Life is journey not a destinantion ...

Balada Di Karang Sewu

INDEX PENDEKAR GILA
Cinta Pembawa Maut --oo0oo-- Petaka Seorang Pendekar

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


֍↨::::↨֍¦ ① ¦֎↨::::↨֎

Sinar matahari saat ini mulai kemerahan, menandakan senja mulai datang. Di tepian Hutan Wonocolo yang cukup sepi, nampak seorang wanita muda berpakaian sudah tak karuan, tengah berlari-lari ketakutan sambil berteriak dengan napas tersengal.
"Tolooong...! Tolooong...!" Wanita itu terus berlari. Terkadang tubuhnya terjerembab ke tanah, karena tersandung batu atau ranting pohon yang melintang di jalan.
"Auwww...!" pekik wanita muda berparas cukup cantik ini. Hanya saja mukanya saat itu kotor dan berkeringat Wanita itu kembali berdiri, dan berlari. Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang.
Bibirnya gemetar dan matanya lembab karena terus menangis. Akhirnya, dia masuk ke dalam Hutan Wonocolo yang terkenal angker. Namun karena sudah kepalang basah dan tak mau menjadi korban manusia-manusia biadab, dia tak mempedulikan lagi keangkeran hutan ini.
"Oooh... Gusti... lindungi aku, Gusti...," keluh wanita itu diiringi isak tangisnya. Dia lantas mengusap wajahnya yang kotor dan berkeringat dengan ujung pakaiannya yang sudah acak-acakan. Lalu kedua matanya yang bulat bening menyapu sekeliling tempat ini.
"Hah..."!" wanita itu tersentak kaget dan bertambah gemetaran.
Rupanya dia baru sadar kalau kini berada dalam hutan yang sepi dan angker. Maka rasa takutnya semakin bertambah. Wajahnya bertambah pucat. Tubuhnya nampak semakin lemas. Akhirnya dia bersandar di batang pohon yang tumbang, lalu tertidur lelap. Tubuhnya memang sangat letih dan lemas. Udara di dalam hutan ini bertambah lembab. Angin berhembus kencang, menggoncang pepohonan hutan. Suaranya bagai hujan menyiram bumi. Wanita yang sebenarnya bernama Sumarni masih lelap tertidur, dengan tubuh terkulai lemas.
Di tengah lelapnya Sumarni, tiba-tiba muncul tiga laki-laki dari tiga arah. Mereka berlompatan dari balik rerimbunan pepohonan dan semak yang ada di sekitarnya.
Kini ketiganya dengan pongah berdiri mengelilingi Sumarni yang masih tidur lelap. Sebagian pakaian bagian atas gadis itu tersingkap lebar, membuat mata ketiga lelaki berpakaian kotor ini berbinar-binar. Dada Sumarni yang membusung nampak masih kencang dan kuning langsat, membuat liur nafsu seperti akan menetes.
"He heeehhh.... Ini baru enaaakkk!" seru lelaki yang bermata juling sambil menjulurkan lidah.
Tangan kanannya mengusap-usap perutnya yang agak buncit.
"Weh weh weh...! Ini yang namanya mengkel. He he he...," sahut orang laki-laki berkepala panjul. Bibirnya tebal, namun gigi ompong. Matanya yang sebelah kiri agaknya tak melihat, hanya ditutupi rompi kumal.
Sementara Sumarni masih tetap tidur pulas. Hingga, ketiga lelaki itu cukup lama memandangi keindahan tubuhnya.
"Kalian berdua pegang kedua tangannya.
Sebagai orang yang paling tua, aku dulu yang menikmati santapan ini. Baru setelah aku puas, giliran kalian. Ayo, cepat sana...!" perintah orang yang berkumis tebal. Mukanya lonjong, dengan tubuh telanjang dada.
Segera kedua orang yang juling dan buta sebelah dengan kasar memegangi kedua tangan Sumarni. Seketika gadis itu terbangun dan menjerit-jerit ketakutan. Sementara itu, laki-laki bermu-ka lonjong sudah menindih dan memaksa Sumarni untuk diam. Brettt! "Diam...! Atau kubunuh kau...! Heh!" bentak si muka lonjong dengan keras, setelah merobek pakaian atas gadis itu. Lalu dengan kasar dan penuh nafsu, laki-laki bermuka lonjong mencoba mau mencium dada Sumarni yang membusung indah menantang.
"Aaaww...! Jangaaan...! Toloong... Jangaaann.... Kasihani aku. Oohh...!" Sumarni terus menjerit dan berteriak minta tolong, sambil meronta-ronta. Dan....
Plak! Plak! Karena rasa kesal, laki-laki bermuka lonjong langsung menampar wajah gadis itu.
"Aahk...," Sumarni memekik, lalu pingsan.
Maka laki-laki bermuka lonjong dengan leluasa mengumbar nafsunya. Namun baru saja laki-laki bermuka lonjong itu akan menggeluti Sumarni yang sudah pingsan...
Desk, desk! Diawali dengan berkelebatan sosok bayangan, terdengar suara seperti benda terhantam sesuatu.
"Aaaa...!" Tiba-tiba saja, ketiga orang bermuka rusak itu menjerit panjang, dengan tubuh terpental jauh.
Lalu tubuh mereka membentur pohon, dan ada yang masuk semak-semak.
Dan tahu-tahu, di dekat Sumarni telah berdiri seorang lelaki muda berpakaian rompi kulit ular. Rambutnya gondrong sedikit ikal, bertingkah aneh seperti orang gila. Rupanya, dialah yang menolong gadis malang itu.
"Ha ha ha...! Tikus-tikus Hutan Yang Rakus. Ayo bangun...!" seru pemuda berpakaian rompi kulit ular, sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Satu persatu, ketiga orang muka rusak itu, bangkit. Dan mereka langsung mengurung pemuda itu.
"Kurang ajar, Pemuda Edan...! Kau belum tahu, siapa kami ini, hah!" bentak laki-laki berwajah lonjong sambil menghunus goloknya.
"Rupanya pemuda ini mau mengirim nyawa pada kita, Sobat," tambah laki-laki juling sambil menyeringai. Dia pun segera mengeluarkan rantai berbandul bola berduri.
"Kita habisi saja anak edan ini! Jangan tunggu lama-lama," sahut laki-laki bermata sebelah dengan geram sambil mempermainkan tombak berukuran sejengkal.
Sementara itu, Sumarni mulai sadar. Gadis ini seketika kaget melihat keadaan sekelilingnya.
Disertai rasa ketakutan, dia berusaha mencari persembunyian.
"Kalian ini manusia-manusia rendah dan tak tahu diri...!" kata pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena Manggala alias Pendekar Gila.
"Kurang ajar...! Rasakan golokku ini!" bentak laki-laki muka lonjong sambil menyerang. Dia langsung menyabet dan menusukkan goloknya ke arah perut dan kepala Sena. Namun Pendekar Gila yang hanya meliuk-liukkan tubuhnya dengan lentur, berhasil mengelak serangan.
Melihat hal ini laki-laki yang bermata juling, dan bermata buta sebelah meluruk berbarengan dari dua arah, dari sisi kiri dan kanan Sena.
"Heaaa...!"
"Heit..!" Tombak dan rantai berkepala besi bulat berduri itu mendesing di atas kepala dan pinggang Sena. Wesss! Zing, zing! Lagi-lagi Sena dengan mudahnya meliukkan tubuhnya, mengelakkan serangan. Nyatanya memang, ketiga orang itu tak memiliki kepandaian ilmu silat yang berarti. Mereka hanya mengandalkan otot, muka se-ram, dan keberanian saja.
"Heaaa...!" Kali ini ketiga laki-laki telengas ini menyerang berbarengan dari tiga arah. Terpaksa Pendekar Gila melenting ke udara, lalu bersalto beberapa kali. Kemudian, tubuhnya meluruk melakukan serangan balik yang cepat berupa tendangan beruntun. Dan.... Bugk, bugk, bugk! "Aaaw Aww...!" Ketiga orang itu menjerit terkena tendangan beruntun Sena yang keras. Kembali ketiganya bergulingan di tanah berumput dan berbatu. Sementara Pendekar Gila sudah mendarat di tanah sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Orang-orang ini harus cepat-cepat diberi pelajaran...," gumam Sena, seperti bicara pada diri sendiri.
Baru saja ketiga laki-laki berangasan ini bangun dan hendak kembali menyerang, Pendekar Gila sudah lebih dulu menyerang dengan pukulan dan tendangan mautnya.
Desk, desk. Bugk, bugk! "Aaawww...!" Kembali ketiganya menjerit kesakitan dengan tubuh terpental. Luncuran tubuh mereka baru berhenti, setelah membentur batang pohon besar.
Lalu dengan gerakan cepat, Sena melompat mendekati mereka. Tanpa banyak bicara lagi, dilepasnya ikat pinggang kain milik laki-laki bermata juling. Dan dengan gerak cepat pula, diikatnya ketiga orang itu dengan kain ikat pinggang tadi kuatkuat.
"Hi hi hi... he he...! Inilah ganjaran bagi orang-orang macam kalian.
Sebentar lagi malam datang. Dan..., tentunya binatang buas akan menelan kalian hidup-hidup...! Tapi mudahmudahan, itu tidak terjadi. Sebab, orang macam kalian susah dicari. Tak ada duanya! He he he...!" ejek Sena sambil cengengesan.
Sumarni yang bersembunyi di balik sebuah pohon dengan berjongkok, masih merasa ketakutan. Tubuhnya tampak terus gemetaran. Apalagi, ketika Senat mendekatinya.
"Jangan takut. Aku bukan orang jahat...
Ayo, keluarlah. Orang-orang itu tak lagi mengganggumu," ujar Sena, kalem dan polos.
Gadis itu langsung keluar atau beranjak dari tempatnya. Kedua tangannya yang menggenggam di depan dada tampak masih gemetar. Melihat itu, Sena tersenyum. Lalu tangannya terulur begitu berada dalam jarak dua langkah dari tempat Sumarni.
"Ayo..., kemarilah. Aku akan membawamu pulang.... Di mana rumahmu?" Sena coba meyakinkan Sumarni.
"Ayo.... Hari sebentar lagi gelap.
Apakah kau mau tetap tinggal di sini bersama orang-orang itu...?" Sena kemudian menunjuk ke arah tiga orang yang sudah terikat. Sumarni menggeleng perlahan. Matanya lantas melirik ke arah ketiga orang yang tadi hendak memperkosanya. Wajar kalau gadis ini tak begitu saja mempercayai Sena, karena masih diliputi rasa ketakutan oleh perbuatan orang-orang tadi.
Merasa tak ditanggapi, Pendekar Gila berbalik. Lalu kakinya melangkah pura-pura hendak meninggalkannya....
"Jangan tinggalkan aku...!" seru Sumarni agak ragu, lalu berdiri.
Gadis itu memandang Sena. Sementara, Pendekar Gila pun berbalik dan tersenyum lebar.
Sumarni mulai bisa tersenyum, membalas senyuman pendekar muda ini. Walaupun, senyumnya nampak hambar. Sena kembali mengulurkan tangan kanannya pada Sumarni.
"Kau masih belum percaya kalau aku orang baik-baik...?" tanya Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Sumarni menatap Sena agak lama, lalu kakinya melangkah perlahan dan hati-hati. Sebentar gadis itu melihat ke arah tiga orang yang tadi mau memperkosanya. Kini matanya kembali memandangi Sena dengan sendu.
"Terima kasih..., Kisanak telah menolongku...," ucap Sumarni lemah lembut dan agak tersendat-sendat "Jangan berterima kasih padaku. Berterima kasihlah pada Hyang Widhi. Ini semua karena Dia, sehingga aku yang biasa berpetualang, menjadi melewati hutan ini. Padahal, aku tak suka lewat hutan semacam ini. Itulah kuasa Hyang Widhi yang penuh kasih pada hamba-Nya yang lemah seperti kau ini...," tutur Sena sedikit ceramah.
Sumarni jadi agak tenang. Dia menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
Seakan, dia telah melepas semua rasa takutnya yang luar biasa tadi.
Sementara itu, langit semakin memerah.
Sang surya sudah mulai tenggelam di balik bukit.
Sena dan Sumarni sudah meninggalkan Hutan Wonocolo yang angker.

***

"Di mana rumahmu" Atau, tempat tinggalmu...?" tanya Pendekar Gila pada Sumarni.
"Aku..., aku tak punya tempat tinggal...," jawab Sumarni, bernada sedih, sambil terus melangkah perlahan di sisi kiri Pendekar Gila.
"Kenapa kau berkata begitu" Apa yang telah terjadi pada dirimu?" tanya Sena alias Pendekar Gila ingin tahu.
Sementara itu, langit mulai gelap. Dan bayangan tubuh mereka tampak memanjang.
"Panjang ceritanya...," jawab Sumarni, sambil terisak.
Sena tak bertanya lagi. Dan dia melihat gadis yang berjalan bersamanya masih dalam kesedihan.
"Hari mulai gelap.... Apakah di dekat sini ada desa atau perkampungan...?" tanya Sena.
"Ada.... Tapi, desa itu telah hancur."
"Hancur..." Apa maksudmu?" tanya Sena.
"Sengkala Sekti dan orang-orangnya membakar dan membunuh semua penduduk Desa Purwantoro. Mereka memiliki gadis-gadis atau perawan sebayaku, untuk dijadikan tumbal dalam menuntut ilmu awet muda dan ilmu sesat...," tutur Sumarni dengan sedih.
Sena menggeleng kepala berulang kali, menandakan sangat tak suka mendengar tindakan orang yang bernama Sengkala Sakti.
"Kalau begitu kita harus mempercepat perjalanan, agar tidak terlalu malam sampai di Desa Purwantoro. Aku ingin, kau menceritakan semua kejadian yang menimpamu. Itu kalau kau tak keberatan," ujar Sena sambil menuntun Sumarni untuk mempercepat langkah kakinya.

***

Angin semilir berhembus di malam yang diterangi bulan purnama. Sehingga, membuat jalan yang dilalui Sena dan Sumarni menjadi sedikit terang. Sehingga keduanya dapat berjalan cepat.
Dan tanpa dirasa Sumarni, Sena sebenarnya menggunakan ilmu meringankan tubuh yang telah tinggi sambil menuntun gadis ini.
Dalam tempo singkat, Pendekar Gila dan Sumarni telah tiba di Desa Purwantoro yang sudah porak poranda, rata dengan tanah. Di sana-sini tergeletak mayat-mayat tua muda dan anak-anak.
Sementara Sumarni berlari ke satu arah. Sedangkan Sena hanya memandangi dengan perasaan haru.
"Sungguh kejam dan biadab Sengkala Sekti.
Kenapa manusia seperti itu masih saja ada...!" gumam Sena perlahan. Kedua matanya menatap Sumarni yang mencari-cari mayat kedua orangtua dan adiknya, di antara puing-puing rumahnya.
Sena mendekati Sumarni yang nampak bingung dan terus menangis.
"Ooh...! Di mana mayat orangtuaku. Ooh Gusti...," terdengar suara Sumarni begitu memelas. Gadis itu kemudian berlutut sambil menangis tersedu. Sena menghela napas dalam-dalam. Hatinya sangat trenyuh melihat nasib gadis itu. Pendekar Gila hanya menatap Sumarni dengan perasaan haru, dan sedih.
"Jangan terus menangis, Nisanak..... Tangismu tak akan bisa mengembalikan orangtuamu.
Hmm. Jika memang mereka terbunuh oleh Sengkala Sekti dan antek-anteknya, mungkin aku bisa membantumu. Yang penting kau harus ceritakan semuanya padaku. Aku berjanji akan mencari Sengkala Sekti untuk menumpas kekejamannya...," tegas Pendekar Gila.
Sumarni perlahan menoleh ke arah Sena sambil menghapus air mata. Dipandanginya Pendekar Gila agak lama. Baru gadis berparas ayu dan lugu ini berdiri perlahan. Sementara isaknya masih tersisa. Kedua tangannya tak henti-hentinya mempermainkan ujung kain bajunya yang sudah kotor dan acak-acakan.
Sena yang melihatnya cepat menghampiri dan memegang kedua bahunya dengan lembut.
Sumarni lalu kembali menangis dan merebahkan kepala di dada bidang Pendekar Gila. Dan pemuda itu pun mendekapnya lembut dengan perasaan haru. Murid Singo Edan itu memang sangat terharu melihat keberadaan Sumarni.
"Sebaiknya kita istirahat di sana.... Kau tentunya sangat lelah...," ujar Sena, sambil menunjuk ke salah satu rumah yang masih utuh. Hanya saja, bagian atapnya sudah sebagian terbakar.
Sumarni mengangguk perlahan. Sena pun segera membawa Sumarni ke rumah yang sebagian hancur itu.

***

Sumarni yang sudah berada bersama Sena di rumah bilik yang sebagian terbakar duduk tercenung di pinggir bale-bale yang usang dan reyot.
Sedangkan Sena berdiri tak jauh dari Sumarni memandang keluar.
Dan malam semakin larut. Angin semilir berhembus perlahan, menerpa wajah Sena yang tampan. Murid Singo Edan ini menoleh ke arah Sumarni. Ditatapnya gadis berparas ayu dan lugu itu.
"Maafkan aku, Tuan Pendekar-... Aku telah merepotkanmu," terdengar suara Sumarni perlahan agak serak.
"Jangan panggil aku Tuan Pendekar. Panggil saja Sena. Dan, kalau boleh tahu, siapa namamu...?" tanya Sena kemudian.
"Namaku Sumarni...," jawab Sumarni lirih, seraya menundukkan kepala.
"Marni, bisakah menceritakan padaku semua yang kau tahu. Dan, apa sebenarnya yang membuat orang-orang jahat itu sampai membumihanguskan desa ini, serta membunuh penduduknya?" tanya Sena seraya bersedakep.
Sumarni perlahan mengangkat kepala, kesedihan masih belum hilang pada wanita muda itu. Wajahnya masih terlihat sendu. Kedua matanya masih sembab, akibat terus menangis, meratapi nasibnya. Sejenak diusapnya sisa air mata yang membasahi kedua pipi. Dihelanya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat "Hari yang tak dapat kulupakan sampai ajalku tiba nanti. Kejadiannya begitu mendadak dan menakutkan...," tutur Sumarni lirih.
Sejenak gadis itu menghela napas panjang.
"Menurut orang-orang, Sengkala Sekti dan antek-anteknya menyusup ke keluarga besar Raden Panji, lalu bersengkongkol dengan Nyi Ageng." Mendengar itu Sena mengerutkan kening.
Pendekar Gila nampak terkejut ketika Sumarni menyebut nama Raden Panji dan Nyi Ageng.
"Siapa Raden Panji itu?" tanya Sena ingin tahu sambil menggaruk-garuk kepala.
"Pewaris tunggal keluarga kaya raya yang memiliki perkebunan peninggalan orangtuanya yang bernama Raden Pryogito, orang baik dan bijaksana," jawab Sumarni serak.
"Lebih baik cepat kau ceritakan padaku, Marni...," pinta Sena.
"Mungkin aku bisa menolong. Paling tidak, bisa mengerti...." Sumarni menghela napas dalam-dalam.
Pandangannya ke depan, seakan mengenang kembali peristiwa yang menimpa keluarga dan penduduk Desa Purwantoro.
"Saat-saat yang mengerikan itu tiba-tiba saja terjadi. Hari itu...." Sumarni mulai bercerita.


֍↨::::↨֍¦ 2 ¦֎↨::::↨֎

Sebuah pondok dari kayu jati, terletak terpencil di sebuah lembah Cadas Kalangraja. Suasana cukup sunyi, dikelilingi bukit-bukit cadas yang menjulang. Di sana hanya ada beberapa rumah yang jaraknya terpisah-pisah, agak jauh. Hingga bila ada kejadian apa-apa, rasanya sukar mencari bantuan. Siang ini serombongan penunggang kuda berjumlah delapan orang datang ke pondok kayu jati itu. Sedangkan lelaki setengah baya pemilik pondok, sedang mengampak kayu-kayu di halaman. Tubuhnya agak kurus dan berkumis tipis.
Matanya cekung. Keringat tampak membasahi seluruh tubuhnya yang bertelanjang dada.
"Hah..."!" gumam lelaki setengah tua pemilik pondok ketika melihat delapan orang berkuda menuju ke arahnya. Kuda-kuda itu kemudian berhenti di hadapannya. Dua diantaranya adalah orang laki-laki berambut jagung, dengan seragam kompeni.
"Haei, kau...!" bentak salah seorang yang bermuka persegi. Matanya besar.
Hidungnya pesek, ditumbuhi kumis lebat.
"Oh! Selamat siang, Tuan-tuan. Ada sesuatu yang tuan-tuan perlukan dariku?" tanya lelaki setengah baya itu dengan sopan sambil menyeka keringat di keningnya.
"Ya! Kau tentunya melihat lelaki berpakaian gembel lewat di sini. Atau, dia kau sembunyikan..."!"
"Laki-laki..."! Aku sejak tadi tak melihat seorang pun lewat di sini, Tuan," jawab lelaki setengah baya yang sebenarnya bernama Ki Kobar.
Dari dalam gubuk, muncul seorang perempuan. Dia adalah istri Ki Kobar. Wajahnya tampak ketakutan, berdiri di dekat pintu sambil memandang keluar. Sementara itu di balik bebatuan cadas, nampak seorang gadis berlari-larian dengan wajah ceria. Namun ketika melihat ke depan pondok ada serombongan orang berkuda, mendadak wajahnya berubah tegang. Lalu cepat-cepat dia bersembunyi di balik batu cadas, memandang ke arah pondok.
"Siapa mereka..." Hah..."! Ada Walanda (Belanda)"!" gumam gadis itu lirih, nampak wajahnya makin tegang dan cemas.
Gadis itu melihat Ki Kobar kini semakin cemas menghadapi pertanyaan orang-orang berkelakuan keras dan kasar.
"Kowe jangan bohong, ya! Nanti bisa digantung kowe orang...!" hardik Letnan Yansen dengan mata melotot.
"Ya! Jejaknya jelas, menuju ke sini! Letnan! Geledah saja seluruh gubuk ini...!" perintah seorang lelaki berpakaian seragam dan berpangkat kapten. Itulah Kapten Simon.
Segera mereka berlompatan turun dari atas kuda masing-masing. Dan dengan gerakan cepat pula, mereka terus memeriksa ke dalam pondok.
"Minggir...!" bentak salah seorang sambil mendorong istri Ki Kobar dengan kasar.
Seketika wanita setengah baya itu terhuyung hampir jatuh. Tubuhnya semakin gemetaran, dengan wajah pucat. Sedangkan Ki Kobar hanya bisa menahan diri, sambil memandang pasrah. Mereka mengobrak-abrik apa saja yang ada di dalam gubuk itu. Bahkan juga memeriksa kandang kambing dan ayam, hingga piaraan Ki Kobar lari berhamburan.
"Bajingan itu tak ada, Kapten...!" seru Lentan Yansen begitu kembali ke halaman depan gu- buk Ki Kobar. Kapten Simon tersenyum dingin. Matanya lalu mengamati sekelilingnya. Tiba-tiba pandangannya terhenti pada suatu gubuk lain, yang lebih mirip sebuah gudang. Sebuah gubuk berdinding kayu, yang letaknya tak jauh dari gubuk Ki Kobar.
"He he he! Benar kamu tidak bohong, Pak Tua..."!" desak Kapten Simon, sinis.
"Sengkala Sekti! Coba periksa gubuk yang di sebelah sana...!" Tanpa banyak bicara lagi laki-laki berhidung pesek dan berkumis tebal yang bernama Sengkala Sekti segera melangkah ke arah gubuk yang menyerupai gudang, diikuti lima anak buahnya. Sementara di balik batuan, gadis ayu yang tadi mengintip dengan perasaan cemas, kini semakin tegang. Keningnya tampak mulai berkeringat, karena menahan rasa takut dan khawatir akan keselamatan Ki Kobar dan istrinya.
Sementara itu Sengkala Sekti dan kelima anak buahnya sudah mendobrak pintu gubuk.
Brakkk! Dengan isyarat tangan kanan Sengkala Sekti memerintahkan anak buahnya segera memeriksa dan menyebar. Langsung saja kelima anak buahnya memeriksa sambil menusuk-nusuk ujung golok pada jerami yang di gudang itu.
Srakk! Srakkk! Ujung golok terus menusuk-nusuk apa saja yang dianggap mencurigakan. Dan pada saat itulah salah satu ujung golok sempat menyerempet sesuatu....
"Ehk...!" Terdengar suara pekikan tertahan, membuat Sengkala Sekti yang memiliki pendengaran peka, jadi tersenyum cerah.
"Hei! Gembel...! Jangan bersembunyi seperti Tikus Busuk di situ! Keluar! Kau tak akan bisa lari lagi.... Cepat keluar atau, aku sendiri yang mengu-liti tubuhmu...!" seru Sengkala Sekti, lantang menggelegar. Selesai bicara begitu, Sengkala Sekti segera memerintahkan anak buahnya untuk segera menghabisi sosok yang bersembunyi itu.
"Heaaa...!" Serempak kelima orang itu menyerbu sambil menusukkan golok ke arah tempat yang dicurigai Jlep, jlep, jlep! Srakkk! Tiba-tiba sesosok tubuh melenting ke atas.
Setelah berputaran beberapa kali, kakinya mendarat di atas sebuah peti. Dan Sengkala Sekti yang sudah menunggu, cepat melepaskan senjata rahasia ke arah sosok lelaki berpakaian compangcamping berusia sekitar tiga puluh enam tahun yang baru menjejakkan kakinya.
"Huh...!" Zettt, zeettt! Seketika benda-benda tajam berbentuk segi tiga, muncul deras ke arah lelaki berpakaian gembel itu. Namun dengan gerakan cepat dia melompat ke samping, menjebol dinding gudang.
Brakkk! Serentak kelima buah anak buah Sengkala Sekti berhamburan keluar. Dan dengan cepat mereka mengurung lelaki gembel itu.
Tak jauh dari situ Kapten Simon dan Letnan Yansen menyaksikan sambil tertawa-tawa.
"He he he.... Pak Tua! Kau ternyata bohong, sheg! Kamu orang digantung! Penjahat gembel itu telah membunuh banyak anak buahku...! Dan, telah merampok harta kami!" seru Kapten Simon, seraya berpaling ke arah Letnan Yansen.
"Tangkap orang ini, Letnan!" Segera Letnan Yansen meringkus Ki Kobar.
Laki-laki tua itu coba melawan. Namun tanpa mengenal perikemanusiaan, Letnan Yansen yang bermuka lonjong berkumis tebal dan hidung mancung, segera memukul kepala Ki Kobar dengan gagang pedangnya.
Desk! "Aaakh...!" Ki Kobar memekik kesakitan, lalu roboh dengan kepala berdarah.
"Kakang...!" Istri Ki Kobar menjerit Langsung dia menghambur ke arah suaminya yang terkapar di tanah sambil memegangi kepala.
"Kakang...! Ooh! Kalian jahat..! Jangan siksa suamiku...!" Istri Ki Kobar yang bernama Nyi Kanti menangis dan memohon pada Letnan Yansen agar tidak memukuli suaminya.
"Hah ha ha...! Kau perempuan tua, juga tukang bohong, yaa!" bentak Letnan Yansen. Langsung ditendangnya Nyi Kanti, hingga memekik ke- sakitan dan terus menangis.
Sementara itu, gadis yang bersembunyi di balik batuan cadas, tak berani membantu atau berbuat sesuatu. Namun ada juga rasa ingin bertindak. Hanya saja, belum bisa dilakukannya saat ini. Dia hanya bisa menahan sedih dan menangis.
"Ooh, Gusti lindungi mereka...," gumam gadis itu lirih, memohon pada Hyang Widhi, agar memberi perlindungan pada Ki Kobar dan Nyi Kanti. Di lain tempat, nampak lelaki gembel itu terdesak oleh kelima anak buah Sengkala Sekti yang dengan ganas ingin menyudahi. Namun rupanya lelaki berpakaian compang-camping itu memiliki ilmu silat cukup lumayan.
"Heaaatt..!"
"Heaaa.... Huop!" Pukulan dan sabetan golok kelima anak buah Sengkala Sekti mendesing, membabat ke arah kepala dan kaki lelaki gembel itu. Namun gesit sekali lelaki itu mengelak, dengan melenting.
Terkadang dia melakukan serangan balik yang cukup dahsyat, membuat kelima lawannya sempat tersentak kaget. Bahkan dua diantaranya terkena tendangan dan hantaman tongkatnya.
Bug! Bug! "Aaakh...!" terdengar jeritan kedua anak buah Sengkala Sekti.
Sengkala Sekti yang sudah tak sabar lagi, segera turun tangan. Dengan tenang lelaki bertubuh tegap dan garang itu melangkah ke depan sambil memberi isyarat agar anak buahnya minggir. Dan tanpa banyak bicara lagi, segera dilancarkannya serangan cepat ke arah lelaki gembel itu.
"Heaaa...!"
"Hop...!" Lelaki itu melompat dan berputaran di udara. Melihat itu, Sengkala Sekti tak membuang waktu lagi. Sebelum lelaki gembel itu mendaratkan kakinya di tanah, dengan cepat dipapakinya serangan dengan melontarkan senjata rahasia.
Jlep, jlep, jlep! Jeritan panjang keluar dari lelaki gembel itu. Ketika jeritan itu hilang, yang terdengar hanya suara ambruknya tubuh lelaki gembel di tanah.
Tanpa bernyawa lagi.
Tampak Sengkala Sekti menyeringai puas.
"Bawa mayat gembel itu, cepat," perintah Sengkala Sekti pada anak buahnya.
Segera dua anak buah laki-laki berhidung pesek ini menyeret mayat lelaki gembel itu.
Sementara itu gadis yang tengah bersembunyi seperti mendapat keberanian. Dan mendadak, dia keluar dari tempat persembunyiannya, lalu berlari sambil berteriak nyaring. Gadis yang tak lain Sumarni bagaikan kesetanan. Dan sekejap sa-ja dia sudah berada di dekat Kapten Simon. Dan tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba dihajarnya kepala Kapten Simon dengan kayu.
Prakkk! "Aaakh...!" Kapten Simon menjerit dan jatuh dari atas kuda. Sedangkan Letnan Yansen yang sedang mengikat Ki Kobar dan Nyai Kanti, kaget bukan main melihat kejadian itu. Tampak tubuh Kapten Simon tak bergerak, dengan kepala mengeluarkan darah. Pada saat itu pula, Sumarni yang sudah seperti kemasukan roh, makin kalap. Dia menyerang Letnan Yansen yang masih terbengong melihat kemunculan gadis itu yang tiba-tiba.
"Kau harus menerima ini, Belanda Keparat...!" Sumarni dengan geram mengambil kapak yang menancap di batang kayu. Lalu cepat diham-pirinya Letnan Yansen yang berusaha mencabut senjata api. Namun Sumarni lebih cepat mengayunkan kapak ke arah kepala letnan bermuka bengis itu. Crasss! "Aaaakh...!" Letnan Yansen memekik pendek. Kepalanya kontan terbelah dua dihantam kapak. Tubuhnya langsung ambruk dan tewas seketika. Sedangkan Sumarni segera tertawa-tawa puas. Sumarni kini, berusaha melepas ikatan Ki Kobar dan Nyi Kanti.
Keadaan Ki Kobar memang sudah parah.
Darah tampak terus mengucur dari kepalanya.
Wajahnya makin pucat. Sedangkan napas Nyi Kanti pun sudah kelihatan sesak, akibat tendangan keras Letnan Yansen yang mengenai dadanya tadi.
"Kurang ajar...! Biadab...!" rutuk Sumarni, geram.
"Paman, Bibi.... Jangan tinggalkan aku....
Ooh, Gusti... Tolonglah mereka. Jangan ambil nyawa mereka...." Sumarni yang sudah kembali seperti sediakala, menangis sambil tertelungkup memeluk tubuh paman dan bibinya.
"Ha ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara tawa Sengkala Sekti yang mengejutkan Sumarni. Tahu-tahu saja, Sengkala Sekti sudah berada di belakang gadis itu.
Sumarni cepat berbalik. Tangannya cepat meraih kapak yang ada di dekatnya.
"Bajingan...! Kau rupanya antek Belanda...!" dengus Sumarni sambil berdiri dan mengancam Sengkala Sekti dengan kapak.
Sengkala Sekti hanya tersenyum nakal sambil mengusap-usap jenggotnya.
"Hei, Gadis Ayu! Lebih baik kau menurut, dan tidak berbuat macam-macam. Hidupmu akan enak. Biarlah si Tua Bangka itu mampus. Kau sebaiknya ikut aku.... Kebetulan, aku belum punya istri. He he he...! Bagaimana"!" kata Sengkala Sekti dengan pandangan mata seperti kelaparan, melihat wajah cantik bertubuh menggiurkan itu.
"Phuih...!" Sumarni meludah. Lalu dia cepat mengayunkan kapak ke arah Sengkala Sekti. Namun dengan mudahnya laki-laki itu memiringkan kepalanya ke samping kiri dan kanan. Dan dengan gerakan cepat pula dipegangnya tangan kanan Sumarni yang menggenggam kapak. Lalu secepat itu pula direbut dan dibuangnya. Belum sempat gadis itu menyadari apa yang terjadi, Sengkala Sekti telah cepat merangkul Sumarni kuat-kuat. Sehingga membuat gadis itu tak bergerak lagi.
"Lepaskan aku! Lepaskan...! Bangsat! Ooh...," teriak Sumarni. Namun Sengkala Sekti tak mempedulikannya. Dan rangkulannya makin di-perketat, hingga Sumarni tak bisa bergerak lagi.
"Habisi Tua Bangka itu, cepat...!" perintah Sengkala Sekti kemudian.
Pada saat itu, Sengkala Sekti merasa Sumarni yang tiba-tiba diam akan menurut dan tak bertenaga lagi. Namun tiba-tiba, gadis itu berontak. Digigitnya lengan Sengkala Sekti. Lalu dihajarnya kemaluan laki-laki yang sempat lengah itu.
"Aaawww...!" Sengkala Sekti menjerit kesakitan. Rangkulannya mengendor, sehingga Sumarni lolos. Gadis itu langsung berlari kencang bagai kemasukan setan. Kelima anak buahnya yang hendak menghabisi Ki Kobar dan Nyi Kanti kaget. Dan mereka lalu mengejar Sumarni. Namun, gadis itu sudah tak kelihatan. Sengkala Sekti yang masih kesakitan, menjadi marah-marah pada anak buahnya.
"Bodoh...! Mengejar gadis seperti itu saja, tak becus! Lebih baik potong burung kalian...!" Sementara itu, Kapten Simon yang sudah siuman, berusaha bangun. Tangan kirinya terangkat ke atas meminta tolong pada Sengkala Sekti yang berada tak jauh dari itu.
"Akh...! Tolong aku...," ujar Kapten Simon, serak. Wajahnya tampak pucat Sengkala Sekti mendekat seakan ingin menolong Kapten Simon. Namun begitu sudah dekat, kapten itu malah dicekik. Langsung dipatahkan leher kapten Belanda ini.
Krettt! Seketika kapten bengis ini mati.
"Ha ha ha...! Ternyata Belanda ini bodoh juga! Masih bisa kuperdaya. Ha ha ha...! Kini aku lebih leluasa melakukan apa saja. Dan tujuanku....
Masuk dalam keluarga Raden Panji. Ha ha ha!" Lalu Sengkala Sekti melangkah pergi diikuti oleh anak buahnya. Mencari Sumarni.

***

"Berhari-hari aku keluar masuk hutan.
Sampai akhirnya aku tiba di sebuah desa kecil. Di situlah aku bertemu dengan satu keluarga yang menolongku...." Sumarni menghentikan ceritanya. Dihelanya napas panjang. Sementara Sena alias Pendekar Gila sangat terharu mendengar cerita wanita ayu itu.
"Lantas, bagaimana kelanjutannya" Sebenarnya, di mana dan siapa orangtuamu?" tanya Pendekar Gila kemudian dengan suara kalem.
"Sejak umur dua tahun, aku tinggal bersama paman dan bibiku, Ki Kobar dan Nyai Kanti.
Aku sangat kehilangan setelah mereka dibunuh Sengkala Sekti. Ke mana lagi aku berteduh. Sampai sekarang, aku belum tahu siapa sebenarnya orangtuaku...," keluh Sumarni sedih. Kembali air matanya menetes membasahi kedua pipinya yang halus. Sena memandangi dengan perasaan haru.
Lalu ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya pelan-pelan.
"Lalu, bagaimana kau tahu kalau Sengkala Sekti saat ini sedang menyusup dan bersekongkol dengan Nyi Ageng. Dan, mengapa dia menghancurkan Desa Purwantoro...?" Sumarni tak menjawab cepat. Gadis ini masih terisak-isak dalam tangisnya. Perlahan kepalanya diangkat dan ditatapnya Sena.
"Orangtua angkatku yang bekas abdi ke luarga Raden Panji, pernah bermaksud menggagalkan maksud jahat Sengkala Sekti. Tapi, karena kepandaian ayah angkatku tak setinggi Sengkala Sekti, maka usahanya sia-sia. Apalagi, Nyi Ageng mengaku kalau Sengkala Sekti masih pamannya.
Makanya Sengkala Sekti yang tak mau kebusukan dan rencana busuknya tercium, tanpa sepengetahuan siapa-siapa menghabisi penduduk Desa Purwantoro serta para penentangnya. Dan aku yang sempat tertangkap lagi, akan diperkosanya.
Kembali aku dapat lolos, dengan bantuan seorang lelaki setengah baya yang memiliki ilmu silat lumayan. Namun itu tak lama, lelaki itu mati di tangan Sengkala Sekti dan anak buahnya." Sumarni menghentikan ceritanya seraya menarik napas sejenak.
Sementara Sena mengangguk-angguk perlahan, lalu menggaruk-garuk kepalanya.
"Asyik juga mendengar cerita wanita ayu ini...," gumam Sena perlahan.
"Lantas, bagaimana...?"
"Ya..., aku akhirnya berlari tak tentu arah.
Sampai akhirnya..., kau menyelamatkanku." Sejenak Sumarni menghentikan ceritanya.
Dipandanginya Sena yang berwajah tampan agak lama.
"Sebenarnya aku masih mempunyai saudara kem...." Belum sempat Sumarni melanjutkan ucapannya, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang menuju ke arah gubuk. Segera mereka berdiri dan memandang ke arah datangnya suara.
"Cepat kita sembunyi," ujar Sena seraya menarik lengan Sumarni.
Pendekar Gila dengan gerakan cepat dan lincah membawa gadis itu bersembunyi di balik semak-semak yang ada di sekitar tempat itu.
Tampak serombongan orang berkuda melintas di hadapan gubuk yang mereka tinggali. Lalu rombongan itu berhenti di ujung desa yang sudah hancur lebur ini. Namun kemudian, mereka kembali pergi melanjutkan perjalanan.
"Kau mengenal mereka...?" tanya Sena pada Sumarni.
"Aku belum pernah mengenal mereka. Tapi kalau melihat pakaiannya, kalau tak salah adalah orang-orang Sengkala Sekti," jawab Sumarni dengan suara perlahan seperti berbisik. Sena menghela napas lega. Segera diajak Sumarni bangkit. Namun wajah gadis itu tiba-tiba berkeringat. Pucat.
"Kenapa kau, Marni..." Sakit...?" tanya Sena kaget Segera Pendekar Gila menggotong Sumarni yang tiba-tiba lemas. Lalu merebahkan gadis itu di tanah dalam rumah gubuk yang sebagian sudah terbakar. Sena segera mengeluarkan obat dari sebuah kantong kecil di pinggangnya.
"Makan ini, mudah-mudahan kau bisa cepat pulih dan sembuh," ujar Pendekar Gila.
Sena memberikan obat berbentuk bulat pada Sumarni. Gadis itu segera menelannya, sambil memejamkan kedua matanya.
Dan Pendekar Gila hanya tersenyum memandangi Sumarni yang sedang mengunyah obat pemberiannya.
"Kau tentunya lapar. Tunggulah di sini. Aku akan mencari buah-buahan untukmu. Jangan ke mana-mana...," ujar Sena ketika menyadari kalau Sumarni pasti sedang lapar.
Sena segera bangkit berdiri. Dan hanya sekali melesat saja, dia sudah meninggalkan Sumarni. Sedangkan gadis itu memandangi dengan senyum manis. Beberapa saat setelah kepergian Pendekar Gila, kesehatan Sumarni mulai pulih. Dia mulai duduk, lalu berdiri. Wajahnya nampak sedang berpikir, menimbang sesuatu.
"Aku tak ingin menyusahkan orang lain.
Aku harus pergi.... Tapi, pemuda itu tampan dan berbudi luhur. Tegakah aku harus meninggalkannya?" kata Sumarni dalam hati.
Gadis ayu itu nampak mulai gelisah dan cemas. Pikiran dan perasaannya jadi bercabang dua. Di satu sisi dia akan membalas dendam dengan caranya sendiri, sekaligus mencari tahu tentang saudara perempuannya. Dan di sisi lain, hatinya sangat berat meninggalkan Sena yang telah menolong jiwanya.
"Dosakah aku kalau meninggalkan orang yang telah menolong jiwaku" Tapi, aku tak suka bila orang lain harus ikut menanggung urusan pribadiku. Aku harus pergi. Ya, pergi mencari ilmu, mencari seorang guru yang sakti. Agar, citacitaku terwujud. Dan aku harus dapat membunuh Sengkala Sekti!" tekad Sumarni dalam hati.

***

Sementara itu Sena sedang dalam perjalanan ke gubuk. Pendekar Gila kini sudah membawa buah-buahan yang diambil dari kebun agak jauh dari tempat itu. Dengan wajah ceria dan cengengesan, kakinya terus melangkah cepat disertai ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja, dia sudah tiba di depan gubuk.
Namun alangkah terkejutnya Sena, ketika memasuki gubuk ini.
"Marni..."! Sumarni..."!" seru Sena sambil mencari-cari gadis ayu itu ke sekeliling tempat.
"Waouw...! Mati aku. Hilang...! Mungkinkah orang-orang berkuda tadi kembali dan menemukan Su- marni, lalu mereka membawanya..."! Aah... tak mungkin." Dengan kesal Pendekar Gila memakan buah-buahan itu sendiri sampai habis. Sementara hari semakin sore. Sena yang putus asa mencari Sumarni, kembali berpikir.
"Aha...! Kalau aku diam di sini terus, tak mungkin bisa menemukan Sumarni. Aku harus mencari sampai dapat. Kalau tidak, aku berdosa," kata Sena bicara pada diri sendiri.
Maka pemuda tampan murid Singo Edan itu segera meninggalkan tempat ini.


֍↨::::↨֍¦ 3 ¦֎↨::::↨֎

Di pagi buta ini, Sena Manggala alias Pendekar Gila sudah menyusuri bukit dan lembah.
Tak lupa, dimainkannya Suling Naga Sakti, mengalunkan lagu merdu yang enak didengar. Paling tidak dengan demikian rasa kesalnya sedikit berkurang karena tak menemukan Sumarni.
Alunan suara suling Sena terdengar sangat merdu, seakan mengiringi pagi yang indah dan cerah ini. Perlahan-lahan mentari yang sinarnya masih kemerahan muncul dari balik gunung, menambah suasana sangat menyejukkan. Angin yang berhembus dingin, membawa alunan suara suling hingga terdengar sayup-sayup merdu.
Merasa telah lelah berjalan, Pendekar Gila menghentikan langkahnya. Dan dia segera duduk di atas sebuah batu besar, sambil terus meniup suling penuh perasaan. Burung-burung dan binatang lain yang mendengar tiupan sulingnya seakan ikut berdendang dan bersuka ria. Begitu juga orang yang mendengarnya. Mereka seperti mencari-cari suara suling yang mengalun merdu itu.
Tak lama, tiba-tiba murid Singo Edan ini kembali berdiri. Perlahan-lahan, tiupan suling mulai berhenti. Dan tahu-tahu, tubuhnya melesat pergi setelah memandang sekelilingnya itu.
Sementara mentari semakin tinggi. Dan sinarnya yang keemasan, mulai berubah menjadi keperakan.
"Uh...! Ke mana aku harus mencari Marni" Wanita aneh! Tapi mungkinkah Marni diculik" Atau.... Aah! Kenapa aku mesti bertanya-tanya pada diriku. Lebih baik ikuti saja langkah kakiku.
Siapa tahu, menemukan jejak...," gumam Sena sambil terus mengayunkan kakinya, dengan tingkahnya yang kocak seperti orang gila.

***

Sementara itu, di Hutan Rawanca dua orang lelaki berpakaian rompi warna hitam dan berikat kepala batik tampak tengah menggotong sebuah tandu yang dikawal seorang lelaki berumur sekitar empat puluh tahun. Laki-laki setengah baya itu masih tegap. Pandangan matanya sangat tajam, menunjukkan kecerdasannya. Langkahnya mantap, bagai seorang pendekar menyusuri jalan setapak Hutan Jati yang sunyi dan berkabut ini.
Di dalam tandu, duduk seorang wanita muda yang cantik dan sedang hamil tua. Wajahnya yang pucat berkerinyut karena menahan sakit pada perutnya yang membusung, tampak dibasahi keringat yang terus mengucur. Perempuan itu terkadang merintih.
Sementara lelaki yang mengawal di samping tandu, wajahnya pun menjadi cemas. Kumis tipis yang menghiasi wajahnya juga mulai berkeringat.
Namun kedua matanya masih tetap tajam, memandang ke sekitar hutan yang kelihatan sangat angker dan rawan.
"Mang...! Mang Jarot! Berhenti dulu, Mang...!" ujar perempuan yang ada dalam tandu.
Suaranya terdengar lemah dan agak serak.
Laki-laki setengah baya yang dipanggil Mang Jarot, tentu saja mendengar suara wanita itu. Segera diberinya tanda kepada dua pengusung tandu untuk berhenti dengan mengangkat tangan kirinya ke atas. Lalu Mang Jarot mendekati tandu.
"Ada apa, Nyi Ranti?" tanya Mang Jarot penuh hormat "Perutku, Mang.... Sakit sekali. Rasanya aku tak kuat lagi.... Sudah dekat rasanya, Mang...," keluh wanita di dalam tandu yang dipanggil Nyi Ranti dengan wajah penuh keringat menahan mulas di perutnya. Memelas sekali! "Kuatkan, Nyi. Kita akan berhenti di rumah penduduk nanti," ujar Mang Jarot, sedikit cemas.
Lelaki kepercayaan Raden Panji itu nampak sangat khawatir terhadap keadaan istri juragannya.
Tandu mulai bergerak jalan lagi, setelah Mang Jarot memberi aba-aba.
Rombongan ini telah sampai di perbukitan yang suasananya sunyi. Dan ini membuat Mang Jarot nampak waspada. Di lereng bukit yang dilewati, semakin terasa mencekam. Mata laki-laki setengah baya itu menatap tajam sekeliling. Sepertinya dia memberi aba-aba agar petandu memperlambat langkahnya.
Baru mereka menuruti aba-aba Mang Jarot, tiba-tiba saja dari atas bukit bergelindingan batu-batu. Mang Jarot yang sudah menyadari apa yang terjadi segera memberi aba-aba lagi, untuk berhenti. Dan seketika itu pula sepasang trisulanya yang terselip di pinggang dicabut.
Matanya tajam menyapu ke atas lereng bukit, siap menghadapi segala kemungkinan.
"Perampok"!" gumam Mang Jarot geram.
Memang, dari atas bukit dan lereng sudah berlompatan enam orang sambil berteriak bersenjatakan golok dan kelewang. Demikian pula dari balik pohon. Tampak empat orang langsung menyerang ke arah Mang Jarot.
"Heaaat..!"
"Perampok-perampok Keparat...!" gumam Mang Jarot geram sambil mengelak bacokan dan tusukan para perampok.
Pertarungan tak dapat dihindari. Dan kini mulai terdengar jeritan dan teriakan. Dua jeritan menyayat terdengar dari mulut dua pengusung tandu yang tewas tersambar golok dan kelewang para begal. Sementara Mang Jarot dengan berani berkelebat di antara sambaran senjata lawanlawannya. Tubuhnya terkadang melenting ke udara, kemudian cepat melakukan serangan balik.
"Aaaa...!" Dua orang perampok menjerit dan roboh dengan dada dan leher sobek, terkena sabetan dan hantaman trisula laki-laki setengah baya ini.
Melihat dua temannya roboh dan tak berkutik lagi, delapan begal lainnya semakin ganas mengeroyok Mang Jarot "Heaaa...!"
"Hiaaa...!"
"Kepung...!" seru salah seorang begal. Dengan gerakan cepat, mereka mengepung Mang Ja- rot, dan langsung menyerang dan membabatkan golok serta kelewang.
Mang Jarot dengan cepat memutar trisulanya menangkis gesit setiap serangan lawan. Keadaan laki-laki setengah baya ini agaknya mulai terdesak. Memang walaupun kepandaian Mang Jarot lebih tinggi, tapi karena dikeroyok begitu, mau tak mau dia menjadi kewalahan juga. Malah pada satu kesempatan, "Aakh...!" Mang Jarot memekik pendek.
Beberapa bacokan sempat mengenai tubuh Mang Jarot yang benar-benar gagah berani, teru tama dalam melindungi istri juragannya di dalam tandu. Namun laki-laki setengah baya itu tak mampu berbuat apa-apa ketika tiba-tiba sebatang tombak meluncur menembus tandu.
"Aaaakh...!" Terdengar jeritan Nyi Ranti, membuat Mang Jarot jadi kaget dan gugup. Namun lelaki berilmu silat cukup lumayan ini masih sempat menghajar dua begal sekaligus dengan trisulanya.
"Aaakh...!" Kembali terdengar jeritan dua begal. Tubuh mereka roboh dengan darah muncrat dari leher dan perut Namun pada saat perhatian Mang Jarot terbagi dua, karena khawatir keadaan Nyi Ranti, tanpa dapat dielakkan sebuah golok menusuk ke arah pinggang.
"Aaakh...!" Masih untung, dia hanya tergores tak begitu dalam. Tubuh Mang Jarot terhuyung ke belakang beberapa tombak, sambil memegangi pinggangnya yang terluka. Sementara, pimpinan pembegal yang wajahnya tertutup kain hitam menjadi geram melihat keadaan Mang Jarot. Dan tanpa sabar lagi, kembali dia menyerang sambil membabatkan goloknya ke bahu Mang Jarot Wesss! Namun Mang Jarot cepat mengelebatkan trisulanya, menangkis. Malah laki-laki setengah baya itu cepat berusaha menyerang balik.
Wutt, wuttt! "Heaaat..!" Mendadak saja Mang Jarot melenting ke atas. Dan dengan gerakan cepat trisula di tangannya dikelebatkan ke wajah laki-laki bertopeng itu.
"Aakh...!" orang bertopeng itu memekik kaget. Ujung trisula Mang Jarot berhasil merobek to- pengnya. Sekaligus, menyayat wajah pemimpin ini.
"Kau, Gondam!" seru Mang Jarot kaget keti-ka mengenali wajah orang yang ternyata antek Nyi Ageng dan Sengkala Sekti.
Namun Gondam tak menjawab. Malah tanpa basa-basi lagi goloknya dibabatkan ke arah Mang Jarot yang baru saja mendarat di tanah.
Akibatnya, Mang Jarot tersentak mundur dan jatuh tersandar ke tandu.
"Heaaat... Kau harus mampus, Jarot!" seru Gondam sambil cepat membabatkan goloknya. Karena lukanya sangat parah, membuat daya tahan Mang Jarot melemah. Apalagi perhatiannya semakin terganggu, ketika mengetahui dua orang yang mengusung tandu telah tewas. Satu bacokan Gondam cepat menghajar tubuh Mang Jarot "Aaakh...!" Mang Jarot menjerit panjang.
Tubuhnya langsung terkulai tak bernyawa lagi.
Gondam terus membacokkan goloknya ke tubuh Mang Jarot yang sudah mati. Rupanya kemarahannya ingin dilampiaskan sampai tuntas.
Cras, cras! "He he he...! Aku puas! Kau telah benarbenar mampus, Jarot!" ujar Gondam sambil memandangi mayat Mang Jarot Kemudian lelaki yang bermuka kalem, tapi berhati iblis dan kejam itu melangkah mendekati tandu dengan golok berlumuran darah terhunuskan. Kasar sekali tandu itu dibuka. Dan tampak Nyi Ranti sudah terkulai di dalam tandu.
Gondam yang melihat itu bukannya merasa kasihan, tapi malah mengangkat goloknya untuk menghabisi Nyi Ranti.
Tepat pada detik itu, mendadak sebutir batu melayang dan menghantam tangan Gondam dengan keras. Golok laki-laki itu langsung terlepas, terbang ke udara. Gondam terkejut. Sambil memegangi tangannya yang terasa kesemutan kepalanya berpaling ke a-rah penyerangnya.
"Setan Belang! Siapa yang melakukan ini"!" dengus Gondam dengan wajah nyengir kesakitan.
Tak jauh dari situ, tampak seorang pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular tengah berdiri tegak sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Tingkahnya bagai orang sinting, mengejek Gondam.
"Aha! Ada Tikus-tikus Busuk rupanya di sini...!" seru pemuda itu, sambil menggaruk-garuk kepala. Gondam dan empat anak buahnya yang tersisa, kaget. Mereka segera mengepung pemuda berbadan gagah dan tampan, yang tak lain Sena Manggala alias Pendekar Gila.
"Setan Alas! Juring dari mana, tiba-tiba muncul dan mencoba menghalangiku"!" seru Gondam geram. Wajahnya masih nampak nyengir kesakitan, dengan gigi gemeretak menahan amarah.
"Hi hi hi.... Lucu, lucu sekali orang bau ini...! Lebih baik kau mandi dulu dan cepat pergi!" ledek Sena dengan tingkah yang membuat Gondam dan anak buahnya semakin geram bercampur heran.
"Bangsat! Tangkap dan cincang pemuda sinting dan gila ini!" perintah Gondam pada anak buahnya.
Sekejap empat anak buah Gondam menyerang Pendekar Gila berbarengan. Namun, Sena nampak tenang-tenang saja sambil cengengesan.
Seperti tak mempedulikan serangan lawannya.
Namun belum sempat keempat anak buah Gondam menyentuh tubuh Sena, tiba-tiba saja mereka terpental jauh ke belakang. Memang dengan gerakan sukar ditangkap mata Pendekar Gila berkelebat cepat sambil melepaskan kibasan tangannya.
"Aaakh...!" Keempat orang itu kontan roboh setelah membentur bebatuan. Tak ada gerakan sedikit pun di tubuh mereka. Pingsan.
"Hah"!" Gondam kaget melihat kejadian ini.
Matanya tampak terbelalak lebar, karena kaget dan heran. Gondam cepat memungut goloknya. Langsung diserangnya Sena yang nampak tetap tenangtenang saja. Malah Gondam dibiarkan sibuk sendiri dengan serangannya.
"Heaaa...!"
"Hop...!" Pendekar Gila mudah sekali mengelak serangan Gondam dengan meliuk-liukkan tubuhnya yang lentur. Sehingga, golok Gondam hanya menembus angin kosong saja.
Dan dengan gerakan kilat, Sena menepuk kepala Gondam yang merunduk menusukkan golok ke arah pinggang.
Plak! "Aaaakh...!" Gondam memekik sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya kontan berputar dan terhuyung ke belakang, lalu roboh. Wajahnya merah kebiruan karena merasakan kepalanya bagai pecah, terkena tepukan tangan kiri Sena.
"Ha ha ha.... Kenapa kau culik..."!" ejek Se-na, sambil tertawa-tawa sendiri.
Gondam merasakan kepalanya semakin seperti membesar. Dan tiba-tiba saja, hidung dan telinganya mengeluarkan darah segar.
Sementara itu, keempat anak buah Gondam yang mulai sadar kaget melihat keadaan pemimpinnya. Mereka segera menghampiri laki-laki itu, kemudian menggotongnya. Segera Gondam dibawa pergi dari tempat ini cepat-cepat.
"Ha ha hi hi.... Memang sebaiknya kalian pergi. Sebelum aku muak melihat kalian!" seru Sena diiringi tawa lebar.
Pendekar Gila segera melompat mendekati tandu. Dan telinganya mendengar suara rintihan dari dalam tandu. Lalu, didekatinya pintu tandu.
"Hah..."!" Sena kaget ketika melihat keadaan Nyi Ranti yang hamil tua itu.
"Tenang, tenang. Jangan cemas. Mereka sudah pergi," kata Sena iba.
"Oooh.... Tolong, Kisanak.... Ba..., bayi dalam kandungan ini harus tetap hidup...," terdengar suara Nyi Ranti lemah dan bergetar.
"Itu sudah pasti, Nyi. Kita harus mencari rumah penduduk yang terdekat dari sini...."

***

"Hm.... Untung ada rumah di depan sana...," gumam Sena.
"Mudah-mudahan berhasil.
Hyang Widhi, berilah kekuatan perempuan ini..." Pendekar Gila yang telah melesat sambil membopong Nyi Ranti, akhirnya menemukan sebuah rumah. Di samping rumah, tampak seorang wanita tua berpakaian lurik coklat tua. Perempuan tua yang sedang menumbuk padi itu, menoleh ketika melihat Sena yang membopong Nyi Ranti menuju ke arahnya.
"Nyi... tolong wanita ini...," kata Sena begitu sampai di dekat perempuan tua itu.
"Kenapa ini" Aduh, Gusti! Ayo, bawa masuk. Kang...! Kang Oji! Cepat bantu sini...!" seru perempuan tua itu, begitu melihat keadaan Nyi Ranti yang ternyata dalam keadaan hamil tua dan dalam keadaan lemah.
Seorang lelaki tua yang bernama Ki Oji muncul menyambut mereka. Ki Oji cepat membantu Sena masuk ke dalam pondok dengan merundukkan kepala karena pintunya pendek.
Begitu berada di dalam, perempuan pemilik pondok cepat-cepat merapikan balai-balai untuk meletakkan tubuh Nyi Ranti yang terus merintih dan menggeliat-geliat.
"Lekas masak air, Kang!" ujar wanita yang sering dipanggil dengan sebutan Nyi Oji. Ki Oji tanpa banyak bicara lagi segera memasak air. Dengan tergopoh-gopoh dia masuk ke dapur. Sementara istrinya sibuk mengambil kain dan sepihan lainnya untuk menutup luka di dada Nyi Ranti yang terkena ujung tombak.
Sedangkan Pendekar Gila melangkah keluar. Begitu berada diluar pondok, Sena duduk di sebuah batang kayu. Rintihan dan erangan Nyi Ranti mulai terdengar. Semakin lama, semakin menjadi jeritan. Di dalam, Nyi Oji terus berusaha menenangkan wanita itu.
Sena ikut cemas. Sungguh tersiksa dan mengadu nyawa, bila seorang wanita akan melahirkan bayi. Wajah pemuda ini nampak begitu sedih. Dia teringat pada dirinya sendiri yang tak sempat mengenyam kasih sayang lebih lama dari kedua orangtuanya. Semuanya akibat perbuatan Segoro Wedi yang biadab dan kejam beberapa puluh tahun lalu.
"Hyang Widhi selamatkan ibu dan jabang bayi itu.... Biarkan jabang bayi itu nanti akan mendapat kasih sayang dari ibunya," gumam Sena lirih seakan bicara pada dirinya sendiri. Wajah pemuda tampan ini kali ini begitu sedih. Selain memikirkan keselamatan Nyi Ranti dan jabang bayinya, juga terkenang pada kedua orangtuanya yang dibunuh Segoro Wedi dan antek-anteknya. Sena menoleh ke arah pondok yang masih terdengar rintihan menyayat dari Nyi Ranti.

***

Hari mulai menjelang malam. Matahari sudah terbenam di ufuk bagian barat. Langit yang tadi kemerahan, kini berubah menjadi kelam. Suasana di tempat' itu menjadi semakin sunyi dan sepi. Angin berhembus kencang menggoyang pepohonan dan merontokkan daun-daun kering.
Sementara di dalam pondok Ki Oji, nampak Sena atau Pendekar Gila duduk di samping Nyi Ranti yang terbaring lemah dengan wajah pucat pasi. Bayinya yang terbungkus kain lusuh sedang digendong Nyi Oji.
"Kasihan sekali nasib perempuan cantik ini.
Begitu tega orang yang ingin membunuhnya. Biadab! Siapa pun orangnya, akan kucari," kata hati Sena sambil memandangi wajah Nyi Ranti yang pucat pasi.
"Tuan apa pun yang terjadi, tolonglah antarkan bayiku pada ayahnya...." Tiba-tiba Nyi Ranti mulai membuka suara lemah perlahan. Namun jelas didengar Sena.
"Ya.... Aku akan berusaha mencari ayah anak ini. Tapi, siapa ayah bayi ini, Nyi Ranti...?" tanya Sena, kalem sambil menggaruk-garuk kepala sejenak. Nyi Ranti memandang wajah Sena yang tampan sejenak. Lalu dihelanya napas panjang. Air matanya perlahan menetes di pipinya yang halus.
Sena semakin iba melihatnya.
"Carilah Raden Panji di Rajamandala...," ka-ta Nyi Ranti agak tersendat-sendat, sambil meng- hapus air matanya.
"Aku pasti mencari suamimu, Nyi Ranti.
Percayalah. Aku mohon Nyi Ranti tetap tabah menghadapi semua cobaan ini," kata Sena membe-ri semangat.
"Panggil saja aku Ranti...," pinta Nyi Ranti kemudian dengan suara lemah.
Sena mengangguk dan tersenyum. Nyi Ranti pun seakan puas melihat senyum dan anggukan kepala Sena. Lalu wanita ini berpaling pada Nyi Oji yang masih menggendong bayinya. Seraya menyo-dorkan tangannya. Nyi Oji segera meletakkan bayi itu di sisi Nyi Ranti. Dan air mata ibu muda ini kembali berlinang.
"Nasibmu sangat buruk, Nak.... Kau tidak bersalah. Tapi, manusia-manusia berhati iblis itu tidak rela kau lahir di bumi ini.... Oh, Gusti. Lin-dungilah anakku ini!" Nyi Ranti menangis lebih tersedu-sedu sambil mengusap-usap perlahan bayinya, membuat Sena dan Nyi Oji yang berada di dalam pondok menjadi sangat iba.
Sena sendiri mencoba menghilangkan kesedihan hatinya, agar tak terlalu terbawa oleh suasana yang sangat mengharukan itu. Hatinya harus tetap tegar. Walaupun merasakan kesedihan yang dialami Nyi Ranti dan si bayi itu.
"Jangan mengeluh, Ranti.... Tabahkan hatimu. Kau harus tetap tegar menghadapi semua cobaan," ujar Sena memberi semangat.
Sejenak suasana menjadi hening seketika.
Mereka diam tak berkata-kata lagi, seakan bicara dalam hati masing-masing.
Nyi Ranti yang sarat dengan kasih, menciumi bayinya dengan mata berlinang. Wanita itu seakan sudah merasakan kalau umurnya tak akan lama lagi.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Nisanak.
Semua nasib dan umur, Gusti yang menentukan.
Sudahlah, jangan terus menangis. Kasihan bayimu. Dia jadi ikut sedih...," tutur Nyi Oji sambil mengusap rambut Nyi Ranti.
"Kalau boleh aku tahu, sebenarnya apa yang terjadi pada dirimu, Ranti?" tanya Sena tiba-tiba. Nyi Ranti perlahan berpaling ke arah Sena.
Ditatapnya wajah pemuda tampan ini beberapa saat. Lalu kembali dipandanginya si bayi dengan senyum pahit Saat itu, muncul Ki Oji yang membawa bungkusan ramuan obat. Lalu segera diberikannya kepada istrinya.
"Nyi Oji segera masuk ke dapur untuk menyiapkan ramuan obat. Sedangkan Ki Oji setelah melihat sebentar ke arah Nyi Ranti, lalu melangkah keluar lagi "Rasanya... waktuku sudah dekat.... Meski hanya selintas, aku bahagia masih sempat melihat dan membelai bayiku.... Betapa senang hati Kakang Panji...! Kerinduannya mempunyai seorang putra sebagai pewaris dan penyambung keturunannya, telah terwujud...," tutur Nyi Ranti membuka suara.
Sena mendengar penuh perhatian kata-kata Ny Ranti yang penuh haru. Pemuda itu sejenak teringat pada ibunya. Sesaat dihelanya napas dalamdalam, Murid Singo Edan itu sangat terharu mendengar ucapan wanita muda yang baru melahirkan ini.
"Alangkah bahagianya saat awal-awal bersama Kakang Panji.... Tapi, kebahagiaan itu secara tiba-tiba lenyap begitu saja," tutur Nyi Ranti lemah, sambil menatap Sena. Sejenak dia menghela napas.
"Siang Nyi Ranti mulai bercerita pada Se-na....


֍↨::::↨֍¦ 4 ¦֎↨::::↨֎

Siang itu, sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda putih, membawa seorang gadis ayu ke sebuah bangunan yang cukup megah dengan pelataran luas dan bertembok tinggi, bagai kerajaan.
Itulah kediaman Raden Panji, orang terkaya di daerah itu. Perangainya tidak sombong dan pemurah, penuh kasih. Tindakannya bijaksana, seperti almarhum ayahnya.
Seorang pengawal yang berumur sekitar empat puluhan dengan gagah mengawal kereta itu.
Dia adalah Mang Jarot Kereta kuda itu kini memasuki pintu gerbang, dan berhenti di halaman bangunan yang luas dan megah itu.
Di teras, penumpang kereta kuda itu disambut Nyi Ageng, istri pertama Raden Panji dan para emban. Di sisi Nyi Ageng, berdiri seorang lelaki berumur lima puluh tahun. Pandangan matanya tajam, sedikit sinis. Kelihatannya lelaki ini memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Dia tak lain Sengkala Sekti, yang diakui Nyi Ageng sebagai pamannya.
"Mulai sekarang, hidupmu akan tersingkir.
Apalagi kalau madumu telah memberi keturunan bagi Panji. Berarti, kiamat bagimu! Aku sangat prihatin atas nasibmu!" bisik Sengkala Sekti pada Nyi Ageng.
Nyi Ageng berpaling ke arah Sengkala Sekti dengan pandangan dingin.
"Lihat saja! Dia, atau aku yang kiamat!" tandas Nyi Ageng, juga berbisik.
Sengkala Sekti tersenyum sinis sambil mengusap-usap jenggotnya, mengerti akan maksud ucapan Nyi Ageng tadi. Dan tiba-tiba wajahnya berubah berseri-seri, ketika Raden Panji muncul. Penumpang kereta kuda yang memang Nyi Ranti segera menghaturkan sembah.
"Terimalah adikmu ini, Nyi. Namanya Nyi Ranti...," kata Raden Panji, memperkenalkan istri mudanya pada istri tuanya.
"Dengan segala hati dan jiwaku, Kang," jawab Nyi Ageng diiringi tawa renyah, untuk menu- tupi sakit hatinya.
Nyi Ageng tampak begitu sangat ramah dan langsung akrab dengan Nyi Ranti. Malah dengan keramahannya yang dibuat-buat, Nyi Ageng menuntun madunya ke dalam bangunan bagai istana ini. Sementara Raden Panji tersenyum senang, menyaksikan keakraban kedua orang istrinya.
"Semoga keakraban keduanya terus berlanjut sampai tua," Sengkala Sekti yang memakai nama Raden Kowara pura-pura ikut bangga.
"Ya. Itu yang aku harapkan, Paman Kowara.
Nampak Dinda Nyi Ageng dapat memaklumi dan mengerti akan kebutuhanku. Sungguh bahagia hatiku saat ini," jawab Raden Panji polos.
"Aku pun ikut senang dan bangga melihat sikap keponakanku, Ageng...," tutur Raden Kowa-ra, atau si Sengkala Sekti dalam kepura- puraannya. Raden Panji bertambah gembira mendengarnya. Dipeluknya Raden Kowara erat-erat. Sengkala Sekti membalas pelukan Raden Panji. Nampaknya keduanya begitu akrab. Tapi sebenarnya hanya nampak luarnya saja. Dan Raden Panji yang benar-benar polos tidak merasakan apa-apa. Apalagi untuk mengetahui dalam hati Sengkala Sekti.
Malah sebenarnya keadaan Raden Panji sangat gawat. Kedudukannya sewaktu-waktu bisa dirampas oleh Raden Kowara atau si Sengkala Sekti dan Nyi Ageng.

***

Sudah empat bulan lewat Nyi Ranti istri kedua Raden Panji satu atap dengan Nyi Ageng. Keadaan masih biasa-biasa saja. Nampaknya seperti rukun dan damai. Tapi tanpa sepengetahuan Raden Panji atau Nyi Ranti sendiri, sebenarnya Nyi Ageng sudah mulai cemas dan merasa mulai kurang bebas. Apalagi, Raden Kowara mulai menggosok atau memanas-manasi hati Nyi Ageng. Dan Nyi Ageng mulai termakan oleh kata-kata Raden Kowara. Apalagi kini, dia melihat kehamilan Nyi Ranti sudah bertambah tua.
Siang itu di taman rumah, Raden Panji sedang duduk bermesraan dengan Nyi Ranti di taman. Dengan penuh kasih sayang, dibelainya perut istri mudanya yang sudah makin besar, hampir bulannya.
"Aku berharap, anak dalam kandunganmu nanti laki-laki, Dinda Ranti...," kata Raden Panji, lembut. Hatinya begitu bahagia.
"Mudah-mudahan harapan Kakang Panji terkabul. Semoga Hyang Widhi mendengar permintaan Kakang...," ucap Nyi Ranti, dengan suara lembut dan merdu. Nampak begitu manja dan lu-gu sekali.
Nyi Ranti lalu merebahkan kepala perlahan di dada bidang Raden Panji. Dan dengan penuh kasih sayang, laki-laki itu terus mengusap-usap lembut rambut Nyi Ranti. Begitu mesra.
Tanpa diketahui keduanya, sejak tadi Nyi Ageng dan Raden Kowara mengintai, mengamati dari balik pepohonan. Wajah Nyi Ageng, tampak penuh kecemburuan yang berat dan dendam.
"Jangan tunggu sampai jabang bayi itu lahir. Bakal lebih repot! Aku dengar, besok Raden Panji akan pergi untuk beberapa hari. Itulah kesempatan paling baik bagimu untuk merencanakan sesuatu. Dan aku akan membantumu, Nyi Ageng," bisik Raden Kowara pada Nyi Ageng.
Tak jauh dari tempat Nyi Ageng dan Raden Kowara yang mengintip, di belakang nampak Mang Jarot mendengar rencana busuk dua orang itu.
Baru setelah itu, Mang Jarot segera cepat berlalu pergi dari tempat ini.

***

Malam itu suasana di kediaman Raden Panji nampak tenang-tenang saja. Keadaan seperti biasanya, tak ada keganjilan terlihat di malam yang diterangi bulan purnama ini.
Sikap Nyi Ageng yang malam ini menemani Nyi Ranti yang sedang beristirahat di kamarnya, nampak seperti biasa. Tetap nampak ramah. Mereka berdua kelihatan penuh tawa. Sepertinya kedua wanita itu, sedang membicarakan hal lucu dari pengalaman masing-masing. Siapa pun yang melihat, tak akan menyangka bila salah satu mempunyai maksud jahat Sementara, di tempat yang agak jauh, di rumah ayahnya Nyi Ranti sedang terjadi pemaksaan. Gondam bersama anak buahnya dengan kasar memaksa ayahnya Nyi Ranti. Orangtua itu dipaksa menandatangani surat yang seolah-olah dia sendiri yang menulis-nya. Isinya tak lain, memanggil putrinya yaitu Nyi Ranti agar segera pulang dengan alasan sakit keras.
"Jangan paksa aku.... Tolong... aku tak ingin mendustai putriku..., tolong...," pinta ayahnya Nyi Ranti yang bernama Ki Rangun sambil menyembah.
"Aaahh! Orang tua! Jangan banyak bacot! Tanda tangani saja. Atau, kau tidak akan pernah lagi melihat putrimu dan calon cucumu! Huh...!" bentak Gondam. Seketika ditendangnya Ki Rangun dengan keras.
"Aaakh...!" pekik Ki Rangun kesakitan.
"Apa maksudnya ini" Panji tidak mungkin menyuruh kalian melakukan ini...." Gondam yang mendengar ucapan Ki Rangun semakin geram dan marah. Dengan garang kembali dihajarnya lelaki tua itu hingga roboh ber-kali-kali. Maka di bawah ancaman golok di leher, akhirnya Ki Rangun terpaksa menandatangani surat palsu itu.
"Ha ha ha... Kau ternyata lelaki tua yang bijaksana. Aku senang. Ha ha ha. Untuk itu, terimalah hadiah ini agar kau tetap bungkam...!" Selesai dengan kalimatnya, Gondam cepat membacokkan goloknya ke tubuh Ki Rangun tanpa ada rasa kasihan sedikit pun.
Crass, crasss! "Aaakh...!" Ki Rangun ayahnya Nyi Ranti tewas seketika. Darah pun membasahi lantai rumah orang tua itu. Sementara Gondam dan anak buahnya tertawa-tawa puas sambil melangkah pergi, melangkahi mayat Ki Rangun.
Lolong anjing hutan tiba-tiba terdengar melengking, menyibak suasana malam yang sepi dan mencekam. Sehingga menambah keadaan di sekitar rumah ayahnya Nyi Ranti nampak mencekam.

***

Esok harinya, Nyi Ageng dengan wajah ramah memberi surat palsu pada Nyi Ranti yang sedang berada di kamarnya.
"Adik Ranti, ada surat untukmu. Nampaknya seperti dari ayahmu...," kata Nyi Ageng, lembut Dan Nyi Ranti menerimanya dengan agak ragu. Dipandanginya surat itu sejenak, lalu dibukanya perlahan.
Nyi Ranti segera membaca isi surat palsu itu. Dan wajahnya pun mendadak berubah tegang.
Seketika matanya berkaca-kaca.
"Ada berita apa, Dik Ranti...?" tanya Nyi Ageng, pura-pura ikut kaget dan cemas sambil memegang bahu Nyi Ranti.
"Ayahku sakit keras. Dan aku disuruh segera pulang...," jelas Nyi Ranti, dengan suara lemah.
Air matanya mulai berlinang.
"Lantas... apakah adik akan pulang juga...?" Tanya Nyi Ageng. Wajahnya dibuat sedemikian rupa, agar nampak benar-benar sedih.
Nyi Ranti yang lugu tak mengerti kalau semua itu adalah rencana Nyi Ageng dan antekanteknya. Wanita itu malah terus menangis sambil memeluk Nyi Ageng. Dan Nyi Ageng sendiri tersenyum puas, merasa menang. Karena, rencananya sebentar lagi akan berhasil! "Sudahlah jangan terus menangis, kakak bersedih. Biar kakak yang mengantarmu, Ranti...," kata Nyi Ageng berpura-pura berbaik hati.
"Tak usah, Kak.... Nanti Kakang Panji akan marah kalau di rumah tidak ada siapa-siapa," ujar Nyi Ranti dengan isak tangisnya. Lalu dilepasnya pelukan pada Nyi Ageng.
Nyi Ageng merasa lega. Ditariknya napas panjang. Sebab kalau saja Nyi Ranti menyetujui, tentunya Nyi Ageng sendiri yang jadi repot. Bisabisa rencananya gagal.
"Baiklah, kalau itu maumu. Kau harus segera pulang. Nampaknya sakit ayahmu cukup berat, Ranti. Nanti kalau Kakang Panji pulang, kakak akan sampaikan berita duka ini." Pada saat itu, muncul Raden Kowara atau Sengkala Sekti. Lelaki itu pura-pura kaget melihat Nyi Ranti menangis.
"Ada apa rupanya ini..." Ranti, Ageng..."!" tanya Raden Kowara sambil mengerutkan kening.
"Tidak ada apa-apa, Paman. Ayahnya Nyi Ranti sakit keras. Dan dia harus segera pulang," tutur Nyi Ageng.
"Ya, Gusti.... Kasihan. Jadi, kau akan pulang hari ini juga, Ranti...?" tanya Raden Kowara kalem.
"Ya, Paman Kowara...," jawab Nyi Ranti lemah, diiringi isak tangisnya.
"Baiklah. Kalau begitu, aku perintahkan Mang Jarot mengawalmu nanti," kata Raden Kowara. Raden Kowara lalu menyuruh seorang punakawan yang ada di ruangan untuk memanggil Mang Jarot. Tak beberapa lama, punakawan tadi kembali bersama Mang Jarot.
"Raden memanggilku?" tanya Mang Jarot, setelah memberi hormat pada Nyi Ageng dan Raden Kowara.
"Mang Jarot, tolong kawal adik maduku pulang. Ayahnya sakit keras," ujar Nyi Ageng.
Wajah Mang Jarot yang mendengar itu nampak berubah. Dia kaget dan ada rasa tidak percaya mendengar ucapan Nyi Ageng. Karena belum beberapa lama, Mang Jarot menemui ayahnya Nyi Ranti. Dan ternyata keadaan Ki Rangun sehatsehat saja.
"Aneh..."! Rasanya...," gumam Mang Jarot lirih seperti bicara pada diri sendiri.
"Ada apa, Mang" Kelihatannya kau..."
"Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut mendengar berita ini. Tapi, apa sebaiknya menunggu Raden Panji dulu, Nyi...?" potong Mang Jarot men-gusulkan.
"Tidak usah, Mang. Kakang Mbok akan menyampaikan pada Kakang Panji, nanti. Dan aku tak ingin ayah menunggu lebih lama.... Aku khawatir...," Nyi Ranti tak meneruskan ucapannya. Air matanya kembali membasahi pipi. Tangannya mengusap-usap lembut perutnya yang sudah besar. Nyi Ageng segera memeluknya sambil berpura-pura ikut menangis.
Mang Jarot hanya bisa menuruti apa yang telah diucapkan Nyi Ranti. Apalagi kecurigaannya juga tak ingin ditampakkan di mata Raden Kowara dan Nyi Ageng. Namun tiba-tiba, Raden Kowara yang merasakan gerak-gerik dan perubahan wajah Mang Jarot, tahu. Bibirnya lantas tersenyum.
"Oh, ya. Aku lupa... Panji berpesan padaku, bahwa Mang Jarot harus ada di rumah dan tidak boleh pergi ke mana-mana, sebelum dia datang...." Kening Nyi Ageng berkerut pura-pura kaget.
Sementara kecurigaan Mang Jarot semakin besar.
Namun lelaki ini tak berani berkata apa-apa, hanya dapat menahan kesal dan kasihan pada Nyi Ranti yang dalam keadaan hamil tua itu.
"Apakah Paman Kowara tidak salah"! Nyi Ranti adik maduku ini harus ada yang mengawal.
Kalau Mang Jarot tidak boleh mengantar, lalu siapa?" kata Nyi Ageng dengan nada agak tinggi, seakan menentang Raden Kowara.
"Ada pengganti Mang Jarot, si Jawara Bakora. Aku bisa menyuruhnya...," jawab Raden Kowa-ra tegas.
Nyi Ageng pura-pura berpikir keras. Lalu kepalanya mengangguk tanda setuju.
"Baik kalau begitu. Dan aku hanya minta Paman Kowara memberi wejangan pada Bakora, agar selalu waspada. Aku tidak ingin ada apa-apa terhadap Ranti...," kata Nyi Ageng tegas.
"Itu sudah tentu, Ageng...," jawab Raden Kowara tegas.
"Mang Jarot, kalau begitu tolong panggilkan Bakora. Dan tolong siapkan segala se-suatunya." Sementara itu, Nyi Ranti melangkah ke ruangan lain. Dan Mang Jarot disertai rasa berat dan kasihan terhadap Nyi Ranti, meninggalkan ruangan itu dengan bimbang.
Sedangkan Nyi Ageng dan Raden Kowara saling melirik dan senyum penuh arti.

***

Tandu yang membawa Nyi Ranti bergegas melalui jalan di pinggir hutan sepi. Bakora, jawara bertampang angker, dan berbadan tinggi besar, dengan gagahnya berjalan di sisi tandu. Tangan kanannya tampak menggenggam kelewang besar.
Dua orang terus menggotong tandu dengan hati-hati, menelusuri jalan di pinggir hutan itu.
Udara siang itu, tak begitu panas. Angin semilir bertiup menerpa wajah-wajah mereka, hingga sedikit sejuk. Namun keringat para tukang tandu tetap bercucuran. Sementara Nyi Ranti yang ada di dalam tandu nampak cemas. Matanya tampak masih berkaca-kaca. Dan kedua tangannya memegangi perutnya yang hamil.
Ketika sampai di dataran yang agak luas di dalam hutan, tiba-tiba terlihat sesosok tubuh tegap berkelebat gesit di antara pepohonan, mengikuti iringan tandu itu. Gerakannya begitu cepat terus membayangi perjalanan tandu. Tak seorang pun yang mengetahuinya.
"Hm..."!" gumam jawara yang bernama Bakora.
"Nampaknya angker juga hutan ini. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri...!" Kedua mata Bakora yang besar dan garang, menyapu sekeliling tempat.
Dan tiba-tiba pula, Bakora memerintahkan untuk berhenti.
"Berhenti dulu...!" Bakora lalu mencabut kelewangnya. Dihampirinya tandu, dan dibuka tutupnya.
Nyi Ranti jadi kaget bukan main ketika melihat Bakora yang tampak menyeringai. Mata Bakora yang nakal menyapu tubuh Nyi Ranti penuh nafsu.
"Ohh..."!" pekik Nyi Ranti ketakutan, sambil memegangi perutnya dan beringsut ke belakang.
"Heh heh heh... cantiknya seperti bidadari.
Tapi sayang, sedang hamil tua! He he he...! Sepuluh ringgit buat kepala yang begitu molek, rasanya terlalu murah! Nyi Ageng betul-betul keterlaluan pelitnya! Ya, apa boleh buat" Rejeki tidak boleh di-tolak...!" ucap Bakora sambil terus matanya memandang penuh nafsu ke arah Nyi Ranti.
Namun kemudian, Bakora mengangkat kelewangnya. Dan ini membuat Nyi Ranti semakin ketakutan.
"Aaakh...!" Saat yang mendebarkan dan gawat, tibatiba.... Crasss! "Aaawww...!" Sebuah sabetan golok sosok yang berpakaian biru tua nyaris membuat bahu Bakora putus. Dan sosok yang tadi terus mengikuti tandu langsung berkelebat, kembali, menyerang Bakora.
Bakora berteriak kesakitan dan terus melompati mundur. Sosok lelaki yang bagian mukanya tertutup topeng kain biru itu tak memberi kesempatan pada Bakora. Langsung dilancarkannya sebuah tendangan berantai, membuat Bakora tak dapat mengelak.
"Heaaat...!"
"Aaaa...!" Bakora kembali menjerit. Tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang, langsung membentur pohon besar.
Brakkk! Bakora setengah kelenger. Sedangkan orang berkedok kain biru kemudian menghampiri jawara yang masih terduduk dengan wajah pucat dan berkeringat. Sebentar saja, kedoknya dibuka. Bakora kontan kaget, dengan mata terbelalak.
"Hah..."! Mang Jarot"! Am... ampuuun, Mang...!" ratap Bakora yang berbadan seperti rak-sasa itu sambil menyembah Mang Jarot Sementara itu, para pengusung tandu yang memang tak memiliki ilmu silat hanya mampu berdiri terlongong. Mereka seperti terpaku, tak ta-hu harus berbuat apa.
Mang Jarot rupanya sudah tak bisa lagi memberi ampun pada manusia macam Bakora.
Hanya karena uang sepuluh ringgit dia sampai tega akan membunuh Nyi Ranti. Maka dengan wajah geram, goloknya diangkat ke atas. Dan....
Crasss! "Aaaa...!" Maka putuslah kepala Bakora tertebas golok Mang Jarot. Kepalanya langsung menggelinding di tanah berumput dan berbatu yang kini dibanjiri darah. Mang Jarot lalu dengan tenang mengelap goloknya dengan dedaunan. Lalu cepat melangkah mendekati tandu.
"Nyi Ranti...
"!" tegur Mang Jarot sambil menghormat "Ooh... Gusti.... Kau, Mang Jarot.... Terima kasih, Gusti.... Kau telah mengirim penolong untukku...," desah Nyi Ranti dengan sangat lega.
Namun dia masih nampak agak gugup dan gemetar.
"Tenang, Nyi. Tenang, Iblis itu telah kule-nyapkan...," kata Mang Jarot sambil berusaha menenangkan Nyi Ranti.
Perlahan-lahan Nyi Ranti mulai bisa tenang.
Sementara itu, para pengusung tandu juga nampak lega. Mereka berdiri di samping tandu.
"Mang.... Bagaimana Mang Jarot bisa tahu apa yang akan dilakukan mereka terhadapku?" tanya Nyi Ranti setelah hatinya tenang.
"Aku sudah tahu rencana busuk Nyi Ageng dan Raden Kowara," jelas Mang Jarot.
Nyi Ranti jadi kaget mendengar penjelasan Mang Jarot. Kepalanya menggeleng perlahan. Dan air matanya mulai mengembang di kelopak matanya. Wanita muda yang cantik itu nampak begitu pedih dan memelas.
Mang Jarot jadi iba melihatnya. Dihelanya napas panjang. Sesaat keduanya tak berkata apaapa.
"Mang.... Lalu, bagaimana keadaan ayahku sebenarnya" Mungkin Mang Jarot tahu...?" tanya Nyi Ranti, seakan mempunyai firasat tak enak.
Mang Jarot tidak langsung menjawabnya.
Lelaki setengah baya itu nampak agak kebingungan ditanya seperti itu. Karena jika dikatakan yang sebenarnya, pasti hati Nyi Ranti semakin terpukul.
Apalagi saat ini Nyi Ranti sedang hamil tua. Namun jika tidak, akan bertambah buruk akibatnya.
Akhirnya....
"Aku mohon Nyi Ranti tabah menerima berita ini...," sejenak Mang Jarot menatap wajah Nyi Ranti yang memelas itu.
"Ayahnya Nyi Ranti tewas setelah dipaksa untuk menandatangani surat palsu itu...."
"Oooh!" pekik Nyi Ranti kaget bukan main mendengar berita dari Mang Jarot Wanita itu menangis tersedu-sedu. Jari-jari tangannya meremas kuat-kuat kain tandu.
Mang Jarot yang melihat itu, mendekat dan berusaha memegangi Nyi Ranti. Dia takut kalaukalau Nyi Ranti tak sadarkan diri.
"Maafkan aku, Nyi." Nyi Ranti masih terus menangis tersedusedu. Begitu pilu hatinya saat ini.
"Aku telah mengorek keterangan dari salah seorang anak buah Gondam, kepala garong yang diupah Nyi Ageng dan Raden Kowara. Sekarang, sebaiknya kau kuantar ke Raden Panji di Rajamandala. Beliau masih beberapa hari di sana," ka-ta Mang Jarot setelah menenangkan Nyi Ranti.
Nyi Ranti tak menjawab. Wajahnya lesu. Air matanya tak bisa dibendung, dan terus membasahi pipinya yang halus dan mulus. Wanita muda ini hanya menganggukkan kepala perlahan.
"Ayah.... Mengapa begitu malang nasibmu.
Semua ini gara-gara anakmu ini. Aku yang bersalah dan berdosa, Ayah. Maafkan aku.... Oh, Gusti.
Beri aku kekuatan. Juga, lindungi bayi dalam kandunganku ini," desah Nyi Ranti.
Sementara itu hari mulai menjelang senja.
Para pengusung tandu mulai melanjutkan perjalanan membawa Nyi Ranti agar sampai tujuan sebelum hari gelap. Mereka dikawal Mang Jarot


֍↨::::↨֍¦ 5 ¦֎↨::::↨֎

"Kasihan Mang Jarot, dia begitu setia. Garagara melindungi aku dan bayi ini, dia harus mengorbankan nyawanya!" kata Nyi Ranti, mengakhiri ceritanya.
"Kebanggaan seorang pendekar sejati, adalah rela berkorban demi menolong orang lemah.
Itulah suatu kehormatan yang tidak bisa dijual," tandas Pendekar Gila, terbawa suasana haru mendengar cerita Nyi Ranti.
Sementara itu di luar, beberapa sosok bayangan tampak mengendap-endap mendekati pondok Ki Oji yang ditinggali Nyi Ranti dan Pendekar Gila. Dan pendengaran Sena yang sangat peka, mengetahui kalau ada bahaya. Pendekar Gila segera waspada. Sementara sang bayi yang sejak tadi diam, tiba-tiba menangis. Nyi Ranti berusaha mendiamkan. Diusap-usapnya bayi itu. Namun bayi itu tidak langsung diam.
Sena merasakan detak jantung Nyi Ranti semakin lemah, ketika bayinya mulai diam. Pendekar Gila mendekati, menatap wajah wanita muda yang cantik itu agak lama. Dan perasaannya pun agak tak tenang.
Tiba-tiba Nyi Ranti memegang lengan Sena.
"Tolong selamatkan bayiku dari tangan jahat..," pinta Nyi Ranti. Suaranya terdengar lemah sekali. Matanya sudah mulai semakin sayu, seperti orang ngantuk. Tiba-tiba saja kepala Nyi Ranti tergolek ke sisi. Dan napasnya pun terhenti. Sena langsung tertunduk sedih....
"Nyi... Ranti..."! Oh, Hyang Widhi...! Tolong jangan ambil dia...," gumam Sena lirih. Perlahan-lahan tangan Nyi Ranti diletakkan bersilang di dadanya yang terluka.
"Tenangkanlah jiwamu, Nyi Ranti. Aku berjanji akan melindungi bayimu ini, sampai ke tangan ayahnya." Sementara itu, muncul Ki Oji yang baru keluar dari kamarnya, karena mencium bau asap yang membuatnya mual. Laki-laki setengah baya itu lalu berlari ke dapur. Langsung dia sadar akan penyebabnya. Maka segera diangkatnya kuali berisi obat ramuan itu.
Tepat pada saat itu, sesosok bayangan sedang mengintai melalui celah-celah jendela dapur.
Dan seketika kepalanya merunduk ke bawah, ketika jendela dibuka Ki Oji. Dan seketika air obat ramuan itu dibuang Ki Oji, dan tepat menyiram muka pengintai, yang justru sedang mendongak.
Byurrr...! Karena pada saat yang sama mulut orang itu sedang menganga, maka tertelanlah air ramuan obat itu. Sesaat dia terbengong, namun tiba-tiba tersentak dan melintir-lintir di tanah. Dan sebelum dia mampu berteriak, seseorang telah cepat mendekap mulutnya.
Sementara itu, Sena atau Pendekar Gila masih menunggui Nyi Ranti yang sudah meninggal dunia. Namun telinga pendekar muda itu tetap waspada, siap menghadapi apa yang akan terjadi.
Dan Pendekar Gila nampak seperti acuh akan kejadian di dapur. Sena mendengar suara-suara kematian di sana. Dia yakin, Nyi Oji yang menjadi korbannya. Demikian pula Ki Oji.
Sena mulai tak sabar. Dia merasakan kalau dirinya bersalah membiarkan Ki Oji dan Nyi Oji jadi korban. Tiba-tiba saja, Pendekar Gila bergerak ke dekat dinding. Dan dengan gerakan cepat pula, tangan kanannya menghantam dinding bilik. Maka seketika itu pula, terdengar pekik kematian. Dan darah segar muncrat ke dinding.
"Aaa...!" Sesosok tubuh itu roboh terjengkang.
Di luar sosok bertubuh kekar yang mendengar jeritan, menjadi kaget. Segera diisyaratkan anak buahnya mengepung pondok.
"Bakar...!" perintah sosok yang ternyata Gondam dengan mata melotot lebar.
Segera beberapa anak buah Gondam langsung menyulut obor dari bambu. Kemudian dilemparkannya ke arah pondok. Sekejap api berkobar, membakar pondok Nyi Oji.
Sementara di dalam pondok itu, Pendekar Gila segera meraih bayi yang terbungkus kain.
"Maafkan, Ranti.... Aku terpaksa meninggalkanmu...," gumam Sena, penuh kesedihan. Tapi itu harus dilakukan, demi menyelamatkan bayi itu. Dengan hati berat, Sena meninggalkan mayat Nyi Ranti, Ki Oji, dan Nyi Oji menerobos kepungan api sambil menggendong bayi.
"Aku harus menerobos kepungan setansetan laknat itu, sebelum aku jadi ikan bakar di sini!" gumam Sena.
Gondam dan kawan-kawannya terus mengepung pondok itu dengan ketat. Dan tiba-tiba saja dari atap yang terbakar melesat satu sosok, membuat para bajingan jadi tertegun. Setelah berputaran beberapa kali, sosok yang keluar dari pondok itu turun di tengah pelataran. Lengan kirinya tampak mendekap bayi yang terbungkus rapat-rapat. Sedangkan tangan kanan sosok yang tak lain Pendekar Gila ini menggenggam Suling Naga Sakti yang mempunyai keampuhan luar biasa. Empat anak buah Gondam menyerang Sena dengan senjatanya. Namun dalam sekejap saja, keempat orang itu ambruk dengan kepala retak.
Sungguh cepat gerakan Pendekar Gila. Sehingga sebelum ada yang menyadari, dia telah melancarkan serangan. Dan Godam yang melihat itu kaget.
"Setan Alas! Manusia atau jin, pemuda itu..."!" gumam Gondam sambil menghunuskan goloknya.
"Kalau bayi itu masih hidup, kepala kita semua yang akan jadi tumbal.
Ayo, habisi setan itu...!"
"Seribu batok kepala macam kalian, tak ada harganya dibanding sehelai rambut di kepala bayi ini!" seru Sena dengan nada mengejek! Gondam dan anak buahnya langsung menyerbu Pendekar Gila dengan ganas. Namun gesit dan tangkas sekali pemuda itu dapat mengelakkan semua serangan. Dan tubuhnya kini melenting ke udara, dan secepat itu pula melancarkan serangan balik yang cepat lewat tendangan dan hantaman Suling Naga Saktinya.
Desk! Desk! Prakk! Prakkk! "Aaakh...!" Jeritan terdengar susul-menyusul dari anak buah Gondam. Mereka kontan roboh dan tak bergerak lagi. Kedua mata Gondam jadi terbelalak lebar. Dia kaget dan mulai ngeri.
"Edan! Pemuda ini jangan-jangan turunan hantu!" gumam Gondam dengan wajah terbengong. Mendadak pada saat itu sebuah tendangan kilat meluncur ke arah dada Gondam. Begitu cepat gerakan Pendekar Gila, sehingga laki-laki itu tak sempat menghindarinya. Dan....
Desss...! "Aaakh...!" Telak sekali tendangan Pendekar Gila menghantam dada Gondam, hingga terjengkang ke belakang Gondam mengerang kesakitan. Dia tak lagi melawan Pendekar Gila, karena sudah merasa ngeri. Maka setelah memberi aba-aba pada anak buahnya, dia segera kabur.
Sena tak mengejar, membiarkan mereka kabur. Ditariknya napas dalam-dalam. Kemudian kepalanya menoleh ke arah pondok yang terbakar nyaris musnah.
"Sungguh menyedihkan nasibmu, Ranti.
Maafkan aku.... Hyang Widhi, terimalah arwah Ranti di sisi-Mu...," gumam Sena. Pendekar Gila lalu menunduk, memandangi bayi dalam gendongannya. Bayi itu seakan mengerti, diam tak menangis lagi. Malah sudah tertidur dalam gendongan Sena. Sepertinya, bayi itu merasa aman bersama Pendekar Gila.
Sena tersenyum, jari tangan kirinya mengusap perlahan pipi bayi itu, lalu meninggalkan tempat dengan langkah perlahan. Api masih berkobar bagai berada di neraka.
Malam semakin sunyi. Pendekar Gila sudah jauh meninggalkan pondok yang kini semakin habis terbakar.

***

Pagi itu tampak cerah. Nampak di bawah pohon rindang, seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular duduk bersila sambil bersandar. Di pangkuannya, tampak bayi terbungkus kain lusuh, sedang menangis. Pemuda tampan berpakaian kulit ular itu mencoba mendiamkan, namun si jabang bayi tetap saja menangis.
"Cup, cup, cup.... Kau lapar, ya...?" tanya pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
Sena nampak kebingungan. Kedua matanya segera menyapu ke sekitarnya.
"Nah, di sana kelihatannya ada desa. Yuk, kita ke sana...," kata Sena bicara pada bayi dalam pangkuannya.
Bayi itu tiba-tiba berhenti menangis, membuat Sena mulai lega. Segera Pendekar Gila beranjak dari tempatnya, dan dengan cepat berlari menuju arah barat, ke arah sebuah perkampungan kecil yang sudah kelihatan.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi, dalam sekejap Pendekar Gila sudah sampai di sebuah perkampungan yang nampaknya penuh kedamaian. Sena menyusuri jalan setapak mencari-cari kedai di kampung ini.
"Mudah-mudahan ada kedai minum di sana...,' gumam Sena, sambil melangkah.
Tiba-tiba bayi itu menangis lagi, membuat Sena kaget. Dicobanya mendiamkan dengan segala cara namun bayi yang rupanya sudah haus dan lapar itu terus saja menangis. Sena terus berusaha menidurkannya sambil terus mencari kedai.
"Celaka! Rupanya kau mulai lapar, ya" Sayang aku tidak punya susu. Tak sabar, ya Adik Manis...! Kau pasti minta susu...," ujar Sena sambil tertawa-tawa sendiri mirip orang gila. Pendekar Gila berusaha menghilangkan rasa ketegangannya dengan berdendang-dendang.
Dan pada saat itu, tiga orang gadis desa dari arah berlawanan muncul menuju ke Sena yang sedang berdendang sambil menimang bayi.
Ketiga gadis yang nampaknya baru pulang dari sungai, jadi geli melihat Pendekar Gila. Dan pemuda itu lantas berhenti, ketika ketiga gadis de-sa ini sampai di dekatnya.
Sena langsung menghadang ketiga gadis itu.
"Dik. Dik... maaf. Boleh aku minta tolong?" tanya Sena sambil menggoyang-goyang bayi itu perlahan. Ketiga gadis itu tak langsung menjawab.
Mereka malah tertawa-tawa sambil memandangi Sena.
"Lho, kok malah tertawa" Memangnya lucu...?" tanya Sena sedikit kesal.
"Hm.... Bayi siapa itu?" tanya salah seorang gadis diiringi tawa lebar.
"Ke mana ibunya! Dia tentu lapar," sahut gadis yang berbadan langsing dan berparas lumayan. Rambutnya panjang hampir sampai pantatnya, dengan kulit hitam manis.
"Barangkali sakit. Kasihan," tambah gadis yang bertubuh agak gemuk, sekal sambil senyum-senyum.
"Hm.... Tolong kalian susui dia!" kata Sena seenaknya, asal nyeplos. Sehingga membuat ketiga gadis itu kaget, dan kembali tertawa-tawa geli.
"Lho..."! Kenapa kalian tertawa" Bukankah kalian bisa menyusui bayi ini. Dan kalian tadi bilang kasihan, bukan...?" kata Sena lugu.
"Mana mungkin" Kami ini masih perawan, kok. Hi hi hihi...," kata gadis berambut panjang dan bertubuh langsing.
Sementara itu, orang lain yang lewat begitu saja, terus memandangi Sena dan ketiga gadis itu.
"Oh, ya. Mbak Tarsih kan juga punya bayi" Dia tentu mau...," sahut gadis berbadan agak gemuk sambil mencolek bahu gadis yang bertubuh langsing.
"Ya. Sebaiknya kita antar ke rumah Mbak Tarsih saja. Mungkin dia mau menyusui bayi ini.
Kasihan...," sambar gadis yang bermata bulat "Oh! Jadi, kalian mau antar aku ke tempat orang yang bisa menyusui...?" tanya Sena, dengan wajah cerah.
Ketiga gadis itu mengangguk berbarengan sambil tertawa geli, melihat tingkah Sena. Kemudian kakinya melangkah mendahului Sena. Dan Pendekar Gila pun segera mengikuti.
"Kau akan dapat susu banyak nanti, Adik Manis. Cup cup cup... bah...." Sena menghibur si bayi. Dan bayi itu ternyata mendadak diam, tak nangis lagi, sehingga membuat pemuda itu senang.
Setelah berada di luar perkampungan, Pendekar Gila melihat sebuah rumah agak terpencil dari penduduk lainnya. Di beranda rumah yang nampak bersih, duduk seorang wanita berusia sekitar dua enam tahun. Dia sedang menyusui anaknya yang usia dua tahun.
Dan ketiga gadis tadi segera mendekati wanita itu "Mbak Tarsih, tolonglah. Kasihan bayi itu tidak ada ibunya...," pinta gadis berambut panjang.
"Ya, Mbak. Bayi itu tadi terus menangis...
mau kan Mbak?" tambah wanita berbadan agak gemuk sambil memegang bahu Tarsih.
"Tentu saja. Apa salahnya kita menolongnya.... Suruh pemuda itu kemari...," kata Tarsih, senang hati. Lalu anaknya yang sudah tertidur diletakkan di atas sebuah tikar usang, namun bersih. Salah seorang gadis lalu memanggil Sena dengan lambaian tangan. Dan Pendekar Gila nampak lega dan gembira. Wajahnya yang tampan, membuat ketiga gadis itu saling bisik dan tersenyum-senyum penuh arti.
"Mari, bawa sini...," ujar Tarsih pada Sena.
"Oh...
terima kasih, terima kasih, Nyi...," kata Sena segera memberikan bayi pa-da Tarsih. Kemudian Tarsih segera menyusui bayi itu.
Sementara Pendekar Gila segera berpaling dan melangkah mendekati ketiga gadis yang hendak pergi.
"Aku sangat berterima kasih pada kalian....
Semoga cepat dapat jodoh, dan bisa menyusui. He he he...," ucap Sena bernada canda dan bertingkah seperti orang gila.
"Ha ha ha hi hi...." Ketiga gadis itu jadi tertawa-tawa geli. Ru panya mereka senang dengan ucapan Sena. Dan mereka segera berlalu sambil terus tertawa-tawa genit. Sementara itu Tarsih memandangi sampai mereka hilang ditikungan. Kepalanya menggelenggeleng sambil tertawa.
Sena melirik ke belakang sejenak. Tampak Tarsih masih menyusui bayi. Dan Pendekar Gila cepat berpaling lagi ke arah semula, lalu duduk di sebuah lesung. Dia menunggu sampai Tarsih selesai menyusui bayi itu.
"Masih merah begitu sudah ditinggal ibunya. Cerai?" tanya Tarsih pada Sena.
Sena yang mendengar pertanyaan Tarsih jadi gugup dan kebingungan. Kepalanya digarukgaruk sambil cengengesan.
"Suami istri cekcok itu lumrah! Biasa...," tambah Tarah lagi, polos dan gamblang, sebelum Sena dapat menjawab.
Sena semakin bingung. Tapi....
"Ibunya, ibunya baru saja... meninggal, Nyi...," jawab Sena, dengan suara agak tertahan.
"Hah..."! Kasihan. Ya, Gusti. Laki-laki tak bisa mengurus bayi. Sudah berikan padaku saja, ya...?" kata Tarsih semangat "Dia keponakanku, Nyi. Akan kubawa kepada ayahnya," kata Sena.
Tarsih manggut-manggut, tanda mulai mengerti. Sambil memandangi Sena dengan menyipitkan kedua mata, Tarsih berusaha menyelidik kebenaran ucapan Sena.
"Oh, iya. Apakah Rajamandala jauh dari Nyi...?" tanya Sena tiba-tiba.
Pada saat itu, Tarsih sudah selesai menyusui. Dan bayi itu kini tidur.
"Lumayan jauh! Lewat bukit sebelah sana...," jawab Tarsih sambil menunjuk ke satu arah, di mana kejauhan terbentang bukit yang nampak angker. Lalu diberikannya bayi itu pada Sena.
"Terima kasih, Nyi. Ini sekadar tanda terima kasihku padamu...," ucap Sena sambil menerima bayi itu dan memberikan kepingan uang pada Tarsih.
"Tak usah. Air susuku tak diperjualbelikan.
Simpanlah uang itu, Kisanak. Aku dengan tulus memberikan susuku pada bayi itu," tolak Tarsih, polos.
"Sungguh mulia hatimu.
Semoga Hyang Wi-di memberi rejeki berlimpah padamu," kata Sena.
"Kalau begitu terima kasih, Nyi. Permisi...." Tarsih menganggukkan kepala disertai senyum lebar. Wajahnya nampak menunjukkan kesabaran yang besar.
Sena mengangguk memberi hormat, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Dan Tarsih pun memandangi kepergian Sena dengan senyum penuh arti.
"Jarang ada pemuda seperti dia. Dan baru kali ini aku menemukan pemuda gagah, tampan mau membawa-bawa bayi ke tujuan yang jauh," gumam Tarsih. Sementara itu Sena sudah jauh berjalan.
Langit kembali mulai memerah, pertanda akan datang senja.

***

Di dalam sebuah pondok yang terletak di atas bukit, nampak seorang kakek tua berpakaian serba putih berlengan panjang lebar duduk bersila di atas batu besar berbentuk bulat telur.
Di depannya, tampak seorang gadis berpakaian serba hijau. Kepalanya memakai ikat warna hijau pula. Dan gadis itu sedang berlatih silat. Gerakannya agak kaku, sehingga sering mengulangulang gerakan pertamanya. Keringat membasahi muka dan bagian tubuhnya yang lain.
"Kau tak akan bisa secepat itu melakukan ilmu silat, Marni. Paling tidak, orang macam kau harus tiga atau lima tahun, baru bisa menyerap ilmu yang kuberikan," kata kakek berambut panjang sebahu, berwarna putih bagai kipas. Kedua matanya masih tajam menatap ke arah gadis yang ternyata Sumarni.
Sementara Sumarni nampak jadi kesal dan putus asa mendengar kata-kata itu. Dan memang, Sumarni baru empat bulan berlatih, sejak lari dari Sena yang ketika itu menolongnya dari maut. Dan laki-laki yang dikenal bernama Ki Ramulan adalah kakeknya sendiri.
"Kau termasuk cucuku yang paling malas belajar ilmu silat. Lain dengan Retno saudara sepupumu, yang ikut aku sejak berumur lima tahun.
Kini, dia sudah menguasai ilmu-ilmu silat yang cukup tinggi," kata Ki Ramulan.
Dan pada saat itu, dari pintu pondok yang semuanya terbuat dari kayu-kayu hutan dan beratapkan daun kelapa, muncul seorang wanita yang masih muda. Parasnya yang cukup cantik, bertubuh padat. Sorot matanya sedikit tajam. Dia memakai pakaian silat ringkas berwarna ungu. Rambutnya yang panjang melewati bahu diikat kain warna ungu pula.
Perempuan muda itu memberi hormat pada Ki Ramulan.
"Maaf aku terlambat," ucap wanita muda itu dengan suara lembut "Hm.... Duduk, Retno," terdengar suara Ki Ramulan berat berwibawa.
Sementara itu, Sumarni menyusut keringat dengan kainnya.
"Bagaimana" Nampaknya Kakak begitu semangat. Aku senang sekali kalau Kakak terus tinggal bersamaku di sini," kata Retno dengan penuh manja.
"Tentu, Retno. Tapi aku rasanya masih harus menunggu lama, agar cita-citaku untuk membalas dendam pada Sengkala Sekti yang telah membunuh kedua orangtuaku...," kata Sumarni serak.
"Dendam bukan jalan yang terbaik, Marni.
Jangan mendendam pada seseorang walau dia pernah menyakiti hatimu. Yang penting sekarang kau harus sering berlatih. Lupakan dulu dendammu," ujar Ki Ramulan penuh wibawa "Biar aku yang membalas, Kak. Aku pun memiliki sakit dan dendam sepertimu. Tentunya kau lebih tahu. Untuk itu, ijinkanlah aku pergi, kakek guru," kata Retno dengan suara sedikit lantang.
"He he he.... Cucuku yang satu ini juga cepat naik darah. Sifat seperti itu harus dikurangi Retno. Tapi persoalanmu memang sama dengan Marni," tutur Ki Ramulan.
Sejenak kakek tua itu menarik napas dalam-dalam dan menatap kedua cucunya.
"Khususnya untuk kau Retno. Aku mengizinkanmu untuk menuntut kebenaran dan menyelidiki atas kematian saudara kembarmu," tambah Ki Ramulan lagi.
"Tapi aku harus cari orang itu, Kakek. Menurut Mang Jarot ada yang tidak beres dalam keluarga Raden Panji. Mang Jarot banyak cerita pula tentang Nyi Ageng," tegas Retno.
"Betul. Aku pun mendengar dari Mang Jarot, sebelum kejadian mengerikan menimpa kedua orangtuaku. Kita harus cepat bertindak, agar orang-orang berkedok Raden Kowara bisa dibasmi," tutur Sumarni kemudian dengan nada ketus.
"He he he.... Aku mengerti perasaanmu, Marni. Tapi aku tak mengijinkanmu untuk bertindak saat ini. Biarlah Retno yang mengatasi persoalan ini dengan rencananya. Aku hanya melindungi dari jauh. Kau harus berlatih lebih giat, Marni," sanggah Ki Ramulan.
Sumarni menghela napas panjang. Nampak wajahnya diwarnai kekecewaan yang dalam. Namun dia tak berani melawan nasihat kakeknya. Air matanya mulai mengembang di pelupuk mata.
"Aku dapat mengerti, Kek Ramulan. Maafkan aku...," ucap Sumarni lemah.


֍↨::::↨֍¦ 6 ¦֎↨::::↨֎

Setelah naik turun bukit batu, Pendekar Gila sampai di sebuah daerah yang asing. Daerah itu nampak gersang, bagai tak berpenduduk. Di sanasini pepohonan tampak meranggas. Tanah yang dipijaknya retak-retak.
"Huh..."! Daerah gersang rupanya! Celaka! Bisa kelaparan dan kehausan bayi ini," kata Sena bicara pada diri sendiri sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hoa hoa hoaaaa....!" Bayi itu mulai menangis.
"Cup cup cup. Diam, Adik Manis.... Panas, ya?" kata Sena coba menenangkan, namun bayi itu terus menangis bertambah keras.
Tanpa disadari oleh Sena, sepasang mata tengah mengintai dari balik pepohonan yang berdaun kering. Sosok sepasang mata itu terus bergerak. Sementara Sena masih nampak kebingungan. Sebisanya mencoba mendiamkan si bayi.
"Wah, bisa kacau!" keluh Sena sambil menggoyang-goyang dan mengipasi bayi dengan daun pisang yang sudah mengering.
Saat itu sosok bayangan yang tadi berkelebat, cepat terus membuntuti Sena, yang melangkah menuruni jalan tanah gersang.
"Oh, ya. Aku masih menyimpan makanan.
Tapi, mana mungkin makanan ketela yang keras kuberikan bayi ini.... Celaka...!" keluh Sena lagi.
Sementara itu, langit yang semula terang mulai gelap. Dan angin pun bertiup kencang sekali. Hawa dingin sekejap menyelimuti daerah ini.
Sena yang melihat keadaan kurang menyenangkan, segera menggunakan lari 'Sapta Bayu' untuk mempercepat waktu.
Namun pada saat itu, hujan pun mulai turun, membuat Pendekar Gila jadi basah kuyup.
Sedangkan sosok bayangan yang mengikuti Sena, kini menjadi banyak, kira-kira sebelas orang lelaki berpakaian serba hitam.
Sedangkan sepuluh lainnya berpakaian macam-macam.
Petir dan guntur saling bersautan, menjadikan hari semakin mencekam. Pendekar Gila terus melesat cepat, dan akhirnya sampai di suatu daerah yang agak subur. Namun, dia belum menemukan satu orang pun yang lewat Dalam hujan, Sena terus melanjutkan perjalanan. Dan dia berharap akan cepat menemukan rumah atau gubuk.
"Wah...! Kalau di depan sana juga tidak ada rumah atau gubuk, matilah aku...!" rutuk Sena.
Dalam jarak agak jauh, sebelas orang terus mengikuti Pendekar Gila.
Sena dan bayi kini berteduh di bawah pohon rindang.
"Lumayan berlindung di sini," gumam Sena.
Pendekar Gila melindungi bayi agar tidak terkena hujan, dengan kain pembungkus ditutupkan di atas bayi. Petir menyambar, menimbulkan cahaya kilat terang dalam sekejap. Dan pada saat itu, pandangan Sena yang tajam melihat sebuah bangunan tak jauh dari tempatnya berteduh.
"Hah" Ada rumah di sana...!" seru Sena.
Lalu tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Gila lesat pergi menuju arah bangunan yang nampak seperti rumah. Tapi setelah sampai, ternyata sebuah kandang. Mungkin bekas kandang kambing atau sapi.
"Ah, masa bodoh. Yang penting, tidak kehujanan ya, Adik Manis...!" seru Sena bicara pada si bayi. Pendekar Gila pun segera masuk setelah mendorong pintu dengan kaki kanannya.
Kandang itu lebih mirip gudang. Namun, dinding-dindingnya yang hanya separo, sudah banyak yang usang. Atapnya dari sirap kayu.
"Lumayan, Adik Manis. Kita beristirahat di sini saja, ya?" kata Sena sambil mendekap si bayi dengan kain. Anehnya si bayi tetap tenang, tak menangis lagi Sena nampak lega. Dia duduk bersandar di dinding kayu kandang, dan mulai menutup mata.
Sementara di luar, sosok bayangan mulai mengepung kandang itu. Dengan berbagai macam senjata di tangan, mereka siap bertindak.
Pendekar Gila sepertinya tak mengetahui keadaan di luar kandang. Sikapnya tenang-tenang saja, masih nampak seperti orang tidur sambil mendekap bayi Hujan semakin deras jatuh ke bumi. Guntur kembali menggelegar. Angin pun bertiup makin kencang, hingga atap kandang itu sebagian terbang terbawa angin.
Orang-orang di luar kandang mulai merapat. Kemudian salah seorang mendekati kandang, melangkah di tanah becek sangat hati-hati. Orang yang mendekat itu tiba-tiba melemparkan tombaknya ke arah bayi yang ada dalam tangan Pendekar Gila. Sena yang sebenarnya sudah tahu sejak tadi, dengan gerakan kilat merebahkan tubuhnya ke samping. Lalu kaki kanannya menendang tombak yang melayang di atasnya. Maka, tombak itu malah berbalik me-luncur ke arah pemiliknya.
Jlep! "Aaaakh...!" Terdengar teriakan seseorang, dibarengi ambruknya sosok tubuh dengan dada tertancap tombak. Orang itu kontan menggelepar, lalu tewas seketika itu juga.
Beberapa orang sekaligus menerjang masuk dengan babatan-babatan golok. Namun Pendekar Gila bergerak lebih cepat. Tubuhnya berkelebat sambil membabatkan Suling Naga Sakti.
"Heaaa...!" Begitu cepat gerakan Pendekar Gila, sehingga para pengeroyoknya tak ada yang bisa menghindar.
"Aaakh...!"
"Aaaww...!"
"Orang-orang Keparat..!" seru Sena, langsung melompat ke samping, siap menghadapi se- rangan berikutnya.
Pendekar Gila terus menggendong bayi, sambil terus bergerak amat cepat Murid Singo Edan itu tak nampak tegang, tapi malah cengengesan. Sementara itu hujan masih terus turun mengguyur tempat itu.
"Heaaatt...!"
"Kepung pemuda gila itu...!" seru orang yang berpakaian serba hitam.
Beberapa orang kembali menerjang Sena.
Namun Pendekar Gila cepat berkelit dan menangkis dengan Suling Naga Sakti. Bahkan senjatasenjata pengeroyoknya sampai patah jadi dua. Dan dengan gerakan tak terduga, Sena menghajar empat orang sekaligus. Kakinya terus bergerak sambil berputar mencari sasaran.
Tanpa ampun lagi, keempat orang itu terjengkang dan tak berkutik lagi.
"Hah..."!" Laki-laki berbaju hitam yang sejak tadi hanya melihat dari luar kandang, mulai kecut hatinya.
"Edan...! Celaka. Lebih baik aku lari saja!" kata orang itu.
Namun baru saja orang berpakaian serba hitam itu akan lari, Sena sudah melenting cepat.
Dan setelah berputaran beberapa kali, Pendekar Gila sudah menghadang laki-laki berbaju hitam ini.
"He he he.... Lucu sekali orang ini. Mau bu-ru-buru ke mana, Sobat..."!" ledek Sena sambil cengengesan. Segera Suling Naga Saktinya dis-elipkan di pinggang.
"Orang edan! Minggir, sebelum tubuhmu kucincang!" seru orang berpakaian hitam yang sebagian wajahnya tertutup kain hitam.
"Aha! Rupanya kau tukang jagal. Kebetulan, silakan cincang aku, Sobat. Ha ha ha...!" ejek Sena dengan tingkah aneh.
"Heaaatt...!" Tanpa bicara lagi orang berpakaian hitam itu menyerang Pendekar Gila dengan babatan goloknya. Wutt, wuttt! "Ha ha ha...!" Sena hanya tertawa sambil mengelak. Tubuhnya melompat ke samping dan miring ke belakang.
"Mampus kau Orang Edan...!" dengus orang berpakaian serba hitam itu terus mencecar dengan bacokan goloknya. Namun pada saat yang bersamaan, Pendekar Gila sudah cepat melenting ke atas. Dan begitu berada di udara, tubuhnya meluruk dengan tangan mengibas ke wajah orang bertopeng itu. Plak, plakk! Brettt! "Aaakh...!" Orang berpakaian serba hitam itu pun kontan memekik keras. Malah penutup mukanya sudah terbuka oleh tarikan tangan Sena. Sehingga kini jelas terlihat siapa orang di balik kain hitam itu. Siapa lagi kalau bukan Gondam"! Gondam yang merasa sudah kecut dan takut diketahui jati dirinya, cepat melarikan diri.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Orang-orang Edan!" rutuk Sena.
"Adik Manis, kalau hujan sudah reda kita teruskan perjalanan lagi, ya...?" Dan si bayi sepertinya mengerti. Tangannya digerak-gerakkan dan mulutnya dibuka. Sena langsung menciumnya dengan penuh kasih sayang. Lalu, dia kembali masuk ke kandang itu.
Di sana sini terlihat mayat-mayat bergelimpangan.
"Aku sebenarnya tidak ingin membunuh mereka. Adik Manis. Tapi mereka orang-orang kejam dan hendak membunuh kita. Jadi, aku terpaksa melakukannya...," kata Sena lagi.
Si bayi kembali seperti mengerti. Mulutnya dibuka sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas. Seakan ingin memegang wajah Sena yang menunduk.
Hujan mulai reda. Petir dan guntur tak lagi terdengar. Hanya angin bertiup semilir, membuat cuaca semakin dingin. Sena mendekap bayi dalam kain, agar mendapat kehangatan.

***

Cuaca kembali terang benderang. Pendekar Gila tampak berjalan di pinggir sungai berair jernih. Suasana di tempat itu cukup sunyi. Di sekeliling sungai nampak pepohonan bermacam-macam jenis. Sena menghentikan langkahnya, mengamati keadaan sekeliling dengan sapuan kedua matanya yang tajam. Pendengarannya pun dipasang tajamtajam. Bibirnya lantas tersenyum dan menunduk memandangi si bayi.
"Adik Manis, kita membersihkan tubuh sebentar, ya. Biar segar...," ucap Sena, dengan penuh kesabaran. Pendekar Gila berjongkok mengambil air sungai dan membasuh wajah dan badan bayi itu.
Orok dari Nyi Ranti dan Raden Panji ini merengek sebentar, lalu diam tertawa-tawa.
"Kau memang anak manis. Dan kelak, kau akan menjadi pengganti ayahmu, Adik Manis," ka-ta Sena sambil terus mengelap tubuh bayi. Bayi itu kemudian diletakkan di pinggiran sungai, beralaskan dedaunan yang diambil dari pepohonan. Dan Pendekar Gila segera mencuci kain pembungkus bayi. Sebentar-sebentar diciumnya kain itu, kalau-kalau masih bau pesing. Kepalanya menoleh sesekali, ke arah bayi. Bibirnya lantas tersenyum, melihat bayi itu masih terbaring lu-cu sekali. Kedua kakinya terangkat ke atas. Kedua tangannya saling menggenggam. Suaranya terdengar lucu. Diiringi tawa senang, Pendekar Gila melangkah menjemur kain yang sudah dicuci di atas daun pohon yang ada di situ.
"Nah, Adik Kecil. Sekarang aku akan mencuci muka dulu biar segar," kata Sena sambil melangkah agak jauh dari tempat bayi berbaring. Dipilihnya tempat yang lebih nyaman, untuk mencuci muka dan lengannya.
Tanpa ada perasaan apa-apa Sena membasuh muka dan tubuhnya dengan air sungai yang jernih.
"Asyik juga.... Segar sekali... huh," gumam Sena sambil mengelap muka, lengan, dan dadanya dengan kain. Namun begitu Pendekar Gila berpaling ke arah bayi.
"Hah..."!" Sena terkejut begitu menyadari kalau si jabang bayi sudah tak terlihat lagi. Pendekar Gila cepat melompat, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna. Dalam sekejap saja, tubuhnya sudah berada di tempat bayi tadi ditinggalkan.
"Edan...! Bodoh sekali aku. Orang yang menculik si adik manis pasti memiliki ilmu cukup tinggi. Edan...!" keluh Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya persis orang gila. Pendekar Gila nampak begitu cemas. Segera dikerahkannya daya pendengaran yang sangat peka. Namun sia-sia. Telinganya tak mendengar sesuatu yang mencurigakan. Sena cepat melompat ke tempat yang agak tinggi. Kedua matanya menyapu sekeliling, tapi tak menemukan apa-apa.
Bayi seakan-akan telah lenyap ditelan angin.


֍↨::::↨֍¦ 7 ¦֎↨::::↨֎

Siang ini hari agaknya semakin panas. Pendekar Gila nampak berdiri tertunduk di pinggiran jalan, Desa Bangunsari. Indera pendengarannya dikerahkan untuk memperhatikan setiap orang yang lalu lalang di pasar desa ini. Sena mencurigai setiap orang yang membawa keranjang di pung-gungnya. Bahkan tanpa ragu diperiksanya, sehingga membuat orang-orang jadi kebingungan dan marah. Apalagi kalau terdengar tangisan bayi.
Segera pemuda itu menghampirinya dan memeriksa. Ternyata, Pendekar Gila tidak menemukan bayi yang dimaksud.
"Pemuda itu kok seperti orang gila...! Edan!" gerutu ibu-ibu di desa ini sambil beringsut, menjauhi Sena yang bertingkah seperti orang gila.
"Dasar bocah gendeng!" seru salah seorang ibu berwajah judes, lalu mengambil langkah seribu dengan wajah ketakutan.
"Kacau...! Ke mana lagi aku harus mencarinya. Oh, Adik Manis.... Maafkan aku. Tapi aku pasti akan menemukanmu...," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Murid Singo Edan itu terus menyusuri jalan dengan berbagai perasaan. Terkadang melompat dan berlari kencang bagai terbang. Sikapnya menandakan kalau sangat cemas atas hilangnya bayi itu. Padahal, pemuda itu sudah berjanji pada mendiang Nyi Ranti, untuk membawanya ke hadapan Raden Panji, ayah si bayi itu.
Tanpa terasa hari sudah terperosok memasuki senja. Dan kini di dalam sebuah gubuk yang terpencil dari Desa Bangunsari duduk seorang lelaki bertampang culas. Dia tak lain dari Gondam yang duduk di sebuah kursi kayu sambil mengoncang-ngoncang kaki di atas meja. Di tangan kirinya menggenggam bambu berisi minuman arak.
Wajahnya sudah merah, mulai mabuk. Dan tak jauh dari tempatnya, di atas sebuah bale-bale tampak seorang bayi tidur beralaskan tikar lusuh.
Dari arah pintu muncul seorang wanita muda berparas cantik berpakaian silat ringkas berwarna jingga. Rambutnya panjang lurus. Kakinya melangkah mendekati Gondam.
"Kau melaksanakan tugasmu dengan baik, Retno. He he he...!" kata Gondam, seraya mengeluarkan sekantong uang dan diletakkan di atas meja.
"Terimalah ini, sekadar imbalan jerih payahmu....
He he he.... Mau minum..."!" Wanita cantik yang dipanggil Retno maju melangkah, lalu berdiri membelakangi Gondam.
"Simpan saja uang itu," ujar Retno tegas.
Gondam kaget mendengar ucapan wanita itu, namun tertawa-tawa kecil.
"Jangan main-main. Ini benar-benar uang asli, bukan palsu...!" kata Gondam bercanda.
"Ini hanya sebagian. Dan Nyi Ageng akan memberi lebih banyak!" Gondam kemudian berdiri ingin mengambil bayi itu.
"Jangan sentuh bayi itu!" bentak Retno.
Langkah Gondam terhenti. Dan laki-laki itu nampak kaget dengan bentakan Retno tadi. Namun dia lantas menyeringai, menatap Retno dengan pandangan aneh.
"Nyi Ageng ingin melihat bukti bayi ini, hidup atau mati!" tandas Gondam dengan nada parau sambil berbalik menghadap Retno.
Retno mendekati meja. Kemudian, diambilnya beberapa uang logam dari dalam kantong itu.
"Nah, begitu.... Jangan suka sok tak doyan duit! Orang kaya yang rumah dan tanahnya berhektar-hektar pun masih doyan duit. He he he...!" tutur Gondam disertai tawa bergelak sambil mengusap-usap perutnya.
Retno ikut tertawa. Seakan-akan, wanita muda yang berparas cantik itu sependapat dengan Gondam. Apalagi, Retno kini mempermainkan uang logam di telapak tangannya.
"Aku sendiri yang akan menyerahkan kepada..., Raden Panji!" tegas Retno. Matanya yang ta-dinya sayu, kini terbelalak tajam menatap Gondam. Wajah Gondam seketika berubah, mendengar nama Raden Panji disebut "Kau ingin meminta tebusan" Ha ha ha! Encer juga otakmu! Kita bisa minum dari dua sumur. Ha ha ha...!" kata Gondam gembira.
Retno ikut juga tertawa-tawa" Namun tibatiba....
"Ini bagianmu!" seru Retno sambil melemparkan beberapa keping uang logam ke arah Gondam. Begitu cepat gerakan wanita ini. Sehingga ketika uang logam itu melayang, Gondam hanya mampu terperangah. Tak pelak lagi wajah Gondam pecah, tertembus kepingan logam. Tubuh laki-laki itu pun terjajar ke dinding. Matanya terbelalak mengerikan. Lalu tubuhnya merosot ke lantai, tak bernyawa lagi. Tampak darah meleleh dari wajahnya. Sementara si bayi terbangun dan menangis.
Retno segera mengambil, dan membelai-belainya.
Ditimang-timangnya bayi itu.
"Diam, sayang... ini bibimu. Kau telah selamat, sayang...," bujuk Retno dengan mata berkacakaca. Retno mendongak ke atas, pikirannya menerawang, mengingat saudara kembarnya, "Sungguh malang nasibmu, Kak Ranti. Tapi aku berjanji akan menuntut balas, walaupun Kakek Ramulan melarangku!" kata Retno mengandung dendam membara.

***

Suara tangis bayi itu terus menggema, terbawa angin sehingga, sampai di telinga Pendekar Gila yang memang mengenali suara itu.
"Hah..."! Seperti suara tangis adik manisku.
Ya, bayi itu,..!" seru Sena. Lalu Pendekar Gila melompat mendekati gubuk yang letaknya terpencil di desa ini. Sementara tangis bayi masih terdengar, namun sudah pelan. Begitu Sena sampai langsung mendobrak pintu gubuk. Dan Retno yang sedang menggendong bayi, jadi kaget setengah mati. Seketika bayi itu dipeluknya erat-erat. Malah seketika itu pula Retno langsung saja melemparkan kepingan logam-logam yang masih tersisa ke arah Sena.
Untung Pendekar Gila cepat melompat ke samping, hingga uang logam tak mengenai sasaran.
"Huh...! Edan!" rutuk Sena sambil terus mengelak, karena Retno masih saja melancarkan serangan. Dan begitu mendapat kesempatan, tiba-tiba Retno kabur melompat jendela sambil membawa bayi itu.
"Hei! Tunggu...!" cegah Sena berseru.
Namun Retno tak meladeni. Gadis itu berkelebat cepat Sena hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya begitu kesal.
"Huh! Kenapa bisa begini..."! Bodoh sekali aku ini. Dasar wanita iblis barangkali tadi...!" rutuk Pendekar Gila lalu melesat pergi mengejar Retno. Gerakan Retno sungguh luar biasa, cepat, dan nyaris tak menimbulkan suara. Malah Pendekar Gila yang sudah mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'-nya belum dapat mengejar Retno. Dan hampir saja Sena bisa menyusul, mendadak saja tubuh gadis itu berbalik. Lalu, seketika tangan Retno mengibas ke arah Pendekar Gila. Zing! Zingng! Serangkum serangan kilat dilancarkan Retno, berupa lontaran uang logam.
"Heit! Edan...!" gerutu Sena, langsung melenting ke udara untuk mengelakkan serangan. Dan pada saat Pendekar Gila sudah mendarat, gadis itu pun sudah tak ada lagi. Menghilang bagai siluman.
"Benar-benar bandel wanita ayu itu! Awas...!" gumam Sena, kembali meleset mengejar Retno.

***

Malam bertambah larut. Pendekar Gila masih saja mencari Retno yang membawa bayi Nyi Ranti. Murid Singo Edan ini nampak sedikit bingung, hingga menggaruk-garuk kepala.
"Edan! Mana sudah malam lagi! Ke mana aku harus mencarinya" Oh, adik manis. Di mana kau" Maafkan aku, adik manis...," ucap Sena dengan wajah kesal, agak keras.
Tak jauh dari tempat Sena, Retno yang bersembunyi di atas pohon menahan tawa mendengarnya. Agar tak bersuara mulutnya ditutup.
"Pemuda itu cukup tampan juga. Mungkin dialah yang pernah diceritakan Kak Sumarni beberapa bulan yang lalu. Ilmunya sangat tinggi. Beberapa kali seranganku dapat dielakkan dengan mudah. Siapa sebenar-nya dia?" tanya Retno dalam hati. Gadis itu terus mengamati gerak-gerik Sena dari atas pohon.
"Aku tahu, dia telah menyelamatkan bayi ini. Tapi aku harus menyerahkan bayi ini pada Kakek Ramulan lebih dulu, agar aku tidak disalahkan," kata Retno dalam hati.
Mata gadis itu menatap bayi dalam gendongannya. Anehnya, bayi itu nampak diam, tidur dengan nyenyaknya. Mungkin dia merasakan, ada kesamaan antara, darah Retno dengan Nyi Ranti, kembaran ibunya itu. Sehingga, seakan bayi itu seperti berada dalam gendongan ibu kandungnya.
Retno tersenyum. Namun matanya merembang.
"Kau akan bertemu buyutmu, Ponakanku Sayang...," gumam Retno, lirih. Lalu diciuminya bayi itu berulang kali.
Sementara itu, di bawah Sena sudah tak kelihatan lagi. Entah ke mana. Sedangkan malam semakin sunyi dan larut. Retno dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna, segera melomat turun. Ringan sekali gerakannya. Sebentar saja, tubuhnya telah melesat pergi. Hilang ditelan gelapnya malam.

***

Retno sangat terkejut begitu tiba-tiba saja di hadapannya telah berdiri sosok menghadang sambil tertawa-tawa mengejek dan menggaruk-garuk kepala.
"Ilmu meringankan tubuhmu sungguh luar biasa. Tapi kali ini kau tidak mungkin bisa lolos lagi. Serahkan bayi itu padaku...," tegas sosok berambut gondrong itu.
Wajah sosok itu masih tak jelas. Begitu juga wajah Retno, yang hanya kelihatan hitam bagai bayangan. Memang, malam ini bulan hanya nampak sepotong, tertutup awan hitam.
"Ha ha ha... enak saja kau! Lagak caramu seperti orang yang paling jago saja! Langkahi mayatku dulu, jika kau inginkan bayi ini," kata Retno ganti mengejek.
"Edan! Perempuan ini ternyata bernyali besar...!" gumam sosok itu sambil menggaruk-garuk kepala, sambil tertawa-tawa.
Pada saat itu sekilas cahaya rembulan mengarah ke wajah Retno. Dan pada saat itu pula sosok, yang tak lain Pendekar Gila sedang menatap tajam ke arahnya.
"Hah..."! Ranti..."!" gumam Sena kaget, melihat wajah Retno yang mirip Nyi Ranti.
"Bukankah... kau sudah mati..."!" Di tengah keterkejutan Pendekar Gila, Retno mengambil kesempatan tepat untuk kembali melesat kabur dari hadapan Sena.
Kembali Sena jadi menggerutu kesal sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya mirip orang gila.
"Salah apa aku ini" Kok, jadi bodoh begini.,.!" gerutu Sena dengan wajah kesal.
"Tapi, apakah dia rohnya Nyi Ranti.
Atau...?" Pendekar Gila berpikir sejenak, lalu segera melesat mencari Retno kembali.
Pagi telah menjelang. Matahari baru saja mengintip di ufuk sebelah timur. Sinarnya keemasan menerangi alam semesta. Dari arah barat, nampak seorang wanita muda menggendong seorang bayi tengah melesat cepat, keluar dari hutan.
Sejenak wanita muda berpakaian serba ungu yang tak lain Retno, menghentikan larinya. Matanya yang indah menyapu keadaan sekelilingnya.
Tatapannya menyelidik, takut kalau-kalau ada yang mengikuti.
"Pemuda yang bertingkah mirip orang edan itu tak akan bisa lagi menemukanku," gumam Retno. Namun baru saja Retno selesai dengan kalimat terakhir, tiba-tiba....
"Ha ha ha... Lucu sekali. Sepagi ini ada wanita sudah keluyuran di tempat yang cukup angker...." Mendadak terdengar sebuah suara yang disusul dengan berkelebatnya sosok tubuh ke hadapan Retna. Kini terlihat jelas, siapa sosok itu.
Dia tak lain dari seorang pemuda yang berpakaian rompi kulit ular. Rambutnya gondrong bertampang ganteng dan gagah.
Retno yang tak menduga sama sekali, jadi terkejut setengah mati.
"Hah..."! Edan" Aneh, bagaimana dia bisa tahu dan bisa mengejarku sampai di sini...?" gumam Retno lirih, seperti bicara pada dirinya sendi-ri.
Gadis itu kemudian bergerak ke samping, sambil menatap pemuda berpakaian rompi kulit ular yang bertingkah konyol.
"Kau memang tak tahu malu mengikuti wanita. Apa urusanmu dengan bayi ini"!" tanya Retno agak ketus.
"Aha! Rupanya kau bisa marah juga. Tapi, aku senang. Dan kalau kau mau tahu urusanku dengan bayi itu, baiklah." Sejenak pemuda itu menggaruk-garuk kepala.
"Kau harus tahu, aku telah berjanji pada ibu bayi itu untuk menyerahkan bayi ini pada ayahnya. Maka kuharap kau serahkan saja bayi itu padaku." Retno sejak semula sudah menduga kalau pemuda yang ada di hadapannya adalah orang yang diceritakan Sumarni. Tapi, dia masih belum yakin betul.
"Ha ha ha. Kau bisa saja membuat cerita lucu. Jangan coba-coba mengelabuiku. Siapa kau sebenarnya..."!" tanya Retno, bernada penuh selidik.
"Ha ha ha.... Kau mau tahu namaku" Baik.
Aku Sena Manggala. Panggil saja Sena. Puas..."!" sahut pemuda yang memang Sena diiringi tingkah lakunya yang konyol.
Kening Retno berkerut. Diamatinya Sena dari atas sampai bawah. Lalu pandangannya terhenti pada Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang Pendekar Gila.
"Heh..."!" desah Retno pendek. Wajah gadis itu tiba-tiba berubah. Seakan mulai mengingat sesuatu.
"Apakah pemuda ini yang disebut Pendekar Gila..."! Kakek Ramulan pernah menceritakan padaku tentang seorang pendekar yang bertingkah seperti orang gila. Dia memiliki senjata sakti yang berkepala Naga. Senjata itu disebut Suling Naga Sakti...!" kata Retno dalam hati.
"Hei..."! Kenapa bengong..."!" tanya Sena ti-ba-tiba, membuat Retno jadi kaget.
Seketika dia sadar dari lamunannya.
"Tidak..., tidak!" sahut Retno gagap sambil beringsut ke samping. Sementara bayi dalam gendongannya terus di dekapnya.
"Bagaimana" Kau sudah tahu namaku. Dan aku juga telah menjelaskan semuanya, Ranti...?" tanya Sena memancing perasaan Retno yang wajahnya mirip Nyi Ranti.
"Ranti! Kau juga jangan membohongi aku, dengan pura-pura mati...." Retno yang mendengar nama Nyi Ranti disebut, seketika wajahnya berubah kaget. Keningnya berkerut. Dipandanginya lagi Sena lapat-lapat. Kakinya lantas melangkah ke depan dua tindak.
"Hei...! Kau jangan bicara ngelantur...!" bentak Retno.
Pada saat itu, tiba-tiba bayi menangis dan meronta-ronta. Kaki dan tangannya seperti akan mencakar dada Retno.
"Susuilah, mungkin dia lapar...!" ujar Sena, lalu tertawa-tawa dan menggarukgaruk kepala. Retno salah tingkah. Wajahnya yang cantik persis Nyi Ranti, namun tindak-tanduknya sangat berbeda. Retno pemberani. Pandangan matanya pun tajam berkesan galak. Sedangkan Nyi Ranti sebaliknya. Retno memandang Sena sejenak. Lalu wajahnya dipalingkan sambil tersenyum, tersipu malu. Segera dicoba mendiamkan bayi yang masih menangis. Namun tangis bayi malah makin keras.
"Ha ha haaa.... Adik Manis, kasihan kau.
Cepat susui dia. Nanti bisa masuk angin," ujar Se-na diiringi tawa cengengesan.
Sementara Retno mulai kebingungan.
"Kenapa bukan kau saja?" kata Retno, asal nyeplos. Paling tidak hanya untuk menutupi ke-bingungannya.
"Lho"! Kau ini bagaimana, sih"! Mana mungkin" Aku kan, laki-laki. Hi hi hi.... Lucu kau ini," jawab Sena dengan tawa geli. Gadis itu pun sebenarnya merasa geli dengan ucapannya sendiri. Namun dia mencoba menahannya dengan memalingkan muka ke samping sambil menutup rapat mulutnya.
"Aku belum pernah punya bayi!" kata Retno tiba-tiba.
"Tapi, tak apa kan kalau bayi itu minta disusui. Ranti...!" kata Sena kembali memancing perasaan Retno.
"Aku bukan Ranti...! Aku... aku... ahh, sudahlah!" seru Retno agak gugup.
"Ha ha ha.... Kau tambah cantik kalau marah begitu. Maaf, tapi wajahmu mengingatkan aku pada Ranti yang bernasib malang," tutur Sena kemudian penuh perasaan.
Kata-kata Pendekar Gila membuat Retno terdiam. Wajahnya mendadak berubah. Kalau tadi Retno marah, namun kini matanya nampak berkaca-kaca dan sayu. Kepalanya menunduk, memandang bayi yang masih menangis.
"Hmmm.... Aku yakin, dia saudara kembar Nyi Ranti. Tapi, kenapa sifatnya begitu berbeda"!" kata Sena dalam hati saat melihat perubahan di wajah Retno. Pendekar Gila terus menatap Retno yang kini nampak gundah.
"Kalau aku jadi kau, bayi itu sudah kususui sejak tadi. Apakah kau tidak kasihan...?" kata Se-na lagi, sengaja menyentuh perasaan Retno.
"Kau pikir setiap perempuan bisa menyusui?" sahut Retno cepat sambil menatap Sena tajam. Sena hanya nyengir sambil menggaruk- garuk kepala. Tingkah lakunya konyol sekali.


֍↨::::↨֍¦ 8 ¦֎↨::::↨֎

Suasana hening tiba-tiba kembali bising oleh tangis bayi itu. Rupanya bayi itu kencing.
Retno kaget dan mendekap bayi itu agak kuat.
Sena kaget. Seketika dia melompat ke arah Retno bermaksud ingin membantu. Tapi Retno cepat pula menepis tangan Pendekar Gila yang memegang lengannya. Lalu ditamparnya pipi pemuda itu. Plakkk! "Auww...!" Sena memekik sambil memegangi pipi kirinya, pura-pura kesakitan.
Tindakannya memang sengaja, agar Retno senang.
"Kau rupanya ingin mencari kesempatan dalam kesempitan, ya..."! Genit!" bentak Retno dengan mata melotot "Maaf. Aku tidak bermaksud buruk, Nisanak yang manis. Aku hanya ingin membantumu, dan ingin menanyakan kenapa bayi itu nangis lagi," jelas Sena sambil masih memegangi pipi kirinya yang ditampar Retno tadi.
"Dasar laki-laki! Kau anggap aku ini perempuan apa"! Sudah! Sekali lagi berbuat macammacam, awas!" ancam Retno dengan wajah cemberut sambil mengacungkan tangan kanan ke arah Sena. Pendekar Gila hanya cengengesan.
"Tapi, aku tahu. Kau pun sebetulnya sayang kepada bayi itu. Demikian juga aku," kata Pendekar Gila.
Retno menghela napas dalam-dalam, lalu melangkah ke samping. Dipandanginya bayi dalam pelukannya. Dan bayi itu tiba-tiba mulai diam.
"Kau seperti ahli nujum saja. Tapi semua ini sebagai bukti, bahwa naluri kewanitaanku masih belum pudar, bukan?" kata Retno mulai sedikit lunak.
"Masih kuragukan! Karena hati perempuan terlalu sulit diduga!" jawab Sena seenaknya sambil cengengesan.
Retno kaget. Kepalanya langsung berpaling memandangi Sena. Gadis itu lalu tertawa lepas.
Namun tawanya tiba-tiba terhenti ketika melihat sesosok bayangan berkelebat di udara. Setelah berputaran dua kali, kakinya berpijak di antara Sena dan Retno.
"Kakak...!" seru Retno dengan wajah gembira. Orang yang dipanggil kakak itu segera menghambur ke arah Retno, seakan tak mempedulikan Pendekar Gila yang kaget dan terbengong, sementara wanita itu kini berpelukan dengan Retno, lalu menciumi bayi dalam gendongan.
"Aku yakin ini bayi Ranti...," gumam wanita berpakaian silat serba merah.
"Marni..."! Sumarni! Kaukah itu..."!" sebut Sena, begitu wanita berpakaian serba merah hati itu berpaling ke arahnya.
Kening Retno berkerut, ketika mendengar teguran Sena pada wanita yang memang Sumarni.
Dan gadis itu memang pernah ditolong Sena beberapa waktu yang lalu.
"Tuan Pendekar, kau tidak salah. Aku Sumarni yang pernah kau selamatkan dari cengkeraman maut. Dan ini, Retno saudara sepupuku...," kata Sumarni diiringi senyum kebahagiaan.
Lalu gadis itu mendekati Sena.
"Aha! Aku jadi seperti mimpi. Sudah hampir setahun aku tak bertemu denganmu, sejak kau menghilang. Kita, tahu-tahu bertemu di tempat ini, berbarengan pada saat aku sedang ingin menyelamatkan bayi itu.... Aneh! Seperti dalam mimpi saja...!" kata Se-na sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Sumarni tertawa-tawa.
"Retno.... Kau masih beruntung tak sampai bertarung dengannya. Pemuda inilah yang pernah diceritakan Kakek Guru Ramulan. Kau masih ingat kan, pada seorang pendekar bijaksana dan berbudi luhur yang sakti mandraguna.... Inilah Pendekar Gila dari Goa Setan itu," jelas Sumarni pada Retno.
"Sudah kuduga, Kak. Aku pun sudah menduga.... Tapi, aku terus terang tadi masih ragu.
Karena dia menginginkan bayi ini...," ujar Retno malu-malu dan agak gugup.
Sementara itu Pendekar Gila hanya diam dan cengar-cengir. Tingkahnya mirip orang gila.
Acuh dengan semua ucapan Sumarni dan Retno.
"Maafkan saudara sepupuku ini, Tuan Pendekar.... Tapi aku kini merasa bahagia, karena dapat kembali bertemu denganmu," kata Sumarni la-gi.
"Aah...! Jangan panggil aku dengan sebutan tuan. Panggil saja Sena, Marni... Aku tak suka dipanggil demikian, karena sama saja seperti kalian," pinta Sena pada Sumarni.
Retno tersenyum-senyum. Gadis ini mulai tertarik pada Sena yang memang tampan dan gagah.
"Nah, sekarang semuanya sudah nyata.
Apakah kau masih tidak sudi menyerahkan bayi itu padaku...?" tanya Sena pada Retno.
Retno menoleh pada Sumarni yang berdiri di sisi kirinya, seperti minta pendapat.
"Kak Sena. Bukannya aku tak mau menyerahkan bayi ini padamu. Tapi, ini juga tanggung jawabku. Karena, bayi ini anak saudara kembarku, Kak Ranti," tutur Retno dengan mata berkacakaca. Pendekar Gila yang kini semakin yakin kalau Retno saudara kembar Nyi Ranti menjadi lega.
Ditariknya napas panjang dari dihembuskannya perlahan. Matanya menatap penuh kasih pada Retno. Sesaat mereka tak berbicara. Hanya perasaan hati masing-masing yang berkecamuk. Sementara angin semilir bertiup menyejukkan tubuh.
"Benar, Kak Sena. Retno ini adik kandung Nyi Ranti yang kau kenal itu. Kasihan. Sungguh malang, Ranti...," desah Sumarni, sedih.
"Nada suaranya memang agak mirip. Kecuali, sifatnya yang berbeda. Seperti antara bumi dan langit," ujar berseloroh.
Retno hanya tersenyum sambil membelai bayi dalam gendongannya.
"Mungkin dikarenakan naluri kewanitaanku sudah pudar. Begitu, kan...?" sahut Retno dengan matanya yang bening dibelalakkan. Sumarni hanya tersipu-sipu menyaksikan Retno, yang dianggapnya terkadang masih seperti anak-anak. 'Tidak! Saat ini kau telah memilikinya lagi!" jawab Sena, tegas.
Retno menjadi tersenyum manis. Hatinya sangat senang mendengar ucapan Sena, tetapi hanya sesaat. Kembali dibelainya si bayi.
"Setelah Mang Jarot menemuiku dan memberitahu tentang rencana busuk Nyi Ageng terhadap Kak Ranti dan bayinya, aku bergegas pulang.
Tapi, terlambat. Ayahku telah tewas. Segera Raden Panji kuberitahu. Lalu aku mencari Kak Ranti dan bayinya. Aku gagal. Tapi, aku bersyukur karena kau telah menyelamatkan mereka...," tutur Retno, menceritakan semua sepak terjangnya.
"Hm.... Kau kenal kepala bajingan itu?" tanya Sena.
"Gondam! Dia satu perguruan denganku. Tetapi, kemudian dia jadi sesat," jelas Retno. Matanya masih berkaca-kaca.
"Lalu, bagaimana kau bisa menemukan aku" Bahkan bisa mencuri bayi itu?" tanya Sena menyelidik.
Retno sejenak menatap Sena, lalu tersenyum. Sementara Sumarni masih diam mendengarkan cerita Retno. Namun, dendamnya pada Nyi Ageng apalagi pada Sengkala Sekti yang kini menjadi Raden Kowara, masih melekat di hatinya.
"Aku berpura-pura bersedia bekerja sama ketika Gondam mengajakku! Aku sudah tahu, dialah yang membunuh ayahku, melalui jejak yang ditinggalkannya. Juga, bekas pukulan pada tubuh ayahku. Dia kini sudah menerima bagiannya! Tapi, sakit hatiku belum hilang, jika belum dapat membunuh Nyi Ageng!" tutur Retno, panjang lebar.
Sena menghela napas lega disertai anggukan kepala. Dia lantas menoleh ke arah Sumarni yang nampak terharu mendengar cerita Retno.
"Aku pun ingin membalas dendamku terhadap Sengkala Sekti, yang kini mengaku sebagai Raden Kowara! Mati pun aku rela, jika sudah dapat membalas dan membunuhnya!" tandas Sumarni, geram.
"Hm.... Jangan menaruh dendam pada lawanmu. Tapi, aku bisa mengerti perasaan kalian berdua. Aku pun sudah berjanji pada Nyi Ranti, akan menyerahkan anaknya pada Raden Panji...
Maka jika kau tak keberatan, aku ingin bersama kalian untuk menyerahkan bayi itu pada Raden Panji," jelas Sena.
"Alangkah bahagianya aku, jika kau mau membantu kami. Tanpamu, mungkin kami akan mengalami kesulitan untuk melawan manusiamanusia serakah dan berhati iblis itu," sahut Retno.
"Itu sudah kewajibanku, Retno. Aku pun sangat gembira bisa bertemu kau dan Sumarni," kata Sena, polos sambil cengar-cengir.
"Bagaimana kalau kita tak usah lama-lama di tempat ini. Kita harus mencari tempat yang lebih aman, untuk merencanakan langkah selanjutnya?" usul Sumarni tiba-tiba.
"Itu usul yang tepat! Tapi, jangan kau kabur lagi dariku, Marni. Bikin aku pusing dan merasa berdosa...!" seloroh Sena.
Sumarni pun tertawa lebar. Lalu mereka bertiga mulai meninggalkan tempat.

***

Sementara itu di tempat kediaman Nyi Ageng dan Raden Kowara, kelihatannya tenangtenang saja. Namun di sebuah ruangan yang agak rahasia, kelihatan Raden Kowara dan Nyi Ageng seperti gelisah. Mereka ditemani seorang pengawal yang berbadan tinggi besar dengan dada berbulu.
Kumisnya melintang, bersenjatakan kelewang besar di tangan kanan. Dia berdiri di dekat pintu masuk. Raden Kowara nampak mondar-mandir di ruangan yang penuh perabotan indah dan cukup luas. Sementara Nyi Ageng sendiri duduk tenang di singgasananya.
"Kau tak usah cemas, Kowara. Kukira semuanya berjalan lancar. Tak lama lagi kita akan menguasai kekayaan ini. Ha ha ha.... Hi hi hi. ..
Kini hanya aku satu-satunya pewaris kekayaan yang berlimpah di sekelilingku. Ha ha ha...!" kata Nyi Ageng.
"Diam...!" bentak Raden Kowara alias Sengkala Sekti.
Nyi Ageng kontan terdiam. Dan dia kaget melihat sikap Raden Kowara. Wanita bertubuh indah dan cukup cantik namun berhati iblis ini berdiri menghampiri Raden Kowara.
"Kau mulai berani membentakku"! Kau kira aku takut denganmu" Bukankah semua ini adalah rencanamu..."! Jangan coba-coba berlaku kasar padaku, Kowara!" dengus Nyi Ageng dengan mata mendelik dan berkacak pinggang.
"Dan kau juga jangan menganggap citacitamu akan bisa berhasil, jika semua rencana kubatalkan. Kau akan menyesal, Nyi!" sahut Raden Kowara sengit dan keras sambil menuding. Mendengar ancaman Raden Kowara, Nyi Ageng khawatir juga. Karena dia sendiri merasa, tanpa Raden Kowara atau si Sengkala Sekti yang pura-pura diaku sebagai pamannya, tak akan mampu meraih cita-citanya.
Nyi Ageng diam tak berkata apa-apa lagi.
Wanita telengas ini lalu kembali duduk dan tercenung lesu, penuh penyesalan dan kekhawatiran mendalam. Memang, jika Raden Kowara meninggalkannya, pasti semua yang dilakukan terhadap Nyi Ranti akan terbongkar.
"Maafkan aku, Kowara. Aku terlalu terbawa perasaanku...," ucap Nyi Ageng, setelah merenung beberapa saat Sengkala Sekti menghela napas panjang.
Lalu diperintahkannya pengawal yang berbadan besar itu pergi dari ruangan itu.
"Perasaanku sejak semalam tak tenang.
Pasti akan terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Untuk itu, kau harus mengerti," kata Raden Kowara setelah pengawal itu tak kelihatan lagi.
Nyi Ageng jadi mulai cemas mendengar ucapan Sengkala Sekti. Wanita yang bermata galak itu mulai tak tenang, terus mendesah.
"Tapi, mudah-mudahan mimpiku tak akan menjadi kenyataan. Yang penting, kau harus selalu luwes dan seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Jangan cemas mendengar keteranganku ini. Kita harus melawan mereka. Siapa pun orangnya!" tandas Raden Kowara, geram.
Sesaat kemudian menjadi hening. Nyi Ageng menghela napas panjang. Matanya menatap tajam ke arah Sengkala Sekti yang masih berdiri di hadapannya.
"Mudah-mudahan Gondam tak mendapat kesulitan. Tapi, kenapa dia terlambat datang..."!" desah Nyi Ageng, seperti bicara pada diri sendiri.
Raden Kowara bergegas keluar dari ruangan dengan langkah lebar. Rupanya lelaki bermuka keras itu merasakan sesuatu.
Nyi Ageng kaget melihat sikap Raden Kowara. Dia pun segera keluar dari ruangan rahasia ini.

***

Sementara itu Pendekar Gila yang kini memondong bayi Nyi Ranti, telah tiba di lembah karang bersama Retno dan Sumarni. Namun baru saja salah seorang hendak angkat bicara, tiba-tiba dari atas pepohonan dan dari balik batu-batu karang bermunculan orang-orang bertelanjang dada.
Wajah mereka tertutup topeng berwarna pucat. Di tangan mereka tergenggam bermacam-macam senjata.
"Hah..."! Mau apa tikus-tikus ini...!" gumam Sena sambil mendekap bayi dalam gendongannya.
"Manusia-manusia keparat! Aku yakin mereka orang-orang bayaran Nyi Ageng!" dengus Retno penuh kegeraman. Gadis cantik itu segera menggerakkan kedua tangan, membuka jurus silatnya.
"Ya! Mereka harus segera dihabisi. Aku tak ingin berlama-lama dengan kunyuk-kunyuk busuk ini!" sahut Sumarni, juga membuka sebuah jurus silatnya langsung dia mengambil tempat dengan mengadu punggung pada Retno.
Sementara itu sebanyak lima belas orang bertopeng pucat telah mengurung Sena, Retno, dan Sumarni.
"Aha! Rupanya kita akan bermain-main sejenak dengan kecoa-kecoa ini. Hi hi hi...!" ejek Pendekar Gila dengan nada tinggi, bertingkah aneh seperti orang gila.
Dan saat selanjutnya....
"Seraaang...!" seru salah seorang pengepung yang berpakaian serba hitam. Rupanya, dialah yang menjadi pimpinan pengeroyok ini.
"Heaaa...!"
"Heaaatt...!"
"Yeaaa...!"
"Heit...!" Pendekar Gila melenting ke udara sambil bersalto menghindari serangan. Sementara Retno dengan ganas langsung mengibaskan tangannya. Maka seketika melesat beberapa benda keperakan ke arah empat orang sekaligus. Jlep, jlep! "Aaaa...!" Empat penyerang seketika ambruk sambil menjerit, dengan kening tertancap senjata Retno yang berupa uang logam.
Sedangkan Sumarni yang lebih tua dari Retno, bergerak agak lamban namun terlihat mantap. Sekali kebut pedangnya mampu membinasakan empat orang lawan.
Crass! Crasss! "Aaawww...!" Pekik kematian terdengar susul-menyusul dari orang-orang bertopeng, terbabat pedang Sumarni. Sementara itu, Pendekar Gila hanya mampu meliuk-liukkan tubuhnya mengelakkan serangan.
Baru kemudian, tubuhnya, berkelebat dengan sambaran tangan kanan ke arah kepala lawan.
Prak! Prakkk! Lima orang sekaligus ambruk di hajar Pendekar Gila tanpa mampu berkutik lagi. Mereka mati bersimbah darah.
Pertarungan berjalan semakin seru. Terutama ketika melesatnya sosok hitam yang langsung menggempur Sumarni. Sumarni terdesak.
"Heaaa...!"
"Yeaaatt...! Huh"!" Sumarni terpekik sambil mundur, ketika satu cakaran tangan kanan sosok berbaju hitam itu hampir saja merusak wajahnya.
Dia memang pimpinan pengeroyok yang berkepandaian cukup lumayan. Tak heran kalau Retno yang baru saja merobohkan seorang lawannya, segera melompat ke arah pimpinan orang bertopeng yang mencecar Sumarni. Dan tanpa banyak bicara langsung dihajarnya orang itu dengan tendangan kaki kanan ke arah kepala.
Desk! "Aaaakh...." Terdengar pekikan panjang, begitu kepala laki-laki berbaju hitam itu terhantam tendangan Retno. Tubuhnya kontan melintir lalu ambruk tak berkutik lagi. Retno dengan wajah puas memandang lawannya yang terkapar di tanah bermandikan darah. Sementara Sumarni bergerak bangun. Sementara Pendekar Gila juga sudah menyelesaikan pertarungannya. Dalam waktu singkat, lima belas orang bertopeng itu sudah terkapar.
Sena segera menghampiri Retno dan Sumarni.
"Kalian ternyata memiliki ilmu yang cukup hebat. Aku kagum," puji Sena sambil mengacungkan jempol.
"Tapi, kita berdua belum ada apa-apanya kalau dibanding Kak Sena," kata Retno merendah, sambil mengelap kening dengan lengan baju.
"Ah! Jangan memuji. Ayo kita harus cepat pergi dari sini. Bayi ini harus diselamatkan dulu.
Raden Panji pasti sudah tak tenang," ajak Sena.
Lalu ketiga anak muda itu melanjutkan perjalanan menuju Rajamandala.

***

Di Rajamandala, Raden Panji nampak sedang murung, duduk di dalam rumahnya yang terletak di tengah perkebunan luas. Raden Panji nampak begitu lesu. Dia masih berduka atas peristiwa kematian Nyi Ranti. Bahkan dia terus memikirkan keadaan bayinya yang tak jelas kabar beritanya.
"Oh, Gusti.... Lindungi anakku, kalau memang masih hidup. Mudah-mudahan ada orang yang menyelamatkannya," desah Raden Panji lirih, seakan bicara pada diri sendiri. Pada saat itu, tiba-tiba muncul seorang lelaki setengah baya.
"Maaf, Raden.... Ada tamu," lapor laki-laki setengah baya itu.
Raden Panji bergegas bangkit, kemudian melangkah ke arah pintu.
Ternyata, di depan terlihat Pendekar Gila yang menggendong bayi. Di sisinya, tampak Retno dan Sumarni.
"Retno...! Kau..."!" tegur Raden Panji, serak.
Dipandanginya Sena yang cengar-cengir.
Retno langsung menghambur ke arah Raden Panji, lalu memeluknya. Sementara Raden Panji masih terbengong di tempatnya.
"Kakang Panji.... Aku datang membawa bayimu...," ujar Retno dengan suara seperti akan menangis.
Pendekar Gila lantas melangkah mendekati Raden Panji yang masih berpelukan dengan Retno.
Suami Nyi Ranti itu lalu melepas pelukan adiknya perlahan. Kemudian dengan langkah perlahan, mendekati Sena yang menggendong bayi.
"Oh, anakku! Kau tentu sangat menderita.
Maafkan ayahmu yang terlalu lemah.... Oh, Gusti.
Terima kasih, terima kasih...." Raden Panji langsung memeluk dan mencium anaknya berulang kali. Matanya berkacakaca, terdorong rasa haru dan bahagia atas keselamatan putranya.
"Kau sudah melihat perbedaannya, bukan" Itulah ayah sejati," bisik Sena pada Retno yang sudah berdiri di sampingnya.
Retno yang masih berkaca-kaca itu tersenyum. Tangannya lantas mengelap air mata yang mengembang di kelopak mata.
Sementara, Sumarni sudah tak tahan. Gadis itu menangis melihat semua peristiwa yang menyedihkan dan juga membahagiakan ini. Bahagia karena bersama Retno dan Sena dapat melaksanakan tugas dengan baik. Sedih, karena sadar kalau dirinya kini sebatang kara seperti halnya Retno. Tak ada ayah dan ibu lagi.
Raden Panji masih menggendong bayinya.
Sebentar-sebentar diciumnya dengan penuh kasih sayang. Retno, Sumarni, dan Sena yang melihatnya jadi trenyuh. Mereka kini duduk bersila di ruangan yang cukup luas.
"Tidak pernah kusangka, ternyata aku telah memelihara ular-ular berbisa di rumahku! Kasihan Dinda Ranti. Karena kebodohanku, dia jadi korban," sesal Raden Panji tiba-tiba.
Sejenak, Raden Panji terdiam menahan kepedihannya. Tangannya tak henti-henti membelai kepala bayinya yang tergolek tidur di pangkuan.
"Aku benar-benar sangat berterima kasih pada, Kisanak. Hanya Tuhanlah yang dapat membalas kebaikanmu, Sena," ucap Raden Panji.
"Tuhan juga maha pengasih. Dia akan menguatkan dan menghibur hati Raden Panji. Yang jahat pasti dihukum-Nya," jawab Sena polos dan tegas. Sesaat suasana hening, karena semuanya terdiam. Masing-masing dengan perasaan dan pikirannya.
"Sejak kedatangan pamannya yang bernama Kowara, Nyi Ageng jadi berubah! Aku tidak tahu, dialah dalang dari semua ini. Ternyata, dia memang ingin menguasai seluruh hartaku! Sumarni dan Retno-lah yang memberitahuku. Tapi, semuanya sudah terlambat. Aku benar-benar orang bodoh dan tak mempunyai keberanian...," tutur Raden Panji, memecah kesunyian.
"Tidak ada yang terlambat, Kakang Panji.
Aku telah bersumpah akan membuat perhitungan pada manusia-manusia licik dan jahat itu," sahut Retno geram. Jari-jari tangan kanan dan kirinya mengepal kuat-kuat.
"Ya! Aku pun akan menuntut balas atas kematian kedua orangtuaku. Kowara alias Sengkala Sekti itu harus kubunuh! Nyawa kupertaruhkan!" tambah Sumarni tak kalah sengitnya.
Sementara Pendekar Gila hanya cengarcengir mendengarkan ucapan Retno dan Sumarni.
Tak lupa, kepalanya digaruk-garuk.
"Kita harus mengatur siasat...," kata Sumarni lagi.
"Ya! Mereka tentu akan menanyakan Gondam. Dan mereka akan curiga pada kita semua," tambah Retno.
"Aku punya akal. Kowara tentunya mengenalku," kata Sumarni kemudian.
"Lantas?" tanya Retno.
"Biarlah Kak Sena membawa bayi pada mereka, sambil menyanderaku. Seakan, Kak Sena yang menangkapku.... Aku yakin, mereka akan percaya," kata Sumarni penuh keyakinan.
"Boleh juga. Aku kagum padamu, Kak. Tapi, aku sendiri bagaimana?" tanya Retno ingin tahu.
"Kau harus menutupi wajahmu dengan cadar, agar mereka tak mengenalimu. Kau datang dengan Kak Sena...."
"Aha! Rupanya kau cukup cerdik, Marni.
Dan rencanamu cukup ampuh. Sebaiknya kita segera berangkat. Di mana mereka kini berada?" tanya Sena, memotong kata-kata Sumarni.
Mereka sengaja tinggal di Karang Sewu. Dan itu permintaan mereka padaku, dengan alasan Nyi Ageng ingin menenangkan diri di daerah yang sunyi dan agak terpencil. Aku mengizinkannya, karena sudah muak melihat mereka," tutur Raden Panji. Sumarni yang mendengar itu bertambah terbakar hatinya.
"Penipu-penipu itu harus segera dilenyapkan! Mereka sudah keterlaluan. Kalau Kakang Panji ingin tahu siapa sebenarnya Kowara, jawabannya nanti"
"Apa maksudmu, Marni" Apakah yang kau maksud Kowara...?" tanya Raden Panji.
Sena dan Retno menjadi kaget melihat Sumarni yang begitu marah dan hampir tak bisa mengendalikan diri. Raden Panji pun menjadi semakin cemas. Sebenarnya, lelaki ini sudah mempunyai firasat, bahwa Raden Kowara yang diaku paman oleh Nyi Ageng istri pertamanya, memiliki gerak-gerik tak wajar. Namun karena tak ingin terjadi sesuatu, apalagi saat itu Nyi Ranti sedang hamil tua, maka dia tak bertindak apa-apa.
Suasana menjadi hening beberapa saat Sumarni nampak mulai menyesal atas ucapannya tadi. Dia merasa bersalah, hingga membuat Raden Panji menjadi cemas kembali.
"Aha! Aku rasa semuanya tak perlu dibicarakan lagi. Lebih baik kita segera berangkat. Lebih cepat, lebih baik. Dan kuharap rencana ini akan berjalan lancar," kata Sena tiba-tiba sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar! Kalau begitu, izinkan kami berangkat sekarang, Kakang Panji," tambah Retno.
"Baik. Doaku untuk kalian. Hati-hati, Ret no, Marni. Aku telah banyak membuat kalian susah. Tuan Pendekar, tolong bantu mereka...," ucap Raden Panji dengan suara serak agak lemah.
"Itu sudah kewajibanku. Dan aku merasa lega bisa bertemu Raden Panji...," jawab Sena polos.

***

Para penjaga bangunan megah berpagar tembok tinggi, menghadang Sena yang menggendong bayi dan Retno yang bercadar. Kedua anak muda itu menggiring Sumarni yang sengaja dibuat kotor wajahnya. Tangan Sumarni seakan terikat di belakang.
"Berhenti! Siapa kalian..."!" bentak penjaga berkumis tebal dan bermuka garang.
"Aku membawa wanita ini untuk kuserahkan pada juraganmu Raden Kowara dan Nyi Ageng. Sekaligus, menyerahkan bayi ini," jawab Sena dengan tegas dan kemudian cengar-cengir. Kening penjaga yang berkumis tebal jadi berkerut menoleh kepada kawannya yang ada di sebelah kiri. Dia berbisik sejenak, lalu salah seorang berlari masuk ke dalam.
Sena berpaling ke arah Retno yang memakai cadar hitam. Tak beberapa lama, orang yang masuk ke dalam keluar lagi. Dan dia segera berbisik pada la-ki-laki berkumis tebal.
"Kalian boleh masuk. Tapi, jangan berbuat macam-macam kalau ingin selamat," kata orang berkumis tebal, dengan sombong.
"Orang ini perlu kupatahkan lehernya nanti," gumam Retno perlahan sambil melangkah masuk diikuti Sena yang menggiring Sumarni. Di depan bangunan megah, sudah menunggu Raden Kowara dan Nyi Ageng. Kedua orang itu menatap kedatangan Sena, Retno, dan Sumarni dengan kening berkerut. Lalu mereka saling pandang. Retno yang berada paling depan sambil menggendong bayi, segera menjura. Demikian juga Sena. Raden Kowara dan Nyi Ageng hanya menganggukkan kepala.
"Siapa kalian...?" tanya Raden Kowara penuh selidik. Suaranya terdengar berat.
Sena lantas menarik Sumarni ke depan.
Raden Kowara yang langsung mengenali wajah Sumarni, jadi kaget. Matanya terbelalak, menatap tajam pada gadis itu.
"Kau...!"
"Ya! Kau tentunya mengenal wanita ini. Dia telah membunuh Gondam, orang bayaranmu. Dan kebetulan, aku dan temanku ini lewat. Segera wanita ini kutangkap, ketika mencoba kabur dengan bayi ini. Dan ketika kami desak, wanita ini baru mengaku. Terus terang, aku orang perantau dan perlu perbekalan. Dan akan menyerahkan bayi ini pada Tuan, tapi aku perlu ini...," kata Retno sambil menggerakkan jari tangannya. Raden Kowara lalu menoleh ke arah Nyi Ageng yang nampak sudah tak sabar dan cemas.
Wanita itu lantas menganggukkan kepala tanda setuju.
"Bawa ke sini bayi itu...," ujar Nyi Ageng ti-ba-tiba.
Retno yang bercadar membawa bayi yang terbungkus rapat, hendak melangkah. Tapi Raden Kowara cepat mengangkat tangannya.
"Tunggu! Aku ingin melihat wajahmu. Baru aku akan memberi upah sekantong uang emas," ujar Raden Kowara.
"Ha ha ha.... Kau memang Manusia Busuk...!" seru Retno sambil membuka cadarnya.
Langsung gadis itu menyerang Raden Kowara dengan pukulan tangan kanan. Raden Kowara yang tak menduga sama sekali, langsung terkejut.
Namun dia masih sempat mengelak dengan memiringkan tubuhnya ke samping. Pada saat itu pula Sena dan Sumarni mulai bertindak.
"Kepung!" seru Raden Kowara.
Seketika puluhan penjaga mengepung tiga anak muda itu. Wajah Nyi Ageng mendadak pucat. Dia berusaha kabur masuk ke dalam.
Sementara, Raden Kowara kini ganti mencecar Retno dengan tendangan dan pukulan kilatnya. Sampai pada satu kesempatan, tendangannya mengenai bungkusan bayi.
Prakkk! Ternyata dalam bungkusan itu bukan bayi, melainkan buah labu besar. Melihat hal ini Raden Kowara semakin marah! "Kurang ajar! Kalian telah menipuku. Maka terimalah hukuman kalian. Heaaa...!" Raden Kowara alias si Sengkala Sekti langsung melancarkan serangan kilat dengan jurusjurus mautnya. Wutt, wuttt! "Uts!" Sampai sejauh ini Retno masih mampu menghindar dengan lentingan tubuhnya. Namun Sengkala Sekti tidak tinggal diam. Begitu gadis itu mendarat di tanah, cepat dilepaskannya pukulan mautnya.
"Heaaa...!" Tak ada kesempatan bagi Retno, selain memapak dengan tangannya.
Plak, plakk! "Huh..."!"
"Hebat juga bocah ingusan ini. Kini terimalah ini. Heaaa,..!" Begitu serangannya gagal, Raden Kowara tiba-tiba melenting ke udara. Dan setelah bersalto di udara, tubuhnya cepat menukik bagai burung elang ke arah Retno.
Retno yang melihat itu bermaksud mengejar ke udara. Namun belum sempat melompat, cakaran Sengkala Sekti lebih cepat menghajar punggungnya, Crasss! "Aaakh...!" Retno memekik dengan tubuh terhuyung-huyung.
Sementara, Sumarni yang sedang menghadapi tiga pengawal langsung saja melompat ke arah Retno hendak menolong. Pada saat yang sama Raden Kowara yang telah mendarat, kembali menyerang. Sumarni yang sudah dendam pada laki-laki itu, segera memapak serangan dengan babatan pedangnya.
Wess, wesss! Desk. Desk! "Aaakh...!" Sumarni menjerit. Sungguh tak disangka, ternyata Raden Kowara lebih cepat dan lebih cerdik dari Sumarni. Seketika dada gadis itu tersambar cakar Raden Kowara yang berilmu tinggi. Seketika dari mulut Sumarni keluar darah segar. Tubuhnya kontan ambruk celentang di tanah sambil meringis kesakitan. Dadanya membiru dan ada tanda cakar jari-jari tangan Raden Kowara.
Itulah jurus 'Cakar Iblis Mencabut Nyawa'! Pendekar Gila yang baru saja merobohkan enam orang sekaligus, kaget melihat Sumarni dan Retno dalam bahaya. Segera Pendekar Gila menghajar empat orang dengan tendangan, lalu melompat ke arah Retno dan Sumarni untuk melindungi.
Pada saat itu, Raden Kowara sedang membuka jurus mautnya, 'Seribu Bayangan'! Sementara, Retno pun telah mengerahkan kembali tenaga dalamnya untuk menghilangkan rasa sakitnya. Namun baru beberapa saat, tubuhnya kembali lemas.
Sedangkan Sena nampak tenang-tenang saja. Segera dia menyelamatkan Sumarni lebih dulu yang wajahnya semakin pucat.
"Kau harus bertahan, Marni. Coba hilangkan rasa nyeri pada lukamu. Makanlah obat ini," ujar Pendekar Gila sambil cepat memberikan obat yang diambil dari kantong kecil di dalam ikat pinggangnya. Dan Sumarni pun segera menelannya.
Lalu Pendekar Gila melesat ke arah Retno. Langsung diberikannya obat itu, Retno pun segera menelannya. Tepat ketika Pendekar Gila berdiri tegak menghadap Sengkala Sekti, lelaki itu telah nampak menjadi banyak. Dan dia seperti berlarian, mengelilingi Pendekar Gila dan Retno.
"Edan! Dia mengerahkan ilmu 'Seribu Bayangan...!" dengus Sena sambil menggarukgaruk kepala, "Retno, jaga Marni. Hati-hati. Ka-caukan dia. Biar aku yang mencari aslinya." Pendekar Gila segera membuka ajian 'Inti Brahma Api'.
"Ha ha ha.... Keluarkan semua ilmu saktimu, Anak Muda. Kalian tak akan bisa keluar dari lingkaran ini.... Ha ha ha!" ejek Raden Kowara.
Sementara para pengawal hanya menyaksikan penuh keheranan. Tentu saja mereka tak ingin mati konyol bila mendekati sekitar pertarungan.
Dan malah ada yang kabur untuk menyelamatkan diri. Bayangan tubuh Raden Kowara terus mengepung tiga anak muda ini. Dan Pendekar Gila pun mulai menghajar satu persatu bayangan Raden Kowara menggunakan aji 'Inti Brahma Api'.
Seketika itu pula, Pendekar Gila menghentakkan tangannya ke depan, ke arah bayangan-bayangan Raden Kowara. Maka dari telapak tangan pemuda itu melesat bola-bola api mencari sasaran.
Wusss! Blarrr...! Beberapa bayangan Raden Kowara kontan terbakar terkena bola-bola api yang dilepaskan Pendekar Gila. Dalam sekejap puluhan bayangan Raden Kowara lenyap. Namun sungguh tak disangka, bayangan itu muncul lagi hingga berulang kali. Retno dan Sumarni yang telah kembali sehat, ikut melancarkan serangan. Retno dengan kepingan-kepingan uang logamnya menghajar kepala bayangan jelmaan Raden Kowara, hingga terbelah dua hingga meledak dan hilang.
"Ha ha ha...! Hebat juga kalian. Tapi, kini kalian akan kukirim ke neraka...! Heaaa...!" Raden Kowara kembali melancarkan serangan menggunakan ilmu sihirnya. Kedua telapak tangannya dihentakkan. Maka seketika tanah yang diinjak Pendekar Gila, Retno, dan Sumarni jadi lautan lumpur yang kental sekali. Sehingga kakikaki mereka sukar diangkat.
"Edan ilmu sihir lagi! Retno, Marni, hilangkan perasaan kalian. Hanya dengan jalan itu, kalian bisa terlepas dari ilmu sihirnya," ujar Sena disertai pengerahan tenaga dalam. Lalu Pendekar Gila mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. Kemudian dengan cepat pula, Suling Naga Saktinya dicabut. Seketika itu pula Suling Naga Sakti dihentakkan ke lumpur maut Blarrr! Seketika terjadi ledakan. Bahkan lumpur maut itu hilang, berubah jadi tanah lagi. Seperti semula. Raden Kowara kaget setengah mati dengan mata terbelalak lebar. Giginya gemeretakan menandakan amarahnya yang semakin memuncak.
"Aku tak ingin ada orang yang bisa melebihiku. Tapi, benda yang digenggam pemuda gondrong yang bertingkah aneh itu sungguh dahsyat!" Raden Kowara bergumam lirih bicara pada dirinya sendiri. Sepertinya, dia mengenali Suling Naga Sakti milik Pendekar Gila.
"Celaka! Jangan-jangan pemuda inilah yang berjuluk Pendekar Gila"!" Raden Kowara membuka gerakan silatnya.
Wajahnya mulai nampak tegang, ketika segera melihat Pendekar Gila, Retno, dan Sumarni kini berbalik mengepung.
"Aha! Kenapa kau terdiam seperti tikus tercebur kali?" ejek Sena.
"Kak Sena, biar aku yang meringkus Manusia Iblis itu!" seru Sumarni, langsung menyerang Raden Kowara dengan babatan pedangnya.
Namun Sengkala Sekti cepat melontarkan senjata rahasianya yang berbentuk segi tiga dari logam. Zing, zingng! Sumarni bertindak cepat. Langsung pedangnya dibabatkan ke arah senjata rahasia yang meluncur ke arahnya.
Trang! Salah satu senjata Raden Kowara menghantam pedang Sumarni, hingga patah jadi dua. Dan bersamaan dengan itu, sebuah senjata rahasia Raden Kowara menyerempet di lengan kiri Sumarni.
"Hah"! Kak Marni...!" teriak Retno.
Saat itu juga Retno melancarkan serangan dengan melemparkan kepingan uang ke arah Raden Kowara. Sehingga, si Sengkala Sekti ini tak menyerang lagi.
"Kau tidak apa-apa, Kak?" tanya Retno sambil berjongkok, untuk memeriksa luka Sumarni. "Tidak. Hanya nyeri sedikit.... Lengan kiriku. Uh...," desah Sumarni.
Gadis itu segera menggerakkan kedua tangannya, seperti sedang mengerahkan tenaga dalam. Namun baru akan melangkah, tubuhnya roboh lagi.
"Kak..."! Kuatkan. Tahan, Kak. Kurang ajar!" dengus Retno, begitu geram.
Sementara itu, Pendekar Gila sudah melesat cepat menghadapi Raden Kowara. Maka terjadilah perkelahian seru antara Pendekar Gila melawan Raden Kowara.
"Heaaa...!"
"Hiaaa...!" Plakk, plakkk! Desk, desk! Kedua orang berilmu tinggi itu saling pukul dan tendang di udara. Pendekar Gila tampak tak begitu mendapat kesulitan kalau menghadapi Raden Kowara yang nampak mulai kecut, setelah yakin kalau yang dihadapinya adalah Pendekar Gila, murid si Singo Edan.
Pendekar Gila kini mendarat mulus di tanah. Dan dengan gerakan cepat, dilancarkannya serangan kilat menggunakan pukulan jarak jauh ke arah Raden Kowara.
Sengkala Sekti cepat melenting ke udara dan bersalto dua kali. Lalu dengan ringan, kakinya mendarat di atas tembok pagar gedung rumah, seraya melontarkan senjata-senjata rahasia lagi ke arah Pendekar Gila.
Namun dengan tenang, Pendekar Gila menangkis dengan Suling Naga Saktinya.
Tring, tring! Dua senjata rahasia itu berbalik ke arah Raden Kowara. Kedua mata Raden Kowara terbelalak, karena tak menduga akan terjadi serangan balik. Cepat-cepat laki-laki itu melompat sambil bersalto. Namun salah satu benda berbentuk segi tiga, masih sempat menancap di paha sebelah kirinya.
"Aaa...!" pekik Raden Kowara keras. Tubuhnya kontan jatuh ke tanah.
Sementara itu, Retno yang melihat Sumarni semakin lemah keadaannya segera bangkit. Dengan wajah merah membara, segera dia melesat melompat sambil bersalto di udara menuju ke arah Raden Kowara yang masih terduduk ditanah.
"Yeaaa...!" Retno cepat melontarkan kepingankepingan uang ke arah Raden Kowara.
Zwing zwing zwingng! Tapi Raden Kowara cepat mengelak dengan bergulingan di tanah. Lalu tubuhnya melesat ke udara lagi, sambil mencoba untuk kabur.
Retno terus mengejarnya. Sedangkan Sena segera menghampiri Sumarni, yang nampak semakin parah.
"Marni, Marni..."!" Sena mencoba menggerak-gerakkan tubuh Sumarni yang sudah mulai membiru.
"Tahan, Marni. Racun itu akan segera keluar. Cepat telan obat ini!" ujar Sena sambil mene-kankan telapak tangannya ke luka di tangan kiri Sumarni. Sekejap tubuh Sumarni yang tadi pucat mulai agak segar. Dan luka di lengan kirinya mulai mengeluarkan darah segar.
"Oh, Gusti. Terima kasih..., Kak Sena, terima kasih...," ucap Sumarni lemah.
"Jangan bergerak terlalu banyak. Tunggu di sini dan bersembunyilah. Aku akan membantu Retno dulu," ujar Pendekar Gila, lalu melesat pergi.

***

Sementara itu Retno yang sudah berada dalam bangunan megah segera mencari-cari Raden Kowara yang kabur dan menghilang. Dan ketika sampai di sebuah ruangan, dia melihat tetesan darah segar di lantai ruangan.
Dengan penuh kewaspadaan gadis itu melangkah perlahan ke arah ceceran darah, menuju ke salah satu pintu.
"Yeaaa...! Sambil bergulingan di lantai, Retno melemparkan kepingan-kepingan uang ke arah dalam ruangan, yang ternyata kamar tidur.
Namun, gadis itu tak menemukan Raden Kowara di situ. Retno Jadi kesal. Dan dia amat terkejut ketika melihat sesosok tubuh mulus tergantung di tengah ruangan.
"Ya, Gusti...!" pekik Retno.
Ternyata, Nyi Ageng yang gantung diri di ruangan ini. Lidahnya tampak terjulur keluar, dengan mata mendelik.
"Rupanya dia memilih bunuh diri, karena dosa-dosanya. Tapi...." Baru saja Retno akan melangkah, tiba-tiba saja sebuah pukulan dan tendangan keras menghajarnya dari arah belakang.
"Aaaakh...!" Retno kontan menjerit dan roboh di tempat tidur dalam keadaan telentang.
"Ha ha ha...! Kini kau akan menyusul saudara kembarmu, Bocah Ayu...! Tapi sebelum kukirim ke neraka, aku ingin menikmati dulu keindahan tubuhmu. He he he...," kata pembokong yang ternyata Raden Kowara.
Sementara, Retno tak sadarkan diri telentang di tempat tidur. Dan Raden Kowara segera menindihnya. Langsung disobeknya pakaian bagian atas gadis itu.
Brettt! Saat itu juga terpampanglah dua bukit mulus terbungkus kulit putih bersih, sehingga membuat mata Raden Kowara berbinar-binar. Air liurnya pun mulai menetes. Wajahnya yang bertambah angker, mulai menciumi dada Retno. Dan....
Ketika Raden Kowara baru saja hendak melepas celana Retno, tiba-tiba....
Plakk! Plakkk! "Aaaakh...!" Raden Kowara tiba-tiba menjerit sambil memegang kepalanya. Tubuhnya segera dicobanya untuk mengerahkan tenaga dalam, langsung terguling jatuh ke lantai ingin mengeluarkan sebuah jurus. Raden Kowara mencoba bangkit berdiri, namun pada saat itu juga, sebuah tendangan keras kaki kanan seorang pemuda berpakaian kulit ular, menghajarnya bertubi-tubi.
Des! Dugb! Derrr...! Raden Kowara kembali terguling di tanah.
Kepalanya langsung hancur. Raden Kowara matanya melotot. Dari seluruh kepalanya mengucur darah segar. Rupanya, tadi Sengkala Sekti ini juga terhantam Suling Naga Sakti Pendekar Gila. Sosok yang ternyata Sena menghela napas lega segera didekatinya Retno untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Baru setelah itu, Pendekar Gila memeriksa luka Retno, akibat hantaman Raden Kowara tadi.
Sena segera meletakkan telapak tangannya di luka Retno untuk menyalurkan hawa murni.
Asap mulai mengepul dari telapak tangan Sena.
Tak lama, tubuh Retno yang tadi seperti mati, kini bergerak-gerak. Tak lama, tampak seluruh tubuhnya sudah berkeringat. Dan Sena pun mengangkat telapak tangannya, menunggu perkembangan Retno selanjutnya.
"Oh... oh...! Kak Sena...!" sebut Retno setelah sadar. Segera gadis itu merapikan pakaiannya yang telah sobek, kemudian memeluk Sena eraterat.
"Semuanya sudah berlalu, Retno...," ucap Sena kalem.
Perlahan Sena melepaskan pelukan Retno, lalu membawanya keluar dari kamar terkutuk ini.
Sementara itu, Sumarni dengan langkah lemah mendekati Sena dan Retno. Mereka bertiga berpelukan, sambil melangkah-perlahan.
"Mereka telah menerima ganjaran yang setimpal atas dosa-dosanya. Dan Nyi Ageng sendiri terjebak oleh setan yang telah bersarang dalam jiwa dan tubuhnya. Sehingga, dia ketakutan sendiri dan mengambil jalan pintas. Bunuh diri!" tutur Sena. Pendekar Gila kembali melangkah sambil merangkul Retno, keluar dari bangunan yang kini menjadi sepi bagai rumah hantu.
Langit pun mulai gelap. Suasana saat ini bertambah sunyi.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Cinta Pembawa Maut --oo0oo-- Petaka Seorang Pendekar


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers