Life is journey not a destinantion ...

Peti Mati Untuk Pendekar Gila

INDEX PENDEKAR GILA
Dewi Ratu Maksiat --oo0oo-- Serikat Serigala Merah

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


֍֍֍֍֍¦ ① ¦֎֎֎֎֎

Pagi nampak cerah dengan langit biru bening tanpa setitik mega. Angin berhembus perlahan, membawa kesejukan yang alami.
Suasana Desa Singo Prajan yang terletak di pesisir Pantai Laut Selatan tampak begitu damai.
Ombak beriak-riak di lautan menambah pemandangan desa itu.
Dari kejauhan nampak serombangan orang tengah melangkah perlahan pada jalan setapak di sisi gunung. Sebelah kanan yang mereka lewati terbentang jurang menganga lebar. Sedangkan di sebelah kiri, bukit-bukit batu cadas menjulang dengan angkuhnya. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, jelas mereka adalah orang-orang kadipa-ten. Paling depan berjalan seorang lelaki tinggi besar dengan cambang bawuk yang menutupi wajah.
Di sisinya berjalan dua orang lelaki lain. Seperti orang yang di tengah, dua lelaki yang berjalan di kanan kiri orang tersebut juga mempunyai wajah beringas dengan kumis melintang.
Sedang di belakang mereka tampak berjalan beriringan empat lelaki kekar bertelanjang dada.
Mereka memanggul sebuah tandu dengan bangunan berbentuk rumah. Di belakang mereka ada lima puluh orang lelaki lain berpakaian prajurit ber-senjata tombak dan pedang.
Ketika mereka melewati jalan agak menurun, tiba-tiba orang yang berjalan paling depan berseru, "Para prajurit! Kalian bersiaplah! Sebentar lagi kita akan memasuki perbatasan Ragajampi!"
"Hm, Kakang. Ada apa kiranya di perbatasan Ragajampi?" tanya seorang prajurit kepada kawannya.
"Apakah kau belum tahu, Prakaspati?" prajurit bernama Haryo Sasongko balik bertanya.
"Sungguh aku belum tahu, Kakang Haryo Sasongko...," jawab Prakaspati dengan mata me-nyipit. Haryo Sasongko sesaat terdiam, matanya memandang lurus ke depan. Lalu dengan setengah berbisik Haryo Sasongko berkata, "Di perbatasan Ragajampi, banyak sekali perampok yang ganas dan liar. Para prajurit tampak diam, hanya mata mereka yang menatap tajam ke sekeliling tempat itu.
"Apakah mereka umumnya memiliki ilmu yang tinggi, Kakang?"
"Biasanya mereka berilmu tinggi," jawab Haryo Sasongko.
"Kabarnya, mereka orangorang bekas prajurit Candra Mulia. Wajar kalau mereka mahir dalam segala siasat perang." Perlahan-lahan mereka melangkah sambil bersikap waspada. Wajah para prajurit seketika tegang, bagaikan melihat hantu di siang bolong.
"Apakah kalian telah siap"!" Kembali terdengar seruan Haryo Sasongko memberi perintah.
"Siap...!" jawab seluruh prajurit.
"Ada apa, Haryo Sasongko...?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita. Suara itu berasal da-ri dalam tandu yang berada di alas pundak keempat orang yang bertelanjang dada.
"Ampun, Tuan Putri! Hamba hanya memperingatkan pada para prajurit agar bersiap-siap," jawab Haryo Sasongko sambil menyatukan tangannya ke dada, dan membungkukkan tubuhnya.
"Kenapa mesti begitu?"
"Sekadar untuk berjaga-jaga...."
"Ya, sudahlah. Kita berdoa saja agar semuanya selamat. Usahakan agar jangan mencari-cari perselisihan dahulu. Kalau kita diserang, apa boleh buat. Sudahlah, kita lanjutkan!"
"Ayo, jalan...!" Mendengar seruan Haryo Sasongko, lima puluh prajurit itu segera melanjutkan perjalanan.
Langkah demi langkah mereka berjalan, tak ada gangguan. Mereka merasa tenang ketika telah memasuki Alas Mentaok. Namun mereka tetap terus siap siaga untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun ketika para prajurit me- langkah di tengah hutan, tiba-tiba terdengar suara raungan keras dan rintihan menyayat. Membuat bulu kuduk para prajurit berdiri. Haryo Sasongko dan dua orang wakilnya nampak siap, menghunus pedang yang tersampir di pundak.
Srt! Srt! "Siaplah kalian, nampaknya mereka mulai datang!" seru Haryo Sasongko memperingatkan semua prajurit.
"Adi Prakaspati, rupanya kita akan menghadapi para perampok itu. Bersiaplah...!"
"Aku telah siap, walaupun nyawaku untuk taruhannya," jawab Prakaspati dengan penuh kewaspadaan.
"Percuma aku menjadi murid Kali- wangsa, kalau harus takut menghadapi bekas kroco-kroco Candra Mulia."
"Aku mengerti," gumam Haryo Sasongko da-tar.
"Bagaimana denganmu, Adi Bratamurti?"
"He he he... dengan pedang pusaka Naga Krida, pantang bagiku takut pada siapa pun. Apalah artinya kroco-kroco tentara Candra Mulia," jawab Bratamurti dengan angkuhnya. Pendekar dari Kerajaan Kawilangit itu seakan menyepelekan kemampuan bekas prajurit-prajurit Candra Mulia.
"Aku percaya pada kalian. Aku yakin, baginda raja mengambil kalian sebagai pengawal khusus tentu ada sebabnya. Bukan begitu Adi Prakaspati, Bratamurti?" Prakaspati dan Bratamurti tersenyum lalu mengangguk. Kedua pengawal itu diutus raja mereka, Balawisesa, untuk mengiringi keberangkatan putrinya, Palupi, menemui seorang raja di wilayah Candra Mulia. Raja muda yang bergelar Raden Sasakajiwo, adalah orang yang menjadi sahabat Palupi. Persahabatan mereka telah terjalin sejak Raden Sasakajiwo bertandang ke Negeri Kawilangit tiga tahun yang lalu.
Sejak pertemuan itu Palupi seakan tak dapat melupakan Raden Sasakajiwo yang rupawan.
Minum terasa api, makan terasa sekam, jika perasaan rindu menyergap hatinya.
Hanya bayangan wajah raja muda itu yang selalu melekat di kelopak matanya. Perasaan rindu seperti itulah yang menjadikan Raja Balawisesa akhirnya memutusan ke Kerajaan Candra Mulia, khususnya pada Raden Sasakajiwo sebagai rajanya.
Dahulu sebelum menduduki tahta kerajaan, Raden Sasakajiwo menjadi buronan di Kerajaan Candra Mulia yang dipimpin Raja Rakai Pikatan.
Dan ketika sang Raja mangkat, maka Raden Sasakajiwo yang segera menduduki singgasana kerajaan. Dia menobatkan dirinya sebagai penguasa Kerajaan Candra Mulia.
Ternyata utusan yang dikirim Balawisesa mendapat tanggapan baik dari Raden Sasakajiwo.
Waktu itu Raden Sasakajiwo memang mengharapkan bantuan dari Kerajaan Kawilangit dalam usahanya meraih kedudukan sebagai penguasa kerajaan. Ketika mendengar laporan dari para utusan bahwa Raden Sasakajiwo menerima pinangannya. Raja Balawisesa merasa gembira. Dia segera mengutus putrinya dengan dikawal lima puluh orang prajurit pilihan dan tiga orang pendekar menuju ke pulau itu.
Para prajurit pengawal putri Palupi terus melangkah setapak demi setapak. Walau nampak tenang, di hati mereka terbersit rasa was-was. Tidak seperti dua orang pimpinan mereka yang sombong, mereka telah mendengar persis siapa-siapa adanya prajurit-prajurit Candra Mulia yang terkenal ganas dan beringas tak pernah kenal perasaan takut mati.
Sudah banyak contoh yang menguatkan.
Banyak prajurit Kerajaan Marta Pura yang binasa ketika hendak melakukan penyerangan ke Pulau Jawa. Mereka juga mengenal nama-nama yang sering menjadi momok dan merupakan tokohtokoh pemberontak di Kerajaan Candra Mulia.
Sebenarnya, Raden Sasakajiwo telah beberapa kali memperingatkan pada rekan-rekannya yang tergabung dalam Panca Leluhur Sakti untuk menghentikan sepak terjang mereka, dan meminta mereka agar terus membantu kedudukannya sebagai raja. Namun mereka seperti tak menggubrisnya, bahkan dengan berani para mantan prajurit itu menentang. Hanya karena memandang Eyang Seta Kumikis, mereka enggan untuk memusuhi Raden Sasakajiwo. Ditambah lagi karena mereka telah terikat janji untuk tidak saling menjatuhkan.

***

Para prajurit tengah melangkah di tengah Alas Mentaok ketika dari balik semak-semak dan dari atas pohon berloncatan orang-orang bertopeng menghadang langkah mereka.
Seketika mereka tersentak mundur, mata mereka segera mengawasi gerak-gerik gerombolan bertopeng merah itu.
"Siapa kalian!" bentak Haryo Sasongko.
"Huh. Rupanya monyet-monyet macam ini yang sering membuat kerusuhan," dengus Bratamurti seraya menghunuskan pedangnya.
"Mau apa kalian, hah"!"
"Ha ha ha...! Kaliankah yang hendak menghadap Raja Raden Sasakajiwo?" tanya seorang berkedok yang berdiri paling depan.
Tampaknya dialah pimpinan gerombolan itu.
"Serahkan pada kami apa yang kalian bawa! Dan minggatlah kalian dari sini! Biar kami yang akan menyampaikan pada Baginda Sasakajiwo!" Terbelalak mata Haryo Sasongko, Prakaspati, juga yang lainnya, mendengar permintaan ketua gerombolan berkedok itu.
Apalagi Putri Palupi yang berada di dalam tandu, hatinya seketika dag dig dug tak karuan. Gadis itu nampak gelisah, takut kalau-kalau para prajuritnya akan mengalami kekalahan.
"Oh, Hyang Widi! Apakah para prajuritku akan dapat mengatasi semua ini?" desis Palupi cemas.
"Bagaimana kalau para prajuritku mengalami kekalahan" Bagaimana dengan nasibku...?"
"Apakah kalian tak tahu aturan! Atau barangkali kalian memang sengaja mencari garagara, hah!" bentak Haryo Sasongko.
Bentakan Haryo tidak menjadikan ketua orang-orang berkedok itu takut. Bahkan setelah saling pandang dengan anak buahnya ia tertawa keras dan terbahak-bahak.
"Kalianlah yang tak tahu sopan santun! Kalian datang dari jauh, namun tak menghiraukan kami yang menguasai daerah ini. Perlu kalian ketahui, siapa saja yang memasuki daerahku harus meninggalkan apa saja yang dibawa, termasuk nyawa! Tapi kali ini kuberi keringanan, kalian cukup meninggalkan apa saja yang kalian bawa. Kami memberikan kebebasan pada kalian untuk hidup?"
"Bedebah! Kalian sangat meremehkan ka-mi!" bentak Haryo marah, karena merasa diremehkan. Haryo yang telah kondang namanya di Negeri Kawilangit, seakan tak dapat membendung amarahnya.
"Dengar oleh kalian. Lebih baik kami meninggalkan nyawa daripada harus menyerahkan permintaan kalian...."
"Ha ha ha...! Kalian orang-orang Kawilangit berani lancang di daerah kekuasaan kami. Hm, jangan harap kalian akan mampu mempertahankan segalanya. Kami telah memberikan keringanan, namun kalian menolak. Jangan harap kalian akan kami ampuni lagi!"
"Sudahlah, Kakang! Percuma kita berbantah dengan orang yang tak mempunyai pengetahuan.
Mereka orang-orang dungu, yang biasa hidup di hutan," kata Bratamurti.
"Setan! Rupanya anjing-anjing Kawilangit memang banyak bacot!" bentak ketua gerombolan berkedok marah, mendengar ucapan Bratamurti yang menghinanya.
"Anak-anak, serbu dan habisi mereka...!" Seketika kedua puluh orang berkedok itu serentak berlompatan mengepung para prajurit.
Senjata golok dan tombak siap di tangan masingmasing. Para prajurit Kawilangit pun tak tinggal diam. Serentak mereka mencabut senjata masing-masing.
"Bagaimana" Apakah kalian masih bersitegang mempertahankan apa yang kalian bawa?"
"Hm, sudah aku katakan, lebih baik kami meninggalkan nyawa daripada kami harus memberikan apa yang kalian minta!" bentak Haryo marah.
"Bagus kalau itu yang kalian ingini! Serang...!" Serentak gerombolan berkedok merangsek menyerang para prajurit Kawilangit. Serta-merta Haryo pun segera berseru.
"Prajurit, seraaang...!" Pertarungan antara dua kelompok itu pun tak dapat dihindari. Kedua kelompok itu, bagaikan singa-singa kelaparan menyerang membabi buta.
Jumlah prajurit Kerajaan Kawilangit lebih banyak ketimbang penyamun. Namun karena di hati mereka tertekan keragu-raguan para prajurit bertempur dengan beban. Serangan-serangan mereka tampak kurang mantap dan sering meleset. Bahkan para begal itu makin mengganas. Melihat musuh ketakutan, para begal makin meningkatkan serangan. Keempat orang yang memandu Putri Palupi segera membawanya pergi menyelamatkan diri.
Mereka merasa khawatir kalau-kalau sang Putri akan mengalami cedera. Keempat prajurit pemandu itu, merupakan prajurit-prajurit yang setia pa-da Putri Palupi, yang sengaja dibawa untuk menemaninya. Melihat keempat pengusung itu melarikan diri dengan tandunya serta-merta ketua penyamun berkedok berkelebat mengejar.
Namun belum juga lelaki bertubuh kekar itu jauh Haryo telah pula mengejarnya. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh Haryo secepat kilat berlari. Sehingga tahu-tahu telah menghadang pimpinan gerombolan berkedok.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mati!" bentak pimpinan begal itu merasa jengkel karena niatnya terhalang. Haryo tersenyum.
"Aku tak mencari mati, karena aku ingin hidup. Kaulah yang mencari mati. Apa perlumu menghadang kami" Apakah kau tak takut bila perbuatanmu diketahui Baginda Sasakajiwo?" dengus Haryo. Pimpinan gerombolan berkedok tersenyum sinis mendengar Haryo menyebut nama Sasakajiwo. Sepertinya nama Raden Sasakajiwo bagi lelaki berkedok itu tak ada artinya.
Lalu dengan suara lantang dia kembali berkata setengah membentak.
"Kalau kau memang ingin memanggil Raden Sasakajiwo. Pergilah! Aku tak akan mundur menghadapinya. Hua ha ha...! Sasakajiwo tak lebih dari aku, si Ronggo Dewa...! Kalau Sasakajiwo melihat hal ini, pasti dia akan membantuku."
"Sombong!" dengus Haryo Sasongko.
"Hua ha ha...! Kau tak percaya?" lelaki yang mengaku bernama Ronggo Dewa tersenyum mengejek.
"Kalau kau mendengar siapa kami, niscaya kau dan para prajuritmu akan lari terkencing-kencing."
"Hm, mungkin hanya orang-orang bodoh yang mau digertak berandal macammu. Tapi aku tidak!" jawab Haryo sengit.
"Aku tak akan peduli siapa pun kalian, karena aku merasa benar. Kebe-naran selalu dalam lindungan Hyang Jagad Betara...!"
"Bedebah, jangan menyesal nantinya," gertak Ronggo Dewa, marah.
"Jangan lengah, hiat...!" Melihat musuhnya melakukan serangan, dengan cepat Haryo pun tak mau tinggal diam. Seketika mulutnya menggerang bagaikan seekor harimau, lalu melompat untuk memapaki serangan.
Tak pelak lagi pertarungan kedua pimpinan itu pun seketika berlangsung seru. Keduanya nampak penuh semangat untuk saling menjatuhkan. Sehingga tanpa segan-segan kedua pimpinan itu segera mengeluarkan jurus-jurus yang sangat diandalkan. Jurus demi jurus berlalu, kedua pimpinan seperti tak mengenal lelah. Dari jurus yang ringan, sampai jurus-jurus berat, yang menentukan mati hidupnya mereka. Namun begitu keduanya samasama tangguh. Di pihak lain para prajurit Kerajaan Kawilangit yang kini dipimpin oleh dua tokoh utama yaitu Prakaspati dan Bratamurti masih terus berusaha membendung seranganserangan gerombolan berkedok yang nampak semakin mengganas. Sepertinya para begal itu tak kenal takut, walau menghadapi dua tokoh yang sudah terkenal di Kerajaan Kawilangit.
Perampok berkedok merah makin lama makin mengganas sehingga para prajurit Kawilangit tampak mulai terdesak. Meskipun jumlah prajurit lebih banyak, kenekatan gerombolan itu ternyata mampu mendesak pertahanan lawan.
Korban berjatuhan dari pihak prajurit Kawilangit. Semangat para prajurit lain kian bertambah susut. Tanpa ampun lagi, mereka menjadi bulan-bulanan para begal. Maka dalam waktu singkat mayat bergelimpangan dari pihak prajurit. Sebaliknya dari para begal, makin merajalela dan membabi buta. Mereka bagaikan makhluk haus darah membantai lawan tanpa rasa kasihan.
Di pihak lainnya pertarungan antara dua orang pimpinan itu masih berjalan. Keduanya kini benar-benar menguras segala ilmu yang mereka miliki. Namun demikian, pertarungan itu sepertinya tak akan terhenti. Kelebatan-kelebatan tubuh keduanya begitu cepat, menjadikan tubuh mereka bagaikan menghilang tertutup oleh warnawarni pakaian yang mereka kenakan.
Namun seperti pepatah, siapa yang lengah dialah yang akan binasa. Rupanya pepatah itu pu-la yang telah menentukan pertarungan mereka.
Manakala Haryo lengah, dengan cepat Ronggo Dewa mengerahkan ajiannya.
Tak ampun lagi, Haryo menjerit keras ketika ajian lawan menghantam telak tubuhnya. Sekujur tubuhnya langsung membiru dan kaku. Seketika tubuh pimpinan prajurit itu membeku bagai terendam salju. Ya, Haryo memang mati beku, terhantam ajian 'Topan Salju' yang dilontarkan Rong-go Dewa.
Melihat musuhnya mati, Ronggo Dewa berkelebat pergi setelah terlebih dahulu menendang tubuh Haryo hingga melayang bagaikan terbang dan jatuh ke dasar jurang.
Dengan meninggalkan gelak tawa, pimpinan begal itu melesat untuk mengejar keempat prajurit Kawilangit yang membawa lari Putri Palupi.

֍֍֍֍֍¦ ② ¦֎֎֎֎֎

Keempat prajurit yang menandu Putri Palupi nampak masih berlari dengan terengah-engah.
Wajah mereka nampak begitu tegang, ada perasaan takut dan cemas menggayuti hati keempatnya. Mereka memang ketakutan setengah mati.
Bukannya takut mati, namun lebih dari itu yang mereka takuti. Ketakutan mereka karena yang mereka pertahankan kali ini adalah putri raja.
"Kenapa kalian tidak menuju ke kerajaan?" tanya Palupi pada keempat pengusungnya.
"Ke manakah arah tujuan yang harus kita tempuh, Tuan Putri?" tanya seorang pemandu di depan.
"Teruslah ke selatan, di sanalah Kerajaan Candra Mulia!"
"Ah, tidak mungkin, Tuan Putri," keluh mereka serentak, menjadikan Palupi seketika mem- buka tirai penutup tandunya. Mata Palupi yang lentik memandang lepas ke muka. Yang tampak hamparan rumput-rumput ilalang menghijau. Melihat hal itu, seketika hatinya bergumam.
"Memang patut keempat pengawalku takut.
Mereka rupanya sungkan menerobos ilalang yang tinggi. Mereka mungkin menduga-duga kalau ilalang itu juga akan ada bahaya."
"Tak ada jalan lain..!?" tanya Putri Palupi seperti pada diri sendiri, sementara matanya masih terus memandang ke muka.
"Tak ada, Tuan Putri," jawab penandu di muka sebelah kanan.
"Kami rasa, memang tak ada," tambah yang sebelah kiri.
"Jalan lain satu-satunya, sekarang telah dijadikan pertempuran antara para prajurit dengan gerombolan begal itu."
"Jadi tak ada jalan lain?"
"Benar, Tuan Putri," sahutnya.
"Kalau begitu, tak apalah menempuh jalan lewat ilalang itu."
"Ah...," kembali keempat orang itu mende-sah.
"Kenapa" Apakah kalian takut...?"
"Bukannya kami takut mati, Tuan Putri," jawab orang yang di depan sebelah kiri.
"Bagi ka-mi, keselamatan Tuan Putri lebih utama daripada nyawa kami yang tiada guna." Semuanya salahnya sendiri, mengapa ingin menemui Raden Sasakajiwo yang harus menempuh berbagai rintangan" Bila ingat itu semua, seketika hati Palupi kesal, marah pada Raden Sasakajiwo. Bagaimana mungkin tidak marah, mereka datang jauh-jauh tapi nyatanya dari pihak Kerajaan Candra Mulia tak ada seorang pun yang menjemput mereka. Seakan-akan segala kejadian itu memang disengaja.
"Ah, Raden Sasakajiwo.... Kenapa ia tidak menjemput kedatanganku?" keluh hati Palupi.
"Apakah memang sengaja dia hendak mencelakai diriku?" Tengah Putri Palupi melamun, tiba-tiba pemandu yang ada di belakang berteriak.
"Awas! Orang berkedok itu mengejar kita! Ayo, lari...!" Dengan cepat mereka pun berlari. Mereka tak menghiraukan lagi ilalang yang terhampar tinggi di depannya. Dengan segala kenekatan mereka menerobos rumput ilalang. Namun mereka tersentak kaget, ketika tiba-tiba seseorang berkelebat menerobos masuk ke tandu.
Belum juga keempat pemandu itu hilang dari rasa kagetnya, orang itu telah kembali berkelebat keluar dengan membopong tubuh Putri Palupi yang terkulai. Rupanya Putri Palupi telah tertotok. Empat orang penandu itu bermaksud mengejar, ketika tiba-tiba orang berkedok itu mengibaskan tangannya. Dari kibasan tangan berhamburan ratusan jarum mendesing-desing mengarah ke tubuh mereka.
"Awas...!" pekik dari salah seorang di antara mereka.
Seketika mereka berhamburan, bersalto berusaha mengelakkan serangan jarum-jarum beracun itu. Namun tak urung salah seorang dari mereka terkena. Orang itu menjerit. Tubuhnya bergulingguling di tengah ilalang dan akhirnya terkulai.
Ketiga prajurit itu tersentak, melihat apa yang dialami rekannya. Tubuh temannya membiru, lalu bekas tusukan jarum-jarum itu makin la-ma makin membesar.
Dari sebesar jagung, membentuk sebesar kepalan tangan. Setelah benjolan-benjolan itu sebesar kepalan tangan, akhirnya pecah. Kembali ketiga orang prajurit terbelalak kaget, ketika dilihatnya apa yang keluar dari pecahan benjolan tersebut. Ketiganya kembali kaget, bahkan melompat bagaikan terpental.
Mereka melihat binatang-binatang yang menjijikkan keluar dari benjolan-benjolan yang pecah. Binatang-binatang tersebut, tak lain kelabang yang berwarna merah.
Jelmaan racun kelabang merah.
"Awas...! Kalian jangan mendekatinya!" tiba-tiba terdengar seruan dari kejauhan, ketika ketiga prajurit tengah dilanda kekagetan.
"Kalau kalian mendekat, tubuh kalian pun akan terkena! Kelabang itu sangat ganas bila mencium bau manusia!" Ketika ketiga orang itu menengok, mereka tersentak kaget. Ternyata orang yang memperingatkan mereka, tak lain pimpinan perampok yang tadi mengejar. Wajah ketiga orang itu berubah pucat ketakutan. Mereka kini hanya pasrah terhadap apa yang akan dilakukan pimpinan begal itu.
"Heh, rupanya kalian," pimpinan begal terbelalak, kaget ketika makin mendekati ketiganya.
"Di mana barang yang kau bawa itu?"
"Kami membawa putri kerajaan yang ingin menemui Raden Sasakajiwo."
"Di mana sekarang?" Ketiga orang itu seketika terdiam ditanya begitu. Mata mereka memandang pada pimpinan begal dengan pandangan mata tak percaya, lalu salah seorang dari ketiganya kembali berkata, "Apakah penculik putri kami bukan anggotamu?"
"Hei, kau ngomong apa?" tanya Ronggo De-wa kaget.
"Putri Palupi telah diculik oleh seseorang," Jawab orang itu sembari menengok ke belakang.
Namun ternyata orang yang tadi melemparkan jarum-jarum berbisa telah hilang dari pandangannya.
"Heh, cepat benar orang itu menghilang."
"Siapa yang kau maksud?" tanya pimpinan begal itu heran.
"Orang yang telah membunuh temanku ini dengan senjata yang kau sebut racun kelabang merah," jawab yang ditanya, menjadikan pimpinan begal seketika mengerutkan kening. Setelah memandang pada ketiga orang itu, Ronggo Dewa segera berkelebat meninggalkan ketiganya yang terbengong-bengong tak mengerti.

***

Pertarungan antara prajurit-prajurit Kerajaan Kawilangit yang dipimpin Prakaspati dan Bratamurti masih terus berlanjut, walau korban telah banyak berjatuhan. Bratamurti dengan Pedang Naga Krida-nya terus mengamuk. Setiap kelebatan pedang di tangan Bratamurti selalu membawa korban bagi pihak musuh.
Kini pihak begal yang semula berjumlah dua puluh tinggal lima orang. Sementara dari pihak prajurit kerajaan tinggal empat orang ditambah dua pimpinannya.
"Menyerahlah kalian...!" bentak Bratamurti.
Kelima orang begal itu sepertinya tak mendengar. Bahkan kelimanya makin nekat melancarkan serangan. Hal itu membuat Bratamurti dan Prakaspati kian marah. Pedang di tangan kedua pendekar itu terus berkelebat memburu nyawa.
Tak ayal lagi, dalam sekejap saja kelima orang penyamun habis terbabat pedang mereka. Namun perjuangan mereka tak luput dari pengorbanan dengan tewasnya para prajurit. Seluruh prajurit binasa tanpa sisa.
Tertegun Bratamurti dan Prakaspati melihat prajurit-prajuritnya mati. Tak terasa kelopak mata mereka berkaca-kaca. Mereka terharu menyaksikan para prajurit yang gugur membela kerajaan.
Setelah sesaat hening membisu, kedua pendekar dari Kerajaan Kawilangit itu pun segera berlalu meninggalkan anak buahnya yang telah gugur. "Apakah kita akan kembali ke kerajaan?" tanya Bratamurti setelah keduanya jauh meninggalkan medan pertempuran.
"Tidak! Kita harus mencari Tuan Putri dulu."
"Ke mana...?"
"Bukankah kita punya kaki?" Bratamurti balik bertanya.
Prakaspati terdiam, merasakan ucapan Bratamurti memang ada benarnya. Bukankah kita punya kaki" Ya, lebih baik berjalan terus mencari tuan putrinya daripada pulang dengan tangan hampa. Mereka malu pada Raja Balawisesa, yang telah mempercayai mereka untuk mengawal putrinya. Mau ditaruh di mana muka mereka" Bagaimana harus mempertanggung-jawabkan pada sang Raja"
"Baiklah, kita mencari tuan putri," jawab Bratamurti menyetujui apa yang dikatakan Prakaspati.
"Oh ya, di manakah Kakang Haryo?"
"Entahlah. Maka itu, marilah kita mencari semuanya." Tanpa banyak berkata lagi, dua pendekar itu pun segera melangkahkan kaki. Tak lama kemudian setelah keduanya berjalan, tiba-tiba mata mereka melihat sosok tubuh terkapar kaku. Segera kedua pendekar itu berlari menghampiri. Mata keduanya seketika membeliak.
"Kakang Haryo...!" Keduanya segera mengangkat tubuh Haryo yang telah mati. Hati kedua pendekar itu kembali terasa hancur dan sedih.
"Kakang Haryo, kenapa meninggalkan kami?" suara Bratamurti terdengar parau.
"Siapakah yang telah berbuat semuanya ini, Kakang?" Prakaspati pun ikut bertanya pada mayat Haryo.
"Jawab, Kakang! Biar kami yang akan menuntut balas...!" Haryo yang telah mati tak dapat menjawab.
Tubuh itu telah kaku beku. Kedua pendekar itu pun segera menggali liang yang akan dijadikan tempat terakhir bagi Haryo. Setelah dirasa cukup, kedua pendekar itu segera menyemayamkan mayat Haryo. Keduanya kembali hening tanpa kata, menundukkan kepala memberikan penghormatan terakhir pada pimpinan mereka.
"Kita cari orang yang telah membunuhnya," ajak Prakaspati setelah sekian lama terdiam dalam hening memberikan penghormatan terakhir.
"Aku rasa, orang tersebut tak lain pimpinan begal keparat itu."
"Memang benar! Ayo, kita cari! Lebih baik kita mati, daripada hidup terlunta-lunta di daerah orang."
"Jangan putus asa, Saudara Bratamurti! Ki-ta tak boleh berkata begitu, kita harus tegar menghadapi segala cobaan." Bratamurti kembali terdiam, kemudian keduanya berkelebat pergi meninggalkan gundukan tanah merah baru tempat Haryo Sasongko beristirahat untuk yang terakhir.

֍֍֍֍֍¦ ③ ¦֎֎֎֎֎

Desa Negodipuro yang letaknya di pesisir pantai selatan, seperti biasa nampak ramai dengan para nelayan. Mereka tidak hanya berdatangan da-ri desa-desa sekitar, melainkan juga dari pulau lain yang ada di seberang lautan.
Perahu nelayan dan perahu penumpang yang membawa mereka menuju Desa Negodipuro datang dan pergi setiap hari. Orang-orang lebih suka menggunakan perahu datang ke desa yang rupanya menjadi pusat perniagaan itu. Padahal lewat jalan darat dengan berkuda atau berjalan kaki juga bisa.
Di dalam sebuah perahu yang datang, nampak seorang pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular, dengan rambut gondrong agak ikal. Tubuhnya gagah dan tegap, namun tingkahnya ko- nyol dan lucu. Berdiri di atas perahu yang membawanya ke Desa Negodipuro. Tangan kanannya sebentar-sebentar menggaruk kepala sambil cengar-cengir memandangi luasnya lautan. Angin laut menerpa wajah dan rambutnya yang gondrong. Di pinggangnya terselip sebuah suling berkepala na-ga.
"Heh"! Ramai juga desa ini. Nampaknya aman dan damai penduduk di sini," gumam pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular itu sambil tersenyum-senyum sendirian.
Begitu perahu yang membawanya merapat ke darat, pemuda itu segera melompat turun setelah membayar ongkos pada pemilik perahu. Pemuda tampan dengan ikat kepala kulit ular itu terus melangkah. Sambil cengengesan matanya memandang ke kiri karena melihat para nelayan yang menjual ikan pada pembeli.
Tiba-tiba langkahnya berhenti ketika matanya tertuju pada seorang lelaki gendut dengan wajah persegi, berhidung pesek dan mata besar.
Ikat kepalanya kain berkotak-kotak hitam putih.
Orang itu tampak sedang sibuk menghitung uang.
Di depannya, lelaki tua kurus sedang menjura berulang kali seperti memohon belas kasihan.
"Tolonglah, Juragan! Jangan ambil semua uang itu. Saya sangat memerlukannya. Ambillah sebagian," pinta lelaki tua dengan suara tersendat-sendat.
"Ha ha ha...! Enak saja kau bicara begitu, Tua Bangka! Hei Rasito, hutangmu sampai sekarang belum juga lunas! Sudah sana, jangan banyak bicara...!" hardik lelaki gendut berpakaian warna hitam. Karena pakaiannya terbuka, maka perut gendut serta dadanya yang kotor dan berbu-lu tampak menjijikkan. Lelaki gendut yang disebut juragan itu mendorong tubuh Ki Rasito. Sehingga tubuh kurus Ki Rasito terjatuh ke belakang.
"Ukh...!" pekik Ki Rasito pendek. Tak bisa bangun lagi karena dirinya saat itu sedang sakit. Dadanya dirasakan sesak sukar bernapas.
"Ha ha ha...!" Lelaki gendut tertawa-tawa. Lalu berseru pada anak buahnya.
"Barkah! Bawa pergi tua bangka ini! Aku sebal...!" Barkah yang berbadan besar, berwajah ditumbuhi brewok lebat dan kumis tebal. Dengan seenaknya dia mengangkat tubuh Ki Rasito yang kurus kering seperti menenteng seekor kucing sa-ja.
Pemuda tampan berpakaian kulit ular yang sejak tadi memperhatikan, segera melompat ke arah Barkah dan menghadangnya.
"Tunggu! Kenapa orang tua renta kau perlakukan seperti binatang" Mungkin kau ini turunan binatang, ya..."! He he he!" ejek pemuda berpakaian kulit ular sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya konyol, seperti orang gila.
"Kurang ajar kau! Kupatahkan lehermu!" bentak Barkah lalu melepas tubuh Ki Rasito hing-ga terjatuh ke tanah. Barkah langsung menyerang pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
"Heaaat...!" Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Hanya dengan memiringkan tubuh ke samping kiri dan kanan, dia mampu mengelakkan sabetan golok Barkah sambil tertawa-tawa mengejek.
"Hi hi hi...! Lucu juga orang turunan binatang ini. Sudah tua masih mau mainmain. He he he...!" ejek Sena Manggala sambil mengelak dari babatan golok lelaki gagah berkumis melintang itu.
"Pemuda gila! Mampus kau!" teriak Barkah sambil membabat kepala Sena.
Sena cepat menunduk mengelakkan sabetan golok, sambil melancarkan serangan balik yang tak diduga oleh Barkah. Karena serangan Se-na Manggala begitu cepat, tahutahu sudah mendarat tepat di ulu hati lawan.
Degh! Degkh! "Huukh...!" Berkah memekik tertahan. Dadanya seketika terasa sesak. Goloknya terlepas dari genggaman. Tubuhnya terhuyung ke belakang lima tombak dan muntah darah. Wajahnya seketika pucat, lalu roboh pingsan.
Mata si gendut membelalak.
Demikian pula orang-orang yang ada di tempat pelelangan ikan itu merasa kagum dengan Sena.
"Edan! Hebat pemuda yang tingkahnya seperti orang gila itu!" kata lakilaki yang menyaksi-kannya kagum.
"Benar-benar mengagumkan pemuda itu.
Baru kali ini aku melihatnya!" tambah seorang la-ki-laki yang memanggul keranjang sambil bergeleng-geleng kepala.
"Padahal di desa ini orang takut dengan si Barkah sombong itu!" kata seorang lelaki setengah baya. Si gendut mencabut goloknya, lalu membuat jurus pembukaan.
"Kau berani betul mencederai kawanku! Sekarang rasakan golok ini! Heaaattt...!" Wutt! Wuttt! "Heat...!" Pendekar Gila mengelak dari sabetan golok si gendut dengan melompat ke atas. Tubuhnya bersalto ke belakang dua kali. Namun lelaki gendut bernama Ki Benen itu terus menyerang dengan sengitnya. Sabetan dan tusukan goloknya dengan cepat memburu tubuh Pendekar Gila.
Mau tak mau Sena harus terus bersalto dan melenting ke atas atau merebahkan tubuhnya ke belakang.
"Aha, boleh juga si gendut jelak dan bau amis ini!" kata Sena sambil terus mengelakkan serangan Ki Benen, yang memang memiliki ilmu silat cukup tinggi dan tangguh. Permainan goloknya sangat cepat dan lincah. Walaupun berbadan gendut, gerakannya sangat ringan ke sana kemari sambil menyabetkan goloknya memburu Pendekar Gila.
"Mampus kau, Anak Edan!" seru Ki Benen geram.
"Heaaatt...! "Eit...!"
"Kau tak akan bisa lolos, Bocah Edan!" bentak Ki Benen seraya terus menyerang Sena dengan sabetan goloknya yang semakin mengganas penuh kemarahan. Karena emosi yang tak terkendalikan, serangannya pun mulai tak terarah. Pendekar Gila dengan mudah berkelebat menghindari serangan Ki Benen sambil cengengesan.
"Benar-benar mabok orang ini!" gumam Se-na.
Dan begitu melihat lawannya lengah, secepat kilat Pendekar Gila melancarkan serangan beruntun. Sambil memutar tubuh dia melompat dan menendang. Degk! Bugh! "Aaaakh...!" Brukkk! Ki Benen kontan memekik panjang, tubuhnya yang gemuk terpental ke belakang dan jatuh terlentang. Tepat menindih tubuh Barkah yang masih pingsan. Ki Benen mengerang kesakitan dan mencoba bangun, namun tak kuat, badannya kembali roboh.
"Ha ha ha...!" Orang-orang tertawa geli melihat Ki Benen yang biasanya sok jago dan kejam kini bagai tikus tak bernyali.
"Itu imbalan orang jahat! Lintah darat...!" umpat salah seorang lelaki, sambil menunjuknunjuk ke arah Ki Benen.
"Waduh! Tapi kita bisa gawat, kalau pemuda itu sudah pergi dari sini! Ki Benen akan murka dan kita jadi korban...!" ucap seorang lelaki setengah tua dengan nada cemas.
Sementara itu sambil cengengesan Pendekar Gila mendekati Ki Rasito yang badannya nampak masih lemah. Sena segera merangkul lelaki tua berambut putih itu.
"Terima kasih, Anak Muda," suaranya serak dan tersendat-sendat.
"Ah, Bapak tak usah berterima kasih," jawab Sena ramah.
"Kalau saya boleh tahu, kenapa kedua orang itu berlaku kasar dan kejam?" tanya Sena sambil menggarukgaruk kepala.
"Panjang ceritanya, Anak Muda...!" kata Ki Rasito.

***

Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, menatap Ki Rasito dengan mengerutkan kening.
"Aneh orang tua ini, nampaknya dia tidak merasakan sakit atau terluka.
Aneh"!" batin Sena keheranan.
"Ceritakan apa sebenarnya yang terjadi dengan desa ini" Di sini rasanya tenteram, tapi kenapa ada orang-orang macam binatang yang tak berperikemanusiaan!" tanya Sena sambil menuding ke arah Ki Benen yang masih belum sadarkan diri, tergeletak menindih tubuh Barkah.
"Sudahlah, Anak Muda, tak usah diurus! Kau telah melakukan hal yang baik," kata Ki Rasito, dengan suara serak.
"Kalau kau tidak keberatan, mari ikut Bapak...!" ajaknya kemudian. Kakinya telah melangkah meninggalkan Pendekar Gila. Sena mengerutkan kening memandangi Ki Rasito yang aneh. Sementara itu orang-orang terus bergerombol memandangi Ki Benen dan Barkah yang masih pingsan karena luka dalam.
Sena masih tak mengerti dan menggarukgaruk kepala.
"Ada apa dan siapa orang tua itu...?" gumam Sena dalam hati, lalu segera menyusul Ki Rasito yang sudah agak jauh.
"Kenapa Bapak mengajakku" Apa ada hal penting?" tanya Sena ketika sudah berjalan di samping Ki Rasito, yang kini tubuhnya tidak membungkuk lagi, melainkan tegak. Hatinya semakin merasa aneh dengan lelaki tua itu.
"Hem...!" Ki Rasito menghentikan langkahnya. Begitu juga Sena. Sambil menggarukgaruk kepala dia menatap Ki Rasito yang tersenyum padanya.
"Cepat katakan ada apa sebenarnya, Pak...?" tanya Sena agak mendesak.
"Anak Muda, sejak tadi aku tahu siapa kau sebenarnya. Aku sudah lama menunggu kedatanganmu, Sena!" ujar Ki Rasito malah memojokkan Sena.
"Hah"! Siapa sebenarnya kau ini, Pak Tua"!" tanya Sena heran sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sudahlah, yang jelas aku mengenalmu. Begini, aku utusan dari Kerajaan Kawilangit untuk mencari pendekar yang berilmu tinggi, guna mencari dan membebaskan putri raja yang diculik orang-orang jahat," tutur Ki Rasito pada Sena.
"Lho..."! Kenapa mesti aku, Ki" Kan ada Senapati kerajaan"! Aku sendiri banyak urusan," ka-ta Sena seenaknya sambil cengengesan.
"Raja Balawisesa orang bijaksana dan dermawan. Senapatinya tak sanggup menemukan Putri Palupi.... Saat ini raja menderita sakit, semen-jak putrinya hilang. Apakah kau sebagai pendekar sejati tak akan menolong orang yang sedang menderita jiwa dan batin itu"! Apalagi beliau seorang raja, pemimpin rakyat dari Negeri Kawilangit...!" Ucapan Ki Rasito menusuk hati Sena. Pemuda itu berpikir sejenak, sambil menggarukgaruk kepala.
"Aku tidak memaksa. Terserah kamu." Selesai bicara begitu Ki Rasito segera melangkah pergi tanpa bicara apa-apa lagi. Sena tersentak cepat memburunya.
"Tunggu, Pak...!" seru Sena sambil mengejar Ki Rasito.
"Maaf, kalau begitu baiklah. Sekarang katakan di mana Kerajaan Kawilangit itu?"
"Hm.... Ikut aku!" jawab Ki Rasito.
Lalu keduanya cepat meninggalkan tempat itu, menuju arah utara. Ternyata Ki Rasito memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Se-na menggeleng-gelengkan kepala merasa kagum, sambil mengikuti lari Ki Rasito.
"Orang tua ini rupanya hebat juga ilmunya.
Edan! Aku harus hati-hati. Siapa tahu dia turunan jin atau setan belang," batin Sena lalu, tertawa-tawa.

֍֍֍֍֍¦ ④ ¦֎֎֎֎֎

Lelaki berkedok yang membopong Putri Palupi, masih terus berlari diikuti temannya yang ju-ga berkedok. Mereka melompati tebing dan jurang dengan mudahnya. Hingga dalam waktu singkat keduanya sudah berada di suatu tempat yang aman, jauh dari tempat tadi.
"He he he...! Kita akan dapatkan hadiah besar...!" kata lelaki yang memakai baju dari kulit macan loreng dan celana hitam. Lalu membuka kedoknya. Kini terlihat burik tutul hitam dikulit wajahnya yang merah. Rambutnya dibiarkan teru-rai panjang melewati bahu. Dengan ikat kepala kulit macan pula.
"Benar, Kakang Amangjalu! Tapi, apakah Kakang akan menyerahkan putri ayu ini, sekarang juga pada pemiliknya"!" Toh Jenar bertanya.
Amangjalu menghentikan larinya dan berpikir sejenak. Toh Jenar pun menghentikan langkahnya.
Kemudian membuka kedoknya. Terlihat kini wajahnya yang lonjong dengan dagu lancip. Hidungnya mancung ke bawah pula, persis Jengkis Khan! Matanya tajam dan serba hitam. Ikat kepalanya pun hitam.
"Kita yang mengadu nyawa kenapa orang lain yang akan mendapatkan buahnya?" tukas Toh Jenar lagi.
"Apalagi tangkapan kita kali ini bukan gadis sembarangan, Kakang! Putri raja! Kita bisa mendapatkan keuntungan ganda kalau Kakang mau!"
"Benar. Kau terkadang punya otak encer.
Ha ha ha...!" ujar Amangjalu sambil menepuk-nepuk bahu Toh Jenar dengan tangan kanannya. Kemudian ditepuknya pantat Putri Palupi yang tak berdaya, karena telah ditotoknya. Setelah itu segera melesat, diikuti Toh Jenar.
Udara siang yang panas menyengat tak membuat Amangjalu dan Toh Jenar merasa lelah atau kepanasan, walaupun keduanya sudah berlari cukup jauh. Suara tawa Amangjalu terus menggema di antara tebing-tebing yang curam yang mereka lewati. Dalam waktu singkat Amangjalu dan Toh Jenar sudah sampai di markasnya yang terletak di dekat sebuah telaga. Tempat itu sangat angker. Tak sembarang orang dapat melewati sekitar telaga tersebut. Jika tak memiliki ilmu tinggi akan teng-gelam, tersedot air telaga yang nampak jernih dan tenang.
Bagaikan terbang, Toh Jenar dan Amangjalu yang membopong tubuh Putri Palupi melesat di atas air telaga.
Sampai di seberang Amangjalu cepat memasuki sebuah goa yang mulutnya ditutupi akarakar pohon. Hingga sekilas tak terlihat ada goa di tempat itu.

***

Sementara itu di Kerajaan Kawilangit suasana berkabung masih menyelimuti orang-orang di istana. Tak ada tawa atau suara.
Prakaspati dan Bratamurti nampak murung, sedih menyaksikan rajanya yang terbaring di atas ranjang dalam keadaan sakit.
Kedua senapati kerajaan itu merasa bersalah karena tak dapat menyelamatkan Putri Palupi.
Bahkan sampai saat ini belum juga dapat menemukan di mana Putri Palupi berada. Apalagi mengetahui penculiknya.
Di sana nampak pula Raden Sasakajiwo yang juga nampak cemas dan sedih.
"Bagaimana ini bisa terjadi" Aku menyesal kenapa tak menjemput kalian, ini semua salahku," ujar Raden Sasakajiwo menyalahkan diri sendiri.
"Tidak, kami berdua yang bersalah, Raden.
Maafkan kami! Maka dari itu saya segera memberitahukan Raden karena Paduka Raja ingin bertemu Raden," sahut Prakaspati lalu menjura.
"Sasaka.... Kemarilah...!" terdengar suara serak Raja Balawisesa memanggil Raden Sasakajiwo. Segera Raden Sasakajiwo mendekati raja yang terbaring itu, lalu menjura.
"Kau harus mencari putriku sampai dapat.
Karena dia calon istrimu, Sasaka," pinta Raja Balawisesa lemah.
"Hamba berjanji akan mencari Palupi. Akan hamba bunuh dan cincang penculik itu!" jawab Raden Sasakajiwo geram.
Raja Balawisesa tersenyum pahit menatap calon menantunya itu. Sepertinya merasa tak yakin dengan ucapan Raden Sasakajiwo. Entah kenapa.
"Semoga janjimu itu kau jalani dengan benar," ujar Raja Balawsesa lemah.
Raden Sasakajiwo tersentak ketika mendengar ucapan Raja Balawisesa. Wajahnya seketika berubah dan agak gugup.
"Hamba berjanji...! Sekarang, izinkan hamba kembali ke Candra Mulia...!" pinta Raden Sasakajiwo sambil menjura.
Raja Balawisesa hanya mengangguk. Raden Sasakajiwo lalu melangkah pergi diikuti oleh Prakaspati.
Pada saat itu muncul Ki Rasito diikuti Sena yang nampak santai dan cengar-cengir persis orang gila. Raden Sasakajiwo menghentikan langkahnya, sejenak menatap Sena dengan pandangan sinis. Sena tak acuh dan menggaruk-garuk kepala.
Raden Sasakajiwo masih memandangi Sena yang cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepala.
Raja muda itu mengerutkan kening.
Pada saat itu Ki Rasito memberi salam sambil menjura.
"Apa kabar, Raden...?" sapa Ki Rasito penuh hormat.
"Baik, Ki...," sahut Raden Sasakajiwo terdengar hambar.
Pendekar Gila kemudian menatap Raden Sasakajiwo sambil cengengesan. Matanya beradu tatap dengan mata Raden Sasakajiwo. Rupanya pandangan mata Sena seakan menusuk tajam, hingga Raden Sasakajiwo cepat berpaling, lalu kembali melangkah pergi.
"Siapa pemuda itu" Rasanya aku pernah mengenalnya.... Tingkahnya aneh...."
"Semua tokoh-tokoh rimba persilatan mengenalnya, Raden...," sahut Prakaspati dengan suara mantap.
"Ya, siapa dia"!" tanya Raden Sasakajiwo mendesak Belum sempat Prakaspati menjawab, tibatiba terdengar panggilan dari dalam.
"Prakaspati, Raja memanggil."
"Maaf, Raden! Saya hanya bisa mengantar sampai di sini," kata Prakaspati sambil menjura la-lu segera kembali ke istana.
Raden Sasakajiwo mengerutkan kening, lalu cepat keluar dari situ.
"Tingkahnya aneh, seperti orang gila! Ya.
Aku ingat, mungkin pemuda itu yang disebut Pendekar Gila...!" gumam Raden Sasakajiwo.
"Lantas untuk apa dia datang kemari..."!" tanyanya dalam hati. Pengawal Raden Sasakajiwo membawa kudanya mendekati sang Raja Muda yang sudah berada di halaman istana Kerajaan Kawilangit.
Raden Sasakajiwo segera melompat ke atas kudanya dan memacunya meninggalkan halaman Kerajaan Kawilangit diikuti lima pengawalnya.
Kembali ke ruangan Raja Balawisesa. Raja itu masih terbaring di tempat tidurnya. Kini Sena dan Ki Rasito sudah berada di dekat ranjang raja.
Keduanya duduk bersila ditemani Bratamurti dan Prakaspati yang baru saja duduk di sisi Pendekar Gila.
"Berkat doa Paduka, hamba dapat bertemu dengan pendekar yang Paduka inginkan. Sena Manggala atau Pendekar Gila," tutur Ki Rasito penuh hormat lalu menjura.
Raja Balawisesa berusaha bergerak bangun, lalu bersandar dibantu dua dayang. Matanya menatap ke arah Sena sambil tersenyum. Wajahnya nampak sedikit cerah, tak seperti tadi.
"Aku sangat berterima kasih, kau bersedia datang. Suatu kehormatan yang besar bagiku, karena seorang pendekar sejati yang sangat tersohor bersedia menjumpaiku. Raja yang lemah ini...," ujar sang Raja Balawisesa.
"He he he.... Jangan memuji seperti itu.
Saya hanya manusia biasa, sama seperti yang lain...," sahut Sena polos dan lugu. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Semua yang berada di situ merasa kagum dengan keberadaan Pendekar Gila yang apa adanya, polos dan lugu. Tak tinggi hati.
"Kau benar-benar pendekar sejati. Aku senang dengan jawabanmu yang polos itu." Kembali Raja Balawisesa memuji Sena.
Beberapa saat tak ada kata-kata lagi, hening. Baru kemudian Raja Balawisesa menjelaskan maksudnya, bahwa dia mengharapkan Sena membantu, menyelidiki siapa penculik putrinya. Bahkan kalau dapat membawa kembali putrinya den- gan selamat. Dan raja berjanji akan memberikan hadiah yang berharga pada Sena. Namun Sena menolaknya.
"Saya tak mengharapkan hadiah atau apa saja dari Paduka. Itu tak pernah ada dalam pikiran saya. Kalau memang Raja menginginkan pertolongan, akan saya laksanakan tanpa pamrih. Hanya doa restu Raja yang saya harapkan," jawab Sena masih dengan cengengesan.
Raja Balawisesa mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia merasa kagum dengan pribadi pendekar muda itu.
"Dia benar-benar pendekar berhati mulia dan bijaksana. Kalau saja aku mempunyai putra seperti dia. Alangkah bahagianya hidup ini," kata Raja Balawisesa dalam hati.
Matanya terus menatap ke arah Sena.
"Kalau begitu kami secepatnya akan merundingkan rencana penyelidikan dengan Sena," ujar Ki Rasito kemudian.
"Baiklah. Kuserahkan semuanya padamu, Ki," jawab Raja Balawisesa.
"Kami mohon diri," kembali Ki Rasito menjura lalu pergi diikuti Sena, Prakaspati, dan Bratamurti menuju ruangan lain.
Raja Balawisesa memandang mereka dengan hati lega dan yakin akan keberhasilan Sena untuk menemukan putri tunggalnya yang ingin ditunangkan dengan Raden Sasakajiwo itu.

***

Di sebuah ruang tertutup, Ki Rasito, Sena, Prakaspati, dan Bratamurti membicarakan hilangnya Putri Palupi.
"Memang aneh kalau kita terka. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres!" tutur Ki Rasito.
"Benar. Kami merasa Raden Sasakajiwo sepertinya tak begitu terkejut ketika mendengar berita tentang diculiknya Putri Palupi....' tambah Prakaspati yang duduk di antara Ki Rasito dan Bratamurti.
"Anehnya lagi, kenapa Raden Sasakajiwo yang seharusnya mengirim prajuritnya untuk mengamankan daerah tidak dilaksanakan. Ini yang sangat ganjil menurut saya, Ki...," ujar Bratamurti mengungkapkan pendapatnya.
"Sampai ki-ta kehilangan Kakang Haryo Sasongko dalam pertempuran itu...!" tambah Bratamurti.
Ki Rasito manggut-manggut sambil mengelus-elus janggutnya. Sementara Pendekar Gila nampak menggaruk-garuk kepala. Namun tibatiba Sena menukas.
"Apakah Raden Sasakajiwo itu, lelaki yang tadi ketemu di ruangan raja?" tanya Sena.
"Betul!" jawab Ki Rasito.
"Hi hi hi...! Lucu, dunia ini memang serba aneh, penuh dengan kejadian menyedihkan dari orang-orang licik. Benar-benar edan!" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Apa maksud Tuan Pendekar..."!" tanya Prakaspati ingin tahu.
"Apakah kau mencurigai Raden Sasakajiwo"!" tanya Ki Rasito tanpa ragu-ragu. Sebab, orang tua itu sebelumnya juga menaruh curiga terhadap Raden Sasakajiwo yang merencanakan penculikan atas Putri Palupi.
Sena hanya cengar-cengir dan bertingkah seperti orang gila. Membuat ketiga orang yang di situ senyum-senyum dan merasa aneh melihat tingkah pendekar itu.
"Apa yang kau ucapkan itu sepertinya benar, Ki," jawab Sena, sambil cengar-cengir.
"Kalau kita sepakat menduga seperti itu, aku akan me-nyelidikinya. Aku ingin seorang teman," tambah Sena lalu menoleh ke arah Prakaspati.
"Saya akan mendampingi Tuan Pendekar!" sahut Prakaspati dengan penuh semangat.
"Aku pun ikut, jika Tuan Pendekar menginginkan. Siapa pun penculik dan yang merencanakan penculikan itu, aku bersumpah ingin membalas kematian Kakang Haryo. Aku rela mati...!" ucap Bratamurti dengan geram.
Pendekar Gila hanya tertawa-tawa dan menggaruk-garuk kepala menoleh ke Ki Rasito.
"Terserah pada Ki Rasito saja. Aku senang juga ditemani." Ki Rasito berpikir sejenak kemudian menoleh ke arah Prakaspati dan Bratamurti. Lalu manggut-manggut.
"Kalau kalian berdua ingin membantu Pendekar Gila, aku tidak keberatan. Tapi ingat, jangan ceroboh! Bisa menggagalkan semua rencana Sena.
Terutama kau, Bratamurti, jangan turuti amarahmu!" saran Ki Rasito penuh wibawa.
"Saya akan patuhi pesan itu, Ki," jawab Bratamurti tegas.
"Baiklah. Kalau begitu pagi-pagi sekali kalian harus berangkat ke Kerajaan Candra Mulia...!" ucap Ki Rasito kemudian.

֍֍֍֍֍¦ ⑤ ¦֎֎֎֎֎

Pendekar Gila yang ditemani Prakaspati dan Bratamurti sudah memasuki wilayah Kerajaan Candra Mulia. Ketiganya menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan pakaian orangorang desa. Suasana di sekitar Kerajaan Candra Mulia nampak biasa-biasa saja. Tak ada kejanggalan, hanya saja pengamanan terasa lebih ketat. Tak sembarangan orang masuk. Hampir semua sudut istana kerajaan dijaga dua atau tiga prajurit, dengan senjata lengkap.
"Nampaknya tak ada keganjilan di Candra Mulia, Tuan Pendekar," kata Prakaspati lirih pada Sena. Mereka terus melangkah melewati pintu gerbang kerajaan, di antara orang-orang desa yang berlalu lalang di situ.
"Hi hi hi...! Kelihatannya memang begitu.
Kita tunggu saja!" ucap Sena seenaknya.
"Aku sudah tak tahan ingin segera mengetahui siapa penculik Putri Palupi. Akan kucincang dia!" sahut Bratamurti.
"Sabar, jangan gegabah! Ingat pesan Ki Rasito," tukas Prakaspati.
Mereka berhenti bicara ketika telah berada di bawah pohon rindang tak jauh dari pintu gerbang Istana Kerajaan Candra Mulia.
Dari pintu gerbang keluar dua orang penunggang kuda berwajah garang. Mereka memacu kuda dengan kencang melewati tempat Sena, Prakaspati, dan Bratamurti berteduh. Derap kaki ku-da yang kencang itu menimbulkan debu beterban- gan. Hampir saja seorang wanita dan anaknya kena terjang salah satu kuda yang ditunggangi orang berwajah garang itu. Untung saja Sena cepat melompat dan menyambar wanita setengah baya dan anaknya yang masih kecil.
Gerakan Sena yang cepat dan tak diduga sama sekali oleh Prakaspati dan Bratamurti, membuat kedua senapati itu ternganga dan kagum. Penunggang kuda tak menghiraukan dan terus saja memacu kudanya lebih kencang! "Terima kasih, Anak Muda. Terima kasih...," kata wanita setengah baya itu.
"Hati-hati, Ni...!" kata Sena ramah. Wanita itu mengangguk lalu pergi.
"Apakah kalian mengenal siapa penunggang kuda tadi..."! Nampaknya bukan orang sini," tanya Sena kepada kedua kawannya.
"Ya. Aku tadi masih sempat melihat jelas.
Bahwa kedua orang penunggang kuda ternyata tokoh aliran hitam dari Goa Lawa!" jawab Prakaspati.
"Siapa nama mereka"!" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Amangjalu dan Toh Jenar," jawab Prakaspati lagi "Hah"!" Bratamurti tersentak kaget mendengar nama itu.
"Ada apa tokoh-tokoh sesat itu datang kemari"!"
"Kini dugaan Tuan Pendekar mendekati kebenaran. Mungkin Raden Sasakajiwo bersekongkol dengan kedua tokoh sesat itu untuk menculik Putri Palupi!" tutur Prakaspati.
"Untuk apa Raden Sasakajiwo berbuat begitu"! Bukankah Putri Palupi calon permaisurinya!" sahut Bratamurti dengan suara sumbang.
"Aneh memang! Aku rasa Raden Sasakajiwo punya maksud jahat terhadap Kerajaan Kawilangit," tukas Prakaspati menerka-nerka.
Sena hanya cengar-cengir mendengar ucapan kedua Senapati Kerajaan Kawilangit itu.
"Kita tak usah menerka-nerka, yang pasti fi-rasatku mengatakan ada ketidakberesan pada diri Raden Sasakajiwo!" tukas Sena.
"Mungkin! Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Bratamurti.
"Kita berpencar mencari tahu. Bagaimana"!"
"Tunggu!" seru Sena sambil menunjuk ke arah pintu gerbang istana Kerajaan Candra Mulia, Prakaspati dan Bratamurti menoleh.
Ternyata Raden Sasakajiwo dengan menunggang kuda putih bersama lima orang pengawalnya keluar dari istana kerajaan. Mereka mema-cu kuda-kuda ke arah yang sama dengan dua to- koh sesat tadi.
"Mari, kita ikuti!" seru Sena, lalu melesat pergi disusul Prakaspati dan Bratamurti. Ketiganya menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Hingga ketiganya bagai terbang, terus melesat mengejar rombongan Raden Sasakajiwo.

***

Kuda yang ditunggangi Raden Sasakajiwo berlari kencang diikuti kelima kuda para pengawalnya. Mereka menyusuri jalan tanah yang kering. Debu terus beterbangan karena kaki-kaki ku-da itu. Sementara itu Sena dan kedua Senapati Kawilangit masih terus melesat berlari kencang menelusuri jalan lain, mereka memotong jalan.
Mereka sampai di suatu tempat yang cukup terlindung jauh dari kerjaan. Suatu tempat yang dikelilingi batu-batu cadas pepohonan. Tempatnya di dekat hutan. Kuda Raden Sasakajiwo tiba-tiba berhenti demikian juga dengan kelima pengawalnya. Tak berapa lama kemudian muncullah dua orang dari arah hutan menunggang kuda.
"Kenapa kalian berdua datang ke kerajaan"! Orang-orang pasti curiga. Bagaimana kalau ada orang dari Kerajaan Kawilangit melihat kalian berdua"!" kata Raden Sasakajiwo dengan nada kesal.
"Ha ha ha...! Jangan khawatir, kalaupun ada yang mengetahui hal itu, tak jadi soal. Yang penting putri itu sudah di tangan kita...!" jawab Amangjalu.
"Diam...! Kau bicara terlalu berani!" sambar Raden Sasakajiwo dengan mengacungkan tangan kananya. Sementara itu Sena dan kedua temannya sudah bersembunyi di balik batu-batu cadas. Mereka mendengarkan pembicaraan itu. Bratamurti yang bersifat keras dan pemarah jadi geram.
"Bangsat! Rupanya Raden Sasakajiwo bersekongkol dengan orang-orang sesat itu! Kita tak bisa lama-lama membiarkan mereka begitu saja.
Kita harus cepat bertindak!" ucap Bratamurti dengan marah.
"Sabar! Kita dengarkan pembicaraan mereka lebih lengkap...." tahan Prakaspati.
"Ssst...!" Sena mengisyaratkan agar kedua temannya diam.
"Kenapa kalian tidak serahkan Putri Palupi secepatnya padaku"!" tanya Raden Sasakajiwo yang tampak marah kepada Amangjalu dan Toh Jenar.
"Kau sendiri yang berkata, bahwa sebelum ada perintahmu, putri itu tetap di markas kami," jawab Amangjalu sambil memilin-milin kumisnya yang tebal.
"Tapi keadaan saat ini berubah. Aku khawatir rencanaku diketahui orang-orang Kawilangit!" tutur Raden Sasakajiwo.
"Kalau begitu biar untuk selamanya putri ayu itu tetap bersama kami!" sahut Amangjalu cepat.
"Kurang ajar! Jaga mulutmu, Amangjalu! Aku bisa berbuat apa saja untuk meringkusmu, kalau kau macam-macam!" bentak Raden Sasakajiwo marah.
"Jangan marah dulu, Raden. Kami hanya berkelakar. Tapi kalau Raden takut semua ini akan ketahuan, sebaiknya biar putri itu jadi permaisuri saya saja. Ha ha ha!" sambung Toh Jenar sambil tertawa-tawa.
"Tutup mulutmu! Kurang ajar! Kalian rupanya hendak melawanku"!" seru Raden Sasakajiwo marah.
"Terserah, apa kata Raden! Yang jelas kami telah mempertaruhkan nyawa untuk menculik putri ayu itu! Sepantasnya akulah yang memiliki putri itu," jawab Amangjalu tegas.
"Keterlaluan! Tangkap dia!" perintah Raden Sasakajiwo pada kelima pengawalnya.
Dengan cepat kelima pengawal itu berlompatan menyerang kedua tokoh sakti yang masih duduk di atas punggung kuda.
"Heaaat...!" Wat! Wut! Golok dan pedang membabat ke arah Amangjalu dan Toh Jenar. Namun kedua orang itu hanya tertawa-tawa sambil mengelak dengan meliukkan tubuh, lalu melompat turun sambil berguling. Dan dalam beberapa gebrakan saja kelima pengawal itu sudah roboh di tangan Amangjalu dan Toh Jenar. Melihat kenyataan itu Raden Sasakajiwo tambah marah. Dia melompat turun dan menantang kedua tokoh sesat itu.
"Rupanya kalian berdua menyebalkan! Terimalah ini! Heat...!" Raden Sasakajiwo melesat cepat menyerang Amangjalu dan Toh Jenar dengan keris pusakanya.
Tusukan dan sabetan Raden Sasakajiwo ke arah Amangjalu dan Toh Jenar dapat dielakkan dengan mudah. Keduanya dengan cepat menangkis serta menghindar ke samping serta meliukkan tubuh. Raden Sasakajiwo yang merasa dikhianati sepertinya ingin segera menghabisi kedua musuhnya. Jurus demi jurus mereka lewati, kedua tokoh sesat itu tampak tenang. Padahal Raden Sasakajiwo berusaha keras untuk dapat mengalahkan mereka. Plak! Plak! "Heaaat...!" Srett! Srettt! "Hah..."!" Akhirnya baju Amangjalu tersobek oleh keris Raden Sasakajiwo. Begitu juga Toh Jenar. Keduanya membelalak marah, lalu dengan serentak menyerang Raden Sasakajiwo dengan jurus-jurus aneh.
"Terimalah ini! Heaaattt...!" seru Amangjalu.
"Hah..."!" mata Raden Sasakajiwo membelalak melihat senjata rahasia yang meluncur ke arahnya.
Raja muda itu bersalto ke samping dan berguling ke tanah sambil menangkis dengan kerisnya. Tring! Tring! "Mampus kau, Raden Bodoh!" seru Toh Jenar. Amangjalu rupanya tak ingin memberi ke- sempatan pada Raden Sasakajiwo. Dia terus mencecar dengan senjata rahasianya.
Raden Sasakajiwo mulai terdesak dan kewalahan. Satu senjata lawan hampir saja mengenai kepalanya, kalau saja terlambat menghindar.
Nampak raja muda berwajah tampan itu mulai kecut. Pada saat yang gawat, tiba-tiba..., "Heaat...!" Muncul seseorang dengan bersalto di udara langsung menendang Amangjalu dan Toh Jenar.
Plak! Bukk! "Aaaa...!" Amangjalu dan Toh Jenar yang tak menduga datangnya serangan dari orang yang berpakaian lurik coklat itu, tak sempat mengelak. Tubuh mereka seketika terpental ke belakang.
Namun kemudian cepat berdiri dan memasang kuda-kuda.
"Bangsat! Siapa kau"! Ikut campur urusanku. Mau mengantar nyawa juga rupanya!" bentak Amangjalu.
Sementara itu Raden Sasakajiwo yang masih terkesima dengan munculnya lelaki berompi hanya bisa ternganga.
Pada saat itu Prakaspati melompat dan menotok tubuh Raden Sasakajiwo. Dan cepat membawanya pergi, diikuti oleh Bratamurti.
Melihat itu Amangjalu dan Toh Jenar kaget.
"Hahhh." Keduanya hendak mengejar Prakaspati yang membawa Raden Sasakajiwo. Mereka melompat ke udara. Namun lelaki berompi yang tadi menghajarnya menghadang kedua tokoh sesat itu, dengan pukulan beruntun.
"Hiaaa...!" Plak! Plakk! "Heaaattt...!" Namun Amangjalu dan Toh Jenar dapat menangkis. Ketiganya sejenak bertarung di udara.
Lalu sama-sama turun ke tanah.
Lelaki berompi kulit ular itu ternyata seorang pemuda tampan. Rambut ikal dengan ikat kepala kulit ular. Di pinggangnya terselip sebuah suling kepala naga. Dengan cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, menatap ke arah Amangjalu dan Toh Jenar. Kedua orang itu mengerutkan kening dan kemudian saling pandang.
"Hei! Kenapa kalian tidak menyerangku lagi!" seru pemuda itu sambil cengengesan.
"Tingkah pemuda itu mengingatkan aku pada Pendekar Gila! Mungkinkah dia orangnya"!" gumam Amangjalu dalam hati.
"Kau telah berani ikut campur urusanku.
Kaukah Pendekar Gila, murid Singo Edan"!" seru Amangjalu dengan suara berat.
"Hi hi hi...! Siapa pun aku terserah kau, Penculik-penculik Busuk!" sahut pemuda tampan yang tak lain Sena Manggala yang menyamar dengan pakaian orang desa. Tingkahnya seperti orang gila.
"Kurang ajar! Kau ingin mampus, Anak Mu-da! Heaaa...!" Amangjalu melancarkan pukulan jarak jauh yang mengeluarkan secarik sinar api.
Sena melompat ke samping bersalto. Hingga serangan itu menghantam batu-batu menimbulkan ledakan dahsyat! Glegarrr! Batu-batu itu hancur berantakan.
"Hi hi hi... hebat juga! Kini terimalah ini! Haaat...!" Pendekar Gila dengan gerakan cepat melancarkan serangan balik menggunakan 'Ajian Inti Bayu'. Tangannya dengan cepat disatukan, lalu direntangkan ke atas sambil menggerakkan tenaga dalam alirkan 'Inti Bayu' ke seluruh persendian.
Kemudian ditarik ke bawah dan dihentakkan hingga mengeluarkan deru angin keras ke arah Amangjalu dan Toh Jenar. Kedua orang itu tak sempat mengatasi pukulan itu. Sehingga tubuh keduanya terlempar ke belakang dan jatuh membentur batu-batu cadas.
"Aaaa...!" pekik panjang keduanya terdengar memecah suasana di lembah itu.
"He he he...! Kalian istirahat di situ. Aku masih banyak urusan!" Selesai berkata begitu Sena melesat meninggalkan lawannya yang kelenger.
Namun, Amangjalu dan Toh Jenar ternyata memiliki kekebalan yang luar biasa. Tak ada luka di tubuh mereka, meski terbentur keras batu cadas.
"Bangsat! Aku bersumpah akan membalasnya," ucap Amangalu geram.
"Hanya Pendekar Gila yang memiliki ilmu ajian itu," sahut Toh Jenar kemudian.
"Benar, pemuda itu Pendekar Gila! Kurang ajar! Raden Sasakajiwo menjebak kita! Akan kubunuh dia, sebelum membuat perhitungan dengan Pendekar Gila! Akan kusiapkan peti mati untuk Pendekar Gila!" kata Amangjalu penuh dendam, la-lu tangan kanannya menghantam batu di depan- nya, sebagai pelampiasan amarah.
Prak! Batu itu terbelah dua.

֍֍֍֍֍¦ ⑥ ¦֎֎֎֎֎

Sementara itu Prakaspati dan Bratamurti yang bersumpah akan menghajar dalang penculik, hingga mengakibatkan tewasnya Haryo Sasongko, kini benar-benar melampiaskan kekesalannya.
Atas perintah Raja Balawisesa yang merasa dikhianati, Prakaspati dan Bratamurti menyiksa Raden Sasakajiwo di ruang tahanan.
"Kau manusia tak tahu budi dan tak tahu diri! Karena kau, Kakang Haryo harus gugur di tangan para begal keparat itu! Kini kau rasakan akibatnya...!" seru Bratamurti yang penuh dendam. Menghajar Raden Sasakajiwo.
Bluk! Plak! Plak! "Ukh.... Aaakh... Ampun...! Aku memang bersalah, tapi berilah aku kesempatan untuk bica-ra...!" pinta Raden Sasakajiwo dengan suara lemah. Wajahnya sudah penuh dengan darah dan benjol-benjol. Prakaspati yang lebih memiliki kesabaran menahan Bratamurti yang berwatak keras dan cepat marah.
"Tahan!" perintah Prakaspati pada Bratamurti, "Biarkan dia bicara. Apa maunya. Mungkin dia bisa memberikan petunjuk untuk kita di mana sarang Amangjalu dan Toh Jenar...."
"Ayo bicara! Kenapa kau sendiri yang mempunyai rencana busuk itu..."! Jawab dengan benar! Kalau tidak aku dapat membunuhmu kapan saja!" seru Bratamurti sambil mencengkeram pipi Raden Sasakajiwo. Lalu melepasnya dengan kasar.
"Aku bersalah..., maafkan aku...!" kata Raden Sasakajiwo dengan suara serak dan lemah.
"Aku tidak butuh minta maafmu! Aku inginkan jawaban. Kenapa kau punya rencana buruk itu...!" bentak Bratamurti sambil menampar keras pipi Raden Sasakajiwo.
Ketika Bratamurti ingin menampar lagi, Prakaspati cepat menahannya.
"Beri dia kesempatan berpikir dan bicara la-gi!" kata Prakaspati pada Bratamurti. Sesaat hening. Bratamurti nampak benarbenar benci dengan Raden Sasakajiwo yang mengkhianati Raja Balawisesa.
"Sebenarnya rencana itu memang usulku.
Tapi kemudian niat itu kuurungkan. Namun Amangjalu yang sudah kuundang untuk bekerja sama, mengancam akan memberitakan rencanaku, jika rencana itu kubatalkan. Maka... akhirnya rencana itu berlanjut...," tutur Raden Sasakajiwo memberi penjelasan.
"Kenapa kau tega mengkhianati Raja Balawisesa yang telah mempercayaimu" Apa sebenarnya yang terkandung di otakmu..."!" tanya Bratamurti dengan geram sambil menuding muka Raden Sasakajiwo yang sudah babak belur itu.
"Kau sendiri yang mencari penyakit, Raden!" tambah Prakaspati, "Aku heran seorang Raden berpikiran picik seperti itu. Tak pantas gelar Raden itu kau sandang. Memalukan...! Sekarang cepat katakan, apa tujuanmu menculik Putri Palupi yang akan menjadi permaisurimu...!" Raden Sasakajiwo perlahan mengangkat kepalanya dengan napas terengah-engah. Mulutnya meringis menahan rasa perih dan sakit pada wajahnya yang luka, karena hantaman Bratamurti tadi.
"Sekali lagi, maafkan aku...! Aku memang orang gila! Menculik calon permaisuriku. Itu sema-ta-mata hanya karena aku ingin mengacaukan keadaan Kerajaan Kawilangit. Karena aku merencanakan untuk menguasai Kerajaan Kawilangit ini, jika semua senapati mati di tangan Amangjalu dan Toh Jenar. Terus terang, aku mempunyai perjanjian pada kedua orang itu.... Kini kalau kalian mau membunuhku, cepatlah. Bunuh!" ucap Raden Sasakajiwo lemah. Lalu kepalanya menunduk lagi.
Kedua tangannya yang terikat nampak di pergelangannya mulai terluka oleh besi pengikat.
Prakaspati menghela napas dalam-dalam.
Lalu berjalan mondar-mandir. Sedangkan Bratamurti memandang geram pada Raden Sasakajiwo.
"Aku harus membunuh manusia licik ini! Demi membalas dendam untuk kematian Kakang Haryo Sasongko...," gumam Bratamurti dalam hati.
Perlahan dia mencabut keris di pinggangnya.
Srettt! Prakaspati tersentak kaget melihat Bratamurti yang sudah mengangkat keris, akan ditusukkan ke kepala Raden Sasakajiwo. Cepat Prakaspati menendang tangan Bratamurti yang hendak mengayunkan kerisnya.
Plakk! Keris Bratamurti terjatuh. Bratamurti kaget dan marah pada Prakaspati.
"Kenapa kau halangi aku membunuh pengkhianat ini..."! Apa kau berpihak padanya...!" suara Bratamurti keras. Wajahnya merah padam menahan amarah.
Pada saat itu muncul Pendekar Gila diantar oleh Ki Rasito. Sena menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir melihat keadaan Raden Sasakajiwo.
Lalu memandangi Bratamurti dan Prakaspati.
Ki Rasito mengerutkan kening begitu melihat keris di lantai ruangan itu. Dipungutnya keris itu. Diperhatikan sejenak.
Lalu memberikan pada Bratamurti. Orang tua itu sudah hafal milik siapa keris tadi.
"Aku sudah berpesan, hilangkan rasa dendam dan amarahmu, Bratamurti. Dengan kesabaran mungkin kita akan mendapat sesuatu yang lebih berharga...," ucap Ki Rasito kalem.
"Benar kata Ki Rasito. Dan kita tak boleh berbuat sekehendak hati pada orang ini. Aku tahu dia bersalah. Apa pun alasannya dia tetap bersalah," tambah Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap Raden Sasakajiwo yang menunduk lemah.
"Apa dia sudah mengatakan untuk apa berbuat itu...?" tanya Ki Rasito dan Prakaspati.
Prakaspati tak langsung menjawab. Dia memandang Bratamurti yang nampak menyesal dengan amarahnya itu. Lalu menarik napas dalam-dalam. Baru berkata, "Menurut pengakuannya, hanya ingin menguasai Kerajaan Kawilangit. Dan mendapat ancaman Amangjalu dan Toh Jenar...."
"Huh! Edan!" gumam Ki Rasito, sambil berbalik membelakangi mereka, "Bukan itu saja. Dia ingin menguasai Kitab Sapu Jagad, yang langka dan sangat diinginkan tokoh-tokoh persilatan. Padahal kitab itu sudah hilang sekian tahun lamanya. Entah siapa yang mencurinya...," tutur Ki Rasito melanjutkan ucapannya.
Prakaspati dan Bratamurti merasa kaget dan saling pandang. Namun Sena hanya cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ki Rasito membalikkan badannya lagi menghadap mereka, dengan kedua tangan dilipat ke belakang. Dipandanginya Raden Sasakajiwo.
"Bagaimana pendapatmu, Sena?" tanya Ki Rasito pada Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Kita harus bergerak cepat. Sebelum orang-orang jahat itu menyerang kemari. Yang kita perlukan jalan menuju markas Amangjalu dan Toh Jenar!" jawab Sena dengan tenang.
"Maka kita perlu petunjuk. Dan yang tahu seluk-beluk keadaan markas tokoh sesat itu, dia...," katanya lagi sambil menunjuk Raden Sasakajiwo.
Prakaspati dan Bratamurti tersentak dan saling pandang. Sementara Ki Rasito menganggukanggukkan kepala.
"Jadi maksud Tuan Pendekar, orang ini kita lepas...?" tanya Bratamurti ingin tahu maksud Se-na.
"Ya! Sebab aku dengar jalan menuju markas Amangjalu banyak jebakan yang sangat berbahaya bagi kita...," jawab Sena dengan santai sambil menggaruk-garuk kepala, lalu cengengesan.
"Tapi, bagaimana kalau orang ini melarikan diri...?" sahut Prakaspati.
"Atau menipu dan menjebak kita lagi...?"
"Itu urusan nanti. Yang jelas, kalau dia macam-macam, aku pun tak akan memberinya am- pun," sahut Sena mantap. Lalu kembali cengengesan.
"Sebaiknya kita buat perjanjian dengan dia...," Ki Rasito memberi saran, "Tanya dia baik-baik, mau membantu, atau mati!" Prakaspati memberikan isyarat pada Bratamurti, agar bicara dengan Raden Sasakajiwo, yang nampak sudah makin lemah, karena darah terus mengucur dari luka-lukanya.
"Kami masih memberikan pengampunan, jika kau bersedia membantu kami, menjadi petunjuk jalan ke markas Amangjalu...," kata Bratamurti sambil mendongakkan muka Raden Sasakajiwo.
Dengan tangan kirinya.
Wajah Raden Sasakajiwo yang tampan, kini nampak masak. Mata kirinya bengkak, akibat pukulan Bratamurti. Raja muda itu tak mau menjawab. Melihat itu Sena segera mendekati dan bicara dengan nada kalem, agak lembut "Kami sangat membutuhkan bantuanmu.
Dengan bantuanmu, kami dapat menyelamatkan Putri Palupi. Tentunya kau juga ingin Putri Palupi selamat, bukan...?" bujuk Sena. Mendengar nama Palupi, perlahan-lahan mata Raden Sasakajiwo melirik ke arah Sena. Lalu pada Ki Rasito. Kemudian kembali ia menundukkan kepala. Nampaknya dia sudah tak kuat lamalama menegakkan kepalanya.
"Lepaskan ikatannya. Cepat!" perintah Ki Rasito pada Prakaspati dan Bratamurti.
Segera kedua orang senapati itu melepaskan ikatan tangan Raden Sasakajiwo. Keduanya kemudian membantu Raden Sasakajiwo duduk di lantai. Lelaki itu masih lemas dan terkulai.
Sena segera menotok bagian-bagian tertentu, untuk memulihkan keadaan tubuhnya. Tak beberapa lama Raden Sasakajiwo mulai nampak agak sehat, wajahnya mulai kelihatan tak pucat lagi.
Dipandanginya mereka semua, lalu terhenti pada Bratamurti yang tadi menghajarnya. Namun tak nampak rasa dendam di wajah Raden Sasakajiwo. Hatinya mulai sadar. Selama ini perbuatannya salah. Dan dia rupanya ingin menebus segala kecurangan dan kebusukan hatinya.
"Kukira aku sudah mati. Siapa yang menyelamatkanku...?" tanya Raden Sasakajiwo kemudian dengan memandang keempat orang yang ada di depannya. Ki Rasito menoleh pada Sena yang nampak tenang dan menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
"Dialah yang menyelamatkanmu, Raden," jawab Ki Rasito penuh wibawa.
Raden Sasakajiwo, mengerutkan kening, menatap Sena. Lalu manggut-manggut lemah.
"Ya..., aku ingat. Pemuda itu yang datang bersamamu beberapa hari yang lalu, Ki...," ujar Raden Sasakajiwo pada Ki Rasito.
"Ya. Dialah Sena Manggala atau Pendekar Gila, yang pernah Raden tanyakan dulu, ketika Raden menginginkan bantuan. Karena Kerajaan Candra Mulia itu diserang tokoh-tokoh sesat, termasuk Amangjalu," tutur Ki Rasito menjelaskan.
"Hah"!" tersentak Raden Sasakajiwo mendengar penjelasan Ki Rasito itu," Oh...
aku malu, Ki. Terima kasih, Tuan Pendekar, kau telah me-nyelamatkanku. Aku..., aku berjanji akan membantu kalian pergi ke markas Amangjalu. Dan akan kupertaruhkan jiwa ragaku, untuk membawa Putri Palupi, calon permaisuriku itu...," tekad Raden Sasakajiwo dengan nada tegas.
"Mudah-mudahan janjimu tak kau ingkari, Raden. Saat inilah kesempatan untuk membersihkan namamu yang sudah kotor. Karena hasutan Amangjalu itu...," ucap Ki Rasito kemudian, dengan nada menyindir.
"Aku berjanji, bersumpah akan membunuh Amangjalu yang berbuat curang, khianat padaku...!" terdengar nada penuh dendam dari mulut Sasakajiwo.
"Kalau begitu, sebaiknya kalian cepat berangkat. Tak perlu menangguhkan lebih lama lagi.
Biar nanti aku yang memberitahu raja...," kata Ki Rasito penuh wibawa.
"Ingat, kalian harus patuh terhadap Pendekar Gila. Jangan ceroboh!"
"Baik, Ki," jawab Prakaspati dan Bratamurti berbarengan.
"Raden, maafkan atas kekasaran saya...," kata Bratamurti pada Raden Sasakajiwo.
"Saat ini tak ada yang perlu dimaafkan. Aku menerima semua itu. Karena aku bersalah," jawab Raden Sasakajiwo polos. Lalu keduanya bersala-man.

***

Tak lama kemudian Pendekar Gila dan ketiga temannya sudah berada di dekat Hutan Galasetra. Sejenak mereka berhenti. Mata ketiganya, menyapu sekeliling tempat itu.
Sena yang berada paling depan di antara Raden Sasakajiwo dan Prakaspati, nampak cengar-cengir. Kemudian menggaruk-garuk kepala.
"Apakah kita harus memasuki hutan itu, agar lebih cepat pada tujuan...?" tanya Sena pada Raden Sasakajiwo.
"Tidak, sebaiknya kita lewat pinggir hutan, terus menyeberangi sungai. Itu jalan yang paling cepat dan jauh dari bahaya," jawab Raden Sasakajiwo. Sambil menunjuk ke arah selatan hutan.
Prakaspati saling pandang dengan Sena. Lalu Sena menganggukkan kepala. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan.
Sena berlari dengan cepat, diikuti Raden Sasakajiwo yang berlari di sisinya, kemudian Prakaspati dan Bratamurti.
Kini mereka sudah sampai di tepi sungai di pinggiran Hutan Galasetra. Sungai itu cukup besar, arusnya deras, berkelok-kelok bagai seekor ular raksasa. Tak ada perahu atau rakit di situ.
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan "Rupanya kita harus menyeberangi sungai ini. Tapi tak mungkin. Arusnya terlalu deras, dan mungkin dalam...," kata Prakaspati menyeletuk.
Matanya terus menyapu sekeliling tempat itu.
"Tidak. Sungai ini tak begitu dalam, hanya sebatas pinggang. Ayolah, hari sudah sore...!" ajak Raden Sasakajiwo, lalu dia segera memasukkan kakinya ke air. Diikuti Prakaspati dan Bratamurti.
Sedangkan Sena masih menggaruk-garuk kepala memandangi sekeliling sungai. Kalau saja Pendekar Gila mau dengan mudah dia berjalan di atas air sungai itu dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Namun rupanya Pendekar Gila mempunyai firasat. Dia merasakan adanya sesuatu yang membahayakan di tempat itu. Benar juga dugaan Sena. Baru saja ketiga temannya setombak dari daratan, tiba-tiba muncul manusia-manusia dari dalam air sungai yang tak begitu jernih. Mereka menghadang ketiga temannya. Delapan orang berkepala botak dan bermuka hitam, tanpa baju, hanya memakai cawat dari kulit binatang, telah mengurung Raden Sasakajiwo, Prakaspati, dan Bratamurti. Dan dengan cepat mereka melancarkan serangan. Terjadi pertarungan di sungai. Melihat itu Sena sengaja tak bereaksi.
Dia seakan ingin melihat sampai di mana kehebatan dua Senapati Kawilangit dan Raden Sasakajiwo. Prakaspati dengan gerakan cepat membabatkan kerisnya ke tubuh lawan. Begitu juga Bratamurti dan Raden Sasakajiwo.
Pertarungan mulamula cukup seimbang. Delapan lawan tiga. Namun rupanya kedelapan orang botak bermuka hitam itu lebih menguasai medan air yang arusnya deras. Hingga pada kesempatan yang kurang menguntungkan, Raden Sasakajiwo terdesak dan dikeroyok dua orang.
Wut! wut! Blukk! "Aaaa...!" Raden Sasakajiwo terpekik kesakitan. Melihat itu Prakaspati bermaksud meno- longnya. Namun tiba-tiba seorang dari lawannya telah mengetahui dan seketika menghajar Prakaspati. Dengan gerakan yang sukar dilihat mata, Pendekar Gila melompat. Bagai berjalan di tanah, dengan tendangan dan pukulan dia menghajar sa-tu persatu kedelapan orang botak, penghuni sungai itu. Wesss! Wasss! Plakk! Bukkk! "Aaaakh...!"
"Aaaauuu...!" Pekik dan jerit kedelapan orang botak itu terdengar bersahutan, disusul tubuh mereka ambruk ke air. Tak bergerak lagi.
Air sungai yang tadinya keruh kecoklatan kini berubah kemerahan. Darah mengalir bercampur air sungai. Entah dengan senjata apa Pendekar Gila menghajar mereka. Hingga kedelapan lelaki botak terluka dan mati. Tubuh mereka terapung di air sungai itu. Terbawa arus.
Raden Sasakajiwo dan Prakaspati serta Bratamurti terbengong-bengong melihat kehebatan il-mu yang dimiliki Pendekar Gila.
Ketiganya menggeleng-gelengkan kepala, kagum.
"Gila! Benar-benar aku baru menyaksikan kehebatan pendekar kondang yang disegani kawan maupun lawan itu...," gumam Prakaspati.
"Terima kasih, kau telah menyelematkan kami bertiga...," kata Raden Sasakajiwo, setelah sampai di seberang sungai.
Sena hanya cengengesan dan menggarukgaruk kepala.
"Kita tak boleh lama-lama di sini. Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini!" ajak Sena tegas, "Sekarang arah kita ke mana...?" tanyanya pada Raden Sasakajiwo.
"Kita ke arah sana...," jawab Raden Sasakajiwo, "Biar aku yang berada di depan.
Mari...!" Keempatnya segera beranjak dari tempat itu. Di sungai mayat-mayat kedelapan lelaki botak sebagian masih terlihat mengapung terbawa arus.

***

Setelah sampai di suatu tempat dekat daerah kekuasaan Amangjalu dan Toh Jenar, Raden Sasakajiwo memberikan isyarat dengan tangan nya. Seketika mereka berhenti.
"Sebaiknya kita berpencar. Markas mereka di kaki bukit itu," ujar Raden Sasakajiwo, sambil menunjuk ke satu arah.
"Tapi ingat, jika nanti menemukan telaga. Jangan menyeberangi. Ambil jalan lewat pinggir telaga di sebelah selatan! Ada jalan di lereng bukit sana.
Memang cukup terjal, tapi hanya itulah satu-satunya jalan yang paling aman untuk menghindari ranjau atau jebakan." Sena hanya menggaruk-garuk kepala dan tertawa-tawa kecil. Namun mata dan pendengarannya yang sangat tajam selalu dipasang.
Zing! Zing! Zing! Tiba-tiba puluhan anak panah meluncur ke arah mereka.
"Awas...!" seru Sena sambil melompat dan bersalto mengelakkan panah-panah yang meluncur deras ke arahnya. Begitu juga ketiga rekannya.
"Aaaa...!" Bratamurti terpekik kesakitan, lalu roboh.
Rupanya dia terlambat bergerak mengelak. Pahanya tertancap satu anak panah. Darah tampak mengucur deras dari paha kananya.
Sementara itu Prakaspati dan Raden Sasakajiwo terus berjumpalitan menghindari anak panah itu.
Pendekar Gila, melesat ke arah semaksemak belukar, di situ ternyata orang-orang Amangjalu bersembunyi. Dan tanpa membuangbuang waktu, Sena menghajar pemanah-pemanah liar itu dengan pukulan saktinya, menggunakan ajian 'Inti Brahma'. Dari telapak tangannya mengeluarkan api yang sulit dipadamkan membentuk bola api. Api itu langsung membakar orang-orang yang masih memegangi busur panah. Jerit dan teriakan terdengar dari mereka. Tubuh mereka terbakar oleh api 'Inti Brahma' Pendekar Gila. Kelima pemanah itu bergulingan dan ada yang berlari mencari air untuk memadamkan api yang terus melalap membakar tubuh. Namun tak ada sungai atau air di situ. Akhirnya kelima orang yang ternyata anak buah Amangjalu itu mati dengan tubuh hangus. Raden Sasakajiwo dan Prakaspati kembali terbengong dan kagum. Pendekar Gila kemudian cepat menghampiri Bratamurti yang terkena sasaran anak panah.
"Cepat rebahkan tubuhmu...!" perintah Se-na pada Bratamurti.
"Bantu aku...!" kata Sena pa-da Prakaspati dan Raden Sasakajiwo.
Sena segera membaca mantera dengan sikap seperti sedang sembahyang. Sesaat kemudian dari kedua telapak tangannya keluar asap. Sambil terus merapal mantera, Pendekar Gila mengu-sapkan kedua telapak tangan pada paha Bratamurti yang terluka.
"Cabut anak panah itu, cepat!" perintah Se-na kemudian. Raden Sasakajiwo segera mencabut anak panah dengan ragu.
Crap! "Aaaakh...!" Bratamurti menjerit. Lalu lemas dan pingsan.
"Setelah dia sadar, semua akan beres. Kita tunggu saja!" kata Sena yang kini seluruh tubuhnya dibasahi keringat. Sebab, tadi dia mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya, untuk menyelamatkan nyawa Bratamurti.
"Anak panah itu beracun...," ucap Sena sambil mengambil anak panah dari tangan Raden Sasakajiwo, dan cepat Pendekar Gila melemparkan ke arah batang pohon.
Jlep! Beberapa saat kemudian batang pohon itu tampak mengering. Aneh memang. Tapi itulah kenyataannya. Prakaspati dan Raden Sasakajiwo terheran-heran dan ngeri. Keduanya menghela napas panjang. Lalu memandang ke arah Bratamurti yang masih pingsan.
"Apakah dia akan selamat...?" tanya Prakaspati mengkhawatirkan saudara seperguruan- nya yang masih belum sadar itu.
Sena hanya menganggukkan kepala. Lalu menggaruk-garuk kepala.

֍֍֍֍֍¦ ⑦ ¦֎֎֎֎֎

Pagi kembali hadir, sinar mentari yang cerah menyinari bumi. Sena dan ketiga temannya sudah kembali bergerak menuju markas Amangjalu. Raden Sasakajiwo berada di depan bersama Sena, sedangkan Prakaspati dan Bratamurti di belakang mereka.
"Di balik hutan itu kita sudah sampai tela-ga. Biarlah aku menyelidiki dulu keadaan, kalian tunggu di sini...!" kata Raden Sasakajiwo tiba-tiba sambil menghentikan langkah.
Sena dan kedua temannya mengerutkan kening, sedikit curiga pada rencana Raden Sasakajiwo. Prakaspati dan Bratamurti saling pandang.
"Sebaiknya kita bersama-sama menyelidiki.
Kami khawatir akan keselamatan Raden," kata Prakaspati.
"Betul. Apakah kau yakin di depan sana keadaan aman...?" tanya Sena cengengesan. Lalu menggaruk-garuk kepala dan bertingkah konyol.
Ketiga orang temannya merasa heran dan geli melihat tingkah Pendekar Gila yang persis orang gila. Namun ketiganya mengerti dan tak berani tertawa.
"Jangan khawatirkan aku! Aku telah berjanji, jiwa raga kupertaruhkan untuk menyelamatkan Palupi. Aku sudah pasrah," kata Raden Sasakajiwo sambil terus hendak melangkah pergi.
"Tunggu...!" seru Bratamurti.
Raden Sasakajiwo menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
"Biar aku menemanimu, Raden! Aku pun sudah lama menanam dendam pada manusia keparat itu!" ujar Bratamurti kemudian. Lalu melangkah ke arah Raden Sasakajiwo.
Prakaspati sebenarnya hendak melarangnya, tapi Sena cepat berkata, "Biarlah Bratamurti menemaninya! Kita amati dari jauh...." Bratamurti dan Raden Sasakajiwo segera melesat pergi ketika Sena memberi isyarat dengan menganggukkan kepala.
"Hatihati! Jangan ceroboh, Bratamurti...!" seru Sena memperingatkan Bratamurti yang memiliki sifat pemarah.
Pendekar Gila pun segera pergi mengikuti kedua temannya secara diam-diam diikuti Prakaspati. Sena memberi isyarat agar Prakaspati segera memanjat pohon, untuk melihat keadaan dari atas. Agar lebih jelas. Prakaspati dengan cepat memanjat pohon, gerakannya cepat bagai seekor kera. Sena tersenyum melihat kemampuan Prakaspati. Pendekar Gila kemudian melesat cepat ke satu arah. Menerobos semak belukar di antara pepohonan hutan itu begitu mudahnya, bagaikan berlari di jalan lapang saja.
Swing! Swing! Swing! Suatu benda segitiga warna hitam meluncur deras ke arah Sena. Namun Sena yang memiliki indera keenam sangat peka, segera tanggap. Tubuhnya langsung bersalto dan melompat zikzak, bagai seekor tupai, dari pohon satu ke pohon lain.
Dan pada saat yang tepat, secepat kilat Pendekar Gila melancarkan serangan balik dengan menggunakan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Dari pukulan itu secarik sinar mengandung hawa panas menghantam ke arah lawan yang bersembunyi di balik pepohonan rindang.
Crats! Glarrr! Glarrr! "Aaaaww...!" Seketika terdengar jeritan panjang dari orang-orang yang bersembunyi di balik pohon itu.
Tampak berjatuhan empat sosok tubuh berpakaian serba putih dengan ikat kepala hitam. Semuanya seketika tewas.
Sena menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Matanya memandangi keempat mayat orang tak dikenal itu.
"Ha ha ha...! Hebat kau Pendekar Gila! Sama seperti gurumu si Singo Edan itu. Beberapa tahun lalu aku pernah bentrok dengan gurumu, Anak Muda...! He he he...!" seru seseorang yang ti-ba-tiba melompat dari atas pohon dan mendarat dengan mantap di hadapan Pendekar Gila.
"Aha, kau rupanya yang bernama Toh Jenar. Aku pasti tidak salah terka...!" ujar Sena dengan cengengesan dan bertingkah seperti orang sinting.
"Kau memang pandai menerka. Memang akulah Toh Jenar, penguasa daerah yang penuh warisan nenek moyang ini. Dan, kau perlu tahu, kakangku sudah menyiapkan peti mati untukmu Pendekar Gila...! Ha ha ha...," ujar Toh Jenar bangga, lalu memberi perintah pada kelima anak buahnya yang bersembunyi di atas pohon.
Berloncatan kelima orang bertubuh cebol dan bermuka seram. Mereka seperti anak yang baru berumur tiga tahunan. Kelimanya menurunkan peti mati, terbuat dari kayu jati. Ujung-ujung peti mati itu diikat tali. Dengan tali itu kelima orang cebol menurunkan peti mati dari atas pohon. Tentunya kelima orang cebol itu juga memiliki ilmu yang cukup tangguh. Tak boleh di-anggap remeh.
Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian tertawa-tawa sendiri sambil menggaruk-garuk kepala dan bertingkah laku aneh, seperti orang gi-la.
"Hi hi hi... lucu! Lucu sekali kau ini, Manusia Buruk...!" ejek Sena seenaknya.
Lalu menepuk-nepuk pantatnya.
"Kurang ajar, dasar pemuda gila...! Kau boleh tertawa untuk sesaat, Pendekar Gila. Tapi sebentar lagi kau akan mampus! Serang! Cincang dia...!" perintah Toh Jenar pada kelima orang cebol bermuka seram itu.
Seketika kelima orang cebol itu berlompatan bagai seekor kucing menerkam mangsanya.
Serangan itu begitu cepat dan ganas. Secara bersamaan kelima orang cebol itu bergerak dengan cakar-cakar tangannya yang ternyata mengandung racun.
"Hah"! Jurus Cakar Tengkorak...!" gumam Sena sambil mengelak dengan berjumpalitan ke udara beberapa kali. Karena kelima orang cebol itu terus mencecarnya, tak memberikan kesempatan.
Sementara itu Toh Jenar, mengawasi dengan tajam setiap gerak-gerik Pendekar Gila. Pendekar Gila kemudian menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk menari dengan sesekali tangannya menepuk. Tepukan tangannya yang kelihatan lamban dan lemah, kalau mendarat di dada lawan dapat meninggalkan bekas.
"Heaaa...!"
"Auugg...!" suara kelima orang cebol itu mengaung panjang seperti kucing.
Menyakitkan telinga. Mereka terus mencecar Pendekar Gila secara bergantian.
Serangan mereka terkadang mengarah ke kaki, lalu berobah cepat ke bagian kepala atau dada. Membuat Sena agak kewalahan. Tubuhnya terus meliuk-liuk sambil sesekali tangannya menepuk dada lawan. Dan pada kesempatan yang bagus, Sena berhasil melancarkan serangannya.
Tepukan tangan kanannya tepat mengenai dada salah satu cebol.
Plak! "Eeaaa...!" cebol yang terkena tepukan Sena menjerit aneh. Lalu tubuhnya terpental jauh membentur pohon. Dadanya hangus.
Melihat kawannya terluka, keempat cebol lain semakin ganas menyerang Sena. Kali ini serangan mereka semakin cepat, sambil berputar mengelilingi Pendekar Gila, bagai kumbang akan menyengat mangsanya. Keempatnya melejit ke udara dan melancarkan serangan. Dari telapak tangan mereka mengeluarkan jala terbuat dari kulit pohon berduri. Pendekar Gila seketika terkurung dalam jala itu.
"Kali ini kau akan mampus, Pendekar Gila...!" seru Toh Jenar dengan tertawa-tawa gembira, melihat Sena terkurung dalam jala si cebol.
"Habisi dia...!" perintahnya kemudian dengan suara keras.
Namun baru saja keempat cebol akan menyerang dengan senjata berupa kapak, sesosok bayangan berkelebat. Cepat menghantam keempat cebol, dengan sabetan kerisnya.
Cras! Cras! Cras! "Waaa...!" jeritan keras terdengar seketika dari keempat orang cebol itu.
Pada saat itu Pendekar Gila berusaha keluar dari jala berduri, sambil mengerahkan ajian 'Inti Brahma'. Seketika jala-jala itu terbakar dan Sena cepat melompat keluar.
"Terima kasih Prakaspati...," ucap Sena, lalu melesat ke arah Toh Jenar yang terkesima menyaksikan keempat cebol terjungkal dan terkapar tewas. Tak ayal lagi, tendangan kaki kanan Pendekar Gila mendarat tepat di kepala Toh Jenar.
Seketika tubuh Toh Jenar melintir dan terhuyung ke belakang. Sementara itu Prakaspati mengamati keempat cebol yang terbabat kerisnya. Aneh, seorang dari keempat cebol itu ternyata masih hidup. Dengan cepat bangkit menyerang Prakaspati yang tak menyangka sama sekali.
"Auungg...!" si manusia cebol mengaung keras dan melompat bagai kucing hutan, menerkam kepala Prakaspati. Untung Prakaspati cepat merundukkan kepala ketika mendengar teriakan aneh. Hingga manusia cebol berwajah seram dan kepala besar itu tersuruk ke tanah. Dengan cepat Prakaspati melompat dan menghujamkan keris ke dada cebol yang masih telentang di tanah. Seketika nyawa manusia cebol melayang setelah mengaung lirih Sementara itu Pendekar Gila kini saling adu ilmu dengan Toh Jenar yang ternyata memiliki il-mu tinggi. Kalau saja bukan Toh Jenar yang terkena tendangan maut Sena, tentunya sudah tewas sejak tadi.
"Kau boleh bangga dapat mengalahkan orang-orangku. Tapi kalian berdua tak akan bisa menangkapku, apalagi membunuhku.
Ha ha ha...! Heaaa...!" Sambil tertawa terbahak Toh Jenar melompat mundur. Kakinya ditekuk berlutut, dengan tangan menyilang di dada. Mulut lelaki berwajah buruk itu tampak berkomat-kamit merapal suatu mantera, sementara matanya terpejam rapat. Tak berapa lama mengepul asap hitam bergulunggulung mengangkasa. Perlahan-lahan tampak perubahan di tubuh Toh Jenar. Bersamaan dengan hilangnya tubuh Toh Jenar, seketika dari asap tebal itu menjelma sesosok tubuh yang mengerikan. Tinggi besar, dan hampir seluruh tubuhnya tertutup bulu lebat seperti manusia kera. Rambutnya yang tak beraturan, panjang melewati pung- gung. Gigi-giginya panjang dan runcing.
"Ilmu Iblis!" gumam Sena, "Rupanya ia menganut ilmu Siluman Kera Iblis. Hingga dapat mengubah wujudnya, menjadi manusia berkepala kera iblis." Prakaspati tersentak kaget dan mundur beberapa langkah sambil memasang kuda-kuda. Keris di tangan kanannya menghunus ke depan.
"Haaaung...!" Suara jelmaan Toh Jenar itu terdengar keras, menggema. Tubuhnya melesat menyerang Pendekar Gila. Namun bersamaan dengan itu Pendekar Gila sudah siap memapaki, dengan ajian 'Tamparan Sukma'. Sebuah ilmu yang mampu meleburkan segala macam siluman atau jin dan setan belang.
"Heaaa...!" Jgarrr! Terdengar ledakan dahsyat, tatkala kedua orang itu bertemu di udara mengadu tenaga. Keduanya terpental mundur ke belakang dengan keadaan yang sama. Toh Jenar yang merubah wujudnya menjadi manusia bermuka mirip kera terpelanting roboh dengan keras. Sementara Pendekar Gila tampak berusaha mengegoskan tubuhnya mencari keseimbangan dan berdiri dengan kudakuda yang agak goyah.
Sekejap wujud Toh Jenar yang tadi berupa manusia mirip kera, kembali ke aslinya. Mulutnya meringis dengan mata merah menatap tajam Pendekar Gila.
Prakaspati menggeleng-gelengkan kepala dan terus merasa kagum. Namun dia tetap waspada. Sementara itu Toh Jenar, kembali menyerang Pendekar Gila dengan senjata rahasia. Dari kedua telapak tangannya tiba-tiba melesat senjata berupa benda segitiga berujung runcing dan beracun. Se-na mengelak dengan melenting ke udara sambil berjumpalitan. Sehingga senjata-senjata itu meluncur deras tak mengenai sasaran.
Jlep! "Aaaakh...!" Prakaspati menjerit panjang, tubuhnya roboh ke tanah kelojotan.
Sena yang melihat itu segera mendekati Prakaspati. Kemudian cepat membawanya pergi, dengan melesat cepat mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'.
"Aku harus menyelamatkan Prakaspati dulu...," gumam Sena dalam hati.
"Bangsat...! Kau ternyata pengecut juga Pendekar Gila! Tapi lain waktu kau akan masuk dalam peti mati ini...," sungut Toh Jenar. Lalu menendang peti mati yang ada di depannya.
"Hihhh!" Brakk! Peti mati itu terbang ke udara lalu membentur pohon dan anehnya peti mati itu tak hancur.
Hanya tutupnya yang terbuka. Dan di dalamnya terlihat sebuah patung, mirip dengan Pendekar Gi-la!

***

Pendekar Gila terus berlari bagai anak panah yang meluncur deras. Dalam sekejap dia sudah berada di luar daerah markas Amangjalu. Di tepi sebuah sungai yang sepi dan aman. Di situlah Sena mulai mengeluarkan benda segitiga yang beracun dengan kekuatan tenaga dalamnya. Tanpa memegang, hanya dengan pandangan matanya, benda itu keluar. Dan bersamaan dengan itu, luka di dada Prakaspati mengeluarkan benjolan. Kemudian pecah dan muncullah binatang-binatang kelabang warna merah. Sena yang melihat itu mengerutkan kening. Lalu segera berusaha melakukan penyelamatan untuk jiwa Prakaspati. Namun sayang, rupanya Hyang Widi berkehendak lain.
Prakaspati tak dapat tertolong lagi.
Dengan sangat kecewa Sena menundukkan kepala karena kesal dan merasa bersalah. Sena menghantami dadanya sendiri. Lalu menghela napas dalam-dalam. Dipandanginya tubuh Prakaspati yang membiru, kena racun kelabang merah yang sangat ganas. Racun itu memang cepat bekerja. Padahal Sena sudah berusaha. Namun Yang Kuasa telah menentukan nasib manusia.
"Sebaiknya aku bawa mayat Prakaspati ke Kerajaan Kawilangit. Jasadnya patut dihargai...," ucap Sena dalam hati. Diangkatnya mayat Prakaspati dan segera melesat meninggalkan tempat itu dengan menggunakan 'Sapta Bayu' agar cepat sampai di istana Kerajaan Kawilangit.
Sementara itu, Raden Sasakajiwo dan Bratamurti sudah kembali ke tempat Pendekar Gila tadi berada. Keduanya bermaksud memberikan keterangan. Namun ternyata Sena dan Prakaspati sudah tak ada.
"Ke mana perginya mereka"! Apakah terjadi sesuatu di tempat ini?" gumam Raden Sasakajiwo, seakan bicara pada diri sendiri.
Matanya menyapu sekeliling tempat itu.
"Mungkin mereka menuju telaga, tapi...," suara Bratamurti terhenti, ketika matanya memandang sesuatu di depannya, di dekat pohon.
"Darah...!" gumam Bratamurti dengan mata terbelalak kaget. Bratamurti segera mendekati darah yang tercecer. Raden Sasakajiwo pun meneliti.
"Benar, darah! Apakah Pendekar Gila terluka" Tak mungkin Bratamurti..."!" gumam Raden Sasakajiwo.
"Celaka! Mungkin Prakaspati terluka! Tapi ke mana mereka...?" terdengar suara Bratamurti cemas dan geram.
"Mungkin kembali ke Kerajaan Kawilangit..," sahut Raden Sasakajiwo.
"Tidak mungkin...," gumam Bratamurti, "Tapi mungkin juga," katanya kemudian. Lalu segera melesat pergi, tanpa bicara lagi pada Raden Sasakajiwo. Namun raja muda itu langsung me-nyusulnya, dengan melesat cepat. Keduanya berlari dan melompati batu-batu di jalanan yang berbelok-belok. Bratamurti yang nampak tegang terus berlari di depan Raden Sasakajiwo.
"Tunggu...!" seru Raden Sasakajiwo, "Bagaimana rencana kita?"
"Kita kembali setelah tahu bagaimana keadaan Prakaspati dan Pendekar Gila...!" jawab Bratamurti sambil terus berlari.
Wajahnya tetap tegang diluputi rasa cemas. Raden Sasakajiwo hanya bergeleng kepala, mengikuti Bratamurti.
Sementara itu, Pendekar Gila telah sampai di luar Hutan Galasetra yang terletak dipertenga-han antara Kerajaan Kawilangit dan markas Amangjalu. Namun tiba-tiba bermunculan tiga orang berjubah serba merah menghadang Sena yang memanggul mayat Prakaspati. Sena menghentikan larinya. Dengan cepat ketiga orang berjubah telah mengurung Sena.
"Hi hi hi... lucu! Mengapa kalian menghadangku" Aku tak punya urusan dengan kalian.
Minggir...!" bentak Pendekar Gila yang sudah kesal.
"He he he...! Anak Muda, jangan sombong! Hari ini saat kematianmu!" seru salah seorang di antara mereka.
"Ya! Peti mati ini kami siapkan untukmu...!" sahut yang lain, seraya menghentakkan tangannya ke depan.
Srakkk! Wes! Wesss! Sebuah peti mati melayang di udara, lalu jatuh ke belakang Sena. Pendekar Gila melirik sejenak ke belakang. Hatinya sempat heran dan ka- gum dengan ilmu yang dimiliki orang itu. Lalu cengar-cengir.
"Menyerahlah kau, Pendekar Gila! Peti mati itu khusus untuk tempat tidurmu selamanya. Ha ha ha...!" tambah yang satu lagi sambil memegangi jenggotnya yang lebat kemerahan.
"Siapa kalian ini"! Aku tak pernah bermusuhan dengan kalian. Cepat beri aku jalan! Temanku ini perlu penguburan...," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Tepat. Biar kau dan temanmu itu masuk dalam peti mati itu.... Lebih bagus. Ha ha ha...! Pendekar Gila, kau tak akan bisa lolos da-ri tangan Tiga Iblis Merah dari Sungai Darah!" Sena mengerutkan kening, "Tiga Iblis Merah dari Sungai Darah"! Edan...! Mereka orang-orang sakti dari aliran sesat. Pasti mereka bersekutu dengan Amangjalu," Sena berkata dalam hati.
Tiba-tiba..., "Heaaaa...!" Ketiga Iblis Merah Sungai Darah langsung meluncurkan serangan. Pendekar Gila yang masih memanggul tubuh Prakaspati tampak kurang lincah dalam bergerak. Namun dia tetap masih mampu mengelakkan serangan ganas Ketiga Iblis Merah Sungai Darah. Pukulan dan tendangan mereka begitu cepat dan tak berhenti sekejap pun.
"Edan!" gumam Sena sambil melompat mundur, lalu menaruh tubuh Prakaspati sebentar di tempat aman. Setelah itu Sena menghadapi ketiga lawannya dengan gagah berani. Gerakannya kini sangat cepat dan lincah. Saling pukul dan tangkis, dengan ketiga Iblis Merah Sungai Darah.
"Celaka! Ketiga orang ini tak bisa dianggap remeh!" batin Sena kesal. Karena itu dia segera membuka jurus 'Si Gila Menyambar Ayam'. Tubuhnya tiba-tiba melenting ke udara dengan teriakan panjang dan menggema. Lalu dengan cepat menukik bagai burung elang mencengkeram kepala lawan. Cak! Cak! Cak! "Uts...!" Salah seorang Iblis Merah memekik pelan.
Lalu mundur beberapa langkah dengan tubuh terhuyung. Kepalanya dirasakan pening. Namun tak menjadikan orang itu jera karena kemudian kembali menyerang Pendekar Gila.
"Mampus kau, Bocah Gendeng...!" seru yang lain sambil melancarkan serangan dengan tombak bermata tiga. Setiap ujungnya mengeluarkan bara api. Menusuk ke arah dada dan kepala Sena dengan cepat dan ganas. Disusul dengan tendangan kaki kiri dan kanannya sambil melompat. Hampir saja tusukan iblis mengenai iga Sena, kalau saja tidak segera ditepis dengan tangan kanannya. Tubuhnya bergerak ke samping, dilanjutkan dengan melompat ke udara lalu mendarat di cabang pohon. Tiga Iblis Merah dari Sungai Darah memburu ke atas. Pendekar Gila segera memapak dengan ajian 'Inti Brahma' dari telapak tangannya seketika keluar bola api. Menghantam ketiga orang yang melenting ke arahnya.
"Heaaa...!" Wurrrs...! Jlegarrr...! Ledakan terjadi ketika pukulan 'Inti Brahma' Pendekar Gila beradu dengan tombak Tiga Iblis Merah dari Sungai Darah. Seketika ketiga lelaki tua berjubah merah berpentalan kembali ke bawah. Pendekar Gila segera meluncur mengejar.
Dan begitu sampai bawah, tanpa diduga oleh Pendekar Gila, satu pukulan dari arah belakang, menghantam keras tengkuk Pendekar Gila. Disusul dengan tendangan keras. Sehingga tubuhnya terpental beberapa tombak, lalu bergulingan.
"Aaaa...!" Sena menjerit. Lalu tak bergerak lagi. Pada saat itu Tiga Iblis Merah dari Sungai Darah segera melompat bersamaan hendak menghujamkan tombak mereka ke dada Sena. Namun...
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar suara keras menggema.
Ketiga Iblis Merah serentak membalik. Suara keras menggema tadi ternyata berasal dari mulut seorang lelaki berambut panjang dan berwajah angker. Orang berpakaian serba kuning itulah yang telah menjatuhkan Pendekar Gila.
"Bukankah kita akan membunuhnya, Amangjalu...!" tanya salah satu Iblis Merah dari Sungai Darah dengan kening berkerut.
"Kita masukkan ke dalam peti mati itu pun nanti dia mampus! Apalagi saat ini Pendekar Gila sudah sekarat.,.! Sebentar lagi juga mampus...!" jawab Amangjalu bangga.
Ketiga lelaki tua berjubah merah saling pandang, lalu segera menggotong tubuh Sena yang tak bergerak lagi.
Dengan kasar Sena masukkan ke peti mati yang sudah disiapkan oleh mereka. Baru saja mereka menutup peti mati itu. Muncul sosok bayangan putih berkelebat cepat bagai burung elang, menghajar Amangjalu dan ketiga Iblis Merah.
Amangjalu terhuyung dan roboh dengan memuntahkan darah dari mulutnya.
"Bangsat! Siapa kau...!" seru Amangjalu.
Sedangkan ketiga Iblis Merah seketika tak berkutik lagi. Karena kepala ketiga lelaki berjubah merah itu pecah. Kena hantaman sosok bayangan putih. Bayangan putih itu dengan cepat membawa peti mati yang berisi Pendekar Gila. Dengan mudahnya peti itu diangkat bagaikan barang ringan.
Larinya begitu cepat, laksana terbang. Sehingga dalam sekejap saja telah lenyap dari pandangan.
Amangjalu marah bukan main. Matanya membara penuh dendam.
"Aku bersumpah akan membunuhmu, Pendekar Gila! Tunggu saja saatnya...!" gumam Amangjalu geram karena telah gagal membunuh dan menguasai Pendekar Gila.
Seperginya lelaki berjubah putih yang membawa peti mati berisi Pendekar Gila, tiba-tiba muncul Bratamurti dan Raden Sasakajiwo yang mencari Pendekar Gila dan Prakaspati. Alangkah kagetnya Bratamurti ketika melihat Amangjalu berada di tempat itu. Begitu juga Raden Sasakajiwo.
"Kau rupanya, Raden Bodoh...! Ha ha ha...! Rupanya kalian mau mengantar nyawa, hah"!" ejek Amangjalu, begitu melihat Raden Sasakajiwo.
"Bangsat Licik! Kau memang manusia licik dan busuk, Amangjalu. Ayo, kita adu ilmu...!" tantang Raden Sasakajiwo geram.
"Biar aku saja yang menghadapi, Raden! Manusia keparat ini harus kita cincang!" seru Bratamurti yang sudah berjanji akan membuat perhitungan dengan Amangjalu.
"Ha ha ha...! Kau orang Kawilangit mau menentangku"! Lihat temanmu di sana!" kata Amangjalu sambil menunjuk ke satu arah.
Bratamurti berpaling ke arah yang ditunjuk Amangjalu. Ditajamkan pandangannya.
"Hah"! Kakang Prakaspati..."!" gumam Bratamurti kaget melihat Prakaspati tergeletak berlumuran darah.
"Kurang ajar kau! Kau bunuh dia"! Heaaa....!" Bratamurti dengan penuh amarah menyerang Amangjalu.
"Hiaaaat...!" Tangan Bratamurti dan Amangjalu saling beradu. Raden Sasakajiwo tak mau berdiam diri.
Dia membantu Bratamurti. Karena dia tahu Bratamurti tak akan mampu mengalahkan Amangjalu. Walaupun dia sendiri tak sanggup.
Pertarungan terjadi cukup seru. Nampak Amangjalu dengan mudah mengelak dan melancarkan pukulan balasan pada kedua lawannya yang memang berilmu masih di bawahnya.
"He he he...! Kalian berdua memang mengantar nyawa. Kalian menjadi pengganti Pendekar Gila yang gagal kubunuh! Heaaat...!" Amangjalu mulai mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Jurus Cakar Iblis! Raden Sasakajiwo dan Bratamurti tersentak melihat gerakan Amangjalu yang cepat dan membingungkan.
Amangjalu yang sudah memuncak amarahnya, tak ingin lama-lama lagi menghadapi kedua lawannya. Secepat kilat tubuhnya melompat bersalto di udara. Lalu dengan kedua tangannya yang membentuk cakar, menghantam batok kepala Raden Sasakajiwo dan Bratamurti.
Jrep! Jrep! Krakk! "Aaaa...!" jeritan panjang terdengar bersahutan. Tubuh Raden Sasakajiwo dan Bratamurti berputaran sambil memegangi kepala yang retak akibat jurus 'Cakar Iblis'! Kemudian keduanya roboh dengan isi kepala berhamburan keluar. Seketika itu pula tewaslah mereka.
"Ha ha ha...! Putri Palupi kini sebentar lagi jadi milikku. Ha ha ha...! Kini tinggal Pendekar Gi-la itu. Akan kusiapkan lagi peti mati untuk pemu-da edan itu! Ha ha ha...!" Amangjalu nampak puas dan gembira. Kemudian dia melesat pergi dari tempat itu.
Suasana yang tadi hingar-bingar dengan teriakan dan pertarungan, kini berubah sunyi, mencekam. Bagai kuburan. Darah membasahi tempat itu. Angin kencang tiba-tiba berhembus bagai ingin menghancurkan pepohonan yang ada di situ.

֍֍֍֍֍¦ ⑧ ¦֎֎֎֎֎

Di suatu tempat yang sepi dan terpencil tampak seorang lelaki berjubah putih, berdiri dengan kedua tangan dilipat di dada. Matanya terpejam. Di hadapannya tergeletak sebuah peti mati.
Di dalamnya nampak Pendekar Gila masih belum bergerak. Sepertinya mati.
Lelaki berumur tujuh puluh tahunan itu sepertinya tengah membaca mantera. Mulutnya berkomat-kamit. Lalu perlahan kedua tangannya yang dilipat di dadanya direntangkan ke samping.
Lalu disatukan telapak tangannya. Sesaat kemudian dari kedua telapak tangannya keluar asap kebiruan. Lalu....
"Heaaa...!" lelaki tua itu menghentakkan kedua tangan menghantam ke arah Pendekar Gila yang berada di dalam peti mati.
Sratss...! Blarrr! Secarik sinar perak menerangi tempat itu.
Disusul dengan asap kebiruan. Kemudian berubah menjadi putih bersih. Seketika tubuh Pendekar Gi-la bergerak. Dan bergerak bangun. Seperti orang terbangun dari tidurnya.
"Hah..."!" gumam Sena setelah melihat keadaan tempat itu. Asap pun masih menyelimuti tubuhnya. Hingga Sena yang berada di dalam peti mati tak mengetahui di mana dirinya berada.
Pelahan-lahan asap putih bersih itu hilang.
Samar-samar Pendekar Gila mulai dapat melihat.
Diusap-usap kedua matanya. Lalu menajamkan pandangannya. Sosok lelaki tua tengah berdiri di hadapannya tengah menatap Sena dengan tajam. Sena tersentak kaget melihat lelaki berjubah dan berambut putih di hadapannya. Apalagi ketika lelaki tua itu cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, bertingkah seperti orang gila. Persis seperti tingkahnya sehari-hari. Sena segera keluar dari peti mati dan cepat menjura memberi hormat pada lelaki itu.
"Eyang Guru...! Ampuni aku...!" seru Sena dengan sangat gembira, begitu tahu bahwa lelaki itu tak lain Singo Edan, gurunya.
"Hi hi hi...! Kau ini lucu, Sena. Telah bikin malu aku. Kenapa kau sampai bisa dipecundangi oleh orang-orang keparat itu...!" ucap Singo Edan, sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Sena tak menjawab, masih menundukkan kepala. Lalu menggaruk-garuk kepala pula sambil cengengesan seperti orang gila.
Seperti Singo Edan.
"Sekali lagi ampun, Guru! Saya mungkin terlalu ceroboh...," jawab Sena setelah berpikir. Dia mengangkat kepalanya menatap sang Guru yang tetap nampak masih gagah dan perkasa. Walau usianya sudah tujuh puluh tahunan. Badannya masih tegap dan berotot. Pandangannya tajam penuh wibawa.
"Ah ah ah.... Bukan kau yang ceroboh, Sena. Mereka memang memiliki ilmu kanuragan dan silat yang cukup tinggi. Tapi mereka orang-orang licik. Untung aku merasakan keadaanmu. Perasaan dan pikiranku selalu ingin menemuimu. Kalau saja terlambat sekejap saja menotok jalan da-rahmu, nyawamu akan melayang...," tutur Singo Edan sambil menggaruk-garuk kepala lalu duduk bersila di atas gundukan tanah di depan Sena.
Sena menggaruk-garuk kepala, agak lama dia mengingat kejadian yang menimpa dirinya. Di-pegang wajahnya lalu kepala, lalu memeriksa badannya. Hanya terlihat sedikit darah mengotori pakaian rompi kulit ularnya.
"Bersyukurlah pada Hyang Widi! Dia telah menyelamatkan kau dari kematian...! Kau lihat pe-ti mati itu, sengaja mereka buat untukmu, Sena...," tutur Singo Edan lagi. Tangan kanannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Kemudian cen- gengesan.
"Ooo. Kalau saja Guru tidak datang... tentu aku sudah jadi makanan rayap...!" ucap Sena dengan nada sedikit berseloroh. Lalu cengengesan dan menggaruk-garuk kepala seperti gurunya. Keduanya nampak begitu akrab.
"Hi hi hi.... Kau memang mirip aku, Sena.
Aku bangga. Tapi ingat, jangan ceroboh lagi!" Sena menunduk sebentar, lalu menatap Singo Edan lagi. Nampak dia memikirkan sesuatu.
Kemudian..., "Aku merasa berhutang budi pada Prakaspati. Dia mati karena ingin membantuku. Aku belum sempat membawa mayat Prakaspati ke Kerajaan Kawilangit. Aku malu, Guru.... Juga bagaimana nasib Raden Sasakajiwo dan Bratamurti.
Mungkinkah keduanya selamat atau...," Sena tak meneruskan ucapannya. Wajahnya nampak cemas dan bingung.
"Hi hi hi... Sena. Sebagai muridku, jangan suka cemas atau tegang menghadapi kenyataan hidup ini. Biarlah aku yang datang ke Kerajaan Kawilangit. Semuanya akan beres. Kau tak bersalah. Aku juga ingin bertemu dengan Ki Rasito teman seperguruanku," ucap Singo Edan tegas. Mendengar nama Ki Rasito disebut oleh Singo Edan, Sena jadi lega. Kalau begitu memang benar Ki Rasito satu aliran dengan dia dan gurunya.
"Sekarang kau harus cepat kembali dengan tugasmu, menyelamatkan Putri Palupi!" kata Singo Edan, sambil mendekati Sena yang masih duduk. Ditepuknya bahu Sena dengan tangan kanan. Lalu tiba-tiba Singo Edan tanpa diduga menyerang Sena dengan pukulan. Sena cepat beraksi menangkis pukulan Singo Edan. Lalu bersalto ke belakang.
Singo Edan terus mencecar-nya dengan sabetan kaki dan pukulan yang cepat. Membuat Sena harus jumpalitan sambil berusaha menyerang dengan jurus yang sama dengan Singo Edan. Rupanya Singo Edan sengaja berbuat begitu, ingin melihat apakah murid tunggalnya masih cepat tanggap dan peka. Sekaligus memberi pelajaran singkat pada Sena. Bagaimana menangkis dan menyerang lawan. Dengan tubuh berputar bagai kipas angin di udara, tiba-tiba Singo Edan melakukan tendangan keras ke arah Sena.
Wess! Wesss! "Heaaa...!" Plak! Plak! Plak! Degk! Bluk! Sena mengelak dan membalik menyerang gurunya. Singo Edan yang diserang, sepertinya sengaja memberikan kelonggaran pada Sena. Dia ingin melihat kecepatan dan kewaspadaan murid tunggalnya itu. Hampir saja kepala Singo Edan terkena tepukan Sena yang menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' digabung dengan jurus 'Si Gila Mencengkeram Mangsa'.
Singo Edan melompat ke atas pohon dan tahu-tahu sudah duduk bersila di cabang pohon kecil. Anehnya ranting kecil itu tak patah. Ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna.
"Hi hi hi...! Aku bangga. Ternyata kau semakin pintar, Sena. Tapi ingat, sekali ini kau jangan lengah sekejap pun. Karena lawanmu itu berilmu sangat tinggi dan penuh tipu muslihat! Kau harus hati-hati! Gunakan otakmu lebih banyak...! Sekarang, cepat berangkat. Jangan permalukan aku, Sena...!" ujar Singo Edan. Lalu menggaruk-garuk kepala dan bertingkah persis Sena. Seperti orang gila.
Singo Edan melompat turun. Sena segera menjura beberapa kali. Dan kemudian berdiri. Di-peluknya sang Guru erat-erat "Doaku bersamamu, Sena. Cepat pergi. Selesaikan dengan baik!" ucap Singo Edan tegas di telinga Sena.
"Baik, Guru. Saya mohon diri...," jawab Se-na. Lalu segera berbalik dan melesat menghilang dari pandangan Singo Edan.
Nampak di wajah lelaki itu tersirat rasa rindu yang dalam pada murid tunggalnya itu. Sebenarnya Singo Edan masih ingin lebih lama bersama Sena. Demikian juga Sena. Hatinya merasa berat meninggalkan sang Guru. Namun tugas belum selesai. Dengan berat hati Pendekar Gila harus meninggalkan gurunya. Menyelesaikan urusan dengan Amangjalu yang hampir berhasil membunuhnya, serta menyelamatkan Putri Palupi.
Sena terus melesat dengan menggunakan lari 'Sapta Bayu'-nya agar cepat tiba di markas Amangjalu.

***

Setelah melewati hutan, jurang, sungai, dan tebing-tebing batu cadas, akhirnya Sena sampai di telaga menuju markas Amangjalu. Segera Pendekar Gila menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk berjalan di atas air telaga, agar tidak melewati jebakan.
Sesampai di mulut Goa Lawa yang tertutup dengan akar-akar pohon dan pohon rambat, Sena segera menyusup masuk. Suasana di dalam goa remang-remang. Hanya ada sebuah obor menempel di dinding goa berbatu cadas.
Jalan berkelok-kelok. Sena terus menyusuri jalan itu. Namun tak ada seorang pun di dalam goa.
"Mungkinkah di sini ada goa lain..."!" tanya Sena dalam hati lalu berpikir sejenak, baru kemudian memutuskan untuk keluar dari goa itu. Kare-na goa itu memang kosong. Sena terjebak lagi.
Begitu sampai di mulut goa, ternyata pintu goa telah tertutup batu besar. Sena tersentak. Ke-ningnya berkerut tajam sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sial! Aku terjebak lagi rupanya. Kurang ajar...!" sungut Sena. Lalu dengan cepat dia menggerakkan kedua tangannya. Telapak tangannya disatukan, kemudian setelah menarik napas dalam-dalam, dengan pelan dibukanya ke samping.
Kemudian ditarik ke belakang membentuk siku.
Lalu dengan telapak tangan terbuka, bergantian menghantam. Itulah jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' "Heaaaa...!" Wusss! Jeglarrr! Ledakan terdengar keras ketika batu besar yang menutup goa terhantam jurus dahsyat Pendekar Gila. Seketika batu itu hancur berkepingkeping. Sena menghela napas lega, lalu melesat cepat keluar dari goa. Dan kemudian melompat ke atas pohon dengan bersalto beberapa kali. Dari atas sana Pendekar Gila mengamati keadaan sekelilingnya.
"Rupanya ada goa lain. Ah ah ah...! Bodoh sekali aku. Tapi di mana goa yang satu lagi...?" tanya Sena dalam hati. Kemudian menggarukgaruk kepala dan cengar-cengir.
Pandangannya dipertajam. Dengan memakai indera keenam, Sena akhirnya dapat mengetahui, kalau ada orang-orang yang sengaja akan mencelakakannya lagi.
Benar. Ketika Sena melompat turun tiga orang dengan beringas kontan menggebrak menyerang Pendekar Gila. Dengan ganas mereka menebaskan golok. Suasana di Hutan Galasetra yang semula tenang, kini terdengar suara teriakan-teriakan pertarungan.
Selain itu beberapa pohon tumbang terbabat senjata dan terhantam pukulan. Rerumputan morat-marit terinjak kaki mereka. Bahkan binatang hutan nampak berlarian ketakutan.
Pendekar Gila menghadapi keroyokan tiga orang lawan, masih tampak tenang. Dengan jurus 'Gila Melempar Batu', dia berusaha menggempur pertahanan ketiga lawannya.
"Hea!"
"Hi hi hi...! Kalian benar-benar seperti tikus sawah," ejek Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian tangannya kembali bergerak seperti melempar batu menyerang lawan-lawannya. Ketiga lelaki beringas tersentak kaget, ketika dari gerakan melempar yang dilakukan Pendekar Gila melesat gumpalan angin menderu keras ke tubuh mereka.
Angin kencang itu, seketika menahan serangan yang tengah dilancarkan.
"Ilmu Edan!" maki Warkas. Dia berusaha menerobos serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun, angin yang menderu ke tubuhnya dirasakan begitu kuat. Sulit bagi Warkas untuk menembus pertahanan Pendekar Gila.
"Benar-benar ilmu edan!"
"Hi hi hi...! Kalian persis tikus sawah. Hua ha ha!"
"Pemuda Edan, kubunuh kau!" maki Warkas. Lelaki bertubuh gemuk dengan alis tebal dan hidung mancung itu marah karena tak mampu berkutik, terkurung angin topan dari tangan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya melompat ke sana kemari seper- ti monyet, sambil menggaruk-garuk kepala.
"Lucu sekali...! Kalian seperti tikus sawah dikejar kucing.
Hi hi hi...!"
"Bedebah! Pemuda edan itu harus segera kusingkirkan!" maki Toh Jenar, melihat ketiga tangan kanannya terdesak, dan tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya melesat memburu Pendekar Gila. Kemudian dengan jurus 'Sapuan Topan'-nya dia menghalau pukulan yang dilemparkan Pendekar Gila.
"Hancur tubuhmu, Pemuda Edan! Hih...!"
"Aha, kebetulan sekali kau ikut campur, Toh Jenar! Hi hi hi...!" Dengan melompat seperti monyet, Pendekar Gila mengelakkan pukulan yang dilontarkan Toh Jenar. Wrt! Jlegarrr...! Ledakan dahsyat terdengar, mengakibatkan tanah yang terkena hantaman pukulan Toh Jenar hancur dan berhamburan. Hawa panas seketika menyelimuti suasana di hutan itu. beberapa pohon besar ikut hancur dan tumbang terkena pukulan dahsyat itu.
"Hi hi hi...! Kurang tepat!" ejek Sena meng-goda. Hal itu membuat Toh Jenar semakin marah. Matanya melotot sengit. Napasnya mendengus. Lalu kedua telapak tangannya disatukan di dada, seperti hendak memusatkan tenaga dalam.
"Pemuda Edan! Kini terimalah pukulan 'Gelap Ngampar' -ku! Heaaaa...!"
"Aha, ku tahu pukulanmu bernama 'Gelap Gulita'. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil melompat ke samping ketika tangan Toh Jenar menghantam ke tubuhnya. Wuttt! Jlegarrr...! "Hi hi hi...! Masih kurang tepat!" goda Sena sambil melompat-lompat kegirangan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya yang cengengesan membuat Toh Jenar semakin geram dan marah.
"Kurang ajar! Kau benar-benar harus mampus, Bocah Sinting! Yea...!" Toh Jenar yang merasa telah dua kali terganggu karena campur tangan Pendekar Gila, semakin geram dan marah. Tangannya yang berkuku panjang, bergerak menyambar dan mencengkeram tubuh pemuda itu.
Mendapat serangan begitu cepat, tidak membuat Pendekar Gila kalang kabut. Tingkahnya justru semakin konyol. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila balas menye- rang. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali telapak tangannya menepuk ke dada lawan.
"Hi hi hi...! Heaaaa...!"
"Hah...!" Toh Jenar tersentak kaget, melihat serangan lawan tiba-tiba telah berada dekat dadanya.
Padahal gerakan Pendekar Gila nampak sangat lambat dan lemah. Namun entah bagaimana tibatiba telah memburu tubuhnya dengan tepukan yang mengeluarkan desiran angin panas dan keras.
"Hi hi hi...!"
"Jurus edan!" maki Toh Jenar sambil melompat mengelakkan serangan. Kalau kurang ce- pat melompat mundur, niscaya dadanya terkena pukulan Pendekar Gila.
Setelah mengegoskan kaki ke samping, Toh Jenar bergerak mencakarkan tangannya ke muka lawan. Namun, dengan cepat pula, Pendekar Gila menarik kepalanya ke belakang mengelakkan cakaran itu. Kemudian dengan kepala menunduk, kembali menepukkan tangannya ke dada lawan.
"Hiaaa...!"
"Hait! Edan! Jurus Edan...!" maki Toh Jenar sambil melompat ke samping kiri.
Serangan Pendekar Gila meleset.
Sementara itu anak buahnya yang tadi bertarung dan dihajar oleh Sena terbengong-bengong melihat permainan Pendekar Gila yang sangat tangguh. Semakin bertambah kaget mereka ketika melihat apa yang kini terjadi. Toh Jenar tampak terdesak dan harus berjuang mati-matian untuk dapat melepaskan diri dari buruan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Pemuda ini terlalu berbahaya bagiku," gerutu Toh Jenar dalam hati.
"Tak ada kesempatan bagiku kalau terus begini. Aku harus pergi dari sini "Hi hi hi...! Apa yang kau pikirkan, Jenar"! Kau harus segera dikirim ke akherat sana. Hea...!" Pendekar Gila mempercepat jurusnya. Kali ini kedua tangannya ditarik ke belakang. Lalu dile-takkan di pinggang dengan jari-jari terbuka. Itu awal dari jurus yang dahsyat 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Belum sempat Pendekar Gila melakukan serangan, Toh Jenar telah mendahului dengan melemparkan suatu benda ke Pendekar Gila.
Jlegar! Asap hitam membumbung menutupi pandangan mata Pendekar Gila. Saat itu juga, Toh Jenar melesat meninggalkan tempat pertarungan.
"Kurang ajar! Dia pergi...!" seru Sena sengit, lalu melesat mengejar Toh Jenar.
Namun Toh Jenar sudah lenyap dari pandangan. Begitu cepat Toh Jenar menghilang seperti hantu. Dengan hati kesal Sena tampak menggaruk-garuk kepala.
"Toh Jenar benar-benar tak ada jeranya.
Kampret! Kalau dia masih saja bandel, aku terpak-sa membunuhnya. Itu jalan satusatunya agar aku dapat cepat menemukan markas Amangjalu yang benar...!" gumam Pendekar Gila sambil terus menuju ke sebelah utara.

֍֍֍֍֍¦ ⑨ ¦֎֎֎֎֎

Sementara itu di dalam salah satu ruangan di sebuah goa, tampak seorang wanita muda cantik dan berkulit kuning langsat meratapi nasibnya.
Menangis tersedu-sedu. Di dalam ruangan wanita muda itu ditemani seorang perempuan setengah baya yang wajahnya cukup cantik. Nampak dia mencoba menghibur wanita muda yang berambut panjang sampai sebatas pinggul.
"Sudahlah Den Ayu, tak usah menangis! Kita ini senasib. Berdoa saja! Meminta keselamatan pada Hyang Widi. Kalau terus menangis, tak ada gunanya, Den Ayu Palupi...," bujuk wanita setengah baya yang hanya memakai kemben untuk menutupi dadanya. Dari kain lurik warna coklat tua.
Wajahnya pun nampak sedih, melihat Palupi.
"Lebih baik aku mati saja, Ni. Daripada hidup dalam cengkeraman manusia berhati iblis dan licik itu. Tak ada harapan lagi rasanya untuk bertemu dengan ayahku.
Oh, Hyang Widi tolonglah kami...!" keluh Putri Palupi sambil menangis tersedu-sedu. Wajahnya nampak pucat dan kurus. Ka- rena tidak mau makan atau minum selama dalam cengkeraman Amangjalu. Namun untung keperawanannya sampai saat ini masih dapat dipertahankan. Hanya ketakutan dan kecemasan terus menyelimuti hati Putri Palupi. Karena suatu saat Amangjalu akan memperkosanya juga. Itulah yang membuat dirinya semakin cemas dan setiap saat ketakutan.
"Mudah-mudahan Hyang Widi melindungi Den Ayu Palupi! Orang jahat macam Amangjalu itu pasti umurnya tidak panjang," tutur Ni Sukarwati dengan nada sinis.
Palupi menoleh pelan ke arah Ni Sukarwati, lalu bertanya dengan suara serak sambil terisak.
"Bagaimana Ni Sukarwati bisa sampai di sini...?"
"Mirip dengan Den Ayu. Tapi saya anak orang desa. Dua puluh tahun yang lalu, Amangjalu dan antek-anteknya membakar Desa Parangtilu.
Mengambil harta penduduk desa, serta memperkosa anak gadis, atau wanita yang dianggap cocok dengan mereka. Termasuk aku sendiri, sampai sekarang. Hanya untuk melayani nafsu setannya.
Kami semua di sini tak ada yang berani melawan.
Semua takut mati...," tutur Ni Sukarwati dengan wajah sedih. Tanpa disadari matanya sudah ber-genang air bening.
Palupi merasa terharu mendengarnya. Karena ternyata nasib Ni Sukarwati mirip dengannya.
"Ingin rasanya keluar dari tempat ini. Namun rasanya tak mungkin. Mungkin aku sudah ditakdirkan akan hidup begini. Den Ayu...," suara Ni Sukarwati memelas. Air matanya pun semakin deras membasahi kedua pipinya.
Palupi tiba-tiba terbawa perasaannya. Dia memeluk Ni Sukarwati. Palupi memeluknya eraterat. Seakan dia melampiaskan kerinduan akan kasih sayang dan pelukan seorang ibu. Karena sudah dua tahun Palupi ditinggal mati ibunya.
"Dulu saya mempunyai seorang ibu yang sebaya dengan Ni Sukarwati. Tapi sudah meninggal dua tahun lalu.... Rasanya, aku ingin dekat dengan Ibu, Ni,..," ucap Palupi dengan tangisnya.
"Jangan bicara begitu Den Ayu! Tak baik.
Semua manusia memang merencanakan segala sesuatunya. Tapi Hyang Widi yang menetapkan.
Hidup, mati, senang, dan susah...," tutur Ni Sukarwati penuh perasaan. Membuat suasana sangat haru. Keduanya hanyut dalam perasaan sedih dan memilukan. Brakkk! Tiba-tiba suasana haru itu dirusak oleh suara pintu dibuka dengan kasar.
Palupi dan Ni Sukarwati tersentak kaget Melepas pelukan dan menoleh ke pintu.
"Ha ha ha...! Kalian ini sama-sama perempuan kok berpelukan. Yang pantas pelukan dengan aku...!" kata seorang lelaki tangan kanan Amangjalu. Seraya melangkah mendekati keduanya, lalu mencoba memeluk Palupi.
"Aaa.... Jangan...!" teriak Palupi.
Namun orang itu terus memaksa dengan menarik-narik lengan Palupi. Ni Sukarwati segera menendang perut lelaki itu sekuat tenaga. Dan tendangan kedua kalinya mendarat di kemaluan lelaki itu. Bug! "Aaawwuu...!" lelaki itu menjerit kesakitan sambil memegangi kemaluannya.
"Kalau kau berani lagi menjamah Den Ayu Palupi, akan kuadukan pada Amangjalu...!" ucap Ni Sukarwati marah, sambil bertolak pinggang. Bi-ar bagaimana, Ni Sukarwati masih disegani, kare-na dia termasuk orang kepercayaan Amangalu. Lelaki itu ketakutan mendengar ancamannya.
"Maaf, Ni... uh! Jangan adukan saya. Tolong! Saya kemari hanya diperintah untuk membawa Putri Palupi dan Ni, ke ruangan khusus. Ini perintah atasan...!" ujar lelaki itu. Masih memegangi burungnya.
"Oooh..."!" desah Palupi cemas. Lalu mera-patkan tubuh pada Ni Sukarwati.
"Tak usah khawatir. Tenang, kau menuruti perintahnya jika ingin selamat. Mudah-mudahan Hyang Widi memberikan pertolongan, menyelamatkanmu. Den Ayu...," hibur Ni Sukarwati, memberikan ketabahan pada Palupi.
Lalu segera Ni Sukarwati membawa keluar Palupi. Diikuti oleh lelaki tadi.

***

Sena terus melangkah menuruni jalan berdebu di antara tebing cadas. Hari semakin sore ketika pemuda itu memasuki sebuah desa kecil yang porak-poranda. Langkahnya terhenti. Matanya memandangi sekeliling desa kecil itu. Yang tampak hanya serakan mayat-mayat di sana-sini. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam. Ia menggelengkan kepala.
"Edan! Ini pasti perbuatan Amangjalu dan antek-anteknya.... Huh...!" runtuk Sena.
Asap mengepul hampir di seluruh desa. Entah apa nama desa itu, Sena sendiri tak mengenalnya. Dia kembali melangkah perlahan. Diperha-tikannya sosok mayat perempuan dengan seorang anak kecil yang mati secara mengerikan di sebelahnya. Wajah dan dadanya hancur. Darah di tubuh keduanya telah mengering.
"Keparat...! Aku harus cepat membinasakan manusia iblis itu!" desis Sena penuh luapan kemarahan. Tiba-tiba sebuah gerobak besar muncul dari ujung desa sebelah utara. Sena segera waspada.
Pandangannya tak lepas pada gerobak yang ditarik dua ekor kuda. Binatangbinatang itu tampak le-tih. Itu bisa terlihat ketika kedua kuda yang menarik gerobak berhenti di depan sebuah runtuhan rumah di ujung jalan desa itu.
Sena cepat mendekati gerobak itu. Kusirnya seorang lelaki muda beralis tebal dengan bibir dower. Dia turun dari gerobak. Mata sebelah kanannya rusak. Dia tampak acuh, seakan tak melihat Sena yang berada setengah tombak dari gerobak.
"Sobat! Barang apa yang kau bawa?" tanya Sena ingin tahu.
Kusir yang ditanya hanya angkat bahu sambil terus melangkah.
"Kalau mau tahu, periksa saja," ucapnya serak, tanpa memandang Sena.
Pendekar Gila mengerutkan kening, lalu menggaruk-garuk kepala.
"Orang ini aneh!" gumam Sena dalam hati. Lalu didekatinya gerobak itu untuk diperiksa. Tangannya segera menyingkap sebuah karung. Sena terkejut. Matanya membelalak.
"Mayat manusia!" desisnya.
Pendekar Gila menoleh ke arah kusir tadi berada. Namun kusir gerobak itu sudah lenyap entah ke mana. Suasana jadi makin mencekam. Ha- tinya sedikit was-was.
"Kurang ajar, aku telah masuk daerah kekuasaan Amangjalu. Dia ternyata ingin mencoba ilmu setannya.... Edan!" maki Sena setengah berteriak. Sena cepat melesat meninggalkan tempat itu. Baru saja kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba beberapa benda tajam berbentuk anak panah meluncur ke arahnya. Sena yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan, tak tanggungtanggung menangkis senjata-senjata itu. Kedua telapak tangannya dihentakkan, hingga ajian 'Si Gila Melebur Gunung Karang' menghantam senjata-senjata itu.
Glar! Glar! Kilatan cahaya merah melebur senjatasenjata itu hingga hancur. Bersamaan dengan itu, terdengar pekikan panjang di kejauhan. Disusul dengan jatuhnya lima orang dengan tubuh terbakar. Sena mundur beberapa langkah sambil memandangi lima tubuh tak dikenal. Rupanya merekalah yang menyerang Sena tadi. Ketiga senjatanya hancur oleh serangan balik Sena, pemiliknya pun terbakar dan mati.
Pendekar Gila menarik napas panjang sambil menggaruk-garuk kepala.
"Antek-antek Amangjalu lagi. Orang-orang ini sudah dirasuki ilmu setan Amangjalu, hingga menjadi buas dan tidak memiliki perasaan lagi," gumam Sena pada diri sendiri.
Sementara itu hari mulai gelap. Pendekar Gila melanjutkan perjalanannya untuk memenuhi tantangan Amangjalu sekaligus menyelamatkan Palupi. Angin berhembus kencang menerpa wajahnya yang makin tegang dan keras. Tak ada senyum sedikit pun di bibirnya. Dia hanya memikirkan bagaimana cara melenyapkan Amangjalu, ma- nusia setengah setan itu.

***

Di dalam goa tempat Amangjalu bermukim tampak sedang diadakan pesta menyambut keberhasilan Amangjalu membawa Palupi. Pesta berlangsung cukup meriah.
Lima gadis berpakaian seronok sedang menari. Gerakan tari mereka sangat menggairahkan.
Sedangkan Toh Jenar dan beberapa orang asyik berpasangan dengan wanita-wanita muda yang hanya mengenakan kain panjang dan penutup dada tipis berwarna hitam.
Tingkah laku anak buah Amangjalu sudah tak karuan. Hampir di setiap sudut, pasangan lelaki dan wanita tampak bercumbu secara bebas. Sedangkan Amangjalu yang sedang menikmati tarian, ditemani empat orang wanita muda berwajah cantik. Tubuhnya setengah tiduran, sementara empat wanita itu mengerumuni. Sebentar-sebentar dia merangkul dan menciumi wanita-wanita itu dengan rakus sambil sesekali meneguk arak.
Di tengah-tengah arena tari terdapat semacam sumur berisi darah manusia yang telah menjadi tumbal ilmu setan Amangjalu. Sebelah kanan terlihat Palupi terlentang.
Pakaiannya sudah tampak lusuh dan terkoyak-koyak.
Tarian setan terus berjalan hingga tengah malam. Sebagian dari mereka sudah mabuk. Namun para penari masih bersemangat dan menggairahkan. Orang-orang yang bermesraan sudah tak menghiraukan lagi tarian itu. Mereka asyik bergumul di ruang-ruang dalam goa yang beralaskan dedaunan kering.
Amangjalu mendekati Palupi yang semakin lemah keadaannya.
"Kau ternyata amat cantik dan menawan, Palupi...," ucap Amangjalu sambil menggerakkan tangannya ke tubuh Palupi.
Kemudian dengan rakus leher Palupi diciuminya.
Palupi yang tidak dapat berbuat apa-apa lagi hanya pasrah dalam tangis.
"He he he...! Kalau kau menangis, aku makin bernafsu untuk segera menikmati tubuhmu yang kenyal ini. He he he...! Tapi belum saatnya.
Ha ha ha...!" Kembali Amangjalu menggerayangi tubuh Palupi, hingga wanita cantik itu menggelinjang.
"Phuih!" Palupi meludahi wajah Amangjalu.
Orang yang diludahi tidak marah. Tangannya kian ganas menggerayangi tubuh Palupi, membuat gadis itu terus menggelinjang.
"Auw...!" Palupi memekik tertahan dan berusaha berontak, namun sia-sia. Amangjalu yang makin bernafsu menahan tubuh Palupi agar tidak bergerak. Dia mulai menciumi tubuh Palupi sepuassepuasnya.
"Oh, Gusti! Beri aku kekuatan!" rintih Palupi dalam hati.
Tiba-tiba bahu Amangjalu ditepuk seseorang dari belakang. Amangjalu tersentak dan langsung berbalik.
"Bangsat! Ada apa..."!" bentak Amangjalu dengan mata melotot. Ternyata Toh Jenar yang menepuknya.
"Pendekar Gila telah masuk perangkap kita, Kakang," lapor Toh Jenar pada Amangjalu.
"Ha ha ha...! Sebentar lagi Pendekar Gila akan mampus! Habisi pemuda gila itu. Jangan sampai gagal. Aku sudah siapkan peti mati untuk Pendekar Gila!" perintah Amangjalu. Toh Jenar segera berlalu. Dengan wajah yang terlihat setengah mabuk dia berjalan agak sempoyongan. Setelah Toh Jenar tidak kelihatan lagi, Amangjalu kembali melirik Palupi.
"Kau masih akan kusimpan untuk nanti.
Setelah Pendekar Gila mampus, aku baru akan menikmati tubuhmu yang bahenol ini. Ha ha ha...!" kata Amangjalu. Kemudian dia berlalu sambil terus tertawa terbahakbahak.

***

Sesosok bayangan hitam berkelebat di antara pepohonan hutan belantara. Malam mulai akan berganti pagi. Saat itu di sekitar sarang Amangjalu tampak sepi. Bayangan hitam itu terus melesat bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya.
Sesekali berhenti sebentar, seakan-akan mengamati keadaan di sekelilingnya. Setelah itu dia kembali melesat cepat bagai terbang.
Ketiga sosok bayangan itu menubruk salah satu ranting pohon beringin, tiba-tiba....
Zing! Zing...! Melesat bambu-bambu runcing memburu tubuhnya. Rupanya orang itu memiliki panca indera keenam yang kuat serta ilmu yang tinggi. Hanya dalam waktu singkat, dia dapat mengelak hunjaman jebakan itu.
"Keparat! Rupanya hutan ini banyak perangkap! Aku harus lebih waspada," dengus orang itu. Lalu tubuhnya kembali melesat cepat Orang itu terus menuju arah goa tempat tinggal Amangja-lu. Orang itu ternyata si Pendekar Gila. Pendekar Gila mengamati tempat itu. Hatinya merasakan ada keganjilan.
"Hm...! Rupanya Amangjalu ingin menjebakku. Dia tahu kedatanganku...," gumam Pendekar Gila.
Selesai berpikir, Sena cepat melesat ke arah jalan menuju goa tempat sarang Amangjalu. Namun tiba-tiba saja dua buah senjata rahasia beru-pa bintang sebesar piring meluncur ke arah Pendekar Gila. Swing! Swing! "Heaaat..!" Sena melejit dengan bersalto ke udara, dibarengi hentakan tangan kanannya ke arah senjata rahasia tadi. Selarik sinar keperakan langsung menghantam senjata-senjata itu. Wesss! Senjata itu berbalik arah dan....
"Aaa...!" Lengkingan dari dua orang pembokongnya membuat Sena tertawa di udara. Setelah itu tubuhnya mendarat ke tanah.
Tak lama berselang, muncul makhlukmakhluk aneh dari berbagai penjuru. Sena kaget.
Dia segera mengerahkan ilmunya. Ditariknya napas dalam-dalam dan mulai siap menyerang.
"Makhluk-makhluk ini tak boleh diberi hati.
Aku harus segera membereskan mereka!" tekad Sena dalam hati. Langsung saja Pendekar Gila melancarkan serangan jarak jauh. Kembali selarik sinar keperakan meluncur dari kedua telapak tangannya, lalu menghantam makhluk-makhluk aneh itu. Blarrr! Makhluk-makhluk itu terbakar oleh pukulan 'Inti Brahma' yang digabung dengan 'Tamparan Sukma'. Tubuh mereka kemudian meleleh bagai lilin, dan akhirnya menjadi abu..
Bersamaan dengan itu angin kencang menyapu tubuh Pendekar Gila. Dia menahan dengan menggerakkan kedua tangannya ke depan.
"Hm...! Asap ini mengandung racun. Keparat...!" geramnya.
Sena segera mengeluarkan ajian 'Pelebur Racun' disertai ilmu 'Si Gila Membelah Angkasa'.
Maka terjadilah perang yang dahsyat antara ilmu Pendekar Gila dengan ilmu Mata Setan yang belum menampakkan diri.
Darrr! Ledakan dahsyat terjadi setelah sinar keperakan beradu dengan sinar merah kebiruan. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh yang dikenal sebagai Toh Jenar muncul. Dengan beringas dia langsung menyerang Pendekar Gila.
Serangkaian angin menyapu ganas ke arah Sena. Pendekar Gila segera mengelak dengan melompat ke samping disusul tendangan kaki kanannya ke dada Toh Jenar. Toh Jenar tahu akan serangan itu. Dia sigap mengelak dengan melompat setombak ke belakang. Pada saat itulah, Pendekar Gila dengan gerakan yang sukar diikuti ma-ta, melesat memburu Toh Jenar dengan dua pukulan hebat. Duk! Duk! "Akh...! Hukh...!" Tubuh Toh Jenar terpental tiga tombak.
Mulutnya menyemburkan darah kental. Matanya melotot garang.
"Kau tidak akan bisa lolos, Pendekar Gila! Heaaa...!" bentaknya seraya bangkit untuk menyerang kembali.

***

Sena berkelebat menghindari serangan Mata Setan yang mulai tak terarah serta penuh amarah. Seraya cengengesan, Sena menepuk kedua tangannya lalu mengejek Mata Setan.
"Ha ha ha...! Manusia Jelek! Kau ini berke-lahi seperti orang mabuk! Mana bisa melawan- ku...?" Toh Jenar sekali lagi melancarkan serangan ke arah Pendekar Gila. Dia membuat gerakan aneh. Kedua kakinya melebar agak ditekuk. Kedua tangannya pun direntangkan ke atas. Kemudian tubuhnya melompat dibarengi dengan teriakan nyaring.
"Heaaa...!" Pendekar Gila yang sudah siap, segera memapaki serangan itu dengan tenaga dalamnya yang sempurna. Tubuhnya juga melompat di udara. Dan terjadilah pertarungan di udara beberapa saat keduanya saling pukul dan tangkis. Namun dengan cerdik Sena dapat menyerangkan pukulannya ke dada Toh Jenar.
Blasss! "Aaaa... ukh!" pekik Toh Jenar. Tubuhnya terpental cukup jauh, lalu terbanting ke tanah. Namun Toh Jenar masih kuat bangkit Sesaat dirinya tampak mengumpulkan tenaga dalam.
Dan....
"Heaaa...!" Serangan Toh Jenar kini terarah kembali.
Hampir saja rusuk Sena tersodok jarinya yang menegang. Namun Sena yang memang sudah tahu akan serangan itu segera membalas. Sambil meloncat dia melepaskan tendangan kaki kanan, disusul dengan kaki kiri.
Plak! Bukkk! Tendangan Pendekar Gila tepat mengenai rahang dan dada Toh Jenar. Tak pelak lagi tubuh Toh Jenar terhuyung-huyung lima tombak ke belakang. Sena yang melihat Toh Jenar mulai goyah, melanjutkan serangan dengan tendangan dan pukulan bertubi-tubi. Hingga akhirnya Toh Jenar menyerah.
"Di mana Amangjalu"! Katakan cepat! Atau kupatahkan lehermu," bentak Sena.
"Aku... aku... ti... tidak tahu," jawab Toh Jenar lemah. Dadanya sudah hangus terbakar.
"Rupanya kau lebih suka mati!" Sena tak berniat memberi ampun lagi. Dia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, hendak menghantam kepala Toh Jenar. Tapi....
"Tunggu...!" seru Toh Jenar.
Sena mengurungkan niatnya.
"Dia... dia ada di goa itu...!" kata Toh Jenar dengan suara yang makin lemah "Arah mana" Cepat katakan...!"
"Sana...," jawabnya sambil menunjuk ke utara. Selesai memberi tahu, Toh Jenar menghem-buskan napasnya yang terakhir.
Sena mencampakkan tubuh Toh Jenar ke tanah. Lalu tubuhnya melesat.
Sena memasuki hutan belantara yang makin angker. Pepohonan besar mengelilingi daerah itu. Sesekali tubuhnya melenting ke udara, bila dirasa ada jebakan-jebakan maut di depannya.
"Setan belang! Rupanya di tempat ini banyak perangkap yang sangat berbahaya...," sungut Sena. Saat itu langit mulai membias cahaya, tanda sang Surya sebentar lagi akan muncul menerangi bumi. Sena kini sudah masuk ke sarang Amangjalu dengan ilmu menghilangnya. Ajian 'Tanpa Wujud'. Tubuhnya menembus dinding goa yang angker. Ketika Sena keluar, dia telah berada di ruangan yang hanya diterangi satu obor besar di dinding goa itu.
Sementara itu Amangjalu sedang tidur nyenyak. Tampaknya Amangjalu kelelahan karena telah mencumbu empat wanita muda semalam suntuk. Selain itu dia merasa yakin kalau Pendekar Gila akan dapat diringkus oleh Toh Jenar dan anak buahnya. Paling tidak musuhnya itu akan terganyang jebakan-jebakan maut. Maka dalam dirinya tak ada rasa curiga sedikit pun. Padahal Se-na sudah berada di dalam goa.
Pendekar Gila memasuki ruangan lain.
Dengan ilmu meringankan tubuh dia berjalan ringan. Dilewatinya lorong yang lebarnya satu depa.
Di kanan dan kirinya banyak pintu-pintu. Sena berhenti sejenak untuk memeriksa pintu-pintu itu.
Dalam sekejap dia dapat membuka salah satu pintu. Dilihatnya seorang lelaki dan dua wanita dalam keadaan polos tanpa pakaian, bagai bayibayi yang tidur dengan pulas. Mereka saling peluk.
Sena menarik napas panjang dan segera keluar. Dia menggelengkan kepala dan cengengesan, lalu menggaruk-garuk kepalanya sambil melangkah ke pintu lain. Kamar lain pun tak jauh berbe-da dengan di kamar tadi. Hanya kamar yang kesekian, terlihat seorang wanita muda cantik telentang dalam keadaan polos. Dia dirangkul dua orang lelaki berparas buruk. Kembali Sena menarik napas panjang dan bergumam lirih.
"Edan! Edan...! Dunia sudah edan! Terkutuklah kalian, manusia-manusia bejat!" Semua yang dilihat Sena tak lain orangorang yang telah terkena ilmu sihir dan pengaruh setan Amangjalu. Sengaja mereka dibuat menjadi lupa diri dan tidak mempunyai perasaan.
Sena terus menyelidiki ruangan demi ruangan sambil mencari Putri Palupi. Ketika Sena memasuki sebuah ruangan yang luas, matanya meli- hat Palupi dalam keadaan yang menyedihkan sekali. Sena membelalakkan mata.
"Ya, Gusti!" desahnya.
Cepat Sena melompat dan melepas ikatannya. Di ruangan itu berserakan empat pasang pria dan wanita yang juga dalam keadaan polos. Pakaian mereka berserakan di mana-mana. Benarbenar menjijikkan. Mereka saling tindih. Sena segera menyadarkan Palupi yang tampaknya pingsan karena kelaparan.
"Tuan Putri, sadarlah...!" suara Sena berbisik di telinga Palupi.
"Akh...!" pekik Putri Palupi tiba-tiba.
Sena cepat menutup mulutnya.
"Ssst..!" cegah Sena seraya memberi isyarat Palupi masih belum sadar betul. Ia hanya terpaku melihat Sena. Dia seperti tak percaya. Namun setelah Sena memegang pipinya dan dia pun memegang tangan Sena perlahan, barulah yakin kalau orang di depannya adalah orang yang akan menolong dirinya.
"Oh, siapakah kau," tanya Palupi, serak dan lirih sekali. Sena menutup mulut Putri Palupi.
"Sssttt...! Sebaiknya kita cepat pergi. Kita tak akan dapat melawan Amangjalu di dalam tempat ini." Selesai berkata begitu, Sena cepat membopong tubuh Palupi yang masih belum pulih benar.
Tubuh Sena melesat menembus dinding goa.

֍֍֍֍֍¦ ⑩ ¦֎֎֎֎֎

Amangjalu murka. Dia menendang apa saja yang ada di depannya. Juga orang-orang yang ada di situ dihajarnya sambil marahmarah.
"Bodoh...! Goblok! Kalian ini bisanya cuma makan, kawin dan tidur! Percuma aku menghidupi kalian! Pergi semua...! Pergi...!" Segera anak buahnya cepat pergi, sebelum dihajar Amangjalu yang sudah kalap.
"Kau memang cari mampus Pendekar Gila.
Kali ini aku akan mencincangmu! Akan kuhisap darahnya...! Pemuda Gila!" gerutu Amangjalu seperti bicara pada dirinya sendiri.
Lalu mencabut keris pusakanya. Keris itu bentuknya panjang, dua kali lipat keris biasa. Hanya ada tiga lekukan. Keris berwarna kemerahan itu mengandung racun ganas. Diangkatnya senjata pusaka itu ke atas kepala, lalu cepat diturunkan dan kemudian diciumnya. Keris itu, tak lain milik Raden Sasakajiwo.
Yang diambil dari mayatnya.
Sementara itu Pendekar Gila telah berada di tepi telaga. Dia cepat menyeberangi telaga dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna, sambil membopong Palupi. Sekejap dia sudah berada di seberang sana. Lalu terus berlari dengan menggunakan ilmu 'Sapta Bayu'-nya.
Melesat lalu hilang.
Ketika tiba di luar Hutan Galasetra, tibatiba sesosok bayangan berkelebat di udara sambil bersalto, ke arah Pendekar Gila yang sedang membopong Palupi.
"Heh...?" Plak! Plak! Sosok bayangan itu langsung melancarkan serangan. Namun dengan cepat Sena menangkis tendangan dan pukulan cepat orang itu. Dan seketika hatinya terkejut bukan kepalang.
"Hah"!" gumam Sena kaget, "Guru.... Maafkan saya...!" ucap Sena menjura.
Ketakutan. Palupi sudah berada dalam bopongan lelaki yang tak lain Singo Edan. Lelaki tua itu tertawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sena, Sena...! Kau memang muridku yang hebat. Aku bangga. Tapi kau sedikit lengah. Hing-ga Putri Palupi dapat aku rebut," ucap Singo Edan kalem. Sena diam, tak menjawab. Menunduk lalu menggaruk-garuk kepala seperti gurunya. Singo Edan terus tertawa-tawa.
"Sena, hadapi Amangjalu! Biar Putri Palupi aku yang bawa ke Kawilangit. Ingat pesanku, jangan kasih hati manusia buruk itu!" ucap Singo Edan. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia melesat pergi meninggalkan Sena. Hanya dengan sekali lompat ke udara, Singo Edan sudah hilang dari pandangan. Sena berdecak kagum. Lalu menggarukgaruk kepala dan cengar-cengir.
"Untung guru datang menjemputku, kalau tidak aku harus menyembunyikan ke mana Putri Palupi...! Hi hi hi...!" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala lagi. Namun baru saja dia berbalik dan melangkah, tiba-tiba..., "Heaaa...!" Degk! Plak! Plak! "Heit...!" Ternyata Amangjalu telah datang dan langsung menyerang dengan cepat. Untung Sena cepat menangkis serangan itu, dengan tangan kirinya.
Lalu menghantam tengkuk Amangjalu. Hingga Amangjalu tersungkur ke tanah. Namun lelaki itu cepat berdiri lagi dengan membuat gerakan silat.
Pendekar Gila pun siap menghadapinya. Sambil cengengesan Sena berkata dengan nada mengejek.
"Hi hi hi... lucu! Ada anjing busuk mau ngejar daging mentah! Kau sebaiknya pulang dan ti- dur saja!" Mendengar itu Amangjalu membelalakkan matanya. Namun coba mengendalikan amarahnya.
Sebab dia tahu Pendekar Gila tak boleh dilawan dengan kemarahan.
Amangjalu tiba-tiba menghentakkan kedua tangannya ke arah samping, dengan menggunakan tenaga dalam yang menakjubkan. Seketika keluar dari telapak tangannya selarik sinar biru. Dan kemudian mengangkat kedua tangannya. Seketika terangkat sebuah peti mati dari balik semaksemak. Dan dengan menghentakkan tangannya lagi ke bawah, peti mati itu jatuh di sebelah kiri Pendekar Gila.
Brakk! Pendekar Gila tak bergerak untuk menghindari atau terkejut. Dia hanya melirik sebentar. Lalu cengengesan, sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hebat juga tikus ini...!" gumam Sena dalam hati. Matanya menatap tajam ke arah Amangjalu.
"Ha ha ha...! Aku masih memiliki satu peti mati lagi untukmu Pendekar Gila! Dan kali ini kau benar-benar akan menempati peti mati ini untuk selama-lamanya! Ha ha ha...!" seru Amangjalu merasa yakin kali ini dia bisa menaklukkan Pendekar Gila. Kemudian cepat mencabut keris di pinggangnya, dengan tangan kanan.
"Hi hi hi..., kau rupanya yang sudah bosan hidup. Peti mati itu yang pantas, untuk orang licik dan jahat sepertimu!" kata Sena dengan nada mengejek, sambil menepuk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk kepala, "Dan sudah kukatakan tadi, sebaiknya kau tidur saja, kalau masih ingin berumur panjang...!" Amangjalu mengamati keris itu sejenak, kemudian perhatiannya dialihkan pada Sena.
"Kalau aku tidak mau"!" sahut Amangjalu, bernada tantangan.
"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut Sena.
Amangjalu tersenyum lebar.
"Aku ingin tahu, apakah kemampuan yang kau miliki sedahsyat ucapanmu." Darah muda Sena meluap mendengar sambutan bernada tantangan ini. Meskipun demikian, masih dicobanya untuk menahan diri. Padahal, perasaannya hampir tidak terkendalikan. Keris yang berada di tangan Amangjalu telah membuat perasaannya hampir tidak bisa terkendalikan.
Memang keris itu dikenalinya betul, milik Raden Sasakajiwo! Tidak ada lagi orang yang memiliki keris seperti itu kecuali Raden Sasakajiwo.
Sena tahu betul, keris itu tidak pernah terpisah dari Raden Sasakajiwo. Sebab itulah, hatinya merasa khawatir melihat keberadaan keris di tangan Amangjalu itu. Apalagi dalam keadaan tanpa warangka. Jelas, telah terjadi sesuatu atas diri Raden Sasakajiwo. Sena hampir tidak sabar mendapatkan jawaban dari Amangjalu.
"Aku tidak ingin bertarung denganmu," jawab Sena setelah menghela napas berat untuk menenangkan hati.
"Aku hanya minta, beritahu-kanlah padaku dari mana keris itu kau dapat?" Amangjalu tersenyum mengejek.
"Rupanya kau termasuk orang yang mudah menjilat ludah yang telah jatuh ke tanah, Anak Muda. Sebelumnya, kau mengatakan ingin tahu, dari mana keris ini kudapatkan. Sekalipun, untuk itu harus dengan jalan kekerasan. Sekarang kau mengatakan tidak ingin bertarung denganku. Lucu! Lucu sekali! Pendekar Gila yang menggemparkan dunia persilatan ternyata hanya seorang yang tidak mempunyai pendirian!" Pendekar Gila malah cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Ucapan Amangjalu tadi membuat hati Sena ingin segera menghajarnya.
Belum pernah dirinya dilecehkan seperti itu. Padahal, Pendekar Gila sendiri paling benci pada orang yang tidak mempunyai pendirian.
"Jaga mulutmu! Aku bukan orang seperti yang kau tuduhkan!" dengus Pendekar Gila, keras sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalau begitu, mengapa maksudmu dibatalkan untuk menempurku"!" sergah Amangjalu cepat "Atau kau merasa gentar"!"
"Tidak ada takut dalam hidupku!" sambut Pendekar Gila.
"Kalau begitu..., tunggu apa lagi"! Dengar, Pendekar Gila! Aku bersedia memberitahukan padamu, apa-bila kau mau menyerahkan Palupi." Sena tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskan kuat-kuat untuk menenangkan hati.
Dia teringat pesan Singo Edan, bahwa Amangjalu licik dan penuh tipu muslihat Sena lalu kembali cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Seraya berkata, "Kau memang manusia keparat yang mesti dilenyapkan sekarang juga.... Agar bu-mi ini tidak kotor!" ejek Sena.
"Kurang ajar! Terimalah ini. Heaaa...!" Amangjalu naik pitam, dilemparkannya keris itu ke arah Pendekar Gila. Keris meluncur deras memburu Sena. Dengan gerakan cepat Sena mengelak sambil merebahkan tubuh ke belakang.
Kemudian berjumpalitan ke belakang.
Namun dengan gerakan cepat pula Sena tahu-tahu sudah di udara bersalto beberapa kali, la-lu melancarkan tendangan ke arah Amangjalu.
"Heaaa...!"
"Heit..!" Plak! Plak! Plak! Degk! Degk! "Uts...!" Amangjalu memekik, lalu terhuyunghuyung ke belakang, terkena pukulan Pendekar Gila yang telak mengenai ulu hatinya. Amangjalu marah bukan main. Kini sudah mengeluarkan jurus-jurus mautnya. Dalam sekejap dari telapak tangannya yang dihentakkan keluar selarik sinar api, meluncur dahsyat ke arah Sena. Craats! Glarrr...! Serangan Amangjalu gagal, tak mengenai sasaran. Karena Pendekar Gila memapakinya dengan 'Inti Brahma' pula. Sehingga api yang dilepaskan Amangjalu beradu dengan bola api ajian Pendekar Gila yang bergulung-gulung.
"Aaakh...!" Tubuh Amangjalu terpental lima tombak ke belakang, membentur batu. Mulutnya memekik keras. Namun lelaki jahat itu masih mampu bangkit berdiri lagi dengan gagah. Sedangkan Pendekar Gila tak sedikit pun tergoyahkan. Namun sempat bingung juga karena lawannya ternyata cukup tangguh. Di sini Amangjalu mulai marah, hingga serangannya banyak yang gagal, dengan mudah dapat dielakkan oleh Sena. Pendekar Gila sengaja memancing kemarahan lawan.
"Aku sudah bersumpah akan memasukkan kau ke dalam peti mati yang kubuat sendiri, Pemuda Edan...! Heaaa...!" sambil mendengus Amangjalu terus mencecar Pendekar Gila dengan jurus Cakar Iblis yang berbahaya itu.
Namun Sena tak mau kalah. Dengan jurus, 'Si Gila Menyambar Mangsa', Pendekar Gila melompat ke atas pohon. Sambil berayun dia menyerang Amangjalu, yang kini berada di bawah. Tak pelak lagi kepala Amangalu kena hajar pukulan Pendekar Gila. Degkh! Plak! "Aaaakh...!" Tubuh Amangjalu melintir lalu roboh. Pendekar Gila cepat mendaratkan kakinya ke tanah.
Sambil cengengesan Sena tertawa-tawa, melihat lawannya terjungkal. Walaupun tingkahnya konyol, tapi sebenarnya Pendekar Gila tetap waspa-da.
"Huukhh...!" Amangjalu terus menyerang sambil memegangi kepalanya yang dirasakan seperti mau copot.
Pandangannya mulai berkunang-kunang.
"Kenapa kau, Tikus Busuk! Mabuk"! Atau ngantuk...! Hi hi hi...!" ejek Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan bertingkah seperti orang gi-la.
"Sebenarnya aku bisa membunuhmu lebih cepat. Tapi aku tak mau membunuh orang yang sekarat..." Amangjalu mendengar ucapan Sena, merasa tercambuk hatinya. Dengan sisa-sisa tenaganya kedua kakinya menghentak keras ke tanah, mengakibatkan getaran kuat di sekelilingnya.
"Hebat juga kunyuk satu ini. Jurus apa lagi yang akan digunakan..."!" gumam Pendekar Gila sambil cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepala.
Amangjalu mengerahkan jurus pamungkasnya, 'Seribu Iblis'! Seketika Amangjalu berubah jadi banyak. Gerakan tangannya sangat cepat me-rentang dan menghentak ke depan.
Melihat hal itu Pendekar Gila segera mengerahkan jurus 'Si Gila Membelah Mega' gabung dengan ajian 'Tamparan Sukma'! Amangjalu kini berjumlah delapan. Entah yang mana Amangjalu asli. Kedelapan sosok itu menyerang Pendekar Gila berbarengan dengan berlompatan di udara.
Blar! Blar! Ledakan terjadi kembali. Kali ini lebih dahsyat. Karena jurus dan ilmu yang mereka gunakan sangat tinggi.
"Aaaakh...!" Amangjalu memekik panjang. Seketika kembali hilang ketujuh jelmaannya. Tinggal Amangjalu yang asli terpental, lalu bergulingan di tanah. Mulutnya memuntahkan darah segar. Sementara Sena, hanya terhuyung beberapa langkah ke belakang sambil tetap tegak kuda-kuda kakinya. Matanya tajam ke arah Amangjalu.
"Hueek...!" Amangjalu kembali muntah, cukup banyak darah yang keluar. Dia berusaha bangun sambil memegang dadanya yang terasa sesak.
"Edan! Orang ini memang setan, bukan manusia. Cukup kuat daya tahannya. Aneh. Biar, aku ingin tahu sampai di mana kemampuannya...," gumam Sena dalam hati sambil menepuk-nepuk pantatnya.
"Kau memang hebat, Pendekar Gila...," puji Amangjalu, dengan pandangan mata tajam. Suaranya bergetar menyimpan amarah yang luar biasa.
"Tapi kali ini kau akan mampus...!"
"Lebih baik kau tidur saja, Kutu Busuk! Atau aku akan mengirimmu ke neraka..."!" ejek Sena lagi. Mulutnya cengengesan sambil ber-jingkrakan persis kera dan menepuk-nepuk pantatnya. Mendengar ejekan itu Amangjalu makin geram. Dia berteriak keras dan melesat menyerang Pendekar Gila, dengan jurus 'Cakar Iblis' di gabung dengan 'Cakar Tengkorak'! Sebuah jurus gabungan yang sangat dahsyat. Jika terkena cakaran dan totoknya, orang bisa mati seketika, karena jalan darahnya terhenti, beku dan membiru.
"Hiaaaa...!"
"Hah"!" Sena tersentak ketika melihat Amangjalu sudah berada di udara dengan menyeringai bagai harimau hendak menelan mangsanya.
Pendekar Gila terpaksa mencabut Suling Naga Sakti-nya, untuk melindungi diri.
Srett! Jlegaarrr...! "Uaaaakh...!" Ledakan dahsyat terdengar bersamaan dengan hantaman Suling Naga Sakti yang memapaki serangan Amangjalu. Membuat dada manusia jahat itu remuk berlubang. Karena Suling Naga Sak-ti Pendekar Gila dengan telak tadi mengenai sasaran.
Seketika tubuh Amangjalu pun terpental jauh. Pada saat itu pula Pendekar Gila dengan cepat menendang peti mati yang tak jauh dari tem- patnya dengan menggunakan tenaga dalam. Peti mati meluncur di tanah. Dan berhenti, tepat di tempat jatuhnya tubuh Amangjalu yang sudah luka parah itu. Amangjalu pun jatuh ke dalam peti mati yang sudah terbuka penutupnya itu. Amangjalu sudah tak bernyawa lagi. Ternyata tubuhnya remuk di bagian dada. Matanya melotot. Kemudian peti mati itu pun menutup sendiri.
Brakk! Pendekar Gila menghela napas dalamdalam. Keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya.
"Aku tak mau membunuh, tapi keadaan yang memaksaku untuk berbuat itu. Apa boleh buat...!" gumam Pendekar Gila.
"Mungkin ini kehendak Hyang Widi. Sebagai hukuman bagi orang durjana seperti kamu...," tambah Sena lagi. Lalu menggaruk-garuk kepala sambil menatap mayat Amangjalu yang berlumuran darah.
Dari kejauhan tampak serombongan pasukan berkuda menuju ke tempat Sena. Pendekar Gila mengerutkan kening, dan siap menghadapi apa yang akan terjadi.
"Siapa mereka" Orang-orang Amangjalu..."! Atau...?" ucapan Sena tak berlanjut, karena salah satu di antara penunggang kuda, dikenalinya.
"Aku kira kau sudah menjadi makanan cacing, Sena...," ajar Ki Rasito berseloroh sambil tersenyum. Lalu turun dari punggung kudanya.
"Aha, bagaimana Ki Rasito dapat menemukan aku di sini..."!" tanya Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Bau tubuhmu dari jauh sudah tercium, Kak Sena...," terdengar suara lembut berseloroh dari seorang wanita muda.
"Putri Palupi...?" gumam Sena sambil menoleh ke sebelah kiri. Sejenak dia tertegun melihat kecantikan alami dari wajah Palupi.
Putri Palupi tersenyum, lalu melompat turun dari punggung kuda, menghampiri Sena yang cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih, Kak Sena. Kau telah menyelamatkanku...," ucap Putri Palupi lembut.
"Kakang Singo Edan tak dapat ikut, Sena. Dia hanya pesan kau harus lebih hati-hati. Karena rimba persilatan semakin keruh. Banyak tokoh jahat dan sesat akan mencoba dan membunuhmu," tutur Ki Rasito menyampaikan pesan Singo Edan.
"Apakah Raden Sasakajiwo dan Bratamurti ada di Kawilangit...?" tanya Sena penasaran. Dirinya ingin tahu lebih jelas keberadaan Raden Sasakajiwo dan Bratamurti. Walaupun dia telah menduga kalau keduanya telah dibunuh oleh Amangjalu. Sebab, keris Raden Sasakajiwo tadi ada di tangan Amangjalu.
"Kakang Singo Edan menemukan mayat mereka. Dan membawanya ke Kawilangit. Tapi itu bukan salahmu, Sena. Hyang Widi telah menetapkan hidup dan mati manusia. Kami semua merasa kehilangan...," ujar Ki Rasito.
Sena menghela napas panjang. Lalu menatap Putri Palupi yang menunduk sedih, air matanya menetes di pipi. Sena mengerutkan kening dan berkata, "Maafkan saya, Tuan Putri...."
"Tidak perlu kau minta maaf, Kak Sena.
Aku rela, dan telah menyadari semuanya. Benar apa yang dikatakan Paman Rasito...," ucap Palupi lemah, lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Mari, kita kembali ke Kawilangit. Semuanya sudah berakhir, Sena. Ayo...!" ajak Ki Rasito kemudian. Sepuluh prajurit yang menyertai Ki Rasito dan Putri Palupi, nampak ikut gembira, melihat Amangjalu telah mati di tangan Pendekar Gila.
Mereka kembali ke Kerajaan Kawilangit dengan tenang. Meninggalkan tempat kotor itu.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Dewi Ratu Maksiat --oo0oo-- Serikat Serigala Merah


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.