Life is journey not a destinantion ...

Perserikatan Setan

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Macan Kepala Ular --oo0oo-- Ajian Sesat Pendekar Slebor



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: PERSERIKATAN SETAN

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


Ò´Ò´{ 1 }Ò´Ò´

Matahari menggarang tanah Jawa. Kemarau masih saja belum puas mengeringkan tanah. Bumi makin kepayahan, terengah-engah. Manusia masih banyak yang belum juga menyadari kenapa semuanya terjadi.
Tak beda dengan bagian tanah Jawa lainnya, wilayah Wetan Jawa juga dilibas kemarau. Di salah satu sudut wilayah tersebut, tepatnya di tepi hamparan ladang kerontang, sedang terjadi bentrokan hebat.
Bentrokan berlangsung antara seorang pemuda tampan berperawakan gagah. Di antara kelebatan geraknya yang cepat, gesit, dan tangkas, tampak samar warna pakaiannya. Hijau pupus. Dengan selembar kain bercorak catur di tangannya. Rambut pemuda itu ikal panjang sebatas bahu. Berkibaran liar terseret angin dari gerakan setiap jurus. Lawan yang dihadapi seorang lelaki hitam. Tubuhnya kurus kering. Mungkin sekering tanah yang sedang dilanda kemarau. Bertolak belakang dari keadaan tubuhnya, gerakannya justru memperlihatkan kehebatan luar biasa. Sulit mencari tandingan, bahkan untuk seorang pendekar sakti tanah Jawa seperti sang lawan yang sudah dikenal oleh dunia persilatan sebagai Pendekar Slebor! Tanpa pakaian, kecuali semacam kain putih kumal berupa cawat penutup bagian auratnya, si lelaki kurus kering pun tak kalah lincah, tak kalah gesit, tak kalah cepat dari pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan yang tengah dihadapi.
Menjelang satu hari penuh pertarungan mereka.
Dimulai ketika hari menjelang pagi kemarin. Dan terus berlangsung hingga saat ini, ketika matahari mulai hendak muncul kembali ke pelipis sebelah timur tanah Jawa. Keadaan keduanya sudah sama-sama melemah.
Tenaga mereka tentu saja sudah banyak terkuras.
Pendekar Slebor selaku ksatria muda yang sudah banyak makan asam garam, bukan tak merasakan bagaimana beratnya pertarungan sehari semalam seperti itu. Dia sendiri begitu letih. Rasanya yang tersisa cuma semangat tarung untuk mempertahankan nyawa. Segenap sendinya sudah terasa bagai dibalut dengan lumpur lahar panas. Sekujur permukaan kulitnya terasa sepedih luka tersiram air cuka. Sementara seluruh jaringan otot dan serat dagingnya sudah bagai di-rebus di atas air mendidih! Andika, alias si Pendekar Slebor tak hentihentinya mengherankan daya tahan lawan hingga saat itu. Sepanjang pengetahuannya, lawan bukanlah tokoh dunia persilatan berilmu tinggi. Sewaktu pertama kali berjumpa, Amitha lelaki India yang menjadi seterunya ini hanyalah seorang lelaki desa biasa. Bahkan dia hanya bisa menangis meraung-raung mendapati istrinya menjadi mayat di belakang gubuk mereka. (Bacalah episode sebelumnya: "Macan Kepala Ular")! Kini, hanya dalam beberapa pekan, dia telah menjelma menjadi seorang mandraguna. Ilmu kanuragannya mungkin bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh sesat Penguasa Laut Cina yang pernah dihadapi Pendekar Slebor dulu (dalam episode: "PerompakPerompak Laut Cina")! Apa yang sesungguhnya telah dialami Amitha ketika terakhir kali dia menyadari dirinya berada dalam liang lahat terbuka" Saat itu, Amitha tak mempunyai pikiran apa-apa tentang keberadaan dirinya. Satu-satunya yang terbetik di benak saat itu bahwa dirinya sudah gagal mempelajari Kitab Ular dan Macan. Kegagalan itu menyebabkan nyawanya terlempar dari raga. Dia mati, simpulnya. Dan dia berada dalam liang kuburnya sendiri.
Tapi mungkinkah dirinya dikubur, sementara liang itu sendiri dalam keadaan terbuka. Karena ingin tahu keadaan sebenarnya, Amitha berdiri. Tinggi lubang tak jauh berbeda dengan tinggi tubuhnya. Karenanya dia dapat dengan leluasa menyaksikan keadaan di luar lubang. Matanya dipaksa membelalak sebesar mungkin menyaksikan sesuatu di luar sana. Ada sebentuk bayangan yang dilapisi pendarpendar cahaya merah api berkabut, tegak tepat di sisi lubang. Ketika diperhatikan, bentuk bayangan itu me-nyerupai tubuh seekor macan. Yang ganjil, di lehernya tidak terlihat bentuk bayangan kepala seekor macan, melainkan sekumpulan ular-ular yang bergerak nyalang ke segenap arah. Sebagian mematuk-matuk entah ke mana, seolah memangsa apa pun tanpa terkendali.
Bayangan itu tak hanya memancarkan pendaran cahaya merah api, tapi juga memancarkan panas teramat sangat. Amitha merasa seperti amat dekat dengan gerbang neraka! Semestinya Amitha mengalami kegugupan dan ketakutan luar biasa menyaksikan pemandangan yang baru sekali itu dilihat sepanjang hidupnya. Tak demikian yang dialami si lelaki India itu. Tak ada ketakutan sama sekali. Tak juga ada kegugupan. Sebaliknya, dia justru merasakan dorongan liar dari dalam dirinya untuk mendekati bayangan aneh tadi. Dari liang kubur terbuka, Amitha berusaha keluar. Ada lagi satu keanehan dirasakan lelaki itu. Tubuhnya terasa begitu ringan. Dia tak merasakan sedikit pun bobot tubuhnya. Seolah gaya tarik bumi tunduk kepadanya. Dengan mencoba-coba, Amitha berusaha keluar melompati mulut liang. Dihentakkannya kaki dari dasar lubang. Kejadian menakjubkan pun terjadi. Tubuhnya melayang lebih ringan dari selembar bulu. Hentakan kaki barusan melontarkan tubuhnya di luar perkiraan. Bukan cuma mulut liang terlewati, lebih dari itu tubuhnya melayang sejauh lima belas tombak ke udara! Tatkala hinggap, Amitha sudah berdiri tak jauh di sisi bayangan terpendar cahaya panas tadi. Meski terasa amat panas luar biasa, kulit lelaki itu tak mele-puh. Itu juga keanehan lain lagi. Untuk semua keganjilan tersebut, Amitha hampir-hampir tak bisa percaya kalau dirinya tidak sedang bermimpi.
Tak tahu harus melakukan apa, Amitha hanya menatapi bayangan berpendar tadi dengan perasaan tersiksa. Panas luar biasa itu makin menjerang kulit.
Sementara, dorongan asing dalam dirinya terus menghentak-hentak, menitahnya untuk terus mendekat dan mendekat. Dalam jarak yang sudah sedekat itu, tentu saja benak Amitha mengartikan lain. Hatinya bukan saja didorong untuk mendekat, melainkan masuk ke dalam bayangan berpendar tadi.
Masuk" Apa itu bukan pikiran sinting" Risau hatinya. Sementara dalam jarak cukup jauh saja, panasnya sudah terasa menyiksa. Apalagi jika dia harus masuk ke dalam bayangan berpendar tadi.
Meski pikirannya berkutat menolak, dorongan asing dalam hatinya malah semakin rusuh, merebak dan meledak-ledak. Sampai tanpa sadar, kaki Amitha mulai beringsut perlahan. Hanya perlu dua tindak untuk benar-benar masuk ke dalam jangkauan bayangan berpendar tadi. Hanya dua tindak, tapi rasanya Amitha melangkah selama berabadabad di permukaan gurun pasir tandus. Meletihkan. Menyiksa.
Dan ketika tubuhnya benar-benar tertelan bayangan tadi, tercipta kembali keganjilan baru! Apakah deraan panas telah menghilang" Tidak. Panas itu tidak hilang sama sekali. Bahkan panasnya makin menjadi-jadi. Amitha dipaksa untuk menjerit sekuatkuatnya, sekeras-kerasnya. Tapi tak ada lolongan yang terdengar, meski urat lehernya sudah terasa hendak putus. Yang aneh, setelah itu Amitha diperintahkan oleh sesuatu dalam dirinya untuk tak mempedulikan lagi. Sampai rasa panas itu benar-benar berdamai dengannya, sebagaimana banyak penganut yoga berdamai dengan rasa sakit saat tidur di atas kayu berpa-ku! Setelah itu semuanya berubah. Amitha menemukan dirinya sudah berada di tengah-tengah ladang kering, tempat dia selanjutnya membantai orang-orang persilatan. Dan kini, tempat itu dijadikan ajang pertarungan antara dirinya dengan Pendekar Slebor.
Sebelum menjalankan seluruh terornya di tempat tersebut, Amitha melakukan penyelidikan ke beberapa tempat. Dia menanyakan pada beberapa orang persilatan mengenai seorang pemuda tampan berpakaian hijau pupus, berambut ikal panjang tak terurus, dan berkain corak catur pada bahunya.
Didatanginya jantung kadipatenan. Sebagai pusat pemerintahan daerah, di sana banyak orang berkumpul. Dari pejabat sampai penjahat. Dari tukang obat sampai penjilat, orang sehat sampai orang seka-rat.
Sudah pasti pula di sana banyak berkeliaran warga persilatan. Suatu kali, Amitha bertemu dengan seseorang.
Dari penampilan dan pakaiannya, orang itu memperlihatkan kalau dirinya warga persilatan. Kumisnya baplang hampir selebar ujung cobek. Tak mengapa kalau tubuhnya kekar berotot. Ini orang cuma kumis saja gemuk, tubuhnya sendiri kurus kering. Jangan-jangan tubuh dengan kumis lebih berat kumis. Jangan-jangan juga, dia selalu berjalan terhuyung-huyung ke depan! Kumis sangarnya diimbangi dengan penampilan serba hitam. Celana pangsi hitam, kemeja tak berkerah dan tak berkancing hitam, ikat kepala hitam, sandal ikat hitam, ikat pinggang hitam, sarung golok hitam, kulit pun hitam. Kalau ada yang tak hitam, cuma panu sebesar jempol Pak Tani di samping udelnya.
Dengan berjalan bak jawara baru jadi, lelaki itu menyusuri jalan jantung kadipaten menuju alun-alun.
Amitha mengikuti di belakang.
Lama-kelamaan, lelaki hitam berkumis baplang tadi merasa ada yang menguntit. Dia berhenti melangkah. Kepalanya menoleh penuh lagak. Ketika itu, Amitha sudah cepat bergerak ke balik pohon besar.
"Cuih!" Lelaki kurus tadi meludah. Entah apa maksudnya. Apa mungkin dia telah mengetahui kalau orang yang menguntit telah bersembunyi" Tanpa banyak urusan, lelaki itu melanjutkan perjalanan. Namun, Amitha merasa dia telah diketahui oleh lelaki itu. Dia tak ingin berlama-lama lagi. Lagi pula, tempat yang dilewati sudah cukup sepi. Amitha tak mau usahanya mencari pembunuh Neelam diketahui oleh buruannya terlebih dahulu. Oleh karena itu, dia berusaha bekerja diamdiam dahulu.
"Hei, berhenti kau"!" seru Amitha di belakang lelaki tadi.
Lelaki tadi menoleh acuh.
Amitha berjalan mendekat.
"Katakan padaku, apakah kau kenal dengan seorang pemuda tampan berpakaian hijau, berambut panjang dan memiliki kain bercorak catur?" tanya Amitha, ketika sudah berdiri di depan lelaki tadi.
Si lelaki berkumis baplang mendengus. Ditatapnya Amitha dengan ujung mata. Sambil melintinglinting ujung kumisnya, dia mengajukan pertanyaan balik.
"Apa kepentinganmu dengan orang itu?" Aku punya urusan dengannya, dan itu bukan urusanmu."
"Kalau begitu, kau tanyakan saja ludahku," kata lelaki hitam berkumis. Dia meludah.
"Cueh!" Amitha hilang kesabaran. Giginya bergemeletukan. Rahangnya mengeras.
"Kau tak bisa pergi begitu saja sebelum kau menjawab pertanyaanku!" ancam Amitha, ketika lelaki yang dihadangnya hendak melanjutkan langkah.
"Kau kira, kau ini siapa heh" Bera..." Belum selesai bacot si lelaki berkumis bercuapcuap seperti mujair, tangan Amitha langsung mencengkeram leher bajunya.
"Katakan padaku, atau kau tak bisa hidup sampai akhir siang ini!" bentaknya murka. Meledak persis di depan hidung nongkrong si lelaki berkumis.
Detik ini juga, wajah si lelaki berkumis baplang memucat. Cuping hidungnya kembang kempis. Matanya mendelik.
"Ja... jangan. Say... saya jangan di... dibun... dibun... dibunuh...."
"Jangan banyak mulut! Katakan saja padaku apakah kau kenal dengan orang yang kusebutkan"!" hardik Amitha tak sabar.
"Glk.... Tid... tid...," gagap si lelaki berkumis sambil menggeleng-gelengkan kepala sekuat-kuatnya.
Lagi-lagi kalimatnya tersunat oleh kegugupan sendiri.
"Tak mungkin! Kau pasti kenal! Aku yakin kau orang persilatan!" desak Amitha. Cengkeramannya di-keraskan. Dihentakhentakkannya tubuh lelaki itu.
Kepala lelaki berkumis menggeleng-geleng lebih keras lagi. Lebih seru lagi.
"Buk... buk...."
"Bukan" Kau bukan orang persilatan"!"
"Ho... oh!" Amitha melepaskan cengkeramannya dengan kasar.
"Lalu kenapa kau berpakaian seperti orang persilatan"!" susul Amitha.
Lelaki berkumis baplang cengengesan.
"Say... saya mau main ketoprak.... Di... di alun-alun. He he he!" Sewaktu tertawa susah payah dan takut-takut, kumis baplangnya mendadak jatuh ke tanah. Pluk! Amitha gusar. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.
Dia hanya dendam pada orang-orang persilatan yang telah merenggut nyawa istrinya. Khususnya pada pemuda berpakaian hijau yang dianggap sebagai pembunuh istrinya. Sedangkan lelaki ini cuma rakyat jelata.
Amitha melangkah galau.
"Tu.., an!" tahan lelaki tadi. Amitha menoleh.
"Biar saya bukan orang persilatan, tapi sedikit banyak saya tahu siapa orang yang Tuan tanyakan...," sambung si pemain ketoprak.
"Kalau tak salah, orang yang sedang Tuan cari berjuluk Pendekar Slebor. Ma-sa' ya, Tuan tidak kenal dengan nama besar itu.
Tuan pura-pura barangkali, ya" Iya, kan?" Pendekar Slebor! Amitha memakukan nama itu kuat-kuat di dalam benaknya. Sekarang pencariannya menemukan titik terang.
Sejak kejadian tengik itu, Amitha merubah rencananya. Dia tak melanjutkan penyelidikan. Diubahnya rencana dengan memancing keluar Pendekar Slebor. Caranya dengan membuat kegemparan di kalangan persilatan. Dibunuhnya orang-orang persilatan yang melewati ladang kering tempatnya.
Usaha itu akhirnya membawa hasil. Pendekar Slebor yang dicarinya terpancing juga mendatangi tempat tersebut.

***

Ò´Ò´{ 2 }Ò´Ò´

Kembali ke pertarungan. Saat itu, Amitha menghentikan serbuan serangan-serangannya terhadap Pendekar Slebor. Dia mengambil jarak cukup jauh.
Berdiri dengan sikap sarat permusuhan, dia pun berseru.
"Kau tak akan lolos begitu saja, Pendekar Slebor! Hutang nyawa harus dibayar nyawa!"
"Apa maksudmu, lelaki India?"
"Jangan berpura-pura, Pendekar Slebor! Kau pikir aku semacam bocah kecil yang begitu mudah kau kibuli"!" Kening Andika berkerut rapat. Diingat-ingatnya sesuatu. Sewaktu pertama kali bertemu Amitha, dia ingat dirinya dituduh sebagai pembunuh istri lelaki itu.
"Ooo," bibir Pendekar Slebor membulat.
"Kau tetap menyangka aku sebagai pembunuh istrimu, begi- tu?" sambungnya. Kepalanya mengangguk-angguk ke-bodoh-bodohan.
"Kini aku hendak menuntut hutang nyawa itu!" tandas Amitha.
"Keliru! Kau keliru. Aku tidak membunuh istrimu. Lagi pula apa alasanku membunuhnya?" sangkal Pendekar Slebor. Perempuan selangsing biang badak seperti dia, jangan lagi berurusan dengannya, melihatnya saja aku sudah tak punya selera, rutuk Pendekar Slebor dalam hati.
"Peduli setan dengan alasanmu!" Andika jengkel juga dipersalahkan terus. Apalagi menghadapi kekeraskepalaan Amitha, meski Andika sendiri berkepala batu. Bisa-bisanya dia tidak peduli pada pembelaan diri Pendekar Slebor. Rasanya, Andika ingin mencak-mencak ketika itu juga.
Pendekar Slebor mengeluarkan sesuatu dari balik pakaian.
"Ini... lihatlah ini," ujarnya seraya memperlihatkan kalung di telapak tangan kanan. Benda itu yang ditemukan di tangan mayat Neelam.
"Aku menemukannya tergenggam di tangan mayat istrimu." Sejenak Amitha memperhatikan benda tadi dengan teliti. Sampai saat itu, dia belum bisa menduga apa maksud si pemuda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu. Tapi, setidaknya dia mengerti, ada sesuatu yang hendak disampaikan padanya. Sedangkan kecurigaan tetap tumbuh dalam dirinya.
Menyaksikan Amitha cuma memperhatikan kalung di tangannya, Pendekar Slebor merasa jengkel la-gi. Digadaikan ke mana otak lelaki ini. Apa tempurung kepalanya cuma berisi martabak" Makinya membatin.
"Kau tidak tahu alasanku memperlihatkan benda ini padamu?" ujar Pendekar Slebor.
Bukan menjawab, Amitha malah mendengus.
Slompret, dia benar-benar tak berotak! Maki Andika lagi.
"Maksudku, aku yakin pemilik benda inilah yang telah membunuh istrimu. Mungkin istrimu sempat meraihnya sewaktu dia hendak dibunuh dari leher orang itu. Kau mengerti maksudku?"
"Kenapa aku harus percaya pada bualanmu," dengus Amitha. Dia tak percaya.
"Bualan...," Andika merutuk. Sebenarnya, Pendekar Slebor memang tidak bisa meyakinkan Amitha kalau dia tak membunuh Neelam hanya dengan memperlihatkan kalung tadi. Jadi, apa yang mesti dilakukannya kini" Dia mati kutu.
"Bisa saja kau membuat cerita itu. Sedang kalung itu, bisa saja kau menemukannya dari satu tempat.
Entah di mana. Dan bukan dari telapak tangan jenazah istriku!" Amitha makin menyudutkan posisi Pendekar Slebor.
"Mampus aku...," bisik Pendekar Slebor. Ditam-parnya kening sendiri.
"Jadi, bersiaplah kau untuk mampus!" terabas Amitha, tak memberi kesempatan bagi Pendekar Slebor untuk membela diri lagi.
"Tapi aku bukan pembunuh istrimu, ngaco!" hardik Pendekar Slebor sewot. Sekarang dia benar-benar mencak-mencak tak karuan. Hari sudah panas begini.
Ada lagi manusia yang bikin otak si pendekar muda bertambah panas. Kepalanya tidak mengebul saja sudah untung....
"Nenek moyang ular kadut juga tahu kalau aku tak mungkin membunuh istrimu, tahu" Aku tak punya urusan apa-apa dengannya. Seperti aku tak punya urusan denganmu, Slompret! Kalau otakmu waras, kenapa kau tak meneliti dulu secara benar persoalannya!" Pendekar muda yang tak cuma keras kepala tapi juga sering 'angot-angotan' itu sekarang malah berte-riak-teriak. Khotbah tukang obat pasti kalah seru! "Aku tak peduli pada semua ocehanmu!" balas Amitha, tak mau kalah.
Kalau sudah begitu, Pendekar Slebor mau bilang apa" Pikir punya pikir, biarpun saat otaknya sedang simpang-siur, Pendekar Slebor memutuskan untuk pergi saja. Biar sekali ini dia dikatakan pecundang kek, pengecut kek. Pokoknya dia tak peduli.
Dia cuma tak mau terus berurusan dengan Amitha. Mengenai tuduhan Amitha, besok juga masih ada waktu, pikir Andika.
Pendekar Slebor pun buron.
"Pengecut! Jangan lari kau! Hadapi aku!" teriak Amitha. Giliran dia yang mencakmencak. Lelaki India itu tak cuma berniat mencak-mencak rupanya. Dengan sigap, dia menggenjot tubuhnya. Dikejarnya kelebatan lari Pendekar Slebor dengan kesempurnaan peringan tubuh yang tak kalah mengagumkan dibanding buruannya.

