Life is journey not a destinantion ...

Lamaran Berdarah

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Putri Samudera --oo0oo-- Pulau Kera



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: LAMARAN BERDARAH

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


--oo0 1 0oo--

Adakah semesta ini aman barang sekejap, tanpa adanya gangguan orang-orang telengas yang sukanya memaksakan kehendaknya sendiri atas orang lain" Di manakah dapat ditemukan tempat yang aman untuk bersembunyi dari kejaran sang durjana" Oh, Tuhan. Rasanya lobang semut pun telah dipenuhi oleh penindasan. Yang merasa dirinya besar, akan menindas yang kecil dan lemah. Tapi haruskah lari dari kenyataan itu" Haruskah terus bersembunyi, sementara sang durjana merajalela. Dan bila sang durjana ingin memaksakan kehendaknya haruskah diam saja" Itulah yang terjadi terhadap seorang gadis cantik yang masih muda, tapi sudah memimpin sebuah perguruan silat yang seluruh muridnya wanita.
Ranjani, namanya. Dikenal sebagai Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu. Cukup tinggi kepandaiannya. Namun tetap saja blingsatan ketika di dinding kamarnya ditemukan sebuah anak panah yang menancap dengan segulung kertas. Bukan. Bukan benda itu yang membuat gadis berusia dua puluh lima tahun ini gelisah. Tapi isinya.
Dalam gulungan kertas tertulis sebuah pesan yang sarat ancaman.
Ranjani Mau tak mau, suka tak suka, kau harus menjadi istriku. Bila menolak, perguruanmu dan seluruh isinya akan rata dengan tanah.
calon suamimu, Penguasa Gunung Mambang Sudah tentu Ranjani marah membaca isi berita itu. Tetapi bila menolak, akibatnya pun lebih parah la-gi.
Untuk sesaat gadis yang dikenal berjuluk Cemeti Melati Kala ini menimbang-nimbang. Sungguh, dia bukannya ketakutan membaca surat bernada mengancam itu, justru hatinya menjadi penasaran ingin mengetahui, seperti apa manusia tak tahu diri yang berjuluk Penguasa Gunung Mambang. Ranjani memang pernah mendengar sebuah gunung yang terletak sangat jauh dari Ngarai Sejuta Madu. Gunung yang konon tak pernah didatangi siapa pun juga. Karena selain banyak tebing terjal, juga sesuai namanya memang mengandung kekuatan gaib yang sampai saat ini tak terpecahkan.
Ranjani telah memanggil tiga orang muridnya yang diunggulkannya. Bukan berarti murid lain tidak diunggulkan, tetapi ketiganya boleh dibilang lebih cepat menerima ilmu-ilmu silat yang diberikannya.
Wanita ini pun menceritakan semua itu pada ketiga muridnya yang kesemuanya berpakaian jingga.
"Ketua.... Kalau begitu..., kita harus bersiapsiap menyambut kedatangan manusia keparat berjuluk Penguasa Gunung Mambang," cetus yang berwajah lancip dengan kulit agak hitam. Namanya Sunarsi.
"Aku ingin tahu, sejenis manusia ataukah monyet keparat itu, Ketua," timpal yang berwajah bulat.
Namanya Tirawati.
Ranjani mengangguk kelihatan berat. Ada semacam beban berat yang menggayuti perasaannya.
Saat gadis berpakaian berwarna kuning dan celana sebatas lutut itu menggerakkan tubuhnya, terlihatlah lengan bajunya sebelah kiri menjuntai. Ternyata lengan kiri gadis cantik itu buntung! "Ketua! Ada baiknya, bila kita mengirimkan beberapa orang untuk menjajaki Gunung Mambang," usul yang berambut pendek.
Ranjani menggelengkan kepalanya.
"Kita cuma membuang waktu, Lestari. Aku yakin, manusia keparat itu pasti akan datang ke sini.
Paling tidak, untuk menanyakan kesediaan ku. Memang dalam suratnya tak ada batas waktu. Tetapi dalam waktu dekat, sekali lagi aku yakin, dia akan datang ke sini. Mungkin juga utusannya." Sebelum ada yang menyahuti kata-katanya, tiba-tiba saja....
"Heaaa...!" Trangng...! Terdengar suara ribut-ribut di halaman perguruan yang ditingkahi suara dentang senjata beradu sangat keras. Ranjani terkejut. Cepat diberinya isyarat dengan gerakan dagunya.
Maka ketiga muridnya dengan sigap melompat keluar.
* * * Tiga murid utama Perguruan Ngarai Sejuta Madu ini melihat lima orang laki-laki berpakaian hitam dengan wajah seram dan tubuh tinggi besar sedang terbahak-bahak sambil mengibaskan golok besar ke arah gadis-gadis murid perguruan itu. Di tanah, lima sosok tubuh ramping berwarna jingga terkapar penuh darah. "Ha ha ha! Lebih baik panggil ketua kalian! Katakan, aku Jarotomo utusan dari Penguasa Gunung Mambang, hendak meminta jawaban atas lamaran yang diajukan ketua kami!" seru lelaki yang wajahnya dipenuhi bulu lebat. Usianya kira-kira empat puluh li-ma tahun.
"Hiaaah...!" Dikawal teriakan keras, tiga murid utama Perguruan Ngarai Sejuta Madu segera melesat maju. Sunarsi telah mencabut trisula yang terselip di pinggangnya. Seketika senjata bermata tiga itu dikibaskan ke arah golok besar Jarotomo yang telah mengibas kembali. Trang! Jarotomo terkejut. Kakinya mundur dua langkah ketika tangannya bergetar setelah golok besarnya dipapaki seseorang. Tetapi kemudian lelaki seram ini tertawa keras. Amat keras. Mungkin berusaha menekan keterkejutannya. Apalagi setelah melihat orang yang menghalangi serangannya. Seorang gadis manis.
Sungguh, birahi manusia satu ini tak mengenal tempat. Mungkin otak ngeresnya memang selalu diumbar untuk hal-hal yang begituan. Sehingga ketika melihat gadis di depannya, matanya langsung ijo penuh pancaran menjijikkan.
"Babo-babo... manis, mengapa kau harus menyerangku" Ayolah, lebih baik serang aku di tempat tidur, he he he...," kata Jarotomo kurang ajar.
Wajah manis Sunarsi memerah. Tatapannya nyalang mendengar kata-kata menjijikan itu.
"Manusia berotak iblis! Kau telah menebarkan darah di sini! Berarti, kau tak akan bisa keluar dari Ngarai Sejuta Madu!" dengus Sunarsi. Seketika tubuh ramping gadis itu berkelebat cepat. Sepasang trisulanya langsung mengibas dengan kecepatan tinggi, menimbulkan angin keras menderu-deru.
Terbahak-bahak Jarotomo mengimbangi. Matanya makin liar memandang ringan Sunarsi. Tetapi ketika pertarungan sudah berlangsung lima jurus, sadarlah lelaki itu kalau lawan yang dihadapinya bukan orang sembarangan.
Sementara itu Lestari dan Tirawati yang bersenjata sepasang trisula telah mendesak dua orang kawan Jarotomo. Sedangkan muridmurid Padepokan Ngarai Sejuta Madu lain menyerbu sisa anak buah Jarotomo.
Pertarungan sengit tergelar di halaman padepokan Ngarai Sejuta Madu. Bunyi senjata beradu terdengar menusuk-nusuk telinga. Sementara itu Jarotomo benar-benar merasa terdesak menghadapi gempurangempuran maut Sunarsi. Lelaki ini berusaha melepaskan diri dari kepungan sepasang trisula Sunarsi yang berkelebat bagaikan kilat.
"Gila! Dari getaran angin yang ditimbulkannya, wajahku bagaikan ditampar!" dengus Jarotomo. "Dia belum tahu siapa aku rupanya!" Di tempat lain amukan Lestari dan Tirawati seperti tak tertahankan lagi. Keduanya benar-benar marah karena melihat saudara-saudara mereka telah terkapar luka parah. Maka tak heran kalau dalam lima belas jurus berikutnya, senjata-senjata trisula mereka berhasil melukai dua anak buah Jarotomo. Saat kedua lawan terluka begitu, dua gadis ini siap hendak menghabisi. Tetapi kali ini mereka kecele. Karena kedua lelaki itu mendadak saja berlompatan menyerang secara bergantian namun terarah.
Kali ini Lestari dan Tirawati menjadi kebingungan sekaligus kewalahan. Namun sebagai murid utama Padepokan Ngarai Sejuta Madu, sudah tentu mereka pantang menyerah.
Di pertarungan lain, dua orang dari kelima lelaki berbaju hitam itu agaknya tidak menemukan lawan yang seimbang. Meskipun dikeroyok puluhan gadis gagah berani berbaju jingga, sambil mengumbar tawa mereka juga mengumbar kebengisan. Golok besar mereka berkelebatan, tak tertahankan.
Cras! Crasss...! Satu persatu murid Perguruan Ngarai Sejuta Madu berjatuhan dengan tubuh bersimbah darah.
Melihat keadaan yang mengenaskan ini, Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu yang sudah berdiri di halaman perguruan geram bukan main. Tangan kanannya sudah memegang sebuah cemeti yang bernama Cemeti Melati Kala, sesuai julukannya. Di ujung cemeti telah ditaburkan racun ular bludak yang sangat berbahaya. Dan di hulunya, terdapat sebuah relief bergambar bunga melati.
"Heeaaatt...!" Dikawal teriakan merobek angkasa, Ranjani melecutkan cemetinya ke arah anak buah Jarotomo yang tengah menebar kematian. Begitu cepat dan didukung tenaga dalam tinggi, cemeti itu meliuk membawa maut. Dan....
Cras! Cras! Pluk! Pluk! Tak ada teriakan ketika kedua kepala dua anak buah Jarotomo menggelinding bagai kepala busuk.
Sementara Ranjani melirik cemetinya yang bernoda darah. Tatapannya dingin, berbalur kemarahan. Lebih marah lagi melihat murid-muridnya yang luka dan mati. Inilah yang menguatkan tekadnya untuk menentang Penguasa Gunung Mambang. Tak ada lagi kebimbangan di hatinya. Semut pun kalau diinjak akan menggigit. "Yang lain mundur! Biarkan Sunarsi, Lestari, dan Tirawati berlaga! Obati yang luka-luka. Dan kubur yang meninggal!" Serentak para murid Perguruan Ngarai Sejuta Madu mematuhi perintah Cemeti Melati Kala yang masih berdiri tegak menatap dingin pada ketiga lelaki yang masih mengibaskan golok besar mereka.
Jarotomo yang melihat tewasnya dua orang temannya menggeram.
"Ranjani! Kami datang untuk meminta jawabanmu atas pinangan ketua kami!" teriak Jarotomo sambil terus menyerang Sunarsi.
"Katakan padanya. Lebih baik pergi ke neraka!" sahut Ranjani, ketus.
"Mulutmu terlalu lancang! Berani-beraninya menghina ketua kami!"
"Manusia busuk itu pun akan terkapar di Ngarai Sejuta Madu!"
"Keparat! Kau akan merasakan akibatnya dari kata-katamu itu, Ranjani!" seru Jarotomo.
Lelaki itu hendak meluncur ke arah Ranjani.
Namun niatnya harus diurungkan karena trisula Sunarsi segera menyambar kedua kakinya. Terpaksa tubuhnya harus melenting ke belakang kalau tak ingin tersungkur oleh sambaran trisula.
"Kau akan kubiarkan hidup untuk menyampaikan pesanku itu! Sementara kedua temanmu harus mampus di sini! Lestari dan Tirawati! Gunakan Trisula Mengebut Angin'!" Mendengar perintah itu, mendadak saja tubuh kedua gadis murid utama Perguruan Ngarai Sejuta Madu melenting ke atas, membentuk satu pusaran bagaikan angin mengamuk. Desirannya pun begitu besar laksana topan. Kedua lelaki anak buah Jarotomo tersentak melihat perubahan jurus yang menakjubkan sekaligus membahayakan. Gempuran trisula yang mengandung kekuatan penuh berdesing-desing dan memekakkan telinga, membuat mereka segera bergulingan menghindari. Namun mereka hanya memiliki kesempatan sekali saja menghindar. Karena kejap selanjutnya Lestari dan Tirawati dengan mendadak meluruk. Sepasang trisula mereka disabetkan dari kanan-kiri dengan kece- patan menakjubkan.
Breeet! Breeettt! "Aaa...!" Tubuh kedua lelaki berbaju hitam itu kontan terjengkang ke belakang disertai pekik kematian sambaran trisula pada perut. Darah langsung muncrat dengan isi perut memburai! Lestari dan Tirawati berdiri tegak, memandangi dua tubuh yang ambruk itu.
Cemeti Melati Kala tersenyum puas. "Hei, kurakura jamban! Selama ini aku tak pernah mencari per musuhan! Tetapi ketuamu telah menanamkannya!" desis Ranjani.
"Kalau kau memang pantas dijuluki Cemeti Melati Kala, majulah! Hadapi aku!." Ranjani tertawa renyah.
"Hmm.... Nyawa sudah berada di ujung tanduk masih saja berlagak," gumam Ranjani. "Sunarsi! Biarkan dia hidup, agar bisa menyampaikan pesanku kepada Penguasa Gunung Mambang busuk itu!" Sunarsi yang sedang menyerang hebat sedikit memperlambat gerakannya. Tindakan ini dipandang lain oleh Jarotomo. Dianggapnya kedua lawannya mengalah. Dan ini membuatnya merasa di atas angin.
Merasa saat inilah yang tepat untuk membalas. Golok besarnya segera disabetkan berkali-kali ke kaki dan tubuh Sunarsi. Namun itu adalah kesalahan! Karena di saat lelaki ini menyabetkan goloknya, Sunarsi mendadak saja membuat satu gerak tipu.
Kakinya disontekkan sehingga membuat Jarotomo mengangkat sebelah kakinya. Saat itulah Sunarsi memutar tubuhnya sambil membabatkan trisula ke atas dua kali berturut-turut.
Cras! Cras! "Aaakh...!" Lolongan bagai serigala kelaparan terdengar dari congor Jarotomo. Wajah jeleknya menyeringai, hing-ga makin jelek saja. Dua tangannya putus sampai sebatas siku. Tubuhnya bergulingan menahan sakit.
Sunarsi tersenyum puas. Di kedua trisulanya menetes darah. Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu tersenyum. "Hhhh! Seharusnya kau berterima kasih karena tidak kuperintahkan muridku untuk mencabut nyawa busukmu! Katakan pada ketuamu. Aku, Cemeti Melati Kala, menolak mentah-mentah lamarannya! Katakan pula padanya, aku ingin melihat tampang jeleknya.
Pergi dari sini, sebelum kuperintahkan untuk mencabut nyawamu!" seru Ranjani.
Dengan susah payah Jarotomo bangkit, mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Sakit yang diderita tak ke-palang tanggung. Seolah menyayat-nyayat hatinya.
"Wanita keparattt...!"
"Suatu saat aku akan datang untuk membunuhmu! Akan ku cabik-cabik tubuhmu sebelum kubikin mampus! Dan.., akan kupermalukan kau di hadapan murid-muridmu!" Ranjani hanya tertawa saja mendengar ancaman itu. Kini tekadnya kian tak sabar untuk bertemu Penguasa Gunung Mambang.
Seribu satu perasaan mengaduk-aduk otak Jarotomo. Tubuhnya yang melangkah sempoyongan mulai meninggalkan tempat itu. Darah terus mengucur dari kedua lengannya yang putus. Hatinya benar-benar diisi oleh dendam terhadap Ranjani. Apalagi mengingat bagaimana keempat kawannya harus mati! Hari ini.

****

Ranjani telah memerintahkan kepada ketiga muridnya, agar memperketat kewaspadaan dan kesiagaan. Di salah satu sudut nuraninya, dia menyesalkan kejadian pagi tadi.
Sungguh tak pernah disangka, kalau hari ini Ngarai Sejuta Madu yang damai telah dibanjiri darah.
"Hhh! Penguasa Gunung Mambang! Tidak tahu adat berani-beraninya melamar!" dengusnya dalam ha-ti.
Tiba-tiba wanita cantik namun bertangan buntung itu terdiam. Sebaris senyum tercipta dibibirnya yang memerah bak delima.
Yah! Di dasar hatinya yang terdalam, telah lama terpendam sebuah cinta. Cinta yang datang begitu cepat, dan perlahan-lahan merayapi hatinya. Cinta sejati yang sangat diharapkan balasannya. Oh, apakah pemuda itu mencintainya" Terus terang Ranjani sering kali didatangi pikiran semacam itu. Hatinya khawatir, suatu saat akan kecewa. Apalagi, bila mengingat sikap dan sifat pemuda yang dicintainya yang seperti tak ada kepastian. Plin-plan.
"Apakah dia mencintai ku?" desisnya sekali lagi.
Pertemuan gadis ini dengan pemuda yang dicintainya memang dirasakan hanya sesaat. Namun, pesona yang muncul dari dalam diri pemuda itu telah menggetarkan seluruh relung hatinya. Bila saja pertemuan itu bisa lebih lama sedikit, mungkin akan bisa dirasakan, betapa dadanya semakin menggelora. Dan sekarang, rindu dan cintanya tetap putih. Seputih awan di langit tanpa batas.
"Pendekar Slebor.... Pernahkah kau mengingatingat ku" Seperti yang terjadi pada diriku setiap hari?" rintih si gadis, bergetar. Pandangan Ranjani menerawang ke langit tanpa batas.
Kepalanya menggeleng-gelengkan.
"Tak mungkin pemuda itu mengingat aku. Buktinya, Andika belum juga memenuhi permintaanku untuk datang ke sini. Ah! Untuk apa aku memikirkannya.
Toh, dia tidak pernah mencintai ku." Ranjani menghela napas panjang. Tiba-tiba rasa rindunya pada Pendekar Slebor semakin menggunung. (Untuk mengetahui pertemuan Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu dengan Pendekar Slebor, silakan baca: "Cincin Berlumur Darah").
Akankah Pendekar Slebor muncul ke sini"
"Sudahlah," desahnya. "Lebih baik aku mem-persiapkan diri untuk menghadapi kedatangan manusia bejat si Penguasa Gunung Mambang."

--oo0 2 0oo--

Plak! "Bodoh! Goblok! Goblok sekali kau, Jarotomo!" Diiringi bentakan keras tangan kekar penuh bulu milik Penguasa Gunung Mambang melayang, menampar pipi Jarotomo hingga terjengkang ke belakang.
Kepalanya pusing tujuh keliling dengan darah hitam kental yang keluar dari mulut dan hidungnya.
Padahal, Jarotomo baru saja tiba, langsung menghadap Penguasa Gunung Mambang. Sehari semalam dia melakukan perjalanan dari Ngarai Sejuta Madu ke Gunung Mambang. Berkat daya tahan tubuhnyalah yang membuatnya masih hidup tanpa kehabisan darah. Dan kini, dia ditempeleng begitu saja.
"Bodoh! Bodoh sekali!" maki lelaki tinggi besar yang sekujur tubuh ditumbuhi bulu lebat itu. Si lelaki berbulu ini berambut panjang dengan ikat kepala berwarna perak. Wajahnya penuh jerawat merah. Bibirnya tebal dengan hidung bagaikan buah tomat. Pakaiannya berwarna hitam terbuka, sehingga memperlihatkan dada bidangnya berbulu. Di lehernya tergantung sebuah kalung berbandul tengkorak kepala ukuran manusia dewasa. Konon kepala itu dari gurunya sendiri yang telah dibunuhnya sewaktu kepergok mencuri kitab larangan berisikan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi.
Setelah bangkit Jarotomo merundukkan kepala dengan menahan geram. Tidak! Dia tidak ingin mati dulu sebelum dendamnya pada Cemeti Melati Kala terlampiaskan. Meskipun tahu nyawanya sudah berada di ujung tanduk, namun dia tetap untuk bertahan hidup.
Setelah puas memaki-maki sambil menghancurkan barang apa saja yang ada di ruangan dalam rumahnya, Penguasa Gunung Mambang duduk dengan napas tersengal. Kesempatan itu dipergunakan Jarotomo untuk mengangkat kepalanya.
"Maaf, Ketua. Bila Ketua menghendaki nyawaku sekarang ini, aku rela."
"Kau memang tak berguna!" dengus Penguasa Gunung Mambang.
"Tetapi, Ketua! Aku mempunyai satu siasat mengasyikkan untuk mendapatkan Cemeti Melati Kala," kilah Jarotomo.
"Siasat apa pun yang kau katakan, tak ada gunanya lagi. Wanita itu telah mencoreng wajahku dengan arang hitam dan menginjak-injak harga diriku! Dia harus mampus!"
"Kalau dia mati, Ketua tak akan pernah menikmati keindahan tubuhnya. Berarti, Cemeti Melati Kala tetap berhasil mempertahankan kehormatannya.
Sementara dia telah memandang remeh pada Ketua." Kata-kata Jarotomo kontan menggelitik telinga Penguasa Gunung Mambang.
"Pintar juga manusia buntung ini berbicara," pikir Penguasa Gunung Mambang. "Meskipun telah tak berdaya, tetapi aku ingin mendengar juga pada usul-nya itu." Lelaki berbulu ini lantas menatap dalam-dalam wajah Jarotomo.
"Jarotomo! Katakan, apa yang hendak kau usulkan. Bila ternyata aku tidak tertarik, kau harus memenggal kepalamu sendiri." Melihat kesempatan sudah terbuka, Jarotomo segera mengatakan rencananya untuk mendapatkan Cemeti Melati Kala. Padahal di samping itu, dia juga memiliki satu rencana lain untuk membalas dendamnya pada Cemeti Melati Kala.
Sesaat kemudian terdengar Penguasa Gunung Mambang terbahak-bahak keras.
"Kau ternyata tidak bodoh! Tetapi licik! Usulmu memang sangat menarik. Teramat menarik! Ini bisa dipakai untuk mendapatkan Cemeti Melati Kala dengan mudah." Jarotomo tersenyum puas. Senyum penuh kelicikan: "Laksanakan rencanamu besok. Lakukan secepatnya, biar Cemeti Melati Kala menjadi pontangpanting dibuatnya!" ujar Penguasa Gunung Mambang, lalu berdiri dan melangkah menuju ke peraduannya.
Di sana, seorang wanita sedang menunggu.
Tanpa basa-basi lagi, Penguasa Gunung Mambang segera merangkul wanita itu.
Sementara Jarotomo tersenyum, membayangkan kemenangan yang akan didapatnya.

--oo0 3 0oo--

Waktu terus bergulir. Perlahan namun pasti, menggilas alam. Tak terasa lima belas hari sudah berlalu dari peristiwa pinangan berdarah di Ngarai Sejuta Madu. Di tempatnya Ranjani nampaknya sudah benar-benar bersiaga untuk menyambut kedatangan Penguasa Gunung Mambang. Dalam perkiraannya, sudah bisa digambarkan kemarahan manusia keparat itu saat menerima kedatangan anak buahnya yang buntung kedua lengannya. Bahkan bisa dipastikan, kalau Penguasa Gunung Mambang akan marah besar mendengar kata-katanya.
Dalam ketegangan yang luar biasa itu mendadak.... "Hoooi, Ranjaniii! Aku datang!" Terdengar teriakan keras dari halaman perguruan. Ranjani yang sedang duduk bersila di salah satu ruangan dalam perguruannya tersenyum dingin.
"Hhh! Rupanya manusia keparat itu sudah muncul. Aku jadi ingin mengetahui kehebatannya!" gumam Ranjani. Gadis ini memandang ke arah ketiga murid utamanya yang duduk di hadapannya.
"Hadapi dia! Katakan! Dia tak pantas berjumpa denganku," ujarnya, mendesis.
Sunarsi, Lestari, dan Tirawati bergegas bangkit dan melangkah ke luar ruangan ini.
Di luar, murid-murid Perguruan Ngarai Sejuta Madu tengah mengurung seorang pemuda berwajah tampan dengan pakaian hijau pupus. Rambutnya yang gondrong berkibaran dimainkan angin pagi, seiring kibaran kain bercorak caturnya yang disampirkan di bahu. Matanya memancarkan kecerdikan dengan sepasang alis hitam legam bagaikan kepakan sayap elang.
Sunarsi, Lestari, dan Tirawati yang telah berada di luar segera ikut mengurung. Mereka yakin, kalau yang muncul ini bukan Penguasa Gunung Mambang.
Tak pantas rasanya pemuda ini menyandang gelar seperti itu. Paling tidak, dia seorang suruhan Penguasa Gunung Mambang.
"Hai, pemuda cari mati! Mengapa tidak sekalian saja manusia keparat itu yang muncul"!" bentak Sunarsi. Sesaat ketiga gadis itu melihat si pemuda mengerutkan keningnya. Tetapi sejurus kemudian malah cengar-cengir. Malah cengirannya kalah cakep dengan cengiran kuda. "Wah... kalian tuli, ya" Sayang, cantik-cantik tuli semua. Aku ke sini mau cari Ranjani, bukan cari mati," sahut pemuda tampan ini seenaknya. "Jangan banyak cincong! Pikirkan masakmasak! Segera angkat kaki dari sini, atau ingin mati!" bentak Sunarsi, lagi.
Kening si pemuda berkerut lalu bibirnya tersenyum. "Baik! Lihat, kaki sudah kuangkat!" kata si pemuda seraya mengangkat kaki kanannya. "Dasar pemuda bodoh!"
"Lho" Lantas maksud kalian apa" Katanya suruh pilih, angkat kaki atau mati. Ya, aku pilih angkat kaki, dong. Sekarang setelah kakiku kuangkat, kalian marah. Lantas apa mau kalian?" tukas si pemuda.
"Kami ingin agar kau mati!"
"Nah, yang itu aku tak mau. Tapi tolong panggilkan Ranjani dulu.... Katakan, aku sudah tak sabar menunggu....", Suara si pemuda terdengar kalem, namun di telinga gadis-gadis itu bagai memandang rendah.
"Kau tak pantas berjumpa ketua kami!" timpal Lestari. Pemuda itu melotot.
"Apakah dia menyuruh kalian berkata seperti itu?"
"Tanpa disuruh, kami pun akan mengatakannya!"
"Ada apa, ya" Apa Ranjani marah karena baru sekarang aku datang?" pikir si pemuda. "Tapi bila melihat sikap gadis-gadis ini jelas sekali mereka tak menginginkan kehadiranku. Hmm, ada apa sebenarnya?" Si pemuda semakin menjadi penasaran. Ini yang membuatnya tak ingin segera angkat kaki. Maka bagaikan tak memperhatikan tatapan penuh bahaya dari para gadis itu, kakinya melangkah maju.
"Bangsat! Lancang sekali kau!" seru Sunarsi sambil mengibaskan sepasang trisulanya. Wuttt! "Uts...!" Dengan enaknya si pemuda memiringkan tubuhnya. Dan dengan gerakan begitu cepat hingga tak terlihat, tangannya mengibas.
Plak! Tangan Sunarsi bergetar keras, begitu berbenturan dengan tangan si pemuda. Tubuhnya sedikit terhuyung. Sejenak dia terheran-heran melihat bagaimana caranya pemuda itu menangkis sambaran trisulanya. Kening pemuda itu kembali berkerut. "Kalian ini yang benar saja. Masa' aku tidak boleh bertemu Ranjani" Apakah dia sudah tidak mengenaliku lagi?"
"Siapa pun kau adanya, Ketua tak menerima kedatanganmu!" bentak Sunarsi sambil bersiap menyerang. Kali ini gadis itu akan meluruk dengan kekuatan penuh, karena menyadari kehebatan si pemuda.
Begitu pula kedua temannya yang diam-diam kagum juga melihat bagaimana si pemuda menangkis tadi.
Begitu cepat dan tak terlihat.
"Hai... begini saja. Kalau aku tak boleh bertemu Ranjani, bagaimana kalau Ranjani yang menemui aku.
Adilkan?"
"Keparat! Langkahi mayat kami dulu sebelum kau bertemu Ketua! Heaat...!" Dikawal teriakan keras, bersama Lestari dan Tirawati, Sunarsi meluruk menyerang si pemuda. Tiga buah serangan menggebah dengan kekuatan tinggi.
Dengan kecepatan luar biasa pemuda itu melenting ke samping.
"Monyet pitak! Serangan mereka bukan mainmain lagi"! Ada apa sebenarnya dengan mereka" Mengapa begitu melihatku seperti melihat musuh bebuyutan" Apakah ada sesuatu yang terjadi di sini?" desis si pemuda dalam hati.
Gebrakan Sunarsi bersama Lestari dan Tirawati benar-benar suatu gebrakan dahsyat mengundang maut. Enam buah trisula tajam berkelebat bagaikan kilat melingkar-lingkar di sekitar tubuh si pemuda.
Namun dengan enaknya pemuda dengan kain bercorak catur di bahu itu melompat-lompat lincah. Sehingga tak satu serangan pun yang berhasil bersarang di tubuhnya. "Hei, sabar dulu dong!" kata pemuda itu sambil mengibaskan tangannya.
Plak! Plak! "Iiihh...!" Lestari dan Tirawati mendadak saja terjajar ke belakang, saat tangan mereka ditepak si pemuda.
Melihat hal itu, Sunarsi dengan geram memburu kembali. Hatinya panas melihat begitu mudahnya si pemuda menahan serangan.
Dengan jurus Trisula Mengebut Angin, Sunarsi memutar tubuhnya hingga bagai berada dalam pusaran hebat. Serangan trisulanya bagaikan gebrakan angin yang menderu-deru mengundang maut.
Namun menghadapi pemuda berbaju hijau pupus itu, si gadis benar-benar tak mampu mengembangkan jurusnya. Bahkan dengan satu gerakan cepat tak terlihat, mendadak tubuh si pemuda berkelebat.
Dan tahu-tahu....
Plak! "Auuuwww...!" Mendadak saja Sunarsi menjerit ketika bokongnya ditepok.
"He he he.... Maaf, aku tak sengaja. Makanya, punya pantat jangan gede-gede...." Sunarsi memerah wajahnya. Dia ingin segera melenyapkan pemuda ini. Namun baru saja akan bergerak.... "Manusia busuk! Kau akan menyesal telah datang ke sini!" Terdengar bentakan keras yang diiringi berkelebatnya satu bayangan ke arah si pemuda yang membelakangi. Namun satu tombak serangan sampai, si pemuda berbalik.
"Pendekar Slebor!" Bayangan itu langsung membuang tubuhnya ke samping dengan satu seruan bernada gembira bercampur terkejut.

****

Pemuda yang ternyata Andika alias Pendekar Slebor terkekeh-kekeh.
"Hebat benar sambutanmu, Ranjani. Beginikah sambutanmu pada pemuda ganteng sepertiku"!" cibir Andika pada sosok bayangan yang ternyata Ranjani.
Ranjani kelihatan serba salah dengan wajah memerah. Dia tadi saking kalapnya melihat murid-muridnya tak bisa menjalankan tugasnya ditambah lagi ketegangan dengan ancaman dari Penguasa Gunung Mambang, membuatnya tak mengenali Pendekar Slebor. Sungguh, tak pernah disangka kalau yang hadir adalah pemuda yang selama ini dirindukannya.
"Maafkan atas sikap ketiga muridku ini, Andika," ucap Ranjani, dengan kepala tertunduk.
Pemuda berbaju hijau pupus itu ngedumel tak karuan. Mulutnya monyong-monyong seperti neneknenek kehabisan sirih.
"Maaf, ya maaf. Tetapi aku bisa mampus tadi.
Hei, sebenarnya ada apa sih" Mengapa mereka mengatakan aku tak pantas berjumpa denganmu" Kalau kau merasa begitu, ya tidak apa-apa. Aku balik saja deh," ujar Andika Bagai anak kecil ngambek, Pendekar Slebor berbalik. "Jangan salah paham, Andika," tahan Ranjani.
"Jadi aku boleh bertemu denganmu?" tukas Andika tanpa berbalik.
"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu."
"Aku sudah tahu, kok." Kali ini Pendekar Slebor berbalik sambil terkekeh-kekeh. Ranjani hanya tersenyum saja. Tidak heran hatinya melihat sikap Pendekar Slebor yang angin-anginan semacam itu. Sementara Sunarsi, Lestari, dan Tirawati hanya memperhatikan saja. Sedikit banyak mereka bersyukur karena ternyata ketua mereka mengenal pemuda berilmu tinggi ini.
"Nah! Apakah kau mempersilakan aku masuk ataukah berbicara di sini?" Ranjani mengajak Andika masuk ke ruangannya. Sementara ketiga muridnya melangkah dengan tubuh masih terasa sakit.
Sambil berjalan, Ranjani menceritakan apa yang telah dialami di perguruannya. Sedangkan Andika mendengarkan dengan seksama.
"Jadi kau tidak mengenal siapa Penguasa Gunung Mambang itu?" tanya Andika, setelah Ranjani se-lesai bercerita.
Kini mereka berada di ruangan utama dan duduk saling berhadapan.
Ranjani menggeleng.
"Tidak. Tetapi, sikapnya yang sudah menebarkan hawa kematian tak bisa ku maafkan."
"Kau betul. Tetapi, sudahlah.... Apakah tak kangen denganku" Toh sikapmu kulihat tetap tenang." Ranjani tersenyum.
"Kau salah, Andika. Aku masih cemas menunggu kedatangan Penguasa Gunung Mambang. Karena, aku tak tahu siapa dia."
"Tahukah kau letak Gunung Mambang?" Ranjani memberitahu pada Andika letak Gunung Mambang. Dan Andika justru tengah menikmati wajah Ranjani yang cantik.
Namun belum puas Andika menatap, mendadak... "Ranjani! Keluar kau!" Terdengar bentakan keras dari halaman membuat Ranjani kontan menatap Andika. Dan begitu Pendekar Slebor menganggukkan kepala, secara bersamaan mereka melesat ke halaman.

--oo0 4 0oo--

Begitu tiba di halaman, Ranjani dan Pendekar Slebor melihat tiga orang bertubuh tinggi besar terbungkus pakaian serba merah tengah berdiri tegak dengan sikap menantang.
Ranjani memperhatikan ketiganya dengan seksama. "Masalah apa lagi yang kuhadapi" Melihat sikap mereka, jelas sekali menunjukkan amarah dan dendam. Tetapi, aku tidak mengenal siapa mereka?" gumam gadis itu. "Cemeti Melati Kala!" bentak salah seorang yang berwajah tirus dengan parang teracung. "Kami akui, kau memang hebat! Tetapi hari ini, Tiga Parang Dewa akan menghabisi mu! Sekaligus menghentikan se-pak terjang busukmu yang hendak menguasai rimba persilatan ini!"
"Hei?" Ranjani tersentak dengan wajah memerah. Matanya sempat melirik Pendekar Slebor yang tampak tenang-tenang saja.
"Aku tidak mengerti maksud kalian. Lagi pula, aku sama sekali tidak mengenal kalian?"
"Gadis hina! Jangan mungkir, kalau kau telah merencanakan pembunuhan terhadap para tokoh rimba persilatan agar kau bisa berkuasa di rimba persilatan ini?" bentak orang berwajah tirus semakin kasar membentak.
"Kurang ajar! Siapa yang menyebarkan fitnah seperti itu"!"
"Itu bukan fitnah! Tetapi kenyataan! Kau telah membunuh Pendekar Baju Emas. Dia tewas akibat cambukan Cemeti Melati Kala! Tubuhnya hangus terkena racun ular bludak! Hhh! Siapa lagi yang memiliki senjata semacam itu kalau bukan kau, Ranjani" Kau harus mati untuk menebus dosa-dosamu!" Bagaikan diberi aba-aba, ketiga orang yang mengaku berjuluk Tiga Parang Dewa bergerak dengan cepat. Parang besar dan tajam di tangan mereka menyabet Ranjani dengan hebatnya. Suaranya menderuderu tajam penuh ancaman.
Percuma saja Ranjani membela diri. Toh ketiga lawannya memang benar-benar sudah kalap. Malah tiga parang besar itu mengurungnya begitu rapat, membuatnya harus tunggang langgang menghindar.
Dan mendadak saja Ranjani meloloskan cemeti dari pinggangnya. Lalu diayunkannya dengan cepat.
Ctaarrr! Bagai digebah satu kekuatan dahsyat, ganti Tiga Parang Dewa yang berjumpalitan menghindar. Tetapi hanya sesaat. Karena begitu kaki mereka menyentuh tanah, langsung melenting kembali.
Ranjani yang semula ingin meluruskan masalahnya, tak ayal lagi kembali mengebutkan cemetinya.
Tiga Parang Dewa terkejut ketika beberapa sinar putih berkelebat. Kalau saja tak merundukkan kepala, sudah jelas hidung mereka akan somplak.
"Rangkaikan jurus 'Tiga Parang Memecah Gunung'!" teriak salah satu dari tiga lawan Ranjani.
Seketika Tiga Parang Dewa saling mendekat.
Dan secara serentak mereka menyerang. Tiga buah sinar berwarna merah kontan berkelebat mengurung tubuh Ranjani. Di tempat lain Pendekar Slebor hanya gelenggeleng kepala. "Hmmm.... Semakin banyak saja masalah yang menimpa Ranjani. Dan aku belum mengerti satu persatu. Apakah aku harus membantu Ranjani sekarang" Ah, tapi jelas sekali dia masih bisa bertahan. Bahkan aku yakin dia bisa menjatuhkan ketiga lawannya," gumam Andika. "Kalian tak memberikan kesempatan padaku untuk menjelaskan!" teriak Ranjani. "Aku juga tak ingin mampus sia-sia di tangan kalian!" Tiba-tiba saja Ranjani memutar senjatanya.
Wuuut! Wuuttt! Cemeti Melati Kala kontan berputar meninggalkan angin dahsyat dan sinar berwarna putih. Namun Tiga Parang Dewa justru semakin gencar memainkan jurus 'Tiga Parang Memecah Gunung'. Parang mereka telah berbentuk macam kitiran. Hingga yang terlihat kemudian hanyalah sinar berwarna merah.
"Cemeti Melati Kala masih tetap saja hebat seperti dulu. Sayangnya, dia kehilangan tangan sebelah kiri. Kalau tidak, Tiga Parang Dewa sudah sejak tadi dijatuhkannya," gumam Andika lagi.
Sepuluh jurus telah mengalir begitu saja. Suasana di halaman Padepokan Ngarai Sejuta Madu telah dipenuhi murid-murid Cemeti Melati Kala. Mereka sampai terlongong bengong melihat kelebatan aneh dan sinar berkilat-kilat.
Tiba-tiba.... "Kalian terlalu memaksaku!" teriak Ranjani, keras seraya mengebutkan cemetinya lebih dahsyat lagi.
Wuuuttt! Brett! Wuuuttt! Breettt! Dua lelaki dari Tiga Parang Dewa kontan terpelanting deras saat tangan kanan mereka tergores sambaran Cemeti Melati Kala. Seketika keduanya menggigil keras. Darah kental tampak mengalir dari mulut. Sebelum ada yang sempat menyadari kaki Ranjani telah melayang cepat ke arah yang seorang lagi.
Desss...! Orang itu kontan terjengkang saat tendangan Ranjani menghantam dadanya. Dia segera bangkit dengan tatapan nanar sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.
"Rupanya dengan kehebatanmu kau memang hendak menjual lagak, Ranjani! Ingat! Pertemuan ini akan berlanjut!" ancam orang itu.
"Aku tidak pernah melakukan apa yang kalian tuduhkan! Aku tidak mengenal Pendekar Baju Emas! Kalau pun mengenalnya, aku tak pernah punya silang sengketa!" tegas Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu itu.
"Kau telah memperkuat dugaan kami kalau kaulah yang memang telah membunuhnya! Racun ular bludak yang ada di ujung cemeti mu menjadi saksi! Ingat, Ranjani...! Suatu saat kami akan datang kembali!" Sambil menggeram, orang itu menghampiri dua temannya. Dan dengan sekali sentak tubuhnya berke lebat membawa dua temannya yang tengah menggigil hebat. Dengan gerakan mengagumkan Ranjani melakukan satu tindakan luar biasa sekali. Tubuhnya mendadak saja melenting ke depan, melewati Tiga Parang Dewa. Seketika tangan kanannya menepuk bahu dua orang yang terkena Cemeti Melati Kala.
"Hah"!" Terdengar suara melengak cukup keras. Dan....
Hup! Di saat kedua orang itu melengak dengan mulut terbuka, Ranjani melemparkan dua buah bulatan kecil berwarna jingga ke mulut kedua orang itu. Begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya sudah melenting kembali sambil menepuk bahu dua orang yang terluka.
Yang terkena tendangan Ranjani menghentikan langkah, langsung menatap sengit.
"Jangan dikira dengan memberi obat pada kedua saudaraku ini, dendam ini akan tuntas, Ranjani!" Sehabis berkata begitu Tiga Parang Dewa pun berkelebat kembali.
"Aku tak mengerti, ada apa ini sebenarnya?" desis Ranjani sambil menyeka keringatnya, setelah tiba di sisi Pendekar Slebor.
"Jawabannya hanya satu. Kita harus menemui Penguasa Gunung Mambang. Karena dia awal dari semua ini." Ranjani tersenyum.
"Mengapa?"
"Karena aku yakin Penguasa Gunung Mambang yang menyebar fitnah. Bahkan mungkin bukan hanya Tiga Parang Dewa yang akan datang ke sini. Rupanya fitnahan pada dirimu sudah merebak cepat, Ranjani.
Hmm, sebaiknya aku menuju ke Gunung Mambang."
"Andika...."
"Kau tidak usah berterima kasih kepadaku. Karena..., aku memang akan membantumu."
"Bukan, bukan itu! Apakah kau belum mandi?" Andika terbelalak. Lalu sebelah tangannya diangkat dan diciumnya. Bau kecut.
"Tapi kau suka, kan?" seloroh Pendekar Slebor.
Ranjani tertawa.
"Mengapa kau menolak lamaran Penguasa Gunung Mambang, Ranjani" Bukankah bila menerimanya tak akan terjadi pertumpahan darah dan fitnah yang keji seperti ini?" usik Andika, ketika duduk bersama Ranjani di halaman belakang. Ranjani terdiam sesaat.
"Aku tidak tahu siapa dia," sahut gadis ini, li-rih. "Justru karena tidak tahu, mengapa kau bisa me-nolaknya?" tanya Andika.
"Itu adalah keinginanku. Karena..., ah! Tidak, tidak...," Ranjani menggelengkan kepalanya. Andika menangkap desah gelisah dari nada suara Ranjani.
"Mengapa, Ranjani" Apakah ada seseorang yang nyantol di hatimu?" Andika menatap gadis itu. Ditatap demikian Ranjani semakin gelisah. Wajahnya dipalingkan ke tempat lain. "Sebenarnya..., yang kau katakan itu benar," desah gadis ini malu-malu.
"Wah.... Kuucapkan selamat! Beruntung sekali pemuda itu." Ranjani menggeleng.
"Tidak."
"Kenapa, Ranjani?"
"Karena..., aku tak tahu apakah dia mencintai ku atau tidak." Andika terdiam. Terbayang di wajahnya tentang Ningrum, gadis yang dicintainya. Sampai saat ini, Andika memang masih mencintainya. Namun sudah tentu cintanya tak akan pernah terbalas, karena Ningrum sudah damai di sisi-Nya.
(Untuk mengetahui tentang Ningrum silakan baca: "Dendam dan Asmara").
Berkelebat pula wajah Sari, Menur, Sawitri, Rawangi, dan deretan gadis-gadis lain yang pernah singgah di hatinya.
"Ranjani.... Mengapa kau tidak mau mengatakan isi hatimu padanya?" usik Pendekar Slebor.
Ranjani menoleh. Tampak wajah tampan Andika sedang tersenyum. Dan gadis ini merasa bagai dilindungi Andika.
"Andika, pantaskah aku mengatakannya lebih dulu?" tanya Ranjani minta pendapat. "Ya, boleh-boleh saja."
"Apakah dia tidak akan menghinaku, menganggapku rendah?"
"Mengapa harus seperti itu" Cobalah utarakan isi hatimu itu padanya."
"Aku sudah melakukannya."
"Nah! Kau kan sudah melakukannya. Mengapa masih cemas?"
"Karena..., dia belum menjawab."
"Kau harus berusaha, Ranjani. Jangan sampai...."
"Andika..., aku mencintaimu," potong Ranjani tiba-tiba.
Andika melengak. Sesaat pemuda ini gelagapan hingga tak tahu harus berkata apa. Tetapi kemudian dengan hati-hati dipegangnya kedua tangan Ranjani.
"Ranjani..., akukah orang yang kau cintai itu?" Ranjani merasa wajahnya memanas dan memerah tak karuan. Samar Andika melihat kepala gadis itu mengangguk. Lalu dengan hati-hati dirangkulnya penuh kelembutan tubuh padat Ranjani.
"Ah! Kau membuatku tersanjung, Ranjani. Tetapi..., apakah kau sudah mantap dengan pilihan mu?" Ranjani mengangguk.
"Ini memang kabar luar biasa, Ranjani. Tetapi, bisakah kita tunda dulu semuanya?" Ranjani mendesah lembut, masygul dengan hati semakin tak menentu. Tetapi dia tak bisa berbuat apa pun selain terdiam. Lalu dirasakannya rangkulan Andika semakin lembut. Dirasakannya pula sebuah kecupan mesra di bibirnya. Sesaat, Ranjani melupakan seluruh masalah yang dialami. "Ranjani..., besok pagi aku akan ke Gunung Mambang."

--oo0 5 0oo--

Kabar lebih cepat dari berita. Begitu kata pepatah. Apalagi kabar itu menyangkut nama baik seseorang. Maka tak heran kalau kabar fitnah terhadap diri Ranjani begitu cepat menebar, seperti wabah penyakit saja. Kini beberapa tokoh golongan putih berdatan-gan ke Ngarai Sejuta Madu. Rata-rata mereka ingin menghentikan sepak terjang Ranjani. Karena menurut kabar yang terdengar, selain ingin menguasai rimba persilatan, Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu itu sudah banyak melakukan tindakan telengas.
Mati-matian Ranjani menolak semua tuduhan yang dilontarkan. Namun kabar busuk itu agaknya telah menutup nurani orang-orang golongan lurus. Begitu pula dengan para tokoh dari golongan hitam. Walaupun belum bertindak, tapi mereka sudah mengincar Ngarai Sejuta Madu dan Cemeti Melati Kala.
Dan pagi ini pun, Ranjani kedatangan dua orang tamu. Yang seorang berpakaian merah menyala, dengan sebilah keris di pinggang. Kepalanya mengenakan blangkon batik. Usianya kira-kira sekitar tiga puluh dua tahun. Wajahnya cukup tampan. Sedangkan yang seorang lagi wanita cantik berpakaian sama. Di pinggangnya terlilit sebuah selendang berwarna hitam.
Rambutnya panjang diikat ekor kuda.
"Rupanya, kau yang berjuluk Cemeti Melati Kala yang telah menebar darah permusuhan," kata si lelaki, dingin.
Ranjani mendesah pendek. Dia benar-benar tak kuasa untuk membela diri sekarang.
"Maaf, aku tak pernah mengenal kalian," kilah-nya. "Sebutkan kesalahanku."
"Kami memang jarang keluar dari kediaman.
Namaku Dorojati. Dan ini istriku. Sawitri, namanya.
Kami datang untuk menghentikan mu Ranjani!" Ranjani tersenyum tenang. Sementara beberapa muridnya termasuk ketiga murid utamanya, berada di belakang. Mulai hari ini, Ranjani sudah menetapkan.
Dia tidak ingin mengorbankan murid-muridnya yang sesungguhnya tak mengetahui masalah. Sama seperti dirinya. "Rupanya, aku kedatangan Sepasang Naga Selatan. Sungguh, suatu penghormatan yang tinggi sekali. Hanya sayang, kedatangan kalian tidak sebagaimana mestinya," lanjut Ranjani yang sudah mulai mengenal julukan mereka dari nama yang disebutkan. Nada suaranya mencoba ramah.
"Ranjani! Telah lama kudengar sepak terjang mu yang lurus. Tetapi, kau telah mengubahnya! Persetan dengan semua keinginanmu untuk menguasai rimba persilatan! Dan hari ini, kau harus melepas nyawamu untuk membayar nyawa Lara, anak angkat kami yang kau bunuh dengan kejam!" bentak Sawitri.
Wajah Ranjani, kontan pias mendengarnya.
Namun sikapnya masih diusahakan untuk tenang.
"Sawitri.... Aku baru tahu kau telah mengangkat seorang anak. Tetapi, ketahuilah. Selama ini aku, tak pernah keluar dari Ngarai Sejuta Madu," tandas Ranjani.
"Durjana berkedok dewi!" bentak Sawitri dengan hati panas.
Saat itu juga di benak Sawitri terbayang bagaimana pedihnya ketika menemukan anak angkatnya sudah menjadi mayat dengan tubuh terbelah. Setelah diperiksa di tubuh Lara terdapat beberapa goresan lu-ka. Luka yang membiru dan hangus juga terlihat racun ular bludak yang sangat mengerikan.
"Kita tak punya silang sengketa. Tetapi dengan kejamnya kau membunuh bocah lima tahun yang tak berdosa!" lanjut Sawitri.
"Sawitri.... Sekali lagi kukatakan, aku tak pernah bertindak serendah itu!"
"Jangan berkilah, Ranjani! Karena keinginan busukmu, kau hancurkan dirimu sendiri!"
"Sawitri...! Lebih baik kita hentikan saja perde-batan ini. Kau dan suamimu, kembalilah ke selatan.
Ku mohon, jangan memancing bibit permusuhan di antara kita," sahut Ranjani tenang, meskipun tak yakin apakah Sepasang Naga Selatan akan menuruti keinginannya. "Keparat busuk! Kau harus membayar nyawa Lara dengan nyawa busukmu itu! Heaaa!" Tubuh Sawitri sudah melenting dengan kecepatan tinggi ke arah Ranjani.
Ranjani memiringkan tubuhnya ketika merasakan sambaran angin kuat menderu ke arahnya.
"Sawitri! Aku bersumpah atas nama Gusti Allah, aku tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti yang kau tuduhkan! Tak pula di hatiku ada keinginan untuk menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini! Renungkanlah, Sawitri!"
"Renungkanlah sendiri di akhirat sana!" geram Sawitri. Wanita itu berbalik menyerang kembali. Dia tak mau bertindak tanggung menghadapi wanita yang dianggap telah membunuh anak angkat yang disayanginya. Mereka yakin, hanya Ranjani yang memiliki senjata racun ular bludak.
Ranjani pun tak bisa membiarkan dirinya dijadikan sasaran serangan Sawitri. Tubuhnya berkelit menghindar, lalu mulai membalas. Kecepatan dua wanita yang bertarung benar-benar luar biasa. Untuk beberapa saat yang terlihat hanyalah kelebatankelebatan tubuh dan suara keras.
Tak terasa lima jurus berlalu begitu cepat. Namun belum terlihat ada yang terdesak.
Dorojati memperhatikan saja pertarungan antara istrinya dengan Ranjani. Hatinya memang geram luar biasa. Ingin rasanya dia turun dalam pertarungan.
Dan ternyata, rasa malu untuk mengeroyok masih mengikat urat-urat geraknya. Padahal kemarahannya sudah singgah di ubun-ubunnya.
Dalam satu kesempatan, Sawitri terjajar ke belakang, terkena tendangan memutar berkecepatan tinggi yang dilepaskan Ranjani. Mestinya selagi tubuh Sawitri terjajar seperti itu, bisa saja Ranjani menghabi-sinya. Tetapi gadis jelita itu hanya berdiri tegak di tempatnya.
"Lebih baik hentikan semua tindakan sia-sia ini!" desisnya. "Sekali lagi kukatakan, aku tidak melakukan seperti yang telah kalian tuduhkan! Aku pun tak memiliki keinginan untuk membela diri dari tuduhan kalian! Karena, semuanya akan percuma!"
"Kalau memang itu hanya fitnah belaka, mengapa kau tidak mencari orang yang menyebarkan fitnah itu!" bentak Sawitri. Segera wanita ini mengalirkan hawa murninya untuk mengurangi rasa sakit di dadanya. "Aku pun hendak melakukannya."
"Dan sampai sekarang kau masih berada di sini?"
"Sawitri! Apakah bila aku meninggalkan Ngarai Sejuta Madu, maka orang-orang akan tenang" Akan berdiam diri tanpa melakukan sesuatu di Ngarai Sejuta Madu" Hhh! Tidak akan mungkin aku membiarkan murid-muridku mati di tangan mereka hanya karena kesalahpahaman belaka. Dan yang lebih ku pikirkan, bila ada orang-orang golongan sesat yang akan mempergunakan kesempatan!"
"Tak kusangka kau pandai berbicara, Ranjani!" dengus Sawitri. Tiba-tiba selendang hitamnya diloloskan. "Lebih baik kau mampus saja di tanganku, untuk menebus dosa-dosamu atas kematian Lara! Lihat serangan!" Diiringi bentakan teramat dahsyat, Sawitri menyerang. Selendangnya berkelebat, menimbulkan tiga larik sinar kuning emas. Sementara herannya selendang itu sendiri bergerak sangat lambat.
Ranjani diam-diam sadar kalau di balik gerakan yang lamban itu tersimpan kekuatan dahsyat.
Makanya saat senjata cemetinya diloloskan dia tidak menyerang. Melainkan menghindari tiga larik sinar kuning itu. "Apakah Cemeti Melati Kala tahu kalau tengah ku jebak" Sialan! Kalau saja selendangku dilepas dengan cemetinya, sudah pasti akan ku lilit dan ku sentak pulang ke arahnya!" dengus batin Sawitri.
Maka tanpa menunggu lebih lama lagi Sawitri menyerang kembali. Ranjani berkelebat gesit. Kegesitan inilah yang menolongnya dari gerak tipu serangan Sawitri. Setiap kali dicecar, Ranjani terus berkelebat cepat. Malah sekali pun belum sempat Cemeti Melati Kala dikibaskan. Hingga yang kemudian terlihat hanya bayang-bayang serta gemuruh angin dahsyat. Tanpa terasa lima jurus berlalu. Diam-diam Dorojati bisa mengukur kehebatan Ranjani.
Baru setelah dianggap berbahaya, Ranjani mulai menyerang dengan kelebatan Cemeti Melati Kalanya. Setiap kali sinar kuning menderu ke arahnya, selalu terpapas sinar putih yang keluar dari cemetinya.
Hal ini membuat Sawitri menjadi penasaran karena lagi-lagi Ranjani berhasil menghindari serangannya.
Namun Sawitri yang telah dibakar amarah, tak membiarkan Ranjani lolos dari serangan yang semakin hebat. Kibasan selendangnya benar-benar menakjubkan. Terkadang berubah bagaikan menjadi toya, lalu bergetar bagaikan dawai.
Ranjani menyadari kalau lawan benar-benar ingin membunuhnya. Kesempatan untuk membela diri pun seakan tak pernah diperolehnya. Dia hanya menghindar dengan sekali-sekali mencoba membalas.
Sreett! Suatu ketika kaki Ranjani terlilit oleh selendang Sawitri! Seketika istri Dorojati itu menariknya dengan cepat. Akan tetapi, suatu gerakan menakjubkan diperlihatkan Ranjani. Saat sebelah kakinya ditarik, tubuhnya jatuh dengan kedua kaki terlentang lurus. Dan saat terlentang kakinya yang terlilit selendang Sawitri digerakkan menyentak.
Sawitri tersentak. Hentakan kaki itu begitu kuat, membuatnya mau tak mau harus mengempos tubuhnya mengikuti ayunan kaki Ranjani. Dan saat itulah Ranjani menggerakkan sebelah kakinya yang bebas. Dess! Sawitri yang benar-benar tak menduga akan serangan balik dari Ranjani kontan terhuyung ke belakang. Melihat keadaan berbahaya yang menimpa istrinya, Dorojati segera melesat.
"Suatu gerak tipu yang manis!" sambil berkata demikian, lelaki itu menyerang cepat bagai kilat.
"Dorojati! Aku yakin kau bisa berkepala dingin.
Lebih baik beri kesempatan padaku untuk membela diri!" desis Ranjani sambil melilitkan kembali senjatanya di pinggang.
"Kakang!" seru Sawitri. "Jangan termakan oce-han busuknya! Bunuh dia, Kakang! Bunuh dia!"
"Dorojati! Hentikan semua ini!" seru Ranjani, sambil menghindari setiap serangan penuh tenaga dan berkecepatan hebat.
"Maafkan aku, Ranjani. Kau harus menebus dosa-dosamu!" seru Dorojati seraya mengerahkan jurus-jurus 'Naga Selatan' yang diciptakannya. Maka dalam tiga gebrak saja, dia berhasil mendesak Ranjani.
"Bagus, Kakang! Manusia busuk itu memang harus mampus!" seru Sawitri tersenyum puas.
Saat yang sama tiga murid pilihan Padepokan Ngarai Sejuta Madu sudah tidak sabar untuk bergerak.
Namun mereka tak berani melangkahi, sebelum diperintahkan. Mereka tahu, betapa letih dan terkurasnya tenaga ketua mereka karena belum lagi beristirahat, sudah datang kembali orang yang hendak membunuhnya. Mereka hanya bisa berdiam diri tertindih rasa pedih di dada. Merasa kasihan melihat nasib ketua mereka yang benar-benar dijadikan bulan-bulanan oleh Dorojati. "Dorojati! Bila memang harus mati hari ini, aku rela. Tetapi aku masih ingin membuat perhitungan dengan manusia keparat yang telah menyebar fitnah keji itu!" kata Ranjani. Tiba-tiba saja, senjatanya diloloskan. Ctaaarrr! Sekali ayun saja, Dorojati sudah mengurungkan niatnya untuk memukul jatuh Ranjani. Terpaksa dia membuang diri ke samping, lalu berdiri dengan tatapan dingin.
"Aku ingin mengetahui kehebatanmu memainkan senjata andalanmu itu, Ranjani!" Tiba-tiba saja Dorojati membuka kedua kakinya. Kaki kanannya dimajukan setindak, dan kaki kiri ditekuk. Kedua tangannya mengatup di dada. "Lihat jurus 'Amukan Naga Selatan'-ku! Yeaaah!" Ranjani pun membuka jurusnya. Cemetinya digetarkan. Saat yang sama, Dorojati melenting dengan manisnya. Lalu tangannya menghentak ke muka.
Wusss! Ranjani mencoba menghindari pukulan jarak jauh itu dengan melenting ke atas pula. Tetapi mendadak saja Dorojati langsung melepas tendangan disertai luncuran tubuhnya. Dalam keadaan begini tak ada waktu lagi buat menghindar. Sehingga....
Desss! Cepat sekali kaki Dorojati mendarat telak di dada Ranjani. Gadis itu terjajar dengan mulut mengeluarkan darah. Sementara tubuh Dorojati hinggap di tanah dengan tatapan meremehkan.
"Rupanya, hanya begitu saja kepandaianmu, Ranjani!" Kali ini Ranjani benar-benar sudah tak bisa menahan amarahnya.
"Kita lihat sekarang!" Tiba-tiba gadis ini mendahului menyerang.
Dengan cepat dan hebat cemetinya bergeletar ke arah Dorojati. Lelaki ini cepat menghindar sambil terus melancarkan jurus 'Amukan Naga Selatan'. Namun kali ini jurus itu tak banyak gunanya. Karena Ranjani sudah bisa menebak arah serangan jurus itu. Kibasan tangan yang dilakukan Dorojati tak lebih dari pancingan belaka. Dan serangan sesungguhnya justru dari kakinya. Itu yang terbaca oleh Ranjani.
Ranjani pun membiarkan saja serangan tangan Dorojati. Justru yang diincar adalah kaki Dorojati. Beberapa kali dia bertindak demikian, membuat Dorojati mendengus dan menarik pulang setiap serangan tipuannya. "Bangsat!" seru Dorojati.
Kembali lelaki ini menyerang ganas. Dicobanya memotong setiap serangan Ranjani. Namun lagi-lagi kecepatan dahsyat diperlihatkan Ranjani saat memainkan cemetinya. Sehingga mau tak mau Dorojati harus menarik setiap serangannya. Pada saat yang demikian, Ranjani telah meluncur dahsyat. Kakinya telah terjulur, melepas serangan. Dan....
Desss! "Aaakh...!" Kelamlah wajah Dorojati ketika tendangan Ranjani mendarat telak di dadanya. Seketika kerisnya yang memancarkan sinar berwarna merah dicabut. Dalam sekali lihat saja, Ranjani bisa menebak kalau keris di tangan Dorojati bukanlah keris sembarangan. Hawa panas langsung terpancar dari mata keris.
Namun sebelum Dorojati melakukan tindakan, Ranjani telah lebih dulu mengibaskan Cemeti Melati Kala-nya. Ctarrr! "Aaakh...!" Dorojati terpekik ketika tangannya yang memegang keris tersengat cemeti Ranjani hingga buntung pada pergelangannya. Bibirnya kontan meringis menahan sakit luar biasa. Kerisnya kontan terpental entah ke mana.
"Ranjani keparat...! Hari ini kami mengaku kalah. Tapi lain waktu, jangan harap kau selamat!" Setelah berkata begitu, Dorojati mengajak istrinya pergi dari tempat ini.
Sementara, Ranjani menghela napas lega. Hanya sesaat saja, karena pikirannya kini kembali tegang. Jelas, sehabis kedatangan Sepasang Naga Selatan, akan muncul lagi tokoh-tokoh persilatan yang telah termakan fitnah keji itu.

--oo0 6 0oo--

Ranjani sungguh tidak menyangka kalau akan menghadapi kejadian pahit seperti ini. Bermula dari surat pinangan yang diterimanya dari Penguasa Gunung Mambang. Dan semuanya itu perlahan-lahan berkembang menjadi suatu fitnah yang entah disebarkan oleh siapa. Sebuah fitnah yang menyatakan kalau Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu, melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh persilatan, untuk menguasai rimba persilatan.
Gadis ini kini duduk gelisah, dikelilingi muridmuridnya. Namun yang jelas dia sudah punya rencana tersendiri. Cemeti Melati Kala mendesah panjang, menatapi satu persatu muridnya.
"Muridku, tak ada jalan lain lagi bagi kita, selain untuk berpisah lebih dulu.
Aku bermaksud menyusul Pendekar Slebor. Karena, aku ingin manusia keparat Penguasa Gunung Mambang mati di tanganku. Aku tahu, kalian semua sangat setia padaku. Kuhargai hal itu. Dan kusampaikan terima kasihku yang sebesar-besarnya pada kalian. Tetapi seperti yang kalian ketahui, keadaan di Ngarai Sejuta Madu semakin lama semakin tidak aman. Lebih baik, kalian tinggalkan tempat ini," kata Ranjani seraya menunduk kembali. "Ketua...."
"Maaf.... Aku bukannya tidak menghendaki kalian bersama-samaku di sini. Aku justru mengharapkan kita bisa bersatu terus dalam kerukunan di Perguruan Ngarai Sejuta Madu. Tetapi sekarang, keadaan tidak bisa lagi dipertahankan. Aku tidak ingin mengorbankan kalian. Bahkan, aku sendiri tidak yakin apakah aku masih mampu mempertahankan selembar nyawaku ini." Hening. Angin malam masuk melalui kisi jendela. Ranjani mengangkat kepalanya. Kembali matanya beredar ke sekitarnya. Satu persatu muridnya yang begitu sedih mendengarkan kata-katanya ditatap dengan sinar matanya yang sendu.
"Jadi kuminta, malam ini juga kalian harus meninggalkan Ngarai Sejuta Madu. Bila keadaan sudah aman, kalian bisa ke sini kembali."
"Ketua...." Ranjani berdiri.
"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Dalam waktu sepeminuman teh, tak seorang pun yang akan kulihat di sini." Sambil menekan seluruh perasaannya, Ranjani meninggalkan murid-muridnya. Mereka saling berpandangan dengan hati sedih.
Tiba di kamarnya, Ranjani mendesah panjang.
Mengapa keadaan ini semakin mengerikan saja" Tetapi dia sudah bertekad dengan satu tujuan, meninggalkan Ngarai Sejuta Madu! Akan dicarinya manusia keparat yang telah menyebarkan fitnah padanya.
Sepeminum teh berikutnya, Ranjani keluar lagi.
Dia tak lagi melihat seorang muridnya pun di sana. Sejenak dia termangu, lalu berkelebat meninggalkan Ngarai Sejuta Madu.

--oo0 7 0oo--

"Hei, Penguasa Gunung Mambang! Ayo, keluar.
Kalau tidak keluar, ku jewer kuping mu yang caplang itu!" teriak Andika ketika tiba di tempat kediaman Penguasa Gunung Mambang.
Dengan bertanya sana-sini dengan cepat Pendekar Slebor bisa menemukan letak gunung itu. Teriakan Pendekar Slebor yang keras terdengar oleh Jarotomo. Kontan kening lelaki ini berkerut. Dari tempat mengintipnya di balik pintu, dia tahu siapa yang datang. Dari ciri-ciri yang dikenakan pemuda itu jelas sekali kalau yang datang adalah Pendekar Slebor.
"Gawat kalau begini! Secepatnya aku harus memberitahu Ketua." Tergopoh-gopoh Jarotomo mendatangi pintu sebuah kamar.
Diketuknya pintu kamar ini. "Siapa?" terdengar bentakan bernada gusar dari dalam kamar.
"Ketua! Ini aku! Jarotomo!" sahut lelaki ini.
"Bangsat! Mau apa kau"!" bentak suara dalam kamar. Suara bernada kesal dari mulut Penguasa Gunung Mambang.
"Ini penting, Ketua. Sangat penting!" Tak lama terdengar suara langkah terseret. Begitu pintu dibuka, tampak Penguasa Gunung Mambang langsung memasang wajah garang.
"Ada apa?" bentak lelaki tinggi besar ini begitu tiba di hadapan Jarotomo.
Jarotomo sempat melihat tubuh telanjang seorang wanita di ranjang dalam kamar itu. Wajahnya memerah sesaat, namun cepat perhatiannya dialihkan ke wajah Penguasa Gunung Mambang.
"Ketua... Pendekar Slebor datang," jelas Jarotomo. Penguasa Gunung Mambang terbahak-bahak "Hhh! Bagus! Ini baru berita penting! Suruh yang lain berkumpul membentuk lingkaran. Akan kubikin pepes Pendekar Slebor!"
"Jangan, Ketua. Kita jangan gegabah," sergah Jarotomo.
"Hei, apa maksudmu?" tukas Penguasa Gunung Mambang dengan kening berkerut.
Tatapannya gusar.
"Ketua.... Bukankah saat ini kita sedang menjalankan rencana" Seperti Ketua ketahui, kita telah berhasil menyebarkan fitnah terhadap Cemeti Melati Kala, meskipun sepertinya Pendekar Slebor tidak terpengaruh. Bahkan, kita juga membuat onar di beberapa tempat dengan senjata cambuk pula yang dibaluri racun ular bludak. Sehingga, para tokoh golongan lurus pun bermunculan untuk menghancurkan Cemeti Melati Kala. Tidak hanya itu. Anak angkat Sepasang Naga Selatan pun telah kita bunuh dengan menyebar fitnah kalau yang melakukannya adalah Cemeti Melati Kala.
Ketua! Bila membunuh Pendekar Slebor sekarang juga, seluruh rencana yang telah kita susun akan batal," jelas Jarotomo.
"Keparat kau ini! Aku sudah tidak sabar untuk menghancurkan Pendekar Slebor yang dibanggakan orang-orang rimba persilatan. Ini adalah kesempatan ku yang paling baik untuk membunuhnya!" geram Penguasa Gunung Mambang.
"Ketua! Untuk membunuh Pendekar Slebor bagi Ketua sangat mudah. Tetapi yang kita inginkan, bukankah Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu?" Mendengar kata-kata Jarotomo yang berbisa itu, Penguasa Gunung Mambang hanya mengangguk, lelaki ini ternyata hanya mampu mempergunakan tenaga kasar dan ilmunya. Tetapi, otaknya cuma berisi dodol saja. "Ketua..., maaf. Bukan sekali-sekali aku memandang sebelah mata. Tetapi yang harus Ketua lakukan dalam menghadapi Pendekar Slebor, adalah siasat.
Ketua harus mampu memainkan satu peranan berarti.
Bila Pendekar Slebor sudah terjebak, maka dia pun akan membenci Cemeti Melati Kala."
"Mengapa kau begitu khawatir sekali, hah"!"
"Karena, Pendekar Slebor dan Cemeti Melati Kala bersahabat. Bila dia tahu kalau kita yang merencanakan semua ini, tidak mustahil kita pun akan dibinasakannya." Prakkk! Tangan kekar Penguasa Gunung Mambang menghantam dinding kamarnya, hingga berlubang.
"Dengan kata lain, kau menganggapku tak mampu menghadapinya, hah"!" serunya keras.
Nyali Jarotomo ciut juga mendengar bentakan.
Yang dipikirkannya adalah, bagaimana cara untuk membalas dendamnya pada Cemeti Melati Kala. Dia tidak mau hancur dulu sebelum membunuh gadis itu.
"Ketua..., aku tidak berkata seperti itu. Aku yakin, di rimba persilatan ini..., hanya Ketua-lah raja-nya," ralat Jarotomo buru-buru.
Kali ini wajah Penguasa Gunung Mambang berseri-seri mendengar kata-kata itu. Dan mereka segera melangkah ke halaman depan.
Andika yang menunggu dengan tak sabar akhirnya menarik napas panjang ketika melihat satu sosok tinggi besar muncul sambil terbahak-bahak. Pendekar Slebor bukannya tak tahu kalau di tempattempat tersembunyi telah siap beberapa anak buah Penguasa Gunung Mambang.
"Hari ini aku mendapat kunjungan kehormatan dari seorang pendekar muda yang banyak dibicarakan orang. Pendekar Slebor! Telah lama aku mendengar namamu diperbincangkan. Sungguh, ini suatu kebanggaan tersendiri dengan munculnya kau di sini." Andika memperhatikan sosok besar itu. Dia yakin, inilah Penguasa Gunung Mambang. Dari gelarnya saja sudah menunjukkan keseramannya. Belum lagi dari wajahnya yang dingin menyeramkan.
"Ha ha ha....," Andika mengeluarkan suara tawa tetapi bukan tertawa. "Nama besar Penguasa Gunung Mambang juga sudah sampai dikupingku dan hanya mengotori gendang telingaku saja!" sahut Pendekar Slebor, santai.
Andika melihat wajah Penguasa Gunung Mambang memerah. Tetapi lelaki tinggi besar itu terbahak-bahak kembali.
"Ah, yang penting kau sudah mendengarnya! Katakan, apa keperluanmu, hah"!"
"Keperluan ku ingin mengajak mu main lenong.
Judulnya, Jin Buang Anak. Nah, kaulah yang jadi jinnya. Hei, Jin! Siapakah yang menyebarkan fitnah keji pada Cemeti Melati Kala?" sahut Pendekar Slebor dengan lagak seperti main lenong betulan.
Kembali wajah Penguasa Gunung Mambang memerah. Hatinya benar-benar jengkel.
"Basa-basi mu itu tak ada gunanya! Siapa pun tahu kalau Cemeti Melati Kala telah membelot dari ja-lurnya!" tangkis lelaki tinggi besar itu.
"Dan kau, Jin! Mengapa berani melamarnya.
Enak saja melamar istri orang! Sana kembali ke asalmu di lampu wasiat!" kata Pendekar Slebor melantur.
Lagaknya kian menjadi-jadi bagai bocah lenong.
"Pendekar Slebor! Ucapanmu membuat jantungku berdetak lebih hebat lagi! Aku ingin melihat kehebatanmu itu! Bunuh dia!"

****

Begitu terdengar perintah, puluhan anak panah melesat ke arah Andika dari tempat-tempat tersembunyi. Cepat Pendekar Slebor berkelebat. Saking cepatnya sehingga hampir dua puluh anak panah yang meluncur dalam tiap kejapan, tak satu pun yang menyentuh tubuhnya.
Bahkan dengan kecepatan gerak tangannya beberapa anak panah, berhasil ditangkap, lalu dilemparkannya ke Penguasa Gunung Mambang. Namun sambil tertawa, lelaki berkalung tengkorak itu mengibaskan tangannya.
Prakkk! Anak-anak panah patah seketika.
"Mainkan 'Panah Menjulang ke Langit'!" teriak Penguasa Gunung Mambang.
Kelincahan Pendekar Slebor dalam menentukan keselamatannya untuk serangan ini memang sedang diuji. Puluhan anak panah yang melesat kali ini membuatnya harus berjumpalitan dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang diperoleh dari Lembah Kutukan. Betapa tidak" Anak panah yang mengarah padanya itu tiba-tiba saja bisa berbelok ketika hendak di-tangkapnya, lalu menyerangnya kembali.
"Monyet pitak! Kutu koreng! Ternyata bukan manusia saja yang punya mata. Anak panah ini pun tak mau ketinggalan. Hmmm. Aku tahu! Anak panah itu dikendalikan tenaga dalam dari orang yang melepasnya. Boleh juga kepandaian anak buah si jelek itu!" Apa akal pemuda berotak cemerlang ini untuk menyelamatkan diri" Padahal kini anak-anak panah telah mengurungnya dari semua penjuru! "Hiaaa...!" Entah apa maksudnya Pendekar Slebor berteriak keras begitu. Mungkin kalau di depannya ada kucing lewat, kontan mati berdiri. Tapi yang jelas, si pemuda telah berkelebat luar biasa cepatnya setelah melepas kain bercorak caturnya. Tubuhnya bagaikan kelebatan bayangan hijau yang menderu-deru sambil mengibaskan senjata pusakanya. Beberapa anak panah yang melesat pun langsung tersampok berkalikali. Walaupun tak ada lagi anak-anak panah yang menyerangnya, Andika terus berkelebat ke segala penjuru sambil mengibaskan kain bercorak caturnya dengan tenaga dalam tinggi. Gerakannya bagai orang kalap yang kebelet buang hajat. Tapi hasilnya memang patut diacungi jempol.
Anak buah Penguasa Gunung Mambang yang sedang mengendalikan anak panah dengan tenaga dalam langsung berpentalan disertai teriakan kesakitan terkena sambaran angin kain bercorak catur milik Pendekar Slebor.
Penguasa Gunung Mambang menggeram murka. Kedua tangannya terkepal.
"Boleh jadi bila orang-orang gentar denganmu, Pendekar Slebor. Tapi aku tidak!" geramnya.
"Syukur, syukur kalau kau masih punya keberanian, Pak Besar!" sahut Andika yang sudah berdiri di hadapan Penguasa Gunung Mambang. "Itu tandanya kau lelaki tulen. Karena sebelumnya, ku sangsikan ke-jantananmu!" Penguasa Gunung Mambang memerah wajahnya. Tubuhnya menggigil karena marah. Dan tiba-tiba tangannya mengibas.
Wusss! Serangan angin dahsyat meluruk cepat. Saat itu pula, Pendekar Slebor mengibaskan kain bercorak caturnya, menciptakan angin dahsyat ke arah serangan Penguasa Gunung Mambang.
Blaarrr! Dua tenaga dalam bertemu di udara, menimbulkan ledakan cukup besar. Lagi-lagi Penguasa Gunung Mambang memerah wajahnya. Tetapi kali ini ditambah dengan rasa terkejut.
Sementara Pendekar Slebor bagai tak terpengaruh apa-apa. "Hei, Jin Gondrong! Katakan, kaukah yang menyebarkan fitnah busuk karena lamaranmu ditolak Cemeti Melati Kala?" bentak Pendekar Slebor, mulai kumat urakannya. Sementara kain bercorak catur telah disampirkan ke bahunya.
"Apa yang akan kau lakukan bila memang aku orangnya, hah"!" balas Penguasa Gunung Mambang.
"Berarti kau akan berhadapan denganku!"
"Justru aku sudah tidak sabar menunggu!" Sehabis berkata begitu, Penguasa Gunung Mambang meluruk deras. Gebrakannya bagaikan disengat iblis. Tubuhnya meluncur cepat, sehingga hanya terlihat kelebatannya saja.
Dalam sekali pandang, Andika yakin kalau jurus yang dimainkan Penguasa Gunung Mambang bukanlah jurus sembarangan. Seketika tubuhnya dikempos dengan mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh satu di tangannya. Dan benturan pun terjadi lagi.
Desss! Kali ini tubuh Andika yang terjajar ke belakang.
Matanya melirik ke tangan dan ternyata telah membiru. Sedangkan Penguasa Gunung Mambang hanya berdiri tegak sambil terbahak-bahak.
"Hebat, hebat! Kunyuk yang paling dungu, bangsat yang paling tolol, serta warga kutu koreng yang paling bodoh pun tak bakal mati oleh permainanmu, Jin Gondrong!" ejek Andika. Padahal, dalam dadanya terasa nyeri.
"Sayang aku tak ingin bertarung secara tuntas.
Hem... sebagai orang persilatan, aku menantangmu untuk bertarung pada purnama mendatang, Pendekar Slebor!"
"Hhh! Wajahmu saja yang seram, buat mena-kut-nakuti bocah! Baik, aku menerima tantanganmu!"
"Ha ha ha.... Karena aku kasihan bila melihat Cemeti Melati Kala mampus sekarang! Kau masih kuberi kesempatan untuk menyelamatkannya, Pendekar Goblok!" Kali ini diam-diam Andika tersentak. Bisa ditebak kalau manusia berkalung tengkorak itu tentunya sudah semakin tajam menyebarkan fitnah. Bisa jadi saat ini banyak tokoh persilatan yang menginginkan kematian Cemeti Melati Kala! "Bila terjadi apa-apa dengannya, jangan menyesali kalau kau pernah hidup, Jin Panuan!"
"Justru kau yang akan terkapar di halaman Gunung Mambang pada purnama mendatang, Pendekar Slebor!" Wusss! Andika seketika berkelebat meninggalkan tempat itu dengan rasa cemas sekarang. Meskipun disadari kalau Cemeti Melati Kala akan mampu menahan setiap serangan, namun bila yang dihadapi sangat banyak, sudah tentu akan kewalahan juga.
Andika pun berkelebat bagai dikejar setan kembali ke Ngarai Sejuta Madu. Dia harus memburu waktu sekarang!

--oo0 1 0oo--

Ketika Andika tiba di Perguruan Ngarai Sejuta Madu, hari sudah menjelang pagi. Di ufuk timur sana, bias-bias sinar matahari sudah mengisi sisi-sisi alam.
"Ranjani!" seru Andika keras. Suaranya menggetarkan seluruh tempat di Ngarai Sejuta Madu. Tetapi tak seorang pun yang nampak menyambut kedatangannya. Suasana di sekitarnya sangat sunyi sekali. Seolah-olah tak ada tanda-tanda kehidupan. Andika berkelebat masuk, namun lagi-lagi tak menemukan siapa pun di sana.
"Biang panu! Kenapa tak ada seorang pun di sini" Di mana Ranjani" Di mana yang lainnya?" desis si pemuda urakan ini semakin cemas. Andika berkelebat lagi ke seluruh ruangan di Perguruan Ngarai Sejuta Madu. Namun lagi-lagi hanya mendapati ruangan kosong. Tak ada seorang pun yang terlihat batang hidungnya. Kecuali barang-barang yang berantakan.
"Apakah terjadi pertarungan sangat hebat di sini" Oh, bagaimana nasib Ranjani" Penguasa Gunung Mambang benar! Dia telah merencanakan semua ini dengan matang. Hhh! Bangsat biadab, bila aku tak menemukan Ranjani, pada purnama mendatang kau akan mampus!" Dengan gusar dan cemas, Andika berbalik untuk keluar dari Padepokan. Namun tiba-tiba saja inde-ranya menangkap serangkum angin laksana topan meluruk ke arahnya! "Kutu monyet! Masih ada saja yang mau cari gara-gara!"

****

"Hup!" Blaarrr...! Dengan sigap Andika melenting, menghindari serangan mendadak yang cepat itu. Angin yang menderu ke arahnya menghantam sebuah dinding Perguruan Ngarai Sejuta Madu. Kembali terdengar suara keras dari dinding yang runtuh.
Ketika Andika hinggap di tanah, tampak seorang nenek berpakaian warna hitam legam menjuntai ke bawah. Wajahnya cukup mengerikan. Sepasang matanya memancarkan sinar merah, membuat orang akan segera tunduk sekali melihat pancaran sinar matanya. Rambutnya digelung ke atas. Di tangannya terdapat sebuah rotan kecil yang selalu dikebutkebutkannya. "Hei, Orang muda! Mau apa kau di sini, hah"!" bentak perempuan tua itu pada Andika.
Si pemuda urakan ini memperhatikan sejenak nenek yang berdiri di hadapannya. Diperkirakan usia nenek itu sekitar sembilan puluh tahun. Namun masih kelihatan tegap dan gagah. Berarti orang yang berada di hadapannya ini tidak bisa dianggap sembarangan.
"Hei, orang tua! Kau sendiri mau apa?" balas Andika, konyol.
"Brengsek! Anak muda jelek! Mana Ranjani?"
"Orang tua keriput! Aku pun sedang mencarinya!" Sepasang mata merah nenek itu melotot.
"Mau apa kau mencarinya, hah"!"
"Apa nenek keriput ini salah seorang yang termakan fitnah untuk membunuh Ranjani?" pikir Pendekar Slebor.
Andika kembali memperhatikan sosok itu dengan seksama. "Nek, apa urusanmu dengan Ranjani?" tanya Andika memberanikan diri.
"Edan! Enteng banget bacotmu! Katakan, ke mana muridku"!" Diam-diam Andika melengak mendengarnya.
Jadi, orang tua yang memegang rotan kecil ini guru dari Ranjani"
"Hei, Nek... Siapa kau ini" Kok datang-datang mengaku-ngaku sebagai guru Ranjani. Ah, bukan! Pasti bukan. Aku tak percaya kau guru Ranjani. Masa' Ranjani cantik, gurunya je...."
"Bocah urakan!" penggal si nenek dengan mata melotot. Makin jelek saja wajahnya.
"Mulutmu terlalu banyak makan sambal!" Sehabis berkata begitu, si Nenek menderu ke arah Andika. Rotan kecil yang ada di tangannya ternyata bukan rotan sembarangan. Ketika dikebutkan, Andika merasakan serangkum angin prahara menderu ke arahnya. "Yee.... Begitu saja kok, marah?" ledek Andika sambil berkelit cepat ke belakang. "Sabar dikit dong!" Tetapi si nenek terus mengejar. Setiap kali menyerang, tubuhnya bagaikan kelebatan bayangan saja.
Namun pemuda pewaris ilmu 'Lembah Kutukan' itu pun tak mau dirinya dijadikan sasaran serangan. Dia berusaha menghindari serangan mematikan itu. Dan mendadak saja tangan kirinya bergerak menangkis sabetan rotan. Takk! "Adaawww...!" Pendekar Slebor melompat ke belakang. Mulutnya meringis kesakitan. Ketika dilihat tangannya membiru. Dengan cepat tenaga dalamnya dialirkan untuk mengusir rasa sakit di tangan kirinya.
Sementara itu si nenek mengerutkan keningnya. Lalu, tiba-tiba tertawa.
"Hebat! Hebat! Baru kali ini aku melihat ada yang mampu menahan serangan Rotan Maut-ku ini.
Biasanya, anggota tubuh yang terkena rotan ku seketika langsung pecah!"
"Tetapi rasanya sakit, lho!" tambah Andika, meringis. Si nenek terkekeh-kekeh.
"Anak muda! Pagi ini kau berkenalan dengan Nenek Rotan Maut yang dikenal sebagai Guru dari Ranjani. Nah, bersiaplah untuk mampus!" desis si nenek yang mengaku berjuluk Nenek Rotan Maut.
"Ah, kau bisa saja Nek. Siapa yang mau berkenalan dengan nenek-nenek" Turun dong gengsi ku," seloroh Andika, kian kumat urakannya.
"Kentut! Hayo, berdiri di situ! Kau harus kubunuh!"
"Memangnya aku tikus sawah"!" dengus Andika. "Nenek saja yang berdiri di sawah. Biar jadi orang-orangan sawah.... he he he...."
"Hei, kau menantang ya" Baik, baik.... Aku tidak akan membunuhmu dulu. Tetapi, katakan! Di mana murid kesayanganku berada" Hhh! Akan kugebuk orang yang telah menyebarkan fitnah pada Ranjani."
"Sejak tadi aku pun mencarinya! Aku ini sedang berusaha menolongnya, Nek," jelas Andika mulai ber-sikap sungguh-sungguh.
"Aku tidak percaya orang sepertimu mampu menolongnya!" Andika mendengus. "Sialan! Heran! Kenapa Ranjani mau menjadi muridmu yang jelek begitu! Aku jadi kasihan dengannya. Jangan-jangan wajahnya yang cantik ketularan wajahmu yang peot itu..." Bukannya marah mendengar ejekan Andika, Nenek Rotan Maut terbahak-bahak mendengar Andika memuji muridnya.
"Ya, ya.... Kau benar. Muridku memang cantik.
Dia sangat cantik, bukan" Tetapi... hhh! Tak pantas dia bersanding denganmu tahu!" Wajah Andika memerah. "Siapa yang mau dengan dia?" kelitnya.
"Hei! Kau pasti mau bilang kalau muridku tidak cantik, ya" Kau harus diajar adat!"
"Ampuuun! Tadi kubilang cantik, kau mengejek. Sekarang kubilang aku tidak mau dengannya, kau malah marah?"
"Kau harus bilang dia cantik!" bentak Nenek Rotan Maut.
"Iya, ya! Dia memang cantik!" sahut Andika mangkel.
"Nah, berdiri di situ! Kepalamu harus ku kepruk biar pecah!"
"Kalau kepalaku pecah bagaimana aku membantunya." Nenek Rotan Maut mendengus geram.
"Hhh! Ini gara-gara orang-orang sepertimu, sehingga murid kesayanganku meninggalkan Ngarai Sejuta Madu, tempat bermainnya selagi kecil. Dulu dia mengatakan ingin mendirikan Perguruan di Ngarai Sejuta Madu. Dan... he he he.... Sudah tentu aku meres-tuinya. Tetapi pada akhirnya, dia harus tersingkir. Dan semua itu karena ulah orang-orang tolol, yang tak mau membaca keadaan! Padahal, sebenarnya berkeinginan untuk menghancurkannya! Hei, kenapa kau terdiam" Ayo tahan seranganku! Heaaa...!" Tiba-tiba saja Nenek Rotan Maut meluruk ke arah Andika dengan membawa suara angin laksana topan menderu-deru. Dengan gerakan laksana kilat, Pendekar Slebor menghindar. Tubuhnya berlompatan ke sana kemari, berusaha agar tak tersambar hantaman rotan. Dan begitu mendapat kesempatan, Andika pun mulai membalas. Dialirkannya tenaga 'Inti Petir' tingkat kelima belas. Lalu mulailah melakukan perlawanan. "Wah, wah! Kau berani membalas ya" Lihat ini!" Tiba-tiba saja bukan hanya angin yang dirasakan Andika, melainkan hawa panas yang mencoba menggulung-gulung ke arahnya ketika Nenek Rotan Maut menggerakkan senjata rotannya. Hal ini membuat Andika tak berani untuk mendekat, kalau tak ingin tubuhnya terbakar.
Rupanya Nenek Rotan Maut benar-benar ingin mencabut nyawanya. Bila yang dihadapi bukan Pendekar Slebor, sudah sejak tadi akan kojor.
Andika pun terpaksa menggunakan ajian 'Guntur Selaksa' untuk mempertahankan selembar nyawanya. Seketika tubuhnya menghadang Nenek Rotan Maut yang sedang menerjangnya. Dan....
Blarrr! Terdengar suara keras begitu dua tenaga dalam berbenturan dengan hebatnya. Tercipta ledakan kuat.
Daun-daun pun seketika berguguran disertai kepulan debu. Dari kepulan debu itu melontar satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus. Sementara, Nenek Rotan Maut hanya berdiri tegak di tempatnya. Tetapi dari mulutnya mengalir darah segar. Namun, sepertinya tidak dirasakannya sama sekali.
"He he he.... Sekarang aku tahu siapa kau, Anak muda. Muridku banyak bercerita tentang ilmu seperti ini. Bukankah kau Andika yang berjuluk Pendekar Slebor?" Andika bangkit perlahan-lahan. Mulutnya menahan rasa sakit di dadanya. "Au, ah!" cibir Andika.
"Wah, wah... tidak usah sewot. Hei, Pendekar Slebor! Muridku banyak bercerita tentang kau. Dia nampaknya jatuh cinta padamu. Hmmm..., sayang! Kok dia mencintai pemuda urakan sepertimu?"
"Aku juga tak mau punya nenek mertua sepertimu!" cibir Andika lagi sambil mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya.
Nenek Rotan Maut menggeleng-geleng.
"Sayang, sayang sekali.... Kenapa sih Ranjani mau-maunya denganmu" Kau cinta padanya, ya?"
"Au, ah!" lagi-lagi si pemuda ini mencibir. Mulutnya monyong-monyong, menggumam tak karuan. "Ala, jangan bohong! Mana ada sih orang yang tidak mau menjadi suami muridku" Hei! Bilang saja kalau suka! Kenapa malu" Kau takut pantatmu jadi merah, ya?" ejek Nenek Rotan Maut sambil tertawa.
Andika mendengus. Diam-diam dikaguminya kehebatan Nenek Rotan Maut. Ajian kebanggaan ilmu 'Lembah Kutukan' saja tak mampu menembusnya.
Andika mengibaskan tangannya. "Sudahlah, itu urusan nanti. Aku hendak mencarinya."
"Kau pasti malu. Akui saja kalau kau mencintai murid kesayanganku?" Wajah Andika memerah. Kembali teringat bagaimana dia pernah melihat tubuh indah Ranjani yang tercetak ketika hujan membasahi tubuhnya. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Cincin Berlumur Darah").
Nenek Rotan Maut tertawa genit melihat wajah Andika memerah.
"Sudahlah, Nek. Aku akan segera mencarinya," ujar Andika memasang wajah sungguh-sungguh.
"Ke mana?"
"Ke mana saja."
"Aku ikut!"
"Aduh, Nek.... lebih baik kita jalan sendirisendiri saja. Nanti kalau ada yang melihat kita berduaan, pasti mereka akan sedih."
"Lho, kenapa?" tanya Nenek Rotan Maut, tidak mengerti sedang dikerjai Andika.
"Soalnya, kau sudah peot begitu, sedang aku masih gagah perkasa! Ganteng lagi!" Nenek Rotan Maut hendak mengibaskan rotannya, tetapi tubuh Andika sudah berkelebat. Sebentar saja tubuhnya telah lenyap.
Tinggal Nenek Rotan Maut yang berdiam diri di Ngarai Sejuta Madu yang sepi. Matanya memandang sekelilingnya, lalu menghela napas masygul. Hatinya sedih sekali memikirkan bagaimana nasib murid kesayangannya dipermalukan seperti itu.
Lalu si nenek pun melesat meninggalkan Ngarai Sejuta Madu.

--oo0 9 0oo--

Ke manakah Ranjani" Sejak para tokoh persilatan menyatroni perguruannya, dia bertekad untuk menyusul Andika ke Gunung Mambang, setelah lebih dulu menyuruh muridmuridnya menyingkir.
Dia sungguh tak menduga kalau masalahnya berkembang jadi seluas ini. Inikah bagian dari ancaman Penguasa Gunung Mambang" Yang dipikirkan semula, Penguasa Gunung Mambang sendiri yang akan datang menyatroni perguruannya. Tak tahunya, malah para tokoh persilatan yang datang. Dari golongan putih pula! Memang, fitnahan itu, bermula dari lamaran Penguasa Gunung Mambang. Maka Cemeti Melati Kala pun memutuskan untuk segera meneruskan langkahnya ke sana. Namun belum lagi melangkah, dua sosok tubuh telah berdiri di hadapannya. Ranjani tersentak melihatnya. "Lestari! Sunarsi"! Mau apa kalian berdua di sini"!" sentak Ranjani bercampur gembira.
Dua sosok yang baru muncul itu tak lain adalah dua murid utamanya. Keduanya menjura dengan penuh hormat. "Maafkan kami, Ketua...," ucap Lestari. "Bukan maksud kami untuk mengikuti Ketua. Tetapi kami...." Lestari kehabisan kata-kata. Ranjani tersenyum. "Sudahlah. Terus terang aku gembira melihat kalian muncul. Hanya saja, keadaan sangat tidak mengizinkan. Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini"
"Ketua.... Kami ingin mengabdi sampai akhir hayat pada Ketua," timpal Sunarsi.
Ranjani terdiam. Terus terang, selain tak menyangka kalau di hadapannya akan muncul dua muridnya ini, hatinya juga gembira. Tetapi saat ini keadaan benar-benar tidak memungkinkan baginya untuk mengajak kedua muridnya. Biar bagaimana pun dia tak ingin mengorbankan murid-murid untuk masalah pribadi. "Kalian berdua lebih baik tinggalkan tempat ini," lanjut Ranjani.
"Tetapi, Ketua...."
"Lestari!" potong Ranjani.
"Bukan aku tidak menghargai kalian. Tidak sama sekali. Bahkan aku senang dengan kemunculan kalian ini. Berarti, kalian masih menyayangi dan mencintai ku sebagai Ketua sekaligus guru kalian. Tetapi, aku tak ingin mengorbankan sia-sia nyawa kalian...."
"Ketua! Kami rela mati untuk mengabdi pada Ketua," tandas Sunarsi.
Ranjani sangat terharu mendengar kata-kata itu. "Aku percaya pada kalian. Tetapi, sekali lagi maafkan aku. Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini."
"Ketua...."
"Lestari! Dan kau, Sunarsi! Bila kalian masih menganggapku sebagai Ketua, turutilah permintaanku.
Sekali lagi kukatakan, tinggalkan tempat ini.. Atau...
hei! Keparat!" Tiba-tiba saja tangan Ranjani mengebut ke balik sebuah semak.
Wuuuttt! Blarrr! Semak belukar yang rimbun dan setinggi dada orang dewasa di depan Ranjani kontan bagai tercacah.
Dan bersamaan dengan itu, melenting satu sosok tubuh kerempeng sambil disertai tawa keras.
"Tri darma!" seru Ranjani.
Sementara dua orang murid Cemeti Melati Kala terperangah begitu melihat apa yang terjadi. Sigap keduanya bersiaga dan memperhatikan laki-laki kerempeng itu. "Selamat berjumpa lagi, Ranjani. Menyenang-kan sekali bertemu denganmu. Rupanya kau masih mengenaliku. Terus terang, aku juga mendengar kabar kalau kau telah berubah menjadi manusia sesat. Tak kusangka, tak kuduga. Tapi aku maklum, manusia bisa berubah. Hm... begini Ranjani. Nyawamu akan kuampuni, bila kau mau bergabung denganku untuk mewujudkan impian mu menguasai dunia persilatan.
Itulah sebabnya, diam-diam aku mendatangi dan mengikutimu yang akan pergi ke Gunung Mambang. Sekalian mengajukan pinangan padamu agar kau mau menjadi istriku. Bagaimana?" kata lelaki kerempeng yang ternyata Tri darma.
(Untuk mengetahui siapa Tri darma, baca kisah: "Manusia Pemuja Bulan" dan "Cincin Berlumur Darah").
Wajah Cemeti Melati Kala memerah. Belum lagi berkata apa-apa, Lestari dan Sunarsi sudah melesat ke depan. Ranjani tercekat melihatnya. Dia tahu, kedua muridnya bukanlah tandingan Tri darma. Namun kedua gadis itu sudah menderu bagai siap menggulung Tri darma. Sunarsi mengebutkan trisulanya. Serangannya memang lumayan cepat dan penuh tenaga. Begitu pula yang dilakukan Lestari. Akan tetapi, yang dihadapi mereka adalah Tri darma, yang ilmunya jauh lebih tinggi.
Sekali Tri darma mengebutkan tangan saja....
Des! Des! Tubuh kedua gadis berpakaian jingga itu meluncur ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
Melihat hal itu, kegeraman Cemeti Melati Kala semakin hebat. Langsung diterjang Tri darma setelah meloloskan senjata cemetinya. Tri darma berlompatan menghindari serangan maut yang menimbulkan gemuruh angin tinggi dan suara keras.
Ctaarrr! Ctaarrr! Namun lama kelamaan Tri darma pun kalang kabut. Karena, Ranjani terus menerus mencecarnya.
Tubuhnya tiba-tiba melenting ke belakang. Dan mendadak kedua tangannya mengibas secara bersamaan.
Sing! Sing! Seketika dua larik sinar keemasan melesat membuat Ranjani mengurungkan niatnya untuk segera menghabisi Tri darma.
"Ranjani...! Apakah kau tidak tahu kalau saat ini nyawamu sudah di ujung tanduk" Bersikaplah agak lunak. Bila kau menjadi istriku, sudah tentu kau akan selamat. Terutama dari incaran Penguasa Gunung Mambang!" bujuk Tri darma.
"Persetan dengan ucapanmu itu, Kerempeng! Sampai kapan pun juga, aku akan tetap mengingat akan lenganku yang kau buat buntung!" desis Ranjani.
"Bukankah itu lebih baik daripada kedua tanganmu yang buntung?"
"Keparat!" Ranjani melesat kembali. Namun lagi-lagi dia harus urung menyerang, karena laki-laki kerempeng itu sudah melepaskan pukulan 'Sinar Keemasan'-nya.
Kini justru Ranjani yang akhirnya dicecar dengan hebat. Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu benarbenar dibuat kalang kabut oleh serangan-serangan maut Tri darma.
Namun hanya sesaat saja itu terjadi. Karena kejap berikutnya, Ranjani sudah kembali mendekat dengan jalan bergulingan. Tubuhnya bergerak bak bola maut ke arah Tri darma.
Namun, rupanya ada pikiran lain di benak jahat Tri darma. Ketika Ranjani menyerang sedemikian rupa, lelaki kerempeng keriput dengan rambut awutawutan itu justru melenting ke belakang. Tiba-tiba tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. "Aku mempunyai suatu permainan yang lebih menarik, Ranjani!" teriak Tri darma dari kejauhan keras.
Ranjani menghentikan serangannya. Dia menghela napas lega. Kendati demikian hawa amarahnya masih menguasai dada.
"Manusia setan itu akan semakin menambah kekacauan ini," desisnya geram.
Gadis ini lantas mendekati Sunarsi dan Lestari yang tergolek lemah dengan dada terengah-engah turun naik. Tanpa banyak bicara segera diobatinya kedua muridnya dengan memberikan obat pulung. Sebentar saja kedua gadis ini telah merasa nyaman.
"Maafkan kelancangan kami, Ketua...," ucap Lestari. "Sudahlah. Tak ada yang perlu disesalkan. Kalian berdua, sebaiknya memang segera meninggalkan tempat ini. Kuakui akan kesetiaan kalian kepadaku.
Tetapi yang perlu diketahui, ini bukanlah tugas kalian." Tak ada yang bersuara. Dan Ranjani berdiri.
"Dalam waktu sepenanakan nasi, kesehatan kalian akan segera pulih kembali. Sebaiknya, segera tinggalkan tempat ini." Lalu.... Wuttt! Tubuh Ranjani sudah melesat cepat. Memang, itulah yang terbaik yang dilakukan Ranjani. Dia tak sudi mengorbankan lagi nyawa-nyawa murid setianya.

****

"Jarotomo! Aku sudah tidak sabar untuk menjadikan Ranjani sebagai istriku. Hhh! Seharusnya aku membunuh Pendekar Slebor waktu itu! Tetapi, aku menginginkan dia sakit hati bila melihat Ranjani jatuh ke tanganku! Ingin kulihat, bagaimana hatinya begitu terpukul luar biasa bila kehormatan Ranjani ku cabik- cabik!" umbar Penguasa Gunung Mambang sambil duduk minum tuak, ditemani Jarotomo. "Ketua..., bersabarlah sedikit," ujar Jarotomo, perlahan.
"Tidak! Siang malam aku selalu terbayang padanya. Siang malam aku selalu mengkhayalkannya.
Kalau dia tetap tidak mau, akan kubunuh!" dengus lelaki berkalung tengkorak itu.
"Ketua, percayalah! Tak lama lagi Ranjani akan muncul ke sini." Penguasa Gunung Mambang menatap tajam Jarotomo. "Bagaimana kau bisa menduga seperti itu?" tanya lelaki itu. "
"Karena kalau saja mempergunakan otaknya, Ranjani pasti tahu bagaimana kejadian demi kejadian ini terjadi. Dia pasti menduga semua ini dari lamaran yang Ketua sampaikan. Juga dengan kemunculanku di Ngarai Sejuta Madu. Aku yakin, dia telah tiba pada kesimpulan itu. Apalagi, bila dia memang sudah pernah bertemu Pendekar Slebor. Terbukti, Pendekar Slebor pun mencari tahu sampai ke Gunung Mambang itu."
"Jangan terlalu yakin. Sampai saat ini aku belum mendengar kalau Ranjani telah mati dibunuh para tokoh rimba persilatan," cibir Penguasa Gunung Mambang. "Itu membuktikan betapa tingginya ilmu yang dimilikinya. Dan dia memang sangat pantas bersanding dengan Ketua yang berilmu tinggi. Begitu pula Ranjani. Dengan bersandingnya Ketua dan Ranjani, keinginan Ketua untuk membunuh Pendekar Slebor di purnama mendatang, akan segera terlaksana. Tetapi, aku yakin Ketua akan mampu menghancurkan Pendekar Slebor!" Penguasa Gunung Mambang terbahak-bahak dengan suara menggelejar.
"Kau memang pandai berbicara, Jarotomo," puji lelaki itu.
Jarotomo menyeringai puas. Dia memang yakin akan kehebatan Penguasa Gunung Mambang untuk meringkus Ranjani. Namun, akal licik dan dendam telah terpatri di hatinya. Suatu saat, akan dicarinya kesempatan untuk membunuh Ranjani. Baru saja bayangan Ranjani terlintas di pelupuk mata mereka tiba-tiba....
"Manusia keparat yang berjuluk Penguasa Gunung Mambang! Keluar kau! Aku Cemeti Melati Kala meminta pertanggungjawaban mu!" Jarotomo tersenyum puas, saat terdengar teriakan keras seakan hendak meruntuhkan bangunan.
"Kemenangan sudah milik Ketua."

--oo0 10 0oo--

Sepasang mata bagus milik Cemeti Melati Kala terbuka ketika melihat satu sosok tinggi besar melangkah keluar dari bangunan besar dengan tawa dingin.
Sejenak kening Ranjani berkerut. Inikah Penguasa Gunung Mambang" Bila melihat sosok dan sikapnya, sudah jelas orang itu tak bisa dianggap sembarangan.
Dan Ranjani berani bertaruh, kalau manusia ini berkepandaian sangat tinggi.
"Hhh! Rupanya manusia kunyuk ini yang berani melamar ku"!"
"Aha, Ranjani..."! Mengapa kau berkata seperti itu" Tidak tahukah kau kalau aku adalah calon suamimu?" tukas Penguasa Gunung Mambang.
Sementara itu beberapa anak buah lelaki berkalung tengkorak itu telah berdiri tegap, siap menung-gu perintah.
Ranjani menatap muak pada Penguasa Gunung Mambang. Sikapnya yang sengak dengan kedua tangan terentang, seolah siap merangkul Ranjani.
"Bila kau menerima lamaranku, silakan. Biar seluruh anak buahku gembira. Karena mulai hari ini, akan mendapatkan seorang Ketua wanita. Ingat, Ranjani! Bila menjadi istriku, kau akan dihormati seluruh anak buahku. Juga, lapisan orang rimba persilatan," bujuk lelaki itu.
"Mbelgedes! Kedatanganku bukan ingin membicarakan masalah lamaranmu. Hanya orang bodoh dan buta saja yang mau menerima lamaran seekor anjing kurap! Kedatanganku ingin meminta pertanggungjawaban mu atas fitnah yang kau sebarkan!" Lelaki berkalung tengkorak itu menyeringai, menampakkan deretan giginya yang hitam.
"Apa maksudmu, Ranjani?" tukas Penguasa Gunung Mambang.
"Jangan menjual lagak di hadapanku!"
"Aha! Mengapa harus memperlihatkan taring mu di hadapanku, Ranjani"! Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Bila kita menjadi sepasang suami-istri, tidak mustahil tidak akan pernah bisa dikalahkan siapa pun juga. Dan kau bisa melaksanakan keinginanmu untuk menguasai rimba persilatan ini!" Ranjani terdiam. Sejenak otaknya berpikir keras. Apakah dengan kata-kata yang dilontarkan itu berarti Penguasa Gunung Mambang memang tidak tahu soal fitnah terhadap dirinya" Ataukah, hanya berpura-pura belaka" Toh, dia dan Pendekar Slebor sudah tiba pada kesimpulan yang kedua. Tetapi, di manakah Pendekar Slebor berada sekarang" Apakah sudah tertangkap" Tidak! Tidak mungkin pemuda pewaris ilmu 'Lembah Kutukan' yang berotak cerdik itu bisa dilumpuhkan dengan mudah! "Jangan anggap aku mempunyai keinginan busuk seperti itu! Lebih baik melihat kau mati daripada menjadi istrimu!" maki Ranjani keras dengan kemarahan menggelegak.
Kembali Penguasa Gunung Mambang mengeluarkan suara tawanya.
"Kau salah sangka, Ranjani! Jangan menuduhku menyebarkan fitnah keji seperti itu, Aku menginginkan kau menjadi istriku. Mana mungkin aku berniat mencelakakanmu"!"
"Ular kepala dua! Kebusukan mu membuatku muak!"
"Sabarlah.... Lebih baik kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin.
Jangan ambil pusing dengan segala urusan!"
"Bangsat! Kepalaku mau meledak mendengar kata-kata busukmu!" Wajah Penguasa Gunung Mambang memerah.
Sejak tadi dia dibentak dengan kata-kata menyakitkan.
Tetapi dia masih berusaha menenangkan diri. Karena telah ngeres otaknya membayangkan kalau Ranjani akan menjadi teman setidurnya.
"Ranjani, calon istriku. Apakah kau masih menuduhku yang menyebar fitnah?" Menggigil tubuh Ranjani mendengar ejekan itu.
Tanpa membuang tempo lagi, gadis berlengan satu itu menyerbu dengan tenaga hebat. Gerakannya secepat kilat bak angin prahara mengarah pada Penguasa Gunung Mambang. Si lelaki membentak kasar. Tubuhnya cepat dibuang ke kiri. Sementara Ranjani yang sudah berada di puncak kemarahannya menyerang semakin gencar.
"Jangan terlalu keras kepala, Calon istriku!" ka-ta lelaki berkalung tengkorak sambil menghindari setiap serangan maut Cemeti Melati Kala.
Mendengar kata-kata itu Ranjani semakin marah. Diserbunya lelaki itu dengan kecepatan luar biasa. Penguasa Gunung Mambang pun mengimbanginya. Kini, yang terlihat dua buah tubuh berkelebat dengan cepat tak ubahnya dua hantu saling serang.
Namun tahu-tahu....
Penguasa Gunung Mambang terjajar ke belakang.... Desss...! "Bangsat!" Lelaki ini memegang dadanya yang terkena tendangan Ranjani.
"Kehebatan Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu memang tak perlu disangsikan lagi. Tetapi, aku masih bermurah hati kepadamu. Karena, kau calon istriku!" oceh Penguasa Gunung Mambang.
"Justru aku ingin melihat kekejamanmu, Manusia hina!" sahut Ranjani, kembali menerjang.
Kali ini Penguasa Gunung Mambang pun membalas dengan serangan-serangan mautnya. Gemuruh angin keras dan sinar menggidikan meluruk ke arah Cemeti Melati Kala, ditingkahi suara teriakannya.
Tak terasa empat jurus pun telah lewat. Dan kelihatan kalau Ranjani mulai terdesak. Namun dengan cepat gadis itu meloloskan senjata, dan menggerakkannya ke arah Penguasa Gunung Mambang.
Ctarrr! Tubuh tinggi besar itu melenting ke samping.
Dan benturan cemeti Ranjani menghantam tembok halamannya hingga runtuh menimbulkan suara gemuruh. "Hhh! Sudah lama aku ingin melihat kehebatanmu menggunakan cemeti mu itu, Ranjani!" tantang Penguasa Gunung Mambang, jumawa.
"Dan kau akan merasakannya, Bangsat!" hardik Ranjani. Kembali gadis ini menyerang hebat. Seranganserangannya mengundang hawa kematian. Penguasa Gunung Mambang rupanya memang bukan lawan enteng baginya. Malah dengan mudah mampu menghindari serangan-serangan maut Ranjani. Tubuh lelaki ini seketika berkelebat laksana kilat, menimbulkan desi-ran angin keras bergulung-gulung ke arah Ranjani. "Hiaaa...!" Cemeti Melati Kala membentak keras. Tubuhnya cepat melenting, menghindari amukan angin yang bergulung itu. Namun gerakannya kalah cepat. Sehingga.... Trass! Tubuh Ranjani melintir di udara, ketika kakinya tersambar angin keras dari serangan lawannya.
Namun secepatnya dia menguasai diri, langsung meluruk. Cemetinya segera dikibaskan.
Ctarrr! Luar biasa! Tanpa rasa terkejut, Penguasa Gunung Mambang justru menelusup ke bawah, sehingga senjata cemeti hanya menyambar angin kosong di atas kepalanya. Bahkan langsung bergulingan ke arah Ranjani. Begitu dekat, kakinya terjulur ke depan.
Desss.... "Aaakh...!" Ranjani terjajar ke belakang ketika sodokan Penguasa Gunung Mambang menghantam perutnya.
Serangan itu memang tak tertangkap oleh pandangannya. "Aku menghendaki kau menjadi istriku, Ranjani! Tetapi kau memaksaku untuk berbuat lebih jauh lagi! Tetapi, ha ha ha...! Kau tak akan mati sebelum ku nikmati apa yang kuinginkan!" Tiba-tiba saja tubuh Penguasa Gunung Mambang melenting dan meluruk ke arah Ranjani. Kedua kakinya berputar ke atas bak baling-baling, menimbulkan gemuruh angin sangat luar biasa. Dedaunan beberapa pohon berguguran dan sedikit bergetar.
Serangan aneh itu, membuat Ranjani terpaksa mundur selangkah sambil mengibaskan Cemeti Melati Kala-nya. Hatinya benar-benar muak menerima perlakuan seperti itu.
Ranjani bertekad untuk bisa membuktikan pada dunia persilatan kalau semua yang telah terjadi karena fitnahan keji.
Mendadak saja Ranjani melompat ke samping, ketika dengan hebatnya Penguasa Gunung Mambang bergerak laksana angin untuk bertarung jarak pendek. Kedua tangannya mencecar bagianbagian yang mematikan pada tubuh gadis itu. Dengan demikian Ranjani tak bisa memainkan cemetinya.
Sejenak wajah Ranjani menjadi pias. Bulu kuduknya dirasakan meremang. Dari pada satu kesempatan, tiba-tiba saja tangan Penguasa Gunung Mambang mengibas cepat.
Plakkk! Tangan lelaki itu telah menghantam tangan kanan Ranjani, membuat Cemeti Melati Kala-nya terlepas. Gadis ini merasa tubuhnya menggigil. Belum lagi tenaganya bisa dipulihkan satu jotosan masuk ke dadanya.
Desss...! Gadis jelita itu terhuyung. Rasa sakit semakin menyiksanya. Begitu ambruk, dia kontan pingsan. Darah kental kehitaman keluar dari mulut dan hidungnya. Penguasa Gunung Mambang tersenyum puas.
"Kau akan mendapatkan satu kenikmatan yang sangat hebat, Ranjani. Ingin kulihat bagaimana sahabatmu si Pendekar Slebor akan mengalami siksaan batin yang tinggi melihat kehormatanmu ku cabik-cabik." Lalu dengan langkah bergegas, Penguasa Gunung Mambang mengangkat tubuh Ranjani yang terkulai. Dia segera melangkah ke rumahnya, siap dibawa ke kamarnya.
Namun belum sampai kakinya menginjak bangunan megah itu, lelaki ini terbelalak kaget. Karena di hadapannya telah berdiri satu sosok tubuh bertelanjang dada dengan senyum dingin.

****

"Keparat kerempeng! Siapa kau"!" bentak Penguasa Gunung Mambang sambil mengibaskan tangannya. Wusss! Angin kencang langsung menerjang ke arah sosok bertelanjang dada dengan kumis putih tebal. Namun, sosok ini cepat menghindari dengan melenting ringan. Begitu kedua kakinya yang kurus terbalut celana pangsi berwarna hitam hinggap di bumi, terdengar suaranya yang tajam dan dingin.
"Penguasa Gunung Mambang! Kita mempunyai keinginan yang sama rupanya," kata sosok itu.
"Apa maksudmu?" Meskipun agak terkejut melihat bagaimana sosok kerempeng itu menghindari serangannya, Penguasa Gunung Mambang menyahut juga.
"Kau menginginkan Cemeti Melati Kala untuk kau jadikan istrimu. Sedangkan aku, menginginkan nyawanya," jelas si kerempeng.
"Bangsat! Sebutkan namamu!"
"Namaku Tri darma. Orang-orang rimba persilatan tidak pernah menjulukiku dengan sebutan apa pun juga, Penguasa Gunung Mambang! Bagaimana bila bekerja sama?" tawar si kerempeng yang ternyata Tri darma. Penguasa Gunung Mambang yang merasa ke-senangannya jadi terganggu melotot.
"Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum nyawa anjingmu ku cabut!" bentak lelaki berkalung tengkorak itu.
"Aku hanya menawarkan satu kerja sama di antara kita. Kau bisa menikmati tubuh Ranjani sepuas-puasmu. Tetapi setelah itu, kau berikan kepada ku untuk kubunuh!" kilah Tri darma.
"Anjing buduk! Sembarangan kau bicara! Rupanya kau punya nyawa rangkap berani berbuat tolol di hadapanku!"
"Justru aku yang bertanya kepadamu, apakah kau mempunyai nyawa rangkap?" Tri darma terbahak-bahak. "Tetapi yang kuinginkan bukanlah permusuhan. Aku menginginkan kerja sama yang akan kita jalin untuk menguasai rimba persilatan ini."
"Hhh! Apa untungnya bagiku?"
"Pertama! Kau tak akan ku halangi untuk menikmati tubuh Cemeti Melati Kala seperti keinginanmu. Kedua! Kita akan bekerja sama untuk membunuh Pendekar Slebor. Kudengar, kau pernah bertarung dengannya. Dan pertarungan mu akan dilanjutkan lagi pada purnama mendatang. Tetapi, apakah kau percaya kalau Pendekar Slebor akan memenuhi permintaanmu" Ia seorang pendekar kenamaan yang memang menjunjung tinggi jiwa ksatria. Namun bila kau menipunya, dia tak akan pernah mau memenuhi permintaanmu! Bahkan, tak akan pernah melepaskan nyawa busukmu yang telah mempermainkan sahabatnya!" Mendengar kata-kata Tri darma, Penguasa Gunung Mambang terdiam. Itu usul yang menarik sebenarnya. Meskipun diyakini dengan kehebatannya sendiri pun mampu membunuh Pendekar Slebor.
Sejurus kemudian Penguasa Gunung Mambang terbahak-bahak. Dia memang tidak mengenal, siapa Tri darma. Namun yang jelas, lelaki itu mempunyai dendam pada Pendekar Slebor. Berarti, itu sejalan dengan keinginannya yang telah lama ingin merasakan kehebatan Pendekar Slebor. Soal Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu bukanlah persoalan berarti. Saat ini dia hanya ingin merusak kehormatan Cemeti Melati Kala! Dan dia ingin melihat, bagaimana wajah Pendekar Slebor akan merah padam dengan kemarahan membludak. "Baiklah, kuterima tawaran kerja sama mu itu, Tri darma. Kita akan bersama-sama membunuh Pendekar Slebor. Sekarang menyingkirlah. Aku ingin menikmati dara jelita ini...," desisnya kemudian.
"Ingat! Aku hanya memberimu waktu selama tiga hari. Setelah puas, kau harus menyerahkan Ranjani kepadaku untuk kubunuh.
Setuju?"
"Apa pun yang kau inginkan, akan kuberikan"
"Itu suatu usul yang baik. Silakan menikmati tubuh montok Cemeti Melati Kala."
"Kau memang kawan yang bisa diandalkan." Tri darma menyingkir ketika Penguasa Gunung Mambang membawa masuk Ranjani sambil terbahak-bahak.
"Ha ha ha... Cemeti Melati Kala... Kau akan ku bawa ke langit tingkat tujuh...," kekeh Penguasa Gunung Mambang, ketika tiba di kamarnya. "Atau, justru kau yang tersungkur ke dalam tanah?" Mendadak terdengar sahutan.

--oo0 11 0oo--

Untuk kedua kalinya Penguasa Gunung Mambang bergelegar amarahnya, melihat satu sosok tubuh yang sedang selonjor di ranjangnya dengan kedua tangan ditekuk seolah menjadi bantal. Dan yang lebih menggeramkan, setelah lelaki ini tahu siapa pemuda gondrong berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahunya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor"
"Pemuda keparat!" Sambil mendengus liar lelaki berkalung tengkorak itu mengibaskan tangannya. Seketika serangkum angin dahsyat meluruk ke arah Andika.
Wusss! Prakkk! Seketika ranjang itu hancur berantakan terkena hentakan pukulan jarak jauh Penguasa Gunung Mambang. Ke mana Pendekar Slebor" Dengan kecepatan luar biasa, Andika melenting dan tahu-tahu telah berdiri di hadapan lelaki itu sambil cengengesan "Sayang sekali, ranjang yang bagus itu harus dihancurkan. Ngamuk, ya, ngamuk. Tapi lihat-lihat dong." Wajah Penguasa Gunung Mambang memerah.
"Pendekar Slebor! Kau berani mampus rupanya datang kemari"!" bentaknya bengis.
Bagaimana tahu-tahu Pendekar Slebor berada di sana" Andika memikirkan setiap peristiwa yang terjadi. Sampai tiba-tiba, dia menyadari kalau kemungkinan Ranjani menyusul ke Gunung Mambang. Makanya dia langsung ke tempat ini.
Sebenarnya, ketika Andika menerima tantangan dari Penguasa Gunung Mambang adalah salah satu dari kecerdikannya. Dia memang mengurungkan niatnya untuk bertarung dengan Penguasa Gunung Mambang dikarenakan ingin melihat apa yang terjadi.
Di samping itu, juga cemas memikirkan nasib Ranjani.
Ketika tiba di Gunung Mambang, apa yang diperkirakannya memang benar. Ranjani sedang bertarung dengan Penguasa Gunung Mambang Hati Andika menjadi marah begitu melihat bagaimana Ranjani menjadi bulan-bulanan Penguasa Gunung Mambang. Hatinya terasa panas luar biasa.
Dia bersiap untuk memasuki kancah pertarungan itu, namun sudah terlambat. Karena saat itu Ranjani sudah jatuh pingsan.
Melihat hal itu, Andika menduga kalau Penguasa Gunung Mambang tak akan segera membunuh Ranjani. Karena dia tahu, lelaki tinggi besar itu menghendaki Ranjani menjadi miliknya. Berpikiran demikian, Andika pun langsung berkelebat masuk ke kamar Penguasa Gunung Mambang. Dia bukan hanya bermaksud mengejutkan lelaki berkalung tengkorak itu, tetapi juga akan menolong Ranjani.
Jadi Andika tidak tahu saat Tri darma muncul.
Sekarang Pendekar Slebor terkekeh-kekeh melihat betapa geramnya wajah Penguasa Gunung Mambang. Tatapan mata bulat besar itu bagai hendak menelannya hidup-hidup.
"Eh, ngomong-ngomong wajahmu seperti dihinggapi kepiting rebus, ya," ledek Pendekar Slebor.
"Keparat!" geram Penguasa Gunung Mambang dengan kemarahan membludak.
Rupanya, yang dikatakan Tri darma memang benar. Kali ini, Penguasa Gunung Mambang merasa kecolongan setelah merasa yakin berhasil menipu Pendekar Slebor. "Tunggu!" Pendekar Slebor mengibaskan tangannya ke sebuah lemari yang terbuat dari kayu jati. Dengan sungguh menakjubkan! Begitu lemari itu bergeser, satu sosok tubuh dengan kedua lengan buntung jatuh ke lantai. Telah menjadi mayat! "Jarotomo!" seru Penguasa Gunung Mambang, terkejut. "Terpaksa aku membunuhnya! Habisnya, lagaknya sok sih! Begitu pula begundal-begundalmu.
Mereka kubuat pingsan semuanya. Eh, kau marah ya?" ejek Andika sambil memikirkan bagaimana caranya mendapatkan Cemeti Melati Kala. Karena, tak mustahil Penguasa Gunung Mambang justru mempergunakan Cemeti Melati Kala sebagai tameng.
"Bangsat!" Penguasa Gunung Mambang membentak dengan suara menggelegar setinggi langit. Sesaat Pendekar Slebor merasa tubuhnya bergetar karena pengaruh tenaga dalam yang disentakan lelaki berkalung tengkorak itu melalui suara.
Penguasa Gunung Mambang mendorong tubuh Ranjani yang masih terkulai pingsan hingga menggelosoh di sudut kamar. Kesempatan yang seharusnya dipergunakan Penguasa Gunung Mambang untuk segera mendapatkan Ranjani, lenyap tiba-tiba berganti kemarahan membludak pada Pendekar Slebor. Maka dengan penuh amarah, diserangnya pemuda itu.
"Aku belum membayar pertunjukan sandiwaramu, Manusia busuk! Nih, kubayar!" Andika melancarkan pukulan cepat mengandung kekuatan dahsyat. Kalau saja Penguasa Gunung Mambang tidak memiringkan tubuhnya, bisa dipastikan kalau akan hancur seketika.
"Kau akan mampus, Pendekar Slebor!" geram lelaki itu sambil balas menyerang. Ruang kamar yang lumayan besar itu pun menjadi arena pertarungan dahsyat dua tokoh. Lemari, kursi, meja dan makanan berhamburan patah. Kamar itu benar-benar bergetar bagaikan ada gajah yang mengamuk.
Bagi Pendekar Slebor sendiri, tindakan Penguasa Gunung Mambang yang memfitnah Ranjani tidak bisa didiamkan. Hatinya pun gusar ketika membayangkan bagaimana penderitaan Ranjani dalam menghadapi semua fitnahan.
Menghadapi Penguasa Gunung Mambang yang merupakan pangkal semua bencana ini, membuat Andika tidak bertindak tanggung lagi. Tenaga 'Inti Petir' tingkat kelima telah dipergunakannya. Tubuhnya berkelebatan dengan kecepatan tinggi.
Namun dengan jurus 'Memburu Gunung Mambang', lelaki berkalung tengkorak itu melayani memba-bi buta. Setiap kali tangannya bergerak, kekuatan dahsyat yang menggetarkan terjadi. Seranganserangannya penuh hawa kematian. Penuh hawa maut, siap mencabut nyawa Pendekar Slebor.
Sesungguhnya, bertarung di ruangan seperti itu sangat menyulitkan. Karena gerakan dibatasi empat buah dinding. Tetapi bagi keduanya, tidak ada masalah sedikit pun. Terutama, bagi Penguasa Gunung Mambang yang memang menginginkan kematian Pendekar Slebor. Penguasa Gunung Mambang yang sudah kalap, melepas serangan dahsyat dengan satu hantaman yang begitu cepat.
Dess! Pukulan 'Memburu Gunung Mambang' menerpa tubuh Andika, sehingga terlontar menabrak dinding. Seketika kamar itu bergetar. Tetapi dengan cepat Andika berdiri tegak.
"He he he..., tidak sakit. Tidak sakit. Lagi, dong!" ejek Pendekar Slebor.
"Bangsat!" Kembali Penguasa Gunung Mambang sudah meluruk kembali. Kali ini tangannya terlihat memancarkan sinar berwarna hitam yang menderu-deru ke arah Andika. Andika dengan sigap meloloskan diri dengan jalan berguling. Broll! Dinding kamar itu pun jebol terkena hantaman pukulan Penguasa Gunung Mambang.
"Hei, itu tembok. Bukan badanku. Nah, kalau itu badanmu. Tapi, penuh panu, ha ha ha...," ejek Pendekar Slebor tanpa peduli kalau pertarungan ini adalah pertarungan antara hidup dan mati.
Penguasa Gunung Mambang makin geram. Seketika tubuhnya mencelat menyerang. Kedua tangannya langsung dihentakkan ke depan. Tapi Pendekar Slebor pun bergerak cepat menghentakkan tangannya pula. Blarrr....
Benturan keras terjadi. Kali ini membuat tubuh Penguasa Gunung Mambang terjajar.
"Keparat!" geram Penguasa Gunung Mambang.
"Hei, tak usah heran! Ini adalah urusan kau denganku!" seru Andika sambil melepaskan serangannya kembali.
"Juga ini menjadi urusanku, Pendekar Slebor!" Mendadak terdengar suara menggetarkan, yang disusul masuknya satu sosok tubuh kerempeng ke ruangan ini. Andika melotot.
"Wah! Manusia kerempeng yang muncul! Bagus! Kan jadi ramai nih, jadinya!" Orang yang masuk itu memang Tri darma.
"Kalau dulu kau berhasil mempecundangi ku, sekarang justru kau yang akan mampus, Pendekar Slebor! Sahabatku Manusia Pemuja Bulan baru akan tenang, setelah melihat orang yang telah membunuhnya pun mampus di tanganku!" bentak Tri darma, mengancam "O..., jadi kau sahabatnya Manusia Pemuja Bulan?" tukas Andika, seolah baru menyadari kalau Tri darma adalah sahabat dari Manusia Pemuja Bulan.
Wajah Tri darma memerah. Sementara Penguasa Gunung Mambang mempergunakan kesempatan itu untuk mengatur nafasnya. Dia merasa beruntung karena Tri darma muncul. Tadi dadanya serasa mau meledak saat terjadi benturan.
"Jangan banyak bacot!" bentak Tri darma.
"Ya, begitulah.... Orang yang hatinya berkarat memang suka tidak menyadari kalau maut sudah dekat dengannya!" sahut Andika dingin. "Tri darma! Kau tak akan pernah kuampuni karena pernah membawabawa nama eyang buyutku! Hhh! Kau terlalu hina untuk mengabdi kepada Eyang buyutku, Ki Saptacakra!" (Untuk mengetahui bagaimana Pendekar Slebor sampai tertipu oleh Tri darma yang mengaku sebagai pelayan dari Ki Saptacakra Eyang Buyut Pendekar Slebor, silakan baca: "Manusia Pemuja Bulan").
"Bangsat! Kau yang harus mampus!" balas Tri darma, hendak melontarkan serangan.
"He he he.... Tahan, tahan. Bagaimana bila kita bertarung di luar saja" Biar..., sebelum kau mampus, masih bisa menikmati udara segar. Juga kau, Jin Gondrong! Nah! Bukankah aku masih merasa mengasihi kalian?"
"Kentut busuk!" Tri darma sudah melabrak ke arah Andika. Begitu pula Penguasa Gunung Mambang. Dengan kekua tan penuh dia siap menghancurkan Andika.
"Bagaimana kalau di luar saja?" seru Andika.
Tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor bergerak, menerobos dinding kamar itu hingga jebol. Lalu tubuhnya melenting dua kali di luar, dan hinggap sambil terkekeh-kekeh.
"Ayo, Jin Gondrong! Juga kau, Tri darma!" teriak Pendekar Slebor.
Sebagai jawaban atas seruannya, Penguasa Gunung Mambang melesat cepat membawa satu serangan dahsyat. Andika memiringkan tubuhnya ke kiri. Seketika tangan kirinya menghantam ke perut Desss! Jotosan itu mendarat telak pada sasaran. Tetapi lelaki berkalung tengkorak itu tak bergeming sama sekali. Malah mulutnya menyeringai semakin geram.
Pada saat yang sama Tri darma sudah meluncur menyerang. Andika berkelebat ke kanan. Matanya sempat melihat Tri darma yang menyilangkan kedua tangannya saat menyerang. Begitu silangan dibuka, tangan kirinya berpusat sedemikian rupa ke bawah, lalu menusuk tajam ke perut. Begitu cepat hingga....
Desss! Tubuh Pendekar Slebor terpental ke belakang disertai keluhan menahan sakit. Sebelum sempat berdiri dengan benar, dua buah jotosan dari Penguasa Gunung Mambang sudah mendarat di wajah dan tubuhnya. Des! Des! Hidung Pendekar Slebor kontan mengucurkan darah. Sedang perutnya bagaikan dihantam sebuah godam yang luar biasa keras.
"Hiaaa...!" Andika berteriak keras setinggi langit, melampiaskan kemarahannya. Seketika tubuhnya melenting cepat, melayani dua serangan yang datang sekaligus.
Menghadapi dua tokoh ini bukannya membuat Andika gentar, meskipun berkali-kali terhantam.
Malah dia semakin keras menyerang dengan pukulan-pukulan saktinya. Tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas pun segera dipergunakan. Pendekar Slebor memang tak pernah menyangka akan munculnya Tri darma. Dan berarti, kemarahan lama yang dipendamnya pun harus bangkit. Memang manusia itu telah lancang berani mengaku sebagai pelayan dari Ki Saptacakra.
Bagi Andika, nama Ki Saptacakra adalah sangat keramat. Tak boleh dipakai sembarangan. Apalagi bila ada yang mengaku-ngaku pernah berhubungan dengan eyang buyutnya itu.

--oo0 12 0oo--

Pertarungan sengit pun terus berlangsung dengan hebatnya. Desir angin keras terdengar ketika keti-ga tubuh yang bertarung saling menggebrak! Tri darma benar-benar mengumbar pukulan sinar keemasannya, sehingga sempat membuat Andika kewalahan. Belum lagi ketika menerima serangan mematikan dari Penguasa Gunung Mambang. Di benak lelaki tinggi besar itu tak ada lagi bayangan keindahan tubuh Ranjani, melainkan keinginan untuk membunuh Pendekar Slebor.
Sementara bagi Andika sendiri, ini adalah pertarungan paling hebat dan menentukan. Hebat karena menghadapi dua tokoh sekaligus. Menentukan karena merasa di sinilah hidup dan matinya ditentukan.
Namun akibat tekanan dua gabungan tenaga dan ilmu yang tinggi, Andika pun mulai terdesak. Sesekali wajahnya tegang menerima serangan gencar dan cepat itu. Bahkan berkali-kali tubuhnya terhantam jotosan dan tendangan keras.
"Gila! Aku tak boleh mati di sini. Aku harus ma-ti di pangkuan Ranjani. Biar kelihatan seru, gitu!" dengus Andika, masih sempat-sempatnya mengoceh demikian. Padahal keadaannya amat memprihatinkan.
Maka dengan gebrakan laksana kilat, Pendekar Slebor melepas kain bercorak catur dari bahunya. Begitu serangan kian mendekat, kakinya segera dikebutkan. Bletakk! Andika bisa bernapas sedikit karena serangan kedua lawannya bisa dihalau. Pendekar Slebor melenting ke belakang untuk menjaga jarak.
Namun mendadak saja, Tri darma menghentakkan kedua tangannya, melepas pukulan 'Sinar Keemasan'. Apa yang harus diperbuat Pendekar Slebor" Apalagi pada saat yang sama, Penguasa Gunung Mambang pun menderu-deru dengan ajian-ajian kebanggaannya. Setiap kali tangannya bergerak, bukan hanya desir angin kuat yang terdengar. Tapi suara ledakan hebat.
"Manusia-manusia sompret!" damprat Andika seraya melenting ke atas, menghindari terjangan sinar-sinar kuning keemasan.
Begitu meluruk, kain pusakanya dilecutkan ke arah Penguasa Mambang.
Ctarrr! Satu sabetan Pendekar Slebor yang disalurkan tenaga sakti tingkat kesembilan belas berkelebat ke arah lelaki berkalung tengkorak. Tak tanggung-tanggung pula, dalam sabetannya membuat sekian getaran. Penguasa Gunung Mambang terlongong, namun cepat membuang tubuhnya ke belakang. Kendati hanya tersambar angin sambaran Andika, tak urung nafasnya jadi sesak.
Pada saat itu, Pendekar Slebor telah mendarat kembali di tanah. Namun ketika akan melepas serangan kembali....
"Wah, wah! Andika! Kenapa kau tidak mengajak aku, hah"!" Terdengar suara mengekeh.
Andika melirik lalu mendesah kesal.
"Ah! Kenapa sih dia melulu yang muncul"! Dasar bangkotan!" Namun dikejap kemudian si pemuda pewaris ilmu-ilmu 'Lembah Kutukan' telah melompat ke arah asal suara kekehan.
"Hei, Nenek Rotan Maut! Lebih baik kau selamatkan muridmu di dalam sana! Biar kedua tikus ini aku yang hadapi!" ujar Andika.
"Mana bisa" Penguasa Busuk itu yang harus kubunuh! Kurang ajar sekali dia memfitnah murid kesayanganku!" dengus sosok perempuan tua yang ternyata Nenek Rotan Maut.
"Nyawa muridmu lebih utama untuk diselamatkan!" tandas Andika.
"Kau saja yang pergi menyelamatkannya! Biar aku yang membunuh kedua manusia busuk itu!" tolak Nenek Rotan Maut.
"Memang memalukan punya guru seperti kau ini!"
"Ampun! Sekali lagi kau ngomong begitu, ku kepruk kepalamu! Kau yang harus menyelamatkan Ranjani!" Memang tak ada cara lain untuk menyelamatkan Ranjani selain meninggalkan pertarungan ini.
Sejak tadi, Andika memang cemas akan nasib gadis itu. Dia memang harus menyelamatkannya terlebih dulu. Tiba-tiba saja Andika melenting masuk ke dalam, melewati kepala Tri darma dan Penguasa Gunung Mambang sambil mengibaskan kain pusakanya.
Wrrr! Angin bagai satuan topan meluruk ke arah kedua manusia bau tanah itu. Mereka cepat bergulingan.
Dan ketika hendak menyusul Andika, Nenek Rotan Maut sudah berkelebat sambil mengibaskan rotan kecilnya. "Hei, hei! Mau ke mana" Kan masih ada aku di sini"!" sentak si nenek.
Tri darma dan Penguasa Gunung Mambang memicingkan matanya, menatap satu sosok tubuh yang sedang terkekeh.
"Kenapa" Kagum akan kecantikanku?" desis Nenek Rotan Maut terkekeh.
Penguasa Gunung Mambang membuang ludahnya. "Manusia busuk penuh kudis!"
"Setan alas! Berani menghinaku lagi, ku cabut nyawa keparatmu! Hhh! Sebenarnya aku ingin melihat kau mampus di tangan muridku! Tetapi, apa boleh buat" Justru aku yang akan mencabut nyawa busukmu!"
"Rupanya, Nenek Rotan Maut yang berada di hadapanku," desis Tri darma.
"Nah! Kalau sudah tahu, kenapa tidak segera bersujud" Hayo, bersujud! Jangan sampai ku paksa!"
"Keparat! Kau yang harus bersujud di hadapanku!"
"Kurang ajar!" Tiba-tiba saja tubuh Nenek Rotan Maut berkelebat ke arah kedua lawan barunya. Rotan kecil di tangannya mengebut mengeluarkan suara bagai ribuan tawon ngamuk. Hasilnya benar-benar luar biasa Terasa kalau bumi yang dipijak bergetar.
Mengetahui kehebatan lawannya, Tri darma dan Penguasa Gunung Mambang pun mengeluarkan segenap kemampuan untuk mengimbangi.

****

Di kamar Penguasa Gunung Mambang, Pendekar Slebor bergegas mendekati Ranjani. Lalu dialirkannya tenaga dalam dan hawa murni ke tubuh gadis ini yang dirasakannya mulai memanas.
Setelah menuntaskan pengobatannya pada Ranjani, Pendekar Slebor segera memondongnya. Seketika tubuhnya berkelebat melalui dinding yang jebol akibat pertarungannya dengan Penguasa Gunung Mambang. Andika segera membawa tubuh Ranjani yang masih pingsan ke tempat aman.

****

"Hei! Bagaimana dengan muridku!" seru Nenek Rotan Maut begitu melihat Andika sudah kembali. Sambil berkata demikian si nenek menyerang Penguasa Gunung Mambang. Rupanya dia sejak tadi telah berhasil mendesak kedua lawannya. Penguasa Gunung Mambang yang kembali mempergunakan jurus 'Memburu Gunung Mambang' pun harus goyah ketika berkali-kali kakinya tersabet rotan kecil berkekuatan dahsyat milik Nenek Rotan Maut. Sementara meskipun beberapa kali tubuhnya digedor tendangan dan pukulan maut Nenek Rotan Maut, Tri darma masih memperlihatkan kelincahannya.
"Dia sudah aman, Nek! Minggir, aku minta Tri darma untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya atas penghinaan yang dilakukan terhadap eyang buyutku!" ujar Andika, ketika berada di samping Nenek Rotan Maut.
"Terserah mana yang kau pilih! Toh duaduanya akan kubikin mampus!" seru Nenek Rotan Maut. Penguasa Gunung Mambang menjadi pias ketika Nenek Rotan Maut mencecarnya. Kalau tadi saja sudah tidak mampu menahan serangan dari Nenek Rotan Maut bersama Tri darma, apalagi kini sendirian.
Serbuan-serbuan berbahaya yang dilancarkan Nenek Rotan Maut yang sambil terbahak-bahak itu benar-benar membuat lelaki berkalung tengkorak itu harus jatuh bangun. Rotan kecil di tangan si nenek memang bukan senjata sembarangan. Karena setiap kali dikebutkan, tercipta sambaran angin kencang ke arah Penguasa Gunung Mambang.
Di tempat lain Tri darma merasa mendapat angin menghadapi Pendekar Slebor. Amarahnya pun dilampiaskan pada Pendekar Slebor karena tadi sempat didesak Nenek Rotan Maut.
Tetapi, Pendekar Slebor pun sudah dirasuki kemarahannya. Untuk serangan pembuka, Andika tak mau ambil akibat terlalu banyak. Dia memang telah mengenal Tri darma, tapi siapa tahu kesaktiannya telah bertambah.
Pendekar Slebor berkelebat terus untuk memusingkan lawan. Sedang Tri darma sendiri berusaha menyerang pula dengan pukulan 'Sinar Keemasan'.
Namun serangan itu kini tak banyak berarti, karena Andika bergerak laksana kilat.
Tri darma memaki-maki melihat serangannya tak ada yang berhasil. Namun begitu mendapatkan kesempatan, dia langsung menyerbu masuk.
Andika yang sudah merangkum ajian 'Guntur Selaksa' pun segera menyongsong dengan tak kalah hebat. Dagghh...! Benturan tangan bertenaga dahsyat barusan sudah pasti akan mengakibatkan kedahsyatan tak kalah menggiriskan. Tubuh Andika kontan terpental beberapa tombak dengan mulut mengalirkan darah. Tri darma sendiri mengalami akibat yang lebih parah. Tubuhnya sempoyongan kehilangan keseimbangan.
Melihat hal itu, dengan cepat Andika mengempos tubuhnya ke arah Tri darma.
Set! Set! Namun mendadak saja, Pendekar Slebor harus melompat ke samping karena tiga larik sinar berwarna keemasan menghalangi serangannya. Dan kesempatan itu dipergunakan Tri darma untuk meloloskan diri.
"Pendekar Slebor.... Hari ini aku mengaku kalah! Tetapi lain kali, aku akan datang untuk membunuhmu!" Terdengar suara Tri darma dari kejauhan.
Bukannya Andika tak mau mengejar. Mengingat keadaannya sendiri yang cukup parah, membuat langkahnya tertahan.
"Keparat kerempeng! Kau berhasil lolos lagi hari ini! Tetapi, suatu saat kau akan kuremas-remas!" desis Andika hampir tanpa suara. Perhatian Pendekar Slebor beralih pada Nenek Rotan Maut yang tengah mendesak hebat Penguasa Gunung Mambang.
Wajah lelaki tinggi besar itu benar-benar sudah pias. Keringat pun telah mengalir di tubuhnya. Dia benar-benar tak mampu menghadapi Nenek Rotan Maut yang berkelebat bagai setan, dan memiliki tenaga tiga orang raksasa. Pohon-pohon telah tumbang akibat ki-basan rotan kecilnya.
Berkali-kali anggota tubuh lelaki itu terkena sabetan rotan kecil di tangan Nenek Rotan Maut. Akibatnya keadaannya bagaikan mau pingsan. Tubuhnya sudah limbung ke sana kemari dengan keseimbangan semakin hilang. Tenaganya telah terkuras.
"Hhh! Capek aku begini terus! Mampuslah kau!" Tiba-tiba saja Nenek Rotan Maut melemparkan rotannya yang meluncur deras ke arah Penguasa Gunung Mambang. Wusss! Dengan sentakan terkejut Penguasa Gunung Mambang melempar dirinya ke samping. Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi. Bagaikan memiliki mata, rotan itu terus meluncur ke arahnya.
Plok! Plok! Plok!
Pendekar Slebor bertepuk tangan. Bukan sekadar hendak memuji, tapi lebih dari itu dia tengah me-nertawakan Penguasa Gunung Mambang. Paling tidak biar kemarahan lelaki itu meledak. Rasain! Sementara itu Penguasa Gunung Mambang hanya mengeluarkan suara dengusan keras. Dan sesaat kemudian. Cras! "Aaa...!" Terdengar lolongan kematian dari mulut lelaki berkalung tengkorak itu. Kedua matanya melotot lebih lebar, karena rotan milik Nenek Rotan Maut telah menancap tepat di jantungnya. Tubuhnya pun ambruk bersimbah darah.
"Yaaa... kok cuma sebentar saja pertunjukanmu itu?" kata Pendekar Slebor, kecewa. Pendekar Slebor tadi telah mengaliri tenaga dalam ke tubuhnya gu-na mengusir rasa sakit yang dirasakannya akibat berbenturan dengan Tri darma tadi.
Nenek Rotan Maut mendengus, lalu mendekati mayat Penguasa Gunung Mambang. Dicabutnya rotan dari tubuh yang telah kaku itu. Lalu dihapusnya darah yang menempel di ujungnya dengan sikap jijik.
"Hih! Bisa kena penyakit aku!" Pendekar Slebor tertawa-tawa.
"Apa kau bukannya penyakitan, Nek?" usik Andika. "Diam! Di mana muridku itu"!" bentak si nenek.
"Aman, Nek. Dia aman."
"Andika! Ceritakan tentang Tri darma," pinta Nenek Rotan Maut Andika pun bercerita tentang siapa Tri darma.
Sedangkan kedua tangannya, mengepal.
"Kalau hari ini aku gagal lagi membunuhnya, suatu saat dia akan merasakan kematian yang lebih pedih," desis Andika, mengakhiri ceritanya.
"Antar aku ke tempat muridku."
"Beres, beres." Andika membawa Nenek Rotan Maut menemui Ranjani yang disembunyikan di tempat aman Pendekar Slebor berdiri di samping Nenek Rotan Maut. Sementara si nenek mendesah panjang melihat bagaimana Ranjani masih dalam keadaan pingsan. Perempuan bau tanah ini berjongkok sambil menyampirkan kain batiknya ke belakang. Dipegangnya bagian-bagian tubuh Ranjani.
"Hmmm.... Boleh juga cara kau mengobatinya, Bor," puji si nenek.
"Siapa dulu dong orangnya?" tukas Pendekar Slebor, sambil membusungkan dada dan menepak-nepaknya.
Si nenek berdiri. Lalu....
Plak! "Sial! Kenapa kau menampar kepalaku, Nek?" dengus Andika sambil mengusap-usap kepalanya.
"Biar kau tidak sok tahu. Nah! Sekarang ini, urusan Ranjani menjadi urusanmu."
"Mana bisa begitu?"
"Heh"! Apakah kau ingin mampus seperti Penguasa Gunung Mambang?" Andika nyengir.
"Aku terlalu ganteng untuk mati seperti Penguasa Gunung Mambang,"' sahut Pendekar Slebor en-teng. Tangan Nenek Rotan Maut mengeprak kepala Andika. "Dasar urakan! Sok cakep! Apa kau pikir muridku mau denganmu, hah"! Aku akan meninggalkanmu! Tolong beri apa yang diinginkan! Sampaikan salamku padanya!"
"Ya, sudah! Pergi saja Sana. Aku bosan melihat tampang kusut mu!"
"Sialan!" Tubuh Nenek Rotan Maut pun berkelebat lenyap secepat angin.
Andika menghela napas panjang. Ditatapnya wajah Ranjani yang masih terkulai pingsan. Ah, betapa beratnya penderitaan yang dialami gadis ini.
Andika bersyukur, karena telah berhasil menolong Ranjani dari belenggu yang sangat menyiksa. Lalu perlahan-lahan tubuhnya direbahkan di sisi tubuh Ranjani yang masih pingsan. Tiba-tiba, dia merasakan kepenatan luar biasa.
Tanpa terasa, kedua mata Andika pun terpejam. Lalu terdengar dengkurannya yang sempat mengagetkan sepasang kelinci yang tengah bermesraan.
Kebluk juga, itu pendekar!

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Putri Samudera --oo0oo-- Pulau Kera


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.