Life is journey not a destinantion ...

Pedang Penyebar Maut

INDEX PENDEKAR GILA
Titisan Dewi Kwan Im --oo0oo-- Mawar Maut Perawan Tua

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja

::₪| 1 |₪::

Suasana Desa Padas Gempal yang terletak di kaki Bukit Sigar malam itu nampak hiruk-pikuk. Api berkobar-kobar menggapai angkasa. Lalu semakin membesar tatkala tertiup angin malam. Jeritan ketakutan terdengar menggema, memecah kesunyian malam. Setelah menjarah Desa Padas Gempal dan merampok harta penduduk, Tiga Setan Rambut Api membakar desa itu. Kebiasaan itu tidak pernah hilang dari dulu. Itu sebabnya sepak terjang mereka cepat diketahui, karena mereka memiliki ciri khas tersendiri. Mereka akan membakar desa yang telah dirampok.
Kini ketiga tokoh sesat berpakaian serta berambut merah itu telah berada di sebelah timur Desa Padas Gempal sambil tertawa-tawa senang, menyaksikan hasil dari tindakan mereka yang biadab. Sudah merampok penduduk desa, membakar pula (Mengenai Tiga Setan Rambut Api, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").
"Ha ha ha...!"
"Dasar Setan...!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras, diikuti berkelebatnya dua bayangan lelaki.
Orang yang di depan mengenakan pakaian warna jingga.
Sedangkan di belakangnya seorang lelaki berbadan tegap dan berpakaian coklat tua. Keduanya melesat ke arah Tiga Setan Rambut Api yang seketika tersentak dan menghentikan tawa mereka.
Mata Tiga Setan Rambut Api memandang penuh selidik ke arah dua lelaki yang baru datang. Lelaki yang berbaju jingga berusia sekitar lima puluh tahun dan bertubuh tinggi kurus, namun berotot. Seorang lagi lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun, berbadan tegap dengan otot menonjol kekar.
Wajahnya nampak garang. Tentunya lelaki muda berwajah garang ini pengawal lelaki berpakaian jingga.
Wajah lelaki berpakaian lengan panjang berwarna jingga nampak memerah karena marah. Lelaki itu berkumis panjang melintang. Rambutnya terurai dengan ikat kepala berwarna jingga pula. Matanya tajam dengan alis mata tipis. Hidungnya mancung. Lelaki ini adalah Kepala Desa Padas Gempal yang bernama Ki Adi Pamukti.
Sedangkan lelaki muda bertubuh tegap dengan wajah garang yang menjadi pengawalnya bernama Samparan. Dialah jawara di Desa Padas Gempal ini.
"Ha ha ha...!" Tiga Setan Rambut Api kembali tertawa terbahak-bahak setelah melihat siapa yang datang.
"Rupanya kau, Kepala Desa Tolol!" dengus Untara.
Matanya mencorong tajam, menyiratkan kebengisan.
"Mau apa kau, Orang Tua Tolol"!" sambung Undani, tak kalah keras. Matanya juga memandang tajam penuh kebengisan. Tangan kanannya yanag memegang cambuk, kini digerak-gerakkan.
"Ha ha ha...! Apakah kau datang untuk memberi kami upeti, heh"!" ledek Umbakara, orang termuda dari Tiga Setan Rambut Api.
Napas Ki Adi Pamukti dan Samparan tampak turun naik. Amarah di dalam dada mereka bergejolak, seakan sulit dibendung lagi. Apalagi jika ingat desa mereka yang dibumihanguskan oleh ketiga lelaki dari aliran sesat itu.
"Tiga Setan Rambut Api! Kuakui nama kalian memang menyeramkan! Tapi Adi Pamukti tak akan gentar menghadapi kalian! Kejahatan kalian harus dihentikan!" dengus Ki Adi Pamukti tak kalah gertak.
Tangannya mengepal, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Matanya memandang tiga tokoh sesat yang ada di hadapannya dengan seksama. Setiap gerakgerik Tiga Setan Rambut Api yang terkenal licik, diperhatikannya.
"Ha ha ha...! Ucapanmu sungguh hebat, Ki! Hm....
Apakah kau kira gampang mengalahkan kami?" tanya Untara dengan nada sinis.
Seakan merendahkan lelaki tua di hadapannya. Bahkan senyumnya ber-kesan mengejek. Undani dan Umbakara turut tertawa terbahakbahak, mengejek Ki Adi Pamukti yang masih tampak tenang.
"Kuakui kalian memang bukan iblis sembarangan.
Namun untuk membela kebenaran dan keadilan, aku siap mati!" tegas Ki Adi Pamukti.
"Hm.... Apa kau mengandalkan lelaki tolol di belakangmu" Sehingga kau berani menantang kami?" bentak Undani. Napas Ki Adi Pamukti semakin memburu. Gigigiginya bergemeletuk keras. Matanya berkilat penuh amarah. Jari tangannya meremas-remas geram.
"Bedebah! Kalian telah banyak memakan korban! Kalian harus mati!" dengus Ki Adi Pamukti.
"Ha ha ha...! Bukan sebaliknya, Orang Tua Tolol"!" ejek Untara.
"Kurang ajar! Yeaaat...!" Dengan jurus 'Bangau Terbang Mematuk Ikan', Ki Adi Pamukti bergerak menyerang Untara. Kedua tangannya direntang lebar dengan kaki kanan diangkat membentuk siku. Kemudian bagai seekor bangau, Ki Adi Pamukti mematukkan tangan kanan dan kiri bergantian. Lalu diikuti olch tendangan dan cengkeraman.
Sementara Samparan yang melihat Ki Adi Pamukti telah menyerang, tidak tinggal diam. Dia pun melesat untuk membantu kepala desanya.
"Heaaat...!" Melihat Samparan menyerang, Undani dan Umbakara segera menghadang. Keduanya langsung menarik cambuk yang menjadi senjata andalan mereka.
"Mampuslah kau, Tolol!" dengus Umbakara seraya melecutkan cambuk ke tubuh Samparan. Ctar! "Uts!" Samparan berusaha mengelak, dan berhasil. Tapi dari arah lain Undani telah melanjutkan serangan adiknya dengan lecutan cambuk pula.
"Yiaaat..!" Ctarrr! "Uts! Hop...!" Kembali Samparan dapat mengelakkan serangan tersebut. Kemudian, setelah mengeluarkan goloknya, Samparan cepat balas menyerang dengan jurus 'Langsat Belah'. Tubuhnya berputar seraya membabatkan senjatanya ke arah lawan.
"Yiaaat..!"
"Uts! Bisa juga kau unjuk gigi, Kerbau Dungu!" dengus Umbakara sambil mengelitkan serangan lawan, lalu dengan cepat dia kembali menyerang. Dengan jurus 'Tapak Setan Neraka' yang dibarengi oleh lecutan cambuk, Undani dan Umbakara memburu Samparan.
Ctar, ctar...! Bret! "Aaakh...!" Samparan memekik keras. Kepalanya tengadah, ketika tubuhnya terbabat cambuk kedua lawannya.
Matanya membelalak lebar. Di punggung dan dadanya menancap jarum-jarum maut yang keluar dari cambuk di tangan Undani dan Umbakara. Tubuh Samparan ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Ternyata kerbau dungu ini hanya begini kemampuannya!" kata Undani dengan suara angkuh.
Sementara itu pertarungan antara Ki Adi Pamukti dengan Untara masih berlangsung seru.
"Hih! Heaaat...!" Untara berkelit dengan jurus 'Bayangan Arwah'.
Disusul dengan serangan keras yang menggunakan jurus 'Tapak Setan Neraka'.
Tubuhnya berkelit begitu cepat laksana bayangan. Sedangkan tepakan tangannya mampu mengeluarkan deru angin yang keras.
"Uts!" Ki Adi Pamukti tersentak kaget. Dengan cepat dia mengepakkan tangan kiri ke bawah untuk menangkis tepakan tangan lawan. Kemudian secepat itu pula, Ki Adi Pamukti melancarkan serangan dengan patukan tangan kanannya ke wajah lawan.
Wut! "Uh! Ets...!" Tubuh Untara tersurut ke samping. Kakinya ditekuk membentuk siku. Dengan tetap menggunakan jurus semula, Untara kembali menyerang. Sementara Untara menghadapi Ki Adi Pamukti, kedua adiknya tampak tersenyumsenyurn sambil menyaksikan pertarungan itu.
"Ayo, Kakang! Habisi saja orang tua tolol itu!" seru Undani dan Umbakara memberi semangat pada kakaknya yang terus menyerang dengan gempuran-gempuran dahsyat, membuat Ki Adi Pamukti terdesak.
"Hiaaat...!" Dengan jurus 'Terkaman Setan Merobek Nyawa', Untara terus berusaha merangsek Ki Adi Pamukti Namun orang tua itu dengan cepat berkelit menggunakan jurus 'Bangau Terbang Membelah Angin' yang dilanjutkan dengan jurus 'Gempuran Paruh Bangau'.
"Yiaaat...!" Tangan Ki Adi Pamukti bergerak laksana paruh bangau, mematuk ke sana kemari dengan cepat. Sasarannya kini tertuju ke dada dan wajah lawan.
Kakinya juga tidak mau diam, menyodok ke perut lawan.
"Heaaat..!" Ki Adi Pamukti mengarahkan saru tendangan ke perut lawan. Namun dengan cepat Untara menggeser tubuh ke sampjng, dilanjutkan dengan jotosan ke wajah lawan.
"Heit!"
"Uts...!" Ki Adi Pamukti mengelak dengan menekuk leher ke samping kanan, disertai dengan menggeser kakinya ke kanan. Kemudian dengan cepat tubuhnya dirundukkan ke bawah.
Disusul dengan sebuah jotosan ke arah perut lawan dengan jurus 'Paruh Bangau Mematuk Ikan'. Tangan Ki Adi Pamukti yang meruncing, menusuk ke perut dan ulu hati lawan dengan cepat "Hiaaat...!" Untara tersentak kaget. Segera tubuhnya mengeHt dua tindak ke belakang. Kemudian dengan cepat tangan kirinya menepis serangan lawan. Sedangkan tangan kanannya dengan cepat pula menghantam dengan pukulan 'Sandra Pemecat Nyawa' ke dahi Ki Adi Pamukti yang tengah merunduk.
Wut! Angin pukulan panas menderu ke arah kening Ki Adi Pamukti, membuat orang tua itu tersentak kaget.
Matanya membelalak, menyaksikan telapak tangan Untara kini membara bagai dibakar api.
"Uhhh...!" keluh Ki Adi Pamukti.
Dengan cepat Kepala Desa Padas Gempal itu berusaha mengelakkan serangan lawan. Namun serangan lawan begitu cepat, seperti tidak memberi kesempatan bagi Ki Adi Pamukti untuk dapat lepas dari ancaman maut Ke mana pun Ki Adi Pamukti mengelak, Untara terus memburunya.
Ki Adi Pamukti benar-bena terdesak oleh serangan yang demikian gencar. Apalagi yang menyerang bukan orang sembarangan. Lawannya adalah seorang dari Tiga Setan Rambut Api, yang namanya cukup terkenal di rimba persilatan. Meski begitu, Ki Adi Pamukti tampaknya tidak mau mengalah begitu saja. Tubuhnya terus bergerak mengelakkan serangan-serangan lawan.
"Ayo, Kakang! Habisi dia...!" seru Umbakara dengan wajah gemas, bagai tak sabar melihat kakaknya yang belum juga menyudahi pertarungan.
"Ambil saja cambukmu, Kakang!" timpal Undani, juga tak sabar melihat pertarungan yang berlarut-larut dan kelihatannya akan memakan waktu cukup lama.
Untara juga merasa jengkel karena lawannya yang semula dianggap tidak memiliki apa-apa, ternyata mampu menghadapinya sampai puluhan jurus.
"Keparat! Orang tua ini rupanya berisi juga," geram Untara. Segera tangan kanannya melepas pukulan ke dada lawan, disusul dengan tendangan ke selangkangan. Sedangkan tangan kirinya menyikut ke tulang iga lawan. Sebuah jurus yang sangat cepat bernama 'Bahana Merenggut Nyawa', kini dikeluarkan oleh Untara dalam usaha menyudahi pertarungan itu.
"Uts! Hop...!" Ki Adi Pamukti yang tanggap akan keadaan itu, segera melompat ke belakang, mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat kembali menggempur dengan jurus 'Sambaran Bangau Sakti'. Tangannya mengepak ke samping. Salah satu kakinya diangkat membentuk siku. Kemudian dengan cepat, tangan kanan dan kirinya bergerak menyambar dengan pukulan-pukulan keras, ditunjang oleh tendangan dan gerakan mengelak.
"Hiaaat..!"

***

Untara terus menggebrak dengan jurus-jurus saktinya, berusaha secepat mungkin untuk menyudahi pertarungan itu. Tetapi Ki Adi Pamukti nampaknya tidak mau dihabisi begitu saja. Tubuhnya pun terus bergerak mengelakkan serangan lawan, disusul dengan serangan balasan yang tidak kalah cepat "Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Undani dan Umbakara tak sabar menyaksikan pertarungan antara kakaknya melawan Ki Adi Pamukti. Mereka juga cemas, kalau-kalau warga desa yang saat itu tengah panik oleh kobaran api akan datang membantu kepala desanya. Tentu mereka akan semakin repot kalau warga desa membantu.
"Ah! Mengapa lama sekali, Kakang! Ambil saja cambukmu!" dengus Undani, merasa tidak sabar lagi melihat pertarungan kakaknya melawan Ki Adi Pamukti yang berlangsung alot. Sesekali matanya melihat ke arah Desa Padas Gempal yang hirukpikuk oleh jeritan histeris warga desa yang rumahnya terbakar.
Merasa serangan-serangannya tidak juga menghasilkan kemenangan dan dirasa lawan cukup tangguh, Untara segera melolos cambuknya. Dengan penuh amarah, cambuknya diputar di atas kepala.
dengan jurus 'Lecutan Cambuk Buana', cambuknya dihantamkan ke arah Ki Adi Pamukti. Wut! Ketika cambuk Untara nyaris menghantam tubuh Ki Adi Pamukti, sebuah bayangan putih berkelebat dengan tangan menggenggam pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan, dan membabat cambuk yang masih berada di udara.
"Hiaaat!" Prat! Tiga Setan Rambut Api tersentak dengan mata membelalak, menyaksikan cambuk di tangan Untara putus menjadi dua, karena terbabat pedang di tangan seorang gadis Cina yang sangat mereka kenal.
Di hadapan Tiga Setan Rambut Api dan Ki Adi Pamukti kini berdiri seorang gadis cantik dengan rambut digelung dua ke atas. Pakaian yang dikenakan gadis Cina yang cantik itu berwarna putih.
Tubuhnya langsing semampai. Matanya bening, namun memandang tajam dan tidak terlalu sipit. Hidungnya tidak terlalu mancung. Bibirnya yang mungil mencibir.
"Mei Lie"!" seru Tiga Setan Rambut Api kaget "Hm...." Gadis cantik yang memang Mei Lie itu tersenyum sinis. Matanya memandang tajam Tiga Setan Rambut Api yang masih tidak mengerti, mengapa Mei Lie atau titisan Dewi Kuan Im yang dulu bersekutu dengan mereka tiba-tiba menghalangi.
"Kalian memang iblis! Kalian harus disingkirkan dari dunia ini!" bentak Mei Lie.
Mata Tiga Setan Rambut Api semakin membelalak mendengar kata-kata Mei Lie.
Kening mereka berkerut, semakin tidak mengerti akan tindakan gadis cantik bermata agak sipit itu.
"Mei Lie, kami harap kau tidak usah turut campur urusan kami! Jangan sok pahlawan! Singo Edan saja kini berbuat tidak baik!" hardik Untara sinis sambil mencibir.
"Jangan bawa-bawa nama Singo Edan! Orang yang kau lihat di Lembah Lamur bukan Singo Edan!' sentak Mei Lie gusar. Matanya masih memandang tajam penuh kebencian. Tangan kanannya masih memegang Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan.
Mata Tiga Setan Rambut Api kembali membelalak, setelah mengetahui bahwa orang yang mirip dengan Singo Edan di Lembah Lamur dulu ternyata bukan Singo Edan (Mengenai Lembah Lamur, silaka baca serial Pendekar Gila dalam episode 'Titisan Kuan Im").
"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" bantah Undani.
"Ya! Kami sedikit banyak tahu akan dia," sambung Umbakara.
"Huh! Siapa pun dia, aku tak peduli! Yang pasti, aku datang untuk menyingkirkan kalian!" bentak Mei Lie geram. Jika ingat akan kematian Nyi Bangil dna Lira Kanti, dia menjadi amat murka. Bagaimana tidak, kalau kedua orang yang selama ini baik padanya harus mati di Lembah Lamur oleh orang-orang dari golongan hitam. Tiga Setan Rambut Api tertawa mendengar ancaman Mei Lie. Tampaknya mereka menganggap enteng gadis Cina itu.
"Ha ha ha...! Omonganmu tinggi sekali, Mei Lie! Hm, apakah tidak sebaiknya kau ikut kami" Menjadi istriku?" ejek Untara sambil mengelus-elus dagunya Hal itu semakin membuat Mei Lie marah.
"Akan kubuktikan! Kisanak, minggirlah! Biar tiga setan ini kukirim ke neraka, tempat asal mereka...," kata Mei Lie pada Ki Adi Pamukti yang menurut menepi Mei Lie dengan mata tajam memandang lekat Tiga Setan Rambut Api yang masih tersenyum nakal.
Mereka memandang dengan sinar mata meremehkan, menganggap gertakan Mei Lie hanya pantas bagi anak kecil. Mereka bagai tidak memandang Pedang Bidadari di tangan Titisan Dewi Kuan Im itu.
"Bersiaplah!" dengus Mei Lie sambil menggerakkan Pedang Bidadari dengan jurus 'Tebasan Pedang Memenggal Gunung'. Pedangnya dihunus lurus ke atas di depan dada, kemudian digerakkan ke samping kanan. Dilanjutkan dengan gerakan me-menggal setinggi perut Wut! "Mei Lie, apa tidak salah kau memainkan pedang" Sepantasnya kau berada di atas tempat tidur!" ujar Untara sambil tertawa-tawa.
Mei Lie semakin marah mendengar ucapan yang bernada kotor itu. Dengan mendengus, pedangnya digerakkan. Lalu, didahului teriakan menggelegar, Mei Lei pun berkelebat menyerang.
"Yiaaat..!" Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat dengan jurus 'Tebasan Pedang Memenggal Gunung'.
Dari pedang itu terpancar sinar merah kekuning-kuningan yang menyilaukan, mengarah ke tubuh lawan.
"Awas!" seru Untara menyadarkan kedua adiknya saat menyaksikan serangan lawan yang begitu cepat dan gesit.
Mata Tiga Setan Rambut Api kini membelalak, Menyadari kekeliruan mereka dengan menganggap enteng Mei Lie. Kini mereka melihat bagaimana gadis Cina itu ternyata mampu menguasai jurus-jurus dari 'Ilmu Pedang Bidadari' yang sangat sempurna.
"Celaka! Dia benar-benar telah menguasai jurus-jurus 'Ilmu Pedang Bidadari'!" seru Undani. Dengan cepat Tiga Setan Rambut Api segera mengelakkan serangan Mei Lie. Tubuh mereka ber-lompatan ke belakang sambil bersalto. Lalu dengan cepat pula, mereka menyerang dengan jurus 'Tiga Serangkai Cambuk Buana'.
"Heaaat..!" Wut! Cambuk di tangan mereka berputar di atas kepala, kemudian dengan cepat dilecutkan ke tubuh Mei Lie.
Ctar! "Uts!" Mei Lie berkelit, disertai babatan pedang ke cambuk yang menyabet ke arahnya.
Pedangnya dibelitkan pada ujung-ujung cambuk itu.
"Hop! Kena...!" Mei Lie segera menyentakkan pedangnya dengan keras, membuat cambuk ketiganya terputus menjadi dua. Kemudian sebelum Tiga Setan Rambut Api sadar dari rasa kaget, Mei Lie kembali menyerang dengan jurus 'Tebasan Pedang Membelah Karang'.
Pedang di tangan Mei Lie bergerak menyilang lalu tegak lurus ke atas. Disusul dengan tebasan lurus dari atas ke bawah, seakan bermaksud membelah.
Hal itu membuat Tiga Setan Rambut Api semakin tersentak kaget. Tubuh mereka bergerak hendak mengelak namun Pedang Bidadari di tangan Mei Lie lebih cepat menebas ke arah mereka.
Cras! "Aaa...!" Umbakara menjerit keras saat tubuhnya terbabat Pedang Bidadari. Anehnya, tubuh orang termuda dari Tiga Setan Rambut Api itu tidak mengalami apa-apa.
Namun sesaat kemudian, tubuh Umbakara terbelah menjadi dua. Itulah kehebatan Pedang Bidadari dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Korban yang terbabat tak akan mengeluarkan darah, karena darah di dalam tubuhnya telah mengering oleh panasnya pedang.
Untara dan Undani, serta Ki Adi Pamukti yang menyaksikan kejadian itu tersentak.
Baru kali ini mereka menyaksikan sebuah jurus yang aneh sekaligus menakjubkan.
Nyali Untara dan Undani seketika ciut menyaksikan adiknya dengan mudah dikalahkan.
Terlebih saat menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan yang semula dianggap enteng.
"Mungkin benar dia Titisan Dewi Kuan Im, Kakang," bisik Undani dengan tubuh dipenuhi keringat dingin.
"Buktinya ilmu pedangnya sangat hebat."
"Ya! Kurasa juga begitu," sahut Untara, tak kalah ngeri setelah melihat jurus lawan yang dahsyat.
"Kita tak akan mampu menghadapinya, Kakang.
Jangankan kita, guru kita saja mungkin berpikir tujuh kali," kata Undani.
"Lebih baik kita pergi, sebelum nyawa kita melayang seperti Umbakara."
"Ayo, Kakang. Mumpung dia tidak menyerang," ajak Undani. Dua tokoh sesat itu berusaha lari meninggalkan lempat ini, namun dengan cepat Mei Lie berkelebat mengejar.
"Setan! Mau ke mana kalian! Hiaaat...!" Dengan pedang masih di tangan, tubuh Mei Lie berkelebat mengejar keduanya yang masih terus berlari. Dan tahu-tahu Mei Lie telah berada di depan Untara dan Undani yang tersentak.
"Tak akan kubiarkan kalian hidup!" bentak Mei Lie garang.
Kedua tokoh sesat itu saling berpandangan.
Kemudian sambil mengedipkan mata, keduanya bergerak melabrak ke arah Mei Lie dengan nekat.
Cambuk mereka yang tinggal sepotong masih digunakan untuk menyerang.
"Hiaaat...!" Swing, swing...! Puluhan jarum tiba-tiba keluar dari potongan cambuk di tangan Untara dan Undani, dan menderu ke arah Mei Lie.
"Uts! Licik!" maki Mei Lie sambil bergerak mengelak, kemudian dengan cepat pedangnya diputar, membuat pedang itu laksana menghilang.
Kini yang ada hanyalah sinar merah kekuning-kuningan yang melindungi tubuh Mei Lie. Trang, trang! Jarum-jarum yang hendak menyerang Mei Lie, seketika rontok terkena hantaman Pedang Bidadari.
Tak ada satu pun yang dapat bersarang di tubuh Mei Lie.
"Kalian harus mampus! Yiaaat...!" Mei Lie yang semakin marah mendapatkan serangan jarum-jarum beracun, kini menggerakkan Pedang Bidadari dengan jurus andalannya. Jurus pamungkas bernama 'Pedang Tebasan Batin' yang sangat dahsyat Tangannya bergerak ke samping, lalu lurus ke atas. Diteruskan dengan memutar pedang. Matanya terpejam, kemudian dengan gerakan yang sulit diikut mata lawan, Mei Lie menebaskan pedangnya.
Wut! "Aaakh...!" Untara dan Undani memekik keras. Tubuh mereka memang masih berdiri tegak. Namun ketika angin bertiup, tubuh mereka seketika lebur menjadi debu yang beterbangan.
Mei Lie menundukkan kepala. Dari matanya meleleh air mata. Dia menangis, teringat kematian para pendekar di Lembah Lamur.
Terutama kematian Nyi Bangil dan Lira Kanti.
Pedang Bidadari dimasukkannya ke dalam sarung.
Dengan air mata masih beriinang, Mei Lie melesat meninggalkan tempat itu.
"Nona Pendekar, tunggu!" seru Ki Adi Pamukti berusaha mencegah Mei Lie pergi, tapi gadis Cina yang cantik itu telah menghilang dalam kegelapan malam.

***



::₪| 2 |₪::

Kemunculan gadis Cina dengan pedang saktinya yang telah membunuh Tiga Setan Rambut Api, membuat namanya seketika menjadi bahan pembicaraan setiap orang di Desa Padas Gempal. Mereka pada umumnya menyanjung gadis cantik itu. Karena telah membela mereka dari ketelengasan Tiga Setan Rambut Api yang telah membakar desa mereka.
Lebih dari itu, penduduk Desa Padas Gempal menjuluki gadis jelita itu dengan sebutan yang cukup membuat tokoh-tokoh golongan hitam mengernyitkan alis. Sebutan yang mereka berikan adalah Bidadari Pencabut Nyawa.
Sinar mentari baru saja menyapu permukaan bumi. Sebuah kedai yang terletak di sebelah utara Desa Parang Gandrung baru saja dibuka oleh pemiliknya. Pemilik kedai itu adalah seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kesenjangan usianya dapat dilihat dari kerutan di wajahnya yang memiliki mata kelabu dan hidung yang mancung.
Dapat juga dilihat dari rambut dan kumis putih atau tubuhnya yang agak bungkuk.
Dia mengenakan baju lengan panjang tanpa kerah berwarna biru tua.
Letak kedai itu berada di antara dua kebun yang tidak begitu luas dengan pohonpohonnya yang asri.
Hal itu menjadikan suasana di sekitar kedai menjadi terasa indah. Jika pagi hari, udara terasa begitu sejuk.
Sedangkan siang hari, udara di sekitar tempat itu terasa segar, tidak panas, karena di sekeliling kedai tumbuh pepohonan yang rindang. Di depan kedai tumbuh pohon asam yang besar dan rindang, semakin menambah keindahan tempat itu.
"Baru buka, Ki?" tanya Sena Manggala atau Pendekar Gila. Tingkah lakunya masih seperti orang gila, membuat pemilik kedai mengerutkan kening.
Sena memandang ke atas, kemudian kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Mulutnya masih cengengesan, membuat orang tua pemilik kedai yang bernama Ki Jiung semakin mengerutkan kening.
"Ada apa, Anak Muda" Kau hendak meminta makan?" tanya Ki Jiung, menyangka kalau pemuda di hadapannya benar-benar orang gila. Tapi kening lelaki tua itu tambah berkerut, menyaksikan pakaian bagus pemuda itu.
"Aneh, tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi pakaiannya rapi dan bagus," gumam Ki Jiung, merasa heran dengan penampilan pemuda itu.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, mendengar pertanyaan Ki Jiung tadi. Diambilnya bulu burung dari ikat pinggang, kemudian dengan tertawa-tawa kupingnya dikorek-korek.
Hal itu membuat Ki Jiung semakin heran.
"Apa yang lucu, Anak Muda?"
"Hi hi hi...! Kau, Ki. Lucu sekali kau...," kata Sena masih mengorek kuping dengan bulu burung.
Ki Jiung semakin terheran-heran, mendengar ucapan Sena yang mengatakan dia lucu. Matanya memandangi sekujur tubuhnya, berusaha mencari hal yang lucu. Tapi tetap saja tidak ditemukannya.
Ki Jiung kembali memandang Sena. Diamatinya pemuda itu dengan seksama, namun dia masih belum mengerti. Aneh! Kata Ki Jiung dalam hati.
"Anak muda, kenapa kau tertawa?" tanya Ki Jiung masih dengan kening berkerut.
"He he he...! Ah, tidak apa-apa, Ki. Teruskanlah membuka kedaimu. Aku lapar sekali," ucap Sena sambil membantu memberesi perabotan kedai. Hal itu membuat hati Ki Jiung semakin bertanya-tanya.
Terlebih ketika melihat cara kerja Sena yang sangat cepat dan cekatan. Hingga dalam sekejap saja, semuanya sudah beres. Padahal kalau dikerjakan oleh Ki Jiung perlu waktu yang cukup lama.
"Hah"! Tidak salahkah penglihatanku?" tanya Jiung dengan mata membelalak, menyaksikan dagangan serta beberapa bangku panjang yang semula berada di atas meja kini telah siap di samping meja.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Kemudian dengan acuh dia duduk di salah satu bangku sambil bersandar. Tangannya masih mengorek telinga dengan bulu burung. Matanya terpejam-pejam, merasakan kenikmatan.
Ki Jiung melangkah ke arah Sena dengan membawa makanan berupa sepiring nasi lengkap dengan lauknya.
"Ini untukmu, Anak Muda," kata Ki Jiung. Sena tertawa-tawa sambil menggarukgaruk kepala.
"Terima kasih, Ki. Oh, ya. Berapa semuanya tanya Sena sambil mengambil uang di ikat pinggangnya.
"Cukupkah uang segini?" Ki Jiung mengerutkan kening, menyaksikan dua keping uang emas yang dikeluarkan Sena. Dia semakin bingung dengan pemuda yang bertingkah laku gila itu. Dari mana pemuda ini memiliki uang emas" Tanya hatinya. Ki Jiung jadi sangsi kalau pemuda bertingkah laku gila itu pemuda gila biasa.
"Hi hi hi.... Kenapa diam, Ki" Apa ada setan lewat?" tanya Sena seraya menyerahkandua keeping uang emas pada lelaki tua yang hanya mampu menautkan alis, tanpa dapat berbuat apaapa. Dengan masih tertegun-tegun, Ki Jiung memandang pemuda yang kini dengan acuh menyantap makanan.
Ketika Sena menyantap makanannya, masuk lima orang berpakaian tambalan.
Kelimanya memegang tongkat kayu berwarna hitam. Mereka tidak lain Lima Pengemis Tongkat Hitam. Namun kini kehadiran mereka tidak bersama ketuanya, Pengemis Tempurung Sakti.
"Kami minta makan!" seru Ketua Perkumpulan Pengemis dari selatan yang bernama Jalantra. Dengan rasa was-was, Ki Jiung yang sudah mengenal kelima orang itu segera menghampiri.
Wajah lelaki tua itu menggambarkan ketegangan, seakan tengah berhadapan dengan lima hantu yang menyeramkan. Tubuhnya membungkuk-bungkuk, menghampiri Lima Pengemis Tongkat Hitam yang tindakannya terkenal beringas.
Tidak seperti pengemis lainnya (Mengenai Lima Pengemis Tongkat Hitam, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode 'Titisan Dewi Kuan Im') "Ki!" seru Sena, ketika Ki Jiung hendak mendekati Lima Pengemis Tongkat Hitam.
"Ke sini sebentar!" Ki Jiung tampak bingung. Tadi dia dipanggil oleh Lima Pengemis Tongkat Hitam.
Kini dia kaget mendengar seruan Sena. Pemuda yang bertingkah seperti orang gila yang semula nampak konyol, kini terdengar berwibawa dengan seruannya yang lantang. Bukan hanya Ki Jiung yang kaget mendengar suara Sena, Lima Pengemis Tongkat Hitam pun begitu.
Mereka sebenarnya sudah bertarung dengan Pendekar Gila, tapi rupanya mereka tidak tahu kalau pemuda berambut panjang yang sedang makan itu adalah Sena.
"Hm.... Rupanya pemuda edan itu ada di sini!" dengus Ketua Perkumpulan Pengemis daerah utara yang bernama Sampra. Wajahnya nampak sinis, mencerminkan ketidaksukaannya pada Pendekar Gila.
"Ya! Tak kami sangka, akhirnya kami harus bertemu dengan Pendekar Gila!" sambung Gandrana dengan suara yang tidak kalah sinis.
"Kalau di Lembah Lamur dulu kita belum melihat sejauh mana ilmunya. Mengapa tidak sekarang saja?" tambah Jantrik.
Sena tertawa tergelak gelak sambil menggerak-gerakkan kepalanya dengan cepat.
"Ha ha ha...! Ki, mengapa lalat-lalat busuk itu kau biarkan masuk" Bukankah sebaiknya kau usir saja?" ledek Sena dengan acuh sambil terus menyantap makanannya.
Lima Pengemis Tongkat Hitam yang dikatakan lalat busuk serentak membelalak marah. Mereka mendengus kesal.
"Kurang ajar! Rupanya kegilaanmu harus kami hentikan!" bentak Jalantra. Kemudian dengan penuh amarah Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan ini bergerak menyerang. Tongkatnya disodokkan ke punggung Pendekar Gila.
"Huh! Lalat busuk ini rewel sekali, Ki!" ujar Sena seraya melemparkan piring ke arah Jalantra. Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan itu tersentak. Segera niatnya diurungkan untuk menyodokkan tongkat ke punggung lawan. Malah kini tubuhnya bersalto mengelitkan serangan lawan dengan mulut mencaci-maki.
"Pemuda edan!"
"Ha ha ha...! Lihat, Ki. Ada lalat yang kebingungan ditampar oleh piring!" Sena tertawa terbahak-bahak. Dia bangkit dari duduknya, berdiri sambil cengengesan memandang keempat ketua perkumpulan pengemis lainnya.
"Kurang ajar! Kau memang harus dihajar, Bocah Gila!" dengus Gandrana sengit.
Sena kembali tertawa riuh rendah. Tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. Sedangkan tangan kanannya dikibas-kibaskan. Seketika nasi yang melekat di jari-jari tangannya berhamburan ke arah Lima Pengemis Tongkat Hitam.
"Kunyuk! Kubunuh kau!" maki Jantruk, Ketua Perkumpulan Pengemis daerah barat sambil berkelebat menyerang, disusul oleh keempat rekannya.
Dengan jurus 'Lima Pusaran Angin Merobohkan Dinding Karang', kelimanya bergerak menyerbu.
"Hiaaat..!" Pendekar Gila masih tertawa-tawa. Bahkan kini dia nungging sambil memperdengarkan suara kentut dari mulutnya. Lalu dengan tertawa-tawa, Sena bertepuk tangan.
"Ha ha ha...! Kalian lucu sekali, Lalat Busuk! Ha ha ha...!" Tongkat Lima Pengemis Tongkat Hitam bergerak menyambar ke seluruh tubuh Sena.
Jantruk ke arah kepala. Jalantra ke arah leher. Gandrana ke arah dada dan punggung. Sampra ke arah perut.
Sedangkan Jantrik menyerang ke bagian pusar ke bawah.
Gerakan mereka dalam menyerang begitu cepat dan tergabung dengan teratur, susul menyusul. Hal itu akan membuat lawan kesulitan untuk dapat melepaskan diri dari kepungan serangan mereka.
"Wau, apa lagi yang kalian lakukan, Kecoa" Hi hi hi..!" Dengan berjumpalitan kian kemari, Sena mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Kera Gila Menyambar Buah'. Sena bergerak bagai seekor kera yang berayun dari satu pohon ke pohon lain.
Tangannya sesekali mencengkeram, dengan kaki bergantian menjejak ke arah lawan.
"Haiiit..!" Lima Pengemis Tongkat Hitam segera mengelakkan serangan Sena dengan jurus 'Lima Angin Balik'. Tubuh mereka berputar laksana angin. Kalau mulanya menyerang, kini berbalik mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat pula, kelimanya kembali melakukan gempuran.
"Yeaaat!" Lima Pengemis Tongkat Hitam menyodokkan ujung tongkat masing-masing ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat, Pendekar Gila melenting ke udara.
Lalu melancarkan serangan dengan jurus 'Dewa Angin Menyapu Banteng'. Dengan jari-jari tegak, tangannya menghantam ke arah kepala lawan dengan gerakan kilat "Heaaa...!" Plak! "Ukh...!" Gandrana memekik. Kepalanya langsung pecah.
Kejadian itu membuat Ki Jiung yang sejak tadi melihat pertarungan dan belum tanu siapa pemuda yang bertingkah gila, membelalakkan mata. Dari mulutnya terlontar pekikan kaget. Tubuhnya gemetar menyaksikan kejadian yang mengerikan itu.
"Ohhh...!" Ki Jiung segera menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan, tak berani menyaksikan pertarungan yang sangat mengerikan itu.
"Pemuda edan! Kau harus mampus!" dengus Sampra.
"Ya! Kau telah membunuh salah seorang dari kami! Kau harus mampus!" tambah Jantruk. Sena tertawa tergelak-gelak mendengar ancaman mereka. Dengan menepuk-nepuk pantat, Sena memonyongkan mulutnya.
Brut! "Ha ha ha...! Kalian lucu sekali! Kenapa kalian minta mati?" tanya Sena.
"Padahal orang mati minta hidup." Keempat Ketua Perkumpulan Pengemis itu semakin marah mendengar omongan Pendekar Gila.
Kemudian dengan mendengus marah, mereka kembali menyerbu.
"Hiaaat..!" Empat tongkat di tangan mereka bergerak mengepung dari empat penjuru mata angin. Menusuk dan menyambar dengan keras ke tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Sapuan Empat Penjuru Angin'.
Pukulan tongkat itu menciptakan angin keras yang menerpa ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, lalu dengan menungngkan pantatnya, dia bergerak mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk dengan irama yang aneh.
Sesekali tangannya menepuk ke dada lawan.

***

Prak! Satu tongkat kayu hitam terkena tepakan tangan Pendekar Gila. Tongkat di tangan Jalantra patah menjadi dua, sedangkan pemiliknya terhuyung-huyung lengan wajah pucat. Tidak hanya sampai di situ, Pendekar Gila terus menggebrak dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, dan tangannya sesekali menepuk ke dada lawan.
"Heaaa...!" Plak! "Ukh...!" Jalantra mengeluh. Dadanya terasa pecah akibat tepakan tangan Pendekar Gila. Asap mengepul dari dadanya. Matanya membelalak. Dari sudut bibirnya meleleh darah segar.
Mulut Jalantra meringis, menahan rasa sakit yang tak terkirakan. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Ketiga Ketua Perkumpulan Pengemis lainnya segera melompat mundur, menyaksikan Jalantra tewas di tangan lawannya yang kini masih cengengesan sambil menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak tak ubahnya seekor monyet.
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang ingin mati?" tanya Sena, masih dengan tingkah laku seperti kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Ki Jiung yang menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah laku gila itu dalam beberapa gebrakan saja mampu membunuh dua dari Lima Pengemis Tongkat Hitam, amat terperangah. Dia tidak menyangka kalau pemuda itu ternyata berilmu tinggi.
Pantas saja dia bekerja sangat cepat. Gerakannya ternyata sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat daganganku tersusun rapi olehnya. Puji Ki Jiung dalam hati.
Dengan takut-takut matanya menyaksikan pertarungan yang sangat seru dan mendebarkan itu.
Tiga Ketua Perkumpulan Pengemis itu kembali melabrak Pendekar Gila. Rupanya kematian dua rekannya tidak membuat ketiganya jera. Malah mereka bertambah beringas dalam melakukan serangan.
"Kau harus mampus, Bocah Edan!" maki Jantrik "Kuremukkan batok kepalamu!" sambung Jantruk.
"Meski namamu telah menjulang tinggi, pantang bagi kami untuk lari! Heaaat...!" Tubuh Sampra dengan cepat melesat melakukan serangan. Tongkat hitam di tangannya bergerak menyambar dan menusuk. Kadangkala memukul dari atas ke bawah, berusaha meremukkan batok kepala Pendekar Gila.
Melihat rekannya menyerang, kedua pengemis lainnya turut meluruk maju. Kini dengan jurus 'Tiga Sakra Tongkat Maut' ketiganya bergerak menusuk dan membabat ke arah Sena. Serangan mereka sangat cepat, menimbulkan deru angin yang menyambar-nyambar.
Srrrt! Sena segera menarik Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian dengan sigap, sulingnya diputar ke arah tongkat di tangan para pengemis yang menyerangnya, membentuk setengah lingkaran.
Sedangkan tangannya memukul dengan telapak tangan menggunakan jurus 'Si Gila Melempar Batu'.
Tak! Prak! Tongkat kayu hitam di tangan Jantruk dan Sampra patah menjadi dua. Sedangkan tangan Pendekar Gila masih bergerak memukul ke dada lawan.
Begk! "Ukh...!" Jantrik mengeluh pendek. Tangan kirinya mendekap dada yang terasa remuk akibat pukulan lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut meringis. Darah dari sudut bibir pun menyapu dagunya dengan warna merah.
Sesaat tubuh Jantrik meregang, lalu ambruk dengan nyawa melayang.
Menyaksikan kematian rekan mereka, nyali kedua pengemis lainnya mendadak ciut.
Jiwa keduanya bagai dihimpit oleh ketakutan.
Kedua orang itu bermaksud lari. Namun dengan cepat Pendekar Gila segera meniup Suling Naga Sakti. Suara sulingnya mengalun dengan merdu dan mendayu-dayu.
Keanehan terjadi! Tubuh kedua pengemis itu seketika meregang kaku, terpaku di ambang pintu masuk kedai bagai arca.
"Ha ha ha...! Lucu... lucu sekali kalian! Mengapa kalian seperti patung?" tanya Sena sambil tertawa nyaring. Sedangkan mata Ki Jiung membelalak, menyaksikan kejadian yang sangat aneh itu. Dia tidak melihat kejadian apa-apa, namun mengapa kedua pengemis itu kini mematung"
"Bocah edan! Lepaskan totokanmu!" geram Sampra.
"Ha ha ha...! Kurasa aku tidak menotokmu!" dalih Sena.
"Aha, apa kalian ingin menari" Baik, menarilah!" Sena kembali meniup sulingnya dengan alunan yang mendayu. Kembali kejadian aneh terjadi. Kedua pengemis itu kini menari-nari, mengikuti irama suling yang ditiup Sena. Ki Jiung loan membelalakkan mata, menyaksikan kejadian luar biasa itu. Baru kali ini matanya melihat bagaimana suara suling mampu membuat orang menari. Ki Jiung tidak tahu, kalau irama suling yang ditiup Sena adalah tiupan 'Pelayung Sukma', di mana orang yang dituju akan terpengaruh sukmanya untuk mengikuti irama suling.
Ki Jiung benar-benar tak tahan melihat gerakan lemah gemulai dan lenggokan tubuh dua pengemis itu. Dia lantas tertawa tergelak-gelak bagai orang gila.
Kemudian dengan masih tertawa-tawa, Ki Jiung turut menari.
Beruntung Sena tidak meniup Suling Naga Sakti dengan irama sedih. Kalau saja Sena meniupnya dengan irama sedih, tentu ketiga orang itu akan menangis meraungraung. Sena menghentikan tiupan sulingnya. Seketika kedua pengemis itu kembali mematung. Sementara Sena masih tertawa tergelak-gelak dengan tangan menepuknepuk pantat "Ki, menjauhlah dari sini," katanya, meminta Ki Jiung agar menjauh dari tempat itu.
"Nah, Sobat-sobat. Bagaimana kalau kalian menangis" Hi hi hi...! Mungkin selama ini kalian tak pernah menangis, walau banyak orang yang telah kalian siksa! Ayo, menangislah..." Usai berkata begitu, Sena kembali meniup Suling Naga Saktinya dengan irama sedih. Seketika kedua lelaki yang menjadi bulan-bulanan itu menangis meraungraung, seakan meratapi nasib mereka yang sangat malang.
Ki Jiung kembali terperanjat, menyaksikan kejadian yang amat langka itu. Hanya mendengar irama suling, kedua pengemis itu menangis sesenggukan. Lama kelamaan tubuh keduanya ambruk, tak kuat menahan rasa sedih yang tiada terkira. Mereka tewas tak mampu menahan siksaan batin yang sangat hebat Sena kembali tertawa menyaksikan kejadian itu.
Seakan kejadian yang ada di hadapannya adalah guyonan lucu.
"Ki, aku permisi," pamit Sena, hendak berlalu.
"Lalu, bagaimana dengan kelima mayat ini, Tuan?"
"Aha, aku lupa..." Sena merogoh ikat pinggangnya, kemudian mengeluarkan lima keping uang emas.
"Cukupkah lima keping uang emas ini untuk mengurus mayat mereka, Ki" Suruhlah orang-orang mengurusnya."
"Bu..., bukan itu, Tuan. Tapi..."
"Sudahlah, Ki. Terimalah uang ini." Sena menyodorkan lima keping uang emas itu, kemudian dengan cepat berkelebat meninggalkan kedai milik Ki Jiung.
Ki Jiung hanya dapat terbengong-bengong, menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah gila itu mampu melesat sangat cepat laksana angin.

***



::₪| 3 |₪::

Di Grojokan Perawan, di mana Goa Sandang berada, pagi itu seorang gadis cantik berkulit kuning langsat tengah berlatih ilmu silat. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang mengeluarkan sinar putih bergulung kabut. Hidung gadis itu mancung dan bermata lentik. Rambutnya terurai bergelombang, dan berikat kepala berwarna merah. Dia mirip dengan Mei Lie.
Di depan gadis itu, seorang wanita tua berpakaian minim duduk bersila di atas sebuah batu. Matanya memandang ke arah gadis yang tengah berlatih itu.
Wanita tua berusia sekitar sekitar enam puluh tahun dengan hidung mancung dan alis lebat itu adalah guru dari si gadis. Namanya Dewi Sandang. Nama itu diambil dari goa tempatnya menetap yang dikenal dengan sebutan Goa Sandang.
Saat itu, muridnya yang bernama Sarah Dita tengah melakukan jurus pamungkas 'Satuan Raga dan Jiwa' dari sepuluh jurus 'Pedang Titisan Iblis'.
Sarah Dita tampak terdiam sesaat dengan mata terpejam. Mata pedang ditempelkan pada hidungnya.
Cara membuka jurus itu hampir sama dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin' yang dimiliki Mei Lie.
Setelah lama mengheningkan cipta, dibarengi pekikan nyaring Sarah Dita menggerakkan pedangnya.
"Hiaaat...!" Wut, wut...! Pedang diarahkan ke batu yang ada di sampingnya dengan gerakan menusuk.
Jreb! Pedang itu langsung tembus sampai ke sisi batu di belakangnya. Begitu hebat pedang bersinar putih itu, sehingga batu yang keras dapat ditembusnya.
"Bagus! He he he...! Kini lengkaplah semuanya! Kau akan bisa menjadi pengganti Bidadari Pencabut Nyawa. He he he...!" Dewi Sandang tertawa-tawa senang. Segera dia bangun dari bersilanya, lalu menghampiri muridnya yang langsung menyembah.
"Terima kasih, Guru. Atas budimu, aku telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang yang telah kau ajarkan."
"He he he...! Sudahlah, ayo bangun. Aku akan mengatakan sesuatu padamu," ajak Dewi Sandang. Keduanya segera melesat meninggalkan tempat itu. Tak berapa lama kemudian, tibalah mereka di dalam goa tempat mereka tinggal selama ini. Dewi Sandang mengajak muridnya duduk di sebuah batu yang ada di dalam goa itu.
"Duduklah, Sarah." Sarah Dita duduk.
"Ada apa gerangan, Guru?" tanya Sarah Dita setelah menyeka keringat.
"He he he...!" Dewi Sandang terkekeh.
"Kau tahu, mengapa kau kudidik menjadi jago pedang, Sarah Dita?"
"Tidak, Guru. Yang kuketahui, aku akan menjadi jago pedang nomor wahid di rimba persilatan," jawab Sarah Dita.
"He he he...! Bagus! Memang itu yang aku kehendaki. Kau menjadi jago pedang di rimba persilatan dan tak terkalahkan oleh pendekar pedang mana pun. Tapi...," Dewi Sandang tak meneruskan ucapannya. Hal itu membuat Sarah Dita mengerutkan kening. Matanya memandang sang Guru.
"Ada apa, Guru?"
"He he he!..! Tidak apa-apa."
"Mengapa Guru tidak meneruskan?"
"He he he...! Anak pintar.... Tapi, harapanku seketika musnah, ketika kudengar dari paman gurumu, kalau sekarang ada jago pedang yang sangat hebat dan belum terkalahkan," ujar Dewi Sandang, melanjutkan kata-katanya yang terpenggal.
Sarah Dita mengerutkan dahi.
"Siapa dia, Guru" Dan seberapa hebatkah ilmu pedangnya" Kalau boleh, ingin rasanya aku mengujinya," kata Sarah Dita dengan perasaan tak senang. Bagaimanapun juga, dia yang harus menjadi jago dari segala jago pedang. Dia harus dapat mengalahkan siapa saja yang mahir dalam ilmu pedang.
Dewi Sandang sesaat terdiam. Dihelanya napas dalam-dalam. Matanya menatap wajah muridnya yang tampak marah, tak suka mendengar kalau di rimba persilatan ada jago pedang selain dirinya.
"Dia bernama Mei Lie, seorang gadis Cina yang hampir mirip denganmu. Dia bergelar Bidadari Pencabut Nyawa. Itu sebabnya aku selalu mengatakan kalau kau Bidadari Pencabut Nyawa. Aku ingin kau dapat mengalahkannya."
"Akan kulakukan, Guru."
"Tunggu dulu.... Dengarlah apa yang akan kukatakan padamu." Sarah Dita menurut "Kau akan kujadikan Mei Lie. Kau harus membantu paman gurumu untuk mengecoh para pendekar. Sebisanya kau menyamar sebagai Mei Lie. Besok, berangkatlah ke tempat paman gurumu. Aku akan memberikan surat padanya. Antarlah ke sana. Apa pun yang dikatakan paman gurumu, kau harus menurut. Karena hanya dengan cara itulah, kau akan bisa bertemu dengan Mei Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa," tutur Dewi Sandang.
"Apakah tidak sekarang saja, Guru?" tanya Sarah Dita setengah mendesak.
"He he he, kau nampak tak sabar. Kalau itu maumu, berangkatlah."
"Terima kasih, Guru." Dewi Sandang mengambil surat yang akan diberikan pada paman gurunya yang bernama Daeng Ampra. Setelah memberikan surat itu pada muridnya, Dewi Sandang melepas kepergian Sarah Dita yang akan menjalankan tugasnya.

***

Rimba persilatan semakin geger karena kemunculan Mei Lie. Sepak terjang gadis Cina itu membuat tokoh-tokoh golongan hitam bagai menghadapi seorang malaikat maut. Apalagi dengan tindak-tanduk Sena yang senantiasa berusaha menumpas keangkaramurkaan di muka bumi ini.
Membuat tokoh-tokoh golongan hitam kian tersudut kedudukannya.
Ketika terik matahari siang menyengat bumi, tampak seekor kuda berwarna coklat tua berlari kencang menerobos debu yang beterbangan di Lembah Balapulang. Di punggung kuda itu, tampak seorang wanita berpakaian serba putih dengan kepala tertutup caping berwarna hijau dari daun pandan. Wanita muda itu bermata indah, dengan rambut terurai lurus. Potongan tubuhnya yang ramping, semakin melengkapi kecantikannya. Di punggung gadis cantik yang tubuhnya dibungkus pakaian bergaya Cina warna putih itu tersandang sebilah pedang. Derap kaki kuda terus melaju, bagai tak menghiraukan terik matahari yang tak bersahabat.
Tiba-tiba penunggang kuda itu menghentikan lari binatang tunggangannya.
"Hooop...!" Kuda itu pun berhenti. Gadis penunggangnya tampak mengarahkan matanya ke semak belukar di Lembah Balapulang itu. Tampaknya ada sesuatu yang membuat lari kudanya dihentikan. Telinganya tadi sempat mendengar suara yang mencurigakan di tempat itu.
"Hm...." Gadis cantik dari Cina itu menggumam tak jelas.
Matanya masih menyapu ke sekeliling lembah, seakan hendak mencari asal suara yang didengarnya.
Kresek! "Hm...." Kembali gadis Cina itu bergumam. Kemudian dia melompat turun dari punggung kudanya. Matanya masih memandang ke asal suara tadi.
"Siapa yang ada di situ, keluarlah!" Tak ada sahutan. Yang terdengar hanya langkah-langkah kaki yang menginjak daundaun kering. Dilirik dari suaranya, pemilik langkah kaki itu sepertinya berjumlah lebih dari dua orang.
"Hm.... Rupanya kalian ingin mempermainkan aku! Baik, jangan harap aku akan mengampuni kalian!" dengus gadis cantik berpakaian Cina itu.
Dari balik semak belukar, berkelebat sepuluh lelaki berpakaian serba hitam.
Wajah mereka tertutup kain hitam. Hanya bagian matanya yang terlihat. Ditilik dari sinar mata yang memancar garang, tampaknya mereka bukan orang baik-baik. Di tangan mereka tergenggam sebilah golok tajam.
Sepertinya mereka para penyamun yang menjegal setiap orang yang melintasi tempat itu.
"Siapa kalian"!" bentak wanita cantik bercaping daun pandan.
"Ha ha ha...! Siapa pun kami, kau tak perlu tahu.
Yang pasti, kami menginginkan kau, Cah Ayu," sambut pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu sambil tertawa-tawa.
"Hm.... Tentu kalian yang dinamakan Gerombolan Lowo Ireng"!" dengus gadis bercaping itu.
"Ha ha ha! Pandanganmu tajam sekali, Cah Ayu.
Nah, kalau kau sudah tahu siapa kami, kuharap kau tidak usah menentang semua yang kami inginkan! Ikut kami!" perintah pemimpin orang-orang berpakaian hitam itu.
"Ha ha ha...! Enak sekali kau bicara, Sarwono!" bentak gadis cantik bercaping, membuat Ketua Gerombolan Lowo Ireng tersentak kaget. Dia tidak menyangka kalau gadis cantik yang mirip gadis Cina itu tahu namanya.
"Siapa kau" Dari mana kau tahu namaku"!" bentak Sarwono dengan mata melotot, memandang tajam ke arah gadis cantik yang menyandang pedang di punggungnya.
"Ha ha ha...! Kau masih belum mengenaliku, Sarwono! Aku Mei Lie, Titisan Dewi Kuan Im. Tapi orang-orang persilatan kini lebih suka menyebutku Bidadari Pencabut Nyawa. Orang-orang sepertimu yang harus kucabut nyawanya!" ancam gadis bercaping yang penampilannya memang serupa dengan Mei Lie.
"Cuh! Jangan sembarangan bicara, Bocah!" bentak Sarwono gusar. Matanya berkilatkilat tajam. Napasnya tampak turun-naik dihela kemarahan.
"Ha ha ha. Apa yang sulit untuk menyingkirkan kalian, Kecoa Busuk"!" ledek gadis cantik bercaping itu.
"Guru dan pemimpin kalian pun akan kubunuh dengan mudah!"
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari mampus!" dengus Sarwono semakin beringas, merasa telah diremehkan oleh seorang gadis muda.
"Ha ha ha! Kalianlah yang mencari mampus!" balik gadis itu dengan tetap bernada angkuh. Tangannya menggapai gagang pedang.
Srrrt! Gadis cantik bercaping itu menarik pedang, seakan menantang Gerombolan Lowo Ireng secara terang-terangan.
"Majulah! Biar dengan cepat aku membereskan Kalian!" tantang gadis itu. Pedang di tangannya terhunus di depan wajah. Siap untuk melakukan serangan.
"Bedebah! Serang dia...!" perintah Sarwono sambil menggerakkan tangan kanannya, mengisyaratkan pada kesembilan anak buahnya untuk segera melakukan serbuan.
"Bagus! Majulah...!" tantang gadis cantik bercaping itu seraya menggerakkan pedangnya dengan jurus yang berbeda dibanding jurus yang biasa digunakan Mei Lie. Begitu juga dengan pedangnya, tidak mengeluarkan sinar merah kekuningkuningan sebagaimana Pedang Bidadari.
Dengan jurus 'Sambutan Sampar Kabut' gadis yang mengaku Mei Lie itu menyerang ke arah lawannya. Kesembilan anggota Gerombolan Lowo Ireng serentak merangsek maju. Golok di tangan mereka bergerak cepat membabat dan menebas ke arah lawan.
Wut! "Hiat..!" Gadis cantik bercaping itu segera berkelit ke samping kanan, kemudian dengan gerak cepat tubuhnya berputar. Pedang di tangannya turut bergerak, membabat ke arah lawan.
Cras! "Aaa...!"
"Aaakh...!" Dua orang anak buah Sarwono memekik. Dada mereka tersayat mata pedang gadis cantik itu. Mata keduanya membelalak dengan tubuh limbung ke belakang, kemudian ambruk dengan darah masih mengalir keluar.
"Bangsat! Kubunuh kau, Kuntilanak!" maki Sarwono marah. Dia turut melabrak gadis cantik yang mengaku-aku Mei Lie. Golok di tangannya bergerak membabat dengan jurus 'Simbar Nyawa'.
Wusss! Angin keras yang terasa panas menyengat keluar dari golok di tangan Sarwono, menyentakkan gadis cantik bercaping daun pandan itu.
"Uts! Bagus! Majulah sekalian! Hiaaat...!" Gadis cantik itu dengan cepat memutar pedangnya dengan jurus 'Pampas Gali Sandang', sebuah jurus yang cukup mengejutkan Sarwono. Karena jurus itu begitu terkenal di rimba persilatan dan dimiliki oleh seorang pendekar pedang yang di masa jayanya sempat malang-melintang di rimba persilatan.
"Ada hubungan apa kau dengan Dewi Sandang, Perempuan Liar"!" tanya Sarwono seraya melompat mundur.
"Ha ha ha...! Rupanya kau kaget, Sarwono! Aku murid tunggalnya!" jawab gadis cantik berbadan ramping dengan bulu mata lentik itu.
"Kalau begitu, tentunya kau bukan Mei Lie!" sangkal Sarwono.
"Ha ha ha! Siapa pun aku, yang pasti kalian harus mampus!" dengus gadis cantik yang tak lain Sarah Dita itu. Matanya yang indah memandang garang ke arah Sarwono, laksana mata seekor harimau lapar.
"Hm, antara gerombolan kami dan Dewi Sandang tak ada permusuhan. Kami adalah teman baiknya. Mengapa pula kau memusuhi kami"!" tanya Sarwono masih belum mengerti, mengapa sikap murid Dewi Sandang yang juga kakak kandung guru mereka bermusuhan.
"Ha ha ha...! Ciut juga nyalimu Sarwono! Hm, baiklah. Aku sebenarnya datang ingin bertemu dengan paman guruku! Sekarang pulanglah, katakan pada guru kalian, kalau murid Dewi Sandang datang," perintah Sarah Dita sambil memasukkan pedangnya ke sarung.
"Baik! Kami akan segera pergi. Ayo anak-anak!" ajak Sarwono pada anak buahnya.
"Tunggu!" tahan Sarah Dita.
"Ada apa lagi?"
"Bagaimana dengan dua anak buahmu ini?"
"Biarkan saja!" jawab Sarwono seraya melambai-kan tangan, memerintah anak buahnya untuk meninggalkan tempat itu.
Sarah Dita tersenyum tipis. Lalu dengan sekali lompat, tubuhnya telah berada di atas kudanya yang langsung digebah. Dan segera melesat meninggalkan tempat itu, mengikuti arah Sarwono dan anak buahnya pergi.
Sarwono dan anak buahnya tampak lari ke dalam Hutan Warang Belang. Di sana berdiri bangunan megah yang dihiasi ukiran besar terbuat dari kayu bergambar kelelawar berwarna hitam. Ke tempat itulah Sarwono dan anak buahnya pergi, karena di situlah Guru dan Ketua Gerombolan Lowo Ireng berada.
Dalam ruangan lebar di tengah-tengah gedung besar itu, tampak dua lelaki duduk di atas kursi berukir yang terbuat dari gading. Keduanya memakai pakaian hitamhitam panjang menyerupai jubah.
Seorang lelaki tua berwajah garang duduk di sebelah kanan. Jenggot-nya panjang berwarna putih. Matanya yang lebar be-kilat merah. Kumisnya putih, menutupi mulutnya. Rambut putih lelaki tua itu terurai dengan ikat kepala berwarna hitam.
Lelaki ini adalah guru dari Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Namanya Daeng Ampra.
Daeng Ampra berasal dari tanah Sulawesi. Dia sengaja pergi ke tanah Jawa Dwipa untuk menghindari kejaran para pendekar aliran putih yang bermaksud menangkapnya. Ketika di Andalas, dia pun menjadi pemimpin gerombolan yang sebagian anak buahnya ikut terlibat dalam Gerombolan Lowo Ireng sekarang ini.
"Hm, aku merasa bakal ada tamu, Selendra," kata Daeng Ampra bergumam, pada lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang duduk di sampingnya.
"Benar, Guru," sahut lelaki bertubuh kekar dengan jubah hitam. Matanya juga tajam. Alis matanya lebat.
Cambang bauk dan kumis yang menghiasi wajah, menambah kegarangan penampilannya.
Rambut lelaki ini masih hitam, terurai lepas dengan ikat kepala berwarna hitam pula.
Dialah yang menjadi Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Dia pula yang mewarisi semua ilmu yang dimiliki Daeng Ampra.
"Sepertinya ada tamu, Guru. Kupu kejer sejak tadi beterbangan dan hinggap di sini," tambah Selendra.
"Hm...," Daeng Ampra menggumam. Matanya yang tajam memandang lurus ke arah pintu masuk ruangan yang terbentang lebar dengan dua penjaga berdiri tegak. Di tangan kedua penjaga itu tergenggam tombak.
Saat itu dari luar masuk Sarwono dengan ketujuh anak buahnya yang segera menyembah.
"Ampun, Ketua. Kami menghadap," hatur Sarwono setelah menyembah.
"Hm.... Ada apa, Sarwono" Di mana kedua anak buahmu yang lain?" tanya Selendra.
"Ampun, Ketua. Dua anak buahku tewas," sahut Sarwono dengan kepala menunduk, takut kalau ketuanya akan marah.
Mata Ketua Gerombolan Lowo Ireng melotot, mendengar jawaban Sarwono. Dia bangun dari tempat duduknya.
"Apa"!" bentak Selendra murka. Matanya semakin menusuk ke arah Sarwono yang kian menundukkan kepala, tak berani mengadu pandang dengan pemimpinnya.
"Siapa yang telah membunuh mereka"!"
"Aku...!" Belum juga Sarwono menjawab, dari kejauhan tiba-tiba terdengar sahutan seorang wanita.
Semua orang yang ada di bangunan milik Gerombolan Lowo Ireng tersentak, mendengar sahutan yang keras itu. Mereka serentak meng-alihkan pandangan keluar. Tampak sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih dan bercaping daun pandan berdiri dengan tegap. Ketua Gerombolan Lowo Ireng beserta gurunya seketika melangkah keluar, diikuti oleh Sarwono dan anak buahnya serta anak buah Selendra yang lain.
"Nisanak, siapa kau" Ada kepentingan apa hingga datang ke markas Lowo Ireng?" tanya Selendra dengan mata tajam memandang gadis cantik yang berdir sekitar sepuluh tombak dari pintu gerbang.
"Aku datang untuk menyampaikan amanat dari guruku!" sahut gadis cantik bercaping daun pandan yang tak lain Sarah Dita.
"Hm, siapa gurumu"!" kali ini Daeng Ampra yang bertanya.
"Dewi Sandang!" sahut Sarah Dita, menyentakkan Daeng Ampra.
"Dewi Sandang..." Hm, lama sekali aku tidak bertemu dengan gurumu, Bocah.
Masuklah!" ajak Daeng Ampra. Kemudian tangannya bergerak, memerintah murid-muridnya agar menyingkir untuk memberi jalan gadis cantik itu.
Dengan tenang tanpa rasa takut di wajahnya, Sarah Dita melangkah masuk.
"Silakan," ajak Selendra mempersilakan tamunya agar terus masuk ke dalam.
"Terima kasih." Sarah Dita melangkah masuk, diiringi oleh Selendra dan Daeng Ampra. Ketiganya kemudian duduk di ruangan lebar, tempat Selendra dan Daeng Ampra duduk tadi.
"Bocah, amanat apa yang gurumu sampaikan padaku?" tanya Daeng Ampra.
"Ini, Paman," ujar Sarah Dita seraya mengeluarkan surat dari gurunya, dan diberikan pada Daeng Ampra yang segera membacanya.
Daeng Ampra mengerutkan kening setelah membaca isi surat tersebut "Hm.... Kami pun sudah mendengar kabar mengenai Dewi Kuan Im atau Bidadari Pencabut Nyawa," gumam Daeng Ampra seraya menghela napas panjang. Wajahnya nampak murung, mencerminkan kecemasan.
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Paman?" tanya Sarah Dita.
Daeng Ampra menghela napas panjang-panjang.
Matanya menatap lekat ke wajah gadis cantik di hadapannya. Seakan ingin membuktikan apa yang berada di dalam surat yang dikirim oleh saudara seperguruannya.
"Kau memang cocok sekali dengan tugas yang diberikan oleh gurumu, Bocah," kata Daeng Ampra sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Panggil saja aku dengan namaku, Paman," tukas Sarah Dita, yang merasa agak jengkel juga dipanggil bocah.
"Hm.... Baiklah Sarah Dita. Menurut gurumu, kau akan ditugaskan untuk mengacaukan orang-orang persilatan. Kau harus bisa memerankan Mei Lie dengan sebaik-baiknya. Namun yang patut kau ingat, bahwa sepak terjangmu harus bertentangan dengan Mei Lie atau Titisan Dewi Kuan Im. Kalau dia kini membuat orang-orang dari aliran kita kebingungan, kau harus bisa membuat para pendekar aliran putih kebingungan. Paham...?"
"Paham, Paman."
"Kedua. Dalam setiap sepak terjangmu, kau harus urus menggunakan nama Mei Lie.
Setiap waktu kau bisa meminta bantuan Selendra dan gerombolannya yang akan selalu menyertaimu dari jauh," tutur Daeng Ampra.
"Aku mengerti," jawab Sarah Dita.
"Bagus! Kini, orang-orang aliran putih akan kebingungan. Kemudian, mereka akan berpaling dan memihak pada kita. Ha ha ha...!" Daeng Ampra tertawa tergelakgelak, disambut oleh yang lainnya.
"Tapi, Paman...."
"Ada apa lagi, Sarah Dita?" tanya Daeng Ampra.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila?"
"Kau takut?" tanya Daeng Ampra.
Sarah Dita sejenak terdiam. Nama besar Pendekar Gila memang telah didengarnya, tapi wajah dan ketinggian ilmunya belum pernah dilihatnya.
"Tidak!" sahut Sarah Dita mantap, membuat Daeng Ampra kembali tersenyum.
"Bagus! Kurasa gurumu juga telah mempersiapkan ilmu yang tinggi, sebelum dia menugaskanmu," ucap Daeng Ampra.
"Mengenai Pendekar Gila, biar nanti menjadi urusanku dan gurumu."
"Aku pun sebenarnya ingin menjajaki ilmunya, Guru," sambut Selendra.
"Itu lebih bagus. Kau dan anak buahmu, sebisanya memancing Pendekar Gila agar penyamaran Sarah Dita tidak terbuka, Selendra."
"Akan kuusahakan, Guru," jawab Selendra.
Daeng Ampra mengangguk-angguk. Wajahnya yang semula murung, kini nampak berbinar puas. Sepertinya dia tidak merasa khawatir Pendekar Gila akan membongkar rahasia tentang dirinya. Kini murid dan kemenakan muridnya telah siap untuk menghadapi Pendekar Gila dan mengacaukan rimba persilatan. Dengan begitu, semua tokoh persilatan akan menuduh Mei Lie.
"Kini kalian mengemban tugas berat. Kuharap kalian berhati-hati," pesan Daeng Ampra mengingatkan.
"Lawan-lawan yang akan kalian hadapi buka lawan sembarangan.
Dan yang perlu kalian perhitungkan adalah Pendekar Gila dan Mei Lie."
"Akan kami usahakan," sahut Sarah Dita dan Selendra serempak.
"Nah! Kini kalian berangkatlah. Ingat pesanku.
Kau, Sarah Dita, harus bisa menjaga penyamaranmu.
Dan kau, Selendra, sebisanya menarik perhatian Pendekar Gila agar tidak bisa dekat dengan Sarah Dita. Usahakan Sarah Dita jangan sampai bentrok dengan Mei Lie."
"Paman, kalau boleh saya tahu, apa ciri-ciri Pedang Bidadari yang berada di tangan Mei Lie?" tanya Sarah Dita.
"Pedang itu mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan. Jika Mei Lie telah menguasai jurus pamungkas yang bernama 'Tebasan Pedang Batin', sulit bagi para pendekar pedang mengalahkannya.
Untuk itu kalian harus berhati-hati," tutur Daeng Ampra menerangkan.
"Baik, Paman. Aku mohon pamit untuk menjalankan tugas," kata Sarah Dita. Setelah memberi hormat, gadis cantik itu pun keluar meninggalkan markas gerombolan Lowo Ireng. Sepeninggal Sarah Dita, Daeng Ampra tampak masih bercakap-cakap dengan murid tunggalnya yang memimpin Gerombolan Lowo Ireng.
"Selendra, kau harus bisa membantu Sarah Dita.
Kerahkan anak buahmu. Namun kau mesti ingat, tujuan kita yang utama adalah mempersatukan tokoh rimba hitam di tanah Jawa Dwipa ini, agar keberadaan kita semakin kuat," kata Daeng Ampra.
"Saya mengerti, Guru."
"Setelah Sarah Dita menjalankan tugasnya, panggil para tokoh rimba hitam kemari," lanjut Daeng Ampra memerintah.
"Setelah mereka tunduk pada kita, maka gerombolan kita akan semakin jaya. Tak akan ada yang mampu menandingi Gerombolan Lowo Ireng." Selendra tersenyum senang. Dadanya dibusungkan. Dia merasa bangga atas ucapan gurunya. Bagaimanapun juga, dialah Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Maka, jika Gerombolan Lowo Ireng maju dan menjadi partai yang paling besar, namanyalah yang akan di kenal. Pendekar Gila harus disingkirkan! Tekad Selendra dalam hati.
"Selendra."
"Saya, Guru," sahut Selendra.
"Aturlah anak buahmu. Biar mereka bekerja seperti biasanya. Sementara itu, bawalah be berapa anak buahmu untuk memancing Pendekar Gila."
"Baik, Guru." Setelah menyembah, Selendra pun bergegas meninggalkan tempat itu untuk menjalankan rencana-nya. Sedangkan Daeng Ampra kini melangkah meninggalkan tempat itu, masuk ke kamar tempatnya biasa melakukan semadi.

***



::₪| 4 |₪::

Suasana di Desa Landung Sari malam ini terlihat sepi.
Angin yang berhembus terasa dingin. Padahal pada malam-malam biasa masih ada beberapa orang hilir-mudik di desa yang menjadi persinggahan para pelancong itu.
Paling tidak, untuk menikmati keindahan panorama pesisir pantai di malam hari yang dekat dengan Desa Landung Sari. Namun malam ini desa tersebut terlihat lengang. Penduduk-nya sudah terlelap alam buaian mimpi. Sejak kehadiran pendekar wanita yang diberi gelar Bidadari Pencabut Nyawa, warga Desa Landung Sari merasa tenang. Karena para bajingan, perampok, atau penyamun yang biasanya menjarah desa mereka, kini agak menghilang. Nampaknya mereka takut oleh kediran Bidadari Pencabut Nyawa yang sepak terjangnya senantiasa memusuhi orang-orang aliran sesat. Saat ketenangan menyelimuti Desa Landung Sari, dari ujung desa tiba-tiba terdengar jerit kematian yang menyayat dan riuh rendah teriakan panik.
"Aaa...!"
"Tolong, rampok...!" Penduduk Desa Landung Sari yang tengah terhanyut mimpi seketika bangun. Mereka tersentak kaget, tak menyangka kalau penyamun akan kembali hadir, menjarah desa mereka.
"Rampok! Tolong...!" Tong, tong, tong...! Suara kentongan tanda bahaya terdengar saling sahut-menyahut. Saat itu pula warga Desa Landung Sari dengan senjata seadanya bergegas keluar.
Mereka memburu ke arah datangnya jeritan "Itu rampoknya! Tangkap...!" seru lelaki bertubuh gemuk dengan kumis melintang.
Matanya kelihatan garang. Wajahnya bulat dengan hidung besar. Dan berpakaian kuning keemasan, menunjukkan kalau dia orang berada. Rambutnya tidak terlalu panjang, terurai lepas sebatas bahu. Di tangan lelaki itu tergenggam keris yang telah terhunus. Dialah Ki Marta Pari, Kepala Desa Landung Sari.
Di sampingnya, berdiri seorang lelaki berperawakan tinggi kekar. Kumis melintang, hidung besar serta mata tajam. Ikat kepalanya berwarna hitam, berpakaian lengan panjang tanpa leher berwarna hitam dan putih seperti pakaian orang Madura.
Dia adalah Ki Capir Sumpit, pengawal Ki Marta Pari.
"Tangkap perampok-perampok itu!" seru Ki Capir Sumpit seraya berkelebat mengejar para perampok yang menjarah desa.
Ki Capir Sumpit segera merangsek ke arah para perampok, mendahului kepala desanya, untuk membantu penduduk yang sedang bertarung menghadapi perampok yang berjumlah dua puluh orang itu.
Warga Desa Landung Sari yang tidak suka desanya dijarah, dengan nekat menyerang para perampok yang berpakaian hitam. Wajah mereka juga ditutupi kain hitam.
Hanya terlihat dua lubang di bagian mata mereka.
Melihat penduduk Desa Landung Sari dan kepala desanya menyerbu, para perampok yang tak lain Gerombolan Lowo Ireng itu dengan sigap menyambutinya. Maka, pertarungan pun tak dapat dielakkan.
"Bantai mereka!" seru Ki Marta Pari.
"Hadang mereka...!" seru pemimpin perampok sambil berkelebat menghadang Ki Marta Pari.
"Menyerahlah, Ki! Berikan semua harta yang ada di desamu pada kami!"
"Huh, jangan kira aku takut padamu. Meski namamu lebih menakutkan dari hantu, Marta Pati tak akan gentar!" dengus Ki Marta Pari dengan lantang.
Matanya yang lebar, memandang penuh kebencian ke arah sosok hitam di depannya.
"Ha ha ha...! Perutmu buncit. Bagaimana kau akan bisa menghadapiku"!" ejek pemimpin perampok yang bernama Sengkolo.
Di dalam Gerombolan Lowo Ireng, terdapat sepuluh orang yang memimpin bagian-bagian gerombolan yang tersebar di seluruh tanah Jawa Dwipa. Kesepuluh pemimpin itu antara lain, Sarwono, memimpin begal-begal di hutan dekat markas mereka. Sengkolo, memimpin para perampok yang bertugas di daerah timur, dan kini menjarah Desa Landung Sari. Samilun, memimpin barisan laut atau sering disebut Bajak Laut selat Madura. Kane-kane, seorang wanita yang memimpin di kotaraja.
Sedangkan yang kelima sampai kesepuluh, semuanya bertugas menjadi pemimpin yang mengawasi keadaan dunia persilatan.
Namun setiap waktu mereka bisa diperbantukan pada keempat pemimpin lain yang membutuhkan. Keenam pemimpin itu adalah, Segatra, Prabasu, Mantraka, Krada, Bradalupa dan Damar Wangis. Sama dengan yang lainnya, mereka pun berwatak kasar dan bengis. Tak pernah ada kata ampun bagi lawan atau korbannya.
Mendengar ejekan Sengkolo, kemarahan Ki Marta Pari berkobar seketika. Dengan mendengus, lelaki gemuk itu segera meluruk maju. Keris di tangannya bergerak menusuk ke dada lawan dengan jurus 'Sampar Grana'.
"Tembus dadamu, Iblis! Hiaaat..!"
"Uts! Belum, Kerbau Dungu!" ledek Sengkolo sambil berkelit mengelakkan serangan yang dilancarkan Ki Marta Pari.
Kemudian dengan cepat Sengkolo balas menyerang. Tangan kirinya memukul ke arah pundak lawan. Sedangkan golok di tangan kanannya menebas leher lawan.
"Putus lehermu!" Wut! Ki Marta Pari terkesiap, merasakan desingan angin yang keluar dari tebasan golok di tangan lawan.
Cepat-cepat Ki Marta Pari bergerak mengelit ke samping dengan tubuh agak dirundukkan. Lalu dengan cepat, kerisnya ditusukkan ke perut lawan.
Sementara itu tangan kirinya bergerak memukul ke selangkangan lawan dengan jurus 'Tapak Getih'. Kali ini Sengkolo yang tersentak kaget, menyaksikan jurus lawan yang dahsyat.
Dari angin pukulannya saja, tergambar bagaimana kekuatan pukulan yang terasa panas menyengat, memaksa tubuh Sengkolo untuk segera mencelat ke belakang.
"Hm.... Rupanya kau mencari mampus, Kerbau Dungu! Baik, bersiaplah untuk mampus!" geram Sengkolo Dalam keadaan masih memasang kuda-kuda Sengkolo memasukkan golok ke sarungnya, lalu tangannya disatukan di depan wajah.
Setelah itu, telapak tangan kiri dan kanan digesekkan satu sama lain. Wusss! Telapak tangan Sengkolo mengepulkan asap hitam. Bersamaan dengan itu, tangannya menghitam bagai arang. Itulah ajian yang dimiliki pemimpin wilayah Gerombolan Lowo Ireng. Ajian sesat itu bernama 'Warangga Geni'.
"Hiaaat..!"
"Yaaat..!" Baik Ki Marta Pari maupun Sengkolo kini telah mengeluarkan ajian tingkat tinggi.
Ki Marta Pari dengan 'Tapak Getih'nya, sedangkan Sengkolo dengan 'Warangga Geni'nya. Tubuh keduanya mencelat cepat ke udara dengan tangan siap melontarkan pukulan masing-masing. Jarak mereka bertambah dekat. Ketika bentrokan dahsyat akan terjadi, tiba-tiba sebuah bayangan putih bergerak membabatkan pedang yang berwarna merah kekuning-kuningan ke arah Sengkolo yang tersentak dan berkelit di udara.
Wut! Di udara malam yang gelap dan menusuk rulang, sinar itu membentuk garis terang pada saat bayangan putih tadi membabatkan pedangnya. Jelas itu sangat mengejutkan kedua lelaki yang sedang bertempur.
Saat kedua kaki lelaki itu menjejak tanah, telah berdiri dengan gagah seorang gadis cantik berpakaian putih dengan dua gelung rambut di atas kepalanya. Bola mata gadis itu bening, namun pandangannya tajam, menatap penuh kebengisan kepada Sengkolo.
"Siapa kau"! Mengapa kau ikut campur urusanku"!" bentak Sengkolo memberanikan diri, meski dia telah tahu siapa sebenarnya gadis Cina yang sepak terjangnya membuat tokoh-tokoh rimba hitam agak kewalahan.
"Hhh...!" dengus gadis cantik yang tak lain Mei Lie itu. Matanya menatap penuh kebencian pada Sengkolo.
"Selama aku masih hidup, tak aka kubiarkan orang-orang sepertimu berlaku sewenang-wenang." Sengkolo terbeliak. Dia memang telah memahami benar siapa gadis Cina itu, yang diberi gelar oleh orang-orang persilatan sebagai Bidadari Pencabut Nyawa. Sebuah gelar yang menyeramkan bagi tokoh persilatan golongan hitam termasuk Sengkolo.
"Kaukah Mei Lie"!"
"Ya!"
"Bagus! Pucuk dicinta ulam tiba! Kami memang sengaja mencarimu!" Mei Lie tersenyum sinis, mendengar ucapan Sengkolo. Matanya masih menatap tajam ke arah Sengkolo. Kemudian kepalanya ditolehkan ke belakang, ke arah Ki Marta Pari.
"Ini urusanku, Ki. Bantulah wargamu memberantas Gerombolan Lowo Ireng yang hendak menjarah harta penduduk," pinta Mei Lie.
"Ba... baik, Nyi Pendekar." Sengkolo tertawa terbahak-bahak, berusaha menutupi rasa gentarnya menghadapi Mei Lie. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh menunjukkan rasa takut pada gadis itu, meski julukan gadis Cina di hadapannya bukan nama kosong. Buktinya Tiga Setan Rambut Api dapat ditumpas seperti memusnahkan alang-alang "Tak kusangka Bidadari Pencabut Nyawa ini masih bocah bau kecur. Hm.... Kuharap kau berpikir seribu kali untuk berhadapan denganku!" kata Sengkolo, masih berusaha menenangkan hatinya, menghilangkan rasa takut yang berdenyutdenyut di dadanya.
"Hm.... Untuk iblis sepertimu, untuk apa aku harus berpikir?" sergah Mei Lie dengan nada mencemooh.
"Bedebah! Rupanya kau menganggap Gerombolan Lowo Ireng tak ada artinya, Bocah!" hardik Sengkolo marah. Gigi-giginya bergemeletuk keras. Walau begitu, dia masih belum mau menyerang. Bagaimanapun juga, Sengkolo harus berpikir dulu untuk menghadapi Bidadari Pencabut Nyawa.
"Sama sekali tak ada. Bahkan Gerombolan Lowo Ireng tak lebih dari sekumpulan anjing-anjing kurap yang mengotori dunia!" sahut Mei Lie dengan senyum sinis melekat di bibirnya.
"Bedebah! Kulumat tubuhmu! Heaaa...!" Dengan nekat, akhirnya Sengkolo merangsek maju. Tangannya dengan cepat menarik golok yang tadi berada di sarungnya.
Srrrt! Dengan jurus 'Lowo Ireng Merentang Sayap Menyambar Mangsa', Sengkolo melabrak. Tangannya membentang lebar, tubuhnya melayang laksana terbang. Kemudian dengan cepat tangannya bergerak. Tangan kanan membacokkan golok ke kepala Mei Lie, sedangkan yang kiri menghantam dengan pukulan sakti 'Warangga Geni'.
"Hiaaat..!"

***

Melihat lawan telah melesat menyerang, Mei Lie segera menggeser kaki kanan agak membuka. Ditekuknya kaki kanan membentuk siku. Tangan kiri digerakkan ke atas, lalu ditarik ke bawah dan dilecutkan di depan dada. Sedangkan Pedang Bidadari di tangannya disabetkankan miring ke samping, lalu ditarik lurus di depan dada. Kemudian, dilanjutkan dengan gerakan memutar di depan tubuh.
Disambung lagi lengan gerakan berbareng antara pukulan tangan kiri dan tebasan pedang.
"Heaaa...!" Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Menusuk Gunung Karang', Mei Lie memapaki serangan lawan. Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat, memburu tubuh lawan.
"Yiaaat...!" Trang! Plak! "Ukh!" Sengkolo mengeluh. Cepat-cepat tubuhnya dilontarkan ke belakang, menghindar dari tusukan pedang lawan yang cepat dan garang. Golok di tangannya telah patah menjadi tiga bagian, terbabat Pedang Bidadari di tangan Mei Lie.
Mata Sengkolo membelalak. Baru kali ini disaksi-kannya jurus pedang yang sangat cepat dan mematikan. Rasanya selama ini belum ada pendekar pedang yang mampu melakukan gerakan menyerang dengan begitu cepat dan keras.
"Kurang ajar!" maki Sengkolo marah, mendapatkan kenyataan kalau ilmu lawan ternyata berada sampai tiga tingkat di atasnya. Namun begitu, sebagai pemimpin dari salah satu Gerombolan Lowo Ireng, dia tidak boleh menunjukkan rasa takut meski lawan yang dihadapinya sangat tangguh.
"Hm, itu baru golokmu, Iblis! Kini giliran nyawamu...!" dengus Mei Lie, disusul oleh gerakan pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan. Membuat keadaan di sekitar tempat itu menjadi terang.
"Bangsat! Jangan harap kau mampu membunuh-ku! Hiaaat..!" Sengkolo dengan nekat kembali menyerang. Pukulan sakti yang dimilikinya dikerahkan habis-habisan.
Tangannya kini berubah hitam pekat Menyaksikan lawan kembali merangsek, Mei Li secepat kilat memapakinya dengan jurus 'Pukulan Bidadari Menjebol Benteng'.
"Yiaaat..!" Tubuh Mei Lie melayang deras dengan tangan kiri menggenggam, memukul lurus ke arah lawan. Sedangkan pedang di tangan kanannya membersit ke arah lawan. Matanya terpejam dan gerakan pedangnya nampak aneh. Terlihat pelan dan lambat, namun sesungguhnya gerakan itu mengandung kekuatan yang besar. Itulah jurus 'Pedang Tebasan Batin', jurus pamungkas yang sangat dahsyat.
Sengkolo yang sudah mata gelap tak menghiraukan apa yang akan terjadi. Dia berkeyakinan kalau pukulan saktinya akan mampu meremukkan tubuh lawan. Tubuhnya masih melesat cepat, dengan tangan bergerak bergantian ke wajah.
"Hiaaat..!"
"Heaaa...!" Wut! Srrt! "Ukh!" Dari mulut Sengkolo terdengar jerit tertahan ketika pedang di tangan Mei Lie membabat tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri Mei Lie yang berisi pukulan 'Bidadari Menjebol Benteng' menghantam telak dadanya.
Begk! "Ngk! Uhk...!" Tubuh Sengkolo teriungkir ke belakang. Dia berusaha bangkit dengan sempoyongan.
Tangan kanannya yang terbabat, terlihat masih utuh, seakan tak terkena babatan pedang lawan. Darah meleleh dari sela-sela bibirnya.
Mei Lie terdiam sesaat, mengatur pernapasan setelah mengerahkan tenaga dalam.
Matanya memandang Sengkolo yang kelihatan pucat, dengan kening berkerut Sengkolo tak mengerti mengapa tangannya masih utuh. Padahal tadi dilihatnya terbabat pedang lawan. Merasa tidak mengalami apa-apa, Sengkolo hendak menyerang kembali. Namun baru saja kakinya melangkah setindak, tiba-tiba tangan kanannya berhamburan menjadi debu.
Tanpa darah setetes pun.
"Aaa.... Tidak...!" pekik Sengkolo histeris. Matanya membesar nyaris keluar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Mei Lie tersenyum sinis.
"Itu baru tanganmu, Iblis! Kini bersiaplah, nyawamu akan segera kukirim ke neraka!" ancam Mei Lie. Lalu dengan cepat, pedangnya digerakkan kembali.
Sengkolo yang kini nyalinya ciut, semakin ketakutan. Dia telah merasakan bagaimana kehebatan ilmu pedang lawan. Dia bermaksud lari, namun dengan cepat Mei Lie telah menghadangnya.
"Mau ke mana, iblis"!"
"Oh, tidak! Ampunilah nyawaku. Jangan bunuh aku," ratap Sengkolo sambil menangis, mengharap Mei Lie mau mengampuninya.
Mei Lie terdiam. Matanya masih memandang tajam pada Sengkolo yang meratap tersedu-sedu, mengharap ampunannya.
"Baik, kali ini kuampuni. Sekarang pergilah!" bentak Mei Lie.
Sengkolo menurut, dia bangun dari sujudnya.
Namun ketika Mei Lie lengah, dengan licik Sengkolo melepaskan pukulan saktinya ke arah Mei Lie.
"Mampuslah kau, hiaaat...!" Mei Lie yang sudah menduga tabiat lelaki tinggi besar yang sekujur tubuhnya tertutup oleh kain hitam itu dengan cepat membuang tubuh ke samping dan bersalto beberapa kali. Dengan cepat pedangnya dibabatkan ke arah lawan.
"Rupanya kau harus mampus, Iblis! Heaaa...!" Wut! Srrrt! "Aaa...! Sengkolo kembali memekik, ketika pedang di tangan Mei Lie menebas tangan kirinya. Dan seperti kejadian sebelumnya, tangan kirinya bagai tak terkena apa-apa. Namun ketika angin bertiup, tangan kirinya tiba-tiba hancur jadi debu! Belum juga habis kengerian Sengkolo, Mei Lie kembali menyabetkan pedangnya secara menyilang, dan menebas tubuh Sengkolo.
Wut, wut..! "Wuaaa...!" Sengkolo menjerit dalam satu lengkingan panjang yang menggiriskan. Matanya membeliak. Sesaat dia mematung di tempat itu, kemudian tubuhnya lebur jadi debu.
Menyaksikan pemimpinnya hancur jadi debu, anak buah Sengkolo kocar-kacir seperti anak ayam kehilangan induk. Mereka kini semakin terdesak.
Penduduk Desa Landung Sari yang melihat gelagat baik itu, tak menyia-nyiakannya. Dipimpin oleh Ki Capir Sumpit yang menjadi tangan kanan Ki Marta Pati, mereka menggasak sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng.
"Habisi mereka...!" seru Ki Marta Pari.
"Ayo, jangan biarkan mereka hidup!" sambung Ki Capir Sumpit sambil berkelebat memimpin penduduk yang segera menyertainya melakukan serangan terhadap sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng.
Suara-suara marah berhambur dari mulut penduduk Desa Landung Sari.
Sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng semakin ketakutan menghadapi amarah penduduk. Terlebih di situ ada Bidadari Pencabut Nyawa. Penduduk desa yang kalap, dengan ganas membabat sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng. Mei Lie yang menyaksikan kejadian itu hanya menghela napas. Sebelum semua penduduk menghentikan pelampiasan amarahnya terhadap sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng, Mei Lie telah melesat pergi.

***



::₪| 5 |₪::

Nama Bidadari Pencabut Nyawa semakin tersohor, setelah Gerombolan Lowo Ireng yang menjarah Desa Landung Sari dapat ditumpas. Malah pemimpin gerombolan itu hilang tak berbekas, seakan raib ditelan bumi. Hanya penduduk Desa Landung Sari saja yang tahu, kalau pemimpin Gerombolan Lowo Ireng itu musnah menjadi debu, tertebas Pedang Bidadari di tangan Bidadari Pencabut Nyawa.
Angin pagi bertiup semilir, diiringi sinar mentari yang bergerak lamban di kaki langit sebelah timur.
Desau angin lembut, senandung burung dan kokok ayam jantan, menyatu dalam satu irama tertentu.
Dari kejauhan di dalam Hutan Selo Kamal terdengar suara nyanyian merdu. Nyanyian itu diselingi tiupan suling yang mendayu, seperti menikmati indahnya pagi.
Samar-samar di kejauhan, tampak seorang pemuda tampan dengan suling emas berkepala naga di tangannya, tengah melangkah sambil bernyanyi.
Pakaian pemuda itu terbuat dari kulit ular sanca.
Begitu juga ikat kepalanya.
Pemuda tampan yang tengah bernyanyi-nyanyi sambil meniup suling itu, tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Didengar dari syair lagunya, tampaknya Sena tengah merasakan kerinduan pada seorang gadis yang dicintainya. Dan tentunya gadis itu adalah Mei Lie.
Duh, alam yang indah Di mana mentari senantiasa hadir Mengusir embun yang dingin Telah jauh kakiku melangkah Tuk mencari permata hati Namun sejauh ini Belum juga kutemui....
Setelah berdendang, Sena pun duduk di sebatang pohon yang tumbang. Suling Naga Sakti diselipkan pada ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-tawa, kepalanya digaruk sambil menatap burung-burung yang bernyanyi riang.
"Hi hi hi...! Kau begitu gembira, Burung! Aha, kau meledekku. Tak apa. Kuakui memang aku sedang bingung...," kata Sena berbicara seorang diri.
"Aha, tentunya kau yang bisa terbang tahu di mana kini Mei Lie berada, Burung?"
"Cit, ciiit...!" Sena melompat-lompat sambil tertawa-tawa mendengar suara burung mencuit.
"Aha, rupanya kau tahu. Di mana dia, Burung Cantik?"
"Cuit, cuit..!" Sena mengangguk-angguk sambil cengengesan.
Lalu dengan tetap tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, Sena bangkit dari duduknya. Wajahnya menengadah ke langit ketika burung-burung pemakan bangkai beterbangan dengan pekikan yang keras.
"Oh, ada apa dengan burung-burung itu" Bukankah mereka burung pemakan bangkai?" gumam Sena dengan kening berkerut .
Dengan mulut masih cengengesan Sena kembali duduk. Matanya beredar ke sekeliling tempat ya ditumbuhi pepohonan hijau menggapai cakrawala.
Kresek! Bibir Sena tersenyum ketika telinganya menangkap suara kaki menginjak daun kering.
Dengan acuh sambil tersenyum-senyum, dia bersila.
Tangan kanannya menopang dagu seperti sedang merenung.
"Hi hi hi...! Rupanya ada juga tikus yang bersembunyi," ucap Sena tenang.
Matanya memandang redup dan mulutnya masih cengengesan. Sedangka tangan kirinya menepuk-nepuk paha.
Swing, swing...! Tiba-tiba puluhan senjata rahasia melesat ke arah Sena yang masih duduk bersila.
"Aha! Ada juga tikus yang pandai bercanda!" Sena sambil berjumpalitan di udara.
Bersamaan dengan itu, segera dihantamkannya pukulan 'Inti Bayu' ke arah senjata rahasia yang meluncur ke arahnya.
"Hi hi hi..! Ini mainan kalian kukembalikan!" Wusss! Swing, swing...! Crab, Crab...! "Aaakh...!" Dari balik semak-semak yang jaraknya sekitar lima belas tombak terdengar jeritan kematian. Kemudian tampak lima orang dengan wajah ditutupi kain hitam meregang.
Di leher mereka tertancap lima buah senjata rahasia yang tentunya milik mereka.
Kemudian tubuh mereka ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Lucu sekali! Lucu...!" seru Sena sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera kegirangan.
"Kurang ajar! Serang dia...!" Dari balik semak-semak, terdengar perintah seseorang untuk menyerang. Bersamaan dengan itu, muncul puluhan orang-orang berpakaian hitam dengan wajah tertutup kain hitam. Mereka langsung mengurung Sena yang masih tertawa-tawa sambil melompat-lompat seperti kera.
"Ha ha ha...! Monyet-monyet hitam! Ha ha ha...!"
"Bedebah! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-orang berpakaian serba hitam yang segera dipatuhi anak buahnya.
"Hiaaat...!"
"Wadauw! Mengapa ganas sekali"!" tanya Sena, sambil memegangi kepalanya.
Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan.
"Pecah kepalamu, Pemuda Edan!" bentak pemimpin para penyerang sambil menebaskan goloknya ke kepala Sena.
"Wadauw, aku tidak mau!" teriak Sena sambil meliukkan tubuhnya dengan kaki agak merentang. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena mementahkan serangan yang datang ke arahnya.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, dan sesekali tangannya bergerak seperti menepuk.
"Hi hi hi...! Rasakan kue apemku! Nih...!" Tangan Sena menepuk ke dada seorang lawan yang menyerang ke arahnya. Tubuhnya masih meliuk-liuk, serta sedikit membungkuk.
Degk! "Wuaaa...!" Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke belakang, melayang laksana terbang.
Tubuh orang itu baru berhenti, ketika menabrak sebatang pohon yang cukup besar.
Brak! "Aaakh!" Orang itu menjerit. Kain penutup kepalanya bersimbah darah. Tentunya kepala orang itu pecah akibat benturan keras dengan pohon besar tadi.
Hutan yang semula tenang dan asri, seketika riuh dan porak-poranda. Banyak pohon yang tumbang oleh hantaman pukulan mereka. Rumput-rumput yang mulanya segar, kini banyak yang layu terinjak-injak.
Hewan-hewan hutan seketika berserabutan ketakutan.
"Hi hi hi...! Siapa lagi yang mau kue apem..."'" tanya Sena sambil bergerak seperti seekor kera.
Tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya masih meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan serangan lawan.
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-orang berpakain serba hitam yang tentunya dari Gerombolan Lowo Ireng. Tubuh pemimpin gerombolan itu tidak terlalu besar. Suaranya juga bukan suara lelaki. Tentunya dia Kane-kane, wanita yang memimpin Gerombolan Lowo Ireng di kotapraja.
"Cincang dia!" sambut anak buahnya.
Serentak mereka kembali menyerang dengan membabatkan golok di tangan masing-masing.
Namun dengan cepat Sena kembali bergerak mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat.
Tubuhnya dibungkukkan ke bawah.
"Wah! Ganas sekali tikus betina ini?" ucap Sena sambil terus bergerak mengelak.
Pantatnya sengaja ditunggingkan ke arah Kane-kane, yang membuat wanita dari Gerombolan Lowo Ireng itu bertambah marah.
"Haiiit..!" Kane-kane membabatkan goloknya ke pantat Sena.
"Wadauw! Jangan, Nyi! Pantatku bisulan! Hi hi hi...!" Sambil ber kata begitu, Sena kembali mengelak cepat. Kemudian tangannya menepuk dua orang yang berada di depan dan sampingnya.
Degk! "Wuaaa...!"
"Aaa...!" Dua orang korban sasaran pukulan Pendekar Gila memekik. Tubuh mereka terpental deras ke belakang seperti dua batang ranting kering. Lalu menghantam pohon disertai pekikan kematian. Kemudian tubuh keduanya ambruk dengan napas putus.
"Bangsat...! Minggir! Biar kuhadapi dia!" seru Kane-kane kalap, merasa lawannya terlalu berbahaya untuk dihadapi anak buahnya. Bisa habis satu persatu anak buahnya di tangan pemuda tampan yang bertingkah seperti orang gila itu.
Setelah anak buahnya mundur teratur, dengan cepat Kane-kane melabrak maju.
Matanya yang nampak dari lubang di kain penutup wajahnya, melotot garang pada Sena yang masih cengar-cengir.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila"!" bentak Kane-kane.
"Hi hi hi...! Dari mana kau tahu, Tikus Betina" Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak dengan tubuh berjingkrakan seperti kera. Tangannya menggarukgaruk kepala.
"Namamu cukup kondang, Pendekar Gila! Hm, aku datang untuk menantangmu!" Sena kembali tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali! Lucu sekali omonganmu, Tikus Betina. Mengapa kau menantangku?" tanya Sena masih bergerak-gerik seperti kera.
"Karena kau penghalang kami!"
"Oh, kurasa kalau kalian bermaksud baik, aku tak akan menghalanginya. Ah ah ah.... Tentunya maksud kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi hi.
Atau kalian tak punya hidung"!" ledek Sena yang membuat Kane-kane semakin membelalak garang.
"Bedebah! Apa pun yang akan kami lakukan, urusan kami! Kau memang harus disingkirkan, karena kau penghalang utama. Nah, bersiaplah!" bentak Kane-kane sengit Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan.
"Aha, kalau memang itu maumu, baiklah. Aku akan melayanimu."
"Hiaaat...!" Kane-kane segera melompat dengan terkaman tangan yang membentuk cakaran. Dengan jurus 'Kelelawar Menyambar Serangga' Kane-kane menyerang. Tangannya bergerak menyilang, lalu mencengkeram lurus ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali gerakanmu, Nyi." Sena segera menundukkan kepala, lalu dengan cepat tubuhnya bergerak mengelak sambil berguling.
Kakinya menendang ke atas, di mana tubuh Kai kane berada.
"Hi hi hi...! Ini tendangan kuda binal, Nyi!" Kane-kane tersentak kaget mendapatkan serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangannya berusaha ditarik. Tapi tubuhnya yang sudah melayang sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang.
Sehingga... Degk! "Hukh!" Tubuh Kane-kane terlontar ke depan, lalu tersuruk mencium tanah.
"Ha ha ha...! Mengapa kau mencium tanah, Nyi?" tanya Sena sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya menepuk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk kepala sambil melompat-lompat kegirangan. Hal itu membuat Kanekane semakin marah.
"Kurang ajar! Bunuh monyet gila itu!" perintah Kane-kane pada anak buahnya yang langsung bergerak mengurung Pendekar Gila yang masih melompat-lompat seperti kera.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya!" seru Kane-kane bertambah murka, menyaksikan tingkah Pendekar Gila yang kian menjengkelkan.
"Hiaaa...!"
"Yeaaah...!" Anak buah Kane-kane langsung menyerbu dengan babatan dan tusukan golok ke tubuh Sena. Mereka nempaknya bernafsu sekali untuk segera menghabisi nyawa pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gila bukannya takut, malah tingkahnya kian menggila. Dengan berjingkrak-jingkrak seperti kera, Sena mengelakkan serangan-serangan lawannya. Tubuhnya meliuk-liuk bagai sedang menari. Kemudian tangannya bergerak ke beberapa jurusan, menghantam dengan tepukan-tepukan yang kelihatannya pelan ke dada lawan.
"Hea...!" Plak! "Wuaaa...!" Satu orang lagi terkena hantaman tepukan tangan Pendekar Gila. Seperti tiga temannya, tubuh orang ini pun melayang jauh ke belakang. Dan baru berhenti ketika membentur pohon dengan kepala pecah.
Pendekar Gila yang sudah tahu kalau mereka adalah para bajingan, kini tak mau diam dan membiarkan mereka lolos. Tubuhnya bergerak cepat, meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' disusul dengan jurus yang semakin membuat lawan-lawannya bertambah kalang-kabut Jurus 'Si Gila Menyapu Kabut'.
Wusss...! Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar angin deras menghantam ke arah lawan. Para pengeroyoknya seketika terdorong keras. Bahkan pakaian Kane-kane terlepas.
Tubuhnya kini tak tertutup sehelai benang pun. Ternyata dia seorang wanita muda yang cantik dengan rambut terurai lepas. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis.
Hal itu membuat Sena mengerutkan kening sesaat. Tak menyangka kalau gadis secantik Kane-kane ter-jerumus dalam kegelapan dunia hitam.
"Aha, rupanya tikus betina ini cantik?" gumam Sena.
"Sayang sekali tindakannya telengas." Kane-kane kelabakan menutupi auratnya dengan kedua tangan. Wajahnya merah terbakar karena malu Dia kini tak dapat berbuat banyak. Pilihan yang dimilikinya hanya pergi meninggalkan tempat itu sambil meneriakkan ancaman.
"Pendekar Gila! Kali ini aku kalah! Namun kelak, aku akan kembali membuat perhitungan denganmu!" Sena hanya menggeleng sambil tersenyum. Lalu melangkah meninggalkan Hutan Selo Kamal.

***

Hutan Gandring nampak damai dan asri, dengan barisan pohon menghijau dan subur.
Burung-burung berkicau dengan riang. Terasa damai suasana di Hutan Gandring siang itu. Angin bertiup dengan alunan yang membuat mata ngantuk.
Hutan yang indah dan asri, seketika berubah mendadak. Banyak pepohonan yang rusak. Kicau burung tidak terdengar lagi. Rumput banyak yang layu. Kedamaian hutan itu terpecah oleh suara teriakan-teriakan orang yang tengah bertarung.
Dua orang lelaki berpakaian pendekar berwarna jingga nampak tengah bertarung menghadapi wanita bercaping daun pandan dengan pakaian putih seperti pakaian gadis Cina. Kedua lelaki muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu bertubuh tinggi dan kekar. Wajah mereka tampan dengan kumis tipis menghiasi atas bibirnya. Kedua lelaki itu bernama Gupala dan Gupali.
Mereka berasal dari Perguruan Semeru. Rambut mereka agak ikal terurai panjang, berikat kepala jingga pula. Hidung mereka mancung dengan mata tajam laksana mata seekor elang.
"Mei Lie, antara kita tak ada sangkut paut apa-apa, mengapa tiba-tiba kau menyerang kami?" tanya Gupala tak mengerti mengapa Mei Lie yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa menyerang mereka.
Padahal mereka dari golongan putih.
Gadis cantik yang sosok tubuh dan wajahnya mirip Mei Lie itu tak berkata. Gadis yang tak lain Sarah Dita itu terus menyerang kedua kakak-beradik yang berkelit dengan terheran-heran.
"Kakang, jelas dia tidak main-main! Kita harus nenghadapinya dengan tidak mainmain pula!" dengus Gupali, setelah tubuh mereka menjauh lima tombak di depan gadis itu.
"Benar, Dimas. Aku heran, bagaimana mungkin Mei Lie yang kita dengar membela kebenaran dan keadilan menyerang kita," gumam Gupala.
"Jangan banyak omong! Kalian memang harus mampus! Hiaaat..!" bentak Sarah Dita seraya menerjang dengan membabatkan pedang ke arah lawan-lawannya.
Wut! "Hati-hati, Kakang! Dia benar-benar ingin membunuh kita!" kata Gupali mengingatkan.
"Kita tak tinggal diam terus. Kita sebaiknya melawan."
"Ayolah! Kita gunakan jurus 'Dwi Sangkur Dewa'!" Setelah mempertimbangkan masak-masak, kini kakak-beradik tersebut bergerak menyerang. Pisau kembar yang menjadi senjata andalan mereka, berdesing tajam ke arah lawan. Hal itu membuat Sarah Dita tersentak. Dia berusaha mengelitkan serangan lawan, kemudian dengan cepat pula balas menyerang dengan jurus andalan 'Sambutan Sampar Kabut'.
Pedang di tangan Sarah Dita bergerak cepat hingga bagai menghilang. Yang nampak hanya kabut putih yang menutupi tubuh gadis cantik itu.
"Hiaaat..!" Wut! Gupala dan Gupali tersentak kaget, menyaksikan jurus pedang lawan yang cepat.
Kini keduanya tak mampu melihat sosok tubuh lawan lagi karena tertutup oleh sinar berkabut yang keluar dari pedang lawan.
"Celaka! Dia benar-benar hendak membunuh kita!" seru Gupali tegang, menyaksikan jurus lawan yang cepat dan membahayakan dengan sasaran yang mematikan ke jantungnya.
"Kurasa dia bukan Mei Lie, Dimas."
"Entahlah. Siapa pun dia, kita tak boleh lengah Kakang. Ilmu pedangnya bukan sembarangan."
"Kita gempur dengan 'Sapuan Sangkur' Heaaat..!"
"Yiaaat..!" Dengan sigap Gupala dan Gupali melemparkan pisau-pisau kecil mereka ke arah gumpalan sinar putih yang menutupi tubuh lawan.
Swing, swing...! Lima bilah pisau melesat cepat ke arah lawan.
Namun dengan tangkas, Sarah Dita mampu merontokkannya. Pisau-pisau yang dilemparkan oleh kakak beradik itu tak ada satu pun yang mampu menembus pertahanannya.
Trang, trang...! Pluk, pluk...! "Celaka! Dia bukan sembarangan jago pedang, Kakang!"
"Ya!" sahut Gupala dengan mata memandang tegang, menyaksikan senjata-senjata mereka dengan mudah dirontokkan. Namun sebagai pendekar, keduanya tidak mau mengalah begitu saja. Keduanya kembali melemparkan pisaupisaunya ke arah lawan.
"Hiaaat!" Swing, swing...! Enam pisau kembali melesat cepat ke arah Sarah Dita.
"Hait!" Sarah Dita segera memutar pedangnya dengan cepat, menangkis pisau-pisau lawan. Tring, tring...! Kembali pisau-pisau itu berguguran, terkena babatan pedang di tangan Sarah Dita.
Bahkan kini tubuh gadis itu melesat maju lalu membabat lawan dengan pedangnya.
"Kalian harus mampus! Hiaaa...!"
"Awas, Kakang!" seru Gupali sambil membuang tubuhnya ke samping, mengelakkan babatan pedang lawan. Kemudian dengan cepat tangannya memukul ke tubuh lawan.
Tapi rupanya Sarah Dita mengetahui kalau serangan yang dilancarkan lawan dari sebelah kanan. Dengan cepat pedangnya dibabatkan ke tangan lawan yang menyerang.
Wut! Gupali tersentak kaget Dia berusaha menarik serangannya. Tapi babatan pedang lawan ternyata lebih cepat. Sehingga Gupali. tak mampu untuk mengelakkannya.
Hingga.... Cras! "Aaa...!" Gupali memekik. Tangan kanannya putus terkena babatan pedang lawan.
"Dimas!" seru Gupala kaget, menyaksikan keadaan adiknya. Belum juga Gupali sempat bergerak untuk mengelak, Sarah Dita telah lebih dulu membabatkan pedang ke dadanya. Diteruskan ke lehernya yang tidak mampu mengelak sama sekali.
Wut! Cras, cras! Kali ini Gupali tak sempat memekik. Lehernya putus dan kepalanya lepas dari tubuh.
"Dimas...!" Kembali Gupala memekik keras dengan mata membelalak, menyaksikan kematian adiknya yang mengenaskan.
"Iblis! Tunggu pembalasanku!" Sebelum Sarah Dita sempat mengejar, tubuh Gupala telah melesat meninggalkan tepian Hutan Gandring. Nampaknya Sarah Dita memang sengaja membiarkan lawan pergi. Dengan begitu, Gupala akan menceritakan kejadian itu pada para pendekar.
Dan tentu Mei Lie yang akan menjadi sasarannya.
Sarah Dita tersenyum puas, kemudian melesat meninggalkan tempat itu.

***



::₪| 6 |₪::

Berita tentang Mei Lie yang membunuh salah seorang murid Perguruan Semeru di pinggir Hutan Gandring, membuat para pendekar kebingungan. Dunia persilatan dibebani pertanyaan yang memusingkan karena kejadian itu. Hampir semua orang, baik dari dunia persilatan maupun dari kalangan biasa bertanyatanya. Bagaimana mungkin Bidadari Pencabut Nyawa kini membunuh salah seorang dari murid Perguruan Semeru" Perdebatan antara pihak yang yakin kalau Mei Lie yang melakukannya dengan pihak yang tidak percaya, menjamur di mana-mana. Mereka pada umumnya tidak percaya dengan berita itu. Malah ada yang menuduh Gupala hanya membuatbuat cerita untuk menjatuhkan nama baik Mei Lie.
Siang itu, tiga orang lelaki tua dengan jubah berwarna putih melangkah menuju sebuah bangunan besar yang berada di Gunung Semeru. Tiga lelaki tua berjubah putih dengan rambut putih terurai itu adalah tiga tokoh sakti dari aliran lurus.
Ketiganya sering disebut Tiga Malaikat Suci. Sampai setua ini, mereka tidak menikah. Jiwa dan raga mereka senantiasa diserahkan pada Hyang Widhi. Di samping itu, mereka berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan.
Kedatangan Tiga Malaikat Suci ke Perguruan Semeru, semata-mata atas undangan Ketua Perguruan Semeru yang juga mengundang para pendekar di wilayah Jawa Dwipa bagian timur.
Dua prajurit jaga yang melihat Tiga Malaikat Suci segera menyambut mereka dengan menjura hormat "Selamat datang ke Perguruan Semeru."
"Hm.... Terima kasih. Katakan pada ketua kalian kami datang," kata salah seorang dari Tiga Malaikat Suci yang berjalan di tengah.
"Baik! Silakan Eyang sekalian menunggu sebentar," kata penjaga. Kemudian salah seorang dari mereka bergegas masuk untuk memberitahukan pada ketuanya kalau orang yang ditunggu telah datang.
Tiga Malaikat Suci merupakan tiga saudara seperguruan yang ilmu kesaktiannya tinggi. Orang pertama yang berdiri paling kanan bernama Arya Parasu. Yang kedua bernama Arya Somala dan yang ketiga nama Arya Narasi. Ketiganya terkenal arif dan bijaksana da lam menangani segala masalah. Untuk itulah, Ketua Perguruan Semeru mengundang mereka. Tidak lama kemudian, dari dalam muncul murid Perguruan Semeru tadi diikuti oleh ketua mereka.
"Selamat datang ke Perguruan Semeru, Eyang," sambut Ki Malawa. Lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun dengan tubuh tegap dan sorot mata tajam itu menjura. Wajahnya nampak tenang dan ramah.
Meski salah seorang murid utamanya tewas, namun tampaknya Ketua Perguruan Semeru yang mengenakan jubah warna kuning dengan pakaian dalam warna coklat muda ini tetap bersikap tenang.
"Hm.... Terima kasih," sahut ketiganya bersamaan.
"Ada apa sampai kau memanggil kami, Malawa?" tanya Arya Parasu.
"Ya. Ada apa kau memanggil kami...?" sambun Arya Somala.
"Silakan Eyang bertiga masuk dulu. Di dalam telah banyak para pendekar menunggu." Tiga Malaikat Suci saling pandang, mendengar para pendekar telah diundang pula oleh Ki Malawa.
Hati mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan Ketua Perguruan Semeru itu memanggil para pendekar.
"Silakan, Eyang." Tiga Malaikat Suci akhirnya menurut masuk.
Diiringi oleh Ki Malawa, mereka masuk ke sebuah ruangan lebar tempat para pendekar dari wilayah timur berkumpul. Di situ ada Ki Bagel Kara, Nyi Palayuan, Ki Sampra Wika, Dewi Bayangan Bidadari, Ki Naga Kadra serta seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tingkah lakunya persis orang gila.
Tiga Malaikat Suci yang melihat pemuda itu sudah dapat menebak, siapa sebenarnya pemuda yang cengengesan dan bertingkah laku konyol itu.
"Hm.... Rupanya Pendekar Gila ada di sini," ucap Arya Parasu sambil menjura hormat, diikuti oleh kedua adik seperguruannya. Hal itu membuat Sena segera bangun dan membalas penghormatan mereka.
"Aha, rupanya aku tak sopan," kata Sena.
"Seharusnya aku yang menjura pada kalian. He he he...!"
"Tidak ada salahnya, Pendekar Gila. Kami memang harus menghormati tamu yang datang lebih dahulu...," tukas Arya Narasi.
"Ah ah ah... Kalian orang tua bijak. Tidak sepantasnya aku menerima penghormatan kalian. Malah arusnya aku yang menghormati kalian," sergah Sena sambil cengengesan.
"Sudahlah. Tak perlu kita perdebatkan masalah ini," Arya Parasu menengahi.
"Malawa, katakanlah ada apa kau memanggil kami dan para pendekar ke tempat ini?"
"Silakan duduk dulu, Eyang," kata Ki Malawa mempersilakan ketiga orang tua itu duduk. Setelah ketiganya duduk, Ki Malawa meneruskan ucapannya.
"Memang sengaja aku mengundang Eyang bertiga datang kemari, juga para sahabat semua. Hal ini berkaitan dengan terbunuhnya salah seorang murid Perguruan Semeru oleh gadis Cina." Beberapa pendekar yang belum mendengar berita itu menjadi tersentak. Terlebih Sena yang amat tahu siapa gadis berpakaian putih gaya Cina yang tak lain Mei Lie.
"Mei Lie"!" seru beberapa tamu serentak.
"Benar!" jawab Ki Malawa tegas.
"Bagaimana mungkin Mei Lie yang terkenal dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa bertindak seperti itu?" tanya Ki Sampra Wika. Mata lelaki berumur sekitar enam puluh tahun dengan rambut ikal ini tampak terbelalak. Seperti tidak percaya.
Bahkan lelaki tua berbaju merah dadu ini memandang Pendekar Gila.
"Itu sebabnya aku mengundang kalian."
"Hm...," gumam Sena tak jelas. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir.
"Kurasa kita tidak bisa menuduh sembarangan, Ki. Kita harus memiliki bukti kuat. Siapa tahu ada orang lain yang melakukan semua ini dengan mengatasnamakan Mei Lie."
"Tidak mungkin!" bantah Ki Bagel Kara.
"Jelas dia Mei Lie."
"Aha, jangan lekas menuduh begitu, Ki. Apa kau punya saksi?" tanya Sena masih berusaha membela kekasihnya. Nada suaranya terdengar tidak senang atas tuduhan yang dilontarkan Ki Bagel pada kekasihnya.
"Ada!" sahut Nyi Palayuan.
"Hm...," gumam Sena lirih. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir.
"Aha, bagaimana kalau saksi itu tidak jelas benar melihatnya?"
"Tidak mungkin. Dia berhadap-hadapan langsung dengan Mei Lie. Bahkan dia bertarung dengan Mei Lie waktu itu bersama adiknya," tukas Ki Naga Badra.
Lelaki berusia sekitar empat puluh delapan tahun yang wataknya masih agak keras.
"Sabar!" kata Arya Parasu.
"Untuk memecahkan masalah ini, kita jangan saling bantah-membantah dengan kepala panas. Seakan sifat kependekaran kita tak ada lagi." Semua terdiam, tak ada seorang pun yang membuka suara. Hanya Sena yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nah, kini bawa saksi mata kemari," pinta Arya Parasu.
"Baik, Eyang," sahut Ki Malawa. Kemudian dengan memberi isyarat pada muridnya, Ki Malawa memerintahkan untuk menjemput Gupala.
Tidak berapa lama kemudian, muncul Gupala menghadap ke tempat itu. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu segera memberi hormat pada para pendekar yang berkumpul di ruangan tersebut.
"Ada apa Guru memanggil saya?" tanya Gupala pada Ki Malawa.
"Gupala, coba kau jelaskan bagaimana kejadiannya sampai kau dan adikmu bertempur dengan gadis Cina itu," pinta Arya Parasu. Gupala menjura, kemudian dengan singkat dan jelas dia menceritakan tentang kejadian yang dialaminya.
"Kami baru saja pulang untuk menyerahkan undangan dari guru pada Perguruan Kencana Mukti dan Padepokan Randu Kembar dalam rangka mengundang para pemimpin perguruan untuk mengadakan pertemuan untuk membahas masalah persilatan. Pertemuan yang telah sering diadakan di perguruan kami. Ketika kami melintas di Hutan Gandring, kami di hadang oleh seorang gadis cantik bercaping daun pandan. Gadis itu berpakaian putih dan bersenjatakan pedang. Dia mengaku bernama Mei Lie. Mulanya kami ragu dan tak percaya kalau gadis itu Bidadari Pencabut Nyawa. Namun ketika dia menyerang dengan pedangnya yang dahsyat, barulah kami mempercayainya." Sena menghela napas. Tingkah lakunya tetap seperti orang gila.
"Aha, tentunya kau melihat pedangnya, Ki," kata Sena.
"Benar, Tuan Pendekar."
"Bagus. Apakah pedang itu bersinar merah kekuning-kuningan?" tanya Sena.
Gupala sesaat terdiam, berusaha mengingat-ingat pedang di tangan gadis cantik yang mengaku Mei Lei.
"Tidak. Pedang di tangan gadis cantik itu berwarna putih," jawab Gupala.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak bagai tidak dapat menahan rasa gelinya.
"Ah, kini apa kalian masih yakin kalau gadis itu Mei Lie?" tanyanya sambil menggaruk-garuk kepala "Ya!" Jawab Ki Sampra Wika.
"Aha, bagaimana kalian bisa yakin?"
"Sena, Mei Lie bukanlah gadis sembarangan setelah memiliki Pedang Bidadari dan menguasai 'Ilmu Pedang Bidadari'. Siapa pun akan takut untuk mengaku-aku sebagai dirinya," tutur Ki Bagel Kara.
"Benar! Malah semua tokoh hitam dibuat gentar dengan kemunculannya. Kurasa, kalau dia memang tidak bersalah, dia akan datang untuk membuktikan dirinya memang tidak bersalah," sambung Nyi Palayuan.
Sena menggaruk-garuk kepala, seperti bingung mendapatkan kenyataan itu.
Bagaimanapun juga, nama baik dan keberadaan Mei Lie kini terancam.
Kalau Mei Lie tidak muncul juga, maka para pendekar tentu akan semakin yakin kala pelakunya adalah Mei Lie. Dan tentunya pula, orang yang telah berbuat akan semakin senang, karena secara tidak langsung dia dapat mengadu domba orang-orang persilatan golongan lurus.
Ingatan Sena melayang kembali pada peristiwa di Lembah Lamur. Di sana Mei Lie juga dituduh melakukan hal yang tak pantas bagi seorang pendekar aliran putih. Begitu pula dengan gurunya, Singo Edan. Malah dia pun sempat menuduh kalau gurunya telah meracuninya (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").
Mungkinkah sekarang Mei Lie ada yang mempengaruhi" Tanya Sena dalam hati. Biar bagaimanapun juga, aku harus bisa membongkar teka-teki ini! "Bagaimana, Pendekar Gila?" tanya Arya Parasu.
"Baiklah! Semua kuserahkan pada kalian," jawab Sena.
"Kalau begitu, untuk menyelidiki masalah ini bagaimana kalau Pendekar Gila kita tugaskan untuk menyelidikinya?" tanya Arya Parasu.
"Dengan senang hati," jawab Sena.
"Kini semua telah selesai. Kita tinggal menunggu Kedatangan Mei Lie. Kalau dia datang, kita akan bisa membuktikan kebenarannya. Apakah dia bersalah atau tidak.
Tapi kalau dia belum juga datang dalam tujuh hari, maka kita akan mencarinya," tutur Arya Somala.
"Bagaimana?" tanya Arya Narasi.
"Setuju...!" sahut para pendekar.
"Kini kau harus menyelidikinya, Pendekar Gila."
"Aku akan segera menjalankan tugas yang telah kalian amanatkan. Aku mohon pamit." Sena pun segera menjura, kemudian bergegas meninggalkan Perguruan Semeru.

***

Pendekar Gila benar-benar tak mengerti dengan semuanya. Dia tak habis pikir, mengapa Mei Lie selalu mendapat kemalangan. Dari pertama kali ke tanah Jawa Dwipa bersama ayahnya, gadis itu sudah dilanda nasib sial. Ayahnya tewas di tangan anak buah Segoro Wedi. Kemudian setelah berpisah lama dengan Pendekar Gila, muncul Houw San atau Kauw Cien Lung. Baru bertemu, kembali Mei Lie harus menelan kepahitan menjadi sandera Dewi Pemuja Setan. Dan kini, Mei Lie harus menjadi korban fitnah orang (Untuk mengetahui semua kisah Mei Lie, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Suling Naga Sakti", "Singa Jantan dari Cina", dan 'Titisan Dewi Kuan Im").
Sena melangkah menyelusuri jalanan di Lembah Pakuan dengan pikiran yang masih melayang pada Mei Lie, gadis Cina yang telah menawan hatinya.
Gadis yang selama keberadaannya di tanah Jawa Dwipa ini senantiasa mendapatkan penderitaan. Seakan telah digariskan oleh Hyang Widhi, kalau Mei Lie harus menerima semua kenyataan itu.
"Kasihan, Mei Lie," desah Sena lirih.
Ketika Sena melangkah menyelusuri Lembah Pakuan, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bertarung. Didengar dari suaranya, sepertinya ada beberapa orang yang teriibat pertarungan di balik bukit sebelah selatan.
"Heaaat..!"
"Hait!" Trang!"
"Hai, ada orang bertarung rupanya," gumam Sena sambil memasang pendengarannya lebih tajam, agar suara pertarungan itu lebih jelas.
"Ah, benar.
Kudengar suara senjata beradu. Aku akan melihat." Dengan cepat Sena menjejakkan kaki ke atas. Lalu dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Sena berusaha melihat apa yang terjadi di balik bukit Matanya membelalak, menyaksikan seorang gadis bercaping daun pandan dengan pakaian yang sama persis dengan Mei Lie tengah bertarung melawan seorang lelaki berbaju coklat "Mei Lie?" gumam Sena, menyaksikan gaya gadis itu yang sama persis dengan Mei Lie.
"Ah, tidak mungkin. Dia bukan Mei Lie. Tentunya gadis ini yang telah membunuh murid Perguruan Semeru." .
Belum juga Sena selesai meyakinkan dirinya kalau gadis yang tengah bertarung itu bukan Mei Lie, dari arah lain tiba-tiba mendesing puluhan senjata rahasia ke arahnya. Swing, swing...! "Eit! Aha, ada yang main-main rupanya!" gumam Sena sambil melenting, mengelakkan serangan puluhan senjata rahasia. Tubuhnya bersalto di udara beberapa kali, kemudian dengan cepat menepis beberapa senjata rahasia dan membalikkannya ke arah senjata-senjata itu berasal.
"Heaaa...!" Swing, swing...! Senjata-senjata rahasia itu berbalik ke asalnya.
Dan tidak lama kemudian terdengar suara hunjaman senjata-senjata itu disertai jeritan kematian.
Jlep, jlcp...! "Wuaaa...!"
"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan tubuh berjingkrakan seperti kera. Tangannya tak lepas menggaruk-garuk kepala.
"Serang...!" Seketika terdengar suara perintah seseorang dari balik bukit sebelah kiri Sena.
Swing, swing...! Puluhan anak panah tiba-tiba menderu ke arah Sena. Hal itu membuatnya segera merundukkan tubuh ke bawah, lalu dengan cepat berguling lemah ke sawah. Sengaja hal itu dilakukan. Dengan harapan orang-orang yang bersembunyi di balik bukit akan muncul. Satu anak panah ditangkapnya, lalu diseli-kan di ketiaknya.
Berpura-pura terhunjam sebatang anak panah tadi.
Benar juga apa yang diduganya. Dari balik bukit muncul puluhan orang bertopeng hitam dengan di tangan mereka. Mata orang-orang memandang tajam ke arahnya, seakan meyakinkan kalau pemuda itu telah tewas.
Saat itulah Sena segera melontarkan pukulan 'Inti Bayu' andalannya.
"Heaaa...!" Wusss! Angin kencang menderu keras ke arah orang-orang bertopeng yang berdiri di atas bukit.
"Awas...!" seru pemimpin orang-orang bertopeng mengingatkan anak buahnya.
Namun terlambat! Angin kencang laksana topan yang dilancar kan Sena tak dapat dielakkan oleh beberapa orang bertopeng itu. Seketika tubuh mereka terpental, tersapu topan yang keluar dari tangan Sena.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrak-jingkrak senang.
Tangan kanannya kembali menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk pantat.
"Lucu! Lucu sekali kalian! Ayo, turunlah!" Mendengar tantangan Pendekar Gila, orang-orang bertopeng yang tak lain Gerombolan Lowo Ireng itu meluruk turun untuk menyerang.
"Serang...! Habisi dia...!" perintah pemimpinnya.
"Heaaat..!"
"Ciaaat..!" Lembah Pakuan yang semula sepi, kini riuh oleh akan Gerombolan Lowo Ireng yang hendak menyerang Sena. Dengan golok terhunus di tangan, mereka menyerbu ke arah Sena.
"Cincang tubuhnya!"
"Yeaaah...!" Melihat lawan menyerang, Sena tak tanggungtanggung menghadapinya. Dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dipapakinya serangan mereka.
Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke sana kemari.
Pukulannya yang disertai angin topan, membuat beberapa lawan terpelanting.
"Heaaa...!" Sena tak mau berhenti sampai di situ. Dia terus bergerak menyerang dengan garang. Tingkah-lakunya seperti orang gila, dipadu dengan pukulan-pukulan maut yang dahsyat. Prak! "Wuaaa!" Satu lagi korban menjerit. Tubuhnya terpental jauh dan hancur berkeping-keping terhantam pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Serang terus!" seru pemimpin gerombolan.
"Cincang tubuhnya!"
"Yiaaat..!" Sena terus bergerak cepat. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan serangan-serangan lawan dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Setelah itu dilanjutkan dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya bergerak memukul arah lawan-lawannya.
"Heaaa...!" Begk, begk...! "Wuaaa...!" Tiga orang langsung memekik keras dengan dada hancur. Tubuh mereka terlempar jauh, kemudian jatuh dengan keadaan menyedihkan. Meski begitu, nampaknya para penyerang tidak mau berhenti sampai di situ. Mereka terus saja melabrak dengan nekat, bagai tidak mengenal rasa takut sedikit pun.
Wut! Golok menderu keras di atas kepala Sena yang menunduk sambil meliukkan tubuh. Kemudian dengan cepat kakinya menendang ke arah selangkangan lawan.
Prat! "Aduuuh...!" Orang yang terkena tendangan memekik. Matanya melotot. Kedua tangannya mendekap kemaluannya yang pecah dan meneteskan darah. Sesaat tubuhnya mengejang dan berputar-putar meregang nyawa. Lalu ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Ayo, siapa lagi yang ingin telur puyuhnya kupecahkan"!" seru Sena sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera. Tubuhnya mencelat ke atas kemudian menukik sambil melepaskan pukulan.
Kedua kakinya tak tinggal diam, menjejak dan menendang ke arah lawan.
Melihat Pendekar Gila menyerang dari atas, Gerombolan Lowo Ireng mengarahkan goloknya ke atas. Hal itu membuat Pendekar Gila mendapat keuntungan. Dengan begitu, serangan kini terpusat ke satu titik.
"Pukulan 'Inti Brahma'. Heaaa...!" Wusss...! Api keluar dari tangan Pendekar Gila, melesat ke arah Gerombolan Lowo Ireng.
Mereka terkejut dan berusaha mengelakkan serangan ganas yang dilancarkan Sena. Namun api yang bergulung-gulung itu lebih cepat melalap tubuh mereka. Sehingga...
Blup! "Wuaaa...!"
"Aaa...!" Orang-orang yang terkena api seketika menjerit.
Tubuh mereka berguling-guling, berusaha memadam-kan api. Tapi api yang tercipta dari pukulan 'Inti Brahma' tampaknya sangat sulit dipadamkan.
Terlebih di lembah itu tak ada air. Tubuh mereka hangus terbakar, mati menjadi arang hitam. Pemimpin Gerombolan Lowo Ireng tersentak menyaksikan beberapa anak buahnya hangus terbakar. Ciut juga nyalinya menyaksikan kejadian itu.
Tanpa menunggu Pendekar Gila menyerangnya, pemimpin gerombolan Lowo Ireng itu segera melesat pergi, diikuti anak buahnya yang masih hidup.
"Hei, tunggu!" seru Sena seraya mengejar. Tapi mereka bagai menghilang seketika.
Sena tertawa terpingkal-pingkal. Tapi segera tawa-nya dihentikan, manakala teringat akan pertarungan lelaki tua berpakaian coklat melawan gadis yang berpakaian mirip Mei Lie. Ketika Sena menengok ke arah pertarungan tadi berlangsung, dia hanya melihat lelaki tua itu tergeletak sekarat. Sedangkan gadis yang menyerupai Mei Lie telah tiada.
Sena segera berlari mendekati tubuh lelaki yang berlumuran darah dengan sayatan pedang menganga di dadanya.
"Ukh!" lelaki tua berpakaian coklat itu mengeluh.
"Oh, siapa kau, Anak Muda?"
"Aku Sena, Ki. Dan siapa kau?" tanya Sena.
"Kau..., kaukah Pendekar Gila itu?" tanyanya putus-putus.
"Benar, Ki," sahut Sena.
"Aku Galiwang. Di..., dia memang hebat...," keluh Ki Galiwang.
"Dia siapa, Ki?"
"Dia..., dia Bidadari Pencabut Nyawa. Oh...." Kepala Ki Galiwang terkulai, pertanda nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
"Mei Lie...," desis Sena lirih.
"Mungkinkah Mei Lie?" Sena masih bertanya-tanya pada diri sendiri. Dia belum yakin kalau gadis bercaping daun pandan itu Mei Lie. Dengan lesu, Sena meninggalkan tempat itu.
Pikirannya semakin kusut memikirkan semuanya.
"Benarkah dia Mei Lie" Lalu, siapa orang-orang bertopeng hitam tadi?" gumam Sena.
"Aku harus mengetahui siapa orang-orang bertopeng hitam itu," Dengan hati yang gundah, Sena melesat meninggalkan tempat itu untuk menyelidiki siapa orang-orang bertopeng hitam yang menurutnya pasti berhubungan dengan semua kejadian itu.

***



::₪| 7 |₪::

Sore itu hujan lebat mengguyur Desa Kemurang.
Tampak lelaki tua berpakaian compang-camping dengan tongkat kayu hitam melangkah di jalan setapak yang digenangi air hujan. Lelaki tua yang menggenggam tempurung itu ternyata Pengemis Tempurung Sakti.
Saat itu Pengemis Tempurung Sakti tengah berjalan di selatan Desa Kamurang untuk menuju Gunung Bromo di sebelah timur.
Tapi bukan ke gunung itu tujuannya, melainkan ke Hutan Warang Belang yang menjadi markas Gerombolan Lowo Ireng.
Jarak yang harus ditempuhnya masih agak jauh, kira-kira sepuluh mil lagi.
Pengemis Tempurung Sakti bagai tak menghiraukan hujan deras yang mengguyur tubuhnya. Tidak dipedulikannya air hujan yang tercurah dari langit. Dia hanya peduli pada keselamatannya, setelah kemunculan Bidadari Pencabut Nyawa. Sengaja dia datang dari jauh untuk mencari perlindungan pada Gerombolan Lowo Ireng, yang dianggap cukup mampu melindungi dirinya.
Saat Pengemis Tempurung Sakti berjalan menembus curahan air hujan, tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya yang tertutup oleh alis putih lebat, membelalak ketika melihat seseorang berpakaian putih berdiri sekitar lima tombak di depannya dalam curahan air hujan.
Perlahan-lahan matanya mengawasi dari bawah ke atas, berusaha melihat orang yang menghadang perjalanannya. Dan betapa terkesiap hatinya keti mengenali sosok berpakaian putih itu.
"Bidadari Pencabut Nyawa!" desis Pengemis Tempurung Sakti terkejut.
"Lama kutunggu kemunculanmu, Pengemis Setan! Kau telah membunuh Nyi Bangil dan Lira Kanti.
Nyawamu tak akan kuampuni!" dengus Mei Lie dengan mata memandang tajam penuh kebencian pada Pengemis Tempurung Sakti.
"Kau" Aku tak punya urusan denganmu," sanggah Pengemis Tempurung Sakti, berusaha mengelak dari tuduhan Mei Lie.
Mei Lie hanya tersenyum sinis. Kakinya melangkah setapak demi setapak mendekati Pengemis Tempurung Sakti.
Srrrt! Tangan Mei Lie menarik Pedang Bidadari dari sarungnya. Sinar merah kekuningkuningan seketika terpancar menyilaukan mata, menerangi tempat itu "Kau boleh mengelak dari dosamu, Pengemis Setan! Tapi nanti di akhirat sana!" dengus Mei Lie dengan gusar. Kakinya terus melangkah maju.
Tubuh lelaki tua itu menyurut mundur dua langkah.
Matanya memandang Mei Lie dengan tajam.
Sementara gadis itu telah siap dengan pedangnya.
"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" bentak Mei Lie sambil menggerakkan pedangnya ke samping. Dengan sinar mata menusuk, Mei Lie terus melangkah maju. Siap menyerang dengan jurus pertamanya 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut'.
Melihat lawan telah membuka serangan, Pengemis Tempurung Sakti tak tinggal diam.
Meski mengetahui siapa lawan yang hendak dihadapi, tapi sebagai tokoh persilatan yang telah banyak makan asam garam, dia tak mau menunjukkan rasa takutnya. Tongkatnya segera digerakkan dengan cepat, membentuk sebuah putaran.
Jurus itu bernama 'Lingkaran Angin Sewu' "Kau sudah siap, Pengemis Setan"!"
"Hm...," gumam Pengemis Tempurung Sakti.
Tangannya masih menggerakkan tongkat kayu hitamnya dengan cepat.
"Bersiaplah! Yiaaat...!" Dengan jurus 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut', Mei Lie bergerak menyerang. Pedang di tangannya memburu ke arah lawan dengan tusukan dan sabetan yang sangat cepat.
"Yeaaa...!" Menyaksikan lawan menyerang, Pengemis Tempurung Sakti segera menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.
"Hait!" Trak! Terdengar suara dua senjata beradu. Diikuti oleh pekikan keduanya saat melakukan serangan. Suasana perbatasan Desa Kemurang yang riuh diguyur hujan, semakin bertambah hiruk-pikuk oleh pertarungan mereka. Tanah becek di tempat mereka bertarung berhamburan. Rerumputan banyak yang mati, tergasak kaki mereka. Daun pepohonan berhamburan, terkena sabetan pedang dan tongkat keduanya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!" Pedang di tangan Mei Lie bergerak dengan cepat menusuk ke dada lawan. Pengemis Tempurung Sakti berkelit ke samping dengan kaki sedikit ditekuk.
Kemudian dengan cepat pula, dia balas menyerang dengan sambaran tongkatnya dalam satu jurus 'Lingkaran Angin Sewu', yang dilajutkan dengan jurus 'Hantaman Badai Selatan'.
"Yeaaat..!" Tongkat kayu hitam di tangan Pengemis Tempurung Sakti bergerak mencecar lawan dengan ganas. Angin pukulannya menderuderu, menimbulkan hembusan yang sangat keras. Ujung tongkat yang runcing berusaha membelah dada lawan.
Wut! "Uts! Yeaaa...!" Dengan gerakan yang lincah serta cepat, Mei xlei segera mengelakkan serangan yang dilancarkan lawan. Setelah menghindari serangan, dengan sigap Mei Lei kembali menggebrak dengan serangan yang tidak kalah hebat. Pedang di tangannya membentuk sebuah garis mendatar. Lalu pedangnya bergerak menyilang bergantian dari kanan bawah ke kiri, atau sebaliknya.
"Heaaa...!" Dengan jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah Awan' Mei Lie kembali bergerak menyerang. Pedangnya membelah ke arah yang berlawanan dengan cepat, diikuti oleh laju tubuhnya yang memburu tak kalah cepatnya ke arah lawan.
"Yiaaat..!" Pengemis Tempurung Sakti menggeser kaki kiri agak membuka. Kaki kanannya sedikit ditekuk. Sedangkan tubuhnya agak dimiringkan, mengelitkan serangan lawan ke belakang.
Lalu dengan cepat, tongkatnya digerakkan untuk menangkis.
Trak! Prak! "Ukh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh.
Mulutnya meringis. Sedangkan tangannya gemetar kesemutan setelah beradu senjata dengan Mei Lei.
Seperrinya gadis Cina itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat.
Tidak kusangka ilmunya sangat tinggi. Puji Pengemis Tempurung Sakti dalam hati, mengakui kehebatan tenaga dalam lawan.
Tidak disangkanya kalau ilmu tenaga dalam lawan ternyata berada dua tingkat di atasnya. Mei Lie tersenyum sinis menyaksikan kekagetan lawan dari wajahnya yang pucat.
Matanya kian tajam memandang Pengemis Tempurung Sakti.
Hujan masih mengguyur, seakan sengaja dicurahkan dari langit untuk menyemaraki pertempuran itu.
Angin bertiup laksana membadai, semakin membuat rasa dingin yang menyekat.
"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" dengus Mei Lie dengan nada gusar.
Tangannya kembali menggerakkan pedang dengan cepat, menyilang dan menusuk.
Langkah kakinya pelan beraturan dengan gerakan yang aneh. Itulah jurus pamungkas 'Tebasan Pedang Batin'.
"Baiklah, aku akan mengadu jiwa denganmu! Hiaaat..!" teriak Pengemis Tempurung Sakti seraya melesat melakukan serangan.
Tempurung saktinya dilemparkan ke arah Mei Lie. Sedangkan tubuhnya melesat menyerang dengan sambaran tongkat kayu hitamnya.
Swing! "Hiaaa...!" Mei Lie segera mengangkat Pedang Bidadari, memapaki serangan tempurung sakti lawan.
Brak! Ledakan dahsyat terdengar, diiringi oleh hancurnya tempurung lawan. Tempurung itu berhamburan menjadi serpihan debu. Pohon yang dekat dengan tempat mereka bertarung, turut terbakar hangus.
Tanah yang dipijak oleh Pengemis Tempurung Sakti bergetar bagai terkena gempa.
Hal itu membuat Pengemis Tempurung Sakti tersentak dengan mata membelalak.
Segera serangannya ditarik, lalu mencelat ke belakang dengan wajah menggambarkan rasa kaget "Kurang ajar! Kau telah menghancurkan tempurungku! Kau harus mampus! Yeaaa...!" Dengan jurus 'Sapuan Kilat Maut' Pengemis Tempurung Sakti kembali meluruk. Tongkat kayu hitam di tangannya menderu-deru bagai topan serta mengeluarkan sinar membara laksana kilat.
Mei Lie segera mengerahkan tenaga dalamnya, kemudian dengan mata terpejam tubuhnya bergerak memapaki serangan lawan. Tangannya menebas ke lengan lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaah...!" Wut! Trak! Cras! "Wuaaa...!" Pengemis Tempurung Sakti memekik keras.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata membelalak. Matanya memandang kedua tangannya yang tadi dirasakan terkena penggalan pedang lawan. Namun kedua tangannya masih tampak utuh, seperti tidak mengalami apa-apa.
Itulah kehebatan jurus 'Tebasan Pedang Batin' Lawan tidak merasakan apa-apa, bahkan tidak mengalami apa pun. Semua anggota tubuh kelihatan masih utuh, tak ada tanda-tanda bekas tebasan pedang. Setelah beberapa saat kemudian, kejadian yang aneh pun terjadi. Tubuh yang terkena babatan pedang seakan berubah menjadi debu dan beterbangan ditiup angin.
Baru saja Pengemis Tempurung Sakti terheran-heran menyaksikan tangannya bagai tak terluka, tiba-tiba kejadian yang menggiriskan dialaminya. Ketika angin berhembus menerpanya, kedua tangannya hancur menjadi debu. Tak ada darah yang keluar. Begitu juga dengan tongkat kayu hitamnya. Tongkat itu terbakar menjadi debu.
"Wuaaa...! Tobaaat...!" pekik Pengemis Tempurung Sakti ketakutan setelah menyaksikan kedua tangannya telah menghilang tanpa bekas.
"Hi hi hi...! Kau harus mampus, Pengemis Setan! Bersiaplah! Hiaaa...!" Mei Lie yang sudah demikian benci pada orang-orang yang dianggapnya telah membunuh Nyi Bangil dan Lira Kanti, kembali melabrak lawan dengan tebasan menyilang.
"Tidak! Jangan...!" ratap Pengemis Tempurung Sakti ketakutan.
Namun Mei Lie rupanya tidak menghiraukan jeritan itu. Dia terus bergerak menyerang dengan tebasan-tebasan menyilang ke tubuh lawan. Bret, bret! Cras! "Aaa...!" jerit kematian yang melengking terdengar.
Tubuh Pengemis Tempurung Sakti tergetar dahsyat.
Matanya melotot. Kemudian diam mematung tanpa nyawa. Tubuhnya berhamburan ketika angin menerpanya.
"Nyi Bangil, Lira Kanti! Kini semuanya telah terbalaskan! Tenanglah kalian di alam sana," desis Mei Lie.
Mei Lie hendak berlalu meninggalkan tempat itu, ketika terdengar suara orang berseru mencegahnya.
"Tunggu...!" Mei Lie menghentikan langkahnya, lalu memandang ke arah suara itu. Nampak olehnya para pendekar telah berada di tempat itu. Hal itu membuat Mei Lie mengerutkan kening, tak mengerti mengapa para pendekar berdatangan dan mengepungnya.
"Mei Lie, kau kami tangkap!" seru Arya Parasu.
"Ditangkap" Apa salahku...?" tanya Mei Lie.
"Nanti kami jelaskan! Yang pasti kau harus ikut kami!" jawab Arya Parasu.
Mei Lie terdiam sesaat, namun akhirnya menurut.
Setelah memasukkan Pedang Bidadari ke sarungnya, dengan tenang Mei Lie menghampiri para pendekar.
Dan dia pun menurut ketika para pendekar mengajaknya ke Perguruan Semeru.

***

Mei Lie tersentak setelah mendengar penjelasan tentang alasan dirinya ditangkap dari Arya Parasu.
Mata Mei Lie yang indah dan bening itu membelalak menatap dengan tajam pada para pendekar yang diam membisu. Sepertinya mereka pun merasakan getaran yang aneh, atau takut menyaksikan Bidadari Pencabut Nyawa mendengus.
"Fitnah! Jelas ini fitnah. Tentunya ada seseorang yang bermaksud memecah belah para pendekar," dengus Mei Lie dengan lantang.
"Sabar, Mei Lie. Kami pun ragu kalau kau yang telah membunuh murid Perguruan Semeru dan Ki Galiwang. Sena telah menyelidiki semuanya. Agar para pendekar dapat membuktikannya, sementara waktu kau biar di sini. Kalau semuanya sudah jelas, kmia akan melepaskanmu," urai Arya Parasu, salah seorang dari Tiga Malaikat Suci.
"Hm...," gumam Mei Lie tak jelas.
"Apakah kalian tidak memberi aku kesempatan untuk membuktikan kebenaran. Aku bersumpah, akan menangkap hidup atau mati orang yang telah memfitnahku." Semua terdiam, sepertinya tengah berpikir apakah hendak meluluskan permintaan Mei Lie. Kini Pandangan para pendekar yang berada di Perguruan Semeru tertuju ke arah Tiga Malaikat Suci. Secara tak langsung mereka meminta pendapat tiga lelaki tua yang dianggap sebagai sesepuh para pendekar di wilayah timur.
"Kau bersungguh-sungguh, Mei Lie?" tanya Arya Parasu.
"Ya!"
"Sulit. Apakah kau bisa membuktikan bahwa kau tidak membunuh para pendekar?" tanya Arya Parasu.
Mei Lie menghela napas panjang. Memang sulit untuk membuktikan semuanya. Namun seketika dia teringat akan keampuhan Pedang Bidadari jika mengenai tubuh lawan.
"Apakah korban hancur menjadi debu?" tanya Mei Lie.
"Hancur menjadi debu"!" pekik semua pendekar kaget dengan mata membelalak.
"Apa maksudmu, Mei Lie?" tanya Arya Parasu dengan kening berkerut, tak mengerti dengan pertanyaan yang baru saja diajukan Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa.
"Siapa pun yang terkena Pedang Bidadari dengan menggunakan jurus 'Tebasan Pedang Batin' orang itu akan menjadi debu. Apakah kalian tadi tidak melihat kematian Pengemis Tempurung Sakti?" Semua terdiam dengan mata tak berkedip. Mereka seperti baru menyadari kekeliruan dan kecerobohan-nya. Hati mereka membenarkan kata-kata Mei Lie.
Ya, semua korban Mei Lie memang tak ada bekasnya. Semua menjadi debu! "Bisa kau membuktikannya, Mei Lie?" tanya Ki Malawa kemudian.
"Hm.... Dengan apa?" tanya Mei Lie.
"Sebentar!" Kemudian Ki Malawa berlalu dari ruangan itu.
Tidak lama kemudian, dia telah kembali dengan membawa seorang murid Perguruan Semeru.
"Dengan ini," kata Ki Malawa, membuat semua mata para pendekar membelalak kaget.
Mereka tak mengira kalau Ki Malawa akan mengorbankan nyawa manusia untuk membuktikan kebenaran ucapan Mei Lie.
"Malawa, apa-apaan kau"!" bentak Arya Parasu.
"Dia manusia!"
"Benar! Dan kalau dia bukan orang jahat, pantang bagiku membunuhnya," sambung Mei Lie. Ki Malawa tersenyum tenang. Bahkan memandang dengan sinis pada muridnya yang semakin tegang ketakutan.
"Dia pengkhianat di Perguruan Semeru. Untuk itulah, apa tidak sebaiknya Bidadari Pencabut Nyawa yang menghukumnya. Sekaligus membuktikan kebenaran semuanya. Bagaimana...?" tanya Ki Malawa masih bersikap tenang.
Semua pendekar masih terdiam. Belum ada yang mengerti dengan maksud Ketua Perguruan Semeru itu, termasuk Tiga Malaikat Suci. Semua menunggu dengan hati berdebar. Sesekali mata mereka memandang tegang ke arah calon korban. Kemudian beralih memandang Mei Lie yang juga merasa tegang.
"Lakukanlah, Mei Lie," perintah Arya Parasu akhirnya.
"Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan." Mei Lie segera mengeluarkan Pedang Bidadari dari sarungnya. Kemudian dengan mata terpejam, pedangnya digerakkan menyilang, lalu dihunus tegak lurus.
Dengan gerakan halus, Mei Lie membabatkan pedangnya ke tangan korban.
Cras! "Aaa...!" Lelaki muda yang mendapat hukuman itu memekik. Tapi seketika matanya membelalak, menyaksikan kedua tangannya masih utuh.
Bukan hanya lelaki muda yang mendapat hukuman yang kaget menyaksikan kejadian aneh itu, tapi semua pendekar di tempat itu turut membelalakkan mata.
"Hah"! Apakah kau tidak melakukannya, Mei Lie?" tanya Arya Parasu.
"Sudah," jawab Mei Lie tenang.
"Tapi..." Belum habis ucapan Arya Parasu, tiba-tiba Mei Lie meniup ke arah tangan lelaki muda itu. Kejadian aneh kembali terjadi. Tangan korban seketika beterbangan menjadi debu. Semakin membelalak mata semua pendekar menyaksikan bagaimana hebatnya ilmu pedang Bidadari Pencabut Nyawa itu. Kini semuanya berdecak kagum. Hati mereka berkata lirih. Kalau saja Mei Lie mau, tentunya dia akan mampu membantai semua yang ada di tempat ini.
"Ck ck ck...! Sungguh bukan ilmu pedang sembarangan," Gumam Arya Parasu.
"Kalau kau mau, kami tak mungkin dapat menandingimu, Mei Lie. Kini kami yakin, bahwa kau tidak bersalah. Tapi kau harus dapat menangkap hidup atau mati orang yang telah memfitnahmu."
"Terima kasih, aku akan berusaha menangkapnya."
"Ya. Semua demi nama baikmu, Mei Lie. Juga ketenangan dunia persilatan," kata Arya Parasu.
"Apakah aku diperkenankan mencarinya sekarang?" tanya Mei Lie.
"Apakah kau tak ingin menunggu Sena?" balik Arya Parasu bertanya.
Mei Lie terdiam. Dia memang ingin bertemu pemuda itu. Namun bagaimanapun juga, tugas jauh lebih utama dibanding kepentingannya. Dihelanya napas panjang-panjang.
"Biarlah aku harus menunaikan tugasku dulu.
Sampaikan salamku pada Sena jika dia datang," ucap Mei Lie.
Kemudian setelah menjura hormat, Mei Lie pun meninggalkan Perguruan Semeru diikuti pandangan penuh kekaguman dari para pendekar yang kini percaya kalau Mei Lie bukan pembunuh murid Perguruan Semeru dan Ki Galiwang.
"Kuharap dia segera berhasil," gumam Ai Parasu.
"Ya! Semoga dia cepat berhasil, sehingga semuanya akan terungkap. Begitu juga dengan Pendekar Gila, semoga dia segera membuka tabir semuanya, " tambah Ki Malawa.
Langit sore kini nampak cerah, terhias oleh pelangi yang indah di sebelah timur.
Para pendekar berharap, semua akan berakhir.
Mei Lie terus melangkah, menapakkan kakinya untuk mencari orang yang telah mencemarkan nama baiknya.

***



::₪| 8 |₪::

Malam telah menyelimuti bumi dengan kegelapannya yang terasa mencekam. Angin malam yang dingin berhembus perlahan, meniup debu dan menggesek dedaunan.
Desa Jatiwangi tempat Padepokan Sawo Jajar yang dipimpin oleh Ki Swarna Bayu berada, tampak sepi.
Tak terlihat seorang pun yang keluyuran. Semua seperti terbuai oleh desau angin malam, meringkuk di atas pembaringan masing-masing.
Dari arah barat di mana Hutan Wadas Gering berada, saat itu muncul sesosok bayangan putih berkelebat memasuki perbatasan Desa Jatiwangi.
Diikuti oleh kemunculan beberapa sosok tubuh yang terbungkus pakaian hitam.
Wajah mereka tertutup oleh kain hitam. Hanya mata mereka saja yang terlihat.
Sosok berbaju putih memakai caping daun pandan itu melesat menuju Padepokan Sawo Jajar. Kemudian dengan berdiri di depan padepokan, sosok berbaju putih itu berseru lantang.
"Swarna Bayu, keluarlah!" Murid-murid Padepokan Sawo Jajar tersentak mendengar seruan itu. Bergegas mereka bangun. Dan langsung terkejut, ketika beberapa bayangan hitam tiba-tiba berkelebat menyerang.
"Padepokan diserang musuh...!" teriak salah seorang murid padepokan, yang membuat semua orang Padepokan Sawo Jajar terjaga dari tidurnya.
Begitu juga dengan Ki Swarna Bayu. Lelaki tua itu berusia sekitar enam puluh tahun, dengan wajah menggambarkan ketenangan.
"Kurang ajar! Siapa yang telah lancang membuat keonaran!" bentak Ki Swarna Bayu marah. Matanya menyapu ke sekelilingnya, di mana orang-orang bertopeng hitam telah mengepung padepokannya.
"Aku!" Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih.
Dilihat dari tubuhnya yang ramping, jelas bayangan putih itu seorang wanita muda. Sayang wajahnya yang tertutup caping daun pandan tidak begitu jelas, membuat Ki Swarna Bayu tak dapat mengenali wajahnya.
"Siapa kau"!" bentak Ki Swarna Bayu.
"Aku Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa," jawab gadis itu, membuat mata Ki Swarna Bayu membelalak.
"Bedebah! Aku tak percaya! Bidadari Pencabut Nyawa bukan orang dari golongan hitam. Dia tidak pernah membuat keonaran sepertimu!" dengus Ki Swarna Bayu gusar.
"Ha ha ha...! Terserah kau saja, Ki. Yang pasti aku datang untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah Yeaaa...!" Melihat lawan telah menyerang, Ki Swarna Bayu tak mau tinggal diam. Dia pun segera melompat untuk menghadapi serangan lawan. Kedua kakinya digenjotkan, sedangkan tangannya bergerak membentuk sebuah kebutan dan cakaran yang keras.
"Yeaaa!" Tangan Ki Swarna Bayu mencengkeram ke arah lawan. Namun dengan cepat wanita bercaping daun pandan yang mengaku Mei Lie mengelakkannya.
Kakinya digeser ke samping, lalu dengan cepat balik menyerang dengan tendangan.
Ki Swarna Bayu menarik cengkeramannya. Dengan berputar, dia membalas serangan lawan. Kakin bergerak menendang, diteruskan dengan pukulan tangan kanan ke dada lawan. Suasana Padepokan Sawo Jajar yang semula tenang dan sepi, kini menjadi riuh. Pertarungan antara para penyerang yang memakai topeng hitam melawan murid-murid Ki Swarna Bayu berjalan dengan seru.
Jeritan kematian memecah kesunyian malam, diiringi cipratan darah.
Ki Swarna Bayu terus menggebrak dengan serangan-serangan keras yang merupakan serangan inti. Jurus-jurus tingkat tinggi 'Badai Samudera-Utara' dan 'Gelombang Laut Utara' dikeluarkannya susul-menyusul.
Melihat serangan lawan yang telah menggunakan jurus-jurus inti, lawannya yang tak lain Sarah Dita tidak mau tinggal diam. Segera pedangnya dicabut dari sarungnya. Srrrt! "Heaaat..!" Dengan pedang di tangan, Sarah Dita balas menyerang. Pedangnya bergerak membabat dan menusuk ke tubuh lawan dengan ganas, diikuti oleh pukulan dan tendangannya yang juga berbahaya.
Dengan jurus 'Lingkaran Maut' andalannya, Sarah Dita berusaha mendesak lawan.
Pedangnya menderu-deru, menebas dan menusuk ke tubuh lawan.
"Hiaaat..!" Ki Swarna Bayu terkesiap. Matanya membelalak menyaksikan serangan lawan yang sangat cepat. Sepertinya lawan tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun, bahkan sekadar untuk menarik napas.
Pedang di tangan lawan tidak ubahnya malaikat maut yang terus mencari mangsa.
"Celaka!" pekik Ki Swarna Bayu dengan mata semakin membesar tegang, mendapati serangan lawan yang susul-menyusul tiada putusnya.
Ki Swarna Bayu berusaha mengelakkan serangan lawan yang gencar. Namun pedang di tangan lawan bagai memiliki mata saja.
Wut, wut..! Pedang di tangan Sarah Dita terus mencecar Ketua Padepokan Sawo Jajar itu dengan tebasan-tebasan yang membahayakan. Hal itu membuat Ki Swarna Bayu semakin terdesak. Dan....
Cras! "Aaakh...!" Ki Swarna Bayu memekik keras, ketika dadanya tersayat pedang lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata membelalak.
"Hiaaat..!" Sarah Dita tak puas sampai di situ, meski lawan dalam keadaan sekarat. Pedang di tangannya memburu ke arah Ki Swarna Bayu, siap merenggut nyawa orang tua itu. Namun pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat menangkis kelebatan pedang Sarah Dita.
Trang! "Ukh!" Sarah Dita mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata membelalak, memandang sosok wanita berpakaian putih bergaya gadis Cina. Pedang di tangan gadis Cina itu bersinar merah kekuning-kuningan.
"Rupanya kau yang telah membuat fitnah keji atas diriku"!" dengus Mei Lie setelah menemukan orang yang selama ini telah membuat namanya tercemar.
"Ya!" sahut Sarah Dita sinis, dengan sikap menantang.
"Bedebah! Rupanya kau sengaja melakukannya! Katakan, siapa yang mendalangimu"!" bentak Mei Lei.
"Itu urusanku!" sahut Sarah Dita, tak kalah sengit.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit! Bersiaplah!"
"Hm...!" Dua gadis cantik jago pedang itu kini saling berhadap-hadapan. Satu memegang pedang bersinar merah kekuning-kuningan. Yang lain memegang pedang bersinar putih keperakan. Mata mereka yang indah, saling menatap tajam.
Dua ilmu pedang sakti akan saling bertarung untuk menentukan siapa di antara mereka yang paling hebat. Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang satunya Pedang Titisan Iblis.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!" Mei Lie membuka jurus pertama dengan jurus 'Tarian Bidadari Membelah Langit'. Pedang di tangannya bergerak cepat, dari bawah ke atas. Seakan pedang itu berusaha membelah langit.
Sementara itu, Sarah Dita tidak mau tinggal diam.
Segera digunakannya jurus pembuka yang tidak kalah hebat. Jurus 'Sapuan Kabut Maut' dilancarkannya.
Pedangnya bergulung cepat membuat sinar putih laksana kabut yang menutupi tubuhnya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!" Trang! Denting dua pedang beradu terdengar. Tubuh keduanya melompat ke belakang, kemudian dengan sigap kembali menyerang. Pedang di tangan mereka bagai memiliki mata, bergerak ke sana kemari, memburu tubuh lawan. Pertarungan seru dua gadis yang memiliki ilmu pedang tingkat tinggi itu terus berlangsung, membuat semua murid Padepokan Sawo Jajar dan anak buah Sarah Dita seketika menghentikan pertarungan.
Mereka kini terpaku, menyaksikan pertarungan hebat antara dua gadis cantik bersenjata pedang.
Mei Lie kembali membuka jurus. Kali ini dengan jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah Gunung'.
Pedangnya bergerak mendatar, kemudian diangkat tinggi-tinggi, lalu diteruskan dengan sabetan ke arah bawah.
Sekeliling tempat itu seketika menjadi terang oleh sinar merah kekuning-kuningan yang keluar dari Pedang Bidadari di tangan Mei Lie.
"Yeaaa!"
"Hiaaat..!" Keduanya kembali berkelebat, bergerak menyerang dengan babatan dan tusukan pedang.
Gerakan mereka sangat cepat, rasanya sulit untuk diikuti mata. Kini yang tampak hanya sinar merah kekuning-kuningan yang berbaur dengan sinar putih keperakan.
Trang, trang! Wut! "Hiaaat..!" Beberapa kali pedang di tangan mereka saling beradu. Tubuh keduanya sesaat melompat ke belakang. Mata keduanya saling pandang dengan tajam. Kemudian didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali menyerang dengan sabetan pedang.
"Yeaaah...!"
"Hiaaat...!" Mei Lie kali ini telah mengeluarkan jurus pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena babatan pedangnya akan mengalami keanehan.
Tubuhnya tak menampakkan luka. Tapi jika tertiup oleh angin, maka tubuhnya akan lebur menjadi debu yang beterbangan.
Sarah Dita tersentak menyaksikan jurus yang aneh dan terkenal itu. Agak tegang juga dia menyaksikan jurus yang tengah diperagakan Mei Lie. Nyalinya seketika menciut, jika ingat akan korban jurus yang tengah diperagakan Mei Lie.
"Tunggu!" seru Sarah Dita.
"Hm.... Ada apa" Apakah kau akan menyerahkan diri dan mau bertanggung jawab atas semuanya?" tanya Mei Lie.
"Ya. Hentikan jurus itu. Aku terima kalah."
"Baik. Ikut aku!" Dengan gerak cepat, Mei Lie berkelebat menotok jalan darah Sarah Dita. Gadis itu seketika kaku bagai patung.
"Kalian orang-orang Gerombolan Lowo Ireng.
Hentikan! Kalau tidak, aku tak akan segan-segan menghabisi nyawa kalian!" seru Mei Lie. Semua anggota Gerombolan Lowo Ireng menghentikan pertarungan.
"Bubar kalian! Katakan pada pimpinan kalian, aku akan ke sana!" seru Mei Lie lantang. Semua anggota Gerombolan Lowo Ireng tak ada yang membantah, mereka lari terbirit-birit. Mei Lie pun segera melesat pergi, membawa tubuh Sarah Dita.

***

Sementara itu, di markas Gerombolan Lowo Ireng, tampak seorang pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular tengah mengamuk. Pemuda tampan yang tidak lain Pendekar Gila, kini benar-benar marah, setelah tahu dalang semua kerusuhan di rimba persilatan.
"Hi hi hi...! Ayo, biar kalian kujadikan perkedel! Ha ha ha...!" Dengan tingkah laku seperti orang gila, Pendekar Gila terus bergerak menyerang ke sana kemari. Suling Naga Sakti di tangannya, tak henti-hentinya meminta korban. Setiap kali sulingnya bergerak, jeritan kematian menyapu malam yang sepi. Sejauh itu, pertarungan tampak belum akan berakhir. Para pemimpin Gerombolan Lowo Ireng pun belum menampakkan batang hidungnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin mengamuk ganas.
Dengan berteriak-teriak seperti orang kebakaran jenggot, Sena berusaha memanggil orang-orang itu.
"Pimpinan Gerombolan Lowo Ireng, keluarlah kalian!" serunya menantang sambil terus melabrak Gerombolan Lowo Ireng.
Sementara itu, di dalam bangunan besar markas Gerombolan Lowo Ireng, Selendra dan Daeng Ampra tengah membicarakan jalan yang harus mereka tempuh. Baru Pendekar Gila saja yang datang, mereka telah dibikin repot. Apalagi jika yang lainnya muncul.
"Celaka! Dia memang bukan pendekar sembarangan. Baru dia yang datang, kita telah kerepotan begini," gerutu Daeng Ampra.
"Tak ada waktu bagi kita untuk meladeninya. Apalagi jika Mei Lie datang. Celakalah kita."
"Tapi, Guru...," selak Selendra.
"Ada apa, Selendra?"
"Bagaimana kalau aku menghadapinya?"
"Apa"! Jangankan kau, aku pun belum tentu mampu menghadapinya. Percuma saja! Kita harus menyingkir dari sini."
"Tidak! Aku akan menghadapinya!" kata Selendra seraya berkelebat keluar.
"Selendra, tunggu!" cegah Daeng Ampra. Namun tubuh Selendra telah melesat meninggalkan tempat itu.
"Anak total! Rupanya dia mencari mampus!" Daeng Ampra segera melesat keluar lewat pintu belakang, meninggalkan tempat itu.
Dia melihat keadaan yang tidak memungkinkan untuk diladeni.
Pertarungan semakin seru dengan kemunculan.
Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Selendra yang bernafsu hendak mengalahkan Pendekar Gila langsung menyerauak ke dalam kancah pertempuran.
Dan menyerang Pendekar Gila dengan jurus 'Bayangan Kelelawar Hitam dari Neraka'.
Tubuh Selendra laksana menghilang, yang terlihat hanya bayangannya saja. Hal itu membuat Pendekar Gila tersentak kaget, dia berusaha memusatkan kekuatan batinnya. Namun anak buah Selendra tengah menggempurnya. Mau tak mau, perhatiannya terpecah lagi. Dengan mendengus marah serta bertingkah laku seperti orang gila, Pendekar Gila mengamuk. Suling Naga Sakti digerakkan ke segenap penjuru memukul ke kepala lawan.
"Hiaaat..!" Jerit kematian terdengar susul-menyusul dari mulut anak buah Selendra. Pada saat itu, Selendra menendang pundak Pendekar Gila dengan telak.
Duk! "Ukh!" Sena mengeluh. Tubuhnya berguling bawah.
Salendra kembali berkelebat, menyerang ke arah Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila kembali berguling ke samping, lalu dengan cepat sulingnya dibabatkan.
"Heaaa...! Hih!" Trak! "Ukh!" Selendra mengeluh. Kakinya terpincang-pincang terkena sabetan Suling Naga Sakti. Pendekar Gila yang telah kalap segera bangkit.
Lalu dengan cepat pukulan sakti 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dihantamkan ke arah anak buah Selendra.
"Heaaa...!" Wusss! "Wuaaa...!"
"Aaakh...!" Anak buah Selendra yang hendak menyerang Pendekar Gila berhamburan. Tubuh mereka terpental dengan keadaan mengerikan.
Angin puting beliung yang keluar dari telapak tangan Pendekar Gila menyapu mereka sampai jauh.
"Hi hi hi...! Tunjukkan wujudmu, Setan!" bentak Sena pada Selendra sambil berjingkrakan seperti monyet "Ha ha ha! Ayo, tunjukkan wujudmu!"
"Jangan sombong, Pendekar Gila! Mari kita bertarung sampai mati!" dengus Selendra, dibarengi dengan kemunculannya yang langsung menyerang.
"Uts! Licik! Heaaa...!" Pendekar Gila segera bergerak meliukkan tubuh, mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Kemudian dengan cepat, Suling Naga Sakti dihantamkan ke arah lawan.
Wut! Selendra tersentak, mendapatkan serangan lawan yang mengeluarkan hawa panas laksana api. Suling Naga Sakti menderu tajam di depan wajahnya. Cepat-cepat Selendra membuang tubuh ke belakang, lalu dengan cepat melepas pukulan dengan jurus 'Kepakan Sayap Kelelawar' Wrrrt! "Weh!" pekik Pendekar Gila kaget, ketika tangan lawan menepis pundaknya.
Seketika, pundaknya terasa panas. Hal itu membuatnya bertambah marah.
"Wrrr...!" Dengan menggeram marah, Pendekar Gila segera menghantamkan sulingnya ke arah lawan. Disusul oleh serangan-serangan gencar dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Gabungan serangan yang begitu cepat dan aneh, cukup menyentakkan lawan. Selendra berusaha mengelakkan serangan-serangan gencar yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun nampaknya Pendekar Gila tak mau memberi kesempatan yang ketiga kali bagi lawan untuk menyerang. Dengan gempuran gencar susul-menyusul, Pendekar Gila terus mengincar lawan. Sampai lawan tak punya kesempatan untuk balas menyerang.
"Heaaa...!"
"Serang dia!" seru Selendra memerintahkan anak buahnya untuk menyerang.
Namun belum juga Gerombolan Lowo Ireng membantu, dari kejauhan terdengar suara para pendekar berdatangan. Hal itu membuat Selendra semakin kebingungan. Dia berusaha lari, tapi Sena dengar cepat menghadangnya.
"Mau lari ke mana, Iblis"!"
"Bedebah! Kau harus mampus, Pendekar Gila Yeaaa...!" Dengan nekat Selendra merangsek, berusaha menjatuhkan Pendekar Gila. Namun karena terlalu bernafsu, hanya dengan memiringkan tubuh ke samping Pendekar Gila berhasil mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat, Suling Naga Sakti dihantamkan ke batok kepala lawan. Wut! Prak! "Aaakh...!" Selendra menjerit keras, kepalanya hancur terkena hantaman Suling Naga Sakti.
Tubuhnya terjajar ke belakang dalam keadaan mengerikan, lalu ambruk dengan nyawa melayang. Melihat para pendekar berdatangan, Pendekar Gila segera menghampiri. Betapa gembira hatinya ketika melihat Mei Lie bersama mereka.
"Mei Lie...!"
"Sena!" Mei Lie segera lari ke arah Pendekar Gila dan memeluk erat tubuh pemuda itu. Mei Lie berlinang air mata. Gadis itu menangis, merasakan keharuan dan kesyahduan setelah keduanya begitu lama berpisah.
"Maafkan aku, Sena. Aku tak dapat menahan mosi waktu itu," desis Mei Lie lirih.
"Sudahlah, kita bantu para pendekar. Nanti kita bisa bercerita lagi, bukan?" bujuk Sena berusaha menghibur.
Mei Lie tersenyum lepas bersama tetes lembut di kedua pipinya.
Para pendekar yang rata-rata berilmu tinggi, tidak menghadapi kesulitan dalam menumpas sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng yang masih mencoba mengadakan perlawanan. Dalam sekejap saja, sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng dapat ditaklukkan.
"Di mana guru Gerombolan Lowo Ireng?" tanya Arya Parasu.
"Jadi ada yang masih sisa?" tanya Sena sambil cengengesan. Tangannya menggarukgaruk kepala, baru merasa sadar kalau dedengkot Gerombolan Lowo Ireng ternyata masih hidup.
"Ya! Justru dia orang utama di Gerombolan Lowo Ireng. Dia bernama Daeng Ampra, lelaki tua berjubah hitam dengan rambut panjang berwarna putih," tukas Arya Parasu, orang tertua dari Tiga Malaikat Suci.
"Perkenalkan, ini dari Sulawesi. Dia datang dari jauh kemari untuk menangkap Daeng Ampra." Lelaki berpakaian kuning keemasan melangkah ke arah Pendekar Gila. Lelaki itu belum begitu tua, hanya berkisar tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.
Wajahnya nampak tenang, dengan kumis tipis menghiasi atas bibirnya. Kepalanya ditutup oleh adat orang Sulawesi, berbentuk persegi tiga den runcing ke ujung berwarna kuning emas. Di pinggangnya melilit kain coklat semu kuning keemasan.
"Aku Daeng Lonto, menghaturkan sembah," ujar lelaki tua itu seraya menjura pada Pendekar Gila.
"Aha, mengapa begitu" Tak usahlah begitu. Panggil saja namaku, Sena," kata Pendekar Gila sam membalas menjura.
"Kalau boleh kutahu, apa yang telah terjadi di Sulawesi?" Daeng Lonto menceritakan semua kejadian yang terjadi lima belas tahun yang silam di Pulau Sulawesi.
Di sana dulu ayahnya menjadi ketua adat. Daeng Ampra dan Dewi Sandang yang merupakan saudara sepupu menjadi orang-orang yang namanya kondang di daerah itu.
Ayah Daeng Lonto yang bernama Daeng Marhabu menjadi pemimpin adat yang dikhianati kedua saudara sepupunya. Daeng Marhabu dibunuh oleh Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Hal itu membuat semua pendekar marah. Dipimpin oleh Daeng Ponte, para pendekar berusaha menangkap Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Namun mereka licik. Keduanya dapat meloloskan diri dan lari ke tanah Jawa Dwipa.
"Begitulah ceritanya, Sena. Aku diutus dan dipercaya oleh para pendekar di tanah Sulawesi untuk menangkap keduanya hidup atau mati," jabar Daeng Lonto dengan mimik wajah penuh kegeraman.
"Kurang ajar! Coba aku periksa ke dalam," ujar Sena segera mencelat masuk ke dalam untuk memeriksa bangunan bekas markas Gerombolan Lowo Ireng. Namun di sana tidak ditemukannya siapa-siapa lagi.
Sena keluar kembali dengan mulut nyengir serta tangan kanan menggaruk-garuk kepala, membuat Mei Lie merengut. Antara senang dan sebal beraduk menjadi satu di hatinya. Sedang Sarah Dita tersipu-sipu. Hati gadis cantik itu merasakan getaran aneh jika memandang wajah Pendekar Gila.
Oh! Beruntung sekali kau, Mei Lie. Gumam Sarah Dita dalam hati. Matanya tak lepas memandang Sena yang tampan dan membuat hatinya berdebar-debar.
"Bagaimana, Sena" Apa ada?"
"Mungkin dia melarikan diri, Daeng," jawab Sena.
"Hm, kalau begitu kita harus mengejarnya," kata Daeng Lonto.
"Kalau keduanya tidak segera ditangkap, bisa-bisa dunia persilatan akan selalu resah."
"Kalau begitu, kita harus segera mengejarnya," ucap Sena tegas. Kemudian ditatapnya Sarah Dita yang saat itu tengah tersipu-sipu malu.
"Nona, tentunya kau tahu di mana mereka berada?" Mei Lie yang menyaksikan tingkah laku Sarah Dita, seketika merengut. Hatinya dibakar cemburu, melihat kelakuan gadis itu di hadapan lelaki pujaannya.
"Baiklah, aku akan memberitahukan kalian. Tentu Daeng Ampra mendatangi guruku Dewi Sandang...," tutur Sarah Dita.
"Di mana gurumu tinggal?" tanya Arya Parasu.
"Di Goa Sandang, di kaki Gunung Arjuna," jawal Sarah Dita menerangkan tempat gurunya berada.
"Terima kasih, Nona. Kalau begitu, apa tidak sebaiknya kita ke sana?" ajak Daeng Lonto pada Pendekar Gila.
"Ayolah, jangan buang-buang waktu lagi," sambut Pendekar Gila.
"Mari, kami permisi dulu," pamit Daeng Lonto.
"Sena, aku ikut," pinta Mei Lie, membuat Pendekar Gila hanya mampu menggarukgaruk kepa1a, dengan mulut nyengir. Hal itu membuat Mei Lie lagi-lagi merengut.
Sena tak dapat berbuat apa-apa lagi "Ayolah," jawab Sena.
Ketiganya pun segera meninggalkan markas gerombolan Lowo Ireng, sekaligus meninggalkan para pendekar yang masih berada di tempat itu, untuk menentukan hukuman bagi Sarah Dita. Walaupun Sarah Dita telah insyaf dan sadar, namun dia harus mendapatkan hukuman atas tindakannya. Sarah Dita harus menjalani hukuman penjara di Perguruan Semeru selama tujuh puluh purnama.

***



::₪| 9 |₪::

Seorang lelaki tua berjubah hitam dengan rambut putih terurai, serta berbadan kurus tampak berlari membelah hutan belantara. Lelaki tua yang tak lain Daeng Ampra itu, sesekali menengok ke belakang.
Khawatir kalau Pendekar Gila mengejarnya. Bukan dia gentar menghadapi Pendekar Gila yang tersohor itu, namun keadaan terlalu mendesak. Dia belum siap untuk menghadapinya.
"Huh, kalau saja aku telah merampungkan ajian 'Sasra Jingga', kuhadapi kau, Pendekar Gila!" geram Daeng Ampra bersungut-sungut sambil terus berlari.
Napasnya yang tersengal-sengal tak dihiraukannya.
Dia tidak ingin dapat dikejar oleh Pendekar Gila.
Daeng Ampra akhirnya sampai juga ke tempat yang dituju, di Goa Sandang. Sesaat matanya menyapu ke sekelilingnya, takut kalau ada yang memergokinya. Setelah merasa yakin tak ada siapa-siapa, tubuh Daeng Ampra mencelat, menerobos masuk ke dalam goa.
"Daeng, kau datang" Ada apa...?" tanya seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun dengan hidung mancung. Matanya tersirat nakal saat memandang. Bibirnya tipis dengan alis mata tebal.
Tubuh wanita yang tentunya Dewi Sandang itu tinggi dan agak kurus, terbalut oleh pakaian yang sangat minim. Hanya buah dada dan bagian terlarang yang ditutupi dengan secarik kain berwarna hitam.
Rambutnya terurai lepas, panjang sampai ke pantat.
Dewi Sandang bangkit dari duduknya. Kemudian kakinya melangkah menghampiri saudara seperguruannya yang terengah-engah dengan kening berkerut "Celaka, Sandang. Celaka...!"
"Ada apa?" tanya Dewi Sandang masih belum mengerti.
"Apanya yang celaka?"
"Markas Gerombolan Lowo Ireng diobrak-abrik Pendekar Gila," tutur Daeng Ampra.
Dewi Sandang tersentak mendengar ucapan saudara seperguruannya. Rahangnya mengejang, menahan amarah yang tak terkira.
"Mengapa tidak kau hadapi" Mengapa kau lari"!" tanya Dewi Sandang agak jengkel.
"Hanya menghadapi bocah gila itu saja kau lari!"
"Tapi, Sandang! Dia bukan sembarangan bocah.
Namanya saja sudah membubung tinggi. Apalagi dengan Suling Naga Saktinya yang mampu mengeluarkan sinar maut. Juga suaranya yang mampu membuat orang terbawa alunannya," kilah Daeng Ampra beralasan.
"Huh, pengecut! Percuma kau mendapat julukan daeng!" dengus Dewi Sandang.
"Lalu, bagaimana dengan muridku?" Daeng Ampra terdiam. Dia tidak tahu bagaimana nasib Sarah Dita. Juga dengan Selendra, muridnya.
Entah keduanya mati atau hidup.
"Kenapa diam, Daeng"!" desak Dewi Sandang dengan mata melotot.
"Entahlah, Sandang. Mungkin keduanya tewas di tangan Pendekar Gila."
"Kau yakin itu?" tanya Dewi Sandang dengai wajah masih menunjukkan ketidaksenangan. Napasnya turun-naik, dihela rasa marah. Tangannya mengepal, lantas memukul-mukul telapak tangan kiri.
"Kurang ajar! Kalau benar muridku sampai tewas, tak akan kuampuni bocah gila itu!" Ketika keduanya tengah bercakap-cakap, tiba-tiba mereka tersentak oleh suara tawa yang menggelegar.
Suara tawa itu seakan-akan mampu meruntuhkan dinding-dinding goa.
"Ha ha ha...! Rupanya dua tikus tua bersembunyi di dalam goa. Takut sama kucing.... Ha ha ha...!"
"Pendekar Gila!" pekik Daeng Ampra dengan mata membelalak.
"Dari mana dia tahu kita di sini, Daeng"!" tanya Dewi Sandang.
"Mana aku tahu" Mungkin muridmu masih hidup, Sandang."
"Kurang ajar! Rupanya bocah gila itu mencari mampus!"
"Ha ha ha...! Kenapa bersembunyi, Tikus Tua"! Keluarlah!" seru Sena sambil tertawa tergelak-gelak.
Kemarahan Dewi Sandang memuncak mendengar kata-kata Pendekar Gila. Tanpa memperhitungkan lagi, tubuhnya segera mencelat ke luar, diikuti Daeng Ampra.
Dewi Sandang dan Daeng Ampra terperanjat ketika melihat seorang lelaki tampan berusia sekitar tiga puluh lima tahun mengenakan pakaian kuning keenasan yang bersama Pendekar Gila. Dari mulut keduanya terdengar ucapan, menyebut nama lelaki tampan itu.
"Daeng Lonto...!" Daeng Lonto tersenyum. Pembawaannya nampak tenang, seperti berusaha menunjukkan jiwa kedaengannya, sebagai pemimpin adat yang arif dan bijaksana.
"Daeng Ampra, dan kau Dewi Sandang, kuharap menyerahlah!" pinta Daeng Lonto dengan tenang. Matanya tajam, memandang kedua orang tua yang telah mengkhianati ayahnya.
"Huh, kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Lonto! Tidakkah kau tahu aku pamanmu"!" bentak Daeng Ampra.
Daeng Lonto hanya tersenyum mendengar ucapan Daeng Ampra.
"Kalian memang paman dan bibiku. Tapi pantaskah aku membela orang jahat" Apalagi kalian telah membunuh ayahku," kata Daeng Lonto.
"Nah, Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Kuharap kalian menyerah," tambah Sena.
"Cuih! Lancang mulut kalian! Jangan kira karena namamu membubung sampai langit, Daeng Ampra akan takut!" dengus Daeng Ampra yang ditujukan pada Pendekar Gila.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa-tawa dengan tubuh melompat-lompat seperti kera.
Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir.
"Aha, aku aku tidak menyuruhmu takut, Daeng. Tapi aku hanya menyuruh kau dan Dewi Sandang sadar.
Usia kalian sudah lapuk."
"Bocah edan! Tutup mulutmu!" bentak Dewi Sadang.
"Kalau tidak, kuremukkan batok kepalamu!"
"Weh, galak sekali kau, Nyi" Ah, sungguh malang nian kepalaku," seloroh Sena sambil mengelus kepalanya. Sementara Mei Lie hanya menautkan alis menyaksikan tingkah konyol pemuda pujaannya.
"Bedebah! Kurobek mulut usilmu, Pendekar Gila Heaaa...!" Dengan penuh amarah, Dewi Sandang yang ingin menjajaki kehebatan ilmu Pendekar Gila melesat menyerang. Tangan kirinya bergerak mencakar, sedang tangan kanannya memukul ke dada lawan dengan jurus 'Lampus Ganyang'. Sebuah jurus yang mirip dengan gerakan seekor kucing berkelahi.
Melihat Dewi Sandang telah menyerang Pendekar Gila, Daeng Ampra tidak tinggal diam. Dia segera membuka serangan dengan jurus 'Sandung Bangkala'. Gerakan tangan kakinya seperti seekor musang yang berusaha menangkap seekor ayam. Kini dia menyerang Daeng Lonto dan Mei Lie.
"Hiaaat..!" Menyaksikan lawan menyerang, tubuh Daeng Lonto dan Mei Lie segera melompat ke samping untuk mengelakkan serangan tangan Daeng Ampra. Kemudian dengan cepat keduanya balas menyerang.
Daeng Lonto dengan jurus 'Palangan Rajawali'nya, sedangkan Mei Lie dengan jurus 'Bidadari Kencana Mukti'.
Tangan Mei Lie bergerak lincah laksana seorang putri yang menari-nari. Kakinya bergerak dengan irama yang teratur dan indah. Namun jurus itu sesungguhnya bukan jurus sembarangan. Jurus itu sangat berbahaya jika diimbangj oleh Pedang Bidadari yang berada di punggungnya.
"Heaaat..!" Mei Lie dan Daeng Lonto menyerang bersamaan dengan jurus-jurus andalan dari kanan dan kiri tubuh Daeng Ampra. Hal itu membuat Daeng Ampra sedikit kerepotan.
Lawan yang menyerangnya ternyata bukan orang sembarangan. Dia sebenarnya tahu akan hal itu. tapi keadaannya sudah terjepit. Sulit baginya untuk dapat meninggalkan pertarungan.
Tangan Mei Lie bergerak menyambar ke kepala Daeng Ampra dengan cepat. Segera Daeng Ampra merundukkan kepalanya dengan merendahkan tubuh. Kaki kanannya ditekuk, sedang kaki kirinya diluruskan mendatar. Namun belum juga dia bisa menghela napas lega, Daeng Lonto telah menyerang ke wajah dan dadanya.
"Hiaaat..!"
"Uts!" Daeng Ampra berusaha berkelit, tetapi Mei Lie dengan cepat melakukan serangan susulan dengan kaki menendang ke tulang rusuk lawan.
Daeng Ampra harus bergerak cepat menghadapi dua lawan yang berilmu tinggi.
Untung saja Mei Lie tidak menggunakan pedangnya. Kalau saja Mei Lie menggunakan pedang, tentu Daeng Ampra akan mati kutu.
Kini Daeng Ampra menarik kaki kiri melebar ke samping, kemudian dengan cepat bergerak menyerang dengan kedua telapak tangan ke arah kanan dada Mei Lie.
"Yiaaat..!" Mei Lie tersentak. Cepat kakinya ditarik mundur dua langkah ke belakang.
Kemudian tubuhnya diputar setengah lingkaran untuk mengelakkan serangan lawan. Tangan kanannya dihantamkan ke tangan lawan yang mengancam.
Melihat Mei Lie dalam kesulitan, Daeng Lonto tak mau tinggal diam. Dia berkelebat mencabik dengan cengkeraman rajawalinya ke arah Daeng Ampra.
Melihat itu, Daeng Ampra jadi mengurungkan niatnya untuk menyerang Mei Lie. Kini dia berbalik menyerang Daeng Lonto.
"Yeaaa...!" Tangan Daeng Ampra menghentak ke wajah lawan, mengejutkan Daeng Lonto. Dia berusaha menarik serangannya. Tapi karena gerakan Daeng Ampra begitu tiba-tiba, membuat langkahnya mati seketika.
Terpaksa Daeng Lonto memapaki serangan lawan.
"Yeaaa...!" Blarrr! Dua telapak tangan beradu. Daeng Lonto terpental beberapa tombak ke belakang.
Sedangkan Daeng Ampra tersurut tiga langkah ke belakang. Namun Daeng Ampra cepat bangkit, dia kembali melabrak Daeng Lonto. Tampaknya Daeng Ampra bermaksud membunuh Daeng Lonto secepatnya.
"Mampuslah kau, Lonto! Hiaaat..!" Daeng Lonto yang belum bisa berbuat apa-apa, kini hanya mampu membelalakkan mata. Sulit baginya untuk mengelakkan serangan lawan.
Melihat hal itu, dengan cepat Mei Lie mencabut Pedang Bidadarinya. Dengan pekikan menggelegar, tubuhnya berkelebat memapaki serangan Daeng Ampra yang meluncur ke arah Daeng Lonto. Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Arah Angin', Mei Lie membabatkan pedangnya ke tangan lawan.
"Hiaaa...!" Wut!

***

Daeng Ampra tersentak seketika, melihat pedang bersinar merah kekuning-kuningan menebas tangannya. Dia segera menarik kedua tangannya.
Lalu dengan bersalto, dia berusaha mengelakkan serangan lawan.
Mei Lie yang masih dendam pada orang-orang persilatan aliran hitam tak berhenti sampai di situ.
Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung Karang' dia kembali memburu Daeng Ampra.
Wut! "Uts! Celaka...!" pekik Daeng Ampra semakin terdesak oleh babatan Pedang Bidadari di tangan Mei Lie. Wajahnya agak pucat, menyaksikan jurus pedang yang dilancarkan Mei Lie. Jurus itu bukan jurus sembarangan. Jurus 'Pedang Bidadari' yang dikuasai Mei Lie, merupakan jurus sakti yang sulit untuk dielakkan.
Daeng Ampra terus berusaha mengelak, dengan sesekali melancarkan serangan balasan. Dengan menggunakan jurus 'Landung Gampyar' Daeng Ampra berusaha menekan balik Mei Lie. Sementara itu, Sena yang menghadapi Dewi Sandang masih bertingkah laku konyol. Mulutnya berteriak-teriak manakala Dewi Sandang menyerang dengan tongkat berkepala tengkorak. Dari kepala tongkat itu, keluar asap putih kehitam-hitaman yang mengandung racun.
Beruntung sekali Sena telah kebal dari segala macam jenis racun, sehingga dia tidak terpengaruhi oleh asap beracun yang keluar dari kepala tongkat Dewi Sandang. Melihat lawan mampu bertahan terhadap racunnya, Dewi Sandang bertambah marah. Dengan mendengus, dilancarkannya jurus 'Patik Sewu'nya.
Tongkatnya bergerak buas dan bertambah cepat hingga tampak menghilang.
"Ha ha ha...! Mengapa kau seperti orang kesurupan, Nyi" Hi hi hi...!" seloroh Sena sambil berjingkrak mengelakkan sambaran kepala tongkat lawan.
"Remuk batok kepalamu! Hiaaat...!"
"Uts! Belum, Nyi. Aduh.... Galak sekali," gumam Sena sambil melompat ke samping dengan tangan memegangi kepala.
Kemudian dengan tingkah laku seperti kera, Pendekar Gila balas menyerang dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Kedua tangannya laksana melempr batu dengan cepat, hingga menimbulkan deru angin kencang.
"Jurus edan!" maid Dewi Sandang gusar, karena serangannya seketika terhenti oleh hembusan angin yang tercipta dari jurus yang dilakukan Sena.
Bergegas tongkatnya diputar, lalu dari putaran itu bertiup angin yang keras.
Itulah jurus 'Baling-baling Pusar Angin'.
Wut! "Kini kuremukkan kepalamu, Bocah Edan! Yeaaah...!"
"Hi hi hi...! Kalau kau marah, wajahmu seperti kambing tercebur di comberan, Nyi," ejek Sena sambil mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Dan diteruskan dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Lagi-lagi Dewi Sandang tersentak kaget mendapat serangan yang begitu dahsyat.
Setiap jurus yang dilakukan oleh Pendekar Gila terlihat lamban dan lemah, tapi kenyataannya sangat luar biasa dan mengandung hawa panas disertai hembusan angin kencang.
"Ilmu edan!" maki Dewi Sandang seraya ber-lompatan ke kanan dan kiri, berusaha mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang melihat lawan kebingungan, segera mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian dengan cepat serangannya ditarik, lalu diganti dengan tiupan maut sulingnya.
Suara Suling Naga Sakti melengking keras. Sena mengarahkan kepala naga ke tubuh Dewi Sandang. namun tiba-tiba niatnya diurungkan, manakala teringat kalau Dewi Sandang adalah urusan Daeng Lonto.
"Menyerahlah, Nyi. Semoga kau akan mendapat ampunan!" kata Pendekar Gila, berusaha menyadarkan wanita tua berpakaian minim itu.
"Cuih! Pantang bagi Dewi Sandang menyerah! Kita tentukan, siapa di antara kita yang akan mampus! Terimalah ajian 'Karang Jalna'ku. Hiaaat...!" Wusss! Dari telapak tangan Dewi Sandang, membersit selarik sinar pelangi ke arah Pendekar Gila. Sinar itu bergulung-gulung dengan cepat, berusaha membungkus tubuh Pendekar Gila.
Melihat hal itu, Sena segera meniup sulingnya.
Kepala naga di Suling Naga Sakti diarahkan ke sinar pelangi yang hendak melumpuhkannya. Dari sepasang mata kepala naga itu, seketika melesat dua sinar merah ke arah sinar yang dikerahkan oleh Dewi Sandang.
Glarrr...! "Ukh...!" Dewi Sandang mengeluh pendek.
Seketika tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Dan tak berapa lama kemudian....
"Hoeeek...!" Dewi Sandang memuntah-kan darah hitam. Wajahnya menjadi pucat pasi.
Sedangkan matanya membelalak tegang.
"Kuharap kau mau menyerah, Nyi," kata Sena berusaha menyadarkan Dewi Sandang.
"Kurang ajar! Kau harus mampus! Hiaaa...!" Dengan nekat Dewi Sandang kembali menyerang Pendekar Gila dengan ajian pamungkasnya yang bernama 'Karang Jalna'.
Menyaksikan kenekatan wanita tua itu, bergidik juga hati Pendekar Gila.
Sebenarnya kematian wanita tua itu tidak dikehendakinya. Tapi jika dia hanya diam, maka dialah yang akan tewas. Terpaksa Pendekar Gila menyambutnya.
"Pukulan 'Inti Salju'. Heaaa...!" Wusss! Sena merentangkan tangannya lebar-lebar. Lalu dengan jari-jari tangan membuka, tangannya digerakkan ke atas seperti mengumpulkan sesuatu.
Saat itu langit seketika mendung dan gelap. Ketika tangan Sena mendorong ke depan, salju turun dari atas dengan deras. Anehnya, salju itu hanya menghujani tubuh Dewi Sandang. Tanpa ampun, tubuh Dewi Sandang membeku ketika tertutup oleh es yang memadat.
Di sisi lain, Mei Lie yang menyerang Daeng Ampra semakin marah karena sejak tadi serangannya belum juga mendapatkan hasil. Dengan jurus pamungkas yang bernama 'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie kembali menyerang.
"Hiaaa...!" Pedang di tangan Mei Lie bergerak cepat, menyilang ke samping kanan, kemudian lurus ke depan. Dilanjutkan dengan menyilang ke kiri, lalu lurus lagi. Pada saat dekat dengan tubuh lawan, Mei Lie mengangkat pedangnya tanggi-tinggi. Dan....
Wut! Srrrt! "Aaa...!" Daeng Ampra memekik ketika dari kepala sampai ke bawah tubuhnya dibelah oleh Pedang Bidadari dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Sesaat tubuh Daeng Ampra mematung. Tubuhnya masih utuh bagai tidak terkena tebasan. Hal itu membuat Daeng Lonto dan Sena membelalakkan mata. Keduanya malah terbengongbengong menyaksikan kejadian yang aneh itu.
Belum juga hilang rasa kaget Sena dan Daeng Lonto, untuk kedua kalinya mereka dibuat terpana.
Ketika angin bertiup kencang, tiba-tiba tubuh Daeng Ampra beterbangan bagai tepung! "Wah"!" seru Sena dengan mulut menganga bodoh.
"Ck ck ck...! Bukan sembarangan ilmu pedang," puji Daeng Lonto sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Maaf, aku terpaksa," sesal Mei Lie.
"Tak apa, Mei Lie. Mungkin hanya kematianlah yang bisa menghentikan mereka," kata Daeng Lonta "Semua tugasku telah selesai. Aku harus segera pulang ke Sulawesi. Kuharap kalian bisa bertandang ke sana."
"Semoga, Daeng. Jika ada umur panjang," ucap Pendekar Gila dan Mei Lie berbareng.
"Sampaikan salamku pada semua pendekar di tanah Jawa Dwipa ini, Sena. Aku mohon pamit" Daeng Lonto menjura, dibalas oleh Sena dan Mei Lie. Kemudian, Daeng Lonto pun meninggalkan kedua muda-mudi yang mengikutinya dengan pandangan mata penuh persahabatan. Ketika tubuh Daeng Lonto memupus di titik pandang terjauh, mentari telah tersungkur di pangkuan senja. Dan satu kejadian dalam lembaran waktu telah usai, sementara dua insan yang terpatri dalam kesatuan kasih tengah berdiri tanpa kata.
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya menatap penuh arti pada Mei Lie yang segera memeluk tubuh pemuda pujaan hatinya. Perlahan-lahan wajah keduanya mendekat dan semakin dekat, lalu Mei Lie merebahkan kepalanya di dada Sena. Kedua insan itu kemudian menyatu dalam debar cinta, melebur dalam denting dawai asmara.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Pedang Penyebar Maut --oo0oo-- Mawar Maut Perawan Tua


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.