Life is journey not a destinantion ...

Pemberontakan Ki Reksogeni

INDEX PENDEKAR GILA
Petaka Seorang Pendekar --oo0oo-- Ajian Canda Birawa

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


««««֍↨֍¦ ① ¦֎֎»»»»

Di sebelah timur tampak Gunung Merapi menjulang tinggi. Asap putih yang menggantung di atas puncaknya bagai mahkota. Dari kejauhan tampak kaki gunung memanjang ke arah barat bertemu dengan kaki Gunung Merbabu pada sebuah lembah yang sangat luas. Di tengah lembah yang hijau dan subur itulah berdiri ratusan rumah penduduk. Suatu tempat pemukiman yang terlihat aneh. Di tengah-tengah desa berdiri sebuah bangunan besar dan megah mirip istana kerajaan. Juga terdapat pasar yang menjadi pusat perdagangan masyarakat lembah itu.
Orang luar mengenal wilayah tersebut sebagai desa kerajaan. Namun umumnya mereka sering menyebutkan Kerajaan Lembah Merapi Merbabu. Letaknya memang persis di antara kedua gunung yang saling berdekatan itu. Tapi, sebenarnya wilayah tersebut masih dalam kekuasaan Kerajaan Bumi Segara. Dengan adanya seorang pemimpin yang oleh warga lembah dianggap sebagai raja serta diterapkannya hukum dan peraturan adat sebagaimana layaknya suatu pemerintahan negara, telah memantapkan sebutan kerajaan bagi wilayah itu.
Seluruh penduduk di Lembah Merapi Merbabu mendapat hak dan kewajiban yang sama.
Mereka yang sudah dewasa menjadi bala tentara kerajaan. Tenaga mereka harus selalu siap siaga setiap saat dibutuhkan.
Ki Reksogeni begitulah nama penguasa tertinggi di lembah itu. Seorang lelaki enam puluhan tahun yang tubuhnya masih gagah perkasa. Kewibawaannya sangat disegani oleh semua warga lembah. Dia bertahta di istana kerajaan dengan didampingi seorang patih dan empat senapati kepercayaan yang memimpin tak kurang dari seratus prajurit. Seperti biasanya, pagi itu suasana di sekitar istana tampak ramai. Letak pasar yang merupakan pusat perdagangan di lembah itu memang tidak berapa jauh dari istana. Sementara di dalam istana tengah berlangsung suatu pertemuan para pembesar kerajaan.
Di sebuah ruangan besar duduk di atas kursi berukir seorang lelaki tua bertubuh tinggi gagah. Wajahnya yang dingin terhias cambang tipis, hampir merata di pipi. Rambutnya yang sebagian telah memutih dibiarkan terurai sampai ke bahu. Sepuluh orang pembesar istana yang menghadiri pertemuan itu duduk bersila di hadapan sang raja.
"Jadi benar kabar yang sampai kepada kami?" tanya lelaki setengah baya yang duduk di samping kanan Ki Reksogeni kepada prajurit di depannya.
"Bagaimana dengan ketiga kawanmu yang lain...?"
"Benar, Paman Patih," jawab prajurit itu pada orang nomor dua di Kerajaan Lembah Merapi Merbabu.
"Hanya kami berdua yang menyampaikan kabar ini ke istana. Gardawaka, Sembada, dan Kakang Gantar masih terus menunggu. Barangkali terjadi perkembangan lebih lanjut. Yang jelas, Raja Galih Kertarejasa telah meninggal lima hari yang lalu. Kalau tidak ada aral melintang, kemarin Raden Danuwirya telah melangsungkan pernikahan dengan Putri Sekar Arum di Istana Kerajaan Bumi Segara...."
"Hmm.... Bukankah rencana pernikahan mereka akan diadakan dua purnama mendatang?" Kali ini bertanya Ki Reksogeni. Lelaki tua berjubah merah itu mengernyitkan kening. Ada sesuatu yang kurang berkenan di hatinya.
Prajurit itu menganggukkan kepala.
"Setelah kejadian mengenaskan itu para sesepuh dan pembesar kerajaan memutuskan untuk segera menikahkan mereka. Tampaknya, pihak kerajaan akan menobatkan Raden Danuwirya sebagai pengganti Raja Galih Kertarejasa...," ujarnya menjelaskan apa yang didapatkan selama menjadi tamu di Kerajaan Bumi Segara.
Semua yang hadir pada pertemuan itu membisu. Ki Reksogeni yang duduk di kursi jati menggangguk-angguk dengan mata memandang ke luar ruangan.
"Hmm.... Apa kalian juga tahu tentang Pendekar Gila dan kekasihnya yang rupanya mendapat sial di sana...?" tanya Ki Reksogeni.
Prajurit itu segera menceritakan kabar yang dibawanya dari Kerajaan Bumi Segara. Kerajaan yang terletak di antara Gunung Merapi dan Merbabu itu baru saja mengalami peristiwa menggemparkan. Sehari setelah upacara pertunangan antara Putri Sekar Arum dengan Pangeran Danuwirya dari Kerajaan Tanjung Anom, Putri Sekar Arum diculik seseorang yang mirip sekali dengan Pendekar Gila. Dalam peristiwa yang menggemparkan para tokoh persilatan itu Raja Galih Kertarejasa tewas terbunuh. Pendekar Gila samaran itu akhirnya dapat dibinasakan Singo Edan.
Setelah banyak menelan korban.
Sena Manggala tak mampu menghadapinya.
Bahkan, kabar yang tersiar di kalangan rimba persilatan mengatakan kalau Pendekar Gila diduga telah tewas. Penculik putri raja yang menyamar sebagai Pendekar Gila memiliki ilmu mirip dengan yang dipunyai Sena Manggala. Bahkan lebih dahsyat dan tinggi tingkatannya.
(Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Petaka Seorang Pendekar).
Tak heran kalau selama beberapa hari terakhir ini dunia persilatan gempar. Di mana-mana para tokoh persilatan membicarakan tentang nasib Pendekar Gila. Mungkinkah Pendekar Gila telah tewas"
"Hal itulah yang belum dapat kami yakini kebenarannya, Ki...," ujar prajurit itu mengakhiri ceritanya. Ki Reksogeni yang dipanggil dengan sebutan Ki hanya tersenyum sambil menganggukanggukkan kepala. Ia tidak merasa risih dengan panggilan itu. Di lingkungan istana meskipun dirinya dianggap sebagai raja, Ki Reksogeni lebih suka dipanggil dengan sebutan seperti itu.
"Kalau begitu, memang sudah saatnya kita mengirimkan pasukan. Ini kesempatan baik, Paman Senapati. Jangan buang-buang waktu. Kerahkan semua bala tentara. Aku tak ingin perkembangan selanjutnya akan menutup jalan kita." Semua yang berada di ruangan tak ada yang menyahut kecuali mengangguk-anggukkan kepala menyetujui.
"Paman Sentanu, kumpulkan semua bala tentara. Kita akan berangkat malam ini juga. Agar kita dapat tiba di sana tengah hari besok!" perintah Ki Reksogeni kemudian kepada Senapati Sentanu.
"Kalau boleh aku mengusulkan...," ujar Patih Girindratama tiba-tiba.
"Sebaiknya kita menunggu kabar selanjutnya dari Kerajaan Bumi Segara. Bukan aku menyangsikan kabar yang dibawa Prajurit Banu. Kita perlu perhitungan yang matang dan harus berhati-hati untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi." Ki Reksogeni mengangguk-angguk menyetujui usul patihnya.
"Bagaimana pendapatmu, Paman Senapati?" tanyanya kepada Senapati Sentanu.
Senapati Sentanu ternyata menyetujui usul itu. Ki Reksogeni mengurungkan niatnya untuk mengirim bala tentara ke Kerajaan Bumi Segara.
Suatu rencana besar memang memerlukan perhitungan yang matang. Sebab, kalau sampai gagal bukan hanya nyawa taruhannya. Juga keselamatan semua warga dan anak buahnya yang telah setia mendukung dirinya.
Menyadari hal itu, Ki Reksogeni segera membubarkan pertemuan dan meminta kepada semua orang kepercayaannya agar selalu siap siaga.


««««֍↨֍¦ 2 ¦֎֎»»»»

Sebuah gubuk kecil terbuat dari bambu hitam berdiri terpencil di kaki bukit. Di depannya terbentang halaman yang merupakan tonjolan batu cadas dari tebing terjal. Di tengah-tengah halaman gubuk yang hanya ditumbuhi lumut duduk seorang pemuda bertubuh tegap dengan kedua telapak tangan dirapatkan di depan dada. Tubuhnya yang bersih dan kuning langsat basah oleh keringat dan air hujan yang sejak tadi mengguyur tempat itu. Tak dipedulikannya angin dan terpaan air hujan. Pemuda itu duduk bersila menghadap ke barat, seolah ingin melihat matahari yang tersaput mendung. Sesekali pemuda itu menghela napas dalam-dalam. Lalu, dihembuskannya perlahan dengan tubuh tak bergeming sedikit pun. Pemuda berambut tidak terlalu panjang itu tampaknya baru saja melakukan latihan silat. Kini ia tengah melatih mengatur pernapasannya di bawah hujan gerimis.
"Pramudya...!" Baru saja pemuda itu menghembuskan napas perlahan entah yang keberapa kalinya, tibatiba terdengar suara serak dan lirih memanggilnya.
Pemuda berwajah tampan itu menoleh ke belakang. Terlihat seorang kakek berjubah putih mengangguk-angguk seraya tersenyum.
"Istirahatlah!" Suara lelaki berusia sekitar tujuh puluh lima tahun itu kembali terdengar. Kali ini sambil mengelus jenggotnya yang tebal dan putih. Rambutnya yang panjang dan juga berwarna putih tergelung di atas kepala.
"Eyang Guru.. ," sambut Pramudya dengan kening berkerut, heran dengan tindakan gurunya.
Dia tahu benar gurunya tak pernah berbuat seperti itu. Tak pernah sekalipun sebenarnya Pramudya mendapat teguran untuk berhenti jika sedang berlatih. Apalagi, ini merupakan latihan wajib yang harus dikerjakannya setiap sore.
"Aneh, senyum Eyang tidak seperti biasanya. Ada apa gerangan Guru menghentikan latihanku?" batin Pramudya. Kakinya segera melangkah menghampiri gurunya yang berdiri di ambang pintu gubuk.
Setelah membersihkan tubuh dan mengganti pakaian, Pramudya mendekati gurunya yang telah duduk bersila di balai-balai bambu dengan beralaskan tikar. Pemuda itu melipat kakinya duduk bersila di depan gurunya. Hatinya bertanya-tanya melihat wajah sang guru yang dirasakan tidak seperti biasanya. Hal itu dirasakan benar oleh Pramudya. Namun, ia tidak berani bertanya.
"Ada berita duka yang harus kusampaikan kepadamu, Pramudya...," ujar kakek itu dengan lirih dan bernada dingin. Seolah ia ingin membendung perasaan yang tengah berkecamuk di dalam hatinya.
"Kuminta kesabaran dan ketabahan hatimu mendengar berita ini. Dua puluh tahun sudah lamanya kau kudidik di gubuk ini. Ilmu silat dan olah kanuragan yang kumiliki telah kutumpahkan semua kepadamu. Beberapa pengetahuanku tentang ilmu kemasyarakatan dan kenegaraan pun telah pula kau dapatkan. Kuharap kelak jika kau kembali ke istana dapat mengamalkan semuanya dengan baik. Itu pesan Kanjeng Gusti Galih Kertarejasa ketika memberi kepercayaan kepadaku untuk mendidikmu...." Kakek berjubah putih itu menatap dengan sinar mata penuh kewibawaan. Sementara Pramudya tertunduk menekuri balai-balai yang didudukinya. Ada gemuruh di dalam hatinya karena rasa penasaran ingin segera mendengar kabar yang ingin disampaikan gurunya.
"Kanjeng Gusti Galih Kertarejasa telah mangkat...," lanjut kakek itu dengan suara tertahan. Ia merasa bimbang harus mengucapkan katakata itu.
Dengan wajah tetap tertunduk, Pramudya terbelalak kaget. Bagai disambar petir, sekujur tubuhnya seketika menegang.
Ketika dia mengangkat wajah, gurunya telah menyambung ucapannya.
"Dua orang prajurit kerajaan tadi pagi datang kemari. Mereka mengabarkan telah terjadi kerusuhan hebat di kerajaan. Seorang pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Gila menculik Kanjeng Putri Sekar Arum, sehari setelah upacara pertunangannya dengan Pangeran Danuwirya...."
"Kurang ajar...! Lalu, bagaimana pendekar bejat itu sampai membunuh ayahanda, Eyang?" Sebagai seorang pemuda yang telah lama mempelajari ilmu silat kepada tokoh tua itu, tentu saja Pramudya banyak tahu tentang nama Pendekar Gila. Seorang pendekar yang sulit ditandingi di kalangan rimba persilatan.
"Dalam persoalan seperti ini kita harus hatihati menghadapinya, Pramudya. Orang yang mengaku sebagai Pendekar Gila itu ternyata bukanlah Sena Manggala murid Singo Edan. Dia tetap seorang pendekar sejati yang berbudi luhur. Bahkan kudengar kabar Pendekar Gila telah tewas setelah menghadapi si durjana yang membinasakan Kanjeng Gusti. Paling tidak, menurut kedua prajurit itu, Sena Manggala menderita luka dalam yang sangat parah. Untung dia segera ditolong oleh Kakang Singo Edan. Setelah saling mengadu ilmu tingkat tinggi, murid Kakang Singo Edan itu terjungkal tak berdaya. Namun ada kesimpangsiuran kabar di sini. Inilah yang membuat aku yakin kalau Pendekar Gila tidak tewas.
Yang ditolong oleh Kakang Singo Edan adalah seorang pemuda berpakaian putih. Menurut dugaanku, pemuda itulah Pendekar Gila sejati. Sedangkan pemuda berpakaian rompi kulit ular yang kemudian tewas dengan sekujur tubuh terbakar, si Pendekar Gila palsu." Kakek itu berhenti sejenak menghela napasnya dalam-dalam.
"Aku yakin ini merupakan siasat Kakang Singo Edan untuk menumpas si durjana itu."
"Eyang, menurut Eyang apakah ada hubungannya kejadian ini dengan peristiwa dua puluh tahun silam?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari mulut Pramudya.
Kakek itu mengangguk-anggukkan kepala dan menggumam tak jelas. Diam-diam hatinya mengagumi dugaan yang disampaikan murid tunggalnya. Ternyata pemuda itu mampu berpikir jernih, menghubungkan dengan kejadian masa silam yang telah membuatnya harus rela meninggalkan istana. Menjalani hidup sebagai seorang rakyat biasa. Jauh dari kehidupan mewah istana dan berpisah dari ayahanda yang dicintainya.
Kekaguman sang guru ternyata bukan tanpa alasan. Ia juga mempunyai dugaan kuat, kalau peristiwa menyedihkan ini memang ada kaitannya dengan kejadian dua puluh tahun silam. Ketika itu ia masih menjabat sebagai penasihat kepercayaan raja. Suatu pemberontakan dengan kekuatan ratusan orang yang dipimpin seseorang yang memiliki pengaruh besar di istana berhasil merongrong kewibawaan raja. Tokoh berilmu tinggi itu bernama Ki Reksogeni. Dia pernah menjuluki dirinya sebagai Naga Merah Dari Merapi. Julukan itu ternyata bukan hanya isapan jempol.
Dia seorang tokoh tingkat tinggi yang sulit dicarikan tandingannya waktu itu.
Meskipun sikapnya dingin dan menunjukkan kewibawaan tinggi sebagai seorang pemimpin, Ki Reksogeni ternyata bisa bertindak keji dan bengis terhadap lawan yang tak disukainya. Dia dan pasukannya berhasil membantai puluhan tentara kerajaan. Bahkan, dua orang senapati gugur di medan laga ketika menghadapi pemberontakan itu. Karena siasat perang yang diberikan oleh para penasihat kerajaan, akhirnya pemberontakan berhasil dipadamkan. Puluhan orang pemberontak tertangkap dan diadili. Sayang, pemimpin utama dan dalang pemberontakan itu lolos dari pengejaran tentara Kerajaan Bumi Segara.
Ki Reksogeni yang lebih tersohor dengan julukan Naga Merah Dari Merapi kabur entah ke mana. Dia meninggalkan jabatannya sebagai salah seorang panglima perang kerajaan.
Namun, beberapa tahun kemudian terdengar kabar ada seorang tokoh yang memimpin masyarakat Lembah Merapi Merbabu. Sekelompok masyarakat yang mendiami lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Mereka membentuk suatu kehidupan desa yang dipimpin oleh Ki Reksogeni. Desa itu masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Bumi Segara yang terletak di Pegunungan Menoreh. Namun, warganya yang rata-rata mantan pemberontak bersepakat membentuk dan menjalankan pemerintahan sendiri. Lepas dari kerajaan pusat yang berada di selatan.
Meskipun selama hampir dua puluh tahun terakhir ini keadaan kerajaan aman dan damai, Pramudya tetap selalu waspada. Pelajaran yang didapat selama menuntut ilmu kepada gurunya telah membuat jiwa Pramudya matang.
Wawasannya bertambah luas. Baik tentang hidup bermasyarakat dan bernegara maupun ilmu jiwa.
Ilmu silat yang didapatnya pun bukan ilmu sembarangan. Gurunya merupakan tokoh tua yang pernah menduduki tempat atas di kalangan orang-orang persilatan.
"Hmm...." Kakek itu kembali menggumam.
"Itulah sebabnya tak henti-hentinya aku mengatakan kepadamu bahwa sebaik-baiknya pemimpin adalah yang berbakti kepada orang yang dipimpinnya. Rela berkorban demi rakyat dan negara. Itu pun selalu saja ada pihak-pihak tertentu yang tak suka dan memusuhinya. Pramudya, kaulah pangeran putra mahkota yang berhak atas kerajaan menggantikan Kanjeng Gusti." Terkejut Pramudya mendengar kata-kata gurunya. Setahunya, Putri Sekar Arum yang berhak atas tahta menggantikan ayahnya.
"Eyang...."
"Ya, kini saatnya aku menjelaskan siapa dirimu sebenarnya. Kaulah sebenarnya pangeran dari Kerajaan Bumi Segara. Kau putra Kanjeng Gusti dari permaisuri..."
"Jadi...," sela Pramudya. Tapi, gurunya segera melanjutkan.
"Kanjeng Putri Sekar Arum memang kakakmu. Dia lebih tua darimu. Tapi dia bukan anak permaisuri. Kanjeng Putri Sekar Arum anak dari selir kedua Kanjeng Gusti Galih. Kanjeng Pangeran...," Tiba-tiba kakek itu menyebut Pramudya dengan sebutan kehormatan. Serta-merta dia melangkah turun dari balai-balai dan menggamit pundak Pramudya. Ia menyuruh pemuda itu bangkit dari duduknya.
Masih dengan wajah menyiratkan ketidakpercayaan, Pramudya turun dari balaibalai. Tiba- tiba kakek yang selama ini menjadi guru dan mengasuhnya itu membungkuk memberi hormat. Tentu saja Pramudya merasa tidak enak melihat perubahan sikap gurunya.
"Eyang, aku tidak mengerti. Apa maksudnya ini?"
"Kanjeng Pangeran memang akan sulit untuk menerima kenyataan ini...." Pemuda yang ternyata seorang pangeran itu menatap jauh ke depan melalui pintu gubuk yang terbuka lebar. Hujan gerimis masih menyiram tempat itu. Sementara senja telah tiba.
Pramudya membisu mendengar riwayat hidupnya. Ia memang dititipkan ayahandanya kepada orang tua yang kini menjadi gurunya ini untuk menuntut ilmu. Tapi, sungguh baru kali ini Pramudya mendengar bahwa dirinya putra mahkota, pewaris utama tahta Kerajaan Bumi Segara.
"Sudah saatnya Kanjeng Pangeran kembali ke istana."
"Eyang, mengapa kau memanggilku dengan sebutan seperti itu...?" Pramudya menatap wajah gurunya dengan mata berkaca-kaca. Ada perasaan sedih, haru, dan gembira dalam relung hatinya.
"Aku tetap muridmu. Dan, kaulah satu-satunya orang yang telah membentuk jiwaku. Terlalu berlebihan kalau kau bersikap seperti itu padaku, Eyang."
"Ini adalah adat yang berlaku bagi seorang hamba sepertiku terhadap junjungannya. Engkau tetap putra mahkota kerajaan yang harus dihormati dan dijunjung tinggi."
"Sudahlah, Eyang...!" sambut Pramudya. Ia berusaha tersenyum meski tampak hambar dan kering.
"Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat. Aku ingin Eyang ikut ke istana menyertaiku.
Kuharap Eyang tidak keberatan..." Kakek itu hanya mengangguk-angguk setuju tanpa berkata sepatah pun.


««««֍↨֍¦ 3 ¦֎֎»»»»

Empat lelaki bertubuh gagah menggebah kuda tunggangannya. Kelihatannya mereka ingin segera sampai di tempat tujuan. Mereka tak ingin dikalahkan oleh matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat. Padahal, jalanan yang mereka lewati sangat terjal dan berbatu-batu. Pakaian dan rambut mereka yang dibiarkan tergerai sampai ke pundak basah oleh air hujan. Tanah merah yang licin dan becek tak dihiraukan sama sekali. Kudakuda itu pun seakan mengerti dengan keinginan tuannya. Mereka terus berlari menembus gerimis yang sejak tadi menyiram sekitar Pegunungan Menoreh sebelah selatan.
Keempat sosok lelaki berpakaian serba hitam itu jelas menuju kaki Gunung Srandil. Salah satu gunung yang berada di dalam rangkaian Pegunungan Menoreh. Sudah dapat dipastikan mereka menuju kediaman Ki Ranujelaga, seorang tokoh tua di kalangan persilatan yang telah dua puluh tahun mengundurkan diri dari dunia ramai.
Apa tujuan keempat penunggang kuda ini mengunjungi tokoh putih yang masa mudanya sangat dikenal bijaksana dan berwibawa itu" Di kalangan orang-orang persilatan, Ki Ranujelaga yang pernah menjadi penasihat raja di Istana Kerajaan Bumi Segara dikenal sebagai seorang resi yang bijaksana.
Selain memiliki ilmu kedigdayaan tinggi, ia juga menguasai berbagai ilmu pengetahuan tentang kemasyarakatan dan kenegaraan. Tidak aneh kalau Raja Galih Kertarejasa mengangkatnya sebagai penasihat raja.
Namun, tak seorang pun mengetahui mengapa tokoh tua yang pernah dianggap penting di kalangan persilatan itu selama dua puluh tahun terakhir ini tak pernah muncul. Beberapa tokoh dan pendekar seangkatannya menyayangkan kemunduran Resi Ranujelaga dari dunia ramai. Sementara mereka tak tahu di mana kediamannya.
Hanya beberapa teman dekat resi itu yang mengetahui dan menyimpan rahasia tempat tinggal Ki Ranujelaga. Hujan gerimis masih mewarnai senja di Pegunungan Menoreh. Keempat penunggang kuda kini telah sampai di tepi sebuah tebing. Mereka menghentikan lari kuda dan menambatkannya di pohon. Keempat lelaki berwajah bengis dan menyeramkan itu memandang jauh ke lembah di depan mereka.
"Hm. Tampaknya kita harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki," ujar lelaki yang memiliki kumis tebal. Sebagian rambut di kepalanya telah memutih. Sebuah gelang akar bahar besar berwarna hitam melingkar di pergelangan tangannya yang ditumbuhi bulu lebat.
"Aku tak melihat rumah atau gubuk di bawah sana, Turangga Geni...," ujar kawannya, lelaki yang dadanya penuh ditumbuhi bulu-bulu hitam.
Dia terus mengedarkan pandangan mencari-cari.
Lelaki berkumis tebal yang mengenakan gelang akar bahar tidak memberi tanggapan.
Mata lelaki yang dipanggil Turangga Geni ini tetap mengawasi sekitar lembah. Ia ingin meyakinkan hatinya kalau di lembah itulah tempat tinggal orang yang dicarinya.
"Hmm.... Jangan banyak mulut! Percuma jauh-jauh kita datang kemari kalau tidak mendapatkan yang kita cari. Ayo...!" Turangga Geni memberi isyarat kepada ketiga kawannya agar segera menuruni tebing terjal itu.
Tanpa menjawab, ketiga kawannya segera melangkah mengikuti Turangga Geni. Keempatnya menuruni jalan setapak berbatu-batu. Di kanan kiri jalanan sempit itu bersembulan batu-batu sebesar kerbau yang menempel pada dinding tebing.
Rerumputan serta pepohonan merambat menjalar hampir menutupi jalan. Namun mereka tak peduli.
Sementara suasana telah mulai gelap. Selain sinar matahari terhalang mendung, kabut tebal pun mulai menuruni kaki Gunung Srandil.
Keempat lelaki berpakaian serba hitam terus melangkah di dalam keremangan dan hawa dingin yang menggigit kulit. Tiba-tiba mereka melihat setitik cahaya di kejauhan.
"Ha ha ha.... Aku yakin itu api dari rumah si tua bangka itu!" seru Turangga Geni memandangi titik cahaya yang berasal dari tebing di seberang lembah.
"Hei, Gendon, kenapa tak kau gunakan matamu yang awas itu" Ayo, kerahkan kemampuan mu melihat jarak jauh!" Lelaki yang dipanggil Gendon terkekeh dan mengangguk-anggukkan kepala.
"He he he.... Akhirnya kita berhasil juga menemukan persembunyian Ki Ranujelaga. Ayo, kita satroni tua bangka itu!" Keempat lelaki berwajah bengis segera melompat dari batu cadas tempat mereka berdiri. Dengan langkah-langkah penuh keyakinan mereka menyusuri jalan setapak dalam keremangan senja.
Tanpa sepengetahuan keempat lelaki berwajah bengis, sesosok bayangan berkelebat dua puluh tombak di belakang mereka. Dari gerakannya yang tidak diketahui keempat lelaki di depannya, agaknya sosok itu memiliki ilmu tinggi, setidaknya dalam ilmu meringankan tubuh.
Dengan sekali hentak saja tubuhnya melesat dan mendarat di batu cadas tempat keempat lelaki berpakaian serba hitam tadi mengawasi rumah Ki Ranujelaga.
Sosok itu ternyata seorang pemuda bertubuh tegap dan gagah. Rambutnya yang gondrong dan ikal terikat tali dari kulit ular. Sama dengan baju rompi yang membungkus tubuhnya. Pemuda itu cengar-cengir sendirian mengawasi keempat lelaki berpakaian serba hitam yang kini melintasi lembah. Sesekali ia menggaruk-garuk rambutnya yang basah oleh air hujan. Pemuda itu lalu duduk menyelonjorkan kaki di atas batu cadas selebar dua tombak.
"Hi hi hi.... Lucu para begundal itu. Jangan harap kalian akan berhasil membuat ulah terhadap Ki Jelaga...," gumam pemuda itu sambil tertawa sendirian. Tangannya mencari-cari sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Ternyata dia mengambil sehelai bulu ayam. Lalu, digunakannya untuk mengilik-ilik telinganya. Sebentar kemudian mulutnya kembali cengar-cengir dengan mata terpejam sebelah.
"Hiii.... Lumayan untuk mengusir dingin...." Dia menggoyang-goyangkan kepala merasa nikmat ketika bulu ayam berputar di telinganya.
Sementara itu, keempat lelaki berwajah bengis telah sampai di kaki bukit Mereka berhenti sekitar sepuluh tombak di depan sebuah gubuk bambu. Ternyata benar. Cahaya yang terlihat dari seberang lembah berasal dari dalam gubuk.
"Hai.... Ranujelaga pengecut, keluar atau kuhanguskan bersama gubukmu...!" Suara keras terdengar memecah keheningan senja di kaki Gunung Srandil. Pemilik suara itu tak lain Turangga Geni. Sementara ketiga kawannya dengan penuh waspada mengawasi pintu gubuk milik Ki Ranujelaga.
"Siapa gerangan berada di luar...?" terdengar sahutan dari dalam gubuk. Suara itu tidak terlalu keras tapi terdengar jelas, seolah begitu dekat dengan telinga keempat lelaki bengis.
"Ha ha ha...! Atas nama Naga Merah Dari Merapi, kami Empat Iblis Merbabu menuntut kematian kau dan murid tunggalmu, Ranujelaga...!" Sambil berteriak begitu, lelaki berperut gendut yang bernama Gendon langsung melompat. Sekali hentak saja tubuhnya telah melesat melontarkan pukulan jarak jauh.
Seketika serangkum angin melesat dari kedua tangannya dan menghantam pintu gubuk.
Wusss! Brakk! Bersamaan dengan terdengarnya ledakan keras yang. menghancurkan gubuk bambu, melesat ke udara sesosok bayangan putih.
Sosok kakek berjubah putih melayang cepat dan mendarat dengan ringan beberapa tombak di samping kanan gubuk. Sekejap saja ia terlambat menghindar, tubuhnya akan remuk bersama gubuknya yang kini hancur berkeping-keping. Pukulan Gendon mengandung hawa panas dan menyambar laksana petir.
"He he he.... Rupanya kau masih punya kebolehan, Ranu! Tak kusangka dua puluh tahun lamanya kau mengasingkan diri, ternyata kemampuanmu kian bertambah. Tapi, jangan harap dapat lolos dari tangan Empat Iblis Merbabu, Tua Bangka!" Gendon terkekeh menatap wajah Ki Ranujelaga dengan mata menyipit.
Agaknya, dia ingin mengukur kemampuan calon lawannya yang mantan penasihat kerajaan itu.
"Kalau kau sayang nyawamu serahkan Pramudya Wisnutama ke tangan kami...!" Kali ini yang berbicara Turangga Geni. Tangan kanannya telah menggenggam sebuah senjata berbentuk sapu yang terbentuk dari bulu kuda coklat. Senjata inilah andalan tokoh berusia enam puluhan yang julukannya memiliki arti kuda api itu.
Rupanya, keempat utusan Ki Reksogeni tidak tahu kalau Pangeran Pramudya sudah tidak ada di tempat kediaman Ki Ranujelaga. Hanya beberapa saat sebelum kedatangan Turangga Geni dan ketiga kawannya, empat orang prajurit kerajaan telah menjemput Pramudya.
Mereka mengabarkan kalau istana mengharapkan segera kedatangan pangeran untuk menggantikan kedudukan ayahandanya.
"Iblis-iblis Merbabu, di pihak mana sebenarnya kalian bekerja...?" tanya Ki Ranujelaga dingin. Matanya yang tajam dan beralis putih menatap wajah Turangga Geni. Tiba-tiba saja tersirat di hatinya perasaan penuh curiga. Ternyata ada banyak pihak yang kini saling memperebutkan pangeran, pikirnya.
Rasa was-was dan khawatir pun menyeruak di hati Ki Ranujelaga. Jangan-jangan empat orang prajurit yang belum lama berangkat membawa Pangeran Pramudya Wisnutama juga bermaksud tidak baik. Ia menyesal mengapa tidak turut menyertai muridnya berangkat ke istana. Mengapa begitu percaya kepada keempat prajurit yang menjemput Pramudya....
"Pertanyaanmu sulit untuk dijawab, Jelaga."
"Aku tahu kalian masih punya hutang kepada Ki Reksogeni atas kegagalan menculik Pangeran Pramudya Wisnutama dua puluh tahun silam.
Sampai kini kalian masih terus memburunya setelah berhasil membunuh Kanjeng Gusti Galih Kertarejasa. Jangan harap kalian akan berhasil selama aku masih bernapas, Begundal Keparat Busuk!" Mata Ki Ranujelaga menyipit. Wajahnya yang putih bersih dan memancarkan kewibawaan tampak berubah. Ada bara api tersimpan di matanya.
"Bedebah. Heaaattt...!" Turangga Geni melompat seraya mengebutkan sapu ekor kudanya. Seketika angin kencang yang diikuti lesatan beberapa larik api meluncur deras. Api itu memburu ke arah Ki Ranujelaga yang dengan gerakan tak kalah cepatnya telah lebih dulu melompat menghindar.
Api menghantam bongkahan batu cadas beberapa tombak di belakang Ki Ranujelaga. Suara ledakan keras menggelegar memecah kesunyian lembah. Beberapa saat gema suara ledakan terus berkumandang. Sementara batu cadas itu hancur berkeping-keping.
Kegagalan itu menambah murka Turangga Geni. Namun ketika tangannya hendak mengebutkan lagi senjata andalannya, Ki Ranujelaga telah bergerak cepat melontarkan serangan jarak jauh dalam kedudukan masih berada di udara.
Pukulan itu tak terlihat oleh mata lawan. Tapi, tiba-tiba Turangga Geni terpekik keras dengan tubuh terdorong beberapa langkah ke belakang.
Melihat keadaan itu, Gendon, Gagak Ireng, dan Luwing Sewu menjadi marah. Ketiganya segera merangsek menyerbu Ki Ranujelaga. Dengan senjata andalan, mereka memburu kakek berjubah putih yang terus menghindar sambil melancarkan serangan jarak jauh.
Pada jurus-jurus awal Ki Ranujelaga masih mampu mempertahankan diri dari gempuran dahsyat lawan-lawannya. Namun, usia ternyata cukup berpengaruh terhadap kegesitan dan kekuatan tenaganya. Perlahan tapi pasti kakek itu terus terdesak hebat. Sementara keempat lawannya seperti tak ingin memberi kesempatan pada Ki Ranujelaga untuk melancarkan serangan balasan.
Satu ketika sabetan sapu ekor kuda Turangga Geni tak mampu dihindarkannya. Kakek berjubah putih itu mengerang kesakitan. Tangan kanannya panas bagai terbakar. Saat tubuhnya limbung, Gendon dan Gagak Ireng menyerbu bersamaan.
Namun, dalam keadaan yang sangat gawat itu tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan memasuki kancah pertarungan. Secepat kilat sosok berpakaian rompi kulit ular itu melontarkan tendangan dengan kedua kakinya. Tendangan keras itu mendarat telak di dada dan kepala kedua lawan Ki Ranujelaga. Gendon dan Gagak Ireng terpekik kaget.
Tubuh mereka terhuyung-huyung beberapa langkah.
"Pendekar Gila...!" Ki Ranujelaga pun terkejut melihat kedatangan pemuda berpakaian rompi kulit ular. Sebagai tokoh tua yang lama mengasingkan diri, dia belum pernah berjumpa dengan pendekar muda ini. Namun, ia mengenali ciri-ciri yang terdapat pada tubuh Pendekar Gila.
"Ha ha ha...! Tentu begundal-begundal ini terkejut melihatmu, Eyang Jelaga," ujar pemuda berompi kulit ular yang memang Pendekar Gila.
Mulutnya cengengesan dan tangannya menggarukgaruk kepala.
"Hei, Bocah Edan! Jangan coba-coba mencampuri urusan kami kalau kau tak ingin mati untuk kedua kalinya!" dengus Turangga Geni.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau ini. Mana ada orang mati hidup kembali dan mati lagi?" sahut Sena Manggala cekikikan. Bibirnya dimonyongkan mengejek Turangga Geni yang tampak kian geram.
Mendengar ejekan Pendekar Gila, Gendon yang punya watak tak sabaran segera melompat dan membabatkan senjatanya.
"Heit...! He he he.... Tidak kena, Gendut Hih..,!" Sena yang telah waspada sejak tadi dengan mudah mengelakkan serangan itu. Kemudian, melancarkan serangan balasan dengan telapak tangan terbuka.
Plakkk! Gendon terpekik kaget ketika pukulan telapak tangan Pendekar Gila yang kelihatan lamban dan tak bertenaga mendarat di dadanya. Tubuhnya langsung terpental ke belakang.
Turangga Geni pun kaget bukan main melihat liukan tubuh Sena yang bagaikan orang menari. Dengan gerakan selamban itu tangan Pendekar Gila mampu mendarat di dada Gendon. Mata Turangga Geni kian terbelalak ketika dilihatnya Gendon memuntahkan darah segar. Lelaki berperut gendut itu akhirnya tewas setelah meregang nyawa sesaat.
"Kurang ajar! Serang!" Turangga Geni memberi perintah kepada kedua kawannya.
Melihat ketiga Iblis Merbabu dengan ganas melancarkan serangan, Ki Ranujelaga tidak tinggal diam. Tubuhnya segera melompat menghadang.
Kakek itu bertarung melawan Gagak Ireng. Sementara Pendekar Gila menghadapi Luwing Sewu dan Turangga Geni. Dengan gerakan-gerakan konyol dan aneh pemuda berpakaian rompi kulit ular itu terus mengejek kedua lawannya.
"Huekkk...! Ayo, keluarkan buntut kudamu.
He he he! Jangan sampai kucabut kumismu yang tebal itu...," ejek Sena sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan lawan yang semakin ganas dan membahayakan. Sesekali kedua telapak tangannya berkelebat menepuk ke arah dada lawan. Gerakannya terlihat lamban dan seperti tanpa tenaga. Namun....
Plakkk! Luwing Sewu terpekik keras. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
Kedua tangan lelaki beralis tebal itu mendekap dadanya yang dirasakan remuk setelah terpukul telapak tangan Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Ternyata jurus 'Menepuk Lalat'ku masih berguna," Sena tertawa menyaksikan lawanya terjatuh dan muntah darah. Luwing Sewu pun menyusul kawannya, Gendon yang telah tewas lebih dulu.
Namun, belum juga tawanya berhenti, Turangga Geni telah menyerangnya dari samping. Diiringi teriakan keras penuh kegeraman lelaki berwajah bengis ini membabatkan sapu ekor kudanya.
Wrttt! Pratts! Cepat Sena melesat seraya mengibaskan Suling Naga Sakti yang diambil dari selipan di pinggangnya untuk memapaki serangan lawan.
Benturan kedua senjata itu menimbulkan suara keras diselingi jeritan kaget Turangga Geni yang terdorong limbung. Pendekar Gila pun sempat tergetar ketika mendarat di batu cadas yang agak licin.
Gelap telah turun mengiringi datangnya malam. Hujan gerimis pun belum reda.
Pertarungan itu terus berjalan semakin seru. Ki Ranujelaga yang menghadapi Gagak Ireng, meskipun tadi tangannya telah terluka, tetap mampu memberi perlawanan. Kakek berjubah putih itu menunjukkan kebolehannya. Beberapa kali lawannya sempoyongan menghindari jurus-jurus Ki Ranujelaga. Namun, satu ketika Gagak Ireng yang terkenal licik mengambil sesuatu dari balik bajunya. Dengan cepat sekali tangannya yang tergenggam dikibaskan. Srrats! Meskipun tahu gelagat lawan tak menguntungkan, Ki Ranujelaga tidak sempat mengelak. Senjata rahasia yang berupa serbuk hitam pun menerpa wajahnya, kakek itu mengerang dengan mendekap kedua matanya. Dalam keadaan seperti itu, Gagak Ireng dengan liciknya menerjang Ki Ranujelaga. Kedua tangannya yang membentuk cakar merejam wajah lawan.
Darah segar mengucur dari wajah kakek berjubah putih itu. Wajahnya tercabik Jurus 'Cakar Menyambar Nyawa' milik Gagak Ireng. Ki Ranujelaga hanya mampu merintih menahan sakit. Tubuhnya terguling di atas cadas berlumut. Pendekar Gila terkejut mendengar rintihan lirih itu. Ketika menoleh dilihatnya Ki Ranujelaga telah terkapar berlumuran darah. Jubahnya basah oleh air hujan bercampur darah. Pemuda berpakaian rompi kulit ular ini segera melenting ke udara ketika Gagak Ireng yang baru saja merobohkan Ki Ranujelaga tiba-tiba melompat. Dia membantu kawannya menghadapi Pendekar Gila.
Tanpa membuang-buang waktu, Sena segera mengerahkan jurus andalan. Dalam keadaan masih berada di udara dia menyatukan kedua tangannya di atas kepala. Dan, begitu mendarat kedua tangannya dihentakkan sambil mengeluarkan teriakan keras. Seketika sebentuk bola api melesat cepat memburu kedua lawannya.
Wusss! Pekikan keras menyayat hati memecah kesunyian malam. Kedua lelaki berpakaian serba hitam terpental jauh dengan tubuh terbakar. Keduanya langsung tewas setelah membentur dinding batu cadas di belakang mereka.
Pendekar Gila berlari menghampiri Ki Ranujelaga yang terkapar tak berdaya.
"Kek...." Sena berjongkok dan mengangkat kepala Ki Ranujelaga. Mulutnya meringis tak tega melihat luka parah di wajah kakek itu.
"Pendekar Gila, tolong selamatkan Pangeran Wisnutama. Dialah pewaris tahta kerajaan. Dia harus sampai ke istana. Saat ini dua musuh besar kerajaan tengah saling berebut tahta...," ujar Ki Ranujelaga lirih.
"Siapa kedua musuh besar itu, Kek?" tanya Sena ingin tahu.
Namun sayang, belum sempat didengarnya jawaban itu, Ki Ranujelaga telah menghembuskan napas terakhir.
Gerimis telah reda. Bulan setengah lingkaran menggantung di langit yang kelabu.
Setelah mengubur mayat Ki Ranujelaga dan keempat Iblis Merbabu, Pendekar Gila melesat meninggalkan kaki Gunung Srandil.


««««֍↨֍¦ 4 ¦֎֎»»»»

Embun pagi menguap di atas persawahan hijau yang terbentang luas. Cahaya kemerahan membias di ufuk timur meskipun sang surya belum menampakkan diri. Dari mulut sebuah desa tampak dua orang penunggang kuda berlari ke arah barat. Mereka tak menghiraukan hawa dingin yang masih menyelimuti bumi. Kedua lelaki berseragam prajurit kerajaan itu menggebah kudanya menembus kabut.
Namun, baru tiga puluh tombak meninggalkan mulut desa tiba-tiba mereka menarik tali kekang kuda hingga berhenti. Dengan perasaan kaget dan tak percaya kedua prajurit itu melompat turun dari punggung kuda.
"Pendekar Gila...!" gumam salah satu dari kedua prajurit itu. Matanya dibuka lebar-lebar. Ia ingin meyakinkan dirinya kalau sosok yang berdiri di depannya memang Pendekar Gila.
"Aha...! Kalian jangan bingung," ujar pemuda berpakaian rompi kulit ular yang berdiri menghadang kuda kedua prajurit itu.
"Kalian tentu tak percaya aku berada di sini," lanjutnya sambil cengengesan.
"Aduh. Maafkan kami, Tuan Pendekar!" Kedua prajurit itu membungkukkan badan.
Lalu, melangkah mendekati Pendekar Gila.
"Aku maklum," sahut Sena, ia mengetahui beberapa hari terakhir ini terdengar kabar santer kalau Pendekar Gila telah tewas.
"Hendak ke mana kalian pagi-pagi seperti ini?"
"Aduh, Tuan Pendekar. Kekacauan telah terjadi dalam istana," ujar prajurit yang bertubuh tinggi.
"Setelah kejadian yang mencelakakan Tuan Pendekar dan meninggalnya Kanjeng Gusti Galih Kertarejasa keadaan di istana semakin mengkhawatirkan."
"Hmm,... Aku telah mendengar sedikit tentang itu dari percakapan orang di dalam kedai kemarin siang. Keserakahan rupanya telah melanda pihak-pihak yang ingin memanfaatkan keadaan di istana. Lalu, bagaimana kabar terakhir tentang penguasa tahta kerajaan...?" tanya Sena dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Itulah sebabnya pagi ini kami ditugaskan untuk menjemput Gusti Pangeran Pramudya Wisnutama di Gunung Srandil. Yang mengkhawatirkan di Istana saat ini telah terbentuk dua kubu yang saling bermusuhan. Pertama pihak Patih Abiyasa yang mendukung kehendak permaisuri untuk mengangkat Raden Danuwirya sebagai pengganti Raja Galih Kertarejasa. Sementara pihak yang mendukung Kanjeng Senapati Saka Bawana menolak. Mereka bersikukuh untuk menunggu kedatangan Pangeran Pramudya...."
"Hm...." Sena menggumam tak jelas. Keningnya berkerut merasa ada sesuatu yang ganjil.
"Lalu, bagaimana sekarang...?"
"Di dalam istana tengah terjadi kekosongan kekuasaan. Inilah yang paling mengkhawatirkan.
Siapa yang berhak memerintah kerajaan" Sementara banyak pihak tidak percaya lagi kepada Patih Abiyasa sebagai orang kedua di istana."
"Bukankah Putri Sekar Arum juga berhak atas tahta kerajaan?" tanya Sena.
"Tidak. Selama masih ada Pangeran Pramudya, Putri Sekar Arum tidak punya hak atas tahta raja. Selain dia bukan putri mahkota, adat yang berlaku di kalangan istana mengutamakan seorang putra untuk duduk di singgasana. Memang kalau dilihat dari usia Putri Sekar Arum lebih tua dari Pangeran Pramudya. Tapi, dia bukan anak dari permaisuri. Kalangan kerajaan tahu Permaisuri Ayu Mustika dulunya seorang selir. Sedangkan permaisuri yang pertama adalah ibunda Pangeran Pramudya yang meninggal ketika terjadi pemberontakan dua puluh tahun silam." Sena Manggala manggut-manggut mendengar cerita prajurit itu. Baru diketahuinya kini kalau Putri Sekar Arum ternyata anak selir. Jelaslah baginya persoalan yang kini tengah melanda Istana Kerajaan Bumi Segara.
"Ketika itu Pangeran Pramudya Wisnutama baru berusia lima bulan. Ketika ibundanya meninggal akibat keganasan pemberontakan, Raja Galih Kertarejasa secara diam-diam mengirimkan putranya untuk dididik oleh Ki Ranujelaga. Hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan orang-orang dalam istana. Rupanya, ada suatu rahasia pribadi antara Kanjeng Gusti Galih Kertarejasa dan permaisurinya yang baru. Kami sendiri tidak tahu secara pasti. Keterangan ini baru kami dapat semalam dalam pertemuan rahasia di kediaman Ki Narotama, bekas senapati yang telah mengundurkan diri. Pertemuan yang diikuti para pendukung yang menuntut kembalinya Pangeran Pramudya itu memutuskan untuk segera menjemput putra mahkota. Tiga hari yang lalu kami telah mengirim dua orang prajurit ke Gunung Srandil. Tapi sampai saat ini mereka belum kembali.
Kami tidak tahu mereka sampai atau tidak." Cerita prajurit berusia lima puluhan itu semakin memperjelas persoalan bagi Pendekar Gila.
"Kedua prajurit itu sampai di tempat kediaman Ki Ranujelaga," sambung Sena.
"Lho, dari mana Tuan Pendekar tahu?"
"Ki Ranujelaga menyampaikan pesan padaku agar melindungi Pangeran Pramudya.
Kuduga Pangeran Pramudya telah berangkat bersama prajurit-prajurit utusan itu. Sayang aku terlambat..."
"Apa maksud Tuan Pendekar?" sela prajurit itu kaget "Ki Ranujelaga telah tewas karena Empat Iblis Merbabu menginginkan Pangeran Pramudya."
"Hh.... Ternyata benar dugaan kami dalam pertemuan semalam. Kejadian ini masih berhubungan dengan peristiwa pemberontakan dua puluh tahun silam," gumam prajurit yang bertubuh lebih pendek.
"Maksudnya, Naga Merah Dari Merapi...," duga Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Belum selesai Pendekar Gila mengucapkan kata-kata itu, kepalanya ditelengkan ke kanan seperti ingin memperjelas pendengarannya.
"Ada suara kaki kuda, Sobat," gumam Sena.
Kedua prajurit itu saling bertatapan. Mereka belum mendengar suara yang dikatakan Pendekar Gila. Tentu saja kemampuan mendengar mereka tak dapat disamakan dengan murid Singo Edan itu. Tak berapa lama kemudian barulah mereka mengangguk-anggukkan kepala membenarkan ucapan Sena. Ternyata benar. Dari arah barat tampak dua orang penunggang kuda menuju tempat mereka.
"Heh, Ganjar Seta dan Gamadi...!" ujar kedua prajurit itu hampir bersamaan.
"Bagaimana tugas kalian...?" tanya prajurit bertubuh tinggi ketika kedua penunggang kuda itu sampai di depan mereka.
"Mana Raden Pramudya?" Kedua penunggang kuda itu melompat turun lalu memberi hormat kepada prajurit bertubuh tinggi yang berjalan menghampiri mereka. Rupanya, prajurit ini mempunyai pangkat lebih tinggi di istana.
"Kami telah sampai dengan selamat dan bertemu dengan Ki Ranujelaga. Tapi, saat itu Pangeran Pramudya sedang tidak ada di tempat. Mungkin sekarang mereka sedang dalam perjalanan ke istana. Ki Ranujelaga bersedia menyertai Raden Pramudya ke istana...," jawab prajurit yang bernama Ganjar Seta. Mereka adalah utusan yang bertugas menjemput Pangeran Pramudya Wisnutama.
Pendekar Gila mengernyitkan kening. Sementara kedua prajurit yang tadi ditemuinya tampak saling berpandangan. Ada rasa penasaran dan pertanyaan besar di benak mereka.
"Ada yang tidak beres," ucap salah satu dari mereka. Sempat terlihat oleh Pendekar Gila wajah kedua prajurit itu memerah. Keduanya tentu saja bingung. Pertama mendengar kalau, Ki Ranujelaga telah tewas dan Pangeran Pramudya telah berangkat ke istana. Sementara kabar dari dua orang utusan itu mengatakan Ki Ranujelaga akan menyertai pangeran ke istana. Tentu gurunya itu tak akan tega membiarkan Pangeran Pramudya berangkat sendirian. Lalu, siapa yang telah menjem- putnya jika dugaan Pendekar Gila benar bahwa Pangeran Pramudya dijemput prajurit kerajaan"
"Hmm.... Kalau begitu kita harus segera melaporkan hal ini kepada Senapati Saka Bawana," ujar prajurit bertubuh tinggi. Lalu, menoleh kepada Pendekar Gila.
"Kami harap Tuan Pendekar sudi singgah di kediaman Ki Narotama. Di desa itu tempat tinggalnya." Prajurit itu menunjuk desa di sebelah timur mereka.
Tanpa membantah Pendekar Gila mengikuti ajakan prajurit itu.

***

Istana Kerajaan Bumi Segara yang berdiri megah tampak seperti biasa. Seolah tak pernah terjadi kekacauan yang kini tengah mengancam kelangsungan hidup kerajaan ini.
Di depan pintu gerbang istana empat orang prajurit bertugas menjaga. Sementara di luar kehidupan kotaraja pun tetap sibuk.
Pasar kota dan kedai-kedai tetap buka menjalankan kegiatannya.
Ternyata kekosongan kekuasaan itu hanya anggapan pihak-pihak yang mendukung kembalinya Pangeran Pramudya ke istana untuk memegang tampuk kekuasaan. Nyatanya, meskipun tidak resmi, Raden Danuwirya kini telah menduduki singgasana. Bagi kalangan istana dialah raja baru penguasa Kerajaan Bumi Segara" Permaisuri Ayu Mustika, ibundanya Putri Sekar Arum, karena dianggap banyak mengetahui tentang peraturan kerajaan diangkat sebagai penasihat. Sedangkan Patih Abiyasa yang berusia lima puluhan itu tetap menjabat sebagai patih.
Namun begitu, pemerintahan tetap belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Masalah penarikan upeti dan penanganan pasukan kerajaan belum dapat dijalankan. Banyak prajurit yang membelot mengikuti gerakan Senapati Saka Bawana. Beberapa menteri mengundurkan diri dari tugasnya. Bahkan, mereka memberi dukungan pada Senapati Saka Bawana dan kawankawannya.
Itulah sebabnya warga di luar istana tetap mengira kerajaan dalam keadaan kosong kekuasaan. Rakyat tetap menaruh harapan terhadap Pangeran Pramudya sebagai pewaris tahta kerajaan. Meskipun mereka menyadari sebagai rakyat biasa tidak memiliki hak untuk menentukan jalannya pemerintahan. Namun, rasa cinta dan pengabdian terhadap Raja Galih Kertarejasa menyebabkan timbulnya rasa memiliki dan kebersamaan untuk membina kedamaian negara.


««««֍↨֍¦ 5 ¦֎֎»»»»

"Berhenti...!" Teriakan keras itu terdengar ketika seorang prajurit yang tengah menggebah kuda tunggangannya melintasi tapal batas kota.
Seketika prajurit itu menarik tali kekang kudanya dan berhenti.
"Kakang Ganjar Seta," desis prajurit itu menatap lelaki gagah yang tengah berlari menghampirinya.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu. Bagaimana keadaan di istana saat ini?" tanya Panglima Ganjar Seta setelah berdiri dekat prajurit itu.
"Maafkan saya, Kakang Ganjar Seta. Saya harus segera sampai di Desa Tingal sore ini juga."
"Hm. Ada apa rupanya kau terburu-buru sekali, Gati?"
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan kepada Lurah Brajanala. Sebuah surat dari Patih Abiyasa."
"Bolehkan aku tahu isi surat itu?"
"Wah, maafkan. Sekali lagi maaf, Kakang Ganjar Seta."
"Gati, kalau kau tetap berada di pihak Patih Abiyasa keparat itu, berarti kau sedang berhadapan dengan musuh!" ujar Panglima Ganjar Seta dengan nada dingin. Matanya menatap tajam wajah prajurit bawahannya yang bernama Gati.
"Ingat Gati, kebenaran selalu berada di atas kejahatan. Kita punya calon pengganti raja yang lebih berhak atas tahta di istana!" Tergetar juga hati prajurit itu mendengar ancaman Panglima Ganjar Seta.
"Pangeran Danuwirya telah dinobatkan sebagai raja, Kakang Ganjar. Ini memang belum diumumkan keluar dari istana. Kabar yang tersebar di istana, Pangeran Pramudya telah diculik oleh anak buah Naga Merah Dari Merapi...."
"Bohong! Jangan kau mudah terhasut kabar bohong itu, Gati!" dengus Panglima Ganjar Seta penuh kegeraman.
"Kalau aku tak bertemu denganmu tentu aku masih percaya kabar itu, Kakang. Sebenarnya kami, para prajurit yang masih bertahan di istana, telah merasakan adanya ketidakberesan ini." Gati merogoh saku pakaiannya dan mengeluarkan sebuah gulungan dari kulit binatang. Lalu, diberikannya kepada Panglima Ganjar Seta.
Namun.... Singng! Singng! "Awas...!" Panglima Ganjar Seta berteriak sambil melontarkan tubuhnya ke samping kanan dan bergulingan di tanah.
Jrebs! Pekikan keras menyayat pun terdengar dari mulut Gati. Tubuh prajurit muda itu jatuh terjerembab berlumuran darah. Rupanya, dia tak sempat mengelak ketika serangan gelap meluncur datang. Mungkin karena hatinya masih diluputi rasa takut bertemu dengan Panglima Ganjar Seta yang merupakan atasannya. Prajurit itu tewas seketika dengan pisau kecil tertancap di dadanya.
Belum sempat Panglima Ganjar Seta berdiri tegap, tiba-tiba dari balik pepohonan berlompatan tiga orang berpakaian merah yang langsung menyerangnya Satu babatan pedang hampir saja menghantam pundaknya kalau Panglima Ganjar Seta tidak segera melompat ke belakang. Namun, serangan susulan lawan telah memburu dengan cepat. Kelihatannya mereka tak ingin memberi kesempatan kepada Panglima Ganjar Seta untuk menghindari maut. Crasss! "Akh!" Panglima Ganjar Seta terpekik kesakitan.
Pedang lawan berhasil membabat paha kanannya.
Tubuhnya limbung beberapa langkah dengan paha mengucurkan darah. Dalam kedudukan yang terdesak, Panglima Ganjar Seta terus berusaha menyelamatkan selembar nyawanya. Ia menyadari ketiga lelaki yang belum dikenalnya ini jelas memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Terlebih mereka menyerang secara bersamaan. Satu-satunya jalan terbaik baginya adalah mencari kesempatan untuk kabur jika tak ingin nyawanya melayang percuma. Sementara itu tanpa diketahui Ganjar Seta dan ketiga lawannya seorang penduduk desa menyaksikan pertarungan itu. Diam-diam lelaki tua itu berlari ingin melaporkan kepada prajurit di kotaraja.
Setelah berlari cukup jauh, lelaki tua itu akhirnya sampai di sebuah kedai makan tak jauh dari tapal batas kota. Dia langsung menyelonong masuk. Di dalam kedai ada dua orang prajurit kerajaan yang tengah terlibat pembicaraan dengan seorang gadis cantik berpakaian putih. Tanpa basa basi orang tua itu bergegas menghampiri mereka.
"Ampun, Tuan! Saya melihat Panglima Ganjar Seta telah bertarung dengan tiga orang berpakaian serba merah...." Mendengar laporan orang tua itu kedua prajurit kerajaan terkesiap. Mereka bangkit dari tempat duduknya. Gadis cantik yang di pundaknya tersampir sebilah pedang itu ikut berdiri.
"Di mana kau melihatnya, Ki?" tanya prajurit itu tak sabar. Sementara temannya telah melangkah keluar kedai diikuti gadis berambut panjang itu.
"Tak jauh dari luar tapal batas, Tuan," jawab lelaki tua dengan napas terengahengah. Mendengar jawaban lelaki tua, prajurit itu langsung berlari menyusul kawannya yang telah melompat ke punggung kuda. Kedua prajurit segera menggebah kuda mereka menuju tapal batas kota. Sedangkan gadis cantik bersenjata pedang masih berdiri di depan pintu kedai.
Namun kemudian gadis cantik itu melesat dengan kecepatan mengagumkan. Beberapa pengunjung kedai yang melihat tersentak kaget. Dalam sekejap tubuh gadis berpakaian putih telah berada jauh meninggalkan kedai.

***

Sampai di tempat pertempuran gadis itu tidak menemukan Panglima Ganjar Seta maupun ketiga lawannya. Setelah memeriksa sebentar tempat itu, dia segera melesat kembali ke arah barat.
Belum berapa jauh meninggalkan tempat bekas pertarungan gadis itu menghentikan larinya.
Telinganya mendengar suara pertarungan di sebelah selatan. Tanpa membuang waktu lagi tubuhnya melesat ke sana. Ternyata benar. Panglima Ganjar Seta yang sudah kepayahan terdesak hebat menghadapi gempuran ketiga lawannya.
"Hei, Cecunguk-cecunguk Lembah Merapi!" Teriakan keras dan melengking nyaring itu mengejutkan ketiga lelaki berpakaian serba merah yang hampir membabatkan pedang ke tubuh Panglima Ganjar Seta.
"Bedebah! Perempuan sundal mana beraniberaninya mencampuri urusan kami?" dengus salah seorang lelaki berpakaian merah. Ketiganya menatap tajam wajah gadis itu.
"Hadapi dia, biar aku habisi pengkhianat ini!" lanjutnya memberi isyarat kepada kedua kawannya.
Melihat kedua lelaki berpakaian serba merah menerjangnya, gadis berpakaian putih itu melolos pedang. Dengan gerakan cepat yang sulit diikuti mata biasa, dibabatnya pedang itu hingga menimbulkan deman angin keras.
Jrrab! Crass! Pekikan keras terdengar hampir bersamaan.
Tubuh kedua lelaki berpakaian serba merah terbanting keras. Darah berlumuran di tubuh mereka. Keduanya mengerang kesakitan dengan tubuh berkelojotan. Kemudian, dia tak bergerak-gerak lagi.
Melihat kedua kawannya tewas, lelaki yang menghadapi Panglima Ganjar Seta semakin murka. Dengan kemarahan yang meluap dia menyerang Panglima Ganjar Seta yang keadaan tubuhnya semakin lemah, karena telah terlalu banyak mengeluarkan darah. Namun ketika lelaki berpakaian merah hendak membabatkan pedang ke tu- buh Panglima Ganjar Seta, tiba-tiba....
Trangng! Benturan keras terjadi. Tubuh lelaki berpakaian merah terdorong ke belakang lalu jatuh terduduk. Sekujur tubuhnya dirasakan gemetaran.
Bahkan, tak mampu bangkit berdiri. Benturan senjatanya dengan pedang milik gadis cantik ternyata sangat keras. Tampaknya gadis itu tak tanggung-tanggung mengerahkan kemampuan tenaga dalamnya.
"Bangun! Ayo, bangun...!" bentak gadis itu dengan wajah memerah menahan geram. Kejengkelannya tak mampu dibendung lagi.
"Cecunguk sepertimu harus dimusnahkan dari muka bumi ini!" Ketika melihat lelaki berpakaian merah menggertakkan gigi, gadis itu semakin marah. Diangkatnya tinggi-tinggi pedang di tangan kanannya, siap menghabisi nyawa lawan.
"Mei Lie...!" Gadis itu tersentak kaget mendengar seseorang meneriakkan namanya. Kepalanya menoleh ke belakang.
"Kakang Sena...!"
"Tahan amarahmu, Mei Lie. Dia tak sanggup lagi melawanmu," ujar pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Pendekar Gila mendekati Mei Lie. Dipeluknya gadis itu. Seakan dengan berbuat begitu dapat meredakan kemarahan yang berkecamuk di dada kekasihnya.
"Tangkap dia, Senapati!" pinta Mei Lie kepada Senapati Saka Bawana yang datang bersama Pendekar Gila. Senapati Saka Bawana memandang dua orang prajurit yang tadi bertemu Mei Lie di kedai makan. Lelaki tua bertubuh tegap itu hendak memberi perintah, tapi ia ragu. Senapati Saka Bawana merasa tidak enak karena kedua prajurit itu tidak bergabung dalam kelompoknya.
Namun, kedua prajurit itu segera melangkah dan menangkap lelaki berpakaian merah.
"Kami bergabung denganmu, Senapati," ujar salah seorang prajurit itu setelah menarik tubuh lelaki berpakaian merah.
"Kuharap yang lain pun begitu...," jawab Senapati Saka Bawana. Kemudian, melangkah menghampiri Panglima Ganjar Seta yang terduduk lemas dengan tubuh berlumur darah.
"Bukalah ini, Kakang Saka!" ujar Panglima Ganjar Seta memberi gulungan kulit di tangan kanannya.
"Dari seorang prajurit yang ditugaskan untuk mengantarkan kepada Kepala Desa Tingal." Senapati Saka Bawana segera membuka tali pengikat surat. Pendekar Gila dan Mei Lie melangkah mendekati. Dengan suara perlahan Senapati Saka Bawana membacanya.
Ayahanda, Lurah Brajanala, Sampaikan kepada Gardawaka dan kawankawannya agar memberi tahu Ki Reksogeni.
Istana telah mengangkat Pangeran Danuwirya sebagai raja. Maka, kami minta bantuan kiriman pasukan untuk menjaga kemungkinan yang timbul dari para pengkhianat. Patih Abiyasa Semua yang berada di tempat itu terdiam mendengar surat yang dibacakan Senapati Saka Bawana. Senapati itu menggertakkan gigi menahan amarah. Matanya menatap langit merah tembaga di sebelah barat.
"Ada hubungan apa lurah itu dengan Patih Abiyasa, Kanjeng Senapati?" tanya Sena kepada Senapati Saka Bawana.
"Kau dengar tadi dia menyebut ayah kepada Ki Lurah Brajanala. Dia mantu kepala desa itu.
Sebelum Permaisuri Ayu Mustika dijadikan selir Kanjeng Gusti Galih, wanita itu telah diperistri oleh Patih Abiyasa. Orang-orang di lingkungan istana mengetahui hal itu.
Dugaanku, ini merupakan siasat licik Patih Abiyasa dan Ki Lurah Brajanala. Perlu kau ketahui, Tuan Pendekar, Ki Lurah Brajanala sedikit banyak memiliki andil ketika terjadi pemberontakan dua puluh tahun silam...." Senapati Saka Bawana menghentikan ucapannya ketika Panglima Ganjar Seta menyela.
"Bahkan aku mempunyai dugaan kuat Putri Sekar Arum adalah anak Patih Abiyasa...." Orang-orang terdiam mendengar ucapan Panglima Ganjar Seta.
"Mungkin benar dugaan Senapati Saka Bawana. Beberapa hari yang lalu, sebelum aku menguntit ketiga anak buah Ki Reksogeni ini, aku mendapat keterangan dari seorang dayang di istana," ujar Mei Lie memberi keterangan.
"Hubungan antara Patih Abiyasa dengan Permaisuri Ayu Mustika tetap seperti suami istri.
Apalagi, setelah mangkatnya Kanjeng Gusti Galih."
"Jadi, siapa Gardawaka yang disebutkan dalam surat itu, Mei Lie?" tanya Pendekar Gila.
"Kalau aku tak salah dialah yang bernama Gardawaka!" tuding Mei Lie kepada lelaki berpakaian merah yang terkulai di tanah. Rupanya, lelaki itu telah ditotok jalan darahnya oleh Senapati Saka Bawana karena khawatir akan melarikan diri.
Lelaki yang terpekur. Pendekar Gila melangkah mendekati Senapati Saka Bawana dan membisikkan sesuatu. Senapati Saka Bawana mengangguk-anggukkan kepala.
"Hei, bangun!" bentak Senapati Saka Bawana setelah menotok tubuh lelaki berpakaian merah.
"Benarkah kau bernama Gardawaka?" Lelaki berpakaian merah menggeliat bangun. Ia mengangguk mengakui.
"Ampunkan saya, Kanjeng Senapati."
"Hm. Sekarang bawa surat ini. Sampaikan kepada Ki Reksogeni. Pakailah kuda itu dan cepat berangkat!" perintah Senapati Saka Bawana penuh wibawa. Lelaki berpakaian merah yang ternyata bernama Gardawaka melangkah gontai mendekati kuda salah seorang prajurit. Kuda itu segera berlari meninggalkan mereka dengan membawa Gardawaka.


««««֍↨֍¦ 6 ¦֎֎»»»»

Dua sosok bayangan berkelebat melintasi mulut Desa Tingal di bawah cahaya bulan yang temaram. Setelah melewati jalan utama desa yang lengang, kedua sosok bayangan itu membelok ke arah barat. Yang dituju adalah rumah besar yang terletak di tengah desa. Tampaknya kedua sosok bayangan itu memiliki ilmu tinggi. Gerakannya begitu ringan dan cepat Beberapa tombak ke belakang rumah besar itu terdapat pohon-pohon besar yang dapat digunakan untuk menyelinap. Kedua sosok itu melentingkan tubuh dan hinggap di atas pohon tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Aha, inikah rumah kepala desa itu, Mei Lie?" Terdengar pertanyaan lirih dari atas pohon.
"Betul, Kakang Sena. Malam ini mereka akan kedatangan tamu istimewa. Dua puluh orang narapidana anggota pemberontak yang dua puluh tahun lalu dijebloskan ke penjara akan dibebaskan. Mereka disembunyikan di rumah Ki Lurah Brajanala sebelum bergabung dengan pasukan Lembah Merapi Merbabu." Mei Lie menjelaskan kepada Pendekar Gila.
"Hebat, hebat! Baru beberapa hari saja kutinggalkan kau dapat mengumpulkan banyak keterangan penting...," puji Sena cengengesan.
"Dari mana kau dapatkan berita penting ini?"
"Tadi siang, sebelum membekuk tiga orang begundal Ki Reksogeni, aku sempat berbincangbincang dengan dua orang prajurit di sebuah kedai."
"Ssst...!" Sena menutup mulut Mei Lie dengan kedua jarinya.
"Kau dengar suara langkah kaki kuda" Mungkin mereka datang. Mudahmudahan dugaanmu tidak melesat." Benar. Tak lama kemudian dari arah timur tampak tiga puluh penunggang kuda menuju rumah besar itu. Gemuruh suara kaki kuda memecah keheningan malam.
Sampai di depan rumah Ki Lurah Brajanala, mereka segera turun dan masuk ke rumah. Seorang kakek berusia tujuh puluh tahunan menyambut kedatangan mereka tanpa mengucapkan kata-kata apa pun. Tak seorang pun yang mengeluarkan ucapan dalam pertemuan itu.
Semua langsung masuk ke rumah besar.
Pendekar Gila yang menyaksikan kejadian itu hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.
"Rapi sekali cara kerja mereka. Semua rencana dapat berjalan lancar. Semua sepakat untuk tidak membuka mulut agar tak seorang pun mendengar rahasia mereka," gumam Mei Lie seraya memperhatikan ruang depan rumah besar yang diterangi beberapa obor dari bambu.
Pendekar Gila terlihat mengerutkan kening sambil menelengkan kepala. Dia tengah mengerahkan Ilmu Sapta Pangrungu yang mampu mendengar suara dari jarak jauh.
Sementara itu di dalam rumah Ki Lurah Brajanala tengah berlangsung pembicaraan antara Patih Abiyasa yang menyertai para narapidana dengan Ki Lurah Brajanala.
"Ayah, siang tadi kami menemukan mayat Sembada dan Gantar tak jauh dari tapal batas kota. Sampai kini kami belum dapat menduga siapa pelaku pembunuhan itu. Tapi, surat yang sedianya kami kirimkan kepada Ayah tidak berada di tangan Prajurit Gati. Herannya, Gati tewas tertusuk pisau yang kuketahui milik Gardawaka," tutur Patih Abiyasa kepada Ki Lurah Brajanala. Ki Lurah Brajanala mengangguk-angguk dengan kening berkerut dalam.
"Kita harus lebih waspada, Abiyasa. Menurut berita yang kudengar, murid Singo Edan telah berada di wilayah kita. Itu pasti tindakan orangorang Saka Bawana," ujar Ki Lurah Brajanala.
"Jadi, Pendekar Gila...?" Patih Abiyasa terkejut mendengar Pendekar Gila ternyata masih hidup.
"Tak seorang pun yang mampu menandingi kelihaian murid Singo Edan. Entahlah kalau Ki Reksogeni. Usahaku mencipta Pendekar Gila samaran ternyata gagal. Mungkin kalau waktu itu Singo Edan tidak turun tangan, pemuda itu akan kubantu dari jauh. Ilmu-ilmu yang kuberikan padanya semua sama dengan yang dimiliki Singo Edan...," tutur Ki Lurah Brajanala.
Pendekar Gila yang terus menyadap pembicaraan itu tersentak kaget. Baru sekarang dia tahu siapa yang berada di balik si durjana yang wajahnya mirip dengannya. Sungguh tak disangka Ki Lurah Brajanala ternyata teman seperguruan Singo Edan, gurunya. Sena jadi teringat cerita Singo Edan beberapa hari yang lalu. Bahwa, di daerah ini ada seorang teman gurunya.
"Apa yang kau dengar, Kakang Sena?" Tanya Mei Lie ketika dilihatnya Sena menggelenggelengkan kepala.
"Ternyata Pangeran Pramudya Wisnutama berada di tangan mereka. Kini diamankan di suatu tempat agar tidak berada di istana sampai peralihan kekuasaan terjadi. Ah ah ah.... Liciknya manusia itu. Memutarbalikkan keadaan dan membuat bingung orangorang...," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kita harus menyelamatkan Pangeran Pramudya," sahut Mei Lie.
"Kalau dia sampai tewas di tangan mereka, suasana akan semakin kacau.
Apalagi, jika kekuasaan kerajaan jatuh ke tangan orang seperti Ki Reksogeni."
"Hi hi hi...! Ternyata kau semakin pandai, Sayang ku," ujar Sena memuji kekasihnya.
"Tak kusangka wanita secantik dirimu memiliki ketajaman pikiran..."
"Kau selalu memujiku jika sedang kebetulan seperti ini, Kakang Sena," sahut Mei Lie seraya mencubit perut Sena. Pemuda berompi kulit ular itu meringis menahan sakit. Cubitan Mei Lie baru dilepaskan ketika Sena membalas cubitannya.
"Aahh...!" Gadis cantik itu menjerit lirih karena takut terdengar orang-orang di dalam rumah Ki Lurah Brajanala.
Sena tertawa geli melihat kekasihnya cemberut.
"Ah ah ah..., kau makin manis, Mei," ujarnya seraya menjentikkan ibu jari dan jari telunjuknya di depan hidung Mei Lie.
Sempat-sempatnya kedua muda-mudi itu bersenda gurau, meskipun tengah melakukan pengintaian yang mestinya dijalankan dengan sungguh-sungguh dan penuh waspada. Memang begitulah yang dilakukan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa semenjak keduanya bertemu.
Kecocokan hati mereka telah menimbulkan jalinan tali kasih. (Baca Pendekar Gila dalam episode: "Titisan Dewi Kuan Im").
Mei Lie sendiri merasa pertemuan dengan Pendekar Gila bagai telah diatur oleh Dewata. Sehingga, meskipun setiap kali orang yang bertemu mereka selalu menertawakan dan mencemoohkan tingkah laku Sena yang seperti orang gila, Mei Lie tak pernah menghiraukannya.
Teringat akan hal itu lunturlah kejengkelan yang tadi sempat timbul di hati Mei Lie. Perlahanlahan kepalanya direbahkan ke kaki Sena yang menyelonjor di batang pohon. Sena tampaknya memahami perasaan kekasihnya. Dielusnya rambut Mei Lie perlahan.
"Kita harus berjaga sampai pagi di pohon ini, Kakang Sena," ujar Mei Lie lirih.
"Ya, ya. Tadi sempat kudengar besok pagi Ki Lurah Brajanala dan orang-orangnya akan pergi ke tempat pengasingan Pangeran. Kita harus menyelamatkannya." Mei Lie mengangguk-anggukkan kepala.
Beberapa saat kemudian keduanya saling membisu. Tak ada suara kecuali desis angin malam yang menerpa dedaunan dan bunyi binatang malam.
Bulan keperakan menggantung di langit biru. Malam perlahan merayap saat dinihari terlewati. Di ufuk timur mulai tampak semburat warna kemerahan pertanda fajar menyingsing.
Tiba-tiba terdengar pintu rumah Ki Lurah Brajanala terbuka dan beberapa orang keluar. Tak lama kemudian, empat orang penunggang kuda melesat dari halaman rumah besar itu. Mereka adalah Ki Lurah Brajanala dan tiga orang tangan kanannya. Keempatnya menggebah kuda yang berlari ke arah barat.
"Kakang, Kakang Sena! Bangun!" bisik Mei Lie yang melihat Pendekar Gila menyandarkan kepala ke batang pohon dengan mata terpejam.
"Hup... et ets..., ehh!" Sena geragapan seperti kaget. Kemudian, menubruk tubuh Mei Lie hingga gadis itu terpeluk di dadanya.
"Ihh...!" Mei Lie mendorong tubuh Sena. Dedaunan pohon tampak bergoyang.
"Hi hi hi.... Kau kira aku tidur, ya?" ejek Sena dengan mulut cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Mei Lie kesal sekali melihat tingkah kekasihnya yang konyol.
"Lihat, mereka sudah berangkat..."
"Ya ya ya...," sahut Sena dengan mengangguk-anggukkan kepala dan mata dipejamkan.
"Hup!" Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu melompat turun mendahului Mei Lie. Dengan ringan sekali kedua kakinya mendarat di tanah. Mei Lie menyusul dengan gerakan serupa.
Sepasang pendekar muda itu melesat ke arah barat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam sekejap saja keduanya telah menghilang tertutup kabut pagi yang mulai turun ke bumi.


««««֍↨֍¦ 7 ¦֎֎»»»»

Brakkk! Meja ukir kayu jati itu hancur berkepingkeping dipukul Naga Merah Dari Merapi.
"Bedebah! Jadi, bocah edan itu masih hidup, heh"!" bentaknya dengan suara bergetar dan parau. Tangan kanannya terkepal kuat-kuat. Matanya seketika merah menahan amarah yang meluap-luap di dadanya.
Ternyata pemimpin Lembah Merapi Merbabu itu pun termakan kabar angin tentang tewasnya Pendekar Gila. Padahal, sebenarnya yang tewas dengan tubuh terbakar dalam duel antara Pendekar Gila dengan kembarannya adalah Pendekar Gila samaran. Memang tak ada yang tahu waktu itu Sena Manggala mengenakan pakaian putih. Hingga, lawannya yang mengenakan pakaian rompi kulit ular dikira Pendekar Gila. Meskipun saat itu Sena Manggala sendiri mengalami luka dalam yang sangat parah, tapi segera mendapat pertolongan dari gurunya, Singo Edan yang juga menyaksikan pertarungan itu. (Baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Petaka Seorang Pendekar").
Para pembesar istana Lembah Merapi Merbabu yang berkumpul di ruangan itu terdiam seribu bahasa. Tak satu pun yang berani mengucapkan kata-kata, baik tanggapan maupun saran. Mereka semua tahu kalau Ki Reksogeni telah murka, siapa pun tak akan mampu menghadapinya. Kemurkaannya adalah petaka bagi orang-orang di sekitarnya. Itulah sebabnya, malam itu bagi para pembesar Istana merupakan saat yang menegangkan. Entah apa yang akan terjadi seandainya kemarahan lelaki berjuluk Naga Merah Dari Merapi ini tak terkendali. Tak seorang pun di antara mereka yang berani menatap wajah Ki Reksogeni. Semua tertunduk ketakutan.
"Paman Senapati...," Ki Reksogeni memanggil Senapati Sentanu.
"Lekas baca surat itu!" Senapati Sentanu segera melaksanakan perintah itu. Dibukanya gulungan surat yang tadi dibawa Gardawaka dan dibacanya keras-keras. Ki Reksogeni mengangguk-anggukkan kepala dengan gigi geraham ditekan kuat-kuat. Pemimpin Lembah Merapi Merbabu ini tak tahan lagi ingin segera melaksanakan permintaan Patih Abiyasa.
"Kalau begitu, Paman Senapati, malam ini juga siapkan bala tentara! Besok pagi-pagi sekali kita harus sudah berangkat. Aku khawatir Pangeran Pramudya datang lebih dulu istana. Suasana akan bertambah kacau. Pendukungnya lebih banyak. Bahkan, tampaknya seluruh rakyat masih menanti kedatangan putra mahkota itu...," ujar Ki Reksogeni. Tapi, Gardawaka segera menyambuti.
"Ki Reksogeni, saya hampir lupa. Kabar yang kudengar dari Ki Lurah Brajanala, Permaisuri Ayu Mustika telah mengutus beberapa orang prajurit untuk menjemput Pangeran Pramudya. Atas saran Ki Lurah Brajanala, Pangeran Putra Mahkota akan dibawa di suatu tempat untuk diamankan, agar jangan sampai di istana dalam waktu dekat ini," tutur Gardawaka mengejutkan Ki Reksogeni.
"Heh"! Lalu, bagaimana dengan Empat Iblis Merbabu" Ada lagi yang tak beres di sini!" gumam Ki Reksogeni dengan mata membelalak.
"Sudah hampir sepekan mereka belum kembali. Aku khawatir mereka menemui kegagalan. Ah, sudahlah. Tapi kalau ceritamu benar, Pangeran Pramudya berarti sudah berada di tangan Patih Abiyasa. Ha ha ha...! Putraku tetap akan menduduki tahta raja. Tak lama lagi, Danu.
Tunggulah, ayahmu akan memberikan dukungan kuat...!" Lelaki berjuluk Naga Merah Dari Merapi itu tertawa gembira. Cita-cita yang telah dua puluh tahun lamanya tersimpan di hati kini hampir menjadi kenyataan. Dua puluh tahun ia menunggu kesempatan itu. Sampai putra tunggalnya direlakan diangkat menjadi anak oleh Prabu Wirabuana, penguasa Kerajaan Tanjung Anom yang tidak memiliki anak.
Namun, dulu ia tak menyangka sama sekali kalau perpisahan dengan putranya ternyata membuka jalan bagi cita-citanya.
Selama menjabat sebagai senapati di Kerajaan Bumi Segara ia telah mempunyai keinginan untuk merebut kekuasaan Raja Galih Kertarejasa. Keinginan menjadikan keturunannya duduk sebagai penguasa kerajaan itu ternyata mendapat dukungan dari Patih Abiyasa yang waktu itu masih menjabat sebagai senapati.
Siasat dan nasihat untuk merintis jalan ke arah sana diperoleh dari Ki Lurah Brajanala, mertua Patih Abiyasa. Namun ketika pemberontakan dilaksanakan, kegagalanlah yang diperolehnya.
Pasukannya banyak yang tewas di tangan tentara kerajaan. Bahkan, ia kabur untuk menyelamatkan diri.
"Paman Senapati, bagaimanapun kita harus segera mempersiapkan pasukan. Besok pagi-pagi sekali kita harus sudah berangkat menuju kotajara." Ki Reksogeni mengulang kembali perintahnya kepada Senapati Sentanu.
"Perjalanan dengan pasukan mungkin akan memakan waktu dua hari dua malam. Kalau kita tak segera berangkat, aku khawatir keadaan akan berubah. Apalagi Pendekar Gila kini berada di sana. Hm... Kenapa Pangeran Pramudya tidak dibunuh saja?" gumam Ki Reksogeni menyesali sikap Patih Abiyasa.
"Sulit, Ki Reksogeni. Yang menjalankan perintah penjemputan itu adalah para prajurit. Patih Abiyasa rupanya belum yakin benar terhadap dukungan mereka. Sehingga, tak mungkin Patih Abiyasa memerintahkan untuk membunuh Pangeran Pramudya," tutur Gardawaka yang banyak mendapat keterangan penting selama penyelusupannya ke kotaraja.
"Sementara kalau yang menjemput bukan orang-orang istana mungkin Ki Ranujelaga, gurunya, takkan mengizinkan Pangeran Pramudya pergi" Ki Reksogeni manggut-manggut. Diam-diam Naga Merah Dari Merapi mengagumi anak buahnya yang memiliki ketajaman pikiran ini.
"Baik. Kalau begitu kalian boleh bubar sekarang. Perintahkan kepada semua pasukan agar mempersiapkan perbekalan!" ujar Ki Reksogeni menutup pertemuan malam itu.
Para pembesar istana segera meninggalkan tempat pertemuan. Malam itu juga para prajurit dikumpulkan untuk mengadakan persiapan.


««««֍↨֍¦ 8 ¦֎֎»»»»

Telah lima hari lima malam Pangeran Pramudya berada di suatu tempat yang belum dikenalnya. Hingga sore ini berarti telah sepekan ia meninggalkan Gunung Srandil berpisah dengan Resi Ranujelaga. Semula ia tidak mengira akan mengalami kejadian seperti ini. Apalagi Ki Ranujelaga sendiri dengan tanpa menaruh curiga menyerahkan Pangeran Pramudya kepada keempat prajurit kerajaan yang menjemputnya.
Pangeran Pramudya baru menyadari penculikan itu ketika dirinya tidak dibawa ke istana. Padahal dia tahu, menurut cerita gurunya, saat ini istana kerajaan tengah dilanda masalah besar.
Pangeran Pramudya mencoba mencari akal untuk dapat lolos dari tempat pengasingan. Beberapa kali dia tanyakan kepada para prajurit yang menjaganya.
"Kami hanya menjalankan tugas untuk menjaga Raden. Kami sendiri tak mengetahui maksud semua ini...," begitu jawaban mereka selalu.
"Siapa yang memerintahkan kalian?"
"Permaisuri dan Kanjeng Patih Abiyasa."
"Tapi, mungkin hari ini atau besok Raden akan segera dijemput Ki Brajanala...," sahut prajurit yang lain.
"Siapa Brajanala...?" tanya Pangeran Pramudya dengan kening berkerut. Ia semakin tak mengerti.
"Masa' Raden tidak mengenalnya. Ki Lurah Brajanala bekas mertua Patih Abiyasa, ayahanda Permaisuri Ayu Mustika," jawab prajurit itu sambil tersenyum. Tersentak Pangeran Pramudya mendengar nama Ki Lurah Brajanala. Pernah didengarnya cerita dari gurunya kalau ayahandanya memiliki mertua seorang lurah. Namun ketika mendengar lurah itu juga mertua Patih Abiyasa ini sungguh sangat mengejutkannya.
Inikah yang dimaksud dua musuh besar kerajaan" Semula aku menduga hanya Ki Reksogeni yang menjadi musuh utama kerajaan, pikir Pangeran Pramudya.
"Kalau begitu, aku tak perlu menunggu Ki Lurah Brajanala!" ujar Pangeran Pramudya dengan wajah memerah.
"Aku harus segera berangkat ke istana...!"
"Raden, keselamatan jiwa raga Raden berada di tangan kami. Kami tak segan-segan bertindak kasar kalau Raden tidak menurut!" Tiba-tiba terdengar ucapan bernada dingin dari seorang lelaki bertubuh gagah yang berdiri di ambang pintu.
"Kurang ajar!" bentak Pangeran Pramudya marah.
"Kau anggap apa diriku"!" Pangeran Pramudya melompat hendak keluar dari bangunan tua mirip penjara. Namun lelaki berwajah bengis yang tidak mengenakan pakaian prajurit itu segera menyergapnya. Tangan kanannya melancarkan pukulan ke dada Pangeran Pramudya. Sebagai seorang pemuda yang telah memperdalam ilmu silat, Pangeran Pramudya melihat pukulan itu. Cepat tubuhnya dilemparkan ke kanan. Pukulan lelaki berpakaian coklat tua itu pun tidak mengenai sasaran. Begitu berhasil menghindar, Pangeran Pramudya melesat keluar.
"Kejar! Cepat kejar!" perintah lelaki berwajah bengis kepada para prajurit.
Enam orang prajurit memburu Pangeran Pramudya. Namun gerakan mereka kalah cepat dengan lelaki berwajah bengis yang telah melesat.
Gerakannya yang gesit dan ringan menunjukkan kalau ia memiliki ilmu yang tak dapat diremehkan.
Sesaat kemudian....
"Heaaat...!" Bukkk! Pangeran Pramudya memekik kesakitan.
Sebuah pukulan mendarat di punggungnya. Tubuh pangeran yang mengenakan pakaian putih itu terjungkal ke depan. Namun dengan gesit dia segera melompat bangkit. Bersamaan dengan itu pukulan tangan kosong lawan meluncur ke arah kepala.
Plakkk! Mulut Pangeran Pramudya meringis kesakitan ketika tangan kanannya berhasil memapaki pukulan lawan. Tampaknya, lelaki bengis itu mengerahkan tenaga dalam.
Mengetahui lawannya tak tanggungtanggung dalam melancarkan pukulan, Pangeran Pramudya segera mengerahkan kemampuan yang dimilikinya. Cepat pemuda itu melompat menghindari sebuah tendangan yang hampir menyambar perutnya. Dan, menyusulinya dengan melancarkan pukulan jarak jauh.
Wuttt! "Heit!"
"Rupanya kau punya kemampuan juga, Pangeran," ujar lelaki bengis setelah berhasil mengelakkan pukulan jarak jauh Pangeran Pramudya.
"Sedikit. Tapi untuk menghadapi begundal sepertimu aku tidak kewalahan!" Pangeran Pramudya merangsek maju dengan pukulan-pukulan cepat dan beruntun.
Namun, lelaki bengis itu ternyata dengan mudah mengelakkan setiap pukulannya.
Bahkan, pada satu kesempatan lawan melompat dan melancarkan dua pukulan beruntun dengan ibu jari. Gerakan itu dilakukan dengan cepat sekali ketika Pangeran Pramudya berusaha mencabut keris yang terselip di pinggang.
Pangeran Pramudya langsung terpekik. Tubuhnya lunglai dan jatuh ke tanah terkena totokan pada jalan darahnya.
Baru saja para prajurit yang berdatangan ke tempat itu hendak mengangkat tubuh sang pangeran, empat orang penunggang kuda menghampiri mereka.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya penunggang kuda yang berada paling depan.
"Ki Lurah. Pangeran kita berusaha melarikan diri," lapor lelaki berwajah bengis ketika melihat yang datang Ki Lurah Brajanala.
"Bunuh dia!" perintah Ki Lurah Brajanala menuding Pangeran Pramudya yang masih terkulai di tanah.
"Buang mayatnya. Kita tidak memerlukan pangeran ingusan itu!" Para prajurit tampak bimbang mendengar perintah Ki Lurah Brajanala.
"Ah ah ah...! Orang tua tak tahu diri kau, Ki Lurah!" Tiba-tiba terdengar ucapan seseorang yang diiringi tawa terbahak-bahak. Ki Lurah Brajanala sampai tersentak kaget. Sesaat kemudian, sesosok bayangan berkelebat cepat dan menyambar tubuh Pangeran Pramudya. Belum sempat para prajurit menyadari apa yang terjadi, sosok bayangan itu telah melesat pergi.
Melihat kejadian itu, Ki Lurah Brajanala melompat turun dari punggung kuda. Lelaki tua itu melesat hendak mengejar sosok bayangan yang membawa lari Pangeran Pramudya. Ketiganya pun tak ketinggalan menyusul Ki Lurah Brajanala.
"Hiaaat...!" Bentakan melengking nyaring mengejutkan keempat lelaki itu. Lari mereka terhenti ketika di depan telah berdiri menghadang seorang wanita cantik dengan pedang terhunus.
"Bidadari Pencabut Nyawa!" desis Ki Lurah Brajanala dengan mata terbelalak kaget.
"Apa yang kau inginkan dengan mencampuri urusan kami?"
"Kejahatan besar yang kalian perbuat harus ditumpas, Ki Lurah!" sahut Mei Lie dengan tatapan tajam menusuk wajah Ki Lurah Brajanala.
"Bedebah!" Ki Lurah Brajanala melompat setelah mencabut pedang di punggungnya.
Wuttt! Trangng! Serangan lelaki itu dipapaki pedang Mei Lie hingga menimbulkan bunyi berdentang keras. Ki Lurah Brajanala tergetar akibat benturan hebat itu. Mei Lie sendiri meringis merasakan getaran pada tangannya yang membuatnya seperti kesemutan.
Melihat kenyataan itu, ketiga kawan Ki Lurah Brajanala meluruk maju melancarkan serangan secara serentak. Mei Lie bergegas melompat mundur dengan mengayunkan pedangnya menangkis babatan dan tusukan senjata lawan.
Pertarungan serupun terjadi. Teriakan-teriakan mereka serta bunyi benturan pedang memecah keheningan sore di tempat itu.
Meskipun Mei Lie yang berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa mampu bergerak cepat dan lincah, keroyokan lawan-lawannya membuat gadis itu kewalahan. Gempuran hebat Ki Lurah Brajanala yang memiliki ilmu pedang sangat handal membuat Mei Lie tak sempat menggunakan ilmu andalannya.
Bahkan, ketika memasuki jurus kedua puluh lima, Mei Lie mendapat pukulan hebat dari lelaki berjubah biru, kawan Ki Lurah Brajanala. Gadis itu terpekik kesakitan. Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang.
Blukkk! "Hukh, uhh!" Mei Lie memuntahkan darah segar dari mulutnya. Pukulan lawan yang mendarat di punggungnya telah mengakibatkan luka dalam. Namun begitu, Mei Lie masih berusaha bangkit berdiri.
Tubuhnya sedikit goyah. Pandangannya dirasakan berkunang-kunang. Gadis itu bertekad untuk tetap menghadapi lawan, meskipun tahu sangat membahayakan jiwanya.
Dalam keadaan terluka, sedikit saja bergerak atau mengeluarkan tenaga bisa berakibat lebih parah. Namun diam tanpa berupaya sama artinya menyerahkan nyawa. Orang-orang golongan hitam seperti mereka takkan peduli biar pun musuhnya sudah tak berdaya.
Melihat Mei Lie bangkit berdiri, ketiga kawan Ki Lurah Brajanala berlari menghampirinya.
Mereka siap membabatkan pedang ke tubuh Mei Lie. Namun....
"Hiaaa...!" Trang! Trangng! Sesosok bayangan berkelebat dan menangkis ketiga pedang yang hampir saja mendarat di tubuh Mei Lie. Ketiga lelaki berjubah biru berpentalan jatuh.
"Ah ah ah...! Kenapa kalian hanya berani dengan seorang perempuan?" ejek pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Pendekar Gila.
"Bocah Edan, kau bawa ke mana Pangeran Pramudya"!" dengus Ki Lurah Brajanala menatap tajam pada Sena.
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan.
"Untuk apa kau simpan Pangeran Pramudya yang tengah ditunggu rakyat banyak, Ki" Akan kau jadikan dia Pendekar Gila sepertiku..." Hi hi hi, lucu! Ternyata kau pandai juga main sulap. Kenapa mesti jadi lurah" Keliling saja ke kota-kota main sulap, Ki!" Tak henti-hentinya Pendekar Gila mengejek Ki Lurah Brajanala.
"Serang!" Ki Lurah Brajanala yang murka bukan main mendengar ejekan Sena, segera memberi perintah kepada ketiga kawannya. Ketiga lelaki berjubah biru langsung melesat melakukan serangan.
"Hi hi hi...! Ini tukang sulap juga rupanya.
Ha ha ha... Tukang sulap berseragam biru! Brrttt...!" Sena memonyongkan bibirnya mengeluarkan bunyi seperti kentut.
Tubuhnya dilentingkan ke udara. Dan, dari atas dengan cepat Suling Naga Sakti di tangan kanannya diayunkan.
Wuttt! Pletakkk! Salah satu lawannya memekik kesakitan ketika suling itu memukul kepalanya. Namun belum sempat Sena mendarat ke tanah, pedang lawan yang lain telah menyambarnya.
Wuttt! "Hait!" Trang! Ditangkisnya sambaran pedang itu dengan Suling Naga Sakti. Kemudian, dilanjutkan dengan babatan ke arah perut. Pekikan kaget keluar dari mulut lelaki yang berjubah biru. Tubuhnya bergetar lalu jatuh. Namun dia segera bangkit berdiri.
Dengan geram lelaki itu melompat melancarkan serangan lagi.
"Hi hi hi.... Kalian seperti badut-badut tukang sulap. Ayo, maju, biar kukentuti mulut kalian...!" Mendengar ejekan yang menyakitkan telinga itu, Ki Lurah Brajanala terpancing amarahnya.
Tubuhnya segera melesat seraya mengayunkan pedang. Sambaran pedang itu terdengar menderuderu seolah tak ingin memberi kesempatan kepada Sena untuk mengeluarkan kata-kata ejekan.
Kini Pendekar Gila menghadapi keroyokan empat orang. Dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan' Sena memutar Suling Naga Sakti-nya memapaki setiap sambaran pedang lawan.
Namun, sebentar kemudian tubuhnya tiba-tiba berputar cepat bagaikan gasing. Melalui jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' gempuran keempat lawannya pun terpecah.
Keempat pengeroyoknya kalang kabut menghindari tubuh Sena yang berputar kencang.
Sebab, melancarkan serangan pun tak mampu mengenai sasaran. Dalam putaran itu Sena terus menggerakkan Suling Naga Sakti untuk menangkis.
Setelah sekian lama Pendekar Gila mempermainkan keempat lawannya, dia berhenti berputar. Mulutnya nyengir memandangi mereka yang terpaku dengan mata membelalak. Tapi, Ki Lurah Brajanala segera tersadar dari rasa kagetnya.
"Terimalah ilmu 'Pedang Pembelah Karang' ini. Heaaa...!" Dengan teriakan keras menggelegar, Ki Lurah Brajanala memutar pedangnya. Tiba-tiba pedang itu mengeluarkan sinar kuning yang menyilaukan mata.
Melihat lawannya mengerahkan ilmu andalan, Pendekar Gila dengan tenang meletakkan suling di bibirnya. Seketika terdengar bunyi melengking nyaring.
Sekejap kemudian, melesatlah selarik sinar merah. Srraatss! Glarrr...! Pekikan keras menyayat hati terdengar dari mulut Ki Lurah Brajanala. Ketika tubuhnya melompat hendak menghantamkan pedang, sinar merah dari suling berkepala naga milik Sena menghantamnya. Tubuh lelaki tua itu terlontar jauh ke belakang dan menghantam sebatang pohon besar.
Tubuhnya membiru. Sebentar Ki Lurah Brajanala berkelojotan, kemudian tewas! Ketiga kawan Ki Lurah Brajanala sempat tertegun melihat kematian pimpinannya. Tapi kemudian mereka melompat bersamaan melancar- kan serangan. Dengan cepat pemuda berpakaian rompi kulit ular itu menyatukan kedua telapak tangannya. Lalu, dihantamkannya ke arah ketiga lawan yang tengah memburu ke arahnya. Seketika angin dahsyat berhembus kencang menerpa ketiga lelaki berpakaian biru. Pekikan kematian terdengar susul-menyusul saat tubuh mereka menghantam pepohonan besar.
Sesaat kemudian, dari balik pepohonan bermunculan enam orang prajurit dan melangkah menghampiri Pendekar Gila.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar!" seru mereka hampir bersamaan. Keenam prajurit itu langsung berlutut di hadapan Sena.
"Kami tidak tahu-menahu dengan persoalan yang tengah terjadi. Kami hanya sekadar menjalankan tugas dari istana, Tuan Pendekar."
"Sudahlah. Kalian jangan berlaku seperti ini," ujar Sena dengan cengengesan.
"Kalian kuburkan mayat-mayat itu dan segera kembali ke istana." Pendekar Gila kemudian melangkah mendekati Mei Lie yang terduduk lemas tak jauh dari tempat itu. Diangkatnya tubuh gadis itu, lalu melesat pergi.


««««֍↨֍¦ 9 ¦֎֎»»»»

"Uhh...!" Pangeran Pramudya Wisnutama melenguh lirih. Tubuhnya menggeliat bangkit dari pembaringan batu di sebuah ruangan bangunan tua mirip penjara. Bangunan ini digunakan untuk menyekap dirinya selama beberapa hari, sebelum akhirnya ditolong Pendekar Gila.
Tak lama kemudian Mei Lie pun tersadar dari pingsannya. Wajah gadis itu masih sedikit pucat. Luka dalam yang dideritanya baru saja pulih setelah Pendekar Gila menyembuhkannya. Beberapa saat lamanya Sena mengalirkan hawa murni melalui kedua telapak tangan yang ditempelkan ke dada Mei Lie. Gadis berpakaian putih itu kini duduk bersila. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk memulihkan tenaga dalamnya.
"Dari mana Tuan Pendekar mengetahui tempat ini...?" tanya Pangeran Pramudya dengan suara agak parau.
"Ah ah ah... Jangan panggil aku dengan sebutan seperti itu, Raden!" sahut Sena cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Panggil saja aku Sena!"
"Baiklah. Tadi aku hampir tak percaya melihat kedatanganmu, Sena."
"Apakah Raden juga tahu kabar kematianku itu?" tanya Sena dengan mulut nyengir.
Pangeran Pramudya mengangguk.
"Dua orang prajurit yang datang lebih dulu bercerita banyak kepada Eyang Ranujelaga tentang kejadian yang melanda istana...."
"Hh..., Raden. Resi Ranujelaga telah meninggal beberapa saat setelah keberangkatan Raden bersama para prajurit itu." Tersentak Pangeran Pramudya mendengar ucapan Sena.
"Benar firasatku," gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
"Ketika mereka membawaku ke tempat ini, hatiku mulai merasa curiga. Siapa yang telah membunuh Eyang Guru, Sena?"
"Empat Iblis Merbabu. Mereka mengatasnamakan Ki Reksogeni. Tapi, mereka telah membayar lunas kematian Ki Ranujelaga," tutur Sena.
"Dari mana kau tahu tempat kediaman kami?"
"Aku membuntuti mereka setelah mendengar keterangan dari kawanku Dogol. Dia memperoleh banyak keterangan dari seorang dayang di istana."
"Ah, sungguh aku tak dapat mengungkapkan rasa terima kasihku kepada kalian!" ujar Pangeran Pramudya dengan menggeleng-gelengkan kepala. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia terharu teringat akan nasibnya. Seorang putra mahkota yang disingkirkan dari istana.
"Sudahlah. Yang penting kini Raden selamat Rakyat dan negara tengah menunggu kedatangan Raden. Meski di istana telah bertahta Pangeran Danuwirya, tapi rakyat tidak setuju. Mereka masih mengharapkan kedatangan Raden untuk menduduki tahta kerajaan...," ujar Mei Lie mengingatkan Pangeran Pramudya.
"Hmm. Berapa lama perjalanan ke istana, Sena?"
"Dengan mengendarai kuda mungkin sekitar sehari semalam. Tapi aku yakin kita bisa me- nempuhnya lebih cepat" jawab Sena cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, membuat Pangeran Pramudya tersenyum melihatnya.
"Sungguh aku buta dengan wilayah negaraku sendiri," gumam Pangeran Pramudya menyesali diri.
"Bukankah ini masih termasuk wilayah kerajaan, Sena?"
"Kurasa begitu, Raden," sahut Sena. Kemudian, menoleh kepada Mei Lie.
"Kau bagaimana, Mei...?"
"Kurasa sebaiknya kita segera berangkat, Raden," usul Mei Lie seraya bangkit dari duduknya.
Pangeran Pramudya mengangguk dan bergegas bangkit berdiri. Pendekar Gila dan Mei Lie pun melesat menyertai Pangeran Pramudya Wisnutama meninggalkan tempat pengasingannya.
Benar apa yang dikatakan Pendekar Gila.
Mereka tak harus memakan waktu sehari semalam untuk sampai ke kotaraja. Sena sengaja membawa Mei Lie dan Pangeran Pramudya menerobos hutan dan semak-semak, menyimpang dari jalan yang biasa dilalui orang jika ingin ke kotaraja.
Pendekar Gila tentu saja telah banyak mengetahui seluk-beluk tempat yang dilaluinya. Ia pernah menempuhnya ketika berusaha melarikan diri dari kejaran tentara kerajaan dan tokoh-tokoh persilatan yang menuduhnya telah menculik Putri Sekar Arum. Selama perjalanan, Sena menceritakan bagaimana dirinya hampir mengalami kekalahan hebat ketika bertarung dengan penculik Putri Sekar Arum. Untung saja Singo Edan turun tangan membantunya. Baru kali itu Pendekar Gila menemukan tokoh yang memiliki kemiripan ilmu dengan dirinya.
Ketika fajar menyingsing di ufuk timur, Pendekar Gila, Mei Lie, dan Pangeran Pramudya telah sampai dekat tapal batas kotaraja.
Atas saran Mei Lie, Pangeran Pramudya dibawa ke tempat kediaman Ki Narotama.
Pilihan itu diambil untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan jika pangeran langsung dibawa ke istana.
Namun baru saja ketiganya menginjakkan kaki di halaman rumah Ki Narotama, terdengar deru kaki kuda menuju rumah besar itu. Penunggang kuda putih melompat turun dan melangkah menghampiri Sena.
"Tuan Pendekar!" Prajurit itu membungkukkan badan.
"Ada kabar penting yang harus segera saya sampaikan kepada Senapati Saka Bawana," ujarnya mendahului Sena berlari masuk ke dalam rumah. Pendekar Gila, Mei Lie, dan Pangeran Pramudya segera menyusul masuk.
Senapati Saka Bawana, Ki Narotama, dan beberapa panglima tinggi kerajaan yang tengah menunggu kedatangan Pendekar Gila terkejut melihat kedatangan prajurit itu.
"Kanjeng Senapati, kami melihat serombongan pasukan datang dari arah utara.
Mereka berjumlah lima puluh orang dan semua menunggang kuda," lapor prajurit itu dengan napas terengah.
"Hmm. Mereka telah datang, Ki." Senapati Saka Bawana menoleh, menatap Ki Narotama.
"Ha ha ha...!" Pendekar Gila masuk dengan memperdengarkan tawa terbahak, mengejutkan semua yang ada di ruangan itu.
"Kami juga datang, Kanjeng Senapati!" Semua memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian kuning gading yang berdiri di samping Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Tentu kalian terkejut. Raden, merekalah para pendukung Raden," ujar Sena menoleh kepada Pangeran Pramudya yang memandangi mereka dengan tersenyum haru.
Mendengar ucapan Pendekar Gila, semua orang di ruangan itu bangkit berdiri. Lalu, berlutut di depan Pangeran Pramudya. Tak terkecuali prajurit yang baru saja menyampaikan laporan. Bahkan, dialah yang pertama memberi sambutan.
"Aduh. Ampunkan saya yang buta ini, Kanjeng Pangeran. Sungguh saya tak mengira kalau Pangeran yang datang bersama Tuan Pendekar Gila...."
"Sudahlah. Jangan kalian berlaku seperti itu. Tanpa kalian, apalah artinya diriku ini." suara Pangeran Pramudya bergetar. Matanya yang bening berkaca-kaca, tak mampu menahan rasa haru yang tiba-tiba menyemak hatinya.
"Kalau begitu, kita tak boleh berlama-lama berada di sini. Pasukan Lembah Merapi Merbabu telah datang," ujar Senapati Saka Bawana yang menjadi pemimpin gerakan itu.
"Kita cegat mereka sebelum sampai ke istana."
"Benar. Kanjeng Senapati. Saya khawatir saat ini pasukan kita yang bermarkas di utara telah bertempur dengan mereka.
Sedangkan kekuatan kita hanya sepuluh orang," sahut prajurit yang melaporkan kedatangan pasukan Ki Reksogeni.
"Maaf, Kanjeng Pangeran. Sudilah Raden tetap berada di sini dengan dijaga beberapa orang prajurit. Bukan kami meremehkan kemampuan Raden. Kami mengkhawatirkan kalau sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan, suasana bisa bertambah kacau. Rakyat dan negara mengharapkan keselamatan Raden." Senapati Saka Bawana mengucapkan kata-kata itu dengan hati-hati.
Takut membuat Pangeran Pramudya tersinggung.
"Hh.... Dengan berat hati aku menerima saran mu, Senapati," ujar Pangeran Pramudya, mengangguk.
Akhirnya Senapati Saka Bawana, Ki Narotama, Pendekar Gila dengan disertai beberapa prajurit dan panglima tinggi segera berangkat pergi.
Para prajurit dan panglima mengendarai kuda. Sedangkan Pendekar Gila, Senapati Saka Bawana, dan Ki Narotama memilih mengerahkan ilmu lari mereka. Sementara Mei Lie menerima saran Pendekar Gila untuk menjaga Pangeran Pramudya.


««««֍↨֍¦ 10 ¦֎֎»»»»

"Reksogeni! Kakang Reksogeni!" Patih Abiyasa berteriak dari atas punggung kuda putih. Ia memimpin sepuluh orang prajurit menyambut kedatangan pasukan Lembah Merapi Merbabu.
"Atas nama kerajaan, aku menyambut dengan gembira kedatangan pasukanmu!" Lelaki enam puluhan yang berpakaian ketat warna hitam itu kemudian melompat dari punggung kuda. Dihampirinya Ki Reksogeni yang telah turun dari kuda hitamnya.
"Ha ha ha.... Selamat berjumpa lagi, Adi Abiyasa! Kegagahanmu ternyata masih seperti dulu," ujar Ki Reksogeni yang mengenakan jubah merah menyala. Keduanya berjabat tangan dan saling berpelukan.
"Putramu menunggu di istana, Kakang Reksogeni," ujar Patih Abiyasa.
Dipersilakannya lelaki berjuluk Naga Merah Dari Merapi itu naik kembali ke kudanya. Patih Atriyasa sendiri segera melangkah menuju kudanya.
Namun, baru saja keduanya menarik tali kekang kuda, tiba-tiba....
"Haiii... para pengkhianat! Manusiamanusia busuk seperti kalian harus enyah dari muka bumi ini...!" Terdengar bentakan keras menggelegar yang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Para prajurit kelihatan sangat terkejut.
Semua menoleh ke arah suara bentakan itu.
Seorang lelaki setengah baya berpakaian lurik lengan panjang berdiri dengan gagahnya di belakang para prajurit kerajaan. Di samping kanannya berdiri lelaki tua berpakaian serupa. Matanya yang tajam menatap Ki Reksogeni dengan menyiratkan bara dendam.
"Saka Bawana, dan kau Narotama, apa yang kalian inginkan?" dengus Patih Abiyasa menentang pandang kedua lelaki berpakaian lurik itu.
"Huh! Keparat tak tahu malu! Seharusnya aku yang bertanya, untuk apa para pemberontak itu didatangkan kemari...?" bantah Senapati Saka Bawana.
"He he he...! Kalian tak berhasil bertindak apapun pada kerajaan, Bawana," sahut Patih Abiyasa terkekeh.
"Tahta raja telah diduduki Pangeran Danuwirya. Dan ketahuilah, Pangeran Danuwirya adalah anak Kakang Reksogeni." Terbelalak mata Senapati Saka Bawana dan Ki Narotama mendengar ucapan Patih Abiyasa. Selama ini mereka tidak mengetahui kalau Pangeran Danuwirya anak seorang pemberontak kerajaan.
"Dan, Sekar Arum adalah anakku, Saka Bawana. Ha ha ha...! Karena itu kukatakan, kalian tak berhak tahu urusan kami. Dua puluh tahun lamanya kami menunggu kesempatan baik ini.
Tanpa sepengetahuan kalian, kami telah mengatur siasat ini. Kuserahkan istriku, Ayu Mustika, ketika Raja Galih Kertarejasa menghendakinya untuk dijadikan selir. Inilah pembuka jalan bagiku untuk melanjutkan cita-cita. Aku ingin keturunan ku menduduki tahta Kerajaan Bumi Segara." Kegeraman Senapati Saka Bawana semakin menjadi-jadi. Wajahnya yang keras terlihat merah membara dengan mata membelalak tajam.
"Bedebah! Tak kusangka selama ini ada musuh dalam selimut. Abiyasa, ingat kekejian kalian tak akan mendapatkan hasil. Saat ini seluruh rakyat masih menunggu kedatangan Pangeran Pramudya. Asal kau tahu saja, Abiyasa dan kau Reksogeni, usaha kalian untuk melenyapkan Pangeran Pramudya telah gagal. Ki Lurah Brajanala keparat itu telah mampus di tangan Pendekar Gila!" Dengan penuh kemarahan Senapati Saka Bawana berkata kepada Patih Abiyasa yang kini diapit sepuluh prajurit pengiringnya.
"Kurang ajar!" bentak Patih Abiyasa murka.
Apalagi, ketika dilihatnya dari balik pepohonan bermunculan dua puluh orang prajurit Senapati Saka Bawana.
"Serang...!"
"Serbuuu...!"
"Serang...!'" Trang! Trang! Pekikan-pekikan keras penuh kemarahan terdengar susul-menyusul memecah keheningan pagi. Prajurit berkuda pendukung Senapati Saka Bawana berlari menuju kancah pertempuran.
Dengan penuh semangat, pasukan Lembah Merapi Merbabu yang dipimpin Senapati Sentanu pun menyambut mereka.
Seketika pertempuran sengit pecah. Dentangan suara pedang, golok, serta keris terdengar di sana-sini. Ditingkahi jerit kesakitan para prajurit yang bergelimpangan jatuh dari kuda tunggangannya.
Darah segar membasahi tanah berumput di pertigaan jalan tak jauh dari tapal batas kota itu.
Dalam sekejap belasan prajurit dari kedua belah pihak tewas berjatuhan.
Di tempat yang agak terpisah dari kancah pertempuran, Senapati Saka Bawana dengan gigih menghadapi Patih Abiyasa. Sambaran-sambaran keris lelaki berpakaian lurik itu berkelebatan mengancam. Namun sebagai seorang patih, Abiyasa bukan lawan yang enteng. Setiap tusukan dan sambaran senjata Senapati Saka Bawana dapat ditangkis atau dihindarkannya.
Keduanya bertarung dengan mengerahkan ilmu andalan masing-masing. Keris Senapati Saka Bawana memancarkan cahaya kemerahan setiap kali berkelebat. Tidak percuma ia diangkat sebagai senopati kerajaan. Kalau bukan Patih Abiyasa lawannya, mungkin sudah tewas termakan keris pusaka yang mampu mengeluarkan hawa panas itu.
Di tempat lain, Ki Reksogeni bertarung dengan Ki Narotama. Lelaki berjuluk Naga Merah Dari Merapi ini tak ingin memberi kesempatan pada lawannya untuk bertahan lebih lama lagi. Ki Narotama yang mantan senapati berusaha sekuat tenaga mengimbangi permainan lawan. Tapi, tampaknya sia-sia. Ilmu lawan jauh lebih tinggi di atasnya. Belum lima belas jurus pertarungan mereka, Ki Narotama telah terdesak hebat.
Bahkan, dalam satu kesempatan Ki Reksogeni mengebutkan jubah merahnya.
Wrrreettt! Suatu serangan dahsyat yang tak terduga sama sekali. Sabetan kain merah itu mengeluarkan hawa panas dan memiliki daya dorong yang sangat kuat. Tubuh Ki Narotama terlontar beberapa tombak. Padahal, sambaran itu belum mengenai tubuhnya.
"Tak kusangka Ki Reksogeni memiliki kemampuan sehebat ini," gumam Ki Narotama dengan mata membelalak heran. Ki Reksogeni dulu hanya seorang senapati yang kemampuannya tidak terpaut jauh dengan dirinya. Dua puluh tahun berpisah ternyata Ki Reksogeni telah mampu mengembangkan ilmunya secara mengagumkan.
"He he he... Kau tentu heran, Narotama.
Naga Merah yang kumiliki kini telah menyatu dengan jiwaku. Jangankan kau, Narotama. Bocah sinting murid Singo Edan itu pun dapat kupecundangi. Sudah tak tahan aku ingin meremukkan kepalanya!" Ki Reksogeni tertawa mengejek melihat keterkejutan Ki Narotama.
Tiba-tiba, Ki Reksogeni menoleh ke arah barat. Didengarnya gemuruh kaki kuda mendatangi tempat pertempuran. Dua puluh orang penunggang kuda datang. Mereka para narapidana yang beberapa hari lalu dibebaskan oleh Patih Abiyasa.
Keterkejutan Ki Reksogeni lenyap seketika.
Kini mulutnya menyunggingkan senyum gembira.
Para narapidana segera menyerbu pasukan pendukung Senapati Saka Bawana. Sesaat kemudian, dari arah selatan muncul lima belas orang penunggang kuda. Mereka para panglima dan prajurit yang semalam berada di rumah Ki Narotama.
Pertempuran yang jauh lebih seru berlangsung. Pasukan Senapati Saka Bawana yang mendukung Pangeran Pramudya terlalu keberatan menghadapi lima puluh pasukan Ki Reksogeni.
Apalagi, ketika para narapidana yang bengis dan tak kenal ampun membabi buta membantai lawanlawannya.
Jerit kematian berkumandang susulmenyusul. Prajurit Senapati Saka Bawana satupersatu berguguran. Sementara itu, Ki Narotama yang kewalahan menghadapi lawannya semakin terdesak hebat. Sebuah pukulan tangan kosong Ki Reksogeni mendarat telak di punggungnya setelah dia berhasil mengelak dari tendangan keras lawan.
Lelaki berpakaian lurik lengan panjang itu terpental ke samping dan bergulingan di tanah. Darah merah merembes dari sela-sela bibirnya.
Dengan mulut meringis menahan sakit, Ki Narotama berusaha bangkit berdiri. Tangannya memegangi dadanya yang terasa sesak. Pukulan lawan telah mengakibatkan luka dalam yang cukup parah. Baru saja dia berdiri, Ki Reksogeni telah melompat sambil mengebutkan jubahnya.
Wuttt! Brrrts! "Hah...!" Naga Merah Dari Merapi tersentak kaget Tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah.
"Hi hi hi...! Ada apa, Ki?" tanya seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tiba-tiba melesat dan memapaki sambaran jubah Ki Reksogeni.
"Kaukah bocah edan berjuluk Pendekar Gila itu..."!" Ki Reksogeni menatap penuh selidik Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Aha, begitulah orang menjuluki diriku," jawab Sena memicingkan mata kirinya.
"Hm. Sudah lama aku ingin bertemu denganmu, Bocah Edan! Kebetulan sekarang usil mengganggu urusanku!" dengus Ki Reksogeni. Sena hanya cengar-cengir mendengarnya.
"Ah ah ah.... Pemberontak busuk seperti dirimu harus dihukum gantung di depan rakyat, Reksogeni!"
"Kurang ajar! Heaaa...!" Naga Merah Dari Merapi membentak keras.
Ia melompat mengebutkan jubah merahnya. Terciptalah deman angin kencang serta hawa panas menyengat. Wuttt! "Hait!" Pendekar Gila yang telah menyaksikan jurus itu tadi, ketika Ki Reksogeni menyerang Ki Narotama segera melempar tubuhnya ke belakang.
Sambaran jubah yang telah berubah kaku itu hanya menghantam tempat kosong.
Mengetahui lawannya dapat menghindar, Naga Merah Dari Merapi segera memburunya dengan cepat. Kedua tangannya yang membentuk cakar raga berkelebatan menyambar tubuh Sena. Lelaki berjenggot tebal itu demikian gencar melancarkan serangan.
Pendekar Gila pun tampaknya tak ingin kecolongan. Menyadari lawannya bukanlah tokoh sembarangan, dia tak bisa berbuat gegabah. Untuk melecehkan seperti yang biasa dilakukan jika menghadapi lawan yang ringan kini tak bisa dilakukannya. Setelah meliuk-liukkan tubuh dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena kemudian memutar tubuhnya dengan cepat Melihat jurus aneh yang digunakan Pendekar Gila, Ki Reksogeni sempat terkesima.
Namun kemudian segera ditepiskan perasaan itu. Dia terus memburu Pendekar Gila dengan jurus 'Cakar Naga Api' yang menyebabkan jemari tangannya berubah merah membara. Gerakannya yang cepat membuat Sena agak kebingungan. Ketika jubahnya yang lebar dikebutkan kuat-kuat, tubuh Sena tergetar menahan deru angin kencang yang ditimbulkannya. Sampai....
"Hih!" Wrrett! "Aaakhh!" Pendekar Gila memekik tertahan. Sambaran jubah lawan menyerempet punggungnya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu terhuyung-huyung ke belakang. Hawa panas menyengat menjalari sekujur tubuhnya.
Tubuh Sena belum dapat berdiri seimbang ketika Ki Reksogeni melesat memburunya. Sepasang Cakar Naga Api yang merah membara menyambar tubuh Sena. Namun, Pendekar Gila melihat serangan ganas itu.
Cepat kakinya dihentakkan dan melenting ke udara.
"Huakhhh...!" Kegagalan serangannya membuat Naga Merah Dari Merapi murka. Geraman keras dikeluarkan lelaki berjubah merah itu.
Sementara dengan tubuh masih melayang di udara Sena menyadari betul musuhnya benarbenar menginginkan kematiannya.
Kesempatan yang hanya beberapa kejap itu dipergunakan Pendekar Gila untuk menepukkan kedua telapak tangan di atas kepala. Dan, saat mendarat dengan tegap di tanah dia menghentakkan kedua telapak tangannya yang terbuka ke depan.
'"Inti Brahma'! Heaaat..!" Wusss! Serangkum api melesat memburu Ki Reksogeni yang juga tengah mengerahkan ajian andalannya. Dari kedua tangan Ki Reksogeni melesat cahaya kuning memapaki serangan 'Inti Brahma' Pendekar Gila. Maka....
Wrrrs! Glarrr

***

Sementara jauh di tempat lain, di dalam istana kerajaan, tengah terjadi kekacauan. Belasan prajurit pendukung Patih Abiyasa yang ditugaskan berjaga di istana kewalahan menghadapi kemarahan rakyat. Entah siapa yang mengerahkan para penduduk kota untuk memasuki istana kerajaan.
Ratusan warga kota berbondong-bondong datang dan mengamuk di istana setelah para prajurit gagal mencegah mereka.
"Mana pangeran gadungan itu...?"
"Bunuh dia...!"
"Bunuh saja anak pemberontak keparat itu...!"
"Dia tidak berhak atas tahta kerajaan kita.
Cincang saja tubuhnya!" Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar di sana-sini. Mereka sebagian berhasil memasuki istana. Sebagian lagi tengah bertarung dengan para prajurit yang berjaga di pintu gerbang. Beberapa orang terlibat bahu-membahu untuk dapat melompati pagar istana.
Rupanya, salah seorang prajurit pendukung Senapati Saka Bawana telah memberitahu rakyat kalau Pangeran Danuwirya ternyata anak Ki Reksogeni. Bukan putera mahkota dari Kerajaan Tanjung Anom.
Di dalam istana, Permaisuri Ayu Mustika dan Putri Sekar Arum kebingungan dan ketakutan. Demikian pula dengan Pangeran Danuwirya. Di kamar pribadi Raja Galih Kertarejasa mereka menyembunyikan diri. Pangeran Danuwirya telah menghunus pedang untuk menjaga kemungkinan masuknya warga kota ke ruangan itu.
Ternyata benar. Dari luar terdengar gemuruh kaki mendekati kamar itu. Sesaat kemudian pintu digedor dengan keras. Beberapa lelaki dengan berbagai macam senjata tajam telah berdiri di depan pintu kamar.
"Keluar kau, Keparat! Pangeran gadungan anak pemberontak, Bangsat! Keluar! Keluar!" Seorang lelaki separo baya menggedor-gedor pintu kamar dengan penuh kemarahan. Sebenarnya mereka menyadari tindakan seperti itu tidak layak dilakukan di dalam istana. Namun, rasa benci dan marah setelah mengetahui yang berkuasa di istana ternyata musuh besar kerajaan memaksa mereka mengenyahkan rasa rikuh dan tidak sopan.
Ketika tidak mendapat sahutan dari dalam kamar, salah seorang yang bertubuh kekar menendang pintu. Tapi, pintu kayu berukir itu terlalu kuat untuk dirobohkan. Baru setelah tiga orang melakukannya secara serentak, tiba-tiba pintu dibuka dari dalam.
"Heaaa...!" Wuttt! Crrasss! Crabb! Pekikan keras terdengar menyayat. Tiga orang penduduk yang tadi hendak mendobrak pintu terjungkal dengan tubuh berlumuran darah.
Seorang dadanya terbelah. Dua orang lagi leher dan perutnya robek. Rupanya, Pangeran Danuwirya yang telah bersiap-siap dengan pedangnya bergerak cepat membuka pintu lalu membabat dan menusukkan senjatanya.
Melihat kejadian itu para penduduk yang berada di luar kamar bertambah marah. Mereka menyerbu masuk. Terjadilah pertarungan seru di dalam kamar. Teriakan-teriakan Putri Sekar Arum dan ibunya meningkahi pekikan para penduduk yang mengeroyok Pangeran Danuwirya.
Pangeran Danuwirya ternyata bukan pemuda sembarangan. Di dalam ruangan yang tidak seberapa luasnya dan menghadapi keroyokan lima orang penduduk bersenjata tajam, dia mampu mengatasi. Ketika salah seorang penduduk membabatkan parangnya, Pangeran Danuwirya melompat keluar dari kamar. Beberapa orang yang berada di luar langsung menghujaninya dengan sabetan dan tusukan golok serta parang. Namun sekali lagi pemuda bertubuh gagah dan berwajah tampan itu berhasil mengelakkan diri dengan bergulingan di lantai. Ketika itulah Pangeran Danuwirya mendengar jeritan istrinya, Putri Sekar Arum, dari dalam kamar.
"Diajeng...!" Pangeran Danuwirya menyambuti jeritan Putri Sekar Arum. Ketika dia menoleh ke pintu terlihat Putri Sekar Arum dan ibunya telah ditangkap dua orang pengeroyoknya.
"Hiaaa...!" Pangeran Danuwirya melenting dan bersalto beberapa kali di udara. Cepat pedangnya berputar menyambar beberapa orang di bawahnya. Seketika pekikan-pekikan keras terdengar dari mereka yang terbabat pedang Pangeran Danuwirya.
Pangeran Danuwirya berhasil mendarat dengan sempurna tepat di depan Putri Sekar Arum dan ibunya. Namun sayang, seorang penduduk yang menggenggam golok besar telah lebih dulu membabatkan senjata itu ke tubuh Pangeran Danuwirya. Babatan penuh kemarahan itu mendarat telak punggung kanannya.
"Kangmas...!" Putri Sekar Arum berteriak panik melihat suaminya terhuyung-huyung dengan punggung mengucurkan darah segar. Pemuda tampan itu berusaha tetap berdiri. Namun, rasa sakit yang mendera punggung membuatnya sempoyongan. Sekali lagi seorang penduduk membabatkan parang. Tapi, Pangeran Danuwirya sempat melihatnya. Dengan gerakan yang tidak begitu cepat dia berhasil mengelakkan serangan mengerikan itu. Ketika langkahnya terjajar mundur itulah sebuah tendangan keras mendarat di punggungnya yang telah robek oleh babatan golok.
Pangeran Danuwirya terjungkal ke lantai.
Beberapa saat tubuhnya menggeliat-geliat dengan mulut mengerang kesakitan. Para penduduk memperhatikannya. Permaisuri Ayu Mustika dan Putri Sekar Arum menangis pilu melihat Pangeran Danuwirya dalam keadaan luka parah.
Dua orang penduduk mendekat dan mengangkat tubuh Pangeran Danuwirya yang telah sekarat. Bagaimanapun bencinya mereka, melihat penderitaan pemuda itu rasanya tak sampai hati.
Entah apa yang akan dilakukan para penduduk itu. Mungkin akan ditolongnya, meskipun jika selamat tetap akan mendapat hukuman sebagai musuh kerajaan.
Namun baru beberapa langkah mereka menggotong tubuh penuh darah itu, kepala Pangeran Danuwirya terkulai ke samping kiri. Nyawanya telah putus saat itu juga.
Putri Sekar Arum dan Permaisuri Ayu Mustika langsung menghambur memeluk tubuh Pangeran Danuwirya. Ibu dan anak itu menangis sejadi-jadinya.
Para penduduk menangkap dan mengamankan Putri Sekar Arum dan Permaisuri Ayu Mustika. Keduanya sebagai tahanan pihak kerajaan yang tetap akan mendapat ganjaran berupa hukuman.


««««֍↨֍¦ 11 ¦֎֎»»»»

"Aaakhh...!"
"Aaakhh...!" Tidak hanya Pendekar Gila dan Ki Reksogeni yang mengeluarkan jeritan kesakitan.
Para prajurit yang sedang bertempur pun mengerang dengan tubuh meregang. Ada pula yang bergulingan di tanah. Hawa di sekitar tempat pertempuran berubah panas menyengat setelah terjadi benturan hebat dua kekuatan api milik Pendekar Gila dan Ki Reksogeni. Pendekar Gila yang terdorong beberapa langkah ke belakang langsung menyatukan kedua telapak tangan di atas kepala. Pemuda itu mengerahkan ajian 'Inti Salju' untuk mengusir hawa panas yang menyelubungi udara di sekitar tempat pertempuran. Sayang, belum berhasil Sena mengeluarkan ajian itu Naga Merah Dari Merapi telah berteriak keras. Suara dahsyat yang menggetarkan itu membuat beberapa prajurit yang tengah dilanda hawa panas terjungkal ke tanah. Yang lain menutup kedua telinga dengan telapak tangan sambil menahan getaran di tubuhnya. Nampaknya, prajurit-prajurit itu mengerahkan tenaga dalam untuk menahan pengaruh getaran. Namun apa yang terjadi" Telinga mereka mengeluarkan cairan merah. Darah! Pendekar Gila yang berhasil membebaskan diri dari pengaruh getaran segera menyadari keadaan itu. Marabahaya akan menimpanya kalau sedikit saja ia lengah menghadapi musuhnya. Sena teringat bagaimana dirinya ketika berhadapan dengan Pendekar Gila samaran. Kemampuan dan ilmu tokoh-tokoh golongan hitam ternyata banyak yang melebihi dirinya.
Sambil tetap mengerahkan tenaga dalam untuk menahan pengaruh teriakan Ki Reksogeni, Pendekar Gila meloloskan Suling Naga Sakti-nya.
Dengan tubuh gemetaran Sena menempelkan badan suling ke mulutnya. Terdengarlah suara yang melengking nyaring. Sebentar meninggi sebentar kemudian menurun, mengalunkan lagu yang sulit diterka iramanya.
Mendengar alunan suara suling wajah tokoh berjuluk Naga Merah Dari Merapi tampak berubah. Hatinya tergetar hebat. Sambil menggeram dia menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
Sepasang matanya yang tajam berubah merah. Sekejap kemudian, dihentakkannya kuat-kuat kedua telapak tangannya ke depan.
Wusss! Slats! Bersamaan dengan hentakan tangan Ki Reksogeni yang mengeluarkan angin panas, melesat selarik sinar kemerahan dari sepasang mata kepala naga di suling Pendekar Gila. Hingga....
Glarrr...! "Huakh...!" Ledakan keras menggelegar ketika kedua kekuatan dahsyat itu bertabrakan di udara. Dengan tubuh terdorong ke belakang, Naga Merah Dari Merapi memekik keras. Pendekar Gila pun tak luput dari pengaruh dahsyat itu. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh ke tanah. Keduanya segera bangkit berdiri. Ki Reksogeni tampak murka sekali. Ia memutar kedua tangannya. Kejadian yang membuat para prajurit terkejut terlihat di tubuh lelaki berjubah merah itu.
Tubuh Ki Reksogeni berubah wujud menjadi seekor ular naga besar. Sepasang matanya menyala-nyala. Mulutnya yang besar mengeluarkan raungan-raungan keras, seolah hendak menelan tubuh Pendekar Gila. Naga besar berwarna kemerahan itu meliuk-liuk dengan sepasang cakarnya yang berkuku tajam, menyambar-nyambar tubuh Sena. Namun dengan gesit dan secepat kilat Pendekar Gila melompat ke sana kemari mengelakkan serangan naga jelmaan itu.
"Hi hi hi...! Ki Reksogeni, kenapa kau ubah dirimu jadi belut macam begitu" Hea...!" Sena melompat tinggi menghindari sambaran cakar naga jelmaan Ki Reksogeni.
Ketika Sena berhasil menjauh dari lawannya, Suling Naga Sakti dilemparkan ke tanah. Dari badan suling tampak asap putih keluar mengepul ke udara. Asap putih itu bergulung-gulung membentuk sesosok makhluk. Ketika asap putih sirna terlihatlah seekor ular naga berwarna keemasan.
Binatang itu langsung bergerak menghadang naga merah yang hendak memburu Pendekar Gila.
"Hrrrkhhh...!"
"Hoarrrkhh...!" Kedua naga itu akhirnya saling belit. Saling cakar dan menggigit. Berusaha membinasakan satu sama lain.
"Hi hi hi...! Bertarunglah kau melawan nagaku, Ki Reksogeni...!" Para prajurit yang tadi bertempur dengan sengitnya kini terhenti dan terkesima menyaksikan pertarungan aneh itu. Mereka lupa dengan keadaan masing-masing yang tengah berada di medan laga. Ketika suasana tegang menyelimuti medan pertempuran, dari arah selatan tampak dua orang penunggang kuda. Seorang pemuda berpakaian kuning gading, dan temannya seorang wanita cantik berambut panjang. Mereka adalah Pangeran Pramudya Wisnutama dan Mei Lie. Keduanya pun terkejut melihat pertarungan kedua naga itu.
Sementara Pendekar Gila memusatkan batin dan pikirannya. Kedua tangannya diangkat ke atas kepala. Kemudian, perlahan-lahan ditariknya ke dada dengan kedua telapak tangan telah saling menempel.
"Hhh.... Ilmu siluman seperti itu harus kumusnahkan dengan 'Ilmu Tamparan Sukma'. Tak ada jalan lain bagiku," gumam Sena dalam hati.
Sena mendorong kuat-kuat kedua telapak tangannya ke depan sambil mengeluarkan bentakan keras.
"Hah...!" Jlegarrr...! "Hooaarrkhh...!" Naga merah jelmaan Ki Reksogeni meraung keras menggetarkan tempat pertarungan. Pukulan Pendekar Gila yang tidak berwujud menghantam tubuhnya. Naga itu terdorong beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya jatuh bergulingan di tanah.
Binatang itu meronta-ronta kesakitan. Beberapa saat kemudian, naga jelmaan itu berubah kembali menjadi Ki Reksogeni. Lelaki berjubah merah yang wajahnya kini memucat itu membelalakkan mata penuh kegeraman. Dalam keadaan tubuh masih goyang, dia sempat mengebutkan jubahnya melancarkan serangan.
Pendekar Gila yang tak menduga serangan tiba-tiba itu tentu saja terkejut. Ia menduga dengan Ilmu Tamparan Sukma lawannya akan hancur menjadi debu. Sena melompat ke samping untuk menghindar. Namun gerakannya terlambat. Serangan jubah merah Ki Reksogeni berhasil menghantam tubuhnya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu terlontar belasan tombak ke belakang. Dan, jatuh tak jauh dari tempat Mei Lie dan Pangeran Pramudya berada.
"Kakang Sena...!" Mei Lie tampak khawatir sekali. Sambil meringis menahan sakit, Pendekar Gila bangkit berdiri. Ketika dilihatnya Mei Lie telah melesat, Sena tak rela Mei Lie nekat menghadapi Ki Reksogeni yang diketahuinya berilmu sangat tinggi. Pendekar Gila cepat melesat memburu Mei Lie.
"Mei Lie!" teriak Sena.
"Biarkan Naga Sakti menghadapinya. Akan ku coba sekali lagi mengerahkan Tamparan Sukma sebelum dia menjelma kembali menjadi naga...!"
"Aku akan membantumu dengan Ilmu 'Pedang Tebasan Batin', Kakang Sena!" balas Mei Lie. Pendekar Gila hanya mengangguk sambil nyengir Kedua muda-mudi itu mendekati Ki Reksogeni yang tengah kewalahan menghadapi serangan Naga Sakti jelmaan Suling Naga Sakti.
Namun baru saja Mei Lie dan Sena berhasil mendekat, Ki Reksogeni menghantamkan sebuah pukulan dahsyat ke arah naga lawan.
Wusss! Jlegarrr...! "Hooaarrkh...!" Naga Sakti meraung keras. Tubuhnya berubah kembali menjadi Suling Naga Sakti.
Ki Reksogeni yang berjuluk Naga Merah Dari Merapi memang tokoh yang sangat lihai. Ilmu silumannya mampu menahan keampuhan Ilmu 'Tamparan Sukma' Pendekar Gila. Padahal, ilmu itu sanggup membinasakan siluman macam apa pun. Kini, Pendekar Gila dan Mei Lie mencoba menggabungkan ilmu andalan mereka. Ilmu 'Pedang Tebasan Batin' yang mampu menghancurleburkan tubuh lawan akan digabung dengan Tamparan Sukma.
Keduanya telah bersiaga ketika Ki Reksogeni mengalihkan perhatian kepada mereka.
"Heaaa...!" Wuttt! Lelaki berjubah merah itu mendorong kedua telapak tangannya. Namun, Sena dan Mei Lie yang bersiaga penuh segera melentingkan tubuh ke udara. Sambaran angin kencang berhawa panas itu pun tak mengenai sasaran.
Glarrr...! Glamr...! Brakkk! Dua batang pohon besar terhantam serangan Ki Reksogeni. Keduanya langsung tumbang dengan batang gosong seperti terbakar.
Ketika berhasil mendarat di tanah dengan sempurna, Sena tak mau membuang-buang waktu. Dihantamkannya Ilmu 'Tamparan Sukma'. Wusss! Brrets! Terhantam telak pukulan jarak jauh Sena, Naga Merah Dari Merapi terhuyung ke depan beberapa tombak. Ketika berhasil mengembalikan keseimbangan tubuhnya, sebuah sambaran pedang Mei Lie melesat dari samping.
Wuttt! Crrass! Pedang Mei Lie berhasil mengenai lawan.
Tapi, lelaki berjubah merah itu tak menghiraukan tangannya yang tersambar pedang Mei Lie. Memang, bekas sambaran itu tidak memperlihatkan luka atau goresan sedikit pun. Tentu saja kenyataan ini mengejutkan orang-orang yang menyaksikan pertarungan.
Ki Reksogeni hendak mengebutkan jubahnya menyerang Mei Lie yang masih berjarak dua tombak di depannya. Tapi, Pendekar Gila telah mendahului. Pemuda berambut gondrong itu mengulangi lagi pukulan ilmu 'Tamparan Sukma'-nya. Jleglarrr...! Tak terdengar teriakan atau erangan dari mulut Ki Reksogeni. Tubuh lelaki berjubah merah itu retak-retak bagai sebuah batu pualam. Sesaat kemudian, ketika angin berhembus keras, tubuh tua itu hancur menjadi debu! Semua yang berada di tempat pertempuran terkejut. Anak buah Naga Merah Dari Merapi maupun para prajurit kerajaan membelalakkan mata penuh takjub dan heran. Mereka tak percaya melihat apa yang baru saja terjadi.
Bagai tersadar dari sebuah mimpi, mereka kemudian saling berpandangan. Ketika menyadari keadaan, pasukan Lembah Merapi Merbabu yang tinggal lima belas orang serta-merta menjatuhkan diri di depan Pendekar Gila.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Kami kalah. Kami menyerah. Ampunkan nyawa kami!" Begitu pula prajurit yang mendukung Patih Abiyasa. Mereka yang tinggal lima orang langsung berlutut di depan Sena ketika mengetahui Patih Abiyasa telah tewas di tangan Senapati Saka Bawana. Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala sambil cengengesan.
"Bukan kepadaku kalian minta ampun. Kalian tetap akan mendapat hukuman dari raja. Mohonlah ampun kepada Kanjeng Pangeran Pramudya," ujar Sena menunjuk Pangeran Pramudya yang masih duduk di punggung kuda putih tak jauh dari tempat itu.
"Prajurit, tangkap mereka!" Senapati Saka Bawana memberi perintah pada anak buahnya.
Beberapa prajurit dan panglima, termasuk Panglima Ganjar Seta, segera meringkus para pemberontak. Mereka digiring menuju Pangeran Pramudya yang memandang mereka dengan wajah dingin.
"Kanjeng Pangeran, semua kami serahkan pada Raden," ujar Senapati Saka Bawana.
"Bawa mereka ke istana. Kita beri ganjaran sesuai dengan hukum yang berlaku!" titah Pangeran Pramudya.
Para pemberontak itu pun digiring menuju tapal batas kotaraja. Mereka berjalan beriringan menuju istana. Di belakang mereka Pangeran Pramudya berdampingan dengan Senapati Saka Bawana dan Ki Narotama mengiringi dengan menunggang kuda. Sementara Mei Lie dan Pendekar Gila berjalan kaki.
"Hh... Untung saja kau datang Mei," gumam Pendekar Gila.
"Kalau pun aku tak datang kau tetap dapat mengalahkannya, Kakang Sena. Ki Reksogeni memang tak dapat dikalahkan jika ia merubah dirinya menjadi naga. Tapi dia tak mampu merubah wujudnya sampai dua kali. Jika naga jelmaan dirinya tak mampu mengalahkan lawan, Ki Reksogeni akan mendapat celaka. 'Tamparan Sukma'mu akan mempan di tubuhnya bila Ki Reksogeni dalam keadaan asli...," tutur Mei Lie menjelaskan.
"Pangeran Pramudya mengetahui banyak tentang kelemahan Ki Reksogeni dari Resi Ranujelaga. Karena itulah beliau menyuruhku menyusul kemari. "
"Hh. Baru kali ini kutemukan tokoh selihai Ki Reksogeni," ujar Sena.
"Kakang Sena...!" Tiba-tiba terdengar seseorang memanggil Pendekar Gila. Mei Lie dan Sena menoleh ke belakang.
Seorang pemuda bertubuh tambun tengah berlari-lari kecil menghampiri kedua pendekar muda itu. Perutnya yang buncit bergoyang ke kanan dan ke kiri seolah hendak lepas.
"Dogol! Ke mana saja kau"!" tanya Sena setengah membentak. Ditatapnya lekatlekat wajah pemuda gendut yang ternyata Dogol. (Untuk mengetahui tentang tokoh lucu ini silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Serikat Serigala Merah").
"Orang sedang menghadapi kesusahan kau tinggalkan begitu saja. Kini setelah semuanya selesai baru kau muncul. Apa gunanya"!" Mendengar bentakan Sena yang memasang wajah garang dan menakutkan, Dogol gemetar ketakutan.
"Ampunkan saya, Kakang Sena. Aku bukan enak-enak menghindari kesusahan ini. Justru aku baru saja dari istana. Rakyat marah dan memasuki istana. Mereka tanpa rasa takut sedikit pun membunuh para prajurit yang menjaga Pangeran Danuwirya. Bahkan, pangeran itu tewas direjam oleh mereka..."
"Heh"!" Sena tersentak kaget mendengar keterangan Dogol.
"Ya, ya. Sudahlah! Aku tidak marah kepadamu, Dogol!" ujarnya kemudian sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Dogol tersenyum. Dia melangkah mendahului Sena, menyusul Mei Lie yang telah berjalan lebih dulu. Ketiganya terus berjalan mengikuti dari kejauhan para prajurit kerajaan yang menuju istana.
Matahari pagi telah sepenggalah tingginya.
Sinarnya menerangi dan menghangatkan Kerajaan Bumi Segara. Cerahnya matahari pagi seolah turut menyambut kemenangan mereka dalam menumpas para pemberontak....

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Petaka Seorang Pendekar --oo0oo-- Ajian Canda Birawa


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.