Petaka Seorang Pendekar
tanztj
March 16, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
Balada Di Karang Sewu --oo0oo-- Pemberontakan Ki Reksogeni |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
֍↨↨↨↨↨֍¦ ① ¦֎↨↨↨↨↨֎
Keadaan di dalam kota tampak sepi dari kegiatan sehari-hari penduduknya. Ternyata, di ista-na kerajaan tengah dilangsungkan suatu upacara adat pertunangan antara Putri Sekar Arum, anak Raja Galih Kertarejasa, dengan Pangeran Danuwirya putra mahkota dari Kerajaan Tanjung Anom.
Upacara itu berlangsung cukup meriah. Tidak hanya para pembesar istana dan prajurit kerajaan yang menyaksikan upacara kebesaran yang baru kali ini dilaksanakan selama masa pemerintahan Raja Galih Kertarejasa. Banyak warga kota yang menyempatkan diri turut melihatnya.
Alunan suara gamelan mengiringi tembang yang menyiratkan makna penyambutan bagi para tamu agung istana. Upacara itu dilaksanakan di Pendopo Agung yang bernama Balai Paseban. Yaitu, tempat penyambutan dan perjamuan bagi tamu-tamu istimewa kerajaan, Rombongan tamu yang menyertai Pangeran Danuwirya semua duduk bersila di lantai sebelah kanan, berhadapan dengan para undangan serta pembesar-pembesar istana. Sementara di tengah agak ke belakang, kursi-kursi berukir indah diduduki oleh sepasang calon pengantin yang didampingi kedua orangtua masing-masing.
Setelah upacara pertunangan dan jamuan makan bagi semua undangan, acara dilanjutkan dengan suguhan hiburan. Empat orang gadis cantik dengan gemulai menari di tengah para tamu.
Sesekali terdengar tepuk tangan memberi sambutan, meningkahi alunan gamelan yang mengiringi para penari. Bahkan ada yang ikut menggerakgerakkan kepala atau pundaknya. Namun, tak ada yang berani tampil di depan untuk turut menari, seperti layaknya hiburan ronggeng atau tayub.
Di tengah-tengah rombongan yang menyertai Pangeran Danuwirya tampak seorang pemuda tampan berambut ikal dan gondrong sampai ke pundak. Warna dan jenis pakaiannya terlihat menyolok. Rombongan itu mengenakan pakaian seragam istana Kerajaan Tanjung Anom. Sementara pemuda tampan yang sejak tadi tersenyumsenyum sendiri berpakaian rompi terbuat dari kulit ular.
"Hi hi hi...! Kalau saja tidak di dalam istana tentu aku sudah turun menari. Hmmm. Cantiknya para penari istana itu!" ujar pemuda berpakaian rompi dari kulit ular sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa cekikikan. Sebentar kemudian, ia menggaruk-garuk rambutnya yang awutawutan. Gadis cantik berpakaian putih yang duduk bersila di sebelah kiri pemuda itu melotot. Dengan gemas disikutnya pinggang si pemuda.
Beberapa tamu tampak memperhatikan tingkah laku pemuda berpakaian kulit ular. Ada yang menggeleng-geleng karena merasa heran dan lucu. Ada pula yang tersenyum sinis dan menganggap pemuda itu tidak tahu sopan santun.
Melihat sikap kawannya tidak berubah, bahkan kelihatan semakin konyol, gadis berpakaian putih segera mencubit keras-keras pinggang si pemuda.
"Aaauw...!" Pemuda berpakaian rompi kulit ular kontan menjerit kesakitan. Orang-orang yang tengah asyik menyaksikan tarian langsung menoleh kaget ke arah pemuda itu. Namun seperti tak peduli, pemuda yang di pinggangnya terselip sebuah suling berkepala naga tetap tertawa cengengesan. Hal itu tentu saja membuat gadis berpakaian putih semakin jengkel.
"Ah ah ah...! Mau ke mana kau, Mei...?" tanya pemuda itu sambil tertawa. Lalu, dia menoleh ke kanan "Dogol, kau ikuti Mei Lie!" perintah-nya kepada pemuda bertubuh gemuk di sampingnya.
"Baik, Kang Sena," jawab pemuda gemuk itu seraya bangkit dari duduknya.
Bergegas ditinggal-kannya tempat itu mengikuti gadis berpakaian putih yang bernama Mei Lie.
Sementara itu pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Pendekar Gila tetap menyaksikan para penari melenggak-lenggok di pendopo. Mulutnya terus cengengesan dengan sesekali tangannya menggaruk-garuk kepala seolah merasa gatal.
***
Raja Galih Kertarejasa dan permaisurinya menerima dengan senang hati usulan Prabu Wirabuana, ayahanda Pangeran Danuwirya. Mereka sepakat akan mengadakan pesta perkawinan Putri Sekar Arum dengan Pangeran Danuwirya pada dua purnama mendatang.
"Baik. Kalau rencana kita memang begitu, pekan ini juga kita harus segera menyebarkan undangan itu," ujar Prabu Wirabuana dengan tersenyum bahagia.
"Ya, ya. Paling tidak kita mesti mengundang lima kerajaan mancanegara yang terdekat, Kakanda Prabu," ujar Raja Galih Kertarejasa.
"Kurasa peristiwa seperti ini sangat tepat bagi kita untuk saling menjalin persahabatan dan persaudaraan. Bukan begitu?" Mendengar ucapan Raja Galih Kertarejasa, yang lain menganggukkan kepala membenarkan.
"Tapi...." Tiba-tiba penguasa tertinggi Kerajaan Bumi Segara itu mengeryitkan kening.
"Hmm.
Kakanda Prabu, siapa pemuda berpakaian rompi kulit ular dan kedua kawannya yang turut bersama rombonganmu itu?" tanya Raja Galih Kertarejasa kemudian "Wah, wah! Sampai aku terlupa, Dinda. Aku sungguh merasa kedatangan tamu penting dalam upacara pertunangan putraku ini. Dialah pendekar yang membantu kami menumpas para pemberontak dua pekan lalu. Tanpa kehadiran Pendekar Gila dan kedua kawannya itu mungkin kerajaan akan banyak kehilangan putra-putra terbaiknya, Dinda...."
"Pendekar Gila"!" Terkejut juga Raja Galih Kertarejasa mendengar nama pemuda yang sejak tadi menarik perhatiannya.
"Hmm. Jadi dia pendekar muda itu" Aku memang pernah mendengar nama itu," ujarnya kemudian seraya mengangguk-angguk.
Kedua pemimpin kerajaan itu pun membicarakan Pendekar Gila sesekali keduanya tersenyum ketika melihat tingkah laku Pendekar Gila yang lucu. Tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya yang semua terdiri dari para pembesar istana, Pendekar Gila tersenyum-senyum dan tertawa cekikikan sendiri. Kelakuannya itu membuat Mei Lie, kekasihnya, jengkel dan meninggalkannya.
Sementara itu tak jauh dari arena tempat pagelaran tari tampak Senapati Saka Bawana, Panglima Ganjar Seta, dan beberapa panglima tinggi lainnya duduk dengan tenang. Kewibawaan mereka sebagai prajurit utama kerajaan jelas terpancar dari sinar mata dan garis wajah yang tenang dan dingin. Di antara mereka tampak seorang lelaki tua berjenggot putih mengenakan pakaian lurik lengan panjang. Kepalanya yang berambut putih tertutup blangkon lurik hitam.
Lelaki tua berjenggot putih yang adalah mertua Raja Galih Kertarejasa tak henti-hentinya memperhatikan Pendekar Gila. Sesekali mulutnya yang tipis menyunggingkan senyum, merasa geli dengan tindakan Sena. Ayahanda Permaisuri Ayu Mustika ini sebenarnya seorang kepala desa. Meski putrinya telah terpilih menjadi istri Raja Galih Kertarejasa, dirinya tetap setia memimpin Desa Tingal.
Tiba-tiba Kepala Desa Tingal itu mengerutkan kening ketika dilihatnya seorang prajurit menghampiri Pendekar Gila. Prajurit itu membisikkan sesuatu ke telinga Sena yang masih asyik menonton tarian. Setelah mengangguk beberapa kali, pemuda berpakaian rompi kulit ular itu bangkit dari duduknya. Lalu, melangkah mengikuti prajurit yang memanggilnya.
Ternyata Sena dibawa menuju tempat pertemuan Raja Galih Kertarejasa dengan calon besannya, Prabu Wirabuana.
"Ah, Sena! Sengaja kau kami undang kemari. Raja Galih ingin sekali berkenalan denganmu...," sambut Prabu Wirabuana ketika Sena masuk ke ruangan.
"Wah, ampunkan hamba, Kanjeng Gusti sekalian!" ujar Sena dengan tersenyum.
"Hm. Pendekar Gila," ujar Raja Galih Kertarejasa. Diperhatikannya Sena lekatlekat.
"Kami sangat bergembira dapat berjumpa denganmu.
Sudah lama sebenarnya aku mendengar namamu, tapi baru kali ini dapat bertatap muka denganmu.
Sungguh tak menduga aku dapat berjumpa dengan seorang pendekar sejati sepertimu, Sena."
"Ah ah ah...." Sena tertawa. Tak ada perubahan pada sikapnya, meski yang dihadapinya itu seorang raja.
"Kanjeng Gusti terlalu memuji hamba," ujarnya sambil tersenyum.
"Mungkin saat ini tidak ada orang yang tak mengenal namamu, Sena," sahut Raja Galih Kertarejasa.
"Bahkan, di kalangan rakyat biasa namamu telah mereka kenal. Maka kebetulan sekali kau turut datang menyaksikan pertunangan kedua putra-putri kami. Secara pribadi aku mengundangmu, sempatkan datang pula pada pesta pernikahan mereka kelak!"
"Terima kasih. Terima kasih, Kanjeng Gusti.
Ini suatu kehormatan yang terlalu tinggi bagi hamba. Mendapat undangan langsung dari seorang raja seperti Raja Galih." Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala dengan tersenyum.
Matahari telah condong ke arah barat. Sinarnya tak terasa menyengat lagi. Alunan gamelan dari istana Kerajaan Bumi Segara masih terdengar.
Namun para penarinya sudah tak ada di pendopo.
Para tamu pun sudah meninggalkan tempat itu.
Rombongan yang menyertai Pangeran Danuwirya dan Prabu Wirabuana telah diantarkan ke tempat peristirahatan. Malam ini mereka akan menginap di istana dan esok pagi akan kembali ke Kerajaan Tanjung Anom. Dua hari dua malam perjalanan telah membuat para prajurit Kerajaan tanjung Anom kelelahan. Apalagi mereka tidak beristirahat sama sekali. Ketika tiba di istana Kerajaan Bumi Segara, upacara pertunangan segera dilaksanakan. Kedatangan mereka ternyata terlambat dari rencana.
Mestinya mereka datang sehari sebelum upacara dilangsungkan. Sehingga, ketika malam belum larut mereka semua telah tertidur lelap. Begitu pula dengan Pendekar Gila, Mei Lie, dan Dogol yang masingmasing mendapatkan kamar sendiri.
Semua merasa tenang dan puas. Upacara pertunangan itu terlaksana dengan lancar tanpa mendapat hambatan apa pun.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 2 ¦֎↨↨↨↨↨֎
Pesta besar yang dihadiri para pembesar istana dan tamu-tamu dari kerajaan mancanegara dilaksanakan tepat sesuai dengan rencana. Siang hari diadakan acara perjamuan di Pendopo Agung yang merupakan Balai Paseban. Rumah yang digunakan untuk menjamu tamu-tamu agung. Malam harinya berlangsung suguhan hiburan berupa kesenian. Namun, ada sesuatu yang aneh dan mengejutkan. Pernikahan itu ternyata antara Putri Sekar Arum dengan Pendekar Gila! Seorang pendekar muda yang saat ini tengah menjadi pembicaraan di kalangan dunia persilatan.
Tanpa meninggalkan sikap konyolnya, meskipun tengah duduk berdampingan dengan Putri Sekar Arum sebagai sepasang pengantin, Sena Manggala tetap tersenyum-senyum sendirian.
Bagaimana hal itu bisa terjadi" Tak seorang pun yang tahu. Semua menerima peristiwa ini sebagai sesuatu yang mesti terjadi. Meskipun semua tamu menggelengkan kepala penuh keheranan dan bertanya-tanya dalam hati. Tak satu pun di antara mereka yang berani melontarkan pertanyaan. Suasana aneh melingkupi ruang pesta istana.
Undangan yang tersebar sampai pada rajaraja dan pembesar istana mancanegara adalah pernikahan antara Putri Mahkota Sekar Arum dengan Pangeran Danuwirya, putra Prabu Wirabuana dari Kerajaan Tanjung Anom. Lalu, bagaimana peristiwa yang mestinya suatu aib bagi keluarga Istana Kerajaan Bumi Segara ini bisa terjadi" Bukankah Pendekar Gila telah memiliki kekasih seorang pendekar wanita yang berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa" Apakah Pangeran Danuwirya dan keluarga besar Istana Kerajaan Tanjung Anom tidak marah atas kejadian ini" Bukankah mereka telah meminang Putri Sekar Arum dua purnama yang lalu" Pertanyaan-pertanyaan itu hanya dipendam dalam benak para undangan. Mereka benar-benar tak mengerti menghadapi kejadian aneh ini.
Pendekar Gila sendiri sebagai mempelai laki-laki tampaknya tak menghiraukan keheranan para tamu. Dengan tertawa-tawa dia terus merapatkan tubuhnya ke tubuh Putri Sekar Arum yang cantik jelita. Sungguh sangat menyolok pemandangan yang terlihat di atas kursi singgasana. Seorang putri raja cantik jelita duduk berdampingan dengan seorang pemuda berambut gondrong awut-awutan.
Pakaiannya yang berupa rompi dari kulit ular tetap dikenakannya.
Tidak diganti dengan pakaian pengantin sebagaimana mestinya. Sikapnya yang konyol seperti orang gilapun tak bisa dihilangkannya selama duduk di tengah pesta itu.
Hingga pesta pernikahan agung itu usai, para tamu meninggalkan istana dengan berbagai pertanyaan yang mengusik hati.
Beberapa hari kemudian sebagai lanjutan dari rangkaian upacara pernikahan, kedua mempelai mengadakan perjalanan menuju suatu pulau.
Mereka akan menyeberang lautan dalam rangka berbulan madu. Tanpa suatu upacara, Putri Sekar Arum dan Pendekar Gila dilepas oleh Raja Galih Kertarejasa dan Permaisuri Ayu Mustika di pelabuhan. Belasan perahu layar besar dan kecil telah siap mengantarkan keberangkatan mereka.
Ketika matahari baru sepenggalah tingginya, rombongan itu pun berangkat. Putri Sekar Arum duduk berdampingan dengan suaminya, Pendekar Gila, di sebuah perahu layar khusus. Di dalam perahu itu turut pula para dayang pengasuh Putri Sekar Arum dan beberapa pengawal pilihan. Di belakang perahu mereka tampak belasan perahu layar yang membawa para prajurit pengawal. Mereka siap menjaga dan mengamankan kalau terjadi sesuatu hal yang tak diharapkan, Tak lama kemudian rombongan itu telah sampai di tengah lautan. Angin yang bertiup kencang dan ombak yang tidak terlalu besar membuat perahu-perahu terus melaju mendekati pulau.
Pendekar Gila tampak bahagia sekali. Wajahnya cerah ceria dan selalu memperlihatkan senyumnya yang lucu.
"Aha, Diajeng Sekar. Apa yang akan kita lakukan sesampainya di pulau itu?" tanya Sena dengan tersenyum-senyum memandangi pulau yang sudah tampak di hadapannya.
"Kita akan bersenang-senang di sana," jawab Putri Sekar Arum dengan tersenyum menggoda.
"Kau akan melihat sesuatu yang belum pernah kau jumpai di dunia ini, Kakang Sena Manggala. Kita akan merasakan kebahagiaan surga dunia...."
"Hi hi hi...! Benarkah begitu, Diajeng?" tanya Sena tertawa.
"Ceburkan aku ke laut, dan biarkan aku ditelan ombak kalau aku berdusta, Kakang Sena! Pulau itu adalah milik kerajaan yang berarti milik ayahku. Di sana akan kita nikmati pemandangan yang sangat indah dan menakjubkan. Istana indah dan megah dengan sebuah taman sebagai tempat bercengkerama keluarga istana." Namun belum selesai Putri Sekar Arum menggambarkan pulau impian itu, tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan.
Sebuah perahu layar tanpa penumpang mendadak muncul di depan perahu yang ditumpangi Putri Sekar Arum dan Pendekar Gila. Perahu itu seolah keluar dari dalam air. Belum sempat Pendekar Gila menyadari apa yang terjadi, perahu tanpa penumpang itu meluncur ke arah perahunya.
Snaattts! Braakkk! Pendekar Gila melesat ke udara dan tak sempat menolong Putri Sekar Arum. Dengan cepat dia hinggap di atas perahu aneh yang menabraknya. Sedangkan perahu yang tadi ditumpanginya hancur berkeping-keping. Para dayang dan prajurit pengawal kerajaan tewas tercebur ke laut yang ti-ba-tiba berombak besar.
Suasana kacau tak terelakkan. Para prajurit yang berada di perahu-perahu layar ke belakang berteriak-teriak ketakutan. Mereka segera mengarahkan perahu mendekati tempat kejadian. Namun sia-sia. Putri Sekar Arum telah lenyap ditelan air laut.
Pendekar Gila berdiri termangu penuh keheranan menyaksikan kejadian yang tak terduga itu. Dia masih berpegangan erat pada tiang layar perahu aneh yang menabrak perahunya.
***
"Heh"! Mana Putri Sekar Arum" Sekar Arum!" teriak Sena sambil melompat bangkit dari tidurnya.
"Hei..., ini aku! Aku Mei Lie, Kakang Sena! Hi hi hi...! Kau pasti bermimpi," ujar Mei Lie dengan cekikikan. Dipandanginya Sena yang kebingungan.
"Astaga...! Aku bermimpi buruk, Mei." Sena membelalakkan mata dan menggarukgaruk kepalanya.
"Enak sekali rupanya tidurmu, Kakang," ujar Mei Lie.
"Lihat matahari di sebelah timur! Mentang-mentang tidur di dalam istana kerajaan sampai tak ingat pagi...." Sena tak memperhatikan ucapan kekasihnya. Matanya tak berkedip memandang ke luar kamar. Hatinya merasa bingung dan aneh. Pikirannya masih diliputi oleh kejadian yang baru saja dialami dalam mimpinya.
"Mei, firasatku mengatakan ada sesuatu yang akan terjadi," ujar Sena bersungguhsungguh.
"Bahkan, mungkin akan menyangkut keselamatan diriku..."
"Ada apa sebenarnya" Apa yang kau lihat dalam mimpimu, Kang Sena?" Mei Lie langsung menanggapi ketika melihat kesungguhan kekasihnya. Tidak biasanya Sena bersikap seperti itu.
"Tidak hanya melihat, Mei. Aku mengalami sendiri dalam mimpiku tadi," jawab Sena masih dengan wajah bersungguh-sungguh.
Tak tampak senyum konyol seperti biasanya jika berhadapan dengan Mei Lie.
Sena pun menceritakan semua kejadian dalam mimpinya. Dari mulai pesta perkawinan yang aneh sampai hilangnya Putri Sekar Arum yang tak diketahui di mana rimbanya. Padahal, semua dayang dan prajurit yang berada satu perahu dengan Sena ada dan terapung di air.
"Alaah..., itu kan hanya kembang tidurmu saja, Kakang!" sahut Mei Lie tidak percaya.
"Kita baru saja menghadiri pesta pertunangan Pangeran Danuwirya dengan Putri Sekar Arum. Kau tentu kesengsem lalu terbawa sampai ke dalam tidurmu.
Lagi pula, mana ada mimpi di pagi hari seperti itu membawa suatu firasat!" Mei Lie ternyata tetap tak percaya. Dianggapnya Sena hanya ingin menggodanya. Mereka kemarin memang bersenda gurau menyinggung masalah perkawinan yang akan berlangsung antara kedua putra mahkota itu.
"Sudahlah! Mari kita segera pergi ke Balai Paseban! Rombongan Pangeran Danuwirya akan kembali ke Tanjung Anom siang ini juga. Bukankah kita telah sepakat untuk mengikuti mereka sampai Tanjung Anom?" ujar Mei Lie mengingatkan. Tanpa menjawab Sena bergegas mengikuti langkah Mei Lie menuju Balai Paseban. Sesampainya di sana Mei Lie dan Pendekar Gila bertemu dengan Dogol yang rupanya telah sampai lebih dulu.
"Kang Sena," sapa Dogol dengan menggaruk-garuk perutnya yang buncit.
"Dogol, kita akan menyertai rombongan Pangeran Danuwirya kembali ke Tanjung Anom," ujar Mei Lie mendahului Sena. Sebab, dilihatnya Sena tampak masih memikirkan mimpinya.
Melihat wajah Pendekar Gila yang muram, Dogol mengerutkan kening. Ingin hatinya bertanya, tapi rasa takut mencegahnya. Akhirnya ia hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Tak lama kemudian kereta yang membawa Pangeran Danuwirya dan Prabu Wirabuana serta permaisurinya berangkat meninggalkan istana Kerajaan Bumi Segara. Para anggota rombongan berjalan beriringan ke belakang. Mei Lie, Sena, dan Dogol pun melangkah mengikuti mereka Beberapa prajurit Kerajaan Bumi Segara mengantarkan mereka sampai ke tapal batas kota.
Sebelum mereka kembali ke istana, Patih Abiyasa yang memimpin para prajurit itu sempat menyapa Pendekar Gila.
"Sudilah kiranya Tuan Pendekar menghadiri pernikahan mereka...!"
"Terima kasih, Kanjeng Patih. Semoga tidak ada aral melintang hingga kami dapat datang nanti," sahut Sena seraya memandangi lelaki bertubuh gagah yang duduk di punggung kuda putih itu.
Patih Abiyasa tersenyum mendengar jawaban Sena. Lalu, segera digebahnya kudanya meninggalkan tapal batas kota dan kembali ke istana.
Sementara rombongan Pangeran Danuwirya telah jauh meninggalkan kotaraja.
***
Setelah beristirahat beberapa saat, Pendekar Gila mohon diri untuk meninggalkan Kerajaan Tanjung Anom. Mereka bertiga akan melanjutkan perjalanan ke arah timur. Tujuan mereka sebenarnya adalah menuju kediaman Singo Edan, guru Pendekar Gila. Sudah lama Sena tidak berjumpa dengan gurunya. Mungkin sejak kejadian mengenaskan yang hampir merenggut jiwa Sena, yaitu peristiwa peti mati itu. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Peti Mati Untuk Pendekar Gila").
"Wah, kenapa terburu-buru sekali, Tuan Pendekar?" sambung Pangeran Danuwirya mendengar permohonan Sena.
"Kenapa tidak bermalam dulu di sini. Bukankah perjalanan kita cukup melelahkan...?"
"Aha, perjalanan seperti ini sudah menjadi pekerjaan kami, Kanjeng Pangeran," ujar Sena sambil cengengesan dan menggarukgaruk kepalanya.
"Benar, Tuan Pendekar. Tapi, adakah sesuatu yang sangat penting sehingga kalian tergesagesa seperti ini?" ujar Prabu Wirabuana yang duduk di samping putranya. Wajahnya tersenyum penuh kewibawaan memandangi Sena, Mei Lie, dan Dogol.
"Ah ah ah...! Apalah yang bisa dianggap penting bagi para pengembara seperti kami ini, Kanjeng Prabu, " sahut Sena ringan. Meskipun saat itu berhadapan dengan seorang penguasa tertinggi di Kerajaan Tanjung Anom, sikap pemuda itu tak bisa lepas dari kelucuannya.
"Baiklah, kalau begitu," Prabu Wirabuana manggut-manggut.
"Selamat jalan! Sekali lagi kami atas nama seluruh rakyat dan negeri Tanjung Anom mengucapkan ribuan terima kasih atas bantuan Tuan, menumpas para pemberontak tempo hari," ujarnya dengan sikap penuh wibawa dan hormat kepada Pendekar Gila.
"Aha, sekali lagi, Kanjeng Prabu. Pekerjaan seperti itu sudah menjadi kewajiban kami. Tolongmenolong seperti itu adalah tugas kita sebagai manusia," ujar Sena berdalih.
"Ya, ya. Tapi kami masih mempunyai permintaan kepada kalian. Sudilah Tuan Pendekar datang dalam upacara pernikahan putra kami nanti!" pinta Prabu Wirabuana.
"Tentu. Tentu saja. Mudah-mudahan tidak ada aral melintang. Kami akan berusaha datang pada pernikahan Kanjeng Pangeran Danuwirya...." Pangeran Danuwirya tersenyum gembira.
Begitu pula ibu dan ayahandanya yang duduk mendampinginya.
"Sekarang kami mohon diri, Kanjeng."
"Selamat jalan, Tuan Pendekar!" Pendekar Gila, Mei Lie, dan Dogol meninggalkan Istana Kerajaan Tanjung Anom. Prabu Wirabuana, permaisuri, dan Pangeran Danuwirya serta beberapa orang panglima tinggi turut menyertai mereka sampai di pintu gerbang istana.
Dengan wajah menggambarkan kekaguman mereka memandangi Mei Lie, Pendekar Gila, dan Dogol sampai ketiganya lenyap di belokan jalan utama kotaraja.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 3 ¦֎↨↨↨↨↨֎
Namun, mendadak bunyi belalang dan jangkrik itu terhenti ketika sesosok bayangan berkelebat. Sosok bayangan yang tidak jelas itu melesat melintasi tapal batas kotaraja Kerajaan Bumi Segara. Malam telah larut. Suasana di kota kerajaan tampak sepi dan lengang. Tak seorang pun terlihat berada di luar rumah kecuali di sebuah kedai makan yang memang buka sampai pagi. Namun tak seorang pun yang melihat ketika sosok bayangan itu melesat di jalan utama kota yang menuju istana. Padahal, kedai makan itu terletak di tepi jalan utama tak jauh dari tapal batas. Sosok bayangan itu berhenti tak jauh dari pintu gerbang istana.
"Hh.... Aku harus berhasil menyelinap di istana tanpa menimbulkan keributan. Tapi penjagaan tampaknya sangat ketat," gumam sosok bayangan itu. Ia ternyata seorang pemuda berambut ikal sampai ke pundak. Ikat kepalanya terbuat dari kulit ular. Sama dengan pakaian rompi yang dikenakannya. Sebuah suling berwarna kuning keemasan dan berkepala naga terselip di ikat pinggangnya.
Agak lama pemuda itu mengawasi pintu gerbang yang dijaga enam prajurit bersenjata lengkap. Mereka tengah mengobrol di gardu yang terletak di samping kanan pintu gerbang.
"Sampai di mana kira-kira rombongan Kanjeng Pangeran Danuwirya, Kang Marjan?" tanya salah seorang prajurit yang terdengar di telinga pemuda berompi kulit ular.
"Kalau mereka tak mendapat hambatan, tentu sekarang tadi sudah sampai di Kerajaan Tanjung Anom. Apalagi mereka semua menunggang kuda," jawab prajurit bernama Marjan.
"Eh, tapi bagaimana dengan Pendekar Gila dan kedua kawannya itu" Mereka akan jalan kaki?" timpal prajurit lain yang berdiri di depan gardu.
"Tanpa kendaraan pun Pendekar Gila dan kawannya dapat mengikuti mereka. Hanya, entahlah kalau si gendut yang berperut buncit itu," sahut yang lain.
Seketika mereka tertawa teringat lelaki gendut kawan Pendekar Gila. Yang dimaksud mereka tentu si Dogol. Mereka pasti tak mengira kalau si Dogol yang selalu tampak lucu dan seperti orang bloon itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh.
Selama mengikuti pengembaraan Pendekar Gila, Dogol sempat belajar ilmu meringankan tubuh kepada tuannya, Sena Manggala. Memang itulah yang diharap-harapkan selama perjalanannya dengan Pendekar Gila, semenjak peristiwa di Kutareja dulu. (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Serikat Serigala Merah").
Ketika para prajurit jaga tertawa-tawa, pemuda berpakaian rompi kulit ular melenting ke udara dan hinggap di atas tembok benteng istana.
Kemudian, melompat turun dengan ringan dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Dilihat dari gerakannya yang begitu ringan dan cekatan pemuda ini jelas memiliki ilmu tinggi.
Setidak-tidaknya dalam hal ilmu meringankan tubuh. Tak satu pun prajurit jaga yang mendengar langkahnya apalagi melihatnya.
Pemuda itu terus menyelinap dengan cepat menuju bangunan utama istana. Ketika sampai di depan serambi istana langkahnya membelok ke kanan. Melewati depan bangsal tempat tinggal para prajurit kerajaan, pemuda itu terus melesat ke arah belakang istana. Yang dituju adalah bangunan indah yang terletak di sebelah kanan belakang istana.
Rumah ini merupakan tempat tinggal putri raja. Sampai di depan bangunan keputren kakinya berhenti melangkah. Sebentar kedua tangannya bergerak ke atas kepala. Lalu, kedua telapak tangannya ditarik sampai ke depan dada. Seraya menghembuskan napas dari mulutnya kedua telapak tangannya dihentakkan perlahan ke depan. Krettt! Tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka secara perlahan. Pemuda itu pun melangkah masuk tanpa ragu-ragu. Seakan telah paham benar keadaan setiap ruangan yang ada di rumah itu. Kakinya langsung menuju kamar tidur Putri Sekar Arum. Hanya dengan meniupkan hawa dari mulutnya dia berhasil kembali membuka pintu kamar yang semula terkunci.
Sebuah tempat tidur berukir dan bertilam kain halus berwarna putih tampak di depan mata.
Di atasnya sesosok tubuh wanita cantik jelita tengah tertidur lelap dengan tubuh telentang. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu sempat membelalakkan mata dan menelan ludah ketika melihat tubuh mulus Putri Sekar Arum. Apalagi ketika matanya menatap paha sang putri yang sedikit tersingkap dari pakaian tidurnya.
Pemuda itu mendengus seolah hendak membuang perasaan yang mengganggunya ketika teringat tujuannya memasuki kamar Putri Sekar Arum. Tanpa membuang-buang waktu, dia cepatcepat menotok tubuh Putri Sekar Arum. Setelah itu diangkatnya tubuh molek itu dan segera dibawa melesat keluar.
Namun, belum sempat langkahnya sampai di pintu depan muncul seorang dayang wanita.
"Hah"! Aaaa...!" Wanita setengah tua itu kontan berteriak sejadi-jadinya melihat tuannya terkulai di atas pundak seorang pemuda yang belum dikenalnya.
"Tolong! Tolong...!" Sebelum melanjutkan larinya, pemuda itu berbalik dan menotok tubuh dayang wanita hingga terkulai jatuh ke lantai.
Namun, teriakan dayang itu sempat terdengar oleh para prajurit jaga. Baik yang berada di pintu gerbang maupun mereka yang berjaga di seputar istana. Bahkan prajurit yang berada di bangsal-bangsal berlarian menuju rumah Putri Sekar Arum. Mereka langsung mengeroyok pemuda berpakaian rompi yang masih memanggul tubuh putri junjungannya. Pertempuran satu lawan puluhan prajurit itu pun terjadi.
Hiruk-pikuk jeritan para prajurit yang terkena serangan pemuda itu memecah keheningan malam. Pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Setiap pukulan atau babatan pedang pengeroyoknya dapat ditangkis hanya dengan tangan kosong. Dalam sekejap saja beberapa orang prajurit telah berjatuhan.
Sementara itu seorang prajurit berlari menuju bangunan tempat kediaman Patih Abiyasa yang tidak begitu jauh dari bangunan utama istana. Orang nomor dua di Kerajaan Bumi Segara yang merupakan wakil raja itu rupanya belum mendengar keributan di depan istana.
Tok, tok, tok! "Kanjeng Patih, Kanjeng Patih!" teriak prajurit itu.
Patih Abiyasa keluar dengan tergesa-gesa.
Lelaki gagah berpakaian hitam ketat itu menatap heran wajah prajurit di depannya.
"Hmm. Ada apa malam-malam begini kau membangunkan aku, Prajurit?" tanya Patih Abiyasa.
"Ampun, Kanjeng Patih! Putri Sekar Arum diculik seseorang!"
"Heh"!" Patih Abiyasa langsung melesat mendahului prajurit itu menuju depan istana. Sementara pemuda berpakaian rompi kulit ular yang menculik Putri Sekar Arum tengah menghadapi Senapati Saka Bawana dan Panglima Ganjar Seta. Mereka adalah prajurit-prajurit gagah yang merupakan panglima tinggi kerajaan.
Dua pukulan jarak jauh yang dilancarkan Senapati Saka Bawana dan Panglima Ganjar Seta berhasil dielakkan dengan baik oleh penculik itu.
Bahkan, ketika melenting di udara ia dapat menghantamkan serangan jarak jauhnya. Serangkum angin kencang melesat dan mengenai tubuh kedua panglima itu. Kedua prajurit gagah itu pun menjerit keras. Tubuhnya terpental sampai beberapa tombak ke belakang. Setelah berhasil menjatuhkan kedua lawannya pemuda itu melesat cepat. Gerakannya yang ringan tak terkejar lagi oleh para prajurit lain.
Dalam sekejap tubuhnya telah melompat keluar dari benteng istana kerajaan. Kemudian, lenyap di telan kegelapan malam.
Beberapa orang prajurit yang mencoba mengejar penculik itu tidak berhasil. Kecepatan la-ri mereka tak mampu menandinginya. Mereka pun segera kembali untuk mengurusi kawan-kawan mereka yang tewas dan terluka parah. Korban-korban itu dibawa ke bangsal prajurit untuk mendapat perawatan.
Kejadian yang begitu cepat itu tak sempat disaksikan Raja Galih Kertarejasa. Meskipun sebelum pemuda penculik itu melesat kabur sang raja telah keluar dari istana.
Sementara Patih Abiyasa yang menyaksikan pertarungan antara Panglima Ganjar Seta dan Senapati Saka Bawana melawan si penculik, hanya berdiri termangu-mangu.
***
"Ampun, Kanjeng Gusti! Kami tak dapat menangkap penculik itu. Kejadian ini begitu cepat dan sungguh tak terduga sama sekali," lapor Patih Abiyasa.
"Tapi, menurut penglihatan hamba juga laporan beberapa prajurit yang bertarung, penculik itu ternyata Pendekar Gila...."
"Hehhh"!" Raja Galih Kertarejasa terkejut bukan main mendengar laporan patihnya.
Hampir tak percaya hatinya mendengar penculik putrinya ternyata Pendekar Gila.
"Mana mungkin Pendekar Gila melakukan semua ini"!"
"Tapi begitulah kenyataannya, Kanjeng Gusti," sahut Senapati Saka Bawana. Ia yakin benar penculik yang tadi dihadapinya adalah Pendekar Gila.
"Hamba tidak salah lihat, Kanjeng Gusti. Kemarin kami sempat berbincangbincang dengan pendekar itu. Jadi, hamba jelas dapat membedakan Pendekar Gila atau bukan. Dan, penculik itu memang Pendekar Gila. Kami semua yakin benar, Kanjeng." Dengan penuh keyakinan Senapati Saka Bawana menuturkan kesaksiannya.
Wajah Raja Galih Kertarejasa langsung memerah. Matanya membelalak lebar. Ia belum percaya benar dengan laporan kedua bawahannya.
Namun apa yang bisa diungkapkan untuk membantah kenyataan itu. Semua prajurit yakin bahwa si penculik itu tak lain Pendekar Gila.
"Apa yang diinginkan pendekar itu" Hh...
mungkin benar laporan mereka, sebab kemarin pendekar itu telah mengetahui banyak seluk-beluk istana. Bahkan mungkin keikutsertaannya kemari dalam rangka usahanya untuk menculik putriku.
Hhh... aku tak mengerti kejadian ini...." Begitulah yang terlintas di benak Raja Galih Kertarejasa. Semakin kalut pikirannya memikirkan kejadian itu. Beberapa saat lamanya dia tak mampu mengambil keputusan. Sehingga, para panglima yang menghadap hanya terdiam dengan bin gung. Namun, tiba-tiba....
"Senapati Saka Bawana, malam ini juga kumpulkan semua bala tentara. Adakan pengejaran! Mungkin dia belum jauh meninggalkan kerajaan," perintah Raja Galih Kertarejasa dengan suara bergetar, menahan amarah yang tiba-tiba muncul dalam hatinya.
"Daulat, Kanjeng Gusti. Hamba laksanakan perintah Kanjeng Gusti sekarang juga...." Setelah memberi hormat, Senapati Saka Bawana segera beranjak dari depan Raja Galih Kertarejasa. Lelaki setengah baya bertubuh gagah itu sebenarnya masih merasakan sakit di tubuhnya akibat pukulan jarak jauh Pendekar Gila. Namun, tugas tetap harus dilaksanakan.
Malam itu juga seluruh prajurit berkumpul di halaman pendopo agung. Setelah mendapat perintah dari Senapati Saka Bawana, mereka segera berangkat meninggalkan istana untuk melakukan pengejaran. Mereka terbagi menjadi delapan kelompok yang masing-masing dipimpin oleh seorang panglima. Mereka menyebar menuju tempat yang telah ditentukan.
Hingga fajar menyingsing para prajurit yang mengejar penculik Putri Sekar Arum tetap tak mendapat hasil. Mereka semua akhirnya kembali dengan tangan kosong.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 4 ¦֎↨↨↨↨↨֎
Kecemasan dan ketakutannya membuat wanita itu putus asa. Ia tak ingin ditemui siapa pun. Segenap keluarga istana merasa bersedih. Mereka tak habis pikir dengan kejadian yang menimpa Putri Sekar Arum. Betapa tidak" Putri mahkota itu telah mendapat pinangan dari Pangeran Danuwirya. Bahkan, rencana pernikahan mereka telah disepakati dan akan dilangsungkan dua purnama mendatang.
"Senapati, aku setuju dengan usulmu kemarin. Sekarang segera sebarkan pariwara itu ke segenap kadipaten sampai ke desa-desa!" perintah Raja Galih Kertarejasa kepada Senapati Saka Bawana yang saat itu datang menghadap bersama Patih Abiyasa dan beberapa panglima tinggi kerajaan.
"Ampun, Kanjeng Gusti! Tapi bukankah hal itu dapat membawa pengaruh buruk terhadap ki-ta" Kita akan dituduh memusuhi pendekar kesohor itu. Para tokoh persilatan golongan putih yang merasa memiliki Pendekar Gila akan turun tangan.
Mereka pasti melindungi pemuda itu dari orangorang yang memburunya...."
"Memang itulah yang kumaksudkan, Patih Abiyasa. Kalau memang dialah pelakunya, aku ingin para tokoh persilatan turut campur tangan menyelesaikan masalah ini," sahut Raja Galih Kertarejasa.
Mendengar ucapan Raja Galih Kertarejasa, Patih Abiyasa mengerutkan kening. Ada perasaan khawatir tergambar di wajahnya. Sementara Senapati Saka Bawana segera menjura hormat dan meninggalkan Raja Galih Kertarejasa, diikuti bebera-pa anak buahnya.
Sesampainya di luar istana, Senapati Saka Bawana memberi perintah kepada Panglima Ganjar Seta dan yang lain-lainnya agar segera menyebarkan utusan untuk menyampaikan berita itu.
Pagi itu juga puluhan prajurit kerajaan berangkat dengan membawa gulungan kulit yang bertuliskan pengumuman.
***
"Aku pun begitu, Sambar Wulung," sambut lelaki berpakaian longgar berwarna abuabu yang dipanggil Kebo Kluwuk.
"Tapi, nyatanya kabar dari para prajurit kerajaan yang bertarung dengan penculik itu mengatakan kalau pelakunya Pendekar Gila." Hampir semua pengunjung kedai ternyata tengah membicarakan peristiwa penculikan Putri Sekar Arum. Bahkan, dari kemarin sore orangorang yang berdatangan dan singgah di sana telah membicarakannya. Padahal penyebaran pengumuman yang akan dilakukan oleh para prajurit belum sampai di sana. Mereka mendengar desasdesus itu dari para prajurit yang ditugaskan mencari jejak selama dua hari terakhir ini.
"Kalau benar penculik putri Raja Galih Kertarejasa ternyata Pendekar Gila, ini merupakan sebuah aib besar bagi kalangan tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Rimba persilatan akan gempar. Bukan tak mungkin ini akan dimanfaatkan oleh orang-orang golongan hitam untuk mengacaukan keadaan." Ketika mereka tengah asyik membicarakan masalah itu, tiba-tiba datang dua orang penunggang kuda menuju kedai. Kedua penunggang kuda itu prajurit Kerajaan Bumi Segara. Mereka turun dari punggung kuda lalu menempelkan selembar kulit pada sebuah pepohonan.
Orang-orang segera menghampiri pengumuman itu. Tak terkecuali Kebo Kluwuk dan Sambar Wulung. Salah seorang pengunjung kedai membaca pengumuman yang mengatasnamakan Raja Galih Kertarejasa itu. Yang lain hanya mendengarkannya penuh perhatian.
Atas kejadian yang menimpa putri kami, pihak Istana Kerajaan Bumi Segara menyelenggarakan sebuah sayembara. Barang siapa mengetahui atau dapat menangkap Pendekar Gila akan mendapat anugerah dan diangkat menjadi pamong pra-ja, atau jabatan tinggi lain di istana.
Raja Galih Kertarejasa Satu-persatu orang-orang yang berkerumun itu pun kembali ke kedai. Ada pula yang langsung meninggalkan tempat itu.
"Apalagi yang kau ragukan, Sambar Wulung" Berita itu dibuat oleh Raja Galih Kertarejasa.
Mereka telah yakin benar Pendekar Gila yang melakukan penculikan itu. Sebentar lagi dunia persilatan akan gempar...." Sambar Wulung dan Kebo Kluwuk bergegas melesat meninggalkan kedai makan.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 5 ¦֎↨↨↨↨↨֎
Cahaya kemerahan masih membias di kaki langit sebelah barat. Suasana di sekitar Pegunungan Menoreh mulai gelap.
Tiga sosok tubuh tampak berjalan agak tergesa-gesa memasuki mulut Desa Japuan.
"Hh.... Rupanya kita harus bermalam di Desa Japuan, Mei," ujar sosok pemuda berpakaian rompi dari kulit ular yang tak lain Pendekar Gila.
Matanya sejenak memandangi tulisan yang tertera pada gapura di mulut desa.
"Berapa jauh lagi kita sampai di Alas Mentaok, Kakang Sena?" tanya gadis cantik berpakaian longgar putih yang dipundaknya tersampir sebilah pedang besar. Wanita berambut panjang yang juga berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa itu terus melangkah ke samping Sena Manggala. Sementara Dogol mengikuti mereka di belakang. Perutnya yang buncit bergoyang-goyang ke kanan ke kiri seperti hendak lepas dari tubuhnya. Pemuda berpipi tembem dan bertubuh tambun itu sejak tadi hanya berdiam diri. Sesekali dia mengusap-usap pusarnya yang tak tertutup karena pakaiannya kekecilan.
"Ah, masih cukup jauh," jawab Sena sambil menoleh kepada Dogol di belakangnya.
"Kalau tak salah desa ini letaknya di ujung tenggara Kerajaan Bumi Segara. Jadi, baru besok malam kita sampai di sana. Mudah-mudahan Ki Ageng Mantingan juga berada di Alas Mentaok. Dia turut mengawasi para prajurit dan penduduk Kerajaan Pajang yang tengah membabat Hutan Alas Mentaok untuk dijadikan desa." Ketiga orang itu terus melangkah menyusuri jalan utama desa yang sepi. Hari semakin gelap.
Tak seorang pun yang tampak berada di luar. Pintu-pintu rumah penduduk tertutup rapat. Hanya lampu-lampu pelita yang terlihat menyala di depan rumah di tepi jalan tanah berdebu itu. Tak lama kemudian ketiganya sampai di depan sebuah kedai makan yang cukup besar. Di sebelah kanan kedai berdiri rumah penginapan.
Beberapa orang lelaki tampak tengah duduk menikmati hidangan. Mungkin mereka orang-orang yang menginap di rumah penginapan.
Seorang lelaki tua yang bertubuh agak bongkok keluar menyambut Mei Lie yang telah sampai di depan pintu kedai.
"Selamat malam, silakan Tuan-tuan!" ujar lelaki tua itu dengan ramah.
Mei Lie mengangguk dan tersenyum ramah.
Gadis itu melangkah masuk diikuti Sena dan Dogol. Ketiganya menuju meja dan kursi yang masih kosong. Mei Lie dan Sena duduk berdampingan satu bangku. Sedangkan Dogol sendirian berseberangan meja dengan mereka.
Orang-orang yang tengah menikmati makanan tampak memandangi mereka bertiga. Terutama pada Sena yang sejak memasuki kedai tertawatawa sendirian sambil menggaruk-garuk kepalanya. Tentu saja orang-orang yang berada di kedai merasa heran. Tingkah laku Sena persis orang yang kurang waras.
Di sudut sebelah kanan dua orang lelaki setengah baya memandangi Sena dengan tatapan tajam. Salah satu dari mereka, yang mengenakan pakaian hitam, sampai berhenti dari makannya.
Sesaat kemudian, dia berdiri dari tempat duduknya, dan memberi isyarat kepada kawannya.
"Ki Marta!" Sosok berpakaian hitam itu memanggil pemilik kedai.
Dengan tergopoh-gopoh lelaki bongkok bernama Ki Marta bergegas menghampirinya. Lelaki berpakaian hitam memberikan beberapa keping uang logam dan segera pergi keluar kedai.
"Lho, kenapa tidak dihabiskan makannya?" tanya Ki Marta. Tapi tidak dijawab oleh kedua lela-ki itu. Mereka segera melangkah pergi tanpa menoleh-noleh lagi "Maaf, Tuan!" ujar pemilik kedai setelah mendekati meja Sena dan Mei Lie.
"Kami tidak bisa mengabaikan permintaan mereka. Mereka harus selalu didahulukan...."
"Aha... tak apalah, Ki. Sekarang bawakan kami makanan," pinta Sena sambil tertawa.
"Baik, baik, Tuan." Pemilik kedai itu, memanggil seorang pelayan dan mengatakan apa yang dipesan Sena.
Tak lama pelayan itu kembali dengan membawa beberapa macam makanan dan minuman.
Hidangan itu diletakkan di meja Sena dan Mei Lie.
Dogol yang tampaknya tak mampu menahan rasa lapar menyantapnya dengan lahap.
"Maaf, Kang Sena, Nini Mei. Aku tak tahan.
Sudah lapar benar nih perutku," ujar Dogol di se-la-sela mengunyah makanan.
"Ya, ya. Aku tahu. Aku juga sudah lapar sekali...," sahut Mei Lie. Diambilnya sepotong daging ayam panggang dan menyantapnya. Sena pun sudah mulai makan.
Belum selesai mereka bertiga makan, lelaki bongkok pemilik kedai datang menghampiri.
"Tambah lagi, Tuan?"
"Ah, cukup-cukup. Kamu Dogol, tambah?" Tanya Sena kepada Dogol yang baru saja menyelesaikan makannya.
Pemuda berperut gendut itu manggutmanggut seraya menatap pemilik kedai. Ki Marta pun segera memberi isyarat kepada pelayannya.
Sesaat kemudian, seorang pelayan datang membawakan makanan untuk Dogol.
"Ngm... Ki Marta, apakah kau juga menyediakan tempat untuk menginap?" tanya Mei Lie, "Ada. Ada, Nona Ah, kebetulan sekali ada beberapa kamar yang kosong." Dengan gembira pemilik kedai itu menjawab pertanyaan Mei Lie.
"Ee, ke mana sebenarnya tujuan Kisanak sekalian hingga kemalaman di sini?" tanyanya kemudian.
Mei Lie sekilas menoleh kepada kekasihnya.
"Kami hendak ke Alas Mentaok," jawabnya.
"Wah, wah... jauh sekali rupanya perjalanan Tuan-tuan. Bukankah sekarang tengah ada pekerjaan besar di sana" Kabarnya hutan itu dihadiahkan kepada Ki Ageng Pamanahan, seorang penasihat Kerajaan Pajang," ujar Ki Marta yang tampaknya senang sekali berbicara.
"Kalau begitu, silakan Tuan-tuan diantar pelayan kami!" Pendekar Gila bangkit berdiri dari tempat duduknya. Seorang pelayan datang untuk mengantarkan mereka menuju kamar penginapan. Setelah membayar ongkos penginapan dan makanan, ketiga orang muda itu mengikuti si pelayan menuju rumah penginapan yang letaknya di sebelah kanan kedai. Rumah itu memiliki beberapa kamar. Mei Lie mendapat kamar di depan. Sedang Sena dan Dogol satu kamar bersebelahan dengan kamar Mei Lie. Baru saja Sena dan Dogol merebahkan tubuh di pembaringan terdengar pintu kamar diketuk.
"Dogol, buka pintu!" perintah Sena sambil bangkit dari tidurnya.
Ternyata seorang wanita pelayan kedai yang mengetuknya. Wanita itu mengangguk ramah kepada Sena lalu melangkah masuk. Ia membawa minuman dan beberapa makanan kecil di atas nampan.
"Ki Marta menyuruhku mengantarkan ini untuk Tuan," ujar wanita itu sambil meletakkan poci teh di meja dekat tempat tidur Sena.
"Aha terima kasih. Bukankah kami sudah makan dan minum tadi di kedai?" sahut Dogol tertawa. Gayanya mengikuti Sena, menggaruk-garuk kepalanya yang agak botak. Padahal, biasanya perutnya yang digaruk-garuk.
"Sudah menjadi kebiasaan setiap tamu yang menginap di sini mendapat jatah minum dan makanan kecil seperti ini. Semua tamu yang lain pun begitu." Wanita itu tersenyum genit kepada Dogol yang berdiri di sampingnya.
Setelah wanita cantik itu keluar, Dogol segera saja menuangkan air dari poci ke cangkir kecil.
Lalu, meminumnya.
"Kakang Sena mau minum?" tanyanya.
"Nanti saja. Biar kutuang sendiri kalau aku mau minum." Namun tiba-tiba, ketika Dogol hendak melangkah ke tempat tidurnya.....
"Aduuh..., kepalaku! Mataku, mataku gelap!" Sena kaget mendengar rintihan Dogol. Serta merta dia melompat bangkit dari tidurnya. Tetapi terlambat. Dogol telah terjatuh ke lantai.
"Dogol! Dogol!" Sena berjongkok memegangi kepala Dogol yang terkulai lemas.
"Hh... racun!" gumamnya. Sena segera melesat keluar teringat kekasihnya yang berada di kamar-sebelah. Ketika dia berusaha membuka kamar Mei Lie ternyata pintunya dikunci dari dalam.
"Mei Lie! Mei Lie...!" Sena mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan keras.
Brrakk! Karena tak sabar dan tak mendengar jawaban Mei Lie, Sena mendobrak pintu kamar hingga terbuka. Dilihatnya Mei Lie terkulai di lantai. Gadis itu tampaknya juga telah meminum racun. Tanpa pikir panjang lagi, Sena mengangkat tubuh Mei Lie dan dibawa ke kamarnya. Gadis itu dibaringkan di atas pembaringan. Lalu, diangkatnya pula si Dogol dan dibaringkan ke tempat tidur yang lain.
"Hh.... tikus busuk mana malam-malam begini mengganggu orang tidur?" gumam Sena dengan hati dongkol. Dia mengerahkan tenaga dalam untuk menyalurkan hawa murni. Sena ingin membebaskan kekasihnya dari pengaruh racun ganas. Namun, niat itu segera diurungkan ketika muncul rasa khawatir di hatinya.
"Tak mungkin aku menyembuhkan mereka di tempat ini...," gumamnya lirih.
Segera diangkatnya tubuh Mei Lie dan Dogol. Mei Lie diletakkan di pundak kanan sedangkan Dogol dikepit di lengan kiri.
Namun baru saja Sena melangkah dua tindak dari pintu....
Singng! Singng! "Hih, hups!" Terdengar desingan nyaring dari pintu belakang rumah penginapan. Dengan cepat Sena Manggala menjatuhkan diri ke lantai. Sehingga, Dogol terlepas dari tangannya. Setelah itu tubuhnya bergulingan kembali masuk ke kamar. Sena meletakkan tubuh Mei Lie di lantai. Kemudian, menarik kaki Dogol yang masih berada di luar kamar. Matanya yang tajam melihat dua buah pisau kecil menancap di tembok rumah.
Brrakk! Belum sempat Sena menutup pintu kamarnya, sebuah serangan jarak jauh menghantam pintu depan penginapan hingga terbuka.
***
"Perampok...!" Orang-orang yang menginap di rumah itu berlarian sambil berteriak-teriak ketakutan. Sementara kedai baru saja tutup karena malam telah larut Dari balik pepohonan yang ada di kanankiri rumah penginapan berkelebatan beberapa sosok bayangan. Mereka mengepung rumah dan kedai milik Ki Marta.
"Ha ha ha,..! Mana hidungnya si Pendekar Gila yang telah menculik Putri Sekar Arum dari Kerajaan Bumi Segara"! Ayo, keluar kau, murid Singo Edan!" Sosok lelaki setengah baya bertubuh gagah dan besar serta mengenakan pakaian coklat tua berteriak memanggil Pendekar Gila. Di belakang lelaki berkumis tebal ini berdiri sekitar lima belas lelaki dengan senjata terhunus. Ki Marta yang baru saja keluar dari kedai tampak kaget menyaksikan kejadian di rumahnya.
"Kau tua bangka pemilik kedai dan penginapan?" tanya lelaki berpakaian coklat seraya menatap wajah Ki Marta yang seketika berubah pucat.
"I... i... iya. Ada apa ini?" Dengan gugup Ki Marta balik bertanya.
"Kenapa kau izinkan penculik putri Raja Galih menginap di rumahmu" Tidakkah kau membaca pengumuman kerajaan tentang Pendekar Gila yang telah menculik Putri Sekar Arum?" tanya lelaki berpakaian coklat dengan mata tajam, menatap Ki Marta yang didampingi dua orang pelayannya.
"A... a... aku mendengar kabar itu. Tapi aku tidak tahu yang mana Pendekar Gila. Terus terang aku belum pernah melihatnya."
"Ha ha ha...! Kau berpura-pura atau memang tidak tahu, Pak Tua" Atas nama kerajaan aku harus menghukummu!" Belum sempat pemilik kedai mengucapkan sesuatu untuk menanggapi, beberapa lelaki dengan senjata terhunus telah menangkapnya. Lelaki tua bongkok itu tak mampu melawan. Kedua tangannya dipegang erat oleh dua orang berpakaian serba hitam.
"Ah ah ah...! Buruk benar nasibmu, Ki Marta...." Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dari rumah penginapan. Disusul dengan melesatnya sesosok bayangan menuju halaman kedai. Semua terkejut melihat gerakan yang begitu ringan itu.
Tak terkecuali lelaki berpakaian coklat. Apalagi ketika sosok bayangan itu mendarat dua tombak di depannya.
"Pendekar Gila!"
"Hi hi hi...! Dari mana kau bisa menuduhku menculik Putri Sekar Arum?" tanya Sena yang tampak penasaran mendengar tuduhan itu.
"Jangan banyak bacot! Tangkap dia...!" teriak sosok lelaki gagah itu kepada anak buahnya. Tanpa mendengar perintah untuk kedua kalinya, lima belas lelaki berpakaian hitam langsung merangsek Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sambil melompat menghindari serangan musuh-musuhnya, Sena tertawa cekikikan.
"Untuk apa aku menculik Putri Sekar Arum?" tanyanya. Tiba-tiba.... Plakkk! Bukkk! Dua orang lelaki berpakaian hitam terpental ke belakang dengan mulut memuntahkan darah segar. Keduanya mengerang-erang kesakitan sambil memegangi dadanya yang terkena pukulan telapak tangan Pendekar Gila.
Melihat dua orang kawannya terluka, yang lain bukannya merasa takut. Mereka dengan geram melancarkan serangan secara serentak. Hal itu cukup membuat Sena sedikit kelabakan.
"Bunuh penculik keparat itu!"
"Pendekar apaan kau, Bocah Edan"!"
"Tak seharum namamu yang ditakuti orang banyak. Huh! Mampus kau! Heaaa...!" Sambil berusaha mengelakkan setiap serangan lawan yang kian ganas dan membabi buta, Sena merasa heran. Berdasarkan apa mereka menjatuhkan tuduhan kepadanya" Dirinya saja sampai saat ini belum mendengar kabar tentang diculiknya Putri Sekar Arum.
Wuttt! "Haiiitt!" Sebuah babatan pedang hampir saja menyambar tubuh Sena. Dengan cepat Sena melentingkan tubuhnya hingga pedang itu menyambar tempat kosong. Ketika berhasil mendarat, sebuah tendangan lawan meluncur datang. Cepat tubuhnya didoyongkan ke belakang seraya mengibaskan tangan kanan. Hingga....
Plakkk! Pekikan kaget keluar dari mulut. Dengan langkah pincang lelaki itu mengerang kesakitan.
Tangkisan keras Pendekar Gila tampaknya dikerahkan dengan tenaga dalam. Itu terlihat jelas ketika lelaki berpakaian hitam yang menendangnya tak mampu bangkit berdiri.
Sementara itu tiga pengeroyok lainnya membabatkan pedang secara bersamaan. Satu mengarah ke kepala, dua lagi mengancam perut dan dada Sena. Namun kali ini pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu tak ingin membuang-buang waktu. Ia teringat Mei Lie dan Dogol yang masih pingsan akibat racun ganas yang diminumnya. Ketika berhasil berkelit dari sabetan pedang yang menuju perutnya, Sena langsung melancarkan sebuah pukulan keras. Satu orang lawannya terjengkang ke belakang. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Bahkan, lelaki berpakaian hitam itu langsung tak berkutik.
Tepat ketika Sena hendak melancarkan pukulan 'Si Gila Melempar Batu' lelaki berpakaian coklat yang merupakan pimpinan pengeroyok melancarkan serangan. Hal itu tak sempat diketahui oleh Sena. Namun ketika sambaran angin keras pukulannya terasa, pemuda berpakaian rompi kulit ular itu melempar tubuhnya ke belakang. Setelah bergulingan beberapa kali di atas tanah, ia bergegas melompat bangkit. Seketika itu pula dilancarkan sebuah pukulan jarak jauh.
Wusss! Dengan gerakan mirip seekor monyet melempar batu, dari tangan Pendekar Gila melesat serangkum angin keras. Seketika terdengar teriakan keras dari mulut beberapa lawannya. Tubuh mereka berpentalan deras ke belakang terhantam pukulan dahsyat itu. Dua orang mengerang kesakitan setelah menabrak dinding kedai. Tiga orang lagi menghantam pepohonan di samping rumah penginapan.
"Kurang ajar!" dengus lelaki berpakaian coklat. Cepat pedang panjang di tangan kanannya diputar. Wukk! Wukkk! Dengan wajah diliputi kemarahan lelaki berpakaian coklat merangsek maju. Namun, hanya dengan menghentakkan kedua tangannya Sena berhasil membuat lawannya terjengkang ke belakang. Ketika tubuhnya hendak bangkit berdiri, Sena telah lebih dahulu melompat dan melancarkan totokan. Seketika tubuh lelaki besar itu terkulai lemas di tanah.
Beberapa orang anak buahnya yang masih hidup melesat kabur bersamaan dengan jatuhnya lelaki berpakaian coklat.
"Aha, kuharap kau bisa memberitahukan kepadaku. Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Sena dengan cengengesan.
"Huh! Pendekar tidak waras sepertimu sebentar lagi akan mendapat hukuman sesuai dengan perbuatanmu, Pendekar Gila!" dengus lelaki berpakaian coklat "Hi hi hi...! Kudengar kalian menyebutnyebut penculik putri raja. Siapa yang menculiknya, heh"!"
"Hampir semua orang di Kerajaan Bumi Segara ini tahu. Kaulah yang telah menculik Putri Sekar Arum. Bahkan, berita itu telah tersebar sampai di kerajaan. Kini semua tokoh persilatan sedang mencarimu untuk memperebutkan hadiah dari Kanjeng Gusti Galih." Terkejut Sena mendengar penjelasan lelaki berpakaian coklat. Tanpa melanjutkan pertanyaannya Sena segera berlari masuk ke rumah penginapan. Beberapa orang yang menginap di tempat itu heran melihat Pendekar Gila. Bagi mereka tentu nama pendekar muda itu sudah tak asing lagi.
Namun baru kali ini mereka melihatnya.
Sementara itu Ki Marta, pemilik kedai dan penginapan, buru-buru mengikuti Sena. Sampai di depan pintu dia bertemu Sena yang tengah memanggul Mei Lie dan Dogol. Lelaki tua itu kelihatan terkejut.
"Tuan..." Dengan mata terbelalak Ki Marta memandang Sena.
"Ada berapa orang pelayanmu, Ki," tanya Sena.
"Kenapa, Tuan" Kami punya tiga orang pelayan. Lelaki semua." Sena mengangguk-angguk. Sejak kedatangannya itu ia memang hanya melihat tiga orang pelayan lelaki. Maka, tadi ia sedikit merasa heran ketika seorang wanita mengantarkan makanan ke kamarnya dan mengaku sebagai pelayan Ki Marta.
"Terima kasih atas pelayananmu, Ki." Pendekar Gila segera melesat meninggalkan kedai Ki Marta. Sekejap saja tubuhnya yang memanggul Dogol dan Mei Lie telah lenyap ditelan kegelapan malam.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 6 ¦֎↨↨↨↨↨֎
Mestinya bulan yang belum begitu bundar bersinar terang. Namun karena langit diselimuti mendung tebal, malam itu menjadi kelam.
Kelima sosok bayangan itu bergerak menuju rumah Kepala Desa Nariban. Sesampainya di depan rumah besar dan megah milik Ki Lurah Saroga, mereka berhenti.
"Kau Badri dan Sulung, jaga di luar. Aku, Sarjan, dan Sudra akan masuk ke rumah," ujar salah seorang dari mereka yang mengenakan ikat kepala kain lurik. Sebagian wajahnya tertutup kain hitam. Hanya matanya saja yang terlihat.
Keempat kawannya yang juga mengenakan penutup wajah menganggukkan kepala menyetujui.
"Hei, Kang Talib, ingat rencana kita semua...!" ujar Sulung memperingatkan.
"Seperti yang kemarin, Kang." Lelaki berkumis dan bercambang bauk yang dipanggil Talib hanya menggumam dan menganggukkan kepala. Tubuhnya segera bergerak menuju pintu pagar halaman rumah itu. Keempat kawannya segera mengikuti. Dua orang di antara mereka terus menyertai Talib masuk ke serambi rumah.
Sedangkan yang lain tinggal untuk berjaga-jaga di halaman.
Namun baru saja Talib hendak mengetuk pintu rumah....
"Hei... siapa di situ"!" Terdengar bentakan dari bangunan kecil yang berada di samping kanan rumah Ki Lurah.
Mendengar suara bentakan yang cukup keras, Sulung dan Badri langsung melesat menuju rumah kecil itu. Seketika terdengar suara sambaran golok di tangan Sulung yang sudah melayang lebih dulu. Jrabbb! Terdengarlah keluhan pendek. Disusul dengan jatuhnya tubuh lelaki setengah baya yang ternyata penjaga keamanan rumah kepala desa.
Terkena kilatan cahaya pelita dari dalam rumah kecil, golok di tangan Sulung tampak berlumuran darah. Lelaki setengah baya itu berkelojotan sebentar kemudian tewas dengan dada mengucurkan darah. Lelaki bernasib sial ini tampaknya tak sempat berbuat sesuatu ketika Sulung dengan cepat menebaskan goloknya.
Dok! Dok! Dok! Talib mengetuk pintu rumah Ki Lurah Saroga. Beberapa kali dilakukan, tapi tak terdengar jawaban dari dalam.
Brakk! Sarjan yang merasa tidak sabar segera menendang keras pintu itu. Sekali tendang daun pintu pun jebol. Terdengar jeritan keras seorang perempuan berusia tiga puluh tahunan. Matanya membelalak kaget bercampur takut. Wanita itu bersandar di dinding rumah.
"Siapa kalian..."!" Ki Lurah Saroga yang baru saja keluar dari kamar tidur menatap tajam Sarjan dan Talib yang telah masuk ke rumahnya. Tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan Ki Lurah Saroga, Sarjan langsung melompat sambil menusukkan golok besarnya.
"Hei, Keparat!" bentak Ki Lurah Saroga.
Bergegas ia melompat mengelakkan serangan golok Sarjan. Lelaki berusia lima puluhan itu ternya-ta memiliki gerakan yang gesit dan cepat. Tangan kanannya mencabut keris yang terselip di samping pintu kamar. Melihat kepala desa itu telah menggenggam senjata, Talib tak mau tinggal diam. Tubuhnya ikut melompat hendak membantu Sarjan. Dengan golok terhunus dia memburu Ki Lurah Saroga yang bergerak mundur ke ruang belakang.
Sementara itu Nyi Saroga yang ketakutan terus berteriak-teriak. Ia khawatir suaminya akan terluka. Atau, bahkan terbunuh di tangan ketiga orang yang belum dikenalnya itu.
"He he he...! Kau bagianku, Nyi," ujar Sudra terkekeh. Dia mendekati wanita tiga puluh tahun yang tampak masih segar dan cantik.
Dengan kasar dan bengis ditariknya tangan perempuan itu hampir terjatuh. Seketika tubuh Nyi Saroga berada dalam pelukan Sudra yang bertubuh besar dari kekar. Perempuan itu merontaronta hendak melepaskan diri. Apalah dayanya seorang perempuan seperti dirinya. Semakin kuat Nyi Saroga meronta semakin kuat pelukan tangan Sudra.
"He he he...! Masih segar dan sintal tubuhmu, Nyi. Ayolah. Jangan bersikap seperti ini pada-ku. He he he...!" Tanpa mempedulikan betapa marah dan sewotnya Nyi Lurah, Sudra mendesak-desakkan mulutnya ke dada dan leher wanita itu. Tentu saja wanita berwajah cantik dan berkulit kuning langsat itu tak tinggal diam. Ditamparnya dengan keras pipi Sudra.
Merasa jengkel atas sikap Nyi Saroga, Sudra langsung melancarkan totokan ke tubuh wanita itu. Seketika perempuan cantik itu melenguh dengan tubuh melorot. Namun dengan sigap Sudra menahannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dan dibawanya masuk ke sebuah kamar.
Istri muda kepala desa itu tak mampu berbuat apa-apa kecuali menjerit-jerit tertahan. Tubuhnya yang sintal dan padat dibaringkan di ranjang. Ia tak mampu menolak atau memberontak lagi ketika Sudra menciumi pipi dan lehernya. Lalu, turun ke dadanya yang putih dan mulus.
Perlahan-lahan, tanpa dengan sikap kasar, Sudra membuka kebaya yang dikenakan wanita cantik itu. Kainnya ditarik lepas hingga tak ada sehelai benang pun yang melekat di tubuh mulus Nyi Saroga. Melihat betapa segar dan sintalnya tubuh istri muda kepala desa, Sudra tak mampu menahan nafsunya. Napasnya tersengal-sengal ketika tubuhnya menindih tubuh Nyi Lurah Saroga.
Sementara itu Sarjan dan Talib masih dengan bengis hendak membunuh Ki Lurah Saroga.
Keduanya mendapat perlawanan cukup berarti dari lelaki setengah baya itu.
Beberapa kali Ki Lurah Saroga berhasil menangkis dan mengelakkan serangan kedua lawannya. Padahal, tubuhnya yang terbalut pakaian abu-abu telah dibasahi darah dari luka sabetan golok lawan. Hingga pada satu ketika, sebuah babatan golok Sarjan melesat ke arah perutnya.
Bett! Sabetan itu berhasil dielakkan dengan lompatan tinggi. Kedua kaki Ki Lurah Saroga mendarat di atas balai bambu dekat pintu dapur. Namun ketika kedudukannya belum begitu seimbang, Talib yang tengah menunggu-nunggu kesempatan, cepat menyapu kaki Ki Lurah Saroga dengan tendangan keras kaki kanan. Hingga....
Brrakkk! "Hukh!" Tubuh Ki Lurah Saroga terbanting di atas balai bambu. Kepalanya terkulai hampir menyentuh lantai. Sarjan pun melompat sambil menebaskan goloknya ke perut. Darah segar muncrat ke balai-balai bambu.
Setelah berkelojotan sebentar tubuh Ki Lurah Saroga menggelinding ke lantai. Mulutnya mengerang lirih menahan rasa sakit. Di saat-saat terakhir hidupnya Kepala Desa Nariban masih mendengar tawa Talib.
"He he he...! Ki Saroga, aku dan kawankawan hanya menjalankan perintah Pendekar Gila.
Kami harus menguras harta bendamu...." Usai berkata demikian, Talib memberi isyarat kepada Sarjan. Keduanya segera membuka lemari dan peti tempat menyimpan uang dan perhiasan. Tentu saja mereka mendapat banyak hasil rampokan. Korbannya selain seorang lurah juga saudagar kaya raya.
Tiga buntalan kain berisi harta benda berupa perhiasan emas dan kepingan uang berhasil dikumpulkan dari dua lemari dan sebuah peti di dalam kamar Ki Lurah Saroga.
"Heh, ke mana si Sudra?" tanya Sarjan seraya mengangkat dua buntalan besar.
"Biarkan saja dia menikmati tubuh Nyi Saroga yang cantik itu...," ujar Talib. Kepalanya dige-rakkan ke arah kamar yang tadi dimasuki Sudra.
Saat itu memang terdengar dengusandengusan napas dari kamar sebelah.
"Sudra!" teriak Sarjan. Ditendangnya pintu kamar itu.
"Ikut pulang atau mau tidur di sini kau..."!" Sementara Sulung dan Badri telah masuk dan mengambil alih barang yang dibawa Talib.
"He he he.... Maaf. Aku mendapat bagian membereskan istri lurah itu...," ujar Sudra melangkah keluar kamar. Tubuhnya tampak basah bersimbah peluh.
"Hehh.... Hangat sekali tubuhnya Nyi Saroga, Kang Talib," lanjutnya sambil membenahi celana.
"Kau ini tak pernah puas-puasnya dengan perempuan! Nih, bawa!" dengus Sarjan yang tampak kesal. Tapi, tak sedikit pun ada kebencian di wajahnya terhadap Sudra.
Sambil masih tertawa cengengesan Sudra menangkap buntalan kain berisi emas dan perhiasan. Kelima perampok itu segera melesat pergi meninggalkan rumah Ki Lurah Saroga.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 7 ¦֎↨↨↨↨↨֎
Sesosok pemuda berpakaian rompi dari kulit ular tengah duduk di atas sebatang pohon besar yang tumbang. Ternyata dari sinilah suara suling itu berasal. Di depan pemuda berambut gondrong yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila tampak Dogol dan Mei Lie terkulai lemas di atas rerumputan. Semalam aku terbaring di sini terbungkus kegelapan dan dinginnya malam.
Kurenungi kembali nasib hidup manusia. Keras. Penuh kedurjanaan dan keangkaramurkaan.
Jemariku meregang keras. Aku hendak berlari. Berlari atau menerjang.
Kenapa hatiku memilih untuk bernyanyi" Melepas segala rasa dendam....
Begitulah gumaman yang keluar dari mulut Pendekar Gila setelah menyelipkan kembali sulingnya ke pinggang. Dia teringat mimpinya beberapa hari yang lalu ketika bermalam di istana Kerajaan Bumi Segara. Hatinya mulai yakin bahwa mimpi itu bukan kembang tidur semata. Ada perasaan aneh yang terus menyelubungi hatinya. Ditambah lagi dengan keadaan semalam. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Kerajaan Bumi Segara hendak menangkapnya.
"Uuuhh...!" Terdengar lenguhan panjang dari mulut Dogol. Pemuda bertubuh tambun dan berperut buncit itu menggeliat.
"Aha, jangan terburu-buru bangun, Dogol!" ujar Sena seraya turun dari batang kayu besar itu.
"Keadaan tubuhmu masih lemah."
"Huekhh...!" Dogol rupanya tak mendengarkan larangan Sena. Ketika tubuhnya bangkit dari terbaring, tiba-tiba dia muntah. Keluarlah cairan merah kehitaman.
"Bagus! Bagus! Biarkan racun itu keluar sampai tuntas! Sebentar lagi tubuhmu akan pulih, Gol." Pendekar Gila tersenyum menyaksikan kawan baiknya tampak ketakutan.
"Ha.... Sebentar lagi kau akan pulih. Semalam kau sulit sekali memuntahkan cairan itu, Gol," ujarnya seraya menepuk-nepuk tengkuk Dogol.
Dogol tidak bisa menjawab. Ia hanya men gangguk-angguk memegangi perutnya yang buncit Mei Lie pun menggeliat dan bangkit dari tidurnya. Gadis cantik berambut panjang itu duduk dengan wajah pucat. Tubuhnya masih lemas. Racun ganas telah membuat wanita berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa itu seperti kehabisan tenaga.
"Baiklah. Kalian boleh perlahan-lahan mengatur pernapasan untuk mengembalikan tenaga.
Sebentar lagi matahari memancarkan sinarnya.
Kalian akan pulih kembali." Sena tersenyumsenyum memandangi kedua kawannya.
Mei Lie dan Dogol pun segera melaksanakan saran Pendekar Gila. Keduanya duduk bersila menunggu terbitnya sang surya.
"Aha, perut kalian tentu merasa lapar. Tapi jangan khawatir. Aku telah sediakan sarapan pagi untuk kalian berdua." Pendekar Gila melompati batang pohon tumbang yang tadi didudukinya. Ternyata di balik pohon itu dia telah membakar tiga ekor ayam hutan. Diangkatnya ketiga daging ayam yang sudah matang itu. Dogol membelalak heran bercampur gembira. Sebentar lagi perut gendutnya akan segera mendapatkan santapan lezat.
"Di tengah hutan belantara seperti ini, asal kita mau, tak mungkin akan kelaparan, Gol," ujar Sena melangkah mendekati Mei Lie dan Dogol.
Ketiganya segera menyantap daging ayam panggang. Dengan lahap Dogol menggigiti daging ayam hutan itu.
Ketika mereka selesai makan, sebenarnya matahari telah sepenggalah tingginya. Namun karena pepohonan di hutan itu sangat lebat serta kabut tebal menyelimutinya, cahaya sang surya tak mampu menerobos tempat itu. Saat mereka telah keluar dari dalam hutan Dogol tampak agak terkejut. Suasana telah terang dengan cahaya matahari yang hangat. Bagi Mei Lie dan Pendekar Gila hal itu tidaklah terlalu aneh. Bukan baru kali ini keduanya mendapati kejadian seperti itu. Bermalam di tengah hutan sudah merupakan hal biasa bagi mereka.
***
Di belakangnya, Ki Lurah Brajanala yang menaiki kuda hitam ikut turun. keduanya melangkah memasuki istana. Raja Galih Kertarejasa dan permaisurinya tengah menunggu kedatangan lelaki tua itu. Begitu melihat mertuanya datang, Raja Galih Kertarejasa langsung berdiri menyambutnya.
"Ayah, sengaja kami utus Senapati Saka Bawana menjemputmu." Raja Galih Kertarejasa menjabat tangan Ki Lurah Brajanala. Dipersilakannya ayah mertuanya duduk.
Setelah Permaisuri Ayu Mustika, anaknya, menyalaminya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Ki Lurah Brajanala segera duduk di kursi.
Bersamaan dengan itu muncul Patih Abiyasa. Ia duduk bersila di samping kanan Senapati Saka Bawana setelah menjura hormat kepada Raja Galih Kertarejasa dan Ki Lurah Brajanala "Sebagai orangtua yang pernah lama berkiprah di rimba persilatan mungkin Ayah bisa memberi petunjuk untuk mencari Pendekar Gila." Semua terdiam ketika sang raja mengucapkan kata-kata itu. Ki Lurah Brajanala yang mengenakan jubah coklat muda menatap lurus ke depan. Mata tuanya terhias alis tebal berwarna putih. Mata itu memancarkan sinar penuh kewibawaan. Meskipun hanya sebagai seorang lurah, wibawanya tidak kalah dengan para adipati atau tumenggung. Tidak perlu memandang dirinya yang merupakan ayah mertua Raja Galih Kertarejasa.
Lelaki tua itu pada zamannya memang pernah menyandang nama besar.
Hanya ketika putri tunggalnya terpilih menjadi permaisuri, Ki Lurah Brajanala segera memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan. Apalagi saat itu dirinya dipercaya oleh warga Desa Tingal untuk menjadi lurah.
"Hhh.... Sebenarnya sudah agak terlambat," gumam Ki Lurah Brajanala tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela istana yang menghadap ke taman belakang.
"Sudah lama murid Singo Edan itu menculik Sekar Arum.
Kalau saja saat itu aku berada di sini, mungkin tidak akan sampai begini kejadiannya. Saat ini jelas sulit untuk men-galahkannya, kecuali Singo Edan sendiri...."
"Tapi, bagaimana kita bisa menghubungi gurunya itu?" tanya Raja Galih Kertarejasa dengan nada mengeluh. Rasa kecewa dan khawatir terhadap keselamatan putrinya telah membuat jiwanya berubah. Wajahnya dalam beberapa hari saja berubah tua dan lusuh. Kemarahan yang terpendam membuat semangatnya seakan terbang.
"Kudengar saat ini para tokoh tua dari golongan putih tengah mengadakan pertemuan. Aku yakin mereka pasti marah mendengar perbuatan pendekar itu. Kuharap mereka dapat berbuat banyak untuk kita. Setidak-tidaknya mereka dapat menghubungi Singo Edan untuk memberitahukan perbuatan muridnya," jelas Ki Lurah Brajanala.
"Yang benar-benar mengherankan dan tak masuk di akalku, apa sebenarnya yang diinginkan Pendekar Gila dengan menculik Kanjeng Putri," ungkap Senapati Saka Bawana. Kepalanya digeleng-gelengkan. Kegeraman tergambar jelas di wajah panglima tertinggi kerajaan itu.
"Hhh.... Semua bisa terjadi dalam kehidupan di dunia ini," sela Patih Abiyasa yang sejak ta-di berdiam diri.
"Hal-hal aneh dan tak masuk akal semacam ini menjadi wajar bagi orang-orang kalangan persilatan. Hanya mudah-mudahan keikutsertaan para tokoh dari golongan putih akan membantu upaya kita menemukan kembali tuan putri." Senapati Saka Bawana membisu. Raja Galih Kertarejasa manggut-manggut.
Sementara Ki Lurah Brajanala tetap diam.
"Apa belum ada kabar dari orang-orang kita yang ditugaskan mencari jejak, Senapati Bawana?" tanya Ki Lurah Brajanala tiba-tiba.
"Sampai saat ini belum ada, Ki. Namun, kemarin ada utusan dari Kadipaten Kulonprogo yang mengatakan Pendekar Gila menewaskan sebelas prajurit setelah berhasil mencuri Tombak Payung Jagad milik Adipati Sureng Jawata," lapor Senapati Saka Bawana.
"Berarti Pendekar Gila memang menentang mati! Ini benar-benar sudah keterlaluan. Dia mencoba membuat malu dan ingin menjatuhkan kewibawaan para penguasa," ujar Patih Abiyasa geram.
"Namun saat ini sulit baginya untuk bergerak lebih leluasa. Hampir semua kerajaan di sekitar Jawadipa ini telah mengerahkan para prajurit untuk bersiaga penuh. Pariwara yang kita sebarluaskan beberapa waktu lalu telah menarik perhatian para jawara dan tokoh-tokoh persilatan. Kalau benar tokoh-tokoh golongan putih tengah mengadakan pertemuan sehubungan dengan tindakan Pendekar Gila, dunia persilatan pasti akan ramai." Senapati Saka Bawana memang banyak mendengar laporan dari berbagai daerah tentang sepak terjang Pendekar Gila.
Tiba-tiba masuklah seorang prajurit ke dalam ruangan pertemuan dengan langkah agak tergesa.
"Ampun, Kanjeng Gusti!" Prajurit itu menjura hormat kepada Raja Galih Kertarejasa.
"Hm. Ada apa, Prajurit?"
"Seorang penduduk Desa Japuan hendak datang menghadap Kanjeng Gusti."
"Bawa masuk!" titah Raja Galih Kertarejasa setelah berpikir sejenak.
Dua orang prajurit mengantarkan lelaki muda berpakaian serba hitam. Setelah menjura memberi hormat, mereka duduk bersila di depan Raja Galih Kertarejasa.
"Ampun, Kanjeng Gusti. Tadi malam kami menemukan Pendekar Gila menginap di rumah penginapan Ki Marta. Kami sempat bertarung dengannya. Namun, banyak anak buah Sukarpala roboh di tangan Pendekar Gila.
"
"Bagaimana dengan Pendekar Gila"!" tanya Raja Galih Kertarejasa tak tahan menahan perasaan geramnya.
"Ki Marta, pemilik kedai dan penginapan itu, telah memberi racun pada minuman yang disuguhkan seorang pelayannya. Tapi sayang, hanya kedua kawan Pendekar Gila yang meminumnya.
Saya tidak tahu bagaimana nasib kawan-kawan kami selanjutnya. Ketika Kakang Sukarpala berhasil dirobohkan oleh Pendekar Gila, saya langsung berlari menuju istana."
"Hmmm." Ki Lurah Brajanaja menggumam tak jelas. Lelaki tua itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Berarti murid Singo Edan itu kini telah kembali ke wilayah kita, Anakku."
"Bagaimana sebaiknya sekarang. Ayah?" tanya Raja Galih Kertarejasa, menoleh ke arah mertuanya.
"Siapkan para prajurit agar berangkat menuju Desa Japuan. Sertakan semua jawara yang telah kita pilih untuk meringkus bajingan itu!" jawab Ki Lurah Brajanala tegas.
"Senapati Saka Bawana, kerahkan semua prajurit! Kirimkan ke daerah sekitar Desa Japuan!"
"Daulat, Gusti! Saya laksanakan sekarang." Senapati Saka Bawana mengangguk dan bergegas bangkit dari duduknya meninggalkan ruangan.
Pagi itu juga Senapati Saka Bawana dan beberapa panglima tinggi kerajaan memimpin para anak buahnya berangkat menuju Desa Japuan.
Empat rombongan terdiri dari delapan puluh prajurit berkuda diberangkatkan lengkap dengan persenjataan perang.
Sementara beberapa prajurit diutus untuk menyusul kawan-kawannya yang kini berada di wilayah selatan dan barat. Kalau tak ada halangan di jalan, mereka akan sampai di wilayah tenggara, tepatnya Desa Japuan, pada sore hari.
Setelah keberangkatan para prajurit, Ki Lurah Brajanala meninggalkan istana dengan diantar Patih Abiyasa dan dua orang pengawal.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 8 ¦֎↨↨↨↨↨֎
Mereka tidak akan bertindak culas dengan membokong lawan dari belakang.
"Benarkah penglihatanku ini" Kaukah Pendekar Gila murid Singo Edan itu...?" Pertanyaan itu dilontarkan lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun yang berdiri di bawah sebatang pohon besar.
Matanya menatap tajam pada Sena yang bam saja membalikkan tubuh menghadapinya.
"Begitulah orang-orang menjuluki diriku," jawab Sena polos. Mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Apa kau juga mendapat perintah dari raja untuk menangkapnya, Sobat?" Mei Lie menatap tak kalah tajamnya kepada lelaki berpakaian kuning yang di pundaknya tersampir sebilah pedang itu.
"Semula memang begitu. Tapi, saran dari guruku telah membuat diriku mengurungkan niat itu." Seno membisu mendengar ucapan lelaki berwajah tampan itu. Ada kesungguhan tersirat di wajahnya. Kecurigaan Sena sedikit berkurang.
"Pertemuan yang dilakukan para tokoh golongan putih dua hari yang lalu menghasilkan keputusan, mereka akan mencari penculik Putri Sekar Arum. Namun, hampir semua yang datang meragukan kalau Pendekar Gila yang telah melakukannya," tutur lelaki muda itu.
Mei Lie dan Dogol tercenung. Keduanya tak mengerti arah pembicaraan lelaki itu. Sena belum menceritakan tentang penculikan itu kepada mereka. Sena hanya mengatakan ada sekelompok orang yang berusaha membinasakan dirinya atas nama kerajaan.
"O ya. Aku Danuwilapa...." Namun, belum selesai lelaki itu mengucapkan kata perkenalannya, tiba-tiba....
Slatts! Slasts! "Awas...!" Sambil berteriak memperingatkan, Pendekar Gila melentingkan tubuhnya ke atas. Secepat kilat dicabutnya Suling Naga Sakti dan dikibaskan memapaki dua larik sinar merah yang meluncur deras ke arah mereka.
Glarrr...! Dua buah ledakan keras yang diiringi biasan sinar kemerahan terdengar ketika suling pusaka itu menghantam dua larik sinar. Pendekar Gila mendarat dengan sempoyongan akibat benturan keras itu. Belum sempat pemuda berambut gondrong dan berpakaian rompi kulit ular itu berdiri tegap, terdengar lagi desingan nyaring meluncur ke arah mereka. Beberapa pisau terbang siap merenggut nyawa mereka. Lesatannya yang begitu cepat membuat Sena tak mampu melakukan tangkisan.
Meskipun dia sempat menghentakkan kedua tangannya hingga mengeluarkan serangkum angin keras, tak urung beberapa pisau lepas dari tangkisannya. Hingga...
"Aaakh!" Sebuah pisau menyambar tangan Dogol hingga sobek. Pemuda bertubuh tambun itu mengerang kesakitan seraya mendekap lengannya yang mengucurkan darah.
Melihat keadaan Dogol, bangkitlah kemarahan Pendekar Gila. Sementara dari balik pepohonan dan semak-semak berlompatan beberapa sosok tubuh berpakaian serba merah. Wajah-wajah bengis dan kejam menatap tajam, menyiratkan nafsu membunuh. Dalam sekejap saja Pendekar Gila, Mei Lie, dan pemuda berpakaian kuning serta Dogol yang tengah kesakitan ter-kepung rapat. Li-ma belas orang bersenjata golok, pedang, kampak, dan trisula mengitari mereka berempat.
"Ha ha ha...! Kali ini kau tak akan dapat lolos lagi, Bocah Edan!" Terdengar suara tawa menggelegar keras. Namun, tak tampak pemiliknya.
"Hua ha ha...!" Sena menyambuti dengan tak kalah kerasnya.
"Cecurut busuk mana yang berani mengganggu perjalanan orang, heh"! Keluar kau pengecut...! Biar kukentuti mulutmu yang bau itu!" teriaknya seraya menggeleng-geleng lucu.
"Serbuuu!"
"Bunuh pendekar keparat itu!"
"Heaaa...!" Tanpa menunggu perintah dari pimpinannya yang tidak menampakkan diri, para pengepung itu segera melancarkan serangan. Mereka merangsek maju menyerang keempat orang lawannya dengan sabetan dan tusukan senjata.
Mei Lie yang tak sabar melihat keadaan itu dengan cepat mencabut Pedang Bidadari di pundaknya. Secepat itu pula tubuhnya melompat memapaki serangan orang-orang berpakaian serba merah. Wuttt! Trang! Lelaki muda yang tadi mengaku bernama Danuwilapa pun tak mau ketinggalan. Pedangnya yang tersampir di pundak segera diloloskan dan langsung menghadapi para pengeroyok.
Sementara itu, Pendekar Gila yang masih memegang Suling Naga Sakti-nya tidak beranjak dari tempatnya. Dia menunggu datangnya serangan lawan sambil melindungi Dogol yang tengah terluka. Namun, karena orang-orang berpakaian merah mengancam Pendekar Gila serangan mereka pun terus tertuju kepada Sena.
Sekejap saja pertempuran seru terjadi. Teriakan-teriakan keras ditingkahi suara dentang senjata yang saling berbenturan memecah keheningan siang di tepi hutan itu.
Mei Lie dengan penuh semangat menghadapi serangan lawan yang datang bertubi-tubi. Pedangnya dikibaskan ke sana kemari menangkis sabetan dan tusukan senjata lawan. Ketika dua orang lawan menyabetkan pedang ke arahnya secara bersamaan, gadis cantik berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa itu memutar pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi Benturan keras pun terdengar seiring dengan pekikan menyayat dari mulut kedua lawannya.
Kedua lelaki berpakaian merah terjengkang ke belakang. Namun, dengan cepat mereka bangkit berdiri dan kembali melancarkan serangan. Belum sempat keduanya menebaskan pedang, Mei Lie telah lebih dulu membabat perut salah seorang di antara mereka. Darah segar muncrat. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terjungkal ke tanah. Sebentar tubuhnya berkelojotan, tapi kemudian tewas.
"Kurang ajar!" dengus kawannya. Lalu, me lompat menerjang Mei Lie.
Mei Lie melompat ke samping seraya menebaskan pedangnya. Dan....
Crasss! Pekikan keras kembali terdengar. Darah segar mengalir dari leher yang tersambar pedang Mei Lie. Sementara itu, Danuwilapa telah berhasil membabat tiga orang lawannya. Lelaki muda berwajah tampan ini rupanya memiliki ilmu yang cukup handal. Terbukti, tiga orang lawannya telah terkapar berlumuran darah di atas rerumputan.
Sedangkan Sena yang menghadapi empat orang lawan tampaknya tak banyak menemui kesulitan. Dengan meliuk-liukkan tubuhnya dan sesekali melompat ke sana kemari dia memutar sulingnya.
"Hi hi hi...! Percuma kalian hendak menangkapku, Cecurut-cecurut Kudisan! Dengan sebatang suling saja kalian kewalahan. Ha ha ha...!" Sena tertawa di sela-sela kesibukannya menghadapi lawan. Mendengar ejekan itu lawan-lawannya semakin geram. Dua orang membabat dan menusukkan senjatanya ke tubuh Sena. Namun Sena cepat melompat ke atas. Sulingnya diayunkan, hingga... Trang! Blukkk! Lenguhan pendek terdengar dari mulut lawannya yang bersenjatakan kapak. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah setelah kapaknya berbenturan dengan suling milik Pendekar Gila.
Sementara dua orang kawannya telah merangsek maju melancarkan serangan susulan.
Sena dengan cepat melompat.
"Ha ha ha....
Meleset, Kawan. Nih, terima sulingku! Hih...!" Pletakk! Seorang lawannya mengerang-erang kesakitan. Tubuhnya berputar-putar dengan tangan kiri memegangi kepalanya yang benjol terkena pukulan Suling Naga Sakti di tangan Sena.
"Ha ha ha...! Bukan mereka yang krocokroco itu yang menjadi lawanmu, Bocah Edan.
Bragaspati yang akan menangkap dan menyerahkanmu ke Istana Kerajaan Bumi Segara!" Sesosok lelaki bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat mendarat di tengah pertempuran. Tanpa memberi kesempatan kepada Sena, lelaki berjubah merah tua itu langsung melancarkan serangan dahsyat.
Wusss! "Haits! He he he...!" Sena tertawa mengejek.
"Kurang sedikit saja, Bragaspati!" Namun ketika tubuh Pendekar Gila melenting dan bersalto di udara, Bragaspati melontarkan serangan susulan yang tak kalah dahsyat. Beberapa larik sinar kemerahan melesat memburu tubuh Sena. Slatss! Slatss! Glarrr...! Ledakan keras terdengar. Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila berhasil menangkis serangan itu. Baik Sena maupun Bragaspati terdorong ke belakang. Bahkan, ketika mendarat tubuh Sena agak sempoyongan.
Melihat lawannya telah siap melancarkan serangan susulan, Pendekar Gila dengan cepat menghentakkan telapak tangan kanannya. Serangkum api melesat dan menghantam tubuh lawannya. Pekikan keras menyayat hati pun terdengar mengiringi tubuh Bragaspati yang terlontar deras ke belakang. Tubuh besar berjubah merah itu baru berhenti meluncur ketika menabrak pepohonan.
Tubuh Bragaspati yang hangus terbakar ajian 'Inti Brahma' Pendekar Gila terkapar kaku di bawah pohon.
Mei Lie dan Danuwilapa yang telah menyelesaikan pertarungan dengan lawan-lawannya segera menghampiri Sena Manggala.
"Mereka gerombolan perampok Hutan Srumbung, Tuan Pendekar," ujar Danuwilapa memberitahu.
"Hh.... Mereka hanya sedikit dari orang-orang persilatan yang saat ini tengah ber-lomba mencari Tuan Pendekar. Mereka tergiur oleh imbalan besar yang dijanjikan kerajaan bagi orang yang dapat menangkap Pendekar Gila...." Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala dan berjalan menghampiri Dogol yang terluka. Pisau yang menyambar lengan Dogol ternyata mengandung racun ganas. Pemuda berperut gendut itu terkulai pingsan. Diangkatnya tubuh Dogol dan dibawa ke tempat yang teduh. Mei Lie dan Danuwilapa mengikuti dari belakang.
"Kasihan Dogol. Dua kali dia menjadi korban keganasan orang-orang serakah yang tak berakal...," gumam Pendekar Gila sambil berjongkok.
Sena memejamkan mata seraya menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Kemudian, ditempelkannya telapak tangannya di dada Dogol. Sena berusaha mengeluarkan racun ganas dari tubuh lawannya. Hal seperti itu telah pula dilakukannya semalam setelah Dogol meminum racun di dalam penginapan.
"Huh. Bodoh sekali aku ini. Sampai lupa menotok lengan Dogol ketika baru saja terluka tadi. Mestinya racun ini tak sampai menjalar ke seluruh tubuhnya," Sena terus mengerahkan tenaga dalamnya.
Dari luka bekas goresan pisau di lengan Dogol kembali mengalir cairan merah kehitaman.
Darah yang telah tercampur racun itu merembes keluar. Sesaat kemudian, tubuh tambun Dogol menggeliat seperti berusaha untuk bangun.
"Ngmhhh...," Dogol melenguh lirih.
Sena segera menahan dada Dogol agar tetap terbaring. Tiba-tiba saja Dogol memuntahkan darah kehitaman.
"Biarlah dia tidur sebentar. Tubuhnya terlalu lemah. Sebenarnya tadi dia belum pulih benar dari racun semalam, Kakang Sena," ujar Mei Lie yang berjongkok di samping Pendekar Gila. Sementara itu, Danuwilapa berdiri mematung memandangi mereka bertiga.
"Em... Kalau aku boleh tahu, hendak ke mana sebenarnya tujuanmu, Sobat?" tanya Mei Lie menoleh kepada Danuwilapa.
"Ya. Aku sampai belum sempat menjelaskan kepada Tuan Pendekar."
"Jangan panggil begitu kepadaku. Sebut saja aku Sena!" sahut Pendekar Gila seraya mengu-lapkan tangan kanannya.
"Aku sebenarnya termasuk pasukan pilihan yang ditugaskan oleh Kadipaten Kulonprogo untuk mencari penculik Putri Sekar Arum. Meskipun telah dilarang oleh orang kadipaten. Tapi aku nekat ikut bertugas...." Mei Lie mengerutkan kening. Begitu pula Sena Manggala.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi di Kadipaten Kulonprogo?" tanya Mei Lie penasaran.
Danuwilapa menarik napas panjang.
"Ayahku, Adipati Sureng Jawata, tewas di tangan seorang pencuri yang berhasil membawa pergi tombak pusaka milik Ayah. Kejadian itu hanya berselang satu malam dengan peristiwa penculikan Putri Sekar Arum. Yang mengejutkan kami pelaku pencurian itu ternyata persis dengan dirimu, Sena. Bahkan seluruh pembesar kadipaten telah menjatuhkan tuduhan kepadamu. Mereka didukung oleh peristiwa di Kerajaan Bumi Segara yang pelakunya juga Pendekar Gila." Mei Lie mengerutkan keningnya. Ditatapnya dalam-dalam wajah Danuwilapa yang ternyata putra seorang adipati.
"Beruntung aku mendapat saran dari guruku. Sehingga, dapat kuredam dendam kesumatku kepada Pendekar Gila setelah mengikuti pertemuan para tokoh persilatan di Borobudur dua hari lalu. Kini aku jadi lebih yakin setelah bertemu denganmu, Sena. Ternyata kau sendiri belum mengetahui perkara yang menyangkut nama baikmu," lanjut Danuwilapa.
"Tapi, bagaimana mungkin kau tidak mengetahui hal itu?" tanya Danuwilapa.
"Dua hari dua malam perjalanan dari Kerajaan Tanjung Anom kami lalui lewat utara. Baru tadi malam kami menemui kabar itu," jawab Sena.
"Itulah sebabnya guruku memerintahkan aku untuk membantu tokoh-tokoh lurus yang berusaha mencarimu, Sena. Bukan untuk menangkap atau membunuhmu, tapi hanya ingin menemui. Jika memang benar ada tokoh yang telah menyamar sebagai Pendekar Gila, seperti dugaan para tokoh tua, hanya kau yang dapat menyelesaikan masalah ini. Wajah dan tingkah laku penculik itu sama persis denganmu. Ini yang membuat orang-orang bingung." 'Ya, ya. Lalu, bagaimana sebaiknya?" tanya Sena pada kekasihnya, Mei Lie.
"Aha, mungkin ki-ta mesti menghadap ke Istana Kerajaan Bumi Segara." Sementara itu Dogol telah siuman. Pemuda gendut itu duduk bersandar di sebatang pohon besar.
"Gol, kita harus berangkat sekarang!" ujar Mei Lie memandangi Dogol.
Dengan senyum yang dipaksakan Dogol bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah perlahan menghampiri Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Kua-tkan dirimu, Gol!" ujar Sena.
"Kita akan mampir dulu di Istana Kerajaan Bumi Segara. Ada urusan penting. Ayo!" perintah Sena.
Keempat orang muda itu segera melesat ke arah barat menuju Istana Kerajaan Bumi Segara.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 9 ¦֎↨↨↨↨↨֎
"Ada apa, Kakang Sena?" tanya Mei Lie mendekati Pendekar Gila.
"Ah. Aku mendengar derap langkah kaki kuda. Ada puluhan kuda berlari ke arah sini," ujar Sena.
"Mungkinkah mereka pasukan kerajaan, Sena?" tanya Danuwilapa yang tampaknya mulai akrab dengan pendekar berpakaian rompi kulit ular itu.
"Mungkin juga...," gumam Sena dengan tatapan lurus ke depan. Keningnya tiba-tiba berkernyit tajam. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang akan terjadi dengan dirinya. Ketajaman nalurinya sebagai seorang pendekar mengatakan hal itu. Ternyata benar. Baru saja mereka hendak melanjutkan langkah, dari arah barat tampak puluhan pasukan berkuda berlari ke arah timur. Tak lama kemudian rombongan berkuda yang adalah tentara kerajaan itu telah sampai di depan Pendekar Gila.
"Berhenti...!" Teriakan keras terdengar dari mulut seorang lelaki bertubuh gagah perkasa yang mengenakan pakaian senapati. Seketika delapan puluh pasukan berkuda itu berhenti.
Dengan tatapan tajam lelaki gagah di atas kuda putih yang tak lain Senapati Saka Bawana memandangi Sena Manggala.
Rasa heran hampir saja menyeruak di hati Pendekar Gila. Namun ketika dia teringat kabar buruk tentang dirinya, perasaan itu berubah menjadi rasa khawatir. Meskipun ia seorang pendekar yang tak diragukan lagi kemampuannya, baik dalam ilmu maupun kedigdayaan, perasaan seperti itu tetap ada. Bukan karena Pendekar Gila tak mampu mengatasi sekian banyak tentara yang akan menangkapnya. Melainkan saat ini yang dihadapinya bukanlah orang-orang durjana.
Kalaupun harus terjadi bentrokan untuk membela diri, Pendekar Gila tetap merasa serba salah. Ia tengah dihadapkan pada persoalan yang sulit. Suatu salah paham akibat fitnah keji.
"Pendekar Gila..., atas nama kerajaan kami akan menangkapmu!" teriak Senapati Saka Bawa-na lantang.
Belum sempat Sena memberikan jawaban atas seruan Senapati Saka Bawana, Mei Lie telah menyahuti.
"Hei.... Senapati! Tidakkah kau tahu berhadapan dengan siapa dirimu saat ini"!" teriak Mei Lie tak kalah lantang. Sambil mengucapkan kata-kata itu, tangannya meraba gagang pedang yang tersampir di pundaknya.
"Pendekar Gila murid Singo Edan, dan kau Bidadari Pencabut Nyawa!" jawab Senapati Saka Bawana yang menjadi pemimpin pasukan.
"Mei Lie, tahan ucapanmu!" tegur Sena seraya memegang lengan kanan gadis itu.
"Pendekar Gila, kau sembunyikan di mana Kanjeng Putri Sekar Arum"!" bentak Senapati Saka Bawana mulai tak sabar.
"Apa maksudmu membawa lari Kanjeng Putri Sekar Arum yang telah dipersunting Pangeran Danuwirya" Bukankah kau sendiri tahu mereka akan melangsungkan pernikahan bulan depan?"
"Tulikah telinga kalian" Butakah mata ka lian, sehingga tak pernah mendengar dan melihat perjuangan Pendekar Gila dalam melawan kedurjanaan" Mana mungkin seorang pendekar berlaku durjana...?" Mei Lie yang tak mampu menahan amarahnya terus saja bicara menanggapi tuduhan Senapati Saka Bawana.
"Kehidupan di dunia ini serba mungkin.
Seorang pendekar bisa berlaku durjana. Seorang resi atau pendeta bisa berbuat mesum. Seorang guru bisa bertindak culas. Seorang raja tak mampu menahan angkara murka hatinya. Seorang ibu bisa tega membunuh anaknya. Seorang ayah bisa menggagahi anak perempuannya.
Seorang hakim bisa saja tidak adil. Apa yang tak mungkin di dunia ini, Nona Pendekar..." Ya.... Kecuali kalau kau ingin memakan kepalamu sendiri. Itu baru tindakan yang tak mungkin...."
"Bedebah!" Mei Lie semakin marah. Wajahnya merah padam.
"Semua prajurit kerajaan termasuk diriku menyaksikan kawanmu menculik Putri Sekar Arum, Nona Mei Lie! Tak ada lagi kata untuk menyanggah atau memungkiri tindakan Pendekar Gila!" ujar Senapati Saka Bawana dingin.
"Para prajurit, tangkap dia...." Mendengar seruan sang pemimpin, para prajurit pun segera berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka mengepung Pendekar Gila, Mei Lie, dan Dogol serta Danuwilapa dengan senjata terhunus.
Aneh. Tidak seperti biasanya Pendekar Gila dilanda rasa bingung dan serba salah seperti saat ini. Dia seolah tak mampu menggerakkan tubuhnya untuk berbuat sesuatu. Sena hanya terpaku dengan pandangan nanar. Padahal, dengan penuh semangat para prajurit berlarian hendak meringkusnya. Mei Lie mencabut pedangnya dan langsung menghadapi serangan belasan prajurit yang berusaha menangkap kekasihnya. Sementara Danuwilapa tampak kebingungan. Dogol pun demikian.
Meskipun para prajurit hanya mengarahkan perhatian kepada Pendekar Gila, Mei Lie, dan Dogol tetap merasakan gentar. Dia tak mau menjadi korban amukan pasukan kerajaan. Pemuda bertubuh tambun dan berperut gendut itu segera lari menyingkir. Tak mungkin ia mampu mengatasi amukan para prajurit itu.
***
Namun sejauh itu tindakan Bidadari Pencabut Nyawa hanya menangkis dan menghindarkan setiap serangan lawan. Betapapun hatinya marah mendengar tuduhan Senapati Saka Bawana, jiwa kependekarannya tetap mencegah dirinya untuk berbuat kejam. Sehingga, perlawanan yang dilakukannya hanya setengah-setengah.
Hal serupa pun dialami Pendekar Gila.
Meski rasa jengkel dan marah menyelimuti hatinya, pemuda berpakaian rompi kulit ular ini tak berani menjatuhkan tangan kejam. Walau para prajurit tampak penuh semangat ingin menjatuhkannya, Sena hanya melompat ke sana kemari sambil sesekali melancarkan serangan. Serangan itu pun hanya untuk menjatuhkan mereka bukan membunuhnya. Sena menyadari benar pertempuran ini sebenarnya tidak harus terjadi. Karena kebimbangan itulah lama-kelamaan Pendekar Gila mulai terdesak. Semahir apa pun kemampuannya akhirnya Sena kewalahan juga.
Sementara Mei Lie yang juga berusaha untuk tidak membunuh lawan terdesak hebat. Tiga orang prajurit tampak bergelimpangan dengan punggung berlumur darah. Dalam keadaan terpaksa sekali Bidadari Pencabut Nyawa telah menyarangkan pedangnya ke tubuh lawan.
Melihat kekasihnya dalam keadaan terdesak hebat, Pendekar Gila berteriak mengingatkan.
"Mei Lie, lari...!" Wuttt! "Haits!"' Sebuah babatan pedang lawan hampir saja menyambar kepala Sena. Beruntung dengan gerakan yang gemulai dia sempat meliukkan tubuhnya. Lalu.... Plakkk! Bukkk! Dua orang prajurit terpental beberapa langkah ke belakang. Keduanya meringis-ringis kesakitan dan tak mampu bangkit lagi.
Ketika melihat Mei Lie sudah lari dari tempat pertarungan, Pendekar Gila pun berusaha melarikan diri. Namun ia segera teringat pada Danuwilapa yang tengah sibuk menghadapi lawanlawannya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu melesat ke arah pertempuran Danuwilapa.
Tukkk! Tukkk! Tiga orang prajurit terkulai lemas terkena totokan Sena. Setelah itu, Pendekar Gila mengerahkan ilmu 'Sapta Bayu' dan melesat meninggalkan tempat pertempuran. Danuwilapa tak mau ketinggalan. Ia segera mengikuti arah yang dituju Sena. Namun kecepatan lari Pendekar Gila tak mampu ditandinginya. Dalam sekejap saja Sena telah melesat begitu jauh. Ketika sampai di tepi sebuah hutan, Danuwilapa baru berhenti. Ada seseorang yang memanggilnya.
"Dogol." Danuwilapa menghampiri Dogol yang tadi memanggilnya.
"Di mana Sena...?"
"Heh"! Aku tak melihatnya," sahut Dogol yang tampak kaget.
"Kalau begitu, ayo kita segera mengejar Sena. Aku dan dia terpaksa meninggalkan tempat pertempuran. Kulihat tadi Sena tidak sepenuh hati menghadapi para prajurit itu...." Tanpa banyak bicara lagi keduanya kemudian melesat ke arah utara mencari Pendekar Gila yang tengah mengejar Mei Lie.
Sementara itu Mei Lie ternyata mengalami nasib yang kurang menguntungkan. Begitu dapat lolos dari pertempuran, gadis itu dihadang oleh pa-ra prajurit lain yang datang belakangan. Dalam pertarungan sengit Mei Lie mendapat totokan dipunggung sebelah kanan. Pedang Bidadari andalannya terlepas dari genggaman, lalu disambar salah seorang prajurit. Tak lama kemudian, gadis itu dapat diringkus.
***
"Ah ah.... Kenapa bodoh sekali aku"!" Sena seraya menghentikan langkahnya di tepi sebuah hutan.
"Hmh.... Bagaimana nasib Mei Lie dan Dogol?" Dengan tangan menggarukgaruk kepala, Sena melangkah memasuki hutan. Begitu dia sampai di dalam hutan, tiba-tiba...
"Hua ha ha...!" Suara tawa keras menggelegar mengejutkan Sena. Cepat tubuhnya dibalikkan. Suara tawa itu ternyata berasal dari seorang lelaki tinggi besar yang mengenakan jubah biru.
Mulutnya yang lebar terhias cambang bauk lebat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat berwarna merah.
Ujung tongkat itu berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Hua ha ha.... Ternyata begitu kecil nyalimu, Bocah Edan Murid Singo Gendeng!"
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila menyambutnya dengan tawa keras dan menggelegar pula. Lalu, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hei, Orang Tua Bergigi Ompong!" bentak Sena.
Padahal, lelaki tinggi besar itu tidak bergigi ompong. Mulut Sena asal bicara saja karena hatinya sedang kalut.
"Siapa kau sebenarnya?"
"He he he...! Nanti kau akan tahu kalau aku sudah membawa mayatmu ke Istana Kerajaan Bumi Segara, Bocah Gendeng."
"He he he...! Kau juga ingin mendapat imbalan dari raja rupanya, Ompong," sahut Sena dengan terkekeh.
"Aku merasa lebih berharga kini. Orang-orang memperebutkan diriku."
"Jangan banyak bacot! Heaatt...!" Wuttt! Seraya membentak nyaring lelaki berjubah biru menghantamkan tongkatnya dengan keras.
Melihat orang itu melancarkan serangan, Sena melentingkan tubuhnya ke atas. Namun secepat kilat lelaki brewok memutar tongkatnya hingga menimbulkan deruan angin kencang. Angin yang berputar cepat itu membuat tubuh Sena agak sempoyongan ketika mendarat di tanah. Ketika kedudukan Sena belum sempurna, lelaki brewok itu kembali meluruk deras dan menusukkan tongkatnya. Hingga....
Trakkk! Benturan keras terjadi saat Pendekar Gila menebaskan sulingnya memapaki serangan musuh. Keduanya terdorong mundur beberapa langkah. Hal itu menunjukkan betapa kuat benturan tersebut. Namun belum juga kedudukan tubuhnya seimbang, lelaki berjubah biru menghentakkan kedua belah tangannya. Meluncurlah serangkum api yang melesat memburu tubuh Sena.
Pendekar Gila terkesiap melihat serangan susulan yang dahsyat itu. Namun, dengan cepat dia menghentakkan kedua tangannya hingga berhembus serangkum angin dingin.
Wusss! Bresss! Terjadi tabrakan antara angin dingin milik Sena dengan api yang tercipta dari tangan lawan.
'"Inti Brahma'! Heaaa...!" Begitu berhasil meredam serangan api yang dilancarkan lawan, Pendekar Gila menyusuli serangannya dengan ajian 'Inti Brahma'. Serangkum api melesat cepat dari kedua belah telapak tangannya. Wusss! Jrraats! Tubuh lelaki tinggi besar berjubah biru terlontar deras ke belakang. Teriakan menyayat hati pun terdengar dari mulutnya. Jubah dan kulit tubuhnya hangus terbakar. Ketika tubuh hangus itu terbanting setelah menabrak pohon besar, nyawanya pun lenyap dari raga.
Sena Manggala baru hendak beranjak meninggalkan tempat itu ketika sesosok bayangan putih berkelebat tak jauh darinya.
"Ah ah ah...! Petaka apalagi yang akan terjadi di sini, Sena?" Sesosok lelaki tua berjubah putih tahu-tahu telah berdiri dua tombak di hadapan Sena.
"Guru!" Pendekar Gila terkejut bukan main.
Lelaki berambut putih itu ternyata Singo Edan.
"Kau berada di sini. Guru...?"
"Hi hi hi...!" Singo Edan tertawa cekikikan.
Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala. Sementara mulutnya nyengir dengan sebelah mata dipicingkan. Sikap lucu dan konyol itu persis dengan kebiasaan yang dilakukan Pendekar Gila.
"Aha! Tidakkah kau mendengar keadaan wilayah barat dan selatan, Sena" Para tokoh persilatan tengah memburu dirimu."
"Aku sudah mendengar, Guru...."
"Orang-orang golongan putih mencarimu.
Mereka ingin membuktikan kebenaran berita itu.
Orang-orang golongan hitam berebut dalam sayembara untuk menangkapmu sebagai penculik putri raja. Aku sendiri terpaksa keluar ikut mencarimu. Dua hari yang lalu Mantingan dan Banareja menemuiku untuk meminta bantuan. Keadaan semakin memburuk. Di mana-mana terdengar perampokan dan penganiayaan yang mengatasnamakan Pendekar Gila." Singo Edan berhenti sejenak. Ditatapnya Sena Manggala, muridnya, yang tampak sangat berbeda dengan kebiasaannya jika mereka bertemu. Sifat asli murid tunggalnya itu seakan lenyap.
"Kedurjanaan tak pernah berhenti. Merajalela dan semakin menggila," gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, tanpa tawa atau senyum cengengesannya.
"Maafkan aku.
Guru. Tiba-tiba saja aku dilanda kebingungan yang aneh. Mimpi buruk telah menjadi kenyataan...." Sena lalu menceritakan mimpinya ketika bermalam di Istana Kerajaan Bumi Segara.
"Hi hi hi.... Mestinya itu bukan mimpi, Se na. Kau bisa menjadi putra mahkota, mantu Raja Galih Kertarejasa.
" Singo Edan tertawa cekikikan menanggapi cerita muridnya. Sena pun tertawa, persis seperti gurunya. Keduanya tertawa geli karena merasa lu-cu akan arti mimpi yang ternyata membawa petaka bagi Sena. Guru dan murid itu lupa bahwa hari telah mulai gelap. Matahari sudah tenggelam di kaki langit sebelah barat.
"Sebentar lagi malam tiba, sebaiknya kita segera berangkat menuju kediaman Ki Ageng Mantingan," ujar Singo Edan kemudian. Lelaki tua itu lalu membeberkan rencana selanjutnya.
"Baik, kalau begitu. Guru. Aku akan mengikuti rencana itu." Pendekar Gila dan Singo Edan kemudian melesat meninggalkan hutan.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 10 ¦֎↨↨↨↨↨֎
"Senapati, ketatkan penjagaan di penjara bawah tanah. Jangan dibebaskan Mei Lie dari to-tokannya. Biarkan saja dia terkulai lemas." Senapati Saka Bawana, Ganjar Seta, dan panglima lainnya yang saat itu menghadap raja, mengangguk.
"Aku yakin cepat atau lambat Pendekar Gila akan datang kemari untuk membebaskan kekasihnya. Maka, semua kekuatan prajurit harus terpusat di istana. Kalau perlu semua jawara sewaan kita diminta datang ke istana. Jangan sampai penculik itu dapat membebaskan kekasihnya..."
"Ampun, Kanjeng Gusti!" Seorang prajurit yang bertugas jaga di pintu gerbang istana tergesa-gesa masuk dan menjura memberi hormat.
"Hm. Ada apa, Prajurit?"
"Dua orang lelaki tua yang mengaku bernama Singo Edan dan Ki Ageng Mantingan hendak menghadap Kanjeng Gusti," ujar prajurit itu.
Raja Galih Kertarejasa tertegun kaget mendengar laporan itu. Para panglima tinggi pun langsung berdiri dari duduknya di lantai.
"Persilakan mereka masuk!" sambut sang raja dengan suara agak bimbang.
Tak lama kemudian masuklah ke ruangan itu dua orang lelaki tua. Satu mengenakan jubah putih, berambut putih, dan bertubuh tinggi. Satu lagi berpakaian lurik lengan panjang dan mengenakan ikat kepala batik. Mereka dikawal dua prajurit. Setelah menjura hormat yang disambut anggukan kepala oleh Raja Galih Kertarejasa, kedua tamu kerajaan itu duduk bersila. Para panglima tinggi kerajaan pun ikut duduk.
"Ampunkan hamba, Kanjeng Gusti!" ujar lelaki tua berjubah putih dengan jenggot putih pula.
"Hambalah yang bernama Singo Edan, guru Pendekar Gila. Dan, ini kawan hamba, Ki Ageng Mantingan," lanjutnya memperkenalkan diri.
"Tahukah kalian bahwa Pendekar Gila saat ini menjadi musuh terbesar kerajaan?" tanya Raja Galih Kertarejasa menatap tajam wajah Singo Edan. Singo Edan tersenyum dan menggarukgaruk kepalanya. Melihat hal itu. Raja Galih Kertarejasa tercenung dengan dahi berkerut.
"Karena itulah kami datang menghadap Kanjeng Gusti," ujar Singo Edan.
"Benar, Kanjeng Gusti. Kedatangan kami ingin memohonkan ampun atas tindakan Pendekar Gila dan Mei Lie kemarin siang. Kami dengar beberapa prajurit tewas dalam pertempuran di Hutan Srumbung...," ujar Ki Ageng Mantingan yang duduk di samping kanan Singo Edan.
"Hm. Bagaimana dengan muridmu, Singo Edan" Kenapa kau melindunginya" Padahal, jelas muridmu bertindak yang tak layak sebagai seorang pendekar sejati...."
"Ampun, Kanjeng Gusti! Selama hamba masih hidup, Sena Manggala tak akan berani berdusta terhadap hamba. Hamba akui saat ini Pendekar Gila berada di tangan kami. Tapi, kami memohon Kanjeng Gusti mempercayai pengakuan ini. Murid hamba tidak melakukan penculikan terhadap Putri Sekar Arum. Karena itu kami memohon kesediaan Kanjeng Gusti melindungi Mei Lie... Jangan sampai terjadi sesuatu terhadap Bidadari Pencabut Nyawa."
"Kemarin telah datang utusan dari pertemuan para tokoh golongan putih di Borobudur.
Mereka pun tidak mempercayai kalau Pendekar Gila yang menculik putriku. Tapi mereka tak ada yang sanggup menunjukkan di mana saat ini Sena berada. Mereka hanya bersikukuh dengan pendapatnya. Bahwa, ada tokoh lain di balik peristiwa ini. Bagaimana pendapatmu, Singo Edan?" Singo Edan tertawa. Dan, kembali menggaruk-garuk kepalanya.
"Hi hi hi.... Hamba hanya ingin meminjam istilah yang dilontarkan Senapati Saka Bawana kemarin," ujar Singo Edan seraya menoleh ke arah Senapati Saka Bawana. Tentu saja senapati itu terkejut bukan main.
"Maaf, Kanjeng Senapati, da-ri jauh aku menyaksikan pertarungan kalian yang berusaha menangkap Pendekar Gila. Tapi aku tidak ingin campur tangan, kecuali jika muridku benar-benar terancam nyawanya.... Bukankah kau mengatakan segala sesuatu tidak ada yang tak mungkin di dunia ini" Hi hi hi.... Maka, bukan mustahil ada tokoh lain di balik penculikan Kanjeng Putri Sekar Arum. Tokoh-tokoh berilmu tinggi dapat dengan mudah mengelabui mata orang lain.
Sehingga, kita semua terkecoh tipu daya mereka.
Atau, bisa saja seorang tokoh sakti telah menciptakan sesosok manusia yang mirip dengan muridku." Singo Edan berhenti sejenak. Semua terdiam. Raja Galih Kertarejasa menganggukanggukkan kepala. Begitu pula Senapati Saka Bawana, Panglima Ganjar Seta, serta panglima lain.
Sebagai orang-orang yang pernah belajar ilmu silat mereka dapat memaklumi keterangan Singo Edan.
"Jika Kanjeng Gusti berkenan, mulai malam ini murid hamba akan mengadakan penyelidikan.
Kami dan kawan-kawan yang lain akan membantunya." Raja Galih Kertarejasa membisu. Ada kebimbangan tersirat di wajahnya yang putih bersih.
"Yah. Terserah kalian. Kami memang mendapat kesulitan menghadapi persoalan ini. Terima kasih atas upaya kalian...." Mendengar ucapan sang raja, Singo Edan dan Ki Ageng Mantingan tersenyum. Tak lama kemudian, mereka berdua mohon diri untuk meninggalkan istana.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 11 ¦֎↨↨↨↨↨֎
Sementara itu di luar istana, di kota kerajaan, tak satu penduduk pun yang berani menampakkan diri di luar rumah. Semenjak peristiwa penculikan dan tersiarnya kabar dari berbagai daerah tentang perampokan serta penganiayaan, suasana kota menjadi sepi. Apalagi bila malam tiba, kota laksana mati. Kedai dan waning makan yang biasanya buka hingga larut malam kini tutup semua. Mereka khawatir akan terkena sasaran perampokan yang dilakukan anak buah Pendekar Gila. Begitu ketat dan rapatnya penjagaan di istana sehingga tak seorang pun dapat menyusup masuk. Bahkan, suara ranting atau daun jatuh dapat diketahui jelas oleh para prajurit jaga.
Namun tanpa sepengetahuan mereka, entah dari mana masuknya, sesosok bayangan berkelebat menuju belakang istana. Sosok itu bukanlah seorang prajurit atau petugas rumah tangga istana. Gerakannya yang sangat cepat dan ringan menandakan sosok ini memiliki ilmu yang tinggi, terutama ilmu meringankan tubuh. Sekejap saja ia telah sampai di depan sebuah bangunan bertembok tebal dan tinggi yang terletak di samping lapangan rumput. Di depan pintu gerbang bangunan ada sekitar sepuluh orang prajurit. Anehnya, tak seorang dari mereka yang melihat kedatangan sosok berpakaian rompi kulit ular itu.
"Ah ah ah.... Tidurlah kalian! Puaahh!" Sambil tertawa-tawa, pemuda berambut ikal dengan ikat kepala kulit ular itu menghembuskan napas seperti sedang meniup api.
Seketika itu pula kesepuluh prajurit jaga terkena ilmu sirap. Mereka tertidur. Ada yang bersandar pada dinding, ada yang duduk di kursi, bahkan ada yang menggeletak di tanah.
Dengan tenang pemuda berpakaian rompi kulit ular melangkah masuk melalui mereka.
Langkahnya terhenti ketika menemui persimpangan jalan berupa lorong yang di kanan kirinya terdapat dinding tembok. Keningnya berkerut seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Ke kanan atau ke kiri" Hh.... Lupa aku...," gumam pemuda itu sambil menepuk kening. Kemudian, dipilihnya lorong yang menuju ke kanan.
Lorong selebar satu tombak itu hanya diterangi obor-obor yang terpancang di kanan kiri dinding. Setelah berjalan sekitar dua puluh langkah, dia menemukan jalan menurun melalui tangga batu. Di bawah ternyata terdapat sebuah ruangan besar yang dikelilingi kamar kecil. Ruangruang kecil itu berpintu terali besi. Di dalamnya dihuni orang-orang berpakaian serba hitam yang masing-masing menempati satu kamar.
"Hm. Rupanya ini ruang penjara bawah tanah itu," gumam pemuda berpakaian rompi kulit ular. Ketika melihat kedatangan dirinya, para narapidana itu saling berpandangan dengan wajah menggambarkan tanda tanya besar. Yang tadi berbaring di lantai kini bangkit berdiri memegangi terali besi seraya menatap tajam pemuda berompi kulit ular. Tanpa menghiraukan keheranan dan gumaman aneh para narapidana, pemuda berambut gondrong itu terus melangkah mengawasi setiap kamar penjara.
"Mencari siapa kau?" tanya seorang narapidana.
"Seorang gadis yang dua hari lalu dijeb-loskan ke sini," jawab si pemuda.
"He he he... Berani benar kau masuk kemari. Bebaskan kami setelah kau berhasil mengeluarkan gadis itu," ujar narapidana itu.
"Ikuti jalan yang ke kanan di sana.
Kulihat kemarin dua orang penjaga penjara memanggul gadis itu. Mungkin ada ruang penjara di sana...," lanjutnya sambil menunjuk ke satu arah.
Si pemuda bergegas melangkah ke arah yang ditunjuk narapidana. Sampai di lorong itu dia kembali menemukan jalan menurun. Namun ketika kakinya hendak melangkah ke ruang bawah, dilihatnya empat orang prajurit baru saja mengunci pintu terali besi. Di kamar itu tampak seorang wanita berpakaian putih terkulai di lantai. Sebuah kendi dan cangkir terletak di samping kanannya.
Tanpa membuang-buang waktu, pemuda itu melompat dan melancarkan serangan. Gerakannya cepat sekali. Kedua tangannya menghantam dua orang prajurit hingga terbanting ke lantai.
Darah segar termuntah dari mulut mereka. Keduanya langsung tak berkutik. Sementara dua orang kawan mereka telah mencabut keris dan goloknya.
Pertarungan pun terjadi di depan ruang penjara. Kedua prajurit itu tampaknya bukan lawan yang tangguh bagi si pemuda. Hanya beberapa jurus saja mereka berhasil dirobohkan. Pemuda berpakaian ular kemudian membuka pintu penjara dan melangkah masuk.
"Kakang Sena," desah gadis berambut panjang yang ternyata Mei Lie.
"Aha. Nikmat rupanya kau tidur di sini, Mei," ujar Pendekar Gila tertawa. Diangkatnya tubuh gadis itu dan diletakkan di atas pundaknya.
Sebentar kemudian, dibawanya melesat keluar dari penjara bawah tanah.
Sampai di pintu keluar ternyata telah menghadang kurang lebih tiga puluh prajurit. Puluhan prajurit lainnya berjajar di pelataran sampai gedung penjara. Mereka telah menghunus senjata masing-masing.
"Awaasss...! Jangan sampai lolos penculik keparat ini!" teriak Senapati Saka Bawana lantang.
Semua prajurit siap siaga. Mereka memasang kewaspadaan dengan senjata di depan dada.
"Heaaatt...!" Tiba-tiba pemuda berpakaian rompi kulit ular yang memanggul tubuh Mei Lie berteriak keras. Tubuhnya mencelat bagaikan terbang melalui kepala puluhan prajurit yang mengepungnya.
Beberapa prajurit yang melihatnya langsung melemparkan tombak dan pedang mereka ke arah tubuh Sena. Namun, dengan gerakan yang ringan dan cepat dia mampu mengelakkan. Beberapa tombak bahkan berhasil dipukulnya dengan suling yang tergenggam di tangan kanan.
Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar riuh rendah memecah keheningan malam.
Dalam sekejap beberapa orang prajurit tewas bergelimpangan dihajar suling Sena.
Tampaknya pemuda berompi kulit ular itu tak ingin menemui kegagalan membawa lari Mei Lie. Secara membabi buta diterjang dan dipukulnya setiap prajurit yang berusaha menahan langkahnya. Tak satu pun di antara mereka yang berhasil. Kepandaian pemuda itu terlalu tinggi untuk dilawan para prajurit rendahan. Ketika sampai gilirannya, Senapati Saka Bawana yang berdiri berdampingan dengan Panglima Ganjar Seta, melompat memburu penculik itu. Dengan cepat Panglima Ganjar Seta dan beberapa panglima tinggi lainnya ikut merangsek maju.
Mereka menyabet dan menusukkan keris dan tombak. Pemuda berambut gondrong itu sempat kewalahan. Namun ketika mendapat kesempatan untuk membalas, dia melompat tinggi seraya menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam suling. Dari suling itu melesat serangkum angin kencang yang menerjang para panglima. Tak terelakkan, Senapati Saka Bawana terlontar beberapa tombak ke belakang bersama para panglima lainnya. Pemuda yang memanggul Mei Lie itu pun akhirnya dapat meloloskan diri dari kepungan. Dia melesat ke depan istana dengan cepat sekali. Sampai di depan istana pemuda berpakaian rompi dari kulit ular bertemu dengan Raja Galih Kertarejasa dan Patih Abiyasa yang hendak berlari ke belakang.
"Hai! Berhenti!" bentak Raja Galih Kertarejasa. Wrets! Pemuda berpakaian rompi kulit ular malah mengibaskan sulingnya. Namun, dengan gesit Raja Galih Kertarejasa melompat menghindar. Patih Abiyasa pun menjauhi serangan itu.
Ketika penculik itu hendak kabur, cepat Raja Galih Kertarejasa melesat mengejar. Keris pusakanya disabetkan ke arah tubuh si pemuda. Pertarungan pun terjadi.
Raja Galih Kertarejasa ternyata memiliki ilmu yang cukup handal. Buktinya, beberapa kali serangan lawan dapat dielakkannya. Bahkan ketika lawan hendak membabatkan sulingnya. Raja Galih Kertarejasa telah mendahului dengan sambaran kaki kanan ke arah perut Blukk! Tendangan Raja Galih Kertarejasa mendarat telak di perut lawan. Penculik itu terdorong dua langkah ke belakang. Namun belum sempat Raja Galih Kertarejasa mengatur keseimbangan tubuhnya, pemuda berompi kulit ular telah melancarkan serangan balasan. Tangan kanannya memegang erat tubuh Mei Lie, sementara tangan yang kiri menghentak keras ke depan.
Wrrrets! Pukulan jarak jauh yang mengeluarkan cahaya kemerahan itu menyambar lengan baju Raja Galih Kertarejasa. Tak urung sang raja pun mengerang. Sekujur tangan kanannya terasa panas bukan main. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping kanan. Dan ketika pemuda berompi kulit ular memburunya, Raja Galih Kertarejasa segera menyabetkan keris pusakanya.
Wutt! "Haits!" Pemuda itu sempat mengelak dengan menarik mundur tubuhnya. Ketika dilihatnya para prajurit telah sampai di tempat itu, bahkan mengepungnya, dia segera menghentakkan tangan kiri.
Serangkum cahaya kemerahan melesat sangat cepat. Raja Galih Kertarejasa tak sempat lagi menghindar. Cahaya kemerahan itu pun telak menghantam dadanya. Seketika jeritan kematian terdengar. Tubuh Raja Galih Kertarejasa terlontar dua tombak ke belakang dengan dada menghitam bagai terbakar.
Seketika para prajurit tersentak kaget. Mereka menghambur ke arah jatuhnya Raja Galih Kertarejasa. Sementara pemuda yang memanggul tubuh Mei Lie melesat kabur. Karena gerakannya yang sangat cepat dalam sekejap ia telah berada di luar benteng istana.
Beberapa orang prajurit menggotong Raja Galih Kertarejasa masuk ke istana. Wajah sang raja tampak pucat, menahan rasa sakit hebat yang mendera tubuhnya. Napasnya tersengal-sengal seperti hendak lepas dari tenggorokan.
Tubuh Raja Galih Kertarejasa diletakkan di lantai yang beralaskan permadani. Matanya yang tadi terpejam kini terbuka. Dipandanginya wajah Patih Abiyasa, Senapati Saka Bawana, dan Panglima Ganjar Seta satu persatu.
"Kepada kalian aku titipkan keselamatan kerajaan ini." Dengan napas terengah. Raja Galih Kertarejasa menyampaikan amanatnya.
"Kalau mungkin Arum dapat ditemukan kembali, segera nikahkan dia dengan Pangeran Danuwirya! Aku...
tak tahan lagi menahan rasa sakit ini.... Satu lagi pesanku, kalian jemput putraku Pangeran Pra-mudya.... Dia tinggal bersama Resi Renujelaga di Gunung Srandil...." Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya Raja Galih Kertarejasa menghembuskan napas terakhir. Suasana berkabung melingkupi ruang tengah istana kerajaan. Para prajurit terdiam dengan hati pilu melihat nasib rajanya yang mengenaskan.
Senapati Saka Bawana, orang nomor satu di kerajaan yang bertanggung jawab atas keamanan kerajaan tampak mengerutkan kening. Ada sesuatu yang tengah dipikirkan lelaki gagah itu. Kanjeng Gusti Galih masih memiliki putra mahkota. Pangeran yang berhak atas tahta kerajaan ini. Senapati Saka Bawana mengangguk-anggukkan kepala perlahan.
֍↨↨↨↨↨֍¦ 12 ¦֎↨↨↨↨↨֎
Tiba-tiba saja dilihatnya dua orang lelaki menghadang di depannya. Seorang lelaki muda bertubuh tambun dengan perut buncit dan kepala botak, dan seorang pemuda gagah berpakaian kuning.
Mereka tak lain Dogol dan Danuwilapa yang melarikan diri ketika Sena Manggala juga lari menghindar dari amukan para prajurit.
"Kakang Sena...," sapa Dogol sambil tertawa-tawa gembira. Kepalanya digelenggelengkan persis kebiasaan yang dilakukan Pendekar Gila jika tengah melucu. Namun dia bukan menggarukgaruk kepala melainkan perutnya yang buncit.
"Aha... Bagaimana keadaan Nini Mei Lie, Kakang Sena?" tanyanya masih cengengesan. Diperhatikannya Mei Lie yang terkulai lemas di pundak Pendekar Gila. Pemuda berpakaian rompi kulit ular yang masih memegang erat tubuh Mei Lie hanya terdiam. Matanya menatap tajam pada Dogol. Lalu, beralih pada Danuwilapa yang hanya membisu.
Pemuda berpakaian kuning ini merasakan sesuatu di dalam hatinya. Timbul rasa curiganya ketika teringat dugaan para tokoh putih tentang adanya Pendekar Gila samaran.
"Dogol, hati-hati!" ucapnya lirih seraya menggamit pundak Dogol yang gempal.
"Apa maksudmu, Danu?" Dogol menoleh dengan kening berkerut.
Namun belum sempat Danuwilapa menerangkan tentang kecurigaannya, pemuda berambut ikal dengan pakaian rompi kulit ular telah mengayunkan kakinya hendak kabur.
"Heaaa...!" Danuwilapa melompat melancarkan serangan dengan tendangan kaki kanan. Namun, pemuda yang memanggul Mei Lie lebih cepat mengelak. Serangan itu hanya mengenai tempat kosong.
Pendekar Gila segera membalikkan tubuh dan melancarkan serangan balasan.
Plakkk! Danuwilapa terpekik kaget. Walau tangannya berhasil menangkis tendangan lawan tapi sekujur lengannya bergetar dan nyeri bukan main.
Belum sempat ia memperbaiki kedudukan, Pendekar Gila mengibaskan tangan kanan dengan telapak terbuka. Serangan itu hampir saja mengenai dada Danuwilapa kalau saja pemuda berbaju kuning itu tidak segera menarik tubuhnya ke belakang. Sementara itu Dogol mulai percaya dengan ucapan Danuwilapa tadi. Ketika dilihatnya Danuwilapa terjungkal terkena tendangan lawan, pemuda bertubuh gendut itu melompat hendak memberikan bantuan. Beberapa ilmu yang pernah dipelajari dari Pendekar Gila dipergunakannya. Sebuah pukulan tangannya yang besar dan gempal mendarat di punggung lawan. Hampir saja mengenai kepala Mei Lie yang tersampir di pundak pemuda berompi kulit ular. Namun Dogol merasa kaget ketika lawannya tampak tak bergeming sedikit pun.
"Aha aha aha...!" Pemuda berompi kulit ular tertawa lucu seraya menggelenggelengkan kepala.
"Hei Gembrot, maju! Ayo, maju kalau ingin merasakan bogemku!" bentaknya. Matanya menatap tajam wajah Dogol yang melangkah mundur beberapa tindak. Ketika itu Danuwilapa telah bangkit berdiri dengan pedang tergenggam di tangan kanan. Tubuhnya langsung melompat ke depan dan membabatkan pedangnya ke kaki lawan. Dia sengaja mengarahkan pedangnya ke bawah karena khawatir akan menyambar tubuh Mei Lie.
Tukkk! Danuwilapa tersentak kaget. Pedangnya yang mendarat di kaki belakang lawan terpental balik. Ia seperti membabat benda kenyal dan lentur. Ketika lawannya berbalik melakukan serangan, Danuwilapa melompat ke belakang menghindar. Namun ternyata serangan lawan tidak berhenti sampai di situ saja. Dengan wajah penuh kegeraman dia memburu Danuwilapa. Tak dipedulikannya meskipun lawan bersenjata pedang. Suling yang terselip di pinggangnya dicabut lalu dikebutkan memapaki babatan pedang lawan.
Benturan keras pedang Danuwilapa dengan suling berkepala naga tak terhindarkan. Danuwilapa terdorong beberapa langkah ke belakang. Sekejap kemudian pemuda berpakaian rompi kulit ular melesat dan memukulkan sulingnya. Hingga.... Prakkk! Pekikan menyayat terdengar dari mulut Danuwilapa. Pemuda itu terguling dengan kepala pecah terpukul suling berkepala naga milik lawan.
Sebentar tubuhnya menggeliat-geliat menahan rasa sakit, tapi kemudian tewas.
Melihat lawannya tewas, pemuda berompi kulit ular tertawa-tawa seraya menggelenggelengkan kepala. Sulingnya diselipkan kembali ke pinggang. Namun ketika teringat akan Dogol, pemuda itu kembali tertawa tergelak. Kali ini lebih keras dari semula. Dogol tampak gemetar ketakutan. Disadari benar lawannya bukan tokoh sembarangan.
Mungkin hanya Sena Manggala yang mampu menaklukkannya.
"Tapi ke mana Kakang Sena," tanya Dogol dalam hati. Pemuda berperut gendut itu segera melesat kabur karena ketakutan. Badannya yang gempal dan tambun bergoyanggoyang. Dikerahkannya seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Sambil tertawa mengejek, pemuda berompi kulit ular mengejar Dogol. Dalam sekejap saja ia berhasil menyusul Dogol. Ditariknya tangan Dogol yang besar dan gempal.
Dogol yang kaget bukan main menjerit-jerit ketakutan ketika tangannya diputar. Tubuhnya berputar di udara bagai kitiran. Ketika pemuda berompi kulit ular melepaskan pegangannya, melayanglah tubuh tambun Dogol.
"Aaakh...!" Namun, tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan putih yang melesat cepat ke arah melayangnya tubuh Dogol. Dan....
Trap! "Ngekk!" Sosok bayangan yang ternyata seorang pemuda berpakaian putih berhasil menangkap tubuh Dogol sebelum terbanting ke tanah.
"Ah ah ah...! Hoi, inikah Pendekar Gila yang tengah diburu-buru oleh KerajaanBumi Segara...?" ujar pemuda berpakaian putih itu sambil tertawa-tawa. Sebentar kemudian, mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sekilas ketika wajahnya terkena sinar bulan, pe muda berpakaian putih ini tampak mirip dengan lelaki yang memanggul Mei Lie.
"Hi hi hi...! Ternyata kau hanya seorang pengecut, Sobat," lanjutnya seraya menurunkan tubuh Dogol dari bopongan-nya.
"Tindakanmu bersembunyi-sembunyi seperti siput..."
"Aha, kenapa mesti banyak bacot"! Apa yang kau inginkan sekarang"!" bentak pemuda berompi kulit ular. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sama persis dengan yang dilakukan pemuda berpakaian putih di depannya.
"Kembalikan Putri Sekar Arum yang telah kau culik!" bentak pemuda berpakaian putih. Tapi, sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Bedebah! Berani mati kau menantangku! Heaaa...!" Diiringi bentakan nyaring, pemuda yang memanggul Mei Lie melesat menerjang pemuda berpakaian putih. Namun dengan gerakan lemas pemuda berpakaian putih meliukkan tubuh ke samping. Tendangan lawan tak mengenai sasaran.
Sementara itu Dogol bergegas menyingkir dari tempat pertarungan.
Mendapati serangannya gagal, pemuda berompi kulit ular berbalik dan mencabut suling yang terselip di pinggangnya. Secepat itu pula suling tersebut disabetkan ke tubuh lawan. Trakkk! Pemuda berpakaian putih tertawa ketika melihat lawannya sempoyongan. Padahal ia hanya menangkis serangan itu dengan tangan kosong.
"Hi hi hi...! Keluarkan semua ilmumu. Akan kuremukkan kepalamu," ejek pemuda berpakaian putih. Mendengar ejekan itu terbakarlah kemarahan pemuda berompi kulit ular. Tubuh Mei Lie dilemparkan ke tanah. Lalu, ia melompat menerjang lawan yang masih tertawa-tawa. Sebuah tendangan keras hampir saja menyambar kepala pemuda berpakaian putih. Beruntung ia segera melompat ke samping. Namun, ketika mendarat di tanah dengan sempurna, pemuda berompi kulit ular telah menghentakkan kedua telapak tangannya. Serangkum api meluncur deras.
"'Inti Brahma'! Heaaa...!" Wusss! Bersamaan dengan melesatnya api dari tangan pemuda berpakaian rompi kulit ular, pemuda berpakaian putih berteriak menghentakkan kedua telapak tangannya pula. Serangkum api pun melesat deras menerjang api yang menuju ke arahnya.
Maka.... Jratsss! Glaarrr...! Ledakan keras yang menggelegar dan memekakkan telinga memecah kesunyian malam.
Hawa panas menyebar di sekitar tempat pertarungan. Pemuda berpakaian rompi kulit ular terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan.
Pemuda berpakaian putih yang menyambuti serangan lawan tak bergeming sedikit pun dari tempatnya. Bahkan, dengan cepat dia menyatukan kedua telapak tangan ke atas kepala. Kemudian, ditarik sampai ke dada.
"Heaaa...!" Tubuhnya bergetar hebat ketika kedua tangannya dihentakkan ke depan. Seketika itu pula hawa di sekitar tempat pertarungan berubah dingin bagai es. Pemuda berpakaian rompi kulit ular mengerang-erang menahan rasa dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum. Suatu perubahan hawa yang begitu cepat dan sungguh tak terduga. Kenyataan itu membuat tubuhnya menjadi lemas.
Karena, hawa panas yang tadi melingkupi sekitar tempat itu tiba-tiba berubah dingin.
"Hi hi hi...! Kenapa kau, Sobat?" Pemuda berpakaian putih tertawa mengejek. Perlahan tangannya bergerak ke perut hendak mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Ternyata dia mengambil sebuah suling berwarna keemasan yang ujungnya berkepala naga. Suling itu sama persis dengan yang dipegang pemuda berpakaian rompi kulit ular.
Suling itu segera dimainkannya. Mula-mula suaranya mengalun perlahan dan merdu, melantunkan sebuah lagu berirama syahdu yang menggetarkan jiwa. Namun, lama-kelamaan bunyinya melengking tinggi dan memekakkan telinga. Sulit untuk diartikan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam keadaan tubuh diserang hawa dingin pemuda berompi kulit ular mendekap kedua telinganya. Sementara itu, tempat pertarungan yang tidak jauh dengan tapal batas Kota Kerajaan Bumi Segara ternyata telah didatangi berpuluh-puluh orang. Mereka dengan tegang menyaksikan pertarungan seru dan menarik itu. Tidak hanya para prajurit yang tadi memburu pemuda berpakaian rompi kulit ular yang menonton. Banyak di antara mereka tokoh-tokoh persilatan golongan hitam maupun putih. Tampak pula dua orang lelaki tua yang berdiri berdampingan di bawah sebatang pohon besar. Kedua lelaki tua itu tak lain Singo Edan dan Ki Ageng Mantingan.
"Siapa pemuda berpakaian putih itu...?" tanya seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk yang berdiri bersama empat orang kawannya.
"Dari mana dia mendapat ilmu yang sama dengan ilmu Pendekar Gila?" gumam seseorang yang lain heran.
"Aneh memang. Kedua pemuda itu memiliki ilmu yang sama. Lihatlah suling yang sedang ditiupnya. Bukankah sama persis dengan milik Pendekar Gila?"
"Iya, ya. Heh" Lihat, Pendekar Gila nampaknya tak mampu lagi menahan siksaan suara suling itu...!"
"He he he...! Tak ada ampunan lagi kau, Bocah Edan...!" seru yang lain.
Tidak hanya kelima lelaki berwajah bengis itu yang sibuk memikirkan kedua pendekar yang tengah bertarung. Hampir semua tokoh yang menyaksikan menggelengkan kepala dan berdecak kagum melihat kehebatan pemuda berpakaian putih. Mereka hampir tak percaya melihat pemuda berpakaian putih mampu menyiksa Pendekar Gila sedemikian rupa.
Sementara itu Singo Edan dan Ki Ageng Mantingan justru tersenyum-senyum bahagia.
"Bagaimana kalau Sena sampai kalah, Kakang Singo?" tanya Ki Ageng Mantingan tanpa menoleh kepada Singo Edan karena tak ingin terlewatkan melihat pertarungan itu. Rupanya kedua orang itu tahu kalau pemuda berbaju putih adalah Pendekar Gila yang asli.
"Aku terpaksa turun tangan," gumam Singo Edan seraya terus menatap ke arah pertarungan.
"Ah, tapi tak mungkin. Aku yakin Sena akan mampu mengatasinya. Lihat, si gadungan itu sudah kewalahan menahan siksaan bunyi Suling Naga Sakti milik Sena." Dogol pun tak ketinggalan menyaksikan pertarungan itu dengan sungguh-sungguh. Hatinya diliputi ketegangan. Meskipun dia masih merasakan perutnya mual-mual seperti hendak muntah, Dogol berusaha bertahan.
"Untung saja kau datang tepat pada waktunya, Kakang. Hhh.... Hampir aku muntah. Tubuhku diputar dan dipermainkan bagai kitiran...," ujar Dogol memandang pemuda berpakaian putih yang tengah meniup suling. Pemuda gendut itu pun tahu pemuda berbaju putih adalah Sena yang asli. Di kancah pertarungan, pemuda berpakaian putih tiba-tiba menghentikan tiupan sulingnya.
"Ah ah ah..., Sobat, inilah waktunya bagimu untuk beristirahat. Sepak terjangmu telah membuat banyak orang tersiksa dan ketakutan," ujar pemuda berpakaian putih yang ternyata Sena Manggala alias Pendekar Gila, murid Singo Edan.
Dipandanginya musuhnya yang terkulai lemas tak berdaya. Darah merembes keluar dari mata dan telinga pemuda berpakaian rompi kulit ular. Namun begitu, Sena Manggala tidak berani bertindak gegabah dengan mendekatinya. Nalurinya mencegah hal itu. Hanya hatinya yang tidak sabar ingin segera mengetahui keadaan Mei Lie, kekasihnya.
Dengan mata masih mengawasi musuhnya, Sena melangkah ke arah Mei Lie yang tergeletak di tanah, Namun....
Slatsss! Diiringi pekikan keras pemuda berpakaian rompi kulit ular melompat bangkit. Secepat kilat sulingnya yang masih tergenggam erat di tangan kanan disabetkan. Seketika selarik cahaya merah melesat ke arah Sena Manggala.
Kalau saja Sena Manggala tidak melentingkan tubuhnya niscaya cahaya merah yang mengandung hawa panas itu menerjang tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara dan mendarat dengan manis di tanah.
"Hi hi hi...! Siluman macam apa kau ini" Heaaa...!" Tanpa pikir panjang lagi, Sena Manggala mengerahkan ajian 'Tamparan Sukma' yang sangat ampuh. Tubuhnya melesat seraya memukulkan telapak tangan kanannya ke tubuh lawan.
"Aaakh...!"
"Aaakh...!" Pekikan keras dan menyayat hati terdengar dari mulut pemuda berpakaian putih dan Sena Manggala. Ketika murid Singo Edan itu melancarkan pukulan dengan ajian pamungkas, ternyata lawan juga berhasil menyarangkan pukulan telak di dada Sena. Kedua pemuda itu sama-sama terlontar ke belakang.
Pendekar Gila palsu terbanting ke tanah berumput setelah menghantam sebatang pohon besar. Tubuhnya yang terkapar tak berdaya mendadak berubah kehitaman bagai terbakar. Sebentar kemudian, tubuh itu hancur menjadi debu. Itulah akibat ajian 'Tamparan Sukma' yang sangat dahsyat. Sementara itu Sena Manggala sendiri terlontar sampai delapan tombak ke belakang. Setelah bergulingan beberapa kali tubuhnya langsung terkulai. Kekuatan tenaga dalam yang dikerahkannya dalam ajian pamungkas tadi sebenarnya tidak sampai menyebabkan dirinya seperti itu. Tapi ia menerima pukulan telak lawan yang juga dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sena tak dapat bertahan lagi.
Para penonton yang menyaksikan kejadian itu tercengang kaget. Perasaan kagum dan tegang bercampur menjadi satu. Ada yang bertepuk tangan memberi sambutan meriah. Mereka adalah para prajurit Kerajaan Bumi Segara yang merasa puas setelah tercekam ketegangan menyaksikan pertarungan. Tak satu pun di antara para penonton yang berani mendekati tempat pertarungan. Hingga dua sosok bayangan melesat dengan kecepatan tinggi.
Satu yang mengenakan jubah putih menyambar tubuh Mei Lie. Sedangkan yang mengenakan pakaian lurik menyambar tubuh pemuda berpakaian putih. Dogol yang karena berdiri tak jauh dari tempat Mei Lie tergeletak dapat melihat kedua sosok itu. Keduanya melesat cepat meninggalkan tempat pertarungan. Dalam sekejap saja sosok-sosok bayangan yang tak lain Singo Edan dan Ki Ageng Mantingan hilang dari pandangan.
Tanpa berpikir dua kali Dogol segera melesat mengikuti kedua sosok bayangan yang membawa Mei Lie dan pemuda berpakaian putih.
Para tokoh persilatan pun segera bubar meninggalkan tempat itu. Begitu pula para prajurit kerajaan. Mereka bersorak-sorai meneriakkan Pendekar Gila yang telah tewas. Pendekar itu telah hancur menjadi debu! Habislah riwayat Pendekar Gila! Dan, mereka tidak tahu kalau yang meninggal itu Pendekar Gila palsu! Di tengah jalan menuju istana, para prajurit berpapasan dengan Patih Abiyasa.
"Senapati Saka Bawana....! Kanjeng Putri Sekar Arum telah kembali!" teriak Patih Abiyasa dengan wajah berseri.
"Heh"!" Terkejut semua prajurit yang berada di belakang Senapati Saka Bawana mendengar teriakan Patih Abiyasa. Tak terkecuali Panglima Ganjar Seta dan Senapati Saka Bawana sendiri.
"Ki Lurah Brajanala. Dialah yang menemukan Putri Sekar Arum di sebuah hutan tempat persembunyian Pendekar Gila!" Dengan penuh rasa gembira para prajurit menggebah kudanya menuju istana kerajaan. Namun tidak demikian halnya dengan Senapati Saka Bawana. Lelaki setengah baya yang telah sepuluh tahun menjabat sebagai senapati ini tengah dilanda kekalutan. Raja telah mangkat. Berarti istana dalam kekosongan kekuasaan. Namun, akhirnya Senapati Saka Bawana pun menggebah kudanya menuju istana kerajaan.
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
Balada Di Karang Sewu --oo0oo-- Pemberontakan Ki Reksogeni |