Life is journey not a destinantion ...

Keris Naga Sakti

INDEX PENDEKAR GILA
Serikat Serigala Merah --oo0oo-- Nenek Bongkok

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting: A. Suyudi Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dan penerbit


֍₪֍¦ ① ¦֎₪֎

Seorang pemuda berpakaian serba putih sedikit kotor melompat-lompat dengan ringan di atas batu-batu cadas pada sebuah perbukitan. Gerakannya yang gesit dan ringan menunjukkan kalau pemuda itu memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. Terkadang dengan gerakan silat dia menendang dan memukul ke depan dan ke samping. Kemudian tubuhnya melenting sambil bersalto dua atau tiga kali di udara. Lalu mendarat dengan kedua kakinya di atas tanah atau bebatuan dengan sempurna.
Keringat tampak membasahi sekujur tubuhnya. Rambutnya yang panjang sebatas bahu diikat dengan kain warna hitam, menambah kegagahan pemuda bertubuh tegap itu.
Rupanya pemuda itu sudah cukup lama berlari sambil melakukan latihan jurus-jurus silat.
Sejenak kemudian tampak dia menghentikan gerakannya. Dihelanya napas beberapa saat, lalu kembali melakukan gerakan silat dengan menendang batu yang ada di hadapannya, untuk menguji kebolehan ilmunya.
Glarrr! Ledakan keras terdengar memecah kesunyian seiring dengan hancurnya bebatuan, karena terkena tendangan dahsyat pemuda itu. Hal yang sama juga dilakukan terhadap batang pohon yang ada di sekitar perbukitan itu.
"Aku telah dapat melakukannya. Tentunya Kakek Guru senang melihatku...," gumam pemuda itu dengan wajah cerah. Mulutnya tampak tersenyum puas.
Kemudian si pemuda gagah berpakaian serba putih melesat melompati bebatuan yang ada di perbukitan itu.
"Aku harus cepat kembali, karena Guru pasti telah menantiku.... Waktu yang diberikan, sebelum matahari tenggelam aku sudah harus ada di hadapan Kakek Guru. Sekarang aku harus pergi...!" Pemuda gagah berpakaian serba putih itu terus melesat cepat dengan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi. Namun waktu lebih cepat berlalu. Sehingga pada saat matahari tenggelam dan mulai gelap, dirinya baru sampai di puncak bukit.
"Waduh...! Kakek Guru bisa marah besar, aku tak dapat menepati waktu yang ditentukannya...," gumamnya dengan wajah cemas dan tampak ketakutan.
Pemuda itu menduga pasti akan mendapat ganjaran berupa hukuman dari gurunya. Dalam keremangan dia berlari menuju arah barat, hingga akhirnya sampai di sebuah bangunan batu yang pintunya tertutup oleh sejenis pohon merambat.
Dia tidak berani menyibakkan daun-daun pepohonan itu, apalagi masuk ke dalam.
Wajahnya nampak semakin cemas dan tegang. Namun kemudian dia tersenyum pahit. Kedua matanya memandangi pintu yang tertutup pepohonan merambat. Sementara itu langit tampak semakin gelap. Setelah menarik napas panjang, pemuda itu berseru, "Kakek...! Kakek Guru...!" Tak ada sahutan. Suasana tetap hening dan sepi. Pemuda itu menggelengkan kepala perlahan.
"Kek...! Kakek Guru, aku Purwadhika.
Maafkan aku, Kakek...! Aku terlambat... Aku siap menerima hukuman!" seru pemuda yang ternyata bernama Purwadhika itu.
Namun tetap tak ada sahutan. Yang terdengar hanya suara binatang malam, meramaikan suasana menjelang malam itu.
"Apakah Kakek Guru pergi" Atau...," pikir Purwadhika sambil melangkahkan kaki perlahan mendekati pintu bangunan batu yang tertutup pohon menjalar. Dia terus berjalan dengan langkah tegap. Sepertinya pemuda itu telah siap menerima hukuman apa saja atas keterlambatannya. Namun belum sempat pemuda itu masuk, tiba-tiba...
Wusss! Ada deru angin yang sangat kencang. Dan daun-daun bergelantungan menutupi pintu bangunan batu itu rontok semuanya.
"Kau cucuku, Purwadhika. Masuklah...!" terdengar suara serak dari seorang lelaki tua.
Purwadhika tampak terkesima dan masih berdiri di tempatnya. Pemuda itu semakin kaget ketika deru angin kembali datang dengan sangat kencangnya. Tempat itu terasa berguncang kuat, hingga bebatuan berjatuhan menutupi pintu masuk.
"Hah..."!" Purwadhika kaget. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah cemberut. Namun mendadak pemuda itu menggerakkan kedua tangannya, berusaha mengumpulkan tenaga dalam. Tampak otot-otot tubuhnya mengeras dan bersembulan keluar. Lalu segera diangkat kedua tangannya ke atas, disusul dengan merentang ke samping. Dan diakhiri dengan lompatan sambil menghantamkan telapak tangan kanannya ke arah batu-batu yang menutupi pintu itu.
Jlegarrr...! Ledakan keras terjadi. Seketika batu-batu yang menutupi pintu mirip sebuah goa itu hancur dan berhamburan. Pemuda itu ternyata mengerahkan ajian 'Tapak Sakti' yang ampuh dan dapat menghancurkan batu sekeras apa pun.
Tiba-tiba dari dalam bangunan mirip goa itu terdengar suara tawa terkekeh-kekeh.
"Maafkan aku, Guru! Aku siap menerima hukuman, karena keterlambatanku...," kata Purwadhika sambil menjura di hadapan gurunya. Seorang lelaki tua berambut putih dengan janggut panjang tampak tersenyum-senyum mendengar ucapan muridnya. Tangan kirinya mengusap-usap janggut yang sudah putih itu. Pakaiannya yang serba putih diselempangkan begitu saja.
Seperti Resi. Matanya yang tua tapi tajam, menatap tak berkedip pada Purwadhika.
Lelaki tua itu duduk di atas tanah beralaskan tikar yang sudah agak usang. Tangan kanannya memegang sebilah keris yang memancarkan sinar keperakan. Dialah tokoh tua yang dulu dikenal dengan julukan Pendekar Bijaksana. Pada masa mudanya dulu lelaki yang bernama asli Tunggul Segara ini merupakan seorang pendekar yang punya nama besar di kalangan rimba persilatan. Karena kebijaksanaannya dalam setiap menghadapi persoalan serta setia membela kaum lemah dari gangguan para durjana, maka Ki Tunggul Segara dijuluki Pendekar Bijaksana.
"Purwadhika," tegur Ki Tunggul Segara. Suaranya terdengar berat, mengandung kewibawaan.
"Ya, Kakek Guru...."
"Jangan kau merasa cemas dan takut, sebelum kenyataan itu datang. Kau sudah cukup menepati batas waktu yang kuberikan. Sebenarnya, waktu yang kuberikan masih panjang. Hanya saja aku ingin mengujimu. Apakah kau bisa lebih cepat dengan waktu yang kuberikan. Kau telah menjalankan dengan baik. Aku bangga sekali padamu...," tutur Ki Tunggul Segara. Segurat senyum tersungging di bibirnya yang dihiasi kumis tebal berwarna putih.
"Terima kasih, Kakek Guru...." jawab Purwadhika seraya menjura. Pemuda itu tampak me- naruh hormat sekali pada gurunya.
"Purwadhika, kau telah menjalani ujian yang terakhir itu dengan baik. Dari pagi-pagi buta sampai matahari tenggelam telah kau laksanakan sesuai dengan keinginanku. Ternyata aku tidak sia-sia melatih dan memberimu ilmu-ilmu silat, serta budi pekerti. Semua itu merupakan bekal bagi langkahmu dalam mengarungi kehidupan rimba persilatan yang penuh rintangan. Apalagi tokoh-tokoh sesat golongan hitam akhir-akhir ini lebih sering membuat ulah lagi." Sejenak Ki Tunggul Segara menghela napas.
"Dan tokoh-tokoh sesat yang kejam dan berilmu cukup tinggi itu, tiga di antaranya sudah aku kenal. Merekalah orang-orang yang...." Ki Tunggul Segara tak meneruskan ucapannya. Hal itu membuat Purwadhika mengerutkan kening keheranan serta bertanya-tanya dalam hati. Kenapa gurunya tiba-tiba nampak sedih dan bergeleng kepala perlahan.
"Kakek Guru, ada apa..." Apakah ada sesuatu yang membuat hatimu sedih" Atau...," tanya Purwadhika dengan suara lemah.
"Sebenarnya aku ingin menceritakan kejadian lima belas tahun silam, seperti yang pernah kujanjikan padamu. Ya. Karena saat ini kau telah menguasai semua ilmu yang kuberikan, Cucuku...," tutur lelaki tua berjuluk Pendekar Bijaksana itu.
"Maksud Kakek Guru tentang orangtua ku...?" tanya Purwadhika dengan suara sedikit bergetar, karena rasa ingin tahunya yang besar.
Cerita gurunya itu telah ditunggu-tunggu. Kini saatnya dia akan mendengar cerita itu. Seketika hatinya merasa cemas dan tegang.
Dengan wajah menyiratkan keharuan, Ki Tunggul Segara akhirnya memulai cerita itu....

***

Di tepi sebuah danau. Langit saat itu nampak mendung sejak pagi. Matahari tampak remang-remang tertutup awan mendung. Suasana saat itu seolah menjelang malam hari. Di pinggir danau nampak seorang wanita muda sedang mencuci pakaian di air danau yang jernih. Dari sikapnya nampak wanita itu tengah gelisah. Sebentarsebentar mendongak ke atas melihat langit yang berselimut mendung. Lalu segera wanita itu memberesi pakaian yang habis dicuci, memasukkannya ke keranjang. Ketika perempuan muda itu baru melangkah tiga tindak ke atas tanah yang lebih tinggi dari danau mendadak muncul tiga orang lelaki meng-hadangnya.
Salah seorang berwajah pucat. Namun tampangnya tidak garang, kalem dan dingin. Hanya sinar matanya yang seolah mengandung kekuatan gaib. Pakaian yang dikenakannya serba kuning.
Dua temannya pun berpakaian sama dengan lelaki bermuka pucat itu.
"Oooh..."!" pekik perempuan itu pendek.
Mendadak wajahnya tegang.
"Mandra, Cilung, Sadiro...! Ada apa kalian menghadangku" Minggir!" ujarnya dengan suara lantang.
Rupanya ketiga lelaki itu tak menjawab.
Malah mata mereka nakal memandang dada perempuan yang pakaian atasnya sedikit terbuka.
Bentuk tubuhnya yang indah membangkitkan selera setiap lelaki yang memandangnya. Apalagi bibirnya yang sensual, membuat ketiga lelaki itu semakin tertarik dan mendekatinya.
"Minggir kataku! Aku akan teriak dan kalian akan mendapatkan ganjaran...! Minggir, jangan sentuh aku...!" perempuan muda itu kian gusar dan marah.
Ketika ketiga lelaki itu semakin dekat, tibatiba perempuan itu bergerak cepat. Sebagai istri bekas seorang tumenggung dia ternyata menguasai ilmu bela diri, meskipun tidak bisa dikatakan tinggi tingkatannya.
Bug! Bug...! "Aaaa...!" Ketiga lelaki memekik keras. Tendangan perempuan itu ternyata mengenai telak selangkangan mereka. Perempuan itu lalu cepat kabur meninggalkan ketiganya.
Ketiga lelaki itu meringis kesakitan sambil memegangi selangkangan mereka.
"Sundal...! Awas, aku akan buat perhitungan...!" gerutu Cilung.
"Dasar perempuan...! Yang diarah selangkangan!" sungut Mandra yang masih memegangi selangkangannya.
"Urusan kita bukan perempuan itu, Sobat.
Urusan kita pada Ramapati, suaminya! Kita harus segera menentukan rencana kita. Bekal kita sudah cukup kuat untuk melawan Ramapati. Ayo...!" ujar Sadiro yang berwajah pucat.
Seketika ketiganya melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Sementara perempuan tadi sudah sampai di rumahnya yang besar dan berlantai tinggi. Karena suaminya bekas tumenggung. Kekayaan Ramapati cukup untuk menghidupi sanak keluarga tujuh turunan. Itulah yang membuat saingan dan bahkan bekas bawahannya seperti Sadiro, Cilung, dan Mandra merasa iri. Mereka ingin merebut sebuah senjata pusaka bernama Keris Naga Sakti. Yang menurut mereka ada pada Ramapati.
"Kakang...! Kakang Ramapati...!" teriak perempuan yang berlari-lari memasuki ruangan ten- gah rumahnya.
"Diajeng Laras..."!" seru Ramapati begitu melihat istrinya berlarian dengan wajah gusar dan tegang, bercampur marah. Pakaian Laras pun tampak tak karuan. Pikiran Ramapati langsung menduga yang tidak-tidak. Seketika hatinya merasa panas.
"Ada apa, Diajeng" Apa yang telah terjadi..."!" tanya Ramapati dengan perasaan cemas.
"Mereka mengejarku, kurang ajar...!" kata Laras mengadu pada suaminya.
"Mereka siapa..."! Siapa yang berani mengganggumu" Kita kan tak punya musuh. Dan tidak pernah menyakiti orang lain, Diajeng...."
"Tapi mereka sepertinya kini telah berubah, berani kurang ajar terhadapku...!" tutur Laras dengan nada kesal, matanya berkaca-kaca.
"Untung aku bisa lolos dari mereka, kalau tidak...," lanjut Laras lemah "Kurang ajar...! Lalu siapa yang kau maksud itu, Diajeng" Katakan, tentunya mereka orangorang dari aliran sesat...," kata Ramapati menduga.
Baru selesai Ramapati mengakhiri kalimat terakhirnya, tiba-tiba muncul tiga lelaki tadi.
"Ha ha ha...! Rupanya penjaga rumah ini orang-orang tak memiliki ilmu yang diandalkan.
Pasti pemilik rumah ini orang yang bernyali tikus.
Ha ha ha...!" ujar Sadiro yang bermuka pucat. Diikuti tawa kedua temannya, Mandra dan Cilung.
"Kurang ajar! Mengapa kalian berani berbuat kurang ajar pada istriku..."!" bentak Ramapati begitu melihat Sadiro, Mandra, dan Cilung.
"Ha ha ha...! Aku tidak berniat kurang ajar terhadap Nyi Laras. Tapi, aku ada urusan penting dengan kau, Ramapati...!" jawab Sadiro si Muka Pucat dengan nada dingin.
"Ya, ada urusan penting yang ingin kita bicarakan. Tapi, sebaiknya Ki Ramapati ikut bersama kami. Karena ini sangat rahasia," tambah Cilung dengan suara penuh penekanan pada setiap katanya.
"Betul, karena tak boleh orang lain tahu.
Cukup kita saja yang mengetahui...," sambung Mandra yang berkumis tipis dan mata agak kero, menyipit sebelah.
Ramapati nampak berpikir sejenak.
"Kakang, jangan percayai mereka! Aku punya firasat buruk terhadap mereka. Walaupun mereka bekas orang kepercayaanmu...," bisik Laras dengan hati dan perasaan yang sangat cemas. Ramapati hanya manggut-manggut. Dipegangnya bahu istrinya.
"Aku mengerti, Diajeng...," terdengar suara Ramapati lembut.
"Rahasia apa yang ingin kau sampaikan..." Apa tidak sebaiknya dibicarakan di sini saja...?" tanya Ramapati kemudian.
"Rupanya kau tidak mempercayai kami lagi.
Kami tidak punya maksud buruk...," jawab Sadiro si Muka Pucat dengan kalem dan dingin. Sementara itu Laras coba mengisyaratkan pada suaminya agar tidak menuruti keinginan ketiga orang itu. Namun Ramapati yang bekas tumenggung itu tak mau dianggap pengecut. Maka kembali Ramapati berkata, "Sadiro, kau Mandra, dan Cilung. Mintalah maaf pada istriku dulu! Jika tidak, aku tak bersedia menuruti kemauan kalian.
Karena kalian telah membuatnya ketakutan dan marah. Semestinya kalian kuberi ganjaran...," ujar Ramapati tegas.
Sadiro, Cilung, dan Mandra saling pandang sejenak, lalu mereka menghadap Laras dan menjura seraya sama-sama minta maaf. Laras hanya diam dengan wajah sinis.
Ramapati mendekati sang Istri lalu dipegangnya pundak Laras.
"Diajeng, biar ku turuti kemauan mereka.
Mungkin dengan caraku ini mereka bisa sadar.
Dan tidak lagi berbuat seperti itu lagi. Biar bagai-manapun mereka bekas anak buahku, orang kepercayaanku!" tutur Ramapati dengan sabar. Laras tak dapat lagi mencegah suaminya. Wanita itu hanya bisa menyimpan rasa cemas dan khawatir di hatinya.
"Ayo, kita berangkat...!" ajak Ramapati pada Sadiro dan teman-temannya.
Segeralah mereka pergi. Dan ketika berada di luar rumah, tiba-tiba Sadiro berkata pada Ramapati.
"Lebih baik kita bicara di rumah kami, karena ada seseorang yang menunggu dan ingin bertemu dengan Ki Ramapati...,"
"Siapa orang itu?" tanya Ramapati sambil mengerutkan kening agak curiga.
"Nanti Ki Ramapati akan tahu sendiri. Mari, jangan sampai dia keburu pergi...!" sahut Cilung.
Ramapati berpikir sejenak, lalu dia mengangguk dan melangkah diikuti oleh Cilung dan Mandra. Mereka akhirnya memasuki sebuah hutan.
"Sebenarnya apa yang akan dibicarakan, Sadiro?" tanya Ramapati kembali.
"Tentang keris pusaka itu," jawab Sadiro tegas. Tersentak kaget Ramapati mendengarnya. Langkahnya terhenti, dengan mata memandang tajam ke arah Sadiro dan kedua kawannya.
"Apa,.." Aku tak pernah menyimpan keris itu. Kenapa kau tanyakan padaku"!" kata Ramapati dengan hati cemas dan mulai tak tenang.
"Ayo...! Jangan banyak bicara! Kami sudah muak dengan semua kebohonganmu!" tiba-tiba Cilung membentak.
"Kurang ajar kau, berani membentakku! Apa sebenarnya maksud kalian..."!" Ramapati mulai kesal dan kembali menghentikan langkah kakinya.
"Tenang saja Ki Ramapati, tak jauh lagi, sudah dekat Sebentar lagi kau akan tahu, apa maksud kami. Ha ha ha...!" sambar Mandra lalu tertawa-tawa. Mereka semakin jauh memasuki hutan. Tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut mereka.
Terutama Ramapati yang sudah merasakan ketidakberesan bekas orang-orang kepercayaannya.
Namun, karena dia memiliki sifat tak mau mundur sebelum melihat kenyataan, maka dengan langkah lebar Ramapati mengikuti Sadiro dan kawankawannya.

***

Di tengah hutan, karena tidak menduga sama sekali kalau ketiga bekas anak buahnya bermaksud jahat, Ramapati sempat lengah dan kurang waspada. Dengan tanpa basa-basi lagi Sadiro, Cilung, dan Mandra secara bersama-sama membunuh bekas tumenggung itu. Mereka membabat dan menusukkan golok ke tubuh Ramapati.
Crass! Crass! Jlep! Jlep! "Aaaa...!" Tubuh Ramapati ambruk dengan usus terburai dari perutnya. Kepalanya hampir putus kena tebasan golok Sadiro si Muka Pucat yang ternyata pembunuh darah dingin.
"Kini semuanya telah dapat kita selesaikan dengan baik, Sobat. Ayo, kembali ke rumah Ramapati, kita ancam istri dan semua penghuni rumah itu. Jika membangkang, kita bunuh saja...!" kata Sadiro dengan wajah dingin, lalu melesat pergi.
Pada saat itu, tanpa diketahui Sadiro dan kedua kawannya, ternyata ada sepasang mata yang menyaksikan perbuatan keji mereka. Dengan diam-diam sosok itu pergi meninggalkan semaksemak tempatnya bersembunyi.
Sementara di rumahnya, Laras dan para penjaga serta adik ipar yang bernama Abisona, merasa tegang menanti kedatangan Ramapati.
"Kenapa kau tadi tidak menyertai kakakmu, Abisona" Aku khawatir Sadiro, Cilung, dan Mandra mempunyai maksud jahat. Hatiku merasakan itu...," keluh Laras dengan wajah cemas. Matanya berkaca-kaca, nampak bingung dan gelisah sekali.
"Maafkan saya, Kak! Saya pun menyesal...," jawab Abisona sambil menunduk. Lalu kembali mengangkat mukanya.
"Tapi saya akan menuntut balas jika sampai terjadi apa-apa terhadap Kakang Ramapati...," lanjut Abisona dengan nada geram.
Wajahnya keras penuh amarah.
Pada saat itu seorang perempuan setengah baya muncul menggendong anak laki-laki berumur tiga tahun yang sedang tidur pulas.
"Laras, jangan kau mempunyai perasaan yang bukan-bukan! Sebaiknya kau berdoa, agar Ramapati suamimu tak mendapatkan musibah atau celaka...," ujar wanita setengah baya yang menggendong anak Laras.
"Tapi firasatku ini rasanya benar, Nyi Ningrum," sahut Laras dengan suara tegas. Lalu mendekati Nyi Ningrum, dan menciumi anaknya. Ketika Laras dan semuanya yang ada di situ dicekam ketegangan, tiba-tiba terdengar suara pin-tu didobrak. Sehingga tiga orang punggawa terpental jatuh dengan luka parah akibat sabetan golok.
Muncul Sadiro si Muka Pucat dengan tatapan mata dingin, diikuti Cilung, dan Mandra yang berdiri di sisi kiri dan kanan Sadiro.
"Ha ha ha...! Kalian terkejut melihat kedatangan kami bertiga tanpa Ramapati, bukan..."! Ha ha ha...!" seru Mandra yang bermulut besar dan bibir tebal.
"Bedebah! Kalian manusia tak tahu sopan santun dan kejam!" bentak Laras lantang dengan mata melotot marah sekali.
"Ha ha ha...! Aku senang melihat wanita secantik kau marah. Membuat kelelakianku makin terusik. Ha ha ha, hi hi hi ha ha...!" goda Cilung sambil tertawa cekikikan.
"Hei, Manusia Laknat! Mana kakakku..."! Jawab!" bentak Abisona yang mulai tak sabar.
"Kalau kau menanyakan kakakmu, terus terang kukatakan, dia kini mungkin sudah berada di surga atau neraka...!" jawab Sadiro si Muka Pucat dengan tenang. Raut wajahnya yang dingin seakan tak pernah melakukan kejahatan atau dosa.
"Biadab...!" teriak Laras histeris. Lalu dengan penuh amarah dia menyerang Sadiro. Namun lelaki itu dengan tenang menangkis tangan kiri dan menangkap tangan kanan Laras yang mengayun ke arahnya.
"Hem...! Huh!" gumam Sadiro, lalu mendekap Laras. Dipelintirnya tangan Laras kemudian ditarik ke belakang, hingga wanita itu tak bisa bergerak lagi. Tubuhnya hanya bisa meronta-ronta dan berteriak minta tolong.
Sementara itu Mandra dan Cilung bertarung melawan Abisona. Adik kandung Ramapati itu masih bisa meladeni kedua lawannya. Pada saat itu pula Nyi Ningrum berlari ke dalam, bermaksud menyelamatkan anak Laras yang digendongnya. Anak itu anehnya tetap tidur pulas.
"Lepaskan! Lepaskan Biadab...! Kau tak tahu balas budi. Bajingan!" teriak Laras sambil me-mukuli dan mencakar Sadiro dengan tangan kirinya. Sebab tangan kanannya telah dicekal erat oleh lelaki berwajah pucat itu.
Sadiro tampak mulai murka. Dengan sekali hajar, seketika Laras memekik panjang, lalu tak bernyawa lagi Lelaki berwajah sadis dan dingin itu kini telah menjadi salah satu murid seorang tokoh sesat berilmu iblis.
Lalu Sadiro yang mengetahui Nyi Ningrum menghilang, segera mencarinya ke semua ruangan. Pada saat itu terlihat sesosok lelaki berpakaian jubah putih berkelebat, diikuti seorang pembantu yang bekerja di rumah Ramapati. Lelaki tua berjubah putih itu ternyata Ki Tunggul Segara. Ke-datangannya ke rumah Ramapati karena diberitahu oleh Ki Suro, salah seorang pembantu di rumah bekas tumenggung itu. Ternyata Ki Suro-lah yang tadi sempat menyaksikan pembunuhan terhadap tuannya di dalam hutan.
Namun kedatangan Ki Tunggul Segara terlambat. Laras telah terbunuh, begitu pula Abisona, adik iparnya. Lelaki tua itu hanya sempat menemukan Sadiro yang baru saja membunuh Nyi Ningrum. Ki Tunggul Segara yang juga berjuluk Pendekar Bijaksana menghajar Sadiro dengan pukulan beruntun. Sehingga lelaki pucat dan berdarah dingin itu tak sempat melakukan serangan balik.
Ki Tunggul Segara yang lebih memusatkan untuk menyelamatkan anak Ramapati yang masih berumur tiga tahun, hanya sempat melukai Sadiro.
Kemudian dia berusaha menyelamatkan anak kecil itu yang terus menangis tak henti-hentinya. Lalu tubuhnya menghilang dari rumah itu.
Mandra dan Cilung yang baru datang terkejut melihat Sadiro pingsan. Tampak dada Sadiro luka bertanda telapak tangan berwarna biru kehitaman.
"Hah..."! Tapak Sakti!" seru Mandra kaget "Gawat, sebaiknya kita cepat bawa Sadiro pergi da-ri sini. Kita harus mencari obat untuknya, kalau tidak dia akan mati. Dan kita juga akan mampus jika orang yang memiliki ilmu ini kembali...," tutur Cilung dengan tegang.
Mereka dengan cepat menggotong tubuh Sadiro yang pingsan karena luka yang sangat membahayakan jiwanya.
"Sial! Kita belum sempat menanyakan di mana keris itu. Sadiro terlalu mengikuti nafsu membunuhnya. Tunggu di sini, biar aku kembali mencari keris itu...!" kata Cilung begitu teringat akan Keris Naga Sakti. Orang yang dapat memiliki keris pusaka itu akan menjadi sakti luar biasa.
Begitulah berita yang tersebar di kalangan rimba persilatan. Oleh karena itulah keris itu diperebutkan para tokoh persilatan, baik dari golongan beraliran lurus maupun hitam.
Cilung sudah berada di dalam rumah Ramapati yang sudah kosong. Hanya mayat-mayat yang tampak tergeletak di lantai rumah itu. Dia langsung mengobrak-abrik perabotan rumah dan apa saja yang dianggap tempat menyimpan benda pusaka itu. Namun Cilung tak menemukan apa-apa.
Malah dirinya menjadi seperti orang gila berteriak-teriak sambil menendang dan menghancurkan apa saja. Brakkk! Prang...! Prang! "Huh! Sial! Rupanya sudah ada orang lain yang mendahului. Atau memang keris itu tak ada di rumah ini...!" sungut Cilung marah, lalu melesat pergi dengan hati dongkol.


֍₪֍¦ 2 ¦֎₪֎

Purwadhika masih termangu mendengar penuturan gurunya, Ki Tunggul Segara.
"Itulah awal dari kesedihanku. Ayahmu adalah putra tunggalku. Tapi kuharap, kau tidak menaruh dendam terhadap mereka, Cucuku. Kalau bisa sadarkan mereka, itulah tujuan kita. Ajaran kita sejak dulu.... Namun jika mereka tidak dapat mengerti, terserah padamu....
Hanya usahakan jangan kau bunuh mereka, jika mereka sudah minta ampun dan bertobat!" pesan Ki Tunggul Segara dengan suara penuh wibawa.
Purwadhika mengangkat kepalanya perlahan, menatap sang Guru yang juga kakeknya sendiri. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan tengah mencoba menenangkan perasaannya.
"Cucuku, apa yang ada dalam benakmu sekarang, hah...?" tanya Ki Tunggul Segara.
"Saya dapat mengerti, Kek. Apa yang telah Kakek katakan, akan saya patuhi. Tapi, bagaimana arwah Ayah, jika aku tidak membalaskan kematian Ayah dan Ibu...?" kata Purwadhika, lalu menundukkan kepala.
"Hemm.... Aku mengerti. Ayahmu juga tak ingin kau membunuh atau menuntut balas, Cucuku. Mereka hanya inginkan keris pusaka ini. Keris Pusaka Naga Sakti. Karena para tokoh persilatan, baik aliran putih maupun hitam sampai kini masih terus mencari keris pusaka ini...," tutur Ki Tunggul Segara.
"Apakah keris itu benar-benar memiliki kesaktian, Kek...?" tanya Purwadhika kemudian dengan mengerutkan kening sambil memandangi keris di tangan kakeknya.
Ki Tunggul Segara menganggukkan kepala.
Dia mengangkat keris itu dengan kedua tangan ke atas kepalanya, kemudian perlahan diturunkannya sampai di dada. Dipandanginya keris itu dengan seksama.
"Keris ini sebenarnya titipan dari saudara seperguruanku, Aji Sena. Keris ini tak sempat diberikan pada menantunya yang bernama Citra Yudha. Yang telah mati di tangan manusia iblis, Segoro Wedi." (Tentang Citra Yudha dan Segoro Wedi, silakan baca serial Pendekar Gila pada epi- sode; 'Suling Naga Sakti').
"Lantas untuk apa Kakek Guru terus menyimpannya, hingga mengakibatkan petaka keluarga kita...?" tanya Purwadhika dengan suara agak tinggi.
"Kau belum mengerti, Cucuku. Keris ini kusimpan di sini agar tokoh-tokoh persilatan tak dapat menemukan. Dan mereka tak akan percaya kalau aku masih hidup. Para tokoh aliran hitam umumnya menyangka aku telah mati, karena luka dalamku, akibat pertarunganku dengan orangorang berilmu tinggi yang memiliki ilmu iblis. Namun berkat bantuan Aji Sena-lah aku bisa sem- buh...," tutur Ki Tunggul Segara.
Sejenak Ki Tunggul Segara menghela napas panjang. Keris pusaka itu kini dipegang dalam genggaman tangan kanannya.
"...dan aku dapat hidup sampai sekarang. Keris ini menjadi milikku.
Dan sejak itu aku telah berjanji, tak akan muncul lagi di rimba persilatan yang penuh amarah dan pertentangan. Maka aku berjanji keris ini akan kuwariskan pada cucu pertamaku, tak peduli lakilaki atau perempuan. Aku memang merasa bersalah, menyesal. Putra tunggalku sendiri, ayahmu itu serta ibumu mati karena keris pusaka ini. Tapi semua itu kulakukan bukan bermaksud untuk mencelakakan kedua orangtuamu, Purwadhika.
Hanya sayang, rahasia keris ini tercium oleh tokoh-tokoh aliran hitam yang selalu ingin mencari masalah di dunia persilatan...." Purwadhika menghela napas dalam-dalam.
Dia menatap wajah sang Kakek yang juga guru tunggalnya. Purwadhika bisa memaklumi apa yang telah diperbuat kakek gurunya.
"Maafkan saya, Kakek..!" ucap Purwadhika lemah dengan tetap menundukkan kepala.
"Sudahlah, yang lalu biar berlalu. Kini kau telah mewarisi ilmuku. Enam belas tahun lamanya kau tinggal bersamaku. Kini sudah waktunya kau turun. Keluarlah, cari pengalaman hidup! Setialah pada kebenaran dan membela kaum lemah yang membutuhkan.... Aku tak melarangmu, apa pun yang kau kehendaki. Ketiga orang pembunuh kedua orangtuamu, pamanmu, dan bibimu memang perlu kau cari. Dan seperti yang telah kusampaikan tadi, semua kuserahkan padamu, Purwadhika. Jangan membunuh, jika orang itu sudah menyerah. Kecuali jika mereka bertindak kejam dan kasar serta ingin membunuhmu...." Panjang lebar wejangan yang disampaikan Ki Tunggul Segara pada cucu tersayang yang juga murid tunggalnya.
Kemudian Pendekar Bijaksana itu menyerahkan Keris Naga Saki pada sang Cucu. Purwadhika menerimanya dengan kedua tangan lalu mencium keris pusaka itu.
"Kuserahkan keris pusaka itu padamu. Jagalah baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat. Mereka akan lebih jahat dan kejam, karena Keris Pusaka Naga Sakti itu mengandung kesaktian yang luar biasa...," tutur Ki Tunggul Segara lagi.
"Saya mengerti Kakek Guru...," jawab Purwadhika sambil menundukkan kepala.
"Sekarang pergilah, tapi pakailah bekas pakaianku! Agar kau nampak lebih gagah dan bersih.
Gantilah dulu...!" kata Ki Tunggul Segara sambil menyerahkan sepasang pakaian silat berlengan panjang berwarna coklat muda.
Segera Purwadhika bangkit dari duduknya, lalu menuju ke salah satu sudut. Sementara itu, Ki Tunggul Segara masih duduk bersila di tempatnya, dengan kedua tangan ditopangkan pada kedua pahanya. Purwadhika sudah selesai memakai pakaian pemberian Ki Tunggul Segara. Nampak pemuda itu bertambah gagah dan berwibawa. Wajahnya seakan memancarkan cahaya terang. Sorot matanya tajam. Mungkin pengaruh pakaian bersejarah dari Pendekar Bijaksana itu. Sebab, di masa mudanya Ki Tunggul Segara sangat disegani dan ditakuti karena kesaktiannya. Apalagi setelah dia mendapat warisan Keris Pusaka Naga Sakti, dari saudara seperguruannya Aji Sena.
"Kau nampak bertambah gagah, Cucuku.
Sudah lama aku ingin melihat kau memakai pakaian kebesaranku itu," kata Ki Tunggul Segara dengan wajah cerah. Dia merasa bangga melihat cucunya yang gagah dan tampan itu.
"Apakah saya pantas memakai pakaian ini, Kakek Guru...?" tanya Purwadhika, sambil memperhatikan pakaiannya.
"He he he... kenapa tidak" Tapi, ingat. Jika ada yang mengenali pakaian yang kau pakai itu, dan mendesakmu untuk menjelaskan, katakan saja kau muridku! Karena, aku yakin tokoh-tokoh persilatan seangkatanku sampai generasi sekarang mengenali pakaian warna coklat muda dengan sarung batik bergambar jatayu itu...," kata Ki Tunggul Segara.
"Tapi, Kakek tadi bercerita bahwa Kakek ingin tenang dan tak ingin lagi berurusan dengan dunia persilatan. Jika nanti mereka tahu kalau Kakek Guru masih hidup, apakah tidak berbahaya bagi Kakek Guru...?" nada suara Purwadhika begitu khawatir terhadap keberadaan kakeknya.
"He he he... Aku sudah siap kini, Cucuku.
Jangan kau khawatirkan aku. Pergilah, doaku menyertaimu. Dan satu hal lagi yang harus kau ingat.
Jika nanti kau bertemu seorang pendekar muda berpakaian rompi kulit ular, dengan tingkah laku yang konyol seperti orang gila. Katakan bahwa kau cucuku...!" kata Ki Tunggul Segara.
"Siapa pendekar muda itu, Kek...?" tanya Purwadhika ingin tahu.
"Sena. Sena Manggala. Dia putra tunggal Citra Yudha, cucu Kakang Aji Sena. Pemilik keris pusaka pertama, yang kini kau sandang itu. Sena pendekar yang sangat ditakuti dan disegani, karena ilmunya yang tinggi dan aneh. Karena tingkah lakunya itu dia disebut Pendekar Gila...," tutur Ki Tunggul Segara.
"Pendekar Gila...?" gumam Purwadhika.
"Jika kau bertemu dengan dia, katakan bahwa keris pusaka itu sudah kau sandang. Karena dia pasti akan menanyakan hal itu padamu, untuk meyakinkan dirinya, bahwa kau benar cucuku dan satu aliran."
"Lantas apa lagi yang akan saya katakan, Kek...?"
"Jika dia ingin menemuiku, ajaklah kemari!" jawab Ki Tunggul Segara tegas.
"Sudah, kini pergilah...! Hati-hati dan ingat semua pesanku...," tambah Ki Tunggul Segara.
Purwadhika segera menjura beberapa kali, lalu mencium tangan Ki Tunggul Segara dengan penuh perasaan kasih.
"Pergilah!" suara lelaki tua itu terdengar perlahan.

***

Tokoh-tokoh rimba persilatan ternyata masih saja membicarakan Keris Naga Sakti yang sampai kini belum juga diketemukan. Terutama, tokoh-tokoh sesat yang sangat ingin memiliki keris itu, kini membentuk kelompok dalam usahanya mencari pusaka yang kini berada di tangan Purwadhika. Seperti pada suatu sore di sebuah bangunan yang bentuknya seperti kuil Cina. Sudah tua sekali, dinding-dindingnya sebagian berlumut dan berwarna kelabu.
Di dalam kuil itu ada delapan orang tokoh aliran hitam. Di antaranya, Sadiro dan Cilung yang sudah tua. Rambut mereka sebagian sudah putih.
Mereka duduk melingkar. Salah satu dari kedelapan tokoh itu dikenal dengan nama Sindang Manik, namun nama aslinya sebenarnya Wongso Guno. Lelaki tua itu sengaja merubah nama dan dandanan dengan yang menyeramkan, untuk lebih leluasa menjalankan rencananya yang jahat. Dia ingin memiliki keris itu dengan cara lain. Wongso Guno mempunyai seribu akal bulus. Dia tak segan-segan membunuh dan berbuat curang terhadap kawan sendiri.
Sore itu mereka berkumpul, karena mendengar bahwa keris itu ada di tangan seorang lela-ki tua yang sakti. Saat itu mereka sedang berdebat mengenai Keris Pusaka Naga Sakti. Sebenarnya di antara mereka saling tidak percaya, saling mencurigai. Seperti pada saat ini, antara empat saudara yang dikenal dengan julukan 'Empat Jin Botak da-ri Selatan' bertengkar mulut dengan Wesi Geni yang berilmu tinggi.
"Sobat Sindang Manik, kau sebagai pimpinan pertemuan itu tak usah ragu akan keteguhan imanku. Tampaknya kau masih belum percaya akan ucapanku, bukan?" sergah Wesi Geni dengan bangga, kedua matanya melirik sinis ke arah Empat Jin Botak yang ada di sebelah kiri Wesi Geni.
"Tetapi selama sepuluh tahun terakhir ini, aku belum pernah meninggalkan pertapaanku. Karena persoalan Keris Pusaka Naga Sakti yang akan kita perebutkan itu, aku sengaja menghentikan pertapaan. Aku tak mau setan-setan rakus yang sudah berada di sini menjadi kelompok kita...!" Kembali mata Wesi Geni melirik sinis ke arah Empat Jin Botak dari Selatan.
"Hm, sombong!" ujar Jin Kobra yang dikenal mempunyai ludah beracun.
"Kami Empat Jin Botak dari Selatan memang tergolong manusia-manusia yang tak beriman," sela Jin Soka yang berjuluk Topan Bergulung.
"Tapi kelicikan Wesi Geni pun sudah sangat terkenal," sambungnya menyindir.
"Semua orang tahu bagaimana kotornya hatimu, Wesi Geni," tuding Jin Sudra atau si Racun Lima Naga.
"Siasatmu tentu hendak menggunakan matamu yang kotor, untuk membutakan mata para jago yang bening, bukan" Sungguh menggelikan," ejek Jin Kala atau si Mata Merah sambil tertawatawa. Mendengar Empat Jin Botak dari Selatan itu memakinya secara bergantian, menyindir, dan mengejek dirinya, hati Wesi Geni menjadi gusar bukan main. Dengan sorot mata yang tajam dan berapi-api, dia memandangi keempat orang bersaudara itu secara bergantian.
"Nama kalian berempat pun sudah demikian jeleknya di rimba persilatan. Dosa kalian sudah menggunung setinggi langit.
Karena itu sudah sepantasnya kalian dilenyapkan dari permukaan bumi ini," kata Wesi Geni dengan kasar dan suaranya yang bergetar.
Dan selesai kalimat terakhir, Wesi Geni dengan cepat menggerakkan kedua tangan bagai membuat jurus. Lalu ditepukkan kedua telapak tangannya dengan keras disusul dengan menepukkan telapak tangan kanannya ke dada yang sebelah kiri. Dan bersamaan dengan itu, terlihatlah seekor kumbang berwarna keperakan bertengger di ujung gagang pedang yang tersandang di punggungnya. Kumbang Perak itu melebarkan sayapnya, lalu terbang cepat menyerang Jin Mata Merah. Kian lama kecepatan terbang Kumbang Perak kian cepat. Luar biasa sekali. Menyambarnyambar tubuh Jin Mata Merah.
Semua yang ada di situ tercengang, termasuk Sindang Manik dan Sadiro, lelaki bermuka pucat yang kini bersekutu dengan Sindang Manik.
Mereka terpaksa berdiri dan mundur ke belakang.
Jin Mata Merah belum sempat meloloskan pedang ketika Kumbang Perak itu telah beberapa kali berhasil menggigit tubuhnya.
Begitu pedang tergenggam di tangannya, Jin Mata Merah dengan cepat menggerakkannya untuk membentuk ratusan bunga-bunga pedang yang berwarna merah menyala bagai api membara.
Maksudnya untuk melindungi dirinya dari serangan Kumbang Perak yang sangat berbahaya itu.
Trakkk! Dengan keras pedang Jin Mata Merah menghantam Kumbang Perak yang sedang menyambar-nyambar itu. Akibatnya, Kumbang Perak terpental dan terjatuh ke atas lantai, setelah terlebih dahulu membentur keras ke dinding. Melihat serangannya berhasil, Jin Mata Merah langsung tersenyum dingin.
"Aku tak yakin seekor kumbang mampu mencabut nyawaku," katanya bernada meremehkan. Akan tetapi, rasa penasaran Jin Mata Merah belum selesai. Matanya seketika terbelalak, karena melihat Kumbang Perak ternyata sudah kembali berkelebat menyambar dengan amat cepat, bagaikan anak panah.
Menjadi gugup juga Jin Mata Merah, karena kewalahan dibuatnya.
Kini Kumbang Perak sudah semakin cepat terbang berputaran di atas Empat Jin Botak dari Selatan itu. Terbangnya kian lama kian cepat, sehingga yang terlihat kini cuma rentetan sinar keperakan dan menyilaukan. Disertai suara siulan panjang melengking dan semakin meninggi dari mulut Wesi Geni. Ruangan rumah tua yang lebih mirip kuil Cina itu kini hanya dipenuhi ekor sinar keperakan sehingga mengaburkan penglihatan.
Tiba-tiba, dari ekor sinar keperakan itu, tersebarlah asap hitam yang tidak terlalu tebal. Namun baunya sangat amis dan menusuk hidung. Di samping bau, asap itu pun membuat mata terasa perih dan pedas.
Sadiro yang berwatak keras dan gampang marah, segera menyerang Wesi Geni, bermaksud agar menghentikan serangan Kumbang Peraknya.
Namun baru saja Sadiro hendak mencengkeram tangan Wesi Geni, dalam sekejap saja lelaki bermuka pucat itu terpental, karena sinar keperakan itu ternyata dapat pula menghajar tubuhnya.
Plarrr! "Aaaa...!" pekik Sadiro lalu roboh.
Cilung kaget dan hendak menolongnya, tapi ragu. Sedangkan Sindang Manik nampak tenangtenang saja. Dia sebenarnya lebih suka mereka saling bunuh. Dengan begitu dia nanti akan dapat menguasai Keris Pusaka Naga Sakti seorang diri.
Meskipun sampai sekarang belum dapat diketahui siapa yang menyimpan keris itu.
Tiba-tiba Cilung dan satu tokoh lagi yaitu Burisrawa, lelaki bermuka lebar rambut keriting panjang diikat dengan kain warna merah, samasama memegangi kepala.
"Waduh...! Kepalaku..., pusiiing...!" pekik Burisrawa dan Cilung.
Sindang Manik dan Sadiro merasakan hal yang sama. Sedangkan Empat Jin Botak dari Selatan tampak masih bisa bertahan.
Kini, Jin Soka dan Jin Kala secara serentak melakukan perlawanan, dengan membentuk suatu barisan pedang untuk menghalangi sambaran Kumbang Perak milik Wesi Geni.
Pada saat bersamaan Jin Kobra membabatkan pedang ke depan ketika melihat Kumbang Perak hendak menyambar Jin Sudra.
Trakkk! Kuat sekali hantaman pedang Jin Kobra dan tepat mengenai Kumbang Perak. Sehingga Kumbang Perak terpental sejauh sepuluh depa di depan pintu rumah tua itu.
Akan tetapi, Kumbang Perak kembali membuat kejutan. Binatang itu tiba-tiba telah mampu merentangkan sayapnya dan terbang melakukan serangan susulan yang dahsyat.
"Hah..."!" Empat Jin Botak dari Selatan kaget. Sambaran kumbang yang begitu cepat mem- buat mereka hanya bisa menundukkan kepala sambil menebas sebisanya. Sial bagi Jin Soka....
"Aaakh...!" Jin Soka memekik, ketika melihat jari telunjuk tangan kanannya sudah menghitam dan membengkak.
"Aa... aku kena racun itu! Racun Kumbang Perak!" seru Jin Soka gugup sambil mundur ter-seok-seok.
"Ha ha ha..., itu sudah pasti!" sahut Wesi Geni tertawa-tawa.
Jin Sudra, yang melihat hal itu segera membabat jari tangan Jin Soka, sehingga terputus.
Darah segar berceceran di atas lantai.
"Terima kasih, Sudra!" seru Jin Soka. Karena dia menyadari maksud baik saudaranya. Sebab bila tak dilakukan, tentulah racun itu akan merambat ke sekujur tubuhnya. Dan itu sangat berbahaya karena bisa membuatnya mati! Baru saja Jin Sudra menyahut, Kumbang Perak ternyata sudah berhasil menerobos masuk ke dalam pagar bayangan pedang yang dibentuk oleh Jin Sudra, Jin Kala, dan Jin Kobra. Dengan cepat Jin Sudra menebaskan pedangnya untuk menghajar ke samping sambil mundur selangkah.
Jin Kobra, yang melihat situasi gawat, segera menghalau Jin Soka yang jari tangannya putus itu.
"Cepat balut lukamu itu!" teriak Jin Kobra sambil membuat pagar di depan Jin Soka. Kini, tiga bilah pedang terus berkelebat menyambar-nyambar membentuk suatu pagar pertahanan yang amat rapat, guna melindungi diri mereka, serta mencari kesempatan melakukan serangan. Melihat serunya pertarungan itu, para tokoh lainnya menjadi sama-sama tegang, sekaligus kagum. Sindang Manik alias Wongso Guno dan Sadiro yang berdampingan sama-sama menatap tanpa berkedip.
"Kita harus selalu waspada. Terutama pada Wesi Geni. Dia memiliki ilmu yang sukar ditandingi...!" bisik Sadiro yang memang dekat dengan Sindang Manik. Karena mereka berdualah yang mempunyai rencana jahat pada kelompoknya sendiri, bila kelak sudah menemukan orang yang menyimpan Keris Naga Sakti itu.
"Hm...," gumam Sindang Manik pendek, "Tapi kecerdikan dan kelicikanku lebih unggul dari ilmu Wesi Geni dan Empat Jin Botak dari Selatan itu...," tambah Sindang Manik.
"Jangan kau terlalu khawatir..., Sadiro!" Sadiro tersenyum mendengar ucapan sahabatnya itu. Matanya kembali memperhatikan pertarungan. Namun pertarungan akhirnya terhenti, ketika Mandra muncul sambil berteriak.
"Berhenti...!" seru Mandra dengan napas ngos-ngosan.
Seketika semuanya menoleh ke arah Mandra. Sindang Manik dan Sadiro segera menghampirinya.
"Bagaimana" Apakah penyelidikanmu membawa berita baik...?" tanya Sadiro dengan dingin.
"Mandra tak pernah gagal.
Sebaiknya sabar dulu, aku akan memberi kabar baik pada sobat sekalian...," jawab Mandra membanggakan dirinya.
"Cepat katakan, apa yang kau dapat..!" ujar Sindang Manik dengan nada berat "Baiklah.... Kita rupanya harus menempuh perjalanan jauh. Memerlukan waktu lima hari untuk mencapai tempat itu. Di lereng Gunung Majalaya," kata Mandra menjelaskan.
"Apakah kau tahu siapa orang yang menyimpan keris itu...?" tanya Sadiro perlahan.
"Ya. Seorang kakek yang dikenal dengan nama Pendekar Bijaksana...!" jawab Mandra tegas, sambil merentangkan kedua tangannya dan tersenyum lebar.
"Hanya seorang kakek..." Ha ha ha...!" sahut Wesi Geni sombong.
"Jangan kau bersenang hati, Wesi Geni! Apakah kau lupa atau kurang dengar bahwa kakek itu adalah Pendekar Bijaksana yang memiliki ilmu cukup tinggi. Apalagi kini keris itu ada di tangannya...," tukas Sindang Manik dengan nada berat Wesi Geni mengerutkan kening sejenak, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tahu, tapi dengan Kumbang Perak, tak mungkin kakek itu akan mampu melawanku. Tapi keris itu...?" Wesi Geni tak melanjutkan ucapannya.
Dia kemudian nampak berpikir. Karena kesaktian Keris Naga Sakti akan bisa menghancurkan Kumbang Peraknya. Maka itu seketika Wesi Geni diam membisu.
Empat Jin Botak dari Selatan tersenyumsenyum mengejek Wesi Geni.
"Sudahlah, sebaiknya kita membuat rencana yang matang, agar kelak tak ada hambatan.
Hanya kelompok kita yang mengetahui rencana itu. Jangan sampai tercium orang luar...!" kata Sindang Manik. Lalu melirik ke arah Sadiro dengan penuh arti. Sadiro mengedipkan sebelah matanya.
"Ayo, sebaiknya kita berkumpul...!" kata Sadiro tiba-tiba.
Mereka segera berkumpul kembali, merundingkan rencana besar mereka. Sampai jauh malam.


֍₪֍¦ 3 ¦֎₪֎

Kutareja merupakan sebuah kota kecil yang cukup ramai didatangi para pendatang dari semua penjuru Jawadwipa. Siang itu sinar matahari terasa terik dan menyengat. Namun tak membuat para pendatang merasa terganggu. Mereka asyik dengan kesibukan masing-masing. Ada yang berbelanja, nonton tukang obat, atau menikmati makanan di kedai-kedai di kota itu.
Dari kejauhan, tepatnya di ujung Kutareja, nampak seorang pemuda berambut gondrong, dengan ikat kepala dan pakaian rompi kulit ular.
Pemuda tampan itu tampak cengar-cengir sambil menggaruk-garuk kepala, melangkah dengan santai di antara orang-orang yang simpang-siur di jalanan Kutareja itu.
Rumah-rumah di Kutareja itu memiliki kemiripan bentuknya dengan bangunan Cina kuno.
Sebagian memang ada yang dari bilik, tapi banyak pula yang berdinding tembok.
"Aha, ramai juga Kutareja ini. Baru kali ini aku datang kemari," gumam pemuda berpakaian rompi kulit ular. Matanya terus memandang ke kiri dan ke kanan sambil menggeleng-gelengkan kepala yang berambut ikal.
Orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan pemuda itu, pasti merasa heran dan bergeleng-geleng kepala. Karena melihat tingkah pemuda tampan yang terkadang tertawa-tawa sendiri, cengengesan, dan menggaruk-garuk kepala.
"Ah, lebih baik aku istirahat sejenak. Tenggorokan haus...," gumam pemuda bertingkah laku seperti orang tidak waras yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
Sena langsung memasuki rumah makan.
Bangunan cukup besar itu dipadati pengunjung, yang kebanyakan orang dari luar daerah, bukan warga Kutareja. Mereka kebanyakan pedagang.
Ada juga beberapa pedagang dari Cina, duduk di salah satu sudut menikmati hidangan pesanannya. Di antara para pengunjung, ada dua lelaki yang nampak sinis ketika Sena memasuki rumah makan itu. Tampaknya mereka curiga akan kedatangan Sena.
"Hei! Kau lihat pemuda yang baru masuk itu. Rasanya aku pernah ingat. Tingkahnya kaya bocah edan...!" ucap lelaki yang bermata jalang, berhidung betet, dengan pakaian serba hijau. Kumisnya tipis melintang di atas bibir.
"Hmmm...," kawannya hanya bergumam sambil menoleh ke arah Sena yang sudah duduk tak jauh dari tempat duduk mereka, "Kayaknya pemuda itu bukan pemuda sembarangan.... Tapi, kita harus selidiki dia, Burisrawa..."
"Ya. Heh, Cilung. Rasanya aku pernah dengar ciri-ciri seorang pendekar sakti yang sedang kondang di rimba persilatan. Apakah pemuda itu...," Burisrawa tak meneruskan ucapannya, karena kawannya menyelak.
"Aah, sudahlah! Jangan hiraukan pemuda itu. Makan dulu, nanti makananmu keburu dingin. Kau terlalu terbawa oleh pikiranmu saja. Yang lebih penting keris pusaka itu...!" kata Cilung lalu menggigit daging ayamnya dengan rakus. Mulutnya penuh dengan nasi dan lauk. Nampak jorok, cara kedua orang itu makan.
Sena yang duduk terpaut dua meja di sebelah kiri mereka, dengan ilmu 'Sapta Pangringu' yang dapat mendengar percakapan orang dalam jarak jauh, mengetahui percakapan dua orang itu.
Dia mengerutkan kening dan menggaruk-garuk kepala, kemudian melirik sejenak ke arah Cilung dan Burisrawa. Pada saat itu datang pelayan membawa hidangan yang dipesan Sena. Dia segera tersenyum pada pelayan lalu mulai menyantap makanannya.
"Aku penasaran.... Perasaanku mengatakan bahwa pemuda itu seorang pendekar. Aku yakin itu," gumam Burisrawa yang nampak masih curiga pada Sena.
Dia sebenarnya mengenal siapa sebenarnya pemuda itu. Namun lelaki bermuka lebar dan berkumis tebal yang wajahnya selalu memerah itu agak mabuk, karena terlalu banyak minum arak yang selalu dibawanya dalam guci berukuran kecil.
Hal itu membuat ingatannya agak kabur.
"Terserah kau sajalah! Masa' kau tidak malu cari perkara dengan pemuda yang kayak begitu..."!" kata Cilung yang baru selesai meneguk mi-numannya. Kemudian melirik ke Sena. Sena nampak tenang, seakan tidak mendengar ucapan mereka. Dia baru saja selesai menghabiskan makanannya. Lalu meneguk air minum. Setelah mengelap mulut dan tangannya, Pendekar Gila menghela napas panjang.
Ketika Sena hendak meneguk minuman lagi, tiba-tiba sebuah benda sebesar kelereng menghantam tempat minum yang terbuat dari bambu itu. Trakkk! Sena sebenarnya sudah memperhitungkan dan tahu kalau Burisrawa akan berbuat sesuatu padanya. Maka Pendekar Gila pura-pura kaget dan seperti orang ketakutan. Dia menoleh ke arah Burisrawa dan Cilung yang tertawa-tawa mengejek.
Sena nyengir dan menggaruk-garuk kepala.
Semua orang yang ada di situ hampir semuanya menoleh ke arah Sena. Ada yang menertawainya, tapi ada pula yang merasa kurang senang dengan tingkah laku Burisrawa dan Cilung yang sok dan tak sopan sejak mereka masuk ke rumah makan itu.
"Apa kubilang, pemuda itu tak punya nyali.
Mungkin dia anak gunung yang baru masuk ke Kutareja ini. Ha ha ha...!" ejek Cilung yang juga mulai mabuk.
Burisrawa hanya mendengus. Rupanya dia masih penasaran, karena merasa mengenal pemuda yang tingkahnya nampak aneh dan seperti orang sinting itu.
"Dugaanku pasti tak salah. Dia, pemuda itu tak lain...," kata-kata Burisrawa terhenti, ketika melihat seorang pemuda berpakaian serba coklat, rambut panjang dengan ikat kepala coklat muda pula, memakai kain batik bergambar jatayu atau garuda. Di pinggangnya terselip sebilah keris. Pemuda itu dengan tenang melangkah masuk melewati tempat Burisrawa dan Cilung.
"Hah..."!" gumam Cilung memandang pemuda berpakaian coklat muda itu dengan mata mendelik, "Hei! Kau lihat pemuda berpakaian coklat itu. Perhatikan apa yang terselip di pinggangnya...!" bisiknya kemudian.
Sementara pemuda berpakaian coklat muda sudah duduk di kursi yang ada di depan Sena. Jadi pemuda itu membelakangi Sena yang masih pura-pura ketakutan. Namun mata Sena terus mengamati gerak-gerik kedua orang jahat itu sambil pula memperhatikan pemuda yang baru datang.
"Hm, siapa pemuda ini. Sepertinya dari golongan lurus, mungkin seorang pendekar...," gumam Sena dalam hati.
Pelayan datang menghampiri pemuda berpakaian coklat muda, bermaksud untuk menawarkan makanan. Namun, tiba-tiba saja Cilung datang mendekati dan mendorong dengan kasar dada pelayan. Tubuh pelayan terhuyung ke belakang dengan muka kaget.
"Tidak tahu adat...!" kata pelayan marah.
Cilung yang mendengar jadi naik pitam. Dia berbalik dan langsung menghajar pelayan dengan tamparan tangan kanannya.
"Kau sudah bosan hidup, ya...!" bentak Cilung dengan mata melotot. Ketika Cilung hendak kembali menampar pelayan yang tak berani melawan itu, tiba-tiba tangannya dicengkeram oleh tangan seseorang dengan keras dan kuat. Cilung cepat berbalik sambil menghantarkan pukulan ke arah wajah dan disusul sabetan kaki kanan ke arah orang yang menghalanginya.
Namun dengan gerakan cepat orang itu membalas melancarkan pukulan ke arah Cilung.
Plak! Bukkk! Dua pukulan balasan tepat mendarat di dada Cilung. Membuat Cilung yang menganggap remeh lawannya terhuyung dan menabrak beberapa orang yang ada di belakangnya. Hingga orangorang itu kabur. Keadaan seketika menjadi kacau.
Para pengunjung mulai panik. Sebagian kabur keluar dan sebagian lagi malah ingin melihat perkelahian itu.
"Kurang ajar...! Siapa kau..."!" bentak Cilung sambil mendelik dan segera mendekati pe- muda berpakaian coklat muda yang tak lain Purwadhika. Pemuda itu tahu-tahu sudah duduk kembali di tempatnya dengan tenang dan menatap tajam pada Cilung.
Sementara itu Sena hanya cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepala. Burisrawa yang sejak tadi hanya menyaksikan Cilung dihajar Purwadhika, masih nampak penasaran terhadap Sena. Matanya terus mengamati gerak-gerik pemuda bertingkah aneh itu. Sementara Sena sendiri sudah merasakan kalau lelaki berwajah lebar dan berambut keriting itu memperhatikannya. Sena terus berlagak seperti orang ketakutan, lalu menjauh ke belakang dan duduk di kursi lain.
"Hai, jawab! Siapa kau Anak Muda" Apakah kau mau mengantar nyawa padaku..."! Kurasa kau belum mengenalku, hah"!" bentak Cilung kasar sambil menendang meja.
"Kau tahu, tak ada seorang pun di sini yang berani kurang ajar dengan Cilung...! Penguasa daerah Kutareja, Cilung atau si Setan Golok Maut!" Mendengar nama yang disebut Cilung, seketika Purwadhika teringat akan cerita kakeknya.
Bahwa Cilung satu di antara orang yang ikut membunuh ibu-ayahnya. Darah Purwadhika seketika itu mendidih. Dengan perlahan dia berdiri menatap tajam Cilung yang membusungkan dada.
Namun pemuda tampan itu kemudian menghela napas panjang, kembali duduk. Sebab, tiba-tiba dia teringat pesan kakeknya, Ki Tunggal Segara.
Bahwa dia tak boleh dendam, atau membalas dengan membunuh orang yang telah menghabisi kedua orangtuanya. Di sini hati dan jiwa Purwadhika bertarung, melawan rasa dendam dan pesan gurunya. Lalu terngiang-ngiang di telinganya suara sang Kakek, "Hadapi lawanmu dengan tenang, jangan menaruh dendam berlebihan. Tapi jika orang itu ingin melukai atau membunuhmu, itu urusanmu. Kuserahkan padamu untuk bertindak...." Purwadhika tersentak, ketika Cilung kembali membentak sambil menendang kursi dan meja lain yang ada di kanan dan kirinya.
"Hai! Kau ini mau melawanku atau menyerah.... Bengong kaya ayam sakit...!" kata Cilung pongah dan membusungkan dadanya.
"Maafkan, aku tidak bermaksud melawan, Sobat," sahut Purwadhika tegas.
"Ha ha ha...! Kalian dengar! Pemuda gunung ini minta maaf padaku. Ha ha ha...! Baru kali ini aku mendengar seorang yang gagah dan tadi sempat menghajarku minta maaf. Ha ha ha...!" kata Cilung sambil tertawa terbahak-bahak. Sejenak dia menghela napas kemudian berkata lagi, "Hei! Pera-turan di sini tak ada istilah minta maaf. Ganjaran orang yang sudah melukaiku. Mati!" Cilung segera mencabut golok pusaka, yang dikenal dengan Golok Maut Pencabut Nyawa.
Namun Purwadhika masih nampak tenang.
Hanya matanya menatap tajam Cilung yang sudah menggenggam golok.
Sementara itu Burisrawa masih duduk dengan menghadap ke arah mereka yang akan bertarung. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah Sena yang terus cengengesan sendiri sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sekarang jantungmu akan kukeluarkan, Anak Muda! Heaaat..!" dengan gerakan cepat Cilung yang tampak beringas langsung memba- batkan goloknya ke arah kepala Purwadhika. Namun dengan gerakan cepat pula Purwadhika menundukkan kepala, lalu disusul dengan melompat ke samping sambil membawa kursi yang didudukinya. Kemudian dengan gerakan secepat kilat dan sukar ditangkap mata biasa, pemuda itu menghantamkan kursi yang dipegangnya ke punggung Cilung. Prakkk! "Ukh...!" Cilung memekik, lalu cepat berbalik.
Purwadhika sudah berdiri tegak menunggu serangan Cilung.
"Orang inilah salah satu dari tiga orang yang membunuh kedua orangtua ku! Ingin rasanya aku cepat menghabisinya. Tapi pesan Kakek Guru membuatku bimbang. Tapi...." Belum lagi Purwadhika habis bicara dalam hati, tiba-tiba serangan gencar dilakukan oleh Cilung yang semakin naik darah.
Lelaki yang sudah mulai menua itu mendesak Purwadhika. Dan pada kesempatan yang baik, Cilung sempat merobek lengan baju Purwadhika sebelah kiri. Ketika pemuda itu agak lengah. Karena dia sebenarnya tak ingin ribut atau membuat masalah dengan Cilung.
Brettt! "Huh...!" Purwadhika hanya mendengus sambil melihat lengan bajunya yang sobek. Lalu tersenyum.
Dan dengan gerakan cepat yang tak bisa dilihat dengan mata biasa, tahu-tahu Purwadhika sudah menendang tangan Cilung yang memegang goloknya. Sehingga golok itu terlepas. Dengan gerakan cepat sekali Purwadhika menangkap golok Cilung sebelum menyentuh tanah. Dalam sekejap pemuda itu tahu-tahu sudah menempelkan golok ke leher lawan.
"Heh..."!" Cilung terbelalak kaget. Wajahnya seketika pucat pasi. Keringat membasahi wajahnya yang jelek itu.
"Aku tak ingin membunuhmu, walaupun aku bisa. Sebaiknya kalian pergi saja.... Sebelum pikiranku berubah!" kata Purwadhika yang masih menempelkan golok ke leher Cilung.
Para pengunjung rumah makan itu merasa kagum dan berbisik-bisik satu sama lainnya.
"Edan! Pemuda itu ternyata memiliki ilmu yang luar biasa!" kata seorang lelaki setengah tua sambil bergeleng kepala.
"Ya, biar si Manusia Sombong dan pengacau seperti Cilung cepat mati di tangan pemuda itu! Biar penduduk tenang!" sahut temannya dengan muka sinis memandangi Cilung.
Purwadhika melempar golok Cilung ke lantai, kemudian dengan tenang melangkah ke arah tempat duduknya tadi. Untuk sesaat Cilung hanya bisa memandang Purwadhika, seakan merasa terkesima. Namun, kemudian dia cepat mengambil goloknya, ketika melihat Burisrawa melangkah sambil menggeser letak goloknya.
"Bangsat! Mulutmu keterlaluan, Anak Mu da! Perlu disobek dengan ini!" bentak Burisrawa sambil mencabut goloknya, kemudian tanpa basa-basi lagi menyerang Purwadhika diikuti oleh Cilung.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Cilung dan Burisrawa menyerang secara bersamaan dari sisi kiri dan kanan. Purwadhika dengan ketenangannya dapat mengelak dan menangkis pukulan dan sabetan golok kedua lawannya. Pada kesempatan yang baik, Purwadhika sempat mendaratkan pukulan ke dada Burisrawa dengan keras, hingga lelaki berambut keriting itu memekik dan terhuyung. Cilung dengan cepat menyerang Purwadhika yang sedikit membelakanginya.
"Heaaattt...! Mampus kau, Bocah Ingusan!" teriak Cilung menderu keras di atas kepala Purwadhika. Kalau saja pemuda itu terlambat sekejap, kepalanya mungkin tertebas golok Cilung. Purwadhika melompat ke belakang dan mendarat di atas meja. Burisrawa yang semakin marah, menggeram dan melompat diikuti oleh Cilung. Keduanya memutar-mutar golok dengan cepat sebelum membabatkan dan menusuk ke arah Purwadhika. Ketika keduanya membabat dan menusukkan golok masing-masing ke arah kepala dan perut lawan, Purwadhika memapaki dengan pukulan telapak tangan kanan, menggunakan 'Ajian Tapak Sakti'. Glarrr! Terjadi ledakan akibat pukulan 'Tapak Sakti' Purwadhika yang mengandung hawa panas bagai api, menghantam lawannya. Burisrawa dan Cilung terpental empat tombak ke belakang, lalu jatuh membentur meja dan kursi.
Brakk! Sementara Pendekar Gila menyaksikan dengan tersenyum-senyum di antara orang-orang yang masih ada di rumah makan itu. Purwadhika yang sebenarnya ingin membunuh Cilung, kembali mengurungkan niatnya, karena teringat pesan sang Guru. Maka dengan melangkah tegap dan tanpa bicara apa-apa lagi, pemuda itu keluar setelah membayar dengan kepingan uang pada pemilik rumah makan. Sena segera melesat keluar pula dari rumah makan itu. Sementara Cilung dan Burisrawa sudah kembali berdiri. Dan ketika melihat Purwadhika tidak ada di ruangan itu, keduanya segera melesat ke luar. Muka keduanya tampak mengeluarkan darah. Sedangkan di dada mereka membekas telapak tangan berwarna merah kehitaman.
Purwadhika belum jauh dari rumah makan itu. Sementara Pendekar Gila sengaja menguntitnya dari jarak agak jauh dengan sesekali merapat ke rumah penduduk.
"Hei Anak Muda, berhenti...!" bentak Cilung dengan marah.
Purwadhika menghentikan langkahnya dan membalik badan. Matanya menatap tajam ke arah Cilung dan Burisrawa yang mulai nampak pucat akibat pukulan 'Tapak Sakti' Purwadhika.
"Ada apa lagi, Sobat..?" tanya Purwadhika kalem.
"Kau harus menerima kematian hari ini...! Kau telah mencoreng mukaku di depan orang banyak. Rasakan ini!" Selesai berkata begitu, Cilung dan Burisrawa melompat ke udara dan bersalto dua kali, kemudian ketika sampai di atas Purwadhika, keduanya membabatkan golok ke kepala pemuda itu.
Wuttt, wuttt! Namun Purwadhika yang sudah dapat membaca serangan lawan, dengan mudah dapat mengelakkan. Purwadhika menjatuhkan tubuh bergulingan di tanah, lalu berdiri kembali dengan cepat Begitu Cilung dan Burisrawa mendarat, Purwadhika melakukan gerakan membuka jurus 'Tapak Sakti'. Cilung dan Burisrawa tak peduli, keduanya menyerang kembali dengan serentak. Cilung melompat-lompat seperti rusa sambil mempermainkan goloknya, sedangkan Burisrawa memutar tubuhnya cepat bagai gangsing. Itulah ilmu 'Angin Puyuh Pembawa Kematian' dan 'Rusa Iblis'.
"Hah..."!" gumam Purwadhika yang sempat kaget menyaksikan ilmu kedua lawannya.
Melihat begitu cepatnya serangan kedua tokoh hitam itu Purwadhika sempat terganggu pikirannya, karena merasa terkesima. Belum sempat pemuda itu mengerahkan 'Ajian Tapak Sakti'-nya tiba-tiba saja....
"Akh...!" Purwadhika menjerit keras. Rupanya golok Cilung dan Burisrawa sempat menggores kaki kirinya dan dadanya. Untung pemuda itu masih sempat mengelak, kalau tidak perutnya sudah tertusuk golok Burisrawa. Dengan secepat kilat Purwadhika melenting ke atas melewati kepala kedua orang lawannya.
Burisrawa dan Cilung membalikkan badan dan kembali menyerang lawan yang kaki kirinya sudah terluka. Namun Purwadhika seperti tak merasakan rasa sakit sedikit pun.
"Heaaa...!"
"Kucincang kau, Bocah...!" bentak Cilung dengan membabatkan goloknya dibarengi tusukan golok Burisrawa. Kini mereka tidak hanya menggunakan senjata, tapi kedua kaki yang terkadang menendang ke arah muka dan menyabet kaki Purwadhika. Namun Purwadhika dengan lincah meliukliuk mengelakkan serangan dahsyat kedua lawannya. Hingga pada suatu kesempatan, Purwadhika yang sudah tak sabar lagi, kembali menghantarkan pukulan telak ke arah rusuk Cilung. Sedangkan kaki kirinya menendang keras ke punggung Burisrawa. Bug! Bluk! "Aaakh...!" Burisrawa dan Cilung memekik keras. Tubuh mereka terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Namun keduanya segera bangkit berdiri dan kembali melancarkan penyerangan. Sementara itu, entah kenapa tiba-tiba Purwadhika berdiri dalam keadaan goyah dan gemetaran. Ternyata goresan golok Cilung yang sempat melukai kaki kirinya mengandung racun bisa ular kobra. Pemuda itu mulai limbung dengan tangan memegangi kepala seperti merasa pusing.
Melihat keadaan itu Sena terkejut. Sementara Burisrawa dan Cilung sudah mulai bergerak hendak menghabisi Purwadhika yang tengah sempoyongan. Namun, ketika keduanya melompat sambil berteriak hendak mengayunkan golok, secepat kilat Pendekar Gila melesat menghajar Cilung dan Burisrawa dengan tamparan serta tendangan kaki kanannya yang keras.
Plakkk! Bug! Bug! "Aaaakh...!" Kontan Cilung dan Burisrawa terpental dan ambruk di tanah. Secepat itu pula Pendekar Gila menyambar tubuh Purwadhika, lalu membawanya kabur. Sekejap Sena sudah tak kelihatan.
Sementara itu, Cilung dan Burisrawa baru bergerak bangun.
"Bangsat...! Siapa yang menolong pemuda itu..."!" sungut Cilung dengan geram, lalu memba-cokkan goloknya ke tanah.
"Edan, pinggangku hampir patah! Pasti penolong pemuda itu, orang yang kucurigai sejak tadi...!" Sejenak Burisrawa menyapukan pandangan matanya ke sekitar tempat itu.
Diperhatikannya rumah-rumah penduduk, barangkali pemuda itu masih berada tak jauh. Ternyata tidak ada. Hanya orang-orang yang tampak menyaksikan dengan rasa takut dari kejauhan.
"Ada apa kau, Burisrawa..."!" tanya Cilung.
"Sudah kuduga, dia pasti Pendekar Gila...!" seru Burisrawa penuh keyakinan.
"Hah..."!" Cilung nampak terkejut.
"Apa kau tidak mabuk..."!" tanya Cilung masih dalam keter-kejutannya mendengar Burisrawa menyebut nama Pendekar Gila.
"Aku yakin. Hanya dialah yang bisa berbuat seperti tadi.... Dan pakaian rompi kulit ular, serta tingkahnya itu yang kuingat," jawab Burisrawa dengan bergetar suaranya.
"Celaka! Kita akan mendapat kesulitan...! Sebaiknya kita cepat pergi dari sini!" ujar Cilung, lalu segera dia melangkah sambil memegangi ru-suknya.
Orang-orang yang menyaksikan dari depan rumah makan tersenyum-senyum sinis melihat kedua orang itu ngeluyur pergi.


֍₪֍¦ 4 ¦֎₪֎

Sena baru saja menyembuhkan luka dan mengeluarkan racun yang menjalar di tubuh Purwadhika. Murid Ki Tunggul Segara itu tampak lemas. Wajahnya yang pucat, basah oleh keringat dingin.
"Makanlah ini! Mudah-mudahan kau akan kembali sehat dan sembuh," kata Sena sambil mengulurkan tangan memberi obat pada Purwadhika. Purwadhika mengambil obat dari tangan Sena dan segera memakannya. Mata pemuda itu sedikit tertutup, kepalanya bersandar di batang pohon yang rindang.
Sena berdiri meninggalkan Purwadhika yang tertidur lemas di bawah pohon. Dia ingin membiarkan pemuda itu, agar pulih kesehatannya.
Tak beberapa lama kemudian, Purwadhika sudah mulai nampak segar. Wajahnya mulai merah dialiri darah. Perlahan dia membuka kedua matanya. Pemuda itu tampak kaget dan segera berdiri. Lalu memeriksa keris pusakanya. Dia merasa lega, ketika melihat keris itu masih terselip di pinggangnya.
"Mengapa diriku ada di sini..." Siapa tadi yang membawaku ke tempat sunyi ini. Bukankah tadi aku...," belum sempat Purwadhika melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba....
Kresekkk! Terdengar langkah seseorang dari balik semak-semak. Purwadhika segera bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dari arah suara tadi muncul Sena. Sambil tersenyum cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, dia melangkah dengan tenang menatap Purwadhika.
Purwadhika mengerutkan kening, memandangi Sena dari atas ke bawah. Pandangannya terhenti pada sebuah benda yang terselip di pinggang Sena. Kening pemuda itu semakin berkerut, seakan tengah mengingat-ingat pesan gurunya yang pernah menyebut nama seorang pendekar.
"Aha, rupanya kau sudah segar kembali, Sobat. Aku senang melihatmu sehat kembali....
Ternyata Hyang Widhi masih memberikan mukjizat pada obat itu...," kata Sena dengan cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepala, bertingkah konyol seperti orang gila.
Purwadhika terus mengingat-ingat dan memandangi tingkah Sena.
"Ah ah ah..., kenapa kau menatapku begitu" Apa ada yang aneh...?" tanya Sena sambil tertawa dan menepuk-nepuk pantatnya sendiri.
"Ya, ya... aku ingat... kau... kau kalau tak salah, Sena...," Purwadhika mengingat-ingat sambil memegang keningnya.
"Se... Sena Manggala...
atau Pendekar Gila...!" lanjut Purwadhika dengan wajah berseri lalu menjura.
"Aha..."! Kau ini ngaco, Sobat. Apa orang sepertiku ini pantas jadi pendekar.... Siapa kau sebenarnya?" Sena balik bertanya.
Sesaat kedua pemuda gagah itu saling pandang. Sena tersenyum cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Purwadhika kembali menjura. Lalu berkata dengan tegas.
"Aku Purwadhika, cucu Ki Tunggul Segara...." Mendengar nama Ki Tunggul Segara, Sena mengerutkan kening. Matanya menatap tajam Purwadhika, seperti menyelidik. Namun kemudian tertawa-tawa kecil.
"Cucu Ki Tunggul Segara...?" ulang Sena perlahan, "He he he..., benarkah Ki Tunggul Segara mempunyai cucu sepertimu.... Tapi, sudahlah aku mau pergi...."
"Tunggu Sobat...!" cegah Purwadhika, lalu mencabut Keris Pusaka Naga Sakti dari pinggangnya.
"Inilah tanda kebenaran bahwa aku cucu Kakek Guru Ki Tunggul Segara yang berjuluk Pendekar Bijaksana itu...." Purwadhika mengulurkan kedua tangannya yang memegang keris pusaka itu ke arah Sena.
Sena mengerutkan kening, seketika wajahnya berubah tegang. Sebab, mendadak dia teringat pada kedua orangtuanya yang mati terbunuh, oleh Segoro Wedi. (Tentang Segoro Wedi, silakan baca serial Pendekar Gila pada episode: "Suling Naga Sakti"). Karena jika Keris Pusaka Naga Sakti sempat diterima ayahnya dari Ki Aji Sena, Kakek Sena, kemungkinan Citra Yudha ayah Sena tak akan kalah atau mati ditangan Segoro Wedi.
Sejenak Sena menghela napas dalamdalam. Matanya masih menatap keris itu. Purwadhika tahu kalau Sena sedang melamun, mengingat nasib kedua orangtuanya.
"Maafkan aku, Sobat. Tentunya kau telah yakin bahwa aku tidak mendustaimu...," ucap Purwadhika pelan.
"Bagaimana kabar kakekmu?" tanya Sena tiba-tiba.
"Beliau baik-baik saja. Kakek Guru telah menceritakan semuanya padaku tentang keris ini, juga tentang dirimu, Sobat. Aku sangat bersyukur pada Hyang Widhi, bisa bertemu denganmu. Aku juga sangat berterima kasih, kau telah menyelamatkanku dari orang-orang serakah dan murka itu...," kata Purwadhika polos.
"Simpanlah keris itu baik-baik! Kau tentunya tahu, bahwa keris itu sedang dicari dan diperebutkan para tokoh hitam. Termasuk kedua orang yang bertarung denganmu tadi. Tujuanku datang kemari memang untuk menyelamatkan keris itu. Dan kini hatiku pun merasa lega, karena keris itu ada di tanganmu. Tapi kita harus tetap waspada. Karena saat ini mereka sedang mencari di mana keris itu berada...," kata Sena menjelaskan pada Purwadhika.
"Aku pun telah mengetahui dari kakekku.
Lantas apa upaya kita agar keris ini aman?" tanya Purwadhika.
Sena menghela napas sejenak, lalu menggaruk-garuk kepala sebentar.
"Tentu kau dan aku sudah dikenal oleh tokoh-tokoh yang ingin merebut Keris Pusaka Naga Sakti itu. Dan tentunya, kedua orang yang hendak membunuhmu di Kutareja itu kelompok mereka...," tutur Sena kemudian.
"Benar. Karena salah satu dari orang yang bentrok denganku itu adalah pembunuh ayah ibuku," jawab Purwadhika menjelaskan.
Sena tersentak mendengar penuturan Purwadhika. Ditatapnya wajah Purwadhika yang mendadak berubah sedih dengan kepala mendongak ke atas. Sena merasa iba mendengarnya.
Sejenak mereka sama-sama diam tak berkata sepatah kata pun. Pendekar Gila mondarmandir sambil menundukkan kepala, mencari jalan agar bisa leluasa bergerak untuk menyelidiki orang-orang yang memperebutkan keris pusaka itu.
"Aha, aku mendapat akal!" seru Sena tiba-tiba.
"Bagaimana?" tanya Purwadhika tak sabar.
"Kita harus menyamar sebagai pemintaminta. Aku berpura-pura buta dan sakit-sakitan.
Dan kau menuntunku ke mana tempat yang kita curigai," kata Sena diiringi senyum.
"Boleh juga, tapi bagaimana kita bisa seperti orang susah...?" tanya Purwadhika mulai tertarik.
"Tenang saja. Kita hidup harus pandai bersandiwara dan berpura-pura. Kalau tidak, bisa terinjak-injak oleh mereka-mereka yang berkuasa serta rakus akan harta dan kekuasaan," tutur Se-na pada Purwadhika.
"Aku sependapat denganmu Kak Sena. Aku banyak dengar dari Kakek Guru, bahwa rimba persilatan pun tak luput dengan adanya orangorang serakah dan durjana. Tak terkecuali tokohtokoh aliran lurus dan yang beriman lemah, bisa bersekutu dengan mereka yang beraliran sesat. Ya demi kepentingan diri sendiri...." Sejenak Purwadhika menghela napas pelahan.
"...seperti orang-orang kepercayaan ayahku, yang akhirnya berkhianat bahkan tega membunuhnya dengan keji. Hanya karena ingin menguasai keris pusaka ini.... Padahal ayahku waktu itu tidak menyimpannya. Kakekkulah sebenarnya yang menyimpan keris ini, hingga beliau juga merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kematian kedua orangtua ku. Kakek pun rela mati jika memang orang-orang itu mengetahui bahwa kakek yang menyimpan keris pusaka ini, sebelum diserahkan padaku...," tutur Purwadhika lebih lanjut.
"Tapi, keris itu kini kan sudah berada di tanganmu...," sahut Sena.
"Ya, tapi aku khawatir dan merasakan orang-orang itu telah tahu kalau Keris Naga Sakti ada di kakekku," kata Purwadhika.
"Bagaimana kau bisa mempunyai perasaan itu...?" tanya Sena coba memancing emosi Purwadhika. Sebenarnya Pendekar Gila pun sudah merasakan hal yang sama dengan Purwadhika.
"Karena Cilung, salah satu pembunuh kedua orangtua ku itu. Orang yang bentrok denganku di rumah makan tadi nampaknya akan mencari atau dalam perjalanan ke tempat kakekku...," jawab Purwadhika tegas.
Pendekar Gila tersenyum cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Lalu berkata, "Kau benar. Aku pun tadi mendengar ocehan mereka di rumah makan tadi. Dia memang sedang mencari keris yang kau sandang itu. Nah, sekarang kita harus atur siasat..."
"Siasat!" ulang Purwadhika sambil mengerutkan kening.
"Ya. Aku akan menyamar dan tetap dengan seperti ini...," ucap Sena, lalu membisikkan sesuatu pada Purwadhika, Purwadhika mengerutkan kening, kemudian tersenyum sambil menganggukkan kepala tanda setuju. Kedua pemuda gagah dan tampan itu berjabat tangan erat, menandakan persahabatan yang kuat dan sehati mulai terpadu.
"Benar, kata Kakek Guru, bahwa kau pendekar sejati dan berbudi luhur, Kak Sena...," suara Purwadhika yang polos dan tegas itu hanya membuat Sena cengar-cengir dan berkata, "Kau jangan terlalu berlebihan memujiku.
Aku sama denganmu. Kau juga akan menjadi pendekar yang disegani, asalkan mau menjalankan ajaran kakekmu dengan benar...," kata Sena lalu menepuk pundak Purwadhika.
Setelah itu Pendekar Gila melesat pergi, seraya berkata lagi, "Jalankan pesanku dengan baik! Kita harus menjebak mereka...!" Sekejap Sena menghilang dari pandangan.
Purwadhika menghela napas lega. Wajahnya nampak cerah.

***

Sementara itu Cilung dan Burisrawa menjadi semakin buas dan ngawur, karena kegagalannya mencari Purwadhika dan Sena. Keduanya jadi tak terkendali, membunuh dan merusak rumahrumah orang yang dilewati. Mereka keluar masuk hutan dan naik turun bukit, hanya untuk mencari Purwadhika dan orang yang menolongnya.
"Kita sebaiknya kembali pada rencana kita.
Menuju tempat persembunyian si Kakek Tua Tunggul Segara.... Kalau tidak kita akan mendapat marah Sadiro dan Sindang Manik," kata Burisrawa kesal.
"Aaah, persetan! Aku belum puas, sebelum dapat membunuh pemuda itu dan Pendekar Gila!" jawab Cilung geram.
"Kau jangan gegabah, Cilung! Kau pikir Pendekar Gila dapat mudah ditemukan dan kau kalahkan"! Kau bisa celaka sendiri." Sindang Manik, Empat Jin Botak dari Selatan, Sadiro, atau Wesi Geni pun tak akan mampu menandingi Pendekar Gila seorang diri!" sahut Burisrawa semakin kesal dan mulai muak dengan kawannya itu. Maka terjadilah perdebatan sengit antara mereka. Dan semakin keras ucapan-ucapan yang dilontarkan. Bahkan akhirnya terjadilah bentrokan fisik antara mereka.
"Hhh... kau memang manusia pengecut, Burisrawa! Heaaatt!" Cilung yang sudah tak bisa menahan emosi langsung menyabetkan goloknya ke tubuh Burisrawa. Namun Burisrawa menangkis dengan goloknya pula. Trang, trang, trang! "Heaaa...!" Burisrawa mencecar dengan permainan goloknya yang cepat, tak memberikan kesempatan pada Cilung untuk melakukan serangan balik.
"Kau Manusia Bodoh, Cilung! Aku tak mau mati konyol...!" seru Burisrawa sambil membabatkan goloknya ke kepala Cilung.
Golok itu melesat begitu cepat hingga membuat rambut Cilung rontok.
"Hah...!" Cilung tersentak kaget. Sementara Burisrawa agak terhuyung karena keseimbangan kakinya tak sempurna. Maka dengan cepat Cilung menendang Burisrawa.
Bug, bug! "Akh...!" Burisrawa memekik keras ketika tubuhnya tersuruk ke tanah. Cilung tertawa puas, lalu melompat hendak menghabisi Burisrawa yang menurutnya tak bisa dipercaya lagi.
"Kau harus dihabisi!" gumam Cilung geram sambil melangkah mendekati Burisrawa yang masih tengkurap. Cilung mengangkat tangan kanannya yang menggenggam golok, mau menebas tubuh Burisrawa. Namun tiba-tiba....
"Tunggu...!" Terdengar suara seseorang berseru, membuat Cilung kaget dan cepat membalikkan badan.
Sementara itu Burisrawa mulai bangun.
"Kau...!" bentak Cilung dengan mata membelalak lebar "Kenapa kau" Kaget melihatku..."!" sahut seorang pemuda yang ternyata Purwadhika.
"Bukankah kau mencariku?"
"Bukan hanya mencari. Aku ingin membunuhmu...!" sahut Cilung geram, lalu membuka jurus.
"Kau memang pembunuh licik, Cilung...!" tukas Purwadhika dengan tegas, sambil menyipitkan kedua mata, seakan menahan dendam di dalam hatinya.
"Hah"!" gumam Cilung lirih. Wajahnya berubah kaget, begitu mendengar namanya disebut Purwadhika.
"Dari mana kau tahu namaku..."!" Sementara itu Burisrawa tersenyum sinis pada Cilung. Kemudian berkata sambil mendekati lawannya itu yang mulai gusar.
"Kenapa kau gugup, Sobat" Pemuda itu mengenalimu. Tentunya... pemuda itu sudah lama mengenalmu...," ujar Burisrawa menyindir.
"Mengenali orang semacam kau tak sulit, Cilung! Walaupun kini kau mulai menua," pancing Purwadhika yang sebenarnya belum pernah bertemu dengan Cilung. Purwadhika hanya ingin mendapat kepastian bahwa Cilung memang salah satu pembunuh kedua orangtuanya.
"Siapa kau sebenarnya..."!" bentak Cilung.
Purwadhika tak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sejenak, mencari siasat.
"Apakah namaku sangat berarti buatmu" Sebaiknya kau tanyakan pada sahabatmu Mandra dan Sadiro!" Suara Purwadhika penuh penekanan pada waktu menyebut nama Mandra dan Sadiro. Membuat Cilung bukan main kagetnya. Kegugupannya semakin nampak jelas. Sejenak dia menoleh ke arah Burisrawa yang tersenyum mengejek. Lalu kembali menatap Purwadhika dengan perasaan cemas, tegang bercampur heran.
"Kau... kau kenal juga dengan Sadiro dan Mandra.... Di mana, kapan kau mengenai kedua sahabatku itu"!" tanya Cilung coba membentak Purwadhika. Purwadhika semakin yakin, bahwa Cilung merupakan salah satu pembunuh kedua orangtuanya. Matanya menatap tajam Cilung. Sementara dadanya berdetak cepat, menahan rasa dendam yang mulai membara. Namun dicobanya untuk melawan perasaan itu, karena tiba-tiba kembali teringat akan pesan kakeknya.
"Mestikah aku biarkan manusia licik ini tetap hidup" Apakah aku bisa membiarkan orang seperti Cilung bebas berbuat semaunya terhadap orang lain, seperti yang dia lakukan pada ayah dan ibuku?" begitu pertanyaan di dalam benak Purwadhika.
"Tak perlu aku menjawab pertanyaanmu, yang jelas kaulah orang yang kucari. Dan kau perlu sadar. Tinggalkan sifat murka dan serakahmu, jika kau ingin hidup damai di hari tuamu...," kata Purwadhika setelah dapat menguasai diri dan me-nekan perasaan dendam kesumatnya terhadap Cilung.
"Ha ha ha...! Pemuda ini lucu. Rupanya kau ini seorang pendeta yang suka berkotbah! Hei, Anak Muda, sebaiknya kau jadi pendeta saja atau kyai. Sebelum ajalmu tiba. Aku muak dengan ocehanmu. Heaaa...!" Cilung langsung menyerang Purwadhika dengan beringas dan penuh amarah. Sedangkan Burisrawa hanya menonton saja pertarungan itu.
Dengan pandangan sinis pada Cilung.
Sebentar saja Cilung mulai terkuras tenaganya, karena Purwadhika yang masih muda terus sengaja melakukan hal itu.
"Sebaiknya kau panggil Sadiro dan Mandra untuk membantumu...!" seru Purwadhika mengejek, menggugah kemarahan Cilung.
"Bangsat! Kurang ajar...! Mampus kau! Huh!" Cilung membabatkan goloknya ke arah kaki lawan. Namun sambil melompat Purwadhika melakukan tendangan berputar, tepat mengenai muka Cilung. Hingga tubuh Cilung melintir dan terhuyung ke samping. Nampak lelaki setengah tua itu merasakan tendangan Purwadhika yang keras, membuat kepalanya pening.
"Hem...! Anak muda ini tidak boleh dianggap remeh," gumam Cilung dalam hati.
Lalu Cilung membuka jurus pamungkasnya, 'Golok Maut Pencabut Nyawa'. Diputar dengan cepat goloknya, hingga nampak seperti balingbaling, menimbulkan suara menderu keras. Angin kencang pun seketika bertiup. Cilung melompatlompat seperti rusa, disusul dengan lompatan salto di udara, kemudian menukik sambil membabatkan goloknya ke kepala lawan.
Purwadhika tersentak kaget, melihat begitu cepat serangan Cilung, tahu-tahu sudah berada di atas kepalanya. Maka dengan cepat Purwadhika mencabut Keris Pusaka Naga Sakti.
Mendadak Cilung terpekik dan mengurungkan serangan susulan. Hawa panas bagai api menjalar begitu Keris Naga Sakti keluar dari warangkanya. Burisrawa pun tersentak kaget bukan main.
Segera dia bersiap dan mencabut golok, kemudian bersatu dengan Cilung untuk merampas Keris Naga Sakti yang ada di genggaman tangan kanan Purwadhika.
"Ha ha ha...! Kenapa kalian berdua melongo..."! Bukankah keris ini yang ingin kalian cari! Ambillah...!" kata Purwadhika dengan suara menggelegar.
Dari keris itu memancar cahaya yang menyilaukan Cilung dan Burisrawa. Membuat kedua orang aliran hitam itu bagai buta tak bisa melihat apa-apa.
"Aaakh... aku tak dapat melihat... Oooh jangan arahkan keris itu padaku! Aaakh...!" pinta Cilung sambil menutup mata dengan tangannya.
"Kenapa kau"! Inilah keris yang membuat kau membunuh kedua suami-istri bekas atasanmu delapan belas tahun yang silam...!" suara Purwadhika terdengar tegas dan menggelegar. Cilung jadi semakin kaget. Dadanya naik turun dengan cepat karena menahan rasa cemas dan takut "Siapakah pemuda itu" Mungkinkah dia anak Ramapati"! Celaka!" gumam Cilung lirih.
Burisrawa yang melihat temannya cemas dan ketakutan, jadi keheranan. Mulai timbullah pikiran jahatnya. Karena ujung keris itu diarahkan ke Cilung, maka sinar perak yang menyilaukan dan mengandung hawa panas itu tidak terasa panas bagi tubuh Burisrawa. Maka niat untuk menguasai keris itu menjadikan Burisrawa tak segansegan membunuh Cilung yang masih dalam keadaan menutup kedua mata dengan lengannya.
"Kesempatan ini tak akan kusia-siakan. Kalau dia mati, hanya akulah yang mengetahui di mana keris itu berada.... Dan aku akan melapor bahwa Cilung mati oleh Pendekar Gila...!" gumam Burisrawa dalam hati.
Maka dengan gerakan cepat Burisrawa membabatkan goloknya, menebas kepala Cilung.
Crasss! Seketika Cilung mati tak mengeluarkan suara lagi. Kepala Cilung putus menggelinding di tanah. Burisrawa nampak senang dan kemudian kabur. Meninggalkan Purwadhika.
Purwadhika yang tak menduga sama sekali akan hal itu hanya bisa terkesiap. Setelah bebera-pa saat baru dia melesat coba mengejar Burisrawa, namun lelaki berambut keriting itu sudah tak kelihatan.
"Edan! Kenapa jadi begini. Celaka! Pasti Burisrawa memberitahu Sadiro dan kelompoknya...!" gumam Purwadhika sedikit gusar.
Didekatinya mayat Cilung, wajahnya nampak penuh penyesalan.
"Guru, bukan aku yang membunuh orang ini.... Hyang Widhi ampuni orang ini...!" gumam Purwadhika dengan tulus. Lalu dia meninggalkan tempat itu.


֍₪֍¦ 5 ¦֎₪֎

Purwadhika berusaha mencari Pendekar Gila untuk memberitahu, bahwa rencana harus berubah. Karena Cilung mati di tangan Burisrawa yang telah mengetahui Keris Naga Sakti ada padanya.
"Aku harus cepat menemui Kak Sena. Kalau tidak, rencana itu bisa berantakan...," gumamnya sambil terus berlari menuruni perbukitan.
Ketika Purwadhika sampai di suatu dataran berbatu yang dikelilingi pepohonan tiba-tiba terdengar langkah derap kaki kuda dari arah utara.
Pemuda itu segera melompat dan bersembunyi di balik batu besar.
Derap kaki kuda semakin dekat. Purwadhika coba mengintip dari balik batu itu, ketika empat orang berkuda melintas di depannya. Empat orang berkepala botak dengan pakaian serba kuning kemerahan berlengan pendek.
Baju mereka yang panjang dibiarkan terbuka begitu saja. Hingga dadanya yang berbulu nampak jelas. Wajah mereka seperti kembar.
"Siapakah mereka"! Mungkin mereka kelompok Sadiro?" bertanya-tanya Purwadhika dalam benaknya.
Purwadhika tak segera beranjak dari tempatnya, dia nampak berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba melesat ke arah yang sama, ke selatan, seperti arah keempat lelaki botak tadi.
Sementara itu tanpa sepengetahuan Purwadhika, muncul lelaki bertutup muka hitam. Kepalanya juga tertutup rapat kain hitam, sehingga hanya matanya yang tersisa. Pakaian yang dikenakan pan serba hitam Sebuah benda terselip di pinggangnya, tak begitu jelas, karena tergenggam telapak tangan.
Rambutnya yang panjang agak ikal dibiarkan lepas begitu saja, hingga nampak angker. Tubuhnya yang tegap berdiri di atas sebuah batu. Memandangi Purwadhika yang berlari mengikuti keempat lelaki botak berkuda tadi.
"Huh"!" dengus lelaki dengan tutup muka hitam itu. Lalu lelaki misterius itu melesat pula ke arah Purwadhika pergi. Begitu ringannya gerakan yang dilakukan lelaki berpakaian serba hitam. Lincah dan gesit, menandakan bahwa dirinya, memi- liki ilmu peringan tubuh yang tinggi. Bagai terbang lelaki misterius berpakaian serba hitam itu. Dalam sekejap sudah melesat jauh sekali.
Dari balik lembah, muncul keempat lelaki botak berkuda, lalu menuruni lembah itu. Mereka memacu kuda dengan cepat, walaupun jalan yang dilalui sangat terjal, berbatu-batu dan menurun.
Tak lama kemudian mereka telah memasuki sebuah kawasan hutan jati. Dalam jarak yang agak jauh, sesosok bayangan berkelebat mengikuti mereka, berlari ke arah yang dituju kuda-kuda itu.
Rupanya Purwadhika. Pada saat yang bersamaan, sosok berpakaian dan berkedok serba hitam itu melompat-lompat di atas pohon, dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Begitu seterusnya, bagai seekor kera melompat dengan gerakan ringan dan cepat. Bahkan kini telah meninggalkan Purwadhi ka. Sampai di suatu tempat, keempat kuda yang ditumpangi empat lelaki botak dari selatan itu tiba-tiba berhenti dan berbalik arah. Keempatnya terjajar seperti menghadang seseorang. Ru- panya mereka merasa bahwa ada yang mengikutinya. Keempat lelaki berkuda itu tak lain Empat Jin Botak dari Selatan.
"Hemm...!" salah seorang mendengus. Matanya menatap ke depan. Begitu juga yang lain.
"Ke mana tikus itu..."!" gumam Jin Sudra dengan suara berat "Aneh, begitu cepat dia menghilang," sahut Jin Soka. Kemudian matanya melihat ke atas pohon-pohon jati yang ditumbuhi ranting dan dedaunan cukup subur dan lebat. Tak terlihat tandatanda kalau ada orang. Juga di sekeliling hutan itu. Kemudian keempatnya membalikkan lagi arah kuda mereka menuju selatan. Namun kali ini mereka berpencar, terbagi dua dengan jarak lima belas tombak dua di kiri dan dua di kanan.
Ketika mereka baru keluar dari hutan jati, sesosok bayangan melayang di udara. Setelah bersalto beberapa kali sosok itu mendarat dengan ringan di atas sebuah gundukan tanah yang seperti bukit berbatu. Empat Jin Botak dari Selatan seketika menghentikan kuda mereka. Keempatnya saling pandang dengan sikap waspada.
"Hei, Kisanak...! Siapa kau dan untuk apa mengikuti kami?" tanya Jin Sudra pada sosok berpakaian serba hitam dengan muka tertutup rapat itu.
"Aha...! Kau salah menduga, Sobat. Aku tak pernah menguntit orang. Sebelum kalian ada di sini, aku telah seharian di sini," jawab orang tertutup wajah kain hitam itu coba berbohong.
Pada saat itu di belakang Empat Jin Botak dari Selatan yang masih duduk di atas kuda masing-masing, kejauhan nampak seorang sedang mengendap-endap. Kemudian melompat bersembunyi di balik batu.
"Kisanak, sekali lagi jawab yang jujur siapa kau...!" kembali Jin Sudra bertanya, kali ini nada suaranya mulai keras.
"Aha, rupanya kau cepat naik darah, Sobat.
Baiklah, panggil saja aku Manusia Bayangan! Puas..."!" dari suaranya, jelas orang berpakaian serba hitam itu adalah lakilaki.
"Manusia Bayangan..."! Huh! Tepat sekali.
Tapi apa maksudmu menghalangi kami" Cepat jawab, sebelum kesabaranku hilang!" bentak Jin Kobra yang paling galak, dengan mata mendelik. Pada saat itu orang yang bersembunyi di balik batu besar berjarak sepuluh tombak dari mereka, muncul dan ternyata Purwadhika. Pemuda itu menyandarkan kepala di batu sambil mengerutkan kening.
"Mungkinkah orang berpakaian serba hitam itu Kakang...." Purwadhika tak meneruskan kata-katanya.
Dia hanya tersenyum lebar dan kembali menghadap ke arah keempat lelaki botak yang sedang berhadapan dengan Manusia Bayangan.
"Kalian ini mau ke mana, memasuki daerah ku! Sebaiknya kalian kembali saja. Kalau kalian ingin selamat...," kata Manusia Bayangan dengan nada mengejek.
"Kurang ajar! Kau kira kami ini anak kecil kau gertak begitu! Kau memang perlu diberi pelajaran Manusia Bayangan...!" bentak Jin Kobra yang paling cepat marah itu, seraya menghu-nuskan pedangnya.
"Aha... sabar, Sobat. Kalian tentunya sedang mencari sesuatu yang sangat berharga. Dan aku yakin kalian juga seperti para tokoh-tokoh persilatan lain, ingin menguasai sebuah benda pusaka yang saat itu sedang diperebutkan mereka...!" tutur orang yang menamakan dirinya Manusia Bayangan dengan nada menyindir.
Empat Jin Botak dari Selatan saling pandang dan mendengus.
"Hei, Manusia Bayangan! Cepat kau bicara jujur! Apa kau tahu di mana sebenarnya pusaka itu saat ini..."!" tanya Jin Soka sambil mende-katkan kudanya ke arah Manusia Bayangan yang tetap tenang dan berdiri tegap di atas gundukan tanah berbatu itu.
"Ha ha ha...! Apakah kalian ini sejak tadi tidak merasakannya" Bukankah kalian orang-orang yang berilmu tinggi?" ejek orang yang mengaku dirinya Manusia Bayangan.
"Hei, jangan bertele-tele, cepat katakan apa maksudmu mengejek kami...!" bentak Jin Kobra lagi. Sementara itu Purwadhika terus mengerutkan kening, mendengar ucapan sosok berpakaian serba hitam itu.
"Apa maksud ucapan Manusia Bayangan itu" Jangan-jangan aku yang di- maksud..."!" pikir Purwadhika cemas.
"Weleh, weleh! Ternyata kalian ini tak bisa merasakan bahwa kalian sedang dikuntit seorang pemuda yang juga bermaksud sama dengan kalian...!" tutur Manusia Bayangan.
Seketika Empat Jin Botak dari Selatan terkejut. Serentak mereka menoleh ke belakang, lalu membalikkan kuda masing-masing. Sementara itu pada saat yang bersamaan, Purwadhika juga terkejut mendengar ucapan Manusia Bayangan tadi.
"Edan! Siapakah Manusia Bayangan itu"! Kak Sena atau bukan..."!" gumam Purwadhika cemas dan kesal.
"Celaka...! Apa boleh buat aku harus menghadapi mereka. Mudahmudahan Kak Sena muncul...," gumamnya lagi.
Lalu Purwadhika muncul dengan tersenyum-senyum memandang Empat Jin Botak dari Selatan yang sudah siap dengan pedang terhunus.
"Ha... ha... ha...! Kalian mencariku..."!" tanya Purwadhika dengan tegas, sambil mengacungkan tangan kirinya ke arah Empat Jin Botak dari Selatan. Sementara itu Manusia Bayangan sudah menghilang entah ke mana.
"Rupanya kau yang menguntit kami sejak tadi. Apa maksudmu...?" tanya Jin Kala dengan suara berat.
"Bukan aku saja yang menguntitmu. Orang yang berpakaian serba hitam tadi juga menguntitmu...!" jawab Purwadhika tegas.
Empat Jin Botak dari Selatan jadi bingung dan menoleh ke arah tadi Manusia Bayangan berdiri. Namun tokoh itu sudah tak ada.
"Setan Belang! Kau dan Manusia Bayangan tentu sudah sekongkol! Tangkap dia...!" perintah Jin Sudra yang sudah tak bisa menahan kesaba-rannya.
Serentak tiga orang dari Empat Jin Botak dari Selatan menyerang Purwadhika.
"Heaaaat...!" Wut, wuttt! Pedang ketiga orang dari Empat Jin Botak dari Selatan menderu di atas kepala Purwadhika bergantian dan saling susul. Purwadhika merasakan tebasan pedang itu sangat berbahaya dan hampir saja menebas putus kepalanya.
Sementara itu Jin Sudra masih berada di atas kuda menyaksikan saudara-saudaranya mengeroyok Purwadhika.
"Hm.... Pemuda ini bukan orang sembarangan.... Siapa dia itu?" gumam Jin Sudra yang terus mengamati gerakan Purwadhika.
"Heaaa...!"
"Hop...!" Purwadhika melompat sambil bersalto di udara ketika babatan pedang ketiga lawannya berkelebatan begitu cepat dan ganas. Setelah mendarat dengan ringan di tanah, dengan cepat dia menghantarkan pukulan jarak jauh ke arah ketiga lawannya. Jeglarrr! Terjadi ledakan dahsyat. Pukulan jarak jauh Purwadhika yang sudah diketahui oleh ketiga jin botak itu dipapaki dengan menyilangkan pedang.
Purwadhika terkejut juga, karena pukulannya dapat ditangkis. Bahkan hampir saja dirinya terkena serangan balik yang cepat dari ketiga orang jin botak, kalau saja Purwadhika tidak bergulingan dan melompat mundur menghindari mereka.
"Edan...! Hampir saja aku modar...!" gumam Purwadhika.
Pada saat itu tiga jin botak sudah berlompatan mengurung Purwadhika yang berdiri di atas tanah lebih tinggi dari tempat tadi.
Ketiga orang dari Empat Jin Botak dari Selatan bergerak ke samping berbarengan dari pelan lalu bertambah cepat memutari Purwadhika. Pemuda itu terasa mulai pening kepalanya, karena melihat ketiga lawan mengurung dengan berputar cepat, hingga hanya bayang-bayang samar yang terlihat. Maka dengan berteriak keras, Purwadhika mencabut Keris Pusaka Naga Sakti. Diangkatnya tinggi-tinggi keris itu. Dan kemudian dengan cepat diarahkan ke ketiga lawan yang sedang mengita-rinya. Seketika sinar keperakan yang menyilaukan itu menghantam Ketiga Jin Botak dari Selatan.
"Aaakh...!" terpekik keras ketiganya sambil menutupi mata masing-masing. Jin Sudra membelalak kaget melihat keris pusaka yang mereka cari.
Namun seketika langsung tersadar dari keterkejutannya. Maka dengan cepat dia melompat ke arah Purwadhika yang agak membelakanginya, bermaksud ingin merebut Keris Pusaka Naga Sakti itu.
"Hiaaa...!" Namun berbarengan dengan melompatnya Jin Sudra, sesosok bayangan hitam telah melompat pula. Gerakannya lebih cepat dari Jin Sudra.
Sosok bayangan hitam itu dengan cepat menendang Purwadhika. Bersamaan dengan itu kaki yang lain menendang Jin Sudra hingga lelaki botak itu terpental jatuh. Dalam sekejap saja Keris Pusaka Naga Sakti sudah berpindah ke tangan orang berpakaian serba hitam yang ternyata si Manusia Bayangan. Purwadhika terpental pula, tapi dengan cepat bangkit berdiri. Dia kaget ketika tahu keris pusakanya sudah pindah tangan.
"Hah..."! Bangsat! Kembalikan keris itu, atau kubunuh kau...!" bentak Purwadhika marah.
Sementara itu Empat Jin Botak dari Selatan masih dalam keadaan terkesiap. Dan seperti terkena pengaruh gaib, keempatnya hanya bisa memandangi orang berpakaian serba hitam yang berdiri tegap sambil tertawa-tawa mengejek.
"Ha ha ha...! Anak Muda, kau boleh merebut keris ini jika bisa menangkapku. Dan keris ini akan membuatku lebih sakti dan akan menguasai rimba persilatan. Ha ha ha...! Aha, kalian Empat Jin Botak dari Selatan, bilang pada pimpinanmu, kalau mau keris ini cari aku! Ha ha ha...!" Purwadhika mengerutkan kening, "Suara itu..."! Aku kenal suara itu. Hah..."!" selesai bicara begitu, Purwadhika melompat menyerang lelaki bertutup kain hitam itu.
"Heaaa...!" Terjadi pertarungan antara Purwadhika dan Manusia Bayangan. itu. Mereka saling pukul dan tendang, penuh nafsu untuk saling mengalahkan.
Semangat itu lebih jelas terlihat pada usaha Purwadhika, karena kekhawatirannya terhadap Keris Pusaka Naga Sakti yang sudah berada di tangan musuh.
"Biarkan mereka bertarung, kita ambil kesempatan yang baik untuk menyerang mereka dan merebut keris itu...!" kata Jin Sudra pada ketiga saudaranya.
Pertarungan nampak seimbang, namun pada kesempatan pertama, Manusia Bayangan berhasil menghantam dada Purwadhika, hingga terhuyung. Tak cuma sampai di situ, dia mengejar ke arah lawan yang masih sempoyongan, lalu mencengkeram tubuh Purwadhika kemudian melemparnya kuat-kuat. Tubuh Purwadhika melayang jauh dan jatuh. Pada saat itu pula Manusia Bayangan melesat dan menghilang ke arah Purwadhika jatuh. Empat Jin Botak dari Selatan tampak kaget, melihat Manusia Bayangan begitu cepat menghilang.
"Hah"! Ke mana dia" Ayo, cari! Bodoh sekali kita ini...!" sungut Jin Sudra kesal lalu mereka ber-lompatan ke arah tempat Purwadhika jatuh.
Namun mereka tak menemukan siapasiapa. Kemudian keempatnya kembali ke tempat semula sambil marah-marah.
"Bodoh! Bodoh...! Seharusnya kita tadi cepat bertindak. Aku yang salah! Tapi yang penting kita mencari Manusia Bayangan itu. Karena keris pusaka itu dia yang kuasai. Dan pemuda itu biarkan saja mampus!" tutur Jin Sudra dengan geram.
Lalu keempatnya segera melompat ke punggung kuda dan cepat melarikannya ke arah Manusia Bayangan tadi menghilang.

***

Orang yang mengaku Manusia Bayangan ternyata membawa Purwadhika ke suatu tempat yang sepi dan sunyi. Di situlah pemuda itu digeletakkan. Orang berpakaian serba hitam dengan muka tertutup itu segera menotok bagian tubuh Purwadhika untuk menyadarkannya.
"Ukh...!" Purwadhika mulai mengeluh. Perlahanlahan dia membuka kedua matanya. Pemuda itu kaget melihat sosok hitam berdiri di hadapannya dengan memegang Keris Pusaka Naga Sakti. Purwadhika segera berdiri dan ingin merebut keris itu.
Namun orang yang mengaku Manusia Bayangan menangkap tangan Purwadhika, pemuda itu segera berkelit dan dengan cepat pula tangannya ingin menyambar penutup muka lawan.
Namun orang itu menangkis dan dengan cepat mendorong tubuh Purwadhika. Hingga terhuyung ke belakang. Dan ketika Purwadhika hendak melakukan serangan ulang dengan menggunakan jurus dan ajian 'Tapak Sakti', tiba-tiba orang misterius itu berseru.
"Tunggu...! Aha, rupanya kau masih belum mengerti Purwadhika. Kau lupa akan rencana kita...!"
"Hah..."! Kak Sena.... Kau..."!" sentak Purwadhika dengan wajah kaget.
Orang itu tak menjawab, tapi segera membuka kain penutup wajahnya. Dan ternyata Sena atau Pendekar Gila.
Purwadhika tertawa-tawa, lalu menjura.
"Maafkan aku yang bodoh ini, Kak Sena! Aku lupa akan rencana kita. Tapi Kak Sena tidak mengatakan kalau akan berpakaian begini. Jadi aku terus terang ragu...," tutur Purwadhika.
"Tak apa, yang penting mereka sudah dapat kita kelabui. Dan aku yakin, Empat Jin Botak dari Selatan akan menceritakan pada pimpinan mereka. Kita tetap dengan rencana kita. Agar mereka menuju tempat Ki Tunggul Segara. Dan di situ nanti kita jebak dan tangkap mereka," ujar Sena penuh semangat "Tapi, kalau mereka batalkan untuk ke tempat kakekku, bagaimana?" tanya Purwadhika.
"Itu bisa kita atur nanti. Yang penting kau kini lebih leluasa menyelidiki dan mencari tahu rencana mereka. Dan jika kau bertemu mereka jangan terbawa oleh rasa dendammu. Mungkin saja di antara mereka ada orang yang membunuh orangtuamu...."
"Aku akan selalu ingat, Kak Sena," jawab Purwadhika.
"Kalau aku boleh tahu, siapa pimpinan mereka...?" tanya Purwadhika ingin tahu.
"Aku kurang tahu. Tapi aku mendapat kabar dan mendengar orang-orang di Kutareja, bahwa mereka tak punya pimpinan. Hanya saja lelaki yang bernama Sindang Manik merupakan orang yang disegani, di antara mereka...."
"Siapa Sindang Manik itu..." Apakah Kak Sena tahu...."
"Menurut berita yang kudapat dari orangorang yang juga membenci kelompok mereka, Sindang Manik adalah orang buronan. Prajurit Kadipaten Pasuruan masih mencarinya. Dan lagi, kabarnya nama yang disandangnya adalah nama palsu," tutur Sena.
Purwadhika manggut-manggut, lalu menatap Sena kembali.
"Ini semakin mempermudah kita untuk menangkap mereka, bukan begitu Kak Sena?" tanya Purwadhika.
"Mungkin. Tapi ingat orang-orang macam Sindang Manik selalu bersifat licik. Aku malah ingin menangkap Sindang Manik lebih dulu. Untuk itu kita perlu seorang yang mengenali wajah Sindang Manik," usul Sena. Lalu menutup mukanya kembali dengan kain hitam tadi.
Hanya tinggal matanya saja yang terlihat.
"Ada apa, Kak Sena..."!" tanya Purwadhika sambil menoleh ke kanan kiri.
"Sssttt..!" Sena segera mengiyaratkan agar Purwadhika tidak berbicara lagi. Lalu tubuhnya melompat ke arah semak-semak.
"Hop...!"
"Heaaa...!" Tiba-tiba dari balik semak-semak melompat seorang yang juga bercadar warna merah dan berpakaian silat warna merah pula. Rambutnya tertutup kain hitam. Kemudian Sena mengejar orang bercadar merah itu.
Pertarungan Sena dan orang bercadar tak berjalan lama, karena hanya tiga jurus pembuka, Pendekar Gila telah dapat membuat orang bercadar itu kewalahan dan tersungkur di tanah. Purwadhika menghampiri bermaksud ingin membantu orang bercadar merah itu untuk berdiri. Namun orang bercadar itu menendang pantat Purwadhika, lalu dengan cepat bangkit hendak melancarkan serangan. Namun Pendekar Gila telah menghadangnya dan dengan sekali gebrak orang bercadar itu terhuyung-huyung ke belakang. Secepat kilat Sena membuka cadar orang itu.
"Hah..."!" Sena bergumam pendek, kaget ketika tahu bahwa lawannya seorang wanita. Terlihat dari sinar matanya Pendekar Gila tampak menyesali tindakannya barusan.
"Maafkan aku! Tapi, kenapa kau mendengarkan pembicaraan kami" Dan bagaimana kau bisa ada di sini..?" tanya Sena sedikit mendesak.
Wanita muda itu tak langsung menjawab.
Matanya memandang Purwadhika dengan tak berkedip. Pada saat itu pula, Purwadhika tengah menatap wajahnya yang cantik. Pandangan pertama mereka membuat saling jatuh hati.
"Hem em...!" Sena mendehem.
Purwadhika tampak tersipu malu dengan wajah merah. Lalu tersenyum-senyum pada Sena dan juga pada wanita muda itu.
"Namaku Lilasari, dari Kadipaten Pasuruan.
Aku putri tunggal Adipati Aji Sampurno," kata wanita muda memperkenalkan dirinya pada Sena dan Purwadhika.
"Jadi... jadi kau dari Kadipaten Pasuruan..."!" ulang Purwadhika, lalu menoleh ke arah Sena yang terus menatap Lilasari seperti tengah menyelidik kebenaran ucapan wanita itu.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini dan untuk apa tadi mendengarkan pembicaraan kami.
Berkatalah secara jujur!" desak Sena sambil terus menatapnya.
Kembali Lilasari menatap Purwadhika yang tampan itu sambil tersenyum manis. Sena jadi menarik napas panjang, lalu membisikkan sesuatu pada Purwadhika. Pemuda itu tersenyum malu.
Sena lalu melangkah dan membalik badan, membiarkan Purwadhika berdua dengan Lilasari. Karena Sena tahu kalau wanita itu menaruh hati pada Purwadhika. Purwadhika mendekati Lilasari. Lilasari nampak senang.
"Sebenarnya ada apa denganmu" Apakah kau sengaja kabur dari kadipaten, atau...!" tanya Purwadhika dengan lembut.
"Terus terang saja, aku ingin membalas dendamku atas kematian ayahku Adipati Aji Sampurno," ucap Lilasari dengan mata berkaca-kaca.
Mendadak wajahnya yang tadi nampak manis, kini menjadi murung.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" tanya Purwadhika yang mulai tersentuh hatinya, karena Lilasari mempunyai persoalan yang hampir serupa dengannya.
"Wongso Guno...!" jawab Lilasari dengan lemah, tapi jelas di telinga Purwadhika.
"Siapa Wongso Guno itu?" tanya Purwadhi-ka ingin tahu.
"Wongso Guno adalah bekas Senapati Pasuruan. Tapi ketika dia tertangkap basah sedang berbuat mesum dengan ibu tiriku, Wongso Guno dengan licik membunuh ayahku dan juga ibu tiriku. Lalu dia menghilang sampai sekarang," tutur Lilasari dengan penuh perasaan.
Purwadhika merasa haru mendengar cerita Lilasari dihelanya napas dalam-dalam. Dipandanginya lekat-lekat wajah cantik wanita itu.
"Aku bersumpah, jika bertemu dengan Wongso Guno dan dapat membunuhnya, aku akan menggundul kepalaku. Karena itu aku terus merantau dengan cadar ini. Agar jika bertemu dengan Wongso Guno, dia tak mengenali diriku...." Sementara itu Sena mulai mengerti dan sedikit mulai yakin bahwa Lilasari bukan bicara bohong. Sena bisa melihat dari raut wajah Lilasari yang polos. Walaupun Sena belum sepenuhnya percaya pada penuturan wanita itu.
"Apakah kau masih ingin mencari Wongso Guno...?" tanya Purwadhika memancing Lilasari.
"Jelas, kan tadi aku sudah katakan, semuanya padamu. Aku ingin ada orang yang mau membantuku. Dan aku akan memberikan hadiah pada siapa saja yang bisa membunuh Wongso Guno," kata Lilasari kemudian.
"Wah, hebat ada hadiahnya! Hadiah apa kiranya...?" tanya Purwadhika ingin tahu dengan tersenyum-senyum lalu sebentar menoleh ke arah Sena, yang masih berdiri memperhatikan mereka tak jauh dari tempat itu.
"Orang itu akan kujadikan kusir kudaku dan tak dapat gaji, hanya makan sehari tiga kali....
Hi hi hi...!" kata Lilasari dengan tertawa-tawa, geli sendiri.
"Wauuu...! Lebih baik aku tak jadi menolongmu. Aku kira kau mau beri aku uang emas sekarung...!" ujar Purwadhika, lalu tertawa-tawa pula. Sena hanya tersenyumsenyum mendengar kelakar kedua muda-mudi itu, lalu melangkah menghampiri mereka.
"Sebaiknya kita pergi dari tempat ini. Soal itu biar nanti kita bicarakan. Tapi aku minta padamu Purwa, beritahu wanita itu agar dapat merahasiakan rencana kita. Dan benda itu akan kusimpan di tempat yang aman. Aku sudah mendapatkan cara untuk mengamankan benda itu," selesai berkata Sera segera melesat pergi.
"Aneh, orang macam apa dia" Siapa dia sebenarnya, saudaramu?" tanya Lilasari.
"Ya. Dia kakakku yang aneh. Sudahlah jangan pikirkan dia lagi! Biar begitu dia sangat baik," kata Purwadhika kalem.
"Oh, ya. Kau belum memperkenalkan siapa namamu...," kata Lilasari dengan lembut serta sedikit genit "Ooo... ya, ya. Aku Purwadhika.... Aku anak gunung. Sejak kecil aku sudah ditinggal kedua orangtua ku. Ya, sama seperti ceritamu. Dibunuh oleh bekas orang kepercayaannya." Sejenak Purwadhika menghela napas, lalu berkata lagi, "Memang aneh! Manusia memang tak pernah puas dengan apa yang sudah mereka dapat. Kupikirpikir, manusia bisa lebih buas daripada serigala...!" Lilasari menatap Purwadhika dengan pandangan sayu penuh arti. Wanita muda itu memang telah tertarik dan jatuh hati pada Purwadhika sejak pandangan pertama. Bukan karena kegagahan dan ketampanan pemuda itu, melainkan karena kepolosan dan senyumnya.
Kemudian keduanya meninggalkan tempat itu dengan berbagai perasaan yang mereka bawa...


֍₪֍¦ 6 ¦֎₪֎

Sementara itu Sindang Manik, Sadiro, dan Wesi Geni sangat terkejut mendengar cerita Burisrawa. Bahwa Cilung mati dibunuh seorang pemuda yang memiliki Keris Pusaka Naga Sakti.
"Huh...! Bagaimana bisa terjadi..."!" geram Sadiro si Muka Pucat marah, "Lalu siapa pemuda yang menguasai keris itu"! Aku harus dapat menemukannya, akan kubunuh dia dengan caraku!"
"Rencana kita jadi berantakan gara-gara kecerobohan kau... dan Cilung!" dengus Sindang Manik sambil menuding Burisrawa.
Burisrawa pura-pura ketakutan dengan kepala tertunduk. Namun dalam hati, dia merasa senang dapat memperdaya Sindang Manik dan Sadiro. Wesi Geni yang sejak tadi berdiam diri, asyik menggosok kuku-kuku kakinya, hanya tersenyum-senyum, lalu berucap.
"Kenapa tidak si Empat Jin Botak dari Selatan itu yang mampus duluan! Biar aku bisa tertawa-tawa sehari semalam."
"Jangan kau takabur bicara! Kita harus bersatu dan sehati, agar dapat memperoleh keris pusaka itu!" sambar Mandra yang nampak murung, karena Cilung sahabatnya telah mati terbunuh. Sejenak mereka sama-sama terdiam. Masing-masing mencari jalan untuk menemukan Purwadhika yang diceritakan oleh Burisrawa.
"Sebaiknya kita berpencar. Aku bersama Wesi Geni mencari ke arah utara. Dan kau, Sadiro bersama Mandra dan Burisrawa ke arah selatan menuju tempat Burisrawa bertemu dengan pemuda itu...," kata Sindang Manik atau Wongso Guno dengan suara datar.
Baru saja Sindang Manik selesai berkata begitu, tiba-tiba muncul Empat Jin Botak dari Selatan. Tersentak Burisrawa melihat kedatangan mereka. Diam-diam Burisrawa hendak menyelinap pergi, namun niat itu dia urungkan, karena Mandra melihatnya.
"Kenapa kalian kembali" Bukankah tugas kalian menyelidiki lebih dulu keadaan persembunyian Ki Tunggul Segara"!" tanya Sindang Manik dengan wajah penuh keheranan.
"Kami perlu memberitahukan pada kalian, bahwa keris pusaka itu telah jatuh ke tangan seo rang berpakaian serba hitam dengan menutup bagian mukanya. Orang itu mengaku bernama Manusia Bayangan...!" tutur Jin Sudra dengan tegas dan berwibawa.
Wajah-wajah yang mendengar berita itu mendadak tegang dan memerah, tanda marah! Gigi-gigi mereka bergemeletukan menahan amarah yang luar biasa. Sindang Manik lalu menoleh ke arah Burisrawa dengan tatapan mata tajam dan curiga.
"Kau, Burisrawa bicaralah secara jujur! Apa sebenarnya yang telah terjadi..."!" bentak Sindang Manik sambil menuding Burisrawa.
Burisrawa yang dibentak begitu tak merasa ciut nyalinya. Wajahnya menoleh dan menatap tajam pada Sindang Manik.
"Sudah kukatakan, Cilung mati terbunuh oleh pemuda berpakaian coklat muda, yang memiliki keris pusaka itu. Apa kau belum cukup mengerti...!" Burisrawa balik membentak keras, dengan mata membelalak lebar.
"Kau harus sadar Sindang Manik, bahwa di antara kita sama rata. Tak ada pimpinan atau ketua! Kita sama-sama menginginkan Keris Pusaka Naga Sakti. Dan siapa yang tahu kalau di dalam hatimu tersimpan maksud jahat pada kami...!" lanjut Burisrawa dengan nada lebih keras. Tersinggung bukan main Sindang Manik mendengar tuduhan itu. Meskipun di hatinya memang tersimpan rencana seperti yang disebutkan Burisrawa barusan. Bekas Senapati di Kadipaten Pasuruan itu berniat jahat terhadap kelompoknya sendiri, jika telah mengetahui siapa pemegang Keris Pusaka Naga Sakti.
Sindang Manik dengan geram hendak menyerang Burisrawa. Namun dengan cepat Sadiro menahan sambil berbisik ke telinganya.
"Tenang...! Kalau kau lakukan, rencana kita akan ketahuan mereka. Sabar.,.!" bisik Sadiro, lalu pura-pura menyalahkan Sindang Manik dengan berkata, "Hatimu terlalu dihantui rasa ketakutan dan ketegangan, Sindang Manik.
Kau tak perlu bersitegang dengan kawan satu kelompok! Aku tidak suka caramu ini...!" Sandiwara Sadiro yang bermuka pucat itu rupanya berhasil mengelabui mereka. Namun tidaklah demikian dengan Burisrawa. Lelaki yang bermuka lebar itu sepertinya tak mau percaya dengan kata-kata Sadiro. Burisrawa mencibirkan bibir, lalu pergi. Dia keluar dari rumah tua yang lebih mirip kuil itu.
Sindang Manik hendak mengejarnya, tapi Sadiro mengedipkan matanya. Sehingga Sindang Manik segera mengurungkannya dan hanya bisa menghela napas dalam-dalam, menahan rasa dendam pada Burisrawa yang sempat menyinggung perasaannya.
"Jin Sudra, lanjutkan keteranganmu...!" kata Sadiro kemudian.
"Kita harus mencari orang bertutup muka dan berpakaian serba hitam itu!" kata Jin Sudra tegas.
"Lalu bagaimana dengan pemuda yang menurut Burisrawa telah membunuh Cilung itu...?" tanya Sadiro dengan suara datar.
"Cilung terbunuh" Oleh pemuda itu..."! Bisa jadi, karena pemuda itu menguntit kami sejak keluar dari Kutareja," tutur Jin Sudra kemudian.
"Lantas kelanjutannya bagaimana dengan orang berkedok hitam itu?" tanya Sindang Manik tiba-tiba.
"Pemuda yang memiliki keris itu dihajarnya, setelah orang yang mengaku Manusia Bayangan menghantamnya.... Kemudian dilemparkannya pemuda itu dengan kekuatan luar biasa. Setelah itu dia menghilang.... Kami terus berusaha mencari, namun tak menemukannya, juga pemuda itu...," tutur Jin Sudra dengan gamblang.
"Setan Belang...! Akan kucincang orang keparat itu jika kutemukan...! Ayo, kita cari orang itu dan rebut Keris Pusaka Naga Sakti dari tangannya!" seru Sindang Manik. Kemudian melangkah keluar dari rumah tua itu, diikuti yang lain.
Di luar Burisrawa sudah tak kelihatan batang hidungnya.
"Ke mana si Burisrawa...?" tanya Sadiro pa-da diri sendiri.
"Aaah, jangan pikirkan dia!" sahut Sindang Manik, lalu melompat ke punggung kuda. Mereka segera meninggalkan rumah tua itu, memacu kuda dengan cepat Sepeninggal Sindang Manik dan kawankawan, muncul Burisrawa dari balik bangunan tua itu. Mulutnya tertawa sinis, memandang ke depan.
"He he he... tahu rasa kalian! Kalian pikir aku orang bodoh!" gumam Burisrawa lalu melesat pergi dari tempat itu.

***

Hampir seharian Purwadhika dan Lilasari berjalan menyusuri jalan setapak di dekat sebuah telaga yang berair jernih. Kedua muda-mudi ini nampak semakin akrab. Bahkan Lilasari nampak sudah berani bermanja-manja kepada Purwadhika.
"Kalau saja aku bertemu denganmu sebelum kejadian yang menimpa ayahku, mungkin suasana lebih indah dan menyenangkan...," ucap Lilasari dengan manja sambil mempermainkan tangan Purwadhika.
Purwadhika hanya tersenyum-senyum. Ditatapnya Lilasari dengan penuh arti.
"Apakah kau tidak merasa risih berjalan bersamaku yang hidup tak menentu ini...?" tanya Purwadhika merendah.
"Aku menyukai atau mencintai seseorang bukan karena kedudukan, pangkat, kaya, atau miskin. Tapi kesetiaan dan keluhuran budinya.
Serta jujur padaku," jawab Lilasari dengan polos dan tegas.
Lalu wanita itu menghentikan langkahnya, begitu juga Purwadhika. Lilasari membalikkan badan, berhadapan dengan Purwadhika. Sejenak keduanya saling pandang. Purwadhika merasakan sentuhan tangan lembut Lilasari.
"Aku mengerti perasaanmu, Lila. Tapi, bukan sekarang. Ini bukan saat yang tepat bagi kita.
Bukankah kau sedang berusaha mencari pembunuh ayahmu" Mari, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan kita...!" ajak Purwadhika dengan merangkul Lilasari. Rupanya wanita muda itu mengerti dan dapat memahami maksud Purwadhika.
"Oh, ya. Bukankah orang-orang kadipaten dan para prajurit sedang mencari Wongso Guno" Kenapa kau tak bersama-sama mereka...?" tanya Purwadhika tiba-tiba.
"Paman Patih Tutuka melarangku untuk ikut. Dia menganggapku belum pantas, karena dianggapnya tak memiliki ilmu silat yang bisa diandalkan. Maka itu aku diam-diam pergi tanpa sepengetahuan mereka...," tutur Lilasari dengan polos dan tegas.
Purwadhika mengangguk-anggukkan kepala, tanda mengerti.
"Aku kagum denganmu, Lila. Mungkin darah kesatriaan ayahmu menitis padamu," kata Purwadhika memuji.
Lilasari hanya tersenyum manis seraya menempelkan kepalanya di dada Purwadhika. Mereka terus melangkah menyusuri jalan setapak yang menurun. Tiba-tiba saja Lilasari berlari dengan tertawa-tawa riang, ke tepi telaga. Tangannya mempermainkan air telaga, lalu mencuci mukanya dengan air telaga yang jernih itu.
"Purwa...! Aku mohon kau tidak keberatan pergi sebentar, tapi jangan jauh-jauh.... Aku mau menyegarkan tubuhku. Sudah seharian aku tak mandi...," ujar Lilasari sedikit berteriak.
"Hah..."!" gumam Purwadhika, "Ya, ya... aku pergi. Jangan lama-lama!" Setelah itu Purwadhika melangkah, menjauhi telaga itu. Lalu dia menyandarkan tubuh duduk di balik pepohonan dan semak-semak, agak jauh dari tempat Lilasari.
Pada saat itu, sepasang mata liar mengamati Lilasari, dari balik semak belukar tak jauh dari tempat telaga itu.
Baru saja Lilasari membuka pakaian atasnya, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat "Aaakh..,!" Lilasari sempat memekik.
Purwadhika terkejut mendengar jeritan itu.
Dengan cepat dia melompat. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat Lilasari sudah tak ada di telaga.
"Lila...!" serunya memanggil.
Srakkk! Terdengar suara lari seseorang. Purwadhika masih sempat melihat berkelebat sesosok tubuh di balik semak-semak. Dengan cepat Purwadhika melesat menggunakan ilmu peringan tubuh, hingga bagai terbang, memburu penculik itu.
Akhirnya Purwadhika dapat mengejar si Penculik. Dengan teriakan panjang pemuda itu melompat mendahului orang yang membopong Lilasari. Ketika tubuh Purwadhika melayang di atas kepala si Penculik dengan cepat kakinya menendang keras kepala orang yang tak lain Burisrawa.
Bug, bug! "Aaaakh...!" Tubuh Burisrawa terpental, bergulingan bersama Lilasari. Purwadhika segera mengejar dan cepat menyelamatkan Lilasari lebih dulu, sebelum menghadapi Burisrawa.
"Menyingkirlah dulu, Lila! Biar orang ini kuberi pelajaran...!" seru Purwadhika. Lilasari yang nampak cemas, menutupi dadanya dengan kedua tangan sambil menyingkir bersembunyi di balik pohon besar.
"Kau memang kurang ajar...! Rasakan ini.
Heaaa...!" Purwadhika dengan cepat menghantarkan pukulan ke arah Burisrawa yang siap telah memapakinya. Namun pukulan Purwadhika ternyata hanya tipuan belaka. Sehingga Burisrawa yang sudah siap untuk menghadang dan menangkis kaget, karena tahu-tahu sebuah tendangan mendarat keras di rusuk sebelah kirinya.
"Aaakh...!" Burisrawa kembali menjerit. Tubuhnya terpental ke tanah. Namun dengan cepat bangkit berdiri dan segera mencabut goloknya. Dengan mengeluarkan jurus mautnya, golok itu diputar cepat seraya terus mendekati Purwadhika. Dan ketika jarak dirasakan cukup, Burisrawa secepat kilat melompat sambil mengayunkan golok dengan cepat pula ke arah Purwadhika yang sudah siap dengan segala kemungkinan.
Satu gelombang angin kencang menerpa ke arah Purwadhika. Murid Ki Tunggul Segara ini terkejut ketika merasakan sabetan golok lawan hampir saja memenggal kepalanya. Untung saja dia cepat melompat sambil merunduk ke samping.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, Purwadhika mengimbangi diri balas melancarkan serangan balik yang cepat dan ternyata tepat mengenai sasaran. Pukulan 'Tapak Sakti' yang mematikan itu mendarat telak di ulu hati Burisrawa. Seketika golok di tangan kanan Burisrawa terlepas, disusul tubuhnya terhempas di tanah. Terdengar suara erangan keras menahan sakit di dadanya. Ketika lelaki berambut keriting itu membalik, wajahnya nampak pucat kebiruan. Di dadanya bertanda telapak tangan Purwadhika biru kehitaman. Purwadhika menghampirinya. Pemuda itu nampak menyesal melakukan itu. Namun semuanya sudah terjadi.
"Maafkan aku, Kisanak! Bukan maksudku untuk melukai atau membunuhmu... tapi, kau sendiri yang menginginkan itu...," kata Purwadhika dengan nada suara tegas.
"Ahkk... he hee... aku tak menyesal mati di tanganmu, Anak Muda. Daripada aku mati di tangan mereka...," sahut Burisrawa dengan tersendat-sendat. Sementara itu Lilasari masih bersembunyi di balik pohon. Dari jarak yang tak jauh, Lilasari mendengarkan dan menyaksikan semuanya, den- gan wajah cemas dan sedih.
"Siapa yang kau maksud dengan mereka itu...?" tanya Purwadhika seraya mendekati Burisrawa.
"Orang-orang murka dan serakah. Teman-temanku sendiri. Mereka ingin mencarimu dan orang yang mengaku Manusia Bayangan. Mereka, akh... mereka akan merebut Keris Pusaka Naga Sakti. Eakh...," sejenak Burisrawa mengeluh dan meringis, "Mereka kejam...! Kau harus hati-hati, Anak Muda.... Si Muka Pucat Sadiro dan Sindang Manik..., orang yang paling serakah dan tak segan-segan membunuh siapa pun secara bengis dan licik. Tak peduli teman sendiri, kalau menantang akan dibunuhnya. Termasuk aku yang sering menantangnya... ook akh.....Maafkan aku...!" selesai berkata Burisrawa lalu menghembuskan napas yang terakhir. Purwadhika mengusap muka Burisrawa seraya bergumam.
"Hyang Widhi, ampuni segala dosa-dosanya! Terimalah dia di alam sana...!" Purwadhika berdiri dan menoleh ke arah Lilasari. Lalu melangkah mendekatinya. Lilasari langsung memeluk Purwadhika dengan perasaan sedih bercampur tegang.
"Ooh... semua ini gara-garaku. Aku telah menyusahkanmu, Purwa," terdengar suara lembut dari mulut Lilasari.
"Tidak.... Sudahlah jangan menangis!" ujar Purwadhika, lalu membuka bajunya dan mema-kaikan pada Lilasari.

***

Sementara itu di suatu tempat dekat Lembah Sarangan, terjadi pertarungan seru antara Prajurit Kadipaten Pasuruan dengan Sindang Manik dan kawan-kawannya.
Sindang Manik yang merupakan mantan senapati nampak menghadapi seorang lelaki berkumis melintang. Sorot matanya tajam, menandakan lelaki berusia kira-kira empat puluh lima tahunan itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
"Kau manusia terkutuk dan tak punya rasa berterima kasih, Wongso Guno. Kau tak bisa mengelabuiku dengan memakai nama samaran Sindang Manik...!" seru lelaki yang berpakaian kadipaten. Dialah Patih Tutuka, Paman Lilasari.
Sindang Manik atau Wongso Guno terus mengelak mundur, karena Patih Tutuka terus mencecarnya, dengan sabetan dan tusukan kerisnya. Serangkum angin menderu keras dan menghantam tubuh Sindang Manik.
"Uhk...!" pekik Sindang Manik dengan tubuh terhuyung ke belakang. Rupanya Patih Tutu- ka bukan hanya menggunakan senjata kerisnya, melainkan juga pukulan tanpa wujudnya yang sangat berbahaya.
Sementara itu Mandra yang menemani Sindang Manik dikeroyok tiga prajurit, hingga terus terdesak. Bahkan tampak sudah terluka lengan kirinya. Darah terus mengucur, membuat Mandra mulai melemas kekuatannya. Apalagi usianya yang sudah lima puluh tahun lebih. Namun begitu, semangatnya tidak mengendur, terus berusaha memberikan perlawanan.
Sindang Manik yang terluka dalam menggereng keras sambil melakukan serangan balik dengan cepat ke arah Patih Tutuka. Jemari tangannya mendadak mengeluarkan kuku-kuku runcing dan panjang. Itulah jurus, ilmu Tengkorak Maut'.
"Hah..."!" gumam Patih Tutuka yang sempat kaget melihat jurus itu. Karena Patih Tutuka tahu, bahwa jurus itu dimiliki oleh si Iblis Betina dari Utara.
"Apakah Wongso Guno telah menjadi murid Iblis Betina itu...?" pikir Patih Tutuka.
Pada saat itu Sindang Manik atau Wongso Guno melompat dengan kedua tangan direntangkan dibarengi dengan salto di udara beberapa kali.
Dan ketika sudah mendekati pada sasaran, dengan cepat mendarat di pundak Patih Tutuka. Dihantamnya kepala Patih Tutuka dengan kedua telapak tangan. Jari-jari yang berkuku runcing menusuk kepala lawan yang berada di antara kedua kakinya. Setelah itu Siridang Manik dengan buas memutar kepala Patih Tutuka.
Krakkk! Putuslah leher Patih Tutuka seketika. Sindang Manik melompat turun dengan ringannya.
Sementara itu tubuh Patih Tutuka ambruk, dengan kepala putus.
Para prajurit yang melihat pimpinan mereka telah mati, tak menjadi ciut. Mereka malah semakin marah dan berani. Dengan semangat tempur yang mengebu-gebu para prajurit yang berjumlah sekitar dua puluh lima orang itu mengeroyok Sindang Manik sambil mengucapkan kata-kata makian.
"Manusia Keparat..! Pengkhianat..! Bunuh...
bunuh...!" Teriakan terus terdengar dari mulut prajurit-prajurit itu, sambil menusuk dan membabatkan pedang atau tombak mereka. Sebagian lagi sedang mengeroyok Mandra yang semakin terdesak. Akhirnya Mandra tak dapat menahan serangan kelima prajurit yang bergantian menyerangnya. Crasss, crasss! "Aaaakh...!" Mandra menjerit dan seketika tubuhnya ambruk kena babat pedang dan tusukan tombak para prajurit. Bersamaan dengan matinya Mandra, Sindang Manik pun sudah membunuh beberapa orang prajurit. Pada saat Sindang Manik sedang menghabisi para Prajurit Kadipaten Pasuruan, muncul Manusia Bayangan yang kebetulan lewat di tempat itu.
"Hah"! Inikah prajurit-prajurit Kadipaten Pasuman...?" gumam Manusia Bayangan yang tak lain Sena adanya.
"Kemungkinan orang yang sedang dikeroyok itu Sindang Manik," gumamnya la-gi lalu melompat mendekati mayat Patih Tutuka yang sudah tak berkepala itu.
"Benar...! Dia pasti Sindang Manik. Perlu diberi pelajaran manusia kejam itu," gumam Pendekar Gila ketika mengetahui bahwa lawan Patih Tutuka bertarung tadi adalah Sindang Manik. Hal itu diketahui ketika ditemukan tanda pada pakaian Patih Tutuka yang telah menjadi mayat itu.
Segera Manusia Bayangan melompat ke arah Sindang Manik yang dengan buas tengah menghabisi para prajurit.
"Heaaa...!" Plak! Bukk! Manusia Bayangan langsung menggebrak Sindang Manik dengan pukulan dan tendangan kaki kirinya yang keras ke dada Sindang Manik.
"Aaaahk...!" Sindang Manik memekik dengan tubuh terhuyung ke belakang. Matanya mendelik menatap sesosok tubuh berpakaian serba hitam di depannya. Sementara enam prajurit pun kaget melihat kehadiran orang yang menyembunyikan diri di balik tutup wajah berwarna hitam itu.
"Kalian mundur...! Biar aku hadapi manusia buruk ini...!" kata Manusia Bayangan pada prajurit-prajurit itu.
"Bangsat..! Kau rupanya yang disebut Manusia Bayangan itu...! He he he... Bagus! Aku tak susah-susah lagi mencarimu!" seru Sindang Manik dengan geram.
"Aku pun tak usah repot-repot mencari orang licik dan pengkhianat sepertimu, Wongso Guno...!" sergah Manusia Bayangan dengan lantang. Mendadak wajah Sindang Manik berubah mendengar nama aslinya disebut. Dengan wajah memerah dia menoleh ke sana kemari. Sementara para prajurit menjadi heran dan saling berbisik pada teman-temannya.
"Siapakah sebenarnya orang berpakaian serba hitam itu" Bagaimana dia bisa mengetahui nama asliku..."!" gumam Sindang Manik seperti bicara pada dirinya sendiri. Dia mulai nampak salah tingkah.
"Kau pun licik...! Kalau kau benar-benar seorang pendekar, buka tutup mukamu!" seru Sindang Manik coba memancing lawannya.
"Ha ha ha... kunyuk satu ini mau memperdayaiku..., kuno! Sekarang jangan banyak mulut!" Sejenak Manusia Bayangan menghentikan katakatanya, lalu mencabut keris di pinggangnya.
"Kau tentunya sangat bahagia bila memiliki keris ini, bukan"!" Membelalak mata Sindang Manik melihat keris di tangan kanan Manusia Bayangan. Bagai orang kelaparan, Wongso Guno menelan ludah.
Lalu tanpa basa-basi lagi dia menyerang Manusia Bayangan dengan jurus mautnya, jurus 'Singa Menerkam Mangsa'.
"Gggrrr...!" Manusia Bayangan dengan mudah mengelak hanya dengan meliukkan tubuhnya, dibarengi serangan balik berupa tepukan telapak tangan.
Sindang Manik terkejut melihat gerakan yang dilakukan lawan. Kelihatannya pelan dan tak bertenaga, tapi tahu-tahu....
Bukk! "Ahkk...!" Sindang Manik memekik, lalu berbalik dan kembali menyerang dengan ganas. Sekali lagi dengan meliuk-liukkan tubuhnya Manusia Bayangan dapat mengelak dari pukulan tangan kanan dan kiri Sindang Manik. Keduanya saling pukul dan melompat di udara. Tangan Sindang Manik selalu mengarah keris yang tergenggam di tangan kanan lawannya. Sindang Manik nampak semakin naik pitam, karena sudah sekian jurus dan serangan dapat digagalkan lawannya. Tapi, entah disengaja atau bagaimana, tiba-tiba Manusia Bayangan seperti melemah dan kendur pertahanannya. Pada saat itulah Sindang Manik melihat dan langsung melakukan serangan dengan cepat Buk! Plak! "Ukhhh...!" Manusia Bayangan atau Sena memekik pendek. Tubuhnya terhuyung dan keris di tangannya pun terlepas. Sindang Manik dengan cepat menyambar keris yang sudah tergeletak di tanah, lalu melompat dan menghilang. Hanya suara tawanya yang terdengar.
Para prajurit merasa kaget, coba mengejar.
Tapi....
"Biarkan dia pergi...! Uh...!" seru Manusia Bayangan sambil bangun.
"Kenapa orang jahat itu dibiarkan pergi, Tuan...?" tanya salah seorang prajurit pada Sena si Pendekar Gila.
"Biarkan dia bersenang-senang dengan keris itu. Orang murka dan serakah seperti dia tak akan hidup lama di dunia.... Hei, apakah itu Patih Kadipaten Pasuruan...?" tanya Sena sambil menunjuk ke arah mayat tak berkepala itu.
"Ya... benar, Tuan. Bagaimana Tuan bisa tahu" Dan siapa Tuan sebenarnya...?" tanya seorang prajurit yang bertubuh kekar dan masih mu- da.
"Kau tak perlu tahu. Sekarang cepat kuburkan patih itu. Dan setelah itu, cepat kalian pergi dari tempat ini, atau kalian kembali ke kadipaten...!" kata Pendekar Gila bernada memerintah.
"Baik, Tuan," jawab salah seorang prajurit Lalu mereka menjura memberi hormat Kemudian Pendekar Gila yang berpakaian serba hitam itu segera melesat pergi. Pada saat itu prajurit mulai bekerja menguburkan mayat Patih Tutuka. Sindang Manik masih berlari sambil tertawa-tawa. Di tangan kanannya tergenggam keris yang diimpikan. Begitu cepat larinya, hingga dalam sekejap sudah berada jauh dari tempat tadi. Sebentar dia menghentikan larinya. Dipandanginya Keris Pusaka Naga sakti yang baru saja diperolehnya.
"Ha ha ha...! Akhirnya aku berhasil mendapatkan keris yang memiliki daya kesaktian tiada tara ini. Aku akan menjadi orang sakti dan ditaku-ti. Ha ha ha...!" Ketika Sindang Manik tengah mengamati keris itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda menuju ke arahnya. Segera Sindang Manik melompat ke balik pepohonan, bersembunyi.
Derap kaki kuda semakin dekat dan terdengar keras. Ternyata Sadiro dan Wesi Geni. Mereka memacu kuda dengan cepat, terus menjauh menuruni jalan yang naik turun.
Sindang Manik muncul kembali dan tertawa-tawa, lalu menyelipkan keris di pinggangnya.
Disembunyikan di balik bajunya yang panjang seperti jubah.
"Aku akan membuntuti mereka...." Sindang Manik melesat ke arah Wesi Geni dan Sadiro pergi.

***

Purwadhika dan Lilasari nampak menyusuri jalan yang naik turun di sebuah perbukitan. Purwadhika nampak melangkah dengan cepat, meninggalkan Lilasari.
"Purwa...! Tunggu...! Jangan tinggalkan aku...!" seru Lilasari manja.
Purwadhika tersenyum-senyum terus menggoda, membuat wajah Lilasari tampak cemberut. Pemuda itu lalu menghentikan langkahnya, mengulurkan tangan ke arah Lilasari yang segera menangkapnya lalu melompat ke atas. Purwadhika tampak bertelanjang dada, karena pakaiannya kini dipakai Lilasari. Tubuhnya yang kekar memiliki dada bidang, menambah kegagahan pemuda tampan itu. Hal itu membuat Lilasari semakin merasa bangga berada di sisinya.
Keduanya terus melanjutkan langkah. Saat sampai di dekat sebuah dataran yang luas, tibatiba terdengar derap kuda menuju ke arah mereka.
Purwadhika tak sempat mengajak Lilasari untuk bersembunyi. Terpaksa dia hanya dapat menepi.
Namun dua orang penunggang kuda yang tak lain Sadiro dan Wesi Geni menghentikan kuda mereka.
Keduanya langsung memandangi Purwadhika dan Lilasari. Wesi Geni yang berbadan besar memandang nakal ke arah Lilasari. Lilasari mendelik pada Wesi Geni. Wanita ini memang pemberani.
"Hei, Anak Muda. Apakah kau melihat orang berpakaian serba hitam bertutup muka hitam lewat di sini?" tanya Sadiro dengan suara pa-rau.
"Rasanya belum ada seorang pun lewat di tempat ini. Ada apa kiranya?" tanya Purwadhika balik bertanya, pura-pura tak tahu.
"Itu bukan urusanmu, Anak Gunung...!" ce-letuk Wesi Geni. Namun matanya terus menatap Lilasari dengan nakal.
"Ooh, maafkan kalau aku salah...," sahut Purwadhika sambil menjura.
"Kalian hendak ke mana dan dari mana asalmu...!" tanya Sadiro menyelidik.
"Kami dari gunung, kami orang desa. Hendak mencari pekerjaan di Kutareja...," jawab Purwadhika lalu menundukkan kepalanya.
"Ha ha ha. Hi hi hi.... Kau akan aku kasih pekerjaan yang nyaman. Tapi, wanita itu menjadi milikku. Bagaimana, ha ha ha..."!" kembali Wesi Geni nyeletuk.
"Huh!" dengus Lilasari sinis, matanya mendelik ke arah Wesi Geni.
"Hei! Jawab, bagaimana..."! Aku sudah lama tidak menikmati belaian wanita secantik dia" Ha ha ha he heh...!" kembali Wesi Geni berkata kurang sopan. Namun Purwadhika coba menahan marahnya. Lilasari menjadi naik pitam.
"Hei...! Kau orang jelek! Jangan bicara ngelantur! Mulutmu perlu dibersihkan dengan ini...!" kata Lilasari sambil mencabut pedangnya. Lalu di arahkan ke Wesi Geni.
"Ha ha ha...! Hebat juga wanita ayu ini. Aku jadi gemas," kata Wesi Geni sambil melompat turun dari kudanya, mendekati Lilasari.
"Hm... maafkan adik saya ini, Ki.... Dia masih terlalu muda. Maafkan...," pinta Purwadhika sambil menjura.
Namun Wesi Geni yang sudah tak sabar, segera ingin memegang pipi Lilasari. Sementara Lilasari yang berwatak keras, cepat menepis tangan nakal Wesi Geni dan dengan cepat pula menyabetkan pedangnya. Wesi Geni tidak menduga sama sekali kalau wanita muda yang cantik itu akan bertindak berani.
Srettt! "Akh...!" Wesi Geni memekik, karena lengannya tergores pedang Lilasari. Lelaki itu marah dan cepat menampar muka Lilasari. Namun sebelum tamparannya mendarat di muka Lilasari, Purwadhika dengan cepat menghajar perut lalu menendang tubuh Wesi Geni dengan keras.
Bukkk! "Aaaakh...!" Wesi Geni memekik dan tubuhnya terpental, karena tendangan Purwadhika.
Maka pertarungan tak dapat dihindarkan lagi. Sadiro yang sejak tadi hanya duduk di atas punggung kuda, kini melompat turun. Langsung dia hendak menyandera Lilasari. Namun wanita muda yang juga memiliki ilmu silat lumayan, melawannya. Dan terjadi pula pertarungan antara Lilasari dan Sadiro.
Wesi Geni dan Purwadhika saling pukul di udara lalu sama-sama kembali turun. Wesi Geni yang sudah tak sabar, segera mengeluarkan senjata andalannya. Cepat dia menepukkan tangan kanannya di dadanya sebelah kiri sambil membaca mantera. Bersamaan dengan itu, terlihatlah seekor kumbang bertengger di pundak sebelah kiri Wesi Geni. Purwadhika yang melihat itu mengerutkan kening. Dari sayap Kumbang Perak memancar sinar menyilaukan mata. Seperti halnya Keris Pusaka Naga Sakti. Purwadhika segera mengumpulkan tenaga dalamnya.
"Ha ha ha..., Anak Muda, kau tak akan lama lagi kukirim ke neraka...!" seru Wesi Geni dengan penuh keyakinan. Lalu Kumbang Perak itu mulai melayang ke arah Purwadhika. Kian lama gerakan terbangnya kian cepat. Luar biasa sekali cepatnya menyambar-nyambar tubuh Purwadhika.
Kumbang Perak yang beracun itu terus menyambar Purwadhika yang berusaha mengelak.
"Celaka...! Binatang apa ini. Nampaknya berbahaya...," gumam Purwadhika sambil menangkis dan berusaha menangkap binatang itu.
Pada saat itu Lilasari mulai terdesak. Bahkan pada satu kesempatan Sadiro berhasil menampar Lilasari. Wanita itu memekik, tapi cepat menyerang kembali dengan sabetan pedangnya yang cepat. Sadiro yang memiliki ilmu di atas Lilasari, dengan mudah dapat menaklukkan wanita muda yang ayu itu.
Lilasari akhirnya kena totokan Sadiro, hingga tak mampu lagi melawan. Tubuhnya lemas lalu ambruk. Sadiro dengan tenang memanggul tubuh Lilasari dan membawanya ke semak-semak. Digeletakkan tubuh Lilasari dengan kasar. Baju Purwadhika yang dikenakan Lilasari terkoyak akibat terkaman Sadiro tadi, hingga terbuka bagian dada.
Dada Lilasari yang masih mulus dan padat itu tersingkap. Namun lelaki si Muka Pucat itu malah meninggalkan Lilasari dan kembali ke tempat Purwadhika bertarung dengan Wesi Geni.
"Wesi Geni, biar aku yang menghadapi pemuda gunung ini.... Kau boleh bersenang-senang dengan wanita itu! Agar otakmu segar...!" seru Sadiro seraya menghadang Purwadhika. Mendengar itu Wesi Geni segera menepuk dada kirinya lagi. Seketika Kumbang Perak terbang ke arahnya lalu menghilang begitu saja. Wesi Geni dengan tak sabar lagi melompat ke arah semak-semak ingin melampiaskan nafsu setannya pada Lilasari. Namun mendadak berkelebat sesosok tubuh ke arah semak-semak itu.
Purwadhika yang melihat Wesi Geni menuju semak, segera dengan cepat melancarkan serangan beruntun ke arah Sadiro yang coba menghalanginya. Pertarungan antara Purwadhika dan Sadiro cukup seru.
Sudah belasan jurus mereka keluarkan, tapi nampak sama-sama tangguh. Purwadhika yang konsentrasinya terpecah dua, karena khawatir dengan keselamatan Lilasari, menjadi lengah. Sadiro berhasil mendaratkan dua kali pukulan telak di perut dan dada Purwadhika, sehingga pemuda itu terhuyung-huyung dan memekik kesakitan.
Sementara Wesi Geni nampak dengan rakus mulai menciumi seluruh tubuh Lilasari yang masih dalam keadaan tertotok itu.
"Kau akan ku telanjangi, Cah Ayu! He he he...!" kata Wesi Geni dengan suara serak dan bergetar karena menahan nafsunya.
Air liurnya pun tak terbendung, menetes di tubuh Lilasari.
"Aaa... jangan! Jangan lakukan itu...!" Lilasari berteriak-teriak. Namun tak bisa apa-apa, "Bangsat! Kurang ajar...!" Brettt..! Tangan Wesi Geni menyobek baju Lilasari yang sudah terbuka sedikit itu.
"Waw waw...! Tubuh begini mulus! Bukan main...! He he he! Aku akan menikmati tubuhmu sepuas-puas hatiku. Aku tak peduli lagi dengan keris pusaka itu...!" gumam Wesi Geni sambil terus membuka celananya. Namun baru saja Wesi Geni hendak menyobek celana Lilasari, tiba-tiba....
Plak! Plak! "Aaaakh...!" Wesi Geru memekik, lalu tubuhnya roboh menindih tubuh Lilasari. Lilasari pun menjerit.
Namun sesosok bayangan kemudian menendang tubuh Wesi Geni yang pingsan itu ke samping. Hingga Lilasari lega. Dengan cepat sosok hitam itu melompat ke tempat Purwadhika bertarung dengan Sadiro.
Ternyata orang itu Sena yang menyamar Manusia Bayangan. Dia langsung menendang Sadiro ketika hendak menghajar Purwadhika yang lengah. Bug, bug! "Aaaa...!" Sadiro memekik dan terpental tiga tombak, akibat tendangan keras Manusia Bayangan.
"Kak... kau"!" seru Purwadhika.
"Sssttt...!" segera Sena mengisyaratkan Purwadhika agar tidak berkata lagi.
"Cepat tolong Lilasari...!" Purwadhika melompat ke arah semaksemak. Sementara itu, Sadiro sudah kembali bangkit dan menyerang Manusia Bayangan.
"Heea...!"
"Its...!" Keduanya terus bertarung dengan serunya.
"Kau rupanya orang bodoh! Bukankah kau ingin mencari keris pusaka itu...?" kata Manusia Bayangan sambil menangkis.
Tersentak Sadiro mendengar itu. Namun dia tak menghentikan serangannya.
"Kau akan ketinggalan, temanmu telah mendapatkan keris itu. Dan tentunya dia akan menghilang dari Jawadwipa ini..,!" kata lelaki berpakaian serba hitam sambil menangkis pukulan dan tendangan Sadiro, Seketika Sadiro menghentikan serangannya, Pendekar Gila pun melompat mundur, "Kau yang menamakan dirimu Manusia Bayangan"!" tanya Sadiro dengan suara datar.
"Tak salah lagi. Dan akulah yang memiliki benda pusaka itu, namun kini telah berada di tangan orang yang bernama Sindang Manik! Tentunya nama itu tak asing bagimu, bukan?" jawab Sena dengan tegas sambil bertolak pinggang. Bukan main kagetnya Sadiro. Matanya membelalak dan dadanya terlihat naik turun dengan cepat. Seakan tak mampu menahan kemarahan.
"Kurang ajar! Rupanya Sindang Manik mau coba-coba mengelabuiku. Bangsat!" gumam Sadiro geram. Pada saat itu Purwadhika dan Lilasari sudah berada tak jauh dari mereka. Lilasari nampak sinis memandang Sadiro. Ingin rasanya dia meludahi Sadiro, tapi Purwadhika melarangnya.
"Wesi Geni...!" seru Sadiro memanggil kawannya. Namun Wesi Geni tidak menyahut Sadiro semakin cemas dan salah tingkah.
"Temanmu sedang istirahat lama di sana...!" ujar Purwadhika.
Sadiro tersentak mendengarnya. Baru saja dia akan beranjak, tiba-tiba Wesi Geni yang sempat pingsan itu muncul dengan muka merah sambil memegangi tengkuknya.
"Hah..."!" Wesi Geni kaget ketika melihat Purwadhika, Lilasari, dan Manusia Bayangan.
"Sadiro, apakah itu Manusia Bayangan yang kita cari..."!" tanya Wesi Geni kemudian.
Mendengar nama Sadiro, tersentak hati Purwadhika. Mendadak wajahnya memerah dan giginya bergemeletuk menahan geram dan amarah yang mencuat tiba-tiba.
"Purwa..." Kenapa kau"! Ada apa...?" tanya Lilasari yang melihat Purwadhika mendadak jadi keras wajahnya.
Sena pun melihat perubahan wajah Purwadhika, segera dia mendekatinya.
"Kiranya dia orang yang kau cari, Purwadhika. Tapi kuminta bersabarlah. Kita telah dapat mengacaukan pikiran mereka.... Keris palsu itu sengaja kulepas, agar Sindang Manik cepat dicurigai oleh kelompoknya.... Bersabarlah...!" kata Sena setengah berbisik pada Purwadhika. Purwadhika hanya bisa menghela napas dalam-dalam.
"Kenapa kau diam saja Sadiro.... Mana keris itu apakah sudah kau dapatkan?" tanya Wesi Geni tak sabaran.
"Kita harus mencari Sindang Manik. Dia mencoba mengelabui kita. Ayo...!" selesai berkata begitu, Sadiro dan Wesi Geni langsung melompat ke atas kuda dan memacunya ke arah semula mereka datang. Sepeninggal Sadiro dan Wesi Geni, nampak Purwadhika merenung, sepertinya dia menahan rasa sakit di hatinya, karena tak sempat membuat perhitungan terhadap Sadiro.
Pendekar Gila memahami perasaan Purwadhika. Segera disentuhnya bahu pemuda itu dan berkata.
"Sabar... nanti jika tiba saatnya terserah padamu. Dan aku juga telah bertemu dengan Prajurit Kadipaten Pasuruan...."
"Hah..."!" kaget Lilasari mendengar itu.
"Bagaimana mereka, apakah sudah dapat menemu- kan Wongso Guno, dan apakah Tuan bertemu dengan pamanku Patih Tutuka...?" tanyanya, tak sabar ingin mendengar keterangan itu. Sena si Manusia Bayangan tak langsung menjawab. Dihampirinya Lilasari lalu dirangkulnya wanita muda itu.
"Aku telah menemukannya... tapi, Wongso Guno telah mendahuluiku. Beliau terbunuh...," tutur Sena dengan suara tertahan.
"Hah...! Apa..."! Tidak... tidak...!" Lilasari menangis dan berteriak-teriak sejadinya. Purwadhika segera menenangkannya.
"Tenang Lila, percuma kau menangis. Pamanmu tak akan kembali hidup.... Aku akan selalu mendampingimu, Lila...," suara Purwadhika begitu lembut, membuat wanita muda itu mulai bisa menahan tangisnya.
Dipeluknya erat-erat Lilasari. Wanita muda itu merasakan kedamaian dan kelegaan di hatinya.
Tangisnya mulai reda.
"Wongso Guno tak lain Sindang Manik! Dia sengaja memakai nama palsu, agar orang-orang tak mengenalinya. Tapi rupanya pamanmu tak dapat dikelabui dengan nama. Aku menyesal tak dapat menyelamatkan pamanmu, Lila.... Aku terlambat datang," kata Sena lagi.
"Aku dapat mengerti, Tuan." Terdengar suara lemah dari Lilasari.
"Ayo kita pergi! Purwa, jaga Lilasari! Kita bertemu di tempat yang telah kita tentukan. Mereka pasti sedang mencari Sindang Manik atau Wongso Guno itu. Sampai jumpa...!" kata Sena.
Lalu tubuhnya yang terbalut pakaian serba hitam melesat dan lenyap dari pandangan.
"Orang aneh...! Kenapa dia tak mau membuka penutup mukanya, Purwa?" tanya Lilasari merasa heran.
"Nanti juga kau akan tahu siapa dia....
Ayo...!" ajak Purwadhika sambil menggandeng Lilasari.


֍₪֍¦ 7 ¦֎₪֎

Sinar terang dan hangat sang Mentari yang baru terbit membuat sesosok tubuh yang terkulai di bawah pohon tampak menggeliat. Cahaya matahari yang menerobos sela-sela dedaunan menerpa kedua matanya. Sosok itu perlahan bangun lalu duduk bersandar di batang pohon besar.
"Huh...! Cepat sekali hari sudah kembali pagi...!" gerutu lelaki berjubah merah darah, dan berikat kepala merah pula.
Wajahnya nampak keras. Orang itu bergerak bangun setelah membersihkan pakaiannya yang kotor.
"Mungkin Sadiro, Wesi Geni, dan Empat Jin Botak dari Selatan telah menemukan tempat persembunyian Ki Tunggul Segara. Hah... biar mereka mampus...! Keris pusaka sudah ada di tanganku.
Siapa pun akan kuhadapi. Aku kini menjadi orang yang paling bahagia dan sakti," gumam lelaki itu yang ternyata Wongso Guno bicara pada diri sendiri sambil berdiri.
Tiba-tiba kakinya melompat ke dataran yang lebih tinggi. Dia memandangi sejenak keadaan sekelilingnya. Setelah merasa aman, Sindang Manik melangkah cepat meninggalkan lembah yang gersang itu.
"Sebaiknya aku menghilang untuk sementara ke Pulau Andalas...," gumam Sindang Manik sambil terus mengayun langkah.
Tak berapa lama berjalan, kini Sindang Manik telah berada di suatu tempat menuju pesisir pantai selatan.
"Hem... rasanya sudah cukup aman aku berada di sini... tak akan ada orang yang mengenalku," kata Sindang Manik dalam hatinya.
Namun kegembiraan Sindang Manik mendadak berubah terkejut ketika terdengar teguran seseorang, yang suaranya sangat dikenalinya.
"Sindang Manik...!" Sindang Manik membalikkan badan perlahan. Di hadapannya ternyata telah berdiri empat lelaki gundul dengan muka sinis menatapnya.
"Ooo kalian... kebetulan, aku sedang mencari-cari kalian," kata Sindang Manik dengan ra-mah, sambil menghampiri mereka yang ternyata Empat Jin Botak dari Selatan.
"Kau manusia terbusuk yang pernah kukenal, Sindang Manik!" terdengar keras suara Jin Sudra.
"Hei, ada apa dengan kalian...?" tanya Sindang Manik tak mengerti.
"Kau jangan pura-pura! Sadiro telah menceritakan semuanya pada kami. Dia sedang mencarimu! Tangkap...!" perintah Jin Sudra pada ketiga saudaranya.
Serentak mereka menyerang dan mengurung Sindang Manik. Pertarungan pun lalu terjadi.
Empat Jin Botak dari Selatan nampak ganas sekali menyerang Sindang Manik yang kewalahan juga.
"Kau rupanya ingin mengelabui kita semua! Mampuslah kau sekarang...!" seru Jin Soka sambil menusukkan pedangnya ke perut Sindang Manik Namun lelaki berjubah merah itu cepat berkelit. Lalu melakukan serangan balasan dengan tendangan kaki kanannya ke arah Jin Soka. Namun Jin Kala yang berada di samping kirinya segera menghantam Sindang Manik dengan gagang pedang. Prak! "Aaakh...!" Sindang Manik memekik keras. lalu melompat ke belakang untuk mencari tempat guna mengatur kembali tenaga dalamnya. Dengan cepat digerakkan kedua tangannya di depan dada. Setelah merunduk dengan cepat pula tubuhnya melompat dengan bersalto dua kali di udara, lalu segera melancarkan tendangan keras sambil berputar ke arah ketiga jin botak itu.
Plak! Buk! "Akh...!" Ketiga dari Empat Jin Botak dari Selatan memekik sambil mundur dua tombak dan berpencar. Ketiganya memutar pedang dengan cepat. Lalu serentak maju dengan kuda-kuda yang sama dan indah dipandang. Sekejap ketiga lelaki botak berpakaian kuning itu telah mengurung Sindang Manik. Ketiganya lalu mengitari Sindang Manik dengan cepat, hingga yang nampak di mata hanya bayang-bayang.
"Kurang ajar. Kau belum tahu kalau aku telah memiliki keris pusaka itu!" dengus Sindang Manik. Segera dikeluarkannya keris itu, lalu berseru, "Hei, lihat apa ini! Ha ha ha... kalian akan mampus dengan keris ini...!" Jin Sudra yang menyaksikan ketiga saudaranya mengurung Sindang Manik tampak terkejut melihat Keris Pusaka Naga Sakti itu. Namun keterkejutan itu hanya sebentar. Sedangkan ketiga jin botak, Jin Saka, Jin Kala, dan Jin Kobra terus merangsek dan menyerang Sindang Manik.
"Heaaa...!" Bret! Bret! Cresss...! "Aaakh...!" Sindang Manik memekik. Rupanya ketiga lawan yang mengurungnya lebih cepat menyerangkan serangan. Sementara tadi dirinya sempat lengah karena merasa yakin akan dapat mengalahkan ketiga jin botak dengan keris yang dikabarkan mengandung kesaktian itu.
Namun ternyata keris di tangannya tak memperlihatkan tandatanda keampuhan itu.
Punggung dan baju Sindang Manik sempat robek. Darah merembes dari lukanya. Hatinya merasa keheranan. Dipandanginya keris itu sejenak, lalu kembali dengan ganas menyerang lawanlawannya, Namun serangannya dengan mudah dapat dielakkan oleh ketiga lelaki dari Empat Jin Botak dari Selatan. Malah Jin Kobra yang paling ganas sempat menghajar dengan tendangan keras, ketika Sindang Manik dengan penuh nafsu hendak menghabisi Jin Kala yang terdesak.
Bug, bug! "Aaaa...!" Seketika terdengar jeritan panjang dari mulut Sindang Manik. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah hingga keris itu terlepas. Jin Sudra yang melihat keris itu jatuh ke tanah, sege-ra melompat menyambarnya.
Sedang ketiga saudaranya yang tadi mengeroyok Sindang Manik berlompatan ke kuda mereka.
"Cepat kita pergi! Sebelum manusia keparat itu sadar...!" seru Jin Sudra yang sudah duduk di punggung kuda.
Maka segeralah Empat Jin Botak dari Selatan memacu kuda menuju arah barat.
Sindang Manik yang sebenarnya ilmunya tak begitu tinggi tak mampu mengalahkan Empat Jin Botak dari Selatan yang memiliki ilmu ratarata sama. Mungkin kalau satu lawan satu Sindang Manik masih bisa mengimbangi. Dirinya hanya menang pintar bicara dan cerdik. Apalagi dia bekas Senapati Kadipaten Pasuruan, jadi sudah barang tentu pandai mengatur siasat bila para prajurit anak buah akan mengadakan penyerangan. Hanya karena itulah Sindang Manik seakan menjadi pimpinan kelompoknya. Padahal sebenarnya tak ada pemimpin dalam kelompok Sindang Manik, Sadiro dan kawan-kawan.
Sindang Manik yang terkena tendangan maut Jin Kobra baru sadar, setelah beberapa saat kemudian.
"Bangsat...!" umpatnya sambil menendang batu yang ada di depannya sebagai pelampiasan rasa kesal dan marah.
"Sampai ke ujung neraka pun aku akan mengejarnya...!" Lalu segera dia melesat pergi dari tempat itu menuju ke arah barat.

***

Sadiro bersama Wesi Geni masih mencaricari Sindang Manik. Mereka melewati tempat pertarungan Sindang Manik dan Empat Jin Botak dari Selatan. Sadiro mendadak menghela tali kekang hingga kaki depan kuda tunggangannya terangkat dan meringkik. Wesi Geni pun segera menghentikan lari kudanya.
"Rupanya di sini baru saja ada pertarungan.
Mungkin Sindang Manik dan Empat Jin Botak dari Selatan...! Kita ikuti saja jejak kaki kuda mereka...!" seru Sadiro si Muka Pucat sambil menoleh ke arah Wesi Geni. Lalu kembali memacu kudanya dengan cepat. Diikuti oleh kuda Wesi Geni.
Setelah kepergian mereka, muncul Manusia Bayangan. Dia berdiri di atas batu besar, memandangi kepergian Sadiro.
"Ha ha ha..., ternyata mereka sudah mulai saling bunuh. Huh! Itulah ganjaran bagi orangorang tamak dan jahat..," gumam Manusia Bayangan. Selesai bicara begitu, langsung melesat pergi ke arah yang sama dengan Sadiro.
Hari semakin sore, sinar matahari mulai kemerahan. Kuda-kuda Empat Jin Botak dari Selatan memasuki wilayah Kutareja. Namun mereka tidak berhenti di situ, melainkan meneruskan perjalanan ke arah utara. Jin Kobra yang berada di belakang, dengan cerdik menghilangkan jejak kaki kuda dengan daun sambil memecut kudanya. Jin Kobra seperti orang Indian tidak berada di punggung kuda, melainkan di samping kanan badan kudanya. Tangan kanan memegang tali kekang kuda, sedangkan tangan kirinya memegang daun pisang, untuk menghapus jejak kaki-kaki kuda mereka. Beberapa lama setelah berlalunya Empat Jin Botak dari Selatan, Kutareja masih ramai dengan para pendatang. Nampak Purwadhika dan Lilasari berada di dalam sebuah rumah makan, yaitu tempat pertama kali Purwadhika bertemu dengan Cilung, sampai bentrok.
"Kenapa dia belum juga datang..."!" gumam Purwadhika dengan wajah nampak cemas dan tak tenang.
"Siapa sebenarnya yang kita tunggu, Purwa...?" tanya Lilasari. Dia belum mengerti untuk apa dan siapa yang ditunggu Purwadhika.
"Nanti kau akan tahu sendiri...," jawab Purwadhika, tanpa melihat wajah Lilasari. Matanya terus memandang ke jalanan.
Pada saat itu, nampak Sindang Manik berlari-lari kecil di antara orang yang lalu-lalang.
Purwadhika yang tak mengenalnya, hanya mengerutkan kening. Di luar nampak Sindang Manik berhenti sejenak. Dan pada saat itulah Lilasari memandang ke luar. Seketika matanya membelalak lebar, ketika melihat lelaki tua berjubah merah yang berdiri di depan pintu masuk rumah makan itu.
"Lelaki itu potongan tubuhnya mirip Wongso Guno..."! Tapi... tak mungkin.
Wongso Guno tak pernah berpakaian sembarangan, dia selalu tampil rapi. Dan jari tangan kirinya hanya ada empat..!" gumam Lilasari lirih. Kemudian menyipitkan kedua matanya, terus menatap lelaki yang memang Wongso Guno.
"Ada apa Lila...?" kini Purwadhika yang bertanya. Tak mengerti, kenapa Lilasari mendadak tampak cemas dan tegang.
"Mungkin juga dia...! Lelaki bertutup muka kain hitam itu pernah berkata, bahwa Wongso Guno telah memiliki nama samaran...! Kurang ajar!" Selesai berkata begitu, Lilasari mendadak melompat dari duduknya, keluar mengejar Sindang Manik yang baru saja melangkah pergi.
Purwadhika yang melihat itu jadi kaget, dia pun segera melesat keluar memburu Lilasari.
Orang-orang yang ada di dalam rumah makan nampak keheranan melihat Lilasari dan Purwadhika. Mereka saling berbisik, dan melihat ke arah luar.
"Lila...! Tunggu...!" seru Purwadhika sambil berlari mengejar Lilasari, di antara orang-orang banyak. Lilasari yang sudah menghunus pedang, memburu Sindang Manik yang tak tahu kalau ada yang mengejarnya. Dan ketika sampai di ujung Kutareja, tiba-tiba Lilasari melompat menyerang Sindang Manik yang terkejut mendengar suara teriakan.
"Heaaa...!" Wuttt, wutt! Pedang Lilasari membabat ke arah kepala Sindang Manik. Namun lelaki setengah baya yang masih nampak segar dan muda serta bertampang bengis itu rupanya, merasakan adanya serangan.
Dengan cepat dan tepat dia dapat mengelakkan sabetan pedang Lilasari. Lalu Sindang Manik melompat ke samping dan menatap heran pada Lilasari yang sudah siap untuk menyerang kembali.
"Hei..."! Kenapa kau menyerangku?" tanya Sindang Manik masih belum mengenali wajah Lilasari yang sengaja memakai cadar merah itu.
"Kau Manusia Biadab! Pengkhianat, Licik, Wongso Guno...!" bentak Lilasari sambil membuka cadar merahnya.
Bukan main kagetnya Sindang Manik yang juga Wongso Guno itu. Matanya membelalak lebar.
Seketika dirinya jadi gugup sambil menoleh ke kanan dan kirinya. Beberapa saat tak bisa berkatakata apa-apa, karena dia sangat terkejut melihat Lilasari, putri tunggal Adipati Aji Sampurno yang dibunuhnya secara licik, setahun yang silam.
"Kau tak bisa lagi menyangkal, Manusia Busuk...! Sekarang aku akan menuntut balas atas kematian ayahku. Yang kau bunuh dengan keji...!" seru Lilasari dengan mata mendelik.
Pada saat itu Purwadhika sudah berada di sisi Lilasari.
"Sabar, Lila...! Kau tak akan bisa mengalahkannya. Biar aku yang menghadapinya...," kata Purwadhika kalem sambil memegang tangan Lilasari yang menggenggam pedang.
"Tidak! Biarkan...! Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri, tak boleh orang lain.
Aku sudah berjanji, Purwa. Lepaskan...!" seru Lilasari. Orang-orang yang berada di dekat situ sege-ra berkumpul memperhatikan mereka.
Pada saat Purwadhika dan Lilasari berdebat, Sindang Manik atau Wongso Guno diam-diam melesat pergi. Purwadhika melihat, segera dia melompat mengejarnya, disusul Lilasari.
Kini mereka sudah berada di luar Kutareja.
Sementara itu matahari semakin menyusup di kaki langit barat. Langit dengan mega kemerahan menandakan sebentar lagi akan datang malam.
Sindang Manik nampak panik mengetahui Purwadhika mengejarnya. Karena dia sudah merasa ketahuan belangnya. Dan dia takut kalau orang-orang Kutareja ada yang mendengar, maka akan dikejar mereka yang merasa dibodohi.
"Heaaa...!" Purwadhika dengan ilmu lari cepatnya akhirnya dapat menghadang Sindang Manik. Merasa dendamnya pada Sadiro tak terlampiaskan Purwadhika seakan memperoleh penggantinya. Pemuda itu langsung menyerang Sindang Manik dengan serangan cepat dan tak memberi kesempatan padanya untuk melakukan serangan balik. Bahkan Purwadhika langsung melancarkan pukulan 'Tapak Sakti'-nya Wusss! Brakkk! Pohon besar hancur berantakan lalu tumbang dengan suara bergemuruh. Seluruh kulit sampai ke ranting dan daun-daunnya berubah kehitaman bagai terbakar.
Sindang Manik untung saja berhasil mengelakkan serangan Purwadhika. Kalau tidak tubuhnya hancur jadi abu! Pada saat itu Lilasari yang melihat Sindang Manik masih bergulingan di tanah, dengan cepat melompat sambil mengayunkan pedang menebas ke arah Sindang Manik.
"Heaaat..!"
"Hah"!" Crasss! "Aaakh...!" Sindang Manik menjerit, karena lengan kirinya tertebas pedang Lilasari. Untung saja tebasan Lilasari tak mantap. Lagi pula Sindang Manik masih sempat menendang Lilasari, hingga wanita muda itu terhuyung ke belakang dua tombak.
Melihat itu Purwadhika segera menolong Lilasari yang nampak kesakitan, karena tendangan asal-asalan Sindang Manik mengenai dadanya.
"Lila..."! Kau tak apa-apa?" tanya Purwadhika dengan cemas.
"Dadaku sakit, Purwa.... Ukh...," keluh Lilasari. Pada saat itu Sindang Manik mengambil ke- sempatan untuk kabur. Dia tidak mau mati konyol.
"Kurang ajar...!" geram Purwadhika.
Pemuda itu segera membawa Lilasari kembali ke Kutareja, untuk diobati.
Pada saat itu pula berkelebat seseorang berambut gondrong agak ikal, dengan pakaian rompi kulit ular ke arah Purwadhika yang membawa Lilasari tadi.

***

Malam telah menyelimuti bumi. Nampak Lilasari baru saja sadar, setelah diobati. Gadis itu terbaring di atas bale-bale beralaskan tikar. Purwadhika menungguinya. Di sana juga nampak Pendekar Gila, berdiri di dekat jendela rumah bilik itu. Matanya memandang keluar.
"Untung masih ada orang yang berbaik hati, memberikan kita bermalam di rumah ini," kata Purwadhika pada Lilasari yang mulai nampak segar.
"Rumah siapa ini, Purwa...?" tanya Lilasari dengan suara lemah.
"Pak Lurah, tapi sudah lama tak ditempati.
Pak Lurah sendiri tinggal di seberang sana...," kata Purwadhika menjelaskan.
"Purwa, pagi-pagi kita sudah harus pergi dari tempat ini. Bukankah kau akan menyaksikan pertarungan antara Sadiro dan Sindang Manik...?" kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ya," jawab pendek Purwadhika, "Oh, ya...
Lila, inilah teman dan juga kakakku yang kita tunggu tadi sore...," tambah Purwadhika memperkenalkan Sena pada Lilasari.
"Oh... maaf, badanku masih lemas.... Tapi, aku sangat senang berkenalan dengan seorang pendekar tersohor. Purwa tadi menceritakan padaku. Ayahku pun pernah bercerita tentang Tuan Pendekar," tutur Lilasari, memandangi Pendekar Gila yang tampak cengengesan.
"Aha, jangan memujiku, aku ini sama seperti Purwadhika...," sahut Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Lilasari tersenyum manis melihat tingkah Sena. Lalu Sena pun melangkah keluar dari kamar itu. Di luar suasana sepi dan malam pun semakin larut. Lama Sena berdiri di teras rumah bilik itu memandang sekeliling.
Ketika dia masuk kembali dilihatnya Lilasari telah tertidur. Sena dan Purwadhika pun segera merebahkan tubuh, menunggu pagi.
Ketika pagi datang, Sena telah tiada. Lilasari heran dan bertanya pada Purwadhika yang berjalan di sisinya.
"Lho..."! Sejak pagi tadi aku tak melihat Kakang Sena..., kemana dia...?"
"Dia memang begitu, aneh! Sebentar muncul sebentar pergi, menghilang entah ke mana.
Yang jelas dia selalu menjaga kita. Percayalah....
Ayo, kita harus cepat sampai tujuan...!" ajak Purwadhika sambil menggandeng Lilasari.
"Hei...! Mau ke mana kita!" tanya Lilasari tak mengerti.
Purwadhika tak menjawab, malah semakin mempercepat larinya. Keduanya terus berjalan menyusuri hutan, menyeberangi kali menuju satu tujuan. Di belakang Purwadhika dan Lilasari dalam jarak tak begitu jauh, nampak berkelebat bayangan hitam melintas, lalu menghilang.
Ketika sampai di suatu tempat, di pinggiran hutan, terdengar derap kaki kuda yang sangat kencang. Purwadhika segera bersembunyi di balik pepohonan rindang bersama Lilasari. Kuda itu melintas di depan mereka. Lilasari sempat melihat si penunggang kuda itu tak lain Sindang Manik atau Wongso Guno. Dia hampir saja berseru, tapi Purwadhika cepat menutup mulut Lilasari.
"Sssttt...!" Lilasari menghela napas panjang dan bergumam, "Bangsat itu masih hidup...!" Baru saja mereka hendak keluar, tiba-tiba terdengar lagi derap kaki kuda lain dari arah yang sama. Cepat Purwadhika dan Lilasari menyelinap dan bersembunyi kembali.
Dua orang berkuda melintas di depan mereka, kemudian empat kuda menyusulnya. Mereka ternyata Sadiro, Wesi Geni, dan Empat Jin Botak dari Selatan. Begitu mereka berlalu, tanpa banyak bicara lagi, Purwadhika segera melompat keluar bersama Lilasari. Keduanya melesat ke arah yang sama dengan kuda-kuda tadi, menuju arah timur.
Mereka memasuki Hutan Waru, berlari di antara pohon-pohon Waru. Di saat yang sama nampak sosok hitam berkelebat, melompat dari pohon satu ke pohon yang lain.
Tak lama kemudian kuda-kuda itu telah sampai di depan sebuah rumah tua, yang mirip kuil Cina.
"Cepat kepung rumah ini! Paksa Sindang Manik keluar! Kita bakar dia hidup-hidup...!" seru Sadiro pada kawan-kawannya.
Serentak Wesi Geni, dan Empat Jin Botak dari Selatan bergerak berpencar mendekati rumah tua itu.
"Hei Sindang Manik...! Keluar! Kau telah berkhianat pada kami. Sengaja kau lepaskan keris palsu itu, agar kau dapat aman dengan keris pusaka yang asli di tanganmu! Keluar kau, Penipu...!" seru Sadiro dengan wajah dingin.
Di dalam rumah, Sindang Manik tengah membalut luka bekas tebasan pedang Lilasari. Dia terkejut mendengar suara Sadiro.
"Edan...! Jadi keris itu palsu"! Pantas aku tak merasakan apa-apa ketika menggenggamnya.... Bangsat! Rupanya aku terjebak oleh Manusia Bayangan itu...! Kurang ajar...!" gerutu Sindang Manik geram, Namun dia takut teman-teman tak mempercayainya lagi. Sindang Manik nampak bingung. Wajahnya sudah dibasahi peluh karena tegang.
"Hei...! Keluar kau, Pengecut...! Bukankah kau orang yang pemberani...!" terdengar suara We-si Geni dengan lantang dan besar.
Sindang Manik berpikir sejenak. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, lalu melompat cepat dengan keyakinannya, keluar ke halaman rumah tua itu.
Begitu melihat Sindang Manik keluar, serempak Empat Jin Botak dari Selatan menyerangnya. Terjadi pertarungan tak seimbang. Sindang Manik terdesak. Wesi Geni dan Sadiro untuk sementara hanya menyaksikan pertarungan itu.
Sindang Manik melenting ke atas bersalto dua kali, menghindari serangan lawan-lawannya.
Dengan cepat dia berusaha mengumpulkan tenaga dalam. Direntangkan kedua tangannya lebar-lebar, lalu cepat membuat gerakan jurus silat. Mulutnya mendengus keras.
Pada saat itu Jin Kobra mengejarnya, hendak melancarkan serangan mautnya. Namun, tibatiba puluhan senjata rahasia melesat ke arah lelaki botak itu.
Swing, swing...! Jin Kobra membelalak kaget. Namun cepat berusaha menangkis benda-benda berupa butiran sebesar kelereng yang permukaannya berduri, seperti buah durian.
Trang, trang! Jleps! Jleps! Beberapa butir-butir dapat ditangkis, dan sebagian lagi melesat menghantam pepohonan hingga menancap dalam.
Jin Kobra melenting ke atas sambil terus menangkis senjata-senjata rahasia yang ternyata dilancarkan oleh Sindang Manik.
"Huh..."!" dengus Jin Kobra.
"Heaaa...! Mampus kau, Botak...!" seru Sindang Manik sambil menyabet kaki Jin Kobra, yang baru saja mendarat. Kemudian disusul dengan pukulan dua jarinya, yang sempat merobek baju Jin Kobra. Brettt! "Hah..."!" Jin Kobra kaget "Kau pikir aku tidak bisa membunuhmu...! Terimalah ini...!" seru Sindang Manik sambil melancarkan pukulan cepat beruntun.
Dia tak mem- berikan kesempatan pada Jin Kobra untuk membalas serangan. Bahkan ketika Jin Kobra yang ganas membabatkan pedang ke arah kepalanya, Sindang Manik yang sudah bisa menebak, merunduk dan dengan cepat tangan kirinya memegang tangan kanan si Botak itu. Sedangkan tangan kanannya cepat menghantam keras ke dada Jin Kobra.
Bluk! Bukk! "Aaaakh...!" Jin Kobra menjerit dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sindang Manik tak berhenti sampai di situ, dia lalu menendang keras lelaki botak itu. Tubuh Jin Kobra terpental tiga tombak ke belakang. Sindang Manik yang terdorong rasa ketakutan dan tak ingin menyerah, berusaha untuk menyelamatkan diri, dengan mengeluarkan senjata rahasia yang merupakan senjata andalannya. Jin Kala, Jin Soka, dan Jin Sudra marah.
Ketiganya melabrak Sindang Manik dengan menyatukan pedang mereka, lalu menggerakkan dengan cepat hingga menimbulkan suara bising, karena pedang itu saling beradu. Dengan cepat, mereka melompat sambil melemparkan pedang masingmasing. Pedang itu melayang, meluncur cepat memburu sasaran Sindang Manuk kaget, lalu segera mengeluarkan senjata rahasianya lagi. Seketika meluncur butir-butir benda berduri, menerjang pedang-pedang ketiga orang dari Empat Jin Botak dari Selatan.
Wuttt, wuttt! Jglarrr! Terjadi ledakan dahsyat akibat benturan pedang jin botak dan benda-benda berduri itu.
Percikan api seketika memancar dari pecahan butir-butir senjata rahasia Sindang Manik. Sedangkan tiga pedang manusia jin botak meluncur kembali ke pemiliknya masing-masing. Sindang Manik terkejut, melihat senjata andalannya hancur. Pada saat itu ketiga jin botak cepat melompat menyerang Sindang Manik.
"Heattt...!" Srettt! Crasss! "Ukh...!" Sindang Manik memekik keras. Ternyata babatan pedang Jin Sudra sempat menggores lengan kanannya. Seketika Sindang Manik terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah tampak tegang. Darah di lengannya terus mengucur. Namun lelaki tua berjubah merah itu masih berusaha untuk menahan rasa sakit dan nyeri pada lukanya. Dia berusaha melancarkan serangan seadanya, untuk sekadar menghambat gempuran.
Melihat lawan sudah terluka, Empat Jin Botak dari Selatan terus mendesak Sindang Manik, yang sudah mulai pucat dan berkeringat di seluruh tubuhnya.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Dari dua arah Empat Jin Botak dari Selatan menyerang Sindang Manik. Lelaki yang sebenarnya bernama Wongso Guno ini kembali melancarkan serangan senjata rahasia dengan sisa-sisa tenaganya.
Zwing! Zwing! Benda-benda berduri itu melesat ke arah Empat Jin Botak dari Selatan. Namun mereka tetap dapat menangkis peluru-peluru itu.
Wuttt, wuttt! Trang, trang! Glarrr! Peluru-peluru itu beradu dengan pedangpedang Jin Botak, menimbulkan ledakan dan percikan cahaya api. Peluru-peluru senjata rahasia Sindang Manik kembali hancur. Namun ada sebuah yang sempat menyerempet bahu Jin Kala, hingga memekik dan tubuhnya terhuyung ke belakang, mengalami luka berlubang.
"Aaakh...!" Jin Kala meringis dan memegangi bahu kirinya yang terkena serempetan senjata rahasia Sindang Manik. Namun segera dia menghimpun kembali tenaga dalamnya guna melancarkan serangan balasan. Sementara itu Jin Soka, Jin Kobra, dan Jin Sudra sudah melabrak Sindang Manik dengan serangan lebih ganas.
Sindang Manik hanya bisa melompat ke sana kemari dan sesekali melenting dengan sisa-sisa kekuatannya. Keadaannya tampak mulai goyah dan melemah. Akhirnya memilih jalan, lari! "Kejar dia, Wesi Geni, juga kalian cepat!" perintah Sadiro yang kemudian melesat pula menge- jar Sindang Manik.
"Dia harus mati...!" teriak Wesi Geni sambil terus mengejar Sindang Manik yang sudah terluka. Empat Jin Botak dari Selatan berpencar.
Dengan cepat akhirnya mereka dapat mengurung Sindang Manik. Wesi Geni pun telah sampai di situ. Wajah Sindang Manik tampak semakin pucat, karena racun pedang Jin Sudra telah melukai tubuhnya.
"Jangan bunuh aku... jangan! Aaaku akan jelaskan..., Manusia Bayangan itu men... men...." Belum sempat Sindang Manik meneruskan kata-katanya Wesi Geni telah mengeluarkan Kumbang Peraknya. Binatang itu langsung terbang menyerang Sindang Manik dan menggigitnya berulang kali. Sindang Manik menjerit-jerit. Tubuhnya dalam sekejap telah luka-luka oleh gigitan Kumbang Perak. Tak lama kemudian tubuh Sindang Manik membiru, lalu roboh dan mati dengan mengerikan. Matanya berlubang digigit Kumbang Perak piaraaan Wesi Geni.
"Ha ha ha...! Itulah ganjaran orang serakah...! Ha ha ha...!" Wesi Geni tertawa-tawa terge-lak-gelak.
Namun suara tawa Wesi Geru dan Empat Jin Botak dari Selatan mendadak berhenti ketika muncul sosok Manusia Bayangan dengan memegang Keris Pusaka Naga Sakti yang asli.
Pada saat itu pula Sadiro datang. Dia kaget melihat Manusia Bayangan memegang Keris Pusaka Naga Sakti.
"Aha..., rupanya kalian ini kurang berpengalaman dalam soal siasat dan tipu daya. Kalian bisanya hanya membunuh dengan licik lawan-lawan kalian. Kau tentunya masih ingat keris pusaka ini, Sadiro!" suara Manusia Bayangan terdengar menggelegar.
"Bangsat..! Rupanya kau yang mengacaukan semua rencanaku...! Tangkap manusia itu...?" perintah Sadiro pada Wesi Geni dan Empat Jin Botak dari Selatan Serentak Wesi Geni dan Empat Jin Bolak dari Selatan melakukan serangan. Pada saat itu muncul Purwadhika bersama Lilasari. Pemuda itu melompat menghadang lawan-lawannya.
"Lila, kau cepat menjauh! Jangan melibatkan diri, nanti kau celaka!" seru Purwadhika.
Wanita itu pun menurut. Karena dia telah melihat mayat Wongso Guno tak jauh dari tempatnya.
Purwadhika menghadang Sadiro yang hendak menyerang Manusia Bayangan sambil berseru.
"Kau bagianku, Sadiro...!" seru Purwadhika sambil melancarkan setangan kilat.
Sadiro agak terkejut dengan teguran Purwadhika. Hampir saja kepalanya kena hantam tendangan kaki kanan pemuda itu, kalau saja dia tak cepat menangkis dengan tangan kiri.
Pada saat itu Manusia Bayangan tiba-tiba membuka tutup wajah dan seluruh pakaian hitamnya. Kemudian melompat ke udara bersalto beberapa kali. Wesi Geni dan Empat Jin Botak dari Selatan terkejut melihat orang yang bersalto di udara itu.
Apalagi Sadiro. Begitu juga Lilasari yang bersembunyi di balik pohon. Semuanya diam tertegun penuh kekaguman.
"Hah..."! Kakang Sena...!" gumam Lilasari lirih. Wajahnya nampak terbengongbengong. Sena mendarat dengan ringan sekali di sisi Purwadhika lalu memberikan Keris Pusaka Naga Sakti pada pemuda itu.
"Kuserahkan keris ini kembali padamu...." Pendekar Gila sengaja berseru agar Sadiro mendengar. Sadiro bertambah tak mengerti dan kaget melihat Pendekar Gila. Mereka nampak mulai ciut "Aha! Ayo, kalau kalian mau menantangku, mari...!" seru Pendekar Gila lalu melompat ke arah Wesi Geni dan Empat Jin Botak dari Selatan "Pendekar Gila...!" seru Wesi Geni dan Empat Jin Botak dari Selatan, begitu melihat Suling Naga Sakti di tangan kanan Pendekar Gila.
Sadiro yang merasa sudah kepalang basah, dengan cepat dia berkelit dan melakukan serangan balik yang dahsyat ke arah Purwadhika "Tentunya kau masih ingat orang yang bernama Ramapati, Sadiro...!" seru Purwadhika sambil terus melancarkan serangan cepat yang sulit diatasi. Sehingga sebentar saja Sadiro terdesak dan.... Bukk! Bukkk! "Aaaa...!" Sadiro memekik kena pukulan beruntun Purwadhika yang sudah tak mampu me- nahan dendamnya.
"Siapa kau.... Ukh...!" keluh Sadiro sambil terhuyung-huyung.
"Aku putra tunggal Ramapati yang kau bunuh dengan keji itu...!" Purwadhika bertambah ganas menyerang Sadiro yang nampak kaget dan bertambah panik itu.
Namun pada kesempatan lain Sadiro dapat mendaratkan pukulan telak ke dada Purwadhika.
Pemuda itu sempat terhuyung. Sadiro yang bernafsu merampas keris pusaka itu, segera merangsek maju menyerang Purwadhika yang masih dalam keadaan terhuyung-huyung itu. Namun Lilasari yang melihat keadaan gawat itu, cepat melompat menendang Sadiro, lalu disusul dengan sabetan pedangnya. Bug! Srettt! "Aaakh...!" Sadiro memekik keras. Tangan kirinya tergores pedang dan kepalanya kena tendangan kaki kanan Lilasari. Hingga tubuhnya tersungkur.
Namun Sadiro masih bisa bangkit dan kini dia mulai mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Cepat dia mencabut pedangnya. Kemudian dengan membuka jurus intinya yang dinamakan jurus 'Pedang Tengkorak Darah', Sadiro mempermainkan pedang itu. Dari gerakannya menimbulkan suara berdesing. Pedang yang berwarna hitam itu memancarkan cahaya merah.
Zing, zing! Suara angin akibat tebasan 'Pedang Tengkorak Darah' terdengar nyaring. Sadiro mengangkat pedang ke atas dengan kedua tangannya, seperti memegang samurai.
Purwadhika yang melihat itu, segera membuka jurus 'Bayu Menyibak Karang'. Seketika angin kencang tiba-tiba datang. Sementara itu, Lilasari segera menjauh, namun tetap waspada. Wajahnya nampak cemas akan pertarungan itu. Dia khawatir kalau Purwadhika akan kalah. Dan saat itu Purwadhika cepat mencabut keris.
Sementara itu Wesi Geni telah mengeluarkan Kumbang Perak-nya untuk menghadapi Pendekar Gila. Namun Pendekar Gila sudah siap dan tanggap. Dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan ajian 'Inti Brahma' untuk menghancurkan Kumbang Perak. Dengan menggosok telapak tangannya Pendekar Gila mengerahkan tenaga dalam. Seketika telapak tangannya mengeluarkan api yang sulit dipadamkan. Bola-bola api yang dilontarkan Pendekar Gila menggulung dan membakar Kumbang Perak milik Wesi Geni. Binatang itu coba menghindari bola api yang terus mengejarnya. Akhirnya bola api itu membakar Kumbang Perak, hingga hancur! Wesi Geni yang melihat senjata pamungkasnya mati, segera mengeluarkan pukulan 'Wesi Ireng'. Dengan menggenggam kuat-kuat, Wesi Geni melancarkan pukulan jarak jauh. Pukulan itu mengeluarkan suara menggelegar, dan dari kepalan tangan yang dihentakkan mengeluarkan besibesi hitam meluncur deras ke arah lawan. Pendekar Gila melenting ke udara sambil coba melancarkan serangan balasan dengan jurus 'Si Gila Melebur Karang'. Maka tak pelak lagi terjadi ledakan dahsyat, akibat benturan besi hitam dan pukulan Pendekar Gila. Tubuh Wesi Geni terpental lima tombak dan membentur batu besar. Wesi Geni memekik panjang lalu tak bergerak lagi, karena kepalanya membentur batu hingga pecah.
Melihat itu Empat Jin Botak dari Selatan serentak menyerang dan mengurung Pendekar Gila. Sena tampak hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala saja.
Kembali pada Purwadhika dan Sadiro yang sudah mulai melakukan pertarungan dengan mengeluarkan jurus-jurus mautnya.
Sadiro dengan cepat melabrak Purwadhika.
Melihat lawannya telah melesat menyerang, Purwadhika segera menggeser kaki kanan agak membuka. Kemudian langsung ditekuk hingga membentuk siku. Tangan kiri digerakkan ke atas, lalu-ditarik ke bawah dan dilecutkan di depan dada.
Sedangkan Keris Naga Sakti di tangannya disabetkan miring ke samping, lalu ditariknya lurus ke depan dada. Kemudian, dilanjutkan dengan gerakan memutar di depan tubuh. Disambung dengan gerakan berbareng antara pukulan tangan kiri dan tebasan pedang.
"Heaaa...!" Dengan jurus 'Tebasan Naga Menyambar Mangsa, Purwadhika memapaki serangan Sadiro.
Keris di tangannya bergerak cepat, memburu tubuh lawan. Sadiro pun tak kalah hebatnya dengan cepat pula menangkis sabetan Purwadhika.
"Yeaaa...!" Trang! Klakk! "Ukh...!" Sadiro mengeluh. Pedang andalannya patah, akibat beradu dengan Keris Pusaka Naga Sakti. Cepat-cepat tubuhnya dilontarkan ke belakang, menghindar dari tusukan keris Purwadhika yang cepat dan garang. Pedang yang telah patah jadi ti-ga bagian masih digenggamnya.
Sadiro mulai kecut. Bibirnya gemetaran, keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuh. Dan pukulan tangan kiri Purwadhika yang telak tadi mengakibatkan dadanya sesak. Dari mulutnya menetes darah segar. Matanya membelalak lebar, ketika Purwadhika tiba-tiba menghentakkan Keris Pusaka Naga Sakti ke arahnya. Dan dari ujung keris itu keluar cahaya yang menyilaukan.
Sadiro terkesiap melihatnya, cepat dia melompat ke pinggir jurang menjauhi Purwadhika.
Dengan tenang Purwadhika melangkah maju sambil mengarahkan ujung keris ke mata Sadiro. Sadiro berteriak sambil menutupi kedua matanya.
"Aaaakh...! Jangan, panass...! Jangan!" seru Sadiro dengan gemetaran.
"Bukankah kau membunuh ayahku dengan tanpa perasaan" Kau kini harus menerima ganjaran, Sadiro...!" seru Purwadhika terus mendekati Sadiro yang terus mundurmundur. Dia tak tahu kalau di belakangnya ada jurang yang curam.
Purwadhika menghentikan langkahnya.
Sementara itu, Lilasari nampak tegang melihat suasana yang mencekam. Sudah dua orang mati. Sindang Manik dan Wesi Geni.
"Bagaimana perasaanmu ketika membunuh ayah ibuku, Sadiro..."! Tentunya sama saja dengan perasaanku saat ini. Tak mengenal rasa belas ka-sihan. Tapi, aku bukan pembunuh sepertimu. Kau akan mati sendiri karena dosa-dosamu...!" selesai berkata, Purwadhika kembali mengarahkan keris pusaka ke mata Sadiro. Sadiro menjerit, karena merasakan panas dan cahaya yang memancar dari keris itu membuat matanya perih dan kabur.
"Jangan...! Jangan... ohh aaakh...!" Sadiro yang terus mundur-mundur itu kakinya terpeleset dan jatuh ke jurang yang curam di belakangnya. Tubuh Sadiro melayang-layang, lalu jatuh menancap pada batu cadas di bawah sana.
Purwadhika dan Lilasari yang menyaksikannya nampak diam tak bersuara. Lilasari menyembunyikan mukanya di dada Purwadhika.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya.... Itu merupakan ganjaran bagi orang semacam Sadiro.
Ganjaran dari Hyang Widi...," kata Purwadhika sambil mendekap Lilasari.
Sementara itu Pendekar Gila yang tak jauh dari tempat mereka masih menghadapi Empat Jin Botak dari Selatan. Pendekar Gila dengan meliukliuk mengelakkan serangan dan tebasan pedang mereka. Purwadhika dan Lilasari segera ikut menghadapi Empat Jin Botak dari Selatan.
"Hei..."! Apakah kalian masih menginginkan keris ini"! Dan akan menyusul Sadiro ke neraka..."!" Tersentak Empat Jin Botak dari Selatan ketika mendengar seruan Purwadhika. Sesaat mereka menghentikan serangan dan menoleh ke tempat Sadiro tadi bertarung. Tak terlihat Sadiro lagi.
"Aha, sebaiknya urungkan niat kalian, kalau masih ingin lebih lama hidup di dunia...," kata Pendekar Gila dengan tingkah konyol. Empat Jin Botak dari Selatan saling pandang. Lalu berseru.
"Kami harus mendapatkan keris itu. Apa pun akibatnya...!" kata Jin Sudra. Lalu mereka serentak menyerang Pendekar Gila dan Purwadhika.
Terjadi lagi pertarungan yang seru. Mereka sama-sama mengeluarkan ilmu dan jurus-jurus maut masing-masing. Namun Purwadhika dan Pendekar Gila bukan musuh yang sembarangan.
Empat Jin Botak dari Selatan yang memang memiliki ilmu lebih tinggi dari Sadiro, mula-mula masih bisa bersiap untuk melakukan serangan balasan. Keempatnya kini tampak berjajar, dengan gerakan yang cepat dan indah. Mereka membentuk lingkaran. Sambil bergerak memutar cepat sekali, mereka saling menusuk dan mengibaskan pedang masing-masing secara cepat pula.
Jin Soka dan Jin Sudra melompat ke atas lalu mendarat di atas bahu Jin Kobra dan Jin Kala. Selanjutnya dengan teriak berbarengan keempatnya menyerang Purwadhika yang telah siap dengan jurus mautnya. Pada saat Empat Jin Botak dari Selatan menusuk dan membabatkan pedang, Purwadhika cepat melompat ke udara. Dengan ringan kakinya mendarat di atas pedang-pedang lawan yang berada di atas bahu. Ditendangnya dengan keras kepala Jin Sudra dan Jin Soka.
Bug, bug! "Aaaakh...!" seketika Jin Soka dan Jin Sudra terpental jatuh. Pada saat itu pula, Jin Kobra dan Jin Kala yang memanggul keduanya membabatkan pedang masingmasing, ketika Purwadhika hendak mendarat.
Wut, wuttt! "Hop...!" Purwadhika cepat bersalto di udara sebelum kakinya menyentuh tanah. Dan mendarat dengan ringan agak jauh dari Jin Kala dan Jin Kobra.
Empat Jin Botak dari Selatan kini kembali bersatu dan secara cepat melompat bersama-sama sambil mengangkat pedang. Purwadhika yang sudah tak ingin berlama-lama, cepat mencabut Keris Pusaka Naga Sakti. Seketika sinar putih keperakan memancar terang ke arah mata Empat Jin Botak dari Selatan. Seketika pula Empat Jin Botak dari Selatan itu menjerit. Tubuh mereka terpental jauh ke belakang, seakan ada sesuatu tenaga yang mendorong mereka dengan kuat. Bagaikan ada angin topan, ketika Purwadhika menggerakgerakkan Keris Pusaka Naga sakti itu dengan cepat, lalu menghentakkannya ke depan, seperti menusukkan ke arah lawan.
"Aaaaooow...!" Jeritan panjang terdengar dari Empat Jin Botak dari Selatan. Keempatnya ambruk dan memuntahkan darah segar dari mulut masingmasing. Mata mereka seketika buta, walaupun tetap terbuka. Sedang wajah mereka hangus bagai terbakar. Itulah kedahsyatan Keris Pusaka Naga Sakti. Tubuh lelaki berkepala botak itu kejangkejang kemudian mati.
Purwadhika yang melihat Empat Jin Botak dari Selatan mati, ada rasa penyesalan. Namun semua sudah terjadi, semua sudah takdir. Karena merekalah yang menginginkan kematian, hanya karena Keris Pusaka Naga Sakti yang mempunyai kesaktian luar biasa.
"Ooh... Hyang Widhi, ampuni aku! Aku tak bermaksud membunuh mereka...," gumam Purwadhika lirih. Matanya menatap Empat Jin Botak dari Selatan yang sudah tak bernyawa lagi itu.
Pendekar Gila nampak merasa kagum juga akan kedahsyatan keris bekas milik kakeknya itu.
Dia lalu dengan tenang melangkah mendekati Purwadhika dan Lilasari yang sudah lebih dulu ada di sisi Purwadhika.
"Tak usah kau sesalkan. Bukan kamu yang membunuhnya. Tapi, mereka sendiri yang mengantar nyawa. Hanya karena kemurkaan dan kerakusan mereka untuk memiliki Keris Pusaka Naga Sakti itu...," tutur Sena sambil memegang bahu Purwadhika lembut Purwadhika hanya mengangguk pelahan, lalu menghela napas dalam-dalam.
"Tapi kalau tanpa adanya Kakang Sena yang mempunyai rencana itu, tak mungkin aku sekarang masih bisa memiliki Keris Pusaka Naga Sakti ini...," kata Purwadhika sambil memandangi keris yang tergenggam di tangan kanannya.
"Aku pun juga ingin berterima kasih pada Kakang Sena, yang telah melindungiku...," sejenak Lilasari melirik ke arah Purwadhika lalu berkata lagi, "Dan, kalau ayahku masih hidup... tentu beliau sangat gembira dan bangga, karena aku bisa bertemu dan berkenalan dengan pendekar yang kondang saat ini. Ayahku termasuk salah satu pengagum Kakang Sena..," lanjut Lilasari dengan polos dan tersenyum manis.
"Ah, kau ini ada-ada saja. Tapi aku pun sangat menyesal dan ikut berdukacita mendengar Kanjeng telah meninggal dunia. Semoga Hyang Widhi menerimanya di tempat yang layak di sisiNya...," tutur Sena Purwadhika dan Lilasari kembali tersenyum-senyum. Pemuda itu merangkul erat Lilasari penuh kasih sayang. Lilasari pun dengan manja menyandarkan kepala perlahan di dada Purwadhika. Sena menggaruk-garuk kepala dan tersenyum-senyum memandangi kedua muda-mudi itu.
Lalu tertawa-tawa sendiri. Lilasari dengan Purwadhika ikut tertawa, merasa geli melihat tingkah Sena yang konyol itu.
Kebahagiaan kini terpancar wajah ketiganya. Kegelapan telah sirna, kini datang cahaya terang di hati mereka. Terutama untuk Purwadhika dan Lilasari.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Serikat Serigala Merah --oo0oo-- Nenek Bongkok
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.