Life is journey not a destinantion ...

Dewi Ratu Maksiat

INDEX PENDEKAR GILA
Syair Maut Lelaki Buntung --oo0oo-- Peti Mati Untuk Pendekar Gila

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


┌≡֍≡¦ 1 ¦≡֎≡┐

Malam itu angin berhembus kencang dan menderu-deru, seolah suatu pertanda bakal datang badai besar. Hawa dingin terasa semakin menusuk tulang sum-sum. Dan mendung tebal yang sejak sore bergayut di langit telah berubah menjadi hujan, menambah suasana kian mencekam. Desa Tumpang nampak sepi. Tak satu pun orang yang berada di luar rumah, kecuali tiga lelaki yang sedang menjalankan tugas ronda. Karena hujan kian deras, ketiganya hanya duduk ngobrol di gardu sambil mengisap rokok kawung.
"Huh..., tidak biasanya malam seperti ini," gumam Bondan mengeluh. Matanya sesekali memandang ke luar gardu yang tampak gelap gulita.
Tak ada suara apa pun kecuali deru angin yang bercampur rintik hujan.
"Iya, aneh. Padahal saat ini musim kemarau," sambut Busran.
"Mestinya belum ada hujan."
"Namanya alam. Siapa yang bisa memasti-kan.... Tapi, kurasa hujan ini memang aneh," tukas Pardi.
"Terus terang, sejak tadi aku merinding. Jangan-jangan...." Pardi tak meneruskan kata-katanya. Matanya memandang dengan tegang ke sekeliling gardu yang nampak sepi dan gelap, semakin membuat bulu kuduknya berdiri.
"Jangan-jangan kenapa, Di?" tanya Busran penasaran karena temannya tidak meneruskan kata-katanya.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Pardi.
"Setan maksudmu?" terka Bondan.
Pardi hanya mengangguk kecil. Matanya masih membelalak tegang, memandang ke sekeliling yang dirasakan kian mencekam. Apalagi angin semakin kencang menderu. Bulu kuduknya semakin meremang.
Bondan tertawa kecil. Suaranya terdengar sumbang dan bergetar, karena diliputi perasaan tercekam. Dia pun merasakan bulu kuduknya meremang, namun tetap berusaha menekan rasa takutnya.
"Di.... Pardi. Kamu ini kayak anak kecil saja," gumam Bondan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Sudah tua kok masih takut dengan setan."
"Bukan begitu. Sejak tadi hatiku memang tak enak rasanya.
Dan..., heh... bau kemenyan, Bon!" tubuh Pardi bergidik ketika hidungnya mencium bau kemenyan yang menyengat.
Sepertinya ada orang yang membakar dupa.
Bondan dan Pardi mengendus-endus, berusaha mencium bau kemenyan. Seketika keduanya merinding di sekujur tubuh, ketika hidung mereka pun mencium bau kemenyan yang menyengat. Bahkan kemudian bercampur aroma wangi bunga kenanga, yang mengingatkan mereka pada kematian.
"Benar, Di. Bau kemenyan dan bunga kenanga...," kata Busran dengan mata membelalak.
"Hiii...!" Bondan semakin bergidik, wajahnya memucat. Rasa takut itu tak hanya melanda hati lelaki muda itu. Kedua temannya pun semakin merasa tercekam deh suasana gelap, sunyi, dan hawa dingin yang dihembuskan angin. Ketiga peronda itu sebenarnya ingin sekali meninggalkan gardu. Namun keadaan di luar membuat mereka takut Sesaat tak satu pun yang mengeluarkan suara. Kini yang terdengar hanya rintik hujan dan deru angin kencang.
Wuss! Krak! Ketiga peronda tersentak kaget ketika dari luar terdengar suara hembusan hawa aneh disertai retaknya tanah. Mereka terpaku di tempat duduk masing-masing, seakan tak mampu berbuat sesuatu. Wuss! Krak! Suara itu kembali terdengar. Tiba-tiba dari dalam tanah di depan gardu, keluar asap tebal.
Tidak hanya satu kepulan. Ada delapan tempat yang tanahnya merekah dan mengepulkan asap putih. Sementara itu getaran-getaran pun mulai terasa di sekitar gardu ronda.
Mata ketiga peronda itu terbelalak, menatap penuh ketegangan kepulan asap yang keluar dari retakan tanah. Tubuh mereka menggigil ketakutan. Asap putih kehijau-hijauan itu perlahanlahan berubah warna. Semakin lama, kepulankepulan asap itu membentuk warna merah darah.
Lalu membentuk sosok makhluk yang mengerikan. Sosok manusia berwajah tengkorak dengan memakai jubah warna merah darah hingga menutup kepala. Sosok-sosok manusia berjubah dan tudung merah itu seperti mayat hidup. Mata mereka tampak menyorot merah. Dan mulut mereka bergigi taring.
"Mayat hidup!" sentak Pardi yang telah gu-gup. Matanya semakin membelalak tegang, me- nyaksikan makhluk-makhluk aneh itu.
"Se... se... setan...!" pekik Busran dengan suara menggeragap.
"Ma... ma... mayat hidup...!" jerit Bondan.
Ketiga peronda itu kini saling merapat ketakutan. Tak ada yang berani berlari, karena makhluk-makhluk itu berada di depan mereka.
Bahkan kini makhluk-makhluk aneh itu bergerak mendekat. Sepertinya mereka hendak melakukan sesuatu terhadap ketiga peronda itu, yang semakin ketakutan. Delapan mayat hidup itu mengelilingi gardu ronda, membuat ketiga peronda itu bertambah ketakutan. Terlebih jika memandang ke wajah manusia-manusia bermuka tengkorak yang berlumuran darah.
"Tolong...! Tolooong...!"
"To... tolong...!" ketiga peronda mulai berteriak-teriak. Mereka saling rapat satu sama lain, dengan mata membelalak ketakutan memandang kedelapan manusia bermuka tengkorak yang menyeringai dengan suara-suara yang aneh pula.
Makhluk-makhluk itu tampaknya berbicara dalam bahasa mereka. Kemudian salah satu dari mereka menunjuk ke arah Busran yang paling tampan di antara ketiga peronda itu. Sedangkan yang di sampingnya mengangguk-anggukkan kepala, seakan menyetujui apa yang dikatakan kawannya. Makhluk bermuka tengkorak yang mengangguk-anggukkan kepala memerintahkan kepada anak buahnya untuk menangkap Busran.
"Tidak! Jangan...!" pekik Busran berusaha menolak, ketika dua mayat hidup maju mendeka-tinya dan siap menangkap.
Kedua makhluk aneh itu seperti tak peduli dengan teriakan Busran. Mereka terus memegang tangan Busran dan menyeretnya agar ikut "Jangan...!" teriak Busran meronta-ronta ketakutan.
"Tolong...!" Bondan dan Pardi hanya kebingungan. Keduanya tak tahu harus berbuat apa untuk menolong Busran. Mereka merasa tak tahan melihat wajah makhluk-makhluk aneh yang berlumuran darah itu. Tubuh kedua peronda itu menggigil.
Tak ada yang berani melangkah untuk menolong Busran, karena manusia-manusia bermuka tengkorak itu masih menjaga mereka.
Saking takutnya, Bondan dan Pardi tak sadar terkencing di celana. Wajah mereka pucat pasi. Tubuh mereka sudah lemas dan basah oleh keringat dingin yang keluar karena rasa takut yang tak terkira.
Wass! Mendadak makhluk-makhluk aneh itu lenyap seketika, kembali menjadi asap. Lalu terdengar suara gemuruh pecahnya tanah di sekeliling gardu. Bersamaan dengan itu, kepulan asap jelmaan makhluk-makhluk aneh itu lenyap.
"Hah"!" kedua peronda yang ketakutan itu membelalakkan matanya semakin tegang menyaksikan kejadian yang aneh itu. Mereka tak tahu Busran dibawa ke mana oleh makhlukmakhluk aneh itu.
"Tolong...! Setan-setan!" Keduanya lari terbirit-birit sambil berteriak-teriak.
"Tolong! Tolong ada mayat hidup...!" Warga Desa Tumpang yang mendengar suara teriakan para petugas ronda langsung keluar, ingin tahu apa yang terjadi. Bahkan Kepala Desa Tumpang turut keluar.
"Ada apa, Pardi, Bondan" Seperti orang dikejar setan saja kalian. Jejeritan di malam begini?" tanya Ki Kuswara, lelaki kurus tinggi dengan pakaian warna abu-abu tua lengan panjang. Berwajah angker dengan kumis tebal melintang. Lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun ini, merupakan Kepala Desa Tumpang.
"Setan, Ki. Setan-setan itu membawa Busran," jawab Bondan.
Mendengar laporan Bondan, para warga yang ada di tempat itu terbelalak kaget. Namun Kepala Desa Tumpang seakan tak percaya dengan cerita itu.
"Jangan main-main kau, Bondan"!" bentak Ki Kuswara dengan mata melotot.
"Benar, Ki," timpal Pardi, "Lihat, kami benar-benar ketakutan! Bahkan aku... aku sampai kencing di celana." Pardi menunjuk ke selangkangannya. Celana kolor panjangnya yang berwarna kuning terang basah kuyup dan bau pesing. Bondan pun berusaha meyakinkan Ki Kuswara dengan merenggangkan selangkangan yang basah.
Semua warga yang melihat kedua peronda itu ngompol, seketika tertawa terbahak-bahak Kesunyian malam yang semula tegang, seketika berubah menjadi riuh oleh gelak tawa mereka. Namun tiba-tiba....
"Tolong! Tolong...!" Suara jeritan itu ternyata dari rumah Ki Kuswara. Para warga desa yang mendengar jeritan menantu Ki Kuswara seketika berlarian menuju rumah kepala desa itu.
"Hantu..., hantu...!"
"Setan! Mayat hidup...!" Para warga yang telah sampai di rumah Ki Lurah Kuswara langsung berteriak-teriak ketakutan. Mereka melihat makhluk-makhluk aneh bergigi taring dan berlumuran darah tengah berusaha menyeret anak lelaki Ki Lurah Kuswara.
Menyaksikan hal itu, Ki Kuswara yang tidak ingin putranya dibawa kabur oleh makhlukmakhluk aneh itu segera bertindak. Lelaki setengah baya itu melompat dan menghadang mayatmayat hidup itu.
"Berhenti! Lepaskan anakku!" bentak Ki Kuswara dengan keras, seperti tak takut sama sekali terhadap makhluk-makhluk aneh yang menatapnya dengan wajah mengerikan.
Salah satu dari mayat hidup itu menggerakkan tangan, seperti memerintah pada anak buahnya untuk membereskan Ki Kuswara.
"Hng...!" Tiga mayat bermuka pucat dan bergigi taring maju menghadapi Ki Kuswara yang masih berdiri dengan mata menatap tajam. Sepertinya Ki Kuswara belum yakin, kalau sosok-sosok makhluk aneh yang menyeramkan itu setan.
"Jangan kira aku takut menghadapi kalian!" dengus Ki Kuswara pada tiga mayat hidup yang menghampirinya. Tapi ketiganya tak juga mau membuka kedoknya, justru terdengar suara menggereng dari mulut mereka.
"Hnghh...!" Ketiga mayat hidup dengan berang menyerang Ki Kuswara. Tangan mereka yang hanya tulang-belulang berkuku panjang dan runcing, menyambar dengan cakaran ke tubuh kepala desa itu. Seketika itu pula Ki Kuswara tersentak kaget melihat bahwa manusia-manusia itu ternyata tengkorak.
"Mayat hidup..."!" tanya Ki Kuswara, seraya mengelakkan serangan ketiga lawannya. Matanya masih membelalak tegang, ngeri menyaksikan kenyataan yang ada.
Warga Desa Tumpang yang melihat tangan manusia-manusia yang menyeramkan itu hanya tulang-belulang, seketika menjerit ketakutan. Serentak mereka pun lari terbirit-birit. Terlebihlebih kedua peronda yang telah melihat sebelumnya, langsung lari tunggang-langgang.
'Tolong! Mayat hidup! Tolong...!" Hiruk-pikuk jeritan warga seketika menggema, memecahkan kesunyian malam. Tak seorang pun warga yang berani membantu kepala desanya, setelah tahu kalau makhluk itu bukan manusia. Ki Kuswara terpaksa harus bertarung melawan ketiga mayat hidup seorang diri. Dia telah telanjur menghadapi ketiga makhluk aneh yang tentunya siluman itu. Dicabutnya keris yang sejak tadi terselip di pinggang. Segera dikerahkan jurus 'Sambar Nyawa' dengan Keris Lekuk Pitu yang mengeluarkan sinar hijau.
"Hea!" Keris Lekuk Pitu di tangan Ki Kuswara bergerak cepat, menusuk ke dada salah satu makhluk siluman. Kilatan cahaya keris itu, terus menyeruak masuk berusaha menekan ketiga lawannya. Sementara itu, makhluk aneh yang tadi membawa anak Ki Kuswara kini telah raib entah ke mana. Ki Kuswara hanya sempat menyaksikan ketika makhluk itu berubah menjadi asap di tanah retak. Hal itu semakin membuat mata kepala desa itu membelalak tegang dan merasa kebingungan. Kejadian itu rasanya tak masuk akal baginya yang hanya tahu ilmu olah kanuragan semata, tanpa mengerti ilmu gaib.
Tusukan keras dan cepat Keris Lekuk Pitu di tangan Ki Kuswara tak dihiraukan oleh lawannya. Jlep! Keris Lekuk Pitu menghunjam ke dada manusia bermuka tengkorak darah. Keris itu terus menancap ke dalam, seperti disedot suatu kekuatan gaib. Ki Kuswara kembali tersentak kaget merasakan kejadian yang sangat aneh itu.
"Akh! Kerisku tertarik ke dalam"!" pekik Ki Kuswara kaget. Dia berusaha mencabut kembali kerisnya dari dada mayat hidup. Namun justru tubuhnya sendiri tertarik oleh kekuatan tubuh makhluk aneh itu. Keadaan ini membuat Ki Kuswara semakin tegang. Apalagi ketika sekujur tubuhnya tiba-tiba tersengat hawa panas, bagaikan ada api yang menjalar begitu cepat "Akh!" jerit Ki Kuswara.
"Hngh...!" Mayat-mayat hidup itu menggeram keras.
Pada saat itu, tubuh manusia siluman yang tertusuk Keris Lekuk Pitu milik Ki Kuswara tiba-tiba bersinar hijau. Sinar itu terus membesar, menyelimuti sekujur makhluk itu. Kemudian menjalar ke tangan Ki Kuswara.
"Wua...!" Ki Kuswara menjerit setinggi langit, ketika tubuhnya tersengat sinar hijau yang keluar dari tubuh manusia siluman. Bagaikan arus listrik yang kuat, menyambar tubuhnya.
Ki Kuswara berusaha melepaskan cekalannya pada keris yang menancap dada lawan. Namun tangannya dirasakan telah melekat kuat pada keris itu. Sehingga sangat sulit baginya untuk dapat melepaskan tangannya. Bahkan semakin kuat berontak, semakin lengket tangannya pada gagang keris. Semakin kuat pula tenaga tarikan makhluk aneh itu.
"Hng!"
"Heik-heik!"
"Wuk wek-wek!" Ketiga mayat hidup itu berbicara dengan bahasa mereka yang tak dimengerti Ki Kuswara.
Kepala desa itu terus berusaha melepaskan pegangan tangannya pada gagang keris. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalamnya, namun tetap tak mampu melepaskan tangan yang melekat pada gagang keris.
"Ukh!" Ki Kuswara melenguh lirih. Wajahnya semakin pucat pasi, setelah tenaga dalam terkuras habis. Matanya membelalak tegang sekarat "Wua...!" Diiringi jeritan tertahan. Ki Kuswara akhirnya terkulai lemas. Nyawanya melayang dengan keadaan tubuh mengerikan. Sekujur wajah dan tubuhnya pucat pasi bagaikan tak berdarah. Matanya melotot.
"Zzsst! Zzsst!" Kedua mayat hidup lainnya menganggukanggukkan kepala.
"Hng!" Usai melepaskan tubuh Ki Kuswara, ketiga mayat hidup menjatuhkan sesuatu dari tangannya tepat di muka kepala desa itu. Ternyata sebuah benda berupa gambar makhluk aneh bermata merah darah! Ketiga makhluk aneh menghilang, bersama asap yang menyelimuti mereka. Mereka masuk ke tanah, setelah berubah menjadi asap tebal kemerahan.

┌≡֍≡¦ 2 ¦≡֎≡┐

Sore telah datang, mentari menggelincir di ufuk barat. Sebentar lagi raja siang itu akan tenggelam, kemudian hadir kegelapan yang membawa suasana mencekam. Para petani pulang dari sawah dengan peralatan terpanggul di pundak.
Burung-burung pun berterbangan pulang ke sarang masing-masing dengan suara bersahutsahutan. Cahaya merah tembaga membias di kaki langit sebelah barat, seakan ingin menyongsong malam yang hampir tiba. Desir angin senja hari menghembuskan hawa dingin, seperti datang bersama kegelisahan.
Dua sosok bayangan nampak melangkah perlahan di keremangan senja. Kedua muda-mudi itu saling bersenda-gurau dengan riangnya, menikmati suasana senja yang indah.
"Kakang, nampaknya desa ini tengah berduka," kata gadis cantik berpakaian putih dengan rambut digelung dua di atas.
Kulit gadis itu kuning langsat, hidungnya tidak terlalu mancung.
Matanya agak sipit, dihiasi bulu-bulu lentik.
"Hm," gumam pemuda berpakaian rompi kulit ular, berambut gondrong agak berombak.
Kulit pemuda itu bersih, wajahnya tampan.
Sangat serasi pasangan muda-mudi itu.
Yang lelaki tampan dan gagah, sedangkan yang perempuan cantik dan elok. Di pundak gadis cantik yang berpakaian Cina, tersandang sebilah pedang. Sedangkan pemuda itu, nampak di pinggangnya terselip sebuah suling berkepala naga.
Dilihat dari senjata dan pakaian yang disandang, kedua sejoli itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila dengan kekasihnya, Mei Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa. Pedang di pundaknya tentu Pedang Bidadari.
Pendekar Gila meringis sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang ke sekeliling yang nampak sunyi dan sepi. Ada panji-panji atau benda berwarna hitam terpancang di pintu masuk desa, yang menandakan bahwa desa tengah berkabung.
"Aha, mungkin kematian biasa, Mei Lie."
"Tapi, Kakang...," potong Mei Lie.
"Aha, kau begitu nakal, Mei Lie! Ayolah, kita cepat pergi! Sebentar lagi malam tiba. Kita harus segera mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil meng-gandeng tangan kekasihnya. Namun gadis cantik itu menolak.
"Tunggu, Kakang! Firasatku mengatakan, pasti telah terjadi sesuatu di sini." Sena tertawa-tawa mendengar penuturan Mei Lie. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak seperti monyet. Hal itu membuat Mei Lie merengut.
Pendekar Gila langsung menghentikan tingkahnya yang persis orang gila itu, setelah melihat sang Kekasihnya cemberut.
Dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Sena menghela napas panjang.
"Hih hi hi! Nakalmu semakin jadi, Mei Lie.
Ah ah ah, tentunya di desa ini memang telah terjadi sesuatu. Kematian, bukan?" goda Sena, semakin membuat Mei Lie bertambah merengut. Matanya mendelik ke arah Pendekar Gila yang masih cengengesan.
"Uuh, Kakang!" keluh Mei Lie cemberut "Aku bersungguh-sungguh, Kakang."
"Aha, apa aku tidak, Mei Lie?" sahut Sena masih saja menggoda, semakin membuat Mei Lie bertambah mendelik kesal.
"Ah ah ah, gawat kalau begini. Sudahlah, Mei Lie! Sebentar lagi malam, kita harus segera mencari penginapan." Sena kembali mengajak Mei Lie meninggalkan tempat itu. Akhirnya gadis itu pun menurut Keduanya melangkah meninggalkan mulut desa itu. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba....
"Berhenti!" Sena dan Mei Lie terkejut. Namun keduanya segera membalikkan tubuh, melihat siapa yang telah menyuruh mereka berhenti. Nampak seorang lelaki berbadan kurus dengan kumis panjang melintang, berdiri dengan pandangan penuh rasa curiga kepada mereka. Di belakang lelaki itu berdiri beberapa orang warga desa. Wajah mereka pun menyiratkan kecurigaan terhadap kedua orang yang itu.
Tiba-tiba Sena tertawa terbahak-bahak.
Tingkah lakunya yang konyol muncul. Dia cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat Menyaksikan tingkah laku pemuda berpakaian rompi kulit ular, seketika lelaki yang berdiri paling depan mengerutkan kening keheranan.
"Rasa-rasanya aku pernah mendengar tentang pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila?" tanya lelaki itu dalam hati. Keningnya mengerut, memperhatikan penuh selidik pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Dan kalau tak salah, gadis ini yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa. Benarkah mereka...?"
"Hi hi hi...! Kalian ini aneh. Tiba-tiba menghentikan langkah kami" Hi hi hi...!" Sena masih konyol, menepuk-nepuk pantat sambil berjingkrak-jingkrak. Sedangkan Mei Lie nampak waspada, khawatir kalau orang-orang yang menghadangnya hendak bermaksud jahat "Siapa kalian"!" tanya lelaki bernama Rapuji itu ingin membuktikan dugaannya.
"Hi hi hi...! Lucu, lucu sekali kau, Kawan." Pendekar Gila semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kalian ingin tahu siapa kami. Baiklah, kami sepasang muda-mudi yang sedang bertualang mengikuti langkah kaki.
Nah, apakah belum jelas?"
"Apa kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa?" tanya Rapuji berusaha memas-tikan.
"Ya!" sahut Mei Lie menyela.
"Ada apa kalian menghadang kami?"
"O, maafkanlah tindakan kami yang lancang! Kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, kami mengharap sudilah kalian mampir dan singgah ke rumah kami," pin-ta Rapuji.
"Hm, untuk apa"!" tanya Mei Lie tegas.
"Aha, jangan galak begitu, Mei Lie! Bagaimana kalau kita ikuti saja permintaannya" Bukankah kita di sini merupakan tamu?" tanya Pendekar Gila berusaha menenangkan kekasihnya yang garang. Nampaknya Mei Lie masih ingat kejadian di Lembah Lamur, di mana orang-orang yang dekat dengannya kedapatan mati. Itu sebabnya dia tak mudah percaya dengan orang lain.
(Mengenai trauma Mei Lie, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Titisan Dewi Kwan Im").
"Baiklah! Tapi jangan sekali-kali bermaksud jahat! Aku tak segan-segan membunuh kalian! Bahkan seluruh penduduk desa ini akan kumusnahkan!" ancam Mei Lie.
"Baiklah, Nini Pendekar," sahut Rapuji penuh hormat.
"Aha, ayolah!" ajak Pendekar Gila.
Keduanya melangkah mengikuti Rapuji dan warga desa. Sementara langit di sebelah barat sudah tak menampakkan bias cahaya matahari.
Dan malam pun telah turun.

***

Rumah Rapuji nampak terang-benderang.
Lampu pelita besar dan lampu gantung yang biasanya tidak dipasang, malam itu dinyalakan semua. Sehingga suasana di dalam rumah itu, khususnya di beranda, terang-benderang. Tiga orang tampak duduk di kursi rotan, sementara yang lain duduk bersila di lantai. Nampaknya para warga tengah berkumpul, setelah kematian lurah mereka. Yang duduk di atas bangku, Sena, Mei Lie, dan Rapuji. Ketiganya tengah membicarakan perihal yang melanda Desa Tumpang yang baru saja dilanda malapetaka.
Kepada Pendekar Gila dan Mei Lie, Rapuji menceritakan peristiwa aneh yang terjadi kemarin di Desa Tumpang. Dengan tenang Mei Lie mendengarkan cerita itu. Sementara, Pendekar Gila tak henti-henti cengengesan sambil menggarukgaruk kepala selama Rapuji bercerita. Tentu saja sikapnya yang aneh dan lucu itu membuat para warga yang melihat tersenyum-senyum keheranan.
"Hm," Pendekar Gila bergumam. Sedangkan Mei Lie nampak terus memperhatikan dengan seksama setiap cerita yang dipaparkan Rapuji.
"Aneh, mayat-mayat dari mana?"
"Itulah yang kami pikirkan. Keris sakti milik Ki Lurah Kuswara yang bernama Lekuk Pitu hilang entah ke mana. Menurut orang yang melihat, keris itu masuk ke dada salah satu mayat hidup itu...."
"Heh"!" Sena tersentak dengan mata membelalak kaget.
"Hhh," desah Mei Lie. Wajahnya kelihatan geram mendengar cerita yang dituturkan Rapuji.
"Kurasa ada yang mendalanginya!"
"Entahlah. Ada atau tidak, kami rasa hal ini harus dicegah...," tandas Rapuji dengan suara geram.
"Hm," lagi-lagi Pendekar Gila bergumam tak jelas. Sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Apa mereka kalau keluar selalu malam hari?" tanya Mei Lie.
"Baru kali ini terjadi, Nini. Jadi...,"
"Hm, ada yang tahu persis" Bagaimana mula mereka keluar?" tanya Mei Lie.
"Saya, Nini Pendekar," sahut seorang lelaki setengah baya yang ternyata Pardi.
"Bisa, Bapak menjelaskan?" pinta Mei Lie yang disambut anggukan oleh Pardi.
Secara singkat dan jelas, Pardi pun menceritakan apa yang telah dialami bersama kedua peronda lainnya, yang salah satunya menjadi korban mayat-mayat hidup.
Selama Pardi bercerita Mei Lie memperhatikan dengan seksama. Sesekali mulutnya menggumam. Sedangkan Pendekar Gila tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya ada juga bangsa siluman yang ingin turut campur dengan urusan manusia.
Hi hi hi...! Lucu sekali," Sena tertawa cekikikan.
Tingkah lakunya semakin konyol, membuat semua orang yang ada di situ tersenyum-senyum melihatnya.
"Siluman...?" tanya Rapuji dengan mata membelalak.
"He he he...! Begitulah menurut dugaanku," jawab Sena sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Semua terdiam. Mereka merasakan ketegangan setelah mendengar penuturan Pendekar Gila. Hati mereka bertanya-tanya, dari mana siluman-siluman itu datang" Lalu hendak bermaksud apa mereka datang ke alam manusia"
"Hm, kalau benar mereka bangsa siluman, bagaimana kita harus menghadapi makhluk itu...?" tanya Rapuji nampak kebingungan. Jelas akan sulit sekali manusia biasa sepertinya dan warga desa untuk menghadapi makhluk-makhluk siluman. Hanya orang-orang yang menguasai ilmu gaib mampu menghadapi makhluk-makhluk dari alam gaib seperti itu.
Pendekar Gila nyengir. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepalanya. Dia pun belum bisa memutuskan untuk berbuat sesuatu atau mengambil kesimpulan. Sebab dia sendiri belum tahu seperti apa makhluk-makhluk siluman itu.
"Aha, sulit juga rasanya," gumam Sena ti-ba-tiba, menyentakkan semua orang yang ada di situ. Tak terkecuali Mei Lie yang seketika membelalakkan matanya. Hal itu membuat Pendekar Gila nyengir, lalu sambil garuk-garuk kepala melanjutkan, "Hi hi hi...! Kurasa, ada baiknya kita membicarakan masalah ini."
"Justru karena itulah, kami mengundang, Tuan Pendekar singgah di rumahku," sahut Rapuji.
"Bagaimana, Mei?" tanya Sena.
Mei Lie tak menyahut, hanya menganggukangguk kepala tanda setuju.
"Baiklah kalau begitu. Hm, hari hampir larut, kurasa kita harus secepatnya menyelesaikan pembicaraan. Bagaimana kalau kita berpencarpencar?" tanya Sena.
"Maksudmu?" tanya Mei Lie belum mengerti.
"Mungkin makhluk-makhluk siluman itu malam ini akan kembali datang. Dan..., kurasa ada sesuatu di desa ini. Bagaimana kalau kita menyelidikinya?" usul Pendekar Gila.
"Hm, aku setuju. Apa yang sekiranya menurut Tuan Pendekar baik, aku setuju saja," jawab Rapuji.
Mei Lie kembali hanya menganggukanggukkan kepala, menanggapi usul kekasihnya.
"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Sena.
"Kami setuju," sahut warga yang berada di rumah Rapuji.
"Aha, bagus! Kuminta beberapa orang untuk meronda. Kalau kalian melihat makhluk itu datang lagi, segera bunyikan kentongan sebanyak lima kali. Dengan begitu, aku dan Mei Lie akan segera datang," ujar Sena memberi saran.
"Gagasan yang bagus," puji Rapuji.
"Sementara yang lainnya, tolong ikuti Ki Rapuji untuk memeriksa desa ini. Aku dan Mei Lie akan berada di sebelah barat desa. Kita akan bertemu jika kita mendengar salah seorang membunyikan kentongan!" papar Sena menjelaskan.
"Baiklah, kalau begitu malam ini juga kita mulai," kata Rapuji.
Setelah mengatur rencana sebaik mungkin, mereka pun segera menjalankan keputusan itu.
Pendekar Gila dan Mei Lie melesat ke arah barat.
Sedangkan Rapuji dan warga desa berjalan ke timur. Lima orang warga nampak masih berada di rumah Rapuji berjaga-jaga dengan kentongan siap di tangan.
"Tolong...!" Baru saja mereka berpencar, tiba-tiba terdengar suara jeritan.
"Tolong! Gendruwo! Setan...!" Seorang wanita muda menjerit-jerit sambil berlari ketakutan. Mungkin karena takutnya, wanita cantik itu tak sadar kalau tubuhnya dalam keadaan setengah telanjang. Hanya kain yang menutup bagian bawah tubuhnya. Mendengar suara jeritan itu, Rapuji yang belum begitu jauh dari rumahnya langsung berbalik arah, diikuti beberapa warga yang menyertainya. Begitu pula yang dilakukan Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Ada apa, Sukarti?" tanya Rapuji mendapa-ti anaknya nampak ketakutan.
"Ada setan, Ayah! Setan itu membawa pergi Kangmas Anggoro!" ujar Roro Sukarti sambil menangis ketakutan.
"Hah! Anggoro, menantuku diculik"!" Rapuji tersentak, matanya membelalak tegang mendengar penuturan anaknya.
Anggoro dan Roro Sukarti baru saja menikah seminggu yang lalu. Kini tiba-tiba muncul mayat-mayat hidup menculik Anggoro.
Semua belum hilang dari kekagetan, tibatiba....
"Setan...!"
"Gendruwo...!" Terdengar teriakan-teriakan para penduduk sambil berlarian ketakutan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak melihat para penduduk berteriak-teriak ketakutan.
Tingkahnya yang konyol, membuat Mei Lie melotot. Hal itu menjadikan Sena langsung diam.
Meski begitu Pendekar Gila tetap cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ada apa"! Ada apa ini?" tanya Rapuji kepada para warga.
"Rumah kami dirampok!"
"Anak kami yang masih perjaka diculik!"
"Suami saya dibawa. Padahal kami baru menikah bareng dengan Den Sukaiti," seorang gadis muda berkulit kuning langsat dan manis menangis tersedu-sedu.
Rapuji semakin melongo bengong. Dia tidak tahu harus berbuat apa menghadapi para warga beramai-ramai melaporkan kejadian di rumah mereka. Lelaki setengah baya yang menjabat sebagai Ketua Desa Tumpang setelah tewasnya Ki Lurah Kuswara itu tampak kebingungan. Dirinya tak habis pikir untuk apa para lelaki muda diculik oleh makhluk-makhluk aneh itu.

***

Belum tuntas Rapuji dan Pendekar Gila mendengar keterangan dari para warga yang telah dilanda malapetaka itu, tiba-tiba datang pula beberapa orang dari arah selatan. Mereka melaporkan baru saja mendengar kejadian serupa di Desa Kaliwalang. Mendengar laporan itu, Rapuji disertai Pendekar Gila, Mei Lie, dan para warga langsung berlari menuju Desa Kaliwalang yang merupakan desa terdekat dengan Desa Tumpang.
"Ada apa, Ki Rapuji...?" tanya Ki Lurah Rejasa menyambut Rapuji dan beberapa warga Desa Tumpang. Rapuji menceritakan semua yang terjadi.
Hal itu menjadikan mata Ki Lurah Rejasa membelalak.
"Sama dengan kejadian kemarin," gumam Ki Lurah Rejasa.
"Aku heran, untuk apa lelaki-lelaki muda dan tampan dibawa pergi" Kemudian keesokan harinya mereka telah menjadi mayat dengan keadaan mengerikan sekali. Bukankah warga desa sini juga melihatnya?" Para warga semua terdiam, tak ada yang berkata. Semua tengah berpikir, bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi di desa mereka ini. Dan apa yang dikehendaki manusiamanusia siluman itu.
Hanya Pendekar Gila yang masih tersenyum-senyum. Malah bersiul-siul. Wajahnya memandang ke langit yang gemerlapan.
"Em... kalau aku boleh tahu, apakah orang-orang yang diculik pernah melakukan sesuatu pelanggaran. Berbuat jahat misalnya?" Mei Lie menyelidik. Gadis itu masih memegangi Pedang Bidadari-nya yang mampu mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan.
Kedua pimpinan desa itu terdiam, berusaha mengingat-ingat apa yang pernah dilakukan warganya yang hilang diculik.
"Kami rasa tidak," sahut Rapuji.
"Tapi anehnya, mayat-mayat hidup itu memilih para lelaki muda yang gagah dan berwajah tampan...," sambut Ki Lurah Rejasa.
"Hm, aneh. Untuk apa lelaki-lelaki itu?" gumam Mei Lie sambil memasukkan pedang ke dalam warangkanya. Seketika suasana di sekitar tempat itu menjadi gelap gulita.
Warga desa baru tersentak kaget. Mereka semua baru sadar kalau yang membuat suasana di tempat itu terang, ternyata berasal dari pedang Mei Lie. Dengan mata terbelalak, mereka berde-cak kagum. Tak henti-hentinya mereka memandang wajah Mei Lie, lalu beralih ke Pendekar Gila yang masih acuh dan cengengesan.
"Kalau boleh kami tahu, apakah kalian?" tanya Ki Lurah Rejasa pada Sena dan Mei Lie, dengan menyipitkan kedua matanya.
Melihat Ki Lurah Rejasa dan para warga Desa Kaliwalang tertegun keheranan terhadap Pendekar Gila dan Mei Lie, Rapuji tampak tersenyum. Lalu menoleh ke arah kedua pendekar muda itu.
"Mereka adalah Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa," ujar Rapuji memberitahukan.
Seketika Ki Lurah Kaliwalang dan warganya tersentak kaget. Mereka memang sering mendengar nama keduanya, tapi baru kali ini melihat orangnya.
"O, terimalah salam hormat kami!" Ki Lurah Rejasa langsung menjura hormat di hadapan Pendekar Gila dan Mei Lie. Begitu pun para warga Desa Kaliwalang, mereka membungkuk memberi hormat tanpa diperintah.
"Aha, sudahlah! Tak perlu kalian berlaku begitu! Yang penting sekarang bagaimana kita berusaha mencari kesepuluh penduduk yang hilang," kata Sena mengalihkan pada masalah pokok Semua terdiam, tak seorang pun yang da- pat menjawab pertanyaan itu. Mereka tak tahu dari mana manusia-manusia siluman itu muncul.
Apalagi untuk mengetahui di mana markas mereka berada.
"Bagaimana kalau kita mencarinya di sekeliling desa?" tanya Mei Lie menyarankan.
"Setuju saja! Tapi, apakah mungkin berada di sekitar desa ini?" tanya Ki Lurah Rejasa.
"Mengenai itu aku tak tahu. Yang pasti, kita harus berusaha mencarinya," tukas Mei Lie.
"Aha, benar juga pendapatmu, Mei Lie.
Nah, bagaimana?" sambung Pendekar Gila.
?"Kalau begitu, sebaiknya memang segera bertindak," tambah Rapuji.
"Aha, tidakkah kita harus memakai obor" Siapkanlah obor," kata Pendekar Gila.
Para penduduk bergegas mencari obor.
Kemudian setelah semuanya selesai, mereka pun dipecah menjadi empat bagian. Masing-masing bergerak ke utara, timur, selatan, dan barat. Suasana di dua desa itu seketika menjadi ramai. Di sana-sini obor menyala, menerangi suasana gelapnya malam. Suara kentongan pun sahutmenyahut, semakin membuat suasana kedua desa bertambah riuh.
Namun setelah seluruh pelosok desa dikelilingi, tidak juga mereka menemukan tanda-tanda adanya tempat yang mencurigakan. Hal itu menjadikan semuanya terheran-heran dan bingung, harus bagaimana lagi untuk dapat menemukan beberapa warga desa yang hilang.
"Hhh..., bagaikan mencari jejak di dalam air. Tak mudah bagi orang-orang macam kita memburu makhluk siluman yang tak meninggalkan jejak," gumam salah seorang warga Desa Tumpang.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Kita seperti main petak umpet dengan para siluman," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Mei Lie menyapukan pandangannya ke sekeliling tempat mereka berada. Namun sama seperti para warga, tak menemukan tanda-tanda kalau di tempat itu ada yang mencurigakan. Sementara malam kian larut. Namun di sana-sini masih terdengar suara kentongan dipukul oleh para warga yang masih bersemangat mencari.
Dan tiba-tiba....
"Ingat Pendekar Gila dan kau Bidadari Penyabut Nyawa! Kalian telah ikut campur dalam urusan ini! Kalian akan menyesal...!" Terdengar suara keras dan berkumandang mengancam Pendekar Gila dan Mei Lie. Suara itu seolah-olah berasal dari langit. Dan dari jenis suaranya, ancaman itu sepertinya diucapkan oleh seorang wanita.
Orang-orang tersentak kaget mendengar suara tanpa wujud pemiliknya. Mereka kebingungan mencari-cari suara itu dengan mendongakkan kepala ke langit yang hanya tampak gelap gulita. Sementara itu, Pendekar Gila justru tertawa terbahak-bahak, sepertinya tak takut sama sekali dengan ancaman yang baru saja didengarnya. Bahkan dengan suara lantang Sena balas, "Ha ha ha...! Siluman jelek! Jangan kira aku takut menghadapimu! Ayo, keluarlah! Biar kujitak pan-tatmu! Hua ha ha...!" tubuh Sena turut bergetar, karena tawanya yang terpingkal-pingkal. Kemudian dengan konyol Pendekar Gila menunggingkan pantat ke atas sambil berseru, "Nih, kentut busukku! Bruut..!" Pendekar Gila kembali tertawa-tawa sambil berjingkrakan tak ubahnya seperti monyet. Hal itu menjadikan semua penduduk yang ada di tempat itu terbengong-bengong. Heran bercampur kagum atas keberanian Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Tunggulah saatnya nanti, Bocah Gila!" suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih kuat dan menggelegar, seakan diucapkan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat.
"Hua ha ha! Lucu sekali kau, Siluman! Seharusnya akulah yang mengancammu. Karena kau telah berani melanggar ketentuan Hyang Widhi. Kau telah berani melanggar garis alam!" dengus Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Lalu setelah berjingkrak-jingkrak kembali, ditunggingan pantatnya, "Nih kentutku. Brutt...!" Suasana tegang yang menyelimuti warga desa, seketika berubah oleh tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu.
Wuuss...! Tiba-tiba angin bertiup kencang laksana badai, menjadikan semua warga desa tersentak kaget. Angin besar itu datang dari arah selatan.
"Aha, rupanya kau mau bercanda denganku, Siluman Jelek"! Baik. Ayo, kita main-main petak umpet!" Sena melangkah mundur, tangannya bergerak memerintahkan pada semua warga agar bertiarap.
"Kalian mundur semua! Mei Lie, jaga mereka!"
"Baiklah, Kakang...." Setelah para penduduk mundur, Sena segera menyatukan telapak tangan di depan dada, kemudian diangkatnya lurus ke atas kepala. Lalu digerakkan melebar ke samping. Dan setelah menarik napas dalam-dalam...
"'Inti Bayu'. Hea...!" diiringi teriakan keras, dihempaskan tenaga dalamnya lewat kedua telapak tangan. Seketika itu pula serangkum angin dahsyat laksana prahara menderu kencang. Angin 'Inti Bayu' bergerak kencang, menerjang angin badai yang entah dari mana datangnya.
Wss! Jlegar! Ledakan dahsyat pun terdengar, ketika dua angin besar laksana badai saling bertabrakan di udara. Akibat dari ledakan menggelegar itu, tanah di bawahnya hancur berhamburan, hingga membentuk sebuah lubang besar dan dalam.
Sesaat kemudian suasana kembali sepi, tak terdengar suara angin maupun ancaman.
"Hm," gumam Sena tak jelas. Kepalanya mendongak melihat ke atas, tempat suara ancaman tadi terdengar.
"Malam ini, kurasa dia agak sedikit kapok" Namun tiba-tiba Sena sangat terkejut, ketika dilihatnya di antara kerumunan penduduk tak tampak Mei Lie. Sena menggaruk-garuk kepala.
"Mei Lie"! Kau lihat Mei Lie, Ki Rapuji..."!" tanya Sena pada Rapuji. Matanya terus mencaricari Mei Lie. Srak! Wess! Sesosok bayangan merah berkelebat cepat membopong sosok tubuh berpakaian putih.
"Mei Lie"!" Sena tersentak kaget melihat sosok bayangan itu membawa kekasihnya.
Pendekar Gila cepat mengejarnya. Namun sosok yang membawa Mei Lie sudah menghilang.
Pemuda itu nampak cemas dan menggaruk-garuk kepala.
"Bodoh sekali aku ini!" gumam Pendekar Gila kesal.

┌≡֍≡¦ 3 ¦≡֎≡┐

Sesosok bayangan kemerahan melesat begitu cepat menembus kegelapan malam. Bagaikan tak menghiraukan dinginnya hawa yang menusuk ke tulang sumsum, sosok bayangan yang ternyata seorang lelaki tua itu terus berkelebat. Di pundaknya tampak sesosok tubuh wanita berpakaian putih, terkulai lemas seperti mati. Lesatan cepat yang dilakukan lelaki tua berjubah merah itu menandakan bahwa ilmunya tak dapat dianggap remeh. Gerakannya yang secepat kilat tak dapat dilihat mata biasa.
Lelaki tua bercambang panjang dan lebat itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya yang tajam menatap liar ke sekeliling tempat itu.
Kini jelas, sosok berpakaian putih yang dipanggulnya tak lain Mei Lie. Kekasih Pendekar Gila.
Rupanya sewaktu Pendekar Gila tengah mengerahkan ajian 'Inti Bayu', menggempur serangan angin badai, lelaki tua berjubah merah itu mendapatkan saat yang tepat untuk menotok Mei Lie. Mei lie pun lengah dan tak menduga kalau ada orang yang tengah mengintainya.
"Ha ha ha...! Aku akan berkuasa! Aku akan dapat menguasai Jawa Dwipa ini. Ha ha ha...!" lelaki tua itu tertawa terbahakbahak.
"Ternyata Pendekar Gila hanya seorang pendekar bodoh...!" kemudian tubuhnya melesat kembali meninggalkan tempat itu.
Lelaki itu berharap impiannya untuk menguasai semua tokoh persilatan di Jawa Dwipa akan menjadi kenyataan. Ia masih teringat wangsit yang diturunkan untuk dirinya. Wangsit itu mengatakan: "Siapa yang dapat memperistri seorang gadis bergelar Bidadari Pencabut Nyawa atau Titisan Dewi Kwan Im, maka kelak akan menjadi tokoh sakti. Selain itu akan menguasai tanah Jawa Dwipa dan Andalas, serta menurunkan raja-raja di Pulau Andalas".
Lelaki tua itu terus berlari semakin cepat, seakan tak ingin ada orang lain melihatnya. Namun ketika melintasi sebuah hutan kecil yang tak seberapa luas, tiba-tiba....
"Datuk Tambureh, tunggu...!" Lelaki berjubah merah darah tak menghiraukan seruan itu. Hatinya sudah menduga siapa orang yang memanggilnya. Lelaki tua yang dipanggil Datuk Tambureh itu terus berlari. Hal itu karena hatinya telah menaruh rasa curiga terhadap tokoh-tokoh persilatan di Tanah Jawa.
Ternyata lelaki berjubah merah yang bernama Datuk Tambureh inilah tokoh sesat yang akhir-akhir ini sering membuat keonaran. Lelaki tua itu mampu membangunkan mayat-mayat orang jahat dari dalam kubur. Demi tujuan dan cita-cita yang telah lama didambakannya.
Suatu wangsit telah turun atas dirinya melalui Dewi Ratu Maksiat, yang juga ibu angkatnya.
Datuk Tambureh melakukan penculikan terhadap para lelaki muda dan tampan untuk dipersembahkan kepada ibunya yang menganut ilmu pembuat awet muda. Dengan bersetubuh dan meminum darah para pemuda tampan Dewi Ratu Maksiat bisa terus awet muda.
"Datuk...! Datuk Tambureh, tunggu...!" Orang itu kembali berseru sambil berlari mengejar lelaki tua berjubah merah. Dalam sekejap saja, tubuh orang itu berkelebat cepat menyusul Datuk Tambureh, bahkan tiba-tiba telah menghadangnya.
"Berhenti!"
"Apa urusanmu, Orang Usil!" bentak Datuk Tambureh geram.
Lelaki bercadar biru itu tersenyum mengejek.
"Datuk, rupanya kau pun menghendaki gadis itu. Hem, aku pun jadi ingin merebutnya dari tanganmu."
"Bedebah! Jangan, bermimpi!"
"Kenapa tidak, Datuk...!" tiba-tiba terdengar suara orang lain membentaknya, menjadikan sang Datuk tersentak kaget dan memalingkan wajah ke arah suara bentakan itu.
"Hm...! Rupanya kalian bersekongkol hendak merebut gadis itu. Heh..., jangan kira kalian akan mampu merebutnya.
Langkahi dulu mayatku!"
"Begitu?" tanya orang yang baru datang dengan sinis. Lelaki berpakaian serba hitam itu ternyata Bulus Wulung yang telah mengejar Datuk Tambureh setelah mendengarkan keterangan dari ketiga pengusung. Seperti Datuk Tambureh, kedua orang yang mengejarnya pun telah mengira siapa adanya Putri Kumala Dewi yang menurut wangsit kelak akan menurunkan raja-raja di Pulau Andalas. Karena berpegang pada wangsit itulah, ketiga orang tersebut segera memburunya.
Kini putri tersebut berada di tangan Datuk Tambureh, sehingga kedua orang pengejar itu pun mau tak mau harus menghadang lelaki berjubah merah.
"Ya, begitu, tak ada jalan lain," jawab Datuk Tambureh sinis.
"Hem, kita bertiga," gumam Bulus Wulung yang mengenakan pakaian serba hitam dengan kedok hitam.
"Tak apa. Yang penting salah seorang di antara kita harus dapat menjadi pemenangnya," orang bercadar biru menyarankan, "Bagaimana kalau kita langsung saling menyerang?"
"Tak mungkin. Pasti ada kecurangannya," sela Datuk Tambureh.
"Kau rupanya takut, Datuk!"
"Bedebah! Jangan kira aku takut menghadapi kalian berdua. Ayo, kalian maju bareng mengeroyokku! Datuk Tambureh tak akan mundur menghadapi orang macam kalian," habis berkata begitu, serta-merta Datuk Tambureh mengibaskan tangannya. Dari kibasan tangan, keluar ratusan jarum berwarna ungu, melesat ke arah kedua orang tersebut.
"Awas serangan!" pekik Bulus Wulung memperingatkan pada rekannya yang dengan segera berkelebat sambil mengibaskan lengan bajunya.
"Datuk edan! Rupanya kau memang ingin segera mampus!" bentak orang bercadar biru. Napasnya mendengus bagaikan memendam kekesalan yang hendak ditumpahkan pada Datuk Tambureh.
"Terimalah pembalasan dariku! Hiat...!" orang bercadar biru itu menghantamkan tangan kanannya ke arah Datuk Tambureh. Sang Datuk terkesiap kaget, melihat larikan sinar putih melesat dari telapak tangan lawan.
"Hah...! Kaukah Barong Culla?" Datuk Tambureh terkejut setelah tahu siapa adanya orang bercadar biru itu.
"Kenapa kau ikut campur dalam urusan ini, Barong Culla!"
"Hua ha ha...! Ternyata matamu belum begitu rabun, Datuk" Nah, bila sudah tahu siapa aku, mestinya kau menyembah dan rela memberikan gadis itu, padaku...," kata lelaki bercadar biru yang ternyata bernama Barong Culla.
"Enak saja kau ngomong! Aku bersusahpayah menculiknya, tiba-tiba kau menginginkan hasil jerih payahku?" bentak Datuk Tambureh.
"Walaupun namamu sudah setinggi langit, Datuk Tambureh tak gentar sedikit pun menghadapimu. Apalagi menghadapi Bulus Wulung kere macam temanmu itu!"
"Setan! Rupanya kau memang harus kuhajar!" bentak Bulus Wulung marah, karena ucapan Datuk Tambureh dirasakan sangat menganggap remeh dirinya. Betapapun Bulus Wulung merupakan anggota Panca Leluhur Sakti yang tidak dapat dipandang remeh. Mendengar ucapan Datuk Tambureh, darahnya seketika mendidih.
"Jangan sombong, Datuk! Kalau kau memang jantan, hadapilah aku!" Sang Datuk yang telah siap-siap akan menghadapi dua orang sekaligus, tak mau kalah berkata lantang.
"Majulah kalian berdua sekaligus, jangan tanggung-tanggung! Biar lebih cepat selesai!" Tak dapat lagi dibayangkan kemarahan dua orang tokoh dari Pulau Jawa dengan ejekan lawan. Serta-merta keduanya berkelebat menyerang Datuk Tambureh. Serangan kedua tokoh persilatan yang berbeda perguruan itu tampak begitu kompak. Keduanya berganti-ganti melancarkan serangan cepat. Namun begitu, sang Datuk bagaikan tak merasa sedikit pun. Meskipun lelaki tua itu memanggul tubuh Mei Lie, gerakannya tetap lincah.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Ketiganya seperti tak mengenai lelah, saling gempur dengan jurus-jurus yang mereka miliki. Entah berapa puluh jurus yang dikeluarkan. Karena begitu cepat pertarungan yang mereka lakukan, ketiganya telah terlibat dalam pertarungan sengit dengan jurus andalan masing-masing.
"Celaka!" Datuk Tambureh tersentak kaget, ketika menyadari dirinya kini telah sampai di tepi jurang, terdesak oleh kedua lawan yang nampak makin beringas.
"Kalau begini terus-menerus, akulah yang akan kalah. Aku harus mencari ak-al." Bulus Wulung dan Barong Culla kurang waspada memperhatikan gerak-gerik sang Datuk.
Keduanya terjebak oleh serangan-serangan yang mereka lancarkan.
Melihat musuhnya mendesak ke pinggir jurang, serta-merta Datuk Tambureh memekik keras. Lalu setelah berbuat begitu, tiba-tiba tubuhnya melenting bersamaan dengan serangan yang dilancarkan Bulus Wulung dan Barong Culla.
Tanpa dapat dihindari, kedua orang bertutup muka itu meluncur deras ke jurang.
"Akh...!"
"Hua ha ha...! Terjunlah kalian! Selamat berpisah, dan bahagialah kalian di akherat sana!" Setelah sesaat memandang ke dasar jurang, Datuk Tambureh dengan masih tertawatawa berkelebat meninggalkan tempat itu dengan memanggul tubuh Mei Lie.
Walau dalam keadaan tertotok, saat itu ternyata Mei Lie telah siuman dari pingsannya.
Sehingga ia pun dapat menyaksikan betapa kedua orang bercadar itu menemui ajalnya dengan tragis.
"Siapa sebenarnya orang ini" Sangat licik dan berilmu tinggi," tanya Mei Lie dalam hati. Gadis itu merasa cemas, karena lelaki berjubah merah itu merupakan orang bam dalam penglihatannya.
"Anak manis, kau akan kubawa ke pulau tempatku tinggal. Di sana tak seperti di Jawa ini yang serba keras. He he he...!" Setelah berkata kepada Mei Lie yang masih dalam keadaan tertotok, Datuk Tambureh melesat meninggalkan tempat itu.

***

Tak lama setelah Datuk Tambureh pergi, nampak Pendekar Gila di dekat Jurang Wadas Parang. Wajahnya nampak murung, kakinya terus melangkah menuju ke tepi jurang itu. Sesaat Sena berhenti. Berdiri sambil memandang sekeliling tempat itu. Mulutnya cengar-cengir sendirian. Sedangkan tangannya terus menggaruk-garuk kepala. Mata Pendekar Gila tiba-tiba membelalak, ketika melihat beberapa tapak kaki yang masih jelas membekas di tanah agak basah.
"Ah, rupanya baru saja ada pertarungan di sini," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Sena segera menyelusuri jejak-jejak kaki itu. Hatinya merasa heran ketika mengetahui bahwa telapak-telapak kaki itu ternyata membawanya ke tepi jurang. Seketika mata Pendekar Gila semakin menyipit, tatkala dilihatnya jejak-jejak kaki itu hilang tepat di bibir jurang.
"Tak salah!" gumam Sena sambil memandang ke dasar jurang yang nampak gelap gulita.
"Heh, benar!" Sena memekik setelah mena-jamkan pendengarnya.
Tiba-tiba terdengar suara orang dari dalam jurang. Namun belum nampak orangnya.
"Hai, Kisanak yang berada di atas, dapatkah menolong kami?"
"Hi hi hi...! Ternyata di bawah sana bukan hanya seorang," gumam Pendekar Gila sedikit kaget Sejenak Pendekar Gila berpikir, akan ditolong atau tidak kedua orang itu. Sebab dia belum tahu yang di dalam jurang itu orang jahat atau baik. Tampak tangannya mulai menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
"Hai...! Kawan yang di atas, apakah kau tak mendengar seruan kami ini"!" terdengar kembali seruan seorang yang berada di bawah. Pendekar Gila kembali berpikir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku harus menolong kedua orang di bawah sana. Siapa tahu mereka bisa memberi kete- rangan padaku. Mungkin mereka melihat orang yang membawa Mei Lie," kata Sena dalam hati.
Sesaat lamanya suasana kembali sunyi, tak terdengar lagi teriakan orang dari dalam jurang.
"Hai...! Aku akan menolongmu. Tap kalian harus mau menjawab pertanyaanku dengan ju-jur...." Kedua orang di bawah jurang, Bulus Wulung dan Barong Culla nampak saling pandang.
Keduanya terluka di bagian kepala dan punggung.
"Apa yang akan kau tanyakan, Kawan.."!" seru Barong Culla sambil mendongak ke atas.
"Apa kalian tadi melihat seseorang lewat di sini memanggul seorang wanita..."!" Pendekar Gi-la menengok ke bawah seakan-akan ingin melihat kedua orang itu. Namun suasana gelap gulita dan kedalaman jurang membuatnya tak mampu melihat "Hah"!" gumam Bulus Wulung mengerutkan kening, "Yang dimaksud mungkin datuk keparat itu...!"
"Ya. Sebaiknya kita beritahu saja, siapa tahu kita peralat orang itu. Untuk menangkap Datuk Tambureh. Bagaimana"!" usul Barong Culla pada Bulus Wulung.
"Hai kalian yang di bawah, kenapa diam" Maukah kalian" Atau ragu terhadapku..., baiklah aku pergi...!" seru Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tunggu...! Kami setuju, sekarang cepat tolong kami!" seru Barong Culla.
"Hi hi hi...! Lucu orang-orang itu," gumam Pendekar Gila, "Baiklah, sebelum aku menolong kalian, cepat jawab pertanyaanku tadi! Nanti aku akan menolong kalian!" serunya kemudian.
"Hah"!" gumam Bulus Wulung sambil mengerutkan kening. Lalu menatap wajah Barong Culla, "Bagaimana...?"
"Apakah mulutmu bisa kami percaya"!" tanya Barong Culla.
"Ah ah ah! Kalian ternyata orang-orang yang terlalu banyak mulut Aku sudah tak ada waktu lagi, selamat tinggal...!" Selesai bicara begitu Pendekar Gila segera melesat pergi meninggalkan jurang itu.
"Hai! Kawan, tunggu!" seru Bulus Wulung dengan kesal dan cemas.
"Siapa orang di atas tadi..."! Kurang ajar...!" dengus Barong Culla sambil memukul telapak tangannya.
Barong Culla dan Bulus Wulung orangorang yang memiliki ilmu tinggi. Dengan tenaga dalam atau ilmu merusak tubuh, mereka dapat keluar dari jurang itu. Hanya saja keduanya mempunyai maksud jahat pada Pendekar Gila.
Dan itu diketahui oleh Sena yang mempunyai perasaan sangat peka.

┌≡֍≡¦ 4 ¦≡֎≡┐

Di kediaman Dewi Ratu Maksiat malah sedang diadakan suatu pesta untuk menyambut keberhasilan Datuk Tambureh, anak angkatnya Dewi Ratu Maksiat yang bernama Asri Srintil Arum. Ruangan cukup luas di sebuah goa yang terletak di kaki Gunung Kelud, suasana tampak semarak. Dewi Ratu Maksiat dikelilingi empat lelaki muda yang telah menjadi abdinya sebagai pemuas nafsu. Pelampiasan nafsu kepada para lelaki muda itu merupakan syarat utama untuk menciptakan ilmu kekebalan dan awet muda yang dimiliki Dewi Ratu Maksiat "Hi hi hi...! Putraku Tambureh, kau telah melaksanakan tugas dengan baik, untuk ibumu...," kata Dewi Ratu Maksiat seraya tersenyum bangga. Mata wanita cantik itu menatap lembut Datuk Tambureh. Pakaiannya yang tipis terbuat dari sutera merah, hanya menutupi bagian dada dan bagian bawah sampai perut.
"Terima kasih, Bu...," sambut Datuk Tambureh sambil menundukkan kepalanya.
"Dan kau telah berhasil menculik si Bidadari Pencabut Nyawa. Aku bangga mempunyai putra seperti kau. He he he...! Aku akan menguasai dunia ini. Dan putra angkatku, Datuk Tambureh akan menjadi orang yang paling sakti dan ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan di Jawa Dwipa ini. Hi hi hi...!" ujar Dewi Ratu Maksiat diiringi tawanya yang cekikikan.
"Tapi ingat, kau harus segera pergi dari tanah Jawa Dwipa ini! Dan bawa gadis Cina itu ke Pulau Andalas!" lanjutnya.
"Baik, Bu...," jawab Datuk Tambureh patuh.
"Tapi, bagaimana kalau Pendekar Gila mengetahui hal ini..."!" lelaki berjubah merah itu tak mampu menyembunyikan rasa cemasnya.
Sejenak Dewi Ratu Maksiat mengerutkan kening, tak langsung menjawab pertanyaan Datuk Tambureh. Kemudian ditariknya seorang lelaki yang ada di sisi kirinya, lalu memerintahkan agar menciumi dada dan seluruh tubuhnya. Lelaki yang telah menjadi budak nafsu wanita itu menyanggupi.
"Jangan pikirkan itu, Tambureh! Aku bisa mengatasi Pendekar Gila dengan caraku! Apa kau lupa, aku memiliki seribu cara dan tipu muslihat"! Percayalah pada ilmu ini, Tambureh...! He he he.... Aaahhh!" Dewi Ratu Maksiat lalu mendesah merasakan raba dan ciuman lelaki yang menjadi budak nafsunya. Datuk Tambureh hanya menghela napas dan menggeleng kepala, melihat tingkah laku ibu angkatnya itu. Namun dia bisa memaklumi, lalu tersenyum-senyum.
"Besok, pagi-pagi buta kau harus segera berangkat, Tambureh. Mengerti"!" kata Dewi Ratu Maksiat sambil membuka penutup dadanya. Lalu didekapnya kepala lelaki yang menjadi budak nafsunya ke dalam dadanya yang bagus dan agak besar itu. Dewi Ratu Maksiat mendesah dan merintih merasakan nikmatnya permainan itu.
Datuk Tambureh lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan itu dengan menggelenggelengkan kepala.
Ketika sampai di satu ruangan lain. Datuk Tambureh nampak seperti memikirkan sesuatu.
Dia mondar-mandir di ruangan yang nampak sepi dan gelap itu.
"Kenapa aku mesti pergi ke Pulau Andalas"! Tidak! Aku tak mau dikatakan oleh Pendekar Gila sebagai pengecut, karena telah melarikan kekasihnya. Tidak!" sentak Datuk Tambureh lirih, seolah bicara pada diri sendiri.
Kembali Datuk Tambureh berpikir sambil memegangi keningnya. Sejenak dia memandang ke sebuah pintu ruangan yang ada di sebelah kirinya.
"Tapi, kalau ibuku tahu aku tak berangkat, dia akan murka...! Aku harus mencari akal. Aku tak ingin kembali ke Pulau Andalas, sebelum bisa menuntaskan urusanku dengan Pendekar Gila.
Aku akan berterus terang pada Pendekar Gila, bahwa aku mencintai kekasihnya dan akan mengawininya," kata Datuk Tambureh dalam hati.
Setelah berkata begitu, Datuk Tambureh melangkah menuju kamar itu dan masuk. Lalu buru-buru ditutup pintunya.
Di dalam kamar itu ternyata ada seorang gadis berpakaian silat warna putih dengan rambut panjang. Matanya yang bening dan bulu mata lentik. Wajahnya yang pucat, menatap sinis Datuk Tambureh yang memandangnya.
"Kenapa kau memandangku demikian rupa..." Kau benci padaku, Nini Mei Lie?" tanya Datuk Tambureh dengan suara berat "Huh...!" gumam Mei Lie, lalu melengos.
"Heh he he...! Kau tambah cantik kalau cemberut Nini Mei Lie. Aku suka...," kata Datuk Tambureh sambil melangkah mendekati Mei Lie yang membelakanginya. Lalu Datuk Tambureh memegangi bahu kanan gadis itu. Namun dengan cepat Mei Lie menepiskan tangan Datuk Tambureh, lalu disusul dengan tamparan tangan kanannya. Plak! Plak! Datuk Tambureh hanya senyum. Matanya menatap tajam wajah Mei Lie. Tatapannya seperti mengandung hipnotis. Seketika Mei Lie terdiam, lalu kembali melengos, membuang muka. Si Bidadari Pencabut Nyawa itu takut jika menatap terus mata lelaki tua itu, dia akan terkena ilmu si-hirnya.
"Kalau kau memang merasa paling jago, kembalikan pedangku! Dan kita adu ilmu...!" kata Mei Lie dengan nada penuh emosi.
"Ha ha ha.... Hebat! Aku paling suka dengan wanita seperti kamu ini. Tak salah kalau Pendekar Gila memilihmu, Anak Manis. Ha ha ha...! Asal kau tahu saja, keinginanmu tak akan pernah terpenuhi. Dan perlu kau ingat, Pendekar Gila umurnya tak akan lama. Aku akan menghancurkannya...! Ha ha ha...!" kata Datuk Tambureh memanas-manasi Mei Lie.
Lalu Datuk Tambureh berbalik dan melangkah pergi sambil tertawa-tawa. Mei Lie yang merasa diremehkan, menjadi marah. Tanpa pikir panjang, kekasih Pendekar Gila itu, segera berbalik lalu....
"Yeaaa...." Sambil memekik keras Mei Lie melancarkan serangan. Namun Datuk Tambureh bukan orang biasa. Serangan dengan menggunakan pukulan jarak jauh itu dapat dimentahkan, karena Datuk Tambureh dengan cepat mengibaskan tangan kanan dan menghentakkan ke arah Mei Lie, tanpa menoleh sedikit pun. Kibasan tangan kanan Datuk Tambureh mengeluarkan angin kencang dan mengeluarkan hawa panas. Mei Lie tersentak kaget. Dan seketika tubuh gadis itu terdorong ke belakang dan jatuh membentur dinding.
"Ukh...!" Mei Lie memekik tertahan.
"Kuperingatkan, jangan kau ulangi tindakanmu ini! Aku bisa membunuhmu. Tapi itu tak akan aku lakukan. Karena sebentar lagi kau akan menjadi istriku...!" tutur Datuk Tambureh bangga. Lalu kembali tertawa terbahakbahak dan ke- luar dari kamar itu.

***

Kembali kepada Dewi Ratu Maksiat yang sedang bercumbu dengan para budak pemuas nafsunya di atas pembaringan. Desah dan rintihan terus terdengar. Dewi Ratu Maksiat yang mempunyai kekuatan iblis sanggup melayani tiga sampai lima lelaki sekaligus. Semua itu dilakukan demi umurnya yang mampu mempertahankan usia mudanya.
"Oooh.... Aaah... benar-benar nikmat..," desah Dewi Ratu Maksiat Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup bagai disiram dengan air.
Lalu, Dewi Ratu Maksiat beranjak bangun, seraya menggapai kain sutera warna kuning untuk menutupi tubuhnya yang tanpa pakaian. Begitu indah dan menggairahkan tubuh wanita yang sebenarnya sudah berumur hampir sembilan puluh tahun itu. Dewi Ratu Maksiat kemudian bertepuk tangan. Sesaat kemudian muncul seorang wanita muda berambut panjang terurai. Dengan pakaian bagian atas hanya berupa kemben, kain penutup bagian dada. Dan kain sarung lurik pula warna coklat. Wajah wanita itu cukup cantik "Ada tugas apa untuk hamba, Tuan Putri..?" tanya wanita muda itu sambil menjura.
"Aku kali ini memberi tugas untuk melenyapkan Pendekar Gila. Untuk itu aku perlu merubah wajahmu. Agar Pendekar Gila kebingungan. Ingat, bila kau merasa sukar untuk melakukannya, pakai cara yang biasa kita lakukan. Lelaki tak akan kuat jiwanya, jika kita terus mendesak dan membangkitkan kelakiannya. Tak terkecuali dengan Pendekar Gila. Sama saja! Ha ha ha... hi hi hi...! Sekarang ikut aku ke ruang semadi. Ayo, cepat!" kata Dewi Ratu Maksiat "Baiklah, Tuan Putri...," jawab wanita itu sambil menjura. Lalu melangkah mengikuti Dewi Ratu Maksiat menuju sebuah ruangan. Keduanya sampai di sebuah pintu yang terbuat dari batu gunung. Dewi Ratu Maksiat menempelkan telapak tangannya ke batu itu, seketika pintu itu terbuka sendiri. Wanita cantik itu melangkah masuk diikuti anak buahnya tadi. Pintu tertutup kembali.
Di dalam ruangan yang penuh dengan asap dupa dan kemenyan nampak menyeramkan.
Hanya diterangi dua obor yang tergantung di dinding batu itu. Di tengah ruangan ada sebuah batu besar, berbentuk bundar dan datar. Di depannya ada sebuah cawan berukuran besar, berisi tulang-tulang manusia dan darah. Air dalam cawan raksasa itu mendidih.
Dewi Ratu Maksiat kemudian membaca mantera, setelah duduk bersila di atas batu itu.
Kedua tangannya diangkat ke atas kepalanya sambil menengadah.
Sedangkan wanita muda tadi duduk di seberang cawan raksasa itu. Juga bersila sambil menatap Dewi Ratu Maksiat. Beberapa saat kemudian, Dewi Ratu Maksiat berdiri mendekati wanita muda itu. Lalu telapak tangannya ditaruh di atas kepala wanita itu. Seketika tubuh wanita itu berasap. Kemudian Dewi Ratu Maksiat melepas telapak tangannya dari atas kepala wanita itu. Seperti kena hipnotis, wanita muda itu berdi-ri, lalu membuka seluruh pakaiannya, hingga polos. Lalu melangkah dan menceburkan diri ke dalam cawan besar. Tubuhnya terus direndam di dalam cawan raksasa itu. Aneh, tak sedikit pun kulitnya terkupas oleh air yang mendidih itu. Malah perlahan-lahan wajahnya berubah, menjadi Mei Lie. Kemudian, wanita yang kini berubah menjadi Mei Lie, melompat turun dari cawan raksasa itu.
"Ha ha ha...! Kali ini akan kupermainkan Pendekar Gila. Ha ha ha...! Hi hi hi...! Jika Pendekar Gila mampus, datuk putraku akan menjadi orang yang paling disegani di rimba persilatan!"

***

"Ha ha ha... hi hi hi...! Kali ini Pendekar Gi-la tak akan bisa menaklukkanku.
Aku akan per- mainkan pendekar tampan itu. Dan sudah lama aku menginginkan keperkasaannya, untuk memuaskanku sepanjang malam. Hi hi hi...!" Dewi Ratu Maksiat terus tertawa-tawa.
Wanita yang deh kalangan tokoh persilatan juga dijuluki Wanita Iblis dari Andalas itu tampaknya benar-benar yakin akan mampu memperdaya Pendekar Gila. Lalu Dewi Ratu Maksiat, menarik lengan wanita jelmaan itu merapat ke tubuhnya. Dipeluknya erat-erat, hingga menyatu benar dengan tubuh Dewi Ratu Maksiat. Hal itu dimaksudkan untuk memberi kekuatan tenaga dalam pada wanita yang menjadi abdinya. Mendadak tubuh Mei Lie samaran itu berasap, ketika Dewi Ratu Maksiat mendekapnya rapat-rapat "Kau akan kuat dan memiliki ilmu silat yang sama sepertiku, Cah Ayu. Hi hi hi....! Jangan sampai gagal, jangan ceroboh! Kalau gagal, nya-wamu sebagai pengganti darah Pendekar Gila!" suara Dewi Ratu Maksiat terdengar mendesis, bagai suara roh halus. Kemudian perlahan-lahan wanita iblis itu melepaskan pelukannya. Lalu mengusap-usap lembut buah dada wanita mirip Mei Lie itu.
"Kau memiliki dada yang bagus, seperti aku pula, Cah Ayu..., hi hi hi.... Aku berhasil mengubah dirimu dengan sempurna...," gumam Dewi Ratu Maksiat lirih.
Kemudian si Wanita Iblis dari Andalas itu melangkah ke satu sudut. Dia mendekati sebuah peti besar berukiran indah. Dibukanya kotak kuno terbuat dari kayu jati itu. Di dalamnya ada sepasang pakaian silat warna kuning, dengan penutup wajah juga kuning. Dewi Ratu Maksiat segera mengambilnya, dan membawa ke tempat wanita mirip Mei Lie yang masih dalam keadaan tanpa pakaian.
"Pakai ini! Pakaian ini pernah kupakai sewaktu aku seumurmu. Ketika aku masih tinggal di Pulau Andalas," ujar Dewi Ratu Maksiat, sambil memberikan pakaian itu pada Mei Lie sama- ran. Wanita itu menerimanya, "Cepat kau pakai...!" Lalu Dewi Ratu Maksiat melangkah ke tempat batu besar, tempat duduknya.
Dia duduk dengan bersila. Lalu menarik napas panjang sambil mengawasi wanita abdinya yang sedang memakai pakaian keramat tadi.
"Aku akan puas dan baru ingin mati tenang, jika semua rencanaku berhasil. Jauh-jauh aku datang dari Pulau Andalas kemari, demi citacita anak angkatku, Datuk Tambureh untuk mempersunting si Bidadari Pencabut Nyawa itu.
Dia akan dapat menjadi orang yang berilmu tinggi, menurut wangsit yang kuterima dari arwah guruku," kata Dewi Ratu Maksiat dalam hati. Matanya terus memandangi wanita abdinya yang telah selesai memakai pakaian serba kuning itu.
"Kematian suamiku karena Singo Edan.
Dan orang tua gila itu kini telah pergi entah ke mana. Jadi aku harus membalas dendam pada muridnya. Ha ha ha...!" Sementara itu Pendekar Gila yang sudah dua hari mencari belum juga menemukan Mei Lie.
Pemuda tampan itu tampak sangat cemas dan kesal. Dia terus menggaruk-garuk kepala sambil sebentar-sebentar menghentakkan kaki kanannya ke tanah dengan keras, menumpahkan rasa kekesalannya. Pendekar Gila terus menyelusuri jalan setapak di pinggiran sungai.
"Bodoh...! Benar-benar orang goblok aku ini!" gerutunya terus sambil memukuli keningnya.
"Aku yakin orang yang menculik Mei Lie itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi," gumam Sena yang nampak murung itu.
Langkahnya dipercepat, terkadang pelan.
Nampak sekali pikirannya sedang kacau. Namun dia masih dapat menguasai diri.
Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya.
Memandangi sekeliling tempat itu. Sejenak dia berpikir sambil memegangi keningnya.
"Sebaiknya aku mampir di Kadipaten Galih Marta. Siapa tahu orang-orang kadipaten bisa memberikan keterangan padaku tentang Mei Lie," kata Sena dalam hati.
Selesai berkata begitu, Sena segera menyeberangi sungai dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi. Hingga dia bisa menotol-notol di atas per-mukaan air dengan tenang.
Benar-benar ilmu yang sangat luar biasa hebatnya.
Dalam sekejap Sena sudah sampai di seberang. Pemuda itu menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir. Lalu dia melongok ke atas. Dilihatnya matahari sudah mulai condong ke barat Maka Sena menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', melesat bagaikan anak panas lepas dari busurnya.
Begitu cepat, hingga yang nampak hanya bayangan hitam berkelebat cepat bagaikan angin.
Namun larinya tiba-tiba terhenti, ketika terdengar suara orang menegur dengan kasar.
Sena cengengesan ketika melihat di depan telah berdiri dua orang lelaki menghadangnya. Keduanya bertolak pinggang dengan sikap angkuh.
"Aha, ada apa kiranya kalian menghentikan aku...?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang seperti orang gila, membuat orang yang ada di depannya bertanya-tanya siapa pemuda tampan berbaju rompi kulit ular itu.
"Hm.... Mungkinkah pemuda gila ini yang berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan...?" tanya orang yang bermuka bulat dengan hidung besar.
"Ya. Dari tingkah lakunya mungkin dia si Pendekar Gila itu, Kakang Barong Culla," bisik Bulus Wulung.
"Hai..."! Kenapa kalian berdua diam"!" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantatnya.
"Mungkinkah dia Pendekar Gila?" tanya Barong Culla dalam hati mencoba menebak. Dirinya memang sering mendengar nama Pendekar Gila. Tapi melihatnya belum pernah.
"Kalian berdua rupanya orang-orang bisu...
Kalau begitu aku akan melanjutkan perjalanan.
Permisi...!" kata Sena sambil cengar-cengir lalu mulai melangkah.
"Hei...! Tunggu, Kawan...! Kalau tidak salah, kau Pendekar Gila yang kesohor itu...?" pancing Barong Culla dengan menatap tajam ke arah Sena yang terpaksa menghentikan langkahnya.
Lalu berbalik badan sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... lucu sekali! Kalian ini mau apa"! Kalau memang aku orang yang kau sebut, lantas kalian mau apa?" tanya Sena cengengesan.
Barong Culla dan Bulus Wulung saling pandang, lalu saling menganggukkan kepala, kemudian tertawa-tawa.
"Begini, Kawan. Tiga hari lalu kami berdua bentrok dengan seorang lelaki tua berjubah merah. Kami kalah dan terperosok ke dalam jurang...," tutur Barong Culla menerangkan.
"Hah"!" gumam Sena sambil menggarukgaruk kepala, "Jadi kalian ini yang ada di dalam Jurang Wadas Parang itu..."!" tanya Sena.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Bulus Wulung mengerutkan kening.
"Hi hi hi...! Akulah orang yang tak jadi menolong kalian. Karena aku yakin dan tahu, bahwa kalian orang-orang yang berilmu tinggi. Sebab kalau tidak, kalian sudah mati terperosok ke jurang seperti itu. Apalagi orang yang berjubah merah itu pasti ilmunya lebih tinggi dari kalian berdua," ka-ta Sena sambil cengengesan.
"Oooh! Jadi kaulah yang meninggalkan kami kemarin itu. Bagus sekarang aku mau tanya, kenapa kau juga mencari orang berjubah merah itu...?" selidik Barong Culla dengan menyipitkan sebelah matanya. Kemudian melirik ke Bu- lus Wulung sejenak, lalu kembali menatap Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Mungkin tak jauh berbeda dengan kalian berdua. Hanya saja, aku lebih berduka dari kalian," sahut Sena kalem, kemudian kembali menggaruk-garuk kepala.
"Apakah ada hubungannya dengan gadis yang dibawanya itu?" pancing Barong Culla lagi.
Makin yakin kalau orang yang dihadapi adalah Pendekar Gila, murid Singo Edan.
"Ah, sudahlah. Aku tak ada urusan dengan kalian. Aku mau pergi," ucap Sena lalu berbalik badan hendak pergi.
"Hai! Tunggu...! Aku mungkin bisa bekerja sama untuk menangkap orang yang membawa gadismu itu...!" seru Barong Culla.
Sena mengerutkan kening, berpikir sejenak. Lalu berbalik dan mendekati kedua lelaki itu.
"Hi hi hi... bagus! Hm... tapi aku masih belum perlu bantuanmu, Kawan. Maaf aku tak ada lagi waktu untuk bicara pada kalian!" Sena melesat meninggalkan Barong Culla dan Bulus Wulung. Kedua orang itu hanya bisa ternganga, merasa kagum melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh Pendekar Gila yang melesat bagaikan angin. Sehingga dalam sekejap saja telah hilang dari pandangan.
"Edan...! Benar-benar pemuda gila! Kenapa kita tidak langsung menantangnya tadi..."!" tukas Barong Culla kesal dan geram.
"Bagaimana mungkin..." Dia bukan pendekar sembarangan. Dia dapat membaca pikiran kita. Jadi apa yang kita ingin lakukan, dia sudah tahu terlebih dahulu," sahut Bulus Wulung mengingatkan Barong Culla.
"Benar. Tapi kalau tadi berhasil membujuk Pendekar Gila itu, kita akan bisa lebih cepat menaklukkan Datuk Tambureh. Dan setelah itu, kita bawa pergi gadis Cina itu...!" ujar Barong Culla mengkhayal.
"Ah, sudahlah! Kau jangan berkhayal. Sebaiknya kita Cepat pergi dari tempat ini. Kita cari datuk keparat itu...!" ajak Bulus Wulung. Keduanya lalu segera pergi ke barat, arah yang dituju Pendekar Gila.

┌≡֍≡¦ 5 ¦≡֎≡┐

Datuk Tambureh yang telah menguasai Mei Lie, nampak merasa gembira dan puas. Lelaki tua itu terus berusaha merayu Mei Lie agar mau menjadi istrinya. Karena sesuai dengan wangsit, bahwa siapa saja yang dapat memperistri Bidadari Pencabut Nyawa kelak keturunannya akan menjadi raja penguasa tanah Andalas. Sudah beberapa kali sang Datuk berusaha mempengaruhi Mei lie. Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang ia miliki digunakan, tapi ternyata tak ada yang mempan sedikit pun. Karena telah berusaha sekian lama tak mendapatkan hasil, sang Datuk hampir putus asa, kalau pembantu setianya yang bernama Datuk Balino, tidak terus memberi semangat "Jangan Tuan putus asa dulu, sebab bukan tak mungkin nantinya Tuanlah yang akan mendapatkan anugerah tersebut," kata Datuk Balino memberi saran, manakala didengarnya keluhan Datuk Tambureh, yang seperti putus asa.
"Tapi aku sudah berusaha, Balino. Dan nyatanya, ah.... Semuanya hanya impian," keluh Datuk Tambureh.
"Bukan hanya sekali aku mencoba mempengaruhi dia, tap semuanya tak ada yang dapat menggoyahkan tekadnya. Apakah tak lebih baik aku perkosa saja?" Tersentak kaget Datuk Balino mendengar ucapan tuannya. Dia tak menyangka kalau tuannya yang sangat kokoh dan ulet akan cepat putus asa. Memperkosa, berarti hubungan yang tak selaras. Hal itu bukan tak mungkin justru akan menimbulkan sebuah tekanan jiwa, yang nantinya berkait dengan dendam.
"Ah, mengapa Tuan begitu cepat putus asa?" tanya Datuk Balino tercenung.
"Memperkosa itu tidak baik, Tuan."
"Alasannya...?"
"Maaf, hamba mungkin dalam hal ini terlalu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini dianggap sok pintar, terlebih dahulu hamba kembali minta maaf."
"Hem, katakanlah! Bagiku kau sama saja dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang setia, yang selalu memberikan saran-saran yang baik. Kejayaanku sebagai datuk, tak luput dari saran yang kau berikan. Nah, katakanlah jangan kau ragu, Balino!" Datuk Balino sesaat terdiam. Kepalanya tertunduk sambil menarik napas panjang. Sesaat kemudian ditengadahkan wajahnya, memandang pada tuannya yang menyiratkan rasa ketidakmengertian. Setelah kembali menunduk Datuk Balino pun akhirnya membuka suara, berkata.
"Menurut hamba yang telah tua, perkosaan itu tindakan tercela bagi diri kita. Pertama, kita akan menanggung beban mental yang berlarut-larut, kalau sampai orang yang diperkosa nanti membalas dendam. Kedua, hubungan kita dengan yang diperkosa dapat menimbulkan suatu pertumpahan darah."
"Ah, apa mungkin nanti keturunan ku berani melawanku?" Datuk Tambureh mengelak seakan tak yakin akan segala ucapan Datuk Balino.
"Tak akan berani anak dengan orang tua!"
"Itu pendapat Tuan. Tapi perlu Tuan ingat, bukankah anak akan lebih dekat dengan sang Ibu?" Terangguk-angguk kepala Datuk Tambureh mendengar keterangan pembantunya.
Dirasakan-nya segala petuah Datuk Balino memang benar adanya. Tapi dirinya juga telah berusaha untuk dapat menggugah hati si Bidadari Pencabut Nyawa, dan ternyata segalanya tak membawa hasil.
Kalau niatnya untuk memperkosa gadis Cina itu dilakukan, ia juga takut kalau-kalau segala ucapan Datuk Balino akan menjadi kenyataan.
Lama Datuk Tambureh terdiam membisu, angannya melayang pada khayalan untuk dapat menjadikan dirinya orang yang terhormat. Orang yang bakal menurunkan raja-raja di Pulau Andalas. Hatinya bimbang, takut kalau lama-kelamaan ada orang lain yang berilmu tinggi lebih tinggi darinya dapat merebut Mei Lie.
Apakah itu tidak mungkin terjadi"
"Hem, sungguh aku penakut. Biarlah aku mati nantinya, asalkan margakulah yang bakal menjadikan namaku terhormat. Bukankah margaku kelak yang menjadi raja" Hh..., persetan dengan segala balas dendam! Bagiku yang utama, aku berhasil mendapatkan wanita yang kelak bakal menurunkan raja-raja," gumam hati Datuk Tambureh.
"Baiklah, aku pura-pura menuruti apa yang dikatakan pembantuku."
"Memang benar apa yang kau katakan, Balino. Kini aku sadar, bahwa semestinya aku tak boleh melakukan itu. Apakah kau dapat membantuku mencarikan seorang dukun yang dapat memikat si Bidadari Pencabut Nyawa itu, Balino?" tanyanya kemudian.
Datuk Balino kembali terdiam, pikirannya kini agak tenang. Sebenarnya di hati Datuk Balino ada rasa kasihan melihat Mei Lie. Mei Lie itu begitu mengibakan hatinya. Gadis itu setiap hari hanya melamun dan menangis. Makanan yang dihidangkan tak pernah disentuh, sehingga badannya kurus kering. Pernah Datuk Balino mencoba bertanya bagaimana dengan diri Mei Lie tersebut. Jawabannya sungguh mengejutkan, gadis Cina itu memilih lebih baik mati daripada harus menjadi istri Datuk Tambureh yang jahat dan keji.
"Kenapa, Balino" Kenapa kau terdiam melamun?" Tersentak Datuk Balino dari lamunannya, mendengar pertanyaan Datuk Tambureh yang secara tiba-tiba itu.
"Am... ampun, hamba tengah berpikir, bagaimana supaya segalanya dapat segera terselesaikan. Baiklah, hari ini juga hamba akan berusaha mencarikan seorang dukun pemikat"
"Hua ha ha...! Bagus, bagus. Kalau kelak aku mendapatkan gadis Cina itu, maka kau akan aku beri hadiah yang cukup menarik. Kau akan kuberi setengah dari kekuasaanku. Dan akan kujadikan Raja Datuk Balino, bagaimana?"
"Terima kasih atas segala yang bakal Tuan berikan. Tapi untuk sekarang-sekarang ini, hamba lebih senang mengabdi pada Tuan Datuk Tambureh yang terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bila bersama Tuan, sebab hamba tahu kesaktian Tuan tak dapat dianggap remeh...," berkata Datuk Balino dengan nada menyanjung, menjadikan Datuk Tambureh kembali tertawa bangga.
Saking senangnya Datuk Tambureh sampai-sampai melupakan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Hari itu adalah hari yang sudah ditetapkan, seperti biasa Datuk Tambureh harus melakukan semadi. Kalau semadi itu sampai ditinggalkan akan mengakibatkan berkurangnya ilmu yang dimiliki. Bila sering melakukan kelalaian, tidak melaksanakan nyepi seperti itu, bukan saja ilmu mempermuda usianya hilang, wajahnya pun akan berubah kembali ke asalnya.
Tersentak Datuk Tambureh ketika mengingat itu.
Serta-merta ia berlari meninggalkan pembantunya yang hanya terbengong-bengong tak mengerti. Dengan napas memburu dan keringat dingin bercucuran, Datuk Tambureh segera memusatkan hati dan pikiran. Setelah sesaat hal itu dilakukan, dan keadaan menjadi hening tiba-tiba....
"Auuummm...." Terdengar suara auman seperti lolongan anjing hutan.
"Guru, ampunilah kelalaian murid!" gemetar Datuk Tambureh seperti ketakutan.
Wajahnya yang biasa tampak sadis, kini berubah pucat bagaikan tak berdarah setetes pun.
"Ampunilah kelalaian murid. Guru!" kata-kata itu diulang, dan diulangnya sampai beberapa kali.
Tak lama kemudian tampak sesosok bayangan keluar dari balik dupa. Sosok bayangan itu ternyata tubuh harimau besar dan tinggi. Harimau itu hampir sebesar kerbau, dengan mata lebar dan gigi-giginya yang menyeringai menakutkan.
"Kenapa kau teledor! Aku lapar, aku lapar...!" terdengar seruan dari mulut harimau itu.
Matanya yang besar menyorot merah. Liurnya yang berbau terasa menusuk hidung.
"Kau harus mencarikan darah untukku, darah perawan!"
"Apakah tidak bisa ditunda. Guru?" tanya Datuk Tambureh.
"Tidak! Sekarang lakukan!"
"Tapi hari masih siang, Guru?" keluh Datuk Tambureh.
Namun bagaikan tidak peduli, harimau iblis itu menggeram, mengeluarkan aumannya yang bergemuruh dan menggetarkan.
"Jangan kau ingkar, Bureh! Ingat perjanjian kita yang telah kita lakukan! Bukankah kau akan memberikan padaku sebaskom darah pada siang hari menjelang purnama seperti ini..." Kenapa kau lupa" Apa darahmu yang harus kuminum, hah!"
"Ampun, Guru! Baiklah, murid akan mencarikannya. Murid minta. Guru bersabar sesaat!" jawab Datuk Tambureh menggeragap.
"Aku tunggu sebelum matahari tenggelam!" ucap harimau itu, sebelum menghilang meninggalkan datuk yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya sesaat dan mengucapkan mantera, Datuk Tambureh melakukan perubahan wujud, seketika wujud sang Datuk berubah menjadi harimau hitam legam.
Tanpa menunggu-nunggu lagi harimau hitam itu mengaum lalu berkelebat tinggalkan ruang semadi lewat lubang di belakang.

***

Harimau siluman itu terus menyusup ke pekarangan sebuah rumah di Desa Ngantap. Hidungnya digerak-gerakkan, sepertinya harimau siluman itu tengah mencari-cari bau darah perawan. Kemudian melompat dengan tak mengeluarkan suara sedikit pun.
Di dalam sebuah rumah bilik tampak lampunya belum dimatikan, meskipun hari sudah larut malam dan sepi. Terdengar dari dalam rumah itu suara tawa genit dari seorang gadis dan suara seorang pemuda.
"Ayolah Srini, kakang sudah tak tahan untuk menunggu lebih lama lagi...!" ucap seorang pemuda yang nampak menahan birahinya. Napasnya terdengar mendesah-desah.
"Hi hi hi...! Sabar dulu, Kang Pujo. Kan tinggal lima hari lagi," sahut Srini dengan manja lalu menggigit bibirnya sendiri.
"Kakang tahu, Sri. Tapi kakang tak tahan lagi. Ayolah sekali saja, ya...!" rayu Pujo. Lalu pemuda itu mencium pipi Srini.
Dan tangan kanannya mengusap-usap paha gadis yang masih perawan itu. Sedangkan tangan kirinya merangkul dengan erat "Kang.... Jangan, Kang! Nanti ketahuan bapak. Sabar, Kang!" pinta Srini tersendat-sendat.
Karena Pujo yang sudah dirasuki nafsu birahinya terus menyusupkan kepalanya ke dada Srini yang montok, mulus, dan putih itu. Tak dipedulikan ucapan Srini. Sampai akhirnya gadis itu pun terangsang.
Hingga dia pun membalas memeluk dan mencium Pujo dengan desah napas mulai memburu.
Pujo, cepat merebahkan tubuh Srini yang calon istrinya di ranjang beralaskan tikar. Ditin-dihnya tubuh gadis itu sambil terus mencium lehernya.
"Hooh.... Aaih... sss...!" Srini merintih dan mendesah. Pujo mulai melepas pakaian kekasihnya.
Kini Srini yang masih perawan itu sudah tanpa pakaian. Tak sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya yang mulus dan padat itu. Buah dadanya yang sebesar mangga, keras, dan menantang. Membuat Pujo tak bisa lagi menahan lama-lama. Namun baru saja Pujo selesai membuka celananya, tiba-tiba...
"Grrr...!" Terdengar suara menggereng menggetarkan. Pujo terkejut kaget menoleh ke sana kemari mencari datangnya suara. Belum sempat pemuda itu mengetahui, seekor harimau kumbang menerobos masuk, langsung menerkam tubuhnya dan menggigit sampai mati.
Srini menjerit, namun suaranya tak ada.
Mata harimau siluman itu mengeluarkan sinar hijau menatap mata Srini. Seketika gadis itu terkulai pingsan. Sesaat kemudian harimau siluman berubah menjadi sosok manusia. Kemudian cepat membawa Srini keluar dengan menembus dinding rumah itu. Ayah dan ibu Srini yang terbangun dan datang ke kamar anaknya sempat melihat sosok manusia membawa Srini pergi. Kedua orang tua itu kaget dan makin kaget ketika melihat calon menantunya dengan mengerikan.
"Tolong...! Ada rampok!"
"Tolong...!" teriak ibu Srini sambil lari keluar. Ki Rambi, ayah Srini masih berdiri kaku menatap mayat Pujo yang lehernya hampir putus.
Tak lama kemudian para penduduk Desa Ngantap berdatangan ke rumah Ki Rambi, karena mendengar jeritan ibu Srini yang histeris tadi.
"Bagaimana kejadiannya, Ki Rambi"!" tanya Ki Lurah Kirjo Mulyo.
Ki Rambi hanya menggelengkan kepala perlahan, lalu menarik napas dalam-dalam. Wajahnya nampak sedih karena memikirkan nasib anak gadisnya yang lima hari lagi akan dinikahkan. Kini telah hilang diculik manusia aneh.
"Ini pasti perbuatan mayat-mayat hidup yang pernah melanda Desa Tumpang beberapa hari yang lalu, Ki Lurah...!" kata seorang lelaki berbadan tinggi besar dan berkumis tebal geram.
"Aku rasa bukan, sebab hal ini yang dibawa lari Srini, gadis yang masih perawan. Sedangkan kejadian di Desa Tumpang, para perjaka yang dibawa oleh mayat-mayat hidup itu," tutur Ki Lurah menjelaskan pada lelaki berbadan tinggi besar yang bernama Diman.
"Jadi, kalau begitu siapa pelakunya, Ki"!" tanya seorang lelaki berambut putih dengan ikat kepala hitam. Ki Kirjo Mulyo tak langsung menjawab. Dia nampak berpikir sejenak. Sementara itu Nyi Rambi masih menangis ditemani para ibu-ibu lain yang merasa iba.
"Kita sebaiknya cepat menguburkan mayat Pujo. Nanti kita bicarakan lagi soal ini," kata Ki Lurah Kirjo Mulyo kemudian.
Lalu orang-orang cepat menggotong mayat Pujo untuk dikuburkan.

┌≡֍≡¦ 6 ¦≡֎≡┐

Malam datang menyelimuti bumi, membuat suasana gelap dan dingin mencekam. Suara angin yang menerpa dedaunan, serta suara binatang malam, seperti mengalunkan tembang-tembang aneh yang membuat tubuh merinding. Mereka seakan membawakan syair-syair bagi jiwa-jiwa yang tengah dilanda ketakutan. Bulan sabit pun mengintip di balik awan, seolah-olah enggan menampakkan wujudnya.
Malam itu, Perguruan Bajing Ireng nampak sunyi. Di luar perguruan itu nampak empat orang murid perguruan sedang berjaga-jaga. Karena mereka sudah mendengar adanya sepak terjang Datuk Tambureh dan Dewi Ratu Maksiat yang ingin menculik dan membunuh semua tokoh persilatan baik aliran putih maupun hitam. Dan tibatiba.... Swing...! Jlep! "Aaa...!" Seorang murid Perguruan Bajing Ireng yang sedang berjaga di pintu gerbang memekik keras. Sebuah senjata rahasia berupa tusuk konde beracun menghunjam di dada pemuda itu.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba senjata rahasia itu melesat dan menghunjam tubuhnya.
Mendengar temannya menjerit, tiga orang murid lainnya yang juga tengah berjaga-jaga tersentak. Betapa terkejut mereka melihat temannya terkapar tewas.
"Pembunuhan! Tusuk konde beracun...!" seru ketiga murid itu berusaha mengundang perhatian orang-orang perguruan agar terbangun dari tidurnya. Namun tiba-tiba..., "Akh...!" Belum juga habis ucapannya, orang itu sudah memekik keras. Dadanya tertancap sekuntum tusuk konde beracun yang menembus ke dalam. Tubuhnya seketika mengejang lalu ambruk tanpa nyawa, kemudian membiru.
Jlep! Jlep! "Aaakh...!" Dua orang lainnya kontan memekik keras, ketika beberapa tusuk konde menghunjam dada.
Mata mereka melotot menyaksikan sebuah bayangan berkelebat cepat keluar dari kegelapan.
Bayangan kuning itu laksana angin yang berhembus. Sesaat keduanya kelojotan kemudian tewas.
Bayangan kuning itu terus melesat menuju kamar Ketua Perguruan Bajing Ireng, yang bernama Ki Galingga.
Brak! "Heh"!" Ki Galingga tersentak Swing! Swing! Dua tusuk konde beracun melesat cepat ke arah tubuh Ki Galingga. Beruntung lelaki tua itu cepat membuang tubuhnya dan berguling ke samping. Namun tak urung, istri mudanya menjadi sasarannya tusuk konde beracun.
Jlep! Jlep! Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang usianya berbeda jauh dengan Ki Galingga itu tewas. Dada den wajahnya tertancap tusuk konde beracun. Ki Galingga geram menyaksikan istrinya mati di tangan seorang wanita berbaju serba kuning. Lelaki berparas seperti bajing berpakaian abu-abu dengan rambut tergerai kaku serta ikat kepala berwarna biru itu mendengus. Tangannya dengan cepat menyambar senjata dari logam yang berbentuk jari bajing.
"Siapa kau?" tanya Ki Galingga dengan suara membentak sambil menuding senjatanya.
"Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" sahut wanita yang sekujur tubuhnya ditutupi kain kurung. Termasuk wajahnya.
"Bangsat! Ditanya malah balik bertanya! Katakan, siapa kau sebenarnya"!" bentak Ki Galingga gusar.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti, kau dan kelima temanmu termasuk adipati keparat itu harus mampus di tanganku! Hiaa!" Ki Galingga tersentak kaget diserang begitu cepat dan tiba-tiba. Segera kakinya melompat ke belakang, kemudian berkelit ke samping.
"Hop! Heaaa...!" Ki Galingga berusaha merangsek maju dengan cakaran kedua tangannya yang menggunakan jurus 'Bajing Mengambil Buah'. Namun gerakan lawan begitu cepat Ki Galingga hampir terkena sambaran tangan lawan. Tapi, orang tua berwajah seperti bajing dengan pakaian abu-abu ini memiliki ketajaman tinggi. Kalau tidak, tubuhnya sudah menjadi sasaran empuk pukulan lawan.
"Hari ini bagianmu, Bajing Busuk! Yeaat..!" Wanita berpakaian serba kuning itu terus merangsek maju menyerang Ki Galingga. Seranganserangannya sungguh dahsyat dan mengarah pada bagian tubuh yang mematikan.
Ki Galingga yang tak mau menjadi korban wanita misterius itu segera berkelit ke samping.
Lalu dengan gerakan cepat, balas menyerang lawan. Kali ini menggunakan jurus 'Bajing Menerkam Mangsa'. Tangannya bergerak cepat merangsek ke tubuh lawan.
Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus kain kuning itu terus menyerang dengan gabungan jurus 'Sembilan Tapak Tangan Darah' dan jurus 'Tusuk Konde Pencari Sukma'. Sesekali tangannya melemparkan sebuah tusuk konde beracun. Meskipun nampaknya tak berarti, tangan wanita itu sangat berbahaya. Tusuk konde beracun itu mampu membunuh lawan dalam sekejap.
Swing! Swing! "Aits! Tusuk Setan!" maki Ki Galingga seraya mengelakkan tusuk konde yang telah mem- bunuh istrinya. Tubuh Ki Galingga bergerak ke sana kemari, terkadang berputar di udara untuk mengelakkan serangan yang berbahaya itu.
"Hiaaa!"
"Hop! Hats!" Lawan benar-benar tak memberi kesempatan pada Ketua Perguruan Bajing Ireng itu untuk balas menyerang. Serangan-serangannya begitu cepat, disusul lemparan-lemparan tusuk konde beracun yang tak kalah berbahaya.
Mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar gurunya, murid-murid Perguruan Bajing Ireng berdatangan hendak membantu sang Guru.
Namun baru saja mereka sampai di pintu, tibatiba...
"Awas...!" seru Ki Galingga mengingatkan.
"Hih...!" Namun seruan itu terlambat. Secepat kilat wanita berpakaian kuning itu melemparkan tusuk konde beracun ke arah murid-murid Ki Galingga.
Swing! Swing...! Jlep! Jlep...! "Aaakh...!" Tiga orang murid yang berada di depan langsung roboh. Dada mereka tertancap tusuk konde beracun. Darah seketika muncrat dari da da membasahi pakaian.
"Bedebah! Sebelum kukirim ke neraka, katakan siapa dirimu!" bentak Ki Galingga semakin marah menyaksikan murid-muridnya menjadi korban keganasan tusuk konde beracun.
"Jangan banyak bicara, Bajing Keparat! Pikirkanlah nanti di alam sana, siapa aku! Hiaaa...!" Tanpa banyak kata lagi, wanita misterius itu langsung melemparkan tusuk konde beracun ke arah Ki Galingga yang tersentak kaget Swing! Swing...! "Hop! Heaa...!" Tubuh Ki Galingga melenting ke atas, kemudian melesat ke samping kanan untuk mengelakkan serangan lawan, dengan jurus 'Lompatan Bajing Menerkam Mangsa'.
"Hiaaa...!" Wanita berpakaian kuning itu tak membiarkan lawannya bergerak lebih jauh. Dengan cepat pedangnya yang bersinar keperakan dicabut. Mata Ki Galingga silau oleh sinar yang keluar dari pedang lawan.
"Pedang Perak! Hei! Ada hubungan apa kau dengan Dewi Ratu Maksiat"! Siapa kau..."!"
"Hm.... Tak perlu tahu siapa aku, Bajing Busuk! Kini terimalah ajalmu! Hiaat..!" Wanita bertopeng kain kuning yang memiliki Pedang Perak milik Dewi Ratu Maksiat itu tak mau membuang waktu lagi.
Segera diserangnya Ki Galingga dengan tebasan dan babatan Pedang Perak yang mengandung racun ganas. Kali ini, dikeluarkannya jurus 'Sambar Nyawa'.
Wut! Wuutt! "Uhh...!" Ki Galingga terpekik kaget Napasnya terasa sesak oleh racun yang ditebarkan pe- dang di tangan lawan. Dalam keadaan terdesak hebat, Ki Galingga masih bertanya-tanya siapa wanita misterius itu. Kalau dia Dewi Ratu Maksiat, rasanya tak mungkin.
Karena Wanita Iblis dari Andalas itu telah tiada sejak puluhan tahun alam.
Ki Galingga benar-benar kaget melihat pedang di tangan lawannya. Hatinya belum yakin kalau wanita muda itu Dewi Ratu Maksiat. Namun jurus-jurus pedangnya, sama dengan yang dimiliki Dewi Ratu Maksiat. Begitu pula dengan senjata-senjata rahasia tadi.
Dewi Ratu Maksiat merupakan tokoh sesat di Kadipaten Galih Marta. Selama hidupnya pernah membuat heboh kalangan persilatan, terutama di kadipaten itu. Dewi Ratu Maksiat banyak membunuh pendekar golongan putih karena merasa dendam pada para pendekar yang telah membunuh ayah dan ibunya, atas perintah Adipati Seragon. Namun sepak terjang Dewi Ratu Maksiat dapat dihentikan. Dia dikalahkan oleh Adipati Seragon, Ki Durpala, Ki Galingga, Ki Kapusala. Mungkin dia Dewi Ratu Maksiat" Tapi..., Dewi Ratu Maksiat mengenakan pakaian berwarna merah serta senjata berupa bunga Anggrek Hitam. Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian kuning seperti senjata yang dipergunakannya. Ki Galingga terus bertanya dalam hati sambil mengelakkan sabetan-sabetan senjata lawan. Dadanya semakin terasa sesak oleh racun pedang lawan.
"Heaaa!" Wut! Wut! Wut..! Pedang di tangan wanita misterius itu terus bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan dan babatan ke tubuh lawan. Sinar putih keperakan yang keluar dari Pedang Perak itu membuat napas Ki Galingga laksana tersumbat "Uhuk... uhuk...!" Ki Galingga terbatuk-batuk. Tangan kirinya memegangi dada yang terasa sakit karena terlalu banyak mengisap racun yang ditebarkan wanita bertutup muka kuning itu.
"Tamatlah riwayatmu, Bajing Busuk! Hiaaa...!" Wanita misterius itu mengayunkan pedangnya. Kemudian dengan cepat, menebaskan ke leher Ki Galingga yang tak mampu lagi mengelakkan serangan lawan. Maka..., Cras! Bruk! Kepala Ki Galingga menggelinding ke tanah. Tubuhnya yang berlumuran darah mengejang sesaat, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Wanita misterius yang tubuhnya tertutup kain kuning segera melesat meninggalkan tempat itu. Gerakannya begitu cepat, hingga dalam sekejap telah hilang di kegelapan malam.
Seketika suasana di rumah Ki Galingga ramai. Murid-muridnya hanya mampu mencacimaki pembunuh keji yang telah membunuh guru mereka. Malam itu Perguruan Bajing Ireng berkabung atas kematian Ki Galingga.

***

Dua orang prajurit Kadipaten Galih Marta tampak memacu kudanya menuju Perguruan Bajing Ireng untuk menyampaikan undangan dari Adipati Seragon. Namun seketika mereka memperlambat lari kudanya karena melihat bendera hitam terpasang di kanan kiri jalan masuk tak jauh dari perguruan.
"Galu, kau lihat bendera itu?" tanya prajurit yang memegang sebuah gulungan daun lontar.
"Ya," sahut prajurit yang dipanggil Galu.
"Sepertinya ada kematian."
"Hei, lihat! Ada keramaian di Perguruan Bajing Ireng," ujar prajurit pertama yang bernama Warigi "Benar. Ada apa di sana" Nampaknya banyak sekali orang berdatangan," desis Galu.
"Ayo, kita percepat..!" Kedua prajurit Kadipaten Galuh Marta itu segera mendekat Perguruan Bajing Ireng tampak dipenuhi orang-orang peralatan dan rakyat biasa.
"Kisanak, ada apakah"!" tanya Galu pada pemuda berbaju rompi kulit ular yang tengah menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berambut gondrong yang baru saja keluar dari bangunan perguruan itu mendongakkan kepala, memandang kedua prajurit yang menegurnya.
"Ah, dunia ini semakin tua semakin bertambah saja kejahatannya," gumam pemuda itu.
Mendengar gumaman pemuda tampan berambut gondrong itu, Galu dan Warigi mengerutkan kening dan saling pandang. Kemudian mata keduanya memandang lekat wajah pemuda itu, yang tampak cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Anak Muda. Kami bertanya padamu, mengapa engkau bergumam sendiri?" tanya Galu hampir tertawa menyaksikan tingkah laku pemuda yang konyol dan lucu itu. Mirip orang gila.
Terkadang raut wajahnya sedih, kemudian berubah riang dengan senyum lucu. Bahkan yang lebih konyol, pemuda itu suka menggaruk-garuk kepala dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya asyik mengorek telinga dengan bulu burung.
"Hi hi hi...!" pemuda tampan yang Sena Manggala atau Pendekar Gila itu tertawa geli.
Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu membendung tawa mereka.
"Pemuda Gila...," gumam Galu.
"Ayo kita ke sana!"
"Hi hi hi...! Eh, tunggu!" Sena menghentikan mereka. Kedua prajurit kadipaten berhenti dan menengok ke arahnya.
"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya Galu.
"Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?" tanya Sena seraya menggaruk-garuk kepala.
"Ya!" sahut keduanya.
"Aha! Kebetulan sekali kalau begitu," seru Sena sambil mengorek telinganya dengan bulu burung.
"Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak beritahu, ke arah mana aku harus pergi?" Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening, mendengar pertanyaan pemuda bertingkah laku aneh itu.
"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pemuda Edan?" tanya Warigi.
"Bukankah di kadipaten ada pesta" Tentu banyak makanan di sana. Itu sebabnya aku hendak ke sana. Aku diundang kanjeng adipati," tutur Pendekar Gila.
Galu tersenyum sambil menggelenggelengkan kepala. Menurutnya, pemuda bertingkah laku gila itu hanya bercanda.
"Mana mungkin Adipati Seragon mengundang pemuda gila seperti ini?" pikir Galu seraya tersenyum.
"Pemuda Gila.... Ah, kanjeng adipati tidak mengundang pemuda gila sepertimu. Sebenarnya kanjeng adipati mengundang para pendekar. Tak ada pesta di sana," tutur Galu.
"Sudahlah, Galu. Mengapa kita harus meladeni pemuda gila ini?" rungut Warigi mengajak temannya meneruskan perjalanan.
"Tunggu!" kembali Sena memanggil mereka. Warigi menghela napas. Kesal juga hatinya melihat tingkat laku pemuda itu.
"Pemuda gila! Apa sebenarnya yang kau inginkan, heh"!" Sena tersenyum mendengar bentakan itu.
"Aha! Kalian ini tolol. Bukankah sudah kukatakan, bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan menuju kadipaten"!" Sena tak kalah keras membentaknya.
"Untuk apa kau ke sana?" dengus Warigi.
Pendekar Gila tersenyum. Diambilnya gulungan daun lontar yang diberikan dua prajurit kadipaten padanya. Galu segera menerima dan cepat membuka gulungan itu. Seketika mata keduanya membelalak setelah membaca tulisan daun lontar itu.
"Pendekar Gila...!" seru mereka bersamaan.
"Oh... ampuni kebodohan kami, Tuan Pendekar! Sungguh kami tak tahu kalau Tuan adalah Pendekar Gila," ujar Galu sambil turun dari kudanya dan menjura memberi hormat "Benar, Tuan Pendekar. Jika Tuan menghendaki, hukumlah kelancangan kami ini," tambah Warigi.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak menyaksikan kedua prajurit itu menyembahnya.
"Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf.
Sekarang katakan, ke arah mana aku harus berjalan?" tanya Sena, masih dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Tuan Pendekar! Kalau diperkenankan, biarlah kami nanti bersama Tuan," pinta Galu.
"Oho! Sangat menyesal, aku harus segera sampai di sana. Bahaya akan mengancam kadipaten ini. Ki Galingga telah tewas di tangan seorang yang bersenjatakan tusuk konde beracun," tutur Pendekar Gila. Untuk kedua kalinya, Galu dan Warigi membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Galingga yang hendak didatangi telah tewas. Tapi, yang membuat mereka sangat kaget adalah cara kematian Ki Galingga sama dengan kematian istri Adipati Seragon dan empat orang teman mereka.
"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena.
"Oh! Bencana apakah yang tengah melanda Kadipaten Galih Marta?" keluh Galu.
"Hm..., apa maksudmu?" tanya Sena masih belum mengerti.
"Lima korban telah dibantainya. Pertama, istri kanjeng adipati dan empat orang teman kami yang tengah berjaga. Kini Ki Galingga sama dengan kematian istrinya kanjeng adipati," gumam Galu setengah mengeluh.
"Semuanya sama, mati oleh tusuk konde beracun."
"Hm...," Sena bergumam tak jelas.
Kedua prajurit kadipaten itu tercengang diam. Mata mereka memandang ke arah Perguruan Bajing Ireng yang tengah berkabung.
"Siapakah pelakunya?" tanya Galu, seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.
"Ayolah, kita harus segera ke sana, menuju ke kadipaten," ajak Sena yang dituruti kedua prajurit kadipaten. Ketiganya menempuh perjalanan menuju Kadipaten Galih Marta.
Sementara itu di Perguruan Bajing Ireng masih banyak orang yang berdatangan untuk melihat Ki Galingga dan anak buahnya serta istri mudanya yang tewas secara mengerikan oleh wanita misterius.
Sena dan kedua prajurit kadipaten telah jauh meninggalkan tempat Perguruan Bajing Ireng yang sedang dilanda duka itu.

┌≡֍≡¦ 7 ¦≡֎≡┐

Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipaten Galih Marta menyusuri jalan setapak di tengah hutan belantara. Malam telah larut. Udara dingin terasa menggigit. Namun ketiganya tetap terus melangkah. Kegelapan di hutan dan suarasuara binatang menambah suasana kian mencekam.
"Aha! Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini, Kisanak," kata Sena sambil menghentikan langkahnya.
"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja," jawab kedua prajurit hampir bersamaan.
"Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat api dulu." Pendekar Gila melompat ke atas pohon mencari ranting-ranting kering. Gerakannya yang cepat tak terlihat oleh kedua prajurit Terdengar suara ranting-ranting patah.
Tidak lama berse-lang, Pendekar Gila turun dengan membawa ranting-ranting kering.
"Buatlah api!" pinta Sena. Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tak tahu harus bagaimana membuat api. Biasanya mereka menggunakan batu api. Namun, bagaimana mungkin mereka mencari batu api dalam keadaan gelap gulita.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Rupanya mengerti apa yang sedang dipikirkan kedua prajurit itu. Sejenak matanya menyapu ke segenap arah, kemudian berkelebat pergi. Tak lama berselang, telah kembali dengan membawa dua buah batu api.
"Ini batu api yang kalian butuhkan." Kemudian, batu api itu disodorkan pada kedua prajurit. Dengan menggosok-gosokkan kedua batu itu, tak lama kemudian api menyalanyala. Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan kucarikan ayam hutan di daerah ini. Tunggulah di sini," ujar Sena, lalu dengan cepat berkelebat menembus kerimbunan pepohonan.
Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan Pendekar Gila dengan perasaan tercekam.
Mereka takut berada di tengah hutan lebat dan gelap seperti itu. Selama ini keduanya tidak pernah berada di dalam hutan, bertugas di kadipaten yang ramai dan terang.
"Galu, kita harus waspada," kata Warigi mengingatkan.
"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama." Kedua prajurit itu menarik pedang, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selama Pendekar Gila pergi. Mata mereka mengawasi ke sekeliling tempat itu dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan diri, tiba-tiba terdengar suara mendering senjata rahasia.
"Awas, ada yang menyerang!' seru Galu, mengingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar Gila agar segera datang ke tempat itu.
Swing! Swing...! Entah dari mana datangnya dua benda melesat ke arah dua orang prajurit itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat "Celaka! Tusuk konde!" pekik Warigi kaget Hidungnya mencium bau wangi bunga.
Mata lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya meremang. Saat itu, sebuah tusuk konde melesat ke arahnya. Tanpa dapat dielakkan, senjata beracun itu menghunjam dadanya.
Jlep! "Ukh!" Warigi terpekik. Tubuhnya sesaat mengejang dengan mata melotot, lalu ambruk tanpa nyawa. Jlep! "Aaakh!" Tusuk konde yang lainnya menancap ke dada Galu yang juga tak sempat mengelak. Seperti Warigi, Galu pun memekik kesakitan. Dan tewas setelah tubuhnya mengejang dengan mata melotot Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila datang dengan membawa tiga ekor ayam hutan. Sena tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit kadipaten itu telah tewas. Matanya menyapu ke sekeliling. Di dalam kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa buah tusuk konde beracun ke arahnya.
Swing! Swing...! "Kurang ajar! Siapa kau...!" bentak Sena selagi bergerak menghindar. Tubuhnya berjumpalitan di udara sambil menebaskan tangan dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Deru angin yang keluar dari tangan Pendekar Gila mampu menjatuhkan beberapa buah tusuk konde yang menyerangnya. Baru saja Pendekar Gila berhasil merontokkan tusuk konde itu, serangan berikutnya datang. Beberapa buah tusuk konde kembali melesat menyerangnya.
"Edan! Rupanya ada orang yang menginginkan nyawaku!" dengus Sena sambil terus berjumpalitan mengelakkan serangan yang bertubi- tubi itu. Dicabutnya Suling Naga Sakti, kemudian dengan cepat digerakkan untuk membabat tusuk konde itu.
"Heaaa...!" Prak! Prak! Pluk! Pluk! Beberapa buah tusuk konde yang terkena sambaran Suling Naga Sakti berpentalan jatuh ke tanah.
"Pengecut! Tunjukkan dirimu!" bentak Pendekar Gila sambil menghantamkan pukulan ke tempat asal tusuk konde itu. Karena tak ada sahutan, Sena semakin bertambah geram, merasa dipermainkan lawan.
"Edan! Rupanya ada orang yang menginginkan nyawaku!" dengus Pendekar Gila sambil mengelak.
"Kurang ajar! Rupanya, mau main petak umpet denganku. Baik! Ha ha ha...!" Sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila mengerahkan ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya melesat laksana angin, memutari wilayah itu. Larinya yang begitu cepat membuat tubuhnya bagai menghilang. Yang tampak hanya bayangan berkelebat. Beberapa kali Pendekar Gila memutari tempat itu, namun tak ditemukannya seorang pun di sana.
"Hh...! Aneh. Tak ada seorang pun di sini.
Lalu siapa yang menyerangku?" gumam Pendekar Gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir kuda.
Pendekar Gila kembali ke tempat perapian.
Dipandanginya kedua prajurit kadipaten. Di dada keduanya tertancap tusuk konde beracun.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia segera berjongkok memperhatikan tusuk konde yang menancap di dada Galu dan Warigi. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu yang aneh.
"Ah, rupanya tusuk konde ini bukan tusuk konde beracun biasa. Tusuk konde beracun pengisap darah," gumam Sena lirih.
Pendekar Gila menggosok-gosok mata, seperti tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Ada sesuatu yang aneh, tubuh kedua mayat itu men-gempis. Mata pecah dan kepala retak-retak.
"Oh! Apa yang terjadi?" Sena semakin penasaran menyaksikan kejadian aneh itu. Dengan perasaan ingin tahu, dicabutnya tusuk konde beracun itu.
Crab! "Hah!" Mata pemuda itu membelalak tegang. Bulu kuduknya merinding. Tusuk konde beracun itu ternyata memiliki akar panjang sampai ke batok kepala korban.
"Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak.
Benar-benar tusuk konde iblis!" gumam Sena sambil membuang tusuk konde itu jauh-jauh.
"Hhh...!" Sena mendesah, "Bencana apa la-gi yang akan melanda kadipaten ini?" Malam semakin larut. Pendekar Gila melesat meninggalkan hutan itu setelah mematikan api unggun. Ditembusnya kegelapan malam dengan menggunakan ilmu larinya yang melebihi kecepatan angin. Lari 'Sapta Bayu'.

***

Pagi telah hadir menerangi persada. Seorang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular nampak menggeliat bangun dari tidurnya.
"Huah...!" pemuda yang tak lain Sena itu menguap. Tangannya mengucek-ngucek mata. Sekali lompat tubuhnya melayang turun dari pohon di Hutan Wanacala.
Tubuhnya dilemaskan dengan menggeliat untuk menarik otot-ototnya yang kaku. Seketika matanya tertumbuk pada sesosok bayangan berkelebat tak jauh dari tempatnya. Terdengar suara tawa dari sosok bayangan itu. Pendekar Gila mengerutkan kening, merasa pernah mengenal tawa itu.
"Hah..."! Suara tawa itu seperti aku kenal.
Siapa...?" Sena berpikir sejenak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Itu persis suara tawa Mei Lie! Apakah tadi Mei Lie..."!" Sena bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Lalu matanya mencari-cari, kemudian melesat mengejar suara yang terus terdengar di kejauhan.
Pendekar Gila memasang indera keenamnya untuk menangkap suara itu. Kemudian tubuhnya kembali melesat dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', mengejar suara itu.
"Mei Lie..."!" seru Sena ketika melihat sesosok wanita berpakaian serba kuning, dengan rambut dibiarkan terurai.
Wanita itu membelakangi Pendekar Gila.
Tak terdengar suara jawaban bahkan menoleh pun tidak. Hal itu membuat Pendekar Gila penasaran. Dengan sekali lompat, Pendekar Gila sudah berada di dekat wanita itu. Namun, ketika Sena menyentuh pundaknya, gadis itu cepat melesat pergi. Sena jadi heran.
"Mei Lie...! Mei Lie...! Tunggu...!" seru Sena sambil mengejar gadis yang memang mirip Mei Lie itu. Namun gadis itu telah lenyap dari pandangan.
Seperti hantu saja.
"Aneh" Begitu cepat dia menghilang. Benarkah dia Mei Lie...?" tanya Sena dalam hati.
Belum habis Sena berpikir, tiba-tiba terdengar lagi tawa wanita itu. Bahkan kali ini memanggil Sena.
"Kakang Sena..., kemarilah! Ayo, kejar aku! Hi hi hi, he he he...!"
"Mei Lie...! Tunggu...!" Pendekar Gila cepat melesat mengejar gadis itu. Kali ini ilmu 'Sapta Bayu'-nya tetap dikerahkan.
"Mei Lie.... Kenapa kau" Sikapmu...."
"Mengapa aku?" sahut gadis mirip Mei Lie itu dengan mengulurkan kedua tangannya ke leher Pendekar Gila.
Melihat keanehan sikap Mei Lie, kekasihnya, Sena merasa risih. Hatinya keheranan karena tak pernah Mei Lie berbuat seperti itu. Mei Lie yang dikenal sukar dijamah, kini malah merang-kulnya. Itulah yang membuat Pendekar Gila mulai curiga. Dengan halus dia melepas rangkulan wanita yang mirip dengan Mei Lie itu. Lalu menatapnya sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Kenapa, Kakang" Adakah yang aneh dariku..."!" tanya wanita itu sambil terus berusaha merayu Sena. Kini wanita itu lebih berani. Dibiarkan pakaian atas yang menutupi dadanya terbuka lebar. Hingga buah dadanya yang kuning langsat terlihat jelas, tersembul menantang. Apalagi ketika wanita itu membungkuk, mengambil tusuk kondenya yang jatuh. Sena yang melihat tusuk konde itu, mengerutkan kening. Dia mulai teringat sesuatu.
"Tusuk konde..." Pasti wanita ini ada hubungannya dengan wanita misterius yang menyerangku semalam," ujar Sena di dalam hati. Namun dia kembali ragu ketika melihat wajah wani- ta yang ada di depannya benar-benar Mei Lie.
"Kenapa kau merasa jijik denganku, Kakang Sena...?" tanya wanita yang mirip Mei Lie itu, dengan sedih.
Pendekar Gila tak langsung menjawab. Pemuda itu malah cengengesan dan menggarukgaruk kepala. Sifat Sena paling tidak bisa jika melihat wanita yang bersedih.
Apalagi bila yang dihadapan Mei Lie, kekasihnya.
"Aku harus berbuat sesuatu, agar semua yang kuhadapi saat ini jelas. Benarkah dia Mei Lie" Di mana pedang bidadarinya" Mungkin Mei Lie mengalami gangguan jiwa, atau...." Sebelum selesai Sena menebak dalam hati, tiba-tiba wanita itu menyerangnya. Sebuah tendangan keras mendarat ke dada Sena yang sempat lengah. Degk! "Hukh...!" Sena terpekik. Dan belum sempat dia memulihkan tenaganya, tiba-tiba wanita itu menggeram. Dari mulutnya pun keluar puluhan jarum, ketika menyembur ke arah Pendekar Gila.
Jub! Jub! Jub! "Aaakh...!" Sena menjerit, ketika jarum-jarum berbisa menghunjam ke dadanya. Tidak sampai di situ, wanita itu tampak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kedua tangannya diangkat ke atas, dengan jari-jari tangan membentuk cakar seperti hendak mencengkeram. Lalu sambil memekik wanita itu hendak melancarkan serangan maut nya dengan pukulan.
Wesss! Degk! Namun belum sempat wanita itu menghunjamkan serangannya lagi, tiba-tiba muncul sesosok bayangan berkelebat. Dengan cepat disambarnya tubuh Sena yang sudah tak sadarkan diri, sambil menghantam wanita itu dengan tendangan.
"Aaauuuw...!" Wanita itu memekik panjang dan bergulingan di tanah.
"Kurang ajar...! Aaakh!" geram wanita itu sambil memegangi kakinya yang dirasakan seperti patah. Tak bisa untuk berdiri.
Sementara bayangan itu sudah hilang dari pandangannya.
"Siapa yang menyelamatkan Pendekar Gila...?" gumam wanita yang mirip Mei Lie itu. Wajahnya mendadak pucat dengan bibir bergetar.
Sesaat kemudian, muncul Dewi Ratu Maksiat secara tiba-tiba bagai makhluk halus. Ditemani empat lelaki pemuas nafsunya.
"Tuan Putri...!" seru wanita yang mirip Mei Lie ketakutan.
"Hi hi hi...! Bodoh! Kau terlalu ceroboh dan bernafsu pada lelaki. Sebagai hukuman orang tolol yang bernafsu berlebihan, kini kau harus melayani ke empat budakku ini secara bergantian.
Ha ha ha...!" Selesai berkata begitu, Dewi Ratu Maksiat memberi isyarat pada keempat budaknya untuk segera menggilir wanita samaran Mei Lie.
"Oooh... jangan! Ampun, Tuan Putri...," pinta wanita itu sambil menangis.
Namun keempat budak nafsu itu sudah merenggut tubuh wanita itu. Mereka menelanjangi wanita mirip Mei Lie. Dewi Ratu Maksiat menontonnya sambil tertawa-tawa. Sampai akhirnya wanita itu tak tahan dan mati secara menyedihkan. Darah mengalir dari selangkangannya. Wajahnya pun seketika berubah ke aslinya, pucat pasi, dengan mata melotot Dewi Ratu Maksiat dan keempat budaknya meninggalkan begitu saja wanita malang itu sambil tertawa terbahak-bahak.

┌≡֍≡¦ 8 ¦≡֎≡┐

Siang itu langit nampak mendung. Mentari sama sekali tak menampakkan diri, karena tertutup awan hitam yang bergulung di langit.
Lereng Gunung Merapi pun diselimuti mendung dan hawa dingin, serta kabut tebal menutupi puncaknya. Sesekali suara guntur menggelegar, membuat suasana kian mencekam.
Di dalam sebuah rumah gubuk seorang lelaki tua berambut putih tengah duduk. Lelaki berjenggot panjang sampai ke dada itu mengenakan jubah mirip pendeta Budha berwarna putih.
Jubah itu diselempangkan begitu saja di tubuhnya. Tempat duduknya terbuat dari potongan batang pohon kayu besar yang sengaja dibuat sedemikian rupa sebagai tempat duduknya.
Di depannya, terbujur lemas sesosok tubuh pemuda tampan, berambut gondrong. Tubuhnya yang mengenakan pakaian rompi dari kulit ular, terkulai di atas dipan. Mungkin pemuda itu sudah mati" Tak bergerak sedikit pun.
Lelaki tua yang dikenal dengan nama Ki Kinasih itu nampak membaca sebuah kitab suci.
Kedua tangannya direntangkan ke atas dengan mulut berkomat-kamit. Sesekali dengan kedua telapak tangannya dia mengusap tubuh pemuda itu, dari wajah sampai kaki. Hal itu dilakukannya berulang-ulang. Sampai akhirnya, Ki Kinasih bergumam.
"Oooh... Hyang Widhi.... Berikan kuasa-Mu! Sembuhkan pemuda ini! Beri dia kekuatan baru. Jangan kau bawa dia pada kematian. Sebab, dia harus meneruskan hidupnya untuk menumpas kedurjanaan manusia... Hyang Widhi...
berilah mukjizatmu melalui telapak tanganku ini! Tolonglah hambaMu ini...! Oooh... yai, yaii, yaiii...!" Tubuh Ki Kinasih tiba-tiba bergetar. Lalu bagai menyala, sekujur tubuhnya nampak terang.
Saat itu kekuatan Dewata telah menyusup ke tubuh Ki Kinasih. Kejadian berlangsung tak begitu lama, tampaknya mukjizat itu telah turun atas diri lelaki tua itu.
Cahaya putih bersih keperakan menjalar ke telapak tangan Ki Kinasih. Kemudian perlahan telapak tangannya seperti ada yang menggerakkan, mengusap wajah pemuda di depannya sebanyak tiga kali. Kemudian dilanjutkan mengusap seluruh tubuh pemuda itu tiga kali pula. Seketika cahaya berupa membias dari sosok tubuh pemuda itu. Cahaya kehidupan bagi manusia yang berbudi luhur dan kuat.
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya putih tadi, Ki Kinasih memekik, "Yeaaa...!" Plarr! Cahaya itu kembali merambat ke sekujur tubuh pemuda yang terbaring itu. Namun kemudian perlahan-lahan hilang. Suasana kembali tenang. Ki Kinasih nampak menarik napas panjang.
Keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Pemuda yang tadi berbaring di dipan, tampak mulai bisa menggerak-gerakkan jari tangannya, lalu seluruh anggota tubuhnya. Matanya perlahan dibukanya, bagai orang baru terjaga dari tidur. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu menggosok-gosok matanya. Dan setelah pandangan matanya mulai jelas, pemuda itu perlahan menggeliat bangun. Matanya terpicing ketika melihat lelaki tua duduk bersila di atas batang pohon tengah menatap wajahnya.
"Oooh..., di mana aku" Siapa kau, Kek...?" tanya pemuda itu sambil memegangi, kepalanya, lalu menggaruk-garuknya.
"Apakah aku bermimpi?"
"Hm...," gumam Ki Kinasih pendek, "Kau tidak bermimpi, Cucuku. Saat ini kau berada di pondokku. Aku tahu, kau mirip Singo Edan, adik seperguruanku itu...," ujar lelaki tua itu dengan suara menggema.
"Hah" Bagaimana Kakek tahu..." Dan siapa nama, Kakek?" tanya pemuda tampan yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
"Panjang ceritanya, Sena. Yang jelas aku dengan Singo Edan selalu berhubungan melalui batin. Dan kini bukan waktunya untuk bercerita padamu. Kau dalam keadaan hampir mati, ketika jarum-jarum beracun itu menusuk dadamu. Semua ini perbuatan Dewi Ratu Maksiat yang ingin membunuhmu dan menguasai rimba persilatan.
Selain itu, anak angkatnya yang bernama Datuk Tambureh telah menyekap si Bidadari Pencabut Nyawa, kekasihmu itu...," tutur Ki Kinasih.
"Hah"! Mei Lie..." Di mana aku dapat menemukannya...?" tanya Sena mendesak.
"Hm...," Ki Kinasih memejamkan mata sejenak. Lalu perlahan membukanya kembali sambil menatap Sena tajam.
"Kau harus dapat membunuh Dewi Ratu Maksiat dahulu, jika ingin ber- temu dengan gadis itu. Dan nanti kau akan menemukan tempatnya. Namun itu tak mudah bagimu, Sena. Kau harus lebih berhati-hati menghadapi wanita iblis itu. Sedikit kau lengah, nya-wamu melayang...! Tapi, kau harus yakin dapat mengalahkannya. Jangan sampai terpengaruh kecantikannya! Dia sangat berbisa, Sena. Juga jangan kau tatap matanya jika berhadapan dengan dia! Itu saja pesanku. Aku percaya dengan Suling Naga Sakti, dan beberapa ilmu yang diajarkan Singo Edan, kau akan mampu menaklukkan Wanita Iblis dari Andalas dan Datuk Tambureh, yang menculik kekasihmu. Sekarang cepat kau pergi! Aku akan melihatmu dari kejauhan," tutur Ki Kinasih.
"Sebelum aku pergi, boleh aku tahu nama Kakek?" tanya Sena sambil menjura hormat Ki Kinasih tersenyum. Dia meletakkan telapak tangannya di kepala Pendekar Gila.
"Apa artinya sebuah nama. Yang penting, jika kau kelak bertemu dengan gurumu, katakan, kakek berjenggot panjang dari Lereng Merapi kirim salam. Itu saja. Dan sekali lagi pesanku, jangan tatap mata lawanmu," kata Ki Kinasih memberikan wejangan pada Sena.
"Terima kasih, Kek.. eh Eyang. Saya mohon diri...!" Setelah menjura, Sena melesat pergi keluar dari pondok itu.
Ki Kinasih memandangi dengan senyum, sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang sampai dada.

***

Pendekar Gila yang sudah sangat marah akan tindakan dan sepak terjang Dewi Ratu Maksiat dan Datuk Tambureh, terus melesat dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu' menuju barat.
"Aku yakin, jalan ini akan mempertemukan ku dengan perempuan keparat itu," kata Sena dalam hati.
Pendekar Gila terus melesat bagai angin.
Sehingga tiba di suatu tempat yang sepi dan sunyi. Di sekitar tempat itu pepohonan tampak kering meranggas, bagikan dilanda musim kemarau yang sangat panjang. Padahal daerah itu merupakan pegunungan yang mestinya subur.
"Aneh, tempat apa ini" Aku baru lihat tempat yang semua pohon dan tanamannya kering seperti ini...," gumam Sena dalam hati. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil mengedar- kan pandangan mengitari sekitar tempat itu.
Namun Pendekar Gila kembali melesat meninggalkan tempat yang sunyi dan sepi itu. Tanpa sepengetahuannya, ada sepasang mata jalang mengawasi gerak-gerik Sena sejak tadi.
"Oooh... Mei Lie, di mana kau..." Hyang Widhi, temukan aku dengan dia! Beri aku petunjuk jalan untuk menemukan Mei Lie...!" keluh Se-na sambil terus berlari menuruti nalurinya. Bagai terbang pemuda itu melintasi segala macam tempat. Melompati tebing, menyeberangi sungai. Dan terakhir dia memasuki sebuah hutan yang kelihatannya masih perawan. Hutan Gombong. Hutan itu ditumbuhi pepohonan besar.
Namun tampak di sana-sini banyak yang bertumbangan, menghalangi jalan.
Pendekar Gila memutuskan untuk berhenti di mulut hutan itu.

┌≡֍≡¦ 9 ¦≡֎≡┐

Angin pagi bertiup semilir, diiringi sinar matahari yang baru saja terbit di ufuk timur. Desau angin lembut, senandung burung, dan kokok ayam jantan, menyatu dalam satu irama kehidupan. Dari kejauhan di dalam Hutan Gombong terdengar suara nyanyian merdu. Nyanyian itu diselingi tiupan suling yang mendayu, seperti menikmati indahnya pagi.
Samar-samar dari kejauhan, tampak seorang pemuda tampan dengan suling emas berkepala naga di tangannya, tengah melangkah sambil bernyanyi. Pemuda tampan yang tengah berjalan sambil bernyanyi-nyanyi itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Didengar dari syair lagunya, tampaknya Sena sedang merasakan kerinduan pada seorang gadis yang dicintainya. Dan gadis itu tentunya Mei Lie.
"O, permata hatiku ke mana langkah harus menuju. Masihkah kau menikmati pagi yang indah ini. Iri rasanya hatiku, memandang alam yang damai ini. Sementara, jiwaku telah mencari tempat tambatan hati yang pergi belum kembali...." Setelah menumpahkan isi hatinya, Sena pun duduk di atas sebatang pohon yang tumbang. Suling Naga Sakti diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-tawa, kepalanya digaruk sambil memandang burung yang bernyanyi riang.
"Hi hi hi...! Burung, aku iri kegembiraanmu...! Aha, kau meledekku. Tak apa. Kuakui memang aku sedang bingung...," kata Sena bicara seorang diri.
"Aha! Kau yang bisa terbang, di ma-na kini Mei Lie berada?"
"Cit, Cuit" Sena melompat-lompat sambil tertawatawa mendengar kicau burung mencericit.
"Aha, rupanya kau tahu. Di mana dia, Burung Cantik?"
"Cuit, cuit..!" Sena mengangguk-angguk sambil cengengesan. Lalu dengan tetap tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, Sena bangkit dari duduknya. Wajahnya menengadah ke langit ketika burung-burung pemakan bangkai berterbangan dengan pekikan yang keras.
"Oh, ada apa dengan burung-burung itu" Bukankah mereka burung pemakan bangkai?" gumam Sena dengan kening berkerut.
Sena masih belum sadar, kalau gerakgeriknya diintai oleh sepasang mata, yang ber sembunyi di balik pepohonan rindang. Lalu berkelebat sosok bayangan hijau. Gerakannya begitu ringan, hingga tak terdengar sedikit pun langkah kakinya. Tentunya sosok yang mengikuti Pendekar Gila itu memiliki ilmu meringankan tubuh cukup handal. Dengan mulut masih cengengesan Sena kembali duduk. Matanya beredar ke sekeliling tempat yang ditumbuhi pepohonan hijau menggapai cakrawala.
Kresek! Bibir Sena tersenyum ketika telinganya menangkap suara kaki menginjak daun kering.
Kemudian sambil cengengesan, dia duduk bersila.
Tangan kanannya menopang dagu seperti sedang merenung.
"Hi hi hi...! Rupanya ada juga tikus yang bersembunyi," ucap Sena tenang. Matanya memandang redup dan mulutnya masih cengengesan. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk paha. Swing! Swing...! Tiba-tiba puluhan senjata rahasia melesat ke arah Sena yang masih duduk bersila.
"Aha, ada juga tikus yang pandai bercanda!" seru Sena sambil berjumpalitan di udara.
Bersamaan dengan itu, segera dihantamkan pukulan 'Inti Bayu' untuk menangkis senjata rahasia yang meluncur ke arahnya.
"Hi hi hi...! Permainan kalian kukembalikan! Hih...!" Wuss! Swing! Swing...! Crab! Crab! "Aaakh...!" Dari balik semak-semak yang jaraknya sekitar lima belas tombak terdengar jeritan kematian. Kemudian tampak lima orang dengan wajah ditutupi kain hitam meregang. Leher mereka tertancap senjata rahasia yang tentu milik mereka.
Kemudian tubuh mereka ambruk dan tewas.
"Ha ha ha...! Lucu sekali! Lucu...!" seru Se-na sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera kegirangan.
"Kurang ajar! Serang dia...!" Dari balik semak-semak, terdengar perintah seseorang untuk menyerang. Bersamaan dengan itu, muncul puluhan orang dengan wajah tertutup kain hitam dan bertelanjang dada. Mereka langsung mengurung Pendekar Gila yang masih tertawa terbahak, sambil melompat-lompat seperti kera.
"Ha ha ha...! Monyet-monyet hitam! Ha ha ha...!"
"Bedebah! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-orang yang berpakaian serba hitam.
"Hiaaat...!"
"Wadauw! Mengapa ganas sekali"!" seru Sena, sambil memegang kepalanya. Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan.
"Pecah kepalamu, Pemuda Edan!" bentak pemimpin para penyerang sambil menebaskan goloknya ke kepala Sena.
"Wadauw, aku tak mau!" teriak Sena sambil meliukkan tubuhnya dengan kaki agak merentang. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Sena mementahkan serangan yang datang ke arahnya. Tubuhnya meliuk-liuk laksana penari, dan sesekali tangannya bergerak seperti menepuk.
"Hi hi hi...! Rasakan kue apemku! Nih...!" Tangan Sena menepuk ke dada seorang lawan yang menyerangnya. Tubuhnya masih meliuk-liuk, dengan sedikit membungkuk Blukk! "Wuaa...!" Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke belakang, melayang laksana terbang. Tubuh orang itu terhenti, ketika menabrak sebatang pohon besar. Brak! "Aaakh!" Orang itu menjerit. Kain penutup kepalanya bersimbah darah, Ternyata kepala orang itu pecah akibat benturan keras dengan pohon besar tadi. Hutan yang semula tenang dan asri, seketika terpecah oleh suara hiruk-pikuk. Banyak pohon yang tumbang terhantam serangan mereka.
Rerumputan yang semula segar, morat-marit dan rusak karena terinjak-injak. Binatang-binatang pun berlarian karena ketakutan.
"Hi hi hi...! Siapa lagi yang mau kue apem...?" tanya Sena sambil bergerak seperti seekor kera dengan tangan kiri menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya masih meliuk-liuk laksana menari mengelakkan serangan lawan.
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" seru pimpinan gerombolan berpakaian serba hitam yang ternyata dari Gerombolan Macan Kumbang. Tubuh pemimpin gerombolan itu tidak terlalu besar. Suaranya juga bukan suara lelaki, melainkan seorang wanita.
"Cincang dia!" sambut anak buahnya.
"Serang...!" Serentak mereka kembali menyerang dengan membabatkan golok di tangan masingmasing. Namun dengan cepat Sena kembali bergerak mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat seraya membungkukkan badan.
"Wah! Ganas sekali tikus betina ini?" tukas Sena sambil terus bergerak mengelak.
Pantatnya sengaja ditunggingkan ke arah lawan-lawannya, hingga membuat wanita dari Gerombolan Macan Kumbang itu marah.
"Haiiit..!" Wanita itu membabatkan goloknya ke pantat Sena.
"Wadauw! Jangan, Nyi! Pantatku bisulan! Hi hi hi...!" Sambil berkata begitu. Sera mengelak cepat. Kembali tangannya menepuk dua orang yang berada di depan dan sampingnya.
Plakk! "Wuaaa...!"
"Aaa...!" Dua orang korban sasaran pukulan Pendekar Gila memekik. Tubuh mereka terpental deras ke belakang seperti dua batang ranting kering.
Lalu menghantam pohon disertai pekikan kematian. Tubuh keduanya ambruk dengan napas putus.
"Bangsat! Minggir...! Biar kuhadapi dia!" seru wanita itu kalap. Pemuda itu terlalu berbahaya untuk dihadapi anak buahnya. Bisa habis satu persatu anak buahnya di tangan pemuda tampan yang bertingkah seperti orang gila itu.
Setelah anak buahnya mundur, dengan cepat wanita itu melabrak maju. Matanya yang nampak dari lubang kain penutup wajahnya, melotot garang pada Sena yang masih cengar-cengir.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila"!" bentak wanita itu.
"Hi hi hi...! Dari mana kau tahu, Tikus Betina! Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak dengan tubuh berjingkrakan seperti kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Namamu cukup kondang, Pendekar Gila! Hm, aku datang untuk menantangmu!" Sena kembali tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali! Lucu sekali omonganmu, Tikus Betina. Mengapa kau menantangku?" tanya Sena masih bergerak-gerak seperti kera.
"Karena kau penghalang kami!"
"Oh, kalau kalian bermaksud baik, aku tak akan menghalanginya. Ah ah ah...! Tentu maksud kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi hi...! Atau kalian tak punya hidung"!" ledek Sena yang membuat wanita itu semakin membelalak garang.
"Bedebah! Apa pun yang akan kami lakukan, itu urusan kami! Kau memang harus disingkirkan, karena kau penghalang utama. Nah, bersiaplah!" bentak wanita itu sengit Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan.
"Aha, kalau itu maumu, baiklah. Aku akan melayanimu."
"Hiaaat..!" Wanita itu segera melompat dengan terkaman tangan yang membentuk cakaran dalam jurus 'Burung Gagak Menangkap Mangsa'. Tangannya bergerak menyilang, lalu mencengkeram lurus ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali gerakanmu." Pendekar Gila segera menundukkan kepala, lalu dengan cepat tubuhnya bergerak mengelak sambil berguling. Kakinya menendang ke atas, ketika tubuh wanita itu melompat "Hi hi hi...! Ini tendangan kuda binal!" Wanita itu tersentak kaget mendapatkan serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangannya ditarik, tapi tubuhnya yang sudah melayang sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang. Sehingga... Degk! "Hukh!" Tubuh wanita itu terlontar ke depan, lalu tersuruk mencium tanah.
"Ha ha ha...! Mengapa kau mencium tanah, Nyi?" ejek Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Tangannya menepuk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk kepala sambil melompat-lompat kegirangan. Hal itu membuat lawannya semakin marah.
"Kurang ajar! Bunuh monyet gila itu!" perintah wanita itu. Gerombolan Macan Kumbang langsung bergerak mengurung Pendekar Gila yang masih melompat-lompat seperti kera.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya!" seru wanita itu bertambah murka, menyaksikan tingkah laku Pen- dekar Gila yang kian menjengkelkan.
"Hiaaa...!"
"Yeaaa...!" Gerombolan itu langsung menyerbu dengan babatan dan tusukan golok ke tubuh lawan.
Mereka nampaknya bernafsu sekali untuk segera menghabisi Pendekar Gila.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gila bukannya takut, malah tingkahnya kian menggila. Dengan berjingkrak-jingkrak seperti kera, Sena mengelakkan serangan orang-orang berpakaian serba hitam itu. Tampak tubuhnya meliuk-liuk bagai menari. Kemudian tangannya bergerak ke beberapa jurusan, menghantam dengan pukulan-pukulan yang kelihatannya pelan dan tak bertenaga.
"Hea...!" Plak! "Wuaaa...!" Satu orang lagi terkena pukulan telapak tangan Pendekar Gila. Seperti tiga temannya, tubuh orang ini pun terlontar jauh ke belakang.
Dan baru berhenti ketika membentur pohon hingga kepalanya pecah.
Pendekar Gila yang sudah tahu kalau mereka para bajingan, kini tak mau diam dan membiarkan mereka lolos. Tubuhnya bergerak cepat, meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' disusul dengan jurus yang semakin membuat lawan-lawannya bertambah kalangkabut. Wuss...! Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar angin deras menghantam ke arah lawan.
Para pengeroyoknya seketika terdorong ke belakang. Bahkan pakaian wanita itu terlepas. Tubuhnya kini tak tertutup sehelai benang pun.
Ternyata dia seorang wanita yang cantik dengan rambut terurai lepas. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis, menggairahkan. Hal itu membuat Sena mengerutkan kening sesaat. Wanita itu tak lain Dewi Ratu Maksiat. Sejenak Sena terkesima.
Mata Dewi Ratu Maksiat bagai mengandung daya tarik yang luar biasa. Hatinya hampir saja terlena oleh kecantikan dan keindahan tubuh wanita itu.
Yang kini dalam keadaan tanpa pakaian! "Hah..."!" gumam Pendekar Gila, memandang wanita yang ada di depannya tanpa pakaian.
"Dia pasti Dewi Ratu Maksiat itu. Rupanya dia sejak tadi mengikuti. Aku harus hati-hati...," batin Sena. Rupanya setelah wanita yang dia ciptakan mirip Mei Lie itu gagal menaklukkan Pendekar Gila, Dewi Ratu Maksiat penasaran. Dia terus mencari di mana Pendekar Gila berada, dan dengan indera keenamnya akhirnya Dewi Ratu Maksiat dapat menemukan jejak Pendekar Gila. Jika dia dapat melumpuhkan, menaklukkan iman Pendekar Gila, maka dia akan sangat bahagia. Karena dapat hidup seribu tahun lagi. Menurutnya dengan bersetubuh dengan Pendekar Gila umurnya semakin panjang. Dan bertambah sakti! Dewi Ratu Maksiat berpura-pura malu, dia menutupi auratnya dengan kedua tangan. Lalu tersenyum genit dan menggigit bibirnya sendiri.
Sena tertegun sesaat, menatapi tubuh yang begitu indah dan dada yang masih terlihat keras.
"Oooh...," Dewi Ratu Maksiat mendesah lirih.
"Sebaiknya kita tak usah bertarung Pendekar Gila. Aku mengaku kalah. Sekarang lebih baik ki-ta menjadi teman.
Peluklah aku, oooh... ssstt...." Pendekar Gila seperti kena hipnotis, entah kenapa jadi tak berkutik. Kakinya melangkah mendekati Dewi Ratu Maksiat yang tanpa pakaian itu. Wanita cantik itu telentang di tanah, yang ditumbuhi sedikit rerumputan.
Semakin dekat Sena dengan wanita iblis itu. Dan ketika tinggal satu tombak jaraknya, Sena tiba-tiba memegang keningnya, dia mendengar suara mengiang-ngiang di telinganya.
"Jangan sekali-kali kau menatap mata wanita itu, Sena..., jangan menatap matanya!" Pendekar Gila tersentak, seperti orang baru bangun dari tidurnya. Pemuda itu cepat memalingkan muka dan tetap siap waspada akan tipu muslihat wanita itu. Hatinya telah sadar, setelah mendengar pesan Ki Kinasih.
"Perempuan iblis!" gumam Sena lirih.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat usahanya gagal, segera menyeringai. Matanya membelalak lebar. Dan sambil mengerang bagai macan kumbang betina, Dewi Ratu Maksiat menggapai pakaiannya yang terlepas tadi. Dililitkan pakaiannya di bagian pinggang. Lalu menyerang Pendekar Gi-la, yang membelakanginya.
"Yeaaa.... grrr...!" Dewi Ratu Maksiat melesat menerkam Pendekar Gila. Namun Pendekar Gila sudah siap dengan segala kemungkinan. Dirundukkan kepalanya ke samping, lalu disusul melancarkan serangan balik, dengan pukulan tangan kanan ke dada lawan yang masih ngambang di udara.
Pluk! Bukk! "Aaakh...!" Dewi Ratu Maksiat memekik panjang. Dadanya seketika terasa sesak. Tubuhnya langsung roboh tertelungkup ke tanah. Dewi Ratu Maksiat yang sebenarnya memang tak memiliki ilmu sejati mulai berkurang tenaganya.
Wanita Iblis dari Andalas itu hanya memiliki ilmu sihir yang dapat meluluhkan setiap lelaki. Namun untuk Pendekar Gila ilmu itu tak mempan.
Sena yang sudah merasa sangat jijik dan marah, mulai mengeluarkan jurus-jurus mautnya untuk cepat membunuh wanita itu. Pemuda itu tampak mulai menyatukan telapak tangannya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, tangannya dengan pelan membuka ke samping. Ditariknya ke belakang membentuk aku. Lalu dengan telapak tangan terbuka, bergantian menghantam. Dari pukulannya itu mengeluarkan kekuatan yang sanggup melebur gunung karang! Itulah jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat itu membelalak. Matanya bagai mau keluar, merasa sudah tak sanggup melawan Pendekar Gila.
"Jangan, ampuni aku, Pendekar Gila! Apakah kau tega membunuh perempuan semacam aku, dalam keadaan terluka dalam" Seorang pendekar sejati sepertimu tak akan melakukan hal itu, bukan..."!" ucap Dewi Ratu Maksiat dengan suara sedih, air matanya mulai menetes ke pipi.
Sejenak Pendekar Gila terkesima. Tangannya yang ingin dihentakkan ke arah perempuan itu diurungkan. Matanya memandang Dewi Ratu Maksiat. Namun cepat-cepat Sena memalingkan muka, menghindari tatapan mata perempuan itu.
"Kalau kau tak ingin mati, cepat pergi! Sebelum aku membah pikiran...!" perintah Sena dengan lantang. Tanpa memandang Dewi Ratu Maksiat Perempuan itu melotot. Mukanya yang cantik kini nampak galak. Dan menyeringai, tangan kirinya masih memegangi dadanya yang terasa sakit "Hhh! Siasatku gagal. Kepalang basah! Aku harus bisa menaklukkan pendekar tampan ini, Aku ingin merasakan pelukan dan kejantanannya. Biar aku menjadi wanita yang terus awet muda...!" gumam Dewi Ratu Maksiat. Selesai bergumam, dengan sisa-sisa kekuatan, tubuhnya melompat ingin menerkam Sena yang membelakangi dia.
"Grrr...! Hiaaa...!" Wut! Wut! Blarrr! "Aaauwww...!" Dewi Ratu Maksiat menjerit tinggi melengking. Dari mulutnya keluar darah kental, namun warnanya kuning bercampur kehijau-hijauan.
Tubuh wanita itu menggelepar-gelepar di tanah, dalam keadaan telanjang. Perlahan-lahan terjadi perubahan di wajahnya. Wajah yang cantik jelita dan penuh daya tarik luar biasa, kini kembali menjadi wajah yang menyeramkan, keriput seperti nenek-nenek. Rambutnya putih dan bertubuh kurus bagai tengkorak. Sena kaget melihat hal itu. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu bergumam, "Ternyata dia seorang nenek-nenek keriput Edan! Jagad Dewa Batara...! Kau telah men- dapat ganjaran yang setimpal, Nyi...." Selesai bicara begitu, Sena segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Aku harus menemukan Mei Lie secepatnya. Tapi di mana?" kata Sena dalam hati sambil terus berlari ke barat.

***

Sementara itu di kaki Gunung Kelud, tempat kediaman Datuk Tambureh nampak sepi.
Hanya dalam salah satu ruangan terdengar suara jeritan dan tawa seorang lelaki.
"Ha ha ha... mau ke mana kau, Manis..." Sudah saatnya kini kau menjadi istriku. Ayolah..., malam ini kita akan saling memberi cinta... he he he, ha ha ha... ayo...!" Datuk Tambureh sudah telanjang dada, hanya memakai celana panjang.
Mencoba memburu Mei Lie yang pakaiannya sudah robek-robek oleh tangan Datuk Tambureh yang sudah kemasukan setan itu.
"Jangan dekati aku...! Aku akan bunuh diri...!" bentak Mei Lie yang nampak marah. Sambil menghindar, dan memukul muka Datuk Tambureh dengan sekuat tenaga. Namun tanpa Pedang Bidadari Pencabut Nyawa, Mei Lie tak bisa berbuat banyak. Apalagi tenaga dalamnya belum pulih sepenuhnya. Gadis itu mencoba untuk tidak terkena totokan lelaki keparat. itu. Untuk itu dia selalu berusaha menjauhi dan melawan jika Datuk Tambureh mendekat, ingin menerkamnya.
"Jangan sampai hilang kesabaranku! Kau akan menyesal nanti. Ayolah...!" ancam Datuk Tambureh. Lalu cepat menerkam Mei Lie. Gadis itu melompat ke samping, lalu menyerang dengan tendangan kaki kanannya ke dada Datuk Tambureh. Degk! "Ukh...!" Datuk Tambureh yang sudah bernafsu itu, sempat kurang waspada. Hingga ten- dangan kaki kanan Mei Lie mengenai dadanya.
"Kurang ajar! Kau tak bisa dibiarkan. Hem! Heaaa...!" Datuk Tambureh menyerang dengan ganas.
Mei Lie terbelalak melihat gerakan tangan datuk yang begitu cepat. Dan tanpa diduga, tiba-tiba Datuk Tambureh sudah dapat menangkap lengan kiri Mei Lie. Mei Lie berusaha melepaskan cekalan tangan kanan Datuk Tambureh. Namun sia-sia saja.
Lelaki tua itu lebih kuat, sedangkan keadaan tenaga dalam Mei Lie belum pulih benar.
Dengan cepat Datuk Tambureh, yang tak mau membuang-buang waktu lagi, segera menotok ke arah dada Mei Lie. Namun si Bidadari Pencabut Nyawa bisa menangkis dengan tangan kanannya, meskipun hal itu tak cukup untuk menggagalkan niat Datuk Tambureh. Dengan cepat pula tangan lelaki berjubah merah itu kembali menotok dada Mei Lie.
Tuk! Tuk! Mei Lie seketika terkulai lemas. Datuk Tambureh yang sudah lama ingin menikmati tubuh Mei Lie yang menggiurkan, dan ingin menjadikan istrinya segera menggotong tubuh gadis itu ke tempat pembaringan Datuk segera merobek penutup dada Mei Lie. Tersembul di depan matanya, dada yang putih bersih, keras, dan kenyal menantang. Menambah birahi Datuk Tambureh semakin tinggi. Dan ketika Datuk Tambureh mulai menindih dan ingin mengisap buah dada Mei Lie. Tiba-tiba...
Plak! Plak! "Aaakh...!" Tubuh Datuk Tambureh terpental, jatuh dari tempat tidurnya. Bersamaan itu, bayangan yang berkelebat menjebol pintu kamar itu, dengan cepat menyambar tubuh Mei Lie. Dan menghilang dari kamar. Datuk Tambureh murka. Dia cepat memakai jubah dan menyelipkan kapak terbuat dari kuningan asli ke pinggangnya.
Para penghuni tempat itu, berhamburan keluar, ketika mendengar teriakan Datuk Tambureh yang marah itu.
"Hai...! Kalian, cepat kejar maling itu...! Bodoh!" perintah Datuk Tambureh. Setelah itu dia sendiri melesat meninggalkan tempat itu. Sementara itu sosok bayangan yang membawa Mei Lie telah jauh dari kediaman Datuk Tambureh. Siapa sebenarnya yang membawa Mei Lie itu belum jelas. Namun di belakang orang itu ada seorang lelaki lain yang mengikutinya.
"He he he, ha ha ha...!" lelaki berjubah hitam itu tertawa-tawa riang sambil terus berlari. Diikuti kawannya yang kini semakin dekat Sesampainya di suatu tempat yang dianggap aman, mereka berhenti. Lalu mencari tempat yang sedikit terlindung di bawah pohon beringin besar dan rindang. Di sekelilingnya semak-semak dan pepohonan rendah.
"Kini kita akan bersenang-senang, Bulus," ujar lelaki bercakar hitam yang ternyata Barong Culla. Matanya terus menatap tubuh Mei Lie yang masih belum sadarkan diri. Karena tertotok oleh Datuk Tambureh tadi.
Barong Culla maupun Bulus Wulung sengaja tak ingin melepas totokan itu, agar lebih le-luasa untuk memperkosa gadis itu.
"Apakah kita tak cepat-cepat memulai saja" Aku sudah tak tahan," kata Bulus Wulung yang air liurnya meleleh dari mulutnya.
Apalagi ketika melihat lebih dekat dada Mei Lie yang sedikit tersembul dari balik pakaiannya yang sobek. Juga pahanya yang mulus membuat Bulus Wulung tak dapat menahan gejolak birahinya, segera dia meremas dada Mei Lie. Namun Barong Culla, cepat menepis dan menampar Bulus Wulung sebelum tangannya menyentuh dada Mei Lie.
"Sabar! Orang sabar itu subur... he he he...! Atau kita bertarung saja, siapa yang menang boleh lebih dulu menikmati tubuh gadis ini. Setuju?" tantang Barong Culla.
Bulus Wulung hanya tersenyum, sambil memegangi perutnya. Matanya tak berkedip terus memandangi dada Mei Lie dan paha mulus yang menantang itu. Karena tak ada jawaban dari Bulus Wulung, Barong Culla mengetahui temannya sudah merelakan dia meniduri Mei Lie lebih dulu. Maka, Barong Culla segera membungkuk, ingin menindih tubuh Mei Lie yang sudah telentang.
"He he he...! Hari ini aku mendapat duren jatuh... he he he...!" kata Barong Culla sambil membuka ikat celananya. Namun tiba-tiba..., Cras! Cras! Crab! "Ukkh...!" Bulus Wulung rupanya mempunyai siasat keji. Dia tega membunuh kawan seperjuangannya, hanya karena ingin menguasai tubuh Mei Lie. Dengan goloknya dia menebas kepala dan menusuk tubuh Barong Culla. Tanpa ampun nyawa Barong Culla langsung melayang! "Ha ha ha...! Kini akulah yang paling bahagia. He he he... hari ini aku akan menikmati tubuh gadis cantik ini sepuas hatiku. He he he...!" Selesai berkata begitu Bulus Wulung segera membungkuk ingin menindih tubuh Mei Lie yang masih belum sadar. Tangan Bulus Wulung gemetaran ketika hendak menjamah dada Mei Lie.
Tanda nafsu birahinya benar-benar sudah memuncak. Bugk! Bugk! "Aaa...!" Bulus Wulung tiba-tiba menjerit dan tubuhnya tertelungkup di tanah.
Orang yang tiba-tiba muncul itu tak sampai di situ menghajarnya. Belum sempat Bulus Wulung melihat jelas siapa orang yang mengga galkan niatnya, datang tendangan keras ke dada dan kepalanya secara bertubi-tubi. Hingga lelaki berjubah biru kehitaman itu tak bisa bangun.
Orang yang menghajarnya mengakhiri dengan tendangan kaki kanannya yang keras ke ulu hati Bulus Wulung. Seketika Bulus Wulung mati.
"Mei Lie... Mei Lie! Oooh... maafkan aku...!" pemuda yang ternyata Pendekar Gila memeluk dan mengusap rambut kekasihnya. Lalu segera melepas totokan yang membelenggu Mei Lie.
Seketika Mei Lie sadar. Perlahan matanya membuka dan kaget melihat Sena ada di depannya, lalu menangis. Sena memeluknya erat-erat "Semuanya sudah berakhir, Mei Lie...," ka-ta Sena perlahan.
"Belum berakhir!" Terdengar suara seseorang lelaki dari arah belakang Pendekar Gila. Sena tersentak kaget, juga Mei Lie. Segera mereka menoleh ke arah datangnya suara. Dan Sena cepat berdiri menghadap orang itu. Diikuti Mei Lie, yang telah mengenai orang itu.
"Bajingan! Kau rupanya...!" bentak Mei Lie tiba-tiba setelah tahu yang muncul tak lain Datuk Tambureh.
"Siapa dia..."!" tanya Sena geram. Matanya terus menatap tajam Datuk Tambureh.
"Dialah yang menculikku, dan ingin menodaiku, Kakang...," kata Mei Lie tegas sambil menatap tajam lelaki tua di depannya.
"Keparat! Kau harus menerima ini...! Heaaa...!" Karena marah, Pendekar Gila langsung menggebrak dengan jurus-jurus mautnya. Jurus 'Si Gila Membelah Mega' dicampur dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Wuss! Glarr...! Ledakan hebat akibat serangan Pendekar Gila yang tak menemui sasaran. Pohon dan bebatuan yang ada di sana. Hancur lebur dan tumbang. Karena ternyata Datuk Tambureh telah lebih dulu melesat cepat mengelakkan serangan dahsyat itu. Mei Lie coba membantu dengan serangan semampunya.
"Mei Lie, minggir. Biar aku cincang manusia keparat itu...." Selesai berkata begitu, Pendekar Gila segera melancarkan serangannya. Kali ini tubuhnya melenting ke udara mengejar Datuk Tambureh yang hendak menerkam Mei Lie. Pertarungan di udara terjadi, saling pukul dan tangkis, antara kedua orang berilmu tinggi itu. Lalu keduanya meluncur ke bawah, dan sama-sama berdiri tegak berhadapan, berjarak lima tombak. Sementara Mei Lie juga tetap siap dan waspada. Namun tibatiba Mei Lie tak tampak di mata Datuk Tambureh yang jelalatan mencarinya. Saat itulah Pendekar Gila, menghunjamkan pukulan jarak jauhnya ke arah Datuk Tambureh.
"Heaa!" Wutt! Brret! "Aukkh...!" Datuk Tambureh memekik tertahan seraya memegangi dadanya. Namun dengan cepat dia menggerakkan kedua tangannya, lalu mengibaskan tangan kanan ke depan. Angin keras seketika menderu memburu Pendekar Gila. Tubuh Pendekar Gila seakan tersedot angin itu, mendekat ke arah lawan. Pendekar Gila cepat tanggap.
"Celaka! Ilmu apa ini..."!" gumam Pendekar Gila sesaat. Dia cepat mengeluarkan ajian 'Inti Salju'. Dengan kekuatan tenaga dalam, kedua tangannya diangkat ke atas dengan cepat, lalu menghentakkan ke arah lawan. Maka seketika tubuh Datuk Tambureh membeku, tertutup salju.
Datuk Tambureh tersentak kaget. Tubuhnya menggigil kedinginan dan matanya terbelalak heran. Pendekar Gila tak mau buang waktu lagi, segera dikerahkan ajian 'Tamparan Sukma'. Gerakannya lambat, tapi hasilnya sangat dahsyat Siluman apa pun jika terkena pukulan ini pasti hancur lebur. Namun anehnya Datuk Tambureh tak mati, bahkan tubuhnya tetap utuh. Hanya terluka di bagian kening dan dadanya hangus.
"He he haaa... ayo, Pendekar Gila! Keluarkan kesakitanmu! Kau akan mati sekarang dengan senjata pusakaku ini...," ujar Datuk Tambureh sambil mencabut kapak yang terbuat dari kuningan asli. Memancarkan sinar emas, menyilaukan mata Pendekar Gila.
"Hah"!" gumam Pendekar Gila sambil memperhatikan senjata yang digenggam tangan kanan lawannya.
Segera Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya. Diangkatnya ke atas, lalu diturunkan perlahan, dan kemudian dihentakkan ke depan bersama dengan kakinya merenggang, membuka kuda-kuda dan jurus.
"Heaaa...!"
"Yaaat..!" Kedua tokoh sakti itu melompat ke udara, dan saling menyerang dengan senjata masingmasing. Pertarungan di udara terjadi lagi dengan sem. Senjata mereka beradu.
Trang! Trang! Trang! Glaarrr...! Ledakan menggelegar disertai cahaya perak dan keemasan menerangi tempat itu, akibat beradunya dua senjata pusaka. Lalu keduanya turun dengan mulus. Datuk Tambureh yang semakin murka dan penasaran, langsung menyerang dengan penuh amarah. Serangannya tak terkendali hingga banyak yang tak menemui sasaran. Pendekar Gila dengan lincah menangkis dan melakukan serangan balik yang cepat ke arah wajah dan perut Datuk Tambureh.
Wess! Wess! Sing! Sing! Datuk Tambureh membalas serangan dengan menyodok, membabatkan kapaknya ke kepala Pendekar Gila. Namun pemuda itu dengan cepat menangkis dengan sulingnya. Kembali sinar perak dan keemasan terlihat. Lalu Pendekar Gila melenting ke udara sambil salto, melewati kepala Datuk Tambureh yang menghadap ke lain arah.
Saat itu dengan cepat Pendekar Gila yang masih ngambang di udara, melancarkan tebasan ke arah kepala Datuk Tambureh.
Brak! Brak! "Aaauw...!" Datuk Tambureh memekik panjang, kepalanya terkena pukulan Suling Naga Sakti. Tubuhnya melintir, lalu roboh sambil memegangi kepalanya. Datuk Tambureh berusaha menahan rasa sakit dan pening, serta panas yang mendera di kepalanya, akibat hantaman Suling Naga Sakti.
Biasanya orang akan mati dalam beberapa saat kemudian. Namun Datuk Tambureh rupanya memiliki kesaktian yang hebat. Lelaki tua berjubah merah itu masih bisa bertahan, walaupun pandangannya kini mulai kabur karena pening.
Pendekar Gila sedikit heran. Namun dia cepat melesat ke arah Datuk Tambureh yang masih sempoyongan.
"Heaaa...!" Prak! Prak! Glarrr...! Pendekar Gila yang sudah memuncak amarahnya, tak mampu lagi mengendalikan diri. Dihantamkan Suling Naga Sakti-nya kembali ke kepala dan tubuh Datuk Tambureh yang seketika menjerit Lalu tak bersuara lagi. Nyawanya melayang! Tubuhnya membiru dan kemudian terbakar, karena Suling Naga Sakti Pendekar Gila.
Pendekar Gila merasa puas. Dia menghela napas panjang dan kemudian bergumam.
"Kau telah mendapat pembalasan Datuk Tambureh...! Terima kasih Hyang Widhi! Dengan bantuanmu, aku bisa menemukan Mei Lie dan melenyapkan manusia-manusia terkutuk itu...." Pada saat itu Mei Lie telah muncul kembali dengan menggenggam Pedang Bidadari-nya.
"Mei Lie...! Dari mana kau tadi...?" tanya Sena keheranan melihat kekasihnya yang sempat menghilang beberapa saat.
"Mana dia datuk keparat itu, Kakang Sena..."!" tanya Mei Lie menunjukkan kemarahannya.
"Sudah mati. Dia sudah membayar semua dosa dan kejahatannya. Kita sekarang benarbenar telah melewati hari-hari yang sangat menyesakkan...," kata Sena lalu memeluk Mei Lie.
Gadis itu merebahkan kepala di dada Pendekar Gila yang mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang.
"Aku merasa ingin mati saja, ketika sadar, bahwa aku dalam cengkeraman datuk keparat itu. Kakang..., aku pun selalu merindukanmu," ujar Mei Lie lemah lembut "Aku pun demikian, Mei Lie...," jawab Sena kemudian.
"Hai, Anak Muda. Jangan kau terbawa keadaan, nanti kau terlena, lawan akan mudah meringkusmu...!" Tiba-tiba terdengar suara serak seorang lelaki dari satu arah. Sena dan Mei Lie terkejut, dan cepat berbalik mencari-cari orang yang berkata tadi. Belum sempat kedua muda-mudi itu menemukan, muncul seorang lelaki tua berambut putih, dengan jenggot panjang sampai dada. Dengan pakaian seperti pendeta Budha, warna putih bersih diselempangkan ke badan. Lelaki tua itu melangkah mendekati Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Kek..." Eeh, Eyang...!" seru Sena dengan wajah ceria. Lalu menarik lengan Mei Lie. Menga-jaknya menyongsong lelaki itu. Lalu keduanya menjura.
"Hm... he he he.... Aku merasa puas dan bangga melihat murid Singo Edan yang gagah perkasa. Bagus Sena, ternyata gadis itu memang pantas menjadi pendampingmu...," kata Ki Kinasih dengan tersenyum.
Lalu memegang kedua muda-mudi itu.
"Eyang terlalu menyanjungku. Tapi saya tak bisa melupakan jasa Eyang Jenggot..," kata Sena sedikit berseloroh.
"He he he...! Aku lupa nama gadis ini, siapa namamu, Nak...?" tanya Ki Kinasih seraya wajahnya menatap pada Mei Lie.
"Nama saya Mei Lie, Eyang...," jawab Mei Lie lemah lembut "Nama yang bagus, dan cocok sama orangnya.... Mei Lie, aku kakak seperguruan Singo Edan, guru Sena. Jadi kapan saja kau memerlukan apa saja, jika dalam kesulitan di daerah ini, datanglah ke pondok eyang, di Lereng Gunung Merapi sana!" tutur Ki Kinasih yang lalu merangkul Mei Lie dan Sena.
"Terima kasih, Eyang...," kata Mei Lie sambil mengangguk.
"Ayo, sekarang hari sudah menjelang malam. Sebaiknya kalian berdua beristirahat di pondok eyang malam ini, bagaimana...?" kata Ki Kinasih dengan sabar.
"Ooo... dengan senang hati, Eyang," sahut Sena dengan senang.
Lalu mereka berjalan bertiga, Ki Kinasih di tengah, di kanan kirinya Pendekar Gila dan Mei Lie, saling bergandeng tangan.
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak bahagia dan puas, karena semua cobaan dan malapetaka yang mereka hadapi kini telah berakhir. Semua dapat diatasi dengan penuh ketabahan, keyakinan, dan akal. Sementara itu mentari sudah semakin menyusup di kaki langit sebelah barat dan hari pun segera akan berganti malam....

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Syair Maut Lelaki Buntung --oo0oo-- Peti Mati Untuk Pendekar Gila


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.