Titisan Dewi Kwan Im
tanztj
March 14, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
Singa Jantan Dari Cina --oo0oo-- Pedang Penyebar Maut |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dart penerbit
-::₪ { 1 } ₪::-
Dagu mereka dihiasi cambang bauk serta kumis tebal.
Di tangan masing-masing tergenggam cambuk yang bentuknya serupa. Ketiganya terkenal dengan julukan Tiga Setan Rambut Api.
Tiga tokoh aliran hitam itu memiliki perawakan yang hampir sama, berotot dengan tinggi sedang. Wajah mereka garang, menunjukkan keangkuhan.
Yang tertua bernama Untara. Lelaki yang kedua bernama Undani, dan yang terakhir bernama Umbakara. Mereka kini tengah melangkah menuju sebuah kedai yang siang itu tampak ramai disinggahi para pengunjung.
"Kalian lihat, di sini banyak sekali orang persilatan," kata Untara. Matanya mengawasi pengunjung kedai yang kebanyakan dari rimba persilatan.
"Benar, Kakang," sahut Undani. Seperti kakaknya, dia pun menyapukan pandangannya ke seluruh ruang kedai yang penuh oleh para pengunjung.
"Nampaknya ada sesuatu yang membuat mereka datang ke tempat ini." Ketika Tiga Setan Rambut Api mengawasi semua pengunjung kedai, terdengar ucapan seseorang yang baru masuk ke dalam kedai.
"Aha, rupanya Tiga Setan Rambut Api juga hadir di tempat ini." Tiga Setan Rambut Api seketika membalikkan tubuh dan memandang ke arah suara itu. Begitu juga dengan pengunjung kedai lain. Seketika mata mereka memandang Tiga Setan Rambut Api, lalu berganti memandang orang tua berpakaian compang-camping dengan rambut putih tak teratur serta wajah dihiasi goresan-goresan kelabu.
Dilihat dari penampilan serta tangan yang memegang tongkat dan tempurung, orang persilatan yang ada di kedai itu dapat dengan mudah menduga kalau lelaki tua itu tak lain Pengemis Tempurung Sakti, pemimpin para pengemis dari wilayah barat.
"O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti yang datang. Selamat datang...," sambut Untara sambil menjura hormat, diikuti oleh kedua saudaranya.
"Aku Undani menyampaikan hormat padamu, Pengemis Tempurung Sakti," kata Undani sambil membungkuk "Begitu juga aku," timpal Umbakara.
Pengemis Tempurung Sakti terkekeh-kekeh sambil membelai-belai jenggot putihnya yang panjang. Matanya yang sipit, semakin bertambah sipit "Aha, tampaknya banyak orang persilatan berkumpul di sini. Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono si Pedang Iblis, Ki Bardawala dari Perguruan Cinde Buana dan Sepasang Serigala Merah. Ada apa gerangan...?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil melangkah masuk, diikuti oleh lima anak buahnya yang semuanya berpakaian compang-camping. Bedanya, kelima pengemis itu hanya membawa tongkat kayu hitam. Mereka tersohor dengan julukan Lima Pengemis Tongkat Hitam. Yang menguasai wilayah timur bernama Gandrana. Pakaiannya penuh dengan tambalan dan berwarna ungu. Bibirnya tipis dengan mata agak sipit. Hidungnya besar dan pesek. Rambutnya lurus terurai dengan ikat kepala berwarna ungu pula. Wajahnya menggambarkan kekasaran.
Yang menguasai daerah selatan bernama Jalantra. Pakaiannya berwarna abu-abu, dan rambutnya digelung ke atas. Berbeda dengan orang pertama, hidung Jalantra mancung. Bibir dan alis matanya tebal dengan mata agak juling.
Yang ketiga bernama Sampra. Dia Ketua Perkumpulan Pengemis daerah utara. Berpakaian jingga dengan tambalan seperti lainnya. Rambutnya ikal sebatas bahu. Hidungnya mancung seperti paruh burung betet Matanya lebar dengan alis mata tipis. Wajahnya nampak sinis jika tersenyum. Yang keempat dan kelima adalah lelaki kembar bernama Jantruk dan Jantrik. Pakaian yang mereka kenakan pun kembar, berwarna merah dadu. Wajah keduanya hampir serupa. Hidung mereka mancung dengan alis mata tebal. Sedang bibir mereka tipis.
Hanya rambut yang membedakan satu sama lain. Yang satu lurus tak teratur, sedangkan yang lain ikal berge-lombang.
Di bibir mereka tersungging senyuman. Wajah mereka menggambarkan kewibawaan. Meski berpenampilan tak sedap dipandang mata, tapi mereka adalah orang-orang yang dipercaya untuk memimpin para pengemis. Ilmu mereka pun bukan ilmu sembarangan, dan patut diperhitungkan.
Pengemis Tempurung Sakti segera mendekati satu bangku lalu duduk seenaknya, seperti tidak tahu aturan sebagaimana pengemis lain. Kelima pengemis lainnya ikut duduk di samping kanan dan kirinya.
"Nampaknya ada sesuatu yang mengundang mereka kemari, Ketua," kata Gandrana, Ketua Perkumpulan Pengemis daerah timur.
Pengemis Tempurung Sakti menganggukanggukkan kepala. Tangannya masih membelai-belai jenggotnya yang putih dan panjang. Sementara matanya tetap memandang ke sekelilingnya.
"Nampaknya ada sesuatu yang menarik," gumam Pengemis Tempurung Sakti.
"Terbukti Tiga Setan Rambut Api datang ke tempat ini."
"Aha, rupanya Pengemis Tempurung Sakti mengetahui apa yang ada di sini...!" seru Umbakara tiba-tiba.
"Ya! Mengapa tidak kita tanyakan saja, ada apa sebenarnya?" usul Undani.
"Benar juga katamu, Undani," timpal Untara.
"Mengapa kita mesti bingung?" Untara dan kedua adiknya bangkit dari bangkunya. Mereka melangkah mantap ke arah Pengemis Tempurung Sakti. Kemudian dengan menjura, Tiga Setan Rambut Api duduk di hadapan keenam pengemis itu.
"Pengemis Tempurung Sakti, sudikah kau menjelaskan pada kami, kenapa kau dan lima ketua partai pengemis sampai datang ke sini...?" tanya Untara. Tindak-tanduk mereka agak tidak sopan, mencerminkan watak ketiganya yang berasal dari aliran sesat "Weh weh weh.... Mengapa jadi terbalik" Justru kami yang ingin bertanya pada kalian," balas Pengemis Tempurung Sakti.
"Apa tidak mungkin kalau kalian hanya berpura-pura saja?" Tiga Setan Rambut Api saling pandang karena dituduh Pengemis Tempurung Sakti kalau mereka menyembunyikan sesuatu. Padahal mereka juga belum tahu sesuatu yang terjadi di tempat itu, sehingga para pendekar rimba persilatan berdatangan ke tempat itu.
"Hei, mengapa kalian seperti orang bodoh?" tanya Pengemis Tempurung Sakti, menyentakkan Tiga Setan Rambut Api. Namun Untara segera berusaha menutupi ketidakmengertian mereka akan pertanyaan dan sekaligus tuduhan dari Pengemis Tempurung Sakti.
"O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti menganggap kami sudah mengetahui masalahnya. Ah, sangat disayangkan. Kami sebenarnya justru hendak bertanya," ucapnya setenang mungkin.
Kini giliran keenam ketua perkumpulan pengemis yang saling pandang. Kening mereka berkerut dan mata mereka menyipit Pengemis Tempurung Sakti masih mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
"Weh, bagaimana ini" Kami pikir kalianlah yang telah tahu. Tapi mengapa kalian seperti menuduh kami?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hm.... Bagaimana kalau kita tanyakan pada Ki Kenjono" Rupanya si Pedang Iblis juga datang," usul Untara.
"Ya, sebaiknya kita tanyakan padanya?" sambut Pengemis Tempurung Sakti.
Pengemis Tempurung Sakti dan Untara bangkit, kemudian keduanya mendekati meja di sampingnya, di mana lelaki berpakaian rompi hitam dengan rambut panjang yang- dibiarkan terlepas tengah menyantap makanannya.
"Oh, nikmat sekali kau makan, Ki?" tegur Pengemis Tempurung Sakti dengan tetap membelai-belai jenggotnya yang putih.
Lelaki yang tengah makan itu menghentikan makannya. Kepalanya ditolehkan ke belakang.
"Ah, kukira siapa. Rupanya Pengemis Tempurung Sakti dan Setan Rambut Api. Hm, apa kalian minta ku bayari makan" Pesanlah...."
"Keparat!" maki Untara.
"Aku menemuimu bukan untuk mengemis seperti Pengemis Tempurung Sakti, Kenjono!"
"Setan alas! Kalian kira aku tak sanggup membayar makanan kalian!" dengus Pengemis Tempurung Sakti sengit, merasa dirinya diremehkan sebagai gembel yang hanya bisa meminta-minta.
"Kalau saja aku tidak punya kepentingan untuk mengetahui hal yang terjadi di sini, sudah kutampar mulut kalian!" Ki Kenjono dan Untara saling pandang. Kemudian keduanya tertawa tergelak-gelak, membuat Pengemis Tempurung Sakti makin gusar. Hampir saja Pengemis Tempurung Sakti yang keras kepala dan pemarah itu kembali membentak, kalau saja Untara tidak mendahului.
"Aha, kuharap kau tidak mengumbar marah, Pengemis Tempurung Sakti. Bukankah kita samasama ingin tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini?" Pengemis Tempurung Sakti menurut.
"Apa yang hendak kalian tanyakan padaku?" tanya Ki Kenjono kemudian.
"Begini, Ki Kenjono. Kami ingin tahu apa yang terjadi di sini" Mengapa orang-orang berdatangan ke tempat ini...?" tanya Untara.
"Weh weh weh.... Jadi kalian juga belum tahu?"
"Ya," sahut Pengemis Tempurung Sakti singkat.
"Aha, kalau begitu kita sama. Dan mungkin semua orang yang datang di sini, sama-sama tidak tahu apa yang mereka tuju. Tapi, bukankah kalian telah mendapat kabar tentang Titisan Dewi Keberuntungan yang ada di sekitar Kadipaten Wuwungan ini?" tanya Ki Kenjono, "Ya," sahut Untara.
"Jadi mereka datang untuk mencari Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Pengemis Tempurung Sakti.
"Tepat!" jawab Ki Kenjono.
"Jadi Lembah Lamur ada di sekitar Kadipaten Wuwungan ini?" tanya Untara.
"Mungkin, karena hampir semuanya berdatangan ke tempat ini," sahut Ki Kenjono.
"Ah, sudahlah. Aku harus makan dulu." Tanpa menghiraukan kedua orang itu, Ki Kenjono yang bersikap angkuh meneruskan makannya. Hal itu membuat Pengemis Tempurung Sakti dan Untara saling pandang. Hampir saja mereka marah, kalau saja mereka tidak ingat bahwa mereka sama-sama sealiran.
Meski begitu, keduanya agak jengkel juga menyaksikan tingkah laku Ki Kenjono yang dianggap terlalu angkuh. Lalu dengan memandang sinis, keduanya kembali ke tempat duduk masing-masing.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Undani.
"Rupanya semuanya datang ke tempat ini dengan tujuan yang sama," jawab Untara.
"Mencari Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Umbakara. Suaranya berusaha menegaskan.
"Ya!"
"Hm.... Kalau begitu, kita tidak boleh keduluan mereka," bisik Undani.
"Kita harus mendahului mereka."
"Benar, Kakang. Kita harus segera mencari Lembah Lamur," sambut Umbakara.
"Ya! Kita harus secepatnya mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im itu. Ayo...," ajak Untara berbisik sambil bangkit dari bangkunya, diikuti oleh kedua adiknya.
***
Tampaknya Pengemis Tempurung Sakti dan lima ketua perkumpulan pengemis membiarkan mereka pergi lebih dahulu untuk mencari Titisan Dewi Kwan Im.
"He he he...! Mereka kira akan mudah untuk mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im," seloroh Pengemis Tempurung Sakti. Tangannya membelai-belai jenggotnya yang panjang dan putih.
"Ketua, apakah tidak sebaiknya kita susul mere ka?" tanya Jalantra, yang merupakan Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan.
"Benar, Ketua. Apakah tidak sebaiknya kita menyusul mereka" Aku takut mereka akan mendahului kita," tambah Gandrana.
Pengemis Tempurung Sakti menggelenggelengkan kepala sambil tersenyum. Tangannya kembali membelai-belai jenggotnya yang panjang dan berwarna putih.
"Biarkan saja mereka mendahului. Apakah kalian kira mereka akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im yang cantik menjadi istri mereka" Ha ha ha...!" Pengemis Tempurung Sakti tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh kelima ketua pengemis lainnya. Hal itu membuat para pendekar yang ada di tempat itu memandang mereka. Tidak terkecuali Ki Kenjono.
"Pengemis butut! Mengapa kalian mesti tertawatawa"!" bentak Ki Kenjono kesal. Matanya mendelik lebar, memperlihatkan warna merah bagai gejolak api.
"Iblis bau comberan! Apa hakmu menghentikan tawa kami!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Pengemis daerah utara.
"Sontoloyo! Kalianlah yang bau kentut! Huh...!" balas Ki Kenjono tak mau kalah. Kemudian dia meneruskan makannya, tanpa menghiraukan keenam pengemis yang masih menatapnya dengan jengkel.
"Rupanya orang itu perlu dihajar, Ketua," kata Gandrana.
"Aha, memang mulutnya yang busuk itu perlu dihajar," jawab Pengemis Tempurung Sakti, membuat Ki Kenjono tersentak.
Dengan wajah bengis, Ki Kenjono bangun dari tempat duduknya. Matanya yang tajam penuh amarah menantang keenam pengemis yang masih tertawatawa.
"Pengemis butut! Rupanya kalian di mana pun selalu menyebalkan! Kalian harus diajar adat!" maki Ki Kenjono seraya mendengus marah.
"Aha, seharusnya kaulah yang harus diajar adat, Kenjono!" balas Pengemis Tempurung Sakti.
"Bedebah! Kuhajar kau, Pengemis Butut! Yeaaa...!" Srrrt! Ki Kenjono mengeluarkan pedangnya, kemudian dengan penuh amarah tubuhnya melesat ke arah Pengemis Tempurung Sakti. Namun dengan cepat, Gandrana telah menghadangnya dengan membabatkan tongkat kayu hitam ke pedang lawan.
Trang! Kemarahan Ki Kenjono kian menggila ketika mengetahui Gandrana memapaki serangannya. Matanya semakin berkilat tajam. Didahului pekikan menggelegar, Ki Kenjono kembali membuka serangan dengan babatan pedang ke arah Ketua Perkumpulan Pengemis daerah timur itu.
"Yeaaa...!"
"Keluarkan semua ilmu pedang bututmu!" tantang Gandrana seraya mengelakkan tebasan dan babatan pedang lawan. Kemudian dengan cepat tangannya menggerakkan tongkat kayu hitam. Seketika, tongkat itu menjadi baling-baling, bergerak membentuk perisai sekaligus menjadi senjata yang sangat berbahaya.
"Heaaa...!" Wut, wut! Tring, trang...! Dentingan beradunya dua senjata itu terdengar susul-menyusul. Diikuti oleh gerakan keduanya yang menyerang dan mengelak. Tangan kiri mereka yang tidak memegang senjata tak mau diam, turut bergerak menyerang dan menangkis dengan kebutankebutannya.
"Beri dia pelajaran, Gandrana!" seru Pengemis Tempurung Sakti sambil terus memperhatikan jalan-nya pertarungan antara anggotanya yang memegang pimpinan di wilayah timur melawan Kejono. Kemudian Pengemis Tempurung Sakti tertawa bergelak-gelak, diikuti oleh empat anggotanya yang lain.
Ki Kenjono semakin marah karena ditertawakan oleh para pengemis. Serangannya semakin ditingkatkan. Pedangnya bergerak kian cepat, membabat dan menusuk ke tubuh lawannya.
"Yeaaah...!" Ki Kenjono benar-benar bernafsu untuk secepatnya menjatuhkan lawan. Pedangnya bergerak semakin cepat, tidak ubahnya baling-baling maut yang setiap saat dapat merenggut nyawa lawannya.
Menyaksikan serangan lawan yang cepat dan mematikan, tidak membuat Gandrana gentar. Justru dengan serangan lawan seperti itu, dia semakin mudah melihat kelemahan-kelemahan serangan yang dilancarkan lawannya.
Dengan sedikit berkelit, Gandrana mampu mengelakkan serangan lawan yang dirasuki amarah. Kemudian dengan cepat, balas menyerang dengan tidak kalah gencar. Tongkat kayu hitam di tangannya memukul dan menusuk lawan secara bertubi-tubi.
"Yeaaat..!" Wut, wut..! Tongkat kayu hitam di tangan Gandrana kini tidak ubahnya sebilah pedang tajam yang terbuat dari logam pilihan. Angin serangannya menimbulkan deru yang dahsyat menghambur ke arah lawan.
"Uts...! Setan!" maki Ki Kenjono kaget, mendapatkan serangan balik yang tidak diduganya. Kalau sa-ja tidak cepat-cepat mengelak, tentu tubuhnya akan menjadi korban dari sabetan dan tusukan tongkat kayu hitam di tangan lawannya.
"Ha ha ha...!" Pengemis Tempurung Sakti tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Gandrana mampu mendesak Ki Kenjono. Hal itu membuktikan kalau Perkumpulan Pengemis bukanlah perkumpulan yang rendah, namun harus diperhitungkan di rimba persilatan. Serangan yang dilancarkan oleh Gandrana semakin membuat Ki Kenjono kewalahan. Nampaknya ilmu pedang yang selama ini dirasa cukup tangguh, tiada arti sama sekali menghadapi jurus-jurus 'Tongkat Kayu Hitam' yang dilancarkan Gandrana. Bahkan beberapa kali, Ki Kenjono hampir kecolongan oleh sabetan-sabetan tongkat itu.
Kelima pengemis yang lain tertawa riuh rendah menyaksikan bagaimana Ki Kenjono atau lebih dikenal dengan sebutan Pedang Iblis, kini mengalami ketegangan. Wajahnya pucat pasti, menyadari seranganserangannya tak satu pun yang mengenai sasaran.
Bahkan kini dia yang terdesak oleh lawan.
"Percuma mulutmu besar, Kenjono! Kalau ilmumu hanya kelas pasaran...! Ha ha ha...!" seru Pengemis Tempurung Sakti diikuti oleh gelak tawa.
Ucapan itu tentu saja membuat Ki Kenjono bertambah marah. Namun menyadari kedudukannya saat itu, Ki Kenjono tak mampu berbuat apa-apa. Jangankan untuk melawan Pengemis Tempurung Sakti, melawan anak buahnya saja dia sudah terdesak.
"Huh...! Memang aku saat ini kalah! Tapi setelah aku mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im, kepala kalian akan kupenggal satu persatu!" Usai berkata demikian, tanpa rasa malu sedikit pun Ki Kenjono segera melesat ke belakang. Kemudian dengan cepat meninggalkan kedai. Hal itu semakin membuat gerombolan pengemis itu tertawa bergelakgelak.
"Ha ha ha...!"
"Kalian lihat sendiri, bagaimana Perkumpulan Pengemis kini bukan kumpulan orang gembel. Perkumpulan Pengemis kini menjadi perkumpulan yang akan disegani oleh para pendekar rimba persilatan! Tak akan ada yang berani mencari penyakit dengan Perkumpulan Pengemis...," kata Pengemis Tempurung Sakti. Nadanya agak pongah dan sombong. Seakan-akan hanya dia dan anak buahnya saja yang memiliki ilmu tinggi. Selesai berkata begitu, Pengemis Tempurung Sakti segera mengajak kelima anak buahnya berlalu meninggalkan kedai.
"Pengemis gembel sombong...!" dengus para pendekar. Kesal juga mereka dengan tingkah laku dan kesombongan para pengemis itu. Terlebih pada Pengemis Tempurung Sakti. Kalau saja mereka memiliki ilmu yang tinggi, tentunya mereka akan melabrak para pengemis itu. Sepeninggal Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono, dan para pengemis, kedai kembali tenang. Bahkan kini satu persatu para pendekar meninggalkannya, untuk meneruskan mencari Titisan Dewi Kwan Im yang mereka dengar berada di Lembah Lamur.
-::₪ { 2 } ₪::-
Di saat suasana malam seperti ini, tampak seorang pemuda berwajah tampan dengan pakaian rompi kulit ular, tengah menyelusuri jalan yang gelap dan sepi. Seakan-akan pemuda tampan itu tak peduli dengan keadaan cuaca yang tak ramah. Wajahnya tampak menunduk penuh penyesalan.
Pemuda yang tak lain Sena atau Pendekar Gila itu baru saja berkunjung ke Perguruan Bintang Emas untuk membuktikan kebenaran cerita tentang kematian Dewi Pandagu. Sesampainya di sana, berita yang disampaikan dua lelaki di kedai itu ternyata benar.
Dewi Pandagu, wanita cantik yang telah membuatnya hanyut dalam arus asmara, telah tewas.
Hati Pendekar Gila remuk redam menyaksikan mayat Dewi Pandagu. Belum lagi peristiwa penculikan Mei Lie yang diculik entah oleh siapa. Lelaki yang men-culik Mei Lie sangat misterius. Datang begitu cepat dengan pakaian yang sama dengan pakaian Kauw Cien Lung (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Singa Jantan dari Cina").
Kalau saja saat itu Sena tidak tengah bertarung dengan Kauw Cien Lung, tentunya dia akan mengejar lelaki misterius itu.
"Setan!" maki Sena kesal. Kakinya menendang sebuah batu kecil yang ada di depannya.
Wut! Batu itu melesat jauh, bagai dilempar dengan kekuatan penuh. Sena menghela napas. Matanya menyapu ke sekelilingnya yang sepi dan senyap. Sebuah lembah yang dikepung perbukitan, dengan angin yang bertiup kencang laksana hembusan napas beribu mambang malam.
"Huk huk huuuk...!" Samar-samar telinga Sena menangkap suara aneh itu. Bulu kuduknya meremang. Langkahnya seketika terhenti. Matanya menyapu ke sekelilingnya dengan tajam, berusaha mencari asal suara menyeramkan yang baru saja didengarnya.
"Huk huk huuuk...!" Suara itu kembali terdengar. Suaranya persis seperti suara burung hantu. Namun Sena merasa yakin kalau itu bukan suara burung hantu. Dia telah biasa bergelut dengan kegelapan malam di dalam hutan. Sedikit banyak, telinganya telah akrab dengan suara burung hantu yang sebenarnya.
"Suara apa itu...?" desis Sena. Suaranya agak ke-lu, karena perasaannya tercekam. Bulu kuduknya meremang kembali.
Meski ketegangan menyelimuti jiwanya, namun entah mengapa Sena tetap berdiri di situ. Matanya masih mengamati dalam remang cahaya bulan. Sepertinya, Sena ingin menyaksikan apa yang akan terjadi di hadapannya dan meyakinkan suara yang baru saja didengarnya.
Ketika mata Sena menyapu tempat itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan putih. Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat, sampai-sampai tubuh Sena tersentak.
"Hei, siapa dia?" tanyanya pada diri sendiri. Kemudian tanpa banyak kata lagi, tubuhnya melesat cepat untuk mengejar bayangan putih yang sempat dilihatnya sekilas.
Bayangan putih itu berkelebat ke arah bukit di sebelah selatan, kemudian menghilang di balik bukit "Berhenti...!" seru Sena sambil terus berlari. Namun bayangan putih itu rupanya telah lebih dahulu menghilang. Karena begitu cepatnya menghilang, sampai Sena tak mampu mengejarnya.
"Edan!" umpat Sena jengkel. Pandangannya dis-apukan ke sekeliling tempat itu.
Namun tetap saja tidak ditemukan siapa pun di tempat itu. Padahal dia yakin kalau bayangan putih itu berlari ke tempatnya kini berdiri. Kalau bersembunyi rasanya tidak mungkin. Di sekeliling tempat itu tak ada sesuatu pun yang bisa digunakan untuk bersembunyi. Sena mengerutkan kening. Matanya masih mengamati sekitarnya yang semakin mencekam. Bulu kuduknya laGilagi meremang, setelah dia tidak berhasil menemukan bayangan putih tadi.
"Huk huk huuuk...!" Suara menyeramkan itu kembali terdengar. Sepertinya suara itu ada di dekatnya. Sena menajamkan telinga dan matanya, berusaha meyakinkan dari mana asal suara menyeramkan itu.
"Hm.... Aku yakin bukan hantu. Jelas sekali itu suara manusia," desis Sena. Tapi matanya belum juga menemukan tanda-tanda kalau bayangan putih itu akan muncul kembali.
Angin lembah semakin keras berhembus, membawa hawa dingin yang terasa menggigit. Dikawal oleh suara menyeramkan yang kembali terdengar.
"Aku harus hati-hati. Mungkin orang itu memiliki ilmu yang tinggi," gumam Sena dengan mata berkilat penuh kewaspadaan.
Wusss! Angin semakin berhembus kencang, bertemu di tengah-tengah lembah, kemudian bergulung-gulung membentuk pusaran yang besar dan kencang.
"Uh!" Sena tersentak kaget. Dengan mata membelalak, berusaha dihindarinya pusaran angin yang besar itu.
Tubuhnya melompat ke belakang dan bersalto dengan cepat. Namun pusaran angin itu seperti mengerti kalau lawannya berusaha mengelak. Angin itu terus bergulung ke arah Sena mengelak.
Wut! "Edan!" maki Sena kaget menyaksikan pusaran angin itu ternyata mengejarnya.
Seakan-akan angin itu memiliki mata.
"Kurang ajar! Ini bukan main-main!" Wusss...! Pusaran angin itu terus mengejar tubuh Pendekar Gila, memaksanya bersalto untuk mengelakkan serangan angin besar itu. Walau begitu, hampir saja tubuhnya dapat dihantam pusaran angin itu.
"Auh...! Kurang ajar! Hampir saja aku kena!" ma-ki Sena sambil terus melenting kian kemari. Bahkan kini dia harus menggunakan ilmu peringan tubuh 'Panca Guna' warisan Singo Edan.
Dengan menggunakan ilmu 'Panca Guna', kini tubuhnya dapat bergerak dengan ringan tanpa menginjak tanah. Tubuhnya bagaikan tak memiliki beban sedikit pun, tidak ubahnya sehelai bulu yang menari di atas angin.
"Aku harus dapat memecahkan pusaran angin ini," desis Sena sambil terus mengelitkan sambaran-sambaran pusaran angin yang keras dan terus memburu.
"Heaaa...!" Tubuh Sena melesat beberapa tombak ke belakang. Kemudian dengan menggunakan jurus 'Si Gila Mengaduk Samudera', Pendekar Gila kembali melesat.
Kini dia bertekad menerobos pusaran angin kencang itu. Tangannya disilangkan di depan, dengan jari-jari membentuk cengkeraman.
Kemudian kedua tangannya digerakkan seperti mengaduk-aduk samudera.
Wut..! Angin pusaran itu terus memburu maju, siap menelan tubuh Pendekar Gila yang melesat maju laksana elang dengan kedua tangan siap mengaduk-aduk.
"Yeaaa...!" Blasss! Tubuh Sena menyeruak ke dalam rongga pusaran angin itu. Tangannya terus bergerak, mengadukaduk pusaran angin yang telah menelan tubuhnya.
Namun pusaran angin itu bagai tak mengalami apaapa. Malah semakin keras Pendekar Gila berusaha menghancurkan, semakin keras pula tubuhnya digulung.
"Celaka!" pekik Sena dengan mata membelalak tegang, menyadari kalau semua pukulannya tak berarti sama sekali.
"Oh! Napas ku terasa sesak sekali.
Sepertinya, angin ini menyerap seluruh tenagaku." Sena kini merasakan otot di persendiannya bagai direjam. Tubuhnya terus bergulung, mengikuti pusaran angin itu. Namun dia tak mau mengalah begitu saja. Terus diserangnya pusaran angin itu. Pukulan saktinya segera dikerahkan.
"Pukulan 'Inti Bayu'. Yeaaah...!" Pukulan 'Inti Bayu' merupakan ajian yang mampu mengeluarkan angin deras dan besar. Bahkan mampu menerbangkan pohon raksasa sekalipun.
Wusss! Angin bertemu dengan angin. Keduanya berusaha saling mengalahkan. Namun pukulan 'Inti Bayu' yang dikerahkan Pendekar Gila ternyata tak mampu menghancurkan pusaran angin itu. Sena semakin terjepit. Nafasnya kian terasa sesak dan tersengal-sengal.
"Celaka! Pukulanku tak berarti...!" rintih Sena.
Pendekar Gila merasakan tulang-tulangnya bagai remuk, dihimpit dan digulung oleh pusaran angin itu.
Dan tubuhnya terpontang-panting di dalamnya.
"Oh, apa yang harus kulakukan?" tanya Sena setengah mengeluh.
"Ku coba dengan 'Inti Api'. Yeaaah...!" Tangan Pendekar Gila kini merah membara. Kemudian, nampaklah api melesat ketika Pendekar Gila menghantamkan tangannya ke arah pusaran angin itu.
Wusss! Dap, dap, dap...! Api yang meluncur dari tangan Pendekar Gila, padam seketika. Sepertinya, api yang kekuatannya seratus kali dari api biasa, tak ada gunanya sama sekali.
Pusaran angin itu semakin keras menghimpit tubuh Pendekar Gila. Membuatnya kian menderita akibat himpitan itu. Namun begitu, pantang baginya untuk mengalah atau pasrah. Dicabutnya Suling Naga Sakti. Kemudian dengan meringis menahan sakit, mulutnya segera meniup Suling Naga Sakti.
"Tuiiit, tuiiit..!" Alunan Suling Naga Sakti tercipta. Mulanya melantun lembut, namun semakin lama semakin melengking keras. Dari kedua mata di kepala naga pada pangkal suling itu, melesat selarik sinar merah ke pusaran angin.
Wusss! Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya sambil memutarkan arah mata naga di suling itu ke sekelilingnya, membuat larikan-larikan sinar dari mata naga laksana memotong pusaran angin itu.
Wusss, wusss...! Pusaran angin itu semakin lama semakin pelan.
Sampai akhirnya hilang sama sekali. Tubuh Pendekar Gila terpelanting, lalu jatuh terduduk.
"Hilang...!" seru Sena dengan mata membelalak, menyaksikan pusaran angin itu hilang dengan sendi-rinya, seakan raib begitu saja. Bahkan angin lembah yang semula kencang, kini turut menghilang.
Sena masih belum mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi di lembah itu. Juga dengan hilangnya angin yang membentuk pusaran, serta angin lembah yang tiba-tiba mereda. Tapi suara menyeramkan yang didengarnya tadi justru terdengar lagi.
"Huk huk huuuk...!" Sena seketika tersentak. Matanya menyapu ke sekelilingnya yang sepi dan mencekam untuk mencari asal suara yang didengarnya.
"Hm.... Tentunya suara itu sebagai tanda suara pertama," gumam Sena. Dongkol juga Sena menghadapi semuanya. Belum lagi rasa dukanya hilang karena kematian dan penculikan orang-orang yang dicintai, kini harus pula menghadapi hal aneh. Suling Naga Sakti diselipkannya di pinggang. Lalu tubuhnya tak bergeming, menunggu setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
"Huk huk huuuk...!"
"Keluarlah! Apa pun wujud mu, aku tak akan lari!" bentak Sena, yang semakin dibuat jengkel oleh suara itu. Hatinya yang sedang diliputi duka dan sedih, menjadi marah.
Wusss! Kembali terdengar suara angin bertiup keras, mengejutkan Pendekar Gila. Seketika tubuhnya berbalik, lalu memandang arah datangnya suara itu.
Mata Pendekar Gila membelalak. Mulutnya ternganga tanpa sadar, ketika menyaksikan sosok besar yang berada tiga tombak di hadapannya. Sosok menyeramkan yang tingginya melebihi bukit, dengan tubuh sebatas perut ke bawah diliputi oleh asap tebal berwarna gelap.
"Oh...! Makhluk apa itu"!" seru Sena dengan ma-ta masih membelalak dan mulut ternganga. Makhluk itu menyerupai monyet, namun telinganya panjang dengan ujung meruncing. Di kepalanya, terdapat tanduk yang berkilat tajam dan runcing. Mata makhluk itu besar, berwarna merah membara laksana api. Lidahnya juga merah, menjulur panjang. Dengus nafasnya terdengar keras. Tubuhnya dipenuhi bulu hitam kemerah-merahan. Kuku-kukunya panjang dan runcing.
"Hogm...!" Makhluk menyeramkan itu mengeluarkan suaranya yang memekakkan telinga.
Kaki Sena melangkah mundur dengan mata masih memandangi makhluk menyeramkan yang kelihatannya siap melakukan serangan terhadapnya.
"Hm.... Apa lagi yang akan terjadi?" gumam Sena sambil terus melangkah mundur.
Dia telah waspada penuh untuk mengelak, sekaligus membalas serangan yang akan dilakukan makhluk menyeramkan itu.
Makhluk tinggi besar menyeramkan itu kini menyerang ke arah Pendekar Gila. Sepasang tangannya yang besar berkuku panjang dan runcing, menyambar cepat. Sedang dari mulutnya tersembur api yang besar, siap membakar tubuh Pendekar Gila. Wosss! "Uts!" Sena segera melenting ke samping dengan bersalto beberapa kali untuk mengelakkan sambaran tangan makhluk menyeramkan itu. Lalu dengan cepat pula, tubuh Pendekar Gila melesat ke arah makhluk menyeramkan itu. Pukulan tenaga dalamnya dikerahkan untuk menghantam wajah makhluk itu.
"Heaaa...!" Makhluk menyeramkan itu tidak mengelak, seakan membiarkan pukulan tenaga dalam Pendekar Gila menghantam tubuhnya.
Desss! Mata Pendekar Gila membelalak dengan mulut menganga mendapatkan kenyataan yang sulit dipercaya. Pukulan saktinya bagai menghantam angin. Saat itu pula tangan makhluk menyeramkan itu menyambar ke arah tubuhnya.
Wut! "Uh!" Beruntung Pendekar Gila masih memiliki kewaspadaan tajam, sehingga mampu berkelit dari sambaran tangan makhluk itu. Tubuhnya melenting ke belakang, bersalto di udara beberapa kali, sebelum kakinya mendarat di tanah dengan ringan. Matanya memandang tajam pada makhluk menyeramkan yang ada di hadapannya, seakan tak percaya pada apa yang telah dialami. Wusss! Api membara kembali keluar dari mulut makhluk menyeramkan itu, menyambar ke arah tubuh Pendekar Gila. Sementara, Sena segera membuang tubuhnya dengan bersalto ke samping, kemudian dengan cepat balas menyerang.
"Yeaaah!" Tubuh Pendekar Gila yang sangat kecil dibandingkan makhluk menyeramkan itu, melesat cepat laksana terbang. Tangan kanannya mengepal. Sedangkan tangan kirinya diletakkan di depan dada. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Gila melontarkan pukulan saktinya.
"Yeaaa!" Wut..! Untuk yang kedua kalinya Pendekar Gila tersentak kaget mendapatkan pukulannya tak berarti apaapa. Makhluk menyeramkan itu bahkan dengan cepat membalas. Tangannya menyambar ke tubuh Pendekar Gila. Plak! "Ukh!" keluh Sena. Tubuhnya terpelanting ke belakang akibat hantaman tangan makhluk menyeramkan itu. Saat itu pula rasa panas menyengat tubuhnya. Pendekar Gila meringis, merasakan sakit pada tubuhnya. Segera dia bangkit sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian kakinya ditarik ke samping setengah menekuk dan tangannya menghantam ke depan. Itulah jurus 'Tamparan Sukma'. Dengan menggunakan jurus itu, Pendekar Gila berharap dapat mengalahkan makhluk menyeramkan itu.
Tubuh Pendekar Gila kembali melesat laksana terbang. Kemudian tangan kirinya melakukan tamparan ke wajah makhluk menyeramkan yang telah dijangkaunya. Blak! "Aaarghhh...!" Makhluk menyeramkan itu meraung keras, mendapat tamparan yang dirasakan hantaman ribuan halilintar yang menggelegar. Padahal gerakan yang dilakukan Pendekar Gila kelihatan sangat lemah dan pelan.
Bahkan dilakukan dengan mata terpejam serta hanya mengandalkan kekuatan jiwanya. Namun hasilnya sangat dahsyat Makhluk menyeramkan itu meraungraung kesakitan. Kemudian tubuhnya perlahan-lahan menghilang, berganti dengan kabut tebal yang terbang bersama angin.
"Hhh...," Sena menghela napas panjang. Matanya kembali menyapu ke sekelilingnya.
"Pendekar Gila, saat ini kau menang! Tapi tunggu pembalasanku...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang mengancam Pendekar Gila, sehingga membuatnya tersentak.
"Hei, siapa itu! Tunjukkan wujud mu!" bentak Sena. Tapi tak ada sahutan. Lembah itu kembali sepi, diselimuti kegelapan yang bisu.
Sena menghela napas. Pandangan matanya beredar ke sekeliling tempat itu. Kemudian setelah yakin tak ada apa-apa lagi, tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu untuk mencari Mei Lie.
-::₪ { 3 } ₪::-
Di dalam istana, tepatnya di dalam sebuah ruang kamar yang semuanya berwarna putih, nampak Dewi Pemuja Setan tengah duduk bersila. Di hadapannya terdapat dupa yang mengepulkan asap. Di sisi dupa, terdapat kembang tujuh warna.
Dewi Pemuja Setan memandang ke tempat tidur yang berwarna putih, dengan kelambu terbuat dari sutera putih. Di atas tempat tidur, tergeletak sesosok gadis cantik. Gadis itu berkulit kuning langsat, dengan rambut digelung dua di atas kepala. Berbaju putih len- gan panjang, serta bibir tipis dan hidung tidak begitu mancung. Ternyata dia adalah Mei Lie.
Dewi Pemuja Setan yang setiap kehadirannya senantiasa didahului oleh kabut tebal, nampak berparas cantik jelita. Berbaju putih seperti jubah, dengan ikat pinggang merah. Rambutnya terurai panjang dan ber-gelombang. Di kepalanya terdapat sebuah ikat kepala dengan hiasan tengkorak manusia.
"Hm...," Dewi Pemuja Setan bergumam tidak jelas.
"Singo Edan, kali ini kau akan mendapatkan balasanku! Begitu juga dengan muridmu!" Dewi Pemuja Setan memejamkan mata. Mulutnya komat kamit membaca mantera. Tangannya bersidekap di depan dada. Asap dupa semakin mengepul.
Bersamaan dengan itu, tubuh Dewi Pemuja Setan tergetar hebat.
"Mei Lie...!" panggilnya lirih.
"Uh," Mei Lie mengeluh.
"Bangunlah, Mei Lie! Bangunlah dari ragamu!" Roh Mei Lie menurut untuk bangun. Nampak samar-samar sebuah bayangan keluar dari tubuh Mei Lie lalu berdiri di hadapan Dewi Pemuja Setan yang duduk bersila.
"Ada apa Sri Ratu memanggilku?" terdengar suara arwah Mei Lie bertanya.
"Tugas untukmu! Bunuh orang yang kini hendak ke Lembah Lamur!" perintah Dewi Pemuja Setan.
"Baik, Sri Ratu," jawab roh Mei Lie.
"Berangkatlah. Aku akan mengiringi mu dengan Kabut Iblis! Kita harus bisa membuat semua orang persilatan membuka mata! Ha ha ha...!" Dewi Pemuja Setan tertawa terbahak-bahak.
Roh Mei Lie melayang keluar, meninggalkan kamarnya diikuti oleh Dewi Pemuja Setan yang masih tertawa terbahak-bahak.
***
"He he he...!" Ki Kenjono tertawa tergelak-gelak.
"Rupanya mereka tidak tahu di mana Lembah Lamur berada. Ah, akulah yang paling beruntung. Aku yang bakal mendapatkan Dewi Kwan Im." Ki Kenjono tersenyum-senyum seorang diri, merasa kalau dirinya yang bakal mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im.
"Akulah yang akan menjadi orang terhormat dan tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun juga. Ha ha ha...!" Ki Kenjono kembali tertawa sambil terus berlari menuju Lembah Lamur. Matanya terus menyapu ke sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan kalau hanya dia yang ada di tempat itu.
Saat Ki Kenjono tertawa-tawa sambil terus berlari ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba dilihatnya seorang gadis cantik jelita dengan senyum menawan tengah berdiri memandang ke arahnya seperti mengundang Ki Kenjono untuk mendekatinya.
Ki Kenjono seketika menghentikan larinya. Mulutnya ternganga, menyaksikan seorang gadis cantik jelita bak bidadari baru turun dari kahyangan berada di tengah lembah. Senyumnya sangat mempesona, membuat kecantikan gadis itu bagai tiada bandingannya. Gadis itu berkulit kuning langsat dengan rambut digelung dua di atas kepalanya. Matanya agak sipit.
Bibirnya tipis mungil. Hidungnya tidak terlalu mancung. Pakaian yang dikenakannya bergaya pakaian gadis Cina, berlengan panjang dengan lebar di ujungnya dan berwarna putih. Panjang pakaiannya sampai ke mata kaki.
"Oh! Mungkinkah dia Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Ki Kenjono dengan mata tidak berkedip, memaku pandangannya ke arah gadis Cina yang cantik jelita.
"Ya. Mungkin dialah Titisan Dewi Kwan Im." Ki Kenjono masih terpana tanpa gerak, menyaksikan kecantikan gadis itu. Diusapnya kedua matanya dengan tangan, berusaha meyakinkan penglihatannya.
Namun gadis cantik jelita itu tetap berdiri dengan ang-gun. Gadis cantik jelita itu tersenyum mengundang.
Matanya yang indah mengerjap-ngerjap seperti mata kelinci. Bibirnya merah merekah. Benar-benar tak ada cacat celanya.
Ki Kenjono membalas senyuman wanita cantik jelita itu. Kakinya melangkah pelan, berusaha menghampiri wanita cantik jelita yang sebagian kakinya diselimuti kabut tebal, sehingga tidak nampak dari lutut ke bawah.
"Sungguh beruntung aku. Rupanya akulah yang akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im," kata Ki Kenjono dengan senyum mengembang di bibir. Kakinya melangkah setapak demi setapak menuju Lembah Lamur yang tinggal beberapa tombak saja.
Kabut semakin tebal menyelimuti Lembah Lamur yang kian mencekam. Meski terik matahari terasa menyengat, namun sinarnya tiada berarti sama sekali, terhalang gumpalan kabut pekat yang merambah lembah. Ki Kenjono yang dalam kegembiraannya, tak lagi sempat berpikir panjang.
Langkah kakinya semakin dipercepat. Dan ketika dia masuk ke dalam kabut itu, seketika dirasakannya sesuatu yang lain.
"Oh, di mana aku" Di mana gadis Titisan Dewi Kwan Im itu?" gumam Ki Kenjono kebingungan. Matanya menyapu ke sekelilingnya yang terasa asing. Gadis cantik yang dilihatnya tadi kini tak ada lagi. Matanya hanya menangkap hutan belantara yang masih perawan, belum pernah dijamah tangan manusia.
"Mengapa aku ada di sini...?" tanya Ki Kenjono terheran-heran, masih belum mengerti mengapa tiba-tiba dia telah berada di tempat yang asing. Padahal dia tadi berada di lembah tanpa satu pun pepohonan.
Yang ada hanya perbukitan yang mengelilingi lembah tersebut.
"Hik hik hik...!" Terdengar tawa terkikik yang menyeramkan. Suara tawa seorang wanita yang membuat bulu kuduk Ki Kenjono meremang hebat. Meski dari aliran sesat, namun selama ini baru didengarnya tawa wanita yang mengikik seperti itu.
Mata Ki Kenjono membelalak tegang dan menyapu ke sekelilingnya dengan perasaan tercekam.
"Hik hik hik...!" Tawa wanita itu kembali terdengar. Bergema di sekelilingnya. Membuat Ki Kenjono kian tegang. Tangannya kini bergerak ke gagang Pedang Iblisnya, kemudian pedang itu ditarik dari sarungnya.
Ki Kenjono kini mempersiapkan Pedang Iblisnya untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Matanya masih menyapu ke sekelilingnya yang asing. Suasana di tempat itu terasa kian memompa degup jantungnya. Suara-suara aneh, terdengar susulmenyusul. Bagaikan panggilan dari alam kematian.
"Hih!" Ki Kenjono mengibaskan tubuhnya ketika bulu kuduknya bertambah meremang.
Dan ketika kepalanya menengok ke belakang, seketika matanya membelalak lebar hampir keluar. Cepat-cepat tubuhnya melompat ke belakang untuk mengelakkan sambaran tangan besar berbulu lebat menyeramkan.
"Hogrrrh...!" Dengus napas makhluk itu sangat menyeramkan.
Apalagi tubuhnya yang tinggi besar, hitam, dan berbu-lu lebat. Matanya merah membara laksana api neraka.
Taringnya mencuat keluar dari mulutnya, menghias sudut-sudut bibirnya hingga tampak bertambah menyeramkan. Di atas kepalanya mencuat pula sepasang tanduk seruncing mata tombak. Meski wajahnya tampak seperti kera, namun sulit sekali makhluk itu disebut hewan. Lebih tepat jika disebut mambang atau sejenisnya.
"Uh, makhluk apakah ini?" keluh Ki Kenjono dengan mata masih membelalak, menyaksikan makhluk menyeramkan yang berdiri sepuluh tombak di depannya.
"Hogrrr...!" Makhluk menyeramkan itu kembali menggeram, kemudian tangannya bergerak menyambar ke arah Ki Kenjono. Angin sambarannya sangat keras, menyentakkan Ki Kenjono.
"Edan!" umpat Ki Kenjono sambil melompat mengelakkan sambaran tangan makhluk menyeramkan itu. Kemudian dengan cepat, pedangnya dibabatkan.
Wut! Tepat sekali pedang di tangan Ki Kenjono membabat tangan makhluk menyeramkan itu, namun pedang itu bagai tak berarti. Makhluk menyeramkan itu tidak luka sedikit pun. Bahkan nampak bertambah beringas.
"Edan! Benar-benar setan!" maki Ki Kenjono sambil menghindari sambaran tangan makhluk yang sebagian tubuhnya terbungkus kabut tebal. Yang tampak hanya bagian perut hingga kepalanya saja.
Ki Kenjono terus bersalto, berusaha mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan makhluk menyeramkan yang berwajah kera, namun memiliki taring dan tanduk. Dengus napas makhluk itu laksana angin kencang yang menyapu tubuh Ki Kenjono.
"Uts! Ilmu sihir!" umpat Ki Kenjono setelah beberapa kali menyabetkan pedang ke tubuh makhluk itu, namun tidak mendapatkan hasil apa-apa. Pedangnya laksana membabat angin belaka. Hal itulah yang membuat dia merasa yakin kalau makhluk menyeramkan itu tak lain hanya ciptaan dari ilmu sihir.
Tangan makhluk menyeramkan itu kini mencoba mencengkeram tubuh Ki Kenjono. Namun Ki Kenjono terus berkelit dengan melepas pukulan saktinya.
Wesss! Selarik sinar terbersit keluar dari telapak tangan Ki Kenjono, lalu menghantam tubuh makhluk menyeramkan itu. Namun tetap saja makhluk itu tidak mengalami apa-apa. Malah wajahnya semakin garang berapi-api. Tangannya bergantian menyabet tubuh Ki Kenjono, membuat lelaki itu kewalahan.
"Gila! Bisa-bisa tenagaku habis!" rutuk Ki Kenjono. Keringat semakin membasahi pakaiannya. Pukulan-pukulan sakti yang dihantamkan ke arah makhluk menyeramkan itu rupanya telah menguras tenaga dalamnya. Tapi makhluk menyeramkan itu bagai karang kokoh yang tak bergeming ditampar ombak.
"Hogrrr...!" Makhluk menyeramkan itu kini menyerang dengan kuku-kukunya yang hitam dan panjang. Mencengkeram ke arah Ki Kenjono yang semakin kewalahan.
"Uts!" Beberapa kali Ki Kenjono dibuat pontang-panting ke sana kemari untuk mengelakkan sambaransambaran tangan makhluk itu. Pedang Iblis di tangannya tak berarti sama sekali. Makhluk itu semakin ganas dan menyerang dengan membabi-buta. Geramangeramannya membuat suasana di sekitar tempat itu menjadi bergetar.
***
Pada saat nyawanya dihadapkan pada gerbang kematian, Ki Kenjono kembali mendengar suara tawa wanita yang ganjil tadi. Tawa melengking itu menggema di sekelilingnya. Bersamaan dengan itu berkelebat sebuah bayangan putih.
"Dewi Kwan Im!" seru Ki Kenjono dengan mata membelalak, menyaksikan sosok wanita cantik berkelebat ke arahnya. Di tangan wanita itu tergenggam sebilah pedang yang memancarkan cahaya merah kekuning-kuningan.
"Hik hik hik...!" Wanita cantik jelita itu kembali tertawa-tawa. Pedang di tangannya seketika berkelebat cepat, membabat ke arah tubuh Ki Kenjono.
Cras! "Uhk! Aaakh...!" Ki Kenjono melolong panjang, tidak mampu mengelakkan serangan yang dilancarkan gadis cantik itu. Matanya membelalak lebar. Wajahnya kini tersayat hingga mengucurkan darah. Sebuah luka bekas babatan, menganga dari atas ke bawah wajahnya. Ki Kenjono seketika meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
"Hik hik hik...!" Wanita cantik itu kembali tertawa terkikik, lalu dengan cepat tangannya mencengkeram tubuh Ki Kenjono. Bersamaan dengan itu, makhluk menyeramkan yang tadi menyerang Ki Kenjono lenyap begitu saja.
Wanita cantik itu pun berkelebat sambil membawa tubuh Ki Kenjono, dan menghilang dalam kegelapan hutan. Seketika itu juga, kabut bergulung dengan cepat. Berarak pergi, membawa semua misteri yang ada. Suasana Lembah Lamur kembali hening dan sepi, menyimpan sejuta tanda tanya. Kini keadaan nampak kembali seperti semula. Sebuah lembah yang gersang dan sepi. Dan debu-debunya beterbangan tersapu angin. Mentari telah condong ke arah barat, menandakan hari menjelang sore. Angin bertiup sepoi-sepoi, sehingga suasana di sekitar tempat itu menjadi sejuk.
Saat itu, tiga orang laki-laki dengan pakaian In dia tampak melangkah menuju Lembah Lamur. Ketiganya berhidung mancung dengan kumis tebal melintang. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki gemuk berpakaian kulit kambing. Wajah pemimpin mereka yang bernama Amal Meshk, nampak bengis. Cambang bauk kasar menghiasi wajahnya. Alis mata dan bibirnya tebal. Lelaki gemuk itu sengaja datang dari daratan India. Dia adalah Ketua Perguruan Samarakasta, sebuah perguruan besar di tanah India. Tentunya kedatangan mereka berkaitan erat dengan berita tentang Titisan Dewi Kwan Im. Di belakang lelaki gemuk itu, berjalan dua lelaki bertubuh gempal. Wajah kedua lelaki ini pun dipenuhi cambang bauk yang kasar, membuat kesan wajah mereka terlihat bengis pula. Pakaian keduanya juga terbuat dari kulit kambing berwarna belang. Di tangan orang sebelah kin, tergenggam sebuah lambang dari perguruan mereka dengan gambar seekor elang hitam.
"Masih jauhkah Lembah Lamur, Ketua?" tanya Rabindra, orang yang berjalan di sebelah kanan belakang sang Ketua.
"Hm.... Kurasa tidak. Bukankah orang itu menunjukkan di sekitar sini," guman sang Ketua yang bernama Amal Meshk atau Elang Hitam. Matanya memandang ke depan, pada sebuah lembah yang membentang, sepi dan gersang. Di sana debu beterbangan tertiup angin. Saat kaki mereka melangkah ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba angin bertiup kencang. Hal itu membuat Amal Meshk dan anak buahnya tersentak. Mereka membelalakkan mata, memandang kaget ke arah Lembah Lamur.
"Hei, lihat! Angin itu datangnya dari bukit! Ah, aneh sekali. Seakan ada yang mendatangkan angin itu!" seru Amal Meshk sambil melangkah mundur, berusaha menahan tubuhnya yang gemuk dari sapuan angin lembah yang kencang.
Wusss! Angin lembah semakin kencang, menderu-deru ke arah mereka. Angin itu seperti sengaja ditujukan kepada mereka, hingga hembusannya hanya ke arah mereka saja.
"Awas...! Jelas ini ada yang sengaja mengarahkan angin ke arah kita...!" seru Amal Meshk, mengingatkan anak buahnya agar berhati-hati.
Wusss! "Celaka! Angin ini benar-benar bukan angin alam! Angin ini sengaja dibuat oleh seseorang untuk menghalangi niat kita...!" seru Amal Meshk.
"Kajit Singh, cepat kau bertindak!" Lelaki yang memegang panji segera bertindak.
Dengan teriakan yang menggelegar, Kajit Singh melesat "Yeaaah...!" Tangan Kajit Singh bergerak cepat, saling silang dan kemudian mengibas. Dari gerakan tangannya, keluar angin yang begitu cepat. Semakin cepat tangan Kajit Singh bergerak, semakin cepat pula angin berhembus. Perlahan-lahan angin yang menderu ke arah mereka dapat diatasi. Kini angin yang keluar dari tangan Kajit Singh, terus menekan angin yang datangnya dari bukit. Pada saat itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan putih. Begitu cepat bayangan itu berkelebat sampai-sampai mereka tidak dapat melihat dengan pasti bagaimana rupanya.
Kajit Singh tersentak kaget. Matanya membelalak. Dia berusaha menghindar, namun ternyata babatan pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuningkuningan di tangan bayangan putih itu lebih cepat membabat wajah Kajit Singh.
Cras! "Aaa...!" Kajit Singh memekik keras. Tangannya seketika menutupi wajahnya yang terbabat pedang. Darah deras keluar membanjiri wajahnya. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Amal Meshk tersentak kaget, menyaksikan seorang anak buahnya dapat dirobohkan oleh bayangan putih yang belum jelas siapa orangnya.
"Kajit...!" Amal Meshk hendak lari mendekati tubuh Kajit Singh, namun angin kembali berhembus kencang.
"Angin keparat!" maid Amal Meshk marah. Dengan beringas, tangannya bergerak, menyapu deru angin yang menyerang ke arahnya.
"Yeaaat...!" Amal Meshk yang sudah marah tak lagi menghiraukan apa yang bakal terjadi. Tubuhnya terus berkelebat sambil menggerak-gerakkan tangan.
"Keluarlah kau! Hadapi Amal Meshk!" bentak Amal Meshk penuh kemarahan, menantang bayangan putih yang tiba-tiba saja menjadi malaikat maut bagi Kajit Singh.
Wusss! Angin kembali menderu kencang. Pada saat itu, sebuah sosok bayangan putih yang memegang pedang bersinar merah kekuning-kuningan kembali muncul.
Bayangan itu berkelebat cepat, kemudian tangannya bergerak membabatkan pedang ke arah Amal Meshk.
Amal Meshk tersentak. Tubuhnya menyurut mundur, kemudian segera mengelakkan babatan pedang itu. Tangannya dengan sigap mencabut senjatanya yang berbentuk cakar elang. Kemudian dengan membuat jurus 'Elang Hitam Mengepak Sayap Mencengkeram Mangsa', Amal Meshk balas menyerang.
"Kau...!" Amal Meshk terperanjat ketika melihat wajah bayangan putih itu. Namun hanya itu yang keluar dari mulutnya. Matanya membelalak, menyaksikan sinar terang yang terpancar dari pedang dan tubuh bayangan putih itu. Setelah itu, pedang bersinar merah kekuning-kuningan telah menebas wajahnya.
"Aaa...!" Amal Meshk memekik. Di wajahnya nampak sayatan pedang dari atas sampai ke bawah, seakan membelah wajahnya. Matanya melotot tubuhnya mengejang sebelum ambruk tanpa nyawa. Begitu juga dengan seorang anak buahnya yang lain.
Suasana Lembah Lamur kembali sepi, hanya tiupan angin yang menderu kencang dan sesosok bayangan putih yang masih berada di lembah itu. Sedangkan ketiga orang India itu telah bergelimpangan menjadi mayat "Hik hik hik...!" Bayangan putih itu tertawa, lalu melesat dengan membawa tiga tubuh yang menjadi korbannya. Kemudian, menghilang dalam gulungan kabut yang tebal.
-::₪ { 4 } ₪::-
"Mei Lie, di manakah kau berada" Ah, telah jauh sekali aku berjalan mencarimu.
Bahkan entah di mana aku kini berada. Mungkin aku telah sampai di perbatasan wilayah tengah dan timur," desis Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya tersenyum hampa.
Kaki Sena terus melangkah menyelusuri jalan, sampai akhirnya dia tiba di dekat sebuah bangunan tua. Malam telah larut dengan kegelapan yang menyelimuti bumi. Udara terasa sangat dingin, menusuk tulang sumsum. Kabut bergerak perlahan, melengkapi kegelapan malam yang semakin mencekam.
"Auuung...!" Lolongan anjing hutan dari kejauhan terdengar mendirikan bulu kuduk yang mendengarnya. Namun Sena tak menghiraukan. Dia malah tertawa cekikikan.
Tingkah lakunya seperti orang gila atau terlihat seperti kera kebingungan.
Bangunan tua menjulang tinggi dengan megah.
Meski dalam kegelapan, namun mata Sena mampu melihat kemegahan bangunan itu.
Mata Sena menatap puncak bangunan sekaligus menatap langit yang gelap. Malam itu tiada satu pun bintang terlihat, terlebih bulan. Langit hanya dipadati oleh arakan mega berwarna pekat "Hi hi hi.... Malam gelap. Ah..., gulita," gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa tergelak-gelak.
Angin berhembus semakin dingin, dibarengi oleh kabut yang kian mencekam.
"Auuung...!" Lolongan anjing hutan terdengar sayup-sayup.
Sinar lidah petir berkilat, membuat suasana di sekeliling tempat itu untuk sementara tenang. Saat itulah matanya melihat sesosok tubuh berjalan terhuyunghuyung. Nampak orang itu tengah terluka dalam.
"Hei, siapakah itu"!" tegur Sena setengah berteriak.
"Hi hi hi.... Rupanya aku tidak sendiri?" Orang itu berkelebat cepat ketika mendengar teguran Sena. Hal itu membuat semakin membuat Sena penasaran.
"Lho, kenapa lari"! Eit, tunggu! Hi hi hi...!" Sambil tertawa terkikik-kikik, Sena berkelebat mengejar. Namun bayangan itu seketika menghilang seakan raib begitu saja, membuat mata Pendekar Gila membelalak. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Keningnya berkerut.
"Hilang! Ah, dia menghilang!" Merasa belum yakin kalau bayangan itu hilang, Sena berusaha mencarinya. Sekeliling tempat itu dije-lajahinya. Tapi bayangan itu tetap tak ditemukan, lenyap bagai ditelan bumi.
"Ah ah ah.... Kenapa bersembunyi" Hi hi hi...!" Sena mengerutkan kening. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke sekelilingnya, berusaha meyakinkan bahwa bayangan yang tadi dilihatnya benar-benar telah menghilang.
"Hi hi hi.... Aneh, dia menghilang. Hm, siapakah orang itu" Apa mungkin setan...?" pikir Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya terus menyapu ke sekelilingnya, berusaha mencari bayangan itu.
"Ah ah ah.... Setan?" Clrrrt...! Glarrr! Kilatan lidah petir kembali menyala, membuat sekeliling tempat itu kembali terang. Dan seketika itu pula, Sena kembali melihat bayangan hitam itu yang melangkah beberapa puluh tombak di hadapannya.
"Aha...! Rupanya dia sengaja mempermainkan ku!" duga Sena berbisik, merasa dirinya dipermainkan.
"Hi hi hi.... Baik kalau begitu." Tubuh Sena kembali melesat, memburu ke arah bayangan hitam itu. Namun laGilagi bayangan hitam itu melesat pergi, seakan mengetahui kalau dirinya di-kejar.
"Setan! Tunggu....
He he he.... Jangan lari!" Dengan masih tertawa-tawa, Pendekar Gila berusaha mengejar bayangan hitam itu. Namun kembali dia kehilangan jejak. Bayangan hitam itu hilang begitu sa-ja, seperti dilahap kegelapan. Tinggal Sena yang menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Keningnya di- tepuk.
"Oh! Kenapa dia menghilang"!"
"Auuung...!" Lolongan anjing hutan dari kejauhan berkumandang. Begitu memelas lolongannya. Tak ubahnya arwah-arwah penasaran yang terhimpit di antara dua kehidupan, dan sulit untuk menembusnya.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa lucu. Tampangnya seperti orang bodoh. Seluruh panca inderanya dipusatkan menjadi satu, sehingga jika ada gerak sedikit saja, dia akan dapat menangkapnya. Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu. Hanya kegelapan mencekam yang dilihatnya. Tak ada tanda-tanda bayangan itu akan kembali muncul.
Kilat kembali menjilati bumi, membuat suasana di sekeliling tempat itu kembali terang. Pada saat itu pula, bayangan hitam itu tampak sekali lagi. Dan kini telah berada di depan pintu bangunan tua yang tinggi itu.
"Hi hi hi.... Dia sudah ada di sana," gumam Sena.
"Hm, rupanya dia benar-benar ingin mempermainkan aku! Heh...!" Sena kembali berkelebat ke arah bangunan tua itu, memburu bayangan hitam yang tengah berdiri tenang. Seakan tidak pernah beranjak dari tempat itu.
"Hi hi hi...! Rupanya kau hendak mempermainkan ku, Sobat! Baik kalau kau mau main kucingkucingan denganku!" kata Sena agak sewot, merasa dipermainkan oleh bayangan hitam itu. Dan kini ilmu lari 'Sapta Bayu' dikerahkannya, berusaha menangkap bayangan hitam yang begitu cepat menghilang.
Wusss! Tubuh Sena dalam sekejap saja telah melesat laksana angin. Tahu-tahu tubuhnya telah berada di dekat bayangan hitam yang hendak lari kembali. Dengan cepat, Sena segera menghadangnya.
"Mau lari ke mana kau"!" bentak Sena.
Tangan Pendekar Gila bergerak cepat, berusaha menangkap bayangan hitam itu. Namun belum juga tangannya sempat menjamah, tiba-tiba....
"Anak tolol!" Sena tersentak kaget dibentak begitu rupa. Belum pernah dia dibentak seperti itu. Tapi kini bayangan hitam itu telah berani membentaknya. Bahkan bentakannya sangat kasar dengan suara yang menggelegar. Tubuh Sena tersurut dua tindak ke belakang.
Keningnya mengerut saat memandang bayangan hitam yang masih membelakangi tubuhnya.
"Hi hi hi...! Siapakah kau"!" tanya Sena.
"Kenapa kau membentak ku?"
"Hua ha ha...! Dasar bocah edan!" maki bayangan hitam itu.
"Ketololan mu yang akan membuatmu celaka!"
"Heh"! Hi hi hi...!" Sena menggaruk-garuk kepala.
"Kau...." Belum juga Sena selesai berkata, lelaki itu membuka jubah hitamnya. Kini nampaklah lelaki yang mengenakan baju panjang berwarna putih dengan ikat pinggang merah dan rambut digelung ke atas.
"Aha, Guru rupanya...!" seru Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan. Tubuh lelaki tua itu membalik. Dan nampaklah wajah Singo Edan.
"Hua ha ha...!" Singo Edan tertawa tergelak-gelak.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti yang dilakukan Sena. Hal itu menggelitik Sena untuk turut tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Kenapa Guru ada di sini?" tanya Se-na seraya menjura hormat Mata Singo Edan melotot.
"Dasar anak tolol! Rupanya ketololan mu yang membuatmu tak tahu gelagat!" maki Singo Edan, dengan tingkah laku seperti orang gila.
"Tolol..." Hi hi hi..! Bukan tolol, tapi gila, Guru!" sahut Sena sambil tertawa bergelak dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Guru dan murid itu tertawa bergelak-gelak. Seakan ingin memuaskan suka hati mereka. Tingkah laku mereka persis dua orang gila.
Singo Edan lalu melangkah ke dalam bangunan tua itu, diikuti Sena.
"Ikut aku!" bentak Singo Edan.
"Hi hi hi... Baik, Guru." Guru dan murid itu menuju ke bangunan tua yang menyerupai candi itu, lalu masuk ke dalamnya.
Keduanya berhenti di sebuah ruangan yang cukup luas dalam keadaan gelap gulita.
Keduanya kemudian duduk berhadap-hadapan di ruangan itu. Singo Edan menggosok-gosok kuku jarinya. Seketika dari kuku jarinya keluar percikan api, yang semakin lama bertambah besar. Dalam sekejap ruangan itu menjadi terang.
"Bocah tolol! Tentunya kau lapar, bukan?"
"Lapar" Hi hi hi..! Ya. Aku lapar, Guru," jawab Sena.
"Hua ha ha...! Memang dari dulu hanya makan yang kau pikirkan, Bocah Edan! Kau benar-benar edan...!" maki Singo Edan. Matanya memandang tajam muridnya yang duduk di hadapannya.
"Ku bawakan kau makanan. Lihatlah...!" Sena mengikuti telunjuk gurunya. Seketika matanya membelalak, menyaksikan sesuatu yang terasa sangat aneh baginya. Tiga buah kepala manusia tertancap dengan bambu! Sejak kapan guruku berbuat keji" Oh, benarkah ini guruku yang dulu baik" Tanya Sena dalam hati.
Namun wajahnya seketika kembali seperti semula.
"Ha ha ha...! Lucu sekali. Apakah itu permainan Guru sekarang?"
"Hua ha ha...!" Singo Edan turut tertawa.
"Kau rupanya kaget, Bocah Edan?"
"Kaget" Ha ha ha...!" Sena tertawa bergelak-gelak dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala.
"Kaget Guru" Aku hanya heran, sejak kapan Guru memiliki permainan seperti ini?"
"Kurang ajar! Sejak kapan kau berani menentang gurumu, heh"!" sentak Singo Edan marah. Matanya melotot geram. Api yang menyala dari kuku-kukunya kian besar. Seakan api itu merupakan lambang dari jiwa lelaki tua itu.
"Ampun, Guru.... Sebenarnya, tidak sekali pun aku berani kurang ajar padamu. Tapi...."
"Diam!" bentak Singo Edan. Sena menurut "Ketahuilah olehmu, kepala itu adalah kepala mereka yang berani menentang ku!" tegas Singo Edan, semakin membuat Sena tercengang. Dia benar-benar merasa aneh dengan tingkah laku dan kata-kata gurunya. Tapi sebagai seorang murid yang berbakti, Sena tak mampu membantah. Hanya dalam hatinya saja yang masih diliputi ketidakmengertian.
Plok, plok, plok! Singo Edan bertepuk tiga kali.
Dan sesaat kemudian, dari dalam candi muncul tujuh wanita cantik jelita dengan pakaian yang minim.
Hanya pada bagian dada dan bawah pusar saja yang ditutupi. Itu pun sangat minim sekali. Hal itu membuat Sena kian kebingungan, tak mengerti maksud dari gurunya. Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nampak cengengesan, menyaksikan pemandangan yang membuat matanya membelalak. Rasa herannya semakin menjadi-jadi, semakin tidak mengerti dengan maksud gurunya.
***
Kemudian ketujuh gadis cantik itu menjura hormat, sebelum melangkah meninggalkan tempat itu.
"Guru...."
"Diamlah!" potong Singo Edan.
"Bukankah kau lapar"! Jangan sekali-kali berani menentang ku, jika kau tak ingin seperti ketiga lelaki itu." Sena kembali menurut. Bukannya dia takut kepalanya dipenggal, namun dia diam karena harus menghormati lelaki tua di hadapannya. Sebagai orang yang berjasa mengajarkannya ilmu kedigdayaan.
Plok, plok, plok! Singo Edan kembali bertepuk tiga kali. Saat itu pula, ketujuh gadis-gadis cantik berpakaian minim keluar. Di tangan mereka, terdapat makanan-makanan lezat yang mengundang selera. Nasi putih yang masih panas. Ikan bakar. Sambal lengkap dengan lalap petai.
Serta sayur-mayur lainnya. Tidak ketinggalan buahbuahan segar. Mata Sena membelalak lebar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya dikucek-kucek, namun semuanya masih tetap ada. Gadis-gadis cantik berpakaian minim dengan makanan-makanan lezat, masih dilihatnya. O, bukan mimpi. Ah, sejak kapan Guru bertabiat begini" Tanya Sena dalam hati. Hatinya masih diliputi ketidakmengertian atas sikap gurunya yang begitu aneh. Meski dia tahu gurunya juga aneh seperti dirinya, namun keanehannya kini di luar kebiasaan.
Singo Edan adalah pendekar yang tidak pernah berhubungan dengan wanita. Bagaimana mungkin kini memiliki dayang-dayang cantik" Hal lain, Singo Edan tak pernah memenggal kepala manusia. Tapi kini tiga orang telah terpenggal kepalanya. Itu yang tidak dapat dipercaya Sena.
"Ayo makan," perintah Singo Edan.
"Guru, aku masih belum mengerti," tukas Sena.
"Hm.... Ada apa lagi...?" Sena menghela napas berat. Matanya memandang tujuh dayang cantik jelita yang duduk di samping kanan dan kiri gurunya.
Kemudian pandangannya kembali ke arah kepala-kepala yang terpenggal itu. Terakhir pandangannya tertuju ke makanan lezat yang mengundang selera.
"Guru, kau telah begitu baik padaku. Tapi..., bagaimana mungkin aku harus lancang mendahuluimu?" tanya Sena yang merasa ragu akan makanan-makanan yang terlihat lezat itu.
"Ha ha ha...!" Singo Edan tertawa terbahak-bahak. Matanya memandang genit ke arah dayang- dayang cantik yang duduk di kanan-kirinya. Dibalas pula oleh ketujuh gadis cantik itu dengan genit.
"Rupanya kau sekarang sudah kurang ajar pada gurumu, heh"!" Akhirnya, sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan, Sena menurut. Diambilnya makanan yang ada di depannya. Dicicipinya makanan itu. Lezat juga rasanya. Jauh lebih lezat dari makanan yang biasa dimakannya. Aneh, makanan ini enak sekali! Kata Sena dalam hati.
"He, mengapa tidak dimakan semuanya?" tanya Singo Edan dengan raut wajah tak senang.
"Bukan begitu, Guru. Bukankah Guru sendiri yang mengajarkan padaku, bahwa aku harus waspada.
Guru juga mengatakan, aku tidak boleh percaya pada siapa pun, termasuk Guru sendiri...?" jawab Sena be-ralasan. Padahal hatinya merasakan sesuatu yang tidak beres pada diri gurunya. Itu sebabnya dia tidak berani berlaku sembrono. Terlebih makanan di hadapannya sangat merangsang selera. Seakan ada bumbu lain pada makanan itu.
"Ha ha ha...! Benar apa yang kau katakan," kata Singo Edan sambil tertawa nyaring.
"Baiklah, aku akan mendahuluinya." Singo Edan segera mengambil makanan itu. Kemudian menyantapnya sampai habis dengan tersenyum-senyum. Sedangkan Sena memperhatikan dengan seksama. Meski dia kebal terhadap racun apa pun, namun Sena tidak berani gegabah. Racun Kabut Ungu adalah ciptaan gurunya. Tentunya Singo Edan pun memiliki racun yang melebihi Racun Kabut Ungu.
"Kau lihat, aku tak apa-apa. Makanlah, tentunya kau lapar," perintah Singo Edan.
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian makanan itu diambilnya. Lalu dimakan sampai habis. Tak ada akibat apa-apa pada dirinya.
"Ha ha ha...! Bagus! Itu tandanya kau murid yang paling setia dan berbakti!" kata Singo Edan sambil tertawa-tawa.
Sena turut tertawa. Namun tiba-tiba tubuhnya terasa membara. Keringat dingin bercucuran. Matanya membelalak, merasakan sakit yang tiada taranya. Pada saat itu, telinganya mendengar jeritan Mei Lie. Sepertinya gadis itu memanggil-manggil namanya dan me- minta tolong padanya.
"Sena...! Tolong aku...!"
"Mei Lie, di mana kau"!" Dalam keadaan tubuh didera panas hebat, Sena berusaha bangun. Namun tubuhnya seketika lemas.
Tulang-belulangnya bagai dilolosi dari tubuh. Hal itu membuat matanya kini memandang tajam pada lelaki yang persis gurunya.
"Hua ha ha...! Akhirnya kau akan mampus juga, Pendekar Gila! Hua ha ha...!" lelaki tua yang dari tubuh, suara, serta wajahnya persis dengan Singo Edan terbahak-bahak menyaksikan Pendekar Gila kini berkelojotan dengan tubuh bagai membara.
"Kau"! Siapa kau sebenarnya"!" bentak Sena sambil berusaha memulihkan kekuatannya. Tapi racun yang telah dimakannya teramat kuat mencengkeram tubuhnya.
"Hua ha ha...! Siapa pun aku, kau tak perlu tahu! Yang pasti, kau harus mampus!" lelaki yang penampi-lannya persis Singo Edan kini mengangkat kedua tangannya. Dan dari telapak tangannya, terpancar sinar merah kehitam-hitaman.
"Sena...! Tolong aku...!" Suara Mei Lie masih saja terdengar, memanggilmanggil Sena yang dalam keadaan kritis. Terlebih tangan lelaki di hadapannya semakin dekat ke arah kepala Sena yang kini masih bergelinjangan.
"Mampuslah kau! Yeaaa...!" Sesaat lagi, nyawa Pendekar Gila akan melayang.
Kepalanya akan hancur dihantam oleh pukulan maut lelaki itu. Sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat menyambar tubuh Pendekar Gila sambil menangkis pukulan tangan lelaki itu.
Blarrr! Ledakan terdengar menggelegar, dibarengi oleh keluhan lelaki yang mirip Singo Edan. Tubuh lelaki itu terdorong ke belakang.
Sedangkan ketujuh gadis yang menjadi dayangnya berpentalan dengan keadaan yang mengerikan. Wajah mereka hancur, terkena tenaga hantaman dua kekuatan dahsyat.
"Ukh...! Setan alas! Siapa kau..."!" bentak lelaki mirip Singo Edan seraya bangkit dan mengejar bayangan putih yang telah membawa tubuh Pendekar Gila.
Namun bayangan putih itu telah menghilang dalam kegelapan. Dengan mencaci maki dan merutuk, lelaki tua itu berkelebat pergi. Tubuhnya terbungkus oleh kabut tebal, kemudian lenyap dalam sekejap.
-::₪ { 5 } ₪::-
Orang itu menghentikan langkahnya. Matanya menyapu ke sekelilingnya, seakan meyakinkan diri kalau tak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah yakin tak ada seorang pun yang melihat, dengan memanggul tubuh Pendekar Gila tubuhnya melenting ke atas.
"Hih!" Tubuh orang itu bersalto di atas lautan, kemudian dengan ringan melesat masuk ke dalam karang besar yang menonjol di lautan. Dan kakinya mendarat ringan di depan sebuah goa.
Orang itu menghela napas seraya memandang wajah Pendekar Gila yang memerah. Kemudian dengan ringan, kakinya melangkah masuk ke dalam goa yang tak lain Goa Setan. Dan tentunya orang berjubah putih itu adalah Singo Edan.
Guru Pendekar Gila! "Hm...," Singo Edan menggumam. Kakinya terus melangkah ke dalam goa. Sesekali dipandanginya wajah Sena yang kian membara.
"Racun jahat!" Singo Edan berhenti di sebuah ruangan lebar.
Tempat tersebut dulu digunakan untuk tidur Sena Manggala. Di situ terdapat sebuah batu panjang dan cukup lebar berbentuk datar. Batu itulah yang biasanya dipakai Sena untuk tidur ketika masih berada di Goa Setan. Tubuh Sena direbahkan di atas batu itu. Setelah memandangi tubuh muridnya, Singo Edan melangkah keluar. Dia kini menuju ruangan yang digunakan untuk menyimpan racun dan obat-obatan.
"Racun Sambuk Nyawa bukanlah racun sembarangan. Ah, mengapa aku tidak ingat kalau racun itu masih ada?" keluh Singo Edan, menyesali keteledorannya.
"Kalau saja racun itu kuketahui masih ada, tentunya Sena tidak mengalami hal seperti ini." Singo Edan menggaruk-garuk kepala. Lalu tangannya menepuk-nepuk kening. Matanya mencari racun-racun yang ada di ruangan itu.
"Huh! Mengapa racun itu kembali muncul" Bukankah racun itu telah musnah bersamaan dengan musnahnya tukang sihir itu?" tanya Singo Edan pada diri sendiri. Nadanya masih menyesali keteledorannya, sehingga muridnya harus mengalami hal yang tak pernah diduga sama sekali.
Singo Edan terus mencari obat yang bisa menawarkan Racun Sambuk Nyawa. Matanya terus memandangi satu persatu botol-botol obat dan racun tersebut. Namun tidak juga ditemukannya.
"Hm.... Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi" Bukankah Dewi Pemuja Setan telah musnah?" kening Singo Edan berkerut, memikirkan keanehan itu. Inga-tannya kembali melayang pada masa mudanya, ketika dia masih malang-melintang di rimba persilatan. Berkelana menumpas keangkaramurkaan.
Suatu hari ketika dia tengah berkelana, Singo Edan singgah di sebuah desa. Di situ, didengarnya tentang Dewi Pemuja Setan.
Ilmu-ilmunya tinggi, terlebih dalam hal ilmu sihir. Dia bisa menjelma menjadi makhluk apa pun yang dikehendakinya.
Di samping ilmu sihirnya yang hebat, wanita itu memiliki ilmu racun yang ganas bernama Sambuk Nyawa. Orang yang terkena racunnya, akan mengalami kematian yang mengerikan. Tubuhnya akan menjadi mayat yang mengerikan. Bengkak-bengkak, kemudian pecah dengan mengeluarkan nanah. Hal itu terjadi berangsur-angsur. Hingga korbannya benar-benar tersiksa hebat Keduanya bertemu, kemudian bertarung. Singo Edan tak pernah menyangka, kalau Dewi Pemuja Setan yang katanya telah berumur tujuh puluh lima tahun itu ternyata masih cantik jelita. Bahkan kelihatannya masih muda belia, lebih muda dari usianya yang saat itu berumur dua puluh dua tahun.
Keduanya bertarung dengan ilmu-ilmu tinggi.
Dewi Pemuja Setan mengeluarkan ilmu-ilmu sihirnya.
Namun dengan Suling Naga Sakti, Singo Edan mampu mengatasinya. Sampai akhirnya, Singo Edan diserang dengan Racun Sambuk Nyawa. Hampir saja Singo Edan mengalami kematian. Tapi tanpa diduga, di perjalanan pulang dalam keadaan luka, kakinya digigit seekor ular berwarna putih.
Setelah digigit ular itu, anehnya Racun Sambuk Nyawa lenyap. Singo segera memotong tubuh ular putih yang bernama Sandra Dewa, lalu mereguk darahnya sampai habis. Rupanya ular itu adalah obat penawar dari Racun Sambuk Nyawa yang diambil dari ular merah yang bernama Wiraga Kala.
Singo Edan pun kembali mencari Dewi Pemuja Setan. Keduanya kembali bertarung, sampai akhirnya Dewi Drugadi atau Dewi Pemuja Setan dapat dikalahkan. Tubuh wanita itu hancur terkena hantaman sinar yang keluar dan sepasang mata naga di pangkal Suling Naga Sakti.
"Ah ah ah...!" Singo Edan menepuk-nepuk keningnya.
"Bukankah hanya ada satu obat yang mampu menawarkan Racun Sambuk Nyawa?" Dengan tingkah laku seperti orang gila, Singo Edan melangkah keluar dari ruangan itu.
"Aku harus mencari ular putih itu," bisik Singo Edan seraya menggaruk-garuk kepala.
"Tapi, apa ular itu ada" Menurut kabar, ular itu muncul setiap setengah abad sekali." Singo Edan menggaruk-garuk kepala. Kemudian bagaikan orang gila, jari tangannya dihitung.
"Ya ya ya...! Tentunya ular itu memang ada sekarang. Aku harus mencarinya," ujar Singo Edan seraya melangkah ke ruang di mana tubuh Sena tergeletak.
Saat itu tubuh Sena kian merah membara. Pertanda Racun Sambuk Nyawa mulai bekerja.
"Hm.... Aku harus menghentikan jalan darahnya!" Jari Singo Edan segera menotok beberapa bagian tubuh muridnya untuk menghentikan jalan darah.
Dan hasilnya memang baik. Sinar merah yang membara di tubuh Sena sedikit memudar. Kini tinggal wajahnya saja yang masih membara, namun tidak separah sebelumnya.
"Hm.... Bagus! Kini aku harus segera mencari ular itu. Aku harus ke puncak Gunung Candraka." Setelah memandangi kembali tubuh Sena yang masih tergeletak pingsan, tubuh Singo Edan melesat meninggalkan tempat itu. Dia harus mencari ular penawar racun yang mengeram dalam tubuh muridnya.
Tidak lama kemudian, Singo Edan telah kembali.
Di tangannya tergenggam seekor ular berwarna putih yang masih hidup. Ular itu tak mau menggigit tubuh Singo Edan. Seakan tahu kalau tubuh lelaki tua itu telah kebal terhadap racunnya. Singo Edan mendekati tubuh Sena yang masih terbaring tanpa daya. Kemudian mulut ular putih itu didekatkan ke perut Sena. Sedangkan tangan kirinya menotok jalan darah di tubuh Sena.
Tep, tep, tep! "Hm, semoga aku berhasil," gumamnya sambil mendekatkan mulut ular putih itu.
Seketika itu juga ular putih yang mencium bau racun lawan langsung menggigit perut Pendekar Gila.
Crab! Ular putih itu mendesis-desis. Dengan ganas digigitnya perut Sena. Bisanya masuk ke dalam tubuh Sena bersamaan dengan taringnya yang runcing.
Keanehan terjadi. Ular putih itu menggelepargelepar sekarat. Sedangkan tubuh Sena mengepulkan asap hitam. Pertanda kalau kedua racun itu tengah berusaha saling mengalahkan dalam tubuh Sena.
Ular putih itu terkulai lemas. Sedangkan tubuh Sena kini bersinar terang.
"Hua ha ha...! Aku berhasil!" seru Singo Edan girang, menyaksikan Racun Sambuk Nyawa telah musnah. Bahkan tubuh muridnya akan kebal terhadap segala racun bila meminum darah ular putih itu.
Singo Edan melangkah, meninggalkan tubuh Sena yang masih tak bergeming. Tidak lama kemudian, dia kembali ke tempat itu dengan membawa pisau.
Tuk! Singo Edan menotok urat leher Sena, membuat mulut pemuda tampan itu membuka. Saat itu juga, Singo Edan segera menyayat tubuh ular putih yang lemas itu, lalu meneteskan darahnya ke dalam mulut Sena.
"Hm.... Kini semuanya telah beres," gumam Singo Edan. Dia bergegas meninggalkan tempat itu, untuk menunggu sampai muridnya siuman.
Benar juga! Tidak lama kemudian, Sena Siuman.
Tubuhnya nampak menggeliat, berusaha melemaskan otot-ototnya yang kaku.
"Oh! Racun itu hilang. Ah, tenagaku pulih!" seru Sena girang. Tubuhnya segera melompat bangkit. Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu.
"Goa Setan" Ah, bagaimana mungkin aku di sini" Bukankah tadi aku berada di candi?" Sena masih kebingungan. Hatinya seketika diliputi oleh amarah. Api amarah itu membakar jiwanya, mana kala benaknya ingat kembali akan perbuatan gurunya di candi itu. Sang Guru yang dihormati dan dijunjung tinggi petuahnya telah tega meracuninya.
"Keparat! Aku harus membalas semuanya! Hm....
Kini aku tak peduli siapa pun dia. Meski dia guruku, tapi dia telah menyakiti ku!" Sena bergegas keluar dari ruangan itu. Dia hendak mencari Singo Edan yang dianggapnya telah berbuat keji. Malah hampir saja dia binasa.
"Mau ke mana" Tubuhmu masih lemah." Baru beberapa langkah Sena keluar, tiba-tiba terdengar sua-ra Singo Edan.
Amarah Sena meledak, setelah mengetahui gurunya berada di tempat itu juga. Namun, Sena menjadi agak heran. Dia tak mengerti, mengapa gurunya seperti itu" Tadi meracuni dan bahkan hendak membunuhnya. Mengapa kini seakan membiarkan dirinya berbuat leluasa"
"Kau masih lemah. Kau perlu istirahat," tegur Singo Edan kembali.
"Persetan dengan omongan mu!" dengus Sena, sengit.
"Sena. Tak baik kau berkata begitu," kata Singo Edan masih dengan suara tenang.
Kaki Sena melangkah ke tempat gurunya biasa berada. Kini keduanya berhadap-hadapan. Tapi Singo Edan masih duduk tenang di atas batu yang biasa dipergunakannya.
"Kau telah mencoba membunuhku! Huh, begitukah watak seorang guru"!" dengus Sena sinis, dilandasi oleh kemarahan.
"Kau begitu kuhormati! Petuah mu sangat ku agungkan. Namun ternyata kini kau keji! Kau kejam! Tidak kusangka kalau aku memiliki guru yang sesat!"
"Sena...!" seru Singo Edan.
"Bertobatlah pada Hyang Widhi, sebelum kukirim kau ke akhirat! Dosamu telah terlalu banyak!" ujar Se-na dengan suara masih tinggi, masih diburu oleh amarah.
"Sena, dengarlah. Aku akan menjelaskan padamu...
"
"Persetan denganmu! Berdoalah pada Hyang Widhi, agar perbuatanmu diampuni! Heaaa...!" Sena segera menerjang dengan cepat Bukan lagi jurus pembuka 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang digunakan, melainkan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya bagai sepasang tangan milik dewa, menghantam dan menyambar tubuh Singo Edan.
"Uts..!" Bukkk! Singo Edan yang tahu kalau muridnya salah paham, sama sekali tidak mau membalas. Dia hanya menangkis serangan-serangan yang dilancarkan Sena.
Tingkah keduanya persis orang gila yang bercanda dalam lingkaran maut. Namun justru gerakan-gerakan itu yang sangat dahsyat dan berbahaya.
"Sena, hentikanlah! Kau salah paham, Anakku...," bujuk Singo Edan, masih berusaha menyadarkan muridnya.
"Salah paham" Ha ha ha...! Rupanya nyalimu telah ciut! Tidak kusangka, orang yang selama ini ku agung-agungkan ternyata tidak lebih dari iblis bertubuh manusia! Heaaa...!" Sena terns melancarkan jurus-jurus gilanya. Jurusjurus yang sangat dahsyat. Namun begitu, Singo Edan yang juga amat menguasai jurus-jurus itu jelas tak mengalami kerepotan. Kalau mau, tentunya Singo Edan mampu menghentikan semuanya. Tapi Singo Edan tidak melakukannya. Kalau dilakukannya, tentu Sena akan semakin yakin kalau dia yang telah meracuninya.
"Rupanya kau telah dikuasai oleh iblis! Hingga kau semakin sombong dan takabur. Lupa akan kekuasaan Hyang Widhi!" dengus Sena marah, menyaksikan Singo Edan tak juga mau balas menyerang.
"Sena, lakukanlah apa yang kau inginkan! Kau tak akan percaya kalau aku menjelaskannya. Untuk itulah, sebagai pendekar yang berpegang teguh atas kebenaran dan keadilan, aku rela mati di tanganmu.
Tangan muridku sendiri! Nah, lakukanlah! Cabut Suling Naga Sakti, sebab hanya senjata itulah yang mampu membunuhku!" seru Singo Edan.
"Sena, dengarlah. Aku akan menjelaskan...."
"Persetan denganmu! Berdoalah pada Hyang Wid-hi, agar perbuatanmu diampuni! Heaaa...!"
"Uts...!" Bukkk! Singo Edan tahu kalau muridnya salah paham, maka serangannya hanya ditangkis dan tidak dibalas! Sena tersentak seraya melompat mundur dua tindak. Matanya menatap tajam wajah gurunya yang masih tersenyum. Tangannya memegang Suling Naga Sakti yang terselip di pinggangnya.
"Kau ragu, Sena" Kalau begitu, lakukanlah dengan jurus maut mu yang dahsyat. Yang kau dapatkan di hutan dari seekor kera. Bukankah jurus 'Tamparan Sukma' yang kau kuasai, jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan jurus-jurus gila" Ayo, lakukanlah!" tantang Singo Edan, menyaksikan muridnya kini hanya terdiam. Nampaknya Sena dilanda kebimbangan. Singo Edan tertawa terbahak-bahak.
"Kau takut Sena?"
"Tidak...!"
"Mengapa tidak kau lakukan?" tanya Singo Edan.
"Baik! Jangan menyesal kalau aku membunuhmu! Maaf...!" Usai berkata demikian, Sena segera memperagakan jurus 'Tamparan Sukma'nya. Singo Edan tak bergeming dari tempatnya berdiri. Bahkan mulutnya masih tersenyum. Matanya masih memandangi gerakangerakan yang dilakukan muridnya.
"Heaaa...!" Sena bergerak hendak menyerang. Namun saat itu juga, sebuah bayangan berkelebat menghadang gerakannya. Bayangan itu segera memapaki jurus yang dilakukan Sena.
"Nguk!" Desss! "Ukh...!" Sena mengeluh pendek. Matanya seketika membelalak, menyaksikan siapa yang telah menghadang jurus 'Tamparan Sukma'nya. Ternyata seekor kera.
"Kau..."! Mengapa kau menghalangi niatku, Kawan"! Dia jahat! Dia telah membunuh orang dengan keji. Dia telah melanggar sumpahnya untuk tidak main perempuan. Dia juga telah meracuni ku. Uhuk...!" Sena terbatuk-batuk. Tenaganya yang belum pulih benar, membuat tubuhnya belum kuat. Hanya karena amarah saja, membuatnya memaksakan diri untuk bangkit. Tubuh Sena terhuyung-huyung, dan kembali jatuh pingsan.
Entah sudah berapa lama Sena tak sadarkan diri.
Ketika terbangun, tubuhnya telah berada di atas pembaringan semula. Di kanan dan kirinya, Singo Edan dan Kera Sakti menungguinya.
"Kawan, mengapa kau membela orang yang jahat?" tanya Sena pada Kera Sakti.
"Nguk, nguk...!" Kera Sakti menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dengan bahasa isyarat, Kera Sakti mengatakan kalau Sena justru yang telah salah sangka. Singo Edan tetap seperti dulu. Tetap gurunya yang bijaksana.
Bahkan Kera Sakti menjelaskan, bahwa Singo Edan yang membawa Sena ke Goa Setan.
"Guru.... Ampunilah saya. Hukumlah saya yang telah lancang dan berdosa," ratap Sena, menyesali per-buatannya yang telah lancang terhadap sang Guru.
Singo Edan tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Lucu sekali kau, Bocah Gila! Hua ha ha...! Mengapa kau meratap seperti itu, Bocah Edan! Kau tidak salah. Bangunlah! Kebetulan sahabatku datang kemari," kata Singo Edan.
Sena segera bangun. Lalu menyembah dan mencium kaki gurunya. Kemudian setelah Singo Edan memegang pundaknya dan menyuruhnya berdiri, Sena pun menurut dan berdiri.
"Kita ngobrol-ngobrol. Bagaimana, Sahabat?" tanya Singo Edan pada Kera Sakti.
"Nguk, nguk...!" Kera Sakti mengangguk-angguk. Lalu mereka bertiga melangkah ke tempat Sena dan gurunya bertarung. Singo Edan duduk di tempat biasa. Sementara Sena dan Kera Sakti duduk bersila di bawah.
"Dengarlah baik-baik olehmu, Sena," tutur Singo Edan. Kemudian dia pun menceritakan siapa sebenarnya Kera Sakti itu, juga hubungannya dengan mereka yang mewarisi ilmu Pendekar Gila dari Goa Setan.
Kera Sakti itu adalah sahabat baik dari Pendekar Gila terdahulu. Asalnya, orangtua sekaligus guru dari Kera Sakti, dikeroyok oleh manusia. Sepasang kera itu dikeroyok oleh orang-orang rimba hitam karena dianggap menjadi penghalang sepak terjang mereka. Hampir saja kedua orangtua Kera Sakti binasa. Saat itu datang Ki Amba Dewa atau Pendekar Gila dari Goa Setan yang menolong mereka dan mengalahkan para tokoh rimba hitam.
"Nah, sejak saat itulah Eyang Guru bersahabat dengan kedua orangtua Kera Sakti. Bukan begitu, Kera Sakti?" tanya Singo Edan.
"Nguk, nguk...!" Kera Sakti mengangguk-angguk.
"Itu sebabnya dia menolongmu, Sena. Sekarang kalian dengarlah tentang apa yang telah menimpa Sena." Kembali Singo Edan menceritakan tentang Dewi Drugani atau Dewi Pemuja Setan. Secara singkat Singo Edan menceritakan semuanya.
"Aku heran, bagaimana mungkin racun itu ada lagi" Padahal Dewi Pemuja Setan telah lenyap puluhan tahun silam."
"Kalau begitu, biarlah aku yang akan menyelidikinya, Guru."
"Ya! Berangkatlah. Doa ku akan selalu mengiringi mu," kata Singo Edan.
Setelah menjura, Sena beranjak pergi meninggalkan tempat itu untuk meneruskan petualangannya yang sempat tertunda akibat kelalaiannya.
Kera Sakti pun meninggalkan Goa Setan, selang beberapa saat setelah kepergian Sena (Mengenai Kera Sakti, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Duel di Puncak Lawu").
-::₪ { 6 } ₪::-
Seperti tujuan orang-orang persilatan lainnya, Tiga Setan Rambut Api juga bermaksud mencari Titisan Dewi Kwan Im, yang menurut kabar berada di Lembah Lamur. Ketika Tiga Setan Rambut Api melangkah menuju ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba berkelebat dua bayangan. Seorang berjubah putih dan berwajah persis dengan Singo Edan.
Sedangkan satu lagi seorang gadis cantik berkulit kuning langsat seperti orang Cina. Di pundak gadis itu tersandang sebilah pedang yang gagangnya terbuat dari emas.
Melihat kehadiran gadis cantik berbaju putih tersebut, seketika Tiga Setan Rambut Api membelalakkan mata.
"Dewi Kwan Im...!"
"Hua ha ha...! Rupanya mata kalian masih belum buta, Tiga Setan Rambut Api," kata lelaki berwajah Singo Edan. Nada suaranya menunjukkan kesombongan.
"Apa yang kalian lihat memang benar. Dialah Titisan Dewi Kwan Im. Dan akulah yang memilikinya." Tiga Setan Rambut Api membelalakkan mata, mendengar ucapan lelaki tua yang berdiri sekitar sepuluh tombak di depan mereka.
Kemudian ketiganya saling pandang dengan kening berkerut "Bukankah dia Singo Edan?" tanya Untara.
"Ya!" sahut kedua adiknya.
"Hm, bagaimana mungkin Singo Edan punya niat untuk mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Untara bergumam. Matanya masih memandang lekat pada lelaki tua yang persis dengan Singo Edan, kemudian beralih pada gadis cantik di sampingnya.
"Hua ha ha...! Apa yang kalian bingungkan?" tanya lelaki tua yang wajahnya persis Singo Edan.
"Kusarankan pada kalian, lebih baik kalian bergabung denganku!"
"Hm...," Untara bergumam. Matanya mengerling pada kedua adiknya yang menganggukkan kepala.
"Aha, sungguh tidak kuduga kalau Singo Edan rupanya masih saja tergiur oleh hal duniawi. Ternyata sumpahmu untuk tidak menikah hanya omong kosong!"
"Hua ha ha...! Kau salah, Untara. Bagaimanapun juga, aku lelaki normal.
Lagi pula, aku pun ingin menjadi orang yang tak tertandingi. Bukankah dengan memiliki Titisan Dewi Kwan Im, keberuntungan ada padaku?" Tiga Setan Rambut Api kembali saling pandang mendengar penuturan Singo Edan. Kening mereka semakin berkerut. Mereka benar-benar tidak mengerti, bagaimana mungkin Singo Edan bisa berubah" Yang mereka ketahui, Singo Edan adalah tokoh aliran lurus yang gigih menumpas kejahatan. Mana mungkin secepat itu berubah" Mungkinkah selama menghilang Singo Edan telah mengubah pikirannya" Tiga Setan Rambut Api benar-benar tak habis pikir. Bagaimanapun juga, mereka telah mendengar nama besar Singo Edan. Begitu juga dengan sepak terjangnya puluhan tahun yang silam. Kalau kini tibatiba berubah, rasanya sangat aneh sekali.
"Hm.... Kau benar, Singo Edan. Memang setiap manusia memiliki ambisi. Kami tahu siapa kau. Namun begitu, kami pun tak mau kehilangan Titisan Dewi Kwan Im," kata Untara setelah lama merenung, mencoba menyibak keanehan Singo Edan.
"Jadi kalian ingin mengambilnya dariku?"
"Ya!" sahut Untara.
"Hua ha ha...! Kuakui nama besar kalian memang menakutkan. Tapi Singo Edan bukan anak kecil yang bisa digertak!" dengus Singo Edan.
"Kusarankan, agar kalian cepat bersujud meminta ampun atas tindakan kalian yang berani datang ke Lembah Lamur ini, sebelum aku berubah pikiran."
"Kurang ajar! Jangan kira kami takut menghadapimu, Singo Edan! Untuk mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im, kami siap bersabung nyawa denganmu!" dengus Undani.
"Ya! Lagi pula, kami memang ingin sekali-sekali mencoba ilmumu!" timpal Umbakara. Singo Edan tertawa tergelak-gelak mendengar tantangan yang diucapkan Tiga Setan Rambut Api. Sepertinya tantangan mereka bagai tiada arti sama sekali baginya.
"Percuma kalian menantangku. Guru kalian sekalipun tak akan mampu menandingi ku!" kata Singo Edan, pongah.
"Tutup mulutmu, Singo Edan! Kuharap kau mau memberikan gadis itu pada kami! Atau kami terpaksa menghajarmu!" bentak Untara marah.
"Hua ha ha...! Kalian lucu sekali. Bagaimana mungkin kalian yang tolol memiliki Titisan Dewi Kwan Im" Hua ha ha...!" Singo Edan kembali tertawa terbahak-bahak. Kemudian senyumnya mengembang dengan sinis. Membuat Tiga Setan Rambut Api semakin dibakar oleh amarah mendengar ucapan itu.
"Hhh...! Sombong!" rutuk Undani.
"Rupanya mulutmu memang harus disobek!"
"Lebih baik kita hajar saja, Kakang," tukas Umbakara.
Singo Edan kembali tertawa.
Amarah Tiga Setan Rambut Api kian membara, mendengar ucapan Singo Edan serta tawanya yang penuh ejekan. Ketiganya segera meloloskan cambuk.
Kemudian dengan mendengus, mereka maju serentak.
Ctar! "Yiaaat..!"
"Mei Lie, bunuh mereka!" perintah lelaki yang berwajah mirip Singo Edan.
Seketika Mei Lie atau Titisan Dewi Kwan Im mencabut pedangnya. Pada saat itu pula, sinar merah ke kuning-kuningan memancar dari mata pedang, membuat Tiga Setan Rambut Api tersentak.
"Pedang Bidadari...!" seru ketiganya sambil melompat mundur.
"Hua ha ha...! Kalian seperti tikus ketakutan.
Nah, aku kembali menyarankan pada kalian. Lebih baik kalian ikut denganku, daripada kalian harus mampus oleh Pedang Bidadari!" seru lelaki berwajah seperti Singo Edan.
Tiga Setan Rambut Api saling pandang. Kemudian mereka memasukkan cambuk ke ikat pinggang masing-masing.
"Baiklah, kami menyerah."
"Bagus! Percuma kalian melawanku," ucap Singo Edan masih dengan suara penuh kesombongan.
"Ikut aku!" Tubuh kelima orang itu pun berkelebat pergi, masuk ke dalam kabut tebal yang bergulung-gulung.
Dalam sekejap mereka telah menghilang.
***
Dua lelaki kembar berkumis tipis itu datang dari wilayah timur tanah Jawa Dwipa. Mereka pun tentunya telah mendengar berita tentang Titisan Dewi Kwan Im. Di rimba persilatan, mereka mendapat gelar Manyar Kembar dari Bali. Yang tertua bernama Manyar Ngesti dan yang muda bernama Manyar Asti.
"Kau yakin di sini tempatnya, Asti?" tanya Manyar Ngesti.
"Entahlah," sahut Manyar Asti dengan mata menyapu ke sekelilingnya yang sepi.
Tak ada tanda-tanda kehidupan di lembah itu. Satu pohon pun tidak ada.
Yang ada hanya bukit kecil dan debu-debu yang beterbangan manakala angin bertiup.
"Hm.... Bagaimana mungkin tempat seperti ini dikatakan ada orangnya" Tidak masuk akal," gumam Manyar Ngesti. Matanya masih menyapu ke sekeliling tempat itu. Namun masih saja tidak ada tanda-tanda kehidupan.
"Bagaimana mungkin Titisan Dewi Kwan Im ada di sini?"
"Hhh...! Kurasa ada misteri di tempat ini, Kakang," desah Manyar Asti.
"Mungkin."
"Lihat, ada kabut!" seru Manyar Asti sambil menunjuk ke arah kabut tebal yang bam saja datang dari bukit-bukit kecil di sebelah selatan.
"Ya! Hei, kabut itu bergerak kemari!" pekik Manyar Ngesti.
"Sepertinya ada yang menggerakkan, Kakang."
"Benar! Cepat kita hadang dengan pukulan 'Sari Rogo'!"
"Siap, Kakang! Hiaaa...!" Mereka segera menyatukan satu telapak tangan.
Sedangkan tangan yang lain, kini digerakkan mengarah ke gulungan kabut yang merayap menuju mereka. Dari tangan mereka terbersit sinar bergulunggulung bagai gelang-gelang terbang berwarna biru.
Lingkaran-lingkaran itu semakin bertambah besar.
Sampai akhirnya bertemu dengan kabut untuk menghadangnya.
"Yeaaat..!"
"Waaat..!" Kedua lelaki kembar itu semakin mengerahkan tenaga dalamnya, menjadikan lingkaran sinar biru kian banyak dan kuat. Namun kabut yang datang ternyata lebih kuat "Celaka! Angin membadai datang!" seru Manyar Ngesti kaget "Benar, kakang! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Manyar Asti.
"Cepat kita ganti dengan 'Perangkap Buana'."
"Mari, Kakang! Yiaaat..!"
"Heaaat..!" Tangan mereka kini terlepas satu sama lain. Disilangkan ke depan, kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, keduanya menghentakkan telapak tangan ke arah kabut Srrrt! Larikan-larikan sinar kuning bagai bambu, keluar dari telapak tangan mereka. Larikan-larikan lurus itu lalu memagari kabut tebal itu. Seperti perangkap raksasa dari bambu.
"Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar Asti, menyaksikan pukulan sakti mereka dapat menghadang kabut. Namun tiba-tiba angin kencang menyapu ke arah mereka dengan keras.
"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti.
Mata lelaki berwajah tampan itu membelalak tegang, merasakan sesuatu yang tidak pernah diduganya. Selama ini, keduanya belum pernah mengalami kegagalan seperti itu. Ajian-ajian yang mereka kerahkan, senantiasa mendapatkan hasil. Tapi kini malah berantakan. Tak satu pun bisa menghadang kabut tebal itu.
"Ini bukan kabut sembarangan, Asti," desis Manyar Ngesti.
"Sepertinya benar, Kakang!" sahut Manyar Asti.
"Ya! Entah siapa yang memiliki Kabut Gaib itu," gumam Manyar Ngesti.
"Rupanya benar kalau Titisan Dewi Kwan Im ada di tempat ini. Ini sebuah halangan yang dibuat oleh para dewata." Wusss! Angin kencang menderu ke arah mereka, membuat pakaian yang mereka kenakan tersibak. Bahkan kain pengikat kepala mereka terbang tertiup angin.
Tubuh mereka gontai, berusaha menahan hembusan angin yang menderu keras.
Pada saat itu, tiba-tiba dari kepungan kabut berkelebat sebuah bayangan putih. Tangan bayangan itu menggenggam sebilah pedang bersinar merah kekuning-kuningan.
"Heaaat..!"
"Dewi Kwan Im...!" pekik keduanya kaget setelah melihat siapa yang keluar dari dalam kabut tebal itu.
Seorang gadis cantik dengan kulit kuning langsat "Awas, Asti...!" seru Manyar Ngesti mengingatkan adiknya, ketika sosok wanita cantik berkulit kuning langsat itu membabatkan pedang ke arah mereka.
Tangan kirinya dengan cepat mendorong tubuh Manyar Asti. Sedangkan tangan kanannya segera mencabut golok panjang di punggungnya.
Srrrt! Trang! "Hiaaat..!" Manyar Ngesti berusaha membalas serangan lawan seraya memiringkan tubuh. Golok panjangnya dibabatkan dengan cepat.
Menyaksikan kakaknya menyerang, segera Manyar Asti ikut mencabut goloknya. Didahului pekikan menggelegar, Manyar Asti menyerbu ke arah gadis cantik dari Cina yang dianggap oleh mereka sebagai Titisan Dewi Kwan Im.
"Aha, rupanya Titisan Dewi Kwan Im sendiri yang menemui kami! Kakang, beruntung sekali kita rupanya. Jangan sampai dia celaka. Kita harus menangkapnya hidup-hidup," ujar Manyar Asti sambil bergerak melakukan serangan. Tangannya berusaha menotok tubuh gadis cantik dari Cina itu. Namun gadis yang diserang dengan cepat memutar pedangnya ke tangan lawan.
"Heaaat!" Wut! "Uts...!" Manyar Asti cepat menarik tangannya.
Kurang cepat sedikit saja, tentu tangan Manyar Asti akan terbabat oleh pedang lawan.
"Celaka! Dia dalam keadaan tak sadar, Kakang! Rupanya ada seseorang yang mempengaruhinya!"
"Benar! Rupanya kita telah tertipu oleh cerita mereka! Dia bukan Titisan Dewi Kwan Im!"
"Ya! Awas, Kakang!" Wut! Hampir saja pedang di tangan gadis cantik dari Cina itu membabat tubuh Manyar Ngesti. Untunglah Manyar Ngesti segera mengelakkannya.
"Gadis ini tak mungkin kita tundukkan, Kakang.
Yang bekerja pada otaknya, bukan kehendaknya. Tapi kehendak orang yang mempengaruhinya!"
"Benar!" Keduanya kini tidak mau main-main lagi, setelah tahu kalau gadis Cina itu dalam keadaan terpengaruh.
Manyar Ngesti dan Manyar Asti dengan cepat membabatkan golok ke arah lawan.
"Yiaaat...!" Trang! Prak! Manyar Ngesti tersentak kaget, ketika goloknya terbabat pedang di tangan gadis Cina itu. Goloknya seketika patah menjadi dua, tak mampu menahan babatan pedang di tangan lawan.
"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti kaget, ketika pedang lawan kini bergerak cepat ke arahnya. Tentu pedang lawan akan membabat wajahnya, kalau saja tubuhnya tidak segera berkelit ke samping.
Gadis Cina itu terus melabrak. Gerakannya mungkin tidak sehebat para pendekar pedang. Namun pedang di tangannya bagai menambah kehebatan bagi siapa saja yang memegangnya. Dan itu yang membuat gadis Cina yang tak lain Mei Lie, bergerak begitu lincah, cepat dan mematikan.
Sangat bertentangan sekali dengan jurus 'Pedang Bidadari' yang dipelajarinya.
"Hiaaa...!" Wut, wut, wut...! Pedang bidadari bergerak cepat laksana angin, membabat dan menusuk ke arah dua orang lawan yang kini dalam keadaan terdesak.
"Celaka, Kakang! Dia benar-benar kerasukan!" keluh Manyar Asti.
"Ya! Kita harus bisa mematahkan serangannya! Kita gunakan saja aji 'Sari Rogo'." Setelah mengelak beberapa tombak ke belakang, keduanya segera membuka ajian 'Sari Rogo' yang mereka kuasai. Setelah melihat lawan hendak kembali menyerang, mereka segera melontarkan ajian tersebut "Yiaaa...!"
"Heaaat..!" Larikan sinar biru bergulung-gulung keluar dari tangan mereka. Sinar biru itu kembali membelit tubuh Mei Lie. Seketika tubuh gadis itu bagai dibelenggu oleh sinar biru.
"Ha ha ha...! Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar Asti senang, menyaksikan ajian mereka dapat membe-lenggu tubuh Mei Lie, sehingga gadis Cina itu tak mampu lagi bergerak.
"Kita bawa saja dia pergi dari sini," usul Manyar Ngesti.
'Ya! Kurasa dia tidak bersalah. Kita harus menolongnya," sambut Manyar Asti.
Keduanya hendak membawa pergi tubuh Mei Lie dengan mengerahkan tenaga dalam mereka agar belenggu yang membelit tubuh Mei Lie tak lepas. Tapi belum juga mereka beranjak pergi, tiba-tiba....
"Lepaskan dia!" Kepala lelaki kembar itu langsung menengok ke belakang. Kini nampak tiga lelaki berjubah merah.
Rambut mereka pun berwarna merah bagai api. Tentunya ketiga lelaki ini tiada lain dari Tiga Setan Rambut Api.
"Tiga Setan Rambut Api. Hm.... Apa urusan kalian dengan gadis ini, sehingga kalian mencampuri urusan kami?" tanya Manyar Ngesti tak senang. Terlebih setelah tahu siapa mereka. Tiga lelaki dari aliran sesat tersebut merupakan musuh masyarakat.
Kejahatan mereka telah menjadi momok yang menakutkan.
"Aha, beruntung sekali kami menemukan kalian di sini!" dengus Manyar Asti.
"Kebetulan sekali. Dari jauh kami datang mencari kalian. Tidak disangka, akhirnya kami bisa menemukan kalian di sini!" Tiga Setan Rambut Api tersenyum sinis, menyaksikan kedua lawannya. Seakan ketiganya menganggap kedua lawan bukan orang-orang yang harus ditakuti.
Terlebih karena Singo Edan bersama mereka. Siapa pun tokoh rimba persilatan, akan berpikir seratus kali untuk menghadapi Singo Edan.
"Manyar Kembar! Kuperingatkan pada kalian agar melepaskan gadis itu. Kemudian segeralah menyembah!" bentak Untara dengan mata melotot marah, pertanda marah.
Manyar Kembar dari Bali tertawa terbahak-bahak mendengar perintah Untara yang dianggapnya sombong.
"Setan laknat! Berani sekali kalian mengancam kami! Kalianlah yang harus menyerah untuk kami hukum!" balas Manyar Asti tak mau kalah. Meski mereka belum pernah bertarung, namun Manyar Asti merasa yakin dapat menunaikan tugas para pendekar aliran putih untuk menangkap Tiga Setan Rambut Api.
"Kurang ajar! Rupanya kalian berdua mencari mampus!" maki Undani.
"Jangan salahkan kalau tangan kami akan memecahkan batok kepala kalian!"
"Hm.... Apa tidak sebaliknya?" ujar Manyar Ngesti sinis.
"Mungkin kepala kalianlah yang akan kami pe-cahkan!"
"Bedebah! Ku rencah kepala kalian! Hiaaat..! "Yeaaah...!" Srrrt, srrrt, srrrt! Tiga Setan Rambut Api menarik cambuknya. Kemudian dilecutkan ke udara.
Ctarrr!
-::₪ { 7 } ₪::-
Melihat Tiga Setan Rambut Api telah menyerang, dengan cepat Manyar Kembar dari Bali berkelit Kemudian disusul oleh serangan pukulan dan babatan golok mereka.
Dengan menggunakan jurus 'Sepasang Manyar Menyambar Walang', Manyar Kembar dari Bali balas menyerang. Golok di tangan mereka menukik laksana paruh dan membabat laksana sayap burung manyar.
"Hiaaat..!" Pertarungan dua melawan tiga dalam sekejap berjalan dengan cepat. Masing-masing berusaha mengalahkan lawan. Namun begitu, Manyar Kembar dari Bali bukanlah tokoh aliran putih sembarangan. Ilmu mereka bukan ilmu pasaran. Meski satu orang tidak lagi memakai golok, namun kekompakan mereka dalam menyerang masih cukup tangguh.
"Hiaaat...!" Ctar! Tiga Setan Rambut Api terns mengumbar serangan dengan lecutan-lecutan cambuknya yang menggelegar laksana halilintar. Di lain pihak, ternyata Manyar Kembar dari Bali memang sepasang pendekar yang cukup tangguh. Keduanya dengan mudah mengelakkan serangan cambuk lawan. Bahkan dengan cepat balas menyerang dengan babatan golok dan hantaman tangan.
"Kita harus cepat membereskan mereka, Kakang," kata Umbakara.
"Benar! Kalau tidak, tentunya Singo Edan akan marah pada kita," sambung Undani.
Manyar Kembar dari Bali langsung tersentak mendengar nama Singo Edan disebut oleh Tiga Setan Rambut Api. Keduanya sesaat menghentikan serangan dan saling pandang dengan heran.
"Apakah omongan mereka benar, Kakang?" tanya Manyar Asti.
"Entahlah. Rasanya mustahil kalau Singo Edan menjadi dalang semuanya."
"Tapi, mereka kelihatannya sungguh-sungguh.
Mereka tampak takut," ungkap Manyar Asti masih bimbang.
"Kalau benar Singo Edan yang mendalangi semua ini. Jelas dunia bisa hancur. Siapa orang yang mampu mengalahkannya?" Kecut juga nyali Manyar Kembar dari Bali setelah mendengar nama Singo Edan disebut. Bagaimanapun juga, nama besar Singo Edan pernah mereka dengar.
Jangankan dia, muridnya saja sulit dicari tandingannya. Tapi Pendekar Gila adalah penegak kebenaran dan keadilan. Bagaimana mungkin Singo Edan justru memihak kejahatan! Bahkan kini mendalangi kejadian yang telah banyak makan korban" Itu yang tidak dapat diterima oleh pikiran kedua tokoh dari Bali ini.
"Bisa saja mereka hanya menggertak kita, Asti.
Bagaimanapun juga, rasanya tidak masuk akal kalau Singo Edan membela mereka dan mendalangi semua ini," tukas Manyar Ngesti, meyakinkan diri mereka.
"Hm, mungkin juga."
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang pasti, kita harus segera menangkap mereka."
"Mari, Kakang. Heaaat..!"
"Yiaaat..!" Manyar Kembar dari Bali kembali menggebrak.
Manyar Asti membabatkan golok panjangnya ke arah lawan. Sedangkan Manyar Ngesti memukul dengan tangan kosong, menendang dan mencengkeram lawan.
Tiga Setan Rambut Api yang mendapat serangan cepat, tak mau diam. Ketiganya segera memutar cambuk di atas kepala, kemudian dilecutkan ke arah dua lawannya. Jurus yang digunakan oleh Tiga Setan Rambut Api ini bernama 'Pecut Buana Api'. Gerakan melingkar di atas kepala bernama 'Gelang Geni' sedangkan lecu-tannya bernama 'Ekor Naga Melebur Gunung'. Sebuah gabungan jurus yang nampaknya sangat dahsyat Ctarrr! "Yeaaat...!" Pertarungan kembali berjalan seru. Masingmasing mengerahkan kemampuannya untuk dapat menandingi ilmu lawan. Gerakan mereka nampak lincah dalam berkelit dan menyerang. Meski begitu, nampaknya ilmu Manyar Kembar dari Bali masih berada satu tingkat di atas Tiga Setan Rambut Api. Terbukti setelah tiga tokoh sesat itu menyerang gencar dengan sabetan-sabetan goloknya, mereka tidak mengalami kesulitan sedikit pun.
"Uts! Heaaa...!"
"Lepas kepalamu, Setan Jelek!" Manyar Kembar dari Bali balas menyerang dengan jurus gabungan. Manyar Asti dengan jurus 'Belah Buana Yudha'. Sedangkan Manyar Ngesti dengan jurus andalannya, 'Manyar Menukik Mematuk Mangsa' disambung dengan jurus mengelak dan yang dinamakan 'Manyar Merunduk Menjejak Bumi'. Setelah mampu mengelak, kini keduanya menambah daya serang. Golok di tangan Manyar Asti bagai menghilang dalam melakukan serangan. Sedangkan tangan dan kaki Manyar Ngesti seperti berjumlah banyak.
Seperti nama mereka, gerakan-gerakan mereka sangat lincah dan cepat bagai sepasang burung manyar yang tengah membuat sarang, mematuk ke sana kemari. Mencakar ke sana kemari, serta menghantam dengan kepakan-kepakan sayap yang cepat dan keras.
"Hiaaat...!" Ctarrr! Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung serangan keduanya dengan cambuk. Namun kedua lawan ternyata cukup lincah. Manyar Kembar dari Bali melesat ke samping untuk mengelak, kemudian memburu ke arah lawan dengan pukulan dan tusukan golok. Tiga Setan Rambut Api tersentak kaget. Ketiganya tidak menyangka kalau kedua lawan rupanya berilmu tinggi. Namun begitu, mereka tidak mau mengalah begitu saja. Terlebih jika ingat akan Singo Edan.
Jelas mereka akan mendapat hukuman jika Singo Edan tahu mereka dapat dikalahkan oleh Manyar Kembar dari Bali.
"Uts! Hiaaat..!" Ctar Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung serangan kedua lawannya yang dahsyat dengan lecutan cambuknya. LaGilagi lecutan cambuk mereka bagai tiada arti. Karena dengan mudah Manyar Kembar dari Balik berkelit. Bahkan serangan kedua tokoh dari Bali itu semakin cepat membuat Tiga Setan Rambut Api kewalahan.
"Akhirnya kalian akan kami tangkap, Setan!" dengus Manyar Ngesti sambil bergerak cepat, berusaha menotok dua lelaki dari Tiga Setan Rambut Api. Begitu pula dengan Manyar Asti. Dia pun tidak menyianyiakan kesempatan itu. Namun belum juga mereka dapat melakukan totokan, tiba-tiba....
"Hua ha ha...!" Manyar Kembar dari Bali menarik tangannya, kemudian tubuh mereka melompat ke belakang. Mata mereka membelalak tatkala mendengar tawa yang membahana. Jelas tawa itu milik Singo Edan. Meski mereka belum pernah bertemu dengan Singo Edan, tapi gum mereka telah memberi gambaran bagaimana rupa dan tawa khas tokoh sakti itu.
"Singo Edan...!"
"Dia benar-benar datang, Kakang!" Mata Manyar Kembar dari Bali kini mencari asal suara itu. Seketika keduanya memandang ke arah kabut tebal yang berarak menuju mereka. Dari dalam kabut melesat dua sosok tubuh berpakaian putih.
Seorang lelaki tua yang dikenal oleh mereka sebagai Singo Edan. Dan seorang lagi gadis cantik dari Cina.
"Kakang, bukankah gadis itu telah kita belenggu tadi?"
"Ya! Kapan dia bebas?" Manyar kembar dari Bali masih terlongong bengong menyaksikan gadis cantik dari Cina itu telah ter-bebas dari belenggu ajian 'Sari Rogo' mereka. Tangannya memegang pedang sakti yang bersinar merah kekuning-kuningan. Seperti siap untuk membunuh dua tokoh dari Bali itu.
"Hua ha ha...! Rupanya masih ada juga orang yang berani menantang Singo Edan!" kata Singo Edan dengan sinis.
'Persetan! Kau bukan Singo Edan! Kau iblis yang telah berusaha mengelabui orang-orang persilatan!" se-ru Manyar Ngesti, merasa yakin kalau lelaki berjubah putih yang perawakan dan wajahnya sama dengan Singo Edan itu sebenarnya bukan Singo Edan.
"Kurang ajar! Kalian tentunya buta!" maki Singo Edan.
"Aku Singo Edan. Akulah orang yang paling sakti di jagat ini! Tak akan ada yang menandingi ku. Hua ha ha...!"
"Iblis! Jangan kira kami dapat kau kibuli!" lantang suara Manyar Asti.
"Meski ilmumu setinggi langit, Manyar Kembar dari Bali tak sudi menyerah!" Singo Edan mendengus. Matanya melotot tajam pada kedua tokoh dari Bali itu.
"Mei Lie, bunuh mereka!" perintahnya.
Mei Lie menurut bagai budak. Tubuhnya melesat turun. Dengan Pedang Bidadari di tangan, gadis dari Cina itu meluruk ke arah Manyar Kembar dari Bali.
"Hiaaa...!"
"Celaka, Kakang! Apa kita harus menurunkan tangan kejam?" 'Terpaksa, Asti! Heaaat...!" Dengan pukulan-pukulan sakti milik keduanya, Manyar Kembar dari Bali menghadapi serangan Mei Lie. Tubuh mereka melesat ke angkasa dengan cepat, berusaha memapaki babatan pedang Mei Lie.
Menyaksikan Manyar Kembar dari Bali hendak memburu ke arah Mei Lie, Tiga Setan Rambut Api tak mau diam. Mereka serentak mengambil sesuatu dari balik jubah masing-masing. Lalu ketiganya melontarkan benda-benda kecil berwarna putih ke arah Manyar Kembar dari Bali.
Zing, Zing...! "Kakang, awas!" seru Manyar Asti.
"Keparat! Licik...!" maki Manyar Ngesti.
Kemudian kedua tokoh dari Bali itu bergerak untuk mengelakkan jarum-jarum beracun yang dilemparkan Tiga Setan Rambut Api. Perhatian mereka kini tertuju ke arah jarum-jarum beracun. Hal itu menjadikan Mei Lie yang sudah tidak lagi diperhatikan, dengan leluasa menyerang dari belakang.
"Hiaaa...!" Wut! Cras! "Aaakh...!" Manyar Asti memekik. Kepalanya terbabat oleh pedang di tangan Mei Lie. Tubuhnya yang masih melesat di atas, seketika menukik ke bawah. La-lu jatuh membentur tanah dengan kepala hancur.
"Asti...!" pekik Manyar Ngesti.
Manyar Ngesti yang diliputi oleh amarah, dengan kalap melancarkan pukulan-pukulan saktinya. Sinar biru bergulung-gulung ke arah Mei Lie. Namun dia melupakan jarum-jarum beracun yang semakin dekat ke arahnya. Tanpa ampun lagi, senjata rahasia beracun itu menembus tubuhnya.
Cleb, cleb...! "Aaa...!" Lengkingan kematian seketika terdengar dari mulut Manyar Ngesti. Tubuhnya menukik ke bawah, lalu jatuh dengan nyawa lepas. Tubuhnya beku membiru dengan puluhan jarum menancap di punggung serta pahanya.
"Hua ha ha...!" Lelaki tua yang mengaku-aku sebagai Singo Edan tertawa senang bukan main. Setelah puas mengumbar rasa senangnya, tangannya melambai. Saat itu juga, tubuh Mei Lie dan Tiga Setan Rambut Api melesat ke kabut di mana Singo Edan berada. Tubuh mereka hilang, bersamaan dengan lenyapnya kabut.
***
Sesekali terdengar keluhan dari mulutnya. Tangannya mengambil sesuatu dari pinggang, sebuah bulu burung yang dilepas bulu-bulunya hingga tersisa pada ujungnya saja. Kemudian bulu itu digunakan untuk mengorek telinganya.
"Hi hi hi...!" Sena meringis-ringis merasakan nikmat Lalu ditariknya kembali bulu burung itu. Hidungnya mengendus. Setelah menyeka kotoran di bulu burung itu, dimasukkan kembali bulu burung ke ikat pinggangnya. Sena menarik napas panjang-panjang. Tubuhnya masih berdiri mematung. Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu. Tempat yang sepi dan senyap di tengah perjalanan ke Lembah Lamur. Sejak hilangnya Mei Lie, entah mengapa dunia dirasakan sepi sekali.
Padahal telah lama dia dan Mei Lie berpisah. Tapi pertemuan sesaat itu, memberikan arti bagi dirinya. Arti yang sangat sulit dilukiskan "Huh, ke mana aku harus mencarinya?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya masih nyengir saat matanya menyapu ke sekeliling tempat itu. Tiba-tiba matanya tertuju ke arah enam orang lelaki berpakaian pengemis.
Keenam lelaki itu juga tengah menuju arah yang menjadi tujuannya, Lembah Lamur yang gersang dan tandus.
"Hei, ada apa para pengemis itu ke Lembah Lamur?" tanya Sena dengan kening berkerut.
"Ah, mengapa pengemis-pengemis itu tidak di kota saja" Bukankah di kota mereka bisa mendapat banyak makanan" Mengapa harus ke lembah yang gersang dan sepi?" Sena merasa tertarik juga menyaksikan kedatangan para pengemis itu.
Tentunya ada sesuatu di Lembah Lamur, yang membuat para pengemis. berdatangan ke lembah itu. Belum juga Sena memahami apa yang terjadi, dari arah lain muncul dua orang wanita cantik. Satu di antaranya adalah seorang wanita cantik yang cukup terkenal sejak lama, Nyi Bangil.
Sedangkan gadis cantik yang berjalan seiring bersamanya, tentunya adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama Lira Kanti.
"Nyi Bangil! Ah, ada apa pula dia datang ke Lembah Lamur?" Kini bukan hanya para pengemis, Nyi Bangil dan adik seperguruannya yang datang. Tapi hampir seluruh pendekar rimba persilatan baik dari aliran lurus maupun sesat datang.
Sepertinya akan terjadi sesuatu di Lembah Lamur.
Di antara para tokoh persilatan itu, hadir beberapa pendekar aliran sesat seperti Lima Pengemis Tongkat Hitam dan ketuanya, Pengemis Tempurung Sakti.
Datuk Karang Geni, dan Gonggo Asopari. Sedangkan dari aliran putih seperti, Ki Ageng Sampar Bayu, Nyi Bangil dan adik seperguruannya Lira Kanti, Bidadari Cadar Merah dan gurunya Nyi Kendil, serta suaminya Prabasangka yang telah sadar dari pengaruh ayahnya yang berpihak ke aliran putih. Di sana juga hadir Ratih Puri serta suaminya Kerto Mandra. Dua golongan itu menempati tempat masingmasing. Aliran sesat menempatkan diri di sebelah barat. Sedangkan aliran lurus menempatkan diri di bagian timur. Sena mencabut bulu burung dari pinggangnya.
Kemudian dimasukkan ke telinga sebelah kiri. Dengan mulut nyengir, matanya terus memperhatikan gerakgerik orang-orang persilatan.
"Kami tak percaya kalau semua ini Singo Edan yang melakukannya! Juga mengenai Titisan Dewi Kwan Im, itu tidak benar!" ujar Ki Ageng Sampar Bayu.
Sena mengerutkan kening mendengar nama gurunya disebut-sebut oleh Ki Ageng Sampar Bayu. Tangannya masih mengorek telinganya dengan bulu burung. Matanya terpejam-pejam, merasakan nikmat kilikan itu.
"Mungkin saat ini kau tak percaya, Sampar Bayu! Tapi nanti kau akan melihat sendiri bahwa Singo Edan pelaku semua ini!" sahut lelaki berjubah hitam.
Lelaki ini bernama Datuk Karang Geni. Dan merupakan ketua tokoh aliran hitam yang bengis dan kejam. Rambutnya panjang terurai dengan ikat kepala warna hitam pula. Wajahnya dihiasi oleh cambang bauk lebat. Giginya ada yang ompong di sisi kanan dan kiri atas. Matanya nakal jika memandang ke perempuan cantik.
"Hm, jangan menuduh tanpa bukti, Karang Geni!" dengus Nyi Bangil.
"Aku tahu siapa Singo Edan, guru dari Pendekar Gila. Dia tak mungkin berlaku keji!"
"He he he..,!" Datuk Karang Geni tertawa terkekeh-kekeh. Matanya memandang nakal ke arah Nyi Bangil yang cantik dan bertubuh sintal. Kemudian matanya memandang Pengemis Tempurung Sakti yang juga tersenyum.
"Cah ayu, sebaiknya kau tidak usah ikut campur dengan semua ini. Lebih baik kau mau menjadi istriku," kata Datuk Karang Geni masih dengan senyum dan pandangan nakal ke arah Nyi Bangil.
"Cuih! Tak sudi aku denganmu, Datuk Sesat!" dengus Nyi Bangil.
"He he he...! Semakin kau marah, semakin cantik saja. Bukan begitu Pengemis Tempurung Sakti?" kata Datuk Karang Geni dengan mata mengerling pada Pengemis Tempurung Sakti.
"Tutup mulutmu, Iblis! Kurasa, kaulah yang telah menyebarkan desas-desus ini.
Padahal kau sendiri bi-ang dari semua kejadian di Lembah Lamur Ini!" bentak Nyi Bangil dengan berani.
"Wuah! Lancang sekali mulutmu, Nyi! Berani benar kau berlaku kurang ajar pada ketua kami!" maki Jalantra, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Selatan.
"Kalau saja kami diperkenankan, sudah kurobek mulutmu!" sambut Gandrana, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Timur.
"Huh, apakah kalian kira kami takut!" ujar Lira Kanti kesal, melihat kakak seperguruannya diremehkan.
"Menghadapi pengemis busuk macam kalian, pantang bagi kami sebagai pewaris Pedang Bidadari untuk mengalah!" Suasana di Lembah Lamur semakin terasa panas. Masing-masing aliran saling menyalahkan. Aliran sesat menuduh bahwa tindakan Titisan Dewi Kwan Im alias Mei Lie yang membunuh semua orang-orang persilatan. Dan Singo Edan adalah dalang dari semua kejadian itu. Para pendekar aliran lurus tak mau menerima tuduhan itu. Bahkan mereka balik menuduh kalau aliran sesatlah yang telah membuat rencana busuk itu.
Dengan kedok Singo Edan dan Mei Lie, mereka berusaha menjatuhkan aliran putih.
"Apakah kau mempunyai bukti kuat kalau Singo Edan dan Titisan Dewi Kwan Im pelaku semua ini?" tanya Ki Ageng Sampar Bayu.
"Memang tidak. Namun dilihat dari kematian mereka, hanya Titisan Dewi Kwan Im yang memiliki Pedang Bidadari. Bukankah salah seorang anggotamu mengatakan begitu?" kata Datuk Karang Geni balik bertanya, sekaligus menuduh Nyi Bangil. Ki Sampar Bayu memandang Nyi Bangil.
"Benar begitu, Nyi?"
"Benar, Ketua. Tapi kurasa bukan dia pelakunya.
Tentunya ada orang yang memanfaatkan dia," jawab Nyi Bangil.
"Kalau begitu, sudah pasti gadis Cina itu yang melakukannya!" seru Jantruk, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Barat "Kita serang saja!" seru Jantrik, kembaran dari Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Barat Pertarungan antara dua golongan itu nampaknya tidak akan dapat dicegah lagi. Anggota aliran hitam telah siap melakukan serangan. Sedangkan anggota aliran putih juga telah siap menghadapinya.
"Serang saja!" kembali tokoh-tokoh aliran hitam berseru, semakin menambah panas suasana di Lembah Lamur.
"Jelas dari aliran putih yang melakukan semua ini!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Utara.
"Seraaang...!" Anggota aliran hitam kini menyerbu, berusaha menyerang anggota aliran putih yang juga telah berhamburan untuk bertarung.
"Yeaaat..!"
"Hadang mereka...!" seru salah seorang dari aliran putih memerintahkan.
"Serbu...!" Perang benar-benar akan terjadi. Dan tentunya pertumpahan darah di Lembah Lamur yang tandus dan gersang akan terjadi pula. Warna merah akan memulas daratan itu dan anyir darah akan menyesaki udaranya. Tapi ketika kedua kekuatan itu nyaris bertemu, tiba-tiba...
"Tunggu! Hentikan semuanya...!"
-::₪ { 8 } ₪::-
"Pendekar Gila...!"
"Hm.... Sampai kapan pun kalian tak akan pernah bisa tenang. Kalian telah ditipu oleh seseorang!" kata Sena.
"Kalian akan saling tuduh dan saling bantai, karena mengikuti hawa nafsu belaka! Jika sudah saling bantai, apa yang akan kalian dapat?" Sena kali ini menunjukkan sikapnya yang tegas, tidak bertingkah laku aneh seperti orang gila. Matanya menyapu tajam ke sekeliling tempat itu laksana mata elang. Puluhan tokoh sakti itu bagai terkena sihir, mereka terdiam mendengar penuturan Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, gurumu telah membunuh secara keji para pendekar dan tokoh dari aliran kami. Seharusnya aliran putih berterima kasih pada kami yang telah berusaha memberitahukan mereka tentang sepak terjang gurumu dan gadis Cina yang telah banyak makan korban!" seru Pengemis Tempurung Sakti.
"Hm.... Enak sekali kau berkata, Pengemis Lapuk!" maki Bidadari Cadar Merah.
"Seharusnya kau berpikir dulu sebelum bicara!"
"Benar! Jangan asal tuduh sembarangan!" timpal Prabasangka, suami Bidadari Cadar Merah yang telah sadar akan kekeliruan dan kesalahannya (Untuk mengetahui lebih jelas tentang tokoh ini, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Duel di Puncak Lawu").
"Kalianlah yang tak tahu aturan! Sudah jelas pelakunya adalah Singo Edan dan gadis Cina itu, masih saja kalian membelanya!" dengus Gandrana.
"Cukup!" seru Pendekar Gila tegas.
"Kurasa kalian telah diadu domba. Bahkan termasuk aku. Hampir saja aku membunuh guruku sendiri. Kuakui, sungguh hebat orang yang telah menyamar sebagai guruku.
Sampai aku tertipu olehnya."
"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" selak Datuk Karang Geni.
"Kau muridnya, tentu saja kau membelanya!"
"Ya! Itu sudah pasti," sambut Pengemis Tempurung Sakti.
"Diam!" bentak Pendekar Gila marah. Wajahnya kini nampak bersinar merah membara, membuat semuanya terdiam. Mereka tahu bagaimana jika Pendekar Gila benar-benar telah marah.
"Kukatakan pada kalian, jika memang dia guruku aku tak akan mem-biarkannya! Aku yang akan membunuhnya!"
"Percuma kau berkata begitu! Kami tak akan mempercayainya. Gurumu sebagai bukti, bahwa orang aliran putih sesungguhnya licik!" tuduh Datuk Karang Geni.
"Keji! Kalianlah yang licik! Kalian hanya bisa mencari kambing hitam!" selak Ki Ageng Sampar Bayu.
"Phuah! Rupanya kalian harus disingkirkan! Serbuuu...!" seru Datuk Karang Geni, yang seketika dilaksanakan oleh anggotaanggotanya.
"Seraaang...!" Ki Ageng Sampar Bayu tak mau tinggal diam. Dia tidak ingin mati sia-sia diserang oleh orang-orang dari aliran hitam.
"Hentikan...!" Pendekar Gila berusaha mencegah terjadinya pertumpahan darah yang sia-sia. Namun golongan hitam rupanya tidak mau dicegah lagi. Pertempuran besar antar golongan pun terjadi.
Trang! "Hiaaat...!"
"Hait..!" Trang! Jleb! "Wuaaa...!" Keriuhan karena beradunya senjata yang diteruskan oleh pekikan kematian, seketika membahana.
Darah mulai membasahi tanah Lembah Lamur yang tandus. Pendekar Gila yang tidak mau mati sia-sia, kini harus mempertahankan diri dari gempuran-gempuran orang-orang aliran sesat yang menyerangnya. Dengan masih mengandalkan tangan kosong, tubuhnya segera berkelebat untuk mementahkan serangan lima orang pengemis sakti. Tubuhnya meliuk-liuk dan sesekali menepuk ke arah lawan.
Lima Pengemis Tongkat Hitam terus mengepung Pendekar Gila. Tongkat hitam di tangan mereka, bergerak menyerang dengan sabetan dan tusukan ke tubuh Pendekar Gila yang meliuk-liuk laksana menari dengan mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
"Heaaa...!"
"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Sena. Tangannya menepuk ke arah dada lawan dengan gerakan aneh, setelah berhasil mengelakkan sabetan tongkat hitam lawan. Jalantra yang merupakan Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan tersentak kaget. Sama sekali tidak disangka kalau pukulan Pendekar Gila yang lamban dan lemah ternyata mampu mengejar gerak tubuhnya. Dicobanya untuk menangkis dengan tongkat hitamnya.
"Hih!"
"Heaaa...!" teriak Jalantara, Ketua Perkumpulan Pengemis Sakti sambil mengayunkan tongkatnya.
"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Pendekar Gila.
Tangannya menepuk ke arah dada lawan dengan gerakan aneh, setelah berhasil mengelakkan sabetan tongkat hitam Jalantara.
Pendekar Gila yang melihat gerakan lawan, dengan cepat menarik tepukan tangannya. Kakinya menendang ke belakang dengan tubuh membungkuk.
Kemudian tangannya direntangkan ke samping. Dan kakinya melayang ke wajah lawan.
Des! Des...! "Ngk!"
"Ukh...!" Dua orang terkena tendangan dan sapuan tangannya. Kedua pengemis itu terhuyung-huyung ke belakang. Dari mulut mereka meleleh darah segar. Mata mereka melotot, tak percaya melihat gerakan yang dilakukan Pendekar Gila. Gerakan yang kelihatannya lamban dan lemah tadi ternyata mampu menghantam tubuh mereka. Di sisi lain, pertarungan semakin sem. Jeritanjeritan kematian susul-menyusul. Darah telah banyak tertumpah. Namun begitu, belum ada salah satu dari kedua golongan itu yang mau mengalah. Mereka masihterus bertarung, berusaha mengalahkan lawan.
Dari aliran putih tiga orang pendekar telah tewas.
Mereka tergeletak di tanah dengan darah melumuri pakaian dan tubuhnya. Sedangkan di pihak aliran hitam empat orang telah menemui ajal..
Ki Ageng Sampar Bayu yang berhadapan dengan Datuk Karang Geni pun masih gencar bertukar serangan. Kedua orang tua pemimpin golongan itu mengeluarkan jurus-jurus tingkat tinggi. Kancah pertempuran mereka terpisah dari kelompoknya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!" Dua tokoh utama persilatan itu berkelebat laksana terbang, kemudian saling serang dengan jurusjurus sakti. Api berkobar dari tubuh Datuk Karang Geni, sedangkan dari tubuh Ki Ageng Sampar Bayu menderu-deru angin kencang.
Suasana semakin membara. Pertarungan kian seru, meski korban telah banyak berjatuhan. Nampaknya pertarungan besar itu tak akan selesai sampai salah satu golongan mengalah.
Padahal korban kini membengkak menjadi dua belas orang. Tujuh dari aliran hitam, sedang sisanya dari aliran putih.
Pendekar Gila masih dikeroyok oleh lima Pengemis Tongkat Hitam. Dengan jurus 'Kera Gila Melempar Batu', Sena menyerang ke arah para pengeroyok yang telah mendapat hantaman darinya.
"Yeaaa...!" Tangan Pendekar Gila bergerak susul-menyusul bagaikan melempar. Gerakan melempar itu menghasilkan deru angin kencang yang menyapu ke arah lima pengemis itu. Membuat mereka bagaikan dilempar batu.
"Jurus edan!" maki Gandrana.
"Cepat kita gunakan 'Tameng Sakti'!" seru Jalantra. Seruan itu segera disambut oleh keempat rekannya. Mereka segera membentuk sebuah gerakan melingkar sambil berlari. Tangan mereka bergerak memukul atau menyabetkan tongkat hitam yang dijadikan senjata.
"Heaaa!" Wut! Wusss...! Pendekar Gila meliukkan tubuhnya untuk mengelakkan serangan yang dilancarkan kelima pengemis itu. Tangannya bergerak menyambar kaki lawan, sedangkan tubuhnya sedikit dibungkukkan, mengelakkan pukulan dan sambaran tongkat hitam lawan.
"Heaaa!" Pendekar Gila melenting ke atas, kemudian bersalto beberapa kali. Lalu dengan cepat tangannya mencabut Suling Naga Sakti. Saat menukik ke bawah, tangannya bergerak menghantamkan Suling Naga Sakti ke arah putaran lawan.
Wut! Pyar! Perisai yang dibuat oleh kelima pengemis itu seketika hancur. Tubuh mereka berpelantingan ke sana kemari. Mata mereka membelalak, menyaksikan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Sementara Pendekar Gila-hanya cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, membuat kelima pengemis itu semakin marah.
"Aku membantu kalian!" seru Pengemis Tempurung Sakti sambil melemparkan tempurungnya ke arah Pendekar Gila.
Wut! "Uts!" Pendekar Gila segera mendoyongkan tubuh ke samping untuk mengelakkan sambaran tempurung sakti yang melesat ke arahnya. Lalu dengan cepat, Suling Naga Sakti dihantamkan ke tempurung yang hendak balik ke arah tuannya.
Wut! Prak! Tempurung milik Pengemis Tempurung Sakti seketika pecah, terhantam Suling Naga Sakti.
Tep! Pengemis Tempurung Sakti terkejut, menyaksikan tempurungnya kembali dalam keadaan tak karuan. Kemarahannya tiba di ubun-ubun. Didahului pekikan keras, tubuhnya melesat ke arah Pendekar Gila.
"Kau telah memecahkan tempurung ku! Maka kepalamu harus pecah di tanganku! Yeaaa...!" Pengemis Tempurung Sakti menyabetkan tongkat kayu hitamnya ke arah Pendekar Gila. Sabetan yang dialiri tenaga dalam itu membuat angin sabetannya menderu keras.
"Uts! Hop...!" Pendekar Gila menundukkan tubuh ke bawah, kemudian dengan cepat tangan kanannya yang memegang Suling Naga Sakti dihantamkan ke tongkat lawan. Trak! "Uhhh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh.
Tangannya bergetar hebat. Dan tongkat kayunya patah menjadi dua, membuat matanya membelalak lebar. Di saat pertempuran antar dua golongan itu semakin menggila dengan korban yang kian banyak, tiba-tiba angin bertiup keras, menyentakkan semua yang tengah bertarung. Bersamaan dengan tiupan angin yang membadai, dari arah tenggara muncul kabut tebal berarak ke arah mereka, diiringi gelak tawa yang membahana. Mendengar tawa itu, mereka sama-sama tersentak. Terutama tokoh aliran lurus yang mengenal sekali ciri suara tawa itu.
"Singo Edan...!"
***
"Hm...," Pendekar Gila menggumam. Jelas sekali dari wajahnya terlihat ketidakmengertian. Bagaimanapun juga, dia sangat mengenali tawa itu. Tawa yang juga dimilikinya. Dan hanya ada satu orang yang memiliki tawa seperti itu, yaitu Singo Edan.
Mungkinkah itu suara guruku" Tanya Pendekar Gila dalam hati. Matanya memandang ke arah kabut yang bergerak semakin dekat ke arah mereka.
Semua orang yang ada di Lembah Lamur, kini bagai patung. Tubuh mereka terdiam tegak. Kepala mereka mendongak ke atas pada kabut yang masih terus merayap.
"Hua ha ha....! Bagus! Rupanya kalian telah kumpul!" terdengar suara Singo Edan.
Angin semakin menderu-deru, berusaha menyapu orang-orang yang ada di bawahnya. Orang-orang yang tidak kuat menahan gempuran angin puting beliung itu seketika tersapu. Beterbangan terbawa deru angin kencang.
Suasana di Lembah Lamur semakin kacau. Hiruk-pikuk dan jeritan kematian mewarnai tempat itu.
Sedangkan yang berilmu tinggi, kini harus berusaha menahan gempuran angin puting beliung yang menerjang mereka. Pakaian-pakaian yang mereka kenakan terkoyak-koyak parah.
"Cepat rebahkan tubuh kalian...!" seru Pendekar Gila memerintahkan pada para pendekar wanita yang semakin tidak menentu keadaannya.
Angin terus menderu kencang laksana badai.
Lembah Lamur seketika diselimuti oleh gulungan debu yang menghalangi pandangan mereka.
Melihat kenyataan itu, Pendekar Gila melangkah maju. Matanya memandang ke arah kabut yang ada di atas.
"Hoi...! Orang pengecut! Kalau kau memang Singo Edan, keluarlah!"
"Hua ha ha...! Rupanya kau masih hidup, Bocah tolol!" bentak Singo Edan yang belum juga menampakkan wujudnya.
"Tapi kini kau tak akan luput dari kematian!"
"Pengecut! Tunjukkan wujudmu!" tantang Sena dengan suara lantang.
Pendekar Gila bagai tidak peduli dengan angin kencang membadai yang terus menerpa tubuhnya. Dia telah mengerahkan ajian 'Sapta Bayu', yang menjadikan tubuhnya mampu menahan hempasan angin kencang.
"Hua ha ha...! Rupanya kau tidak kapok juga! Baik, hadapilah dia dulu...!" Bersamaan dengan selesainya ucapan Singo Edan, dari kabut tebal itu berkelebat sesosok bayangan putih yang cukup mengagetkan Pendekar Gila dan Nyi Bangil.
"Mei Lie...!" seru keduanya hampir bersamaan.
Keduanya hendak maju untuk menyadarkan Mei Lie, namun gadis cantik dari Cina yang digegerkan sebagai Titisan Dewi Kwan Im itu seperti tidak mengenali mereka lagi. Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat ke arah mereka.
Wut! "Nyi Bangil, awas...!" seru Sena mengingatkan sambil melempar tubuh ke belakang.
Nyi Bangil yang tidak menduga sama sekali kalau Mei Lie menyerangnya, tersentak kaget. Dia berusaha berkelit, namun tebasan pedang Mei Lie teramat cepat.
Maka.... Wut! "Mei Lie..."!" Crap! "Aaa...!" Nyi Bangil memekik keras ketika pedang di tangan Mei Lie menembus dadanya sebelah kiri. Matanya membelalak. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
"Mei Lie, kau..."!" Tubuh Nyi Bangil semakin lemah, kemudian ambruk tanpa nyawa ketika Pedang Bidadari dicabut dari dadanya.
"Kakak..!" jerit Lira Kanti.
Gadis itu hendak memburu ke arah tubuh Nyi Bangil, tapi dengan cepat Pendekar Gila mencegahnya.
"Jangan!" Lira Kanti menghentikan langkahnya. Matanya terpaku ke tubuh kakaknya yang telah tak bernyawa.
Semua orang yang ada di Lembah Lamur seketika terpaku. Mereka bagai tak percaya kalau ilmu pedang gadis Cina yang digegerkan sebagai Titisan Dewi Kwan Im itu ternyata sangat tinggi.
"Hua ha ha...! Bagaimana, Bocah Edan"!"
"Pengecut! Keluarlah! Lepaskan pengaruh mu dari dia!" maki Sena sengit. Tubuhnya masih bergerak, mengelakkan seranganserangan yang dilancarkan Mei Lie.
"Bunuh dia! Dia lawanmu, Mei Lie!" seru lelaki tua yang mengaku Singo Edan, yang kini belum juga menampakkan wujudnya.
Mei Lie yang dalam kekuasaan pengaruh lelaki tua yang mengaku Singo Edan itu menurut. Tangannya yang memegang pedang, bergerak cepat menyerang Pendekar Gila. Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan cukup membuat Pendekar Gila kaget Pedang di tangan Mei Lie memang bukan pedang sembarangan. Kalau saja Mei Lie ingat akan jurus 'Pedang Tebasan Batin' pasti akan sulit ditandingi.
"Mei Lie, ingatlah! Kau dalam pengaruhnya!" seru Sena berusaha mengingatkan.
"Aku Sena, Mei Lie...!" Mei Lie tak peduli. Matanya tidak berkedip memandang Pendekar Gila. Tangannya terus bergerak membabatkan pedang dengan cepat.
Wut! "Hua ha ha...! Kusarankan pada kalian, bersujudlah padaku! Kalau tidak, kalian akan mengalami kematian!" ancam Singo Edan.
"Aku sujud!" sambut Datuk Karang Geni.
"Aku ikut sujud!" Pengemis Tempurung Sakti mengikuti.
"Aku juga!" Kini semua tokoh aliran hitam sujud kepada orang yang mengaku Singo Edan. Mereka meratap, meminta ampunan dan mengharap agar Singo Edan mau menjadikan mereka anak buahnya.
"Bagus! Kalian memang pengikut ku yang setia! Bunuh mereka yang bermaksud menentang!" perintah orang yang mengaku Singo Edan.
Dengan cepat seruan itu segera dilaksanakan olah para tokoh sesat "Serang...!" seru Datuk Karang Geni.
"Habisi mereka...!" sambut yang lainnya.
Melihat orang-orang dari aliran sesat menyerang, Ki Ageng Sampar Bayu pun tidak mau tinggal diam.
Segera dia pun berteriak memerintah anak buahnya untuk menyambut serangan mereka.
"Serbu..!"
"Yeaaat...!" Pertarungan kembali berlangsung tanpa dapat dicegah. Bagaimanapun juga, orang-orang dari golongan putih tidak mau mati sia-sia. Tak ada jalan lain bagi mereka kecuali menghadapi serangan lawan.
Pertarungan yang tertunda sesaat, kini berkobar kembali. Suara beradunya senjata disusul dengan jerit-jerit kematian meramaikan Lembah Lamur.
"Mei Lie, cepat pergi!" terdengar suara Singo Edan memanggil Mei Lie. Bersamaan dengan itu, dari atas melesat tiga lelaki berjubah merah. Mereka tak lain Ti-ga Setan Rambut Api.
Mei Lie dengan cepat melesat ke atas, meninggalkan Pendekar Gila. Namun rupanya Sena tak mau membiarkan Mei Lie pergi begitu saja. Tubuhnya segera melesat ke atas, menyusul tubuh gadis Cina itu.
Tiga Setan Rambut Api yang semula hendak menghadang Pendekar Gila, hanya mampu terpaku.
Mereka hendak mengejar, namun kabut itu telah bergerak meninggalkan Lembah Lamur. Akhirnya Tiga Setan Rambut Api turut membantu orang-orang aliran hitam yang tengah bertarung dengan para pendekar aliran putih.
-::₪ { 9 } ₪::-
"Hei, di mana aku?" tanya Sena kebingungan, menyaksikan alam sekitarnya yang terasa demikian asing. Pendekar Gila menemukan suasana yang sepi, gelap dan mencekam. Dari kejauhan terdengar suarasuara menyeramkan yang mampu mendirikan bulu kuduk.
"Sena Manggala...." Ada suara yang memanggil namanya. Suara seorang laki-laki. Namun jelas itu bukan suara gurunya.
Sena menyapukan pandangan ke sekeliling hutan itu, berusaha menemukan asal suara yang baru saja didengarnya. Namun sama sekali tidak terlihat seorang pun di tempat itu.
"Siapakah yang memanggilku?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya terus beredar dalam keremangan yang menyeluruh. Tiba-tiba matanya bertumbukan dengan dua pasang mata dari sepasang kera yang berdiri di atas cabang pohon.
"Sena...," suara itu kembali terdengar.
"Hei, kaukah yang berbicara?" tanya Sena dengan mulut ternganga. Yang telah berbicara padanya ternyata seekor monyet berbulu putih.
"Kau, bukankah kau Kera Sakti?"
"Aku adalah ayahnya. Sedangkan dia adalah ibunya," kata kera putih yang duduk di sebelah kiri, seraya menunjuk kera di sampingnya.
"Bukankah kalian telah mati?" tanya Sena masih menggaruk-garuk kepala keheranan.
Bulu kuduknya meremang, menyaksikan keanehan-keanehan yang dialami. Tentang kabut aneh yang tiba-tiba berubah menjadi hutan belantara. Dan hutan itu nampaknya berada puluhan tahun yang silam.
"Kau salah, Sena. Kami belum mati. Inilah alam kami. Alam kabut. Alam di mana jiwa-jiwa berada...." Ucapan kera putih itu semakin membuat Sena diterpa rasa heran. Bagaimana mungkin semuanya bisa terjadi" Tanyanya dalam hati.
"Tapi aku belum mati. Bagaimana mungkin aku bisa kemari?" tanya Sena, bimbang.
"Itu mudah, Sena. Kau berilmu tinggi. Kau mampu datang kemari tanpa undangan penghuni alam ini.
Sudahlah, jangan sia-siakan waktumu. Bukankah kau tengah mengejar Dewi Pemuja Setan?" tanya kera putih. Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala mendengar pertanyaan itu. Dia sungguh bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan kera putih itu.
"Kau memang belum mengerti, Sena. Baiklah akan ku jelaskan padamu." Kera putih kemudian menceritakan siapa sesungguhnya lelaki yang menyamar sebagai Singo Edan, guru Pendekar Gila. Dikatakan pula bahwa sebenarnya lelaki itu jelmaan Dewi Pemuja Setan yang telah dikalahkan oleh Singo Edan puluhan tahun yang silam. Arwahnya telah bersekutu dengan iblis, dan bangkit kembali atas pertolongan iblis.
Sena mendengarkan dengan seksama setiap penggalan kisah yang diceritakan oleh kera putih.
"Nah, begitulah ceritanya. Maka itu, berhatihatilah. Dia bukan manusia, melainkan iblis. Aku berdoa, semoga Hyang Widhi akan senantiasa bersamamu. Pergilah ke arah selatan, di sana kau akan menemukan sebuah istana yang dihuni oleh wanita-wanita iblis. Jangan kau terpedaya oleh kecantikan wanita itu.
Sesungguhnya, mereka adalah siluman."
"Terima kasih atas saran yang telah kau berikan, Sahabatku."
"Sampaikan salamku pada gurumu," tutur kera putih sebelum Sena meninggalkan tempat itu.
"Akan kusampaikan. Selamat berpisah!" Sena pun segera mengikuti petunjuk yang diberikan oleh kera putih. Dengan mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuhnya melesat cepat ke arah selatan.
Apa yang dikatakan kera putih tadi ternyata benar. Di selatan, nampak sebuah bangunan besar berdiri angker. Bangunan mirip istana itu nampak dijaga oleh dua wanita cantik berpakaian minim.
Sena menghentikan larinya. Dengan cepat dia menyelinap di balik pepohonan. Matanya memandang ke arah bangunan besar yang berdiri megah.
Benarkah gadis-gadis cantik itu siluman" Tanya Sena dalam hati. Segera mata batinnya digunakan untuk melihat bagaimana rupa gadis-gadis itu sebenarnya. Benar juga! Ternyata gadis-gadis itu tiada lain makhluk-makhluk menyeramkan. Mata mereka lebar dengan hidung besar berwarna merah. Tubuh mereka telanjang bulat, dengan lidah yang panjang dan gigi bertaring.
"Hm.... Apa yang dikatakan oleh kera putih ternyata benar," bisik Pendekar Gila.
"Bagaimanapun ju-ga, aku harus menyelamatkan Mei Lie dari cengkeraman Dewi Pemuja Setan." Sena mencabut Suling Naga Sakti dari balik ikat pinggangnya. Kemudian ditiupnya suling itu ke arah dua wanita cantik jejadian tadi. Suara suling mengalun dengan merdu serta mendayu-dayu. Tiupan 'Pelayung Sukma', menjadikan kedua gadis itu seketika terkulai lemas.
"Hm.... Kini tinggal menantang Dewi Pemuja Setan keluar," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan pengerahan tenaga dalam, Pendekar Gila berseru, "Dewi Pemuja Setan, keluar kau!"
"Kurang ajar! Siapa yang berani menggangguku!" bentak Dewi Pemuja Setan marah. Dari dalam bangunan, muncul seorang lelaki berwajah persis dengan Singo Edan.
"Kau"!"
"Ya! Aku datang untuk membuat perhitungan denganmu, Dewi Pemuja Setan! Kau telah merusak nama baik guruku. Bahkan kau telah berusaha membunuhku!" dengus Pendekar Gila lantang.
"Hua ha ha...! Rupanya kau datang untuk mengantar nyawa, Bocah Tolol! Mengapa tidak sekalian sa-ja gurumu"!" tantang Dewi Pemuja Setan pongah.
Pendekar Gila mendengus. Matanya memandang tajam ke arah lelaki yang serupa dengan Singo Edan.
Iblis yang telah menipunya, sampai dia hampir saja bertarung dengan gurunya.
"Dewi Pemuja Setan, rupanya kau belum kapok! Setelah kekalahanmu oleh guruku, kau bermaksud memfitnah! Pengecut..!" bentak Sena gusar.
"Lepaskan Mei Lie!"
"Hua ha ha...! Jangan bermimpi, Bocah Tolol! Kau akan terkubur di alam ini! Bersiaplah! Hiaaat...!"
"Heaaa...!" Didahului pekikan menggelegar, tubuh keduanya melesat ke udara. Lalu dengan cepat mereka mengeluarkan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Pendekar Gila dengan jurus pembuka Si Gila Menari Menepuk La-lat, berusaha melabrak Dewi Pemuja Setan. Tubuhnya meliuk-liuk, dan sesekali menepuk ke tubuh lawan.
"Cuih! Ilmu kuno!" ejek Dewi Pemuja Setan.
Kemudian Dewi Pemuja Setan pun menggerakkan kedua tangannya, membentuk silang dengan jari-jari mencakar. Ditariknya tangan kanan yang ada di depan ke samping, kemudian dihentakkan ke depan. Sedangkan tangan kirinya kini mencengkeram ke mata lawan.
Itulah jurus 'Sangkala Putung Tingkat Pertama'. Sebuah jurus sakti yang terdiri dari sepuluh tingkatan.
Wut! Tangan Dewi Pemuja Setan bergerak saling berlawanan. Kalau yang kiri dari atas, maka yang kanan dari bawah. Begitu juga jika menyerang dari samping.
Gerakan tangannya begitu cepat, menimbulkan deru angin yang kencang.
"Uts...!" Sena tersentak. Segera wajahnya dibuang ke samping, sehingga serangan Dewi Pemuja Setan luput. Namun tangan kanannya, kini meluncur deras ke arah perut Pendekar Gila segera berkelit ke samping, kemudian dengan cepat balas menyerang dengan tamparan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya berusaha menangkis cengkeraman tangan kanan lawan.
"Heaaa...!" Plak! Bentrokan terjadi. Tubuh mereka langsung berjumpalitan ke belakang. Dengan mendengus, keduanya kembali menyerang. Kali ini Dewi Pemuja Setan mengeluarkan jurus 'Sangkala Putung Tingkat Kedua'.
Gerakannya semakin cepat. Kakinya turut menyapu ganas. Menyaksikan lawan mengeluarkan jurus yang setingkat lebih tinggi dari jurus semula, Sena pun segera mengeluarkan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya berputar cepat, bagaikan meronta dari lilitan tali yang membelit tubuh. Tangannya bergerak miring, menghantam dan mencakar ke wajah lawan.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!" Dewi Pemuja Setan terus menyerang dengan cengkeraman dan pukulan telapak tangannya. Tubuhnya bergerak cepat dalam gerakan berputar seperti gasing. Kakinya menyapu teratur. Sedangkan tangannya susul-menyusul melakukan serangan.
Jurus-jurus yang mereka keluarkan adalah jurus-jurus yang berlawanan. Kalau Pendekar Gila menyapu kaki lawan dengan gerakan ke arah dalam, sedangkan Dewi Pemuja Setan menyapu kaki lawan ke arah luar. Begitu pula dengan serangan tangan, serta putaran tubuh mereka.
Semuanya berlawanan arah.
Tap! Trak! Derak akibat beradunya tangan dan kaki terdengar. Diikuti oleh gerakan-gerakan kepala dan tubuh saat mengelak. Sebuah pertarungan yang dahsyat dengan menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi.
"Heaaa...!" Dewi Pemuja Setan menyorongkan tangannya ke wajah lawan, hingga menyentakkan Pendekar Gila. Segera Sena memiringkan kepala ke samping kanan.
Tangannya dengan sigap menangkap tangan lawan, disusul dengan cakaran tangan kiri.
Tap! "Hiaaa...!" Tangan Pendekar Gila merangsek maju ke wajah lawan, sedangkan tangan yang lain berusaha menangkis dan menangkap tangan lawan yang menyerang. Tarik-menarik tangan terjadi, disusul oleh sapuan kaki keduanya yang bertubi-tubi.
Pendekar Gila mengerahkan tenaga murni lalu mendorong tubuh lawan dengan keras. Begitu juga dengan Dewi Pemuja Setan, dia pun mendorong tubuh lawannya dengan keras pula. Akibatnya, tubuh mereka terlontar jauh ke belakang.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!" Tubuh keduanya bersalto di udara beberapa saat sebelum menjejakkan kaki ke tanah. Mata mereka saling pandang, diikuti oleh dengus napas keras dan memburu. Keduanya masih mengawasi gerak-gerik lawan masing-masing dengan sudut mata. Kaki mereka melangkah teratur dengan tangan bergerak membuka jurus. Kemudian, didahului pekikan menggelegar, tubuh keduanya kembali melesat "Yeaaa...!"
"Hiaaa...!" Tubuh mereka sama-sama melesat ke atas, kemudian bertemu di udara untuk saling menyerang. Telapak tangan mereka memukul keras, sedangkan kaki mereka berusaha menendang kaki lawan. Pertarungan di udara terjadi. Tubuh keduanya melayang dalam kecepatan tinggi.
Pendekar Gila terus menyerang dengan kibasan tangannya dengan jurus 'Si Gila Menyibak Samudera'.
Tangannya seperti menyibak. Memukul ke dada lawan.
Sedangkan kakinya menendang bergantian.
Trap! "Yeaaa...!" Dewi Pemuja Setan yang mengeluarkan jurus 'Sangkal Putung Tingkat Ketujuh', tidak kalah gesit dalam mengelak dan menyerang. Tangannya kini menghitam, mengeluarkan asap yang panas. Lalu bergerak memukul dengan telapak tangan ke dada lawan. Disusul dengan tebasan tangan kiri ke kepala Pendekar Gila.
"Yeaaa!" Pendekar Gila cepat memiringkan kepala ke samping kiri, serta melompat ke belakang. Lalu dengan cepat tangannya menghantam ke tulang rusuk rawan dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Yeaaat..!" Wut! Deru angin yang keluar dari tangan Pendekar Gila laksana prahara menghantam ke dada lawan, sehingga menyentakkan Dewi Pemuja Setan.
Dewi Pemuja Setan berusaha mengelakkan hantaman keras itu. Namun rupanya pukulan Pendekar Gila yang tak terduga-duga, harus mendarat telak di dadanya. Sampai terdengar suara keras dari mulut Dewi Pemuja Setan.
Degk! "Hugh...!" Mata Dewi Pemuja Setan melotot. Tubuhnya terpental ke belakang. Tapi anehnya, tubuh Dewi Pemuja Setan tidak mengalami apa-apa. Seakan pukulan sakti itu tak berarti sama sekali. Padahal pukulan dari jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang", mampu menghancurkan gunung karang menjadi debu.
Kini bukan Dewi Pemuja Setan yang kaget, justru Pendekar Gila terperangah menyaksikan lawannya tidak mempan oleh pukulan sakti yang dilancarkannya.
"Hua ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, Pendekar Gila!" tantang Dewi Pemuja Setan, sombong.
Kemudian dengan mendengus marah Dewi Pemuja Setan berkelebat menyerang. Dewi Pemuja Setan kali ini menggebrak dengan jurus 'Sangkal Putung Tingkat Sepuluh', yang merupakan jurus terakhir dari rangkaian jurus 'Sangkal Putung'. Pendekar Gila tersentak dari keterpanaannya.
Dengan cepat serangan itu dielakkannya. Tubuhnya dibuang ke samping kanan, berusaha mengelakkan hantaman lawan. Namun pukulan tangan Dewi Pemuja Setan ternyata sempat menyerempet pundak kirinya.
Jrat! "Ukh...!" Pendekar Gila segera berguling sambil mengeluh, merasakan pundak kirinya panas bagai terbakar. Kulitnya agak melepuh.
"Setan!" Melihat Pendekar Gila dapat dilukai, Dewi Pemuja Setan semakin bernafsu untuk segera menghabisinya. Dengan pekikan menggelegar, dia kembali menyerang dengan jurus pamungkasnya.
"Yiaaat..!" Melihat lawan telah melesat ke arahnya, Pendekar Gila yang masih berguling dengan cepat mengibaskan kaki kanannya ke selangkangan lawan. Membuat lawan yang masih berada di atas tak mampu lagi mengelakkan tendangan itu. Tanpa ampun lagi....
Jrot! "Ukh...!" Dewi Pemuja Setan memekik keras, tubuhnya terlempar ke belakang. Tangannya memegangi selangkangan yang terasa hancur akibat tendangan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu! Hgrrr...!" Dewi Pemuja Setan menggeram keras. Tangannya menyatu di atas kepala. Perlahan-lahan tubuhnya diselimuti oleh asap tebal yang bergulung-gulung. Kemudian asap hitam bergulung-gulung itu membentuk wujud tinggi besar. Mulanya nampak samar, lalu semakin jelas dan bertambah jelas.
Kini nampaklah sesosok makhluk hitam bertubuh tinggi besar yang menyeramkan telah berdiri di hadapan Pendekar Gila.
"Hogrrr...!" Makhluk itu menggeram. Wajahnya yang seperti kera tampak demikian menyeramkan. Terlebih dengan mata lebar dan taring yang mencuat. Telinganya panjang dan meruncing ke atas. Di samping telinganya terdapat tanduk yang berkilat. Sekujur tubuhnya ditumbuhi rambut hitam kemerah-merahan. Kukukukunya panjang dan runcing.
"Jagat Dewa Batara, makhluk ini yang malam itu pernah bertarung denganku," desis Sena. Dengan masih menahan sakit pada pundak kirinya yang melepuh, Pendekar Gila berusaha bangkit Wut! Tangan makhluk menyeramkan itu menyambar deras ke tubuh Pendekar Gila.
"Uts!" Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke samping, mengelakkan serangan makhluk itu. Namun tak urung, tubuhnya tersambar tangan makhluk menyeramkan itu. Plak! "Akh...!" Tubuh Pendekar Gila melayang beberapa tombak ke samping. Sesaat dia berguling-guling di tanah, kemudian segera bangkit ketika tangan makhluk menyeramkan itu hendak mencengkeram tubuhnya kembali.
Crab! Kuku panjang menyeramkan itu menghunjam dalam di tanah. Karena dalamnya, tercipta lubang besar yang menyerupai galian sumur yang dalam, ketika tangan itu ditarik.
Mata Pendekar Gila membelalak. Hatinya bergidik saat membayangkan tubuhnya menjadi sasaran hunjaman tangan makhluk menyeramkan itu. Tentu tubuhnya hancur lebur, karena tidak lebih besar dibandingkan telapak tangan makhluk menyeramkan itu.
"Hgrrr...!" Makhluk menyeramkan itu kembali mengayunkan tangannya, berusaha menghancurkan tubuh Pendekar Gila. Namun Sena yang sudah merasakan sakit yang luar biasa akibat tamparan tangan besar itu dengan cepat berkelit. Disusul oleh serangan pukulan saktinya ke wajah lawan.
Wusss...! Selarik sinar merah membara keluar dari telapak tangan Pendekar Gila, dan langsung melesat ke wajah makhluk menyeramkan itu.
Jrot! Sinar api itu menghantam wajah lawannya yang menyeramkan. Namun makhluk itu bagai tak mengalami apa-apa. Bahkan dia semakin kalap. Tangannya silih berganti menyambar dan menghantam tubuh Pendekar Gila. Wut! "Edan!" maki Pendekar Gila seraya melompat ke samping dengan mengerahkan tenaga dalam, hingga lompatannya melesat cepat. Lalu dia bersalto beberapa kali, sebelum balas menyerang dengan pukulan sakti.
"Ini untukmu, Iblis...! 'Inti Bayu'! Heaaa...!" Angin menderu kencang laksana badai, berusaha menyapu tubuh tinggi besar yang menyeramkan itu.
Pohon-pohon tumbang. Daun-daun beterbangan. Namun makhluk menyeramkan itu masih saja berdiri dengan tegar.
"Hgrrr! Kuhancurkan tubuhmu! Hogrrr...!" Makhluk menyeramkan itu kembali bergerak hendak mencengkeram tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat mengelak ke samping. Saat itu pula, dia teringat akan cerita gurunya ketika bertarung dengan Dewi Pemuja Setan.
"Hanya dengan Suling Naga Sakti, dia dapat dikalahkan." Ingat akan kata-kata gurunya, dengan cepat Pendekar Gila melolos Suling Naga Sakti dari pinggangnya.
Kemudian dengan cepat pula suling itu ditiup dengan posisi kepala naga mengarah ke mata makhluk menyeramkan itu. Wusss! Bersamaan dengan alunan suling, dari kedua mata naga di pangkal suling melesat dua berkas sinar merah ke mata makhluk menyeramkan itu.
Crat! "Aaargh...!" Makhluk menyeramkan itu meraung-raung keras, ketika sinar merah dari sepasang mata di pangkal Suling Naga Sakti menghantam matanya.
Pendekar Gila tidak mau berhenti sampai di situ, kini mulut naga di pangkal suling diarahkan ke tubuh makhluk menyeramkan yang masih meraung-raung itu. Ditiupnya suling sekali lagi. Seketika itu juga, dari mulut naga di pangkal suling keluar semburan api membara. Dan langsung membakar tubuh makhluk menyeramkan itu.
"Aaarghhhh...!" Makhluk menyeramkan itu menggelepar-gelepar saat tubuhnya terbakar oleh api yang keluar dari Suling Naga Sakti. Perlahanlahan tubuh makhluk menyeramkan itu bergulung-gulung menjadi asap hitam.
Saat itu juga, Pendekar Gila merasakan guncangan yang sangat keras. Seperti tengah terjadi gempa bumi dahsyat. Dalam keadaan seperti itu, Sena menyadari kalau istana iblis itu akan segera hancur. Bergegas ilmu me-ringankan tubuhnya dikerahkan, dan langsung masuk ke istana untuk mencari Mei Lie.
"Mei Lie...!" panggil Sena dengan gejolak rasa cemas.
"Mei Lie...!" Dicarinya Mei Lie di dalam istana. Sampai akhirnya dia melihat Mei Lie tengah terbaring di sebuah tempat tidur dengan tangan dan kaki terikat. Cepat Pendekar Gila membuka ikatan tali itu. Saat itu pula, guncangan semakin keras.
Bahkan ditambah dengan ledakan-ledakan yang menggelegar. Tubuh Pendekar Gila bersama Mei Lie yang berada di pelukannya, terlempar ke atas. Beruntung, Pendekar Gila sempat mengambil Pedang Bidadari di sisi Mei Lie.
Glarrr..! "Ah...!" Tubuh Pendekar Gila terus meluncur ke atas bersama tubuh Mei Lie. Lalu Pendekar Gila tidak ingat apa-apa lagi. Sekelilingnya terasa sangat gelap.
***
"Hei, di mana aku?" tanya Sena dengan kening berkerut "Mei Lie...!" Didekatinya tubuh Mei Lie. Kemudian perlahan tangannya membelai rambut gadis cantik yang telah memikat hatinya. Lama ditatapnya wajah gadis itu lekat-lekat. Bibirnya nampak merekah indah, mengundangnya untuk mengecup. Perlahan-lahan Pendekar Gila mendekatkan wajahnya.
"Mei Lie...," desis Sena.
Diciumnya bibir mungil Mei Lie dengan lembut membuat gadis itu siuman. Mulanya Mei Lie hendak berteriak, namun ketika melihat lelaki yang menciumnya, Mei Lie malah terdiam. Bahkan matanya kembali dipejamkan, dan bibirnya semakin dibuka lebar.
"Sena...," desah Mei Lie sambil membalas ciuman Sena Manggala.
Untuk sesaat, keduanya larut dalam belaian kasih dan kerinduan.
Angin sore berhembus perlahan, membelai ramah rambut kedua insan yang sedang diliputi kerinduan.
Suasana di tempat itu seketika hening.
"Sena, jangan tinggalkan aku," ujar Mei Lie sambil memeluk tubuh Sena. Kepalanya diletakkan di dada bidang Sena yang menyimpan kedamaian.
"Tidak, Mei Lie.
Aku...." Pendekar Gila tidak meneruskan kata-katanya.
Tangannya yang semula membelai rambut Mei Lie, kini menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie mendongakkan kepala, menatap wajah pemuda itu.
"Ada apa, Sena" Mengapa kau tidak meneruskan kata-katamu?" Sena tersenyum-senyum sambil menggarukgaruk kepala. Setelah menyelipkan Suling Naga Sakti di pinggangnya, Sena mengajak Mei Lie bangun.
"Mei Lie, lihatlah gunung yang membiru itu." Mei Lie memandang ke arah gunung yang tampak menjulang tinggi. Kemudian dengan perasaan tak mengerti, pandangannya dialihkan pada Sena.
"Ada apa dengan gunung itu, Sena?"
"Dia tinggi, bukan?"
"Ya!"
"Gunung itu memang tinggi, Mei Lie. Tapi..., ta-hukah kau bahwa angan ku jauh lebih tinggi dibandingkan gunung itu?" Mei Lie menggelengkan kepala. Kepolosannya masih belum memahami kata-kata kiasan yang diucapkan Sena. Matanya kini kembali memandang Sena.
"Mei Lie, aku mencintaimu," bisik Sena lembut.
"Oh! Benarkah, Sena?" tanya Mei Lie sambil me-rebahkan kepalanya kembali ke dada Sena. Tidak terasa, air matanya berlinang.
"Kau menangis, Mei Lie. Kenapa...?" tanya Sena sambil menengadahkan kepala Mei Lie agar dapat me-mandangnya. Kemudian tangannya dengan lembut menyeka air mata gadis itu.
"Lama sekali aku memimpikan semuanya, Sena.
Baru kali ini aku mendengarnya. Mulanya aku tak berani berharap dapat mendampingimu. Biarkanlah aku mengabdi padamu, Sena...," pinta Mei Lie, lirih.
Sena tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku bukan dewa, Mei Lie. Hanya dewalah yang patut mendapat pengabdian. Ah, sudahlah. Kita harus segera ke Lembah Lamur untuk menghentikan pertarungan," tukas Sena.
"Lembah Lamur...?" tanya Mei Lie.
"Benar. Ayo...," ajak Sena.
Setelah Mei Lie menaruh Pedang Bidadari di punggung, keduanya melesat meninggalkan tempat itu menuju Lembah Lamur, di mana dua golongan tengah bertarung Kedua pendekar muda itu rupanya terlambat. Di Lembah Lamur kini hanya tersisa keheningan dan desah angin yang berlalu tanpa peduli. Sementara berpuluh mayat bergelimpangan memenuhi tanah datar yang tandus. Kebanyakan yang menjadi korban adalah orang-orang dari aliran lurus. Sedangkan dati aliran hitam yang kelihatan hanya tiga orang pengemis, serta beberapa puluh anggota. Sedangkan Pengemis Tempurung Sakti, dua Ketua Perkumpulan Pengemis, Tiga Setan Rambut Api, Datuk Karang Geni entah ke mana.
Tentunya mereka telah pergi.
"Nyi Bangil, Lira Kanti.... Oh, mengapa mereka harus mati, Sena?" tanya Mei Lie sambil menangis.
Hatinya benar-benar tergiris menyaksikan keadaan Nyi Bangil dan Lira Kanti.
"Tidak! Tidak mungkin...!" Mei Lie menangis sambil memeluk tubuh Sena yang terdiam kelu. Sulit bagi Sena untuk menjelaskan semuanya.
"Mengapa aku tega membunuhnya" Oh, semua ini gara-gara orang-orang rimba hitam, Sena. Aku harus membalas perbuatan mereka! Aku harus membalas...!"
"Mei Lie, tenanglah. Dendam tak baik bagi kita.
Semua sudah menjadi suratan Hyang Widhi. Sudahlah, kau jangan terlalu memikirkannya," bujuk Sena.
"Tidak, Sena. Aku masih berdosa jika belum menemukan mereka!" Usai berkata begitu, secara tiba-tiba Mei Lie melesat pergi, meninggalkan Sena.
"Mei Lie, tunggu...!" Sena yang merasa cemas akan keselamatan Mei Lie, segera mengejar. Namun Mei Lie yang pikirannya kacau setelah menyaksikan Nyi Bangil tewas, melesat bagai angin meninggalkan Sena. Dalam kesendiriannya, Sena terpaku menerawang masa-masa yang berlalu tanpa dapat dipahaminya.
"Pedang Penyebar Maut".
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
Singa Jantan Dari Cina --oo0oo-- Pedang Penyebar Maut |