak lama, tubuh perempuan itu sudah melorot dari pelana. Jatuh meninju tanah dengan keras.
Anehnya, kalau kedua muda-mudi itu mengalami akibat yang cukup parah atas serangan suara berkekuatan tenaga dalam tinggi tadi, dua ekor kuda tunggangan mereka justru seperti tak merasakan apa pun. Keduanya tenang-tenang saja. Seperti tak terjadi apa-apa, dua hewan itu malah asyik memamah makanan dari perut mereka.
Meski keadaannya demikian sulit, Pendekar Slebor masih sempat memperhatikan hal itu. Kini, si pendekar muda dari Lembah Kutukan makin menyadari siapa yang tengah dihadapinya. Bukan suatu kerja yang mudah bahkan untuk seorang datuk persilatan sekalipun melakukan serangan dengan tenaga sakti hanya ditujukan untuk korbannya! Jadi, siapa yang sebenarnya tengah kuhadapi kini" Hati Pendekar Slebor menggerutu.
Namun karena kekhwatirannya pada Purwasih, menyebabkan Pendekar Slebor tidak begitu mempedulikan tanda tanya di hatinya.
"Purwasih! Kau tak apa-apa"!" teriaknya, mencoba menyaingi suara lawan agar teriakannya bisa ditangkap telinga Purwasih.
Tak ada jawaban. Purwasih tetap tergeletak tak bergerak. Tampaknya wanita itu sudah tak sadarkan diri lagi.
"Kutu busuk, kunyuk, bangsat, kuda nil! Kalau sampai terjadi apa-apa pada wanita itu, akan kurencah-rencah dagingmu!" umbar Pendekar Slebor, sarat kemurkaan.
Senandung mendadak terhenti. Bukan karena kekuatan teriakan anak muda itu telah mempecundangi kekuatan suara tadi, melainkan si pemilik suara senandung rupanya memang sudah bosan dengan mainan tersebut.
"Bukankah memang sudah terjadi apa-apa pada dirinya?" Terdengar sebentuk suara yang dikenali Andika sebagai suara orang usil tadi. Dari warna suaranya, Andika menilai kalau orang yang sedang berurusan dengannya adalah seorang tua bangka.
Pendekar Slebor menurunkan tangan dari telinganya. Suara terakhir tidak lagi melepas kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi. Hanya suara jarak jauh yang lebih bersahabat.
"Tampakkan dirimu! Siapa kau sebenarnya"!" hardik Andika, tak kekurangan kegeraman.
Jawabannya cuma kekeh tawa.
"Sial benar! Kau pikir aku suka dengan suara tawa jelekmu itu!" Lagi-lagi terdengar kekeh berat.
"Dasar anak muda sial! Rupanya kau selalu tak mau tahu sedang berurusan dengan siapa, heh"!"
"Ya, siapa kau tempe bongkrek"! Bukankah itu yang memang kutanyakan tadi padamuuuu!" Pendekar Slebor makin dibuat kalap. Urat lehernya sampai nyaris putus karena begitu geram berteriak. Matanya melotot-lotot. Hidungnya kembang-kempis. Mengenaskan, wajahnya sudah seperti orang cacingan! Seseorang akhirnya muncul dengan cara tak terduga-duga, bahkan oleh Pendekar Slebor sendiri.
Seorang lelaki tua tiba-tiba sudah duduk berongkang kaki tepat di atas kuda yang ditunggangi Purwasih sebelumnya. Orang tua itu yang telah mencuri gulungan peta kulit dari kantong pelana.
"Hooii, keluar kau! Jangan hanya bisa main sembunyi-sembunyian seperti anak kecil, Tua Bangka!" ledak Pendekar Slebor tidak puas-puasnya. Tak disadarinya sama sekali kalau orang yang dimaksud malah sudah berada tepat di sampingnya.
Orang tua tadi lama-kelamaan menjadi dongkol juga menyaksikan Pendekar Slebor terus saja berteriak-teriak tak karuan. Digerakkan tangan kanannya amat ringan ke belakang kepala si anak muda.
Plak! Andika tersentak bukan alang kepalang. Bukan kerasnya tamparan telapak tangan di belakang kepalanya yang membuat dia begitu. Cuma, dia tak pernah menyangka tahu-tahu saja ada pukulan mendarat. Padahal, telinga terlatihnya sama sekali tak menangkap adanya angin pukulan berseliwer. Padahal pula, telinga pendekar muda urakan itu bisa menangkap gerak seekor nyamuk dari jarak lima tombak.
"Wait, siapa kau"!" Pendekar Slebor lantas melompat turun dari atas punggung kuda. Hinggap di tanah, dan langsung mencak-mencak. Namun begitu melihat siapa orang barusan, seketika itu juga parasnya kecut. Warna muka yang semula merah, berubah memucat, lalu memerah lagi, lalu memucat lagi "Kenapa kau memelototi aku seperti itu, Bocah Sial! Apa kau tak suka bertemu aku"!" bentak si orang tua mendapati mata Pendekar Slebor mendelik ke arahnya. Andika mengusap-usap mata, berkali-kali. Tak bisa dipercaya apa yang dilihatnya kini.
"Aku pasti sedang mimpi...," gumamnya.
"Pasti sedang mimpi... Atau barangkali aku kurang tidur se-malam?" Bagaimana anak muda itu bisa percaya pada penglihatan sendiri, kalau lelaki tua yang dilihatnya kini adalah buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan.
Seorang tokoh dedengkot golongan putih yang sudah menjadi legenda orang-orang persilatan.
Dulu. ketika untuk pertama kali sekaligus yang terakhir kali bertemu dengannya di Lembah Kutukan, buyutnya itu menemui ajal di sana. Dan Andika pula yang menguburkannya (Baca kisahnya pada episode : "Dendam Dan Asmara"). Kalau sekarang lelaki bernama Ki Saptacakra itu muncul kembali tepat di depannya, apa tak mungkin dia sedang bermimpi" Atau bisa jadi anak muda itu sedang berhadapan dengan hantunya" Andika megap-megap. Sikap yang lahir akibat perasaan bingung, kekagetan, dan ketidakpercayaan yang campur-aduk jadi satu.
"E-eh, sekarang malah megap-megap seperti mujair begitu!" hardik si tua bangka kembali. Dipeloto-tinya anak muda itu dengan mata kelabu tuanya.
"Ampun Mbah.... Apa buyutmu ini punya salah sampai kau sendiri mesti datang langsung dari alam kubur untuk menegurku?" ucap Pendekar Slebor terbata-bata.
"Kutukupret kau! Aku belum mati!"
"Sudah Mbah, Mbah sudah mati. Yakinlah.
Buyutmu ini telah berkata sejujurnya. Tak baik jadi arwah penasaran, Mbah!"
"Belum!"
"Sumpah, Mbah.... Dulu aku yang menguburkan Mbah, bukan?"
"Memangnya aku menyuruh kau untuk menguburkan aku?"
"Ya, kalau Mbah mati, mesti dikubur bukan?"
"E, bujubuneng! Kubilang aku belum mati! Kau saja yang kelewat tolol menganggap aku sudah mati.
Pertama kali kau bertemu aku, kau menganggap aku sudah mati. Padahal aku sedang bersemadi...."
"Sudah, Mbah...."
"Sial!" Si tua Pendekar Lembah Kutukan makin jengkel. Dulu pun dia pernah dianggap setan gentayangan oleh anak muda ini di Lembah Kutukan. Masa sekali saja tidak cukup" Benar-benar keterlaluan! "Nih! Kalau kau tak percaya, cium telapak kakiku!" Dengan gemas disorongkannya sebelah kaki yang berkerut dan berbau tujuh puluh tujuh ekor siluman. Andika terbangkis-bangkis demi mencium ujung jempol kaki si tua bangka. Kepalanya pening tujuh keliling. Perutnya mual, rasanya isi perutnya hendak jebol saat itu juga.
Tak lama kemudian, dia benar-benar muntah. Itu baru jempol kaki, bagaimana lagi kalau telapaknya"
"Nah, sekarang kau bisa membedakan, apa bau jempol kakiku seperti orang hidup atau seperti bau setan penasaran" Dasar anak tengik!"
"Ya Mbah..., tengik!" timpal Andika meringis sambil menunjuk jempol kaki Ki Saptacakra
-- ( 3 ) --
Sosok-sosok kecil itu terus bergerak teratur, beriringan dalam jarak tak terlalu jauh. Melompat dari satu pohon ke pohon lain, berayun gesit dari satu oyot ke oyot pohon lain, hinggap dan melompat...
bersalto dan memekik.... Semuanya bergerak menuju arah pasti, barat. Sepertinya hendak memburu sisa cahaya sen-ja yang megap-megap tanpa daya.
"Nguik-nyit! Kak... kak.. kuik!" suara riuh rendah menyertai kegesitan enam sosok kecil tadi. Merangsak semak, menerjang kerimbunan.
Ketika sisa cahaya mentari menyapu sekujur tubuh keenam sosok itu, menjadi jelaslah bentuk tubuh mereka. Mereka ternyata cuma enam ekor kera hutan. Namun, untuk dikatakan 'sekadar kera', sebenarnya belum cukup tepat. Di samping karena warna merah bulu mereka sungguh tidak lazim seperti kera biasa, juga karena mereka bergerak demikian teratur, seakan satu sama lain saling memahami pikiran masing-masing. Mereka memang bukan kera biasa. Bukan, sama sekali bukan! Ketika akhirnya keenam kera tersebut tiba di batas Hutan Alas Roban, semuanya hinggap di tanah kosong berumput liar. Dekat dengan sebuah pohon randu besar tua berusia ratusan tahun, mereka berkumpul membentuk lingkaran. Seperti juga gerak teratur mereka, lingkaran itu pun terbentuk demikian teratur. Sekali lagi, itu membuktikan mereka bukanlah sekadar kera biasa.
"Nyit... nyit!" Salah satu kera seolah memberi aba-aba pada lima ekor yang lain dengan lengkingan dan kibasan tangannya. Kera yang lain lantas merapat, memperkecil lebar lingkaran. Lalu, tangan masing-masing kera berpagutan kuat, membentuk rantai melingkar tak be-rujung-pangkal.
Kera yang sebelumnya memberi aba-aba kembali memperdengarkan suara tingginya, "Nyit-nguk!" Menyusul pekik terakhir, keenam kera merah itu menurunkan tubuh. Mereka duduk bersila dengan cara manusia! Waktu beringsut bersama diamnya mereka semua. Kelopak mata enam kera merah itu terbuka. Tidak saling menatap, melainkan diarahkan pada pasat lingkaran. Tanpa sekejap pun berkedip, mereka terus memusatkan pandangan masing-masing.
Waktu tak peduli pada apa yang mereka kerjakan. Malam mengendap-endap.
Lewat delapan kali waktu penanakan nasi, bulu-bulu merah mereka perlahan-lahan berpendar, menyemburatkan warna-warna pelangi. Tata cahaya tersebut memanjang dari sekujur tubuh mereka masingmasing, meliuk-liuk membentuk pusaran halus, kemudian saling memagut menjadi satu.
Begitu menyatu, ragam cahaya pelangi tadi berubah seketika menjadi warna merah menyilaukan mata. Amat menyilaukan, bahkan sampai menelan tubuh keenam kera merah.
Lama cahaya merah menyilaukan tadi meraja bagai gumpalan bara raksasa di tengah-tengah kegelapan Hutan Alas Roban. Sampai akhirnya, cahaya tersebut redup dan redup. Dari penyusutan besar cahaya itu, muncullah enam kepala manusia! Ya, kepala manusia! Bukan lagi kepala enam ekor kera merah. Manakala cahaya merah menyilaukan tadi terus menyusut menuju pusat lingkaran, wujud yang kini terlihat semakin jelas memperlihatkan bentuk enam manusia! Malam akhirnya benar-benar jatuh. Tak ada lagi sisa cahaya. Kegelapan benar-benar meraja. Awan pekat beringsut-ingsut di angkasa. Begitu bertumbukan satu dengan yang lain, gemuruh berat pun berguliran di atas sana, dibuntuti kerjapan kilat. Kebetulan saat itu tanah Jawa memang sedang dirundung musim penghujan. Jauh dari kesunyian kaki Gunung Tengger, sekumpulan orang sedang duduk mengelilingi api unggun besar. Ada sekitar empat orang lelaki dan dua wanita. Semuanya duduk bersila. Wajah mereka berpendar kemerahan digapai cahaya api unggun. Tak seorang pun memperlihatkan wajah santai, karena mereka semua sedang membicarakan sesuatu yang tampaknya membutuhkan kesungguhan.
Empat lelaki di sana rata-rata berusia muda, tak lebih dari tiga puluhan. Yang duduk di kepala lingkaran adalah pemuda berparas garang. Kekokohan rahangnya ditimpali dengan ketajaman garis matanya.
Belum lagi sepasang bentangan alis lebat dan kumis tebal. Rambutnya pendek diikat kain lurik. Berpakaian warna gading. Dia bernama Suntara. Di sebelah Suntara duduk bersila dua lelaki Sugali dan Sugalu. Keduanya bersaudara. Meski tak kembar, wajah dan perawakan keduanya benar-benar serupa. Orang benar-benar sulit membedakan mereka berdua. Mereka memiliki wajah yang berkesan lebih muda dari usia sesungguhnya. Rambut mereka panjang dikepang sebatas pinggang. Berpakaian serupa pula, rompi hitam dan celana pangsi selutut.
Dibarisan selanjutnya, seorang lelaki lain duduk memainkan batang kayu api unggun yang memanjang ke dekatnya. Pemuda satu ini bertubuh agak gempal. Mukanya bulat dan kelimis, sekelimis rambutnya yang berminyak. Dari keempat lelaki, dialah yang paling berpakaian perlente, dengan baju koko tebal dari katun mahal berwarna nila. Nama lelaki terakhir ini Buntaka.
Dua wanitanya lebih muda. Dari parasnya mereka di bawah usia tiga puluhan. Keduanya samasama menarik dengan kelebihan daya tarik wajah masing-masing. Seorang yang berhidung mancung dan berambut ikal sepanjang bahu bernama Wedari. Berpakaian abu-abu ketat dengan selendang ungu panjang melilit bagian kerah lehernya. Yang lain bermata amat bulat. Cempaka namanya.
Perempuan ini adalah saudara kembar Suntara. Berpakaian sederhana dengan pakaian lelaki berwarna biru muda. Rambutnya ditata pendek, hingga mirip lelaki jika dilihat sekilas.
Keenam orang itulah yang beberapa waktu lalu menjalani perubahan wujud dari kera menjadi manusia. Telah setengah abad lebih mereka menjelma menjadi enam ekor kera merah. Selama itu, mereka menghuni bagian paling rawan Hutan Alas Roban yang tak terjamah manusia.
Jadi, akan sangat keliru bagi siapa pun jika menilai usia mereka hanya dari raut wajah. Di balik wajah berkesan muda keenam orang itu, sesungguhnya mereka sudah berusia cukup tua.
"Sudah Waktunya kita kembali ke Pulau Kera untuk menghidupkan kembali perguruan kita, Kera Merah, yang telah sekian puluh tahun musnah. Itu pesan Guru pada kita." Suntara angkat bicara.
"Benar, Kang! Kita harus membangkitkan kembali perguruan kita dan membangun kekuatan kembali! Kita harus buktikan pada dunia persilatan kalau Perguruan Kera Merah belum musnah. Dan kita cari pembunuh Guru untuk membayar nyawa Guru yang telah disingkirkan!" Buntaka ambil bagian. Suaranya meletus-letus memendam bara dendam. Lain Buntaka yang penuh gejolak, lain pula Wedari. Wajah wanita ini tampak begitu murung. Mendung di atas langit seperti berpindah ke paras ayunya.
"Aku jadi sedih kalau mengingat keadaan Guru waktu itu," ucapnya perlahan.
"Bagaimana beliau sekarat dengan luka yang demikian menyedihkan di pangkuanku. Aku masih ingat darah kental hitam mengalir dari mulutnya, membasahi jenggot putihnya.
Beliau tetap memikirkan kita pada saat itu, pada saat nyawanya sendiri sudah di ujung tenggorokan.
Kau ingat Kang Suntara, tatapan terakhir Guru pada kita semua" Ingat bagaimana mata kelabu itu memancarkan kekhawatiran demikian besar pada nasib kita nanti. Tentunya beliau tak ingin kita menjadi korban tangan jahat lelaki iblis itu...." Yang lain mendengarkan. Dan sepertinya sedikit ikut terhanyut oleh nada sendu ucapan Wedari.
"Benar kata Kang Buntaka, suatu hari kita harus membayar nyawa Guru! Lelaki iblis itu harus mati seperti cara Guru menghadapi kematian! Harus menderita seperti penderitaan Guru!" geram Sugali dengan tatapan mata menghunus setajam sembilu ke arah tarian api unggun. Gerak api sepertinya membentuk gambaran seseorang yang begitu dibencinya.
"Sudahlah.... Guru tentu tak ingin kita menjadi bermuram-durja. Sebaiknya kita langsung membicarakan pesan terakhir Guru pada kita semua...," Suntara menyudahi kemurungan yang mengurung.
Dari lipatan ikat pinggangnya, lelaki yang berusia paling tua di antara mereka itu mengeluarkan lipatan kulit binatang yang tampaknya telah disamak bertahun-tahun lampau.
Dihamparkannya lembaran kulit tersebut di tengah-tengah lingkaran, tetap di sisi api unggun. Nyala terang api unggun pun memperjelas permukaan lembaran kulit hewan berusia tua itu. Kini terlihatlah gambar sebuah peta.
Dan... gambar itu amat serupa dengan milik Purwasih! "Kalian tentu masih ingat, setengah abad lalu, ketika Guru sedang sekarat beliau memberikan lembaran peta ini pada kita. Pesan beliau, kita hanya boleh membukanya ketika kita telah menjalani lima puluh tahun masa penjelmaan kita menjadi kera...," mulai Suntara lagi.
"Tentunya Guru punya maksud, bukan?" Cempaka bertanya dengan gaya yang acuh tak acuh. Sifat perempuan itu memang bertolak belakang dengan Wedari. Namun, bukan dengan begitu dia jadi tak peduli sama sekali dengan seluruh perkataan saudara seperguruannya yang lain. Dalam beberapa keadaan tertentu, Cempaka justru memperlihatkan rasa sayangnya pada setiap saudara seperguruan.
"Ya," jawab Suntara singkat. Dilanjutkan dengan penuturannya.
"Ada sesuatu yang harus kita dapatkan di Pulau Kera selain membangun kembali Perguruan Kera Merah."
"Apa itu, Kang?" Suntara baru hendak memberi tahu, namun terpancung oleh kedatangan suara tak bersahabat dari satu pucuk pohon besar.
"Mahkota Raja Kera! Benda itu akan jadi milikku!" Selanjutnya, meluncur turun sebentuk badan besar berbulu membelah kepekatan bersama geraman amat berat, seolah lahir dari kerongkongan naga.
Keenam orang di sekitar api unggun tercekat, terlebih manakala sinar api unggun memperjelas bentuk sosok yang baru datang....
Seolah mendapat aba-aba, berbarengan mereka mendesiskan sebuah nama angker.
"Raja Monyet Durjana...." Raja Monyet Durjana adalah seorang lelaki berusia amat tua, sebaya dengan guru mereka. Lelaki ini pernah menuntut ilmu 'Kera Sakti'. Namun karena sa-tu kesalahan, wujudnya malah berubah menjadi seekor kera besar menyeramkan. Dia baru akan kembali ke wujud semula jika telah menguasai Mahkota Raja Kera yang dimiliki oleh seorang guru di Perguruan Kera Merah. Sayang, ketika Raja Kera Durjana memaksa sang guru Perguruan Kera Merah untuk menyerahkan benda tersebut padanya, Mahkota Raja Kera justru telah disembunyikan dalam tempat rahasia oleh sang guru perguruan.
Terjadi pertarungan antara keduanya. Itu mengakibatkan sang guru perguruan menemui ajal. Berpuluh-puluh tahun Raja Kera Durjana mencari ke segenap penjuru Pulau Kera, benda itu tetap tak ditemukan. Sampai akhirnya dia putus asa dan mengasingkan diri ke sebuah gua.
Suatu hari, dia menyaksikan enam ekor kera merah di Hutan Alas Roban. Kala itulah dia teringat pada ajian 'Jelma Kera' milik guru Perguruan Kera Merah. Tentunya ajian itu pun telah diturunkan oleh keenam orang muridnya yang menghilang tanpa jejak.
Dia pun mulai mengendusi kalau dirinya selama ini telah diperdayai. Keenam murid itu sengaja men-jelma menjadi kera untuk menghindari pengejarannya.
Selama bertahun-tahun. Raja Kera Durjana terus mengawasi gerak-gerik keenam kera jejadian itu.
Lebih dari empat puluh tahun dia mengawasi. Tentunya bukan waktu yang sebentar. Namun, dia tetap yakin, suatu hari kera-kera jejadian itu akan menjelma ke bentuk aslinya. Pada saat itulah dia akan memaksa mereka memberi tahu di mana tempat persembunyian Mahkota Raja Kera! Kini waktunya telah tiba....
Suntara bangkit dengan sikap berwibawa. Wajahnya tetap kera, dingin, tak berubah sedikit pun.
Berbeda sekali dengan kelima saudara perguruannya.
Lima puluh tahun. Selama itu, mereka menanti agar bisa menjelma menjadi manusia kembali. Lima puluh tahun mereka harus menjadi hewan penghuni Hutan Alas Roban, semata hanya karena mereka tak ingin melanggar pesan terakhir almarhum guru mereka. Guru mereka tak pernah mengizinkan mereka menjelma menjadi manusia kembali sebelum lima puluh tahun. Padahal, mereka demikian ingin mencari Raja Kera Durjana dan melunaskan dendam mereka atas kematian sang guru.
Dan kini, setelah keenam murid dari Perguruan Kera Merah itu menanti demikian lama, akhirnya bertemu juga dengan manusia laknat yang bertanggung jawab atas kematian guru mereka. Tepat pada saat mereka telah menepati perintah sang guru untuk menjelma menjadi kera selama lima puluh tahun.
"Akhirnya...," desis Suntara. Kelima saudara seperguruannya turut bangkit.
Masing-masing mengambil tempat sejajar, sampai keenamnya membentuk barisan menghadap lawan.
Lawan mereka di depan menyeringai, memperlihatkan sepasang taring sebesar jari kelingking di sudut bibir hitamnya. Mata besar berurat kasar kemerahannya berkilat-kilat, memancarkan kekejian pekat.
"Kalian hendak menuntut balas atas kematian guru kalian" Nguk nguk he he he! Kalian cuma mimpi selama lima puluh tahun jika berniat hendak membunuhku. Sayangnya, mimpi itu akan segera berakhir!" Mendengar ucapan pongah Raja Kera Durjana, Buntaka mendengus berat.
"Apa pun katamu, kami pasti akan mengirimmu ke tempatmu yang sebenarnya... neraka!" Selesai berkata, Buntaka tak menunggu lebih lama lagi. Api dendamnya telah demikian menjerang hingga ke ujung ubun-ubun. Dendam yang selama ini terpendam kini termuntah seperti gelegar gunung merapi memuntahkan lahar! Diterjangnya Raja Kera Durjana tanpa meminta persetujuan kakak seperguruannya lagi.
"Mampuslah kau, Monyet Busuk! Hiaaa!"
"Buntaka tunggu!" Suntara berusaha menahan, tapi sudah terlambat. Buntaka lebih cepat menerjang ke depan dengan jurus 'Cakar Kera Gila'-nya. Dari sepuluh ujung jari lelaki gempal itu seketika bersembulan kuku-kuku runcing berwarna hitam.
Wukh! Jarak yang cukup dekat dengan lawan, mempercepat gerak terjangan cakar Buntaka. Namun bukanlah berarti serangannya mendarat tepat pada sasaran. Dengan amat cepat, Raja Kera Durjana mengibaskan tangan kanan. Bunyi menderu sekuat hempasan mata golok besar di udara tercipta.
Wush... dash! Cakar Buntaka yang mencoba mengoyak leher Raja Kera Durjana dijegal oleh kuku-kuku si lelaki setengah kera raksasa. Kini, terlihatlah sepuluh kuku runcing yang jauh lebih besar, jauh lebih menggidikkan dari milik Buntaka! Benturan cakar mereka menghasilkan asap putih tipis yang mengambang lambat di udara malam.
Buntaka sendiri mengeluh tertahan. Didekapnya pergelangan tangan yang terjegal cakar lawan. Betapa dia merasakan hantaman ujung runcing kukukuku lawan serasa baru saja menumbuk cakarnya.
Padahal, cakar Buntaka sendiri sanggup mengoyak karang!
-- ( 4 ) --
"Jadi, apa tujuanmu kembali ke 'dunia'?" Ki Saptacakra baru hendak menyorongkan telapak kakinya ke hidung Pendekar Slebor. Untung anak muda itu buru-buru membenahi kesalahan perkataannya.
".... E-eh, kembali ke 'dunia'... persilatan, maksudku!"
"Itu memang baru mau kukatakan padamu!"
"Itu juga baru mau kutanyakan padamu, Ki Buyut."
"Jangan membolak-balik perkataanku!"
"Kalau tidak begitu, bukan keturunan Pendekar Lembah Kutukan dong...." Ki Saptacakra tertawa tergelak-gelak.
Andika ikut-ikutan.
"Hua ha ha ha!" dia bersikap sok akrab dengan buyutnya yang selama hidup baru dua kali bertemu. Disangkanya lelaki bangkotan itu senang mendengar ucapannya tadi. Tapi apes....
Tak! Jidatnya dihadiahi jitakan keras, membuat kepalanya saat itu seperti baru saja disambar kepalan Bima.
"Kau kira aku suka"!" bentak Ki Saptacakra mendelik-delik.
Andika cuma bisa meringis-ringis: Tahu rasa dia! "Kau mau mendengar penjelasanku atau tidak, cucu buyut slompret"!" sambung Ki Saptacakra.
"Ki Buyut sendiri, mau menjelaskan padaku atau tidak...?" ceplos Andika lagi, belum juga kapok.
"Eeee...." Orang tua di depannya sudah mengangkat tangan lagi, hendak menjitak Andika. Tobat, Ki Buyut! Aku mau dengar.... Tapi bagaimana dengan Purwasih" Dia 'kan cucu buyut kemenakanmu" Apa sebaiknya dia ikut mendengarkan juga penjelasanmu tentang peta Pulau kera itu?"
"Kau jangan mengaturku! Biar saja dia pingsan dulu! Soal penjelasannya, nanti juga kau pun bisa me-nyampaikan padanya!"
"Ho-ohlah... ho-oh! Terserah Ki Buyut saja,..," Andika pasrah, kalau tak ingin benjol sebesar telur ja-wara di jidatnya bertambah. Mulailah si tua Pendekar Lembah Kutukan bercerita tentang seorang lelaki tua guru besar Perguruan Kera Merah dengan keenam muridnya. Juga tentang pertarungan maut antara sang guru perguruan dengan Raja Kera Durjana.
"Lalu apa hubungannya dengan kau, Ki Buyut" Juga hubungannya dengan aku dan Purwasih" Kenapa urusannya jadi nampak ngelantur jauh?" tanya Pendekar Slebor selesai Ki Saptacakra bercerita.
"Itu juga baru akan kujelaskan padamu! Kenapa kau tak bisa menahan sebentar saja mulutmu agar tak bicara!" Andika pasrah lagi. Menyebalkan juga sebenarnya. Tapi, yang dihadapinya sekarang adalah buyutnya. Orang tua yang pasti lebih sableng darinya. Jangan-jangan jin belang pun takut padanya!
*****
Nyawa harus ditebus nyawa, pikirnya. Dan kalaupun dia tak berhasil melunaskan dendam dengan mencabut nyawa lawan, setidaknya dia sudah merasa puas.
Tanpa disadari Buntaka, justru itu menjadi satu kesalahan fatal. Dalam satu pertarungan, api dendam tak menjamin seorang keluar menjadi pemenang.
Bahkan seringkali letupan nafsu justru membawa akibat merugikan diri sendiri, Terbukti ketika satu cakaran ke sekian dicoba didaratkan Buntaka ke dada lawan, Raja Kera Durjana mendadak membuat gerakan tak terduga. Lelaki setengah kera raksasa itu mula-mula berkelit ke sisi.
Dilanjutkan dengan gerakan pinggul setengah putaran. Dan dari belakang tubuhnya, tiba-tiba berseliwer benda panjang berbulu ke arah Buntaka.
Buntaka tercekat. Kesiagaannya selama ini hanya dipusatkan pada serangan cakar besar lawan.
Dia tak menyangka kalau lawan akan mempergunakan bagian tubuh lain. Pada detik itu, Buntaka sudah terlambat menyadari.
Desh! Ulu hatinya langsung terhajar benda yang ternyata ekor Raja Kera Durjana. Bagian tubuh lawan tersebut menghantam layaknya sebatang balok besar.
Padahal yang mendarat di bagian ulu hati Buntaka cuma bagian ujungnya.
Tubuh lelaki gempal dari Perguruan Kera Merah kontan terjengkang ke belakang. Di atas tanah berumput, dia terseret sekitar enam-tujuh langkah.
"Nguk nguk he he he!" Raja Kera Durjana terkekeh. Dia begitu puas, apalagi menyaksikan Buntaka meregang-regang mendekap ulu hatinya.
"Begitulah akibatnya kalau kalian berani menentang Raja Kera Durjana!" Kelima saudara seperguruan Buntaka teramat gusar menyaksikan keadaan saudara seperguruannya.
Mereka mengeroyok Raja Kera Durjana dengan pandangan menghanguskan.
"Kenapa kalian tak maju serentak saja"!" ledek Raja Kera Durjana meremehkan sekali. Sugali dan Sugalu hendak beranjak maju. Tapi tangan Suntara membentang di depan, menghadang mereka.
"Belum waktunya," bisik Suntara tegas.
Di belakang mereka, Buntaka beringsut bangkit kembali. Dengan mata merah pekat dia melangkah tertatih.
"Aku belum menyerah, Monyet Busuk!" erangnya bergetaran. Memang tak ada tanda-tanda kalau lelaki bertubuh gempal itu terluka dalam. Tak ada darah kehitaman mengalir keluar dari mulut atau hidungnya.
Dan sampai saat itu, keadaannya tampak masih memungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
Sewaktu Buntaka hendak memulai kembali terjangannya, Suntara kembali berusaha mencegah.
Meski tak puas dengan tindakan kakak seperguruannya, Buntaka menurut.
"Kenapa kau tak puas-puasnya menyengsarakan orang-orang Perguruan Kera Merah, Raja Kera Durjana?" ucap Suntara, setelah sebelumnya dia melangkah maju beberapa tindak.
"Kau telah bunuh sekian puluh anggota perguruan kami. Kau pun membunuh guru kami. Kini setelah lima puluh tahun berla-lu, kau masih juga belum puas?" Cempaka tak senang mendengar perkataan kakak kembarnya barusan. Meski dia murid paling bungsu di antara mereka, bukan berarti dia harus selalu setuju dengan yang lain.
Baginya, perkataan Suntara bukanlah ucapan seorang pendekar, melainkan lebih tepat dikeluarkan dari mulut seorang pecundang.
"Apa-apaan kau ini, Kang Suntara"!" selak Cempaka gusar. Dia maju di depan Suntara, lalu ditentangnya Raja Kera Durjana dengan cara bertolak pinggang. Suntara menghela napas. Dia mengerti bagaimana sifat wanita yang sebenarnya bukan cuma saudara seperguruan semata, tapi juga adik kembarnya sendiri itu. Dan di antara keenam sisa murid Perguruan Kera Merah, mereka berdua memiliki kelebihan sendiri. Ikatan batin yang begitu kuat antara dua saudara kembar itu menyebabkan mereka bisa mengembangkan ilmu 'Wicara Garba' yang diturunkan khusus oleh guru mereka kepada keduanya. Ilmu itu dapat membuat mereka bercakap-cakap dengan bahasa hati bila dipergunakan.
Suntara menepuk bahu adik kembarnya di dpan. Ketika perempuan beradat keras itu menoleh, ditatapnya mata Cempaka lekat-lekat. Lalu seberkas gelombang tak tertangkap mata manusia mengalir dari mata Suntara dan masuk ke sepasang mata bulat Cempaka.
"Aku bukan hendak bersikap pengecut. Aku punya siasat! Kita harus menghindari dulu manusia laknat ini. Kau tentu ingat pesan Guru. Kita tak boleh berhadapan dengannya sebelum kita benar-benar menemukan benda wasiat peninggalan Guru...." Di garba Cempaka, terdengar kata hati kakak kembarnya. Kini, perempuan itu bisa mengerti. Dia pun melangkah kembali ke tempatnya.
"Karena kami tak ingin mengungkit masa lalu yang demikian menyakitkan untuk kami, kami akan menyerahkan peta rahasia Pulau Kera padamu...," lanjut Suntara.
Buntaka terperangah. Mana mungkin Suntara bisa berkata seperti itu" Tindakan yang bukan cuma bodoh, melainkan sama saja dengan bunuh diri! Kalau Raja Kera Durjana nanti bisa menemukan benda wasiat peninggalan guru mereka, maka tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk bisa menang melawan kesaktian Raja Kera Durjana! Untunglah Cempaka cepat memberinya isyarat dengan kelopak mata ketika lelaki gempal itu hendak bertindak serampangan kembali.
"Nguk nguk nguk!" Raja Kera Durjana tertawa meriah.
"Siasat apa yang hendak kalian mainkan untuk memperdayaiku" Kau pikir, aku akan mudah tertipu, heh?" Keadaan mulai sulit, keluh Suntara. Ternyata sang lawan berwujud monyet raksasa tak mempunyai otak sebesar otak monyet....
"Kau pikir aku tak akan curiga kalau kalian memberikan padaku peta itu dengan mudah sementara peta itu sendiri adalah wasiat guru kalian?" sambung Raja Kera Durjana, makin menyudutkan Suntara. Aku harus mengubah siasat! Pikir Suntara.
Semampunya dia harus menghindari pertarungan langsung antara mereka dengan Raja Kera Durjana.
"Cempaka, kau dengar aku!" sekali lagi, Suntara mengirim gelombang suara hatinya pada Cempaka. Jika tadi melalui mata, kali ini dikerahkan melalui kulit, menebar lurus ke arah Cempaka. Kemudian gelombang itu diserap kulit Cempaka.
"Ya, Kang...," jawab Cempaka dalam hati.
"Nanti, ketika kulemparkan peta kulit, berpurapuralah kau merebutnya. Setelah itu, kau harus melarikannya dari sini. Biarkan Raja Kera Durjana merebutnya darimu. Tapi ingat, kau harus hati-hati. Aku tak mau sampai kau terluka!"
"Baik, Kang...."
"Kami memang mendapat wasiat dari Guru untuk menjaga peta ini?" mulai Suntara kembali. Dikeluarkannya gulungan peta kulit yang telah digulungkan pada sepotong bambu kuning, lalu diacungkan ke depan.
"Tapi, sebagai murid tertua, akulah yang meng-gantikannya sebagai pemimpin perguruan. Dan aku telah memutuskan agar benda ini kuserahkan padamu.
Aku tak ingin sisa Perguruan Kera Merah yang telah hancur akan menjadi bertambah hancur hingga tak tersisa hanya karena benda laknat ini!" tandasnya, bersandiwara. Untuk seorang yang tak tahu menahu tentang seni bersandiwara, gaya bicara Suntara cukup meyakinkan.
Lelaki setengah kera di depan mereka lagi-lagi memperdengarkan tawa ganjilnya.
"Bagaimana dengan saudara perguruanmu yang lain" Apakah mereka akan setuju begitu saja dengan keputusanmu"!" tanya Raja Kera Durjana, mulai terpancing dalam siasat Suntara.
"Aku pastikan, mereka tak akan menentangku!"
"Bagus! Bagus sekali. He he he nguk nguk! Kalau saja gurumu berpikiran seperti kau, tentu Perguruan Kera Merah tak akan bernasib sial! Tapi, aku masih belum bisa percaya.
Bagaimana kalau gulungan peta di tanganmu ternyata palsu?"
"Kau bisa memeriksanya di depan hidung kami, Raja Kera Durjana!"
"Bagus... bagus! Kalau begitu, cepat kau berikan peta itu padaku sekarang!" Suntara menuruti permintaan Raja Kera Durjana. Dilemparnya gulungan peta di tangannya ke udara. Sengaja dia membuat lemparan yang agak meninggi, sesuai dengan rencana. Dengan begitu, Cempaka mempunyai kesempatan untuk menyambar benda tersebut di udara.
Tepat ketika gulungan peta melayang tiga tombak di udara, Cempaka berteriak keras-keras.
"Aku tak akan sudi kau memberikan peta wasiat itu pada dia!" Lantas bagai kelincahan seekor manyar, tubuhnya melentik ke udara, memburu guliran gulungan peta kulit. Tep! Raja Kera Durjana membeliak. Sungguh dia tak menduga sama sekali kalau perempuan berambut pendek itu akan menyambar peta di udara! Dia sendiri sudah terlambat untuk melompat memburu gulungan peta. Saat itu pula, sesuai dengan perhitungan Suntara, keraguan Raja Kera Durjana kalau peta yang dilempar Suntara adalah palsu terberangus seketika itu juga. Terlebih lagi ketika Cempaka dengan segera me-larikan diri ke dalam hutan dengan mengerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya.
"Hei, berikan benda itu padaku!" seru Raja Kera Durjana, murka. Dikejarnya Cempaka dengan beran-gasan. Sebagaimana wujudnya, cara berlari orang aneh ini tak lagi seperti manusia. Dia justru melompat-lompat dengan jejakan teramat kuat, Sekali lompatan, jarak sepuluh tombak terlampaui! Menyusul menghilangnya Raja Kera Durjana di antara gelapnya pepohonan, kelima murid Perguruan Kera Merah yang lain turut pula mengejar. Suntara memberi isyarat pada yang lain agar tetap menjaga jarak. Dia tak ingin kecurigaan Raja Kera Durjana kembali merebak. Perempuan yang diburunya terus lari makin ke dalam hutan. Untuk ilmu peringan tubuh, Cempaka dapat diandalkan. Tak mudah bagi Raja Kera Durjana mengejarnya, lebih-lebih menangkapnya.
Namun karena tindakan yang dilakukan Cempaka sekadar siasat belaka, maka dia tak terlalu men-gempos kemampuan peringan tubuhnya. Bahkan dia berlari sambil memperlihatkan senyum tersamar. Terbayang dalam pikirannya, kakak kembarnya akan mengadali Raja Kera Durjana. Tentu nanti wajah beruknya akan bertambah jelek ketika menyadari dirinya telah ditipu mentah-mentah.
Tentu dia akan berjing-kat-jingkat sambil meruntunkan sumpah serapah yang terdengar seperti ocehan monyet sakit perut! Tak jauh masuk ke dalam hutan, Raja Kera Durjana sudah bisa mendahului Cempaka.
"Berhenti kau, Perempuan!" Raja Kera Durjana hinggap tepat di depan Cempaka, menghadang gerak lari perempuan itu. Wajahnya mematang. Amat merah. (Pinggiran borok saja pasti kalah merah!). Mata bulat beruratnya nyalang berkilat-kilat. Dua taring di sudut bibirnya menyingsing, menggidikkan. Sebagian bulu-bulu di bagian tengkuknya berdiri tegak. Dia murka. Itu sebabnya sinar mata si manusia setengah kera begitu menyemburatkan hawa membunuh.
Cempaka bergidik. Mungkinkah dia bisa berhasil menjalankan siasat kakak kembarnya tanpa harus kehilangan nyawa seperti telah direncanakan Suntara"
*****
-- ( 5 ) --
"Cepat serahkan peta itu padaku!" Cempaka sadar, nyawanya kini sedang terancam. Raja Kera Durjana bukanlah lawan yang sepadan untuk dirinya. Bahkan jauh tak sepadan. Kemampuannya bertahan, mungkin cuma terbilang sekian puluh jurus. Setelah itu, nyawanya tak dapat dijamin lagi. Namun begitu, Cempaka tahu, dia tak punya pilihan. Rencana Suntara harus diteruskan sampai lawan benar-benar masuk perangkap tanpa disadari.
Untuk itu dia harus bertarung lebih dahulu dengan Raja Kera Durjana, agar lawan merasa benar-benar yakin peta di tangan Cempaka benar-benar benda yang diinginkan selama lima puluh tahun belakangan.
Untuk menghadapi Raja Kera Durjana sebenarnya Cempaka punya semangat membakar. Dia pun dendam teramat sangat pada pembunuh gurunya. Bukan cuma itu, Cempaka sendiri tak pernah merasa perlu takut menghadapi manusia zalim macam Raja Kera Durjana. Meski seandainya manusia berwujud kera itu adalah dewa sekalipun.
Tapi, persoalannya bukan cuma dendam buta.
Dia tak ingin bersikap tolol seperti Buntaka. Seperti juga Suntara, perempuan itu amat tahu, belum waktunya mereka berhadapan dengan kesaktian Raja Kera Durjana. Kemampuan mereka masih terlalu mentah.
Mereka harus menjalani godokan akhir untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diwariskan guru mereka di Pulau Kera. Bagi Cempaka, itulah arti perjuangan menegakkan kebenaran. Selain semangat, dibutuhkan juga perhitungan-perhitungan matang. Bukan sekadar nafsu dendam buta.
Sekarang ini, kalaupun dia harus berhadapan dan bertukar jurus dengan Raja Kera Durjana, semata karena dia percaya pada siasat kakak kembarnya.
Dan agar dia dapat menjalankan pesan terakhir gurunya untuk menyempurnakan kesaktian sebelum benar-benar menghadapi dan menyingkirkan Raja Kera Durjana zalim, Cempaka harus amat hati-hati. Dia bertekad agar dirinya tidak kehilangan nyawa. Meski kemungkinan itu sama sekali tak pernah ditakutinya.
"Tak akan kuserahkan benda wasiat Eyang Guru kepada manusia laknat sepertimu!" sentak Cempaka, meneruskan sandiwara yang telah dimulai Suntara sebelumnya.
Raja Kera Durjana tak punya cukup kesabaran untuk banyak berdalih. Darahnya mendidih mendengar bantahan keras Cempaka. Dalam hal memuaskan keinginannya semata, dia tak segan-segan membunuh siapa pun. Tak peduli wanita. Bahkan jika perlu, seorang bayi.
"Kau akan segera mampus! Grrrr nguik!" Lantas, terkaman gaya seekor kera buas beringas pun menerjang Cempaka. Cakar besarnya yang hitam runcing membabat udara, mengancam kulit leher halus perempuan di depannya. Pada saat tergesek udara, kesepuluh kuku Raja Kera Durjana memercikkan bunga-bunga api dibayangi asap tipis putih kehitaman. Pertanda betapa teramat tinggi kecepatan dan betapa amat kuat sapuan cakar si lelaki kera.
Cempaka dipaksa memekik. Dia menghindar dengan mengerahkan segenap kecepatan yang sanggup dilakukan pada saat demikian sempit.
Wukh! Trssssh! Udara terbakar lagi. Bau sangit melayapi udara.
Cempaka berhasil lolos dari terkaman maut dengan membuang diri ke belakang. Setelah bersalto tigaempat kali, dia berhasil mendaratkan kaki tanpa kekurangan sesuatu tujuh tombak dari tempat semula.
Raja Kera Durjana tak ingin membiarkan lawan bernapas lega. Diburunya kembali Cempaka dengan segenap kebuasan binatang mata gelapnya.
"Nguikggrrrrh!" Cakarnya berkelebat lagi. Sekali ini mencoba mengoyak perut langsing Cempaka. Sedikit saja tergores ujung cakar itu, maka isi perut Cempaka bisa terburai di tanah! Cempaka tak mau mengambil resiko itu. Pada detik yang demikian genting, timbul keinginan perempuan jelita itu untuk menjajal tingkat tenaga dalam lawan. Dikayuhnya tangan ke udara dengan menyalurkan hampir seluruh tenaga dalamnya ke sepasang tangan.
Dagh! Tak ada sekedipan mata dari benturan pergelangan tangan mereka, tubuh Cempaka terpental keras. Dia seperti disentak tenaga dorongan sepuluh be-lalai gajah jantan. Setelah melayang deras berarah lurus sekitar sepuluh depa ke belakang, tubuhnya terbanting di tanah. Dengan bergulingan, Cempaka berhasil menguasai keseimbangannya kembali. Kakinya dapat menjejak tanah dengan mantap. Cuma, pergelangan tangan yang tadi berbenturan dengan lawan seperti remuk-redam dari dalam. Nyerinya sampai ke ulu hati. Dan, mata Cempaka jadi berkunang-kunang karenanya.
"Gila, pantas saja Eyang Guru meminta kami untuk menyempurnakan kesaktian terlebih dahulu untuk menghadapi manusia monyet ini!" desis Cempaka sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
"Kalau begitu, akan amat berbahaya cakarnya.
Dengan tenaga dan kecepatan seperti itu, aku tak boleh sedikit pun tergores ujung kukunya. Selain itu, bukan tak mungkin kuku si manusia monyet ini pun mengandung racun...," simpul Cempaka.
Sebelum saudara seperguruannya yang lain tiba, dia harus berpura-pura dapat dikalahkan Raja Kera Durjana. Namun dia tak mungkin mengambil resiko membiarkan tubuhnya disambar cakar lawan. Harus ada cara lain, pikirnya. Pada saat genting itulah Cempaka teringat pada ekor lawan. Sebelumnya dia menyaksikan sendiri, ekor itu bisa menjadi senjata lawan.
Namun ketika menimpa tubuh Buntaka tampaknya ekor lawan tak terlalu berbahaya dibanding cakarnya.
Jika demikian, Cempaka akan berusaha memaksa ekor lawan turut dipergunakan. Pada saat itu, dia akan berpura-pura terhajar ekor tersebut.
Berpikir begitu, Cempaka segera melakukan serangan tanpa menunggu lawannya menerjang.
"Hiaaa!" Dengan bambu dalam gulungan peta kulit, Cempaka melepas hantaman keras ke kepala Raja Kera Durjana. Wukh! Raja Kera Durjana merunduk dengan mudah.
Kaki depannya yang membengkok berusaha menyapu kuda-kuda Cempaka.
Cempaka melihat ada kesempatan untuknya agar bisa berada di belakang tubuh lawan tanpa dicurigai. Dia pun melompat ke depan, melewati kepala lawan dengan cepat dan hinggap di belakang tubuh lawan. Begitu tiba, kakinya menyentak ke punggung lawan. Perhitungannya berhasil. Lawan sadar dirinya terancam telapak kaki Cempaka. Dia akhirnya menggerakkan ekor. Tendangan perempuan itu dimentahkan. Dan pada gerak selanjutnya, ujung ekor lelaki ke-ra itu menanduk dada sebelah kanan Cempaka.
Desh! "Aaakhh!" Cempaka memekik. Di luar perhitungannya, ternyata hantaman ekor lawan demikian kuat. Dadanya seperti ditanduk kekuatan ombak raksasa. Saat itu juga dia kehilangan kesadaran. Dunia gelap. Dia tak ingat apa-apa lagi.
*****
Cempaka melenguh.
"Kau tak apa-apa, Cempaka?" tanya Wedari. Di samping Suntara, dia teramat khawatir pada keadaan adik seperguruan wanitanya.
Perempuan acuh yang sifat dan penampilannya seperti lelaki itu meringis. Masih terasa mendera-dera sakit di dadanya akibat hantaman ekor Raja Kera Durjana.
"Si monyet kurap itu hebat juga...," lirihnya, mengumpat.
"Hanya dengan ekornya saja, aku sudah dibuat begini.... Sialan!" Cempaka beringsut bang-kit.
Tangannya mendekap bagian yang sakit. Suntara membantunya.
"Kau yakin tak apa-apa, Cempaka?" kakak kembarnya mengulang pertanyaan Wedari barusan.
"Tentu saja aku 'kenapa-napa'," ketus Cempa-ka.
"Apa kau tak melihat aku masih melilit-lilit seperti ini?" Suntara tertawa kecil. Kalau adiknya bisa ngo-ceh selancar itu, itu artinya dia tak apa-apa.
"Kau malah tertawa?" sungut Cempaka.
"Ini semua karena rencanamu!"
"Ya, rencana itu berhasil karena bantuanmu, bukan?"
"Tapi aku belum jelas, apa rencanamu sebenarnya"!" tukas Cempaka, nyaris berbarengan dengan Buntaka.
"Kenapa kau membiarkan Raja Kera Durjana mendapatkan peta pemberian Eyang Guru?" cecar Buntaka, tak habis mengerti dengan rencana kakak seperguruannya.
"Apa kau memberikan peta palsu, Kang?" timpal Sugalu.
Suntara menggeleng.
"Bagaimana mungkin Raja Kera Durjana akan membiarkan kita kalau peta yang kuberikan ternyata palsu...," katanya tenang.
"Jadi peta asli"!" Cempaka memekik.
"Kau jangan sinting, Kang!" Perempuan itu baru saja mengangkat tinju, hendak disarangkan ke dagu Suntara.
Kakak kembarnya cepat menahan.
"Jangan terburu mengamuk seperti itu.... Biar kujelaskan. Peta itu memang yang asli. Tapi...," Suntara memotong kalimatnya sendiri. Dikeluarkannya sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Selembar sayatan memanjang yang ternyata adalah satu bagian kecil peta Pulau Kera.
"Tanpa bagian ini. Raja Kera Durjana tak menemukan tempat penyimpanan Mahkota Raja Kera." Buntaka kontan tergelak-gelak mengetahui akal bulus kakak seperguruannya.
"Pada saat dia menyadari kalau peta itu tak lengkap nanti, kita sudah terlebih dahulu tiba di Pulau Kera...," tambah Suntara.
"Tapi, Kang. Bagaimana cara kita bisa tiba di tempat rahasia penyimpanan Mahkota Raja Kera, sementara bagian terbesar dalam peta dipegang Raja Kera Durjana?" Sugali menyela.
Suntara tersenyum penuh arti. Santai, dilepasnya pakaian bagian atas.
Saudara seperguruannya yang lain terperangah. Mereka melihat rajah di dada Suntara. Rajah itu adalah salinan bagian peta yang diberikan kepada Raja Kera Durjana.
"Aku telah membuatnya ketika kita hendak meninggalkan Pulau Kera. Aku tahu, suatu hari kita akan berhadapan kembali dengan Raja Kera Durjana.
Dia tentu akan menuntut peta itu dari tangan kita. Karena itu, aku menyusun rencana matang...," paparnya enteng.
"Jadi, selama kita menjelma menjadi kera, salinan peta itu tetap berada di punggungmu" Dan bulu lebat telah menyamarkannya selama ini?" Cempaka bertanya dengan mata membeliak kagum. Suntara mengangguk membenarkan.
Buntaka tergelak kembali. Dia geli membayangkan kalau Raja Kera Durjana mengetahui hal itu ketika mereka masih menjelma sebagai kera. Bisa jadi petanya akan terbuat dari kulit kera jelmaan Suntara! "Sebaiknya kita jangan berlega hati dulu. Raja Kera Durjana tetap bisa menyusul kita ke Pulau Kera.
Untuk bisa tiba di sana, tanpa peta itu pun dia sanggup. Cuma, dia hanya tak bisa menemukan tempat penyimpanan rahasia Eyang Guru. Tentu dia akan segera menyusul kita ke sana. Atau menanti kita di pulau itu, jika kita kalah cepat ke sana...."
-- ( 6 ) --
Cerita-cerita, desas-desus, dan kabar burung berseliweran tentang pulau penuh teka-teki itu.
Banyak pelaut yang menyaksikannya pada suatu kali, namun tak berhasil menemukan kembali pada kali yang lain.
Beberapa pelaut ulung yang penasaran mencoba menemukan Pulau Kera. Mereka semula berniat hendak mendarat di tempat itu untuk mencari tahu ada apa di sana. Tapi, niat mereka tak pernah kesampaian. Jangankan mendarat, untuk menemukannya saja mereka tak pernah mampu. Padahal, sepanjang jalur pelayaran telah mereka arungi, bahkan mereka yakin telah menyusuri seluruh wilayah Selat Sunda.
Sebaliknya, para orang-orang yang tak berniat sama sekali untuk menjamah Pulau Kera, justru dengan mudah menyaksikan pulau tersebut.
Sebagian kalangan berpendapat kalau pulau tersebut sebenarnya bukanlah pulau sesungguhnya.
Melainkan hanya dataran berdasar batu apung yang terus berpindah-pindah tempat di sekitar Selat Sunda.
Sebagian yang lain menganggap pulau itu adalah Pulau Hantu. Desas-desus lebih seru pun tak jarang menebar. Kata beberapa orang, pulau itu sebenarnya adalah perahu Kerajaan Nyai Roro Kidul. Dikawal oleh sepa-sukan tentara lelembut berbentuk kabut.
"Pulau Kera itu dijaga banyak prajurit, lho! Bener, sumpah mampus, dah!" koar seseorang yang mengaku pernah menyaksikan Pulau Kera.
"Prajuritnya serem-serem?"
"Wih, bukan serem lagi! Gede-gede!"
"Ck ck ck! Berani juga kau melihatnya, ya?"
"Ah, kata orang kok...,"
"Wuuuu, ngomong sama ember!" Lepas dari simpang-siurnya cerita-cerita yang lebih banyak dilebih-lebihkan ketimbang dikurangi, pendekar muda kita telah menuju ke sana bersama Purwasih. Jauh di tengah samudera, Pulau Kera sendiri dirundung kebisuan. Segenap misteri masih mengungkungnya rapat-rapat. Malam saat itu. Lautan sedang pasang. Gelombang tumbuh meninggi, kian liar dan buas dari waktu ke waktu. Lidah-lidah ombak menghantami sebagian sisi pulau berkarang. Airnya terpecah di udara, sia-sia menghadapi kekokohan karang.
Di pantai berpasir bagian selatan Pulau Kera, mendarat satu perahu kecil berpenumpang dua orang.
Layarnya tergulung, karena tak dibutuhkan pada saat samudera tak ramah. Salah seorang melompat dari perahu tak berlayar. Di atas pasir, kakinya menjejak.
Tangan orang itu lalu menjulur ke depan, hendak menawarkan bantuan pada orang di atas perahu.
"Tak perlu! Kau pikir aku ini nenek-nenek jompo!" terdengar suara meninggi wanita di atas perahu tadi. Dia Purwasih. Sedangkan lelaki yang mendahuluinya turun dari perahu, siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor.
"Ya, sudah..." gerutu Pendekar Slebor, sedikit kesal karena tawaran jasanya ditolak mentah-mentah oleh si manis tapi judes.
Kedua muda-mudi itu tak mengalami kesulitan menemukan Pulau Kera, seperti kabar burung kebanyakan orang. Sebenarnya, memang ada cara khusus untuk menemukan pulau itu. Dan peta Pulau Kera di tangan Purwasih menjelaskan hal itu. Itu sebabnya mereka tak banyak mengalami kesulitan sampai di sana. Meskipun bukan berarti mudah bagi mereka untuk mengarungi gejolak samudera yang sedang mengamuk.
Andika melangkah bersungut-sungut meninggalkan perahu, pada saat Purwasih sedang berusaha menariknya ke atas pasir.
"Jangan mau enaknya sendiri, Cepat bantu aku! Apa kau pikir perahu ini akan dibiarkan terbawa air surut nanti. Kita mau pulang dengan apa" Dengan dengkulmu"!" semprot Purwasih.
"Tadi kau tolak bantuanku...."
"Sekarang lain!"
"Ah, perempuan memang serba salah!" bisik Andika kembali menggerutu. Dibantunya Purwasih menarik perahu. Di dekat tumbuhan semak pantai yang cukup jauh dari jangkauan air pasang, mereka menempatkan perahu.
Purwasih selama melanjutkan perjalanan terus saja memendam kedongkolan pada Andika. Dia menuntut anak muda itu menceritakan apa yang terjadi ketika dia pingsan waktu itu. Tapi si perjaka sakti dari Lembah Kutukan tak mau buka mulut. Dia terus saja mengalihkan pembicaraan kalau Purwasih mulai ngotot memaksanya bercerita.
Andika memang tak boleh bercerita dulu pada wanita itu tentang pertemuannya dengan Pendekar Lembah Kutukan, buyutnya. Itu pesan Ki Saptacakra.
Kalau sudah si tua bangka itu yang bicara, mana berani Andika melanggar. Bisa kualat, pikirnya. Lelaki tua itu bisa saja mengutuknya menjadi kampret! Kalau mulutnya keramat, bisa repot urusan.
Purwasih hanya boleh diberi tahu tentang tujuan mereka ke Pulau Kera jika mereka telah tiba di tempat rahasia yang terdapat dalam peta Pulau Kera di tangan Purwasih.
Lalu, apa sesungguhnya yang diceritakan Pendekar Lembah Kutukan pada cucu buyutnya tentang Pulau Kera" Menurut Ki Saptacakra, peta rahasia Pulau Kera adalah titipan seorang sahabatnya yang tinggal di Pulau Kera. Ki Saptacakra kemudian menitipkannya pada cucu kemenakannya, Prabu Bratasena, yang juga ayah Purwasih. Sahabat Ki Saptacakra adalah guru besar Perguruan Kera Merah. Dia membuat dua salinan peta Pulau Kera yang sekaligus berisi petunjuk tempat penyimpanan Mahkota Raja Kera. Satu peta telah diserahkannya kepada Ki Saptacakra jauh hari sebelum kematiannya di tangan Raja Kera Durjana.
"Aku mendapat firasat tak baik belakangan ini, Kang Saptacakra," begitu kata sahabat Ki Saptacakra ketika menyerahkan peta tersebut.
"Aku berharap Kang Saptacakra sudi menolongku. Jika nanti aku mati, Mahkota Raja Kera harus jatuh ke tangan muridmuridku. Jangan sampai benda mustika itu jatuh ke tangan yang salah. Aku takut, muridku tidak mendapatkannya, karena itu aku membuat dua peta tempat penyimpanan rahasia itu...." Kini, Pendekar Slebor dan si Naga Wanita ditugaskan oleh salah seorang buyut mereka untuk mendapatkan Mahkota Raja Kera. Jika benda mustika itu telah didapat, Andika diperintahkan untuk menjaganya sampai dapat diserahkan kepada yang berhak, kepada sisa murid-murid Perguruan Kera Merah.
Pendekar Slebor dan Purwasih terus berjalan meninggalkan pantai Pulau Kera. Sekitar enam puluh langkah mereka berjalan, mereka memasuki mulut hutan. Pepohonan besar tumbuh menjelang. Di sana, keduanya dikejutkan oleh membuncahnya suara-suara riuh-rendah di udara.
Pendekar Slebor dan si Naga Wanita agak tersentak. Keduanya lebih tersentak lagi menyaksikan asal suara tadi. Dari pepohonan besar yang tumbuh di sekitar mereka, bergerak liar sosok-sosok kecil berwarna hitam. Mereka menyaksikan ada ratusan kera seperti menyambut kedatangan keduanya dengan sikap tak ramah. Purwasih bergidik. Dia tak takut. Cuma merasa jijik dengan binatang yang dianggapnya buruk itu.
"Cuma kera!," cibir Andika, menyaksikan Wajah kecut Purwasih.
"Kera ya, kera. Tapi kau lihat jumlah mereka?"
"Maaf, aku tak sempat menghitung," sahut anak muda tadi, acuh. Dia melangkah lagi.
Seekor kera berteriak-teriak tak henti-hentinya ke arah Andika. Anak muda itu jadi dongkol.
"Diam Purwasih! Jangan cerewet!" makinya.
Purwasih cemberut
*****
"Kang, lihat..." Cempaka yang turun lebih dahulu berujar pada Suntara. Dia menemukan perahu tergeletak di dekat semak-semak tumbuhan pantai.
Semuanya waspada.
"Mungkinkah Raja Kera Durjana telah mendahului kita, Kang?" tanya Wedari.
Suntara menggelengkan kepala "Bisa ya, bisa tidak. Tapi, selain Raja Kera Durjana, apakah ada orang yang bisa ke tempat ini tanpa peta rahasia Pulau Kera?" gumamnya.
"Sebaiknya kita tetap mempertahankan kewaspadaan. Usahakan untuk menghindari pertarungan selama kita belum me- nemukan Mahkota Raja Kera...," tambahnya, nampak tegang.
"Sebentar..." Suntara mendekati perahu yang dicurigai.
"Apa yang hendak kau lakukan, Kang Suntara?" tanya Buntaka.
"Kita harus memeriksa perahu itu. Siapa tahu kita mendapatkan petunjuk siapa yang telah mendahului kita datang ke tempat ini...," jawab Suntara.
"Tak ada apa-apa di dalam perahu," Suntara kembali dan melaporkan hasil pemeriksaannya. Di antara mereka, Suntara memang memiliki kelebihan pada kecemerlangan otaknya.
"Aku tak bisa menentukan siapa yang datang dan berapa jumlah mereka. Namun, kalau menyaksikan ukuran perahu, paling banyak dua orang telah tiba di tempat ini." Untuk meyakinkan dugaannya, Suntara meneliti jejak kaki di atas pasir.
"Ya, mereka memang dua orang. Satu orang lelaki dan satu wanita," simpul Suntara cerdik, menilai dari ukuran telapak kaki.
Suntara menoleh sebentar ke arah perahu.
"Dan kalau melihat lambungnya yang masih basah, aku yakin mereka belum lama tiba sebelum kita...," sambungnya yakin.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat-cepat menuju tempat rahasia penyimpanan Mahkota Raja Kera.
Kita tak boleh didahului mereka...," putus Buntaka.
Bergolak sekali semangat lelaki itu. Terutama karena dia merasa begitu yakin ada ancaman terhadap mereka. Namun tiba-tiba saja Buntaka mendekap ulu hatinya. Wajahnya secepat itu pula memucat. Dia merintih.
"Kenapa, Buntaka?" tanya Sugalu yang berdiri paling dekat dengannya.
Disanggahnya tubuh limbung Buntaka.
"Aku tak tahu. Entah kenapa ulu hatiku seperti mengejang kaku. Sakitnya luar biasa...," lirih Buntaka, makin kehilangan tenaga.
Tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Sugalu tentu saja dibuat kerepotan menyanggah tubuh gempalnya.
Sugali membantu Sugalu memapah Buntaka.
Tak begitu lama kemudian, kejadian serupa menimpa Cempaka pula. Seperti Buntaka, perempuan itu mendadak mendekap bagian dadanya dengan wajah amat memucat.
"Kang Suntara!" pekik Wedari seraya menangkap tubuh Cempaka yang nyaris ambruk.
Meneliti bagian tubuh yang didekap Buntaka dan Cempaka, Suntara teringat pada hantaman ujung ekor Raja Kera Durjana. Bukankah di bagian itu mereka mendapatkan hantaman ekor lawan" Saat itu pula Suntara menyadari satu kekeliruan. Mereka telah begi-tu lancang meremehkan kehebatan ekor Raja Kera Durjana.
-- ( 7 ) --
Suntara kini ingat pada ucapan eyang gurunya ketika beliau masih hidup. Menurutnya, seseorang yang menjadi ancaman Perguruan Kera Merah memiliki ajian itu. Orang itu tentu saja si Raja Kera Durjana.
Ajian 'Racun Dewa Kera' adalah kekuatan tenaga dalam yang mengandung racun mematikan namun bekerja secara perlahan dalam tubuh korban. Korban pada mulanya tak akan menganggap kalau tubuhnya terluka. Namun seiring dengan berlalunya waktu, racun yang dipendamkan ke dalam tubuhnya melalui tenaga dalam akan mulai menggerogoti bagian dalam tubuh yang menjadi sasaran. Dan pada saatnya, racun itu akan membuat bagian tersebut menjadi membusuk. Hanya si pemilik ajian saja yang tahu cara menawarkan racun itu.
Suntara yakin benar, Raja Kera Durjana telah mempergunakan ajian itu pada ekornya untuk menghajar Buntaka dan Cempaka beberapa waktu lalu. Padahal sebelumnya tidak ada seorang pun di antara mereka menyangka kalau bagian tubuh manusia kera itu mengandung ajian 'Racun 'Dewa Kera'. Mereka justru terlalu yakin kalau cakar Raja Kera Durjana-lah yang justru berbahaya.
"Benar-benar cerdik," desis Suntara, menyadari dirinya telah terpedaya.
Suntara pun menyadari, bukan dia yang 'memegang kendali' dalam perebutan maut Mahkota Raja Kera ini. Semula dia menganggap Raja Kera Durjana telah mendapatkan 'kartu mati' ketika dia berhasil memperdayainya. Kini, keadaan justru berbalik sama sekali. Kalau Buntaka dan Cempaka dibiarkan terus, maka mereka akan mati perlahan-lahan. Untuk itu, racun yang menggerogoti tubuh mereka dari dalam harus dienyahkan. Dan cuma Raja Kera Durjana yang mengetahui caranya. Tentu saja manusia kera itu tak akan begitu saja bermurah hati memberikan penawar racun. Dia tentu akan menuntut peta rahasia Pulau Kera sebagai imbalannya.
"Jahanam...," geram Suntara seraya meninju telapak tangannya sendiri.
"Tampaknya kita benar-benar terjepit, Kang," kata Sugali. Sementara itu, dari balik amukan gelombang samudera yang belum juga mereda, terlihat sesosok tubuh meloncat-loncat ringan menuju pantai Pulau Kera. Dengan kayu sepanjang lengan yang terikat di kedua kakinya, sosok tadi bergerak ringan dan lincah.
Sesekali dia berkelit dari terjangan ombak besar.
Ketika makin dekat, makin jelas pula siapa sesungguhnya sosok itu. Raja Kera Durjana telah menyusul mereka....
Sepuluh tombak sebelum benar-benar tiba di bibir pantai, Raja Kera Durjana menjejakkan dua bilah kayu pada ujung ombak.
Dari kepala ombak yang meninggi itu, dia bersalto ke udara, berputar beberapa kali dan akhirnya menjejakkan kaki di pasir pantai, tak jauh dari tempat enam murid Perguruan Kera Merah.
"He nguk nguk he!" Raja Kera Durjana terkekeh-kekeh sambil menggaruk-garuk beberapa bagian tubuhnya. Dia sudah seperti seekor biang monyet kegirangan.
"Kita bertemu kembali, Suntara!" sapanya mengejek Suntara.
"Adik seperguruanmu benar. Kalian kini dalam keadaan terjepit. Kau memang terpaksa harus menyerahkan sisa peta itu padaku, bukan?" Bukan main. Sewaktu Raja Kera Durjana masih jauh dari pantai, dia pun masih bisa mendengar perkataan Sugali. Itu benar-benar salah satu tanda bagaimana tingkat kesaktian manusia kera itu, di samping caranya meniti gelombang. Pantas saja Eyang Guru dapat dibunuhnya. Dan pantas pula beliau meminta kami untuk menyempurnakan kesaktian dulu untuk menghadapinya, gumam Suntara membatin.
"Kalau kau tak ingin kedua saudara seperguruanmu itu mati dengan cara mengenaskan, sebaiknya kau berikan sisa peta itu padaku!" ancam Raja Kera Durjana kemudian.
Pertentangan batin hebat saat itu berkecamuk dalam diri Suntara. Antara keinginan untuk menyelamatkan Cempaka dan Buntaka dengan keinginan untuk menyelamatkan Mahkota Raja Kera dari tangan zalim lelaki itu.
Untuk mencari siasat, Suntara sudah tak menemukannya. Buntu. Semuanya jadi begitu sulit baginya. Dia terjepit. Namun rasa welas-asih terhadap saudara seperguruan dan adik kembarnya yang kini dalam keadaan genting, menyebabkan dia mulai terpikir untuk menyerahkan saja potongan peta rahasia.
"Bagaimana aku yakin kalau kau akan memberikan penawar Racun Dewa Kera setelah aku memberikan potongan peta itu padamu?" tukas Suntara.
"Jangan berikan, Kang!" sergah Cempaka lirih dari belakang. Meski sudah amat sulit bernapas, dia masih berusaha berteriak. Bahkan dia hendak bangkit.
Sayang, dia hanya sanggup mengangkat sedikit kepalanya. Setelah itu dia telentang lunglai kembali.
"Kau tak punya pilihan, Keparat! Kau memang terpaksa harus mempercayaiku dan terpaksa pula menyerahkan potongan peta itu, bukan?" kelit Raja Kera Durjana licik.
"Kang Suntara, jangan berikan! Dia akan tetap ingin menyingkirkan kita setelah dia mendapatkan potongan peta itu!" Wedari memperingati.
"Benar, Kang.... Aku bersedia mati perlahan sekalipun asal kau tidak memberikan potongan peta itu padanya...," rintih Buntaka susah payah. Lalu lanjutnya, "Jangan pikirkan aku! Kita tak bisa mengkhianati amanat Eyang Guru." Seperti Buntaka juga, Cempaka pun lebih sudi memilih mati perlahan meski tersiksa luar biasa ketimbang harus membiarkan kakak kembarnya memberikan potongan peta pada Raja Kera Durjana. Hanya saja, perempuan itu sudah tak kuat untuk mengelua rkan suara lagi.
Menyaksikan kebingungan enam murid Perguruan Kera Merah, Raja Kera Durjana menjadi demikian girang. Tawa terkekeh memuakkannya kembali bergeletar dari pita suaranya.
Lama Suntara menimbang, membuat Raja Kera Durjana mulai tak sabar lagi.
"Kau tunggu apa lagi, Keparat"!" bentak Raja Kera Durjana gusar.
"Kupikir, adik-adik seperguruanku benar. Aku tidak bisa mengkhianati amanat Eyang Guru kami. Karena mereka bersedia mati untuk mempertahankan amanat yang dibebankan kepada kami, kenapa aku tidak?" tegas Suntara, akhirnya.
"Kalian memang ingin mampus, Grhhh!" Raja Kera Durjana menggeram. Di belakang geramannya, kesepuluh jari-jemari lelaki setengah kera itu menegang kejang. Kuku hitam besarnya bergeletaran. Sebentar kemudian mulai mengepulkan asap tipis kehitaman.
*****
"Ada apa"!" bentak Purwasih tak mengerti.
"Sssttt!" Pendekar Slebor mengacungkan telunjuk di depan bibirnya. Matanya tak berkedip. Dipasang pendengarannya tajam-tajam.
"Ada apa"!" ulang Purwasih lebih keras. Alisnya mulai bertaut. Sebal juga dia melihat Andika berting-kah seperti orang tolol seperti itu.
Bukannya menyahuti, Pendekar Slebor malah duduk bersila.
"Brengsek kau! Ini bukan waktunya main-main, Andika!" sewotnya. Tapi si anak muda dari Lembah Kutukan, sudah memejamkan mata dengan tangan bersilang di dada. Dia bersemadi untuk lebih memusatkan kemampuan pendengarannya.
Memang benar, tak lama kemudian dia mendengar suara sayup-sayup tadi menjadi jelas. Dikenalinya suara itu milik Pendekar Lembah Kutukan, Ki Saptacakra.
"Ada apa lagi, Ki Buyut" Apa masih ada yang terlupa kau katakan waktu itu" Atau masih belum puas menjejalkan bau telapak kakimu ke hidungku, cucu buyut ini?" Di depan Purwasih, mulut anak muda itu komat-kamit, makin membuat alis si Naga Wanita bertaut makin erat. Dia sudah gila barangkali, ya" Pikir Purwasih dongkol.
"Diam kau! Dengarkan aku!" bentak suara Ki Saptacakra, hanya bisa ditangkap telinga Pendekar Slebor.
"Jadi apa yang kau mau?" tanya Andika.
"Tentu saja aku mau kau berhenti bersikap aneh seperti itu dan melanjutkan perjalanan, Pemuda Brengsek!" maki Purwasih, salah sambung.
"Kembali kau ke pantai!" perintah Ki Saptacakra.
"Apa"!" Pendekar Slebor cemberut. Apa-apaan seenaknya menyuruh kembali ke pantai" Dia sudah berjalan jauh-jauh, kenapa harus kembali ke sana, gerutunya dalam hati.
Lagi-lagi Purwasih yang mendengarnya menjadi salah sangka.
"Sejak kapan pemuda tampan sepertimu malas membersihkan telinga" Kau belum tuli, bukan" Aku bilang, berhenti kau bermain-main dan cepat berdiri! Kita harus secepatnya melanjutkan perjalanan!" Andika bukan tak peduli pada kesewotan Purwasih. Dia cuma terlalu sibuk dengan suara jarak buyut tengiknya.
"Aku bilang kau harus kembali ke pantai!" Suara Ki Saptacakra meledak. Membuat Andika meringis.
Telinganya seperti baru saja dijejali guntur. Dasar tua bangka tak punya perasaan, rutuknya membatin.
"Kenapa aku harus kembali ke sana"!" Pendekar Slebor mulai ngotot. Mana mau anak muda seke- ras kepala dia diperlakukan semena-mena. Biarpun Ki Saptacakra adalah buyutnya sendiri. Biarpun rasa ngerinya pada si bangkotan itu sebesar kepala naga gundul! "Pokoknya kembali, titik!"
"Kalau tidak?"
"Kau tahu sendiri...," suara Ki Saptacakra memberat menyeramkan.
Mendengar ancaman yang membuat bulu-bulu tengkuknya merinding, Pendekar Slebor cepat-cepat bangkit dari silanya. Tepat pada saat itu, Purwasih mengirim tinjunya ke jidat si anak muda.
Bletak! "Wadoooo! Kenapa kau memukulku, sialan"!"
"Kupikir kau kerasukan setan pulau ini!"
"Alah, kau memang slompret!"
"Cepaaaat!" Terdengar lagi bentakan menggedor nyali si anak muda yang terkenal berani dan keras kepala di dunia persilatan itu.
"Iya... iya, Ki Buyut! Ampun!" Di pantai Pulau Kera, Raja Kera Durjana sudah melakukan terjangan berkekuatan ke arah Suntara.
Dengan mempergunakan cakar, bagian tubuh yang menjadi salah satu senjatanya, Raja Kera Durjana mencoba secepatnya menyelesaikan urusan.
Dalam urusan ini, manusia kera itu memang memiliki batas waktu tak dapat ditawar. Kejadian yang menimpa dirinya hingga berubah wujud menjadi kera besar seperti itu tidak akan dapat dipulihkan kembali jika lima puluh tahun telah berlalu. Sementara, tepat subuh nanti tepat lima puluh tahun dia menjadi kera besar. Jika dia tak mendapatkan Mahkota Raja Kera hingga terlewat waktu tersebut, maka selamanya dia akan berwujud binatang mengerikan seperti saat ini.
Itu sebabnya dia begitu bernafsu untuk segera mendapatkan potongan peta di tangan Suntara. Jika harus membunuh semua sisa murid Perguruan Kera Merah, dia akan melakukan secepatnya. Dia tak ingin kehilangan waktu lebih banyak.
Dan untuk itu, si manusia kera tidak mau melakukan serangan tanggung-tanggung lagi. Dikerahkannya ajian andalan yang menyebabkan dirinya berubah wujud menjadi kera besar.... Ajian 'Cakar Kera Api'! Ajian ini dapat membuat kesepuluh cakarnya menjadi memerah layaknya bara. Bukan itu saja, dari cakarnya itu terpancar hawa yang demikian panas, hingga mampu membakar udara di sekitarnya. Tampak dari udara di sekitar cakar memendarkan api.
Dan, tatkala tangannya bergerak dengan tenaga penuh ke udara, maka terciptalah sepuluh bentangan api panjang bagai galah-galah dari dasar neraka. Jadi, meskipun Raja Kera Durjana belum lagi sampai ke dekat Suntara, dia sudah dapat melepas serangan maut- nya. Menyaksikan api yang memanjang dari sepuluh kuku lawan dan hendak membelah hangus tubuhnya menjadi sepuluh bagian, Suntara demikian terkesiap.
Dia benar-benar dihadapkan pada serangan yang tak saja teramat sulit untuk dimentahkan, tapi juga terlampau sulit dihindari.
Lidah api memanjang itu seperti menutup seluruh ruang gerak Suntara. Ke mana pun dia bergerak, secepat apa pun gerakannya, lelaki itu tak bisa lagi menyelamatkan diri dari terjangan ajian lawan. Sementara, Suntara sendiri tak pernah menyangka kalau lawannya akan melancarkan serangan sedemikian rupa.
Suntara mati langkah di mulut kematian! Wrrr! Ketika Suntara hanya bisa berkelit putus asa, sementara galah api dari kuku lawan siap membelah hangus badannya, saat itulah serangkum tenaga raksasa menebas udara ke arah ombak yang meninggi.
Pyar! Tenaga raksasa itu seketika itu juga seperti mengendalikan gerak ombak menjadi lebih menggila menuju pesisir pantai tempat ketujuh orang tadi. Tak kalah cepat dengan tebasan galah api di udara, lidah ombak raksasa tadi menerkamnya. Zzzz! Tercipta desis riuh. Galah api dari kesepuluh kuku jari Raja Kera Durjana padam seketika. Meski karena itu, tubuh Suntara harus terseret dua puluh kaki di atas pasir....
-- ( 8 ) --
"Grrrrhh!"
"Gila, siapa yang kurang kerjaan melepas monyet sebesar itu ke pulau ini, Purwasih"!" seru seseorang di sisi lain pantai.
Siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor. Anak muda sakti itu telah tiba bersama si Naga Wanita di pantai semula. Dia pula yang punya ulah memboyong ombak raksasa ke tepi pantai dengan tenaga sakti tingkat sepuluh warisan buyutnya. Namun, dia tak pernah tahu kalau galah-galah api tadi berasal dari kuku-kuku tangan si manusia kera. Bagaimana bisa menyadari, kalau Raja Kera Durjana saja dikiranya seekor monyet bongsor tulen! Kalaupun dia melakukan ulah tadi, semata karena sekilas disaksikannya seorang lelaki terancam bahaya dari galah-galah api yang asalnya tak sempat diketahui Andika.
"Kau bakal mampus, siapa pun kau!" teriak Ra-ja Kera Durjana.
Andika mendelik. Dia hampir tak percaya ada monyet bisa berteriak seperti itu.
"Mak... bisa ngomong dia," gumamnya terpana-pana kebodohan.
"Aku, Raja Kera Durjana tak pernah mendapat perlakuan demikian memalukan!" Andika makin terlolong-lolong seperti sapi ompong.
"Siapa kalian sebenarnya"!" seru Purwasih pa-da ketujuh orang tadi.
"Kami murid-murid Perguruan Kera Merah," jawab Suntara cepat. Lelaki itu telah bangkit dalam keadaan sekuyup Raja Kera Durjana.
"Kalian murid-murid Perguruan Kera Merah?" tanya Andika. Pasti mereka yang dimaksud Ki Saptacakra, pikirnya. Anak muda itu ingat, buyutnya pernah menyinggung-nyinggung soal enam murid Perguruan Kera Merah saat itu.
"Aku kira, biang monyet ini salah satu murid Pulau Kera...," sambungnya tanpa perasaan bersalah.
"Jangan sembarangan bicara kau, anak muda keparat! Kau pikir dirimu sedang berhadapan dengan siapa, hah"!" Raja Kera Durjana merasa dirinya makin dipermalukan. Kepalanya seperti diinjak-injak telapak kaki berlumpur.
"Aku yakin, aku sedang berbicara dengan monyet ajaib yang bisa ngomel dan cuma ada di pulau ini..," sahut Pendekar Slebor, masih juga tak menyadari kalau Raja Kera Durjana bukanlah kera sesungguhnya.
"Bangsat!" Kepala si anak muda malah menggeleng-geleng mendengar hardikan Raja Kera Durjana.
"Kau sudah cukup pandai bicara, Nyet. Cuma kau belum pernah belajar membedakan mana manusia, dan mana bangsat. Masa' iya, aku kau bilang bangsat" Yang benar saja...," ocehnya ngawur.
Raja Kera Durjana tak bisa lagi membendung kekalapan. Diawali geraman seekor kera mengamuk, dikerahkannya kembali ajian 'Cakar Kera Api'.
Cepat, cakar Raja Kera Durjana mengepulkan asap kehitaman. Menyusul terbakarnya udara di sekitar kuku-kuku membaranya.
Wurrr! Dalam sekali gerak, sepasang tangan manusia kera itu menebas udara. Saat yang sama, galah-galah api membersit dari kesepuluh kuku jarinya.
Suntara boleh saja tak berkutik menghadapi serangan maut macam itu. Bagi Pendekar Slebor, si anak muda yang kecepatan geraknya begitu menggonjang-ganjingkan dunia persilatan, sambaran galahgalah api memanjang tidak terlalu membuatnya mati kutu. Kalau sedikit repot, ya mungkin juga. Bagaimana tidak, jika seluruh ruang geraknya tertutup seketika" Pendekar Slebor sudah cukup sering menghadapi keadaan macam begitu. Percuma saja dia malangmelintang ke beberapa bagian jagad kalau dia tak bisa mementahkan serangan Raja Kera Durjana. Dengan sedikit memutar otak teramat cepat, anak muda itu melepas kain pusaka bercorak caturnya.
Wukh wukh wukh! Dengan tiga sabetan bertenaga, dijegalnya galah api yang menerjang dari arah depan. Sisanya dibiarkan saja melewati sisi-sisi tubuhnya.
Tanpa kekurangan sesuatu apa, dikebutkebutkannya kain pusaka bercorak catur yang agak mengepulkan asap tipis. Mulutnya memancung, meniup-niup ke arah kain.
"Wiet, aku ingat sekarang! Jadi, yang mainmain api sebelumnya itu kau juga, ya"!" tukasnya acuh. Sekarang, tidak bisa lagi Raja Kera Durjana menganggap enteng lawan barunya. Sebut saja dia memang tokoh berilmu tinggi. Namun kalau menyaksikan bagaimana tanpa kesulitan ajian pamungkasnya dimentahkan lawan, mau tak mau dia dipaksa terperanjat. Siapa yang tengah kuhadapi" Tanyanya membatin.
"Siapa kau"!" aju si manusia kera.
"Loh, sejak tadi kau baru sadar untuk menanyakan siapa aku" Kalau begitu, kau memang monyet tak tahu adat."
"Sebut namamu, Keparat!" Andika cengengesan.
Purwasih yang melihatnya jadi tak sabar.
"Dia Pendekar Slebor. Asal kau tahu saja...," se-la Purwasih. Sedikit banyak, dia mau juga membangga-banggakan saudara jauhnya itu. Biarpun tingkah tengiknya sering bikin perempuan itu mau mati berdiri! Raja Kera Durjana terdiam. Matanya mencorong melahapi seluruh wajah dan tubuh Andika. Pendekar Slebor. Nama besar yang tak asing baginya, meski selama ini belum pernah sekali pun dia berurusan dengannya. Benar-benar keparat, pikirnya. Pada saat-saat genting di mana dia harus secepatnya mendapatkan Mahkota Raja Kera sebelum subuh nanti, ada lagi seorang penghalang yang pasti tak mudah disingkirkan.
"Jadi, kau ini yang banyak dihebohkan kalangan dunia persilatan, hmm?" katanya bertekanan.
"Sial, rugi aku! Kenapa biang monyet macam kau mengenalku!"
"Teruslah kau mengejek, selama kau masih punya kesempatan...," geram Raja Kera Durjana.
"Memangnya?"
"Karena sebentar lagi, nama besarmu akan terkubur selamanya di pulau ini!"
"Wi, seremmmm!" Entah karena dorongan kemurkaan atau keinginan untuk secepatnya menyelesaikan perkara, timbul dalam benak Raja Kera Durjana untuk memberesi lawannya dengan cara mengadu tenaga dalam. Itu cara bertarung yang dapat mempercepat urusannya. Di samping itu, dia bisa menjajal sampai di mana kehebatan tenaga dalam pendekar muda yang telah begitu digembor-gemborkan ini.
Didahului geraman seperti sebelumnya, Raja Kera Durjana menyiapkan tenaga dalam tingkat tingginya yaitu ajian 'Amukan Kera Badai'. Ajian yang satu ini adalah pasangan ajian andalan yang telah dikerahkan sebelumnya. Jika ajian 'Amukan Kera Badai' digabungkan dengan ajian 'Cakar Kera Api', maka akan tercipta tenaga dalam yang bukan saja berkekuatan seperti amukan badai, tapi juga dapat mengeringkan tanah seperti didera kemarau selama bertahun-tahun! Dada Raja Kera Durjana membusung menarik udara di sekitarnya. Kedua tangan penuh bulunya mengeras, mengembungkan otot-otot sebesar jari kelingking. Digerak-gerakkannya tangan dalam beberapa gerakan amat cepat, bagai gerakan mengebut serbuan ribuan lebah mengamuk.
Tak lama kemudian udara di sekitar tubuh Raja Kera Durjana menjadi teramat panas. Panas luar biasa yang bukan cuma meringkus udara di sekitarnya tapi juga merayap membungkus delapan orang lain di sana.
"Sial. Permainan gila apa lagi yang hendak dilakukan kunyuk ini...," desis Pendekar Slebor merasakan segenap bagian kulitnya menjadi terasa terseduh.
Warnanya berubah memerah perlahan, seolah sedang digarang di atas permukaan bara.
Waktu merangkak. Sementara itu, panas yang ditebar dari tubuh Raja Kera Durjana makin menjadijadi. Enam murid Perguruan Kera Merah mulai tak bisa mengendalikan diri. Panas yang mereka rasa-kan sudah demikian menyengat. Mereka merasa kulit mereka seperti ditimbuni tumpukan bara. Kalau terus begitu, mereka bisa bergulingguling tanpa kendali di pasir pantai.
Sadar itu adalah permainan tenaga dalam lawan, mereka segera mencoba melawannya dengan mengerahkan tenaga dalam pula. Melawan mungkin belum cukup tepat bagi mereka. Karena yang mereka bisa lakukan sebenarnya cuma bertahan. Tenaga dalam Raja Kera Durjana terlalu kuat bagi mereka, meski mereka menggabungkan tenaga dalam masing-masing.
Andika dan Purwasih melakukan hal serupa.
Keduanya memejamkan mata. Andika melipat tangan di dadanya, sedangkan si Naga Wanita menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Dalam posisi masih berdiri, keduanya bersemadi.
Ketika gelombang hawa panas terus menjangkit luar biasa, tercium di udara bau sangit. Beberapa daun pepohonan rupanya telah terbakar. Mula-mula hanya dedaunan kering menjadi korban. Selanjutnya, daun-daun hijau pun tak luput.
Semak pantai dan beberapa pohon besar kemudian benar-benar berubah menjadi kobaran api! Kayunya meletak-letak, memperdengarkan bunyi riuh yang menyamai suara amukan gelombang samudera.
Menyusul hangusnya dalam jarak seratus depa dari tempat Raja Kera Durjana, pasir pantai pun mulai berubah warna. Di mulai dari sekitar kaki Raja Kera Durjana. Di bagian itu, pasir menjadi merah menyala.
Ketika ujung ombak menyentuhnya, terlempar suara desis meninggi.
Zzzzzz! Warna merah menyala pasir perlahan beringsut, menebar lebih luas dan lebih luas bagai rayapan lahar panas di bawah permukaan bumi. Pusatnya dari sekitar kaki Raja Kera Durjana.
Di sisi lain, enam murid Perguruan Kera Merah mengalami saat-saat genting. Kekuatan bertahan mereka sudah tiba di batas paling lemah. Keringat sebesar biji jagung merembes deras dari pori-pori kulit mereka. Mereka basah kuyup sesaat. Keringat mereka mengepulkan asap tipis, seolah mendidih di atas kulit mereka sendiri.
Tubuh keenam orang itu mulai bergetaran. Bibir mereka bergetar di atas memerahnya rona wajah mereka. Lalu perlahan-lahan keluar darah dari hidung dan sudut bibir mereka.
Darah itu pun mengepulkan asap! Yang paling tersiksa saat itu tentu saja Cempa-ka dan Buntaka. Mereka dalam keadaan tak memungkinkan untuk mencoba bertahan dari serangan hawa panas. Bagaimana bisa" Untuk berdiri saja keduanya sudah tak mampu.
Ketika mereka mencoba untuk mengerahkan tenaga dalam, yang terjadi justru menyengsarakan mereka. Bagian dalam tubuh yang terluka masing-masing saat itu menjadi teramat sakit luar biasa. Maka, mulut mereka pun memperdengarkan keluhan berat tertahan. Sampai suatu saat, Cempaka tak kuat lagi me- nahan siksaan yang mendera dari luar dan dalam tubuhnya. Dia memekik tinggi.
"Aaa...!" Meski sedang bersemadi memusatkan pikiran dan mengerahkan tenaga dalam untuk melawan serangan hawa panas Raja Kera Durjana, Andika masih bisa mendengar jeritan Cempaka. Nuraninya mengeluh. Dia tak tega mendengar teriakan penuh siksaan itu. Cempaka harus ditolong, desisnya membatin.
Tapi kalau dia melepas sedikit saja tenaga saktinya yang mencoba membendung hawa panas lawan, malah dia yang akan ikut menjadi korban. Namun, Pendekar Slebor tak sampai hati untuk membiarkan Cempaka mati tersiksa.
Dengan nekat, dia membagi tenaga dalamnya.
Sebagian untuk membendung serangan lawan, sebagian lagi untuk membantu Cempaka. Akibatnya benteng tenaga dalamnya saat itu juga dijebol tenaga panas lawan.
Zzzz...! Sebagian kulit pendekar muda dari Lembah Kutukan saat itu juga terbakar, menebarkan bau sangit menusuk. Tubuh Pendekar Slebor ikut tergetar, lebih hebat dari getaran tubuh keenam murid Perguruan Kera Merah. Dari hidung dan mulutnya tersembur darah mengepulkan asap yang turut memperdengarkan desis ramai begitu menyiram pasir di bawahnya.
Andika tersuruk di atas lututnya. Dia nyaris ambruk. Kalau saja....
Gempa dahsyat tiba-tiba saja terjadi. Pulau Kera terguncang keras ditanduk kekuatan dari dalam bumi. Gelombang samudera yang telah ganas, dan menggila. Ombak setinggi bukit menghajari pantai pulau kecil tersebut tanpa ampun. Angin riuh. Dedaunan kelapa di kejauhan kalangkabut menahannya.
Tak pelak lagi, konsentrasi Raja Kera Durjana saat itu juga menjadi buyar. Apalagi ketika gulungan ombak menerjang tubuhnya.
Kekuatan hawa panas manusia kera itu pun terpenggal seketika.
Amukan alam tak berhenti sampai di situ. Dari arah utara, tanah berpasir terbelah cepat. Kuakannya berlari bagai sambaran ular. Kuakan tanah selebar sepuluh kaki, dapat menelan rumah dalam sekejapan, membelah tanah menjadi dua bagian bergaris tak beraturan. Buntaka, Cempaka, Wedari, Sugali, dan Sugalu yang paling dekat dengan arah gerak kuakan tanah tertelan terlebih dahulu. Kesiapan mereka dalam menghadapi amukan alam terlalu tumpul karena sebelumnya mereka memusatkan perhatian dan kekuatan penuh hanya pada serangan hawa panas Raja Kera Durjana. Setelah itu, kuakan tanah terpecah menjadi bercabang dua. Satu mengarah ke Pendekar Slebor dan Purwasih, sedang yang lain melintasi tempat berpijak Raja Kera Durjana dan Suntara yang ketika itu berdiri terpisah cukup jauh dari lima saudara seperguruannya.
Kesembilan orang itu kini terperosok dalam celah. Pasir ikut meluncur bersama tubuh mereka ke dasar celah. Suasana makin dikacaukan tumpang-tindih suara riuh-rendah. Pada saat itu, kehebatan peringan tubuh Pendekar Slebor, Naga Wanita, dan Raja Kera Durjana menjadi tak berguna. Selain karena mereka sama sekali tak siap, celah yang menelan mereka pun terlalu curam. Getaran hebat masih berlangsung. Juga di dalam celah. Batu dan buliran tanah berguguran ke dalam celah. Berkejaran cepat dengan pasir dan tubuh kesembilan orang tadi. Mereka dihantami, ditimbuni.
Benturan demi benturan dengan batu-batu dasar bumi mereka alami. Tubuh mereka seperti hendak dilantak.
Kesadaran mereka goyah. Sulit bagi mereka untuk mempertahankan kesadaran lagi.
Tak lama amukan alam tersebut terjadi. Namun akibatnya tak bisa dibilang ringan. Di atas permukaan tanah, pohon-pohon kelapa bertumbangan. Sekitar sepenanakan nasi kejadian itu bergejolak. Sampai akhirnya alam dibungkam keheningan kembali. Samudera jinak. Gelombang kecil menepi ke bibir pantai yang porak-poranda. Pekikan burungburung manyar terlepas di kejauhan.
Di dasar celah, terlihat gerakan lemah. Dari timbunan pasir dan reruntuhan batu serta tanah, beberapa sosok muncul. Wedari, Sugali dan Sugalu sadar. Mereka langsung teringat pada keadaan Cempaka dan Buntaka yang demikian mengkhawatirkan.
Tak mungkin dua orang itu bisa keluar dari timbunan dalam keadaan terlampau lemah. Mereka bisa kehabisan napas! "Gali! Gali!" teriak Sugali. Sugalu dan Wedari sigap membantu Sugali menggali timbunan tanah.
Sementara itu, Pendekar Slebor dan si Naga Wanita pun telah siuman. Keduanya berusaha mengenyahkan pening yang masih bersarang di kepala mereka. Sebentar keduanya saling bertatapan.
"Bagaimana keadaan yang lain?" tanya Andika seraya cepat bangkit.
"Kita harus segera melihatnya, Andika," tukas Purwasih.
Pendekar Slebor sejenak meneliti dinding celah.
Cukup tinggi. Permukaan tanah di atas sana hampir setinggi lima belas tombak. Tampaknya, untuk hal itu Pendekar Slebor tak mempunyai masalah sama sekali.
Cuma, dinding celah ternyata berbatu karang licin. Ji-ka tergelincir ke tempat yang salah, tubuhnya bisa hancur. Ringan, Pendekar Slebor menggenjot kaki. Dari satu tonjolan batu, dia mencelat ke tonjolan yang lain.
Geraknya lebih mengagumkan daripada kelincahan seekor bunglon terbang.
Pendekar Slebor tiba juga di atas. Segera ditelitinya celah di bagian lain.
"Kalian tak apa-apa"!" serunya ketika menemukan lima murid Perguruan Kera Merah.
"Kami bertiga tak apa-apa. Hanya Cempaka dan Buntaka keadaannya makin mengkhawatirkan!" jawab Sugali.
"Usahakan untuk menyalurkan hawa murni ke tubuh mereka. Aku harus mencari salah seorang dari kalian dulu!" seru Pendekar Slebor lagi.
Di celah yang berlawanan dengan tempat dirinya dan Purwasih jatuh, Andika menemukan tubuh Suntara. Lelaki itu masih tergolek. Meneliti luka menghitam di tubuhnya, anak muda itu yakin Suntara tidak pingsan hanya karena terbentur batu. Ada seseorang yang telah melukainya.
"Ke mana si manusia kunyuk" Kalau tak salah, dia pun terjatuh ke celah ini?" gumam Andika.
Kesimpulan cepat atas semua yang disaksikannya menyembul cepat di benak anak muda berotak encer itu.
"Hm, tampaknya si manusia kunyuk telah pergi. Dan lelaki malang di bawah itu telah dilukainya terlebih dahulu...," simpulnya, yakin.
"Kau temukan, Andika"!" seru Purwasih. Pendekar wanita itu telah pula berhasil keluar celah.
"Cepat kau bantu lima murid Perguruan Kera Merah di celah itu! Aku akan menolong lelaki ini!" balas Pendekar Slebor sambil berjumpalitan masuk ke dalam celah. Di sisi tubuh Suntara, kakinya menjejak mulus.
Andika merunduk. Suntara terdengar mengeluh. Dia telah siuman, pikir Pendekar Slebor.
"Apa yang terjadi" Mana si manusia kunyuk itu?" tanya Andika perlahan. Dipapahnya kepala Suntara.
"Dia pergi.... Potongan peta rahasia itu telah di-rebutnya dari tanganku," keluh Suntara lirih. Dari mulutnya mengalir perlahan darah kehitaman.
-- ( 9 ) --
"Jangan sampai Raja Kera Durjana mendapatkan benda mustika itu, Tuan Pendekar!" seru Suntara tertahan-tahan, biarpun dia sendiri masih belum mengerti kenapa dua pendekar muda dari tanah Jawa itu memiliki peta Pulau Kera pula.
Belum lagi Pendekar Slebor beranjak terlalu jauh....
"Mau ke mana kau"!" Andika menahan langkah. Dia menoleh ke belakang. Dikiranya ada salah seorang murid Perguruan Kera Merah yang menahannya. Namun, tak ada tandatanda kalau salah seorang dari mereka telah berseru barusan.
"Kau menahanku tadi, Saudara Suntara?" tanya Andika tak habis pikir.
Sama seperti si pendekar muda dari Lembah Kutukan, Suntara malah tak habis mengerti pada pertanyaan Pendekar Slebor.
"Bukan dia yang menahanmu, goblok!" terdengar lagi suara orang yang menahannya.
Sekarang, An- dika mulai merasa mengenali suara itu.
"Orang tua brengsek...," gerutu anak muda itu menyadari siapa yang baru berbicara. Siapa lagi orang yang bisa memaki si pendekar muda sakti seenak perut kalau bukan buyutnya sendiri" Ki Saptacakra untuk yang ke sekian kalinya mencampuri urusan si cucu buyut yang tak kalah tengik dengan dirinya, Pendekar Slebor. Kalau sebelumnya suara tokoh legendaris kenamaan itu tak begitu jelas tertangkap telinga Andika, kini tidak lagi. Andika menduga tentu sebelumnya pendekar bangkotan itu mengirim suara langsung dari tanah Jawa. Kalau suaranya menjadi lebih jelas sekarang, mungkin dia sedang menuju ke Pulau Kera juga.
"Kau bilang apa"!"
"Anu... be he he."
"Sudah tak usah merengek seperti itu. Jelek!" Merengek" Andika menggerutu panjang-lebar dalam hati. Apa tawanya lebih mirip orang merengek"
"Ada apa lagi, Ki Buyut?"
"Kau tak usah menyusul si kunyuk buduk itu!"
"Lho kok?"
"Dua orang yang terluka oleh pukulan si monyet buduk itu harus ditolong segera. Kau yang bisa menolong mereka untuk menyingkirkan Racun Dewa Kera...."
"Lalu siapa yang bakal mengejar kunyuk kurap itu, Ki Buyut?"
"Biar Purwasih dan sisa murid Perguruan Kera Merah yang lain, goblok!"
"Apa mereka sanggup" Maksudku, si kunyuk slompret itu lumayan juga kesaktiannya..." Bletak! Entah bagaimana caranya, ubun-ubun Andika tahu-tahu terasa berdenyut-denyut. Ki Saptacakra baru saja memberi cucu buyutnya sedikit pelajaran.
"Kenapa kau menjitakku"!" Andika tak terima.
Dia merasa tak berdosa.
"Itu upah untuk orang yang angkuh. Kau jangan memandang remeh kemampuan orang, tahu!" Pendekar Slebor mengangguk-angguk. Bukannya mengerti ucapan terakhir buyutnya, melainkan supaya bisa mengenyahkan kunang-kunang yang melingkar-lingkar serabutan di kepalanya.
"Asal kau tahu. Racun Dewa Kera yang merongrong mereka hanya bisa kau musnahkan dengan menyalurkan tenaga sakti tingkat ke sembilan belas wari-sanku!" Bhuh! Sekarang justru kau yang bersikap angkuh, orang tua slompret! Maki Andika tak berani dikeluarkan melalui mulutnya.
"Suka-sukamu sajalah, Ki Buyut..," kata Pendekar Slebor, pasrah.
"Sekarang, perintahkan yang masih sehat untuk cepat-cepat pergi ke tempat penyimpanan rahasia Mahkota Raja Kera. Kau sendiri harus mengurus dua orang yang terkena racun si kunyuk buduk itu. Kalau tidak, tak beberapa lama lagi mereka akan mati...." Pendekar Slebor tak mau banyak membantah lagi. Dihampirinya Purwasih.
"Kau dan yang lain sebaiknya segera berangkat ke tempat penyimpanan benda mustika itu. Aku akan mengurus mereka," ucapnya seraya menunjuk Cempa-ka dan Buntaka yang terbaring di atas pasir.
*****
Racun Dewa Kera menurut Ki Saptacakra adalah racun yang tak bisa dipandang remeh. Cara kerjanya memang lambat, namun pasti. Berawal dengan bagian yang terkena, tubuh korban sedikit demi sedikit akan membusuk dari dalam.
Menurut si tua Pendekar Lembah Kutukan itu pula, tenaga sakti tingkat sembilan belas yang diwariskan pada Pendekar Slebor dapat menawarkan racun milik Raja Kera Durjana.
Untuk itu, Pendekar Slebor harus benar-benar hati-hati. Tenaga sakti tingkat ke sembilan belas bukan tenaga dalam sembarangan. Tenaga sakti itu sebenarnya cenderung untuk dipergunakan sebagai kekuatan penghancur. Bukit karang pun dapat dilebur dengannya. Dalam usaha menolong Cempaka dan Buntaka, Pendekar Slebor harus mengerahkan tenaga sakti tingkat ke sembilan belasnya demikian rupa, agar yang keluar dari telapak tangannya bukan lagi kekuatan penghancur, melainkan telah berubah menjadi hawa murni bersuhu amat rendah. Hawa dingin membekukan merupakan kunci kelemahan Racun Dewa Kera.
Begitu menurut Ki Saptacakra pula.
"Kau sudah siap?" Dari jarak jauh, tokoh sakti legendaris di kalangan persilatan itu menuntun buyutnya.
"Sejak zaman kuda gigit tempe bongkrek aku juga sudah siap menolong...," gumam Andika tak ken-tara. Anak muda itu duduk bersila di atas pasir pantai. Tangannya sudah disilangkan di depan dada sesuai dengan tuntunan Ki Saptacakra.
Sementara Buntaka dan Cempaka masih dalam keadaan pingsan. Disandarkan tubuh mereka oleh Pendekar Slebor ke pohon kelapa tumbang.
"Kau bilang sesuatu?"
"Tidak, Ki Buyut...," elak Andika.
"Bagus! Sekarang, buka baju gadis itu...." Mata Andika mendelik. Gila! Apa si tua ini tidak sedang ku-mat" Aku diperintah membuka baju gadis itu" Wih! "Kau tak salah, Ki Buyut?"
"Jangan sok tahu! Juga jangan cepat berpikiran dekil macam itu! Aku menyuruhmu membuka baju atas gadis itu karena bagian dadanya yang terkena ajian 'Racun Dewa Kera'. Kau nanti harus menyalurkan langsung melalui telapak tanganmu ke bagian itu! Mengerti"!" Glek! Pendekar Slebor menelan ludah. Telapak tangannya harus ditempelkan langsung ke dada sekal Cempaka. Glek! Sekali lagi anak muda tengik itu menelan ludah susah payah.
"Kau tunggu apa lagi, Bocah Slompret"!" hardik Ki Saptacakra.
Ragu-ragu, Andika menanggalkan baju atas Cempaka. Jangan tanya bagaimana 'gedebakgedebuk'nya dada pemuda itu. Apalagi kalau dia mulai membayangi kulit kuning langsat tubuh Cempaka.
"Kubilang jangan berpikiran dekil! Pejamkan matamu, goblok!"
"Eh, iya Ki Buyut! Ampun...." Andika memejamkan mata. Hati-hati, pakaian atas Cempaka akhirnya terbuka semua. Setengah tubuh mulusnya kini terbuka sudah. Dua bukit sekal dan padat membentang di hadapan Andika. Tak ada tanda-tanda luka di bagian dadanya. Itulah yang menyebabkan korban Racun Dewa Kera sering tertipu.
Untung Andika tak nekat memicingkan kelopak matanya. Jika tidak....
"Jangan berpikir yang bukan-bukan! Kau nanti malah tak bisa memusatkan pikiran!" hardik suara Ki Saptacakra kembali.
Sepertinya lelaki sesepuh dunia persilatan golongan putih itu bisa membaca pikiran Pendekar Slebor.
"Sekarang pusatkan pikiran! Setelah itu, kumpulkan tenaga sakti tingkat ke sembilan belas ke telapak tangan kananmu. Jika sudah terpusat, tahan beberapa saat. Setelah itu lepaskan seluruh tenaga panas di telapak tanganmu ke udara. Sampai kau merasakan tanganmu telah membeku, barulah kau tempelkan telapak tangan tadi ke dada sebelah kanan gadis itu...."
"Ditempelkan benar-benar, Ki Buyut?" tanya Pendekar Slebor, lugu.
"Iya, goblok! Memangnya bisa dengan bohongbohongan"!" Bibir pemuda itu memperlihatkan cengir kuda.
Malu juga sebenarnya dia harus menyentuh....
"He he he.... Malu-malu tapi mau!"
"Apa?"
"O, tidak Ki Buyut! Tidaaaak...."
"Sekarang mulai!" bentak Ki Saptacakra.
Sebelum memulai, bibir si pemuda tengik tersungging kecil. Ngeri-ngeri campur 'dag-dig-dug' dalam dada. Kalau disuruh sumpah mampus, dia akan melakukannya. Sungguh, selama hayat dikandung badan, tak pernah sekali pun pemuda itu menyentuh buah dada seorang dara. Apalagi milik seorang wanita molek secantik Cempaka.
Kerusuhan dalam diri Andika menyebabkan tangannya tergetar sewaktu mulai mendekati belahan baju Cempaka. Ketika mulai tersentuh kulit mulus di bagian dada Cempaka, Andika langsung menarik napas dalam-dalam. Mulai pula dia ragu-ragu.
"Cepat slompret! Kau jangan mencoba-coba mencuri kesempatan dalam kesempitan!" Dalam hati, Andika merutuk sejadi-jadinya. Dikira gampang melakukan hal itu" Segenap perasaannya sedang berpusing-pusing tak menentu. Bagaimana dia bisa secepatnya melaksanakan penyaluran hawa murni" Meski bergetar seperti tangan maling jemuran, meski dadanya bertalu-talu seperti pukulan genderang topeng monyet, Andika akhirnya membuka juga pakaian atas perempuan di depannya, Dua bukit sekal nan padat membentang di hadapannya. Untung, mata pemuda itu terpejam rapat.
Kalau tidak, dunia bisa kiamat! Dengan mengikuti petunjuk Ki Saptacakra sebelumnya, pendekar muda dari Lembah Kutukan itu mulai memusatkan perhatian sepenuhnya. Disingkirkannya dengan agak susah payah pikiran-pikiran liar yang mengusiknya.
Sekian saat kemudian, tenaga dalam tingkat ke sembilan belas diubah menjadi hawa murni bersuhu amat rendah telah terpusat di telapak tangan Pendekar Slebor. Perlahan tangan kekar si pemuda mendekati dada sebelah kanan Cempaka.
Andika terusik kembali. Hasrat mudanya berusaha memberontak dari dasar diri manakala telapak tangannya mulai menyentuh 'benda padat' yang sehalus sutera dan kenyal menggoda. Perjuangannya kini terpecah menjadi dua. Satu sisi dia harus tetap mempertahankan hawa murni di telapak tangannya, sisi lain dia harus melawan rontaan birahinya sendiri.
Dari seluruh pengalamannya di dunia persilatan, banyak sudah ujian-ujian berat selaku orang ksa-tria sejati dijalani pemuda ini. Deraan dan siksaan za-hir terhebat bahkan pernah dialaminya berulang kali.
Tapi, dari semua itu, Andika tetap menganggap kalau deraan batin justru lebih berbahaya. Rasa sakit bisa dia tahan. Tapi jika godaan nafsu" Siapa pun bisa saja terpedaya. Andika menyadari itu.
Untuk itu, dia harus berjuang lebih keras dalam menyingkirkan godaan yang berakar di batin. Satu hal yang bisa membuatnya dapat bertahan adalah rasa terikatnya dia pada Sang Pencita.
Sadar pada hal tersebut, Pendekar Slebor pun kemudian berusaha hanya mengingat segenap kuasa Sang Khalik atas mayapada, semesta dan juga dirinya.
Usaha itu membawa hasil. Andika akhirnya mampu mengembalikan kembali kendali dirinya. Ketika itulah, terdengar suara desis halus berasal dari sen-tuhan telapak tangannya dengan dada Cempaka. Hawa murni sedingin inti es mengalir deras melalui seratserat tubuh si wanita.
Tak berapa lama kemudian, Cempaka pun mulai siuman. Agak tersentak didapati dirinya dalam keadaan setengah terbuka.
Terlintas dalam pikirannya, kalau anak muda yang berjuluk Pendekar Slebor berusaha melakukan kemesraan. Tapi dia kurang yakin, mengingat bagaimana orang bercerita tentang Pendekar Slebor. Karena itu dia bertanya. Andika pun menjelaskan secara singkat.
Selesai melumpuhkan racun di tubuh Cempaka, Andika melanjutkan usaha pertolongan pada diri Buntaka. Sementara itu, Raja Kera Durjana telah tiba di sebuah celah karang besar berada yang membentuk lorong panjang di tengah-tengah Pulau Kera.
Menurut potongan peta yang didapat dari Suntara, dia harus memanjat sisi selatan dinding karang terjal itu. Di tengahtengah dinding karang sana, dia harus menemukan tonjolan batu berbentuk kera sedang duduk. Jika batu itu digeser naik satu jengkal, maka akan tercipta gua besar tepat di ubun-ubun dinding karang sebelah utara.
Untuk masuk ke gua itu, Raja Kera Durjana tak boleh turun kembali. Dia harus menyeberang langsung dari satu belahan dinding ke dinding karang sebelahnya. Padahal jarak antara kedua dinding tersebut sekitar dua puluh lima tombak.
Jarak yang terlalu lebar, bahkan untuk seorang dengan kemampuan peringan tubuh mendekati sempurna sekalipun.
"Aneh juga.... Kenapa tak boleh turun dahulu untuk memanjat tebing di seberangnya?" gumam Raja Kera Durjana penasaran.
"Akrrh! peduli setan!" tandasnya kemudian.
Raja Kera Durjana pun mulai mencoba mencari batu berbentuk kera di dinding selatan.
Mendaki dinding karang sebenarnya tak pernah menjadi kesulitan untuk orang seperti Raja Kera Durjana. Namun dinding karang yang satu ini bukan seperti dinding karang biasa. Di samping teramat terjal.
Juga di seluruh bagian dinding tumbuh lumut yang menghasilkan lendir kehijauan. Karena lendir itu, permukaan dinding karang menjadi demikian licin.
Mula-mula, Raja Kera Durjana mencoba melenting-lenting dengan mencoba memanfaatkan beberapa tonjolan batu sebagai undakan. Tapi baru sekali saja, usahanya sudah gagal.
Kakinya bahkan tak berhasil menjejak dengan mantap ke satu tonjolan batu yang cukup besar. Dia nyaris tergelincir dan membentur tonjolan yang lain.
"Keparat! Ternyata tempat ini menyulitkan juga!" geramnya.
Terpikir olehnya untuk merayap sedikit demi sedikit mencari batu yang dimaksud. Namun usaha itu terhalang oleh terlampau licinnya permukaan dinding karang. Raja Kera Durjana mendapat akal. Akan dikerahkannya tenaga dalam kedua tangannya. Dengan cakar andalannya, tentu dia tak akan kesulitan menembus permukaan karang. Dengan cara itu, dia bisa merayap tanpa perlu tergelincir.
"Mhhhhrr, yeaahhh!" Degh! "Benar-benar keparat! Benar-benar keparat!" maki Raja Kera Durjana tak alang-kepalang gusar.
Ternyata dinding karang itu sama sekali tak tembus oleh hantaman cakar andalannya. Hanya sebagian kecil saja yang gugur. Tadinya Raja Kera Durjana mengi-ra tangannya akan dengan mudah melesak ke dalam karang.
"Sekarang, bagaimana lagi aku harus mendaki tebing bedebah ini..." Mata nyalang Raja Kera Durjana mengawasi keadaan sekitarnya. Dua dinding karang saling berhadapan di sebelah utara dan selatan. Timbul pikiran barunya untuk memanfaatkan keadaan itu. Dia akan mendorong tubuh dengan kekuatan penuh dan pengerahan kemampuan peringan tubuh dari dinding yang satu ke dinding yang lain. Dengan cara itu, dia tentu akan bisa sampai di tengah-tengah dinding utara pada akhirnya.
Raja Kera Durjana menyeringai yakin. Pasti dengan cara tersebut dia dapat mendekati batu berbentuk kera! Raja Kera Durjana mulai mencoba. Dikerahkannya segenap kemampuan peringan tubuhnya untuk berlari ke arah dinding sebelah selatan. Sebelah kakinya siap dijejakkan kuat-kuat ke dinding tersebut.
Pantulan tubuhnya nanti akan dimanfaatkan untuk menjejak dinding utara yang lebih tinggi. Dan begitu seterusnya sampai dia bisa tiba di tengah dinding karang utara.
"Heeaaaa!" Jleg! Wrrr! Lagi-lagi si manusia kera itu kecele. Pantulan tubuhnya ternyata tak cukup kuat untuk sampai di dinding sebelah utara. Apalagi untuk memantulkannya kembali ke dinding selatan! "Keparrraaattthhh!" geram bukan main hati si manusia kera ini. Perasaannya campur aduk tak karuan. Sementara waktu terus bergulir. Dini hari kian mendekati subuh.
-- ( 10 ) --
"Kau tak bisa memiliki apa-apa yang bukan menjadi hakmu, Raja Kera Durjana!" seru Suntara lan-tang. Sebelumnya dia memang terluka oleh Raja Kera Durjana. Namun tampaknya, luka itu tak terlalu berar-ti. Meski khawatir kalaukalau dia pun terkena Racun Dewa Kera seperti Cempaka dan Buntaka, Suntara tetap bersikeras untuk turut mengejar Raja Kera Durjana. Mereka kini berdiri berjajar di mulut lorong sebelah barat. Cara berdiri mereka memperlihatkan bagaimana kelima orang itu siap bertarung hidup-mati dengan lawan. Bulan mengapung di angkasa, tepat di kepala kelima orang itu, membuat tubuh mereka tak begitu jelas dari arah depan. Mereka seolah lima bayangan yang siap menjemput nyawa si manusia laknat.
"Kalian pikir, kalian akan dapat memiliki Mahkota Raja Kera"! He he nguk! Kalian salah duga! Telah berpuluh tahun aku bersabar menunggu. Hari ini, tak akan kubiarkan benda itu luput dari tangan-ku!" tegas Raja Kera Durjana padat keangkuhan seorang sesat.
"Kami pun tak akan sudi membiarkan kau mendapatkan benda mustika itu, Raja Kera Durjana! Tidak untuk hari ini. Tidak untuk selamanya!" tandas Purwasih. Betapa dia merasa mendapat tanggung jawab untuk menjalankan amanat yang dipikulnya, meski nyawa harus terlempar dari raga.
Sebelum pergi menyusul Raja Kera Durjana, Andika sudah menjelaskan tujuan kedatangan mereka ke Pulau Kera, sesuai dengan pesan Ki Saptacakra.
Purwasih kini telah mengerti sepenuhnya. Hanya ada yang masih belum dipahaminya. Menurut ucapan Ki Saptacakra yang disampaikan melalui Andika, hanya dirinya yang bisa mengambil benda mustika itu. Bagaimana bisa begitu" Raja Kera Durjana tak mau mengulur-ulur waktu lebih lama. Keadaannya makin tak memungkinkan untuk bertele-tele. Waktu untuknya sudah demikian menyempit. Dia tak mau kutukan yang menimpa karena salah dalam menuntut ilmu menjadi tak dapat dipulihkan. Yang lebih menakutkan lagi baginya, jika sampai subuh nanti dia tak bisa mendapatkan Mahkota Raja Kera sebagai benda pemulihnya, maka kemampuan berpikirnya akan dirusak oleh ajian berbahaya yang dianutnya sendiri! Itu sama artinya dia benar-benar menjelma menjadi kera besar. Tak beda dengan orang utan! Mendapati dirinya dalam keadaan di ujung tanduk, Raja Kera Durjana segera menghambur ke arah Purwasih. Purwasih sendiri saat itu telah maju, lebih masuk ke dalam lorong di antara dua dinding karang.
"Grrhhhhaaah!" Dengan berjumpalitan tiga-empat kali di atas tanah keras layaknya seekor monyet, Raja Kera Durjana mempersempit jarak dengan calon lawannya. Setiap kali tangannya terjejak di tanah, cakar besar-nya menembus tanah bercampur karang. Tahu dirinya dalam bahaya besar, Purwasih segera mencabut pedang bergagang kepala naga yang tak pernah lepas dari punggungnya itu. Pedang di tangan si Naga Wanita memantulkan warna keperakan meski cahaya bulan tak terlalu kuat.
Wukh! Trang! Menyambut sambaran cakar lawan, Purwasih mengayunkan pedang besarnya ke depan. Terkaman Raja Kera Durjana mendapat balasan satu babatan tajam ke arah perut.
Raja Kera Durjana bukan anak kemarin sore.
Untuk kesaktian, malah si Naga Wanita berada beberapa tingkat di bawahnya. Lepas dari itu, Raja Kera Durjana tak mau ambil resiko terhadap babatan mata pedang lawan. Cepat dia menghempas tubuh ke belakang kembali.
"Kenapa kau mundur lagi, Monyet Sial?" ejek Purwasih. Tak tahu bagaimana, dia secara tak sadar seperti terbawa oleh sifat-sifat Pendekar Slebor saat bertarung. Wanita ini memang salah seorang yang sering terlibat urusan bersama pendekar muda dari Lembah Kutukan. Cara Pendekar Slebor mempermainkan kemarahan lawan amat berkesan bagi Purwasih. Dan tanpa sadar dia jadi ikut-ikutan. Khususnya dengan makian yang menyakitkan telinga.
"Kau bakal mampus! Grrhh!" Berkawal sumpah serapah kasar, Raja Kera Durjana melempar tubuhnya tinggi ke udara. Tubuhnya berguliran deras dengan tubuh terlekuk dalam. Dengan cara itu, dia hendak memperdayai si Naga Wanita. Saat lawan lengah mengikuti gerak tubuhnya, akan dilancarkannya ajian 'Cakar Kera Api' secara tak terduga saat cakarnya terhalang tubuh sendiri.
Si Naga Wanita tak mudah tertipu dengan permainan licik lawan. Sebelumnya dia telah menyaksikan kehebatan kesaktian lawan. Jadi, dengan cukup mudah dia dapat menduga-duga maksud Raja Kera Durjana. Sebelum cakar si manusia kera membersitkan sepuluh galah api, Purwasih sudah lebih dahulu memutar pedang besarnya bagai kincir angin raksasa.
Srrr! Wukh! Wukh! Sambaran sepuluh galah api kesepuluh tempat berbeda tak menghasilkan apa-apa. Tubuh bagian depan Purwasih terlindungi oleh putaran pedang. Api buatan Raja Kera Durjana pupus seketika ketika berusaha menembus benteng yang diciptakan si Naga Wanita. Menyaksikan hal itu, Raja Kera Durjana lebih meningkatkan serangan.
Tiba di tanah, tubuhnya langsung berguling tangkas dan cepat menuju Purwasih. Memang, kejelian mata manusia monyet itu menemukan celah lowong yang tak terlindungi putaran pedang di bagian kaki si Naga Wanita.
Purwasih sebelumnya sibuk dengan terjangan galah api. Dia tak menyadari kalau lawan sudah berada begitu dekat dengan pertahanan terlemah di bagian bawah tubuhnya.
Wush! Tatkala menyadari, semuanya sudah terlambat bagi si Naga Wanita. Tanpa perlu tiba di dekat lawan, Raja Kera Durjana telah melepas pukulan jarak jauhnya. Desh! Purwasih memekik. Bagai dihempas lidah ombak raksasa, tubuhnya terlempar ke belakang lalu menghantam dinding sebelah utara.
Bukan sekadar sesak yang melantak dada pendekar wanita itu. Hampir seluruh jaringan tubuhnya terasa remuk-redam. Pukulan jarak jauh lawan ditambah hantaman langsung ke dinding karang jelas tak berakibat ringan baginya.
Pedang besar di tangan kanannya terkulai di sisi. Tangannya bahkan tak kuat lagi untuk mengacungkan senjatanya tersebut.
Ketika itulah ujung pedang Purwasih menyentuh sesuatu yang ganjil. Purwasih merasa pedangnya menjadi lebih berat. Ada tenaga tarikan lembut datang dari dasar dinding karang.
Dalam keadaan genting seperti itu, memang sulit bagi Purwasih untuk membagi perhatian. Apalagi Raja Kera Durjana sudah menerjangnya kembali dengan satu terkaman. Karena itu rasa penasaran yang terbetik sesaat di dirinya segera dienyahkan. Dia tak mau tubuhnya jadi makanan empuk cakar maut lawan. Wukh! Dengan menguras kelincahan, si Naga Wanita melempar tubuh ke samping. Cakaran lawan lolos begitu saja. Raja Kera Durjana memburu pendekar wanita nan gagah itu terus. Cara bertarungnya sudah demikian tak terkendali. Buas bagai binatang paling buas.
Dalam pertarungan saat itu, dia memang berada dalam posisi mendesak. Namun dirinya sendiri justru dalam posisi terdesak waktu. Dini hari kian mendekati subuh, bagaimana dia jadi tak kalap" Menyaksikan bagaimana Purwasih menjadi bulan-bulanan, empat murid Perguruan Kera Merah tak mau tinggal diam. Serentak mereka hendak menghambur menyerbu Raja Kera Durjana.
"Tahan!" seru sebentuk suara.
Mereka menoleh berbarengan. Disaksikannya Pendekar Slebor sedang berlari menuju mereka bersama Cempaka dan Buntaka.
"Kunyuk norak itu bagianku!" tambah Pendekar Slebor seraya melintas cepat empat murid Perguruan Kera Merah tadi.
"Tahan!" sebentuk suara yang lain justru menahan Pendekar Slebor untuk menyerang Raja Kera Durjana. Andika langsung tahu warna suara yang dikirim dari jarak jauh tadi.
"Ada apa lagi sih, Ki Buyut"!" Pendekar Slebor menghentikan langkah. Wajahnya terlipat. Sebal sekali kalau buyut tengiknya selalu mencampuri urusan 'anak muda'.
"Kunyuk norak itu bagianku!" tukas Ki Saptacakra, mengekori ucapan Andika sebelumnya.
"Kau sudah tua, Ki... tahu dirilah. Soal bertarung, serahkan saja pada yang muda...."
"Eee, raja kutil! Memangnya aku bilang aku hendak bertarung dengannya" Wah, memalukan saja aku buang-buang waktu bertarung dengan manusia seperti dia. Kesaktiannya cuma bisa untuk lalapku sa-ja...." Andika mendengus.
Kalau tak salah, si keropos ini pernah menjitaknya karena berkata angkuh. Sekarang malah seenak udelnya saja dia menggembargemborkan diri sendiri. Tengik juga kau, Ki Buyut, maki Andika dalam hati. Mangkel dia.
"Jadi maksudmu apa?" tanya Andika, ingin lebih jelas maksud buyutnya.
Terdengar bisikan di telinga Pendekar Slebor.
Menyusul tawa tertahan-tahan anak muda itu. Bahunya sampai terungkit-ungkit karena begitu menahan tawa. Apa yang dibisiki si Pendekar Lembah Kutukan pada buyutnya" Ah, Kakek buyut dengan cucu buyut memang sama-sama brengsek! Di belakang Pendekar Slebor, enam murid Perguruan Kera Merah terpana-pana menyaksikan tingkah pendekar muda kenamaan itu. Mereka sungguh mati menyegani Andika selaku pendekar besar. Tapi kalau melihat tingkahnya saat itu, mereka jadi ragu.
Apa benar anak muda berpakaian hijau-hijau itu yang menghebohkan dunia persilatan dengan segala sepak terjangnya" Jangan-jangan cuma pemuda sin-ting tersasar! "Sekarang kau paham maksudku?"
"Paham, Ki Buyut! Paham!" sahut Pendekar Slebor kegirangan. Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu setelah mendengar bisikan Ki Saptacakra.
"He he he!" Ki Saptacakra terkekeh "Hus!" Di lain sisi, Purwasih mendelik-delik menyaksikan tingkah tak karuan Andika. Kurang ajar sekali.
Dia sedang sungsang-sumbel menghadapi terjangan membabi-buta Raja Kera Durjana, pemuda itu malah enak-enak terkikik-kikik sendiri, umpatnya habishabisan dalam hati.
Saat itu, serangan yang dilancarkan Raja Kera Durjana terhadap diri si pendekar wanita telah mencapai titik paling berbahaya. Kecepatannya telah digenjot demikian tinggi. Bagi si Naga Wanita yang kemampuannya berada beberapa tingkat di bawah Raja Kera Durjana, serangan lawan sudah seperti tangan pencabut nyawa.
"Andika, pemuda sial-brengsek-tengik! Sedang apa kau di sana! Bantu aku!" pekik Purwasih kelim-pungan. Nafasnya sudah tersengal-sengal, nyaris putus. Keringat sudah membanjiri sekujur tubuh dan pakaiannya. Pedangnya seolah sudah tak berguna lagi untuk memperdayai sambaran-sambaran cakar Raja Kera Durjana.
"Sedikit lagi, Purwasih! Sedikit lagi!" Bukannya cepat-cepat membantu, Pendekar Slebor malah berteriak-teriak dengan sebaris senyum lebar menyebalkan.
Senyum kuda tololnya terkatup rapat-rapat ketika disaksikannya Purwasih terkena hantaman siku Raja Kera Durjana.
"Ki Buyut, aku jadi tak tega juga sama Purwasih.... Jangan-jangan, dia malah tak bisa bertahan," bisiknya.
"Eh, iya... ya. Kenapa aku jadi pikun. Maklumlah aku sudah terlalu tua...."
"Jadi aku boleh membantu?"
"Eee, sudah kubilang dia bagianku...," gerutu suara Ki Saptacakra.
"Kalau begitu, tolong dia cepat!" koar Andika, tak sabar lagi. Dia sudah tak tega berat pada keadaan saudara sepupu jauhnya itu.
"Alah kau... mentang-mentang sepupu jauhmu itu cantik!" Cukup sudah! Putus Andika dalam hati. Dia sudah tak bisa membiarkan buyut slompretnya mengatur dirinya seenak perut.
Andika hendak maju. Tapi....
Tuk! Satu totokan menghentikan seluruh geraknya.
Tubuhnya kaku. Cuma mulut ceriwisnya saja yang masih bisa ngalor-ngidul.
"Ki Buyut, apa yang kau lakukan"! Oiii, apa yang kau lakukan"! Jangan sinting, ya! Jangan gila, ya! Jangan edan, ya!!" caci makinya pun tersembur.
Ternyata, bukan Pendekar Slebor saja yang mendapat totokan jarak jauh si tua bangka usil. Raja Kera Durjana pun mendadak terdiam kaku pada saat cakarnya tiga jengkal lagi mengoyak dada Purwasih.
Purwasih lega dadanya tak jadi ambrol. Tapi dia juga bingung kenapa lawan tahu-tahu beku seperti itu" Apa yang terjadi" Yang dilanda kebingungan tentu saja tak cuma Purwasih. Enam murid Perguruan Kera Merah ikut terlolong-lolong. Mereka tak percaya. Mereka seperti dis-uguhkan mimpi aneh yang membingungkan. Kekonyolan macam apa yang sedang terjadi di depan mataku" Begitu bisik hati masing-masing.
Mereka baru mulai mengendusi apa yang sesungguhnya terjadi ketika menyaksikan seseorang sudah nangkring di ubun-ubun dinding karang sebelah utara, duduk uncang-uncang kaki sambil membersihkan kuku jempol kaki.
Dia tentu saja si tua Pendekar Lembah Kutukan.
"Hei, kunyuk...," tegurnya pada Raja Kera Durjana.
"Kalau kau suka, aku akan menghitung untuk-mu berapa lama lagi sisa waktumu untuk benar-benar resmi menjadi kunyuk buduk berotak nyamuk," celo-tehnya asal bunyi.
Diliriknya bulan yang semakin jatuh di kaki langit Kepalanya mengangguk-angguk "Bagaimana kalau kutawari kau lima belas hitungan?" Kemudian, Pendekar Lembah Kutukan pun mulai menghitung. Pada hitungan ke sebelas, dia menoleh pada Purwasih.
"Hei, anak gadis! Jika kulepas lawanmu dari totokan, apa kau siap menghadapinya lagi?" Purwasih, meski terheran-heran dengan orang tua di atas sana, mau-maunya mengangguki tawaran tak ada juntrungan Pendekar Lembah Kutukan.
"Sekarang bersiaplah...," lanjut Ki Saptacakra setelah menyaksikan anggukan samar Purwasih.
Tuk! Purwasih segera menghunus pedang besarnya kembali, siap menyambut terkaman buas Raja Kera Durjana. Namun, selanjutnya pendekar wanita itu hanya bisa terpaku bodoh menyaksikan lawannya malah melompat-lompat kian kemari. Mulutnya ribut memperdengarkan suara tak sedap...
"Auk... nguk... nguk auk...." Purwasih makin terpana begitu menyaksikan lawan meninggalkannya dengan santai sambil menggaruk-garuk kepala.
Jadi, bagaimana dengan Mahkota Raja Kera.
Ternyata untuk masuk ke gua penyimpanan benda mustika itu, hanya ada satu kunci pembuka.
Kunci itu adalah pedang bergagang kepala naga milik Purwasih. Peta yang diberikan guru besar Perguruan Kera Merah pada muridnya ternyata adalah peta palsu.
Sedangkan yang dititipkan pada Ki Saptacakra adalah peta yang asli. Guru Perguruan Kera Merah rupanya sudah menduga kalau murid-muridnya tak cukup mampu menjaga peta asli dari incaran Raja Kera Durjana. Itu sebabnya dia mempercayakan pada Ki Saptacakara. Pedang bergagang naga sebagai kunci pembuka ruang penyimpanan rahasia pun turut diserahkan.
Pedang itulah yang secara turun temurun akhirnya jatuh ke tangan Purwasih.
Alhasil, tak ada batu berbentuk kera seperti dalam potongan peta yang direbut Raja Kera Durjana.
Yang ada justru lubang kecil berbentuk kepala naga dan ukurannya teramat pas dengan gagang pedang milik Purwasih. Menurut petunjuk peta di tangan Purwasih, untuk menemukan lubang pembuka itu, pedang hanya didekatkan ke sekeliling dasar dinding karang utara. Jika ada tarikan lembut, maka di sanalah letak lubang pembuka! Tepat sekali dengan kejadian yang dialami Purwasih sebelumnya....
Sayangnya, ketika pintu gua terbuka yang mereka temukan cuma kerangka seekor kera yang sudah buluk! Di depannya terpampang papan bertuliskan....
Jadilah manusia! Jangan jadi kera! Mereka semua melongo. Bahkan Ki Saptacakra pun turut melongo.
Apa-apaan ini" Pikir Pendekar Slebor. Nyawa beberapa orang telah dipertaruhkan untuk sampai ke dalam gua. Sampai di sana mereka hanya menemukan belulang seekor monyet" Keterpanaan Pendekar Slebor dan yang lain dihentak ledakan tawa Ki Saptacakra.
"Kita semua telah dikerjai sahabat brengsekku itu! Tentu jauh hari dia telah merencanakan semua ini sebelum hari kematiannya!" ledak si tua tadi di antara gelombang tawanya.
"Maksudnya apa, Ki Buyut?" Andika masih belum mengerti.
"Otak ayam! Tentu saja dia hanya ingin menghukum si kunyuk buduk bau pesing itu melalui tangan salah seorang di antara kita!" papar Ki Saptacakra tak mau panjang lebar.
"Asal kalian tahu, cara menegakkan keadilan terkadang aneh, terkadang sulit dimengerti!" tuntas si tua seraya minggat dari tempat berdirinya dengan satu kelebatan saja.
SELESAI
Segera hadir: TASBIH EMAS BIDADARIINDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Lamaran Berdarah --oo0oo-- Tasbih Emas Bidadari |