Life is journey not a destinantion ...

Serikat Serigala Merah

INDEX PENDEKAR GILA
Peti Mati Untuk Pendekar Gila --oo0oo-- Keris Naga Sakti

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


֍::::֍¦ ① ¦֎::::֎

Sore itu di sebuah pondok yang letaknya terpencil di luar Desa Kadipura di dekat sebuah danau. Sepasang muda-mudi sedang bercinta. Dari luar samar-samar terdengar suara tawa manja seorang wanita. Seperti kegelian.
Benar, di dalam pondok yang mungil terbuat dari bilik dan beratapkan daun kelapa yang dikeringkan, sepasang muda-mudi tengah asyik bercumbu.
"Aku merasa gemetar, Kakang Sumbaga...," terdengar suara lembut dari mulut wanita. Ternya-ta seorang gadis berparas cantik. Dia duduk di pinggir balai-balai dalam rangkulan lelaki bernama Sumbaga itu. Lelaki muda berwajah cukup tampan. Sumbaga tersenyum, melihat kekasihnya yang gemetaran dengan wajah merah padam. Perlahan didekap tubuh kekasihnya lebih erat, membuat wanita muda itu seakan tersengal untuk bernapas. Namun di hatinya merasa senang.
"Rasanya Kakang tak ingin lebih lama menunggu, Nila Sari...," desah Sumbaga lirih di telinga kekasihnya, sambil terus merangsang gadis bernama Nila Sari. Sampai pada akhirnya, kini berbalik Nila Sari yang lebih bersemangat. Dengan sedikit manja diciumnya pipi Sumbaga, lalu terus ke bibir lelaki muda itu. Darah Sumbaga seketika berdesir hebat. Hatinya bergejolak bagai air men-didih.
Sumbaga mencoba bertahan dari amukan badai yang menerjang-nerjang di lubuk hatinya.
Namun ternyata badai itu lebih besar dan kuat menghantam. Tak ayal lagi, gelombang nafsu yang dilancarkan Nila Sari seketika menjebol benteng hati Sumbaga. Sebenarnya Sumbaga tak ingin berbuat lebih jauh. Karena lima hari lagi mereka akan menikah. Namun apa boleh buat. Sekejap saja keduanya dilanda badai birahi yang luar biasa. Dan akhirnya terlelap dalam hening dan lenguhan-lenguhan panjang yang mendayu. Tanpa diketahui oleh kedua insan yang sudah bermandi keringat itu, ada sepasang mata tengah mengintip dari celah-celah bilik gubuk.
"Kurang ajar! Aku kalah selangkah lagi dengan si Monyet itu...!" sungut orang yang mengintip jengkel. Namun geram, mukanya terbersit dendam pada Sumbaga. Lelaki itu berpakaian serba kuning, dengan ikat kepala layaknya orang-orang Sumatera warna hitam. Namun kemudian berkelebat pergi. Sementara itu, dua insan yang ada di dalam pondok telah terkulai lemas di atas balai-balai. Ni-la Sari yang tubuhnya hanya ditutupi kain sebatas dada, memeluk dada Sumbaga yang telentang. Mata pemuda itu menatap langit-langit pondok. Sea- kan ada sesuatu yang tengah dipikirkan.
"Kenapa Kakang melamun..." Apa yang kau pikirkan, Kakang Sumbaga"!" tanya Nila Sari dengan kening berkerut. Suaranya begitu lembut, mirip desahan.
"Ooo.... Tidak apa-apa, Nila...," jawab Sumbaga agak gugup. Lalu mencium kening Nila Sari lembut.
"Kakang jangan membohongiku! Katakan, biar aku merasa lega...," desak Nila Sari. Jari-jarinya yang halus mempermainkan bulu-bulu da- da Sumbaga. Setelah berpikir beberapa saat, barulah Sumbaga mulai menjelaskan.
"Kau benar, Nila!.... Aku harus mengatakan hal ini padamu," kemudian Sumbaga menghela napas sejenak.
"Aku tengah memikirkan Sugrikala.
Dia pasti murka jika mengetahui hal ini...."
"Kenapa Kakang cemas...?"
"Hhh..., bagaimana tidak cemas, Nila. Sugrikala kini telah menjadi hamba tokoh sesat yang bernama Reski Jalatula.
Seorang yang menganut ilmu hitam dan sihir...! Dia Manusia Siluman Serigala. Dan kini Sugrikala telah memiliki ilmu 'Rubah Wujud' itu...," jawab Sumbaga dengan suara agak serak.
"Jadi, Sugrikala juga menjadi serigala..."!" tanya Nila Sari kaget dengan mata membelalak.
Jantungnya seketika berdetak lebih cepat. Ada perasaan tegang dan cemas di hatinya, mendengar keterangan Sumbaga.
Nila Sari perlahan menggeliat dalam keadaan telentang. Matanya menatap langit-langit dari daun kelapa. Mulai teringat di benaknya wajah Sugrikala ketika pada suatu ketika menyatakan isi hatinya pada Nila Sari.
"Aku sudah lama ingin mengutarakan isi hatiku, Nila... Dan baru hari ini aku berani menyampaikan padamu. Aku mencintaimu...," kata Sugrikala pada waktu itu penuh perasaan. Nila Sari tak menjawab, membuatnya semakin panasaran. Sugrikala berjanji akan mendapatkan Nila Sari dengan cara apa pun. Dia tidak mau kalah dengan Sumbaga saudara seperguruannya dulu.
"Kenapa kau melamun, Nila?" tanya Sumbaga tiba-tiba, membuat Nila Sari tersentak kaget.
Sadar dari lamunannya. Meskipun gugup Nila Sari mencoba untuk tersenyum. Lalu dimiringkan tubuhnya kembali, dan memeluk dada Sumbaga.
Sumbaga tahu kalau kekasihnya tengah memikirkan sesuatu. Dia merasakan ada kecemasan di hati Nila Sari. Namun lelaki muda itu tak mau mendesak kekasihnya. Dia malah memeluk erat-erat tubuh Nila Sari yang putih mulus itu, sambil menciumi keningnya penuh kasih sayang.

***

"Bangsat! Aku harus bunuh si Sumbaga.
Akan kuminum darahnya demi menghapus kekecewaanku...! Dia telah mengkhianatiku. Dia sudah berjanji akan melepaskan Nila Sari, dan akan memberikannya padaku.... Tapi nyatanya dia memperdayaiku. Kurang ajar!" gerutu lelaki muda berpakaian serba kuning itu sambil terus melesat ke arah hutan. Menerjang apa saja yang ada di depannya. Tak mempedulikan semak-semak belukar maupun pepohonan terus diterjangnya. Seakanakan hatinya tak sabar untuk segera sampai ke tempat yang dituju.
Akhirnya lelaki muda itu sampai di suatu tempat yang amat sunyi. Suatu tempat yang tidak berapa luas, dikelilingi pohon beringin, dengan akar-akarnya yang panjang terjuntai ke bawah.
Cukup sunyi dan seram tempat itu. Lelaki yang dikenal dengan nama Sugrikala itu cepat melompat ke atas sebongkah batu berbentuk lonjong, la-lu duduk bersila.
Dilipat kedua tangannya mendekap dada.
Beberapa saat kemudian, setelah menghela napas dalam, mulutnya bergumam lirih.
"Guru, tolonglah muridmu ini! Hatiku sangat terluka. Aku telah dikhianati oleh saudara sepupu ku.... Datanglah Guru, datang...!" suara Sugrikala kemudian hilang. Dengan mata terpejam mulutnya tampak berkomat-kamit, entah apa yang diucapkan. Cuaca sore yang semula cerah, tiba-tiba berubah mendung. Angin berhembus kencang menghantam tubuh Sugrikala. Namun sedikit pun lelaki gagah berpakaian kuning itu tak bergerak.
Bersamaan dengan datangnya hembusan angin, tubuh Sugrikala berasap. Sesaat kemudian muncul sesosok bayangan dari bawah tanah. Gerakannya yang halus dan begitu lembut tak menimbulkan suara. Bagai roh keluar dari jasad manusia yang baru mati.
Dari mulai samar-samar bentuknya, perlahan-lahan menjadi wujud yang nyata. Seorang lelaki tua dengan muka garang, berambut hitam dan panjang. Matanya bagai serigala menyorot merah dan bengis. Tubuhnya terbungkus kain putih panjang. Sugrikala perlahan membuka mata. Setelah menjura dan menyembah dia turun dari atas batu tempat duduknya.
"Ampuni hamba. Guru...!" kata Sugrikala sambil mencium kaki gurunya.
"Aku mendengar keluhanmu, Sugrikala.
Ada apa...?" tanya lelaki tua yang ternyata Reski Jalatula. Manusia Siluman Serigala. Wajahnya memang mirip serigala.
"Hamba ingin Guru dapat membantu untuk membalas sakit hati hamba. Telah lama hamba mendambakan Nila Sari, Guru...," tutur Sugrikala memohon.
"Hm...! Aku mengerti. Kau adalah muridku yang setia. Maka aku akan membantumu, Sugrikala. Bersiaplah...!" Selesai berkata begitu, lelaki tua itu segera menjamah kedua bahu Sugrikala.
"Ilmu ini kutu-runkan padamu mulai hari ini," ucap lelaki tua itu dengan suara serak.
"Terima kasih. Guru...."
"Namun kau harus ingat, jika kau sudah mendapatkan mereka. Bunuh lelaki itu dan darahnya harus segera kau persembahkan untukku.
Mengerti..."!" ujar Reski Jalatula.
"Baik, Guru.... Akan hamba laksanakan," jawab Sugrikala mantap.
Kedua telapak tangan Reski Jalatula berasap. Dan tubuh lelaki tua itu perlahan-lahan memasuki raga Sugrikala. Seketika badan Sugrikala bergoyang kencang. Asap semakin tebal menyelimuti tubuh Sugrikala. Lalu....
"Hiiiaaa...! Auuung...!" terdengar teriakan keras memecah keheningan hutan, disusul dengan suara lolongan serigala.
Seketika tubuh Sugrikala menjelma menjadi seekor serigala hitam yang besar. Sepasang matanya menyorot merah bagai api. Ketika menyeringai nampak taringnya yang runcing tajam mengerikan. Lalu serigala siluman Sugrikala berkelebat menerobos semak-semak hutan.

***

Namun ketika sampai di pondok tempat tadi Sumbaga dan Nila Sari bercumbu rayu, telah kosong. Serigala siluman itu mengendus-endus mencari jejak kedua muda-mudi tadi.
"Grrr...!" serigala siluman itu menggereng dan menyeringai. Seakan marah dan kesal, karena orang yang dicari tak ada. Segera siluman serigala itu berlari menuju jalan ke desa. Ternyata benar, Sumbaga dan Nila Sari sedang berjalan menuju arah Desa Kadipura.
"Aku tak tenang jika belum membunuh dan menghisap darah Sumbaga!" batin Sugrikala yang telah menjelma serigala besar itu. Matanya yang tajam memancarkan sinar kemarahan yang buas dan mengerikan. Hari menjelang malam. Langit gelap terselimut mendung tebal, membuat suasana terasa mencekam. Tak lama serigala jadian itu berlari, seketika matanya memandang ke depan dengan beringas. Tampak di depannya agak jauh dua muda-mudi berlari-lari.
"Grrr...!" serigala siluman itu semakin mempercepat larinya. Desiran angin dari larinya, terasa bagaikan topan puting beliung, yang mampu menggoyangkan pepohonan. Hal itu terasa oleh Sumbaga yang seketika memalingkan muka ke belakang. Sesaat Sumbaga tersentak kaget, darahnya seketika mendesir. Sumbaga telah menduga kalau serigala itu merupakan jelmaan Sugrikala.
"Hm, celaka! Rupanya dia telah mengejar kita. Aku harus menghadapinya. Mati atau pun hidup aku terpaksa menghadapi serigala itu," gumam hati Sumbaga.
"Nila Sari, kau menyingkirlah dulu!"
"Kenapa, Kakang?" tanya Nila Sari heran dan mengerutkan kening. Kemudian menoleh ke sana kemari, karena tak mengerti.
"Kau pergilah dulu! Bila aku tak menyusulmu, itu berarti aku telah mati di tangan Sugrika-la...!" Nila Sari terkesiap, tatkala melihat seekor serigala hitam dan besar berlari kencang menuju arah mereka. Mata serigala itu menyorotkan sinar merah membara bagaikan bola api, menghunjam mata Nila Sari.
"Menyingkirlah, Nila...!" seru Sumbaga lagi, sambil menghentak Nila Sari dengan tangan kirinya.
"Tapi, Kakang," Nila Sari bermaksud menolak. Hatinya bimbang dan ragu untuk meninggalkan Sumbaga. Ia takut kalau-kalau serigala itu akan mengoyak-ngoyak tubuh Sumbaga, calon suaminya itu.
"Aku katakan, menyingkirlah! Demi dirimu, biarlah aku menghadapi iblis itu sendirian. Cepat kau pergi dari sini, Nila....
Selamatkan dirimu dan calon anak kita, Nila...!" perintah Sumbaga.
Mereka rupanya sudah sering melakukan hubungan badan. Sehingga Sumbaga yakin ada calon bayi anaknya, di perut Nila Sari yang lima hari lagi bakal jadi istrinya.
Sesaat Nila Sari terdiam memandang lekat pada Sumbaga. Ada kebimbangan dan kecemasan membayang di wajahnya. Memahami perasaan sang Kekasih, Sumbaga segera mengecup lembut kening Nila Sari seraya berbisik, "Pergilah, jangan sampai kita berdua mati konyol! Ingat, didik anak kita! Ajarkan ilmu olah kanuragan, dari orang yang berilmu tinggi. Aku yakin anak kita di rahimmu laki-laki...."
"Ohhh...!" Nila Sari hanya bisa bergumam pendek. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Menetes di pipinya.
"Nah! Berangkatlah, cepat pergi! Aku hanya berdoa, semoga Sugrikala tak akan mencelakai-mu," ucap Sumbaga dengan suara berat.
Setelah menatap tajam wajah Sumbaga sesaat, dengan hati berat dan bimbang Nila Sari beranjak meninggalkan kekasihnya.
Kini Sumbaga berdiri tegak menanti kedatangan serigala siluman jelmaan Sugrikala. Matanya dengan tajam menantang sorot mata serigala jejadian itu. Mulutnya terkunci rapat, sepertinya tak ingin mengucap kata sepatah pun. Ketika serigala jejadian itu makin mendekat, Sumbaga segera melangkah menghampirinya.
"Sumbaga, hari ini tamatlah riwayatmu!" suara Sugrikala terdengar dari mulut serigala itu.
"Kau telah mengkhianati janjimu, membohongiku! Pengkhianat busuk, Sumbaga...!"
"Sugrikala, kau memang tak selayaknya menjadi seorang ayah. Kau telah bersekutu dengan orang-orang jahat yang berilmu sesat. Aku tak ingin Nila Sari menjadi korbanmu kelak. Ketahui-lah, bahwa Nila Sari sudah digariskan untuk menjadi istriku...," bantah Sumbaga dengan suara lantang dan tegas. Tak ada rasa takut sedikit pun.
Wajar saja, karena Sumbaga anak Tumenggung Kartapati yang kini telah tiada. Mati dalam pertempuran melawan tokoh-tokoh sesat. Termasuk Serikat Serigala Merah. Di situ termasuk guru Sugrikala. Dan kini Sugrikala telah menjadi anggota Serikat Serigala Merah itu! "Hem...! Jangan banyak omong! Aku tak akan tenang sebelum menghisap darahmu. Dan bila perlu kekasihmu itu juga akan kuhisap darahnya...! Hiaaa... grrr...!" Rupanya kemarahan Sugrikala tak terbendung lagi. Sehingga tanpa banyak kata lagi, serigala besar itu langsung melompat menyerang Sum- baga. Sebagai seorang putra Tumenggung Kartapati dari Kelompok Panca Leluhur Sakti, Sumbaga tak memperlihatkan kegentaran. Jiwa dan darah kependekaran memaksanya tersenyum. Bukan senyum bahagia, melainkan senyuman yang seakan membangkitkan dia dari ketidurannya.
Semenjak ayahnya meninggal, Sumbaga lebih banyak berdiam diri di rumah, seakan melupakan dunia persilatan. Walaupun demikian, bukan berarti pemuda itu kehilangan kependekarannya. Ilmunya sebagai anak Ketua Panca Leluhur Sakti tidak bisa dianggap ringan. Namun seperti kata pepatah, rejeki, maut, jodoh, dan nasib bukan manusia yang menentukannya.
Seperti juga pertarungan Sumbaga melawan Sugrikala.
Kelicikan Sugrikala si Serigala Siluman itu mengakibatkan Sumbaga jatuh ke jurang. Tubuh Sumbaga melayang ke dasar jurang yang sangat curam. Hal itu terjadi ketika dirinya menghindari serangan Sugrikala yang secara tiba-tiba berubah wujud. Jelas, tubuhnya akan hancur di dasar jurang. Sugrikala sejenak terkesima melihat musuhnya yang hendak dihisap darahnya, tiba-tiba tanpa dia duga melayang ke jurang. Sugrikala gag-al untuk menghisap darah Sumbaga. Maka sebagai pelampiasan kemarahan, ditendangnya batu besar yang seketika menggelinding jatuh ke jurang. Setelah sesaat terpaku di tempatnya, Sugrikala teringat dengan Nila Sari yang berlari meninggalkan Sumbaga. Sugrikala segera memburu, mencari wanita itu. Namun Sugrikala terheranheran, tak menemukan Nila Sari yang seakan menghilang. Merasa tak percaya dengan kekecewaannya, Sugrikala menghancurkan batu-batuan yang menutupi tempat yang dianggap dapat dijadikan persembunyian itu.
Setelah tak mendapatkan hasil, Sugrikala menggeram penuh kemarahan dan kekecewaan.
Suaranya melengking bagaikan lolongan seekor serigala.... Bersamaan dengan itu mendadak angin bertiup kencang di bawah langit yang gelap tertutup mendung tebal. Bagai topan, angin mengamuk, ingin merobohkan apa saja. Namun Sugrikala tetap berdiri dengan tegap memandang jauh ke depan.
Seakan ada yang dipandang, atau mungkin di benaknya masih mengharap Nila Sari. Yah Sugrikala memang masih ingin mencari dan menguasai wanita itu sampai kapan pun.
Hujan turun mengguyur tempat itu dengan derasnya. Namun Sugrikala yang masih dalam kekecewaan dan dendam, tak beranjak sedikit pun dari tempatnya. Terus berdiri di tepi Jurang Jagal Parang.


֍::::֍¦ 2 ¦֎::::֎

Waktu terus bergulir. Musim demi musim telah terlewati. Dua puluh tahun kemudian di Lereng Gunung Semeru tampak seorang pemuda bertubuh tegap dan dada berisi tampak tengah berteriak-teriak. Tubuhnya melayang laksana burung elang. Dengan gerakan yang gesit sekali, pemuda itu mencelat ke udara, lalu menukik ke bawah dengan lengkingan panjang.
Lengkingannya saja seakan mampu meruntuhkan bebatuan, apalagi pukulan dan tenaga dalam anak muda itu. Mungkin melebihi kekuatan ratusan ekor kuda jantan.
"Hiaaa...!" Srat! Srat! Srat...! Jglar! Jglar! Jglarrr! Tiga kali berturut-turut tangan pemuda itu mengeluarkan larikan sinar pelangi, menghantam bebatuan Gunung Semeru. Seketika bebatuan itu runtuh menjadi puing-puing. Melihat hasil yang telah dicapainya, pemuda berkulit kuning dan rambut panjang melewati bahu itu sesaat terpaku terdiam. Dari kejauhan tampak dua orang datang menghampiri pemuda itu dengan pandangan mata kagum. Salah seorang dari mereka, seorang kakek tua renta berpakaian serba putih. Jenggot panjang dan rambut di kepalanya telah putih semua. Di si-sinya berjalan melenggang seorang wanita setengah baya. Namun bekas kecantikannya masih tergambar jelas di wajahnya yang mulai kelihatan menua itu.
"Hm...," lelaki tua itu manggut-manggut seraya bergumam pendek, "Anakmu itu akan menja-di pendekar yang disegani, Nila Sari...," Tangannya mengelus-elus jenggot yang panjang seraya memperhatikan kesungguhan berlatih muridnya.
Nila Sari pun bangga melihat putranya. Matanya yang indah memandang penuh rasa kagum pada sang Anak.
Melihat kedua orangtua itu datang, pemuda yang tadinya berlatih, segera menghampiri mereka.
Setelah menjura penuh hormat dia segera bersujud di kaki orang tua itu.
"Ibu, Ki Wibisana, teri-malah sembah Ananda!"
"Dengan doa, Kakek ucapkan semoga sejahtera untukmu!" jawab lelaki tua berjenggot yang ternyata bernama Ki Wibisana, penuh kasih sayang.
"Pasopati, kau kini telah dewasa. Ilmumu Kakek rasa telah cukup. Apa yang hendak kau lakukan setelah semuanya kau miliki, Cucuku?"
"Ah, Kakek. Aku belum memikirkan rencana apa yang akan kulakukan. Ananda masih ingin berbakti pada Kakek dan Ibu.... Bolehkah, Kek?"
"He he he...! Boleh, kenapa tidak. Kau adalah cucuku," jawab Ki Wibisana setelah memandang sesaat pada Nila Sari yang tersenyum men- gangguk.
"Tapi, Kakek rasa apa tidak sebaiknya kau menambah ilmu dan pengalamanmu?" Pasopati terdiam, memandang lekat-lekat pada wajah ibunya yang masih tersenyum. Dalam hatinya terbersit beberapa macam pertanyaan manakala memandangi wajah sang Ibu. Wajah ibunya memang mirip dengan wajahnya. Tapi yang belum Pasopati mengerti, siapakah ayahnya" Yah, pertanyaan-pertanyaan itulah yang sering muncul dalam lubuk hatinya. Sejak kecil ia tidak mengetahui siapa ayahnya. Sejak kecil Pasopati dididik dan dibesarkan oleh ibunya dan kakeknya, Ki Wibisana.
Perlahan-lahan Pasopati bangkit dari jongkoknya. Dihampiri sang Ibu yang masih tersenyum bangga. Niatnya untuk bertanya tentang siapakah ayahnya dan di mana sekarang, telah bulat.
"Maaf, Bu! Bolehkah saya bertanya?" suara Pasopati begitu penuh perasaan.
Nila Sari tak langsung menjawab. Dipandanginya sesaat wajah Pasopati dengan seksama, sambil mengerutkan kening. Seakan wanita setengah baya itu merasakan sesuatu, di dalam pertanyaan putranya itu.
"Oh..., apa yang hendak kau tanyakan, Pasopati?" tanya Nila Sari begitu lembut, sambil membelai pipi putranya perlahan.
Penuh kasih sayang. Pasopati kembali terdiam menundukkan kepala, tak bisa menjawab dengan cepat Lalu mengangkat kepala dan menatap wajah ibunya.
Sesaat kemudian, "Ibu, bolehkan aku tahu, siapa ayahku sebenarnya" Di mana dia sekarang..." Maaf, Bu. Aku selalu bertanya pada diri sendiri, tentang siapa sebenarnya ayahku. Dapatkah Ibu menjawabnya?" Mendengar pertanyaan Pasopati, air mata Nila Sari berlinang. Ia teringat kembali pada kekasihnya, Sumbaga yang entah hidup atau mati.
Bayangan wajah Sumbaga, sebenarnya tertempel lekat pada wajah anaknya. Sehingga, jika Nila Sari melihat wajah Pasopati, selalu saja teringat akan Sumbaga, kekasihnya. Lelaki yang membuahkan seorang anak lelaki. Kini anak itu telah dewasa dan gagah seperti Sumbaga.
"Kenapa Ibu menangis...?" Nila Sari tersentak dari lamunannya ketika Pasopati mengusiknya. Sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya, Nila Sari akhirnya menjawab.
"Anakku, Pasopati.... Kalau kau ingin tahu siapa ayahmu, Ibu akan memberitahukannya. Tapi bila kau tanyakan di mana ayahmu, sungguh Ibu tak tahu di mana dia sekarang. Entah hidup atau mati...."
"Kenapa begitu, Bu...?" Pasopati tersentak mendengar ucapan ibunya yang dirasa kurang dapat diterima. Ibunya selalu berusaha menutupnutupi apa yang sekiranya ingin Pasopati ketahui.
Sementara itu Ki Wibisana masih nampak berdiam diri. Namun lelaki tua renta itu tampaknya juga sedang berpikir. Untuk kebaikan semua, dia sengaja memberikan kesempatan pada Nila Sari untuk berbicara.
"Pasopati, ayahmu adalah seorang lelaki yang gagah dan jujur. Kami saling mencintai dan mengasihi. Namun ada seorang pemuda lain yang juga masih saudara seperguruan ayahmu. Bahkan masih sepupunya sendiri. Sugrikala namanya. Dialah yang menghancurkan kebahagiaan Ibu dan ayahmu...," sesaat Nila Sari menghentikan ceritanya. Kembali menghapus air mata yang kian membasahi kedua pipinya.
"Lantas, bagaimana, Bu?" tanya Pasopati sangat ingin tahu kelanjutan cerita itu.
Sambil memegang kedua tangan ibunya lembut.
"Sugrikala yang bersifat buruk, iri pada ayahmu. Karena dia juga mendambakan Ibu. Selanjutnya terjadi perkelahian antara mereka. Ibu disuruh ayahmu untuk lari, menyelamatkan diri....
Selanjutnya Ibu tak tahu lagi. Apakah ayahmu masih hidup atau sudah mati. Karena hingga saat ini belum ada berita tentang ayahmu...," Nila Sari menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, sambil terus menangis.
Pasopati menghela napas panjang, lalu memeluk ibunya penuh kasih sayang yang dalam.
Wajahnya sesaat tegang, penuh amarah dan dendam setelah mendengar cerita tentang sang Ayah.
Rasanya Pasopati ingin cepat dapat bertemu Sugrikala untuk membalas dendamnya.
"Siapakah Sugrikala itu sebenarnya, Kek...?" tanya Pasopati kemudian.
Ki Wibisana yang ditanya tampak hanya menghela napas dalam-dalam. Lalu tersenyum. Ditariknya kembali napas sesaat, lalu dihembuskannya perlahan, sepertinya ingin membuang segala kepedihan cerita Nila Sari tadi. Dengan perlahan tangannya memegang bahu Pasopati. Sementara yang kiri memegang sebatang tombak berkepala naga berwarna kebiruan.
"Sugrikala yang dikenal dengan Manusia Serigala seorang berilmu tinggi. Dia bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat yang jahat. Serta memiliki guru yang berilmu sihir bernama Reski Jalatu-la. Mereka manusia siluman yang sangat keji...," tutur Ki Wibisana.
"Maksud Kakek...?" tanya Pasopati ingin ta-hu.
"Ayahmu yang disebut Pendekar Tapak Geni dapat dikalahkan, Kakek pun mungkin tak mampu mengalahkannya. Apalagi kau Pasopati...," kata Ki Wibisana dengan suara berat. Mendengar tutur Ki Wibisana, nampak wajah Pasopati murung. Seakan kecewa dengan apa yang selama ini dipelajari. Tiga belas tahun lebih dia menekuni ilmu silat di lereng Gunung Semeru, seakan masih merasa kecil setelah mendengar cerita tentang manusia siluman yang membunuh ayahnya.
"Jadi apa gunanya aku berlatih selama ini, Kek..."! Percuma saja. Tapi aku bersumpah akan membalasnya...! Akan kubunuh Sugrikala...!" kata Pasopati kemudian dengan geram penuh dendam yang membara.
"Tenang, Cucuku! Jangan dulu kau kecewa.
Aku belum tuntas mengatakannya," sahut Ki Wibisana sambil menepuk-nepuk bahu Pasopati.
"Bukan aku mengecilkan hatimu. Itu kukatakan karena aku sudah tua renta begini. Tapi bagimu, mungkin dapat mengalahkannya. Apalagi Sugrikala saat ini tentunya juga sudah sebaya dengan ibumu." Ki Wibisana memberikan semangat pada Pasopati. Dan benar, wajah pemuda itu sedikit kembali cerah. Sesaat keadaan hening, tak ada yang berucap kata-kata. Seakan ketiga orang yang ada di si-tu sedang larut dalam pikiran masing-masing.
"Pasopati...," tiba-tiba terdengar suara Ki Wibisana penuh wibawa.
"Kau akan mampu membalas dan membunuh manusia seperti Sugrikala, dengan Tombak Baruklinting ini. Tapi ingat, jangan sembarangan kau menaruh tombak ini! Dan jangan kau bawa ke tempat-tempat maksiat. Apalagi berbuat mesum dengan wanita.... Itulah syarat utama," tutur Ki Wibisana.
Diserahkannya tombak berkepala naga berwarna kebiruan itu kepada Pasopati.
Pasopati menerimanya dengan hati gembira.
Setelah mencium tombak itu, kemudian menjura pada Ki Wibisana.
"Terima kasih, Kek...," ucap Pasopati dengan nada senang.
Lalu Pasopati memeluk ibunya erat sekali, seakan tak ingin melepasnya. Dengan penuh kasih sayang.
"Pasopati...," kembali terdengar suara Ki Wibisana.
"Ya, Kek...," sahut Pasopati singkat, lalu berbalik sambil melepas pelukannya.
"Agar lebih aman, dan tak terjadi apa-apa.
Juga agar kau berhasil menuntut balas atas kematian ayahmu, lebih baik kau cari seorang pendekar yang telah kondang namanya di rimba persilatan...," ujar Ki Wibisana menyarankan.
"Apakah dengan Tombak Baruklinting, aku tak bisa mengalahkan dan membunuh Sugrikala, Kek...?" tanya Pasopati sambil mengerutkan kening dan sedikit heran dengan ucapan kakeknya.
"Bukan begitu. Kau sendiri pun bisa. Tapi kau harus ingat, Cucuku. Sugrikala tidak sendiri.
Dia memiliki kelompok yang bernama Serikat Serigala Merah. Mereka memiliki ilmu sihir dan siluman. Juga ibumu tentunya tak ingin kau mendapat celaka...," tutur Ki Wibisana lagi.
"Siapa pendekar itu, Kek..." Dan di mana aku bisa menemuinya?" tanya Pasopati.
Ki Wibisana mengangguk-anggukkan kepala sambil mengajak Pasopati berjalan, diiringi oleh Ni-la Sari yang melangkah di belakang mereka. Sambil berjalan menuju sebuah pondok tempat mereka berteduh, Ki Wibisana berkata pada Pasopati, "Pendekar muda itu tak tentu rimbanya, sebab dia seorang pendekar pembela kebenaran dan keadi-lan. Dia selalu berkelana sekehendak hatinya. Kadang dia ada di Tanah Jawa Dwipa ini, kadang pula dia ada di Pulau Andalas atau pulau lain. Mudah-mudahan saat ini dia ada di Jawa Dwipa."
"Aku jadi tertarik dengan ceritamu, Kek.
Dan ingin segera bertemu dengan pendekar itu.
Aku juga ingin menimba ilmu darinya, Kek," kata Pasopati penuh semangat.
"Itu bagus. Di samping kelak akan bertambah pengalaman, kau juga dapat mengenal tokoh persilatan aliran putih atau jahat lainnya, serta mengetahui bagaimana suasana rimba persilatan," tutur Ki Wibisana lagi. Lelaki tua itu merasa cucunya mempunyai watak pendekar.
Hatinya san- gat bangga. Mereka terus berjalan menuju pondoknya.
"Lantas, bagaimana aku bisa mengenal pendekar kondang itu, Kek?" tanya Pasopati, tak sabar ingin mendengar kelanjutan saran kakeknya.
"Mudah untuk mengenalnya. Pendekar muda itu tingkahnya seperti orang kurang waras. Ya, sesuai dengan tingkahnya, dia dijuluki Pendekar Gila dari Goa Setan," jawab Ki Wibisana mantap.
"Pendekar Gila dari Goa Setan,..," ulang Pasopati lirih sambil mengerutkan kening.
"Nama yang aneh dan langka...," gumamnya kemudian.
"Singo Edan gurunya, adalah saudara seperguruan Kakek. Jelasnya Singo Edem menjadi adik seperguruanku. Jadi jangan kaget jika jurus-jurus silat yang Kakek ajarkan padamu, sebagian sama dengan jurus Pendekar Gila...," tutur Ki Wibisana.
"Apa lagi ciri-cirinya Pendekar Gila itu, Kek?" tanya Pasopati ingin tahu lebih jelas.
"Hm.... Dia memiliki sebuah suling pusaka.
Dan selalu diselipkan di pinggangnya. Itu saja.
Dan perlu kau ketahui juga nama asli pendekar itu, Sena Manggala...," kata Ki Wibisana, lalu menepuk-nepuk punggung cucunya.
Mereka kini sudah sampai di depan pondok.
"Bagaimana, Bu..." Apakah Ibu mengizinkan aku berkelana?"
"Oh, dengan senang hati anakku. Ibu doakan agar kau selamat, Nak. Ibu tak dapat menahanmu lebih lama lagi di sini, karena kau sudah dewasa. Dan sudah tahu semuanya. Apalagi kakekmu telah merestuinya...," ucap Nila Sari sambil mengusap pipi anaknya.
Pasopati segera memeluk ibunya dengan erat penuh kasih sayang.
"Percayalah, Bu! Aku akan dapat membalas dendam atas perbuatan manusia keparat Sugrikala itu. Apa pun yang terjadi, akan kuhadapi...." Sesaat mereka diam, hanya isak tangis yang terdengar dari Nila Sari. Sementara Ki Wibisana hanya mengusap-usap jenggotnya. Kemudian lelaki tua renta itu kembali berkata, "Cucuku... perlu Kakek jelaskan sekali lagi.
Tombak itu boleh kau buka sarung kepala naganya, jika ingin kau pergunakan..."
"Maksud Kakek...?" tanya Pasopati dengan kening berkerut.
"Jika kau sudah buka sarung atau tutup kepala naga itu, berarti harus dipergunakan untuk membunuh lawanmu. Kalau tidak, kau sendiri akan celaka!" tutur Ki Wibisana menjelaskan.
Pasopati menghela napas panjang. Lalu melirik ke ibunya. Nila Sari memandangi dengan senyum hambar.
"Memang berat, Cucuku. Namun itu semua syarat mutlak. Tergantung kau sendiri. Tapi aku yakin kau bisa menerima syarat itu. Jangan ceroboh dan cepat naik darah! Hadapi semuanya dengan tenang dan sabar. Kakek yakin kau akan jadi pendekar yang tangguh...," kata Ki Wibisana lagi, memberikan dorongan pada cucunya. Mendengar itu Pasopati sangat terkejut hatinya. Semangatnya meledak-ledak. Lalu kembali memeluk ibunya. Wanita itu membalasnya dengan penuh kasih sayang. Merasa bangga dan bercampur cemas, karena tak lama lagi sang Putra akan meninggalkannya. Mengembara untuk menuntut balas atas kematian suaminya. Air matanya kembali menetes ke pipi yang sudah keriput. Dipeluknya erat-erat Pasopati.
"Oh, Hyang Widhi, lindungi anakku! Berilah dia kekuatan, kesabaran untuk menghadapi segala macam rintangan dan tantangan dalam pengembaraannya...! Aku tak ingin dia hilang atau mati seperti ayahnya...," gumam Nila Sari dalam hati.
"Ibu, Ibu jangan menangis!" ucap Pasopati, ketika melepas pelukannya dan menghapus air mata ibunya.
"Aku sudah dewasa Bu, aku bisa menjaga diri. Percayalah, aku akan kembali dengan kemenangan. Dan aku akan dapat membunuh Sugrikala si Manusia Siluman Serigala itu!" ucap Pasopati dengan geram.
"Oh, anakku...," kembali Nila Sari memeluk anaknya.
"Sudahlah, Nila Sari! Jangan kau lepas anakmu dengan tangis! Ayo, hari sudah mulai gelap, sebaiknya kita masuk ke pondok...!" ujar Ki Wibisana sambil mengajak keduanya memasuki pondok. Mereka lalu melangkah menuju pintu pondok dan masuk. Udara semakin dingin, angin berhembus sepoi-sepoi. Suasana di situ kembali sunyi dan se-pi. Mentari telah menyusup di balik pepohonan dan sebentar lagi malam pun tiba.


֍::::֍¦ 3 ¦֎::::֎

Pagi itu cukup cerah, secerah wajah Pasopati yang berjalan menuruni lereng Gunung Semeru menuju ke arah utara, diiringi oleh pandangan mata Ki Wibisana dan Nila Sari. Mata kedua orangtua itu nampak berkaca-kaca hendak menangis. Bagaimana tidak, dua puluh tahun mereka saling menjalin keluarga, kini anak yang selama ini dididik dan dirawat harus berpisah. Langkah Pasopati nampak ringan, melompati bebatuan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang diajarkan kakeknya. Maka pemuda itu berlari bagaikan seekor rusa, melesat begitu cepat. Dari kejauhan yang tampak hanya bayangan tubuhnya, berkelebatan di sela-sela pepohonan. Tubuh itu melompat, melayang dengan ringan dan hinggap di atas sebongkah batu yang agak tinggi. Sesaat Pasopati terhenti, memandangi tempat tinggalnya. Tak terasa matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Ya, Pasopati seakan tak mampu menahan rasa haru, bila ingat kembali bagaimana Ibu dan kakeknya telah merawatnya sejak masih bayi, hingga sekarang. Betapa besar pengorbanan dua orang tua itu, sangat tinggi dan tak ternilai harganya.
Tengah Pasopati terdiam memaku sambil memandang ke arah Gunung Semeru, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dengan cepat berlari.
Sehabis bayangan seorang berlari melintas di hadapannya, nampak bayangan lain pun melintas pula ke arah yang sama.
Terkejut Pasopati tak habis pikir. Matanya tajam memandang sekeliling tempat itu, dengan kening berkerut.
"Hah..."! Sedang apa kedua orang itu?" gumam Pasopati masih terpaku di tempatnya. Setelah sejenak terdiam, tiba-tiba rasa ingin tahu men-gajaknya untuk mengikuti kedua orang yang tengah berlari saling kejar itu.
Pasopati pun melesat cepat mengikuti arah kedua bayangan itu lari.
Bayangan yang berkelebat itu ternyata dua orang manusia yang saling kejar. Mereka tak menghiraukan Pasopati yang kini mengikuti di belakangnya. Keduanya terus kejar-kejaran bagaikan tak kenal lelah. Baru setelah berada di sebuah tanah yang agak luas, kedua orang itu berhenti.
"Kau tak akan bisa lari sekarang, Taragalu! Ayo, kita teruskan di sini!" suara bentakan itu terdengar dari mulut lelaki berwajah beringas yang tadi mengejar di belakang.
"He he he... aku bukan pengecut! Aku tak akan lari, Barja. Ayo, teruskan pertarungan kita! Buktikan... siapa di antara kita yang patut menjadi wakil dari perguruan!" sahut Taragalu mengger-takkan gigi-giginya.
"Ha ha ha! Bicaramu seperti orang paling jago saja, Taragalu," tukas Barja sambil melinting kumisnya yang tebal. Matanya menatap tajam ke arah Taragalu.
"Jelas, Sobat! Seharusnya kau sadari, bahwa ilmumu masih rendah. Tak pantas untuk mewakili perguruan...!" sahut Taragalu dengan nada mengejek.
"Kau memang sombong! Ilmumu pun aku rasa belum ada apa-apanya. Yang penting sekarang jangan banyak mulut. Ayo, segera mulai pertarungan kita! Yang menang, itulah yang pantas menjadi wakil perguruan...!" ucap Barja dengan geram.
"Heaaa...!" Tanpa menunggu jawaban dari Taragalu.
Barja dengan secepat kilat berkelebat menyerang.
Melihat hal itu, Taragalu yang tak mau begitu saja dijatuhkan oleh adik seperguruannya, dengan segera memapaki serangan Barja.
Tanpa ampun lagi, kedua kakak beradik seperguruan itu pun mental ke belakang. Namun dengan cepat keduanya kembali bangkit, lalu dengan didahului pekikan keras, mereka kembali saling menyerang. Jurus-jurus mereka sama, sehingga gerakan-gerakan yang dilakukan tak berbeda.
Pasopati yang mengintai pertarungan itu hanya terbengong. Walau belum mengerti siapa adanya, kedua orang yang bertarung, dia telah dapat mengetahui bahwa mereka satu perguruan.
"Orang-orang bodoh!" maki Pasopati dalam hati, "Mengapa seperguruan harus saling bertarung"!" Lama Pasopati mengintai pertarungan kedua orang seperguruan itu.
Ketika salah seorang melompat ke belakang, Pasopati yang tak ingin melihat dua orang seperguruan itu saling serang, serta-merta melompat dari persembunyiannya.
"Hei...! Berhenti! Kalian orang-orang bodoh! Untuk apa berkelahi dengan saudara sendiri..."!" sambil mengeluarkan bentakan keras menggelegar Pasopati menghentakkan tangan ke depan.
Kedua orang yang sedang bertarung itu tersentak kaget, dan mental beberapa tombak ke belakang, terdorong angin pukulan Pasopati yang dahsyat. Mata kedua orang itu membelalak tak percaya dan saling pandang. Lalu kembali mata kedua orang itu memandang lekat pada Pasopati yang telah berdiri menengahi mereka.
"Siapakah kau, Anak Muda?" tanya Taraga-lu terheran-heran. Ia merasa bahwa yang ada di hadapannya bukan anak muda sembarangan. Terbukti angin hentakannya saja mampu membuat orang terpental bagaikan dihantam angin puting beliung. Tak kalah kagetnya Barja, ia juga merasakan hawa lain saat pemuda yang berdiri di hadapannya membentak.
"Hem.... Siapa kau sebenarnya, Anak Muda"!" tanya Barja dengan menyipitkan kedua matanya.
"Kenapa kau menghalangi pertarungan ka-mi?" tanya Taragalu kemudian dengan pongah.
Pasopati menggeleng kepala perlahan, dan tersenyum sinis.
"Aneh. Kalian orang-orang persilatan yang telah berumur, mengapa masih seperti anak kecil berebut makanan"! Memalukan sekali...," sahut Pasopati tegas.
Kedua orang itu seketika terdiam mendengar ucapan Pasopati yang dirasa mengena di hati.
Keduanya perlahan bangkit, menghampiri Pasopati yang masih berdiri tegak di tempatnya, dengan memperhatikan Tombak Baruklinting yang tergenggam di tangan kanan.
"Kau sangat peka dan mempunyai pandangan yang luas. Kalau boleh kami tahu, siapakah kau?" tanya Taragalu untuk kesekian kalinya.
Pasopati mengerutkan kening. Matanya menatap kedua orang itu, sepertinya sedang menyelidik. Sejenak anak muda itu berpikir seperti ragu mengucapkan namanya.
"Namaku Taragalu...."
"Dan aku, Barja. Kami berasal dari Perguruan Batulawang Sakti. Kami bertarung untuk menjadi wakil dari kerajaan dalam pertempuran para tokoh persilatan di Candi Borobudur." Mendengar ucapan Barja, seketika Pasopati mengernyitkan keningnya. Ingatannya kini kembali pada Sugrikala yang hendak dicarinya.
"Kalau aku mengikuti mereka, pasti aku dapat menemui Sugrikala," gumam Pasopati dalam hati lalu berkata pada kedua orang itu.
"Ternyata hanya itu masalahnya. Sebenarnya ada apakah sehingga tokoh persilatan mengadakan pertemuan?" tanya Pasopati menyelidik.
"Apakah kau belum tahu, Anak Muda?" Taragalu malah balik bertanya pada Pasopati.
"Belum. Aku baru saja turun dari gunung," jawab Pasopati jujur.
"Oh, apakah kau tidak membaca pengumuman yang disebar oleh pimpinan sekarang?" tanya Braja menambahkan ucapan Taragalu.
Pasopati menggeleng kepala perlahan, sambil mengerutkan kening.
"Siapa pimpinan yang kau sebutkan tadi...?" tanya Pasopati balik bertanya.
"He he he... rupanya kau benar-benar tak tahu, Anak Muda. Pimpinan itu bernama Prabu Santika," jawab Taragalu.
Pasopati hanya mengangguk-anggukkan kepala perlahan, sambil memegangi dagunya yang ditumbuhi sedikit bulu halus.
Dirinya memang belum tahu apa-apa di dunia persilatan. Nama-nama tokoh persilatan pun belum ada yang dikenal. Yang diketahuinya baru beberapa nama, seperti Pendekar Gila, Sugrikala, dan Sumbaga ayahnya.
"Kenapa kau diam dan melamun, Anak Muda?" tanya Braja tiba-tiba. Membuat Pasopati tersentak kaget. Lalu tersenyum dan bertanya.
"Untuk apa sebenarnya pertemuan itu, hingga memanggil semua tokoh-tokoh persilatan?"
"Para tokoh persilatan di Jawa Dwipa bagian tengah akan mengadakan pemilihan ketua yang baru. Sudah menjadi kebiasaan, dua tahun sekali adat pilihan pimpinan diadakan. Memilih orang yang pantas menjadi ketua, untuk mengatur para tokoh persilatan," tutur Taragalu, memberikan keterangan pada Pasopati.
"Ya. Karena ketua lama sudah tak sanggup lagi memegang tampuk pimpinan. Selain sudah semakin tua, Prabu Santika ingin mengundurkan diri dari rimba persilatan. Yang akhir-akhir ini mulai kisruh," tambah Barja menjelaskan.
"Ooo..." Jadi kira-kira siapa yang akan menjadi ketua baru nanti, Sobat?" tanya Pasopati hanya sekadar ingin tahu.
"Sulit kami untuk menerka. Tapi dengardengar nama Sugrikala disebut-sebut sebagai orang kuat untuk memangku jabatan ketua...," jawab Taragalu dengan penuh semangat. Tersentak kaget Pasopati, mendengar nama Sugrikala disebut oleh Taragalu. Wajahnya yang tadi nampak polos, kini berubah tegang dan memancarkan amarah Taragalu dan Barja yang sempat melihat perubahan wajah Pasopati, merasa heran. Keduanya saling pandang, lalu menggeleng kepala perlahan sambil mengangkat kedua bahu. Kemudian menatap ke arah Pasopati yang masih tercenung, memandang ke depan.
"Ada apa kiranya dengan dirimu, Anak Muda..." Hm kalau boleh kami tahu, siapa nama Anak Muda...?" tanya Taragalu dengan kalem.
Pasopati tersentak dari tercenungnya, lalu tersenyum dan menghela napas panjang. Agak gagap dia menjawab pertanyaan Taragalu.
"Oh, hem.... Kakekku memberi nama padaku Pasopati. Dan kakekku semasa mudanya juga orang persilatan yang menurut ibuku cukup disegani. Aku bangga mempunyai Kakek seperti dia...," tutur Pasopati kemudian.
"Siapa nama kakekmu itu...?" tanya Barja tak begitu serius.
"Ki Wibisana. Kalian mengenalnya...?" jawab Pasopati mantap.
"Ki Wibisana..."!" gumam Barja dan Taragalu berbarengan mendengar nama yang disebut Pa- sopati.
"Aaah, rupanya aku kini tengah berhadapan dengan cucu Ki Wibisana.
Maafkan atas kelancangan kami." Setelah berkata begitu, Taragalu dan Barja membungkukkan badan menjura hormat. Dalam hati mereka berucap, "Pantas kalau anak muda ini memiliki ilmu tinggi."
"Eee... apa-apaan ini..."! Aku bukan raja atau orang terkenal. Jangan kalian berlaku seperti itu" Aku tak mau," kata Pasopati.
"Kami merasa senang, dapat berkenalan dengan cucu Ki Wibisana. Beliau dahulu pernah menjadi ketua persilatan tokoh-tokoh aliran lurus.
Dia seorang yang bijaksana dan berilmu tinggi...," ucap Taragalu tak mampu menyembunyikan rasa kagumnya.
"Ya. Aku pun mendengar dari ibuku. Tapi sekarang tak perlu dibicarakan lagi. Kalau kalian tak keberatan, aku ingin ikut bersama kalian ke pertemuan itu. Boleh..."!" kata Pasopati penuh harap.
"Oh, tentu. Tentu, Den.
Tapi perjalanan kita bisa sampai tiga atau empat hari," jawab Barja dengan gembira.
"Ah, tidak apa. Aku memang ingin berkelana. Apalagi ditemani oleh kalian berdua," sahut Pasopati. Lalu berpikir sejenak.
"Tapi, aku minta pada kalian berdua, jangan bawa-bawa nama kakekku...," katanya kemudian sambil tersenyum penuh persahabatan.
Taragalu dan Barja saling pandang, lalu mengangguk sambil berkata, "Tentu kami setuju.
Biar kami sendiri yang tahu, siapa dirimu Pasopa-ti...." Lalu ketiganya melangkah pergi menuju ke arah barat. Sebenarnya Pasopati bukan bermaksud mengikuti pertemuan tersebut. Niat di hatinya hanya satu, mencari Sugrikala dan sebisanya menuntut balas.
Ketiga orang itu terus melangkah menelusuri jalan setapak dan bukit-bukit terjal dan terkadang persawahan serta hutan.
Pasopati nampak senang berjalan dengan kedua kenalan barunya itu.

***

Sementara itu di suatu tempat, nampak seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular, berjalan seorang diri sambil menggaruk-garuk kepala.
Rambutnya yang agak ikal panjang pun diikat dengan kulit ular. Tingkah lakunya lucu. Terkadang persis orang kurang waras. Tertawa-tawa sendiri, atau cengar-cengir sambil menepuk pantatnya. Pemuda tampan dan gagah itu tampak selalu ceria. Lalu tiba-tiba langkahnya terhenti. Kemudian mencabut sebuah benda yang terselip di pinggangnya. Ternyata sebuah suling berkepala naga. Pemuda itu lalu meniupnya, memainkan sebuah tembang yang terdengar mengalun indah sambil kembali berjalan menelusuri jalanan setapak berpasir. Suara suling itu terus terdengar. Hingga tak sadar kalau langkah kakinya sudah memasuki sebuah desa. Dan ketika sadar pemuda itu segera menghentikan tiupan sulingnya.
"Aha, rupanya aku sudah berjalan cukup jauh. Desa apakah namanya ini" Baru kali ini aku memasuki desa ini...," gumam pemuda itu dalam hati. Lalu diselipkan kembali sulingnya di pinggang.
"Hm....
Desa Progo!" gumamnya seraya menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap tugu gapura di mulut desa itu yang tercantum nama desa tersebut. Sebuah desa yang cukup ramai.
Banyak pedagang yang datang dari berbagai wilayah meramaikan desa itu. Tampaknya desa ini menjadi pusat penghasil rempah-rempah dan berbagai kebutuhan pangan. Jadi banyak tengkulak dan pedagang mampir di Desa Progo itu untuk berbelanja dan bersantai-santai bagi yang banyak duit. Mereka bisa menikmati surga dunia. Karena di desa yang cukup luas itu, ada tempat maksiat dan perjudian. Yang disengaja didirikan oleh orang-orang tokoh sesat, dari suatu kelompok yang ditakuti, Serikat Serigala Merah! Tampaknya dari situlah gerombolan tersebut mendapatkan hasil. Dari upeti dan keuntungan usahanya.
Namun penduduk dan lurah desa sampai saat ini belum tahu siapa pimpinan rumah maksiat dan perjudian itu. Lagi pula Lurah Desa Progo itu tak ada lagi kekuasaannya. Hanya nama saja.
Karena lurah yang berkuasa sekarang merupakan hasil pilihan tokoh-tokoh sesat itu sendiri.
"He he he... nampaknya Desa Progo ini desa yang paling ramai dan kaya akan hasil bumi.
Dan... cukup luas wilayahnya. Tak seperti desa lainnya di Jawa Dwipa Tengah ini," gumam pemuda itu sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu berjingkrak-jingkrak dan melangkah menuju pusat keramaian. Di sana banyak orang bergerombol. Di dekat sebuah bangunan besar seperti bekas rumah Belanda tampak beberapa wanita dudukduduk di depan pintu masuk para tamu. Mereka berpakaian dengan dandanan menyolok.
Pemuda itu terus melangkah mendekati orang-orang yang bergerombol. Ternyata mereka melihat orang yang sedang adu panco. Pemuda yang bertingkah seperti orang sinting itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Sena kemudian menyusup di antara orang-orang yang sedang menonton.
"Ayo, pertahankan Dogol! Jangan mau kalah!" terdengar seman teman lelaki bernama Dogol, yang sedang beradu panco. Adu kekuatan tangan! "Sedikit lagi. Sumo...! Ayo jatuhkan, cepat...!" seru yang lain memberi semangat kawannya bernama Sumo, yang berbadan lebih kecil dari lawannya. Namun otot-ototnya kuat.
Sedangkan yang bernama Dogol berbadan besar, namun tak berotot. Pipinya mirip bapao. Dia bertelanjang dada, hanya memakai rompi warna hitam kumal. Tampangnya selalu ceria.
Pendekar Gila nampak senang melihat pertandingan panco itu. Dia tertawa-tawa sendiri sambil menggaruk-garuk kepala.
Namun pada saat mereka sedang asyik bergembira menonton panco, tiba-tiba....
"Tolooong...! Jangan, jangan paksa aku... tolooong...!" terdengar teriakan seorang wanita melewati tempat kerumunan penonton panco.
Wanita itu masih muda dan cukup cantik.
Sebagian pakaiannya sudah koyak-koyak. Di belakangnya dua orang lelaki bertelanjang dada berpakaian rompi merah dan berikat kepala merah pula mengejarnya. Tak seorang pun di tempat itu yang berani menolong si Wanita Malang.
Wanita muda itu jatuh, tersungkur ke tanah. Dengan cepat kedua orang lelaki yang mengejar menangkapnya. Dan dengan kasar membawa wanita itu menuju rumah maksiat.
Pendekar Gila segera melompat ke depan.
"Kenapa wanita itu, Pak" Apakah dia mencuri atau...," tanya Sena pada seorang lelaki setengah baya di depannya.
"Wanita itu menolak untuk dijual kepada saudagar kaya dari Pulau Andalas. Sekutu pimpinan pemilik rumah maksiat itu...," jawab lelaki setengah baya pelan seperti berbisik, sambil menunjuk rumah di belakang mereka.
"Hi hi hi... Lucu! Ini sudah kebangetan...," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir. Lelaki setengah baya itu merasa heran melihat tingkah laku pemuda di sebelahnya. Keningnya berkerut tak mengerti maksud gumaman Sena. Sementara itu kedua lelaki yang berwajah kasar, yang salah satunya bermata juling, terus menyeret wanita malang itu menuju rumah maksiat. Dan begitu hendak melewati Sena, tiba-tiba kedua lelaki yang menyeret wanita muda itu berhenti. Sebab tiba-tiba Sena menghadangnya. Dengan tingkah laku seperti orang gila.
"Hei! Kau pemuda gila, minggir! Atau kupenggal kepalamu...!" bentak lelaki yang bermata juling seraya mendorong tubuh Sena. Namun herannya, tak sedikit pun tubuh pemuda itu bergoyang. Bagaikan patung raksasa.
Lelaki bermata juling kaget. Matanya yang juling terbelalak lebar, hingga berputar-putar. Lucu! "Kurang ajar, rupanya kau ingin mampus...!" kembali lelaki juling itu membentak seraya mencabut golok dan menyabetkan ke arah kepala Pendekar Gila. Namun dengan gerakan yang terkesan lamban, Sena meliuk-liuk laksana menari. Lalu menepukkan tangan kanannya ke pinggang lelaki juling dengan gerakan lamban.
Plak! Plak! "Ukh...!" lelaki juling itu memekik. Lalu tubuhnya terhuyung ke samping.
Melihat kawannya dipermalukan di depan orang banyak, segera lelaki brewok yang masih memegangi tangan wanita tadi langsung menyerang Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Kini kau harus mampus, Anak Edan! Heaaat..!" teriak lelaki brewok yang mata sebelah kirinya tertutup kain hitam. Kembali Sena mengelak dengan mudah ke samping kiri, lalu melancarkan serangan balik yang cepat dan tepat. Mengenai kepala lelaki brewok itu.
Puk! "Aaakh...!" Sama dengan lelaki juling tadi, lelaki brewok itu jatuh tersungkur. Mencium tanah.
"Hi hi hi..., tikus-tikus ini lucu sekali! Ayo, bangun...!" ejek Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Orang-orang yang tadi bergerombol segera bubar. Hanya si Dogol yang berbadan besar itu masih di situ.
"Heh! Pemuda ini hebat benar. Aku suka dengan anak muda ini. Aku akan berguru padanya.... Tapi kenapa tingkahnya macam orang gendeng..." Ah... tak apa. Yang penting nanti aku akan bantu dia, kalau dia kalah...," gumam si Dogol sok jago. Dia sebenarnya orang yang baik dan lugu.
Sudah tak memiliki sanak saudara. Dirinya hanya cari makan dengan menjual tenaga sebagai kuli atau apa saja.
Sementara kedua antek-antek Serikat Serigala Merah itu menyerang Pendekar Gila berbarengan.
"Heaaat...!"
"Mampus kau, Bocah Edan!" bentak keduanya sambil menebaskan golok ke arah kepala, ka- ki, dan menusuk ke bagian dada Pendekar Gila.
Namun tanpa kesulitan Pendekar Gila pun dapat mengelak. Dan malah dengan sebuah tendangan keras tepat mengenal tengkuk si Brewok, hingga memekik keras kesakitan. Lalu tubuhnya yang besar roboh tak berkutik lagi.
Melihat temannya tak bangun, si Juling tampak jelalatan ke sana kemari, membuat Sena tertawa-tawa mengejek.
"Hi hi hi...! Kau mau seperti kawanmu. Nanti matamu akan kubuat lebih juling lagi! Atau ku-copot kedua matamu...!" ujar Pendekar Gila mena-kut-nakuti.
Si Juling hidungnya kembang-kempis menahan malu dan marah merasa dipermalukan di depan orang banyak. Padahal sebelum ini keduanya ditakuti penduduk Desa Progo itu.
Sementara wanita itu masih merangkak hendak bangun. Si Dogol hendak menolongnya, tapi agak ragu. Lelaki muda gendut itu hanya menghela napas panjang.
Sena kemudian mendekati wanita muda itu, lalu menolongnya bangun, "Jangan takut, Dik.
Ayo, kita pergi...!" ajak Sena sambil memapah wanita itu. Si Juling yang melihat pemuda itu membelakanginya, cepat mengambil kesempatan menyerangnya dari belakang.
"Heaaat...!" Plak! Plak! "Aaa...!" Rupanya Sena sudah tahu, dan memang sengaja berbuat demikian. Maka tak ampun lagi, pukulannya tepat bersarang di dada si Juling. Seketika lelaki juling itu tak berkutik lagi. Dari mulutnya keluar darah segar.
Orang-orang di dalam rumah maksiat keluar. Nampak para pengunjungnya berhamburan dari pintu depan. Dan disusul tiga orang lelaki berpakaian sama, merah-merah dengan ikat kepala merah dan bersenjatakan tombak bermata tiga.
Tampaknya sama Kembar.
Si Dogol yang melihat ketiga orang itu, segera mendekati Pendekar Gila.
"Den, sebaiknya pergi dari sini. Gawat...! Bi-ar saya bawa wanita ini... saya akan sembunyi- kan...," bisik Dogol pada Sena.
"Siapa kau?" tanya Sena.
"Aku hanya seorang yatim piatu. Aku ingin ikut Aden...," jawab Dogol polos.
Sementara itu ketiga lelaki kembar yang berwajah mirip serigala menyeringai, hingga memperlihatkan gigi-giginya yang bertaring. Kuping mereka yang panjang bergerak-gerak.
"Den, sebaiknya lari saja...!" kata Dogol ketakutan.
"Kau bawa wanita ini ke pinggir hutan sana! Tunggu sampai aku datang!" pinta Pendekar Gila pada lelaki bertubuh tambun itu.
"Cepat lari! Biar kuhadapi manusia buruk ini..., cepat!" perintah Sena. Dogol segera membopong wanita itu, dan la-ri kencang sebisa-bisanya.
Ketiga orang bermuka mirip serigala itu, mencoba mengejar Dogol. Mereka berlompatan di udara. Namun Pendekar Gila mengetahui hal itu.
Tubuhnya segera melompat menghadang ketiga orang bermuka kembar itu.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Benturan terjadi, antara Pendekar Gila dan ketiga orang bermuka serigala itu.
Brak! Glarrr...! Akibat benturan tangan mereka yang saling pukul itu mengakibatkan ledakan dahsyat. Ketiga orang bermuka serigala itu terpental ke bawah.
Pendekar Gila pun sama, terpental. Namun cepat mendaratkan kakinya dengan tegap. Ketiga orang mirip serigala itu tersentak kaget, melihat lawannya tak goyah malah cengengesan dan menggaruk- garuk kepala.
"Siapa pemuda edan ini sebenarnya" Ilmunya begitu tinggi. Tak ada seorang pun selama ini bisa tahan pukulan kita. Kenapa pemuda edan itu tahan..."!" tanya salah seorang dari mereka dalam hati.
"Kenapa kalian diam"! Ayo, maju sekaligus tiga, jika ingin menangkapku! Tapi maaf, untuk kali ini aku tak ingin meladeni orang macam kalian. Lain waktu aku akan datang lagi...," ucap Se-na, lalu segera melesat pergi. Ketiga orang lawannya yang merasa diejek segera melancarkan serangan jarak jauh. Mereka berbarengan menghentakkan kedua tangan. Dari telapak tangan mereka keluar beberapa larik sinar merah bagai api. Meluncur ke arah tubuh Sena.
"Hop...!" Pendekar Gila melenting ke udara mengelakkan serangan jarak jauh itu.
Jlegarrr...! Akibatnya terjadi ledakan dahsyat menghantam kedai dan rumah penduduk, hingga hancur dan terbakar.
Penduduk desa kalang kabut, berlarian sambil berteriak ketakutan. Sementara itu Pendekar Gila sudah hilang entah ke mana.
"Kurang ajar! Kali ini kita mendapatkan lawan yang bukan saja berilmu tinggi. Tapi juga cerdik!" kata salah seorang dari ketiga orang kembar itu. Merekalah yang dijuluki Tiga Kembar Bermuka Serigala.
Mereka merupakan sekutu Serikat Serigala Merah.
"Benar, ini tak bisa dibiarkan begitu saja.
Kita harus melaporkan pada Ketua," sambut yang lain.
"Benar, kalau tidak kita dipersalahkan. Apalagi saudagar dari Pulau Andalas itu sudah membayar penuh, untuk dapat menikmati keperawanan wanita itu," sahut yang satu lagi.
Sementara itu penduduk masih sibuk memadamkan api kedai dan rumah yang terbakar, deh serangan Tiga Kembar Bermuka Serigala.


֍::::֍¦ 4 ¦֎::::֎

Dari kejauhan nampak berkelebat bayangan berlari kencang menuju hutan. Larinya begitu cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya. Tentunya orang itu memiliki ilmu lari yang sangat hebat. Sosok bayangan itu ternyata Pendekar Gila.
Larinya dihentikan ketika sampai di mulut hutan.
Matanya mengawasi sekeliling, mencari-cari seseorang sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ke mana mereka..."! Kenapa aku mempercayai si Lelaki Gendut itu"!" gumam Pendekar Gila lagi cengar-cengir.
Srek! Srek! Tiba-tiba terdengar suara kaki dari balik pepohonan dekat semak-semak. Sena segera membalik, dan memandang ke arah suara tadi.
"Hai! Siapa kau, keluar!" bentaknya.
"Oh... ampun. Den...!" terdengar suara dari balik semak.
Sena mengenal suara itu.
"Apakah si Gendut tadi" Kenapa dia..."!" gumam Sena. Lalu segera mendekati semak-semak, dan dilihatnya si Dogol nampak masih terengah-engah. Tubuhnya telentang di semak-semak nampak kecapean.
"Kenapa kau! Mana wanita tadi...?" tanya Sena dengan mengerutkan kening.
Dogol tak langsung menjawab, napasnya masih ngos-ngosan. Lalu dengan berat mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke satu arah.
Sena segera melesat ke tempat yang ditunjuk si Dogol. Ternyata wanita itu sedang terkulai pingsan di tanah yang ditumbuhi rerumputan, dekat sungai yang ada di pinggiran Hutan Rajasari.
Pendekar Gila merasa lega, lalu menghela napas panjang sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian kembali ke tempat si Dogol berada. Ternyata lelaki bertubuh tambun itu masih telentang keletihan. Perutnya yang gendut naik turun dengan cepat. Tertidur, dengan mulut menganga.
Pendekar Gila tertawa-tawa geli melihat Dogol tertidur, keletihan itu. Segera dia mengambil batang rumput, kemudian mendekati Dogol. Diki-liknya telinga dan lubang hidung si Dogol. Membuat lelaki gendut itu kegelian dan terus menepisnepiskan tangannya ke telinga dan lubang hidung.
Sampai akhirnya Dogol terbangun dan marah. Namun begitu melihat pemuda yang dikenalnya, Dogol jadi tertawa renyah.
"He he he, Aden.... Saya kira orang jahat.
Maaf, Den...!" kata Dogol polos. Sambil mengusap-usap perutnya yang buncit itu.
"Istirahatlah dulu, aku tadi cuma ingin menggodamu," kata Sena ramah.
"Tidak, Den.... Sudah cukup saya istirahat...," sahut Dogol diiringi tawa, "Oh, ya. Apa Aden sudah melihat wanita itu?" tanyanya kemudian.
"Ya. Rupanya dia masih pingsan. Biarlah, kita ngobrol saja dulu," kata Sena.
Sesaat keduanya diam. Dogol sepertinya ingin menanyakan sesuatu, namun ragu, belum berani. Kemudian Pendekar Gila yang lebih dulu memulai membuka pembicaraan.
"Kau tahu siapa sebenarnya pimpinan orang-orang terkutuk itu?" tanya Pendekar Gila.
"Sampai sekarang tak satu pun penduduk yang mengetahui dengan jelas, siapa pemimpin dan pemilik rumah maksiat itu...," jawab Dogol polos, sambil terus mengusap-usap perutnya yang buncit.
"Nampaknya mereka memiliki kelompok dan persekutuan yang kuat dan tentunya dari tokoh-tokoh silat aliran hitam,..!" ujar Pendekar Gila.
"Ya. Tadi juga ada saudagar dari Pulau Andalas, yang katanya tokoh aliran hitam. Kabarnya dia datang untuk bergabung dengan kelompok Serikat Serigala Merah.... Dan saudagar itu, sebenarnya telah membeli keperawanan wanita tadi.
Maka tadi mereka sangat murka ketika Aden menghalanginya. Untung Aden sanggup melawannya. Saya jadi tertarik, ingin belajar dan menjadi murid Aden...."
"Hi hi hi... kamu ini lucu! Aku bukan orang terkenal atau pendekar. Aku hanya orang biasa, seperti kamu," kata Sena lalu berpaling ke arah belakang.
"Tapi saya yakin kalau Aden tentu seorang pendekar. Karena Aden tadi dapat mengatasi Tiga Kembar Bermuka Serigala. Padahal mereka sangat kejam dan ditakuti di sini.... Terimalah saya menjadi murid, Aden! Atau paling tidak pengikut Aden...," ujar Dogol penuh harap.
Melihat kepolosan dan kejujuran lelaki gendut itu, Pendekar Gila nampak mulai menyukainya. Namun dia tak memberikan jawaban apa pun. Malah sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Sudahlah jangan pikirkan dulu itu! Kau lihat dulu wanita tadi! Siapa tahu dia sudah siuman..." Tanpa sengaja Dogol melihat benda yang terselip di pinggang pemuda itu. Sebuah suling berkepala naga.
"Hah"!" gumam Dogol dalam hati, "Aku pernah dengar tentang suling berkepala naga, dari cerita ayahku sebelum dibunuh pengikut Serikat Serigala Merah. Ya, ya aku ingat. Ayah bilang hanya Pendekar Gila yang memiliki pusaka berupa Suling Naga Sakti yang dapat melawan mereka...," lanjut Dogol dalam hati. Seketika wajahnya jadi tersenyum gembira.
"Heh"! Ada apa kau ini, kenapa kau tibatiba nampak segembira itu?" tanya Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
"Oh... tidak, tidak ada apa-apa, Aden.... Biar saya lihat wanita itu, dulu....," jawab Dogol yang terus nampak gembira, lalu membungkuk dan melangkah pergi. Sena merasa heran, dan kembali menggaruk-garuk kepala.
"Orang lucu si Gendut itu. Tertawa-tawa sendiri. Ada apa dia" Nampaknya dia orang jujur.
Tapi akan ku coba kejujuran dan kesetiaannya nanti," gumamnya dalam hati.
Dogol, sudah berada di tempat wanita muda yang cantik itu berada. Ternyata wanita itu mulai sadar, menggeliat lemah.
Pakaiannya yang sebagian terkoyak, menyebabkan tubuhnya terlihat.
Dadanya yang montok sedikit tersembul. Juga kainnya yang terkoyak, membuat sebagian pahanya tersingkap. Namun Dogol yang melihat itu cepat memalingkan kepala, lalu segera menutupi bagian terbuka itu dengan pakaiannya.
Dari balik pohon sepasang mata mengamatinya, tanpa sepengetahuan Dogol.
"Kasihan kau wanita malang...," gumam Dogol lirih, sambil menggaruk perutnya. Lalu membalikkan badannya. Sementara wanita itu mulai membuka matanya perlahan-lahan.
"Uhk...!" desah wanita itu sambil mengge-liatkan tubuhnya.
"Hah..."! Ohhh... di mana aku ini... ahhh...!" pekik wanita itu ketika melihat Dogol berdiri membelakanginya.
Wanita itu menutupi bagian dadanya dengan pakaian Dogol, serta menghimpit kedua kakinya. Ketakutan.
"Jangan takut, Dik... aku orang baik-baik...
tadi, tadi Adik pingsan... emmm...," kata Dogol ga-gap. Mencoba menjelaskan.
"Siapa kau! Bagaimana aku bisa ada di sini.... Kau tentu orang jahat...!" bentak wanita itu.
Bibirnya bergetar, menahan takut.
"Dia bukan orang jahat...!" terdengar suara dari arah lain.
Wanita itu menoleh ke arah datangnya suara. Begitu juga Dogol. Dan ternyata pemuda berpakaian kulit ular. Muncul dengan menggarukgaruk kepala. Dogol nampak gembira, lalu mendekati Sena seraya berkata.
"Di... dialah yang menolongmu. Kalau tidak, kau akan menjadi santapan saudagar dari Pulau Andalas itu...!" kata Dogol menjelaskan dengan ke-polosannya.
"Saudagar dari Pulau Andalas...?" ulang wanita itu lirih, sambil mengerutkan keningnya. Lalu menoleh ke arah Pendekar Gila.
Pendekar Gila hanya tersenyum hambar, sambil menggaruk-garuk kepalanya. Wajahnya yang tampan dan gagah, membuat wanita yang baru saja sadar dari pingsannya itu tersenyum manis. Lalu bergerak sambil tetap menutupi dadanya dengan rompi kumal milik Dogol, yang tadi.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan aku dari malapetaka itu," ucap wanita muda itu agak lemah, "Kalau boleh tahu, siapakah nama-mu" Biar aku lebih akrab memanggilmu...," katanya lagi.
"Apakah artinya sebuah nama bagimu...?" sahut Pendekar Gila dengan cengar-cengir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Untukku sangat berarti. Apalagi, kau orang yang telah menyelamatkan diriku dari manusia-manusia keparat, penjual wanita-wanita muda sepertiku ini. Agar nama itu kukenang selamanya...," kata wanita itu dengan suara renyah dan penuh harap.
"Kalian ini aneh, memang. Tapi tak apalah, aku tahu kalian bukan orang jahat. Namaku Sena Manggala...," kata pemuda itu kemudian.
"Apakah Aden yang dijuluki Pendekar Gila...?" celetuk Dogol memberanikan diri melontar-kan dugaannya. Matanya melirik ke Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang Sena.
Sena tersentak kaget, matanya menatap tajam wajah Dogol, lalu berpaling ke arah wanita itu.
Nampak kedua orang di depannya itu saling pandang. Dogol menganggukkan kepala pada wanita itu. Pendekar Gila tak langsung menjawab. Malah cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Kalau begitu benar apa yang disebut lelaki ini. Tuan adalah pendekar kondang itu...," kata wanita itu tiba-tiba.
Pendekar Gila bertambah kaget mendengar ucapan wanita itu.
"Ah, sudahlah, apakah kalian merasa yakin aku ini orangnya. Tak usah dibesar-besarkan. Sebaiknya, kalian cepat jelaskan apa sebenarnya yang terjadi di Desa Progo saat ini," kata Sena pa-da kedua orang itu.
"Panjang ceritanya Tuan Pendekar. Lebih baik kita bicarakan nanti di...."
"Sebaiknya di rumah kakekku yang tinggal di kaki Gunung Merapi. Bagaimana...?" kata wanita yang cepat memotong ucapan Dogol. Sena mengerutkan kening, menatap tajam wanita itu lalu bertanya, "Aku belum mengenalmu, siapa namamu...?"
"Panggil saja aku Sekar Melati!" jawab wanita cantik itu.
Sena manggut-manggut, lalu memandang ke arah Dogol yang nampak sangat gembira.
"Baiklah. Ayo, kita cepat pergi dari tempat ini! Sebelum orang-orang durjana itu menemukan kita," ajak Sena, lalu melangkah pergi. Diikuti Sekar Melati dan Dogol.

***

Sudah tiga hari perjalanan Pasopati, Taragalu, dan Barja. Kini mereka telah memasuki kawasan Jawa Dwipa bagian tengah. Ketiganya terus melangkah dan terkadang berlari untuk mempercepat perjalanan. Agar tepat waktu sampai di tempat tujuan.
"Tak terasa, sudah tiga hari perjalanan kita.
Dan kita telah memasuki Jawa Dwipa bagian tengah. Aku merasa lega. Tak ada hambatan dalam perjalanan kita, Sobat," ucap Pasopati sambil me-nyeka keringatnya. Kini mereka bertiga beristirahat di suatu tempat yang teduh.
"Besok pagi kita sudah sampai di tempat tujuan. Sebaiknya kita istirahat di sini sebentar.
Agar hilang rasa letih kita," kata Taragalu. Lalu dia duduk, bersandar pada sebatang pohon. Demikian juga dengan Barja.
Pasopati masih berdiri mengamati keadaan sekeliling tempat itu, sambil terus mengipasngipas dengan tangannya.
Tiba-tiba pandangan Pasopati terhenti ketika melihat tiga orang penunggang kuda menuju ke arah mereka. Pasopati dengan cepat menaruh tombak pusakanya ke depan dada. Seraya memberi tahu kedua temannya, "Hei bangun, ada orang datang...!" Segera Taragalu dan Barja berdiri, memandang ke arah datangnya lelaki penunggang kuda yang menuju ke arah mereka.
"Siapa mereka?" tanya Pasopati pada Barja yang berdiri di sisi kirinya.
"Entahlah. Aku belum jelas...," jawab Barja.
Ketiga penunggang kuda hitam itu semakin dekat. Dan....
"Celaka! Mereka Tiga Kembar Bermuka Serigala!" celetuk Taragalu. Seketika dadanya bergetar keras, merasa tegang dan takut.
"Tenang, biar aku yang hadapi, jika mereka kasar pada kita!" kata Pasopati tegas.
"Hei! Kalian sedang apa diam di sini"!" bentak salah seorang dari mereka.
"Kami hanya sedang beristirahat sebentar...," jawab Pasopati ramah.
"Apa kalian melihat dua orang lelaki, satu berbadan gendut, dan seorang wanita muda lewat di sini...?" tanya salah seorang lagi.
"Tidak. Kami baru saja sampai di tempat ini," jawab Pasopati lagi.
"Hm! Mau ke mana tujuan kalian?" tanya yang lain.
Pasopati tak langsung menjawab, menoleh ke arah Taragalu sejenak. Lalu kembali berpaling ke penunggang kuda itu.
"Kami dari daerah timur, sana. Ingin menyaksikan pemilihan ketua baru di Candi Borobudur," jawab Pasopati tegas.
"He he he...! Jauh-jauh dari sana kau hanya ingin menyaksikan pemilihan itu.
Hebat. Mungkin kau ada maksud lain"!" tanya orang yang berada di tengah.
Tersentak kaget Pasopati mendengar pertanyaan itu. Seakan orang itu dapat menebak maksudnya.
"Maksud apa..." Aku tak mengerti ucapan Tuan?" sahut Pasopati mencoba menutupi kekage-tannya.
"Bagus! Tapi ingat, jangan berulah macammacam di sana! Kalian akan mampus. Dan pesanku. Pilihlah Sugrikala! Jika kau mau hidup selamat dan bebas. Ha ha ha...!" kata orang yang ada di sebelah kanan.
Lalu ketiganya segera memacu kuda mereka, meninggalkan tempat itu.
"Bangsat...! Rupanya mereka sekutu Sugrikala pembunuh ayahku itu! Akan kuhabisi mereka...!" kata Pasopati geram dalam hati. Matanya menatap tajam kepergian Tiga Kembar Bermuka Serigala itu.
"Kenapa kau, Pasopati...!" tanya Taragalu tiba-tiba.
"Ohhh... tak apa-apa. Masih jauhkah Candi Borobudur dari sini...?" sahut Pasopati balik bertanya.
"Cukup lumayan. Besok pagi kita sudah sampai," jawab Barja.
"Sebaiknya kita lebih mempercepat. Agar tak terlambat. Lebih cepat akan lebih baik bagiku...." Selesai berkata begitu, Pasopati segera melangkah pergi. Taragalu dan Barja hanya menggeleng-gelengkan kepala, lalu melangkah mengikutinya.

***

Kembali pada Sena dan Dagol, serta Sekar Melati. Mereka nampak masih dalam perjalanan menuju kaki Gunung Merapi. Sena berjalan di depan bersama Sekar Melati, sedangkan Dogol di belakang mereka. Dogol sebentar-sebentar nampak menoleh ke belakang, takut kalau-kalau ada yang mengikutinya. Tangannya terus memegangi perut yang buncit itu. Sepertinya takut jebol, karena ter-guncang kuat, kalau dia berlari.
"Perut ini semestinya ditinggal di rumah.
Huh!" sungut Dogol sambil memegangi perutnya yang seakan hendak jatuh merosot. Lucu kelihatannya. Terguncang-guncang ke kanan dan kiri ketika Dogol mempercepat langkahnya.
"Aduh...!" tiba-tiba terdengar suara pekik Dogol yang tersandung bebatuan, hingga kesakitan. Dia meringis sambil memegangi kakinya.
Sena dan Sekar Melati menoleh, lalu menghentikan langkahnya. Keduanya tertawa melihat Dogol kesakitan terduduk di tanah, memegangi dan memijit-mijit kakinya yang kena batu tadi.
"Katanya kau mau jadi pendekar.... Baru kena batu saja sudah meringis seperti kuda," goda Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Sekar Melati hanya tertawa-tawa kecil. Lalu mendekati Dogol dan mengulurkan tangan kanannya. Dogol tersenyum senang, menyambut uluran tangan gadis cantik itu. Dogol segera bangkit, kemudian berjalan mendahului Sena dan Sekar Me- lati sambil membusungkan dadanya. Agar perutnya yang buncit tak begitu kentara, dia mengempeskannya. Namun dia tak tahan lama. Kembali perut itu melembung seperti semula. Sena tersenyum-senyum, sedangkan Sekar Melati geli melihat perut Dogol, sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri.
Mereka terus berjalan menelusuri pinggiran sungai. Sena dan Sekar Melati tak terasa letih karena selalu gembira, tertawa mendapat teman seperti Dogol yang lucu, polos, dan bicara apa adanya. Sinar matahari kini tak seterang tadi, sudah condong ke arah barat. Mereka terus melangkah menelusuri sungai yang berkelok-kelok, seakan tanpa batas.
"Airnya jernih, pasti nyaman jika mandi di sungai itu," batin Sekar Melati, yang berjalan di sebelah Sena. Matanya menatap terus ke air yang jernih itu.
Namun Sekar Melati tak berani mengutarakan maksudnya, karena dia sangat segan dan menghormati Pendekar Gila, pemuda yang tampan, gagah, dan memiliki nama besar di rimba persilatan ini. Sekar Melati hanya bisa membatin dan menahan keinginannya.
Sena sebenarnya tahu, karena diam-diam memperhatikan gerak-gerik Sekar Melati, yang sebentar-sebentar melihat ke air sungai itu. Namun hatinya khawatir sesuatu akan terjadi pada wanita itu.
"Rasanya aku ingin mandi di sungai itu. Untuk menyegarkan badan. Tapi waktu dan keadaan tak mengizinkan...," sindir Sena tiba-tiba. Mulutnya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Lalu melirik ke arah Sekar Melati. Sekar Melati tersentak kaget, lalu tersenyum manis pada Sena.
"Benar-benar aneh. Bagaimana dia bisa mengetahui keinginanku..." Aku sangat mengaguminya. Alangkah bahagia dan damainya wanita yang dicintai dan disayangi oleh pendekar ini...," kata Sekar Melati dalam hati.
Dogol tersenyum-senyum. Dia pun tahu kalau Sena menyindir Sekar Melati. Dogol mencolek Sena lalu mengedipkan sebelah matanya, sambil menunjuk ke arah Sekar Melati. Sena hanya cengengesan dan mengangguk-anggukkan kepala.


֍::::֍¦ 5 ¦֎::::֎

Di suatu tempat yang angker, tepatnya di dalam hutan di sebuah rumah tua, yang terbuat dari kayu. Sepertinya rumah yang senantiasa gelap itu tak berpenghuni. Namun terdengar suara-suara macam binatang buas dari dalam rumah itu.
Suara aneh itu ternyata berasal dari seorang lelaki tua berwajah menyeramkan bagai iblis. Mulutnya yang moncong mirip serigala. Jika menyeringai terlihat taringnya yang runcing.
Di depannya duduk seorang lelaki setengah baya, berpakaian serba merah, Hanya ikat pinggangnya yang hitam. Duduk bersila dengan kepala tegap menatap lelaki tua yang berwajah nampak bringas. Napas lelaki tua itu sesekali mendesah, lalu kepalanya menggeleng lemah bagai ada sesuatu yang dirasakan. Wajahnya nampak merengut, seperti ada sesuatu yang terpendam dalam pikiran lelaki berwajah mirip serigala itu.
"Hem...! Kenapa tiba-tiba hatiku tak tenang untuk berangkat ke Lembah Tidar"!" keluh lelaki setengah baya berpakaian serba merah yang duduk bersila. Jenggot dan kumisnya yang tebal bergetar.
"Apakah ini pertanda buruk?" Lelaki setengah baya bermuka tebal dan ditumbuhi cambang bawuk serta kumis tebal itu, kembali untuk sekian kalinya mendesah panjang.
Napasnya bagaikan memburu, liar seperti mencium sesuatu. Ketika matanya nampak merah bagaikan memendam bara, tiba-tiba badannya bergetar kuat, bagai merasa kepanasan. Mendadak pula keluar asap dari sekujur tubuhnya.
Lelaki tua berwajah serigala itu diam. Sedikit pun tak menghiraukan muridnya yang tengah dilanda kegalauan.
"Grrr...! Auuung...!" Mendadak lelaki setengah baya berbaju serba merah menggereng lalu melolong keras. Dan bersamaan suara lolongan lelaki setengah baya berpakaian merah itu berubah wujud menjadi seekor serigala merah, besar, buas, dan menyeramkan. Lelaki tua berwajah mirip serigala yang duduk di depannya tampak menyeringai. Terdengar suaranya yang berat dan besar.
"Ada apa kau begitu gelisah, Sugrikala...?" tanya lelaki tua yang tak lain Reski Jalatula. Dengan sinar matanya yang menyala dia menatap serigala jelmaan Sugrikala, muridnya.
"Grrr...!" kembali serigala jejadian Sugrikala menggeram.
"Apa kau mengalami kesusahan?" tanya Reski Jalatula lagi.
"Ampun, Guru! Mengapa tiba-tiba hati hamba gelisah"! Apakah Guru mengetahui sebabnya...?" Manusia yang mukanya mirip serigala itu sejenak kembali diam. Matanya tak berkedip memandang Sugrikala. Yang telah menjelma jadi serigala. Setelah menghela napas panjang, Reski Jalatula berkata menerangkan pada muridnya.
"Hem.... Grrrr.... Kau harus berhati-hati menghadapi musuhmu kali ini. Dia memiliki senjata pusaka yang ampuh...," tutur Reski Jalatula.
"Grrr... auuung...!" terdengar gerengan Sugrikala yang sudah menjadi serigala.
"Siapa mu-suhku itu. Guru?" tanyanya kemudian.
Reski Jalatula menghela napas panjang. Lalu mendengus-dengus dengan kepalanya bergoyang-goyang ke sana kemari, serta mengaung.
"Musuhmu kali ini, tak lain anak Sumbaga!" kata Reski Jalatula menegaskan.
Tersentak kaget bukan main Sugrikala. Kemudian mengaung dan menggereng keras seakanakan memperlihatkan kemarahannya. Dikibaskibas tangannya sambil menggetar-getarkan kepala.
"Kau harus menghadapinya dengan wujud manusia, Sugrikala. Dia memiliki tombak yang diberi nama Baruklinting. Yang dapat menghancurkan apa saja. Bahkan tombak yang berkepala naga itu dapat menjadi naga hidup," tutur Reski Jalatula.
"Aku tak takut. Guru. Tentunya Guru telah memberikan penangkal untuk semua itu," kata Sugrikala yang berupa seekor serigala merah dan besar.
"Benar. Kau tak akan mati dengan pusaka anak Sumbaga itu. Bila belum menemukan Sendi Ilmu-mu. Manusia macam apa pun tak akan sanggup menghadapimu," tambah Reski Jalatula memberi semangat muridnya.
Sugrikala mendengus-dengus dan ekornya kembali bergerak-gerak ke sana kemari. Lalu menyeringai. Taringnya yang runcing dan tajam mengerikan. Seakan serigala itu tertawa senang.
"Tapi...," gumam Reski Jalatula kemudian.
Dengan muka murung.
"Tapi apa, Guru?" tanya Sugrikala cemas, karena melihat gurunya tiba-tiba murung.
"Tapi, ada satu pendekar yang sangat kondang saat ini. Pendekar Gila, murid Singo Edan.
Dia berada di wilayah tengah ini sekarang...!" Bagai disambar petir Sugrikala mendengar nama Pendekar Gila. Seketika wujudnya kembali berubah menjadi manusia lagi. Setelah terlebih dahulu menggereng keras, seluruh badannya berasap.
"Aaakh...! Kenapa masih ada orang yang ke-saktiannya mengungguliku. Guru" Aku tidak mau terima. Aku yang paling sakti di rimba persilatan ini...!" suara Sugrikala yang murka itu keras dan bergema. Seakan rumah itu hendak roboh oleh ge-tarannya.
Reski Jalatula yang melihat muridnya tak terkendalikan, segera menyemburkan air berwarna kuning dari mulutnya, ke arah Sugrikala.
Sruats! Muka Sugrikala tersiram semburan air. Dan seketika lelaki yang memakai pakaian silat serba merah itu diam bagai patung.
"Kau akan mudah dikalahkan, jika adatmu tak dapat dihilangkan! Kalau kau tak mau menurut, terserah...!" Sugrikala tak berani menjawab. Kepalanya tertunduk kaku dengan napas tersengal-sengal, menahan kekesalan dan amarah.
"Perlu kau ketahui. Kalau Tombak Baruklinting mengenal tubuhmu saat berwujud serigala, kau tak akan lagi bisa menjelma menjadi manusia untuk selama-lamanya! Sekarang, cepat kau cari anak Sumbaga itu, sebelum terlambat!" perintah Reski Jalatula, mulai kesal pada muridnya. Lalu tiba-tiba dia menghilang. Hanya asap tebal mengepul di tempatnya tadi.
Sugrikala mendengus, kecewa dengan sikap gurunya. Ditendangnya apa saja yang ada di situ.
Brak! Brakkk! "Apa pun yang terjadi aku tak takut. Akan kucabik-cabik anak Sumbaga itu. Tapi bagaimana aku bisa mengenalnya..."!" gumam Sugrikala sambil mondar-mandir. Dengan muka merah, dia berpikir keras. Lalu tertawa-tawa seraya melesat keluar, melompati jendela. Persis seekor serigala. Sekejap dia telah menghilang.

***

Saat itu di pondok Sekar Melati, Pendekar Gila dan Dogol sudah lama bicara dengan Ki Rasakgumilar, kakek Sekar Melati. Mereka membicarakan Serikat Serigala Merah, yang akhir-akhir ini membuat bingung dan cemas para tokoh persilatan aliran lurus.
"Firasatku mengatakan akan terjadi pembunuhan dan pertempuran yang tak dapat dihindarkan, jika Serikat Serigala Merah tak cepat di-musnahkan," tutur Ki Rasakgumilar. Sebentar dia menghela napas.
"Sayang, aku sudah tua dan lumpuh. Tapi aku berharap padamu, Sena. Karena aku yakin hanya kaulah yang dapat memusnahkan mereka. Tapi, ingat. Mereka penuh tipu muslihat. Terutama Sugrikala yang dapat menjelma ja-di serigala. Dan pandai menyamar..."
"Terima kasih atas nasihatmu, Ki," jawab Sena sambil menganggukkan kepala.
Sementara itu Sekar Melati nampak wajahnya kurang ceria. Karena dia tahu Sena akan meninggalkannya. Gadis cantik itu rupanya telah jatuh hati pada Pendekar Gila.
Sena sempat melirik ke arah Sekar Melati yang duduk di sebelah kiri kakeknya. Sekar Melati pun saat itu juga sedang menatap Sena. Akibatnya wanita itu tersenyum dan menunduk, dengan wajah memerah.
Dogol yang duduk di sebelah Sena cengengesan dan menahan tawa, melihat Sena yang juga cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Ki Rasakgumilar kemudian kembali berucap pada Sena, setelah memejamkan mata beberapa saat.
"Sena. Kau harus cepat menyelamatkan keadaan. Ada seorang pemuda. Murid saudara seperguruanku, juga saudara seperguruan gurumu, Singo Edan yang membutuhkan bantuanmu. Dia mempunyai urusan pribadi dengan Sugrikala, si Manusia Siluman Serigala itu," tutur Ki Rasakgumilar.
"Kalau boleh tahu, siapa nama pemuda itu, Ki?" tanya Sena ingin tahu, "Agar aku tak sulit menemukannya."
"Hem...," Ki Rasakgumilar memejamkan ma-ta lagi, setelah menghela napas dalamdalam. Ke- dua tangannya dilipat di depan dada.
Ki Rasakgumilar memang saudara seperguruan Singo Edan dan Ki Wibisana kakek Pasopati.
Ki Rasakgumilar yang paling tua di antara kedua orang berilmu tinggi itu. Dirinya mempunyai ilmu yang sama dengan Singo Edan dan Ki Wibisana. Hanya saja sedikit kelebihan Ki Rasakgumilar. Dapat mengetahui kejadian yang akan datang dengan tepat.
"Aku tak tahu nama pemuda itu. Tapi dia memiliki senjata tombak berkepala naga. Tombak Baruklinting," ucap Ki Rasakgumilar.
Sena menganggukkan kepala perlahan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Kalau begitu izinkan saya meninggalkan tempat ini, Ki...," pinta Sena sambil menjura.
"Ya. Tapi kau harus berjanji, Sena. Selesai menunaikan tugasmu, cepat kembali kemari! Jika cucu Wibisana itu hidup, bawa kemari!" pesan Ki Rasakgumilar.
"Baik, Ki. Kami mohon restu," jawab Sena.
Sena bangkit berdiri. Sekar Melati cepat berlari ke depan mendahului Sena yang akan keluar. Sedangkan Ki Rasakgumilar hanya tersenyum-senyum melihat cucunya.
Sesampai di luar pondok, Sekar Melati yang hatinya sedih, mencoba menahan Sena.
"Kakang Sena. Kalau saja aku seorang pendekar wanita, rasanya ingin membantu Kakang.
Dan aku akan ikut Kakang ke mana saja pergi.
Tapi, aku hanya seorang wanita gunung yang tak bisa berbuat apa-apa...," kata Sekar Melati dengan nada memelas.
Sena menggaruk-garuk kepala, lalu dengan lembut dipegangnya pundak Sekar Melati.
"Jangan kau putus asa! Kalau kau mau, belajarlah pada kakekmu. Aku yakin, kau akan menjadi pendekar wanita yang disegani," hibur Sena.
"Benarkah itu, Kakang?" tanya Sekar Melati penuh semangat.
"Ya," jawab Sena pendek.
"Aku akan senang kalau Kakang Sena nanti juga mau mengajari ilmu silat padaku...." Mendengar ucapan yang polos dan penuh harap itu, Sena merasa iba melihat Sekar Melati yang ternyata cucu teman seperguruan Singo Edan.
"Aku tidak berjanji, tapi aku ingin kau mau berdoa untuk keselamatanku dan Dogol...," kata Sena. Lalu memeluk Sekar Melati sejenak, kemudian melepaskannya lagi.
"Aku akan selalu berdoa untuk Kakang Se na. Aku tak ingin Kakang mendapat kesulitan," jawab Sekar Melati dengan suara lembut.
"Terima kasih. Sekarang izinkan aku pergi." Selesai berkata begitu, Sena melangkah meninggalkan halaman pondok itu. Dogol pun mengikutinya, setelah memberi hormat pada Sekar Melati. Sekar Melati memandang kepergian Sena dengan berbagai perasaan yang ada di benak dan hatinya.

***

Tiga orang tengah berjalan menuju tempat diadakannya pertemuan antar pendekar, seketika menghentikan langkah. Mata mereka melihat bayangan berkelebat cepat melintas agak jauh di depan mereka. Seorang pemuda dengan pakaian putih, celana biru tua dan ikat kepala kain batik kecoklatan memberi isyarat pada kedua temannya agar diam.
Di tangan kanan pemuda itu tergenggam sebatang tombak yang ujungnya tertutup kain hitam. Panjangnya sedepa.
Kemudian bayangan itu berkelebat lagi kembali melintas di depan mereka.
"Seperti seekor binatang..."!" gumam Pasopati ketika penglihatannya dipertajam.
"Ya, seekor binatang...," timpal Barja nampak mulai ketakutan.
Sesaat tak terdengar lagi suara. Dan binatang yang tadi dua kali melintas tak terlihat lagi.
Pasopati memberi isyarat agar tetap waspada. Kemudian mereka kembali melangkah perlahan ke arah tadi. Tombak di tangan kanan Pasopati diletakkan ke depan dada. Dia siap untuk menghadapi lawan. Apa pun wujudnya.
"Kalau tadi memang seekor binatang. Apakah binatang itu jelmaan Sugrikala"! Aku harus waspada...," gumam Pasopati dalam hati.
Srek! Srek! Pasopati dengan cepat menghentikan langkah kakinya, diikuti kedua temannya. Pasopati yang sudah merasakan sesuatu, cepat pula membuka tutup tombaknya.
Kemudian diciumnya kepala Tombak Baruklinting yang berkepala naga, kebiruan dan memancarkan sinar. Kedua temannya membelalakkan mata ketika melihat pancaran sinar dari kepa-la tombak itu. Merasa aneh dan kagum.
"Apakah binatang itu seekor serigala atau..."!" gumam Taragalu, sambil melebarkan matanya untuk mempertegas penglihatannya. Namun binatang itu sudah tak kelihatan.
Tiba-tiba muncul seekor serigala warna merah besar yang hampir seperti seekor sapi. Matanya memancarkan sinar merah. Menyeringai garang. Hingga gigi-giginya yang runcing terlihat mengerikan.
"Hah"! Dialah serigala merah jelmaan Sugrikala...!" seru Barja yang terkejut dan membelalakkan mata lebar.
Mendengar apa yang dikatakan Barja, Pasopati tersentak. Dia menghela napas dalam-dalam dengan mata tetap memandang tajam ke arah serigala yang menggereng, seperti menantang Pasopati.
"Grrr...!"
"Hei! Setan siluman terkutuk! Apa pun wujudmu saat ini, aku tak akan terkelabui olehmu! Hari ini aku akan menuntut balas...!" seru Pasopati tak pakai basa-basi lagi. Lalu digerakkan tangan kanannya yang memegang tombak. Gerakannya begitu cepat sambil menarik kaki kanan ke belakang.
"Grrr...! Ini rupanya anak Sumbaga itu. Dan itukah senjata saktinya yang bernama Tombak Baruklinting..."!" gumam serigala siluman Sugrikala.
"Grrr...!" Tanpa diduga oleh Pasopati dan kedua temannya, serigala merah itu tiba-tiba menyerang Pasopati. Ketiganya tersentak kaget dan cepat melompat mundur. Pasopati melompat sambil me- nangkis serangan serigala itu dengan tombaknya.
Wret! Sret! Rupanya Pasopati dengan gerakan cepat, melakukan serangan balik yang tidak diduga oleh serigala siluman itu. Hampir saja perut binatang jejadian itu tertusuk ujung tombak berkepala na-ga. Namun hanya bulunya yang terbawa oleh ujung tombak Pasopati.
"Grrr...!" Binatang siluman itu tampak kian marah.
Dengan cepat dan ganas kembali menyerang Pasopati.
"Manusia keparat! Kau harus mati di tan-ganku, atas perbuatanmu pada ayahku...!" dengan memaki marah, Pasopati memapaki serangan serigala yang melompat akan menerkam kepalanya.
"Heaaa...!"
"Grrr...!" Melihat Pasopati memapaki serangannya, serigala siluman itu tampak terkejut. Kemudian dengan cepat melompat ke belakang mengelakkan tusukan tombak Pasopati yang sudah mengarah ke dadanya. Srak! Serigala merah kemudian menghilang ke arah semak-semak. Pasopati memburu sambil menusuk-nusukan tombaknya.
"Iblis jahanam! Ke mana perginya serigala siluman itu!" sungut Pasopati kesal.
"Heiii, keluar-lah kau iblis...! Tunjukkan wujud aslimu! Biar aku lebih puas membunuhmu...!" teriak Pasopati keras, sambil mengangkat tombaknya ke atas kepala.
Sementara itu Barja dan Taragalu, hanya bisa bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
Kedua orang itu tak berani membantu Pasopati, karena menyadari tak mungkin mampu. Dan juga merasa yakin Pasopati akan bisa mengatasi seriga-la siluman jelmaan Sugrikala itu. Tiba-tiba....
"Auuung...!" Dari arah belakang, serigala siluman menyerang Pasopati. Pasopati yang terpecah pikirannya karena dilanda kemarahan, tersentak kaget.
Namun cepat dia bisa mengendalikannya. Pasopati cepat menundukkan kepala, sambil menangkis serangan serigala siluman itu dengan tangan kanannya yang memegang tombak.
Crasss...! "Aaauuung...!" Serigala siluman melolong keras, karena tangkisan Pasopati, ternyata juga merupakan serangan yang cepat. Hingga bagian dada serigala siluman tergores.
Binatang jejadian itu tersungkur ke semaksemak. Tubuhnya sesaat menggelepar-gelepar sambil mengerang. Namun kemudian cepat berbalik. Matanya memancarkan sinar aneh, merah membara. Tampaknya Sugrikala telah bertambah marah.
"Kau tak akan mampu membunuhku, Anak Muda! Akan kukurim nyawamu ke akherat..!" tiba-tiba terdengar suara dari mulut serigala merah.
Dan bersamaan dengan itu wujudnya berubah.
Berbadan manusia, namun wajahnya tetap serigala. Pasopati terkejut. Karena tombak yang tadi mengenai dan melukai tubuh serigala merah, ternyata tak mempan untuk membunuh Sugrikala.
Karena Sugrikala memiliki ilmu kebal yang dinamakan ilmu 'Sukma Sejati'.
"Edan! Tombak pusakaku tak mampu membunuhnya!" gumam Pasopati dalam hati. Matanya membelalak heran, memandang Sugrikala yang tertawa-tawa mengejeknya.
"Ha ha ha...! Kau akan kukirim ke akherat seperti ayahmu, Anak Muda! Ha ha ha...! Kau kira aku takut dengan tombak pusakamu itu"! Ha ha ha.... Sekarang giliranmu untuk merasakan ini.
Heaaa....!" Selesai bicara begitu, Sugrikala melancarkan serangan kilat dengan ganas ke arah Pasopati.
Terjadilah saling tangkis dan pukul. Keduanya kemudian melesat cepat ke atas dan terjadi pertarungan sejenak di udara.
Plak! Plak! Blak! Blak! Terjadi pukul-pukulan dan saling tendang.
Keduanya sama-sama terdorong ke belakang dan jatuh ke tanah. Nampak Pasopati sedikit kaget, karena pukulan Sugrikala sempat mengenai da- danya. Meskipun tidak begitu telak, tapi cukup menimbulkan nyeri dan sakit di dadanya.
Belum juga hilang kekagetan Pasopati, Sugrikala yang memiliki ilmu iblis dan ilmu silat yang cukup tinggi, melancarkan sebuah pukulan mengandung racun. Pasopati tersentak kaget bukan main.
"Celaka!" gumam Pasopati, sambil mengelakkan benda-benda tajam sebesar jarum dan memancarkan sinar menyilaukan mata yang melesat ke arahnya.
"Eit...!" Wut! Tras! Tras! Jarum-jarum maut yang membentuk larikan sinar itu runtuh, tersambar Tombak Baruklinting milik Pasopati. Sugrikala si Manusia Siluman Serigala menjadi murka dan kesal, melihat serangannya dapat dimentahkan oleh lawannya.
Dengan beringas dan marah dia terus mencecar Pasopati, yang masih belum sempurna kudakudanya.
"Grrr...! Mampus kau sekarang, Bocah Ingusan...!" Dengan menggerang Sugrikala melancarkan serangan dahsyat kembali. Namun karena dia terlalu bernafsu ingin cepat menghabisi Pasopati, serangannya yang semestinya berhasil, kembali gagal. Pasopati yang tenang justru sebaliknya dapat menyarangkan pukulan tangan kirinya. Dengan gerakan tipu, seakan hendak menusukkan tombak yang digenggam di tangan kanan, dengan cepat menghantam keras. Hingga Sugrikala si Manusia Siluman Serigala memekik keras. Tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Melihat hal itu Pasopati, mengambil kesempatan untuk menghabisi riwayat Sugrikala.
"Sekarang saatnya aku dapat membunuhmu dan membalas dendam. Heaaat!" Pasopati menggerakkan tombaknya ke atas, lalu ke samping. Kemudian melompat sambil mengangkat tombak pusakanya untuk menghabisi Sugrikala....
Namun Sugrikala ternyata hanya terluka sedikit. Dengan cepat dihentakkan kedua tangannya. Seketika Pasopati yang telah di udara dan menghujamkan tombaknya ke arah Sugrikala, mendadak terhenti. Mengapung di udara. Lalu dengan cepat pula Sugrikala menghantarkan pukulan dahsyatnya ke arah Pasopati.
"Heaaa...!" Dub! Plak! "Aaa...!" Itulah pukulan 'Samber Nyawa' yang dapat membunuh lawan. Tubuh Pasopati terlempar jauh, lalu terbanting ke tanah. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Mukanya seketika pucat.
"Ooo... benar kata Kakek... aku tak akan bi-sa mengalahkannya. Hyang Widhi...
selamatkan aku! Aku belum mau mati... sebelum dapat membunuh manusia iblis keparat itu...," gumam Pasopati dengan napas sesak.
Pada saat itu Sugrikala si Manusia Siluman Serigala sedang menghampirinya. Pasopati berusaha sekuat tenaga, untuk dapat menyelamatkan diri. Karena dia sadar, tak akan mampu melawan dengan tenaga seperti saat ini.
Pasopati segera melesat pergi. Sugrikala jadi geram dan murka, karena tak menemukan Pasopati. Amarahnya dilampiaskan pada Barja dan Taragalu yang sejak tadi hanya menonton saja.
Melihat Sugrikala menghampiri mereka, Barja dan Taragalu segera lari. Namun Sugrikala yang sudah marah, tak memberikan kesempatan kedua mangsanya kabur. Dengan cepat tubuhnya melompat dan menghadang mereka. Lalu melancarkan pukulan mematikan ke dada Taragalu dan Barja. Buk! Buk! "Aaakh...!" Seketika Barja dan Taragalu terpekik keras.
Tubuh mereka terkapar tewas di tanah dengan dada robek, bagai tercabik-cabik. Sugrikala yang bermuka serigala menyeringai puas.
"Gara-gara tombak pusaka pemuda bangsat itu, mukaku tak dapat berubah menjadi wajah asliku. Inikah yang dikatakan oleh Guru padaku..."! Kurang ajar! Aku harus mencari pemuda itu!" sungut Sugrikala geram. Seakan menyesali dirinya yang tidak sempat membunuh Pasopati. Kemudian terdengar lolongannya yang panjang dan keras.
Seakan hendak memecah bumi.


֍::::֍¦ 6 ¦֎::::֎

Dari kejauhan terlihat dua orang lelaki, yang satu tampan memakai rompi kulit ular dan berambut ikal dengan gagah mengayunkan lang kah kakinya di Lembah Galilinga. Di sampingnya seorang lelaki bertubuh tambun berjalan sambil memegangi perutnya yang gendut. Sepertinya takut perut itu jebol karena guncangan. Kakinya berjalan cepat mengikuti pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Pendekar Gila.
"Dogol! Cepat...! Kau ini macam perempuan saja. Kapan sampainya, kalau jalanmu kaya' bebek begitu...?" kata Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Dipandanginya Dogol yang badannya sudah bermandikan keringat.
"Aduuuh, Den... istirahatlah sebentar. Kaki saya ini seperti mau copot. Dan...
dan perut saya mau jatuh... uhhh...!" keluh Dogol sambil meringis.
Lucu tampangnya, seperti babi yang mau kentut.
Pendekar Gila cengengesan dan menghentikan langkah kakinya. Lalu kembali berkata, menggoda Dogol.
"Katanya kau mau jadi pendekar..., mau belajar dan menurut padaku. Nah, sekarang turuti perintahku! Kalau tidak aku bisa meninggalkan kau di sini. Biar kau dimakan serigala atau binatang buas lainnya."
"Hah"!" gumam Dogol sambil melongo.
"Jangan...! Jangan tinggalkan aku. Den! Baiklah, aku mau jalan... uh!" sambil mengeluh Dogol terpaksa meneruskan langkah kakinya dengan muka yang sudah dibasahi keringat. Karena menahan letih yang tak terkira, mukanya jadi makin lucu. Pipinya yang seperti bakpao sepertinya akan jatuh.
Pemuda berompi kulit ular itu tertawa-tawa geli melihat Dogol. Akhirnya dia tak sampai hati melihat Dogol.
"Baiklah... kali ini kau aku kasih istirahat.
Tapi setelah ini tak ada lagi berhenti untuk istirahat. Waktu kita sudah tak ada. Mengerti...?" kata Pendekar Gila dengan cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Ya, ya, ya. Den. Terima kasih...!" kata Dogol dengan sangat gembira. Lalu dia berlari-lari mencari tempat teduh, di bawah pohon yang agak rindang. Langsung sesampai di situ Dogol duduk bersandar di batang pohon. Persis gajah bengkak, mendengus, menghela napas panjang. Tangannya mengipas-ngipas mengusir panas dengan kain ikat kepala, lalu mengelap keringat di wajahnya.
Pendekar Gila masih menertawainya, lalu melangkah mendekati Dogol. Ternyata, Dogol sudah tertidur. Mungkin karena angin sepoi-sepoi dan rasa letihnya yang berat, membuat lelaki berbadan gendut besar itu, cepat tidur. Dan ngorok! Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala. Geli melihat ulah Dogol.
"Dasar kebo! Nempel di mana saja, molor...! Hi hi hi...!" gumam Sena dengan diiringi tawa kecil.
Lalu menggaruk-garuk kepala, melihat ke sana kemari, seperti mencari sesuatu.
Sementara itu Dogol sudah pulas dengan tidurnya. Ngoroknya bertambah keras. Air liur mele-leh dari sudut bibirnya. Sena merasa tambah geli.
Sambil menggaruk-garuk kepala, Sena berpikir.
"He he he... biar aku kerjai si Gendut ini...," gumamnya lirih. Lalu mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya. Sambil tertawa-tawa Sena, mendekati Dogol yang asyik molor sambil ngiler itu.
Dikilik telinga Dogol dengan bulu ayam miliknya. Dogol kegelian, kepalanya bergoyanggoyang, menghindar sambil tangannya menepis.
Sena diam sejenak, lalu mengilik lubang hidung Dogol. Dogol kegelian dan....
"Huaaajing...!" Dogol bersin, keras. Sena tertawa senang.
Dan itu Sena lakukan berulang-ulang. Membuat Dogol terus bersin dan menggosok-gosok hidungnya dengan jari telunjuknya. Namun matanya tetap memejam. Malah kini Dogol merebahkan badan di tanah yang ditumbuhi rerumputan. Makin nyenyak tidurnya.
"Dasar kebo...! Tetap molor, ngorok kaya babi...!" gerutu Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Perut Dogol yang persis orang hamil sembilan bulan naik turun. Pusarnya yang bodong membuat Sena kembali tertawa geli melihatnya.
Kemudian Sena kembali mengilik telinga Dogol lebih gencar. Mendadak Dogol terbangun dan sambil mengomel.
"Aden... mengganggu saja... uaaa...!" lalu Dogol tidur lagi.
Sena akhirnya membiarkan Dogol tidur, lalu ngeloyor pergi seraya berseru, "Baiklah kalau kau lebih enak di sini. Selamat tidur...! Aku mau pergi...," lalu Sena cepat melesat dan sekejap sudah tak nampak. Dogol yang baru sadar, celingukan mencari Sena yang sudah tidak ada.
"Hah..."! Den...! Aden.... Sena..."!" Dogol mulai cemas dan ketakutan, "Celaka! Kenapa aku ini tertidur tadi...! Huh...!" gumam Dogol kesal sendiri. Perutnya bertambah bergoyang cepat, karena menahan takut. Tempat itu sunyi dan jauh dari desa.
"Mati aku...! Ke mana Aden Sena..., mati aku...!" Dogol berteriakteriak sambil mencari-cari Sena ke sana kemari. Kemudian dia memberanikan diri untuk meninggalkan tempat itu.

***

Dogol terus melangkah, mencari Sena. Mukanya sudah tidak karuan, karena menahan takut. Kini segala macam pikiran ada di benaknya.
"Gusti... lindungi saya yang bodoh ini dari segala mara bahaya...! Mati aku...!" gumamnya terus sepanjang jalan. Sena pun tak ditemuinya.
Tanpa terasa Dogol ternyata sudah cukup jauh meninggalkan tempat tadi. Dan kini sampai di suatu tempat yang semakin sepi dan menyeramkan. Asap mengepul menyelimuti tempat Dogol berada. Tubuhnya terasa merinding. Bulu kuduknya meremang. Dipegang sendiri tengkuknya dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya menyeka keringat dingin di kening, dengan ikat kepa-la yang dilepas sejak tadi.
"Uh! Tempat ini sepi kaya kuburan...!" gumam Dogol dalam hati. Matanya melirik ke kiri dan kanan. Seketika wajahnya pucat dengan tubuh gemetaran, begitu melihat sesosok tubuh manusia berjalan gontai ke arahnya. Tidak begitu jelas, karena asap masih menyelimuti tempat itu.
Dogol yang penakut, semakin tidak karuan hatinya. Ingin lari, tak bisa.
"Celaka...! Kali ini aku benar-benar mati...! Itu pasti hantu! Aduh biyung...! Celaka waduuuh!" kata Dogol dalam hati, ketakutan.
Kakinya tak bisa digerakkan, karena saking takutnya. Dogol hanya bisa pasrah, ketika sosok manusia yang berjalan gontai itu semakin dekat dengannya. Dan....
Bruk..! Tubuh sosok manusia itu tiba-tiba roboh, begitu berada satu tombak di hadapan Dogol yang tengah ketakutan.
"Ukh...!" Dogol menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya semakin gemetaran. Lalu mencoba sekuat tenaga untuk berlari sambil berseru.
"Setaaan...!" Namun begitu Dogol berbalik dan berlari, tiba-tiba muncul seseorang menghadangnya.
"Huaaa...!" Dogol memekik lagi kaget. Menabrak sosok lelaki yang menghadangnya. Perutnya yang besar membentur tubuh lelaki muda yang menghadangnya. Pemuda yang menghadang Dogol tertawatawa, "Ha ha ha... hi hi hi...! Mau kabur ke mana kau..."!" terdengar suara dari orang di depannya.
Dogol mengenali suara itu. Seketika dia mengerutkan kening dan menegaskan pandangan matanya, seraya mendekati orang yang menertawai. Begitu semakin jelas, siapa pemuda itu, Dogol nyengir. Lalu menghela napas panjang.
"Aduuuh, Gusti! Aden telah membuat saya kaya mau mampus!" ucap Dogol, setelah tahu kalau itu Sena.
"Ada apa memangnya?" tanya Sena seakan tak berbuat sesuatu pada Dogol.
Dogol mengusap-usap kepala, lalu perutnya.
"Den, ada mayat di sana..., ngeri! Hi hi hi...!" Dogol menunjuk ke tempat sosok manusia tertelungkup di tanah dengan keadaan terluka.
Sena segera melangkah mendekati orang yang dikatakan Dogol tadi. Sena memeriksanya sambil berjongkok. Dogol mengikuti dengan mimik muka masih ketakutan. Jalannya mengendapendap.
"Masih hidup...," gumam Sena lirih, lalu membalikkan tubuh lelaki muda yang di tangan kanannya masih menggenggam sebatang tombak, berkepala naga. Sena agak terkejut melihat tombak dalam genggaman pemuda itu. Ditatapnya pemuda yang hampir mati itu.
"Mungkinkah pemuda ini yang disebutkan Ki Rasakgumilar...?" tanya Sena dalam hati. Lalu Sena segera menggotong tubuh pemuda itu ke tempat yang lebih aman dan sepi. Dogol mengikuti di belakang.
Setelah membaringkan tubuh pemuda itu Sena mulai memeriksa lebih seksama. Kemudian mengobatinya. Di dada pemuda berpakaian putih itu ada tanda hitam kebiruan, bekas pukulan dahsyat. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya Pendekar Gila terus berusaha menyembuhkan dan menyelamatkan pemuda itu dari kematian. Karena Sena tahu luka dalam yang dideritanya sangat berbahaya. Setelah beberapa lama, pemuda itu mulai dapat menghela napas dengan sempurna. Bahkan dapat menggerakkan tubuhnya perlahan. Sena dan Dogol yang duduk bersila di dekat pemuda yang masih telentang di hadapannya, menanti dengan sabar.
"Ooo... ukh...!" sambil menggeliat pemuda itu membuka mata. Mulutnya tersengal, seperti hendak batuk. Sena nampak tenang, lalu bangkit dari duduknya dan beranjak pergi sambil menggarukgaruk kepala. Dogol heran, tak berani bersuara atau menegur Sena. Hanya melongo melihat kepergian Sena.
"Jangan tinggalkan dia, tunggu sampai dia siuman betul...!" ucap Sena pada Dogol.
Sementara pemuda berpakaian serba putih itu mulai sadar. Matanya kini sudah mulai terbuka, memandang sekeliling, lalu menoleh ke arah Dogol yang duduk bersila menungguinya. Dogol tertawa renyah, sambil mengusap-usap perutnya yang gendut. Pemuda itu segera bangun, perlahan.
Merasa heran....
"He he he... tenang, Anak Muda! Kau telah kuselamatkan he he he...!" kata Dogol mengaku-aku kalau dia yang menyembuhkan pemuda itu. Dengan menepuk dadanya.
"Ooo... kau...?" tanya pemuda itu masih kelihatan lemas.
"Ya, aku... tenang, Anak Muda. Jangan gusar atau takut! Tak ada orang yang akan menyakitimu lagi. Kalau saja ada akan kupelintir batang lehernya. He he he...!" ucap Dogol meyakinkan.
Sambil menepuk-nepuk kembali dadanya lebih keras, hingga akhirnya dia terbatuk-batuk.
Pemuda yang baru sadar itu mengerutkan kening, seperti kurang percaya dengan ucapan Dogol.
"Tapi... di mana aku saat ini. Tempat apa ini, Sobat?" tanya si pemuda berpakaian putih ingin tahu, sambil menyapu sekeliling tempat yang sunyi itu.
"Hah"!" terkejut Dogol ditanya begitu karena dia tak tahu dan bodoh, membuat dia gelagapan.
"Oh, ini tempat orang-orang sakti seperti aku. Tak ada orang lain yang berani memasuki tempat se-seram ini...," jawab Dogol terus berbohong. Me-nyombongkan diri. Dan sebentar-sebentar dia memperagakan tangannya dengan jurus-jurus silat. Hingga membuat pemuda itu mengerutkan kening, sedikit mempercayai ucapan Dogol. Sebab gerakan tangan Dogol seperti memang gerakan jurus-jurus aneh dan menarik.
"Wah, Sobat tentunya memiliki ilmu olah kanuragan yang hebat. Terima kasih atas pertolonganmu terhadap diriku...," ucap pemuda itu ramah. Mendengar pujian dari pemuda yang masih menggenggam tombak berkepala naga itu, Dogol kini berdiri memperagakan jurus-jurus yang pernah dilihatnya dari Sena.
Pada saat itu muncul Sena membawa rempah-rempah dan dedaunan untuk obat. Dogol seketika menghentikan gerakan silatnya yang asalasalan itu. Lalu cepat membalikkan badan, malu.
Pemuda itu pun terkejut begitu melihat Sena yang tiba-tiba muncul.
"Rupanya kau sudah mulai bertenaga, Sobat...," kata Sena sambil berjongkok menaruh rempah-rempah.
"Oh, siapakah kau...?" tanya pemuda itu dengan wajah keheranan. Dan sesekali melihat ke arah Dogol yang tak berani melihat mukanya.
Bahkan si Gendut membalikkan badan membelakangi mereka. Pemuda itu mulai mengerti kalau penolongnya orang yang tengah membuat api, guna menggodok dedaunan sebagai obat. Pemuda itu tersenyum-senyum.
"Sobat, kau belum menjawab pertanyaanku, siapakah kau. Kenapa menolongku..." Kukira aku tadi sudah di neraka," kata pemuda itu dengan suara serak, dan masih belum kuat betul tubuh- nya. Lalu batuk-batuk.
Sena hanya menoleh sebentar, lalu kembali sibuk mengaduk-aduk dedaunan yang dimasak di dalam batok kelapa tua.
"Dogol... Tolong aduk terus dedaunan dalam batok ini, sampai benar-benar warnanya berubah...!" seru Sena kemudian pada Dogol.
Sena melangkah mendekati pemuda yang nampak masih lemas. Menatap sejenak, seakan menyelidiki. Lalu Sena kembali berkata sambil menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir.
"Untung kau masih bisa bertahan. Orang lain mungkin sudah mati. Aku yakin kau bukan orang sembarangan. Lawanmu itu pasti orang yang sangat tinggi ilmunya...." Sena sebenarnya sudah mengetahui siapa pemuda yang ditolongnya. Hanya saja dia tak semudah itu menerima orang yang belum pernah dikenal.
"Apakah aku akan pulih seperti sediakala?" tanya pemuda itu dengan mengerutkan kening, tampak sedih.
"Ya. Asalkan kau nanti minum obat yang kubuat itu sampai habis," sahut Sena sambil terus menggaruk-garuk kepala.
"Dan kalau boleh tahu siapa lawanmu itu. Apa masalahnya hingga kau bertarung dengannya?" tanyanya kemudian sambil cengengesan. Dan seperti biasanya Sena bertingkah seperti orang gila.
Pemuda itu mengerutkan kening, tengah berusaha mengingat sesuatu. Dengan memegangi kening dia terus memandangi tingkah Sena yang baginya aneh.
"Oh, ya... Kakek Wibisana pernah berpesan, aku harus menemui seorang pendekar.... Ya, pendekar yang bertingkah aneh seperti orang gila.
Dengan julukan Pendekar Gila.... Apakah dia ini orangnya...?" tanya pemuda itu dalam hati, sambil masih menahan perih di dalam dadanya. Lalu ketika dia akan menanyakan pada Sena yang sudah mengangkat batok berisi obat dari dedaunan, tiba-tiba tubuhnya roboh.
"Hah"!" Dogol kaget dan segera menghampiri pemuda itu.
"Aden... orang ini pingsan!"
"Ya, hanya sebentar. Angkat kepalanya! Aku akan meminumkan ramuan ini segera. Agar cepat pulih...." Lalu Sena berjongkok meminumkan obat ramuan itu sampai habis. Kemudian Dogol kembali merebahkan kepala pemuda itu ke pangkuannya.
"Apakah dia akan pulih kembali, Aden...?" tanya Dogol yang ikut iba melihat keadaan pemuda itu. Sena hanya menganggukkan kepala. Lalu mengambil tombak yang terlepas dari genggaman tangan kanan pemiliknya. Ujung tombak masih terbungkus kain hitam. Setelah meniliti tombak itu, sejenak Sena menoleh ke arah pemuda yang masih belum sadar di pangkuan Dogol. Lalu kembali melihat tombak dan tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Apakah orang ini musuh kita, Aden...?" tanya Dogol yang selalu ingin tahu.
"Dia ternyata orang yang kita cari. Seperti pesan Ki Rasakgumilar, kakeknya Sekar Melati. Kasihan... aku sudah duga sebelumnya," tutur Se-na pada Dogol.
Sementara pemuda itu mulai dapat membuka matanya. Wajahnya nampak lebih sehat, tak sepucat tadi. Matanya langsung membelalak, ketika melihat Sena sedang menimang-nimang tombak pusakanya. Dia segera bangun dari tidurnya dan mendekati Sena.
"Jaga tombak ini baik-baik! Kau akan celaka jika jatuh di tangan orang lain," kata Sena sebelum pemuda itu coba menegurnya.
"Oh... terima kasih. Tapi bolehkah aku sekali lagi bertanya?"
"Apa yang ingin kau tanyakan...?" Sena balik bertanya dengan ramah.
"Apakah kau yang bernama Sena... hm...," berpikir sejenak pemuda itu.
"Sena Manggala atau Pendekar Gila itu?" lanjutnya penuh semangat Dogol ingin membenarkan sambil berdiri, namun cepat Sena memelototinya. Hingga Dogol kembali bungkam. Dia hanya bisa cengar-cengir serta mengusap-usap perutnya yang buncit.
"Kalau toh benar, aku orangnya, ada masalah apa...?" tanya Sena menyelidik. Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Oh, sungguh beruntung aku dapat bertemu dengan Tuan Pendekar," kata pemuda itu lalu menganggukkan kepala memberi hormat pada Se-na.
"Eee... jangan kau berbuat macam itu. Aku bukan gurumu atau raja. Aku hanya orang biasa seperti dirimu...," kata Sena sambil mencegah pemuda itu membungkuk, menjura padanya, "Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan berbuat seperti itu! Aku tak mau,"
"Oh, sungguh kau seorang pendekar sejati.
Ini sebuah pelajaran bagiku. Benar kata Kakek dan guruku, bahwa kau adalah pendekar yang disegani lawan ataupun kawan dan berilmu tinggi.
Maafkan aku! Namaku Pasopati. Cucu Ki Wibisana..." tutur Pasopati memperkenalkan diri.
Sena malah tertawa-tawa dan menggarukgaruk kepala. Lalu manggut-manggut "Jadi, kau yang bernama Pasopati, murid dari cucu Ki Wibisana" Apakah tombak itu yang disebut Tombak Baruklinting...?" tanya Sena pada Pasopati.
"Ya, benar. Kakekku bilang, bahwa aku akan bisa membunuh Sugrikala si Manusia Siluman Serigala itu, jika aku bertemu denganmu. Karena hanya kaulah yang dapat membunuh Sugrikala, yang telah membunuh ayahku...," tutur Pasopati penuh semangat "Dan tombakku ini akan lebih ampuh jika dipadukan dengan Suling Naga Saktimu.... Untuk melawan Serikat Serigala Merah. Menurut kakekku, Sugrikala ketua kelompok sesat itu...." Sena mengerutkan kening, dan melirik sejenak pada Suling Naga Sakti-nya yang terselip di pinggang. Sesaat keduanya berdiam diri. Sena menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Dogol memandangi kedua pemuda di depannya sambil mengusap-usap perut dan melongo menantikan apa yang akan dilakukan atau ucapkan keduanya.
"Bagaimana kau bisa begitu cepat bertemu dengan Sugrikala si Manusia Siluman Serigala itu...?" tanya Sena membuka percakapan lagi.
"Aku pun tak menduga dan tak mengerti.
Bagaimana dia bisa mengetahui kalau aku sedang mencarinya, untuk membalas dendam" Apakah Kakang Sena tahu...?" tanya Pasopati setelah menjawab pertanyaan Sena.
"Aku pun heran, bagaimana dia bisa mengetahui. Tapi tak heran, karena dia memiliki Serikat Serigala Merah yang kebanyakan anggotanya berilmu siluman. Persis setan, roh jahat yang selalu mengintai kita. Aku yakin dengan ilmu sesatnya itulah gurunya Sugrikala dapat mengetahui segalanya. Lalu disampaikan kepada Sugrikala...," tutur Sena.
Pasopati mengangguk-anggukkan kepala.
Membenarkan ucapan Sena.
"Lantas, bagaimana cara untuk melawan dan meringkus manusia siluman itu, Kakang Sena..."!" tanya Pasopati.
Sena tak langsung menjawab. Dia hanya cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepala.
"Apakah tujuanmu juga akan ke pertemuan para tokoh-tokoh persilatan di Candi Borobudur...?" tanya Sena tiba-tiba.
"Hm... sebenarnya tidak. Tapi karena beberapa hari lalu aku bertemu dua orang bernama Barja dan Taragalu. Mereka menceritakan, bahwa di Candi Borobudur akan diadakan pertemuan pemilihan ketua persilatan. Maka aku ikut dengan mereka...."
"Lalu ke mana kedua temanmu itu?" tanya Sena menyelidik.
"Tak tahu, karena waktu itu aku terluka dan lari dalam pertarungan dengan Sugrikala. Ketika dalam perjalanan.... Mungkin mereka telah mati, dibunuh Sugrikala," jawab Pasopati dengan suara lirih. Kemudian menghela napas panjang. Sena menganggukkan kepala, mengerti.
"Kita tak perlu banyak bicara lagi. Sekarang semuanya sudah jelas. Sebaiknya kita cepat tinggalkan tempat ini. Ayo, kita harus cepat menuju Candi Borobudur...!" ajak Sena, lalu melangkah pergi, diikuti Pasopati yang berjalan di sisi Sena, dan Dogol mengikuti mereka di belakang.


֍::::֍¦ 7 ¦֎::::֎

Dalam perjalanan menuju Candi Borobudur, Sena, Pasopati, dan Dogol mendapat hambatan lagi. Sepuluh orang yang semuanya hanya memakai cawat dari kulit binatang menghadang di jalan. Tubuh mereka ditumbuhi bulu-bulu merah.
Kesepuluh lelaki berwajah mirip serigala itu menyeringai dengan sikap menantang.
"Aha, ada badut ingin berkenalan dengan kita rupanya. Hi hi hi!" kata Sena dengan nada mengejek, "Pasopati, kita harus cepat menghabisi permainan kita dengan badut-badut hutan ini."
"Benar Kang Sena. Mari, kita layani mereka!" jawab Pasopati dengan penuh semangat. Dan segera dia bergerak ke kanan beberapa langkah, menjauhi Sena. Pada saat bersamaan, lima orang manusia aneh bermuka serigala itu mengurung Pasopati.
Dan sisanya mengurung Sena.
"Hi hi hi...! Binatang jejadian ini harus dicincang lalu dipanggang!" seru Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Grrr...!"
"Auuung...!" Serentak kelima manusia bercawat menyerang Sena. Dan Pendekar Gila melenting ke udara mengelak dari terkaman manusia-manusia aneh itu. Lalu tanpa berlama-lama, Sena dengan cepat balik menyerang mereka. Dilancarkannya pukulan dahsyat, ketika kelima manusia-manusia aneh itu kembali menyerangnya.
"Heaaat...!" Srats! Selarik sinar melesat dari kedua pukulan Pendekar Gila. Dan....
Jglar! "Aaauuung...!" Kelima manusia berwajah serigala mengerang panjang, dan disusul robohnya tubuh mereka yang hanya mengenakan cawat. Kelimanya menggelepar-gelepar lalu kejang-kejang. Sesaat kemudian semua diam tak berkutik lagi.
Sena menghela napas lega. Lalu melihat ke arah Pasopati yang masih menghadapi kelima lawannya. Gerakan Pasopati lincah dan cepat dalam memainkan senjata andalannya. Dan pada saat yang tepat, Pasopati dapat memukul dua orang sekaligus, dengan Tombak Baruklinting. Seketika kedua lawannya mengerang panjang dan terkapar tewas. Namun tanpa setahu Pasopati, dari belakang dua orang lawan melompat menerkamnya.
"Awas...!" seru Dogol yang bersembunyi di balik pohon. Sementara Sena hanya memandangi sambil cengengesan.
Mendengar itu dengan gerakan secepat kilat, sambil berbalik Pasopati menghantamkan tombaknya ke arah lawan yang ingin membokong dari belakang. Dan seketika kedua manusia berwajah serigala ambruk dan mati.
"Grrr...!" Seorang lagi yang bertubuh paling besar menggereng marah. Dengan buas dia menyerang Pasopati. Pemuda yang memegang Tombak Baruklinting itu segera mengelak dengan melenting ke udara. Ketika mendarat, manusia bercawat itu kembali menyerangnya dengan lompatan seekor serigala menerkam mangsa. Namun Pasopati sudah menduga sehingga dengan gerakan cepat dipapaknya terkaman lawan. Ditusukkan tombaknya, tepat di leher manusia bermuka serigala.
Jrap! "Aaauuung...!"
"Heaaa...!" Pasopati mengangkat tombaknya yang masih menancap di leher lawan, lalu melemparkannya jauh-jauh. Wesss! Tubuh manusia serigala itu melayang dan terbanting keras di bebatuan. Tubuhnya hancur berlumuran darah.
Pasopati menghela napas lega. Lalu menutup ujung tombak berkepala naga dengan kain hitam. Dogol yang sejak tadi bersembunyi dan gemetaran, melangkah keluar mendekati Pasopati.
Lalu mengacungkan jempolnya.
"Edan! Hebat tombak pusakamu itu.... He he he...! Memang manusia jahat itu harus dibantai! Ciat, ciat...!" seru Dogol, lalu berlagak dengan jurus-jurus asalasalannya. Pendekar Gila tertawa-tawa dan menggaruk-garuk kepala sambil menghampiri Pasopati dan Dogol.
"Rupanya masih banyak lagi rintangan yang harus kita hadapi," kata Sena setelah dekat mereka.
Selesai berkata begitu, Sena kemudian secara tiba-tiba menghentakkan kedua tangannya ke satu arah.
"Heaaa...!" Wut! Wut! Serangkum angin bagai topan menderu kencang. Itulah ajian 'Inti Bayu'. Yang mampu me-nerbangkan batu sebesar gajah.
Dan seketika dari balik semak berterbangan tiga orang terangkat oleh angin yang dilancarkan Pendekar Gila tadi.
"Wuaaa...!" Pasopati dan Dogol membelalakkan mata, merasa kagum bercampur kaget. Sebab Sena yang tadi nampak cengengesan, tiba-tiba membuat kejutan. Tubuh ketiga orang berpakaian serba merah darah melayang-layang di udara.
Dan begitu akan jatuh ke tanah. Kembali Pendekar Gila menghantarkan pukulan dahsyat ke arah mereka.
"Heaaa...!" Glar! "Aaawww...!" Seketika ketiga orang berpakaian serba merah menjerit. Lalu tampak mulut mereka memuntahkan darah kental.
Ternyata mereka Tiga Kembar Bermuka Serigala yang pernah bentrok dengan Pendekar Gila.
Ketika Pendekar Gila ingin menyelamatkan Sekar Melati.
"Hah"!" Dogol kaget.
"Mereka antek-antek kelompok Serikat Serigala Merah...!" serunya, ketika mengenali wajah-wajah mereka. Pasopati mengerutkan kening. Pendekar Gila hanya menggarukgaruk kepala. Pasopati mendekati ketiga mayat itu.
Diamatinya mereka sejenak.
"Hei.... Mereka juga pernah bertemuku, sebelum aku bertemu dengan Sugrikala...," kata Pasopati setelah mengamati mayat Tiga Kembar Bermuka Serigala.
"Aneh, kenapa begitu mudah ketiganya mati. Padahal, yang kuketahui dan melihat dengan mata kepala sendiri, Tiga Kembar Bermuka Serigala sangat tangguh. Jago-jago dari hampir semua penjuru yang datang ke Desa Progo tewas di tangan mereka...," tutur Dogol sambil terheran-heran.
Lalu memandang ke arah Sena.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa-tawa.
"Dogol, uca-panmu memang benar. Dan kalau memang benar, tentunya aku pun tak semudah itu dapat melumpuhkan mereka. Sekarang kau dekati dan buka kedok mereka!" kata Sena kemudian.
"Hah"!" Dogol kembali kaget. Kali ini bukan karena takut, melainkan merasa aneh.
Dan tak menduga kalau ketiga orang yang terkapar di hadapannya itu palsu! Maka segera Dogol mendekati dan dengan agak ragu dan takut, Dogol lalu membuka kedok ketiga orang itu.
Benar. Ternyata mereka hanyalah perampok-perampok kroco yang memanfaatkan situasi.
"Apakah kesepuluh penyerang tadi juga palsu, Kang Sena...?" tanya Pasopati ingin tahu.
"Tidak, mereka asli. Coba kau periksa. Kalau kau merasa ragu!" jawab Sena. Lalu kembali cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Pasopati yang ingin memastikan semuanya.
Segera melangkah memeriksa kesepuluh lawannya tadi. Dan ternyata mereka asli: Manusia serigala! Pasopati nampak mengerti dan puas.... Begitu juga Dogol.

***

Sementara itu Sugrikala dan kelompoknya sedang berunding untuk menangkap dan melenyapkan Pasopati. Nampak para tokoh aliran sesat berkumpul di rumah tua dalam hutan. Mereka duduk bersila membuat lingkaran mengitari Sugrikala sebagai ketua.
"Aku inginkan pemuda itu...! Hidup atau mati. Kalian harus dapat menemukannya, sebelum hari pertemuan pemilihan ketua di Candi Borobudur. Kalau tidak, celaka! Pemuda itu bisa menghancurkan rencana kita...!" kata Sugrikala penuh nafsu amarah. Tangannya menggebrak melayang ada di depannya. Seketika meja itu pecah. Yang lain hanya diam tak bersuara.
"Kalian harus sadar. Wajahku kini tak bisa lagi berubah seperti sediakala. Karena tombak sak-ti itu sempat melukaiku! Jadi kalian harus dapat merebut tombak pemuda itu. Agar wajahku dapat berubah kembali seperti semula. Hhh.... Aku harus berhasil membunuh pemuda itu dengan tombaknya sendiri, lalu menghisap darahnya. Itulah satu-satunya cara...!" tutur Sugrikala lagi dengan suara lantang.
Sesaat suasana hening dan tegang. Hanya suara angin malam yang mendesir kencang menghembuskan hawa dingin. Hingga menambah seramnya tempat itu.
"Sebaiknya, kau meminta bantuan Guru Besar kita. Agar semuanya berjalan-lancar. Karena dia serba tahu," terdengar suara dari salah seorang anggota Serikat Serigala Merah, mengusulkan pa-da Sugrikala.
"Tidak! Aku tidak ingin lagi meminta bantuan si Tua Bangka itu! Biar semuanya aku hadapi sendiri. Aku hanya minta bantuan pada kalian.
Apakah kalian keberatan...
"!" terdengar suara Sugrikala keras.
"Tidak... tidak!" jawab semua yang ada di si-tu.
Sugrikala nampak melotot garang, menatapi semua anggotanya. Lalu menghela napas dalamdalam.
"Bagaimana kalau kita biarkan saja pemuda itu sampai pertemuan pemilihan ketua nanti...?" usul salah seorang yang berpakaian kulit buaya.
Berjanggut panjang, matanya seperti mata buaya.
"Kau bicara tidak pakai otak, Setabaya! Itu sama saja mencelakakanku...! Bodoh!" bentak Su-grikah, "Apakah kau tidak dengar kataku tadi" Wajahku saat ini aneh! Bagaimana nanti mereka bisa mendukungku! Kalau tahu akulah pimpinan Serikat Serigala Merah, yang selalu membuat onar dan memeras rakyat. Serta pemilik rumah-rumah maksiat!" kata Sugrikala dengan marah.
Kembali suasana hening. Tak ada lagi yang berbicara. Sepertinya mereka sedang mencari jalan dan siasat.
Sementara di luar langit semakin gelap. Dan malam semakin larut. Bulan pun mulai tertutup awan. Hingga sinarnya tak lagi dapat menerangi bumi. Malam semakin mencekam. Sunyi dan sepi....

***

Malam telah berganti dengan pagi. Cuaca nampak tak begitu cerah. Sang Surya tertutupi awan hitam. Mendung. Angin bertiup sangat kencang. Tiga orang lelaki, salah seorang berbadan gendut. Menelusuri jalanan berbatu, di dekat sebuah hutan. Tak ada sepatah kata pun dari mereka. Hanya terlihat lelaki bertubuh gendut seperti mendapat kesulitan, ketika harus melompati tebing. Terpaksa kedua pemuda gagah yang bersamanya, membantu dengan mengangkat tubuh besar dan gendut itu.
"Wah, kalau begini terus, kita akan memakan waktu...," kata pemuda berpakaian kulit ular.
"Lantas bagaimana, Kang Sena?" tanya Pasopati pada Sena.
Sena melirik ke arah Dogol yang ngosngosan kecapean. Dia terduduk di tanah berbatu.
"Sebaiknya kita sama-sama menggotongnya.
Ayo...!" usul Sena kemudian.
Segera Sena berada di sebelah kanan Dogol, Pasopati di sebelah kiri. Kedua tangan Dogol merangkul Sena dan Pasopati. Lalu dengan menggunakan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, Sena dan Pasopati berlari cepat sambil memanggul tubuh Dogol. Sepertinya kedua pemuda itu tak mendapatkan kesulitan. Atau merasa berat. Keduanya seperti membawa anak kecil saja. Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu' Sena bersama Pasopati melompat dan berlari menelusuri jalanan yang bermacam-macam keadaannya.
Tak lama mereka sudah berada di puncak sebuah bukit. Di tempat itu mereka bisa memandang jelas dataran yang maha luas. Di kejauhan Candi Borobudur nampak berdiri dikitari lembah hijau yang permai.
Sena dan Pasopati menurunkan Dogol. Lelaki muda berbadan gendut itu menghela napas panjang. Lalu mengusap-usap perutnya yang buncit. Mulutnya melongo, memandang ke bawah.
"Hi hi hi... ngeri...!" gumam Dogol, ketika melihat ke bawah. Sambil bergidik.
Sena dan Pasopati hanya tersenyum melihat Dogol.
"Kau seharusnya aku lempar ke bawah sa-na," ujar Sena menggoda Dogol, seraya mau mendorong tubuh Dogol.
"Waduuuh...! Ampun, Den! Jangan..., saya masih mau hidup! Belum kawin kok mau disuruh mati. He he he...," jawab Dogol berseloroh.
Pasopati tertawa-tawa kecil mendengar ucapan Dogol yang polos dan lucu itu.
Mereka memang sedikit terhibur dengan adanya si Gendut itu. Terutama Pasopati. Dia merasa sangat gembira dapat berkenalan dengan Dogol dan Sena.
"Nampaknya keadaan di bawah aman dan tenteram. Heh.... Tapi aku lebih senang di sini sebentar. Sambil beristirahat...," kata Sena tiba-tiba sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku pun sependapat, Kang Sena. Kita coba mengatur siasat. Bagaimana caranya, agar kita tidak selalu dibuntuti orang-orang mereka," tutur Pasopati.
"Ya. Kau benar," sahut Sena sambil memegang pundak Pasopati. Lalu kembali menggaruk- garuk kepala. Sementara itu Dogol, sudah mencari tempat untuk istirahat. Di tempat yang teduh, dia menyandarkan kepala dan tubuhnya pada batu besar yang ada di bawah pohon rindang. Tak jauh dari Sena dan Pasopati.
Tak berapa lama kemudian Dogol sudah mendengkur, tertidur karena lelah. Seperti biasanya orang berbadan gendut seperti Dogol paling mudah tidur, di mana saja.
Sena dan Pasopati masih berunding. Keduanya membicarakan rencana mereka dengan serius. Namun Sena tetap sesekali cengengesan, menggaruk-garuk kepala, dan bertingkah persis orang sinting. Tapi Pasopati nampak senang dan mengerti.
"Jalan satu-satunya untuk menghindari mereka, hanya itulah cara kita. Apakah kau setuju?" tanya Sena.
"Setuju sekali.... Tapi bagaimana dengan si Dogol sahabat kita itu?" tanya Pasopati sambil menoleh ke arah Dogol yang sudah lelap tidur dan ngorok.
"Ah, gampang. Dia bisa dipercaya dan jujur.
Nanti kita atur...," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Pasopati nampak lega, lalu keduanya berjabat tangan erat, menandakan bahwa mereka saling percaya dan bersatu.


֍::::֍¦ 8 ¦֎::::֎

Sena Manggala atau Pendekar Gila telah mengatur siasat dengan Pasopati. Sena berpencar dengan Pasopati dan Dogol. Pasopati ditemani Dogol, yang secara diam-diam telah diberi aliran ilmu silat Pendekar Gila, dengan jurus-jurus tertentu.
Untuk mendampingi Pasopati. Sedangkan Pendekar Gila bergerak sendiri, dengan mengambil jalan pintas. Menggunakan perahu untuk memancing orang-orang Sugrikala.
Pendekar Gila merasakan, kalau kelompok Serikat Serigala Merah telah mengerahkan antekanteknya, untuk menangkap Pasopati dan dirinya.
Maka Pendekar Gila sengaja tak menggunakan penyamaran. Hanya Pasopati dan Dogol yang menggunakan penyamaran.
Perahu yang membawa Sena menuju arah Parangtritis nampak melaju dengan lancar. Tak ada gangguan. Walaupun ombak mulai besar. Sena berdiri tegak di atas perahu yang berukuran cukup besar itu. Dikemudikan oleh seorang lelaki berbadan besar, telanjang dada.
Angin bertiup kencang menerpa wajah Sena yang tampan. Rambutnya yang agak ikal gondrong sebatas bahu tertiup angin laut yang kencang, hingga sebagian menutupi wajahnya. Segera Sena mengibaskan rambut itu. Dengan tingkahnya yang khas, Sena cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap tajam ke depan dan seluas samudera yang diarunginya.
Manakala perahu yang ditumpanginya telah dekat dengan pantai Parangtritis, tiba-tiba terlihat sebuah perahu yang lebih besar dari yang ditumpangi Sena, menghadang perahunya.
"Aha, rupanya ada perampok usil! Tapi aku tahu mereka bukan perampok biasa.... Hi hi hi...!" gumam Sena dalam hati. Dan terus menggarukgaruk kepalanya.
Di dalam perahu besar itu, ada sekitar dua puluh orang bermuka garang dan bersenjatakan parang serta tombak. Ada pula yang membawa panah. Ketika perahu itu semakin dekat, tiba-tiba berpuluh-puluh anak panah meluncur ke arah Pendekar Gila. Pendekar Gila cepat mengelak ke samping kiri dan kanan, atau merebahkan tubuhnya ke belakang bahkan melenting ke atas sambil menangkis dengan kedua tangannya. Perahu itu semakin dekat. Pendekar Gila melenting ke udara dan mendarat di perahu perampok. Dan dengan cepat dia menghajar mereka dengan tendangan kaki kanan dan kirinya yang keras dan dahsyat. Mangakibatkan sebagian perampok memekik dan berjatuhan ke laut Sementara itu perahu yang ditumpangi Sena tadi tertubruk perahu besar itu, hingga terbalik.
Pengemudinya tenggelam, berusaha menyelamatkan diri. Pendekar Gila segera melompat ke laut menolong pemilik perahu itu.
Dengan gerakan cepat dia membawa pemilik perahu ke darat. Tentu saja menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi dan me-nakjubkan. Sepertinya tak menghiraukan ombak yang besar. Tubuhnya melesat bagai terbang di atas air laut, menuju daratan sambil membopong pemilik perahu.
Sekejap Sena sudah berada di darat. Setelah merebahkan tubuh pemilik perahu. Pendekar Gila kembali ke laut, untuk menghajar para perampok "Heaaa...!" Sambil berteriak, Pendekar Gila melompat ke arah lautan hendak mendarat ke perahu perampok itu. Namun sewaktu tubuhnya masih di udara, sebuah tombak meluncur deras. Dan terlihat menancap di dada Pendekar Gila. Tubuh Pendekar Gila jatuh ke laut.
"Aaakh...!" Jbur! Pimpinan perampok laut itu memeriksa sejenak, lalu tertawa-tawa kegirangan. Dirinya yakin Pendekar Gila mampus ditelan lautan, setelah ter-tancap tombak.
"Ha ha ha...! Ternyata kita mampu membunuh Pendekar Gila itu! Ha ha ha.... Kalian lihat sendiri bukan"! Ha ha ha...
kini aku jadi pahla-wan! Dan kita akan mendapat hadiah yang besaaarrr...!" pimpinan perampok yang berbadan besar, dengan dada ditumbuhi bulu lebat itu tertawa-tawa.
"Ketua memang hebat! Ternyata Pendekar Gila itu hanya besar nama saja. Ha ha ha...!" sahut salah seorang anak buahnya.
Semuanya kemudian tertawa-tawa kegirangan serta bersorak-sorai. Lalu pimpinan rampok itu meminta arak pada anak buahnya. Seorang anak buahnya memberinya. Langsung dengan kesombongannya dia meneguk arak yang ada dalam guci berukuran besar itu sampai habis. Lalu tertawa-tawa lagi. Diikuti yang lain.
Namun dalam suasana gembira itu, tibatiba perahu mereka terbalik. Seketika semua menjerit minta tolong. Ternyata Pendekar Gila yang membalikkan perahu besar itu. Rupanya tombak yang meluncur ke dada tadi dapat ditangkap dengan sempurna. Dan Pendekar Gila sengaja berbuat begitu, agar dapat mengelabui mereka.
Pimpinan perampok berusaha menyelamatkan diri. Dalam keadaan setengah mabok, tubuhnya terlempar ombak. Pendekar Gila segera menjemputnya, dan menyeret ke darat.
Sementara yang lainnya sudah terbawa ombak entah ke mana. Kebanyakan mati tenggelam.
Sekejap Pendekar Gila sudah berada di darat, di pinggir pantai Parangtritis, yang berpasir itu. Dilemparkannya tubuh pimpinan rampok itu ke pasir yang panas karena sinar matahari.
"Siapa yang menyuruhmu untuk menyerang dan akan membunuhku"!" bentak Pendekar Gila pada pimpinan rampok yang masih sesak napasnya, karena hampir tenggelam ditelan ombak.
"Aku..., akuuu hanya menjalankan perintah...," jawab pimpinan rampok yang sudah lemah itu dengan suara serak dan tersendat-sendat.
"Siapa yang memerintahmu" Jawab...!" bentak Sena lagi, sambil mengangkat kepala orang itu.
"Aku... aku tidak mengenalnya... seseorang yang membayarku. Ukh...! Huk, huk...!" jawab kepala rampok lagi lalu batukbatuk. Sena memeriksa celana orang itu, dan tanpa sengaja dia menemukan suatu tanda di dalam ikat pinggang kepala rampok itu. Suatu lambang dari Serikat Serigala Merah. Sena menarik napas panjang dan kemudian menggaruk-garuk kepala.
"Sudah kuduga. Mereka orang-orang Sugrikala. Aku harus cepat menemui Pasopati, agar dia lebih hati-hati...," gumam Sena dalam hati. Baru saja Sena hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba...
Zing! Zing! Zing! Tiga golok kecil yang memancarkan sinar, melesat ke arah Pendekar Gila. Bagai anak panah, menyerang kepala, dada, dan kaki Pendekar Gila! Datangnya begitu tiba-tiba dan cepat. Hanya seorang berilmu tinggi yang dapat menyelamatkan diri dari serangan seperti ini.
Pendekar Gila dengan cepat berkelit ke kiri sambil berjumpalitan.
Datang lagi golok-golok yang lain, namun dengan gesitnya Pendekar Gila dapat mengelakkan semuanya. Kemudian meluncur pula golok yang arahnya tak lurus. Golok itu melesat dengan membuat lingkaran panjang! Itulah 'Golok Terbang'. Namun Pendekar Gila yang memiliki kepandaian ilmu silat tingkat tinggi, dapat mengelakkannya. Dan bahkan dengan ujung jarinya menyentil golok yang menyambar. Akibatnya golokgolok itu kembali ke pemiliknya.
Zing! Zing! Zing! Wut! Wut! "Hah"!" pemilik golok-golok terbang itu tersentak kaget. Dengan membelalak melompat menghindar. Jlep! Jlep! Jlep! Golok-golok itu menancap di pohon dan bebatuan. Begitu hebatnya kekuatan golok itu, batu besar pun dapat tembus.
Bagaimana kalau tubuh manusia. Orang yang memiliki golok itu menghentikan serangannya. Pendekar Gila dengan tenang menghadapi orang-orang yang mencelakakan dirinya. Mulutnya cengengesan dan menggarukgaruk kepala serta bertingkah seperti orang gila.
Berjingkrak-jingkrak sambil menepuk-nepuk pantatnya.
"Hi hi hi... Lucu! Pengecut...! Kau tentu antek-antek Serikat Serigala Merah. Mau apa kau..."!" bentak Sena pada orang-orang yang masih menatap tajam tak berkedip kepadanya. Ma- tanya bagai elang. Dengan pakaian berlengan panjang warna biru tua bagian luar. Sedangkan pakaian bagian dalam, warna hitam dan berikat pinggang merah. Terselip beberapa golok kecil di pinggangnya. Wajahnya tak garang, cukup tampan. Hanya hidungnya yang mirip paruh betet itu membuatnya kelihatan sedikit bengis.
"Ha ha ha...! Rupanya aku kini berhadapan dengan pendekar yang kesohor di rimba persilatan.
Sudah lama aku menginginkan dapat bertemu, dan bertarung denganmu Pendekar Gila!" ucap orang berbaju biru dengan pengikat rambutnya yang panjang melewati bahu.
"Hi hi hi...! Bagus kalau kau sudah mengenalku! Apa kau masih penasaran denganku..."!" ujar Sena dengan santai sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku memang penasaran denganmu. Sela-ma ini tak ada seorang pun yang bisa mengelak dari golok-golok terbangku. Apalagi untuk berkelit dari dua atau tiga batang tombak terbangku. Tapi kau cukup hebat, Anak Muda! Tapi kali ini kau tak akan dapat lolos dari Setan Golok Terbang! Heaaat...!" Selesai berkata begitu, orang yang berjuluk Setan Golok Terbang itu melancarkan serangan.
Sekaligus dia melemparkan lima batang golok terbangnya ke arah Pendekar Gila.
Zing! Zing! Zing...! "Heit...!" Pendekar Gila kali ini nampak agak kewalahan. Namun dia terus berkelit. Dan dua golok lawan dapat ditangkap dengan dua jari menjepit.
Sambil bersalto di udara. Tiga golok lainnya hampir saja merobek pinggang Pendekar Gila, kalau saja dia terlambat sekejap saja. Dan Pendekar Gila yang sudah mulai tak bisa lama-lama lagi dengan permainan itu segera melemparkan golok-golok yang dapat ditangkapnya tadi.
"Heaaa...!" Zing! Zing! Zing! "Hah..."!" Setan Golok Terbang terbelalak kaget, melihat golok-golok miliknya meluncur cepat ke arahnya. Dengan cepat dia mencoba mengelak sambil mengibaskan tangannya dan melompat ke samping. Namun Pendekar Gila yang melihat itu, cepat melompat melancarkan serangan dengan tendangan mautnya.
Bug! Bug! Bug! "Aaa...!" Setan Golok Terbang memekik panjang. Dadanya terasa sesak karena tendangan maut Pendekar Gila. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Pendekar Gila mengamati dengan cengarcengir lawannya yang kesakitan. Namun Setan Golok Terbang tak mau begitu saja mengalah. Dengan gerakan cepat, tangannya kembali melemparkan dua golok terakhirnya ke arah Pendekar Gila.
"Heaaa...!" Zing! Zing! Pendekar Gila berkelit ke kiri sambil tangan kanannya menangkap sebilah golok. Setan Golok Terbang melompat, bermaksud menghajar Pendekar Gila dengan tendangan. Namun ketika Setan Golok Terbang masih di udara, Pendekar Gila telah melemparkan golok yang dapat dijepit dengan kedua jarinya tadi. Golok itu pun menancap di leher lawannya.
Seketika lelaki tampan berpakaian biru itu menjerit. Kemudian tubuhnya terbanting ke pasir. Bruk! Setan Golok Terbang seketika tewas. Golok masih menancap di batang lehernya. Pendekar Gila menghela napas panjang. Nampak puas, melihat lawannya terkapar tak bernyawa lagi.
"Aku terpaksa membunuhmu. Karena kau akan membunuhku...," kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Satu orang lagi dari kelompok Serikat Serigala Merah telah mati di tangan Pendekar Gila. Entah masih berapa lagi yang harus dihadapi Pendekar Gila maupun Pasopati.
Sena kemudian melesat meninggalkan pantai Parangtritis. Meninggalkan mayat Setan Golok Terbang. Sebenarnya Sena lebih jauh jika melalui laut. Namun itu dia lakukan agar sebagian orang-orang Sugrikala tidak ikut serta membuntuti Pasopati, jika penyamaran Pasopati dan Dogol diketahui oleh mereka. Itu akan sangat berbahaya, karena anggota Serikat Serigala Merah, memiliki ilmu yang rata-rata cukup tinggi.

***

Sementara itu Pasopati dan Dogol sudah berada di daerah perbatasan kekuasaan Serikat Serigala Merah. Pasopati sengaja berkunjung ke Desa Muntilan yang letaknya tak begitu jauh dari Candi Borobudur. Maksudnya menyelidiki, dan menunggu Sena. Seperti yang telah direncanakan.
Dengan menyamar sebagai penduduk desa, Pasopati membawa sebuah karung, dipanggul. Sedangkan Dogol berdandan sebagai seorang wanita yang sedang hamil besar. Istri Pasopati. Dogol memakai kerudung. Dituntun Pasopati yang wajahnya tertutup dengan caping lebar sudah kotor dan sebagian rusak anyamannya, serta memakai kumis palsu yang tebal.
Keduanya berjalan pelan di dekat sebuah kedai. Lalu berhenti sejenak, pura-pura bertanya pada warga desa itu.
"Pak, di mana rumah dukun beranak...?" tanya Pasopati pada seorang lelaki setengah baya yang baru keluar dari kedai minum.
"Wah..., jauh. Di sana, di balik bukit sana...," jawab lelaki itu sambil menunjuk ke arah bukit yang ada di sebelah selatan desa itu.
"Terima kasih, Pak...," kata Pasopati sambil merunduk, "Oh, ya..., Pak. Pak, tunggu! Kalau rumah besar itu, apakah rumah lurah...?" tanya Pasopati lagi, sambil menunjuk ke arah rumah yang di pintu masuk banyak lelaki dan wanita sedang berdiri dan bercanda. Lalu ada dua orang berbadan besar berjaga-jaga dengan golok di pinggang.
"Ooo... itu. He he he...!" lelaki itu malah tertawa, sambil menutup mulutnya.
"Kenapa, Pak. Kok tertawa" Ada apa...?" tanya Pasopati berlagak heran.
Pada saat itu Dogol yang menyamar sebagai wanita hamil, kakinya digigit semut rangrang.
"Waduhhh...!" Dogol terpaksa memekik dengan suara aslinya. Kontan saja lelaki setengah baya itu kaget. Dan mencari-cari suara teriakan seorang lelaki. Namun tak melihat siapa-siapa, yang ada hanya dia, Pasopati, dan Dogol. Lelaki setengah baya itu jadi heran.
Sebelum lelaki itu curiga, cepat Pasopati memeluk Dogol sambil mengaduh.
"Aduuuh...!" teriak Pasopati.
"Kenapa, Sobat...?" tanya lelaki tua itu heran.
"Kaki saya tiba-tiba terasa sakit, Pak...," jawab Pasopati.
"Ooo.... Tapi tadi suara siapa, ya...?" tanya lelaki itu masih heran.
"Mungkin lelaki itu, Pak...," jawab Pasopati seraya menunjuk ke arah seorang lelaki tua, tak jauh dari tempat mereka. Lelaki itu sedang dipijit tengkuknya oleh seorang wanita, karena muntah-muntah. Mungkin kebanyakan minum arak.
"Ooo... ya. Dia itu tukang mabok. Pasti si Sikrok itu kebanyakan minum. Biar modar...," ka-ta lelaki itu sambil memandangi Sikrok yang masih dipijit wanita kedai yang menjadi gundiknya.
Sesaat mereka diam, hanya tertawa-tawa.
Lalu Pasopati kembali menanyakan rumah besar di seberang jalan itu.
"Pak, jangan pergi dulu! Apakah itu rumah lurah...?"
"Oh, ya aku lupa kasih tahu tadi. Itu rumah wanita penghibur. Apakah kau mau masuk ke sa-na?" tanya lelaki itu sambil senyum-senyum.
"Heh... istrimu sedang hamil tua begini, masa' mau main-main sama wanita nakal... kasihan dia! He he he...!" Dogol yang kesal, tiba-tiba menendang kaki lelaki itu. Bug! "Waduuuh...!" teriak lelaki setengah baya itu kesakitan.
"Ada apa, Pak"!" tanya Pasopati.
"Kakiku... aduh...!" lalu lelaki itu dengan terpincang-pincang pergi, sambil celingukan. Merasa heran, dan bertanya dalam hati, siapa yang menendang kakinya sekeras itu.
Dogol tertawa-tawa sendiri di balik kerudungnya. Pasopati tahu kalau itu perbuatan Dogol.
"Jangan ceroboh! Kalau nanti orang Serikat Serigala Merah tahu kita bisa tertangkap. Ayo, kita jalan...!" kata Pasopati berbisik. Keduanya kembali berjalan perlahan. Mata Pasopati dengan liar mengamati keadaan desa dari balik capingnya.
Ketika keduanya sampai dekat ujung desa, tiba-tiba dari arah depan muncul serombongan orang-orang berkuda memasuki desa. Orang paling depan memakai kedok. Yang lainnya bermuka garang. Memacu kuda mereka dengan kencang.
Pasopati dan Dogol hampir saja kena terjang kuda-kuda mereka.
"Hah"! Sugrikala..."!" gumam Pasopati sambil menghindar. Dia sempat mengenali pakaian orang yang berkedok itu.
Karena dorongan kuat dari Pasopati tadi, tubuh Dogol terhuyung, dan terjatuh. Kerudungnya terlepas. Hingga nampak jelas wajah lelakinya.
Namun dengan cepat Dogol mengambil kerudung itu, dan memakainya lagi sambil merangkak.
"Sebal! Oh, nasib...! Mau jadi pendekar kok susah banget. Akhirnya aku jadi wanitawanitaan..., gombal!" gerutu Dogol tak tahan menahan kesal.
Dogol terus merangkak sambil memegangi perutnya. Pasopati masih berdiri, menatap serombongan orang berkuda tadi.
"Rasanya aku sudah tak tahan untuk menuntut balas.... Tapi aku harus menunggu Pendekar Gila. Aku tak akan ceroboh kali ini...," gumam Pasopati dengan menahan geram. Dogol, bersandar di dinding sebuah rumah bilik. Pasopati menghampirinya.
"Ayo cepat kita meninggalkan tempat ini! Ki-ta harus segera menemui Pendekar Gila...," kata Pasopati, seraya menyeret Dogol.


֍::::֍¦ 9 ¦֎::::֎

Di sebuah bukit, tak jauh dari Candi Borobudur, nampak tiga orang sedang berdiri menatap ke bawah. Seorang di antaranya berbadan gendut.
"Apa yang kau dapat dari penyamaranmu, Pasopati?" tanya Sena.
"Tak banyak. Hanya saja, aku merasa agak lega, tahu bahwa Sugrikala memang pimpinan Serikat Serigala Merah. Dia pula yang memiliki rumah-rumah maksiat dan perjudian. Hampir di semua pelosok desa yang dianggapnya cocok untuk mengeruk uang...," jawab Pasopati.
"Bagus, itu bisa kau beberkan dalam pertemuan nanti. Kalau semuanya berjalan lancar. Ingat, kita belum selesai sampai di sini. Kalian tetap dalam penyamaran. Kita harus mendahului mereka sampai di pertemuan itu...!" kata Sena kemudian.
"Lantas apa langkah kita selanjutnya Kang Sena...?" tanya Pasopati.
"Aku sudah tak sabar lagi ingin menuntut balas, atas kematian ayahku...." Sena menepuk-nepuk bahu Pasopati, lalu berkata, "Kau akan mendapat kesempatan itu. Ta-pi ingat, jangan terlalu bernafsu. Nanti kau akan celaka sendiri. Sugrikala sangat licik dan berilmu tinggi. Aku tetap membantumu...."
"Terima kasih, Kang Sena...." Sejenak Sena berpikir, sambil memegangi kening, lalu menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana kalau nanti malam kita serang mereka...?" tanya Pasopati membuka suara.
"Jangan! Kalau kita melakukan itu, mereka pasti sudah tahu bahwa aku yang melakukan. Sabarlah... waktunya nanti akan tiba sendiri.... Ingat pesan kakekmu...!" kata Sena menasihati Pasopati yang sudah tak sabar itu.
"Apakah aku akan terus jadi wanita begini, Den...?" tanya Dogol dengan wajah merengut sambil menggaruk-garuk perutnya.
Sena tertawa, begitu juga Pasopati.
"Ya. Katanya kau mau jadi pendekar. Dan sekarang kau untuk sementara jadi pendekar wanita jejadian...," kata Sena berseloroh. Lalu tertawa. Dogol hanya cengar-cengir dan terus men- gusap-usap perutnya. Lalu mengeluarkan kantung dari dalam bajunya. Mengambil isinya, yang ternyata makanan. Singkong bakar.... Lalu memakannya dengan lahap.

***

Di tempat lain saat itu ternyata terjadi pertarungan antara tokoh-tokoh aliran lurus dan aliran sesat yang dipimpin Sugrikala. Dengan kelicikan dan ilmu sesatnya, banyak sudah tokoh aliran lurus mati di tangan anak buah Sugrikala.
"Habisi mereka semua!" perintah Sugrikala yang berdiri atas batu. Masih memakai kedok untuk menutupi wajahnya yang berupa serigala itu.
"Heaaa...!"
"Aaa...!"
"Mampus kau, Kakek Tua...!" seru Setabaya yang menerkam tokoh aliran lurus Ki Bandura. Di lain tempat, tak jauh dari situ, dua tokoh lurus sedang bertarung dengan dua orang anggota Serikat Serigala Merah. Pertarungan cukup seru.
Mereka menggunakan jurus-jurus maut dan berbagai senjata pamungkas mereka.
Namun dengan ilmu sihirnya, serta serbuk beracun yang dimiliki Sugrikala membunuh tokohtokoh aliran lurus. Hal itu ternyata karena mereka hendak ikut dalam pertemuan pemilihan ketua tokoh persilatan.
Itulah kelicikan Sugrikala. Dirinya sangat berhasrat dapat duduk sebagai ketua agar dapat menguasai rimba persilatan. Dia tak mau para tokoh aliran putih mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Apalagi kini wajahnya tak lagi dapat kembali menjadi manusia biasa, setelah tombak Pasopati telah melukai tubuhnya. Maka itu Sugrikala terus melacak dan menyebar anak buahnya untuk meringkus Pasopati. Sebelum hari pertemuan itu tiba. Namun nyatanya sampai sekarang Pasopati belum ditemukan. Itulah yang membuat Sugrikala dan pengikutnya menjadi murka, membabi buta, membantai tokoh-tokoh persilatan. Tak pandang bulu, baik dari golongan putih maupun hitam.
Semua ditumpas! Demi cita-citanya.
"Bagus! Hampir sepertiga dari tokoh-tokoh aliran putih mampus! Sekarang tinggal anak itu yang belum kita dapatkan. Waktu kita tinggal sehari lagi. Aku tak ingin gagal. Cepat, cari anak itu...!" perintah Sugrikala dengan suara lantang.
Segera mereka berangkat.
Sugrikala yang masih berdiri dengan pongahnya di atas batu, menengadah, lalu merentangkan kedua tangannya ke atas dari tertawatawa keras. Tawanya bagai mengguncangkan bumi. Menggelegar.... Lalu tubuh Sugrikala seketika lenyap. Hanya tinggal asap mengepul di tempat Sugrikala tadi berdiri. Itulah ilmu 'Tanpa Wujud Siluman Iblis'.
Namun suara tawa itu masih terus terdengar, dan kemudian perlahan-lahan menghilang.
Tak terdengar lagi.
Dan beberapa saat kemudian, Sena, Pasopati, dan Dogol tiba di tempat itu. Alangkah terke-jutnya mereka ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan di tanah. Darah membasahi tempat itu.
"Ya, Jagad Dewa Batara...!" seru Sena.
"Bangsat! Ini pasti perbuatan orang-orang Serikat Serigala Merah! Aku harus cepat memburunya, Kang Sena!" kata Pasopati geram dan hendak pergi.
"Tunggu...!" seru Sena. Lalu mendekati Pasopati.
"Aku tak bisa mencegahmu. Tapi ingat! Kau harus hati-hati dan pancing mereka agar berpencar...! Aku akan mengikutimu dari jarak tertentu.
Pergilah...!" ujar Sena. Kemudian Pasopati memeluk Sena dan segera melesat pergi.
"Saya... bagaimana, Aden?" tanya Dogol yang masih dengan pakaian wanita dan berkeru-dung warna hijau.
"Hm.... Kau ikut denganku! Dan turuti semua perintahku. Jangan pengecut, kalau kau ingin jadi orang persilatan yang tangguh!"
"Siap, Den! Sekarang saya sudah siap tempur. Biar gendut-gendut begini, heaaat...!" sahut Dogol lalu memperlihatkan jurus yang diajarkan Sena. Sena hanya tersenyum-senyum.
"Ayo...!" ajak Sena. Lalu melesat pergi, diikuti Dogol yang lari di belakangnya.
Padahal Sena hanya berjalan biasa. Apalagi kalau Sena menggunakan lari 'Sapta Bayu'nya, Dogol tak akan mampu mengejarnya.

***

Tiga Kembar Bermuka Serigala, bersama ketiga orang kelompoknya menghentikan langkah.
Tiba-tiba mereka melihat dari arah depan nampak berlari-lari lelaki bercaping, sambil memanggul sebuah karung di pundaknya. Dia terjatuh-jatuh....
"Ooo.... Tuan... tolooong...! Ada pemuda gi-la...," kata lelaki bercaping dengan nada ketakutan. Meminta tolong pada Tiga Kembar Bermuka Serigala sambil membungkuk-bungkuk, memberi hormat.
"Kenapa kau dikejar orang gila itu..." Dan dari mana asalmu...?" tanya salah seorang dari Ti-ga Kembar Bermuka Serigala menyelidik.
"Saya... dari Desa Muntilan. Saya orang miskin tak ada sanak saudara. Tolonglah saya Tuan...!"
"Hem!" gumam mereka.
"Minggir kamu! Mungkin orang yang mengejarmu itu pemuda yang kucari...." Lelaki bercaping segera berjalan melewati mereka, sambil merunduk-runduk.
Namun begitu dia melewati keenam orang itu. Dengan cepat lelaki bercaping itu, menyerang mereka dengan tombak di tangan kanannya.
"Heaaa...!" Wut! Wut! Cras! Cras! "Wuaaa...!" jerit Bagaspati yang berjalan paling belakang. Punggungnya tertusuk tombak lelaki bercaping itu.
Sementara yang lain kaget, dan berpencar, sambil mengelak dari serangan gencar yang dilakukan lelaki bercaping.
Kelabakan juga orang-orang Serikat Serigala Merah, mendapatkan serangan mendadak dari lelaki bercaping.
"Akulah orang yang kalian cari itu...!" seru lelaki bercaping yang tak lain Pasopati, sambil terus mencecar lawan-lawannya. Itu adalah suatu cara untuk menghadapi manusia-manusia licik dan berilmu sihir. Agar mereka tak sempat menggunakan ilmu andalannya.
Tusukan dan tebasan, serta tendangan kaki Pasopati begitu dahsyat. Membuat kelima lawannya terus terdesak. Apalagi Tombak Baruklinting yang di tangan Pasopati sangat ampuh. Siapa orangnya yang terkena tusukan tombak itu kulitnya akan membiru lalu mati! "Rupanya kau pemuda keparat! Tak lama lagi kau akan mampus!" seru Setabaya. Dia murka melihat Bagaspati telah mati di tangan pemuda yang dianggapnya penghalang bagi Serikat Serigala Merah. Pertarungan berjalan seru, namun lama-kelamaan Pasopati mulai berbalik terdesak. Tiga Kembar Bermuka Serigala mulai melancarkan jurus-jurus mautnya yang sukar ditebak.
"Celaka! Bisa mati konyol aku. Kalau terus melawan mereka dengan cara begini... Hup!" Dengan cerdik, Pasopati melesat sesuai dengan perintah Sena, untuk memancing agar me reka mengejarnya dan Sena menunggu di tempat yang cukup baik, untuk menjebak.
"Bangsat! Jangan lari kau, Anak Muda...! Kejar!" perintah Setabaya.
Mereka segera melesat bagai serigalaserigala memburu mangsanya. Melompat bagaikan terbang menerobos semak belukar. Juga melompati tebing dan bebatuan besar.

***

Pasopati sudah menunggu mereka di atas pohon. Dia berdiri di cabang pohon dengan siap menyerang lawan.
Srak! Srak! Benar, di bawah pohon nampak Tiga Kembar Bermuka Serigala berkelebat berbarengan memburu. Disusul dua orang lainnya. Dari atas ti-ba-tiba Pasopati melepas jalanya. Tepat mengurung Setabaya dan Kalabendana.
"Mampus kau kali ini, Manusia-manusia Busuk!" gumam Pasopati sambil melompat dan menghunuskan tombak pusakanya. Dan....
Jlep! Jlep! "Aaauuukkk...!" Terdengar jeritan dari kedua orang berwajah aneh itu. Seketika kulit tubuh mereka membiru, kejang-kejang lalu nyawa mereka pun melayang.
Pasopati merasa lega.
"Sebagian dendamku telah terbalas. Kini tinggal dedengkotnya!" Lalu Pasopati meninggalkan kedua mayat yang ada dalam jala itu, melesat memburu Tiga Kembar Bermuka Serigala.
Ternyata Tiga Kembar Bermuka Serigala telah bertempur dengan Pendekar Gila yang dibantu Dogol. Suasana pertempuran tampak lucu. Si Gendut yang berpakaian wanita berpura-pura ketakutan. Namun ketika ada kesempatan, menghajar salah satu dari Tiga Kembar Bermuka Serigala.
"Hi hi hi...! Binatang-binatang siluman ini perlu dicincang! Biar tidak mengotori rimba persilatan...!" ejek Pendekar Gila sambil mengelak dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari dengan sesekali tangannya menepuk. Tepukannya yang kelihatan lamban dan lemah sering mengejutkan lawan.
"Hiuh...!" Plak! Plak! "Ikh...!" Tiga Kembar Bermuka Serigala terpekik ketika dada mereka tahu-tahu terasa sakit dan sesak. Seorang lagi terhuyung mendekati Dogol yang dengan cepat mengetuk kepalanya dengan keras. Lalu Dogol bersembunyi. Hingga orang yang terpukul itu makin kelengar. Dogol tertawa-tawa senang. Namun tanpa setahu Dogol, di belakang sudah siap menerkamnya, seorang lagi yang sempat melesat ke arah Dogol.
"Hah"!" Dogol kaget. Namun entah dari ma-na keberaniannya itu tiba-tiba muncul.
Dengan cepat dia melancarkan pukulan yang mirip jurus 'Si Gila Membelah Mega'! "Heaaa...!" Deg! Deg! "Aaakh...!" menjeritlah lelaki berwajah serigala, terkena pukulan Dogol. Dengan cepat Dogol lari dan bersembunyi.
Pasopati yang melihat hal itu tertawa-tawa.
Dan bergumam.
"Boleh juga Dogol. Dari mana dia dapat pukulan hebat itu...?" Sementara itu Pendekar Gila tengah menghadapi seorang lagi dengan tertawa-tawa. Sambil meliuk dia menepuk lawannya.
Setelah itu Pendekar Gila ingin segera mengakhiri pertarungan itu.
"Heaaa...!"
"Grrr...! Mampus kau, Orang Gila...! Grrr...!" bentak lelaki berpakaian serba merah dan berwajah serigala.
"Hits...! He he he...!" Pendekar Gila menangkis pukulan lawan, lalu disusul dengan sabetan kaki kanannya, menghajar keras kaki lawan.
Krak! "Aaakh...!" Seketika kaki itu patah. Dan terdengar pekikan panjang dari mulut lawan. Namun ketika Pendekar Gila akan melancarkan pukulan mautnya, dari arah belakang dua orang berwajah serigala menyerangnya. Pendekar Gila cepat mengelak.
Dan akibatnya, serangan itu mengenai temannya sendiri. Hingga ambruk dan tak berkutik lagi.
Keduanya kaget, karena yang dihajar ternyata saudara mereka. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Pasopati yang sejak tadi hanya diam, melompat dan menghajar orang-orang berwajah serigala itu dengan tombaknya.
Jlep! Jlep! "Aaakh...!" Kembali terdengar pekikan keras dari kedua manusia muka serigala. Tubuhnya membiru lalu tak lama kemudian mati.
Sena terkejut dengan tindakan Pasopati itu.
Segera Sena mendekati.
"Kenapa kau lakukan itu..." Tindakan itu bukan sikap seorang pendekar...! Kecuali dia akan membunuh kita...!" ujar Sena karena tahu Pasopati bertindak membokong lawan. Suatu perbuatan yang pantang bagi pendekar sejati.
"Maafkan aku. Tapi, maksudku... agar antek-antek Sugrikala musnah. Dan tinggal aku dan dia..," jawab Pasopati dengan suara parau.
Sena menggeleng-gelengkan kepala, sejenak dia berpikir. Dan menggaruk-garuk kepala.
Sementara itu Dogol, mulai keluar dari persembunyian sambil membuka baju samarannya.
Mendekati Sena dan Pasopati.
"Sekarang tugasku sebagai wanita palsu sudah habis...!" seru Dogol, dengan cengengesan dan mengusap-usap perutnya.
Segera Pasopati mengeluarkan dua keping uang dan memberikan pada Dogol. Dogol menerimanya, seraya berkata, "Lumayan, nanti buat beli makanan di sana...."
"Makan makan saja yang kau pikir. Nanti perutmu meledak...!" kata Sena sambil menunjuk perut Dogol yang saat itu sedang bergerak-gerak.
Dogol hanya nyengir kuda. Pasopati tersenyum.
"Kang Sena. Bagaimana rencana kita selanjutnya?" tanya Pasopati kemudian.
"Sesuai rencana semula. Kalau tidak ada masalah lagi, kini saatnya kau menuntut balas pada Sugrikala. Tapi apakah dia akan datang pada pertemuan besok, dengan muka tertutup kedok..."!"
"Entahlah," jawab Pasopati cemas.
"Apalagi, kalau dia sudah tahu bahwa kelompoknya telah menemui ajal di tangan kita. Tentunya saat ini Sugrikala telah merasakan hal itu....
Aka yakin," ujar Sena kemudian.
"Ya. Lalu bagaimana caranya agar dia muncul pada pertemuan itu?" tanya Pasopati lagi.
"Sulit untuk memikirkan, karena Sugrikala bukan orang bodoh. Apalagi, kini dia tahu kalau kau sedang menuntut balas," kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Oh, ya.
Bukankah kau bilang bahwa karena dia terluka oleh tombakmu, hingga mukanya tak bisa lagi berubah seperti sediakala...?"
"Benar."
"Nah, tentunya dia sangat mengharap kau hadir pada pertemuan itu. Dia pasti akan menunggu mu. Kalau begitu rencana kita tetap berjalan. Tapi kali ini aku yang harus menyamar sebagai dirimu. Dan kau menyamar seperti tadi...," usul Sena.
"Rencana yang bagus. Tapi aku ingin dengan tombak ini aku membunuh Sugrikala. Agar arwah ayahku merasa lega...."
"Jangan khawatir! Tunggu isyaratku...!"
"Tugasku..."!" tanya Dogol.
"Kau tetap akan menyamar sebagai wanita!" ujar Sena sambil menepuk perut Dogol.
Mereka lalu tertawa-tawa. Dogol merengut kesal, karena harus menjadi wanita lagi.


֍::::֍¦ 10 ¦֎::::֎

Suasana hari itu cukup cerah. Di tempat pemilihan ketua pendekar untuk Jawa Dwipa nampak riuh. Letaknya di dekat Candi Borobudur.
Candi yang terbesar dan termegah di seluruh jagad nampak megah, sebagai latar belakang arena pesta pemilihan.
Hampir semua tokoh telah hadir, dari semua penjuru Jawa Dwipa. Mereka belum memutuskan siapa ketua baru. Karena orang yang selama ini dianggap pantas, belum juga muncul.
"Saudara-saudara sekalian! Waktu kami tunda beberapa saat, menunggu calon utama ketua baru Sugrikala. Harap tenang dan bersabar!" seru ketua lama Prabu Santika.
"Lebih baik pilih orang lain! Kami sudah la-ma menunggu...!" usul salah seorang tokoh.
"Benar! Aku setuju.... Calon itu mungkin tak pantas menduduki kursi ketua. Belum jadi ketua saja sudah begini...!" sahut yang lain.
Suasana menjadi ribut. Dari sana sini bersahutan mengajukan usulan-usulan.
Tiba-tiba terdengar dari luar arena tempat pemilihan suara membentak yang dibarengi berkelebatnya sesosok orang memakai kedok! "Hentikan!"
"Siapa kau"!" tanya ketua lama Prabu Santika.
"Apakah kau tak mengenalku" Aku terpaksa memakai kedok, dan terlambat, karena orang-orangku terbunuh. Maafkan aku.... Aku Sugrikala!" kata orang itu.
"Kami tak mau melihat calon ketua baru dengan kedok! Bukalah kedokmu! Biar kami dapat mengenal wajahmu...," seru salah seorang berpakaian serba putih, dengan ikat kepala menutupi seluruh kepalanya, seperti sorban. Dialah Ki Ragakandaka. Dari Perguruan Kelabang Sakti, beraliran putih.
"Baiklah, kalau kalian ingin mengenali wajahku," jawab lelaki itu. Lalu segera membuka kedoknya. Dan....
"Hah..."! Kau..."!" gumam Prabu Santika yang telah mengenali pemuda itu.
Suasana menjadi bertambah riuh. Kebanyakan mereka yang hadir sudah mengenal wajah pemuda yang berdiri di atas panggung. Rambutnya agak ikal, dengan wajah tampan. Dan tak hentihentinya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sena Manggala murid Singo Edan...!" gumam hampir semua tokoh persilatan yang hadir.
"Sena...! Bagaimana kau sampai berbuat demikian" Ada apa rupanya dengan pemilihan ini?" tanya Prabu Santika heran.
"Panjang ceritanya.... Nanti juga kalian akan mengetahuinya. Karena kebusukan tak akan lama tersimpan...," jawab Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Semua yang hadir jadi riuh saling bicara satu sama lain. Di antara mereka nampak Pasopati dan Dogol yang menyamar sebagai orang biasa. Berdiri di luar arena pemilihan. Namun tiba-tiba... Zing! Zing! Zing! Benda-benda tajam meluncur ke arah Sena dan Prabu Santika. Dengan cepat Sena menubruk Prabu Santika untuk menghindari serangan gelap itu. Suasana semakin ribut dan kacau! Mendadak muncul orang berkedok yang tak lain Sugrikala. Menggereng dan mengejar Sena yang melompat sambil bersalto di udara. Gerakan Pendekar Gila begitu cepat dan sukar diatasi oleh Sugrikala.
Deg! Deg! Kaki kanan Pendekar Gila menghajar wajah Sugrikala, hingga kedoknya terlepas. Semua orang kaget. Sugrikala yang memiliki kepala serigala itu terpental, ambruk menimpa sebagian orang yang ada di tempat itu.
Brak...! "Ukh...!"
"Hi hi hi...! Kalian semua sekarang mendapat jawabannya. Kenapa aku berbuat demikian.
Lihat orang yang selama ini kalian calonkan dan disanjung. Tak lebih seorang manusia siluman serigala. Dialah yang telah membuat onar dan menindas rakyat. Membuka perjudian dan rumah maksiat! Yang melanggar hukum...!" teriak lantang seorang pemuda yang di tangan kanannya memegang tombak pusaka.
"Bangsat! Rupanya kau bersekongkol dengan Pendekar Gila itu...!" bentak Sugrikala yang sudah kehilangan muka.
"Grrr...!"
"Ha ha ha...! Ayo, Siluman Jelek...! Hari ini aku akan menuntut balas atas kematian ayahku...!" seru Pasopati. Lalu melempar capingnya ke arah Sugrikala.
Wut! Wut! Caping yang dilempar Pasopati itu melayang deras ke arah Sugrikala.
"Heaaa...!" Sugrikala dengan mudah dapat mengelak.
Kemudian dengan cepat pula dia melakukan serangan balik yang cukup dahsyat.
Zing! Zing! Zing! Senjata rahasia meluncur deras ke arah Pasopati dari tangan Sugrikala. Pasopati melenting sambil menangkis dengan tombaknya. Trang! Trang! Trang! "Grrr...!" Sugrikala membabi buta. Karena dia harus merebut tombak itu dan menghisap darah Pasopati, agar dirinya bisa kembali seperti sediakala.
"Mampus kau! Aku kirim kau seperti ayahmu ke akherat...!" seru Sugrikala sambil terus mencecar Pasopati.
Orang-orang tokoh persilatan tak mau menghalangi atau membantu mereka. Mereka menyadari, setelah mendengar penjelasan Pendekar Gila tadi.
"Kalian semua harus mendukung putra Sumbaga itu.,.! Sugrikala telah mengkhianati dan membunuh ayah pemuda itu dua puluh tahun si-lam," ujar Sena yang terus mengamati gerakan Sugrikala.
Pertarungan Sugrikala dan Pasopati berlangsung semakin seru. Keduanya saling serang dan beradu di udara. Namun setelah sekian jurus, nampak Pasopati tampak mulai terdesak. Membuat Sugrikala sempat melukai lengan kanan Pasopati hingga tombak pusaka itu terlepas dari genggamannya.
"Hah"!" pekik Pasopati kaget.
Cepat Pasopati bergulingan di tanah, untuk mengambil Tombak Baruklinting. Namun rupanya Sugrikala lebih cepat, karena dia dalam kedudukan lebih menguntungkan.
Bug! Bug! Kaki Sugrikala menendang muka Pasopati, hingga tubuh pemuda itu terlempar jauh. Sugrikala yang melihat lawan terluka, cepat mengambil tombaknya. Dengan cepat dilemparkan ke arah Pasopati yang masih menahan sakit. Namun sebelum tombak itu sampai pada sasarannya.
Wesss! Sesosok bayangan berkelebat, menghadang lajunya Tombak Baruklinting. Dan seketika membalikkan tombak pusaka itu ke arah Sugrikala.
"Wut! Wut...!"
"Heh..."!" Sugrikala terbelalak kaget.
Jlep! Tombak Baruklinting menancap tepat di dada Sugrikala. Sugrikala mengerang. Dan mencabut tombak itu. Sena tertegun sesaat.
"Edan! Setan ini benar-benar ampuh...!" gumam Pendekar Gila dalam hati.
Pada saat itu pula Sugrikala berubah wujud menjadi serigala raksasa. Semua orang yang ada di situ terbelalak kaget.
Kemudian bergerak mundur.
"Grrr...! Auuung...!" Pendekar Gila yang melihat wujud itu, hanya tersenyum lalu dia segera mengeluarkan ajian 'Inti Brahma'. Seketika bola-bola api meluncur ke arah serigala siluman itu. Namun anehnya, binatang siluman itu tak mempan. Pendekar Gila mengerutkan kening.
Pada saat itu Pasopati sudah mulai kembali pulih, dengan cepat dia mengambil kembali tombak yang tergeletak di tanah. Lalu dengan cepat dia berlari mendekati Pendekar Gila.
"Sekarang waktunya kita untuk melenyapkan binatang terkutuk ini, Pasopati...," ujar Sena. Dengan cepat Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti-nya. Kemudian dipadukan dengan Tombak Baruklinting yang juga berkepala naga milik Pasopati. Seketika memancarlah sinar aneh, menyilaukan semua orang. Termasuk serigala siluman Sugrikala itu.
"Grrr...! Kalian tak akan sanggup membunuhku.... Grrr.... Auuung...!" Serigala siluman menyerang kedua pendekar muda itu. Matanya mencorong tajam memancarkan sinar membara mengandung hawa maut.
Dengan tenang Sena dan Pasopati memapaki serangan serigala besar berbulu merah itu.
"Heaaa...!" Slat! Glarrr! Terdengar ledakan dahsyat. Bulu-bulu warna merah berterbangan di udara.
Tubuh Pasopati dan Pendekar Gila terhuyung ke belakang. Sedangkan tubuh Sugrikala remuk. Terdengar suaranya mengerang keras mengiringi perubahan wujudnya menjadi manusia.
Pasopati yang dendamnya telah membara, masih belum puas melihat lawan sudah sekarat. Dia melompat dengan cepat sambil mengangkat Tombak Baruklinting. Dan menghujamkan ke tubuh Sugrikala. Jlep! Jlep...! "Aaawww...!" kembali Sugrikala mengerang panjang. Tubuhnya menggelepar-gelepar.
Namun masih berusaha untuk bangun. Dia tak kuasa, karena ternyata akibat tusukan Pasopati tadi, selain tubuh Sugrikala remuk, juga terbelah dua. Ketika dia hendak bangkit, tubuhnya terlepas bagian perut ke atas dan bagian pinggang sampai kaki terpisah. Erangannya bagai seekor serigala hutan, melengking panjang. Menyakitkan telinga. Semua yang menyaksikan kejadian itu terbengong, merasa heran dan aneh. Dogol yang berlarian mendekati Sena dan Pasopati tersenyumsenyum bangga. Para tokoh yang hadir langsung berkerumun, menyaksikan mayat Sugrikala si Manusia Siluman Serigala. Prabu Santika segera menghampiri Pendekar Gila.
"Sena, kami sangat berterima kasih padamu. Kalau tidak, bagaimana jadinya rimba persilatan di bumi Jawa Dwipa ini...," ucap Prabu Santika.
"Ah, jangan berterima kasih pada saya. Semua ini sudah tugasku, untuk membela kebenaran. Kau harus berterima kasih pada pemuda ini," ucap Sena sambil memegang bahu Pasopati.
"Ya. aku sudah mendengar sebelumnya tentang pemuda ini. Namun keadaanku sendiri dalam cengkeraman Serikat Serigala Merah. Yang ternyata dipimpin Sugrikala. Kami semua menganggapnya orang yang dermawan dan bijaksana. Aku benar-benar bodoh!" tutur Prabu Santika.
"Sudahlah, Ki Prabu! Kini semuanya sudah selesai. Dan usul kami, sebaiknya Ki Prabu Santi-ka meneruskan jabatan ketua itu...," kata Sena, la-lu menggaruk-garuk kepala.
"Tidak bisa. Aku telah melepaskannya. Dan kini tetap harus mencari pengganti ketua baru. Sebenarnya Ki Wibisana yang pantas, tapi beliau sudah tua dan tak ingin lagi muncul dalam rimba persilatan...," kata Prabu Santika.
"Lalu siapa menurut Ki Prabu yang pantas menjadi ketua...?"
"Entahlah...," jawab Prabu Santika.
Pada saat itu segerombolan para tokoh menghampiri mereka. Dan Ki Ragakandaka dari Perguruan Kera Sakti berucap, "Prabu Santika, dan kau murid Kakang Singo Edan.
Kami tadi telah berunding. Dan telah mencapai persetujuan semua, untuk mengangkat pemuda ini menjadi ketua kami...," kata Ki Ragakandaka sambil menepuk bahu Pasopati.
Pasopati kaget. Lalu segera berucap ramah, "Maaf...! Rasanya, saya tak pantas menjadi ketua.
Saya masih terlalu muda. Lebih baik pilihlah orang lain..., sekali lagi maaf! Dan terima kasih atas perhatian semuanya pada saya...!" kata Pasopati dengan polos penuh rendah hati.
Sena tersenyum dan menggaruk-garuk kepala.
"Apa yang dikatakan Pasopati benar. Sebaiknya, untuk sementara Ki Prabu Santika tetap menjabat sebagai ketua.... Bagaimana menurut yang lain...?" usul Sena.
"Setujuuu...!" terdengar dari semua para tokoh yang hadir menyetujuinya.
Prabu Santika tak bisa berbuat apa-apa.
Hanya manggut-manggut, "Kalau memang itu yang saudara-saudara inginkan, saya mengucapkan terima kasih. Tapi dengan syarat, saya minta dengan sangat Pasopati mendampingiku, sebagai wakil.
Bagaimana...?" ujar Prabu Santika.
"Karena aku sebenarnya telah mengetahui, bahwa Pasopati ternyata cucu Ki Wibisana." Semua tokoh tersentak kaget, lalu tersenyum-senyum senang.
"Kalau begitu kami sangat setuju, karena Kakang Wibisana adalah orang yang kami segani dan bijaksana...," sahut Ki Ragakandaka, lalu dis-ambut tepuk tangan yang lain.
Pasopati memeluk Sena erat. Sena pun membalasnya, "Terima kasih, Kang Sena.... Aku banyak berhutang budi padamu...."
"Jangan berkata begitu. Kau sudah seperti adikku sendiri. Guru kita pun satu perguruan, jadi kita juga saudara... he he he...!" sahut Sena berseloroh.
"Nah, aku ini apa.... Apakah Aden anggap aku wanita jejadian...?" tanya Dogol yang merasa iri. Bertingkah mirip anak kecil, mau nangis.
"Tidak... Kau tetap sahabat kami. Tapi ingat jangan cengeng dan makan harus dikurangi. Kalau kebanyakan diisi, perutmu akan meledak!" kata Sena menggoda. Dogol hanya tertawa-tawa sambil memegangi perutnya.... Semua nampak bahagia dan gembira. Cuaca semakin terang menyinari bumi, secerah wajah-wajah mereka.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Peti Mati Untuk Pendekar Gila --oo0oo-- Keris Naga Sakti


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.