***

Ada yang bilang manusia selalu tidak puas dengan keinginannya. Keinginan yang terpenuhi hari ini, besok akan lain lagi. Kalau diberi emas, manusia lalu ingin permata. Walau sudah mendapat bukit, manusia hendak memiliki gunung.
Bagi Petaruh Sakti Perut Buncit, penyakit kebanyakan manusia itu benar-benar merajalela dalam dirinya. Serangan hama tikus di sawah bahkan kurang ganas dibanding penyakit aneh manusia satu ini.
Kesaktian manusia berperut gentong satu ini sebenarnya sudah terbilang tinggi. Nyai Silili-lilu saja masih berada satu tingkat di bawahnya. Kalau hendak dicari bandingan, mungkin Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan yang pantas untuknya. Selisih kesaktiannya mungkin hanya sedikit lebih rendah. Di samping itu, Petaruh Sakti Perut Buncit kalah di usia.
Sesepuh dunia persilatan golongan putih Ki Saptacakra lebih tua darinya sekitar sepuluh tahun.
Entah bagaimana caranya dua manusia langka, Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit dulu bisa menjalin tali asmara. Jelas-jelas kakak perempuan Ki Saptacakra itu jauh lebih tua darinya. Kalau mau dibi-lang Nyai Silili-lilu dulunya bagai primadona persilatan, siapa yang mau percaya" Atau barangkali Petaruh Sakti Perut Buncit waktu itu sudah putus harapan untuk mendapatkan perempuan yang lebih agak 'beres' ketimbang Nyai Silili-lilu" Sampai dia pun akhirnya 'memasrahkan' diri menjadi kekasih perempuan setengah edan" Ah, siapa yang peduli! Toh, Petaruh Sakti Perut Buncit pun memang setengah edan! Alkisah, dua manusia yang semestinya sudah masuk liang lahat itu sedang asyik bergandengan menuju Pesisir Pantai Laut Selatan. Bak muda-mudi yang dimabuk kasmaran, mereka bersenandung. Riang tidak riang, merdu tidak merdu, keduanya tidak peduli.
Padahal orang bertelinga waras justru mengira senandung mereka suara iring-iringan lebah ngamuk.
Biar saja, mungkin begitu pikir mereka. Dalam kasmaran, tak peduli tua bangka seperti mereka, dunia benar-benar bagai milik berdua. Kalau ada orang lain, cukup bayar sewa! Mereka sudah menginjakkan kaki di pantai. Jejak-jejak mereka jauh memanjang di belakang, menguntit pemiliknya.
"Apa tujuan kita ke tempat ini sebenarnya, Buncit?" tanya Nyai Silili-lilu. Disebutnya bekas kekasihnya. (Yang kini tampaknya akan menjadi kekasih kembali. Gombal)! Dengan sebutan seenak perut. Perempuan uzur macam dia memang sulit menghargai siapasiapa. Tak juga kekasihnya.
"Firasatku mengatakan aku harus segera kembali ke tempat ini."
"Ah, firasat apa"!"
"Firasat ya firasat."
"Firasat baik atau buruk, maksudku begitu brengsek!"
"Siapa peduli, mau firasat baik kek, buruk kek.
Mau firasat tai kucing kek.... He he he...!"
"Hikhikhik!" Seseorang tahu-tahu berkelebat memotong jalan mereka. Sekaligus memenggal obrolan ngawur tadi.
Angin larinya begitu kuat. Tubuh kedua bangkotan itu sampai terhuyung. Rambut Nyai Silili-lilu jadi tak karuan. Lebih tak karuan dari bongsang yang dicekeri ayam. Dedaunan di dahan-dahan pohon yang dipakai untuk menutupi tubuhnya berhamburan. Manusia tua jelek itu jadi tambah jelek saja.
"Kunyuk! Siapa yang sudah merasa punya nyali membuat perkara denganku!" semprot Nyai Silili-lilu.
Air liurnya terbang bersama bentakannya. Wajahnya terlipat. Entah berapa lipatan.
Di sebelahnya, Petaruh Sakti Perut Buncit masih saja terhuyung-huyung. Perut buncitnya tak bisa berdamai pada saat seperti itu. Dia agak kewalahan kare-na kelebihan bobot pada bagian tersebut.
Setelah berhasil menguasai keseimbangan dengan bantuan tombak bermata golok besarnya yang ditancapkan di tanah, dia berkata dengan napas terengah-engah.
"Sudah kubilang, perut sial ini dari dulu selalu bikin aku repot. Aku mau makan sedikit tapi tidak bi-sa. Kalau makanku tetap saja seperti karung bolong, mana bisa perutku menjadi kecil...."
"Diam kau, Buncit!" bentak Nyai Silili-lilu. Perempuan tua itu sedang bersiaga.
Mata kelabu yang tak kalah tajam dengan pandangan seekor rubah betina mencari-cari si pembuat ulah barusan.
"Itu tadi perbuatan siapa, heh" Berani-beraninya dia mengerjai kita!" tukas Petaruh Sakti Perut Buncit gusar.
"Apa dia ingin menantang aku bertaruh untuk mengadu kesaktian"!"
"Diam, makanya kau diam! Aku sendiri sedang mencari tahu siapa orang sialan itu!"
"Kau sudah melihatnya"!" Mata Nyai Silili-lilu melotot.
"Kalau aku sudah melihatnya, tentu saja sudah aku hajar dia! Kau ini kenapa tolol sekali!"
"Aku tidak tolol! Jangan sebut aku begitu, Sayang.... Aku cuma tersinggung karena kemesraan kita diganggu...."
"Ah, tai kucing!"
"He he he!"
"Ssst!" Nyai Silili-lilu mendekatkan jari telunjuk keriputnya ke depan bibir.
"Ada apa" Ada apa?"
"Aku mendengar suara kelebatan lagi!"
"O, itu tadi aku buang 'angin'..." Dugh! "Sial kau!" maki Nyai Silili-lilu setelah mendahu-luinya dengan sikutan keras ke udel Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Ssst!" Tanpa perlu merasakan sakit di perutnya, Petaruh Sakti Perut Buncit ganti mendesis.
"Ada apa, Buncit" Kau dengar sesuatu?"
"Kau tidak buang 'angin', kan?"
"Tidak! Perutku tidak sejenis perutmu! Kau dengar apa tadi?"
"Ada yang berkelebat ke arah kita dari timur," lanjut si tua buncit berbisik.
Keduanya segera berbalik. Dan tiba-tiba saja....
Bruk! "Kutu busuk bedebah bau congek kurang ajar! Apa-apaan kau ini, Pemuda Sial"!" maki Nyai Silili-lilu tak terputus sepanjang ular kadut. Seseorang melanggar tubuh mereka berdua. Membuat dua tua bangka itu jatuh terduduk seperti dua bocah tak berdosa di atas pasir pantai.
Pelanggarnya sendiri ikut jatuh terduduk. Napasnya masih terengah-engah kalang kabut. Orang itu ternyata Pendekar Slebor.
"Mohon beribu maaf, Uwak! Aku tadi tak melihat kalau Uwak dan Pak Tua Buncit sedang berjalan di sini...," hatur Andika sambil memperlihatkan cengiran memelas.
"Makanya kalau lari matamu dipasang di kepala, jangan di pantat!" Nyai Silili-lilu belum puas memun-tahkan kemangkelannya pada sang cicit kemenakan.
"Kalau begitu, aku mohon ber'juta' maaf, kalau 'seribu' belum cukup...." Nyai Silili-lilu bangkit terseok, masih dikawal dengan semburan mautnya.
"Jangan main hitungmenghitung! Aku bukan pedagang! Kalau kau benarbenar mau minta maaf pada uwak buyutmu, sekarang juga kau harus...."
"Cium tengkuknya!" sela Petaruh Sakti Perut Buncit, ngawur.
"Aaahhh, sudahlah!" tepis Nyai Silili-lilu.
"Pokoknya kau ingat-ingat saja, kau hutang 'kualat' padaku."
"Katanya Uwak bukan pedagang, kenapa harus pakai hutang segala?" rengek Pendekar Slebor.
"Ya, sudah. Kalau begitu lunas!" Andika bangkit dengan perasaan lega. Asal uwak buyutnya bisa melupakan kesalahannya, dia sudah lega "Sayang, bantulah aku bangkit...," rayu Petaruh Sakti Perut Buncit, belum bisa mengangkat tubuhnya dari pasir.
"Minta tolong saja sama dedemit!" ketus si perempuan uzur.
Terpaksa Petaruh Sakti Perut Buncit bangkit sendiri. Padahal dia bukannya tak bisa bangkit sendiri.
Sebagai seorang yang baru resmi menjadi kekasih kembali, pantas untuk meminta sedikit kemanjaan.
Tapi, yang didapat malah kemangkelan.
"Memangnya kenapa kau lari-lari seperti setan te-lat buang hajat begitu, heh?" tanya Petaruh Sakti Perut Buncit kemudian.
"Aku sibuk melihat ke belakang, jadi aku tak melihat ada kalian berdua di depan," jawab Andika. Kepalanya menoleh kembali ke arah timur. Dia masih khawatir Amitha masih mengejarnya.
"Bukan itu yang kutanyakan! Maksudku, kenapa kau lari" Apa kau mengejar sesuatu atau ada yang mengejar?"
"Tentu saja. Apa aku sudah sinting lari-lari tanpa maksud?"
"Jadi kau mengejar sesuatu?" Pendekar Slebor menggeleng. Lagi-lagi dia sibuk menoleh ke arah timur.
"Kau ada yang mengejar?" susul Petaruh Sakti Perut Buncit.
Andika mengangguk.
"Kau ada yang mengejar?" ulang Nyai Silili-lilu, nimbrung.
"Apa aku tak salah dengar" Sejak kapan keturunan keluargaku jadi pecundang" Sejak kapan keturunan keluargaku jadi pengecut hingga meski dikejar-kejar" Sejak kapan...."
"Cukup, Uwak!" sergah Andika. Otaknya bisa lebih keruh dari empang kalau uwak buyutnya mencerocoskan kata sejak kapan....
Nyai Silili-lilu baru mau hendak memaki. Meski mata kelabunya sudah mendeliki Andika, caci makinya dipenggal pertanyaan Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Kalau kau sedang dikejar, jadi siapa yang lari sebelum kau?"
"E, iya... ya...," gumam Nyai Silili-lilu, lupa pada kedongkolannya.
"Apa maksud kalian?" Andika ingin kejelasan.
"Sebelum kau melanggar kami, ada seseorang berlari melewati kami. Ilmu lari cepatnya lumayanlah.
Kalau kuhitung-hitung, pasti akan seru kalau aku bertaruh untuk adu kesaktian dengannya. Mungkin...." Andika pening mendengarkan ucapan ngalorngidul tak perlu si tua bangka berperut buncit.
"Sebentar! Sebentar, Pak Tua Buncit!" tahan Andika.
"Kau dulu pernah bilang kalau di tempatmu kau menyimpan beberapa kitab sakti yang belum kau pelajari?"
"Benul, eh benar... eh, betul, maksudku benar dan betul!"
"Lalu kau bilang juga ketiga murid murtadmu berhasil masuk ke ruang rahasia penyimpanan kitabkitab itu, bukan?"
"Bukan, eh betul lagi!"
"Ke mana arah tempatmu?" cecar Andika.
Petaruh Sakti Perut Buncit menunjuk ke utara.
"Lalu ke mana arah kelebatan orang tadi?" lanjut Andika cepat.
Sekali lagi Petaruh Sakti Perut Buncit menunjuk arah utara.
"Apa kau tak curiga...." Ucapan terakhir Andika segera diserobot Petaruh Sakti Perut Buncit dengan teriakan serak memelas.
"Wadow, orang itu mungkin salah seorang yang ditarik ketiga murid murtadku untuk membentuk Perserikatan Setan! Dan... tiga murid sial itu pasti sudah membocorkan tempat rahasia milikku!"
"Itu maksudku, Pak Tua Buncit!" sambar Andika.
"Nyok... nyok... mending kita kejar saja itu orang, ketimbang kau merengek jelek seperti itu, Buncit!" usul Nyai Silili-lilu.
Mereka bergegas menggenjot kemampuan lari cepat mereka. Seperti tiga ekor dedemit... kecepirit!



Ò´Ò´{ 3 }Ò´Ò´

Di tepi Kadipaten Karang Gantung, di tengah hutan karet, sedang terjadi perang mulut antara dua orang berbeda. Satu pihak adalah Katak Merah. Sedang yang lain Mata Dewa Kematian. Mereka samasama ngotot, sama-sama bersikeras dengan pendapat masing-masing. Wajah keduanya sudah menampakkan tanda-tanda akan meledaknya pertarungan.
Beberapa hari setelah pertemuan rahasia sembilan tokoh sesat dunia persilatan di batas Kadipaten Karang Gantung, masing-masing pihak yang tersangkut mulai menyusun rencana besar yang bisa membuat satu kegemparan hebat dunia persilatan.
Dalam hal ini, Pangeran Neraka mengajukan diri secara bersemangat untuk menyusun rencana awal.
Yang lain cukup menanti hasil di tempat masingmasing. Hal seperti itu tentu saja tak begitu saja diterima oleh para tokoh sesat sekelas Tiga Datuk Karang dan si Gila Petualang.
Meski dalam pertemuan telah disepakati Pangeran Neraka yang memiliki keenceran otak cukup diandalkan untuk menghasilkan satu rencana besar, Tiga Datuk Karang diam-diam melaksanakan rencana mereka sendiri. Awalnya ketika mereka melihat kalung yang dimiliki Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian.
"Kau lihat kalung yang dikenakan Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian?" bisik Datuk Kening Merah, orang tertua di antara ketiga dedengkot kembar itu. Saat itu mereka mengadakan pertemuan diam-diam di tengah malam, sehari setelah pertemuan rahasia di atas Kadipaten Karang Gantung.
Dua saudara kembarnya, Datuk Kening Ungu dan Datuk Kening Perak hanya mengangguk samar.
Dari wajah ketiganya, tampak kesan bahwa mereka sedang membicarakan satu masalah yang benar-benar mengusik mereka. Ada sesuatu yang diketahui mereka tentang kalung yang dimaksud.
"Petaruh Sakti Perut Buncit. Tampaknya para pemilik kalung mengenal keparat buncit itu," desis Datuk Kening Perak, orang termuda di antara mereka.
"Ya, kemungkinan besar buncit keparat itu telah menampakkan batang hidung pula seperti kita..."
"Apa alasannya muncul kembali" Apa kalian tidak bertanya-tanya dalam hati" Dia tak mungkin mau muncul begitu saja tanpa alasan jelas...," timpal Datuk Kening Ungu.
"Itulah yang mengusik pikiranku. Mungkinkah dia telah mengetahui kemunculan kembali kita, lalu dia pun ikut turun ke dunia persilatan?" susul Datuk Kening Merah.
"Keparat itu selalu saja jadi penghalang besar ba-gi kita! Seperti juga Saptacakra dan Nyai Silili-lilu lak-nat!" dengus Datuk Kening Perak, sarat kegeraman.
"Aku tak yakin dia sudah mengetahui kemunculan kita kembali. Dan Pendekar Lembah Kutukan busuk itu pun aku yakin belum mengetahui. Kalaupun si buncit itu muncul juga, aku yakin dia punya alasan tertentu," simpul Datuk Kening Merah.
"Bagaimana dengan kedua pemilik kalung itu" Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian" Apakah mereka murid-murid si Buncit" Mungkinkah mereka berpura-pura menyusun rencana besar untuk kita, padahal mereka sengaja memancing kita keluar agar nanti kita berhadapan dengan si Buncit."
"Tak mungkin. Kau tahu sendiri, orang seperti si Buncit dan Saptacakra tak akan bertindak jika merasa tak perlu bertindak," sangkal Datuk Kening Merah pa-da pendapat adik bungsunya.
"Bagaimana kalau si Buncit hanya ingin menantang kita bertanding untuk satu pertaruhan?"
"Itu pun tidak mungkin!" sentak Datuk Kening Merah. Entah bagaimana ketika pertanyaan terakhir adiknya terangkat ke permukaan, bersama dengan itu, terungkit pula kegusarannya. Tapi, kedua saudara kembarnya tampak tahu jelas kenapa hal itu terjadi.
"Karena kita tak punya kitab sakti yang bisa di-pertaruhkan kembali! Kau ingat" Bahkan kitab sakti ilmu 'Karang Pamungkas' milik kita, satu-satunya benda paling berharga yang belum lagi kita pelajari, sampai sekarang masih berada di tangannya. Si Buncit keparat telah memenangkan pertaruhan waktu itu! Padahal kitab itu berisi pamungkas kesaktian karang kita.... Ibarat elang, kita belum punya cukup bulu sayap untuk terbang, tanpa kitab itu!"
"Tanpa menyelesaikan isi kitab itu, kemungkinan kita makin kecil untuk memenangkan pertarungan menghadapi si Buncit atau Saptacakra!" Datuk Kening Ungu ikut merutuk.
"Itulah sebabnya, aku memutuskan untuk memenuhi undangan pembentukan Perserikatan Setan.
Aku berharap kita mendapat satu jalan untuk menyingkirkan si Buncit, Ki Saptacakra, dan Nyai Silili-lilu!" Mata berurat merah Datuk Kening Perak mendadak berbinar.
"Kini, tampaknya kita bisa mendapatkan kembali!" cetusnya. Ada sesuatu yang terbersit dalam benak dedengkot satu itu.
Kedua saudara seperguruannya menoleh.
"Jelaskan maksudmu!" pinta Datuk Kening Merah.
"Kalau benar dua orang pemilik kalung itu memiliki hubungan dengan si Buncit, tentunya kita bisa mengorek keterangan pada mereka di mana buncit keparat itu menyimpan kitab pamungkas kita!" Lalu, malam itu pula mereka mendatangi Mata Dewa Kematian dan Dewi Kecubung. Jika perlu, ketiganya akan menculik mereka. Tapi, Tiga Datuk Karang tak menemukan kedua orang itu di bangunan tua, markas sementara mereka.
Pada saat yang sama, Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian rupanya sedang membicarakan siasat untuk menyingkirkan Pendekar Slebor, salah seorang penghalang besar pergerakan mereka.
Kebetulan yang mereka temui cuma Katak Merah. Mereka ingat bahwa lelaki cebol itu pernah diper-kenalkan Dewi Kecubung sebagai saudara perguruan.
Kemudian mereka pun mulai mengorek keterangan.
"Kau tak bisa seenaknya menunjukkan tempat rahasia penyimpanan pusaka milik guru kita!" bentak Mata Dewa Kematian pada si manusia bertubuh kerdil, Katak Merah.
"Dia bukan lagi guru kita! Kau harus ingat itu," bantah Katak Merah mengkelap, semengkelap lawan perang mulutnya.
"Lagi pula, apa perlunya lagi kita melindungi kepentingan tua bangka berperut besar itu"! Bukankah kita memang sudah murtad"! Kita akan dipenggal kalau sampai tertangkap olehnya. Kau pikir dia akan menghukum kita dengan menjewer telinga kita"!" gempur Katak Merah, sampai tubuhnya berjingkat-jingkat.
"Aku bukan mempermasalahkan tua bangka itu, bodoh! Yang ku permasalahkan, bagaimana kalau beberapa kitab sakti itu jatuh ke tangan Tiga Datuk Karang!" Belum lama, Katak Merah kedapatan sedang memberitahukan rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pusaka milik Petaruh Sakti Perut Buncit pada Ti-ga Datuk Karang. Padahal kakak seperguruannya, Mata Dewa Kematian sudah mengingatkan untuk menutup mulut tentang hal itu.
Katak Merah berpikir, kalau ketiga musuh lama Pendekar Lembah Kutukan yang lama tak muncul di dunia persilatan itu diberitahu, tentunya mereka akan lebih cepat mencapai tujuan membangun satu kekuatan golongan sesat. Sebab, dengan begitu mereka makin per....
"Apa maksudmu" Biarkan saja mereka mendapatkan kitab-kitab itu!"
"Bagaimana kalau mereka berkhianat pada seluruh rencana kita" Apa kau telah yakin mereka tetap akan mendukung terus rencana kita" Bagaimana kalau mereka cuma menginginkan kematian Pendekar Slebor dan seluruh keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Setelah itu, mereka akan menusuk kita dari belakang"!"
"Jangan berpikiran picik seperti itu, Kang!"
"Picik bagaimana"!"
"Justru dengan cara itu, kita dapat mengikat mereka. Mereka akan merasa yakin kalau kita sungguhsungguh ingin memadukan kekuatan terhadap mereka. Mereka jadi lebih percaya pada kita!"
"Ah, omong kosong! Kau pikir, kenapa mereka dianggap sebagai orang-orang golongan sesat" Karena sikap mereka memang sikap sesat. Orang-orang sesat seperti kita semestinya tak perlu diberikan kepercayaan sepenuhnya."
"Kalau begitu, kau pun pasti tak sepenuhnya mempercayaiku. Begitu, Kang" Kau pun pasti akan selalu siap menghantamku, karena kau setiap saat selalu mencurigaiku."
"Bangsat! Kau benar-benar tak bisa kuajak berpikir matang! Otakmu memang kerdil seperti tubuhmu!" Mendengar makian keterlaluan kakak seperguruannya, Katak Merah mulai mengkelap.
"Jangan sembarangan bicara, Kang! Biar kau pernah menjadi kakak seperguruanku, aku mampu merobek bacotmu itu!"
"Keparat kerdil! Kau menantangku, rupanya!"
"Kalau itu anggapanmu, maka aku jawab ya!" tantang Katak Merah, makin dianggap menginjak kepala Mata Dewa Kematian yang merasa lebih tua sela ku kakak seperguruan.
"Bangsat.... Hiah!" Dua saudara seperguruan itu akhirnya memulai baku hantam. Mata Dewa Kematian mengirim satu tendangan samping teramat keras ke kepala saudara seperguruannya.
Dengan tubuh sependek itu, tentu saja Katak Merah tak mengalami kesulitan berarti menghindari hantaman punggung kaki Mata Dewa Kematian. Cukup hanya dengan merundukkan badan sedikit, sapuan kaki itu pun luput.
Secepat juluran lidah katak menyambar serangga, cengkeraman Katak Merah terlepas ke selangkangan Mata Dewa Kematian.
Crep! Terdengar bunyi santer menggebuk nyali. Mata Dewa Kematian berhasil menghindar ke belakang dengan sekali jumpalitan. Suara tadi tercipta bukan kare-na cengkeraman Katak Merah mengenai sasa-ran, melainkan suara kekuatan jari-jari tangan milik Katak Merah yang melakukan remasan teramat kuat. Jika 'kantong menyan' Mata Dewa Kematian terkena, tidak disangsikan lagi dia akan kehilangan kejantanan untuk selamanya.
"Khrh... krok!" Karena serangan baliknya tak mengenai sasaran, kegusaran Katak Merah membludak ke ubun-ubun.
Dia memburu tubuh Mata Dewa Kematian ganas. Tubuhnya membungkuk lalu cepat melayang ke depan seperti gerakan melompat seekor katak.
Dengan kepala merunduk, Katak Merah mencoba menanduk punggung Mata Dewa Kematian yang sedang berjumpalitan.
Merasa ada angin kuat mengarah ke dirinya dari belakang, dengan lincah dan gerakan yang cukup sulit dilakukan pada posisi terbaliknya, Mata Dewa Kematian membuat putaran tangan di udara.
Wukh! Bagai sayap kincir angin terlepas dari rangkanya, tubuh Mata Dewa Kematian berputar dalam keadaan terbalik di udara.
Dash! Terjadi benturan hebat antara kening Katak Merah dengan telapak tangan Mata Dewa Kematian. Akibatnya, dua saudara seperguruan itu terpental deras ke belakang. Sesungguhnya, tampak jelas bagaimana hebatnya kealotan kulit kepala dan kekokohan tengkorak Katak Merah. Hantaman telapak tangan Mata Dewa Kematian mengandung tenaga dalam tingkat tinggi yang dapat menggempur hancur batang pohon jati besar. Yang dialami Katak Merah ternyata tak separah batang pohon jati. Dia hanya melayang jauh dan terpuruk sekitar delapan tombak ke belakang. Dahandahan pohon meranggas terkena terjangan tubuhnya.
Sebagian pakaian lelaki cebol itu terkoyak-moyak. Di lain pihak, Mata Dewa Kematian terdorong tak kalah jauh. Tanpa mengalami luka berarti, keduanya menyentak tubuh dari tanah. Mereka bangkit dengan kesiapan masing-masing.
"Tunggu!" cegah Mata Dewa Kematian tiba-tiba.
Katak Merah menggeram. Terdengar bagai suara katak yang hendak melakukan perkawinan.
"Kenapa" Apa kau takut mati membawa malu kalau aku bisa mengalahkanmu!" Mata Dewa Kematian tak mempedulikan cemoohan barusan. Matanya tegas-tegas mengarah pada bagian bawah leher adik seperguruannya.
"Ke mana kalungmu"!" tanyanya dengan wajah diselubungi waswas memuncak.
Tak ada kecurigaan sedikit pun di dalam diri Katak Merah. Bisa saja timbul prasangka kakak seperguruannya akan mengelabui. Jika dia lengah sedikit, maka Mata Dewa Kematian akan segera melancarkan serangan mendadak. Tapi, Katak Merah tahu benar watak kakak seperguruannya. Mata Dewa Kematian bukanlah sejenis orang yang pandai berpura-pura.
Maka, Katak Merah cepat melirik ke arah yang dimaksud. Dia tak kalah terperangah menyaksikan kalungnya telah tiada lagi di tempat.
Cepat pula, matanya menjadi nyalang. Pandangannya menebar kian kemari mencari-cari sesuatu seakan yang dicarinya adalah potongan jiwa sendiri.
Seperti halnya Katak Merah. Mata Dewa Kematian melakukan hal serupa. Dia turut mencari-cari.
Semak disibak kasar, rumput ditendangi. Yang dicari tak diketemukan.
Sampai akhirnya keduanya berhenti. Mereka saling menatap.
"Kau melihat kalungku terlepas"!" tanya Katak Merah nanar.
"Aku tak tahu!" Mata Dewa Kematian, terlihat se-panik adik seperguruannya.
"Yang jelas kalung itu tidak jatuh di sekitar sini...," tambahnya.
"Bagaimana mungkin kalung itu bisa raib begitu saja?" geram Katak Merah. Paras wajahnya sudah mirip orang dijemput sakaratul maut. Sebab yang kini hilang bukan benda biasa. Bukan! Melainkan....

***

Ò´Ò´{ 4 }Ò´Ò´

"Kejar! Kejar! Yang cepat larinya, Buncit Slompret!" Nyai Silili-lilu memakimaki serampangan selagi berlari mengejar orang yang melewati mereka. Meski sampai saat itu belum tampak sosok kelebatan yang dikejar, sikap si perempuan uzur itu sepertinya sudah melihat di depan jidat.
Tinggal Petaruh Sakti Perut Buncit kelimpungan di belakang. Cara berlarinya benar-benar kalangkabut. Maklum dia harus berurusan dengan perut 'hamil tua'-nya. Jadilah dia berlari dengan perut te-rayun-ayun. Terlihat seperti anggukan kepala gajah tak berotak. Dia memang tokoh jajaran atas yang setaraf dengan Pendekar Lembah Kutukan. Tapi dalam soal lari cepat, entah kenapa justru jadi masalah mana besar bagi dirinya. Padahal, peringan tubuhnya tergolong sulit dicari tandingan.
Aneh juga kalau begitu. Apa mungkin, perutnya semacam 'benda kualat', yang tak mau berdamai meski dengan kemampuan peringan tubuh yang demikian hebat. Atau jangan-jangan, dia benar-benar membawa bayi dalam perutnya" Siapa tahu dia tak ingin bayinya celaka" Yah, siapa yang tahu....
"Tunggu aku! Hoooiii, tunggu aku!" teriak Petaruh Sakti Perut Buncit. Tombak bermata golok besarnya teracung-acung ke atas. Sebelah tangan yang lain terayun-ayun di udara, meminta untuk ditunggu.
Nyai Silili-lilu dan Pendekar Slebor di depan sana seperti tak punya perasaan. Mereka tak mempedulikan Petaruh Sakti Perut Buncit.
Pendekar Slebor sendiri sebenarnya telah mengerahkan segenap kemampuan peringan tubuh warisan buyutnya. Dia pikir, akan bisa menandingi kecepatan lari si perempuan bungkuk peot. Nyatanya, dia tetap saja tertinggal di belakang. Itu yang namanya takdir barangkali. Takdir yang menentukan Pendekar Slebor harus selalu 'nunut' pada Nyai Silili-lilu. Sebab dengan tingkat kesaktian di atas Andika, si pemuda itu tak bi-sa berbuat banyak menghadapi tingkah tengik uwak buyutnya. Bertingkah sedikit saja, kalau tidak benjut ya kualat! Di belakang sana, Petaruh Sakti Perut Buncit masih bisa-bisanya terkentut-kentut. Masih bagus kalau 'gas buangan'-nya dapat membantu mendorong gerak larinya! Sekitar sepenanakan nasi ketiga 'makhluk' aneh itu berlari, akhirnya orang yang dikejar tampak juga di kejauhan.
Syukur pikir Pendekar Slebor. Sebab makin lama mereka berlari seperti itu, makin congkak saja uwak buyutnya pamer kehebatan peringan tubuh.
"Lho, kau Saptacakra iler"! Dikira siapa"! Slompret benar kau, ah!" sembur Nyai Silili-lilu begitu tiba di dekat orang yang dikejar.
Ki Saptacakra sendiri sudah menghentikan langkahnya. Semestinya, akan butuh waktu berhari-hari atau mungkin berminggu-minggu untuk mengejar orang sekelas dedengkot dunia persilatan seperti dia, meski Nyai Silili-lilu adalah kakak perempuannya sendiri. Kalau kejar-kejaran selama itu, apa tidak seru jadinya" Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan, buyut Pendekar Slebor memang tak berniat menggenjot larinya lebih jauh. Dia sengaja memperlambat agar jarak ketiga pengejar dengan dirinya jadi cepat me-nyempit.
Belum-belum, Ki Saptacakra sudah mulai lari lagi. Sekarang dia tak ingin memperlambat gerak larinya.
Seperti semula, dia mengempos lagi kemampuan peringan tubuhnya sampai titik darah penghabisan, eh...
sampai titik puncak! Napas Senin-Kamis Petaruh Sakti Perut Buncit tersedak seketika. Dia harus mulai berlari lagi kalau tak ingin kehilangan 'kekasih tercinta' yang sudah pula mengekori Ki Saptacakra. Kasihan.... Mudahmudahan dia mati di jalan, ketimbang tersiksa terus seperti itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Iler!" seru Nyai Silili-lilu pada si tua sakti Pendekar Lembah Kutukan. Enak saja dia menyebut tokoh yang sudah menjadi semacam cerita rakyat seperti Pendekar Lembah Kutukan dengan panggilan seenaknya.
"Nanti juga kau tahu!" sahut Ki Saptacakra.
"Nanti kapan"!"
"Sehabis kiamat! Ah, kenapa kau tak menyumpal saja mulut cerewetmu itu!"
"Aku tak bisa! Itu memang sudah kodratku!" Ki Saptacakra tak mempedulikan lagi. Dia terus berlari. Di belakang Nyai Silili-lilu, Pendekar Slebor berlari dengan kepala dipenati pertanyaan-pertanyaan. Apa maunya Ki Buyut sebenarnya" Lalu kenapa tiba-tiba seperti ada pertemuan keluarga dengan acara lari-lari layaknya sekumpulan orang sinting" Benar-benar brengsek mereka, gerutu anak muda itu dalam hati.
Bagaimana tidak, kalau dia terpaksa harus turut iring-iringan lari cepat tanpa juntrungan di sepanjang garis pesisir Pantai Laut Selatan" Sekian lama melanjutkan lari, Pendekar Lembah Kutukan baru berhenti. Tak terlihat kalau tokoh bangkotan itu terengah-engah.
Tua-tua, dia tetap 'kuda' Lho, kuda saja masih terengah-engah! Menyusul berhentinya Ki Saptacakra, Nyai Sililililu, Pendekar Slebor dan Petaruh Sakti Perut Buncit pun berhenti. Pasir bertebaran terkena sentakan kaki-kaki mereka karena terlalu mendadak mengerem tu- buh. Mereka tiba di sisi selatan batu karang. Di tengah-tengah batu karang sebesar bukit kecil itu terdapat gua kecil hanya selebar tubuh manusia.
"Cepat katakan padaku, Iler! Sebenarnya apa yang tengah kau kejar" Kalau tidak cepat kau katakan, aku akan menggebukimu dari ubun-ubun sampai ma-ta kaki! Mengerti"!" omel Nyai Silili-lilu pada sesepuh dunia persilatan itu.
"Aku sengaja datang ke tempat ini karena...."
"Eh, bukankah ini tempat pertapaanku?" sela Petaruh Sakti Perut Buncit, baru menyadari di mana dirinya berhenti. Semenjak tadi, rupanya dia hanya sibuk mengipasi perutnya yang dikuyupi keringat dengan telapak tangan.
"Itu maksudku, Buncit! Aku harus segera memeriksa tempat pertapaanmu!" tukas Ki Saptacakra.
"Lho, bukankah kau Saptacakra?" ujar Petaruh Sakti Perut Buncit, lagi-lagi dia ketinggalan kereta.
"Mau apa kau berlari-lari seperti itu" Celaka kau! Apa kau sudah kehilangan akal sehat"!"
"Aku mesti memeriksa tempatmu!" ulang Pendekar Lembah Kutukan, kesal.
"Mau apa memeriksa tempatku?"
"Nanti saja kujelaskan! Sekarang sebaiknya kita cepat masuk ke dalam gua!" penggal Ki Saptacakra.
Petaruh Sakti Perut Buncit meringis. Biarpun dia baru saja mengatakan kalau tempat tersebut adalah tempatnya, tapi soal masuk ke gua, tunggu dulu! Perutnya tak memungkinkan untuk melakukan hal itu.
Aneh juga. Tempat sendiri, tapi kenapa menyusahkan" Sambil menggelengkan kepala, Petaruh Sakti Perut Buncit menggerutu, "Sudah puluhan tahun aku tak pernah masuk ke dalam gua itu lagi. Dulu, perutku masih tak sebesar ini. Sekarang, kalau mau masuk ju-ga aku pasti harus meninggalkan sebagian perutku di luar!"

***

Tiga hari yang lalu.
Sang sesepuh dunia persilatan, Ki Saptacakra berjalan menyusuri sungai yang bersambung dengan telaga di sekitar wilayah Kadipaten Karang Gantung.
Selaku orang yang mencapai taraf makrifat dalam kebatinan, lelaki tua itu merasakan dorongan yang kuat dalam hatinya untuk pergi ke sekitar wilayah tersebut.
Dorongan kata hati seperti itu, biasanya merupakan pertanda sesuatu yang belum terjelaskan. Orang setua dia, tentunya sudah bisa mengenai setiap tanda-tanda dalam dirinya. Karena itu, Ki Saptacakra segera berangkat ke sekitar wilayah tersebut.
Seharian dia mengitari wilayah sekitar telaga Kadipaten Karang Gantung, tak juga ditemukan sesuatu yang mungkin mengusik hatinya. Sewaktu dia mencoba menyusuri sungai kecil yang bersambung dengan telaga, dia menemukan secarik kain tersangkut di batu sungai. Perhatiannya tersedot pada benda tersebut.
Dihampiri, lalu diambilnya sobekan kain itu.
Di atas kain yang masih basah itu, Pendekar Lembah Kutukan menemukan satu tulisan dengan menggunakan getah sejenis pohon. Tampaknya surat tersebut dibuat begitu tergesa-gesa dan dalam keadaan amat lemah. Terlihat sekali dari guratannya yang begitu berantakan dan bergelombang.
Siapa pun yang menemukan surat ini, kuharap dia adalah warga persilatan golongan lurus.
Aku cuma seorang pendatang dari negeri jauh yang hendak mengadu nasib di tanah Jawa. Beberapa hari lalu, tanpa sengaja aku mendengar tiga orang melaksanakan pertemuan rahasia. Seorang wanita cantik dan lainnya lelaki. Salah satu lelaki memiliki tubuh kerdil. Mereka rata-rata berusia sekitar empat puluhan. Ketiganya mengenakan kalung. Mata kalung terbuat dari ujung tanduk rusa. Benda itu sebesar jari telunjuk ber-bentuk pipih setengah lingkaran dan memiliki lubang di satu sisinya.
Kudengar mereka akan merencanakan pembentukan Perserikatan Setan yang anggota-anggotanya adalah tokoh-tokoh atas golongan sesat. Samar-samar, aku mendengar beberapa nama disebutkan. Ada Tiga Datuk Kar...
Hanya sampai di situ bunyi surat tersebut. Tampaknya, si pembuat surat tak punya cukup tenaga lagi untuk mengguratkan katakata di atas kain.

***

Kurang lebih seabad lalu, hidup seorang pendekar muda dari Puncak Gunung Tangkuban Perahu, Tanah Parahiyangan. Untuk pertama kalinya dia turun gunung. Selama tiga tahun terakhir, dia berdiam diri di puncak gunung tersebut.
Berguru dengan seorang pe-tapa sakti mandraguna yang tak pernah dikenal nama dan julukannya dalam hingar-bingar dunia persilatan.
Bahkan, si murid sendiri hingga turun gunung tak juga mengetahui nama sesungguhnya. Dia hanya ingin dipanggil Eyang. Itu saja.
Gurunya memerintahkan si pendekar muda untuk memperdalam kesaktian kanuragan dan kedigdayaan dengan bertapa selama dua belas purnama di tepi Sungai Citarum.
Pada kala itu, Sungai Citarum tak pernah bebas dari satronan kawanan binatang buas. Buaya, ular sungai, atau macan Jawa setiap saat bisa muncul di tepinya. Tak peduli siang, atau malam. Tak pandang panas hujan. Menurut rakyat sekitar, sebagian hewanhewan tersebut malah merupakan makhluk jejadian, lelembut hutan yang berubah wujud menjadi binatang buas penunggu sungai.
Tanpa pernah merasa gentar akan segala cerita dan segala ancaman kebuasan hewan-hewan liar di sekitar sungai, pemuda itu menjalankan tapanya. Tepat di tepian berbatu rendah, dia duduk bersila, bersedekap dan memejamkan mata selama berhari-hari.
Belum lagi memulai pertapaan, si pendekar muda sudah didatangi sekawanan buaya. Seolah Joko Tingkir, pemuda itu harus menghadapi serbuan buayabuaya lapar. Sementara modalnya cuma sepotong bambu panjang yang diberikan Eyang Petapa. Ilmu kanuragan yang pernah diturunkan olehnya dilarang dipergunakan. Tentu saja perbuatan itu dilakoni, mengingat pesan Eyang Petapa adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi.
Mati-matian pemuda itu mengusir gerombolan buaya lapar. Perjuangan yang menghabiskan waktu dua harian penuh. Sekaligus menguras tenaganya. Belum lagi luka-luka di sekujur tubuhnya.
Dalam keadaan penuh luka, dalam keadaan demikian letih serta lemah, pemuda itu tak pernah terpikir untuk membatalkan niat.
Dia memulai masa tapanya hari itu juga. Dengan luka-luka menganga di beberapa bagian tubuhnya, dengan sisa tenaga. Namun dengan semangat yang tetap membukit di hatinya. Sepekan berlalu. Tak pernah terjadi apa-apa selama itu. Pada awal hari di pekan kedua, si pendekar muda berhati baja mendapat uji kembali.
Dalam kekhusuan tapanya, dia merasakan ada sesuatu bergerak-gerak tepat di bawah tempatnya bersila. Semacam gerakan bergeliat halus tubuh-tubuh panjang menjijikkan. Mula-mula gerakan tersebut hanya samar-samar. Selanjutnya semakin terasa jelas.
Ketika geliatan-geliatan di bawahnya makin bergerumbul, dirasa tubuhnya terangkat sedikit demi sedikit. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi, dia belum lagi mengetahui. Namun, ada semacam pikiran mengusik, kalau geliatan-geliatan yang sedang berlangsung di bawah silanya adalah gerak gerombolan ular-ular liar.
Pikiran yang semestinya tak dibiarkan menjadi liar pada saat dia harus memusatkan segenap rasa dan karsanya ke satu titik dalam diri menjadi semakin liar ketika telinganya sayup-sayup menangkap desisan ramai.
Pemuda itu makin yakin di bawah tubuhnya kini ada gerombolan ular-ular besar. Mereka datang entah dari mana. Tiba-tiba saja menyelusup ke bawah silanya, dan berkumpul hingga mengangkat tubuhnya.
Kesadarannya cepat memperingatkan akan satu hal. Bahwa dirinya sedang dalam masa pertapaan. Apa pun yang terjadi, dia sebaiknya tidak mempedulikan.
Sebab jika dia membuka mata sedikit saja, atau lebih lama terusik kekhusuannya, maka usahanya selama ini akan gagal. Hancur tanpa hasil seperti asap tersapu angin.
Kemungkinan besar, seluruh ular-ular liar itu hanyalah salah satu cobaan. Tampaknya cobaan untuk bisa lulus dalam tapa telah dimulai. Dan ular-ular itu tentu cuma bayangan yang bermain di benaknya dan mencoba mengusik perasaan serta pikirannya. Tapi, bagaimana dia bisa mengetahui kalau ular-ular itu cuma bayangannya" Bagaimana kalau ternyata ular-ular itu ternyata sungguhan" Lebih gawat lagi, bagaimana kalau mereka tergolong berbisa" Tanpa mempedulikan ketakutan yang meruyak langsung dari dalam dirinya, pemuda itu melawan seluruh ketakutan dalam dirinya. Dia tak ingin tapanya gagal. Apa pun yang terjadi, dia tak ingin gagal. Lagi pula, kalaupun ternyata binatang-binatang yang sibuk melata di bawahnya memang gerombolan ular sungguhan, toh dia tak akan diserang selama tubuhnya tetap tak bergeming.
Perjuangannya untuk memusatkan kembali rasa dan karsanya mendapat tantangan lebih besar manakala dirasa tubuhnya mulai beringsut ke arah sungai.
Apa-apaan ini" Terbetik rasa, ketidak mengertian dalam dirinya. Bagaimana mungkin gerombolan ular dapat bergerak begitu rupa ke satu arah, membuat tubuhnya terikut gerakan mereka" Apakah dugaannya meleset" Mungkinkah makhluk-makhluk menjijikkan yang bergerak-gerak di bawahnya bukan kawanan ular" Jangan terusik! Tetap bertahan pada kekhusukanmu! Hati kecilnya memperingati. Sentakan kata hatinya menyadarkan si pemuda untuk berkutat kembali mengerahkan segenap kekuatan batin untuk mengembalikan kekhusuannya.
Semuanya tetap tidak menjadi mudah.
Gerakan makhluk-makhluk panjang di bawahnya terus beringsut dengan gerak pasti ke arah sungai.
Kekhusuan si pemuda terusik lagi. Barangkali aku memang telah memasuki masa cobaan" Pikirnya.
Padahal pikiran yang terbetik selintas seperti itu dapat membuat tapanya gagal jika terus saja dibiarkan menjadi liar tak terkendali. Lalu dia berjuang lagi untuk kembali ke kekhusuannya.
Tantangan makin memberat manakala si pemuda merasakan bagian bawah tubuhnya mulai diserbu rasa dingin. Air sungai pada malam hari memang terasa amat dingin. Dan tubuhnya kini telah mencapai bibir sungai. Makhluk-makhluk yang bergeliat-geliat di bawahnya telah membawa dia sampai di sana! Astaga, apa yang akan terjadi pada diriku" Mestikah aku meneruskan tapa, atau membatalkannya" Jika tapa kuteruskah, apa yang nanti bakal terjadi" Segala usikan pertanyaan dalam hati segera diberangusnya kembali. Dipatrinya tekad sekali lagi, apa pun yang terjadi, dia harus tetap meneruskan tapa! Rasa dingin yang menyerang seluruh bagian kakinya kini merambat naik ke batas pinggang. Gerakangerakan makhluk-makhluk di bawahnya masih samar dirasakan. Lalu rasa dingin yang berasal dari air Sungai Citarum naik terus ke batas dada, leher dan akhirnya wajahnya.
Benak si pemuda kini bukan lagi diusik oleh seruntun pertanyaan, melainkan sudah muncul pula kepanikan dalam dirinya. Kalau dia terus diam, maka dia akan mati tenggelam. Jalan yang terbaik baginya adalah segera membatalkan tapa. Dengan begitu, nyawanya akan selamat.
Kepanikan yang mencoba merapuhkan tekadnya ditebas oleh peringatan hati kecil. Jangan bodoh! Teruskan tapamu! Bagaimana kalau semua itu cuma cobaan" Kalau benar ujian, maka kau akan gagal saat kau membuka mata! Si pemuda memutuskan untuk tetap diam Tetap memejamkan mata, tetap dalam posisi bersemadi. Apa pun yang terjadi, tapanya harus diselesaikan. Jika perlu, mati pun akan dihadapinya! Penguatan tekad kembali itu membawa hasil. Si pemuda tetap tak bergeming dari posisi semula. Sementara rasa dingin kini tuntas menyerang seluruh bagian kulitnya. Tak terkecuali kulit kepalanya. Dia telah tenggelam! Tak begitu lama, dialaminya tekanan air sungai.
Dia merasakan tubuhnya melayang turun perlahan ke dasar Sungai yang dalam. Turun dan terus turun. Tak ada lagi geliat tubuh-tubuh panjang di bawah posisi silanya yang tak berubah.
Digantikan dengan tekanan air yang menyesakkan dada. Lubang telinga dan hidung pun mengalami hal serupa.
Sempat terbersit dalam pikirannya, kalau semua itu semata ujian yang datang ke dalam perasaan dan pikirannya semata tentu dia masih bisa bernapas.
Mungkin saja sebenarnya dia masih duduk di tepi sungai. Namun karena cobaan itu, dia merasa telah tenggelam dalam sungai. Karena itu dia menjajal menarik napas. Namun dugaannya meleset. Begitu pernapasannya mencoba menghirup udara, yang masuk justru air. Tak mau mengambil resiko paru-parunya kerasukan air dan mati karenanya, si pemuda secepatnya membatalkan niat menarik napas. Ditahannya paruparu. Keraguan mengusiknya untuk ke sekian kali. Benarkan dia dalam ujian" Semuanya begitu terasa nyata. Jangan-jangan dia memang benar-benar tenggelam.
Kalau dia mati, maka bukan cuma tapanya yang gagal, tapi dia pun akan kehilangan nyawa. 'Sudah jatuh ter-timpa tangga pula' kalau begitu! Dan untuk yang ke sekian kalinya keraguan itu dilawannya sekeras hati. Dilawannya, sampai seluruh bisikan-bisikan melemahkan tadi menjadi melemah di hatinya lalu pudar sama sekali.
Dia berhasil mengentaskan semua itu.
Sementara rasa sesak terus berjangkit. Dadanya sudah kehilangan banyak udara karena menahan napas cukup lama. Otot-otot dadanya sudah terasa terkoyak-koyak. Sebentar lagi, mungkin dia akan menarik napas secara refleks.
Pada saat-saat genting, mendadak saja terjadi kejadian baru yang tak kalah mengejutkan. Terasa tubuhnya dijepit kuat-kuat oleh sesuatu. Semacam gua, tapi bukan. Kalau gua, tentu permukaannya keras. Ini justru lembek, berlendir dan hangat. Dia menyadari tubuhnya telah ditelan makhluk raksasa entah berwujud apa ketika sebagian tubuhnya membentur deretan benda-benda keras meruncing.
Dugaan muncul cepat. Deretan benda-benda ranting tadi tentu barisan gigi! Sekejapan berikutnya, dia merasa didorong masuk ke dalam saluran berlendir menghimpit. Sekujur tubuhnya terasa nyaris remuk. Kemudian tubuhnya meluncur deras dalam saluran yang tak hanya berlendir menghimpit, tapi juga berbau amat memuakkan itu. Seperti ada tumpukan bangkai busuk! Kejadian itu berlangsung cukup lama. Amat menyiksa si pemuda. Hingga rasanya dia menjalaninya selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad.
Tiba-tiba semuanya usai. Semuanya. Diganti oleh hadirnya kesunyian yang pekat. Kegelapan meraja. Sejuk berkuasa. Apa yang telah terjadi" Bisik hati si pemuda.
Samar-samar dilihatnya kemudian satu titik cahaya putih kemilau. Titik cahaya itu kian lama kian mengembang sampai seluruh kegelapan tertelan. Yang ada kini cuma terang benderang. Anehnya, tidak menyilaukan. Tidak pula terasa panas. Melainkan sejuk.
Disusul oleh bergemanya suara.
"Tapamu telah berhasil. Bukalah matamu. Bangkitlah. Lalu berdiri untuk memperingatkan manusia akan kuasa Tuhan. Tegakkan keadilan di muka bumi.
Perangi kemungkaran. Sang Penguasa Semesta telah melimpahkan padamu anugrahnya. Sebelum kau benar-benar melaksanakan tugas suci, kau harus menyempurnakan kesaktian di Lembah Kutukan. Kesaktianmu itu, akan turun kepada setiap babak keturunanmu. Salah seorang di antara mereka akan terpilih untuk memiliki kesaktian seperti kesaktianmu pula, meski kau belum lagi mati. Jika waktu pewarisan kesaktian telah tiba, perintahkanlah mereka untuk menyempurnakannya di Lembah Kutukan...." Ketika si pemuda membuka mata, dia ternyata masih berada di tepi Sungai Citarum. Seluruh tubuhnya telah ditumbuhi pepohonan rambat yang biasa tumbuh di tepi sungai. Rupanya telah dua belas purnama dia bertapa. Padahal menurut perasaannya, dia bertapa baru beberapa hari saja.
Pemuda itu bernama Saptacakra.
Beberapa tahun kemudian, diguncangkannya dunia persilatan. Julukan angker pun tersemat, Pendekar Lembah Kutukan.

***

Ò´Ò´{ 5 }Ò´Ò´

Dalam masa perjuangan menegakkan panji-panji keadilan, Saptacakra muda berhadapan dengan musuh besar, Tiga Datuk Karang. Meski muda, ilmu 'Karang' mereka benar-benar tangguh. Itu sebabnya dunia persilatan tak segan-segan memberi julukan Datuk pada mereka. Sampai Ki Saptacakra pun hampirhampir kewalahan dibuatnya. Padahal kesaktian mereka belum lagi benar-benar disempurnakan dengan mempelajari satu kitab ilmu 'Karang Pamungkas'. Pada saat mereka berhasil mempelajari kitab itu, maka kesempatan bagi Saptacakra muda untuk mengalahkan mereka pun akan lenyap.
Suatu hari Saptacakra muda bertemu dengan kakak perempuannya, Nyai Silili-lilu. Dahulu, perempuan tua itu demikian cantik. Namanya pun demikian indah, Ratna Juwita Permata Kumalasari Dewi Bunga Kamboja. Entah berapa nama perawan di-borongnya menjadi satu. Setiap orang boleh memanggilnya sesuka hati. Boleh Ratna, boleh Juwita, boleh Permata. Kumala juga boleh. Asal jangan Kumal, katanya.
Waktu itu, dia sudah berpacaran dengan Petaruh Sakti Perut Buncit. Buncit memang. Namun tak sebuncit sekarang. Dibanding sekarang, perutnya masih lebih langsing. Meski untuk ukuran perut dua orang! Mengetahui Petaruh Sakti Perut Buncit muda begitu gandrung bertaruh dengan kesaktiannya, Saptacakra muda mempunyai akal. Dia akan berkerja sama dengan Petaruh Sakti Perut Buncit muda untuk menghadapi tiga musuh beratnya. Ditantangnya tiga tokoh sesat muda itu untuk bertanding. Dua lawan tiga. Saptacakra muda dengan Petaruh Sakti Perut Buncit muda menghadapi Tiga Datuk Karang. Siapa pun yang kalah, harus menyerahkan kitab ilmu pamungkas milik masing-masing. Dengan kecerdikan itu, Saptacakra muda berharap dapat mencegah tiga musuh besarnya mempelajari kitab ilmu 'Karang Pamungkas'.
Tantangannya mendapat sambutan. Bukan cuma dari Petaruh Sakti Perut Buncit muda. Tapi juga dari ketiga lawan yang sudah lama ingin menyingkirkan-nya. Pertarungan maha hebat sepanjang setengah abad terakhir pun pecah. Tempatnya di puncak Gunung Ciremai. Tiga Datuk Karang berhasil dikalahkan. Sejak saat itu, ketiganya menghilang.

***

Ki Saptacakra mengakhiri cerita tentang riwayat awal perjalanan hidupnya pada Pendekar Slebor, Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit. Ketiganya berada di depan gua sempit, yang sebenarnya lebih pantas disebut lubang di karang tepi Pesisir Pantai Laut Selatan.
Sebelumnya, Pendekar Slebor dan buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan masuk ke dalam. Melalui mulut gua sempit, mereka masuk merangkak. Kirakira dua kali peminuman teh mereka merayap di sepanjang lorong. Sampai akhirnya keduanya tiba di ujung lorong. Tepat di ujungnya, terdapat ruangan alam besar mirip kubah. Di dalam sana gelap gulita, keadaan yang serupa dengan di sepanjang lorong rendah dan sempit. Untuk membawa obor melalui lorong sesempit itu, jelas tak memungkinkan. Lagi pula, mereka datang ke tempat itu tanpa persiapan sama sekali Dengan agak merayap-rayap, dua lelaki bertaut usia amat jauh itu turun dari ujung mulut lorong dan masuk ke ruangan yang bersambungan dengan lorong.
"Sebenarnya ada perlu apa kita ke tempat ini, Ki Buyut?" tanya Andika waktu itu.
Jelas dia ingin tahu tujuan buyutnya. Baginya, orang tua itu telah melakukan hal yang tidak-tidak. Tak ada angin tak ada hujan, tahu-tahu dia berlari kalangkabut ke tempat itu. Sudah itu, dia mengajak yang lain masuk ke lorong karang seperti tempat tinggal tikus tanah itu. Nyai Silili-lilu jelas menolak mentah-mentah. Perempuan bungkuk seperti dia bakal mendapat musibah mengenaskan kalau ngotot masuk juga ke lorong. Masih bagus kalau tidak terjebak di dalam.
Bagaimana kalau tubuh me-lengkungnya itu terjepit dalam lorong" Memangnya perempuan bangkotan itu mau bernasib seperti upil di lubang hidung" Kalau Nyai Silili-lilu saja tak mau, apalagi Petaruh Sakti Perut Buncit" Andika sebenarnya ingin santai saja di luar. Menikmati pemandangan lepas Laut Selatan pasti lebih mengasyikkan ketimbang masuk ke dalam lubang berlorong. Tapi, kalau urusannya sudah main bentak, Andika tidak bisa menolak perintah buyutnya. Kalau Pendekar Slebor tak bertanya, itu namanya bersedia dengan sukarela ikut-ikutan tingkah buyutnya yang dianggap agak sableng.
"Diam kau!" bentak Ki Saptacakra, menanggapi pertanyaan penasaran cicitnya di belakang.
"Aku paling dongkol pada orang cerewet! Seperti perempuan kaleng rombeng itu!" dengusnya, memaki kakak perempuannya sendiri, Nyai Sililililu. Padahal, dia sendiri sering begitu.
"Jangan marah begitu, Ki Buyut. Aku cuma ingin tahu alasanmu ke tempat ini...," susul Andika.
"Kalau kau mau tahu, ikuti saja. Nanti juga kau tahu!"
"Suka-suka Ki Buyut sajalah...," gumam Andika pasrah.
Di dalam ruangan alam berdinding karang gelap gulita itu, Andika merayap-rayap. Hanya desah napas Ki Saptacakra yang dijadikan pedoman untuk mengikutinya. Ruangan yang tertutup itu memungkinkan suara sekecil apa pun terdengar lebih jelas.
Di lain pihak, Ki Saptacakra seperti tidak mengalami kesulitan di dalam kegelapan pekat seperti itu.
Dia berjalan seenaknya, seolah-olah tak takut jidat-nya jadi benjut karena menabrak dinding karang.
Barangkali makanan sehari-hari si tua ini tikus lubang yang biasa hidup di tempat gelap, rutuk Pendekar Slebor.
Selagi sibuk memikirkan bagaimana buyutnya bisa berjalan seenaknya di tempat tanpa cahaya seper-ti itu, Andika menabrak sesuatu.
"Aduh!" Andika mengaduh. Darahnya berdesir ngeri, karena yang baru saja ditabraknya ternyata pantat Ki Saptacakra.
"Monyet kurap, kudis bau, obat bisul manjur!" maki kakek sakti itu tak alang kepalang murka. Lucu kalau dia tidak murka. Sebab tubuhnya langsung terjungkal ke depan. Andika tak tahu apa yang terjadi padanya. Cuma kalau mendengar ada suara tempurung kepala beradu dengan dinding karang, dia yakin buyutnya pasti mendapat 'kecelakaan'! "Ma... maaf, Ki Buyut! Tidak sengaja, he he he!"
" "Diam kau!"
"Habisnya, Ki Buyut berhenti tidak bilang-bilang.
Lagi pula, buat apa Ki Buyut membungkuk seperti tadi?" dalih Andika.
"Aku sedang memeriksa sesuatu, tolol! Makanya kalau jalan hati-hati."
"Tempatnya gelap...."
"Ah, aku saja yang tua tidak mengeluh!" Itu karena kau senang menyantap tikus tanah barangkali! Maki Andika membatin.
"Apa yang sedang kau periksa, Ki Buyut?"
"Lubang!"
"Lubang apa" Di dunia ini banyak macam lubang. Dari lubang ular sampai 'lubang yang berjalan'...," Andika mencoba bergurau, sedikit merayu orangtua besar adat itu.
"Jangan ngawur! Aku sedang memeriksa tutup lobang rahasia penyimpanan benda-benda berharga milik si Buncit di luar sana!"
"Dunia ini memang sinting. Masa' orang sebuncit dia punya tempat penyimpanan dalam lubang seperti itu" Bagaimana dia hendak masuk untuk menyimpan sesuatu?"
"Itu urusan dia, bukan urusanmu!" bentak Ki Saptacakra kembali.
"Sekarang keluar!" sambungnya kemudian.
"Keluar" Memangnya kau sudah memeriksa lubang tadi, Ki Buyut?"
"Waduh-waduh!"
"Kenapa" Kenapa, Ki Buyut" Ada sesuatu dalam lubang itu!" tanya Pendekar Slebor kalang kabut.
"Jempol kakiku kau injak, tolol!" Begitu kejadian sebelumnya. Keduanya berkumpul lagi di luar bersama Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit. Ki Saptacakra melaporkan pada dua bangkotan itu bahwa lubang penyimpanan ternyata masih aman. Setelah diminta Andika sampai mulutnya pegal, barulah Ki Saptacakra menjelaskan alasannya kenapa dia begitu tergesa-gesa untuk memeriksa lubang tersebut. Diceritakannya tentang surat kain yang ditemui di sungai dua hari lalu. Dari kain itu, dia mengambil kesimpulan kalau musuh besarnya sejak muda. Tiga Datuk Karang, telah kembali lagi ke dunia persilatan.
"Bagaimana kau merasa yakin kalau tiga manusia busuk itu mengincar kitab pamungkas mereka dalam tempat penyimpanan rahasiaku?" tanya Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Kau ingat ketiga murid murtadmu?" Bukan menjawab, Ki Saptacakra malah balik bertanya. Petaruh Sakti Perut Buncit mengangguk.
"Bukankah kau memberikan tiga kalung pada mereka masing-masing?" susul Ki Saptacakra.
"Nah, dalam surat kain yang kutemukan, penulisnya menyebut-nyebut tentang tiga orang yang memiliki kalung seperti telah kau berikan pada ketiga muridmu. Gambaran penulis surat tentang ciri-ciri ketiga muridmu.... Sementara, ketiga orang pemilik kalung yang kuyakin ketiga murid murtadmu itu sedang merencanakan pembentukan Perserikatan Setan.
Mereka hendak bersekutu dengan tokoh-tokoh golongan sesat. Dalam surat tokoh golongan sesat yang sempat ditulis hanya 'Tiga Datuk Kar....' Aku yakin dia hendak menulis Tiga Datuk Karang!" papar sesepuh golongan putih, panjang lebar.
"Jadi?"
"Ah, otakmu kau gadaikan ke mana, Buncit" Tentu saja tiga manusia busuk itu akan mengincar ketiga kalung yang dikenakan muridmu untuk mendapatkan kitab pamungkas mereka kembali. Bukankah...."
"Kalung"!" Nyai Silili-lilu menyela.
"Kau tadi sebut kalung milik murid murtad si Buncit, Iler?"
"Ya."
"Satu kalung itu dipegang cicit kita. Bukan begi-tu, Anak Sial"!" Nyai Sililililu menoleh ke arah Andika berdiri sebelumnya. Tapi, pendekar muda itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
"Hei, ke mana kau"!" Pendekar Slebor sedang mengejar seseorang yang mengintai dari puncak bukit karang sewaktu dirinya, Petaruh Sakti Perut Buncit, Nyai Silili-lilu, dan Ki Saptacakra sedang berkumpul di depan gua kecil. Tanpa sepengetahuan ketiga dedengkot yang sedang sibuk berbicara itu, Andika mengendap-endap mengelilingi tepi bukit karang. Akan diringkusnya si pengintai dari bagian belakang bukit karang. Sewaktu tiba di bagian belakang bukit karang yang bagian atasnya menjorok ke laut, Pendekar Slebor sudah tak menemukan pengintai tadi. Dia cepat naik ke atas untuk meyakinkan diri.
Di atas, orang tadi memang benar-benar telah melarikan diri. Kebetulan sekali, dari tempat setinggi itu, Pendekar Slebor bisa melepas pandangan cukup jauh. Mata sejeli elang pemuda itu menangkap kembali si pengintai.
Anak muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu segera turun mengejar. Dihelanya seluruh ilmu peringan tubuh yang dimiliki.

***

Ò´Ò´{ 6 }Ò´Ò´

Hari menjelang malam. Ladang kering di wilayah Wetan Jawa yang belakangan menggegerkan dunia persilatan dengan hadirnya makhluk menakutkan terlihat senyap. Jangkerik berkerik dalam kegelisahan.
Kekurangan air telah menyiksa binatang kecil melata sampai manusia.
Tanah kering kerontang, serta retak-retak telanjang tanpa tanaman seperti bulan-bulan sebelum musim kering merajalela. Bulan bulat berwarna kemerahan. Mengambang di angkasa raya, bebas menebar cahayanya seakan tak peduli pada segenap keluh kesah satwa. Amitha berdiri di tengah-tengah bentangan ladang kering. Angin kering berhembus mempermainkan ujung sorban dekil dan kain cawatnya yang tak kalah dekil. Tangannya bersedekap. Matanya kaku dan keras menatapi rembulan. Wajahnya sangat sepi. Namun bersit di mata cekungnya tetap memancarkan bara dendam tak kunjung padam.
Malam ini, dia sedang menunggu seseorang yang akan menemuinya. Tepatnya ketika rembulan mengambang tepat di atas kepala. Tak jelas siapa orang yang akan ditemuinya.
Siang tadi, dia mendapat pesan yang diikatkan di kaki seekor burung merpati. Isi surat menjelaskan kalau seseorang ingin menemuinya tanpa membubuhkan nama. Si pengirim surat mengatakan dirinya memiliki keterangan berkenaan kematian istri Amitha.
Tentu saja hal itu memicu rasa penasaran Amitha. Sepanjang pengetahuannya, pemuda berjuluk Pendekar Sleborlah pembunuh istrinya. Hanya itu yang diketahui. Tentang alasan kenapa Neelam istrinya dibunuh tetap menjadi tanda tanya. Juga dia belum paham apa hubungan antara kematian istrinya dengan kalung yang diperlihatkan Pendekar Slebor padanya beberapa waktu lalu.
Terakhir bertemu dengan si pendekar muda dari Lembah Kutukan, Amitha jadi merasa ragu apakah dia telah menempatkan tuduhan pada pihak yang tepat" Sebab menurut pengamatannya, tak ada kesan di wajahnya kalau pemuda gondrong itu berdusta.
Namun, bukankah dunia ini penuh kepalsuan" Wajah bersahabat tak selamanya membuktikan jiwa bersih dari keculasan. Lain luar, lain dalam. Lain di wajah, lain pula di hati.
Curiga hati Amitha.
Meski begitu, kenapa pendekar yang menurut kabar beberapa orang memiliki kesaktian tinggi itu merasa harus lari menghindariku. Hatinya bertanya-tanya kembali. Kabar lain yang didengar pun mengatakan kalau Pendekar Slebor adalah tokoh muda jajaran teras golongan lurus. Tak mungkin dia melarikan diri dari satu pertarungan seperti seorang pecundang tanpa alasan yang benar-benar jelas.
Pikiran seperti itu mengembalikan kembali keraguan dalam diri Amitha.
"Selamat malam, Lelaki India!" sapa seseorang di belakangnya.
Pandangan Amitha yang semula menancap tepat di kebisuan bulan, beralih ke asal suara. Dilihatnya seseorang telah berdiri di belakangnya. Sapuan sinar lamat bulan memperjelas wajah lelaki itu. Dia berjenggot seperti kambing gunung. Usianya sekitar delapan puluhan. Alisnya hitam, tebal dan lebat, menaungi sepasang mata setajam sembilu.
Meski usianya tua, masih tampak sisa ketampanannya. Kening lelaki itu lebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala.
Memanjang lepas menutupi bokong. Perawakannya tinggi besar dan berotot. Pada kulit dari bagian leher ke bawah, seluruhnya berkerut-kerut. Serupa dengan karet terbakar dengan warna merah kehitaman.
Siapa dia" Pertanyaan itu tentu timbul dalam diri Amitha. Baginya, pendatang itu masih penuh teka-teki.
Dialah orang yang telah mengirim surat padanya melalui merpati beberapa waktu lalu. Meski tak dijelaskan ciri-cirinya dalam surat tersebut. Amitha tetap yakin memang dia orangnya.
Amitha boleh tidak mengenalnya, tapi dunia persilatan sudah cukup tahu siapa sesungguhnya lelaki satu ini. Pangeran Neraka! Salah seorang yang siap menggabungkan diri ke dalam Perserikatan Setan.
Apa sesungguhnya sesuatu yang mendekam dalam pikiran licik lelaki satu ini dengan menemui Amitha" Jika Pangeran Neraka melakukan sesuatu, tak ada yang pernah terlepas dari satu rencana busuknya.
Dia adalah manusia yang hidup dengan setiap desah napas kelicikan. Sementara hidup sendiri baginya adalah permainan culas yang mesti dimenangkan dengan segala cara. Seperti pernah diceritakan sebelumnya. Pangeran Neraka menjadi sukarelawan pertama dalam Perserikatan Setan dalam melaksanakan kerja besar menyingkirkan Pendekar Slebor. Selama tahun-tahun belakangan, hanya niat itu menjadi hasrat hebatnya. Dendamnya terhadap si pemuda sakti dari Lembah Kutukan menempati dirinya bagai lebih besar dari tubuhnya. Itu sebabnya dia begitu bersemangat ketika tiga murid murtad Petaruh Sakti Perut Buncit mengiming-imingi akan membuat rencana awal membunuh Pendekar Slebor sebagai usaha pertama pembentukan Perserikatan Setan. Sewaktu pertama menyatakan diri sebagai sukarelawan untuk perencanaan siasat licik menyingkirkan Pendekar Slebor, Pangeran Neraka tak mendapat gaga-san sama sekali.
Beberapa hari kemudian, secara kebetulan dia mendengar kegegeran di daerah perladangan sekitar Wetan Jawa. Tentang munculnya makhluk mengerikan berwujud macan kepala puluhan ular. Ketertarikannya terpicu manakala mengetahui kalau makhluk jejadian itu menyebut-nyebut nama Pendekar Slebor ketika membunuh orang-orang persilatan.
Pangeran Neraka pun segera berangkat ke wilayah kegegeran. Diam-diam, dia menyelidik. Diintainya setiap saat wilayah ladang kering tersebut di tempat tersembunyi yang tak pernah diduga Amitha sama sekali. Dengan tanah lapang yang membentang kering seperti itu, akan terlalu sulit bagi siapa pun untuk mengintai. Pangeran Neraka tidak kehilangan akal.
Ketika Amitha pergi ke jantung Kadipatenan Karang Gantung, dibuatnya satu lubang persembunyian dalam tanah. Lengkap dengan lubang udara untuk saluran bernapas. Lubang itu kemudian ditutupinya dengan tumpukan jewawut kering yang banyak tersebar di sekitar tempat itu. Dari dalam tumpukan jewawut yang agak tinggi, kepalanya dapat mengawasi keluar melalui celah-celahnya.
Sampai suatu hari, dia menyaksikan Pendekar Slebor mendatangi tempat tersebut. Sebelumnya, Amitha memang tak ada di tempat tersebut. Itu sebabnya kenapa Pendekar Slebor waktu itu tetap merasa ada yang mengawasi.
Setelah mengamati seluruh kejadian antara Pendekar Slebor dengan Amitha, mencuat akal licik dalam benak Pangeran Neraka.
Kesaktian Amitha dianggap-nya cukup tangguh untuk menyingkirkan si pendekar muda bernama besar itu. Adu domba. Kelicikan yang sesungguhnya sudah berusia demikian tua akan diatur! Hadiah besar bagi Pendekar Slebor, pikirnya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Amitha. Matanya mengawasi Pangeran Neraka, padat kecurigaan.
"Aku" Tak penting siapa aku...," jawab Pangeran Neraka. Kelicikan dalam pancar matanya disembunyi-kan oleh wajah yang dipasang sedemikian bersahabat.
"Aku tahu kau orang dunia persilatan! Kau tahu, aku paling benci orang-orang dunia persilatan. Sepertinya keinginanku untuk membunuh mereka tak pernah terpuaskan. Jika kau bertele-tele padaku, kau pun akan mengalami nasib serupa dengan orang-orang persilatan lain!" ancam Amitha, gusar karena perta-nyaannya tak mendapat jawaban memuaskan.
"Sabar, Saudara," Pangeran Neraka menenangkan, dengan sandiwara yang demikian matang. Sikap- nya saat itu seolah-olah seorang suci yang tak gampang terpancing kemarahannya.
"Aku cuma seorang yang menginginkan keadilan tegak di muka bumi ini," lanjut Pangeran Neraka, padat kedustaan.
"Tidak ada keadilan di bumi ini!" terabas Amitha mengkelap. Tergambar kembali keadaan mayat Neelam ketika ditemukan di belakang gubuk kecil mereka.
Bayangan itu menyesakkan dadanya.
"Kau tahu, aku cuma orang kecil mencoba mengadu nasib di negeri orang. Bersama istriku, aku ke pulau Jawa ini. Kami membanting tulang memeras keringat hanya untuk dapat bertahan hidup sehari dua hari. Kami tak mengusik siapa pun untuk mendapatkan makan. Kami tak pernah menyakiti siapa pun.
Tapi kenapa tiba-tiba istriku direnggut dari sisiku" Apa salah kami" Apa" Kau pikir itu keadilan?" serbu Amitha meledak-ledak kalap.
"Keadilan memang kian rapuh di dunia, Saudara," ucap Pangeran Neraka, berpura-pura turut prihatin atas nasib lelaki India di depannya. Lalu lanjutnya, "Karena itu pula aku merasa harus menjadi seorang penegak keadilan...."
"Aku tak percaya! Kukenal pun kau tidak. Lalu bisa-bisanya kau mengatakan padaku bahwa kau seorang penegak keadilan!"
"Percayalah, Saudara," bujuk Pangeran Neraka bersama senyumnya yang memikat dilihat dari luar.
Namun siap menusuk di dalam.
Kepalsuan adalah bagian dari diri Pangeran Neraka. Untuk mengakali Amitha, kepalsuan pun menjadi senjata andalan lelaki berotak cemerlang namun berhati busuk bak bangkai itu. Kata-katanya mengalir bak kemilau mutiara. Di balik itu, tersenyum tipu daya.
"Aku sengaja ingin menemuimu karena aku tahu bahwa kau adalah salah seorang yang tidak mendapat keadilan di muka bumi. Aku datang untuk mendukungmu dalam mendapatkan keadilan itu."
"Dusta!"
"Dusta" Aku tidak berdusta. Untuk apa aku mendustaimu" Apa untungnya aku mendustaimu"!" dalih Pangeran Neraka, licik.
Dada kurus Amitha turun-naik. Kemarahannya pada orang dunia persilatan membakar dari dalam, menghanguskan seluruh rasa kemanusiaannya. Tapi menghadapi lelaki satu ini, dia seperti dipaksa untuk berpikir keras. Khususnya setiap perkataan yang tampaknya benar menurut penilaian Amitha.
"Kau marah pada orang-orang persilatan?" lanjut Pangeran Neraka. Perlahan dia mendekat. Selangkah demi selangkah. Seolah seorang pawang binatang buas yang hendak menjinakkan hewan peliharaannya.
"Kau ingin membunuh seluruh orang persilatan bukan" Kalau kau merasa tidak puas telah membunuh setiap nyawa yang semestinya tak pantas kau bunuh, sebaiknya kau bunuh aku...," tambah Pangeran Neraka, mencoba dengan siasat lain.
Mata Amitha menatap nanar.
"Kenapa ragu. Kau bisa membunuhku sekarang bukan" Ayolah, bunuh aku!" desak Pangeran Neraka.
Pada saat itu, dia tahu benar kalau ucapannya telah menancapkan keraguan dalam pada diri Amitha.
"Kenapa kini kau hanya bisa diam, Saudara?" Wajah Amitha semakin diberangus keraguan.
"Aku tahu kau ragu untuk membunuhku. Karena di dasar hatimu, kau tahu tak seorang pun pantas kau bunuh...."
"Aku dendam pada orang persilatan!" maki Amitha, merasa tersudut.
"Tidak semua orang persilatan!" sentak Pangeran Neraka. Dia telah tiba di depan Amitha. Jarak yang terlalu dekat dan berbahaya seandainya Amitha benarbenar melakukan serangan. Tapi, tampaknya Pangeran Neraka telah memperhitungkan semuanya dengan be gitu teliti.
"Kau hanya dikendalikan hawa kemarahanmu! Orang-orang yang kau bunuh selama ini sebenarnya tidak patut menerimanya. Kau menuntut keadilan dengan cara yang tidak adil! Apa kau pikir membunuh orang tak bersalah adalah perbuatan yang adil!" Entah bagaimana, kepala lelaki India di depannya perlahan-lahan merunduk. Amitha makin terperosok dalam jebakan Pangeran Neraka! "Katakan padaku, Saudara, apakah kau pantas membunuh orang-orang tak bersalah"!" desak Pangeran Neraka dengan nada suara menjangkit naik.
"Katakan padaku!"
"Tidak!" jawab Amitha keras. Kepalanya menen-gadah kembali.
"Aku hanya pantas membunuh orang yang telah menyingkirkan istriku!" Pangeran Neraka diam. Ditariknya napas. Dalam hatinya, dia justru bersorak gembira. Pancingannya sebentar lagi akan mendapat hasil, pikirnya.
"Kau tahu siapa orang itu?" susul Pangeran Neraka.
"Pendekar Slebor," geram Amitha.
"Kau yakin?" Pangeran Neraka melanjutkan kucing-kucingan itu.
Amitha menggeleng.
"Kenapa?"
"Yang kudengar, dia adalah seorang pendekar golongan lurus. Dia sendiri berkata padaku, tak ada alasan baginya untuk membunuh istriku...."
"Kau keliru," kata Pangeran Neraka sambil menggeleng perlahan. Wajahnya berubah, menampakkan keprihatinan. Lalu dia berbalik membelakangi Amitha.
"Apa yang kau ketahui tentang dia?" tanya Amitha. Sikap lelaki di depannya, memancing rasa penasaran di hati Amitha. Memang itu yang diinginkan Pangeran Neraka. Tanpa berniat menjawab pertanyaan Amitha secepatnya, Pangeran Neraka memancing rasa penasaran Amitha lebih jauh. Lagi-lagi korban kelicikannya terjerat.
"Katakan padaku, apa yang kau ketahui tentang pendekar muda itu!" desak Amitha. Tangannya mencengkeram kerah belakang Pangeran Neraka kuatkuat.
"Jangan sebut dia 'pendekar'. Sesungguhnya, dia bukan pendekar sejati lagi kini...."
"Jangan bertele-tele! Ceritakan padaku cepat!" Pangeran Neraka berbalik. Ditatapnya si lelaki India dengan tatapan mantap.
"Semula, dia memang seorang ksatria terpuji.
Namun bujuk rayu duniawi telah menyesatkan jiwanya," mulai Pangeran Neraka lagi. Dia siap melepas kata-kata berbisa, seperti pernah meracuni pikiran kemenakannya sendiri untuk membunuh Pendekar Slebor. (Kisahnya bisa dibaca dalam episode: "Sepasang Bidadari Merah").
"Apakah kau pernah diperlihatkan sebuah kalung?" tanya Pangeran Neraka lebih jauh.
"Dari mana kau tahu?" Lelaki berotak licik itu tak menjawab pertanyaan Amitha. Diteruskannya kalimat yang terhenti sejenak.
"Pendekar Slebor ingin memburu seorang India.
Orang India itulah si pemilik kalung."
"Aku tak mengerti maksudmu. Kau terlalu berputar-putar!"
"Pemilik kalung itu memiliki satu kitab sakti tentang ilmu yoga tingkat tinggi.
Kau tentu tahu ilmu itu, bukan" Keserakahannya telah membuat hatinya mati.
Dia ingin menguasai kitab yoga itu agar nantinya dapat dipakai untuk membuat dirinya lebih sakti tak ter-kalahkan. Ketika terjadi pertarungan dengan lelaki India pemilik kitab, tanpa sengaja Pendekar Slebor menyambar kalung dari lehernya. Pemilik kitab yoga lalu melarikan diri. Pendekar Slebor terus mencari. Dengan modal kalung itu, dia menanyakan setiap orang India yang ditemuinya. Kebetulan sekali, dia bertemu dengan istrimu. Dia pun menanyakan perihal lelaki India yang diburunya pada istrimu. Karena istrimu tak ingin memberi keterangan, pemuda itu gusar dan membunuhnya!" papar Pangeran Neraka, mengakhiri cerita palsu, kenyataan yang diputar balikkan!

***

Ò´Ò´{ 7 }Ò´Ò´

"Hei, berhenti kau!" Pendekar Slebor berseru. Buruannya terus berlari tak peduli. Dari kecepatannya berlari serta ringannya dia menggerakkan tubuh, Andika bisa menilai kalau buruannya memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Kejar-kejaran dari senja hingga mengambangnya rembulan itu berlangsung alot. Andika sudah mengerahkan segenap kemampuan lari cepatnya. Orang yang dikejar tak juga dapat didekati. Selama, kejar-kejaran, jaraknya dengan buruan seperti tak pernah berubah.
Tak berkurang, tidak juga bertambah jauh. Lama kelamaan si anak muda sakti tanah Jawa menyadari kalau buruannya sengaja mempermainkan. Tampaknya kesaktian orang itu memang tak bisa dianggap remeh.
Satu bukti, orang itu dengan sengaja bermain kucingkucingan dengan Pendekar Slebor. Padahal nama besar Andika sudah dikenal dalam kehebatan ilmu peringan tubuh. Banyak kalangan persilatan mengibaratkan kecepatan gerak Pendekar Slebor sebagai kelebatan siluman. Jadi, kalau ada orang yang bisa mempermainkannya, tentu kesaktian orang itu berada beberapa tingkat di atasnya.
"Slompret sekali! Siapa sebenarnya kunyuk ini?" gerutu Pendekar Slebor. Bukan masalah kalau nama terhormatnya di dunia persilatan menjadi cemar karena dipermainkan. Dipermalukan atau tidak dalam dunia persilatan, tak ada masalah baginya. Dalam hal itu, acuh saja sudah cukup baginya. Percuma saja kalau julukannya Pendekar Slebor. Selama harga dirinya tak diusik-usik siapa pun, Andika tak akan memper-soalkan.
Kalau dia kesal kali ini karena, bagi Andika kejarkejaran yang diyakininya sengaja diatur oleh sang buruan itu sama buruknya dengan permainan bocah gendeng kurang kerjaan. Selain itu, dia merasa dihina.
Siapa yang tak merasa harga dirinya dilecehkan kalau seseorang mempermainkan.
(Ngomong-ngomong soal 'mempermainkan orang', Andika tampaknya lupa kalau dirinya sendiri paling piawai dalam hal itu!) Selama mengadakan pengejaran konyol itu, Andika sama sekali tak memiliki kesempatan untuk mengenali buruannya. Dia hanya melihat kelebatan bayangan orang berlari. Mengenakan jubah gelap dan berambut panjang dengan ikat kepala. Jangankan malam seperti kini, tadi sore pun ketika kejar-kejaran berlangsung, Andika tak bisa mengenalinya. Orang itu benar-benar memanfaatkan kesempurnaan peringan tubuhnya untuk mempermainkan Pendekar Slebor.
Dengan begitu, Andika tentu saja jadi makin dongkol setengah modar.
Terkadang, orang yang dikejar melenting-lenting di dahan atau pucuk pepohonan kerontang. Ringan tubuhnya mengalah kelincahan seekor kadal terbang.
Kadang-kadang pula, tubuh orang itu menyelinapnyelinap di balik batang pepohonan, seolah-olah sedang mengejek Pendekar Slebor dengan cara itu.
"Hei, kunyuk bau pesing! Kenapa kau tak menghentikan saja permainan konyol ini"!" seru Pendekar Slebor gusar.
"Kenapa" Kau merasa sudah tak mampu lagi mengejar"! Ha ha ha! Mana kehebatanmu, Anak Muda Keparat!" sahut orang yang dikejar.
"Aku bukannya tak mampu mengejarmu. Cuma...
cuma...." Anak muda itu tak bisa cepat-cepat mencari alasan yang cukup bagus pada saat berlari setengah sinting seperti itu. Sudah keringat membanjir, paruparunya rasanya sudah mau meledak.
"Cuma apa?"
"Aku cuma ingin membiarkan kau berlari saja.
Apa itu dosa besar?" jawab Andika, sekenanya. Asal dia punya alasan. Asal dia tidak disebut pendekar 'keok'.
"Kau tetap menjengkelkan seperti dulu, Anak Muda Keparat!"
"Rasanya dari kecil aku memang sudah menjengkelkan. Kenapa sekarang harus tidak?"
"Bagus. Sayangnya, sebentar lagi kebiasaanmu itu akan segera hilang!"
"Ooo, apa, kau semacam dukun, begitu" Bisa mengobati sifat menjengkelkan seseorang"!"
"Sebab kau akan segera mampus!" hardik orang di depan sana. Meski sudah cukup tahu kalau penge-jarnya sangat menjengkelkan, tapi tampaknya dia tetap terpancing oleh serangan mulut ceriwis Pendekar Slebor.
"Ooo, kalau begitu aku salah mengira. Kau pasti bukan dukun sembarang dukun.
Tentu kau sejenis dukun santet. Betul apa benar?" Meski lelahnya sudah tak tertolong, Pendekar Slebor berusaha untuk bersi-kap seolah-olah dia tak kelelahan.
Kejar-kejaran itu tak berlanjut ketika mendadak orang di depan sana menghentikan larinya.
Pendekar Slebor berhenti pula. Inginnya dia merunduk sambil terengah-engah. Tapi karena takut orang yang dikejar punya alasan mengejeknya, dia malah menyorongkan dada. Napas memburunya dicoba ditahan-tahan. Celakanya, justru 'napas' itu menyeruak terpaksa dari lubang bawah.
"Slompret, mengganggu, 'keamanan'-ku saja!" makinya mendesis. Tentu saja sambil bersicepat membungkam bagian tersebut. Kalau terdengar calon lawan, apa jadinya" Pikir Andika.
Di lain tempat, sekitar dua puluh lima depa dari tempat Pendekar Slebor, orang berjubah gelap berdiri menghadap ke arahnya. Sinar bulan yang memancar dari arah belakang tubuh orang itu membuat si anak muda keras kepala tak mempunyai kesempatan lagi untuk mengenali wajah orang itu. Sosoknya hanya tampak seperti bayangan. Berdiri di atas tanah berbukit kecil. Kukuh, dan menantang. Angin menyibak bagian bawah jubah dan rambutnya.
"Kau jangan merasa yakin akan bisa menyelamatkan nyawamu kali ini, Anak Muda Keparat!" geram orang di sana. Biarpun diucapkan tak terlalu kencang, Pendekar Slebor mendengarnya.
Andika diam sejenak, mengatur napasnya diamdiam. Usai mengurus napasnya, dia mulai berpikir untuk mencari tahu siapa sesungguhnya orang itu.
Kalau mendengar dia menyebutkan dengan 'Anak Muda Keparat', tampaknya dia cukup tahu siapa diriku. Andika berpikir. Tapi apakah aku dan dia pernah terlibat satu urusan" Kalau menilai kalimat ter akhirnya yang menyebut-nyebut kata 'kali ini' tentunya karena dia memang pernah berurusan denganku 'sebelumnya'. Dan tampaknya orang ini memendam dendam terhadapku. Siapa dia" Benak si anak muda berotak seencer bubur kakek jompo itu menilai-nilai.
Tanpa menyaksikan langsung wajahnya, aku tak akan dapat memastikan apakah dia pernah berurusan denganku atau tidak. Hm, bagaimana kalau aku berpura-pura mengenalnya" Aku ingin lihat bagaimana sikapnya jika aku begitu! Bukankah dia telah berbalik ke arah ku. Dan mungkin saja dia belum menyadari kalau wajahnya terlalu gelap untuk ku kenali, pikir Pendekar Slebor.
"Ah, rupanya kau Pak Tua Brengsek!" seru Pendekar Slebor, sok yakin. Sengaja disebutnya orang itu dengan Pak Tua, karena dinilai dari bayangan tubuh orang itu, punggungnya agak membungkuk layaknya orang-orang berusia senja.
"Ya, aku! Kau pikir siapa"!" seru orang itu kembali. Pancingan Andika mengena! Korban kecerdikannya tampak merasa Andika telah mengenalinya. Itu bisa dinilai dari caranya menyahuti seruan Andika.
"Aku heran. Telah lama kau menghilang seperti cecurut di liangnya. Kenapa tiba-tiba kau muncul kembali?" pancing Pendekar Slebor lagi, untunguntungan.
"Lama" Kau pikir peristiwa itu telah lama berlalu, Anak Muda Keparat! Kegagalanku di Piramida Tonggak Osiris tak akan menyurutkan semangatku terlalu lama!" Piramida Tonggak Osiris" Hey, aku tahu siapa dia kini! Seru Pendekar Slebor dalam hati. Orang itu pasti si tua Gila Petualang! Tokoh sesat penuh dendam yang sekitar setahun lalu merencanakan per-mainan maut besar-besaran di Piramida Tonggak Osiris Mesir! Astaga, si tua yang begitu banyak menguasai kesaktian dari berbagai penjuru dunia ini telah muncul kembali! Desis Andika membatin. Dunia persilatan akan mendapat kesulitan besar dengan munculnya orang tua penuh dendam ini.
(Untuk mengetahui petualangan dahsyat Pendekar Slebor di Mesir, bacalah dalam tiga episode: "Undangan Ratu Mesir", "Piramida Kematian", dan "Warisan Ratu Mesir")! Sambil tersenyum-senyum dikulum karena siasatnya berjalan semulus betis perawan, Pendekar Slebor mengangguk-anggukkan kepala.
"Kenapa waktumu selama ini tak kau gunakan untuk mencoba merenung dan bertobat..., Pak Tua Gila Petualang?" tukasnya, penuh keyakinan.
"Ha ha ha! Tobat" Kau mau mengajarkan aku Anak Muda tahu adat"! Kau pikir seberapa hebat pengetahuanmu dibanding aku"!" ejek lelaki yang sesungguhnya memang si Gila Petualang.
"Dibanding kau, aku tak punya cukup pengetahuan untuk ku banggakan. Tapi, semestinya kau yang memiliki banyak pengetahuan memiliki pula banyak kebijakan. Karena kebijakan datang dari pengetahuan bukan" Dengan kebijakan itu, kau mestinya dapat menilai hidup secara arif...."
"Aku tak perlu khotbahmu, Pemuda Sial!" Andika menghela napas.
"Ya, sudah...," dengusnya kesal.
"Jadi, apa maksudmu mengintai kami di Pesisir Pantai Laut Selatan?" lanjutnya.
"Kau mau tahu" Kau yakin mau tahu" Ha ha ha! Kami akan menyingkirkanmu untuk selamanya. Termasuk menyingkirkan seluruh keturunan keluarga buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan!" Alis Pendekar Slebor bertaut.
"Kami" Kami siapa maksudmu"!" Pertanyaan Andika tak mendapat jawaban. Si Gila Petualang sudah bergerak lagi dari tempatnya berdi-ri.
"Hei, tunggu!" Pendekar Slebor berusaha mengejar. Tapi ke mana pun dia melepas pandangan, sosok si Gila Petualang sudah tak ada lagi.
Andika tercenung sendiri. Pikirannya terus bertanya-tanya. Kami" Apa maksudnya" Pendekar Slebor tak tahu pasti di mana dia berada kini. Setelah tak karuan berlari mengejar si Gila Petualang sekian lama, tentunya dia sudah berpindah jauh dari Pesisir Pantai Laut Selatan.
Ada yang terasa ganjil bagi pendekar muda berotak cemerlang itu kalau teringat kejadian tersebut. Bukankah terlalu ganjil jika si Gila Petualang yang demikian sarat memendam dendam terhadap dirinya berlari sekian lama dalam pengejaran" Kalau si Gila Petualang hendak melampiaskan dendam, kenapa saat sudah berhadapan dia tak segera menyerang Pendekar Slebor" Setelah direnung-renungkan, Andika mulai mengendusi dirinya sengaja dipancing agar sampai di tempatnya kini. Tapi di mana" Untuk memberantas rasa penasarannya, Pendekar Slebor menebar pandangan. Sama seperti keadaan bagian tanah Jawa lain, di sana-sini cuma ada kekeringan. Bukit-bukit tanah kecil. Barisan pepohonan karet kering. Rupanya dia telah cukup jauh beranjak dari wilayah pantai, nilai Andika.
Ketika matanya mengarah kesatu penjuru, anak muda itu menyaksikan sesuatu yang mencurigakan di dekat semak kering. Ada tiga benda sebesar manusia tergeletak tak berjauhan satu sama lain.
Begitu diamati seksama, Pendekar Slebor dibuat terperanjat. Tiga benda itu ternyata benar-benar manusia! Karena sebagian tubuhnya tertutup dahan semak kering, bentuk tubuh mereka menjadi tak jelas.
Andika bergegas mendekat. Ditemukannya tiga orang terkapar. Seorang wanita cantik. Dua sisanya lelaki. Satu lelaki itu bertubuh cebol. Sedang yang lain bertubuh tinggi berwajah menyeramkan. Dilihat dari keadaannya, mereka tampak mengalami luka parah.
Tak ada darah setetes pun. Namun di bagian-bagian tubuh tertentu terlihat tanda telapak tangan berwarna biru kehitaman.
Diperiksanya nadi ketiga orang itu.
Dua lelaki sudah tak bernyawa. Sedangkan si wanita cantik dalam keadaan sekarat.
Siapa mereka" Hati Andika terusik. Sinar lembut bulan sabit membantu si pemuda sakti dari Lembah Kutukan melihat rupa dan penampilan ketiganya.
Saat itu, Andika jadi teringat pada keterangan Petaruh Sakti Perut Buncit. Sempat orang tua berperut luar biasa itu menjelaskan ciri-ciri ketiga murid mur-tadnya pada Andika. Dan ketiga orang yang ditemukan kini mencirikan serupa dengan penjelasan Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Kalau mereka benar-benar ketiga murid murtad itu, tentunya mereka mengenakan kalung," bisik Pendekar Slebor samar.
Diperiksanya leher ketiga tubuh tadi. Tak ada kalung di sana. Tapi, mata jeli Pendekar Slebor menemukan yang lain. Dilihatnya ada goresan luka kemerahan memanjang di sekeliling leher si wani-ta cantik dan lelaki berwajah seram. Andika yakin, garis merah melingkari leher itu adalah akibat tarikan paksa pada kalung yang mereka kenakan. Lain lagi di leher mayat lelaki cebol. Andika tak menemukan goresan merah. Hanya ada bekas seperti itu yang sudah menghitam pudar.
"Jadi ada orang yang telah mencuri kalung dua orang ini. Sedangkan lelaki cebol ini telah kehilangan kalungnya lama sebelum itu...." Sejenak otak cemerlang si anak muda menghubung-hubungkan beberapa kejadian.
"Aku yakin merekalah ketiga murid murtad itu.
Kalung yang kudapatkan dari tangan perempuan India gemuk waktu itu adalah milik si lelaki cebol ini. Si cebol ini pula yang membunuh perempuan India itu. Aku ingat, tanda pukulan di tubuh mayat si perempuan India berukuran kecil. Waktu itu aku mengira pembunuhnya adalah seorang bocah," simpulnya jeli.
"Tapi kenapa dua kalung milik saudara Seperguruan si cebol ini dicuri" Ah, aku yakin ini bukan sekedar pencurian biasa. Mereka telah dibegal. Pembegal itu menginginkan kalung yang dikenakan mereka. Karena mereka bersikeras tak memberikan, lalu timbul pertarungan...." Pendekar Slebor mengeluarkan kalung milik si cebol yang selama ini dipegangnya.
"Tiga kalung yang penuh teka-teki...," gumamnya.
Tentu ada rahasia besar yang berkait dengan semua kalung. Yang jadi pertanyaan kini, apa rahasia besar di balik semua teka-teki ini. Dan siapa pula yang telah merampas dua kalung lain secara paksa" Gumaman Pendekar Slebor dipenggal oleh suara mencurigakan. Telinga terlatih Andika lamat-lamat menangkap gerakan halus dari tiga penjuru. Ada yang bermaksud mengepungnya. Dari suara yang demikian lembut, Andika yakin pengepungnya rata-rata berilmu tinggi.

***

Ò´Ò´{ 8 }Ò´Ò´

Seperti dugaan Pendekar Slebor, ada tiga orang yang telah mengelilinginya dari tiga penjuru. Lamat-lamat disaksikannya tiga sosok berdiri di tempat berbeda. Ketika Andika memperjelas penglihatannya, dia jadi geli sendiri. Semula dikiranya mereka adalah orang-orang golongan sesat yang mungkin telah menggabungkan diri ke dalam Perserikatan Setan. Nyatanya, ketiga orang itu tak lain tak bukan tiga tua bangka tengik. Siapa lagi kalau bukan Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit"
"Bocah gendeng, dari mana saja kau" Kami kelimpungan mencari-carimu ke mana-mana, tahu"!" sembur Nyai Silili-lilu.
Andika cengengesan pasrah.
"Mengejar seseorang," jawabnya.
Petaruh Sakti Perut Buncit menggaruk-garuk perutnya.
"Kenapa seharian ini banyak sekali terjadi kejar-kejaran" Padahal aku paling benci pekerjaan itu! Sungguh, percayalah padaku...," gerutunya, entah pa-da siapa.
"Pak Tua Buncit!" panggil Andika.
"Yok?"
"Bisakah kau lebih dekat ke tempatku?"
"Tentu... tentu... tentu...!" tukas lelaki berperut boros itu sambil berjalan tersuruk-suruk menuruni tanah melandai. Perutnya pun mengangguk-angguk.
Menyusul Ki Saptacakra dan Nyai Silili-lilu.
"Kau kenal pada mereka?" susul Pendekar Slebor, setibanya Petaruh Sakti Perut Buncit di dekatnya.
"Weleh! Ini kan murid-murid kutu kupret itu!" perangah si tua bangka berperut buncit begitu memperhatikan gelimpangan tiga sosok tubuh.
"Bagaimana mereka bisa tidur-tiduran di tempat seperti ini?"
"Mereka bukan tidur-tiduran!" potong Andika.
"Dua lelaki itu sudah mampus. Sedangkan perempuan cantik itu masih bernyawa."
"Lho, mampus toh" Siapa yang melakukannya" Ah, apa peduliku! Mereka toh murid-murid murtad.
Sudah bagus bukan tanganku yang melempar mereka ke neraka!" Sumpah serapah Petaruh Sakti Perut Buncit terulur. Dengan wajah asam, ditendangnya mayat si lelaki cebol, Katak Merah. Lalu, tak kalah, bernafsu, ditendangnya pula Mata Dewa Kematian. Tampaknya kekesalan yang terpendam selama memburu ketiga muridnya itu hendak sedikit dilampiaskan. Kalau belum ketiga-tiganya mendapat jatah masing-masing, Petaruh Sakti Perut Buncit belum puas. Dewi Kecubung pun siap mendapat jatahnya sendiri....
"Hey, jangan dia!" cegah Andika.
"Kenapa?" pelotot Petaruh Sakti Perut Buncit. Diliriknya Ki Saptacakra.
"Saptacakra, apakah muridmu termasuk pemuda mata bongsang?" Tak sudi dikatakan seperti itu, hidung Andika kembang-kempis. Maaf-maaf saja, tepisnya dalam hati.
"Jangan salah paham, Pak Tua Buncit. Aku cuma tak tega. Bukankah sudah kubilang kalau perempuan cantik satu ini masih bernyawa" Sebaiknya...."
"Kubunuh saja dia dulu, setelah itu baru dia ku-tendang"!" terjang Petaruh Sakti Perut Buncit bersemangat.
Andika menggeleng-gelengkan kepala. Itu malah lebih sinting, pikirnya.
"Apa tak terpikir olehmu untuk memberinya kesempatan bertobat?" tanyanya pada Petaruh Sakti Perut Buncit. Matanya kemudian melirik mayat Katak Merah.
"Iya-iya! Aku tahu maksudmu! Kau mengusulkan agar aku menendang bangkai murid cebol yang murtad ini untuk menggantikan jatah tendangan yang mestinya diterima murid perempuan kutu kupretku itu, bukan?" rutuk Petaruh Sakti Perut Buncit. Sambil merutuk, kakinya menendang mayat Katak Merah geramgeram. Perasaannya sudah digadaikan entah ke mana.
"Jadi apa yang akan kau lakukan terhadap perempuan itu?" tanya si lelaki tua berperut buncit, puas dia melampiaskan kekesalan. Andika mengangkat tangan ke depan dada.
"Hey, jangan tanya aku! Bukankah kau gurunya?" tampik si pemuda sakti tanah Jawa.
Biasanya, dia mau sedikit berpura-pura. Tak enak kan, dianggap pemuda mata bongsang" Perbuatannya itu mengakibatkan 'kecelakaan kecil' menimpa dalam sekejap. Ubun-ubunnya kejatuhan jitakan gemas dari belakang.
"Anak muda tengik! Kau pikir aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu sekarang!" maki Ki Saptacakra di belakang Andika.
Sesepuh dunia persilatan itu yang telah menghadiahkan jitakan manis di kepala Pendekar Slebor barusan.
"Kenapa kau tak langsung saja membopongnya. Perempuan itu bakal benar-benar mati tak tertolong kalau terus dibiarkan begitu!" Andika meringis. Cita rasa jitakan di ubunubunnya masih berdenyut-denyut hebat. Mulutnya menggerutu, tapi hatinya bicara lain. Dipujinya buyutnya itu setinggi langit.
Kau tahu saja kemauan anak muda, Ki Buyut.
"Jangan cuma meringis! Tulang kami bertiga sudah keropos! Kami bisa masuk angin kalau berdiri lama-lama di sini!" bentak Nyai Silili-lilu cempreng.
Andika buru-buru mengangkat tubuh Dewi Kecubung ke bahunya.
"Bawa dia ke tempat si Buncit! Cepat!" perintah Ki Saptacakra.
"Lari sana, lari!" timpal Petaruh Sakti Perut Buncit, sama membentaknya dengan adik-kakak bangkotan tadi. Huh, jangan mentang-mentang kalian semua sama-sama tua, kalian keroyok aku! Andika merutuk membatin.
"Ssst...!" Nyai Silili-lilu tiba-tiba berbisik. Matanya melirik ke satu arah tanpa berkedip.
"Aku mendengar suara mencurigakan," bisiknya lagi pada yang lain. Biarpun tergolong manusia lapuk, Pendekar Slebor sadar peringatan Nyai Silili-lilu tidak bisa dianggap main-main. Telinga perempuan tua itu mungkin lebih tajam dari pendengaran seekor serigala betina. Pendekar Slebor segera saja memusatkan pandangan dan pendengaran ke arah yang dilirik Nyai Silili-lilu. Begitu juga Ki Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit.
Cukup lama mereka berdiri tegang seperti empat potong arca batu. Sampai akhirnya mereka menarik napas lega ketika mata masing-masing hanya menyaksikan seekor kelinci kurus keluar dari liangnya.
"Sial. Kukira kita akan sedikit melenturkan otot-otot," gerutu Nyai Silili-lilu.
Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan kepala.
Kalau dekat ketiga tua bangka tengik itu, dia jadi sering menggeleng-gelengkan kepala. Setelah itu, tak banyak bicara ditinggalkannya tempat tersebut.
Di belakangnya, ketiga manusia uzur setengah sinting mengikuti.
Tak lama setelah ketiganya menghilang, muncul sosok-sosok yang lain dari balik tanah melandai yang membentuk bukit-bukit kecil. Jumlahnya lima orang.
Tiga orang berdiri di sebelah selatan. Dua yang lain di barat. Mereka ternyata Tiga Datuk Karang, Pangeran Neraka, dan... Amitha.
Sedang apa mereka di sana"
"Sial kau, Pangeran Neraka! Kau bilang rencanamu sudah matang"! Mana buktinya"! Ternyata cuma omong kosong!" seru Datuk Kening Perak.
"Rencanaku memang telah matang. Semuanya akan berjalan mulus, kalau saja ketiga tua bangka tadi tak muncul!" bantahnya.
Lelaki berotak licik itu memang telah menyusun rencana untuk menjebak Pendekar Slebor. Dua hari lalu, setelah berhasil menghasut Amitha, Pangeran Neraka mengajak lelaki India itu untuk bergabung sementara dengan Perserikatan Setan. Tanpa menyebut-nyebut nama persatuan golongan sesat itu, Pangeran Neraka menjelaskan pada Amitha bahwa perkumpulan mereka berniat menyingkirkan Pendekar Slebor yang telah menjadi sesat. Amitha dijanjikan bantuan untuk menemukan Pendekar Slebor. Amitha bagai seekor kerbau dicucuk hidungnya, menuruti saja seluruh ajakan Pangeran Neraka. Ketika kembali ke markas sementara Perserikatan Setan, dalam perjalanan tanpa sengaja mereka menyaksikan kejadian tak terduga. Tiga Datuk Karang sedang bertengkar keras dengan tiga murid murtad Petaruh Sakti Perut Buncit. Agar Amitha tak curiga pada siapa dia berurusan sebenarnya, lelaki licik itu meminta Amitha untuk menunggunya di suatu tempat yang cukup jauh dari tempat kejadian.
Dari pertengkaran yang akhirnya memicu pertarungan maut itu, Pangeran Neraka mengetahui kalau Tiga Datuk Karang menginginkan kalung milik Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian. Sementara seingatnya, Pendekar Slebor pun menyimpan kalung seru pa ketika diperlihatkan pada Amitha beberapa waktu lalu. Ketika tiga murid sesat Petaruh Sakti Perut Buncit terkapar, Pangeran Neraka keluar dari persembunyian. Tiga Datuk Karang murka. Mereka merasa dimata-matai. Mereka tak pernah ingin rahasia besar mereka selama ini diketahui orang lain, meskipun orang itu kini menjadi sekutu mereka dalam Perserikatan Setan.
Dengan silat lidah yang lincah, Pangeran Neraka berhasil meredam kemarahan ketiga dedengkot golongan sesat tersebut. Dikatakannya, dia mengetahui satu kalung yang diinginkan Tiga Datuk Karang. Diiming-iminginya pula janji bahwa dia bisa merencanakan perebutan kalung dari tangan Pendekar Slebor tanpa berurusan dengan Pendekar Lembah Kutukan, Nyai Silili-lilu, dan Petaruh Sakti Perut Buncit.
Lalu, Pangeran Neraka merencanakan menggiring Andika agar bisa dikepung sendiri. Dia lalu meminta seorang dari Tiga Datuk Karang untuk bersandiwara seolah-olah dirinya si Gila Petualang. Karena tak menguasai seni penyamaran, Datuk Kening Perak yang meminta mengaku sebagai si Gila Petualang harus berhadapan langsung dengan Pendekar Slebor setelah malam benar-benar telah turun.
Otak cerdik Pendekar Slebor selama ini pun termangsa oleh kelicikan Pangeran Neraka. Dikira Andika, dia telah berhasil mengenali orang yang dikejarnya beberapa waktu lalu.
Nyatanya, justru dia yang termakan tipu daya.
Sementara Datuk Kening Perak menggiring Pendekar Slebor, Pangeran Neraka, Amitha dan dua dari Tiga Datuk Karang yang lain menanti di wilayah berbukit, tempat kini mereka memunculkan diri.
Itu sebabnya Pendekar Slebor merasa ada yang tak beres ketika itu.

***

Pendekar Slebor, Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu, dan Petaruh Sakti Perut Buncit masih berlari. Selang dua kali penanakan nasi berlari, Ki Saptacakra mendadak berseru.
"Eit, tunggu!" Ki Saptacakra menahan laju larinya.
"Apa ada yang telah kita lupakan?" simpulnya pada Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut Buncit dan Nyai Silili-lilu.
"Apa, Ki Buyut" Apa"!" sambar Pendekar Slebor.
Dia sudah tak sabar ingin cepat sampai. Masalahnya, yang dibopongnya kini seorang wanita cantik bertubuh 'ehm'. Membopongnya saja bisa membuat dada pemuda itu berdentum-dentum tak karuan. Pasalnya, ketika dia berlari dua bukit sekal di bagian dada perempuan itu tanpa diatur 'mengurut-ngurut' punggungnya. (Tukang pijat saja, kalah nikmatnya)! Andika jadi merinding juga. Tapi, bukan dengan begitu dia tak menikmati.
Rezeki nomplok yang bikin merinding, kicaunya membatin. Selain itu, dia juga ingin cepat-cepat memelototi sepuas-puasnya wajah cantik itu setibanya di tempat Petaruh Sakti Perut Buncit nanti. Tentunya....
"Kau ke manakan otakmu!" bentak Pendekar Lembah Kutukan.
"Mak!" Andika terlonjak dengan mata mendelik dan lubang hidung menganga. Sedang asyik-asyiknya membayangkan wajah cantik Dewi Kecubung, Ki Saptacakra menghardik. Tak punya perasaan, gerutunya.
"Apa kau lupa kalau mayat dua murid murtad itu belum diurus"!" tebas Ki Saptacakra kembali, "Biar saja bangkai mereka jadi makanan burung pemakan bangkai!" sela Petaruh Sakti Perut Buncit.
Setuju sekali ah! Seru Andika membatin. Dia tahu kalau mayat itu harus diurus, pasti Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan akan melimpahkan kepadanya. Dia bisa kehilangan keasyikan! "Tidak bisa!" tegas Ki Saptacakra.
"Sebejat-bejatnya mereka, mereka tetap manusia!"
"Siapa yang bilang kampret!" gumam Pendekar Slebor.
"Jadi...," mulai Ki Saptacakra lagi. Diliriknya Andika. Tuh, benar kataku, gerutu pemuda sakti tanah Jawa.
"Kau kembali ke tempat itu! Urus mayat mereka secara baik! Kita harus menghormati jenazah orang-orang yang telah kembali ke pangkuan Yang Esa!" Bersungut-sungut, Andika melangkah. Perintah buyutnya tak boleh ditolak.
"Hey, mau ke mana kau"!" tahan Ki Saptacakra.
Wajah buyutnya merengut.
"Bukankah kau barusan menyuruhku untuk mengurus mayat dua lelaki itu?" katanya tak bersemangat.
"Dengan membopong-bopong perempuan di bahumu?" sindir Nyai Silili-lilu, menyala.
Pendekar Slebor nyengir badak. Saking keasyikan, dia sampai kelupaan....

***

Ò´Ò´{ 9 }Ò´Ò´

Malam kian larut. Sepanjang malam, satwa merintih-rintih tersiksa. Hanya yang kuat masih sanggup bertahan. Air untuk melangsungkan kehidupan sudah terlalu sulit didapat. Hujan tak kunjung datang. Hukum alam berlaku. Tapi, apakah semuanya sekadar hukum alam" Bukankah alam sendiri adalah perwujudan hukum Tuhan" Bagi para satwa, Tuhan sedang berbincang dengan penderitaan mereka.
Andika berjalan kembali ke tempat semula. Tergopoh-gopoh tidak, santai pun tidak. Pikirannya sedang digempur pertanyaan demi pertanyaan. Peristiwa pertemuan dengan si Gila Petualang mengusiknya kembali. Kenapa si tua musuh lamanya itu memancingnya untuk melakukan kejar-kejaran" Kalau sekadar hendak balas dendam, kenapa harus begitu lama berlari" Tiba di alur sungai kering berbatu-batu kerikil, Andika berhenti sejenak. Tempat yang ditujunya sudah tak seberapa jauh lagi.
"Pasti si Gila Petualang punya maksud. Dia sengaja melakukan itu padaku. Tapi apa tujuannya?" bisiknya seraya mengusap-usap dagu bergaris jantan.
Lalu dicobanya dia berpikir seperti tokoh-tokoh golongan sesat. Terpikir olehnya, jika dia menjadi orang golongan sesat, segala cara akan dilakukan dan dihalalkan untuk mencapai tujuan. Jika punya lawan, maka kelicikan pun diperbuat! Tipu daya. Ya, tipu daya! Pendekar Slebor mulai bisa mereka-reka maksud lelaki tua yang sebelumnya dikejar-kejar sekian lama itu.
"Pasti ada semacam tipu daya yang dipersiapkan untukku!" simpul si anak muda berotak encer.
Bibirnya saat itu juga menyunggingkan senyum.
Di tempurung kepalanya, terbayang wajah buyutnya, Ki Saptacakra.
"Rupanya si tua brengsek itu telah pula mengendusi ketidakberesan tersebut. Pantas saja aku diperintahkan kembali. Pasti Ki Buyut tak sekadar menyuruhku mengurus pemakaman dua mayat di sana. Sialan, kenapa aku jadi kalah cepat dengan otak lelaki uzur itu! Dibuat dari apa otak si tua itu, sampai tetap bisa berpikir demikian cepat dalam usia kero-pos!" Andika cengengesan.
"Yang jelas bukan terbuat dari kolak singkong," gumamnya berkelakar sendiri.
Pendekar Slebor beranjak kembali. Diputuskan untuk kembali ke tempat semula secara diam-diam.
Dengan mengerahkan seluruh kemampuan peringan tubuhnya, pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu berlari cepat mendaki tanah meninggi yang membentuk bukit. Sengaja dipilihnya tempat yang paling tinggi. Tempat seperti itu memungkinkan dia mengawasi sekitarnya lebih leluasa. Di balik pohon jati besar kering yang tumbuh dalam kepungan pepohonan karet, Pendekar Slebor mengintai ke tempat dua mayat murid murtad Petaruh Sakti Perut Buncit tergeletak.
Sepi. Tak ada siapa-siapa di bawah sana.
Malam mengendap-endap terus. Sekian lama mengintai, tetap juga tak terlihat tanda-tanda mencurigakan. Pendekar Slebor mulai ragu, apakah kecurigaannya memang benar. Atau semua pikiran itu cuma pembawaan perasaannya saja" Karena merasa bosan, juga tak yakin lagi dengan prasangkanya, Andika hendak keluar dari persembunyian. Sebelum sempat menggerakkan tubuh, dilihatnya seseorang datang ke tempat yang diawasi di bawah. Andika merapatkan tubuh ke batang pohon jati.
Diperhatikannya tegas-tegas si pendatang. Meski bulan hanya bersinar sebagian, mata Andika masih sanggup mengenali orang itu. Dia dibuat terkesiap, Darahnya berdesir cepat menyaksikan orang tadi.
"Pangeran Neraka...," desisnya. Ada kegusaran terikut dalam desis tadi.
"Jadi benar dugaanku kalau manusia selicin belut dan selicik serigala ini juga telah muncul kembali...." Wajah pemuda itu tampak memperlihatkan garis-garis kekhawatiran. Bagaimana tidak khawatir. Kini dia tahu, setidaknya telah muncul si Gi-la Petualang. Tokoh tua satu itu dengan pengetahuan dan kesaktian yang dikumpulkan dari berbagai penjuru dunia saja akan banyak menebar bencana bagi dunia persilatan. Sekarang disaksikannya pula Pangeran Neraka. Secerdik-cerdiknya Andika, dia masih harus mengakui bahwa otak lelaki di bawah sana tak kalah cerdik dari dirinya. Dulu pun dia sempat diperdaya begitu rupa (dalam episode: "Sepasang Bidadari Merah")! Kuat dugaan Pendekar Slebor kalau mereka tentu ada hubungan dengan Perserikatan Setan. Hal paling buruk, keduanya turut bergabung dengan rencana terkutuk itu tiga murid murtad Petaruh Sakti Perut Buncit. Setelah mereka muncul, siapa lagi tokoh jajaran atas yang akan menyusul" Tanya hati Andika giris.
Satu hal turut mengambang di benaknya berkenaan dengan Perserikatan Setan. Kenapa tiga orang pencetus rencana besar itu mendapat nasib naas" Dua orang di antaranya, Katak Merah dan Mata Dewa Kematian malah telah menemui ajal. Siapa yang telah mencelakakan mereka" Kalau teringat pada kalung mereka yang hilang secara paksa, tentu saja jawabannya terdapat dalam ketiga kalung itu. Andika yakin.
Tapi untuk apa semua benda yang tampaknya tak berharga itu" Apakah orang yang membunuh mereka orang golongan sesat juga?" Sedang sibuk-sibuk Andika berpikir, tiba-tiba disadarinya ada orang lain yang telah begitu lama memperhatikan di belakang. Andika sigap menoleh.
"Kau...," katanya singkat. Orang itu ternyata Amitha. Telah berdiri cukup lama tanpa disadari oleh Pendekar Slebor sendiri.
"Kita bertemu lagi, Pendekar Slebor!" Andika memasang wajah penuh persahabatannya. Senyumnya mengembang lebar-lebar. Tak mengapa jadi terlihat sedikit tolol, yang penting lelaki India itu tahu kalau dirinya tak ingin bermusuhan.
Di bawah siraman lamat sinar bulan, wajah Amitha tak berubah. Kedua ujung bibirnya terungkit, melempar ejekan.
"Jangan menipuku dengan senyummu, Pendekar Terkutuk! Aku tak akan bisa kau perdayai lagi!" Dalam hati, Andika mulai tak suka dengan sikap Amitha. Apalagi dengan ucapannya.
"Kau mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti, Saudara," ucap Pendekar Slebor, sungguhsungguh. Tak ada lagi senyumnya.
"Itulah kau, Pendekar Slebor. Dibalik keharuman namamu, ternyata kau tak lebih dari binatang durja-na!"
"Itu pun aku tak mengerti," sambar Pendekar Slebor.
Amitha mendengus.
"Aku sudah muak dengan kepalsuanmu, Ksatria Palsu!" serapahnya bertekanan.
"Kau telah mencabut nyawa istriku. Sekarang, kau tak perlu banyak mulut.
Bersiap saja untuk mati! Aku akan menuntut hutang nyawa itu!" tandas Amitha.
"Kau tak bisa menuntut apa-apa dariku, Amitha!" seru Andika lantang.
Mereka kini berdiri berjajar. Cara berdiri mereka memperlihatkan bagaimana kedua orang itu siap bertarung hidup mati dengan lawan. Pendekar Slebor bagaimanapun meski siap menghadapi amukan Amitha yang setiap saat bisa meledak.
Bulan mengapung di angkasa, tepat di kepala kedua orang itu, membuat tubuh mereka tak begitu jelas dari arah depan. Mereka seolah dua bayangan yang siap menjemput nyawa lawan masing-masing.
"Kau pikir, kau akan dapat lolos dari tanganku, Pendekar Slebor"! Kau salah duga! Hari ini, tak akan kubiarkan hutang nyawa itu luput untuk kau bayar!" tegas Amitha padat kemurkaan seorang dikuasai dendam.
"Bukankah sudah kukatakan padamu dulu bahwa semuanya hanya salah paham," tandas Pendekar Slebor. Betapa dia merasa dirinya terlalu dipojokkan Amitha. Sementara Andika sendiri tahu pasti, dia tak memiliki bukti cukup kuat untuk meyakinkan lelaki India itu.
"Dusta!" Mata Andika mendelik. Dusta" Dia mengatakan aku berdusta" E, sejak kapan Pendekar Slebor berkata dusta pada orang yang tak patut didustai"
"Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura tolol, Pendekar Slebor. Du-lu orang persilatan boleh menganggap kau sebagai seorang ksatria. Kini, kau tak lebih dari cecunguk busuk.
Kau terlalu dibuai nama besarmu!"
"Apa maksudmu"!" Andika makin mendelik-delik.
Dia belum juga mengerti.
"Nama besarmu itu telah membuat kau lupa diri.
Kau ingin tetap diagungkan dunia persilatan, lalu kau mulai rakus terhadap kesaktian. Kau buru seorang lelaki India untuk merebut kitab yoganya!"
"Apa maksudmu"! Ini benar-benar gila"!" Andika mencak-mencak kalang kabut.
Wajahnya porak-poranda seperti letusan bisul mendengar setiap tudingan Amitha.
"Dan yang lebih busuk dari semua itu, kau bunuh istriku hanya untuk satu keterangan!" cecar Amitha, tanpa memberi kesempatan pada Pendekar Slebor untuk membela diri.
"Diam! Omong kosong siapa yang telah kau dengar"!" hardik Pendekar Slebor. Kini mulai diendusinya ketidakberesan. Seseorang telah menghasut Amitha.
Hanya ada yang masih belum diketahui. Siapa penghasut itu" Menilai ucapan Amitha yang demikian yakin bahwa Pendekar Slebor adalah pembunuh istrinya, tentu si penghasut adalah orang yang amat lihai mempengaruhi orang lain.
Andika jadi ingat pada seorang musuh lamanya ketika dia harus berhadapan dengan Pendekar Wanita Tanah Buangan, seorang pendekar wanita pendendam yang terjerat permainan licik pamannya sendiri, Pangeran Neraka.
Amitha tak mau mengulur-ngulur waktu lebih lama. Keadaannya dirinya makin tak memungkinkan untuk bertele-tele. Gejolak dendam dalam dirinya sudah tak lagi dapat dibendung.
Amitha segera menghambur ke arah Pendekar Slebor. Anak muda sakti dari Lembah Kutukan sendiri saat itu telah bersiap diri menghadapi kemungkinan terburuk yang bakal dilakukan Amitha.
"Grrhhhaaah!" Dengan berjumpalitan tiga empat kali di atas tanah keras layaknya seekor singa lapar, Amitha mempersempit jarak dengan calon lawannya. Setiap kali tangannya terjejak jari-jemarinya menembus tanah.
Tahu dirinya belum bahaya besar, Pendekar Slebor segera melenting ke sisi kiri. Gerakan terkaman Amitha yang demikian cepat memburu perutnya di udara. Pendekar Slebor dipaksa untuk menahan sambaran jari mengejang lawan.
Wukh! Dash! Menyambut sambaran cakar lawan, Pendekar Slebor mengayunkan tangannya ke depan. Jari mengembang kejang Amitha bertumbukan kuat dengan pergelangan tangan Pendekar Slebor.
Andika tahu, dia harus membalas. Jika tidak, lawan akan memiliki kesempatan melepas serangan susulan. Meski amat sadar Amitha cuma termakan fitnah, Pendekar Slebor terpaksa juga menyerangnya. Satu tendangan berantai dilancarkan. Padahal, tubuhnya masih berada di udara.
Deb! Deb! Deb! Amitha mungkin tergolong tokoh kemarin sore.
Kedigdayaan sesat belum lama dikuasainya. Untuk kesaktian yang didapat demikian cepat itu, malah Pendekar Slebor masih setingkat di bawahnya. Lepas dari itu, Amitha tak mau ambil resiko terhadap serbuan tendangan berantai kaki lawan. Cepat dia menghempas tubuh ke belakang kembali.
Kesempatan itu dipergunakan Pendekar Slebor untuk mengokohkan kuda-kuda kembali di atas tanah.
"Saudara, sebaliknya kau memberiku kesempatan untuk membuktikan semua ucapanku!" ujarnya, menco-ba menahan amukan Amitha lebih kuat.
"Tak perlu! Kau hanya harus mampus hari ini! Hearh!" Serbuan lelaki India terbakar dendam itu dimulai kembali. Berkawal sumpah serapah tak kentara, Pendekar Slebor melempar tubuhnya tinggi ke udara. Di udara dia berguliran deras dengan tubuh terlekuk dalam.
Dengan cara itu, dia hendak memperdayai Amitha.
Saat lawan lengah mengikuti gerak tubuhnya, akan dilancarkannya seruntun totokan cepat secara tak terduga. Biarpun belum cukup berpengalaman dalam kancah dunia persilatan, rupanya Amitha tak mudah tertipu. Dengan cukup jeli dia dapat menduga-duga maksud lawan. Sebelum jari tangan Pendekar Slebor melepas sepuluh totokan cepat ke sepuluh titik jalan darah di tubuh si lelaki kalap, Amitha sudah lebih dahulu memutar sepasang tangan kurusnya bagai kincir angin raksasa. Srrr! Tas... tas... tas...! Sepuluh patukan jari Pendekar Slebor ke sepuluh tempat berbeda di tubuh Amitha tak menghasilkan apa-apa. Hanya tulang lengan Amitha saja yang terlabrak. Hampir sekujur tubuh bagian depan lelaki India itu terlindungi oleh putaran tangan.
Menyaksikan hal itu, Andika merasa harus. mengatur siasat lain. Tiba di tanah, tubuhnya langsung berguling tangkas dan cepat menuju lawan. Memang, kejelian mata pendekar muda yang ditempa pengalaman itu menemukan celah lowong yang tak terlindungi putaran tangan di bawah tubuh Amitha.
Amitha sebelumnya sibuk dengan terjangan patukan jari lawan. Dia tak menyadari kalau lawan sudah berada begitu dekat dengan pertahanan terlemah di bagian bawah tubuhnya. Tatkala menyadari, semuanya sudah terlambat. Tanpa perlu tiba di dekat lawan, Pendekar Slebor telah melepas tenaga dalam melalui jari telunjuknya.
Tubs! Tubs! Lontaran tenaga dalam kecil itu mendarat tepat di dua titik jalan darah di pangkal paha Amitha.
Si lelaki India mengeluh tertahan. Saat itu juga sepasang kakinya bagai kehilangan tulang. Tubuhnya tersungkur ke depan. Lalu tersimpuh di tempat.

***

Sehari lalu. Jauh dari tempat pertarungan antara Pendekar Slebor dengan Amitha, tepatnya di Kadipaten Blitar, sebelah timur tanah Jawa. Di sebelah selatan kadipaten tersebut terdapat dusun bernama Beran Kidul.
Sama seperti kebanyakan daerah Jawa lain, pada saat itu dusun Beran Kidul pun sedang dilanda kekeringan hebat Seseorang perempuan tampak berjalan di pinggiran dusun tersebut. Dilihat dari penampilannya, tampak perempuan itu seorang warga persilatan. Pakaiannya merah, memperlihatkan kesan keberanian dan kegairahan pemakainya. Wajahnya demikian memikat untuk ukuran seorang yang mengetahui keindahan.
Rambutnya legam panjang terurai. Daya pikatnya menjadi lengkap dengan dada sekal, pinggang ramping, serta pinggul padatnya.
Peluh di dahi pendekar wanita itu bercucuran, kotor bercampur dengan debu. Sesekali, lengan bajunya disapukan ke bagian tersebut. Bibirnya yang memiliki bentuk demikian mempesona tampak kering dan agak pecah-pecah. Panas siang telah lancang sedikit merusak kecantikannya.
"Ke mana Uwak Nyai Silili-lilu sebenarnya?" tanya perempuan itu, mendesah.
Keluhnya terdengar. Telah dua minggu dia berjalan mencari. Orang yang dicari seperti raib ditelan bumi.
Siapa pendekar wanita yang mencari Nyai Sililililu ini. Beberapa waktu lalu, dia menggegerkan dunia persilatan dengan julukan Ratu Lebah. Nama aslinya Mayangseruni. Murid satu-satunya si nenek nyentrik, Nyai Silili-lilu.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang Ratu Lebah, bacalah episode "Pendekar Wanita Tanah Buangan", dan "Sepasang Bidadari Merah")! Kurang lebih dua minggu lalu, Mayangseruni menemukan tempat tinggal Nyai Silili-lilu kosong.
Tempat tinggal berupa pohon tua berlubang dengan ruangan di bawahnya itu ditinggal dalam keadaan kacau-balau. Bau pesing pula.
Tentu saja hal itu membuat Mayangseruni menjadi khawatir. Sebab, tak biasa-biasanya Nyai Silili-lilu meninggalkan tempat tersebut. Mayangseruni memutuskan untuk segera mencarinya. Hari ini, masuk hari ketiga belas masa pencariannya. Mayangseruni terus berjalan. Sampai langkahnya terhenti di tepi Sungai Brantas. Sungai dalam keadaan sekarat. Tepiannya sudah kering sama sekali. Sisa air demikian menyedihkan. Hanya mengalir kecil seperti selokan di tengah-tengah badan sungai. Rasa haus yang menggelantung begitu pekat di tenggorokan menuntut Mayangseruni untuk meneguk air sungai.
Didekatinya bagian yang paling jernih. Mayangseruni bersimpuh. Kedua tangannya menjulur, menciduk air. Diteguknya air itu dengan penuh kenikmatan. Dalam keadaan teramat haus, rasanya air adalah surga.
Puas melepas dahaga, Mayangseruni membasuh wajah dan sebagian rambutnya dengan air. Biar enyah semua perasaan penat. Dinikmatinya sesaat kesegaran air dan terpaan angin. Setelah benar-benar puas, perempuan itu bangkit.
Belum lama dia berdiri, mendadak perutnya terasa mual. Matanya berkunang-kunang. Bumi bagai diayun ke kiri ke kanan. Kepalanya pun memberat.
"Kenapa dengan diriku?" keluhnya lirih.
Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tubuh Mayangseruni ambruk.
Tak lama kemudian, datang sesosok tubuh menjemputnya. Tubuh pendekar wanita itu dibopong dengan kedua tangan, lalu dilarikan. Entah ke mana.

***

Kembali ke pertarungan antara Pendekar Slebor dan Amitha. Amitha ketika itu berhasil dilumpuhkan kudakudanya oleh dua totokan Pendekar Slebor pada kedua pangkal pahanya. Lelaki India itu tersimpuh di tempat tanpa bisa berbuat apaapa. Wajahnya memperlihatkan kegeraman berbaur dengan kemurkaan memuncak. Menjadikan sorot matanya demikian menggidikkan, meski bagi nyali alot seorang Pendekar Slebor.
"Maaf, Saudara. Terpaksa aku melakukan," sesal Andika.
"Jangan banyak basa-basi! Aku sudah muak melihat semua kepalsuanmu!" desis Amitha tertahantahan akibat desakan-desakan kemarahan.
"Aku tak bisa percaya ini!" bentak Pendekar Slebor.
"Sementara, aku sendiri sampai saat ini belum mengetahui siapa namamu, kenapa kita harus bermusuhan" Bagaimana caraku agar membuatmu percaya bahwa aku bukanlah pembunuh istrimu"!"
"Tak perlu! Sebab kau akan tetap mati. Jangan mengira aku sudah kalah karena telah tertotok olehmu!" ancam Amitha.
Andika menggeleng-gelengkan kepala, masyghul.
Ancaman Amitha nyatanya bukan pepesan kosong dari mulut seorang pecundang. Dia membuktikan ancaman tadi, dengan memejamkan mata. Kedua tangannya bersilangan di depan wajah. Tubuhnya beberapa saat kemudian bergetaran, bagai ada gempa dari dalam dirinya. Pendekar Slebor terus memperhatikan. Tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk kembali lari dari Amitha. Dia terlalu ingin tahu sebenarnya apa yang hendak dilakukan Amitha saat itu. Lagi pula, dia sudah bosan menghindar terus. Persoalan harus dijernihkan hari ini juga, tekadnya.
Perhatian Pendekar Slebor makin tercurah, ketika samar-samar disaksikannya dari sekujur permukaan kulit Amitha mulai menyeruak pendar-pendar cahaya berkabut berwarna merah bara.
Detik itulah, Pendekar Slebor baru menyadari kalau si lelaki India sedang mengerahkan ajian sesatnya.
Dia akan segera berubah wujud menjadi makhluk jejadian, Macan Kepala Ular! Andika menyadari keadaan itu karena dia teringat ketika pertama menyaksikan makhluk jelmaan diri Amitha dulu. Sewaktu makhluk jejadian terkutuk itu berubah wujud men-jadi Amitha, Andika pun menyaksikan pendar-pendar cahaya berkabut merah bara.
Tanpa tahu mesti berbuat apa-apa, bahaya yang disadari Andika sudah jadi terlambat. Di depannya, tubuh Amitha kini telah benar-benar menjelma menjadi makhluk berwujud... tak utuh. Seekor macan berkepala puluhan ular yang mendesis-desis membentuk dengung bergaung, mencakar nyali.
"Nggsnngsss!" Berikutnya kejadian yang tak terduga Pendekar Slebor menyusul. Makhluk jejadian itu telah berhasil membebaskan dua totokan yang tergolong sulit dibe-baskan. Dibantu orang lain saja, sudah amat sulit.
Apalagi dengan usahanya sendiri. Tapi, itu benarbenar terjadi! "Saudara! Ini sudah keterlaluan!" seru Pendekar Slebor, nyaris seperti memekik.
Dia berusaha keras untuk mencegah amukan Amitha yang telah menjelma menjadi sosok dari dasar neraka itu.
"Hadapilah semuanya dengan pikiran jernih! Kalau kau ingin mengetahui satu kebenaran, kau tak bisa hanya mengikuti perasaanmu saja!" Semua usaha Andika tak mendapat tanggapan apa-apa, kecuali dengung bergaung yang makin santer. Sebelum akhirnya dari puluhan pasang mata ular di leher binatang menyeramkan itu menerjangkan dua larik cahaya panjang berwarna merah bara ke mata Pendekar Slebor.
Pendekar muda dari Lembah Kutukan yang tak pernah menduga kejadian itu tak bisa lagi menghindar dari terkaman cepat juluran cahaya tadi. Tepat di dua bola matanya, sinar menyilaukan tadi menusuk masuk.
"Aaa!" Pendekar Slebor melepas lengkingan tinggi, menotok langit. Tangannya menutup mata. Apa yang sedang dirasakan Pendekar Slebor saat itu benar-benar tak terperikan. Dirinya seperti dirasuki ratusan roh-roh sesat, memadati garba batinnya dan menyiksanya dari dalam. Nyawanya seakan hendak ditendang keluar dari tubuh sendiri. Seribu rasa sakit yang pernah dialami manusia di dunia, dirasakan Andika saat itu.
Di lain pihak, makhluk jejadian di depannya mendengung lebih santer. Dari caranya berdiri, tampak jelas kalau dia siap melakukan terkaman maut ke arah korbannya....
Pada saatnya, terkaman buas itu benar-benar terjadi. Dari jarak yang cukup jauh, makhluk jejadian menyeramkan di depan Pendekar Slebor mencelat. Kedua kaki depannya mengeras. Kuku-kukunya bersembulan dalam sekejap, memendam kesan haus darah.
Pihak yang diserang sendiri saat itu sedang berkutat dengan segenap rasa menyiksa. Bersumber dari sepasang biji matanya, Pendekar Slebor merasakan dirinya nyaris sekarat. Sulit untuk mempertahankan kesadaran. Jika untuk itu saja sudah sulit, bagaimana lagi dia harus menghindari terkaman lawan" Beriring dengung berat Macan Kepala Ular, tenggorokan Pendekar Slebor melepas lengkingan untuk ke sekian kalinya. Tak ada yang bisa diperbuat selain itu.
Dia sudah tak sanggup melakukan apa-apa.
Namun, teriakan yang terdorong oleh rasa sakit luar biasa tadi justru membangkitkan kekuatan 'Inti Petir' yang selama ini mendekam dalam dirinya. Tanpa sadar, gelegak tenaga 'Inti Petir' membuncah ke sekujur tubuhnya, mengalirinya dengan kekuatan listrik alam tak terhingga untuk ketahanan tubuh seorang manusia. Dalam sekejapan, kulit tubuh pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu berpendar menyilaukan. Pada saat yang sama, kukukuku sang makhluk jejadian mendarat didua belahan dada bidang si pemuda yang mengejang.
Terlambunglah suara menggidikkan ke angkasa.
Dazzz! Suara asing yang begitu mirip dengan desis lidah halilintar memangsa pucuk pohon kelapa! Sepersekian kejap dari suara meninggi tadi, meluruk pula dengung berat dari mulut puluhan ular di leher macan jejadian.
Kalau sebelumnya bernada kemurkaan, kini padat dengan nada giris merintih.
Berbarengan dengan itu, kerongkongan Pendekar Slebor bergetar kembali, melempar kekuatan lengkingan yang sanggup dilempar sekuatnya. Siksaan dalam dirinya telah meningkat berlipat kali! Tubuh berbeda wujud itu bergeletaran liar. Keadaannya seperti dua makhluk yang disengat terus menerus oleh seruntun petir menggila. Yang aneh, kukukuku di kedua kaki depan makhluk jejadian, sama sekali tak terlepas dari dada Pendekar Slebor. Padahal, benda-benda tajam tersebut sama sekali tak menembus dada si pemuda sakti tanah Jawa, bahkan sekadar mengoyak kulitnya.
Sementara Pendekar Slebor jatuh berlutut, dengan tubuh mengejang dan tangan terbentang, makhluk jejadian di dekatnya tersentak-sentak. Dua kaki belakangnya berkutat liar hendak melepaskan diri dari pagutan tak terjelaskan dari tubuh lawan. Beberapa kali hentakan nyalang dilakukan ke tanah, tapi tetap saja tak sanggup membobol kekuatan pagutan tadi.
Cukup lama kejadian tersebut berlangsung.
Sampai keduanya kemudian terkulai perlahan. Pendekar Slebor terjatuh ke belakang. Kakinya terlipat. Sedangkan lawan anehnya terkulai ke samping. Ketika itu, pendar cahaya menyilaukan di sekujur kulit Pendekar Slebor memudar lamat-lamat. Lalu menghilang.
Kuku-kuku kedua kaki depan makhluk jejadian telah terlepas dari permukaan kulit dadanya. Itu yang menyebabkan tubuh Macan Kepala Ular dapat dengan mudah terkulai.
Keduanya tergeletak tanpa gerak di tanah. Diam.
Bisu. Juga hening.
Selang setengah penanakan nasi, suatu keanehan baru mencuat dari tubuh macan berkepala puluhan ular. Seberkas sinar merah bara panas dan menyengat mata bergemul sesaat. Selanjutnya sinar merah bara tadi melepaskan diri dari tubuh yang sudah menjadi bangkai. Dari tubuh Macan Berkepala Ular, cahaya itu berpindah dalam kecepatan yang sulit diikuti mata ke dalam tubuh Pendekar Slebor....
Selang berikutnya, wujud mengerikan Macan Kepala Ular perlahan dan samar berubah kembali menjadi sosok lelaki India kurus. Dia telah kehilangan nyawa untuk suatu yang siasia....

***

Rahasia apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam tiga kalung milik Katak Merah, Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian? Mengapa Tiga Datuk Karang begitu menginginkannya? Apa pula yang terjadi dengan Pendekar Slebor? Lalu, apakah Tiga Datuk Karang akan mendapatkan kitab pamungkas ilmu 'Karang' mereka? Banyak pertanyaan menanti jawaban. Semuanya akan terjawab tuntas dalam episode berikutnya.

Jaga waktu terbitnya:
AJIAN SESAT PENDEKAR SLEBOR


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Macan Kepala Ular --oo0oo-- Ajian Sesat Pendekar Slebor


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.