Life is journey not a destinantion ...

Putri Samudera

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Susuk Ratu Setan --oo0oo-- Lamaran Berdarah



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: PUTRI SAMEDERA

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


--o0{[| 1 |]}0o--

Laut Pantai Selatan bergemuruh. Ombak bergulung-gulung bagaikan pasukan menyerbu pantai.
Menerjang keperkasaan batu karang yang berdiri kokoh menyambut serangan. Tak pernah lelah dan berhenti. Matahari sudah sepenggalah. Sinar keemasannya memancarkan damai, memantul di antara gelombang laut yang besar. Burung-burung camar beterbangan kian kemari meneriakkan kebebasan mereka.
Sebuah perahu pukat berlayar warna hitam yang cukup tinggi merapat di Pantai Selatan tanah Ja-wa. Sementara beberapa orang tampak menunggu sejak subuh tadi. Mereka bersorak begitu perahu pukat itu ditambatkan, di tengah dua perahu kecil lainnya yang memang sejak tadi berada di tepi pantai. Bagaikan menyambut pahlawan yang baru pulang dari medan perang, mereka mengelu-elukan lima orang lakilaki bertelanjang dada yang sedang melompat dari perahu. Angin memang sudah menjadi sahabat kelima pemuda itu. Sudah genap seminggu mereka mengarungi lautan lepas untuk mencari ikan.
Dalam tiga bulan terakhir ini, sudah dua kali angin badai melanda perkampungan nelayan, Desa Banyuasin. Memang tak terlalu banyak menimbulkan kerugian, namun yang pasti perahu-perahu pukat yang ditambatkan banyak yang tergulung dan terseret ombak. Hingga dipermainkan sampai ke laut lepas. Ketika dikirim beberapa orang untuk menyelamatkan perahu-perahu itu, yang ditemukan hanya puing-puing saja. Padahal, tak ada penghasilan lain bagi para nelayan di sana selain mencari ikan. Maka dalam menghadapi keadaan seperti itu, akhirnya disepakati untuk mengirim lima orang pemuda yang bersedia mengarungi laut lepas untuk mencari ikan. Sehingga tak heran para penduduk gembira begitu melihat kelima pemuda itu yang ternyata segar bugar.
"Banyakkah ikan yang bisa didapatkan, Salman?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh delapan tahun. Wajahnya menyiratkan kearifan budi pekertinya. Janggutnya sudah berwarna putih. Ia tersenyum cerah begitu melihat kelima pemuda tadi.
"Alhamdulillah, Ki Surya Agung...," sahut pemuda yang dipanggil Salman, langsung mencium tan- gan lelaki berpakaian putih dengan destar batik itu penuh hormat.
"Bagus. Berarti, Penguasa Samudera sudah berbaik hati lagi kepada kita. Seperti kita ketahui, sudah berminggu-minggu ini hasil tangkapan para nelayan selalu sedikit, karena dikhawatirkan badai besar akan melanda kembali," kata lelaki tua bernama Ki Surya Agung.
Salman mengangguk. Selama lima belas tahun mengarungi samudera lepas untuk mencari ikan, memang baru dalam bulan terakhir ini mendapatkan ikan hanya sedikit. Itu mungkin disebabkan karena peru-bahan gerak air laut yang akhirnya menggiring ikanikan ke kejauhan.
"Adakah rintangan yang kalian alami di laut lepas, Salman?" tanya lelaki bijaksana itu lagi. Wajahnya mencerminkan kegembiraan.
"Kalaupun ada, kami masih bisa mengatasinya, Ki," sahut Salman sopan.
Ki Surya Agung menepuk-nepuk bahu pemuda berkulit hitam akibat sering tersengat sinar matahari.
Lalu ia menyuruh para penduduk untuk menurunkan hasil tangkapan. Empat lelaki yang bersama Salman tadi pun membantu. Para penduduk bersorak gembira begitu melihat hasil tangkapan kelima pemuda itu yang kali ini melimpah ruah.
"Salman! Ada batu karang menempel di buritan perahumu!" Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras dari buritan perahu. Salman langsung berlari, meninggalkan ikan-ikan yang dibawanya ke pantai tadi. Sebagian ce-lananya basah oleh air laut. Pijakan kakinya menimbulkan bekas. Keningnya pun berkerut.
"Batu karang katamu, Badur?" tanya Salman, pada lelaki yang tadi berteriak.
Badur, namanya.
"Kau lihat sendiri. Tapi anehnya, mengapa batu karang itu berwarna keemasan" Apakah secara tidak sengaja kau mendapatkan emas, Salman?" jelas Badur sambil menunjuk ke arah buritan. Salman yang telah melihat apa yang dikatakan Badur kembali mengerutkan keningnya.
Teriakan Badur memancing keingintahuan yang lain. Namun, Ki Surya Agung segera merentangkan kedua tangannya, mencegah.
"Biar Salman membawanya kemari." Sementara. kini Salman sedang berusaha menarik batu karang berwarna emas yang berkilatkilat indah diterpa matahari pagi. Namun bagaikan terpatri, batu karang itu menempel kuat di buritan perahunya. Pemuda berusia dua puluh delapan tahun itu menjadi kesal. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk mencabut. Giginya beradu dengan mata menyipit saat mencoba melepaskan batu karang keemasan itu.
"Gila! Mengapa susah sekali untuk melepaskannya?" desisnya. "Badur! Sabar! Bantu aku men-cabutnya!" Setelah memakan waktu sepeminum teh, akhirnya batu karang keemasan itu berhasil dilepas.
Salman menatap tak percaya begitu melihat batu karang itu semakin memancarkan sinar keemasannya.
Besarnya seperti buah kelapa.
Si pemuda berbadan kokoh ini mengerutkan keningnya dengan mata tak lepas dari batu karang.
"Badur! Jangan-jangan yang kau katakan ini benar. Secara tidak sengaja, aku telah mendapatkan sebongkah emas," desis Salman.
Ki Surya Agung mengangkat tangannya, mengisyaratkan pada Salman untuk membawa batu karang keemasan itu. Segera terbentuk lingkaran manusia, ketika Salman membawa batu itu ke hadapan Ki Surya Agung. Si lelaki tua dan si pemuda tak ubahnya tukang obat yang mempertontonkan benda aneh. Sementara para penonton memandang kagum sekaligus tak percaya. "Aku tak yakin ini bongkahan emas. Tetapi untuk membuktikannya, batu karang ini harus dipecah sedikit," kata Ki Surya Agung yang sebenarnya adalah Kepala Desa Banyuasin. Maka tak heran kalau kata-katanya selalu dituruti para penduduk.
Salman mencabut golok yang selalu terselip di pinggangnya. Diletakkannya batu karang keemasan itu di pasir pantai. Sedangkan orang-orang semakin tak sabar untuk melihat apa yang terjadi.
Si pemuda bertubuh kokoh ini mengangkat tangannya setelah melihat Ki Surya Agung menganggukkan kepalanya. Lalu....
Crok! Pinggiran batu karang keemasan yang ditebas golok Salman tidak pecah. Bahkan golok itu menjadi sempal di tengahnya. Orang-orang terperanjat. Salman sendiri sampai melepas goloknya, begitu merasakan panas menyengat Suara bergumam bagai ribuan lebah terdengar dari mulut para penduduk yang menjadi ribut melihat keanehan itu. Sementara Salman mengibas-ngibaskan tangannya yang masih terasa sedikit panas. Hanya Ki Surya Agung yang mengerutkan keningnya, seperti sedang berpikir keras.
Tiba-tiba.... "Salman! Lempar kembali batu karang itu ke lautan!" sentak Ki Surya Agung.
Namun, terlambat. Sesuatu yang dahsyat telah terjadi. Tiba-tiba saja batu karang keemasan itu semakin memancarkan cahaya keemasan, membuat orangorang di sana terperangah. Namun belum lagi menyadari apa yang terjadi, mendadak saja....
"Aaa."!" Terdengar jeritan saling susul, disusul terjengkangnya tubuh para penduduk satu persatu.
Puluhan pasang mata yang sejak tadi memperhatikan batu karang itu kontan pecah mengeluarkan darah, ketika terhantam sinar keemasan itu.
Ki Surya Agung bergerak cepat. Tubuhnya menerobos, menyambar batu karang itu. Namun...
"Aaakh!" Si lelaki tua menjerit keras, merasakan panas menyengat yang menyambar kedua tangannya. Wajahnya menjadi pias dengan sepasang mata melotot tajam.
Tangannya berusaha digerakkan untuk mele-paskan batu karang. Namun semakin berusaha, semakin kuat batu karang itu melekat di tangannya.
"Pergi kalian dari sini! Tinggalkan tempat itu! Aku pernah mendengar cerita tentang batu karang emas milik Eyang Dewi Samudera beserta kutukannya.
Bila ada yang melihatnya, semua akan mati! Maka, cepat kalian.... Aaakh...!" Lelaki perkasa itu menjerit keras ketika sepasang matanya tersambar sinar yang sangat terang. Je-ritannya terdengar setinggi langit. Sepasang matanya bagaikan pecah dan langsung mengeluarkan darah.
Tubuhnya terpelanting, bergulingan menahan rasa sakit luar biasa. Sementara Batu karang keemasan itu terus melekat di tangannya.
Orang-orang yang masih terbebas dari sinar keemasan batu karang berlarian tunggang-langgang disertai teriakan-teriakan keras. Namun tiba-tiba saja bagai dihantam tenaga gaib, mereka semua tersuruk ke depan dengan jeritan menyayat. Nyawa mereka melayang saat itu juga.
Salman sendiri berusaha melepaskan batu karang itu dari tangan Ki Surya Agung. Namun akhirnya tangannya sendiri tak bisa dilepaskan. Kedua bola matanya sudah mencelat keluar dari rongganya, dan mengalirkan darah.
Suasana kalang kabut terus berlangsung.
Orang-orang semakin serabutan dan semakin terdengar teriakan keras, disusul tubuh-tubuh yang jatuh tersungkur. Ketika sinar keemasan dari batu karang itu menghantam, punggung mereka kontan bolong mengepulkan asap.
Sementara itu, orang-orang yang matanya mencelat keluar pun perlahan-lahan mulai tak bergerak la-gi setelah tadi melayanglayang. Dari seluruh pori-pori tampak darah merembes. Dan bagai ada kata sepakat, mereka mati bersama. Hal yang sama pun dialami Ki Surya Agung dan Salman.
Sebentar saja, tak seorang pun yang hidup. Kegembiraan mereka punah ditelan kengerian menggiriskan. Batu karang keemasan yang tadi sukar dilepaskan Ki Surya Agung dan Salman, tiba-tiba saja bergulir. Sinar yang dipancarkannya semakin menerangi sekitar pantai itu. Lalu....
Blamm...! Tiba-tiba terdengar dentuman yang berasal dari laut yang berjarak lima puluh tombak dari pantai.
Byurrr! Air membuyar membentuk kelompok dan menyebar ke segala arah. Saat itu juga ombak bergulung semakin membesar. Begitu air berjatuhan, di atas ombak telah berdiri seorang gadis cantik bukan main.
Begitu cantiknya, sehingga hanya bisa dikalahkan oleh para bidadari. Si gadis berpakaian jingga, terbelah hingga ke pangkal paha. Kedua bahunya yang mulus terbuka. Rambutnya panjang hingga ke ping-gang.
Ombak tempat gadis itu berdiri, terus memburu ke pantai. Dan bagaikan terbang, si gadis melayang dari ombak ke pasir pantai.
Wajah gadis ini yang jelita menyeringai. Sepasang matanya begitu tajam bak sembilu bermata dua.
Di kepalanya bertengger sebuah mahkota bersusun tiga, dihiasi butiran permata indah yang berkilat-kilat diterpa matahari pagi.
"Secara tak sengaja, kalian telah membangunkan aku dari alam gelap di dasar samudera. Dari hawa murni kalian yang tersedot Mustika Karang Emas, telah menambah kekuatanku untuk hidup lagi di dunia nyata!" seru si gadis dingin.
Dan mendadak si gadis terbahak-bahak setinggi langit, membahana ke seantero pantai. Deretan pohon nyiur yang ada di sana kontan tumbang pada bagian tengah. Pasir pantai beterbangan terbawa tawanya. "Eyang Dewi..., aku telah sampai di alam nyata ini!" Lalu si gadis berbaju jingga itu memungut batu karang keemasan yang telah membunuh puluhan orang di pantai. Bibirnya tersenyum dengan kedua ma-ta tajam bersinar menggiriskan. "Mustika Karang Emas yang dikendalikan tenaga dalamku ini membuktikan betapa hebatnya tenaga dalam yang kumiliki!" suaranya keras menggelegar.
"Akulah Putri Samudera yang akan menguasai dunia ini!" Plas! Setelah berkata begitu, bagai ditelan bumi dan dihembus angin prahara, gadis jelita yang menyebut dirinya Putri Samudera lenyap dari pandangan.

****

--o0{[| 2 |]}0o--

Waktu terus bergulir. Dan senja pun datang.
Matahari membiaskan garis-garis merahnya di permadani langit, menyisakan kelembutan di persada.
Seorang pemuda yang baru tiba di pantai Desa Banyuasin mengerutkan kening melihat mayat-mayat bergeletakan. Rambutnya yang gondrong menjadi tidak teratur dipermainkan angin nakal yang ber-hembus dingin. Pakaiannya yang berwarna hijau pupus dengan kain bercorak caturnya di bahu pun tak luput dari angin nakal itu. "Astaga! Kompak sekali mereka" Mati kok bareng-bareng?" desisnya tanpa maksud bercanda. Kening masih berkerut saat memperhatikan mayat-mayat itu satu persatu. "Gila, dada mereka bolong dengan jantung hangus. Dan yang ini.... Oh, Gusti! Mata mereka bagaikan pecah tanpa bola mata! Monyet pitak! Apa yang telah terjadi?" Si pemuda yang memiliki pancaran mata dan alis bagai kepakan elang menggeleng-geleng kepala dengan mulut berdecak penuh penyesalan. Dia masih berlutut memeriksa mayat-mayat itu.
"Apakah ada seseorang atau puluhan orang yang telah mengamuk dan membunuhi mereka" Hm....
Bila melihat isi perahu pukat itu, sepertinya ada di antara mereka yang baru saja mencari ikan. Dan bila melihat tubuh-tubuh yang sudah dingin ini, aku yakin..., paling tidak peristiwa pembunuhan ini terjadi pagi ta-di...."
"Hhh! Di senja yang indah ini, rupanya ada manusia berhati iblis!" Gumaman si pemuda terpenggal oleh sebuah bentakan di belakangnya. Cepat kepalanya menoleh seraya berdiri. Tampak kini seorang gadis kira-kira berusia delapan belas tahun sedang menatap tajam kepadanya. Begitu dingin sekali.
Si pemuda tampan ini bergerak menghampiri dengan langkah satu-satu. Dan dia berhenti setelah berjarak tiga tombak di depan gadis itu. Bukannya hendak marah lantaran bentakan itu. Bukan. Si pemuda cuma ingin menikmati wajah cantik di depannya. "Kau bicara padaku, Neng" Kalau iya, sumpah mampus biar disambar capung aku bukan pela- kunya...," sahut pemuda itu, enteng.
"Mana ada maling mengaku maling! Mana ada pembunuh yang mengakui perbuatannya! Pemuda keparat! Tangan celaka mu telah menimbulkan dosa yang tak bisa diampuni!" bentak gadis berpakaian putih dengan sulaman benang perak di sisi kanan dan ki-ri pakaiannya. Kedua tangan gadis itu siap mencabut sepasang pedang yang bersilang di punggungnya "Sabar..., sabar..., orang tak sabar temannya setan. Makanannya ketan. Rumahnya di wetan. Pacarnya orang utan, ha ha ha.... Eh, maaf. Terus terang, aku baru saja tiba di tempat ini. Begitu tiba, semua pemandangan mengerikan ini sudah terjadi," kilah si pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor, setelah ngoceh tak karuan.
"Pandai bicara! Biasanya hanya orang licik yang pandai bicara! Mampuslah kau!" Gadis berkucir ekor kuda itu segera bergerak cepat. Sepasang pedangnya di tangan kanan dan kiri mengibas ke arah Andika. Namun dengan enak dan entengnya, Pendekar Slebor berlompatan ke sana kemari menghindari sambaran sepasang pedang itu.
"Wah..., ini sih salah paham. Kalau tak cepat dihentikan, bisa-bisa aku yang repot sendiri...," gumam si pemuda sambil menghindar dengan kecepatan melebihi gerakan pedang gadis berbaju putih itu.
Gadis yang menyangka kalau pemuda itulah pelaku pembunuhan itu semakin mempergencar serangannya. Kali ini sepasang pedangnya berkelebat lebih dahsyat dari semula.
Angin keras menderu-deru terdengar, seolah mampu membuat jantung putus.
Namun dengan kelincahannya yang begitu dahsyat, si pemuda mampu menghindarinya. Dan mendadak, Pendekar Slebor melompat ke belakang, mengambil jarak. Wajah yang semula cerah berubah geram bukan main.
"Nona! Aku bisa saja membuatmu tak berkutik.
Tapi sekali lagi, ini hanya salah paham," tegas si pemuda yang lama-kelamaan menjadi jengkel.
"Justru aku ingin melihat kehebatan manusia picik dan pengecut sepertimu!" geram si gadis, kembali melancarkan serangan.
"Astaga! Benar-benar kepala batu! Kalau begini terus menerus, waktuku bakalan habis. Dalam keadaan seperti ini, sudah tentu dia tak akan mau mendengarkan kata-kataku." Sehabis berpikir begitu, si pemuda mendadak saja membuat gerakan cepat laksana kilat. Pada saat yang sama, sepasang pedang di gadis meluruk ke arahnya dengan sentakan kuat.
Mendadak saja kedua tangan Pendekar Slebor yang bersilang di dada tadi bergerak menyilang. Jari telunjuk yang dijadikan satu dengan jari tengah, menotok kedua pergelangan tangan si gadis.
Tuk! Tuk! Secepat itu pula Andika menyambar kedua pedang gadis itu.
Tap! Tap! Si gadis melompat mundur dengan wajah geram. "Keparat! Kembalikan pedang-pedangku! Kau harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatanmu!" dengus si gadis muda marah bukan main Andika tersenyum.
"Dengar, Nona. Mau percaya syukur, tak percaya yang sudah. Sekali lagi kukatakan, aku tak tahu-menahu soal kematian orangorang ini. Aku baru saja datang, ketika kau datang. Atau..., sebelumnya kau salah makan obat?"
"Sialan! Kalau memang bukan kau yang melakukannya, apa yang bisa kau jelaskan tentang semua ini, Pemuda Keparat"!" Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dalam hati dia memuji kecantikan gadis ini. Tetapi sikapnya membuat si pemuda menjadi jengkel.
"Kau mungkin perlu selembar bulu ayam untuk mengorek kuping mu, Neng. Aku harus bilang berapa kali, sih?" tukas Andika, enteng.
Si gadis mendengus.
"Kalau kau berdusta, sampai kapan pun aku akan mencarimu! Kembalikan kedua pedangku!" Pendekar Slebor melemparkan kedua pedang yang tadi dirampasnya. Cepat gadis itu menangkap dan memasukannya kembali ke warangka yang berjuntai benang perak di punggung.
Lalu si gadis bergerak ke sana kemari mengumpulkan mayat-mayat yang berserakan. Sementara Andika hanya memperhatikannya saja.
"Jangan bengong saja! Bantu aku menguburkan mayat-mayat ini!" Andika tersentak ketika mendengar bentakan si gadis. Seperti baru sadar, kedua alisnya diangkat.
"Kutu monyet! Galak benar sih, gadis ini!" gumam Pendekar Slebor, mangkel.

****

Malam makin larut. Angin pantai semakin berhembus dingin. Pohon nyiur melambai-lambai bagai tarian gadis-gadis cantik. Pekerjaan menguburkan mayat-mayat itu akhirnya selesai. Kini Andika dan gadis galak itu terduduk di pasir pantai dengan kedua kaki ditekuk. Tak ada yang berbicara, kecuali angin pantai yang mempermainkan seluruh tubuh mereka.
"Aku ingin tahu siapa yang melakukan tindakan keji ini," cetus si gadis memecah kesunyian tanpa menoleh.
"Aku akan menyeretnya untuk mempertanggungjawabkan segala tindakan busuknya ini," sahut Andika dengan sikap sama.
"Siapa namamu?" tanya gadis itu.
Pendekar Slebor menoleh pada si gadis yang sedang menatap gundukan tanah besar yang berisi mayat-mayat tadi. Keningnya berkerut.
"Untuk apa kau tahu namaku" Bukankah kau masih menyangka aku yang melakukan tindakan ini?" tukas Andika. "Bodoh! Kalau aku tetap pada dugaan seperti itu, kau sudah menjadi mayat tahu!" Si pemuda tersenyum mendengar kata-kata melecehkan dari gadis itu.
"Namaku Andika. Kau sendiri?"
"Namaku Raras." Andika mengangkat kedua alisnya tak mengerti. Heran juga melihat sikap gadis yang bernama Raras yang cukup membingungkannya. Dan ia semakin bingung melihat Raras menghela napas panjang, bagai merisaukan satu hal.
"Kenapa denganmu, Raras?" tanya Andika hati-hati. "Ada masalah yang merisaukan mu?" Raras menganggukkan kepalanya.
"Kalau boleh aku tahu, aku bersedia mendengarkannya." Raras mendesah panjang.
"Andika.... Aku baru saja turun gunung. Guruku berjuluk Dewa Pedang yang mendiami Bukit Pedang. Aku sendiri tidak tahu, siapa nama Guru sebenarnya. Hampir tujuh tahun aku hidup bersamanya.
Aku diajarkan bermacam ilmu olah kanuragan yang sangat hebat. Dua minggu yang lalu, Guru memanggilku. Aku diperintah untuk datang ke Kesultanan Laut Selatan yang dikuasai Sultan Mangkunegoro. Menurut guruku, saat ini Kesultanan Laut Selatan sedang diintai bahaya. Tetapi, guruku sendiri tidak tahu bahaya apa. Maka aku diharuskan untuk memberitahukan semua itu pada Sultan Mangkunegoro. Sekaligus, untuk membantunya."
"Lalu, apa yang merisaukan mu" Bukankah jarak Kesultanan Laut Selatan dari tempat ini hanya membutuhkan waktu dua hari?" tanya Andika.
"Benar. Tetapi yang merisaukan ku, bagaimana caranya aku bisa membantu Kesultanan Laut Selatan dari intaian maut, sementara menghadapimu saja aku tidak mampu?" Andika mendesah pendek. Rupanya itu masalah yang merisaukan Raras.
"Hei, kau tak perlu risau. Jujur saja, aku tahu kau belum mengeluarkan segenap ilmu yang kau miliki. Dalam dua gebrak selanjutnya, bisa dipastikan kepala ku akan berpisah selama-lamanya dari tubuhku," hibur Pendekar Slebor.
Raras tersenyum sedih.
"Aku tahu kau cuma menghibur. Justru aku sudah mengeluarkan segenap kemampuanku," desah si gadis.
Selain bingung dengan sifat gadis ini, Andika tahu kalau Raras sangat perasa. Tanpa sadar tangannya merangkul bahu Raras. Dan gadis itu diam saja.
"Bila kau rajin berlatih, dalam waktu satu tahun, pasti akan mampu mengalahkan aku, Raras." Raras terdiam. Diamnya Raras justru membuat Andika semakin tak enak "Aku suka padamu, Andika," kata Raras tiba-tiba. "Sifatmu yang kelihatan urakan, ternyata masih memiliki hati bersih. Sudahlah.... Aku harus segera ke Kesultanan Laut Selatan sebelum terlambat. Andika...
Maukah kau ikut bersamaku untuk membantu Kesultanan Laut Selatan dari bahaya?" Andika tak mengangguk, tak pula menggeleng.
"Aku masih ingin menghabiskan malam di sini," kata Andika. Raras hanya mengangguk saja. Lalu si gadis bangkit. Dan tanpa berkata apa-apa, tubuhnya sudah berkelebat cepat.
Sepeninggal Raras, Andika mendesah pendek.
Apa yang sebenarnya akan menimpa Kesultanan Laut Selatan" Kematian mayat-mayat itu saja masih membingungkannya. Andika bermaksud untuk mengetahui apa yang telah menimpa para penduduk di sini. Juga, bermaksud untuk membantu Raras menyelamatkan Kesultanan Laut Selatan dari bahaya yang belum diketahuinya. Tetapi, Pendekar Slebor harus menunggu saat yang tepat.

****

--o0{[| 3 |]}0o--

Kesultanan Laut Selatan pada masa ini cukup dikenal namanya. Berkumandang di seluruh pulau Jawa dan Sumatra berkat pimpinan Sultan Mangkunegoro yang merupakan keturunan ketiga dari Sultan Laut Selatan. Sikapnya yang arif dan penuh kebijaksa-naan dalam membangun wilayah Kesultanan Laut Selatan, membuat rakyat sangat menghormati sekaligus mengagungkannya.
Pagi sudah cukup tua. Namun suasana tampaknya cerah. Cocok sekali untuk istirahat di taman keputren. Dan itu yang dilakukan Sultan Mangkunegoro. Bibirnya tersenyum-senyum melihat beberapa selir sedang berenang-renang di kolam berbentuk persegi panjang sambil tertawa bersenda gurau. Di sudut kolam ada dua patung kecil yang menggambarkan sepasang kekasih sedang memadu asmara.
Di kursi yang mirip singgasana Sultan Mangkunegoro duduk. Di hadapannya terdapat meja kecil berlapiskan kain beludru berwarna keemasan. Di atasnya terdapat minuman segar dan buah-buahan.
Dan senyum Sultan Mangkunegoro mendadak lenyap, ketika ada sesuatu yang menyentak perasaannya. Dia mencoba menyingkirkan ganjalan di benaknya dengan memandangi selir-selirnya yang bercengkerama di kolam, tapi tetap saja tak mampu. Berkali-kali terdengar desahannya yang pelan. Dua orang selir yang menemaninya tak berani berkata apaapa. Mereka terus memijiti tangan dan kaki Sultan Mangkunegoro. "Ah! Aku harus membicarakan semua ini pada para patih dan sesepuh Kesultanan Laut Selatan," desahnya perlahan, hampir tanpa suara. "Barangkali mereka bisa menemukan apa arti mimpi ku semalam." Lalu perlahan-lahan lelaki gagah berusia enam puluh delapan tahun itu bangkit. Bibirnya tersenyum pada kedua selirnya yang segera menyisih.
"Kalian bersenang-senanglah dulu," ujar Sultan Mangkunegoro dengan senyum penuh kearifan. Dengan langkah mengesankan kegagahannya, Sultan Mangkunegoro melangkah meninggalkan keputren. Pakaian panjangnya yang terbuat dari sutera mahal dengan tarikan benang emas di seluruh bagian nya, menjuntai hingga ke lantai.

****

Sultan Mangkunegoro telah mengumpulkan para pejabat Kesultanan Laut Selatan di balairung istana.
Dengan matanya, dia menyapu para bawahannya yang duduk bersimpuh di hadapannya. Paling dekat dengannya adalah seorang lelaki berusia enam puluh tahun. Sikapnya gagah penuh wibawa. Sebilah pedang bersarung dan berhulu emas tersampir di pinggangnya. Namanya, Ki Patih Darmomulyo.
Di sebelah Ki Patih Darmomulyo, duduk seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun yang men-jabat Panglima Tinggi Kesultanan Laut Selatan. Pakaiannya panjang berwarna hitam dengan ikat pinggang warna keemasan. Sehingga menambah keperkasaannya. Namanya Mahesa Dewa. Di balik pinggangnya, terselip sepasang trisula berhulu kayu cendana.
Di sebelah Panglima Tinggi Mahesa Dewa duduk seorang lelaki tua yang usianya melebihi Sultan Mangkunegoro. Pakaiannya panjang berwarna putih.
Di dadanya terdapat sulaman warna biru bergambar tasbih. Kumis dan jenggot yang lebat telah memutih.
Kepalanya terbungkus sorban yang rapi sekali. Di tangannya terdapat tasbih warna putih pula yang lebih besar ukurannya dari tasbih biasa. Namanya, Empu Kamiaga. Dia dikenal sebagai penasihat Sultan Mangkunegoro. Kehadiran tiga orang bawahannya yang sangat dipercayai, membuat Sultan Mangkunegoro semakin mantap untuk membicarakan mimpinya semalam.
"Tak biasanya aku memanggil kalian pagi ini, bukan?" kata Sultan Mangkunegoro memulai katakatanya. "Semua ini dikarenakan, ada masalah yang menggangguku." Tak ada yang bersuara. Semuanya mendengarkan penuh seksama.
"Mimpi yang ku alami sangat mengerikan. Tibatiba saja matahari bagai lenyap dari peredarannya, pa-dahal saat itu siang hari.
Seluruh alam gelap gulita, termasuk Kesultanan Laut Selatan. Tak ada alat penerangan yang bisa bekerja. Kekalutan menggema di sana-sini. Lalu sayup-sayup terdengar teriakan burung prenyak yang ramai. Ketika ku kuakkan jendela, samar kulihat burung prenyak berbondong-bondong mengitari Kesultanan Laut Selatan. Bahkan...." Sultan Mangkunegoro menggantung kata-katanya. Sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Sementara yang lain menanti kelanjutannya dengan penuh penasaran. "Dinding-dinding Kesultanan Laut Selatan mendadak saja roboh perlahan, menimbulkan suara mengerikan. Aku melihat para selir sudah menjadi mayat dengan luka mengerikan di dada. Dalam kegelapan itulah, mendadak saja aku melihat sebuah cahaya bagai sinar emas. Dari cahaya itu, mendadak saja keluar satu sosok tubuh yang begitu cantik sekali. Di kepalanya ada mahkota bersusun tiga. Aku tak sempat bertanya, karena wanita berparas rupawan itu sudah mencekik leherku. Aku berteriak sekuat tenaga, namun tak ada yang mampu menolongku. Sebelum aku menemui ajal, tiba-tiba saja aku terbangun. Mimpi itu pun lenyap. Nah! Karena mimpi yang mengerikan itulah aku memanggil kalian untuk menafsirkannya," pa-par Sultan Mangkunegoro.
Tak ada yang segera menyahut. Terus terang, di hati masing-masing sudah tersirat kalau bahaya akan datang menimpa Kesultanan Laut Selatan. Namun, tak ada yang ingin mengungkapkannya.
"Yang Agung, tak ada tersirat apa pun dalam mimpi Sultan. Itu hanya bunga tidur saja," kata Empu Karniaga, setelah dicekam suasana sunyi. "Tetapi, aku begitu merasakannya," tegas Sultan Mangkunegoro.
"Maafkan hamba, Yang Agung. Itu dikarenakan Yang Agung memikirkan semuanya. Menurut hamba, itu hanyalah bunga tidur saja."
"Bagaimana dengan kau, Ki Patih?" tanya Sultan Mangkunegoro. Wajahnya masih memperlihatkan ketidakpuasannya atas jawaban Empu Karniaga.
Ki Patih Darmomulyo mengatupkan kedua tangannya di dada.
"Sesungguhnya, Sultan lebih penuh pengertian daripada hamba. Empu Karniaga, memiliki pengalaman lebih dari hamba. Dan hamba pun sependapat dengannya, Yang Agung. Kalau mimpi yang telah mengganggu tidur Yang Agung, hanyalah bunga tidur saja," jawab lelaki tua ini.
Perhatian Sultan Mangkunegoro beralih pada Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Apakah kau hendak mengatakan hal yang sama, Panglima?" Panglima Tinggi Mahesa Dewa mengerti kalau kedua kawannya seakan menutupi kejadian yang sebenarnya. Makanya dia sedikit tercekat ketika di tanya.
Tetapi, kepalanya pun mengangguk "Begitu pula pendapat hamba, Yang Agung." Sultan Mangkunegoro bersandar. Tangannya mengusap-usap dagunya. Jelas sekali pendapat ketiga bawahannya yang setia ini masih diragukan.
"Bila kalian sepakat seperti itu, aku tak akan memikirkannya lagi. Aku tidak tahu, apakah kalian berkata sungguh-sungguh atau hanya menghibur ku saja. Sekarang, kembalilah ke tempat masing-masing," ujar Sultan Mangkunegoro, akhirnya.
Penguasa Kesultanan Laut Selatan ini pun bangkit dari duduknya. Seketika ketiga bawahannya yang setia berdiri dan mengiringinya di belakang.
Setelah Sultan Mangkunegoro masuk ke peraduannya, Empu Karniaga meminta kepada Ki Patih Darmomulyo dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa untuk berkumpul di kediamannya, di belakang Istana Kesultanan Laut Selatan.
"Aku berterima kasih kepada kalian, karena secara tidak langsung kalian mendukung pendapatku.
Aku yakin, sebenarnya kalian juga memikirkan hal yang sama denganku. Hmm..., Kesultanan Laut Selatan dalam bahaya," kata Empu Karniaga, ketika mereka telah berkumpul di ruang tamu. "Kau betul, Empu," sahut Ki Patih Darmomulyo. "Pendapat yang kau kemukakan itu memang betul. Kebohongan kita justru untuk kepentingan Yang Agung sendiri."
"Maafkan aku, Empu," ucap Panglima Tinggi Mahesa Dewa. "Nampaknya kabut memang akan menutup Kesultanan Laut Selatan. Mungkin darah akan bersimbah, meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi, dan siapa yang melakukannya. Namun, aku akan lebih memperketat penjagaan di Kesultanan Laut Selatan. Terutama, kesiagaan untuk menyelamatkan Yang Agung Sultan Mangkunegoro dan Yang Mulia Sri Dewi Rajasi."
"Kalau soal ilmu perang, mungkin ilmuku tak sebanding denganmu, Panglima," kata Empu Karniaga merendah. "Namun kuminta, kirimkan beberapa perwira dan prajurit untuk menyelidiki sekitar Kesultanan Laut Selatan. Bahkan melangkah sampai ke empat penjuru. Dan kau, Ki Patih. Bukannya mengenyampingkan kehebatanmu. Namun kuminta mulai sekarang, di mana pun Sultan Mangkunegoro berada, kau harus selalu mendampinginya."
"Baik, Empu."
"Satu hal yang penting, sebagai tonggak dari Kesultanan Laut Selatan ini, kita bertiga harus beru-paya sekuat tenaga untuk menyelamatkannya. Terutama, keselamatan Sultan Mangkunegoro dan Sri Ratu." Semuanya terdiam. Hati mereka bertanya-tanya tak enak. Benarkah apa yang mereka duga ini" Ataukah, mimpi yang dialami Sultan Mangkunegoro hanyalah bunga tidur belaka" Dan sebelum ada yang berkata lagi....
"Aku datang untuk melaporkan sesuatu pada Sultan Mangkunegoro!" Terdengar teriakan dan suara ribut-ribut dari halaman Kesultanan Laut Selatan.

****

Empu Karniaga mendesah pendek ketika bersama dua kawannya tiba di halaman depan istana.
"Panglima, kau tengok siapa yang datang. Ki Patih, kau jaga Sultan Mangkunegoro. Katakan, segala sesuatunya aman. Tinggalkan aku di sini. Karena..., ada sesuatu yang samar di otakku. Dan aku ingin mendapatkan kejelasannya," ujarnya.
Kedua orang yang mempunyai kedudukan tinggi di Kesultanan Laut Selatan itu mengangguk. Tak ada yang membantah. Mereka saling menghormati satu sama lain. Panglima Tinggi Mahesa Dewa melihat seorang gadis sedang melancarkan serangan pada lima orang prajurit bertombak yang mengurungnya. Dalam sekali lihat saja, bisa diketahui kalau gadis itu memiliki ilmu cukup lumayan. Karena dalam gebrakan berikutnya, kelima prajurit itu berpentalan.
Ketika gadis itu hinggap di tanah dengan ringan, Panglima Tinggi mencelat ke depan. Beberapa orang prajurit yang tadi siap menyerang langsung mundur lima tindak.
"Hup!" Kini lelaki ini berada dalam jarak dua tombak dengan gadis berbaju putih yang sedang mengatur nafasnya. "Nona..., tak ada angin tak ada hujan, kau telah menurunkan tangan di halaman Kesultanan Laut Selatan," desis Panglima Tinggi Mahesa Dewa "Siapa yang berani bilang begitu, hah"! Apakah salah, seorang gadis sepertiku ini datang untuk menghadap Yang Agung Sultan Mangkunegoro. Para prajurit brengsek ini saja yang main tangkap saja! Atau, kalian sebenarnya memang terdiri dari orang-orang kejam"!" bentak si gadis yang tak lain Raras, dengan nada sewot. Panglima Tinggi Mahesa Dewa tersenyum. Dia tahu, gadis ini tidak sabar. Dan itu dapat dimakluminya. "Nona.... Namaku Mahesa Dewa. Aku adalah Panglima Tinggi di Kesultanan Laut Selatan."
"Hhh" Percuma mempunyai jabatan seperti itu, kalau tak becus mengurus. anak buahmu yang brengsek ini!" Wajah Panglima Tinggi Mahesa Dewa memerah mendengarnya. Hatinya sudah panas sekali. Tetapi, bibirnya tetap tersenyum.
"Maafkan mereka, Nona. Sekarang, katakan apa yang hendak kau sampaikan kepada Sultan Mangkunegoro." Sambil berkata begitu, dalam hati Panglima Tinggi Mahesa Dewa berpikir kalau melihat cara berpakaiannya, jelas gadis ini dari kalangan persilatan.
Hmm... Apakah yang hendak disampaikannya ini ada hubungannya dengan apa yang dibicarakan tadi"
"Aku tak akan mengatakannya bila tidak berhadapan dengan Yang Agung sendiri," tandas Raras.
"Soal itu mudah kita bicarakan, Nona...."
"Raras."
"Begini, Raras.... Segala sesuatunya ada tata krama yang harus dijalani. Bukan main tabrak saja..," jelas Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Siapa suruh mereka menghadangku?" potong Raras sewot "Bisakah kita membicarakannya berdua lebih dulu, apa yang hendak Nona sampaikan kepada Yang Agung Sultan Mangkunegoro?"
"Dan kau bermaksud untuk menjebakku, bukan?" Kembali wajah Panglima Tinggi Mahesa Dewa memerah. Ini benar-benar keterlaluan. Tetapi, hatinya tetap bersabar.
"Nona. Harga diriku lebih tinggi untuk melakukan hal-hal yang pengecut. Nona bisa mempercayai ku.... Silakan...." Raras memperhatikan dengan mata menyelidik.
Para prajurit yang sudah siap mengurungnya tadi menurunkan senjata yang dipegang. Setelah menimbang beberapa saat, Raras pun mengangguk.
Gadis ini lantas diajak ke sebuah ruangan yang terdapat di sisi barat Kesultanan. Ruangan itu cukup besar. Beralaskan permadani merah. "Katakan, Nona.... Apa yang hendak disampaikan...," ujar Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Sudah kukatakan, aku hendak mengatakannya pada Sultan Mangkunegoro. Begitu guruku memerintahku." Kali ini kening Panglima Tinggi Mahesa Dewa berkerut. "Gurumu" Siapakah beliau?" Melihat kesabaran dan kesopanan yang diperlihatkan Panglima Tinggi Mahesa Dewa, kelakuan Raras mulai mencair. "Guruku berjuluk Dewa Pedang," sahut gadis itu.
Raras terkejut ketika melihat Panglima Tinggi Mahesa Dewa terbahak-bahak.
"Aha. Apa kabar beliau, Raras" Apakah dia sehat-sehat saja" Tak pernah kusangka kalau Dewa Pedang mempunyai murid. Cantik Ayu. Gesit. Dan hebat." Raras mendesah pendek. Secara tidak langsung dia tahu kalau Panglima Tinggi Mahesa Dewa mengenal gurunya.
"Raras.... Sekarang, ceritakan apa yang hendak kau sampaikan. Beliau menitip apa kepadamu?" Kali ini sikap Raras benar-benar tenang. Lalu diceritakannya apa yang hendak disampaikannya. Sejak pertama kali Raras bercerita, kening Panglima Tinggi Mahesa Dewa selalu berkerut. Setelah akhir dari cerita Raras, terdengar helaan nafasnya.
"Rupanya apa yang tengah kami bicarakan memang akan terjadi," katanya pelan.
Lalu karena Raras orang sendiri, apalagi mengetahui gadis itu murid dari sahabatnya, Panglima Tinggi Mahesa Dewa pun menceritakan apa yang baru saja dibicarakan.
"Raras.... Dengan kehadiranmu ini..., jelas sudah kalau Kesultanan tengah diintai awan gelap.
Hm.... Sebaiknya kau menetaplah di sini. Bukankah tadi kau mengatakan kalau hendak membantu?" kata Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
Raras mengangguk "Sebaiknya kau beristirahat dulu," ujar Panglima Tinggi Mahesa Dewa. Lalu lelaki ini menyuruh dua orang emban untuk menyiapkan kamar.

****

--o0{[| 4 |]}0o--

Angin laut menderu-deru membawa ombak bergulung-gulung. Andika alias Pendekar Slebor menghela napas panjang. Telah seharian mayat-mayat yang bergeletakan dikuburkannya. Dia masih terus menguak tabir apa yang terjadi, sehingga banyak manusia yang menjadi mayat Andika duduk menekuk kedua lutut di atas pasir, agak jauh dari pantai. Di sebelah timur tak jauh darinya terlihat beberapa buah gundukan tanah. Matahari masih sepenggalah. Sinarnya yang masih lembut menerangi seluruh alam.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Andika sambil sesekali melempar batu ke laut. Lemparannya luar biasa. Sekali tolak saja, batu itu meluncur bagai anak panah lepas dari busurnya. "Hmm.... Aku jadi penasaran. Namun tak seorang pun yang bisa kuta-nyai tentang kejadian ini. Begitu pula Raras. Ah, ada apa ini" Mengapa dia begitu tergesa untuk datang ke Kesultanan Laut Selatan" Apakah kedatangannya ada kaitannya dengan peristiwa berdarah itu?" Andika terus merenungi apa yang terjadi. Namun, sejauh itu belum didapatkannya kesimpulan penyebab dari semua ini.
"Sial! Lama juga aku menunggu Raras di sini.
Apa dikira aku pelayannya"! Ah, lebih baik aku menyusul Raras! Memang lebih baik menyusul. Masalahnya penasaran sih! Apa sih yang terjadi di Kesultanan Laut Selatan" Ya, sebaiknya kususul dia kesana!" Lalu mendadak saja pemuda tampan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu berkelebat. Yang nampak hanya bayangan hijau belaka.

****

Malam menyelimuti alam dengan kegelapannya.
Di langit, sinar rembulan tak mampu menembus timbunan awan hitam yang enggan bergerak dari tempatnya. Kesultanan Laut Selatan nampak bagaikan raksasa tertidur. Beberapa orang perwira dan prajurit hilir mudik berjaga. Di kejauhan, terdengar ombak berde-bur keras.
Dan tiba-tiba....
Plasss! Sebuah benda yang memancarkan sinar keemasan melayang-layang dari kejauhan, berputar di atas halaman Kesultanan Laut Selatan. Beberapa orang perwira dan prajurit terkejut. Serentak mereka bersiaga dengan pandangan tak lepas dari benda yang memancarkan sinar itu.
"Laporkan semua ini pada Panglima Tinggi Mahesa Dewa! Aku menangkap isyarat tidak enak!" teriak orang perwira Kesultanan Laut Selatan, memerintah.
Dua orang prajurit segera menjalankan perintah. Namun mendadak saja dua buah sinar keemasan mendesing ke arah mereka dengan kecepatan dahsyat.
Cras! Cras! "Aaa...!" Kepala kedua prajurit itu putus bergulingan.
Tubuh yang sudah tanpa kepala itu ambruk bersimbah darah. Suasana menjadi kacau sekarang. Apalagi sinar-sinar keemasan itu berderu-deru mencari sasaran.
Sebentar kemudian, lima orang prajurit pun terkapar dengan dada bolong.
Keadaan kacau semakin menjadi-jadi. Beberapa orang yang bersenjata panah segera melepaskan anak panah dari busurnya secara serempak Tras! Tras! Namun sinar keemasan dari benda yang masih mengapung di udara itu mematahkan serangan anakanak panah. Bahkan patahan dari mata anak panah itu melesat ke pemiliknya sendiri.
Crap! Crap! "Aaa...!" Lima orang prajurit ambruk "Semua bersiaga! Benda itu benar-benar memancarkan maut!" teriak perwira lain.
Keributan itu memancing Panglima Tinggi Mahesa Dewa yang berada di tempatnya keluar. Matanya bagaikan hendak mencelat keluar melihat beberapa orang prajuritnya terkapar. Pandangannya dingin dan tajam melihat benda keemasan yang memancarkan sinar. Sulit ditebak, benda apa itu. Karena, sinar yang memancar sangat menyilaukan mata.
Raras sendiri yang belum tidur pun segera mencelat keluar dan melihat apa yang terjadi.
"Panglima! Bahaya telah datang!" desis Raras sambil meloloskan kedua pedangnya.
"Kau benar, Raras. Tetapi..., awaaasss...!" Panglima Tinggi Mahesa Dewa mencelat ke samping begitu sinar keemasan menderu ke arahnya disertai angin dahsyat.
Bummm! Dentuman terdengar. Dan tanah yang dipijak Panglima Tinggi Mahesa Dewa membentuk sebuah lubang. "Iblis! Benda iblis!" maki Raras.
Gadis ini cepat menghempos tubuhnya ke atas.
Namun dia harus segera berjumpalitan kembali, karena tiga buah sinar itu menghalanginya.
"Setan! Bagaimana caranya untuk mendapatkan sekaligus melumpuhkan benda laknat itu!" maki Raras. Dan sebelum ada yang menjawab, sinar-sinar keemasan yang dipancarkan benda itu kembali berdesingan dahsyat. Begitu mengerikan. Bahkan disusul kembali oleh jeritan menyayat dari beberapa orang prajurit yang tewas dengan dada berlubang mengeluarkan asap. Raras berusaha melompat ke sana kemari menghindari setiap desingan benda keemasan itu. Sementara Panglima Tinggi Mahesa Dewa yang memiliki ilmu cukup hebat pun kelihatan pias. Dia seakan tak mampu mempergunakan ilmunya.
Kesempatan semakin melanda ketika benda keemasan itu mulai menghantam dinding-dinding Kesultanan Laut Selatan. Suara bagai dentuman terdengar berkali-kali. Dinding kokoh itu roboh. Batu-batu kontan berpentalan. Lima belas prajurit yang baru muncul dari dalam Kesultanan Laut Selatan terpelanting dengan kepala pecah dan dada bolong ketika sinar-sinar keemasan itu menghantam.
"Selamatkan Sultan Mangkunegoro!" seru Panglima Tinggi Mahesa Dewa melesat ke dalam, namun...
Duarrr! Panglima Tinggi Mahesa Dewa harus berjumpalitan menghindari desingan sinar keemasan yang sangat dahsyat. Wajahnya seakan menjadi pias. Ketika sinar keemasan itu menderu lagi, mendadak kedua tangannya dikatupkan di dada menjadi satu. Dan tibatiba kedua tangannya dimajukan ke depan dengan gerakan menyentak Plas! Selarik sinar warna biru mencelat dari tangan Panglima Tinggi Mahesa Dewa, langsung menghantam sinar keemasan.
Blam! Dentuman terdengar kembali. Namun akibatnya, tubuh Panglima Tinggi Mahesa Dewa terpental ke belakang disertai muntahan darah. Rupanya tenaga pukulannya kalah jauh dibanding tenaga yang melesat dari sinar keemasan itu.
Dan kekalutan semakin bertambah ketika benda keemasan itu kembali melayang-layang. Bahkan mendadak saja menderu ke arah pintu Kesultanan Laut Selatan yang sudah ditutup.
Blarrr! Pintu yang terbuat dari kayu jati kuat dan besar itu kontan pecah berkeping terhantam benda keemasan yang langsung menerobos masuk Raras segera meluncur untuk menghalangi.
Namun sinar keemasan kembali menghalau gerakannya, hingga gadis itu pun mengurungkan niatnya. Cepat tubuhnya berjumpalitan menghindari sambaran sinar yang mematikan sekaligus menyilaukan.
"Rupanya bahaya itu sudah datang, inilah arti mimpi dari Sultan Mangkunegoro," desah Empu Karniaga. Lalu dengan cepatnya, lelaki ini meluruk ke arah benda keemasan itu. Tongkat di tangannya berputar dua kali. Seketika sebuah sinar warna merah ber-gulung-gulung mengarah pada benda keemasan itu. Wrrr! Wrrr! Benda keemasan itu bagai terperangkap di dalamnya. Bergerak-gerak liar namun sulit keluar.
"Selamatkan Sultan Mangkunegoro!" seru Em-pu Karniaga.
Panglima Tinggi Mahesa Dewa segera meluruk masuk ke dalam Kesultanan Laut Selatan.
Sementara benda yang bagaikan berada dalam perangkap pusaran sinar merah yang dilepaskan Empu Karniaga semakin liar bergerak. Hanya sesaat hal itu terjadi. Karena di kejap lain, benda itu tiba-tiba sa-ja lolos dan meluruk ke arah Empu Karniaga.
"Hiaaah...!" Di kawal satu teriakan keras, lelaki itu menggerakkan tongkatnya.
Trak! Benda itu terpental ke belakang sejenak. Sementara, tongkat Empu Karniaga patah pada ujungnya. "Astaga! Siapa yang memiliki benda keparat itu?" desis Empu Karniaga. Tubuhnya bergetar terkena hantaman tadi. "Aku yakin, ada orang yang mengendalikannya. Berarti tenaga dalam orang itu sangat tinggi." Dan anehnya, benda keemasan itu yang hendak melayang masuk ke dalam Kesultanan Laut Selatan tiba-tiba melayang ke arah timur. Semua mata ter-tuju ke arah benda itu. Dan mata mereka pun terbelalak lebar ketika melihat benda itu telah berada di tangan seorang dara jelita berpakaian jingga yang terbelah hingga ke pangkal paha, dan terbuka pada bahunya.
Di kepalanya yang berambut panjang, terdapat mahkota bersusun tiga. Wanita itu menyeringai menampakkan wajah yang sangat mengerikan dan dingin sekali.

****

Sepasang mata Empu Karniaga menyipit, memperhatikan sosok gadis jelita yang memandang tajam.
Melihat benda itu berada di tangan si gadis yang tak lain Putri Samudera, sadarlah Empu Karniaga kalau dialah si pemilik batu keemasan yang memancarkan sinar maut menggidikkan.
"Gadis laknat! Manusia bodoh boleh berbuat.
Tapi Yang Kuasa menentukan. Perbuatanmu yang telah menurunkan keangkaramurkaan, tak akan pernah diampuni!" Putri Samudera terkikik keras disertai tenaga dalam tinggi sekali. Dedaunan dari tiga buah pohon yang tumbuh di halaman Kesultanan Laut Selatan seketika rontok. Beberapa prajurit langsung terkapar, menjerit sambil menekap kedua telinga yang mengalirkan darah segar. Sedang Empu Karniaga bergetar tubuhnya. "Luar biasa! Tenaga dalamnya sangat tinggi! Siapa dia sebenarnya?" desisnya dalam hati.
"Kalian hanyalah mencari mampus! Aku masih mengasihani kalian. Karena yang kubutuhkan adalah nyawa Mangkunegoro!" bentak Putri Samudera.
"Siapa kau"!" bentak Empu Karniaga sambil mengalirkan tenaga dalam ke indera pendengarannya.
"Begitu lancang kau menyebut Sultan seperti itu!"
"Namaku Putri Samudera! Penguasa Samudera! Yang menginginkan nyawa Mangkunegoro!"
"Gila! Eyang Dewi Samudera yang menguasainya!" desis Empu Karniaga dalam hati. "Tetapi, apakah benar semua ini?"
"Aku adalah murid Eyang Dewi Samudera! Orang tua keparat! Suruh keluar Mangkunegoro! Maka, nyawamu akan kuampuni!"
"Perempuan laknat! Justru kau yang akan mampus!" sentak Empu Karniaga.
Tubuh lelaki itu langsung melesat menimbulkan suara bergemuruh. Sementara Putri Samudera masih terkikik-kikik keras. Sebelum serangan Empu Karniaga mengenai sasaran, wanita itu tiba-tiba meniup. Wrrr! Sepertinya hanya hembusan napas belaka saat Putri Samudera meniup. Namun, hasilnya sangat di luar dugaan. Tubuh lelaki perkasa yang gagah itu terguling ke belakang ketika merasakan angin raksasa menghantam tubuhnya. Tulang iganya terasa patah.
Tetapi dia segera berdiri tegak dengan kedua mata nyalang penuh amarah.
"Laknat!" maki Empu Karniaga.
"Menyingkir dari sini bila masih ingin hidup!" ujar Putri Samudera tandas.
"Mati ditentukan Yang Kuasa. Bila aku mati sekarang pun tergantung pada-Nya!" seru Empu Karniaga gagah.
"Hhh! Mau mampus!" Tangan yang halus dengan jari jemari yang lentik milik si wanita mengibas kembali. Kali ini Empu Karniaga nampak sudah bersiap menyambut serangan.
Segera dia bergerak ke kanan dan ke kiri menghindari sambaran angin bak topan prahara. Akibat dari semua itu, lima orang prajurit terpental ke belakang. Mereka mati seketika terkena sambaran angin dahsyat mematikan.
Sedangkan Empu Karniaga menjadi murka bukan alang kepalang.
Sementara Ki Patih Darmomulyo pun sudah hadir di sana. Pedang berhulu emasnya sudah diloloskan. Begitu pula Raras yang sudah berdiri di sisinya. Melihat hal itu, Putri Samudera hanya terbahak-bahak saja. Tiba-tiba tangannya menepuk sebanyak tiga kali. Seketika terdengar suara gemuruh yang sangat memekakkan telinga.
Begitu keras hingga membuat orang yang mendengar harus menutup telin ga dan mengerahkan seluruh tenaga dalam kalau tak ingin gendang telinga pecah.
Sedangkan puluhan prajurit yang memiliki tenaga dalam lemah mendadak saja jatuh tumpang tindih dengan jeritan bak lolongan serigala. Dan darah pun mengalir deras dari telinga. Bukan hanya itu saja yang terjadi. Dari seluruh pori-pori mereka pun mengalirkan darah. Lalu sesaat kemudian tubuh mereka meledak! "Ini tak bisa dibiarkan!" sentak Ki Patih Darmomulyo. Lelaki ini segera melenting sambil mengibaskan pedangnya. Terdengar suara begitu dahsyat bak ribuan tawon berdengung. Dia berusaha menghalau suara ta-wa Putri Samudera. Namun akibatnya....
Desss...! "Aaakh...!" Justru tubuh Ki Patih Darmomulyo yang harus terjungkir balik ke belakang.
Melihat hal itu, Raras segera berkelebat untuk menyelamatkan Ki Patih Darmomulyo bila tak ingin tubuhnya yang melayang deras menghantam dinding Kesultanan Laut Selatan. Namun gadis itu sendiri harus terpelanting ke belakang ketika tangan Putri Samudera mengibas dan membuatnya merasa bagai sebutir kelereng yang dilontarkan.
Brak! Tubuh Raras yang sedang membopong tubuh Ki Patih Darmomulyo menabrak dinding hingga hancur. Raras merasa tubuhnya bagai patah-patah.
"Raras.... Lebih baik kau menyingkir dari sini," ujar Ki Patih Darmomulyo. "Keadaan sangat berbahaya! Rasanya kita akan mendapatkan kesulitan." Raras menggeleng mantap.
"Tidak! Aku harus menjalankan amanat Guru," tegas gadis ini.
"Apakah kau hendak bunuh diri?" Belum lagi Raras menyahut, serangkum angin menderu-deru kembali meluruk dahsyat. Dengan susah payah mereka melompat menghindar, lalu bergulingan dengan wajah pias.
"Sejak tadi kuperingatkan! Kalian lebih baik menyerahkan Mangkunegoro untuk kubunuh!" desis Putri Samudera Mendadak tubuh si wanita penghuni Laut Selatan melayang bagai terbang. Tatapannya semakin dingin, seolah menebarkan hawa kematian yang mengerikan menuju ke Kesultanan Laut Selatan.
"Kau harus mampus, Mangkunegoro!" teriak Putri Samudera "Rupanya, peristiwa lama ingin menuntut balas. Aku yakin sekali akan hal ini," desis Empu Karniaga.
Gerakan yang dilakukan Putri Samudera membuat Ki Patih Darmomulyo dan Raras tersentak. Mereka mencoba memotong gerakan laksana kilat itu.
Namun tiba-tiba saja...
Des! Des! Tubuh keduanya tahu-tahu terjengkang ke belakang, langsung muntah darah. Angin deras yang dikibaskan Putri Samudera tanpa menoleh, menghantam telak tubuh mereka.
Tubuh Putri Samudera terus melesat masuk ke dalam tanpa menghiraukan keduanya lagi. Namun belum lagi tiba di ambang pintu Kesultanan Laut Selatan, mendadak saja satu bayangan hijau berkelebat, memotong gerakannya.
Wuuttt...! Deb! Debb...! "Manusia hina! Lancang bertingkah di depan Putri Samudera!" maki Putri Samudera, seraya melenting ke belakang.

****

--o0{[| 5 |]}0o--

Bayangan hijau yang ternyata seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahu cengar-cengir di hadapan Putri Samudera. Padahal amarah wanita ini sudah begitu membludak, siap meledak "Kang Andika!" seru Raras dengan wajah sedikit gembira.
"Manusia busuk! Lancang sekali tindakanmu"!" Dikawal kemarahan membludak, Putri Samudera meniup perlahan. Dari mulutnya keluar angin lembut, namun semakin lama semakin bergemuruh bagai gelombang lautan menerjang pada sosok berbaju hijau pupus yang tak lain Pendekar Slebor.
Bagai digebah kekuatan dahsyat si pemuda segera berjumpalitan menghindari angin keras bertenaga luar biasa.
"Heit! Sabar dong!" Putri Samudera yang tengah geram semakin gencar menyerang.
"Monyet cacingan! Tenaga dalamnya hebat juga!" rutuk Andika kalang kabut sambil terus bergulingan. Karena sambaran angin yang dahsyat itu datang secara beruntun. "Monyet pitak! Lama kelamaan aku bisa mampus juga! Hhh! Aku harus memotong serangan itu!" Setelah berpikir demikian, Pendekar Slebor bergerak setengah lingkaran. Tubuhnya lantas bergulingan, lalu melompat ke depan! Gerakannya merupakan paduan gerak menghindar dan menyerang sangat cepat. Namun, masih kalah cepat dengan serangan angin dahsyat itu. Hingga....
Dess...! "Aaakh...!" Pendekar Slebor kontan tersungkur ke belakang begitu angin dahsyat menghantam dadanya. Tubuhnya terbanting keras di halaman Kesultanan Laut Selatan. Saat itu juga bagai ada sebongkah batu besar merasuki dada Pendekar Slebor. Rasa sakitnya luar biasa, cepat Pendekar Slebor mengerahkan hawa murninya. "Madirodok! Kalau dadaku sampai jebol, awash...!" desis Andika seraya bangkit dengan mulut meringis.
Sementara itu, Putri Samudera sudah berkelebat cepat ke arah Andika. Gerakan tubuhnya yang terlihat hanyalah bayangan jingga saja, Andika tentu saja tak mau mati cepat-cepat. Dia ingin menikmati masa mudanya lebih lama lagi. Tenaga dalamnya cepat dialirkan pada tubuhnya.
"Gila! Siapakah sebenarnya gadis kejam yang sakti ini?" desisnya dalam hati. "Bagaimana caranya untuk menghentikan sepak terangnya?" Dalam keadaan yang gawat itu, Andika terpaksa mempergunakan kain bercorak catur warisan Ki Saptacakra. Begitu tubuh Putri Samudera satu tombak lagi ke arahnya, dengan cepat tangannya yang meng-genggam kain bercorak catur mengibas.
Wuutt! Angin keras bertenaga raksasa menderu pula, melabrak serangan Putri Samudera. Benturan pun terjadi Bumm! Suara bagai ledakan terdengar hebat. Dan malang bagi si pemuda dari Lembah Kutukan ini. Justru dia merasakan satu kekuatan lebih hebat menghantam dadanya. Tubuhnya pun tersuruk ke belakang.
"Kau hanya mengganggu niatku untuk membunuh Mangkunegoro! Hhh! Bersiaplah untuk menerima ajalmu!" desis Putri Samudera.
Tiba-tiba Putri Samudera melepaskan batu karang emas di tangannya yang bergerak liar ke arah Andika dengan kecepatan dahsyat. Andika mengeluh dalam hati. Terlebih, saat ini keadaannya cukup sulit, karena seluruh tubuhnya terasa kaku. Namun pada saat hawa panas yang sangat tinggi meluruk hebat ke arahnya, semangatnya segera dikempos. Pendekar Slebor cepat berdiri dengan tatapan waspada.
"Kang Andika! Hati-hati! Batu karang yang memancarkan sinar emas itu sangat berbahaya!" seru Raras, memberi tahu.
"Sompret! Tak usah bicara, aku juga sudah tahu...!" desah Andika perlahan dengan dada dag-dig-dug. Sementara itu Putri Samudera sendiri sudah melesat masuk ke Istana Kesultanan Laut Selatan.
Dan dengan susah payah Ki Patih Damomulyo dan Empu Karniaga mengejar.
Pendekar Slebor cepat berkelebat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, menghindari terjangan batu karang bersinar keemasan itu. Bahkan sambil menghindar, dilepaskannya satu hantaman bertenaga dalam dahsyat.
Wusss! Bagai memiliki mata, batu karang keemasan itu tiba-tiba meliuk lincah, membuat pukulan Andika mengenai tempat kosong.
"Monyet botak! Aku yakin, gadis itulah yang mengendalikannya. Luar biasa! Dalam keadaan menyerang yang lain, dia bisa membagi tenaga dalamnya untuk mengendalikan batu karang keemasan itu! Jalan satu-satunya, aku harus menghadapi Putri Samudera! Sekarang aku yakin, dialah yang menurunkan tangan maut pada penduduk di pesisir! Hhh! Biarpun aku tidak tahu mengapa Putri Samudera menginginkan nyawa Sultan Mangkunegoro, tetapi yang jelas, dia sudah membawa kesengsaraan bagi orang banyak!" Belum sempat Andika menjejak tanah kembali, batu karang keemasan itu sudah melayang lagi ke arahnya. Si pemuda perkasa tanah Jawa ini mencelat ke samping. Namun gerakannya kurang cepat, sehingga tak urung bahu kirinya terhantam batu karang keemasan itu. Crasss! "Aaa...!" Andika memekik tertahan. Sakit luar biasa menyerang tangannya. Bahunya terasa remuk.

****

Sementara itu Panglima Tinggi- Mahesa Dewa berhasil membujuk Sultan Mangkunegoro. Penguasa Kesultanan Laut Selatan tetap berwajah bijaksana. Tak terlihat sedikit pun kekalutan di wajahnya.
"Aku sudah mendengarnya, Panglima. Hmm....
Tak kusangka kalau seorang yang menjuluki dirinya Putri Samudera akan muncul. Siapakah dia sebenarnya?" kata Sultan Mangkunegoro. Dia tadi sempat melihat wajah Putri Samudera yang begitu cantik. Dan entah mengapa, Sultan Mangkunegoro seolah merasa begitu akrab dengan wajah itu.
"Yang Agung, saat ini kita tak perlu bercakap lebih panjang. Sebaiknya, Yang Agung menyingkir dari sini bersama Permaisuri," usul Panglima Tinggi Mahesa Dewa agak mendesak namun tak meninggalkan kesopanannya.
Sultan Mangkunegoro tersenyum dan mengangguk "Baiklah. Sebentar lagi, istriku akan muncul...." Benar saja, tak lama dari dalam kamar muncul seorang wanita setengah baya berwajah cantik jelita.
Dialah sang Permaisuri, Ratu Sri Dewi Rajasi. Kemunculan itu membuat kegelisahan Panglima Tinggi Mahesa Dewa menjadi mereda. Segera diajaknya kedua orang yang dihormatinya itu ke belakang istana.
Selang beberapa saat, Putri Samudera muncul di ruangan ini dengan wajah beringas. Para prajurit gagah berani yang mencoba menghalangi harus menemui ajal secara mengenaskan.
Bukan main marahnya Putri Samudera ketika tak menemukan Sultan Mangkunegoro. Dia masih mencoba mencari, namun justru Ki Patih Darmomulyo dan Empu Karniaga yang muncul. Dan ini membuat kemarahannya dialihkan kepada kedua pejabat istana itu. Tubuhnya seketika berkelebat, melepas serangan dahsyat.
Dess! Desss...! "Aaakh...!" Sekali berkelebat saja, wanita ini sudah membuat kedua tokoh Kesultanan Laut Selatan terkapar pingsan dengan seluruh tulang patah. Ketika dia akan menghabisi nyawa keduanya, mendadak saja...
Wusss...! Saat itu juga meluruk segulung angin dahsyat ke arah Putri Samudera.
"Gadis keparat! Kau hendak mencari mampus!" geram Putri Samudera sambil melompat ke kiri cepat bagai kilat. Melihat serangannya gagal, sosok yang ternyata Raras berkelebat cepat. Kedua pedangnya diputarputar menimbulkan desingan dan hawa panas.
Namun hanya dua kali saja gadis itu bisa melakukannya, karena tiba-tiba saja Putri Samudera mengibaskan tangannya.
Wuuttt! Desss! Raras kontan tersuruk ke belakang dengan deras ketika dadanya terhantam angin serangan Putri Samudera. Gadis itu merasa dadanya bagai dihantam godam yang berat sekali. Pandangannya mengabur, lalu jatuh pingsan.
"Huh! Cari mampus saja!" geram Putri Samudera. Dengan langkah ringan, dia mendekati Raras. Kepala gadis itu siap diinjaknya. Namun "Putri Samudera.... Biar hari ini kau gagal membunuh Mangkunegoro, bukanlah suatu masalah.
Yang aku inginkan sekarang, bawa gadis itu dan pemuda berbaju hijau pupus ke Kerajaan Laut Selatan.
Tak perlu kau hiraukan kedua manusia yang telah pingsan itu." Sebuah suara keras kontan membuat Putri Samudera menghentikan tindakannya. Dia tersentak, seraya menengadah.
"Eyang Dewi...," desah Putri Samudera menja-tuhkan tubuhnya, berlutut. Suaranya serak dan begitu ketakutan. Kekejamannya bagai menghilang. "Maafkan saya."
"Bawalah Pendekar Slebor bersamamu. Aku hendak mengawinkan kau dengannya," lanjut suara itu.
"Eyang Dewi!"
"Tak usah membantah! Kau bawa gadis bernama Raras itu! Dari kesuciannya sebagai gadis, maka meskipun usiamu semakin menua, namun akan me miliki wajah dan tubuh seperti sedia kala."
"Tetapi, Eyang Dewi... Mengapa aku harus menikah dengan...." Kata-kata itu terputus. Karena saat itu pula terdengar suara bagai desis angin yang akhirnya melenyap. Suara dingin mencekam itu tak terdengar lagi.
Putri Samudera menghela napas panjang. Mengapa Eyang Dewi Samudera menghendaki seperti itu" Padahal, gara-gara pemuda itulah seluruh keinginannya gagal. Paling tidak keinginan untuk membunuh pemuda sialan itu. Kalau membawa Raras karena darah sucinya bisa dipergunakan untuk memperdalam ilmu awet mudanya, dia jelas setuju. Namun pemuda itu" Dengan menahan geramnya, Putri Samudera mengangkat tubuh Raras yang pingsan dan melesat kembali keluar.
"Hm.... Itu pasti pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor," gumam Putri Samudera begitu tiba di luar.
Tampak pemuda tampan itu sedang kalang kabut menerima serangan dari batu karang emasnya yang telah memancarkan sinar bertubitubi dan menimbulkan suara ledakan berkali-kali.
Dan wanita ini sangat terkejut. Karena meskipun nampak kewalahan, Pendekar Slebor mampu menghalangi setiap serangan sinar merah yang dahsyat dengan mengibaskan kain bercorak catur yang mengeluarkan suara gemuruh.
"Gila! Batu karang keemasan ku bisa-bisa tak berarti menghadapi kain bercorak catur itu! Hhh! Aku harus memberi pelajaran padanya!" desis Putri Samudera. Selagi Pendekar Slebor masih berusaha menghalangi setiap desingan sinar yang datang ke arahnya, tubuh Putri Samudera pun melesat dahsyat "Eit..! Apa ini..."!" sentak Pendekar Slebor begitu merasakan sambaran angin dahsyat. Andika masih sempat menghindar. Namun tubuhnya terasa bagai diterabas angin sangat keras, hingga membuat tubuhnya terpental dan tergulingguling. "Keparat!" maki Andika, seraya bangkit. Dan matanya terbelalak begitu melihat Raras berada dalam gendongan Putri Samudera.
"Lepaskan gadis itu!" teriak Andika.
Putri Samudera menyeringai.
"Bila kau menginginkannya, mengapa tidak segera diambil?" tukas wanita itu, enteng.
"Monyet pitak!" Andika menggeram marah, karena serbuan sinar keemasan kembali melesat dari batu karang keemasan. Cepat tubuhnya melenting di udara. Di udara, Pendekar Slebor melesat ke arah wanita itu.
Apa yang dilakukan Putri Samudera justru amat mengejutkan. Wanita ini sama sekali tidak menghindar. Namun begitu serangan Andika sudah mendekat, tiba-tiba saja bahunya digerakkan.
Andika terperanjat. Tubuhnya segera dibuang ke kanan. Karena kalau tidak, justru tubuh Raras yang terkena pukulannya.
Kesempatan itulah yang dipergunakan Putri Samudera untuk menghantam Pendekar Slebor.
"Hiih...!" Desss...! "Aaakh...!" Pukulan keras bukan main membuat tulang kepala Pendekar Slebor terasa remuk. Pandangannya mengabur, lalu ambruk pingsan.
"Hhh! Bila bukan karena keinginan Eyang Dewi untuk membawamu, sudah kubunuh kau, Keparat!" geram wanita ini muak, sambil memanggul tubuh Pendekar Slebor di bahu kiri.
Membawa dua beban, tak sedikit pun Putri Samudera kelihatan kewalahan. Bahkan seolah hanya memanggul seonggok kapas belaka.
Putri Samudera lantas menatap Kesultanan yang porak poranda.
"Mangkunegoro! Urusan ini belum selesai! Kau harus membayar perbuatanmu terhadap ibuku dulu!" teriak wanita itu.
Setelah berteriak keras, tubuh Putri Samudera berkelebat cepat meninggalkan tempat ini. Sementara batu karang keemasan itu melayang-layang dibe-lakangnya.

****

--o0{[| 6 |]}0o--

Dalam keadaan pingsan, sulit bagi Andika untuk mengetahui bagaimana dirinya dibawa masuk ke dalam Laut Selatan yang memiliki ombak sangat ganas. Begitu pula halnya Raras yang masih dalam keadaan pingsan. Putri Samudera membopong Andika dan Raras yang telah dalam keadaan tertotok baik urat kesadarannya, maupun jalan nafasnya. Bila saja Andika saat ini dalam keadaan sadar, tak mustahil akan menjadi memaki-maki kalang kabut karena dibawa masuk ke dalam air. Sedangkan Raras sudah tentu akan pingsan, tanpa harus ditotok segala.
Dengan gerakan luar biasa anehnya, Putri Samudera terus bagai melayang membawa kedua anak muda itu masuk ke dasar laut. Dan kini, dia tiba di sebuah istana yang sangat megah. Dari kejauhan sudah nampak kilatan emas berkilau. Karena memang, ternyata seluruh bangunan itu terbuat dari emas mur-ni.
Aneh! Tak ada air yang masuk ke dalamnya! Inilah salah satu kesaktian dari Eyang Dewi Samudera, Penguasa Samudera Luas.
Beberapa orang penjaga yang memiliki bentuk manusia namun berkepala ikan membungkuk begitu melihat Putri Samudera muncul. Tanpa peduli, wanita itu melangkah membawa tubuh Pendekar Slebor dan Raras yang masih pingsan. Para penjaga di istana dasar laut ini memang memiliki sisik pada tubuh mereka.
Wajah mereka bulat. Di tangan mereka terdapat tombak yang sangat tajam.
Putri Samudera melangkah memasuki ruangan indah yang dindingnya semua bersinar kemilau. Ruangan itu pun terbuat dari emas murni. Kursi dan meja yang ada di sana pun terbuat dari bahan yang sama.
"Eyang Dewi..., aku telah datang," kata Putri Samudera pelan sambil membungkukkan tubuhnya.
Tiba-tiba saja tanpa diketahui dari mana datangnya, di hadapan wanita ini telah duduk seorang wanita cantik luar biasa di singgasana dari emas. Bahkan kecantikan Putri Samudera tak bisa dibandingkan dengan kecantikannya. Wajah yang jelita itu bagai memancarkan cahaya pesona yang sukar ditepiskan! Sementara pakaiannya terbuat dari emas dengan mahkota bersusun tiga dipenuhi butiran mutiara. Dialah yang dipanggil Eyang Dewi Samudera.
"Maafkan atas kelalaian ku, Eyang Dewi...," Putri Samudera membungkuk kembali.
"Dan ini Karang Emas yang Eyang Dewi pinjamkan padaku...." Eyang Dewi Samudera tersenyum. Segera diterimanya benda batu karang berwarna keemasan bernama Karang Emas yang diangsurkan Putri Samudera.
"Dengan membawa Pendekar Slebor seluruh kesalahanmu bisa diampuni, Putri Samudera. Dan dengan membawa Raras, kau akan menjadi semakin cantik," kata perempuan cantik bernama Eyang Dewi Samudera, setelah meletakkan Karang Emas di sisinya. "Terima kasih atas kemurahan Eyang Dewi. Tetapi, mengapa Eyang Dewi menginginkan agar aku menikah dengan pemuda ini" Padahal, aku berkeinginan untuk membunuhnya. Hhh.... Kalau tidak karena ulahnya, Mangkunegoro sudah mampus di tangan ku! Karena, dialah yang tertangguh dari orang-orang yang mencoba menghalangi perbuatanku. Kalau soal Raras, aku masih bisa menerimanya Eyang Dewi."
"Putri Samudera.... Pendekar Slebor adalah pemuda dari Lembah Kutukan. Dia telah memakan buah 'inti petir'. Bila menikah dengannya, maka kau akan mampu menyerap tenaga 'inti petir' dari dalam tubuhnya," jelas Eyang Dewi Samudera.
"Tapi dia telah menghalangi niatku, Eyang Dewi..."
"Putri Samudera.... Ketika masih bayi kau dibuang ibumu di tepi pantai.
Aku menemukan, dan membawamu ke istanaku ini. Dan aku telah memberikan ilmu yang tinggi untukmu justru untuk melenyapkan Mangkunegoro. Namun, kekuatanmu belum cukup, karena dia akan meminta bantuan Dewa Pedang..." Putri Samudera menundukkan kepalanya.
"Kau benar, Eyang Dewi."
"Itulah sebabnya, mengapa kau tak ku marahi, karena belum dapat membunuh Mangkunegoro. Putri Samudera.... Seperti yang telah ku jelaskan kepadamu aku tak berpihak pada siapa pun. Kalau kau men-ganggap Mangkunegoro salah, karena menyia-nyiakan mu dan ibumu, aku tak melarangmu untuk membunuhnya. Itu hakmu. Walaupun sebenarnya dia adalah ayah kandungmu."
"Tetapi dia telah menyia-nyiakan ku, Eyang Dewi!" sentak Putri Samudera dengan mata memancarkan sinar amarah namun tersaput air mata tergenang. "Dia telah menelantarkan ibuku, Eyang Dewi! Akibatnya, ibuku sakit hati berkepanjangan. Lalu mati setelah melahirkan aku.
Sementara, aku ditinggalkan-nya di tepi pantai. Biar bagaimanapun juga, ini karena Mangkunegoro!"
"Kau benar, Putri Samudera. Dan seperti yang kau ketahui, di dalam tubuhmu mengalir ilmu-ilmu yang kuberikan. Dan bila kau menikah dengan pemuda yang telah memakan buah 'inti petir', maka kekuatanmu akan bertambah...."
"Eyang Dewi! Tapi pemuda itu...."
"Aku hanya menyarankan!" potong Eyang Dewi.
"Dan bila menolak, kau bisa membawanya kembali ke daratan. Tetapi, ketahuilah. Dialah orang yang paling berbahaya.
Apalagi dengan kain bercorak catur yang tersampir di bahunya. Ketahuilah, kau akan berhadapan dengan Dewa Pedang. Tanpa kekuatan dari Pendekar Slebor, usahamu akan sia-sia bela-ka." Putri Samudera melirik Pendekar Slebor yang masih pingsan dan sekarang terbujur di lantai. Perasaan sebal dan marahnya masih ada di hatinya.
Putri Samudera terdiam beberapa saat. Pikirannya yang masih dibaluri kemarahan karena Pendekar Slebor menghalangi niatnya, masih berpendarpendar. Namun dia yakin, Eyang Dewi Samudera memberikan yang terbaik untuknya "Baiklah, Eyang Dewi... Aku akan melakukan yang kau sarankan itu."
"Ingat, Putri Samudera. Ini hanya sekadar saran. Seperti biasanya, aku tak pernah berpihak pada siapa pun juga. Kalau begitu, bawa dia ke kamarmu, Putri. Sadarkan dia dari pingsannya. Juga, bawa gadis yang bernama Raras itu ke kamar di sebelah kamarmu. Bila saatnya tiba, kau bisa mempergunakan darah suci gadis itu untuk obat awet muda." Putri Samudera hanya mengangguk saja. Dan seketika menatap lagi ke depan, sosok Eyang Dewi sudah tak ada di singgasana emasnya. Wanita ini menghela napas panjang. Lalu dibawanya Pendekar Slebor yang masih pingsan ke kamarnya.
"Pemuda ini telah bertindak lancang," desisnya sambil meraih tubuh Pendekar Slebor dan Raras, bagaikan meraih gumpalan kapas saja. "Seharusnya aku membunuhnya! Tetapi aku yakin, saran yang diberi-kan Eyang Dewi bukan saran sembarangan! Meskipun ingin membunuhnya, tetapi aku akan melaksanakan saran Eyang Dewi. Setelah kubunuh Mangkunegoro, pemuda sialan ini akan segera mendapatkan gilirannya!"

****

Pendekar Slebor perlahan-lahan mulai siuman.
Matanya berat sekali untuk dibuka. Dan sejenak matanya memejam lagi ketika ada sinar menerobos bola matanya Kepalanya terasa pening dengan tubuh lemas. Mendadak saja Andika teringat tentang kejadian sebelumnya. Dengan cepat dia bangkit dari berba-ringnya. Namun berdirinya masih sempoyongan. Kepalanya masih pusing. Dan bertambah pusing ketika mendapati dirinya berada di sebuah ruangan sangat indah. "Gila! Dinding itu terbuat dari emas! Ha ha ha...
Aku kaya mendadak! Bukan main... Ini sebuah kejutan yang luar biasa! Akan kubawa emas ini, dan ku bagi-kan pada gelandangan-gelandangan kotaraja...!" so-raknya.
Namun, "Eh"! Aku sekarang berada di mana, ya?"
"Kau berada di kamarku!" Terdengar seruan dingin di belakang Andika.
Pendekar Slebor tercekat. Segera tubuhnya berbalik. Tampak Putri Samudera berdiri di belakangnya dengan tatapan dingin memancarkan sinar amarah. Sejenak Pendekar Slebor jadi malu sendiri, karena sesumbarnya yang ingin membawa emas yang melapisi dinding-dinding ruangan ini. Namun sebentar kemudian dia sudah kembali pada sikap urakannya.
"He he he.... Aku cuma bohong-bohongan kok.
Orangtua ku juga kaya. Emas-emas di sini sih belum ada apa-apanya dibanding yang ada di rumahku. Ada E, Mas Semprul. E, Mas Kubil. E, Mas Bodong. Tapi mereka semua pelayan-pelayanku, ha ha ha...!" oceh-nya tak karuan.
Wajah Putri Samudera memerah. "Jangan banyak omong, Pendekar Slebor! Bila tidak karena perintah Eyang Dewi, kau sudah mampus, Pendekar Slebor!" Andika terjingkat. Tawanya langsung tertekan kembali ke perut.
"Eyang Dewi" Siapa dia?"
"Jangan menyebutnya dengan nada melecehkan seperti itu!" Tangan Putri Samudera langsung mengibas.
Seketika angin dahsyat meluruk ke arah Andika. Namun Pendekar Slebor tidak kalah sigap. Dia langsung menghindar dengan melompat ke kanan sejauh dua tombak sebab tak ingin tubuh remuk "Ya..., begitu saja kok, marah?" kata Andika, tenang saja.
Tatapan Putri Samudera sangat nyalang, memancarkan sinar warna merah. Dia benar-benar menggeram murka. Bila saja tak teringat akan pesan dari Eyang Dewi Samudera, sudah dibunuhnya pemuda yang bersikap seenaknya sendiri.
"Jangan banyak omong di sini! Kau tak akan bisa melarikan diri!"
"Kalau ditemani gadis cantik sepertimu, rasanya aku malah ingin berlama-lama..." Kata-kata Pendekar Slebor terpenggal ketika Putri Samudera mengangkat tangannya, siap melancarkan serangan.
"Eit, kalau kau menyerangku lagi, bisa-bisa kita terkubur hidup-hidup di sini," cegah Andika, langsung siap untuk menghindar.
Perlahan-lahan, Putri Samudera menurunkan tangannya. "Lagi pula, aku akan membawamu jalan-jalan ke keraton Kesultanan Laut Selatan. Kau tahu Sultan Mangkunegoro, mengharapkan kedatanganmu. Dia ingin agar kau dipenjara...."
"Bangsat! Manusia keji yang berkedok dewa itu akan mampus, Pendekar Slebor!"
"Wih! Kejam amat! Apa salahnya?"
"Manusia itulah yang membuang ku dulu sebelum menjadi Sultan! Dia juga yang menghancurkan hidup ibuku! Aku harus menuntut balas padanya!"
"Gila! Nona, sadarlah. Dendammu sangat berbahaya.... Kau justru akan menambah malapetaka yang sudah banyak terjadi di dunia ini! Apakah kau tidak bisa memaafkannya?"
"Persetan dengan ucapanmu! Manusia itu harus mampus!"
"Mati ada yang ngatur. Kalau tak percaya, mati saja...."
"Keparat!" Putri Samudera menepuk tangannya tiga kali.
Tiba-tiba saja selarik sinar hitam keluar meliuk-liuk ke arah Andika.
Pendekar Slebor terperangah. Dia berusaha menghindarkan diri, namun tiba-tiba saja tak mampu lagi bergerak. Bahkan sinar itu melilit tubuhnya. Begitu ketat, membuatnya mengerang.
"Lepaskan aku! Kalau berani, jangan dengan cara ini!" teriak Andika.
Putri Samudera tersenyum dingin.
"Kau akan menjadi penghuni kedalaman Laut Selatan ini!" Kening Andika berkerut. Kedalaman Laut Selatan" Apa maksudnya"
"Kau lihat sekelilingmu...!" Seperti mengetahui apa yang dipikirkan Andika. Putri Samudera membentak sambil mengerahkan salah satu ajiannya.
Tiba-tiba saja sepasang mata Andika yang setajam mata elang membelalak, ketika dinding-dinding emas itu bagai tembus pandang. Dari ruangan ini si pemuda bisa melihat ke luar. Tampak air laut bergerak lembut, didiami makhlukmakhluk laut. "Aku tidak percaya! Aku pasti bermimpi!"sentak Andika sambil mengerahkan hawa murni untuk mengusir semua pandangan yang menurutnya hanya semu belaka. Tetapi, pandangan matanya tetap saja tak berubah. "Gila! Di mana aku sebenarnya?"
"Kau berada di Kerajaan Laut Selatan, Pendekar Slebor! Karena kelancanganmu lah aku gagal membunuh Mangkunegoro! Dan sekarang, kau yang banyak mulut akan terkubur dalam Kerajaan Laut Selatan!" Andika tercekat. Bergumpal-gumpal pertanyaan menyambar urat-urat berpikirnya. Butek! "Satu hal yang perlu kau ketahui, Pendekar Slebor," sambung Putri Samudera dengan tatapan bertambah dingin. "Menurut Eyang Dewi Samudera, kau harus menikah denganku." Kali ini kepala Andika puyeng. Menikah" Gila! Apa-apaan ini" Pendekar Slebor bertekad sebisabisanya harus melepaskan diri dari kungkungan Putri Samudera. Masalahnya Sultan Mangkunegoro harus diselamatkan. "Hm.... Mungkin inilah yang dikatakan Raras waktu itu." Teringat akan Raras, Andika jadi ingat kalau gadis itu berada dalam gendongan Putri Samudera.
"Hei! Di mana Raras?" Putri Samudera mendengus. "Untuk apa kau bertanya, hah"!"
"Dia istriku! Makanya, enak saja kau main paksa agar aku menikah denganmu! Biar kau paksa, aku tak akan pernah membiarkan diriku menikah denganmu!" tegas Pendekar Slebor, berdusta. Putri Samudera tersenyum dingin. "Kau akan melakukannya, Pendekar Slebor."
"Katakan, di mana Raras"!"
"Dia berada di tempat yang aman."
"Monyet pitak! Lepaskan ikatan ini! Akan kuhancurkan istana busukmu ini!"
"Kita lihat bagaimana hasilnya nanti. Kau pasti akan menikah denganku. Kalau tidak, gadismu yang bernama Raras akan mati di hadapanmu." Lalu wanita itu melangkah meninggalkan kamar tempat Andika masih terkungkung akibat pengaruh ikatan sinar hitam tadi.
"Monyet busuk! Putri edan! Lepaskan aku! Aku tak sudi untuk menikah denganmu! Hei, lepaskan! Lepaskan! Dasar buduk!" makinya, panjang pendek

****

--o0{[| 7 |]}0o--

Bagaimana keadaan Kesultanan Laut Selatan selanjutnya" Di tempatnya, Empu Karniaga lebih dulu siuman. Mata tuanya memperhatikan sekeliling, tampak Ki Patih Darmomulyo baru saja siuman. Lelaki ini merasa seluruh tubuhnya sakit luar biasa. "Empu...," panggil Ki Patih Darmomulyo mendesah, setelah memperhatikan keadaan di sekeliling- nya yang porak poranda. Ingatan pertama yang muncul di benaknya adalah tentang Sultan Mangkunegoro.
"Bagaimana keadaan Sultan?" Empu Karniaga menatap sayu. Dia pun sebenarnya tak tahu apa yang harus diucapkan. Hanya ada dugaan dalam benaknya.
"Kupikir, Panglima Tinggi Mahesa Dewa sudah berhasil menyelamatkannya."
"Kalau begitu, kita harus segera mencarinya.
Aku khawatir Putri Samudera akan mengejarnya," kata Ki Patih Darmomulyo sambil berdiri. Direntangkannya otot-otot di seluruh tubuhnya untuk menghilangkan rasa sakit. "Tunggu," ujar Empu Karniaga "Apakah kau tidak melihat sosok berpakaian hijau pupus yang membantu kita?" Ki Patih Darmomulyo segera celingukan. Dia pun teringat pemuda berbaju hijau pupus tadi. Seketi-ka tubuhnya berkelebat mencari sosok berbaju hijau pupus di antara berserakannya mayat. Begitu pula Empu Karniaga. Setelah beberapa saat mencari, keduanya bertemu lagi dan saling pandang.
"Hanya ada dugaan. Dia ditawan Putri Samudera, atau sudah mati. Dan mayatnya dibuang di satu tempat," duga lelaki tua itu mendesah pelan.
"Kalau begitu, lebih baik kita menyusul Sultan Mangkunegoro saja," usul Ki Patih Darmomulyo. "Ya, kau benar. Tetapi, hei"! Di mana Raras?" Kembali mereka berkelebat mencari Raras. Sebentar saja mereka telah mengelilingi Istana Kesultanan. Tapi Raras tetap tak ditemukan. Empu Karniaga kini terdiam dengan kening berkerut. Semuanya begitu tiba-tiba dan mengerikan.
"Keadaan semakin kacau! Bisa jadi pula Raras ditawan Putri Samudera!" geram lelaki ini.
Ki Patih Darmomulyo pun berpikiran sama.
"Empu, siapakah sesungguhnya Putri Samudera itu" Apakah kau mengenalnya?" tanya patih ini Empu Karniaga terdiam sesaat. Lalu kepalanya terlihat menggeleng perlahan.
"Aku tidak tahu. Tetapi, ah...! Aku punya dugaan yang sangat mengejutkan, sekaligus mengerikan."
"Tentang apa, Empu?" tanya Ki Patih Darmomulyo, semakin tertarik untuk mengetahui. Empu Karniaga menghela napas panjang sebelum bercerita. Sepanjang Empu Karniaga bercerita, Ki Patih Darmomulyo mendengarkan penuh perhatian.
"Jadi sebelum Yang Agung Sultan Mangkunegoro diangkat menjadi Sultan, dia telah menghamili seorang gadis?" tanya Ki Patih Darmomulyo, setelah Empu Karniaga selesai bercerita.
"Tepatnya tidak demikian. Yang jelas, waktu itu Sultan dalam keadaan mabuk.
Sementara perempuan yang memang sangat mencintainya, mempergunakan kesempatan untuk menjebaknya. Hingga, Sultan tidak tahu apa yang diperbuatnya kemudian. Tahu-tahu, perempuan itu mengaku sudah hamil. Dan di saat pemberontakan terjadi di Kesultanan Laut Selatan, Sultan Mangkunegoro diangkat menjadi panglima tinggi. Dengan bantuannya, pemberontak berhasil dihalau. Namun malang bagi Sultan sebelumnya dan permaisuri.
Mereka mati di tangan pemberontak. Lalu atas usulku, Panglima Tinggi Mangkunegoro pun diangkat menjadi Sultan. Hal itu ku lakukan, karena Sultan sebelumnya tak memiliki keturunan seorang pun. Ini hanya ke-mungkinanku saja, Ki Patih. Aku belum tahu yang sebenarnya."
"Jadi dengan kata lain, Empu hendak mengatakan kalau Putri Samudera adalah putri kandung Sultan Mangkunegoro sendiri?" tebak Ki Patih Darmomulyo. "Yah, karena Sultan tidak percaya kalau hamil-nya perempuan itu akibat perbuatannya. Di samping perempuan itu dikenal sebagai perempuan nakal, juga Sultan dalam keadaan tak sadarkan diri. Aku tak bisa menyalahkan Sultan, yang waktu itu masih menjadi seorang prajurit. Yah, inilah kenyataan yang masih harus diselidiki lagi kebenarannya. Apalagi kejadiannya berlangsung tiga puluh lima tahun yang lalu."
"Tetapi kalau memang Putri Samudera adalah putri kandung Sultan Mangkunegoro, mengapa wajahnya seperti baru berusia delapan belas tahun, Empu?" Empu Karniaga terdiam dulu sebelum menjawab. "Mungkin, karena memiliki ajian awet muda." Tak ada yang bersuara. Angin dingin berhembus. "Sudahlah. Benar atau tidaknya dugaanmu itu, lebih baik kita segera mencari Sultan Mangkunegoro dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa," kata Ki Patih Darmomulyo.

****

Di tempat yang cukup jauh dari Kesultanan Laut Selatan, di Hutan Wonocolo yang lebat. Sultan Mangkunegoro duduk sambil termenung. Sesekali terdengar desahan nafasnya.
"Aneh... Mengapa batin ku seolah bergetar bila mengingat nama Putri Samudera?" desisnya dalam hati Lelaki ini lantas melirik Sang Ratu Sri Dewi Rajasi yang sedang tertidur di balai-balai kayu kusam yang ditemukan Panglima Tinggi Mahesa Dewa. Malam semakin larut. Hewan malam yang berkeliaran menyanyikan tembang malam saling bersahut-sahutan.
"Mengapa begini" Padahal, Putri Samudera ingin membunuhku. Tetapi, dengan alasan apa?" tanya Sultan Mangkunegoro dalam hati. Sultan Mangkunegoro jadi pusing sendiri memikirkan apa yang berkecamuk di benaknya. Namun, semakin mencoba memikirkan tentang Putri Samudera, dia merasakan ada sebuah jarak yang teramat dekat. "Aneh..." Mengapa jadi begini" Siapa sebenarnya Putri Samudera" Mengapa pula menyerang Kesultanan dan berkeinginan untuk membunuhku?" Sultan Mangkunegoro masih tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya semakin galau dengan hati tak menentu.
"Kanda..., mengapa kau belum tidur?" Sultan Mangkunegoro tersentak, ketika terdengar suara dari sampingnya.
"Oh, Dinda... Tidak apa-apa," sahut Sultan Mangkunegoro.
"Sudahlah, Kanda. Terimalah keadaan ini dengan lapang dada. Mungkin Gusti Allah tengah menguji kita...," hibur wanita cantik itu. "Kau benar, Dinda. Tidurlah lagi."
"Mana bisa aku tidur, sementara kau masih terjaga begitu?" tukas Sang Ratu Sri Dewi Rajasi dengan suara lembut "Sebentar lagi aku pasti akan tidur. Dan Mahesa Dewa akan menjaga kita dari segala kesulitan. Sekarang Dinda tidurlah. Aku tahu, dia akan rela mengor-bankan seluruh jiwa dan raganya. Ah! Entah, bagaimana nasib yang lainnya?" Tak ada yang bersuara.
Sang Permaisuri segera memejamkan matanya.
Namun kali ini tak bisa segera tertidur. Pikirannya pun larut dalam kedukaan yang menimpa. Sementara itu, di luar gubuk yang ditemukan Panglima Tinggi Mahesa Dewa, panglima perkasa itu masih terjaga dengan kedua mata terbuka lebar. Dia memang sangat terlatih dalam hal menahan kantuk.
Bahkan dia mampu tak tidur selama tujuh hari tujuh malam. Angin berhembus dingin. Namun tak mempengaruhi lelaki itu, karena telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa dingin. Di saat genting seperti ini, Sang Panglima tidak berniat untuk membuat kayu bakar sebagai penambah kehangatan. Karena, bisa-bisa akan memancing perhatian Putri Samudera. "Hm.... Siapa sebenarnya Putri Samudera itu?" desisnya mengungkapkan apa yang sejak tadi dipikirkannya. "Kekejaman dan kesaktiannya sangat tinggi.
Mengapa dia hendak membunuh Sultan Mangkunegoro" Apakah wanita itu sisa-sisa dari pemberontak da-hulu" Tidak mungkin! Semuanya sudah disapu bersih sampai ke akar-akarnya. Tetapi, siapa dia?" Panglima Tinggi Mahesa Dewa merenung kembali. "Hm.... Tabir mimpi Sultan Mangkunegoro rupanya memang mengerikan.
Kedatangan Raras semakin menambah keyakinanku. Dan bahaya sudah datang mengancam bertubi-tubi. Tetapi kalau tidak salah, aku melihat seorang pemuda tampan berbaju hijau pupus. Hmm.... Kalau tak salah, Raras menyebutnya Pendekar Slebor. Ah! Rupanya orang yang berjuluk Pendekar Slebor masih sangat muda. Telah lama aku mendengar julukannya yang santer. Kelihatannya dia pun membantu. Mudah-mudahan dengan bantuannya, keadaan bisa mereda. Tetapi bagaimana bila berhasil dikalahkan Putri Samudera?" Kembali Panglima Tinggi Mahesa Dewa terdiam dengan pikiran berkecamuk dan semakin membuatnya galau. "Keselamatan Sultan Mangkunegoro dan Yang Mulia Sri Dewi Rajasi berada di tanganku sekarang.
Bagaimana nasib Empu Karniaga dan Ki Patih" Apakah mereka tewas dalam pertarungan mengerikan itu" Oh! Tidak seharusnya aku melarikan diri seperti ini.
Tetapi, ini bukan melarikan diri. Aku berusaha menyelamatkan Yang Agung dan istrinya. Bila aku sudah mendapat tempat aman, aku akan kembali ke Kesultanan. Tetapi sekarang ini, aku memang harus berdiam di Hutan Wonocolo ini. Dan selanjutnya, akan meneruskan perjalanan menuju Bukit Pedang. Yah.... Satu-satunya bantuan yang bisa diharapkan sekarang adalah menerima bantuan Dewa Pedang. Konon ilmu pedangnya sangat tinggi dan sukar ditandingi. Kudengar pula dia memiliki ajian bangsa siluman. Mudah-mudahan saja, dia mau membantu." Panglima Tinggi Mahesa Dewa terdiam. Berjuta harapan ada di dadanya berbaur kecemasan hatinya.
Malam semakin larut. Dan udara semakin berhembus dingin.

****

--o0{[| 8 |]}0o--

"Hm... Sekarang aku harus melepaskan diri." Pendekar Slebor segera mengerahkan tenaga 'inti petir' dan getaran ajian 'Guntur Selaksa'. Namun ikatan sinar itu tak putus juga. Bahkan sinar-sinar itu mulai menembus kulitnya, hingga berdarah.
Akhirnya, Andika memutuskan untuk mempergunakan ajian bangsa siluman yang pernah diajarkan Eyang Sasongko Murti (silakan baca: "Siluman Hutan Waringin").
Pendekar Slebor lantas duduk terdiam dengan kedua mata tertutup. Perlahan-lahan dia menarik napas, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Dan mendadak saja tubuhnya bagai mengeluarkan hawa yang sangat panas luar biasa. Bahkan terlihat kobaran api di sekujur tubuhnya. Itulah ajian 'Tapa Geni' yang sangat dahsyat. Dan tubuhnya bergetar hebat. Keringat pun mengalir keluar dari seluruh pori-porinya.
Tiba-tiba Andika merasakan kalau lilitan sinar itu perlahan-lahan mulai mengendor. Menyadari kalau ajian 'Tapa Geni' yang sedang dikerahkan mulai me-nampakkan hasil, dia pun semakin kuat mengalirkannya. Namun yang terjadi kemudian justru mengejutkannya. Karena, tiba-tiba saja sinar itu melilit kembali tubuhnya. Bahkan kali ini lebih keras dari yang semula. Semakin Andika mengerahkan ajian 'Tapa Ge-ni'.... "Aaa...!" Andika berteriak kesakitan. Tubuhnya kali ini kelojotan dengan teriakan bagai lolongan serigala.

****

Pada saat yang sama di satu tempat yang dikelilingi bunga-bunga emas, Putri Samudera tersenyum penuh kemenangan.
"Hm.... Ajian bangsa siluman yang kau miliki tak ada gunanya, Pendekar Slebor! Masih lebih dahsyat lagi ajian bangsa siluman dari Laut Selatan." Kedua tangan wanita itu yang menyatu di dada, bergetar hebat. Dan terlihat sinar kemerahan di sekujur tubuhnya yang sedikit bergetar mempertahankan sikap tubuhnya.
Rupanya saat ini Putri Samudera tengah berusaha menggagalkan keinginan Andika untuk melepaskan diri dari sinar hitam itu. Tadi, di saat dia hendak melanjutkan semadinya, tiba-tiba terasa sesuatu yang sangat keras bagai menimpanya. Seluruh mata batinnya segera dikerahkannya. Dan dilihatnya Andika sedang berusaha melepaskan diri dari lilitan sinar hi-tamnya.
"Apa yang dikatakan Eyang Dewi tentang pemuda ini memang benar. Dia sangat tangguh dan bisa menjadi lawan berbahaya. Beruntung sekali bila dia menjadi suamiku, meskipun saat ini adalah yang paling tepat untuk membunuhnya. Tak akan ada lagi penghalang yang paling tangguh untuk melaksanakan niatku membunuh Sultan Mangkunegoro. Hhh! Aku ingin tahu, siapa yang berjuluk Dewa Pedang itu," gumam Putri Samudera. Segera ilmunya dikerahkan kembali untuk menangkal ajian 'Tapa Geni' yang dikerahkan Andika. "Kau akan mengalami hal yang parah bila tidak segera melepaskan ajian 'Tapa Geni' itu.
Seluruh tenaga dalammu akan hilang. Namun, tak menghilangkan kejantanan mu yang kubutuhkan."

****

Andika yang tengah berteriak setinggi langit menahan rasa sakit, segera sadar kalau harus melepaskan ajian 'Tapa Geni' bila tidak ingin menderita sesuatu yang tak diinginkannya. Begitu melepaskan ajian 'Tapa Geni', Pendekar Slebor tak lagi merasakan hujaman ikatan sinar hitam yang mulai menembus dagingnya. Ditariknya napas panjang dengan tubuh berkeringat.
"Kambing congek! Mengapa jadi berbalik seperti ini?" gerutu Andika, terengahengah. Otak encernya segera mendapat jawabannya. "Hmm... Aku yakin, Putri Samudera mengetahui perbuatanku. Bisa berbahaya sekarang. Apa dayaku untuk melepaskan diri dari semua ini" Keadaan akan menjadi kacau bila Putri Samudera sudah bergerak lagi dan muncul ke daratan, untuk meneruskan keinginannya membunuh Sultan Mangkunegoro." Andika pun terdiam dengan pikiran galau.
Pada saat Pendekar Slebor menghentikan ajian 'Tapa Geni'nya, Putri Samudera pun menghentikan seluruh ajian penangkalnya. Bibirnya tersenyum sendirian. "Kau benar, Eyang Dewi.... Memiliki seorang suami seperti Pendekar Slebor, akan membuatku semakin hebat saja. Dan kemungkinan, aku bisa menguasai dirinya untuk memperlancar niatku membunuh Sultan Mangkunegoro." Putri Samudera terbahak-bahak keras.
"Hm.... Sebaiknya aku menemui Raras sekarang. Aku yakin, dia sudah siuman."

****

Saat ini Raras sudah siuman. Matanya memandang penuh keheranan ke sekelilingnya. Keningnya berkerut berkali-kali tak mengerti.
"Apakah aku berada di surga?" desisnya. "Tempat ini seluruhnya terbuat dari emas." Gadis ini masih tak bisa mempercayai indera perabanya tentang dinding-dinding yang berkilauan itu. Berkali-kali pula tangannya meraba.
"Emas! Ini memang emas! Oh"! Apakah surga dipenuhi emas" Seingatku, aku berada di Kesultanan Laut Selatan yang sedang diserang Putri Samudera" Dan ketika aku menyerangnya, dia memukulku pingsan. Apakah ini bukan tempat tinggal Putri Samudera?" oceh gadis ini sendirian.
"Kau benar, Raras." Terdengar suara, bersamaan dengan pintu yang terbuka. Putri Samudera telah berdiri di ambang pintu penuh seringai.
"Ini memang tempatku. Dan sekarang kau menjadi tawananku. Jadi..., bersikaplah yang sopan," lanjut Putri Samudra.
Raras langsung siaga. Kedua pedangnya diloloskan dengan tatapan geram.
"Gadis keparat! Kau pikir aku tak berani menantangmu, hah"!" bentak Raras.
"Siapa bilang begitu"! Dan..., apa yang ingin kau lakukan dengan kedua pedangmu itu, Raras?"
"Aku ingin membunuhmu!" Sehabis berkata begitu, Raras langsung bergerak dengan kecepatan penuh. Jurus 'Dua Pedang Membelah Langit' langsung dikerahkannya.
Namun Putri Samudera cukup mengangkat sebelah tangannya saja ke arah Raras.
"Eh.."!" Dan tiba-tiba Raras merasa gerakannya melambat. Lalu tubuhnya sulit digerakkan. Rupanya Putri Samudera telah menotok Raras dengan ilmu totokan sangat dahsyat dan aneh, karena dilepaskan dari jarak jauh.
"Setan! Lepaskan aku! Lepaskan! Kau harus mampus, Keparat!" maki Raras.
Putri Samudera tertawa keras.
"Itu adalah upah dari kelancanganmu yang hendak mencampuri urusanku!" desis wanita ini.
Raras masih berteriak-teriak keras. Sementara Putri Samudera hanya berdiri di hadapannya sambil tersenyum sinis.
"Kau hanya membuang-buang tenagamu saja! Simpanlah tenagamu. Karena, kau akan mengalami sesuatu yang sangat mengerikan!" katanya dingin, penuh ancaman.
"Peduli setan dengan ancamanmu! Lepaskan! Kita bertarung sampai mampus!"
"Dibantu teman-temanmu saja, kau tak mampu mengalahkan aku, Raras. Apalagi seorang diri dan berada di kediamanku ini?"
"Peduli setan!"
"Oh, ya. Aku salah bila mengatakan kau seorang diri di sini," ralat Putri Samudera kemudian dengan senyum semakin dingin.
"Nah! Lihatlah ke kirimu!" Raras sebenarnya enggan untuk melakukannya. Namun dia merasa ada sebuah tenaga kuat yang memaksanya untuk menatap ke kiri.
Dan gadis ini terkejut bukan main, karena dinding yang terbuat dari emas tadi mendadak bagaikan tembus pandang. Dan keterkejutan akan perubahan dinding itu beralih ke hal yang lebih mengagetkannya. Tampak Pendekar Slebor dalam keadaan tak berdaya dengan kedua kaki tertekuk dan tubuh di-lilit sinar hitam sangat ketat. Kelihatan sekali bagaimana Pendekar Slebor tak mampu bergerak.
"Keparat!" bentak Raras keras. "Aku akan mengadu jiwa denganmu, Putri Samudera!" Putri Samudera terbahak-bahak saja. "Kau tak perlu mencemaskan suamimu. Dia akan aman saja.
Dan aku tak akan membunuhnya. Hanya sayangnya, suamimu itu sebentar lagi akan menikah denganku," kata Putri Samudera.
Meskipun kening Raras berkerut mendengar Putri Samudera menyebut suami buat Pendekar Slebor, namun untuk saat ini dia tak ingin menanyakannya. "Peduli setan apakah dia hendak menikah denganmu atau tidak! Tetapi, lepaskan dia! Atau, lepaskan aku. Dan, kita bertarung sampai mati!" dengus Raras. Putri Samudera yang percaya akan kata-kata Pendekar Slebor kalau Raras adalah istrinya, sangat menikmati permainan yang diciptakannya. Karena, akan membuat gadis itu muak dan cemburu padanya.
"Maafkan aku yang telah membuatmu cemburu. Kekasihmu itu memang tampan sekali. Dan aku bisa mengerti kekecewaanmu bila menyaksikan bagaimana suamimu akan menikah denganku!" Justru Raras yang semakin tak mengerti. Namun hatinya yang geram karena melihat bagaimana Pendekar Slebor dalam keadaan tak berdaya, membuatnya berteriak-teriak keras dengan amarah menggele-gak "Manusia hina! Lepaskan dia! Lepaskan!"
"Sayang sekali, aku membutuhkannya. Maafkan aku yang telah membuatmu gusar," kata Putri Samudera, di sela-sela teriakan Raras.
"Setan!" geram Raras.
Gadis ini semakin tak mengerti mengapa Putri Samudera mengatakan Pendekar Slebor adalah suaminya. Bahkan telah berhasil membuatnya cemburu.
Namun, hatinya dibalur kemarahan menggelegar, menyadari kalau dirinya dan Pendekar Slebor menjadi tawanan Putri Samudera.
"Dan kau sendiri, akan mendapatkan sebuah anugerah yang sangat besar. Karena, aku membutuhkan darah sucimu untuk menjaga agar aku tetap awet muda..."
"Iblis! Ayo, lepaskan aku! Lebih baik aku mati daripada melakukan keinginanmu!"
"Hal yang sama pun dikatakan suamimu! Sayangnya, kalian berdua tak akan mampu berbuat apa-apa. Takdir sudah menulis, kalau kalian akan menghuni tempat ini untuk sementara. Karena, setelah berhasil kuambil darah sucimu dan kuambil kejantanan Pendekar Slebor, maka kalian harus mampus.
Dan aku akan membunuh Sultan Mangkunegoro, untuk selanjutnya menguasai rimba persilatan di daratan! Ha ha ha...!" Masih terbahak-bahak Putri Samudera meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Raras yang tengah geram meskipun tak mengerti apa maksud Putri Samudera mengatakan Pendekar Slebor adalah suaminya. Yang disadari gadis ini sekarang, bukan hanya nyawa Sultan Mangkunegoro saja yang terancam. Tapi juga nyawanya sendiri, bahkan..., nyawa Pendekar Slebor!

****

--o0{[| 9 |]}0o--

Bukit Pedang siang hari.
Matahari panas menyengat. Siang meranggas, menebarkan debu-debu menyakitkan. Binatang yang biasanya banyak hidup di sana, tak ada yang berkeliaran. Tak kecuali burungburung. Bentuk bukit yang terjal itu memang aneh. Dari kejauhan, terlihat seperti sebilah pedang. Gagangnya di bawah, ujungnya yang tajam menjulang ke atas. Di sanalah Dewa Pedang hidup selama lima puluh tahun.
Dan selama lima belas tahun pula, Dewa Pedang menggembleng Raras yang merupakan murid sa tu-satunya. Saat ini, laki-laki bertubuh gagah berpakaian serba putih itu tengah bersemadi, menyatukan diri dengan Yang Maha Pencipta. Warna rambutnya yang memutih dan wajahnya terlihat kokoh meskipun sudah mulai ditumbuhi keriput. Di wajahnya tampak guratan-guratan dari selaksa peristiwa yang pernah di-arunginya. Di sisi laki-laki berusia sekitar delapan puluh tahun itu terdapat sebilah pedang berwarangka keemasan, dengan butir-butir mutiara di sepanjang warangkanya. Melalui mata batinnya Dewa Pedang berusaha menerobos alam gaib untuk melihat keberadaan muridnya. Dan melalui batinnya pula dia mampu melihat keberadaan seorang pemuda berbaju hijau pupus.
"Raras dalam bahaya," desahnya. "Begitu pula pemuda yang aku yakini adalah Pendekar Slebor.
Nampaknya pemuda itu akan mampu menguasai keadaan. Akan tetapi untuk saat ini, dia tak lebih dari seorang pesakitan belaka." Dewa Pedang perlahan-lahan membuka matanya. Kepalanya mengangguk-angguk dengan wajah sedikit cerah. "Hmm... Pemuda berjuluk Pendekar Slebor. Kalau tak salah aku memang pernah mendengarnya. Dialah pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Namun menghadapi ajian bangsa siluman, pemuda itu memang bisa dikatakan tak berdaya, meskipun juga memiliki ajian bangsa siluman. Yaahh..., mudahmudahan dia akan menemukan akal...," gumam Dewa Pedang. Dewa Pedang terdiam kembali. Dan sebelum melanjutkan gumamannya, tiba-tiba saja pendengarannya yang terlatih dan sangat tajam, menangkap suara di lereng Bukit Pedang.
Dengan mempergunakan mata batinnya, lelaki tua ini bisa melihat kalau yang datang adalah Sultan Mangkunegoro, Permaisuri Sri Dewi Rajasi, dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Hmm.... Rupanya Panglima Tinggi Mahesa Dewa membawa Yang Agung dan permaisuri ke sini. Aku harus segera menyambutnya." Dewa Pedang bangkit, lalu melangkah ke pintu pondoknya. Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat. Dengan sekali berkelebat saja, dia sudah menghilang dari pandangan. Dan tahu-tahu dia sudah berhenti, langsung berlutut di hadapan Sultan Mangkunegoro.
"Salam hormat untuk Yang Agung Sultan Mangkunegoro dan Yang Mulia Permaisuri Sri Dewi Rajasi." Sejenak rombongan sultan itu jadi terkejut. Tetapi mereka segera tenang kembali begitu mengenali Dewa Pedang. "Oh, Dewa Pedang.... Tak kusangka kau mengetahui kedatangan kami," sahut Sultan Mangkunegoro dengan suara hangat.
"Daulat, Yang Agung. Terima kasih Yang Agung sudi singgah di tempatku yang kotor dan jelek ini." Sultan Mangkunegoro tersenyum.
"Berdirilah. Aku terpaksa mengganggumu," ujar Penguasa Kesultanan Laut Selatan.
"Seluruh jiwa dan ragaku, milik Yang Agung," sahut Dewa Pedang seraya bangkit.
Sultan Mangkunegoro jadi terharu mendengarnya. Lalu kakinya melangkah bersama Permaisuri Sri Dewi Rajasi. Begitu keduanya melangkah, Panglima Tinggi Mahesa Dewa mengatupkan kedua telapak tangan di dada pada Dewa Pedang.
"Mungkin kedatangan kami menganggu, Dewa Pedang," kata panglima itu.
Dewa Pedang tersenyum. "Silakan, Mahesa. Dalam keadaan seperti ini, kita memang harus saling membantu. Putri Samudera memang tokoh yang baru muncul. Tetapi sepak terjang dan kesaktiannya sangat tinggi sekali." Panglima Tinggi Mahesa Dewa hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Meskipun demikian, aku masih penasaran.
Dan lebih rela bertarung mati-matian daripada menahan sakit hati yang semakin dalam." Dewa Pedang tersenyum. Dapat dimaklumi kegusaran hati Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
Lalu mereka pun perlahan-lahan menaiki Bukit Pedang.

****

Dengan kedatangan Sultan Mangkunegoro dan permaisuri, Dewa Pedang menjadi sedikit sibuk. Gubuknya dirapikan dengan gerakan sangat luar biasa cepatnya. Namun semuanya itu dilakukan penuh rasa hormat. Bahkan dia telah menyediakan buah-buahan yang bisa dipetik di sana.
Karena lelah, Sultan Mangkunegoro dan permaisuri tertidur. Sementara Dewa Pedang dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa berada di luar.
Udara dingin mulai menggigit. Senja temaram sebentar lagi akan tiba. Burung-burung pun mulai pulang ke sarangnya.
"Dewa Pedang.... Adakah yang kau ketahui tentang Putri Samudera?" tanya Panglima Tinggi Mahesa Dewa memecah kesunyian.
Dewa Pedang mengangguk-angguk.
"Mungkin, Empu Karniaga pun menduga akan hal itu. Dugaannya sama dengan dugaanku," sahut Dewa Pedang.
"Oh"! Soal apa itu?" Dewa Pedang mengatakan dugaannya. Panglima Tinggi Mahesa Dewa sampai terjingkat karena terkejutnya. "Jadi, Putri Samudera kemungkinan besar adalah putri Sultan sendiri?" tanya Panglima Tinggi Mahesa Dewa, seakan ingin lebih yakin lagi. "Ini hanya kemungkinan. Kebenarannya bisa diketahui dari mulut Putri Samudera sendiri. Akan tetapi, sangat sulit bagi kita untuk mengorek keterangan itu," jelas Dewa Pedang.
Panglima Tinggi Mahesa Dewa terdiam. Dugaan-dugaan yang membuatnya tak mengerti mulai bermunculan. "Dendam karena merasa perlakuan Sultan-lah yang membuatnya melakukan seperti itu. Lagi pula, kau jangan lupa, Mahesa. Dia adalah murid Eyang Dewi Samudera yang sampai sekarang kita tak pernah mengerti bagaimana pribadi sesungguhnya...."
"Tahukah kau, di mana dia berada sekarang?"
"Di kerajaan dasar Laut Selatan. Kerajaan milik Eyang Dewi Samudera. Di sana pula muridku sekarang menjadi tawanannya. Juga seorang pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor."
"Ya.... Aku pun melihat kehadiran Pendekar Slebor, saat Putri Samudera menyerang Kesultanan dan ingin membunuh Sultan. Kalau begitu, aku akan ke sana segera." Dewa Pedang tersenyum. "Bukan kusangsikan kepandaianmu, Mahesa. Akan tetapi yang perlu kau ketahui, Putri Samudera adalah murid Eyang Dewi Samudera. Sudah tentu kesaktian Eyang Dewi Samudera diturunkan padanya. Lagi pula, kau akan mengalami kesulitan sangat luar biasa untuk masuk ke Kerajaan Laut Selatan. Jangankan untuk masuk, untuk menemukannya saja sangat sulit."
"Gusti! Bagaimana cara mengalahkannya" Dewa Pedang! Bukankah kau memiliki ajian bangsa siluman pula" Apakah kau tak bisa menembus dan mencari tahu, di mana Kerajaan Laut Selatan itu?"
"Kemungkinan itu memang ada. Akan tetapi, aku tak akan kuasa untuk melakukannya. Harapan kita satu-satunya, Pendekar Slebor-lah yang mampu melakukannya. Meskipun, saat ini masih ku sangsikan."
"Mengapa kau yakin, tetapi menyangsikan kemampuan Pendekar Slebor?" tanya Panglima Tinggi Mahesa Dewa heran.
"Sekarang ini dia ditawan Putri Samudera. Bila saja sampai menikah dengannya, tak mustahil Pendekar Slebor akan mati," jelas Dewa Pedang.
"Kalau begitu, hanya akulah yang bisa mengatasi semua ini...." Mendadak terdengar suara di belakang mereka.
Serentak keduanya bangkit dan segera berlutut di hadapan sosok yang ternyata Sultan Mangkunegoro.
"Bangunlah.... Aku sudah mendengar semua itu," ujar Sultan Mangkunegoro sambil tersenyum bijaksana. "Aku pun sudah menduga ke arah itu sebenarnya. Karena, aku merasa begitu dekat sekali, saat pertama kali melihat wajah Putri Samudera. Mungkin ini dulu kesalahanku. Dan tak pernah kusangka akan terjadi seperti ini. Mungkin, kelalaiankulah yang membuatnya terjadi. Padahal sekali pun aku tak pernah mengusir Murti Ningsih yang saat itu sedang hamil.
Gadis itu saja yang meninggalkan ku. Dan aku tak sempat memikirkannya lagi, karena Kesultanan sedang menghadapi pemberontakan.
Setelah semua-nya berhasil diatasi, aku mencari Murti Ningsih. Namun dia tak pernah bisa kutemukan sampai aku diangkat menjadi Sultan."
"Maafkan kami, Yang Agung," ucap Dewa Pedang. "Tak ada yang perlu dimaafkan. Ini mungkin ganjaran yang nyata akibat kelalaian ku dulu. Dewa Pedang.... Dapatkah kau mengantarku ke Kerajaan Laut Selatan?" Dewa Pedang mengangguk.
"Antarkan aku ke sana."
"Maafkan hamba, Yang Agung. Bukan hamba menolak titah Yang Agung. Akan tetapi, sebaiknya Yang Agung jangan meninggalkan Bukit Pedang untuk sekarang ini. Karena, Putri Samudera masih akan mencari Yang Agung untuk menuntaskan seluruh sakit hatinya."
"Aku akan menerima keadilan itu."
"Maafkan hamba, Yang Agung. Mungkin semuanya masih bisa ditenangkan. Karena hamba yakin, Pendekar Slebor akan mampu mengatasi semua itu."
"Menurutmu, Pendekar Slebor berada dalam cengkeraman Putri Samudera?"
"Betul."
"Bagaimana bisa kau katakan kalau dia akan mampu mengatasi semua ini?"
"Karena, dia adalah seorang pemuda cerdik. Di samping itu, kemampuannya tak perlu disangsikan lagi." Sultan Mangkunegoro mendesah pendek. "Ini kesalahanku. Kalian semua jadi terlibat."
"Tidak, Yang Agung. Ini hanyalah salah paham yang melebar. Salah pengertian yang dialami Putri Samudera. Bila saja dia mau bersabar dan bertanya lebih dulu duduk perkara masalah ini, bisa jadi akan mengerti."
"Kau benar, Dewa Pedang. Tetapi, perasaan berdosa telah merambat hatiku. Kau tahu, betapa banyak para prajuritku yang setia harus menjadi korban" Berapa banyak kerugian yang diderita Kesultanan" Rasanya, memang adil bila aku menerima hukuman yang akan dijatuhkan Putri Samudera." Tak ada yang bersuara. Dewa Pedang dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa sama-sama menyesali, mengapa Sultan Mangkunegoro sampai mengetahui semua ini. "Kesalahan ini memang harus ku tebus," desah Sultan Mangkunegoro sambil melangkah masuk kembali ke gubuknya. Inilah jawaban yang membuatnya berhari-hari memikirkan tentang Putri Samudera.
Tak ada yang bersuara beberapa saat. Sampai kemudian, Dewa Pedang memecah kesunyian.
"Sekarang..., mau tak mau aku harus masuk ke Kerajaan Laut Selatan, Mahesa."

****

--o0{[| 10 |]}0o--

Benarkah yang dikatakan Dewa Pedang kalau Pendekar Slebor memiliki kecerdikan untuk mengatasi keadaannya yang berada di bawah cengkeraman Putri Samudera. Yang jelas, Putri Samudera saat ini telah muncul di kamar Pendekar Slebor. Si pemuda saat ini menjadi sangat letih, karena sudah dua hari dua malam tidak makan. Bahkan dalam keadaan terikat oleh sinar hitam yang sangat kuat sekaligus aneh itu.
Tetapi, bukan Andika kalau tak bisa bertingkah walau dalam keadaan terjepit sekalipun.
Begitu Putri Samudera muncul, Andika memasang wajah cengar-cengir.
"Apa kubilang! Kau pasti muncul karena kangen sama aku, 'kan" Memang susah cari orang sepertiku. Maklum, sudah tak keluar lagi di pasaran. Oh, ya. Maaf, ya. Aku tak mau menikah denganmu. Habis di duniaku masih banyak gadis yang lebih cantik dan bahenol, sih....," oceh Andika. Wajah Putri Samudera memerah. Sesungguhnya, bila tak ingat akan pesan Eyang Dewi Samudera sudah dibunuhnya pemuda sialan ini.
"Jangan banyak bacot! Kau tak akan bisa melarikan diri dari kenyataan itu!" desis wanita itu seraya melangkah mendekati Pendekar Slebor.
Tangan halus Putri Samudera bergerak bagai menepuk nyamuk.
Pak! Tiba-tiba saja tubuh Andika terjatuh di lantai, setelah sinar hitam yang melilitnya terlepas.
Meskipun Andika sudah terlepas dari belenggu yang menyiksanya, akan tetapi sebenarnya merasa penat bukan main. Dalam keadaan kaki tertekuk dan tangan menjadi satu, seolah darahnya sulit mengalir.
Dan kini perlahan-lahan tenaga dalamnya dialirkan.
"Pendekar Slebor! Bila kau mencoba menolak keinginanku, maka kau akan mati," desis Putri Samudera dengan sinar mata dingin.
"Sayang aku masih doyan nasi uduk dengan lalap jengkol. Dimakan pagi hari pakai sambal, wuih, enak sekali!" sahut Pendekar Slebor, ngawur.
"Keparat!" bentak Putri Samudera dengan wajah memerah kelam mendengar seloroh Andika yang membuatnya benar-benar muak. Tiba-tiba tangannya mengibas. Wuutt! Andika yang masih belum pulih benar tenaganya hanya bisa sedikit melompat menghindar. Tapi tak urung tangan kirinya terhantam pukulan yang keras itu. Andika terpelanting ke belakang, namun tetap hanya cengar-cengir saja.
Padahal dia ingin berteriak kuat-kuat karena rasa sakit luar biasa diderita.
"Ayo lagi! Lagi! Sekalian saja. Daripada aku menikah denganmu"!" serunya sambil menjulurjulurkan lidahnya.
Tangan Putri Samudera mengibas kembali.
Wuutt...! Kali ini Andika yang sudah memperhitungkannya berhasil meloloskan diri dengan jalan bergulingan.
Melihat hal itu, Putri Samudera semakin bertambah geram dan menyerang bertubi-tubi.
Jder! Jder! Pukulan keras itu menghantam dinding yang terbuat dari emas hingga jebol dengan suara keras.
Bersamaan dengan jebolnya dinding itu, Raras yang berada di kamar sebelah terpelanting deras ke belakang. "Raras!" seru Andika begitu melihat dan segera bergulingan mendekat "Aduh...," desis Raras tak mampu.
Dadanya terasa sangat sakit sekali. Tulangtulang belulangnya bagaikan remuk, namun hatinya lebih tenang karena ada Andika di sisinya.
"Tahan! Bila kita tenang dan sabar, aku yakin bisa menghancurkan Putri Samudera." Lalu Andika segera berusaha untuk membebaskan gadis yang wajahnya memucat itu. Rupanya, selama dua hari dua malam tidak makan, keadaan Raras lebih memprihatinkan dibanding Andika.
Putri Samudera melesat ke kamar sebelah. Betapa geram hatinya melihat bagaimana Andika sedang berusaha membebaskan Raras dari totokan. Sementara dalam pandangannya sikap Raras begitu manja sekali pada Andika.
"Keparat! Kalian membuatku muak!" desis wanita itu. Kedua tangan Putri Samudera bertepuk dua kali. Mendadak saja terlihat sinar merah yang sangat menyilaukan menerangi kedua tangannya. Andika yang masih berusaha menemukan totokan Putri Samudera di tubuh Raras, terperanjat sebelum berhasil menemukannya.
Diam-diam si pemuda yakin kalau ajian yang akan dilepaskan Putri Samudera itu sangat dahsyat.
Dalam keadaan seperti ini, memang sangat sulit untuk menghindar. Terutama, untuk menyelamatkan Raras.
Andika masih memperhitungkan, kalau tidak ingin melihat Raras celaka. Tiba-tiba saja tangannya diangkat.
"Tahan!" seru Andika.
"Pemuda keparat! Apa lagi yang hendak kau mainkan, hah"!" geram Putri Samudera.
Kali ini Putri Samudera tak peduli lagi dengan pesan Eyang Dewi Samudera yang menyuruhnya untuk menikahi Pendekar Slebor. Baginya, biarlah pemu-da sialan yang selalu membuat telinganya memerah itu mampus! Perlahan-lahan Andika berdiri dengan otak berpikir keras.
"Kulihat, kau memang ingin membunuh kami, ya?" usik Andika.
"Tanpa bertanya, kau sudah tahu jawabannya!" sahut Putri Samudera mantap.
"Lho" Katanya mau kawin" Atau..., janganjangan kau cemburu, ya?" Bukan hanya wajah Putri Samudera yang memerah. Telinganya pun demikian. Dan hatinya semakin geram. "Keparat! Kau mampuslah!"
"Hei! Kau 'kan hendak menjadi istriku" Masa' tega membunuhku?" seru Andika.
Pendekar Slebor terus memikirkan nasib Raras.
Tidak mustahil gadis ini akan sulit diselamatkan, karena cahaya panas berpendarpendar itu sangat menyilaukannya. Bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya bila pukulan itu dilepaskan Putri Samudera. Jalan sa-tu-satunya, Putri Samudera harus dibujuk sampai berhasil menemukan totokan pada tubuh Raras yang tak berdaya. Kata-kata Andika yang penuh bujukan itu akhirnya termakan juga oleh Putri Samudera. Perlahanlahan kedua tangannya diturunkan. Maka sinar merah yang menyilaukan itu pun perlahan-lahan pula menghilang. Diam-diam Andika menghela napas.
"Baik! Kau harus secepatnya menikah denganku!"
"Itu bisa diatur! Tetapi, kau harus membebaskan dulu Raras dari totokanmu!" cetus Andika, memberikan syarat.
"Justru dia akan kubawa sekarang!" Kali ini Andika terlengak mendengar kata-kata Putri Samudera. Dia memaki dirinya sesaat, yang tak memikirkan kemungkinan itu.
Tetapi bukan Andika kalau tak bisa membalasnya dengan cerdik.
"Kalau begitu, aku tidak mau menikah denganmu," kata Andika, kalem.
"Persetan dengan pernikahan itu! Toh, aku bisa memaksamu untuk melakukannya!"
"Wah, kawin terpaksa itu tidak baik! Kalau begitu aku memilih mati saja!" kata Andika semakin ngawur. Sementara dia terus berpikir untuk melepaskan diri dari semua ini.
"Kalau begitu, matilah kau!"
"Dengan kematianku, kau tidak mengindahkan pesan Eyang Dewi Samudera! Berarti kau mengkhianatinya! Dan kau bisa mati, Putri Samudera!" Putri Samudera terdiam kali ini. Kegeramannya kelihatan ditahan setengah mati. Namun dibenarkan pula kata-kata Andika barusan. Dengan kata lain, bila Andika dibiarkan mati maka dia gagal menikahi Andika. Dan berarti, dia telah melanggar pesan Eyang Dewi Samudera. Ini tak boleh terjadi! "Baik! Kita menikah lebih dulu! Setelah menikah, kau harus menyerahkan gadis itu kepadaku!" ka-ta Putri Samudera, akhirnya.
"Kalau soal itu sih beres," kata Andika sambil tersenyum.
Pendekar Slebor merasa telah terbebas dari belenggu pertama yang membingungkannya. Dan dia telah mendapatkan jalan keluar yang terbaik Sementara itu Putri Samudera pun melangkah meninggalkan tempat itu dengan hati kesal.
"Jangan main-main, ya! Aku sudah tak sabar nih!" Putri Samudera tak menghiraukan kata-kata Pendekar Slebor yang membuatnya semakin kesal. Tetapi, pesan Eyang Dewi tak boleh dilanggar. Putri Samudera bersumpah, bila berhasil menikah dan memiliki tenaga 'inti petir' yang dimiliki Andika, dia akan segera membunuh Pendekar Slebor.
"Kang Andika..., mengapa kau membuat perjanjian seperti itu" Kau tak harus melakukannya, hanya untuk menyelamatkan aku," kata Raras, setelah Putri Samudera tak terlihat lagi.
Andika tertawa.
"Siapa yang membuat perjanjian" Aku tidak merasa berjanji?" sahut Pendekar Slebor santai.
Kembali Andika berusaha mencari letak totokan yang dilakukan Putri Samudera. Dan tak lama kemudian dia pun menemukannya.
Sebenarnya totokan itu berada di pangkal lengan dan mata kaki Raras. Namun totokan yang dilakukan Putri Samudera menggunakan tenaga hampa udara. Sehingga, akan sulit ditemukan bila bukan oleh seorang pendekar tingkat tinggi. Untuk membebaskan totokan seperti ini, Andika harus mempergunakan tenaga panas dalam tubuhnya. Dia berharap akan bisa segera membebaskan Raras. Karena, bila sampai tiga kali melakukannya namun gagal, maka tubuh Raras akan tersengat hawa panas yang dipancarkannya.
"Kau harus mengalirkan hawa dingin di tubuhmu, Raras. Agar kau tidak terlalu merasakan panas yang akan menyengat," kata Andika, memberi ta-hu.
"Lakukanlah, Kang Andika."
"Kalau kau sudah bebas, kita akan mencari kesempatan untuk meloloskan diri!" Andika memegang tubuh Raras yang mulai terasa dingin. Rupanya gadis itu sudah mengalirkan ha-wa dingin ke seluruh tubuhnya. Lalu tangan Pendekar Slebor bergerak cepat. Dan....
Tuk! Tuk! Tuk! Tubuh Raras terjingkat disertai keluhan cukup keras. Tubuhnya pun menjadi sempoyongan. Dengan cepat Andika menangkapnya hingga tidak terjatuh.
"Alirkan hawa panasmu. Cepat!" ujar si pemuda. Dalam keadaan lemah seperti itu, sebenarnya Ra- ras tak akan mampu mengalirkan hawa panasnya.
Maka dengan segera Andika membantunya. Cepat dialirkannya tenaga 'inti petir' yang dimilikinya. Dengan begitu, Raras mampu melakukan yang diperintah Andika. Dan perlahan-lahan, aliran darahnya terasa kembali berjalan seperti biasa.
"Terima kasih, Kang Andika," ucap Raras sambil menghapus peluh di sekujur tubuhnya yang perlahan-lahan terasa segar kembali.
Andika tersenyum.
"Aku juga mengucapkan terima kasih," kata Andika. "Dalam hal apa?"
"Merangkulmu itu suatu pengalaman yang sangat luar biasa," sahut Andika nyengir.
Raras tertawa pula. Diam-diam mulai disukainya sikap Andika yang menurutnya agak urakan, namun menyenangkan. Tiba-tiba ingatannya kembali pada kata-kata Putri Samudera yang mengatakan kalau Pendekar Slebor adalah suaminya.
"Kau tidak usah heran," kata Andika setelah Raras mengatakan akan hal itu.
"Karena, memang aku yang mengatakannya. Eh! Kalau kau tidak suka, kau boleh marah. Lagi pula, aku cuma membohongi Putri Samudera saja, 'kan?" Mendengar kata-kata Andika, justru Raras jadi tertunduk. Entah mengapa, hatinya menjadi teradukaduk tak karuan. Kalau sebelumnya merasa aneh dengan ucapan Putri Samudera, justru sekarang ma-lah tidak enak mendengar kata-kata Andika.
Sementara kini Andika kembali berpikir untuk meloloskan diri dari Kerajaan Laut Selatan. Makanya dia tak menghiraukan Raras.
Karena pikirnya, Raras mungkin sedang berpikir apakah harus marah atau tidak.

****

Dan sebelum Pendekar Slebor merangkai jalan keluar yang sudah didapat dalam pikirannya, tiba-tiba saja Busss...! Segumpal asap tebal menebarkan bau sangat wangi tercium oleh hidung mereka. Andika terkejut, cepat dibawanya tubuh Raras melesat keluar.
"Asap pembius!" serunya.
Akan tetapi, belum lagi melewati ambang pintu, tiba-tiba Pendekar Slebor merasakan sebuah hantaman sangat kuat menerpa tubuhnya, hingga terpental ke belakang. Tubuh Raras yang dipegangnya tadi bagai ada yang menarik, terlepas dari pegangannya.
"Raras!" seru Pendekar Slebor keras, bersamaan lenyapnya tubuh Raras dari pandangan. Sejenak Andika berusaha mengejar, akan tetapi asap pembius yang menebarkan bau wangi telah tercium dan terhirup hidungnya. Dia gelagapan beberapa saat, lalu pingsan.

****

--o0{[| 11 |]}0o--

Putri Samudera membawa tubuh Raras yang pingsan ke sebuah ruangan indah dan megah. Letaknya kira-kira sepuluh tombak dari tempat Andika pingsan. Wanita ini terbahak-bahak ketika membaringkan tubuh Raras yang pingsan ke sebuah batu dari emas. "Rupanya Pendekar Slebor mengira lebih cerdik dariku! Tidak akan pernah kubiarkan dia menghalangi seluruh keinginanku! Hhh! Kini tiba saatnya kuambil darah suci gadis ini untuk menambah ilmu awet muda yang kumiliki." Setelah meletakkan tubuh Raras di atas batu emas, Putri Samudera mengambil sikap bersemadi. Dia terdiam beberapa saat.
Seluruh inderanya ditutup.
Dan pusat sukmanya ditujukan pada satu titik. Hanya sesaat. Tiba-tiba wanita itu membuka matanya. Sorot-nya sangat tajam, bak mata seekor serigala lapar.
Bibirnya menyeringai mengerikan. Dia mendesis bagai ular. "Eyang Dewi.... Pesanmu yang pertama akan kulaksanakan sekarang!" Mendadak saja Putri Samudera mengulapkan kedua tangannya ke atas. Seketika, muncul asap hitam yang menyelingkupi tubuhnya. Dan perlahanlahan, asap itu seperti membentuk dua buah tangan.
Bagai digerakkan tenaga gaib, asap yang menjelma menjadi tangan itu bergerak ke arah tubuh Raras. Mengitarinya berkali-kali, lalu berhenti tepat di atas anggota tubuh Raras yang paling rahasia.
Perlahan-lahan asap itu menurun, mulai meraba. Namun mendadak saja....
Wusss...! Blap! Asap hitam berbentuk tangan itu sirna, ketika serangkum angin dahsyat menghantam dengan suara mengerikan. "Keparat! Mau cari mampus rupanya!" bentak Putri Samudera. Suaranya mampu merontokkan jantung. Wanita ini telah berdiri tegak. Matanya terbelalak, melihat sosok Pendekar Slebor dan sosok seorang laki-laki yang memegang pedang berwarangka penuh mutiara!

****

"Maaf.... tak kuizinkan kau melakukan hal seperti itu...," kata Pendekar Slebor sambil nyengir.
"Pemuda tak tahu diuntung! Mau cari mampus!" Saat itu, Putri Samudera melesat ke arah Andika dengan gerakan cepat luar biasa. Gerakannya menimbulkan deru angin menyakitkan.
Dengan serentak Pendekar Slebor mencelat ke samping. Begitu pula sosok yang memegang pedang berwarangka mutiara yang tak lain Dewa Pedang.
Bagaimana mungkin Andika yang sedang pingsan itu tahu-tahu sudah muncul di hadapan Putri Samudera bersama Dewa Pedang" Ketika menyatakan keinginannya pada Panglima Tinggi Mahesa Dewa untuk segera menyusup masuk ke Kerajaan Laut Selatan, Dewa Pedang pun segera melakukannya.
Dengan ajian bangsa siluman yang pernah dipelajarinya, tiba-tiba saja tubuh Dewa Pedang lenyap dari pandangan Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
Dengan keahliannya, guru dari Raras itu perlahan-lahan masuk ke Kerajaan Laut Selatan. Ajian 'Pandangan Menembus Sukma' yang telah dipancarkannya, membuatnya tak banyak menemui kesulitan untuk menemukan kerajaan itu.
Dewa Pedang pun bisa melihat sosok Pendekar Slebor yang pingsan. Hatinya pun tercekat saat melihat Raras tengah dibawa Putri Samudera ke sebuah kamar. Namun tidak mudah bagi Dewa Pedang untuk menyelamatkan mereka. Karena saat itu juga bermunculan belasan manusia bersisik dengan kepala berbentuk ikan. Melihat keadaan mereka, Dewa Pedang terbelalak. Namun dia tidak bisa terus menerus terbelenggu oleh keterkejutannya. Karena belasan manusia ikan itu telah menyerangnya.
Lewat pertarungan sengit belasan makhluk aneh itu satu persatu berhasil dilumpuhkan. Apalagi setelah Dewa Pedang mencabut pedangnya yang memancarkan sinar warna putih. Saat itu juga para manusia ikan yang merupakan para prajurit Kerajaan Laut Selatan berjatuhan.
Tak ada darah yang keluar. Tak ada mayat yang mengapung. Karena begitu terkena sabetan pedang Dewa Pedang, tubuh mereka lenyap begitu saja.
Sebentar kemudian Dewa Pedang berusaha menyelamatkan diri dari pengaruh asap beracun dengan hawa murni yang dimilikinya. Dan dengan gerakan sangat cepat, Dewa Pedang menotok lutut, paha, dan bahu Andika. Lalu menghentakkan kedua tangan si pemuda ke atas.
Perlahan-lahan terlihat asap keluar dari mulut dan hidung Andika. Dewa Pedang mendesah panjang, dan membuatnya semakin bersemangat setelah tahu asap pembius itu sudah menghilang.
Sekarang tinggal menyadarkan Andika. Dengan dua kali totokan di urat leher, Andika perlahan-lahan siuman dan mengeluarkan keluhan pendek Pendekar Slebor terperanjat begitu melihat sosok asing di hadapannya. Namun setelah Dewa Pedang menjelaskannya, Andika cepat mengerti.
Mereka lantas berkelebat ke kamar yang dilihat Dewa Pedang dengan batinnya. Begitu tiba, dengan ha-ti geram Andika segera menerjang sambil mengebutkan kain pusaka warisan Ki Saptacakra, ke asap hitam yang menjelma menjadi tangan yang sedang meraba bagian terlarang Raras.

****

"Kalian tak akan pernah bisa keluar dari sini!" desis Putri Samudera.
Wanita ini terus menyerang dengan gempurangempuran berbahaya. Suara ledakan terdengar begitu serangannya dilepaskan.
Bukan hanya Andika yang kewalahan menghadapi gempuran maut itu. Dewa Pedang pun mengalami kesulitan luar biasa. Keduanya mengerahkan segenap kemampuan, namun tetap saja Putri Samudera terus menggebrak. Dalam keadaan yang sangat gawat, tiba-tiba saja. "Putri Samudera! Tahan seranganmu itu! Ada yang perlu kita bicarakan!" teriak Dewa Pedang.
"Kakek tua renta! Tak ada waktu untuk berbicara! Sekarang saatnya bagimu untuk mampus?" Tanpa peduli lagi, Putri Samudera menerjang Dewa Pedang. Maka sebisanya lelaki ini bertahan dengan jurus-jurus pedangnya.
Namun itu semua tak membawa arti. Karena tiba-tiba saja dengan gerakan sangat sulit diikuti mata, kaki Putri Samudera sudah menerobos ke perutnya.
Diegkh! "Aakh...!" Dewa Pedang memekik dengan tubuh terjajar.
Tanpa memberi kesempatan, Putri Samudera kembali melepas tendangan. Untungnya, Dewa Pedang cepat mengibaskan senjatanya.
Trang! Satu keanehan terjadi. Karena suara keras yang ditimbulkan bagai hantaman dua bilah pedang.
Seolah, kaki Putri Samudera terbuat dari logam saja.
Bahkan memiliki tenaga lebih kuat.
Tangan Dewa Pedang sampai bergetar. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Bersamaan dengan itu, kaki Putri Samudera melayang kembali, siap menghabisi. Sementara Dewa Pedang sepertinya tak mampu lagi bertahan. Di saat yang gawat, Andika melesat cepat. Dikirimkannya jotosan tangan yang telah dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.
Duaarrr...! Hantaman itu tepat mengenai kaki Putri Samudera. Namun di luar dugaan, justru tubuh Andika yang terjajar ke belakang.
Sementara bagai tak merasakan sakit, Putri Samudera terus menerjang ke arah Dewa Pedang. Memang, karena jotosan Andika barusan, tena-ga kaki Putri Samudera yang siap menghantam Dewa Pedang tak lagi terlalu kuat. Akan tetapi bila Dewa Pedang terhantam, jelas akan merasakan sakit luar biasa. Andika yang terjajar ke belakang menyadari kalau Dewa Pedang tetap tak akan mampu menghindar.
Maka dengan gerakan sangat cepat kembali diterjangnya Putri Samudera.
Tangan Pendekar Slebor sudah mengebutkan kain bercorak caturnya. Suara dengungan bagai ribuan tawon mengudara di ruangan itu.
Sret...! Kain bercorak catur itu melilit kaki Putri Samudera. Dan Pendekar Slebor segera mencoba menariknya. Betapa geramnya Putri Samudera menyadari hal itu. Segera tenaganya dikerahkan untuk menyingkirkan kain bercorak catur yang melilit kakinya. Tetapi, sangat sulit dilakukannya. Apalagi saat itu, Andika sudah memadukan tenaga 'inti petir', ajian 'Guntur Selaksa' dan ajian 'Tapa Geni', sebuah ajian bangsa siluman yang dimilikinya. Secepat kilat si pemuda menarik kaki Putri Samudera hingga bagai tersentak.

****

--o0{[| 12 |]}0o--

Tepat ketika tubuh Putri Samudera tersentak ke arahnya, Andika menggerakkan kakinya.
Wuutt! Dalam keadaan seperti itu, Putri Samudera masih menunjukkan kehebatannya. Laksana kilat tangannya mengibas ke arah kaki Andika.
Dess! Benturan tangan dan kaki itu terjadi. Akibatnya, justru Andika yang terpelanting ke belakang. Pegangannya pada kain bercorak caturnya pun terlepas.
Putri Samudera melihat kesempatan untuk membebaskan diri. Segera dia berusaha melepaskan kain pusaka milik Pendekar Slebor yang melilit kakinya. Tetapi Dewa Pedang yang melihat kesempatan yang sangat sukar dicari segera melesat. Disambarnya kain bercorak catur.
Dalam keadaan hendak melepaskan kain bercorak catur dari kakinya, mau tak mau tenaga Putri Samudera, tak terpusat lagi.
Makanya ketika Dewa Pedang menyentakkan kain bercorak catur itu, tubuhnya pun terbawa.
Bersamaan dengan itu tangan kiri lelaki ini mengibaskan pedangnya yang memancarkan sinar putih.

****

Wuutt! Putri Samudera segera membuang tubuhnya rata dengan lantai. Kibasan pedang itu memang lolos dari sasarannya. Namun tendangan yang dilancarkan Dewa Pedang telak mengenai dadanya.
Dess...! "Augkh...!" keluh Putri Samudera.
Sementara Andika meskipun merasakan seluruh tulang-belulangnya seperti patah, sudah masuk kembali dalam pertarungan. Karena dia yakin, sebentar lagi Dewa Pedang tak akan mampu mengendalikan kain bercorak catur yang dimilikinya.
"Lepaskan kain pusaka itu, Dewa Pedang! Kau hajar terus dengan pedangmu!" seru Pendekar Slebor.
Dewa Pedang pun cepat melakukannya, Andika segera menyambar kain bercorak catur, lalu bergerak setengah lingkaran hingga tubuh Putri Samudera terpelanting mengikuti arah gerakannya. Bersamaan dengan itu, Dewa Pedang berkelebat dengan jurus-jurus pedangnya yang dahsyat Putri Samudera seakan tak mampu lagi menghalangi setiap serangan.
"Bunuh aku! Bunuh!" teriak Putri Samudera.
Sementara itu Andika telah berhasil melilit sebelah kaki Putri Samudera yang satu lagi, dan menjadikan satu. Seluruh tenaga 'inti petir' yang masih dipadu ajian 'Guntur Selaksa' dan ajian bangsa siluman 'Tapa Geni' segera dikerahkan. Kini dengan mudahnya, ujung pedang tajam Dewa Pedang telah menempel di leher Putri Samudera.
"Dengar penjelasanku sekarang, Putri Samudera," desis Dewa Pedang sambil menghapus keringat.
"Kalian akan menyesal bila tak segera membunuhku!" bentak Putri Samudera.
"Dengar ucapanku!" balas Dewa Pedang dahsyat. Putri Samudera tercekat. Dan dengan wajah ditekuk yang memancarkan kegeramannya, wanita ini terdiam. "Putri Samudera! Keinginanmu untuk membunuh Sultan Mangkunegoro telah menimbulkan petaka yang tak terkirakan! Sebaiknya kau urungkan niatmu itu!" lanjut Dewa Pedang.
"Tidak! Manusia keparat itu harus kubunuh! Dia telah menyia-nyiakan ibu dan diriku! Apakah aku harus membiarkan dia hidup senang selama-lamanya?" tolak Putri Samudera dengan mata melotot.
"Tidak tahukah kau kalau Sultan Mangkunegoro setelah berhasil menumpas gerombolan pemberontak bermaksud mencari ibumu yang sedang mengandung mu" Dia adalah orang yang bertanggung jawab! Meskipun nampaknya masa lalunya digores kenangan buruk! Akan tetapi, dia bukanlah orang yang tidak bertanggung jawab! Sepanjang hidupnya, dia selalu memikirkan ibumu yang sedang mengandung dirimu, Putri Samudera!" jelas Dewa Pedang.
"Persetan dengan bualan mu itu, Orang Tua! Bunuh aku sekarang. Kalau tidak, kau akan menyesal!" Dengan keenceran otaknya, Andika jadi mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Putri Samudera! Tak pernah kujumpai seorang tokoh sepertimu! Kau hendak membunuh ayah kandungmu sendiri, yang tanpa kau ketahui begitu bersusah payah mencarimu. Bahkan begitu penuh kasih sayang ingin melihatmu dan ibumu! Apakah kau masih akan melakukan tindakan bodoh seperti itu?" tim-pal Andika.
"Ini semua gara-gara tindakan lancang mu, Pendekar Slebor! Kau tak akan pernah kuampuni!" maki Putri Samudera.
"Seorang anak yang tak mengakui orang tuanya, terlebih-lebih lagi hendak membunuhnya, tak akan pernah tenang selama hidupnya!" kata Andika la-gi.
"Justru aku akan merasa senang bila melihat dia mampus! Juga kau, Pemuda Keparat!"
"Monyet pitak! Rupanya otakmu mesti dikuras dulu...," Sebelum ada yang bersuara lagi.
"Apa yang dikatakan Pendekar Slebor dan Dewa Pedang memang benar, Putri Samudera." Mendadak terdengar sebuah suara lembut, membuat Putri Samudera tercekat.
"Eyang Dewi!" seru Putri Samudera. "Tetapi aku berkeinginan untuk tetap membunuh manusia keparat yang bernama Mangkunegoro!"
"Seperti yang kau ketahui, aku tak pernah berpihak pada siapa pun. Juga kau, Putri Samudera. Selama ini, aku tak pernah memberimu perintah. Aku hanya memberi saran. Dan saat ini aku sarankan turutilah kata-kata Pendekar Slebor."
"Tidak, Eyang Dewi! Aku akan membunuh manusia keparat itu! Bantulah aku, Eyang Dewi! Bunuhlah kedua manusia ini!"
"Untuk membunuh keduanya, semudah membalikkan telapak tangan! Tetapi sekali lagi, aku tak pernah berpihak pada siapa pun. Itulah sebabnya, ku larang seluruh anak buahku untuk campur tangan dalam urusan ini! Dan tiga belas anak buahku yang dihancurkan Dewa Pedang, kini sudah kuhidupkan kembali. Kini, semua menjadi urusanmu, Putri Samudera! Kau sudah cukup dewasa untuk menimbang, mana yang baik dan mana yang buruk...!" Tiba-tiba saja tempat itu menjadi gelap gulita.
Dewa Pedang yang sudah mengerahkan ajian 'Pandangan Menembus Sukma'nya pun tak mampu menembus kegelapan itu. Perasaannya menjadi kalut ketika teringat Raras yang terbujur tak berdaya. Dia bermaksud menemukannya, namun seluruh anggota tubuhnya tak mampu lagi digerakkan.
Andika pun merasa tangannya tiba-tiba mele mah. Meskipun dia yakin kalau lilitan kain pusaka warisan Ki Saptacakra pada kedua kaki Putri Samudera terlepas, namun tak mampu untuk melilitkannya kembali. Sedangkan Putri Samudera sendiri bagai merasa terbebas dari ikatan kain bercorak catur itu. Akan tetapi, ketika hendak mengirimkan serangan pada kedua lawan yang telah mengaduk-aduk perasaan-nya, tangannya terasa lemah sekali. Bahkan tak mampu berbuat apa-apa! Selagi ketiganya berada dalam kebingungan yang luar biasa, mendadak saja tempat di sekitar mereka menjadi terang kembali

****

Namun rasa terkejut ketiganya semakin menjadi-jadi, karena kini mereka tak lagi melihat dinding-dinding emas dan tempat yang sudah porak-poranda.
Melainkan, pepohonan hijau, angin semilir, sinar matahari dan bukit.
"Astaga! Bukankah ini kediamanku sendiri" Bukit Pedang! Luar biasa! Sangat luar biasa sekali! Rupanya Eyang Dewi Samudera mengirim kita ke sini!" desah Dewa Pedang, memecah kesunyian bernada kekaguman. "Edan! Ilmunya sangat tinggi!" puji Pendekar Slebor sambil menghirup udara senja yang segar. Dan Dewa Pedang langsung memeriksa keadaan Raras yang tahu-tahu ada di sebelahnya masih dalam keadaan pingsan.
Dan mendadak keduanya mendengar isakan dari sebelah. Tampak Putri Samudera sedang menangis sambil menundukkan kepalanya.
Pendekar Slebor dan Dewa Pedang saling berpandangan dan sama-sama mengangkat bahu. Mereka membiarkan Putri Samudera menangis. Baru setelah beberapa saat, Pendekar Slebor mendekat "Rupanya, Eyang Dewi Samudera mengizinkan kau untuk meneruskan dendammu pada Sultan Mangkunegoro, Putri," kata Pendekar Slebor.
Putri Samudera tak menghiraukan kata-kata Andika. Dia masih sesenggukan dengan hati pilu. Di lubuk sanubarinya yang paling dalam, dia sangat merindukan belaian kasih sayang orang tuanya. Kendati tak mungkin lagi mendapatkan belai kasih sayang seorang ibu, tetapi dari seorang ayah pun masih mungkin didapatkannya. Kesempatan itu dipergunakan Andika sebaikbaiknya. "Putri Samudera.... Bila kau memang ingin membalas sakit hatimu pada Sultan Mangkunegoro, maka kau akan berhadapan denganku lagi..." Putri Samudera tak berkata apa-apa. Dia masih terisak. Namun tiba-tiba....
Wuusss...! Saat itu meluruk sebuah angin dahsyat ke arah Putri Samudera. Andika yang berdiri tak jauh darinya segera melesat. Disambarnya tubuh Putri Samudera yang bagaikan kehilangan seluruh semangatnya. Bahkan tak berkeinginan untuk mengelak.
Wanita ini teramat sedih ketika menyadari Eyang Dewi Samudera tak berpihak padanya. Dan lambat laun kesadarannya muncul bersamaan rasa rindu akan belaian seorang ayah yang kerap kali membayangi setiap tidurnya. Namun, semua itu harus ditepis karena sejuta dendam masih menggayut hatinya. Blarrr...! Angin dahsyat yang meluruk tadi menghantam tanah tempat Putri Samudera tadi berdiri, hingga membentuk lubang cukup besar. Sementara Andika sudah hinggap kembali di tanah dengan ringan. Sementara Putri Samudera yang berada dalam rangkulannya menatap ke satu tempat. Kosong.
"Hhh! Lepaskan gadis keparat itu! Dia harus membayar seluruh nyawa yang telah dirampasnya!" Terdengar bentakan bersamaan munculnya Ki Patih Darmomulyo dan Empu Karniaga. Ki Patih Darmomulyolah yang membentak tadi.
"Tahan!" desis Andika. "Semuanya sudah selesai. Putri Samudera sudah menyadari kesalahannya."
"Kau betul, Anak Muda!" kata Empu Karniaga tetap dengan sikap bijaksana.
Lelaki tua ini lantas mendatangi Putri Samudera, "Putri Samudera..., ah! Julukanmu itu sangat mengerikan. Tetapi aku tidak tahu, siapa namamu yang asli. Perlu kau ketahui, semuanya ini hanyalah salah paham yang berbalur dendam terpendam yang dibiarkan membesar. Pada dasarnya, di dalam kehidupan ini selalu saja ada dendam. Akan tetapi, bila mempergunakan otak dingin, dendam itu akan lenyap dengan sendirinya."
"Kau benar, Empu!"

****

Semua berbalik ke arah datangnya suara tadi Tampak Sultan Mangkunegoro, Permaisuri Sri Dewi Rajasi dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa tergopohgopoh menghampiri.
Dengan penuh kasih Sultan Mangkunegoro mendekati Putri Samudera. Wanita ini terbelalak, masih memancarkan dendam. Akan tetapi hanya sesaat itu terjadi, karena selebihnya kepalanya menunduk.
"Putri Samudera...," sebut Sultan Mangkunegoro mendesah. "Kau cantik sekali.
Seperti ibumu. Maafkan ayahmu yang telah menyia-nyiakan dirimu, Nak.
Tetapi perlu kau ketahui, selama puluhan tahun ini aku selalu mencarimu. Selalu berusaha menemukanmu. Namun, pertemuan kita tak pernah terjadi. Dan ketika bertemu, dalam keadaan yang kurang menyenangkan. Maafkan aku..." Perlahan-lahan Putri Samudera mengangkat kepalanya. Sinar dendam kini mulai menghilang. Di dasar hatinya yang terdalam, ingin sekali dirangkulnya Sultan Mangkunegoro.
Namun, hatinya masih ragu.
Sulit dibayangkan, bagaimana penderitaan ibu-nya du-lu.
"Anakku," kata Sultan Mangkunegoro lagi. Sementara itu Ratu Sri Dewi Rajasi hanya menahan napas saja. Biar bagaimanapun juga, dia mulai bisa menerima kehadiran Putri Samudera yang ternyata anak suaminya sendiri.
"Bila kau memang ingin membalas dendam atas sakit hatimu dan membalas sakit hati ibumu, lakukanlah. Aku rela menerimanya.
Karena memang kuakui, itu semua kesalahanku." Putri Samudera tak melakukan gerakan apaapa, kecuali nafasnya yang bagai tertahan.
"Berkatalah, Anakku.... Jangan siksa aku dengan kediamanmu seperti itu."
"Ayah...," desah Putri Samudera, bergetar.
Wajah Sultan Mangkunegoro cerah.
"Oh, Gusti Yang Maha Kuasa! Ternyata Kau kabulkan juga permohonan ku...." Perlahan-lahan Sultan Mangkunegoro melangkah mendekati Putri Samudera. Dipegangnya kedua tangan gadis itu.
"Kau mau memaafkan segala perbuatanku ini, Anakku?" Kepala Putri Samudera mengangguk perlahan.
Dan tiba-tiba saja tubuhnya dijatuhkan di pelukan Sultan Mangkunegoro, lelaki cukup tua itu menerimanya dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan segala tindakanku yang keji, Ayah.
Aku telah banyak membunuh manusia yang tak berdosa."
"Lupakanlah semuanya, Anakku" Yang hadir di sana berusaha menahan haru.
Tak terkecuali, Pendekar Slebor yang paling tidak suka melihat keadaan seperti ini. Untuk menutupi rasa ha-runya pula dia berpaling.
"Kayak lakon ketoprak saja!" Dewa Pedang langsung menjitak kepalanya.
Tak! "Jangan sembarangan omong."
"Busyet! Usil amat sih kau ini?" dengus Andika sambil mengusap-usap kepalanya.
Dewa Pedang melotot, "Marilah kita pulang. Kita bangun kembali Kesultanan Laut Selatan, Anakku." Terdengar lagi suara Sultan Mangkunegoro.
Dan Putri Samudera hanya mengangguk.
"Sekarang, jabatlah tangan ibumu ini...," kata Sri Dewi Rajasi tersenyum dan mengulurkan tangannya. Rasa haru yang dialami oleh Putri Samudera semakin membesar. Bagaimana tidak" Dia yang selama ini merindukan belaian kasih sayang kedua orangtuanya, tahu-tahu mendengar kata-kata tulus dari Permaisuri Sri Dewi Rajasi Putri Samudera segera melepaskan rangkulannya pada Sultan Mangkunegoro. Dia bukan hanya mencium tangan Permaisuri Sri Dewi Rajasi, melainkan juga menyembah dan merangkulnya sambil terisak. "Ibu...," desahnya.
Permaisuri Sri Dewi Rajasi dengan penuh keibuan merangkul Putri Samudera.
"Tak usah menangis. Semuanya sudah berakhir," ujar Permaisuri Sri Dewi Rajasi.
"Maafkan aku, Ibu....."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Yang terjadi, biarlah terjadi dan berlalu. Dengar kata-kata ayahmu tadi, Anakku. Kita kembali ke Kesultanan Laut Selatan. Dan kau hidup bersama kami sampai akhir hayat." Semuanya memang sudah berakhir. Sultan Mangkunegoro segera berpaling pada yang lainnya.
Namun dia sudah tak melihat Pendekar Slebor lagi.
"Ke mana Pendekar Slebor?" tanyanya.
"Dia sudah pergi, Yang Agung. Tapi, dia sempat menitip pesan" Dewa Pedang yang menyahut "Apa pesannya?" tanya Sultan Mangkunegoro.
"Katanya, Yang Agung dimohon siap-siap untuk menjadi mertuanya...," jelas Dewa Pedang.
"Dia berkata begitu?" kejar Sultan Mangkunegoro, gembira karena akan bermantukan seorang pen- dekar besar. "Jangan berpegang dengan kata-katanya, Yang Agung! Julukannya saja Pendekar Slebor. Bisa-bisa kata-kata hanya bagian dari kesleborannya!" kata Dewa Pedang.
Dan Sultan Mangkunegoro hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Entah, apa arti senyumannya.

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Susuk Ratu Setan --oo0oo-- Lamaran Berdarah


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.