Syair Maut Lelaki Buntung
tanztj
March 16, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
Penunggang Kuda Iblis --oo0oo-- Dewi Ratu Maksiat |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
┐┌:::¦ 1 ¦:::┐┌
Lelaki berusia setengah baya itu terus melangkah sambil tertawa-tawa, diikuti dua kawannya yang berpakaian rompi abu-abu.
"Ha ha ha...! Sepuluh tahun terakhir ini aku merasa bebas. Bebas berbuat sesuka hatiku.
Karena Perguruan Gunung Talang yang kita bumihanguskan itu sudah terkubur, bersama si Tua Bangka, Damar Kiwangi," ucap lelaki berpakaian serba hitam itu seraya terus mengumbar tawanya. Kakinya terus melangkah tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya.
"Benar, Kakang Kala Hitam.... Kini kita bisa memiliki penghasilan yang tak akan ada habis- habisnya. Hasil bumi dan berbagai upeti dari penduduk terus mengalir, Tak seorang pun berani menentang kita. Orang-orang Kadipaten Galih Putih pun tampaknya segan terhadap kita. Ha ha ha...!" timpal Kebo Kluwuk salah seorang teman lelaki berpakaian hitam yang ternyata bernama Kala Hitam.
"Benar! Orang-orang kadipaten diam setelah kita sumpel mulut dan perut mereka dengan sebagian penghasilan kita. Dan tampaknya mereka akan tetap membiarkan kita selama kita tetap menyediakan perempuan-perempuan untuk mereka. Ha ha ha...!" tambah Rodoprana, juga sambil memperdengarkan tawanya.
Ketiga lelaki itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Begitu cepat ketiganya berlari hingga dalam waktu singkat mereka sudah me-nempuh jarak ratusan tombak. Suara gelak tawa mereka terus terdengar di sepanjang perjalanan.
Namun dari kejauhan tiba-tiba muncul sesosok bayangan melesat memburu ketiga lelaki berwajah beringas itu. Sosok bayangan itu pun tampaknya mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Kala Hitam yang mempunyai pendengaran tajam bagai serigala, cepat menghentikan larinya.
Hal itu membuat kedua temannya keheranan dengan mengerutkan kening, lalu menghentikan lari dan berhenti. Kebo Kluwuk dan Rodoprana saling pandang.
"Hmmm! Rupanya ada yang mengikuti kita," gumam Kala Hitam. Matanya menyelidik sekeliling Lembah Bulak Rawa, "Ha ha ha....! Pagi ini kita akan bermain-main kawan...!" Kebo Kluwuk dan Rodoprana tampaknya belum mengerti. Namun kemudian kedua lelaki bertubuh gagah itu cepat menangkap ucapan Kala Hitam. Maka keduanya langsung tertawa terbahak-bahak sambil menggeser keris yang terselip di pinggang mereka.
"Kala Hitam! Pagi ini kau kelihatan sangat gembira. Begitu bebas dengan sepak terjangmu.
Kau lupa bahwa di balik tawamu yang memecah kesunyian pagi indah ini, akan berubah menjadi malapetaka bagi dirimu, juga kedua temanmu itu!" Terdengar suara yang tanpa terlihat siapa pemiliknya. Kala Hitam mengerutkan kening.
Dengan perasaan geram, matanya jelakitan mencari dari mana asal suara itu. Namun tetap tak diketemukannya pemilik suara yang terdengar jelas itu. Kebo Kluwuk dan Rodoprana pun melakukan hal yang sama. Tak satu pun yang dapat melihat sosok seseorang yang menyapa Kala Hitam.
"Bangsat! Setan alas! Dedemit apa kau" Keluar...!" sera Kala Hitam marah.
"Tunjukkan wujudmu, kalau memang kau ingin mencoba ilmuku! Ayo, keluar...! Keluar...!" Tantang Kala Hitam penuh amarah sambil mondar-mandir. Dikerahkan penglihatannya untuk mengawasi sekitar tempat itu. Namun tetap saja tak menemukan apa yang dicarinya.
"Hhh...! Bedebah!"
"Ha ha ha...! Kala Hitam! Kau memang manusia berhati iblis! Memfitnah dan merampas harta, serta membunuh orang yang tak bersalah. Tapi kau lupa, salah seorang dari keluarga yang kau bunuh, masih hidup! Dan kini akan menuntut balas padamu Kala Hitam. Bersiaplah untuk mati!" Terdengar lagi suara bergema. Kali ini lebih keras hingga membuat Kala Hitam tersentak kaget. Mendadak dirinya merasa tegang dan cemas.
Belum sempat Kala Hitam mengingat, siapa yang dimaksud suara itu. Tiba-tiba terdengar lan-tunan sebuah syair....
Kidung Kehidupan Pertama Kali Dia Hadir Tetesan Darah Akan Tiba Hutang Budi Dibayar Budi Hutang Nyawa Dibayar Nyawa Hutang Pati Dibayar Pati....
Kala Hitam semakin tegang. Seketika keringat dingin membasahi kening dan wajahnya yang angker itu. Namun kali ini kegarangannya sedikit berkurang. Tak ada lagi gelak tawa seperti semula. Yang ada ketegangan dan kecemasan bersampur jadi satu di benak lelaki itu.
"Siapa kau sebenarnya! Aku tak ada urusan denganmu. Keluar...!" seru Kala Hitam keras sambil mencabut kerisnya.
"Ayo, lawan aku, Setan Belang...! Tunjukkan keberanianmu, ayo! Ayo, hadapi Kala Hitam...!" Begitu suara Kala Hitam berhenti, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menyerang mereka bertiga. Seketika Kebo Kluwuk dan Rodoprana menjerit setinggi langit. Tangan mereka yang memegang keris, menutupi wajah yang mengucurkan darah. Sesaat kemudian keduanya yang mengenakan rompi hitam ambruk tanpa nyawa.
"Kurang ajar.'" maki Kala Hitam geram, "Siapa kau, manusia atau setan"!" Belum habis Kala Hitam menenangkan hati dari ketegangan muncul sesosok tubuh lelaki tanpa kaki, alias buntung. Wajah lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu tak begitu jelas, karena tertutup rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai tak karuan. Acak-acakan! Lelaki itu berdiri dengan lututnya, yang terbungkus kain hitam. Meskipun tanpa kaki tubuhnya dapat berdiri tegak. Wajahnya sinis menatap Kala Hitam yang masih bertanya-tanya dalam hati.
Sejauh itu Kala Hitam bisa mengenali siapa sebenarnya lelaki buntung itu. Matanya tak berkedip, terus mengawasi sosok berpakaian merah di depannya.
"Kala Hitam, kau belum terlalu tua untuk mengenali siapa aku adanya," tukas lelaki berkaki buntung itu. Senyum sinis terus mengembang di bibirnya. Kemudian lelaki itu kembali bersyair seperti tadi.
"Hentikan syair bututmu, Tua Bangka Keparat!" maki Kala Hitam sengit. Namun lelaki buntung itu bagaikan tak peduli mulutnya terus menyuarakan syair, membuat Kala Hitam yang mendengarkan tampak kian marah.
"Hhh...! Kau nampak lebih muda dari usiamu, Kala Hitam. Aku salut padamu! Tapi aku benci kelicikanmu, tindakanmu membunuh orang yang tak bersalah, bersama keempat temanmu.
Hasratmu terlalu besar ingin menguasai rimba persilatan di Kadipaten Galih Putih yang saat itu sedang goyah. Para senapati dan orang-orang kadipaten telah rusak. Moral mereka telah bejat karena hasutan dan kelicikanmu. Kau memang pintar Kala Hitam!" lelaki berkaki buntung itu lalu menggeser kecapinya ke depan dada.
"Dan kau tentunya masih ingat dengan adik dari Ki Damar Kiwangi yang kau buntungi kakinya, lalu kau buang ke Jurang Mager Wadas. Aku percaya kau ingat ini! Sebab, kau murka, ketika aku menghalangimu memperkosa istriku!" Kala Hitam tersentak kaget. Tiba-tiba diingatnya peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Namun cepat-cepat dia coba menyembunyikan rasa kagetnya sambil berkata, "Ahhh! Kau jangan mengada-ada! Kau hanya hantu! Tak mungkin kau bisa hidup lagi! Semua orang tahu, Mager Wadas merupakan jurang iblis...! Pergi! Atau aku mengusir arwahmu dengan keris pusakaku ini..."!" Kala Hitam segera mengibaskan kerisnya dengan gerakan yang aneh dan cepat Lelaki buntung hanya diam. Wajahnya yang tertutup rambut tetap tenang menghadapi Kala Hitam yang nampak gusar dan tegang itu.
Lelaki buntung itu mulai memetik dawai-dawai kecapinya. Seketika terdengar suara irama petikan kecapi itu yang melengking tinggi. Ketika Ka-la Hitam melesat cepat melancarkan serangan, secepat itu pula lelaki buntung itu menghentakkan kecapinya ke depan.
"Heaaa...!" Wrt! Cras! Cras! Cras! Begitu cepat lelaki buntung itu mendahului gerakan Kala Hitam. Sekali gebrak, wajah Kala Hitam dan kedua kawannya berantakan, terkena sentakan senar kecapi yang seperti sengaja diputuskan dari tempatnya. Senar-senar itu bagaikan hidup, menyabet wajah Kala Hitam hingga mengalami luka parah. Darah meleleh dari kulit wajah dan sepasang matanya yang tertusuk senar kecapi.
"Aaauuuwww...! Waaaa...!" Kala Hitam menjerit-jerit dengan tubuh berputar-putar sempoyongan. Kedua tangannya tetap menutup wajah yang berdarah ketika tubuh Kala Hitam ambruk ke tanah. Sesaat kemudian sekujur kulit tubuhnya membiru, lalu tewas.
Lelaki buntung itu tersenyum. Matanya yang tajam menatap tubuh Kala Hitam sudah tak bernyawa lagi "Aku puas...! Satu dari lima anggota Partai Panca Siwara sudah kubunuh. Ha ha ha...!"
***
Dari kejauhan tampak pakaian yang mereka kenakan adalah seragam prajurit kerajaan. Keduanya terus melangkah ke timur semakin dekat dengan Lembah Bulak Rawa. Tiba-tiba lelaki gagah yang mengenakan pakaian kuning kemerahan menghentikan langkahnya. Matanya yang tajam menatap lurus ke depan. Seperti ada sesuatu yang tengah diperhatikan.
"Kebo Jampe! Aku melihat sesosok mayat..," ujar lelaki berkumis tipis itu seraya mengernyitkan keningnya.
"Ah, Kakang Wiryapaksi salah lihat barangkali," sahut lelaki berpakaian lengan panjang warna abu-abu, yang dipanggil Kebo Jampe.
"Hmh..., percuma aku seorang senapati kalau melihat hal yang mencurigakan tidak awas!" tukas lelaki berpakaian kuning kemerahan yang ternyata Senapati Wiryapaksi. Seorang panglima perang yang paling disegani di Kadipaten Galih Putih. Tanpa menanggapi ucapan Senapati Wiryapaksi, Kebo Jampe langsung berlari mendahului, karena hatinya membenarkan apa yang telah dilihat di depan mereka. Adipati Wiryapaksi pun langsung melesat "Hah"! Tak mungkin!" sentak Senapati Wiryapaksi dengan mata terbelalak.
"Tak mungkin dia mati! Pasti orang yang membunuhnya memiliki ilmu sangat tinggi," ujar Senapati Wiryapaksi tak percaya.
"Ya! Kita tahu siapa Kala Hitam. Dia memiliki ilmu yang cukup tinggi. Apalagi dengan Keris Pencabut Nyawa yang ampuh itu," sahut Kebo Jampe dengan mata menatap mayat Kala Hitam.
"Hanya Pendekar Gila yang bisa mengalahkannya. Tapi mungkinkah Pendekar Gila murid Singo Edan yang melakukan..."!" Senapati Wiryapaksi lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling Lembah Bulak Rawa yang sunyi dan sepi. Tak ada tanda-tanda adanya orang lain, selain dirinya dan Kebo Jampe. Angin kencang berhembus menerpa wajah Senapati Wiryapaksi yang dihiasi kumis tipis di atas bibirnya.
Hidung yang mancung mirip paruh burung betet tampak kembang-kempis. Dan matanya yang besar menatap tajam ke sekelilingnya, terus mengawasi dengan sikap waspada.
"Nampaknya belum berapa lama kematian Kala Hitam. Aku merasa orang yang membunuh Kala Hitam belum jauh dari tempat ini," ujar Panglima Perang Kadipaten Galih Putin yang memang berkomplot dengan kelompok yang dipimpin Kala Hitam.
"Hm...," gumam Kebo Jampe yang juga nampak tegang. Karena merasakan suasana di Lembah Bulak Rawa yang luas itu mulai terasa mencekam. Matanya terus menyapu sekeliling tempat itu.
"Sebaiknya kita pergi ke timur. Orang itu pasti belum jauh...," usul Senapati Wiryapaksi, la-lu melesat ke timur diikuti Kebo Jampe. Dengan memakai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, keduanya meninggalkan tempat mayat Kala Hitam dan temannya tergeletak Langkah kedua prajurit kadipaten ini tampak seperti terbang. Cepat, hingga terlihat hanya bayangan kekuningan melesat bagai angin. Tak lama kemudian Senapati Wiryapaksi dan Kebo Jampe menghentikan larinya, setelah lepas dari Lembah Bulak Rawa. Cukup jauh keduanya meninggalkan tempat semula.
Senapati Wiryapaksi menghela napas panjang, matanya menyapu tempat itu. Ternyata mereka berdua berada di suatu tempat yang belum pernah diinjak. Keduanya tampak keheranan dan merasa asing.
"Kau tahu apa nama tempat ini Kebo Jampe?" tanya Senapati Wiryapaksi dengan suara berat. Matanya terus menyelidik sekeliling tempat yang masih asing baginya. Sunyi, sepi, dan berke-san angker.
Tempat itu mirip sebuah hutan kecil.
Namun pepohonannya tampak kering dan meranggas. Kebo Jampe tampak agak tertegun ketika matanya melihat sebuah kuburan tua di sebelah kanan tempat keduanya berdiri. Anehnya pula ada asap putih mengepul.
"Aku pun belum pernah tahu tempat ini.
Mungkin kita salah arah," jawab Kebo Jampe, setelah beberapa saat berpikir.
Matanya jelakitan memandangi tempat yang nampak angker itu.
Ketika Kebo Jampe menoleh ke sebelah kanan.
"Hah!" gumamnya keras. Matanya terbelalak lebar memandang ke satu arah.
"Ada apa Kebo Jampe...?" tanya Senapati Wiryapaksi dengan kening berkerut Kebo Jampe tak menjawab, dia hanya menunjuk ke sebelah kanannya. Senapati Wiryapaksi pun tersentak kaget dengan mata membelalak lebar. Ternyata di dekat sebuah batu nisan kuburan tua itu samar-samar terlihat bayangan keme- rahan berbentuk manusia. Asap putih yang menyelimuti tempat itu membuat mata Senapati Wiryapaksi dan Kebo Jampe tak dapat memperjelas pandangan mereka.
Kedua prajurit kadipaten itu saling pandang. Lalu kembali menoleh ke sosok yang berdiri dekat batu nisan kuburan tua tadi. Tiba-tiba terdengar bunyi petikan kecapi mengiringi alunan syair. Alunan itu ternyata keluar dari mulut sesosok manusia berukuran pendek yang berdiri di dekat nisan kuburan tua itu.
Senapati Wiryapaksi dan Kebo Jampe tersentak kaget serta merasa tegang, mendengar alunan syair itu. Disertai petikan kecapinya.
Kidung Kehidupan Pertama Kali Dia Hadir Tetesan Darah Akan Tiba Hutang Budi Dibayar Budi Hutang Nyawa Dibayar Nyawa Hutang Pati Harus Dibayar Pati....
Dalam suasana hati diliputi ketegangan kedua prajurit kadipaten itu mencabut keris yang terselip di pinggang masing-masing "Hei! Siapa kau"! Manusia atau hantu..."!" seru Senapati Wiryapaksi dengan menghunuskan kerisnya.
"Mendekatlah, kalau kau memang manusia!" Namun sosok bertubuh pendek berpakaian hitam itu tetap saja bungkam. Dan terus memainkan kecapinya. Bunyi kecapi semakin lama semakin keras dan melengking nyaring tinggi.
Memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu angin menderu begitu kencang.
Wesss...! "Ha ha ha...! Hai, Senapati pembawa kemaksiatan, kekejaman, kemurkaan! Hari ini akan kucabut nyawamu.... Bersiaplah!" Suara itu terdengar keras menggelegar. Senapati Wiryapaksi dan Kebo Jampe semakin tak mengerti dan tegang.
"Setan alas...! Siapa kau sebenarnya...! Bagaimana kau bisa mengenaliku"!" teriak Senapati Wiryapaksi dengan geram.
"Hei, Manusia Durhaka! Rupanya kau lupa peristiwa sepuluh tahun silam di Padepokan Gunung Talang! Kurasa kau belum terlalu tua untuk mengingatnya, Senapati Wiryapaksi...."
"Hah, Padepokan Gunung Talang..."!" Senapati Wiryapaksi bergumam lirih sambil menge- rutkan kening. Belum sempat dia dapat mengingat sesuatu. Tiba-tiba....
Wut! Wut! Wut...! Wrt! Cras! Cras! Begitu cepat bayangan itu berkelebat menyerang, hingga Senapati Wiryapaksi dari Kebo Jampe tak dapat mengelak. Seketika itu pula keduanya menjerit setinggi langit. Senapati Wiryapaksi yang masih bisa menangkis serangan sebisanya juga terluka di tangan kiri. Sedangkan Kebo Jampe yang sangat terkejut terkena sambaran di wajahnya. Sambil meraung-raung kesakitan lelaki berpakaian abu-abu itu menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
Senapati Wiryapaksi mengerang kesakitan dan menjerit-jerit, sambil memegangi tangan kirinya yang ternyata putus.
Belum sempat laki-laki gagah itu memulihkan tenaga dalamnya, sosok laki-laki buntung yang ternyata si Penyair Maut itu melesat cepat melancarkan serangan susulan, sambil bergerak cepat tangannya menyentakkan senar-senar kecapi yang seperti sengaja diputuskan dari tempatnya. Senar-senar itu bagaikan hidup, menghantam wajah Senapati Wiryapaksi tercabik-cabik tak karuan. Seperti halnya wajah Kebo Jampe yang kini sudah tewas dengan tubuh berubah membiru.
"Aaawww...!" Senapati Wiryapaksi menjerit-jerit sambil menutupi wajahnya yang rusak. Matanya pun tertancap senar kecapi, hingga berlubang. Darah bercucuran keluar dari lubang mata. Begitu pun dari wajahnya yang tercabik-cabik senar maut itu.
Tubuh Panglima Perang Kadipaten Galih Putih itu kelojotan lalu ambruk dengan keras ke tanah.
Si Penyair Maut tampak belum puas melihat Senapati Wiryapaksi belum mati. Dengan melompat dan mengangkat kecapinya, lelaki buntung itu kembali melakukan serangan.
"Hieaaa...!" Jlep! Jlep! "Aaakh...!" Senapati Wiryapaksi kembali menjerit panjang. Tubuhnya tertancap ujung kecapi hingga tembus. Lalu lelaki buntung itu mencabut kembali kecapinya seraya tersenyum puas. Wajahnya yang tak nampak jelas, karena selain tempat itu diliputi asap, juga tertutup rambut panjang sebatas bahu. Pakaiannya yang serba merah dan kumal itu menandakan, kalau lelaki buntung itu seakan tak pernah membersihkan badan.
"Ha ha ha...! Tinggal tiga lagi. Cepat atau lambat aku harus bunuh mereka," lelaki buntung itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dibersihkannya ujung kecapi yang penuh darah dengan ujung bajunya. Kemudian, lelaki buntung itu melesat pergi meninggalkan kedua mayat. Dan menghilang begitu cepat. Hal itu menandakan kalau ilmu yang dimiliki lelaki si Penyair Maut itu sangat tinggi.
Hanya suara tawanya yang menggelegar bagai memecah bumi terdengar di kejauhan, hingga perlahan-lahan menghilang.
Saat itu mendung menyelimuti bumi. Angin bertiup sangat kencang, seakan hendak merobohkan pepohonan atau apa saja yang ada di tempat itu. Petir mulai menyambar-nyambar. Dan bunyi guntur menggelegar, menjadikan suasana mencekam dan keruh. Hujan pun turun dengan deras. Tempat yang semula angker dan menakutkan, kini semakin mengerikan. Bagai suasana alam gaib, tempat segala hantu dan dedemit.
Tempat itu ternyata tempat semadi lelaki buntung itu. Karena di situlah kuburan Ki Damar Kiwangi, kakak kandung si Penyair Maut berada.
Tak seorang pun tahu di tempat itu terletak makam Ki Damar Kiwangi. Tokoh aliran putih itu dibunuh secara keji oleh kawanan Gerombolan Partai Panca Siwara. Kelompok tokoh golongan hitam yang anggotanya, Kala Hitam, Senapati Wiryapaksi, Kidang Pangarsura, Warik Kala, dan Beruk Singgala. Kelima tokoh itu sama memiliki ilmu tinggi.
Namun mereka kejam dan durjana. Beruk Singgala seorang tokoh aliran hitam dari Pulau Andalas.
Dia memiliki ilmu sesat, yaitu ilmu sihir yang sangat menakutkan. Pangeran Sasanadipa tak luput dari ilmu sihirnya. Hingga lupa ingatan.
Minuman yang diramu Beruk Singgala dengan jampi-jampinya sempat membuat pangeran dari Kadipaten Galih Putih itu mudah dipengaruhi oleh kelompok sesat yang dipimpin Kala Hitam.
Begitu pula yang dilakukan terhadap para pejabat di Kadipaten Galih Putih. Gerombolan yang dipimpin Kala Hitam telah banyak mempengaruhi orang-orang dalam pemerintahan dengan berbagai macam hasutan. Lebih parah lagi, ketika para pembesar pemerintah kadipaten itu berhasil dicekoki dengan perawan-perawan cantik yang diculik dari desa-desa.
Siasat sepak terjang yang keji dilakukan oleh Kala Hitam dan para anak buahnya. Yang menjadi korban keganasan mereka tak lain rakyat jelata. Mereka memeras rakyat dengan berbagai macam pajak dan upeti. Hasil bumi yang dikerjakan rakyat pun tak luput dari gangguan orangorang Partai Panca Siwara.
Namun sayang, sejauh itu tak satu pun para pendekar dan prajurit kadipaten yang berhasil membekuk Kala Hitam dan para begundalnya. Apalagi keadaan di dalam kadipaten sendiri semakin dikacaukan oleh hasutan tokoh-tokoh sesat itu. Hanya si Penyair Maut yang telah memulai! Sepak terjangnya berkitar belakang dendam kesumat Lelaki buntung itu terus berlari meninggalkan tempatnya bersemadi. Hujan deras mengguyur tubuhnya yang pendek tanpa kaki.
┐┌:::¦ 2 ¦:::┐┌
Sementara itu Pangeran Sasanadipa justru sedang asyik berpesta pora dengan para selirnya, sambil menonton tarian dibawakan gadis-gadis penari istana. Suasana meriah pesta yang diselenggarakan oleh Pangeran Sasanadipa sangat bertolak belakang dengan perasaan duka dan cemas yang melanda para prajurit. Seolah-olah tak pernah terjadi peristiwa mengenaskan itu. Bagai terlupakan sama sekali kematian seorang panglima yang sangat ditakuti itu di benak sang Pangeran. Namun itulah yang sangat diinginkan sang Pangeran yang moralnya telah dibuat bejat oleh ilmu sihir Beruk Singgala. Salah seorang dari Partai Panca Siwara yang berniat dapat menguasai kadipaten dan seluruh desa untuk dijadikan alat menimbun kekayaan dan kekuasaan.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala yang saat itu berada di kadipaten sangat terkejut mendengar berita, Kala Hitam dan Senapati Wiryapaksi terbunuh secara tiba-tiba dalam hari yang sama.
"Aku belum percaya kalau belum melihat mayat Kala Hitam dan Senapati Wiryapaksi...!" ujar Kidang Pangarsura dengan geram sambil mengancam seorang senapati kadipaten yang hendak melapor pada Pangeran Sasanadipa.
"Apa kau sudah lupa, bahwa pangeran pun tak akan menanggapi laporanmu. Dia saat ini sedang bersenang-senang. Kau ini seperti orang baru saja di kadipaten ini"!" bentak Warik Kala pada senapati yang bernama Bantlik Sampit, "Apa kau juga lupa bahwa di kadipaten ini yang berkuasa Partai Panca Siwara. Sana pergi...!" Warik Kala mendorong tubuh Senapati Bantlik Sampit. Lelaki tua berpakaian lurik itu sudah mabuk karena terlalu banyak minum tuak dan sihir Beruk Singgala.
"Sebaiknya kematian Kala Hitam dan Senapati Wiryapaksi kita selidiki. Aku tak yakin Ka-la Hitam yang memiliki ilmu setaraf dengan kita, bahkan lebih tinggi bisa mati segampang itu!" bantah Kidang Pangarsuara masih belum percaya. Dipukul-pukulkan kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kiri. Lalu mulutnya mendengus sambil menggertakkan gigi, seakan-akan ada kegeraman yang ditahan dalam hatinya.
"Kalau memang benar, orang yang membunuh kedua kawan kita itu pasti bukan tokoh sembarangan," tukas Warik Kala cemas sambil mengerutkan kening. Sepertinya dia sedang berpikir keras, mencari jawaban siapa yang membunuh kedua sahabatnya itu.
Sementara itu di ruang pesta, nampak suasana semakin bertambah gila. Mata sang Pangeran yang terpengaruh sihir Beruk Singgala tampak membelalak lebar. Lalu disuruhnya salah seorang penari paling depan dan cantik datang ke tempatnya.
Tanpa lama-lama lagi penari yang ditunjuk Pangeran Sasanadipa itu mendekat sambil tersenyum-senyum manja.
Begitu berada di hadapannya sang Pangeran langsung memeluknya. Tangannya menggeluti penari cantik bertubuh sintal itu. Para selirnya hanya tersenyum-senyum dan bahkan nampak senang. Akhirnya sang Pangeran membawa penari ini ke kamarnya, sambil terus menciumi seluruh tubuhnya. Dan keempat wanita selirnya mengikuti sang Pangeran yang menggandeng penari itu ke dalam kamarnya.
Begitu Pangeran Sasanadipa menghilang masuk ke kamarnya, para pengawal, senapati, dan orang-orang penting kadipaten, langsung mengambil pesanan para penari lainnya. Para penari yang masih muda-muda itu tak menolak, justru nampak bergembira. Tubuh mereka diciumi dan dirangkul oleh para pengawal dan senapati.
Kemudian mereka bergumul di ruangan pesta itu sesuka hati, tanpa ada rasa malu satu sama lainnya. Kadipaten Galih Putih yang dulu terkenal dan disegani, telah berubah menjadi tempat maksiat. Setelah dikuasai Partai Panca Siwara yang sengaja membuat hancur kekuatan kadipaten itu.
"Kita harus cepat memberi tahu Danur Saka dan Beruk Singgala, sebelum menyelidiki, siapa pembunuh Kala Hitam dan Senapati Wiryapaksi!" ujar Warik Kala mendesak Kidang Pangarsura.
"Benar. Tapi di mana mereka sekarang berada" Terutama Beruk Singgala. Aku khawatir dia pulang ke Pulau Andalas!" tukas Kidang Pangarsura cemas. Lelaki yang bertubuh besar dan ber- kumis tebal, memperlihatkan perasaan tak tenang. Matanya yang merah menatap ke sana kemari karena gelisah.
"Kita cari saja. Atau kita temukan Danur Saka dulu. Siapa tahu Danur Saka menerima pesan dari Beruk Singgala, di mana harus mencarinya," ujar Warik Kala memutuskan.
Kidang Pangarsura manggut-manggut, membenarkan usul Warik Kala.
"Benar. Ayo, kita berangkat! Biar saja pangeran edan itu sibuk dengan perempuanperempuan gundiknya!" jawab Kidang Pangarsu-ra. Yang kemudian mengajak Warik Kala pergi da- ri Kadipaten Galih Putih.
Kedua anggota Partai Panca Siwara tak mempedulikan Pangeran Sasanadipa yang tengah bercumbu dengan seorang penari ditemani keempat selirnya. Tak lama kemudian Kidang Pangarsura dan Warik Kala sudah sampai di luar lingkungan kadipaten. Keduanya menggebah kuda tunggangan mereka meninggalkan Kadipaten Galih Putih.
"Aku penasaran! Siapa yang berani membunuh Kala Hitam...!" sungut Kidang Pangarsura sambil terus melangkah cepat "Aku juga ingin tahu bagaimana muka orang yang mampu menghabisi nyawa Kala Hitam. Benar-benar berilmu tinggi orang itu...," sahut Warik Kala bernada geram "Kalau begitu kita harus mempercepat langkah, agar segera sampai di tempat Danur Saka. Ayo, heps...!"
"Heaaa...!"
***
"Kakang Sena, sebaiknya kita cepat mencari desa terdekat. Aku haus," ujar gadis cantik berpakaian putih dengan pedang tersampir di punggungnya.
"Heran, panas sekali udara siang ini." Gadis itu mengeluh sambil menyeka keringat di keningnya.
Pemuda tampan berpakaian rompi dari kulit ular yang dipanggil Sena cengengesan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Hah"!" pemuda berambut gondrong yang ternyata Sena Manggala terkejut ketika tiba-tiba pandangannya membentur sesuatu.
"Ada apa, Kakang?" tanya gadis cantik itu sambil mengerutkan kening.
"Lihat sana, Mei..,!" sahut Sena sambil menunjuk ke satu arah. Lalu kembali menggaruk- garuk kepala sambil mulutnya cengengesan, mirip orang tidak waras.
"Hah"! Mayat...?" Mei Lie memandang ke tempat yang ditunjuk Sena.
Lalu tanpa banyak bicara Sena melangkah menghampiri sosok mayat yang tergeletak sekitar sepuluh tombak di depannya. Diikuti oleh Mei Lie.
Dengan tangan menggaruk-garuk kepala dan mulut cengengesan Sena memperhatikan sosok mayat berpakaian hitam di hadapannya. Kemudian dua tombak jaraknya dari tempat Sena, Mei Lie melihat dua, sosok mayat terbalut pakaian rompi abu-abu.
"Wajah ketiga mayat itu hancur. Lihat mata mereka seperti diculik! Hhh..., benar-benar tindakan keji!" gumam Mei Lie seraya menggeleng- gelengkan kepala.
Sena pun menggeleng-geleng, lalu cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mengenal mayat-mayat itu. Tapi kalau dilihat dari pakaian mayat yang di sebelah sana," Sena menunjuk mayat di sebelah kirinya yang mengenakan pakaian prajurit warna abu-abu.
"Kalau aku tak salah, orang-orang yang mati ini dari Kadipaten Galih Putih."
"Lalu siapa yang membunuh mereka ini?" tanya Mei lie.
"Ah ah ah..., mana aku tahu. Tapi rasanya keadaan Kadipaten Galih Putih sedang menghadapi kehancuran..,," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Kakang Sena tahu?"
"Pernah kudengar dari seorang saudagar yang biasa mengantarkan pesanan pakaian ke kadipaten. Kau ingat, ketika bermalam di penginapan di Desa Watu Congot kemarin?" tutur Sena dengan mulut cengengesan persis orang gila. Namun Mei Lie tetap menanggapi dengan sungguh.
Dirinya telah memahami benar bagaimana kebiasaan kekasihnya.
"Kakang yakin dengan berita itu...?" Sena hanya cengar-cengir dana menggaruk-garuk kepala.
"Sebaiknya kita kubur mayat-mayat ini.
Kasihan...!" kata Sena.
Lalu segera Sena dan Mei Lie melakukan penguburan ketiga mayat itu "Semoga arwah mereka lebih tenang di dalam kubur...!" gumam Sena setelah selesai mengubur mayat Kala Hitam, Kebo Kluwuk dan Rodo- prana Terik matahari masih saja menyengat kulit kedua muda-mudi itu. Keduanya meneruskan perjalanan ke sekitar.
"Mudah-mudahan ada desa di sebelah sekitar lembah ini...,'' gumam Sena.
Pada saat yang bersamaan, Kidang Pangarsura dan Watik Kala sedang dalam perjalanan mencari Danur Saka. Tanpa menghiraukan jalanan terjal berbatu mereka terus menggebah kuda masing-masing agar segera sampai ke tempat tujuan. Seakan tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Derap kaki kuda begitu keras menapaki jalan yang berkelok dan naik turun itu. Dan ketika kuda-kuda mereka melewati Lembah Bulak Rawa.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala segera menghela tali kendali. Kuda pun berhenti.
"Heaaah! Herrr...!"
"Mungkin itu mayat Kala Hitam dikuburkan di sana!" ujar Kidang Pangarsura sambil menunjuk gundukan tanah, menyerupai kuburan yang masih baru.
"Mungkin," sahut Warik Kala. Lalu mereka menjalankan kuda menuju tempat mayat Kala Hi- tam dan kedua temannya dikuburkan.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala segera melompat turun dari kudanya. Langsung memeriksa kuburan baru itu.
"Perasaanku mengatakan benar ini pasti kuburan Kala Hitam! Ayo, kita bongkar!!" kata Kidang Pangarsura.
"Tunggu dulu! Ini ada tiga kuburan. Yang mana kira-kira mayat Kala Hitam...?" cegah Warik Kala.
"Ahhh! Bongkar saja semuanya! Kita kan ingin kenyataan. Apakah benar kawan kita itu benar telah mati!" sergah Kidang Pangarsura.
Lalu dengan menggunakan tenaga dalam mereka, tak memakan waktu lama, kuburankuburan itu telah terbongkar.
"Aneh! Rasanya tak mungkin. Kala Hitam yang memiliki ilmu cukup tinggi benar-benar man!" gumam Warik Kala. Setelah melihat mayat Kala Hitam yang mukanya rusak.
Mengerikan.
"Kurang ajar! Siapa pun yang melakukannya, akan kubalas!" dengus Kidang Pangarsura dengan geram. Matanya membelalak lebar. Giginya beradu, menimbulkan gemeretak.
Matanya liar menyapu sekeliling tempat itu. Lalu pandangannya terhenti pada satu arah.
"Warik Kala, kau lihat bekas telapak kaki yang menuju ke sekitan. Mungkin orang itu yang membunuh kawan kita. Ayo kita kejar...!" kata Kidang Pangarsura dengan nada geram. Segera keduanya melompat ke atas punggung kuda. Dan mereka memacu kudanya dengan cepat ke sekitan.
"Hea! Hea...!"
***
Apalagi mereka yang mengenali kedua orang-orang itu nampak mencibir dengan hati diliputi rasa cemas. Karena mereka tahu bahwa orang berkuda itu dari aliran hitam yang menguasai Kadipaten Galih Putih dengan cara licik dan kotor.
"Herrr, herrr...!" Kidang Pangarsura menarik tali kekang kudanya agar berhenti. Begitupun yang dilakukan Warik Kala. Sambil memandang sekeliling desa yang dilewati, mereka membiarkan kuda berjalan pelan. Mata Kidang Pangarsura dan Warik Kala terus menyapu ke kiri dan kanan dengan pandangan tajam dan bengis. Para penduduk desa nampak acuh dan menghindar.
Mei Lie yang melihat situasi demikian, hanya tersenyum sinis. Sena menggaruk-garuk kepala sambil cengai-cengir memandangi Kidang Pangarsura dan Warik Kala.
"Hei...! Siapa yang merasa menguburkan mayat sahabatku yang mati di Lembah Bulak Rawa"!" seru Kidang Pangarsura dengan suara penuh geram. Matanya jelakitan ke sana kemari. Para penduduk desa yang mendengar me rasa heran dan aneh dengan pertanyaan Kidang Pangarsura itu. Mereka saling pandang dan mengangkat bahu. Ada pula yang menggeleng kepala.
Sebagian lagi tampak tak peduli dengan ocehan Kidang Pangarsura.
"Hei! Kau berhenti!" bentak Kidang Pangarsuara yang melihat seorang lelaki setengah baya dengan tak peduli ngeloyor pergi.
Lelaki setengah baya yang ternyata Ki Suko Kusumo, Kepala Desa Serangan, menghentikan langkahnya. Lalu membalik perlahan seraya menatap Kidang Pangarsura dan Warik Kala, dengan menyipitkan kedua matanya.
"Ada apa, Kisanak...?" tanya Ki Lurah Suko Kusumo.
"Bangsat! Ditanya malah kau bertanya!" Kidang Pangarsura marah. Kemudian bergerak hendak menghajar Ki Lurah Suko Kusumo dengan cambuknya. Namun cambuk itu belum sempat menyentuh tubuh Ki Lurah Suko Kusumo.
Karena mendadak sesosok wanita muda melompat, dan....
"Yeaaa...!" Prattts! "Hah"!" Kidang Pangarsura tersentak kaget, melihat cambuknya terlepas.
Belum sempat Kidang Pangarsura dan Warik Kala mengenali siapa penyerangnya, wanita berambut panjang itu sudah membentaknya.
"Hei! Jangan sembarangan main cambuk orang yang tak tahu apa-apa tentang mayat sahabatmu itu! Akulah yang menguburkan mayat sahabatmu itu. Sekarang kau mau apa..."!" Gadis itu bahkan berani menantang Kidang Pangarsura dan Warik Kala. Matanya yang bening dan lembut menatap wajah kedua lelaki yang duduk di punggung kuda itu.
"Bedebah! Siapa kau, Wanita Bawel...! Kaukah yang membunuh Kala Hitam"!" bentak Kidang Pangarsura dengan geram. Lalu melompat dari atas punggung kudanya, disusul oleh Warik Kala. Keduanya berdiri tegap di hadapan Mei Lie "Ha ha ha...! Rupanya kalian orang-orang picik dan rendah!" maki Mei Lie sambil mencabut pedang yang tersampir di punggungnya.
"Hah"!" Kidang Pangarsura dan Warik Kala tersentak kaget ketika melihat Pedang Bidadari yang digenggam tangan kanan Mei Lie. Mereka tahu kalau pedang yang memancarkan sinar kuning kemerah-merahan itu Pedang Bidadari. Dan hanya si Bidadari Pencabut Nyawa kekasih Pendekar Gila yang memiliki "Pedang Bidadari..."!" desis Kidang Pangarsura dan Warik Kala lagi dengan mata terbelalak seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Ki Lurah Suko Kusumo dan para warga Desa Serangan yang berada di tempat itu tampak kaget menyaksikan pedang Mei Lie yang bersinar kuning kemerahan-merahan.
"Hi hi hi...! Lucu, kalian berdua ini lucu. Hi hi hi... mau apa kalian, Badut"!" celetuk Sena yang melangkah maju sambil menggaruk-garuk kepala mengejek Kidang Pangarsura dan Warik Kala. Kedua orang itu semakin terkejut Wajah mereka saling tatap diliputi ketegangan ketika mengenali siapa pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila itu. Sementara itu Ki Lurah Suko Kusumo yang rupanya juga telah mengenali pemuda berompi dari kulit ular itu, tampak tersenyum lega.
"Pendekar Gila..."!" pekik Kidang Pangarsura. Wajahnya yang semula garang dan bengis be- rubah seketika. Tersungging senyum kecut di bibirnya.
"Hei! Sekarang kau sudah berhadapan dengan orang yang menguburkan mayat sahabatmu. Jawab, apa maumu...!" ujar Mei Lie ketus, sambil menuding Kidang Pangarsura dengan Pedang Bidadari-nya.
"Hm..., mak..., maksud kami hanya ingin tahu siapa yang membunuh sahabatku itu...," jawab Kidang Pangarsura bimbang.
"Hi hi hi... Lucu! Kalau hanya itu, kenapa kau berbuat kasar sama orang yang tak tahumenahu soal mayat sahabatmu itu" Aku kurang suka dengan tindakanmu itu, Kisanak.... Terus terang aku tersinggung...," ucap Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Kidang Pangarsura dan Warik Kala saling pandang. Mukanya memerah. Marah. Namun Warik Kala yang lebih memakai otak, dari pada otot segera menjawab.
"Maaf...! Kami tak ingin bentrok dengan, Kisanak. Kami berdua hanya ingin mencari pembunuh sahabat kami. Terima kasih atas kerelaan pendekar mau mengubur mayat Kala Hitam sahabat kami itu...."
"Hm...! Baiklah, kalau memang kalian berdua mengerti bahwa aku dan Kang Sena bukan pembunuh yang kau cari. Sekarang cepat kalian tinggalkan desa ini! Aku paling tak suka melihat orang-orang Desa Sarangan ini ketakutan dan cemas!" kata Mei Lie ketus.
Kidang Pangarsura menahan marah. Giginya gemeretak beradu. Warik Kala menenangkan, seraya berkata lirih, "Tenang, Kawan. Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa bukan pembunuh Kala Hitam. Sebaiknya kita cepat pergi dari desa ini. Tujuan kita mencari pembunuh itu.
Urusan sakit hati pada Pendekar Gila dan wanita itu kita atur selanjutnya...." Kidang Pangarsura memaksakan diri untuk tersenyum mengangguk.
"Maafkan kami...! Ayo pergi!" kata Kidang Pangarsura dengan mengajak Warik Kala untuk segera pergi dari tempat itu.
"Her, her...!"
"Hea! Heaaa...!" Kedua kuda yang ditunggangi Kidang Pangarsura dan Warik Kala dengan cepat meninggalkan Desa Sarangan. Pendekar Gila dan Mei Lie memandangi dari belakang. Pendekar muda itu terus tertawa-tawa cekikikan sambil mengorek kupingnya dengan bulu burung yang selalu disimpan di dalam ikat pinggangnya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar.... Juga Nini...," ucap Ki Lurah Sumo Kusumo sambil menjura. Begitu juga para penduduk desa yang mera- sa senang dengan kehadiran sepasang pendekar muda itu di desa mereka.
"Sama-sama, Ki. Sudah kewajiban kami berdua untuk menolong orang-orang lemah," jawab Sena seraya tersenyum.
"Tapi siapa sebenarnya kedua orang tadi, Ki?" tanya Sena kemudian.
"Mungkin Ki Lurah bisa menjelaskan...," tambah Mei Lie menyela ucapan Pendekar Gila.
Ki Lurah Sumo Kusumo manggut-manggut seraya menatap dengan senyum pada Sena dan Mei Lie.
"Hm..., sebaiknya Tuan berdua singgah dulu ke rumah kami! Nanti saya ceritakan sedikit tentang kedua orang tadi...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo kalem.
Pendekar Gila melirik wajah Mei Lie, sambil terus mengorek telinganya dengan bulu burung.
Seakan dirinya meminta pertimbangan pada Mei Lie. Ternyata gadis itu menganggukkan kepala, tanda setuju.
"Baiklah...," jawab Sena dengan mulut cengengesan.
"Kalau begitu mari, silakan...!" kata Ki Lurah Sumo Kusumo memberi jalan pada Sena dan Mei Lie dengan ramah. Begitu juga dengan penduduk desa. Tampaknya mereka telah mengetahui tentang keberadaan Pendekar Gila dan kekasihnya, si Bidadari Pencabut Nyawa. Hal itu tak mengherankan, karena sepak terjang Pendekar Gila sebagai pendekar penegak keadilan telah dikenal tidak hanya oleh kalangan rimba persilatan.
***
Bahwa kedua orang berkuda itu anggota Partai Panca Siwara yang kini menguasai Kadipaten Galih Putih.
"Aha! Lalu siapa pembunuh kawan orangorang sesat itu, Ki?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mulut masih juga cengengesan.
"Ya!" sela Mei Lie, sebelum Ki Lurah Sumo Kusumo menjawab.
"Tadi Ki Lurah bilang bahwa Ki Damar Kiwangi punya adik kandung. Apa dia juga mati dibunuh Partai Panca Siwara..."!"
"Saya belum tahu pasti karena cerita yang tersiar simpang siur. Ada yang menceritakan bahwa adik Ki Damar Kiwangi yang bernama Anjang Kawiwangi mati setelah dilempar ke jurang.
Tapi ada pula yang mengatakan bahwa Anjang menghilang begitu saja...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo menjelaskan. Kepala lelaki setengah baya itu menggeleng-geleng seakan tidak yakin pada apa yang diceritakannya sendiri.
Pendekar Gila manggut-manggut, kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Mei Lie mengerutkan kening. Ditatapnya wajah Ki Lurah Sumo Kusumo sejenak lalu tanyanya, "Kalau saya boleh tahu apa Ki Lurah tahu, siapa kira-kira pembunuh tokoh Partai Panca Siwara itu?"
"Hm...!" gumam Kepala Desa Sarangan itu sambil mengerutkan kening. Sejenak lelaki setengah baya itu mengingat-ingat sesuatu.
"Ya. Kami dengar dari orangorang yang pernah melihat, bahwa ada seorang lelaki berkaki buntung yang tiba-tiba muncul di wilayah ini. Diduga keras lelaki buntung itulah pelaku pembunuhan terhadap Senapati Wiryapaksi dan Kala Hitam..."
"Lelaki buntung..."!" gumam Mei Lie dengan kening berkerut, kaget Sementara Pendekar Gila seakan tak peduli dengan lelaki buntung yang disebut Ki Lurah Sumo Kusumo. Dia tetap dengan tingkahnya yang lucu. Cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Sena kemudian melirik sebentar pada MeiLie. Dan Mei Lie mengerti maksud lirikan Sena itu.
"Mungkinkah lelaki buntung itu ada hubungannya dengan adik Ki Damar Kiwangi, yang belum jelas mati atau... masih hidup?" gumam Mei Lie pelan sekali seperti bicara pada diri sendiri.
Ki Lurah Sumo Kusumo tampaknya mendengar gumaman Mei Lie.
"Mungkin juga adik Ki Damar Kiwangi masih hidup. Ah, tapi tak mungkin! Kelima tokoh sesat itu telah melemparkannya ke jurang Mager Wadas setelah dihajar sampai setengah mati....
Dan nyatanya hingga sekarang tak pernah terdengar lagi nama Anjang Kawiwangi" Mei Lie menyipitkan kedua matanya, seolah-olah tengah berusaha memecah dan memahami penjelasan Kepala Desa Sarangan itu.
"Apa Ki Lurah menyaksikan kejadian itu...?" tanya Sena tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan Sena itu, Ki Lurah Sumo Kusumo mengerutkan kening. Sejenak dia menghela napas panjang.
"Ya, sepuluh tahun yang lalu. Sebab saya sendiri termasuk murid dari Padepokan Gunung Talang. Bahkan hampir semua penduduk Desa Sarangan ini mengabdi pada Ki Damar Kiwangi yang bijaksana dan pembela kaum lemah. Seperti Tuan Pendekar saat ini," Ki Lurah Sumo Kusumo menghentikan ucapannya sebentar dan menghela napas.
"Namun sejak Padepokan Gunung Talang dihancurkan Partai Panca Siwara keadaan kian memburuk. Penduduk desa yang sebelumnya hidup aman dan sentosa, kini selalu merasa dicekam ketakutan. Pemerasan, pemaksaan, pembunuhan, bahkan penculikan terjadi di mana-mana.
Tidak hanya di Desa Sarangan ini. Hampir semua desa yang masih dalam lingkungan Kadipaten Galih Putih menjadi cengkeraman Partai Panca Siwara." Mendengar cerita Ki Lurah Suko Kusumo Pendekar Gila dan Mei Lie mengangguk-anggukkan kepala. Sena kemudian menggarukgaruk kepala lagi.
"Ki Lurah, kalau saya boleh tahu, di manakah letak Padepokan Gunung Talang?" tanya Mei Lie kemudian. Mendengar itu Sena menoleh kepada Mei Lie.
"Tak Jauh dari Lembah Bulak Rawa. Tepatnya di sebelah utara lembah itu. Tempatnya dulu cukup nyaman, tapi sekarang menjadi serem dan angker. Orang-orang Desa Sarangan tak pernah datang ke sana...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo dengan wajah keruh.
Sena dan Mei Lie saling pandang. Lalu berucap terima kasih pada kepala desa itu. Mereka tak lagi bicara. Suasana seketika berubah hening.
Sementara di luar matahari semakin condong ke barat. Sinarnya pun mulai keemasan.
┐┌:::¦ 3 ¦:::┐┌
Kuda-kuda itu dipacu kencang menelusuri tepian sungai yang airnya cukup deras. Kudakuda itu terus dipacu untuk menyeberangi sungai yang ternyata dangkal. Bebatuan tampak tersembul di sana-sini, memecah arus menjadi beriakriak. Sampai di seberang, tiba-tiba Kidang Pangarsura berkata agak kesal pada Warik Kala.
"Seharusnya kemarin kita coba ilmu Pendekar Gila dan gadis Cina itu! Aku merasa diremehkan...!" Kidang Pangarsura tak menyembunyikan wajahnya yang bersungut-sungut karena kesal.
"Sebenarnya aku pun merasa ingin menjaj-al kesaktian Pendekar Gila. Tapi tujuan kita yang pertama harus dituntaskan terlebih dahulu. Kita harus bersiasat. Orang seperti Pendekar Gila harus dilawan dengan tipu muslihat!" tukas Warik Kala coba meredakan dengan katakatanya.
"Pintar juga kau, Warik! Ha ha ha...! Herrr! Heaaa...!" Kidang Pangarsura langsung menggebah kudanya, disusul Warik Kala.
Tanpa diketahui oleh mereka sesosok bayangan berkelebat menguntit dari belakang. Ketika memasuki Hutan Roban. Sosok bayangan itu bagai seekor kera, melompat-lompat dari pohon satu ke pohon lain. Begitu cepat gerakannya, sehingga yang tampak hanya bayang-bayang kehijauan seperti melayang terbawa angin.
"Ho...!" Kidang Pangarsura mendadak menghentikan lari kudanya. Hal itu membuat Warik Kala agak kaget dan cepat menarik tali kekang kudanya. Hingga kuda itu meringkik.
"Hiiieee...!"
"Ho, hop! Ada apa..."!" tanya Warik Kala tak mampu menutupi keheranannya.
"Apa telingamu tak mendengar suara aneh" Kita diikuti orang!" jawab Kidang Pangarsura setengah berbisik.
Warik Kala menelengkan kepala seakan berusaha mendengar. Matanya liar menyapu sekeliling Hutan Roban yang terkenal angker. Dan menurut kabar, banyak makhluk halus menghuni hutan itu.
"Aku menduga rasanya dia bukan manusia. Mungkin hantu atau makhluk halus..!" gumam Warik Kala dengan suara agak tertahan.
"Hi hi hi...! Hi hi hi...! Kau manusiamanusia buruk mau ke mana"! Hi hi hi...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita tertawa nyaring. Suaranya seperti tawa kuntilanak.
"Hah"!" sentak Kidang Pangarsura. Belum sempat kedua lelaki bermuka bringas itu dapat menguasai keadaan. Tiba-tiba...
Swing! Swing! Swing...! Beberapa senjata rahasia berupa tusuk kode beracun meluncur bagai anak panah ke arah kedua lelaki itu. Kidang Pangarsura dan Warik Kala cepat mengelak dengan menjatuhkan diri ke tanah, lalu bergulingan. Secepat itu pula mereka mencabut senjata masing-masing. Kidang Pangarsura dengan senjata pedang, sedangkan Warik Kala dengan golok.
Keduanya menangkis tusukan konde beracun itu. Trang! Trang! Trang...! Dar! Darrr...! Tusukan konde yang tertangkis dan menghantam pohon-pohon yang ada di hutan itu menimbulkan ledakan dahsyat. Beberapa pohon tumbang setelah terbakar.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala tersentak kaget, melihat keampuhan tusukan konde itu.
"Hi hi hi...! Ini baru permainan kecil. Baru pembukaan, Manusia-manusia Kotor...! Ha ha ha...! Hi hi hi...!" kembali suara tanpa wujud itu menggelegar keras bagai memecah kesunyian Hutan Roban.
"Benar! Bukan manusia yang kita hadapi, Warik! Mungkin dedemit Hutan Roban ini...!" gumam Kidang Pangarsura. Wajahnya kini tampak berkeringat. Karena satu tusukan konde, hampir saja menjebol perutnya yang besar. Kalau saja ta-di dia tidak cepat menangkis sambil bergulingan, remuk redamlah tubuhnya meledak seperti pohon-pohon itu.
"Si... siapa kau" Manusia atau hantu...?" tanya Warik Kala dengan suara sedikit tertahan.
"Hei...! Kalau kau manusia, Perempuan Sejati, keluarlah! Hadapi aku...!" seru Kidang Pangarsura yang cepat emosi dan tak bisa menguasai diri itu. Baru saja Kidang Pangarsura selesai berseru, tiba-tiba.....
Srakkk...! Seorang wanita berparas cantik muncul di hadapan mereka.
"Kau memanggilku..."!" tanya wanita itu dengan senyum genit. Matanya bening dan memiliki daya tarik. Bibirnya yang merah tampak tipis dan indah. Ditambah lagi tubuhnya yang padat, sintal, terbalut kulit berwarna kuning langsat Kedua lelaki beringas hanya bisa melongo memandangi wanita itu. Tubuh wanita itu hanya ditutupi kain warna hijau sampai di dada, seperti kemben. Sedang bagian bawah memakai kain hitam, sedikit di atas lutut. Sehingga jika wanita itu sedikit saja mengangkat kaki akan terlihat jelas pahanya yang mulus.
"Hei! Kenapa kau diam seperti orang bisu..."!" tanya wanita itu dengan diiringi senyum genit.
"Si... siapa kau" Manusia atau hantu...?" tanya Warik Kala dengan suara sedikit tertahan.
"Kalian ini memang manusia-manusia buta! Kalau aku hantu, lantas kalian mau apa" Dan kalau aku manusia seperti kalian...?" jawab wanita itu dengan suara nyaring.
Kidang Pangarsura yang sejak tadi terkesima menyaksikan kemolekan tubuh dan paras cantik wanita itu, menyelak, "Kalau kau manusia biasa, aku ingin mengawinimu...!"
"Apa kau tak salah" Dan aku ingin tahu apa ucapanmu itu bisa dipercaya...?" tukas wanita aneh itu dengan genit.
Tangannya yang kiri perlahan dengan sengaja mengangkat ke atas kainnya. Hingga hampir pangkal paha. Mendadak mata kedua lelaki itu berbinar-binar. Dan menelan ludah. Kidang Pangarsura yang buas dengan wanita, tak pikir panjang lagi, segera ia menubruk dan memeluk wanita itu dengan penuh nafsu. Anehnya wanita itu tak berusaha menolak.
Bahkan mendesah dan tertawa cekikikan. Warik Kala yang melihat keanehan dari tawa wanita itu mulai merasakan bulu kuduknya berdiri. Merinding. Ingin dia memberi tahu Kidang Pangarsura, tapi mulutnya terasa kelu, tak dapat dibuka. Padahal telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Aneh sekali. Entah ilmu apa yang dipakai wanita cantik itu. Pada saat Kidang Pangarsura semakin lupa daratan, perlahan-lahan wajah wanita yang tadinya cantik itu, berubah sangat menyeramkan.
Keriput dan pucat. Warik Kala terbelalak kaget Mulutnya ternganga lebar seperti hendak berteriak, tapi sulit.
"Hah"! Hantu...?" pekiknya lirih. Lalu segera berlari sekuat tenaga meninggalkan Kidang Pangarsura yang masih mendekap tubuh wanita itu sambil menciumi buah dadanya.
Warik Kala melompat ke punggung kuda dan cepat melarikannya. Tanpa menoleh lagi Warik Kala meninggalkan Hutan Roban.
Sementara itu, Kidang Pangarsura mulai merasakan keanehan. Tubuh wanita itu tiba-tiba terasa dingin sekali. Dan menyusul segera Kidang Pangarsura mengangkat mukanya yang sejak tadi menyusup di dada wanita itu.
"Hah..."! Aaa...! Han... hantuuu...!" Kidang Pangarsura terkejut bukan main. Dia berusaha lari. Namun aneh ada kekuatan membelenggu hingga tak bisa mengangkat kakinya.
"Hi hi hi...! Jawab pertanyaanku, sebelum ajalmu tiba! Apa kau dari Partai Panca Siwara"!" tanya wanita yang wajahnya sudah berubah menyeramkan itu. Kidang Pangarsura tak berani berbohong.
Sekujur tubuhnya yang sudah bermandi keringat gemetaran. Dan mukanya pucat pasi.
"Kau memang manusia rendah dan licik! Ternyata ilmumu tak kuasa menandingiku. Hi hi hi...! Dan kini terimalah ajalmu! Grrr...!"
"Aaauwww...!" Kidang Pangarsura menjerit-jerit dan mendadak suaranya berhenti. Jiwa Kidang Pangarsura melayang. Rupanya wanita itu mencekik dengan kuku-kukunya yang tiba-tiba memanjang dan runcing. Lalu mencucup ubun-ubun Kidang Pangarsura.
"Hi hi hi...! Kakang Brajasukmana, aku telah membalaskan dendammu. Hi hi hi....!" Wanita itu kemudian nampak puas, darah menetes dan membasahi tangannya. Perlahanlahan wajahnya kembali berubah seperti semula.
Cantik dan sensual. Itulah ilmu 'Perubah Raga', milik wanita yang dikenal dengan nama Dewi Sukmalelana.
"Sebaiknya mayat ini kukirim ke kadipaten sekarang juga," gumamnya lirih. Setelah berpikir, Dewi Sukmalelana melesat bagai terbang, sambil membopong mayat Kidang Pangarsura.
***
"Berhenti...!" seru Mei Lie sambil mengangkat tangan kirinya ke depan. Sedang Pendekar Gi- la hanya cengengesan menatap Dewi Sukmalelana yang nampak tenang-tenang saja. Tak ada rasa kesal atau marah.
"Hi hi hi...! Ada perlu apa kalian menghentikanku...?" tanya Dewi Sukmalelana dengan senyum genit. Matanya melirik wajah Sena, mem- buat Mei Lie melebarkan mata, cemburu.
"Hei...! Aku yang bicara, bukan dia!" seru Mei Lie ketus.
"Hi hi hi...! Oooh rupanya pemuda tampan dan gagah itu kekasihmu. Maafkan aku! Bukan maksudku membuatmu cemburu. Tapi jujur saja, pemuda pendampingmu itu membuatku terpesona...," ujar Dewi Sukmalelana tanpa rasa malu sedikit pun.
"Huh! Mulutmu terlalu bawel. Perlu dikasih pelajaran...!" Selesai berkata begitu, Mei Lie segera bergerak hendak menyerang. Namun Dewi Sukmalelana segera berkata, memohon maaf.
"Tunggu, sabar! Sekali lagi maafkan aku.
Bukankah kalian berdua Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa" Sepasang pendekar yang sangat kesohor di bumi Jawa Dwipa ini...?" kata Dewi Sukmalelana dengan nada bersahabat. Mulutnya tersenyum manis.
Mei Lie dan Sena saling pandang.
"Ah ah ah...! Jangan sebut kami pendekar! Kita berdua hanya manusia biasa. Seperti kamu.
Tapi bagaimana kau bisa mengenal kami...?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan dan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hhh..., tak terlalu sulit untuk mengenalimu, Pendekar. Pertama, tingkahmu yang aneh.
Kedua, aku melihat suling berkepala naga terselip di ikat pinggangmu...," jawab Dewi Sukmalelana bangga. Lalu matanya berkerling pada Sena.
Membuat Mei Lie bertambah kesal dan cemberut "Sungguh jeli matamu...," puji Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tentunya kau bukan perempuan sembarangan. Dan kalau aku boleh tahu, untuk apa kau membawa orang itu...?"
"Ya. Tentu kau telah melakukan kejahatan.
Telah membunuh orang itu...," tukas Mei Lie langsung dengan nada ketus.
"Benar. Aku telah membunuh orang itu...," jawab Dewi Sukmalelana dengan tegas dan mantap. Mei Lie mengerutkan kening.
"Kalau begitu kau yang membunuh partai...." Belum sempat Mei Lie meneruskan kata-katanya, Dewi Sukmalelana cepat menyelak.
"Partai Panca Siwara, maksudmu..."!"
"Ya!" jawab Mei Lie singkat "Lantas, kenapa kau bunuh orang itu...?" tanya Sena sambil cengengesan dan menggarukgaruk kepala.
"Maaf! Mungkin lain kali aku dapat menjawab pertanyaanmu. Aku harus segera pergi...!" ujar Dewi Sukmalelana, "Kumohon jangan ganggu aku! Aku tak ingin bentrok dengan kalian. Permi-si!" Selesai berkata begitu, Dewi Sukmalelana melesat cepat bagai terbang, meninggalkan Pendekar Gila dan kekasihnya. Mei Lie yang sejak ta-di merasa kesal dan sedikit cemburu dengan tingkah laku, serta ucapan Dewi Sukmalelana, ingin mengejarnya. Namun Sena mencegah.
"Sabar, Mei! Jangan turuti perasaanmu! Rencana kita untuk menyelidiki siapa si buntung itu bisa gagal. Kalau kau tak dapat menguasai di-ri...," cegah Sena dengan lemah lembut, sambil memanggul kekasihnya.
"Aku sebel mendengar suaranya. Apalagi matanya selalu tertuju padamu. Perempuan genit!" sungut Mei Lie dengan wajah cemberut.
"Kau semakin cantik dan memikat, kalau cemberut, Mei...." Sena coba menyenangkan hati kekasihnya.
Mei Lie yang dipuji jadi memerah mukanya. Kemudian tangannya mencubit pinggang sang Kekasih. Sena melepas rangkulannya, lalu menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Pasangan pendekar muda itu kemudian meneruskan perjalanan. Namun baru beberapa langkah, Mei Lie berhenti.
"Kakang...," tegur Mei Lie.
"Hm...?"
"Mungkinkah perempuan genit tadi ada hubungan dengan lelaki buntung itu" Dan mayat siapa yang dibawa tadi...?" tanya Mei Lie.
"Dugaanmu mungkin saja benar. Tapi kita belum bisa menuduhnya. Selama dia tak menyakiti kita, aku rasa tak perlu terlalu ikut campur urusan orang."
"Tapi Kakang, perempuan itu telah membunuh. Apa itu dibenarkan"! Semestinya tadi aku cepat menghajarnya!" ujar Mei Lie dengan kesal dan cemberut.
"Sabar, sabarlah sedikit, Mei! Percayalah, kesabaran dan ketenangan mampu mendukung usaha kita...," kata Sena kembali mengingatkan Mei Lie yang mulai gampang marah.
Mei Lie tampaknya bisa mengerti. Gadis cantik itu menghela napas panjang, lalu melangkah meninggalkan Sena yang masih menggarukgaruk kepala memandangi kekasihnya yang sedang kesal. Lalu memburu Mei Lie, dan berjalan di samping Mei Le.
***
Beberapa anak panah dan tombak menancap di tubuh Kidang Pangarsura yang telah jadi mayat itu.
"Hi hi hi...! Manusia-manusia bodoh! Rasakan ini, heaaa...!" Dewi Sukmalelana menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika dari telapak tangannya keluar semburan api melesat ke arah para prajurit kadipaten yang dipimpin Warik Kala dan para pengawal kadipaten. Wurrrs...! "Aaa...!"
"Wuaaakh...!" Para prajurit menjerit ketika tubuh mereka tersambar semburan api yang keluar dari telapak tangan Dewi Sukmalelana. Belasan prajurit tewas seketika, terlalap semburan api ganas itu. Mereka yang masih hidup berlarian tunggang-langgang menginjak mayat-mayat prajurit yang telah mati terbakar.
"Kurung perempuan iblis itu...!" seru Warik Kala memerintahkan para prajurit dan pengawal kadipaten. Serentak para prajurit dan pengawal kadipaten mengurung Dewi Sukmalelana dengan bersenjata tombak, golok, dan pedang.
"Hi hi hi...! Aku senang dengan permainan ini. Hi hi hi...!" Dewi Sukmalelana dengan cepat menggerakkan kedua tangannya ke depan dada. Disusul dengan kaki kirinya terangkat ke atas la-lu ditekuk, kemudian dengan keras dihentakkan ke tanah. Akibatnya tanah yang diinjak berguncang, seperti dilanda gempa. Para prajurit dan pengawal kadipaten tersentak kaget dan hanya bisa melongo, ketika tiba-tiba bumi berguncang hebat "Hi hi hi...!" Dewi Sukmalelana tertawa terkekeh-kekeh. Suara tawanya berubah menjadi menyeramkan. Seperti tawa makhluk gaib. Keras, melengking, dan memekakkan telinga.
"Ilmu apa yang dia gunakan..."!" gumam Warik Kala yang mulai kecut dan ciut nyalinya. Namun dia segera mencabut goloknya.
Belum habis rasa ketakutan dan keheranan para prajurit dan pengawal, Dewi Sukmalelana tiba-tiba mengibaskan rambutnya, sambil memutar kepala. Dan rambut yang tadi panjangnya hanya melewati bahu, kini berubah memanjang. Memanjang terus bagaikan hidup, memburu dan menghantami orang-orang yang mengurungnya. Wrrrt! Prats! Prats! "Aaakh...!" Bagai kena tamparan yang keras dan panas, para prajurit dan pengawal menjerit panjang.
Lalu roboh ke tanah, tak bernyawa lagi. Kepala ataupun tubuh mereka hancur tersambar rambut Dewi Sukmalelana yang menjadi panjang bagai ular raksasa.
"Hah!" Warik Kala memekik tertahan. Matanya terbelalak lebar seperti hendak keluar dari kelopaknya. Sekujur tubuhnya mendadak gemetaran, sedangkan pandangannya buram tak jelas.
Entah kenapa.
"Oh mataku...!" keluh Warik Kala.
Rupanya Dewi Sukmalelana menyemburkan serbuk beracun dari mulutnya.
"Aaakh..., mataku...!" teriak Warik Kala sambil mengucek matanya.
"Hi hi hi...! Itu hadiah orang yang lari dariku...! Kini, tak lama lagi kau akan menyusul te- manmu ke akherat! Heh...!" Dewi Sukmalelana melompat bagai macan kumbang, menerkam Warik Kala. Meskipun dalam keadaan tak karuan, Warik Kala masih sempat mengelak dengan menjatuhkan diri ke tanah.
Mengetahui hal itu, dengan cepat Dewi Sukmalelana menginjakkan kaki kanannya ke tubuh Warik Kala yang masih berada di tanah.
Krakkk! "Aaakh...!" Warik Kala menjerit, ketika dirasakan dadanya remuk. Sesaat kemudian lelaki berwajah beringas itu tewas dengan mata membelalak.
Para prajurit kadipaten, segera berlarian tunggang-langgang. Mereka tampaknya tak ada yang berani menghadapi Dewi Sukmalelana. Wanita dan anak-anak yang tinggal di lingkungan kadipaten pun ketakutan. Mereka kalang kabut berusaha bersembunyi.
"Hi hi hi...!" Dewi Sukmalelana terus tertawa-tawa nyaring. Suaranya sampai di telinga Pangeran Sasanadipa yang sedang asyik bercumbu dengan para selirnya di kamar pribadi. Namun hatinya yang telah tertutup nafsu birahi membuat suara kacau dan hiruk-pikuk di luar bagai tak terdengar. Sang Pangeran tak mempedulikannya.
"Gusti Pangeran...! Gusti Pangeran...!" teriak seorang pengawal dari luar kamar.
Namun karena tak ada sahutan dari dalam, pengawal kadipaten itu terpaksa mendobrak pintu kamar.
Brakkk..! "Aaa...!" para selir yang sedang melayani sang Pangeran menjerit. Sambil menutupi tubuh mereka yang tanpa pakaian, mereka berlarian karena terkejut "Ooo..., pengawal! Ada apa" Kenapa kau berani merusak pintu kamarku"!" kata Pangeran Sasandipa dengan mata masih layu dan wajahnya berkeringat "Ampun, Gusti Pangeran...! Ada, ada hantu perempuan ngamuk...! Semua orang dibunuhnya.
Juga Warik Kala!" lapor pengawal itu.
"Warik Kala mati"!" tanya sang Pangeran lemah.
"Benar, Gusti...!" pengawal itu menjura hormat "Ayo, antar aku! Bagaimana rupa perempuan itu...!" ajak sang Pangeran yang pikirannya sudah setengah tak waras itu.
Setelah turun dari ranjangnya, para selir segera memakaikan pakaian Pangeran Sasanadipa. Juga pusakanya, sebuah keris. Pangeran Sasanadipa yang nampak seperti orang mabuk itu melangkah gontai keluar dari kamar, diikuti pengawal tadi.
Sementara di luar, orang-orang kadipaten masih panik dan berlarian menyelamatkan diri.
"Orang-orang bodoh! Mengapa takut padaku..."! Aku tak akan menyakiti kalian! Aku hanya bunuh manusia-manusia yang kuinginkan. Kalian semua telah kena ilmu sihir Beruk Singgala.
Termasuk pangeran kalian itu...!" seru Dewi Sukmalelana.
Pada saat itu, muncul Pangeran Sasanadipa dengan langkah gontai menuju pekitaran kadipaten. Melihat pangeran muncul dan mendekatinya, Dewi Sukmalelana tersenyum pahit "Hei, Wanita Cantik. Ada urusan apa kau membunuh orang-orangku..."!" tegur Pangeran Sasanadipa. Matanya yang merah dan sayu menatap wajah Dewi Sukmalelana.
"Hi hi hi...! Panjang ceritanya, Pangeran.
Tapi aku tak ingin bermusuhan denganmu. Maaf, aku telah membuatmu gusar!" tutur Dewi Sukmalelana mantap.
"Wajahmu cantik dan menggiurkan.... Siapa namamu" Aku pikir kau lebih baik jadi selirku, Cah Ayu...," kata Pangeran Sasanadipa sudah berpikiran kurang waras itu.
"Kasihan pangeran ini! Dia dulu orang yang bijaksana, gagah berani, dan pengasih. Kini jadi seperti orang lupa ingatan....
Ini semua gara-gara Partai Panca Siwara itu! Beruk Singgala penyihir itu...!" gumam Dewi Sukmalelana pelan. Seperti bicara pada diri sendiri.
"Kenapa kau diam dan tak menyerangku atau membunuhku, Cah Ayu?" seru Pangeran Sasanadipa sambil mendekati Dewi Sukmalelana yang masih menatapnya dengan pandangan sayu dan iba. Dewi Sukmalelana tiba-tiba tertegun. Pikirannya menerawang jauh ke masa silam. Masa sepuluh tahun lalu, ketika dirinya ikut menjadi korban keganasan Partai Panca Siwara. Setelah diperkosa dan diperdaya dirinya yang bernama asli Saraswati itu dicampakkan begitu saja dalam keadaan sekarat. Namun Yang Maha Kuasa ternyata masih memberi kehidupan kepadanya. Seorang perempuan tua, nenek sakti, menolong jiwanya dari renggutan maut yang mengerikan.
Nenek sakti mengganti namanya menjadi Dewi Sukmalelana, setelah digembleng dan dididik ilmu kesaktian. Bahkan menurut nenek sakti, Saraswati yang telah meninggal diselamatkan dengan menggunakan 'Bunga Bangkai'. Sehingga Saraswati dapat bertahan sampai saat ini Saraswati dapat hidup kembali. Bahkan memiliki kekuatan dan kemampuan yang sakti.
"Oooh..."!" pekik Dewi Sukmalelana tersentak dari lamunannya. Matanya menatap Pangeran Sasanadipa yang sudah satu tombak di depannya.
"Maaf Pangeran, aku harus pergi...!" Selesai berkata demikian, cepat Dewi Sukmalelana yang sebenarnya bernama Saraswati melesat dan menghilang dari pandangan sang Pangeran.
"Aneh, perempuan secantik itu jadi pembunuh! Tapi, kenapa dia tak melukaiku sedikit pun..."!" gumam Pangeran Sasanadipa keheranan. Matanya yang layu memandang ke depan.
Para pengawal dan orang-orang kadipaten yang masih selamat pun merasa heran, melihat sang Pangeran ternyata selamat. Tak diusik sedikit pun oleh perempuan yang mereka anggap perempuan iblis itu.
┐┌:::¦ 4 ¦:::┐┌
Dua sosok tubuh manusia tampak melangkah dalam keremangan senja. Kedua sosok yang ternyata sepasang muda-mudi itu tiba-tiba berhenti. Si gadis yang berkulit kuning langsat dan bermata agak sipit itu, mengenakan pakaian putih panjang. Rambut digelung satu di atas, dan sisanya dibiarkan tergerai lurus. Sedang di sam-pingnya, pemuda tampan mengenakan rompi dari kulit ular. Siapa lagi mereka kalau bukan Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Nampaknya desa ini sedang tertimpa bencana, Kakang," ujar Mei Lie seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu. Seakan-akan tak mendengar ucapan kekasihnya, Pendekar Gila hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala seolah-olah merasa gatal. Namun kemudian keningnya bekernyit. Seperti halnya yang dilakukan Mei Lie, Sena menghela napas beberapa kali. Ternyata keduanya menangkap bau anyir, yang tak sedap.
"Bau ini busuk sekali, Kakang. Seperti bau mayat." gumam Mei Lie sambil menutup hidung dengan jari tangan kiri.
Benar. Di sana sini, di jalan memasuki Desa Lindung Rawa bergelimpangan mayat-mayat penduduk desa. Tua-muda, wanita dan anakanak. Dengan leher tersobek dan wajah pucat membiru.
"Ya Hyang Batara...! Siapa yang melakukan perbuatan keji ini"!" gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mulutnya tampak cengengesan sambil memandangi mayat-mayat itu.
"Biadab...! Tak salah lagi ini pasti perbuatan perempuan genit itu! Atau mungkin lelaki buntung yang kita cari, Kakang," tukas Mei Lie yang telah mencabut Pedang Bidadarinya.
"Mungkin...," jawab Sena pelan. Kepalanya manggut-manggut. Lucu! Baru saja kedua pasang pendekar itu meneruskan langkah pendek memasuki Desa Lindung Rawa, tiba-tiba....
"Aaakh...! Tolooong...! Manusia iblis...! Tolooong!" Seorang wanita muda tampak berlari ketakutan sambil menjerit-jerit minta tolong. Pakaiannya sudah tak karuan. Sebagian tubuhnya sudah tak tertutup kain. Hingga buah dadanya yang masih ranum dan mulus itu terlihat jelas di balik pakaiannya yang tercabikcabik. Di bagian pipi dan leher ada goresan, seperti cakaran kuku.
Melihat itu Mei Lie segera melompat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Tubuh si Bidadari Pencabut Nyawa itu melayang bagai seekor burung elang. Kemudian kakinya mendarat mulus. Dengan cepat tangan Mei Lie menyambar tangan wanita muda yang ketakutan itu. Lalu membawanya bersembunyi di balik pepohonan.
"Ssst..!" Tuk! Tuk! Ketika wanita muda itu hendak berteriak karena ketakutan, dengan cepat Mei Lie menotok tubuhnya.
"Ukh...!" Seketika wanita muda itu melenguh lalu jatuh terkulai bagai mati. Dan Mei Lie segera membaringkan di tanah yang berumput itu.
Sementara itu, Pendekar Gila hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, memandangi tingkah laku kekasihnya.
Tak berapa lama kemudian, muncul sesosok tubuh melayang dan disertai kepulan asap.
Ternyata sesosok manusia bertubuh tinggi besar dengan bertelanjang dada. Di kanan dan kiri lengannya melingkar gelang dari kulit ular. Alisnya menyatu tanpa batas menghiasi matanya yang besar, tajam dan galak. Wajahnya yang persegi tampak bengis. Badannya hampir rata ditumbuhi bulu-bulu lebat. Mirip manusia purba.
"Makhluk apa ini" Manusia apa jin!" gumam Mei Lie, begitu melihat sosok makhluk yang menyeramkan itu.
"Grrr..., grrr...!" makhluk mirip manusia purba itu mengerang. Seperti harimau, giginya nampak besar-besar dan runcing. Mengerikan.
Pendekar Gila yang melihat manusia tinggi besar bagai raksasa itu mengerutkan kening, sambil menggaruk-garuk kepalanya kembali.
"Ah ah ah...! Aku harus berbuat sesuatu.
Aku tak ingin Mei Lie mendapat bahaya...," gumam Sena.
"Heaaa...!" Tiba-tiba Pendekar Gila melesat sambil bersalto beberapa kali di udara. Lalu kakinya bergerak cepat melancarkan tendangan. Wut! Blugk! Blugk! Namun tendangan Pendekar Gila seperti tak dirasa oleh manusia raksasa itu. Bahkan hanya dengan ayunan tangan kirinya yang sebesar paha, mampu menghantam Pendekar Gila.
"Ukh..!" Sena terpekik. Tubuhnya terlempar lima tombak dan membentur dinding rumah penduduk desa. Dinding dari bilik itu pun roboh. Kalau saja bukan Pendekar Gila, tentunya sudah pasti tewas. Melihat kekasihnya tak berhasil, tak tanggung-tanggung Mei Lie melesat melakukan serangan dengan membabatkan Pedang Bidadari dalam jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
"Yeaaa...!" Cras! Cras! Cras! "Grrr...!" Manusia raksasa itu mengerang. Kulitnya hanya terkupas. Namun anehnya, tak mengeluarkan darah. Dan ketika angin meniupnya, tak ada tanda-tanda bahwa manusia raksasa berbulu itu akan roboh lalu jadi tepung. Seperti lawan-lawan Mei Lie yang tersambar jurus maut itu.
"Aneh..."! Manusia atau jin!" gumam Mei Lie keheranan. Keningnya berkerut tajam.
Namun kemudian kembali mempersiapkan serangan susulan. Sementara itu Pendekar Gila tampak telah berdiri dan mengerahkan tenaga dalamnya. Kedua telapaknya tampak saling bertempelan dan ditarik ke depan dada.
"Mei, kita tak boleh main-main dengan makhluk ini! Jangan gegabah...!" saran Sena sambil menoleh ke arah Mei Lie.
Kali ini rupanya Pendekar Gila tak ingin sembarangan bertindak. Dan tingkahnya yang biasanya konyol dan seperti orang gila agak berkurang. Walaupun mulutnya masih tetap cengengesan dan tertawa-tawa sendiri dengan tangan menggaruk kepala.
Pendekar Gila lalu mengeluarkan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya dipersatukan di depan dada. Kemudian setelah menarik napas dalam-dalam, perlahan tangannya dibuka ke samping. Ditarik ke belakang membentuk siku. Lalu dengan telapak tangan terbuka, melakukan pukulan jarak jauh secara cepat dan beruntun.
"Heaaa...!" Wut..! Dari pukulannya, keluar kekuatan yang luar biasa melesat ke tubuh manusia raksasa itu.
Glar! Glar! "Aung...! Grrr...!" Manusia raksasa itu mengerang dan tubuhnya terhuyung. Kepalanya yang besar retak.
Melihat itu, Mei Lie tak tinggal diam. Gadis itu melompat sambil bersalto dan membabatkan Pedang Bidadari-nya ke tubuh manusia raksasa itu.
Cras! Cras! Cras...! "Aaaung.... Grrr...!" Kembali manusia raksasa itu mengerang.
Sesaat kemudian tubuhnya roboh dengan kepala terpisah. Namun anehnya, tubuh itu tiba-tiba menyatu kembali. Seperti semula.
"Ilmu Panca Sona...!" pekik Pendekar Gila dan Mei Lie terkejut. Lalu saling pandang. Ilmu 'Panca Sona' memang ampuh. Bila salah satu raga, kepala, kaki, atau bagian badan tak segera di-pisahkan jauh dari bagian tubuhnya yang lain mereka dapat menyatu kembali.
"Aneh! Pedang Bidadari-ku tak mampu menghancurkan manusia raksasa itu...!" keluh Mei Lie cemas.
Pendekar Gila segera mengeluarkan jurus 'Tamparan Sukma'. Sebuah ilmu yang menggunakan sukma atau jiwa. Sangat dahsyat dan mampu membinasakan makhluk siluman.
"Grrr...!" Jgarrr! Sinar keperakan menghantam makhluk aneh itu. Seketika sosok manusia raksasa itu terbakar. Kemudian menjadi asap, lalu hilang. Bersamaan dengan lenyapnya manusia aneh itu, suasana di sekitarnya pun berubah sama sekali.
Bukan lagi sebuah desa melainkan suatu tempat yang asing bagi Sena dan Mei Lie. Angker dan menyeramkan! Wanita yang tadi ditolong Mei Lie pun lenyap.
"Kita rupanya telah masuk ke alam gaib, Kakang.... Kita telah terjebak!" ujar Mei Lie. Matanya menyapu ke sekeliling dengan tajam.
"Hi hi hi...! Mungkin kau benar, Mei," sahut Sena dengan cekikikan. Pemuda itu nampak tenang, tak sedikit pun merasa tegang atau takut.
Matanya menatap tajam sekeliling. Pendengarannya yang sangat peka dipasang untuk menangkap suara-suara aneh dan gaib.
Mei Lie memutar tubuhnya membelakangi Pendekar Gila dengan Pedang Bidadari masih tergenggam di tangan. Matanya tiba-tiba menangkap sesosok manusia nampak seperti duduk di tempat agak jauh memandangi mereka.
"Kakang...," panggil Mei Lie perlahan Sena membalik, lalu menghadap ke arah sama dengan Mei Lie. Mata Sena yang mampu menembus segala cuaca, tampak terbelalak lebar.
Asap putih tampak mengepul di sekitar tempat itu. Dan suara-suara aneh mulai bermunculan, menambah suasana kian mencekam. Kalau saja yang datang di tempat itu bukan Pendekar Gila dan Mei Lie, mungkin sudah mati kaku ketakutan.
"Pendekar Gila! Dan kau, Bidadari Pencabut Nyawa...! Jangan ikut campur urusanku! Aku tak ingin ada orang ikut campur dengan urusanku. Akan kutantang siapa pun yang mau tahu urusanku. Kuharap kalian berdua tak lagi menyelidiki lelaki buntung itu...!" Setelah suara itu hilang, tiba-tiba muncul lelaki buntung. Berdiri dengan kakinya yang buntung, enam tombak di hadapan Sena dan Mei Lie.
"Kau..."!" gumam Mei Lie tersentak kaget.
Setelah jelas bahwa yang di hadapannya tak lain lelaki buntung yang dicari.
"Hi hi hi...! Kisanak, aku tak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi kenapa kau membunuh orang-orang itu" Apa ada hubungannya dengan peristiwa yang menimpa Ki Damar Kiwangi...?" tanya Sena ingin tahu.
"Grrr...!" Pertanyaan Pendekar Gila rupanya membuat lelaki buntung itu marah.
"Kau terlalu ingin tahu Pendekar Gila! Aku tak suka. Dan kuperingatkan sekali lagi, jangan ikut campur! Dan sekarang sebaiknya kalian cepat meninggalkan tempat ini..., sebelum aku berubah pikiran...," perintah lelaki buntung dengan geram.
"Kau, rupanya orang yang keras kepala.
Aku tahu dendam membara memang tak dapat dibendung. Tapi dengan terjadinya pertumpahan darah di mana-mana, rakyat selalu ketakutan menjadi korban orang-orang yang hanya memikirkan diri sendiri. Seperti Kisanak..," tukas Sena sambil cengengesan menyindir lelaki buntung itu.
"Bicaramu seperti tahu segalanya tentang aku, Pendekar Gila! Dan membuatku muak mendengar ocehanmu itu. Terpaksa aku harus melawanmu...!" Selesai berkata begitu, si Penyair Maut itu melesat menyerang Pendekar Gila dan Mei Lie.
Dengan melompat, seperti macan kumbang kedua tangan lelaki buntung mencakar dan memburu wajah Mei Lie dan Pendekar Gila.
Kuku-kuku yang panjang serta runcing, bagai mengandung hawa panas dan berbahaya.
Pendekar Gila dan Mei Lie mengelak dengan merundukkan kepala, sambil sesekali menangkis.
Jurus-jurus aneh dikeluarkan oleh si Penyair Maut itu.
"Mei, mundur! Biar aku hadapi dia...!" seru Sena pada Mei Lie yang akan mengeluarkan jurus Pedang Bidadari Pencabut Nyawa. Mei Lie menurut. Bagi seorang pendekar bertarung secara keroyokan dianggap kurang terpuji dan tidak jujur. Itulah sebabnya Mei Lie mundur, namun tetap berwaspada, menjaga segala kemungkinan.
"Heaaa...!"
"Grrr...!" Pertarungan Pendekar Gila dengan lelaki buntung tak terelakkan. Tangan mereka beradu saling pukul dan tangkis. Lelaki buntung itu rupanya memiliki ilmu yang cukup tinggi. Selama sepuluh jurus pertama tokoh itu masih memperlihatkan kecepatan geraknya. Bahkan kini mampu mendesak pendekar Gila, dengan jurus-jurus anehnya. Si Penyair Maut itu kemudian menggeser kecapinya yang tersampir di punggungnya. Kemudian setelah membuat gerakan aneh, sambil memutar kecapi maut-nya, dengan cepat menyerang Pendekar Gila.
Wut! Wut! "Aits! Heaaa...!" Namun Pendekar Gila dengan cepat dapat mengelak. Tubuhnya melenting ke atas dan balik menyerang dengan tendangan kaki kanan ke dada lawan. Namun lelaki buntung itu begitu cepat tanggap terhadap serangan Pendekar Gila.
Prak! Lelaki buntung menangkis dengan kecapinya. Hingga tendangan Pendekar Gila hanya menghantam kecapi. Namun kecapi itu ternyata sangat kuat. Sedikit pun tak tampak kerusakan, apalagi pecah. Padahal jelas, tak mungkin Pendekar Gila meremehkan serangan itu.
Pendekar Gila agak heran, dia mendaratkan kakinya di tanah dan cepat membuka jurus 'Si Gila Mencengkeram Mangsa'. Tubuhnya agak membungkuk ke bawah, meliuk-liuk sambil tangannya mencengkeram ke tubuh lawan. Kakinya menyapu kaki lelaki buntung itu. Namun si Penyair Maut itu cepat melompat dan balik menyerang dengan menghantam kecapinya ke kepala Pendekar Gila yang masih merunduk. Untung Pendekar Gila segera menangkis dengan tangan kanannya.
"Hiaaa!" Prak! Prak! Tangan Pendekar Gila beradu dengan kecapi. Menimbulkan suara keras seperti beradunya dua kayu! Kemudian lelaki buntung itu nampak penasaran, digeser kembali kecapi mautnya ke belakang. Lalu secepat kilat bergerak dengan lincah, melancarkan serangan susulan pada Pendekar Gila dengan jurus 'Angin Manik'. Kedua tangannya bergerak mencengkeram. Kuku-kukunya yang panjang bagai kuku serigala, mengeluarkan asap beracun. Melihat hal itu, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Sakti-nya. Dan dengan cepat pula dia memutar suling itu, hingga mengeluarkan sinar hijau yang bergulung laksana banteng untuk menangkal asap beracun yang keluar dari kuku-kuku si Penyair Maut itu.
"Hah"!" lelaki buntung terkejut Matanya terbelalak melihat Suling Naga Sakti yang telah tergenggam di tangan kanan Pendekar Gila.
Lelaki buntung itu kemudian melompat mundur empat tombak. Lalu mengumpulkan tenaga dalamnya, disusul dengan menepukkan telapak tangannya dua kali.
Plak! Plak! "Heaaa...!" Si Penyair Maut melesat menyerang dengan menghantarkan pukulan tangan kanan, yang mengeluarkan api....
Wesss! Glarrr! Pukulan itu tak mengenai sasaran, tapi menghantam batang pohon. Suara ledakan keras terdengar mengiringi robohnya pohon besar itu.
Begitu dahsyat pukulan si Penyair Maut. Kalau yang terhantam tubuh manusia, niscaya hancur berkeping-keping. Melihat serangannya gagal, lelaki berpakaian serba merah itu tak tinggal diam, justru semakin ganas melakukan serangan. Seakan tak ingin memberikan kesempatan pada lawan untuk sedikit pun mengeluarkan jurus andalannya. Kini kedua tokoh berilmu tinggi itu sudah berubah jadi bayangan yang menggulung-gulung, karena kecepatan gerak yang mereka lakukan.
Keduanya langsung menangkis dan menghantam dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa.
"Heaaa...!"
"Glarrr...!" Suara menggelegar terdengar, karena beradunya dua kekuatan tenaga dalam. Baik tubuh Pendekar Gila maupun si Penyair Maut terlempar ke belakang. Namun sama-sama mendarat ke tanah dengan mulus dan siap dengan kuda-kuda masing-masing. Pendekar Gila nyengir, sambil menyelipkan kembali suling Naga Saktinya, namun tetap waspada. Dirinya tak ingin cepat-cepat menaklukkan lelaki buntung itu dengan senjata andalannya.
Ternyata Sena memang tak ingin melukai lelaki berambut panjang tanpa kaki itu.
Si Penyair Maut tampaknya merasa penasaran. Dengan cepat tubuhnya melompat bagai macan kumbang menerkam mangsa, menyerang pemuda tampan di depannya.
Namun Pendekar Gila telah siap. Dengan jurus 'Inti Bayu', pendekar muda itu menghentakkan tangan kanannya yang mengeluarkan deru angin kencang laksana badai. Suatu kekuatan yang mampu menerbangkan batu sebesar gajah sekali pun. Maka ketika angin itu melesat dan menerjang ke arah lawan, lelaki buntung itu terlontar deras ke belakang dua puluh tombak, lalu jatuh membentur batang-batang pepohonan yang tampak meranggas tanpa daun.
Brakkk! "Ukh...!" lelaki buntung memekik tertahan, "Kalau aku teruskan akan membawa bencana ba-gi diriku sendiri. Aku tak ingin mati, sebelum berhasil membunuh Beruk Singgala...," gumamnya sambil merasakan sakit di dadanya. Pendekar Gila cepat bergerak mendekati.
Namun begitu sampai, lelaki buntung telah hilang, entah sejak kapan. Pendekar Gila, cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Mei Lie yang sejak tadi terpesona melihat pertarungan kekasihnya melawan lelaki buntung itu, segera menghampiri Sena yang masih tak mengerti. Ke mana lelaki buntung itu tadi.
"Aneh! Begitu cepat dia pergi,..," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ke mana dia, Kakang?" tanya Mei Lie sambil matanya menyapu sekeliling tempat angker itu. Tak terlihat tanda-tanda adanya lelaki buntung tadi.
"Kenapa dia tak mau meneruskan pertarungan..." Aneh!" kata Sena lagi tak mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng dengan mulut cengarcengir.
"Mungkin dia merasa tak mampu menghadapi Kakang. Sebaiknya kita pergi dari tempat terkutuk dan menyeramkan ini, Kakang!" ajak Mei Lie. Gadis cantik itu membalikkan tubuh, tangannya menggapai lengan Sena. Dan keduanya melangkah meninggalkan tempat yang bagai alam gaib itu.
***
"Kakang, apakah tak sebaiknya kita menuju bekas Padepokan Gunung Talang saja?" usul Mei Lie tiba-tiba.
"Hm?" gumam Sena sambil menggarukgaruk kepala, "Boleh juga gagasanmu. Tapi lebih baik kita melihat dulu keadaan Kadipaten Galih Putih. Aku sudah bosan ke tempat-tempat yang belum jelas dan angker...," jawab Sena seenaknya. Mulutnya cengengesan sambil menggaruk- garuk kepala. Mei Lie hanya bisa mengangkat kedua bahunya, lalu menghela napas panjang. Keduanya terus melangkah melewati jalan setapak di tepi sebuah sungai yang cukup besar dan panjang serta berliku-liku.
Ternyata di halaman Kadipaten Galih Putih sedang diadakan pergelaran Tayub, semacam tarian ronggeng. Pangeran Sasanadipa dan para prajurit menyaksikan, dengan melingkari halaman kadipaten. Suasana tampak meriah sekali.
Seorang penari Tayub yang cantik dan bertubuh menggairahkan sedang menari mengikuti alunan gamelan yang dimainkan para penabuhnya.
Di antara beberapa wanita penari Tayub, nampak satu yang tampil berbeda. Wajahnya yang cantik dengan tubuh sintal dan menggairahkan, membuat para penonton lebih tertarik pada wanita itu. Tak terkecuali sang Pangeran yang tampak kagum menyaksikan lenggaklenggok penari berkebaya merah jambu itu.
Gamelan terus mengalun, gendang pun bersahutan dan menghentak-hentak keras mengimbangi bunyi gamelan lain. Penari semakin semangat bergoyang pinggul. Membuat Pangeran Sasanadipa tersenyum-senyum dan bertepuk tangan. Para pengawal dan prajurit tak tahan untuk turun ikut menari. Gaya mereka beraneka ragam dan lucu.
"Baru kali ini aku melihat penari Tayub secantik itu...!" gumam Pangeran Sasanadipa sambil menggeleng kepala. Para selir yang mengapit- nya mencibir dan cemberut, mendengar gumam sang Pangeran. Malam semakin larut, tayuban terus berlangsung. Sebagian prajurit dan pengawal sudah mulai mabuk, karena arak. Demikian pula dengan sang Pangeran.
Pada saat itu Pendekar Gila dan Mei Lie telah sampai. Keduanya pun berbaur dengan para prajurit dan penduduk kadipaten. Sena dan Mei Lie mengamati orang-orang yang menari dengan penari Tayub. Pendekar Gila nampak tertawatawa sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu berdecak kagum.
"Ck, ck, ck...!"
"Huuu...!" Mei Lie yang melihat kekasihnya merasa kagum dan berdecak, jadi cemberut dan kesal. Namun, kemudian matanya menatap tajam salah seorang penari Tayub yang sepertinya dia kenal.
"Hah"! Perempuan itu...?" gumam Mei Lie, begitu melihat penari Tayub paling cantik.
"Kakang...! Coba, apa kau masih ingat. Lihat penari yang memakai baju merah jambu itu!" ujar Mei Lie pada Sena.
Pendekar Gila yang masih menggarukgaruk kepala dan cengengesan segera memalingkan pandangan ke penari yang berkebaya merah jambu. Wanita itu sedang berlenggak-lenggok di depan Pangeran Sasanadipa yang terpesona.
"Hi hi hi...!" Sena hanya tertawa-tawa. Lalu menoleh ke wajah Mei Lie sambil mengangguk. Menandakan bahwa dia masih mengenali wanita itu.
"Perempuan yang kita pergoki beberapa hari lalu. Siapa dia sebenarnya...?" tanya Mei Lie pelan. Matanya terus mengawasi penari berkebaya merah jambu itu. Wajahnya menyiratkan rasa mendendam terhadap wanita itu. Karena wanita itu pernah dibiarkan pergi oleh Sena.
Sementara itu para penabuh gamelan semakin bersemangat, ketika Pangeran Sasanadipa turun menari bersama penari berkebaya merah jambu itu, yang ternyata Dewi Sukmalelana. Pangeran Sasanadipa yang sudah setengah mabuk, menari dengan sedikit sempoyongan dan selalu ingin memeluk penari Tayub itu. Gaya sang Pangeran membuat semua orang tertawa geli, melihat pangerannya yang terkadang hampir jatuh. Namun, si penari segera menahan sambil memeluknya. Pangeran nampak senang. Para selir yang melihat itu mencibir cemburu.
Pada saat suasana penuh tawa riang itu berlangsung, tiba-tiba berubah menjadi ketegangan yang luar biasa, ketika dua orang lelaki muncul di tengah-tengah arena.
Kedatangan mereka yang bagai makhluk halus muncul secara tibatiba. Hal itu menunjukkan bawah kedua lelaki itu memiliki ilmu yang sangat tinggi "Ha ha ha...! Pangeran edan! Dia malah senang-senang berpesta pora. Padahal ketiga temanku mati...!" seru lelaki bertubuh tinggi agak kurus dan berhidung mancung ke bawah, seperti paruh betet. Pakaiannya yang berbentuk jubah panjang berwarna hitam legam. Rambutnya yang hitam dibiarkan terurai panjang. Dengan tatapan mata tajam yang merah memandang setiap orang yang ada di tempat itu. Dialah Beruk Singgala! Seketika gamelan berhenti. Para penari pun ketakutan lari bersembunyi di antara penonton. Hanya satu penari berbaju merah jambu yang nampak tak merasa takut. Bahkan matanya menatap tajam kedua tokoh sesat itu.
Sedangkan sang Pangeran yang sudah setengah mabuk, hanya bisa diam dan tak berani berucap sepatah kata pun.
"Pangeran yang gila perempuan ini sebaiknya kita bereskan saja, Kakang Beruk. Sudah tak ada gunanya lagi. Bukankah rencana kita memang untuk menguasai kadipaten dan seluruh kekuasaannya?" seru Danur Saka dengan suara lantang sambil memegang leher Pangeran Sasanadipa.
"Edan! Benar-benar edan! Seorang pangeran bisa dipermainkan orang-orang macam itu...!" gumam Mei Lie dengan geram, "Siapa mereka itu, Kakang...?" tanya Mei Lie kemudian.
"Hi hi hi... lucu! Dunia memang sudah terbalik. Seorang pangeran bisa dipermainkan!' Sena tak menjawab pertanyaan Mei Lie. Mulutnya bergumam sendiri sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kakang, sebaiknya kita turun tangan! Aku muak melihat ada orang yang sok jago!" tukas Mei Lie geram.
"Tenang, Mei! Kedua lelaki itu aku rasa kawanan Partai Panca Siwara. Kita harus hatihati! Sebab kita tak punya urusan atau pertikaian dengan mereka...!" cegah Sena.
Sementara itu, Danur Saka mendekati penari berkebaya merah jambu yang tak lain Dewi Sukmalelana. Lelaki setengah baya bertelanjang dada itu dengan seenaknya memeluk dan meraba-raba dada Dewi Sukmalelana sambil tertawatawa. Semua orang tak berani berbuat sesuatu.
Mereka semua diam terpaku bagai patung.
"Ha ha ha...! Kau penari Tayub tercantik dan menarik yang pernah kutemui, Cah Ayu. Ha ha ha...! Aku ingin kau layani aku, Manis. Ayo, main gamelan dan gendang!" perintah Danur Sa-ka.
Sementara Beruk Singgala telah duduk di kursi sang Pangeran, bersama para selir pangeran. Sedangkan pangeran sendiri sudah tak kuasa menahan pusing di kepalanya. Karena terlalu banyak menenggak arak.
Gamelan mulai mengalun lagi. Danur Saka dengan penuh bersemangat menari bersama Dewi Sukmalelana. Tarian yang dilakukan Danur Saka tampak konyol dan kurang ajar. Namun Dewi Sukmalelana yang sebenarnya telah menahan dendam tampak masih sempat tersenyumsenyum manis. Dan bahkan dengan berani, mengimbangi Danur Saka yang bertingkah konyol dan kotor itu. Danur Saka semakin menggila. Hatinya larut dalam keasyikan.
"Aneh! Kenapa perempuan itu malah mela deninya...?" gumam Mei Lie lirih.
"Ssst.., tenang! Perhatikan gerakan perempuan itu! Bukan lagi gerakan tari Tayub, melainkan gerakan silat yang terselubung! Sukar dilihat dengan mata biasa..." ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala cengengesan.
Mei Lie mengerutkan kening. Lalu mengangguk karena telah mengerti.
Benar, gerakan tari Dewi Sukmalelana sesekali telah berubah dengan gerakan silat yang begitu halus. Hingga tak dirasakan oleh Danur Saka yang sudah tergiur kecantikan dan kemolekan tubuh Dewi Sukmalelana.
Plak! Plak! Dua tamparan tangan kanan Dewi Sukmalelana mendarat tepat ke wajah Danur Saka. Tidak terlalu keras.
"Eits! He he he... ooo... ha ha ha! Kau nak-al, Cah Ayu...!" gumam Danur Saka masih belum mengerti gelagat Dewi Sukmalelana. Lelaki berpe-rut buncit bertelanjang dada itu malah mendekatkan wajah serta menempelkan badan ke perempuan itu. Gamelan terus terdengar semakin semangat Danur Saka benar-benar lupa diri, hingga tak menyadari kalau penari pasangannya tengah me-nunggu waktu tepat untuk membunuhnya. Dan tiba-tiba....
"Ukh...!" Danur Saka terpekik sambil memegangi dada. Tubuhnya terhuyung ke belakang lima tombak. Rupanya Dewi Sukmalelana yang sudah tak tahan menahan dendamnya, telah bertindak dengan gerakan yang tak tertangkap mata siapa pun. Beruk Singgala yang sedang asyik menggantikan kedudukan pangeran yang bercumbu dengan para selir, kaget melihat Danur Saka terhuyung. Lelaki berjubah hitam itu serta-merta bangkit berdiri. Matanya menyipit memandangi Dewi Sukmalelana.
Perempuan cantik yang pandai menyamar itu dengan cepat menghajar Danur Saka yang belum pulih dari rasa sakit di dadanya. Dengan gerakan seperti menari, Dewi Sukmalelana meliukliuk lalu melompat dan menendang dengan kaki kanannya ke kepala Danur Saka.
"Heaaat..!"
"Aaaukh...!" Danur Saka menjerit keras. Tubuhnya melintir, kena tendangan kaki Dewi Sukmalelana.
Beruk Singgala yang melihat itu segera melenting ke udara untuk menghadang serangan Dewi Sukmalelana yang akan disarangkan ke tubuh kawannya.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!" Glar! Pukulan jarak jauh Dewi Sukmalelana beradu dengan telapak tangan Beruk Singgala, menimbulkan percikan sinar perak dan kemerahan.
Baik Beruk Singgala maupun Dewi Sukmalelana terpental ke belakang. Namun sama-sama tak tergoyahkan keduanya berdiri tegap. Sementara itu Danur Saka yang sudah mulai pulih dengan geram ingin menyerang Dewi Sukmalelana.
Namun Beruk Singgala menahannya.
"Sabar! Kita harus tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Dan kenapa ingin membunuhmu," ujar Beruk Singgalang.
"Hi hi hi...! Kalian manusia-manusia terkutuk...!" maki Dewi Sukmalelana sinis sambil menuding Beruk Singgala dan Danur Saka. Sementara itu para prajurit serta penonton mulai ketakutan dan menyebar. Ada pula yang lari, menjauhi tempat itu. Sedangkan Pangeran Sasanadipa pingsan karena mabuk. Para selir pun berhamburan pergi masuk ke kadipaten. Hanya sebagian prajurit dan pengawal kadipaten yang masih berada di halaman itu.
"Hm...! Perempuan cantik ini ternyata sangat cerdik. Menyamar sebagai penari Tayub. Lalu ingin membunuh. Siapa kau sebenarnya, Perempuan Jalang"!" seru Beruk Singgala geram.
"Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang pasti aku ingin melenyapkan kalian berdua sekarang juga!" Selesai berkata demikian, Dewi Sukmalelana segera mengeluarkan jurus pembuka. Namun Beruk Singgala dengan cepat pula mengerahkan ilmu sihirnya. Setelah ditepukkan tiga kali, telapak tangannya dihentakkan dengan keras ke depan. Seketika muncullah makhluk-makhluk kecil seperti tuyul dari tubuhnya. Makhluk kecil yang berjumlah puluhan itu mempunyai taring dan bertelinga panjang.
Dewi Sukmalelana tampak kaget melihat hal itu. Namun dengan cepat dia mengeluarkan ilmu perubah raga. Seketika wajahnya berubah menyeramkan dan tubuhnya tiba-tiba berubah membesar. Bagai raksasa perempuan.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang menyaksikan hal itu hanya geleng-geleng kepala. Makhlukmakhluk kecil seperti tuyul dan bertaring itu menyerang Dewi Sukmalelana yang bertubuh raksasa. Seperti haus darah makhluk-makhluk kecil berkepala botak itu menggigit tubuh mangsanya.
Namun Dewi Sukmalelana masih dapat menahannya. Dan bahkan satu persatu tuyul-tuyul berkuping panjang itu dapat dibunuhnya. Walaupun tubuhnya sebagian sudah kena gigitan hingga tampak tercabik-cabik.
Namun karena jumlahnya puluhan dan seperti tak pernah habis tubuh Dewi Sukmalelana mulai terseret, seperti tak mampu mempertahankan diri. Apalagi sudah banyak darah yang terhisap serta berceceran dari luka-luka di tubuhnya.
Tanah di pekitaran kadipaten itu seketika dipenuhi bercak-bercak darah yang terus menetes dari tubuh Dewi Sukmalelana. Orang-orang yang menyaksikan kejadian aneh itu tampak merinding dan ketakutan. Ada yang berlari. Ada pula yang bertahan sambil menutupi kedua mata.
"Ayo anak-anakku, serap dia, lemahkan ilmunya! Habisi dia...!" seru Beruk Singgala sambil terus membaca mantera sihirnya. Kedua tangannya dihentakkan ke depan.
"Kik kik kik...!" Suara makhluk-makhluk aneh itu terdengar menyebalkan Dewi Sukmalelana. Semakin lama suara mengikik itu semakin ramai. Orangorang menutup telinga sambil memejamkan mata, tak tahan menyaksikan kejadian menggiriskan itu.
"Kurang ajar ilmu sihir apa ini! Begitu tangguh. Oooh..., Kakang, tolonglah aku, Kakang Brajasukmana...!" keluh Dewi Sukmalelana sambil terus bertahan. Membanting dan menendang tuyul-tuyul penghisap darah yang terus menyerangnya. Kini makhluk-makhluk itu seperti tak kunjung habis. Terus mengurung Dewi Sukmalelana. Lalu tiba-tiba secara bersama-sama, puluhan makhluk-makhluk botak itu melompat menyerang Dewi Sukmalelana.
"Kik kik kik..."
"Ooo...! Aaauuuwww...!" Gigitan dan cakaran mereka terus merusak tubuh Dewi Sukmalelana. Hingga tubuh raksasa wanita itu mulai goyah karena tenaganya terus terkuras. Darah mengucur hampir dari seluruh tubuhnya. Namun anehnya, darah itu berwarna kuning. Hal itu tentu saja membuat Beruk Singgala mengerutkan kening keheranan.
"Hah"! Edan! Perempuan itu bukan manusia.... Apa mataku tak salah lihat" Darah itu...
kuning...!" gumam Beruk Singgala dengan mata terbelalak.
Tiba-tiba Dewi Sukmalelana seperti mendapat tenaga dari luar. Dia berteriak keras, sambil menghentakkan kedua tangannya. Dan puluhan makhluk yang menyerangnya terlempar dan kemudian diinjak-injaknya satu persatu.
Melihat itu Beruk Singgala semakin kaget Dengan cepat dia mengeluarkan ilmu sihirnya yang lebih dahsyat. Dari kukunya keluar serbuk beracun. Namun Dewi Sukmalelana sudah siap.
Wanita bertubuh raksasa itu segera melawan dengan rambutnya yang menjulur panjang tak terbatas. Rambut itu memapaki serbuk yang mengandung racun kematian. Ketika rambutnya yang memanjang dikibaskan serbuk itu terhempas. Namun kemudian bergulung-gulung seakanakan tengah bertarung melawan rambut Dewi Sukmalelana yang menyambar ke sana kemari Brets! Brets! "Aaakh...!" Wut! Wut! Wut...! Rambut Dewi Sukmalelana kini menghantam kedua tokoh sesat itu. Teriakan dan jeritan terdengar dari Beruk Singgala dan Danur Saka yang terhantam rambut wanita itu. Namun hal itu tampaknya tak membahayakan kedua anggota Partai Panca Siwara. Dalam sekejap, Beruk Singgala balik menyerang dengan mengeluarkan kembali makhluk aneh dengan ilmu sihirnya.
Dimulai dengan datangnya angin kencang, terdengar suara tawa aneh dan mendesis-desis.
Disusul kepulan asap hitam bercampur ungu, bergulung-gulung, lalu menjelma menjadi sesosok makhluk aneh, dari kepala sampai batas pinggang berwujud perempuan, dengan mata menyala merah dan mulut bertaring. Sedangkan dari pinggang ke bawah berwujud badan ular naga. Mulutnya terdengar mendesis-desis.
Dewi Sukmalelana nampak mulai mengerahkan seluruh kekuatan. Sama-sama menggunakan ilmu gaib.
Namun, rupanya ada orang yang tak ingin pertarungan ilmu sihir itu berlanjut. Tiba-tiba dua sosok manusia melenting ke udara dan dengan cepat mendarat di antara kedua makhluk itu.
Mereka ternyata Pendekar Gila dan Mei Lie. Setelah mendarat Pendekar Gila segera mengeluarkan aji 'Tamparan Sukma'. Sebuah ilmu yang mampu menghancurkan ilmu sihir dan bangsa siluman.
"Heaaa...!" Wut! Glarrr! Glarrr...! Pukulan Pendekar Gila ke arah kedua siluman itu menimbulkan ledakan dan bias cahaya keperakan. Seketika dua makhluk aneh jelmaan Dewi Sukmalelana dan makhluk ciptaan ilmu sihir Beruk Singgala, hancur lalu lenyap bersama ledakan itu. Sedangkan Mei Lie siap dengan Pedang Bidadari-nya untuk menyambut serangan Beruk Singgala atau Danur Saka.
Keadaan semakin kacau balau. Para prajurit yang melihat kejadian itu ketakutan dan lari untuk menyelamatkan diri masing-masing. Dugaan Mei Lie benar. Beruk Singgala dan Danur Saka yang kurang senang dengan ikut campurnya Pendekar Gila menjadi marah. Sementara itu Dewi Sukmalelana cepat menghilang, ketika tahu kalau Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa datang membelanya. Sebab Dewi Sukmalelana tak ingin kedua pendekar mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Kau rupanya Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa! Kalian telah menghalangi usahaku untuk membunuh perempuan iblis itu! Heaaa...!" Beruk Singgala langsung menyerang Mei lie dengan serbuk beracun yang dikeluarkan dari kuku-kuku runcingnya. Namun gadis cantik itu cepat mengelak dengan melenting ke atas dan bersalto beberapa kali. Setelah melewati kepala Beruk Singgala, dengan mulus Mei Lie mendarat di tanah. Kemudian langsung membuka jurus pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena babatan pedangnya akan mengalami keanehan.
Tubuhnya tak menampakkan luka. Namun jika tertiup angin, maka langsung hancur menjadi debu. Beruk Singgala dan Danur Saka tersentak menyaksikan jurus yang aneh dan terkenal itu.
Keduanya tampak tegang menyaksikan jurus yang diperagakan Bidadari Pancabut Nyawa. Namun karena yakin ilmu sihirnya. Beruk Singgala kembali memejamkan mata untuk memusatkan diri dan membaca mantera, mencipta sihir.
Pendekar Gila yang sejak tadi hanya memperhatikan kekasihnya, bergerak mulai ikut campur. Dengan cepat dirinya mengeluarkan ilmu 'Tamparan Sukma' Tamparan itu mengerahkan kekuatan sukma atau jiwa. Gerakannya nampak lambat, namun hasilnya sangat dahsyat.
"Heaaa...!" Jlgarrr...! "Aaa...!" Beruk Singgala yang belum sempat berhasil mengeluarkan sihirnya, menjerit keras. Tubuhnya melintir bagai terbakar. Dan Danur Saka, yang melihat itu, tersentak kaget. Wajahnya yang beringas berubah pucat.
Kemudian tanpa menghiraukan kawannya, segera lari meninggalkan pertempuran.
"Tak mungkin aku mampu menghadapi Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa...," gumam Danur Saka sambil terus melesat karena ketakutan. Sementara Beruk Singgala masih menjeritjerit. Ketika Mei Lie akan membabatkan Pedang Bidadari-nya, lelaki tua berjubah hitam itu tiba-tiba menghilang.
"Hah..."!" Mei Lie mendengus kesal. Namun tetap waspada dengan pedang saktinya.
"Aneh! Ke mana manusia itu"!"
"Hi hi hi..!" Sena hanya tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa Kakang tertawa...?" kata Mei Lie kesal.
"Biarlah dia pergi! Cepat atau lambat dia akan menemui ajalnya," kata Sena memberi tahu Mei Lie.
Mei Lie hanya cemberut. Hatinya benarbenar kesal karena tak berhasil membunuh tokoh-tokoh sesat itu.
"Sudahlah, sebaiknya kita pulihkan pikiran dan tubuh Kanjeng Pangeran. Setuju?" Mei Lie hanya mengangguk. Lalu melangkah mengikuti Sena menuju bangunan besar dan megah, tempat kediaman Pangeran Sasanadipa.
Orang-orang ternyata menyambut Sena dan Mei Lie dengan penuh hormat
┐┌:::¦ 5 ¦:::┐┌
"Kau terlalu ceroboh! Kenapa kau bertindak tanpa memberi tahu, atau minta izinku..."! Kau telah mengacaukan rencanaku. Sekarang Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa pasti akan terus mencari tahu siapa kita sebenarnya.
Aku tak mau hal itu terjadi. Biar Pendekar Gila tahu siapa kita, setelah kita dapat memusnahkan orang-orang yang pernah menghancurkan kita...!" Suara itu ternyata keluar dari mulut sesosok lelaki berambut panjang dan berpakaian serba merah. Tangannya mendekap sebuah kecapi.
Lelaki bertubuh gagah, tapi tanpa kaki itu tak lain si Penyair Maut Wajahnya tampak lebih jelas karena rambut yang biasanya menutupi, kini agak teratur. Raut wajahnya menyiratkan perasaan duka yang mendalam. Tak tampak sedikit pun gambaran bahwa lelaki berpakaian serba merah itu seorang yang berhati keras atau jahat "Maafkan aku, Kakang! Tapi maksudku agar Kakang tidak terlalu repot-repot lagi. Aku tak mau Kakang mendapat celaka...," jawab wanita cantik berkain penutup dada warna hijau.
"Aku mengerti. Tapi kau terlalu ceroboh! Dan karena kecerobohanmu itu, aku sempat bentrok dengan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa. Karena ulahmu, kedua pendekar muda itu kini menyelidiki kita...! Itu yang membuat aku marah dan kesal," tambah Brajasukmana, lelaki buntung itu.
Kemudian, lelaki buntung itu duduk di sebuah kursi tua, terbuat dari kayu jati. Disandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan menghela napas dalam-dalam.
"Kakang, aku kira Pendekar Gila tidak bermaksud buruk terhadap kita. Tadi aku sempat ditolongnya. Kenapa Kakang mesti cemas...?" tukas wanita muda yang ternyata Dewi Sukmalela- na.
"Sudah kukatakan. Aku tidak mau orang lain ikut campur dengan urusan kita. Urusanku! Bila Pendekar Gila masih saja mau menyelidiki ki-ta, aku terpaksa melawannya.
Tapi sebelumnya, aku akan membunuh Beruk Singgala dan Danur Saka itu terlebih dulu. Kepalang basah! Bila perlu Kadipaten Galih Putih kuhancurkan!" Brajasukmana nampak sangat kesal dan murka. Sikapnya yang sebenarnya tenang mendadak berubah. Dewi Sukmalelana heran dan kaget mendengar ucapan lelaki buntung itu.
"Kakang, apa ucapanmu itu benar-benar akan kau wujudkan" Atau hanya menutupi kemarahanmu padaku...?" tanya Dewi Sukmalelana.
"Akan kubuktikan ucapanku, jika memang keadaan memungkinkan bagi kita," jawab Brajasukmana dengan mantap.
Dewi Sukmalelana hanya menghela napas panjang, memandangi suaminya dengan tatapan mata sendu. Sesaat keduanya diam. Tak sepatah kata pun terdengar suara mereka. Seakan keduanya hanya bicara pada diri masing-masing.
"Aku minta biar dalam keadaan bagaimanapun, jangan kau membuka rahasia kita, Dewi! Yang penting kita sekarang harus cepat membunuh Beruk Singgala dan Danur Saka, agar dendam kita terbalas dengan tuntas. Urusan Pendekar Gila dan Kadipaten Galih Putih nomor dua! Ayo, kita berangkat mencari Beruk Singgala dan Danur Saka! Aku sudah tak sabar lagi, ingin menghisap darahnya!" kata si Penyair Maut dengan geram. Lalu bangkit dari duduknya dan melesat keluar dari rumah tua itu. Diikuti Dewi Sukmalelana yang nampak kurang bersemangat.
***
Ruangan itu dipenuhi dengan tengkoraktengkorak manusia dan macam-macam binatang.
Bau kemenyan dan dupa menyengat hidung.
Beruk Singgala duduk bersila, menghadapi tempat kemenyan. Mulutnya komat-kamit, seperti membaca mantera. Asap dari pendupaan itu mengepulkan asap putih.
"Kita tidak boleh mendiamkan keadaan seperti ini lebih lama lagi, Kakang Beruk. Kita harus segera kembali ke kadipaten, sebelum Pendekar Gila mempengaruhi pangeran. Bisa kacau rencana kita! Apa pun yang terjadi, aku sudah siap sekarang. Demi kawan-kawan kita yang telah binasa, dibunuh orang yang belum jelas bagi kita," ka-ta Danur Saka dengan nada geram.
"Ya. Kau benar. Kita harus mengadakan perhitungan dengan Pendekar Gila dan kekasihnya. Aku ingin mencicipi tubuh gadis Cina itu.
Pasti lezat! He he he...!" sahut Beruk Singgala.
"Kau bicara soal perempuan saja. Kali ini kita tak boleh meremehkan siapa pun. Apalagi Pendekar Gila. Kau nanti bisa celaka sendiri, Kakang Beruk," tukas Danur Saka mengingatkan Beruk Singgala.
"Ha ha ha...! Kau benar, Kawan. Tapi akan kubikin gadis itu tunduk padaku. Dengan mantera pengasihan ini, gadis mana pun akan selalu tertarik kepadaku. Ha ha ha...!" Beruk Singgala nampak yakin, bahwa dirinya akan dapat memanggil Mei Lie, dengan ilmu sihir dan peletnya. Dia terus memasukkan kemenyan ke dalam dupa. Asap pun kembali mengepul ke udara. Danur Saka nampak kurang suka, sebab ada firasat yang tak enak dirasakan dalam hatinya. Dirinya tahu bahwa Pendekar Gila maupun Mei Lie, memiliki ilmu yang mampu menangkal sihir atau teluh. Maka itu dia tak yakin pada usaha Beruk Singgala.
Benar. Belum sempat Beruk Singgala berhasil mendatangkan Mei Lie dengan manteramantera setannya, tiba-tiba markasnya berguncang. Bagai kena gempa bumi. Lalu disusul suara ledakan menggetegar.
Brakkk! Glarrr...! Beruk Singgala tersentak kaget. Pikirannya yang terpusat mengerahkan ilmu sihir, terganggu.
Wajahnya merah dengan mata membelalak karena marah.
"Ada apa di luar...?" tanyanya pada Danur Saka yang juga memasang telinga.
"Aku tak tahu! Yang jelas ada orang asing mendekati markas kita. Sebaiknya hentikan itu.
Ayo kita keluar!" sahut Danur Saka lalu bangkit.
Beruk Singgala berpikir sejenak dengan wajah kesal dan geram. Lalu bangkit dari duduknya, sambil membanting kemenyan di tangan kanannya.
"Huh!" Sementara di luar mendung tebal menutup langit. Awan hitam berarak-arak. Angin kencang bertiup, seakan hendak menghempaskan apa saja yang ada. Menambah sore hari itu semakin mencekam. Sepi dan sunyi.
"Hah"! Pohon di sebelah sana roboh dan terlempar. Aneh...!" sentak Danur Saka sambil mengerutkan kening. Matanya segera menyapu sekeliling tempat itu dengan tatapan tajam.
Beruk Singgala memilin kumisnya dengan tangan kiri. Matanya yang bagai mata elang dengan tajam memandang dan melirik ke kiri dan kanannya.
"Hm...! Ada apa kiranya" Perasaanku tibatiba kurang enak." Beruk Singgala melangkah mendekati pohon yang roboh itu.
Tiba-tiba terdengar alunan syair dari mulut seseorang. Suara itu terdengar dari tempat yang tak jauh. Namun tak tahu siapa yang mengucapkannya. Hal itu membuat Beruk Singgala dan Danur Saka tersentak kaget bukan main. Keduanya saling pandang, lalu segera berpencar, mencari tempat asal suara syair itu.
Kidung Kehidupan Pertama Kali Dia Hadir Tetesan Darah Akan Tiba Hitung Budi Dibayar Budi Hutang Nyawa Dibayar Nyawa Hutang Pati Harus Dibayar Pati...
Mendengar syair maut itu Danur Saka merasa kaget. Sedangkan Beruk Singgala berusaha untuk mengumpulkan ilmu sihirnya. Sesaat kemudian terdengar suara petikan kecapi melengking nyaring, sampai memekakkan telinga. Nadanya sangat mengenaskan, membuat Beruk Singgala dan Danur Saka terperangah. Suara kecapi itu semakin lama semakin keras. Mendung pun semakin gelap menambah suasana tercekam.
"Aneh!" gumam Beruk Singgala heran, "Aku tak dapat menggunakan ilmuku...!" Beruk Singgala dan Danur Saka memasang telinga dan matanya tajam. Mencari siapa yang telah membawakan syair tersebut. Namun belum sempat Danur Saka dan Beruk Singgala tahu, tiba-tiba sesosok bayangan merah berkelebat begitu cepat laksana terbang. Dan....
Wrt! Cras! Cras! "Aaakh...!" Begitu cepat bayangan itu melesat melancarkan serangan terhadap Danur Saka dan Beruk Singgala. Sehingga keduanya tak sempat menangkis atau mengelak. Seketika itu pula, keduanya menjerit setinggi langit. Tangan mereka menutupi wajah yang mengucurkan darah. Tubuh Danur Saka seketika ambruk tanpa nyawa. Sedangkan Beruk Singgala masih beruntung, hanya terluka bagian dadanya. Dengan gerak cepat Beruk Singgala mengumpulkan tenaga dalam-nya.
"Kurang ajar!" maki Beruk Singgala, "Siapa kau, manusia atau hantu..."!"
"Beruk Singgala, kau manusia paling busuk di dunia! Sekarang bersiaplah berangkat ke akherat..!" ujar lelaki berpakaian merah yang tak lain Brajasukmana. Senyum sinis mengembang di bibir lelaki buntung itu. Kemudian kembali bersyair. Kali ini bersahut-sahutan dengan Dewi Sukmalelana yang tiba-tiba muncul di belakang Beruk Singgala.
"Hah..."!" Beruk Singgala kaget, ketika menoleh ke belakang, melihat Dewi Sukmalelana menyeringai seram. Giginya bertaring. Wajahnya tidak secantik ketika menjadi penari Tayub.
Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuh Beruk Singgala. Napasnya naik turun dengan cepat, menandakan rasa takut yang tak terkira.
"Kau, Perempuan Iblis..."! Jadi kau memang sudah merencanakan untuk membunuhku...!" seru Beruk Singgala coba berkata keras, untuk menutupi ketakutannya.
"Hi hi hi...! Ya, Manusia Terkutuk! Kini ajalmu tinggal hampir tiba. Hi hi hi...! Kakang, tua bangka ini sebaiknya kuserahkan pada Kakang saja. Aku ingin menyaksikan dia mati di tanganmu, Hi hi hi...!" Selesai berkata begitu Dewi Sukmalelana menghilang. Hanya tawanya yang masih terdengar, mengerikan. Sekujur tubuh Beruk Singgala semakin basah oleh keringatnya, karena menahan rasa takut yang amat sangat.
"He he he.., Beruk Singgala! Orang macam kau tak perlu cepat-cepat kumatikan. Aku ingin mengajak kau main-main dulu. Kalau aku mau membunuhmu, sudah dari tadi kau mampus...! He he he...," ujar si Penyair Maut sambil terkekeh sinis. Beruk Singgala tertegun sesaat. Hatinya menimbang-nimbang, untuk tidak melawan. Namun kesombongan dan karena merasa malu kalau lari dari lelaki buntung itu, memaksanya mengambil keputusan untuk bentrok dengan lelaki buntung. Walaupun dia sadar tak akan mudah mengalahkan lelaki buntung itu.
Tiba-tiba Brajasukmana atau si Penyair Maut mendengus. Matanya menatap garang pada Beruk Singgala. Kedua lutut, buntungnya terangkat ke atas bagai terbang. Sepasang tangannya yang tadi di dada perlahan-lahan bergerak turun.
Beruk Singgala bersurut mundur.
"Heaaat..!" Lelaki buntung membentak buas lalu hantamankan tangan kanannya ke tubuh lawan. Serangkum angin deras melesat menerjang Beruk Singgala. Namun lelaki berjubah hitam itu cepat menyingkir.
"Aku akan ladeni mainanmu, Orang Buntung...!" Wuts! "Heaaat..!" Kembali serangkum angin menyapu ganas.
Kali ini datang dari samping. Untuk kedua kalinya Beruk Singgala melompat dan berhasil selamatkan diri.
"He he he..., bagus kau masih bisa mengelak seranganku, Manusia Terkutuk! Kau boleh senang-senang dulu.... Ini baru permainan pembuka...," seru lelaki buntung dengan sinis, "Dewi, keluarlah! Mari kita beri pelajaran manusia terkutuk ini! Biar tambah ramai...!" Dewi Sukmalelana seketika muncul, dalam bentuk seperti biasa, cantik dan tersenyum lebar.
"Aku juga ingin perminan lebih seru, Kakang. Hi hi hi...!" Bersama Dewi Sukmalelana lelaki buntung atau si Penyair Maut itu menyerbu Beruk Singgala. Menghadapi satu saja belum tentu dapat mengalahkan, apalagi kini menghadapi dua sekaligus.
Terpaksalah Beruk Singgala bertindak cepat dan berhati-hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah, tak ampun lagi, serangan lawan pasti akan mencelakakannya. Bahkan nyawanya melayang! "Kalian curang...!" seru Beruk Singgala sambil berkelebat mengelak tiada hentinya. Melenting ke sana kemari. Berguling di tanah dan melompat ke atas pohon.
"He he he! Hebat juga si monyet ini...! Aku rasanya sudah tak sabar ingin menghisap darahnya. Mencincangnya, Dewi!"
┐┌:::¦ 6 ¦:::┐┌
Salah satu pukulan lelaki buntung tadi telah membuat tubuhnya terluka dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat atau lambat, maut pasti akan merenggut nyawanya. Karenanya Beruk Singgala sedapat mungkin harus berusaha mengintai kelengahan lawan, agar dapat menerobos keluar dari kurungan mereka lalu melarikan diri.
"Heaaat..!" Tiba-tiba Beruk Singgala melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua lawannya. Lalu disusul dengan serangan senjata rahasianya. Slats! Slats! Brajasukmana dan Dewi Sukmalelana melompat jauh untuk mengelakkan pukulan. Sedang untuk menangkis senjata rahasia itu, si Penyair Maut menggunakan kecapinya. Dewi Sukmalelana menggunakan rambutnya yang tiba-tiba berubah memanjang, menghalau senjata rahasia yang berbentuk bintang.
Gerakan-gerakan lawan inilah yang memang ditunggu Beruk Singgala. Melihat adanya kesempatan, tanpa membuang-buang waktu, Beruk Singgala dengan cepat memutar tubuh dan kabur.
"Kurang ajar! Rupanya keparat busuk itu tak boleh dikasih hati! Sekarang saatnya kita harus lenyapkan dia!" seru si Penyair Maut dengan geram. Keduanya cepat melesat memburu Beruk Singgala. Seketika Beruk Singgala tersentak kaget. Dirinya tak menyangka, kedua lawannya akan mampu mengejar. Karena merasa sudah kepalang basah, Beruk Singgala yang penasaran segera melepas pukulan ke arah kepala lelaki buntung. Sambil mendengus si Penyair Maut menangkis dengan kecapinya, lantas dengan cepat membalas dengan pukulan. Dua kepalan beradu hingga mengeluarkan suara keras. Beruk Singgala terpekik, tubuhnya terdorong sampai enam tombak ke belakang. Dan ketika diperhatikan tiga jari tangan kanannya telah hancur. Di depannya, ketika Beruk Singgala mengangkat muka, sudah berdiri tegak si Penyair Maut yang bertolak pinggang dan menyeringai, mengejek.
"He he he...! Apa kau masih berdoa untuk minta ampun pada Hyang Widhi" Supaya dosadosamu berkurang"!" tukas lelaki buntung sinis.
Beruk Singgala tak menjawab, bibirnya gemetaran. Wajahnya kaku. Matanya mulai menyipit, menahan rasa sakit, karena jari tangannya hancur. Dan mendadak Beruk Singgala mencabut keris dari dalam bajunya. Dengan gerakan cepat langsung menyerang lelaki buntung dengan menusukkan keris pusakanya.
Sinar kebiruan yang disertai angin panas, menyembur dari keris itu! "Heaaat...!" Namun, si Penyair Maut dan Dewi Sukmalelana cepat tanggap. Keduanya melompat mundur sambil menangkis dengan kecapi. Dewi Sukmalelana melepaskan ikat pinggangnya, yang ternyata berubah jadi amat panjang. Ikat pinggang dari kain warna merah hati itu melilit kedua tangan Beruk Singgala. Lalu Dewi Sukmalelana memutar-mutarnya dengan cepat, hingga tubuh Beruk Singgala berputar-putar seperti kipas.
"Aaauwww...! Aaauuuwww...!" Beruk Singgala menjerit-jerit. Namun Dewi Sukmalelana semakin cepat memutarnya. Dan lelaki buntung yang sejak tadi sudah tak dapat menahan dendam dan amarah. Maka, dengan cepat menyentakkan senar-senar kecapi. Senar-senar itu bagai hidup, menghantam wajah Beruk Singgala sampai berantakan, tak karuan. Beruk Singgala terus menjerit-jerit kesakitan.
"Habisi saja sekarang, Kakang!" seru Dewi Sukmalelana, lalu tertawa terbahakbahak. Si Penyair Maut kemudian menghantamkan kecapinya ke kepala Beruk Singgala. Kepala Beruk Singgala hancur. Belum cukup puas sampai di situ, lelaki buntung dan Dewi Sukmalelana menyayat seluruh tubuh Beruk Singgala dengan pisau! "Aku kini puas, puas! Ha ha ha...! Kini gili-ranku untuk menikmati kekuasaan," lelaki buntung itu kini berubah total perangainya. Mungkin karena menghisap darah dan memakan daging Beruk Singgala, manusia berilmu sihir yang disegani itu. Wajah lelaki buntung juga seketika berubah menyeramkan.
"Kakang, dendam kita sudah terbalas.
Mengapa harus menyakiti orang-orang yang tak ada dalam catatan kita" Lebih baik kita pergi jauh dari Kadipaten Galih Putih!" ujar Dewi Sukmalelana kurang setuju dengan rencana Brajasukmana.
"Hm...! Kau mulai jadi pengecut, Dewi. Aku benci orang pengecut! Kau tahu kita telah menderita cukup lama" Dan kita sudah alami siksaan batin menjadi orang yang selalu mengalah dan jujur. Kita diinjak-injak mereka yang jahat dan berkuasa. Mereka menghalalkan segala cara. Sampai kehancuran melanda Padepokan Gunung Talang! Apa kau sudah lupa..."!" tutur Brajasukmana.
Dewi Sukmalelana diam tak menjawab.
Hanya matanya yang bicara. Memandangi peringai suaminya, yang kini telah berubah.
"Kini aku ingin berkuasa. Dengan caraku.
Kalau kau mau ikut aku senang. Tapi kalau kau menolak, aku pun tak memaksa. Aku akan menantang siapa pun, termasuk Pendekar Gila. Jika dia menghalangi keinginanku. Ha ha ha.... Dan aku harus dapat kuasai Kadipaten Galih Putih!" tutur Brajasukmana dengan penuh keyakinan.
Lalu si Penyair Maut tertawa-tawa sambil melangkah meninggalkan tempat itu. Mayat Beruk Singgala dipanggulnya. Walaupun tubuhnya tidak normal, tapi Brajasukmana tak ada kesulitan memanggul mayat Beruk Singgala yang sudah tak utuh itu. Lalu melesat dan menghilang. Dewi Sukmalelana hanya memandangi dari belakang.
Lalu setelah berpikir, baru Dewi Sukmalelana juga melesat menyusul Brajasukmana, si Penyair Maut
***
Mereka mengerumuni mayat yang wajahnya rusak dan sebagian tubuhnya luka-luka gigitan.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang baru saja akan meninggalkan kadipaten, setelah menyembuhkan Pangeran Sasanadipa, terkejut mendengar teriakan itu. Segera keduanya kembali ke kadipaten.
"Aneh, tadi kita tak melihat mayat di pelataran itu..."!" gumam Mei Lie dengan mengerutkan kening. Para pengawal dan pangeran pun keluar.
Nampak wajah Pangeran Sasanadipa yang telah disembuhkan oleh Sena dengan menyalurkan tenaga dalam ke tubuh pangeran serta ajian 'Pemulih Saraf'. Pangeran Sasanadipa kini telah sembuh dari segala macam pengaruh ilmu sihir.
"Minggir..., pangeran akan lewat!" seru Adhitia, pengawal yang setia pada pangeran. Semua orang memberi jalan pada sang Pangeran. Sementara Sena dan Mei Lie pun telah sampai ke tempat itu.
"Oh, Sena, kukira kalian berdua sudah pergi...!" tegur sang Pangeran dengan ramah.
"Baru saja kami hendak pergi, tapi kami mendengar teriakan mereka, jadi kami kembali untuk melihat mayat ini, "jawab Sena, lalu menggaruk-garuk kepala. Matanya segera memperhatikan mayat yang tergeletak di depannya.
"Hah"!" gumam Pangeran Sasanadipa keti-ka melihat mayat itu, "Beruk Singgala! Aku masih mengenal pakaiannya dan gelang bahar berkepala ular di tangan kirinya!" Pendekar Gila segera berjongkok dan memeriksanya. Keningnya tiba-tiba berkernyit, "Jangan ada yang menyentuh mayat ini!" seru Sena.
"Kenapa?" tanya Pangeran Sasanadipa ingin tahu.
"Mayat ini mengandung racun. Siapa yang memegangnya akan mati dalam sekejap," jawab Sena cengengesan.
"Jadi, bagaimana untuk memindahkan mayat ini, Sena?" tanya Pangeran Sasanadipa cemas.
"Hi hi hi...! Biar saya saja yang memindahkan jauh dari kadipaten ini. Tenang sajalah, Pangeran!" kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Selesai berkata begitu, Pendekar Gila segera menarik napas dalam-dalam. Dia nampak mengumpulkan tenaga dalam lalu segera mengangkat mayat Beruk Singgala. Dalam sekejap tubuhnya melesat bagai anak panah, meninggalkan halaman kadipaten.
Semua yang melihatnya merasa kagum dan bergeleng kepala. Begitu juga Pangeran Sasanadipa.
"Sungguh menakjubkan. Sena benar-benar pendekar yang paling sederhana dan sempurna.
Perkasa, jujur, dan berbudi luhur...," gumam Pangeran Sasanadipa.
Mei Lie hanya tersenyum mendengar pujian sang Pangeran untuk kekasihnya.
Tak berapa lama, Sena pun sudah kembali dengan cangar-cengir dan menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih, Sena! Kau telah banyak menyelamatkan jiwa prajuritku. Juga jiwa dan piki- ranku. Kalau kau tak keberatan, sudilah kiranya kau dan Mei Lie tinggal beberapa hari lagi di kadipaten...," kata Pangeran Sasanadipa.
"He he he...! Maaf, Pangeran. Maksud Kanjeng Pangeran sangat kami hargai. Tapi masih ada tugas yang menanti kami. Kami berjanji akan kembali, untuk menjenguk Pangeran...," kata Se-na seraya menjura.
"Benar, Pangeran. Percayalah...!" tambah Mei Lie dengan diiringi senyum manis.
"Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan.
Kami akan selalu menerima kalian dengan senang hati. Selamat Sena, Mei Lie! Hati-hati...!" ucap Pangeran Sasanadipa, lalu menjabat tangan Sena dan Mei Lie.
"Pesan kami harap waspada setiap saat! Perintahkan para prajurit berjaga-jaga!" ujar Sena mengingatkan Pangeran Sasanadipa.
"Terima kasih, Sena! Aku akan selalu waspada...!" jawab Pangeran Sasanadipa dengan ramah. Pendekar Gila dan Mei Lie lalu melangkah meninggalkan halaman Kadipaten Galih Putih.
Sementara itu para prajurit dan orangorang mulai bubar. Pangeran pun kembali masuk ke kadipaten.
***
"Kakang, aku yakin lelaki buntung itu yang membunuh Beruk Singgala. Jelas kini, antara mereka ada latar belakang yang sangat buruk!" ujar Mei Lie mencoba menyampaikan gagasannya.
"Hi hi hi...! Kau benar, Mei. Aku punya firasat, si buntung itu akan jadi murka setelah dapat membunuh orang-orang yang dianggap telah merusak dan menyakiti dirinya. Mungkin saja dia berubah sifat dan tindak-tanduknya, hingga membahayakan kita semua," kata Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Kakang bisa menduga demikian?" tanya Mei Lie.
"Ah, sudahlah! Kita lihat nanti. Mungkin kita nanti juga menjadi orang yang diincar si buntung itu," jawab Sena lagi.
"Apa Kakang takut menghadapi orang macam itu?" tanya Mei Lie dengan mengerutkan kening.
"He he he... takut" Bagi orang yang benar tak ada istilah takut. Tujuan kita kan baik," jawab Sena, lalu tertawa-tawa.
"Huh...!" gumam Mei Lie dengan cemberut.
Tak terasa keduanya telah sampai di depan sebuah rumah tua yang menyeramkan.
"Hah"! Kenapa kita bisa sampai di tempat sesunyi ini, Kakang" Bukankah kita akan ke Desa Sarangan?" Sena mengisyaratkan agar Mei Lie tak berbicara lagi. Lalu dengan mengendap-endap, Pendekar Gila mendekati rumah tua yang sunyi dan nampak angker itu. Mei Lie mengikuti di belakang. Matanya segera menyapu ke sekeliling tempat itu.
"Bau amis, Kakang...," bisik Mei Lie sambil menutupi hidung dengan tangan kirinya.
"Ssst..!" Pendekar Gila memberi isyarat agar Mei Lie diam.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna, Pendekar Gila melompat memasuki rumah angker itu. Sepi dan tak ada siapasiapa. Gelap dan pengap, Pendekar Gila segera menyapu seisi rumah tua itu dengan pandangannya. Namun tak ada tanda-tanda bahwa rumah tua itu berpenghuni.
Hanya ada sebuah kursi yang sudah kotor terbuat dari kayu jati. Dan kaca berukuran besar berbingkai ukiran. Kaca itu sudah retak. Mei Lie mendekati kaca itu. Ketika tangannya hendak memegang, tiba-tiba terasa hawa panas keluar dari kaca itu. Dan seakan mata Mai Lie melihat sosok wajah manusia menyeringai menakutkan dari kaca. Dengan cepat gadis itu mundur dua langkah sambil mencabut Pedang Bidadari-nya.
"Huh...!" dengus Mei Lie sambil menghunus pedangnya.
"Ada apa, Mei"!" tanya Sena sambil menoleh dan cepat mendekati kekasihnya.
"Aku merasakan alam gaib, Kakang. Dari kaca itu ada hawa panas menerpa wajahku. Dan sosok makhluk muncul dari kaca itu. Menyeramkan!" tutur Mei Lie. Matanya tak berkedip dan terus mengawasi kaca kuno itu.
Brak! Brak! Tiba-tiba pintu rumah tua itu tertutup dengan keras. Disusul pintu dan jendela yang lain dari rumah itu.
Pendekar Gila bukannya takut. Mulutnya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa-tawa. Membuat Mei Lie kesal.
"Hi hi hi... lucu! Ada yang mengajak kita main-main, seperti anak kecil, Mei," kata Sena yang terus bertingkah seperti orang gila.
"Kakang...! Jangan bercanda! Kita dalam bahaya," bisik Mei Lie begitu dekat dengan Sena.
Pendekar Gila hanya tertawa-tawa terus, seakan tak peduli akan ucapan Mei Lie. Gadis Cina itu cemberut dan makin kesal melihat ulah kekasihnya.
"Tenang, Mei! Ketenangan akan membawa hasil yang baik. Hi hi hi...! Hei, siapa pun kau adanya, keluar! Jangan main sembunyi-sembunyi! Kami datang untuk damai. Bukan menjadi musuh atau jahat," seru Sena sambil terus menggaruk-garuk kepalanya.
Tak ada jawaban. Makin sepi dan mencekam. Tiba-tiba angin berhembus kencang sekali.
Daun-daun jendela terbuka dan tertutup lagi berulang-ulang. Seperti ada yang menutupi dan membuka. Kemudian berhenti sendiri, keadaan kembali sunyi dan sepi.
"Aneh! Benar-benar rumah hantu!" gumam Mei Lie kesal.
"Cit, cit, cit..!" Tiba-tiba seekor kelelawar terbang menyambar Mei Lie. Namun dengan cepat gadis itu membabatkan pedangnya.
Cras! Cras! Kelelawar itu mati seketika. Namun, setelah jatuh ke lantai rumah, kelelawar itu hilang.
Hanya asap mengepul di bekas jatuhnya kelelawar. Sungguh-sungguh ajaib. Pikir Mei Lie tak mengerti.
"Kakang, sebaiknya kita segera pergi dari rumah hantu ini! Aku muak dengan keadaan di sini!" kata Mei Lie geram. Lalu segera dia melesat keluar dari rumah tua yang angker itu. Rumah itu tak lain tempat tinggal si Penyair Maut dan Dewi Sukmalelana.
Pendekar Gila tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala. Dia masih berada didalam rumah tua itu. Baru setelah merasa yakin tak ada yang muncul, Sena segera keluar. Ternyata di luar Mei Lie tak ada. Sena mencarinya.
"Mei..." Mei Lie..."! Di mana kamu, Mei..."!" Pendekar Gila nampak heran. Segera dia mencari ke dalam rumah lagi, namun tak ada.
Cepat Sena keluar lagi, lalu melangkah ke belakang rumah tua itu. Dan, ternyata Mei Lie terperangkap jebakan. Jala! Mei Lie tergantung dalam jala berduri. Dia berusaha untuk keluar dengan membabatkan pedangnya, namun sulit, karena duri-duri menusuk-nusuk ke tubuhnya bila bergerak.
"Akh, ukh...!" keluh Mei Lie. Yang tubuhnya mulai terluka.
"Mei..."!" Sena segera mengeluarkan ajian 'Inti Brahma' Digosok-gosok telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga dalam. Maka dari telapak tangan tiba-tiba keluar api. Bergulung-gulung membentuk bola-bola api.
"Heaaa...!" Pendekar Gila menghentakkan telapak tangan ke jala berduri itu. Bola-bola api meluncur dan membakar jala berduri itu. Mei Lie cepat melompat turun, begitu jala itu mulai terbakar dan terbuka. Setelah itu jala duri pun terbakar habis.
"Ooo...!" Mei Lie mengeluh. Memegangi lengannya yang terkena duri.
"Duri-duri itu beracun. Jangan banyak bergerak! Tahan napas, Mei!" kata Sena. Yang segera mengobati Mei Lie yang terluka oleh duri beracun. Wajah gadis itu mulai berkeringat dan lemas. Sena terus berusaha menyatukan tenaga dalamnya ke tubuh Mei Lie. Getaran kuat terjadi di tubuh gadis itu, karena mengalirnya tenaga dalam Pendekar Gila yang mulai menyatu.
"Ukh...!" Mei Lie memekik pendek, lalu tubuhnya lemas dan pingsan. Sena nampak lega. Karena ternyata kekasihnya dapat diselamatkan dari bahaya. Napas Sena pun naik turun dengan cepat.
Keletihan akibat mengeluarkan tenaga dalam.
"Kau telah lolos dari bahaya, Mei...!" gumam Sena sambil terus memegangi tubuh keka- sihnya. Mei Lie tak sadarkan diri beberapa saat.
Namun setelah itu tubuhnya berangsur kembali pulih.
"Ohhh..., Kakang...?" terdengar suara Mei Lie yang lemah.
"Tenang, kau sudah dapat melawan racun itu. Semua ini karena, Hyang Widhi masih memberikan kasih dan sayang padamu, Mei...," kata Sena menghibur Mei Lie.
Mei Lie bangun dari rebahannya, memijit keningnya sejenak, dan berucap lemah.
"Kita cepat tinggalkan tempat ini, Kakang.... Aku tak ingin mati konyol!" Sena menggaruk-garuk kepala dan manggut-manggut. Segera sepasang pendekar itu melesat meninggalkan rumah tua.
Dari kegelapan, sepasang mata merah mengamati kedua pendekar yang pergi meninggalkan rumah tua itu.
"Hi hi hi...! Ternyata ilmu Pendekar Gila boleh juga. Tapi si Bidadari Pencabut Nyawa tak sehebat Pendekar Gila...!" terdengar suara dari seorang yang tak lain lelaki buntung.... Dia muncul setelah Pendekar Gila dan Mei Lie pergi.
"Kenapa Kakang berbuat begitu pada Bidadari Pencabut Nyawa. Mereka bukan musuh kita, Kakang. Kau menyimpang dengan rencana kita semula...," tukas Dewi Sukmalelana yang kemudian muncul tiba-tiba.
"Diam kau! Jangan ikut campur! Aku sudah katakan saat inilah aku harus bertindak dan memporak-porandakan Kadipaten Galih Putih lalu menguasainya! Ha ha ha...!" bentak lelaki buntung atau si Penyair Maut "Perlahan-lahan Pendekar Gila dan kekasihnya itu aku bunuh. Baru aku benar-benar aman...! Ha ha ha...!" Lalu lelaki buntung itu melesat pergi sambil tertawa-tawa. Dewi Sukmalelana kesal dan menghela napas dalam-dalam.
"Kalau kau bertindak ceroboh, kau akan menanggung akibatnya, Kakang...," gumam Dewi Sukmalelana bicara pada dirinya sendiri.
┐┌:::¦ 7 ¦:::┐┌
Akhirnya kabar tentang sepak terjangnya itu sampai terdengar di kadipaten meresahkan pikiran Pangeran Sasanadipa.
"Siapa lelaki buntung itu sebenarnya..." Aku merasa tak pernah punya urusan atau bermusuhan dengannya. Pengawal, lipat gandakan penjagaan! Di semua sudut, kerahkan semua prajurit..!" perintah sang Pangeran pada Adhitia, yang kini menjabat senapati.
Diangkat oleh sang Pangeran karena kesetiaannya.
Suasana di kadipaten malam ini tampak sunyi. Hawa dingin menusuk tulang sumsum mulai merambat, menambah suasana kian mencekam. Padahal pada malam-malam biasa masih ada beberapa hilir-mudik di sekitar lingkungan kadipaten. Namun malam ini Kadipaten Galih Putih terlihat lengang dan mencekam.
Pangeran Sasanadipa pun sudah siap dengan keris pusakanya. Diselipkannya keris itu di pinggang. Kemudian Pangeran Sasanadipa mengatur seluruh prajurit dibantu para pengawal dan senapati.
"Jangan ada yang bertindak, sebelum ada perintah dariku..,!" pesan Pangeran Sasanadipa pada para penjaga. Setelah itu dia kembali ke ruangan khusus.
"Apakah manusia itu akan muncul malam ini...?" tanya salah seorang prajurit pada teman jaganya.
"Mungkin. Perasaanku mengatakan demikian...," jawab temannya lirih.
Malam semakin sepi, tak ada tanda-tanda adanya malapetaka akan datang. Namun di kejauhan tiba-tiba terdengar suara petikan kecapi melengking memecahkan kesunyian.
Para penjaga dan pengawal tersentak kaget Demikian juga Pangeran Sasanadipa. Suara lengkingan nyaring dari kecapi semakin keras terdengar seakan ingin memecahkan telinga. Alunan kecapi itu membuat suasana semakin mencekam.
Karena suara itu sangat mengundang rasa takut "Siapa yang memainkan kecapi itu" Sungguh menyakitkan telingaku...!" tukas Pangeran Sasanadipa seraya bangkit berdiri.
Kemudian melangkah keluar.
"Semua siaga dan serang bila melihat yang mencurigakan...!" seru Pangeran Sasanadipa sambil terus melangkah keluar.
Suara kecapi terus terdengar dan semakin keras membuat semua orang menutup telinga.
Dan kemudian disusul suara tawa yang menggelegar tanpa terlihat pemitiknya.
Pangeran Sasanadipa kini sudah berdiri dikawal empat senapannya.
"Hei! Kau manusia atau dedemit, keluarlah! Apa maksudmu mengacau malam-malam begini"! Dan siapa kau. Tunjukkan wujudmu, jika kau memang manusia!" seru Pangeran Sasanadipa dengan lantang dan berwibawa.
"Ha ha ha...! Pangeran, kini rupanya kau sudah pulih. Bagus. Ha ha ha...! Aku datang untuk merampas kadipaten ini. Sebaiknya kau dan orang-orangmu menyingkir saja, sebelum aku bertindak.... Ha ha ha...!" terdengar suara jawaban yang menggema. Bagai suara raksasa. Para prajurit dan pengawal kadipaten sudah siap untuk meringkus, jika manusia itu muncul.
"Edan! Kurang ajar...! Kau pikir aku tak mampu mengalahkanmu. Ayo keluarlah kalau kau ingin menantangku!" kembali Pangeran Sasanadipa berseru, sambil melangkah beberapa tindak ke depan.
"He he he...! Kau kini bertambah gagah dan berani, setelah bersekutu dengan Pendekar Gila....! Ha ha ha...! Bagus, bagus..., tapi kau harus ingat, kau sebenarnya tak mungkin mampu menghadapiku, Pangeran. Ha ha ha...!" Suara tawa terdengar begitu keras dan menggetarkan. Sementara alunan kecapi pun terdengar melengking nyaring dipetik lebih cepat, hingga suaranya kacau tak beraturan. Semakin membuat telinga sakit Suara petikan melengking itu seakan berasal dari beberapa kecapi. Satu persatu prajurit yang tak tahan kesakitan sambil menekap telinga.
Mereka sempoyongan lalu roboh. Satu persatu para prajurit yang tak memiliki ilmu yang cukup tinggi roboh dengan telinga mengeluarkan darah.
Melihat hal itu Pangeran Sasanadipa marah, lalu mencabut keris pusakanya. Lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas dan berseru.
"Hei! Setan belang, keluarlah! Jangan membunuh orang yang tak berdosa! Kalau kau berani hadapi aku...!"
"Ha ha ha... hebat, hebat! Jangan menyesal jika aku membuatmu menangis dan merengek minta ampun, Pangeran Dungu!" Bersamaan dengan itu, muncul sesosok bayangan hitam berkelebat di hadapan Pangeran Sasanadipa. Sosok manusia berkaki buntung! "Hah..."!" gumam Pangeran Sasanadipa melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
"He he he... kau heran melihat keadaanku yang ganjil ini" He he he.... Sekarang, cepat kita mulai! Aku sudah tak tahan lagi ingin merasakan kursi singgasanamu, Pangeran.... Ha ha ha...!" ujar lelaki Penyair Maut dengan nada ngejek.
"Baik, bersiaplah kau, kalau itu yang kau inginkan...," jawab Pangeran Sasanadipa.
Selesai berkata begitu, Pangeran Sasanadipa membuka jurus 'Naga Geni'. Pangeran menggerakkan keris di tangan kanannya bagai seekor ular naga mencari mangsanya, meliuk-liuk dengan cepat Kaki kirinya ditekuk dan diangkat, sedangkan tangan kirinya merentang ke samping.
Lalu cepat kaki kirinya diturunkan dengan hentakan keras, hingga menimbulkan getaran hebat di tanah. Sementara Senapati Adhitia dan para pra jurit mulai bergerak membuat lingkaran dengan jarak empat tombak.
"Heaaa...!" Pangeran Sasanadipa menyerang dengan menusuk dan membabatkan kerisnya. Sinar putih yang disertai angin panas menyembur dari ujung keris sang Pangeran.
Namun si Penyair Maut dengan tenang mengelak sambil menangkis dengan kecapinya, kemudian melompat keluar. Lalu menukik sambil melakukan serangan yang cukup dahsyat Pangeran sempat tersentak kaget melihat serangan balik yang cepat itu. Untung dia masih bisa menghindari serangan lelaki buntung itu dengan merundukkan kepala, lalu berguling di tanah. Namun tubuhnya segera bangkit dan memasang kuda-kuda mantap.
"He he he...! Boleh juga kau, Pangeran. Tapi kini terimalah ini! Heaaa...!" pekikan keras mengiringi tendangan Iblis Penyair Maut Kedua kakinya yang buntung itu seakan utuh, begitu cepat dan sangat dahsyat Wuttt! Wuttt! Pangeran sempat terbelalak kaget menyaksikan kaki buntung itu dengan cepat menendang ke muka dan dadanya. Seperti layaknya kaki yang utuh.
"Edan!" gumam Pangeran Sasanadipa sambil mengelak dengan menjatuhkan badan ke bela- kang, tubuhnya melakukan salto beberapa kali.
Dan ketika telah berdiri pada kedudukan cukup mantap. Pangeran mengantarkan pukulan jarak jauh sambil melompat memburu lawan.
"Heaaa...!" Jglarrr...! Selarik sinar perak terpercik ketika pukulan jarak jauh Pangeran Sasanadipa beradu dengan kecapi si Penyair Maut. Kini kedua orang berilmu tinggi itu, bertarung di udara. Kecepatan gerak mereka membuat tubuh masing-masing tampak seperti bayangan, saling berkelebat menyerang dan menangkis.
Orang-orang yang menyaksikan nampak kagum. Namun tetap waspada terhadap keadaan sang Pangeran. Mereka semua telah siap untuk menangkap lelaki buntung itu.
Bret! Lengan baju Pangeran Sasanadipa robek terenggut kuku lelaki buntung yang runcing panjang itu! Sang Pangeran tersentak kaget. Kalau saja tubuhnya tak cepat mengelak, tentu kulit lengannya robek dan kena racun kuku lelaki buntung itu.
"Edan! Gerakannya sulit kuatasi....'" gumam Pangeran Sasanadipa sambil terus menga- wasi setiap gerakan lawan.
Lelaki buntung yang melihat Pangeran Sasanadipa nampak kaget dan membelalak kaget, tertawa mengejek.
"Ha ha ha...! Ayo, Pangeran, maju! Atau kau mau menyerah" He he he...!"
"Bangsat..! Jangan kelewat sombong kau!" teriak Pangeran Sasanadipa.
"Terimalah pukulan-ku ini!" Habis berkata begitu, Pangeran Sasanadipa menghantamkan tangan kanannya ke depan. Angin laksana bagai menyerbu ke arah lelaki buntung.
"Heaaa...!" Wusss...! Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat bahkan hampir roboh terdorong angin pukulan Pangeran Sasanadipa, si Penyair Maut sertamerta mengibaskan kecapinya lalu diputar cepat.
Sangat dahsyat! Angin pukulan Pangeran Sasanadipa seketika musnah! Pangeran Sasanadipa kembali mengerutkan kening, keheranan menyaksikan kejadian itu. Pukulan yang baru saja dilepaskan menggunakan jurus 'Naga Geni Mematuk'. Salah satu jurus yang sangat diandalkannya. Pangeran Sasanadipa sudah yakin ilmu pukulan 'Naga Geni Mematuk' yang sudah lama tak digunakan mampu melumpuhkan lelaki buntung itu. Namun ternyata dapat dimentahkan hanya dengan tangkisan kecapi Menyadari kehebatan ilmu lawan, Pangeran Sasanadipa segera memerintahkan senapati dan para prajurit agar menyerang lelaki buntung itu.
"Serang...! Tangkap penjahat itu...!" Dengan cepat Senapati Adhitia merangsek maju dengan keris di tangan, menyerang si Penyair Maut, diikuti para pengawal dan prajurit Sementara itu, Pangeran Sasanadipa cepat masuk ke kadipaten untuk mengambil tombak pusakanya. Di luar pertarungan semakin seru. Si Penyair Maut dikeroyok belasan prajurit dan pengawal kadipaten. Namun lelaki buntung itu dengan mudah menghabisi satu persatu lawanlawannya. Sudah banyak prajurit yang mati di tangan lelaki buntung itu. Kini sampai pada Senapati Adhitia yang bertarung sengit menghadapi keganasan Penyair Maut Lelaki buntung itu menghantamkan kecapinya ke rusuk kiri Senapati Adhitia. Namun senapati itu masih bisa menangkis dengan kerisnya sambil menjatuhkan diri ke samping. Gagal serangan pertama si Penyair Maut terus mencecar Senapati Adhitia yang jadi kewalahan.
Tiba-tiba lelaki buntung itu dengan cepat membalikkan tubuh. Disusul dengan sabetan kecapinya ke kepala Senapati Adhitia yang belum sempat mengatur keseimbangan.
"Heaaa...!" Prak! Prak! "Aukh...!" Kecapi menghantam kepala Senapati Adhitia, hingga pecah. Darah segar pun muncrat. Seketika nyawa Senapati Adhitia melayang. Tubuhnya ambruk mencium tanah.
Para prajurit dan pengawal kadipaten lainnya tercengang, melihat Senapati Adhitia yang mati dengan sangat mengerikan. Mereka mulai merasa kecut dan gentar. Namun karena terdorong rasa setia pada Pangeran Sasanadipa, para prajurit dan pengawal pantang mundur. Mereka pertaruhkan nyawa untuk mengusir, menangkap atau bila bisa membunuh lelaki buntung itu.
"Seraaang...! Tangkaaap...!" seru salah satu pengawal yang berbadan besar, bernama Haryosasono.
Semangat para prajurit kembali berkobar.
Mereka segera menyerbu si Penyair Maut dan mengepungnya. Rupanya keadaan seperti itu justru membuat lelaki buntung semakin kesetanan.
Dia lebih ganas membunuh siapa saja yang mendekat menyerangnya.
"Heaaat..!" Dengan teriakan keras membahana lelaki buntung itu melesat dengan memutar dan mengibaskan senjatanya.
Cras! Cras! Prak! Prak! "Aaa...!"
"Wuaaa...!" Jerit dan teriakan kematian bagai bersahutan terdengar. Tak berapa lama sudah puluhan mayat bergelimpangan di pelataran kadipaten.
Darah berceceran di tanah. Keadaan kadipaten semakin kacau dan mengerikan. Jeritan kematian menyayat, memilukan.
Hiruk-pikuk pertarungan itu sampai ke telinga Dewi Sukmalelana yang kurang setuju dengan tindakan Brajasukmana, suaminya. Hal itu juga karena Dewi Sukmalelana sangat menghormati dan kagum pada Pangeran Sasanadipa sejak sebelum terjadinya malapetaka yang menimpa Padepokan Gunung Talang.
Dewi Sukmalelana cepat melesat untuk mencegah Brajasukmana yang membabi buta membunuh para prajurit dan orang-orang tak berdosa.
"Yeaaat..!" Dewi Sukmalelana melenting dan bersalto di udara, lalu mendarat di tengah-tengah arena pertarungan. Si Penyair Maut terkejut melihat kedatangan istrinya di tempat pertarungan.
"Hah"! Dewi, minggir! Jangan halangi aku! Atau kau kini menantangku..."!" bentak lelaki buntung itu dengan geram.
"Tindakanmu tak sesuai dengan rencana kita, Kakang! Aku terpaksa menentangmu...!" jawab Dewi Sukmalelana dengan sinis.
"Kurang ajar! Aku mengerti sekarang, rupanya kau sudah tergoda oleh pangeran bodoh itu! Terserah apa maumu! Heaaa...!" Kini pertarungan semakin seru. Si Penyair Maut bertarung dengan Dewi Sukmalelana, istrinya sendiri. Keduanya sama-sama tangguh. Para prajurit dan pengawal, serentak mundur, dan tetap membuat lingkaran sambil berjaga-jaga.
"Aneh, perempuan itu kini memihak kita...!" ujar salah seorang prajurit "Ya. Untung perempuan itu segera datang kalau tidak, kita lebih banyak yang korban! Mudah-mudahan perempuan itu dapat mengalahkannya. Apalagi mampu membunuhnya," sahut yang lain.
"Diam kalian, tetap waspada, siapa tahu ini cuma siasat kedua manusia asing itu!" bentak Haryosasono, pengawal pangeran.
Pertarungan Dewi Sukmalelana dan lelaki buntung cukup seru. Keduanya bergerak begitu cepat bagai bayang-bayang berkelebat ke sana kemari. Saling pukul dan tangkis.
"Heaaa...!"
┐┌:::¦ 8 ¦:::┐┌
"Yeaaat..!" Jlegarrr...! Dua larik api keluar dari telapak tangan Dewi Sukmalelana. Menghantam ke tubuh si Penyair Maut yang berdiri di atas tembok kadipaten.
Namun lelaki buntung melompat untuk menghindari serangan dahsyat itu. Hingga tembok kadipaten hancur. Ledakan itu terdengar oleh Pangeran Sasanadipa yang berada di dalam bersama dua pengawalnya.
"Suara apa itu"! Seperti ledakan!" seru Pangeran Sasanadipa dengan mengerutkan kening. Tangan kanannya sudah menggenggam sebatang tombak berukuran satu lengan. Kepala tombak terbuat dari kuningan. Batangnya hitam legam. Lalu pangeran segera melangkah ke pintu keluar. Diikuti dua pengawalnya.
Sampai di luar, Pangeran Sasanadipa sangat terkejut, melihat yang bertarung kini Dewi Sukmalelana dan lelaki buntung itu.
"Siapa perempuan itu sebenarnya..." Mengapa dia memihak kita. Tapi rasanya aku pernah melihat wajah perempuan itu...," gumam Pangeran Sasanadipa lirih.
"Ya, saya pun pernah mengenalnya, Kanjeng Pangeran," pengawal mengingat-ingat, lalu....
"Saya ingat, Kanjeng Pangeran, perempuan itu kalau tak salah penari Tayub tempo hari. Yang juga melawan Danur Saka dan Beruk Singgala, sebelum Pendekar Gila membantunya...." Pangeran manggut-manggut, lalu menghela napas dalam-dalam.
"Ya, ya... betul aku agak lupa. Tapi mungkin kau benar...." Dewi Sukmalelana terkesiap. Serangan yang dilancarkannya tadi memang hanya merupakan satu tipuan. Tapi bagaimana suaminya itu bisa membaca"! Dewi Sukmalelana mulai sadar, bahwa ilmunya sudah melekat pada diri lelaki buntung itu. Lagi pula jurus mereka hampir sama, serupa. Hanya saja si Penyair Maut berada lebih tinggi di atasnya.
Setelah mementahkan serangan Dewi Sukmalelana, Brajasukmana menerjang ke depan.
Kecapinya berkelebat bertubi-tubi ke wajah dan kepala istrinya. Untung Dewi Sukmalelana memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, hingga dapat mengelakkan semua serangan si Penyair Maut Brajasukmana atau si lelaki buntung memutar kecapinya dengan cepat, hingga sinar kebiruan tampak bertabur bergulung-gulung. Dia coba merangsek ke depan untuk membuyarkan serangan Dewi Sukmalelana yang mengandalkan rambut panjang tak terbatas itu.
Rambut itu kini terpegang tangan kiri si Penyair Maut, lalu dengan cepat pula dililitkan di kecapi saktinya. Kemudian lelaki buntung itu menghentaknya dengan keras. Sehingga Dewi Sukmalelana memekik kesakitan, dan coba melemparkan diri dari cengkeraman Brajasukmana.
"Kau perempuan laknat! Perlu dikasih pelajaran! Aku masih sayang padamu Dewi, sekarang pergi dan jangan ganggu aku lagi...!" bentak lelaki buntung marah dan kemudian dia memotong rambut yang panjang itu dengan tangannya yang setajam pisau. Lalu menghentakkannya kuatkuat tubuh Dewi Sukmalelana.
"Ukh...!" Dewi Sukmalelana memekik, tubuhnya terdorong ke belakang dan jatuh ke ta- nah. Pangeran Sasanadipa yang melihat itu segera maju sambil berteriak.
"Kau lelaki biadab! Tangkap dia...!" Kembali prajurit dan orang-orang kadipaten menyerang lelaki buntung. Pangeran kali ini sudah kehilangan kesabaran menghadapi si Penyair Maut Pertarungan kembali terjadi dengan seru.
Sampai akhirnya pangeran yang bermaksud menyelamatkan Dewi Sukmalelana, kini menjadi bulan-bulanan lelaki buntung itu. Tombak pusakanya pun tak mampu mengalahkan kehebatan ilmu si Penyair Maut Bahkan kemudian terlepas dari genggamannya.
Dewi Sukmalelana yang melihat Pangeran Sasanadipa, segera melesat untuk membela. Walaupun kekuatannya sudah berkurang, karena rambut saktinya dipotong oleh Brajasukmana.
"Yeaaat..!" Plak! Plak! "Heaaa...!" Dewi Sukmalelana mendesak si Penyair Maut dengan jurus-jurus mautnya. Dilancarkan serangan dengan tendangan tanpa wujud, yang membuat suaminya sempat terdesak dan kewalahan. Disusul dengan semburan api yang keluar dari telapak tangan.
Wusss...! Glarrr...! Lelaki buntung itu terlontar ke belakang ketika serangan Dewi Sukmalelana yang bertubitubi menghantamnya. Namun, si Penyair Maut itu bukan tokoh sembarangan, dia tak mengalami luka sedikit pun, bahkan tertawa-tawa.
"Dewi, rupanya kau sudah tak bisa lagi kusayangi. Dan aku pun tak ingin rencanaku untuk menguasai kadipaten ini gagal, terpaksa aku harus membunuhmu.... Heaaa...!" Selesai berkata demikian, secepat kilat si Penyair Maut melesat dan menghentakhentakkan senar kecapinya sambil membuat gerakan aneh. Pangeran Sasanadipa terperangah menyaksikan gerakan si Penyair Maut yang tak pernah ia saksikan. Tubuh lelaki buntung itu bersalto dengan cepat di udara, hingga seperti gumpalan hitam saja. Lalu senar-senar kecapi itu dengan ganas, dihentakkan. Bagai hidup senar-senar itu pun menghantam ke arah Pangeran Sasanadipa dan Dewi Sukmalelana.
Srakkk! Trakkk...! Swing! Swing! "Fit...!" Dewi Sukmalelana mencoba menangkis dengan mengibaskan ikat pinggangnya.
Senar-senar itu melilit ikat pinggang Dewi Sukmalelana. Dengan cepat si Penyair Maut menghantamkan kecapinya ke dada sang Istri yang tertarik oleh kekuatan gaib yang dikeluarkannya.
Pada saat kecapi itu diayunkan ke atas, hendak menghantam kepala Dewi Sukmalelana, tibatiba.... Berkelebat sosok bayangan di udara. Dengan cepat bayangan itu menghajar kepala lelaki buntung yang hendak menghantamkan kecapi itu ke kepala Dewi Sukmalelana.
"Heaaa...!" Plak! Plak! "Aaa...!" Si Penyair Muat memekik dan terhuyunghuyung ke belakang.
"Bangsat kau, Pendekar Gila...!" bentak si Penyair Maut, ketika tahu kalau yang menghalangi maksudnya ternyata Sena.
Pangeran Sasanadipa merasa lega, dengan kedatangan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa.
"Aku sebenarnya tak ingin ikut campur urusanmu. Tapi rupanya kau keterlaluan, Kisanak..," ujar Pendekar Gila dengan tenang sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Itu urusanku! Aku pun tak suka kau selalu campur tangan. Aku telah berubah pikiran.
Bahwa aku akan membunuhmu sekarang. Hhh...
aku akan berkuasa di jagad ini.... Ha ha ha...! Bersiaplah kau, Pendekar Gila...! Heaaa...!" Brajasukmana melesat cepat menyerang Pendekar Gila dengan pukulan berantai, yang mengeluarkan jarum-jarum beracun.
Pendekar Gila dengan tenang mengelak dan melenting ke udara.
"Awas...!" seru Mei Lie mengingatkan Pangeran Sasanadipa agar menyingkir. Sambil me- nangkis jarum-jarum beracun yang sebagian meluncur ke tubuhnya, dengan Pedang Bidadarinya. Sementara itu Dewi Sukmalelana cepat mendekati Pangeran Sasanadipa dan mengajaknya menghindar dari tempat itu. Mei Lie yang melihat itu merasa curiga. Kemudian cepat mendekati Dewi Sukmalelana dan Pangeran Sasanadipa yang tengah terluka itu.
"Mau kau bawa ke mana pangeran" Jangan coba-coba macam-macam...!" tegur Mei Lie, sambil menghunuskan Pedang Bidadarinya ke arah Dewi Sukmalelana.
"Aku tidak bermaksud buruk terhadap pangeran, percayalah! Aku memang istri lelaki buntung itu, tapi aku tak setuju dengan rencananya yang buruk itu.... Aku datang karena ingin menyelamatkan pangeran. Kau boleh tanya pada pangeran sendiri...," tutur Dewi Sukmalelana polos.
"Benar, Mei Lie. Kalau saja perempuan ini terlambat datang, mungkin aku sudah dikuasai lelaki buntung itu...," jawab Pangeran Sasanadipa dengan menahan sakit.
"Kalau kau tak keberatan, maukah membantuku untuk mengobati luka pangeran?" pinta Dewi Sukmalelana pada Mei Lie kemudian. Mei Lie berpikir sejenak, lalu menganggukkan kepala.
"Ayo, cepat kita obati pangeran...!" ajak Mei Lie kemudian. Dewi Sukmalelana nampak senang. Segera kedua perempuan muda itu memapah tubuh Pangeran Sasanadipa masuk ke kadipaten.
"Pendekar Gila, rupanya kau pun ingin mencari mampus! Kau telah berani mencampuri urusanku! Kau harus mati di tanganku!" Pendekar Gila tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he...! Ocehanmu seperti si buntung yang ingin naik gunung saja! Ah ah ah...! Sungguh sombong kau, Kisanak...!" sindir Sena.
"Kurang ajar! Heaaa...!" Dengan jurus 'Iblis Membelah Samudera', si Penyair Maut segera menyerang. Kedua tangannya bergerak membelah ke muka Pendekar Gila, mengeluarkan racun ganas. Gerakannya ingin mencakar wajah dan dada Pendekar Gila.
"Eits! He he he... leherku terlalu licin, Kisanak!" Pendekar Gila segera meliukkan tubuhnya dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu dengan cepat Suling Naga Sakti diambilnya, dan langsung disodokkan ke tubuh lawan.
"Ini bagianmu, Kisanak..! Heits...!" Lelaki buntung itu tersentak kaget melihat gerakan Pendekar Gila yang sangat aneh. Sepintas nampak pelan dan lemah. Tapi sesungguhnya sangat dahsyat. Bahkan mampu menjangkau pinggangnya yang pendek. Dengan cepat dibabatkan kecapinya memapak serangan itu.
"Haits...!" Prak! Glarrr...! Ledakan keras terdengar diikuti melompatnya kedua orang itu. Sesaat keduanya terdiam berhadap-hadapan. Kemudian si Penyair Maut segera mengerahkan jurus 'Iblis Menusuk Gunung', lelaki buntung itu menyatukan jari telunjuk kuat-kuat. Kuku-kukunya yang runcing dan panjang mengarah ke Pendekar Gila.
Melihat itu Pendekar Gila hanya senyumsenyum dan menepuk-nepuk pantat, lalu membuka jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak laksana melepas lilitan tali. Berputar begitu cepat.
"Heaaa...!" Jari-jari tangan lelaki buntung itu bergerak cepat menyerang dengan tusukan ke bagian dada Pendekar Gila, disusul ke samping kanan dan kiri. Gerakannya sangat cepat dan lincah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian, Suling Naga Sakti di tangan kanan diputarnya, lalu digerakkan lurus ke atas.
"Yiaaa. ..!"
"He he he.... Edan! Galak benar si buntung ini...!"
***
Saking cepatnya, gerakan tangan itu, seperti hilang. Yang nampak hanya bayangan hitam berkelebat. Tak sampai di situ, si Penyair Maut menyentakkan senar-senar kecapinya ke arah Pendekar Gila.
"Heaaa...!" Crak! Crak! Namun serangan itu tak mengenai sasaran.
Senar-senar itu dapat dipatahkan oleh tangkisan Suling Naga Sakti milik Pendekar Gila. Bahkan senar-senar itu berbalik menguasai pemiliknya.
"Ukh...! Bangsat!" umpat si Penyair Maut sambil memekik kesakitan. Senjata makan tuan. Lelaki buntung segera membuat gerakan cepat dan sangat berbahaya.
"Heaaa...!" Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat sulit ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera mengerahkan jurus andalannya, 'Si Gila Menembus Badai'.
"Heaaa...!"
"Haittt..!" Wut! Blak! Prak! Kecapi dan Suling Naga Sakti beradu. Pijaran api keluar dari benturan kedua benda itu.
Asap putih keperakan dan beracun terus bergulung-gulung menyerang Pendekar Gila. Kalau tidak pernah meminum 'Darah Ular Putih', pasti Pendekar Gila telah tewas! Namun dia kebal dari segala macam racun (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kwan Im").
Agak kaget juga lelaki buntung menyaksikan Pendekar Gila tidak mempan racun yang keluar dari kuku-kukunya. Gerakan tangannya semakin dipercepat, berusaha menghancurkan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Wut! Prak! Prak! "Heaaa...!" Saling tangkis dan pukul terus berlangsung antara kedua orang sakti itu. Mereka berusaha untuk mengalahkan satu sama lainnya.
Namun sejauh itu, belum tampak ada yang kalah.
Pendekar Gila terus menyodokkan sulingnya dengan masih menggunakan jurus 'Si Gila Menembus Badai'. Sesekali sulingnya disabetkan ke tubuh lawan, atau didongakkan ke atas berusaha membuka tangkisan lawan yang cukup tangguh itu.
"Heaaa...!"
"Uts...!" Lelaki buntung cepat-cepat membuang muka ke samping. Lalu dengan cepat menghantamkan kecapinya ke tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Sapuan Badai Neraka'.
Wut! Melihat kecapi menderu ke arahnya, dengan cepat Pendekar Gila menarik serangan. Lalu memutar sulingnya hingga setengah lingkaran.
Dipapaknya hantaman kecapi dengan jurus 'Si Gila Menipu Lawan Memukul Karang'.
"Hih...!" Prak! Keduanya melompat ke belakang. Berdiri saling berhadapan. Kemudian kembali saling me nyerang dengan didahului pekikan menggelegar.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!" Tubuh keduanya melesat cepat. Sampai di udara, mereka berusaha saling menyerang. Suling Naga Sakti menyodok ke wajah lawan. Sedangkan kecapi yang terbuat dari perak itu menghantam ke kepala Pendekar Gila.
Wrets! "Hups!" Wut! Pendekar Gila berguling ke samping, mengelakkan hantaman kecapi lawan. Kemudian dengan cepat, sulingnya disodokkan kembali ke wajah lawan. Namun lawan tak pernah lengah sedikit pun. Dengan cepat lelaki buntung itu menarik kepalanya ke belakang.
Melihat lelaki buntung itu mampu menghindari serangannya, Pendekar Gila menurunkan tangan agak ke bawah. Kali ini sulingnya disodokkan ke dada lawan.
"Heaaa...!"
"Heh"!" Lelaki buntung itu tersentak kaget mendapatkan serangan cepat itu. Lalu berusaha menangkis dengan mengebutkan kecapinya ke tubuh Pendekar Gila.
"Hop! Yeaaa...!" Melihat hantaman itu, Sena cepat-cepat menekuk lutut ke bawah, lalu meliuk ke samping.
Setelah kecapi lawan menderu, kakinya bergerak cepat menendang kecapi dengan jurus 'Si Gila Menyapu Bumi'. Plak! "Heaaa...!" Tubuh si Penyair Maut terhuyung ke samping, terkena dorongan tenaga dalam pada kecapinya. Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan lawan terhuyung, segera menyodokkan Suling Naga Sakti ke dada lawan yang tak mampu mengelak lagi. Dugkh! "Hukh...!" Blukkk! Lelaki buntung itu terdorong ke belakang, lalu jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara keras.
"Bangsat! Akan kuremukkan tubuhmu Pendekar Gila...!" dengus si Penyair Maut "Ha ha ha...! Aku ingin lihat, siapa yang lebih dulu mati, kau apa aku!" sahut Pendekar Gila sambil tertawa dan menggarukgaruk kepala. Keduanya bergerak cepat Kecapi perak dipegang dengan dua tangan menderu keras menyambar Pendekar Gila. Asap tebal berwarna putih keperakan semakin banyak keluar.
Para prajurit dan orang-orang yang menyaksikan, mundur bahkan ada yang lari ketakutan. Karena tahu asap itu beracun. Hingga keadaan di halaman Kadipaten Galih Putin semakin riuh dan kacau.
Mei Lie dan Dewi Sukmalelana yang baru saja keluar dari kadipaten menyaksikan pertarungan itu, Dewi Sukmalelana yang tahu kedahsyatan asap pukulan itu, cepat melangkah mundur lima tombak Wajahnya menggambarkan kecemasan, takut kalau-kalau Pendekar Gila akan terkena racun ganas itu.
"Celaka racun itu! Pendekar Gila akan lemas terkena racun itu...," gumam Dewi Sukmalelana.
"Jangan khawatir! Sena dapat menangkal-nya," sahut Mei Lie dengan bangga. Karena dirinya tahu Pendekar Gila telah kebal dengan sega-la macam racun.
Pendekar Gila memang nampak tak terpengaruh sedikit pun terhadap racun itu.
"Heaaa...!" Prang! Keduanya terus bergerak cepat, saling menyerang dan menangkis. Kini bukan hanya senjata mereka yang bertemu, tapi kaki mereka pun saling berusaha menyapu dan menendang lawan.
Si Penyair Maut yang tak memiliki kaki sempurna menggunakan 'Ilmu Tendangan Iblis' Seakan dia memiliki kaki utuh. Pendekar Gila sempat tersentak kaget, karena tendangan itu tak berwujud.
Namun Sena dapat menguasai keadaan.
Sudah puluhan jurus yang mereka keluarkan, tapi keduanya sama-sama kuat. Mereka terus bertarung bagai tak mengenal telah.
Malam semakin larut, suasana di halaman kadipaten itu masih terdengar hiruk-pikuk pertarungan. Pekikan-pekikan keras ditingkahi benturan kecapi dan suling terus terdengar.
"Hiaaa...!" Kecapi di tangan si Penyair Maut bergerak cepat memburu dan membabat lawan. Melihat serangan lawan, Pendekar Gila segera mengegos ke samping. Kemudian menghantamkan Suling Naga Sakti-nya ke dada lawan.
"Heaaa...!" Dugkh! "Hukh...!" Tubuh lelaki jangkung itu terhuyunghuyung ke belakang. Darah tampak meleleh membasahi wajahnya. Melihat itu, Pendekar Gila tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat, dihantamkannya pukulan sakti 'Inti Brahma' ke tubuh si Penyair Maut.
"Terimalah kematianmu! Heaaa...!" Dari telapak tangan Pendekar Gila melesat larikan api yang menyala-nyala memburu tubuh si Penyair Maut. Tanpa ampun lagi, api pun membakar tubuh lelaki buntung itu.
Wusss...! Blab! "Wuaaa...!" Si Penyair Maut menjerit-jerit. Tubuhnya berguling-guling, berusaha memadamkan api yang melahap tubuhnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Lelaki buntung berpakaian itu berkelojotan terbakar. Kecapi perak di tangannya terlepas. Saat itu juga Pendekar Gila meniup Suling Naga Saktinya dengan suara mendayu. Rupanya, Sena berusaha menyempurnakan kematian lelaki buntung itu.
"Wuaaa.... Tobat!" pekik si Penyair Maut dengan tubuh masih berkelojotan.
Telinga dan hi-dungnya mengeluarkan darah. Tak lama kemudian, gerakannya pun berhenti, menandakan ajal telah menjemputnya.
Sena menghentikan tiupan Suling Naga Sakti-nya. Dengan menghela napas panjang, Sena kemudian nampak merasa lega.
"Kakang...!" teriak Dewi Sukmalelana menghambur menghampiri mayat suaminya yang hangus. Mei Lie memburunya dan coba menenangkan.
"Bukankah kau tadi juga ingin melawan dan membunuh dia..." Dia pantas mendapatkan ganjaran. Tapi kalau aku boleh tahu, siapa kalian sebenarnya...?" tanya Mei Lie kemudian Ingin ta-hu. Dewi Sukmalelana tak langsung menjawab.
Matanya masih memandang sedih mayat lelaki buntung itu. Pendekar Gila lalu menghampirinya, begitu juga Pangeran Sasanadipa yang dibantu dua pengawalnya.
"Maafkan aku! Aku terpaksa membunuhnya, demi ketenteraman dunia persilatan dan kadipaten ini.... Makilah aku, jika kau anggap aku terlalu kejam terhadap lelaki buntung itu!" ujar Sena dengan polos. Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Tidak! Kau tak bersalah Pendekar Gila.
Kau telah berbuat benar. Kakang memang harus menerima kenyataan ini.... Namun yang aku sedihkan, kenapa sifat dan tindak-tanduknya berubah, setelah kami berhasil membunuh Beruk Singgala dan Danur Saka. Dia jadi murka. Ingin menguasai kadipaten dan menantangmu, Pendekar Gila...," tutur Dewi Sukmalelana sedih.
"Sudahlah, tapi aku masih ingin tahu siapakah kau sebenarnya" Kenapa kelima orang dari partai sesat Panca Siwara yang menjadi sasaran utama...?" tanya Pangeran Sasanadipa pada Dewi Sukmalelana.
"Panjang ceritanya, Kanjeng Pangeran....
Kami sebenarnya dari aliran putih. Dulu kami menempati Padepokan Gunung Talang yang dipimpin kakak iparku, Ki Damar Kiwangi... Mungkin Pangeran sendiri masih ingat, keadaan sepuluh tahun yang silam...," tutur Dewi Sukmalelana menjelaskan.
Pangeran Sasanadipa mengerutkan kening, lalu memegangi keningnya. Nampak berusaha mengingat sesuatu.
"Ya, ya aku ingat sekarang. Ki Damar Kiwangi adalah seorang yang bijaksana dan bersekutu dengan kami. Lalu apa hubunganmu dengan lelaki buntung itu?"
"Lelaki buntung ini, suamiku. Dan nama sebenarnya Anjang Kawiwangi. Adik dari Ki Damar Kiwangi satu-satunya...," tutur Dewi Sukmalelana.
"Dan aku sendiri Saraswati...." Pangeran manggut-manggut, merasa telah jelas semuanya. Begitu juga Sena dan Mei Lie.
"Lalu kenapa tiba-tiba melawan suamimu sendiri setelah orang-orang yang pernah menyakitimu terbunuh...?" tanya Mei Lie menyelidik.
"Kau rupanya masih ragu dengan ceritaku, Nini. Baiklah akan kujelaskan. Aku dan Kakang Anjang sudah sepakat untuk membalas dendam setelah selamat dari kematian. Namun aku sendiri heran, setelah berhasil membunuh Beruk Singgala yang memiliki ilmu sihir, Kakang berubah perangainya. Aku tak ingin Pangeran Sasanadipa yang telah menderita cukup lama karena ulah Beruk Singgala dan teman-temannya harus mengalami kesengsaraan lagi. Karena aku masih ingat, pada masa sepuluh tahun lalu, Pangeran Sasanadipa begitu bijaksana dan baik budi terhadap keluarga Ki Damar Kiwangi, termasuk aku. Itulah sebabnya aku menantang suamiku sendiri, walaupun aku tahu nyawaku akan melayang di tangannya. Aku rela, demi keadilan semua. Hanya itulah yang dapat kujelaskan.... Aku sudah lelah sekali hidup di dunia persilatan yang penuh segala macam peristiwa yang sangat menakutkan, iri, dengki, dan tipu muslihat terus berlanjut...," tutur Dewi Sukmalelana atau Saraswati mengakhiri penjelasannya. Pendekar Gila dan Mei Lie menghela napas panjang, keduanya terharu mendengar tutur kata Dewi Sukmalelana. Begitu juga Pangeran Sasanadipa.
"Maafkan aku, yang telah mencurigaimu, Saraswati...!" kata Mei Lie dengan tulus, lalu memeluk Dewi Sukmalelana. Penuh persahabatan.
"Aku dapat memaklumi, Nini. Tak apalah..., kalian juga telah menyelamatkan jiwaku...," sahut Saraswati lemah.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir melihat kedua perempuan yang saling berpelukan itu. Pangeran pun merasa lega, wajahnya nampak cerah.
"Tak usah disedihkan lagi Saraswati! Aku tak keberatan bila kau ingin tinggal di kadipaten.
Pintu selalu terbuka untukmu...," saran Pangeran Sasanadipa penuh kasih.
"Terima kasih, Pangeran.... Hamba sudah lelah hidup dan lagi pula, hamba telah berjanji akan hidup dan mati bersama Kakang Anjang Kawiwangi...." Selesai berkata begitu, Saraswati atau Dewi Sukmalelana segera mencabut keris dari balik ikat pinggangnya lalu cepat menusukkan keris itu ke dadanya.
Cras! Cras! "Ukh...!" Seketika tubuh perempuan malang itu kejang-kejang, lalu kaku. Mati! Mei Lie memeluknya dengan penuh keharuan. Demikian juga Sena dan Pangeran Sasanadipa. Mereka merasa haru melihat kenyataan mengenaskan itu. Namun mereka tak kuasa berbuat apa-apa. Karena Dewi Sukmalelana atau Saraswati telah mengambil jalan demikian, demi cinta dan janji setianya pada Anjang Kawiwangi, si lelaki buntung itu.
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
Penunggang Kuda Iblis --oo0oo-- Dewi Ratu Maksiat |