Life is journey not a destinantion ...

Macan Kepala Ular

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Manusia Laba Laba --oo0oo-- Perserikatan Setan



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: MACAN KEPALA ULAR

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


ĦĦ[ 1 ]ĦĦ

Sinar matahari naik cepat ke puncak hari. Tepat di ubun-ubun setiap penghuni bumi, sinar tajamnya menghujam. Dalam terik yang ganas itu, seseorang melakukan semadi di tengahtengah perbukitan pasir tandus.Badan orang itu amat kurus. Tulang iganya menonjol keluar, cuma berbalut kulit. Kulitnya sendiri hitam. Tentu saja bukan cuma akibat garangan sinar matahari saat itu.
Kulitnya memang hitam semenjak dia lahir ke bumi. Lelaki kurus itu mengenakan semacam sorban dekil kecil di kepalanya.
Bersemadi di puncak bukit pasir tandus serta di bawah hujanan sengatan matahari saja sudah memancing perhatian. Terlebih lagi karena dia seperti sengaja membiarkan dirinya digarang sampai gosong dengan tubuh terbuka tanpa pakaian cukup itu. Yang dikenakan cuma kain penutup dekil di bagian 'rahasia' saja.
Wajahnya terlalu asing untuk disebut sebagai penduduk asli tanah Jawa. Hidungnya memancung kelewatan. Agak membengkok seperti paruh burung kakatua. Bibirnya tipis. Sedangkan matanya yang berbiji besar, terpejam khusuk.
Tak seperti lazimnya cara semadi penduduk tanah Jawa, orang satu ini melakukan hal itu dengan cara unik.
Kedua telapak tangannya bertemu di depan dada.
Sementara kedua telapak kakinya dipertemukan di atas tengkuk! Dari kejauhan, tubuh lelaki itu terlihat seperti hewan aneh negeri antah berantah....
Luar biasanya lagi, dalam keadaan yang begitu menyiksa bagi orang lain, wajah si orang kurus bersorban malah memperlihatkan ketenangan. Tak terbersit sedikit pun mimik tersiksa.
Sementara karena kelewat hebatnya diganyang panas, kulit lelaki bersorban menjadi demikian kering. Tak ada lagi keringat. Bahkan kulit tersebut seperti memantulkan kembali sinar matahari. Sampai seorang wanita datang tergopoh-gopoh padanya.
"Amitha, berhentilah kau melakukan yogamul Aku perlu bicara!" bentak wanita yang juga berkulit hitam 'langsat'. Badannya sebesar biang kerbau. Kalau dihitung-hitung, mungkin lemaknya bisa cukup untuk persediaan makan orang satu rumah selama sebulan.
Wajah perempuan yang baru datang ini pun tak beda dengan lelaki kurus bersorban.
Hidungnya mancung dan agak membengkok. Matanya besar dengan bulu mata hitam pekat. Di antara sepasang alis lebatnya diberi tanda titik hitam.
Rambutnya hitam panjang, serta dikepang dua.
Dengan pakaian yang mempertontonkan perut kendornya, perempuan itu berlari-lari mendekat. Bumi menjadi 'gonjang-ganjing' akibat hentakkan badan borosnya.... Dung! Dung! Dung! Ngeri-ngeri, lelaki kurus yang dipanggil Amitha membuka sebelah matanya. Menyaksikan perempuan bengkak tadi datang, matanya cepat-cepat dipejamkan kembali. Bibirnya sedikit meringis, meski dia sudah mati-matian berpura-pura tidak tahu.
Tiba di depan Amitha, perempuan bengkak bertolak pinggang. Perutnya yang selebar 'jagat' menaungi wajah keling Amitha dari sengatan matahari. Itu bagus. Yang tidak bagus,bau seperti lobak mentah justru langsung menyengat hidung Amitha! Amitha terbangkis.
"Hua... hua... chuihh!" Kalau sedang melakukan yoga, Amitha biasa mengendalikan inderanya. Dia bisa membuat telinganya tidak menangkap s uarasuara. Biasa membuat kulitnya menjadi mati rasa. Atau bisa membuat hidungnya tidak menangkap bau dan aroma. Tapi, aneh! Kalau giliran bau istrinya, dia bisa mencium juga"! Ya, perempuan bengkak itu memang istri Amitha.
Istri sah yang dinikahi Amitha di tepian Sungai Suci Gangga, sebelum mereka berangkat ke pulau Jawa dengan menumpang kapal dari Gujarat. Keduanya berasal dari satu kasta yang sama. Mereka berasal dari kasta sudra* Orang sudra hanya boleh menikah dengan sudra, begitu aturannya.
Belum lagi sewindu masa pernikahan, Amitha sudah merasa telah keliru besar mengawini perempuan bernama Neelam itu. Bagaimana tidak begitu" Dulu. Dulu sewaktu baru menikah di hadapan pendeta tua Hindu, tubuh Neelam begitu sintal, begitu menggiurkan bagi lelaki mana pun. Wajahnya begitu mempesona juga bagi lelaki mana pun. Memandang matanya seolah menemukan keindahan purnama yang tertangkap permukaan Sungai Gangga.
Tapi kalau sekarang, setelah hanya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, setelah mereka menikah dan berat perempuan itu langsung bertambah dengan pesat, pesona Neelam berubah menjadi kiamat bagi Amitha. Tubuhnya kini begitu menggidikkan... bagi lelaki mana pun! "Kau jangan berpura-pura tidak mendengarku, Amitha!" geram istrinya di depan Amitha. Geramannya lebih menyeramkan dari seekor serigala betina kelaparan.
Amitha bergidik. Biasanya tangan besar Neelam bisa seenaknya mendarat sesuka hati. Bisa di ubun-ubunnya, bisa di pipinya, bisa juga di tengkuknya. Tahu sendiri, tangan orang sebengkak itu pasti beratnya sama dengan gada Manik Angkeran, musuhnya Damar Wulan dalam cerita rakyat! Itu masih mending. Bagaimana kalau istrinya tahu-tahu memeluntir kaki Amitha yang kebetulan disangkutkan di tengkuk" Bisa-bisa dia benar-benar menjadi hewan aneh! Makanya Amitha langsung menyahut mendayu-dayu.
Sedikit merayu istrinya yang sedang marah-marah.
"Ada apa, Adinda Sayang...?"
"Ada apa, ada apa! Bangun kau! Kerjamu cuma bisa yoga saja. Sana ke kotapraja! Cari kerja atau apa! Kita butuh makan, tahu"!" semprot Neelam tak berperikemanusiaan.
Beringsut Amitha bangkit. Hatinya terus mengutuk-ngutuk, sedangkan wajahnya dibuat tetap semanis mungkin. Memang mesti begitu. Kalau tidak, bogem Neelam bisa langsung melayang.
"Ayo sana cepat pergi!" usik Neelam.
"Baik Adinda...."
"Pergi!"
"Baik! Baik!"Tergopoh-gopoh, Amitha pergi dari tempat itu.

***

Hari mulai agak bersahabat ketika Amitha tiba di kotapraja. Sore jatuh melamat.
Matahari condong sepenggalan. Suasana kotapraja seperti hari biasa. Dari awal pagi tadi sampai menjelang maiam nanti, denyut daerah itu tak berhenti barang sejenak. Kalau hari mulai agak larut, barulah sepi agak menguasai.
Sore itu juga Amitha tiba di sana. Selama hampir sepertiga hari dia berjalan.
Amitha memang harus begitu.
Kuda dia tidak punya. Uangnya saja tak cukup untuk menyewa kereta reyot sekali pun. Di tangannya ada semacam keranjang belanjaan besar yang sebetulnya tak sesuai dengan ukuran badan lelaki kurus itu. Tadi, sebelum dia benar-benar beranjak jauh, istrinya memanggil santer. Diperintahnya Amitha membawa keranjang belanjaan sekalian.
"Beli keperluan kita untuk seminggu!" begitu pesan Neelam tegas, beringas dan mengancam.
"Tapi uangku hanya cukup untuk makan setengah hari" Dengan apa aku membeli keperluan makanan untuk seminggu?" keluh Amitha, berusaha membantah.
"Kerja! Kerja! Orang sudra tak akan bisa makan kalau tidak kerja! Kita bukan orang-orang Ksatria*. yang boleh uncang-uncang kaki sambil mengelus perut mereka lalu menerima pajak dari perasan keringat orang-orang kecil seperti kita," sembur Neelam sengit.
Amitha ngeri kalau Neelam sudah bicara dengan mata mendelik-delik. Bingung tidak bingung, lelaki kurus itu jalan juga. Pesan istrinya yang lebih terasa sebagai ancaman baginya tinggal bagaimana nanti saja.
Mana bisa dia belanja keperluan seminggu sementara uangnya c uma cukup untuk makan setengah harian" Ah, jalan satu-satunya dia harus kerja dulu untuk memenuhi 'sabda' istrinya. Itu artinya dia tidak akan pulang dalam satu dua hari. Itu artinya Neelam di rumah akan menunggu lebih lama. Itu artinya....
"Hoi, jalan jangan bengong begitu! Apa kau mau terlindas"!" bentak seseorang pada Amitha. Amitha terkejut bukan main. Rupanya dia melamun di tengah jalan kotapraja. Satu kereta kuda terhalang olehnya. Dan itu menyebabkan sang sais menjadi gusar.
Amitha hendak meminta maaf, tapi kereta itu sudah meluruk cepat.
"Ada-ada saja...," gumam Amitha.
Lalu Amitha berjalan gontai kembali di jalan berdebu. Perasaannya serasa dijepit, mengingat dirinya dilahirkan hanya sebagai orang sudra. Kenapa dia harus dilahirkan sebagai sudra" Gumam hatinya, seperti mencoba menghujat Tuhan. Apa memang Tuhan tak punya cukup keadilan" Bukankah sewaktu dilahirkan semuanya sama, tanpa pakaian dan embel-embel apa pun" Apa Tuhan hanya memihak para hartawan dan bangsawan" Kalau begitu, tidak perlu ada sorga, tak juga perlu ada neraka. Bukankah kedua tempat akhir itu diciptakan untuk menyempurnakan keadilan Tuhan yang tak ditegakkan manusia secara benar di dunia" Dunia... dunia, keluhnya membatin. Banyak jurang yang telah diciptakan manusia sendirl Sudah terlalu penat dunia ini dengan sekian dalih beberapa manusia dan beberapa golongan untuk memelihara kepentingan sendirl Amitha mengenyahkan segala pikiran tadi. Dia harus cepat membereskan urusan. Ke kotapraja tujuannya hendak mencari keperluan hidup, sekaligus mencari penghidupan. Bukan hendak menyesali nasib. Tapi, belum lagi jauh Amitha beranjak dari tempat semula, dari arah selatan terdengar teriakan menggidikkan seorang lelaki.
Teriakan tadi begitu giris di telinga Amitha. Memaksa lelaki kurus ini menoleh dengan mata membesar.
Ada apa" Tanya hatinya, penasaran.
Dilihatnya sekitar seratus depa dari tempatnya berdiri, seorang bertelanjang dada sedang meregang-regang di udara. Ada yang membuat tubuh kekar berotot itu melayang setinggi belasan kaki. Selain itu, seperti ada tenaga kasat mata yang mencekik lehernya, membuat orang tadi bagai direjam sakaratul maut! Amitha berlari memburu ke tempat kejadian. Hatinya dirasuki keingin tahuan membludak. Sementara berlari, dia terus bertanya-tanya membatin. Ada apa" Tak lagi dipedulikannya keranjang besar di tangannya. Seperti dia tak peduli pada amukan Neelam nanti jika tahu dia malah melancong ke urusan lain.
Ada hal yang sebenarnya membuat Amitha merasa harus melihat kejadian itu dari dekat. Orang yang sedang meregang maut di udara berasal dari negeri yang sama dengan dirinya: India. Itu diketahui Amitha dari bentuk tubuh dan wajahnya. Di tanah rantau yang jauh dari negeri asal, selayaknya orang-orang seperti mereka saling menolong, pikir Amitha.
Tiba di tempat kejadian, Amitha s udah nyaris terlambat. Lelaki yang terapung di udara sudah mendekati ajal. Regangan tubuhnya melemah, sebelum akhirnya terjuntai tanpa gerak. Sebagai seorang yang cukup tahu banyak tentang perihal tubuh manusia yang dipelajarinya dari ilmu yoga, Amitha menyadari lelaki itu belum lagi mati.
Cuma, kalau dia sempat terlambat sedikit saja, maka nyawanya akan benar-benar terlempar dari raga! Untuk menolongnya, Amitha harus tahu dulu dalang perbuatan keji itu. Jika tidak, sama artinya dia hendak mengeringkan sumur, kerja yang belum tentu ada hasilnya.
Cepat mata cekung Amitha mencari biang keladi perbuatan keji tersebut. Tak sulit menemukannya. Amitha menyaksikan seorang lelaki berpakaian kelabu dari kulit kerbau berdiri melipat tangan di dada. T ubuhnya tinggi kekar. Berdada penuh bulu lebat Wajahnya di samping memperlihatkan paras kejam, juga menakutkan. Kedua sisi wajahnya tak memiliki keselarasan satu dengan yang lain.
Lobang hidungnya besar sebelah. Seperti juga matanya.
Sementara bibirnya sebelah kiri melekuk ke bawah, dan yang sebelah kanan melekuk ke atas. Berkali-kali kulit pipi sebelah kanannya bergerak-gerak. Ada ketidakberesan saraf wajah lelaki itu.
Sambil mendeliki terus lelaki India yang mengapung sekarat di udara, otot dadanya mengejang. Tampaknya lelaki berwajah buruk sedang mengerahkan tenaga amat kuat. Tenaga itulah yang pasti sedang merejang lelaki India dengan cara yang aneh di udara.

***

ĦĦ[ 2 ]ĦĦ

"Hei, berhenti, kau!" Bentakan Amitha membawa hasil. Lelaki berkebangsaan India yang sedang melayang meregang nyawa di udara saat itu juga terjatuh ke tanah bersamaan dengan teralihnya perhatian lelaki berparas buruk.
Dengan mata membersitkan kegeraman tak terhingga, si lelaki berparas buruk menatap Amitha.
Sebelah matanya yang sudah besar makin membesar.
Tanpa berujar apa-apa, dilepasnya senyuman mencemooh.
Satu sikap yang selalu ditampakkan oleh orang-orang berjiwa angkuh, menganggap dirinya terlalu besar dan hebat untuk orang lain, Amitha tak mempedulikan hal itu. Cepat diburunya lelaki India yang baru saja terjatuh. Keadaan orang itu kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya yang semula membiru matang mulai kembali pulih. Pernapasan yang semula bagai tercekik tangan makhluk gaib mulai pula dapat berhembus kembali, meskipun masih tersedaksedak."Kau tak apa-apa, Saudara?" tanya Amitha, mencoba memastikan keadaan lelaki yang mencoba menyanggah tubuh lemahnya dengan sebelah siku. Satu tangan yang lain memegangi lehernya.
"Kau terlalu nekat mencoba menolongku, Saudara...," rintih lelaki itu pada Amitha. Bukan dia tak sudi ditolong. Namun, nampaknya dia lebih tahu siapa yang tengah berurusan dengan mereka saat ini.
Baginya, lelaki dari satu negeri yang mencoba menolongnya telah melakukan kesalahan besar.
Dan itu menyangkut persoalan nyawa! "Kau tak tahu kalau kau telah mengusik manusia iblis, Saudara," desah lelaki tadi, menambahkan.
Amitha mendengus seraya melepas tatapan benci kepada lelaki berparas buruk.
"Apa pun kau sebut dia, aku tak bisa membiarkan kau diperlakukan semena-mena," tepis Amitha. Untuk hal satu itu, Amitha memang tak memandang siapa pun. Tak ada kata takut untuknya ketika dia harus melakukan tindakan ksatria. (Entah kalau Nee?lam)! Si lelaki sebangsa yang dibantu berdiri menggelenggelengkan kepala.
"Kau tak lihat bagaimana dia melakukan perbuatan tadi pada diriku, Saudara" Dia itu manusia iblis. Matanya mampu mengeluarkan kekuatan yang mengerikan...," desisnya.
"Sebaiknya, kau cepat pergi dari sinl Jangan pikirkan aku....?"Aku tak akan pergi sebelum memastikan kau selamat," tandas Amitha tegas.
Mendadak terdengar ledakan tawa deras di belakangnya. Tawa serak bernada terpecah itu melompat keluar dari tenggorokan lelaki berparas buruk.
"Kau merasa telah cukup hebat untuk menentangku, Orang Kurus?" Amitha menoleh mendengar hinaan tadi. Mata besarnya membeliak marah. Cuping hidungnya meninggi.
"Tak ada yang perlu kutakuti. Kau pikir dengan wajah menyeramkan dan kekuatanmu tadi aku menjadi takut untuk menghadapi kelalimanmu?" Lelaki berparas buruk tertawa lagi.
"Kalau begitu, nyawamu akan menggantikan nyawa rekan Indiamu itu!" ancam si lelaki buruk, menandaskan.
Amitha menggeram. Dia sudah tak peduli lagi.
"Jangan...," cegah lelaki India tadi, sekali memperingati ketika Amitha hendak beranjak mendekati si lelaki buruk.
"Kalau tadi saja dia hendak membunuhku dengan cara yang begitu menyakitkan hanya karena aku tak sengaja melanggarnya, apa yang bakal ia perbuat padamu kalau kau menentangnya seperti itu" Kumohon padamu Saudara, sebaiknya kau cepat menyingkir dari sini." Amitha mendengus.
"Kumohon padamu, Saudara. Sebaiknya kau mengetahui bahwa kelaliman di atas bumi ini tidak bisa didiamkan saja," sahut Amitha tegas. Lalu lelaki India naas tadi tak bisa lagi menahannya.
Amitha telah telanjur melangkah ke dalam bahaya yang dianggapnya harus dihadapi demi sepotong kebenaran, meski dia sadar nyawanya bisa saja melayang karena itu.
"Sekarang apa maumu?" tantang Amitha jumawa.
Lelaki berwajah buruk tergelak. Suara tawanya meninggi seperti melompati ruang di atas ubun-ubun awan.
"Kau akan segera mampus!" Di akhir ancaman tak main-mainnya, sebelah mata lelaki buruk tadi mendadak membesar. Mata yang besar sebelah itu menjadi memerah. Seperti ada aliran darah berlebihan meruyak ke aliran darah di matanya.
Amat pekat, amat menakutkan.
Dan sebentuk tenaga dahsyat kasat mata kala itu juga menerjang Amitha. Amitha merasa lehernya ada yang mencekik dengan kekuatan regangan seratus tambang kapal.
"Aaakh...." Hanya erangan yang mampu dikeluarkan kerongkongan lelaki kurus dari India itu.
Amitha tak bisa memahami apa yang telah dilakukan oleh lelaki berparas buruk terhadap lelaki tadi, dan kini terhadap dirinya sendiri. Semuanya begitu aneh bagi Amitha.Tubuh Amitha meregang, berkutat untuk membebaskan jalan napas di kerongkongannya. Setiap kali dadanya hendak menarik udara, saat itu juga dia merasakan rasa sesak teramat sangat. Perlahan-lahan, wajah Amitha berubah kebiru-biruan. Kulit wajahnya yang hitam makin membuatnya terlihat matang.
Matanya membeliak-beliak.
Kalau semula lelaki berparas buruk begitu bersemangat melepas gelak tawa, kini dia justru memperlihatkan garis wajah keras mengejang. Sebelah pipinya terus saja bergetar-getar. Napasnya tertarik dan terlepas teratur serta panjang. Juga terdengar mendesis sesekali.
Seperti lelaki sebelumnya, Amitha pun merasakan tubuhnya mulai terangkat naik. Perlahan tapi pasti dia terangkat semakin tinggi.
Sementara itu, sekujur otot-otot tubuhnya mengejang keras. Amitha menggeliatliat liar. Pandangannya mengabur dan mengabur, seiring dengan siksaan yang mendera sekujur tubuhnya. Menyaksikan Amitha meregang maut seperti itu, lelaki India rekannya menjadi nekat. Tak adil baginya jika dia tak peduli pada keadaan Amitha, sementara sebelumnya dia telah ditolong Amitha. Dia memang takut, menyadari bagaimana hebatnya lelaki berparas buruk itu.
Tapi, dia tak ingin dianggap pengecut.
Terhina rasanya jika dia lari membiarkan orang yang menolongnya dari kematian justru mati menanggung akibatnya.
"Bajingan kau!" Tanpa mempedulikan keadaan yang masih terlalu lemah untuk melakukan serangan, lelaki tadi menerjang si lelaki berparas buruk.
Cara menyerangnya tak teratur, menandakan dia bukanlah seorang warga persilatan.
Belum lagi sampai ke arah sasaran, tangannya sudah terayun liar entah ke mana.
Memang, lelaki India itu bukanlah warga persilatan.
Dan di sana terlihat bagaimana tak tahu malunya si lelaki berparas buruk telah memperlakukan orang lemah seperti dia.
Setibanya di dekat si lelaki berparas buruk, lelaki tadi mencoba menyarangkan pukulan sekenanya ke wajah lelaki berparas buruk.
Sebelum sempat hantaman mendarat, lelaki berparas buruk tiba-tiba saja mengalihkan bola matanya kepada penyerang. Sebelah matanya membersitkan sinar kemurkaan berbaur dengan sinar kekejian. Tak sampai sekedipan mata, terjangan lelaki India tadi tertahan seketika. Tangannya yang sudah terangkat tinggi-tinggi menjadi kaku di udara saat itu juga. Lelaki India tadi menjerit. Otot di sekujur tangannya seperti ditarik paksa oleh empat ekor kuda jantan! Pada saat yang sama, tubuh Amitha meluncur menghantam tanah. Terdengarlah teriakan keduanya menyatu menjadi satu.
"Akkhhh!"
"Teriakan demi teriakan susul-menyusul. Yang terakhir terpelanting keluar dari tenggorokan lelaki India tadi. Tampaknya dia merasakan siksaan yang diterimanya meningkat beberapa kali lipat, menyusul hentakan suara lelaki berparas buruk.
Dirasa tulang di bagian lengannya hendak diremukkan dari dalam. Sedangkan sendinya hendak tercerabut Itu bukan sekadar perasaan si lelaki India. Karena tak lama kemudian, bagian siku di lengannya be-nar-benar terkuak seperti potongan dahan kering yang dipatahkan. Krrk! Dari bagian kulit yang terkoyak, bersemburan darah segar, menyiram bumi, dan memerciki sebagian wajah lelaki berparas buruk. Selanjutnya, tangan lelaki tadi benar-benar terlepas dari sikunya! Menyaksikan terjatuhnya bagian tangan korban, orang yang melakukan perbuatan keji itu tergelak-gelak diberondong kegiranganyang mengerikan. Darah korban yang menempel di sebagian wajahnya disapu dengan telapak tangan seiring seringainya.
Lalu seperti seekor kelelawar penghisap darah, dijilatinya darah dari telapak tangan.
"Manusia iblis!" kutuk Amitha, menyaksikan kejadian mengerikan tadi. Sekarang dia mulai mengerti kenapa lelaki yang senegeri dengannya meminta dia agar tidak berurusan dengan manusia satu ini. Lelaki itu benar. Orang berparas buruk memang bukan lagi manusia, melainkan iblis berwujud manusia! Dijerang kemarahan meluap-luap dan napas yang memburu, Amitha hendak menerjang lelaki buruk tadi. Apa pun akibatnya, dia tak ambil peduli, yang ada dalam dirinya saat ini cuma kebencian mendidihkan segenap kemurkaan dan keberaniannya.
Belum lagi Amitha benar-benar menerjang, dari kejauhan terdengar siulan bernada tinggi. Dari suaranya, terdengar kalau siulan itu dilepas dari jarak yang amat jauh. Sepertinya suara tinggi dan panjang tadi telah melanglangi langit lalu mendarat di tempat itu.
Mendengar siulan, lelaki berparas buruk melirik ke satu arah, di mana siulan tadi berasal. Tangannya merogoh sesuatu dari balik baju di bagian dada. Sebentuk mata kalung dari ujung tanduk rusa dikeluarkan. Lalu benda sebesar jari telunjuk berbentuk pi-pih setengah lingkaran dan memiliki lubang di satu sisinya itu ditiup. Maka, terdengarlah siulan yang serupa dengan siulan di kejauhan sebelumnya. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diduga Amitha bahwa orang itu sedang menjawab pesan yang diterima melalui siulan pula. Selesai meniup mata kalungnya, tanpa mempedulikan dua korban kekejamannya, dia melenting bagai tanpa bobot dari satu atap ke atap lain.
Sampai akhirnya dia menghilang di sebelah barat seolah diterkam matahari senja.

***

Neelam didatangi tiga orang asing.
Seorang perempuan muda, dan dua lelaki. Yang perempuan memiliki wajah cantik mengundang hasrat lelaki. Dari wajahnya seolah terpancar kuat godaan birahi. Matanya berbulu lebar, merangsang namun berkesan jahat.
Bibirnya merah ranum, namun selalu tampak menyimpan seringai.
Kulit putih halus tanpa cacatnya terbungkus seronok dengan pakaian yang terbuka lebar pada bagian punggung dan perut, makin memadatkan kesan menggoda pada dirinya. Sedang dua lelaki di sisinya bertampang kelewat bengis. Salah seorang adajah lelaki yang berurusan dengan Amitha di kotapraja.
Yang lain, berwajah tak kalah menggidikkan. T ubuhnya cebol dengan wajah melebar. Hidungnya pesek. Matanya besar dan mencekung dalam.
Tulang pipinya menonjol dengan kudis sebesar uang logam di pipi kiri. Kepala lelaki cebol ini gundul. Berpakaian kebesaran dari kulit ular sanca.
Wajah ketiganya tak sebetik pun memperlihatkan sikap manis ketika menegur Neelam. Wanita India kelebihan lemak yang ditegur saat itu sedang merajut keranjang buah yang biasanya dijual untuk mendapatkan nafkah."Hei perempuan!" sapa lelaki cebol.
Neelam menoleh acuh. Karena dia tak suka pada cara si lelaki cebol menegur, kembali dia melanjutkan menganyam.
"Hei, aku bicara padamu!" bentuk si cebol berangasan.
"Aku tak sudi menyahuti teguran orang tak tahu adat," gerutu Neelam.
"Bangsat!" si cebol gundul mengutuk. Dia hendak maju menghajar bokong gempal Neelam yang membelakangi. Tapi, tangan perempuan cantik di se-belahnya cepat menahan.
"Kami cuma ingin bertanya," ujar perempuan cantik tadi pada Neelam.
"Apa yang hendak kalian tanyakan?" Untuk perempuan cantik itu, Neelam masih bersedia menyahut, meski badannya tetap tak dihadapkan ke arah tiga orang tadi.
"Apakah kau berasal dari negeri India?" susul perempuan cantik.
"Ada urusan apa dengan kalian?" sahut Neelam ketus. Dilemparnya anyaman keranjang yang baru saja diselesaikan ke tumpukan. Diambilnya potongan bambu tipis dari tumpukan di sisinya. Dia memulai anyaman baru.
"Jika benar kau dari negeri India, kami ingin mencari tahu tentang satu hal...."
"Aku tak ada waktu. Kau lihat aku sedang bekerja?"
"Sebaiknya kau menjawab pertanyaan kami, Perempuan Gemuk! Kami tak mempunyai waktu untuk bertele-tele!" si cebol mulai berangasan kembali.
"Kalau begitu, kenapa kalian tak segera saja menyingkir dari sini"!" ketus Neelam.
"Kau terlalu memaksa kami untuk berlaku kasar padamu...," kata perempuan cantik kembali.
"Jadi, jangan salahkan kami kalau...." Kalimat perempuan cantik tadi belum lagi selesai, Neelam sudah bangkit dengan wajah garang. Lemak di sekitar perut tambunnya berayun-ayun karena dia begitu bergegas. Kalau lemak di perutnya saja begitu, jangan tanya 'daging lebih' di bagian dadanya! "Kalau aku tak mau bicara, kalian mau apa, hah"!" hardik Neelam, menantang sekali.
"Jangan mentang-mentang aku ini cuma orang kecil, lalu kalian menganggap bisa berbuat seenaknya padaku!" semburnya kembali menggebu-gebu, berapi-api.
"Perempuan jahanam!" Meledak sudah kegusaran si orang cebol. Ditepisnya tangan perempuan cantik yang mencoba menahan kemarahannya.
"Biar kukuliti kulit berlemaknya!" Neelam diserang si cebol.
Kalau dilihat perbedaan tubuh antara Neelam denga orang cebol yang menerjangnya, sungguh seperti kerbau betina bengkak dengan anak kunyuk botak.
"Uaaah!" Dengan kepala gundulnya, si cebol menyeruduk perut kelebihan lemak Neelam. Gerak larinya berangasan.
Semangat seekor domba sabung tak ada apa-apanya dengan keberangasan lelaki kekurangan tinggi tubuh ini.
Neelam tertawa. Dia geli melihat bagaimana lucunya cara menyerang si cebol. Di benaknya, terbersit pikiran untuk membiarkan perut besamya di tanduk kepala lawan. Dia pikir, orang sebogel itu tak akan memaksa tubuhnya terpental ke belakang. Sakit saja mungkin tidak. Bahkan mungkin dia justru akan memaksa tubuh lawan terpental balik dengan sedikit sentakan pada otot perutnya.
Geliat pikiran Neelam bertolak belakang dengan kenyataan. Ketika....
Begh! Tepat manakala kulit kepala klimis si cebol mendarat di perut Neelam, tubuh perempuan subur India itu mencelat ke belakang.
Ibarat sebatang daun kering terhajar hantaman godam raksasa! Dalam kancah rimba persilatan, kedigdayaan seseorang tidak diukur dari bentuk tubuh, melainkan dari seberapa hebat dia menguasai jurus-jurus, tenaga dalam, kelincahan serta ajian-ajiannya. Biarpun ukuran tubuh lawan terlalu kecil dibanding Neelam, namun kesaktiannya justru jauh di atas Neelam. Apa-lagi modal Neelam hanyalah ilmu bela diri biasa yang baru dipelajarinya di tanah Jawa. Tenaga dalam sempat pula dipelajarinya. Tapi, apalah arti tenaga dalam yang baru dilatih selama beberapa bulan" Tubuh besar perempuan India itu akhirnya jatuh di dalam gubuk, setelah sebelumnya menjebol dinding kayu randu.
"Cebol busuk! Akan kulumat tubuhmu...," ge-ram Neelam terbata. Perutnya didekap kuat. Napasnya seperti ditahan oleh cekikan rantai baja. Sesak luar biasa.
Susah payah, Neelam bangkit.
Untuk orang kelebihan bobot seperti dia, mengangkat tubuh adalah pekerjaan paling menyiksa.
Terlebih setelah menerima hantaman hebat di bagian perut.
Melalui lubang besar di dinding gubuknya, Neelam keluar lagi, menggiring golak kemarahan yang paling ditakuti suami tercintanya. Kaki sebesar telapak badak menghantami lantai tanah, membayangkan bagaimana gusarnya dia dengan si cebol.
Kalau ada sekawanan tikus bersarang di bawah lantai gubuknya, dijamin mereka akan terkena serangan jantung seketika!



ĦĦ[ 3 ]ĦĦ

Mentari boleh ngotot mengganyang siapa saja. Boleh menyuburkan perasaan tersiksa dalam diri siapa pun dengan gempuran panas nya Siang di musim kemarau yang melibas tanah Jawa memang sama sekali tak bersahabat.
Jangan lagi manusia, tetumbuhan dan binatang pun menelan bulat-bulat akibatnya.
Rerumputan menjelma sekering jerami. Pohon tergunduli. Tanah retak-retak.
Sawah sekarat. Kemarau kali ini adalah kemarau terburuk selama sepuluh tahun belakangan. Bencana sepertinya tersebar merata ke segenap pelosok Jawa T imur, Barat, atau Tengah. Lumbung padi milik rakyat kembang-kempis. Sisa padi mungkin cuma cukup untuk persedian seminggu dua minggu. Sementara, kemarau belum lagi diketahui juntrungannya kapan hendak selesai.
Debu kering berlarian sekehendak hati. Menggiring bibit-bibit penyakit menular mengerikan ke mana pun mereka melayang. Korbannya sudah ratusan orang. Dan belum pasti akan berhenti dalam bulan-bulan belakangan.
Malaikat maut tak pernah peduli untuk mencabut nyawa siapa saja. Tua atau muda.
Perempuan atau lelaki.
Banyak orang bijak berpendapat, kejadian itu sekadar isyarat. Orang-orang tanah J awa telah banyak melupakan sang Khalik, ujar mereka. Bumi yang ber-tasbih selalu pada Penciptanya, mulai uring-uringan karena banyak insan berubah jadi hewan di atas ubun-ubunnya.
Mereka berjalan dengan segenap ke-angkuhan dan kerakusan. Jadi, ratakan saja dengan tanah! Agar mereka tak bisa lagi membusungkan dada terlalu tinggi dan meraup sekehendak nafsu. Wabah dan bencana pun tercipta. Bagi seseorang yang kini tampak berjalan di tanah pematang kering, siksaan panas luar biasa tak pernah terlalu mengusik hari-harinya. Terus ke barat dia berjalan. Tanpa beban. Orang ini berusia muda. Tampan. Kekar berotot.
Rambut panjang ikal sebatas bahu. Tanpa tataan, anak rambutnya jadi meliuk-liuk liar diterpa angin panas.
Pakaiannya hijau-hijau. Di bahunya berkibaran kain bercorak catur, berlomba dengan gerakan lemah gemulai anak rambut.
Sejenak kakinya berhenti melangkah pada percabangan pematang kering. Ditebarnya pandangan ke sekitar. Di sana-sini yang ditemukan cuma petak-petak kering kerontang. Angin mengikir permukaan-nya yang berubah menjadi debu.
Bibir tipisnya meringis. Satu tangannya mengu-sap-usap perut.
"Jangan-jangan, besok aku sudah tak bisa makan nasi lagi.... Syukur-syukur masih bisa ketemu ubi. Kalau yang ada cuma sandal bakiak" Apa aku mesti makan sandal bakiak?" gumamnya.
Ah, gara-gara alam uring-uringan semuanya jadi scngsara. Bahkan yang tak berdosa pun jadi ikut susah, bisik batinnya.
Barangkali, supaya semua manusia sadar bahwa memelihara amanat sang Pencipta adalah tanggung jawab bersama.... Jangan ada yang seenak udel mengeruk untuk membuat gendut perut sendiri! Usai berbincang dengan diri sendiri, anak muda itu melanjutkan langkah.
Dia tentu saja Pendekar Slebor. Tujuannya tak jelas.
Dia sendiri belum yakin benar apa benar-benar berniat melangkah terus ke arah barat. Di mana-mana keadaannya nyaris sama. Kekeringan, kekerontangan! Melewati hamparan sawah kering, anak muda itu sampai di lembah berbukit. Di sana juga kering. Di tengah-tengah lembah, matanya menemukan satu gubuk kecil.
Sepi saja di luar. Terlihat tak ada satu manusia pun.
Namun, bukan berarti tidak ada orang. Siapa tahu pemiliknya sedang berada di dalam. Pendekar Slebor melangkah ke sana. Kerongkongannya sudah seperti karet terbakar. Terlalu kering, hingga seperti melekat satu sama lain. Dia perlu sedikit minum. Barangkali orang di dalam gubuk bisa memberi seteguk dua teguk air pelepas dahaga, harapnya.
Sampai di sana, Pendekar Slebor malah disuguhkan pemandangan yang membuat kerongkongannya makin kering. Disaksikannya seorang perempuan gemuk tergeletak menjadi mayat. Tubuhnya tergeletak di belakang gubuk dalam keadaan menyedihkan, kalau tak cukup dibilang mengenaskan. Burung-burung pemakan bangkai yang kelaparan dan akhir-akhir ini kebanjiran rezeki karena banyak yang mati sekali ini mendapat santapan besar.
Ada sekitar tujuh ekor burung pemakan bangkai mulai mencabik-cabik tubuh berlemak mayat perempuan tadi. Satu sama lain saling menguasai bagiannya. Dengan tamak dan rakus, mereka akan mematuk yang lain jika merasa bagiannya diserobot.
Pendekar Slebor mengambil batu. Dilemparnya batu itu untuk mengusir burungburung pemakan bangkai.
Binatang-binatang itu pun berhamburan ke angkasa, terbang dengan riuh rendah koakan yang memaki-maki perbuatan Andika.
"Koak! Koak! Koak!" teriak mereka merangas.
"Kau yang 'koak'!" balas Pendekar Slebor bersungut-sungut.Anak muda itu lalu mendekati mayat perempuan tadi. Seorang perempuan India. Neelam. Perempuan itu tertimpa nasib malang di tangan si cebol. Si cebol dan dua rekannya sendiri sudah tak ada di sana. Entah ke mana mereka.
Pendekar Slebor meneliti sejenak. Debu menutupi sebagian mayat Neelam. Dalam musim kemarau seperti sekarang, wajar saja debu cepat campur tangan. Tapi kalau menilik tebalnya debu, Andika yakin perempuan itu belum lama mati. Lebih jelas lagi ketika dia melihat genangan darah yang sudah agak mengental di samping leher Neelam. Darah itu rupanya terpaksa keluar dari mulut karena satu hantaman hebat di bagian dada.
Untuk meyakinkan dugaannya, Pendekar Slebor memeriksa bagian dada mayat perempuan itu. Matanya membesar menyaksikan bagian kiri mayat ternyata mencekung dalam. Lebarnya sebesar telapak tangan bocah kecil. Dalamnya sekitar setengah jengkal.
Pendekar muda dari Lembah Kutukan itu makin yakin saja kalau cekungan itu bekas pukulan tinju seseorang ketika menemukan bentuknya yang mirip kepalan. Tapi kalau menilik ukurannya, Pendekar Slebor jadi ragu lagi. Apa mungkin seorang bocah dapat melakukan hal sehebat itu" Sebab, menurutnya bukan sembarang orang dapat melakukan. Pukulan itu adalah hasil olahan sempurna tenaga dalam tingkat tinggi.
"Bocah kecil?" desisnya, masih tetap bersimpuh di sisi mayat. Ingat bocah, dia jadi ingat Walet. Anak itu pun memiliki kesaktian tinggi.
Tapi, dia bukan bocah sembarangan. Dia sesungguhnya adalah titisan seorang pangeran. (Lihat ceritanya dalam episode: "Mustika Putri Terkutuk", dan "Bayang-Bayang Ga-ib").
Lalu apakah orang yang membunuh mayat perempuan ini juga bocah ajaib seperti Walet" Andika belum bisa memastikan.
Selanjutnya, kembali diteliti mayat tadi. Di tangan kanannya, anak muda itu menemukan satu kalung. Tentunya kalung itu tersambar tanpa sengaja ketika bertarung dengan lawannya, duga Andika. Diperhatikannya kalung itu seksama. Mata kalungnya terbuat dari ujung tanduk rusa. Besarnya seukuran jari telunjuk. Berbentuk pipih setengah lingkaran dan memiliki lubang di satu sisinya.
"Tampaknya ini semacam peluit," reka Pendekar Slebor.
"Dengan benda ini, kuharap aku akan menemukan pembunuh perempuan ini," tekadnya. Selaku seorang ksatria sejati, tak pada tempatnya kalau Pendekar Slebor tak mau ambil peduli. Memang, dia sama sekali tidak tahu jelas persoalannya. Kemungkinan kalau mayat perempuan itu adalah seorang tokoh sesat pun ada di benaknya. Tapi, bagaimana kalau perempuan itu justru orang teraniaya" Untuk itu Andika merasa harus lebih jauh terlibat.
Kecamuk rasa penasaran di hati Pendekar Slebor diberangus teriakan menggila seseorang di belakangnya.
"Neelaaaam! Wuaaa haaa!" Andika terlonjak kaget. Dia sampai melompat tak sadar seperti seekor anak kunyuk. Tolol sekali ke-lihatannya. Padahal Andika sebal kalau dirinya terlihat tolol tanpa disengaja seperti itu. Maunya dia, kalau kaget ya kaget saja. Tidak usah pakai melompat seperti itu segala.
Ya, yang namanya kaget masa' bisa diatur" Orang yang baru datang ternyata Amitha. Dia kembali ke tempat tinggalnya dengan perasaan tak menentu. Lelaki di pasar yang berasal dari negeri yang sama dengannya telah mati kehabisan darah. Sebelum berangkat pulang, Amitha telah mengurus jenazahnya dengan tata cara adat dari negeri mereka. Meski sederhana, Amitha berharap dia telah melakukan dengan sebaik-baiknya.
Tujuan semula untuk belanja keperluan sehari-hari atas 'titah' istrinya sudah menguap dari benak lelaki itu.
Pikirannya terus saja digerayangi peristiwa di pasar tadi.
Setibanya di rumah gubuknya, betapa terperanjatnya Amitha menyaksikan sang istri. Dari kejauhan, dilihatnya tubuh istrinya sudah membujur kaku di depan seseorang tak dikenal tahu 'Adinda' tercinta yang sekaligus dibencinya habis-habisan mati menyedihkan, lelaki itu jadi mata gelap.
Bukan sedih lagi pasti. Setidak-tidaknya perasaan Amitha sebanding dengan kesedihan seribu satu ditambah seribu satu kakek pikun kehilangan istri kelima! Wih! "Kau apakah dia anak muda keparat"! Kau apakan dia"! Haaa!" teriak Amitha meledak-ledak selagi berlari serimpungan mendekati jenazah Neelam.
"Jeee, memangnya aku apakan?" tangkis Andika tersurut.
Andika beringsut ngeri-ngeri dari tempat semula.
Melihat penampilan Amitha saat itu, seperti menyaksikan setumpuk tahi lalat sedang berlari. Hitam, dekil, bau....
Amitha menubruk mayat Neelam. Dia seseguk-an di atas (maaf) pusar mancung istrinya. Membuat bangkai empuk itu bergoyang-goyang bak alunan ge-lombang lautan teduh. Sudah buyar begitu saja ajaran-ajaran yoga yang selama ini dicoba didalaminya. Padahal yoga menekankan pada seni penguasaan tubuh dan pikiran. Sekarang, pikiran dan perasaan Amitha lebur jadi bubur.
Keraknya malah!Puas sesegukan, diangkatnya kepala. Lagipula, kalau terlalu lama dia bisa jatuh pingsan diserang baunya.
"Kau membunuhnya bukan"!" hardik Amitha dengan mata berpijar-pijar pada Pendekar Slebor. Andika serba salah. Mulutnya mengobral se-nyum badak!"Bukan aku, Saudara...," aku Andika jujur.
"Memang kau!"
"Bukan Saudara...," kata Andika lagi, berusaha bersabar.
"Ah, memang! Memang! Memang!"
"Kutu kupret!" jengkel Pendekar Slebor dalam hati.
Apa dimusim kemarau otak orang-orang jadi meleleh" Masa' tak ada angin tak ada kentut, menuduh orang seenaknya"
"Aku menemukan dia sudah menjadi mayat, Saudara!" tandas Pendekar Slebor, mulai naik juga darahnya."Aku juga!"
"Maksudku, aku tidak membunuhnya! Mengerti tidak"!?"Huu-huu-haaa!" Amitha mulai merengek-rengek lagi.
Air matanya terburai-burai, berlinangan melimpah. Aneh juga kalau mengingat saat itu sedang kemarau panjang.
"Jadi siapa yang telah membunuh dia kalau ternyata kau tidak mengaku"!" cecar Amitha kembali.
Entah karena tidak tahu lagi pada siapa harus menumpahkan segala kegundahan, kesedihan dan kemarahan. Segalak tikus sawah Amitha melabrak Pendekar Slebor juga. Nah lo! Kena getahnya anak muda itu....
"Kau harus mati! Bayar nyawa istriku! Heuaaa!"
"Bayar" Seenaknya menyuruh orang bayar. Memangnya aku hutang apa sama dia?" rutuk Pendekar Slebor membatin. Sampokan telapak tangan selebar tiga kantong kemenyan milik Amitha dihindarinya tanpa kesulitan.
Amitha jelas bukan tandingan nama besar Pendekar Slebor. Sama sekali bukan.
Amitha cuma seorang lelaki biasa yang hanya memiliki keahlian yoga. Itu pun terbilang tanggung. Jurus-jurus hebat dia tak punya. Apalagi ilmu kanuragan yang sang-gup membuat bocor jidat seseorang.
Buktinya, di kotapraja dia dijadikan bulan-bulanan empuk lelaki berwajah jelek.
Untunglah Pendekar Slebor masih punya pikiran sehat. Biarpun dongkolnya sudah berdenyut-denyut seperti bisul, Andika tak akan meladeni kekalapan tolol Amitha.
"Sudah! Sebaiknya aku pergi saja! Nanti kalau kau sudah dingin, aku akan kembali! Aku janji akan mencari siapa yang bertanggung jawab atas kematian istrimu!" tukasnya mengakhiri. Setelah itu dia buron dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya. Tinggal Amitha meraung-raung sendiri sambil mengacung-acungkan tinjunya.
Sekian jam berlalu sesudah menyingkirnya Pendekar Slebor, Amitha sudah kekeringan air mata. Matanya bengkak sembab. Sesekali dia masih terisak. Untuk seorang lelaki, dia tak keberatan dibilang cengeng. Baginya Neelam adalah segala-galanya setelah dirinya. Biar gembrot, cuma dia satu-satunya orang yang dimiliki Amitha.
Buat Amitha, cintanya tulus. Murni. Putih. Cinta sejenis itu, tak pernah dan tak perlu memandang zahir.
Cintanya datang langsung dari Hang hati. Ya, biar orang bilang dia beristrikan gentong arak sekali pun, kalau cinta mau bilang apa" Terbayang kembali hidupnya bersama Neelam.
Pahit, getir dan manisnya hidup dilalui bersama. Biarpun lebih banyak getirnya....
"Neelam. Aku berjanji akan menuntut balas kematianmu! Akan kucari pembunuhmu dan akan kubunuh dia! Aku bersumpah Neelam! Aku bers umpah!" ucap Amitha di dekat perapian jenazah istrinya. Dengan upacara sederhana, dia membakar jenazah Neelam. sebagaimana kepercayaan yang dianut selama hidup. Kayu pembakar. Bunyinya bergemeletakan. Api mengangkasa. Merahnya seperti hendak membakar langit.
Dalam gerak jalan lidah api, Amitha menusukkan pandangan. Matanya pun memendam api. Lebih panas dari pembakaran jenazah, lebih merah dari darah.
Lalu di antara tabir api, lamat-lamat disaksikannya wajah Pendekar Slebor, orang yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Neelam.
"Aku bersumpah Demi Dewa akan kubunuh kau...," desisnya.

***

ĦĦ[ 4 ]ĦĦ

Tak habis-habisnya Pendekar Slebor menyumpahi kesialannya hari ini. Bertemu Amitha, baginya tak lebih dari kesialan.
Menyakitkan kalau dirinya dituduh untuk satu perbuatan yang tidak dilakukan. Sudah begitu, tenggorokannya urung mendapat siraman air. Padahal dahaganya sudah keterlaluan sekali. Sementara ini, dia akan melupakan dulu soal kalung yang didapatnya dari tangan mayat Neelam. Sumpah mampus, dia tak ingin mati kehausan.
Kebetulan dilewatinya satu sumur terbengkalai di balik bukit wadas. Tampaknya, sumur itu sengaja dibuat untuk tempat minum para buruh pengangkut batu.
Dijulurkannya kepala ke mulut sumur. Dalam sekali.
Cahaya tak sampai. Andika tak bisa menentukan apakah di dalam sana dia bisa mendapatkan air.
Untuk memastikan, sengaja dilemparnya batu kerikil ke dalam sumur tersebut.
"Aneh juga. Kenapa tak ada suara sedikit pun kudengar," bisik Pendekar Slebor setelah beberapa lama tak juga didengarnya bunyi selang batu dilemparkan ke dalam. Anak muda itu penasaran. Diambilnya batu kedua.
Dilemparnya pula ke dalam sumur. Lagi-lagi tak ada seberkas bunyi pun didengarnya. Seperti sebelumnya, tak ada suara percikan air, atau bunyi tanah terbentur jika sumur itu ternyata kering. Tidak ada sama sekali.
"Kalau begitu, bukan kupingku yang tidak beres.
Sumur ini jelas...."
"Hoi i! Siapa yang iseng-iseng menjahiliku"! Jangan gila, ya"!" Andika terperanjat. Sedang seru-serunya dia melongok-longokkan kepala, tahu-tahu melompat keluar suara serak cempreng dan berlendir. Kepala anak muda itu sampai tersentak ke belakang. Pasalnya, kekuatan suara tadi mengundang dorongan seperti tenaga besi sembrani sebesar biang gajah. Ah, itu belum cukup. Tepatnya mungkin sebesar biang gajah bengkak dan buncit pula! Andika pikir dia sedang berurusan dengan memedi sumur tua. Tapi apa iya memedi nekat keluar tengah hari bolong begini"
"Siapa di dalam"!" seru Pendekar Slebor, ingin mencari tahu.
"Siapa di luar"!" Anak muda itu merengut. Pertanyaannya terjawab juga belum, malah dia ditodong pertanyaan balik.
"Aku seorang pengelana yang membutuhkan sedikit air untuk pelepas dahaga!" Pendekar Slebor mengalah.
Dijawabnya dulu pertanyaan dari dasar sumur. Dia c uma tak mau harus menahan haus lagi. Siapa pun di dalam sana, mau memedi kek, mau manusia lumut kek, kalau bisa diminta sedikit air 'kan tak ada salahnya sedikit beramah-tamah, pikir anak muda itu.
"Mau air?" Pendekar Slebor lega sekali. Tawaran yang sumpah mampus disambar geledek pelanpelan akan di sambutnya dengan suka cita, Terdengar lagi suara dari dasar sumur.
"Nih kau terima... khoek cuih!" Plok! Wajah tampan pemuda itu dihinggapi 'air' berbau kotoran siluman pemakan jengkol! Dua kali Pendekar Slebor terperanjat. Tak pernah disangkanya kalau orang di dasar sumur meludahinya demikian rupa. Tak sempat disadari, tahu-tahu wajahnya sudah basah. Betapa hebat orang di dalam sana telah melakukan itu demikian cepat dan dari jarak yang demikian jauh. Kalau si anak muda kesohor yang membuat banyak warna sesat dunia persilatan pontang-panting saja bisa terkecoh, bagaimana pula kesaktian orang di dasar sumur" Rasa jijik menggerayangi cepat.
Terburu-buru disapunya wajah dengan telapak tangan. Wajah Pendekar Slebor meringis-ringis. Cuping hidungnya kembang-kempis.
Baunya membuat dia nyaris muntah. Slompret! "Apa air itu yang kau minta"!" Dari dasar sumur, terlempar lagi pertanyaan.
"Tentu saja bukan dedemit!" maki Pendekar Slebor dongkol.
"Aku butuh minum.
Bukan butuh ' racun'!" sambungnya sewot.
"Oooo, bilang kenapa dari dulu...."
"Dari dulu... dari dulu...," gerutu Pendekar Slebor mengekori.
"Kalau begitu, turunkan timbanya!" Berhubi ng haus makin menjadi-jadi, Andika tak bisa banyak rewel. Diturutinya perintah tadi. Tali timba di palang sumur diturunkan.
"Sekarang tarik!" susul suara dari dasar sumur ketika tali timba sudah terulur seluruhnya. Sekali lagi pendekar muda bernama besar itu dijadikan kambing congek. Dia mengangkat juga tali timba sesuai perintah.
Ditarik... ditarik. Tak lama, dari kegelapan dan kelembaban mulut sumur menyembul kepala seseorang. Wajah keriput perempuan tua terlihat. Ya ampun, seorang nenek jompo nangkring di atas timba! Pendekar Slebor mendelik. Hatinya saat itu juga berdoa habis-habisan supaya orang yang dilihatnya c uma mimpi. Dia itu Nyai Silili-lilu. Dia adalah adik kandung buyut Andika, Pendekar Lembah Kutukan. Seorang petapa wanita berusia amat uzur. Hidup lebih dari tiga keturunan. Dunia persilatan bahkan telah menganggapnya siluman perempuan karena kesaktian dan keganjilan tindak-tanduknya.
Bagi Pendekar Slebor, perempuan bangkotan tengik itu adalah salah seorang yang paling ingin dihindarinya setelah buyutnya sendiri! Nenek jompo sakti yang tingkahnya setiap saat bisa membuatnya mati berdiri! (Untuk mengetahui tentang tokoh ini, bacalah episode: "Sepasang Bidadari Merah").
"Oeei i! Kita ketemu lagi!" seru Nyai Silili-lilu meriah.
"Pantas semalam aku bermimpi bertemu ular kadut! Hi hi hi!" Andika sendiri terpaku seolah benar-benar mati berdiri!

***

Sehari terlewati. Amitha terlihat di dalam gu-buknya.
Lelaki India kurus kering itu berjalan hilir-mudik. Ada sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya. Wajahnya menampakkan kebimbangan kental. Kematian Neelam tentu saja membuat dirinya seperti direnggut dari kehidupan. Tapi yang merisaukannya kali ini bukan hal itu.
Ada sesuatu yang lain.
Lama Amitha hanya melakukan hal itu. Sebentarsebentar dia berhenti melangkah. Dipandanginya satu bagian lantai gubuk dengan mata nanap. Tangannya mengepal kuat, seakan ingin membulatkan tekad.
Sebentar kemudian, kepalanya menggeleng-geleng ragu.
Dia berjalan lagi. Tak lama, diulanginya pula memperhatikan satu bagian lantai tanah gubuknya.
Sampai akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk melaksanakan niat yang terus mendidih dalam dirinya.
"Aku harus melakukannya! Harus!" tekadnya seraya bergegas mengambil cangkul kecil dari gantungan dinding.
Membawa benda tadi, didekati bagian lantai tanah yang sejak tadi diperhatikan.
Di bagian tersebut, Amitha mulai menghujamkan mata cangkul dengan wajah mengeras. Gambaran rasa tegang dan waswas yang bertumbukan kasar dalam dirinya.
Selam seperempat jam berikutnya, sudah tercipta lobang selebar roda pedati. Dalamnya satu kaki. Di dasar lubang, didapat satu peti kayu berkerangka baja. Kayunya sudah tampak begitu tua. Namun tetap kokoh.
Sedangkan kerangka bajanya sudah berkarat. Tampaknya sudah begitu tua.
Peti tersebut diangkat Amitha dari dasar lubang.
Dibawanya ke atas meja kayu, dan diletakkan di tepi-nya.
Untuk beberapa saat, si lelaki kurus hitam itu hanya memandangi peti itu.
Keraguan tampaknya meruyak lagi dalam dirinya. Lebih terlihat jelas dalam bersit sinar matanya. Ketika ingat kematian mengenaskan Neelam, wajahnya mengeras.
Garis-garisnya menguat, menebarkan hawa dendam, lalu menying-kirkan keraguan dalam dirinya. Dengan rahang mengejang, tangan Amitha lambatlambat mendekati peti di depannya. Tangan kurus itu agak bergetar, pertanda dia hendak melakukan sesuatu yang pasti amat berat untuk dikerjakan. Tutup peti lalu dibukanya jalang, seakan ingin membunuh keraguan yang masih mencecarnya bertubi.
Kini, terlihatlah satu kitab kuno setebal setengah jengkal. Sampulnya terbuat dari kulit Harimau Jawa.
Sedangkan lembar-lembar di dalamnya terbuat dari kulit ular sendok yang disamak demikian tipis. Tepat di pusat sampul, tertulis aksara Jawa kuno berbunyi: Kitab Ular dan Macan.Amitha terpaku sejenak menatapi gurat aksara tadi, lekuk demi lekuk. Tangannya makin bergeletar. Dibaliknya sampul kitab. Di halaman kedua, ditemukan dua baris tulisan lain.
Gagal akan mati, berhasil akan sesat! Kitab Ular dan Macam adalah kitab kanuragan sesat yang telah ada jauh sebelum zaman kejayaan Majapahit.
Kitab itu ditulis oleh seorang petapa sakti dari puncak Gunung Krakatau.
Petapa sakti itu sendiri sebenarnya menulis kitab tersebut untuk diwariskan pada seseorang yang mampu mengembannya. Namun apa lacur, pengaruh kesaktian di dalam kitab justru membuat sifat seseorang menjadi serendah hewan.
Sang petapa sakti baru menyadari kesalahan yang dibuatnya ketika dia menyerahkan Kitab Ular dan Macan pada seorang petapa muda dari kaki bukit anak Krakatau.
Petapa muda itu menjadi sosok manusia yang tak mengenal peri kemanusiaan. Rasa manusiawi dalam dirinya digantikan oleh sifat-sifat buas seekor macan lapar.
Dan kekejiannya bagai dirasuki darah dingin seekor ular.
Rupanya, wangsit yang selama ini diterimanya sengaja diturunkan Penguasa Semesta untuk menguji hati manusia. Manusia seringkali tergiur oleh hal-hal yang bisa membuatnya berkuasa di dunia. Entah itu kekayaan, kedudukan, atau kekuatan. Dengan diturunkan wangsit pembawa ajianajian yang ditulis dalam kitab, setiap orang yang kebetulan mendapatkannya akan diuji ketegaran hatinya. Ibarat ujian bagi Adam yang diperintahkan Tuhan untuk tidak me-makan buah khuldi dalam Taman Firdaus.
Ketika sang Petapa Suci dari puncak Krakatau hendak memusnahkan kitab tersebut, datang lagi wangsit pada satu malam. Wangsit itu mencegah sang petapa untuk memusnahkan Kitab Ular dan Macan.Dengan berat hati, petapa itu tak jadi memusnahkan benda tersebut.
Untuk mengingatkan siapa pun yang kebetulan mendapatkan Kitab Ular dan Macan, dia menuliskan dua bait pesan dalam hala-man pertama. Pesan itulah yang berbunyi: Gagal akan mati, berhasil akan sesat! Sesuai wangsit terakhir, sang Petapa Suci kemudian meletakkan Kitab Ular dan Macan dalam peti. Peti itu kemudian dilemparkan ke tengah kawah Gunung Krakatau.
Beberapa puluh tahun kemudian, terjadi amukan Krakatau. Gunung itu meletus sejadi-jadinya, sehebat-hebatnya, sedahsyat-dahsyatnya.
Bumi diguncang. Samudera disibak. Lahar termuntah. Peti yang selama ini terkubur dalam lahar dingin di permukaan kawah Krakatau, saat itu juga dimuntahkan keluar. Terlempar jauh ke tengah samudera.
Lahar panas membara yang tersembur membakar bagian luar peti kayu berkerangka baja itu. Merubah warnanya dari coklat kayu menjadi hitam. Gelombang akibat letusan Krakatau kemudian menggiringnya sampai ke pulau Jawa. Letusan teramat hebat saat itu membuat kekuatan gelombang sanggup menggapai jauh ke dalam pulau Jawa.
Peti itu lalu terkubur dalam endapan lumpur selama beratus-ratus tahun. Waktu bergulir. Endapan lumpur itu kemudian menjadi daerah pertanian s ubur di sekitar wilayah Kulon Jawa, Amitha dan Neelam, kebetulan adalah pendatang yang mengolah tanah di mana peti penyimpanan kitab terpendam. Sewaktu dia hendak membajak ladang, cangkulnya tanpa sengaja menghantam benda keras. Peti tua itu ditemukan.
Semula sepasang suami-istri perantau itu mengira peti yang mereka temukan adalah harta karun. Belum lagi dibuka, Neelam sudah mengidam-idamkan menjadi Kanjeng Putri hartawan. Setidak-tidak-nya menjadi bandar martabak seantero Jawa Namun .ketika dibuka, Neelam langsung kecewa. Mimpinya berubah menjadi gerutuan sebulan penuh. Amitha menanggapi hal tersebut tak seperti Neelam.
Dia tertarik dengan kitab kuno tersebut. Dia yakin telah mendapatkan satu kitab kesaktian tinggi. Ketika dia mulai berniat menyimpannya, Neelam langsung pasang bogemnya di depan batang hidung Amitha. Amitha ngeri.
Tapi dia tak berniat menyingkirkan kitab itu. Diam-diam, disimpannya benda tersebut dalam tanah tepat di bawah lantai gubuk.
Kejadian aneh mulai saat itu menghantui diri Amitha.
Seminggu berturut-turut semenjak mendapatkan kitab itu, dia didatangi seseorang dalam mimpi. Mula-mula seorang lelaki tua berpakaian putih berjenggot. Tubuhnya seperti diselubungi sinar. Lelaki tua itu mengangkat tangannya, seolah-olah mencegah Amitha melakukan sesuatu. Sosok lelaki tua itu lalu memupus. Digantikan oleh sosok menyeramkan. Besar, bertaring, bermata satu. Di tangan kirinya ada air dalam bejana berwarna merah bara dan di tangan kanannya ada api.
Sosok menyeramkan itu menyodor-nyodorkan air pada Amitha. Kalau lelaki tua tak pernah berbicara sepatah pun, makhluk menyeramkan ini justru membujuk-bujuknya.
"Ayo, terimalah air ini. Dengan air ini, kau akan berkuasa! Kau akan abadi seperti abadinya diriku. Kau akan menjadi raja diraja manusia! Ayo, terimalah...." Sekujur tubuh Amitha saat itu menjadi panas. Meski dalam mimpi, dia begitu merasakan bagaimana sodoran air di tangan kiri makhluk menyeramkan tadi demikian menyengat. Lebih hebat dari slaksa kali sengatan bara paling panas di muka bumi.
Aneh, api di tangan kanannya justru sama sekali tak terasa panas.
Ketika Amitha mencoba memandang air itu, wujud air dalam bejana semerah bara tadi berubah menjadi satu baris tulisan: Ular dan Macan.... Mulai saat itu, Amitha terus digerayangi ketakutan dalam setiap tarikan napasnya. Mimpi tentang makhluk alam kegelapan demikian menjejak jelas di benaknya. Karena terus dihantui, dia lalu berusaha mengusir bayangan menakutkan tersebut dengan memperdalam yoga. Selama itu pula, Amitha berusaha menafsir-nafsir mimpinya. Karena penasaran, dilihatnya kembali kitab itu tanpa sepengetahuan Neelam. Dia mulai menyadari kitab apa yang telah didapatnya ketika membaca dua bait tulisan di halaman pertama. Sebuah kitab sesat yang menuntut nyawanya jika dia gagal mempelajari. Kalaupun berhasil, dia akanjatuh ke jurang kesesatan teramat dalam.

***

Di lain tempat, tepatnya di sumur tua di balik bukit wadas.
Karena setengah modar tak suka bertemu dengan Nyai Silili-lilu, Pendekar Slebor cepat-cepat melepas tali timba yang dipegangnya. Dia berharap nenek setengah edan yang nangkring seenaknya di atas timba segera terjatuh kembali ke dasar sumur.
Andika boleh berharap begitu. Kenyataannya berbalik seratus delapan puluh derajat. Timba tetap menggelantung di tempat.
Bobot Nyai Silili-lilu mungkin tak lebih berat dari seekor kadal.
Menyaksikan kegagalannya, Pendekar Slebor menepak kening kuat-kuat. Baru dia sadar kalau si nenek sinting memiliki ilmu kanuragan setaraf dengan buyutnya sendiri. Pendekar Lembah Kutukan. Jadi, jangan heran kalau dia bisa menguasai berat tubuhnya demikian rupa.
"Mau main licik" Atau 'main' yang lain?" goda Nyai Silili-lilu genit.
Pendekar Slebor menarik napas. Panjang-panjang.
Dalam-dalam. Bakal benar-benar kena musibah, pikirnya.
Tabah... tabah....
Dari atas timba, si nenek sakti melompat ringan.
Hinggap di samping Pendekar Slebor membawa senyum sarat kemenangan.
"Weleh... kau makin guanteng saja, Andika!" pujinya.
Kumat lagi penyakit genitnya. Orang sejompo dia mestinya sadar kalau bau tubuhnya sudah seperti tanah. Kalau yang namanya Nyai Silili-lilu, hal seperti itu justru jadi tabu. Apa tidak sinting"
"Boleh dong, aku meminta sedikit ciuman sebagai salam pertemuan?" serbunya lagi.
Andika cengengesan. Cium katanya" Daripada cium dia, lebih baik cium telapak kaki buto ijo sekalian, pikir Andika merajuk.
"O, jadi tidak mau?" desak Nyai Silili-lilu semena-mena. Mata keriput berwarna kelabunya mendelik. Pakai tolak pinggang segala lagi. Lagaknya sudah mirip penjajah dari Mongol.
"Kalau begitu, cium tangan saja!" bentaknya, mulai memerintah.
Wajah Pendekar Slebor tambah terlipat. Mau dituruti, dia tak sudi. Tidak dituruti, tahu sendiri. Nenek sinting satu itu bukan cuma bisa membuatnya jadi bulan-bulanan.
Dijitaki bertubi-tubi saja masih untung. Bagaimana kalau dia dibuat telanjang bulat" Andika takut" Bukan soal takut. Ini masalah menyebalkan baginya. Cuma itu.
"Eee, cicit kemenakanku mulai membantah, ya?" Selesai menghardik, Nyai Silili-lilu menggeram. Di telinga Pendekar Slebor, geramannya lebih menakutkan dari gonggongan biang setan.
"Cepat cium!" Nyai Silili-lilu menyodorkan punggung tangan tinggi-tinggi. Meski badannya sudah membengkok bak tongkat, masih juga sok ditegak-tegakkan. Biar terlihat lebih berwibawa di mata cicit kemenakannya, barangkali.
Dengan terpaksa, Pendekar Slebor akhirnya 'bertekuk-lutut'. Diciumnya juga punggung tangan Nyai Silili-lilu. Khidmat tidak khidmat, peduli setan, rutuknya.
"Sebenarnya, sedang apa kau di sini, Uwak?" Tanya Andika setelah dia terbangkis-bangkis berkali-kali.
"Usaha," jawab Nyai Silili-lilu singkat.
Andika kebingungan. Jawaban tadi sulit dimengerti, meski otaknya sudah tergolong encer.
"Bertapa, tolol! Cari tambahan ilmu. Barangkali masih ada sisa jatah buatku. Apa itu namanya bukan usaha?" Andika mengangguk-angguk mengerti. Heran juga dia, orang sesakti Nyai Silili-lilu masih juga mau menambah ilmunya.
"Apa merasa belum cukup, Wak?"
"Apanya yang belum cukup?"
"Ilmunya" Kurasa kau sudah cukup sakti...."
"Bocah gendeng tidak punya otak! Apa kau pikir aku bertapa untuk mencari ilmu kesaktian tambahan?"
"Jadi?"
"Aku mencari hikmah! Ini...," Nyai Silili-lilu menunjuk dadanya.
"Hati kita selama hidup pasti penuh kekotoran.
Aku yang sudah mau mampus, ingin sekali membersihkannya terlebih dahulu dengan cara mencari hikmah. Itu yang aku perlukan - " 'Tapi kok heran ya...."
"Heran bagaimana?"
"Anu, tingkahUwak masih saja tengik...," gumam Andika takut-takut.
"Eee, jaga bacotmu!"

***

ĦĦ[ 5 ]ĦĦ

Amitha tiba di atas puncak Gunung Kawi, Karisidenan Cirebon. Berhari-hari dia melakukan perjalanan kaki dari Kulon Jawa menuju Wetan Jawa. Di balik pakaiannya tersembul Kitab Ular dan Macan.
Sejak terakhir mengangkat kitab dari lubang, Amitha telah memeram tekad untuk mempelajarinya. Apa pun akibat yang akan menimpa, akan ditanggungnya. Dia sudah tak peduli lagi. Dia nekat. Dendam telah membutakan mata hatinya. Lelaki kurus hitam itu tak bisa lagi membedakan mana cara yang benar dan mana cara sesat. Waktu itu, tepat ketika Amitha mencoba membaca halaman kedua Kitab Ular Macan, mendadak saja dari tempatnya berpijak tersembur asap hitam pekat, tebal dan menggumpal padat.
Amitha ketakutan. Amitha panik. Setakut-takutnya dia, sepanik-paniknya dia, lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa. Seluruh jaringan otot dan persendiannya seperti mati. Dia tak mampu bergerak, meski sekadar mengedipkan kelopak mata.
Dalam kungkungan ketakutan teramat sangat, asap kelam yang merubunginya di tempat perlahan tapi pasti mengumpul menjadi sosok tinggi besar berbulu. Mulutnya menyembulkan dua taring besar. Matanya hanya satu, tepat di atas batang hidungyang tak kalah besar dengan bola mataberwarna merah darah. Ada desis menggebah bulu roma ketika mata itu me-natap Amitha.
Makhluk terkutuk itulahyang dilihat Amitha dalam mimpi!Si lelaki perantau dari India itu merasa jantungnya berhenti berdenyut untuk sekian saat. Badannya bergetar hebat. Jauh lebih hebat dari gigil orang terserang malaria.
Apalagi ketika makhluk mengerikan itu mendekat dengan cara aneh. Tanpa menggerak-kan kaki, tubuh menebar bau itu bergerak seperti kabut memperpendek jarak dengan Amitha.Satu tombak dari Amitha, gerak tubuh makhluk itu berhenti. Tawa terlepas dari mulut yang melebar mendadak, seakan ingin menelan Amitha bulat-bulat.
Suaranya terdengar terpendam, tapi juga melengking.
Terdengar menggaung, tapi juga mendenging. Terdengar pekat, tapi juga menghambur. Serak, juga mengabur.
"Aku Daj al Yang Terkutuk. Datang untuk memberimu apa-apa yang kau kehendaki...," ucapnya. Suara makhluk itu mendadak mendayu lebih memikat dari suara Dewa Kebajikan atau Bidadari dari sorga.
Amitha tidak berkata apa-apa. Pita di kerongkongannya seperti melekat erat.
"Kau ingin membalas kematian istrimu. Pelajari kitab itu di puncak Gunung Kawi...." Selesai menambahkan, sosok itu mendadak pupus.
Asap tebal pekat pun menghilang seketika, tak beda dengan gelombang mimpi yang tiba-tiba terjaga.
Keesokan harinya, Amitha benar-benar berang-kat ke Wetan J awa. Gunung Kawi yang dituju. Akan dipelajarinya kitab sesat di sana. Dan hari ini, dia tiba.
Di atas batu besar seukuran tiga ekor gajah, Amitha duduk bersila. Dibukanya Kitab Ular dan Macan yang sejak tadi hanya ditatapinya tanpa gemik.
Tepat ketika halaman yang berisi tentang ajian-ajian maut dalam kitab tersebut, bumi diguncang gelegar halilintar. Lidah petir seperti menebas ubun-ubun Gunung Kawi. Alam berubah kelam dalam pandangan Amitha.
Amitha tidak peduli sama sekali pada apa pun yang terjadi. Tekadnya sudah penuh.
Dia harus memulai!

***

Tampaknya hari-hari belakangan Pendekar Slebor sedang dilanda kesialan demi kesialan. Semula dia bertemu Amitha dalam haus teramat sangat. Belum cukup kenyang dengan kesialan itu, ada lagi kesialan baru yang tak kepalang tanggung. Bertemu dengan Nyai Silili-lilu.
Bertemu saja tak terlalu merongrong dirinya. Tapi kalau si perempuan bangkotan itu ingin mengikutinya" Sama saja sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Edannya lagi, perawan lapuk itu minta digendong pula! "Aku sebenarnya sedang ada urusan penting, Uwak.
Kenapa kau ingin sekali turut denganku?" tanya Andika.
Dongkolnya berusaha ditahan-tahan sekuat mungkin. Di sumur tadi, dia belum sempat minum.
Sekarang perjalanannya malah ditambah beban di punggung.
Mestinya berat nenek kerempeng seperti Nyai Silili-lilu tak terlalu merepotkan seorang pemuda kekar berotot seperti Andika. Herannya, anak muda itu justru merasa sedang menggendong seekor kerbau! Pendekar Slebor tahu dia sedang dikerjai. Nyai Silili-lilu memang usil. Andika bukan tak mau maklum. Cuma saja, dia tak habis mengerti kenapa mesti tertimpa 'musibah' bertemu dengan perempuan peot itu" Di lain sisi, Andika tak bisa menolak begitu saja permintaan ngotot Nyai Silili-lilu. Mana bisa nenek keras kepala dan mau menang sendiri itu ditolak" Sehebat-hebatnya sifat keras kepala Pendekar Slebor, Nyai Silili-lilu barangkali seribu satu kali lebih hebat.
"Aku juga ada urusan penting. Memangnya cuma kau saja?" tukas Nyai Silili-lilu ketus. Merasa nenek buyut kemenakannya tak mempercayai kesungguhan ucapannya, Pendekar Slebor mencoba meyakinkan. Dikeluarkannya kalung yang ditemukan dalam genggaman mayat Neelam.
"Aku hendak mencari seorang pembunuh, Wak. Ini buktinya...," kata Andika bersungut. Diperlihatkannya kalung tadi ke depan hidung Nyai Silili-lilu yang nangkring seenak perut di punggungnya.
"Ah, cuma kalung butut! Apa hubungannya dengan seorang pembunuh yang hendak kau cari" Kau cuma mau mengibuli aku saja!"
"Aku tidak bohong, Uwak! Apa kau pikir aku mau kualat membohongimu?"
"Coba kulihat!" Andika menyerahkan kalung pada Nyai Silili-lilu.
"E, buyut!" Nyai Silili-lilu tersentak.
"Ada apa, Uwak?"
"Aku kenal dengan kalung ini."
"Masa'?"
"Jangan masa'-masa'!"
"Katanya tadi aku cuma mau mengibuli...."
"Sudah jangan banyak bacot! Kau mau mencari pemilik kalung ini apa tidak?"
"Ya, mau."
"Kalau gitu, kita mesti cepat ke pesisir Pantai Laut Selatan!"
"Pantai Laut Selatan" Dengan menggendong Uwak?"
"Jangan banyak bacot, kataku. Lari saja ke sana!"
"Lari sih, lari. Cuma kalau sambil menggendong manusia bau seberat kerbau, apa tidak cari susah namanya" Apalagi tempat yang dituju jauhnya bukan main.
Dasar apes!" maki Pendekar Slebor membatin.

***

Pertarungan sengit sedang berlangsung di sekitar Kadipaten Karang Gantung. Tiga orang sedang terlibat pengeroyokan terhadap seseorang. Ketiga pengeroyok adalah orang-orang yang pernah mendatangi Neelam beberapa hari lalu. Seorang lelaki India kalang-kabut digempur mereka. Si lelaki India bertubuh tegap. Berpakaian jubah kurung khas negerinya berwarna merah hati. Wajah banjir peluhnya memperlihatkan raut tegar usia empat puluhan. Rambutnya amat pendek, dibiarkan tumbuh hanya sepanjang setengah kuku.
Perkelahian berjalan sama sekali tak seimbang.
Bentrokan-bentrokan tangan, dan kaki terdengar susul-menyusul. Diricuhi pula oleh deru gerakan demi gerakan cepat. Pertarungan tersebut telah berlangsung cukup alot. Orang yang dikeroyok punya cukup kemampuan yang diandalkan untuk bertahan dari serangan ketiga lawan, meski dia terus terdesak.
Bersenjatakan sebuah gada besar yang ujungnya berbentuk bulat, lelaki India tadi berusaha mengim-bangi serangan-serangan para pengeroyoknya. Sementara, di sisi para pengeroyok, hanya perempuan cantik mempergunakan senjata rantai panjang bermata baja berbentuk cakar.
Pertarungan mereka beringsut terus, dari tempat yang satu ke lain tempat. Terjadi karena orang yang dikeroyok berusaha untuk membebaskan diri dari kepungan. Tiba di tepi sebuah telaga, lelaki India jatuh dalam keadaan terjepit. Dia tidak bisa lagi bergerak lebih leluasa dalam usaha melepaskan diri dari kepungan.
Telaga terbentang dibelakangnya. Sementara di depan dan sisinya, tiga lawan setiap saat dapat menendangnya ke hang lahat.
"Sekarang kau tak dapat menyingkir ke mana pun, lelaki India!" cibir perempuan cantik, mencoba meruntuhkan semangat perlawanan lelaki India.
"Ya, kau tak bisa lagi menghindar dari kami. Dan kami pun tak perlu sungsangsumbel mencarimu. Karena hari ini kau akan segera mati!" timpal orang berwajah bengis yang beberapa waktu lalu telah membunuh seorang India pula di kotapraja.
"Kenapa kalian begitu menginginkan kematianku"!" tanya lelaki India, serak. Dadanya kembang-kempis tak beraturan. Wajahnya setiap kali membersitkan ketakutan.
Tampaknya meski dia punya cukup kepandaian bela diri untuk bertahan, tak urung dia digerayangi rasa takut.
Orang cebol terkikik geli. Sehabis tertawa singkat, wajahnya berubah berangasan kembali.
"Kau pikir kami akan melepaskan begitu saja orang yang akan merusak rencana besar kami, heh"!" tukasnya sinis.
"Tapi kalian memang merencanakan suatu yang busuk!" kecam lelaki India.
"Itu sebabnya kau harus kami singkirkan! Rencana kami tak boleh bocor! Tak boleh ada satu orang golongan putih persilatan yang tahu rencana kami itu. Kami tak ingin mereka menyusun kekuatan untuk menghalangi kami!" sela wanita cantik. Wajah merangsangnya tetap dingin.
"Tapi apa urusannya denganku"! Aku tidak akan mencampuri urusan kalian!"
"Ketika kau mendengar secara tak sengaja pertemuan kami di hutan waktu itu, itu artinya kau telah mencampuri urusan kami!" tandas lelaki berwajah bengis.
"Mana aku tahu kalian mengadakan pertemuan rahasia di sana. Aku sendiri tak berniat mencuri pembicaraan kalian. Aku waktu itu hanya berniat mencari kayu bakar! Apa salahnya dengan perbuatan itu"!" sangkal lelaki India lagi.
"Salahnya" Kau mau tahu salahmu" Salahmu, kenapa kau bertemu dengan kami..."
"Ah, kalian memang cuma orang-orang sesat yang mencari segala alasan untuk membenarkan tin-dakan laknat kalian!" maki lelaki India gusar.
Si cebol terkikik meriah. Sulit menentukan apa yang dianggapnya lucu dari makian lelaki India tadi. Yang jelas, sepasang bola matanya tetap menerjangkan sinar haus darah ke arah lawan.
"Sekarang, berdoalah secepatnya kepada Tuhanmu, sebab kami akan segera mengirimmu ke akhirat!" Akhir ucapan orang cebol menjadi pemicu pengeroyokan tak seimbang kembali. Manusia bertubuh kerdil itu memulai dengan satu lepasan tinju menggeledek di atas selangkangan lawan.
Wukh! Deb! Lelaki India tahu dirinya tak mungkin lagi menghindar ke mana pun, selain memapaki tinju lawan.
Dengan agak nekat, disambutnya tinju si cebol dengan senjatanya.
Prak! Hantaman hebat mengenai ujung gada dari batu alam itu. Saat bersamaan, terdengar derak keras.
Ujung senjata tadi berserpih menebari udara dalam pecahan-pecahan kecil. Tinju ganas yang pernah mengirim nyawa Neelam ke akhirat kini dipergunakan si cebol kembali! Lelaki India terkesiap. Semula dia tak memperkirakan tinju si cebol memiliki kekuatan penghancur yang hebat. Tapi, tak sedikit pun dia memperhitungkan kalau kehebatan tinju lawan sanggup melantakkan senjatanya. Padahal dia tahu pasti, batu yang dipergunakan untuk ujung senjatanya termasuk batu mulia yang memiliki kekerasan tak diragukan. Tak dapat dibiarkan berlarut-larut keterkesiapannya tadi manakala tangan si cebol yang lain menderu pula mengejar dirinya.
Wukh! "Haih!" Jarak yang terlalu dekat memaksa lelaki India berjumpalitan ke depan, melewati kepala si cebol. Sayang, di sana sudah menunggu lelaki berwajah berangasan.
Pijakan kakinya di tanah disambut oleh sepakan setengah putaran kaki lelaki itu.
Zeb! Sekali lagi, lelaki India pontang-panting menyelamatkan diri. Tak ingin dibiarkan kepalanya diremukkan punggung kaki lawan. Dia mengembalikan tubuh ke belakang dengan salto sempit agar tak terlalu dekat ke arah si cebol.
Belum lagi napasnya lega, wanita cantik mulai pula melepas gempuran. Senjata rantainya menanduk udara, memperdengarkan desing tipis di sisi bu-ruannya, sementara tubuh lelaki India sendiri masih berada di udara.Lelaki India benarbenar hendak dijadikan bulan-bulanan! Keadaan yang sudah amat terjepit membuat lelaki India tak bisa lagi melakukan kelitan seberapa lincah pun dia. Jalan satusatunya, dia harus mementahkan ancaman rantai berujung cakar baja tadi. Dengan gagang baja sisa gadanya, untung-untungan disampoknya tandukan hebat ujung rantai. Trangng! Cuma satu harapan lelaki India agar ujung maut berbentuk cakar itu urung menghantam iganya. Sayang, tenaga yang terkandung dalam senjata lawan nyatanya jauh dari perkiraan. Gagang gadanya terpental saat itu juga. Nyeri luar biasa menjalari sekujur tangannya.
Saat berikutnya, bukan cuma nyeri di tangan dirasakan, tapi juga sebentuk rasa sakit tak alang kepalang menerjang bagian bahu kirinya. Tendangan susulan lelaki berwajah seram rupanya telah bersarang empuk. Tenaga tendangan itu melontarkan tubuh lelaki India ke tengah-tengah telaga.
Byur! Permukaan telaga menelannya. Air beriak. Gelombangnya mengembang sampai jauh, membentuk cincin-cincin bergerak mengembang. Perlahan-lahan, riak permukaan telaga menghilang. Tubuh lelaki tadi tak kunjung muncul di permukaan.
Telah direnggut ajalkah dia"
"Apakah kau yakin dia bakal benar-benar menemui ajal Mata Dewa Kematian?" tanya si cebol.
"Aku yakin sekali," sahut lelaki berwajah seram yang dipanggil Mata Dewa Kematian.
"Tendanganku mengenai dada kirinya.
Setidaknya jantungnya telah pecah!" tambahnya yakin.
"Jangan ceroboh mengambil kesimpulan," sela wanita cantik di tengah-tengah mereka.
"Dalam hal ini, kita tak bisa berjudi. Kita harus memastikan lelaki itu benarbenar telah mati! Apa kalian mau dia membocorkan rencana rahasia kita pada orang dunia persilatan kalau ternyata dia masih hidup?"
"Benar juga," timpal si cebol.
"Jadi meriurutmu, sebaiknya kita memastikan dia benar-benar mampus?" kata Mata Dewa Kematian agak tersinggung.
"Kalau kau tak mau melakukannya, sebaiknya biar Katak Merah yang melakukan," sergah wanita cantik datar, namun menusuk Si cebol yang disebut Katak Merah menyeringai. Dia ingin mengejek Mata Dewa Kematian.
"Kerja mudah buatku," tukasnya meremehkan.
Mata Dewa Kematian mendengus.
"Kau pikir apa yang hendak kau lakukan. Katak Merah" Mencoba menyelam seperti katak buduk ke dasar telaga?" gerutu Mata Dewa Kematian.
Katak Merah mengepalkan tinju. Rahangnya mengeras. Dia hendak menindak lelaki tadi. Tapi cepat dicegah oleh si wanita cantik. Mata Dewa Kematian terpancing juga oleh ulah Katak Merah. Mata merahnya menatap tajam-tajam. Dari mata mautnya itu membersit kilatan menggidikkan.
"Kerjakan saja apa yang diperintahkan!" sentak si wanita cantik, melihat gelagat yang tak baik.

***

ĦĦ[ 6 ]ĦĦ

Puncak Gunung Kawi. Tempat di mana sebentang kekuatan hitam alam gaib membentuk benteng. Tempat di mana manusia banyak datang melakukan pemujaan.
Tempat di mana banyak manusia terjerembab dalam persekutuan dengan sang Durjana! Di salah satu celah gunung yang membentuk gua pendek menjorok ke dalam, seorang terlihat. Diam, dingin bagai area. Kegelapan menyelimuti. Siang dan malam tiada beda. Karena sinar matahari tak bisa menembus masuk. Udara di dalam dingin lembab. Hanya kelelawar atau binatang melata yang biasanya mendekam di dalam sana.
Tidak seperti biasanya orang bertapa, cara duduk orang ini begitu aneh. Dia harus duduk di dalam lumpur lengket kehitaman setinggi leher yang menjadi dasar gua. Hanya kepala berambut klimis pada bagian atas lelaki itu yang menyembul di atas permukaan lumpur.
Orang itu memang Amitha. Hari ini, memasuki hari kedua dia melakukan tapa untuk mengamalkan rapalan-rapalan ajian dalam Kitab Ular dan Macan. Empat hari sebelumnya, dia.telah berhasil tuntas mempelajari isi Kitab Ular dan Macan.
Beberapa syarat sebelumnya telah dia selesaikan. Tapa kali ini adalah syarat terakhir baginya agar dapat memperoleh ilmu kanuragan sesat.
Di permukaan lumpur, terlihat potongan-potongan kecil makhluk menjijikkan. Ratusan lintah, melata di sana! Bahkan mungkin, jumlahnya lebih banyak di dalam lumpur.
Binatang-binatang itu bergerak-gerak, menggeliat-geliat bersama lendirnya di sekujur wajah dan tubuh Amitha.
Sejak memulai tapa, lelaki itu harus membiarkan dirinya menjadi santapan lintah. Membiarkan darahnya dihisap sedikit demi sedikit oleh makhluk-makhluk kecil penghuni lumpur.
Mula-mula, amat sulit bagi Amitha. Baru dia hendak memulai memusatkan perhatian dan menghilangkan pikirannya, di beberapa bagian tubuhnya terasa ada geliatan-geliatan halus, menyusul rasa gatal teramat sangat sewaktu lintahlintah itu mulai menghisap darahnya rakus-rakus. Perhatiannya jadi terpecah.
Agar dia bisa menjalankan syarat terakhir, dengan segenap kekuatan pikiran, Amitha berjuang untuk mengenyahkan perasaan-perasaan yang mengusiknya.
Latihan yoga selama ini cukup memban-tunya. Meski susah payah, dia berhasil juga mencapai pemusatan pikiran dan perasaan.
Namun, untuk syarat kali ini dia dihadapkan pada perjudian maut. Nyawanya akan dipertaruhkan. Sebab semakin lama dia berada dalam lumpur sarang lintah tersebut, akan semakin banyak darahnya di-kuras. Lintah-lintah itu seperti tak pernah kenyang.
Dua hari berlalu. Saat-saat ini keadaan begitu kritis bagi Amitha. Darah ditubuhnya sudah tak bisa lagi dihisap lebih banyak oleh lintah. Kalau itu terjadi, maka organ-organ dalam tubuhnya akan kekurangan darah. Dia bukan saja akan kehilangan kesadaran, tapi juga akan mati.
Dalam perjuangan untuk tetap menjaga kendali tapanya, Amitha merasakan tubuhnya begitu lemah.
Perlahan tapi pasti, ada perasaan mual tak terhingga.
Kepalanya memberat, seperti dilimpahi timbunan wadas.
Darah dalam tubuhnya rupanya makin menipis.
Lama kelamaan, timbul gambar-gambar aneh dalam kepalanya. Bentuknya tak beraturan, Simpang-siur dan beragam. Amitha tak menyadari kalau dia mulai tak kuasa lagi mengendalikan kesadarannya. Sebentar lagi, dia akan terjatuh pingsan.
Pada saat Amitha merasakan tubuhnya seperti terapung perlahan di atas, terdengarlah tawa serak menggetarkan dinding gua.
"Ha ha ha! Kau telah berhasil anak manusia! Kau telah berhasil! Bangkitlah dengan kesaktian dalam dirimu.
Kini, kau telah menjadi sekutuku! Kau telah rela untuk mempertaruhkan nyawamu sendiri untuk dendammu!" Suara menggidikkan tadi memupus.
Amitha membuka mata perlahan. Kelopak matanya begitu berat untuk digerakkan. Sepertinya dia akan membutuhkan waktu berjam-jam hanya untuk melakukan itu.
Begitu matanya terbuka, cahaya terang menyerang seketika. Otot-otot matanya menjadi linu. Tanpa sadar, Amitha mengangkat tangannya untuk menghalangi terjangan cahaya. Matanya mengerjap-ngerjap.
Lambat laun, akhirnya pandangan Amitha bisa wajar kembali. Amitha mendapati dirinya sudah tidak berada di dalam gua berlumpur. Melainkan di dalam liang lahat terbuka.
"Mungkinkah aku gagal dan telah mati?" bisiknya bergetar.
Amitha mendongak pada lubang liang. Disaksikannya matahari tepat berada di atas ubun-ubun.
Itu artinya, dia belum mati.
Tapi di mana aku?" bisik batinnya.

***

Lelaki berjuluk Mata Dewa Kematian berdiri diam di tepi telaga. Tak ada gerak. Hanya dadanya yang terlihat mengembang kempis teratur. Pandangannya dihujamkan lurus-lurus, lekat-lekat pada permukaan telaga.
Angin mendesis-desis mengusik permukaan telaga hingga membentuk riak kecil.
"Heaaa!" Mendadak kes unyian diporak-porandakan. Mata Dewa Kematian memekikkan lengking melolong panjang.
Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi ke atas dengan telapak terbuka kejang.
Di ujung teriakan membahananya, permukaan telaga tiba-tiba meruyak, bergolak.
Suara riuh-rendah seperti badai tercipta. Gelombang-gelombang besar pun tercipta. Gelombang itu tak seperti biasa. Kalau ombak biasa akan bergerak menyamping, ombak yang terjadi kali ini malah mencelat lurus ke atas. Tingginya sekitar empat tombak.
Ombak itu kemudian menyatu di udara, dan melayang untuk beberapa saat. Air telaga seakan sedang diciduk gayung gaib raksasa sebesar pendapa! Gumpalan terapung air raksasa tadi kembali jatuh ke telaga ketika Mata Dewa Kematian tak menemukan apa yang dicarinya.
Permukaan telaga tersibak lagi, mengiringi timpaan gumpalan air raksasa tadi.
Disusul oleh lengkingan suara Mata Dewa Kematian.
"Heaaa!" Kemudian, hal seperti sebelumnya pun terulang kembali. Terulang dan terulang lagi. Sampai akhirnya tubuh orang yang diburu terikut salah satu gulungan air raksasa ke udara.
"Itu dia, Dewi Kecubung!" seru si cebol meng-gebu.
"Bereskan!". perintah wanita cantik berjuluk Dewi Kecubung.
Cepat Katak Merah mengerahkan tenaga dalam ke sepasang telapak tangannya. Tak tanggung-tanggung lagi dikerahkan tenaga dalamnya. Seperti ucapan Dewi Kecubung belum lama, dia memang harus benar-benar memastikan bahwa kali ini, buruan mereka akan sampai di akhirat!Jeph! Serangkum angin pukulan berhawa kuat yang sanggup melantak karang membelah udara. Arah yang dituju, tepat tubuh lelaki India yang masih terapung di udara bersama gumpalan air raksasa.
Drat! Didahului dengan hantaman pada gumpalan air, tubuh lelaki India terpental. Sejauh sepuluh depa tubuh itu melayang terhempas kembali ke permukaan sungai, tenggelam beberapa saat, lalu mengapung tanpa gerak.
"Kuyakin dia kini benar-benar telah mampus! He he he!" Katak Merah terkekeh menyaksikan hasil kerjanya.
Tubuh lelaki India itu.
Dewi Kecubung menjentikkan jari, mengajak dua sekutunya meninggalkan tempat tersebut.
Telaga di Kadipaten Karang Gantung itu sunyi kembali. Airnya agak surut karena musim kemarau berkepanjangan. Namun tak turunnya hujan sekian lama tak membuat telaga itu menjadi kering sama sekali. Hanya sekitar tepian telaga yang mengering.
Beberapa ekor rusa terlihat datang mendekat Mereka meneguk airnya. Sejak aliran sungai kecil yang membelah Kadipaten Karang Gantung kering, banyak hewan menjadikan telaga itu sumber air minum. Seperti halnya penduduk di sekitar.
Ketenangan kawanan rusa tadi diusik oleh sesuatu dari tengah-tengah telaga.
Mereka menghentikan minum, menegakkan kepala siaga. Mata bulat jernih hewanhewan itu menatap tak berkedip ke tengah telaga di mana sesuatu mengapung.
Kawanan rusa tadi lari berhamburan ketika tubuh yang mengapung sekian lama barusan mulai bergerak.
Tangannya terkayuh lemah di permukaan bersama suara kecipak air. Tampaknya dia berusaha untuk berenang ke tepi dengan sisa-sisa tenaga.
Dalam keadaan amat payah, akhirnya orang tadi tiba juga di tepi telaga yang mengering. Dia berjalan terseok.
Dari sudut bibirnya yang basah mengalir darah. Juga dari lubang hidungnya.
Orang itu yang belum lama dikeroyok tiga lawan di tepi telaga. Dugaan Katak Merah meleset. Ternyata buruan mereka sama sekali belum menemui ajal. Menilik keadaannya, memang sulit dipercaya kalau si lelaki India masih hidup. Apalagi dia sudah cukup lama berada dalam air.
"Uuuhhh...," keluhnya sambil menjatuhkan diri ke atas rumput. Dia tak mungkin lagi berjalan lebih jatuh.
Sudah tak sanggup lagi. Kekuatan tubuhnya terus merosot hingga ke titik terlemah. Di atas rumput, sebentar dia terbatuk-batuk. Darah kehitaman terikut keluar bersama batuknya. Tak begitu lama, kepalanya terkulai.
Dia tak sadarkan diri.
Di salah satu sudut wilayah Wetan Jawa, seseorang tampak berdiri di tengah jalan berdebu tebal Dia mengenakan caping lebar dan jubah besar ber-warna hitam Dengan kepala agak dirundukkan, akan sangat sulit bagi orang lain untuk menyaksikan wajahnya. Tangannya bersedekap erat di dada.
Di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan arah orang tadi menghadap, terlihat tiga ekor kuda berlari menggila. Debu membubung pekat, meng-ekori setiap hentakan ladam kuda pada tanah kering.
Para penunggang di atasnya, tak henti-henti menggebah serta melecut hewan-hewan itu. Suara teriakan-teriakan mereka seriuh guruh di kejauhan.
Bertumbukan kacau dengan ringkikan panjang dan derap kaki kuda.
"Hea! Hea! Heaaa!" Lari ketiga kuda semakin dekat dengan orang yang berdiri di tengahjalan. Semakin memperpendek pula jarak di antara mereka. Semakin dekat, semakin cepat kemungkinan orang tengah jalan akan terinjak-injak.
Namun tampaknya, dia tak pernah merasakan takut pada labrakan kaki-kaki kuda.
Menjelang lima depa jarak tersisa, ketiga penunggang yang seluruhnya lelaki terpaksa menyentak tali kekang tunggangan masing-masing. Seperti diberi aba-aba serentak, ketiga kuda kekar perkasa mereka meringkik panjang. Kaki depan tiga binatangitu terangkat tinggi ke atas, seraya melakukan gerakan menendang-nendang liar.
"Kisanak, kenapa kau berdiri di tengah jalan seperti itu" Tidakkah kau sadar kau hanya akan mencelakakan diri sendiri?" Salah satu penungganp berkumis tebai mencoba menegur. Orang yang menghadang tak menjawab. Melirik pun tidak. Bahkan sikap berdirinya tak berubah sama sekali dari sebelumnya.
"Kisanak. Kami sedang ada urusan amat penting! Sudikah kiranya kau memberi kami jalan?" sambung orang berkumis tebal, masih berusaha untuk bersikap ramah.
"Kalian tak akan bisa melewati jalan ini sebelum kalian mengatakan satu hal padaku!" tandas penghadang.
Suaranya terdengar samar. Seakan orang itu malas berbicara. Biar begitu, terdengar amat bertekanan kuat.
Ketiga penunggang kuda saling bertatap.
"Apa yang hendak kau tanyakan Kisanak?" sambung orang berkumis.
"Siapa di antara kalian yang berjuluk Pendekar Slebor?" Ketiga lelaki di punggung kuda tersenyum. Mereka harripir saja tertawa kalau tak segera menahan-nya.
"Tentu saja orang yang kau maksud tidak ada di antara kami. Kau pasti sedang bergurau kalau menganggap salah seorang di antara kami adalah pendekar besar itu...," gurau penunggang paling muda.
"Hm.... Kalau begitu, katakan padaku di mana aku dapat menemukan orang itu." Mendengar nada bicara yang seperti tak memandang sebelah mata nama besar pendekar muda dari Lembah Kutukan, ketiga penunggang kuda saling menatap kembali. Siapa orang ini sebenarnya" Bisik hati masing-masing.
"Sebenarnya, ada urusan apa kau pada Pendekar Slebor?" Tanpa menjawab pertanyaan lelaki penghadang barusan, penunggang berusia paling muda justru balik bertanya.
Lelaki penghadang tak menjawab sepatah kata pun.
Tetap diam dengan kesan dingin pekatnya. Ca-ping lebarnya tetap ditundukan.
Sampai....
"Katakan padaku di mana aku dapat menemukan dia"!" hardikan tiba-tiba saja mencelat dari kerongkongannya. Keras. Bahkan terlalu keras untuk ukuran seorang yang sedang murka sekalipun. Selain itu, hardikan barusan tidak dimaksudkan untuk membentak semata, melainkan untuk melepas tenaga dalam melalui gelombang suara Tiga kuda jantan besar di sana meringkik ketakutan.
Mereka seperti disentak oleh salakan guntur. Dengan nyalang mereka menendangnendangkan kaki depan tinggi-tinggi. Penunggangnya seperti hendak dilemparkan dari punggung. Untung saja ketiga lelaki tadi memiliki cukup kemahiran dalam seni me-nunggang kuda.
"Haooo! Hooo!" Ketiga penunggang kuda berjuang untuk menenangkan kembali tunggangan mereka. Satu tangan mereka dirangkulkan erat ke leher kuda. Sedang tangan yang lain mengelus-elus.
Susah-payah, akhirnya mereka bisa membuat ketiga hewan gagah itu tenang kembali.
Sewaktu mereka melepas perhatian pada lelaki penghadang, orang itu ternyata sudah tak ada lagi di tempat berdiri.
Tiga kali dengan itu mereka bersitatap. Mereka tak mengerti, ke mana penghadang tadi. Padahal, mereka sama sekali tak melihat ada gerakan. Sementara sejauh mata memandang, hanya ada hamparan ladang jagung kering. Kalau orang tadi pergi, tentunya mereka masih bisa menyaksikan sosoknya di kejauhan.
"Kau pikir, apa kita telah bertemu dengan dedemit?" tanya lelaki berkumis pada kedua temannya.
Kedua temannya malah bertukar pandangan seperti orang kebanyak minum tuak.
"Ah, sebaiknya kita cepat menyingkir dari tempat ini.
Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat ini... Lagi pula, kita harus segera ke Pedepokan Ki Braja." Ketiganya sepakat untuk meninggalkan tempat tersebut. Berbarengan, kaki mereka menghentak perut kuda. Tali kekang dilecutkan. Ketiga kuda siap berpacu di jalan berdebu kembali.
Baru sekitar tiga puluh langkah kuda berlari, debu bahkan belum sempat menebar jauh, sayup-sayup terdengar suara dengung di belakang ketiganya. Suara asing tadi tidak terdengar jauh, tapi tidak juga terdengar dekat.
Ketiganya curiga. Meski tak sepakat terlebih dahulu seperti sebelumnya, mereka menoleh ke belakang sambil tetap menunggang.
Ketika itu, ketiganya menyaksikan suatu pemandangan yang membuat bulu tengkuk mereka menegang seketika. Mata mereka mendelik sebesar-be-sarnya.
Otot di tubuh mereka serentak mengejang tegang.
Sementara tanpa sadar, mereka menarik tali kendali kuda masing-masing.
Samar-samar, mata mereka menyaksikan seekor macan siap menerkam di kejauhan. Yang membuat mereka nyaris mati terkejut di tempat, karena binatang itu bukan seperti yang biasa mereka saksikan. Hewan itu memiliki kepala puluhan ekor ular sendok yang bergerak-gerak. Mendesis-desis berbarengan membentuk dengung.
Keterperangahan hebat ketiganya diputuskan oleh terkaman hewan ganjil tadi. Seperti terbang, macan berkepala puluhan ular sendok itu menyambar dua kepala penunggang kuda dengan cakar depannya.
Cras! Hanya dalam sekedipan mata, dua kepala menggelinding di atas tanah berdebu.
Penunggang paling muda tak bisa menggerakkan tubuhnya. Ujung jempol kakinya, dan semua 'ujung' di bagian tubuhnya seperti terserang keram. Dia akan bernasib sama dengan dua kawannya kalau saja kuda tunggangannya tak segera lari sepenuh kekuatan, bagai dikejar setan. Begitu juga dua kuda bekas tunggangan dua temannya. Nasibnya, memang masih bagus. Meski dia harus terkencing-kencing di celana.

***

ĦĦ[ 7 ]ĦĦ

Dengan cepat, mungkin lebih cepat dari melesatnya anak panah, desas-desus tersebar semenjak peristiwa di satu daerah ladang jagung kering Wetan. Lelaki muda penunggang kuda seperti kesetanan memberitahu siapa saja. Tak peduli yang diberitahu mau tahu atau tidak. Tidak peduli orang yang diberitahu sedang sibuk makan atau sibuk buang hajat.
Desas-desus merembet, dan merembet. Kegemparan pun terpic u. Ini satu berita besar dunia persilatan! Jarang ada yang mau melewatkan, kecuali bagi yang telinganya sudah jadi rongsokan. Orang-orang banyak juga yang kurang percaya pada cerita si anak muda. Bagaimana bisa percaya kalau cara menceritakannya begitu meledak-ledak, menggebu-gebu, terburu-buru sekaligus takut-takut. Mereka menganggap ocehan si pemuda cuma bualan seorang berpenyakit sinting.Masa' iya ada macan berkepala puluhan ular" Dari zaman kuda gigit besi sampai kuda gigit bakpao, yang namanya macan ya tetap berkepala macan. Nah, yang namanya ular, tetap ular. Kalau dikatakan macan berkepala puluhan ular, itu kan sama saja seperti mengatakan seorang yang jidatnya ada di jempol dan jempolnya ada di jidat. Bagaimana gitu! Pokoknya tidak masuk akal bagi mereka.
Tapi yang namanya desas-desus, lebih banyak yang percaya ketimbang tidak. Jangan lagi orang dunia persilatan yang merasa berkepentingan dengan munculnya kehebohan itu, nenek-nenek kampung sampai istri centeng desa pun meributkannya.
Hari itu, si pemuda terlihat di sebuah pinggiran desa.
Kebetulan dia bertemu dengan seseorang tua bertubuh pendek, berperut buncit.
Berpakaian merah kedodoran dari bahan murahan. Kepalanya gundul sebelah, Kalau kepalanya sudah gundul sebelah, siapa tahu bagian lain pun begitu, yang itu tak usah dipermasalahkan. Yang jelas, dari caranya berjalan dengan menyandang tombak bermata golok besar, lelaki tua buncit ini jelas warga persilatan.
"Bapak Tua! Berhenti dulu. Bapak Tua!" tahan si pemuda dengan napas terengahengah.
"Apa"!" tanya si Tua Buncit singkat. Alisnya yang gundul sebelah terangkat.
"Dunia persilatan sedang dalam keadaan 'buaha-ya'!" sambar si pemuda meledak-ledak. Matanya mendelik-delik setiap kali mengucapkan satu kata. Jangan-jangan kalau dia terus berbicara, biji matanya bakal mencelat keluar. Kalau semula terangkat, sebelah alis orangtua buncit sekarang malah merosot turun.
"Ngomong yang benar! Bahaya, maksudmu"!" Iya.PakTua! 'Buahaya'!" Orang tua buncit merengut.
"Ah, dari dulu dunia persilatan memang selalu begitu! Bahaya menebar di manamana!" tepis si Tua Buncit sambil mengayun tangan di udara. Dia hendak meneruskan langkah.
Si anak muda menahannya. Lengan baju si T ua Buncit dicekal kuat-kuat.
"Jangan pergi dulu, Pak Tua! Bukankah Pak Tua warga persilatan"!"
"Apa aku terlihat seperti warga hutan alas" Seperti kunyuk atau kambing begitu"!"
"Kalau begitu, kau mesti tahu, Pak Tua!" 'Tahu apa"!"
"Tahu sesuatu yang pasti kau belum tahu!"
"Monyong! Bertele-tele sekali kau!"
"Ada manusia bisa berubah menjadi macan berkepala puluhan ular!"
"Ini teka-teki atau bukan?" sungut si T ua Buncit salah kaprah.
"Kalau itu tekateki, aku juga punya. Ada sesuatu yang hitam, kecil, tersembunyi dan bau. Apa hayo"!"
"Bukan... bukan!" si pemuda menggeleng-gelengkan kepalanya seperti hampir mau lepas.
"Jadi apa maksudmu, heh"!"
"Aku melihat ada orang mencari Pendekar Slebor!" Orang tua buncit mengernyit. Dia masih belum mengerti ucapan ngelantur pemuda di depannya. Tadi dia bilang soal orang yang bisa berubah menjadi macan berkepala ular. Sekarang, dia bilang ada orang mencari Pendekar Slebor....
Mulut si Tua Buncit menganga, baru hendak mengumpat. Namun kalah cepat dengan si pemuda.
"Begini saja, Pak Tua! Karena kau orang dunia persilatan, tolong sampaikan pada Pendekar Slebor! Ada orang mencarinya. Orang itu berilmu 'tinggi'...."
"Tinggi, maksudmu?"
"Ya, 'tuinggi'! Dia memiliki ajian yang bisa mengubah wujudnya menjadi macan berkepala ular!" cecar si pemuda, tanpa titik tanpa koma.
Orang tua berperut buncit mengangguk-angguk pelan.
"O, cuma itu saja," katanya santai. Dia berjalan lagi dengan menyandangkan tombak bermata golok besar di bahu. Baru tiga langkah, dia terhenti. Matanya mendelik. Cepat dia berbalik pada si pemuda.
"Hah, ada manusia bisa berubah menjadi macan berkepala ular"! Mencari Pendekar Slebor"! Hah"! Hah"!" runtun orang tua buncit tadi.
E, memang telinganya tadi melayap ke mana saja"

***

"Kenapa kita harus lewat sini, Wak. Kita sama saja berputar. Itu artinya, kita menempuh perjalanan yang jaraknya dua kali lebih jauh. Mestinya kita tinggal lurus saja. Bukankah tujuan kita ke Wetan seperti katamu?" Pendekar Slebor memprotes Nyai Silili-lilu. Adik kandung buyutnya itu seperti sengaja mengerjainya terus. Perempuan uzur itu tentu merasa suka cita kalau digendong keliling-keliling dan membuat napas si pendekar muda dari Lembah Kutukan Senin-Kamis. Begitu pikir Andika."Jangan banyak mengeluh! Sejak kapan aku memiliki seorang cicit kemenakan yang doyan mengeluh!" bentak Nyai Sililililu menyembur-nyembur bak seekor naga peot.
"Ya, kau sendiri enak-enakan di atas punggungku, Wak.
Sedang aku" Bisa-bisa tulang punggungku membengkok sebelum jompo!"
"Diam... diam... diam..!" Nyai Silui-lilu menjewer telinga Pendekar Slebor.
Maka, meringis-ringislah pendekar muda itu.
Di dekat sebuah pohon besar, perjalanan mereka dihentikan sapaan seseorang.
"Pucuk dicinta, ulam tiba...." Pendekar Slebor menoleh ke asal suara. Begitu juga nenek peot di punggungnya.
Seorang lelaki tua pendek berperut buncit yang belum lama mendengar berita menggemparkan dari seorang pemuda terlihat sedang duduk menjuntai kaki di atas ranting pohon tak lebih besar dari jari kelingking.
"Pucuk dicinta, ulam tiba!" balas Nyai Silili-lilu.
Wajahnya sumringah melihat si penyapa.
"Pucuk dicinta, dengkulku sengsara!" gumam Pendekar Slebor, sebal sekali.
"Turunkan aku, Andika!" perintah Nyai Silili-lilu.
Ah, akhirnya penderitaan itu berlalu juga.... An?dika lega. Cepat-cepat diturunkannya tubuh nenek uzur di punggungnya.
Berdiri di tanah, Nyai Silili-lilu lantas saja menggeliat-geliatkan pinggang ke kiri dan kanan.
"Uuuh, pegalnya...," keluhnya enak sekali. Padahal mestinya tindakan itu jadi bagian Pendekar Slebor yang hampir seharian menggendongnya. Dalam hati, Andika memaki-maki. Dia tambah merutuk sebal menyaksikan adegan mesra antara dua manusia langka tadi.
Pasalnya, Nyai Silili-lilu dan si Tua Buncit menghambur berbarengan. Mereka berangkulan sambil berputar-putar.
Berteriak-teriak lebih ramai dari gwedumprangan kaleng rombeng. Lagak keduanya sudah seperti remaja yang sedang dijangkit kasmaran. Dasar tidak tahu diri, cemooh Andika. Sudah bau tanah saja masih bertingkah! "Apa lihat-lihat"!" Andika dibentak Nyai Silili-lilu. Nenek peot itu rupanya jeli juga menangkap sinar mencemooh di mata si anak muda sakti.
"Kau tak redho kalau kami berangkulan" Tak ikhlas?"Andika menggelengkan kepala. Celakanya, bibir pendekar muda itu malah mencibir. Kontan saja Nyai Silili-lilubertolak pinggang. Bibir sekendor gombalnya menyemburkan khotbah panjang, yang sumpah mampus bisa membuat seekor keledai terpeleset! "O, iya. Kenalkan... mantan kekasihku! Hik hik hik." Dengan aneh dan sulit dimengerti, perempuan uzur itu mendadak mengerem omelannya. Wajahnya tahu-tahu berubah manis sekali. Pada Pendekar Slebor, diperkenalkannya orang tua berperut buncit.
"Masih ngganteng, ya...?" Ganteng" Jakun Andika melompat-lompat di tempat.
Rasanya dia ingin terbahak-bahak di tempat. Kalau tak takut Nyai Silili-lilu ngamuk besar, dia akan tertawa sepuas-puasnya.
"Nan Buncit Sayang...," Nyai Silili-lilu mengalihkan pandangan ke arah Andika.
"Anak muda kunyuk ini yang disebut-sebut sebagai Pendekar Slebor! Jelek-jelek begini, cicit kemenakanku, lho! Hik hik hik!" Lalu Nyai Silili-lilu membusungkan dada, membanggakan cicit kemenakannya. Usaha yang agak sembelit sebenarnya, mengingat betapa melengkung punggung si nenek itu.
Andika tak sudi dikatakan jelek. Mestinya dia yang pantas mengatakan, 'jelek-jelek begini, dia itu Uwak buyutku, lho! "Kau anak muda! Sungkem sama mantan kekasihku!" perintah Nyai Silili-lilu lebih lanjut.
"Sekarang?" Andika meringis sengsara.
"Sekarang!" Mau rasanya Pendekar Slebor saat itu berteriak sekuat-kuatnya. Tidak apa-apa dianggap gila!



ĦĦ[ 8 ]ĦĦ

Desas-desus yang ditebarkan mulut seorang pemuda beberapa waktu lalu bukan sekadar bualan.
Dalam beberapa hari, dunia persilatan benar-benar dihantam kenyataan sesungguhnya. Semua yang pernah diocehkan si pemuda benar-benar nyata! Sehari setelah si anak muda menyebarkan berita saja, sudah terdengar kabar sengit tentang pembunuhan seorang ketua perguruan silat aliran putih di sekitar wilayah Wetan Jawa. Tokoh yang mati bukan cecoro persilatan. Dia termasuk salah satu tokoh yang disegani. Di samping karena menjadi ketua perguruan besar aliran putih, juga kesaktiannya sudah teruji dalam berpuluh pertarungan dengan orang-orang atas golongan sesat.
Beberapa murid perguruan itu yang sempat menyaksikan kejadian bertingkah serupa dengan pemuda pembawa kabar sebelumnya.
Mereka seperti setengah gila.
Cara bicara mereka meledak-ledak sarat ketakutan.
Meski tak begitu jelas, ucapan mereka masih bisa ditangkap. Kata mereka, mereka menyaksikan seekor macan berkepala ular membantai guru besar mereka dengan cara telengas. Berturut-turut setelahnya, terjadi kejadian serupa.
Empat tokoh sesat tergabung dalam kawanan begal berkesaktian tinggi mati tercabik-cabik. Salah seorang di antara mereka mati dengan mayat hangus membiru.
Dalam empat hari sudah jatuh korban tujuh orang warga dunia persilatan. Tiga di antaranya dari golongan lurus. Sisanya dari golongan sesat Dunia persilatan mulai dibuat bertanya-tanya. Siapa sesungguhnya manusia sakti yang bisa menjelma menjadi macan berkepala ular itu" Mengapa dia membunuh tak pandang bulu" Tak peduli dari golongan hitam atau lurus.
Apakah Pendagel Setan telah bangkit kembali" Beberapa waktu lalu, dunia persilatan pun dihebohkan oleh kemunculan Pendagel Setan. Lelaki itu pun membunuh tanpa pernah memandang bulu (Untuk jelasnya, bacalah episode: "Dagelan Setan")! Tapi, Pendagel Setan bukan seorang yang memiliki kesaktian seperti itu. Dia tak pernah bisa mengubah wujudnya menjadi binatang mengerikan.
Lagi pula, bukankah Pendekar Slebor telah menyingkirkannya" Ataukah ini bagian dari murka Tuhan terhadap penduduk tanah Jawa yang sudah terlalu mabuk pada kenikmatan dunia" Setelah sebelumnya mengirim kemarau berkepanjangan, mungkinkah sang Penguasa mengutus utusan dari neraka"
"Aku sudah pernah mendengar berita itu sebelumnya dari seorang pemuda," ucap si Tua Buncit pada Andika dan Nyai Silili-lilu. Saat itu mereka berniat mengisi perut dengan kelinci bakar.
Untuk urusan memburu, menyiangi dan membakar kelinci, Andika bagiannya. Nyai SiUli-lilu mana mau melakukannya! Dia malah sedang asyik duduk bergandengan tangan di bawah pohon asam. Perempuan uzur besar adat itu pula yang memerintah Andika. Untung saja saat itu Pendekar Slebor tidak terpikir untuk memberi racun pada daging panggang kelinci bakar! "Hey, Anak Muda...," lanjut si Tua Buncit pada Andika.Andika menoleh malas-malas ke belakang.
"Menurut anak mudayang kutemui beberapa hari lalu, manusia jejadian itu mencari dirimu!" Dari jongkoknya, Pendekar Slebor berdiri. Diterbengkalaikannya panggangan daging kelinci. Bau mengait selera sudah menebari udara. Andika tak peduli.
"Kau sungguh-sungguh, Pak Tua?"
"Kau pikir aku sedang bergurau, heh"!" Andika mengangkat bahu. Dia masih sulit percaya, mengingat si orang tua buncit adalah kekasih Nyai Silili-lilu.
Siapa tahu dia sama tengik dengan perempuan uzur itu.
"Kalau ternyata semua berita itu benar, dan ucapanmu juga benar...."
"Maka tidak ada yang salah!" sela Nyai Silili-lilu.
"Kamu masih muda, tapi bicaramu membingungkan!"
"Maksudku, kalau semuanya benar, kenapa manusia itu mencariku?"
"Ah, orang sepertimu tentu saja banyak yang memusuhi Anak Muda. Apa kau lupa.
Orang-orang sesat tak akan pernah lega kalau ksatria sejati macam dirimu masih bernapas!" tukas si Tua Buncit.
"Apa mungkin dia salah seorang musuh yang memendam dendam terhadapku?" gumam Andika. Sebentar di ngat-ingatnya beberapa orang musuh lamanya yang mungkin masih hidup.
Terlalu sulit. Banyak yang masih hidup di antara mereka.
"Ah, aku tidak tahu," keluh Andika.
"Jangan dulu berpikir terlalu jauh! Urusan kecilmu saja belum kau selesaikan!" sela Nyai Silili-lilu sambil menimpuk kepala cicit kemenakannya dengan ranting kering.Andika menepuk kening. Bukan karena baru terkena timpukan. Dia ingat sekarang mengenai kalung yang ditemukannya di genggaman tangan mayat Neelam.
Nyai Silili-lilu ternyata ada gunanya juga telah mengingatkannya.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Andika jadi lupa pada kalung itu justru karena tingkah Nyai Silili-lilu yang kelewatan padanya. Jadi anggap saja impas! "Nih!" Perempuan tua itu melempar kalung yang masih dipegangnya pada Pendekar Slebor.
"Bagaimana, Wak" Katanya kau ingin mengantarku pada orang yang bisa kutanyakan tentang kalung ini"!" Andika mengingatkan Nyai Silili-lilu.
"Hoek... cuih! Aku tak pernah ingkar pada ucapanku sendiri! Kau bisa tanyakan benda itu pada mantan kekasihku ini!" jawab Nyai Silili-lilu seraya menepuknepuk kepala si Tua Buncit seenak dengkul.
"Lho, bukankah ini kalung murid-muridku" Selama ini aku sedang mencari-cari mereka! Dari mana kau temukan kalung ini, Anak Muda?" tanya si Tua Buncit setelah meneliti sejenak.
"Aku menemukannya di tangan seorang wanita India yang mati terbunuh?"
"Terbunuh" Eh, apa yang akan mereka kerjakan sesungguhnya" Kenapa wanita India itu dibunuh?"
"Itu yang ingin kuketahui." Sementara si Tua Buncit bangkit, Andika teringat sesuatu.
"O, iya Pak T ua. Apakah kau memiliki murid seorang bocah kecil?" lanjut Pendekar Slebor.
"Murid seorang bocah kecil?"
"Ya. Aku melihat sebentuk pukulan tenaga dalam luar biasa telah menyebabkan kematian wanita India itu.
Dari bentuk kepalan tinjunya yang kecil, aku beranggapan kalau si pembunuh seorang bocah kecil."
"Ha ha ha! Kau keliru, Anak Muda! Tak ada muridku seperti kau katakan. Tapi kalau seorang cebol memang, Katak Merah julukannya."
"Sekarang jadi jelas," gumam Pendekar Slebor.
Kepalanya mengangguk-angguk samar.
"Lalu, kenapa kau mencarinya, Pak Tua?" sambungnya. Wajah orang tua buncit itu menampakkan kemarahan besar. Wajahnya memerah matang. Dengan wajah seperti itu, sepertinya setiap saat dia bisa melabrak apa saja, siapa saja di dekatnya. Dua telapaknya membentuk tinju, geram-geram.
"Mereka murid-murid murtad! Hmrrr!"
"Apa yang mereka perbuat?"
"Mereka memasuki tempat semadiku. Padahal aku telah melarang mereka keraskeras."
"Ah, kukira apa. Kalau cuma itu, menurutku tidak terlalu berat pelanggaran mereka...."
"Kau sok pintar, Anak Muda! Mereka menguras tiga kitab sakti dari tempat semadiku. Sementara aku sendiri belum sempat mempelajari kitab sakti itu!" Murka si T ua Buncit membuncah dalam setiap kalimatnya.
Andika kecut juga.
"Ooo, kalau begitu pantas saja. Mereka memang harus dihukum berat," timpal Andika, berusaha membetulkan kesalahan ucapan sebelumnya. Anak muda itu khawatir dirinya jadi pelampiasan kemurkaan si T ua Buncit. Kalau terjadi perselisihan, dia tak bisa menjamin Nyai Silili-lilu memihaknya, biar pun Andika adalah cicit kemenakannya sendiri. Siapa tahu perempuan uzur kepala batu itu justru memihak mantan kekasihnya. Kalau sudah begitu, aku cuma akan jadi bulan-bulanan. Tak usah ya! Ceracau Andika membatin.
"Mereka itu.... Hmmrr hmrrr hmrrr!" si Tua Buncit memperpanjang lagi kegeramannya. Belum selesai satu kalimat, tangannya sudah meninju telapak sendiri. Berkali-kali Andika jadi makin kecut. Lalu orang tua berperut sebesar gentong ajaib itu mulai berjalan hilir mudik, membuat Andika yang mengawasinya menjadi tujuh keliling dibuatnya.
"Padahal aku sudah wanti-wanti pada mereka. Aku akan menurunkan semua kesaktian yang kumiliki. Tapi mereka tak sabar. Dasarnya mereka bejat, brengsek, slompret, tak tahu adat - "
"Kadal bau!" sela Andika, melengkapi.
"Kenapa kau belum mempelajari kitab-kitab yang mereka curi, Pak Tua?" tanyanya lagi.
"Karena kitab-kitab itu berisi ilmu kanuragan sesat! Semuanya kudapatkan dari tiga tokoh sesat kelas atas yang pernah kukalahkan!"
"Mereka memberikannya begitu saja padamu?"
"Ya, tentu tidak! Aku bertaruh dengan mereka. Kami bertarung lebih dahulu. Siapa yang menang, akan mendapatkan kitab sakti milik lawannya. Itu kerjaku sejak dulu. Makanya, aku lebih dikenal dunia persilatan dengan julukan...."
"Petaruh Sakti Perut Buncit!" sambar Nyai Silili-lilu di bawah pohon asam "Kalau kau memiliki kitab atau senjata pusaka, kau bisa menantangku untuk bertaruh"!" tantang orang tua berjuluk Petaruh Sakti Perut Buncit.
Andika menggelengkan kepala. Bibirnya meringis.
Pekerjaan sinting orang-orang tak punya kerjaan, pikir Andika."Aturannya, kita akan bertarung seratus lima puluh jurus...?"Tidak perlu, Pak Tua!" sergah Pendekar Slebor. Tapi, Petaruh Sakti Perut Buncit terus saja nyerocos.
"Kalau ada yang jatuh terlebih dahulu sebelum seratus lima puluh jurus, maka dia menjadi pihak yang kalah.... Di samping mempertaruhkan kitab-kitab sakti dan senjata pusaka, tentunya ada kemungkinan kita mempertaruhkan nyawa!"
"Tidak... tidak... tidak perlu, Pak Tua!"
"Tidak perlu?" Pendekar Slebor menggeleng cepat-cepat, mumpung orang tua gila bertaruh itu belum melanjutkan ocehannya tentang tektek bengek aturan pertaruhan.
"Kalau begitu, ya sudah! Aku cuma menantang bertaruh orang-orang yang mau bertaruh! Kau memang 'kadal bau'!" semprot Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Senjata makan tuan," gerutu Andika.
"Sekarang, bisakah kau menjelaskan padaku apa saja isi ketiga kitab sesat yang dicuri murid-murid-mu?" Andika berusaha mengarahkan kembali pembicaraan ke masalah sebelumnya. Kalau terus melantur, semuanya bisa jadi ngaw ur.
Petaruh Sakti Perut Buncit mendelik.
"Kau bilang cicit kemenakanmu punya otak seencer bubur bayi. Tapi kenapa dia jadi bodoh begini, Sayang...," tukas si Tua Buncit pada Nyai Silili-lilu.
"Mana aku tahu soal isi kitab itu.
Bukankah aku sudah bilang tadi, aku belum sempat mempelajarinya. Mencolek saja pun tidak!" 'Ya, jangan gusar begitu Pak Tua. Aku kan c uma bertanya," bujuk Andika.
"Aku tidak gusar...," kata Petaruh Sakti Perut Buncit seraya menjulurkan leher pendeknya ke atas.
Andika lega. Syukurlah kalau manusia berotak sedikit miring ini tidak gusar....
"Tapi aku dongkol setengah edan, tahu!" ledek si Tua Buncit mendadak.
Pendekar Slebor mencelat ke belakang. Jan-tungnya nyaris rontok! Aku kaget setengah edan, tahu! Umpatnya, hanya berani dalam hati.

***

ĦĦ[ 9 ]ĦĦ

Musyawarah untuk mencapai mufakat, rupanya tidak hanya berlaku untuk orang-orang berpikiran waras. Bagi orang-orang yang berpikiran setengah sinting pun masih bisa. Setidak-tidaknya musyawarah setengah sinting pula.
Setelah debat punya debat, setelah saling teriak-teriak sampai mau serak, setelah ngotot sambil mencak-mencak (yang begini ini apa masih bisa disebut musyawarah"), akhirnya Nyai Silili-lilu, PetaruhSakti Perut Buncit, dan Pendekar Slebor sepakat untuk mencari manusia yang dapat menjelma menjadi macan jejadian dahulu.Pendekar Slebor sendiri lebih setuju untuk menemui manusia yang mampu menjelma menjadi macan jejadian.
Dia tak ingin lebih banyak korban hanya karena kesalah pahaman. Menurut dugaannya, tentu orang itu hanya hendak mencari dirinya. Terbukti dari selentingan kabar yang didengar, orang itu selalu menanyakan Pendekar Slebor terlebih dahulu sebelum membantai para korbannya. Jalan pikirannya mungkin tak beda dengan Pendagel Setan. Makanya, Andika tak sulit menerka seperti itu.
Meski sampai saat ini dia tak bisa menduga secara pasti siapa sesungguhnya manusia biadab itu.
Lepas dari kesepakatan yang lebih banyak menguras kejengkelan itu, Pendekar Slebor masih digerayangi tanda tanya tak terjawab. Apa hubungannya murid-murid murtad si Tua Buncit dengan wanita India yang dibunuh mereka" Apa tujuan mereka membunuh wanita itu" Karena sepanjang pengamat-an jeli Pendekar Slebor, wanita yang terbunuh bukanlah orang persilatan. Dari pakaiannya, dia lebih pantas untuk dikatakan sebagai penduduk desa bia....
"Kau mau ikut atau tidak"!" seru Nyai Silili-lilu, mendapati cicit kemenakannya terpaku di belakang.
"Mau...," jawab Pendekar Slebor.
"Ya, tentu saja kau harus mau! Bukankah memang kau yang dicari oleh manusia jejadian itu!"
"Apa pun katamu, Wak...," bisik Pendekar Slebor pasrah.Sebelum mereka meneruskan langkah, ketiganya dihambat oleh labrakan sesosok tubuh dari semak.
Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit sudah mau mengangkat tangan.
Hendak mereka hajar manusia tak tahu adat yang mencoba membokong mereka.
Anggapan keduanya keliru besar. Orang itu tidak hendak membokong.
Pendekar Slebor yang berada di belakang mereka dan jelas menyaksikan keadaan orang itu cepat-cepat mencegah tindakan Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit."Tunggu! Dia tidak ingin menyerang kalian! Dia terjerembab dalam keadaan terluka parah!" Kedua tua bangka yang selalu mau bergandengan mesra itu cemberut. Rasanya mereka tak begitu suka ada anak muda yang dianggap bau kencur seperti Andika memberitahu mereka. Gengsi! Tak peduli pada paras dua tua bangka tadi, Pendekar Slebor bergegas mendekati orang yang terjerembab. Tubuh yang tertelungkup segera dibalikkan.
Dengan pahanya, Andika menyangga kepala orang tadi.
Menyaksikan wajahnya, Pendekar Slebor jadi mengernyitkan kening. Orang keturunan India lagi, pikirnya.
Ada apa sebenarnya sampai belakangan ini dia banyak berurusan dengan para perantau dari negeri seberang itu"
"Apa yang terjadi dengan dirimu, Saudara?" tanya Andika.Lelaki India tadi berusaha menjawab dengan napas terputus-putus.
Nyawanya dalam keadaan genting. Sekarat. Mungkin hanya beberapa tarikan napas lagi dia akan segera menemui ajal.
Lelaki itulahyang beberapa waktu lalu dijadikan bulan-bulanan tiga orang di telaga Kadipaten Karang Gantung. Dia sebenarnya sudah terlalu payah. Hanya karena ada sesuatu tersembunyi dalam benaknya yang harus disampaikan pada orang dari golongan putih, membuat dia berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan selembar nyawanya.
"Mereka hendak membentuk Perserikatan Setan...," lirihnya samar.
"Mereka" Mereka siapa?" susul Andika, tak ingin kehilangan waktu sekejap pun mengingat keadaan si lelaki India sudah begitu mengkhawatirkan.
Di antara tarikan napas yang tersandung-sandung, orang sekarat tadi melanjutkan.
"Dua lelaki dan satu wanita.... Satu orang cebol, satu orang berwajah seram....
Mereka ingin mengumpulkan tokoh-tokoh sesat kalangan atas untuk membentuk laskar sesat.. . Per. .
" Tak sampai menyelesaikan kalimat sendiri, nyawa si lelaki India melayang sudah.
T ampaknya kehendak hati yang menyebabkan nyawanya masih bisa bertahan telah terpenuhi. Dia mati dengan garis wajah lega.
"Perserikatan Setan...," desis Pendekar Slebor, menyambung kata terakhir yang tak sempat dicetuskan si lelaki India.
"Itu murid-muridku! Aku yakin itu murid-murid murtadku!" Di belakang Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut Buncit mencak-mencak.
"Ya. Tampaknya begitu Pak Tua...," desah Pendekar Slebor.
Pandangannya terlepas jauh. Dia sedang memikirkan sesuatu.
"Rasanya aku bisa mengerti kenapa murid-murid murtadmu membunuh wanita India waktu itu...," gumamnya kemudian.
"Apa" Apa" Ayo katakan padaku, apa"!" serobot Petaruh Sakti Perut Buncit tak sabaran.
"Mereka merencanakan membentuk satu perserikatan yang menyatukan tokoh-tokoh sakti golongan sesat. Mungkin lelaki malang ini mendengar rencana rahasia mereka. Karena tak ingin rencana besar itu diketahui orang-orang golongan putih sebelum terwujud, mereka memburu lelaki malang ini. Sementara, untuk menemukan perantau dari India ini, mereka mengira dapat mengorek keterangan dari orang-orang satu negeri dengannya. Itu sebabnya mereka mendatangi wanita India yang mayatnya kutemukan waktu itu...," papar Pendekar Slebor, panjang lebar dan tuntas.
"Nah, bukankah sudah kubilang padamu sejak mula, cicit kemenakanku memang berotak seencer bubur bayi!" seru Nyai Silili-lilu seraya menepak jidat mantan kekasihnya kuat-kuat.

***

Di tempat lain, tepatnya di sekitar batas Kadipaten Karang Gantung tampak sebuah bangunan tua menebarkan cahaya api dari ruang dalamnya. Bangunan tua berupa pendapa yang sudah dimakan rayap pada beberapa bagian itu tampak demikian terbeng-kalai.
Mungkin telah tak didiami selama bertahun-tahun. Di halaman depannya tumbuh ilalang liar, tanaman yang masih kuat bertahan dalam kemarau panjang seperti sekarang. Tingginya nyaris menyamai kepala. Cahaya redup dari satu ruangan bangunan tua terengah-engah menerobos kegelapan malam dan sekian ubun-ubun alang-alang. Di dalam sana, terdengar suara beberapa orang. Ada suara perempuan. Juga ada suara lelaki.
Semuanya terdengar bergiliran, teratur. Tampaknya orang-orang itu sedang mengadakan rapat rahasia.
Masuk ke ruangan tengah besar, tampak hadir sepuluh orang. Semuanya duduk bersila di atas tikar lebar.
Tujuh orang lelaki. Sisanya wanita. Tiga orang di antaranya adalah orang-orang yang beberapa waktu lalu memburu lelaki India di telaga Kadipaten Karang Gantung. Merekalah Dewi Kecubung, Katak Merah, dan Mata Dewa Kematian. Malam ini, mereka sebagai pencetus rencana besar pembentukan Perserikatan Setan telah kedatangan tamu tujuh tokoh golongan sesat. Dalam minggu-minggu terakhir, undangan telah disebar secara rahasia oleh tiga orang murid murtad Petaruh Sakti Perut Buncit. Dari lima belas undangan yang tersebar, hanya tujuh yang mendapat sambutan.
Tak ada seorang golongan putih pun yang tak akan terkejut jika menyaksikan ketujuh orang yang datang memenuhi undangan. Mereka rata-rata adalah datuk-datuk sesat dunia persilatan. Kesohoran mereka sudah menyerupai momok menakutkan. Di mana pun dan kapan pun julukan mereka disebutkan orang, ketika itulah ketakutan menghantui.
Sesungguhnya, teramat sulit untuk mengundang mereka. Apalagi pengundangnya cuma tiga orang yang belum cukup punya nama besar.
Namun, akal licin Dewi Kecubung membuat semuanya berjalan mulus. Disebutsebutnya dalam undangan bahwa Perserikatan Setan mempunyai tujuan utama untuk menyingkirkan satu-satunya penghalang terbesar bagi kaum sesat saat itu....
Pendekar Slebor! 'Bumbu' itu membawa hasil.
Dengan cukup bersemangat, mereka tiba dan langsung menanyakan apakah Perserikatan Setan yang akan dibentuk mempunyai tujuan pertama da., utama untuk menyingkirkan pendekar muda sakti itu.
Di antara ketujuh datuk sesat dunia persilatan itu, telah hadir orang-orang yang pernah berurusan langsung dengan Pendekar Slebor.
Seorang di antaranya adalah si Gila Petualang.
Tokoh tua yang dalam kepalanya terpendam dendam berkarat pada Pendekar Slebor karena rencananya di Piramida Tonggak Osiris digagalkan mentah-mentah.
(Untuk lebih jelasnya, bacalah tiga episode: "Undangan Ratu Mesir", "Piramida Kematian", dan "Warisan Ratu Mesir")!Berseberangan dengan si Gila Petualang, duduk seorang berusia amat uzur, berjenggot amat panjang sampai menutupi seluruh bagian bawah tubuhnya.
Berpakaian kain kafan dekil berlumur tanah tercabik-cabik.
Rambutnya sepanjang jenggot. Wajahnya tertutup rambut kotor dan kumal itu.
Dialah Hakim Tanpa Wajah. (Untuk mengetahui kisahnya bacalah episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan Tengadilan Perut Bumi")! Dua kali di samping kanan si Gila Petualang, duduk seorang lelaki berjenggot seperti kambing gunung. Usianya sekitar delapan puluhan. Alisnya hitam, tebal dan lebat, menaungi sepasang mata seta-jam sembilu. Meski usianya tua, masih tampak sisa ketampanannya. Kening lelaki itu lebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala.
Memanjang lepas menutupi bokong. Perawakannya tinggi besar dan berotot.
Padakulit dari bagian leher ke bawah, selu-ruhnya berkerut-kerut. Serupa dengan karet terba-kar dengan warna merah kehitaman. Lelaki yang ini adalah musuh lama Pendekar Slebor pula. Julukannya Pangeran Neraka. Lelaki terlicik yang pernah berhadapan dengansi pendekar muda berotak encer! (Baca kisahnya dalam episode: "Pendekar Wanita Tanah Buangan" dan "Sepasang Bidadari Merah").
Duduk di dekat mulut pintu masuk seorang lelaki gagah berperawakan seperti Bima, tokoh pewayangan.
Wajah memikatnya dihias cambang tipis serta kumis lebat melintang. Bersit matanya kasar, bengis, dan telengas.
Pakaian rompi kulit macan menutupi dada bidang berbulu lebatnya. Tokoh satu ini pernah pula berurusan dengan Pendekar Slebor. Dia tak lain, si Pencuri Ilmu.
(Tentang tokoh ini bisa dibaca pada episode: "Peta Rahasia Lembah Kutukan").
Sebenarnya, kalau keempat tokoh itu saja bergabung menjadi satu, maka dunia persilatan akan mendapat kesulitan maha besar. Dengan kelicikan Pangeran Neraka, kesaktian Hakim Tanpa Wajah, pengalaman si Gila Petualang yang pernah didapatnya selama bertualang, dan kehebatan Pencuri Ilmu mengambil alih jurus-jurus lawan, mereka akan menjadi empat tokoh pemegang kendali napas dunia persilatan.
Kini, ada tiga tokoh sesat kelas atas lain. Ditambah tiga pencetus rencana pendirian Perserikatan Setan. Lalu, bagaimana jadinya bila mereka semua benarbenar bersepakat untuk mewujudkan cita-cita sesat mereka" Bukankah dunia persilatan sama saja menanti prahara dahsyat" Sementara itu, tentu saja akan ada tantangan maut yang belum pernah dihadapi Pendekar Slebor selama ini, dan seberat kali ini....
"Sebaiknya, kau tak usah bertele-tele lagi, Perempuan Muda! Jelaskan secara gamblang apa rencana besar kalian sebenarnya?" si Gila Petualang saat itu memotong ucapan pembukaan Dewi Kecubung. Dia tak begitu suka mendengarkan orang bicara terlalu banyak.
"He he he! Betul, aku setuju!" timpal Hakim Tanpa Wajah.
Wajah Dewi Kecubung memerah Dia gusar juga.
Kalau tak memikirkan rencana besarnya sendiri, dia ingin sekali melabrak orang tua pengelana sesat itu. T ak peduli seberapa hebat kesaktiannya.
"Baiklah, sebaiknya aku yang akan menjelaskan!" sambar Mata Dewa Kematian, mengambi alih pembicaraan ketika melihat gelagat tak baik Dewi Kecubung.
Lelaki itu berdiri dari silanya. Dia melangkah ke tengah lingkaran. Dengan tangan disilangkan di belakang punggung, dimulainya penjelasan.
"Seperti kita semua tahu, Dunia persilatan sekarang ini belum memiliki satu kekuatan besar yang menjadi pucuk pimpinan kekuasaan. Kekuasaan terpecah-pecah dalam orang perorangan, Masing-masing saling unjuk gigi untuk dikatakan berkuasa. Tapi sesungguhnya, tak pernah ada yang benar-benar menggenggam kekuasaan tertinggi dunia persilatan itu sendiri. Kami bertiga, aku Mata Dewa Kematian, Dewi Kecubung, dan Katak Merah, mempunyai pikiran untuk mulai menata sumber-sumber kekuasaan dunia persilatan yang selama ini terpecahpecah. Khususnya bagi orang-orang yang merasa dirinya menjadi warga persilatan golongan sesat. Untuk itu, kami mengundang saudara-saudara semua selakupe-megang kekuasaan-kekuasaan yang masih tercerai-berai itu. Kebesaran julukan kalian adalah satu jaminan bagi kita untuk membentuk kesatuan kekuasaan. Di mana penyatuan kekuasaan itu akan membentuk kekuasaan tertinggi yang akan kita pegang bersama.
Dengan begitu, hanya ada satu-satunya penguasa yang menggenggam napas dunia persilatan.
Penguasa itu akan tergabung dalam Perserikatan Setan!" Mata Dewa Kematian berhenti sejenak. Wajahnya berubah mengeras. Sepasang mata merah darahnya menyipit.
"Mencapai cita-cita besar kita itu, tak menjadi akan mudah. Kita semua tahu, beberapa tokoh-tokoh golongan lurus selalu menjadi penghalang semua kehendak kita, semua tindak-tanduk kita, semua kerja kita! Sampai kala ini, tak ada seorang pun dari tokoh-tokoh golongan sesat kalangan atas membentuk persatuan.
Mereka akan kita singkirkan dengan kekekuatan yang kita gabungkan bersama. Salah seorang tokoh itu adalah satu-satunya penghalang besar kita saat ini. Siapa dia" Kita semua mengenal satu nama... Pendekar Slebor. Entah sudah berapa tokoh golongan hitam yang disingkirkan olehnya. Jika kita berhasil membentuk Perserikatan Setan itu. terwujud, maka tak akan ada lagi tokoh golongan lurus menghalangi seluruh sepak terjang kita mengangkangi dunia persilatan.
Tidak ada! Tidak juga Pendekar Slebor! Karena akan tiba bagi pendekar keparat itu saat ajalnya di telapak kaki orang-orang Perserikatan Setan!" Mata Dewa Kematian mengakhiri khotbah berapiapinya. Tak ada seorang undangan pun memberi sambutan. Hanya Dewi Kecubung dan Katak Merah yang tampak bertepuk tangan lambat Namun begitu, bukan berarti para undangan tak terpincut dengan seluruh pemaparan tadi. Di balik wajah keras mereka masing-masing, tersembul lamat senyum menyerupai seringai.
Mereka kini turut menginginkan Perserikatan Setan cepat-cepat berdiri. Seperti mereka begitu berhasrat untuk mencabik-cabik nama besar Pendekar Slebor sekaligus tubuhnya...!

***

ĦĦ[ 10 ]ĦĦ

Matahari menyembul kembali di ufuk timur. Sinar merah tembaganya belum terlalu menjerang. Lamat, ramah. Angin masih terasa sejuk, sebelum siang nanti menjadi hembusan kering tak bersahabat.
Ladang jagung kering di salah satu wilayah Wetan Jawa dirundung kesunyian. Sisa dingin malam yang begitu menusuk tulang sumsum, masih bergentayangan. Kalau siang daerah itu memang demikian panas, malam justru sebaliknya. Dingin terlalu merasuk kulit. Bahkan terasa menyiksa.
Pendekar Slebor tiba di sana. Sesuai beberapa petunjuk yang didapat selama perjalanan, menurut beberapa orang tempat itulah orang berkesaktian sesat telah menanti Pendekar Slebor selama berhari-hari.
Semalam, di tengah perjalanan, dua pasangan bangkotan yang semula setuju untuk turut malah berubah pikiran. Nyai Silili-lilu dan Petarung Sakti Perut Buncit tahu-tahu mengatakan pada Andika mereka hendak mencari tiga murid murtad.
Andika tak mau banyak tanya. Justru dia gembira setengah modar kalau orang-orang uzur berotak sedikit miring itu tidak lagi bersamanya. Bersama mereka seperti dikuntit kesialan sebesar biang dari segala biang badak! Lebih mengerikan ketimbang dijerumuskan ke istana kepinding! Kini, pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu berjalan menyusuri jalan pembelah hamparan padang luas terbengkalai. Disiapkannya segenap kesiagaan. Matanya diusahakan untuk tidak berkedip. Bahkan kalau bisa, napas pun ditahannya.
Di dekat sebuah gubuk yang dijadikan tempat beristirahat para petani selama menggarap ladang sebelum musim kemarau panjang melibat, Pendekar Slebor merasakan ada hawa aneh merasuk kulitnya.
"Ada yang aneh di sekitar tempat ini," bisik Andika pada diri sendiri. Dia merasakan, tapi tak bisa mengerti keanehan apa gerangan.
Panca inderanya sendiri tak menangkap keganjilan apa-apa. Tidak matanya, telinganya, hidungnya, tak juga kulitnya.
Perasaan serupa pernah hadir ketika pendekar muda itu berurusan dengan Manusia Dari Pusat Bumi. Kala itu dia hendak mengejar si manusia dedemit ke alam gaib.
Di gerbang alam gaib yang tersembunyi di balik jasad pohon raksasa, perasaan seperti kini pun menyerangnya (Untuk mengetahuinya bacalah episode: "BayangBayang Gaib")! Karena hal itu, Pendekar Slebor menghentikan langkah. Dia diam. Tak ada niat baginya untuk menggerakkan bagian tubuh mana pun, kecuali kedua bola matanya. Diperhatikannya sekeliling dengan rasa waswas yang menjangkit cepat. Telinganya dipasang sekuat mungkin. Siapa tahu dia mendengar suara angin bokongan dari belakang.
Menanti sekian lama, tak muncul satu serangan pun.
Pendekar Slebor mulai meragukan perasaannya sendiri.
"Apakah karena ketakutanku aku mulai merasakan perasaan-perasaan aneh?" bisiknya lagi pada diri sendiri.
"Tapi, aku yakin ada orang yang sedang mengawasiku...." Tanpa mengurangi kesiagaan dan kewaspadaannya secuil pun, Andika mencoba menggerakkan kaki lagi. Tak sampaikakinya menjejak ke depan, mendadak saja ada sekelebat bayangan menerkam amat cepat dari atap gubuk.Mula-mula bayangan itu menerobos atap daun kelapa kering. Membuat potongan-potongan atap berhamburan ke udara bagai dihempas topan. Andika saat itu terkesiap. Seluruh jaringan tubuhnya menegang, mengejang, mengencang. Tangannya mengepal keras, terangkat ke depan.
Dari atap gubuk yang berhamburan, kelebatan bayangan tadi bergerak cepat dan lurus ke arah Pendekar Slebor. Jarak Andika dengan gubuk cukup jauh. Ada sekitar lima belas tombak. Semestinya gerak lompatan bayangan itu agak terhambat gaya tarik bumi Tapi yang disaksikan Pendekar Slebor sekelebatan sungguh membuatnya terkagum sekejap. Bagaimana tidak" Kelebatan bayangan tadi bergerak seolah-olah tidak terpengaruh sedikit pun oleh gaya tarik bumi. Meluncur lurus bagai terbang. Ringan, seolah menunggangi angin! Sekejapan berikutnya, Pendekar Slebor bertanya dalam hati, siapa yang sesungguhnya akan dihadapi" Wrrr! Berkawal deru santer mirip geletaran kain, kelebatan bayangan tadi sampai di depan Pendekar Slebor.
Kesiagaan yang telah terjaga selama ini tak cukup membawa hasil memuaskan bagi Pendekar Slebor. Dia sudah berusaha berkelit dari terkaman ganas itu.
Sayangnya, kecepatan kelitannya ternyata kurang unggul dibanding sambaran kelebatan bayangan tadi.
Tak ayal lagi...
Srat! Ada sesuatu terkoyak. Pendekar Slebor cepat melirik bagian bahu kanannya.
Dilihatnya pakaian di bagian itu tersobek. Dari cabikannya, anak muda itu bisa menilai benda apa yang baru saja mengoyak pakaiannya. Sebuah cakar tajam! Pendekar Slebor cukup lega mengetahui kulit tubuhnya tak ikut terkoyak. Bisa dibayangkan bagaimana jika dia benar-benar tersambar cakar kelebatan bayangan tadi. Tentu kulitnya akan terkuak, mencabik daging di dalamnya, dan memperlihatkan tu-lang di bagian dalam. Itu sungguh menggidikkan! Untuk benar-benar lega, Pendekar Slebor belum bisa. Sebab, kejap berikutnya disaksikan kelebatan bayangan tadi menukik ke atas dataran ladang kering, menjejak tanah, lalu menerkam kembali. Rentetan gerakyang dilakukannya demikian memukau.
Pendekar Slebor sendiri, dalam hal kecepatan adalah salah satu tokoh yang paling dikagumi di dunia persilatan. Kalangan persilatan menganggap kecepatan geraknya seperti siluman.
Membandingkan kehebatan kecepatannya dengan kelebatan bayangan tadi, anak muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu jadi kurang yakin apakah kecepatannya sanggup mengimbangi kelincahan gerak kelebatan bayangan yang sampai saat itu tak jelas bentuk rupanya...
Sambaran berikutnya tak kalah cepat, beringas dan ganas. Tetap dengan gerak lurus seperti menunggang angin, kelebatan bayangan tadi mengancam leher Pendekar Slebor.
Karena sudah masuk dalam kegentingan sebelumnya, kepekaan naluri Pendekar Slebor menjadi meningkat Serangan kali ini dapat dihindarinya. Itu pun setelah dia memompa segenap kemampuan ilmu peringan tubuh warisan Pendekar Lembah Kutukan yang dimilikinya.
Agak kehilangan keseimbangan karena mendorong tubuh terlalu kuat, Pendekar Slebor membuat satu putaran salto. Dia menjejakkan kaki sebelas depa dari bayangan tadi. Di lain pihak, bayangan itu pun sudah pula berdiri. Di antara banyak pengalaman terburuk yang pernah dialaminya, kali ini adalah salah satu pengalaman bagi Pendekar Slebor disuguhkan pemandangan yang memaksa mulutnya ternganga. Matanya tak berkedip. Anak muda itu berdiri kaku seperti terserang tenung.
Disaksikannya seekor macanberkepala puluhan ular sendok siap menerkamnya kembali....
"Jadi semua desas-desus itu benar...," desis si anak muda takjub.
"Kalau begitu, kemungkinan besar memang benar pula desas-desus yang menyebutkan kalau aku yang di nginkan macan jejadian ini. Tapi kenapa aku" Ada urusan apa manusia berilmu sesat itu padaku?" Pertanyaan yang tak akan pernah menemukan jawaban selama Andika hanya terpaku bisu seperti itu. Dan mungkin selamanya tak akan pernah terjawab kalau dia tak segera tersadar dari ketertegunan. Karena macan berwujud menggidikkan sebelas depa di depannya mulai memperdengarkan dengung mengancam.

***

Di tempat berbeda, namun di waktu yang sama, pertemuan para datuk golongan sesat mencapai ujung penyelesaian.
Kesepuluh orang di dalam rumah terbengkalai telah mencapai kesepakatan. Mereka setuju untuk membentuk Perserikatan Setan! Setelah meminum arak sebagai tanda keberhasilan bagi kebanyakan orang-orang sesat, Bureksa alias Pangeran Neraka bangkit berdiri. Diangkatnya tabung bambu berisi arak. Entah sudah berapa tabung arak ditenggaknya. Sampai saat itu, tak terlihat dia kehilangan kesadaran.
"Untuk keberhasilan kita! Hu hu huuu!" serunya serakberkawal tawa anehnya.
Yang lain turut mengangkat tabung arak mengangkat tabung bambu di tangan masing-masing. Hanya si Gila Petualang dan Hakim Tanpa Wajah yang tidak. si Gila Petualang memang sudah pernah menyentuh minuman seperti itu. Dia tak ingin membuat tubuh dan keseimbangannya menjadi rusak karena pengaruh minuman keras. Baginya untuk menguasai dunia persilatan, dia harus benar-benar menjadi keadaan dirinya sesempurna mungkin.
Sedangkan Hakim Tanpa Wajah bukannya tak turut minum. Di tangannya ada juga tabung arak. Cuma dia tak ingin terbawa wibawa Pangeran Neraka.
Dia lebih suka acuh dengan diamnya yang beku.
"Saudaraku segolongan sekalian! Karena kita telah menyetujui pembentukan Perserikatan Setan ini. Maka, aku...
Pangeran Neraka akan lebih dahulu menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan perserikatan kita! Aku bersedia membuat rencana sempurna untuk menjerat nyawa Pendekar Slebor ke dalam genggaman kita! Akan kususun siasat paling licin yang mungkin akan mengecohkan akal cemerlang anak muda keparat itu! Hu hu hu huuu!"
"Heh, kau terlalu meremehkan kemampuan otak anak keparat itu, Pangeran Neraka," cibir si Gila Petualang berat.
"Kau bicara apa"!" sentak Pangeran Neraka.
"Kau pikir, aku tak pernah merencanakan siasat yang demikian sempurna untuk menjebaknya?" lanjut si Gila Petualang tanpa sudi menatap Pangeran Neraka.
Kesannya angkuh.
"Ya... ya.. ya, kau gagal karena otakmu kalah cemerlang dengan anak muda keparat itu! Hu hu huuu!" balas Pangeran Neraka mengejek.
"Kau ingin menyebutku dungu, Pangeran Neraka" Begitu maksudmu"!" Suara si Gila Petualang yang semula datar mendadak menanjak.
Matanya menerkam ke arah Pangeran Neraka. Kegusarannya terpancing.
Menyaksikan suasana akan semakin panas kalau terus begitu, Mata Dewa Kematian segera bangkit menengahi.
"Tenang... tenang.... Aku yakin tak ada yang dungu di antara kita. Harus diakui, Pendekar Slebor memang bukan anak kemarin sore yang mudah dipecundangi. Untuk itulah kita bersatu! Dan aku yakin, dengan ketajaman akal Pangeran Neraka dan pengalaman hebat Pak Tua Gila Petualang, kita akan bisa menjadikan pendekar keparat itu...."
"Menemui ajalnya!" Kalimat Mata Dewa Kematian terpancing suara menggelegar dari luar bangunan. Dinding batu rumah besar itu terguncang seakan dilanda gempa. Serpihan atas bangunan bertaburan ke bawah. Dinding pun retak.
Kusen pintu terpatah.
Mengekori sambaran suara tadi, berpendar cahaya amat terang di awal pagi muda yang belum lagi cukup punya cahaya. Sinar merah saga mentari seperti tertelan pendar cahaya yang membersit dari langit itu....

***

Satu pertarungan ganjil tampaknya akan segera meletus. Bukan cuma pertarungan itu sendiri yang ganjil, namun pihak yang berseteru pun ganjil. Satu pihak adalah seorang pemuda tampan berperawakan gagah. Kekar. Nyata sekali kesempurnaan zahirnya, meski otaknya terkadang sengaja dibuat 'ngadat', lebih sinting dari orang sinting.Di lain pihak, lawannya adalah sosok yang benar-benar mehggetarkan nyali. Bahkan untuk seorang ksatria sejati macam Pendekar Slebor sekalipun. Seekor macan berkepala puluhan ular sendok! Di sanalah letak seluruh keganjilan jalannya pertarungan ini....
Ketika itu, Andika si Pendekar Slebor dalam kungkungan keterpanaan luar biasa. Dia bagai patung bernapas mendapati lawan yang belum lama menyerangnya dalam kelebatan bayangan yang demikian cepat.
Bahkan mungkin melebihi kecepatannya yang selama ini dikagumi banyak kalangan persilatan. Seluruh serat tubuhnya mengejang tegang. Bagaimana. tidak, kalau lawan yang harus dihadapinya kini memiliki wujud yang selama hidup baru disaksikan" Segunung pengalaman pahit getir, setimbun asam garam dunia persilatan pernah dicicipi pendekar muda ini. Bahkan dia pernah bertemu dengan tokoh-tokoh sesat kelas atas datuk penguasa beberapa wilayah. Mereka tak jarang begitu aneh, begitu ganjil untuk pikiran seorang yang waras.Tapi lawan yang mesti dihadapinya kali ini benar-benar ganjil. Kalau ada yang bertanya, Andika sendiri sulit menggambarkan dengan kata.
Bahkan menurut pikiran Pendekar Slebor, Manusia Dari Pusat Bumi, lawan setengah dedemitnya pun tak begitu membuncahkan keterperangahannya sedemikian hebat. (Baca episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan "Pengadilan Perut Bumi")! Tidak juga si Setan Laut, si Penguasa Laut Selatan yang nyaris menjelma menjadi makhluk menyeramkan penghuni lautan. (Baca episode: "Perompak-Perompak Laut Cina")! Selama melihat dengan sejelas-jelasnya wujud lawan, mengalir deras bagai terjangan air bah seruntun pertanyaan dalam diri si pendekar muda. Siapa yang sesungguhnya yang dihadapi" Manusiakah dia" Atau dia sedang berhadapan dengan sejenis dedemit dasar bumi" Atau manusia sesat setengah dedemit seperti Manusia Dari Pusat Bumi" Apa yang menyebabkan makhluk jejadian ini menginginkan dirinya" Segala macam pertanyaan bertubi-tubi tadi mendapat jawaban berbeda dari lawan.
Dzzzgggg! Sehimpun desis membentuk dengung samar na?mun menggaung jauh. Puluhan ular di tubuh macan tak berkepala di depan sana memperdengarkan desis maut, menebar ancaman. Mata mereka berpendar seolah menyimpan bara. Aneh, Andika bisa mengartikan bersit sejumlah pasang mata itu sebagai cerminan dendam.
"Dendam?" hati Pendekar Slebor berbisik.
"Kenapa di mata puluhan kepala ular itu terpancar dendam pada diriku?" meruyak kembali pertanyaan- pertanyaan tak terjawab dalam dirinya.
Untuk kedua kalinya, jawaban yang didapat berbeda dari harapan. Dengan tibatiba, wujud macan jejadian di depannya menerkam kembali.
Untuk terkaman kali ini, Pendekar Slebor dipaksa terperangah hebat. Sebab, manakala wujud macan jejadian tadi berkelebat ke arah dirinya, terlihat samar-samar wujud seseorang yang pernah disaksikannya beberapa waktu belakangan membayang di antara wujud macan jejadian! Sekilas benak Pendekar Slebor merasa mengenali bayangan orang tadi. Sekilasan berikutnya, dia tak memiliki waktu lagi untuk memikirkan. Karena....
Wsss! Crsh! Satu sabetan cakar membuyarkan bayangan di benak Pendekar Slebor. Kalau cakaran pertama hanya berhasil mengoyak pakaiannya, sekali ini kulit pangkal lengannya turut tercabik. Andika merasakan pedih luar biasa. Rasanya lebih hebat dari sayatan sembilu ditetesi perahan jeruk nipis! Darah mengalir dari tiga sayatan dalam sepanjang rata-rata sepertiga jengkal.
Biarpun Pendekar Slebor sudah menghindar cukup cepat, namun tampaknya kesalahan telah dibuat Dia terlalu jauh terkesima dengan wujud lawan. Juga dengan bayangan seseorang yang tahu-tahu tertang-kap di antara kelebatan gerak terkaman tadi.
Cukup sudah! Kutuk Andika, membodoh-bodohi diri sendiri. Dia tak boleh lengah lagi. Tak boleh, Tak mungkin! Kecuali kalau dia ingin nyawanya cepat melayang di ujung cakar ganas makhluk jejadian laknat itu! O, maaf-maaf saja, cibir Pendekar Slebor.
"Kau...." Pendekar Slebor baru hendak mengoceh.
Dalam beberapa keadaan, mulut ceriwisnya memang tak bisa ditahan-tahan. Ibarat orang kebelet buang air! Tapi belum lagi lebar mulutnya menganga, lawan sudah mencelat kembali dari tempatnya.
Dzzzng! Wukh! "Wuih!" Andika cuma bisa ber'wuih' sambil menyingkirkan posisi berdirinya jauh-jauh di sisi kiri. Tiga jumpa-litan lincah dibuatnya.
Sialan juga pikirnya. Dia se-pertinya hendak dijadikan sekadar bulan-bulanan empuk. Siapa yang sudi diperlakukan begitu" Sekali lagi dan seterusnya, maafmaaf saja....
"Ayo sekarang serang aku lagi, biang ketorabe!" rutuk Pendekar Slebor dalam hati. Dengan satu tangan, diremasnya ujung kain pusaka bercorak catur. Jika nanti makhluk jejadian itu menyerang kembali, Andika akan menyongsongnya dengan sabetan bertenaga penuh! Untuk itu Pendekar Slebor meningkatkan sepenuhnya kewaspadaan. Selain itu, disiapkannya pula pengerahan tenaga sakti warisan buyutnya Pendekar Lembah Kutukan hingga tingkat kesepuluh. Matanya mengawasi tajam-tajam ke arah lawan, bersiapsiap kalau-kalau lawan berkelebat kembali ke arah dirinya. Seluruh serat di tubuhnya menegang. Terlebih tanganyang menggenggam ujung kain pusaka Di depan sana, si makhluk menyeramkan belum juga memperlihatkan tanda-tanda hendak menerjang kembali.
Suara desis berdengungnya memang. Tapi tidak tubuhnya.
Binatang laknat dasar neraka itu seperti mematung.
"Monyet kau!" Pendekar Slebor memaki. Gusar sekali dia.
"Ayo serang aku lagi! Serang! Apa Bapak Moyangmu cuma mengajarkan berdiri kaku seperti bangkai itu"!" Sang makhluk jejadian tetap tak bergemik.
Pendekar Slebor makin sewot.
"Hei, kau tak merasa tersinggung setelah kusebut-sebut Bapak Moyangmu" Apa kau memang tak punya Bapak Moyang?" Macan jejadian tetap diam.
Pendekar Slebor mulai kebingungan sendiri dengan segala caci-makinya. Selama ini, justru 'ajian sakti' itu yang diandalkan untuk mempermainkan ke-marahan lawan. Dia mulai menggaruk-garuk kening sendiri.
"Apa caci-makiku ada yang keliru?" gumamnya kebodoh-bodohan.
Sedang sibuknya Andika bersungut-sungut, tanpa mempedulikan rasa pedih luka di pangkal lengan, terdengar suara seseorang berkata sarat dendam.
Terdengar terpendam dalam. Seolah datang dari tempat tersembunyi. Sebaliknya amat jelas untuk telinga Pendekar Slebor. Untuk beberapa saat dengung aneh dari binatang jejadian bahkan ditenggelamkannya.
"Waktunya kau membayar hutang nyawa!" Andika menaikkan sudut bibir. Menaikkan pula sebelah alisnya. Kalau bisa, dia ingin juga menaikkan sebelah bulu-bulu ketiaknya. Pendekar muda itu tak habis pikir dengan semua kejadian ini. Macan jejadian, bayangan seseorang yang serasa pernah dikenalnya, kini suara yang dia yakin berasal pula dari si binatang jejadian. Hutang nyawa" Hutang nyawa siapa" Pikirnya mumet.
"Sebenarnya, siapa kau sesungguhnya?" Pendekar Slebor memutuskan untuk mulai mengorek keterangan.
Kalau terus begitu, dia bisa benar-benar jadi orang tolol.
Suara terpendam tadi tak terdengar beberapa saat.
Lalu terdengar kembali.
"Aku" Kau bertanya siapa aku" Kau pikir siapa, heh?" Biang panu! Aku tadi bertanya. Kenapa dia malah balik bertanya, kutuk Pendekar Slebor membatin.
"Aku tak tahu. Justru itu aku bertanya padamu" Kenapa kau memusuhiku" Apa pernah ada sangkut antara aku dan kau?" lanjut Andika.
"Kau jangan berpura-pura! Aku tak akan bisa melupakan wajahmu. Aku tak mungkin melupakan wajah pembunuh istriku!" Andika meringis. Istrinya" Weleh, kapan aku pernah membunuh istri orang" Jangankan membunuh, membawa lari istri orang pun belum pernah. Maaf saja...
kecuali kepepet! Kicau hati si pemuda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan, ngaco.
"Tunggu dulu. Kau tak bisa menuduh orang sembarangan seperti itu... Siapa pun kau, apa pun kau,biang borok atau nenek moyang ketombe!" Mendengar sangkalan Pendekar Slebor, hewan ganjil di depan sana memperlihatkan perubahan wujud.
Perlahan-lahan bentuknya mengabur. Bersama tebaran cahaya lamat berwima kemerahan, terbentuklah wujud sosok manusia.
"Lho, rupanya si India sial itu...," gumam Pendekar Slebor menyaksikan rupa yang telah sempurna di depannya. Pantas dia merasa pernah mengenal bayangan samar yang disaksikan sebelumnya di antara kelebatan bayangan hewan jejadian tadi. Ya, orang itu adalah Amitha. Lelaki India yang diperbudak dendam. Dan merelakan dirinya menjadi Sekutu Sang Durjana! Mungkinkah macan jejadian mengerikan itu adalah Amitha" Jika macan jejadian yang dihadapi benar-benar Amitha, bisakah Pendekar Slebor membunuhnya" Tentu akan ada bahaya teramat besar yang mengancam Pendekar Slebor sekaligus dunia persilatan.
Bacalah ketegangan berikutnya, sekaligus untuk mengetahui siapa sesungguhnya sosok cahaya yang datang ke gedung tua tempat pertemuan para datuk sesat.

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Kelanjutan kisah ini adalah : PERSERIKATAN SETAN


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Manusia Laba Laba --oo0oo-- Perserikatan Setan


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers