Life is journey not a destinantion ...

Nenek Bongkok

INDEX PENDEKAR GILA
Keris Naga Sakti --oo0oo-- Cinta Pembawa Maut

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


֍₪֍¦ ① ¦֎₪֎

Sejak diusirnya Senapati Warkasa Pati empat bulan yang lalu, keadaan Kadipaten Balasutra mulai aman kembali. Begitu pula desa-desa yang berada dalam kekuasaan kadipaten itu. Kehidupan masyarakatnya kembali aman dan tenteram.
Desa Kawulan yang memiliki wilayah paling luas di antara desa-desa lainnya, cukup ramai dan subur. Apalagi di desa itu merupakan tempat tinggal senapati yang baru. Seorang yang bijaksa-na dan berbudi luhur. Senapati Pranggana na- manya. Adipati Parisuta pun sangat mempercayai dan menyenangi Senapati Pranggana. Karena selain memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, Senapati Pranggana memiliki kesetiaan dan kejujuran.
Dia setia membela orang desa yang tertindas oleh perampok dan tokoh-tokoh sesat yang datang setiap saat Malam ini langit nampak kelam. Bulan tertutup oleh awan. Suasana gelap gulita dan mencekam. Angin dingin berhembus kencang, seakan mengisyaratkan akan terjadi sesuatu.
"Aneh! Malam ini sangat dingin, tak enak...," gerutu seorang peronda yang sedang menunggu temannya di gardu, "Ke mana saja si Kerempeng Suko. Kencing kok lama sekali...!"
"Kirman!" tiba-tiba terdengar teguran dari arah semak-semak.
"Siapa..."! Kau Suko..."!" tanya Sukirman agak ragu. Matanya menyipit memandang ke arah semak-semak yang tak jauh dari gardu.
"Iya, cepat ke sini...!" terdengar seruan dengan suara serak.
"Ah...! Ada-ada saja anak tuyul itu...," gerutu Sukirman sambil mengikatkan kain sarungnya di pinggang. Lalu dia turun dari balai-balai yang ada di gardu itu dan melangkah ke arah semak-semak. Begitu sampai di dekat semak-semak, tibatiba... Crasss! "Aaa...!" Sukirman menjerit, lalu tak bersuara lagi.
Mati! Keadaan sunyi senyap kembali menyelimuti tempat itu. Desa Kawulan pun sunyi, bagaikan tak ada penghuninya.
Padahal biasanya, baik siang maupun malam hari, Desa Kawulan selalu ramai. Namun entah mengapa malam ini suasananya begitu mencekam. Para penduduk sepertinya sudah terlelap tidur. Karena hawa malam memang terasa sangat dingin. Hanya suara binatang malam terdengar di antara desau angin yang menerpa dedaunan. Mereka bergembira menikmati keheningan malam yang dapat mereka manfaatkan untuk mencari makan, bermain, bersenda gurau maupun saling melepaskan hasrat birahinya. Karena siang harinya mereka merasa terganggu sekali oleh hirukpikuk dan kesibukan manusia.
Dari semak-semak dekat gardu ronda melesat bayangan hitam memasuki desa. Lalu menghilang dalam kegelapan malam.
Langit di atas tampak muram. Bulan yang hanya sepotong masih tetap terhalang awan tebal.
Dan keheningan itu semakin mencekam, semakin membuat para penduduk lebih suka menarik selimut. Daripada memikirkan yang tidak-tidak, hanya akan mengganggu tidur mereka.
Namun mendadak saja desa yang sunyi dan gelap itu tiba-tiba menjadi kacau-balau.
Bermula dari terdengarnya tawa panjang yang amat mengerikan dan menggema, seakan menyebarkan hawa kematian. Disusul kemudian kobaran api di atas beberapa rumah, hingga membuat para penghuninya harus berlarian menyelamatkan diri. Rumah Ki Lurah Kuntolo, mertua Senapati Pranggana pun tak luput dari sasaran api itu. Ki Kuntolo bersama istri dan Surti, istri Senapati Pranggana, berlarian keluar sambil menggendong anaknya yang belum berumur satu tahun.
Seketika suasana desa berubah bagaikan neraka. Jeritan-jeritan keras terdengar di sanasini. Para penduduk panik dan ketakutan. Orangorang lelaki berlarian mencari air untuk memadamkan api yang terus berkobar dan semakin membesar.
"Tolooong...! Tolooong...!"
"Cepat padamkan...! Ayo cepat...!" perintah Ki Kuntolo pada para penduduk.
"Edan! Dari ma-na datangnya api itu..."!" gumamnya seraya menggeleng-gelengkan kepala merasa tak habis pikir. Sementara itu, Surti nampak sangat ketakutan dan memeluk anaknya erat-erat, melindunginya dengan penuh kasih sayang.
"Sebaiknya kau berlindung di rumah Sapto, cepat...!" perintah Ki Kuntolo pada Surti dan istrinya.
Surti dan ibunya cepat menuju rumah Ki Sapto yang terletak di ujung desa. Ki Sapto merupakan orang kepercayaan Ki Kuntolo. Kedudukannya sebagai Wakil Lurah Desa Kawulan.
Ditemani oleh seorang lelaki bertubuh kekar, Surti dan ibunya terus melangkah menuju rumah Ki Sapto.
Sementara itu api semakin besar dan sudah lima rumah terbakar. Beramai-ramai para penduduk terus berusaha, memadamkan api yang semakin berkobar. Sementara angin berhembus kencang.
Kerja cepat dan bantu membantu pun terjadi. Ki Kuntolo dan Ki Sapto mengomandoi para warga, sambil ikut juga turun tangan.
Mereka bergerak cepat berusaha membunuh si Jago Merah. Namun belum lagi api yang satu berhasil dipadamkan, mendadak saja api itu menyambar lagi rumah-rumah yang lain. Karena angin yang berhembus demikian kuat, mempercepat dan memperbesar kobaran api yang terus menjilat atap-atap rumah.
Keadaan semakin kacau balau. Kepanikan semakin menjadi-jadi. Hiruk-pikuk jeritan penduduk yang ketakutan ditingkahi suara gemeretak kayu terbakar. Sementara di kejauhan penduduk yang lain terdengar membunyikan kentongan.
"Tolooong...! Api...!"
"Air...! Air...!"
"Cepat padamkan...!" Seruan-seruan ramai terus terdengar. Dan yang paling mengenaskan, ada salah seorang penduduk berlarian dari rumahnya dengan tubuh terbakar. Ternyata seorang lelaki tengah menggendong anaknya yang masih kecil.
"Tolooong! Tolooong...!" serunya kepanasan dan berlarian ke sana kemari sambil terus memeluk erat anaknya. Beberapa warga segera berlari menolong lelaki yang terbakar itu.
Sementara para penduduk memadamkan api di tubuh lelaki itu, Ki Kuntolo berusaha mengambil anak yang ada di pelukannya. Anaknya pun menangis-nangis keras.... Dengan berani Ki Kuntolo menembus api yang membakar lelaki itu dan cepat menarik sang Anak. Ki Lurah Kuntolo segera menjauh sambil memeluk anak kecil itu.
Namun lengan Ki Kuntolo sempat termakan api, meski tak begitu parah.
"Bawa anak ini... jauh-jauh...!" kata Ki Kuntolo sambil memberikan anak kecil itu pada salah seorang warga.
Lelaki yang terbakar itu tak dapat diselamatkan. Jeritan menyayat terus terdengar seiring tubuhnya yang berlarian menyelamatkan diri.
Bau hangus dan sangit pun menusuk hidung. Para penduduk yang menyaksikan hanya bisa mendesah dengan hati pilu. Beberapa kaum wanita menjerit ngeri melihatnya. Mereka menundukkan kepala dengan terisak, ketika melihat sepasang suami istri dan seorang anaknya mati terbakar. Api terus berkobar. Hal ini membuat para penduduk menjadi cemas dan lambat laun muncul kecurigaan. Dari mana datangnya api itu"! Kejadian ini dirasakan sangat aneh. Belum lagi keheranan mereka terjawab, mendadak saja melayang sesosok tubuh dengan gerakan yang amat ringan, menuju kerumunan para penduduk. Disusul dua sosok lain melayang dengan gerakan sama. Kemudian ketiganya memperdengarkan suara tawa yang aneh. Menggema panjang dan menggetarkan telinga yang mendengarnya. Ki Kuntolo, Ki Sapto, dan para penduduk menyebar, dengan perasaan cemas melihat ketiga orang yang masih melenting dan bersalto di udara. Ketiga sosok itu mendarat. Namun sosok pertama mendarat dengan membelakangi Ki Kuntolo, Ki Sapto, dan para penduduk. Sedangkan dua orang yang berkepala botak dan berkumis tebal menghadang Ki Kuntolo dengan tatapan garang.
"Siapa orang-orang ini...".'" tanya Ki Kuntolo dalam hati.
Kemudian orang yang berambut panjang dengan pengikat kepala kain merah, perlahan membalikkan tubuhnya, berdiri gagah berkacak pinggang. Dia tertawa-tawa mengejek. Matanya yang liar, menatap tajam Ki Lurah Kuntolo.
"Hah"!" Ki Kuntolo tersentak kaget bukan main. Begitu juga dengan Ki Sapto dan para penduduk yang mengenal orang itu.
"Ha ha ha...! Jangan kaget, Manusiamanusia Bodoh. Bila kalian hendak mencari-cari siapa yang telah berbuat ini semua..., akulah orangnya!" suaranya nyaring dan terdengar cukup mengerikan.
"Senapati Warkasa Pati...?"" gumam Ki Kuntolo, setelah mengenalinya. Seketika lelaki berumur sekitar lima puluh lima tahun itu merasa cemas.
"Kau tentunya masih mengenali aku, bukan"! Ha ha ha... aku datang hanya mengingin- kan mantumu itu, Ki Kuntolo!" kata Warkasa Pati dengan pongahnya.
"Hah..."! Tapi dia tak ada di sini. Kenapa kau tidak datang saja ke Kadipaten Balasutra..."! Apa kau takut!" jawab Ki Kuntolo dengan berani.
"He he he...! Orang tua ini mulutnya perlu disobek!" kata Warkasa Pati dengan geram. Secepat itu pula dia mengibaskan jubahnya. Srrrt..! "Ukh...!" Seketika Ki Kuntolo memekik dan tahutahu mulutnya remuk dan berlumuran darah.
Tubuhnya terpental dua tombak, menubruk beberapa orang yang berdiri di belakangnya.
Warkasa Pati tertawa terbahak-bahak melihatnya.
"Apa kalian juga ingin kusobek mulut kalian. Hah...!" Tak seorang pun yang berani bertindak atau menjawab. Hanya Ki Sapto yang sebagai wakil kepala desa, melangkah maju mencoba menenangkan Warkasa Pati.
"Apa sebenarnya yang membuat kau membakar rumah penduduk yang tidak berdosa...?" tanya Ki Sapto dengan tegas dan mantap.
"Ha ha ha...! Aku senang mendengar pertanyaanmu. Ha ha ha...! Aku hanya inginkan Pranggana, senapati yang menggantikan aku itu.
Dengan cara seperti ini dia pasti murka dan mencariku. Katakan padanya bahwa aku menunggunya di Lembah Seribu Iblis, besok pagi-pagi sekali...! Hanya Pranggana. Kalau ada orang lain, akan kubumihanguskan dan kubunuh semua orang yang ada di desa ini. Mengerti..."! Sampaikan tantanganku! Kalau tidak kau sendiri yang akan jadi gantinya!" kata Warkasa Pati dengan geram. Tiba-tiba dari jauh, Surti yang menggen- dong anaknya berlari-lari diikuti ibunya, menuju tempat mereka.
"Ada apa..."! Ada apa..."!" tanya Surti pada Ki Sapto. Wanita itu belum tahu kalau di situ ada Warkasa Pati yang telah membuat ayahnya pingsan.
"Oh, Pak.."! Kenapa mulutmu, Pak...!" Tiba-tiba terdengar suara istri Ki Lurah Kuntolo. Surti pun menoleh ke belakang.
"Oh"!" pekik pendek Surti yang merasa kaget.
"Ha ha ha...!" terdengar suara tawa Warkasa Pati. Surti kaget dan berpaling ke arah suara.
Matanya membelalak ketika tahu dan mengenali orang yang tertawa bergelak itu.
"Kurang ajar! Bajingan! Rupanya kau yang berbuat semua ini. Apa maksudmu...
"!" bentak Surti dengan geram. Matanya berkaca-kaca.
"Ha ha ha... Aku senang melihat wanita secantikmu marah-marah seperti ini. Kalau saja kau mau jadi istriku, aku pun tak keberatan. Walaupun perawanmu telah kau berikan pada Pranggana yang bodoh itu!" ejek Warkasa Pati.
"Kurang ajar! Manusia busuk pengkhianat kadipaten, pemeras...! Kubunuh kau...!" teriak Surti geram. Dan secepat itu tangan kanan Surti mencabut golok di pinggang Ki Sapto yang berdiri di sebelah kirinya. Lalu wanita muda itu bermaksud membabatkan goloknya ke tubuh Warkasa Pati. Namun segera ditahan oleh Ki Sapto.
"Jangan berbuat bodoh, Surti...! Dia tak akan mundur. Sabarlah! Biar semuanya berjalan apa adanya...!" kata Ki Sapto yang bergerak cepat dan tepat.
Surti hanya bisa diam penuh dendam. Napasnya naik turun dengan cepat, menahan amarah yang besar. Matanya mendelik ke arah Warkasa Pati. Sedangkan bekas senapati itu hanya senyum-senyum.
"Dengar Surti...! Aku datang hanya untuk mengundang, menantang suamimu, Pranggana.
Dan aku yakin dapat membunuhnya!" kata Warkasa Pati dengan sombong.
Mendengar itu hati Surti seketika cemas dan terdiam dengan bibir bergetar Sementara itu Ki Kuntolo tengah ditolong dan diobati para penduduk tak jauh dari tempat itu.
"Dan kau harus tahu, sebagai pengganti suamimu nanti adalah aku! Karena sejak dulu sebenarnya aku mengincarmu. Tapi si Pranggana yang bodoh itu lebih beruntung. Ha ha ha...! Untuk itu bersiaplah nanti! Aku akan membawamu, begitu suamimu dapat kubunuh. Ha ha ha...!" ka-ta Warkasa Pati dengan penuh keyakinan dan menggoda. Lalu setelah memberi isyarat pada kedua anak buahnya, Warkasa Pati melesat pergi.
Sebelumnya diingatkan lagi pada Ki Sapto, bahwa dia menunggu Senapati Pranggana di Lembah Seribu Iblis. Hati Surti semakin tak karuan mendengar ucapan Warkasa Pati. Rasa khawatir dan takut tersirat di wajahnya. Karena semua orang tahu, bahwa Warkasa Pati kini telah memiliki ilmu yang cukup tinggi. Apalagi mantan senapati itu kini menjadi murid si Nenek Bongkok dari Pantai Selatan.
"Sudahlah, jangan kau terlalu larut pada masalah ini! Serahkan semuanya pada Hyang Widhi...," kata Ki Sapto mencoba menenangkan hati Surti.
Lalu Surti mendekati ayahnya yang sedang diobati oleh Nyi Dimah. Ki Sapto mengikuti di belakangnya. Sementara orang-orang mulai bubar.
"Sebaiknya, bawa ke rumahku saja. Hari sudah larut malam. Ayo, Surti...!" ajak Ki Sapto pada orang-orangnya. Segera dua orang laki-laki menggotong tubuh Ki Kuntolo ke rumah Ki Sapto diikuti Surti dan Ibunya.
"Gono, cepat kau ke kadipaten, beritahu Senapati Pranggana...!" perintah Ki Sapto pada seorang pemuda desa.
"Baik, Ki...," jawab Gono. Lalu cepat dia berangkat ke Kadipaten Balasutra.
Sementara itu malam semakin larut. Suasana kembali sunyi dan mencekam. Bulan pun tetap tertutup awan menjadikan keadaan gelap gulita. Asap mengepul dari bekas rumah-rumah yang terbakar, termasuk rumah Ki Kuntolo. Semua telah menjadi arang.


֍₪֍¦ 2 ¦֎₪֎

Malam itu juga Senapati Pranggana datang disertai dua orang dari kadipaten, dengan menunggang kuda. Gono yang menyusulinya duduk di belakang Senapati Pranggana yang menunggang kuda coklat belang putih.
Kuda-kuda itu cepat memasuki Desa Kawulan, dan berhenti di depan sebuah bangunan yang tak begitu besar. Bangunan setengah tembok itu rumah Ki Sapto.
Begitu masuk, Senapati Pranggana langsung mencari istri dan anaknya.
"Kakang...!" seru Surti begitu melihat Senapati Pranggana masuk. Mereka berpelukan erat Surti menangis tersedu-sedu.
"Tenang Diajeng, tenang...!" kata Senapati Pranggana coba menenangkan istirinya dengan menepuk-nepuk dan mengusap punggung Surti.
Lalu Senapati Pranggana menggendong anaknya yang tadi digendong neneknya. Senapati Pranggana menciumi berulang kali kening anaknya. Lalu diberikannya lagi pada ibu mertuanya.
Senapati Pranggana mendekati Ki Kuntolo, mertuanya yang masih terbaring di balai-balai ruang tengah.
Mulutnya miring dan pecah, akibat sabetan jubah Warkasa Pati. Senapati Pranggana nampak sedih melihat keadaan mertuanya itu.
"Maafkan saya...! Semua ini gara-gara saya Tapi percayalah, saya akan membalas dan membunuhnya," kata Senapati Pranggana dengan mantap. Lelaki gagah itu kembali mendekati Surti.
Lalu dia bertanya pada Ki Sapto, yang juga nampak cemas dan sedih.
"Bagaimana awalnya, Ki...?" tanyanya.
Ki Sapto menghela napas sejenak. Ditatapnya Senapati Pranggana sebentar, lalu mulai menceritakan kejadian naas itu, dari awal sampai akhir. Ki Sapto menceritakan bahwa maksud Warkasa Pati tak lain ingin membalas dendam dan menantang Senapati Pranggana. Warkasa Pati merasa disingkirkan dari kadipaten oleh Senapati Pranggana. Karena Senapati Pranggana-lah yang berhasil mengungkap dan menangkap basah sepak terjang Warkasa Pati semasa menjadi senapati yang suka memeras rakyat dan mencoba menjatuhkan tahta Adipati Parisuta.
"Itulah maksud utama Warkasa Pati. Bahkan dia mengancam kami, bila kau datang bersama pasukan kadipaten," ujar Ki Sapto mengak-hiri ceritanya.
"Dia juga berkata kurang ajar, Kakang. Dia hendak mengambilku jika kelak kau kalah dan mati dalam pertarungan...," ucap Surti tiba-tiba.
Membuat Ki Sapto mengerutkan kening. Lelaki itu nampak menyayangkan ucapan Surti. Karena dianggapnya akan mempengaruhi ketenangan Senapati Pranggana dalam menghadapi Warkasa Pati. Mendengar ucapan istrinya, Senapati Pranggana tersentak kaget. Lalu berpaling menatap Surti tajam dengan mengerutkan keningnya.
Napasnya naik turun cepat, seakan menahan rasa amarah yang besar.
"Aku akan tetap bersamamu, Diajeng. Aku akan membunuhnya!" kata Senapati Pranggana dengan suara mantap. Lalu memeluk erat Surti.
Keduanya berpelukan agak lama, seakan mereka tak akan lagi bertemu satu sama lain.
Nampak dalam wajah Senapati Pranggana tersirat rasa penyesalan, terhadap semua peristi-wa ini.
"Kenapa aku biarkan Warkasa Pati dulu hidup" Kenapa aku masih bermurah hati pada orang seperti dia"! Seharusnya kubunuh saja dia sewaktu aku menang dalam pertarungan itu..." Bodoh sekali aku ini...! Kini dia menantangku, mau membunuhku. Bahkan ingin merebut istriku..,! Oh Hyang Widhi, beri hamba-Mu ini kekuatan dan kepercayaan diri untuk melawan manusia keparat itu." Perlahan Senapati Pranggana melepas pelukan sambil menatap lekat-lekat wajah sang Istri agak lama, lalu diciumnya kening istrinya lembut.
"Aku akan kembali, Diajeng. Percayalah...! Sekarang Diajeng tidurlah. Sudah hampir pagi...
biar aku berunding dengan Ki Sapto dan dua pengawalku...," kata Senapati Pranggana perlahan. Surti hanya menganggukkan kepala. Se- mua yang ada di situ merasa terharu. Karena di hati dan perasaan mereka tentunya Senapati Pranggana akan berpisah selamanya dengan Surti. Mengingat Warkasa Pati kini memiliki ilmu yang cukup tinggi. Terutama Ki Sapto yang juga mendengar bahwa mantan senapati itu menjadi murid Nenek Bongkok dari Pantai Selatan, yang memiliki ilmu setan dan kejam.
Setelah Surti masuk ke kamar bersama ibunya, Senapati Pranggana segera duduk bersila di atas tikar, berembuk dengan Ki Sapto dan dua orang pengawalnya.
Mereka berunding dan bicara hingga fajar menjelang. Kemudian Senapati Pranggana mulai bersiap diri. Ayam berkokok panjang tanda pagi telah datang. Dan sang Fajar mulai muncul di balik bukit. Sinarnya memerah menyemburat di langit timur....

***

Saat yang mendebarkan telah datang. Senapati Pranggana dengan menunggang kuda berwarna putih belang coklat, nampak gagah. Apalagi dengan pakaian kadipaten. Warna pakaiannya serba hitam lengan panjang dengan kain batik coklat. Dan sebilah keris terselip di pinggangnya.
Kuda terus berlari cepat menuju Lembah Seribu Iblis. Derap kaki kuda pagi-pagi buta itu seakan menggugah ketenangan hewan-hewan yang masih tidur.
Tak lama kuda itu sudah sampai di kaki Lembah Seribu Iblis. Senapati Pranggana mulai memperlambat lari kudanya. Matanya menyapu sekeliling lembah itu. Melirik ke kiri dan kanan.
Lalu ditariknya lagi tali kekang kuda, melangkah perlahan ke depan. Begitulah yang dilakukan Senapati Pranggana.
Suasana sepi. Hanya angin yang berhembus kencang sekali dari arah selatan. Namun kuda yang ditunggangi Senapati Pranggana tetap bergerak tegap dan menuruni lembah yang sepi itu.
"Apakah Warkasa Pati menjebakku..."! Bisa saja dia tak muncul, tapi anak buahnya...," pikir Senapati Pranggana dalam hati.
Kaki kuda terus menuruni Lembah Seribu Iblis yang sepi dan sunyi itu. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat di udara dengan bersalto beberapa kali, bagai seekor kelelawar raksasa. La-lu mendarat dengan ringan di atas gundukan tanah berumput. Senapati Pranggana menarik tali kekang kudanya hingga berhenti. Matanya memandang tajam sosok manusia yang berdiri dengan pongahnya dan berkacak pinggang. Wajahnya masih belum jelas, karena sinar sang Surya ada di belakangnya. Orang itu menghadap ke barat, menatap lekat pada Senapati Pranggana.
Baru saja Senapati Pranggana turun dari kudanya tiba-tiba terdengar suara gelak tawa orang itu, menggema seakan hendak memecah suasana pagi yang hening.
"Ha ha ha...!"
"Sombong! Akan kucincang kau, Manusia Keparat...!" kata Senapati Pranggana dalam hati dengan penuh dendam dan amarah.
Lalu dia mencabut keris pusakanya.
"Hua ha ha.... Aku senang pagi ini. Karena kau menanggapi tantanganku, Orang Bodoh!" ejek orang berjubah hitam serta pakaian dalam berwarna merah darah itu.
"Phuih!" Senapati Pranggana meludah.
"Kau seharusnya sudah kubunuh, Warkasa Pati! Dan kini aku tak akan memberimu ampun lagi...!" seru Senapati Pranggana dengan suara keras, sambil menuding Warkasa Pati dengan tangan kirinya.
"Hua ha ha...! Kau yang akan kukirim ke akherat, Pranggana. Ha ha ha...!" jawab Warkasa Pati dengan tawa bergelak.
Lalu tanpa basa-basi lagi Senapati Pranggana langsung melompat melakukan serangan.
Terjadilah pertarungan sengit antara keduanya.
"Heaaa...! Mampus kau, Keparat!" seru Senapati Pranggana sambil menusukkan keris pu- sakanya ke dada Warkasa Pati, disusul dengan tendangan kaki kanan.
Namun Warkasa Pati dapat mengelak dengan cepat, serta menangkis tendangan Senapati Pranggana dengan tangan kirinya. Dengan cepat pula dia mencengkeram kaki Senapati Pranggana, lalu memutar dan melemparkannya. Senapati Pranggana tersentak kaget. Tubuhnya melayang ke belakang dan mendarat ringan di tanah.
"He he he.... Boleh juga kau, Orang Bodoh...!" ejek Warkasa Pati diiringi tawanya.
Melihat ejekan lawannya, Senapati Pranggana tampak geram sekali. Tubuhnya melompat lagi melakukan serangan. Dalam sekejap pertarungan berlangsung kembali. Keduanya terkadang sama-sama melenting ke atas, bertarung di udara. Pada satu kesempatan Senapati Pranggana berhasil menusukkan kerisnya ke perut Warkasa Pati. Jlep! "Ukh...!" pekik Warkasa Pati. Namun kemudian dia tertawa-tawa. Keris pusaka Senapati Pranggana ternyata tak berarti apa-apa baginya.
Bahkan ketika dicabut oleh pemiliknya, keris itu patah. Senapati Pranggana yang melihat kenyataan itu sangat kaget dan melangkah mundur dengan wajah tegang.
Sementara itu dari perut Warkasa Pati yang berbekas tusukan keris Senapati Pranggana, keluar patahan keris itu. Dengan tangan kirinya Warkasa Pati mencabut pucuk keris Senapati Pranggana sambil tertawa-tawa. Lalu membuangnya. Senapati Pranggana tampak ternganga. Hatinya seketika berubah kecut. Senjata pusaka satu-satunya ternyata tak mempan di tubuh Warkasa Pati.
"Hua ha ha.... Sudah kukatakan, bahwa aku akan dengan mudah membunuhmu, Orang Bodoh! Dan sebentar lagi Surti bakal jadi istriku! Ha ha ha...!" kata Warkasa Pati sambil melangkah mendekati Senapati Pranggana yang terus mundur sampai ke tepian lembah.
Pada saat itu dari jauh nampak seorang pemuda berambut ikal panjang, dengan baju rompi kulit ular sedang berjalan santai menuju lembah itu. Namun langkahnya terhenti ketika terdengar suara tawa menggelegar seseorang, bagai ingin meruntuhkan bumi.
"Aha, suara tawa itu mengerikan. Siapa orangnya..."! Mengapa dia tertawa-tawa..."!" gumam pemuda berbaju rompi kulit ular itu sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu segera dipercepat langkahnya ke arah suara tawa.
Kembali kita pada Warkasa Pati. Lelaki berjubah hitam itu telah semakin dekat dengan Senapati Pranggana yang terus melompat menghindar dari serangan Warkasa Pati.
"Aku tak akan cepat-cepat membunuhmu.
He he he... Akan kucincang tubuhmu, lalu kubawa ke Desa Kawulan. Sebagai bukti bahwa aku menang. Dan Surti, he he he.... Dia pasti bakal jadi istriku...," kata Warkasa Pati yang kemudian dengan cepat menghantam dada Senapati Pranggana dengan tendangan kaki kanannya yang amat keras. Gerakannya yang begitu cepat tak diduga oleh Senapati Pranggana.
Buk! Buk! "Aaa...!" Senapati Pranggana menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental empat tombak ke bela- kang. Lalu jatuh dengan keras di atas rerumputan basah. Belum sempat Senapati Pranggana bangkit, Warkasa Pati kembali menyerang. Tubuhnya melompat cepat dengan menusukkan dua jari tangan ke kedua mata Senapati Pranggana.
"Ha ha ha.... Kali ini kau akan kubuat buta! Terimalah sekarang, heaaa,..!" Warkasa Pati berteriak sambil mengayunkan tangan kanannya.
Namun sebelum jari-jari tangan Warkasa Rati sampai ke mata Senapati Pranggana yang sudah pasrah itu, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Dengan cepat sosok itu menyambar Senapati Pranggana dan membawanya pergi.
Orang yang membawa pergi Senapati Pranggana masih sempat melancarkan serangan.
Dengan gerakan yang cepat sekali kaki kanannya menendang dada dan kepala Warkasa Pati.
Bug! Bug! "Aaa...!" Warkasa Pati memekik, tubuhnya sempat terhuyung beberapa langkah ke belakang. Seketika itu juga orang yang menyerang Warkasa Pati sudah menghilang.
"Huh...! Bangsat...! Dedemit atau setan, siapa yang menyelamatkan Pranggana..."! Hei! Keluar kau...! Ayo, lawan aku kalau kau ingin adu ilmu, Bangsat!" sungut Warkasa Pati dengan murka. Tubuhnya langsung melesat mencari orang yang menyelamatkan jiwa Senapati Pranggana. Dengan ilmu meringankan tubuh, dalam sekejap saja Warkasa Pati sudah berada jauh.
Namun tak menemukan orang yang dicari. Warkasa Pati nampak menyesali dirinya sendiri.
"Bodoh! Kenapa aku tidak langsung membunuhnya..."! Huh! Kenapa aku bodoh sekali. Kalau saja aku tadi cepat membunuhnya, tak akan terjadi begini. Sial...!" Warkasa Pati nampak kesal sendiri dan menendang-nendang apa saja yang ada di depannya. Pohon atau batu ditendangnya, hingga morat-marit dan berpentalan.
Sementara itu orang yang menyelamatkan Senapati Pranggana terus berlari sambil memanggul tubuh orang yang ditolongnya. Lalu setelah merasa aman, orang itu menghentikan larinya, Direbahkannya tubuh Senapati Pranggana di tanah yang ditumbuhi rerumputan, di bawah pohon rindang. Senapati Pranggana nampak tercenung memandangi penolongnya yang ternyata seorang pemuda tampan berpakaian kulit ular. Pemuda itu tampak cengengesan memandangi wajah Senapati Pranggana.
"Aha, kau sudah aman, Sobat. Pulihkan tenaga dalammu! Tenangkan hatimu...," kata pemuda berambut gondrong ikal dan berparas tam- pan serta gagah itu. Lalu mulutnya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Senapati Pranggana menyipitkan kedua mata, ketika melihat tingkah pemuda itu seperti orang gila. Seakan dirinya tengah berusaha mengingat-ingat sesuatu. Kemudian dia ingin bangun, tapi belum kuat, badannya masih lemas.
"Tenang saja, Sobat. Kau sudah aman. Aku tak akan meninggalkanmu, sebelum kau kembali sehat. Hm... lebih baik kau makan ini...," kata pemuda berpakaian rompi kulit ular, yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Sena Manggala mengeluarkan obat berbentuk bulat hitam dari balik ikat pinggangnya. Lalu diberikannya pada Senapati Pranggana. Senapati Pranggana menerima dengan tangan kanan, lalu memakannya. Sambil mengunyah obat, Senapati Pranggana tampak mengernyitkan kening. Berusaha mengingat-ingat siapa pemuda bertingkah lucu yang telah menolongnya.
Tak berapa lama kemudian Senapati Pranggana sudah mulai pulih. Wajahnya yang semula pucat tampak mulai segar. Dan dia mulai bisa bergerak bangun.
"Terima kasih...," ucap Senapati Pranggana sambil memijit-mijit lengan kirinya.
"Kau telah menyelamatkan jiwaku. Aku berhutang nyawa padamu, Sobat"
"Ah ah ah, tak usah kau pikirkan. Sudah biasa aku lakukan hal seperti ini. Dan itu memang aku senang,..," jawab Sena Manggala polos sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian tersenyum Senapati Pranggana menghela napas dalam-dalam. Matanya tanpa sengaja melihat benda di pinggang Sena. Sebuah suling berkepala naga.
Mulutnya tersenyum sambil manggut-manggut.
Lalu berdiri perlahan. Sementara Sena nampak cengar-cengir memperhatikannya.
"Kalau aku tak salah, kau adalah Pendekar Gila, murid Singo Edan...," kata Senapati Pranggana tiba-tiba. Membuat Sena mengerutkan kening sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Kau ini lucu. Bagaimana kau bisa seenaknya menyangka begitu" Masa' tampang seperti aku ini seorang pendekar. Aku adalah aku, Sobat," kata Sena mengelak.
Senapati Pranggana tampak penasaran dan dengan penuh keyakinan, dia kembali berkata, "Aku tak salah, bahwa kau pasti Pendekar Gila dari Goa Setan. Suling berkepala naga itu yang pernah diceritakan Adipati Parisuta...." Mendengar itu. Sena cengengesan. Matanya menatap Senapati Pranggana tajam, seperti menyelidik. Lalu membalikkan badan dan melangkah tiga tindak.
"Sudahlah, tak usah kau bicarakan soal aku! Sekarang jelaskan padaku, kenapa kau sampai terlibat perkelahian dengan orang tadi!" tanya Sena kemudian, tanpa membalik atau memandang Senapati Pranggana.
"Panjang ceritanya. Bagaimana, kalau sekarang kau singgah ke rumahku dulu, nanti kuceritakan. Bahkan kalau kau berkenan nanti kita ke Kadipaten Balasutra. Bagaimana, Tuan Pendekar...?" kata Warkasa Pati dengan semangat dan penuh harap.
Sena menoleh ke belakang, lalu menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum.
"Baiklah...," kata Sena pendek.
Senapati Pranggana nampak lega dan gembira, segera mereka pergi dari tempat itu.


֍₪֍¦ 3 ¦֎₪֎

Sampai di Desa Kawulan. Senapati Pranggana dikejutkan oleh meninggalnya Ki Lurah Kuntolo. Kepala desa itu tewas dalam keadaan mengenaskan. Lidahnya terjulur keluar dengan mata melotot. Di rumah Ki Sapto telah dipenuhi penduduk desa yang menyampaikan rasa bela sungkawanya terhadap kepala desa.
Tampak di sisi mayat Ki Kuntolo, Surti, dan ibunya tengah menangis tak henti-hentinya.
"Nampaknya kematian Ki Kuntolo tak wajar. Pasti ini perbuatan si Nenek Bongkok," ujar Ki Sapto seraya menghela napas, seakan ingin membuang kegusaran di hatinya.
"Siapa Nenek Bongkok itu" Dan di mana tempat tinggalnya...".'" tanya Sena kalem.
"Katakan Ki, Kita harus segera melenyapkan Nenek Bongkok itu. Dan juga Warkasa Pati. Aku akan mempertaruhkan nyawaku demi ketenteraman Desa Kawulan dan Kadipaten Balasutra,..!" sahut Senapati Pranggana dengan mata berbinar menahan dendam.
"Nenek itu tak pernah menetap. Namun aku yakin Nenek Bongkok itu tinggal bersama Warkasa Pati...," kata Ki Sapto.
"Bagaimana Ki Sapto tahu hal itu...?" tanya Sena menyelidik kebenaran ucapan wakil kepala desa itu.
"Yah. Beberapa waktu lalu, setelah Warkasa Pati diusir dari Kadipaten Balasutra, aku melihat dia menuntut ilmu sesat pada Nenek Bongkok itu," tutur Ki Sapto. Lalu menghela napas panjang sebelum meneruskan keterangannya.
"Dan aku pernah menguntit secara diam-diam. Ternyata mereka menuju sebuah bangunan tua penjara bawah tanah...."
"Di mana rumah tua itu, Ki...?" tanya Sena ingin tahu.
"Di Lembah Seribu Iblis. Tak satu pun orang kembali dengan selamat jika mengusik lembah itu...," tutur Ki Sapto.
"Lembah Seribu Iblis..."!" gumam Sena lirih.
"Kalau begitu, aku harus menyampaikan pada Adipati Parisuta. Akan kuserang dengan pasukan kadipaten...," kata Senapati Pranggana dengan geram.
"Jangan gegabah, Nak Pranggana. Warkasa Pati dan Nenek Bongkok itu bukan orang bodoh.
Mungkin mereka sudah mempunyai rencana, setelah Warkasa Pati gagal membunuhmu...," tukas Ki Sapto menasehati.
"Bagaimana pendapat Tuan Pendekar dalam hal ini...?" tanya Ki Sapto kemudian pada Pendekar Gila.
"Ya, begitulah. Apa yang Ki Sapto katakan kuanggap benar. Kita harus berpikir secara matang. Agar semuanya tidak menyesal di kemudian hari...," kata Sena dengan tenang, lalu menggaruk-garuk kepala.
"Lantas, bagaimana baiknya...?" tanya Senapati Pranggana pada Sena.
Sementara itu Surti keluar dari ruang dalam membawa minuman dan makanan singkong dan ubi rebus. Lalu menaruhnya di atas tikar. Ketika terdengar anaknya menangis, istri Senapati Pranggana itu segera pergi ke kamar. Sementara orang-orang yang berada di rumah itu, duduk dengan tenang. Di luar hari sudah mulai gelap. Matahari sudah terbenam di ufuk barat. Sebentar lagi akan datang malam hari.
Sena bersama Ki Sapto dan Senapati Pranggana terus membicarakan tentang Nenek Bongkok dan Warkasa Pati, sampai jauh malam.
Para penduduk yang melayat sebagian sudah pulang ke rumah masing-masing. Tinggal orangorang kepercayaan Ki Sapto yang berjaga-jaga di depan rumah.

***

Pagi itu setelah penguburan Ki Kuntolo, Senapati Pranggana segera berangkat ke Kadipaten Balasutra dengan menunggang kuda. Sementara Pendekar Gila masih tinggal di Desa Kawulan. Karena dirinya merasakan ada sesuatu yang aneh pada beberapa orang lelaki yang ikut dalam penguburan Ki Kuntolo.
Sena berjalan di dekat Ki Sapto dan Surti, serta istri Ki Lurah Kuntolo yang masih nampak terisak-isak sejak penguburan suaminya tadi. Pada saat itu pula sepasang mata mengamati mereka. Sepasang mata tua mengintip dari balik pepohonan. Sementara angin berhembus kencang dan awan hitam pun tiba-tiba saja bergulung di atas langit yang tadi membiru. Seketika cuaca jadi mendung. Matahari telah tertutup awan hitam yang tebal. Suasana menjadi mencekam. Dan angin pun semakin kencang bertiup. Orang-orang yang mengantar penguburan Ki Lurah Kuntolo kembali ke rumah masing-masing. Sena mengikuti Surti dan ibunya pulang ke rumah Ki Sapto.
"Sebaiknya Ki Sapto cepat bawa masuk Surti dan Ibunya. Jaga, jangan boleh keluar rumah! Biar saya di luar rumah. Ada sesuatu yang akan saya kerjakan, Ki...," kata Sena lirih begitu sampai di depan rumah KI Sapto. Ki Sapto mengerti, segera membawa masuk Surti dan ibunya.
Dugaan Sena benar. Baru saja Ki Sapto masuk ke rumahnya bersama dengan Surti dan ibunya, tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam rumah wakil kepala desa itu.
"Aaah...! Tolooong...!" Ternyata jeritan Surti dan ibunya. Pendekar Gila segera melesat masuk ke rumah Ki Sapto. Dan alangkah terkejutnya Sena ketika melihat Ki Sapto telah terjatuh di lantai dengan usus terburai keluar.
Lelaki tua itu mencoba bangkit, namun tak kuat. Sementara ibunya Surti menangis ketakutan.
"Tolooong...! Surti anakku..., kembalikan....
Surtiii...!"
"Bagaimana kejadiannya bisa secepat ini, Ki" Siapa yang menculik Surti...?" tanya Sena Manggala, sambil berjongkok menolong Ki Sapto yang tampak lemah dan pucat. Sekujur tubuhnya telah berlumuran darah yang keluar dari perut.
"Se... sela... selamatkan Surti...! Mereka orang-orang Warkasa Pati... ukh.... Se... se... lamatkan Surti, Pen... de...
kar...!" selesai berucap begitu Ki Sapto kejang-kejang dan tak bernapas lagi. Sena menghela napas dalam-dalam menyesali dirinya yang membiarkan Ki Sapto dan Surti masuk ke rumah tanpa dirinya.
"Bodoh sekali aku....! Kenapa jadi begini..."! Bodoh! Aku kenapa jadi bodoh! Goblok.."!" Sena menggerutu menyalahkan diri sendiri. Lalu dengan cepat melesat keluar, setelah memanggil orang-orang untuk menjaga ibunya Surti dan mengurus mayat Ki Sapto.
Dengan menggunakan lari 'Sapta Bayu', Sena bagai terbang. Sekejap dia sudah berada di suatu tempat, di pinggiran hutan.
Setelah mengerahkan kemampuan pendengaran yang tajam akhirnya Pendekar Gila dapat menemukan ke mana larinya orang yang menculik Surti. Dengan memotong jalan, Sena segera melihat seseorang memakai pakaian serba hitam.
Wajahnya tertutup dengan kain merah darah, dengan ikat kepala menutupi seluruh rambutnya yang panjang. Tampak Surti terkulai lemas di panggulannya, "Hop...!" Pendekar Gila tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan orang itu. Seketika si Penculik menghentikan larinya. Namun dengan cepat pula dia melompat melewati kepala Sena dan kabur.
Sena yang melihat hal itu cepat pula melompat ke udara dengan bersalto ke belakang beberapa kali mengejar penculik itu. Dalam beberapa lesatan saja dia berhasil mendahuluinya.
Dan.... Bluk! Plak! "Aaakh...!" penculik itu memekik, lalu jatuh ke tanah bergulingan. Namun anehnya Surti tak terlepas, bagai lengket di tubuhnya.
Rupanya tendangan kaki kanan Sena mengenai rusuk dan kepalanya. Namun penculik itu bukan orang sembarangan. Dia memiliki kekuatan cukup tangguh. Dengan cepat pula lelaki berpakaian serba hitam dan berkedok warna merah itu melancarkan serangan balik dengan senjatasenjata rahasia. Seketika benda-benda bulat sebesar ibu jari dan bergerigi meluncur dari tangannya. Ziut! Ziut! "Heit..!" Blar...! Pendekar Gila melenting mengelakkan serangan itu. Hingga benda-benda bulat bergerigi itu menghantam pepohonan. Pohon-pohon yang terkena hancur dan tumbang. Dengan cepat penculik misterius itu melesat ke atas ranting pohon sambil memanggul tubuh Surti.
Setelah bersalto beberapa kali penculik itu menghilang.
"Sial...!" geram Sena sambil memukulmukul tinjunya ke batang pohon hingga berlubang. Padahal Sena tak begitu keras memukul batang pohon itu. Hanya untuk menghilangkan rasa kekesalannya.
"Untuk kesekian kalinya aku membuat kesalahan. Aneh, begitu cepat dia menghilang," gerutunya pada diri sendiri.
"Sebaiknya aku cepat kembali ke Desa Kawulan. Menunggu Pranggana...," gumam Sena lirih seakan bicara pada dirinya sendiri. Lalu dia cepat melesat dari tempat itu.
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap Sena sudah sampai di Desa Kawulan. Keadaan nampak lengang. Tak banyak penduduk yang berlalu-lalang di jalanan. Hanya dua atau ti-ga orang lelaki yang sempat dilihatnya. Sena langsung ke rumah Ki Sapto. Di sana ada istri Ki Lurah Kuntolo yang masih bersedih duduk di kursi sambil menggendong anak Surti.
Seorang perempuan tua berambut putih duduk bersimpuh di sampingnya.
"Nyi Kuntari..., jangan bersedih terus! Ber-doalah pada Yang Kuasa minta pada Hyang Whidi agar Surti tetap dilindungi...," kata perempuan tua berambut putih dengan suara agak serak dan penuh perasaan. Pendekar Gila yang berdiri di ambang pintu, mendengar ucapan perempuan tua bernama Nyi Punti itu, merasa tersentuh hatinya.
Dia melangkah keluar, tak jadi masuk ke rumah.
Dan pada saat itu, Senapati Pranggana datang bersama prajurit Kadipaten Balasutra. Mereka menunggang kuda lengkap dengan persenjataan perang. Senapati Pranggana langsung mengarahkan kudanya mendekati Pendekar Gila yang tengah berdiri menanti di depan rumah Ki Sapto.
Tanpa mengucapkan kata-kata apa pun senapati muda itu turun dari kudanya di depan Sena yang tampak tengah menggaruk-garuk kepala.
"Apa yang telah terjadi, Tuan Pendekar...?" tanya Senapati Pranggana pada Pendekar Gila yang masih terdiam.
Sementara itu para penduduk Desa Kawulan bermunculan dari rumah masing-masing, ketika tahu rombongan prajurit Kadipaten Balasutra datang. Sebagian prajurit telah memeriksa dan menjaga tempat-tempat di sekitar rumah Ki Sapto.
"Maafkan aku, Senapati.... Surti diculik orang yang berkedok. Aku sudah berusaha untuk mengejar dan menghadangnya, tapi rupanya penculik itu bukan orang sembarangan. Aku duga dia adalah Warkasa Pati, tapi aku pun belum pasti...," kata Sena menjelaskan pada Senapati Pranggana.
Senapati Pranggana mau marah tak berani, karena dia tahu kalau Pendekar Gila saja tidak mampu menghentikan penculik yang diduga Warkasa Pati, apalagi dirinya. Senapati itu hanya bisa menghela napas panjang, dengan wajah nampak murung.
"Percayalah! Aku berjanji akan dapat mengembalikan Surti dalam keadaan selamat.... Beri aku waktu. Dan kalau benar itu Warkasa Pati, aku akan segera menyelidiki ke markas si Nenek Bongkok itu...," ucap Sena tegas.
"Terserah Tuan Pendekar. Tapi sebaiknya bersama kami. Karena Adipati Parisuta sudah memerintahkan untuk menumpas manusia keparat dan Nenek Bongkok itu," pinta Senapati Pranggana.
"Tapi menurut firasatku, sebaiknya sebagian prajuritmu berjaga-jaga Desa Kawulan ini.
Warkasa Pati pasti murka karena belum menemukanmu...." Senapati Pranggana berpikir sejenak dengan memegang keningnya. Lalu manggutmanggut.
"Benar. Aku telah membuat susah dan menderita orang-orang desa ini. Sekarang aku harus mengamankan mereka. Aku tak ingin penduduk Desa Kawulan jadi korban lagi...," kata Senapati Pranggana bernada menyesal.
Lalu segera dipanggilnya pimpinan prajurit.
"Cepat bagi tugas anak buahmu, Rah Jati!" perintah Senapati Pranggana pada bawahannya.
"Baik, saya segera laksanakan...," jawab Rah Jati, kemudian cepat pergi mengumpulkan para prajurit yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu.
"Sebaiknya kita berpencar. Kau dan prajuritmu melalui selatan, biar aku dari utara...," kata Sena pada Senapati Pranggana.
"Tapi, Tuan Pendekar harus bersama salah satu orang kami. Agar tidak salah jalan...," kata Senapati Pranggana mengusulkan "Tidak. Kurasa aku sudah mulai paham daerah ini...." Baru saja Sena selesai berkata begitu, di ujung desa terjadi keributan. Dua orang prajurit sedang menahan seorang lakilaki muda berbadan gendut Senapati Pranggana menghampirinya, ketika lelaki muda berpakaian rompi coklat itu memberontak dari pegangan dua prajurit yang menangkapnya.
"Ada apa ini...?" tanya Senapati Pranggana.
"Orang ini mencurigakan.
Dia lari ketika kami tanya. Bahkan melawan kami...," jawab salah seorang prajurit pada Senapati Pranggana.
Sena hanya melihat dari jarak agak jauh. Namun pandangannya agak terhalang, karena kerumunan para prajurit "Benar. Mungkin dia mata-mata musuh, Senapati...," tukas seorang prajurit yang satu lagi.
"Tidak! Bukan....! Aku bukan mata-mata.
Aku malah ingin mencari perlindungan di desa ini. Aku hampir saja terbunuh oleh lelaki berkedok dan berpakaian serba hitam yang membopong seorang wanita," kata laki-laki muda bertubuh gendut menjelaskan dengan sungguh- sungguh sambil memperagakan bagaimana dia dapat lolos dari orang berkedok itu.
Mendengar cerita orang gendut itu, seketika Senapati Pranggana kaget. Dia segera ingin mengorek lebih lanjut keterangannya.
"Lantas bagaimana...?" tanya Senapati Pranggada tak sabar.
Pada saat itu Sena sudah melangkah mendekati Senopati Pranggana. Mulutnya tersenyumsenyum sambil menggaruk-garuk kepala. Dia seakan mengenali suara orang muda bertubuh gendut itu.
"Untung aku dapat lolos, karena aku purapura mati, dengan mencebur ke sungai.... Orang itu lantas kabur ke arah hutan...," kata lelaki gendut itu.
"Hhh.... Kalau saja ada sahabatku, orang berkedok itu pasti sudah dihabisi...!" lanjutnya sambil mencibir dan bertolak pinggang.
"Siapa sahabatmu itu, Sobat?" tanya Senapati Pranggana ingin tahu, karena dia masih me- rasa curiga dengan si Gendut itu. Senapati Pranggana takut kalau orang di hadapannya ternyata mata-mata musuh yang sengaja diumpankan.
Dan berpura-pura seperti orang bloon, 'Masa' kalian tak mengenalnya.... Hi hi hi.... Dialah Sena, Kakang Sena Manggala atau Pendekar Gila...!" kata si Gendut dengan tegas dan kembali mencibir.
Senapati Pranggana kaget, namun dia masih tidak percaya. Lalu dia menoleh ke belakang.
Tahu-tahu Sena sudah berada di belakang si Gendut.
"Dia memang sahabatku, Senapati.... Dogol namanya...," ujar Sena yang sudah berada di belakang Dogol. Kontan Dogol kaget dan menoleh ke belakang.


֍₪֍¦ 4 ¦֎₪֎

"Kakang Sena....'" teriak Dogol dengan penuh kegembiraan, lalu memeluk Pendekar Gila. Kemudian bersujud sejenak memberi hormat. Setelah itu berdiri dan memeluk Sena lagi dengan erat. Sena hanya tersenyum cengengesan membalas pelukan sahabatnya itu.
Senapati Pranggana dan para prajurit saling pandang dan lalu ikut tersenyum pula.
"Siapa tadi yang menangkapku..." Ayo, ngaku! Kalau tidak aku pelintir lehernya. Ayo, siapa...?" seru Dogol dengan gaya seperti jagoan.
Perutnya yang besar bergerak-gerak seperti mau beranak. Hingga para prajurit tertawa geli melihatnya.
"Eee..., kenapa kalian tertawa" Ayo, ngaku" Siapa yang menangkap dan menuduhku matamata..."!" kembali Dogol dengan berkacak pinggang menatap satu persatu prajurit Kadipaten Ba- lasutra. Senapati Pranggana dan Sena membiarkan saja sambil menahan geli.
"Saya, Ki...," jawab dua orang prajurit ber-barengan sambil menundukkan kepala seperti ke- takutan.
"Enak saja. Kalian panggil aku, Ki. Sebut aku Tuan Pendekar...!" tukas Dogol dengan gaya yang dibuat-buat. Namun baru saja dia akan menunjukkan jurus, tahu-tahu kaki kirinya menginjak kulit pisang yang sengaja dilempar salah seorang prajurit. Hingga Dogol jatuh.... Hmkkk! "Wadaooow...!" Semua tertawa gelak. Sena lalu mengulurkan tangan membantu Dogol bangun. Dogol meringis kesakitan sambil memegangi pantatnya.
"Makanya jadi orang jangan sombong...," kata Sena dengan tersenyum geli.
"Ayo, sekarang minta maaf sama Senapati Pranggana...!"
"Maafkan saya, he he he... saya tadi hanya main-main, Tuan Senapati...," kata Dogol dengan polos diiringi tawa kecil.
"Aku tahu. Aku senang dapat berkenalan denganmu, Dogol. Hm... Masih ingin kau ceritakan kembali tentang orang berkedok itu...," ujar Senapati Pranggana kalem sambil memegangi pundak Dogol. Dogol menoleh ke arah Sena. Sena memberi isyarat dengan menganggukkan kepala.
"Hm.... Saya mula-mula bermaksud ingin mencari Kakang Sena. Tapi tiba-tiba saya ditubruk oleh orang berkedok itu. Sampai saya jatuh.
Lalu saya melawan. Saya kaget ketika melihat orang berkedok itu memanggul seorang wanita.
Ya, wanita berpakaian kain warna coklat dan baju kebaya warna, hm... warna coklat muda...," tutur Dogol dengan jelas.
"Benar, dia Surti...," gumam Senapati Pranggana lirih, dengan mengerutkan kening. Seketika wajahnya berubah cemas.
Dogol yang melihat perubahan di wajah Senapati Pranggana, merasa heran dan ikut sedih. Setelah menoleh sebentar pada Sena, dia kembali menatap Senapati Pranggana.
"Kenapa senapati yang gagah itu murung" Apakah wanita itu adiknya" Istrinya?" begitulah pikir Dogol. Dia ikut merasakan kesedihan Senapati Pranggana.
"Lantas bagaimana...?" tanya Senapati Pranggana selanjutnya.
"Hm... anu.... Saya coba membuka kedoknya, namun tak berhasil. Malah dia menghajar keras dengan telapak tangannya. Panas...," kata Dogol sambil membuka rompi, menunjukkan bekas memar di punggungnya. Sena kaget melihat itu, begitu juga Senapati Pranggana.
Sena memeriksa. Lalu berucap, "Tapak Sakti'....' Kalau begitu penculik itu bukan Warka-sa Pati. Lalu siapa..."! Apakah kau tahu siapa yang memiliki ilmu ini...?" tanya Sena pada Senapati Pranggana.
"Tapak Sakti'...".'" gumam Senapati Pranggana sambil matanya memperhatikan luka di punggung Dogol.
"Rasanya aku pernah tahu, tapi lupa siapa yang memiliki ilmu itu...," lanjut Senapati Pranggana sambil mengerutkan kening, berpikir keras.
"Kau harus cepat kuobati, Dogol. Aneh. Biasanya orang yang terkena pukulan 'Tapak Sakti' tak bisa bertahan lama. Orang itu akan mati. Tapi kau...," Sena tak melanjutkan ucapannya. Dia segera memberikan obat ramuannya sendiri yang dikeluarkan dari kantung kecil yang disimpan di ikat pinggang. Dogol langsung menelan obat yang bentuknya bulat sebesar kelereng itu.
"Aneh! Kenapa Dogol bisa bertahan lama, Aku curiga apakah dia Dogol, atau Warkasa Pati yang menyaru, menjelma jadi Dogol"! Ah tak mungkin. Warkasa Pati tak tahu siapa Dogol.
Baik kubuktikan dengan caraku," gumam Sena sambil terus mengamati gerak-gerik Dogol.
Sementara itu Senapati Pranggana masih belum menemukan jawaban, siapa yang memiliki ilmu 'Tapak Sakti' itu. Pada saat mereka dalam memecahkan siapa pemilik ilmu 'Tapak Sakti' itu.
Tiba-tiba bermunculan orang-orang berpakaian serba merah. Mukanya tertutup oleh kedok merah. Hanya bagian matanya saja yang berlubang.
Mereka berjumlah sekitar dua puluh orang. Dengan senjata terhunus, langsung mengepung para prajurit dan warga Desa Kawulan. Orang-orang berkedok merah itu tanpa basa-basi lagi langsung menyerang prajurit yang sedang berjaga-jaga. Pertempuran seru terjadi. Senapati Pranggana dan Sena kaget. Begitu juga Dogol yang wajahnya memerah, akibat obat yang sedang melawan racun 'Tapak Sakti'. Sena segera melesat ke arah pertempuran.
"Bangsat! Siapa orang-orang ini..."!" dengus Senapati Pranggana sambil menghunus pedangnya. Lalu mulai masuk ke arena pertarungan. Dogol, berusaha bersembunyi di balik rumah seorang penduduk. Untuk menenangkan diri sambil menunggu kesembuhan lukanya. Dirasakan sekujur tubuhnya mulai berkeringat Senapati Pranggana yang sudah tak mampu menahan murka, dengan ganas membabat setiap lawan yang mendekati, dengan jurus-jurus mautnya. Namun ternyata orang-orang berkedok merah itu cukup tangkas. Sabetan dan tusukan pedang mereka begitu cepat dan sulit diduga.
Hingga pada akhirnya Senapati Pranggana terdesak oleh salah seorang yang berbadan kekar.
Sambil terus menghadapi lawan-lawannya, Sena sempat melihat keadaan Senapati Pranggana. Ternyata tidak hanya Senapati Pranggana yang terdesak. Sebagian besar anak buahnya pun tampak kewalahan menghadapi gempuran lawan yang rata-rata memiliki kepandaian di atas para prajurit. Dalam waktu singkat tinggal lima prajurit yang masih bertahan. Berarti sudah lima belas prajurit yang mati.
Senapati Pranggana dan Rah Jati terus bekerja keras menghadapi keganasan lawanlawannya. Gerombolan berkedok merah itu pun banyak yang mati pula. Sepuluh orang telah terkapar di tangan Sena dan Senapati Pranggana.
Senapati Pranggana yang sudah tak mampu menahan murka, dengan ganas mengobral jurus-jurus mautnya untuk membabat setiap lawan yang mendekati. Namun ternyata orang-orang berkedok merah itu cukup tangguh. Sabetan dan tusukan pedang mereka mampu mengimbangi gerakan Senapati Pranggana.
Mendadak Pendekar Gila melompat memburu beberapa orang berkedok yang hendak menghajar tiga prajurit kadipaten. Dengan gerakan cepat sekali Sena melepaskan pukulan dan tendangan keras. Kelima orang berkedok itu sekaligus berpentalan dan roboh. Seketika prajurit dengan sigap menghujamkan tombak dan golok ke tubuh lima anggota gerombolan yang belum sempat bangkit.
"Heaaa...! Jlep! Jlep! Cras, cras...! Kelima orang berkedok merah terpekik.
Tubuh mereka terkapar berlumuran darah. Bagai kesetanan para prajurit membantai mereka.
Sementara itu Dogol sudah mulai sembuh.
Dia perlahan-lahan keluar dari persembunyian.
Kepalanya clingak-clinguk, lalu berjalan menuju sebuah rumah. Namun mendadak seorang berkedok melompat menghadang dan langsung menusukkan pedang ke arah Dogol. Si Gendut itu menjerit sambil mengelak lari. Orang berkedok melompat dengan bersalto di udara lalu mendarat di depan Dogol yang seketika kaget. Dengan ganas orang itu membabatkan pedang ke arah kepala Dogol.
Dogol memejamkan mala sambil merunduk cepat untuk mengelak. Namun lawan menyusul dengan tendangan kaki kanannya ke arah tubuh Dogol yang masih dalam keadaan merunduk.
Bug, bug...! "Aaa...!" Dogol menjerit dan terpental dua tombak ke belakang. Orang berkedok itu terus melompat hendak menghabisi Dogol. Namun sebelum ujung pedang menyentuh dada Dogol, sebuah tendangan maut menghantam tangannya yang menggenggam pedang.
Plak! "Aaakh...!" orang berkedok merah terpekik.
Pedangnya terlepas dan terpental. Namun sebelum pedang itu menyentuh tanah, Sena dengan cepat menendangnya. Pedang itu kembali melayang ke udara, lalu menukik dan jatuh menghujam dada pemiliknya yang roboh telentang. Lelaki berkedok merah seketika menjerit dengan tubuh menggelepar berlumuran darah. Kemudian tewas! Dogol yang masih memejamkan mata nampak gemetaran. Sena segera mendekati lalu menepuk-nepuk pipi si Gendut yang mirip bakpao itu. Dogol bertambah ketakutan karena mengira orang berkedok yang menepuknya. Namun ketika Pendekar Gila membentak barulah Dogol membuka mata kanannya dan tertawa girang.
"Oh, Kakang Sena...! Apakah aku masih hidup...?" kata Dogol begitu melihat Sena ada di depannya.
Pendekar Gila hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. Lalu berkata dalam hati, "Dugaanku salah. Aku tadi mencurigai kalau dia bukan Dogol. Kini aku percaya bahwa dia bukan jelmaan Warkasa Pati atau Nenek Bongkok yang konon bisa berubah seribu muka itu,"
"Ayo, cepat bangun! Jadi laki-laki jangan penakut. Katanya kamu ingin jadi pendekar...!" bentak Sena sambil menendang pantat Dogol.
Dogol tersenyum lebar. Lalu dengan gayanya yang sok jago, mulai membuka jurusjurus seperti yang diperagakan Pendekar Gila.
Sena menggeleng kepala memperhatikan tingkah si Gendut itu. Sementara itu Senapati Pranggana telah berhasil membunuh lawan dengan tebasan pedangnya ke arah dada ninja. Orang berkedok itu memekik panjang. Tubuhnya roboh dan tak berkutik lagi. Orang-orang berkedok merah yang masih tersisa enam orang seketika kabur menyelamatkan diri, setelah melihat kawan-kawan mereka banyak yang mati. Sehingga Dogol yang hendak membuktikan pada Sena kalau dia bukan penakut, menjadi kecewa. Nyengir kuda sambil menggaruk-garuk perutnya yang buncit Senapati Pranggana yang penasaran ingin tahu siapa gerombolan berkedok merah itu, dengan geram membuka tutup muka orang yang tergeletak di hadapannya.
"Tuan Pendekar...!" seru Senapati Pranggana mengejutkan Sena. Lalu Sena cepat melang- kah menghampiri Senapati Pranggana.
"Ada apa, Senapati...?" tanya Sena pada Senapati Pranggana yang tengah mengawasi wajah orang berkedok merah.
"Lihat..!" kata Senapati Pranggana sambil menunjuk wajah orang itu.
"Dia seorang pengawal Kadipaten Balasutra!"
"Heh..."! Benarkah begitu, Senapati...?" tanya Sena, seakan tak percaya pada apa yang dikatakan Senapati Pranggana.
"Rah Jati, dan kalian semua cepat buka penutup muka orang-orang itu...!" perintah Senapati Pranggana dengan suara bergetar, karena tak dapat mempercayai semua itu.
Dengan lesu dan sangat kecewa serta bercampur murka, Senapati Pranggana terduduk lemas di teras rumah Ki Sapto. Sena melangkah menghampirinya.
"Tenangkan hatimu. Tugas dan rencana kita harus tetap dilaksanakan. Kita harus menemukan Surti. Aku telah berjanji. Sabarlah, jangan terbawa amarah! Mari, kita pikirkan bersama...!"
"Tapi bagaimana semua ini terjadi" Ada apa sebenarnya dengan Adipati Parisuta..." Apakah dia bersekongkol dengan Warkasa Pati..."! Kalau benar untuk apa..."!" keluh Senapati Pranggana dalam dugaannya.
"Jangan mau berprasangka buruk dulu terhadap Adipati Parisuta! Aku malah mempunyai firasat, bahwa kadipaten sedang dilanda malapetaka...," kata Sena tegas.
Senapati Pranggana tersentak. Keningnya berkerut dengan mata menatap lekat-lekat pada Sena. Ingin dia mendengar penjelasan lebih lanjut, namun mulutnya tak bisa lagi bersuara. Seakan dia mengerti dan tahu akan jawaban Pendekar Gila. Senapati muda itu meninju-ninju telapak tangannya sendiri, seolah ingin melepaskan kekesalan dan kekecewaannya. Saat itu keluar istri Ki Lurah Kuntolo dengan menggendong anak Surti.
Dia melangkah mendekati menantunya yang sedang berduka.
"Pranggana...," tegur Nyi Kuntari lembut.
Senapati Pranggana menoleh, matanya tampak berkaca-kaca. Dilihat ibunya Surti yang menggendong anaknya. Senapati muda itu bangkit dan cepat mengambil sang Anak dari gendongan ibu mertuanya. Digendongnya bayi yang baru berumur lima bulan itu, diciumi dengan penuh kasih sayang berulang kali. Didekapnya erat-erat, seakan tak ingin melepaskan.
Sena, Dogol, juga ibunya Surti merasa terharu melihat itu. Begitu pula orang-orang yang ada di rumah Ki Sapto.
"Ayah akan membawa ibumu pulang, Anak Manis. Doakan Ayah, ya. Sayang.... Oh, Hyang Widhi... beri aku kekuatan dan keselamatan! Lindungi anakku, lindungi istriku Surti...!" gumam Senapati Pranggana lirih, namun terdengar jelas oleh semua. Sena menundukkan kepala perlahan.
Dogol pun tampak sedih berdiri di samping Sena.
Perutnya yang buncit bergerak-gerak seperti ada belut di dalamnya.
Sesaat suasana hening. Tak ada yang bersuara. Perlahan Senapati Pranggana menyerahkan bayi itu pada ibu mertuanya, setelah menciumi berulang kali. Dan kemudian si Anak menangis, seolah tak mau pisah dengan ayahnya. Senapati Pranggana semakin sedih hatinya. Namun Pendekar Gila segera mendekati dan merangkulnya.
"Tabahkan hatimu! Sementara lupakan du-lu semua ini, agar dirimu kembali tegar. Bukan- kah kau ingin menyelamatkan Surti dan menumpas manusia laknat itu...?" kata Sena dengan lemah lembut, namun penuh wibawa.
"Ya.... Tapi bagaimana dengan keadaan kadipaten, yang menurut Tuan Pendekar mungkin dalam petaka...?" sahut Senapati Pranggana balik bertanya.
"Ya, ya. Aku hampir lupa. Kita harus segera menyelidiki keadaan di kadipaten.
Jika tidak ada kejanggalan, aku segera mencari Warkasa Pati dan Nenek Bongkok itu," kata Sena dengan tegas.
Lalu dia menggaruk-garuk kepala.
"Baiklah. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada diri Adipati Parisuta...! Ayo, kita segera berangkat!" ujar Senapati Pranggana lalu memerintahkan Rah Jati untuk berangkat bersama prajurit yang tersisa lima orang itu.
"Kau berangkat duluan. Aku menyusul...," kata Sena pada Senapati Pranggana.
"Baik. Aku berangkat, Tuan Pendekar...," kata Senapati Pranggana. Lalu segera dia melompat ke punggung kuda dan memacunya dengan cepat. Pendekar Gila kemudian mendekati ibunya Surti yang menatap kepergian Senapati Pranggana.
"Nyi, doakan kami berhasil menemukan Surti! Kami berjanji akan membawanya kembali dalam keadaan selamat...," ujar Sena.
"Semoga kau berhasil, Nak Sena. Jaga Pranggana..., dia masih mudah marah dan mudah goyah. Tolong, bantu dia...!" pesan Nyi Kuntari dengan suara serak dan lemah.
"Baik, Nyi. Kami mohon diri.... Jaga anak itu baik-baik, Nyi. Dan jangan keluar rumah kalau malam hari!" kata Sena dengan penuh hormat. Lalu menoleh ke arah seorang lelaki keper- cayaan Ki Sapto yang bernama Maruto. Lelaki setengah baya yang masih nampak segar.
"Ki Maruto, mohon selalu waspada, perketat penjagaan...," pesannya pada Ki Maruto.
"Baik, Den...," jawab Ki Maruto.
Selesai bicara begitu, Sena segera melesat diikuti oleh Dogol. Sekali melesat Pendekar Gila telah berada jauh meninggalkan Dogol yang berlari sebisa-bisanya. Si Gendut berkepala botak itu tampak lucu sekali. Perutnya bergoyang-goyang karena guncangan. Pendekar Gila yang tak sabar lagi menunggu segera menyambar tubuh Dogol yang gendut dan dibawanya lari. Dengan menggunakan ilmu 'Sapta Bayu' pemuda berompi kulit ular itu terus melesat bagaikan terbang sambil memanggul tubuh Dogol yang gendut.


֍₪֍¦ 5 ¦֎₪֎

Suasana Kadipaten Balasutra nampak seperti biasanya. Tak terlalu sibuk atau ramai. Senapati Pranggana telah memasuki batas kota ka- dipaten. Nampaknya memang tak terjadi keganjilan di sana. Hati Senapati Pranggana agak lega.
Dipacu kudanya lebih cepat agar segera sampai di tempat tujuan. Di sebelahnya ada Rah Jati dan kelima prajurit yang masih tersisa.
"Hm..."! Mengapa penjaga tidak ada..."!" pikir Senapati Pranggana sambil menoleh ke kanan dan kiri mencari penjaga pintu gerbang kadipaten. Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dari dalam. Ternyata ada dua orang penjaga yang membukanya dari dalam.
"Kenapa kalian tidak berjaga di luar" Ada apa sebenarnya...?" tanya Senapati Pranggana pada kedua penjaga itu.
Penjaga tidak menjawab, hanya menundukkan kepala. Senapati Pranggana mulai merasa curiga. Diam-diam diamatinya gerak-gerik kedua penjaga itu. Keduanya terus menundukkan kepala, tak berani mendongak sedikit pun.
"Aneh...! Kenapa orang-orang ini,.."!" tanya Senapati Pranggana lirih pada dirinya sendiri, "Rah Jati, selidiki di dalam! Biar aku langsung menghadap Kanjeng Adipati Parisuta...," kata Senapati Pranggana pada Rah Jati.
"Baik," jawab Rah Jati, lalu melarikan kudanya ke belakang kadipaten. Sedangkan kelima prajurit anak buahnya langsung turun dari kuda masing-masing "Jika ada apa-apa, dan melihat sesuatu yang tidak beres, cepat teriak. Beritahu aku! Mengerti..."!" kata Senopati Pranggana pada kelima prajurit itu, Lalu kelima prajurit itu mulai berpencar, Mereka berjalan dengan penuh kewaspadaan. Senapati Pranggana segera melangkah hendak memasuki kadipaten, namun tiba-tiba.....
Zing! Zing! Beberapa buah benda tajam segi tiga meluncur deras ke arah Senapati Pranggana yang langsung menoleh dengan mata terbelalak kaget.
Tubuhnya segera berjungkir balik, mengelakkan serangan gelap itu. Sehingga dirinya lolos dari maut. Dengan cepat dia mencabut pedangnya.
Namun ketika baru saja Senapati Pranggana berdiri, terdengar kembali luncuran dari arah yang sama. Dengan tangkas tubuhnya melompat mengelak sambil membabatkan pedang memapas serangan itu. Tring! Tring! Tring...! Benda-benda itu berpentalan dan hancur tersambar pedang Senapati Pranggana. Baru saja Senapati Pranggana menarik napas lega, mendadak tampak berlompatan sosok bayangan merah.
Setelah bersalto beberapa kali di udara dua sosok berkedok merah itu sama-sama menyerang Senapati Pranggana.
Dengan hati diliputi amarah, Senapati Pranggana memapakinya dengan membabatkan pedang ke arah lawan. Sehingga terjadilah saling pukul dan tangkis.
"Bangsat! Siapa kalian sebenarnya. Buka kedok kalian....!" bentak Senapati Pranggani geram sambil menuding kedua sosok itu dengan tangan kiri.
"Hi hi hi....'" terdengar suara tawa mengikik dari arah kanan Senapati Pranggana. Senapati Pranggana menoleh sambil terus siap menghadapi segala kemungkinan.
Ternyata seorang nenek bertubuh bongkok dengan pakaian kotor dan kumal. Tangan kirinya memegang sebuah tongkat berkepala tengkorak.
Nenek Bongkok itu terus terkekeh-kekeh, mengejek Senapati Pranggana.
"Kau manusia bodoh! Senapati Bodoh. Hi hi hi.... Kau kemari hanya untuk mengantar nyawa saja. Hi hi hi...!" ejek nenek berambut kumal itu sambil melangkah dengan tongkatnya.
"Kurang ajar...! Rupanya kau dalang semua peristiwa itu, Nenek Busuk! Serahkan istriku! Atau kubinasakan kau sekarang juga...!" seru Senapati Pranggana dengan geram.
Dia lalu mem- buka jurus mautnya, ilmu 'Pedang Sambar Nyawa'. Tiba-tiba dari pedang Senapati Pranggana keluar sinar merah, menyilaukan mata.
Namun sosok bongkok itu malah tertawatawa dan memerintahkan kedua sosok berkedok itu minggir. Dan secepat itu pula Nenek Bongkok mengibaskan pakaiannya. Seketika berhembus hawa panas dan busuk menerpa Senapati Pranggana. Senapati itu kaget, tapi dengan cepat melenting ke udara. Setelah bersalto beberapa kali.
Senapati Pranggana hinggap di atap pendopo kadipaten. Nenek Bongkok mengejarnya. Kini keduanya bertarung di atas atap. Nenek Bongkok yang memiliki ilmu cukup tinggi mencecar Senapati Pranggana dengan tongkatnya.
"Hi hi hi.... Kau sebentar lagi akan mampus. Akan kukirim nyawamu ke akherat, Orang Bodoh... hi hi hi...!" seru Nenek Bongkok sambil terus melancarkan serangan cepat. Tongkat berkepala tengkorak itu diputarnya, hingga seperti baling-baling. Ketika merasa terus terdesak, Senapati Pranggana terpaksa melompat turun dari atap.
Namun Nenek Bongkok terus mengejar dengan meluncur bagai burung elang menyambar mangsa. Senapati Pranggana kaget ketika Nenek Bongkok menghantamkan tongkat ke arah kepalanya. Namun Senapati itu masih dapat menangkis dengan pedangnya. Ternyata serangan lawan tak sampai di situ. Dengan serangan susulan yang cepat dan sukar diatasi, Nenek Bongkok terus memburu Senapati Pranggana.
"Heaaat..!" Bukkk! "Aaa...!" Senapati Pranggana memekik keras. Tubuhnya melintir, karena tongkat Nenek Bongkok lepat mengenai dadanya. Seketika Senapati Pranggana muntah darah. Lalu tubuhnya tersungkur ke tanah.
Nenek Bongkok tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera kembali dia mendekati Senapati Pranggana yang sudah tak berdaya.
"Hi hi hi.... Rupanya hanya seperti itu kemampuan, Senapati Bodoh...! Sekarang terimalah kematianmu...!" selesai berucap begitu, Nenek Bongkok segera memutar tongkataya.
"Heiaaa...!" Bug, bug...! "Ekgh...!" Nenek Bongkok itu tiba-tiba memekik tertahan. Tongkatnya terpental, ketika tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat sambil melancarkan tendangan keras.
"Bangsat...! Siapa yang berani berbuat ini padaku...!" maki Nenek Bongkok dengan mata merah karena marah.
Tongkat berkepala tengkorak yang masih melayang di udara, meluncur kembali ke arah pemiliknya setelah perempuan berwajah menyeramkan itu menghentakkan tangan kiri. Tongkat itu kini sudah berada kembali di tangan kiri Nenek Bongkok. Nenek Bongkok menyipitkan mata ketika di depannya berdiri seorang pemuda berambut gondrong dengan pakaian rompi kulit ular. Pemuda itu tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Nampak santai dan tak acuh dengan muka nenek yang seram itu. Kemudian mulutnya cengar-cengir sambil menggeleng-geleng kepala.
"Hei! Rupanya kau murid Singo Edan! Hi hi hi.... Kau mau menantangku..."!" seru Nenek Bongkok dengan suara lantang walau sedikit serak.
"Hi hi hi...!" pemuda tampan yang tak lain Pendekar Gila itu tertawa cekikikan meniru suara tawa si Nenek Bongkok.
"Dengar, Nenek Buruk! Aku menentang siapa saja yang berlaku durjana dan biadab, sepertimu...!" ujar Sena, lalu cengar cengir sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara itu Dogol membawa pergi Senapati Pranggana, keluar dari tempat itu.
"Kurang ajar! Mulutmu perlu kusumbat dengan ini! Heaaa...!" Nenek Bongkok dengan cepat melancarkan serangan jarak jauh. Dari telapak tangannya keluar beberapa buah senjata rahasia berbentuk bintang. Zing, zing, zing...! Namun dengan cepat Pendekar Gila melenting ke udara. Sehingga serangan yang gagal dari Nenek Bongkok menghantam dinding pendopo kadipaten hingga jebol.
"Ha ha ha.... Nenek Busuk. Ayo, kenapa diam" Keluarkan seluruh kebolehanmu. Atau ilmu setanmu...!" ejek Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan, untuk mem- bakar kemarahan Nenek Bongkok.
Dengan penuh kemarahan Nenek Bongkok menerjang Pendekar Gila yang terus melompat menghindar. Kini keduanya telah berada di luar pendopo kadipaten. Tepatnya di halaman samping tempat para prajurit latihan perang. Di situ ada tonggak-tonggak untuk latihan prajurit. Nenek Bongkok yang murka dengan ejekan Pendekar Gila, tiba-tiba melenting sambil melepas kain ikat pinggangnya. Dengan gerakan yang sangat cepat disabetkan kainnya pada sebuah tonggak, hingga melilit kemudian dengan keras disentakkan.
Tonggak kayu itu tercabut dan meluncur deras ke arah Pendekar Gila. Tanpa menemui kesulitan, Pendekar Gila menyambut tonggak itu dalam beberapa tangkisan hingga patah jadi dua.
Melihat serangannya begitu mudah dipatahkan lawan, Nenek Bongkok kian murka dan merasa geram.
"Hm...! Kali ini kau tak akan bisa lolos, Pemuda Gendeng...!" sungut Nenek Bongkok, Dengan gerakan cepat diputar tongkatnya, hingga menimbulkan angin yang sangat kencang bagai topan. Melihat lawan mengerahkan jurus andalan, dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan tenaga dalamnya untuk membendung angin topan itu, Anehnya angin itu berputar seperti pusaran hanya di sekeliling Pendekar Gila. Tak sampai di situ perempuan tua itu melompat melakukan serangan maut ketika melihat lawan telah terkurung angin ciptaannya.
Namun, rupanya Pendekar Gila sengaja berpura-pura seakan tak mampu berbuat sesuatu, Dan pada saat Nenek Bongkok hendak menghujamkan tongkat maut berkepala tengkorak, tiba-tiba Pendekar Gila berteriak keras menggelegar. Bersamaan dengan suara yang bagai hendak memecah bumi itu, Pendekar Gila mengeluarkan ajian 'Tamparan Sukma' sebuah ilmu yang mampu menghancurkan segala ilmu setan dan siluman. Jlegarrr...! Ledakan dahsyat terdengar, disusul lolongan Nenek Bongkok yang kesakitan. Tubuhnya terbakar, lalu kabur dan menghilang...
Pendekar Gila mengejarnya. Namun perempuan tua berilmu sesat itu telah hilang. Dan pada saat itu pula dari dalam bangunan kadipaten terdengar jeritan seorang wanita.
"Tolooong...!"
"Surti..."!" gumam Sena kaget sambil menoleh ke arah suara itu.
Sesaat kemudian suara itu hilang. Sena melompat ke dalam kadipaten. Senapati Pranggana yang sudah segar, memburu Sena sambil berseru.
"Tuan Pendekar...! Biarlah aku yang mem-bebaskan Surti.... Aku sudah bersumpah untuk berkorban demi istriku...."
"Baiklah, cepat..!" sahut Sena dengan sedikit ragu.Segera Senapati Pranggana melesat masuk.
Dan pada saat itu pula kembali terdengar jeritan minta tolong "Perasaanku tidak enak. Dogol, kau jaga di sini! Kalau ada apa-apa teriak. Hati-hati...!" kata Sena pada Dogol. Lalu melesat masuk menyusul Senapati Pranggono "Surti,... Surti! Di mana kau, Diajeng..."!" teriak Senopati Pranggana dengan menggenggam pedang di tangan kanannya. Kakinya melangkah memasuki lorong menuju kamar tahanan.
Sampai di situ tak ada jawaban. Namun ketika melewati kamar Adipati Parisuta, Senapati Pranggana terkejut bukan main.
Dilihatnya sang Adipati sudah terkapar di lantai bersama permaisurinya Nyi Lenggis. Keduanya tewas secara mengerikan. Tampak leher Adipati Parisuta terkoyak hampir putus. Begitu pula leher permaisurinya. Tubuh keduanya tampak pucat, seperti telah kehabisan darah.
"Ya Jagad Dewa Batara...!" keluh Senapati Pranggana dengan mata terbelalak.
Hatinya berdebar tak karuan. Ada perasaan cemas, bimbang, dan ketakutan yang hebat melihat kejadian mengenaskan itu.
"Tolong... jangan...! Tolooong...!" Tiba-tiba terdengar lagi suara Surti minta tolong. Senapati Pranggana cepat keluar dari kamar Adipati Parisuta. Setiap lorong dan ruangan diselidiki, tapi tak juga menemukan istrinya.
Sementara itu Pendekar Gila pun telah berada di dalam rumah kadipaten, Pendekar Gila dengan menggunakan ilmu cecak, merayap di dinding dan langit-langit rumah yang tinggi untuk memudahkan melihat keadaan.
Kembali pada Senapati Pranggana yang semakin tegang. Tubuhnya telah basah oleh keringat karena menahan cemas.
"Surti... ke mana kau" Di mana kau, Diajeng. Kenapa semua petaka ini menimpaku" Hyang Widhi, temukan aku dengan istriku, Surti!" Senapati Pranggana terus melangkah. Ketika sampai di sebuah ruangan penyimpanan senjata, Senapati Pranggana melihat sobekan kain Surti. Lalu matanya menatap tajam ke arah pintu yang tampak terbuka sebagian.
"Apakah Surti ada di dalam ruangan ini...?" tanya Senapati Pranggana dalam hati.
Dengan perlahan Senapati Pranggana melangkah ke arah pintu ruangan senjata. Didorongnya daun pintu dengan ujung pedangnya.
Kretekkk..! Suara pintu membuat jantung Senapati Pranggana tambah berdebar. Sekali lagi didorongnya daun pintu itu dengan ujung pedangnya, hingga terbuka lebar. Kemudian dengan gerakan cepat Senapati Pranggana berpindah ke sebelah kiri pintu. Ketika dengan hati-hati, dia melongok ke dalam, ternyata ruangan sangat gelap. Pada saat itu Sena sudah berada tak jauh dari Senapati Pranggana. Dia bergantung di atap rumah, mengamati ruangan di bawahnya. Pendekar Gila terus mengawasi Senapati Pranggana yang tidak melihatnya.
"Surti..., Diajeng Surti...?" suara Senapati Pranggana memanggil-manggil istrinya dengan perlahan. Namun baru selangkah Senapati Pranggana memasuki ruangan. Tiba-tiba....
Buk! Buk! "Aaa...!" Senapati Pranggana menjerit. Sebuah tendangan keras mendarat di wajah dan dadanya. Pada saat itu pula Pendekar Gila meluncur turun ke arah pintu. Dan dengan pandangannya yang mampu menembus kegelapan, dia melihat sesosok manusia yang hendak kabur.
Dengan gerakan cepat Pendekar Gila melancarkan tendangan dan pukulan maut ke arah orang itu. Wuttt! "Hiet...!"
"Mampus kau, Pemuda Edan!" Terdengar suara serak dan besar dalam kegelapan di ruangan itu. Sementara Senapati Pranggana sudah terkapar di lantai menahan sakit di wajahnya.
"Kurang ajar...!" bentak Sena.
Sekejap ruangan yang gelap itu menjadi terang, karena jendela ruangan terbuka lebar. Cahaya matahari sore menembus ke dalam.
"Sial! Begitu cepat iblis itu lari...!" dengus Sena kesal.
Di ruangan itu ternyata tak ada Surti. Pendekar Gila segera keluar dan cepat membopong Senapati Pranggana yang terluka di bagian wajah dan dada. Darah terus keluar dari wajah Senapati Pranggana yang mulai lemas dan pucat. Dogol yang tadi berjaga-jaga kaget begitu melihat Sena memanggul Senapati Pranggana.
"Gol...! Cepat, bantu Senapati Pranggana.
Jaga. Aku akan mencari Surti...," perintah Sena lalu segera melesat kembali mencari Surti. Baru saja Sena memasuki ruangan pendopo kadipaten, tiba-tiba terdengar teriakan Surti.
Kemudian istri Senapati Pranggana itu muncul sambil minta tolong dan menutupi pakaian bagian atas yang tampak sudah tercabik. Kainnya pun sebagian sobek, sebagian tubuhnya ada yang memar. Sena langsung menyambarnya, ketika Surti hendak lari ke arah lain.
"Jangan, jangan! Lepaskan aku... jangan sentuh aku... tolooong...!" teriak Surti sambil me-ronta-ronta.
"Surti...! Ini aku Sena...! Surti.... Diam...!" seru Sena sambil terus memeluk erat-erat tubuh Surti. Tapi aneh. Begitu kuat tenaga Surti, dirasakan oleh Sena.
"Edan! Tenaganya begitu kuat.
Kemasukan setan apa ini!" pikir Sena yang merasa keheranan.
Akhirnya Pendekar Gila terpaksa menotok bagian-bagian tubuh Surti, hingga seketika lemas dan diam.
Pendekar Gila lalu membopong Surti dan membawanya pergi dari kadipaten. Sena dengan cepat melesat keluar. Di luar tampak Dogol masih menjaga Senapati Pranggana yang terluka akibat dihantam seseorang di dalam ruangan gelap.
Di halaman samping Rah Jati dan kelima prajurit pilihan tengah menghadapi orang-orang berkedok. Setelah menaruh Surti di dekat suaminya, Pendekar Gila langsung melesat untuk membantu Rah Jati dan kawan-kawannya.
Sena yang sudah ingin cepat menyelesaikan pertarungan, segera menghajar habis orangorang berkedok merah itu. Hanya dalam beberapa gebrakan sepuluh orang berpakaian merah telah berjatuhan tewas di tangan Pendekar Gila dan Rah Jati. Sementara di pihak kadipaten, dua orang prajurit mati.
Sementara itu di kejauhan tampak belasan warga Kadipaten Balasutra berlarian menuju halaman kadipaten. Mereka dipimpin seorang lelaki berbadan besar dan tegap menghampiri tempat Senapati Pranggana dan istrinya. Tampaknya kedatangan para warga itu ingin membantu, ketika mendengar ada pertarungan di kadipaten. Namun mereka semua tampak terkejut ketika melihat Senapati Pranggana yang mereka kenal sebagai seorang senapati bijaksana tergeletak berlumur darah.
"Bagaimana senapati bisa mengalami ini...?" tanya lelaki bertubuh gagah yang memim-pin rakyat itu.
"Panjang ceritanya," jawab Sena.
"Tapi aku ingin bertanya, kenapa kalian semua diam saja, tahu keadaan kadipaten dikuasai orang-orang sesat itu...?" Sena balik bertanya dengan tegas dan berwibawa.
"Kami.... Kami semua mula-mula tak tahu, Tuan Pendekar. Tapi setelah mendengar ada pertempuran di kadipaten, baru kami mengumpulkan orang-orang untuk kemari dan ingin menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi...?" jawab orang berbadan tegap yang dibenarkan dengan anggu-kan kepala kawan-kawannya.
"Apakah kalian tidak merasakan ada keanehan di kadipaten selama beberapa hari ini...?" tanya Sena menyelidiki.
"Tidak, Tuan Pendekar...," jawab lelaki berbadan tegap sambil menggeleng.
"Paman Sumo.... Cepat keluarkan mayat Kanjeng Adipati dan permaisuri dari kamarnya...!" tiba-tiba Senapati Pranggana berkata pada lelaki berbadan tegap itu, dengan suara terputus-putus, lemah.
"Hah..."! Adipati Parisuta meninggal..,?" Ki Sumo sangat terkejut mendengar berita kematian Adipati Parisuta. Hal itu wajar karena walaupun Ki Sumo rakyat biasa, tapi pernah dekat dengan Kanjeng Adipati Parisuta. Selama ini dirinya ber-bakti menjadi mata-mata bagi Kadipaten Balasutra. Bahkan dahulu, sebelum mengundurkan diri, Ki Sumo merupakan salah seorang pengawal adipati. Namun karena ia ingin dapat hidup tenang, akhirnya Ki Sumo lebih suka memilih menjadi rakyat biasa.
"Dogol.... Bantu Paman Sumo untuk mengeluarkan mayat Kanjeng Adipati Parisuta...!" perintah Sena pada Dogol, "Baik, Kakang Sena. Mari Ki Sumo...!" Ki Sumo, Dogol, dan beberapa lelaki segera memasuki pendopo kadipaten untuk mengeluarkan mayat Adipati Parisuta dan istirinya.


֍₪֍¦ 6 ¦֎₪֎

Malam itu angin bertiup kencang. Debudebu berterbangan seiring dengan suara ranting dan daun pepohonan yang bergoyang. Suasana sunyi dan sepi. Hanya deru angin yang terdengar.
Daun-daun kering yang tersapu angin gugur dari tangkainya jatuh ke tanah.
Sementara itu di tengah malam, di antara dedaunan kering yang berterbangan tampak langkah kaki yang tersaruk-saruk pelan. Langkah sepasang kaki keriput yang mengesankan kekalahan dan kegagalan. Sampai akhirnya langkah yang tersaruk-saruk itu terhenti, ketika mulai menginjak puing-puing pecahan genting dan tembok tua. Angin masih sesekali bertiup kencang, menghempaskan debu dan dedaunan kering, menerpa kaki itu.
"Hmh...!" Terdengar erangan lemah dari mulutnya.
Ternyata dia Nenek Bongkok. Wajahnya nampak berkerut tajam, hingga semakin seram dan menakutkan. Wajahnya yang keriput, memiliki hidung panjang melengkung ke bawah. Matanya besar selalu merah. Dan bentuk mulutnya seperti tengkorak. Menyeringai. Napasnya terengah-engah, seperti merasakan kepedihan yang dalam. Terlintas kembali kekalahannya terhadap Pendekar Gila. Cahaya bulan yang lembut menyinari sekitar hutan di Lembah Seribu Iblis itu. Nenek Bongkok sejenak tercenung, lalu duduk di atas gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan.
Dia bersemadi, dengan tongkatnya ditaruh di depan, dipegang dengan kedua tangannya.
Setelah beberapa lama bersemadi, mendadak Nenek Bongkok bangkit. Seolah-olah tiba-tiba tergerak kembali hatinya.
Dengan galak matanya melirik ke kanan dan kiri. Lalu melesat pergi, menuju tempat persembunyiannya.
Ternyata di situ sudah menunggu Warkasa Pati. Wajahnya nampak murung pula, karena gagal membawa Surti.
"Kau murid yang bodoh Kenapa kau biarkan Surti begitu saja dibawa Pendekar Gila...!" bentak Nenek Bongkok setelah melihat Warkasa Pati memegangi lengan kirinya yang terluka oleh sabetan pedang Senapati Pranggana. Lukanya telah membiru. Rupanya racun pedang Senapati Pranggana mulai bekerja.
Walaupun hatinya diliputi kemarahan, ketika melihat luka di lengan kiri Warkasa Pati, dengan bergegas Nenek Bongkok menempelkan telapak tangan kanannya. Diusapnya luka Warkasa Pati tiga kali. Seketika luka itu hilang. Wajah Warkasa Pati pun nampak kembali segar, tidak pucat lagi. Lalu mantan senapati itu menghela napas panjang, untuk mengembalikan tenaga dalamnya.
"Terima kasih. Guru. Ampuni aku yang bodoh ini...!" kata Warkasa Pati.
"Warkasa Pati...! Kau belum sembuh betul, racun pedang Senapati Pranggana sangat berbahaya. Cepat kau ikut aku! Ayo...!" seru Nenek Bongkok yang segera melangkah menuju tempat persembunyiannya.
Namun tiba-tiba Nenek Bongkok menghentikan langkahnya. Warkasa Pati kaget. Dengan gerakan cepat tongkatnya dihentakkan ke satu arah. Tongkat itu melayang lalu menancap ke suatu benda yang ada di antara kayu-kayu dan dedaunan kering. Kemudian dengan gerakan cepat pula Nenek Bongkok menarik tangan kanannya.
Seketika tongkat itu kembali melayang ke arahnya. Namun kini di ujung tongkat itu ada sebuah tengkorak manusia yang masih memiliki sedikit rambut. Tampaknya tengkorak orang perempuan.
Sekejap tongkat itu sudah berada di tangan kirinya. Nenek Bongkok kemudian dengan cepat menyodorkan ujung tongkat pada Warkasa Pati seraya berucap dengan suara parau, "Warkasa, cepat ambil tengkorak ini! Aku punya rencana. Hi hi hi...!" Lalu segera Nenek Bongkok meneruskan langkahnya, diikuti Warkasa Pati.

***

Di dalam tempat persembunyiannya, yang mirip goa, Nenek Bongkok tampak duduk bersila.
Warkasa Pati juga duduk bersila dengan jarak tiga depa di depan gurunya. Tubuh Nenek Bongkok tiba-tiba berasap. Matanya berubah semakin merah membara bagai api. Lalu memerintahkan Warkasa Pati agar meletakkan tengkorak tadi di depannya, Tengkorak itu kini terletak di antara Nenek Bongkok dan Warkasa Pati.
"Syahanatabah.... Syiyahhh...!" seru Nenek Bongkok dengan suara yang aneh bagai suara gaib, mengerikan. Dan mendadak halilintar di luar menyambar dari langit. Kilatannya menghujam ke tanah dan menyambar tempat persembunyiannya. Bahkan melalui pintu yang mirip goa, kilat menghantam tengkorak itu.
Warkasa Pati tersentak kaget bukan main.
Hatinya keheranan dan merasa aneh. Tiba-tiba tengkorak itu bergerak-gerak. Nenek Bongkok tampak bergegas meraup darah yang ada dalam cawan besar di sebelah kanannya. Lalu meneteskannya ke tengkorak kepala manusia itu.
Mendadak, terbentuklah kerangka tubuh manusia dari kepala tengkorak itu.
"Darah... darah...! Darah kebangkitan roh...
ayo bangkit... Syahanatabah... Syiyahhh....! Darah segar untukmu, untuk kehidupan...!" Nenek Bongkok terus mengucapkan katakata aneh. Suaranya semakin lama semakin bergema, memenuhi ruangan sempit berdinding batu cadas dan berlumut itu.
Nenek Bongkok mengambil seonggok daun cemara yang sudah diikat sedemikian rupa. Kemudian daun cemara itu dicelupkannya ke cawan berisi darah. Diciprat-cipratkan darah dengan daun cemara ke arah kerangka yang ada di depannya. Warkasa Pati menyaksikan tanpa berkedip, Namun dadanya naik turun dengan cepat, menahan ketegangan dan perasaan takjub menyaksikan kejadian aneh itu.
Maka sesaat kemudian terjadi keanehan, Tulang-tulang yang telah dibasahi darah itu sedikit demi sedikit mulai ditumbuhi daging. Timbulnya daging pada bagian wajah tengkorak itu berkesan mengerikan. Matanya yang tadinya berlubang mulai berisi mata. Hidung yang semula berlubang kembali berbentuk. Demikian juga giginya yang meringis, mulai terbungkus daging gusi. Begitu seterusnya, hingga membentuk sesosok tubuh perempuan muda dan cantik. Terbujur kaku dan pucat di atas lantai batu yang lembab.
"Hah..."!" Warkasa Pati terbelalak kaget, seakan tak percaya menyaksikan kenyataan itu. Sosok tubuh wanita jelmaan itu mirip Surti! "Hi hi hi! Kini tinggal kusempurnakan. Hi hi hi...!" gumam Nenek Bongkok itu sambil meng-gerak-gerakan kedua tangan berputaran di atas kepala, lalu ke sekujur tubuh sosok itu.
Telapak tangan Nenek Bongkok itu memancarkan sinar kehijauan. Seketika tubuh polos mirip Surti itu mulai bergerak-gerak. Sementara mulut Nenek Bongkok terus berkomat-kamit membaca mantera yang aneh bunyinya. Tubuhnya bergetar kuat, begitu juga kedua tangannya.
Lalu Nenek Bongkok itu memekik panjang. Dan bersamaan dengan itu selarik sinar kuning menyambar sosok mirip Surti yang masih polos tanpa pakaian itu.
Plarrr! "Aaakh...!" sosok itu mendadak memekik panjang. Lalu bergerak bangun perlahan dan duduk. Bersamaan dengan itu sinar hilang. Nenek Bongkok pun tampak tersenyum puas, karena usahanya berhasil.
"Hi hi hi...! Warkasa Pati akan terkabul ci-ta-citamu untuk mendapatkan Surti yang asli.... Hi hi hi...! Tapi aku perlu mengobati dulu dan memberimu bekal untuk melawan Pendekar Gila yang sakti itu," ujar Nenek Bongkok dengan suara serak dan bergema.
Sementara sosok manusia ciptaan Nenek Bongkok itu masih tetap diam seperti patung.
Menatap kosong ke depan.
Nenek Bongkok mengusap-usap seluruh tubuh sosok manusia ciptaannya itu berulang kali dengan kedua telapak tangan. Kemudian ditotoknya beberapa bagian tubuh wanita mirip Surti itu sambil membaca mantera iblisnya. Dan seketika wanita itu kini mulai bergerak lagi. Kini gerakannya lebih kuat dan normal seperti layaknya manusia.
"Ohhh.... Tubuhku... tubuhku indah sekali...! Aku, aku di mana. Nek...?" Wanita mirip Surti itu mulai berbicara sambil memandangi dan mengusap-usap tubuhnya sendiri yang masih polos.
Warkasa Pati tersenyum. Hatinya ingin mendekap wanita yang masih polos atau telanjang bulat di hadapannya itu. Namun tak berani melakukannya. Maka diredamnya niat itu dengan menelan ludah.
"Kau berada di rumahku, Cah Ayu. Kau telah kuhidupkan kembali dengan wajah dan tubuhmu yang baru. Dan kini kau harus menurut semua perintahku. Namamu sekarang Surti...," tutur Nenek Bongkok dengan suara serak dan mengandung gaib.
Surti palsu itu mengangguk sambil tersenyum manis. Lalu menoleh ke arah Warkasa Pati yang memandang tak berkedip menyaksikan keindahan tubuhnya.
Nenek Bongkok mengerti. Maka dia biarkan saja ketika Surti ciptaan melangkah mendekati Warkasa Pati dan langsung merayu muridnya yang memang sejak tadi menahan rasa birahinya.
Namun Warkasa Pati tak berani berbuat apa-apa, takut pada sang Guru.
"Warkasa Pati... Untuk kali ini kau kuizinkan menggauli wanita ciptaanku itu. Tapi untuk selanjutnya jangan kau coba melakukannya lagi.
Aku akan mengirimmu ke neraka. Mengerti..."!" ujar Nenek Bongkok dengan suara masih serak dan bergema. Warkasa Pati hanya mengangguk sambil menjura. Wajahnya jadi ceria. Pada saat itu juga Nenek Bongkok menghilang.
Dan mulailah Warkasa Pati dengan buas melampiaskan nafsu birahinya dengan wanita ciptaan gurunya. Tubuh Surti yang mulus dan sintal semakin membuat Warkasa Pati tergiur dan terus memacu kuda betina itu dengan kencang.
Napasnya memburu dan keringat telah membasahi sekujur tubuh yang kini sudah polos. Keduanya bergulingan di atas lantai tanah yang lembab itu. Sampai akhirnya keduanya memekik, pekikan puncak kenikmatan.

***

Senapati Pranggana sudah mulai sembuh.
Dia ditemani Sena, Dogol, dan Ki Sumo. Sedangkan yang lain berjaga-jaga di luar kadipaten.
Surti yang sejak kejadian itu nampak pendiam, keluar membawa anaknya. Lalu diberikan pada Senapati Pranggana, Surti sendiri lalu duduk di sisi suaminya yang kini menggendong sang Bayi.
"Kalau saja tidak ada Tuan Pendekar, mungkin kita sudah tak tahu bagaimana jadinya, Diajeng...," kata Senapati Pranggana dengan lemah.
"Ya. Kami sangat berhutang budi dan nyawa pada Tuan Pendekar...," tambah Surti lembut, diiringi senyuman.
"Ah, kalian jangan berkata begitu. Semua ini karena Hyang Widhi masih memberikan keselamatan pada kalian. Hingga bisa lolos dari orang-orang sesat itu...," sahut Sena merendah. Lalu menggaruk-garuk kepala.
Sesaat suasana jadi hening. Semuanya hanyut dalam perasaan dan pikiran masing-masing.
"Kami sangat heran. Bagaimana Kanjeng Adipati yang memiliki ilmu cukup tinggi, bisa mudah dibunuh Nenek Bongkok dan Warkasa Pati..."!" ujar Ki Sumo memecah keheningan.
"Semua bisa terjadi. Semua bisa mungkin di dunia ini...," sahut Sena dengan kalem, lalu menggaruk-garuk kepala.
"Mereka bertindak begitu cepat dan rapi.
Sehingga para pengawal dan senapati lain yang berjaga di kadipaten tak mengetahui...," celetuk Rah Jati kemudian.
"Kau salah, Rah Jati. Mereka itu bukan manusia biasa seperti kau, aku, dan lainnya. Mereka, terutama Nenek Bongkok itu manusia setengah iblis. Yang bisa berbuat apa saja yang dia inginkan. Bisa saja dia menggunakan ilmu hitam atau yang lain, hingga Adipati Parisuta dan para pengawal, serta senapati-senapati lain seperti Sa-tika, dan Randa tak sadarkan diri. Karena pengaruh ilmu sihir Nenek Bongkok...," tutur Senapati Pranggana dengan suara agak serak dan lemah.
"Kau benar, Pranggana. Hingga para prajurit kadipaten dan pengawal yang telah kena ilmu sihirnya menuruti kehendak Nenek Bongkok itu.
Mereka disuruh menyamar dengan kedok untuk menyerang kita. Dan mungkin penculik Surti itu satu dari dua senapati yang kau sebut tadi. Yang akhirnya mati di tangan Warkasa Pati atau Nenek Bongkok sendiri, setelah berhasil menculik Surti...," sahut Sena kalem.
"Benar, Tuan Pendekar. Santikalah yang menculik Surti, Surti tadi yang menceritakan padaku...," jawab Senapati Pranggana sambil menoleh ke arah Sena "Lantas bagaimana rencana kita selanjutnya...?" tanya Ki Sumo kemudian.
Senapati Pranggana tak berani memberi jawaban. Dia malah menoleh ke arah Sena, lalu berkata lemah, "Bagaimana rencana kita selanjutnya, Tuan Pendekar...?"
"Ah, ah, ah! Terlalu cepat untuk berencana, Senapati.... Tenanglah, aku pun sedang memikir-kannya. Kita harus berupaya agar kali ini tidak gagal," kata Sena kalem sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Sehingga orang-orang di situ merasa heran melihat ketenangan Pendekar Gila, yang seakan tak begitu cemas. Namun semua yang ada di situ sudah mengerti akan kemampuan pendekar muda itu. Lalu Sena membisikkan sesuatu pada Senapati Pranggana. Senapati Pranggana mengerutkan kening, kaget. Namun akhirnya menganggukkan kepala. Walaupun di wajah senapati itu tersirat kecemasan yang dalam.
"Itulah yang menjadi kekhawatiranku. Namun dengan apa yang kukatakan padamu tadi, semoga rencana kita berjalan baik," kata Sena.
Rah Jati dan Ki Sumo hanya diam, tak berani bertanya apa rencana Sena. Mereka hanya menunggu perintah.
"Rah Jati, kirim prajurit untuk menjaga Desa Kawulan. Dan kau tolong bawa Nyi Kuntari kemari. Hati-hati! Sebelum gelap kau harus sudah kembali...," kata Senapati Pranggana memberi perintah pada Rah Jati.
"Baik... Kalau begitu saya segera pergi...," jawab Rah Jati, lalu menjura.
Rah Jati diikuti beberapa orang berangkat menuju Desa Kawulan.
Di luar dan di semua sudut kadipaten dijaga ketat oleh para prajurit dan rakyat yang setia pada Senapati Pranggana dan Adipati Parisuta.
Mereka ingin menuntut balas dan ikut mempertahankan Kadipaten Balasutra.
"Sekarang Paman Sumo, siagakan orangorangmu, tolong awasi mereka!" kata Senapati Pranggana pada Ki Sumo.
"Akan saya laksanakan...," jawab Ki Sumo sambil menjura.
Setelah Ki Sumo dan dua orangnya pergi.
Sena mendekati Senapati Pranggana.
"Bawa istrimu ke dalam, istirahatlah! Biar aku dan Dogol yang mengurus semuanya. Tenanglah, percayalah padaku! Mudah-mudahan kali ini kita berhasil menjebak mereka...," kata Sena lirih. Senapati Pranggana menganggukkan kepala, lalu mengajak Surti memasuki ruangan dalam.
Untuk sementara Senapati Pranggana memegang pemerintahan Kadipaten Balasutra, setelah Adipati Parisuta dan istrinya yang belum memiliki keturunan mati oleh Nenek Bongkok dan Warkasa Pati.
"Dogol. Seharusnya kau berlatih silat sejak dulu. Apakah kau tidak ingin membela orang yang dalam kesusahan. Yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan...?" kata Sena pada Dogol sambil melangkah keluar menuju halamankadipaten.
"He he he.... Kalau Kakang Sena bersedia menjadi guruku, aku senang. Karena aku tak mau orang lain," jawab Dogol polos sambil menggaruk-garuk perutnya yang buncit.
Lalu nyengir kuda.
"Ada-ada saja kau ini. Apa aku pantas menjadi guru" Semestinya orang yang sudah tua dan penuh pengalaman yang pantas menjadi gurumu...," kata Sena coba memancing kepolosan apa yang diucapkan Dogol tadi.
"Tidak juga. Menurutku, tidak semua orang yang sudah tua dan berilmu tinggi pantas jadi guru. Orang muda seperti Kakang Sena sangat pantas menjadi guruku, atau guru siapa saja. Kalau Kakang Sena memang mau memberikan sedikit ilmu padaku, atau pada mereka...," jawab Dogol dengan tegas dan ngotot, hingga mulutnya monyong-monyong. Bibirnya yang tebal jadi nampak lucu, seperti bibir Bagong. Membuat Sena geli melihatnya. Namun Sena mendengar jawaban Dogol yang polos.
"Kau ini memang pintar. Tapi sayang, terkadang pengecut! Harus kau hilangkan sifat penakutmu itu!" kata Sena.
Tak terasa hari mulai menjelang sore, Suasana kadipaten nampak tenang, Sepertinya tak akan terjadi petaka lagi. Langit pun cerah. Secerah wajah Dogol dan Sena.
"Bagaimana, Kakang Sena" Apakah permintaanku dikabulkan...?" tanya Dogol dengan penuh semangat.
"Aku belum bisa memutuskan. Tapi kalau memang kau benar-benar, harus menanggung segala resiko. Karena, ujiannya sangat berat...," ka-ta Sena sambil terus melangkah. Kini mereka berada di halaman yang biasa digunakan sebagai tempat berlatih para prajurit. Tiba-tiba....
"Hop!" Kaki Sena menendang sebuah golok yang tergeletak di tanah ke arah Dogol. Si Gendut itu tersentak kaget, menyadari dirinya dalam bahaya.
Kemudian sambil teriak, Dogol melompat dengan cepat mengelak dari golok yang meluncur ke arahnya. Tubuhnya bergulingan di tanah. Dia selamat. Dadanya naik turun dengan napas ngosngosan, karena masih merasa ketakutan. Dia tertawa-tawa lebar, tapi suaranya tak keluar. Sena menghampirinya sambil tersenyum-senyum.
"Itu latihan awal. Boleh juga kau, Gol. Tapi harus banyak berlari-lari pagi, agar napas dan jantungmu kuat,..," kata Sena sambil menjewer pipi Dogol, lalu pergi.
Dogol yang mendapat sedikit pujian tampak tersenyum bangga. Lalu cepat bangkit dan segera memperagakan jurus-jurus seperti biasa, dengan gerakan yang lucu. Terkadang karena terlalu tinggi mengangkat sebelah kakinya, atau karena keseimbangan badan tidak benar, Dogol terjatuh. Sena tertawa-tawa melihatnya.


֍₪֍¦ 7 ¦֎₪֎

Rah Jati bersama lima orang prajurit setelah sampai di Desa Kawulan segera cepat kembali ke kadipaten, membawa Nyi Kuntari dengan berkuda. Derap kaki-kaki kuda mereka menelusuri jalanan di bukit dan menyeberangi sungai. Nyi Kuntari, janda Ki Lurah Kuntolo itu duduk di belakang Rah Jati. Dia memegang erat pinggang Rah Jati yang memacu kudanya dengan kencang.
Sebab, sebelum gelap dia harus sudah sampai di kadipaten, sesuai pesan Senapati Pranggana.
Namun baru setengah perjalanan yang dilalui, tiba-tiba mereka dihadang tiga orang tak di-kenal. Tanpa basa-basi ketiga orang itu menyerang mereka. Ketiga penyerang itu bermuka pucat tanpa memakai pakaian. Hanya selembar kain yang sudah usang menutup tubuh bagian bawah! Semuanya berambut keriting panjang, dengan wajah penuh luka.
Rah Jati dan kelima prajurit mempertahankan diri dengan melawan tiga manusia aneh itu. Namun betapa terkejutnya Rah Jati dan para prajurit ketika melihat senjata mereka tak mempan di tubuh ketiga penghadang itu.
"Hiaaa...! Mampus kau manusia-manusia aneh...!" seru Rah Jati sambil menebaskan kembali pedangnya.
Cras, cras! "Ukh...!" pekik salah seorang manusia pucat itu. Namun tubuhnya yang kena babatan pe- dang Rah Jati sedikit pun tak terluka. Babatan pedang itu seperti lewat begitu saja. Padahal Rah Jati melihat jelas bahwa pedangnya membabat tubuh manusia pucat seperti mayat itu.
Akhirnya Rah Jati dan kelima prajurit terdesak. Nyi Kuntari menjerit-jerit ketika jatuh dari atas kuda. Lalu dia lari, bermaksud menyelamatkan diri. Namun, begitu dia bersembunyi di balik pohon besar, tiba-tiba seseorang berkelebat menotoknya. Seketika tubuh wanita setengah baya itu terkulai lemas. Orang yang menotoknya ternyata Nenek Bongkok.
"Hi hi hi...! Kini aku tak akan gagal lagi, Pendekar Gila. Hi hi hi...!" ucap Nenek Bongkok sambil terkekeh-kekeh. Kemudian, dengan il-munya dia memasuki tubuh Nyi Kuntari yang sudah tak berdaya itu. Sesaat kemudian Nyi Kuntari siuman, setelah tubuhnya dimasuki Nenek Bongkok. Nyi Kuntari tertawa-tawa. Namun suaranya sudah berubah menjadi suara Nenek Bongkok.
"Hi hi hi...! Aku akan membuat sejarah baru! Aku akan menghabisi murid Singo Edan itu! Aku akan berkuasa. Hi hi hi...!" seru Nyi Kuntari yang sudah dirasuki Nenek Bongkok. Namun wajah dan tubuhnya tetap tak berubah.
Sementara Rah Jati yang masih bertarung melawan ketiga manusia pucat tampak semakin terdesak. Begitu juga prajurit anak buahnya kini tinggal satu orang. Yang empat sudah terbunuh.
Rah Jati akhirnya dapat dilumpuhkan. Ketika ketiga manusia pucat itu hendak memakan daging Rah Jati yang sudah tak berdaya dan penuh luka, muncul Warkasa Pati dan Nyi Kuntari.
Rah Jati yang berusaha menahan sakit, kaget melihat Nyi Kuntari bersama Warkasa Pati.
"Nyi,.."!" gumam Rah Jati pendek. Namun setelah itu dia pingsan. Pada saat itulah Nyi Kuntari menyuruh Warkasa Pati agar memasuki tubuh Rah Jati. Seketika Rah Jati kembali segar, begitu Warkasa Pati merasuk ke raganya. Suaranya pun berubah.
"Rencana kita berhasil. Guru...," ujar Warkasa Pati yang sudah memasuki tubuh Rah Jati.
"Hi hi hi...! Ya. Tapi ingat, jangan ceroboh!" ujar Nyi Kuntari dengan suara Nenek Bongkok yang serak.
"Sekarang kita harus pintar bersan-diwara untuk menghadapi Pendekar Gila dan Se- napati Pranggana. Jangan sampai mereka mencurigai kita...!"
"Ya. Tapi aku ragu akan Pendekar Gila. Dia pendekar yang berilmu tinggi. Aku khawatir dia akan mencium kejanggalan kita. Guru...," kata Rah Jati palsu.
"Maka itu kuminta kau jangan ceroboh! Bersiaplah seperti Rah Jati sesungguhnya. Tidak banyak bicara. Ayo, berangkat! Sebelum gelap kita harus sudah sampai di kadipaten. Kalau tidak Senapati Pranggana dan Pendekar Gila akan curiga," ujar Nyi Kuntari palsu.
"Bagaimana dengan prajurit yang masih hidup itu?" tanya Rah Jati.
"Heh..."! Hampir aku lupa...," jawab Nyi Kuntari dengan suara Nenek Bongkok.
Lalu Nenek Bongkok menyemburkan ludah ke arah prajurit yang terluka lengan kirinya. Seketika prajurit itu seperti orang kaget. Lalu menjura pada Nyi Kuntari penuh hormat "Hei, kau harus turuti perintahku! Kau harus membenarkan semua ceritaku nanti kepada Senapati Pranggana atau Pendekar Gila. Mengerti..."!"
"Mengerti, Nyi...," jawab prajurit yang telah disembur tadi. Mendadak dia seperti orang linglung. Lalu segeralah Nyi Kuntari, Rah Jati, dan prajurit itu berangkat menuju kadipaten. Sementara ketiga manusia aneh berwajah pucat tadi kembali masuk ke dalam tanah dengan mudahnya. Ternyata mereka makhluk-makhluk gaib yang dibangkitkan oleh Nenek Bongkok.

***

Hari telah senja. Langit yang tadi membiru kini tampak kemerahan. Sang Surya mulai tenggelam. Namun sampai saat itu Rah Jati dan Nyi Kuntari belum muncul juga.
Hal ini membuat Senapati Pranggana dan Surti merasa gelisah. Keduanya nampak tak tenang. Senapati Pranggana mondar-mandir di ruangan pendopo, dengan kedua tangan di belakang. Kepalanya menunduk, menekuri lantai pendopo kadipaten.
Sedangkan Surti duduk di sebuah kursi berukir, sambil menggendong anaknya. Wajahnya yang cantik nampak murung dan cemas.
Apa yang telah terjadi dengan Rah Jati dan para prajurit" Begitu mungkin pikiran Senapati Pranggana yang semakin cemas dan tak tenang.
"Tak usah cemas, mungkin mereka dalam perjalanan kemari...," terdengar suara Sena mencoba menenangkan hati Senapati Pranggana. Suasana lalu sepi, hening sekali. Tidak ada kata apa-apa lagi.
"Tuan Senapati...! Mereka sudah tiba, Tuan...!" Tiba-tiba terdengar seruan Ki Sumo dari arah pintu gerbang. Dan seruan itu semakin jelas kedengarannya. Ki Sumo dengan wajah gembira kini telah memasuki pendopo tempat Senapati Pranggana, Surti, dan Pendekar Gila berada. Dogol membuntuti di belakang Ki Sumo! "Ohhh... terima kasih, Hyang Widhi! Kau telah menyelamatkan dan melindungi mereka...," gumam Senapati Pranggana dengan wajah ceria.
Begitu juga dengan Surti, dia melonjak dari duduknya, karena begitu gembira. Dia langsung mendekati suaminya.
"Aku sangat gembira dan bersyukur pada Hyang Widhi...," ucap Surti penuh ceria dan gembira. Lalu mereka melangkah ke pintu ingin menyambut kedatangan Rah Jati dan Nyi Kuntari.
Sementara itu Sena nampak tenang-tenang saja.
Dengan gaya yang khas, menggaruk-garuk kepala dan cengengesan, tetap berdiri di tempatnya. Namun matanya memandang tajam ke pintu masuk pendopo. Begitu mereka bertemu, Surti menghambur memeluk ibunya, melepas rindu. Keduanya saling berpelukan. Sementara itu Rah Jati menjura pada Senapati Pranggana sambil memegangi lengan kirinya yang terluka.
"Kenapa kau Rah Jati...?" tanya Senapati Pranggana kaget begitu melihat lengan kiri Rah Jati terluka.
"Maaf..., kami sempat diserang segerombolan perampok. Untung kami bisa lolos. Namun keempat Prajurit mati...," kata Rah Jati.
Senapati Pranggana tidak merasakan kejanggalan gerak-gerik Rah Jati, karena tengah diselimuti rasa kesal dan cemas.
Namun Pendekar Gila yang masih berdiri di tempatnya semula, merasakan keanehan, ketika samar-samar mendengar keterangan Rah Jati.
Segera Sena melangkah mendekati mereka.
Pada saat itu, Nyi Kuntari, ibunya Surti membenarkan keterangan Rah Jati dengan wajah sedih. Bahkan dengan linangan air mata.
"Benar, Pranggana. Kami hampir saja menjadi mangsa perampok-perampok buas itu. Coba lihat luka memar di pipi dan lengan Ibu ini! Sungguh pengalaman yang sangat pahit dan tak bisa dilupakan...." Surti sebenarnya agak kaget melihat tingkah ibunya yang agak lain dari biasanya. Namun dia pikir, ibunya yang selama ini lemah lembut, jadi agak sedikit berubah, karena keadaan yang kini mereka alami. Karena itu Surti tidak terlalu memikirkan lebih lanjut.
Sena yang sudah berdiri di sebelah Senapati Pranggana hanya menggaruk-garuk kepala, dan cengengesan. Seolah-olah dia tak begitu memperhatikan Rah Jati dan Nyi Kuntari. Namun Pendekar Gila yang cepat menangkap situasi dan gerak-gerik dua orang itu telah merasakan sesuatu yang kurang beres.
"Gol, ikuti Rah Jati, ke mana saja dia pergi.
Tapi jangan sampai dia mengetahui, kalau kau mengikutinya. Ingat..!" bisik Sena pada Dogol yang sebelumnya tersenyum-senyum ikut gembira dengan kedatangan Rah Jati dan Nyi Kuntari.
Namun begitu mendengar bisikan Sena, senyum lebar dan wajah yang cerah itu mendadak berubah menjadi tegang. Matanya melirik ke arah Sena, bibirnya yang agak tebal tampak lucu.
"Aku bersyukur pada Hyang Widhi, karena telah melindungi Ibu dan Rah Jati...," kata Surti dengan penuh gembira.
"Ya. Aku sangat berhutang budi padamu, Rah Jati," sambung Senapati Pranggana sambil menepuk-nepuk bahu Rah Jati.
Rah Jati hanya menundukkan kepala dan senyum-senyum pahit. Sena menatap tajam wajah Rah Jati seakan pandangan matanya bisa menembus sampai ke dalam jiwa Rah Jati. Mendadak Sena tersentak, seperti orang kaget. Membuat Senapati Pranggana yang berdiri di dekatnya langsung menegur Sena.
"Ada apa, Tuan Pendekar...?" tanya Senapati Pranggana dengan mengerutkan keningnya.
"Ooo.... Tidak ada apa-apa. Aku hanya terharu mendengar cerita Rah Jati dan Nyi Kuntari.
Aku ikut sedih...," jawab Sena berbohong.
Lalu mereka tertawa-tawa senang. Begitu juga Sena sambil menggaruk-garuk kepala ikut tertawa-tawa.
"Ibu tentunya lelah. Surti, ajak Ibu ke dalam. Biar Ibu istirahat Silakan, Bu...!" ucap Senapati Pranggana menyuruh istrinya.
Nyi Kuntari berlalu sambil menimangnimang anak Surti. Mereka nampak penuh tawa dan bahagia.
"Kau juga boleh istirahat Rah Jati.... Aku bangga padamu...," kata Senapati Pranggana kembali memuji Rah Jati.

***

Malam pun tiba. Keadaan di sekitar kadipaten nampak sunyi, sepi. Tak seorang pun tampak berada di jalan-jalan. Namun para penjaga tetap di lemparnya masing-masing.
Di setiap sudut yang dianggap rawan dijaga ketat. Itu semua perintah Sena tanpa sepengetahuan Senapati Pranggana. Sebab senapati tampaknya telah merasa aman dan merasa bahwa kini tak akan ada lagi yang berani mengusiknya. Dia menganggap bahwa Warkasa Pati tak akan kembali, karena ada Pendekar Gila. Apalagi Nenek Bongkok itu.
Begitulah pikir Senapati Pranggana saat itu.
Namun dia tak tahu, bahwa di dalam kadipaten telah ada orang yang menghendaki kematiannya, serta membawa Surti dari kadipaten. Kedua orang itu tak lain Warkasa Pati dan Nenek Bongkok yang telah masuk ke dalam jiwa dan tubuh Rah Jati dan Nyi Kuntari, ibunya Surti.
"Ke mana Tuan Pendekar, malam ini aku tak melihatnya...," kata Senapati Pranggana yang ada di ruang pendopo.
"Mungkin sedang istirahat..," jawab Ki Su-mo yang menemaninya.
Pada saat itu. Rah Jati diam-diam menyelinap masuk, tanpa diketahui Senapati Pranggana dan Ki Sumo. Dogol yang ditugaskan oleh Sena untuk mengikuti gerak-gerik Rah Jati kehilangan jejak.
Si Gendut itu berada di luar pendopo dengan kepala clingak-clinguk.
"Aneh! Edan...! Ke mana si Semprol itu. Celaka! Aku bisa dimaki oleh Kakang Sena. Ah, mungkin dia masuk ke pendopo...," gumam Dogol bicara pada dirinya sendiri. Lalu segera melangkah dengan langkah lebar memasuki pendopo.
Sementara itu Sena dengan ilmu meringankan tubuh, melompat ke atas genteng pendopo dan terus menghilang. Tahu-tahu dia sudah berada di dalam ruang pendopo kadipaten. Senapati Pranggana dan Ki Sumo tampak terkejut melihat kedatangan Sena.
"Ooo..., Tuan Pendekar. Kami sedang menunggu...," kata Senapati Pranggana begitu melihat Sena.
Melihat Sena sudah ada di dalam, Dogol tak jadi masuk, takut kena marah. Maka si Gendut itu bersembunyi di balik tiang pendopo.
"Apa kau tak melihat seseorang menyelinap masuk kemari...?" Pertanyaan Sena mengejutkan Senapati Pranggana dan Ki Sumo, serta beberapa orang kepercayaan Senapati Pranggana. Hanya Rah Jati yang tidak ada.
"Maksud Tuan Pendekar...?" tanya Senapa-ti Pranggana dengan suara bergetar.
Menandakan kecemasannya kembali muncul.
Sena menggaruk-garuk kepala, lalu menoleh ke arah lorong menuju ruang dalam. Kemudian dia melesat pergi. Senapati Pranggana dan yang lain jadi bertambah heran. Dan belum sempat keheranan mereka habis, tiba-tiba terdengar teriakan Surti dari dalam kamar.
Disusul dengan suara dua orang sedang bertarung. Senapati Pranggana yang kaget cepat memerintahkan Ki Sumo dan beberapa orang untuk melihat. Segera Ki Sumo dan tiga orang melompat masuk ke lorong tempat Sena tadi masuk.
"Heaaa..!" Tubuh Rah Jati melenting ke atas, menjebol atap genteng. Lalu disusul Pendekar Gila. Ki-ni, keduanya siap bertarung di atas genteng.
"Aaa...!" terdengar suara teriakan, membuat Senapati Pranggana bertambah kaget.
Lalu dia sendiri masuk. Dogol muncul bermaksud ingin melihat Rupanya terjadi pertarungan seru antara Pendekar Gila dan Rah Jati.
Sementara itu Nyi Kuntari berpura-pura ketakutan. Memegangi Surti. Senapati Pranggana semakin bingung melihat pertarungan Pendekar Gila dengan Rah Jati, orang kepercayaannya. Dia hanya bisa memandang seperti terkesima. Begitu juga Ki Sumo dan ketiga kawannya.
"Heaaa...!" Tubuh Rah Jati melenting ke atas, menjebol atap genteng. Disusul oleh Pendekar Gila. Sehingga terjadi pertarungan di atas genteng. Keduanya saling pukul dan tendang.
"Ha ha ha...! Pendekar Gila, kau tertipu...! Ha ha ha...!" seru Rah Jati dengan terus melancarkan serangan gencar pada Pendekar Gila. Sementara itu Dogol memberitahu pada Senapati Pranggana dan Ki Sumo bahwa Rah Jati sudah dirasuki Warkasa Pati. Begitu juga Nyi Kuntari bukan lagi Nyi Kuntari, melainkan Nenek Bongkok. Hal itu diketahuinya dari Pendekar Gila, ketika hendak menyuruh Dogol untuk menguntit gerak-gerik Rah Jati. Senapati Pranggana dan Ki Sumo tersentak kaget. Segera dia mencari Nyi Kuntari yang tiba-tiba menghilang bersama Surti...! "Surti...! Surti...!" Senapati Pranggana dengan kesal berteriak-teriak memanggil-manggil istrinya, "Bodoh, kenapa aku dapat terpedaya lagi oleh manusia-manusia iblis itu"!" batin Senapati Pranggana penuh kegeraman Sementara itu teriakan dan jeritan Surti terdengar.
"Ibu...! Ibu kenapa Ibu lakukan ini. Tolooong...!"
"Aku bukan ibumu... hi hi hi...!" Nyi Kuntari menyeret Surti. Ketika sampai di halaman, para prajurit mengepung Nyi Kuntari dan langsung menyerangnya. Namun dengan sekali gebrak lima prajurit itu roboh dan tak berkutik lagi. Lalu Nyi Kuntari melesat pergi sambil membawa Surti. Pendekar Gila masih bertarung dengan Rah Jati. Dan pada kesempatan yang sangat bagus Pendekar Gila dapat melancarkan tendangan maut, tepat mengenai iga Rah Jati. Kontan Rah Jati melayang jatuh ke tanah. Pendekar Gila melompat turun untuk terus menghajar Rah Jati.
Namun pada saat itu Senapati Pranggana muncul. Dengan gerak cepat Rah Jati menerkam Senapati Pranggana yang tak menduga sama sekali.
Melihat keadaan yang serba salah Pendekar Gila tak dapat bertindak gegabah lagi. Senapati Pranggana telah berada dalam kekuasaan Rah Jati. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, dia mengerahkan ajian 'Tamparan Sukma'.
Maksudnya ingin membuka kedok Rah Jati.
"Heaaa...!" Jglarrr! Selarik sinar menghantam tubuh Rah Jati.
Tubuhnya terpental beberapa langkah sambil menjerit kesakitan. Pada saat itu juga keluarlah Warkasa Pati dari tubuh Rah Jati. Sedangkan Rah Jati sendiri roboh tak bernyawa lagi.
Senapati Pranggana merasa tak habis pikir melihat kejadian itu. Pendekar Gila mengejar Warkasa Pati yang mencoba melarikan diri. Dan dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dia berhasil menghadang Warkasa Pati. Tampaknya Pendekar Gila tak ingin memberi kesempatan kepada lawan.
Maka....
"Inti Brahma'...!" Pendekar Gila berteriak sambil menghentakkan kedua tangan. Dan seketika bola-bola api meluncur deras ke arah tubuh lawan. Warkasa Pati mengelak dengan melenting ke atas sambil bersalto. Namun Pendekar Gila terus mencecarnya, hingga salah satu bola api itu menghantam tubuh Warkasa Pati. Lelaki bertubuh tegap itu memekik panjang. Meskipun tubuhnya telah terbakar, namun dia masih bisa melesat pergi lalu menghilang. Pendekar Gila geram.
"Aneh, begitu kuat si Keparat itu..."! Aku harus cepat kembali ke kadipaten...," gumam Se-na dalam hati. Lalu melesat pergi dengan pera- saan kecewa, karena kembali gagal meringkus Warkasa Pati. Sementara itu, Nenek Bongkok keluar dari tubuh Nyi Kuntari. Seketika tubuh ibunya Surti roboh ke tanah. Nenek Bongkok dengan terkekehkekeh membopong Surti. Bagai terbang Nenek Bongkok pergi dari tempat itu.

***

Sampai di kadipaten Pendekar Gila melihat Surti sudah ada bersama Senapati Pranggana yang terluka, akibat cakaran Warkasa Pati. Namun hatinya merasa heran melihat Surti yang sudah berada bersama mereka. Sena tak berani menduga-duga, karena merasa kegagalan itu tak luput karena dirinya juga. Maka Pendekar Gila hanya diam saja, walaupun sebenarnya ingin memberitahukan pada Senapati Pranggana.
"Tuan Pendekar, Ibu harus kita temukan sebelum nenek sihir itu membunuhnya...," kata Surti sambil merengek pada Pendekar Gila. Sena hanya tersenyum pahit. Lalu sambil menggaruk-garuk kepala dia pergi tanpa berkata apa-apa Dogol mengikutinya.
"Kakang Sena, aku ikut...!" seru Dogol sambil berlari mengejar Pendekar Gila.
"Sebaiknya kita tinggalkan kadipaten ini untuk sementara, Gol," kata Sena dengan nada datar.
"Hah"! Kenapa, Kakang..."! Apa ada sesuatu...?" tanya Dogol sambil terus berjalan di sisi ki-ri Sena.
"Ya!" jawab Sena pendek.
"Sebaiknya kita menyelidiki mencari Nenek Bongkok itu.
Tapi kita mampir dulu ke Desa Kawulan," ucap Sena sambil terus melangkah.
Tak terasa, Sena dan Dogol sudah meninggalkan kadipaten cukup jauh di dalam kegelapan malam.
"Aku hanya ingin menyadarkan dan memberi pelajaran pada Senapati Pranggana yang tidak tegas dan kurang punya sikap...! Kasihan orang itu...," kata Sena lagi.
Dogol nampak mulai takut, karena kini mereka melewati kuburan. Bibirnya bergetar terus, bagai orang kedinginan. Matanya tak hentihentinya melirik ke kiri dan kanan.
Malam semakin larut, bulan pun sebagian tertutup awan. Membuat suasana kian mencekam. Namun Sena terus mengayunkan kaki dengan cepat. Dogol pun mengikuti dengan langkah lebar dan napas mulai terengah-engah.
Pada saat itu juga di lain tempat, di pinggiran Lembah Seribu Iblis. Warkasa Pati tengah ter-seok-seok dengan sisa-sisa tenaganya. Rupanya mantan senapati itu menderita luka dalam, akibat pukulan 'Inti Brahma' Pendekar Gila. Setengah tubuh dan wajahnya tampak hitam dan rusak karena terbakar. Dengan dendam kesumat yang membara serta kemarahan yang bergejolak, lelaki setengah baya itu terus berusaha bertahan. Dengan lunglai dan kadang merayap kepayahan dia terus berjalan menuju tempat persembunyiannya.
Sementara itu, Nenek Bongkok sudah berada di persembunyiannya. Dimasukkannya Surti ke sebuah kamar yang hanya diterangi api obor, tergantung di dinding batu cadas. Tak ada dipan atau balai-balai.
Yang ada hanya alang-alang kering. Dihempaskannya Surti ke tumpukan ilalang kering itu.
"Hi hi hi...! Kalau saja aku seorang lelaki, ingin juga mengawinimu, Cah Ayu.... Hi hi hi...!" ujar Nenek Bongkok. Lalu mulutnya menyeringai, menakutkan membuat Surti gemetaran.
"Kalau kau tak menurut di sini. Kau akan mati dimakan ular-ular itu...!" kata Nenek Bongkok sambil menunjuk ke ruangan lain di sebelah kamar Surti berada.
Mata Surti melirik, lalu menjerit sambilmenutupi kedua matanya. Puluhan bahkan mungkin ratusan ekor ular beraneka ragam jenisnya. Dari yang sebesar ibu jari sampai sebesar paha. Ular-ular itu mendesisdesis seakan mengerti apa yang diucapkan Nenek Bongkok.
Nenek Bongkok yang baru sadar akan murid tunggalnya itu, tersentak. Seakan dia merasakan bahwa Warkasa Pati mengalami petaka. Ne- nek Bongkok segera melesat keluar dari tempat persembunyiannya. Lalu mencari-cari sang Murid dalam kegelapan malam yang mencekam itu.
Dengan mengerahkan penglihatannya yang tajam, meskipun dalam keadaan gelap perempuan tua itu tak mengalami kesulitan. Matanya mampu melihat dengan jelas, seperti di siang hari. Karena dirinya memang manusia setengah setan.
"Ya, Jagad Dewa Batara...! Siapa yang berbuat ini" Huh! Ini pasti kerjaan si Bocah Gila itu!" seru Nenek Bongkok begitu menemukan Warkasa Pati sudah membusuk, mati. Begitu cepat proses pembusukan itu.
Nenek Bongkok berusaha untuk menghidupkan kembali Warkasa Pati. Namun usahanya gagal, karena ketika hendak membaca mantera, tiba-tiba mayat Warkasa Pati terbakar! Dan apinya tak dapat dipadamkan! Nenek Bongkok merasa heran. Dia tak habis pikir. Itulah kehebatan ajian 'Inti Brahma'. Jika seorang se-bangsa jin atau iblis menyentuh luka bakar korban, maka api akan menyala, mengamuk kembali! Tubuh Warkasa Pati akhirnya terbakar habis. Dan anehnya, tak ada abu atau bekas lainnya. Nenek Bongkok semakin yakin bahwa itu perbuatan Pendekar Gila.
"Kurang ajar...! Tunggu pembalasanku, Pendekar Gila...! Kau akan menyesal. Akan kukirim kau ke neraka...!" Nenek Bongkok murka dan bersumpah ingin membalas kematian Warkasa Pati pada Pendekar Gila. Nenek Bongkok segera melesat kembali ke persembunyiannya. Dengan muka semakin menakutkan dia mendekati Surti. Mulutnya menyeringai dan berkata dengan suara menakutkan.
"Nasibmu tergantung pada Pendekar Gila.
Jika aku dapat cepat membunuh Pendekar Gila, kau akan cepat kubebaskan. Tapi jika aku gagal, kau akan menjadi tumbalku. Atau pengikutku! Hi hi hi...!" ancam Nenek Bongkok pada Surti.
"Kau lihat ular-ular itu, kan" Hi hi hi... mereka sudah lama tak makan daging manusia. Hi hi hi...!" tambah si Nenek Bongkok, membuat Surti bertambah ketakutan. Tubuhnya menggigil dengan bibir terus bergetar. Wajahnya pucat.
Di luar malam semakin kelam. Angin pun berhembus kencang, membuat suasana kian mencekam.


֍₪֍¦ 8 ¦֎₪֎

Sementara itu di Kadipaten Balasutra keadaan bertambah parah. Satu persatu prajurit dan orang-orang kepercayaan Senapati Pranggana mati terbunuh dengan cara yang aneh. Semuanya kehabisan darah. Pembunuhnya sampai saat ini tak diketemukan.
Penduduk di sekitar kadipaten pun menjadi resah, karena hampir setiap malam terjadi malapetaka. Hampir setiap pagi warga ribut menemukan mayat. Senapati Pranggana sendiri kian kebingungan menghadapi bencana aneh itu.
"Aneh...! Sungguh aneh. Bagaimana semua ini bisa terjadi begitu cepat.."! Pasti pembunuh itu bukan manusia!" kata Senapati Pranggana pa-da Ki Sumo yang sejak peristiwa itu terus berada di kadipaten. Pada saat itu Surti palsu mengintip dari balik pintu mendengarkan pembicaraan Senapati Pranggana dan Ki Sumo. Dia tampak tersenyumsenyum.
"Kami rasa sebaiknya kita segera mencari Pendekar Gila. Hanya dialah yang dapat memecahkan keanehan ini.,.," kata Ki Sumo memberi usul pada Senapati Pranggana.
"Ya, ya...! Tapi, ke mana kita harus mencarinya. Aku merasa bodoh! Aku terlalu terlena oleh keadaan. Semuanya aku yang salah, hingga sampai melupakan nasihat Pendekar Gila..." ujar Senapati Pranggana menyesali dan menyalahkan dirinya sendiri. Lalu duduk bersandar di kursi. Tubuhnya tampak lemas dengan wajah murung dan gelisah. Sesaat keadaan hening. Nampak Senapati Pranggana sedang berpikir. Begitu juga Ki Sumo dan dua pengawal yang mendampingi sang Senapati.
"Paman Sumo, sebaiknya kau bersama seorang pengawal pergi mencari Pendekar Gila. Na- mun jangan lewat dua hari, Paman. Cepat kembali...!" kata Senapati Pranggana memecah keheningan.
"Baik. Kalau begitu biarlah sekarang juga kami berangkat..," jawab Ki Sumo.
"Baiklah. Hati-hati, Paman...!" Lalu Ki Sumo dan seorang pengawal memohon diri dan segera berangkat, setelah menjura memberi hormat Sepeninggal Ki Sumo dan pengawal, Surti palsu muncul dengan senyum manisnya, langsung mendekati Senapati Pranggana. Dengan kelembutan yang dibuat-buat, Surti palsu merayu Senapati Pranggana "Kakang, sebaiknya Kakang istirahatlah dulu. Nampaknya kau begitu letih. Biar aku pijat, agar keadaannya sehat kembali...."
"Hm... Kau benar Diajeng. Ayo, hari ini aku benar-benar letih sekali..." sambut Senapati Pranggana, lalu beranjak bangkit dari duduknya dan berlalu dari tempat itu.
Pengawal yang ada di situ tampak menggeleng kepala melihat kepergian Senapati Pranggana dan Surti.
Surti palsu terus berusaha merangsang Senapati Pranggana agar terbangkit gairahnya.
Wanita ciptaan Nenek Bongkok itu memang memiliki gairah luar biasa. Akhirnya dia dapat membangkitkan birahi Senapati Pranggana. Pergumulan antara kedua makhluk yang sebenarnya berlainan alam itu terjadi. Desah dan rintihan keluar tak hentihentinya dari keduanya, Surti palsu dengan buasnya bagai memacu kuda.
Mulutnya memekik mendesah dan merintih penuh kenikmatan.
Senapati Pranggana akhirnya tertidur pulas, Surti jelmaan yang melihat Senapati Pranggana mendengkur segera bangun. Mulutnya menyeringai. Seketika tampak dua gigi taring di sudut bibirnya. Wajahnya tampak menyeramkan dengan sepasang mata melotot memandangi tubuh Senapati Pranggana. Lalu perlahan-lahan mulutnya mendekati wajah Senapati Pranggana.
"Aku harus membunuhnya sekarang juga, sebelum ada yang tahu siapa aku sebenarnya....
Aku haus, haus...," gumam Surti palsu dengan mata melotot Namun, ketika dia akan melakukan itu, tiba-tiba Senapati Pranggana menggeliat memiringkan tubuh. Surti palsu mengurungkan niatnya.
Ditatapnya agak lama Senapati Pranggana yang memiliki tubuh kekar dan jantan itu.
"Ahhh..., aku tak ingin dia mati dulu. Aku masih ingin menikmati keperkasaan dan kejantanannya. Dia benar-benar menggairahkan, aku masih ingin merasakan dekapan tangannya yang kekar dan kuat itu...," kata Surti palsu bicara pa-da diri sendiri. Lalu tersenyum. Diciumnya pipi Senapati Pranggana. Surti yang masih tanpa pakaian, segera mengambil kain. Setelah melilitkan kain ke tubuhnya yang sintal itu dia melangkah keluar.
"Lebih baik aku mencari santapan di luar saja...," gumam Surti dalam hati. Lalu menghilang di kegelapan malam melewati lorong menuju pintu belakang bangunan kadipaten.
Di situ seorang penjaga sedang mondarmandir dengan tangan kanan memegang tombak.
Surti mendekati dengan sengaja membiarkan kain yang melilit tubuhnya terangkat ke atas. Sehingga pahanya yang kuning mulus tersingkap. Melihat Surti, prajurit itu segera memberi hormat sambil menunduk. Surti tersenyum. Lalu dia pura-pura jatuh seraya cepat menarik kainnya, hingga terlepas. Sehingga tubuh Surti tampak setengah telanjang. Buah dadanya yang ranum terlihat jelas oleh prajurit itu. Serta merta prajurit membalikkan tubuh.
"Kenapa kau membalikkan badan" Aku tak akan marah. Bukankah hanya kita berdua yang ada di sini...?" kata Surti dengan suara lembut "Tapi... tapi saya takut Kanjeng Putri. Saya, saya bisa dibunuh oleh Senapati Pranggana...," kata prajurit itu masih membelakangi Surti.
Surti yang sudah berdiri di belakang prajurit segera menjulurkan lidah. Kemudian perlahan tangannya membalikkan tubuh prajurit itu. Dan begitu berhadapan, Surti dengan mendesah bagai orang sedang mendambakan sentuhan-sentuhan birahi, menempelkan dadanya yang tak tertutup itu ke dada prajurit Kontan saja prajurit yang sudah tak bisa menahan birahinya menciumi dada Surti dengan rakus. Namun tiba-tiba.....
"Ukh...!" prajurit itu memekik tertahan dengan mata melotot. Kemudian tubuhnya am-bruk, dengan leher berlubang. Surti tampak tersenyum puas. Dia mengambil tombak dan menghujamkan ke perut prajurit itu. Lalu dia tertawa-tawa senang melihat darah segar muncrat. Bagaikan serigala yang haus dan lapar Surti mengisap darah itu sepuas-puas hatinya.
Kemudian setelah membersihkan mulutnya yang penuh darah, Surti meninggalkan prajurit sial itu. Lolongan anjing hutan terdengar melengking nyaring di kejauhan, dari hutan sebelah barat Kadipaten Balasutra.
Malam pun semakin larut. Suasana terasa sunyi dan sepi. Angin menghembus perlahan di kegelapan malam yang mencekam itu.

***

Pada saat yang bersamaan, di tempat persembunyian Nenek Bongkok, Surti asli tengah berusaha mencari jalan keluar dari tempat iblis itu.
Namun selalu gagal. Karena Nenek Bongkok yang menyeramkan itu selalu tahu apa yang akan diperbuat Surti. Akhirnya Surti nekat. Apa pun akibatnya dia harus keluar dari tempat neraka itu. Pada saat Nenek Bongkok sedang semadi, Surti yang berhasil membuka tali pengikat pintu, dengan menahan napas keluar dari kamar yang lebih mirip kurungan itu. Dengan mengendap-endap dia melangkah menuju lubang besar yang merupakan pintu masuk dan keluar tempat itu.
Suasana seram semakin menyelimuti diri Surti yang kini sudah berada di mulut pintu keluar dari ruangan seperti goa itu. Sejenak Surti menoleh ke belakang, melihat apakah Nenek Bongkok masih semadi. Ternyata Nenek Bongkok masih semadi dengan memejamkan kedua matanya. Bagai patung, tak bergerak sedikit pun meski ada nyamuk atau binatang lain yang menggigit bagian tubuhnya.
"Aku harus menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya...," gumam Surti dalam hati. Lalu dia melompat keluar. Wajahnya nampak agak lega begitu berada di luar. Namun mendadak hatinya merasa ngeri dan takut, ketika sadar bahwa di luar gelap gulita. Surti menghela napas panjang dan mengeluh. Ternyata usahanya sia-sia. Dengan perasaan sedih Surti akhirnya berdiam diri di mulut pintu yang mirip goa itu. Badannya melorot lemas hingga terduduk dan bersandar di dinding batu. Isak tangisnya mulai terdengar lirih.
"Hi hi hi..., Cah Ayu! Jangan coba-coba kau pergi dari sini, kalau kau masih ingin lebih lama hidup...!" Terdengar suara Nenek Bongkok yang serak dan mengandung gaib.
Dengan gemetaran istri Senapati Pranggana itu memberanikan diri untuk menoleh. Namun, ternyata Nenek Bongkok masih tetap bersemadi. Surti jadi heran. Siapa tadi yang berbica-ra. Ketika Surti kembali menoleh ke arah suara, tahu-tahu Nenek Bongkok sudah ada di situ.
Bahkan berdiri di dekat Surti yang ketakutan dan gemetaran. Surti coba melirik lagi ke dalam, dan masih terlihat Nenek Bongkok bersemadi.
Jadi siapa orang yang berdiri di dekatnya ini" Rupanya dengan mengerahkan ilmu 'Bala Sewu' yang mampu menjelma jadi seribu Nenek Bongkok mencoba mengecoh Surti. Jadi yang duduk semadi itu adalah jelmaannya, sedang yang berdiri di dekat Surti raga aslinya.
"Rupanya kau ingin mendapat ganjaran dariku..."! Hi hi hi...!" kata Nenek Bongkok. Lalu dengan tongkatnya dia menyodok tubuh Surti untuk menyuruh masuk.
Dengan pasrah Surti melangkah kembali masuk ke ruangan dalam. Hatinya dipenuhi perasaan yang tak karuan.
"Hyang Widhi, lindungi hamba-Mu ini. Beri kami kekuatan dan ketabahan menghadapi cobaan ini. Aku mohon ampunan.... Aku pasrah, semua kuserahkan pada-Mu!" begitu suara hati Surti, ketika berada kembali di dalam kamar yang lebih pantas disebut kurungan. Ukurannya kecil, hingga jika masuk Surti harus membungkuk. Di dalam pun dia terus-menerus duduk, tak bisa berdiri. Sedang di kamar sebelah, ular-ular terus merayap ke sana kemari dengan suara desisan yang mengerikan.
Lalu Nenek Bongkok yang berada di depan Surti menghilang begitu saja. Sedangkan yang tengah bersemadi kini mulai menghela napas dalam-dalam, kemudian mendengus. Matanya yang selalu merah, melirik ke arah Surti. Sementara Surti semakin pucat dan gemetaran, karena merasa akan menerima ganjaran dari si Nenek Bongkok itu. Tiba-tiba kepala Nenek Bongkok terlepas dari tubuhnya. Kepala itu melayang masuk ke tempat Surti yang sedang ketakutan dan menangis. Surti kaget bukan main ketika tahu bahwa kepala si Nenek menempel di tiang tempat tahanan itu. Mulutnya menyeringai lalu tertawa-tawa mengerikan.
"Aaa.... Tolooong...! Aaawww...!" Surti menjerit-jerit histeris melihat kepala yang lehernya terus meneteskan darah. Namun darah itu berwarna kuning serta berbau anyir. Mendadak Surti jadi mual dan muntah-muntah, bahkan kemudian pingsan.
"Hi hi hi...! Itulah ganjarannya, kalau mau melawan kehendakku.... Semestinya aku membunuhmu! Tapi aku ingin Pendekar Gila menyaksikan bagaimana aku menyiksamu. Hi hi hi...! Dan, suamimu saat ini mungkin, sudah mampus oleh perempuan jelmaanku itu...! Hi hi hi...!" suara Nenek Bongkok bergema seperti suara gaib yang mengerikan....
Lalu kepala itu kembali melayang dan menempel di tubuhnya lagi sambil terus terkekehkekeh.

***

Pagi itu Pendekar Gila dan Dogol berada di Desa Kawulan. Pendekar Gila sangat terkejut ketika melihat keadaan desa itu telah menjadi seperti desa mati. Tak seorang pun yang tampak berkeliaran di jalan maupun di depan rumah penduduk. Rumah-rumah dalam keadaan tertutup dan sepi.
"Gol, pasti ada sesuatu yang tidak beres...," kata Sena pada Dogol yang berjalan di sisi kirinya.
"Ya," jawab Dogol pendek. Matanya melirik ke kiri dan kanan. Bibirnya yang tebal bergoyang-goyang seperti orang baca mantera. Namun tak ada suara yang keluar. Rupanya Dogol mulai kedatangan rasa takutnya.
Desa Kawulan sudah porak poranda. Di sana sini tampak berantakan. Prajurit yang kemarin dikirim oleh Senapati Pranggana untuk berjaga-jaga mati semua.
"Siapa yang berbuat kejam seperti ini..."!" gumam Sena lirih, ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan. Mereka tak hanya lelaki, tapi juga anak-anak dan perempuan. Semuanya pucat seperti kehabisan darah.
Belum sempat Sena dapat menemukan jawaban, tiba-tiba....
Zing, zing, zing...! Beberapa anak panah meluncur ke arah Pendekar Gila dan Dogol. Dengan cepat Sena menarik tubuh Dogol untuk menghindar dari anakanak panah itu. Tubuhnya langsung berjumpalitan. Begitu juga yang dilakukan Dogol. Tubuh gendut itu bergulingan beberapa kali. Bersamaan dengan itu Pendekar Gila dengan cepat melancarkan serangan jarak jauh.
Jglarrr...! "Aaa...!" Terdengar teriakan dari seseorang yang bersembunyi di balik pepohonan. Lalu berlompatan lima orang tanpa kepala. Mereka bertelanjang hanya memakai cawat. Tubuh kelima orang itu tampak penuh luka. Sedangkan jari-jemari mereka berkuku panjang. Kelimanya tiba-tiba melesat hendak menerkam Dogol yang berlagak seperti pendekar, dengan memperagakan gerakan jurusjurus silat Sena yang melihat itu membiarkan saja. Dogol yang melihat kelima manusia tanpa kepala itu menyerangnya, terpaksa melawan sebisa-bisanya. Dalam keadaan yang membahayakan jiwanya, Dogol tiba-tiba mendapat bantuan tenaga dan ilmu dari Sena. Tak diduga dia dapat melakukan gerakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'! Seketika dua manusia tak berkepala itu mengerang dan roboh, tapi bangkit lagi. Melihat itu Dogol kemudian kabur, mendekati Pendekar Gila sambil berseru minta tolong. Namun Sena diam saja, bahkan melenting ke atas meninggalkannya. Sena hinggap atas atap rumah penduduk. Terpaksa untuk kedua kalinya Dogol memberanikan diri menghadapi dua manusia tak berkepala itu. Sedangkan tiga lagi menghadapi Sena yang berada di atas atap.
Tahu bahwa lawan kali ini makhluk jejadian, atau mayat, Pendekar Gila segera menggunakan ajian 'Tamparan Sukma'. Sebuah jurus ampuh untuk melawan roh, hantu, dan sebangsanya dengan menggunakan kekuatan sukma.
Gerakan Pendekar Gila nampak lamban, tapi sebenarnya sangat dahsyat Jglarrr...! Ketiga manusia tanpa kepala itu mengerang. Tubuh mereka terbakar lalu jatuh ke bawah. Sena melesat mengejar. Namun seketika ketiga makhluk itu hilang dan yang tampak hanya asap mengepul lalu hilang.
Sementara itu Dogol yang menghadapi kedua manusia tanpa kepala, tampak terdesak. Sena membiarkan walau Dogol sempat berseru minta tolong.
"Edan...! Kakang Sena membiarkan aku.
Celaka, aku harus berbuat sesuatu...!" gumam Dogol dalam hati, sambil terus mengelakkan serangan kedua lawannya dengan berjungkir balik.
Tiba-tiba tubuh Dogol bisa melenting ke atas dan mendarat atap rumah penduduk. Dogol yang tak menyangka dirinya bisa berbuat begitu merasa kaget juga. Lalu tertawa-tawa, sambil membusungkan dada.
"He he he.... Aku bisa melompat, he he he...!" gumamnya dengan tawa terkekeh. Namun Dogol menjadi lupa dan lengah.
Hingga....
"Huaaa...!" Dogol kaget ketika kedua manusia tanpa kepala tahu-tahu sudah ada di kanan dan kirinya, siap untuk menerkamnya. Tanpa pikir panjang lagi, sambil teriak sekuat tenaga, dia hantamkan kepalan tinjunya dengan cepat ke dada kedua lawannya. Pukulan keras dan telak itu membuat kedua manusia tanpa kepala roboh dan jatuh. Dogol kaget sendiri. Dia melihat seluruh tubuhnya sendiri sambil mengerutkan kening, lalu tertawa-tawa begitu melihat lawannya roboh.
Namun kegembiraan Dogol hanya sesaat. Seketika kedua manusia aneh itu melompat kembali hendak menghajar Dogol.
Pada saat itu Sena yang melihat Dogol dalam bahaya, dengan cepat melenting ke udara.
Dan dengan tendangan keras dia menghajar kedua manusia tanpa kepala sambil menyelamatkan Dogol. Dibawanya si Gendut itu menjauh. Sementara kedua manusia tanpa kepala itu terpental dan jatuh ke tanah. Setelah menurunkan Dogol, Pendekar Gila segera mengeluarkan ajian 'Tamparan Sukma'.
"Aaawww...!" Kedua makhluk itu meraung-raung. Tubuh mereka terbakar, lalu menghilang dengan meninggalkan kepulan asap. Sena menghela napas dalam-dalam. Dogol sambil bernapas ngos-ngosan seperti habis lari jauh, memandang dengan perasaan aneh.
"Edan...! Rupanya mereka jin...!" gumam Dogol lirih, lalu terduduk, lemas.
Sena tersenyum-senyum melihat Dogol kelelahan. Kemudian memeriksa keadaan, dia mencari seorang warga yang mungkin masih hidup, untuk diminta keterangan. Siapa yang berbuat keji seperti itu, hingga hampir semua rumah terbakar habis dan penduduk desa mati dengan sangat mengerikan.
Ketika Sena hendak pergi karena merasa tak ada lagi yang bisa ditanya, tiba-tiba terdengar rintihan seseorang. Suara rintihan seorang lelaki.
Cepat Sena menuju arah suara. Ternyata seorang lelaki setengah tua yang lengannya sudah buntung. Dan mata sebelah kirinya sudah tak ada.
Darah terus mengucur dari lubang matanya.
"Ya, Jagad Dewa Batara..."!" seru Sena ketika melihat lelaki malang itu, "Kuatkan hatimu, Ki...! Tahan, tahan, Ki.... Aku akan coba mengo-batimu...," ujar Sena kemudian.
Sena segera mengeluarkan obat dari kantung yang dia simpan di balik ikat pinggangnya.
Lalu memberikan sebutir obat pada lelaki itu.
"Makanlah, Ki. Semoga obatku ini dapat mengurangi rasa saktimu...," kata Sena lagi.
"Dogol...! Cepat kemari...!" serunya memanggil Dogol yang tengah melepas keletihannya.
Dogol yang mendengar panggilan itu segera lari menuju arah Sena.
"Ya, Kakang...!" seru Dogol lirih, begitu melihat keadaan lelaki di hadapannya.
Lalu dia berjongkok di sisi Sena.
"Bantu Bapak ini untuk duduk. Biarkan dia bersandar di tubuhmu...!" kata Sena penuh wibawa. Lalu menggaruk-garuk kepala sambil nyengir menatap lelaki malang itu.
Beberapa saat kemudian lelaki itu mulai nampak segar. Darah yang tadi mengalir telah berhenti. Dan rasa sakitnya telah hilang. Lelaki itu mulai bisa menghela napas lega.
"Terima kasih, Tuan..., terima kasih...!" ka-ta lelaki itu sambil menundukkan kepala beru- lang kali.
"Nama saya Lankuti.... Saya penduduk sini."
"Sudahlah, Ki! Kau sekarang sudah sehat.
Aku hanya ingin tanya, siapa yang berbuat ini...?" tanya Sena dengan sabar.
Sejenak lelaki itu mengingat-ingat kejadian mengerikan beberapa waktu yang baru lalu.
"Makhluk itu mengerikan, wujudnya seperti wanita tua. Tongkatnya dia hantamkan tiga kali di tanah. Tiba-tiba muncul makhluk-makhluk da-ri kubur. Dia membangkitkan mayat-mayat itu dan memerintahkannya untuk membunuh serta membakar rumah penduduk. Mereka mengisap darah manusia...! Mengerikan.... Untung aku dapat menyelamatkan diri, tapi lenganku buntung, kena hantaman tongkat si Perempuan Tua itu...," tutur orang tua itu yang mengaku bernama Lankuti.
"Lantas...?"
"Kemudian mereka begitu saja pergi, lalu menghilang...," lanjut Ki Lankuti, lalu menunduk sedih mengenang peristiwa itu.
"Tak salah dugaanku. Nenek Bongkok itu melampiaskan kemarahannya pada orang-orang tak berdosa. Ini semua gara-gara aku gagal menangkap dan membunuhnya...," gumam Sena dalam hati.
"Apakah kita tinggal di sini, Kakang Sena...?" tanya Dogol.
"Tidak, kita bawa orang ini. Kita cari tempat yang aman. Lalu aku akan ke tempat Nenek Bongkok itu...." Dogol segera membantu Ki Lankuti berdiri, untuk melanjutnya melangkah pergi dari Desa Kawulan yang kini dibumihanguskan itu. Namun bam saja mereka beberapa langkah, mendadak....
"Tuan Pendekar...! Tunggu...!" Terdengar seruan dari seseorang. Sena dan Dogol membalikkan badan, memandang ke arah orang yang berseru tadi. Nampak dua orang berlarian menghampiri Pendekar Gila.
"Oh, kau Paman Sumo..." Bagaimana kau bisa kemari. Ada apa..?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kami sejak kemarin mencari-cari Tuan Pendekar. Keadaan kadipaten penuh keanehan....
satu persatu prajurit pengawal mati secara mengerikan, kehabisan darah. Kami belum dapat menemukan pelakunya. Maka Senapati Pranggana mengutus saya untuk mencari Tuan Pendekar...," tutur Ki Sumo pada Sena.
"Heh..."!" Dogol memekik kaget. Kedua bola matanya membelalak. Demikian juga dengan Ki Lankuti yang lalu menggeleng kepala. Namun Sena nampak tenang, meski sebenarnya dalam hati tersentak mendengar penjelasan Ki Sumo itu.
"Gawat, mungkin si Surti yang ada di kadipaten bukan Surti... Ah, apa mungkin..."!" tanya Sena dalam hati.
"Tuan Pendekar dimohon oleh Senapati Pranggana untuk memecahkan masalah itu. Untung kami menemukan Tuan Pendekar di sini..." kata Ki Sumo dengan nada lemah.
"Aku masih mempunyai tugas yang lebih penting, Paman. Kalau begitu kalian pergi ke kadipaten, awasi terus wanita itu. Dogol, tentunya kau sudah mengerti...," kata Sena.
"Ya, Kakang...," jawab Dogol.
"Wanita" Maksud Tuan Pendekar, wanita yang mana...?" tanya Ki Sumo keheranan.
"Surti...!" jawab Sena singkat.
"Kanjeng Putri?" gumam Ki Sumo sambil mengerutkan kening.
"Sudah, cepat pergi! Jangan sampai dia lolos! Usahakan dia tetap di kadipaten sampai aku datang. Sampaikan pesanku ini juga pada Senapati Pranggana...!" kata Sena dengan suara tegas.
Lalu pergi meninggalkan mereka.
"Aneh, apa maksud Tuan Pendekar itu" Benarkah Kanjeng Surti yang berbuat itu. Kenapa...?" tanya Ki Sumo pada Dogol.
"Nanti Ki Sumo tahu sendiri. Ayo cepat, nanti kita terlambat!" ajak Dogol, kemudian melangkah sambil membopong Ki Lankuti, dibantu oleh prajurit pengawal itu.


֍₪֍¦ 9 ¦֎₪֎

Di tempat persembunyian, Nenek Bongkok tengah tertawa terkekeh-kekeh. Dia tengah memainkan ular-ular dengan tongkatnya. Sebagian ular melilit di tubuhnya. Namun Nenek Bongkok nampak seperti tak merasa ngeri atau takut.
Bahkan seekor ular berbisa, digigit kepalanya, sampai putus lalu dimakan. Kemudian sisanya dilempar ke arah Surti yang berada dalam kurungan. Surti menjerit-jerit. Nenek Bongkok semakin senang.
"Hi hi hi...! Cah Ayu, setelah selesai aku memakan ular-ular ini, aku akan membunuhmu.
Agar aku bertambah muda dan cantik seperti wajahmu. Hi hi hi...! Tenang-tenang saja dulu, ya....
He he he...!" ujar Nenek Bongkok sambil kembali menggigit ular-ular berbisa itu.
Sedangkan ular piton yang panjangnya delapan depa tampak merambat di dinding batu ruangan itu. Lidahnya terus menjulur ke arah Surti.
"Hyang Widhi, lindungi aku...! Beri aku kesempatan untuk tetap hidup.... Tolooong hambaMu ini... oh...," begitulah keluhan Surti yang semakin nampak pucat dan pasrah.
Tubuhnya te- rus gemetaran. Menggigil menahan takut.
Di luar, sesosok bayangan berkelebat lalu melenting ke udara dan mendarat dengan ringannya. Seorang pemuda tampan berambut ikal dengan pakaian rompi kulit ular. Sejenak mata pemuda itu menyelidik ke sekeliling tempat yang sunyi, sepi itu.
Sementara matahari sudah mulai condong ke barat. Sinarnya tampak kuning kemerahan menembus dedaunan di Lembah Seribu Iblis. Pemuda itu menelengkan kepala memasang telinga, lalu melompat mendekati sebuah lubang besar yang menyerupai goa.
Lubang itu ditutupi akar-akar serta pepohonan rambat. Pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Pendekar Gila segera menyusup ke dalam. Dan sekejap dia sudah berada dalam sebuah tempat yang pengap mirip goa itu.
Nenek Bongkok masih sibuk memakani ular-ular piaraannya. Wajahnya yang sudah keriput dan seram itu semakin menakutkan. Pipi dan mulutnya yang berlumuran darah, dibiarkan begitu saja. Lalu dia duduk bersila menghadapi Surti yang sebentar-sebentar melirik ke arahnya. Surti tak tahan dengan bau amis yang menyengat itu, ketika Nenek Bongkok melemparkan daging ular ke dekatnya. Apalagi ketika dilempari seekor ular yang sudah mati, tapi masih ada kepalanya. Surti menjerit-jerit histeris.
Pendekar Gila kini sudah dapat melihat ke ruangan tempat Nenek Bongkok yang masih asyik memakan ular-ular itu. Ketika Sena hendak memasuki ruangan, tiba-tiba seekor ular hampir terinjak kakinya. Sena cepat menghindar, sambil melompat ringan.
Nenek Bongkok sudah banyak memakan ular peliharaannya. Lalu dia mengambil cawan berisi arak bercampur darah. Ditenggaknya cairan berwarna merah itu, lalu menepuk-nepuk perutnya yang kekenyangan.
Pada saat itu Pendekar Gila menggunakan kesempatan untuk menghantarkan pukulan jarak jauh yang dahsyat ke arah Nenek Bongkok.
Wuttt! Glarrr! "Ekkkh...!" Nenek Bongkok memekik pendek. Seketika itu juga dia melancarkan serangan dengan melempar tongkatnya. Tongkat meluncur ke arah sasaran. Namun Pendekar Gila dengan tangkas menangkis, bahkan berhasil menangkap tongkat itu.
Kemudian dengan gerakan cepat pula pemuda itu melompat mendekati tempat Surti ditahan. Dibukanya pintu ruangan tahanan itu.
Surti kaget melihat kedatangan Pendekar Gila. Wanita itu seakan mendapat semangat baru dan keberanian begitu melihat Sena.
"Bawa tongkat ini! Dia tak akan berani mendekatimu, karena tongkat ini akan bisa memusnahkan dirinya. Cepat lari...!" perintah Sena sambil terus melancarkan serangan ke arah Nenek Bongkok dengan pukulan jarak jauh yang mengandung hawa panas dan dapat menghancurkan apa saja.
Jglrrr! Serangan Pendekar Gila dapat dielakkan oleh Nenek Bongkok. Angin pukulan itu menghantam dinding batu hingga hancur berantakan.
"Kurang ajar! Bocah edan, mampus kau! Hih...!" Nenek Bongkok mengeluarkan serbuk be-racun dari kuku-kukunya yang runcing dan panjang. Serbuk berwarna ungu itu menebarkan bau busuk. Pendekar Gila yang sudah melenting ke arah pintu keluar, segera melancarkan pukulan 'Inti Brahma'. Seketika tangan kanan yang dihentakkan mengeluarkan bola-bola api, menghajar Nenek Bongkok itu. Salah satunya mengenai tubuh si Nenek. Bersamaan dengan itu Pendekar Gila melompat keluar, menghampiri Surti yang menunggu.
"Sebaiknya kau cepat ke kadipaten, mereka memerlukan bantuanmu. Jaga tongkat itu. Biar aku menghadapi perempuan terkutuk itu. Cepat..,!" perintah Sena.
"Terima kasih, Tuan Pendekar.,.. Jasamu tak akan kulupakan...," kata Surti lalu melesat pergi. Kemudian Pendekar Gila sengaja memancing Nenek Bongkok agar mengejar dirinya.
"Nenek, Nenek Bau Busuk, keluar! Ayo, tangkap aku! Riwayatmu tak akan lama lagi...!" seru Pendekar Gila. Sementara itu Surti berlari kencang, bagaikan seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu cukup tinggi. Entah dari mana Surti mendapat keberanian dan lari cepat itu. Mungkin juga karena saat ini dirinya menguasai tongkat sakti Nenek Bongkok. Ternyata benar. Siapa saja yang menguasai tongkat berkepala tengkorak itu akan timbul dalam dirinya kekuatan dan keberanian.
"Aku harus secepatnya sampai di kadipaten. Perasaanku tak enak. Mudah-mudahan saja Pendekar Gila mampu mengatasi si Nenek Keparat itu!" kata Surti dalam hati.
Dia terus melesat cepat melompati tebing, menyeberangi sungai dan melintasi hutan jati.
Namun larinya mendadak terhenti, ketika Surti melihat sosok orang merangkak-rangkak mencoba bangun.
"Hah..."!" gumam Surti, lalu mendekati sosok itu. Ternyata seorang wanita setengah baya. Wanita itu merangkak berusaha bangun, tapi terjatuh. Surti semakin dekat dan jongkok.
"Ibuuu..."!" pekik Surti ketika mengetahui bahwa perempuan itu ternyata ibunya, Nyi Kuntari. Wajahnya tampak pucat dan lusuh.
"Ibuuu..,. Kenapa bisa jadi begini, Bu,,.?" tanya Surti sambil memeluk erat Nyi Kuntari.
"Su.,,. Surti, perempuan tua itu iblis, Nak! Suamimu tentu dalam bahaya.... Ada perempuan mirip kau di kadipaten... dia... dia... ukh...!" suara Nyi Kuntari serak dan terputus-putus.
"Kurang ajar...! Rupanya nenek edan itu benar-benar ingin menghancurkan keluargaku dan kadipaten....!" gumam Surti geram.
"Ibu tak kuat lagi, Surti.... Pergilah, biar Ibu di sini, Nak...," kata Nyi Kuntari dengan suara lemah.
"Tidak.... Ibu harus ikut aku, agar Ibu melihat aku membunuh perempuan jejadian itu...," jawab Surti dengan geram.
Lalu Surti menuntun Nyi Kuntari meninggalkan tempat itu dengan berbagai perasaan.
Dendam, marah, dan sedih bercampur di hatinya, Bagai mendapat kekuatan dari luar, Surti bisa berjalan dengan cepat sambil membawa ibunya.
Di kadipaten, Ki Sumo, Dogol, dan Ki Lankuti kini sudah memasuki pendopo. Mereka berpura-pura seakan tak mengetahui masalah. Namun ketiga orang itu telah siap dan mempunyai rencana.
"Kau masuk ke sana, periksa apa Senapati Pranggana ada di kamarnya... Biar aku berjaga di sini! Dan Ki Lankuti, tolong jaga pintu sebelah sana...," kata Ki Sumo lirih sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.
Dogol segera mengendap-endap memasuki lorong yang menuju kamar Senapati Pranggana.
Lalu hilang dari pandangan Ki Sumo. Sementara Ki Lankuti sudah bersembunyi di balik pilar, menjaga di situ. Walaupun lengan kirinya telah buntung, Ki Lankuti nampak tegar. Hal itu karena pengaruh obat dari Pendekar Gila. Tangan kanannya menggenggam sebilah golok panjang. Siap menghajar lawan.
Suasana sunyi dan sepi di pendopo, sehingga terasa mencekam dan mencemaskan mereka.
"Aneh, ke mana para prajurit..." Apa mereka ada di ruang belakang..."!" tanya Ki Sumo dalam hati.
Sementara Dogol kini sudah sampai di pintu kamar Senapati Pranggana. Dengan hati-hati Dogol melongok ke dalam, setelah melihat pintu kamar terbuka sedikit. Erat-erat tangan kanannya menggenggam sebilah golok.
Di dalam kamar dilihatnya seorang perempuan dengan buas menjilati tubuh Senapati Pranggana. Lidahnya panjang dan bercabang, bagai lidah ular! Dogol terbelalak kaget, ketika tahu bahwa itu Surti jelmaan.
Senapati Pranggana tak bergerak sama sekali.
"Apakah Senapati Pranggana sudah mati..."! Ah...!" gumam Dogol dalam ha-ti.
Lalu Dogol melongok lagi ke dalam. Namun wanita itu sudah tidak ada di dalam kamar.
Hanya Senapati Pranggana yang masih telentang tidur di atas ranjangnya. Baru saja Dogol ingin melangkah masuk, tiba-tiba....
Plak plak! "Aaawww...!" Dogol memekik kesakitan karena kena sebuah tepakan dari belakang. Tubuhnya yang gendut terguling. Dogol segera bangkit dan ternyata Surti jelmaan sudah berdiri di hadapannya. Mulutnya yang berlumuran darah segar menyeringai menyeramkan. Matanya yang semula sayu indah, perlahan-lahan berubah menakutkan.
"Kurang ajar...! Perempuan iblis...! Heaaa...!" Dogol dengan gerakan cepat seperti layaknya gerakan Pendekar Gila membabatkan golok ke tubuh Surti. Namun Surti jelmaan Nenek Bongkok itu tak menghindar sedikit pun.
Cras! Cras! Golok Dogol membabat tubuh wanita itu dua kali. Namun anehnya tubuh itu tak mengalami luka atau putus. Hanya tergores, lalu goresan itu hilang. Dogol kaget. Bibirnya yang agak tebal semakin dower. Matanya melotot, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Hi hi hi.... Kau manusia goblok! Sekarang terimalah ini...!" Dengan gerakan yang sulit diikuti mata, tiba-tiba tamparan Surti jelmaan sudah mendarat di pipi Dogol. Lelaki gendut itu terpental jatuh di ranjang tempat Senapati Pranggana tidur. Dogol meringis. Dia sempat melirik ke arah Senapati Pranggana yang tidur. Dan alangkah kagetnya Dogol ketika melihat Senapati Pranggana sudah mati. Lehernya terluka bekas gigitan.
"Wajah, walahhh..."! Celaka...! Aku harus bisa lolos dari sini!" gumam Dogol lirih. Lalu dengan pura-pura hendak menyerang, dia membuka gerakan aneh dan lucu. Kemudian sambil berteriak, dia bukannya menyerang melainkan melompat ke arah jendela Brakkk...! Dogol berhasil menjebol jendela dan lolos.
Suara keras itu terdengar oleh Ki Sumo dan Ki Lankuti. Disusul terdengar bentakan seorang wanita yang mengejutkan Ki Sumo. Cepat dia melompat memasuki lorong. Namun baru sekejap, tubuhnya tahu-tahu sudah terpental dan jatuh tersungkur ke lantai.
Surti jelmaan dengan wajah bengis dan mata bagai mata iblis menyeringai. Lalu melancarkan serangan gencar ke arah Ki Sumo yang masih telentang di lantai. Namun Ki Lankuti cepat melompat mencoba menghalangi, dengan memapaki serangan dahsyat Surti jelmaan.
Plak! Plak! Krek..! "Aaa...!" Ki Lankuti menemui ajalnya. Surti jelmaan setelah menghantam dua kali dengan pukulan, lalu mematahkan leher lelaki bertangan buntung itu. Lalu mengisap darahnya. Ki Sumo segera menggunakan kesempatan itu. Dengan gerakan cepat Ki Sumo melompat sambil mengayunkan pedangnya membabat kepala Surti jelmaan yang sedang mengisap darah Ki Lankuti.
Cras, cras! "Aekh!" Surti jelmaan memekik pendek.
Seketika itu kepalanya putus dan jatuh ke lantai.
Namun sekejap kemudian melayang, dan menempel kembali di tubuhnya sambil tertawa-tawa.
"Hi hi hi,..! Manusia bodoh kalian ini.... Kalian akan mati semuanya, sebelum Pendekar Gila datang...!" serunya dengan suara lantang.
"Edan...! Gusti..., kutuklah wanita iblis ini! Beri aku kekuatan untuk menghadapinya...!" gumam Ki Sumo lirih, sambil terus menatap Surti jelmaan tak berkedip.
Pada saat itu Dogol yang meringis merasakan sakit di pinggangnya, diam-diam melangkah mendekat. Lalu bersembunyi di balik tiang pendopo. Ki Sumo melihatnya. Dogol cepat memberi isyarat dengan gerakan tangan agar Ki Sumo memancing wanita itu keluar. Ki Sumo mengerti, maka segera kembali membuka jurus dan menyerang Surti jelmaan.
"Heaaa...!" Surti jelmaan berusaha memapaki serangan itu. Dengan cepat Ki Sumo mengurungkan babatan pedangnya. Dan pada saat itu Dogol melompat dan dengan cepat menusukkan goloknya ke tubuh Surti jelmaan.
Jlep!"Ukh!" Surti jelmaan hanya memekik pendek, lalu dengan cepat tangan kirinya menghajar Dogol, Namun Dogol mengelak dengan merundukkan kepala, sambil mencabut goloknya yang menancap di tubuh wanita iblis itu. Tubuh wanita itu tak berdarah atau terluka.
Ketika melihat Dogol dan Ki Sumo berlari keluar, dengan geram Surti jelmaan mengejar mereka. Mulutnya meraung-raung keras bagaikan harimau. Sementara Ki Sumo dan Dogol telah bersiap-siap menghadapinya.
"Kita permainkan dia sedapat mungkin, sambil menunggu Tuan Pendekar datang...," bisik Ki Sumo dan Dogol "He he he.... Rencana yang bagus. Aku setuju, Tapi.,." Bagaimana kalau salah satu dari ki-ta mati duluan" Aku ngeri.
Belum mau mati," ujar Dogol lirih dengan nada sedih. Bibirnya tambah dower.
"Ah.... Mati dan nasib manusia Hyang Widhi yang menentukan, Gol...," sahut Ki Sumo mencoba memberi sedikit keyakinan pada Dogol.
"Iya, ya.... Kalau sekarang tidak mati, nanti juga mampus...!" gumam Dogol seperti bicara pada diri sendiri.
Pada saat itu Surti palsu sudah muncul.
Sepasang matanya menyorot tajam dan bagai mengandung gaib. Dogol dan Ki Sumo tampak melongo, seperti terkena pengaruh sorot mata itu.

***

"Sekarang kau manusia-manusia jelek, akan kukirim ke akherat...!" seru Surti jelmaan dengan geram. Lalu dia melompat hendak menerkam Ki Sumo dan Dogol.
"Heeettt...!"
"Hah..."!" Ki Sumo dan Dogol membelalak kaget, melihat gigi taring wanita itu seketika menyeringai.
Lidahnya yang menjulur panjang bercabang di ujungnya, seperti lidah ular! Dogol dan Ki Sumo berusaha menghindar, tapi wanita jelmaan itu lebih cepat "Aaa...!" Ki Sumo dan Dogol menjerit kesakitan, ketika terkena cakaran wanita iblis itu. Seketika kedua orang itu terhuyung-huyung melintir sambil mengerang dan memegangi wajahnya masing-masing. Mereka merasakan perih dan panas di bekas cakaran itu.
"Perih... panas...!" seru Ki Sumo.
Sedangkan Dogol hanya mengaduh-aduh sambil memegangi pipi sebelah kirinya yang tergores cakaran Surti palsu itu.
"Hi hi hi...! Kalian akan segera mampus! Terimalah ini...!" seru Surti jelmaan. Lalu dengan gerakan aneh wanita itu mendekati keduanya.
Ketika wanita itu hendak menerkam Dogol dan Ki Sumo dari luar, muncul Surti dan Nyi Kuntari. Tanpa basa-basi lagi Surti asli melompat dan melenting di udara sambil mengarahkan tongkat ke arah Surti jelmaan yang hendak menghabisi Dogol dan Ki Sumo.
Suara teriakan nyaring mengejutkan Surti jelmaan. Dia cepat menoleh ke arah Surti yang masih di udara. Dogol dan Ki Sumo pun terkejut, lalu menghindar. Sedangkan Surti jelmaan tak sempat mengelakkan serangan Surti asli yang begitu cepat Jlep...! Tongkat itu menembus dada wanita yang mirip Surti. Dan secepat itu pula Surti kembali mencabut tongkatnya.
"Aaakh...! Ukh...!" wanita jelmaan itu mengerang. Matanya melotot bagai mau keluar dari kelopaknya. Lidahnya menjulur panjang.
Surti yang sudah seperti orang kemasukan setan, tak puas sampai di situ saja. Dengan gerakan cepat dia menghantamkan ujung tongkat berkepala tengkorak itu ke kepala wanita jelmaan yang mirip dirinya.
Prak! "Aaa...!" kembali lengkingan keras terdengar dari mulut wanita jelmaan itu.
Tubuhnya ro- boh ke tanah dan seketika itu hancur berkepingkeping. Tak ada setetes pun darah yang keluar.
Hanya lendir-lendir berwarna kuning yang menjijikkan. Ki Sumo dan Dogol melongo sambil menggeleng-gelengkan kepala keheranan.
"Sungguh, seumur hidupku baru kini melihat kejadian yang mengerikan ini. Hi hi hi....'" gumam Dogol sambil bergidik.
Kepingan-kepingan daging itu pula lalu jadi abu. Selanjutnya berubah asap dan mengepul ke udara. Surti menghela napas lega. Nyi Kuntari, ibunya Surti dengan wajah masih pucat mendekati anaknya. Surti memeluk sang Ibu, begitu tahu Nyi Kuntari ada di sisinya. Matanya berkacakaca. Ki Sumo dan Dogol mendekati sambil memegangi luka di pipi mereka. Dengan wajah sedih, Ki Sumo memberitahu pada Surti tentang Senapati Pranggana.
"Kanjeng Surti, kami mohon maaf..., kami tidak dapat menyelamatkan Kanjeng Senapati Pranggana.... Wanita iblis itu telah mendahului kita, membunuh Senapati Pranggana...." Surti sudah tak bisa menangis lagi, karena sudah merasakan sejak Pendekar Gila menyuruhnya segera ke kadipaten. Hanya nampak sorot matanya yang penuh kedukaan. Serta kepedihan yang hebat.
"Kenapa semuanya berakhir begini..." Kenapa tidak aku saja yang mati" Oh, Gusti, bagaimana nasibku..."!" Surti masih dalam keadaan yang tidak menentu. Dia berdiri mematung, memandang kosong jauh ke depan. Lalu tiba-tiba dia berseru, "Anakku..."! Anakku..." Apakah dia selamat.., apakah dia selamat"! Oh, Anakku...!" Surti berlari seperti orang kesurupan, diikuti Ki Sumo dan Nyi Kuntari.
"Anakku...!" teriak Surti terus berlari menuju kamarnya.
Surti mendobrak, pintu kamar yang terkunci. Lalu segera dia memasuki kamar pribadinya. Dengan cepat dia menuju tempat tidur bayi. Di sana dia melihat anaknya sedang tidur pulas.
"Anakku...?" suaranya lirih, "Apakah dia tidur atau mati..." Ah, tidak.
Anakku masih hidup...," lanjutnya lalu mengangkat sang Bayi.
Ternyata anak itu memang masih hidup.
Surti yang tadi seperti orang gila, seketika wajahnya berubah cerah kembali.
Diciuminya sang Anak berulang-ulang. Pada saat itu muncul Ki Sumo, Dogol, dan Nyi Kuntari.
"Surti...," tegur ibunya lembut, Surti membalik dan tersenyum lebar.
"Ibu.... Ternyata Yang Maha Kuasa masih melindungi anak yang tak berdosa ini. Oh terima kasih, Gusti, terima kasih.... Kau telah menyelamatkan anakku, sebagai ganti suamiku...," ucap Surti sambil menengadah, seakan dia bicara pada Yang Maha Kuasa di atas sana.
"Ibu, sebaiknya aku melihat suamiku dulu...," kata Surti lagi, lalu segera pergi menuju kamar Senapati Pranggana, yang juga kamarnya.
Dogol dan Ki Sumo mengikutinya. Sedangkan Nyi Kuntari menggendong anak Surti menunggu di kamar itu.
"Oh, Kakang Mas..., Kakang Pranggana.
Maafkan aku, Kakang...! Aku ingin ikut denganmu, Kakang... aku tak bisa hidup tanpamu, Kakang Pranggana...," isak Surti sambil memeluk mayat suaminya yang pucat kehabisan darah itu.
Lalu diam-diam Surd mengambil keris yang tergeletak di dekat tempat tidur. Dan cepat dia mengangkat keris itu untuk bunuh diri.
Namun, dengan cepat Ki Sumo yang melihat itu melompat dan menubruk tubuh Surti. Sedangkan Dogol cepat bergerak merebut keris di tangan Surti.
"Kanjeng Putri! Ingat, nyebut, Kanjeng Surti...! Bukankah Hyang Widhi sudah memberikan keselamatan pada anak Kanjeng Surti" Ingat, sadarlah...! Bunuh diri tidak bisa menghilangkan semua yang telah terjadi. Hyang Widhi akan marah jika Kanjeng Surti melakukan itu. Bunuh diri itu dosa...!" tutur Ki Sumo dengan tegas, dan tetap menahan Surti.
Surti berangsur-angsur sadar dan menjadi lemah, lalu terduduk di kursi dekat pembaringan.
Pada saat itu Nyi Kuntari muncul dengan menggendong anak Surti. Wajah wanita setengah baya itu nampak memelas, Surti bangkit dan menghambur ke ibunya, lalu memeluk dengan tangis kesedihan yang mengharukan.
Melihat hal itu Dogol dan Ki Sumo pun merasa terharu.
"Sudahlah Surti, semua ini kehendak Yang Maha Kuasa.... Terimalah dengan hati lapang.
Kau harus ingat, sudah banyak prajurit, pengawal, dan bahkan Rah Jati yang setia pun telah menjadi korban orang jahat itu.... Ilmu sihir itu harus segera dimusnahkan...
Semoga Hyang Widhi melindungi dan memberikan kekuatan pada Pendekar Gila yang sedang menghadapi Nenek Keparat itu...," ujar Nyi Kuntari.
Surti kemudian menghela napas panjang, setelah melepas pelukannya. Ditatapnya sang Ibu dengan mata sayu. Kemudian beralih ke Dogol dan Ki Sumo.
"Terima kasih, Ki Sumo, dan juga kau Dogol. Tanpa kalian mungkin semuanya lebih buruk. Tapi aku harus membunuh Nenek Bongkok dengan tongkat ini. Senjata makan tuan...," kata Surti dengan tegas.
"Surti..., bukankah Pendekar Gila sudah berjanji akan menumpas nenek iblis itu" Sudahlah, tunggu saja di sini! Pendekar Gila pasti dapat melenyapkan perempuan busuk itu...," kata ibunya membujuk Surti agar mau mengerti. Namun Surti sudah murka terhadap Nenek Bongkok yang telah menyiksa batinnya.
"Aku dapat mengerti, Ibu mengkhawatirkan jiwaku. Tapi, Bu. Aku harus membantu Pendekar Gila sekaligus membalas sakit hatiku.... Maaf, Bu! Aku hanya mohon doamu. Dan kumohon Ki Sumo dan Dogol, tolong urus suamiku! Aku akan segera kembali dengan kemenangan!" Selesai berkata begitu, Surti melesat pergi.
Nyi Kuntari, Ki Sumo, dan Dogol tak bisa mencegahnya lagi. Mereka hanya dapat memandangi kepergian Surti yang menyimpan dendam itu.


֍₪֍¦ 10 ¦֎₪֎

Des! Krak! "Edan!" pekik Nenek Bongkok dengan mata melotot kaget sambil melompat ke belakang. Tulang tangannya terasa sangat nyeri dan panas bagai terbakar, akibat benturan dengan tangan Pendekar Gila. Padahal, dia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Nenek Bongkok itu meringis, lalu menyeringai bengis.
"Bangsat...! Kau pikir kau sudah merasa menang, Anak Edan..."!" bentak Nenek Bongkok dengan kemarahan meluap-luap karena merasa dipecundangi. Kini Nenek Bongkok mengerahkan segenap kemampuannya untuk dapat segera menjatuhkan Pendekar Gila, sambil menyatukan kedua telapak tangan perempuan tua itu berteriak keras.
"Hiaaa...!" Seketika telapak tangan yang beradu itu berasap, lalu berubah menjadi api membara. Kemudian diiringi teriakan Nenek Bongkok merentangkan kedua tangan ke samping, lalu cepat menghentakkan ke depan sambil menggeser kaki kiri dan kanan ke depan. Sehingga kedua kakinya mengangkang. Melihat Nenek Bongkok mengeluarkan ilmu sihirnya, Pendekar Gila nampak tenang-tenang saja. Matanya tak berkedip menatap kedua tangan lawan yang terus bergerak cepat. Lalu dengan berteriak keras, Nenek Bongkok menghentakkan tangan kanan dan kirinya yang berapi itu ke arah Pendekar Gila.
"Heaaat..!" Glarrr...! Hantaman Nenek Bongkok yang diarahkan ke Pendekar Gila meleset. Karena pemuda itu mengelak dengan melompat ke samping. Lalu dengan cepat tubuhnya bangkit Namun, Nenek Bongkok tak memberikan kesempatan sedikit pun pada lawan untuk bisa melancarkan serangan balik.
Dia terus mencecar, membuat Pendekar Gila harus melenting di udara dan bersalto beberapa kali untuk menyelamatkan diri.
"Edan, Nenek Busuk ini! Bisa modar aku kalau begini terus," gumam Sena sambil terus melenting. Akhirnya Pendekar Gila sempat juga melancarkan serangan balik asal-asalan, untuk mencari peluang dan memancing kemarahan lawan.
"He he he...! Nenek Busuk, aku yakin bahwa kau tak bisa menangkapku.
Apalagi membu- nuhku!" kata Pendekar Gila sengaja mengejek Nenek Bongkok yang semakin murka itu.Nenek Bongkok tampak semakin marah.
Matanya yang selalu merah bertambah merah, bagai api membara.
"Kali ini kau tidak akan bisa mengelak lagi, Pemuda Edan! Kau akan mampus...!" bentak Nenek Bongkok. Dengan mendengus keras, dia menepukkan telapak tangan tiga kali, lalu menginjak tanah tiga kali pula. Dan seketika itu juga bermunculan lima sosok mayat hidup dari dalam tanah. Wajah mereka sangat mengerikan. Kemudian disusul dengan ular-ular berbisa yang bermacam-macam jenisnya. Ular-ular keluar dari mulut si Nenek Bongkok.
Melihat itu Pendekar Gila sempat kaget juga. Lalu dia mengambil napas dalam-dalam mengumpulkan tenaga dalamnya. Dengan cepat disatukan tangannya, lalu direntang ke atas untuk mengerahkan tenaga 'Inti Bayu' ke seluruh persendian. Kemudian tangan ditarik ke bawah, diletakkan di pinggang.
Dengan cepat dihentakkan kedua tangannya yang menggenggam. Seketika menderu angin kencang laksana prahara yang mampu menerbangkan batu sebesar gajah. Kontan mayat-mayat hidup dan ular-ular itu tertiup angin hingga melayang di udara lalu jatuh setelah menerjang pepohonan dan bebatuan.
Nenek Bongkok kaget tapi tak putus asa.
Dengan cepat dia kembali mengeluarkan ilmu sihirnya. Dengan berteriak keras bagai memecah bumi, mulut nenek itu menjadi lebar sekali, bagai karet yang melar.
Dan dari dalam mulut itu keluar lima sosok makhluk menyeramkan sebesar bayi. Makhluk-makhluk bergigi runcing dan bertaring itu memiliki kepala menyerupai buaya. Kulitnya bersisik keras berwarna kehijauan. Mereka melompat menerkam Pendekar Gila, lalu menggigit tubuh pemuda itu yang sempat lengah karena tak menyangka kalau Nenek Bongkok akan melancarkan serangan ilmu sihirnya.
Pendekar Gila kewalahan. Dia coba menepis dan melemparkan makhluk-makhluk aneh dan mengerikan itu. Namun mereka selalu kembali dan lebih ganas menggigiti, hingga tubuh Se-na pun terluka.
"Hi hi hi....! Kau sebentar lagi akan mati, Pemuda Edan. Tak ada lagi yang bisa menghalangi maksudku, kalau kau mati. Hi hi hi!" suara Nenek Bongkok itu menggema. Pendekar Gila masih terus berusaha mengatasi amukan ganas makhluk-makhluk itu. Dan kini satu dari lima makhluk itu dapat dicengkeramnya. Lalu ditusuknya kedua mata makhluk dengan jari tangan. Seketika makhluk itu mengerang lalu mati.
Namun tubuh Pendekar Gila mulai melemah, karena gigitan makhluk itu mengandung racun. Akhirnya Pendekar Gila roboh ke tanah.
Namun pada saat itu Surti muncul. Dia berdiri di atas gundukan tanah tak jauh dari tempat kejadian itu.
Melihat Pendekar Gila dalam keadaan bahaya, Surti berteriak keras mengalihkan perhatian Nenek Bongkok. Maksudnya agar Pendekar Gila mendapat kesempatan untuk memulihkan tenaga dalam dan mengeluarkan ajian-ajiannya.
"Hei, Nenek Busuk, Jelek Bongkok...! Kalau kau ingin tongkat ini utuh, kemarilah! Ayo, lawan aku...! Ha ha ha..... Kau akan mampus jika tongkatmu ini aku patah-patahkan seperti mematahkan tulang-tulang ragamu! Aku tahu rahasia kekuatanmu, Nenek Busuk! Tengkorak ini adalah kepalamu, bukan..."! Aku akan menghancurkan tengkorak ini.... Ha ha ha...!" Nenek Bongkok yang mendengar ancaman Surti menjadi cemas dan bingung. Kepalanya menggeleng-geleng keras tak henti-hentinya.
Pada saat itu Pendekar Gila masih bertarung dengan empat makhluk aneh. Darah di lengan dan dadanya semakin banyak akibat gigitan makhluk-makhluk berkepala mirip buaya itu.
"Kurang ajar...! Kau akan kukirim ke akherat bersama pemuda edan itu...!" sungut Nenek Bongkok sangat marah. Lalu segera terbang ke arah Surti. Surti pun cepat melompat kabur memancing Nenek Bongkok agar jauh dari Pendekar Gila.
"Bangsat! Jangan lari kau... grrr...!" Nenek Bongkok menggereng seperti harimau dan terus mengejar Surti Sementara itu Pendekar Gila mulai dapat mengumpulkan tenaga dalamnya. Karena perhatian Nenek Bongkok terpecah jadi dua, maka kesaktian ilmu sihirnya pun menjadi mentah. Sena tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia segera mengerahkan ajian 'Inti Brahma'. Makhlukmakhluk itu dilemparkan, lalu dihantamnya dengan ajian 'Inti Brahma' yang mengeluarkan bolabola api.
"Aaawww.... Grrr...!" makhluk-makhluk itu meraung-raung ketika tubuh mereka terbakar la-lu berubah menjadi abu. Setelah itu Pendekar Gila segera mencari Surti yang menghadapi Nenek Bongkok.
"Aku harus segera dapat membantu Surti.
Kalau tidak dia akan menjadi korban si Nenek Iblis itu...!" gumam Sena.
Nenek Bongkok ternyata bertarung seru dengan Surti. Istri senapati itu menyingsing kainnya ke atas dan mengikat dengan kembennya. Hingga jika Surti menendang atau mengangkat kakinya, kedua pahanya yang mulus tersingkap.
"Heit..!"
"Grrr..!" Nenek Bongkok rupanya merasa takut juga mendekati Surti. Dia tak berani bertindak sembarangan, karena bisa-bisa tongkat itu akan memakan dirinya sendiri. Dan Surti tahu itu, maka dengan sengaja mencecar Nenek Bongkok, agar tak sempat melancarkan jurus atau ilmu-ilmu sihirnya.
"Kau akan mati dengan tongkatmu sendiri, Nenek Jelek, Busuk!" seru Surti sambil terus mencecar si Nenek Bongkok.
Namun pada saat yang tepat, Nenek Bongkok akhirnya dapat memukul punggung Surti yang membungkuk mengelakkan tendangan tipuannya.
"Aaakh...!" Surti memelok dan terhuyung-huyung.
Tongkat di tangan kanannya terlepas melayang di udara. Nenek Bongkok melompat hendak menyambut tongkatnya. Namun, Sena lebih cepat menyambar tongkat itu. Lalu memukulkan ke arah dada Nenek Bongkok yang sama-sama masih di udara dengan Pendekar Gila.
Nenek Bongkok menjerit nyaring. Tubuhnya jatuh dengan keras, membentur batu cadas.
Namun anehnya, tak ada luka di tubuhnya. Apalagi kesakitan. Hanya saja dirasakan dadanya sesak dan sukar bernapas, setelah terhantam tongkat di tangan Pendekar Gila.
Pendekar Gila mendarat dengan ringan sambil tetap memegang tongkat itu. Ditatapnya si Nenek yang masih mengerang memegangi dada.
Lendir-lendir berwarna kuning keluar dari mulutnya.
"Apakah kau ingin tobat atau...?" tanya Se-na.
"Tidak..., aku tak pernah menyerah! He he he...!" sahut Nenek Bongkok.
Surti bangkit dan mendekati Pendekar Gila.
"Sebaiknya cepat kita bunuh nenek busuk itu, Tuan Pendekar...!" kata Surti sinis.
"Sabar...! Kita tak boleh membunuh lawan yang sedang terluka...," kata Sena mengingatkan Surti.
"Tapi...." Belum sempat Surti melanjutkan ucapannya, tiba-tiba Nenek Bongkok itu melompat menerkam Pendekar Gila. Dan lidahnya yang menjulur panjang lalu mengeras bagai pisau tajam, hendak menusuk dada Sena. Dengan cepat Surti merebut tongkat di tangan Pendekar Gila yang sengaja merobohkan badan, agar Surti lebih mudah menusuk punggung Nenek Bongkok yang menindihnya. Sementara Pendekar Gila dan Nenek Bongkok saling bergumul, Surti dengan menahan dendamnya menunggu saat yang tepat. Pendekar Gila dalam keadaan gawat sekali. Lidah nenek yang kini berubah seperti pisau itu sedikit lagi akan menembus dadanya.
"Kau sebentar lagi melayang ke akherat, Pemuda Edan...!" Suara Nenek Bongkok terdengar serak dan seperti mengandung gaib. Rupanya dia lupa dengan Surti. Di saat Nenek Bongkok sibuk beradu tenaga dengan Pendekar Gila, Surti dengan geram dan murka mengangkat tongkat tinggi-tinggi. Lalu dihujamkannya ke punggung yang bongkok itu dengan keras sekali, hingga menancap sepertiga panjang tongkat itu.
Jlep! "Aaa...! Grrr...!" Nenek Bongkok menjerit nyaring menyakitkan telinga. Lalu bergerak bangun. Pada saat itu Pendekar Gila melompat mundur. Lalu dengan ajian 'Tamparan Sukma' dihantamnya Nenek Bongkok.
Jglarrr...! "Aaa...!" Hanya suara jeritan yang terdengar memecah kesunyian tempat itu. Tongkat itu menancap di tanah. Dan dari situ asap ungu mengepul ke udara. Surti menghela napas lega, lalu menyeka keringat di keningnya. Kemudian dia terduduk lemas. Pendekar Gila tercenung sejenak, lalu menoleh ke arah Surti yang masih menundukkan kepala. Sena menghampirinya, lalu berjongkok.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan jiwaku. Aku tak akan lupakan itu. Aku menyesal dan merasa bersalah, karena tidak dapat melindungi Senapati Pranggana...," kata Sena, tegas.
"Aku mengerti. Kau tidak bersalah, Tuan Pendekar. Semua ini kehendak Yang Maha Kuasa.
Aku bisa menerima kenyataan ini, walaupun hatiku sangat sedih. Dan aku puas karena dapat memusnahkan Nenek Bongkok yang jahat itu.
Arwah suamiku tentunya akan tenang di alam sana...," suara Surti begitu lembut, menyentuh hati Sena.
Sejenak keduanya diam. Suasana pun seketika berubah sunyi dan sepi. Di atas, langit senja hari tampak terang benderang. Awan hitam yang sejak tadi menyelimuti langit kini telah hilang terbawa angin.
Sena lalu berdiri, disusul oleh Surti. Wanita itu tersenyum manis pada Sena yang kemudian menggaruk-garuk kepala dan cengar cengir. Keceriaan kembali terpancar pada wajah kedua insan itu. Lalu keduanya melangkahkan kaki dengan membawa kemenangan yang tak dapat dilupakan.
Nenek Bongkok itu telah binasa. Namun tongkat keramat yang sakti itu masih menancap di tanah....

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Keris Naga Sakti --oo0oo-- Cinta Pembawa Maut


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.