Life is journey not a destinantion ...

Ajian Sesat Pendekar Slebor

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Perserikatan Setan --oo0oo-- Serigala-Serigala Lapar



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: AJIAN SESAT PENDEKAR SLEBOR

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


ǂǂǂǂǂ{ 1 }ǂǂǂǂǂ

Hari datang dan pergi. Waktu seperti tak pernah singgah di mana pun. Semuanya berlalu begitu saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Kemarau panjang yang selama beberapa bulan terakhir merongrong tanah Jawa, hari ini tampaknya mulai berakhir dengan berduyun-duyunnya awan kelabu gelap di langit. Meski mendung tak terlalu pekat, namun memberi sedikit harapan akan datangnya hujan.
Dan ujian kekeringan untuk tanah Jawa nan subur akhirnya berakhir. Butiran air jatuh juga tipis-tipis. Tanah kering tertimpa gerimis. Debu halus sesaat mengapung di udara. Selanjutnya, mereka tak bisa lagi bertebaran seenaknya. Bumi basah, menyebar bau tanah. Rahmat telah datang rupanya. Setitik air seperti limpahan berkah tak terkira.
Di tengah-tengah gerimis, seseorang berjalan terhuyung-huyung Iimbung. Langkahnya terseret. di tanah basah. Geraknya tersuruk. Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan selempang kain ber-corak catur di bahunya. Keadaannya begitu kacau. Rambut sebatas bahunya raulai kuyup.
Wajahnya pucat pasi, di antara lelehan keringat bercampur air hujan.
Sebentar dia berhenti. Ditengadahkannya kepala, serta dibukanya mulut. Rasa kering kerontang di kerongkongan memaksa dia untuk mencoba menampung Iangsung butiran-butiran air dan Iangit. Tenggorokannya kemudian terlihat bergerak meneguk dengan susahpayah. Tak lama, dia mulai beringsut kembali.
Tak jauh melangkah. Hanya sanggup memindahkan kaki tujuh-delapan tindak, Ielaki muda itu tak kuasa Iagi mempertahankan posisi tubuhnya. Dia terhuyung tajam dan tersungkur.
Bumi menjadi gulita di matanya.
Pemuda Iusuh tadi merasakan dirinya terangkat tinggi, Ialu dijerumuskan ke dalam ruang gelap gulita yang menjulur terlampau dalam tiada dasar. Yang aneh, dirinya justru tak merasa sedang dalam keadaan meluncur jatuh.
Sebaliknya, dirasakan dirinya meIayang deras dalam Iiang panjang gulita tadi.
Tak ada angin melintasi permukaan kulit sebagaimana layaknya scorang dalam kcadaan bergerak.
Itu pun ganjil nilainya. Jangankan merasakan angin di permukaan kulit, tubuhnya scndiri tak Iagi dirasakannya.
Apakah saat itu dia masih mcmiliki tubuh" Pertanyaan itu dirasa tak perlu dipersoalkan. Sebab, add keganjilan lain yang sama sckali menyedot perhatiannya. Di atas sana, tepat di Iubang Iiang panjang gelap gulita, dilihatnya seberkas cahaya. Dia ibarat seorang yang sedang terjatuh dalam sumur dalam dan melihat ke mulut sumur. Di mulut lubang yang memendarkan cahaya itu, disaksikan sendiri jeIas-jelas tubuhnya terkapar di tanah basah. Butiran gerimis masih menggerayang di sekujur tubuh itu. Disaksikan tubuhnya demikian menyedihkan, terlen-tang tanpa gemik. Sementara dirinya yang melayang deras ke bawah terus menatapi nanar ke tubuh kembarnya di atas sana.
Semuanya kemudian berubah kembali.
Seperti panorama mimpi yang mendadak berganti. Mulut lubang bercahaya yang memperlihatkan tubuh kembarnya memudar dan menghilang. Kegelapan terenyahkan oleh kekuatan tak terjelaskan.
Gulita tiada. Digantikan secara mendadak oleh selaksa benang-benang kabut dalam tata warna mempesona. Merah, jingga, ungu, biru, hijau, dan sekian warna yang saling menindih dalam gerak gemulai.
Meliuk berirama. Menggapai seakan sayap-sayap samar iring-iringan bidadarL Dirinya telah terkepung benang-benang kabut bcrwarna-warni. Sesakkah dia" Tak ada rasa itu. Satu-satunya perasaan yang menyeruak adalah perasaan damai. Demikian pekat damai itu. Demikian kental. Jika dia bisa bertanya, akan diutarakan pertanyaan; mungkinkah ada rasa damai yang Iebih damai dari yang kini dialami" Selanjutnya. seluruh benang-benang kabut warnawarni tanpa ujung tanpa pangkal itu memisahkan diri di satu bagian. Terbentuklah celah. Dari balik ceIah, perlahan tampak wujud seorang tua berwajah teduh.
Dagunya ditumbuhi janggut sewarna Iembutnya salju sepanjang Iehernya.
Sinar matanya saja bahkan sanggup menyejukkan perasaan si pemuda. Di keningnya terpancar cahaya amat terang, namun tak menyilaukan. Dalam pakaian yang sulit ditentukan warnanya karena tersamar pendar cahaya benang-benang kabut, orang tua itu menjulurkan sebelah tangan.
Entah bagaimana, pemuda itu menjemput begitu saja uluran tangan si orang tua.
Digenggamnya jemari itu.
Terasa ada kedamaian pula di sana. Lalu, orang tua tadi menghelanya Iembut untuk masuk ke dalam celah.
Ketika pemuda itu makin dekat, orang tua tadi mendadak merangkulnya. Kesejukan serta kedamaian terasa Iagi. Lantas, telinga si pemuda dibisikinya; "Dirimu adalah muara. Di sana sebelumnya berkumpul, datang dan pergi Dirimu adalah dermaga, semuanya merapat dan ingin memastikan tempat. Namun, dirimu adalah milikmu. Muara dan dermaga itu pun milikmu, Cuma kau yang harus menentukan apa yang harus mengalir di muara dan apa yang harus merapat di dermaga itu. Jangan pemah kehilangan muaramu, atau dermagamu..."

***

"Aku jadi tidak mengerti, sebenarnya ke mana anak muda sial itu pergi?" Terdengar cacian seorang perempuan tua dari sebuah gubuk reyot yang diba-ngun tak jauh dari Pantai Laut Selatan. Menyusul makian scbal tadi, terdengar bunyi riuh rendah benda-benda yang dilemparkan di dalam gubuk.
"Perabotan di tempat ini kenapa tidak ada yang benar" Semuanya bau cecurut!" sambung suara perempuan tua tadi.
"Kau sebenarnya sedang kesal sama siapa, atau sama apa?" terdengar suara seorang lelaki tua menimpali.
"Semuanya! Termasuk kau!"
"Apa salahku fcingga kau begitu kesal padaku?"
"Karena kau... ah, sudahlah!" Di dalam gubuk, sepasang nenek-kakek memeributkan pepesan kosong. Sebutlah mereka tua.
Namun, semangat keduanya tampak menggebu-gebu melebihi orang muda. Terlihat sekali dari cara mereka bicara. Juga dari cara mereka berdiri meski keadaan punuk mereka sudah sama-sama melengkung.
Di dekat dinding sebelah kanan pintu, tcrdapat balai dari bilah-bilah bambu berwarna coklat matang. Di atasnya, telentang seorang dara cantik. Matanya terpejam. Bukan sedang tertidur. Melainkan sedang dalam keadaan tak sadarkan diri. Tiga-empat tindakdari balai, seorang tua berkepala setengah botak berperut buncit duduk menekuk lutut di atas kendil (semacam kuali) tanah liat besar yang lertelungkup. Kepalanya terangguk-angguk memerangi kantuk.
Sebentar terdengar dengkurnya, sebentar kemudian terdengar gumamannya. Suara ribut pertengkaran perempuan dan lelaki tua di tempat yang sama, seperti tak pemah mengusiknya. Dua manusia jompo yang seru-serunya meributkan sesuatu siapa Iagi kalau bukan Nyai Silili-lilu dan Ki Saptacakra.
Kakak beradik bangkotan, sepasang dedengkot dunia persilatan beradat 'angot-angotan'.
Mudah diduga siapa lelaki tua Iain yang terkantuk-kantuk di sudut ruang gubuk.
Petaruh Sakti Perut Buncit tentu saja. Sedangkan perempuan cantik yang telentang diam di atas balai adalah Dewi Kecubung. Murid perempuan murtad itu dalam keadaan mengkhawatirkan.
Ada pukulan bertenaga dalam tingkat tinggi telah melukai tubuh bagian dalamnya.
Nyai Silili-lilu (meskipun mulut ccrewetnya seperti kaleng rombeng dan tengiknya seperti biang setan) berniat mengobati luka dalam perempuan itu.
(Untuk mengetahui kejadian tersebut lebih jelas, bacalah episode sebelumnya; "Perserikatan Setan").
Sebelumnya, tubuh Dewi Kecubung telah disaIurkan bawa murni selama beberapa saat. Satu perjuangan yang memakan waktu agak lama mengingat pukulan tenaga dalam tingkat tinggi yang bersarang di tubuh Dewi Kecubung. Tenggang waktu selama penyaluran hawa mumi itu dimanfaatkan si orang tua berperut gentong untuk mencuri-curi tidur. Dasar kerbau! Selesai menyalurkan hawa mumi. Nyai Silili-lilu menyuruh Ki Saptacakra, adik kandungnya untuk mencari beberapa tumbuhan obatobatan. Selama Ki Saptacakra mencari, Nyai Silili-lilu mempersiapkan alat-alatnya. Sampai Ki Saptacakra pulang kembali, nenek bangkotan itu belum juga menemukan pera-botan yang dibutuhkannya. Mau cari perabotan untuk membuat ramuan, atau mencari perabotan Ienong" Itu pula awal pertengkaran tanpa juntrungan mereka.
"Kau jangan diam terus seperti sapi kekenyangan! Bantu aku, Iler SIompret!"sembur Nyai Silili-lilu mendapati Ki Saptacakra malah bersidekap di depan jidatnya.
"Tadi sudah aku tanya, kau sedang mencari apa. Tapi mulut cerewetmu malah memakiku! Kalau aku tidak tahu apa yang mesti kucari, bagaimana aku bisa membantu"!" balas Ki Saptacakra sengit.
"Jadi apa maksudmu"!" Nyai Silili-lilu tampaknya tidak mendengarkan omongan Ki Saptacakra. Masa' sudah bicara sejelas itu masih bertanya; jadi apa maksudmu"
"Bangkotan slompret," rutuk Ki Saptacakra dongkol.
Giliran dimaki seperti itu, Nyai Silili-lilu justru bisa nyambung.
"Kau jangan kurang ajar, ya!" bentaknya dengan mata mendeliki adik kandungnya.
"Aku tadi tanya kau, apa yang sedang kau cari" Biar aku bisa bantu!" tukas Ki Saptacakra. Nyai Silili-lilu diam terbungkuk-bungkuk. Jarinya didekatkan ke kening. Mata kelabunya menyipit.
"Iya juga ya.... Sebenarnya, dari tadi itu aku sedang cari apa?" gumamnya, membuat Ki Saptacakra tambah dongkol.
"Ooo, anu!" sambungnya mendadak.
"Aku mencari alat untuk menggodok ramuan!" Wajah Ki Saptacakra bersungut-sungut. Kalau cuma itu yang dicari, sudah dari tadi dia tahu tempatnya.
Matanya segera melirik ke s udut ruangan, tepat ke arah si orang tua buncit terkantuk-kantuk. Rupanya dia duduk tepat di atas kendil tanah liat yang biasa digunakan untuk menggodok ramuan obat-obatan.
Nyai Silili-lilu mengikuti gerakan mata adiknya.Ketika tahu kendil ada di bawah pantat 'kakanda'nya, kontan saja....
"Buncit! Bangun kau, manusia kerbau!" Petaruh Sakti Perut Buncit terjengkang kaget.
Tubuhnya jatuh terguling ke kolong balai, dan dengkulnya bercumbu mesra dengan kaki balai. Dia pun melintir-Iintir seperti gasing ajaib.

***

Empat kali waktu penanakan nasi berlalu. Nyai Silili-lilu telah selesai menggodok ramuan obat untuk Dewi Kecubung. Setelah dingin, ramuan itu pun sudah dibalurkan ke bagian tubuh Dewi Kecubung yang terkena pukulan tenaga dalam.
Sekarang tinggal menunggu dia sadar. Setelah itu, baru menyuruhnya untuk meminum ramuan lain. Sementara menunggu, ketiga bangkotan sakti itu duduk-duduk di anak tangga gubuk. Tempat itu (yang bau cecurut, kata Nyai Silili-lilu) milik Petaruh Sakti Perut Buncit Di sanalah dia selama ini mengasingkan diri. Di tempat itu pula dia mendidik tiga orang murid. Sayang pada akhirnya, ketiga murid itu malah mendurhakainya.
Malam hampir menutup usia. Di kejauhan, merayap rembang fajar dengan warna merah keemasan. Di kejauhan terbangun paduan suara satwa yang riang menyambut datangnya hari baru.
Ditingkahi debur lamat ombak Pantai Laut Selatan. Gubuk Petaruh Sakti Perut Buncit memang tak terlalu jauh dari bibir pantai.
Kekeringan telah dituntaskan oleh hujan sehari kemarin.
Satwa memuja-muja untuk rahmat itu.
Dengan hari ini, telah tiga malam dua hari Pendekar Slebor tak kembali.
Terakhir, anak muda sakti dari Lembah Kutukan itu diperintah Ki Saptacakra untuk mengurus mayat Katak Merah dan Mata Dewa Kematian secara layak. Hanya untuk urusan mengubur jenazah saja, tentu tidak mungkin memakan waktu selama itu. Itu sebabnya, Nyai Silili-lilu mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beda Nyai Silili-lilu, beda pula Ki Saptacakra menanggapi peristiwa itu. Dia kenal buyutnya. Rasanya seperti mengenal satu bagian dirinya. Seperti mengenal tangan sendiri misalnya. Asal jangan seperti mengenal bokongnya saja! Pemuda itu bukan Iagi anak ingusan yang perlu terlalu dikhawatirkan. Bekal ilmu kanuragan dan kedigdayaannya bisa diandalkan. Apalagi kalau mengingat betapa cerdiknya dia Selagi mengingat keenceran otak cicit buyutnya, Ki Saptacakra mendongakkan dagu. Dia merasa bangga keturunannya tidak memiliki otak udang. Setidak-tidaknya, dia bangga kecerdikan dirinya diturunkan kepada Andika, di samping kesaktiannya.
Namun, bukan dengan begitu Ki Saptacakra tak menjadi cemas. Sesungguhnya dia pun mulai merasakan adanya ketidak beresan pada malam yang sama ketika Nyai Silili-lilu bermimpi. Tingkat makrifat dalam diri orang tua itu membuat hati kecilnya demikian peka. Dia merasakan bahaya tengah dihadapi cicit buyutnya. Tapi, sebagai seorang sesepuh dunia persilatan, dia sudah dapat mengukur kemampuan cicitnya dalam menghadapi bahaya itu. Hatinya tetap yakin, si anak muda dapat mengatasinya.
"Ke mana anak muda itu, ya?" Nyai Silili-lilu bergumam. Selama mengobati luka dalam Dewi Kecubung, selalu saja dia menyebut-nyebut perihal Andika terus. (Dua malam satu hari menyebut-nyebut terus nama cicit kemenakannya, apa tidak gila") Sebenarnya patut diakui kalau hati perempuan tua itu tetap Iembut. Cuma karena sifatnya memang agak edan-edanan, kelembutan hatinya terkadang jadi tak kentara.
Tanpa mengatakan pada adik kandungnya secara langsung, Nyai Silili-lilu kemarin malam sempat bermimpi ketika dia tertidur kelelahan sehabis menyalurkan hawa murni ke tubuh Dewi Kecubung. Dalam mimpi, disaksikan cicit kemenakannya menggapai-gapai lemah. Rintihannya memelas. Itu yang menyebabkan pikirannya terusik terus.
"Aku juga sebenarnya sedang memikirkan hal itu," timpal Petaruh Sakti Perut Buncit sambil mengelus-ngelus perutnya penuh perasaan. Jangan percaya kalau dia benar-benar sedang memikirkan Pendekar Slebor. Itu kan cuma akalnya untuk menyenangkan hati Nyai Silili-lilu. Tangannya itu menjadi tanda kalau dia sebenarnya justru sedang membayangkan sepotong ayam hutan bakar! "Kau terlalu mencemaskan dia, Ni," timpal Ki Saptacakra.
"Toh, dia bukan anak kemarin sore Iagi...."
"Bagiku, dia tetap anak kemarin sore!" bantah Nyai Silili-lilu.
"Iya. Kemarin sore...," sambung Petaruh Sakti Perut Buncit sambil membayangkan makanan yang 'kemarin sore' di makannya.
Sebelum ribut-ribut dua adik-kakak dedengkot dunia persilatan itu pecah Iagi, ketiganya melihat seseorang datang terseok-seok. Orang itu pemuda yang ditunggutunggu mereka, Pendekar Slebor! Nyai Silili-lilu menubruk tubuh Iusuh, Iemah dan Ietih cicit kemenakannya.
Dirangkulnya pemuda itu erat-erat.
Bersemangat. Meski ocehannya saat itu menjengkelkan sama sekali siapa pun yang mendengarnya. Tetap, tak bisa disangkal ada kesan mengharukan. Terutama ketika mata kelabu itu menahan genangan air mata yang menggelantung. Sekali Iagi menjadi jelas, hati seorang wanita Nyai Silili-lilu memang tak bisa dibunuh oleh masa.
Tak pula sifat 'minta ampunnya'.
"Buju busrut! Apa yang terjadi dengan dirimu, Anak Muda Slompret! Kenapa kau bau sekali"! Maksudku, kenapa kau demikian berantakan?" cecar wanita tua bangka itu penuh semangat dan kehangatan.
Andika tak menjawab.
Wajahnya pasi, seolah darahnya telah terperah. Bibirnya yang terpecah-pecah ingin mengatakan sesuatu, tapi pita di tenggorokannya seperti terikat ketat. Setelah itu, dua bola matanya tergulir ke atas. Dia terkulai pingsan. Nyai Silili-lilu kerepotan menahan tubuh kekar pemuda itu.
"Eee!" Nyai Silili-lilu berteriak-teriak kelimpungan.
"Kenapa baru bertemu, kau sudah mau merepotkanku, Slompret!" maki si perempuan uzur seraya terbungkuk-bungkuk menahan tubuh cicit kemenakannya.
Ki Saptcakra segera membantu. Dipapahnya Andika masuk dalam gubuk. Lelaki tua itu sudah bisa membaca cicit buyutnya terluka dalam yang parah. Dia harus segera dirawat, pikirnya. Pekerjaan baru untuk Nyai Silili-lilu tentunya!

