Life is journey not a destinantion ...

Cinta Pembawa Maut

INDEX PENDEKAR GILA
Nenek Bongkok --oo0oo-- Balada Di Karang Sewu

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


֍₪֍¦ ① ¦֎₪֎

Di halaman sebuah rumah besar yang mirip dengan bangunan padepokan, sore itu tampak ramai sekali. Rumah besar milik seorang saudagar kaya raya bernama Bronto Widura itu memiliki halaman yang sangat luas berupa tanah berpasir. Di sekelilingnya tampak terpancang bendera dan umbul-umbul berwarna-warni sebagai penghias. Sehingga suasana di bawah sinar matahari yang sudah mulai condong ke barat itu tampak semarak sekali.
Saat itu rupanya sedang ada pertandingan silat untuk mencoba ilmu serta kepandaian murid-murid Bronto Widura. Saudagar kaya yang juga seorang guru silat itu kedatangan tamu dari Pulau Dewata, yaitu I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra. Pada saat itu mereka sedang menyaksikan kehebatan I Gusti Kastasudra yang sedang menghadapi lima orang murid pilihan dari Perguruan Kumbang Merah. Nampak I Gusti Kastasudra yang bertubuh agak pendek dan gemuk melenting menghindari serangan lima murid pilihan Perguruan Kumbang Merah. I Gusti Kastasudra yang memiliki ilmu lebih tinggi tampaknya terlalu tangguh untuk dihadapi kelima lawannya. Padahal kelima orang berseragam merah itu sudah termasuk murid tingkat atas dalam perguruan mereka.
Pimpinan Perguruan Kumbang Merah, Barong Porwa nampak cemas dan geram melihat kelima murid pilihannya tak mampu menaklukkan I Gusti Kastasudra yang bertubuh pendek itu.
Beberapa kali terdengar Barong Porwa mendengus kesal sambil memukul-mukul telapak tangannya sendiri. Sementara I Gusti Kumala yang duduk di sisi kirinya tampak tenang tanpa memberi tanggapan apa pun. I Gusti Kumala memang lebih gagah dan tenang daripada I Gusti Kastasudra yang bermuka beringas dan mcnyeramkan. Pertarungan tampak semakin seru. Beberapa kali gebrakan pada murid dari Perguruan Kumbang Merah dapat diatasi dengan baik oleh pendekar dari Pulau Dewata itu. Bahkan kemudian, ketika secara mendadak I Gusti Kastasudra melancarkan serangan cepat kelima lawannya berpentalan dan jatuh ke tanah.
Begitu kelima orang itu roboh, mendadak sesosok bayangan melompat dan bersalto di udara lalu langsung menyerang I Gusti Kastasudra.
Lelaki pendek gemuk itu cepat mengelak dengan hanya meliukkan tubuhnya dengan lentur bagai karet, sambil melancarkan serangan balik yang dahsyat. Terjadi lagi pertarungan yang lebih seru.
Karena lawan I Gusti Kastasudra sekarang, Barong Porwa sendiri. Pimpinan Perguruan Kumbang Merah.
"Heaaa...! Kusobek perutmu...!" seru Barong Porwa dengan menghantamkan telapak tan- gannya yang nampak bergetar dan berasap. Sebatas pergelangan tangannya menyala bagai bara api. I Gusti Kastasudra dengan tenang terus mengelak dari serangan Barong Porwa yang ganas dan berbahaya itu. Dia kembali berkelit seperti belut, bahkan terkadang dengan cepat melancarkan serangan tiba-tiba. Hal itu membuat Barong Porwa yang memiliki ajian 'Tapak Geni' itu tampak penasaran bukan main.
"Hem! Mampus kau Sudra. Heaaa...!" Kembali Barong Porwa menghantarkan serangan cepat. Kini kedua telapak tangannya telah menyala dan mengeluarkan hawa panas. Pada kesempatan berikutnya, hampir saja dada I Gusti Kastasudra remuk dan terbakar oleh sambaran tangan Barong Porwa, kalau tidak cepat bergerak ke samping kiri.
I Gusti Kastasudra lalu melenting ke udara dengan tubuh lurus dan kedua kakinya ditekuk, menghindari serangan susulan lawan yang melesat begitu cepat. Lalu dia mendarat di atas tiang umbul-umbul yang terpajang di halaman itu. Barong Porwa yang melihat itu segera melejit memburu sambil melancarkan serangan cepat. Saling tangkis dan pukul ketika keduanya berada di udara. Lalu sama-sama meluncur turun sambil mengeluarkan teriakan-teriakan nyaring.
"Benar-benar luar biasa...!" gumam Bronto Widura sambil bergeleng kepala berulang kali. Begitupun semua yang menyaksikan pertarungan hebat itu. Semua penonton berdecak kagum dengan mata tak berkedip. Seolah mereka tak ingin kehilangan barang satu jurus pun dari tontonan menakjubkan itu.
Kaki-kaki keduanya mendarat di tanah hanya sekejap, lalu melompat lagi dan kembali bertarung di udara.
Wuuut! Buk!" Barong Porwa memekik, sambil memegangi dadanya. Lalu berbalik. Sementara itu I Gusti Kastasudra tetap nampak tenang menatap tajam lawannya yang terluka di bagian dada. Sementara I Gusti Kastasudra pun tak luput dari serangan lawan. Bahu kirinya tadi sempat terserempet tangan Barong Porwa, hingga terasa bagai terbakar, karena tampak hangus. Namun dengan tiga kali usap saja, luka hangus itu pun hilang. Barong Porwa kaget.
"Edan...! Ajian pamungkasku bisa dilenyapkan!" gumam Barong Porwa dengan mata membelalak seakan tak percaya.
Tiba-tiba saja Barong Porwa kembali menyerang dengan melompat bagai harimau hendak menerkam mangsa. Itulah jurus 'Harimau Belang'. Namun I Gusti Kastasudra rupanya sudah mengetahui jurus yang dipakai Barong Porwa.
Maka dengan kecepatan yang sulit dilihat semua orang yang ada di situ. Tiba-tiba tubuh Barong Porwa terpelanting. Dan sebelum lelaki berjubah merah itu terhempas di tanah, I Gusti Kastasudra menarik kain putih yang melilit di tubuhnya. Kemudian dengan cepat dia menghentakkan kain itu sehingga terhampar. Tubuh Barong Porwa pun terhempas di atasnya, membuat kain putih itu sesaat menggelombang.
I Gusti Kastasudra sempat membuat para penonton berdecak kagum. Dengan cepat dihentakkan lalu diputarnya kain putih itu, sehingga menggulung tubuh lawan. Kemudian mendadak kain yang telah menggulung tubuh Barong Porwa itu terangkat ke atas ketika dengan cepat I Gusti Kastasudra menghentakkannya kembali. Dan yang membuat para penonton lebih tercengang ketika melihat kain itu ditancapkan ke tanah, bagaikan kayu saja. Tampaklah Barong Porwa yang telah terbalut kain putih itu tergantung di udara.
Tubuhnya menggeliat-geliat, membuat sebagian penonton ada yang tertawa.
"Edan...! Edan! Benar-benar edan!" gumam Bronto Widura terkagum-kagum untuk kesekian kalinya. Lalu tertawa-tawa pada I Gusti Kumala yang duduk di sisi kanannya. Namun I Gusti Kumala tenang-tenang saja, memperlihatkan senyumnya yang dingin kepada tuan rumah itu.
I Gusti Kastasudra menyalurkan aji 'Angin Topan Sejati'! Tangannya menghentak, dan angin topan pun bertiup sangat kencang menerbangkan debu dan dedaunan kering. Kain yang membentuk seperti tiang itu berputar terkena tiupan angin kencang yang berputar bagai gangsingan.
Terdengar Barong Porwa menjerit-jerit terus, dalam keadaan tubuhnya berputar kencang.
Tiba-tiba sekali lagi I Gusti Kastasudra menyentakkan tangannya. Namun kali ini diarahkan ke pedang salah seorang murid Bronto Widura. Seketika sebilah pedang melesat lepas dari sa-rungnya dan terbang ke udara.
Secepat kilat I Gusti Kastasudra melenting memburu pedang yang masih melayang di udara, dengan sigap tangannya menyambar pedang itu. Lalu dengan pedang tergenggam di tangannya, I Gusti Kastasudra langsung membabat tubuh Barong Porwa yang terbelit kain putih dan masih berputar karena tiupan angin topan sejati. Dengan gerakan yang tak bisa diikuti mata, pedang itu menyabet ke tubuh Barong Porwa yang masih terbungkus kain. Namun dengan ketinggian ilmu dan kecermatan yang luar biasa, pedang hanya mengenai kain putih yang membelit Barong Porwa. Tanpa menggores sedikit pun kulit Pimpinan Perguruan Kumbang Merah itu. Dengan sekali hentak, pedang yang ada di tangan I Gusti Kastasudra melesat kembali masuk ke sarung kerangka yang tersampir di punggung pemiliknya.
Para penonton bertepuk tangan dengan riuh, memberikan pujian pada kehebatan I Gusti Kastasudra. Beberapa kali terdengar siutan dari beberapa orang penonton yang bergerombol di sudut barat. Sementara I Gusti Kumala tampak hanya tersenyum-senyum getir. Sebab, sebenarnya dia tak suka melihat saudara seperguruannya memamerkan kebolehannya di depan umum. Sesungguhnya kedatangan kedua tokoh dari Pulau Dewata itu ke tanah Jawa Dwipa karena ingin menemui Pendekar Gila. Keduanya ingin menguji ilmu dengan pendekar kesohor itu, sekaligus menyelidiki sampai di mana kemajuan perguruanperguruan silat di Jawa Dwipa. Karena terutama I Gusti Kumala yang berasal dari bagian utara Pulau Dewata itu berhasrat sekali untuk mempelajari ilmu silat di Jawa Dwipa.
Sementara itu di tengah halaman nampak Barong Porwa dengan muka sinis menatap ke arah I Gusti Kastasudra. Lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu seraya memerintahkan pada murid-murid andalannya agar segera pergi, tanpa berpamitan dengan tuan rumah yang mempunyai hajat. Bronto Widura nampak terkejut dengan sikap Barong Porwa, tapi akhirnya bisa mengerti. Pemimpin Perguruan Kumbang Merah itu merasa malu atas kekalahannya. Padahal sebelumnya Barong Porwa merasa sangat yakin, kalau dia akan bisa mengalahkan I Gusti Kastasudra dari Pulau Dewata itu.
Tiba-tiba I Gusti Kastasudra berteriak sambil melompat ke udara. Setelah bersalto tiga kali mendaratkan kakinya dengan ringan sekali, tepat di hadapan I Gusti Kumala yang kelihatan sangat tenang tetapi penuh wibawa.
Sementara itu suara riuh tepuk tangan dari para penonton masih terdengar, mengeluelukan I Gusti Kastasudra. Namun di antara mereka ada pula yang kurang suka terhadap kemenangan I Gusti Kastasudra. Terutama mereka yang menganggap tokoh dari Pulau Dewata itu memamerkan ilmu dan melecehkan tokoh-tokoh dari tanah Jawa Dwipa.
Tanpa terasa hari pun mulai gelap dan sebentar lagi akan datang malam. Para pengunjung dari berbagai perguruan yang diundang masih berada di tempat. Mereka kini menikmati makanan dan minuman sambil menyaksikan tarian yang disuguhkan oleh para penari ledek.

***

Bronto Widura mengajak para tamu yang terdiri dari para pemimpin perguruan, menuju ruang pertemuan di dalam rumahnya. Sebuah ruangan besar yang terkesan indah, diterangi cahaya dari lampu-lampu minyak yang berpendar dengan lembutnya. Semua itu disediakan untuk menghormati I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra yang datang dari jauh dan menyempatkan singgah di padepokannya. Bronto Widura belum tahu persis maksud kedatangan kedua tokoh yang berilmu tinggi itu.
Di antara mereka juga terlihat beberapa murid pilihan Bronto Widura. Sementara itu saudagar kaya yang juga seorang guru itu tampak duduk dengan tenang di sebuah kursi tersendiri.
Suasana saat itu terkesan hikmat "Sungguh luar biasa! Aku kagum setelah dapat menyaksikan sendiri ketinggian ilmu Gusti.
Ilmu yang tak ada duanya...," puji Bronto Widura pada I Gusti Kastasudra yang tampak hanya tersenyum-senyum.
"Ah...! Itu belum seberapa, Sobat. Ilmuku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan ilmu saudara seperguruan Kumala. Apalagi ilmu 'Salju Sejati' yang dia miliki...," ujar I Gusti Kastasudra sambil menoleh ke arah I Gusti Kumala yang nampak kurang senang mendengar ucapan I Gusti Kastasudra. Namun I Gusti Kumala berusaha untuk tersenyum, agar tidak membuat suasana menjadi berubah.
Bronto Widura langsung menoleh ke arah I Gusti Kumala yang duduk dengan tenang di sisi kanannya.
"Aku belum pernah mendengar ilmu 'Salju Sejati'. Sudilah kiranya I Gusti Kumala memperlihatkannya pada kami...!" kata Bronto Widura penuh harapan.
I Gusti Kumala tak langsung menjawab, matanya yang tajam dan bening sejenak menatap I Gusti Kastasudra yang tersenyum-senyum sambil mengangkat kedua bahunya. Tingkahnya sangat berbeda sekali dengan I Gusti Kumala yang tenang dan berwibawa.
"Ah, jangan percaya omongan Kakak I Gusti Kastasudra. Hm.... tapi apakah ada manfaatnya?" kilah I Gusti Kumala kemudian dengan suaranya yang berwibawa agak berat.
"Tentu saja. Terutama bagi murid-muridku, karena akan memupus rasa sombong dan puas diri mereka. Selain itu dapat menyadarkan hati mereka, bahwa di muka bumi ini ilmu tak terbatas sifatnya," tutur Bronto Widura menjelaskan pada I Gusti Kumala.
Nampak I Gusti Kastasudra manggutmanggut saja. Sedangkan I Gusti Kumala hanya bisa menghela napas panjang, dan kembali melirik ke arah I Gusti Kastasudra dengan kesal.
Suasana kemudian jadi hening. Seluruh yang hadir di ruangan pertemuan itu penuh harap, menunggu ilmu 'Salju Sejati'. Dengan sikap yang sangat tenang, I Gusti Kumala meletakkan tangan kirinya di atas cawan berisi air minum.
Sesaat kemudian udara di sekitar tempat itu berubah dingin dengan munculnya butir-butir air.
"Hah..."!" gumam Bronto Widura kaget dengan mengerutkan kening. Demikian juga dengan yang lain. Namun mereka tak berani berbicara. Hanya bisa menunggu dan diam. Ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kini nampak dari sela-sela jari I Gusti Kumala mengepul kabut dingin yang tipis. Tangannya yang lain menarik cawan. Air di dalam cawan itu langsung berubah menjadi pedang es kristal.
Suatu ilmu yang membuat semua orang di situ terkagum-kagum.
"Edan...! Edan! Ini baru benar-benar menakjubkan dan hebat," gumam Dursa Kumbara, tokoh aliran hitam yang terkenal licik dan penuh tipu muslihat "Aku akan membuat rencana, agar bisa memperdaya orang ini...." Matanya yang terlihat jahat melirik, memperhatikan peragaan ilmu 'Salju Sejati' itu.
Kembali pada I Gusti Kumala yang kini nampak melemparkan pedang es itu. Pedang es melesat dan menancap di sebuah tiang kayu ruangan menimbulkan suara berdentang yang menggema. Terlihat lelehan air menetes-netes dari pedang es yang menancap itu.
Semua yang hadir terpana oleh ketinggian ilmu I Gusti Kumala. Bahkan Bronto Widura mendesis tanpa sadar melihat pedang es yang menancap di tiang.
"Luar biasa...!" gumamnya dengan mata membelalak penuh takjub.
Pada saat itulah muncul Murti, diiringi oleh beberapa wanita tua yang membawa aneka hidangan. Semua mata lalu menoleh ke arah Murti yang berparas cantik, namun matanya agak galak dan nakal. Semua yang hadir terpesona dengan kemolekan bentuk tubuh Murti yang padat. Dadanya yang indah tersembul ke depan, menantang siapa saja yang memandangnya. Bibirnya yang merah delima membuat para hadirin terkesima sambil menelan ludah. Apalagi jika melihat pinggulnya yang padat dan indah.
I Gusti Kastasudra yang agak bringas tak habis-habisnya tersenyum-senyum penuh arti, ketika Murti berada di depannya mengantarkan beberapa hidangan. Hanya I Gusti Kumala yang nampak acuh dan kelihatan kurang senang melihat I Gusti Kastasudra. Menurutnya sikap I Gusti Kastasudra tidak sopan, mengingat mereka merupakan tamu di tempat itu.
"Oooh..., kenalkan istriku, Murti...!" kata Bronto Widura setelah sadar kalau Murti ada di hadapannya. Lalu memperkenalkan pada I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra.
Bersamaan dengan kata-kata Bronto Widura, Murti memberikan penghormatan dan tersenyum ramah, lalu melirik ke arah I Gusti Kastasudra, sambil mengulum bibirnya. Bronto Widura terus tersenyum-senyum, sambil mempersilakan pada tamu lainnya.
Sementara itu wanita dayang-dayang menghidangkan berbagai hidangan kepada para tamu.
"Sungguh tak terduga, kami dapat kunjungan sepasang pendekar dari Pulau Dewata. Sela- ma ini kami hanya bisa dengar saja nama I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra...," ujar Bronto Widura lagi.
"Jangan terlalu berlebih-lebihan, Saudara Bronto. Justru sekarang kami mengembara dalam rangka terus mencari ilmu dari setiap kepulauan dan daerah yang kami singgahi," sahut I Gusti Kumala dengan kalem.
"Tetapi di tanah Jawa Dwipa ini, hanya seorang yang mungkin bisa disejajarkan dengan Kisanak berdua. Seorang pendekar muda yang dijuluki...," belum sempat Bronto Widura meneruskan kata-katanya, I Gusti Kumala cepat menyambar.
"Pendekar Gila, maksud Saudara Bronto..."!" Terkejut Bronto Widura dan semua yang ada di situ. Terutama Murti yang memberikan sa-tu gerakan, meskipun hanya kecil, tapi mengejutkan. Bagaikan tersengat kalajengking, matanya terbelalak lebar. Jantungnya mendadak berdebar tenang. Murti masih mempunyai rasa cinta bercampur dendam pada Pendekar Gila. Selain cintanya tak pernah ditanggapi oleh Pendekar Gila, Murti juga sangat benci dan cemburu pada Mei Lie. Gadis yang kini menjadi kekasih Sena Manggala atau Pendekar Gila. Murti mendadak melangkah masuk ke ruangan tadi, tempat dia tadi keluar bersama dayang-dayangnya.
I Gusti Kumala melihat raut muka Murti yang menunjukkan kurang senang mendengar nama Pendekar Gila. Sedangkan I Gusti Kastasudra hanya tersenyum-senyum sambil menikmati hidangan lezat yang dihidangkan para dayang tadi. Bronto Widura yang nampak tak acuh dengan istrinya itu, terus nampak ramah, menyilakan para tamu agar segera menyantap hidangan yang masih hangat "Mari... mari...! Silakan, ayo Kisanak santap saja, mari...!" kata Bronto Widura sambil mengangkat tangannya menyilakan para tamu. Di luar suara gamelan masih terus mengalun. Para sinden terus mendendangkan lagu yang merdu. Malam semakin larut, di ruangan perjamuan itu suasana masih ramai. Mereka bergembira sambil menikmati hidangan.
Sementara itu Murti sudah berada di kamarnya. Berdiri di dekat jendela, memandang jauh keluar rumah. Rupanya Murti sedang melamunkan wajah Pendekar Gila yang tampan dan pernah dikenalnya. Mulailah terbayang kejadian yang pernah dialaminya waktu itu....

***

Siang itu baru saja pulang dari menuntut ilmu. Murti berjalan dengan langkah lebar, karena ingin segera menemui bibinya, Nyi Gendis Awit. (Tentang Nyi Gendis Awit, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode : "Mawar Maut Perawan Tua").
Pesan dari gurunya, Murti harus segera mencari Nyi Gendis Awit. Namun ketika mendapatkan berita bahwa Nyi Gendis Awit mati dibunuh oleh Pendekar Gila, terbakarlah hati Murti.
Dia lalu mencari Pendekar Gila dengan cara seperti Nyi Gendis Awit. Murti memakai cadar merah seperti yang dikenakan Nyi Gendis Awit dalam sepak terjangnya membalas dendam.
Siang itu di sebuah lembah, Sena Manggala atau Pendekar Gila berjalan bersama Mei Lie, hendak kembali ke pondoknya. Di tengah jalan keduanya bertemu dengan seorang wanita muda yang memakai cadar.
Pendekar Gila berhenti melihat kemunculan wanita bercadar itu, lalu menoleh ke arah kekasihnya. Melihat wanita bercadar merah menghunus pedangnya, Mei Lie segera melangkah setindak.
"Hei, kau mau cari gara-gara atau meram-pok..."!" bentak Mei Lie sambil menuding wanita di depannya. Namun wanita bercadar itu tak menjawab, malah dia menggerakkan pedangnya, mulai membuka jurus silat "Huh...! Rupanya orang ini mau cari garagara, Kakang Sena. Biarlah aku yang menghadapi orang aneh ini!" seru Mei Lie seraya mencabut Pedang Bidadari-nya.
Wanita bercadar langsung melesat cepat menyerang Mei Lie dengan ganas. Sabetan pedangnya begitu cepat Trang! Dentangan keras terdengar dari benturan dua pedang yang berbenturan. Jurus-jurus yang mereka keluarkan nampaknya bukan jurus biasa.
Jurus tingkat tinggi yang mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Sehingga tubuh keduanya bagai menghilang.
Sena yang mengamati jalannya pertarungan Mei Lie dengan wanita bercadar itu hanya menggaruk-garuk kepala. Pemuda berambut panjang dan berpakaian dari kulit ular itu sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Aha..., aku ingat sekarang! Itu jurus yang dimiliki Nyi Gendis Awit! Siapa wanita ini sebenarnya..." Mungkin dia akan membalas dendam!" gumam Sena sambil menggeleng-geleng kepala.
Nampak Mei Lie merangsek dengan tusukan Pedang Bidadari-nya yang terkenal sangat berbahaya. Sedangkan lawan tampak tak ingin kalah. Pedangnya dengan cepat berkelebat membabat dan menusuk ke arah tubuh Mei Lie.
Wuttt! Trang! Keduanya terus bergerak cepat saling menyerang dan menangkis. Kini bukan hanya senjata mereka yang bertemu, tapi kaki mereka pun saling berusaha menyapu dan menendang lawan.
Entah sudah berapa jurus yang mereka keluarkan. Kelihatannya kedua wanita itu samasama kuat. Mereka terus bertarung bagai kesetanan.
"Mampus kau...!" bentak wanita bercadar merah sambil membabatkan pedangnya dengan cepat kedua arah.
Namun Mei Lie dengan cepat pula menangkis dan melenting ke udara. Sambil bersalto beberapa kali dia langsung menendang dengan keras ke arah lawannya yang masih menunduk.
Degkh! Wanita bercadar memekik, ketika tendangan Mei Lie mendarat di pundaknya. Tubuhnya terhuyung-huyung, tapi kemudian mampu menguasai keseimbangan. Dengan cepat dia berbalik, siap menghadapi Mei Lie lagi.
Pedang di tangan wanita misterius itu bergerak cepat ke arah tubuh lawan. Melihat serangan lawan, Mei Lie yang juga mendapat julukan sebagai Bidadari Pencabut Nyawa itu mengegos ke samping, lalu menghantamkan gagang pedangnya ke dada lawan yang terbuka.
Dukh! "Hukh!" Tubuh wanita bercadar itu terhuyunghuyung ke belakang. Darah tampak meleleh membasahi kain penutup wajahnya. Melihat itu, Pendekar Gila segera melompat menahan Mei Lie yang hendak kembali menghajar lawannya.
"Mei Lie...! Tunggu...!" seru Sena sambil menahan tangan Mei Lie. Gadis itu tampak cemberut dan kesal.
Sena lalu berjongkok untuk menolong wanita itu. Dibukanya cadar merah itu, lalu terlihat wajah seorang wanita muda yang cukup cantik, tapi bermata galak dan bengis. Napasnya terengah-engah.
"Bunuh saja aku..., bunuh...!" kata wanita itu. Melihat keadaan wanita cantik yang belum dikenalnya itu, Sena segera berusaha menyembuhkan luka dalamnya yang parah. Pendekar Gila memberikan obat berbentuk bulat warna hitam pada wanita itu agar dimakan.
"Cepat makan obat itu! Mudah-mudahan lukamu akan segera sembuh...," ujarnya sambil menyodorkan obat itu.
Sementara itu Mei Lie melengos dan melangkah menjauhi mereka. Hatinya mungkin merasa cemburu dan kesal pada Pendekar Gila.
"Dasar lelaki...!" gumam Mei Lie dengan wajah cemberut.
"Ter... terima kasih...!" Terdengar suara wanita itu serak dan lemah. Namun wajahnya mulai nampak segar. Tidak sepucat tadi.
"Sudahlah...! Siapa kau sebenarnya...?" tanya Sena kemudian.
"Aaaku..., Murti.... Kau tentunya masih ingat perawan tua yang bernama Nyi Gendis Awit..., bukan...?" kata Murti dengan nada lemah.
"Hah..."! Sudah kuduga sejak melihat gerakan silat wanita ini. Ada kemiripan dengan Nyi Gendis Awit...," gumam Sena di hatinya.
"Dia..., bibiku.... Tadinya aku bermaksud untuk menuntut balas atas kematiannya. Dan menurut kabar, kaulah yang membunuh bibiku itu... Tapi..., kini aku sadar. Balas dendam tak membawa keberuntungan pada diriku yang sudah yatim piatu ini." Suaranya terdengar memelas.
Saat itu Mei Lie melangkah mendekati mereka. Ditatapnya Murti dengan tajam. Murti pun menengok ke arah Mei Lie yang berdiri di sisi Pendekar Gila.
"Maafkan aku Nisanak, aku bersalah. Aku tadi terdorong rasa dendamku untuk menuntut balas atas kematian bibiku Nyi Gendis Awit.... Sekali lagi maafkan aku...!" kata Murti pada Mei Lie.
Mendengar dan menyaksikan keadaan Murti yang masih lemah dan memelas itu, hati Mei Lie tersentuh. Dia mulai iba melihat keadaan Murti. Kemudian berjongkok di sisi Sena.
"Aku pun minta maaf. Kita sama-sama terdorong nafsu dan amarah tadi.... Tapi sudahlah, aku dapat mengerti," kata Mei Lie dengan ramah.
Melihat Murti tersenyum, Mei Lie mengulurkan tangan yang disambut oleh Murti. Keduanya berjabat tangan, mengungkapkan rasa persahabatan mereka.
Setelah mereka tinggal bersama, di pondok Sena yang jauh dari keramaian, timbul rasa cinta Murti pada Pendekar Gila itu. Namun dengan halus Sena selalu menghindar.
Murti ternyata tergolong wanita yang memiliki gairah tinggi terhadap lelaki. Tanpa mempedulikan Sena yang rikuh dan serba salah, dia terus mengejar pemuda itu.
Pada suatu sore, ketika Mei Lie sedang pergi ke desa, Murti mengambil kesempatan. Saat itu Sena sedang berbaring untuk beristirahat. Tibatiba....
"Aaakh... tolooong...!" Terdengar teriakan Murti di luar pondok.
Sena yang mendengar teriakan itu segera melompat dari balai-balai dan mencari Murti. Namun tak nampak.
"Murtiii...!" seru Sena.
"Aaa...! Tolooong...!" Sena segera melompat cepat ke tempat asal suara Murti.
"Murti...!" seru Sena yang melihat Murti tengah tergeletak di tanah dekat danau, tak jauh dari pondok tempat mereka tinggal.
"Aduh...! Akh...!" Sena segera berjongkok. Dan pada saat itulah tiba-tiba Murti memeluk erat Sena. Sena terkejut dan berusaha melepas pelukan Murti dengan halus.
"Murti.... Murti... jangan... tidak baik, Murti!" Sena coba melepas rangkulan Murti. Namun Murti semakin berani. Dia tiba-tiba mengangkat kainnya ke atas, sampai ke pangkal paha. Sena yang melihat itu segera membuang muka dan hendak meninggalkan Murti. Namun wanita muda yang sudah kerasukan nafsu birahi itu semakin gila. Ditariknya lengan Sena kuat-kuat sambil tertawa-tawa genit.
Pada saat itu Mei Lie sedang menyusuri pinggiran danau. Ketika dia mendengar suara tawa di balik pepohonan rindang tak jauh dari tempatnya, segera Mei Lie melompat menghampiri.
Dan... bukan main terkejut dan marahnya Mei Lie melihat Murti dengan berani membuka pakaiannya.
"Murti..., jangan! Kau ini manusia atau iblis...!" bentak Sena mulai marah.
Namun Murti malah tertawa-tawa dan kini Murti tinggal memakai kutang saja. Dadanya yang memang sekal dan membusung, padat itu nampak tersembul. Kulitnya putih dan mulus.
Dengan perasaan tidak enak, Sena menghentakkannya, lalu pergi. Pada saat itu Mei Lie yang sudah tak tahan melompat dan langsung menghajar Murti dengan tendangan serta tamparan tangan kanan kirinya.
Murti tak menduga akan kehadiran Mei Lie yang begitu cepat, tapi segera berusaha menangkis. Kemudian buru-buru mengenakan kembali pakaiannya.
"Kau perempuan jalang...! Pergi... pergi kau dari sini...! Dikasih hati malah kurang ajar.... Pergi...!" teriak Mei Lie dengan keras.
"Mei Lie...! Sabar, Mei Lie...!" Sena berusaha menenangkan kekasihnya yang sudah kalap itu. Mei Lie berontak ketika Sena memeganginya bahkan menampar muka pemuda itu. Lalu sambil menangis dia berlari ke pondok. Saat itu Murti sudah tak kelihatan lagi, entah pergi ke mana.

***

"Murti...!" Murti sadar dari lamunannya, ketika terdengar suara teguran dari seseorang. Murti kaget, dan menoleh.
"Oh, kau..."! Ada apa...?" tanya Murti dengan gagap, ketika melihat Dursa Kumbara yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Ssst...!" Dursa Kumbara langsung mendekati Murti yang malam itu nampak cantik dan menggiurkan, dengan pakaian yang seperti wanita India. Dursa Kumbara yang memang sudah sering tidur dengan Murti, memeluk erat tubuh lalu menciumi tubuh wanita itu dengan rakus. Murti yang memang tidak pernah puas dengan satu lelaki saja, tampak diam, tidak menolak sama sekali. Terdengar suara lirih dari mulut wanita cantik itu.
"Murti.... I Gusti Kastasudra kulihat ada hati denganmu. Permainkan dia. Ambil kitab ilmu silat orang seberang itu agar kekuatan dan ilmu kita bertambah. Baru kita singkirkan kedua orang itu...," kata Dursa Kumbara dengan suara bergetar, karena menahan nafsu birahinya. Dursa Kumbara lalu menutup pintu kamar itu dengan tendangan kakinya. Kemudian membopong tubuh Murti ke ranjang dan merebahkannya dalam keadaan telentang.
"Murti..., aku mendengar kedua tokoh dari Pulau Dewata itu hendak menemui Pendekar Gila...!" Suara Dursa Kumbara mendesah dan sedikit bergetar. Murti tidak segera menjawab ucapan lelaki bertubuh gagah itu, hanya terdengar desahan perlahan dari mulutnya.
"Untuk apa mereka ingin menemui Pendekar Gila..."!" tanya Murti dengan suara sedikit tertahan, karena tertindih tubuh Dursa Kumbara yang besar itu.
"Mereka ingin saling tukar ilmu dan memberikan kitab ilmu silat milik mereka pada Pendekar Gila...," tutur Dursa Kumbara, lalu kembali menciumi leher dan dada Murti.
Murti nampak tertegun sejenak. Pandangannya menatap langit-langit kamar.
"Kita harus mencegahnya, Murti. Kalau tidak, orang-orang aliran putih semakin sukar ditaklukkan. Apalagi Pendekar Gila itu...! Aku kuatir kita akan sulit menguasai tanah Jawa Dwipa ini." Kembali Dursa Kumbara berkata dengan suara mendesah. Napasnya naik turun dengan cepat. Keringat mulai membasahi tubuhnya yang kekar dan berotot. Lelaki itu dengan buas menggeluti tubuh Murti yang sudah polos. Murti pun mulai mendesah dan merintih merasakan kenikmatan yang selalu didambakan. Namun tibatiba....
"Huh...!" Bug! Brak! Dursa Kumbara terpental jatuh dari tempat tidur. Kemudian buru-buru dia mengenakan celana dan pakaiannya. Dursa Kumbara telah hafal akan sifat Murti yang memang suka aneh. Lelaki berwajah lebar itu tahu, kalau Murti sedang gusar, pikirannya tak tenang. Maka hatinya tidak marah meskipun Murti telah menendangnya dengan keras.
"Aku tahu kau sedang memikirkan Pendekar Gila dan kekasihnya itu, bukan...?" kata Dursa Kumbara langsung dapat menebaknya.
"Ini saatnya kau dapat membalas sakit hatimu, Murti.
Dan... mungkin kau malah bisa merebut pendekar sakti itu menjadi pendampingmu. Karenanya kita harus punya rencana, untuk mencapai semua itu...! Aku yakin kau telah memikirkannya." Dursa Kumbara yang memang pintar membaca hati dan pikiran seseorang, mulai memanasmanasi Murti.
"Mei Lie...!" Terdengar suara Murti bergetar.
Giginya gemeretak, seolah-olah menahan geram dan rasa dendam pada Mei Lie.
"Kau benar, Dur-sa Kumbara..., aku akan membuat perhitungan dengan gadis itu...! Aku punya cara sendiri untuk itu!" Murti lalu kembali merebahkan diri sambil berucap.
"Kemarilah Dursa Kumbara, puaskan aku malam ini...!" Kontan saja Dursa Kumbara kembali membuka pakaiannya dan cepat naik ke ranjang.
Namun, tiba-tiba saja Dursa Kumbara terpekik kaget dengan mata melotot. Darah segar membasahi perutnya, ketika tubuhnya perlahan jatuh ditendang oleh Murti. Murti si Wanita yang selalu haus terhadap lelaki itu tersenyum sinis. Tangan kanannya sudah penuh dengan darah. Rupanya Dursa Kumbara dibunuh dengan ilmu 'Tangan Iblis'-nya yang dapat membelah dan menembus perut manusia. Dipandanginya mayat Dursa Kumbara yang terkapar di lantai kamar. Perut lelaki itu berlubang dengan usus terburai, sedang matanya melotot "Huh...! Orang macam kau harus kubunuh, Kumbara! Kalau tidak, rencanaku akan gagal. Aku bukan orang bodoh, Kumbara...! Kini aku bisa bebas melakukan rencanaku...," ujar Murti seperti bicara pada diri sendiri.
Wanita cantik itu segera memakai kain. Kemudian sambil berteriakteriak dia lari keluar.
"Kurang ajar...! Biadab...! Kakang Bronto....!" Teriakan Murti begitu keras. Hal itu dilakukan dengan sengaja agar terdengar ke ruang perjamuan. Bronto Widura terkejut, demikian juga para tamu, termasuk I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra serta beberapa tokoh aliran hitam lainnya. Mereka segera berdiri dan melangkah menuju ruangan dalam. Sampai di ruangan itu tampak Murti tengah marah-marah menghampiri mereka.
"Dursa Kumbara mau berbuat kurang ajar terhadapku, Kakang Bronto. Aku... aku terpaksa membunuhnya...!" Murti menunjukkan tangan kanannya yang berlumuran darah. Mereka yang melihatnya sangat terkejut dan merasa ngeri juga pada wanita satu ini. I Gusti Kastasudra yang memang menaruh hati pada Murti, segera maju menghampiri wanita itu, lalu coba menenangkannya. Namun I Gusti Kumala yang berpembawaan tenang, merasakan sesuatu yang tidak beres pada diri Murti.
Matanya terus menatap tajam istri juragan Bronto Widura. Seakan tatapan mata pendekar dari Pulau Dewata itu menusuk ke dalam pikiran dan jiwa Murti. I Gusti Kumala mengerutkan kening, kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu.
Sementara para tamu lain tampak saling bisik dan menyalahkan Dursa Kumbara yang sudah jadi mayat.
"Koneng, Mitro...! Cepat kubur mayat Dursa Kumbara malam ini juga...!" perintah Bronto Widura pada anak buahnya.
Kedua pemuda itu segera melangkah menuju kamar untuk membawa mayat Dursa Kumbara. I Gusti Kastasudra tampak berdiri di samping Murti.
"Sudahlah, tenangkan hati dan pikiranmu! Orang macam dia memang harus mendapatkan ganjaran. Kau tidak salah,..," tutur I Gusti Kastasudra. Lalu Murti yang berpura-pura sedih dengan air mata sudah membasahi pipinya berlari ke arah Bronto Widura dan memeluknya dan menangis tersedu-sedu.
Namun Bronto Widura seperti sudah mengerti akan kebohongan istrinya. Karena selama ini dia sebenarnya sudah tahu akan penyakit dan kebiasaan Murti. Namun karena juragan kaya raya itu sangat mencintai dan menyayangi Murti, maka semua yang diketahui dipendamnya. Dia tak ingin kebiasaan buruk istrinya dapat tercium orang lain. Sehingga terpaksa lelaki bijak itu selalu menutupi keburukan Murti.
Dahulu, Bronto Widura pernah bersumpah, bahwa jika Murti bersedia menjadi istrinya, sebagai pengganti istri pertama yang telah mati, ia ingin hidup sepanjang masa bersama wanita itu.
Murti yang cerdik menerima maksud baik juragan yang kaya raya itu. Namun, Murti memberikan syarat tertentu. Yang utama, Bronto Widura harus memberikannya kebebasan dan berjanji tidak marah kalau dia berhubungan dengan lelaki lain.
Karena Murti berterus terang bahwa dirinya tak pernah puas dengan satu lelaki.
"Sudahlah... jangan kau menangis terus, Murti...! Semuanya sudah berlalu...," bujuk Bronto Widura.
Dengan sabar dan tenang dia membawa Murti ke ruangan lain. Sementara orang-orang mulai kembali ke ruangan perjamuan. Begitu juga I Gusti Kastasudra. Sejenak lelaki gemuk itu memandangi mereka. Pada kesempatan itu, Murti sempat menoleh ke belakang, matanya tertuju ke arah I Gusti Kastasudra dengan pandangan aneh dan nakal. I Gusti Kastasudra membalas dengan senyuman penuh arti pula, lalu dia membalikkan badan dan pergi

***



֍₪֍¦ 2 ¦֎₪֎

Malam kian larut. Suasana di depan rumah juragan Bronto Widura masih terdengar sayupsayup gamelan ledek. Sementara itu di kamarnya, Bronto Widura tengah duduk di tepi ranjang bersama Murti. Keduanya terpekur diam, larut dalam pikiran masing-masing, setelah melihat dalam pembicaraan. Cahaya bulan setengah lingkaran menyusup lewat jendela kamar yang terhalang kain warna putih. Angin yang bertiup membuat gordennya bergoyang-goyang. Suami istri itu seakan tidak memperhatikan suasana di luar.
"Aku selalu berharap, kau menemukan kebahagiaan bersamaku, Murti. Sejak kutemukan kau terapung di laut dengan luka parah, aku telah bertekad untuk membahagiakanmu...," tutur Bronto Widura memecah kesenyapan dengan suaranya yang berat. Penuh perasaan.
"Aku mengerti, Kakang. Hatiku berbahagia tinggal di rumah ini, punya suami sebaik Kakang.... Maafkan aku. Aku harus melakukan sesuatu, Kakang. Dengan adanya kedua tokoh dari Pulau Dewata yang berilmu tinggi itu aku akan memanfaatkan mereka untuk mengalahkan Pendekar Gila, sekaligus mencincang gadis yang sombong itu...!" tutur Murti dengan nada penuh dendam.
"Hah..."! Kau...." Bronto Widura sangat terkejut mendengar tutur kata Murti.
"Murti..." Apakah aku tidak salah dengar...?" tanyanya kemudian dengan mata terbelalak.
"Tidak, Kakang.... Inilah saat yang sudah lama kunantikan. Kakang tidak sudah khawatirkan diriku. Aku harus ikut dengan kedua tokoh itu," ujar Murti dengan tegas seraya menatap tajam suaminya.
Bronto Widura menundukkan kepala. Lelaki itu tampak cemas dan benar-benar tak bisa berpikir lebih jernih lagi. Dirinya tidak ingin Murti kecewa dan terluka jika dia melarang maksudnya.
Mungkin ini sudah nasibku. Aku tak bisa melarang atau memberikan pendapat. Aku sudah bersumpah tak akan melukai hatinya. Aku sangat menyayangi dan mengasihinya, selain itu aku juga tak ingin kehilangan Murti.... Semoga Tuhan memberikan keselamatan untuknya, jika niatnya tak bisa dirubah lagi. Aku pasrah.
Bronto Widura hanya bisa menggumam dalam hati. Diangkat kepalanya, menatap Murti agak lama, lelaki setengah baya itu mendekat dan memeluknya.
"Aku tak bisa melarangmu, Murti.... Tapi, pesanku jika itu telah menjadi tekadmu, berhatihatilah...," kata Bronto Widura dengan suara lemah. Lalu mendesah.
"Kakang Bronto Widura, aku hargai ketulusan hatimu. Tapi, aku tak bisa menunda lagi sudah bulat tekadku. Aku akan kembali untukmu, Kakang," ujar Murti lemah lembut. Lalu mendorong tubuh suaminya hingga rebah di ranjang. Murti pun merebahkan tubuhnya di sisi Bronto Widura. Di luar gamelan ledek masih terdengar.
Malam kian larut suasana semakin hangat. Rembulan masih bersinar terang. Ketika Bronto Widura tertidur lelap, Murti segera mengenakan pakaiannya. Sehelai kain lebar dilibatkan di tubuhnya, diikat dengan selendang merah jambu. Sedangkan pakaian atasnya warna hitam seperti layaknya pendekar-pendekar wanita tanah Jawa Dwipa. Murti segera keluar lewat jendela kamarnya. Wanita ini memang tidak pernah tinggal di rumahnya bila malam hari. Dia selalu bermalam di padepokannya, setelah memberikan hubungan batin pada Bronto Widura. Itu sudah perjanjian mereka. Dalam kegelapan malam Murti melesat cepat meninggalkan rumah juragan Bronto Widura.
Pada saat itu I Gusti Kumala sedang berjalan bersama I Gusti Kastasudra. Kedua orang berilmu tinggi itu sibuk membicarakan sesuatu sambil terus melangkah ke arah sebuah hutan.
Karena rembulan bersinar terang suasana sekitarnya tak begitu gelap.
"Kau harus percaya apa yang dapat kutangkap dari raut wajah dan tingkah istri Bronto Widura itu, Kastasudra. Kau harus berhati-hati.
Sepertinya ada yang tidak beres dalam perguruan itu."
"Ah...! Itu hanya perasaanmu saja Kumala.
Kau selalu bicara begitu padaku. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Murti bukan wanita buruk seperti dugaanmu, Saudaraku!" jawab I Gusti Kastasudra dengan nada agak tinggi.
"Terserah kamu. Aku sebagai saudara seperguruan, hanya mengingatkan. Kau terima baik, tak kau terima aku juga tidak apa-apa. Tapi, sekali lagi, kuingatkan, jangan dekati Murti...!" Kalimat terakhir itulah yang membuat I Gusti Kastasudra malah salah duga. Lelaki gemuk ini berpikiran bahwa I Gusti Kumala merasa iri, karena Murti nampak lebih dekat dengannya.
Walaupun pertemuannya dengan wanita bertubuh sintal dan memiliki bibir indah itu baru seha-ri.
Tanpa terasa keduanya telah memasuki sebuah hutan. Keduanya terus menyusuri hutan itu di bawah cahaya bulan yang terhalang pepohonan.
"Aku bukan kau, Saudara Kumala. Aku adalah aku. Jadi sebaiknya mulai saat ini kau tak usah menasihatiku lagi!" kata I Gusti Kastasudra yang mulai sedikit marah, karena terdorong dugaan dan perasaannya yang keliru itu. Hal itumembuat I Gusti Kumala mengerutkan kening.
"Jangan kau salah duga, apalagi berprasangka buruk terhadapku, Kastasudra!" sahut I Gusti Kumala dengan nada tinggi.
Dia rupanya tak suka dengan ucapan I Gusti Kastasudra yang dianggapnya tak tepat dan kurang sopan.
I Gusti Kastasudra tak menghiraukan.
Bahkan mendadak dengan bersungut-sungut dia berbalik, hendak kembali ke arah semula. Namun baru saja selangkah lelaki gemuk itu mengayunkan kakinya, tiba-tiba saja terdengar suara berdesingan, seperti luncuran senjata tajam menuju ke arahnya. Dengan gerakan yang sulit ditangkap oleh mata I Gusti Kumala melenting ke udara sambil menjulurkan kedua tangannya. I Gusti Kastasudra hanya bisa tersentak. Baru bisa melenting ketika serangan kedua muncul kembali ke arahnya. Wut! Wut! I Gusti Kastasudra bahkan mampu melancarkan serangan balasan dalam keadaan tubuh melenting di udara. Pertempuran jarak jauh terjadi di malam yang diterangi oleh cahaya bulan.
Suatu pukulan dahsyat jarak jauh dilancarkan oleh sesosok tubuh bercaping lebar, dengan muka tertutup cadar hitam. Sehingga sulit dikenali.
Wut! Wut! Jglarrr! Akibat pukulan dahsyat orang bercaping itu beberapa pohon di sekitar tempat itu roboh.
I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra melompat dan hinggap di batang pohon yang roboh ke arahnya. Namun dalam waktu bersamaan orang bercaping lebar dan bercadar itu telah melontarkan beberapa lembar daun. Anehnya, daundaun itu melesat begitu cepat bagaikan pisaupisau terbang, meluncur ke arah I Gusti Kastasudra dan I Gusti Kumala. Serangan itu melesat susul-menyusul bagaikan hujan daun. Sebagian besar menancap di batang pepohonan.
Kedua pendekar dari Pulau Dewata dengan cepat melompat dan melenting ke sana kemari menghindarkan serangan aneh itu. Keduanya beberapa kali mengibaskan tangan menangkis serangan dedaunan itu. Sebagian dari dedaunan berpentalan balik ke arah sesosok bercaping lebar. Pertarungan baru berlangsung beberapa saat, tapi orang bercaping sudah terdesak, tanpa daya menghadapi daun-daun yang melesat balik ke arahnya. Menyadari keadaannya yang mengkhawatirkan orang bercaping itu mencelat mundur dan langsung meninggalkan tempat pertarungan. Ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi membuat orang bercaping itu seakan terbang di udara. Saat terbang, cadarnya tertiup angin, sehingga tampaklah wajahnya karena terkena bias cahaya rembulan. Sosok bercaping itu ter-nyata seorang wanita berwajah cantik.
I Gusti Kastasudra berniat mengejar, tapi ditahan oleh I Gusti Kumala. Sehingga mereka membiarkan wanita itu menghilang.
"Siapa orang bercaping itu..."!" gumam. I Gusti Kastasudra seperti bertanya pada diri sendiri. I Gusti Kumala menghela napas sejenak.
Pandangannya terarah ke tempat menghilangnya sosok bercaping. Lalu menoleh pada I Gusti Kastasudra yang nampak kesal.
"Nanti kita akan tahu siapa orang bercaping itu, Kastasudra," kata I Gusti Kumala dengan suara menggumam.

***

Murti telah sampai di padepokannya yang letaknya tersembunyi, jauh dari rumah Bronto Widura. Hanya Bronto Widura yang tahu padepokan itu selain beberapa orang kepercayaan Murti.
Murti langsung masuk ke padepokan, disambut oleh dua orang wanita muda berpakaian silat ringkas seperti dirinya. Namun keduanya tidak memakai celana panjang, hanya kain dilibatkan di tubuhnya, diikat dengan selendang yang warnanya sama hijau.
Begitu masuk, di dalam nampak beberapa anak buahnya. Semua wanita. Sebagian memegang tombak, yang lainnya bersenjata golok.
Pada dinding-dinding ruangan yang terbuat dari pohon, nampak tergantung senjata-senjata serta sehelai kain berlambang perguruan silat Murti. Berupa Mawar Merah. Lampu-lampu minyak yang menempel di dinding menerangi ruangan itu. Murti langsung membuka caping lebar yang menutup kepalanya. Kemudian duduk di sebuah batu besar yang merupakan singgasananya.
Sejenak dia menghela napas dalam-dalam.
Kedua wanita yang menyambutnya saling pandang sebentar.
"Bagaimana Nyi Mawar..." Nampaknya Nyi Mawar tak berhasil...." Suara wanita berwajah lonjong itu terdengar datar. Nyi Mawar ternyata panggilan Murti yang akrab dari anak buahnya.
Itu adalah panggilan murid terhadap gurunya.
"Ilmu mereka terlalu tinggi, Rukmini. Tak bisa dianggap remeh," jawab Murti geram.
"Jika kita bergabung, kurasa kita bisa mengatasinya, Nyi Mawar...," sahut wanita yang satu lagi, penuh semangat.
"Aku sependapat dengan Lastri. Kekuatan kita toh sangat tangguh kalau sekadar untuk menahan dua tokoh dari Pulau Dewata itu...!" Kembali Rukmini berkata dengan semangat pula.
"Tidak. Kalian tidak akan mampu melawan seorang saja dari mereka. Sekalipun mata mereka ditutup rapat..!" sambar Murti tegas.
"Sedemikian tinggikah ilmu mereka...?" tanya Lastri ingin tahu.
"Jika demikian, kita taklukkan dengan cara kita!" sambung Rukmini yang bertubuh lebih tinggi dari Lastri. Dadanya pun lebih menonjol dan lebih besar.
"Maksudmu...?" tanya Lastri sambil mengerutkan kening.
"Jangan lupa, mereka laki-laki, sedang kita wanita.... Persoalannya cukup sederhana, kan?" jawab Rukmini, lalu tersenyum genit dan mengerlingkan mata.
"Itu bisa dicoba. Tapi aku ragu. Soalnya mereka menurut Nyi Mawar seperti pendeta...!" kata Lastri dengan nada mengejek, lalu tertawatawa genit "Aku justru penasaran, ingin tahu bagaimana seorang pendeta atau resi memperlakukan perempuan. Ha ha ha... hi hi hi...!" sahut Rukmini diiringi tawa genit "Cukup! Kita harus mengambil langkah terbaik. Menyebarlah kalian! Carilah jago-jago pilihan, manfaatkan untuk menahan keduanya. Ka- laupun mereka tidak berhasil membunuh kedua resi itu, setidaknya akan membuat keduanya menguras tenaga, sehingga melemahkan daya tahan. Kalian tentu sudah lihai cara merayu para jago bayaran itu.... Ingat jika tertangkap, jangan kalian sekali-sekali menyebut namaku. Nyawa kalian gantinya...!" perintah Murti dengan tegas dan penuh wibawa.
Habis berkata begitu, Murti mengambil kantong uang dan dilemparkannya. Kantong uang itu jatuh di hadapan murid-muridnya. Segera Rukmini dan Lastri mengambilnya. Keduanya tersenyum-senyum memandang kantong berisi uang itu.

***



֍₪֍¦ 3 ¦֎₪֎

Matahari baru saja terbit di ufuk timur.
Cahayanya yang kemerahan menembus kabut pagi. Sepagi itu kesibukan telah terlihat di halaman rumah Bronto Widura. Para murid dan anak buah juragan kaya raya yang juga seorang guru silat itu tengah berkumpul di halaman rumah.
Sebagian yang lain tampak sibuk dengan kegiatan keseharian mereka.
Bronto Widura dan Murti berdiri di beranda, melepas kepergian tamunya, dua orang pendekar dari Pulau Dewata. Tampak I Gusti Kastasudra sudah berjalan lebih dulu meninggalkan halaman, berpapasan dengan beberapa murid Bronto Widura yang membawa air.
"Saya sendiri belum pernah bertemu Pendekar Gila itu. Namun hati-hatilah, Saudara Kumala. Ketinggian ilmu Pendekar Gila telah jadi pembicaraan di mana-mana," tutur Bronto Widu-ra pada I Gusti Kumala sambil berjalan beriringan ke halaman rumah.
"Terima kasih. Tapi kedatangan kami bukan untuk mencari musuh. Kami berdua hanya ingin menjalin persahabatan," ujar I Gusti Kumala dengan ramah. Sekilas lelaki bertubuh besar itu melirik ke arah, Murti yang berdiri di sisi Bronto Widura. Murti coba tersenyum pada I Gusti Kumala. Namun senyumnya nampak hambar dan seperti dipaksakan.
"Kalau memang itu maksud I Gusti Kumala, saya sangat senang," ucap Bronto-Widura, lalu menoleh kepada istrinya.
"Benar begitu kan Murti...?"
"Ya...," sahut Murti singkat diiringi senyum hambar. I Gusti Kumala menyambutnya dengan anggukan kepala, lalu mohon diri. Lelaki berjubah putih itu melangkah menyusul I Gusti Kastasudra yang tadi sudah berjalan sampai di pintu pagar halaman. Bronto Widura dan Murti menatap kepergian kedua tamunya. Pandangan Murti menerawang penuh arti. Ada sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya. Sambil masih menatap langkah-langkah I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra, wanita muda itu berucap.
"Beberapa hari lagi mereka akan sampai ke Jawa Dwipa...." Suara Murti terdengar datar mengandung arti.
"Ya. Dan Pendekar Gila akan kedatangan lawan yang sebanding. Tapi, kenapa kau urungkan niatmu untuk ikut dengan mereka, Murti?" tanya Bronto Widura dengan mengerutkan kening, sepertinya menyelidik.
Murti tak langsung menjawab. Dia sejenak hanya menatap Bronto Widura dan tersenyum.
Lalu kembali memandang ke depan.
"Entahlah.... Tiba-tiba aku punya rencana yang lebih baik dari rencana semula," jawab Murti, kemudian melangkah pergi dari beranda itu. Bronto Widura hanya dapat memandangi istrinya yang lebih berkuasa itu dengan perasaan pedih. Nampak tersirat di wajah lelaki setengah baya adanya sejuta rasa penyesalan. Namun semuanya sudah terambat dan dia sendiri telah terikat perjanjian.

***

I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra sudah berada di Desa Banjaran, Keduanya nampak senang melihat keramaian desa itu. Apalagi pagi itu, seperti biasa di Desa Banjaran selalu ada pertunjukan.
I Gusti Kastasudra yang sedikit bersifat ugal-ugalan dengan langkah lebar segera menuju tempat pertunjukan debus. Semacam tarian yang menggunakan ilmu hitam. Melihat saudara seperguruannya itu I Gusti Kumala hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, lalu melangkah ke arah lain. Sementara itu, di antara penonton yang berjubel nampak seorang wanita cantik bertubuh sintal. Matanya yang tajam memperhatikan orang-orang di tempat itu. Dilihat dari wanita itu tentu berasal dari kalangan persilatan. Sesaat kemudian tampak dia berbisik-bisik pada seorang lelaki bertampang bengis yang tadi berdiri di sampingnya. Lelaki gagah dengan wajah dipenuhi cambang bauk itu tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kepala, ketika wanita cantik yang ternyata Rukmini, memberikan sekantong uang keping. Lelaki codet itu lalu melangkah pergi.
Rukmini yang berpakaian sangat menyolok dan nampak sengaja memperlihatkan keindahan tubuhnya, sesaat kelihatan agak gelisah. Sesekali menengok ke kiri dan kanan, seperti sedang ada yang ditunggu. Lalu orang kepercayaan Murti itu beranjak pergi. Dia menuju sebuah rumah makan yang ada di dekat tempat pertunjukan. Rukmini duduk di sebuah kursi menghadap ke arah pertunjukan yang berada di depan rumah makan.
Karena bangunan rumah makan itu lebih tinggi dari tempat pertunjukan, Rukmini bisa menyaksikan dengan lebih jelas.
Seorang pelayan lelaki datang menawarkan makanan.
"Beri aku tuak dua mangkok...!" pinta Rukmini pada pelayan itu. Namun matanya terus tertuju pada arena pertunjukan.
Mendengar itu, pelayan kaget karena merasa heran. Sepagi ini seorang wanita-minta minuman tuak. Dua mangkok lagi.
"Pesan apa tadi...?" tanyanya ragu sambil membungkukkan badan.
"Kamu tuli..."! Tuak dua mangkok...! Cepat...! Bodoh...!" bentak Rukmini, kesal. Lalu pandangannya kembali ke tempat pertunjukan. Sementara itu, I Gusti Kastasudra sudah berada di antara penonton yang berjubel melingkari arena pertunjukan.
Para penari tengah memperlihatkan sebuah tarian secara bersama. Penabuh gamelan dengan semangat mengiringi para penarinya. Sementara para penonton, tampak mulai merasa tegang menyaksikan tarian yang menggunakan ilmu hitam itu. Seorang penari lelaki bertelanjang dada tengah menusuk-nusuk keris tajam ke dadanya. Rupanya lelaki itu kepala dari penari lainnya, yang juga melakukan hal serupa. Kemudian lelaki itu menusukkan keris ke perutnya. Setelah itu menjulurkan lidah dan mengirisnya dengan keris di tangan kanannya.
Para penonton bertepuk tangan dan merasa kagum akan pertunjukan itu. I Gusti Kastasudra hanya tersenyum-senyum, sambil mengusapusap dagunya. Pakaiannya yang kuning berlengan panjang, berselempang kain putih di dadanya.
Penampilannya yang cukup menyolok, dengan kepala botak plontos dan alis tebal serta hidung mancung membuat para penonton di dekatnya sebentar-sebentar melirik. Mereka mcmandanginya sambil berbisik-bisik, karena merasa aneh melihat penampilan I Gusti Kastasudra.
Sementara itu Rukmini yang sejak tadi gelisah, kini mulai tersenyum ketika matanya melihat I Gusti Kastasudra ada di antara para penonton. Wanita cantik namun berwajah agak keras itu mulai mabok karena dua mangkok arak tadi.
Matanya yang tadi jalang dan liar mulai berubah sayu. Tanpa sengaja I Gusti Kastasudra sempat melihat Rukmini yang juga tengah menatap ke arahnya. Wanita bertubuh menggairahkan itu tersenyum genit, lalu memalingkan kepalanya. Pada saat itulah I Gusti Kastasudra langsung menyelinap dan menghilang di antara kerumunan penonton. Rukmini kaget ketika berpaling lagi ke arah semula. Dengan kening berkernyit dia mencaricari I Gusti Kastasudra, tapi tidak menemukannya. Rukmini dengan kesal bangkit, lalu menyibak orang-orang yang berdiri di bawah tangga rumah makan itu.
"Sial...! Ke mana perginya pendekar botak itu..."!" sungut Rukmini sambil setengah berlari keluar dari rumah makan.
Matanya jelalatan mencari-cari I Gusti Kastasudra. Hatinya merasa heran kenapa tiba-tiba pendekar botak itu menghilang entah ke mana.
Gamelan semakin keras dan menghentakhentak. Para penari pun semakin bersemangat mempertujukkan kebolehan mereka. Menusuk perut, leher, atau mengiris kuping serta lidah mereka. Sebuah tontonan yang menegangkan dan menggiriskan hati para penontonnya. Mereka terpaku keheranan menyaksikan lidah atau kuping para penari yang dapat menyatu kembali setelah terputus karena diiris.
Kalau waktu itu Rukmini sedang kesal karena kehilangan orang yang dinantikannya. Di lain tempat murid Murti yang satu lagi, Lastri sedang asyik bercumbu dengan seorang lelaki berumur tiga puluhan di sebuah kamar belakang rumah makan itu.
Rupanya sejak tadi dari balik jendela ada sepasang mata yang mengintip mereka. Dan benar, ternyata seorang wanita berumur kira-kira dua puluh delapan tahun. Dengan geram wanita itu mendobrak pintu kamar yang mirip gudang itu. Brak! Wanita berbadan agak gemuk itu pun melangkah masuk "Kurang ajar...! Suami bejad...! Biadab...! Kubunuh kalian!" teriakan wanita itu. Matanya melihat ke sana kemari mencari sesuatu. Dan, begitu melihat sebuah golok yang tersangkut di dinding kamar, dengan cepat wanita itu mencabutnya. Tanpa basa-basi diserangnya Lastri dan lelaki yang masih kaget dan duduk di atas balaibalai bambu tua. Lastri yang sudah tak berpakaian secuil pun, dengan cepat bergerak menghindar lalu mengenakan pakaian sambil tersenyum-senyum, melihat lelaki itu sedang mencoba menenangkan istrinya.
Lastri lalu menyelinap pergi sambil tertawa-tawa. Sementara lelaki itu masih saja sibuk menenangkan istrinya yang memegang golok.
"Sabar... sabar... tenang Jinten...! Aku akan jelaskan...," kata lelaki tampan itu sambil mengelak dari sabetan golok istrinya. Dengan cepat dia menangkap tangan Jinten yang memegang golok. Namun ketika hendak mengambil golok yang jatuh di lantai, Jinten yang sudah naik pitam segera menendang kepala suaminya keras sekali. Lelaki itu memekik kesakitan.
Tak sampai di situ. Jinten yang merasa telah disakiti, dengan geram menendang rusuk suaminya secara bertubi-tubi.
Lelaki itu terkapar di atas lantai kamar itu.
Jinten menyeringai dengan kedua mata terbelalak lebar. Sementara itu, di depan rumah makan pertunjukan bertambah semarak. Gamelan terdengar semakin keras dan cepat. Penari pun semakin menggila dan berani, membuat orang-orang kagum dan bertepuk tangan sambil berteriak memberi pujian. Rukmini yang kehilangan jejak I Gusti Kastasudra nampak sudah duduk kembali di tempat semula di rumah makan itu. Wajahnya nampak penuh kekecewaan.
Tiba-tiba Lastri muncul dari belakang.
Dengan tersenyum-senyum dia duduk di samping Rukmini yang tengah memandang keluar, ke arah tempat pertunjukan.
"Masih sempat-sempatnya kau main gila! Kita saat ini bukan untuk bersenang-senang, Lastri. Kalau Nyi Mawar tahu, kau bisa celaka...!" ucap Rukmini ketus pada Lastri. Sejenak matanya melirik ke arah Lastri yang mendadak wajahnya berubah merah.
Rukmini kembali memandang ke depan, kedua matanya terus menyapu seluruh tempat itu.
"Maafkan aku! Dan, kuminta kau tak perlu menyampaikan hal ini pada Nyi Mawar. Aku berjanji tak akan mengulangi lagi...," kata Lastri coba menghilangkan kekesalan Rukmini padanya.
Belum sempat Rukrnini memberikan jawaban, tiba-tiba saja suasana tontonan yang semula semarak menjadi kacau. Hal itu karena Jinten yang sudah mata gelap dengan golok di tangan kanannya berjalan bergegas ke arah Lastri.
Orang-orang yang berada di situ tampak bingung.
Perhatian mereka pun beralih kepada Jinten yang tanpa peduli melabrak Lastri.
"Kubunuh kau perempuan kotor...!" teriak Jinten sambil mengacungkan goloknya dan terus melangkah lebar.
Namun para penari tampak masih terus menari dengan gamelan yang terus mengalun.
Sementara Lastri nampak tenang-tenang saja, bahkan pura-pura tak peduli. Rumini yang duduk di sebelahnya tersentak dan menoleh ke arah Lastri.
"Huh, Perempuan Sial, membuat ma-lu saja!" umpat Rukmini dalam hati. Wajahnya sinis menatap Lastri.
Pada saat itu Jinten sudah berada di dekat Lastri. Tanpa basa-basi lagi, wanita gemuk itu langsung mengayunkan goloknya ke arah Lastri yang masih duduk dengan tenang. Namun dengan gerak cepat Lastri melompat menghindar, sehingga ayunan golok Jinten menggebrak meja.
Suasana berubah menjadi semakin kacau-balau Perhatian beralih pada Jinten yang mengamuk.
Dan penari-penari pun mcnghentikan tariannya.
"Kubunuh kau, Perempuan Sundal...! Heh...!" bentak Jinten sambil terus menebas dan menusuk ke arah Lastri.
Namun, karena Jinten sama sekali tidak memiliki ilmu silat, serangannya tak berarti apaapa bagi Lastri yang memiliki ilmu silat cukup handal itu. Suasana menjadi riuh.
Sementara itu I Gusti Kumala yang berada jauh dari kejadian itu, nampak tenang-tenang saja. Dia duduk di sebuah kedai kecil. Menikmati minumannya. Lelaki gagah berjubah putih itu memang tak ingin ikut campur dengan urusan orang lain, kalau tak terpaksa.
Lastri nampak terus melompat-lompat menghindari serangan Jinten. Wanita itu kelihatan tak begitu melayani amukan lawan. Hal ini menyebabkan Jinten membabibuta, tapi justru membuat Lastri kian tenang.
Lastri mempermainkan Jinten. Karena kemarahan yang telah meluap dan mata gelap, ayunan dan tusukan golok Jinten kain ngawur, tak karuan. Sementara Rukmini nampak masih tenang di tempatnya. Dia tak ingin ikut campur.
Apalagi dia tadi sempat kesal dengan Lastri yang dianggapnya ceroboh. Rukmini memperhatikan kejadian itu dengan mata tak berkedip.
Jinten semakin tak karuan. Mengamuk tak menentu, tanpa ada seorang pun yang mau menghentikannya. Semua orang malah menonton sambil tertawa-tawa. Jinten kian kalut, membabat ke sana kemari tak menentu. Tiba-tiba terdengar suara erangan kesakitan, ketika seseorang terkena sasaran golok Jinten hingga berdarah.
Penonton pun ribut karena Jinten sudah seperti kemasukan setan, kalap. Seorang penari yang paling kebal maju, bermaksud ingin menghentikan Jinten yang semakin kalap itu. Namun belum sempat dia mencegahnya, tahu-tahu golok Jinten sudah menggores lengan kanannya. Ternyata berdarah! Penari kebal itu kaget. Cepatcepat dia menutupi lengannya yang terluka akibat goresan golok Jinten. Takut kalau ada yang melihatnya, dia pasti dicemooh dan dipermalukan.
Penari kebal itu memekik pendek, lalu segera pergi karena malu.
Sesaat kemudian tampak tubuh Jinten mulai lelah. Perempuan gemuk itu sempoyongan, lalu jatuh tersungkur ke tanah. Dia menangis tersedu-sedu memilukan. Lastri tertawa-tawa senang sambil memandang Jinten yang menangis.
Sungguh memuakkan lagak Lastri saat itu.
Tepat pada saat itulah, I Gusti Kastasudra tiba-tiba muncul dan melemparkan sebutir buah ceri. Buah itu melesat dan mengenai betis Lastri.
Perempuan itu terhempas ke belakang, terjatuh ke tanah.
"Hah..."!" Rukmini kaget melihat I Gusti Kastasudra dari tempatnya yang tak begitu jauh. Namun dia tak ingin bertindak. Dibiarkannya Lastri menghadapi I Gusti Kastasudra.
Ketika mengetahui bahwa yang menyerangnya adalah I Gusti Kastasudra, Lastri justru pura-pura kesakitan dan melirik penuh arti pada lelaki botak berjubah kuning itu. I Gusti Kastasudra berjalan tenang mendekat, lalu menolong Lastri dengan mengurut-urut paha dan betis wanita itu. Lastri menikmati urutan telapak tangan pendekar dari Pulau Dewata itu. Namun hanya sebentar, karena di luar dugaan, I Gusti Kastasudra menyentakkan kaki Lastri, hingga tubuhnya terlontar ke udara. Untunglah ia masih bisa mempertahankan keseimbangan.
Lastri melayang lalu secepat itu pula langsung kembali mendarat dan berdiri tegak keadaan siap siaga. Kejadian ini mengejutkan Lastri. Sementara I Gusti Kastasudra tenang-tenang saja, berdiri acuh tak acuh sambil makan buah ceri.
Lastri langsung menghentak dan melesat melakukan serangan-serangan terhadap pendekar dari Pulau Dewata itu.
Kaki dan tangan Lastri menghajar I Gusti Kastasudra silih berganti. Namun dengan mudahnya lelaki gemuk berpakaian kuning itu mengelak dengan lompatan cepat ke kanan dan kiri.
Lastri jadi geram menyaksikan lawan dengan mudah menggagalkan serangan yang dilancarkannya. Namun usahanya tetap sia-sia ketika dia melakukan serangan susulan yang tak kalah dahsyatnya. I Gusti Kastasudra sambil tertawa-tawa mengejek terus mengelakkan serangan Lastri.
"Ha ha ha...! Kau masih perlu belajar ilmu sialat yang benar, Perempuan Genit...!" seru I Gusti Kastasudra.
Suasana kian ricuh. Lastri merasa seolaholah tindakan I Gusti Kastasudra merupakan balasan dari perlakuan Lastri terhadap Jinten. Padahal, serangan-serangan Lastri disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga akibat-akibatnya pun sering mencengangkan. Gebrakan-gebrakannya memecahkan meja dan kursi di kedai itu. Kadang ia melenting tinggi. Tapi semuanya itu tak berarti bagi I Gusti Kastasudra, yang dengan ilmunya yang di atas Lastri terus dapat mementahkan serangan Lastri.
"Yeaaa...! Kali ini mampus kau...!" seru Lastri.
Tangan mereka beradu. Dengan cepat Lastri melontarkan senjata rahasia khas perguruan Murti! Bunga Mawar Merah. Bunga itu melesat begitu cepat dari tangannya.
Blast! Serangan ini tentunya tak diduga sama sekali oleh I Gusti Kastasudra, yang langsung menepiskan dengan jubahnya. Belum lagi habis keterkejutannya, setangkai Mawar Merah yang lain melesat lagi dengan cepat ke arah pendekar dari Pulau Dewata itu.
"Hop...!" I Gusti Kastasudra meloncat menghindar.
Namun anehnya, tiba-tiba Lastri memekik keras menyayat hati. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu tercengang kaget. Tubuh Lastri terhempas ke belakang dan terbanting ke tanah lalu tak berkutik lagi. Mati! Rupanya, ketika melenting menghindar serangan, I Gusti Kastasudra dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa, berhasil menepiskan Mawar Merah itu hingga berbalik ke pemiliknya.
Pada saat itu muncul I Gusti Kumala di antara orang-orang yang panik dan ribut. Lelaki gagah itu menatap Lastri yang telah menjadi mayat.
Rukmini mulai memberikan isyarat pada orang-orang bayarannya. Seketika suasana semakin kacau dan ramai, ketika delapan orang bayaran yang memiliki ilmu cukup tinggi serentak menyerbu I Gusti Kastasudra. Sementara Rukmini menyerang I Gusti Kumala.
Pertempuran pecah. Sebagian bergerak keluar dari rumah makan itu. Suasana ruangan rumah makan porak poranda. Para penari berhamburan menghindar. Para penonton pun tak ingin ikut terkena sasaran pertarungan keroyokan itu. Mereka hiruk pikuk dan berlarian.
Rupanya delapan orang bayaran itu tak bertahan lama menghadapi I Gusti Kastasudra, yang berilmu jauh di atas mereka. Dalam waktu singkat dua kali gebrakan mereka berjatuhan dan tak berkutik lagi. Hanya ada seorang yang masih bertahan. Seorang lelaki berbadan besar yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Tampangnya yang bengis dihiasi brewok hitam dan lebat. Matanya picek sebelah dengan alis yang juga hanya satu.
Lelaki mata satu itu dengan geram dan ganas mengayunkan goloknya membabat I Gusti Kastasudra sambil menggerang keras.
Wut! Wut! Angin dari tebasan goloknya menderu keras di atas kepala I Gusti Kastasudra. Dan secepat kilat pendekar dari Pulau Dewata itu melancarkan serangan balik yang dahsyat dengan pukulan tangan kanannya. Kontan lelaki mata satu itu menjerit. Mulutnya memuntahkan darah segar, ketika pukulan menggeledek I Gusti Kastasudra mendarat telak di rusuk kanannya. Tubuhnya yang besar ambruk dan tak berkutik lagi.
Sementara itu Rukmini yang menghadapi I Gusti Kumala melenting menghindar dari serangan tusukan kedua jari lelaki berpakaian pendekar itu. Wajah Rukmini nampak pucat. Lengan kirinya sudah terluka, akibat terkena tepukan tangan kanan I Gusti Kumala yang mengandung ra-cun. Siapa pun musuh I Gusti Kumala akan terluka atau hangus, bila kena tepuk atau cengkeraman telapak tangannya. Itulah ajian 'Tapak Dewa' yang sangat berbahaya. Ajian itu tak dimiliki deh I Gusti Kastasudra. Sebuah ajian dahsyat yang hanya dapat digunakan atau bisa hadir, jika pemiliknya telah mencapai amarah yang memuncak. Rukmini tiba-tiba melancarkan serangan cepat dengan melontarkan senjata rahasianya berupa Mawar Merah ke arah I Gusti Kumala. Namun dengan sigap pendekar berjubah putih itu menangkap Mawar Merah yang meluncur ke arahnya menggunakan jari tangan. Lalu dengan cepat melontarkan kembali ke arah Rukmini. Wanita itu terbeliak kaget melihat serangan kilat lawannya.
Slats! Rukmini menjerit keras. Tubuhnya melintir lalu ambruk. Mawar Merah menancap tepat di dadanya. Wajah Rukmini mendadak membiru dengan mata mendelik. Mati! I Gusti Kumala menarik napas panjang.
Matanya yang bersih dan tajam menatap Rukmini. Nampak di wajah I Gusti Kumala ada sedikit penyesalan.
"Hyang Widhi..., maafkan aku...! Aku terpaksa membunuhnya," gumam I Gusti Kumala.
Dia memang merasa menyesal begitu tahu Rukmini telah mati.
I Gusti Kastasudra melompat ke arah I Gusti Kumala yang masih termenung, menatap mayat Rukmini "Kenapa kau menyesali semua ini, Saudaraku" Mereka pantas mendapatkan itu. Hyang Widhi juga tahu. Mereka orang-orang tak beriman!" ujar I Gusti Kastasudra.
"Ya. Tapi, siapa orang-orang ini..." Apa maksud mereka menyerang kita, Kastasudra?" tanya I Gusti Kumala.
"Entahlah.... Mungkin mereka orang-orang bayaran," jawab I Gusti Kastasudra sambil menunjuk delapan tubuh yang berserakan mati ter- geletak di tanah.
"Dan, kedua wanita itu mungkin kaki tangan orang bercaping yang menyerang kita semalam di hutan...." I Gusti Kumala hanya manggut-manggut perlahan. Lalu matanya menyapu orang-orang yang masih berkerumun di sekitar tempat pertarungan. Di salah satu sudut, sepasang mata mengamati I Gusti Kastasudra dan I Gusti Kumala.
Sepasang mata yang mengintip dari balik sebuah kedai yang tak jauh dari tempat kedua pendekar Pulau Dewata itu lalu menghilang.


֍₪֍¦ 4 ¦֎₪֎

Murti yang nama lengkapnya Murti Dewi marah ketika mengetahui kedua murid andalannya tewas dibunuh oleh kedua orang pendekar dari Pulau Dewata, I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra. Saat itu Murti tengah melesat bagai terbang di antara pepohonan di hutan jati.
"Bangsat...! Aku harus membalas. Kedua orang asing itu harus kutaklukan!" Tak henti-hentinya wanita itu bersungut marah.
"Aku harus mendapatkan kitab yang ada di tangan mereka, sebelum jatuh ke tangan Pendekar Gila!" Tak berapa lama, karena menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, Murti sampai di pondok kecil di pinggiran sebuah telaga. Tempat itu sunyi dan jauh dari desa atau kota karena terlalu di tengah hutan. Murti langsung mengetuk pintu pondok yang dindingnya terbuat dari tataan kayu dan beratap dedaunan kering.
"Hhh... tak ada orang!" gumam Murti setelah kembali mengetuk lebih keras.
Wajahnya mu- lai muram ketika tak didengarnya sahutan dari dalam. Sementara itu langit mulai memerah karena sang Surya sudah merasuk ke ufuk barat.
"Huh...! Ke mana orang itu...!" keluh Murti kesal.
Tiba-tiba pundak Murti ada yang memegang dari belakang. Karena kaget, Murti langsung menepis tangan itu lalu dengan cepat membalik dan menyerang orang itu. Namun orang yang mengejutkan Murti itu dapat menangkis serangan dengan baik. Dan bahkan dapat menepuk pipi Murti dengan ujung kipasnya.
Murti yang telah mengenai sosok itu cepat menghentikan serangannya. Sesosok lelaki berpakaian serba putih dengan lengan panjang.
Rambutnya yang panjang agak berombak dikibaskan lepas begitu saja. Namun tetap tampan.
"Ha ha ha...!" Lelaki muda itu tertawa-tawa sambil mempermainkan kipas yang ada di tangan kanan, dipukul-pukulkan di telapak tangan kirinya.
"Kau masih saja suka menggoda, Anjasma-ra...!" kata Murti Dewi, tanpa memperlihatkan kemarahan, bahkan terdengar manja.
Anjasmara, termasuk salah satu lelaki yang paling akrab dengan Murti. Kerap kali dirinya bercumbu memberikan kepuasan lahir batin pada Murti yang haus kehangatan pelukan lelaki.
"Kau hanya datang padaku, jika memerlukan bantuan. Dan selain itu aku tahu kau butuh itu, kan...?" goda Anjasmara dengan senyumsenyum nakal. Matanya memandangi Murti dengan tajam. Sambil membalas senyuman. Murti melangkah mendekati lelaki muda itu.
"Kali ini aku benar-benar mendapat lawan tangguh. Kuharap kau bisa membantuku. Berapa pun kau minta, akan kuberi...!" kata Murti sambil mengeluarkan kantong berisi uang, lalu menyo-dorkannya pada Anjasmara.
"He he he...! Kau ini seperti orang yang bam kenal aku saja, Murti. Kau tahu aku, kan" Bukan ini saja yang kuinginkan... Dan kau pasti setuju...!" Lalu Anjasmara membisikkan sesuatu di telinga Murti. Wanita itu tersenyum genit. Belum sempat dia menjawab, Anjasmara sudah memeluk dan menciumi lehernya dengan lembut.
"Huh...!" keluh manja Murti, sambil mendorong pelan tubuh Anjasmara.
"Kau gila...! Nanti dilihat orang Anjasmara."
"Kau ini mimpi..."! Tak ada orang di sini.
Selain kita berdua," sahut Anjasmara kalem diiringi senyumnya. Lalu ditariknya dengan lembut lengan Murti dan diajak masuk ke pondoknya.
"Jangan sekarang, Anjasmara...!" sentak Murti sambil melepaskan genggaman tangan Anjasmara.
"Aneh..."! Biasanya kau begitu bersemangat menerima ajakan ku, Murti. Ada apa kiranya..."!" tanya Anjasmara, merasa heran dengan sikap Murti yang tidak seperti biasanya.
"Kali ini aku benar-benar mendapat kesulitan untuk melawan kedua pendekar dari Pulau Dewata itu. Selain berilmu tinggi, mereka tidak mudah tergoda dengan rayuan perempuan.... Rukmini dan Lastri yang lebih muda dan cantik dariku, tak sanggup meluluhkan hati kedua orang itu," tutur Murti dengan muka murung. Lalu mendengus keras.
"He he he.... Apakah kau sudah mencoba untuk merayu salah satu dari mereka"!" tanya Anjasmara dengan tertawa terkekeh.
Kemudian melangkah mendekati Murti, sambil mempermainkan kipasnya.
"Belum. Tapi rasanya...."
"Jangan kalah sebelum perang, Murti! Aku heran, kenapa kau kali ini nampak cemas dan khawatir menghadapi kedua pendekar dari Pulau Dewata itu," kata Anjasmara mencoba membangkitkan semangat Murti yang biasanya tak pernah secemas dan setegang ini "Aku bukan takut menghadapi keduanya.
Tapi, ada sesuatu yang membuatku cemas," ucap Murti, lalu membalikkan badan.
"Apa" Kau jatuh cinta pada salah satu dari mereka"!" tanya Anjasmara menyelidik. Kemudian membalikkan tubuh Murti dengan perlahan. Murti tak langsung menjawab. Ditatapnya mata Anjasmara tajam. Lalu kembali dia membalikkan tubuh sambil melangkah dua tindak.
"Aku tak pernah jatuh cinta pada lelaki selain pada Kakang Sena Manggala...! Tapi, aku juga membencinya! Hhh... aku ingin membalas sakit hatiku...," tutur Murti dengan suara penuh penekanan pada setiap kata.
Anjasmara mengangguk-angguk kepala tanda mengerti. Sementara itu Murti membalikkan badan dan menatap tajam wajahnya yang tampan.
"Aku mulai mengerti sekarang. Lantas, kenapa kau mau menghentikan langkah kedua pendekar dari Pulau Dewata itu?" tanya Anjasmara ingin tahu.
"Mereka membawa kitab ajaran ilmu kesaktian yang luar biasa. Kitab itu akan diberikan pada Pendekar Gila atau Kakang Sena. Ini yang sangat mencemaskanku. Aku inginkan kitab itu jatuh ke tangan kita, dengan cara apa pun.... Dengan kitab itu aku akan dapat menambah ilmu dan kekuatanku. Hhh... dengan begitu aku akan terkabul untuk menghabisi gadis kekasih Kakang Sena itu...," tutur Murti panjang lebar.
"He he he...! Kau memang wanita ulet dan banyak akal. Namun, kurasa tanpa ajaran kitab itu, kau pun bisa melawan gadis itu," kata Anjasmara meyakinkan Murti.
"Mungkin apa yang kau katakan benar! Aku bisa mengalahkan Mei Lie. Tapi, bagaimana dengan kitab itu. Apakah kau punya akal, Anjasmara?" Anjasmara berpikir sejenak sambil memegangi janggutnya, lalu manggutmanggut. Sambil tersenyum dia melangkah mendekati Murti.
"Rencanaku pasti berhasil! Tapi, kau harus membantuku," kata Anjasmara.
"Apa rencanamu itu, Anjasmara...?" tanya Murti lembut setelah melepas kecupan Anjasmara.
"Bagaimana kalau aku menyamar sebagai Pendekar Gila...?" usul Anjasmara setengah berbisik. Murti mengerutkan kening, ditatapnya wa- jah Anjasmara lapat-lapat "Apakah aku tak salah dengar?" gumam Murti.
"Tidak. Bagaimana, setuju..."!"
"Ternyata kau lebih pintar dan banyak akal dariku. Rencanamu itu membuatku lega. Aku setuju...!" kata Murti, lalu memeluk Anjasmara dan memberikan ciuman mesra.

***

Pada saat ini ternyata Sena atau Pendekar Gila dan Mei Lie, ditemani Dogol sedang berada di dalam sebuah pondok. Di sana nampak seorang bocah lelaki berkulit sisik ular naga. Rambutnya panjang kusut masai tak karuan. Anak itu hanya memakai cawat Bocah itu duduk di pangkuan Pendekar Gila. Di sisi kiri-kanan Pendekar Gila duduk Mei Lie dan Dogol. Sedangkan di depan mereka nampak seorang lelaki tua berjenggot panjang sebatas dada, duduk di atas sebuah altar besar. Tangan kirinya ditumpangkan di lutut kiri, sedangkan tangan kanan mengusap-usap jenggotnya yang berwarna putih itu.
"Aku merasa senang melihat kalian bisa berkumpul. Saat seperti ini sudah lama kita nantikan...," tutur lelaki tua berambut digelung ke atas. Matanya yang tua, tapi masih nampak tajam memandang ke arah Sena dan Supit Songong.
(Tentang Supit Songong, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode : "Perjalanan Ke Akherat").
"He he he...!" Sena tertawa sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memeluk Supit Songong yang duduk di pangkuannya, "Saya juga sudah lama tak bertemu dengan adik Supit Songong dan Eyang.... Naga Brahma," kata Sena dengan suara penuh kegembiraan.
"Ya, ya... aku senang kalau kalian bisa selalu berkumpul. Apalagi aku mendengar berita, bahwa ada dua pendekar dari Pulau Dewata yang sedang dalam perjalanan kemari. Kini mereka masih di tanah Pasundan...," tutur Naga Brahma yang berpakaian seperti resi, berwarna ungu. Kulitnya bersisik, seperti Supit Songong. Kakek berjenggot putih itu adalah ayah angkat Supit Songong. Sudah tiga bulan lamanya Supit Songong meninggalkan tempat asalnya, Pulau Ka-rang Api.
Karena dia mendapat firasat, bahwa Pendekar Gila akan datang berkunjung ke Perguruan Naga Wulung.
"Aku sangat senang bisa bertemu dengan Kakang Sena. Dan kuharap kita bisa terus bersama menumpas orang-orang jahat...," kata Supit Songong.
Kemudian Supit Songong bergeser, duduk di sisi Sena, sedangkan Dogol bergeser ke kiri.
"Tadi, Eyang berkata ada dua pendekar Pulau Dewata sedang menuju kemari... Maksud Eyang...?" tanya Mei Lie yang tiba-tiba membuka suara, ingin kejelasan.
Kakek bernama Naga Brahma itu menoleh, lalu menatap Mei Lie sesaat. Kemudian lelaki berbadan penuh sisik seperti naga itu tersenyum sambil manggut-manggut.
"Pertanyaanmu itu membuatku senang, Mei Lie. Begini, dua pendekar dari Pulau Dewata itu bermaksud baik, ada sesuatu yang akan disampaikan pada Sena. Tapi, ada orang ketiga yang ingin menghalangi langkahnya di tanah Jawa Dwipa ini. Dan kalau memang wangsit yang kudapat semalam benar, petaka akan terjadi di Jawa Dwipa ini," tutur Naga Brahma bernada cemas. Pendekar Gila dan Mei Lie saling pandang.
Supit Songong dan Dogol pun nampak terkejut.
Anak bertubuh penuh sisik itu menggaruk-garuk lengannya, seperti merasa gatal. Supit Songong memang mempunyai kebiasaan, jika hatinya cemas atau kaget, secara tiba-tiba menggarukgaruk lengannya. Ciri khas yang mirip Pendekar Gila. Hanya saja Supit Songong tidak cengengesan. Dia nampak lebih tenang dan diam.
"Apa hubungannya denganku, Eyang..."!" tanya Sena masih bingung sambil menggarukgaruk kepala.
"Hem...! Aku belum tahu dengan pasti, Sena. Tapi, kalian semua harus waspada terhadap orang-orang yang mencoba menghalangi maksud baik kedua pendekar dari Pulau Dewata itu," jawab Naga Brahma penuh wibawa.
"Orang-orang jahat memang sepertinya induk akar yang tidak bisa dihabisi. Selalu tumbuh, dan tumbuh lagi...!" sungut Supit Songong dengan geram.
"Biar aku yang menghabisi mereka, ji-ka nanti kita dapat menemukan biang keladinya," lanjutnya. Bocah laki-laki bertubuh penuh sisik ular itu menggereng dan mendengus seperti seekor ular naga.
"Sabar Adik Supit..., tapi kau benar. Kita harus mencari biang keladi yang ingin mencelakan kedua pendekar itu," sahut Sena sambil menepuk-nepuk bahu Supit Songong.
"Licik benar orang itu.... Siapa mereka kira-kira, Eyang...?" tanya Mei Lie ingin tahu. Gadis cantik ini nampak seperti merasakan sesuatu bakal terjadi terhadap Pendekar Gila dan dirinya.
Perasaan itu timbul begitu Naga Brahma mengatakan bahwa ada orang ketiga ingin menghambat perjalanan kedua pendekar dari Pulau Dewata, yang akan memberikan sesuatu yang sangat berharga untuk kekasihnya.
"Indra keenamku belum dapat melihat dengan jelas. Tapi, kalian mulai saat ini harus waspada...," jawab Naga Brahma tegas.
"Apakah kita perlu menjemput kedua pendekar itu, Eyang?" tanya Supit Songong penuh samangat.
"Ya. Paling tidak kita harus menyelidiki dan membela kedua pendekar itu...," sahut Mei Lie tak kalah semangat.
Naga Brahma tidak langsung menjawab.
Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap-usap jenggotnya.
"Aku lupa mengatakan pada kalian. Kedua pendekar itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Mungkin sejajar dengan Sena. Dan yang kutahu mereka bergelar Mata Dewa. Karena kedua mata dan hati mereka mengandung kesaktian luar biasa. Tapi mereka tak sembarangan menggunakan ilmu itu, kecuali jika terluka atau disakiti hatinya.
Dan masih banyak ilmu tingkat tinggi lainnya yang mereka miliki," tutur Naga Brahma menjelaskan pada mereka.
Mei Lie dan Sena menghela napas panjang, demikian juga Supit Songong. Sedangkan Dogol mengantuk sejak tadi. Air liurnya tampak meleleh. Perutnya yang gendut bergerak-gerak naik turun. Tampangnya lucu dengan bibir tebal dan pipi tembem.
"Lantas, apa yang harus kita perbuat...?" Sena mendadak bertanya dengan nada seperti acuh dan nampak tenang-tenang saja. Lain dengan Mei Lie yang duduk di sebelah kanannya.
Gadis yang cantik bermata indah itu nampak cemas dan tak tenang.
"Sebaiknya kalian untuk sementara tunggu di sini. Bersabarlah untuk beberapa hari ini!" saran Naga Brahma.
Setelah bicara begitu lelaki tua itu perlahan-lahan berubah wujud. Naga Brahma berubah menjadi seekor naga berwarna keemasan dengan mahkota di kepalanya yang juga berwarna emas.
"Ingat pesanku, jangan kalian mengikuti hawa nafsu dan amarah...!"
"Baik, Eyang...," sahut mereka berbarengan. Sementara itu Dogol baru saja bangun dari tidurnya, terkejut melihat wujud Naga Brahma yang telah berubah menjadi seekor naga besar keemasan. Dogol langsung menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya yang gemetaran merapat ke badan Supit Songong.
Anak nada itu hanya tersenyum-senyum melihat Dogol yang ketakutan.
Tiba-tiba Naga Brahma menghilang dari pandangan mata. Sena, Mei Lie, dan Supit Songong nampak agak lega. Sebab, kini mereka merasa lebih bebas untuk merunding dan berbicara secara gamblang.
"Aku sudah tidak sabar lagi untuk menemukan orang yang menghalangi maksud baik kedua pendekar dari Pulau Dewata itu!" kata Mei Lie memperlihatkan kegeramannya.
"Benar. Aku pun bermaksud sama dengan Nini Mei Lie. Tapi, Eyang Naga Brahma melarang kita untuk meninggalkan tempat ini," sahut Supit Songong dengan nada agak kecewa.
"Sabarlah...! Nanti juga ada jalan untuk menyelesaikan persoalan ini. Jangan langgar nasihat Eyang Naga Brahma...!" kata Sena kalem, lalu cengengesan. Mei Lie nampak cemberut melihat sikap Sena yang tenang-tenang saja itu.
Sementara itu, Dogol nampak sudah tertidur lagi. Kini pemuda gendut itu sudah telentang di tanah. Sena dan Mei Lie hanya bisa menggeleng-geleng kepala. Sedangkan Supit Songong tertawa-tawa geli.

***

I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra kini telah memasuki Jawa Dwipa bagian tengah, setelah melalui lembah dan pegunungan di perbatasan timur daerah Pasundan.
Di bawah matahari yang tidak terlalu panas, kedua sosok lelaki berjubah itu tampak menyusuri padang ilalang yang sangat luas. Di kanan dan kiri jalan setapak yang mereka lalui batang-batang ilalang tumbuh tinggi sampai sedada.
Namun tanpa diduga, dari balik ilalang yang rapat dan tebal, tiba-tiba bermunculan lima sosok lelaki berpakaian putih semua. Keenam sosok lelaki itu masing-masing memegang sebuah kipas besar.
"Hah..."! Rupanya ada lagi manusiamanusia bodoh di sini...," gumam I Gusti Kastasudra dengan kalem. Kedua pendekar Pulau De- wata itu nampak tenang menghadapi keenam orang yang dalam sekejap telah mengurung mereka. Tanpa basa-basi keenam lelaki berambut panjang digelung ke atas itu langsung berpencar menjadi dua bagian. Masing-masing telah melancarkan serangan secara cepat. Tiga orang menyerang I Gusti Kumala dan tiga lagi menyerang I Gusti Kastasudra.
Terjadilah pertarungan yang cukup seru.
Gerakan-gerakan kedua pendekar yang berjuluk Mata Dewa itu tampak tenang dan teratur, meskipun menghadapi keroyokan. Keduanya melompat dan melenting ke sana kemari di tengah rumput ilalang itu.
Teriakan-teriakan keras terdengar, seakan hendak memecah keheningan siang di padang ilalang itu. Seketika rerumputan dan ilalang yang sedang berbunga itu tampak morat-marit diterjang pertarungan.
Dengan gerakan yang cepat dan indah kipas-kipas berwarna putih itu berkelebatan di atas dedaunan ilalang yang serba hijau, melancarkan serangan. Sepintas terlihat bagaikan gerakangerakan tarian. Apalagi ketika kipas-kipas terkembang lebar dan dikibaskan dengan cepat, diiringi liukan tubuh pemiliknya.
Terpaksa I Gusti Kumala melenting ke udara dengan gerakan yang indah dan cepat. Lelaki gagah berjubah putih itu kemudian menggunakan senjatanya untuk menangkis dan menyerang.
"Modar kau orang asing! Heaaa...!" seru salah seorang yang menyerang I Gusti Kumala den- gan sebuah tendangan, lalu disusul sabetan kipasnya yang meliuk-liuk cepat.
Namun, I Gusti Kumala rupanya sudah tanggap akan hal itu, hingga dengan mudah mampu mengelak. Kemudian dengan gerakan cepat, sambil melompat dia menghantarkan serangan balik yang mematikan.
Salah seorang dari mereka menjerit keras menyayat hati. Keningnya retak dan terdapat tanda dua jari tangan. Seketika lelaki gagah yang masih memegang kipas itu ambruk dan tak bernyawa lagi.
"Kurang ajar...!" seru yang lain ketika melihat temannya begitu cepat tewas di tangan lawan. Keduanya langsung menyerang berbarengan. Sebuah gempuran dahsyat yang sulit diatasi oleh I Gusti Kumala. Hingga.... Wuuut! Bret! "Ukh!" I Gusti Kumala terpekik kaget, ketika kipas lawan berhasil menggores lengan kirinya. Kejadian ini membuatnya semakin waspada dan meningkatkan serangan. Gerakannya semakin cepat dan ganas. Kainnya berkelebatan, menyerang dan melakukan tangkisan terhadap kibasan senjata lawan. Sementara itu I Gusti Kastasudra pun masih sibuk menghadapi lawan-lawannya. Lelaki gemuk itu melompat sambil melepaskan selendang ikat pinggangnya. Digunakannya selendang itu sebagai senjata, ketika ketiga lawannya menyerang berbarengan dari tiga arah.
I Gusti Kastasudra rupanya lebih ganas karena ingin menyelesaikan pertarungan lebih cepat. Maka dengan serangan-serangan mautnya I Gusti Kastasudra langsung menjulurkan selendangnya. Selendang itu begitu cepat meluncur memburu ketiga lawan yang masih melayang di udara karena hendak melakukan serangan. Bagaikan ular, selendang putih itu membelit ketiga lelaki bersenjata kipas. I Gusti Kastasudra kembali menarik selendangnya. Ketiga orang yang terlilit itu tentu saja terbawa. Dan setelah dekat I Gusti Kastasudra langsung menghantam dengan tangan kirinya. Sebuah pukulan yang dilancarkan dengan tenaga dalam.
Ketiga orang yang terlilit menjerit keras memilukan. Kemudian tak terdengar lagi suaranya. Secepat itu pula I Gusti Kastasudra menghentakkan lagi selendangnya ke udara. Seketika selendang yang melilit ketiga orang tadi terbuka.
Brak...! Ketiga lelaki bersenjata kipas itu jatuh ke tanah setelah lebih dulu terlontar di udara.
"Aku terpaksa membunuh kalian! Itulah ganjaran orang-orang licik macam kalian!" gumam I Gusti Kastasudra sambil memakai selen- dangnya. Sesaat kemudian telah rapi.
Sementara itu, I Gusti Kumala baru saja menyelesaikan pertarungan.
"Oh, Hyang Widhi..., aku terpaksa membunuh orang-orang ini...," gumam I Gusti Kumala dengan wajah sedih penuh penyesalan. Namun lain dengan I Gusti Kastasudra. Dia nampak tersenyum puas. Lalu mendekati I Gusti Kumala yang masih menatapi mayat-mayat yang tergeletak di hadapannya.
"Sudahlah, Saudaraku. Tak usah disesalkan lagi! Semuanya sudah terjadi. Dan orangorang itu memang harus mendapat ganjaran...," kata I Gusti Kastasudra, setelah berada di sebelah I Gusti Kumala.
"Aku mengerti. Tapi, kenapa kita harus membunuh orang di tanah Jawa Dwipa ini..." Kita harus segera dapat menemukan biang keladi semua ini...!" I Gusti Kastasudra hanya menganggukkan kepala, lalu menghela napas dalam-dalam.
Tanpa diketahui tak jauh dari tempat mereka di balik alang-alang yang tinggi dan rimbun, ada dua sosok tengah mengintip. Kedua sosok yang mengintip itu berjongkok di dalam ilalang, sehingga tak jelas keadaan wajah maupun tubuhnya.
"Aku mempunyai firasat mereka pasti menginginkan kitab pusaka yang kita bawa ini," ujar I Gusti Kumala tiba-tiba. Kedua matanya yang tajam mengawasi ke sekeliling tempat itu, meyakinkan bahwa tak ada yang melihat mereka.
"Kurang ajar, ini pasti orang-orang Perguruan Kumbang Emas! Yang kukalahkan dalam pertarungan persahabatan tempo hari...," sahut I Gusti Kastasudra dengan kesal.
"Mungkin juga, tapi bagaimana mereka bisa tahu" Sedangkan kita hanya bicara empat mata pada Bronto Widura...," kata I Gusti Kumala sambil menggeleng kepala perlahan.
"Pasti ada yang mendengar percakapan kita itu, Saudaraku...! Tapi, siapa orang itu..."!" I Gusti Kastasudra nampak berpikir keras.
"Sudahlah! Yang penting kita harus lebih waspada. Harus kita hadapi, apa pun rintangannya," tandas I Gusti Kumala.
Lalu keduanya melangkah pergi dari tempat itu. Mereka sengaja mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi. Sehingga gera kan mereka yang begitu cepat bagai terbang. Dalam sekejap tubuh mereka telah lenyap. Namun baru beberapa lama kedua pendekar dari Pulau Dewata itu menghilang, muncul dua sosok bayangan melesat menuju tempat pertarungan itu. Setelah dekat, jelaslah kalau kedua sosok itu ternyata seorang wanita muda berwajah cantik dengan lelaki bertubuh tegap dan tampan. Wanita itu mengenakan pakaian silat yang ringkas dengan kain diikatkan begitu saja tanpa celana panjang. Hingga betis dan sebagian pahanya tampak menantang.
"Huh!" dengus si Wanita kesal.
"Kau harus segera bertindak!" perintahnya kemudian pada lelaki muda di sampingnya.
"Sabar, Murti...! Aku bisa mengatasi kedua orang asing itu," jawab lelaki muda berpakaian putih yang memegang sebuah kipas lebar.
"Anjasmara, kau harus segera memulai penyamaranmu. Aku pun akan bertindak dengan caraku sendiri. Aku tak ingin kau gagal. Kitab itu harus bisa kita kuasai...!" kata Murti dengan nada tinggi.
"Percayalah, jangan kau terburu nafsu! Yang penting kita akan bertindak sesuai rencana kita. Dan aku mohon kau jangan merubah rencana yang telah kita sepakati, Murti...," kata Anjasmara tegas.
"Pokoknya aku minta, kedua orang itu harus dapat kau tahan. Kalau sampai keduanya lebih dulu bertemu Pendekar Gila, kita akan celaka!" Selesai berbicara begitu, Murti tanpa banyak bicara lagi melesat pergi meninggalkan Anjasmara. Lelaki muda itu hanya bergeleng kepala melihat kepergian Murti.
"Dasar perempuan keras kepala!" gumam Anjasmara.

***



֍₪֍¦ 5 ¦֎₪֎

Keadaan rimba persilatan semakin kacau ketika muncul tokoh-tokoh aliran hitam mencari kedua pendekar dari Pulau Dewata itu. Karena seseorang telah menyebarkan berita bahwa kedua pendekar yang berjuluk Mata Dewa itu membawa kitab sakti mandraguna.
Seperti pada sore itu, terjadi sebuah pertarungan sengit di sebuah hutan. I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra harus berhadapan dengan beberapa tokoh golongan hitam yang mencegat mereka. Kedua pendekar dari Pulau Dewata itu bertarung sekuat tenaga guna mempertahankan diri. Mereka bertarung dengan ilmu-ilmu tingkat tinggi. Namun lima orang tokoh sesat berilmu tinggi yang mengeroyok tak mampu mengalahkan kedua pendekar itu. Hanya dalam waktu singkat, kelima tokoh sesat itu terkapar, mati di tangan sepasang Mada Dewa.
Crasss...! Plak! "Aaakh...!" Jeritan yang panjang terdengar bersahutan dari lima tokoh sesat yang di antaranya Barong Porwa. Pimpinan Perguruan Kumbang Merah yang pernah dipecundangi I Gusti Kastasudra dalam pertarungan persahabatan di perguruan Bronto Widura.
"Aku merasa ada sesuatu yang tak beres.
Entah apa sebenarnya yang telah terjadi. Sejak kedatangan kita ke Jawa Dwipa, sepertinya ada yang ingin menghalang-halangi perjalanan kita," tutur I Gusti Kumala, setelah menghela napas.
"Sepertinya ada sesuatu yang salah. Sulit dipercaya, kita diserang tanpa alasan," sahut I Gusti Kastasudra. Kemudian membersihkan pakaiannya yang kotor.
"Tidak setiap tindakan punya alasan...," ujar I Gusti Kumala.
Sementara itu Murti atau si Mawar Merah mulai menjalankan siasatnya. Murti mulai membunuh orang-orang Perguruan Karang Jati sebuah perguruan silat yang dipimpin oleh Ki Wanapati. Setelah itu dengan cara menyamar Murti bersama beberapa orang bayarannya menyebarkan berita, bahwa semua pembantaian terhadap Perguruan Karang Jati adalah perbuatan kedua pendekar dari Pulau Dewata bersama orangorangnya.
"Hi hi hi...! Jika Sena atau pengikutnya mendengar berita ini, pasti akan marah. Dan... aku akan melihat pertarungan orang-orang sakti itu. Aku dapat ambil kesempatan untuk membunuh kedua tokoh dari Pulau Dewata itu. Hi hi hi...!" Murti sangat gembira, karena merasa akan berhasil mengadu domba antara Pendekar Gila dan kedua pendekar dari Pulau Dewata itu.
Pada saat itu Sena dan Mei Lie, yang berada di kediaman Naga Brahma. Tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya Supit Songong bersama Dogol.
"Ada apa" Dari mana kalian" Kalau Eyang Naga Brahma tahu, beliau akan marah... Bukankah Eyang sudah pesan bahwa kita harus menunggunya?" ujar Sena pada Supit Songong dan Dogol.
"Maafkan aku, Kakang," jawab Supit Songong. Sedangkan Dogol hanya bisa melongo dengan napas engos-engosan, seperti orang habis berlari jauh.
"Kenapa kalian nampak murung...?" tanya Mei Lie kemudian.
"Tadi kami bermaksud ingin membeli makanan di desa. Sampai di kedai mendengar pembicaraan orang-orang, bahwa Perguruan Karang Jati dihancurkan deh kedua pendekar dari Pulau Dewata bersama pengikutnya.... Dan malah menurut kabar keduanya juga menantang Kakang Sena," tutur Supit Songong dengan tegas. Wajahnya nampak masih murung.
"Apa..."!" teriak Mei Lie yang tersentak mendengar keterangan itu.
"Kurang ajar...! Kenapa mereka bisa begitu. Bukankah menurut Eyang Naga Brahma, mereka datang untuk bersahabat dan akan saling menimba ilmu, bahkan ingin memberikan sebuah kitab suci pada Kakang Sena..."!" tambah Mei Lie dengan nada agak tinggi karena kesal.
Sena sendiri nampak bergeleng kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Mulutnya cengengesan seakan tak ada rasa cemas dan kaget.
"Aneh...! Hi hi hi..., sungguh lucu memang dunia ini. Kenapa orang selalu berubah pikiran," gumam Sena seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Bagaimana tindakanmu, Kakang" Bukankah Perguruan Karang Jati milik Ki Wanapati?" tanya Mei Lie dengan wajah nampak mulai geram.
"Ya. Ki Wanapati orang yang bijak. Dia saudara seperguruan paling muda Eyang Guru Singo Edan!" jawab Sena dengan menganggukanggukkan kepala.
"Lantas, bagaimana" Apakah Kakang hanya akan diam saja?" Kembali Mei Lie mendesak Pendekar Gila.
"Kita sebaiknya menyelidikinya, Kakang Sena. Menurut firasatku, bukan kedua pendekar berjuluk Mata Dewa itu yang memporakporandakan Perguruan Karang Jati," kata Supit Songong mengutarakan perasaannya.
Sena menoleh ke arah Supit Songong. Pada saat itu tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang didahului dengan asap putih, disusul dengan suara desisan. Sinar dan asap itu pun sekejap berubah menjadi seekor naga bersisik emas.
Sena, Mei Lie, Supit Songong langsung menjura. Begitu juga Dogol. Dogol menjura, tapi kakinya gemetaran. Bibirnya pun bergetar, takut melihat sosok naga besar di hadapannya.
"Zzzt...!" Naga bersisik keemasan itu mendesis. Lidahnya menjulur menjilati Sena, Mei Lie, Supit Songong dan terakhir Dogol.
Dogol semakin gemetar ketakutan. Tubuhnya yang gendut dan bundar basah keringat, menggigil seperti orang kedinginan. Namun hanya berlangsung sekejap, karena perlahan-lahan wujud naga besar itu berubah menjadi lelaki tua berjenggot panjang.
"Sembah kami, Eyang...." Terdengar suara mereka berempat "Hm...!" gumam lelaki itu pendek.
"Eyang, kami mendapat persoalan yang sangat rumit... Perguruan Karang Jati milik Paman Wanapati, menurut orang-orang dihancurkan oleh kedua pendekar dari Pulau Dewata itu.
Bukankah itu sama saja menginjak-injak kita semua, Eyang.... Karena perguruan itu masih ada hubungan dengan kita, menurut Kakang Sena," kata Mei Lie tiba-tiba dengan wajah menampakkan kekesalan.
"Hm. He he he...! Jangan terbawa amarahmu, Mei Lie. Tapi, aku tidak menyalahkanmu.
Sudah kuketahui semua itu. Rupanya memang ada orang ketiga yang ingin mengacaukan semua maksud baik kedua pendekar itu." Sejenak Naga Brahma menghentikan ucapan, lalu mengelus-elus jenggotnya yang putih bersih itu.
"Seorang wanita yang pernah kau kenal, ingin membalas dendamnya pada kalian berdua...!" lanjutnya sambil menunjuk Pendekar Gila dan Mei Lie.
Kontan saja Sena dan Mei Lie tersentak kaget. Terutama Mei Lie. Namun kemudian Pendekar Gila tampak cengengesan dan menggarukgaruk kepala.
"Siapa perempuan licik itu, Eyang..."! Rasanya kami tak pernah berbuat jahat pada seseorang," kata Mei Lie dengan nada cemas.
"Memang. Tapi, aku tak bisa menjelaskan lebih dari itu. Nanti kalian sendiri yang akan mengetahui siapa wanita itu...," tutur Naga Brahma dengan suara penuh wibawa dan besar.
Mei Lie menghela napas panjang, lalu melirik ke arah Pendekar Gila yang tampak tenangtenang saja.
"Lantas, apa yang harus kami lakukan, Eyang?" tanya Sena dengan kalem.
"Aku serahkan pada kalian semua. Asalkan kalian memang yakin dapat membuka tabir yang masih terselubung dalam peristiwa pelik ini. Doaku bersama kalian. Sekarang kuijinkan kalian pergi. Agar tempat ini tidak menjadi ajang pertarungan orang-orang yang ingin merusak kesucian tempat ini...," tutur Naga Brahma.
"Terima kasih, Eyang. Kami mohon doa restu Eyang...," sahut Sena sambil menjura, diikuti yang lain.
Naga Brahma hanya menganggukkan kepala perlahan. Sena, Mei Lie, Supit Songong, dan Dogol segera beranjak dari tempat itu, meninggalkan Naga Brahma. Lelaki tua bertubuh penuh sisik seperti layaknya ular naga itu kemudian melipatkan kedua tangan di dadanya. Matanya terpejam rapat, melakukan semadi.

***

"Ke mana kita harus mencari pengacau itu, Kakang?" tanya Mei Lie dengan nada yang terdengar sudah tak sabar lagi.
Gadis itu berjalan di sisi kiri Sena, sedangkan Supit Songong berada di depan bersama Dogol. Terkadang anak bersisik naga itu melompat ke pundak Dogol dan tertawa-tawa menggoda.
Tangannya yang hitam memegang pentil Dogol yang gemuk. Pemuda bertubuh bulat itu tertawatawa kegelian.
"Siapa kira-kira perempuan yang menginginkan kematian kita itu, Kakang Sena...?" tanya Mei Lie dengan wajah cemberut "Entahlah, aku belum bisa berpikir. Aneh! Ada saja manusia macam itu! Memangnya nyawa orang kaya ayam!" kata Sena berseloroh. Lalu menggaruk-garuk kepala dan tertawa kecil sambil menatap ke arah Mei Lie. Gadis itu juga bertambah kesal.
"Jangan bercanda, Kakang! Ini bukan sepele. Kita bisa celaka nanti...!" kata Mei Lie dengan nada kesal. Namun Sena tetap nampak cengengesan. Tiba-tiba Pendekar Gila menghentikan langkahnya. Mei Lie pun mengikutinya.
"Supit..!" Supit Songong yang sudah berjalan di sisi Dogol pun berhenti sambil menoleh ke belakang.
Diikuti Dogol, yang memegangi perutnya. Supit Songong segera menghampiri Sena dan Mei Lie.
"Ada apa, Kakang Sena?" tanya Supit "Kita nampaknya harus bersiasat. Kita harus berpencar. Kau dan Dogol mencari dan menyelidiki keadaan tempat-tempat yang mencurigakan. Biar aku dan Mei Lie menyelidiki di tempat lain. Sebelum malam tiba, kalau bisa kita harus sudah berkumpul kembali di Perguruan Kera Putih, tempat Paman Wanara Sakti...!" usul Sena pada bocah bersisik naga itu.
"Baik, Kakang Sena. Kami segera pergi...," sambut Supit Songong sambil menjura lalu pergi.
Dogol nampak ragu. Namun Pendekar Gila mengisyaratkan dengan anggukan kepala. Lelaki gemuk itu pun melangkah setelah menganggukkan kepala pada Sena dan Mei Lie.
"Sebenarnya aku mengkhawatirkan Dogol dan Supit Songong. Tapi mereka harus dilatih untuk berani. Seperti Eyang Guru Singo Edan melatihku sejak masih kecil seumur Supit Songong.
Ternyata manfaatnya sangat banyak dan berarti sekali bagiku," kata Sena seakan bicara pada diri sendiri. Mei Lie hanya menganggukkan kepala perlahan tanda mengerti.
Sejenak Sena menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah Mei Lie yang sedang memandanginya. Pandangan mata kedua muda mudi itu beradu, Mei Lie tersenyum, mukanya agak merah.
"Lantas kita bagaimana, Kakang Sena...?" tanya Mei Lie untuk sekadar menghilangkan rasa malu.
"Sebaiknya kita cepat melakukan penyeli-dikan...," jawab Sena, lalu melangkah diikuti Mei Lie

***

Siang itu di Perguruan Panca Ungu yang beraliran putih sedang diporak-porandakan oleh lima orang berpakaian serba merah dengan muka sebagian tertutup kedok kain. Rambut kelima orang yang panjang dibiarkan lepas tergerai begitu saja. Jeritan-jeritan keras dan panjang terdengar memecah suasana siang. Kelima orang itu dengan ganasnya membakar dan membunuh orang-orang Perguruan Panca Ungu yang tak sempat melakukan perlawanan berarti. Sebab serangan itu datang secara mendadak.
"Kurang ajar! Kalian berani mengganggu kami. Rasakan ini...!" Ki Kidang Ungu, Pimpinan Perguruan Panca Ungu dengan cepat menyerang salah satu dari kelima orang berseragam merah itu.
Keduanya dengan ganas saling pukul dan tendang. Ki Kidang Ungu mengibas-ngibaskan tombaknya menyerang kaki lawan. Namun orang berkedok merah itu dengan mudah dapat mengelak. Bahkan dengan cepat dia melompat lalu melancarkan serangan balik yang cukup dahsyat Slats! Slats! Tanpa diduga, lawan melontarkan senjata rahasia berua bunga-bunga Mawar Merah. Ki Kidang Ungu terkejut dengan mata terbelalak. Segera dia menangkis dengan tombaknya yang diputar cepat Trak! Trak! Mawar Merah yang keras bagai besi itu beradu. Ki Kidang Ungu berhasil melompat mengelakkan serangan. Namun tanpa diduga dari arah belakang meluncur pula dengan derasnya Mawar Merah yang dilontarkan lawan yang lain.
Slats! Slats! Jlep! Jlep! Ki Kidang Ungu menjerit. Dua Mawar Merah menancap tepat di tengkuk dan punggungnya. Beberapa saat kemudian Ki Kidang Ungu roboh dan tak bergerak lagi.
Sementara di sana-sini semakin banyak murid Perguruan Panca Ungu yang tewas. Darah berceceran di tanah halaman perguruan ini.
"Ha ha ha...! Kita telah melaksanakan tugas dengan baik. Cepat kita tinggalkan tempat ini, sebelum ada yang melihat kita!" seru salah satu dari kelima orang berkedok merah.
Namun, baru saja mereka akan meninggalkan halaman Perguruan Panca Ungu, tiba-tiba... "Berhenti...!" Terdengar suara bentakan keras dari belakang mereka.
Kelima sosok berkedok merah itu kaget lalu berbalik. Mata mereka terbelalak melihat sosok bocah berkulit sisik ular tengah menatap dengan kedua matanya yang bersinar kemerahan.
Kemudian muncul lelaki muda berperawakan pendek dan berperut gendut yang tak lain Dogol. Pemuda itu tertawa sambil menggarukgaruk perutnya.
Kelima orang berpakaian serba merah itu saling pandang sejenak. Lalu orang yang paling depan berseru.
"Hei... kau anak setan dan kau gendut! Jangan coba-coba melawan kami, jika ingin lebih lama hidup di dunia! Cepat pergi sebelum kami bertindak kasar pada kalian...!" Bocah kecil berkulit sisik ular yang tak lain Supit Songong. Mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi-gigi taringnya yang mengkilat. Kedua mata anak naga itu menyala merah ketika lidahnya yang bercabang bagai ular menjulur keluar.
Kelima orang berpakaian serba merah itu kaget melihat sosok bocah aneh itu. Mereka kembali saling pandang. Lalu tanpa berkata-kata, semua bergerak serentak mengurung Supit Songong dan Dogol. Dogol mengerutkan kening dan menelan ludah sambil terus menggaruk-garuk perutnya.
"Supit.. apa yang harus kuperbuat.." Mereka nampaknya berilmu tinggi," kata Dogol dengan suara perlahan.
"Zzrf...! Kau harus berani menghadapi mereka. Jangan bikin malu Kakang Sena!" jawab Supit Songong sambil mendesis.
Kelima orang berpakaian serba merah itu terus bergerak cepat mengintari Supit Songong dan Dogol.
"Rupanya kalian yang membuat kekacauan dan merusak nama baik Kakang Sena...! Akan kuhabisi kalian...! Zzzttt... Gmr...!" Supit Songong terus menjulurkan lidahnya yang bercabang dan mengandung racun ganas itu.
"Tiba-tiba.... Wret! Wret! Serentak kelima orang berpakaian serba merah itu melesat melancarkan serangan cepat sekali. Namun dengan gerakan tak kalah cepat Supit Songong dan Dogol melompat ke udara dan bersalto lalu mendarat di tempat lain dengan sempurna. Kelimanya lalu memencar jadi dua bagian. Dua menghadapi Dogol dan tiga menghadapi Supit Songong. Pertarungan menjadi seru. Supit Songong yang mulai marah dengan ganas menyerang. Kedua tangannya bergerak mencengkeram dan mencakar. Bagai seekor naga yang sedang mengamuk.
"Grrr... zzzttt..!" Suara geraman dan desisan yang menggetarkan terus terdengar dari mulut kecil si Bocah Ular itu. Tangannya yang hitam dan bersisik mencengkeram ke sana kemari memburu tiga lawannya. Sehingga ketiga orang berkedok merah itu tampak kewalahan menghadapi gerakan yang cepat dan menggiriskan.
Sementara itu Dogol dengan gaya yang lucu terus bergerak mencoba menghadapi gempuran kedua lawannya. Dari gerakan-gerakan yang lucu, tampak pemuda bertubuh gemuk itu tengah mengerahkan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Salah satu jurus andalan yang dimiliki oleh Pendekar Gila. Dari gerakan itu, keluar serangkum angin yang mampu menahan gerakan lawan.
Kedua lelaki berkedok itu terkejut melihat jurus aneh yang dimiliki Dogol. Walaupun agak kaku, namun sudah bisa membuat kedua lawannya berpikir dua kali untuk menyerang pemuda berperut buncit itu. (Untuk mengetahui lebih jelas tentang Dogol, baca serial Pendekar Gila dalam episode : "Serikat Serigala Merah") "Edan! Orang gendut ini ternyata mempunyai jurus aneh yang belum pernah kulihat..!" gumam salah seorang lawan Dogol sambil melenting menghindari serangan angin itu.
Sedangkan yang satu lagi terlambat untuk mengelak. Pukulan telapak tangan Dogol yang tampak lamban dan tak bertenaga mendarat di tengkuknya. Dogol ternyata menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang didapat dari Pendekar Gila, selama mengikuti pengembaraan pendekar kesohor itu.
Plak! Lelaki berkedok merah itu terpekik keras.
Tubuhnya langsung terpental ke samping dan bergulingan di tanah.
"He he he...! Mampus kau!" Dogol tertawa-tawa. Namun salah seorang lagi mendadak dengan cepat melancarkan serangan kilat ke arah Dogol yang tengah merasa bangga. Dogol tersentak kaget melihat lawannya melompat ke udara dengan melancarkan tendangan keras. Dugkh! "Aduuuh...!" Dogol memekik. Tubuhnya yang tambun terhuyung ke belakang beberapa tindak lalu roboh. Sambil memegangi dadanya dia meringisringis kesakitan.
Supit Songong marah saat tak sengaja melihat Dogol ambruk. Tubuhnya melesat bagai terbang ke arah orang yang menyerang Dogol. Dengan gerakan kilat Supit Songong menerkam orang itu lalu menjilatinya.
Seketika orang berkedok itu menjerit Tubuhnya kejang-kejang lalu ambruk dan mati! "Dogol..., menyingkirlah! Biar orang-orang ini aku hadapi...!" seru Supit Songong. Lalu kembali dia menyerang lawannya yang tinggal empat orang. Dogol segera menjauh. Satu orang yang kena tepukan Dogol nampak telah bangkit dan ikut menyerang Supit Songong. Pertarungan semakin seru. Keempatnya dengan ganas menyerang bocah bersisik ular itu dengan melancarkan senjata-senjata rahasia mereka yang berupa Mawar Merah. Slats! Slats! Supit Songong kaget. Namun bocah bersisik yang berasal dari Pulau Karang Api itu masih sempat mengelak. Tubuhnya yang kecil melenting dan berputaran di udara guna mengelakkan serangan Mawar Merah yang mengandung racun ganas itu. Supit Songong akhirnya hinggap pada sebatang cabang pohon tak jauh dari tempat pertarungann. Sementara Dogol masih nampak meringis menahan sakit. Tapi tak parah.
"Grrrr.... Zzzttt...!" Supit Songong mendadak terbang dan meluncur ke arah keempat lawan yang melompat ke udara, bermaksud menyerangnya dengan melontarkan senjata-senjata Mawar Merah. Namun Supit Songong lebih cepat menyemburkan bolabola api ke arah keempatnya. Keempat orang berkedok yang masih di udara kaget, hingga tak dapat mengelak lagi. Seketika terdengar suara jeritan keras bersahutan dari keempatnya karena tubuh mereka terterjang bola api yang ganas dan sulit dipadamkan.
Keempat orang berpakaian serba merah itu berpentalan jatuh ke tanah dengan keras. Mulut mereka mengerang-erang sambil mencoba memadamkan api. Namun api semakin membesar. Setelah berkelojotan sebentar keempatnya tewas dengan tubuh hangus terbakar.
Supit Songong yang sudah kembali mendarat segera melompat mendekati salah seorang yang tak terlalu parah. Dibukanya tutup wajah orang itu. Dan... ternyata seorang wanita. Wajahnya pucat karena sudah tak bernyawa lagi.
"Hah..."! Wanita..."!" gumam Supit Songong.
"Dogol cepat kemari...!" serunya kemudian, memanggil si Gendut Dogol.
Dogol pun mcnghampirinya. Dia tampak mengerutkan kening ketika mengetahui bahwa lawan-lawannya tadi ternyata wanita.
"Siapa kiranya mereka ini, Supit.."!" tanya Dogol dengan mata membelalak dan mulut melongo, persis orang bloon.
"Aku tak tahu. Sebaiknya kita cepat beri kabar Kakang Sena...," kata Supit Songong dengan geram. Matanya mencari-cari sesuatu di tu- buh orang yang ada di dekatnya.
"Mawar Merah..."!" gumam Supit Songong perlahan ketika melihat Mawar Merah yang tergenggam di tangan kanan mayat wanita itu.
"Kita bawa saja Mawar Merah ini pada Kakang Sena...!" usul Dogol tiba-tiba sambil mengulurkan tangan kanannya bermaksud mengambil senjata berupa bunga mawar itu.
"Jangan... tunggu! Kau akan mati kena racun Mawar Merah itu. Jangan sentuh!" cegah Supit Songong cepat sambil menahan tangan Dogol. Supit Songong berpikir sejenak, lalu segera berdiri dan berkata pada Dogol.
"Ayo, kita cepat pergi dari tempat ini...!" Supit Songong melesat pergi diikuti Dogol yang nampak susah payah mengimbangi gerakan bocah ular itu.
Dalam perjalanan, Supit Songong dan Dogol bertemu Pendekar Gila yang juga sedang menyelidik bersama Mei Lie.
"Hah..."! Kakang Sena...!" serunya kemudian sambil menghambur ke arah Sena dan Mei Lie. Disusul Dogol yang nampak terengah-engah.
"Aku khawatirkan keselamatan kalian berdua," ujar Sena, memandang wajah Supit Songong dan Dogol nampak cemas.
"Kakang jangan khawatir! Aku dapat mengatasinya, Kakang," sahut Supit Songong polos.
"Aku tahu, kau memiliki ilmu yang cukup, Supit. Tapi, semestinya aku yang menghadapi semua bencana ini...," kata Sena sambil memegang bahu Supit Songong, lalu melihat Dogol yang masih nampak terengah-engah kecapean. Apa yang kalian temukan" Kelihatannya kalian habis menghadapi...?"
"Kami baru saja menghadapi orang-orang pengacau itu, Kakang. Nampaknya memang ada dalangnya dalam semua kejadian itu," tutur Supit Songong tegas.
"Maksudmu...?" tanya Mei Lie sambil mendekati Supit Songong. Nampak di wajah gadis itu adanya ketidaksabaran dan rasa penasaran di hatinya. Supit Songong tak langsung menjawab, dia memandang wajah gadis yang juga berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa itu. Lalu menggaruk-garuk lengannya, seperti merasa kegatalan.
"Bagaimana kalau kita bicarakan di tempat Paman Wanara Sakti?" usul Supit Songong kemudian dengan polos.
Pendekar Gila memandang ke arah Mei Lie sejenak. Gadis itu mengangguk dan menghela napas pendek "Usulmu cukup beralasan Supit. Ayo, kita segera ke sana! Siapa tahu Paman Wanara Sakti bisa memberikan saran pada kita," sambut Sena lalu segera melangkah, diikuti Mei Lie, Supit Songong, dan Dogol.

***

Malam yang sepi menyelimuti bumi. Embun turun bersama hawa dingin yang menusuk tulang. Bulan yang hampir purnama bersinar terang di langit biru tanpa awan. Di dalam bangunan utama Perguruan Kera Putih nampak Sena, Mei Lie, Supit Songong, Dogol, dan Ki Wanara Sakti. Selain itu ada pula dua murid andalan Ki Wanara Sakti, yaitu Megananda dan Pasurajiwo.
Mereka tengah membicarakan persoalan Mawar Merah dan kedua pendekar dari Pulau Dewata.
"Sudah empat perguruan aliran putih dihancurkan oleh orang yang belum jelas, siapa sebenarnya mereka," kata Ki Wanara Sakti.
Meskipun telah berusia enam puluh lima tahunan, lelaki itu nampak seperti masih berumur tiga puluh tahunan. Rambutnya yang sudah dua warna tertutup oleh kain putih. Pakaiannya pun serba putih berupa jubah panjang.
"Tapi rasanya bukan kedua pendekar yang bergelar Mata Dewa itu. Yang perlu kita cari, sia-pa pemilik Mawar Merah yang coba ingin membunuh aku dan Dogol tadi," kata Supit Songong yang duduk di dekat Pendekar Gila.
"Benar. Perasaanku pun semakin yakin, bahwa orang ketiga sengaja ingin mengadu domba antara kita dengan kedua pendekar itu. Agar maksud dan tujuan si Pemilik Mawar Merah terwujud," tambah Mei Lie tegas.
Sementara Sena tampak mengerutkan kening, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu menggarukgaruk kepala sejenak sambil cengengesan. Sikap dan tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan bagi murid Singo Edan itu.
"Aha... aku baru teringat sekarang.... Rasanya aku pernah mengenal bahkan menghadapi orang yang memiliki senjata rahasia semacam itu...," seru Pendekar Gila tiba-tiba menggeleng-geleng kepala dan cengengesan.
"Siapa kiranya orang itu, Kakang?" tanya Mei Lie yang sejak awal sudah merasakan penasaran sekali di hatinya. Sebenarnya si Bidadari Pencabut Nyawa itu pun sejak tadi terus berusaha mengingat orang yang pernah memiliki senjata Mawar Merah. Namun dia sendiri belum berhasil menemukannya. Itulah yang membuat hatinya bertambah kesal.
Sejenak suasana berubah hening. Masingmasing sedang memikirkan sesuatu untuk memecahkan persoalan pelik itu.
"Sebelum keadaan semakin kacau dan merajarela, kalian harus segera mencari dalangnya.
Kalau orang yang memiliki Mawar Merah itu seorang wanita, barangkali ada hubungannya dengan masa lalumu. Mungkin dia pernah merasa sakit hati terhadapmu, hingga menyimpan dendam.
Coba kau ingat-ingat, siapa kiranya orang itu" Ini hanya firasatku saja...," tutur Ki Wanara Sakti.
Suaranya besar dan berwibawa.
Sena tersentak mendengar tutur kata Ki Wanara Sakti. Seketika wajahnya berubah. Mawar Merah membuatnya teringat akan seseorang wanita. Yah, seorang wanita! Sena menoleh ke arah kekasihnya yang masih berpikir dan mengingat-ingat sesuatu.
"Masa lalu"! Siapa yang pernah disakiti oleh Kakang Sena"! Hhh... aku merasakan sesuatu. Wanita" Siapa wanita yang pernah disakiti Kakang Sena?" Begitulah pikiran Mei Lie terus berkecamuk. Gadis itu nampak semakin murung dan kesal. Sena nampak menggaruk-garuk kepala.
Wajahnya nampak cemas. Meskipun ada pula senyum cengengesan di mulutnya tapi cepat berubah "Mungkinkah dia Murti..."!" gumam Sena lirih sekali. Takut akan kedengaran Mei Lie.
"Ah...! Tak mungkin, tapi...." Sena nampak semakin gelisah dan tak tenang. Itu membuat Mei Lie kaget dan mulai sedikit curiga pada kekasihnya.
"Mungkin Kakang Sena merahasiakan sesuatu padaku...?" kata Mei Lie dalam hati.
"Semuanya kuserahkan pada kalian yang muda-muda. Aku hanya mendukung dari jauh.
Lebih cepat kalian bertindak itu lebih baik. Agar nama baikmu kembali harum, Sena...," tutur Pemimpin Perguruan Kera Putih itu dengan suara besar dan berwibawa, memecah keheningan.
Sementara di luar, malam semakin sunyi dan sepi. Rembulan tampak tertutup awan. Lolongan anjing hutan dan suara binatang lain bersahutan di antara desau angin menerpa dedaunan. Beberapa murid perguruan nampak berjagajaga penuh siaga.

***



֍₪֍¦ 6 ¦֎₪֎

Malam itu di tepi sebuah hutan I Gusti Kumala sedang duduk menghadapi api unggun.
Lelaki gagah berpakaian jubah putih itu sedang duduk termenung menikmati hangatnya nyala api. Sementara I Gusti Kastasudra sesekali melemparkan kayu-kayu kering agar tetap menyala.
"Aku merasa ada sesuatu yang tak beres.
Di Jawa Dwipa yang kuimpikan, ternyata banyak orang yang tidak bersahabat. Semestinya kita kemarin menanyakan pada bocah bersisik ular itu. Aku melihat bocah itu bukan bermaksud jahat. Dan kita telah terjebak oleh sekelompok orang-orang serakah," tutur I Gusti Kumala tanpa menoleh sedikit pun pada I Gusti Kastasudra.
Matanya memperhatikan bara-bara api yang berterbangan ke atas.
"Ya. Mereka rupanya tidak senang kalau kita bertemu dengan Pendekar Gila. Dan bocah itu menyerang kita, karena Perguruan Karang Jati kita yang menghancurkan. Aneh! Kita jadi kambing hitam," tambah I Gusti Kastasudra. Lalu melemparkan sebuah kayu ke api unggun, membuat api memercik dan menimbulkan kobaran yang lebih besar.
"Belum pernah kujumpai tanah yang ramah. Bahkan Jawa Dwipa yang menurut berita merupakan tempat ramah dan bersahabat ternyata tidak!" kata I Gusti Kumala sambil menggeleng-geleng kepala.
"Sepertinya ada sesuatu yang salah. Sulit dipercaya, kita diserang tanpa alasan!"
"Tidak setiap tindakan harus punya alasan!" sahut I Gusti Kumala.
Keduanya bicara sampai larut malam. Kemudian tertidur. Malam semakin sepi dan dingin.
Kedua pendekar berpenampilan seperti pendeta itu tidur lelap.
Tak terasa pagi pun mulai datang. Kicau burung membangunkan kedua pendekar dari Pulau Dewata itu. Cahaya matahari pagi membuat mereka berdua bangkit dan semadi beberapa saat. Baru keduanya melanjutkan perjalanan.
Kini I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra sampai di hutan lain. Belum sempat keduanya memasuki hutan itu, tiba-tiba dikejutkan oleh suara yang mencurigakan. Mereka menghentikan langkah sambil memasang kewaspadaan guna menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi.
Ternyata benar! Dari balik semak-semak berlompatan keluar dua sosok bayangan meng-hadang kedua pendekar dari Pulau Dewata itu.
"Ha ha ha...! Ini rupanya pendekar yang bergelar si Mata Dewa! Terus terang saja, aku menginginkan kitab itu...!" kata lelaki berpakaian serba putih dengan sebuah kipas di tangan kanannya.
"Ya. Biar kami berdua yang menyampaikan kitab itu pada Pendekar Gila...!" tambah kawannya yang berpakaian kuning dengan ikat kepala merah. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat kayu hitam. Pada kedua ujungnya ada besi runcing menyerupai tombak.
"Aku belum mengerti arah pembicaraan kalian. Kitab apa yang kalian maksudkan tadi..." Kalau pun ada, kami sendiri yang akan serahkan pada Pendekar Gila!" jawab I Gusti Kumala tenang, bahkan tampak tersenyum.
"Benar apa yang dikatakan saudaraku. Karena kedatangan kami berdua hanya mencari persahabatan, bukan permusuhan," tambah I Gusti Kastasudra.
"Ha ha ha...! Rupanya kalian berdua terlalu bangga akan ilmu yang kalian miliki. Tapi, buat aku tak sedikit pun takut menghadapi kalian!" bentak lelaki bersenjata kipas yang ternyata Anjasmara.
"Aneh, dari mana orang-orang ini tahu kalau kitab itu ada pada kita..."!" gumam I Gusti Kumala lirih sekali, seperti berbisik.
"Sebaiknya serahkan kitab itu, lalu kalian boleh pergi! Kan enak. Ha ha ha...!" kata lelaki yang berdiri di samping Anjasmara.
"Lagoa...! Kita tak boleh gegabah melawan dua orang ini," kata Anjasmara pada kawannya.
Lagoa adalah tokoh sesat dari seberang.
Selain bersenjatakan tongkat, dia masih memiliki senjata pusaka berupa badik, terselip di pinggangnya. I Gusti Kastasudra mengingsut selangkah, sehingga membuat Anjasmara dan Lagoa siaga.
Sedangkan I Gusti Kumala masih tampak tenangtenang saja.
"Biar aku yang menghadapinya...!" kata Lagoa dengan mendelik ke arah kedua orang di de- pannya.
"Kita bertarung satu lawan satu!" Sejenak suasana hening. Hingga akhirnya berteriak keras, melompat melancarkan serangan dahsyat, sepertinya tak mau membuang kesempatan. I Gusti Kastasudra melompat mengelak, tapi sambil melancarkan serangan pula. Terjadilah pertempuran seru antara I Gusti Kastasudra dan Lagoa. Ilmu keduanya nampak seimbang.
Makin lama mereka meningkat ilmu masingmasing yang kian dahsyat I Gusti Kumala dan Anjasmara hanya menyaksikan pertempuran karena terikat perjanjian.
Satu lawan satu! Tak jauh dari arena pertarungan, Murti menyaksikan pertarungan itu dari balik rimbunan pepohonan. Wanita muda itu tampak tersenyum puas, karena siasatnya terlaksana.
Pertarungan kian lama kian sengit Gerakan-gerakan mereka berkelebat sulit diikuti pandangan mata. Lambat laun keadaan meningkat sampai pada ilmu-ilmu andalan.
Keheningan siang di hutan itu pun terpecah oleh teriakan-teriakan keras dan panjang dari pertarungan. Semak-semak dan pepohonan tampak morat-marit terterjang kaki dan serangan mereka yang dahsyat.
Lagoa dengan gesit dan cepat menghantam dan menusukkan tongkat bermata dua itu ke tubuh I Gusti Kastasudra.
Wrrrt! "Huh...!" I Gusti Kastasudra melompat, berjumpalitan di udara mengelakkan serangan. Hantaman tongkat Lagoa menerjang pohon.
Jlegarrr! Brak! Cabang pohon itu hancur dan ambruk ke tanah. Sedangkan I Gusti Kastasudra langsung membuka jurus lain. Dengan cepat menggerakkan kedua tangannya.
Lagoa pun tak mau kalah, dia mengeluarkan jurus yang lebih ampuh. Lalu sambil teriak dilemparkan tongkatnya ke arah I Gusti Kastasudra. Wuttt! Prak! I Gusti Kastasudra dengan cekatan membabatkan tangan kanannya untuk menangkis serangan. Tongkat itu patah jadi dua. Kemudian secepat kilat lelaki botak berjubah kuning itu menghantarkan serangan balik berupa pukulan jarum berwarna keemasan.
Lagoa membelalak kaget. Namun dengan cepat dia sempat melenting ke udara sambil bersalto beberapa kali untuk mengelakkan senjatasenjata rahasia itu.
Lagoa lalu mendaratkan kakinya dengan ringan di tanah. Dan secepat itu pula dia mencabut badiknya.
"Huh! Kali ini kau akan mati di ujung badikku.... Heaaa...!" Lagoa langsung melancarkan serangan. Setelah membuka sebuah jurus dengan badiknya dia melompat ke udara.
Melihat itu I Gusti Kastasudra pun melompat ke atas, hingga pertarungan terjadi di udara.
Lagoa menusukkan badik ke arah mata I Gusti Kastasudra. Namun dengan cepat pendekar dari Pulau Dewata itu menangkis dan malah dapat menyarangkan pukulan telak ke dada Lagoa.
Buk! Lagoa memekik panjang. Lalu tubuhnya jatuh bergulingan ke tanah.
Sementara itu I Gusti Kastasudra mendaratkan kakinya dengan ringan di tanah. Lagoa cepat bangkit dan mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk memulihkan keadaannya. Wajahnya yang berhias cambang tipis berubah semakin garang. Tiba-tiba badik di tangannya mengeluarkan asap biru. I Gusti Kastasudra yang melihat itu, segera membuka jurus andalannya yaitu 'Topan Sejati'.
Seketika dedaunan dan debu berterbangan. Pepohonan pun meliuk-liuk bagai terhempas badai.
Tubuh Lagoa nampak bergoyang tertiup angin topan itu. Namun dengan tenaga dalamnya yang tak kalah ampuh, dia mampu menahan. Bahkan dia tiba-tiba melesat, melompat ke udara sambil berteriak dan menghunus badiknya.
I Gusti Kastasudra agak tersentak melihat Lagoa ternyata dapat menahan 'Topan Sejati'. Cepat dia pun melompat ke udara. Kini keduanya telah mengerahkan puncak ilmu masing-masing.
I Gusti Kumala dan Anjasmara menjadi tegang, tetapi tak bisa berbuat banyak.
Terjadilah benturan dua kekuatan dari ilmu yang sangat dahsyat. Dua jari I Gusti Kastasudra menusuk tepat pada leher Lagoa. Sedang badik Lagoa menghujam di perut lelaki botak berjubah kuning itu. Keduanya menjerit. Lalu terlempar jauh dan terhempas ke tanah. Mereka sama-sama diam tak bergerak lagi.
Buru-buru I Gusti Kumala dan Anjasmara bergegas, menolong lawan masing-masing. I Gusti Kumala mencoba untuk menyelamatkan I Gusti Kastasudra dengan melakukan totokan pada tempat-tempat tertentu. Namun usahanya gagal.
Demikian pula dengan Anjasmara yang menuangkan cairan dari sebuah bambu kecil yang disimpan di ikat pinggangnya. Namun juga sudah terlambat I Gusti Kastasudra dan Lagoa mati setelah sama-sama mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimiliki.
I Gusti Kumala dan Anjasmara saling berpandangan. Sorot mata keduanya tajam dan seakan menusuk kalbu. Kemudian tanpa basa-basi lagi, keduanya melenting ke udara. Seketika pertarungan sengit pun terjadi.
Anjasmara dengan kipas saktinya menyerang secara ganas, tak memberikan sedikit pun pada I Gusti Kumala untuk melancarkan serangan balik.
"Heaaa...! Mampus kau orang asing!" hardik Anjasmara dengan sombong, sambil menya- betkan kipas saktinya ke arah kepala lawan. Namun I Gusti Kumala dapat mengelak dengan menundukkan kepala, serta mengibaskan pakaiannya. Wuttt! Deru angin kibasan jubah I Gusti Kumala membuat Anjasmara kehilangan keseimbangan.
Angin keras itu menerpa wajahnya. Pada saat itulah I Gusti Kumala dengan cepat melancarkan tamparan tangan kanannya ke kepala lawan.
Plak! Anjasmara memekik. Namun lelaki muda itu cepat melompat mundur sambil bersalto untuk menjauhi lawannya. Kemudian dengan gerakan cepat dia kembali membuka serangan. Tubuhnya terbang bagai anak panah meluncur sambil memutar-mutar kipasnya. Seketika kipas besar itu menjadi banyak.
Teriakan keras terdengar mengiringi serangan dahsyat itu. Kipas-kipas di tangan Anjasmara terbuka lebar dan berputar menyambar-nyambar.
I Gusti Kumala terpaksa harus melenting dan bersalto beberapa kali di udara sambil mengibaskan jubahnya. Dan pada satu kesempatan, lelaki gagah berjubah putih itu melakukan serangan balik yang tak terduga sama sekali. Hal itu sempat membuat Anjasmara kaget. Hampir saja kepalanya kena pukulan tanpa wujud I Gusti Kumala, kalau saja dia terlambat sekejap melompat ke samping sambil bersalto. Kemudian pemuda berpakaian serba putih itu hinggap pada ranting pohon besar.
Melihat itu, I Gusti Kumala dengan cepat melompat ke udara bermaksud hendak melancarkan serangan susulan. Namun Anjasmara dengan cepat pula melontarkan kipas saktinya ke arah I Gusti Kumala. Kipas itu seketika menjadi ada tiga buah memburu tubuh lawan.
Melihat itu, I Gusti Kumala kaget. Dengan bersalto ke belakang beberapa kali dia mencoba mengelakkan kipas Anjasmara yang ternyata menjadi tiga buah. Kipaskipas itu meluncur dan menyambar-nyambar I Gusti Kumala. Wret! Wret! I Gusti Kumala terpaksa harus terus melenting ke udara, sambil mencoba membuka serangan balik. Namun kipas-kipas itu seperti memiliki mata mengejarnya dari tiga arah. Anjasmara tertawa-tawa senang, dia merasa di atas angin.
Namun dia mendadak membelalak ketika kipas itu ternyata membalik ke arahnya.
I Gusti Kumala pada satu kesempatan dapat menarik ikat pinggang dan segera menghentakkannya. Ikat pinggang lalu dihentakkan ke depan. Maka meluncurlah kipas-kipas itu ke arah Anjasmara. Wut! Wut! Anjasmara kaget. Namun dia masih sempat melompat ke udara dan berjumpalitan. Kipaskipas itu pun menghantam tempat kosong. Ternyata Anjasmara masih memiliki sebuah kipas lagi. Dan kipas terakhir inilah yang paling ampuh.
Angin dari kipas yang disabetkan mengandung racun sangat berbahaya.
Anjasmara yang sudah berdiri tegak dengan kuda-kuda di hadapan I Gusti Kumala dalam jarak enam tombak, segera membuka jurus mautnya, 'Kipas Pencabut Nyawa'. Tangannya bergerak seperti orang sedang mengipas, kelihatannya pelan, tapi sebenarnya sangat cepat I Gusti Kumala tak mau kalah. Dia pun melakukan gerakan indah bagai orang menari. Kedua kakinya bergerak begitu lincah dibarengi gerakan kedua tangannya yang melebar ke samping sambil merundukkan tubuh ke depan. Jari-jari tangannya mengepal kuat-kuat Anjasmara sendiri telah mencapai gerakan aneh yang siap melancarkan serangan. Dengan pengerahan kekuatan tenaga dalam, tubuhnya berputar cepat sekali, hingga menyerupai gasing.
Putaran yang menimbulkan angin keras itu, tibatiba bergeser menyerbu I Gusti Kumala.
Wusss! Werrr...! Suara putaran tubuh dan kipas Anjasmara menderu-deru. Namun I Gusti Kumala yang ilmunya masih di atas lawan, nampak dengan tenang menanti serangan ilmu pamungkas dari pemuda gagah bersenjata kipas itu.
Ketika sudah saling mendekat mendadak Anjasmara menghentikan putaran. Secepat itu pula dibabatkan dengan keras kipas saktinya ke arah leher I Gusti Kumala. Ketika kipas yang berwarna putih bersih itu terbuka lebar berhembuslah hawa mengandung racun.
Wes! Wesss...! "Heit!" I Gusti Kumala ternyata dapat mengelak.
Direbahkan tubuhnya ke belakang, dengan gerakan meliuk begitu lentur seperti karet. Kemudian berguling-guling ke samping dengan cepat, menghindari serangan Anjasmara yang susulmenyusul. Pemuda itu tak memberi kesempatan sama sekali pada lawannya untuk membalas.
"Heee...! Akan kubuat perkedel tubuhmu, Resi Gadungan...!" seru Anjasmara, karena yakin akan mampu membunuh lawannya itu. Namun sampai sekian banyak jurus yang dikeluarkan, serangannya selalu dapat dipatahkan oleh I Gusti Kumala. Hingga akhirnya Anjasmara nampak mulai kelelahan dan seperti putus harapan.
"Mampus kau.... Heaaa...!" Kembali Anjasmara berseru dengan geram. Dibabatkan dengan keras kipasnya ke arah dada lawan.
Sudah kesekian kalinya hawa beracun berhembus. Hal itu tidak hanya membuat I Gusti Kumala cemas, bahkan mulai terasa mual hendak muntah. Terpaksa dia melenting ke udara untuk menjauhi serangan lawan. Setelah itu secepat kilat dia melakukan gerakan aneh. Dua jari tangan kanannya yang menyatu kuat dan keras bagai besi berputar cepat.
Sementara tak jauh dari tempat mereka bertarung, di balik semak dan pepohonan, Murti terus mengamati pertarungan itu. Dia sangat menginginkan agar Anjasmara segera mati. Atau dapat dikalahkan oleh I Gusti Kumala. Dengan begitu dia bisa lebih bebas, dan akan memiliki kitab sakti itu. Murti telah menyiapkan segala macam cara untuk menaklukkan I Gusti Kumala.
Kembali pada pertarungan I Gusti Kumala dan Anjasmara yang semakin seru dan ganas.
Bret! Celana I Gusti Kumala robek kena sabetan kipas Anjasmara, tembus ke daging pahanya. Seketika pendekar dari Pulau Dewata itu membelalak. Dia mulai marah. Diusapnya luka itu dengan telapak tangannya, dan seketika itu juga sembuh.
Anjasmara yang melihat I Gusti Kumala yang dikiranya lengah, segera melakukan serangan lagi dengan melompat cepat. Namun rupanyalawannya itu telah siap menghadapi serangan.
Hal itu tak diduga sama sekali oleh Anjasmara. I Gusti Kumala dengan ilmu 'Mata Dewa'nya, mampu melihat serangan secepat apa pun. Matanya mendadak memancarkan kilauan berwarna keperakan. Sinar dari matanya menghantam tubuh lawan. Dengan putaran kipasnya pemuda itu mampu menangkisnya. Namun sia-sia, ilmu 'Mata Dewa' itu menembus dada Anjasmara, hingga terpental jauh. Pemuda berpakaian serba putih itu menjerit keras kesakitan. Tubuhnya melayang, dan.... Brakkk! Anjasmara terbanting setelah menghantam pohon besar, lalu tewas dengan dada berlubang.
Seketika tubuhnya mengering kaku. Pada saat itu Murti tiba-tiba melompat, keluar dari persembunyiannya.
"Ukh...!" Murti terpekik keras. Ternyata dengan kemampuan penglihatannya yang tajam si Mata Dewa melihat serangan Murti. Dia melompat me mapakinya. Keduanya lalu sama-sama mendaratkan kaki di tanah dengan ringan. I Gusti Kumala nampak terkejut begitu melihat Murti.
"Ohhh..."! Maafkan aku...!" kata I Gusti Kumala yang masih terheran-heran memandangi wanita bertubuh menggairahkan itu.
"Tidak... tidak apa-apa...," sahut Murti sambil berpura-pura merasakan sakit di dadanya. I Gusti Kumala menatap Murti dengan penuh tanda tanya.
"Kenapa dia tiba-tiba muncul.
Apakah ada hubungannya dengan semua peristiwa yang kuhadapi?" pikir I Gusti Kumala dalam hati. Matanya menatap ke arah Murti yang masih mengusap-usap dadanya.
"Bukan maksudku ikut campur urusanmu.
Hanya kebetulan aku tadi lewat, dan mendengar teriakan. Untung kau masih mengenaliku. Kalau tidak aku sudah jadi mayat," kata Murti sambil meringis. Murti lalu pura-pura kaget ketika melihat mayat I Gusti Kastasudra.
"Hah..."! Bagaimana ini bisa terjadi" Bukankah saudara seperguruanmu itu memiliki ilmu yang cukup tinggi?" ujar Murti sambil berlari kecil mendekati I Gusti Kastasudra. Wajahnya seketika dibuat sesedih mungkin.
"Semuanya bisa terjadi di dunia ini. Dewa pun bisa binasa, kalau dia lengah. Dan itu sudah takdir bagi semua manusia. Kalau Dewata menghendakinya, tak dapat ditantang oleh kita," tutur I Gusti Kumala dengan suara serak. Murti berpura-pura menangis, lalu bangkit seraya berkata, "Kalau saja aku lebih cepat datang..., semua ini tak mungkin terjadi." Suara Murti terdengar begitu sedih dan lembut. Padahal dengan terbunuhnya I Gusti Kastasudra, dia akan lebih ringan untuk menghabisi I Gusti Kumada. Bahkan akan bisa merebut kitab sakti itu dari tangan I Gusti Kumala.
"Siapa laki-laki itu..."!" tanya Murti ketika matanya melihat mayat Anjasmara yang tak begitu jauh dari tempatnya.
"Bagaimana aku tahu" Aku orang asing di Jawa Dwipa ini...," sahut I Gusti Kumala tegas.
Murti agak gugup mendengar jawaban I Gusti Kumala. Bodoh benar aku ini" Kenapa kutanyakan itu" Begitu pikiran Murti menyesali diri.
Sejenak suasana jadi hening. Keduanya diam membisu. Hanya perasaan mereka masingmasing yang berbicara.
"Sebaiknya untuk sementara kau tinggal di pondokku. Aku tahu kau sedang mengalami kesedihan yang mendalam...," kata Murti dengan lembut memecah keheningan itu.
I Gusti Kumala menatap wajah Murti yang memang cantik dan menawan itu, sepertinya tengah berpikir. Sebaiknya kuterima tawaran wanita ini. Siapa tahu semua rahasia dari peristiwa yang kualami akan terbuka. Begitu kata hati I Gusti Kumala.
"Kau baik sekali..,. Tapi, bagaimana kabar saudara Bronto Widura...?" tanya I Gusti Kumala ingin tahu.
"Oh... panjang ceritanya. Nanti akan kujelaskan padamu. Ayo, sebaiknya kita cepat pergi dari tempat ini sebelum ada orang lain yang datang," ajak Murti.
"Baiklah." I Gusti Kumala mengangguk lalu melangkah mendekati mayat I Gusti Kastasudra dan mengangkatnya.
Tak berapa lama kemudian muncul Megananda dan Pasurajiwo berlompatan dari balik semak-semak. Rupanya mereka belum lama bersembunyi di situ.
"Kita terlambat. Siapa sebenarnya wanita itu?" tanya Megananda.
"Aku hanya mendengar nama Bronto Widura disebut laki-laki itu," jawab Pasurajiwo.
"Mungkin laki-laki itu salah satu Pendekar Mata Dewa.... Lihat mayat-mayat itu!" ujar Megananda sambil menunjuk kedua mayat yang terge- letak.
"Kita ikut mereka, baru nanti kita lapor kepada Pendekar Gila atau Guru Wanara Sakti," usul Pasurajiwo.
Lalu keduanya melesat ke arah Murti dan I Gusti Kumala pergi.

***



֍₪֍¦ 7 ¦֎₪֎

Megananda dan Pasurajiwo melaporkan semua yang mereka dapatkan kepada Pendekar Gila yang berada di kediaman Ki Wanara Sakti.
"Kami dengar hanya nama Bronto Widura yang disebut oleh pendekar itu. Nama perempuan itu kami tak tahu," kata Megananda.
"Benar. Dan ketika kami membuntuti, mereka sudah menghilang. Begitu cepat, padahal tak berapa lama," sambung Pasurajiwo, "Namun saya masih sempat melihat pada rambut wanita itu ada tusuk konde berupa bunga Mawar Merah.
Tertancap di sebelah kiri atas telinganya." Mendengar itu Pendekar Gila tersentak kaget.
"Hah..."! Benarkah apa yang kau lihat itu?" tanya Sena pada Pasurajiwo.
"Benar. Sebelum keduanya pergi, aku sempat melihat dari tempat persembunyian yang tak jauh dari mereka. Wanita itu masih muda dan pandangan matanya sedikit nakal," tutur Pasurajiwo menjelaskan.
"Siapa dia, Kakang Sena"! Cepat jelaskan! Biar aku yang mencari tahu!" kata Mei Lie tak sabar. Sena menggaruk-garuk kepala, lalu memandang ke arah Mei Lie.
"Mungkinkah dia Murti..."!" gumam Sena kemudian. Mei Lie mendengarnya. Seketika gadis itu membelalakkan mata lebar.
"Apa..."! Murti..."! Murti Dewi"!" ulang Mei Lie dengan suara sedikit tertahan.
Sena menganggukkan kepala. Semua yang ada di situ saling pandang. Supit Songong yang duduk di sebelah Dogol pun ikut terbengong melihat perubahan wajah Mei Lie dan Pendekar Gila.
"Kurang ajar...! Rupanya wanita jalang itu masih mau mengusik peristiwa lama. Semestinya aku bunuh saja wanita bejad itu!" kata Mei Lie dengan penuh kegeraman. Dia berdiri dan mon-dar-mandir di situ, kemudian melesat keluar.
Pendekar Gila segera mengejarnya, diikuti Supit Songong dan Dogol. Sementara Ki Wanara Sakti, Megananda, dan Pasurajiwo hanya nampak kebingungan. Ki Wanara Sakti memberi isyarat dengan tangan pada kedua muridnya agar tetap di situ. Mei Lie nampak berdiri di halaman perguruan itu memandang jauh ke depan. Sena menghampirinya. Sementara Supit Songong dan Dogol memandangi dari jarak tak begitu jauh.
"Jangan kau terbawa nafsu dan marah, Mei Lie! Tenanglah sedikit!" ucap Sena, menasihati kekasihnya.
"Kakang Sena, aku merasa heran. Kenapa Kakang masih menyembunyikan dan mengkhawatirkan wanita itu"! Aku harus menemukannya.
Apakah Kakang tidak tahu kalau wanita itu telah merusak nama baik kita, terutama Kakang?" kata Mei Lie dengan perasaan kesal dan cemburu ber-campur dendam pada Murti. Sekilas Mei Lie teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dirinya memergoki Murti mencoba menjerat Pendekar Gila. Dada Mei Lie berdetak cepat menahan amarah dan dendamnya. Tidak biasanya gadis itu bersikap begitu. Namun persoalan yang dihadapi sekarang bukan soal sepele bagi seorang wanita seperti dirinya. Dendam dan cemburu telah membuat Mei Lie menjadi bersikap lain dari biasanya.
Seperti ada pepatah yang mengatakan: Dendam Sama Kerasnya Dengan Cinta. Bedanya, Cinta Mengkhayal Sesuatu Yang Indah, Sedangkan Dendam Membawa Bencana! "Aku mengerti perasaanmu, Mei Lie. Tapi, tolong bersabarlah, jangan terbawa perasaan...!" kata Sena dengan lembut, mencoba mendinginkan hati Mei Lie yang sudah terbakar itu. Sena yang biasanya bertingkah laku konyol dalam menghadapi apa pun, saat ini berubah. Lebih tenang dan bijaksana.
Namun, Mei Lie tiba-tiba saja menepiskan tangan Sena yang coba memegang bahunya. Lalu gadis itu melesat pergi. Sena sangat kaget dengan sikap kekasihnya. Demikian juga dengan Supit Songong dan Dogol yang melihatnya dari jarak tak begitu jauh. Keduanya nampak sedih. Namun tak bisa ikut campur.
"Mei Lie...! Tunggu...!" seru Sena sambil melesat mengejarnya.
Mei Lie tak menghiraukan dan terus dia meninggalkan Pendekar Gila dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dalam sekejap dia sudah tak nampak. Namun Sena tak tinggal diam, ia menggunakan lari 'Sapta Bayu'nya. Bagai terbang Sena mengejar Mei Lie.
"Mei Lie...! Tunggu...!" seru Sena ketika sudah hampir mendapatkan Mei Lie.
Namun tanpa diduga tiba-tiba.... "Yeaaa...!" Wut! Wuttt...! Mei Lie melancarkan pukulan jarak jauh, membuat Sena membelalak. Namun masih untung Sena dengan gerakan secepat kilat masih dapat mengelakkan pukulan Mei Lie.
Glarrr! Pukulan Mei Lie menghantam batang pohon, hingga hancur berantakan.
"Kalau Kakang tetap melarangku mencari wanita pengkhianat itu, lebih baik Kakang jangan lagi mengenal diriku! Anggap saja aku telah mati...!" ancam Mei Lie dengan nada tinggi dan suara lantang. Gadis itu benarbenar sangat marah dan diselimuti rasa dendam yang luar biasa.
Selesai berkata begitu Mei Lie pun melesat meninggalkan Pendekar Gila yang masih terjongkok di tanah, habis berjumpalitan mengelakkan pukulan kekasihnya tadi. Sena nampak kecewa pada tindakan Mei Lie. Dan bangkit dengan perlahan. Pada saat itu datang Supit Songong dan Dogol.
"Kau tidak apa-apa, Kakang Sena?" tanya Supit Songong begitu sampai. Anak bersisik nada itu tampak risau sekali.
Sena hanya bergeleng. Kedua matanya masih menatap jauh ke arah perginya Mei Lie. Cukup lama dia memandang, kemudian perlahan menarik napas panjang. Lalu menoleh ke arah Supit Songong dan Dogol.
"Supit, ikuti Mei Lie! Biar aku dan Dogol mencari wanita itu!" kata Sena kemudian dengan kalem. Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Baik, Kakang. Tapi, kenapa Kakang tidak berusaha menahannya?" tanya Supit Songong ra-gu.
"Entahlah. Aku terlalu sayang dan mencintainya. Kalau aku bertindak lebih keras untuk mencegah... akibatnya akan berbahaya. Terus terang aku tak mau kehilangan Mei Lie...," jawab Sena dengan penuh perasaan.
Setelah menjura, Supit Songong melesat pergi. Sena dan Dogol memandang sejenak kepergian bocah itu.
"Kasihan Nini Mei Lie, Kakang. Saya khawatir dia akan mengalami sesuatu yang tidak kita inginkan...," kata Dogol tiba-tiba dengan wajah sedih.
"Aku pun demikian, Gol.
Ayo, kita amati Mei Lie dari jauh. Mudah-mudahan kita lebih du-lu menemukan Murti...!" kata Sena seraya melangkah pergi, diikuti Dogol.

***

Malam itu suasana begitu tenang. Di dalam Padepokan Mawar Merah suasana tampak terang oleh kobaran api. I Gusti Kumala dan Murti duduk di dekat tumpukan kayu yang menyala berkobar. I Gusti Kumala menatap mayat I Gusti Kastasudra dengan perasaan remuk redam. Sementara Murti hanya diam, dan pura-pura ikut sedih dan terharu.
Beberapa saat kemudian I Gusti Kumala mengangkat mayat I Gusti Kastasudra, kemudian membawanya ke api yang berkobar besar itu. Dia kelihatan begitu khusuk, tercenung menatap api yang terus berkobar. Semua kejadian terkesan begitu sakral dan hikmat. Sementara itu Murti terdiam. Ikut melakukan upacara pembakaran mayat I Gusti Kastasudra.
"Pada waktu sang Bhagawan mangkat.
Sang Hyang Sakka mengucapkan syairnya. Sungguh tak kenal semua unsur-unsur kehidupan ini, setelah timbul kemudian lenyap kembali. Sungguh mulia dan bahagia orang yang mencapai ketenangan, yang telah menghentikan semuanya, untuk selama-lamanya...." Terdengar suara I Gusti Kumala penuh perasaan dan bergetar, mengucapkan suatu doa. Suasana menjadi sangat hikmat dan sakral. Setelah pembakaran mayat selesai, beberapa saat kemudian I Gusti Kumala duduk termenung masih dalam berduka, di pinggir pembaringan di dalam sebuah kamar yang disediakan oleh Murti. Lelaki berwajah tampan itu memandang jauh melalui jendela. Dan ketika mendengar sesuatu, ia menoleh. Dan dilihatnya Murti berdiri di pintu kamar. Wanita cantik itu kini mengenakan pakaian merah muda yang tipis. Mulutnya menyunggingkan senyum penuh arti pada I Gusti Kumala dengan penuh godaan. Kemudian kakinya melangkah mendekat sambil berkata dengan suara serak dan lirih, "Aku bukan lagi istri Bronto Widura. Di Tanah Pasundan kau boleh menyebutku istrinya. Tapi di sini, panggil saja aku Murti! Aku bukan istri siapa-siapa lagi...!" I Gusti Kumala berdiri menghindar ketika Murti duduk di bibir pembaringan dengan tubuh merapat padanya.
"Sebaiknya aku tidur di luar saja...," kata I Gusti Kumala yang masih nampak heran dengan sikap Murti. Namun Murti cepat menggaet dan memegangi tangan I Gusti Kumala.
"Udara di luar dingin sekali. Apa arti wanita dalam kehidupanmu" Inilah aku... tubuh yang bisa dicumbu... disentuh...." Murti semakin memperlihatkan kegairahannya, seperti tanpa sadar I Gusti Kumala mendorongnya. Murti terhempas, lalu jatuh ke lantai.
I Gusti Kumala jadi merasa bersalah. Apalagi ketika Murti pura-pura merasa terpukul.
Murti Dewi malah membiarkan kainnya yang terangkat ke atas hingga tersingkap. Paha dan betisnya yang mulus kuning langsat itu begitu menantang. I Gusti Kumala segera memalingkan muka, lalu melangkah keluar dari kamar. Murti tersenyum nakal. Aku akan berusaha menaklukkan orang yang berlaku seperti dewa ini. Kalau kali ini gagal, lain waktu aku pasti berhasil. Begitu pikiran Murti saat itu. Lalu wanita muda yang cantik dan menawan itu menghambur keluar mengejar I Gusti Kumala. Ternyata yang dicari sudah menghilang.
Murti menjadi geram, marah, dan mulai mendendam pada I Gusti Kumala.
"Bangsat...! Ke mana lelaki yang sok suci itu!" gumam Murti, "Hei...! Apa kerja kalian semua"! Goblok!" Murti membentak murid-muridnya yang berjaga-jaga di halaman tempat persembunyian.
Semuanya diam tak berani menjawab, hanya menundukkan kepala. Murti berucap dengan lantang. Wajahnya nampak galak dengan kedua matanya mendelik.
"Kalian semua seharusnya lebih waspada! Kini tikus laki-laki yang sudah dalam cengkeraman kita hilang...! Ini semua gara-gara kalian yang bodoh! Percuma aku menghidupi kalian! Lebih baik kubunuh saja kalian sekarang juga...!" seru Murti. Begitu selesai dengan kata terakhirnya, secepat itu pula Murti mengibaskan tangan kanannya. Wesss! Jlep! Jlep! Jlep..,! Jeritan kematian terdengar bersahutan memecah keheningan malam. Lima orang murid Murti seketika tewas tertancap senjata rahasia berupa Mawar Merah.
Murid-murid lainnya yang tak berani bertindak apa-apa, tetap diam di tempat, "Ini semua sebagai contoh bagi kalian. Siapa yang bodoh dan tidak menjalankan tugas dengan baik, aku tak segan-segan membunuh kalian!" kata Murti dengan sangat marah.
Lalu Murti segera pergi meninggalkan padepokannya, Di dalam kegelapan malam Murti dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, melesat cepat dan menghilang.

***

Kini Murti sudah sampai di Hutan Mintoraga tempat kediaman Kala Bendono, Murti terus melesat dengan gesit, tak mempedulikan suasana gelap yang harus dilaluinya.
Murti yang kepalang basah, dia tak mau berhenti sampai di situ. Oleh sebab itu dia menemui Kala Bendono, gurunya yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Antara lain ilmu yang biasa merubah wujud. Kala Bendono sendiri dijuluki si Muka Seribu oleh kalangan persilatan, karena kemahirannya merubah wajah.
Di kegelapan malam Murti menuruni lereng bukit dan pegunungan yang sudah lama tak pernah dijamahnya.
"Sudah hampir dua tahun aku tak bertemu dengan guru. Dia pasti marah sekali. Hhh... tapi mengapa aku mesti khawatir. Aku harus membayar semua kesalahanku dengan tubuhku yang biasa diminta guru.... Mudah-mudahan guru ada...!" Selagi Murti masih berpikir seperti itu tiba-tiba telinganya menangkap sesuatu di bawah pohon. Suara langkah-langkah kaki yang sangat perlahan.
"Guru...?" gumam Murti lirih. Lalu dia memandang ke bawah dan ke belakang.
Pada saat yang sama sesosok bayangan berkelebat dalam kegelapan. Dan sekejap kemudian bayangan itu berkelebat melayang ke atas pohon yang ada di depan Murti. Walaupun di atas pohon begitu gelap karena sangat dekat, Murti masih bisa melihat orang yang berdiri di cabang pohon itu. Seorang lelaki berumur tujuh puluhan.
Namun raut wajahnya masih nampak segar. Tubuhnya yang agak tinggi mengenakan pakaian dari bulu-bulu binatang. Rambutnya panjang sudah hampir memutih semua. Tangan kanannya menggenggam sebuah tongkat bercabang dua.
"Guru...!" seru Murti ketika melihat tongkat di tangan kakek yang masih nampak seperti lelaki berumur empat puluhan itu.
"Hi hi hi... he hehe...! Ada apa kau malammalam pekat begini ada di sini, Murti"!" tanya Ka-la Bendono atau si Muka Seribu. Lalu melompat turun dengan ringannya. Sekejap sudah berada di bawah dan berdiri di hadapan Murti.
Murti segera menjura dua kali. Kala Bendono dengan mata sipitnya menatap wajah Murti yang nampak murung malam itu.
"Maafkan aku, Guru... karena lama tak mengunjungi Guru...," kata Murti dengan kembali menjura.
"He he he...! Aku sudah tahu kau bakal datang untuk minta bantuanku. Tak usah minta maaf. Yang kuminta, kau masih tahu kesukaanku. He he he...!" sahut Kala Bendono sambil terkekeh-kekeh. Lalu tanpa berkatakata lagi dia langsung menarik lengan Murti dan membawanya pergi. Keduanya melesat bagai terbang.
Sekejap mereka sudah berada di suatu tempat yang mirip goa. Kala Bendono membawa Murti masuk. Sudah menjadi kebiasaan setiap Murti yang menjadi murid tunggalnya datang, Kala Bendono selalu menggauli dan menyetubuhinya.
Dan itu sudah menjadi keharusan, sesuai dengan perjanjian keduanya, ketika Murti meminta ilmu pada Kala Bendono.
Lelaki tua itu dengan sepuas-puasnya menggeluti tubuh Murti yang mulus dan masih kencang itu. Napas keduanya saling berkejaran memburu kenikmatan dalam melepas rasa rindu.
Malam semakin sepi dan senyap. Angin semilir berhembus. Suara lolongan anjing hutan dan binatang lain bersahutan, menambah mencekam keadaan malam itu.
Setelah merasa puas, Murti menceritakan maksudnya pada Kala Bendono. Mereka sudah memakai pakaian masing-masing. Kala Bendono duduk di atas sebuah ranjang yang alasnya dari kulit-kulit binatang sambil memakan paha babi hutan yang setengah matang.
"Aku mohon orang dari Pulau Dewata itu dapat kukuasai. Dan kitab itu sangat berguna bagi kita, Guru...," tutur Murti dengan suara serak.
Kala Bendono seakan tak mendengarkan ucapan Murti. Lelaki itu masih nampak dengan lahapnya menggigit daging babi hutan. Mulutnya belepotan oleh daging.
"Sebab, jika dia sampai berhasil menemui Kakang Sena, sepak terjang dan rencana dendamku untuk membalas sakit hati pada Mei Lie akan gagal lagi. Guru...," tutur Murti lagi.
Kali ini Kala Bendono menoleh ke arah Murti yang pada saat itu melangkah mendekat lalu memijat-mijat bahunya.
"Jadi, maksudmu bagaimana?" tanya Kala Bendono sambil mengunyah daging babi hutan.
"Aku serahkan pada Guru. Bagaimana cara menghadapi Pendekar Pulau Dewata itu?"
"Hm...," gumam Kala Bendono pendek.
"Aku punya cara yang biasa kulakukan. Apakah kau lupa kalau aku dijuluki si Muka Seribu...?" kata Kala Bendono dengan suaranya yang besar dan berat itu. Murti tersenyum nakal, dia nampak gembira dengan kesediaan gurunya untuk membantunya.
"Di mana kira-kira sekarang Pendekar Pulau Dewata itu?" tanya Kala Bendono kemudian.
Lalu meneguk araknya yang tersimpan di tempurung kelapa itu.
"Dia sudah menuju ke timur. Aku rasa belum terlalu jauh untuk dapat menemukannya.
Guru," jawab Murti sambil terus memijat-mijat bahu dan tengkuk gurunya.
Kala Bendono manggut-manggut, lalu dengan gerakan cepat dia membanting tubuh Murti.

***



֍₪֍¦ 8 ¦֎₪֎

Sang Surya kembali menampakkan diri dengan sinar yang terang menerangi bumi. Angin bertiup kencang menerpa daun-daun ilalang. Sebuah padang ilalang yang luas. Bunga-bunganya bergoyang ditiup angin. Dari kejauhan nampak seorang lelaki dengan pakaian seperti resi berjalan dengan tegap dan cepat.
Namun tiba-tiba langkahnya yang cepat itu terhenti, ketika dari arah berlawanan muncul seorang lelaki muda berpakaian rompi kulit ular berambut gondrong. Mulutnya cengengesan ketika menghadang lelaki berpakaian resi yang memakai kalung dari batu-batu alam.
"Ha ha ha...! Rupanya ada orang asing datang ke tanah Jawa Dwipa ini...!" Tiba-tiba lelaki muda berpakaian rompi itu berucap sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kirinya.
Sedangkan di tangan kanannya, menenteng kepala seorang wanita.
Lelaki berpakaian resi yang melihat kepala di tangan pemuda berpakaian rompi itu, membelalakkan matanya lebar-lebar.
"Murti..."!" gumamnya kaget "Aha, kau rupanya mengenal potongan kepala yang kubawa ini orang asing!" sambar pemuda yang berpakaian rompi kulit ular itu.
"Ya...! Apa yang terjadi antara kau dan dia?" tanya lelaki berpakaian resi yang tak lain I Gusti Kumala.
"Ha ha ha... kenapa" Kau heran aku dapat mengalahkan dan memotong kepala wanita liar itu..."! Ha ha ha...! Semua ini tak ada yang sulit bagiku.,.. Ha ha ha...!" sahut pemuda itu sambil menggeleng-gelengkan kepala dan cengengesan.
"Hm, kalau boleh tahu siapakah kau..."!" tanya I Gusti Kumala dengan suara kalem.
"Ha ha ha.... Akulah yang disebut Pendekar Gila. Kau tentunya orang asing dari Pulau Dewata itu, bukan"!" ujar pemuda yang ternyata Pendekar Gila.
"Jadi, kaulah Pendekar Gila itu"!" tanya I Gusti Kumala dengan wajah agak cerah.
"Kalau begitu kebetulan, tujuanku kemari tak lain ingin menemuimu."
"Untuk apa kau ingin menemuiku" Cepat katakan! Aku tak banyak waktu lagi untuk berbicara banyak padamu. Kepala wanita liar ini akan kutanam di Lembah Akherat!" jawab Pendekar Gi-la.
I Gusti Kumala tiba-tiba merasakan ada kejanggalan pada diri orang yang mengaku Pendekar Gila itu. I Gusti Kumala rupanya mulai ingat akan kata-kata Bronto Widura, yang mengatakan Pendekar Gila pembela orang lemah dan tak sembarangan membunuh lawan, kalau tidak terpaksa. Dan dia juga ingat akan pesan gurunya.
Ciri-ciri Pendekar Gila, selain tingkahnya seperti orang gila, dia memiliki sebuah senjata sakti berupa suling berkepala naga yang selalu terselip di pinggangnya. Namun di pinggang pemuda yang semuanya persis Pendekar Gila tak ada Suling Naga Sakti itu.
"Kenapa kau diam dan menatapku begitu" Apakah kau ingin cari gara-gara denganku?" tanya pemuda yang mengaku Pendekar Gila itu.
Sementara itu di tempat yang tak jauh dari situ, di balik semak, seorang wanita bercadar mengintip dan mendengarkan pembicaraan mereka.
"Maaf Pendekar, tapi saya perlu bertanya.
Kenapa kau yang memiliki nama baik, begitu tega membunuh wanita dengan memenggal kepalanya.
Bukankah itu perbuatan yang melampaui batas dan hanya dilakukan oleh orang berilmu sesat.
Padahal yang aku dengar dari tokoh-tokoh, silat aliran putih di Jawa Dwipa ini, Tuan adalah seorang pendekar sejati dan tak mudah membunuh lawan yang dianggap lemah...," tutur I Gusti Kumala yang mulai curiga dengan pemuda segalanya persis Pendekar Gila.
"Kau mau mempermainkan aku, ya! Pertama kau bilang, tujuanmu datang ke Jawa Dwipa untuk menemuiku, sekarang kau seakan ingin lebih banyak tahu tentang diriku. Apa maksudmu sebenarnya"!" tanya pemuda yang mirip Pendekar Gila itu.
Kepala Murti yang tergenggam di tangannya lalu dilemparkan begitu saja ke samping. Kepala itu menggelinding di tanah. Pemuda yang mirip Pendekar Gila itu mulai marah. Kedua matanya yang besar nampak menjadi merah membara. I Gusti Kumala melihat kepala itu tiba-tiba hilang. I Gusti Kumala semakin yakin, kalau yang dihadapi bukanlah Pendekar Gila sesungguhnya.
Karena hanya orang atau tokoh sesat dan aliran hitam yang memiliki mata merah membara seperti darah itu. Itu pertanda, kalau orang ini memiliki ilmu sesat yang luar biasa.
"Terus terang aku berubah pikiran. Aku ingin menantangmu Pendekar Gila...!" kata I Gusti Kumala dengan tegas. Lalu segera dia menggeser kaki kanannya ke samping, dan membuat kudakuda.
"Hua ha ha...! Rupanya kau sudah bosan hidup! Aku akan ladeni keinginanmu.
Huh...!" sambut pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
Kemudian dia bergerak dan membuka jurus aneh.
Kedua tangannya bergerak dengan cepat, bahkan berubah menjadi banyak.
I Gusti Kumala yang ingin cepat-cepat membuka tabir rahasia yang selalu dihadapi itu, tanpa basa-basi lagi melepas kain pengikat pinggangnya. Kain Ikat pinggang itu memang merupakan salah satu senjata andalan I Gusti Kumala.
Dengan cepat dia menghentakkan kainnya ke depan, hingga meluncur dan menyambar ke arah wajah lawan. Walau hanya kain biasa terbuat dari sutera, namun di tangan I Gusti Kumala kain itu berubah menjadi sekeras tongkat besi. Sesaat lagi ujung kain siap menghancurkan wajah pemuda yang mirip Pendekar Gila. Namun dengan gerakan secepat kilat pemuda itu tahu-tahu sudah lebih dulu melompat ke arah I Gusti Kumala dan langsung menendang dengan kaki kanannya.
Wuttt! Gelombang angin yang sangat kencang menerpa tubuh I Gusti Kumala. Pendekar tampan itu terkejut ketika merasakan bagai didorong sebuah tembok yang tidak kelihatan. Bukan saja ujung kainnya terhempas ke samping, namun tubuhnya ikut terguncang hebat. Hingga kedua kakinya bergetar. Namun mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, I Gusti Kumala dengan cepat mengimbangi diri dan balas menghantam dengan tangan kanan. Serangkum angin dahsyat menderu ke arah pemuda yang mengaku Pendekar Gila. Setengah jalan, I Gusti Kumala menjentikkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya.
Angin serangannya secara aneh mendadak memecah dua. Satu menyambar perut, satu lagi menyambar kepala. Itulah jurus sakti yang disebut 'Angin Dewa Membelah Mega'.
Glarrr! Serangan I Gusti Kumala ternyata menghantam tempat kosong. Karena secepat kilat lawannya dapat mengelakkan serangan itu dengan menghilang. Dan tiba-tiba muncul di belakang I Gusti Kumala. Rupanya pemuda yang mengaku Pendekar Gila menggunakan ilmu tanpa wujud yang disebut 'Ilmu Pangilunan'.
"Ha ha ha...! Kau tak akan bisa mengalahkanku, Orang Asing! Aku masih sanggup meladeni dua orang macam kau...!" seru pemuda itu dengan sombong.
I Gusti Kumala dengan cepat membalikkan badannya sambil menyiapkan serangan lagi.
Tiba-tiba pemuda yang mengaku Pendekar Gila membuka suatu gerakan aneh, kedua telunjuk tangannya dihentakkan ke samping kiri. Sekejap keluar asap mengepul ke udara. Asap itu perlahan-lahan berubah menjadi wujud manusia yang sama dengan wujudnya. Baik pakaian maupun wajahnya. I Gusti Kumala terkejut melihat bayangan itu.
"Ilmu iblis ini harus segera kuhancurkan! Kini aku bertambah yakin kalau dia bukan Pendekar Gila," gumamnya seperti bicara pada diri sendiri, Sementara itu salah satu pemuda yang kini ada dua itu melompat ke atas bahu lawannya.
Pada saat itu I Gusti Kumala sudah menyiapkan serangan lagi.
"Heaaa...!" I Gusti Kumala dengan cepat mengantarkan. Namun apa yang dilihatnya kemudian, membuat terkejut. Sesaat lagi serangannya akan menghantam dada lawan, tiba-tiba orang yang di bawah menjatuhkan diri ke kiri. Tubuh pemuda yang ada di bahu ikut miring ke kiri. Kini dua sosok tubuh mendadak kaku seolah berubah jadi kayu. Tiba-tiba kedua tubuh yang kaku itu berputar kencang bagai gangsing. Dua sosok tubuh kaku yang berputar deras itu mengeluarkan deru angin membadai.
"Gila...!" gumam I Gusti Kumala keheranan. Dia terkesiap melihat apa yang dilakukan kedua lawannya.
Selagi I Gusti Kumala terkesiap melihat apa yang dilakukan kedua lawannya, tubuh yang berputar kencang itu tiba-tiba berpisah. Satu melesat ke kiri, satu lagi ke kanan.
I Gusti Kumala dengan secepat kilat melenting ke udara sambil menghentakkan kain ikat pinggang ke arah kedua lawannya. Kain itu menggelembung lebar kemudian menjadi keras.
Secepat itu pula kain tersebut diputarnya, lalu kembali dihentakkan ke depan. Kain itu melilit kedua lawannya. Namun itu tak berlangsung lama, karena kedua orang yang terlilit dapat melepaskan diri dan langsung menyerang I Gusti Kumala. Bagai macan terbang kedua pemuda yang mirip Pendekar Gila itu menerkam I Gusti Kumala sambil mengeluarkan teriakan keras menggelegar.
I Gusti Kumala memapaki serangan itu.
Akibatnya.... Glarrr! Terjadi ledakan akibat benturan tangantangan bertenaga dalam tinggi, hingga mengeluarkan api. Tubuh mereka terpental ke belakang dan jatuh ke tanah dengan keras.
Seketika sosok pemuda jelmaan hancur jadi abu. Sedangkan yang asli berubah menjadi sosok kakek berambut panjang yang tak lain Kala Bendono. Tubuhnya berantakan. Kepalanya terpisah dari tubuh. Tangan kiri dan kaki kanannya putus. Namun dalam beberapa saat kepala tangan dan kaki itu kembali menyatu dengan tubuhnya.
"Ha ha ha...!" Kala Bendono tertawa terba-hak-bahak. Lalu bangkit berdiri.
"Ilmu Rawe Rontek...!" seru I Gusti Kumala yang nampak meringis menahan rasa sakit di dadanya. Segera lelaki gagah berjubah putih itu membuat gerakan untuk mengembalikan tenaga dalamnya. Tubuhnya berasap dan bergetar.
Rupanya kedua orang berilmu tinggi itu terlempar jauh sampai ke dekat sebuah danau yang tak begitu luas.
Sementara itu sosok bayangan berkelebat menuju danau dan bersembunyi di balik pepohonan rindang. Sosok bayangan itu mengintip dari tempat persembunyiannya, memperhatikan Kala Bendono dan I Gusti Kumala yang kembali akan melanjutkan pertarungan.
"Kau ini akan merasakan keampuhan tongkatku ini, Orang Asing!" seru Kala Bendono.
Kala Bendono dengan cepat melontarkan tongkatnya ke arah I Gusti Kumala sambil berteriak menggelegar.
Wesss! Tongkat itu meluncur deras dan berputar cepat ke arah I Gusti Kumala yang dengan cepat mengibaskan kain ikat pinggangnya.
Wret! Trak! Kain itu beradu dengan tongkat Kala Bendono. Dengan cepat pula I Gusti Kumala menghentakkannya, lalu melontarkan hingga tongkat yang berputar itu meluncur kembali ke pemiliknya.
"Ha ha ha.... Permainan anak kecil!" serunya dengan nada mengejek.
Secepat kilat Kala Bendono menghentakkan kedua telapak tangan ke depan. Seketika tongkat yang kembali ke arahnya berubah arah, berbalik memburu I Gusti Kumala.
Pada saat bersamaan I Gusti Kumala telah mengeluarkan ilmu andalannya yaitu 'Salju Sejati'. Dia meletakkan tangan kiri di atas permukaan air danau. Sejenak udara menjadi dingin, di beberapa tempat muncul butir-butir air. Kini dari sela-sela jari I Gusti Kumala mengepul kabut tipis dan dingin. Sedang tangan kanannya kemudian menghentak air danau. Ketika tangan kanan itu diangkat kembali, telah menggenggam sebuah pedang kristal es. Secepat itu pula I Gusti Kumala melesatkan pedang es kristalnya.
Wesss! Pedang es menghantam tongkat Kala Bendono. Jglarrr! Ledakan keras terjadi disertai kilatan api dan sinar keperakan. Tongkat Kala Bendono hancur berkeping-keping. Sedangkan Pedang Kristal Es terus meluncur memburu Kala Bendono.
"Hah..."!" Kala Bendono terkejut bukan main. Kedua matanya membelalak lebar.
Glarrr! Kala Bendono menjerit panjang, lalu hilang. Tubuh Kala Bendono terbelah empat. Kepala, kaki, dan tubuhnya kembali terpisah. Pada saat itu pula berkelebat sesosok bayangan bersalto di udara, lalu cepat menyambar kepala dan kaki Kala Bendono. Kemudian dengan cepat sosok itu melempar kepala dan kaki Kala Bendono ke udara. Lalu dengan pukulan jarak jauh orang bercadar itu menghantarkan pukulannya ke arah kepala dan kaki yang masih melayang di udara.
Jglarrr! Kepala dan kaki Kala Bendono hancur lebur. Kemudian orang bercadar itu membalik menghadap I Gusti Kumala yang sempat terluka di dadanya, akibat beradu ilmunya dengan Kala Bendono. Kemudian dia membuka cadarnya.
"Kau.... Murti...!" seru I Gusti Kumala serak, sambil menahan rasa sakit di dadanya. Murti hanya tersenyum manis, lalu melangkah mendekati I Gusti Kumala dengan wajah dibuat seramah mungkin.
"Kenapa kau lakukan itu...?" tanya I Gusti Kumala sambil memegangi dada kirinya.
"Aku pun sudah lama mencari dan dendam pada manusia iblis itu. Ilmu Rawe Rontek harus dihancurkan dengan cara itu. Tentunya kau juga paham akan ilmu itu, bukan?" kata Murti dengan kalem, "Lukamu nampaknya parah...," tambah-nya dengan muka berubah sedih.
"Kau mengenal lawanku tadi...?" tanya I Gusti Kumala menyelidik. Dia mengerutkan kening menatap Murti.
"Ya. Dia pernah berkhianat pada Kakang Bronto Widura. Selain itu dia telah mencuri benda pusaka milik Kakang Bronto Widura...," jawab Murti dengan wajah dibuat sesedih mungkin.
Bahkan kemudian mulai menangis.
I Gusti Kumala menghela napas panjang.
Sebenarnya dia kurang percaya akan cerita Murti.
Namun karena luka dalamnya yang dirasa cukup berat, terpaksa memperlakukan ketenangan dan istirahat yang cukup.
Murti yang dapat menangkap keadaan itu, cepat berucap dengan lemah lembut.
"Kau perlu istirahat cukup," kata Murti sambil memeriksa luka di dada kiri I Gusti Kumala dengan wajah ham, "Kalau kau masih memper-cayaiku.... Sebaiknya tinggal di tempatku sementara waktu. Percayalah, aku tak akan menggodamu! Maafkan atas segala tingkahku tempo hari...! Aku merasa malu. Terus terang aku sangat kagum dengan sikapmu yang seadanya itu...," lanjutnya dengan wajah dibuat sedemikian sedih.
"Baiklah...," ucap I Gusti Kumala perlahan.
Lalu Murti segera membantu I Gusti Kumala untuk berdiri. Sebenarnya luka I Gusti Kumala sudah mulai membaik. Dan tenaganya sudah mulai pulih. Dia telah menyatukan kembali tenaga dalamnya, ketika Murti berkata panjang tadi. Dan I Gusti Kumala sengaja menyetujui tawaran Murti, hanya karena tak mau menyakiti hati wanita cantik itu. Selain itu dia ingin tahu siapa biang keladi orang-orang yang berniat menghalangi per-jalanannya untuk menemui Pendekar Gila.

***



֍₪֍¦ 9 ¦֎₪֎

Pendekar Gila dan Dogol kehilangan jejak Mei Lie. Keadaannya kini berada di suatu tempat yang asing bagi mereka. Sena menganggukangguk kepala, hatinya merasa kesal.
"Bagaimana bisa aku kehilangan jejak...! Aneh!" gumamnya perlahan, seperti bicara pada diri sendiri Dogol nampak engos-engosan napasnya, terus menggaruk-garuk perutnya yang buncit itu.
Mata yang agak sipit menoleh ke sana kemari mencari-cari sesuatu. Lalu bergidik sendiri. Karena tempat itu nampak seram sekali. Dan tak jauh dari tempat mereka terdapat kuburan tak bernama.
"Hiiihhh...!" seru Dogol ketakutan lalu mendekati Sena.
"Ayo, kita cepat pergi dari sini...!" ujar Sena lalu segera melangkah setengah berlari. Karena ketinggalan, Dogol menjerit perlahan karena ketakutan. Suasana di tempat itu memang menyeramkan. Tampak asap mengepul seperti embun. Dogol berlari di belakang Sena. Wajah Dogol semakin memble, tegang, dan tak karuan. Perutnya yang besar terus bergoyang-goyang nampak lucu.
"Wadowww...! Bisa mati aku...!" gumam Dogol sambil terus lari dengan napas terengahengah. Keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya yang tambun dan bulat.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan yang disusul sosok lain. Dan beberapa saat kemudian, muncul dua orang bertubuh gendut berkepala botak, hanya di bagian belakang yang tumbuh rambut. Tubuhnya hanya terbalut pakaian berbentuk rompi dari bulu binatang dan celana cawat. Kedua orang kembar itu sama-sama mengenakan kalung berbandul tengkorak.
"Ha ha ha... hari ini kita dapat makanan lezat, Kakang...!" kata orang yang memegang paha daging rusa sambil menaikkan alisnya yang tebal.
"Benar, jangan berbasa-basi lagi! Ayo, kita cincang kedua manusia ini. Ha ha ha...!" Selesai bicara begitu dua manusia menggiriskan itu langsung menerkam Sena dan Dogol.
"Grrr...!" Pendekar Gila cepat berkelit lalu melenting ke udara dan hinggap di cabang pohon. Sementara Dogol melompat-lompat menghindari terkaman lawan. Tampaknya kedua orang itu tak memiliki ilmu silat. Pendekar Gila yang tak ingin berlama-lama berhadapan dengan kedua orang itu, cepat melakukan tendangan dahsyat ke kepala lawan.
Bugkh! Terdengar geraman keras dari mulut makhluk aneh itu. Tubuhnya yang besar tak bergoyang sedikit pun. Malah dia sempat menangkap kaki Pendekar Gila. Lalu memutarnya dan melemparkan tubuh Pendekar Gila ke pohon. Namun Pendekar Gila dengan cekatan dapat menguasai keadaan dengan bersalto. Hingga kepalanya yang mengarah ke batang pohon berbalik arah. Kedua kakinya menyentuh batang pohon dan meluncur ke arah lawan, sambil melancarkan tendangan. Dugkh! "Akh...! Grrr...!" Kali ini lawan terhuyung setombak ke belakang. Pada saat itu Sena dengan cepat mengeluarkan 'Ajian Inti Bayu'. Seketika dari telapak tangan Sena keluar deru angin laksana badai menerbangkan tubuh si Manusia Turunan Jin itu. Tubuh yang besar itu melayang di udara lalu terbanting dengan keras.
Sementara itu satu lagi yang sedang mengejar menjadi kaget ketika melihat saudaranya terkapar tak berkutik lagi. Dia marah. Lalu menyerang Sena. Namun belum sempat mendekat, Pendekar Gila sudah melancarkan serangan 'Ajian Inti Bayu'nya kembali, hingga tubuh orang itu melayang seperti yang pertama. Lalu jatuh keras ke tanah dan tak bergerak lagi.
Dogol yang melihat itu segera keluar dari balik pohon, sambil menggaruk-garuk perutnya.
"Mereka tak apa-apa. Hanya pingsan. Ayo, cepat pergi...!" kata Sena, kemudian melesat. Dogol yang ketakutan berlari sekuat tenaga mengejar Sena.
"Kakang Sena tunggu...!" seru Dogol dengan wajah ketakutan. Pendekar Gila akhirnya berhenti. Dan ketika Dogol tiba, Sena kembali berlari. Dogol pun terpaksa lari pula mengejar Sena. Maksud Pendekar Gila hanya ingin memberikan pelajaran pada Dogol, agar menjadi kuat dan tidak cengeng.

***

Sudah dua hari I Gusti Kumala tinggal di padepokan Murti. Dan selama itu tidak terjadi hal-hal yang aneh atau janggal.
Sore itu I Gusti Kumala sedang istirahat di kamarnya, tiba-tiba Murti muncul dengan senyum manis. Dihampirinya I Gusti Kumala yang sedang rebahan di atas pembaringan.
"Bagaimana" Kau kerasan tinggal di sini?" tanya Murti dengan lembut.
I Gusti Kumala segera bangun dan duduk di pinggir ranjang.
"Ya, begitulah," jawab I Gusti Kumala agak malas. Lalu keduanya diam, suasana menjadi hening sesaat. Tiba-tiba I Gusti Kumala membuka suara.
"Aku masih merasa heran akan kejadian dua hari yang lalu. Orang itu mengaku Pendekar Gila. Siapa sebenarnya orang itu" Begitu keras dia ingin membunuhku. Dan ilmunya cukup tinggi. Apakah kau tahu, siapa dalang semua ini...?" tanya I Gusti Kumala memancing Murti.
"Siapa lagi kalau bukan kaki tangan Pendekar Gila" Karena dia mungkin tak ingin bertarung atau takut denganmu. Dan orang yang memiliki Ilmu Rawe Rontek itu pasti tangan kanan Pendekar Gila. Mungkin ada sesuatu yang ingin direbut darimu...," tutur Murti kembali membuat kebohongan. Lalu wanita cantik itu duduk di pinggir ranjang dekat I Gusti Kumala. Sengaja kainnya yang memang pendek dibiarkan terangkat hingga paha dan betisnya yang mulus jelas terpampang di hadapan mata I Gusti Kumala.
Murti seperti acuh.
I Gusti Kumala menghela napas dalamdalam. Matanya melirik sejenak ke betis dan paha Murti. Hampir saja lelaki itu tergoda oleh setan betina itu.
"Apa yang mau direbut dariku" Aku tidak menyimpan apa-apa untuk diperebutkan," kata I Gusti Kumala tiba-tiba dengan nada menyindir. Seketika Murti tersentak kaget. Wajahnya mendadak berubah. Namun segera dihilangkan, takut kalau I Gusti Kumala curiga. Dia sudah berbuat terlalu jauh. Kalau Kala Bendono gurunya sendiri dengan tega dilenyapkan. Kali ini dia tak mau gagal.
"Aku dengar kau...!" Murti tak meneruskan ucapannya. Dia sengaja merapatkan dadanya yang membusung ke badan I Gusti Kumala. Lelaki itu seketika gemetaran, lalu berdiri dan melangkah ke dekat jendela. Murti tersenyum-senyum simpul, lalu menggigit bibirnya sendiri. I Gusti Kumala menoleh ke arah Murti yang masih duduk di pinggir ranjang. Lalu berkata kalem, "Maafkan aku, Murti...!"
"Aku yang harus minta maaf. Bukan maksudku..., aku hanya ingin menghiburmu. Tampaknya kau sangat terpukul oleh kematian saudara seperguruanmu. Kupikir..." Murti tak melanjutkan ucapannya. Dia hanya mengerlingkan mata penuh arti.
I Gusti Kumala kembali duduk di pembaringan, termenung menatap keluar. Sementara pikirannya berada di tempat lain. Ia saudara seperguruanku. Bertahun-tahun kami mengelana bersama-sama. Sudah seperti kakak-beradik yang tak terpisahkan. Begitulah perasaan hati I Gusti Kumala mengenang I Gusti Kastasudra yang telah tiada. Murti pada saat itu berjalan mengambil sebuah cawan berisi air minum dan memberikan- nya pada I Gusti Kumala.
"Minumlah! Air ini akan menenangkan pikiranmu...." Suara Murti terdengar lemah lembut.
I Gusti Kumala berpikir sejenak. Ditatapnya wajah Murti beberapa saat, lalu mengambil cawan di tangan wanita itu. Diikuti tatapan mata Murti yang genit penuh arti, I Gusti Kumala meneguk minuman di cawan. Sesaat suasana hening. Namun kemudian I Gusti Kumala mengerutkan kening. Ada sesuatu yang tak terelakkan.
Ditatapnya Murti dengan tajam. Wanita itu tampak memberikan senyuman manis.
"Kau... Perempuan li... cik...!" seru I Gusti Kumala dengan suara tertahan.
Sadar dirinya dijebak, I Gusti Kumala melompat berdiri hendak keluar. Bersamaan dengan itu pula, Murti langsung menyerang dengan kibasan kain. Namun dengan suatu gerakan yang cepat I Gusti Kumala melompat ke samping, sehingga kibasan kain Murti hanya mengenai sebuah kayu. Sesaat kayu itu kelihatan masih utuh, namun tak lama kemudian jatuh, terpotong oleh kibasan kain Murti.
Murti masih mencoba menyerang sambil berteriak, tetapi I Gusti Kumala mampu menghindar dan melompat keluar lewat jendela.
Di luar, malam semakin larut. Meskipun keadaan tubuhnya telah payah, I Gusti Kumala melenting ke udara. Ketika menjejakkan kaki di tanah, ternyata ia sudah disambut empat murid Murti, yang berdiri membentuk setengah lingkaran. Salah seorang di antaranya yang bernama Asri. Dia memegang tombak dengan bendera kecil berlambang perguruan Murti. Gambar Mawar Merah.
"Ha ha ha... hi hi hi...!" Asri tertawa-tawa mengejek.
I Gusti Kumala menatap tajam ke arah empat wanita itu. Sesaat suasana hening. Kemudian secara serempak, para murid Murti melontarkan senjata-senjata rahasia.
Zing, zing, zing...! Senjata-senjata bernama Mawar Merah itu mendesing dan meluncur deras ke arah I Gusti Kumala. Namun lelaki itu masih dapat mengelak, dengan cara melenting ke udara dan bersalto beberapa kali. Pada saat itu Murti muncul di pintu. Dilihatnya betapa I Gusti Kumala harus melenting beberapa kali menghindari senjata-senjata rahasia yang berlesatan beruntun, seolah tak ada habis-habisnya. Murid-murid Murti tak mau membiarkan I Gusti Kumala mempunyai waktu untuk beristirahat, atau melakukan serangan balik pada mereka. Pendekar Pulau Dewata menjejak ke pagar untuk kembali melenting kian kemari untuk menghindari serangan Mawar Merah yang terus menghujaninya.
"Heaaa...! Jurus 'Kibar Langit'!" seru Murti memberikan perintah pada murid-muridnya. Dan dalam suatu gerakan yang amat cepat, serempak mereka melontarkan Mawar Merah yang luar biasa banyaknya. Senjata-senjata itu melesat dan mengalir terus tanpa ada habisnya.
I Gusti Kumala terkejut melihat serangan berbahaya itu. Tak ada pilihan lain baginya. I Gusti Kumala secepat kilat merenggut kain di pinggangnya. Dalam suatu gerakan yang manis tapi cepat sekali, ia mengibas-ngibaskan kain itu untuk menyongsong puluhan senjata rahasia yang melesat cepat mengancam jiwanya.
"Heaaa...!" I Gusti Kumala dengan cepat menghentakkan kain itu. Akibatnya luar biasa. Secepat itu pula puluhan Mawar Merah beracun terlempar membalik ke pemiliknya.
Hal ini tentunya tak terduga sama sekali, baik oleh Murti maupun murid-muridnya sendiri.
Beberapa Mawar Merah melesat ke arah Murti yang terkejut. Di saat itu pula Asri dengan cepat melenting, menghadangkan diri pada senjata-senjata yang mengarah ke Murti, tepat pada saat Murti juga melenting menghindar. Pada waktu yang sangat gawat itulah Asri berhasil menyelamatkan Murti, membiarkan tubuhnya tertancap senjata-senjata rahasia yang hampir menewaskan pimpinannya. Begitu setianya Asri pada Murti, hingga jiwanya pun dikorbankan.
Jlep, jlep! "Aaakh...!" Jeritan yang menyayat terdengar bersahutan. Bukan hanya Asri yang terkena senjata rahasianya sendiri. Namun murid-murid Murti yang lain pun terkapar mati terkena Mawar Merah.
Senjata makan tuan! Ketegangan mereda. Sementara itu keadaan Asri pun sudah mengenaskan, tubuhnya penuh senjata rahasianya sendiri. Meskipun demikian ia masih mencoba berdiri. Namun itu tak berlangsung lama. Tubuh Asri melorot, ambruk.
Darahnya membasah sepanjang tombak yang menancap tegak di tanah.
Melihat semua kejadian ini, Murti marah bukan kepalang. Dengan cepat ia membuat suatu gerakan, menyorongkan telapak tangannya ke depan sambil berteriak 'Ajian Cipta Dewa'! Yeaaa...!" Dalam waktu sekejap I Gusti Kumala melesat lalu melenting dalam kekuatan puncak sisasisa tenaganya. Tubuhnya berkelebat laksana kilat, menghilang di balik pepohonan.
Jlegar...! 'Jurus Cipta Dewa' itu menghantam tempat kosong. Akibatnya memang luar biasa. Bendabenda yang terkena semua terhempas dan hancur berkeping-keping. Pepohonan roboh seketika.
Murti tercenung karena serangannya tak mengenai sasaran. Dia kembali berdiri dalam posisi siaga, mencari-cari arah hilangnya I Gusti Kumala. Sementara tak jauh dari tempat itu sesosok bayangan berkelebat. Lalu berhenti, ketika mendengar suara pohon roboh. Kemudian melesat ke arah datangnya suara. Begitu ringan sosok itu melompat-lompat di antara pepohonan hutan.
Murti yang masih mencari-cari arah hilangnya I Gusti Kumala, tiba-tiba terkejut mendengar adanya suara. Belum sempat dia mengetahui siapa gerangan pemilik suara itu tiba-tiba melesat sesosok bayangan dan berhenti di depannya. Murti tersentak kaget melihat sosok yang berdiri di depannya. Sesosok wanita cantik berpakaian putih longgar dengan sebilah pedang panjang tersampir di pundaknya.
Belum sempat Murti menyapa, tiba-tiba wanita cantik yang tak lain Mei Lie itu langsung melancarkan serangan.
Bukkk! "Aaakh!" Murti memekik keras. Tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang.
Mei Lie berdiri tegak menatap Murti yang bergulingan di tanah. Murti marah. Cepat wanita itu berdiri tegak, juga menatap ke arah orang yang menyerangnya.
"Kau..."! Mei Lie..."!" gumam Murti. Seketika wajahnya bertambah merah karena marah.
"Kita bertemu lagi, Perempuan Jalang! Tak kusangka kau begitu berani mempermainkan aku dan Kakang Sena, mengadu domba dengan pendekar dari seberang itu...!" seru Mei Lie dengan lantang.
Murti mencabut pedangnya, demikian juga Mei Lie dengan penuh dendam segera dicabut Pedang Bidadari-nya.
"Ha ha ha... hi hi hi...! Inilah saat yang ku-tunggu-tunggu! Sudah lama aku ingin bertarung denganmu Mei Lie. Kau boleh bangga memiliki Kakang Sena. Siasatku ternyata berhasil untuk mendatangkan kau kemari. Sebentar lagi kau akan kukirim ke neraka sana...! Ha ha ha...!" ujar Murti dengan nada mengejek Mei Lie. Mei Lie yang sudah mendendam, langsung menyerang Murti. Pertarungan sengit penuh dendam itu pun tak terelakkan, karena keduanya telah sama-sama menyimpan amarah yang tertahan. Teriakan-teriakan keras seketika memecah suasana hening di hutan itu.
Mei Lie membabatkan Pedang Bidadari-nya ke arah Murti. Namun Murti sudah siaga, berkelit dan menangkis serangan Mei Lie dengan pedangnya. Trang, trang! Kedua pedang itu beradu, menimbulkan suara keras dan nyaring. Percikan api keluar mengiringi dentangan itu. Kedua wanita muda itu berkelebat cepat, melenting dan bertarung di udara. Gerakan cepat mereka menimbulkan dentingan-dentingan yang cepat pula, ditingkahi teriakan. Lalu keduanya mendarat dengan ringan.
Namun hanya sekejap menjejakkan kaki, mereka kembali melesat. Dua ilmu pedang sakti saling bertarung. Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang satunya Pedang Panca Iblis.
Dengan berteriak keras, Mei Lie membuka jurus 'Tarian Bidadari Membelah Langit'! Pedang di tangannya bergerak cepat, dari bawah ke atas, seakan berusaha membelah langit.
Sementara Murti tidak mau tinggal diam.
Segera digunakan jurus yang tidak kalah hebatnya. Pedangnya bergulung cepat menerbitkan sinar ungu, sesaat menutupi tubuhnya.
Trang, trang! Denting dua pedang kembali terdengar nyaring. Tubuh keduanya melompat ke belakang, kemudian dengan sigap kembali menyerang. Pedang di tangan mereka bagai memiliki mata, bergerak ke sana kemari, memburu tubuh lawan.

***

Sementara itu di tempat lain, yang tak begitu jauh dari tempat pertarungan, tampak I Gusti Kumala yang terkena racun dalam minuman tengah terhuyung-huyung dengan wajah pucat.
Keringat membasahi seluruh tubuhnya yang mulai lemas. Sesaat kemudian lelaki berjubah itu roboh ke tanah dengan tubuh sangat lemas. Bersamaan dengan itu muncul Supit Songong yang bermaksud mengejar Mie Lie. Supit Songong yang melihat sosok I Gusti Kumala tergeletak, segera mendekati dan menolongnya.
"Celaka, dia terkena racun...!" seru Supit Songong.
"Aku harus menolongnya.
Karena dia pernah menyelamatkan jiwaku.... Ini pasti perbuatan si Wanita itu." Supit Songong segera menolong I Gusti Kumala untuk bangkit. Lalu didudukkannya, bersandarkan batang pohon. Rupanya I Gusti Kumala masih bisa bertahan. Perlahan-lahan dia mengatur kedudukannya untuk mengerahkan tenaga.
Supit Songong membantu sebisanya. Mulutnya membaca mantera sambil kedua telapak tangannya menekan punggung I Gusti Kumala dengan mengerahkan tenaga dalam. I Gusti Kumala pun berusaha pula dengan sisa-sisa tenaga untuk mengeluarkan racun yang bersarang pada tubuhnya. Tubuh Supit Songong berasap. Asap itu menjalar ke telapak tangan Supit Songong, terus ke tubuh I Gusti Kumala.
Dan sesaat kemudian mendadak I Gusti Kumala terbangun. Mulutnya langsung menyemprotkan darah kehitaman. Darah kotor yang tercampur racun ganas, ramuan Murti. Dedaunan yang terkena semprotan darah beracun itu mendadak layu! I Gusti Kumala yang tenaganya mulai pulih kembali, menghela napas dalam-dalam. Dia duduk bersila mengambil sikap bersemadi dengan kedua mata terpejam rapat Supit Songong sudah berdiri di hadapan I Gusti Kumala, menatap dengan perasaan lega.
Lalu menggaruk-garuk lengan dan dadanya, seakan merasa gatal.
Perlahan I Gusti Kumala membuka matanya. Sesaat itu memandangi Supit Songong.
"Kau...?" gumam I Gusti Kumala.
Supit Songong tersenyum lugu.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan jiwaku...!" Terdengar suara I Gusti Kumala dengan diiringi senyuman. Lalu keduanya berjabat tangan, tanda persahabatan.
I Gusti Kumala perlahan berdiri. Kemudian menggerakkan kedua tangan ke depan dada, mengumpulkan kembali tenaga dalamnya. Sementara Supit Songong hanya memandanginya dengan tersenyum.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya I Gusti Kumala pada Supit Songong ingin tahu.
"Kita ini sama-sama dijebak oleh seorang wanita berhati iblis. Dan aku kemari sedang mengikuti Nini Mei Lie yang ingin mencari wanita itu...," tutur Supit Songong.
I Gusti Kumala jadi mulai mengerti. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kurang ajar! Rupanya semua kejadian yang menimpaku dan sampai Kastasudra menemui ajalnya, adalah rencana si Murti Keparat itu...!" gumam I Gusti Kumala geram.
Pada saat itu terdengar teriakan dan suara pedang beradu di kejauhan.
"Mungkin Nini sedang bertarung dengan wanita itu. Celaka...!" kata Supit Songong, lalu melompat dan menghilang. I Gusti Kumala segera menyusul. Mei Lie dan Murti ternyata masih bertarung. Semakin ganas keduanya membabat dan menusukkan pedang masing-masing.
"Perempuan macam kau, hanya akan membawa aib bagi semua orang!" seru Mei Lie dengan geram.
"Cemburu sering menumbuhkan dendam tanpa alasan...!" sahut Murti tak kalah lantangnya, sambil mengelak dari tebasan pedang Mei Lie.
"Tak ada gunanya cemburu pada perempuan macam kau! Tapi, kau telah berani merusak kebaikanku dan Kakang Sena. Kau mencoba untuk merayu, menjebak Kakang Sena waktu itu.... Apa kau tak ingat...!" seru Mei Lie dengan kema-rahannya. Karena, sekejap dia teringat peristiwa beberapa tahun silam.
"Ha ha ha... hi hi hi...! Jadi kau masih ingat juga... bagus! Kini akan aku buktikan bahwa Kakang Sena akan menjadi milikku...!" Selesai bicara begitu tiba-tiba Murti cepat mencabut tusuk kondenya yang berupa Mawar Merah. Secepat itu pula dia melontarkan ke arah Mei Lie. Zing! Mei Lie kaget, namun gadis ini secepat kilat melenting dan bersalto di udara, sambil menangkis dengan pedangnya.
Trak! Tusuk konde itu kembali melesat ke arah pemiliknya. Mata Murti membelalak, tapi cepat menghindar. Tusuk konde menghantam pohon.
Mei Lie secepat itu pula menebaskan pedangnya, dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
Sebuah jurus sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena babatan pedang itu akan mengalami keanehan. Tubuhnya tak menampakkan luka, tapi jika tertiup angin, tubuhnya akan lebur menjadi debu. Murti tersentak menyaksikan jurus aneh dan terkenal itu. Agak tegang dia menyaksikannya. Untung dia cepat melenting ke belakang. Sehingga terlepas dari ancaman maut mengerikan jurus 'Pedang Tebasan Batin'! Keduanya kembali melenting dan saling membabat Bret! Lengan Murti sempat tergores sedikit oleh pedang Mei Lie. Bajunya robek sejengkal. Darah segar mulai bercucuran. Murti jadi geram. Wanita jalang itu malah mempercepat serangannya.
Namun Mei Lie yang lebih unggul dalam ilmu pedang akhirnya dapat mendesak Murti, yang sudah mulai melemah akibat goresan Pedang Bidadari Mei Lie tadi.
Kembali pedang keduanya beradu keras.
Trang! Trang! Pedang Murti patah jadi dua. Murti kaget, dibuangnya pedang itu dan mengeluarkan jurus 'Cipta Dewa'nya. Dengan cepat Murti membuat gerakan menyorongkan telapak tangannya ke depan, sambil berseru, "Ajian 'Cipta Dewa'...!" Mei Lie yang melihat itu segera dengan cepat mengangkat Pedang Bidadari-nya untuk menangkis serangan Murti yang merubah larikan sinar. Wuttt! Trang! Glarrr! Terjadilah ledakan dahsyat, akibat benturan larikan sinar dan Pedang Bidadari Mei Lie.
Sinar itu membalik ke arah Murti. Murti membelalak kaget. Dia berusaha menghindar, tapi terlambat. Glarrr..! Murti menjerit panjang. Tubuhnya terpental dan terbakar oleh ajian 'Cipta Dewa'nya sendi-ri. Lalu jatuh ke tanah dan tewas seketika.
Sementara Mei Lie terpental enam tombak ke belakang dan membentur pohon dengan keras.
Di bagian dadanya tampak luka sedikit akibat percikan api. Tubuh Mei Lie nampak lemah.
Supit Songong mendekati dengan panik.
Tak tahu apa yang harus dikerjakan. I Gusti Kumala segera mengobati Mei Lie. Dengan hanya mengusap telapak tangan kanannya. Sementara kedua matanya yang tajam bercahaya memancarkan hawa aneh. Sekejap luka dalam Mei Lie hilang. Supit Songong senang dan mulai bisa tertawa. Lalu merangkul Mei Lie. Mei Lie pun membalas pelukan bocah bersisik naga itu dengan penuh kasih sayang.
Lalu keduanya berdiri dan menghampiri I Gusti Kumala yang memandang mereka dengan tatapan mata mengandung kedamaian dan kesabaran. I Gusti Kumala memberi hormat pada Mei Lie dengan menganggukkan kepala.
"Dialah salah satu pendekar dan Pulau Dewata itu Nini Mei Lie," ujar Supit Songong memperkenalkan I Gusti Kumala pada Mei Lie.
"Terima kasih, Saudara telah menyembuhkanku...!" kata Mei Lie dengan lemah.
"Ah... semua itu sudah biasa. Tugas dan ajaran Hyang Wisnu harus kujalankan. Kita harus saling mengasihi pada sesama umat. Tapi ternyata orang-orang picik dan sesat seperti wani-ta itu masih banyak di bumi ini...," kata I Gusti Kumala sambil menunjuk mayat Murti yang telah menjadi hangus itu.
Lalu mereka mendekati mayat Murti. Mei Lie nampak menyesal dengan semua yang terjadi.
Hati wanitanya tak bisa menahan rasa sedih dan kasih melihat mayat Murti yang telah hangus itu.
"Bukan maksudku untuk membunuhmu, Murti. Tapi, semua itu kau yang membuat jadi begitu.... Maafkan aku Murti...!" Mei Lie bergumam. Matanya berlinang. Penyesalan terlukis di raut wajah gadis cantik itu.
"Semua ini sudah kehendak sang Pencipta.
Orang jahat harus mendapat hukuman yang setimpal. Karena keserakahan dan maksud buruknya ingin memiliki kitab sakti mandraguna itu.
Padahal, kitab itu telah kubakar bersama mayat saudara seperguruanku, I Gusti Kastasudra, yang mati karena rencana busuk Murti...."
"Kenapa kau bakar kitab itu" Bukankah tujuanmu yang utama memberikannya pada Kakang Sena?" tanya Supit Songong tiba-tiba.
"Siapa Sena itu...?" tanya I Gusti Kumala.
"Kakang Sena adalah Pendekar Gila yang ingin kau temui itu," jawab Mei Lie mendahului Supit Songong.
I Gusti Kumala mengangguk-anggukkan kepala. Pada saat itu tiba-tiba muncul Sena bersama Dogol dari arah belakang mereka.
"Mei Lie..."!" seru Sena, lalu menghambur ke arah kekasihnya.
I Gusti Kumala kaget dan memperhatikan Sena, lalu menjura memberi hormat, ketika Sena memandangnya.
"Maafkan aku Mei Lie...!" ucap Sena penuh perasaan.
"Tidak, Kakang Sena. Akulah yang terlalu menuruti dendam amarah, serta rasa cemburu.... Tapi semua ini kulakukan karena cinta kasihku pada Kakang...," tutur Mei Lie tulus, air matanya kembali mengembang.
Keduanya berpelukan sejenak. Lalu Supit Songong memperkenalkan Pendekar Gila pada I Gusti Kumala. Sena menatap I Gusti Kumala agak lama, demikian juga I Gusti Kumala. Sepasang mata mereka saling bertemu. Lalu Sena dengan tersenyum mengulurkan tangan. I Gusti Kumala menyambutnya, menjabat tangan Sena dengan erat.
"Maafkan aku, Tuan Pendekar. Karena akulah tempat ini menjadi ajang pertarungan.
Aku merasa berdosa telah membunuh mereka.
Termasuk Murti yang tak kuduga sama sekali, dialah dalang dari semua peristiwa itu," tutur I Gusti Kumala dengan penuh perasaan sedih.
"Kau tidak bersalah, Sobat. Dan aku telah mengerti maksud kedatanganmu kemari untuk menemuiku," kata Sena dengan kalem, penuh bersahabat "Ya, benar. Tapi, selain itu aku juga ingin memberikan sesuatu untukmu dari Maha Guru kami...," kata I Gusti Kumala sambil mengeluarkan sebuah kitab suci berukuran kecil dari saku bajunya. Dan memberikan pada Sena.
Semuanya kaget dan saling pandang.
"Lho..."! Katamu kitab itu sudah kau bakar bersama jenazah saudara seperguruanmu...?" tanya Mei Lie tiba-tiba merasa heran.
"Aku sengaja mengatakan padamu begitu, agar hatiku tenang. Dan terus terang saja sejak kematian Kastasudra, aku tak lagi mempercayai siapa pun. Termasuk dirimu, Nini Mei Lie...!" kata I Gusti Kumala lalu tersenyum pada Mei Lie. Mei Lie tersenyum dan menganggukkan kepala, lalu merangkul Supit Songong.
"Kau telah menjalankan tugasmu dengan penuh rintangan, Sobat. Aku sebenarnya tak pantas menerima kitab ini," ujar Sena kemudian.
"Maha Guru kami mengharapkan kau bisa berkunjung ke tempat kami bersamaku nanti...," kata I Gusti Kumala lagi.
"Mudah-mudahan! Aku senang mendengarnya, tapi untuk saat ini belum bisa. Masih banyak tugas yang harus kulakukan di Jawa Dwipa ini, I Gusti Kumala," jawab Sena dengan kalem.
Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Kakang, sebaiknya kita kuburkan jasad Murti. Biar bagaimanapun, dia pernah bersama dengan kita. Perbuatannya itu hanya karena dendam dan ilmu sesat yang dianutnya...," kata Murti menyela pembicaraan mereka.
"Sungguh mulia hatimu, Nini Mei Lie. Aku pun sependapat denganmu. Semoga Hyang Widhi memberikan tempat yang layak baginya!" kata I Gusti Kumala.
Mereka segera menguburkan jasad Murti yang telah hangus itu. Sena nampak sedih sekali.
Kenapa kau berbuat terlalu jauh Murti" Kenapa kau masih menyimpan dendam padaku dan Mei Lie. Seandainya aku tak terlambat bertindak, mungkin tak begini jadinya. Begitulah kata-kata yang ada dalam hati Pendekar Gila. Rupanya dia sangat menyesal, karena tidak sempat mengatasi sendiri atau turun tangan untuk mencari Murti.
Tapi Sena secara tidak langsung melimpahkan pada Mei Lie, karena khawatir kekasihnya itu cemburu dan punya pikiran berbeda dengannya.
Tiba-tiba terdengar suara Murti, setelah beberapa saat penguburan selesai.
"Kakang Sena... maafkan aku...! Semua ini salahku. Aku menyimpan dendam asmara padamu yang tak mau menerimaku.... Aku sangat mencintaimu, Kakang Sena. Tapi..., aku merasa berdosa padamu, pada Mei Lie, dan guruku Kala Bendono.... Untukmu Mei Lie, maafkan aku! Kini aku merasa lebih tenang di alam baka... selamat tinggal...!" Suara itu terdengar begitu lemah penuh penyesalan, membuat semua yang mendengar merasa terharu. Mei Lie meneteskan air mata.
Demikian pula Sena, I Gusti Kumala, Supit Songong, dan Dogol. Wajah mereka nampak sedih.
Namun semuanya sudah kehendak Maha Pencipta. Bahwa yang jahat selalu tak akan menang melawan yang baik.
Kemudian mereka mulai bangkit berdiri.
"Kita semua memaafkanmu, Murti.... Hanya karena dendam asmaramu padaku dan Mei Lie membuat banyak tokoh yang terbunuh.
Semoga Hyang Widhi mengampunimu...!" ujar Sena lirih seperti berbisik.
Langit di ufuk timur mulai memerah ketika mereka meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega. Kegelapan telah pergi, kini datang cahaya terang mengantarkan mereka....

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Nenek Bongkok --oo0oo-- Balada Di Karang Sewu


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers