Penunggang Kuda Iblis
tanztj
March 16, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
Ular Kobra Dari Utara --oo0oo-- Syair Maut Lelaki Buntung |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
:::┌┘¦ 1 ¦└┐:::
Kedatangan seorang gembel berkuda hitam itu menjadi buah bibir para tokoh persilatan, baik dari aliran putih maupun hitam.
Orang aneh itu membunuh siapa saja tokoh persilatan yang menantang Pendekar Gila dan Mei Lie.
Di mana-mana orang semua membicarakan sepak terjang orang berpakaian gembel itu.
"Aku heran kenapa pembunuhan menggiriskan itu terjadi di mana-mana. Orang-orang yang dibunuh, kebanyakan para tokoh silat tersohor dan ditakuti.
Dan anehnya mereka yang menantang Pendekar Gila dan gadis Cina itu," ujar seorang lelaki bertubuh kurus yang tengah menikmati santapan di sebuah kedai.
Orang itu duduk sambil mengangkat kaki kanan ke kursi tempat duduknya.
"Biar saja. Kita tak perlu ikut campur. Lagi pula mereka yang dibunuh itu tokoh aliran hitam yang suka memeras orang...!" sahut lelaki berumur sekitar tiga puluh lima tahun, bernama Jaroto. Wajahnya menoleh pada lelaki bermuka lonjong tadi yang sebenarnya bernama Ki Sarpan.
"Aneh! Siapa orang yang membunuh tokoh-tokoh itu..."! Apa betul, pembunuh itu suruhan Pendekar Gi-la?" tambah Baseta, lelaki muda yang duduk satu me-ja, dengan Ki Sarpan dan Jaroto. Tampak mulutnya sibuk mengunyah makanan.
"Mungkin juga.... Ah, sudah jangan pikirkan orang lain! Makanlah yang kenyang. Kita harus berangkat ke laut...," sahut Ki Sarpan sambil mengelap tangannya dengan kain serbet Ki Sarpan dan Jaroto merupakan nelayannelayan yang cukup dikenal. Setiap kali akan turun ke laut atau sehabis menangkap ikan. Ki Sarpan dan Jaroto seperti kawan-kawan lain, selalu mampir ke kedai itu. Mereka beristirahat sambil mengisi perut.
"Pagi tadi aku benar-benar sial. Ikan sepertinya tak ada yang mau mendekati jalaku. Aneh! Mudah-mudahan nanti akan lebih baik....'" ujar Jaroto.
Di dalam kedai suasana, nampak cukup ramai.
Hampir semua meja yang ada di ruangan kedai penuh.
Di salah satu sudut agak tersembunyi duduk seorang berpakaian gembel, memakai caping lebar, menghadapi makanannya. Orang-orang tak banyak yang menghiraukan orang berpakaian gembel dan bercaping lebar itu. Bahkan ada yang mencibirkan bibir sambil menutup hidung, menghinanya. Namun, orang berpakaian compang-camping seperti gembel itu tak menghiraukan. Dirinya tetap duduk tenang dan menundukkan kepala. Wajahnya tertutup oleh capingnya. Sehingga tak dapat terlihat dengan jelas, seorang lelaki atau wanita.
"Hei...! Kapan si gembel itu masuk" Tahu-tahu sudah ada di sana...," seru seorang lelaki bermuka persegi, berhidung besar, dan kumis tebal. Tubuhnya yang tegap terbalut pakaian rompi hitam. Kepalanya terikat kain warna hitam. Sebilah golok besar terselip di pinggangnya.
"Aaah...! Jangan usil pada orang lain! Teruskan makanmu! Paling-paling orang gembel yang baru dapat rejeki...," sahut temannya sambil menggigit ikan panggang.
"Ha ha ha...!" Keduanya tertawa-tawa sambil memandangi orang yang berpakaian compang-camping dan bertudung caping lebar itu.
Suara tawa dan riuhnya di dalam kedai, tiba-tiba berhenti, ketika mereka melihat tiga sosok lelaki bertubuh tegap dan berwajah garang memasuki pintu kedai. Tak satu pun di antara para pengunjung kedai membuka mulut Tampaknya mereka semua tahu siapa yang datang. Ya, ketiga sosok berwajah garang itu tak lain Tiga Setan Laut Kidul. Orang-orang yang tadi tertawa dan mondarmandir seenaknya, kini nampak diam bagai patung.
Hanya dada mereka yang terlihat naik turun tak teratur, menandakan kecemasan dan ketegangan yang tengah melanda hati masing-masing.
Mereka sudah mengenal siapa Tiga Setan Laut Kidul. Ketiga lelaki berwajah bengis itu merupakan tokoh aliran hitam yang dikenal sangat kejam dan biadab. Mereka tak segan-segan membunuh atau menyiksa siapa pun yang berani menentangnya.
"He he he..., silakan! Tuan... silakan...! He he he...," sambut Ki Galingga dengan membungkukbungkuk memberi hormat, serta menyilakan tamunya.
"Hm...!" desis orang yang berdiri paling depan.
Dirinya dikenal dengan nama Jurig Sepuh. Tubuhnya tinggi dengan dada berbulu, tak tertutup pakaian. Matanya besar tampak bengis, apalagi ditambah dengan kumis tebal melintang menghias bibirnya. Pandangannya mengelilingi ruangan kedai ini.
Jurig Sepuh segera duduk. Kedua saudaranya, Jurig Penengah dan Jurig Kaletik pun turut duduk di sampingnya. Ketiganya sama-sama berambut panjang melewati bahu, terikat kain merah di kepala masingmasing. Sedangkan di pergelangan tangan kanan mereka tampak melingkar gelang bahar hitam kecoklatan.
"Pesan apa, Tuan..?" tanya Ki Galingga dengan sopan sambil membungkuk.
"Apa saja yang ada, bawa kemari!" jawab Jurig Sepuh tanpa menoleh sedikit pun pada Ki Kalingga.
"Hei, tunggu! Apa kau lihat pemuda gila berpakaian rompi kulit ular datang kemari"!" tambah Jurig Sepuh sambil menahan Ki Galingga yang hendak melangkah pergi.
"Dari pagi tak ada lelaki atau pemuda yang seperti Tuan maksudkan. Si...
siapa dia, Tuan?" jawab Ki Kalingga. Lelaki berusia lima puluh tahunan dan berjenggot putih itu membungkuk-bungkuk. Tergambar jelas rasa cemas di wajahnya yang sudah agak keriput.
"Yang kami maksud si Pendekar Gila yang kondang itu!" jawab Jurig Penengah dengan kasar. Matanya melotot. Kemudian menoleh pandangannya menyapu ke seluruh ruangan kedai ini.
Para pengunjung kedai tak satu pun yang berani menanggapi ucapan orang kedua dari Tiga Setan Laut Kidul itu. Semua terdiam dengan hati menahan rasa takut. Hanya sosok berpakaian gembel yang duduk di sudut ruangan kedai itu tampak mengangkat kepala.
Dari balik caping orang itu seakan memandang ke arah Tiga Setan Laut Kidul.
Ki Kalingga tersentak mendengar nama Pendekar Gila yang dicari Tiga Setan Laut Kidul itu. Dadanya seketika naik turun dengan cepat, karena tegang dan takut "Hei! Sudah, cepat sana bawakan makanan untuk kami!" bentak Jurig Kelerik.
"Ya, ya, Tuan...." Ki Galingga segera berlalu dengan perasaan tegang. Tubuhnya tampak membungkuk-bungkuk.
"Hei..., kalian semua! Siapa yang melihat atau bertemu dengan Pendekar Gila dan gadis Cina itu, beri tahu mereka! Bahwa Tiga Setan Laut Kidul akan membunuhnya...! Mengerti!" seru Jurig Penengah dengan sombong sambil menggebrak meja. Matanya yang tajam dan bengis menyapu ke sekeliling ruang kedai.
Namun, para pengunjung kedai itu tak ada yang menjawab. Hal itu jelas membuat Jurig Penengah marah.
"Hm...! Hei! Kalian semua tuli..."! Jawab, apa ka-taku tadi! Kalau tidak, akan kuhajar kalian sampai mampus!" seru Jurig Penengah sambil menendang salah satu meja. Meja di tempat Ki Sarpan dan kedua temannya duduk. Tentu saja Ki Sarpan yang punya harga diri, merasa tersinggung oleh perbuatan lelaki bengis itu.
"Kisanak...! Jangan kau anggap kami diam karena takut pada kalian! Sopan sedikit!" ujar Ki Sarpan dengan nada marah. Dirinya telah berdiri menghadap Jurig Penengah.
"Ha ha ha...! Orang ini sudah bosan hidup rupanya, Kakang! Ha ha ha...!" Jurig Penengah tertawa terbahak-bahak, dengan sikap pongah. Lelaki bengis itu mendekati Ki Sarpan dan kedua temannya, "Hei! Kalian boleh mengadu ilmu denganku, kalau memang sudah tak mempan dibacok!" Selesai berkata begitu, Jurig Penengah lalu mendorong keras tubuh Ki Sarpan dengan tangan kirinya.
Dengan cepat Ki Sarpan mencabut goloknya, lalu dibabatkan ke dada Jurig Penengah.
Hanya dengan menundukkan kepala Jurig Penengah mengelakkan tebasan golok lawan. Kemudian menyerang balik dengan pukulan tangan kanannya ke dada lawan. Ki Sarpan tampak mati langkah tak mampu bergerak untuk menghindar. Hal itu karena serangan balik Jurig Penengah datang begitu cepat Degkh! "Aaakh...!" Ki Sarpan memekik keras, ketika pukulan Jurig Penengah mendarat di dadanya. Tubuhnya terhuyung ke belakang empat tombak lalu menabrak meja dan kursi lain. Brakkk! Para pengunjung kedai berlarian ketakutan. Jaroto dan Baseta yang melihat temannya terluka segera menyerang bersamaan ke tubuh Jurig Penengah yang tertawa-tawa mengejek. Tampaknya Ki Sarpan bukan tandingan bagi Jurig Penengah yang berilmu tinggi.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!" Plak! Plak! "Aaakh...!" Jaroto dan Baseta memekik, ketika wajah mereka kena tamparan tangan kanan lawan. Jurig Penengah yang melihat lawan masih menahan sakit, tak memberi ampun lagi. Tubuhnya melompat kembali menghajar Jaroto dan Baseta.
"Heaaa...!" Degkh! Degkh! "Aaakh...!" Jurig Penengah melancarkan tendangan sambil melompat dan berputar. Kaki kanannya beruntun mendarat di dada Jaroto dan Baseta. Tubuh kedua lawan tampak bergelimpangan di antara meja dan kursi kedai. Keduanya langsung tak berkutik lagi.
"Bangsat..!" seru Ki Sarpan yang sudah kembali pulih dari sakitnya.
Orang-orang di kedai semakin ketakutan, mereka berlarian keluar dari kedai, ketika melihat Jaroto dan Baseta pingsan. Hanya tinggal orang berpakaian gembel yang tenang masih duduk di kursi tempat duduknya, di sudut ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik caping. Sikapnya seakan tak menghiraukan keadaan di kedai ini.
"Heaaa...!" Ki Sarpan menyerang Jurig Penengah dengan sabetan goloknya ke kepala. Namun dengan mudah Jurig Penengah mengelak dari serangan Ki Sarpan yang masih dua tingkat di bawah Jurig Penengah.
Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik yang duduk dengan mengangkat sebelah kaki di kursi, hanya tersenyum-senyum memperhatikan saudaranya menghajar lawan-lawannya.
"Mampus kau, Kunyuk....'" dengus Jurig Penengah. Jari tangan kirinya mencengkeram tangan kanan Ki Sarpan yang memegang golok. Sedang tangan kanannya cepat menghantam dada Ki Sarpan keras.
Degkh! Degkh! "Aaakh...!" Ki Sarpan memekik panjang. Seketika dari mulutnya keluar darah segar. Sedangkan tangan kanannya yang dicengkeram Jurig Penengah patah.
Jurig Penengah masih tertawa-tawa kesenangan melihat lawannya kesakitan. Sementara Ki Sarpan masih mengerang-erang kesakitan. Tubuhnya terjatuh di lantai, kemudian tak mampu bergerak lagi. Rupanya pukulan lawan yang mendarat di dada menimbulkan luka dalam yang hebat "Ha ha ha...! Siapa lagi yang mau melawanku..."! Kau"!" seal Jurig Penengah sambil menunjuk orang yang duduk di sudut Orang berpakaian compang-camping mirip gembel itu tak memberi tanggapan sama sekali. Bahkan, tak bergerak sedikit pun dari tempat tidurnya. Kepalanya masih tetap menunduk, hingga wajahnya sukar sekali dilihat Jurig Penengah yang merasa disepelekan, naik pitam. Ditendangnya meja dan kursi yang ada di hadapannya. Dengan langkah tegap kakinya melangkah mendekati orang berpakaian compang-camping itu.
"Hei! Monyet..! Kau tuli atau bisu"! Bangun...!" bentak Jurig Penengah marah.
Wajah Ki Galingga, pemilik kedai itu berubah pucat, ketakutan. Dengan tubuh gemetaran lelaki berwajah keriput itu bersembunyi di balik meja.
Jurig Penengah semakin marah, ketika orang berpakaian compang-camping dan bercaping lebar itu tetap tak menghiraukannya. Bahkan gembel itu ngeloyor pergi, tanpa menoleh sedikit pun pada Jurig Penengah.
"Hei, Tuli! Rasakan ini...!" seru Jurig Penengah, lalu menyerang orang berpakaian compang-camping dengan pukulan jarak jauh.
"Heaaa...!" Wuttt! Brakkk! Seketika angin keras menderu keluar dari telapak tangan Jurig Penengah. Beberapa meja dan kursi terpental terhantam pukulan yang dilancarkan orang kedua dari Tiga Setan Laut Kidul itu.
Namun rupanya orang berpakaian compangcamping itu memiliki ilmu yang cukup tinggi pula. Dalam kedudukan membelakangi Jurig Penengah dengan gerakan cepat sekali gembel itu melakukan serangan.
Hal itu dilakukan sebelum serangan Jurig Penengah mencapai sasaran.
Werrr! Caping lebar yang terbuat dari bambu kuning itu, menyambar telak di leher Jurig Penengah.
Jreb! "Aaa...!" Jurig Penengah memekik panjang, dengan mata melotot. Lalu tubuhnya roboh. Dan caping dari bambu kuning itu terbang kembali ke pemiliknya, setelah memakan korban. Jurig Penengah pun mati dengan mengerikan. Lehernya hampir putus.
"Hah...!" Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik terbelalak matanya, melihat saudaranya dengan mudah ambruk di tangan orang berpakaian compang-camping itu.
"Bangsat..! Kau berani membunuh saudaraku...! Heaaa...!" Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik melesat cepat, menyerang orang berpakaian compang-camping. Keduanya langsung mengerahkan pukulan 'Api Neraka'.
Srats! Srats! Dari kedua telapak tangan Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik, keluar semburan api melesat ke tubuh lawan.
Namun orang berpakaian compang-camping itu dengan tenang melenting ke atas, mengelakkan serangan.
Api itu terus melesat hingga menabrak dinding kedai yang terbuat dari bambu. Kebakaran pun tak dapat dielakkan. Jeritan dan pekikan ketakutan terdengar dari orang-orang yang belum sempat keluar dari kedai. Ki Galingga si pemilik kedai, pun segera lari keluar sambil teriak minta tolong.
Namun tak seorang pun mau menolong, karena semua ketakutan melihat kejadian itu.
Orang berpakaian compang-camping yang masih di udara, bersalto sambil melemparkan capingnya ke arah Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik.
Werrr! Caping lebar dari bambu kuning itu pun meluncur cepat memburu kepala Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik.
"Hah!" Jurig Sepuh membelalakkan mata melihat caping ajaib itu melayang ke kepalanya. Lelaki gagah berambut panjang itu dengan cepat meliukkan tubuh, lalu berguling di lantai kedai yang sempit itu. Demikian pu-la Jurig Kaletik berusaha bersalto ke belakang. Namun gerakannya terlambat hingga caping besar itu berhasil menyambar lehernya.
Jreb! "Aaakh...!" Jurig Kaletik mengerang kesakitan sambil memegangi lehernya yang hampir putus. Matanya melotot.
Lalu ambruk, mati! Caping itu pun kembali ke pemiliknya, setelah memakan korban.
Jurig Sepuh melihat saudaranya yang paling kecil mati dengan cara sama dengan Jurig Penengah, langsung merasa ciut nyalinya. Wajahnya pucat pasi.
Keringat dingin mulai membasahi keningnya.
"Edan...!" gumam Jurig Sepuh pelan, lalu melompat kabur, keluar dari kedai itu.
Orang yang berpakaian compang-camping itu pun tak membiarkan Jurig Sepuh begitu saja. Tubuhnya melesat bagai terbang melewati kepala Jurig Sepuh yang berlari ketakutan.
Tubuh orang berpakaian compang-camping itu mendarat dengan ringan di depan Jurig Sepuh.
"Hah..."!" Jurig Sepuh tak menduga orang berpakaian compang-camping itu dapat mengejarnya. Matanya terbelalak terkejut, ketika melihat orang itu sudah berdiri di hadapannya.
"Ooo...! Baiklah aku menyerah, kalah. Ampuni aku! Biarkan aku pergi...! Aku, tak bermaksud bertarung atau menentangmu, Kisanak. Aku hanya menantang Pendekar Gila," ujar Jurig Sepuh yang bermuka garang itu dengan suara menggeragap karena ketakutan.
"Hm...! Hi hi hi...! Siapa yang akan menentang Pendekar Gila, harus berhadapan denganku dulu.
Langkahi dulu mayatku, sebelum berhadapan dengan Pendekar Gila...," sahut orang berpakaian compang-camping itu dengan suara mantap. Wajahnya masih tersembunyi di balik capingnya yang lebar. Sehingga belum jelas lelaki atau wanita. Namun dilihat dari tubuh dan suaranya, jelas dia seorang wanita.
"Mungkin dia seorang wanita"!" tanya Jurig Sepuh dalam hati.
"Tidak..., tidak. Aku menyerah..., ampuni aku, Nisanak!" pinta Jurig Sepuh sambil menjura.
Orang berpakaian compang-camping yang berdiri di hadapannya, tak menjawab. Sejenak menghela napas panjang, lalu berbalik melangkah pergi.
Baru dua tombak orang itu melangkah, tiba-tiba Jurig Sepuh yang menyangka bahwa lawan lengah, melesat melakukan serangan dengan mengayunkan golok.
"Heaaa...!" Wuttt! Golok itu belum sampai ke tubuh lawan, tiba-tiba orang berpakaian compang-camping berbalik, tahutahu tubuh Jurig Sepuh terpental sejauh lima tombak ke belakang.
"Aaa...!" Rupanya tanpa sepengetahuan Jurig Sepuh, wanita berpakaian gembel itu telah mendahului. Tubuhnya dengan cepat dimiringkan ke kiri. Kemudian sambil membalik, dengan cepat pula sosok berpakaian gembel itu melancarkan sebuah pukulan ke tubuh lawan dengan jurus 'Tamparan Tangan Iblis'.
Jurig Sepuh tak bergerak lagi, tewas dengan mata melotot. Dadanya hangus bagai terbakar dan berbekas telapak tangan. Rupanya sosok berpakaian compang-camping itu mengerahkan jurus 'Tamparan Tangan Iblis'. Semua orang di tempat itu terkejut, bercampur kagum dengan kehebatan ilmu yang dimiliki orang berpakaian compang-camping itu.
Selesai membunuh Jurig Sepuh, sosok berpakaian compang-camping itu menepukkan telapak tangannya tiga kali. Tak lama kemudian muncullah kuda hitam jantan bertubuh kekar, menghampirinya.
Orang berpakaian compang-camping itu segera melompat ke atas kuda. Lalu tanpa berkata apa-apa, manusia aneh itu menggebah kudanya, melesat meninggalkan Desa Parangan dan orang-orang di kedai yang masih keheranan dan kagum.
***
Kemunculan orang berpakaian compangcamping, yang menunggang kuda hitam, seketika menjadi bahan pembicaraan setiap orang di Desa Parangan. Mereka pada umumnya bertanya-tanya siapa sebenarnya tokoh aneh itu. Lawan atau kawan Pendekar Gila"
"Aneh! Sungguh aneh orang penunggang kuda itu. Ada hubungannya apa dia dengan Pendekar Gi-la...?" tanya lelaki yang bernama Ki Lamting, sambil menggeleng kepala.
"Tadi aku mendengar, bahwa siapa saja yang menantang Pendekar Gila, harus berhadapan dulu dengannya. Apa maksudnya"!" tambah pemuda bernama Warsita, berdiri di sebelah Ki Lamting.
Sementara itu Ki Galingga tampak sedih dan menyesal. Kedainya sebagian terbakar terhantam Jurig Penengah yang mengerahkan pukulan 'Api Neraka'.
Tak lama kemudian kerumunan orang-orang itu bergerak, memberi jalan pada Ki Lurah Patiasa, yang datang bersama dua pengawalnya.
"Siapa yang mengenal pembunuh ketiga orang ini?" tanya Ki Lurah Patiasa, seraya memandangi orang-orang yang berkumpul di depan kedai.
"Kami tak jelas, Ki Lurah. Orang berkuda hitam itu seperti iblis. Datang dan pergi begitu saja," jawab Ki Lamting menjelaskan.
"Benar, Ki Lurah. Orang berkuda hitam itu sangat aneh dan sangat tinggi ilmunya...," tambah Warsita.
"Bagaimana awalnya bisa sampai terjadi pertarungan itu?" tanya Ki Lurah Patiasa lagi.
Sejenak mereka diam. Mata mereka saling memandang seperti ragu untuk menjelaskan kepada kepala desa itu.
"Hm..., begini. Ki Lurah...." Ki Galingga, pemilik kedai menjelaskan dari awal sampai akhir pada Ki Lurah Patiasa. Semua terdiam mendengar penuturan Ki Galingga.
"Memang aneh. Akhir-akhir ini sering terjadi pembunuhan. Mayat para tokoh bergelimpangan di mana-mana. Ini pertanda malapetaka di dunia persilatan. Siapa sebenarnya orang berkuda hitam itu" Kawan atau lawan Pendekar Gila..."!" gumam Ki Lurah Patiasa sambil memegangi keningnya.
"Kalau menurut saya, tak mungkin Pendekar Gila memerintah seseorang dengan kejam membantai siapa saja yang menantangnya. Pasti ada sesuatu di balik peristiwa ini," tukas Santika, pengawal Ki Lurah Patiasa yang berdiri di sebelah kanan kepala desa itu.
"Benar, Ki Lurah. Saya sependapat dengan Kakang Santika," tambah Lohdaya.
"Hm...," gumam Ki Lurah Patiasa, sambil mengangguk-anggukkan kepala. Seakan hatinya membe- narkan ucapan kedua pengawalnya.
"Sekarang kalian kuburkan mayat-mayat itu. Ayo laksanakan!" perintah Ki Lurah Patiasa pada warga penduduk desa yang masih di depan kedai Ki Galingga.
Para penduduk desa bergegas bersama-sama menguburkan mayat-mayat itu.
"Aku merasa menyesal, meninggalkan desa ini tadi pagi. Seharusnya kutunda kepergianku...," keluh Ki Lurah Patiasa, sambil memandangi para warganya yang sibuk membereskan mayat-mayat itu dari kedai Ki Galingga.
"Tapi kepergian kita kan bukan untuk senangsenang, Ki Lurah Patiasa. Tugas melapor ke Kadipaten Krasaan tak dapat ditunda," ujar Santika ingin mengurangi rasa sesal kepala desanya.
"Ya. Kau benar. Kita harus melaporkan keadaan Desa Parangan. Ah, rupanya kita harus lebih waspada," kata Ki Lurah Patiasa kemudian. Matanya memandang jauh ke depan.
***
:::┌┘¦ 2 ¦└┐:::
Tampak para nelayan sedang berangkat ke laut dengan jala terpanggul di pundak.
Sekawanan burung beterbangan pulang ke sarang masing-masing dengan suara yang bersahutsahutan. Cahaya merah tembaga membias di kaki langit sebelah barat, menandakan mentari telah masuk ke peraduannya. Dan angin darat cukup kencang tertiup ke laut, yang menghempaskan perahu para nelayan yang sedang berlayar ke tengah.
Dua sosok manusia tampak melangkah dalam keremangan senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gurau dengan riang, menikmati suasana senja yang indah.
"Desa apa ini, Kang?" tanya gadis cantik berpakaian putih dengan rambut digelung di atas. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya tak terlalu mancung. Sedang mata yang sipit tampak indah bila mengerling.
"Ah ah ah.... Kalau aku tak salah ini Desa Parangan," jawab pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular. Rambutnya yang gondrong, terikat pula oleh kulit ular. Serasi sekali kedua anak muda itu. Yang lelaki tampan dan gagah, sedangkan yang wanita cantik dan anggun. Di pundak gadis cantik berpakaian silat Cina itu tersandang sebatang pedang. Sedangkan di pinggang pemuda tampan itu terselip sebuah suling berkepala naga Kedua sejoli itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila dengan kekasihnya Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa.
Sena nampak cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu sekeliling yang nampak sepi "Nampaknya ada sesuatu yang baru terjadi di desa ini, Kang...," kata Mei Lie, lirih. Matanya yang bening juga memandangi sekelilingnya.
"Hm," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Mei Lie menghela napas panjang, matanya masih tetap mengamati sekeliling tempat itu.
"Aha, ayolah kita cepat pergi! Sebentar lagi malam. Kita harus segera mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie.
Namun, gadis Cina itu menolak, dengan memegang lengan Pendekar Gila.
"Ssst..! Tunggu, Kakang! Firasatku mengatakan, telah terjadi sesuatu di desa ini." Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil tertawa cekikikan mendengar ucapan kekasihnya. Hal itu membuat Mei Lie cemberut. Kesal. Karena Sena seakan tak mempercayai firasatnya.
Pendekar Gila langsung mengubah tingkahnya yang persis orang gila itu, setelah melihat wajah Mei Lie memberengut. Namun sebentar kemudian tangannya telah kembali menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
"Hi hi hi...! Kau kalau cemberut begitu tambah jelek. Eee..., maksudku, tambah cantik," ujar Sena ber-seloroh sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Mei Lie tersenyum manis, mendengar pujian Pendekar Gila. Kemudian Sena kembali mengajak Mei Lie segera meninggalkan tempat itu. Mei Lie pun menurut. Keduanya melangkah meninggalkan Desa Parangan. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan bentakan seseorang.
"Hei...! Berhenti!" Pendekar Gila dan Mei Lie berhenti. Keduanya membalikkan tubuh melihat siapa yang telah menyuruh mereka berhenti. Tampak lelaki berbadan sedang berumur sekitar empat puluh lima tahun, dengan kumis tipis menghiasi di atas bibirnya. Matanya memandang penuh rasa curiga pada kedua muda-mudi itu. Di belakang lelaki yang tak lain Ki Lurah Patiasa, berdiri beberapa orang warga, termasuk Santika dan Lohdaya.
Pendekar Gila tertawa-tawa, tingkah lakunya yang aneh kembali muncul. Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat Menyaksikan tingkah aneh dan konyol pemuda berpakaian rompi kulit ular di hadapannya, Ki Lurah Patiasa seketika mengerutkan kening, sambil memegangi dagunya.
"Rasanya aku pernah mengenal tingkah laku pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila yang dikagumi itu?" tanya Ki Lurah Patiasa dalam hati. Alisnya bertaut saat memandang penuh selidik pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Dan kalau tak salah, gadis Cina ini yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa. Benarkah mereka?"
"Hi hi hi...! Kalian ini aneh. Mengapa bengong" Hi hi hi...!" Sena tetap bertingkah seperti orang gila, menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Sedangkan Mei Lie tampak bersiap-siap, waspada kalau para penghadangnya hendak bermaksud jahat.
"Siapa kalian sebenarnya, Kisanak?" tanya Ki Lurah Patiasa kepada Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Aku..."! Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Kisanak!" Sena semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kalian ingin tahu siapa kami" Baiklah, kami hanyalah orang kecil yang sedang berpetualang mengikuti kehendak hati. Nah, cukup jelas bukan?" Ki Lurah Patiasa dan orang-orangnya saling pandang. Lalu menghela napas. Ki Lurah Patiasa mencoba bersikap ramah.
"Hm... maaf! Apa benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa?" tanya Ki Lurah Patiasa berusaha memastikan dugaannya.
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya cengengesan dan menepuk-nepuk pantat, lalu menggaruk-garuk kepala. Namun Mei Lie yang merasa tak sabar, langsung menjawab dengan nada ketus.
"Ya! Mengapa kalian menghadang kami?" Ki Lurah Patiasa, kembali saling pandang dengan orang-orangnya. Wajahnya kini nampak agak lega.
Tersungging senyum kegembiraan di bibirnya.
Begitu juga dengan Santika dan Lohdaya, yang berdiri di sebelah kiri dan kanan Ki Lurah Patiasa. Keduanya nampak tersenyum saling berbisik.
Mei Lie yang cepat marah tampak kesal dan curiga terhadap mereka.
"Hei! Kalian mau menentang kami..."! Ada apa sebenarnya dengan kalian!" sungut Mei Lie sambil melangkah setindak ke depan.
Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedangnya.
"O, maafkan tindakan kami yang lancang! Kami tak bermaksud jahat. Malah, kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, kami sangat lega dan gembira sekali. Kami mengharap kalian sudi singgah ke rumah kami," ujar Ki Lurah Patiasa, dengan sopan.
Mei Lie mengerutkan kening, menyelidik. Lalu menoleh ke Sena yang tampak cengengesan. Kemudian kembali memandang Ki Lurah Patiasa dan orangorangnya.
"Untuk apa"!" tanya Mei Lie tegas.
"Aha, sabar Mei Lie! Rupanya mereka memang tak bermaksud jahat. Tenanglah!" ujar Sena mencoba menenangkan kekasihnya.
Tangannya memegang bahu Mei lie.
"Bagaimana kalau kita terima undangan mereka" Bukankah kita perlu tempat menginap?" tanya Pendekar Gila kemudian pada Mei Lie. Tampaknya Mei Lie masih merasa curiga pada Ki Lurah Patiasa dan orang-orangnya.
Mei Lie mengerutkan kening, sepertinya berpikir dan menimbang ajakan Pendekar Gila.
"Baiklah! Tapi jangan sekali-kali bermaksud jahat! Aku tak akan segan-segan membunuh kalian!" ancam Mei Lie. 'Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami merasa senang sekali," sahut Ki Lurah Patiasa penuh hormat "Aha, Mei lie, ayolah!" ajak Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Kemudian mengedipkan sebelah matanya kepada Mei Lie. Gadis cantik berparas Cina itu mencibir, matanya melotot Mereka pun kemudian melangkah mengikuti Ki Lurah Patiasa dan warganya. Sementara kegelapan mulai menyelimuti desa itu. Kesunyian mulai merambat di Desa Parangan yang baru dilanda kejadian mengerikan di siang hari tadi.
***
Tiga orang terlihat tengah duduk di kursi kayu, sementara yang lainnya bersila di bawah. Tampaknya mereka tengah berkumpul, sehubungan dengan kematian beberapa warga Desa Parangan. Mereka pun membicarakan munculnya orang berpakaian compangcamping, menunggang kuda hitam, yang mereka sebut dengan Penunggang Kuda Iblis. Karena kuda yang ditunggangi hitam pekat, dengan mata menyala merah, seperti bara api.
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Lurah Patiasa duduk di kursi. Ketiganya tengah membicarakan kejadian yang melanda Desa Parangan.
"Siang tadi desa ini didatangi Tiga Setan Laut Kidul. Mereka, membunuh warga kami. Namun, kejadian semakin kacau, setelah orang berpakaian compangcamping dan memakai caping lebar membunuh Tiga Setan Laut Kidul," tutur Ki Lurah Patiasa, lalu menarik napas sejenak.
"Menurut warga desa ini, orang aneh berpakaian compang-camping itu juga menyebut nama Tuan Pendekar Gila dan Mei Lie...," lanjut Ki Lurah Patiasa kemudian.
Mei Lie tersentak kaget, wajahnya menoleh kepada Pendekar Gila. Namun Sena malah menggarukgaruk kepala dan cengengesan. Seakan tak peduli. Tidak ada rasa kaget sedikit pun. Hal itu membuat Mei Lie kesal dan mencubit lengan Sena.
"Aha, ada apa rupanya orang berpakaian compang-camping, menyebut namaku dan Mei Lie, Ki Lurah...?" tanya Sena ingin tahu juga.
"Ya. Ada urusan apa dengan kami. Rasanya-kami berdua tak pernah punya teman seperti itu," tambah Mei Lie dengan nada ketus, sebelum Ki Lurah Patiasa menjawab.
"Begini...," menurut penduduk di desa ini, mulanya Tiga Setan Laut Kidul bermaksud mencari Tuan Pendekar Gila. Dengan maksud menantang Tuan. Namun orang berpakaian compang-camping itu membunuhnya. Dan berkata, kalau mau menantang Pendekar Gila, harus mengalahkannya lebih dulu," tutur Ki Lurah Patiasa menjelaskan.
Mei Lie makin terkejut. Matanya terpicing dan keningnya berkerut Kemudian mendengus.
"Siapa kira-kira orang itu, Kakang Sena...?" tanya Mei Lie dengan ketus.
Wajahnya kelihatan geram mendengar tutur kata Ki Lurah Patiasa.
"Kurasa ada orang ketiga yang mendalanginya."
"Saya kurang tahu. Tapi tindakannya harus segera dicegah. Kalau tidak, akan lebih banyak korban.
Dan semula kami mengira orang berpakaian compangcamping itu teman Tuan Pendekar. Aneh! Lantas untuk apa dia lakukan semua itu" Dan untuk apa mencari Tuan Pendekar..."!" ujar Ki Lurah Patiasa dengan mengerutkan kening.
"Hm," Pendekar Gila bergumam tak jelas. Mulutnya nyengir dan tangannya menggaruk-garuk kepala.
Diliriknya wajah Mei Lie yang tampak memerah.
"Orang itu laki-laki atau wanita, Ki Lurah...?" tanya Mei Lie tiba-tiba.
"Wah, semua orang tak jelas melihatnya. Karena hampir seluruh wajahnya tertutup oleh caping lebar.
Benar begitu, Lamting...?" tanya Ki Lurah Patiasa sambil menoleh ke arah Ki Lamting yang duduk di bawah sebelah kanan.
"Benar. Capingnya lebar. Tapi rambutnya panjang melewati bahu," jawab Ki Lamting menjelaskan.
Mei Lie mengangguk-anggukkan kepala, sambil menggigit bibirnya sendiri. Sedangkan Sena masih dengan tingkahnya, menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Semua orang yang hadir tersenyum-senyum.
"Jadi apa pendapat, Tuan Pendekar" Kami sangat membutuhkan pertolongan. Kami tak ingin orang itu datang ke desa ini lagi, dan membunuh warga Desa Parangan...," kata Ki Lurah Patiasa.
"Aha, kukira dia tak akan kembali kemari lagi, Ki Lurah. Orang itu hanya mencari aku dan Mei Lie. Tapi aku pun tak tahu, apa urusannya denganku. Tenanglah! Desa ini tak akan dijamahnya lagi," kata Sena mencoba menenangkan Ki Lurah Patiasa dan warganya. Ki Lurah Patiasa mengangguk-anggukkan kepala sambil memegangi dagunya. Namun, keningnya tampak berkerut.
"Apa yang dikatakan Tuan Pendekar, mungkin benar, Ki Lurah. Sebab orang berpakaian compangcamping itu juga bertanya pada Ki Galingga, di mana Pendekar Gila berada...," sela Ki Lamting, yang saat kejadian berada di kedai Ki Galingga.
"Benar, Ki Galingga...".'" tanya Ki Lurah Patiasa.
"Benar, Ki Lurah," jawab Ki Galingga sambil menjura. Untuk beberapa saat mereka diam. Di luar malam semakin larut. Angin malam berhembus memasuki ruangan itu.
Ki Lurah Patiasa menghela napas sejenak, kemudian memandang wajah Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Kami semua sangat berterima kasih pada Tuan Pendekar berdua. Untuk itu, jika Tuan Pendekar bersedia, kami berharap agar bermalam di rumah kami.
Apalagi hari sudah larut malam, Tuan Pendekar dan Nini perlu istirahat..."
"Terima kasih, Ki Lurah," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalian sebaiknya berjaga-jaga...," kata Ki Lurah Patiasa pada beberapa orang warga.
"Dan kau Santika bersama Lohdaya, pimpin mereka agar menjalankan ronda!"
"Baik, Ki Lurah...," jawab Santika sambil mengangguk, lalu pergi.
***
Begitu pula kedai milik Ki Galingga yang terletak di ujung desa, dekat pantai.
Tampaknya semua penduduk telah terlelap dalam tidur. Atau mungkin karena tak berani keluar malam.
Semenjak kehadiran orang berpakaian compangcamping mirip gembel, Desa Parangan dan sekitarnya benar-benar dicekam rasa khawatir. Para penduduk tak berani keluar malam.
Sementara itu ada pula pihak-pihak lain yang turut memanfaatkan keadaan itu. Seperti yang dilakukan Gerombolan Gagak Merah.
Mereka melakukan perampokan, pencurian, bahkan menculik dan memperkosa wanita desa. Geger tentang pembunuh gelap berpakaian gembel itu bahkan telah menyebar ke luar wilayah Kadipaten Krasaan. Para tokoh persilatan baik dari golongan hitam maupun putih.
Ketika kesunyian malam tengah mencekam warga Desa Parangan, di salah sebuah rumah penduduk tengah didatangi gerombolan perampok. Anehnya, para petugas ronda tak satu pun yang mengetahui. Para peronda, termasuk Santika dan Lohdaya pengawal Ki Lurah Patiasa, terlelap dalam tidur. Rupanya mereka telah terkena ilmu 'Sirep' yang digunakan oleh para perampok.
Rumah yang tengah disatroni perampok itu ternyata milik tuan tanah dan seorang saudagar ikan bernama Bakarekso. Rupanya Bakarekso pun terkena ilmu 'Sirep'.
"Ssst! Habisi semua barang yang ada di rumah ini! Aku akan masuk kamar sebelah ujung sana," kata Dongkala sambil menunjuk kamar yang letaknya dekat dapur. Dongkala segera melangkah maju mendekati pintu kamar itu. Rupanya pintu kamar tak terkunci. Dibukanya pelahan lalu Dongkala masuk. Ternyata di dalam kamar itu ada seorang gadis cantik anak tuan tanah Bakarekso, gadis itu tertidur pulas, dengan sebelah kakinya ditekuk, memeluk guling. Hingga pahanya yang putih mulus terkuak.
Melihat keadaan yang menggiurkan, Dongkala menelan air liur. Segera kakinya melangkah mendekati ranjang. Menyaksikan tubuh sintal putri Tuan Bakarekso itu, Dongkala bagaikan tak mampu menahan ge jolak nafsu kejantanannya.
Perlahan-lahan Dongkala membalikkan tubuh Jumirah putri Tuan Bakarekso. Setelah itu diangkatnya kaki kanan gadis itu. Sementara dirinya sudah tak sabar ingin segera merasakan keperawanan putri tuan tanah itu. Namun ketika lelaki bertubuh besar itu mulai menindihnya, putri Tuan Bakarekso itu berteriak kaget. Menyadari keadaan yang tak menguntungkan.
Dongkala langsung menotok tubuh Jumirah. Kemudian dengan penuh nafsu dinikmatinya tubuh molek putri Tuan Bukarekso yang telah dalam keadaan tertotok itu. Sementara itu di kamar lain, Tuan Bakarekso terbangun. Dirinya bermaksud keluar, karena melihat pintu kamarnya sedikit terbuka. Selain itu hatinya curiga mendengar rintihan di kamar sebelah. Namun ketika Tuan Bakarekso sampai di ambang pintu tiba-tiba muncul lelaki berbadan besar dengan dada berbulu.
Kumisnya tebal melintang menambah kebengisan wajahnya. Tanpa banyak bicara lelaki berbadan besar yang bernama Pandesa, langsung mengayunkan goloknya. Crasss! "Aaakh...!" Seketika Tuan Bakarekso tewas dengan kepala hampir putus. Jeritan itu membangunkan istri tuan tanah. Wanita itu tersentak, ketika melihat ke arah pintu. Matanya semakin terbelalak lebar melihat lelaki bertubuh besar masih memegang golok berlumuran darah.
"Aaakh...!" Istri tuan tanah Bakarekso menjerit. Pandesa segera melompat lalu menampar perempuan itu.
Plak! Plak! "Ukh...!" Pandesa menatap nanar, ketika perempuan itu telentang di ranjang dengan kedua kakinya mengangkang. Sebagian kainnya terangkat ke atas. Hingga pahanya terkuak di depan mata Pandesa.
"Hi hi hi..! Sudah lama aku tidak menikmati kehangatan tubuh wanita, he he he...!" Pandesa langsung menindih tubuh istri tuan tanah, dan merobek baju serta kainnya. Wanita itu meronta-ronta sambil mencakar muka Pandesa. Namun lelaki bertubuh besar itu tak peduli. Bahkan dengan gemas ia menciumi leher, dan dada perempuan yang masih montok itu.
"Lepaskan..., oh....! Jangan... ukh!" Terjadilah pergumulan yang penuh nafsu. Pandesa yang sudah berada di atas tubuh perempuan itu terus melakukan tekanan-tekanan yang buas.
Sementara di luar, sesosok bayangan berkelebat, di antara rumah penduduk. Lalu melompat ke atap sebuah rumah.
"Hah..."! Aneh, ke mana para petugas ronda..." Pasti ada yang tak beres," gumam sosok bayangan yang belum jelas, karena malam begitu gelap. Kemudian sosok bayangan itu melompat-lompat bagai tupai di atas atap rumah penduduk. Sampai akhirnya berhenti di sebuah rumah besar, yang tak lain rumah tuan tanah Bakarekso. Lampu rumah itu sebagian masih menyala. Namun tiba-tiba lampu salah satu ruangan padam. Bersamaan dengan matinya lampu, terdengar jeritan suara perempuan. Sosok bayangan nampak tersentak dan segera melesat, melompat turun. Tubuhnya melesat menuju rumah Bakarekso.
Tiba-tiba, dari pintu keluar dua orang bertelanjang dada, yang tak lain Gerombolan Gagak Merah.
Kedua lelaki bertampang bengis itu tengah menggotong barang-barang hasil rampokannya. Sosok bayangan segera bersembunyi di balik pilar rumah. Sementara itu suara jeritan terhenti, hanya terdengar samar-samar tangis dan rintihan dari seorang wanita.
"Perampokan, perkosaan..."!" gumam sosok bayangan itu lirih.
Ketika dua orang yang menggotong barang rampokan itu melewati pagar rumah, tiba-tiba terdengar suara pekikan keras dari mulut keduanya. Kedua tubuh bertelanjang dada itu roboh dengan mulut memuntahkan darah segar. Ternyata sosok bayangan itu dengan begitu cepat melancarkan tendangan dan pukulan ke dada mereka berdua.
Sosok bayangan itu kemudian melesat ke rumah dan menyelinap masuk.
Brak! "Hah..."!" Pandesa kaget. la segera melompat dalam keadaan bugil, hendak menggapai celana dan goloknya. Namun sosok bayangan yang tak lain adalah Mei Lie. Melesat cepat sambil mengangkat Pedang Bidadari-nya.
"Heaaat..!" Pandesa tak sempat mengelak, karena pikiran dan keseimbangan belum pulih. Maka tak pelak lagi, Pedang Bidadari membabat tubuh Pandesa.
Cras! Cras! "Aaa...!" Tubuh Pandesa seketika roboh. Sesaat kemudian terpotong dua. Membiru, lalu hancur jadi debu.
Perempuan yang masih terkulai telanjang di ranjang segera ditutupinya dengan kain. Sementara di kamar belakang, Dongkala yang tertidur lemas, habis melahap keperawanan Jumirah, tiba-tiba terbangun.
Dilihatnya di ambang pintu berdiri Mei Lie dengan memegang pedang di tangannya. Dongkala membelalakkan matanya, lalu melompat turun.
"Siapa kau..."!" tegur Dongkala dengan mata membelalak. Tangannya mencoba menggapai golok yang ditaruh di atas meja kecil bersama ikat pinggangnya. Namun Mei Lie yang sudah tak bisa menahan amarahnya langsung melompat. Dan....
"Heaaat..!" Cras! Cras! "Aaa...!" Dongkala menjerit. Suaranya melengking panjang. Seketika tubuhnya terbelah dua, lalu roboh. Sesaat kemudian membiru.
Jumirah, tersadar setelah Mei Lie membebaskan totokan tubuhnya.
"Ohhh...," Jumirah mengeluh, lalu menangis sambil menutupi tubuhnya yang polos.
Mei Lie memandangi dengan sedih dan iba.
"Kau kini sudah aman, Dik. Namun maafkan, aku terlambat datang. Hingga orang-orang biadab itu...," Mei Lie tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba dari luar berdatangan Ki Lurah Patiasa, Santika, Lohdaya, dan Pendekar Gila yang tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Sambil mendekati Mei Lie pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu mencabut bulu burung dari ikat pinggang lalu mengilik-ngilik kupingnya.
"Kenapa bisa terjadi..."!." gumam Ki Lurah Patiasa sambil menggelengkan kepala.
Wajahnya nampak murung.
"Mereka memakai ilmu 'Sirep' yang ampuh, Ki Lurah. Tapi aku masih beruntung bisa melawan ilmu itu," kata Mei Lie, lalu melirik Sena yang cengar-cengir sambil mengilik-ngilik telinganya dengan bulu burung.
"Ki Lurah mengenal para perampok ini...?" tanyanya kemudian.
"Ya. Mereka adalah Gerombolan Gagak Merah.
Kalau tak salah ini Dongkala, pimpinannya...," jawab Ki Lurah Patiasa sambil menunjuk mayat Dongkala yang seluruh tubuhnya telah membiru, lalu perlahanlahan mulai hancur menjadi debu. Ki Lurah Patiasa tersentak kaget. Begitu pula para pengikutnya semua membelalakkan mata keheranan. Mereka ngeri bercampur bingung.
"Hm.... Ilmu apa yang digunakan gadis Cina itu...?" tanya Ki Lurah dalam hati. Tak satu pun yang membuka mulut "Ah ah ah...! Rupanya sepak terjang si Penunggang Kuda Iblis, dimanfaatkan oleh orang-orang kerdil ini. Hi hi hi..., lucu!" celetuk Sena sambil terus mengilik-ngilik telinganya dengan bulu burung, lalu menggaruk-garuk kepala.
Melihat Pendekar Gila yang hanya cengengesan, seperti tak menghiraukan, Mei Lie tampak cemberut.
Lalu kakinya melangkah mendekatinya.
"Kenapa Kakang diam saja...?" tanya Mei Lie dengan wajah cemberut Pendekar Gila yang mengerti maksud kekasihnya, yang terkadang suka manja. Langsung mengacungkan jempol seraya berkata.
"Hi hi hi..., aku kagum padamu, Mei. Kau telah bertindak cepat. Belum sempat aku bertindak, kau sudah lebih dulu. Aku senang." Mendapat pujian dari Pendekar Gila, bibir Mei Lie tampak tersenyum-senyum bangga.
"Kami juga sangat kagum atas kesigapan Nini Mei Lie. Kami merasa malu...," tambah Ki Lurah Patiasa dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Ini sudah kewajiban Ki Lurah. Hm, sebaiknya ki-ta amankan kedua wanita itu!" ujar Mei Lie kemudian seraya menghampiri Jumirah. Gadis itu masih menangis tersedu-sedu memikirkan nasibnya dan sang Ibu yang telah menjadi korban kebiadaban Dongkala dan kawan-kawannya.
Ki Lurah Patiasa segera memerintahkan pada Santika dan Lohdaya untuk mengurus Jumirah dan ibunya. Setelah ikut mengurus mayat saudagar Bakarekso kepala desa itu memperingatkan para warga agar meningkatkan kewaspadaan dan turut menjaga kea-manan desa.
Malam semakin larut dan mencekam. Desa Parangan loan sunyi dan sepi. Kejadian di rumah Tuan Bakarekso membuat para penduduk cemas dan ketakutan. Apalagi yang mempunyai anak gadis.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie yang masih berada di desa itu, agak membuat warga Desa Parangan sedikit lega. Di antara para penduduk telah banyak mendengar nama pendekar muda itu jauh sebelum melihat orangnya. Nama Pendekar Gila bukan nama asing lagi di dunia persilatan. Sepak terjangnya dalam menumpas kedurjanaan dan menegakkan keadilan telah membuat nama Pendekar Gila tersohor. Tidak hanya di kalangan dunia persilatan, nama pendekar muda yang bertingkah laku seperti orang gila itu telah mengagumkan banyak orang.
***
:::┌┘¦ 3 ¦└┐:::
Lara Kanti terus menggebah kudanya agar berlari lebih kencang, Derap kaki kuda hitam itu seakan hendak memecah keheningan senja di perbukitan itu. Mata kuda itu tampak merah membara, seperti mata iblis, memancar tajam dan menggiriskan. Demikian juga mata gadis berjuluk si Penunggang Kuda Iblis itu tampak jelalatan, mengawasi di sekitar tempat yang dilaluinya. Hal itu karena tiba-tiba telinganya yang tajam menangkap adanya suara derap kaki kuda.
"Hm..., ada yang mengikutiku"!" gumamnya seraya memperlambat lari kuda.
Suara kaki kuda semakin jelas terdengar. Lara Kanti semakin memperlambat lari kudanya sambil mengerutkan kening. Telinganya hanya mendengar satu ekor kuda. Tiba-tiba ditariknya tali kekang kuda, lalu seketika tubuhnya melompat tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap pada sebatang cabang pohon yang tinggi. Matanya dengan liar mengawasi sekeliling tempat di bawah sana. Tiba-tiba pandangannya melihat seorang penunggang kuda berwarna coklat. Dari pakaian dan pedang yang bertengger jelas orang itu berasal dari kalangan rimba persilatan.
"Hm...! Siapa monyet itu" Mau mencari perkara...!" gumam Lara Kanti, setelah meyakinkan penglihatannya. Lara Kanti memperhatikan gerak-gerik penunggang kuda di bawah sana. Ketika kuda itu sampai di bawahnya, dengan cepat tubuhnya melompat turun dengan bersalto, lalu mengirimkan sebuah pukulan yang mengarah ke kepala penunggang kuda itu. Namun rupanya si penunggang kuda telah merasakan adanya serangan gelap. Dengan cepat pula tubuhnya melompat dari punggung kuda.
"Yeaaa...!"
"Heit..! Heaaa...!" Lara Kanti mencoba menyambar kepala lawan dengan tangan kiri dan kanan, ketika tubuhnya masih melayang di udara. Namun lelaki penunggang kuda itu dengan cepat bergerak meliuk seraya melancarkan sebuah serangan balik.
"Heaaa...!" Plak! Namun tangan kanan Lara Kanti terjulur cepat memapaki serangan balasan itu.
"Hm...!" gumam lelaki penunggang kuda itu seraya manggut-manggut.
Lara Kanti tak menduga kalau orang itu memiliki ilmu yang cukup handal. Begitu kakinya mendarat di tanah, dengan sigap Lara Kanti mengatur kedudukannya. Matanya yang tajam mengawasi penuh selidik lelaki muda berkumis tipis itu. Rambutnya yang panjang sebahu diikat kain merah tua, sama dengan warna pakaiannya. Di pinggangnya melilit sabuk dari kulit berwarna hitam, menambah angker penampilannya.
"Ha ha ha...! Ini rupanya orang yang dijuluki Penunggang Kuda Iblis itu! Ternyata hanya gembel kotor dan kudisan. He he he...!" ejek pemuda itu sambil mengelus-elus cambangnya yang hitam dan lebat.
Pemuda berambut gondrong itu segera mencabut pedang dari warangkanya.
Srats! "Ada urusan apa kau mengikutiku...?" tanya Lara Kanti ketus.
"Ha ha ha...! Kau mau tahu, Gembel"! Ketahuilah! Aku Sasaka Purwa ingin mencari Pendekar Gila, untuk membunuhnya. Aku ingin jadi orang terkenal dan disegani. Tapi ketika aku mendengar nama Penunggang Kuda Iblis yang ramai dibicarakan orangorang persilatan, niatku berubah. Aku rasa lebih baik membunuhmu lebih dulu, sebelum menghabisi Pendekar Gila...! Ha ha ha...!" tutur pemuda bernama Sasaka Purwa dengan sombong sambil mempermainkan pedang diputar-putar di atas kepala.
Seolah dirinya yakin benar akan mampu mengalahkan, bahkan membunuh Lara Kanti. Mendengar ucapan Sasaka Purwa, Lara Kanti hanya diam. Sepertinya tak terlalu menggubrisnya.
Wanita muda berpakaian gembel itu bahkan membalikkan tubuh hendak pergi. Hal itu tentu saja membuat Sasaka Purwa jengkel dan marah, karena merasa diremehkan.
"Hei! Pengecut! Heaaat..!" Sasaka Purwa tiba-tiba menyerang Lara Kanti.
Namun wanita bercaping lebar sudah menduganya.
Sehingga dengan cepat tubuhnya melenting ke udara untuk menghindar, sambil mengibaskan tangan kanan.
"Hih...!"
"Heh"!" Swing! Swing...! Mata Sasaka Purwa terbelalak, karena bersamaan dengan gerakan perempuan gembel itu meluncur belasan senjata rahasia menyerupai paku. Tentu saja hal itu membuat pemuda itu terkejut, sebab tak menduga sama sekali lawan akan melakukannya. Maka dengan cepat tubuhnya bergerak untuk mengelak setelah terlebih dahulu menarik pulang serangannya. Tubuhnya kini berguling cepat di tanah berbatu-batu.
"Heit! Heaaa...!" Tubuh Sasaka Purwa melenting ke udara dan bersalto. Namun Lara Kanti tak memberi kesempatan pada lawan untuk berbalik menyerangnya. Pukulan dan tendangannya terus mencecar tubuh pemuda berambut gondrong itu. Menyadari tak mampu memberi serangan balasan, Sasaka Purwa langsung melompat ke atas sebuah pohon. Kemudian dengan menggunakan ilmu 'Tupai Melompat' tubuhnya melompat ke sana kemari, berpindah dari satu cabang ke cabang lainnya menghindari serangan lawan. Melihat lawannya berada jauh di atas pohon, Lara Kanti tidak mau kalah. Tubuhnya segera melompat memburu Sasaka Purwa, dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna. Bagaikan melayang Lara Kanti mengejar Sasaka Purwa yang melompat-lompat bagai tupai, dari pohon satu ke pohon lainnya. Terkadang pemuda itu merayap bagai cecak di batang dan cabang pohon. Sementara Lara Kanti yang telah memindahkan tudung capingnya ke punggung terus melesat. Tubuhnya tampak melayang ke sana kemari, mencoba mengejar lawannya. Sebentar kemudian kakinya hinggap pada sebatang cabang pohon.
Kini keduanya berdiri di cabang pohon besar, siap melancarkan serangan. Mereka nampak membuka jurus andalan masing-masing Lara Kanti mengerahkan jurus 'Pedang Malaikat Maut' Sasaka Purwa mempermainkan pedangnya di atas kepala dan ke samping. Sedangkan Lara Kanti lebih tenang. Hanya dua tiga kali mempermainkan pedang mautnya. Kemudian....
"Heaaa...!"
"Heaaat...!" Sasaka Purwa melompat ke depan lebih dulu.
Sambil melenting lalu bersalto perempuan berpakaian gembel itu pun menyusul serangan lawan. Tangannya dengan cepat menebaskan pedang. Begitu pula yang dilakukan Sasaka Purwa. Hingga....
Srak! Trang! Trang! "Hah...!" Percikan api akibat beradunya kedua pedang pusaka itu tampak dari sela-sela rimbun dedaunan. Lalu keduanya sama-sama terpental ke belakang, dan kembali hinggap pada cabang pohon. Sesaat kemudian ke- duanya kembali membuka jurus dan kuda-kuda.
Rupanya Sasaka Purwa bukan lawan sembarangan, sehingga Lara Kanti nampak lebih hati-hati dalam melancarkan serangan.
Teriakan nyaring kembali terdengar memecah keheningan senja di perbukitan itu. Keduanya kini tampak sama-sama mengerahkan jurus-jurus andalan.
Dari sela-sela rimbun dedaunan dan batang pohon tampak saling berkelebatan cahaya pedang mereka.
Suara dentangan nyaring, disusul teriakan keras, lalu ditingkahi pula gemeresak dedaunan dan batang-batang kayu patah terus terdengar.
Masing-masing ingin segera menjatuhkan. Namun kini sudah lima belas jurus belum menampakkan pihak yang bakat kalah. Memasuki jurus selanjutnya masih sama-sama bertahan. Beberapa kali ujung pedang mereka hampir menemui sasaran. Namun dengan gerak cepat disertai tingkat kewaspadaan tinggi keduanya mampu menghindarinya.
"Heaaa...!" Pekikan keras mengiringi lesatan tubuh Lara Kanti melancarkan serangan dahsyat Srak! Trang! "Hah..."!" Sebuah gerakan menebas yang cepat dan begitu kuat dilakukan Lara Kanti. Tebasan yang dikerahkan dengan tenaga dalam itu membentur pedang lawan.
Seketika Sasaka Purwa merasakan ada hawa panas menjalar ke tangannya, hingga pedangnya terlepas dan jatuh. Sasaka Purwa tersentak kaget, matanya membelalak. Segera dia melompat turun bermaksud mengambil pedangnya. Namun Lara Kanti mengerti. Segera dimasukkan pedang ke dalam sarungnya. Lalu memburu Sasaka Purwa, turun.
Kini keduanya sama-sama bertangan kosong. Sasaka Purwa membuka jurus 'Telapak Sakti' Dari kibasan kedua tangannya mendatangkan angin.
Wuttt! Wuttt! Melihat lawannya mengerahkan ilmu andalan, Lara Kanti hanya tersenyum sinis. Namun hatinya tetap tak mau kalah. Dengan gerakan yang indah, Lara Kanti mengeluarkan jurus 'Tamparan Tangan Iblis' Dari telapak tangan Lara Kanti tiba-tiba keluar asap merah. Kini keduanya siap menyerang dengan kesaktian masing-masing.
"Heaaa...!" Wut! Wut! "Yeaaa...!" Keduanya melompat bersamaan. Di udara telapak tangan mereka yang telah dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi saling beradu.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar, disusul dengan terpentalnya kedua tubuh. Sasaka Purwa jatuh bergulingan di tanah berumput, beberapa tombak dari tempat tubuh Lara Kanti yang jatuh terduduk.
"Ukh...!" Sasaka Purwa memuntahkan darah merah kehitaman. Lalu mulutnya mengerang menahan sakit di dadanya. Perlahan-lahan tubuhnya bangkit hendak berdiri.
"Hm...! Kau harus mati, Monyet Busuk.... Tak akan kubiarkan kau membunuh Pendekar Gila, sebelum melangkahi mayatku!" gumam Lara Kanti sambil tersenyum sinis. Matanya yang tajam menatap wajah Sasaka Purwa. Sasaka Purwa tak menghiraukan ucapan Lara Kanti. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, ia melompat menyerang perempuan berpakaian compangcamping yang telah berdiri tegak tiga tombak di depannya. Namun dengan sigap Lara Kanti telah mempersiapkan diri untuk menangkisnya.
"Hiaaa...!" Wret! Prats! "Aaa...!" lengkingan keras terdengar dari mulut Sasaka Purwa. Pukulan jurus 'Tamparan Tangan Iblis' yang dilancarkan Lara Kanti mendarat telak di dadanya. Tak ampun lagi, tubuh lelaki muda berpakaian merah itu melintir, sempoyongan dengan dada hangus bagai terbakar dan membekas telapak tangan Lara Kanti. Sesaat kemudian Sasaka Purwa ambruk, tewas.
Kedua matanya melotot Sementara dari mulutnya masih keluar darah segar! Lara Kanti menghela napas lega.
"Rupanya banyak tokoh persilatan yang menginginkan Pendekar Gila mati! Hm...! Cepat atau lambat, aku harus menemukan pendekar itu." Selesai berkata begitu, Lara Kanti mendekati mayat Sasaka Purwa. Dibalikkan mayat itu dengan kaki kanannya dan dilangkahinya. Lalu segera meninggalkan tempat pertarungan itu.
Sesampai di tempat yang lebih luas, Lara Kanti menepukkan telapak tangannya. Tak lama kemudian kuda hitam yang matanya bersinar kemerahan bagai mata iblis, meringkik mendekati perempuan bercaping lebar itu. Kuda itu mengangkat kedua kaki depannya sambil meringkik-ringkik. Setelah mengusap-usap kepala kuda itu, Lara Kanti segera melompat dan menggebahnya. Kuda hitam itu pun langsung berlari kencang menuju ke timur. Sementara itu mentari semakin condong ke barat. Sinarnya tampak kemerah-merahan.
Lara Kanti terus memacu kudanya makin jauh, dan hilang di balik pepohonan hutan di sebelah timur Bukit Palasari.
***
"Heah...!" Derap kaki kuda melaju, bagai tak menghiraukan terik matahari yang tak bersahabat Namun mendadak si Penunggang Kuda Iblis itu menghentikan lari kudanya.
"Ck ck ck...! Tenang, tenang Ireng!" Lara Kanti menenangkan kudanya yang bernama Ireng. Kuda itu seakan merasa ada sesuatu yang mencurigakan, dan akan membahayakan juragannya. Sehingga terdengar suara ringkikannya.
"Hm...!" Lara Kanti menggumam tak jelas. Matanya masih menyapu ke sekeliling lembah, seakan memahami arti ringkikan kuda kesayangannya.
"Kau memang sahabatku yang baik, Ireng...," ujar Lara Kanti sambil menepuk-nepuk dan mengusap lembut leher kuda itu.
Kuda mengangguk-angguk, seakan merasa senang. Dan kembali meringkik. Lara Kanti tersenyumsenyum. Namun matanya tetap menyapu ke sekeliling tempat itu. Kresek! Lara Kanti menoleh ke arah suara dari semaksemak. Kemudian tubuhnya melompat dari punggung kuda. Baru saja perempuan itu mendaratkan kaki di tanah, dari balik semak bermunculan sepuluh sosok tubuh berpakaian serba hijau. Sebagian muka mereka tertutup kain yang berwarna sama, hijau. Hanya mata mereka yang terlihat. Kesepuluh sosok itu menggenggam sebilah golok tajam. Tampaknya mereka para penyamun yang membegal setiap orang yang melintasi tempat itu.
"Hm....'" gumam Lara Kanti perlahan.
"Rupanya ada tikus-tikus can santapan...!"
"Kurang ajar! Berani mengejek kami. Siapa kau".'" bentak orang yang berdiri paling depan sambil menudingkan goloknya. Dan suaranya jelas orang itu lelaki.
"Siapa pun aku, kalian tak perlu tahu! Yang pasti, aku tak suka ada orang menghalangi perjalananku," jawab Lara Kanti sambil menggeser tudung capingnya.
Seakan-akan ingin memperjelas pandangannya.
"Ha ha ha...! Omonganmu seperti orang yang tak mempan dibacok golok pusakaku ini," ujar lelaki yang paling depan. Dengan angkuh ditudingkan lagi goloknya ke arah Lara Kanti. Lelaki inilah tampaknya pemimpin Laskar Hijau itu. Brajakala, begitu panggilannya. Seorang tokoh dari aliran hitam yang selalu melakukan perampokan, menculik gadis-gadis desa dijadikan gundik, serta menjadi pembunuh bayaran yang disegani. Lara Kanti mengangkat pelahan kepalanya, yang tadi sedikit menunduk, lalu menatap tajam wajah lela-ki di depannya. Brajakala yang memiliki mata jalang seketika tahu, kalau di balik caping lebar itu tersembunyi seraut wajah cantik seorang wanita. Segera saja kakinya melangkah mendekati Lara Kanti. Lalu berhenti dua tombak di hadapan Lara Kanti.
"He he he...! Kawan-kawan, rupanya hari ini aku mendapatkan daging yang benarbenar kenyal dan se-dap...!" seru Brajakala pada teman-temannya, sambil menoleh ke kin dan kanannya.
"Hei siapa pun namamu dan dari mana asalmu, aku tak peduli..., asal kau mau ikut aku... he he he...! Aku tahu kau wanita yang masih muda dan ayu. He he he...! Kemarilah, Cah Ayuuu...! He he he...." Lara Kanti hanya menghela napas dalam-dalam.
Sementara itu Brajakala semakin mendekatinya. Tangannya tiba-tiba mencoba mau membuka caping Lara Kanti. Lara Kanti tak mengelak sedikit pun.
Namun, baru saja Brajakala melihat sekilas wajah wanita itu. Tiba-tiba mulutnya memekik dengan tubuh terhuyung dua tombak ke belakang. Entah kapan Lara Kanti melakukan serangan itu, sukar ditangkap pandangan mata biasa. Rupanya Lara Kanti telah melancarkan pukulan 'Tanpa Wujud', dengan tenaga dalamnya.
"Adauuu...!" Para anak buah Brajakala tersentak kaget, karena mereka tak menduga. Sebelumnya mulut mereka cengar-cengir menyaksikan ulah pimpinannya. Seketika kesembilan lelaki berpakaian serba hijau itu mengangkat golok hendak menyerang Lara Kanti.
Rupanya, Lara Kanti tadi dengan cepat menggunakan ilmu 'Pukulan Tanpa Wujud'. Kini wanita muda yang dijuluki Penunggang Kuda Iblis itu telah menggenggam Pedang Maut-nya. Ditaruh di depan dada, siap menanti serangan lawan-lawannya.
Sementara itu Brajakala yang dibuat malu di depan anak buahnya tampak marah sekali.
"Serang...! Tangkap...!" seru Brajakala pada anak buahnya. Maka segera sembilan anak buahnya langsung merangsek dan mengepung Lara Kanti.
"Heaaa...!" Wut! Wut! Golok kesembilan lelaki berpakaian serba hijau mendesing dan menderu membabat ke tubuh si Penunggang Kuda Iblis. Namun wanita gembel tapi cukup cantik itu dengan tenang mengelak dari semua serangan yang dilancarkan kesembilan Laskar Hijau.
Dengan cepat direbahkan tubuhnya ke belakang, ke samping atau terkadang melenting ke atas sambil bersalto, melewati para pengeroyok, lalu dengan ringan mendarat di luar kepungan mereka. Brajakala yang mengamatinya merasa sedikit kecut. Sembilan anak buahnya, yang memiliki ilmu 'golok' yang cukup handal, tak satu pun berhasil mendaratkan serangan mereka ke tubuh wanita bercaping itu.
Lara Kanti yang sudah tak mau lama-lama berurusan dengan sembilan anak buah Brajakala, segera melancarkan serangan balik. Dengan cepat dan tak terduga, caping dari bambu kuning yang menutupi kepalanya dilemparkan untuk menerjang lawan yang tampak kian beringas.
Srat Werrr! Jrab! Crak! "Aaa...!"
"Waduuuh...!" Pekikan beruntun terdengar melengking panjang, ketika caping Lara Kanti menyambar kepala, leher, dan dada Laskar Hijau. Suara erangan dan rintihan kesakitan terdengar dari mulut mereka. Yang tertutup kain hijau. Tubuh kesembilan anak buah Brajakala tampak saling berkelojotan di tanah. Pakaian hijau mereka telah berubah merah, basah berlumuran darah. Dan tak lama kemudian mereka tewas.
Brajakala yang melihat kejadian itu, semakin ketakutan. Matanya terbelalak seperti tak percaya melihat sembilan anak buahnya tewas dalam keadaan mengerikan. Caping lebar itu membuat leher empat orang anak buahnya hampir putus. Sedang yang lain, wajah, dan dadanya hancur berantakan. Namun, bukan Pemimpin Laskar Hijau yang terkenal bengis dan buas itu, kalau harus bertekuk lutut hanya dengan seorang perempuan gembel.
"Heaaa...!" Brajakala melompat sambil menghunuskan Golok Setan-nya. Suara tebasan dan babatan golok itu menderu keras. Wut! Wut! "Heaaa...! Mampus kau!" dengus, Brajakala geram. Namun, Lara Kanti cepat mengelak dengan menggeser kaki kanan ke samping sambil merebahkan tubuhnya, sedangkan tangannya menangkis, lalu melancarkan serangan balasan.
Brajakala yang melihat tubuh Lara Kanti masih miring ke samping, cepat merubah bacokan. Lelaki berpakaian hijau itu membabatkan goloknya dari atas ke bawah.
"Heaaat..! Mampus kau, Gembel!" seru Brajakala merasa yakin.
Lara Kanti sudah mengetahui gerakan cepat itu.
Sehingga sebelum golok di tangan Brajakala menyentuh tubuhnya, Lara Kanti dapat berguling ke samping.
Lalu dengan gerakan secepat kilat, dia berdiri dan membabatkan pedangnya ke lengan kiri Pemimpin Laskar Hijau itu.
"Hih...!" Cras! "Aaakh...!" Lengan Brajakala putus. Darah bercucuran. Tubuhnya melintir sambil menjerit-jerit kesakitan. Wajahnya yang garang tertutupi kain hijau nampak bergetar. Sementara Lara Kanti cepat melompat dan langsung membuka tutup muka lawannya.
Bret! "Hah..."! Ampuuun...!" ratap Brajakala gemetaran sambil menjura perempuan gembel bercaping lebar di hadapannya. Lara Kanti melempar capingnya. Kini wajahnya yang ayu itu nampak lebih jelas. Namun Brajakala tak berani mengangkat muka.
"Hei, Tikus! Kau tadi ingin menikmati tubuhku.
Ayo, sekarang lakukan keinginamu! Ayo...!" ujar Lara Kanti dengan suara dibuat manja. Sambil tangan kirinya mengangkat celana panjangnya sampai pangkal paha. Kemudian mendekatkan ke muka Brajakala.
Brajakala masih tertunduk gemetaran. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Seperti mandi.
"Ayo...! Pedang pahaku! Atau kau lebih suka dengan ini....'" kata Lara Kanti sambil membuka bagian atas pakaiannya. Hingga dua gunung yang masih padat dan mulus tersembul keluar.
Brajakala, memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Dan setelah melihat kedua buah dada Lara Kanti yang memang masih montok itu tiba-tiba....
Jreb! "Aaakh...!" Lara, Kanti dengan cepat menusukkan pedangnya ke jantung Brajakala. Seketika lelaki berpakaian serba hijau itu tewas, menyusul kesembilan anak buahnya.
"Kau telah puas, dapat melihat milikku, bukan" Nah kini selamat sampai di neraka, Tikus Busuk...!" kata Lara Kanti dengan geram.
Setelah itu Lara Kanti segera meninggalkan kesepuluh mayat Laskar Hijau. Digebahnya si Ireng yang bermata merah menyala seperti mata iblis itu. Kuda hitam itu pun langsung melesat meninggalkan Lembah Cadas Pangeran.
***
:::┌┘¦ 4 ¦└┐:::
Di ruang tengah rumah Kepala Desa Parangan malam itu tampak berkumpul Pendekar Gila, Mei Lie, Ki Lurah Patiasa, Santika, dan Lohdaya. Sedangkan beberapa orang warga berjaga-jaga di sekitar rumah Ki Lurah Patiasa. Kegiatan ronda malam pun tetap dilaksanakan di beberapa tempat di Desa Parangan.
Malam sunyi dan mencekam. Angin bertiup kencang menghembuskan hawa dingin menusuk tulang sumsum. Suara binatang terdengar bersahutan di kejauhan.
"Bagaimana rencana Tuan Pendekar?" tanya Ki Lurah Patiasa memulai percakapan.
"Ah ah ah...! Janganlah kau panggil aku dengan sebutan itu, Ki Lurah. Panggil saja namaku: Hi hi hi...! Aku lebih senang dipanggil Sena!" sahut Pendekar Gila dengan mulut cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala seperti merasa gatal.
"Aha...! Aku memang sudah punya rencana, tapi terus terang aku tidak membeberkan kepada kalian. Maaf, Ki Lurah, juga Kisanak sekalian! Hi hi hi...!" Santika dan Lohdaya mengerutkan kening, tidak hanya karena heran melihat sikap konyol Pendekar Gila, melainkan juga tersinggung. Namun Pendekar Gila tampaknya memahami tanggapan kedua orang andalan Ki Lurah Patiasa.
"Sekali lagi maaf! Aku mohon pengertian Kisanak.
Sebab, kalau saya sampaikan, rencana ini bisa saja gagal. Dan terus terang, bukan saya tak mempercayai orang-orang di desa ini, tapi semata-mata demi kelan-caran semuanya. Agar kita dapat menangkap orang yang kita cari...," tutur Sena dengan tegas, walaupun sesekali masih menggarukgaruk kepala. Ki Lurah Patiasa manggut-manggut, tampaknya memahami maksud rencana Pendekar Gila.
"Jangan mempunyai prasangka buruk terhadap kami, Kisanak...!" tambah Mei Lie, menoleh kepada Santika dan Lohdaya.
"Percayalah! Ini semua kami lakukan demi kita semua...." Ki Lurah Patiasa kemudian mencoba memberikan pengertian pada Santika dan Lohdaya.
"Kami percaya pada Sena dan Mei Lie. Lalu apa yang harus kami lakukan?" tanya Ki Lurah Patiasa kemudian, dengan menganggukanggukkan kepala.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Sedangkan Mei Lie tersenyum membalas anggukan kepala Ki Lurah Patiasa.
"Tapi untuk malam ini saya berharap, kita tetap berjaga. Siapa tahu orang yang kita cari saat ini mampir di Desa Parangan ini...," pinta Sena seenaknya sambil menggaruk-garuk kepala.
"Baik...," jawab Ki Lurah Patiasa.
"Santika, Lohdaya! Apakah semua warga sudah kau beri tahu...?"
"Sudah Ki Lurah. Ki Lamting yang saya perintahkan untuk memimpin ronda malam ini," jawab Santika sambil memberi hormat.
"Hm...," gumam Ki Lurah Patiasa sambil mengangguk.
Sementara di luar udara semakin dingin. Para warga Desa Parangan tampak berjaga-jaga di semua sudut desa. Tentu saja mereka membawa senjata.
"Mudah-mudahan malam ini tak terjadi apa-apa di desa kita ini," kata seorang peronda bernama Karto.
"Tapi kenapa malam ini sangat dingin hawanya.
Hih...!" sahut Samsu sambil mendekap dada dengan kedua tangannya.
"Kamu saja yang bengek," tukas Jamin, "Orang hawanya panas begini, kok!"
"Sudah, jangan ribut soal dingin, panas! Kita harus waspada. Nanti, tahu-tahu ada orang tak diundang masuk desa kita, mati kuwe...!" tukas Gondo berusaha mengingatkan teman-temannya agar tak mengurangi kewaspadaan. Kebisuan kemudian menyelimuti para peronda yang sedang berkumpul di gardu sebelah utara. Terlebih malam itu angin berhembus membawa hawa dingin, membuat suasana di sekitar tempat itu semakin mencekam. Krak! Tiba-tiba terdengar suara seperti ranting kayu yang patah, dari arah semak-semak belukar. Hal itu tentu saja mengejutkan para peronda yang hanya berjarak sekitar sepuluh tombak dari semak-semak itu.
"Hah..."! Ada tamu tak diundang...!" kata Jamin pada teman-temannya.
"Ssst...!" Gondo memberi isyarat pada temannya agar tidak ribut.
Seketika mereka memasang mata tajam mengawasi sekeliling tempat itu. Rasa tegang dan takut mulai menyelimuti para peronda. Belum juga rasa tegang dan takut itu hilang, tiba-tiba berlompatan lima sosok tubuh berpakaian serba hitam, dengan memakai kedok. Rambut kelima tamu tak diundang itu dibiarkan terurai, panjang melewati bahu. Mata golok mereka bergerigi tajam mirip gergaji berukuran panjang.
Kedok yang dipakai lima sosok itu menyeramkan.
Bagi orang yang takut mungkin akan mengira kelima sosok berpakaian hitam itu sebagai hantu.
"Hantu..."!" gumam Karto. Matanya membelalak dengan bibir gemetaran.
"Tolong...! Tolooong...!" jerit Gondo yang berbadan kurus sambil berlari ketakutan, melemparkan goloknya. Hal itu membuat para peronda yang lainnya tampak panik. Pada saat itu lima sosok berkedok seram itu langsung melancarkan serangan.
"Heaaa...!" Cras! Cras! "Aaa...!"
"Aaakh...!" Lima orang berkedok setan itu seakan tak memiliki rasa iba sedikit pun. Ki Lamting pun yang menjadi pemimpin para peronda turut turun tangan. Pertarungan para peronda yang dipimpin Ki Lamting dan lima orang berkedok itu tak dapat dihindarkan.
Trang! Trang! "Heaaa...!" Seketika suara benturan senjata terdengar, seakan-akan hendak memecah suasana malam. Pekikan dan jerit kesakitan pun mulai terdengar.
Wut! "Ukh...!"
"Aaa...!" Para peronda tampaknya bukan tandingan kelima sosok berkedok itu. Hanya dalam beberapa gebrakan saja para peronda bergelimpangan tewas berlumuran darah. Kenyataan itu membuat Ki Lamting marah.
Tanpa pikir panjang lagi, karena telah terpancing perasaan marah, lelaki setengah baya itu langsung membuka jurus andalannya dengan senjata golok.
"Heaaa...!" Ki Lamting melompat dan menyerang salah satu dari lima sosok berkedok. Namun dengan mudah serangan itu dielakkan. Hanya dengan menggeser ke samping, serangan itu lolos. Bahkan sosok berpakaian hitam itu langsung balas menyerang.
"Heaaa...!" Dugkh! "Aaakh...!" Serangan dari sosok berkedok seram itu mendarat telak di dada Ki Lamting. Seketika tubuh pemimpin ronda itu terjungkal di tanah. Dari mulutnya mengalir darah segar. Tampaknya pukulan lawan membuat luka dalam di dadanya.
Keributan itu sempat menimbulkan kepanikan para peronda lain. Bahkan akhirnya terdengar pula oleh Pendekar Gila, Mei Lie, Ki Lurah Patiasa, serta Santika dan Lohdaya.
"Tolooong...! Ada setan...! Hantuuu...!" Orang-orang berlarian ke arah rumah kepala de sa sambil berteriak gaduh. Sementara itu di ujung sebelah barat Desa Parangan, terlihat sebuah rumah terbakar.
Santika dan Lohdaya segera berlari menuju tempat pertarungan. Sementara Sena tampak masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Namun kemudian segera keluar dan melesat diikuti Mei Lie dan Ki Lurah Patiasa.
Pertarungan semakin seru, ketika Santika dan Lohdaya turun tangan untuk meringkus kelima sosok berpakaian serba hitam itu.
"Hei! Tunggu...! Mengapa kalian mengacau dan membunuh warga desa ini..."! Siapa kalian sebenarnya!" bentak Santika marah sambil menuding ke arah dua orang berkedok seram yang berdiri dua tombak di depannya. Yang satu tampaknya pemimpin kelima lelaki berkedok itu. Hal itu dapat dilihat dari bentuk dan penampilannya yang berbeda. Pakaiannya yang longgar panjang terhias sabuk ikat pinggang warna kuning.
"Untuk apa kau tahu diriku" Hhh..., tapi baiklah agar tidak penasaran. Aku Rasaka. Aku ingin meringkus Pendekar Gila yang kalian sembunyikan itu...! Sebaiknya minggir, kalau sayang dengan nyawamu...!" sahut lelaki berambut panjang dan berkedok seram yang mengaku bernama Rasaka.
"Sombong! Heaaa...!" Santika langsung melompat menyerang Rasaka.
Namun dengan cepat lelaki berkedok itu melompat sambil menangkis serangan lawan.
"Heaaa...! Mampus kau...!" seru Santika.
Santika rupanya lupa kalau yang dihadapi dua orang. Salah seorang teman Rasaka yang sedan tadi hanya melihat dan menunggu kesempatan baik untuk menyerang, tiba-tiba dari belakang menyerang Santika yang sedang bertarung dengan Rasaka. Namun belum sempat golok bergerigi milik orang berkedok menyentuh tubuh Santika, tiba-tiba sebuah tendangan keras mendarat telak di tengkuk orang berkedok itu.
"Aaa...!" Teman Rasaka terjungkal jatuh ke tanah dan bergulingan. Santika merasa kaget dan ketika wajahnya menoleh sekilas, ternyata Pendekar Gila telah berdiri di sampingnya. Santika semakin semangat. Kembali ia merangsek lawan dengan serangan cepat Namun Rasaka yang memiliki ilmu cukup tinggi, dengan mudah mematahkan serangan lawan. Bahkan terbalik, Santika terdesak dan cukup gawat.
Melihat itu Pendekar Gila, segera mengambil alih pertarungan.
"Heaaa...!" Pendekar Gila melompat sambil bersalto, dan mendarat di antara Rasaka dan Santika.
"Hah"!" Rasaka menatap tajam wajah Pendekar Gila yang sudah berdiri di hadapannya.
"Ha ha ha...! Kau rupanya Pendekar Gila. Kebetulan sekali. Malam ini dunia persilatan akan mendengar, bahwa kau mati di tanganku....'" ucap Rasaka dengan sombong. Lalu mundur tiga tombak dari hadapan Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Santika, sebaiknya kau bantu yang lain. Biar monyet ini aku yang hadapi!" ujar Pendekar Gila sambil cekikikan dan menggaruk-garuk kepala.
"Rupanya ada monyet malam-malam datang mencari makanan. Hi hi hi...! Lucu sekali! Hai, Monyet...! Ayo, hadapi aku...!"
"Kurang ajar! Kau boleh mengenalku Pendekar Gila," dengus Rasaka, lalu membuka kedok setannya.
Kini terlihat wajah aslinya, yang garang dan berhidung besar. Mata sebelah kirinya rusak, seperti bekas kena senjata. Bibirnya lebar, dengan kumis melintang tebal.
"Aku si Mata Iblis dari Sungai Darah, malam ini akan menantangmu! Ayo...! Heaaa...!" Rasaka melesat dan langsung melancarkan serangan. Pendekar Gila yang sudah siap dengan segala kemungkinan, mengelak dengan hanya memiringkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan. Lalu melenting ke atas sambil bersalto. Nampak ringan sekali gerakan Pendekar Gila. Begitu pula saat mendaratkan kaki di tanah. Bahkan pemuda berompi kulit ular itu sambil cengengesan dan garuk-garuk kepala seperti mengejek lawannya. Rasaka yang menghadapi serangannya begitu mudah dapat dielakkan tampak marah. Apalagi ketika Pendekar Gila mengejek seperti meremehkan.
"Heaaa...! Hiaaa...!" Si Mata Iblis dari Sungai Darah kembali menyerang dengan garang. Tubuhnya melenting sambil berputaran dan memburu Pendekar Gila dengan golok bergeriginya.
"Jurus apa nih" Hi hi hi, lucu...!" gumam Sena sambil melenting ke udara sambil bersalto, melewati lawannya. Kedua tangannya menjulur berusaha menyambar tangan Rasaka. Pertarungan di udara tak terelakkan. Dari kejauhan, mata bisa pasti tidak mampu menangkap gerakan mereka.
Apalagi suasana malam itu gelap gulita. Padahal kedua tokoh itu dengan dahsyat saling melancarkan serangan untuk menjatuhkan lawan. Pendekar Gila yang telah memiliki segudang pengalaman bertarung dalam petualangan di rimba persilatan tampaknya mampu mengimbangi kemampuan lawan. Ketika keduanya sama-sama mendarat Pendekar Gila tampak hanya cengengesan.
Sementara itu si Mata Iblis dari Sungai Darah yang telah terkuras tenaganya dalam pertarungan cepat di udara, segera memasang kuda-kuda. Dirinya bermaksud mengerahkan salah satu jurus yang bernama jurus 'Golok Setan Darah'.
Pendekar Gila justru tertawa-tawa. Tingkah lakunya persis orang gila. Tangan kanannya mencabut bulu burung yang disimpan di ikat pinggang. Dan dengan seenaknya mengorek telinga dengan bulu burung itu. Melihat kekonyolan tingkah laku Pendekar Gila, Rasaka merasa diremehkan, kemarahannya kian me-muncak.
"Kurang ajar! Bersiaplah untuk mampus! Heaaa...!" Dengan jurus 'Golok Setan Darah', Rasaka menggebrak dengan serangan semakin dahsyat. Goloknya yang mengeluarkan racun ganas bergerak membabat dan menusuk bagian tubuh Pendekar Gila.
"Eit! Hi hi hi...!" Sena segera meliukkan tubuhnya dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu dengan cepat menepuk kepala lawan yang agak merunduk ketika menusukkan goloknya.
"Ini bagianmu, Kunyuk...! Hih...!"
"Ukh...!" Si Mata Iblis dari Sungai Darah memekik kesakitan, ketika telapak tangan Pendekar Gila mendarat di kepalanya. Tubuh lelaki berambut gondrong itu melompat ke belakang sambil memegangi kepalanya yang dirasakan pening seperti mau pecah. Hatinya merasa heran dan hampir tak percaya. Gerakan lawan yang dilihatnya tanpa tenaga dan tampak sangat lamban, ternyata mengandung kekuatan dahsyat Rasaka tampak mulai mengatur keseimbangan tubuh dan kembali menghimpun tenaga dalam. Kini si Mata Iblis dari Sungai Darah itu membuka jurus dengan gerakan yang sangat cepat dan keras. Seiring dengan putaran senjata dalam jurus 'Golok Setan Beracun', mulut Rasaka terdengar mengeluarkan dengusan-dengusan aneh.
Melihat lawan mulai mengerahkan jurus dahsyat andalannya, Pendekar Gila bukan merasa takut. Mulutnya tampak cengengesan sambil tangannya menepuk-nepuk pantat. Namun tiba-tiba saja tubuhnya berputar cepat ke arah kiri.
Wusss! "Hah"!" Si Mata Iblis dari Sungai Darah tersentak kaget melihat tubuh lawan mampu berputar cepat seperti gasing. Sejenak dirinya kebingungan untuk melancarkan serangan. Namun ketika sekejap saja Pendekar Gila berhenti, tiba-tiba....
"Yiaaa...!" Wut! Wut! "It.., he he he....! Hebat juga kunyuk ini...!" Pendekar Gila cepat mencabut Suling Naga Saktinya, diputarnya dan digerakkan lurus ke atas.
Didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali melakukan serangan. Golok beracun di tangan Rasaka bergerak cepat, menusuk ke depan dan membabat ke samping. Diteruskan dengan tebasan dari atas ke bawah, kemudian disambung babatan dari kiri dan kanan. Saking cepatnya gerakan golok itu, golok bergigi dan beracun itu seperti menghilang. Yang tampak hanya bayangan putih mengkilat, yang berkelebatkelebat melindungi tubuh Rasaka.
Wut! Wut! Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat sulit ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera mengerahkan jurus, 'Si Gila Menembus Badai' "Heaaa...!" Tangan Pendekar Gila yang memegang Suling Naga Sakti menjulur lurus ke depan. Sedangkan tangan kirinya memukul, dengan kedudukan tubuh agak merunduk. Kaki kirinya diangkat ke atas sedang kaki kanannya setengah ditekuk. Dengan cepat disodokkan Suling Naga Sakti-nya ke arah gulungan cahaya pedang yang berputar di sekitar tubuh lawan.
"Heaaa...!" Wut! Wut! Trang! Dua senjata beradu. Pijaran api keluar dari benturan itu. Asap putih bercampur ungu yang beracun tiba-tiba bergulung-gulung menyerang Pendekar Gila.
Kalau saja pendekar muda itu tak pernah meminum darah ular putih, mungkin Pendekar Gila akan tewas.
Namun kini tubuhnya kebal dari segala macam racun (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").
Si Mata Iblis dari Sungai Darah terkejut bukan main mengetahui lawan ternyata tak mempan racun yang keluar dari Golok Setan-nya yang bergerigi. Gerakan goloknya semakin dipercepat, berusaha menghancurkan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Wut! Wut..! Trang! Trang! Benturan-benturan keras semakin tak terelakkan. Masing-masing berusaha mengalahkan. Jurus demi jurus telah dikerahkan. Namun keduanya tampak masih memperlihatkan ketangguhan masingmasing. Si Mata Iblis dari Sungai Darah rupanya bukan tokoh sembarangan. Tokoh kaum hitam yang memiliki ilmu hitam cukup tinggi ini telah malang-melintang di dunia persilatan. Banyak tokoh persilatan yang telah ditaklukkan. Pendekar Gila pun tampaknya tak ingin menganggap remeh kemampuan lawan. Dengan gerak cepat Suling Naga Sakti-nya terus dibabatkan dan ditusukkan dengan jurus 'Si Gila Menembus Badai'.
Wuttt! Wuttt! "Heaaa...!" Rasaka cepat-cepat membuang tubuhnya ke samping. Lalu dengan cepat membabatkan goloknya memapak Suling Naga Sakti dengan jurus 'Tebasan Golok Setan Darah'.
Melihat golok lawan menderu ke arahnya, dengan cepat Pendekar Gila menarik serangan. Lalu diputar sulingnya guna memapaki tebasan golok.
Trang! "Hah...!" Keduanya melompat ke belakang. Lalu berdiri saling berhadapan. Kemudian kembali sama-sama menyerang dengan didahului pekikan menggelegar.
Keduanya melenting di udara.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Tubuh keduanya melesat cepat dengan senjata di tangan. Dalam suasana remang-remang di udara mereka saling melancarkan serangan. Suling Naga Sakti menyodok ke wajah Rasaka. Sedangkan golok bergerigi menebas kepala Pendekar Gila.
"Hup!" Wut! Pendekar Gila bersalto menghindari tebasan Golok Setan. Kemudian dengan cepat, disodokkan sulingnya ke wajah lawan.
"Heaaa...!" Rasaka tersentak kaget mendapatkan serangan cepat itu. Dirinya berusaha menangkis dengan mengebutkan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya membabatkan golok ke tubuh lawan.
"Hop! Yeaaa...!" Melihat babatan golok Rasaka, Pendekar Gila meliukkan tubuh lalu bergerak ke samping. Setelah golok itu lewat, kakinya menendang dengan jurus 'Si Gila Menyapu Bumi'. Plakkk! "Heaaa...!" Tubuh si Mata Iblis dari Sungai Darah terlontar terhantam tendangan Pendekar Gila yang dikerahkan dengan tenaga dalam. Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan Rasaka masih terhuyung, segera memburu sambil memukulkan sulingnya ke dada lawan yang tak mampu mengelak lagi.
Dugkh! "Hukh...!" Tubuh Rasaka terdorong ke belakang, lalu jatuh ke tanah. Namun dengan cepat lelaki berpakaian serba hitam itu bangkit berdiri.
"Kurang ajar! Kupertaruhkan nyawaku, Pendekar Gila!" dengus Rasaka.
"Hi hi hi...! Hai, monyet apa maumu, silakan!" sahut Sena seraya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Kali ini kau mampus, Pendekar Gila...! 'Mata Iblis Pencabut Nyawa', hiaaa...!" Rasaka melesat cepat sambil mengayunkan goloknya memburu tubuh Pendekar Gila. Bersamaan itu dari mata Rasaka keluar sinar merah, melesat memburu lawan. Melihat serangan berbahaya itu, dengan cepat Pendekar Gila melenting ke udara sambil bersalto.
Sinar merah itu berhasil dielakkan.
Slats! Glarrr...! Brakkk! Sebuah pohon besar terhantam sinar 'Mata Iblis Pencabut Nyawa'. Ledakan keras menggelegar terdengar disusul tumbangnya pohon itu.
"Hi hi hi...! Hebat juga, Monyet! Ah ah ah...! Apimu membakar pohon!" seru Pendekar Gila setelah mendarat di atap sebuah rumah penduduk sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya terus berusaha memancing kemarahan lawan.
Melihat lawannya terus mengejek dan tertawatawa, si Mata Iblis dari Sungai Darah geram dan murka. Dengan penuh amarah tubuhnya melesat, memburu Pendekar Gila. Sambil melayang di udara goloknya terus diputar-putar cepat Pendekar Gila mengelak dengan melenting ke atas, melewati kepala Rasaka sambil melakukan serangan balik yang cepat.
"Hiaaa...!"
"Aits! Heaaa!" Rasaka merundukkan kepala sambil menangkis pukulan lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat membuat gerakan memutar tubuh dengan cepat sambil melompat Rasaka yang tak menduga, kecepatan tanggapan pemuda bertingkah laku gila itu tersentak.
Tubuhnya meluncur dengan cepat menghindari serangan aneh Pendekar Gila.
"Hih!" Kaki si Mata Iblis dari Sungai Darah mendarat ringan di tanah. Namun tampak napasnya agak tersengal-sengal dengan dada turun naik Matanya menatap nanar pada Pendekar Gila yang telah mendarat pula lima tombak di depannya.
"Hhh...!" Rasaka mendengus, lalu dengan gerakan cepat kembali melancarkan serangan. Pendekar Gila tak berdiam diri, tubuhnya melesat ke depan memapaki serangan lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Trang! Trang...! Pekikan keras memekakkan telinga dan dentangan senjata semakin kerap terdengar. Baik si Mata Iblis dari Sungai Darah maupun Pendekar Gila tampaknya tak ingin menganggap enteng kekuatan lawan. Keduanya kini sama-sama mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi yang mempertunjukkan gerakan cepat.
Sehingga tubuh keduanya bagaikan menghilang.
"Hi hi hi...! Hei, Mata Monyet, apa sebenarnya yang kau inginkan...?" tanya Pendekar Gila sambil cekikikan. Tubuhnya terus melayang menghindari serangan Golok Setan yang mengandung racun ganas itu.
"Heaaa...!" Wut! "Aits...!" Trang! Tanpa menghiraukan pertanyaan Pendekar Gila, Rasaka berteriak keras sambil mengayunkan goloknya.
Tentu saja hal itu membuat Pendekar Gila agak terkejut. Namun dengan cepat pula menebaskan sulingnya memapak golok lawan.
Entah sudah berapa jurus yang mereka keluarkan, tapi keduanya masing memperlihatkan ketangguhan masing-masing. Meskipun semula tampak kalau Rasaka agak tersengal-sengal, ternyata kini memperlihatkan kemampuan yang tak boleh dianggap remeh.
"Heaaa...!" Golok bergerigi di tangan Rasaka bergerak cepat ke perut lawan. Melihat serangan cepat dan keras itu, Pendekar Gila segera mengegos ke samping. Kemudian menghantamkan kepala Suling Naga Sakti-nya.
"Heaaa...!" Dugkh! "Hukh...!" Rasaka terpekik ketika kepala Suling Naga Sakti itu seperti mematuk, menghantam bagian kepalanya.
Seketika tubuhnya terpelanting dan terhuyung-huyung di tanah. Darah mengucur membasahi pakaian dan wajahnya. Melihat hal itu Pendekar Gila tak sampai hati untuk menghabisi lawannya. Walaupun tahu, manusia seperti si Mata Iblis dari Sungai Darah ini harus dile-nyapkan dari bumi.
Perbuatannya yang sudah sering membunuh, memperkosa, merampok, dan membinasakan tokoh-tokoh persilatan aliran putih, harus sege-ra dihentikan.
"Aku tak mungkin membunuh orang yang sudah terluka. Tapi, kuminta kau memerintahkan anak buah-mu yang sedang bertarung di sana, agar menyerah. Dan cepat pergi dari sini...!" perintah Sena sambil menunjuk ke tempat Mei Lie sedang bertarung dengan seorang anak buah Rasaka, dan Santika yang juga menghadapi orang berkedok setan yang lain. Sementara itu kobaran api yang membakar rumah pun masih menyala-nyala. Rasaka tak menjawab. Matanya yang bagai iblis tiba-tiba menyala bagai api membara. Sekejap kemudian, sebentuk sinar melesat dan memburu Pendekar Gila, berasal dari mata si Mata Iblis dari Sungai Darah.
Karena tak menduga lawan akan mengeluarkan serangan itu, Pendekar Gila sempat tersentak. Namun dengan secepat kilat melenting ke atas....
Slats...! "Aits...! Kurang ajar juga monyet ini," gumam Pendekar Gila sambil bersalto di udara. Glarrr...! Brak! Sinar merah dari mata si Mata Iblis dari Sungai Darah menerjang rumah penduduk, hingga menimbulkan ledakan keras. Rumah itu seketika terbakar.
"Aaakh...!"
"Tolong...! Kebakaran, kebakaran! Tolooong..,!" Seketika jeritan-jeritan penduduk bertambah ramai. Anak-anak dan para wanita panik, berlarian kian kemari. Sementara itu pertarungan antara Mei lie, Lohdaya, dan Santika menghadapi anak buah si Mata Iblis dari Sungai Darah tetap berlangsung.
"Hua ha ha...! Tak mudah menghabisi nyawaku, Anak Muda!" teriak Rasaka dengan suara terbahak-bahak. Lelaki berambut panjang dan berpakaian serba hitam ini tampaknya tak menghiraukan sama sekali keadaan wajahnya yang telah berlumuran darah. Bahkan matanya tampak kian beringas dan menggiriskan.
"Ah ah ah...! Monyet jelek, rupanya kau tak bisa dikasih hati. Hai, Mata Borok! Kalau kau tak menurut saranku, rasakan ini! Hiaaa...!" Pendekar Gila yang sudah kehabisan kesabaran dengan cepat menghantamkan pukulan sakti 'Inti Brahma'. Dari telapak tangannya melesat larikan api menyala-nyala memburu tubuh Rasaka. Tanpa ampun lagi api pun menerjang tubuh lelaki berkedok seram itu. Srat! Prat! "Wuakh...!" Rasaka menjerit-jerit kesakitan. Tubuhnya yang terbungkus pakaian hitam itu berguling-gulingan, berusaha memadamkan api yang melahapnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Rasaka yang mulanya merasa yakin dapat mengalahkan Pendekar Gila dengan melakukan pembunuhan dan kekacauan di Desa Parangan, untuk memancing pemuda gila itu, ternyata nasib buruk justru menimpa dirinya sendiri. Bukannya Pendekar Gila yang mati, melainkan Rasaka sendiri yang menemui ajalnya, dengan sangat mengerikan.
Tubuhnya hangus bagai arang Sena atau Pendekar Gila menghela napas dalamdalam, lalu menyelipkan kembali Suling Naga Saktinya di pinggang.
"Ah ah ah...! Sayang, kau lebih menginginkan mati daripada bertobat..," gumam Sena perlahan, seakan bicara pada dirinya sendiri. Matanya menatap terus mayat Rasaka yang berada lima tombak di hadapannya. Mulutnya cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
***
Sedangkan Mei Lie nampak lebih santai menghadapi lawannya. Tak banyak kerepotan. Tubuhnya nampak ringan sekali meliuk dan melenting ke atas, sambil melancarkan serangan balik.
"Hiaaa...!" Plak! Plak! Bugkh! "Aaakh...!" Lawan Mei Lie memekik, lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, sambil memegangi dadanya. Tendangan kaki kanan Mei Lie sebelum mendarat ke tanah sempat bersarang di dadanya.
"Kau juga ingin mampus seperti pimpinanmu itu"!" ujar Mei Lie dengan kalem. Matanya menatap tajam ke wajah lawannya sambil menunjuk mayat Rasaka yang terkapar hangus, sekitar sepuluh tombak di sebelah kirinya.
Lelaki berambut panjang dan berkedok menyeramkan itu tersentak kaget. Matanya terbelalak melihat sang Pemimpin telah tewas dengan keadaan tubuh sangat mengerikan. Serta merta anak buah Rasaka itu menjura sambil menyembah.
"Ampunilah aku...! Biarkah aku hidup...!"
"Enak saja kau! Minta ampun" Kenapa kalian menyerang desa ini, merampok, serta menculik gadisgadis desa..."!" tanya Mei Lie dengan ketus.
"Aku hanya mengikuti perintah Rasaka.... Ampuni aku...! Biarlah aku pergi...!" pinta orang yang mu-kanya masih tertutup kedok itu. Mei Lie segera membuka kedok orang itu dengan ujung pedangnya. Dan kini terlihat wajah orang itu. Ternyata berparas lumayan, tak ada gambaran kebengisan di wajah pemuda itu. Mei Lie merasa heran ketika melihat wajah yang seperti tak berdosa itu.
"Hei..! Menyerahlah kalian! Pimpinan kalian telah mati..!" seru Pendekar Gila tiba-tiba. Orang-orang yang bertarung menoleh ke arah Pendekar Gila dan menghentikan pertarungan.
Tiga orang berkedok yang sedang bertarung melawan Santika, Lohdaya, dan Ki Lurah Patiasa, segera menghentikan serangannya.
Dan ketika melihat mayat Rasaka, ketiganya berlarian meninggalkan Desa Parangan dengan ketakutan.
Sedangkan seorang yang minta ampun pada Mei Lie, menyusul kemudian. Setelah berterima kasih pada Mei Lie.
Ki Lurah Patiasa dan anak buahnya merasa kagum dengan tindakan Sena dan Mei Lie, yang tak mau membunuh lawan, dalam keadaan menyerah dan mengaku kalah. Itulah sifat seorang pendekar yang budiman. Penuh cinta kasih sesamanya, walaupun itu lawan. Ki Lurah Patiasa segera mendekati kedua pendekar muda itu, diikuti Santika dan Lohdaya.
"Kami kagum dengan tindakan kalian berdua.
Suatu tindakan yang jarang dimiliki pendekar mana pun. Kami ucapkan terima kasih pada kalian berdua," kata Ki Lurah Patiasa setelah sampai di dekat Sena dan Mei Lie.
"Aha, itu sudah biasa kami lakukan. Dan sudah tugas kami untuk menolong yang lemah dan melenyapkan yang jahat. Tapi aku merasa ikut sedih dengan terbakarnya beberapa rumah penduduk. Kurasa, hal ini karena orang-orang itu tahu, kalau aku ada di sini. Maafkan aku...!" kata Sena dengan menggaruk-garuk kepala. Wajahnya terpancar kesedihan ketika memandangi rumah-rumah penduduk yang terbakar.
Kemudian sambil menghela napas dalam-dalam wajahnya menoleh Ki Lurah Patiasa.
"Kalian tidak bersalah. Kejadian ini membuat kami harus lebih waspada dan melatih diri untuk memperdalam ilmu silat. Kalau kalian berdua tak keberatan, sudilah kiranya menjadi guru kami...?" kata Ki Lurah Patiasa kemudian.
"Ya, Tuan Pendekar...," tambah Santika dan Lohdaya seraya menganggukkan kepala.
Pendekar Gila menoleh kepada Mei Lie yang berdiri di sisi kirinya.
Keduanya saling pandang. Kemudian Sena tersenyumsenyum dan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... lucu, lucu sekali! Kami tak keberatan, tapi tugas kami belum selesai. Masih banyak yang ha rus kami selesaikan. Maka dengan berat hati, saat ini kami belum bisa mengabulkan permintaan Ki Lurah dan kalian semua. Maaf, sekali lagi maaf! Mungkin lain waktu, kami bisa," ucap Sena dengan kalem sambil menggaruk-garuk kepala dan cekikikan.
Melihat sikap Sena yang mirip orang gila, orangorang yang ada di tempat itu tampak keheranan. Namun bagi mereka yang telah tahu ciri khas pendekar muda itu segera maklum. Mereka hanya tersenyumsenyum.
"Ya, apa kata Kang Sena benar. Mungkin lain waktu, kami akan luangkan waktu untuk lebih lama tinggal di Desa Parangan ini," tambah Mei Lie dengan senyum manis.
Ki Lurah Patiasa dan kedua pengawalnya manggut-manggut, mereka bisa memaklumi. Karena mereka tahu, bahwa Pendekar Gila dan Mei Lie yang dijuluki 'Bidadari Pencabut Nyawa', masih harus menumpas Penunggang Kuda Iblis. Yang telah menggemparkan dan membuat kekacauan rimba persilatan.
***
:::┌┘¦ 5 ¦└┐:::
Meski begitu, dilihat dari bentuk-bentuk gerakan serta suara teriakan dari mulutnya, jelas kalau sosok itu seorang wanita. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai sampai di pinggang. Gaun longgar serta putih membalut tubuhnya yang kuning langsat Gerakan-gerakan jurusnya cepat membuat pakaian dan rambutnya nampak diterbangkan angin pagi itu. Matahari di sebelah timur yang menimpa dedaunan bagaikan memberi semangat dan kehangatan wanita cantik jelita yang ternyata Lara Kanti, atau lebih dikenal dengan julukan si Penunggang Kuda Iblis.
Di depan Lara Kanti tampak, seorang kakek tua renta duduk bersila di atas sebuah baru. Mata tuanya yang cekung memandang lurus ke tubuh Lara Kanti yang tengah berlatih itu. Kakek berusia sekitar delapan puluh tahun itu bernama Ki Rawantula. Alisnya yang tebal dan berwarna putih, serta guratan-guratan pada kulit wajah menggambarkan pengalaman kehidupan-nya. Ki Rawantula juga merupakan kakak kandung Tempurung Sakti.
Lara Kanti ternyata anak dari Tempurung Sakti, yang berarti merupakan kemenakan Ki Rawantula.
(Untuk lebih jelasnya mengenai Tempurung Sakti, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Titisan Dewi Kuan Im").
Saat itu Lara Kanti sedang berlatih jurus pamungkas 'Penyempurna Raga dan Jiwa' dari sepuluh jurus 'Pedang Mata Iblis'.
Larakanti tampak terdiam beberapa saat dengan mata terpejam. Mata pedang ditempelkan pada keningnya. Setelah cukup lama dirinya mengheningkan cipta, dibarengi pekikan nyaring, digerakkan pedangnya dengan pengerahan kekuatan tenaga dalam. Seketika pedang itu pun memancarkan sinar merah.
"Yeaaat..!" Wut! Wut! Pedang diarahkan pada sebuah batu besar di sampingnya dengan gerakan menusuk.
"Hih...!" Crak! Suara keras terdengar memekakkan telinga. Pedang itu mampu menusuk batu besar hingga tembus.
Dapat kita bayangkan, bagaimana kalau pedang itu digunakan untuk menusuk tubuh manusia.
Plok! Plok! Plok! Terdengar tepukan tiga kali dari Ki Rawantula yang masih bersila di atas sebuah batu besar di halaman pondok itu.
"Hebat..!" seru kakek yang bertelanjang dada itu seraya mengancungkan kedua ibu jarinya.
"Terima kasih! Terima kasih, Paman!" sahut Lara Kanti seraya menjura hormat kepada Ki Rawantula.
Kemudian dimasukkan pedangnya ke dalam warangka yang tersandang di punggungnya.
Ki Rawantula tersenyum bangga seraya mengangguk-anggukkan kepala. Tangan kirinya mengeluselus jenggotnya yang telah memutih. Kemudian kakinya membuka lipatan dari duduk bersilanya, lalu melangkah mendekati Lara Kanti, murid tunggalnya itu.
"Kini ilmumu telah mencapai tingkat hampir sempurna, Anakku. Kurasa sulit bagimu menemukan lawan tanding bagi ilmumu yang saat sekarang ini. Ya, kecuali dua orang itu, Kanti...," ujar Ki Rawantula dengan tatapan tajam pada wajah Lara Kanti yang hanya duduk diam, menundukkan kepala.
"Namun, Paman yakin, kau akan dapat mengatasinya," lanjutnya dengan suara lirih.
Kakek tua itu masih nampak segar, berdirinya pun masih tegap, wajahnya terus tersenyum bangga.
Memandangi Lara Kanti.
"Paman bangga sekali denganmu, Kanti. Ayo bangun, ikut aku!" ajak Ki Rawantula.
Keduanya segera melesat meninggalkan pondok itu. Tak lama kemudian, mereka sudah berada dekat air terjun. Lara Kanti dan Ki Rawantula duduk di atas batu besar saling berhadapan, hanya sekitar tiga tombak dari tempat jatuhnya air terjun. Sehingga tubuh keduanya tampak mulai basah kuyup.
Ki Rawantula, tampak memejamkan mata. Kedua tangannya bersidekap di dada, dengan kepala menengadah ke langit. Seakan-akan ingin membuang suara deras air terjun itu dari telinganya.
Sementara itu Lara Kanti yang duduk bersila pun tertunduk. Kedua tangannya ditumpangkan di kedua lutut. Rawantula kemudian membuka matanya perlahan. Ditatapnya wajah jelita gadis di depannya dengan mata sayu. Lalu tersenyum.
"Kini, tiba saatnya, kau harus menemukan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa. Bunuhlah keduanya! Kau harus membalas dendam atas kematian ayahmu, yang juga adik kandung yang kusayangi, Si Tempurung Sakti. Mengerti...?" Lara Kanti mengangguk.
"Aku akan mencari Pendekar Gila, di mana pun dia berada. Hhh..., tapi kena-pa sampai saat ini aku belum juga menemukannya, Paman..."!" gumam Lara Kanti dengan wajah murung.
"Hm.... Bersabarlah! Kali ini kau pasti bertemu dengannya. Hanya Paman mengkhawatirkan mu, jika berhadapan dengan Bidadari Pencabut Nyawa itu...," ujar Rawantula dengan mengerutkan kening. Sekilas di wajahnya terlihat cemas dan kebimbangan.
"Kenapa, Paman" Apa ilmu pedang yang kau ajarkan padaku tak mampu mengalahkan mereka..."!" tanya Lara Kanti dengan gusar.
"Aku akan membunuh Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa itu.
Hhh..., setelah itu, aku akan jadi jago dan pendekar yang disegani. Sekaligus membalas dendam atas kematian ayahku," lanjutnya penuh kesombongan.
Mendengar ucapan Lara Kanti, sebenarnya Rawantula kurang suka. Namun karena dirinya takut kalau Lara Kanti akan patah semangat jika ditegur, maka kakek tua berambut putih itu hanya bisa menyimpan kekurangsenangan itu di dalam hatinya.
"Kau harus memiliki keyakinan. Jangan ceroboh jika menghadapi Pendekar Gila. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun Paman percaya kau akan bisa mengalahkannya, Kanti...," kata Rawantula memberikan semangat pada Lara Kanti.
Lara Kanti menjura seraya berkata.
"Terima kasih, Paman. Pesan Paman akan kuingat"
"Tapi...," Rawantula tak meneruskan ucapannya.
Hal itu membuat Lara Kanti mengerutkan kening. Matanya memandang wajah sang Paman.
"Paman..."!"
"Oh... he he he.... Tidak apa-apa, Kanti."
"Paman meragukan kemampuanku untuk menghadapi Pendekar Gila yang telah membunuh ayah..."!" tanya Lara Kanti dengan mengerutkan kening. Nampak ada kekesalan di hatinya.
Rawantula tak menjawab. Lelaki tua itu sesaat terdiam. Di helanya napas dalam-dalam. Matanya menatap wajah Lara Kanti yang nampak kecewa dan kesal. Gadis cantik berpakaian putih itu tampak telah benar-benar yakin, sehingga merasa kecewa, jika ada il-mu pedang yang lebih tinggi dari yang telah dipelajarinya. Selama lebih dari dua belas purnama dirinya memperdalam ilmu pedang di bawah gemblengan sang Paman.
"Maafkan, Paman, Kanti! Tadi Paman hanya teringat akan ayahmu. Karena dia adik kandungku satusatunya...," kata Ki Rawantula mencoba mengalihkan perhatian Lara Kanti.
Sebenarnya Ki Rawantula memang sedikit meragukan ilmu pedang yang diberikan pada Lara Kanti akan bisa mengatasi ilmu pedang yang dimiliki Mei Lie, atau Suling Naga Sakti milik Pendekar Gila. Namun lelaki tua itu tak ingin menyampaikan rasa kekhawatirannya pada sang Murid.
Hal itu bisa membuat Lara Kanti marah.
Mendengar penjelasan Ki Rawantula, Lara Kanti bisa menerima. Namun wanita muda itu nampaknya tetap belum puas dengan penjelasan sang Paman yang juga gurunya itu.
Sesaat keduanya diam. Lara Kanti menundukkan kepala memandangi batu yang didudukinya. Angin yang berhembus kencang, membuat percikan air terjun semakin mengenai wajah dan seluruh tubuh mereka. Namun keduanya tak menghiraukan. Tetap duduk dengan tenang. Rawantula nampak baru saja memejamkan mata. Tak lama kemudian membuka kembali matanya dengan perlahan, lalu menghela napas panjang.
"Besok pagi-pagi, kau boleh pergi mencari pembunuh ayahmu itu. Doa Paman menyertaimu, Kanti....
Sekarang beristirahatlah! Si Ireng kudamu itu beri makan secukupnya. Agar perjalananmu nanti lancar," ujar Ki Rawantula menyarankan dengan suara mantap penuh wibawa.
"Baik, Paman. Akan aku laksanakan perintah Paman," jawab Lara Kanti sambil menjura.
"Hm...," gumam Rawantula pendek.
***
Sedang di punggungnya tersandang sebilah pedang.
Penunggang kuda itu tak lain Lara Kanti. Kuda hitam itu terus dipacunya dengan kencang. Derap kaki kuda terus melaju, bagai tak menghiraukan jalan naik turun yang hams dilaluinya. Bukit dan lembah terus ditelusurinya dalam kecepatan tinggi. Seakan-akan dirinya harus segera mencapai suatu tempat tujuan. Matahari pun sudah agak meninggi menghantarkan hawa panas di tubuh.
"Herrr...! Hop...!" Kuda hitam itu berhenti. Lara Kanti menyapu keadaan sekeliling tempatnya. Sepi, tiada tanda-tanda seorang manusia yang tinggal di tempat gersang itu.
Perlahan kudanya kembali dijalankan. Mata dan telinga wanita bercaping lebar itu terus dipasang dengan kewaspadaan. Wajahnya menoleh ke sana kemari mencoba mengawasi sekitar tempat itu.
"Hm...." Lara Kanti menggumam tak jelas. Lalu tersenyum sinis. Seolah-olah hatinya tahu kalau ada suara tak jauh dari tempatnya.
Namun Lara Kanti seakan tak menghiraukan.
Bahkan tiba-tiba tangannya menghentakkan tali kendali, hingga melesatlah kuda hitam dan besar itu meninggalkan tempat gersang. Namun ketika sampai di dataran luas dan berbatu-batu, tiba-tiba bermunculan sepuluh sosok lelaki berpakaian rompi hitam dan ber-senjatakan golok di tangan. Kesepuluh lelaki yang mengenakan ikat kepala dan celana juga berwarna hitam itu langsung bergerak mengepung Lara Kanti. Kuda yang ditunggangi seperti terkejut, dan meringkik seraya mengangkat kedua kaki depannya. Kesepuluh lelaki gagah berpakaian rompi itu berlompatan mundur sambil mengibas-ngibaskan golok mereka, untuk menghindari terjangan kaki kuda. Lalu kembali mengepung Lara Kanti yang masih duduk di punggung kudanya. Namun tiba-tiba melesat sesosok bayangan dari atas sebuah pohon besar tak jauh dari tempat Lara Kanti dan kesepuluh lelaki yang menghadangnya. Sosok bayangan itu mendarat lima tombak dari tempat Lara Kanti masih memegangi tali kendali kudanya.
Ternyata sesosok lelaki bertubuh tinggi dan besar. Dadanya yang tanpa tertutup pakaian memperlihatkan bulu-bulu tebal. Tangan kanannya berkacak pinggang, sedangkan tangan kiri memilin-milin kumisnya yang tebal melintang.
"Ha ha ha...! Rupanya ada yang mau mengantar nyawa di siang hari bolong ini. Hei, siapa kau berani memasuki daerahku..."!" bentak orang yang dikenal dengan nama Gaek Weling, sesuai dengan ikat kepalanya dari kulit ular weling atau ular belang. Wajahnya nampak memerah seperti tengah mabuk oleh arak.
Matanya yang bengis terhias alis tebal hampir menyatu. Serta rambutnya yang dibiarkan tergerai, menambah seram penampilan lelaki berusia empat puluh tahunan itu. Melihat dan mendengar suara lelaki yang ada di hadapannya, Lara Kanti hanya tersenyum sinis. Tubuhnya melompat dari punggung kudanya, lalu melangkah dua tindak berhadapan dengan Gaek Weling.
"Siapa diriku adanya, kau tak perlu tahu. Dan apa urusanmu melarang orang yang memasuki daerah ini..."!" Suara Lara Kanti terdengar ketus. Matanya menatap tajam pada Gaek Weling.
"Weleh, weleh...! Edan perempuan ini berani menatapku demikian. Ha ha ha...! Rupanya kau ingin mencari mampus!" kata Gaek Weling sambil menuding wajah Lara Kanti.
"Kau belum kenal dengan Gerombolan Serigala Merah! Tangkap dia...!" seru Gaek Weling kemudian.
"Habisi perempuan itu...!"
"Heaaa...!" Segera sepuluh anak buah Gaek Weling melesat dengan teriakan nyaring, menyerang Lara Kanti atau si Penunggang Kuda Iblis.
Namun Lara Kanti nampak begitu tenang. Hanya matanya yang tajam terus mengawasi para penyerangnya. Dan ketika lima orang yang berada di depan sudah berada pada jangkauan pedangnya, Lara Kanti tiba-tiba mencabut pedangnya. Dengan sekali gebrakan, babatan dalam jurus 'Pedang Mata Iblis'nya telah membuat kelima anak buah Gaek Weling bergelimpangan. Perut mereka terbabat hingga terburai ususnya.
Namun tak hanya sampai di situ. Wanita berpakaian compang-camping mirip gembel itu terus memutar dan menebaskan pedangnya. Hingga sesaat kemudian lima orang lainnya telah menyusul dengan tubuh berlumuran darah dari perut dan dada karena tersambar pedang. Gaek Weling tersentak dan membelalakkan mata.
Lelaki yang tadinya merasa di atas angin, seketika wajahnya yang seram dengan kumis melintang tebal, berubah tegang dan pucat.
"Hah..."!" gumamnya tak jelas, "Aku pernah dengar dan lihat jurus pedang itu...!" Gaek Weling seperti bicara pada diri sendiri. Pikirannya yang diliputi rasa takut berusaha mengingat-ingat jurus yang baru saja dikeluarkan Lara Kanti.
"Ayo, cepat maju! Kukirim kau ke neraka! Kenapa kau diam"! Bukankah tadi akan mengirimku ke neraka...?" ejek Lara Kanti, lalu melangkah mendekati Gaek Weling yang masih terkesima dengan jurus Lara Kanti yang pernah ia kenal.
"Hm,.., tunggu! Sebelum kita bertarung, jelaskan dari mana asalmu dan bagaimana kau bisa mempela-jari jurus 'Pedang Mata Iblis' itu?" tanya Gaek Weling dengan suara agak gemetaran.
Lara Kanti mengerutkan kening dengan pertanyaan yang diajukan oleh Gaek Weling. Orang yang tadinya bernafsu menantang dan ingin membunuhnya.
"Untuk apa kau tanyakan hal itu" Hm..., tapi bagaimana kau tahu jurus 'Pedang Mata Iblis' yang kumiliki...?" Lara Kanti balik bertanya pada Gaek Weling.
"Itulah sebabnya. Kukira kita satu guru dan memiliki satu niat yang sama...," kata Gaek Weling kemudian.
"Satu guru..." Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Lara Kanti masih belum mengerti. Keningnya tampak berkerut sedangkan matanya menatap tajam Gaek Weling, sepertinya ingin menyelidik dan menimbang ucapan lelaki bertubuh besar itu.
"Jurus 'Pedang Mata Iblis', hanya dimiliki Ki Guru Rawantula, kakak dari Tempurung Sakti...," kata Gaek Weling mencoba memberi keterangan pada Lara Kanti. Mendengar nama paman dan ayahnya disebut Lara Kanti, kembali mengerutkan kening dan bertanya lagi.
"Sebenarnya siapa dan apa maksudmu tadi ingin membunuh" Lalu di mana Kisanak mengenal Paman Guru serta Tempurung Sakti..?" Gaek Weling tak langsung menjawab. Dihelanya napas dalam-dalam, baru kemudian kembali berkata.
"Panjang ceritanya. Dan yang paling penting, ketika kudengar saudara seperguruanku, Tempurung Sakti mati di tangan Pendekar Gila. Saat itu aku merasa sangat terpukul hingga ingin menuntut balas...." Lara Kanti kini semakin mengerutkan kening sambil terus menatapi wajah Gaek Weling, seakan menyelidik akan kebenaran ucapan Gaek Weling.
"Kenapa ketika Tempurung Sakti terbunuh, Kisanak tidak segera datang menurut balas...?" tanya La-ra Kanti.
"Itulah yang kusesalkan. Saat itu sifat buruk masih kuat menguasai diriku. Aku merampok dan membunuh, serta menodai gadis-gadis desa. Aku tertangkap prajurit Kadipaten Palasari, dan dimasukkan ke penjara bawah tanah selama lima tahun! Aku tak dapat berbuat apa-apa," tutur Gaek Weling menjelaskan.
"Aku hanya menyimpan surat dari Tempurung Sakti yang dititipkan seseorang anak buahnya. Dalam su-ratnya, aku diminta menemukan anak gadis satusatunya yang bernama...." Belum sempat Gaek Weling meneruskan ucapannya, Lara Kanti dengan cepat mengambil surat yang berada di tangan Gaek Weling, dengan ujung pedangnya. Lalu segera mengamati dan membacanya.
Seketika wajah Lara Kanti yang ada di balik caping lebar itu nampak berubah sedih. Perlahan gadis itu membuka caping. Sementara itu, Gaek Weling masih merasa heran dan bingung. Keningnya berkerut mengamati Lara Kanti, ketika melihat bahwa yang ada di hadapannya ternyata seorang wanita muda yang cukup cantik. Matanya yang tajam dan bening menyiratkan kekerasan jiwanya. Meskipun pakaian yang dikenakan compang-camping dan kumal, mampu mengingatkan Gaek Weling pada Tempurung Sakti, sahabatnya.
"Kau..."!" Gaek Weling tersentak kaget "Akulah Suriah...! Tapi kini paman guru memberiku nama Lara Kanti," ujar gadis cantik itu dengan suara mantap, namun agak lemah. Wajahnya yang sedih sudah mulai hilang. Tatapan matanya tetap tertuju pada Gaek Weling, yang ternyata sahabat ayahnya.
"Oh.... Jagad Dewa Batara...! Kau telah mempertemukan aku dengan orang yang kucari! He he he....
Jadi kau putri sahabatku itu?" tanya Gaek Weling dengan wajah gembira. Seakanakan tak mempermasalahkan kematian kesepuluh anak buahnya.
Gaek Weling lalu mengulurkan tangan dan Lara Kanti menjabatnya.
"Maafkan, aku telah membunuh anak buahmu...!" ujar Lara Kanti bernada sesal.
"Tak apalah. Sebaiknya kita segera pergi dari tempat terkutuk ini. Mari, sama-sama mencari Pendekar Gila...!" ajak Gaek Weling.
"Kalau begitu, marilah sama-sama naik kudaku, biar lebih cepat...," kata Lara Kanti sambil menuju kudanya.
"Tak usah, aku juga membawa kuda...," jawab Gaek Weling. Lalu menepukkan telapak tangannya tiga kali, maka seekor kuda berwarna coklat dan belang putih di kepalanya muncul mendekati Gaek Weling Lara Kanti yang melihat itu tersenyum, lalu segera menghentakkan tali kekang kudanya. Gaek Weling pun melakukan hal yang sama. Kedua kuda itu berjalan berdampingan menuju ke timur.
"Lara..., sebaiknya kita berpisah, agar sepak ter-jangku bisa leluasa. Jika terus bersamamu, orang akan tahu bahwa aku ada di pihakmu. Tapi aku tak akan jauh darimu. Berpura-puralah seakan kita tak saling mengenal! Aku akan mengikutimu dari jarak tertentu. Bagaimana, setuju...?" usul Gaek Weling tiba-tiba. Lara Kanti melirik wajah Gaek Weling.
Lalu kembali memandang ke depan.
"Usul yang bagus..," jawab Lara Kanti singkat.
Kemudian segera menggebah kudanya lebih kencang.
Kini kuda Gaek Weling berada belasan tombak di belakang Lara Kanti.
:::┌┘¦ 6 ¦└┐:::
Angin pagi bertiup semilir, bersama sinar mentari yang bergerak lamban di kaki langit sebelah timur. De-sau angin lembut, senandung burung dan kokok ayam jantan, menyatu dalam satu irama tertentu.
Di kejauhan nampak seorang pemuda tampan berpakaian rompi dari kulit ular tengah duduk bertengger di sebuah cabang pohon besar Pemuda berambut gondrong yang tak lain Sena tampak tengah menyenandungkan sebuah nyanyian dengan tiupan Suling Naga Sakti-nya. Namun tiba-tiba suara merdu suling itu terhenti.
"Ah ah ah...! Kenapa tiba-tiba aku mengkhawatirkan keadaan Mei Lie" Semoga tugas yang dilakukan berjalan lancar...!" gumam Sena lirih, seperti bicara pada diri sendiri.
Mulutnya tampak cengengesan, sambil menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila terus menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Tubuhnya sudah melompat dari atas pohon. Kini tampak tengah melompat-lompat dari batu satu ke batu lainnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya beredar ke sekeliling tempat yang ditumbuhi pepohonan hijau menggapai cakrawala.
"Hi hi hi...!" Sena tiba-tiba tertawa, sambil terus menggaruk-garuk kepala, ketika telinganya menangkap suara kaki menginjak daun kering. Dengan acuh sambil terus cengengesan, pemuda tampan bertingkah laku seperti orang gila itu justru duduk bersila di atas tanah berumput. Tangannya menggarukgaruk ketiaknya, seperti monyet. Lalu diam seperti merenung.
Matanya memandangi kejauhan dengan mulut masih terus cengengesan.
"Aha! Rupanya ada yang tidak senang aku beristirahat di alam yang bebas ini.... Lucu, hi hi hi,..!" ucap Sena sambil terus menggaruk-garuk kepala.
Swing! Swing! Tiba-tiba belasan senjata rahasia melesat memburu Pendekar Gila yang masih duduk bersila itu.
"Aha, benar juga dugaanku! Ada orang yang ingin mengajak bermain-main denganku," seru Sena sambil melenting dan berjumpalitan di udara. Bersamaan dengan itu, segera dihantamkan pukulan 'Inti Bayu' ke arah belasan benda yang meluncur ke tubuhnya.
"Hi hi hi...! Ini mainan kalian kukembalikan! Heaaa...!" Wusss! Srats! Seketika serangkum angin menderu kencang, menghantam senjata rahasia itu.
Swing! Swing...! Crab! Crab...! "Aaakh...!" Dari balik semak-semak yang jaraknya sekitar lima belas tombak, terdengar jeritan kematian. Kemudian tampak empat orang dengan wajah ditutupi kain ungu mengerang. Leher mereka tertancap senjata rahasia yang tentunya milik mereka sendiri. Kemudian tubuh mereka ambruk dan mati.
"Hi hi hi...! Orang-orang ini lucu sekali. Hi hi hi..!" kata Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Tangkap dia...!" Dari balik semak-semak belukar, terdengar teriakan seseorang memerintah pada anak buahnya. Sekejap kemudian telah bermunculan lima belas orang berpakaian ungu dengan wajah tertutup kain ungu pula.
Mereka langsung mengurung Pendekar Gila yang masih tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi! Ha ha ha...! Dari mana kunyuk-kunyuk ini...!" seru Sena kemudian.
"Kurang ajar! Cepat tangkap dan bunuh dia...!" seru pemimpin orang-orang berpakaian serba ungu.
"Hiaaa...!"
"Heaaa...!"
"Haits...! He he he...!" sentak Sena sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan.
"Mampus kau, Pemuda Edan...!" teriak pemimpin para penyerang sambil menebaskan goloknya ke kepala Sena.
"Hancur kepalamu, Gila...!" Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena menghindari setiap serangan yang datang. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali tangannya bergerak seperti menepuk ke dada lawan.
"Heaaa...!"
"Eits! Hih...!" Degkh! "Aaa...!" Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila. seketika memekik. Tubuhnya terlontar ke belakang, melayang laksana terbang. Tubuh orang itu baru berhenti, ketika menabrak sebatang pohon besar.
Srak! "Aaakh...!" Bluk! Kontan saja orang itu menjerit-jerit. Tubuhnya mengejang. Kain penutup wajahnya bersimbah darah segar, karena kepala orang itu pecah akibat benturan keras dengan batang pohon besar tadi. Hutan yang semula sunyi dan sepi, seketika terpecah oleh suara pekikan dan jerit kematian. Banyak pohon yang tumbang terhantam pukulan mereka.
Rumput-rumput yang mulanya segar menghijau, berserakan terinjak-injak. Binatang-binatang penghuni hutan itu pun seketika berlarian ketakutan.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggarukgaruk kepala. Lalu tertawa-tawa.
"Hi hi hi...! Aha! Siapa yang ingin hadiah dari-ku...?" tanya Sena sambil cengengesan dan bertingkah seperti orang gila.
Pemimpin orang-orang bertutup muka itu berteriak keras memerintahkan anak buahnya agar menyerang Pendekar Gila.
"Ayo kurung...! Bunuh... pemuda gila itu! Cincang dia...!" Pendekar Gila masih cengengesan dari menggaruk-garuk kepala, ketika melihat belasan lawan me nyerang dengan membabatkan golok masing-masing.
Namun, dengan cepat Sena kembali bergerak mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat. Tubuhnya dibungkukkan ke bawah. Tetap dengan mulut cengengesan.
"Eits! He he he...," Pendekar Gila tertawa terke-keh-kekeh sambil menggarukgaruk kepala. Pantatnya sengaja ditunggingkan ke arah orang-orang itu, membuat mereka geram dan marah.
"Kurang ajar...!" Dua orang membabatkan goloknya ke pantat Pendekar Gila. Wut! Wut! "Heaaa...!"
"Eee..., jangan main pantat! Jorok...! Hi hi hi...!" ejek Sena sambil mengelak mengegos ke kiri dan kanan. Lalu melenting ke atas, dan kembali mendarat di belakang belasan orang yang menyerangnya.
"Hei, aku di sini! Kemari..!" teriak Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Orang-orang yang mengeroyok cepat berbalik dan serentak memburu Pendekar Gila.
Kali ini Pendekar Gila tampaknya tak ingin lamalama menghadapi orang-orang itu. Maka tanpa membuang-buang waktu dihentakkan kedua tangannya.
Seketika segulungan angin kencang melesat bagi topan. Wusss...! Bruk! "Wua!"
"Aaa...!" Kesepuluh lelaki berpakaian ungu yang tengah memburu Pendekar Gila kontan berpentalan terhantam angin pukulan 'Inti Bayu'. Mereka berteriak-teriak kesakitan, karena tempat jatuh mereka terdiri dari tanah berbatu-batu. Tanpa ampun lagi, kesepuluh lelaki bergolok itu tak mampu bangun lagi "Hi hi hi...! Rasakan kalian, Kunyuk!" Pendekar Gila cengengesan sambil garukgaruk kepala. Lalu menjulurkan lidahnya mengejek lelaki bertelanjang dada pemimpin kesepuluh penjahat itu.
"Kurang ajar...! Minggir! Biar kuhadapi orang gila ini!" seru Somakarta kalap, merasa lawannya terlalu berbahaya bagi para anak buahnya. Apalagi dilihat kesepuluh anak buahnya sudah tak bisa bangun lagi, karena menderita luka dalam akibat pukulan jarak jauh yang dilancarkan Pendekar Gila.
Dengan cepat Somakarta melabrak maju. Matanya yang nampak dari lubang di kain penutup wajah, melotot garang menatap Pendekar Gila yang masih cengengesan dan menggarukgaruk kepala.
"Sudah kuduga sejak tadi, bahwa kaulah Pendekar Gila!" kata Somakarta sambil mencabut golok dari sarungnya. Lalu sambil menuding Sena dengan goloknya Somakarta berkata lagi, "Aku sengaja mencarimu dan ingin menantangmu, Pendekar Kondang...!"
"Hi hi hi..., lucu sekali! Mengapa kau menantangku, Kisanak" Rasanya aku tak pernah berbuat salah padamu," sahut Sena sambil terus menggarukgaruk kepala dan cengengesan.
"He he he..., tentu saja untuk mengalahkanmu, Anak Gila. Aku ingin namaku kesohor! Sehingga tak ada lagi orang yang berani menghalangi maksudku..! Aku akan berkuasa, serta bebas berbuat apa saja...! Ha ha ha.... Heaaat...!" Selesai berkata begitu, Somakarta melesat menyerang Pendekar Gila. Dengan jurus 'Serigala Menerkam Mangsa', tangannya bergerak cepat, membabat dan menusukkan goloknya ke tubuh lawan.
Pendekar Gila segera merundukkan tubuh, kemudian melompat mundur mengelakkan tusukan golok Somakarta. Wut! Wut! "Eit...! Hi hi hi...! Heaaa...!" Tiba-tiba secepat kilat Pendekar Gila balik menyerang dengan sebuah tendangan kaki kirinya. Seketika Somakarta tersentak kaget, karena tidak menduga sama sekali serangan balik Sena yang begitu cepat.
Bergegas, serangan berikutnya segera ditarik. Namun tubuhnya yang sudah melayang ke depan sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang. Sehingga....
Degkh! "Uaaakh...!" Tubuh Somakarta terlontar ke depart, lalu tersuruk dan mencium tanah.
Sena tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak melihat lelaki berpakaian ungu itu meringis kesakitan.
Setelah itu tangan kanannya menepuk-nepuk pantat dengan mulut cengengesan. Ketika melihat Somakarta tampak begitu marah dan geram. Pendekar Gila justru bertepuk tangan sambil terus tertawa-tawa.
"Bedebah! Kurang ajar...!" dengus Somakarta bertambah murka, menyaksikan tingkah Pendekar Gila yang kian menjengkelkan itu.
"Kau memang tak bisa dikasih hati, Bocah Gila! Heaaa...!"
"Hi hi hi..! Heaaa...!" Anak buah Somakarta yang masih tersisa lima orang, langsung ikut menyerbu dengan babatan dan tusukan golok ke tubuh Pendekar Gila. Mereka nampaknya bernafsu sekali untuk segera menghabisi pendekar yang bertingkah laku konyol itu.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gila bukan merasa takut. Bahkan tingkahnya semakin aneh dan konyol. Mulutnya cengengesan sambil menepuk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk kepala, kaki melompat-lompat persis kera. Namun kemudian tubuhnya segera meliuk-liuk ke sana kemari, mengelakkan setiap serangan lawan. Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Tangannya dengan gerakan pelan dan lemah gemulai menepuk dan menangkis serangan lawan.
"Heaaa...!" Plak! "Aaauw...!" Suara pekikan panjang terdengar dari salah seorang pengeroyok, ketika pukulan telapak tangan Pendekar Gila mendarat di dadanya. Tubuh lelaki berpakaian serba ungu itu terlontar ke belakang hingga menerjang sebatang pohon besar. Kepala pecah, menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Pendekar Gila kini bergerak cepat meliuk dan menepuk. Tidak hanya jurus 'Si Gila Menarik Menepuk Lalat', bahkan dipadu pula dengan jurus yang semakin membuat lawan kalang kabut.
Jurus 'Si Gila Menyapu Kabut'. Wusss...! Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar angin deras menghantam ke arah lawan. Para pengeroyok seketika terdorong keras ke belakang. Bahkan pakaian Somakarta terlepas. Karuan saja hal itu membuat dirinya kelabakan dan segera menutupi kemaluannya dengan kedua tangan. Wajahnya merah karena malu. Dirinya kini tak dapat berbuat apa-apa. Sementara anak buahnya yang tinggal dua orang ikut terbengong dan tersenyum-senyum.
Sementara itu Pendekar Gila pun tertawa terbahak-bahak merasa geli. Tubuhnya terguncang-guncang dengan sesekali menepuk-nepuk kepalanya dengan tangan kanan.
"Pergiii...!" seru Somakarta memerintahkan kedua anak buahnya yang masih hidup.
"Pendekar Gila, kali ini aku kalah. Tapi lain waktu akan kubuat kau ma-lu...!" sebelum lari lelaki setengah baya itu masih sempat memungut pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.
Sena tertawa-tawa melihat Somakarta dan dua orang anak buahnya lari tunggang langgang. Dan lagi pula sebenarnya Somakarta pun telah mengalami luka dalam, ketika pukulan Pendekar Gila sempat mendarat telak di dadanya. Karena itulah Somakarta memilih la-ri, setelah dibuat malu dengan telanjang.
***
Namun suasana sejuk siang ini tidak seperti biasanya. Di antara pepohonan kelapa tampak dua sosok tubuh saling berhadapan. Yang satu seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan bertelanjang dada. Tampak bulu tebal di dadanya yang bidang. Matanya yang tajam menatap nanar pada sesosok wanita berpakaian compang-camping. Tampaknya mereka baru saja melakukan pertarungan. Hal itu dapat dilihat dari pepohonan kecil yang berserakan seperti bekas terinjakinjak atau terkena terjangan pukulan keduanya.
"Hei! Tunggu...! Kenapa kau menyerangku..."!" tanya lelaki berkumis melintang itu yang ternyata Gaek Weling. Matanya terbelalak menyiratkan perasaan heran, mengapa wanita bercaping lebar itu menyerangnya.
"Kau pasti Pendekar Gila, atau paling tidak kawannya! Maka itu aku harus membunuhmu...!" ujar wanita yang berpakaian gembel itu. Gaek Weling belum juga dapat menduga siapa sebenarnya wanita berpakaian kumal dengan celana warna hitam itu. Dirinya masih diam tak segera menjawab pertanyaan wanita itu.
Namun tiba-tiba hatinya merasa yakin kalau wanita itu bukan Lara Kanti, murid Ki Warantala. Karena wanita bercaping lebar dari daun pandan itu tiba-tiba kembali melakukan serangan, Gaek Weling melompat menghindar. Yang lebih membuatnya heran, ketika mendengar pertanyaan wanita itu, bahwa dirinya dikira teman Pendekar Gila.
"Tunggu...! Kita bisa berbicara sebentar...!" ujar Gaek Weling sambil berusaha menghindari serangan lawan, dengan melompat hingga beberapa langkah.
Rupanya wanita muda yang berpakaian gembel itu bisa mengerti, dihentikan serangannya. Lalu menatap tajam, dari balik capingnya, "Apa maumu..."!" tanya wanita gembel bersenjata pedang itu.
"Begini, kalau memang kau juga bermaksud menantang dan membunuh Pendekar Gila, kita bisa bekerja sama melawannya. Kita bersatu untuk melawannya. Bagaimana...?" usul Gaek Weling membujuk orang yang mirip dengan Lara Kanti.
"Hm...! Enak saja kau! Aku ingin membunuh Pendekar Gila seorang diri, karena dendamku atas kematian saudara dan orangtua ku," sahut wanita berpakaian gembel itu ketus.
"Bagaimana mungkin kau bisa melawan Pendekar Gila seorang diri. Kau akan sia-sia saja. Percayalah..., kalau kau dan aku bersatu, Pendekar Gila tak akan mampu menghadapi kita. Walaupun aku belum tahu betul kemampuanmu. Tapi melihat permainan pedangmu yang lincah dan mantap, aku yakin kau bukan orang sembarangan...," kata Gaek Weling sedikit memuji wanita yang berdiri di hadapannya.
"Heh.. hi hi hi...! Kau rupanya pintar mengambil hati orang. Baiklah, tapi aku ingin tahu. Kau sendiri untuk apa mau menantang dan membunuh Pendekar Gila?" tanya wanita berpakaian gembel itu.
"Ha ha ha, kau rupanya masih tak mengerti. Sama seperti yang kau alami. Balas dendam! Namun bukan sanak saudaraku yang dibunuh oleh Pendekar Gila, melainkan kawanku. Dan kini saatnya aku harus menurut balas...!" jawab Gaek Weling dengan suara parau.
Wanita berpakaian gembel dan bercaping lebar itu menghela napas dalam-dalam.
"Hhh...! Siapa kawanmu itu...?" tanya wanita bercaping lebar itu.
"Kurasa kau tak perlu tahu. Sudahlah sebaiknya kau terima tawaranku. Kita akan dikenal dan disegani, bahkan bakal jadi penguasa rimba persilatan. Ha ha ha...!" kata Gaek Weling merasa yakin kalau orang yang diajak bersatu itu akan menerima tawarannya.
"Ha ha ha...!" wanita itu tertawa, namun terasa hambar. Lalu dengan pedangnya ia menuding Gaek Weling yang masih tertawa terbahak-bahak "Hai...! Kau! Tawaranmu memang masuk akal. Tapi aku tak mau ada jago lain di sisiku. Jadi, maksudmu itu tak bisa kuterima, Kisanak! Hhh... kini aku ingin menantang, sekaligus membunuhmu, agar dapat membunuh Pendekar Gila seorang diri."
"Heh"!" Gaek Weling tersentak kaget mendengar jawaban wanita gembel itu. Dugaannya meleset. Sebenarnya Gaek Weling mempunyai maksud jahat, akan memperalat wanita itu sebagai umpan. Namun dirinya tak ta-hu siapa sebenarnya wanita berpakaian gembel seperti Lara Kanti itu.
"Baiklah. Aku siap menghadapimu. Tapi sebelumnya lebih baik kau pikir dulu. Apakah kau tak menyayangi dirimu, kalau nanti aku sampai membunuhmu" Lebih baik kita bersatu. Aku akan memberikan kenikmatan batin padamu...!"
"Mulutmu kotor, perlu dibersihkan...!" selesai berbicara begitu, wanita itu melesat menyerang Gaek Weling.
"Yeaaat..!"
"Heaaa...!" Melihat lawan juga melesat memapakinya, wanita itu segera mengubah serangannya. Tubuhnya melenting ke atas, dengan tangan membabatkan pedang ke tubuh lawan. Namun Gaek Weling cepat mengelak dengan merunduk dan bergulingan di tanah.
Dengan berdiri tegap sambil menatap lawannya, wanita bercaping lebar daun pandan itu memainmainkan pedang, gerakannya cepat. Sementara itu Gaek Weling masih diliputi rasa terkejut Dengan kening berkerut ditatapnya wajah wanita itu.
Gaek Weling kemudian menggerakkan kedua tangannya, membuat jurus 'Pukulan Pelebur Sukma'.
Gerakan kedua tangannya begitu cepat. Sementara kedua kakinya pun tak tinggal diam, terus bergerak dengan kuda-kuda yang mantap.
"Heaaa...!" Melihat lawan telah melesat menyerang, wanita itu segera menggeser kaki kanan agak membuka. Ditekuknya kaki kiri membentuk siku. Tangan kiri digerakkan ke atas, lalu ditarik ke bawah dan dilecutkan di depan dada. Sedangkan pedang di tangannya dis-abetkan miring ke samping, lalu ditarik lurus di depan dada. Kemudian, dilanjutkan dengan gerakan memutar di depan tubuh. Disambung lagi dengan gerakan bersamaan antara pukulan tangan kiri dan tebasan pedang.
"Heaaa...!" Wut! Wut.! "Hah..."!" Gaek Weling tersentak kaget dengan matanya terbelalak lebar. Kemudian bergumam, "Jurus Pedang...".'" Belum habis Gaek Weling mengingat jurus pedang yang dilancarkan lawannya. Tiba-tiba....
"Yeaaa...!" Wut! Plak! "Ukh!" Gaek Weling mengeluh. Cepat-cepat tubuhnya dilontarkan ke belakang, menghindari dari tusukan pedang lawan yang cepat dan ganas. Merasa jurus 'Serigala Melebur Sukma' tak mampu menandingi ilmu pedang lawan, Gaek Weling cepat mencabut goloknya yang berukuran panjang seperti pedang. Dengan gerakan cepat lelaki bertubuh besar itu menyerang sambil melompat, dibarengi dengan babatan golok dan tusukan ke tubuh lawan. Namun wanita yang belum diketahui siapa sebenarnya itu, tak tinggal diam. Dengan cepat memapaki serangan Gaek Weling.
"Heaaa...!"
"Yeaaa....'" Keduanya sama-sama melesat untuk melakukan serangan dengan senjata masing-masing.
Trang! Trang! Degkh! Wret! "Ukh...!" Gaek Weling terhuyung dan rambutnya sempat terbabat pedang lawan, hingga rontok. Sedangkan goloknya telah patah menjadi dua bagian, setelah saling berbenturan dengan senjata lawan. Tiba-tiba Gaek Weling ingat akan pedang di tangan lawannya. Tubuhnya segera mundur tiga tombak ke belakang, sambil membuka jurus baru.
"Hanya Bidadari Pencabut Nyawa pemilik pedang pusaka yang dapat mematahkan golok pusakaku.
Apakah wanita ini Bidadari Pencabut Nyawa" Atau saudara seperguruannya" Tak mungkin! Hanya ada satu Bidadari Pencabut Nyawa...!" gumam Gaek Weling dalam hati, bertanya-tanya pada diri sendiri. Wajahnya mulai tegang. Dan ternyata benar. Lawan yang sedang dihadapi Gaek Weling tak lain Mei Lie, kekasih Sena atau Pendekar Gila. Gadis itu menyamar menjadi gembel, bermaksud untuk menyelidiki sepak terjang si Penunggang Kuda Iblis.
"Ha ha ha.... Kini giliran nyawamu, Iblis....'" dengus wanita yang ternyata Mei Lie. Digerakkan Pedang Bidadari-nya yang mampu mengeluarkan sinar kuning kemerahan-merahan. Membuat keadaan di sekitar itu menjadi bertambah terang.
"Benar juga dugaanku, dia ternyata Si Bidadari Pencabut Nyawa...!" gumam Gaek Weling. Matanya membelalak lebar memandangi pedang di tangan kanan Mei Lie.
"Kepalang basah...! Heaaa...!" Gaek Weling nekat, dia kembali menyerang. Pukulan sakti yang dimilikinya dikerahkan habishabisan. Tangannya kini berubah jadi ungu kehitaman. Kuku-kukunya berubah panjang dan runcing, serta mengandung racun.
Menyaksikan Gaek Weling melakukan serangan, secepat kilat Mei Lie memapakinya dengan jurus 'Pukulan Bidadari Menjebol Benteng'.
"Hiaaat..!" Wret! Wret! Tangan Gaek Weling yang berkuku tajam bergerak cepat menyambar-nyambar wajah dan bagian tubuh yang mematikan.
"Heaaa...!" Tubuh Mei Lie melayang dengan tangan kiri terkepal memukul lurus ke kepala Gaek Weling. Sedangkan pedang di tangan kanannya membabat ke tangan lawan. Matanya terpejam dan gerakan pedangnya nampak aneh. Terlihat pelan dan lambat, namun sesungguhnya gerakan itu mengandung kekuatan yang luar biasa. Itulah jurus 'Pedang Tebasan Batin', jurus pamungkas yang sangat ampuh dan mematikan.
Gaek Weling yang sudah mata gelap, tak menghiraukan apa yang akan terjadi. Dirinya yakin kalau pukulan saktinya akan mampu meremukkan tubuh Mei Lie. Tubuhnya masih melesat cepat, dengan tangan bergerak bergantian.
"Heaaa...!"
"Hiaaa..!" Keduanya kembali sama-sama berteriak kuat, melancarkan serangan.
Wut! Srat! "Aaakh...!" Dari mulut Gaek Weling terdengar jeritan panjang, ketika pedang lawan membabat tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri Mei Lie yang berisi 'Pukulan Bidadari Menjebol Benteng' menghantam telak dadanya. Dugkh! "Uaaakh...!" Gaek Weling terjengkang ke belakang. Tubuhnya perlahan bangkit dengan sempoyongan. Namun tibatiba lelaki bertubuh besar dan bertelanjang dada itu tampak terkejut, ketika mengetahui tangan kanannya yang tersambar pedang tetap utuh, tanpa luka....
Mei Lie terdiam sesaat, mengatur pernapasan setelah mengerahkan tenaga dalam. Matanya memperhatikan lawan yang kelihatan pucat, dengan kening berkerut Gaek Weling tak mengerti mengapa tangannya masih utuh. Padahal tadi dilihatnya terbabat pedang wanita gembel itu.
Meskipun dari sela-sela bibirnya mengalir darah, karena luka dalam akibat pukulan lawan, Gaek Weling tampaknya tak peduli. Merasa tangannya yang terbabat tak mengalami cidera, lelaki bertubuh besar itu langsung melancarkan serangan. Namun baru dua tindak bergerak, mendadak tangan kanannya retakretak, lalu berhamburan menjadi debu.
"Hah..."! Aaa.... Akh, tidaaak...!" pekik Gaek Weling ketakutan. Matanya membesar nyaris keluar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Mei Lie hanya tersenyum sinis menyaksikan ketakutan Gaek Weling.
"Kini aku akan mencabut nyawamu, Orang Bodoh! Bersiaplah!" ancam Mei Lie. Lalu dengan cepat, pedangnya digerakkan kembali. Gaek Weling yang masih tak percaya, antara sadar dan tidak melihat tangan kanannya jadi debu. Wajahnya semakin pucat dan ketakutan. Dia telah merasakan kehebatan ilmu pedang lawannya. Gaek Weling bermaksud untuk kabur, tapi dengan cepat Mei Lie telah menghadangnya.
"Kau tak akan bisa lepas begitu saja, Manusia Busuk!"
"Hah..."! Ampun..., ampuni aku! Jangan bunuh aku! Aku akan menurut semua perintahmu.... Tapi siapa kau sebenarnya...?" Gaek Weling meratap sambil gemetaran dan meringis menahan perih dan sakit.
Mei Lie tak menjawab. Matanya masih menatap tajam wajah Gaek Weling yang meratap, minta ampun padanya.
"Hm.... Kali ini kuampuni. Tapi jangan sekali-kali berbicara besar, dan ingin memperdaya Dewi Bayangan Kabut! Sekarang cepat pergi...!" bentak Mei Lie.
Gaek Weling mengangguk-anggukkan kepala sambil menggumam lirih.
"Dewi Bayangan Kabut.." Baru kali ini aku dengar nama itu. Tapi jurus pedang yang dia miliki seperti si Bidadari Pencabut Nyawa. Hhh.... Siapa pun dia aku tak peduli...!" Gaek Weling bangkit berdiri. Namun ketika Mei Lie lengah, dengan sisa-sisa tenaganya, lelaki berambut panjang itu melepaskan pukulan ke tubuh Mei Lie yang membelakanginya.
"Hiaaa...!" Mei Lie bukan orang sembarangan. Dirinya sudah menduga tindakan yang akan dilakukan Gaek Weling. Maka dengan cepat dibuang tubuhnya ke samping dan bersalto beberapa kali, sambil membabatkan pedangnya ke tubuh lawan.
"Rupanya kau lebih suka mampus, Manusia Licik! Heaaa...!" Wut! Sret! "Aaauw...!" Gaek Weling kembali memekik, ketika pedang Mei lie menebas tangan kirinya. Dan seperti kejadian sebelumnya, tangan kirinya sedikit pun tak mengalami luka. Namun ketika angin bertiup, tangan yang telah berubah menjadi debu itu berhamburan.
Belum habis kengerian Gaek Weling, Mei Lie yang sudah tak bisa menahan amarah, langsung menyabetkan pedangnya secara menyilang, dan menebas tubuh Gaek Weling.
Cras! Cras! "Aaakh...!" Terdengar jeritan Gaek Weling dalam satu lengkingan panjang. Matanya membeliak. Sesaat tubuhnya mematung di tempat itu, namun kemudian lebur jadi debu! Mei Lie menghela napas panjang seraya tersenyum.
"Rupanya yang menginginkan kematian Kakang Sena cukup banyak. Aku harus segera mencari si Penunggang Kuda Iblis itu, sebelum bentrok dengan Kakang Sena...!" gumam Mei Lie kemudian. Lalu tubuhnya melesat pergi dari tempat itu. Dari gerakannya yang begitu cepat, jelas kalau gadis Cina itu, kekasih Pendekar Gila yang menggunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Sehingga dalam waktu yang singkat saja, tubuhnya yang terbungkus pakaian kumal telah melesat puluhan tombak menuju arah barat.
***
:::┌┘¦ 7 ¦└┐:::
Pendekar Gila melangkah menelusuri jalanan di tengah Bukit Parangkan. Tiba-tiba telinganya mendengar suara pertarungan di kejauhan. Didengar dari suaranya, jelas ada beberapa orang yang terlibat pertarungan di balik bukit di sebelah timur itu.
"Heaaa...!"
"Hait..! Heaaa!" Trang! "Aha, ada orang bertarung rupanya," gumam Se-na sambil memasang pendengarannya lebih tajam, agar suara pertarungan itu lebih jelas.
"Ah benar. Aku harus melihatnya, siapa yang bertarung itu?" Dengan menggunakan ilmu 'Sapta Bayu' Pendekar Gila melesat menuju asal suara itu. Tak lama kemudian pemuda berompi kulit ular itu telah melintasi jalan terjal berbatu, sampai di balik bukit sebelah timur. Tiba-tiba matanya terbelalak, seperti terkejut "Aha...! Seorang wanita...?" gumamnya sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi....
Lucu...! Diakah yang disebut si Penunggang Kuda Iblis..."! Yang ingin menantangku"!" Dari jarak cukup jauh Pendekar Gila terus mengamati jalannya pertarungan itu. Keningnya tampak berkerut, seolah-olah ada yang tengah dipikirkannya.
Meskipun mulutnya tetap cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Mata Sena semakin membelalak lebar, ketika melihat seekor kuda hitam pekat, dengan mata bagai api.
Menerjang dan mendepak orang-orang yang mengeroyok wanita yang tak lain Lara Kanti. Kuda itu meringkik dan mendengus...! Berusaha membela tuannya. Kuda hitam yang oleh Lara Kanti dipanggil si Ireng, tapi dikenal dengan julukan Kuda Iblis itu terus mengamuk tak terkendali.
Hingga beberapa orang di antara pengeroyok yang berjumlah puluhan itu mati tersepak bahkan digigit kuda itu.
Sementara itu, Lara Kanti masih terus menghadapi lawan-lawannya yang ternyata murid-murid dari Perguruan Merak Suci. Mereka dipimpin gurunya, Ki Kantawijaya, seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun.
Pendekar Gila masih memperhatikan dari kejauhan. Mulutnya tampak cengar-cengir sendirian.
"Sebaiknya aku membantu lelaki tua itu. Tapi...?" gumam Sena lirih.
Swing! Swing...! Baru saja Sena selesai bergumam, tiba-tiba mendesing puluhan senjata rahasia ke tubuhnya.
"Aha, eit..! Kenapa mainan ini nyasar ke arahku..."!" gumam Sena sambil melenting, mengelakkan serangan puluhan senjata rahasia. Tubuhnya bersalto di udara beberapa kali, kemudian dengan cepat menepis beberapa senjata rahasia itu.
"Heaaa...!" Trak! Swing! Swing...!" Senjata-senjata rahasia itu berbalik ke asalnya.
Jleb! Jleb! "Aaa....'" Terdengar suara jerit kematian dari kejauhan.
Rupanya senjata itu menghujam pemiliknya.
Sena tersenyum puas, lalu menggaruk-garuk kepala. Namun baru saja memalingkan kembali matanya ke tempat pertarungan Ki Kantawijaya dengan Lara Kanti, tiba-tiba hatinya terkejut. Telinganya mendengar suara perintah seseorang dari balik bukit yang berada di belakangnya. Pendekar Gila segera berbalik dan melompat dari tempat itu.
Swing! Swing...! "Serbuuu...! Bunuh!" Puluhan anak panah dan tombak berukuran kecil berdesing memburu Sena. Hal itu membuatnya segera merundukkan tubuh, lalu dengan cepat berguling ke bawah. Hal itu sengaja dilakukan dengan maksud agar orang-orang yang bersembunyi di balik bukit akan keluar. Satu anak panah ditangkapnya, lalu diselipkan di ketiak. Sehingga seakan-akan terhujam sebatang anak panah tadi.
"Aaauw...!" Sena menjerit, seakan merasa kesakitan. Benar dugaan Pendekar Gila, seketika berlompatan sosok-sosok tubuh dengan wajah tertutup kedok kulit macan tutul! Mereka semua bertelanjang dada.
Namun bagian bawah dibelit pula dengan kulit macan tutul. Mata mereka menatap tajam tubuh Pendekar Gila yang pura-pura mati.
Ketika itu pula Pendekar Gila segera melontarkan pukulan 'Inti Bayu' "Heaaa...!" Wusss! Angin kencang menderu keras bagai topan, memburu sosok-sosok berkedok kulit macan tutul, yang berdiri di atas bukit "Awaaas...!" seru pimpinan gerombolan berkedok macan tutul itu.
Prats...! "Aaa...!" Namun terlambat! Angin kencang laksana topan telah mengancam mereka. Seketika orang-orang berkedok macan tutul itu berpentalan dari atas bukit "Ah ah ah..., aneh! Siapa mereka sebenarnya" Apakah teman wanita yang sedang bertarung dengan lelaki tua itu.."!" gumam Sena bertanya dalam hati.
Mulut Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian berseru, "Hei turunlah kalian! Tangkap aku...!" tantang Sena yang sudah kesal. Orang-orang berkedok kulit macan tutul itu, tak lain Gerombolan Macan Tutul dari Lembah Neraka.
Pekerjaan mereka hanya membunuh dan memakan daging manusia. Mereka tak tahu siapa sebenarnya Sena atau Pendekar Gila.
"Grrr...!" pemimpin manusia aneh itu mengerang keras penuh amarah. Lalu tubuhnya melakukan lompatan macan, memburu Sena yang berada di bawah.
Melihat lawan menyerang, Pendekar Gila tak tanggung-tanggung menghadapinya. Dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dipapakinya serangan lawan. Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke sana kemari. Pukulannya disertai angin topan, membuat beberapa lawan terpelanting.
"Heaaa...!" Pendekar Gila tak mau berhenti sampai di situ.
Dia terus bergerak menyerang dengan garang. Tingkah lakunya yang seperti orang gila itu, dipadu dengan pukulan-pukulan maut yang dahsyat Wusss! Glarrr! "Aaauw...!" Lima orang seketika menjadi korban. Tubuh mereka berpentalan jauh dan hancur berkeping-keping terhantam pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Pendekar Gila tak memberi kesempatan pada lawan-lawannya. Tubuhnya mencelat ke atas kemudian menukik sambil melepaskan pukulan. Kedua kakinya pun tak tinggal diam, menjejak dan menendang ke kepala lawan. Melihat tubuh lawan berputaran dan menyerang dari udara, Pimpinan Gerombolan Macan Tutul dari Lembah Neraka dan beberapa orangnya, mengarahkan golok mereka ke atas. Hal itu membuat Pendekar Gila mendapat keuntungan. Dengan begitu, serangannya kini terpusat ke satu titik.
"Pukulan 'Inti Brahma'! Heaaa...!" Wusss...! Api keluar dari tangan Pendekar Gila melesat ke tubuh lawan-lawannya di bawah. Tentu saja gerombolan itu terkejut, lalu berusaha mengelakkan serangan dahsyat berbentuk api itu.
Namun api yang bergulung-gulung itu lebih cepat menerjang tubuh mereka. Hingga... Prats...! "Aaauw...!"
"Aaakh...!" Pekikan keras seketika terdengar bersahutan ketika beberapa anak buah Gerombolan Macan Tutul dari Lembah Neraka itu terhantam api. Tubuh-tubuh berpakaian kulit macan itu bergulingan. Api dari ajian 'Inti Brahma' itu tak dapat dipadamkan, hingga tubuh mereka hangus terbakar.
Sang Pemimpin gerombolan pun tak luput dari amukan api yang ganas itu. Tubuhnya hangus lalu tewas.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
"Hi hi hi...! Itu imbalan bagi orang licik...! Maafkan aku!" gumam Sena bicara pada diri sendiri, lalu tertawa-tawa cekikikan.
Namun tawanya segera dihentikan, manakala teringat akan pertarungan lelaki tua berpakaian putih melawan wanita bercaping bambu kuning itu.
Pendekar Gila segera melesat menuju tempat dirinya tadi mengawasi pertarungan itu., Namun kini matanya hanya melihat lelaki tua itu tergeletak sekarat. Sedangkan wanita bercaping lebar atau si Penunggang Kuda Iblis telah menghilang.
Pendekar Gila segera melompat turun, menghampiri lelaki tua yang tak lain Ki Kantawijaya.
Nampak dada Ki Kantawijaya luka lebar berlumuran darah kena sayatan pedang si Penunggang Kuda Iblis.
"Akh! Ukh...!" Ki Kantawijaya merintih menahan sakit di dadanya.
"Oh..., kau" Kau..., siapa.... Anak Muda...!"
"Aku Sena, Ki...," jawab Sena.
"Kau..., apakah kau yang bernama Pendekar Gila itu...?" tanya Ki Kantawijaya tiba-tiba. Seakan tahu siapa pemuda yang ada di dekatnya.
"Benar, Ki.... Kau siapa?" tanya Sena.
"Aku..., aku Kantawijaya.... Jaga dirimu. Wanita itu ingin menantang dan membunuhmu..., akh...!" Selesai berkata begitu, Ki Kantawijaya menghembuskan napas terakhir. Sena menghela napas panjang.
Menatap sedih Ki Kantawijaya yang sudah tiada.
"Semoga Hyang Widhi menerima arwahmu, Ki...!" Pendekar Gila kemudian menengadah. Setelah itu diangkatnya tubuh lelaki tua berpakaian putih itu untuk dikuburkan.
Sementara itu angin kencang bertiup menyapu bumi. Sena melangkah sambil memondong mayat Ki Kantawijaya.
***
Dari arah timur tampak sesosok kuda hitam, baru saja keluar dari Hutan Jatirata. Kuda tinggi dan besar itu melesat memasuki tapal batas Desa Waringin.
Derap kaki, kuda tak terlalu keras. Langkahnya bagaikan tak menginjak bumi. Di atas punggung kuda duduk dengan tegap wanita bercaping lebar dan berpakaian compang-camping. Dari balik caping lebar, terlihat matanya menyapu sekeliling tempat itu. Sementara hujan rintik-rintik masih turun. Wanita yang tak lain dari Lara Kanti seakan tak mempedulikan air hujan yang terus membasahi tubuhnya. Dari mata kuda hitam pekat itu memancarkan sinar merah membara.
Pantas kuda itu dijuluki sebagai Kuda Iblis.
"Hieeeh...! Hieeehhh...!" Kuda itu tiba-tiba meringkik keras. Suaranya yang melengking keras bergema sampai di kejauhan, hingga mengejutkan murid-murid Padepokan Kates Sewu. Mereka tengah beristirahat, ketika tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda yang begitu keras. Begitu pula Ki Palguna Wijaya, guru yang memimpin padepokan itu. Lelaki setengah baya dengan wajah menggambarkan ketenangan itu pun tampak mengernyitkan kening, terkejut.
"Kurang ajar! Siapa yang telah lancang membuat keonaran!" gumam Ki Palguna Wijaya marah. Matanya menyapu ke sekelilingnya.
Tiba-tiba muncul seekor kuda hitam pekat dari balik tembok padepokan. Langkah kaki kuda itu tak terdengar. Mata Ki Palguna Wijaya tak berkedip, terus mengawasi si penunggang kuda itu.
"Hm...," gumam Ki Palguna tak jelas.
"Kau mencariku...?" Terdengar tanya si penunggang kuda, dengan suara lantang. Tubuhnya yang terbalut pakaian compang-camping basah kuyup oleh air hujan. Dengan ringan tubuhnya melompat dan mendarat di tanah basah. Gerakannya yang begitu cepat menandakan kalau ilmu yang dimiliki cukup tinggi. Wajahnya yang terhalang caping lebar terbuat dari kulit bambu kuning, membuat Ki Palguna Wijaya tak dapat mengenalinya.
Namun lelaki tua itu pasti telah mendengar sepak terjang si Penunggang Kuda Iblis yang berpakaian compang-camping. Tokoh wanita yang menantang Pendekar Gila, juga orang-orang yang mengenal dan dekat dengan pendekar muda itu. Termasuk Ki Palguna Wijaya sendiri! "Kau rupanya yang disebut Penunggang Kuda Iblis...! Mau apa kau datang kemari..."!" tegur Ki Palguna Wijaya dengan suara parau. Matanya yang tajam tapi lembut menatap dengan nanar wajah Lara Kanti yang berada di balik caping lebar.
"Aku datang hanya ingin kau mau memberitahukan, di mana Pendekar Gila berada. Aku yakin kau tahu itu. Karena kau salah seorang yang akan dikunjunginya...," ujar si Penunggang Kuda Iblis.
"Ha ha ha...! Bicaramu seperti orang paling jago saja. Kalau aku tak mau, kau mau apa..."!" sergah Ki Palguna sambil tertawa-tawa.
"Terserah kau saja. Yang pasti aku akan mencabut nyawamu, jika kau tak menghiraukan permintaanku...! Bersiaplah! Yeaaa...!" Melihat tamunya menyerang, Ki Palguna Wijaya tak mau tinggal diam. Tubuhnya segera melompat untuk menghadapi serangan Lara Kanti. Kedua kakinya digenjotkan, sedangkan tangannya bergerak membentuk sebuah kuda-kuda dengan membentuk cakar.
Sementara itu kuda hitam yang matanya memancarkan sinar kemerahan, melompat dan menerjang murid-murid Padepokan Kates Sewu. Suara ringkikan yang keras menambah keadaan semakin kacau.
Namun Ki Palguna Wijaya tak merasa terganggu.
Dirinya terus merangsek menyerang Lara Kanti.
"Heaaa...!" Tangan Ki Palguna Wijaya bergerak mencekeram ke tubuh lawan. Namun dengan cepat Lara Kanti mengelakkannya. Kakinya digeser ke samping, lalu dengan cepat balas menyerang dengan tendangan.
"Heaaa...!" Ki Palguna Wijaya menarik cengkeramannya.
Kemudian dengan berputar dia membalas serangan lawan. Kakinya bergerak menendang, disusul dengan pukulan tangan kanan ke dada lawan.
"Heaaa...!" Wret! Wret! Suasana Padepokan Kates Sewu semakin riuh dan pertarungan semakin sengit. Apalagi kuda hitam milik Lara Kanti yang bernama Ireng, mengamuk, memporak-porandakan padepokan. Murid-murid Padepokan Kates Sewu kalang kabut Mereka berusaha menangkap kuda yang dijuluki Kuda Iblis itu. Namun tampaknya binatang itu terlalu liar dan ganas.
Sementara pertarungan Ki Palguna Wijaya dan Lara Kanti terus berlangsung. Lelaki tua berjubah kuning kemerahan itu melancarkan pukulan-pukulan keras yang merupakan serangan andalan. Jurus-jurus tingkat tinggi 'Sapuan Badai' dan 'Cakaran Elang Sakti' dikeluarkan dengan cepat dan beruntun.
Melihat serangan lawan telah menggunakan jurus-jurus andalan Lara Kanti tak mau kalah. Segera dicabutnya pedang yang tersampir di punggungnya.
Sret! "Heaaa...!" Wut! Wut! Dengan pedang terhunus Lara Kanti balas menyerang. Pedangnya digerakkan membabat dan menusuk ke tubuh lawan dengan ganas, diikuti pukulan dan tendangannya yang sangat berbahaya.
"Hiaaa...!" Ki Palguna Wijaya terkesiap. Matanya membelalak menyaksikan serangan lawan yang sangat cepat.
Sepertinya Lara Kanti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun, bahkan sekadar untuk menarik napas.
Pedang di tangan tidak ubahnya Malaikat Maut yang siap mencabut nyawa.
"Edan! Bisa modar aku!" gumam Ki Palguna Wijaya dengan mata semakin terbelalak tegang. Dirasakan serangan lawan begitu cepat dan sangat berbahaya. Ki Palguna Wijaya berusaha mengelakkan serangan lawan yang gencar. Namun pedang di tangan Lara Kanti bagai memiliki mata.
Wut! Wut..! Pedang Lara Kanti terus mencecar tubuh lawan dengan tebasan-tebasan yang membahayakan. Hal itu membuat Ki Palguna Wijaya semakin terdesak. Hingga....
"Hih!" Cras! "Aaakh...!" Ki Palguna memekik keras, ketika dadanya tersayat pedang Lara Kanti. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata membelalak.
"Hiaaat..!" Lara Kanti yang sudah kalap tak puas sampai di situ, meski lawan sudah dalam keadaan sekarat. Pedang di tangannya memburu tubuh Ki Palguna Wijaya yang tengah terhuyung-huyung kesakitan. Namun pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat cepat.
Dan....
"Heaaa...!" Trang! "Ikh!" Lara Kanti tersentak kaget. Tubuhnya terhuyunghuyung ke belakang dengan mata membelalak, memandang sosok wanita berpakaian gembel, compangcamping seperti dirinya. Pedang di tangan wanita yang berdiri tegap di hadapan Lara Kanti itu bersinar kuning kemerah-merahan.
"Hah"!" Lara Kanti terbelalak. Kemudian segera memulihkan kembali tenaga dalamnya dengan cepat "Kau mengapa ikut campur" Siapa kau..."!" bentak La-ra Kanti geram.
"Rupanya kau yang dijuluki Penunggang Kuda Iblis!" dengus wanita di hadapan Lara Kanti, yang tak lain Mei Lie.
"Ya! Kenapa kau menghalangi niatku! Atau kau ingin melawanku?" jawab Lara Kanti tak kalah ketus-nya.
"Ha ha ha...! Akulah Dewi Bayangan Kabut Dan kalau tak salah, kau ingin menantang Pendekar Gila, bukan..."!" ujar Mei Lie dengan suara lantang, matanya terpicing menatap sinis Lara Kanti.
"Benar! Apakah kau tahu di mana Pendekar Gila berada..." Cepat beri tahuku, sebelum kesabaranku hilang!" Lara Kanti menatap si Dewi Bayangan Kabut "Ha ha ha...! Rupanya kau termasuk orang yang tak memiliki kesabaran. Kalau boleh tahu, siapa namamu sebenarnya"!"
"Aku Lara Kanti...! Puas" Sekarang katakan di mana Pendekar Gila. Lalu untuk apa kau datang ke desa ini?"
"Sama dengan yang kau inginkan. Puas..."!" jawab Mei lie memancing Lara Kanti.
"Jadi, kau juga ingin menantang Pendekar Gila...?" tanya Lara Kanti dengan menyipitkan matanya, menyelidik.
"Tepat Biarlah akan kukatakan di mana Pendekar Gila. Tapi aku ingin tahu, apa masalahnya sampai kau ingin menantang dan membunuh Pendekar Gila...?" tanya Mei Lie sedikit mendesak.
"Hhh..., untuk balas dendam atas kematian ayahku...! Sudah, jangan banyak tanya! Cepat katakan, di mana Pendekar Gila berada"! Atau, kucabut nyawamu...!" kata Lara Kanti sudah tak sabar sambil menghunuskan pedangnya.
"Sabar! Sekali lagi siapa ayahmu itu...?" tanya Mei Lie ingin tahu jelas.
"Kau memang banyak mulut! Aku akan katakan, tapi kini yang terakhir pertanyaanmu kujawab. Ayahku dikenal dengan nama Tempurung Sakti," jawab Lara Kanti. Menjadikan Mei Lie kaget Pengemis Tempurung Sakti, bukan Pendekar Gila yang membunuh, melainkan dia sendiri. Sesaat Mei Lie berpikir, lalu menghela napas dalam-dalam.
Ditatapnya Lara Kanti tajam.
"Ayahmu bukan mati di tangan Pendekar Gila! Ketahuilah, Tempurung Sakti mati di tangan Bidadari Pencabut Nyawa!" tegas Mei Lie.
"Mengapa kau hendak membunuh Pendekar Gila, yang tak bersalah..."!"
"Aku tahu, kalau Bidadari Pencabut Nyawa-lah pembunuh ayahku. Dan kau tahu pula, tentunya Pendekar Gila tak akan tinggal diam jika kekasihnya kubunuh. Maka itu aku ingin sekaligus menghadapi keduanya...! Aku harus membuat perhitungan terhadap mereka," jawab Lara Kanti dengan penuh geram.
Mei Lie tersenyum sinis.
"Akulah Bidadari Pencabut Nyawa. Hadapilah aku!" tantang Mei Lie sambil membuka capingnya.
"Hah..."!" Lara Kanti kaget bukan main. Matanya membelalak lebar.
"Bangsat..! Jadi kau yang bernama Bidadari Pencabut Nyawa..."! Keparat! Kini kukirim nyawamu ke neraka! Heaaa...!" Lara Kanti melesat melakukan serangan. Mei Lie pun tak tinggal diam. Kini dua wanita muda jago pedang itu saling berhadapan. Satu memegang pedang bersinar kuning kemerah-merahan. Yang lain memegang pedang bersinar merah api. Mata mereka yang indah, saling menatap tajam.
Dua ilmu pedang sakti akan saling bertarung untuk menentukan siapa di antara mereka yang paling hebat. Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang satunya Pedang Mata iblis.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!" Mei Lie membuka jurus pertama dengan jurus 'Tarian Bidadari Membelah Langit'. Pedang di tangannya bergerak cepat, dari bawah ke atas, seakan berusaha membelah langit Wut! Wut! Sementara itu, Lara Kanti tak mau kalah. Dengan penuh amarah, segera dikerahkan jurus pembuka yang tak kalah hebatnya. Dengan 'Tusukan Malaikat Maut' pedangnya bergerak cepat, hinggap membentuk gulungan yang mengeluarkan sinar merah laksana mata iblis memancar ganas.
"Hiaaa...!"
"Yeaaat...!" Wut! Wut! Trang! Trang! Denting dua pedang beradu terdengar nyaring.
Tubuh keduanya melompat ke belakang kemudian dengan sigap kembali melakukan serangan. Pedang di tangan mereka bagai memiliki mata, bergerak cepat ke sana kemari, memburu tubuh lawan. Pertarungan seru dua wanita muda yang memiliki ilmu pedang tingkat tinggi itu terus berlangsung.
Hal itu membuat semua murid Padepokan Kates Sewu terkagum-kagum menyaksikannya. Begitu pula Ki Palguna Wijaya yang telah mengalami luka tampak terkesima menyaksikan ilmu pedang kedua wanita muda itu. Sementara itu kuda Lara Kanti mulai dapat diamankan oleh murid-murid Padepokan Kates Sewu, dengan menjerat leher dan kaki binatang itu.
Mei Lie tampak mulai membuka jurus andalannya. Dalam jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah Gunung', pedangnya bergerak mendatar, kemudian diangkat tinggi-tinggi, lalu diteruskan dengan sabetan ke tubuh lawan.
Cahaya kuning kemerah-merahan berpendarpendar seiring dengan kelebatan Pedang Bidadari Mei Lie. Wut! Wut! "Yeaaa"
"Hiaaat..!" Keduanya kembali berkelebat, saling menyerang dengan babatan dan tusukan pedang. Gerakan mereka sangat cepat, sehingga sulit untuk diikuti mata.
Kini yang tampak hanya sinar kuning kemerahmerahan berbaur dengan sinar merah api membara.
Trang! Trang...! Wut! Wut! "Hiaaa...!" Beberapa kali pedang mereka saling beradu. Tubuh keduanya sesaat melompat ke belakang. Mata keduanya saling tatap dengan tajam. Kemudian didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali melesat dengan sabetan pedang yang cepat "Yeaaat...!" Wut! Wut! Trang...! Mei Lie mulai mengeluarkan jurus pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena babatan pedangnya akan mengalami keanehan. Tubuhnya tak menampakkan luka. Namun ketika tertiup angin, tubuhnya akan lebur menjadi debu dan berterbangan.
Lara Kanti tersentak menyaksikan jurus yang sudah sangat kesohor itu. Hatinya tegang menyaksikan jurus yang tengah diperagakan lawan. Nyalinya seketika menciut, jika ingat korban jurus yang tengah diperagakan si Bidadari Pencabut Nyawa.
Karena terdorong dendam kesumat, si Penunggang Kuda Iblis tak mau mundur, Lara Kanti merangsek maju. Keduanya kini kembali bertarung. Babatan pedang Mei Lie sempat merobek pakaian Lara Kanti.
Lara Kanti tersentak kaget, lalu melenting ke atas untuk mengelakkan serangan lawan yang terus memburunya. Beberapa kali tubuhnya terpaksa berjumpalitan. Namun sempat pula mengeluarkan jurus 'Pedang Mata Iblis', untuk menangkis serangan Mei Lie.
***
:::┌┘¦ 8 ¦└┐:::
Plakkk! "Ukh...!"
"Hi hi hi...! Lucu, Tua Bangka ingin main curang.
Licik...!" terdengar suara tawa cekikikan mengejek lelaki tua berpakaian putih yang kesakitan sambil memegangi tangannya. Suara tawa itu ternyata milik Sena atau Pendekar Gila, yang entah dari mana tiba-tiba telah berada di tempat itu.
"Kau rupanya, Pemuda Gila...! Kebetulan, aku sedang mencarimu. Ayo.., lawan aku! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa...!" seru lelaki tua berambut putih yang ternyata Ki Rawantula, guru Lara Kanti.
"Hutang nyawa..."! Hi hi hi.! Lucu sekali...! Tua bangka menagih hutang. Ah ah ah...! Kau mengada-ada saja, Ki!" ujar Sena sambil tertawa-tawa ngakak.
Pada saat itu Ki Rawantula berkelebat melakukan serangan. Namun dengan cepat Pendekar Gila berguling ke samping, lalu segera dicabutnya Suling Naga Sakti dan dibabatkan.
"Heaaa...! Hih!" Wut! Trak! "Ukh...!" Ki Rawantula memekik tertahan. Langkah terseok-seok karena kakinya terkena sabetan Suling Naga Sakti.
Pendekar Gila menatap sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan cengengesan, dirinya membuka jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Namun Ki Rawantula tampaknya melihat gerakan lawan.
Meskipun kakinya telah terluka, dengan cepat melakukan lompatan mengelak dari serangan Pendekar Gila.
"Heaaa...!" Wusss...! Glarrr...! Pukulan Pendekar Gila menghantam sebatang pohon besar di luar padepokan ini.
Ki Rawantula segera menggerakkan kedua tangannya dengan cepat, melakukan serangan balasan, setelah terhindar dari bahaya maut itu. Pendekar Gila yang telah berdiri tegap dalam kedudukan yang mantap langsung bergerak. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari dalam jurus 'Si Gila Menepuk Lalat'. Sementara itu tangannya segera mengibaskan Suling Naga Sakti ke tubuh Ki Rawantula Wut! "Hait..! Heaaa...!" Ki Rawantula tersentak. Dirasakan ada hawa panas menjalar di tubuhnya bersamaan dengan serangan Pendekar Gila. Dengan cepat lelaki berpakaian jubah putih itu membuang tubuh ke belakang. Lalu segera melepas pukulan dengan jurus 'Tamparan Sukma'.
Wut! Plak! "Eits!" Pendekar Gila kaget, ketika tangan Ki Rawantula menepis pundaknya. Seketika, pundaknya terasa panas. Hal itu membuatnya bertambah marah.
Werrr...! Sambil meliuk Pendekar Gila menghantamkan sulingnya ke tubuh Ki Rawantula. Disusul seranganserangan gencar dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Gabungan serangan yang begitu cepat dan aneh itu cukup menyentakkan lawan. Ki Rawantula berusaha mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun nampaknya pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tak mau memberi kesempatan bagi lawan untuk menyerang.
Pendekar Gila terus memburu lelaki tua itu hingga tak mampu melancarkan serangan balasan.
"Heaaa...!" Dengan nekat Ki Rawantula merangsek, berusaha menjatuhkan Pendekar Gila. Namun karena diliputi hawa marah dan nafsu, serangannya lolos. Hanya dengan memiringkan tubuh, meliuk ke kanan dan kiri Pendekar Gila mampu mematahkan serangan lawan.
Kemudian dengan cepat, Suling Naga Sakti dihantamkan ke kepala Ki Rawantula.
Wut! Prak! "Aaakh...!" Ki Rawantula menjerit keras, kepalanya hancur terhantam Suling Naga Sakti. Tubuhnya terdorong ke belakang dalam keadaan mengerikan, lalu ambruk dan tewas. Melihat lawannya mati, Pendekar Gila menghela napas panjang. Lalu segera dipalingkan wajahnya ke tempat pertarungan Mei Lie dengan Lara Kanti.
***
Sikap Mei Lie tentu saja membuat Lara Kanti keheranan. Dirinya menyadari kalau Mei Lie belum mau membunuhnya. Padahal dia tadi sempat lengah. Lara Kanti bertanya dalam hati! "Kenapa dia tak mau membunuhku... ?" Mei Lie tersenyum sinis, lalu menggerakkan Pedang Bidadari-nya, perlahan di depan dadanya, sedang tangan kirinya diluruskan ke depan membuat gerakan silat yang indah. Matanya tajam menatap ke arah Lara Kanti. Lara Kanti menatap tajam wajah Mei Lie. Pedang di tangannya kini diputar di atas kepala, kemudian di- hentakkan ke depan diiringi teriakan nyaring.
"Heaaa...!" Wirt! Wut! Sementara itu Pendekar Gila, hanya menyaksikan dari jauh sambil menggaruk-garuk kepala. Sedangkan murid-murid Padepokan Kates Sewu masih tegang menyaksikan pertarungan kedua wanita muda yang cantik-cantik itu.
Ki Palguna Wijaya yang sudah mulai terbebas dari rasa sakit, melangkah mendekati Pendekar Gila diikuti beberapa muridnya.
"Selamat datang, Sena...," tegur Ki Palguna Wijaya setelah sampai di sisi Pendekar Gila. Pendekar muda itu menoleh, lalu mengangguk.
"Maafkan, aku terlambat datang, Ki...!"
"Tak apa. Untung Mei Lie segera muncul, kalau tidak mungkin aku sudah mati...," ujar Ki Palguna Wijaya lemah.
Pendekar Gila hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, sengaja aku tak mau ikut campur, Ki. Walaupun aku tahu wanita yang sedang bertarung dengan Mei Lie itu yang ingin menantangku. Biarlah Mei Lie yang mengatasinya...," tutur Sena kemudian.
"Ya. Aku mengerti, Sena.... Semoga Mei Lie berhasil menaklukkan si Penunggang Kuda Iblis itu!" kata Ki Palguna Wijaya seraya menepuk pundak Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!" Kini nampak kedua wanita muda itu saling serang dan tangkis di udara. Mei Lie berhasil menyarangkan pukulan tangan kirinya ke dada lawan. Tubuh Lara Kanti jatuh. Mei Lie segera meluncur turun. Dan siap untuk menusukkan pedangnya ke tubuh Lara Kanti. Namun Lara Kanti cepat melompat ke depan sambil menendang.
"Hukh!" Mei Lie memekik lirih, kena tendangan kaki kanan Lara Kanti yang tidak diduganya sama sekali. Hal itu tentu saja membuat Mei Lie marah. Kemudian segera menyerang dengan mengerahkan jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
Lara Kanti kembali membelalakkan mata menyaksikan jurus 'Pedang Tebasan Batin' muncul lagi.
Gadis itu kemudian mengambil keputusan untuk lari.
Maka tubuhnya melesat cepat dan menghilang.
Mei Lie kaget lalu mengejarnya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, tubuhnya melesat begitu cepat
***
Kuda hitam yang dijuluki Kuda Iblis itu terus berlari kencang. Di belakangnya nampak Sena mengejarnya. Tubuh Pendekar Gila bagai terbang. Namun kuda itu seakan tahu ada yang mengejarnya. Mendadak kuda yang berkulit hitam pekat itu berbalik arah.
Membuat Sena kaget "Edan! Kuda edan...!" gerutu Sena kesal.
Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Lalu menyepak menyerang Pendekar Gila. Mata kuda yang memancarkan sinar merah itu nampak menyeramkan dan ganas.
Sena melompat dan berjumpalitan untuk mengelak dari tendangan kaki kuda itu.
"Husss! Husss...! Tenang, Manis! Tenang....
Husss...!" Sena berusaha menjinakkan kuda yang seperti kemasukan setan itu.
Namun tetap saja, kuda milik Lara Kanti itu terus mengejar dan mendepak tubuh Sena. Tiba-tiba pantat Sena tersepak keras.
Dugkh! "Waduuuh...!" Sena memekik keras, sambil memegangi pantatnya.
Setelah itu Pendekar Gila menggerakkan kedua tangannya membuka jurus 'Inti Bayu'. Dan menderulah angin kencang memburu Kuda Iblis itu. Karena tak mengetahui bahaya tengah mengancam, kuda hitam itu terus meringkik-ringkik dan berlari memburu Pendekar Gila. Namun tiba-tiba kuda hitam bertubuh besar dan kekar itu terpental ke belakang, bagai terdorong suatu kekuatan dahsyat Murid-murid Padepokan Kates Sewu langsung bersorak-sorai sambil berlari menghampiri kuda yang masih terguling-guling itu.
***
Mei Lie menyapukan mata ke sekeliling tempat itu. Angin laut yang kencang bercampur dengan debur ombak. Hanya itu yang dapat didengar telinganya.
Sementara itu Lara Kanti tampak sempat menunggu untuk menyerang, jika Mei Lie muncul ke karang itu. Benar juga, ketika Mei Lie baru saja mendekati karang, tiba-tiba....
"Hiaaa...!" teriakan nyaring terdengar, disertai deru pedang meluncur ke kepala Mei Lie.
Mei Lie dengan cepat merunduk lalu melompat, mengelakkan serangan lawan sambil mencabut pedangnya. Lara Kanti terus memburu, dengan tusukan dan sabetan pedangnya.
Trang! Trang! Trang! "Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Degkh! Degkh! "Ukh...!" Lara Kanti memekik keras, dadanya terhantam pukulan 'Bidadari Membelah Dada'.
Tubuhnya terhuyung ke belakang dan dari mulutnya keluar darah segar. Matanya dirasakan berkunang-kunang. Melihat hal itu, Mei Lie segera maju sambil mengangkat Pedang Bidadari-nya di atas kepala.
"Tunggu...!" seru Lara Kanti sambil memegangi dadanya.
Mei Lie segera mengurungkan niat, untuk membabatkan Pedang Bidadari-nya.
"Hm...! Ada apa" Apa kau...?" Mei Lie tak meneruskan kata-katanya karena merasa iba melihat keadaan Lara Kanti.
"Aku menyerah kalah.... Ohhh.... Ukh!" wajah La-ra Kanti semakin pucat. Dari mulutnya kembali keluar darah segar.
Melihat itu. Mei Lie semakin tak tega. Didekatinya Lara Kanti, sambil tetap waspada, takut kalaukalau lawannya hanya berpura-pura. Dengan gerakan cepat Mei Lie menotok jalan darah Lara Kanti. Wanita muda sebaya Mei Lie itu seketika terkulai lemas tanpa daya. Mei Lie segera mengangkat tubuh si Penunggang Kuda Iblis itu. Lalu melesat meninggalkan tempat itu.
***
"Ki, aku harus mencari Mei Lie. Aku khawatir kalau...," ucapan Sena terhenti, ketika mendengar suara Mei lie.
"Kakang Sena...!" Sena menoleh ke belakang.
"Mei Lie..."!" Pendekar Gila menghambur mendekati kekasihnya. Orang-orang yang ada di situ menoleh ke arah Mei Lie yang memondong tubuh Lara Kanti.
"Kau memang tak ada belas kasihan. Kenapa kau bunuh dia, Mei...?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala "Oh, kau rupanya menaruh hati padanya. Aku tak membunuhnya. Hanya kutotok jalan darahnya.
Agar aku aman...!" jawab Mei Lie seraya menurunkan tubuh Lara Kanti perlahan ke tanah. Ki Palguna Wijaya dan murid-muridnya pun mendekat Sena masih cengengesan dan menggarukgaruk kepala, memandangi wajah Lara Kanti yang pucat. Di mulut gadis itu tampak ada darah yang mulai mengering. Mei Lie segera membuka totokannya.
Lara Kanti perlahan menggeliat. Hatinya kaget melihat lelaki muda berpakaian rompi kulit ular, tersenyum padanya. Lalu Lara Kanti berpaling melihat Mei Lie yang tersenyum pula.
Pandangannya pun kemudian beralih ke wajah Ki Palguna Wijaya. Kemudian kepalanya menunduk perlahan, lemas.
"Nisanak, kalau kau hendak membunuh Pendekar Gila, sekarang kau dapat melakukan itu. Dia ada di hadapanmu saat ini...," ujar Mei Lie perlahan.
Lara Kanti mengangkat wajahnya kembali, dan menatap Sena yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Untuk apa" Kau bilang bukan Pendekar Gila yang membunuh ayahku..., tapi kau...," jawab Lara Kanti dengan suara serak.
Mendengar itu Sena mengerutkan kening, memandang wajah Mei Lie.
"Ketahuilah, Nisanak! Ayahmu Tempurung Sakti sebenarnya tak akan terbunuh, kalau saja dia tidak bertindak durjana. Tempurung Sakti hanya mengikuti nafsu belaka. Ingin menjadi jago! Dia telah membunuh kakak seperguruanku, Nyi Bangil. Itulah sebabnya aku terpaksa membunuh ayahmu. Maafkan aku Lara...!" kata Mei Lie menjelaskan pada Lara Kanti.
Rupanya Lara Kanti dapat memaklumi. Dengan sedih dan linangan air mata, gadis itu menunduk lesu.
Sementara Pendekar Gila menghela napas panjang, memandangi Lara Kanti.
Semua yang berada di situ merasa terharu. Begitu pula Ki Palguna Wijaya.
"Di mana kudaku..." Aku sangat menyayanginya.
Dialah teman hidupku selama ini. Jangan bunuh dia!" ujar Lara Kanti kemudian sambil terisak. Hatinya mulai menyesali semua sepak terjangnya selama ini.
"Kudamu tak mati. Ki Palguna Wijaya dan muridmuridnya akan merawatnya. Percayalah...!" sahut Sena mencoba menenangkan hati gadis cantik berpakaian compang-camping itu.
Lara Kanti menatap wajah Sena, tak berkedip dalam linangan air mata.
"Maafkan aku, Pendekar Gila! Sebenarnya aku pun sangat mengagumi kesaktian dan kepiawaianmu.
Aku telah mendengar semua tentang dirimu. Tapi tak mengenal wajahmu. Kini rasanya aku lega dapat bertemu denganmu...," kata Lara Kanti dengan suara ber-getar. Mei Lie yang mendengar itu, mengerutkan kening. Ada sedikit rasa cemburu. Namun perasaan itu segera dibuang jauh-jauh. Lalu segera dirangkulnya Lara Kanti.
"Untuk sementara, tinggallah kau di Padepokan Kates Sewu! Ki Palguna Wijaya akan merawatmu...," saran Mei Lie penuh persahabatan.
"Ya. Kita semua telah memafkanmu. Mulai hari ini, kau harus mengubah sikap dan tindak tandukmu...! Aku menerimamu dengan senang hati...," sahut Ki Palguna Wijaya seraya tersenyum. Lara Kanti semakin terharu. Wajahnya mulai nampak ceria, merasa masih ada orang yang mau menerimanya. Mau memberikan tempat berteduh, bagi dirinya yang kini yatim piatu.
Lara Kanti memeluk Mei Lie erat-erat, penuh kasih. Begitu pula Mei Lie, air mata pun menetes di pi-pinya yang halus. Karena mengetahui nasib Lara Kanti yang tak berbeda dengannya, yatim piatu.
Namun perasaan gembira nampak dari wajah mereka. Demikian juga Pendekar Gila yang tersenyumsenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
Ular Kobra Dari Utara --oo0oo-- Syair Maut Lelaki Buntung |