***

ǂǂǂǂǂ{ 2 }ǂǂǂǂǂ

Pagi mengendap-endap munc uL Matahari telah beranjak naik. Smarnya tak begitu lancang. Malah terasa hangat bersahabat. Tanah basah karena hujan seharian kemarin, mengepulkan uap tipis ketika disiram sinar matahari muda. Ayam-ayam sudah malas berkokok. Tapi, ombak tak letih-Ietih mendaki pasir pantai. Sinar matahari merayapi gelombang demi gelombang di seluruh permukaan laut, mengantarnya menuju tepian.
Pendekar Slebor tersadar. Yang mula-mula disaksikannya adalah (naas) perut Petaruh Sakti Perut Buncit. Benda apa itu" Apa aku telah mati dan yang kusaksikan sekarang adalah batu besar dari neraka" Mungkin begitu pikirnya.
Sambil mengerjap-ngerjapkan mata dan memegangi kepalanya yang masih terus berdenyut-denyut, Andika berusaha bangkit. Dia baru sadar kalau Petaruh Sakti Perut Buncit tengah duduk menunggu di sisinya ketika orang tua berperut boros itu membantunya bangkit.
"Kau sadar juga, Anak Muda!" seru Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Apa yang telah terjadi pada dirimu sesungguhnya?" susulnya.
Seperti tak mendengar pertanyaan menggebu-gebu lelaki tua buncit itu, Andika malah menyipitkan mata karena silau oleh cahaya matahari yang mengintip masuk dari sela-sela dinding kayu.
"Di mana aku?" desahnya, balik bertanya.
"Kau di tempatku."
"Apa yang terjadi?"
"Eih, mana aku tahu"!" lengak Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Mana Ki Buyut dan Uwak Silili?"
"Auk... Katanya mereka harus pergi segera setelah mereka mengobati Iuka-Iuka dalammu. Ada hal penting, kata mereka. Hal penting tai kucinglah! Masa' aku disuruh menungguimu di sini?" Andika tak mau mendengarkan gerutuan Petaruh Sakti Perut Buncit. Dia segera bangkit dari tikar pandan tempatnya tergeletak sebelumnya. Di satu sudut ruangan di atas balai, Dewi Kecubung belum juga sadarkan diri. Andika melihatnya sekilas. Hanya karena pikirannya masih diusik oleh kejadian yang menimpanya belakangan, anak muda itu jadi tidak begitu memperhatikan.
Dengan berdiri masih Iimbung, diingat-ingatnya kejadian yang telah menimpanya. Semua kejadian Ialu kembali dalam benaknya. Dia ingat, terakhir dia bertarung dengan Amitha. Amitha yang berubah menjadi hewan jejadian menakutkan telah menyorot matanya dengan bersit cahaya. Lalu semuanya hanya terasa seperti siksaan maha hebat yang dipadatkan ke dalam dirinya.
Setelah itu, Andika tak ingat apa-apa.
Entah berapa lama dia pingsan. Sewaktu sadar, dirasakan tubuhnya seperti Iuluh-Iantak dari dalam. Andika berusaha susah-payah kembali ke Pantai Laut Selatan. Di tengah perjalanan, dia kembali tak sadarkan diri. Saat itulah dia mengalami kejadian gaib. Di mana dia merasa rohnya telah keluar dari jasad dan melanglang ke tempat yang belum pemah dipijaknya seumur hidup. Anak muda berhati baja itu sadar kembali ketika orang tua gaib yang ditemuinya selesai membisikkan kalimat-kalimat tak dimengerti. Untuk memikirkan seluruh alur kejadian tersebut, dia masih belum mampu. Tubuhnya masih begitu lemah. Hanya ada satu yang terpikir dalam benaknya saat itu. Kembali ke tempat Petaruh Sakti Perut Buncit.
Dia berharap Nyai Silili-lilu bisa memberi pertolongan memulihkan keadaan tubuhnya kembali.
"Aneh...," bisik Pendekar Slebor manakala teringat pada kejadian gaib yang dialami.
"Siapa yang aneh?" tukas Petaruh Sakti Perut Buncit di belakangnya.
Kepala si anak muda menggeleng.
"Tidak apa-apa," hindarnya. Masih ada keraguan dalam dirinya untuk menceritakan kejadian itu pada Petaruh Sakti Perut Buncit.
Bisa saja orang tua berperut gentong itu hanya menganggap kejadian tersebut sekadar pengaruh luka dalam Andika. Masih lebih baik begitu.
Bagaimana nanti Andika malah dianggap kurang waras" Tapi, ada semacam dorongan dalam diri Pendekar Slebor untuk mengungkapkan hal itu. Tidak pada Petaruh Sakti Perut Buncit. Tidak bisa. Buyutnya, Ki Saptcakra mungkin bisa. Tapi, ke mana orang tua itu"
"Mereka tak bilang ke mana hendak pergi?" tanya Andika seraya menoleh perlahan pada orang tua buncit di belakangnya.
"Sudah kubilang, mereka 'ngeloyor' begitu saja seperti dua gumpalan kentut! Aku jadi sebal!"
"Kau bilang tadi mereka mengatakan tentang sesuatu yang penting, Pak Tua Buncit?"
"Ho-oh, tuh!"
"Penting'bagaimana?"
"Auk, tuh!"
"Pergi ke mana mereka" Dan hal penting apa?" gumam Pendekar Slebor seraya mengurut kening yang masih saja berdenyut-denyut.
"Auk, tuh!" jawab Petaruh Sakti Perut Buncit, padahal Andika tidak bertarrya padanya.
"Bagaimana dengan perempuan itu?" sus ul Pendekar Slebor, ketika dia menyaksikan Dewi Kecubung di atas balai. Untuk kedua kalinya.
Lagi-lagi jawaban yang keluar dari mulut Petaruh Sakti Perut Buncit sama dengan sebelumnya...
"Auk, tuh!" Benar-benar brengsek! Pendekar Slebor hendak memeriksa keadaan Dewi Kecubung. Petaruh Sakti Perut Buncit tanpa perasaan berkata, "Sudah tak perlu dikutak-kutik perempuan itu. Dia sudah diurus Silili-lilu. Kau tak perlu 'melakukan' apa-apa Iagi!"Andika mendengus mangkel. Kepalanya jadi berdenyut-denyut Iagi. Sialan! Hatinya memaki.
Petaruh Sakti Perut Buncit mendekati pintu keluar.
"Mereka tampaknya sudah tiba," katanya santai.
Andika melirik orang tua itu. Dia sama sekali tak mendengar langkah orang datang. Tapi, tua bangka itu tampaknya tidak keliru. Sebab tak lama berselang, terdengar s uara kaleng rombeng Nyai Silili-lilu. Telinga orang tua ini hebat juga, puji Pendekar Slebor dalam hati.
Gedubrak! Andika terperanjat. Pintu gubuk dihempas seseorang dari Iuar tanpa tedeng alingaling. Setan mana yang sedang mengamuk" Pikirnya.
Nyai Silili-lilu masuk bersama semprotan mulut 'sakti'nya.
"Dasar anak muda tolol, dungu, otak udang, otak jangkrik, otak-otak!" makinya di depan hidung sang cicit kemenakan. Orang yang mendapat semprotan ternganganganga tak mengerti. Mengedip pun tidak.
Apa-apaan ini" Rutuk Pendekar Slebor. Dia tak mengerti kenapa tak ada angin tak ada hujan perempuan tua itu memarahinya" Seingat Andika, sewaktu dia tiba di tempat ini, Nyai Silili-lilu menyambut dan memeluknya sedemikian rupa. Sekarang, kenapa dia dimaki-maki" Membingungkan.
"Kenapa...."
"Diam!" bentak Nyai Silili-lilu. baru saja Pendekar Slebor hendak bertanya.
"Percuma saja se'gambreng' orang persilatan menjulukimu dengan nama besar.
Menjaga benda kecil saja kau tidak sanggup! Tidak sanggup... gup...
gup!" gempur nenek sewot itu Iagi. Ludahnya sampai bertebaran ke segenap penjuru.
"Benda apa maksudmu?" Andika tak bisa terima. Dia tak sudi diomeli seperti bocah ingusan salah beIanja.
Biarpun yang mengomel saudara kandung buyutnya sendiri, dia tetap tak bisa terima. Ini namanya semena-mena, protesnya.
"Benda apa?" Mata Nyai Silili-lilu membesar. Besar sekali. Dipelototinya Andika persis di depan wajah pemuda itu. Meski untuk itu dia harus bersusah payah meluruskan punuk melengkungnya.
"Kau pakai tanya benda apa padaku"!" Urat leher kendor perempuan tua itu pun makin tertarik-ulur, macam benang layangan.
Ki Saptacakra mcnyusul masuk gubuk.
"Biar aku yang tanyakan anak ini!" selanya. Lain disambarnya pangkal lengan Andika. Anak muda itu diseretnya keluar. Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit mengekori di belakang. Padahal, Ki Saptacakra bermaksud menanyakan secara empat mata pada buyutnya. Sebab, kalau amukan mulut Nyai Silili-lilu dibiarkan terus, persoalannya jadi lam-bah ruwet.
"Katakan padaku, apakah kau masih menyimpan kalung milik salah seorang murid si Buncit?" tanya Ki Saptacakra setibanya di luar gubuk. Andika menyipitkan mata karena terjangan sinar matahari ke ma-tanya. Dia masih belum bisa cukup jelas melihat mimik wajah Ki Saptacakra. Namun, dari nada bicaranya yang lurus dan bertekanan tampak sekali orang tua sesepuh dunia persilatan itu sedang bersungguh-sungguh.
Di belakang Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu berdiri tak bisa diam. Kepalanya terayun ke kanan dan ke kiri seperti seekor burung Kakatua. Dia masih belum puas memaki-maki Andika. Untung wajah sangar Ki Saptacakra saat itu membuatnya masih bisa sedikit menahan mulut.
Andika cepat memeriksa balik baju di bagian ikat pinggangnya. Wajahnya mengeras, ketika tangannya tak menemukan apa-apa.
"Ke mana kalung itu?" desisnya.
"Jadi selama ini kau membawa kalung itu?" Pendekar Slebor mengangguk, membenarkan.
"Kini benda itu tak ada Iagi padamu. Artrnya, kalung itu hilang," tandas Ki Saptacakra menyimpulkan.
Sekarang, Pendekar Slebor baru mengerti kenapa dua orangtua kakak-beradik itu pergi untuk satu urusan penting. Mereka tentu telah memeriksa pakaian Pendekar Slebor ketika anak muda itu pingsan. Karena tak menemukan benda yang dicari, mereka mengira kalung itu terjatuh. Lalu mereka pun mencoba mencarinya.
Sementara itu, Nyai Silili-lilu terus mendengus-dengus.
Karena tak juga mendapat kesempatan memaki-maki Andika Iagi, dia jadi kesal sendiri. Tubuhnya berbalik dengan wajah berlipat.
Dia Iebih baik masuk ke dalam gubuk dan melabrak perabotan bau cecurut milik Petaruh Sakti Perut Buncit. Untuk pelampiasan! "Ki Buyut telah mencarinya?" serbu Andika, merasa bersalah. Dia pun berpikir kalung itu mungkin terjatuh.
"Ya," jawab Ki Saptacakra singkat. Dari wajah nya, Pendekar Slebor bisa menilai bahwa lelaki tua itu tak pernah menganggap remeh hilangnya kalung tersebut.
Sebab, tak biasanya dia bersikap begitu kaku.
"Tidak kami temukan. Meski seluruh tempat sepanjang perjalananmu ke sini telah kami telusuri," tambah Ki Saptacakra.
Tiba-tiba Pendekar Slebor menjadi demikian masygul.
"Tentu telah ada yang mencurinya dari balik pakaianku ketika aku tak sadarkan diri di tempat pertarungan dengan lelaki India itu...," gumamnya geram, nyaris tak kentara. Tentulah orang yang telah mencuri kesempatan dalam kesempitan itu adalah orang yang telah merampas kalung milik Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian pula! "Kutu kuprel slompret! Kita kecolongan!" teriak Nyai Silili-lilu dari arah belakang, mengagetkan Pendekar Slebor.
Andika menoleh cepat. Begitu juga Ki Saptacakra. Di depan pintu gubuk, Nyai Silili-lilu sedang mencak-mencak sampai rambutnya kacau-balau.
"Perempuan itu sudah tak ada Iagi di balai! Kampret-kampret-kampret! Khoek...
cueh!"

***

ǂǂǂǂǂ{ 3 }ǂǂǂǂǂ

Tak pelak Iagi, kalung di tangan Pendekar Slebor telah dicuri oleh Tiga Datuk Karang, simpul Ki Saptacakra. Bagi orang tua berjuluk Pendekar Lembah Kutukan itu, tak ada yang lebih mengkhawatirkannya sampai saat ini kecuali dikuasainya kembali tiga kalung milik ketiga murid murtad Petaruh Sakti Perut Buncit. Apa pasalnya" Ketiga benda itu ternyata adalah kunci tempat penyimpanan rahasia benda-benda pusaka milik Petaruh Sakti Perut Buncit. Untuk membuka tempat rahasia dalam lubang di bawah karang Pantai Laut Selatan, ketiga benda itu harus disalukan. Jika ketiganya telah menjadi satu, maka fungsinya pun berubah. Tidak sekedar kalung semata, melainkan telah menjadi kunci pembuka tempat rahasia penyimpanan benda-benda pusaka hasil taruhan Petaruh Sakti Perut Buncit. Di antara benda-benda pusaka di dalam sana, beberapa di antaranya adalah kitab-kitab kanuragan.Tiga kitab telah dicuri oleh tiga murid murtad. Sementara di antara sisa kitab tersebut terdapat Kitab Pamungkas Ilmu Karang. Di situ letak seluruh kekhawatiran Ki Saptacakra.
Seperti telah diketahui, Kitab Pamungkas Ilmu Karang sebenarnya milik tiga musuh besar Pendekar Lembah Kutukan beberapa puluh tahun silam. Mereka Tiga Datuk Karang. Karena khawatir ketiganya akan menjadi ancaman amat berbahaya bagi dunia persilatan jika sempat mempclajari kitab tersebut, Ki Saptacakra merencanakan siasat cerdik. Bersekutu dengan Petaruh Sakti Perut Buncit yang kala itu menjadi kekasih kakaknya, Ki Saptacakra menantang ketiga tokoh sesat itu untuk bertanding adu kesaktian dengan mempertaruhkan kitab sakti.
Pendekar Lembah Kutukan dan Petaruh Sakti Perut Buncit berhasil memenangkan pertarungan. Keduanya dengan begitu berhasil mendapalkan Kitab Pamungkas Ilmu Karang.
Setelah menghilang selama puluhan tahun, Tiga Datuk Karang muncul kembali. Mereka memenuhi undangan tiga murid murtad yang merencanakan pembentukan perserikatan tokoh-tokoh sesat. Rupanya rencana itu dilihat T iga Datuk Karang sebagai satu kesempatan untuk mendapatkan kitab pusaka mereka kembali. Jika hanya mereka bertiga mencoba merebul, kembali kitab pusaka tersebut dari tangan Pendekar Lembah Kutukan, dan Petaruh Sakti Perut Buncit, hal itu tidak akan tercapai. Mereka akan dikalahkan kembali seperti kejadian puluhan tahun lalu. Namun, jika ada beberapa tokoh sesat Iain yang bergabung dan hernial mengenyahkan keluarga besar Pendekar Lembah Kutukan, maka kesempatan Tiga Datuk Karang untuk mendapatkan kembali kitab pamungkas mereka akan terbuka lebar-lebar!Semua itu dijelaskan secara gamblang dan singkat pada cicit buyutnya, Pendekar Slebor.
Kini, Pendekar Slebor dan tiga orang tua sakti tiba di bukil karang besar yang menjorok ke Pantai Laut Selatan.
Setelah mengetahui kalau Pendekar Slebor benar-benar kehilangan kalung yang dipegang-nya, Ki Saptacakra segera memutuskan untuk memeriksa tempat penyimpanan rahasia di sana.
Meski tidak ada tawaran atau permintaan untuk ikut dari Pendekar Lembah Kutukan, si anak muda sakti cicit buyutnya mengikuti dari belakang. Biar bagaimanapun, Andika merasa bertanggung jawab atas hilangnya kalung.
Itu berarti pula, dia pun merasa bertanggung jawab alas kcamanun tempal penyimpanan rahasia.
Kalau sampai Kitab Pamungkas Ilmu Karang benarbenar raib dari tempatnya, apa jadinya" Bisik Pendekar Slebor di hati. Tentunya buyutnya akan marah besar padanya. Sebab, menurut keterangan Ki Saptacakra sebelumnya, kitab tersebut menjadi kunci penentu kemenangan mereka lerhadap Pendekar Lembah Kutukan.
Siapa tahu Andika akan dijadikan perkedel oleh orang tua sakti itu. Apalagi kalau ingat Nyai Silili-lilu. Kemarahan perempuan bangkotan itu bagi Andika lebih menyeramkan dari gempa bumi ditambah angin topan, ditambah kebakaran, dan segala macam! Anak muda itu jadi meringis-ringis sendiri membayangkannya. Selain Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut buncit dan Nyai Silili-lilu tak ketinggalan ikut bergegas menuju tempat penyimpanan rahasia. Tak ikut adalah keanehan yang paling aneh bagi mereka. Petaruh Sakti Perut Buncit tentu saja berkepentingan dalam hal itu. Nyai Silili-lilu" Tak peduli berkepentingan atau tidak! Tak peduli dia cuma jadi sumber kebisingan atau bukan! Dia harus ikut.
Meski bagi Pendekar Slebor, keikut sertaan perempuan tua bangka itu bisa menjadi kiamat! Keempat orang yang berlari cepat beriringan seperti pernah terjadi sebelumnya itu sampai di tujuan. Ki Saptacakra tiba paling dahulu. Tak seperti sifat biasa Ki Saptacakra yang dikenal Andika selama ini. orang tua itu tak berkata sepatah pun. Tak ada omongan usil dan makian penyebab telinga Pendekar Slebor menjadi merah matang. Wajahnya bahkan terus saja mengeras. Sikapnya seolah gunung merapi tenang. Di balik ketenangan itu,, sctiap saat bisa termuntah lahar panas! Untuk kedua kalinya, Andika terpaksa turut Ki Saptacakra untuk masuk ke mulut lubang berliang panjang di bawah kaki bukit karang yang bagian atasnya menjorok ke laut. Liang di dalamnya sempit, rendah dan pengap. Sungguh tempat yang benar-benar tak ingin dikunjungi untuk kedua kali kalau tidak terpaksa.
Biasa, Nyai Silili-lilu dan 'sang kekasih' nya cukup menanti di luar. Nyai Silili-lilu memang lebili suka mengatur dengan 'kiwir-kiwir' bibir sekendor gombalnya. Kalau urusan yang agak sedikit memayahkan. dia cuma bisa mencibir.
Setelah merayapi lorong Hang panjang, Ki Saptacakra dan Pendekar Slebor akhirnya sampai di ruang lapang berbcntuk kubah gelap gulita.
Ki Saptacakra mendekati satu lantai ruang. Di sana tcrdapat pintu penyimpanan rahasia.
"Pintu ini telah terbuka," desisnya meninggi, entah pada siapa.
Andika tak bisa bilang apa-apa. Dia hanya menelan ludah ngeri-ngeri. Gawal, pikirnya. Sebentar Iagi, tentu orang tua itu akan habis-habisan mengamukinya! "Aku harus memastikan apakah Kitab Pamungkas Ilmu Karang itu masih ada," ucap Ki Saptacakra kembali.
Sekali ini, Andika memberanikan diri untuk mengajukan pendapat.
"Tapi, Ki Buyut. Bagaimana kau bisa memastikan, sementara keadaan di sini begitu gelap?" Pertanyaan Andika tak mendapat jawaban. Ki Saptacakra malah menyuruh pemuda itu menggantikan tempatnya.
Sementara hatinya bertanya-tanya tak mengerti, Andika menuruti perintah kakek buyutnya.
Dan belum-belum, mulut ceriwisnya tak bisa ditahan.
"Biarpun aku menggantikanmu, aku tetap tak bisa melihat apa-apa seperti kau juga, Ki. Jadi buat apa kita bertukar tempat?" cetus Andika Iagi.
Tak ada jawaban. Andika curiga. Apa ada yang tidak beres"
"Ki?" Tetap tak ada suara apa-apa. Bahkan napas orang tua itu tak didengamya.
Andika hendak mulai memanggil Iagi, tapi niatnya terpancung. Dia terperangah oleh sinar merah terang yang mendadak memancar dari satu tempat.
"Apa itu?" bisiknya tanpa berkedip. Lalu perlahan-lahan, matanya mulai bisa menangkap lebih jelas cahaya merah terang tadi. Andika dibuat terkagum-kagum karenanya. Ternyala cahaya merah terang itu berasal dari dua telapak tangan Ki Saptacakra yang menyatu di depan wajahnya. Orang tua itu sendiri duduk bersila dengan mata terpejam.
Hebat, puji Andika. Sekarang ruangan seukuran lebih kecil dari pendapa itu menjadi cukup terang. Entah ajian apa yang telah dikerahkan sesepuh dunia persilatan itu hingga telapak tangannya mampu bercahaya merah terang. Tentu saja Andika tahu apa maksud Ki Saptacakra melakukan itu. Andika tentu diminta untuk melihat ke dalam tempat penyimpanan benda pusaka selama cahaya dari tangannya menerangi ruangan. Itu sebabnya tadi Ki Saptacakra meminta mereka bertukar tempat.
Cepat-cepat Pendekar Slebor melihat lubang persegi yang pintunya terbuat dari lempengan baja mumi setebal (tak langgung-tanggung!) dua jengkal setengah! Beratnya mungkin tak kurang dari bobot seekor kerbau jantan.
Di dalam bawah pintu baja yang terkuak, dilihatnya lubang berbentuk peti besar.
Di dalamnya terdapat beberapa kitab-kitab tua, senjata pusaka dan... beberapa piring kayu" Andika meringis. Buat apa si tua Buncit itu melelakkan piringpiring kayu dekil di tempat rahasia seperti itu" Ah, pasti manusia rakus itu beberapa kali meletakkan benda-benda pusaka sambil makan! Andika mulai memeriksa lima-enam kitab kuno yang masih ada di sana. Ah, timbut masalah baru sekarang.
Bagaimana dia tahu yang mana Kitab Pamungkas Ilmu Karang" Sementara semua sampul pada kitab itu ditulis dalam huruf-huruf kuno 'ngejelimet'" Tapi, Andika tak kehilangan akal. Segera dikerahkannya kemampuan otaknya untuk mengamati ciri-ciri kelima kitab kuno itu.
Kalau nanti Ki Saptacakra bertanya, dia tinggal memaparkan ciri-ciri kelima kitab itu. Kalau di antara kelima kitab tak ada yang menciri-cirikan Kitab Pamungkas Ilmu Karang, berarti kitab itu memang sudah tak ada. Setelah selesai merekam seluruh ciri-ciri kelima kitab itu, Andika meletakkan kembali.
"Ki sudah, Ki!" tukas Andika pada Ki Saptacakra.
Orang tua sakti itu menyudahi semedinya. Ruangan gelap kembali seketika.
"Bagaimana?" tanya Ki Saptacakra.
"Ada atau tidak?"
"Tidak tahu."
"Anak muda tolol! Kenapa tidak tahu" Bukankah kau sudah melihatnya tadi?"
"Tapi kau lupa mengatakan kepadaku bagaimana rupa kitab itu!" sergah Andika, tak mau disalah-kan.
"Jadi aku harus mengulang semadiku, begitu?" gerutu Ki Saptacakra.
"Tak perlu. Aku s udah menghapal ciri-ciri semua kitab di dalam sana!"
"Bagus! Sebutkan padaku!" Pendekar Slebor memaparkan dengan lengkap tanpa kehilangan satu detil pun dari ciri-ciri kitab yang telah dilihatnya.
"Hhh...," terdengar desah berat napas Pendekar Lembah Kutukan.
Andika bisa menyimpulkan kenapa Ki Saptacakra begitu. Tampaknya kitab Pamungkas Ilmu Karang telah hilang! Hutan karet di wilayah Banyumas Timur adalah tempat di mana Pendekar Slebor dan Amitha bersa-bung nyawa. Daerah yang berbukil-bukit kecil itu ki-ni dalam keadaan senyap. Tepat di tanah yang lebih rendah dari tempat pertarungan keduanya, masih tergeletak dua bangkai Katak Merah dan Mata Dewa Kematian. Keduanya mulai membusuk. Bau menyengat menebar ke mana-mana, mengundang lalat-lalat hutan untuk datang berkerumun. Meski sudah menebar bau busuk, tubuh mayat keduanya terbilang masih utuh. Hanya saja, sudah agak membengkak karena pengaruh udara yang mulai melembab oleh hujan. Warna kulitnya pun sudah membiru legara. Selama dua hari, tampaknya tak ada binatang buas kebetulan menemukan bangkai keduanya.
Ratusan, bahkan mungkin ribuan Ialat-Ialat hutan terus berpesta-pora. Sampai akhirnya kerumunan yang nyaris menutupi seluruh bagian tubuh dua mayat itu tibatiba berhamburan. Liar menebar. Suasana berubah menjadi padat oleh dengungan hewan-hewan kecil menjijikkan itu.
Apa yang membuat mereka terusik" Tak ada manusia yang datang. Tak juga hewan pemangsa. Mereka terusik karena dengan amat ganjil salah satu tangan bangkai tiba-tiba tersentak seperti terkena kejutan listrik! Lalu bangkai tadi tak bergemik kembali.
Lalat-Ialat mulai memberanikan diri untuk mendekat.
Untuk kedua kalinya, terlihat sentakan cepat. Sekali ini pada bagian dada bangkai Mata Dewa Kematian. Lalat-Ialat yang bersikeras untuk hinggap terbang serabutan kembali. Mereka merasakan ancaman tadi.
Dasarnya mereka adalah binatang yang keras kepala, setelah berputar-putar sebentar, mereka mencoba hinggap Iagi.
Untuk kali ini, mereka benar-benar dibuat berhamburan lebih jauh dalam gerak kacau ketakutan.
Karena entah bagaimana, bangkai Mata Dewa Kematian tersentak-semak dalam irama yang cepat dan berubah-ubah nyalang. Tak lama kemudian, mayat itu mengejang.
Bagian telapak tangan yang semula terbuka mengeras membentuk genggaman amat kuat. Menyusul kejadian yang tak kalah ganjil. Kelopak mata yang mulai berlendir menjijikkan itu perlahan-Iahan terbuka. Lalu tiba-tiba mendelik. Biji mata setengah membusuknya mencorong ke atas seperti menatap sesuatu yang mengerikan.

***

ǂǂǂǂǂ{ 4 }ǂǂǂǂǂ

Pantai di mana Petaruh Sakti Perut Buncit tinggal berada di sekitar wilayah Karang bolong. Sementara itu, jauh dari tempat tersebut tepatnya di hutan kaki Gunung Slamet, terdapat rumah besar yang dibangun di atas bahu empat pohon jati raksasa. Rumah itu baru beberapa hari saja dibangun oleh orang-orang Perserikatan Setan. Mereka sengaja berpindah dari tempat sebelumnya ke tempat baru di sekitar hutan kaki Gunung Slamet. Di tempat sebelumnya, mereka merasa sudah tak aman. Ada kec urigaan kalau mus uh-musuh besar mereka telah mengendusi tempat tersebut. Biar bagaimanapun, mereka masih perlu berpikir seratus kali" jika Pendekar Lembah Kutukan, Pendekar Slebor, Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit menggerebek tempat mereka pada saat mereka belum c ukup siap. Namanama tadi tak beda dengan momok bagi kalangan sesat. Tak terkecuali tokoh-tokoh sesat kalangan atas! Dalam dunia kezaliman, manusia pun ternyata bisa saling membantu. Itu terlihat pada sikap orang orang Persekutuan Setan. Kelakutan pada ancaman tangan penegak keadilan membuat mereka merasa saling terikat satu dengan yang laia Mereka hanya merasa mampu menyelamatkan diri dari para pendekar besar itu jika mereka bergabung menjadi satu. Sikap yang sungguh menyedihkan, terutama bagi orang-orang kelas atas seperti mereka. Tapi itulah kenyataannya. Kenyataan yang berusaha ditutup-tutupi serapat mungkin satu dengan yang lain. Mana ada di antara mereka ingin dianggap pengecut" Empat hari sebelum Pangeran Neraka merencanakan tipu daya terhadap Pendekar Slebor, mereka bergerilya ke wilayah hutan kaki Gunung Slamet. Se-tibanya di sana, mereka segera membangun markas baru.
Kesaktian masing-masing memungkinkan pembangunan rumah besar di atas pohon berjalan singkat. Tak ada tiga hari mereka bekerja, pekerjaan pun selesai. Markas sangar mereka berdiri kokoh di atas empat pohon jati raksasa.
Markas di atas pohon berusia kurang dari satu minggu itu tampak belum berpenghuni. Beberapa tokoh anggota perserikatan sedang sibuk dengan urusan masing-masmg. Terutama untuk mempersiapkan rencana besar dari otak licik Pangeran Neraka yang telah mereka sepakati bersama. Hingga saat itu, hanya mereka yang tahu bagaimana rencana itu sebenarnya.
Siang itu, sebentuk bayangan berkelebal cepat menuju markas baru Perserikatan Setan. Bayangan tadi melenting-Ienting dari satu batang pohon ke batang pohon lain. Terkadang malah pucuk pohon beranting amat tipis dijadikan jejakan. Geraknya demikian memukau. Ringan, lincah, dan gesit.
Kelebatan bayangan itu adalah gerakan si Gila Petualang. Dia membopong seorang perempuan bertubuh sekal. Perempuan itu dalam keadaan tak sadarkan diri.
Beberapa waktu lalu, orang tua sesat ini telah mencemari sebuah sungai dengan racun. Ada satu maksudnya melakukan itu. Dia hendak melumpuhkan seorang yang dekat dengan Nyai Silili-lilu, Mayangseruni alias Ratu Lebah. (Baca episode sebelumnya; "Perserikatan Setan")! Wanita yang telah diincarnya selama beberapa lama kebetulan hendak meminum air s ungai yang dilewatinya.
Saat itulah si Gila Petualang cepat menebar racun pelumpuh yang didapat ketika dia bertualang ke Tibet.
Dalam beberapa hal, orang tua penuh dendam sesat itu memang tak suka bersusahpayah. Dia lebih sering mengandalkan akal liciknya untuk memperdayai lawan.
Seperti halnya Pangeran Neraka.
Penculikan Mayangseruni adalah bagian dari rencana besar yang telah dipersiapkan orang-orang Perserikalan Setan untuk menyingkirkan Pendekar Lembah Kutukan dan keluarganya. Sebenarnya si Gila Petualang muak melaksanakan penculikan yang direncanakan Pangeran Neraka. Dia merasa telah diperintah oleh orang yang lebih muda dari usianya.
Hanya karena dia menganggap rencana itu cukup menarik baginya, si Gila Petualang pun akhirnya setuju untuk menjalani.
Setelah mendapatkan Mayangseruni, si Gila Petualang pun langsung membawa 'hasil tangkapan'-nya ke markas Perserikatan Setan. Tiba di dalam markas, si Gila Petualang menjatuhkan begitu saja tubuh Mayangseruni dengan kasar. Sampai terdengar bunyi berdebum cukup keras ketika tubuh sintal perempuan ayu itu meninju Iantai kayu.
"Tunggulah kau disini, Anak Manis," kata si Gila Petualang, dingin. Lalu diloloskannya kain pengikat pinggang. Panjang kain itu cukup untuk mengikat tangan dan kaki Mayangseruni ke tiang di tengah ruangan.
Ikatan selesai. Si Gila Petualang lalu menotok tiga jalan darah di tubuh perempuan itu.
"Kau akan sadar dalam beberapa hari. Dengan totokanku, kau tak akan bisa memutuskan ikatan itu," gumamnya seperti berkata pada diri sendiri.
Selesai itu, orang tua ahli berbagai racun dan bermacam ramuan dari penjuru dunia melangkah keluar.
Beberapa hari Iagi, dia akan kembali. Saat di mana seluruh anggota Perserikatan Setan akan berkumpul di tempat yang sama.

***

Malam datang Iagi.
Tiga Datuk Karang berdiri membentuk lingkaran.
Wajah mereka memancarkan kepuasan. Jelas terlihat sudut bibir mereka terungkit naik. Di tangan salah seorang dari mereka, Datuk Kening Perak, terdapat sebuah kitab tua. Kitab itulah yang telah berhasil mereka curi dari tempat rahasia penyimpanan benda-benda pusaka milik Petaruh Sakti Perut Buncit.
Bagi mereka, mencuri kitab pamungkas ilmu Karang tak lebih dari usaha merebut kembali kitab yang telah lepas dari tangan mereka karena sebuah taruhan konyol.
Puluhan tahun, telah puluhan tahun Tiga Datuk Karang menanti saat seperti ini. Saat di mana mereka mendapatkan kembali kitab inti dari kesaktian mereka.
Waktu selama itu bukanlah waktu yang singkat. Selama puluhan tahun, mereka seperti disiksa dalam keterasingan serta dikungkung oleh rasa kekalahan.
Kini, Kitab Pamungkas Ilmu Karang telah kembali.
Waktunya bagi mereka untuk menyelesaikan beberapa ajian puncak dari kesaktian mereka yang belum sempurna.
"Kapan kita akan mulai mempelajari kitab itu?" tanya Datuk Kening Ungu. Dari binar matanya, tampak sekali kalau lelaki tua itu demikian berhasrat.
"Secepatnya. Sebaiknya, kita laksanakan malam ini juga," jawab Datuk Kening Perak.
"Bagaimana dengan rencana Pangeran Neraka" Bukankah dia hendak menantang tanding keluarga besar Pendekar Lembah Kutukan purnama mendatang" Apakah kita bisa menyelesaikan penyempurnaan ilmu Karang kita" Sebab tanpa menyelesaikan kitab itu, kesempatan kita mengungguli kesaktian keluarga Pendekar Lembah Kutukan akan sangat kecil," tukas Datuk Kening Merah.
"Kalian tak perlu khawatir," kata Datuk Kening Perak, orang paling berpengaruh di antara mereka seraya mengangkat kitab di tangannya.'Kita tak akan membutuhkan waktu lama untuk mempelajari kitab pamungkas ini," tambahnya.
"Bagaimana mungkin" Bukankah Eyang Guru telah mengatakan pada kita bahwa kitab itu butuh waktu tiga ratus purnama untuk mempelajarinya!" ujar Datuk Kening Ungu.
"Itu karena Eyang Guru mengatakan pada kita ketika kita masih berusia muda....
"
"Aku belum mengerti!" sela Datuk Kening Merah.
"Eyang Guru memang tidak pernah mengutarakan rahasia ini kepada kalian, kecuahpada aku murid tertua."
"Itu tidak adil!"
"Tapi, sekarang kalian akan mendengarnya dariku!"
"Katakanlah!" desak Datuk Kening Ungu, orang tua paling muda di antara mereka.
"Kitab ini tak akan bisa dipelajari oleh seorang berusia di bawah lima puluh tahun. Ketika guru berbicara pada kita tentang lamanya masa mempelajari kitab, kita masih berusia rata-rata dua puluh limaan, bukan...?" Seperti sengaja memancing rasa penasaran kedua saudara seperguruannya, Datuk Kening Perak menghentikan ucapan.
"Lalu" J angan bicara setengah-setengah seperti itu!" sentak Datuk Kening Merah, gusar.
"Tiga ratus purnama berarti waktu dua puluh lima tahun. Guru tidak ingin mengatakan kita membutuhkan waktu dua puluh lima tahun untuk mempelajari kitab ini. Tapi, kita butuh tambahan usia dua puluh lima tahun Iagi untuk bisa mulai mempelajari Kitab Pamungkas Ilmu Karang!" Dua datuk lain mengangguk-angguk. Kini mereka mengerti.
"Kini usia kita telah jauh melampaui syarat lima puluh tahun. Kita bahkan telah melampaui lima puluh tahun kedua. Asal kalian tahu, salah satu rahasia ilmu Karang adalah, setiap penganutnya bertambah usia lima puluh tahun, maka ilmu itu makin mendarah daging. Sementara, kita telah melampaui lima puluh tahun ketiga.
Itu artinya ilmu Karang yang kita pelajari akan semakin menyatu dengan diri kita. Jika demikian, Pamungkasnya pun akan mudah kita pelajari!"
"Hua ha ha ha...!" Mendadak Datuk Kening Ungu tertawa terbahak-bahak.
"Jadi, selama ini kita sama saja telah menitipkan kitab sakti itu untuk diperam di tempat si Buncit itu!" Iedeknya di antara gelak tawa.
Datuk Kening Merah mengekori tawa Datuk Kening Ungu. Disusul Datuk Kening Perak. Lalu ketiganya benar-benar tenggelam dalam gelak tawa meriah, mendongkel langit malam.

***

ǂǂǂǂǂ{ 5 }ǂǂǂǂǂ

Satu pekan berlalu sejak Tiga Datuk Karang bertemu.
Selama itu, ketiganya tak pemah terlihat batang hidungnya.
Entah ke mana mereka. Yang jelas, ketiga dedengkot golongan hitam itu sedang memperdalam ilmu 'Karang' mereka. Tentu saja untuk menyelesaikan penyempurnaan ilmu sesat yang telah tertunda selama puluhan tahun.
Setelah menghilang bagai ditelan bumi, hari ini mereka muncul kembali. Ketiganya berkumpul di tempat yang sama seperti terakhir mereka lakukan.
Tiga Datuk Karang duduk bersila di atas sebatang lidi di bawah tubuh masingmasing. Tangan ketiganya terlipat di depan dada. Mereka seperti sedang memamerkan kesaktian pada langit dan bumi. Kalau seminggu lalu Datuk Kening Merah memegang Kitab Pamungkas Ilmu Karang, kini tidak Iagi. Kitab tersebut telah ditinggalkan mereka di tempat tersembunyi. Tempat yang sama yang mereka gunakan untuk menyempurnakan ilmu Karang.
Artinya, dibanding serninggu lalu kini mereka jauh lebih digdaya. Kesaktian mereka jauh melampaui waktu sebelumnya. Dan pamer kehebatan kali ini bukanlah apa-apa dibanding tambahan kesaktian yang baru mereka dapatkan. Kalau hanya duduk pada sebatang lidi, sebelum mempelajari Kitab Pamungkas Ilmu Karang pun mereka dapat melakukannya. Satu alasan kenapa mereka melakukan itu adalah karena untuk seminggu lamanya, mereka berpantang untuk menyentuh bumi. Hari ini adalah hari terakhir pantangan tersebut, tepatnya ketika matahari menanjak naik di atas ubun-ubun.
Di sanalah letak kekhawatiran Ki Saptacakra, sesepuh golongan lurus yang kesohor dengan julukan Pendekar Lembah Kutukan. Kekhawatiran itu bukan menjalar di benaknya belakangan ini saja. Puluhan tahun lalu, kekhawatiran serupa pun pernah tumbuh. Karena Ki Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit berhasil mendapatkan Kitab Pamungkas Ilmu Karang, untuk sementara kekhawatiran itu pupus.
Kini. kekhawatiran Pendekar Lembah Kutukan menjangkit Iagi. Tentu saja bukan tanpa alasan. Kesaktian Tiga Datuk Karang jika telah mendalami Ilmu Karang Pamungkas, bisa dipastikan akan merepotkan Pendekar Lembah Kutukan. Ki Saptacakra yakin, kesaktian sempurnaan T iga Datuk Karang akan terdongkel naik beberapa tingkat di atas kesaktiannya.
"Hanya seminggu, hanya seminggu kita telah menyelesaikan kitab itu. Bukankah itu luar biasa?" ucap Datuk Kening Ungu, membuka pembicaraan.
"Ya," timpal Datuk Kening Merah.
"Jadi, kita dapat menjalankan rencana Bureksa untuk memaksa si keparat Saptacakra berhadapan dengan kita dalam waktu dekat. Saat rencana itu tiba, kita telah benar-benar siap untuk merencah Saptacakra!" Datuk Kening Perak menambahkan. Disebutnya Pangeran Neraka dengan nama aslinya, Bureksa. Untuk usia, Pangeran Neraka memang berada jauh di bawah mereka. Ketiganya tergelak dengan kepala terdongak-dongak.
Tertawa, Datuk Kening Merah memulai pembicaraan kembali. Tepat tengah hari nanti, kita telah menyelesaikan penyempurnaan Ilmu Karang Pamungkas kita. Apakah sekarang tak sebaiknya kita menjajal kembali?" usulnya.
Tak muncul jawaban secepatnya dari dua datuk yang lain. Datuk Kening Perak malah menatap adiknya itu dengan sinar mata tajam menyorot. Sampai tiba-tiba saja dia berseru lantang.
"Sambutlah!" Tangannya menyentak ke depan. Kedua telapaknya terbuka lebar-lebar. Ketika itu pula, terlepas pukulan Pamungkas Ilmu Karang dari telapak tangannya. Tak ada sedikit pun desiran angin, atau sambaran tenaga seperti pukulan-pukulan biasa. IImu Karang Pamungkas benar-benar memiliki satu andalan, yakni pukulan tanpa wujud.
Banyak lawan dapat terpedaya karenanya.
Mengetahui orang tertua di antara mereka melepaskan ajian pamungkas tadi, Datuk Kening Merah dengan ketangkasan yang sedikit pun tak kalah dengan orang-orang muda, segera saja melakukan hal yang sama. Disentakkannya tangan dengan telapak terbuka lebar.
Pukulan Karang tanpa wujud pun lahir dari kedua belah telapak tangan Datuk Kening Merah. Sekejapan berikutnya, terjadi ledakan amat membuncah s uasana di antara kedua tokoh dedengkot kalangan sesat itu. Ledakan yang mungkin lebih kuat dari satu pedati mesiu. Lebih menggelegar dari seratus halilintar yang menyalak bersamaan! Bertolak belakang dengan gelegar dan ledakan yang demikian hebat, tak terlihat sedikit pun bentuk ledakan tadi. Bahkan asap tipis sekalipun. Seolah-olah ledakan barusan berasal dari balik alam lain. Hanya saja, tanah kering berbatu kerikil di bawah ledakan menjadi bersemburan ke segenap penjuru.
Kecepatan hamburan kerikil-kerikilnya sanggup melubangi batang-batang pohon! Sebagian kerikil yang tersasarke arah T iga Datuk Karang dengan amat mengagumkan dijentiki jari ketiganya. Gerakan mereka secepat terjangan seluruh kerikil.
Sampai tak ada satu pun yang sempat menyentuh kulit mereka.
Bumi seperti digoyang gempa. Pepohonan di sekitar mereka bergetar. Sisa-sisa daun kering akibat kemarau berguguran dari rantingnya. Sebagian pohon yang akarnya tak cukup sanggup bertahan, kala itu juga rebah kasar di tanah.
Membangun gemuruh tambahan dengan debumnya. Sementara, di pusat ledakan tercipta Iiang besar sedalam setengah badan manusia.
Lebar lingkarnya dua kali roda pedati! Sesaat Datuk Kening Perak dan Datuk Kening Merah memandang lubang di tengahtengah tempat mereka yang berjarak sekitar delapan tombak. Selanjutnya kedua lelaki tua itu terbahak-bahak, puas menyaksikan hasil pukulan dahsyat tadi.
Selagi keduanya menikmati tawa riuh rendah, Datuk Kening Ungu diam-diam menyiapkan pukulan 'Karang Pamungkas'-nya pula. Tangannya menyen-tak ke depan dengan telapak terbuka, seperti dilakukan dua datuk sebelumnya.
"Waspada!" serunya.
Daya perusak tanpa wujud dari dua telapak tangannya pun menerkam ke arah dua datuk lain. Tawa Datuk Kening Merah dan Perak terpancung. Wajah mereka mengeras.
Mata mereka melirik siaga dalam gerakan amat cepat.
Secepatnya kedua lelaki tua itu menyambut serangan gelap tadi.
"Hiaaah!" Keduanya berseru bersama terlepasnya pukulan tanpa wujud dari telapak tangan mereka.
Kejadian sebelumnya pun ierulang kembali. Sekali ini terjadi ledakan dari dua tempat berbeda. Satu berada di tengah jarak Datuk Kening Ungu dengan Datuk Kening Perak. Yang lain berada di tengah antara Datuk Kening Ungu dengan Datuk Kening Merah. Kalau satu ledakan sebelumnya saja berakibat demikian hebat. Dua ledakan kali ini tentu saja jauh lebih dahsyat. Bumi langsung terasa bergetar, pepohonan tumbang, dedaunan berguguran. Kala bersamaan, hujan tanah bercampur kerikil tercipta. Lubang baru pun bertambah menjadi tiga. Begitu hingar-bingar susut dari udara, tawa Tiga Datuk Karang membahana.
Tawa ketiganya baru terhenti ketika sebentuk suara serak berlendir menghardik mereka.
"Pamer kesaktian yang dungu! Kenapa kalian tak menghemat tenaga untuk menghadapi musuh kalian"!" Tiga Datuk Karang menoleh cepat ke asal suara.
Menyaksikan siapa yang berdiri di sana, mata berkerut mereka menyempit keterlaluan. Dari paras ketiganya terKhat kalau mereka tak bisa mempercayai penglihatan sendirl Sebaliknya, kerut di antara alis mata putih ketiga lelaki tua itu menunjukkan keter peranjatan penuh.
Inilah yang disebut kemustahilan bagi tiga dedengkot kaum sesat itu. Bolehlah mereka mengaku sebagai orang berusia teramat lanjut yang telah banyak menelan asam garam persilatan. Tak sedikit mereka menyaksikan keanehan-keanehan dunia.
Tapi pemandangan yang disaksikan kali ini, sungguh tak bisa diterima. Mereka ingin menolaknya dan menganggap telah salah melihat. Sayang, kenyataan memang telah terbentang di depan mata. Orang yang mereka saksikan tak lain Mata Dewa Kematian! Bagi Tiga Datuk Karang, Mata Dewa Kematian sudah dipastikan telah kehilangan nyawa. Sewaktu terakhir kali mereka meninggalkan mayatnya, mereka telah mulai mencium bau bangkai. Pembus ukan mayat saat itu telah terjadi. Kalau kini mereka menyaksikan Mata Dewa Kematian kembali, bukankah itu kemustahilan" Sebagai dedengkot yang banyak tahu tentang kesaktian-kesaktian di dunia persilatan, tentu saja mereka mengetahui ada ilmuilmu yang menyebabkan seseorang dapat hidup kembali dari kematian tak wajar.
Seperti Rawe Rontek. (Kisah tentang ilmu Rawe Rontek bisa dibaca dalam episode: "Darah Pembangkit Mayat" dan "Bangkitnya Ki Rawe Rontek"). Namun, mereka tahu benar Mata Dewa Kematian bukan salah seorang penganut ilmu sesat itu.
Lagi pula, sudah sekian lama ilmu itu terkubur bumi tanpa ada yang bisa mempelajari. Dan ilmu itu pun tidak membuat mayat penganutnya menjadi membusuk! Jadi siapa yang tengah mereka saksikan kini" Apa benar-benar Mata Dewa Kematian yang nyawanya telah mereka lempar ke neraka" Timbul dugaan dalam benak Tiga Datuk Karang kalau orangyang dilihat mereka kemungkinan besar adalah kembaran Mata Dewa Kematian. Siapa tahu lelaki itu memang memiliki saudara kembar yang tak pernah diceritakan. Atau ada seorang ahli menyamar yang hendak memperdayai"
"Siapa kau"!" tegur Datuk Kening Perak, penasaran.
"Kau lupa?" jawab lelaki yang datang. Wajahnya sudah membiru. Darahnya seakan telah menjadi beku dan tak pernah mengalir kembali. Bau busuk menebar ke mana-mana. Itu sebabnya, tubuhnya selalu dikerubungi lalatlalat." Kelopak matanya berlendir. Sedang kedua biji matanya berbercak-bercak kehijauan.
"Jangan bermain-main dengan kami!" hardik Datuk Kening Ungu, galau.
"Aku adalah orang yang telah kalian bunuh," ujar lelaki pendatang kembali. Kalau mendengar suara serak berlendirnya, tentu ada kebusukan di pita suara di tenggorokan lelaki itu.
"Mata Dewa Kematian" Tak mungkin," desis Datuk Kening Perak, menolak.
Mendengar ucapan tak sadar Datuk Kening Perak, lelaki pendatang yang mengaku sebagai Mata Dewa Kematian tertawa tercekat-cekat. Suara tawanya terburai-burai berantakan.
Sekaligus menggidikkan.
"Aku tak percaya! Mata Dewa Kematian telah mati! Kami sudah memastikan itu! Jadi, katakan pada kami siapa sebenarnya kau" Jangan jajal kesabaran kami!" sambar Datuk Kening Merah meledak-ledak.
"Matamu jeli, Kening Merah. Aku sesungguhnya memang bukan Mata Dewa Kematian," ucap lelaki pendatang. Caranya menyebut nama Datuk Kening Merah menunjukkan kalau dia tak terlalu menganggap kebesaran nama Tiga Datuk Karang.
"Aku hanya meminjam jasadnya yang hampir membusuk!" Tiga Datuk Karang seperti disengat seribu lebah mendengar ucapan lelaki pendatang. Mereka rasanya sulit mempercayai. Tapi, kalau melihat keadaan tubuh orang itu, mau tidak mau mereka harus meragukan kembali ketidak percayaan mereka.
Dan seperti pendapat banyak orang, terkadang perasaan menutup pikiran sehat seseorang. Itu pun terjadi pada Tiga Datuk Karang. Biarpun mereka sulit untuk menolak kenyataan yang mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, tapi keangkuhan mereka selaku dedengkot dunia persilatan menyebabkan ketiganya merasa sedang dipermainkan.
"Keparat! Kau pikir aku akan percaya begitu saja isapan jempolmu!" geram Datuk Kening Perak. Kemarahannya mendorong lekaki tua itu untuk melepas pukulan pamungkas yang belum cukup lama didapat.
"Heaaa!"

***

ǂǂǂǂǂ{ 6 }ǂǂǂǂǂ

Tengah hari. Sekawanan kerbau liar memasuki perbatasan wilayah Karangbolong, selatan tanah Jawa.
Mereka berlari dalam kelompok besar. Ada tak kurang dari lima puluh ekor. Arah lari mereka lurus terus menuju sebuah desa nelayan. Sepanjang arah lari binatang-binatang liar itu, debu mengepul Bergulung-gulung serta membumbung.
Selagi berlari, mereka memperdengarkan suara-suara hiruk-pikuk. Bukan cuma dihasilkan oleh hentakan kaki kaki mereka. Namun juga suara dari mulut. Suara yang lebih kentara sebagai cetusan amukan. Hidung kerbau-kerbau itu mendengusdengus, menghembuskan napas beruap panas. Sesekali kepala mereka melakukan gerakan menanduk dengan tanduk yang rata-rata panjang dan seruncing mata belati.
Siang makin nyalang. Panas makin garang. Hari seperti hanya akan mendukung puluhan ekor kerbau liar yang siap meledakkan amukan hebat. Memasuki tanah berpasir, mendekati wilayah pantai, kelompok kerbau gelap mata yang datang entah dari mana itu makin tak terkendah. Mereka makin kalap pada sesuatu yang tak jelas. Apa pun diterjang mereka. Tak peduh pohon kelapa berada di depan mereka, diterjangnya. Tak jauh dari posisi mereka kini, ada sebuah desa nelayan kecil. Siang itu beberapa penduduk masih tampak di sekitar. Kaum lelaki yang belum berangkat ke tengah laut tampak sedang mempersiapkan jala di gubuk-gubuk mereka. Kaum wanitanya sedang menyiapkan makan siang untuk keluarga. Sedangkan anak-anak mereka sedang bermain-main di luar. Beberapa bocah berusia di bawah belasan sedang bermain bentengan.
Suara riuh-rendah di kejauhan luput dari perhatian anak-anak itu. Mereka terus bermain dengan wajah cerah.
Mereka berteriak-teriak, terengah-engah. Berlari berhenti, lalu berlari Iagi.
Sementara itu, kawanan kerbau liar telah memasuki mulut desa. Satu ekor di antaranya berlari terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan setelah sebelumnya mencoba menanduk kuat-kuat pohon kelapa.
Dari lendir yang mengalir di antara mulut kawanan hewan itu, tampak jelas mereka makin mata gelap. Ada yang menjadi penyebab mereka mengamuk, pasti. Entah apa.
Satu gubuk tua tak berpenghuni di mulut desa menjadi korban amukan. Dindingnya dijebol. Tiang-tiangnya dipelantingkan oleh kekuatan tandukan mereka. Atap dan dedaunan kelapa kering beterbangan. Tak memakan waktu lanuCgubuk itu sudah tak berbentuk Iagi. Mereka seperti tak puas dengan melampiaskan hanya pada gubuk tadi. Kerbau-kerbau itu berlari kembali. Sampai akhirnya mereka tiba di tempat bocahbocah bermain. Demi menyaksikan ada sekawanan kerbau siap mengamuk, anak-anak yang sedang bermain ber-teriak sejadi-jadinya. Mereka berhamburan ketakutan, berusaha menyelamatkan diri.
"Kerbau ngamuk! Kerbau ngamuk!" teriak mereka, berbenturan dengan suara amukan kawanan kerbau.
Mendengar teriakan melengking para bocah-bocah, kaum ibu bergegas keluar. Wajah mereka berubah pucat menyaksikan anaknya berlari keta-kutan. Di belakang sana, ada kawanan kerbau gila mengejar. Mereka cepat keluar, turun dari rumah panggung, menyambar cepat-cepat anak mereka, lalu segera naik kembali.
Para nelayan lelaki tersentak dari keasyikan kerja mereka. Ditinggalkannya pekerjaan tcrgesa-gesa. Mereka berlarian ke tengah desa. Di sana, mereka malah disambut oleh puluhan binatang mengamuk.
Tanpa ilmu bela diri, mereka merasa tak berguna menghadapi amukan puluhan binatang berbadan lebih besar dari mereka. Satu ekor saja yang mengamuk, belum tentu bisa mereka tundukkan dengan mudah. Apalagi puluhan" Kontan saja mereka lari tunggang-langgang. Banyak di antara mereka yang cepatcepat menyergap pohon kelapa.
Lalu segera dipanjatnya. Sementara mereka meringkuk di atas, di bawahnya menunggu dua-tiga ekor kerbau dengan kepala menanduk-nanduki pohon.
Sebagian kerbau liar mencoba menaiki tangga rumah panggung. Teriakan-teriakan para wanita pun bersahut-sahutan tak beraturan. Kerbau-kerbau makin berangasan.
Yang berhasil menaiki tangga rumah segera menerjang pintu.
Para suami yang menyaksikan tangga rumahnya dinaiki kerbau gila, menjadi nekat. Mereka segera mengambil dayung lalu melompat dari belakang rumah.
Dengan dayung itu, mereka berusaha menghalau kerbau untuk turun kembali. Ada pula beberapa orang yang menggunakan senjata. Tapi itu malah mendongkel kekalapan kerbau menjadi lebih parah.
Sampai....
"Waaaa!" Seorang tertanduk. Perutnya robek. Tak puas hanya menghujamkan tanduk ke perut kobannya, kerbau terluka itu menyentak kepala kuat-kuat ke atas. Tubuh si nelayan malang pun terlempar ke atas lalu menimpa punggung kerbau. Ketika jatuh ke anak tangga, kerbau luka tadi berbalik. Ditandukinya Iagi korbannya hingga terguling-guling ke bawah.
Menyaksikan seorang warga desa menjadi korban, para wanita dan anak-anak makin panik. Suara tangisan bocah dan lengkingan ngeri para perempuan bertumbukan menjadi satu.
Ada seorang bocah berusia sekitar tujuh tahun merengket ketakutan, sendiri di balik sebatang pohon kelapa. Untuk menangis dia tak berani, takut kalau ada seekor kerbau yang mendengarnya. Tidak menangis, tubuhnya malah menjadi bergetaran hebat.
Ketakutan yang memuncak membuat dia tak bisa menahan perasaan takut Iagi. Dilampiaskannya perasaan takut itu dengan menangis sesegukan. Di salah satu gubuk, seorang nelayan berteriak-teriak pada nelayan lain.
"Anakmu, Karta! Anakmu!" serunya sambil menunjuk ke arah bocah yang bersembunyi di balik pohon kelapa.
Nelayan yang dipanggil Karta tercengang sebentar menyadari anaknya merengket sendiri di sana, sebelum akhirnya dia berteriak serak sejadi-jadinya, memanggil nama anak itu. Dengan keberanian yang tak Iagi terpikirkan, Karta keluar dari gubuk. Istrinya menjerit-jerit, hanya berani berlari hingga mulut pintu. Karta berlari sekuat-kuatnya. Sementara beberapa ekor kerbau melihat.
Diburunya nelayan itu.
Karta benar-benar harus berlomba dengan kecepatan lari lima ekor kerbau jantan mengamuk agar bisa menjangkau tempat anaknya. Jika, tidak dia akan bernasib sama dengan penduduk sebelumnya! Tapi, usaha Karta bukanlah apa-apa dibanding tenaga lari kelima kerbau yang memburunya. Hanya membutuhkan waktu beberapa tarikan napas, kerbau-kerbau itu sudah begitu dekat di belakang Karta.
"Tolooong!" Akhimya, goyah juga kenekatan Karta. Tak terpikir Iagi bagaimana dia harus menyelamatkan anaknya. Saat itu, yang paling membayangi benaknya adalah gambaran tanduk tajam kelima kerbau! Sementara itu dua ekor kerbau akhirnya mengetahui juga keberadaan seorang bocah di bawah pohon kelapa.
Mendengus-dengus mereka memainkan satu kaki depan di atas pasir. Kepala mereka mengangguk-angguk kuat. Lalu dengan kecepatan penuh keduanya seperti berlomba untuk lebih cepat melempar tubuh kurus si bocah.
Sebelum Karta menjadi korban berikutnya, dan sebelum dua kerbau tadi melontarkan semena-mena tubuh si bocah...
Wss! Prak-prak-prak! Serangan geram Datuk Kening Perak meluruk deras ke arah lelaki pendatang. Jangan tanya bagaimana keadaan tubuh orang itu jika terkena. Setidaknya bagian-bagian tubuhnya akan bertebaran ke mana-mana. Lebih mengerikan Iagi, mungkin dagingnya akan menjadi rencahan-rencahan kecil berserakan! Bayangan seperti itu pun terbetik dalam benak Datuk Kening Perak. Tentu dia sangat yakin bagaimana keampuhan ilmu Karang Pamungkas yang baru saja didapatnya. Keyakinan itu tak sesuai dengan kenyataan yang terjadi kemudian.
Begitu pukulan tanpa wujudnyamenghantam sasaran, seperti sebelumnya tercipta ledakan besar amat santer.
Amat mengguntur. Debu, pasirdan kerikil pun kembali beterbangan. Namun ketika debu, pasir, dan kerikil telah bersatu kembali dengan bumi( Datuk Kening Perak dan dua datuk lain menjadi tercengang-cengang.
Lelaki pendatang, mayat Mata Dewa Kematian yang bangkit kembali, ternyata masih utuh sama sekali. Bahkan, tubuhnya tergeser pun tidak. Meski dalam ukuran jari! Tak ada yang lucu dari keterperangahan di wajah Tiga Datuk Karang. Biarpun begitu, si lelaki pendatang malah tertawa dengan suara serak berlendirnya.
"Kalian pikir, Ilmu Karang Pamungkas kalian cukup hebat untuk menghadapiku?" cemooh lelaki pendatang, yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai mayat berjalan itu.
"Kalau kalian hendak menjajalnya, cobalah pada seekor katak! Jangan padaku!" lanjutnya, makin meremehkan ilmu andalan Tiga Datuk Karang yang rencananya mereka persiapkan untuk menghadapi Pendekar Lembah Kutukan.
"Celaka! Siapa orang ini" Kenapa Pukulan Karang Pamungkas tidak sanggup melantakkan tubuhnya?" rutuk Datuk Kening Merah. Kalau begitu, sia-sia saja mereka mempelajari Kitab Karang Pamungkas setelah mereka menanti puluhan tahun lamanya, pikirnya gundah.
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak?" tanya Datuk Kening Perak. Dia kini sadar sesadar-sadarnya, kalau lawan bukanlah manusia sembarangan. Mereka saja, yang jelas-jelas sebagai dedengkot golongan sesat dunia persilatan hanya dianggap sedemikian remeh olehnya. Dan itu bukan semata sesumbar. Bukan cuma pepesan kosong tanpa isi. Ucapannya telah dibuktikan sebelumnya dengan menaklukkan kehebatan pukulan tanpa wujud Karang Pamungkas.
"Aku...?" kata lelaki pendatang, menanggapi pertanyaan Datuk Kening Perak. Setelah itu, dia tak melanjutkan kalimatnya.
Malah ditatapnya Tiga Datuk Karang satu persatu dengan tatapan amat menusuk tiga orang tua itu T atapannya seperti memancarkan daya tenung demikian kuat.
Mengerikan. Terasa dada Tiga Datuk Karang seperti dirasuki sesuatu dengan paksa.
"Kalau kalian menganggap Mata Dewa Kematian telah mati, kalian tidak keliru.
Nyawa lelaki itu memang telah terlempar ke dasar neraka. Lalu, aku memakai bangkainya. Entah kenapa aku demikian suka memakai bangkai busuk lelaki jelek ini. Padahal banyak tubuh yang lebih bagus!"
"Kau belum menjelaskan padaku, siapa kau sebenarnya?" ulang Datuk Kening Perak, ingin keje-lasan.
"Aku," sebelum melanjutkan, manusia bangkai itu tertawa menyeramkan Iagi.
"Aku dulu dikenal dengan julukan Manusia Dari Pusat Bumi. Akulah satu-satunya musuh utama Pendekar Slebor. Aku kembali ke alam nyata untuk membayar kekalahanku dulu. Dan aku akan membuat perserikatan kalian mencapai cita-cita utama kalian, menyingkirkan Pendekar Slebor dan seluruh keluarganya!" sambung si manusia bangkai.
Sebagaimana pengakuannya, dia adalah Manusia Dari Pusat Bumi. Roh gentayangan tokoh setengah siluman yang begitu memusuhi Pendekar Slebor. Sepertinya takdir telah menentukan bahwa dua manusia yang berbeda kepribadian sama sekali itu akan menjadi seteru satu dengan yang lain. Alam kegelapan memang telah mengutus Manusia Dari Pusat Bumi untuk menaklukkan Pendekar Slebor. Sampai saat ini, tujuan busuk itu tak pernah tercapai. (Untuk mengetahui kisah manusia sesat ini, bacalah episode "Manusia Dari Pusat Bumi" dan "Pengadilan Perut Bumi")! Cahaya yang berkelebatan dari Iangit dan suara seseorang yang menggelegar ketika sembilan tokoh sesat dunia persilatan sedang bertemu waktu itu pun sebenarnya adalah pekerjaan roh Manusia Dari Pusat Bumi.
(Baca dalam serial Pendekar Slebor dalam episode sebelumnya: "Macan Kepala Ular")!

***

ǂǂǂǂǂ{ 7 }ǂǂǂǂǂ

Pendekar Slebor menjejakkan kaki dengan mantap di punggung salah seekor kerbau yang mengamuk di desa sekitar wilayah Karangbolong. Tiga ekor kerbau sebelumnya dibuat modar. Kepala ketiga binatang itu pecah. Isi tempurung kepalanya berantakan keluar.
Pendekar Slebor telah melcmparinya dengan tiga belahan buah kelapa. Tentu saja kepala sekeras kerbau tak akan pecah begitu saja jika lemparan itu tak disalurkan tenaga dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan.
Dengan begitu, nyawa si bocah di balik pohon kelapa dan lelaki nelayan ayah si bocah punluput dari cengkeraman maut.
Ketika kawanan kerbau itu mulai memasuki daerah pesisir pantai di mana Pendekar Slebor sedang berjalan-jalan, mencari angin segar. Selama ini dia begitu penat.
Tetap tinggal di gubuk Petaruh Sakti Perut Buncit, seperti tinggal dalam lubang siluman. Sudah pengap, bau pula! Tentu saja anak muda itu jadi tidak betah.
Sejak mengetahui kalau Kitab Pamungkas Ilmu Karang mcnghilang dari tempat penyimpanannya, Andika meminta izin buyutnya untuk membantu mencari. Tapi, si perempuan uzur nan cerewet Nyai Silili-lilu malah menceramahinya setengah harian. Menurut NyaiSilili-lilu, cicit kemenakannya itu harus beristirahat selama beberapa hari. Itu dibutuhkan karena Andika baru saja menjalani pengobatan akibat luka dalam yang dideritanya ketika bertarung dengan Amitha. (Baca episode sebelumnya: "Perserikatan Setan")! Andika bisa ngotot menolak. Sebagai ksatria, tak ada istilah menyerah baginya.
Apalagi berleha-Ieha hanya karena luka dalam. Tapi, dia mau berbuat apa Iagi kalau 'titah' itu jatuh dari mulut Nyai Silili-lilu. Perempuan bangkotan kepala batu itu paling benci kalau dirinya dibantah. Apalagi oleh cicit kemenakan sendiri.
Dia bisa mengamuk seperti topan bercampur kentut! Buyutnya sendiri tak bisa memberikan dukungan. Biar bagaimana, Nyai Silili-lilu adalah kakak perempuannya. Dia sebenarnya lebih suka Andika membantunya melakukan pencarian kitab. Toh, sebagai kakek buyut, dia tak ingin mendidik keturunannya menjadi orang-orang pecundang.
Tapi, lagi-lagi Pendekar Lembah Kutukan yang memiliki nama besar diseantero dunia persilatan pun tak bisa membantah Nyai Silili-lilu. Di situ hebatnya manusia betina jompo satu itu! Nyai Silili-lilu bukan tak punya alasan menahan untuk sementara cicit kemenakannya. Meski mata kepalanya sudah soak karena usia yang demikian lanjut, tapi mata batinnya sendiri melihat ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Andika. Sampai saat itu, Nyai Silili-lilu belum jelas benar. Sebagai seorang tabib wanita, Nyai Silili-lilu mencoba menahan Andika agar dia dapat mengamati keadaan menggidikkan yang tengah merayap dalam diri cicit kemenakannya. Dia berharap secepatnya dapat menyingkirkan sesuatu dalam diri Andika dengan pengetahuan ketabibannya.
Dan keadaan Andika tersebut dapat dirasakan oleh Ki Saptacakra pula. Namun karena mereka semua tidak bisa mencurahkan perhatian hanya pada Andika, Ki Saptacakra memutuskan untuk melakukan hal genting lain.
Ki Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit sendiri telah keluar selama beberapa hari terakhir untuk mencari Tiga Datuk Karang.Mereka harusse-gera mendapatkan kitab itu sebelum tiga musuh lama mereka sempat mempelajarinya. Sampai sekarang mereka belum juga terdengar beritanya.
Karena tak di zinkan, Andika akhimya merasa terkekang. Pikirannya sendiri terus-menerus terpuruk pada kejadian-kejadian yang telah dialami. Niatnya untuk segera terjun kembali menempuri kebatilan makin membukit. Karena tak betah terus-menerus seperti orang pesakitan, Pendekar Slebor keluar dari 'sarang' manusia-manusia langka berperilaku setengah sinting itu. Dengan diam-diam, Andika meloloskan diri dari pengawasan ketat Nyai Silili-lilu.
Ketika sedang berjalan-jalan. Timbul keinginannya untuk meneguk air kelapa segar. Sisa-sisa kelapa yang sempat tumbuh di musim panas terakhir memancing dahaganya. Dia segera melenting naik ke atas pohon kelapa.
Sedang asyik-asyiknya meneguk air kelapa, didengarnya keributan di kejauhan. Dari ketinggian, tentu saja Pendekar Slebor dengan mudah melihat kejadian yang berlangsung.
Dia segera turun, berlari dengan mengerahkan peringan tubuh penuh dan akhirnya sampai di tempat kejadian. Buah kelapa yang masih berada di tangannya di belah tiga dengan sabet-an kain pusaka.
Sekaligus dikebutkannya kain pusaka itu ke arah tiga potongan kelapa. Itu yang menyebabkan kepala tiga ekor kerbau yang mengancam si bocah dan ayahnya pecah seketika. Kerja jelas belum selesai. Masih ada puluhan ekor lain. Mereka masih terus mengamuk, menerjang apa saja yang bisa diterjang. Puluhan ekor bukan kerja yang mudah, meski bagi seorang pendekar muda besar seperti dirinya Apa yang bisa dilakukannya" Itu pertanyaan yang secepatnya harus dijawab sekarang. Satu per-satu merobohkan binatang-binatang mata gelap itu akan membutuhkan waktu lama. Sementara mungkin saja, korban malah akan bertambah. Dia tidak boleh kehilangan waktu sedikit pun.
Penduduk desa harus secepatnya diselamatkan dari ancaman kawanan kerbau liar itu. Harus ada tindakan yang bisa menuntaskan sekaligus amukan binatang-binatang kalap itu. Apa akalnya" Tanpa banyak berpikir, Pendekar Slebor bertindak sekenanya. Dia berteriak-teriak dengan mengerahkan sedikit tenaga sakti warisan buyutnya. Sambil berteriakteriak, dia pun melompat-lompat tak karuan. Tangannya melambai-lambai.
Tingkahnya sudah dekat-dekat tingkah monyet kegirangan. Ributnya minta tobat.
Kegaduhan orang sepasar ditewaskannya. Kalau kebetulan ada yang menganggapnya sinting, dia tak ambil pusing.
"Wuoii ! Woui i! Hua-hua! Huoi i!" Hiruk-pikuk yang dibuat secara gila-gilaan oleh Pendekar Slebor berhasil memancing perhatian kawanan kerbau. Seperti dikomando, secara serempak mereka mengalihkan pandangan ke arah si pemuda.
Satu persatu mereka mulai menuju Pendekar Slebor.
Tingkah Pendekar Slebor dalam pandangan binatang-binatang itu seperti letlckan yang membuat kekalapan mereka makin merangas. Dengan napas tetap mendengusdengus, binatang-binantang itu secara serempak akhimya memburu Andika. Tanduktanduk runcing mereka meluruk ke satu arah.
Menyadari pancingannya berhasil, Pendekar Slebor jadi makin gila. Dia berteriakteriak lebih kacau sambil menepuk-nepuk pantat yang sengaja di 'todongkan' ke arah kawanan kerbau.
"Lari yang cepat. anak anak! Siapa cepat, dia yang dapat!" Begitu beberapa pasang tanduk kerbau sudah nyaris membolongi pantatnya, tentu saja Andika langsung ngacir.
Dia berlari dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh seraya terus memperdengarkan sorak-sorak. Dengan cara itu, digiringnya seluruh kawanan kerbau untuk menjauhi desa. Sctibanya di tempat yang cukup terpencil, Andi?ka segera menghentak tubuh, hendak meninggalkan semua binatang kalap tadi. Sewaktu dia melenting-lenting cepat di atas punggung-punggung kerbau. tanpa sengaja mata Pendekar Slebor tertumbuk pada salah seekor kerbau liar yang menarik perhatiannya. Di sebelah tanduk binatang itu terikat bahan dari kulit binatang.
Rasa penasaran mendorong Pendekar Slebor untuk bergerak cepat. Dengan melakukan lentingan berputar di udara, disambarnya benda tadi. Kini, bisa disaksikan dengan jelas benda tersebut. Secarik surat terbuat dari samakan kulit ular.
Pendekar Slebor membukanya. Lalu dibaca.
Salah seorang kelurunanmu berada dalam genggaman kekuasan kami, Saptacakra. Dia lebih dikenal di dunia persilatan dengan julukan Ratu Lebah. Jika kau ingin perempuan cantik itu tetap hidup, datanglah ke puncak Gunung Slamet pada hari kelima purnama ini! Pendekar Slebor selesai mcmbaca. Tak ada satu tanda pengenal dari si pengirim surat. Meski begitu, Andika yakin Ki Saptacakta pasti bisa menduga siapa orangnya.
Diremasnya samakan kulit ular itu geram-geram.
"Mayangseruni..," bisiknya tersamar deru angin, menyebut nama asli Ratu Lebah.
Pandangannya me-nerawang, membayangkan wajah seorang dara elok rupawan murid tunggal Nyai Silili-lilu. Dulu, ada benih cinta tertanam dalam diri Mayangseruni alias Ratu Lebah terhadap diri si pendekar muda tampan. Lalu semuanya dikacaukan oleh kelicikan seorang tokoh sesat. Mayangseruni pergi meninggalkan Andika, membawa luka di hati hanya karena terjebak oleh tipu daya Pangeran Neraka. (Baca kisahnya dalam episode: "Sepasang Bidadari Merah")! "Kita akan bertemu Iagi, Mayang. Aku berjanji, kau tak akan dilukai oleh siapa pun. Tidak juga hatimu...," bisiknya kembali, terdengar lamat.
Rupanya ada dalang di balik amukan kawanan kerbau fiar ini, simpul Andika setelah bayangan Mayangseruni ditepisnya Dan kerbau-kerbau itu sebenarnya hendak diarahkan ke tempat Petaruh Sakti Perut Buncit untuk menyampaikan pesan. Sebab, isi surat yang terikat di salah satu tanduk kerbau ditujukan untuk Pendekar Lembah Kutukan. Si pengirim surat yang sekaligus dalang amukan kawanan kerbau liar itu tentu mengira Ki Saptacakra masih berada di tempat Petaruh Sakti Perut Buncit. Masalahnya sekarang, siapa orang itu" Kalau ingat pada amukan kawanan kerbau sebelumnya. dia jadi ingat pula pada peristiwa lama ketika melanglang ke negeri para Pharoh, Mesir. Perahu yang ditumpanginya diserang kawanan binatang liar pula. Kalau sekarang dia menghadapi kawanan kerbau, dulu kawanan kuda nil.
Dan orang yang berada di balik peristiwa amukan kawanan kuda nil itu adalah si Gila Petualang. Mungkinkah kejadian sekarang adalah ulahnya juga"
"Ah, sebaiknya aku kembali dulu ke desa tadi. Aku harus memastikan apakah mereka masih membutuhkan pertolonganku," putus Pendekar Slebor, setelah teringat pada nasib penduduk desa nelayan.
Sementara itu, keadaan desa kembali tenang.
Penduduk desa nelayan tersebut mulai berani menampakkan diri. Satu persatu mereka keluar dari rumah.
Tibanya Andika kembali menjadi pusat perhatian mereka.
Mata mereka menatapi si pemuda berambut gondrong dengan bersit mata terkagumkagum. Ditatapi orang banyak seperti itu, anak muda sakti dari Lembah Kutukan jadi salah tingkah. Dia cengar-cengir sendiri. Cengirannya makin jelek dan serba salah saja ketika menyaksikan beberapa perawan desa yang melempar senyum manis dari jendela rumah panggung mereka.
Wuuuh! Hembus napas Pendekar Slebor diam-diam.
Tak kukira desa kecil ini menyimpan banyak 'barang-barang bagus', ceracaunya dalam hati. Dasar kadal asli! Padahal, belum lama dia sibuk membayangi kecantikan Mayangseruni.
Yakin tak ada Iagi yang perlu dilakukan, dengan agak malas-malasan, anak muda itu meninggalkan desa.
Sesekali dia masih menoleh ke salah seorang gadis bertahi lalat di dagu.
"Tidak mampir dulu, Kang?" seru si gadis, sebagai ungkapan terima kasih tak langsung pada sang pahlawan muda.
Hati Andika langsung kembang-kempis. Senyumnya terpasang lebar.
'Terimakasih, Ni! Lain kali saja!" sahutnya. Di mulut dia menolak, tapi di hati dia berkicau lain Iagi. Andai saja aku menjadi tahi lalat itu, pikirnya. Sampai akhirnya dia bergerak cepat mengerahkan ilmu peringan tubuh.
Dia harus segera menyampaikan pesan berbahaya itu pada Ki Saptacakra. Jika orang tua itu tidak ditemukannya, Andika bertekad untuk mendatangi sendiri puncak Gunung Slamet!

***

"Buju buneng! Belum lama aku tinggal anak slompret itu! Sekarang, baunya pun sudah tak ada Iagi!" Nyai Silili-lilu mengomel sepanjang gerbong kereta tebu ketika tak menemukan Pendekar Slebor di gubuk milik Petaruh Sakti Perut Buncit.
Nenek tua itu jadi ngadat. Dicari-carinya Andika di sctiap sela, di segenap pojok gubuk, sampai ke kolong-kolong gubuk. (Masih bagus tak dicari juga di sela-sela ketiaknya!) Perabotan dalam rumah jadi porak-poranda.
Bunyi gedumprangan meraja. Entah apa yang baru dipecahkan. Dan 'benda-benda terbang' pun melayang keluar.
"Sembunyi di mana kau, anak muda sial! Jangan coba-coba mempermainkan aku!" sewot Nyai Silili-lilu sambil melongok ke kolong balai. Memangnya dia mencari Andika atau sedang mencari cecurut"
"Di sini juga tidak ada! Di sana tidak ada. Di mana-mana tidak ada. Jadi dimana dia?" gerutunya soak. Bibir kendornya manyun ke depan.
"Tolol juga aku. Kalau aku tahu, tentu aku tak akan bertanya...." Nyai Silili-lilu bangkit dengan menyanggahkan tangan pada dengkul mancungnya.
Terbungkuk-bungkuk, dia berjalan mondar-mandir. Berkali-kali. Sambil mondarmandir kalang-kabut, mulutnya terus mengulur gerutuan.
Akhimya dia pusing sendiri. Matanya berkunang-kunang.
"Sialan.... aku jadi mabuk sendiri kalau terus di sini.
Sebaiknya aku cari dia! Kalau kutemukan, akan kugantung dia di pohon toge!" Nyai Silili-lilu bergegas pergi.
Tak lama sepeninggalan perempuan setengah edan itu, Pendekar Slebor yang dicari-carinya kembali.
"Uwak" Uwak" Apakah kau sudah kembali"!" seru Pendekar Slebor sewaktu membuka pintu reyot gubuk.
Yang didapatinya malah keadaan ruangan yang porak-poranda. Pecahan barang di mana-mana. Balai bambu sudah terjengkang tak karuan. Ada setan ngamuk rupanya" Gumam Andika, geli sendiri membayangkan Nyai Silili-lilu mengobrakabrik tempat itu karena kehilangan dirinya.
"Sekarang, kira-kira ke mana perempuan tua itu?" bisik Andika. Dia melangkah masuk. Dibenarkannya letak balai. Rasa letih dan penat membuatnya mencoba sedikit beristirahat. Dia duduk di tepi balai.
Sebentar kemudian, dia merasakan kantuk yang tak biasa. Aneh, pikirnya. Tak biasanya dia merasakan keletihan seperti itu. Tidak biasa pula dia begitu cepat dikalahkan oleh rasa mengantuk. Makin lama dipertanyakan pada diri sendiri keanehan itu, makin memberat kelopak mata si anak muda. Rasanya ada ribuan kati beban mengganduli matanya. Dia berusaha melawan. Semakin dilawan, semakin terlempar dia ke dalam kantuk luar biasa.
Tanpa sadar, Pendekar Slebor merebahkan diri.
Belum lama tubuhnya terebah, dia pun tertidur. Lelap.
Lama. Dalam tidumya, pendekar muda tanah Jawa itu didatangi mimpi yang kejadiannya benar-benar serupa seperti dialaminya saat tak sadarkan diri setelah pertarungan maut dengan Amitha. Cuma sekali ini orang tua berselimut cahaya mengatakan sesuatu yang berbeda.
"Dalam hari kelima setiap purnama, kau harus berhati-hati Saat itulah, kau diuji untuk menjaga 'muara'mu atau 'dermaga'mu dari sergapan kegelapan di atas kegelapan...." Di akhir kalimat tersebut. Pendekar Slebor terjaga.
Tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Wajahnya sepasi mayat.
Napasnya terpacu, terengah-engah. Seolah dia baru saja berlari selama berharihari.
"Hari kelima setiap purnama." desisnya terseret, mengulangi salah satu bagian perkataan orang tua dalam mimpinya.
"Apa maksudnya?" sambungnya, bertanya pada diri sendiri. Sampai tarikan napas terakhir pun, tak pernah dimengertinya maksud seluruh ucapan orang tua itu. Baik ketika dia tak sadarkan diri, atau dalam mimpi barusan. Namun, hati kecilnya seperti memperingati akan suatu ancaman yang sulit dijelaskan. Ancaman dengan keadaan terlalu gelap untuk ditembus. Seperti kalimat terakhir orangtua dalam mimpi; 'kegelapan di atas kegelapan'. Andika merasakan bulu kuduknya seketika meremang.

***

ǂǂǂǂǂ{ 8 }ǂǂǂǂǂ

Hari kelima purnama berselang hanya sepuluh hari setelah Pendekar Slebor mendapatkan surat kaleng dari orang tak dikenal. Sampai saat itu, si anak muda sakti tanah Jawa tak sempat bertemu dengan Pendekar Lembah Kutukan, Petaruh Sakti Perut Buncit, ataupun Nyai Silili-lilu.
Sejak meninggalkan gubuk di dekat Pesisir Pantai Laut Selatan, entah ke mana perempuan tua itu. Tentu dia sedang berusaha mencari Pendekar Slebor. Sementara anak muda yang dicari justru sudah berada kembali di tempat semula.
Dua hari berselang. Purnama hari kelima pun tinggal delapan hari Iagi. Pendekar Slebor memutuskan untuk segera mendatangi puncak Gunung Slamet. Dari tempatnya, jarak yang mesti ditempuh cukup jauh. Bisa memakan waktu selama kurang lebih seminggu berkuda.
Kalau dia tak segera berangkat, maka nyawa Mayangseruni dipertaruhkan. Betapa anak muda itu yakin, musuh yang menyampaikan pesan pada tanduk salah seekor kerbau liar tidak pernah main-main. Untuk beberapa hal, dunia persilatan seringkali sulit diduga. Tapi hal-hal lain, semuanya berjalan seperti kepastian air mengalir ke tanah yang rendah. Khususnya untuk ancaman tokoh golongan hitam.
Jika mereka mengancam akan membunuh, maka niat itu akan dilaksanakan tanpa raguragu.Untuk Andika, Mayangseruni bukan cuma seorang murid buyutnya. Dia juga seorang perempuan yang tak cuma rupawan tapi memiliki hati pualam. Kalaupun dulu dia terjerumus dalam dunia hitam, penyebabnya karena dia dipengaruhi racun milik Pangeran Neraka. Racun itu membuat pikirannya jadi terganggu. Tetapi kemudian Andika berhasil membantu Nyai Silili-lilu menyembuhkan Mayangseruni, Andika pun bisa menyaksikan pribadi sesungguhnya gadis itu. (Baca episode: "Pendekar Wanita Tanah Buangan").
Tidak segera mendatangi puncak Gunung Slamet, sama artinya Pendekar Slebor membiarkan seorang perempuan sebaik Mayangseruni menjadi korban kezaliman orang-orangsesat. Andika tak sudi itu.
Pada waktu hendak berangkat, Pendekar Slebor merasakan satu gejala aneh yang kian hari kian terasa menguat dalam dirinya.
Entah kenapa ada perasaan-perasaan menakutkan menjalar demikian rupa. Gempuran perasaan yang menyebabkan seluruh bulu halusnya meremang itu sesekali membuat pandangan matanya menjadi gelap. Lalu kesadarannya seperti dilarikan sekawanan siluman, meski dia sendiri tak jatuh pingsan karenanya.
Karena berpikir itu hanya akibat luka dalam yang dideritanya ketika bertarung dengan Amitha, Andika tak begitu mempedulikan, Iagi pula, kalaupun tubuhnya masih dalam keadaan luka dalam pun dia akan tetap mendatangi puncak Gunung Slamet. Nyawanya sendiri bahkan sudi dipertaruhkan untuk Mayangseruni.
Dengan berkuda, hari itu juga Pendekar Slebor menuju batas wilayah Kabupaten Purbalingga dengan Brebes, daerah di mana Gunung Slamet berdiri kokoh.
Tanpa diketahui oleh anak muda dari Lembah Kutukan, sepasang mata terus mengintainya. Sejak dari gubuk Petaruh Sakti Perut Buncit, hingga sepanjang perjalanannya menuju puncak Gunung Slamet. Dengan mempergunakan kuda, si pengintai mengikuti Pendekar Slebor dari jarak yang cukup aman dari jangkauan orangyang dikuntit.

***

Puncak Gunung Slamet berdiri tegar. Angkuh adalah kesan yang paling mencolok untuk menggambarkan keadaannya. Selain itu, keangkeran menyelimuti. Terutama karena gunung tersebut adalah salah satu gunung merapi di Jawa dan merupakan salah satu dari beberapa gunung berpuncak tertinggi. Kabut merayap di sebagian puncaknya. Memperkental kesan yang telah menyelimuti selama ini.
Pendekar Slebor tiba di kaki Gunung Slamet pada hari kelima setelah memac u kuda sepanjang perjalanan, diselingi beberapa kali istirahat. Untuk sampai ke puncaknya, menunggang kuda sudah tidak me- mungkinkan Iagi. Terlalu riskan. Lagi pula, tak mungkin kuda mampu melakukan perjalanan menanjak. Karena itu, Pendekar Slebor memutuskan untuk melepas kuda tunggangannya.
"Pergilah ke mana pun kau suka. Kau bebas sekarang!" seru Andika seraya menepuk punggung kudanya. Hewan itu pun lari bersama ringkikannya, menuju alam bebas.
Pendekar Slebor mengalihkan pandangan ke puncak gunung. Lama dia melakukan itu. Beberapa kali dadanya menghela napas dalamdalam. Dia menikmati suasana di sana. Menyaksikan keagungan sekaligus keangkeran Gunung Slamet, Andika seperti dihadapkan pada satu bukit kecil kekuasaan Sang Pencipta. Kini, di puncak gunung itu, telah menanti ancaman maut baginya. Tokoh-tokoh sesat yang mencutik Mayangseruni memanfaatkan untuk kebatilan gunung yang tak mungkin bisa memprotes itu. Dalam pandangan Andika, keagungan dan kesuciannya seperti hendak dinodai oleh mereka. Seperti halnya bumi seringkali diperkosa oleh kebejatan manusia. Sementara, Tuhan sendiri tak pernah menciptakan sesuatu dengan batil, desahnya.
Diawali tarikan nafas teramat dalam terakhir, Andika memantapkan tekad. Dia pun memulai pendakian ke puncak yang tentu saja tak akan mudah.
Menjelang setengah hari pendakian, Pendekar Slebor akhirnya tiba di puncak Gunung Slamet Untuk tiba di puncaknya, beberapa kali anak muda itu tergelincir jatuh. Kalau sempat dia kehilangan keseimbangan, kemungkinan paling buruk bisa saja terjadi. Nyawanya bisa melayang di atas batu besar atau jurang curam. Untunglah kemampuan peringan tubuhnya telah cukup teruji dalam belantara dunia persilatan selama ini. Dia mampu melakukan semacam akrobatik darurat beberapa kali untuk menyelamatkan diri. Meski itu dilakukan dengan jantung nyaris ambrol karena kengerian. Sebelum mencapai puncak, Pendekar Slebor sempat menikmati tenggelamnya surya di ufuk barat. Sinar jingga keemasan yang memancar demikian lem-bui, bertolak belakang dengan keadaan yang akan di-jalaninya nanti.
Nanti, tentu semuanya akan begitu garang dan haus darah.
Dengan satu lompatan mengandalkan separo 83 kemampuan tubuhnya, akhimya Pendekar Slebor ti?ba juga di puncak Gunung Slamet. Matahari di sana makin kepayahan. Sinarnya melamat dan terus mela-mat Pendekar Slebor kini menyaksikan tiga lelaki tua yang nyaris serupa satu dengan yang lain. Hanya war? na kening mereka yang membedakan. Satu orang berkening ungu.
Yang lain merah dan perak. Mereka tentu saja Tiga Datuk Karang. Ketiganya tampak agak kecewa ketika mengetahui Pendekar Slebor yang datang. Sebab, sebenarnya mereka menujukan surat ancaman itu kepada Ki Saptacakra alias Pen?dekar Lembah Kutukan. Yang muncul kini justru anak muda berambut gondrong, bertampang ningrat, tapi berpenampilan mengenaskan. Dan belum-be-lum, dia sudah cengar sini cengir sana.
"Kaliankah yang telah mengirim s urat ancaman itu?" tanya Andika, memulai.
Sebelum membuka suara, Datuk Kening Perak menatap anak muda yang berdiri sekitar sepuluh de-pa di depannya dengan tatapan menghujam. Tanpa kedip.
"Siapa kau?" Bukannya memberikan jawaban atas pertanyaan Pendekar Slebor, Datuk Kening Pe?rak malah balik bertanya.
Andika menyipitkan mata.
"Kalian yang telah mengirim surat ancaman itu?" ulangnya, ngotot.
84 "Ya. Sekarang jawab pertanyaanku, siapa kau sebenarnya"!" Kalimat-kalimat Datuk Kening Perak mulai menanjak naik.
"Aku cicit buyut dari Pendekar Lembah Kutukan, kalau kalian sudi percaya." Di dalam benaknya, Pendekar Slebor berkata-kata sendiri. Kukira amukan kawanan kerbau liar beberapa hari lalu adalah perbuatan si Gila Petualang.
Mungkinkah mereka memiliki liubungan dengan lelaki tua sesat itu"
"Kenapa dengan buyutmu, Anak Muda" Kenapa dia malah mengirim anak bau kencur sepertimu ke sini" Apakah dia takut menghadapi kami setelah kami menguasai ilmu Karang Pamungkas?" kata Datuk Kening Perak, terdengar mengejek.
Pendekar Slebor menaikkan sudut bibirnya.
"Kalian saja yang salah mengalamatkan surat ancaman itu...," jawabnya enteng.
"Ngomong-ngomong, siapa kalian sebenarnya?"
"Kami Tiga Datuk Karang!" sambar Datuk Kening Ungu."Ooo," Bibir si pendekar urakan memancung berlebihan.
"Buyutku pernah cerita tentang kalian.
Bukankah kalian adalah tiga orang yang berhasil dibuat 'keok' olehnya beberapa puluh tahun silam?"
"Itu tak akan terjadi Iagi!" tandas Datuk Kening Perak, memastikan.
"Ah, itu bisa-bisa kau saja!" Pendekar Slebor terkekeh.
"Aku muak dengan anak muda ini. Tingkahnya tak beda dengan Saptacakra keparat itu!" Datuk Kening Ungu berbisik pada saudara tuanya.
"Terang saja, aku buyutnya!" sergah Pendekar Slebor, mendengar bisik-bisik tadi.
"Sebaiknya kau kembali dan menyampaikan pesan kami pada Saptacakra. Kami menantangnya bertarung di sini! Katakan, kami akan mengulur waktu untuknya hingga sepuluh hari dari sekarang. Kalau tidak...." Ucapan Datuk Kening Merah yang tak mau banyak bertele-tele, dipancung oleh Andika.
"Kalau tidak kalian akan membunuh perempuan itu?" Terlihat anggukan samar ketiga orang tua sesat.
Pendekar Slebor mencibir.
"Beh, bisa-bisanya kalian berkata hendak menantang buyutku mengadu kesaktian.
Sementara tindakan kalian sendiri tak lebih dari tindakan penjahat-penjahat kampungan tengik!"
"Hati-hati bicara, Anak Muda!" Pendekar Slebor masa bodo. Dia tak peduli.
"Menurutku, kalian masih belum pantas untuk menghadapi kebesaran nama Pendekar Lembah Kutukan! Kenapa kalian tak menantang sandal bakiak Memerah wajah Tiga Datuk Karang mendengar kata-kata pedas Pendekar Slebor.
"Mulutmu benar-benar selancang Saptacakra," geram Datuk Kening Ungu.
"Kalau kalian sudi ingin tahu, sebenarnya bukan mulutku saja yang selancang dia.
Banyak kemiripan yang telah diturunkan si tua itu padaku. Kerutan di ketiakku pun serupa dengan ketiaknya. Mau kalian buktikan?"
"Bedebah!"
"Tai kucing! Kalianlah yang sesungguhnya bedebah.
Betapa memalukan tindakan kalian menculik perempuan itu untuk memaksa buyutku datang mememuhi tantangan kalian!" balas Pendekar Slebor membentak-bentak sampai wajahnya jadi kacau-balau layaknya orang kerasukan.
"Kau rupanya minta diberi pelajaran!" desis Datuk Kening Perak, benar-benar sudah meluap darahnya hingga terasa hendak membobol tengkorak kepalanya sendiri.
"Kalian mau menghajar aku?" Anak muda urakan berperangai 'angot-angotan' itu membusungkan dada.
"Pilih bagian mana yang kalian suka!" Rahang ketiga orang tua di depannya mengeras teramat sangat. Belum pernah mereka dihina seperti itu.
Kecuali oleh Pendekar Lembah Kutukan. Mendapat seluruh semprotan pedas Pendekar Slebor, mereka seperti dilempar kembali ke masa puluhan tahun lalu ketika mereka berhadapan dengan Ki Saptacakra yangsama-sama muda. Tanpa disadari, mereka mulai beranggapan bahwa mereka telah berhadapan langsung dengan musuh lama mereka. Itulah pengaruh dendam yang telah berkarat dalam benak ketiga datuk sesat itu.
Dalam keadaan seperti saat itu, mendadak saja mata hati mereka menjadi teramat bu-ta dari sebelumnya.
"Kau akan mampus, Saptacakra!" bentak Datuk Kening Merah.
Pendekar Slebor melotot. Sejak kapan namanya diganti" Kalau sampai si tua bangka buyutnya tahu, tanpa ragu Iagi tentu dia akan digantung! Kegeraman Datuk Kening Merah terhadap Pendekar Slebor akhimya terwujud ke dalam serangan. Tubuhnya melompat ke depan. Tiba di dekat Pendekar Slebor, dilancarkannya tinju ke arah kepala.
Deb! Pendekar Slebor mengelak. Meski dapat menghindar dari pukulan langsung, tak luput anak muda itu merasakan angin pukulan yang kuat menyentak bagian lehernya.
Padahal posisinya sudah termas uk jauh dari pukulan tadi.
Ini membuktikan kalau tenaga dalam lawan telah mencapai tingkat kesempurnaan.
Karena tahu dia tak sedang menghadapi lawan sembarangan, Pendekar Slebor langsung saja membalas.
Masih dengan kepala tertunduk, dibabatkannya tangan ke dada lawan dengan mengerahkan tenaga dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat kesembilan.
Dengan mengerahkan tenaga dalam pada tingkat itu, Pendekar Slebor ingin sedikit menguji lawan. Wukh! Sambaran deras punggung tangan Pendekar Slebor dimentahkan Datuk Kening Merah dengan menyurutkan badan sigap ke belakang. Namun karena Pendekar Slebor telah mengerahkan setengah dari kemampuan tenaga dalam warisan buyutnya, angin pukulannya pun sanggup menyentak keras-keras tubuh lawan. Datuk Kening Merah terjajar ke belakang. Sebelah tangannya mendekap bagian perut yang terasa nyeri berdenyar. Wajahnya menampakkan keterkejutan.
"Kenapa kaget?" cemooh Pendekar Slebor.
"Apa kau pikir kau sedang menghadapi cecurut yang tak memiliki pukulan tenaga dalam sekuat milikmu?"
"Jangan sesumbar! Kau salah menduga kalau kau mengira aku telah cukup mengerahkan tenaga dalamku!" baias Datuk Kening Merah, dengan rona wajah yang kini menjadi sewarna dengan keningnya. Selesai meluapkan kegeramannya melalui ucapan tadi. salah seorang dari T iga Datuk Karang itu menggerakkan dua tangannya dua kali putaran. Pada saat itu terdengar suara deruan. Padahal kalau diperhatikan sekilas, gerakan tangan Datuk Kening Merah perlahan saja. Menyusul direntangkannya kedua tangan tadi.
Telapak tangannya yang semula mengepal kini membuka cepat, kemudian mengepal Iagi. Naga-naganya, dia sedang mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi! "Mulai unjuk gigi dia rupanya," bisik Pendekar Slebor, sambil terus memperhatikan lawan dengan seksama. Tapi ketika ingat lawannya sudah sangat tua, ocehannya jadi bertambah.
"Iya, itu pun kalau dia masih punya gigi" bibirnya pun cengar-cengir sendiri.
"Terimalah ini!" seru Datuk Kening Merah kemudian.
Kembali diterjangnya lawan berbeda usia yang siap menanti serangan maut, meski wajah pemuda itu sendiri memperlihatkan keacuhan Atau barangkali lebih mirip wajah orang tak punya otak" Bisa jadi begitu.
Terjangan Datuk Kening Merah kali ini dipusatkan pada kedua kakinya. Setelah melompat maju, kakinya melakukan sapuan menyamping ke leher lawan. Angin sambaran tendangannya lebih kuat dari serangan sebelumnya. Pendekar Slebor tentu saja sudah menduga. Dalam perhitungannya, jika sebelumnya saja angin pukulan lawan sudah terasa membuat linu lehernya, dengan meningkatkan pengerahan tenaga dalam ke tingkat jauh lebih tinggi tentunya sekarang dia bisa terjengkang hanya karena tersambar angin tendangan.
"Huii h!" Bersama teriakan melengking yang nyaris terdengar seperti dengking keledai, Pendekar Slebor melempar kuat-kuat tubuhnya ke belakang. Dengan kedua tangannya, dia menahan tubuh di tanah. Lalu secepatnya dihentak Iagi tubuhnya hingga menciptakan gerak berputar beberapa kali di atas tanah. Dengan cara cerdik itu, dia bisa membiarkan angin tendangan lawan terlewat begitu saja bersama gerak tubuhnya. Pendekar Slebor kini sudah berdiri dengan kuda-kuda kokoh Iagi. Jaraknya dengan lawan terulur lebih jauh dari sebelumnya. Ada sekitar dua betas langkah.
Sementara tepat di belakang kakinya, terbentang jurang, yang bukan cuma curam namun juga teramat dalam.
Kalau seandainya Pendekar Slebor salah memperhitungkan gerak jumpalitan tubuhnya, niscaya dia akan jatuh ke sana! "Wui h...," Pendekar Slebor mengempos napas dengan bibir agak menyorong ke depan. Diliriknya jurang di belakang. Sejengkal Iagi ters urut ke belakang, bakal jadi empuk tubuhku di bawah sana, gumamnya setengah meringis. Tapi kesempatan tak banyak dimiliki. Datuk Kening Merah sudah melanjutkan gempurannya. Berkawal teriakan serak memekakkan telinga, orang tua itu memutar-mutar tubuhnya dengan bertumpu pada satu kaki. Sedang kaki yang lain dibentangkan seperti juga kedua tangannya. Putaran tubuh orang tua sesat itu meluruk mengancam Pendekar Slebor.
Wukh-wukh...! Dengan cara yang terbilang cerdik, Datuk Kening Merah rupanya hendak mendesak lawan ke dalam jurang.
Jika putaran tubuhnya disertai dengan penyaluran tenaga dalam tingkat tinggi pada kedua tangan dan kaki, tentunya akan timbul angin putaran yang amat kuat.
Semakin dekat jaraknya ke tempat lawan, maka akan semakin kuat tenaga dorongan.
Dengan cara itu pula, Datuk Kening Merah menutup jalan untuk lawan. Cuma ada dua pilihan bagi lawan agar terhindar dari kekuatan sambaran angin putaran yang mungkin bisa berakibat fatal itu. Pertama, masuk ke jurang. Kedua, melewati atas putaran lawan.
"Sialan. Kenapa malah jadi main gasing-gasingan!" maki si pendekar muda urakan jengkel.
Pendekar Slebor bukan anak kemarin sore. Dia tak bisa tertipu dengan mudah.
Ksatria muda berakal cerdik itu tahu, jika dia berusaha melewati putaran tubuh lawan dengan cara melompat di atas tubuh lawan, maka lawan dengan cepat akan melepas pukulan jarak jauh. Akan sangat sulit baginya untuk meng-hindar pada saat tubuhnya sedang melayang seperti itu.
Pendekar Slebor tak kehilangan akal. Timbul pikiran sintingnya ketika dia mendengar ucapan sendiri. Bagaimana kalau aku pun melakukan hal yang sama" Cetus pikiran senewennya.
Tapi, begitulah Pendekar Slebor. Dia terkadang tak terlalu memusingkan apakah cara bertarungnya terbilang aneh atau tidak, terbilang lucu atau tidak, terbilang ini atau itu. Jadi tak terlalu heran kalau julukannya pun seperti itu.
Sambil berteriak sejadi-jadinya, Pendekar Slebor benar-benar melakukan hal yang sama! Wukh-wukh...! Orang Iain mungkin akan menganggap dia melakukan kesintingan. Sedikitnya dia telah melakukan kekonyolan berbau maut. Bagi Pendekar Slebor sendiri tidak demikian. Dia melakukan tindakan itu dengan perhitungan cepat yang matang di saat-saat terjepit. Itulah salah satu kehebatan yang patut dibanggakan pada diri anak muda itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam hingga tingkat puncaknya, dia akan menjajal lebih jauh tingkat tenaga dalam lawan. Sejauh itu, Andika yakin tenaga dalam warisan buyutnya tak kalah tangguh dengan tenaga dalam lawan. Bukankah kejadian puluhan tahun silam telah membuktikannya dengan keberhasilan Pendekar Lembah Kutukan mengalahkan Tiga Datuk Karang" Dan untuk mementahkan angin putaran teramat kuat yang bisa melukai tubuhnya, Pendekar Slebor sengaja membuat putaran ke arah yang sama. Dengan cara itu, arus hantaman angin putaran yang di-ciptakan lawan akan segera diteruskan ke sampmg tubuhnya. Demi menyaksikan lawannya melakukan hal yang sama, bukan main terperanjat ny a Datuk Kening Merah.
Dua datuk lain yang menyaksikan pertarungan itu pun tak kalah terperanjat.
Tindakan itu tak akan terpikirkan oleh sembarang pendekar, pikir keduanya.
Tindakan itu mereka nilai amat cerdik. Terselip kekaguman dalam diri masingmasing. Seluruh perhitungan cerdik Pendekar Slebor terbukti tepat. Hantaman angin putaran tubuh lawan malah berlarian serampangan ke satu sisi. Sementara itu, putaran tubuh keduanya semakin dekat. Sampai..... . . .
Dash! Tercipta suara keras akibat benturan putaran keduanya. Dalam setiap benturan apa pun, akan terjadi gaya tolak-menolak.
Semakin kuat benturan, akan semakin kuat pula gaya tolakan yang terjadi.
Hal seperti itu akan sangat berbahaya bagi posisi Pendekar Slebor. Jika hentakan ke belakang tubuhnya terlalu kuat, maka jurang akan menelannya. Tapi, itu pun rupanya sudah masuk dalam perhitungan otak seencer bubur orang jompo si pendekar muda. Dengan jarak ke depan yang dapat dicurinya saat tubuhnya berputar, dia masih bisa melakukan salto ke belakang untuk menahan laju tubuhnya agar tidak jatuh ke dalam jurang! Teph! Lagi-Iagi perhitungannya tak meleset Dia menapakkan kaki tak begitu jauh dari bibir jurang. Meski dengan begitu, dia mengalami luka dalam yang cukup berarti. Darah mengalir keluar dari kedua sudut bibirnya.
Di Iain pihak, Datuk Kening Merah mengalami hal serupa. Tubuhnya terpental cukup deras ke belakang. Dia pun mengalami luka dalam. Karena tak menyangka lawan mudanya mampu membuat dirinya terluka demikian rupa, orang tua sesat itu jadi lengah. Tangannya tanpa sadar memeriksa sudut bibir yang terasa anyir. Kemudian ditatapinya darah yang membasahi tangannya itu dengan sinar mata tak percaya.
Kesempatan itu dipergunakan Pendekar Slebor untuk mencari posisi. Cepat dan gesit dia melompat beberapa putaran ke depan, menjauhi bibir jurang Walaupun untuk melakukan itu dia harus sedikit memaksakan diri akibat luka dalam yang diderita

***

ǂǂǂǂǂ{ 9 }ǂǂǂǂǂ

Rasa malu hanya pantas dimiliki oleh manusia. Tidak untuk hewan. Namun ada manusia membiarkan dirinya tak lebih baik dari hewan dengan mem-biarkan rasa malu menjadi gersang dalam dirinya. Bagi orang sesat, sulit untuk menemukan rasa malu dalam diri mereka. Kalaupun ada, cuma keangkuhan semata.
Seperti halnya T iga Datuk Karang, mereka tak Iagi merasa malu ketika ketiganya memutuskan untuk mengeroyok pendekar muda yang berusia dan berpengalaman jauh di bawah mereka.
Sejak menyadari bagaimana tangguh dan cerdiknya Pendekar Slebor menghadapi Datuk Kening Merah, dua datuk Iain mulai memperhitungkan kemungkinan untuk menang. Pada awalnya, mereka segan untuk berurusan dengan anak muda yang mereka anggap bau kencur itu.
Satu-satunya kepentingan mereka cuma dengan Pendekar Lembah Kutukan. Namun ketika pertarungan akhimya meletus, mereka tak bisa Iagi menghindar. Tak mungkin bagi mereka untuk menyingkir. Apa kata dunia persilatan jika tiga datuk kenamaan harus lari dari seorang pendekar muda" Di pihak Pendekar Slebor, anak muda itu tak akan sudi turun dari puncak Gunung Slamet sebelum mendapatkan Mayangseruni dalam keadaan tanpa kurang suatu apa. Tiga Datuk Karang tak akan memenuhi tuntutannya. Jalan satu-satunya bagi Pendekar Slebor adalah memaksa ketiga dedengkot golongan sesat itu.
Berarti pertarungan memang tak mungkin Iagi dihindari.
Setelah menelan waktu hingga malam turun dan bulan menggelantung di angkasa, pertarungan tak imbang itu tetap berjalan alot.
Meski dikeroyok, Pendekar Slebor mampu memperlihatkan kedigdayaannya selaku pendekar muda dunia persilatan yang disegani.
Biar bagaimanapun, tak bisa di ngkari Pendekar Slebor bukanlah tandingan ketiga datuk seangkatan buyutnya itu. Terlebih karena mereka menggempur bersamaan. Terlebih Iagi, mereka telah berhasil menyempurnakan ilmu 'Karang' mereka beberapa waktu belakangan.
Maka, selama pertarungan berlangsung, si ksatria muda dari Lembah Kutukan tak lebih menjadi bulan-bulanan para lawannya. Dia terdesak dan terdesak.
Pengerahan kekuatan sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan yang seringkali mampu mengatasi keadaan paling genting ternyata tak banyak berguna.
Padahal pengerahan puncak tenaga sakti itu telah membentuk benteng tenaga bercahaya yang hanya muncul pada saat-saat dia terdesak.
'Tenaga Inti Petir' sebagai kekuatan pamungkas milik Pendekar Slebor juga tak banyak membantu. Gempuran-gempuran pukulan tanpa wujud Karang Pamungkas terlalu bertubi-tubi mencecar. Meski Tenaga Inti Petir membantu berkali-kali untuk menahan pukulan itu, lama-kelamaan keampuhannya kikis juga. Layaknya karang yang terkikis oleh gempuran ombak terus-menerus.
Pendekar Slebor menyadari posisi gentingnya.
Sebagai pendekar yang ditempa dengan kekerasan sejak kecil, dia tak akan sudi begitu saja menyerah. Tujuannya hanya satu mendapatkan kembali Mayangseruni dalam keadaan hidup, atau dia mati di puncak Gunung Slamet! "Menyerah sajalah kau, Anak Muda!" seru Datuk Kening Perak, ketika satu pukulan tanpa wujudnya untuk kesekian kali mengikis kekuatan benteng 'Inti Petir' Pendekar Slebor.
Dengan darah terus mengalir dari hidung dan mulutnya, anak muda pantang menyerah itu mendengus.
"Kematian bagiku cuma jalan termudah untuk menyelesaikan persoalan. Namun, aku harus memastikan bahwa kematianku tidak siasia. Aku tidak ingin mati sebagai pengec ut atau pecundang!" tandasnya, tegar.
Biarpun setiap kata yang diucapkan harus memenggal-menggal napasnya yang sudah terputus-putus.
Datuk Kening Perak menyeringai.
"Bagus! Keras kepalamu pun tak beda dengan Saptacakra keparat itu, membuatku semakin berhas-rat untuk menyingkirkan nyawamu!"
"Kalau begitu, kenapa kau tak lakukan saja" Kenapa kau harus memintaku menyerah" Kentut monyetlah kalian semua!" maki Pendekar Slebor, mulut pedasnya masih juga bisa melontarkan makian kelewatan.
Bibirnya pun memperlihatkan cengiran terpaksa. Lepas dari penderitaan yang dirasakannya, cengiran itu tetap saja menjengkelkan.
Semenjengkelkan cengiran keledai! "Lempar saja dia ke neraka!" teriak Datuk Kening Merah. Betapa mengkelapnya orang tua sesat itu mendengar kekeraskepalaan yang terlahir melalui mulut cicit buyut musuh besarnya. Apalagi kalau dia mengiangkan kembali makian yang keterlaluan itu.
Kepalanya seperti di njak-injak langsung oleh telapak kaki berlumpur... dan bau pula! Tak berselang jauh dari teriakan mengkelapnya, Datuk Kening Merah mengirim satu pukulan tanpa wujud ke arah dada si pendekar muda tanah Jawa kembali.
Duar! Benteng bercahaya 'Inti Petir' di seputar tubuh Pendekar Slebor sebentar meredup ketika dihantam pukulan tanpa wujud yang berkekuatan lebih dari mesiu satu pedati itu. Tubuhnya terjajar deras ke belakang. Kuda-kuda yang berusaha dipertahankan menciptakan jejak panjang seperti saluran dangkal.
Malangnya, pukulan kali ini melemparkan dia tepat ke mulut jurang. Kakinya yang goyah pun tergelincir Wajah Pendekar Slebor menegang. Dia amat tercekat. Sebelum dia sempat memikirkan tindakan untukmenyelamatkan dirinya, tubuhnya sudah terlebih dahulu terjungkal.
Saat itu, kesigapan terlatihnya menyelamatkan dirinya. Dengan cepat, tangannya menyambar bibir jurang.
Crep!Kekuatan tenaga sakti yang telah terkuras menyebabkan jari-jari di kedua belah tangannya sanggup menembus dinding keras puncak gunung. Kini tubuh pendekar muda berhati baja itu tergelantung-gelantung di bibir jurang. Hanya sepuluh jari yang menembus tepian puncak menjadi penahan tubuhnya. Kakinya tak mendapatkan pijakan sama sekali.
Sedangkan tubuhnya terasa amat lemah untuk membuat satu hentakan yang bisa mengembalikan dirinya ke atas.
Di atas kepalanya, Tiga Datuk Karang berdiri dengan keangkuhan masing-masing.
Mereka menatapi si anak muda dengan sinar mata mencemooh.
"Nyawamu tinggal di ujung tenggorokan, Anak Muda," kata Datuk Kening Perak.
"Kalau kau ingin memohon ampun pada kami, tentu kau akan selamat...." Bibir Pendekar Slebor bergetaran, menahan kekuatan jarinya yang semakin goyah.
Tubuhnya terasa semakin melemah. Terutama karena dia telah banyak kehilangan darah. Juga karena telah berkali-kali dia menerima hantaman pukulan tanpa wujud yang memberondong benteng tenaga saktinya.
Entah bagaimana bibir pemuda itu malah memperlihatkan senyum menjengkelkannya kembali.
Sungguh di luar harapan Tiga Datuk Karang! "Bisa kau contohkan bagaimana caranya aku memohon ampun pada kalian" Untuk mencontohkannya, bagaimana kalau kalian menggantikan tempatku sekarang dan aku menggantikan tempat kalian di atas?" celotehnya, masih sempat bergurau. Tujuannya tentu untuk meledek.
"Benar-benar keparat," desis Datuk Kening Ungu dengan mata membesar. Bagaimana mungkin manusia yang sudah dekal ajal masih bisa berpikir untuk melawak" Pikirnya. Ketiga datuk sesat itu saling berpandangan satu dengan yang lain. Mereka seperti sedang memungut suara untuk menentukan apakah pemuda di bawah mereka akan dihabisi saat itu juga.
Saat itulah, ada sesuatu yang terjadi dalam diri Pendekar Slebor. Ketika itu bertepatan dengan bulan membulat penuh di angkasa, dan menempati tepat puncak cakrawala malam nan kelam.
Pendekar Slebor merasakan ada perasaan-perasaan menakutkan menjalar demikian rupa. Bergeliat di suatu tempat dalam dirinya, kemudian mengem-bang ke sekujur bagian tubuhnya. Gempuran perasaan yang menyebabkan seluruh bulu halusnya meremang itu, sesekali membuat pandangan matanya menjadi gelap. Persis seperti pernah dialami hari-hari sebelumnya. Cuma kali ini lebih hebat.
Lebih kuat. Lebih terasa ganas mengerikan.
"Sang Penguasa Segenap Jiwa, apa yang terjadi pada diriku?" bisiknya amat tak kentara. Pertahanan jari-jarinya semakin kehilangan kekuatan. Dia merasa hidupnya akan segera berakhir.
Semuanya menjadi tak terkendali Iagi. Pandangannya menjadi pekat. Dia masih sadar. Tapi, anehnya dia seperti tak bisa menguasai setiap jengkal bagian tubuhnya. Lalu, hal yang ditakuti pun terjadi. Cengkeraman jari-jemari Pendekar Slebor benar-benar terlepas dari bibir jurang. Andika meluncur jatuh. Pada saat yang sama, terjadi hal yang sesungguhnya lebih menakutkan.
Saat meluncur deras ke bawah, perlahan tapi pasti tubuh Pendekar Slebor berubah wujud. Perlahan, tumbuh bulu-bulu kasar di seluruh pori-pori kulitnya. Kulitnya pun mengeras. Lalu beberapa bagian tubuhnya menyusut ke bentuk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh dirinya sendiri. Dan pada saatnya, Pendekar Slebor berubah sempurna menjadi seekor macan berkepala puluhan ular! Wujud menyeramkan yang pernah dihadapi dulu, kini malah terjelma dari dirinya! Dan semua itu sama sekali tak disadari si anak muda sakti.
"Nggungg!" Berkelindanlah suara dengung berat meninggi menakutkan, memenuhi celah jurang hingga ke dasarnya.
Di atas sana, Tiga Datuk Karang terlonjak. Benak masing-masing bertanya-tanya keheranan. Suara apa itu" Ketiganya terpancing untuk menjulurkan kepala ke dalam jurang. Dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan sesuatu yang tak pernah mereka lihat selama hidup. Nyaris saja ketiga dedengkot golongan sesat itu tersurut mundur dari bibir jurang. Bagaimana mereka tak dibuat terkejut kalau ketiganya menyaksikan ada seekor macan berkepala puluhan ular tengah memanjati dinding jurang. Setiap kali beringsut ke atas, cakarnya terhujam ke dinding jurang yang kekerasannya tidak diragukan.
"Kau melihat itu?" tanya Datuk Kening Merah, takyakin dengan penglihatannya sendiri. Dua datuk lain malah saling pandang. Mereka sendiri ragu apakah mereka tadi tak salah lihat" Mimik wajah ketiganya kini tak beda dengan tiga orang bodoh.
"Binatang apa itu?" tanya Datuk Kening Merah Iagi.
Sampai detik itu, matanya jadi lupa berkedip.
"Mana aku tahu, binatang laknat macam apa yang baoi saja kita lihat!" timpal Datuk Kening Perak, sama bingungnya.
Kebingungan yang berkecamuk dalam benak Tiga Datuk Karang membuat mereka tanpa sadar menjulurkan kepala untuk kedua kalinya ke bibir jurang.
Dan.... Zzzznngg! Wush! Crash! "Keparat!" mak: Datuk Kening Merah serak. Cepat tangannya mendekap bahu kiri.
Tepat ketika tubuhnya menyorong ke bibir jurang, sekelebatan bayangan bergerak cepat ke atas. Satu sambaran tak terhindarkan dan terlalu cepat untuk disadari telah mengoyak kulit di bahu kirinya.
Koyakan itu cukup dalam. Bahkan merobek pula dagingnya. Darah tersembur. Bajunya cepat dibasahi darah. Sebagian terpercik ke tempat berpijak mereka.
Serempak, Tiga Datuk Karang berbalik mengikuti gerakan kilat bayangan tadi. Mereka pun menyaksikan secara lebih jelas sosok mengerikan tadi. Binatang jejadian itu berdiri dengan sehimpun ancaman yang terpancar dari berpasang-pasang mata nlar di bagian kepalanya.
Tiga Datuk Karang menelan ludah tak sadar. Selama ini, mereka memang belum pernah mengeta-hui kehebohan yang berlangsung di dunia persilatan ketika Amitha mernbantai warga persilatan dengan wujud makhluk jejadian. Kini ilmu sesat itu telah berpindah ke dalam diri PendekarSlebor. Kalaupun Tiga Datuk Karang mengetahui kehebohan itu, bisakah mereka mempercayai kalau Pendekar Slebor telah berubah menjadi makhluk haus darah seperti itu"
"Makhluk macam apa kau sebenarnya"!" desis Datuk Kening Perak bergidik. Sebutlah mereka sebagai dedengkot dunia persilatan golongan sesat Sebutlah mereka sebagai tokoh yang telah banyak menelan asam-garam. Lepas dari semua itu, mereka tetap tak bisa memungkiri kalaudiri merekasaat itu tercekam teramat sangat

***

Petaruh Sakti Perut Buncit tertidur di bawah sebuah pohon beringin besar.
Pulasnya jangan ditanya. Mimpinya pun pasti sudah segerobak penuh. Kalau dilihat dari air liur yang melimpah di sekitar dagunya, tentu dia sedang bermimpi tentang makanan lezat.
Padahal belum lama dia baru menyantap panggangan anak rusa. Satu ekor dilahapnya sendiri. Benar-benar rakus tulen dia. Jangan-jangan dua ekor kalau ada bisa masuk juga ke perutnya! Api unggun tempatnya membakar pangganggan masih menyisakan bara. Asap tipisnya mengambang lamat.
Sebagian melayapi wajah Petaruh Sakti Perut Buncit. Tapi, tak pernah cukup untuk mengusik kepulasan tidur manusia satu itu.
Soal tidur, orang tua berperut besar ini jagornya. Siang saja dia masih sulit menahan kantuk, apalagi malam seperti saat itu. Ditambah lagi udara dingin.
Ditambah lagi dengan perut yang kekenyangan, ditambah lagi dengan rasa letih setelah menempuh perjalanan. Jadi. sempurna sudah alasannya untuk tidur dan memburu mimpi. Mau enaknya saja! Beberapa hari lalu, dia diajak oleh Ki Saptacakra untuk memburu Tiga Datuk Karang. Di tengah perjalanan, entah dengan alasan apa, si tua berjuluk Pendekar Lembah Kutukan itu memisahkan diri.
Selama tidak dengan Ki Saptacakra, Petaruh Sakti Perut Buncit seperti anak ayam kehilangan induk. Dia bingung untuk meneruskan pencarian ke mana. Sementara otaknya lebih sering buntu jika diajak berpikir. Orang bilang, otaknya memang sudah pindah ke udel! Lelaki tua itu akhirnya malah berdiam diri di tempatnya kini tertidur. Sedang pulas-pulasnya, sebentuk bayangan menendap-endap dari arah selatan. Caranya bergerak demikian ringan. Bahkan lebih ringan dari hinggapan seekor kupu-kupu di putik bunga.
Bayangan tadi kian dekat ke arah Petaruh Sakti Perut Buncit. Makin dekat, si pendatang makin memperlambat langkahnya. Tepat di depan Petaruh Sakti Perut Buncit yang mendengkur santer, orang itu melayangkan sebelah kakinya ke kepala Petaruh Sakti Perut Buncit.
Jedug! Kepala setengah gundul Petaruh Sakti Perut Buncit langsung terbentur batang pohon beringin. Depan belakang kepalanya berdenyut-denyut.
Herannya, itu tidak membuatnya terjaga. Benar-benar 'kebluk'! Sekali Iagi si pendatang melayangkan sebelah kakinya. Kali mi lebih keras dari sebelumnya. Jedug! "Wait! Wait! Wait!" Sontak saja Petaruh Sakti Perut Buncit bangkit seraya mencak-mencak memperlihatkan jurus tak ada juntrungan.
"Apa kau cuma bisa tidur saja, Buncit!" maki orang yang baru datang.
Petaruh Sakti Perut Buncit mengerjap-kerjapkan mata seperti biang komodo kekenyangan. Karena pandangannya tak juga menjadi jelas akibat setumpuk tahi mata mendekam, tangan lelaki itu pun mengusap-usap mata.
"Silili...," gumamnya setelah mengetahui dengan jelas siapa orang yang telah membangunkannya dengan cara semena-mena.
"Kau kira siapa, hah" Dedemit bunting penunggu hutan"!" maki Nyai Silili-lilu, dongkol setengah edan.
"Aku kira siapa...." lanjut Petaruh Sakti Perut Buncit seperti tak pernah mendengar makian 'adinda'nya barusan.
Dengan perasaan tak bersalah, dia hendak merebahkan diri kembali. Tentu saja Nyai Silili-lilu jadi tambah scwot.
"Eee, mau apa Iagi kau"!" bentaknya.
"Tanggung, Sayang... Aku tadi bermimpi makan satu meja hidangan makanan dari surga. Tinggal satu piling tersisa yang belum kuhabiskan. Biar aku tidur sebentar saja, supaya sisa sepiring itu dapat kuhabiskan...," kata Petaruh Sakti Perut Buncit mendayu-dayu.
"Makanan surga tai kucing! Kenapa tak kau makan saja bara itu!" semprot Nyai Silili-lilu Iagi seraya menunjuk pada bara sisa api unggun di depan Petaruh Sakti Perut Buncit. Kepala orang tua buncit tadi menggeleng-ge-leng.
"Bara itu tentu tak enak, Sayang. Lagipula, tak akan pantas dijadikan makanan...," ucapnya bersung-guhsungguh. Sepertinya dia tak paham kalau Nyai Silili-Iilu cuma ingin menyindirnya. Pasti otak orang berperut boros itu belum siuman benar dari mimpinya. Pikir punya pikir, Nyai Silili-Iilu memutuskan untuk menambahkan sedikit 'jedug' lagi di kepala Petaruh Sakti Perut Buncit. Biar dia benar-benar siuman dari mimpinya. Sekali ini, harus lebih keras. Nyai Silili-Iilu bersumpah biar disambar petit pelan-pelan, untuk melakukan itu.
Lalu.... Jedug! Bruk! "Buncit"! Buncit"!" panggil Nyai Silili-Iilu seraya memperhatikan kekasih tercintanya ambruk telentang tak bergerak dengan mata mendelik dan mulut menganga lebar.Pingsan, pikir Nyai Silili-Iilu enteng seolah tak punya dosa. Apa akalnya untuk menyadarkan manusia berperut gentong satu itu" Tidurnya saja sudah 'kebluk', apalagi pingsannya, pikir Nyai Silili-Iilu ngaco.
Sebentar perempuan berumur alot itu berpikir dengan jari telunjuk ditekan ke dengkulnya. Sepertinya dia sudah lupa kalau otaknya berada di kepala, bukan di dengkul! Menurut pengetahuan ketabibannya, orang pingsan akan cepat sadar kalau indra penciumannya menangkap bebauan yang kuat. Minyak wangi misalnya. Sebab, pusat indera penciuman di otak berhubungan langsung dengan pusat kesadaran.
Nyai SiliH-lilu mengangguk-angguk. Sekarang dia punya 'sedikit' akal untuk menyadarkan Petaruh Sakti Perut Buncit. Dengan mengendap-endap seperti macan betina ompong mengintai mangsa, didekatinya kepala lelaki tua buncit itu.
Persis di depan wajahnya, disorongkannya dekatdekat pantat teposnya. Yang terjadi selanjutnya, tentu gampang diduga. Jelasnya, tersebarlah ke segenap penjuru bau yang menyengat hidung. Jangankan hidung manusia, hidung siluman pun mungkin dibuat mengembangkempis. Tak lama, kontan mata Petaruh Sakti Perut Buncit yang sudah mendelik jadi bertambah mendelik. Dia tersentak bangun seraya mendekap perutnya. Bayangkan, betapa 'sakti'nya bebauan yang dihasilkan Nyai Silili-Iilu.
Bagaimana tidak" Begitu sadar, Petaruh Sakti Perut Buncit langsung muntah di tempat! "Sekarang, jelaskan padaku ke mana Saptacakra Iler pergi"!" serobot Nyai SililiIilu cepat, belum lagi rasa pusing dua belas keliling Petaruh Sakti Perut Buncit hilang. Aku harus memberitahu dia tentang ini...," lanjutnya seraya memperlihatkan surat dari samakan kulit ular yang ditinggal Andika di dalam gubuk.

***

ǂǂǂǂǂ{ 10 }ǂǂǂǂǂ

Puncak Gunung Slamet kali ini tidak cuma dihuni oleh Tiga Datuk Karang dan seekor makhluk jejadian mengerikan, jelmaan Pendekar Slebor. Telah datang pula tokoh lain. Manusia Dari Pusat Bumi. Entah bagaimana caranya, tanpa diketahui oleh tiga datuk sesat, roh manusia durjana yang menempati bangkai itu tahu-tahu saja sudah berdiri di salah satu sisi puncak gunung.
"Bodoh! Kenapa kalian terdiam seperti itu"!" sentaknya pada Tiga Datuk Karang.
Tiga Datuk Karang menoleh berbarengan. Mereka sempat dibuat terheran-heran juga ketika menyadari sang manusia bangkai telah hadir pula di sana. Padahal suara hinggapan seekor belalang pada daun saja tak luput dari ketajaman pendengaran mereka. Hanya karena mereka sudah dalam kungkungan ketercekaman menyaksikan makhluk jejadian, mereka tak begitu peduli pada hal itu.
"Apa maksudmu, Manusia Bangkai"!" tanya Datuk Kening Perak, gusar. Matanya berkilat sekelebatan pada Manusia Dari Pusat Bumi. Sekelebatan kemudian, beralih kembali ke arah makhluk jelmaan Pendekar Slebor.
Terdengar dengusan berat seperti terganjal di tenggorokan Manusia Dari Pusat Bumi.
"Kalian pikir, makhluk di depan kalian sebangsa dedemit penunggu Gunung Slamet"! Kalau itu dugaan kalian, kalian memang pantas disebut bodoh!" makinya kembali.
"Jangan coba sebut kami bodoh lagi. Manusia Bangkai! Kenapa tak kau sebutkan saja apa yang hendak kau katakan sebenarnya"!" sergah Datuk Kening Ungu.
"Binatang jejadian itu adalah jelmaan Pendekar Slebor!" 'Tak mungkin...," desis Tiga Datuk Karang, nyaris bersamaan mendengar pemberitahuan Manusia Dari Pusat Bumi barusan. Bagaimana mereka bisa percaya kalau cicit buyut musuh bebuyutan mereka yang amat mereka kenal dapat berubah menjadi makhluk semengerikan itu" Sedang dari wujud makhluk itu saja, jelas-jelas kalau penyebabnya adalah ilmu sesat. Di lain sisi, baik Pendekar Slebor atau cicit buyutnya amat dikenal dunia persilatan sebagai ksatria-ksatria golongan putih. Bukankah itu kenyataan yang bertolak belakang sama sekali" Manusia Dari Pusat Bumi tergelak-gelak di sela sela dengung ribuan ekor lalat yang mengerubunginya. Di lain posisi, si makhluk jejadian terus pula mendengungdengung kian santer mengancam.
"Asal kalian tahu, pendekar keparat itu telah dirasuki oleh ilmu sesat tanpa disengaja. Kejadiannya berlangsung ketika dia bertarung dengan seorang lelaki India penganut ilmu sesat Macan dan Ular beberapa waktu lalu!" papar Manusia Dari Pusat Bumi menerangkan.
"Artinya, kini kita bukan cuma menghadapi kesaktian warisan dari Pendekar Lembah Kutukan yang telah mendarah daging dalam dirinya. Tapi juga kita akan menghadapi ajian sesat itu!" tambahnya, seperti hendak menakut-nakuti.
Ucapan sang manusia bangkai menusukkan ketergidikkan ke dalam benak Tiga Datuk Karang.
Meskipun selama ini hampir tak pernah ada lawan yang ditakuti oleh ketiganya selaku datuk sesat rimba persilatan.
"Kenapa kalian tampak begitu kecut mendengar hal itu" Apa nama besar kalian telah luntur?" cemooh Manusia Dari Pusat Bumi serak.
"Manusia Bangkai bedebah!" kutuk Datuk Kening Merah. Rahangnya jadi mengeras teramat sangat. Setapa ucapan Manusia Dari Pusat Bumi telah menginjak-injak kepalanya. Betapa ucapan itu membuat dia mengkelap.
Ditambah lagi dengan rasa pedih luar biasa dari lukanya.
Meski pernah tahu kalau ilmu Karang Pamungkas tak berdaya menghadapi kekuatan alam kegelapan milik Manusia Dari Pusat Bumi, nafsu Datuk Kening Merah terpicu juga untuk menghajarnya. Sebelum dia sempat bertindak.
Wsss! Makhluk jejadian yang sebelumnya merayap tak beda cecak di dinding jurang puncak Gunung Slamet, kini menerkam ke arah Tiga Datuk Karang. Padahal ketiga lelaki bangkotan sesat itu masih dalam beleng-gu keterperanjatan terhadap serangan tiba-tiba yang menimpa seorang dari mereka sebelumnya.
Meski belum siap, mereka tetaplah para datuk yang naluri tarungnya demikian tinggi.
"Menyingkir!" seru Datuk Kening Perak. Bertepatan dengan teriakan tadi, didorongnya dua datuk lain ke sampmg. Dia sendiri cepat membuang tubuh ke depan.
Seperti kelebatan bayangan, makhluk jelmaan Pendekar Slebor merangsak lagL Datuk Kening Perak masih bergulingan di tanah.
Dia belum cukup siap menerima terkaman susulan. Kalau saja lelaki tua itu bukanlah datuksesat dunia persilatan, tentudadanya akan terkoyak saat itu juga.
Crash! Bertepatan dengan suara batu tersambar cakar, tubuh Datuk Kening Merah melenting ringan hanya dengan mengandalkan sentakan otot perut! Tepat di tempatnya terbaring sebelumnya, telah tercipta lubang besar memanjang sekitar setengah lengan. Dari kedalaman lubang sekitar hampir dua-tiga jengkal, tampak jelas bagaimana dahsyatnya tenaga cakaran tadi.
Datuk Kening Perak kemudian memberi isyarat pada dua datuk lain dengan gerakkan tangan. Datuk Kening Merah dan Ungu berlompatan gesit bagai terbang ke arahnya.
Mereka hinggap ringan nyaris tanpa suara tepat di samping Datuk Kening Perak.
"Karang Pamungkas!" teriaknya kemudian, sebagai pertanda bagi dua datuk lain untuk segera memadukan kekuatan tenaga pukulan tanpa wujud tingkat teratas mereka. Satu inti ilmu Karang yang belum lama mereka sempurnakan! Ketiga tokoh sesat itu cepat menyatukan telapak tangan satu dengan yang lain, hingga membentuk lingkaran tertutup. Menyaksikan hal itu manusia bangkai malah menertawakan mereka keras-keras.
Tanpa mempedulikan apa maksud Manusia Dari Pusat Bumi menertawakan ketegangan yang sama sekali tak lucu itu, tubuh Tiga Datuk Karang tiba-tiba mencelat berbarengan dari tempat berpijak. Mereka meluncur kaku ke atas seperti anak panah. Telapak tangan mereka sendiri masih melekat satu dengan yang lain, seakan ada lenaga sembrani maha kuat merekatkan mereka satu dengan yang lain.
Setelah meluncur sampai tujuh tombak ke atas, tubuh mereka berpisah dengan tibatiba pula. Ketiganya berpencaran dalam kecepatan yang tak kalah cepat dari gerak meluncur ke atas sebelumnya. Anehnya, posisi tubuh mereka sendiri masih tetap tegak. Layaknya tiga tonggak kaku terpancang di udara.
Tenaga hentakan demikian kuat pada telapak tangan masing-masing tak membuat posisi tubuh mereka bergeming. Hal itu memancing makhluk jelmaan Pendekar Slebor untuk menerkam salah seorang di antara mereka di udara.
Seperti sebelumnya. dalam sekali hentakan kaki belakang, binatang jejadian itu sudah meluncur ke udara. Sasarannya adalah tubuh Datuk Kening Ungu yang mencelat lurus ke arah utara.
Rupanya, itulah saat yang dinanti-nanti oleh Tiga Datuk Karang sendiri.
Menyusul terkaman ke udara si makhluk jelmaan Pendekar Slebor, masih dengan tubuh sama-sama di udara, telapak Tiga Datuk Karang berbarengan melepas pukulan tanpa wujud 'Karang Pamungkas'! "Hiaaah!" Wusshhh! Sulit untuk menentukan bagaimana sesungguhnya keadaan si makhluk jelmaan Pendekar Slebor menerima serangan balasan tak terduga itu. Di samping tak terduga, serangan gabungan itu bukan sembarangan. Sebelum penyempurnaan ilmu Karang saja, Tiga Datuk Karang sanggup melebur satu bukit karang dengan pukulan berbarengan mereka. Bagaimana pula halnya jika mereka menggabungkan pukulan setelah mereka menuntaskan inti ilmu Karang" Yang terlihat pada makhluk jejadian, cuma kilatan-kilatan berpasang bola mata ular yang tetap mengancam meski keadaannya sendiri sedang terancam. Dalam setiap kilat bola mata itu, seperti tersimpan limpahan hawa membunuh. Desis puluhan ular yang bercokol di seputar leher macan tanpa kepala itu memadati udara, bertumbukan dengan deru pukulan tanpa wujud 'Karang Pamungkas' dari tiga penjuru mata angin. Jledar! Memang sudah tak mungkin lagi bagi binatang ganjil jelmaan Pendekar Slebor untuk menghindar dari terjangan ketiga lawannya. Tubuhnya pun terhajar. Sekejapan terlihat mengejang dikawal kepulan asap bergulung berbaur kilatan cahaya merah mera-ngasi angkasa.
Sekian kejap kemudian, tubuh makhluk jejadian itu tertelan warna hitam yang lahir setelah kilatan cahaya merah. Selanjutnya terlihat sosoknya menukik tajam ke bawah. Di bawah, bibir jurang bermata tajam siap menembus tubuhnya! Begh! Ajaib! Punggung binatang ganjilyang semestinya telak-telak menghantam bibir jurang, ternyata sama sekali tak tersentuh. Ada satu selubung tenaga tak tampak telah membentengi sekitar tubuhnya. Sehingga, belum lagi kulitnya menyentuh permukaan bibir jurang, tubuh makhluk itu terpantul ke atas. Dan akhirnya jatuh tanpa tertembus bibir jurang! Tiga DatukKarang menjejakkan kaki pula hanya sepersekian kejap dari jatuhnya si makhluk jejadian.
"Makhluk gila," rutuk Datuk Kening Perak menyaksikan bagaimana lawan mereka perlahan-lahan bangkit kembali. Tak ada luka terlihat di tubuhnya. Bahkan hanya sekedar goresan kecil sekalipun!

***

Menjadi jelas sudah siapa sesungguhnya yang dihadapi Tiga Datuk Karang. Mata mereka terbuka lebar-Iebar.
Benak ketiganya bagai dikoyak kenya-taan.
Kesaktian sempurnaan mereka yang dikira menjadi kunci kemenangan besar atas Pendekar Lembah Kutukan ternyata tak cukup berarti bagi makhluk jelmaan cicit buyutnya sendiri.
"Kesaktian apa yang sesungguhnya dimiliki oleh pemuda ini?" bisik Datuk Kening Ungu, waswas.
"Sementara kakek buyutnya sendiri tak akan mungkin berdaya menghadapi ilmu Karang Pamungkas kami. Ini sungguh-sungguh tak bisa kupercaya.... ." Sementara ketiga datuk sesat itu ternganga-nganga, makhluk jelmaan Pendekar Slebor mulai memperlihatkan hawa membunuhnya. Puluhan ular di leher macan tak berkepala itu bergerak-gerak liar. Sesekali saling lilit, seakan hendak kusut.
Desisannya makin kuat, menebar ancaman.
Bukan hanya itu. Dari sekujur tubuhnya kini memancar keluar cahaya berkabut keperakan. Bentuknya seperti selubung tembus pandang. Pada saat bulan hanya sepotong di langit, selubung cahaya itu jadi demikian jelas.
Itulah satu pertanda kalau tenaga 'Inti Petir' dalam diri Pendekar Slebor telah juga terkerahkan tanpa disadari.
Keadaan amat terdesak ketika dirinya yang terasuki kekuatan sesat menyebabkan terpompanya kekuatan 'Inti Petir'. Terutama ketika pukulan 'Karang Pamungkas' Tiga Datuk Karang merejam se-jadijadinya di tubuh makhluk jelmaan Pendekar Slebor di udara.
Itu pula sebabnya kenapa tubuhnya luput dari ancaman maut bibir tebing runcing. Selubung kekuatan 'Inti Petir' justru membuat tubuhnya terpantul kembali, tanpa mengalami luka apalagi tertembus bibir jurang runcing.
"Apa Iagi ini?" desis Datuk Kening Perak. Dari nadanya tersembul sebetik keluhan yang tak pernah pantas mengalir keluar dari kerongkongan tokoh sesat sekelas dia. Pada saat yang sama, kebimbangan meruyak dalam diri masing-masing anggota T iga Datuk Karang tersebut Satu pertanyaan besar melintas dalam benak mereka.
Mestikah mereka lari sebagai pecundang kalau kesaktian andalan mereka sudah tak Iagi berguna" Tanpa ada kesempatan untuk menjawab apalagi menuntaskan kebimbangan tadi, Tiga Datuk Karang dipaksa untuk berpencaran cepat ketiga penjuru berbeda.
Lawan nan ganjil mereka untuk kesekian kalinya menerkam. Arahnya lurus. Persis melewati sekaligus tempat berdiri tiga datuk sesat itu. Cepat tak ubahnya bayangan dedemit, makhluk jelmaan Pendekar Slebor mencoba menggorok leher Datuk Kening Ungu dengan cakarnya terlebih dahulu. Kalau hanya kecepatan, tentu saja orang sekelas Datuk Kening Ungu tak akan kerepotan meski serangan lawan demikian cepat. Lain Iagi masalahnya jika dia sendiri belum siap menghadapi serangan tersebut. Datuk Kening Ungu terkesiap sekedipan mata. Saat yang tak jauh berselang, kelebatan lawan sudah teramat dekat ke arahnya.
Dengan nekat, Datuk Kening Ungu mengerahkan puncak pukulan tanpa wujudnya di telapak tangan kanan.
Dia cepat melompat ke samping seraya melepas pukulan bertenaga dalam tingkat tingginya. Harapannya cuma satu.
kalau beruntung tentu cakar lawan akan tertahan pukulannya dan tubuhnya sela-mat dari sambaran cakar maut itu. Harapannya terkabul. Desh! Terdengar dentum kecil akibat benturan tenaga pukulan tanpa wujud dengan cakar makhluk jejadian di udara.
Kalau menilai bagaimana hebatnya Datuk Kening Ungu mengerahkan puncak tenaga pukulan tanpa wujudnya, tentu tubuh makhluk jelmaan Pendekar Slebor di udara akan terpental.
Setidaknya terkamannya akan tertahan seketika.
Kenyataan yang terjadi justru tak bisa diterima akal sehat Datuk Kening Ungu.
Terkaman si makhluk jejadian malah makin melesat. Entah bagaimana caranya, tenaga hantaman pukulan tanpa wujud Datuk Kening Ungu telah dimanfaatkan untuk menambah kecepatan terkamannya ke sasaran lain.
Sasaran berikutnya adalah Datuk Kening Perak.
Jaraknya sekitar lima-enam tombak dari posisi Datuk Kening Ungu sebelumnya Jarak sejauh itu bagi ukuran datuk golongan atas tentu dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menghindari terkaman lawan.
Namun lagi-lagi semuanya diluar perhitungan Tiga Datuk Karang sama sekali.
Kecepatan terkaman tambahan akibat pukulan Datuk Kening Ungu sebelumnya, memaksa Datuk Kening Perak pun bertindak sama.
Dia tak mungkin hanya bisa menghindar, sebab lawan demikian cepat datang.
Sementara sekilasan, mata tajam tokoh tua sesat itu menangkap kelebatan cakar lawan mengarah ke tempurung kepalanya. Jalan untuk selamat satu-satunya adalah menghindar sambil melepas hantaman papakan. Persis seperti dilakukan Datuk Kening Ungu sebelumnya! Desh! Sekali lagi, tenaga papakan lawan dimanfaatkan dengan cara sulit dimengerti oleh ketiga lawannya untuk menambah kecepatan terkaman. Yang sial adalah sasaran terakhir, Datuk Kening Merah. Kelebatan gerak lawan di udara demikian tajam mengarah dirinya. Terlalu sulit baginya untuk menghindar. Juga tak mungkin lagi baginya untuk melepas hantaman balasan.
Crash! "Akh!" Hanya suara tertahan itu yang terdengar dari mulut Datuk Kening Merah.
Kesialan kedua setelah robeknya sebelah bahunya telab menyebabkan tokoh tua itu mengejang di tempat. Matanya mendelik. Kedua bola mata kelabunya seperti hendak melejit keluar dari ceruk cekung itu. Ada garisgaris menggidikkan tergambar pada mimik wajah si tua sakti go-longan sesat itu.
Gambaran mimik orang yang merangkaki detik-detik terakhir nyawanya! Tak lama setelah mengejang tegang, tubuh Datuk Kening Merah ambruk ke tanah. Ketika meninju tanah, terbelahlah tempurung kepala lelaki sesaat itu menjadi tiga bagian. Seluruh isi kepalanya berhamburan bersama cipratan darah! Dua datuk lain seperti tertenung di tempat. Mereka terbelalak sebesar-besarnya.
(Kalau ingin kentut, barangkali tak bisa keluar juga)! Saat-saat lengah seperti itu, datang lagi kelebatan cepat dari makhluk jelmaan Pendekar Slebor. Meluruk, laksana ketergesaan sambaran halilintar pada pucuk kelapa. Kepala keduanya menoleh berbarengan begitu mendengar dengung khas menggempur nyali. Untuk menghindar, mereka tak punya kesempatan lagi. Sampai....
Crash crash! Tanpa sepenggal teriakan pun. leher keduanya terbabat habis. Mereka cuma laksana ilalang tertebas parang. Anehnya, tubuh dua datuk tersebut tak segera menukik ke bawah. Keduanya beberapa saat mematung seperti tinggal mengucurkan darah. Baru dalam beberapa helaan napas kemudian, tubuh tanpa kepala dua datuk sesat itu mencium bumi.
Malam kian lelah. Dini hari muncul diam-diam.
Di puncak Gunung Slamet, sesosok tubuh tampak berubah perlahan-lahan. Dari wujud seekor hewan tak masuk akal, kembali ke bentuk asalnya, serang pemuda yang lampak demikian letih dan kacau-balau.
Menyusul sempurnanya wujud pemuda itu kembali Pendekar Slebor tersungkur ke bumi. Wajahnya tampak kosong melompong.
Matanya terhujam lengang ke bulan sepenggalan di angkasa malam.
Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit tiba menjelang pagi. Ki Saptacakra membopong tubuh lunglai Mayangseruni di bahunya. Mereka datang ketika ksatria muda tanah Jawa masih tergugu.
"Kerjaan siapa ini?" gumam Ki Saptacakra terpana-pana menyaksikan tiga bangkai Tiga Datuk Karang yang sesungguhnya sudah teramat sulit untuk ditandinginya karena telah menyempurnakan kesaktian.
Sedangkan si perempuan uzur setengah edan malah sibuk melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah Andika yang masih terpaku.
"Kau baru kena sawan, Anak Muda Slompret?" bisiknya sem-barangan.
Sementara, manusia bangkai tumpangan roh Manusia Dari Pusat Bumi telah tak ada Iagi di tempatnya....

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Segera terbit!
SERIGALA SERIGALA LAPAR


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Perserikatan Setan --oo0oo-- Serigala-Serigala Lapar


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers