Life is journey not a destinantion ...

Showing posts with label Suling Naga Sakti. Show all posts
Showing posts with label Suling Naga Sakti. Show all posts

Pembalasan Dewa Pedang

INDEX PENDEKAR GILA
Perjalanan Ke Akherat --oo0oo-- Kalung Keramat Warisan Iblis

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


::₪| 1 |₪::

Pagi tampak begitu cerah. Cahaya merah tembaga membias di langit yang biru dan tak bernoda sedikit pun. Di sebelah selatan tampak Gunung Slamet berdiri dengan gagahnya, menjulang tinggi mencakar langit. Puncaknya bahkan bagaikan menyentuh kaki langit sebelah selatan. Sedangkan kakinya, terhampar dari timur sampai ke barat wilayah Jawa Tengah.
Kali Pemali nampak meliuk-liuk seperti ular raksasa, membujur dari selatan ke utara, melewati Ko-ta Brebes, Jatibarang, dan bermuara di pantai laut utara Jawa. Dari arah timur, nampak sesosok lelaki tua berjubah putih tengah menggebah kuda tunggangannya.
Di punggung lelaki tua itu tersampir sebilah pedang.
Rambutnya yang telah memutih digelung ke atas kepala. Jubah putihnya tampak berkibar-kibar, karena ku-da besar berwarna coklat belang putih itu lari begitu kencang.
"Hiya, hiyaaa...!" Teriakan-teriakan dari mulut lelaki tua itu memecah suasana pagi. Kuda pun tampak semakin mempercepat larinya. Seperti ada perasaan tidak sabar untuk sampai tempat yang dituju. Dilihat dari pedang yang tersandang di pundaknya, orang tua itu tak lain adalah Ki Badawi atau yang lebih terkenal dengan julukan Dewa Pedang. Pedangnya yang berwarna merah darah tersarang dalam warangka dengan ukiran berbentuk api membara.
"Pendekar Gila, ke mana pun kau pergi, aku akan mencarimu! Tunggulah saatnya nanti...!" geram Ki Badawi yang tampak murka.
Orang tua itu tampaknya tengah memendam kemarahan atas kejadian yang menimpa muridnya (Untuk jelasnya, silakan baca seri-al Pendekar Gila dalam episode "Perjalanan ke Akherat"). Ki Badawi atau Dewa Pedang hendak menjumpai sahabatnya yang bernama Ki Asem Gede atau Malaikat Tanpa Bayangan di Desa Ajibarang. Sudah lama sekali mereka berpisah. Kini Dewa Pedang hendak menemui sahabatnya untuk meminta bantuan dalam menghadapi Pendekar Gila.
Di Desa Ajibarang, Ki Asem Gede memiliki sebuah perguruan yang terkenal dengan nama Perguruan Tapis Putih. Perguruan itu termasuk golongan putih yang sepak terjangnya bertujuan menegakkan kebenaran dan keadilan.
Meski Ki Jalna Kumilang telah berusaha menyadarkan bahwa Pendekar Gila bukan orang sesat, Ki Badawi yang keras kepala tetap saja menganggap kalau Pendekar Gila orang jahat, karena telah membunuh muridnya yang dianggap beraliran putih seperti dirinya. Maka kedatangan Ki Badawi ke Desa Ajibarang juga untuk membujuk Ki Asem Gede agar memusuhi Pendekar Gila. Pagi telah berlalu, mentari pun telah tinggi ketika Ki Badawi sampai di Desa Ajibarang. Desa itu begitu ramai, dengan pasar buah yang cukup besar dan ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah. Desa Ajibarang memang menjadi pusat pasar buah. Di samping desa itu penghasil buah, di sana pun bermacam jenis buah-buahan murah harganya. Kebanyakan yang datang ke Desa Ajibarang adalah para tengkulak yang akan menjual buahnya kembali di pasar desanya masing-masing. Ki Badawi menjalankan kudanya perlahan, karena kini telah memasuki kawasan yang ramai dikunjungi orang. Setelah keluar dari keramaian pasar, lelaki tua itu kembali menggebah kudanya.
"Hiya, hiyaaa...!" Kuda besar dan kekar itu kembali berlari kencang membawa tubuh tuannya yang tengah menyimpan bara dendam. Dendam pada Pendekar Gila, yang dianggapnya telah menghancurkan anak angkatnya.
Ki Badawi memperlambat lari kudanya, ketika matanya melihat bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi. Di pintu gerbang, nampak empat lelaki mu-da bertubuh kekar tengah berjaga lengkap dengan senjatanya. Dua orang dengan senjata pedang, yang dua lagi memegang tombak. Yang bersenjata pedang mengenakan pakaian kuning muda. Dua orang lain yang bersenjata tombak terbalut pakaian hijau lumut.
Keempatnya berambut panjang dan diikat membentuk ekor kuda.
"Sampurasun...!" sapa Ki Badawi setelah turun dari kudanya.
"Rampes...!" sahut keempatnya bersamaan.
"Siapakah Kisanak" Serta hendak bertujuan apa?" tanya salah seorang penjaga yang berwajah bersih tan-pa kumis dan bersenjata pedang.
"Aku Ki Badawi atau Dewa Pedang. Maksud dan tujuanku kemari ingin bertemu sahabatku Ki Asem Gede," jawab Ki Badawi dengan suara tenang penuh wibawa, namun tidak membuang sikap hor-matnya. Meski tahu keempat lelaki muda di hadapannya merupakan murid-murid Ki Asem Gede, dia menyadari kalau dirinya tamu yang harus menghormati tuan rumah.
"Kalau begitu, tunggulah sebentar! Saya akan melapor kepada guru," ujar penjaga berpakaian kuning itu.
Lelaki bersenjatakan pedang itu segera berjalan meninggalkan ketiga rekannya untuk memberitahukan kehadiran Ki Badawi pada ketua sekaligus gurunya.
Tidak begitu lama kemudian, pemuda itu kembali muncul.
"Ki Badawi, silakan. Guru telah mengizinkan."
"Terima kasih," sahut Ki Badawi.
Lelaki muda berwajah bersih tanpa kumis itu mengantarkan Ki Badawi masuk ke lingkungan Perguruan Tapis Putih. Ki Badawi diantar menuju sebuah bangunan besar di antara tiga bangunan lainnya yang terdapat dalam lingkungan perguruan. Keduanya kini masuk ke bangunan utama. Di sana Ki Asem Gede tengah menunggu, duduk di kursi di dalam sebuah ruangan besar. Di belakangnya, berdiri murid-murid Perguruan Tapis Putih, lengkap dengan senjata.
Ketika Ki Badawi masuk, seketika murid-murid Perguruan Tapis Putih bergerak maju, menyerang dengan senjata mereka masing-masing.
"Heaaa...!" Wut, wut! Ki Badawi tersentak kaget, mendapat serangan secara tiba-tiba oleh murid-murid Perguruan Tapis Putih. Namun, dengan cepat tubuh lelaki tua itu berkelit, lalu balas menyerang. Tetapi jurus-jurus yang digunakan hanya jurus ringan. Ki Badawi nampaknya mengerti, itulah sambutan dari sahabatnya.
"Terima kasih atas sambutan mu, Asem Gede! Yeaaa...!" Orang tua berjubah putih itu dengan cepat melompat ke atas, bergerak mengelakkan serangan lawan-lawannya dengan jurus 'Dewa Pedang Terbang Menyapu Awan'. Tangannya bergerak mengebut ke sana kemari, sedangkan kakinya menendang dan meluruk ke muka lawan.
"Yeaaa!" Murid-murid Perguruan Tapis Putih kembali bergerak menyerang dengan jurus 'Rangkaian Tapis Menjerat Singa'. Mereka bergerak membuat lingkaran.
Kemudian dengan berjalan mengitari tubuh Ki Badawi, murid-murid Perguruan Tapis Putih melakukan serangan.
"Yeaaa...!" Wut! Wut! Pedang dan tombak di tangan murid-murid Perguruan Tapis Putih yang mengenakan pakaian kuning muda dan hijau lumut bergerak menusuk dan membabat tubuh Ki Badawi. Dewa Pedang mau tak mau harus berkelit mengelakkannya, kalau tidak ingin tubuhnya hancur dengan usus berantakan.
"Heit! Heaaa...!" Ki Badawi melompat dengan cepat, mengelakkan serangan lawan-lawannya. Namun kelihatannya jurus ciptaan Ki Asem Gede bukan jurus sembarangan. Hal itu dirasakan Ki Badawi. Gerakan muridmurid Perguruan Tapis Putih sangat cepat dan lihai.
Ke arah mana Ki Badawi mengelak, mereka cepat memburu dengan sabetan dan tusukan senjata.
"Hebat! Hebat sekali jurus ciptaanmu, Asem Gede!" seru Ki Badawi sambil menoleh pada lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun yang duduk di kursi dan tersenyum-senyum menyaksikan bagaimana murid-muridnya menjamu tamunya.
"Kurasa belum seberapa, Dewa Pedang! Kau belum menunjukkan jurus-jurus pedangmu! Itu sebabnya kau agak kewalahan!" seru lelaki tua bermuka bulat dengan hidung mancung dan besar itu. Alis matanya tebal. Kumis melintang lebat di atas mulutnya sudah putih. Rambutnya terurai lurus, dengan ikat kepala berwarna hijau lumut. Pakaiannya yang berbentuk jubah warna hijau lumut terbuka di bagian da-da, hingga memperlihatkan pakaian dalamnya yang kuning.
"Ah, aku sudah terlalu tua, Asem Gede! Meski ku kerahkan seluruh ilmuku, rasanya belum tentu aku mampu menandingi jurus barumu!" sahut Ki Badawi sambil terus bergerak mengelakkan serangan-serangan murid-murid Ki Asem Gede.
"Kurasa, nama besarmu bukan omong kosong, Dewa Pedang! Cobalah, keluarkan jurus pedangmu!" seru Ki Asem Gede berusaha memancing sahabatnya agar mengeluarkan jurus-jurus pedangnya.
"Tidak mungkin, Asem Gede! Kau tahu sendiri, jika Pedang Darah telah keluar dari warangkanya, berarti harus mendapat korban! Aku datang ke tempatmu bukan untuk bertarung, tapi sebagai sahabat! Mana mungkin aku berbuat keji?" Ki Asem Gede tertawa terbahak-bahak, sampaisampai tubuhnya yang tinggi besar turut berguncangguncang.
"Kau memang benar, Dewa Pedang! Tapi untuk menjamumu, kurasa muridku telah siap! Satu orang mungkin rela berkorban untuk menjamumu!" sahut Ki Asem Gede.
Sebenarnya Ki Asem Gede berusaha melihat perkembangan ilmu sahabatnya. Itu pula yang menjadikan Malaikat Tanpa Bayangan rela mengorbankan muridnya. Di samping itu, murid-murid Perguruan Tapis Putih memang ingin tahu ilmu setiap tamunya Ki Asem Gede mengedip ke salah seorang muridnya memberi isyarat, yang dibalas sang Murid dengan anggukan kepala kecil pertanda perintah gurunya disetujuinya.
"Baiklah kalau itu yang kau kehendaki! Maaf, bukannya aku hendak pamer kebolehan!" kata Dewa Pedang akhirnya meluluskan permintaan tuan rumah.
Sring! Pedang Darah yang mengeluarkan sinar merah darah kini ditarik dari warangkanya, menjadikan murid-murid Perguruan Tapis Putih tersentak membelalakkan mata. Mereka yang semula menyerang, seketika menyurut mundur. Ngeri menyaksikan bagaimana pedang itu laksana mengeluarkan sinar gaib yang kuat "Mengapa kalian mundur"! Serang dia...!" seru Ki Asem Gede pada murid-muridnya untuk melakukan serangan lagi.
Mendengar perintah gurunya, seketika muridmurid Perguruan Tapis Putih yang sebenarnya takut menyaksikan kekuatan gaib yang keluar dari Pedang Darah kembali serentak maju.
"Heaaa...!" Ki Badawi yang telah memegang Pedang Darah, nampak merah wajahnya. Rupanya lelaki tua itu pun telah terbawa oleh kekuatan pedang di tangannya. Dengan jurus 'Pedang Dewa Mencabut Nyawa' Ki Badawi bergerak memutar pedangnya, dari arah kanan ke kiri, membentuk setengah lingkaran.
"Heaaa!" Whuttt...! Cras! "Wuaaa...!" Seorang murid Perguruan Tapis Putih terjungkal. Dadanya tergores oleh Pedang Darah di tangan Ki Badawi. Sebuah gerakan yang begitu cepat, sehingga pantas kalau dia dijuluki Dewa Pedang.
Malaikat Tanpa Bayangan yang duduk di kursi tersentak kaget, menyaksikan kecepatan ilmu pedang itu. Matanya membelalak lebar. Tidak disangka kalau ilmu pedang sahabatnya ternyata semakin hebat.
Ki Badawi atau Dewa Pedang berdiri mematung. Tubuhnya kembali bergetar hebat. Wajahnya menyala merah, terbawa oleh kekuatan gaib pedangnya. Sesaat dia terdiam, kemudian dengan desahan napas panjang Pedang Darah dimasukkan ke warangkanya. Srak!

***

Plok! Plok...! "Hebat, hebat..!" seru Malaikat Tanpa Bayangan sambil bertepuk tangan.
"Rupanya selama ini kau semakin bertambah maju saja, Dewa Pedang."
"Ah, tak seberapa, Asem Gede. Tentunya kaulah yang bertambah maju dengan ilmumu," tukas Ki Badawi merendah.
"Silakan duduk, Dewa Pedang! Ada apa sebenarnya" Tiba-tiba saja kau datang kemari," tanya Ki Asem Gede atau Malaikat Tanpa Bayangan sambil menggerakkan kepala, memerintahkan pada muridmuridnya mengurus tubuh murid yang terluka oleh Dewa Pedang. Murid-murid Perguruan Tapis Putih menurut, mereka segera menjura hormat dan membawa temannya meninggalkan ruang tamu itu. Sedangkan Ki Badawi kini melangkah ke meja di depan Malaikat Tanpa Bayangan. Ditariknya sebuah kursi lalu duduk. Di situ ada banyak kursi yang mengelilingi meja bulat.
Tentunya meja itu digunakan untuk rapat perguruan atau rapat para pendekar yang diundang Ki Asem Gede.
Plok, plok, plok! Malaikat Tanpa Bayangan bertepuk tangan tiga kali. Dan tak lama kemudian, dari belakang muncul tujuh wanita muda dan cantik dengan pakaian aneka warna. Mereka membawa suguhan. Ketujuh wanita cantik yang rambutnya disanggul itu menaruh makanan dan minuman di atas meja, kemudian berlalu meninggalkan tempat itu.
"Ah, rupanya kedatanganku ke sini hanya untuk merepotkan mu, Asem Gede..."
"O, sama sekali tidak. Bagi seorang sahabat baik yang telah lama tidak berjumpa, apa salahnya aku menghormatimu?" Keduanya tertawa tergelak-gelak.
"Silakan, Dewa Pedang!"
"Terima kasih." Plok, plok! Malaikat Tanpa Bayangan kembali bertepuk tangan. Seketika dari belakang muncul sepuluh orang penabuh gamelan. Kesepuluh lelaki itu berpakaian adat Jawa Tengah warna coklat muda dengan blangkon serta memakai kain batik. Setelah Ki Asem Gede mengangguk, kesepuluh lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu segera mengambil tempat duduk, lima tombak dari Ki Asem Gede dan Ki Badawi duduk.
Bunyi gamelan pun mengalun, mengiramakan gending Jawa yang terasa merdu, menjadikan suasana di ruangan itu terasa semarak.
Plok, plok...! Ki Badawi kembali bertepuk tangan. Seketika dari belakang muncul tiga orang wanita muda dan cantik berambut disanggul besar. Kebaya yang dikenakan wanita-wanita cantik itu berwarna merah jambu.
Seirama dengan alunan gending, ketiga wanita cantik itu mendendangkan lagu Jawa Karawitan.
Kepala Ki Asem Gede dan Ki Badawi yang sedang menyantap makanan terangguk-angguk, menikmati alunan merdu ketiga pesinden yang sedang menyanyikan karawitan.
"Bagaimana, Badawi" Kau suka...?" tanya Ki Asem Gede.
Ki Badawi tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Puluhan tahun aku mengasingkan diri, Asem Gede. Saat ini aku benar-benar merasakan seperti berada di surga," gumam Ki Badawi dengan kepala masih manggut-manggut, menikmati alunan gamelan dan suara merdu ketiga pesinden yang bergantian mendendangkan lagu-lagu karawitan.
Ki Asem Gede tertawa tergelak-gelak mendengar ucapan sahabatnya. Dia merasa senang, karena telah dapat menghibur hati sahabat lamanya yang telah lama berpisah.
"Hampir tiga puluh tahun kita tak bertemu, Dewa Pedang. Rasanya kita seperti kembali muda," tutur Ki Asem Gede.
"Ya! Tiga puluh tahun kita berpisah, setelah da-ri dulu kita bersama-sama.
Beruntung kau masih mengenaliku," sahut Ki Badawi.
"Ah, bagaimana mungkin aku melupakanmu" Seorang sahabat yang berilmu tinggi, dengan jurus pedangnya yang tak terkalahkan!" puji Ki Asem Gede.
"Tapi sekarang tidak juga, Asem Gede," kata Ki Badawi yang menjadikan Ki Asem Gede terhenyak. Ma-ta lelaki tua itu membeliak, menatap tajam wajah Ki Badawi.
Keningnya berkerut, sepertinya tak percaya pada ucapan sahabatnya itu.
"Ah, rupanya kau bergurau, Badawi," gumam Malaikat Tanpa Bayangan.
"Tidak! Aku sungguh-sungguh. Kini di rimba persilatan banyak sekali bermunculan pendekarpendekar muda yang berilmu lebih tinggi dibandingkan kita." Semakin membelalak mata Ki Asem Gede mendengar penjelasan Ki Badawi. Diakuinya memang selama tiga puluh tahun belakangan ini, dia tidak lagi terjun ke rimba persilatan.
Hal itu pula yang menjadikannya tidak tahu perkembangan dunia persilatan saat ini.
"Hm...," Ki Asem Gede menggumam tak jelas.
Kepalanya manggut-manggut "Lalu, apakah kedatanganmu kemari ada sangkut pautnya dengan per- kembangan dunia persilatan?"
"Ya!"
"Hm.... Ada apa rupanya, Badawi?"
"Kini di rimba persilatan muncul seorang pemuda bertingkah laku seperti orang gila yang berilmu tinggi. Sepak terjangnya sangat mengiriskan. Beberapa hari yang lalu muridku telah tewas di tangannya," tutur Ki Badawi.
"Pendekar Gila maksudmu, Badawi?" tanya Ki Asem Gede menegaskan.
"Ya! Dari mana kau tahu?"
"Namanya memang sering kudengar. Tapi orangnya dan sepak terjangnya di rimba persilatan belum pernah kulihat Hm...
Bukankah menurut kabar dia berada di pihak kita?" tanya Ki Asem Gede masih belum percaya.
"Itu hanya kedoknya belaka! Sesungguhnya, dia dan pendekar-pendekar muda lainnya bermaksud menyingkirkan orang-orang tua seperti kita!" Ki Asem Gede semakin terhenyak kaget. Namun begitu, orang tua bertubuh kekar dan tegar itu belum yakin dengan apa yang dikatakan sahabatnya.
"Hm.... Apakah kau tidak salah dengar, Badawi?"
"Tidak! Sudah kukatakan, dia telah membunuh muridku. Bukankah secara tidak langsung dia menantangku?"
"Mungkin muridmu yang salah, Badawi."
"Tidak mungkin! Aku tahu persis, siapa Sumantri. Sejak kecil, dia kutemukan dan ku didik. Adakah didikan guru yang lurus menjadikan muridnya sesat?" tanya Dewa Pedang.
Malaikat Tanpa Bayangan menghela napas panjang. Sulit rasanya dia menafsirkan siapa yang benar.
Dia sering mendengar nama Pendekar Gila. Seorang pendekar muda yang berpihak pada golongan putih.
Bahkan dialah yang kini menjadi tokoh penegak keadilan.
Mungkinkah Pendekar Gila berbuat tak adil" Tanya Malaikat Tanpa Bayangan dalam hati.

***



::₪| 2 |₪::

Gending Jawa yang diiringi gamelan masih mengalun dengan lembut, melantunkan tembangtembang yang menambah suasana tenteram dan tenang. Namun, tidak begitu yang dirasakan Malaikat Tanpa Bayangan. Hati lelaki tua berjubah hijau itu masih bergulat antara percaya dan tidak terhadap kabar yang dituturkan Dewa Pedang. Malaikat Tanpa Bayangan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya.
Mungkinkah itu terjadi" Seorang pendekar berbuat menyimpang dari tuntutan batinnya" Pikir Ki Asem Gede dalam hati.
"Dewa Pedang, kau memang sahabatku. Namun dalam hal ini, aku tak bisa memastikan kebenaran ka-ta-katamu. Apakah waktu pembunuhan muridmu kau tahu?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan.
"Tentu saja aku tahu."
"Kau tahu juga masalahnya?"
"Ya."
"Kalau boleh aku tahu, apa masalahnya hingga Pendekar Gila membunuh muridmu?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan ingin tahu duduk persoalannya. Dewa Pedang menghentikan makannya. Dituangnya arak, kemudian diminumnya. Setelah menyeka mulut dengan tangan, Dewa Pedang menceritakan semua kejadian yang dia karang sendiri.
"Pendekar Gila merasa bahwa dirinya salah satu pendekar yang tak ada tandingannya di rimba persilatan. Dia datang ke rumah muridku, kemudian membuat keonaran serta menantang muridku dan teman-temannya. Malah yang kurang ajar, dia menantangku!"
"Mengapa Pendekar Gila berbuat begitu?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan tak mengerti.
"Masalahnya begini. Ketika itu muridku menyebarkan sayembara yang isinya mengatakan barang siapa yang bisa menangkap dan membinasakan bocah setan, akan diberi hadiah sebagian dari hartanya. Bocah setan itu telah banyak memakan korban," tutur Dewa Pedang.
"Bocah setan?" kening Malaikat Tanpa Bayangan kembali berkerut, mendengar Dewa Pedang me- nyebut bocah setan.
"Ya!"
"Siapakah bocah setan itu?"
"Seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun dengan tubuh bersisik ular yang menghuni Pulau Karang Apa di Danau Sambak Neraka," jawab Dewa Pedang (Mengenai bocah ular penghuni Pulau Karang Neraka, silakan simak serial Pendekar Gila dalam episode "Perjalanan ke Akherat").
"Hm...," Ki Asem Gede kembali bergumam tak jelas dengan kepala menganggukangguk. Entah apa arti anggukan itu.
Plok, plok...! Ki Asem Gede kembali bertepuk tangan. Seketika itu, rombongan karawitan menghentikan tabuhannya. Lalu mereka menjura hormat, kemudian meninggalkan ruang besar itu.
"Baiklah, Dewa Pedang. Aku menerima alasanmu. Sekarang, katakanlah maksud kedatanganmu kemari!" pinta Ki Asem Gede.
Sesaat Ki Badawi diam sambil menghela napas perlahan.
"Kedatanganku ke tempatmu, semata-mata ingin mengajak mu kembali ke dunia persilatan. Kita sebagai orang tua, tidak bisa hanya diam menerima nasib. Sepertinya kita menunggu ajal, membiarkan yang muda bertindak sewenangwenang. Bahkan kalau bisa, bagaimana jika kita mendahului mereka?" tanya Ki Badawi.
"Maksudmu!" Ki Asem Gede mengerutkan kening, belum jelas maksud Dewa Pedang yang sesungguhnya.
"Aku mengajak mu untuk menumpas pendekar-pendekar muda yang berusaha menyingkirkan tokoh tua seperti kita. Kedua, aku bermaksud mengundang golongan tua dan mengajak mereka turut serta.
Bagaimana kalau tempatmu yang digunakan untuk pertemuan?" Malaikat Tanpa Bayangan sejenak terdiam. Ditariknya napas dalam-dalam. Sepertinya dia tengah menimbang permintaan sahabatnya. Dirinya juga merasa belum yakin kalau para pendekar muda khususnya Pendekar Gila bertujuan menyingkirkan para tokoh tua. Untuk apa para pendekar muda bermaksud menyingkirkan para tokoh tua" Tanya Ki Asem Gede dalam hati, seakan belum yakin. Bukankah tanpa mereka singkirkan para tokoh tua akan hilang dengan sendirinya"
"Bagaimana, Asem Gede?" desak Ki Badawi.
"Kalau memang kau bermaksud memakai tempat perguruanku, baiklah. Kapan kau akan mengundang mereka?" tanya Ki Asem Gede.
"Secepatnya. Dan kuharap lagi, muridmuridmu dapat membantuku menyebarkan undangan kepada para tokoh tua," pinta Ki Badawi.
"Hm, baiklah. Namun sekali lagi aku berharap, pikirkanlah masak-masak! Jangan sampai di kemudian hari kau akan menyesal, Dewa Pedang!"
"Maksudmu...?" tanya Ki Badawi dengan kening berkerut.
Ki Asem Gede menghela napas panjang. Matanya memandang lepas ke arah pintu depan.
Plok, plok...! Ki Asem Gede kembali bertepuk tangan. Tidak lama kemudian, dari belakang muncul tujuh gadis cantik yang tadi membawa makanan. Ketujuh wanita cantik berpakaian kebaya warna-warni itu menjura.
Kemudian mengambil sisa makanan. Lalu ketujuh wanita berwajah elok itu kembali berlalu pergi.
"Aku tidak ingin terjadi salah paham, yang bisa memecah belah golongan putih."
"Kau belum yakin padaku, Asem Gede?"
"Bukan begitu, Dewa Pedang. Aku percaya padamu, karena kau sahabatku. Aku tahu siapa dirimu.
Namun tak ada salahnya, sebagai sahabat aku memberi saran, bukan?"
"Ya..., ya," jawab Ki Badawi sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah, apakah kau telah memikirkannya masakmasak" Tentunya, jika benar mereka hendak menyingkirkan para tokoh tua macam kita, jelas mereka akan berhadapan dengan guru-guru mereka sendiri. Apakah itu mungkin, Badawi?"
"Mungkin saja, Asem Gede." Malaikat Tanpa Bayangan tersenyum kecut mendengar jawaban temannya yang keras kepala.
"Tadi kau mengatakan, jika seorang guru baik, tak mungkin menghasilkan murid yang jahat"
"Ya!"
"Nah, apakah mungkin pendekar muda itu juga begitu" Bermaksud membinasakan guru mereka?" tanya Ki Asem Gede.
Ki Badawi terdiam. Nafasnya tersengal di dada.
Jelas ucapan Malaikat Tanpa Bayangan merupakan sindiran baginya. Di samping itu, ucapan Ki Asem Ge-de bernada tidak setuju apa yang telah direncanakannya.
"Maaf, Badawi! Bukannya aku bermaksud menghalangi rencanamu. Tapi, mungkin usahamu memanggil tokoh tua akan sia-sia. Mereka mungkin juga berpikiran sepertiku," tandas Ki Asem Gede.
"Jadi kau tak bersedia membantuku?" tanya Ki Badawi.
"Dengan amat menyesal, Badawi. Jika kau ingin meneruskan tujuanmu, lakukanlah! Aku tak dapat menghalangi niatmu, tapi tak dapat membantumu," tegas Ki Asem Gede.
"Baiklah, Asem Gede. Rupanya persahabatan kita selama puluhan tahun tak ada artinya. Permisi...!" Dengan perasaan gusar, Dewa Pedang yang tidak berhasil membujuk sahabatnya, meninggalkan Ki Asem Gede yang masih duduk di bangkunya dengan bibir tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Dasar orang keras kepala! Sudah tua, masih belum juga mau mengubah sifatnya," gumam Ki Asem Gede lirih.
"Orang tua aneh! Selalu merasa benar sendiri. Apakah mungkin, Pendekar Gila yang termasyhur dengan keadilan dan kebaikannya melakukan hal yang tercela?" Tengah Ki Asem Gede merenung memikirkan watak Dewa Pedang yang keras kepala, tiba-tiba dia dikejutkan oleh kehadiran seorang muridnya yang dalam keadaan luka parah. Penjaga pintu gerbang itu ambruk di depan pintu dengan tubuh berlumur darah.
"Pranolo, kenapa kau"!" Ki Asem Gede segera bangun dari kursinya, berlari mendekati muridnya yang dalam keadaan sekarat. Diangkatnya kepala sang Murid, kemudian ditaruhnya di atas pangkuan.
"Orang tua itu..., mengamuk.... Akh!" Pranolo terkulai lemas, nyawanya seketika melayang meninggalkan raga.
"Keparat! Dewa Pedang keparat! Air susu kau balas air tuba! Tak akan kubiarkan kau hidup!" Dengan penuh amarah, Ki Asem Gede segera melesat keluar untuk mengejar Ki Badawi. Di tangannya tergenggam senjatanya yang berbentuk rantai panjang dengan ujung runcing seperti anak panah. Senja-ta itu bernama Jerat Malaikat Pencabut Nyawa.
Malaikat Tanpa Bayangan semakin gusar, ketika sampai di pintu gerbang tak menemukan Dewa Pedang. Yang ada hanya tiga sosok tubuh muridnya yang tergeletak mati dengan dada menganga tergores pedang.
"Bedebah! Rupanya kau mencari permusuhan denganku, Dewa Pedang!" maki Ki Asem Gede.
"Sudah kuduga sebelumnya, kau memang bermaksud jahat!" Ki Asem Gede menyapukan pandangannya ke sekeliling tempat perguruannya. Tiba-tiba matanya ter-tumbuk pada sebatang pohon ara besar yang tumbuh di samping kanan pintu gerbang perguruan. Di pohon ara itu, terdapat tulisan yang dibuat dengan goresan pedang. Ki Asem Gede mendengus marah. Kemudian kakinya melangkah mendekati pohon ara untuk membaca maksud tulisan itu. Matanya semakin terbelalak marah, manakala membaca tulisan yang tergores di pohon ara. Malaikat Tanpa Bayangan! Sejak saat ini, antara kita bukan lagi sahabat.
Kelak jika urusanku dengan Pendekar Gila selesai, ku tantang kau di Bukit Siluman! Dewa Pedang.
"Bedebah! Kau kira aku takut, Dewa Pedang! Malaikat Tanpa Bayangan tak akan takut menghadapimu!" geram Ki Asem Gede, sampai gigi-giginya bergemerutuk saling beradu. Ingin rasanya dia mencabut nyawa Dewa Pedang saat itu juga dengan senjatanya.
Namun Dewa Pedang telah berlalu.
"Aku akan mencarimu, Dewa Pedang!" Malaikat Tanpa Bayangan kembali melangkah masuk ke rumahnya. Dadanya masih dipenuhi amarah atas tindakan Dewa Pedang yang dianggap telah menghina dirinya. Meski keduanya telah bersahabat sejak muda, tantangan Dewa Pedang merupakan penghinaan yang keterlaluan dan harus dibalas. Terlebih dengan pembantaian keempat orang muridnya.

***

Desa Piring Ceper yang berada di kaki Gunung Dandaka nampak tenang. Desa yang kebanyakan penduduknya bertani itu, merupakan desa yang aman dan tenteram. Penduduknya ramah tamah, sehingga banyak orang berdatangan ke desa yang juga merupakan pusat niaga di wilayah Kadipaten Sempalan Bumi.
Siang itu langit tampak mendung. Awan gelap berarak menutupi langit di atas sekitar Desa Piring Ceper. Sebuah kedai yang terletak di sebelah timur de-sa itu, siang ini banyak disinggahi orang-orang yang kebetulan berkunjung ke desa itu.
Seorang pemuda tampan berambut gondrong dengan pakaian rompi kulit ular nampak tengah duduk lesehan. Kepalanya bersandar pada dinding kedai yang terbuat dari batu bata.
Mata pemuda yang tidak lain Pendekar Gila itu menerawang ke atas. Mulutnya terkadang cengengesan, tersenyum-senyum seorang diri. Dari luar, lima orang berpakaian kembar masuk. Dua orang di antara mereka adalah wanita muda.
Keduanya berwajah cantik dengan rambut dibiarkan terurai seperti rambut tiga lelaki kawannya. Pakaiannya panjang sampai lutut dan berwarna merah jambu.
Kelima orang muda yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu sejenak mengedarkan pandangannya pada orang-orang di dalam kedai. Dan tiba-tiba pandangan mata mereka terhenti ketika menatap seorang pemuda yang tengah tersenyum-senyum sendiri dengan kepala tersandar di dinding kedai.
"Hati-hati dengan pemuda gila itu," bisik lelaki bermata lebar dengan hidung pesek kepada teman-temannya.
"Kenapa?" tanya lelaki berkumis tipis dan berhidung agak mancung.
"Nampaknya dialah yang dimaksudkan oleh ketua," sahut lelaki muda yang berwajah bersih tanpa kumis maupun jenggot Keempat temannya mengangguk-anggukkan kepala mengerti. Mata mereka masih menatap Pendekar Gila yang masih cengengesan dengan wajah terdongak menatap atap kedai.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, telunjuknya menud-ing ke atas. Seperti ada sesuatu di atas. Hal itu membuat kelima orang muda yang tadi memperhatikannya, kini mengikuti telunjuk Sena memandang ke atas.
Namun mereka tidak menemukan apa-apa.
"Tak ada apa-apa," kata lelaki muda yang paling tampan di antara ketiga lelaki itu. Hidungnya mancung, dengan alis mata tipis. Kumis tipis menghias di atas bibirnya.
"Kurang ajar! Dia mempermainkan kita!" dengus wanita cantik yang bermata lebar dengan alis mata lebat Kelimanya serentak menoleh ke arah Pendekar Gila yang baru saja duduk di tempat itu, tapi kini telah hilang entah ke mana.
Hal itu membuat kelima orang muda itu membelalakkan mata. Kelima pasang mata mengitari ruangan kedai itu. Tapi mereka tidak juga menemukan pemuda bertingkah laku seperti orang gi-la.
"Hilang! Ke mana dia?" tanya wanita cantik yang bermata lentik bertubuh ramping.
"Entahlah. Mungkin benar apa yang dikatakan ketua, kalau pemuda tadi orangnya," tukas lelaki berhidung pesek dan bertubuh kekar. Kelima orang muda berpakaian merah itu tiada lain Lima Darah Bukit Perawan. Mereka berlima merupakan satu keturunan, kakak beradik. Yang tertua, lelaki berhidung pesek dengan mata lebar dan bertubuh tinggi tegap. Dia bernama Getih Ireng.
Yang kedua, lelaki bertubuh gemuk dan pendek berkumis tipis dengan hidung agak mancung. Dia adik Getih Ireng, bernama Getih Ungu. Yang ketiga juga lelaki. Wajahnya tampan, tubuhnya tidak terlalu tinggi Juga tidak terlalu gemuk ataupun kurus. Dia bernama Getih Biru. Yang keempat seorang gadis cantik; bermata lebar dengan alis mata lebat. Mulutnya kelihatan sinis.
Dia bernama Getih Merah. Sedangkan yang terakhir, juga seorang gadis. Dialah yang paling cantik dari keempat saudaranya. Hidungnya mancung, alis matanya lentik. Mulutnya mungil. Dia bernama Getih Putih.
Kelimanya masih berusaha mencari Pendekar Gila yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Bagaikan angin begitu cepat Pendekar Gila menghilang. Sehingga Lima Darah Bukit Perawan tak tahu ke arah mana pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu.
"Hua ha ha... !Indah sekali siang ini," tiba-tiba di luar terdengar suara Sena berceloteh sendiri.
"Ah, sayang! Mendung menutupi langit. Seharusnya siang ini indah sekali...." Tersentak Lima Darah Bukit Perawan mendengar suara Pendekar Gila.
"Hm, dia ada di luar. Benar juga, rupanya dialah yang dimaksud oleh ketua," tukas Getih Ireng.
"Ya. Tentunya dialah Pendekar Gila," sahut Getih Merah.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Getih Ungu.
"Entahlah,"
"Bukankah lata harus menjauhi pemuda itu?" tanya Getih Putih.
"Ya," jawab Getih Biru.
"Ayo, kita pergi!" ajak Getih Ireng.
Kelima kakak beradik itu baru saja hendak angkat kaki, ketika tiba-tiba Pendekar Gila telah menghadangnya.
"Hi hi hi...! Hendak ke mana kalian" Mengapa kalian harus terburu-buru...?" tanya Sena. Tingkah lakunya masih seperti orang gila. Matanya memandang ke atas langit, sedangkan tangan kanannya menggaruk-garuk kepala.
Lima Darah Bukit Perawan menarik napas dalam-dalam. Mata mereka memandang lekat ke wajah Pendekar Gila.
"Berilah kami jalan!" pinta Getih Ireng.
"Aha, silakan!" Kelima orang muda berpakaian merah itu segera melangkah meninggalkan Pendekar Gila yang masih tertawa-tawa seperti orang gila sambil menggarukgaruk kepala.
"Hm..., apa yang mereka bawa" Mereka seperti membawa sesuatu yang mencurigakan." Pikir Sena setelah kepergian Lima Darah Bukit Perawan.
"Kurasa ada sesuatu yang membuat mereka begitu tergesa-gesa. Aha, sebaiknya kutanyakan saja pada pemilik kedai" Pendekar Gila yang juga menaruh curiga pada pemilik kedai, kembali melangkah masuk.
"Ada apa, Kisanak?" tanya pemilik kedai yang tubuhnya gemuk dan kepalanya terikat kain segitiga.
"Aha, pertama kuucapkan terima kasih atas pelayanan mu. Sedangkan yang kedua, aku ingin bertanya," ujar Sena dengan masih bertingkah laku seperti orang tolol.
"Hm, tentang apakah?"
"Aha, bukankah kau tadi melihat lima orang berpakaian merah itu?" Sena balik bertanya.
"Ya, benar."
"Siapakah mereka" Tampaknya mereka mempunyai kepentingan denganmu."
"Mereka Lima Darah Bukit Perawan, yang tergabung dalam Serikat Serigala Merah."
"Hm..., terima kasih. Kau telah memberitahukan tentang mereka padaku. Bolehkah aku kembali bertanya?"
"Silakan!"
"Ada urusan apa mereka padamu?"
"Tak ada," tegas pemilik kedai dengan nada tak senang mendengar pertanyaan Sena.
"Aha, kau begitu sewot, Ki! Tapi, tak apalah. Terima kasih!" ujar Sena, kemudian dengan cepat melesat meninggalkan kedai itu.
Pemilik kedai dan orang-orang yang ada di kedai melongo menyaksikan gerakan yang dilakukan Pendekar Gila. Begitu cepat hingga dalam sekejap mata tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata mereka.

***



::₪| 3 |₪::

Lima orang muda berpakaian merah dadu tengah melangkah terburu-buru melintasi Hutan Sawar.
Sesekali mereka menoleh ke belakang. Wajah mereka menggambarkan ketakutan dan cemas, kalau-kalau Pendekar Gila terus mengejar.
"Celaka, kalau dia tahu apa yang kita bawa," ujar Getih Ireng.
"Tentunya dia akan menghalangi niat kita. Bahkan mungkin akan merebut benda yang kita bawa ini"
"Mari, kita percepat langkah kita!" ajak Getih Biru. Mereka baru saja mempercepat langkah, ketika tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul prajuritprajurit Kadipaten Sempalan Bumi.
"Itu mereka! Tangkap...!" perintah pimpinan prajurit kadipaten yang berbadan tegap dan berwajah garang. Telunjuknya menunjuk ke arah Lima Darah Bukit Perawan yang seketika tersentak kaget.
Serentak para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi bergerak maju. Dengan senjata lengkap di tangan, dua puluh orang prajurit menyerbu Lima Darah Bukit Perawan yang tampak kebingungan.
"Celaka! Keluar dari mulut singa kini kita dihadang mulut buaya!" umpat Getih Ungu kesal.
"Tak ada jalan lain, kita harus melawan mereka!" sambut Getih Merah.
Cring! "Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Lima Darah Bukit Perawan segera mencabut pedang, kemudian tanpa rasa takut kelimanya bergerak maju menghadang para prajurit kadipaten.
"Yeaaa...!" Pertarungan pun tak terelakkan lagi. Lima Darah Bukit Perawan dengan tanpa rasa takut segera menerjang. Pedang di tangan mereka bergerak dengan cepat, menggunakan jurus 'Lima Darah Sudut Bintang'. Mereka menyerang dengan cepat dari lima penjuru, membentuk bintang bersegi lima.
"Heaaa!" Wuttt! Wuttt..! Cras! Cras! "Aaakh...!" Pekikan kematian susul-menyusul terdengar dari para prajurit yang terkena sabetan pedang Lima Darah Bukit Perawan. Kelima tokoh muda itu bergerak cepat melakukan serangan. Pedang di tangan mereka laksana kilat, membabat dan menusuk ke tubuh para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi.
Lima orang prajurit kadipaten roboh dengan dada terbelah lebar. Darah bersimbah, membasahi rerumputan. Melihat anak buahnya banyak yang tewas, pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan Bumi melompat turun menyerang Lima Darah Bukit Perawan.
"Kurang ajar! Kalian harus ditangkap! Heaaa...!" Lelaki bertubuh tegap dan bermata tajam itu bergerak cepat menyerang lawan. Di tangan lelaki yang bertelanjang dada itu telah tergenggam keris berkeluk lima. Keris yang berjuluk Ki Gendra itu mengeluarkan cahaya kuning. Tangan lelaki berambut digelung itu bergerak dengan cepat dalam jurus andalannya yang bernama 'Pancalan Malaikat'.
"Heaaa...!" Wuttt! Keris di tangan pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan Bumi bagaikan hidup, bergerak semakin cepat, menusuk dan menyabet ke arah lawan-lawannya.
Seketika itu, lima Darah Bukit Perawan tersentak. Mereka langsung berlompatan mundur, berusaha mengelakkan sabetan keris sakti di tangan pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan Bumi "Celaka! Dia bukan orang sembarangan!" seru Getih Ireng setelah berhasil lolos dari sabetan keris yang mengeluarkan sinar kuning di tangan pimpinan prajurit Keris itu seperti mengandung kekuatan gaib yang mampu membuat getaran hebat di dada Lima Darah Bukit Perawan.
"Tentunya keris itulah yang menjadi kekuatannya," tukas Getih Biru.
"Ya! Dengan memegang keris itu, siapa pun akan menjadi sakti. Nampaknya keris itu mengandung tuah yang dahsyat. Dari hawa panas yang keluar, kita me-rasakan betapa hebat getaran tadi," sambung Getih Ungu.
"Lalu apa yang harus kita perbuat?" tanya Getih Merah.
"Terpaksa, kita harus menghadapinya," jawab Getih Ireng.
Belum juga mereka memulai penyerangan lagi, tiba-tiba pimpinan prajurit kembali berseru memerintah anak buahnya.
"Kurung mereka...!" Lima Darah Bukit Perawan menyangka kalau perintah itu ditujukan pada kelima belas prajurit yang masih hidup. Mereka segera bersatu dan menyiapkan jurus 'Darah Mengalir Menyapu Debu'. Tapi...
Srrrt! Srrrt..! Tiba-tiba rangkaian tali-temali yang membentuk jaring seketika meluncur dari atas. Kelima orang berpakaian merah itu tak sempat mengelak. Tali-temali itu mengurung Lima Darah Bukit Perawan.
"Celaka! Kita terjebak!" seru Getih Ireng, ketika tiba-tiba tubuhnya dan keempat adiknya terkurung jaring. Susah payah Lima Darah Bukit Perawan berusaha membebaskan diri dari jerat jaring itu. Namun jaring yang ditaburkan para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi dari tempat tersembunyi itu begitu kuat "Ha ha ha....! Mau lari ke mana, Tikus-tikus Busuk"! Kalian telah berbuat keji, meracuni warga Kadipaten Sempalan Bumi dengan madat Kalian harus dihukum!" seru pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan Bumi.
"Celaka, Kakang! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Getih Putih.
"Entahlah. Kalau kita tak dapat lolos dari kurungan ini, tiang gantungan telah menanti kita," sahut Getih Ireng sambil terus berusaha merusak tali-temali jaring yang sangat kuat. Entah dibuat dengan bahan apa tali itu.
"Tikus busuk! Serahkan adikmu yang cantik itu padaku, maka kalian akan bebas!" kata pimpinan prajurit kadipaten. Lelaki berbadan kekar dan bermata be-lo itu bernama Ki Palu Geni. Mulutnya yang terhias kumis tebal tampak tersenyum mengejek.
"Cuh! Tak sudi aku menjadi istrimu! Kau tak lebihnya seperti penjilat! Memalukan...!" dengus Getih Putih berang sambil menyemburkan ludah.
"Setan!" maki Ki Palu Geni dengan mata melotot marah. Wajahnya yang garang, semakin bertambah garang. Wajahnya memerah mendengar hinaan yang dilontarkan Getih Putih.
"Prajurit..! Bawa mereka...!" serunya kemudian.
Para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi bergerak hendak meringkus Lima Darah Bukit Perawan.
Namun baru saja lima orang prajurit melangkah maju, tiba-tiba....
Swing, swing...! Crab! Crab! "Wuaaa...! "Aaa...!" Seketika terdengar pekikan kematian yang menyayat hati, disusul dengan robohnya tubuh lima prajurit Kadipaten Sempalan Bumi. Tampak beberapa senjata rahasia berbentuk bintang dan berwarna putih keperakan menancap di leher, dada, dan wajah lima prajurit itu.
"Kurang ajar! Siapa yang telah berani mencampuri urusan kadipaten"!" sentak Ki Palu Geni murka.
Dilihatnya kelima anak buahnya telah tewas. Tubuh mereka terkapar berlumur darah di atas rerumputan.
Mata Ki Palu Geni mengawasi sekelilingnya, tapi tidak juga menemukan adanya seseorang yang telah membunuh kelima prajuritnya.
"Cari orang keparat itu!" perintahnya pada para prajurit Belum sempat para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi bergerak maju, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat cepat menuju jaring. Di tangan sosok bayangan putih itu, tergenggam sebilah pedang berwarna merah darah. Tampak pedang itu dengan cepat membabat tali-temali yang mengurung tubuh Lima Darah Bukit Perawan.
Bret, bret, bret! Seketika itu juga, Lima Darah Bukit Perawan terbebas dari kurungan tali-temali yang menjerat mereka. Hal itu semakin membuat Ki Palu Geni bertambah marah.
"Kurang ajar! Bunuh mereka semua!" Prajurit Kadipaten Sempalan Bumi segera bergerak maju melakukan serangan. Namun lawan kini bertambah kuat dengan hadirnya seorang lelaki tua berjubah putih yang bersenjatakan pedang berwarna merah darah. Serangan-serangan para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi dengan mudah dapat dipatahkan. Kini keenam orang itu justru mendesak para prajurit yang jumlahnya empat puluh orang itu.
"Heaaa...!" Lelaki tua berjubah putih yang ternyata Dewa Pedang, bergerak cepat melakukan serangan dengan jurus 'Pedang Dewa Mencabut Nyawa'. Dengan jurus itu, Dewa Pedang benar-benar tak memberi kesempatan bagi lawan-lawannya untuk melakukan serangan balasan. Bet! Cras! "Aaakh...!"
"Aaa...!" Jeritan-jeritan kematian seketika terdengar dari mulut para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi yang terbabat pedang di tangan. Darah segar muncrat membasahi rerumputan. Tubuh-tubuh para prajurit terkapar berlumuran darah.
Lima Darah Bukit Perawan yang merasa dibela oleh seorang berilmu tinggi, semakin bertambah semangat. Kelimanya dengan tangan menggenggam pedang terus menggebrak lawan-lawannya. Dalam sekejap saja, prajurit-prajurit Kadipaten Sempalan Bumi dibuat kocar-kacir.
"Mundur...!" seru Ki Palu Geni, melihat banyak anak buahnya yang mati oleh serangan Lima Darah Bukit Perawan. Terlebih dengan hadirnya lelaki tua berjubah putih yang membantu Lima Darah Bukit Perawan. Semua prajurit yang masih hidup, seketika lari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu, meninggalkan teman-temannya yang terkapar tak bernyawa.
"Terima kasih atas bantuanmu, Ki. Kalau boleh kami tahu, siapa Kisanak sebenarnya?" tanya Getih Ireng setelah menjura hormat sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pertolongan lelaki tua berjubah putih.
"Hm...," Dewa Pedang hanya bergumam sambil memasukkan Pedang Darah ke warangkanya. Sedikit pun tak tampak senyum apalagi tawa di mulutnya. Sikapnya tampak tak acuh sekali.
"Ki, kau telah menolong kami. Sepantasnyalah kami mengucapkan terima kasih. Dan kalau diperkenankan, kami ingin mengajak mu untuk bergabung dengan kami," ujar Getih Ireng menawarkan balas bu-di.
"Hm..., apa yang menjadi pekerjaan kalian?" tanya Dewa Pedang tertarik ingin tahu.
"Nanti kau akan tahu jika bersedia ikut kami," jawab Getih Ireng.
"Hm...," Dewa Pedang kembali bergumam tak jelas.
"Baiklah, aku akan ikut kalian."
"Mari, Ki!" Mereka segera meninggalkan Hutan Sawar.

***

Lembah Cadas Setan nampak membentang luas di sebelah selatan Desa Kendal. Di lembah itu, te-patnya di bagian barat terbentang hutan lebat. Hutan Damar Kanginan yang ditumbuhi pohon damar, merupakan kubu dari Serikat Serigala Merah. Ke hutan itulah Dewa Pedang dibawa oleh Lima Darah Bukit Perawan. Di tengah Hutan Damar Kanginan, nampak berdiri sebuah bangunan yang berbilik bambu. Atapnya sirap terbuat dari daun bambu.
Di dalam rumah bilik itu, nampak lima lelaki berusia empat puluhan tengah duduk-duduk sambil ngobrol. Kelima lelaki berwajah garang itu sama-sama berambut panjang terurai lepas. Kumis tebal dan melintang menghiasi bibir mereka.
"Kenapa mereka belum juga datang?" tanya lelaki bermuka bulat yang duduk paling kanan. Dia bernama Kanjani, orang yang memimpin Serikat Serigala Merah di sebelah timur Kadipaten Sempalan Bumi.
"Mungkinkah mereka mendapat halangan?" gumam Sembilang.
"Entahlah. Memang tugas mereka kurasa berat," sambut Karadipa.
Kelimanya sesaat terdiam dengan pikiran masing-masing. Dada mereka yang bidang, kelihatan turun naik mengatur napas. Saat itu, dari luar terdengar suara isyarat dari para penjaga di luar kalau lima orang yang mereka tunggu telah datang. Namun suara isyarat itu juga memberitahukan, kalau ada orang asing yang datang bersama Lima Darah Bukit Perawan.
"Kuk, kuk! Pakukuk...!" Isyarat itu terdengar mirip suara burung yang ada di dalam hutan. Hal itu dimaksudkan, jika orang lain yang mendengar, akan mengira kalau itu suara-suara burung biasa.
"Hm..., mereka telah datang," gumam lelaki berbaju biru tua yang hidungnya mancung seperti be-tet. Dia bernama Prabakuta yang menjadi pimpinan Serikat Serigala Merah di sebelah utara Kadipaten Sempalan Bumi.
"Ya! Tapi siapa yang bersama mereka?" tanya lelaki berbaju coklat tua dengan mata lebar dan jenggot menghias wajahnya. Dialah Gempal Sudra, Ketua Serikat Serigala Merah di wilayah barat Kadipaten Sempalan Bumi. Belum juga kelima pimpinan Serikat Serigala Merah tahu siapa orang yang bersama Lima Darah Bukit Perawan, dari luar masuk anak buahnya.
"Mereka telah datang, Ketua. Mereka bersama seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Di punggung lelaki tua itu, tersandang sebilah pedang."
"Hm, biarkan mereka masuk!" ujar Gajah Bedeg, seorang lelaki berbadan gemuk besar. Wajahnya menunjukkan kekerasan. Matanya tajam, dan rambutnya terurai lurus.
"Baik, Ketua," lelaki muda bertubuh tegap dengan pakaian rompi merah itu segera melesat keluar, meninggalkan ruangan itu.
Tidak begitu lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekat ke rumah gubuk itu.
"Masuk!" perintah Gajah Bedeg.
Pintu yang terbuat dari bilik bambu terbuka.
Masuklah Lima Darah Bukit Perawan yang diikuti Dewa Pedang "Kami datang, Ketua," ujar Getih Ireng sambil menjura hormat, diikuti keempat saudaranya. Sedangkan Dewa Pedang hanya diam. Matanya yang tajam, menatap ke wajah lima pimpinan Serikat Serigala Merah. Kening kelima pimpinan itu berkerut menyaksikan sikap lelaki tua berjubah putih di depan mereka.
"Siapa sebenarnya Kisanak ini?" tanya Gajah Bedeg. Matanya yang tajam membalas tatapan tajam Dewa Pedang.
"Ampun, Ketua! Dia telah menolong kami dari penangkapan pihak kadipaten," sahut Getih.
"Hm,..," gumam Gajah Bedeg.
"Orang tua, kalau boleh kami tahu, siapakah sebenarnya dirimu?"
"Aku Dewa Pedang!" sahut Ki Badawi tegas. Su-aranya menunjukkan keangkuhan.
Kelima pimpinan Serikat Serigala Merah tersentak mendengar julukan lelaki tua di hadapan mereka.
Serentak mereka bangkit dari duduknya, kemudian dengan hormat kelimanya langsung menjura.
Mereka telah tahu dan sering mendengar nama besar Dewa Pedang. Itu sebabnya, mereka begitu menaruh hormat pada orang tua itu. Di samping itu, mereka mengharapkan Dewa Pedang sudi menjadi pimpinan dalam Serikat Serigala Merah. Jika orang tua itu mau, serikat itu merupakan sebuah perkumpulan yang kuat. Sulit bagi pendekar aliran lurus mengobrak-abrik mereka.
"Terimalah hormat kami!" ujar mereka serempak.
"Sungguh kami yang buta! Tak tahu sedang berhadapan dengan Dewa Pedang," sambut Gajah Bedeg.
"Sudahlah! Tak usah kalian bersikap begitu! Aku datang ke tempat kalian, semata-mata atas ajakan lima anak muda ini," ujar Dewa Pedang, dingin.
"Sungguh sebuah kehormatan bagi kami, kalau Dewa Pedang yang namanya sangat termasyhur berkenan datang ke tempat kami," kata Gajah Bedeg.
"Terima kasih!" sahut Dewa Pedang.
"Katakanlah, apa yang kalian lakukan?" Gajah Bedeg dan keempat pimpinan Serikat Serigala Merah saling pandang. Wajah mereka menggambarkan kecemasan, takut kalau-kalau Dewa Pedang yang mereka kenal sebagai penegak kebenaran dan keadilan akan menghalangi kegiatan mereka.
"Heh, kenapa kalian diam"!" bentak Dewa Pedang tak sabar.
"Oh! Maaf, Dewa Pedang! Mungkin kau telah tahu, apa yang kami lakukan," sahut Gajah Bedeg.
"Hm..., tidak!"
"Apakah Lima Darah Bukit Perawan belum menceritakannya?"
"Belum!" sahut Dewa Pedang.
Gajah Bedeg kembali menatap wajah empat orang rekannya. Kemudian setelah mengangguk, Gajah Bedeg pun menceritakan apa yang dilakukan gerombolannya.
"Kami bergerak di bidang penjualan serbuk surga, Ki. Kalau memang kau sudi, dengan penuh hormat dan harap, kami bermaksud mengangkatmu sebagai pimpinan kami," ungkap Gajah Bedeg.
Dewa Pedang sesaat terdiam. Nampaknya dia berpikir keras setelah tahu apa yang dikerjakan Serikat Serigala Merah.
"Hm..., kurasa tak ada buruknya kalau aku terima. Dengan begitu, bukankah aku akan semakin kuat" Aku akan dapat membinasakan Pendekar Gila! " Pikir Dewa Pedang dalam hati.
"Lagi pula, kalau Malaikat Tanpa Bayangan mencariku, aku bisa mengandalkan Lima Darah Bukit Perawan dan kelima orang ini.
"
"Bagaimana, Ki?" tanya Gajah Bedeg.
"Baiklah, aku terima," jawab Dewa Pedang.
"Terima kasih! Semoga dengan pengangkatan Dewa Pedang menjadi pimpinan Serikat Serigala Merah, gerakan kita akan semakin kuat!" Gajah Bedeg berusaha menyanjung ketuanya yang baru.
"Selama Dewa Pedang masih bersama kalian, tak akan ada pendekar yang mampu menghadapi kalian! Serikat Serigala Merah, akan menjadi serikat yang paling besar di tanah Jawa Dwipa ini," ujar Dewa Pedang angkuh.
Semua tertawa senang.
"Untuk memeriahkan pengangkatan ini, bagaimana kalau kita rayakan dengan makan dan minum arak?" usul Gajah Bedeg.
"Bagus! Dan mulai saat ini, tugas yang perlu kalian utamakan adalah mengundang para tokoh hitam rimba persilatan untuk bergabung. Kemudian, cari dan bunuh Pendekar Gila...!" seru Dewa Pedang lan-tang. Semua mata membelalak mendengar perintah Dewa Pedang. Suatu perintah yang berat. Membunuh Pendekar Gila bukanlah hal yang mudah. Namun Pendekar Gila memang tokoh yang harus mereka singkirkan. Dialah penghalang utama bagi sepak terjang mereka. Sore itu pula, pesta pengangkatan Dewa Pedang dilaksanakan. Mereka berpesta-pora, dengan makan sekenyangnya dan minum tuak sepuasnya.

***



::₪| 4 |₪::

Keterlibatan Dewa Pedang dalam Serikat Serigala Merah memang sangat berarti. Dalam beberapa hari kemudian, Serikat Serigala Merah semakin kuat.
Kini sepak terjang mereka tidak hanya di lingkungan Kadipaten Sempalan Bumi.
Mereka bergerak lebih le-luasa dan bertambah maju. Penyusupan mereka telah mencapai kadipaten-kadipaten yang termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Sunda Layung.
Gerakan Serikat Serigala Merah semakin bertambah berani. Apalagi mereka melibatkan beberapa tokoh yang dianggap akan banyak berperan. Termasuk pejabat-pejabat kerajaan dan kadipaten.
Kerajaan Sunda Layung kini bagaikan kerajaan mati. Banyak kaum mudanya yang kecanduan madat.
Kejahatan-kejahatan pun semakin merajalela. Mereka melakukan tindakan kejahatan semata-mata untuk mendapatkan uang guna membeli madat. Penyiksaan, perampokan, pencurian, dan bentuk kejahatan lain bagaikan cendawan di musim hujan. Tumbuh dan berkembang pesat Desa Pring Kuning yang masih termasuk wilayah Kerajaan Sunda Layung siang itu terasa sangat panas. Matahari tak segansegan memancarkan sinar-nya yang bagaikan hendak memanggang semua yang ada di bumi. Sepertinya, matahari murka menyaksikan kejahatan yang berkembang dan semakin merajalela.
Pasar Kliwon yang ada di Desa Pring Kuning siang itu masih ramai dikunjungi orang, karena pasar itu merupakan pasar yang cukup ramai. Apalagi berlangsung dari pagi sampai malam.
Siang itu, nampak tiga anak muda berambut gondrong dengan wajah pucat dan mata sayu melangkah gontai menuju Pasar Kliwon. Pakaian mereka kusut. Ketiga pemuda itu tampaknya bukan pemuda biasa. Ketiganya para pecandu madat yang kuat dan juga sebagai pemeras di Pasar Kliwon.
Tiga anak muda itu melangkah gontai, masuk ke lingkungan Pasar Kliwon. Mereka kemudian berpencar di dalam pasar, meminta uang pada para pedagang sebagai uang jago.
"Dua hari kau tidak bayar pajak pada kami!" bentak pemuda berwajah pucat yang berpakaian ungu.
Matanya yang sayu, dipaksakan untuk melotot.
"Kini kuminta kau harus membayar!"
"Ampun, Den Karso! Bagaimana saya harus bayar! Aden tahu sendiri, dagangan saya kecil" Hanya cukup untuk menutup utang pada Juragan Darma," ratap lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun memelas. Pedagang sirih itu tampak ketakutan.
"Tak peduli! Sekarang beri aku tiga bendong!" bentak pemuda yang bernama Karso itu, sambil tangannya menggebrak meja tempat dagangan orang tua itu. Brak! "Ayo! Beri aku tiga bendong! Cepat...!" Semakin menggigil ketakutan lelaki tua berbadan kurus itu. Tubuhnya gemetar dan menggeragap. Tak ada yang bisa diperbuat kecuali ketakutan yang di rasakannya.
"Ayo! Apakah kau ingin mampus, heh"!" bentak Karso semakin garang.
Srrt! Pemuda itu menarik goloknya, yang membuat lelaki tua penjual sirih kian ketakutan. Tubuhnya semakin menggigil dengan mata membelalak tegang.
"Ayo! Berikan uangmu! Atau kau ingin kepalamu lepas dari tubuh, heh"!" ancam Karso.
"Jangan, Den! Ampun..., sungguh saya tak punya uang sebanyak itu!" ratap lelaki tua itu mengiba. Bahkan membungkukbungkuk, berusaha meminta betas kasihan.
"Hm, ada berapa uangmu?"
"Ampun, Den! Ba... baru du... dua ketip, Den," jawab lelaki tua itu dengan suara menggeragap.
"Serahkan uangmu! Cepaaat..!" sentak Karso garang. Srek! Kembali Karso mempermainkan goloknya, membuat orang tua itu semakin kebingungan dan takut. Kalau dia menyerahkan uangnya yang dua ketip, lalu anak dan istrinya yang menunggu di rumah mau makan apa" Sedangkan jika tak memberikan uangnya, dia takut pemuda itu akan membunuhnya.
Dengan tangan gemetaran, lelaki tua itu segera mengambil uang dari ikat pinggangnya.
"Cepat!" bentak Karso tak sabar.
Lelaki tua yang malang itu semakin menggigil.
Wajahnya bahkan lebih pucat dibandingkan dengan wajah pemuda yang ada di hadapannya.
"Ini, Den. Tapi Bapak minta dua sen saja, untuk makan anak dan istri Bapak!" harap lelaki tua itu memohon.
"Apa"! Enak saja kau bicara! Nih untukmu...!" bentak Karso seraya hendak memukul dada lelaki tua itu, ketika tiba-tiba....
Trak! "Aduh!" pekik Karso sambil menarik mundur tangannya yang terasa sakit. Tulangnya bagaikan re-tak.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar ingin mampus, Orang Tua Keparat!" Srrrt! Karso menarik goloknya, yang membuat lelaki tua malang itu semakin ketakutan.
"Ampun, Den. Jangan bunuh saya!" pinta lelaki tua itu meratap.
"Setan! Rupanya kau hendak mempermainkan ku, heh"! Kubunuh kau, Orang Tua Keparat!" Pemuda bertampang garang itu seketika membabatkan goloknya ke arah lelaki tua malang yang membelakkan matanya.
Wuttt..! Hampir saja leher lelaki tua itu menjadi santapan golok di tangan pemuda berandalan itu. Namun, belum sempat golok itu sampai ke leher, sebuah batu kecil melesat ke arah tangan Karso. Tuk! "Aduh!" Karso kembali memekik keras, goloknya kini terjatuh karena tangannya sangat sakit. Mata pemuda itu liar, memandang garang ke arah sekelilingnya dengan tangan kiri memegangi tangan kanan yang terasa sakit.
"Kurang ajar! Siapa yang berani jual lagak di depan Karso"! Ayo, keluarlah!"
"Hua ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa menggema di penjuru pasar. Sepertinya orang yang tertawa itu ada di mana-mana. Hal itu menjadikan Karso dan ke dua orang temannya tersentak. Mereka yang sedang memeras, seketika menghentikan kegiatannya. Mereka langsung mengedarkan pandangan, mencari-cari asal suara itu.
"Setan! Keluarlah! Hadapi kami...!" seru Karso semakin marah, karena merasa dipermainkan orang yang kini masih tertawa tergelak-gelak.
"Aha, aku di sini, Sobat!" Karso tersentak bagaikan disengat kala ketika tiba-tiba di belakang lelaki tua penjual sirih telah berdiri seorang pemuda seusianya dengan tingkah laku seperti orang gila. Mulutnya cengengesan dan tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Setan belang! Rupanya orang gila yang mainmain denganku! Minggir kau dari sini, atau terpaksa golokku akan memenggal lehermu"!" bentak Karso garang.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Cecurut! Mukamu persis tikus kebakaran kumis," ejek pemuda berambut gondrong dengan ikat kepala dari kulit ular. Tubuhnya dibalikkan, kemudian sambil tertawa-tawa pantatnya ditunggingkan ke arah Karso.
Brut..! "Hua ha ha...! Bagaimana, Cecurut! Enak kentut-ku?" tanya pemuda berambut gondong yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
"Bedebah! Rupanya kau pun minta mampus, Bocah Gendeng!" dengus Karso semakin bertambah marah. Dipungutnya kembali golok yang tadi jatuh, kemudian dengan geram dia menyerang.
"Pecah kepalamu, Setan! Heaaa...!" Wuttt! "Aduh!" pekik Sena mengejek lawan.
Sambil berkata begitu didorongnya tubuh orang tua penjual sirih ke samping. Sedangkan dia dengan cepat merundukkan tubuh mengelakkan serangan golok lawan.
"Ampun, Den. Jangan bunuh saya...!" ratap Se-na, menirukan orang tua penjual sirih itu.
"Kurang ajar! Kau benar-benar minta mampus, Bocah Edan!" maid Karso semakin beringas, ketika serangan pertamanya gagal.
Kembali goloknya dibabatkan ke arah Pendekar Gila.
Wuttt! "Aduh, Mak! Galak sekali kau, Den! Jangan bunuh saya...!" Sambil meratap seperti itu, Pendekar Gila segera menyusup masuk ke kolong meja tempat dagangan sirih. Kemudian dari kolong meja, kaki kanannya menendang ke arah perut lawan.
Dug! "Ukh!" Karso mengeluh, ketika tendangan Pendekar Gila mendarat telak di perutnya. Seketika tubuhnya terhuyung ke belakang. Perutnya terasa sangat mual.
"Hi hi hi...! Enak kue apemku, Sobat...?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Melihat tindakan itu, Karso dan kedua temannya yang telah berada di tempat itu semakin bertambah marah.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa...!" Karso dan kedua temannya langsung menggebrak Pendekar Gila.
Wut! Wut..! "Tolong! Aduh, galak sekali kalian...!" jerit Sena sambil berjumpalitan dan bergerak meliuk-liukkan tubuh, mengelakkan babatan golok ketiga lawannya.
Semua mata yang ada di Pasar Kliwon seketika tertuju pada pertarungan itu. Dari mulut para penjual dan pembeli yang ada di pasar itu keluar decak kagum, menyaksikan bagaimana Pendekar Gila mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan ketiga pemuda berandalan yang selalu memeras mereka.
"Tahu rasa! Kalian kena batunya!" kata penjual pisang, bersungut-sungut "Moga-moga pemuda gila itu bisa menghajar mereka!" sambung penjual daging.
"Ya! Biar mereka kapok!" timpal penjual ikan.
"Ck ck ck...! Tak kusangka, pemuda gila itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat," decak penjual tempe dengan mata bergerak-gerak ke sana kema ri mengikuti pertarungan itu.
Pasar yang semula tenang, seketika berubah riuh. Orang-orang yang semula berada di tempatnya masing-masing kini berkerumun menyaksikan pertarungan.
"Aku bertaruh pemuda gila itu. Ayo, siapa yang mau taruhan denganku?" seorang penjual tahu menggunakan pertarungan itu untuk berjudi.
"Wah, sama juga bohong! Aku pegang dia tiga banding satu! Kalau pemuda gila itu kalah, aku bayar tiga bendong buatmu!" penjual daging tak mau kalah.

***

Pertarungan antara tiga pemuda berandal yang mengeroyok Pendekar Gila masih berlangsung sengit.
Ketiga berandal itu semakin bernafsu ingin segera membunuh pemuda gila. Mereka begitu jengkel melihat Pendekar Gila.
"Pecah kepalamu, Bocah Gila"!" Wuttt! "Wadau! Jangan, Kang! Kepalaku mahal...!" se-ru Sena sambil meliukkan tubuh agak ke bawah, se- hingga serangan golok lawan melesat beberapa jari di atas kepalanya. Kemudian dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena balas menyerang.
"Heits! Setan! Rupanya kau bisa silat juga, Bocah Gila"!" maki Tarmin yang tersentak kaget. Tak disangka kalau pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sempurna.
Hal itu dapat dirasakan, ketika tangan Pendekar Gila menepuknya. Tepukannya kelihatan sangat pelan dan lambat, namun tahu-tahu telah berkelebat begitu dekat. Bahkan angin tepukannya terasa menderu kencang. Tarmin melompat mundur dengan mata terbelalak. Wajahnya semakin merah karena marah.
Melihat Tarmin mundur, kedua temannya kini bergerak maju menyerang. Keduanya langsung menusuk dan membabatkan golok ke bagian tubuh Pendekar Gila.
"Hancur perutmu!" dengus Karso sambil menyodokkan goloknya ke perut Pendekar Gila.
Wuttt! "Aduh, Kang! Jangan galak-galak!" seru Sena sambil melangkah mundur mengelak.
Kemudian dengan menggunakan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' tubuhnya bergerak mengelak menyerang lawan-lawannya. Tubuhnya berputar cepat laksana gasing ke arah kiri. Tangannya tak diam begitu saja, terus menyerang dengan tamparan dan cengengesan ke arah lawan Plak!...
"Aduh...!" Karso terpekik, ketika wajahnya kena tampar tangan Pendekar Gila. Tubuhnya memutar ke arah kanan dengan kencang laksana gasing. Hal itu menunjukkan betapa kuat tamparan Pendekar Gila.
Tubuh Karso masih terhuyung-huyung, lalu bagaikan orang mabuk dengan mata kosong ambruk ke tanah. Dan pingsan.
Orang-orang di pasar seketika bersorak girang melihat salah seorang dari tiga pemuda berandalan itu terkapar pingsan kena tamparan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Lihat, lucu sekali dia! Seperti ayam kena pukul!" seru Sena sambil tertawa-tawa.
"Pemuda gila! Kubunuh kau! Heaaa...!"
"Heaaa...!" Menyaksikan Karso pingsan terkena tamparan Pendekar Gila, kedua temannya semakin beringas menyerang. Golok di tangan mereka serentak bergerak maju melakukan serangan dengan tebasan dan sodokan. Wut! Wut..! "Wah! Kenapa kalian main keroyok! Aduh...!" Dengan masih bertingkah laku seperti orang gila, Sena kembali mengelak seraya mengejek kedua lawannya. Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, kemudian berputar dengan cepat laksana gasing.
Wusss! Dengan memadukan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' dan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan', Pendekar Gila mengelakkan serangan-serangan kedua kawannya. Kemudian dengan cepat pula tangannya bergerak menyodok dan mencakar.
Breeet! "Wuaaa...!" Tarmin menjerit ketika tahu-tahu bajunya telah tercengkeram. Belum sempat Tarmin melepaskan cengkeraman itu, tahu-tahu Sena telah menyentakkan tangan dan melemparkan tubuhnya.
"Kau belum pernah terbang, kan" Hi hi hi...! Ku ajari kau bagaimana caranya terbang! Hih...!" Tubuh Tarmin terlempar deras ke atas dan melesat laksana terbang masuk ke pasar.
Wusss! "Aaa.... Tolooong...!" Tarmin menjerit, tubuhnya melayang laksana terbang. Semua orang di pasar melongo dengan mata membelalak, menyaksikan kejadian yang lucu dan menegangkan itu.
Brukkk! Tubuh Tarmin mendarat di tumpukan sampah yang ada di samping pasar. Tubuhnya berkelojotan sebentar, lalu terkulai pingsan setelah berusaha bangun tapi tak mampu.
Menyaksikan kedua temannya dalam keadaan pingsan, Tarban menggigil ketakutan. Nyalinya menciut. Tanpa diperintah, dia langsung berlutut di depan Pendekar Gila.
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh saya! Ampunilah selembar nyawa saya!" ratapnya mengiba.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau! Aneh..., kenapa kau berubah seperti cecurut kecebur got?" ejek Sena sambil tertawa bergelak-gelak dengan tangan kanan menggaruk-garuk kepala.
Tubuh Tarban menggigil ketakutan. Tangannya disatukan di depan dada. Matanya menatap penuh harap pada pemuda gila di hadapannya.
"Bantai saja dia!" seru para pedagang.
"Ya! Mereka tak mungkin kapok!" sambut yang lainnya.
"Kuliti saja!"
"Cincang! Biar dagingnya kujual!" seru penjual daging dengan nada gemas dan jengkel.
"Beraninya sama pedagang saja! Huh!" Pekikan-pekikan kemarahan terdengar bersahutan. Sepertinya para pedagang tak puas kalau ketiga pemuda berandalan itu dibiarkan hidup.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tingkah lakunya kini seperti kera, melompat-lompat sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, aku tak berhak menghukum mu, Kisanak. Biarlah nanti para pedagang yang menentukan hukuman untukmu," ujar Sena.
Mendengar ucapan itu Tarban semakin ketakutan. Tapi begitu hendak meminta pertolongan pada Pendekar Gila, pemuda berbaju rompi kulit ular itu telah pergi meninggalkan Pasar Kliwon.
"Tangkap dia!" seru para pedagang.
"Habisi saja!" teriak yang lain.
"Bagaikan diperintah, seketika para pedagang yang sudah dilanda amarah menyerbu Tarban dan kedua temannya yang masih pingsan.
"Ampun! Jangan...!" Tarban berusaha meminta ampun, tapi para pedagang yang sudah marah tak peduli dengan ratapan pemuda itu. Dengan pisau-pisau yang biasa digunakan untuk berdagang, mereka melampiaskan kemarahan.
"Mampus kau, Bajingan!" Crab! Bret! "Wuaaa...!" Tarban melolong kesakitan ketika pisau-pisau para pedagang menghujani tubuhnya. Tak lama kemudian, tubuhnya berantakan terbeset-beset bagaikan di-cincang. Begitu juga dengan keadaan kedua orang temannya.

***



::₪| 5 |₪::

Malam telah larut. Gelap menyelimuti bumi.
Angin menghembuskan hawa dingin dan basah. Sementara itu halimun yang tebal pun merayap, bagai menyimpan sejuta misteri.
Desa Piring Ceper yang terletak di kaki Gunung Dandaka nampak sepi. Sebuah kedai besar di sebelah timur Desa Piring Ceper, malam itu nampak masih ramai dikunjungi orang. Kebanyakan dari mereka anakanak muda. Suasana di kedai itu masih terang benderang, tak ubahnya seperti sebuah kendurian besar tengah berlangsung.
Tiga lelaki muda berambut gondrong dengan tubuh tegap dan bermata tajam melangkah masuk ke kedai itu. Mata mereka yang tajam menatap ke sekelilingnya, di mana para pengunjung kedai tengah menikmati santapan.
Salah seorang dari ketiga lelaki muda yang mengenakan rompi warna merah menggerakkan tangan kanannya. Kemudian ketiganya melangkah menuju ke pemilik kedai yang segera menyambut kedatangan mereka dengan senyum.
"Apakah pemuda gila itu datang lagi ke sini, Ki Jamhari?" tanya Suroso, lelaki yang berjalan di tengah.
Pemuda itu berbadan tinggi dan tegap serta berwajah garang. Rambutnya yang gondrong, ditutup dengan kain ikat batik membentuk blangkon. Hal serupa juga ada pada kedua pemuda lainnya.
"Sampai sekarang tidak," jawab pemilik kedai yang ternyata bernama Ki Jamhari.
"Hm..., syukurlah! Bisa aku menemui mereka?" tanya Suroso.
"Silakan," jawab Ki Jamhari sambil merentangkan tangan, kemudian dia pun mengajak ketiga orang dari Serikat Serigala Merah itu mengikutinya.
Ki Jamhari membawa Suroso dan kedua temannya ke belakang. Di sana terdapat sebuah ruangan yang sempit dan hanya bisa dimasuki orang satu persatu. Di dalam ruangan itu, terdapat sebuah pintu bawah tanah.
Ki Jamhari segera membuka pintu bawah tanah, kemudian mempersilakan ketiga anggota Serikat Serigala Merah itu masuk ke ruangan bawah tanah.
Satu per satu dari mereka menuruni tangga yang menghubungkan dengan ruang bawah. Kemudian setelah semuanya masuk, Ki Jamhari kembali menutup pintu penghubung bawah tanah dan kembali ke ke-dainya. Rupanya di bawah tanah, terdapat sebuah ruangan yang sangat luas. Menuju ke tempat itulah ketiga pemuda berbadan tegap yang tergolong anggota Serikat Serigala Merah.
Kedatangan mereka seketika disambut muda-mudi yang berwajah sayu. Mereka merengek, meratap, meminta sesuatu kepada ketiga lelaki muda itu.
"Cepat! Berikan aku surga itu!" seorang gadis cantik yang keadaannya nampak memprihatinkan "Mana uangmu?" tanya Suroso.
"Tak ada! Habis...," jawab gadis itu.
"Huh! Kalau tak punya uang, mengapa kau datang ke tempat ini, Bodoh"!" Sambil berkata begitu Suroso menyentakkan tubuh gadis itu sampai terjengkang ke belakang. Namun gadis cantik berwajah pucat dan kusut itu seperti tak peduli. Dia kembali merangkak mendekati Suroso, lalu menjilati kaki lelaki muda itu.
"Berilah aku surga itu!" ratapnya penuh harap.
"Minggir! Hih!" Suroso kembali menyentakkan tubuh gadis itu hingga terjengkang. Namun, gadis cantik yang sudah kecanduan madat itu tak menghiraukan. Dia kini membuka pakaiannya, lalu dengan tubuh bugil meliuk-liuk menari di depan Suroso. Tindakan itu membuat Suroso membelalakkan mata. Jakunnya turun naik, menyaksikan tubuh gadis yang gemulai menggiurkan.
"Oh, berilah aku surga itu, Tuan! Kau boleh memperlakukan tubuhku ini sesukamu, asal kau mau memberi aku surga itu," pinta gadis itu sambil me-nempelkan tubuh bugilnya ke tubuh Suroso yang semakin bergetar.
Mata Suroso tak berkedip, menyaksikan keadaan tubuh gadis yang menggiurkan itu. Pikirannya benar-benar kacau. Kelelakiannya seketika terbakar.
Beberapa kali dia harus menelan ludah, tak tahan menyaksikan keadaan tubuh gadis yang bahenol dan sangat mulus itu.
Gadis cantik itu terus meliuk-liukkan tubuhnya di depan Suroso. Dari mulutnya keluar desisandesisan yang membuat kelelakian Suroso semakin bertambah menggelegak.
"Oh, berilah aku surga, Tuan! Lakukanlah apa yang kau ingin lakukan atas tubuhku, asalkan kau memberi ku surga itu," pinta gadis cantik itu sambil meliuk-liukkan tubuhnya di depan mata Suroso dan kedua temannya yang kini terpaku seperti patung dengan jantung berdebar.
"Bagaimana, apakah akan kita beri dia?" tanya Sugonggo.
"Hm...," Suroso bergumam tak jelas. Jakunnya masih turun naik menyaksikan lekuk tubuh gadis cantik di depannya yang masih meliuk dan menari-nari.
"Kurasa kalau sedikit tak akan kentara oleh ketua," sambung Sugama.
"Ya! Bukankah dengan begitu kita bisa terlepas dari marah" Sudah begitu, kita bisa menikmati tubuh gadis ini," sambut Sugonggo.
Suroso masih terdiam. Nampaknya dia masih berpikir dengan apa yang akan diperbuatnya. Dia tak ingin pimpinan mereka marah.
Dia sudah tahu, apa hukumannya jika Dewa Pedang marah. Pedang Darah yang sangat sakti, tak memberi ampun lagi pada orang-orang yang berani menentang dan berbuat salah.
"Baiklah, beri dia sedikit!" ujar Suroso pada kedua temannya.
"Kemarilah!" perintah Sugonggo sambil melam-baikan tangannya pada gadis itu.
"Kau akan kami beri surga itu. Tapi, kau harus melayani kami!"
"Berilah aku surga itu, aku akan segera melayani kalian!" jawab gadis itu setengah meratap.
Sugonggo menoleh pada Suroso. Kemudian, setelah melihat Suroso mengangguk, Sugonggo pun segera memberikan serbuk putih. Wanita cantik itu langsung menjilatinya dengan mata mengerjap-ngerjap kenikmatan.
"Ayo!" Sugonggo segera menyeret gadis cantik itu ke ruangan lainnya.
Gadis itu tak mengelak, dia segera mengikuti ke mana ketiga lelaki itu mengajaknya.
Di ruangan itu, nampak muda-mudi tengah menggelosor dengan mulut tiada henti mengoceh. Mata mereka antara melek dan terpejam. Mereka bagaikan tiada gairah untuk hidup. Tubuh mereka kurus kering tak menentu. Wajah kusut masai dan pucat bagaikan tak berdarah. Mereka inilah korban-korban bubuk maut yang dijual Serikat Serigala Merah.
Di sisi ruangan lain, nampak tiga lelaki anggota Serikat Serigala Merah tengah asyik bergantian melampiaskan nafsu birahinya pada gadis cantik yang ju-ga salah satu korban serbuk maut. Mereka dengan penuh nafsu menggagahi gadis itu.
Tengah ketiganya melampiaskan nafsu iblisnya, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang mengejutkan mereka.
"Bedebah! Rupanya begini kerja kalian"!" Ketiga pemuda itu tersentak kaget. Kemudian setelah tahu orang yang membentak, ketiganya langsung menunduk di hadapan lelaki tua berjubah putih yang di punggungnya bertengger sebilah pedang.
"Ampun, Ketua! Semua telah kami jalankan dengan sebaik mungkin," ujar Suroso sambil menyembah.
"Hm..... Bagus! Kalian memang anak buahku yang patut diberi penghargaan atas perbuatan dan kerja kalian. Nah, kini kalian bersiaplah untuk mampus!" dengus Dewa Pedang, yang seketika menyentakkan ketiganya.
"Ketua, apa salah kami?" tanya Sugonggo seperti belum menyadari kesalahannya.
Dewa Pedang tersenyum sinis, mendengar pertanyaan yang dilontarkan Sugonggo.
"Kau belum tahu kesalahanmu, Sugonggo"!"
"Benar, Ketua. Kalau memang kami salah, kami mengharap sudilah Ketua memberitahukan kesalahan kami!" jawab Sugonggo dengan wajah ketakutan.
"Baiklah! Dengar...! Aku sangat tak suka dengan cara kerja kalian! Sudah kukatakan, yang lebih utama bukan bersenang-senang dengan perempuan! Kalian harus bisa membunuh Pendekar Gila!"
"Tapi, kami tak menemukannya, Ketua."
"Apa pun alasannya, kalian telah membuatku marah! Nah, bersiaplah kukirim ke akherat!" Cring! Dewa Pedang menghunus Pedang Darahnya yang memancarkan sinar merah membara. Hal itu membuat mata ketiga anak buahnya semakin membelalak tegang.
"Ampuni kami, Ketua! Jangan bunuh kami!" ratap ketiganya hampir bersamaan.
Mereka segera mencium kaki Dewa Pedang yang masih berdiri mematung dengan tubuh gemetar, menahan gelora kekuatan yang keluar dari Pedang Darahnya.
"Ketua, janganlah bunuh kami! Biarlah kami tidak dibayar selama dua purnama, asalkan Ketua sudi mengampuni kami," ratap Sugonggo memelas.
"Benar, Ketua. Kami berjanji akan mencari Pendekar Gila untuk membunuhnya," sambut Suroso.
"Dapatkah kupegang janji kalian"!" bentak De-wa Pedang.
"Kami bersumpah, akan membunuh Pendekar Gila dalam waktu kurang satu purnama ini!" sahut ketiganya bersamaan "Baiklah! Kuampuni nyawa kalian. Tapi jika dalam satu purnama ini kalian tak sanggup membunuhnya, kalianlah yang akan kubunuh!" ancam Dewa Pedang.
"Kami berjanji!"
"Minggirlah!" bentak Dewa Pedang dengan tubuh masih bergetar hebat, terbawa oleh kekuatan gaib Pedang Darah yang haus akan darah jika telah telanjur keluar dari warangkanya. Ketiga anak buahnya langsung berguling menyingkir. Mereka tahu persis kalau pedang di tangan ketua mereka tak akan diam jika belum menyentuh darah dan merenggut nyawa.
"Heaaa...!" Dengan pedang terayun tinggi ke atas kepala, Dewa Pedang melangkah dua tindak ke depan. Matanya yang tajam menatap dingin gadis yang berada di tempat tidur.
"Tidaaak..!" Wuttt!" Pedang bersinar merah itu berkelebat begitu cepat memangsa nyawa. Dan....
Crab! "Aaakh...!" Pekikan melengking memecah suasana di ruangan bawah tanah itu. Tubuh gadis yang masih bugil itu terkapar berlumur darah di tempat tidur. Dadanya yang hancur menyemburkan darah. Seketika nyawanya melayang.
Dewa Pedang menarik napas panjang, kemudian pedangnya dimasukkan ke dalam warangka yang tersampir di punggung. Lalu dengan tenang lelaki tua berjubah putih itu meninggalkan tempat itu.

***

Pendekar Gila baru saja hendak merebahkan tubuhnya untuk tidur, ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara jeritanjeritan dari desa sebelah barat Hutan Gareng tempat Pendekar Gila malam itu berada.
"Ah! Kejahatan lagi!" gumam Pendekar Gila.
"Aneh, akhir-akhir ini kejahatan semakin merajalela!" Pendekar Gila mengurungkan niatnya tidur.
Dia bangun dan duduk di cabang pohon besar itu. Matanya memandang ke asal suara jeritan itu.
"Tolong! Perampok...!"
"Diam!" Cras! "Aaakh...!" Pekikan kematian pun terdengar, disusul suara bentakan dan babatan senjata. Tentunya babatan senjata para perampok yang menjarah Desa Kadipan di sebelah utara Hutan Gareng.
"Wah, pertanda kejahatan masih merajalela?" gumam Sena. Secepat kilat, Pendekar Gila melompat dari atas pohon. Bagaikan terbang tubuhnya melayang ke utara.
Dalam sekejap tubuhnya hilang di tengah kegelapan malam. Sementara itu, di Desa Kadipan suasana malam yang seharusnya tenang berubah hiruk-pikuk oleh jeritan ketakutan bercampur dengan kematian.
Penduduk Desa Kadipan semakin bertambah ketakutan, setelah dikejutkan oleh suara jeritan-jeritan kaum wanita yang dipaksa para perampok untuk mengikuti mereka.
"Tolong! Tolooong...!" Crab! "Aaa...!" Pekikan kematian kembali terdengar, memecah keheningan suasana malam. Seorang lelaki bertubuh besar dan berkepala botak tampak menyeret seorang gadis yang meronta-ronta dan berteriak ingin membebaskan diri. Lelaki berwajah beringas itu tertawa bergelak-gelak dan sesekali menjilati dan menciumi wajah gadis itu. Tentu gadis itu bertambah benci dan ketakutan.
"Lepaskan! Tolooong...!"
"Perampok, Keparat..!" bentak salah seorang dari warga. Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun berlari menuju lelaki berbadan besar dan berkepala botak yang sedang menyeret gadis itu.
"Lepaskan anakku!"
"He he he...! Jadi ini anakmu, Orang Tua?" tanya lelaki berkepala botak sambil terkekeh. Senyumnya menampakkan kesinisan.
Kemudian dengan buas, diciuminya wajah gadis itu.
"Lepaskan, Bajingan!"
"Tak akan kulepaskan, Cah Ayu. Kau harus menurut padaku!"
"Kurang ajar! Lepaskan anakku!" bentak lelaki tua bertubuh kurus tampak berang.
Dia segera bergerak menyerang, tapi belum juga tubuhnya sampai, lelaki tinggi besar berkepala botak itu telah menghantamkan pukulan dengan tangan kirinya.
"Pergilah ke akherat sana! Hih!" Wusss! Dugk! "Akh!" Lelaki tua itu memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan wajah memucat. Dari mulutnya meleleh darah segar, kemudian ambruk dengan nyawa melayang.
"Ayah...!" jerit gadis dalam kekuasaan lelaki berkepala botak. Gadis bertubuh langsing dan semam-pai itu terus meronta.
"Lepaskan, Bajingan!"
"He he he...!" Lelaki bertubuh tinggi besar terkekeh. Semakin bertambah buas menciumi wajah gadis cantik anak orang tua yang telah tewas di tangannya.
Gadis berpakaian hijau tua itu terus merontaronta. Dari mulutnya terdengar caci-maki yang tajam, berusaha mengundang amarah lelaki berbadan tinggi besar yang terus mendekapnya.
"Iblis! Setan laknat, lepaskan!"
"Hua ha ha...! Benar katamu, Cah Ayu. Dia memang setan...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda turut menimpali caci-maki gadis itu. Lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget mendengar ucapan pemuda yang belum nampak batang hidungnya. Mata lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini memandang ke sekeliling tempat itu.
"Kurang ajar! Keluar kau!" bentak lelaki berkepala botak itu gusar.
"Hua ha ha...! Gendruwo busuk! Kepalamu persis semangka! Aha, ingin rasanya aku menjitaknya!" seru suara pemuda itu. Kemudian tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat, dan....
Pletak! "Aduh!" Lelaki berbadan besar terpekik ketika kepalanya yang botak dijitak oleh seseorang. Seketika kepalanya terasa pening. Sehingga dekapannya pada gadis itu terlepas.
"Hua ha ha...! Enak sekali buah semangkamu, Sobat!" pemuda gondrong dengan tingkah laku seperti orang gila itu tahu-tahu telah berdiri tiga tombak di hadapannya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tertawa cengengesan dengan tangan kanan menggaruk-garuk kepala.
"Bocah edan! Kau mungkin yang berjuluk Pendekar Gila! Kebetulan, kau memang harus mampus! Anak-anak, serang dia...!" serunya memanggil anak buahnya. Seketika berdatangan beberapa orang yang langsung menyerang.
"Hi hi hi..! Kebo-kebo dungu ini mau minta kue apem. Baik, majulah! Hua ha ha...!" Pendekar Gila segera bergerak dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' menyambut kesepuluh orang yang menyerangnya. Tubuhnya bergerak laksana baling-baling. Kemudian tangannya yang telah mencabut Suling Naga Sakti bergerak memukul ke arah kepala orang-orang yang menyerangnya.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Wusss! Pletak! "Aaa...!"
"Aaakh...!" Pekikan-pekikan kesakitan terdengar susulmenyusul dari kesepuluh perampok yang menyerang Pendekar Gila. Mereka segera menjauh sambil meringis-ringis memegangi kepala yang benjol dan berdenyut-denyut "Hua ha ha...! Enak bukan...?" tanya Pendekar Gila sambil berjingkrakjingkrakkan seperti seekor ke-ra kegirangan. Hal itu membuat lelaki berkepala botak yang menjadi pimpinan para perampok bertambah marah.
"Bedebah! Bunuh dia...!" perintahnya dengan suara keras menggelegar.
"Heaaa...!" Serempak anak buahnya kembali menyerang.
Namun lagi-lagi Pendekar Gila cepat menyambut dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Heaaa...!" Wusss! "Wuaaa...!" Kesepuluh perampok itu seketika lintangpukang tersapu angin dahsyat yang dilancarkan Pendekar Gila. Tubuh mereka beterbangan, kemudian jatuh dengan keadaan pingsan. Kalau saja Pendekar Gila mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, tubuh mereka akan hancur berantakan.
Pendekar Gila segera menghampiri salah seorang dari kesepuluh perampok itu. Lelaki tinggi besar berkepala botak pimpinan para perampok yang dideka-tinya.
"Katakan, siapa yang membuat rencana semua kejahatan ini?" bentak Sena garang.
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki tinggi besar itu.
"Cepat katakan, siapa dalang semua ini"!" bentak Sena.
"Dia..., De... Dewa... Pe.... Akh!" Belum usai lelaki berkepala botak itu menuntaskan kata-katanya, tiga senjata rahasia telah menancap di tubuhnya. Pendekar Gila tersentak, lalu segera berlari ke arah sembilan anak buah lelaki berkepala botak itu.
Tapi mereka pun telah tewas.
"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru mengejar sebuah bayangan merah yang berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.

***



::₪| 6 |₪::

Pendekar Gila segera melesat mengejar sosok bayangan yang sempat dilihatnya. Sosok itulah yang telah membunuh kesepuluh perampok itu. Sosok tubuh yang mengenakan pakaian rompi merah menyala itu berusaha lari meninggalkan tempat itu dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Namun Pendekar Gila yang tak ingin kehilangan buruannya, segera mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Tubuhnya melesat laksana terbang. Dan dalam sekejap, dia telah berada di depan lelaki berpakaian rompi merah itu.
"Hua ha ha...! Mau lari ke mana kau, Kecoa Busuk!" bentak Sena mengejutkan lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
"Kau..."!" mata lelaki itu membelalak dengan wajah tegang.
"Hm.... Kau kaget, Kecoa Busuk! Katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan semua ini" Dan kudengar, kau pun turut terlibat dalam serbuk iblis itu!" bentak Sena dengan mata melotot.
Semakin bertambah pucat pasti wajah lelaki muda berpakaian rompi merah mendengar pertanyaan Pendekar Gila. Matanya membelalak tegang. Mulutnya menganga bengong.
"Aha, kau seperti kaget, Kecoa! Kau harus kutangkap untuk kuserahkan pada Kanjeng Adipati," ancam Sena.
"Cuh! Tak mungkin kau bisa menjebloskan aku ke penjara, Pendekar Gila"!" dengus lelaki berambut gondrong dengan ikat kepala merah.
"Aha, rupanya kau merasa yakin, Kecoa" Baik, aku akan menangkapmu!" Pendekar Gila baru saja hendak melangkah maju untuk menangkap lelaki berbaju rompi merah, tiba-tiba terdengar suara perintah untuk menangkap.
"Tangkap pemuda gila itu...!" Pendekar Gila tersentak.
Kepalanya dipalingkan ke arah suara itu. Seketika matanya membelalak kaget, menyaksikan Senapati Kerajaan Sunda Layung dan prajurit-prajuritnya kini memburu dirinya.
"Edan! Permainan macam apa lagi ini?" tanya Sena kaget. Dia benar-benar tak menyangka, kalau dia yang hendak menangkap penjahat justru akan ditangkap.
"Tangkap dia...!"
"Heaaa...!" Pendekar Gila benar-benar tersentak kaget menyaksikan puluhan prajurit kini memburunya. Sena benar-benar tak habis pikir, mengapa dirinya yang dijadikan sasaran" Padahal dia bermaksud membantu pihak kerajaan.
"Celaka! Ini pasti ada yang tak beres," gumam Sena lirih.
Sena hendak menghindari bentrokan dengan pihak kerajaan, namun kini sekelilingnya sudah dikepung puluhan, bahkan ratusan prajurit yang siap menyerangnya. Hm, benar-benar bukan sembarangan! Tentu Dewa Pedang maksud pimpinan perampok itu yang telah membuat semuanya. Dan kulihat, mereka pun terlibat dalam urusan serbuk iblis! Gumam Sena dalam hati "Tangkap dia...!" kembali Senapati Lembu Lambayu memerintah pada para prajuritnya agar menyerang.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Sorak-sorai dan pekikan para prajurit Kerajaan Sunda Layung meramaikan tempat itu.
"Cincang dia...!"
"Tangkap hidup atau mati!" Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Gila, kecuali menghadapi serangan para prajurit kerajaan yang bermaksud menangkap dan membunuhnya.
"Maaf! Terpaksa aku harus menghajar kalian! Heaaa...!" Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila segera menghadapi para prajurit yang menyerangnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari, dengan sesekali tangannya bergerak menepuk ke arah dada lawan Bugk! "Akh...!" Pekikan tertahan terdengar dari seorang prajurit yang terkena tepukan tangan Pendekar Gila. Seketika tubuh prajurit itu terpental deras ke belakang, menghantam prajurit-prajurit lainnya.
Wuttt! Wuttt! Dari arah belakang dan samping, para prajurit menerjang maju dengan tusukan dan babatan senjata mereka. Namun dengan cepat Pendekar Gila meliukkan tubuh. Kakinya membuat gerakan cepat dan beruntun menendang lawan-lawannya yang telah mendekat. Sementara kedua tangannya dengan gerakan yang tampak lamban terus menepuk dan meninju para prajurit yang mengeroyoknya.
Plak! Bugk! "Aaa...!"
"Wuaaa...!" Jerit-jerit kesakitan keluar dari mulut para prajurit yang terkena hantaman dan tendangan Pendekar Gila. Namun ibarat pagar betis, mereka bagaikan tak menghiraukan kematian temantemannya, terus merangsek menyerang.
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos!" perintah Senapati Lembu Lambayu.
"Heaaa...!"
"Yeaaa!" Kembali para prajurit kerajaan bergerak menyerang ke arah Pendekar Gila. Senjata di tangan mereka berkelebat cepat, menusuk, membabat dan membelah ke arah tubuh Pendekar Gila.
Menghadapi serangan yang begitu gencar, Pendekar Gila tak mau mati percuma. Segera dikerahkannya jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak laksana baling-baling.
Tangannya terus bergerak menghantam dan memapas setiap serangan yang datang.
"Heaaa...!" Wusss! Plak! Plak! "Aaa...!"
"Wuaaa...!" Kembali terdengar jeritan-jeritan kesakitan, disusul dengan terpentalnya tubuh-tubuh lawan yang tadi menyerangnya. Kenyataan itu membuat marah dan jengkel Senapati Lembu Lambayu. Para prajurit yang dipimpinnya merasa kewalahan dan tak mampu menangkap Pendekar Gila.
"Bodoh! Menangkap seekor tikus busuk saja tak becus! Bunuh saja dia...?" serunya memerintah.
Gelombang penyerangan kembali terjadi. Puluhan prajurit serentak merangsek dengan serangan serangan mematikan ke arah Pendekar Gila.
Pertempuran semakin bertambah seru. Pendekar Gila harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk dapat menandingi kekuatan para prajurit yang kian beringas. Bagaikan kesetanan, mereka terus menyerang dengan senjata yang bergerak cepat, membabat dan menyodok tubuh Pendekar Gila. Suara pekikan dan sorak-sorai ditingkahi bunyi benturan senjatasenjata mereka meramaikan suasana pertempuran itu.
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba sesosok bayangan hijau lumut berkelebat Sosok tubuh yang ternyata lelaki bertubuh tegap dan bercaping itu bergerak cepat dan langsung masuk ke arena pertempuran dengan pedang di tangan.
"Kubantu kau, Kisanak," kata lelaki bercaping itu sambil bergerak cepat memapas dan menyerang pa-ra prajurit Pedang di tangannya laksana malaikat pencabut nyawa. Setiap gerakannya yang menggunakan jurus 'Malaikat Merobek Sukma', begitu cepat dan dahsyat. Sehingga pedang yang mampu mengeluarkan sinar putih keperakan di tangan lelaki bercaping itu tak nampak bentuknya. Itu sebabnya dia mendapat julukan Malaikat Tanpa Bayangan.
"Aha! Terima kasih, Ki!" sahut Sena.
Kini keduanya bergerak saling berlawanan arah. Dengan jurus-jurus andalan masing-masing, Malaikat Tanpa Bayangan dan Pendekar Gila membendung serangan membabi buta para prajurit kerajaan.
"Bedebah! Rupanya ada tikus lagi yang ingin mencari mampus! Bunuh mereka...!" teriak Senapati Lembu Lambayu bertambah gusar melihat kedatangan Malaikat Tanpa Bayangan yang membantu Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
"Tak ada waktu lagi bagi kita, Kisanak! Kita harus segera keluar dari kepungan ini," ujar Malaikat Tanpa Bayangan.
"Tampaknya kau punya kepentingan denganku, Kisanak" Ada apakah?" tanya Sena ingin tahu.
"Nanti ku jelaskan. Sekarang yang utama bagaimana kita bisa mendobrak kepungan mereka dan meninggalkan tempat ini," kata Malaikat Tanpa Bayangan.
"Kita harus mengerahkan jurus inti, Ki."
"Ya! Itu salah satunya. Yang terpenting, keluarkan Suling Naga Saktimu, Kisanak," perintah Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hanya dengan suling itulah kita dapat mendobrak mereka."
"Hm, kau tahu tentang diriku, Kisanak. Siapakah kau sebenarnya?" tanya Sena dengan terus berusaha mengelak dan membalas serangan para prajurit dengan pukulan dan tendangan.
"Nanti ku jelaskan. Sekarang kita harus secepatnya keluar dari kurungan ini!" sahut Malaikat Tanpa Bayangan.
Srt! Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Sakti yang terselip di ikat pinggangnya. Kemudian dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', Pendekar Gila berusaha menggempur kepungan para prajurit Suling Naga Sakti didekatkan ke mulut, lalu segera ditiup.
Irama Suling Naga Sakti mengalun lembut, mendayu, dan meratap. Para prajurit seketika terpana.
Mereka terdiam mematung. Irama suling semakin mendayu, semakin sedih pula perasaan para prajurit Irama suling itu seperti mengungkapkan betapa sengsaranya manusia-manusia yang buta hatinya karena nafsu iblis. Seluruh prajurit seketika terisak, tersedu-sedu.
Mereka menangis! "Kini saatnya, Kisanak!" ajak Malaikat Tanpa Bayangan.
"Aha! Benar! Hi hi hi...!" Keduanya pun segera melesat meninggalkan kepungan para prajurit Kerajaan Sunda Layung. Dalam sekejap saja, keduanya telah menghilang dari tempat itu. Ketika para prajurit sadar, mereka semua merasa bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang menyedihkan.
"Setan alas! Kejar mereka...!" seru Senapati Lembu Lambayu, menyaksikan kedua orang yang tadi dikepung tahu-tahu telah menghilang dari pandangan mereka.

***

Jauh dari para prajurit Kerajaan Sunda Layung, nampak Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan melangkah beriringan.
"Kisanak, kau telah tahu siapa diriku, tapi aku belum tahu siapa kau sebenarnya," ujar Sena.
Malaikat Tanpa Bayangan membuka capingnya.
Di bibirnya terulas senyum lembut. Keduanya terus melangkah, menyelusuri Hutan Balambu yang sepi dan nampak masih perawan.
"Namaku Asem Gede, namun orang menyebutku Malaikat Tanpa Bayangan," tutur Ki Asem Gede memperkenalkan diri.
"Ah, jadi kini aku sedang berjalan dengan orang tua yang namanya cukup disegani dan ditakuti...," gumam Sena, yang membuat Malaikat Tanpa Bayangan kembali tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Namaku belumlah seberapa, bila dibandingkan dengan namamu, Anak Muda. Pendekar Gila bukan nama yang asing di telinga para pendekar. Seorang pendekar yang mengabdikan jiwa raganya untuk kebenaran dan keadilan. Aku yang tua dan bodoh ini, merasa malu sendiri," tutur Ki Asem Gede merendah "Aha, tak usah kau begitu merendah, Ki! Aku heran, kenapa para prajurit kerajaan tahu-tahu hendak menangkapku?" gumam Sena.
"Mudah sekali, Anak Muda."
"Hm, apa sebabnya?" tanya Sena cepat karena penasaran.
Ki Asem Gede menghela napas panjang. Sementara malam terus merayap menyelimuti bumi. Keduanya terus melangkah, menyelusuri hutan yang sunyi dan gelap.
"Kita harus mencari tempat istirahat, Anak Muda, ujar Ki Asem Gede.
"Baiklah. Bagaimana kalau kita memilih pohon yang paling besar?" saran Sena, "Itu lebih baik."
"Itu pohon besar. Hop!"
"Hops!" Keduanya melesat begitu cepat, naik ke sebatang pohon besar. Dengan ringan sekali kaki mereka hinggap pada sebuah cabang pohon.
"Lama sekali aku tak menginjak dunia luar. Baru kali ini aku merasakan kedamaian dan keindahan," desah Ki Asem Gede.
"Meski kedamaian dan keindahan itu harus kita cari di antara keresahan, Ki?" sambut Sena sambil tertawa.
"Ya ya.... Kau benar, Anak Muda. Ah, baiklah aku akan menceritakan padamu, mengapa aku harus keluar dari tempat persembunyian ku," ujar Ki Asem Gede.
"Aha, dengan senang hati aku akan mendengarkannya."
"Baiklah...." Ki Asem Gede pun menceritakan hal ikhwal mengapa dia keluar dari Perguruan Tapis Putih. Dua purnama yang lalu perguruannya didatangi teman lamanya. Kedatangan sahabat lamanya itu, bermaksud mengajak dirinya untuk memusuhi Pendekar Gila.
Namun rencana itu ditolak oleh Malaikat Tanpa Bayangan. Sahabatnya marah, lalu membunuh beberapa murid Perguruan Tapis Putih. Bahkan sahabatnya itu meninggalkan surat tantangan.
"Begitulah ceritanya, Anak Muda. Karena aku yakin kau berada di pihak yang benar, aku pun mencarimu. Sampai tadi dalam kegelapan malam kujumpai dirimu bertarung melawan para prajurit kerajaan. Aku yakin kaulah orangnya. Maka aku tadi ikut mencam-puri urusanmu," tutur Ki Asem Gede, mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala.
Kini dia tahu, siapa sebenarnya yang dimaksud Malaikat Tanpa Bayangan. Tentunya semua itu ada sangkut pautnya dengan kejadian di Lembah Akherat (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Perjalanan ke Akhirat").
"Baiklah, Ki. Tentunya kau pun ingin tahu siapa sebenarnya Sumantri yang dibela oleh gurunya.
Aku akan menceritakan semua kejadian yang terjadi...." Lembah Akhirat tiba-tiba menjadi ajang perebu-tan para pendekar. Tersiar kabar kalau di lembah itu ada seorang bocah sakti. Barang siapa yang mendapatkan bocah sakti itu, akan menjadi orang nomor sa-tu di rimba persilatan. Sumantri pun mengerahkan orang-orangnya untuk mendapatkan Supit Songong yang sebenarnya kemenakannya sendiri.
"Jadi, ada masalah cemburu cinta?" tanya Ki Asem Gede terkekeh.
"Ah, benar juga apa yang kau katakan, Ki! Memang antara Anjasmara, Sambi, dan Sumantri telah terjadi kemelut cinta."
"Bukankah Anjasmara, Sumantri, dan Sambi merupakan murid Ki Badawi?" tanya Ki Asem Gede yang tahu karena Ki Badawi alias Dewa Pedang.
"Ya. Bahkan mereka bertiga dijadikan anak angkatnya," sahut Sena.
Ki Asem Gede menganggukkan kepala, mulai memahami apa yang telah terjadi.
"Lalu Ki Badawi membela Sumantri?"
"Begitulah...," sahut Sena.
"Hm.... Apakah Ki Badawi tahu siapa kedua naga di Danau Sambak neraka itu?" tanya Ki Asem Gede.
"Rupanya Dewa Pedang belum tahu hal itu," jawab Sena.
"Orang tua itu memang dari dulu keras kepala...," dengus Malaikat Tanpa Bayangan. Matanya memandang lepas ke kegelapan malam yang menyelimuti sekelilingnya.
"Sudah kuduga ketika dia menceritakan padaku tentang dirimu." Pendekar Gila terdiam. Dihelanya napas panjang-panjang, sepertinya berusaha menenangkan perasaan hatinya. Matanya menatap sejenak pada pendekar muda di sampingnya.
"Lalu, apa hubungannya, hingga pihak kerajaan hendak menangkapku. Juga dengan perkumpulan pengedar serbuk iblis yang dapat menghancurkan generasi muda?" tanya Sena ingin tahu.
"Tentunya karena merasa kecewa setelah aku tak bersedia membantunya, Dewa Pedang pun menjadi mata gelap. Dia akhirnya terjun di dalam kesesatan.
Dan kudengar, dia kini sebagai pimpinan Serikat Serigala Merah. Mereka bertujuan mencari dan membunuhmu. Aku menaruh curiga pada kedai di Desa Piring Ceper," kata Ki Asem Gede.
"Aha, rupanya kita punya pikiran sama, Ki. Aku pun menaruh curiga kalau kedai itu merupakan tempat jual beli mereka," sahut Sena.
"Hm.... Bagaimana kalau besok kita ke sana?" tanya Ki Asem Gede.
Pendekar Gila terdiam sesaat. Kemudian tangan kanannya nampak menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir tersenyum-senyum.
"Apakah bukan berarti kita harus menghadapi prajurit kerajaan?" tanya Sena kemudian.
"Terpaksa," sahut Ki Asem Gede.
"Satu purnama lagi, aku harus pergi ke Bukit Siluman," gumam Ki Asem Gede.
"Untuk apa?"
"Menghadapi Dewa Pedang. Dia telah menantangku. Kalau dalam tiga purnama belum juga selesai masalahnya denganmu, maka dia mengundangku di Bukit Siluman."
"Hm.... Kalau begitu secepatnya kita selesaikan tugas kita. Kita harus segera bertindak menghancurkan Serikat Serigala Merah," kata Sena.
"Ya! Kita juga harus bisa menangkap orangorang kerajaan yang terlibat," kata Ki Asem Gede.
"Ayo kita pergi!" Keduanya pun melompat, kemudian berlari melesat meninggalkan Hutan Balambu.

***



::₪| 7 |₪::

Kedai di sebelah timur Desa Piring Ceper yang biasanya ramai dikunjungi orang, pagi itu masih tutup. Namun dari luar terdengar percakapan beberapa orang di dalamnya.
"Kurasa, kita harus segera menemukan Pendekar Gila. Kalau tidak, ketua pasti akan menghukum ki-ta," terdengar suara lelaki berkata.
"Ya! Kita sudah bersumpah harus membunuh Pendekar Gila," timpal lainnya.
"Hm.... Tugas kalian berat sekali. Mungkin kalian telah melakukan kesalahan yang berat," terdengar suara orang muda menyela.
"Ya! Kami ketahuan tengah menggarap seorang gadis pecandu," sahut orang yang berbicara pertama.
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan yang sudah sampai di depan kedai itu mengerutkan kening, mendengar percakapan mereka.
"Hua ha ha...! Mengapa kalian susah-susah mencariku" Aku ada di luar...!" seru Sena sambil tertawa tergelak-gelak.
"Kita masuk saja, Sena," ajak Ki Asem Gede.
"Ayo!"
"Heaaa...!" Brak! Pintu papan kedai seketika hancur berantakan, terkena tendangan keduanya. Sembilan orang yang ada di dalam kedai seketika tersentak kaget. Dengan mata terbelalak, mereka melompat mundur.
"Hua ha ha...! Mengapa kalian seperti tikus bertemu kucing?" tanya Sena sambil berjingkrakan seperti seekor kera kegirangan.
"Setan alas! Kau memang kami cari! Kau harus mampus, Pendekar Gila!" dengus Suroso sambil mencabut pedang. Kemudian dengan cepat tubuhnya melompat menyerang Pendekar Gila. Kedua kawannya tak ketinggalan, segera menyerang Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Wuttt! Glarrr! "Eit! Hi hi hi...! Kalian main petas-petasan! Hi hi hi...
" Dengan jurus 'Sambar Geledek' dan jurus 'Serbuan Hujan' mereka langsung menggebrak Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka laksana hujan deras, menusuk ke bagian tubuh Sena. Sedangkan tangan- nya bergerak memukul dan menimbulkan desiran angin deras disertai ledakan-ledakan seperti geledek.
Melihat lawan melakukan serangan dengan jurus-jurus berbahaya dari berbagai arah, Pendekar Gila tak hanya tinggal diam.
Dengan tingkah seperti kera, serangan-serangan itu dielakkannya. Setelah itu dengan cepat pula melakukan serangan balasan dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya disatukan di depan dada, kemudian ditarik ke atas dengan mengerahkan tenaga dalam. Lalu perlahanlahan kedua tangannya dibuka dengan telapak tangan ke atas. Setelah itu ditarik ke belakang, hingga sejajar dengan pinggang "Yeaaa...!" Dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila menghantamkan telapak tangannya bergantian ke dada lawan. Ketiga lawannya tersentak, lalu cepat ber-pencar mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila.
"Heaaa!"
"Yeaaah...!" Dengan melakukan salto beberapa kali, ketiganya mengelakkan serangan gencar itu.
"Hati-hati, dia bukan lawan enteng!" seru Sugonggo.
"Ya! Mari kita serang lagi!" ajak Suroso.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Ketiganya kembali bergerak dengan cepat menusuk dan membabatkan pedang. Pendekar Gila segera bergerak menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali tangannya menepuk dada lawan.
Wut! Wut..! "Heaaa..!" Beberapa kali serangan lawan memburunya, tapi dengan mudah dielakkannya. Tubuh Pendekar Gila yang meliuk-liuk laksana menari, mampu membuat serangan pedang lawan meleset dan tak mengenai sasaran. Pertarungan Pendekar Gila dengan ketiga lawannya berlangsung seru. Belasan jurus telah dikeluarkan bahkan ketiga lawan itu pun telah mengerahkan jurus-jurus andalan mereka. Namun sampai sejauh itu, belum juga mereka mampu melakukan serangan yang berarti. Serangan mereka senantiasa dengan muda dapat dipatahkan Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Bahkan....
"Heaaa...!" Bukkk! Suara pekikan tertahan terdengar ketika gerakan menepuk yang dilakukan Pendekar Gila mendarat ke dada lawan. Seketika tubuh lelaki yang terkena pukulan itu terdorong ke belakang dan melayang. Tubuh lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu terhenti ketika membentur dinding kedai, dan jatuh terbanting di lantai. Dari mulutnya mengalir darah segar. Sesaat mengerang lirih kemudian tak berkutik lagi. Tewas! Brak! "Aaa...!" Mata Lima Darah Bukit Perawan yang kebetulan ada di kedai itu terbelalak. Begitu juga Malaikat Tanpa Bayangan. Mereka terkagum-kagum menyaksikan kehebatan pukulan Pendekar Gila, yang walau tampaknya perlahan dan lemah, ternyata begitu dahsyat kekuatannya.
Lima Darah Bukit Perawan menjadi ciut nyalinya. Mereka bermaksud meninggalkan tempat itu, namun Malaikat Tanpa Bayangan yang melihatnya segera menghadang.
"Mau ke mana kalian?"
"Minggirlah, kami tak punya urusan denganmu, Ki!" dengus Getih Ireng.
"He he he...! Enak sekali kau berkata, Anak Muda. Kau adalah teman dari tiga lelaki itu, tentunya kau pun ada sangkut pautnya dengan Dewa Pedang," tukas Ki Asem Gede.
"Apa maksudmu, Orang Tua?" tanya Getih Bi-ru.
"Mudah saja. Tunjukkan di mana Dewa Pedang berada kalau kalian ingin selamat!"
"Cuh! Enak sekali kau bicara. Tua Bangka! Jangan lancang mulut! Pimpinan kami bukanlah manusia rendah sepertimu!" dengus Getih Ireng sengit "Ha ha ha...! Kau mengatakan pimpinanmu terhormat"! Lucu sekali...! Pimpinanmu tak lebih dari kecoa busuk yang hanya main kucing-kucingan saja!" ejek Ki Asem Gede, membuat Lima Darah Bukit Perawan semakin naik darah.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit, Tua Bangka!" dengus Getih Merah penuh kebengisan.
"Ha ha ha...! Kalianlah yang mencari penyakit! Kalian orang-orang keparat, membunuh bangsa sendiri dengan serbuk iblis! Karena itulah, aku akan menangkap kalian!"
"Kurang ajar! Serang dia...!" perintah Getih Ireng.
"Yeaaa...!"
"Heaaat...!" Lima Darah Bukit Perawan yang sudah kepalang tanggung segera menyerang dengan sengit. Dengan pedang masing-masing, Lima Darah Bukit Perawan langsung menggebrak dengan serangan-serangan gencar dan mengarah pada bagian tubuh yang mematikan. Wut! Wut..! "Heaaa...!" Melihat keberingasan kelima orang muda itu, Malaikat Tanpa Bayangan tak tinggal diam. Lelaki tua itu dengan cepat bergerak memapaki serangan lawan lawannya. Meskipun belum mencabut senjatanya, Malaikat Tanpa Bayangan bergerak cepat dan lincah mengatasi setiap serangan yang datang secara beruntun. Tangan dan kakinya terus bergerak menyerang.
Tubuhnya meliuk dan melompat ke sana kemari menghindari serangan lawan. Pukulan dan tendangan yang dilakukan begitu keras, hingga mampu mengeluarkan angin yang membuat lawan-lawannya tersentak kaget Wut! "Uts!" Celaka! Orang tua ini juga bukan sembarangan Desis Getih Ireng dalam hati. Namun begitu, dia tak ingin menunjukkan rasa takutnya di hadapan lawan.
Dengan nekat, Getih Ireng dan keempat adiknya terus menggebrak Malaikat Tanpa Bayangan.
"Heaaa!"
"Hiaaa...!" Kedai yang semula tenang dan sepi, telah berubah menjadi ajang pertempuran yang riuh. Meja dan kursi yang ada di kedai itu berantakan, hancur dan patah terpukul atau terkena tendangan mereka. Sementara suara teriakan dan makian yang mengiringi pertempuran itu terdengar memecah suasana pagi yang dingin. Pendekar Gila masih meliuk-liukkan tubuhnya bagaikan menari, mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan kedua lawannya.
"Heaaa...!" Wuttt! Tubuh Pendekar Gila terus bergerak menghindari serangan pedang lawan yang selalu diikuti pukulan-pukulan 'Sambar Geledek'nya. Sesekali tangan Pendekar Gila bergerak menepuk ke arah dada lawan.
"Hih!"
"Heit!" Dengan cepat Sugonggo menggeser tubuhnya ke samping, mengelakkan serangan tepukan Pendekar Gila. Secepat kilat pula Sugonggo balas menyerang dengan sabetan pedangnya ke arah kepala Pendekar Gila.
"Heaaa...!" Wuttt! "Uts!" Pendekar Gila mendoyongkan tubuh ke samping, mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan cepat kembali melancarkan serangan ke dada lawan. Gerakannya nampak lamban, namun tahu-tahu telapak tangannya telah mendarat ke dada lawan. Suroso yang tersentak kaget berusaha mengelak, tapi tangan Pendekar Gila ternyata lebih cepat. Dan....
Degk! "Aaakh...!" Suroso terpekik keras, tubuhnya terlontar ke belakang laksana anak panah yang dilepaskan dari busur. Lesatan tubuh itu hampir saja menerjang tubuh pemilik kedai yang menggigil ketakutan. Kalau sa-ja lelaki tua itu tidak segera lompat ke samping, tentu akan terhantam tubuh Suroso yang tegap dan kekar. Wusss! Brak! "Akh...!" Tubuh Suroso menghantam dinding kedai dan terbanting ke lantai. Dinding kedai yang terbuat dari belahan papan itu jebol.
Dan tubuh kekar Suroso terkapar dalam keadaan sangat mengenaskan. Dada-nya remuk dan gosong kehitaman.
Di pihak lain, Malaikat Tanpa Bayangan pun tak memberi kesempatan sedikit pun pada kelima lawannya. Meski masih dengan tangan kosong, Malaikat Tanpa Bayangan benar-benar mampu menunjukkan nama besarnya. Dia bergerak bagaikan malaikat, cepat dan gesit sehingga bayangannya tak terlihat.
Bukkk! "Aaakh...!" Getih Ungu terpekik kesakitan ketika hantaman tangan Malaikat Tanpa Bayangan bersarang di dadanya yang bidang. Dari mulut lelaki muda itu mengalir darah segar. Sesaat tubuhnya mengejang, kemudian ambruk tanpa nyawa.

***

Menyaksikan kematian Getih Ungu, keempat kawannya bukan semakin gentar. Mereka malah merangsek semakin gencar ke arah Malaikat Tanpa Bayangan. Mungkin mereka merasa tak ada jalan lain, kecuali harus menghadapi Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan.
"Bedebah! Kau telah membunuh saudara kami, Tua Bangka Keparat! Kau harus mampus...!" dengus Getih Ireng dengan wajah merah membara penuh amarah.
"Hm.... Apa tak salah ucapanmu, Anak Muda Bejat"!" tanya Ki Asem Gede.
"Kalianlah yang harus segera disingkirkan!"
"Kurang ajar! Yeaaat...!" Getih Ireng dan ketiga saudaranya segera menyerbu ke arah lawan dengan jurus 'Pedang Bayangan Menebas Lalat'. Pedang di tangan mereka bergerak laksana bayangan yang sangat cepat, membabat dan menusuk ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hm...," Ki Asem Gede bergumam lirih. Kakinya digeser setindak ke belakang. Lalu dengan cepat ditarik kembali ke samping. Tubuhnya direndahkan agak ke bawah, kemudian dengan cepat tangannya bergerak membabat dan menusuk ke lambung lawan "Heaaa...!" Wut! Trang! Benturan senjata mereka terdengar berdentang, memercikkan bunga api. Empat anggota Lima Darah Bukit Perawan itu melompat mundur dengan mata terbelalak. Mereka mendengus penuh amarah. Kemudian dengan didahului pekikan keras, keempatnya kembali menyerang ke arah lawan dengan jurus 'Empat Pedang Penjuru Angin'.
"Heaaa..!"
"Yeaaa...!" Wut, wut..! Empat pedang di tangan anggota Lima Darah Bukit Perawan itu saling berkelebat cepat membabat dari empat penjuru angin. Tubuh mereka bergerak memutari Malaikat Tanpa Bayangan. Lelaki tua berjubah hijau lumut itu pun bergerak memutar dengan sikap waspada penuh untuk menghadapi serangan keempat lawannya.
"Yeaaa...!" Wut! "Heaaa...!" Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat menggerakkan pedang di tangannya dengan jurus pamungkas 'Malaikat Mencabut Nyawa'. Dengan gerakan memutar, secepat kilat pedangnya membabat lawanlawannya.
"Heaaa...!" Wrt! Jrabs! "Wuaaa...!" Getih Biru memeluk, perutnya sobek tersambar pedang milik Malaikat Tanpa Bayangan. Usus pun memburai dari luka yang menganga. Sesaat Getih Biru mengerang lirih, tapi kemudian ambruk dengan nyawa melayang. Ketiga saudaranya melompat ke belakang. Mata mereka terbelalak kaget merasakan desiran angin yang menderu di depan mereka ketika pedang Malaikat Tanpa Bayangan menyabet Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi Sugonggo, kini semakin berada di atas angin. Sugong-go semakin kewalahan menghadapi Pendekar Gila yang mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuh Pendekar Gila terus meliuk-liuk laksana menari, dengan sesekali melakukan tepukan. Sepintas tepukan itu nampak pelan sekali, tapi angin yang menyertainya terasa sangat keras, menderu ke arah Sugonggo.
"Haps!" Sugonggo segera membuang tubuh ke samping, mengelakkan serangan Pendekar Gila yang ternyata begitu keras dan cepat.
"Ilmu siluman!" Sugonggo semakin tegang menghadapi jurus aneh yang dikeluarkan Pendekar Gila. Baru kali ini dia melihat jurus ilmu silat yang aneh. Kelihatan sepintas sangat lambat dan lemah, tapi ternyata dua orang rekannya terpental dihantam tepukan itu. Kedua temannya yang memiliki ilmu setaraf dengan dirinya seakan hanya seekor lalat. Ditepuk dengan telapak tangan hingga terbanting dan tewas.
"Hi hi hi...! Tinggal satu lalat lagi," seru Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala. Lalu tubuhnya berjingkrakan. Setelah itu tubuhnya kembali bergerak, meliukliuk seperti menari dengan sesekali melakukan tepukan. Sementara itu pula Malaikat Tanpa Bayangan tengah menggebrak dengan jurus andalannya, 'Malaikat Pencabut Nyawa'. Kembali suara menderu terdengar, ketika pedangnya membabat dengan gerakan membentuk lingkaran. Ketiga lawannya semakin kewalahan. Mereka kembali melompat mundur. Namun....
"Heaaa...!" Wuttt! Bret! "Aaa...!" Jeritan kematian terdengar dari mulut Getih Merah, ketika pedang Malaikat Tanpa Bayangan menyambar perutnya. Tubuh gadis cantik itu terhuyung beberapa langkah. Ususnya terburai dari luka di perutnya. Sesaat terdengar mulut gadis berpakaian merah itu mengerang kesakitan. Namun sesaat kemudian tubuhnya ambruk dan tak bernyawa lagi.
"Bedebah! Kubunuh kau, Tua Bangka! Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Getih Ireng dan Getih Putih dengan marah merangsek Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan menggumam tak jelas. Matanya yang tajam laksana mata elang, menatap tajam sosok lelaki dan perempuan muda yang menyerang dirinya. Lalu dengan gerakan melompat...
"Heaaa...!" Wuttt..! Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat membabatkan pedangnya yang berwarna putih keperakan ke arah kedua tangan yang melesat ke arahnya.
Wuttt! Wuttt! Crab, crab! "Akh!"
"Wuaaa...!" Tubuh Getih Ireng dan Getih Putih yang melayang hendak menyerang, berpentalan jatuh ke lantai.
Mata mereka melotot dengan usus terburai dari luka menganga lebar di perut mereka. Seketika keduanya tewas berlumuran darah.
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan kembali bergumam lirih, lalu disekanya darah yang menempel di mata pedang. Kemudian pedang putih keperakan itu dimasukkan ke dalam warangka yang tersampir di punggungnya. Matanya yang tajam memandang ke tempat pertarungan Pendekar Gila dengan Sugonggo.
Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' masih terus memburu lawannya yang tampak semakin kewalahan. Hingga pada sebuah langkah....
Plak! "Akh!" Sugonggo memekik keras, tubuhnya terlontar deras ke belakang. Kemudian membentur tembok kedai. Brak "Aha, habis sudah lalat iblis!" gumam Sena.
"Eh, ke mana orang tua pemilik kedai ini?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hei, dia pergi!" seru Sena, Belum juga keduanya sempat berpikir ke mana perginya pemilik kedai, tiba-tiba....

***



::₪| 8 |₪::

"Orang yang ada di dalam, keluar kalian!" Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan tersentak ketika tiba-tiba terdengar suara bentakan dari luar. Suara itu sangat dikenali oleh Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan. Dialah Senapati Lembu Lambayu, Panglima Kerajaan Sunda Layung.
"Aha, pemilik kedai itu mengadukan pada pihak kerajaan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana langkah kita, Ki?"
"Hm..., tak ada jalan lain! Kita tetap berdiri pa-da kebenaran. Meski harus menentang pihak kerajaan, terpaksa kita menghadapi mereka!" jawab Malaikat Tanpa Bayangan, manggut-manggut "Aha..., benar juga, Ki. Ayolah!" ajak Sena.
"Mari!"
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, kemudian dengan cepat tubuhnya melesat keluar, diikuti Malaikat Tanpa Bayangan.
"Rupanya tikus-tikus buruk, yang telah membuat keonaran di sini!" dengus Senapati Lembu Lambayu.
"Tangkap mereka...!" Mendengar perintah sang Panglima, seketika para prajurit Kerajaan Sunda Layung yang berjumlah ratusan itu langsung menyerbu dengan senjata berupa tombak dan pedang. Ratusan prajurit itu langsung mengurung dan menyerang.
"Aha, kita main-main lagi dengan lalat-lalat kerajaan, Ki!" celetuk Sena.
Srt! Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti yang dari tadi terselip di ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-tawa dan melompat-lompat berjingkrakan, Pendekar Gila langsung melesat bagaikan terbang. Dengan tubuh melayang di atas, Suling Naga Sakti langsung dipukulkan ke arah kepala-kepala prajurit yang dapat dijangkaunya.
"Nih, kuberi hadiah untuk kalian! Hua ha ha...!" Wut! Pletak! Pletak...! "Akh?"
"Aduh!" Jeritan kesakitan terdengar dari mulut tiga orang prajurit. Tangan mereka langsung memegangi kepalanya yang terasa benjol akibat sabetan Suling Naga Sakti.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Enak bukan..." Hua ha ha...!" Sambil tertawa tergelak-gelak dan tangan kiri menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila terus menge-brak. Tangan kanannya yang memegang Suling Naga Sakti bergerak terus memukul kepala para prajurit.
Sedangkan kedua kakinya menjejak ke arah kepala prajurit yang lainnya. Kepala mereka dianggapnya sebagai jembatan bagi langkah Pendekar Gila yang terus bertingkah seperti kera.
"Kurang ajar!"
"Setan!"
"Kunyuk! Kepala diinjak-injak!" maki para prajurit sambil memegangi kepalanya yang telah terinjak kaki Pendekar Gila. Mereka benar-benar marah, karena kepala mereka dianggap sebagai titian bambu saja.
"Bunuh saja!" seru Senapati Lembu Lambayu semakin bertambah gusar melihat tingkah laku Pendekar Gila yang menjengkelkan. Giginya beradu saling bergemerutuk. Tangannya mengepal tegang menahan amarah yang menggelegak di kepalanya.
Pendekar Gila semakin bertambah konyol tingkah lakunya. Dengan melompat-lompat seperti seekor kera dan tertawa-tawa, Pendekar Gila terus menjejakkan kakinya di atas kepala para prajurit "Hi hi hi..! Enak sekali main petak umpet, Kawan," kata Sena sambil memukulkan sulingnya ke kepala prajurit yang dapat dijangkaunya dan bermaksud menyerangnya.
"Tembus dadamu, Bocah Kurang Ajar!"
"Kubikin sate tubuhmu, Setan!"
"Bangsat! Ku rencah tubuhmu!" Caci maki para prajurit yang merasa kepalanya diinjak-injak kaki Pendekar Gila terdengar. Mereka langsung menyerang dengan sodokan senjata tombak.
Namun dengan cepat Pendekar Gila mengibaskan Suling Naga Sakti memapak serangan mereka.
"Hi hi hi...!" Trang! Beberapa kali terdengar suara dentangan dari benturan senjata dengan Suling Naga Sakti.
Pletak! "Aduh!"
"Wuaaa...!" Kembali tiga orang prajurit mengerang kesakitan, karena kepala mereka benjol akibat jitakan Pendekar Gila. Dengan jurus 'Si Gila Terbang Menerkam Mangsa' Pendekar Gila terus bergerak cepat, menyerang dengan patukan-patukan sulingnya.
Sementara itu, Malaikat Tanpa Bayangan pun tak mau tinggal diam. Dengan menggunakan tangan kosong, lelaki tua berjubah hijau lumut itu bagaikan mengamuk dengan jurus 'Pukulan Tangan Malaikat' nya. Sambil berputar cepat, tangannya menghantam para prajurit yang hendak menyerang ke arahnya.
"Sikat..!"
"Cincang dia!" Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar dari mulut para prajurit Mereka kembali mengurung Malaikat Tanpa Bayangan. Namun dengan cepat lelaki tua berjubah hijau lumut itu telah mendahului menyerang.
"Heaaa!" Bug! "Akh!"
"Aaa...!" Jeritan-jeritan kesakitan dan kematian terdengar susul-menyusul dari mulut para prajurit Kerajaan Sunda Layung. Namun sepertinya para prajurit itu tak me-rasakan sakit sedikit pun. Dengan semangat menggebu, mereka terus merangsek ke arah Malaikat Tanpa Bayangan.
"Jangan beri mereka kesempatan!" seru Senapati Lembu Lambayu terus memerintah pada para pra- juritnya.
"Aha, kenapa kau hanya bisa berkoar, Kebo Dungu!" seru Sena sambil terus berkelebat di atas kepala lawan-lawannya.
"Turunlah kemari! Bukankah ki-ta tengah berpesta"! Hua ha ha...!" Pletak! "Aduh!" Seorang prajurit yang terkena totokan Suling Naga Sakti menjerit kesakitan. Kepalanya yang benjol dipegangi. Tubuhnya berputar-putar karena pening, dan jatuh pingsan.
Tubuh prajurit yang pingsan itu, seketika terinjak-injak temannya yang terus berusaha merangsek.
Kalau saja Senapati Lembu Lambayu menyadari bahwa bertempur seperti itu justru merugikan pihaknya, tentu dia akan segera menarik sebagian pasukannya. Namun karena Senapati Lembu Lambayu tengah berada dalam pengaruh serbuk iblis, dia bagaikan tak peduli dengan semuanya.
Para prajuritnya dibiarkan menjadi korban pertempuran karena hasrat seseorang yang telah memperalat mereka untuk membunuh Pendekar Gila. Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan terus mengamuk, menyerang para prajurit yang berjumlah ratusan itu. Mereka bagaikan banteng murka, setiap gerakannya membuat prajurit-prajurit menjerit kesakitan. Ambruk dan akhirnya terinjak-injak temannya. Sementara suasana semakin terang. Matahari di ufuk timur menyemburatkan cahaya merah tembaga, mengusir embun dan halimun pagi.
Banyak sudah korban berjatuhan dari pihak Kerajaan Sunda Layung yang lalu menjadi korban injakan teman-temannya. Tempik sorak, caci maki, serta dentang benturan senjata mereka semakin riuh terdengar. Suasana di depan kedai seketika berubah menjadi berantakan. Malah kedai yang semula sudah rusak, kini hancur oleh terjangan para prajurit Seketika itu, dari dalam kedai yang ambruk muncul anak-anak muda yang ganas. Mereka yang telah menjadi budak serbuk iblis itu marah. Tanpa tahu siapa yang menjadi lawan, pemuda-pemuda itu langsung menyerang para prajurit kerajaan.
"Heaaa...!" Sebelah timur Desa Piring Ceper, kini menjadi ajang pertempuran yang hebat. Bukan hanya pemudapemuda yang telah dibudaki serbuk iblis, tapi para penduduk desa yang marah melihat tingkah polah para prajurit kerajaan turut menyerang mereka. Mereka telah tahu kalau di dalam angkatan perang kerajaan itu terdapat Serikat Serigala Merah.
"Pendekar..., kami membantu kalian!" seru warga desa itu.
Dengan berbagai macam senjata seperti cangkul, golok, klewang, penduduk desa yang sudah muak atas tindakan para prajurit yang bersekongkol dengan Serikat Serigala Merah, kini merangsek maju memberikan serangan.
Pertarungan semakin seru. Ratusan prajurit kerajaan yang ditunggangi Serikat Serigala Merah, harus menghadapi pula ratusan penduduk Desa Piring Ceper yang dibantu pemuda-pemudanya.
"Serang...!" seru warga desa.
"Hancurkan serbuk iblis!"
"Hancurkan kerajaan yang tak adil!"
"Bunuh panglima perang iblis itu...!" Para prajurit tersentak kaget Mereka melihat para penduduk desa bahu-membahu menyerbu mereka. Mereka semakin kebingungan. Sementara untuk meringkus Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan saja mereka masih kewalahan. Tiba-tiba mereka harus menghadapi penduduk desa, ditambah para pemuda pecandu madat yang seperti sekelompok orang bingung turut menghambur ke dalam pertempuran itu.
"Hadang mereka!" teriak Senapati Lembu Lambayu. Pertarungan besar itu pun tak dapat dielakkan lagi. Mereka tampak menjadi satu, bertempur di depan kedai yang keadaannya telah berantakan. Tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar tempat itu banyak yang tumbang, terinjak atau tertabrak oleh mereka yang semakin ganas. Pagi itu suasana Desa Piring Ceper yang semula tenang, kini bergemuruh riuh dipenuhi jeritan dan pekikan yang membahana. Darah membanjir, dari tubuh-tubuh yang bergelimpangan di tanah.
Dalam suasana kacau dan hiruk pikuk seperti itu, tiba-tiba dari utara Desa Piring Ceper terdengar suara teriakan menggelegar.
"Tangkap para pengkhianat kerajaan...!" Seorang lelaki gagah bermata tajam dengan rambut digelung ke atas tengah berdiri tegap tidak jauh dari tempat itu. Dialah Patih Prameswari, patih gagah berani dari Kerajaan Sunda Layung Telunjuknya mengarah ke para prajurit yang dipimpin Senapati Lembu Lambayu. Mereka dianggap telah mengkhianati kerajaan.
"Tangkap para pengkhianat kerajaan! Tangkap panglima iblis keparat itu...!" kembali Patih Prameswari berseru, memerintah para prajuritnya untuk membantu penduduk desa.

***

Suasana pertempuran tiba-tiba bertambah seru. Perang telah meletus kembali dengan datangnya para prajurit kerajaan yang masih setia pada rajanya.
Para prajurit pengkhianat yang dipimpin Senapati Lembu Lambayu kini kian terdesak.
"Serbu...!" Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara menggelegar dari lima orang berpakaian merah yang merupakan tangan kanan Dewa Pedang.
"Hancurkan mereka!" teriak Gajah Bedeg, orang kedua yang dihormati dalam Serikat Serigala Merah setelah Dewa Pedang yang belum tampak di tempat itu.
Serentak anak buah Serikat Serigala Merah yang berpakaian merah, menyerbu. Mereka membantu para prajurit pemberontak yang selama ini membantu mereka yang telah menjadi anggota Serikat Serigala Merah. Trang! Trang...! Crab! "Wuaaa...!"
"Aaa...!" Jeritan-jeritan kematian membahana, keluar dari mulut orang-orang yang menjadi korban. Sementara suara gemuruh mulai terdengar ditingkahi dentang senjata tajam mereka.
Pendekar Gila yang melihat kedatangan pimpinan kedua Serikat Serigala Merah langsung melesat meninggalkan arena pertempuran. Disusul oleh Malaikat Tanpa Bayangan, Patih Prameswari, serta beberapa pendekar yang hadir dalam pertempuran itu.
Serentak mereka menghadang para tokoh rimba hitam yang tergabung dalam Serikat Serigala Merah pimpinan Dewa Pedang. Di antara para pendekar yang turut hadir dalam pertarungan itu, antara lain Dewi Jaladri, Gagak Putih, Kupukupu Emas, dan Resi Angling Mukti.
Sedangkan dari tokoh hitam yang tergabung dalam Serikat Serigala Merah antara lain, Gonggo Gentro, Buta Cakra, Banaspati, Ampel Gegel, Nyi Capis, Rana Jalna, dan Gempal Sudra.
Kini dari kedua golongan saling berhadapan satu lawan satu. Pendekar Gila langsung berhadapan dengan Gajah Bedeg. Malaikat Tanpa Bayangan berhadapan dengan Gempal Sudra.
"Di mana Dewa Pedang?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan.
"Aha, mengapa pimpinan kalian bersembunyi" Seperti seekor tikus yang ketahuan mencuri. Hua ha ha...!" sambung Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Cuh! Jangan bermimpi kalian bisa menangkap pimpinan kami! Kalian akan kami kirim ke neraka!" dengus Gajah Bedeg.
"Aha, hebat sekali ucapanmu, Sobat! Kau kira kau malaikat pencabut nyawa! He he he...! Apakah tak sebaliknya, kalianlah yang akan mampus?" sahut Sena dengan tingkah laku konyol, yang menjadikan Gajah Bedeg dan rekan-rekannya semakin bertambah marah.
"Pendekar Gila, kami memang mendapat perintah dari pimpinan kami untuk menyingkirkan mu! Heaaa...!" Melihat Gajah Bedeg telah mendahului menyerang, seketika rekan-rekannya pun turut menyerang.
Dengan jurus 'Serigala Menerkam dan Mengoyak Mangsa' Gajah Bedeg melesat berusaha menerkam Pendekar Gila. Tangan lelaki setengah baya itu membentuk cengkeraman kuat. Wajahnya membara diliputi amarah. Wut! "Sobek kulitmu, Pendekar Gila!" dengus Gajah Bedeg.
"Heits! Hua ha ha...! Tangkap kodok itu, Serigala Tolol!" ejek Sena sambil melompat ke samping. Kaki kanannya menekuk dan diangkat ke atas. Kemudian dengan cepat menendang ke wajah lawan yang agak merunduk.
"Heaaa!" Wut! "Eit! Setan...!" maki Gajah Bedeg sambil melompat ke belakang, mengelakkan tendangan kaki Pendekar Gila. Lalu dengan geram dan marah, Gajah Bedeg balas menyerang dengan cengkeraman ke dada dan wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa mengikik, kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak ke samping. Kaki kirinya ditekuk menyiku. Kemudian dengan jurus 'Si Gi-la Melempar Batu' Sena balas menyerang.
Serangkum angin pukulan menderu keras ke arah Gajah Bedeg, ketika tangan Pendekar Gila yang bergerak seperti tengah melempar bebatuan menyerang ke arahnya. Lalu tiba-tiba merasakan tubuhnya bagaikan dilempari bebatuan. Sekujur tubuhnya kesakitan.
"Ilmu siluman!" maki Gajah Bedeg sambil bergerak mengelitkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat, jurusnya dirubah menjadi jurus 'Lompatan Serigala Menerkam Mangsa'.
Tubuh Gajah Bedeg bergerak melompat dan mencengkeram ke arah Pendekar Gila. Namun sebelum tubuh itu sampai, begitu cepat Pendekar Gila berkelit dengan meliukkan tubuh.
Kemudian disusul gerakan menepuk yang mengarah ke kepala lawan. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila membuat Gajah Bedeg kembali tersentak.
"Heit! Ilmu Setan!" rungut Gajah Bedeg gusar sambil menarik serangannya, menyaksikan serangan Pendekar Gila yang begitu cepat Sementara itu, di pihak lain pun kini tampak para pendekar dapat menekan lawan mereka masingmasing. Para pendekar tak mau memberikan kesempatan lawan untuk mengembangkan gerak. Terlebih dengan Malaikat Tanpa Bayangan. Bagai banteng luka, dia memburu lawannya dengan jurus 'Malaikat Sambar Raga'. Tangannya yang membentuk cengkeramancengkeraman maut, terus memburu lawan.
"Celaka!" seru Gempal Sudra sambil melompat mundur, mengelakkan serangan Malaikat Tanpa Bayangan yang datang bertubi-tubi. Lelaki tua berjubah hijau lumut itu bagaikan tak memberi kesempatan baginya untuk membuka serangan.
"Mau lari ke mana, Iblis"!" dengus Malaikat Tanpa Bayangan yang marah setelah melihat bagaimana pemuda-pemuda itu menjadi sosok-sosok yang menyedihkan. Pemuda yang menjadi budak serbuk iblis, tubuhnya bagaikan tak berdarah.
Selain itu Malaikat Tanpa Bayangan telah telanjur marah dan tersinggung terhadap Dewa Pedang yang kini menjadi pemimpin Serikat Serigala Merah.
Itulah sebabnya, mengapa Ketua Perguruan Tapis Putih ini keluar dari perguruannya setelah puluhan tahun tak ikut meramaikan rimba persilatan. Ilmu-ilmu silat tangguh yang telah dikuasainya seperti 'Malaikat Memburu Arwah', 'Gema Maut Pekikan Malaikat', terpaksa dikeluarkan dalam pertempuran kali ini.
"Heaaa...!" Dengan jurus 'Gencar Malaikat Memburu Arwah', yang mampu membunuh bangsa siluman, Malaikat Tanpa Bayangan mendesak lawan dengan gencar. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah lawan. Celaka! Dia bukan sembarangan. Julukan Malaikat Tanpa Bayangan bukanlah julukan kosong! Desis Gempal Sudra dalam hati.
Lelaki bertubuh gempal itu harus mengakui kehebatan ilmu lawannya. Namun begitu, dia tak ingin menunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Gempal Sudra terus berusaha mengelakkan serangan lawan, sambil sesekali balas menyerang.
Tapi tampaknya Malaikat Tanpa Bayangan tak memberi ruang gerak sedikit pun bagi lawan untuk membalas menyerang. Tokoh tua itu terus mendesak dengan serangan-serangan gencar. Dan...
Degk! "Hugk! Akh...!" Tubuh Gempal Sudra terhuyung ke belakang dengan mata melotot. Dari mulutnya meleleh darah segar. Sesaat tubuhnya meregang, lalu ambruk tanpa nyawa.
"Malaikat Tanpa Bayangan! Pendekar Gila, ku-tunggu kalian di Bukit Siluman...!" terdengar suara Dewa Pedang, tepat ketika tubuh Gempal Sudra ambruk.
"Keparat! Jangan lari, Pengecut!" seru Malaikat Tanpa Bayangan mengejar, diikuti Pendekar Gila.
Melihat keduanya mengejar Dewa Pedang, Gajah Bedeg, dan rekan-rekannya pun memburu. Hal itu membuat para pendekar yang berpihak pada Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan turut mengejar.
Kini di Desa Piring Ceper, tinggal para prajurit yang masih bertarung sengit Namun tidak lama kemudian, prajurit pemberontak dapat dikalahkan oleh para prajurit Kerajaan Sunda Layung pimpinan Patih Prameswari.

***



::₪| 9 |₪::

Bukit Siluman yang terletak di sebelah selatan Hutan Warangrang malam itu tidak begitu gelap. Angin bertiup kencang, seperti akan terjadi badai. Bulan perlahan-lahan merangkak dari ufuk timur, menerangi sekeliling Bukit Siluman.
Binatang-binatang malam terdengar merdu berdendang, namun terasa membuat bulu kuduk berdiri. Terlebih suara burung hantu yang mengeluh, ditingkahi lolongan anjing hutan yang menyayat dan memilukan. Malam itu, merupakan malam purnama ketiga.
Malam yang dijanjikan Dewa Pedang untuk menantang Malaikat Tanpa Bayangan, juga pada Pendekar Gila yang dianggapnya telah membunuh muridnya.
Seorang lelaki berjubah putih dengan pedang tersandang di punggungnya nampak berlari ke arah Bukit Siluman. Lelaki tua yang tak lain Dewa Pedang itu nampaknya ingin menunjukkan kalau dirinya bukan pengecut. Tantangan yang pernah diberikan pada Malaikat Tanpa Bayangan, serta dendam pada Pendekar Gila akan dituntaskannya malam ini.
Tidak lama berselang, nampak dua orang lelaki memburu ke arah Bukit Siluman. Seorang lelaki muda berambut gondrong dengan baju rompi kulit ular, yang tidak lain adalah Pendekar Gila. Sedangkan seorang lagi lelaki bercaping daun pandan dengan baju panjang berwarna hijau lumut, adalah Malaikat Tanpa Bayangan. Di belakang mereka sekitar sembilan orang tokoh rimba hitam yang dipimpin Gajah Bedeg bergerak menyusul. Bukit Siluman yang semula sepi dan terkenal angker, malam itu bagaikan tak berdaya menolak kehadiran mereka.
Tak berapa lama kemudian, muncul para prajurit kerajaan yang dipimpin Patih Prameswari. Mereka nampaknya ingin menyaksikan pertarungan seru antara Dewa Pedang melawan dua pendekar.
"Bagus! Kalian datang berdua! Dengan begitu, tak sulit bagiku untuk mengirim kalian ke neraka!" se-ru Dewa Pedang dengan mata menatap tajam pada Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan yang masih tenang. Sedangkan Pendekar Gila yang konyol, kini tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrakan seperti ke-ra.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua! Mengapa harus main sembunyi-sembunyi. Ah, sungguh memalukan sekali! Dewa Pedang yang terkenal gagah berani, tak ubahnya seperti kecoa busuk!" seru Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Dewa Pedang mendengus. Matanya yang tajam menatap Pendekar Gila. Kemudian tatapannya beralih pada Malaikat Tanpa Bayangan yang tampak masih bersikap tenang.
"Anak muda, menyingkirlah! Kami ada urusan.
Lagi pula, rasanya tak enak jika kita main keroyok," ujar Malaikat Tanpa Bayangan pelan.
"Aha, benar juga katamu! Mengapa kita mesti berdua" Kurasa tikus tua itu cukup kau hadapi sendi-ri, Ki," sahut Sena dengan cengengesan. Kemudian kakinya melangkah mundur untuk memberi kesempatan pada Malaikat Tanpa Bayangan menyelesaikan masalahnya.
"Dewa Pedang, aku telah datang memenuhi tan-tanganmu. Sebenarnya dari dulu aku ingin mencarimu. Namun karena aku menghormatimu, maka niatku ku urungkan. Nah! Apa yang hendak kau lakukan setelah menantangku?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan dengan suara yang masih terdengar tenang.
"Ki Asem Gede, seperti apa yang kutulis di pohon ara di depan perguruanmu, aku bersumpah akan menyingkirkan mu dan Pendekar Gila yang telah membunuh muridku!" Ki Asem Gede alias Malaikat Tanpa Bayangan tersenyum sinis, mendengar penuturan Dewa Pedang.
"Kau kira begitu gampang, Dewa Pedang?"
"Ya!"
"Anak muda, jelaskan padanya siapa sesungguhnya Sumantri dan kedua naga api," pinta Ki Asem Gede.
"Aha, baiklah! Biar kau tak penasaran, aku akan menjelaskannya, Dewa Pedang. Sumantri, murid kesayangan mu itu tiada lain iblis yang berbentuk manusia. Dia tega-teganya memfitnah Anjasmara...." Kemudian dengan panjang lebar Pendekar Gila menceritakan semua yang dialami di Lembah Akherat, sampai dia tahu siapa sebenarnya Sumantri dan siapa pula kedua naga api. Tak lupa juga Pendekar Gila menjelaskan siapa adanya bocah sakti.
"Nah, semoga kau puas, Dewa Pedang!" seru Sena diikuti gelak tawanya, serta tingkah lakunya yang konyol.
"Cuih! Pintar sekali kau mengarang cerita, Bocah Gila! Tapi Dewa Pedang tak semudah itu akan percaya! Rupanya kau takut menghadapiku!" dengus De-wa Pedang sambil meludah. Matanya semakin tajam menatap Pendekar Gila.
"Terserah! Kau memang tikus keras kepala yang pengecut, Dewa Pedang. Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila"!" maki Dewa Pedang gusar. Lelaki tua berjubah putih itu hendak menyerang ke arah Pendekar Gila, tapi dengan cepat Malaikat Tanpa Bayangan menghadangnya.
"Urusanmu denganku belum beres, Dewa Pedang!"
"Bagus! Rupanya kau memang ingin mampus lebih dahulu, Asem Gede! Bersiaplah...!" Sring! "Aku telah siap!" sahut Malaikat Tanpa Bayangan. Sring! Kini kedua tokoh tua itu telah mencabut pedang masing-masing dari warangkanya. Dari kedua bilah pedang itu, mengeluarkan sinar merah dan putih keperakan. Kaki keduanya menyurut ke belakang dengan langkah yang teratur. Mata mereka saling menatap tajam.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Dengan didahului pekikan keras menggelegar yang memecahkan kesunyian malam di Bukit Siluman, keduanya melesat saling menyerang dengan pedang di tangan. Wut! Wut..! Trang! Dewa Pedang yang telah bernafsu hendak segera membunuh Malaikat Tanpa Bayangan, tak segansegan mengeluarkan jurus 'Pedang Darah Mencabut Nyawa'. Pedang yang mampu mengeluarkan cahaya merah itu bergerak laksana kilat, memburu ke arah Malaikat Tanpa Bayangan.
"Yeaaa...!" Menyaksikan lawan membuka serangan dengan jurus pamungkasnya, Malaikat Tanpa Bayangan pun tak mau kalah. Dengan cepat dikerahkannya jurus 'Malaikat Mencabut Nyawa' yang merupakan jurus pamungkas.
"Heaaa...!" Kedua jurus yang mereka keluarkan, merupakan jurus-jurus tingkat tinggi yang belum sama-sama mereka perlihatkan. Karena, jurus-jurus itu mereka ciptakan setelah keduanya berpisah selama tiga puluh tahun. Tubuh keduanya melesat begitu cepat laksana terbang. Pedang di tangan mereka bergerak cepat, membabat dan menusuk tubuh lawan. Karena begitu cepatnya gerakan yang dilakukan kedua tokoh tua itu, wujud mereka sampai tak terlihat. Yang nampak hanya sinar putih keperakan dan merah menyala.
Trang! Benturan kedua pedang terjadi. Dentang nyaring disertai percikan bunga api keluar dari benturan pedang. Keduanya melompat ke belakang dengan posi-si agak jongkok. Mata mereka saling tatap dengan tajam.
Kemudian dengan pekikan menggelegar, keduanya kembali melakukan serangan.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Malaikat Tanpa Bayangan terus berusaha memburu lawannya dengan tebasan dan tusukan cepat. Sinar putih keperakan bergulung-gulung, menyerang ke arah Dewa Pedang. Sementara itu pula, di dalam tubuh Dewa Pedang tengah bergetar hebat karena menahan kekuatan gaib yang keluar dari pedangnya.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Kembali terdengar teriakan keras menggelegar mengiringi serangan kedua tokoh tua itu.
Wut! Bet! Trang! "Heaaa!" Setelah terjadi benturan keras, Dewa Pedang membabatkan Pedang Darahnya ke kepala lawan. Malaikat Tanpa Bayangan yang melihat gerakan lawan, dengan cepat merundukkan tubuh. Sehingga sabetan pedang bersinar merah itu meleset beberapa jari saja di atas kepalanya. Kemudian tanpa membuang waktu, Malaikat Tanpa Bayangan langsung menusukkan pedangnya sebagai serangan balasan.
"Yeaaa!"
"Heit..!" Dewa Pedang tersentak kaget, ketika tahu-tahu pedang Malaikat Tanpa Bayangan meluncur deras ke dadanya. Dewa Pedang pun langsung melompat cepat ke belakang mengelakkan serangan berbahaya itu. Kemudian dengan gerak cepat Pedang Darahnya ditebaskan ke arah pedang lawan.
Trang! Pijaran bunga api keluar dari kedua pedang sakti itu. Diikuti oleh melompatnya tubuh masingmasing ke belakang. Kemudian dengan didahului pekikan keras, keduanya kembali menggebrak.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Dewa Pedang terus berusaha mengalahkan lawannya secepat mungkin. Pedang Darah di tangannya yang mengandung kekuatan dahsyat memburu Malaikat Tanpa Bayangan, hingga pada suatu kesempatan.
Wut! Pedang Darah menderu ke arah Malaikat Tanpa Bayangan. Dengan cepat lelaki tua berjubah hijau lumut itu merundukkan kepala, berusaha menghindar.
Namun tak urung capingnya terbabat pedang lawan.
Cras! Malaikat Tanpa Bayangan tersentak kaget. Tubuhnya berguling mengelakkan sabetan pedang lawan.
Namun, Dewa Pedang yang sudah dikuasai kekuatan dari Pedang Darah, terus memburu dengan tebasantebasan ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan yang terus berguling.
Dalam keadaan terpepet itu, tiba-tiba....
Trang! "Ukh...!" Dewa Pedang mengeluh, saat pedangnya berbenturan dengan senjata di tangan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Rupanya kini bagianmu, Bocah Gi-la!"
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak sambil berusaha membantu Malaikat Tanpa Bayangan bangkit berdiri.
"Kurasa kau terlalu sombong, Tua Bangka!"
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah! Heaaa...!"

***

Dengan penuh dendam dan amarah, Dewa Pedang segera melesat untuk menyerang Pendekar Gila yang masih menarik Malaikat Tanpa Bayangan untuk bangkit berdiri.
"Aha, rupanya kau tak sabar, Kecoa!" dengus Sena melihat serangan cepat yang dilancarkan Dewa Pedang. Dengan cepat didorongnya tubuh Malaikat Tanpa Bayangan ke samping, sedangkan dirinya langsung bersalto mengelakkan serangan lawan.
"Yeaaa...! Tembus dadamu!" Wut..! "Aha! Belum, Kecoa Busuk!" ejek Pendekar Gila sambil masih berjumpalitan di udara. Kemudian dengan cepat tangannya bergerak dalam jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melayang laksana terbang sambil tangannya bergerak dengan jarijari membentuk cakar. Lalu menukik, mencengkeram ke arah lawan. Wuttt..! "Heit! Setan alas!" maki Dewa Pedang sambil menggeser kaki ke samping. Lalu disusul dengan tusukan pedangnya ke arah Pendekar Gila.
"Aha! Rupanya kau menganggapku sate, Kecoa Busuk!" dengus Sena sambil menarik serangannya.
Kemudian dengan cepat dia bergerak mengelit. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan tusukan-tusukan yang dilancarkan Dewa Pedang ke arah dada dan perutnya. Sesekali tubuhnya miring ke kanan, kemudian meliuk ke kiri. Sambil mengelakkan tusukan pedang lawan, dengan cepat pula melakukan gerakan menepuk ke dada lawan dalam jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' "Heaaa...!" Kaki mereka melangkah secara beraturan, saling berusaha menyapu ke arah kaki lawan. Sedangkan tangan keduanya yang memegang senjata, juga turut bergerak, berusaha memasukkan serangan ke tubuh lawan. Sementara Pendekar Gila masih menghadapi Dewa Pedang, tokoh-tokoh rimba hitam yang ada di tempat itu nampaknya berusaha membantu Dewa Pedang. Namun, sebelum mereka sempat melangkah, para pendekar yang dibantu prajurit-prajurit kerajaan dengan cepat menangkap mereka. Pertarungan antara Pendekar Gila melawan Dewa Pedang bertambah seru. Dewa Pedang yang telah terbakar dendam kesumat terhadap Pendekar Gila, terus menyerang dengan tusukan dan sabetan pedangnya. Tangannya yang bergerak begitu cepat membuat pedangnya berkelebat begitu cepat memburu lawan.
"Wah! Gila...!" seru Sena sambil meliukkan tubuh ke kanan, terkejut mendapat tusukan yang tibatiba dan cepat itu.
Dewa Pedang terus memburu dengan tusukan dan sabetan pedang ke arah Pendekar Gila. Tubuhnya melenting ke udara. Dan Pedang Darah yang mengandung kekuatan gaib pun bergerak cepat "Heaaa...!"
"Heits! Hih...! Dengan terus meliukkan tubuh, Pendekar Gila melancarkan serangan dengan tepukan tangannya.
Namun rupanya gerakan 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang dilancarkannya telah dapat dibaca Dewa Pedang. Sehingga....
Wuttt! Dewa Pedang memburu cepat. Menusukkan pedangnya ke dada Pendekar Gila.
"Hah..."!" Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan cepat tubuhnya meliuk untuk mengelak. Namun....
Bret! "Setan!" maki Sena, ketika dadanya yang tak tertutup rompi tergores Pedang Darah. Dari goresan itu, meleleh darah segar. Pendekar Gila segera melompat ke belakang dengan mata melotot "Ha ha ha...!" Dewa Pedang tertawa tergelak-gelak, merasa telah mampu melukai Pendekar Gila.
"Kini saatnya kematianmu, Pendekar Gila!" Pendekar Gila tampak cengengesan sambil menyeka darah yang keluar dari luka di dadanya. Sementara para pendekar dan prajurit Kerajaan Sunda Layung nampak tegang. Mereka khawatir kalau Pendekar Gila akan kalah.
"Hi hi hi...! Hebat juga jurus pedangmu, Kecoa Busuk!" dengus Pendekar Gila.
"Kurasa aku memang harus berhati-hati menghadapi kecoa macammu.
Hm.... Mari kita lanjutkan!" Terbelalak mata Dewa Pedang menyaksikan Pendekar Gila tak apa-apa. Sepertinya pemuda berbaju rompi kulit ular itu tak mempan oleh racun yang keluar dari pedangnya.
"Bocah gila! Rupanya kau memang harus mampus!"
"Aha, kalau itu memang kau bisa, Kecoa!"
"Kurang ajar! Akan kubuktikan! Heaaa...!" Dengan semakin bertambah marah menyaksikan Pendekar Gila tak terpengaruh sedikit pun oleh racun Pedang Merah, Dewa Pedang kembali menyerang Pendekar Gila dengan jurus gabungannya. Perpaduan jurus 'Pedang Darah Mencabut Nyawa' dan jurus 'Geledek Sewu' yang merupakan jurus pukulan maut kini dilakukan Dewa Pedang.
Dewa Pedang benar-benar bermaksud menghancurkan dan membinasakan Pendekar Gila. Itu sebabnya dia memadukan jurus-jurus pamungkasnya dengan ajian tingkat tinggi.
"Heaaa...!" Pekikan keras menggelegar mengiringi serangan pedang Dewa Pedang.
Wut! Ctar! Sabetan dahsyat dan pukulan menggelegar keluar dari jurus-jurus Dewa Pedang yang tubuhnya telah kembali mencelat menyerang Pendekar Gila.
Mendapatkan serangan begitu, Pendekar Gila segera merundukkan tubuhnya. Kemudian dengan cepat melompat ke kiri dan kanan. Dan ketika mendapat kesempatan, Pendekar Gila segera balas menyerang dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Hosss!" Kedua tangannya disatukan, kemudian direntangkan ke atas. Dengan mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Gila kembali menarik kedua tangannya sampai di pinggang. Lalu dengan diikuti pekikan menggelegar, Pendekar Gila bergerak menyerang dengan pukulan-pukulan telapak tangannya.
"Keaaa...!" Wut! Wut! Jlegar! Kalau saja Dewa Pedang tidak buru-buru menarik serangannya dan mengelak, tubuhnya akan hancur lebur terhantam serangan Pendekar Gila. Pukulan dahsyat jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' itu menghantam tanah tempat Dewa Pedang tadi berdiri.
Seketika tanah bersemburan hingga terbentuk lubang besar. Seketika tanah di Bukit Siluman bergetar hebat karena pukulan dahsyat yang dilancarkan Pendekar Gila. Dewa Pedang pun tersentak. Baru disadarinya kini kalau lawan yang masih muda itu ternyata bukan pendekar sembarangan.
"Heaaa...!" Pendekar Gila yang marah akibat luka di da danya, kembali menyerang. Pukulan-pukulan dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dilontarkan untuk menggempur Dewa Pedang.
Mau tak mau Dewa Pedang harus melompat ke sana kemari dan sesekali melenting tinggi untuk menghindar. Dia tentu saja tak ingin tubuhnya hancur lebur seperti tanah yang terkena hantaman pukulan Pendekar Gila.
Rupanya dia bukan sembarangan pendekar! Gumam Dewa Pedang dalam hati. Namun dia tetap berusaha membendung serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Gila, dengan sabetan dan tusukan Pedang Darahnya.
"Yeaaa...!" Pedang di tangan Dewa Pedang memburu cepat ke arah Pendekar Gila, diikuti pukulan geledeknya yang menggelegar.
"Heaaa...!" Wut! Wut! Cletar...! "Heits! Hop! Heaaa...!" Pendekar Gila melompat ke samping, lalu dengan cepat balas menyerang dengan pukulan-pukulan jurus pamungkasnya.
Pertarungan semakin seru, ketika bulan purnama semakin naik dan tepat di atas kepala. Di bawah cahaya bulan purnama tampak tubuh mereka berkele-batan saling menyerang. Teriakan-teriakan keras mengiringi setiap serangan mereka.
Warna merah Pedang Darah di tangan Dewa Pedang bergulung cepat, melaju ke arah Pendekar Gila.
Melihat hal itu, Pendekar Gila tersentak, lalu dengan cepat bergerak melompat untuk menghindar. Namun Pedang Darah bergerak lebih cepat Dan....
Bret! "Ukh! Setan...!" maki Sena, ketika pedang lawan kembali membabat tubuhnya.
Pundaknya yang tak tertutup pakaian kulit ular tergores. Darah meleleh keluar.
"Ha ha ha...!" Dewa Pedang kembali tertawa tergelak-gelak menyaksikan Pendekar Gila terluka oleh pedangnya.
Sementara, para pendekar kini membelalakkan matanya. Ada rasa khawatir di hati mereka menyaksikan Pendekar Gila kembali tersambar Pedang Darah.
"Rupanya hanya segitu kepandaianmu, Bocah!" ejek Dewa Pedang.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak.
"Aha, kurasa kau semakin keras kepala, Kecoa busuk! Hhh...! Baiklah, kita tentukan siapa yang harus ming-gat dan dunia!"
"Kaulah yang akan ke akhirat, Bocah!"
"Aha, kita buktikan!" Srt! Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya. Matanya menatap tajam pada Dewa Pedang. Sulingnya digerakkan menyilang ke kiri, kemudian dengan tangan kiri menempel di dada, Pendekar Gila membuka gerakan.
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang ingin mampus, Bocah!" ujar Dewa Pedang mengejek, menyaksikan jurus Pendekar Gila yang seperti gerakan seekor monyet Kaki kanan Pendekar Gila ditarik ke belakang, kemudian ditekuk membentuk siku. Matanya terpejam, lalu kaki kanannya dilangkahkan ke depan dengan sentakan tangan kanan. Disusul dengan kaki kiri ditekuk, kemudian digeser ke samping diikuti sentakan tangan kiri.
Jika saja Dewa Pedang tahu jurus apa yang sedang dikerahkan Pendekar Gila, lelaki tua berjubah putih itu tak akan menganggap enteng. Itulah jurus 'Tamparan Sukma'. Sebuah jurus sakti yang kekuatannya mampu menghancurkan bangsa siluman dan meleburkan batu menjadi tepung.
"Heaaa...!"
"Mampuslah kau, Bocah!" Merasa jurus yang kini dilakukan Pendekar Gila tak ada apa-apanya, Dewa Pedang yang sudah mabuk kemenangan, seketika mencelat hendak menyerang. Tubuhnya melayang ke atas dengan pedang terayun di udara. Pedang Darahnya digerakkan menusuk dan membabat ke arah lawan.
"Heaaa...!" Wut! Pendekar Gila yang kini menggunakan mata batin segera mengangkat kaki kiri, kemudian menggeser ke samping. Bersamaan dengan tubuh lawan yang meluruk ke bawah hendak menyerang, saat itu juga tangan kirinya digerakkan menampar ke arah lawan.
Dan.... Prat! Jlegar! "Aaakh...!" Dewa Pedang melolong keras menyayat hati.
Tubuhnya yang hendak menyerang, seketika terlontar ke belakang. Pada saat itu pula, dengan cepat Pendekar Gila meniup Suling Naga Sakti dan mengarahkan mata Naga Sakti ke tubuh Dewa Pedang yang sedang bersalto. Maka....
Slarts! Slarts! Dua larik sinar merah membara melesat keluar dari mata Naga Sakti memburu tubuh Dewa Pedang.
Kemudian tanpa dapat dielakkan lagi, kedua sinar itu menghantam tubuh Dewa Pedang. Jlegar! "Aaa...!" Pekik kematian seketika terdengar, bersamaan dengan hancurnya tubuh Dewa Pedang menjadi tepung yang beterbangan, ketika angin bertiup.
Sementara itu para tokoh di bawah pimpinan Gajah Bedeg terbelalak kagum bercampur ngeri menyaksikan kedahsyatan ilmu yang dikerahkan Pendekar Gila. Mereka semakin ketakutan dan tergetar. Kemudian diam-diam mereka meninggalkan tempat itu dengan rasa takut.
"Kukuruyuuuk....!" Hari pun menjelang pagi. Sambil tertawa bergelak-gelak dan berjingkrakan seperti orang gila, Pendekar Gila melangkah seiring dengan para pendekar lain meninggalkan Bukit Siluman.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Perjalanan Ke Akherat --oo0oo-- Kalung Keramat Warisan Iblis


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.