Ajian Canda Birawa
tanztj
March 17, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
Pemberontakan Ki Reksogeni --oo0oo-- Empat Bidadari Lembah Neraka |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
≠≠≠↨֍¦ ① ¦֎↨≠≠≠
Sementara dari puncak bukit cadas terdengar pekikan dan bentakan-bentakan keras beberapa orang. Rupanya tengah terjadi pertarungan sengit di sana.
Benar. Di bawah cahaya bulan yang redup seorang lelaki berusia lima puluhan tengah bertarung menghadapi tiga lelaki bengis yang mengeroyoknya. Lelaki berambut putih tanpa pengikat kepala itu tampak kewalahan. Beberapa bagian tubuhnya terluka hingga mengeluarkan darah.
Senjatanya yang berupa keris panjang tak berarti sama sekali menghadapi gempuran dahsyat cakra milik lawan. Berkali-kali senjata cakra yang terikat rantai besi itu melesat ke arah tubuhnya.
"Ha ha ha...! Habisi saja dia, Regosulung. Jangan biarkan orang seperti dia hidup lebih lama lagi...!" teriak lelaki bercambang bauk. Ia bersenjata sepasang gading kuning.
Lelaki berpakaian merah ini tengah memperhatikan pertarungan bersama kawannya yang juga mengenakan pakaian merah.
"Biar kubantu, Kakang Regosulung," ujar kawan lelaki bercambang bauk yang juga menggenggam sepasang gading kuning.
"Tak sabar rasanya. Aku ingin segera menghabisi si keparat itu!"
"Tunggu, Siung Warak! Untuk apa menghambur-hamburkan tenaga. Tugas masih banyak.
Kita harus membantai semua murid Perguruan Sangga Jagat setelah Pratangga itu mampus," ujar lelaki brewok. Namun tiba-tiba...
Wuttt! Crrraakk! Ketika Regosulung mengibaskan rantai baja yang mengikat cakra, lelaki berambut putih mampu menangkisnya. Keris panjang di tangannya berhasil memapaki rantai hingga terlibat. Terjadilah saling tarik-menarik.
"Hiaaa...!" Kedua lelaki berpakaian serba merah yang memperhatikan jalannya pertarungan kembali tersentak kaget, Regosulung terlontar beberapa tombak dan jatuh di depan mereka. Sebuah tendangan keras telah mendarat telak di perutnya. Regosulung segera bangkit berdiri meskipun sedikit sempoyongan.
"Kurang ajar!" Siung Warak bergegas melompat ke arah lelaki berambut putih.
"Hei, Pratangga! Jangan harap kau mampu bertahan menghadapiku!" bentaknya dengan mata memerah.
Tak! Tak! Tak! Dengan gerak cepat Siung Warak memukulmukulkan sepasang gading yang tergenggam di tangan.
"Cuih! Orang-orang seperti kalianlah yang tak boleh hidup lama di dunia ini!"
"Hua ha ha...! Apa yang kau miliki hingga berani berkata begitu, Pratangga" Apa kau lupa dengan kematian kakakmu empat purnama yang lalu. Keris Sakti Tanpa Wujud miliknya tak berarti apa-apa," ujar Siung Warak.
Pratangga tercenung. Ia teringat kematian kakak kandungnya yang dibunuh secara licik oleh orang-orang yang tak diketahui. Keris pusaka peninggalan leluhurnya ikut raib.
Keris panjang yang di kalangan rimba persilatan sangat kesohor karena keanehannya itu memang dipegang Sunu Bagaskara. Ayah mereka yang dikenal sebagai Pendekar Tanpa Nama mempercayakan putra sulungnya untuk memegang keris pusaka itu.
"Bedebah! Jadi, kalian yang membunuh kakak kembarku"!"
"Hua ha ha...! Kau pun akan segera menyusul Sunu Bagaskara ke akherat, Pratangga!" Didorong oleh rasa dendam atas kematian Kakak kembarnya, Pratangga tak mampu menahan kemarahan yang menggelegak di hatinya. Apalagi baru saja Nyi Roro Mintarsih, kakak iparnya, terlempar ke dasar jurang akibat terpukul rantai baja Regosulung. Lelaki berambut putih yang berpakaian lurik lengan panjang itu melesat dan mengibaskan keris di tangannya.
Siung Warak yang melihat lawannya menyerang langsung melompat untuk memapaki.
Benturan-benturan keras terjadi ketika gading kuning di tangan Siung Warak menangkis babatan dan tusukan keris Pratangga. Sebentar saja keduanya telah terlibat pertarungan sengit. Ternyata, lelaki bersenjata gading itu tak hanya bermulut besar. Serangan dahsyat dan berbahaya yang dilakukan Pratangga berhasil diatasi dengan mudah. Bahkan, ketika lelaki berambut putih itu melenting menghindarkan serangan, Siung Warak tanpa ragu-ragu memburunya. Keduanya melayang di udara. Dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa, sepasang gading di tangan Siung Warak melesat.
Wuttt! Wuuttt! Pratangga mengibaskan kerisnya memapaki kedua gading yang hampir menyambar leher dan dadanya. Sepasang gading kuning itu berpentalan balik. Lalu, meluncur ke arah pemiliknya. Dengan mudah Siung Warak menangkap kedua senjata andalannya itu.
"He he he...! Ini baru permulaan, Pratangga.
Jangan bangga dulu berhasil memapaki seranganku," ujar Siung Warak sesaat setelah kakinya mendarat ringan di tanah.
Pratangga mendarat sekitar tiga tombak di depan Siung Warak. Kerisnya tersilang di depan dada. Namun belum sempat ia melancarkan serangan kembali, Siung Warak telah melompat ke arahnya. Lelaki berpakaian merah itu tampaknya tak ingin memberi kesempatan kepada Pratangga.
Sepasang gadingnya dikibas-kibaskan di depan wajah. Hingga, bentuk kedua senjata berwarna kuning itu lenyap dari pandangan.
Melihat serangan lawan, Pratangga segera melentingkan tubuhnya ke atas, ia hendak melakukan serangan dari atas. Namun secepat itu pula, tanpa diduga-duga lawan melenting ke udara.
Dengan cepat Siung Warak menusuk serta memapaki keris lawan.
Tangkisan yang dilakukan dengan gading di tangan kanan dibarengi oleh gading di tangan kiri yang mendarat telak di dada lawan. Pratangga terdorong ke belakang, lalu jatuh bergulingan dengan mulut mengerang kesakitan. Meskipun gading itu tidak sampai menembus dadanya, namun tusukan telak tadi telah menimbulkan luka cukup parah.
Ketika tubuhnya bangkit berdiri, Pratangga memuntahkan darah segar.
Karena lawan telah kembali melompat untuk melancarkan serangan susulan Pratangga memutar kerisnya. Meskipun ia tahu benar tindakannya ini sangat berbahaya, tapi menunggu serangan lawan sampai mengenai tubuhnya merupakan perbuatan konyol.
Dan, ternyata tidak sia-sia usaha yang dilakukan Pratangga. Kerisnya yang berputar cepat berhasil menggores tangan kanan Siung Warak.
Namun karena lawan belum terluka sementara dirinya telah mengalami luka parah, Pratangga akhirnya terdesak hebat. Ketika dia melompat ke samping kanan untuk menghindari serangan gading lawan, sebuah tendangan keras mendarat di perutnya. Tubuh lelaki berpakaian lurik itu terlontar ke belakang dan langsung terperosok ke dalam jurang. Jeritan panjang terdengar dari mulut Pratangga. Tubuhnya hancur berantakan membentur batu cadas di dasar jurang.
"Ha ha ha...! Nikmati kematianmu yang mengerikan, Pratangga!" teriak Siung Warak dari bibir jurang. Kedua kawannya melangkah mendekati. Ketiga lelaki berwajah bengis itu berdiri di tepi jurang. Mereka tertawa terbahak-bahak mengejek lawannya yang tewas sangat mengenaskan.
"Betapa gembiranya Ketua bila mendengar keberhasilan kita ini, Kakang Regosulung," ujar Siung Warak.
"Ya. Ayo, kita lanjutkan tugas kita. Kita masih harus mengobrak-abrik Perguruan Sangga Jagat milik Pratangga! Jangan sisakan seorang pun muridnya. Tumpas habis!" sahut Regosulung. Lalu, memberi isyarat kepada kedua kawannya untuk segera pergi.
Sambil memperdengarkan tawa penuh kemenangan, ketiga lelaki berpakaian merah itu melesat menuruni bukit. Sebentar kemudian ketiganya telah sampai di bawah. Di sana tiga ekor kuda yang ditambatkan pada pohon besar tengah menunggu. Tanpa membuang-buang waktu, ketiganya langsung menggebah kuda masing-masing.
***
Ada perasaan gentar yang sangat di hati mereka. Tugas yang baru saja dijalankan ternyata kurang berkenan bagi sang ketua.
"Sudah kukatakan jangan sampai Nyi Roro Mintarsih mati. Aku sangat membutuhkan anak yang berada dalam perutnya."
"Ampun, Ketua. Pesan Ketua itu terpaksa tak dapat kami laksanakan. Tanpa sengaja Nyi Roro Mintarsih terkena pukulan hingga terlempar ke dasar jurang...," lapor Regosulung takut-takut.
"Benar, Ketua. Tempat pertarungan itu terlalu sempit untuk menghadapi keberingasan Pratangga. Sebuah puncak bukit cadas yang tinggi dan terlalu licin. Dalam keadaan kalut kami hanya bertekad dapat segera menghabisi nyawa Pratangga," tambah Siung Warak.
"Hhh.... Bodoh. Bodoh sekali!" dengus lelaki berjubah hitam.
"Kematian Nyi Roro Mintarsih telah menggagalkan rencanaku untuk mengambil anaknya. Aku yakin dia bibit unggul yang akan mampu menerima semua ilmu silat. Dia darah daging seorang pendekar. Ksatria sejati. Seharusnya salah satu dari kalian menyelamatkan Nyi Roro Mintarsih!"
"Tapi, bukankah hal itu dapat membahayakan Ketua" Kalau nanti anak itu tahu kitalah yang membunuh ayahnya, dia akan menuntut balas...," ujar Regosulung mencoba menanggapi.
"Tahu dari mana" Memangnya aku orang bodoh" Setelah dia lahir tentu kita bunuh ibunya.
Bebal otakmu!" bentak lelaki berjubah hitam.
"Sudah! Yang penting kalian telah membunuh Pratangga. Tapi ingat, ini bukan tugas kalian terakhir.
Masih banyak perguruan golongan putih yang harus kita tumpas. Dua bersaudara Kampak Kembar dan anak buahnya telah kuperintahkan menumpas Lurah Banaran yang mencoba menolak tawaranku. Sementara Kebo Kluwuk dan Gajah Setan pagi ini berangkat untuk memburuihanguskan Perguruan Jambe Anom." Regosulung, Siung Warak, dan Bardak hanya membisu mendengar ucapan ketua. Sedikit pun tak terlintas di benak mereka akan menolak atau membantah perintah lelaki berjubah hitam.
Kematian adalah taruhan bagi mereka jika menolak. Rencana besar yang dicitacitakan lelaki berjubah hitam baru akan terwujud jika semua tokoh dan perguruan golongan putih telah binasa.
***
≠≠≠↨֍¦ 2 ¦֎↨≠≠≠
Angin bertiup kencang menghembuskan hawa panas.
Langit musim kemarau tampak biru bersih tanpa awan. Di suatu lembah tandus dan berbatu-batu cadas tampak sesosok lelaki muda tengah berlatih ilmu silat. Di bawah cahaya matahari tubuhnya yang kekar berotot berkilatan karena keringat. Rupanya, sudah cukup lama pemuda berambut panjang dikepang itu berlatih.
Kini dia duduk bersila menghadap ke barat.
Matanya yang tajam menatap tepat ke arah matahari. Kemudian, dipejamkan rapatrapat. Bersamaan dengan itu kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada.
Cukup lama gerakan itu dilakukan. Tiba-tiba, kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan kuat-kuat.
Slats! Selarik cahaya merah melesat sangat cepat menuju sebongkah batu cadas sebesar kerbau yang berada lima belas tombak di depannya.
Glarrr...! Ledakan keras menggelegar. Cahaya kemerahan itu menghantam batu cadas hingga hancur berkeping-keping. Pemuda bertelanjang dada itu melompat sambil tertawa kegirangan.
"Ha ha ha...! aku berhasil. Aku berhasil!" teriaknya. Ia berlari menuju gubuk bambu yang terletak tidak jauh dari tempatnya berlatih.
"Buyut! Buyut...! Aku berhasil. Aku berhasil, Buyut!" Dari gubuk bambu yang cukup besar itu keluar seorang nenek yang mengenakan pakaian hijau pupus. Dengan langkah tersaruk-saruk nenek berambut panjang dan memegang tongkat itu menghampiri si pemuda. Meskipun dia telah berada di depan pemuda itu, wajah nenek yang dipanggil buyut tidak memandangi si pemuda. Dengan mata terkatup rapat dia memandang ke arah lain. Wajahnya sedikit mendongak, hingga tampaklah bekas luka-luka pada sepasang matanya. Wajahnya yang bersih dan seperti bersinar menandakan kalau nenek bertubuh tinggi semampai itu memiliki kemampuan tinggi.
Suatu pamor yang biasa dimiliki orang-orang berilmu tinggi. Selain itu, raut wajahnya masih menampakkan bekas kecantikannya di masa muda.
"Suta, apa Buyut tadi tidak salah dengar?" tanya wanita yang nama sebenarnya Nyi Buyut Brintik. Suara tuanya terdengar lembut tapi berwibawa.
"Hhh... Andai saja Buyut dapat melihatku berlatih," ujar pemuda itu setengah bergumam.
"Aku melihatmu, Suta," sahut Nyi Buyut Brintik. Ia lebih suka dipanggil 'Buyut'.
"Meskipun sepasang mataku buta, tapi mata hatiku dapat melihat semuanya dengan jelas. Aku gembira mendengar keberhasilanmu mempelajari ilmu 'Tapak Matahari'. Tidak sia-sia kekerasan hatimu dalam berlatih, Cucuku....
" Nenek itu menghentikan ucapannya kemudian, dihelanya napas panjang.
"Bersihkan tubuhmu. Ada sesuatu yang akan kusampaikan padamu, Suta," katanya.
Pemuda berambut panjang dikepang membisu. Tidak seperti biasanya Nyi Buyut Brintik me- nyuruhnya membersihkan diri. Apalagi, mengajaknya membicarakan sesuatu. Setelah mengerutkan kening, Suta Srengenge mengangguk dan beranjak pergi dari hadapan Nyi Buyut Brintik.
Nenek itu kemudian melangkah masuk kembali ke gubuknya. Dengan tongkat yang berguna untuk menopang tubuhnya ia berjalan tersaruk-saruk.
Nyi Buyut Brintik duduk di atas potongan kayu besar, menunggu muridnya kembali dari sungai. Tak lama kemudian Suta Srengenge datang. Pemuda itu lalu duduk di lantai di depan Nyi Buyut Brintik.
"Suta Srengenge, sudah saatnya kau keluar dari gubukku ini. Habis sudah semua ilmu yang kumiliki. Semua telah kuturunkan kepadamu," ujar Nyi Buyut Brintik.
"Namun, tidak boleh lantas berbangga diri, terlebih besar kepala karena telah menguasai ilmu tingkat tinggi. Kelak jika dirimu terjun ke rimba persilatan kau akan bertemu dengan berbagai tokoh yang memiliki ilmu tinggi. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang lebih tinggi ilmunya darimu. Bukan berarti aku merendahkan kemampuanmu. Di sanalah kau akan mendapat banyak pengalaman hingga mampu mengembangkan ilmu yang kau miliki sekarang...." Nyi Buyut Brintik menghentikan ucapannya. Dihelanya napas dalam-dalam. Sepasang matanya yang terkatup rapat seolah mampu melihat wajah Suta Srengenge di hadapannya.
"Kau harus berhati-hati, Cucuku. Sekali kaki melangkah tanggung jawab kehidupanmu ada pada pundakmu sendiri. Aku sudah terlalu tua.
Aku tak mungkin menyertaimu terus...."
"Buyut, ada janji yang belum kau tepati padaku hingga saat ini," ujar Suta Srengenge dengan mengangkat wajahnya.
"Bagaimanapun aku harus tahu siapa kedua orangtuaku. Kau hanya menyebutkan orangtuaku pendekar yang kesohor pada zamannya...."
"Ya, ya. Karena itulah aku mengajakmu berbicara," sahut Nyi Buyut Brintik.
"Kau tak perlu terkejut. Selama dua puluh tahun ini kau tinggal di rumah nenekmu sendiri, Suta."
"Jadi..."
"Ya. Akulah nenekmu sebenarnya. Kedua batu nisan di belakang rumah kita adalah kuburan ibu dan pamanmu. Nyi Roro Mintarsih adalah ibu kandungmu Dia istri Sunu Bagaskara, putra sulungku. Sedangkan yang satu lagi kuburan pamanmu, Pratangga. Sunu Bagaskara dan Pratangga dua anak kembar Pendekar Tanpa Nama, suamiku. Mereka sangat terkenal empat puluh tahun yang lalu. Tak satu pun orang-orang persilatan yang tidak mengenal nama Pendekar Kembar." Nyi Buyut Brintik menghentikan ceritanya sesaat. Sementara Suta Srengenge tampak tercenung mendengar penuturan nenek itu.
"Namun sayang, seorang tokoh tingkat tinggi dari golongan hitam membunuh mereka secara keji dan licik. Ayahmu terbunuh di dalam perguruannya ketika Mintarsih, istrinya, mengandung dirimu. Empat purnama setelah ibumu dibawa Pratangga ke perguruannya, tiga orang anak buah Kolo Mareksa datang membunuh mereka...."
"Bagaimana aku bisa lahir dari perut ibuku?" tanya Suta Srengenge.
"Akulah yang menolong Mintarsih ketika terlempar ke dalam jurang sana." Nyi Buyut Brintik menunjuk ke arah utara.
Tempat tinggal mereka memang tak jauh dari jurang terjal yang sangat dalam dan berbatu-batu.
"Jadi, Nenek Buyut menyaksikan kejadian itu?"
"Sudah kukatakan, meskipun mataku buta, aku dapat melihat semua kejadian di sekitarku.
Aku tahu saat ketiga anak buah Kolo Mareksa memburu Pratangga yang ingin menyelamatkan Nyi Roro Mintarsih. Aku tidak bisa berbuat banyak waktu itu. Aku telah telanjur terikat sumpah yang pernah ku ucapkan di depan Kolo Mareksa, ketika aku dikalahkannya. Aku bersumpah tidak akan mencampuri urusan Kolo Mareksa lagi seumur hidupku." Kenapa Buyut sampai mengucapkan sumpah seperti itu" Bukankah Buyut orang golongan putih yang mestinya akan bertekad membela kebenaran sampai kapan pun?" tanya Suta Srengenge yang merasa heran mendengar sumpah gurunya.
"Kau tidak tahu, Cucuku. Begitu aku dikalahlan Kolo Mareksa, secara keji dia melukai kedua mataku hingga buta. Waktu itu aku bersumpah hanya untuk menyelamatkan jiwaku. Agar aku bisa terus mendidik dan membesarkan kedua putra kembarku, Sunu Bagaskara dan Pratangga. Mereka telah dibawa lari suamiku untuk diselamatkan." Suta Srengenge terdiam mendengar alasan neneknya. Ia mengerti betapa Nyi Buyut Brintik terpaksa mengucapkan sumpah itu. Sebagai seorang pendekar wanita dirinya harus bertanggung jawab akan tegaknya kebenaran dan keadilan, tapi juga harus memikirkan keselamatan kedua putranya.
Kemudian Nyi Buyut Brintik menceritakan semua kejadian yang dialaminya setengah abad lalu. Suatu peristiwa mengenaskan yang membuat dirinya terlempar jauh di tempat pengasingan.
Jauh dari dunia ramai. Jauh dari rimba persilatan yang hingar-bingar oleh tokoh-tokoh golongan hitam.
***
"Tanganmu kurang lurus, Pratangga. Lihatlah kakakmu itu," ujar sang ayah sambil mendekati anak lelaki yang dipanggil Pratangga.
Anak itu menoleh ke arah kakaknya yang berdiri di samping kanan. Lalu, dibetulkannya letak tangannya yang memang agak kurang lurus.
"Capek, Yah!" ujar anak itu mengeluh.
"Husss! Baru beberapa kali kita latihan kau sudah bilang capek, Pratangga," sahut kakaknya yang tak lain Sunu Bagaskara.
"Tidak mudah untuk menjadi seorang pendekar, Pratangga. Kita harus bekerja keras. Berlatih dan berlatih. Ketekunan dan kerajinan akan membuat kita berhasil. Kelak kalian akan menjadi pendekar-pendekar hebat. Orang akan menjuluki kalian sebagai Pendekar Kembar," ujar ayahnya dengan tersenyum. Memberi semangat kepada kedua anak kembar itu.
"Alangkah bangganya hati ayah melihat kalian menjadi dua orang pendekar yang tidak hanya ditakuti, tapi juga disegani oleh kawan maupun lawan...."
"Hei, kalian beristirahatlah dulu! Ibu telah membuatkan minuman dan ubi rebus untuk kalian...!" Seorang wanita setengah baya berwajah cantik keluar dari rumah besar itu. Ia membawa kendi air dan beberapa potong ubi rebus di piring kayu. Melihat ibu mereka yang memanggil, kedua anak kembar itu langsung berlarian menyambutnya. Sang ayah hanya menggelenggelengkan kepala melihat tingkah kedua anaknya. Dia pun melangkah menghampiri istrinya.
"Rasanya aku menyesal, Kang," ujar wanita cantik itu seraya tersenyum kepada suaminya.
"Apa maksudmu, Nyi?" tanya lelaki berpakaian coklat muda.
"Kenapa tidak dari dulu kita mengundurkan diri dari dunia persilatan. Mungkin anak-anak kita sudah dewasa. Usia kita sudah mendekati separo abad baru memiliki anak-anak"
"Apa kata para pendekar kawan-kawan kita kalau kita mundur waktu itu" Mereka akan mencibirkan bibir. Seorang pendekar mestinya tak akan mundur sampai mati sekalipun," ujar sang suami. Dipandanginya kedua anaknya yang asyik menikmati ubi rebus di serambi rumah.
Ketika mereka tengah menikmati waktu istirahat setelah berlatih pagi itu, tibatiba sesosok bayangan merah berkelebat dan berhenti di depan rumah.
"Ha ha ha...! Betapa nikmatnya sepotong ubi rebus dan sekendi air hangat!" Sesosok lelaki bertubuh tinggi besar berdiri dengan kaki terpentang memandangi kedua anak yang tengah duduk menikmati ubi rebus.
"Kolo Mareksa!" gumam lelaki berpakaian coklat muda dengan mata terbelalak kaget.
"Untuk apa kau datang kemari...?"
"Tentu saja menantangmu, Pendekar Tanpa Nama!" jawab lelaki berpakaian merah.
"Kaulah yang telah menggagalkan tindakan anak buahku membantai Perguruan Cakar Harimau beberapa tahun lalu. Aku ingin mencoba seorang pendekar usilan seperti kau."
"Tidak tahukah bahwa aku dan istriku telah mundur dari dunia persilatan, Kolo Mareksa?"
"Ha ha ha...! Ternyata Pendekar Tanpa Nama tak lebih dari seorang pengecut! Tidak tahukah kau kalau hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa pula?" Lelaki berpakaian merah yang ternyata Kolo Mareksa itu balik bertanya dengan nada mengejek. Mulutnya tak henti-hentinya tertawa seraya memandangi istri Pendekar Tanpa Nama.
"Keparat!"
"Heaaa...!" Bersamaan dengan umpatan Pendekar Tanpa Nama, Kolo Mareksa melompat sambil menghentakkan kedua tangannya. Pendekar Tanpa Nama terpental beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya jatuh bergulingan di serambi rumah. Serangan jarak jauh Kolo Mareksa ternyata datang begitu cepat hingga tak sempat dielakkannya.
Kedua anak kembar yang tadi asyik menikmati ubi rebus segera berlarian mendekati ibunya. Mereka tampak ketakutan, meskipun sang ibu berusaha menenangkannya.
Belum sempat Pendekar Tanpa Nama berdiri dengan sempurna, Kolo Mareksa telah melancarkan serangan susulan. Namun dengan cepat Pendekar Tanpa Nama melemparkan tubuhnya ke lantai, lalu bergulingan.
Brrraakkk! Serangan jarak jauh yang berupa deruan angin kencang menghantam pintu rumah hingga roboh. Melihat kebringasan lawannya, Pendekar Tanpa Nama tak ingin gegabah. Begitu berhasil mengelakkan serangan, tubuhnya segera melenting bangkit dan melompat menjauhi rumah. Ia ingin pertarungan ini jauh dari kedua putranya yang masih kecil. Dia khawatir serangan lawan akan mengenai mereka. Lelaki setengah baya berpakaian coklat muda itu mendarat ringan di tengah halaman. Melihat lawannya berada di halaman, Kolo Mareksa berbalik. Cepat dia melompat sambil melancarkan serangan. Lelaki berpakaian merah ini tampaknya tak ingin memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Dia tahu yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan.
Namun dengan secepat kilat Pendekar Tanpa Nama melentingkan tubuh ketika serangan lawan datang. Ketika tubuhnya berada di udara itulah dia melakukan serangan balasan. Kedua tangannya dihentakkan dengan keras. Melesatlah selarik cahaya kemerahan menuju tubuh lawan.
Pendekar Tanpa Nama pun tak ingin melakukan serangan dengan jurus-jurus ringan. Lawannya telah menyerang dengan ilmu-ilmu andalan yang sangat berbahaya.
Dalam sekejap pertarungan jarak jauh itu tak terelakkan lagi. Keduanya saling pukul dan tangkis dari jarak sekitar enam tombak. Bagi Sunu Bagas kara dan Pratangga kejadian ini tentu saja sangat aneh dan mengherankan. Baru kali inilah mereka menyaksikan pertarungan seperti itu.
Apalagi ketika kedua tokoh berilmu tinggi itu saling mengadu tenaga dalam. Darah merembes dari mata dan telinga Pendekar Tanpa Nama. Rupanya, pendekar yang telah sepuluh tahun lamanya mengundurkan diri dari rimba persilatan itu kewalahan menghadapi musuhnya. Meskipun seluruh kekuatan tenaga dalamnya telah dikerahkan, ternyata kekuatan lawan berada di atas kemampuannya.
Kedua anak kembar itu menjerit melihat sang ayah gemetaran. Saat itulah istri Pendekar Tanpa Nama melepaskan pelukan Sunu Bagaskara dan Pratangga. Tubuhnya yang terbalut pakaian putih melesat ke tengah arena pertarungan. Ia tahu suaminya berada dalam keadaan yang sangat berbahaya bagi keselamatan jiwanya.
***
"Heh, Ilmu 'Canda Birawa'...," gumam wanita itu dengan mata terbelalak, tak percaya. Walet Putih Dari Selatan tentu saja keheranan. Dari mana Kolo Mareksa memperoleh ilmu yang menurut kabarnya telah punah ratusan tahun lalu"
"Ha ha ha...! Kau tentu heran melihatku memiliki Ilmu 'Canda Birawa'. Apa kau lupa, Walet Putih, Kolo Mareksa memiliki Ilmu 'Luluh Raga' yang mampu membuat orang tetap awet muda.
Dengan bantuan ilmu itu aku melakukan tapa selama bertahun-tahun untuk memperoleh Ilmu 'Canda Birawa' yang punah dari muka bumi ini ratusan tahun silam. Ha ha ha...! Kini tak satu pun pendekar di rimba persilatan yang akan mampu mengalahkan Kolo Mareksa. Dan, kau harus mati di tanganku, Walet Putih! Kecuali kalau dirimu bersedia bersumpah tidak akan mencampuri urusanku selama hidupmu!" Tergetar hati Walet Putih Dari Selatan mendengar ancaman Kolo Mareksa.
"Sombong! Jangan kira aku akan menyerah begitu saja kepadamu, Kolo Mareksa!" dengus Walet Putih Dari Selatan penuh kemarahan.
"Kita tuntaskan pertarungan ini!" Sambil mengucapkan kata-kata itu Walet Putih Dari Selatan mundur dua tindak untuk mengambil jarak. Dengan penuh kewaspadaan tangannya bergerak meloloskan pedang yang tersampir di pundaknya.
Sringng! "Hadapi senjata pusaka 'Pedang Wangi'-ku ini, Kolo Mareksa!" Wuutt! Wuttt! Walet Putih Dari Selatan memutar senjata andalannya yang bernama Pedang Wangi. Deru angin putaran pedang menghembuskan aroma wangi. Namun, sebentar kemudian berubah menjadi hawa panas yang menyengat. Walet Putih Dari Selatan melenting tinggi.
"Hiaaa...!" Begitu mendarat dua tombak dari tempat suaminya berdiri, wanita itu langsung melepaskan pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, Kolo Mareksa yang tengah mengadu tenaga dalam dengan Pendekar Tanpa Nama terkena serangan itu. Tubuhnya terdorong dua tombak ke belakang, lalu jatuh bergulingan di tanah. Melihat Kolo Mareksa berusaha melancarkan serangan balasan, wanita itu melompat dan menerjangnya. Sebuah tendangan keras tak mampu dielakkan Kolo Mareksa. Dadanya telak tertendang.
Lelaki berpakaian merah itu terjungkal ke samping kanan. Namun, dengan cepat dia melompat bangkit.
"Perempuan Sundal, mampus kau!" Kolo Mareksa melompat melancarkan tendangan keras. Namun, wanita cantik itu memapakinya dengan pukulan tangan kanan.
Plakkk! "Ihh...!" Istri Pendekar Tanpa Nama terpekik kaget ketika tangannya berbenturan keras dengan kaki lawan. Dirasakan sekujur lengan kanannya bergetar hebat. Tampaknya, kekuatan tenaga dalamnya berada di bawah lawan. Menyadari hal itu ia melompat untuk menghindari serangan susulan yang berupa pukulan tangan kanan.
Pendekar Tanpa Nama yang telah terluka parah beringsut-ingsut mendekati kedua putra kembarnya. Dia ingin menyelamatkan Sunu Bagaskara dan Pratangga, sementara istrinya menghadapi Kolo Mareksa. Lawan terlalu berat dan berbahaya. Kalau kedua putranya tidak segera diselamatkan bisa-bisa mereka menjadi korban kebengisan Kolo Mareksa. Pendekar Tanpa Nama melesat membawa pergi kedua anaknya.
Istri Pendekar Tanpa Nama yang dengan gigih menghadapi Kolo Mareksa memperlihatkan keunggulannya. Ternyata tidak percuma julukan Walet Putih Dari Selatan yang diberikan orang kepadanya. Wanita itu terus mengerahkan jurusjurus andalan.
Beberapa kali serangan gencar yang dilakukannya berhasil mendesak Kolo Mareksa.
Adu tenaga dalam dilakukannya bersama Pendekar Tanpa Nama ternyata telah menguras banyak tenaga dalam Kolo Mareksa.
"Hiaaatt...!" Walet Putih Dari Selatan melesat dengan membabatkan pedangnya ke arah dua sosok Kolo Mareksa. Namun dengan secepat kilat kedua sosok Kolo Mareksa itu melompat ke samping kanan dan kiri. Sehingga, babatan Pedang Wangi hanya mengenai tempat kosong.
Wanita berpakaian putih itu memutar tubuhnya dan mengejar sosok Kolo Mareksa yang berada di sebelah kanan. Diburunya lelaki berpakaian merah itu dengan babatan dan tusukan pedang. Namun, Kolo Mareksa dengan tidak kalah cepatnya melompat lalu berjumpalitan ke belakang.
"Ha ha ha...! Hadapi dia sampai mati, Walet Putih!" ejek sosok Kolo Mareksa yang lain.
Mendengar ejekan itu berubahlah pikiran Walet Putih Dari Selatan. Jangan-jangan yang tengah diburunya bukan sosok asli Kolo Mareksa.
"Bedebah! Heaatt...!" Sambil memutar tubuh dengan cepat, Walet Putih Dari Selatan menebaskan 'Pedang Wangi'nya.
Wuuttt! Crrass! Tanpa memperdengarkan pekikan atau jeritan, sosok Kolo Mareksa yang tengah diburunya terjungkal dengan tubuh berlumuran darah. Luka menganga bekas babatan pedang terlihat di bagian dada. Namun apa yang terjadi kembali mengejutkan wanita berpakaian putih itu.
Kolo Mareksa yang terjungkal itu berubah wujud. Tubuh berpakaian merah itu kini bertambah lagi jumlahnya.
Dengan mata terbelalak, Walet Putih Dari Selatan memandangi kedua sosok jelmaan Kolo Mareksa. Hampir ia merasa putus asa. Mana mungkin menghadapi tiga lawan yang tak dapat mati"
"Inikah kehebatan Ilmu 'Canda Birawa' yang kesohor itu?" gumam Walet Putih Dari Selatan dalam hati.
Ilmu 'Canda Birawa' memang memiliki keanehan tersendiri. Barang siapa yang menguasai ilmu itu ia akan mampu memperbanyak jumlah tubuhnya setiap terkena senjata lawan. Sehingga, sekuat dan se ampuh apa pun lawan yang menghadapinya akan mati kelelahan. Sosoksosok jelmaan Ilmu 'Canda Birawa' memiliki kesaktian yang sama dengan sosok aslinya.
Ketika ketegangan dan rasa heran tengah mencekam Walet Putih Dari Selatan, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan coklat di belakang rumah. Sosok bayangan yang tak lain Pendekar Tanpa Nama itu masuk ke rumahnya melalui pintu belakang. Tak lama kemudian, Pendekar Tanpa Nama telah melangkah keluar, kali ini lewat pintu depan. Rupanya, lelaki setengah baya itu mengambil senjata andalannya. Di tangan kiri tergenggam sebatang keris berukuran panjang melebihi ukuran keris biasa. Warangkanya yang terbuat dari kayu jati hitam berukir gambar matahari terbit.
Itulah keris yang sangat terkenal di dunia persilatan selama dua puluh tahun terakhir ini. Keris Sakti Tanpa Wujud, begitulah nama senjata itu.
Begitu sampai di serambi depan Pendekar Tanpa Nama langsung melesat ke tengah kancah pertarungan. Dia ingin membantu istrinya yang tengah menghadapi keroyokan tiga sosok Kolo Mareksa.
"Kolo Mareksa! Hadapi aku!" teriak Pendekar Tanpa Nama. Laki-laki itu mendarat beberapa tombak di dekat istrinya yang tengah bertarung melawan dua sosok Kolo Mareksa.
Sementara sosok Kolo Mareksa yang tengah memperhatikan pertarungan menoleh ke arah Pendekar Tanpa Nama.
"He he he...! Kau datang lagi, Pendekar Tanpa Nama. Sia-sia saja kau kemari.
Hanya akan mengantarkan nyawa kepadaku...." Menyadari lawan telah mengeluarkan ilmu andalan untuk menghadapi Walet Putih Dari Selatan, Pendekar Tanpa Nama tak membuang-buang waktu. Diloloskannya keris pusaka dari warangkanya Srrats! Keris panjang dan lebar itu digenggam dengan kedua tangan. Lalu, diangkatnya sampai ke atas kepala. Mata Pendekar Tanpa Nama terpejam sesaat. Lalu....
"'Aji Sirna Wujud'...! Heaaa...!" Teriakan keras menggelegar dikeluarkan Pendekar Tanpa Nama. Tiba-tiba Keris Sakti Tanpa Wujud lenyap dari pandangan. Sekejap kemudian tubuh Pendekar Tanpa Nama ikut lenyap.
Kolo Mareksa tampak kaget menyaksikan kejadian itu. Matanya jelalatan ke sana kemari mencari Pendekar Tanpa Nama. Namun kemudian.....
Sssts! "Haaah...!" Kolo Mareksa tersentak kaget bukan main.
Tiba-tiba sebelah lengannya terpotong dan jatuh ke tanah. Darah segar seketika mengucur deras dari lengannya yang buntung. Sedikit pun tak ada rasa sakit ketika lengannya terbabat keris lawan yang tak tampak.
Itulah kehebatan Keris Sakti Tanpa Wujud apabila dikerahkan dengan ajian 'Sirna Wujud'. Selain lawan tak mampu melihat ke mana arah gerakannya, lawan pun akan terbabat atau tertusuk tanpa merasakan sakit.
Kolo Mareksa langsung berlompatan ke sana kemari disusul dengan lentinganlentingan tu- buh yang cepat. Itu dilakukan untuk menghindari serangan lawan. Dengan gerakan cepat dan tak terduga itu mungkin dirinya dapat mengelakkan serangan lawan yang tak nampak.
Namun tindakannya ternyata sia-sia. Secepat apa pun gerakan Kolo Mareksa tetap tak lepas dari pandangan lawan. Itu terbukti ketika suatu saat Kolo Mareksa kembali tersentak kaget. Kaki kanannya buntung dan terpental dari tubuhnya.
Darah segar mengucur deras membasahi tanah kering di halaman rumah itu.
"Ha ha ha...! Apa yang akan kau lakukan, Kolo Mareksa" terdengar suara tawa tanpa wujud.
Kolo Mareksa kebingungan mencari Pendekar Tanpa Nama. Suara itu terdengar dari berbagai arah dan berputar-putar. Kemudian, matanya terbelalak kaget melihat kedua sosok jelmaan dirinya yang tengah menghadapi Walet Putih Dari Selatan berjatuhan dengan kaki buntung. Rupanya, mereka pun terbabat Keris Sakti Tanpa Wujud.
"Bedebah! Heaaa...!" Teriakan keras terdengar memekakkan telinga. Bersamaan dengan berhentinya suara itu sosok-sosok tubuh Kolo Mareksa dan jelmaannya berubah menjadi banyak, seolah tubuh mereka mampu membelah diri. Bahkan, mereka yang tadi terluka dan berjatuhan kini bangkit kembali. Wajah mereka yang beringas dan menyeramkan seolah hendak menelan Walet Putih Dari Selatan yang tampak kebingungan. Wanita cantik berpakaian putih itu kini berada dalam kepungan sosok-sosok Kolo Mareksa. Namun belum sempat sosok-sosok Kolo Mareksa yang berjumlah lima belas orang itu melancarkan serangan, mendadak mereka menjerit kaget. Tubuh-tubuh berpakaian serba merah itu jatuh bergulingan dengan tangan dan kaki buntung.
Bahkan, dua orang di antaranya terbabat lehernya hingga putus. Ketika lawan-lawannya berjatuhan Walet Putih Dari Selatan melesat dari tempatnya. Namun jelas sekali gerakannya tidak dilakukan sendiri.
Seseorang telah membopong tubuhnya.
Salah satu sosok Kolo Mareksa memekik keras. Bersamaan dengan itu sosok-sosok lain membelah diri. Tanpa diperintah lagi, ketiga puluh sosok Kolo Mareksa secara bersamaan menghentakkan tangan ke arah melesatnya tubuh Walet Putih Dari Selatan.
Srratss! Srratss! Belasan sinar kemerahan melesat begitu cepat menghantam tubuh Walet Putih Dari Selatan. Tak dapat dihindarkan, tubuh Walet Putih Dari Selatan terpental dan jatuh bergulingan ke tanah di luar halaman rumahnya. Pekikan keras terdengar dari mulut wanita cantik itu, bersamaan dengan jeritan lain dari sosok tanpa wujud.
Namun ketika sosok tanpa wujud jatuh ke bumi nampaklah sosok Pendekar Tanpa Nama.
Tubuhnya yang mengenakan pakaian coklat muda telah berubah hangus. Hanya kerisnya yang saat itu belum terlihat. Kedua tangan Pendekar Tanpa Wujud terbuka, berarti keris itu tidak ada di genggamannya. Rupanya, serangan yang dilakukan Kolo Mareksa dan sosok-sosok jelmaannya menghantam telak tubuh Pendekar Tanpa Nama yang tengah membopong istrinya. Sementara Walet Putih Dari Selatan sendiri terhindar dari serangan dahsyat itu.
"Hua ha ha...! Suamimu tak akan mampu bertahan terhadap 'Pukulan Api Neraka'-ku, Walet Putih. Kini tinggal satu pilihan untukmu, nyawamu melayang bersama suamimu atau tetap hidup dengan satu janji. Kau tak akan mengganggu dan mencampuri urusanku," ujar Kolo Mareksa seraya melangkah mendekati Walet Putih Dari Selatar yang terkapar tak berdaya.
Hati wanita itu tergetar mendengar tawaran yang diucapkan Kolo Mareksa. Hati kecilnya menolak untuk tidak menyerang. Jiwa kependekarannya tak sudi menerima tawaran yang begitu merendahkan dirinya itu.
Namun saat teringat kedua putra kembarnya yang masih kecil, perasaan itu sedikit luntur. Ingin rasanya ia menerima tawaran itu, namun mulutnya tetap bungkam. Hanya meringis-ringis menahan hawa panas yang mendera sekujur tubuhnya. Ia ragu dapat mengalahkan kehebatan Kolo Mareksa. Apalagi jika benar suaminya akan tewas akibat pukulan dahsyat 'Api Neraka' tadi.
"Kau memang keras kepala, Walet Putih! Hih...!" Jrats! Walet Putih Dari Selatan menjerit setinggi langit. Kolo Mareksa telah menghujamkan dua jarinya ke mata wanita itu. Seketika darah mengucur dari sepasang mata Walet Putih Dari Selatan.
Rasa sakit yang tak terhingga dirasakannya. Pandangannya gelap. Ia tak mampu melihat apa pun di sekitarnya. Tubuhnya yang telah kehabisan tenaga berkelojotan sambil mengerang-erang kesakitan. Suara tawa berkepanjangan Kolo Mareksa makin lama makin menjauh dari tempat itu.
Kolo Mareksa dan sosok-sosok jelmaannya telah pergi. Tinggallah sepasang suami-istri, Pendekar Tanpa Nama dan Walet Putih Dari Selatan, yang menderita. Tersiksa oleh rasa sakit bercampur hawa panas yang mendera sekujur tubuh mereka.
"Istriku...." Pendekar Tanpa Nama memanggil istrinya.
Kepalanya bergerak perlahan ingin melihat keadaan Walet Putih Dari Selatan yang mengerangerang kesakitan.
"Bagaimana keadaanmu, Kakang?"
"Aaah.... Inilah yang harus ditanggung orang-orang seperti kita. Aku rasanya tak kuat lagi.... Ambillah Keris Sakti Tanpa Wujud dan bawalah ke tempat kediaman Resi Watuhumalang. Kedua anak kita kutitipkan kepadanya. Kuharap mereka kelak akan mampu mengalahkan kedurjanaan Kolo Mareksa...." Dengan hati penuh rasa iba Walet Putih Dari Selatan memeluk suaminya yang dalam keadaan sekarat. Sementara tangan kanan Pendekar Tanpa Nama tampak telah menggenggam kembali kerisnya. Rupanya tadi ketika Kolo Mareksa belum pergi, keris itu dibiarkan tergeletak di samping tubuhnya dalam keadaan tanpa wujud.
Setelah Keris Sakti Tanpa Wujud diberikan kepada Walet Putih Dari Selatan, Pendekar Tanpa Nama menghembuskan napas terakhir. Tamatlah riwayat pendekar itu.
Walet Putih Dari Selatan yang telah mengalami kebutaan dengan tertatih-tatih melangkah meninggalkan suaminya. Hatinya hancur dan dirundung kesedihan yang tak terkira.
Wanita itu terus melangkah menuju tempat tinggal Resi Watuhumalang untuk menemui kedua putra kembarnya.
***
Suta Srengenge hanya diam membisu.
"Hanya dua purnama aku berada di rumah Resi Watuhumalang. Kemudian, aku berpamitan untuk meninggalkan kedua putraku. Aku tinggalkan ayah dan pamanmu. Mulai saat itulah aku pergi mengasingkan diri. Sengaja kupilih tempat ini yang tidak terlalu jauh dengan kediaman Resi Watuhumalang. Maksudku agar aku tetap selalu dekat dengan kedua putraku. Pada waktu-waktu tertentu kusempatkan menjenguk mereka secara diam-diam. Hingga kedua putraku menjadi pendekar aku tetap berada di sini. Aku tak tahu apakah Kolo Mareksa mengetahui kalau pendekar kembar adalah putraku. Yang jelas, suatu ketika kudengar kabar bahwa Sunu Bagaskara, ayahmu, terbunuh oleh anak buah Kolo Mareksa. Empat purnama kemudian pamanmu pun terbunuh. Ibumu yang tengah hamil tua mengandung dirimu ikut menjadi korban keganasan mereka. Untung saja aku dapat menyelamatkanmu...." Suta Srengenge terdiam dengan wajah merah padam. Hatinya dipenuhi kemarahan dan dendam kesumat.
"Betapa keji perbuatan Kolo Mareksa," gumam Suta Srengenge dalam hati. Namun hal itu bukan tak diketahui Nyi Buyut Brintik. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu mendengar kisah hidup keluargamu, Suta Srengenge.
Tapi, kuharap engkau pandai-pandai menjaga diri, mengendalikan amarah dan perasaan dendammu," ujar Nyi Buyut Brintik yang dulu berjuluk Walet Putih Dari Selatan.
"Aku sering mengatakan kepadamu bahwa seorang pendekar yang berjiwa ksatria tidak layak memendam dendam kesumat. Seorang ksatria akan tetap berjiwa gagah. Sekalipun dendam membara di dalam hatinya. Ia harus mampu meredamnya hingga berubah menjadi suatu perasaan cinta kasih. Sebisabisanya seorang pendekar harus berbuat baik kepada sesamanya.
Memang, seorang pendekar perlu bersikap keras dan tegar. Tapi ia juga harus bisa bersikap lembut seperti air. Harus mampu mendahulukan sikap diri yang menunjukkan budi luhur kita...."
"Aku tak mengerti apa yang kau maksudkan, Buyut," ujar Suta Srengenge. Yang ia ketahui, seorang pendekar adalah orang yang keras, mampu memaksakan kehendaknya kepada setiap musuhnya. Apalagi jika musuh itu jelas-jelas telah bertindak durjana, menyebar maut di mana-mana dan meresahkan hidup orang banyak "Kau masih terlalu hijau, Cucuku." Nenek bermata buta itu tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala. Ia segera menyadari wejangannya yang terlalu panjang kurang dapat diterima cucunya. Seorang pemuda seperti Suta Srengenge masih diliputi hawa nafsu yang menggebu-gebu. Darah mudanya akan cepat naik jika melihat atau mendengar sesuatu yang tidak sesuai dengan hatinya. Apalagi jika hal itu jelas menyinggung pribadi dan martabat dirinya. Namun, Nyi Buyut Brintik segera sadar kembali, pengalaman hidup seseorang akan menciptakan perubahan sikap dan sifat orang itu. Orang bisa lembut dan ganas tergantung pada pengalaman hidup yang dijalaninya.
"Maksudku seorang pendekar sejati hanya akan berjuang untuk menegakkan dan membela kebenaran. Bukan memusuhi atau membunuh sesamanya yang bertindak durjana. Yang harus kita tumpas adalah kedurjanaan, kejahatan, dan keangkaramurkaan. Bukan manusia yang berbuat durjana itu. Jadi, seorang pendekar sejati akan rela memberi ampun kepada orang yang bertaubat dan menyadari kesalahannya. Kalau kita mampu berbuat seperti itu niscaya kedamaian akan tercipta di atas muka bumi. Tidak ada lagi permusuhan antara sesamanya...." Nenek buta itu kembali menerangkan kepada cucunya. Pengasingan diri selama hampir setengah abad ini telah mematangkan jiwanya. Penyucian diri yang dilakukannya dengan menjalani tapa bertahun-tahun menyadarkan dirinya bahwa kedamaian hanya akan tercipta jika keangkaramurkaan lenyap dari hati manusia.
"Buyut, bagaimana kalau si durjana itu tak bisa disadarkan dengan cara baik-baik?" tanya Suta Srengenge setelah terdiam beberapa lama. Nyi Buyut Brintik tersenyum melihat kepolosan cucunya.
"Itulah sebabnya mengapa kuajarkan ilmu bela diri kepadamu, Suta. Gunakan kepandaian yang kau miliki untuk menyadarkan mereka. Kalau dengan cara halus tak mempan, apa boleh buat. Untuk menumpas kejahatannya kita harus menumpas pelakunya!" tegas Nyi Buyut Brintik.
"Kau harus berani menghadapi orang-orang durjana. Kau tidak boleh mengeluh dan pantang menyerah. Aku memberimu nama Suta Srengenge. Nama yang memiliki arti 'Putra Matahari'. Namamu tak berbeda dengan kedua putra kembarku. Sunu Bagaskara dan Pratangga. Keduanya memiliki arti yang sama, Putra Matahari. Bagi kebanyakan orang mungkin nama tidaklah berarti. Tapi bagiku nama dapat memberi semangat dan menggambarkan jiwa pemiliknya. Kuharapkan hal ini terjadi pada semua keturunanku. Berbuatlah berani seperti ayah dan pamanmu. Mereka lebih baik mati daripada harus tunduk kepada nafsu setan yang menyesatkan...."
"Satu lagi yang ingin kutanyakan kepadamu, Buyut. Bagaimana mungkin aku mampu menghadapi kehebatan Kolo Mareksa yang kini telah menjadi penguasa tertinggi dunia persilatan?"
"Itulah yang menjadi persoalanku saat ini, Suta. Kolo Mareksa memiliki Ilmu 'Luluh Raga' yang membuat dirinya tak pernah bisa tua. Seharusnya dia lebih tua usianya dariku. Aku sendiri telah hampir satu abad. Tapi perlu kau ketahui, Putra Matahari, 'Canda Birawa' yang dimiliki Kolo Mareksa ternyata bukanlah Ilmu 'Canda Birawa' yang sesungguhnya. Ini baru kuketahui setelah sekian tahun mengamati sepak terjangnya. Kau tahu aku sering keluar dari tempat pengasingan ini. Aku mencoba melihat dari dekat sepak terjang Kolo Mareksa...," jawab Nyi Buyut Brintik.
Nenek yang dulu dikenal dengan julukan Walet Putih Dari Selatan itu memang pada waktuwaktu tertentu keluar dari rumahnya. Dengan Keris Sakti Tanpa Wujud dan Ilmu 'Sirna Wujud'-nya dia bisa menghilang dari pandangan mata orang.
Sehingga, ia dapat dengan leluasa mengamati Kolo Mareksa yang setengah abad lalu pernah mengalahkannya, "Ilmu 'Canda Birawa' yang sejati tidak akan menyebabkan pemiliknya melakukan tindakan durjana, Cucuku. Konon kabarnya ilmu itu dulu dimiliki seorang begawan, manusia setengah dewa yang berhati suci. Jadi, tak mungkin ia akan berbuat kejahatan. Ilmu yang dimiliki Kolo Mareksa bukanlah 'Canda Birawa' sejati, melainkan ilmu sihir yang sangat kuat. Untuk saat ini hanya ada satu pendekar yang mampu mengalahkan Kolo Mareksa. Kabar yang kudengar dari pembicaraan orang-orang persilatan, pendekar itu berjuluk si Pendekar Gila."
"Pendekar Gila?" Suta Srengenge tersenyum mendengar julukan itu.
Nyi Buyut Brintik kemudian menceritakan ciri-ciri pendekar itu, seperti yang sering didengarnya dari orang-orang persilatan.
"Dia mempunyai ajian yang mampu membinasakan segala macam ilmu sihir dan siluman," lanjut Nyi Buyut Brintik.
"Kini tugasmu yang pertama adalah mencari Pendekar Gila. Saat ini orang-orang persilatan belum ada yang melakukannya. Mereka merasa ragu, apakah pendekar itu akan mampu mengalahkan Kolo Mareksa. Mereka tak ada yang mengira kalau ilmu yang dimiliki Kolo Mareksa itu ilmu sihir, bukan 'Canda Birawa' sejati." Nyi Buyut Brintik lalu bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah menuju sebuah kamar yang terletak di samping kanan.
"Suta Srengenge, ikutlah aku!" Nyi Buyut Brintik membuka pintu kamar yang terbuat dari kayu tebal. Suta Srengenge mengikuti di belakang. Begitu sampai di dalam ruangan yang sangat gelap terasa oleh Suta Srengenge aroma harum yang menyemak menusuk hidungnya. Baru kali ini Suta Srengenge diajak masuk ke ruangan itu. Padahal, sudah dua puluh tahun lamanya dia tinggal bersama Nyi Buyut Brintik.
"Lihatlah!" Nyi Buyut Brintik menunjuk ke sebuah peti kayu yang panjangnya lebih dari satu tombak.
"Di sana tersimpan dua benda pusaka.
Aroma wangi ini berasal dari pedangku yang bernama Pedang Wangi. Biarkan pedang itu tetap di tempatnya. Kau akan menerima warisan Keris Sakti Tanpa Wujud milik kakekmu, Pendekar Tanpa Nama."
"Bukankah keris itu dulu telah kau serahkan kepada ayah, buyut?" tanya Suta Srengenge.
"Akulah yang mengambilnya kembali ketika Sunu Bagaskara terbunuh secara licik oleh Kolo Mareksa...," jawab Nyi Buyut Brintik. Lalu, memberi isyarat kepada Suta Srengenge agar mengangkat peti panjang itu.
Suta Srengenge berjalan mendekati peti berisi dua benda pusaka milik keluarganya. Diangkatnya peti yang terbuat dari kayu jati berwarna hitam pekat itu.
"Heh"!" Suta Srengenge hampir tak percaya. Dia tak mampu mengangkat peti. Dicobanya sekali lagi.
Kali ini dengan mengerahkan tenaga dalam. Namun, hati pemuda itu semakin heran.
Kalau tadi peti bisa terangkat sendiri, kini bahkan ketika dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya peti itu bergeming pun tidak! Nyi Buyut Brintik hanya tersenyum.
"Ada sopan santunnya, Cucuku. Kita harus tahu cara untuk memegang senjata pusaka seperti itu. Apalagi jika baru pertama kali.
Berlututlah. Pusatkan batin dan pikiranmu kepada benda yang akan kau ambil." Pemuda tampan berambut panjang dikepang itu mengikuti perintah neneknya. Setelah berlutut sesaat di depan peti, dia mulai mengangkat peti kayu itu. Dan, ternyata benar. Tanpa beban sedikit pun peti kayu berhasil diangkatnya.
Lalu, dibawanya peti itu keluar ruangan.
Nyi Buyut Brintik membuka peti. Terlihatlah sebatang pedang dan sebuah keris dengan warangka kayu hitam mengkilap. Kerisnya berukuran panjang dan lebar, sedangkan pedangnya seperti ukuran pedang biasa. Diambilnya keris yang berukuran tidak seperti biasanya, lalu diserahkan kepada Suta Srengenge.
Pemuda itu menerimanya. Diciumnya ujung tangkai keris.
"Inikah Keris Sakti Tanpa Wujud, Buyut?" tanya Suta Srengenge kemudian.
Nyi Buyut Brintik mengangguk.
"Gunakan keris itu untuk memerangi kejahatan, Cucuku.
Penggabungan antara keampuhan keris itu dengan Ilmu 'Sirna Wujud' yang pernah kuajarkan kepadamu akan membuat lawan tak mampu melihat tubuhmu." Suta Srengenge mengangguk mengiyakan.
Rasa bangga dapat memiliki senjata pusaka yang pernah mengharumkan nama keluarganya seketika menyemak di hati pemuda itu.
Betapa dirinya akan menjadi seorang pendekar hebat di dunia persilatan kelak. Seperti kakek, ayah, atau pamannya.
"Akan selalu aku ingat semua pesanmu, Buyut. Aku mohon doa restumu...."
"Berangkatlah! Buyut akan tetap berada di sini. Aku ingin menjalankan pertapaanku hingga akhir hayatku!" Suta Srengenge bangkit dari duduknya. Ia melangkah menuju pintu. Nyi Buyut Brintik mengikuti cucunya sampai di ambang pintu. Dengan berat hati karena harus berpisah dengan neneknya, Suta Srengenge melangkah meninggalkan gubuk bambu.
Seakan mampu melihat dengan kedua matanya yang buta, Nyi Buyut Brintik memandangi keberangkatan Suta Srengenge. Pemuda itu terus menaiki tebing batu cadas yang mengapit lembah tempat tinggalnya selama ini.
Sampai di atas, Suta Srengenge membalikkan tubuh. Dipandanginya gubuk bambu neneknya dan semua yang ada di sekitar tempat itu. Hatinya tak rela berpisah dengan tempat tinggalnya.
"Selamat tinggal, Buyut," gumam Suta Srengenge seraya memandangi neneknya.
Nyi Buyut Brintik tersenyum seolah mendengar ucapan cucunya. Tak lama kemudian, pemuda berambut panjang dikepang melesat ke arah utara.
***
≠≠≠↨֍¦ 3 ¦֎↨≠≠≠
Rakyat kecil dianiaya kalau tidak mau menyerahkan anak gadis mereka.
Semua orang tentu mengetahui apa yang akan dialami anak gadisnya jika diserahkan kepada Kolo Mareksa. Namun, mereka tiada berdaya untuk menolak. Begitu pula setiap kali anak buah Kolo Mareksa datang meminta upeti. Orang akan menyerahkan saja. Tangis pilu mengiringi keberangkatan anak gadis mereka. Dan, tangisan serupa akan kembali terjadi manakala anak gadisnya dipulangkan ke rumah beberapa bulan kemudian.
Mereka akan segera mendengar kisah sedih yang dialami para wanita piaraan Kolo Mareksa.
Gadis-gadis cantik dipaksa melayani nafsu setan Kolo Mareksa dan para anak buahnya.
Bertahun-tahun keadaan seperti itu berlangsung. Orang semakin lama menganggap hal itu sebagai sesuatu yang harus terjadi. Mau apa" Melawan jelas tak mampu. Menolak, kematian yang akan didapatnya.
Di rumah orang resah. Di pasar orang resah. Di sawah atau ladang pun setali tiga uang. Bahaya selalu mengancam.
***
"Ehm.... Siapa mereka itu, Pak?" tanya pemuda berpakaian putih. Rambutnya dikepang dan dikalungkan di leher.
Lelaki tua pemilik kedai menjawab dengan berbisik, "Mereka anak buah Kolo Mareksa. Setiap pagi kami harus membayar upeti kepada mereka." Pemuda berpakaian putih mengerutkan kening.
"Apa itu upeti?" tanyanya dalam hati.
"Pak, apa upeti itu?" tanyanya kemudian.
"Ssstt...! Mereka datang," sahut lelaki tua pemilik kedai. Keempat anak buah Kolo Mareksa berjalan menuju kedai itu. Sebelum sampai di kedai mereka berhenti di depan seorang pedagang buah yang berada dekat pintu pasar.
"Ampun, Tuan. Pagi ini saya belum mendapatkan uang. Belum satu pun orang yang membeli dagangan saya...."
"Heh! Goblok! Berapa kali kuperingatkan, bawa uang dari rumah. Bukankah kau tahu setiap pagi aku akan datang"!" bentak lelaki bertubuh tinggi besar dengan mata melotot lebar.
Lelaki tua pedagang buah terbungkukbungkuk ketakutan. Tubuhnya yang kurus tampak bergemetaran.
"A... ampun, Tuan. Saya selalu ingat itu.
Tapi kemarin saya tidak banyak mendapat pembeli. Dagangan ini pun sisa kemarin...."
"Bodoh!" Plakkk! "Aduh! Ampun, Tuan. Saya akan membayar dua kali lipat besok pagi. Saya berjanji, Tuan." Lelaki tua itu meringis kesakitan. Di sudut bibirnya menetes darah karena digampar lelaki bercambang lebat.
Tiba-tiba salah seorang dari empat lelaki berpakaian merah mencabut golok. Lalu, diangkatnya hendak membabat pedagang buah. Namun belum sempat golok itu membacok, sesosok bayangan melesat.
Trrapp! Lelaki yang membabatkan golok tersentak kaget. Golok di tangannya terhenti di tengah jalan.
Ketika menoleh, dilihatnya seorang lelaki berpakaian putih telah mencekal goloknya.
"Kurang ajar! Siapa kau"!" bentak lelaki berwajah bengis itu seraya menarik goloknya. Namun begitu kuat cekalan tangan pemuda itu. Sedikit pun goloknya tak bergeming.
"Tidak bisakah kalian bersikap sopan sedikit terhadap orang tua ini?" tanya pemuda berpakaian putih, dingin.
"Berani mati kau mencampuri urusan Mahaguru Kolo Mareksa!" Dua orang lelaki berpakaian merah merangsek maju. Tendangan dan pukulan dilancarkan ke arah pemuda berpakaian putih. Namun dengan gerakan cepat pemuda berambut dikepang itu berjumpalitan ke belakang. Lelaki berpakaian merah yang telah mencabut goloknya tidak mau ketinggalan. Dengan penuh kegeraman dia memburu pemuda berpakaian putih yang punggungnya tersampir keris panjang.
Seketika pertarungan satu lawan empat terjadi.
Orang-orang pasar berlarian keluar menuju tempat pertarungan. Mereka terkejut melihat pemuda berambut kepang. Sungguh berani pemuda itu, pikir orang-orang itu. Namun ketika melihat betapa pemuda itu mampu mengatasi setiap serangan lawan, mereka jadi berdecak kagum. Pemuda berwajah tampan itu ternyata bukan orang sembarangan. Ilmu silat yang dimili- kinya mampu menghadapi keroyokan ketiga lelaki berpakaian merah.
"Siapa pemuda itu?"
"Berani benar dia menantang anak buah Kolo Mareksa...." Gumaman-gumaman terdengar dari beberapa orang yang berkerumun menyaksikan pertarungan. Tentu saja mereka tak menduga ada seorang pemuda yang berani menantang anak buah Kolo Mareksa. Sementara itu, lelaki tinggi besar dan berkumis melintang yang membentak pedagang buah berdiri menyaksikan pertarungan ketiga kawannya. Dalam hati dia merasa kagum melihat kemampuan pemuda itu.
Di kancah pertarungan, pemuda berpakaian putih, melenting ke udara ketika dua orang lawan yang telah mencabut golok membabat ke arahnya.
Sambil meluncur turun kedua kaki pemuda itu melancarkan serangan.
Dua orang lelaki berpakaian merah yang tak sempat mengelak menjerit keras. Kedua kaki lawan mendarat telak di dada dan kepala mereka. Kedua anak buah Kolo Mareksa itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Mulut mereka mengeluarkan darah.
Melihat kejadian itu beberapa orang yang berkerumun bertepuk tangan. Ada pula yang bersuit memberi semangat kepada pemuda berpakaian putih.
"Biar mampus begundal-begundal Kolo Mareksa itu," kata seorang lelaki setengah baya kepa- da kawannya. Lelaki berkumis melintang yang sejak tadi menyaksikan perkelahian menjadi geram. Tubuhnya melesat memasuki arena pertarungan. Sejenak pertarungan terhenti ketika lelaki berwajah bengis itu membentak.
"Anak muda, siapakah kau sebenarnya"!"
"Untuk apa kau tanyakan namaku?" Pemuda itu balik bertanya. Sorot matanya tajam menentang pandang lelaki berwajah bengis.
"Asal kau tahu saja, akulah yang akan membantai Kolo Mareksa!"
"He he he...! Hadapi dulu Gopras!" Lelaki berkumis melintang langsung melesat dan memutar kedua tangannya. Ternyata lelaki bernama Gopras itu tidak hanya bermulut besar.
Gerakan tangannya yang cepat menerbitkan suara menderu. Dengan sikap begitu tenang pemuda berambut dikepang menggeser tubuhnya ke kanan dan ke kiri menghindari pukulan lawan.
Blukkk! Satu pukulan keras mendarat telak di pundak pemuda berpakaian putih. Tubuhnya sempoyongan beberapa langkah ke samping kanan.
Dengan cepat dia segera memulihkan keseimbangan badannya. Begitu Gopras kembali melancarkan serangan, kedua tangan pemuda berpakaian putih terbuka dengan cepat.
Plakkk! Benturan keras terjadi. Keduanya terdorong ke belakang. Tampaknya kedua belah pihak mengerahkan tenaga dalam.
Lelaki bengis itu tak ingin memberi kesempatan. Tubuhnya melompat sambil melancarkan tendangan keras. Pemuda berpakaian putih membuang tubuhnya ke kiri, lalu bergulingan di tanah.
Saat itulah Gopras membalikkan tubuh dan menghujaninya dengan tendangan-tendangan maut. Tubuh pemuda berambut dikepang terus bergulingan. Kini rambutnya yang tadi terkalung di leher lepas dan ikut berputaran bersama tubuhnya.
"Heaaa!" Ketika mendapat kesempatan, pemuda itu melompat bangkit dengan bertumpu pada kedua telapak tangan. Begitu gesit dan ringan gerakan pemuda itu. Dalam sekejap tubuhnya telah berdiri tegak. Kedua tangannya yang membentuk cakar membentang lebar ke atas. Kaki-kakinya terpentang dengan dada dibusungkan "Walet Putih Menyergap Mangsa!"ujar pemuda itu keras.
Matanya yang tajam menatap wajah Gopras.
Lawannya itu tengah mempersiapkan jurus andalan.
Orang-orang pasar kelihatan tegang. Ada yang berbisik-bisik kepada kawannya. Tampaknya mereka menaruh harapan pada kemenangan pemuda berpakaian putih.
"Bunuh saja si Gopras!" kata seorang lelaki setengah baya yang berdiri di depan kedai.
"Heaaa...!" Dengan penuh kegeraman Gopras melesat melancarkan serangan. Tubuhnya berputar di udara dengan kedua tangan ikut berputar cepat.
Pemuda berpakaian putih segera melompat ke samping. Begitu serangan itu lewat, dia melancarkan tendangan ke tubuh lawan.
Blukkk! Tendangan itu telak mendarat di punggung Gopras. Lelaki berkumis melintang itu terhuyunghuyung hampir jatuh terjerembab.
Namun, dengan mulut mengeluarkan geraman keras Gopras kembali melancarkan serangan.
Kedua tangannya yang membentuk cakar meluncur ke wajah lawan. Tetapi, pemuda berpakaian putih segera menjulurkan tangan dengan bentuk serupa. Terjadilah benturan keras. Keduanya terdorong ke belakang. Lalu, kembali melesat dan bertarung dalam jarak dekat. Sampai akhirnya, sebuah pukulan yang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi mendarat telak ke dada Gopras.
Tubuh lelaki berpakaian merah itu terlontar beberapa tombak sampai di depan kedai. Mulutnya mengerang kesakitan.
Melihat Gopras memuntahkan darah segar, ketiga kawannya segera bergerak mengeroyok pemuda berpakaian putih. Dengan senjata terhunus mereka kembali menyerang. Pemuda berpakaian putih dengan mudah mengatasi serangan mereka.
Sambil melenting ke atas kedua kakinya menendang dua orang lawannya. Pekikan keras terdengar hampir bersamaan. Tubuh kedua lelaki berpakaian merah terjungkal ke tanah.
Seorang lagi yang membabatkan goloknya terpental ke belakang. Ternyata, pemuda berpakaian putih telah lebih dulu menyerangkan pukulan tangan kanan ke dada lawan.
Ketiga lelaki berpakaian merah bangkit berdiri hendak kembali melancarkan serangan. Namun ketika mereka melihat Gopras melarikan diri dengar menunggang kuda, ketiganya segera melesat kabur.
Pemuda tampan berpakaian putih tidak melakukan pengejaran. Sambil membersihkan pakaiannya, pemuda itu melangkah menuju kedai tempatnya singgah tadi. Orang-orang langsung menyambutnya dengan senyum. Ada yang berjabat tangan sambil membungkukkan badan memberi hormat.
"Hati-hati terhadap mereka," ujar seorang lelaki.
"Aduh, terima kasih. Den." Lelaki tua pedagang buah bergegas mendekati pemuda berpakaian putih.
"Bagaimana jadinya saya tadi kalau tidak ada Aden." Pemuda berambut dikepang hanya tersenyum dan terus melangkah menuju kedai. Tak habis-habisnya orang berdecak kagum melihat keberaniannya. Tersirat di hati mereka rasa bangga. Inilah pertama kali seorang pendekar muda berani menantang Kolo Mareksa, begitu pikir orang-orang itu. Tak lama kemudian, suasana kembali seperti semula. Para pedagang kembali ke tempat jualan masing-masing. Sementara pemuda berpakaian putih setelah membayar makan pada pemilik kedai segera pergi meninggalkan pasar.
***
≠≠≠↨֍¦ 4 ¦֎↨≠≠≠
Tapi bukan dari kulit ular, melainkan dari kain abu-abu yang sudah agak kumal "Aduh.... Ke mana kita akan mencari tempat berteduh, Kakang?" pemuda bertubuh gemuk dan berkepala botak menghentikan larinya. Napasnya terengah-engah kecapekan. Selembar daun jati kering di tangan kanannya dikibas-kibaskan untuk mengusir hawa panas.
"Lihat di sana, Gol. Ada hutan jati...," ujar pemuda berpakaian rompi kulit ular dengan tertawa cengengesan.
"Iya. Tapi, semua pohon jati itu tak berdaun sama sekali. Di mana kita bisa berteduh, Kakang Sena?"
"Aha..., kamu ini bagaimana, Gol" Baru begitu saja sudah mengeluh. Katanya mau jadi pen- dekar. Seorang pendekar pantang mengeluh, Dogol," jawab pemuda berompi kulit ular yang tak lain Sena Manggala.
Pemuda bertingkah aneh yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila itu menggelenggelengkan kepala sambil tersenyumsenyum. Dia mengejek Dogol yang kecapekan. Suara tawanya terdengar ketika melihat bibir Dogol yang tebal itu bagai hendak jatuh.
"Hi hi hi...! Ayo, Gol!" Sena Manggala melesat meninggalkan Dogol. Meskipun rasa lelah merejam sekujur tubuhnya, pemuda bertubuh gendut itu akhirnya berlari juga mengikuti Sena Manggala. Kedua pemuda yang perbedaannya tampak sangat menyolok seperti saling kejar. Keduanya menuju hutan jati gundul yang daun-daunnya telah berguguran karena musim kemarau.
Tak lama kemudian, Sena atau Pendekar Gila telah sampai di tepi hutan. Dia tertawa mengejek Dogol yang tampak lucu berlari ke arahnya.
Tubuhnya yang gendut dan berperut buncit bergoyang-goyang.
"Gol...! Ayo cepat. Hujan hampir turun.
Nanti basah kuyup tubuhmu. Den Dogol!" ejek Sena.
Akhirnya Dogol pun sampai. Begitu berada di depan Sena, tubuh gendut dan berkepala botak itu jatuh. Napasnya terengah-engah hampir putus.
Dadanya naik turun cepat sekali.
"Ampuun... Ampuun ya, Gusti!" seru Dogol.
Daun jati di tangan kanannya dikipas-kipaskan ke tubuh.
"Haahh.... Hampir putus napasku, Kakang Sena. Di mana kita bisa mendapat setetes air tempat seperti ini...?" keluhnya dengan wajah memelas.
"Hi hi hi.... Jangan khawatir, Dogol. Lihat, jalanan yang kita lewati tadi bekasnya seperti sering dilewati orang. Aku yakin tak jauh dari sini kita akar menemukan sebuah desa," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Rambutnya yang ikal tampak sedikit basah oleh keringat. Di dada, leher, dan keningnya mengalir butir-butir keringat. Tidak dapat dipungkiri kalau pendekar muda itu pun sebenarnya juga kepanasan dan kelelahan. Tetapi, hal itu tidak diperlihatkannya kepada Dogol.
Agak lama kedua pemuda itu beristirahat di bawah pohon jati. Meskipun tanpa daun, tapi kerapatan pohon-pohonnya cukup memberi keteduhan bagi mereka.
Sena Manggala duduk bersandar pada batang pohon. Tangannya mengipas-kipaskan daun jati. Sementara Dogol tertidur di sampingnya. Sebentar saja pemuda bertubuh tambun itu telah terlelap. Perutnya yang buncit kembang-kempis seiring dengan bunyi mengorok dari mulutnya.
"Hi hi hi.... Ada kodok tidur ngorok," ujar Sena sambil tertawa cekikikan.
Sena mencabut sebatang rumput kering.
Lalu perlahan-lahan dikiliknya telinga Dogol yang tengah tidur. Mungkin karena terlalu pulas Dogol tidak terbangun. Hanya mulutnya yang meringisringis merasa geli. Tangan kirinya bergerak hendak menepiskan. Tapi, dengan cepat Sena menarik rumput itu dari telinga Dogol. Sebentar kemudian ketika Dogol kembali tertidur, Sena mulai lagi dengan keisengannya. Kini dia berpindah mengilik lubang hidung Dogol yang besar dan dipenuhi bulubulu halus.
"Haajing...!" Cepat Sena menarik tangannya ketika Dogol mengeluarkan suara bersin yang keras. Sena tertawa cekikikan melihat Dogol kembali tertidur setelah mengucek-ucek hidungnya.
Namun ketika Sena hendak kembali mengganggu Dogol, gerakannya terhenti. Tibatiba saja telinganya menangkap suara deru kaki-kaki kuda di kejauhan. Sambil mengerutkan kening, dia menelengkan kepala untuk mempertajam pendengarannya.
***
"Heaaa.,.! Heaaa...!" Bentakan-bentakan keras dikeluarkan empat orang lelaki berpakaian merah yang tengah menggebah kuda-kuda tunggangannya. Sementara kira-kira seratus tombak di depan mereka sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda melaju cepat.
Sang kusir yang mengenakan pakaian lurik lengan panjang tak henti-hentinya menyabeti kuda-kuda dengan cemetinya. Rupanya, kereta itu sedang menghindari kejaran keempat penunggang kuda di belakangnya.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau, Tantrayana" Kalian takkan bisa lepas dari kejaran kami...!" seru lelaki berwajah bengis yang menunggang kuda paling depan.
Dari dalam kereta kuda terdengar suara seorang wanita berteriak- teriak.
"Paman Subali, Paman Subali! Terus dipercepat lari kuda-kuda itu. Jangan sampai mereka menangkap kita sebelum sampai di rumah Eyang!" Tanpa memberi jawaban, kusir kereta terus menghentak-hentakkan tali kekang kuda, sementara tangan kanannya mencambuki kuda-kuda itu.
"Hea! Heaaa!" Gemeretak suara roda kereta yang melindas jalan tanah berdebu terdengar di sela-sela teriakan para penunggang kuda yang mengejarnya. Kusir kereta terus sibuk mengendalikan kuda-kuda. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang dan kembali mencambuki kuda-kuda itu.
Sayang, secepat apa pun kereta kuda itu berlari para penunggang kuda di belakangnya tetap mampu mengejar. Jarak antara mereka kini hanya tinggal lima tombak lagi. .
"Heaaa...!" Tibatiba, penunggang kuda yang berada paling depan menggebah kudanya hingga berlari lebih kencang.
Ketika lelaki berpakaian merah itu berada tepat di samping kanan kusir kereta, dia mencabut pedang yang tersampir di pundaknya. Cepat pedang itu dibabatkan ke tangan sang kusir.
"Huup! Heaaatt...!" Namun, sang kusir yang bernama Subali ternyata bertindak lebih cepat. Ditariknya dengan kuat tali kekang kuda. Seketika keempat kuda itu berhenti. Namun, kuda yang berada paling depan meringkik keras dan melompat tinggi-tinggi. Lehernya mengucurkan darah segar.
Ternyata, babatan pedang lelaki berpakaian merah mengenai leher kuda itu.
Subali melompat ke depan seraya melancarkan tendangan keras. Penunggang kuda yang berhenti di depan kereta itu terguling di tanah.
Tendangan keras Subali mendarat di punggungnya. Ketika lelaki berpakaian merah itu melompat bangkit, Subali melesat memberikan serangan susulan. Tangan kanannya yang telah menggenggam sebilah pedang berkelebat cepat membabat leher lawan. Trang! Benturan keras terjadi. Lelaki berpakaian merah mampu menangkis serangan Subali dengan pedangnya yang ternoda darah kuda. Terjadilah pertarungan sengit antara Subali dengan lelaki berpakaian merah.
Sementara itu, tiga orang penunggang kuda yang lain telah sampai di tempat pertarungan. Mereka langsung melompat turun dan mendekati pintu kereta dengan pedang terhunus. Namun belum sampai mereka menjamah pintu kereta, mendadak pintu itu terbuka.
"Heaaa...!" Sesosok tubuh berpakaian kuning melesat dari dalam kereta dan langsung melancarkan serangan. Sepasang trisula pendek di tangannya berputar cepat.
Benturan-benturan pun tak dapat dihindari lagi ketika sepasang trisula itu dipapaki pedang lawan. Ketiga lelaki berpakaian merah berlompatan menghindar. Ketika sosok berpakaian kuning mendarat di tanah tampaklah kini wajahnya. Dia seorang lelaki lima puluh tahunan dengan tubuh tinggi semampai dan berwajah bersih. Rambutnya yang sebagian telah memutih terikat kain lurik berwarna coklat.
"Kau akan menghadapi kesulitan besar atas penolakanmu terhadap permintaan Mahaguru Kolo Mareksa, Tantrayana! Sampai di mana pun kami akan mencarimu. Sekarang, kalau kau sayang nyawamu, serahkan putrimu kepada kami. Jangan khawatir, anakmu akan hidup berbahagia bersama Mahaguru Kolo Mareksa!"
"Chuih! Lebih baik mati daripada hidup menjadi budak iblis Kolo Mareksa itu!" dengus lelaki berpakaian kuning.
"Langkahi dulu mayatku untuk dapat membawa Laras."
"Kurang ajar! Tangkap dia...!" perintah lelaki berwajah bengis kepada kedua kawannya.
Tanpa diperintah dua kali, kedua lelaki itu segera bergerak maju menyerang Ki Lurah Tantrayana. Mereka membabat dan menusukkan pedangnya ke tubuh lelaki berpakaian kuning. Namun, Ki Lurah Tantrayana telah lebih dulu melompat ke belakang mengelakkan serangan. Kemudian, meliukkan tubuh merendah seraya menusukkan kedua trisulanya.
Wuuttt! Trakkk! Lelaki berpakaian kuning itu sempoyongan ketika sepasang trisulanya berhasil dipapaki pedang lawan. Saat itulah seorang lawannya melompat sambil membabatkan pedang.
Melihat maut mengancam dirinya, dengan cepat Ki Lurah Tantrayana melempar tubuh ke samping kanan. Babatan pedang lawan pun berhasil dielakkannya.
Tapi, lawan yang lain tampaknya tak ingin memberi kesempatan kepada Ki Lurah Tantrayana.
Begitu melihat lelaki berpakaian kuning itu berhasil mengelak, dia langsung memburunya. Sementara Ki Lurah Tantrayana belum dapat bangkit dari tergulingnya. Maka....
Jrrabs! Lolong kesakitan terdengar dari mulut Ki Lurah Tantrayana. Tubuhnya berkelojotan dengan dada robek terbabat pedang lawan. Darah segar muncrat dari dadanya.
"Ayaaah...!" Terdengar jeritan dari dalam kereta. Seorang wanita cantik yang tak lain Laras, putri Ki Lurah Tantrayana, melompat dari tempat duduknya.
Di tempat lain, Subali yang masih bertarung dengan lawannya juga terkejut mendengar jeritan Ki Lurah Tantrayana. Ketika kepalanya menoleh ke belakang, serta-merta lawannya bergerak cepat membabatkan pedang.
Subali yang tengah lengah menjerit kaget ketika pedang lawan membabat punggungnya. Lelaki setengah baya berpakaian lurik itu terjungkal dengan tubuh berlumuran darah. Dia berusaha bangkit berdiri dengan tubuh sempoyongan. Namun, lelaki berpakaian merah yang menjadi la- wannya telah bergerak cepat. Sekali lagi ujung pedangnya mendarat di perut Subali. Seketika Subali ambruk ke tanah dan tak berkutik lagi.
***
"Gol, bangun, Gol...!"
"Haits! Ups.... Heh"!" Pemuda bertubuh tambun itu terbangun dengan geragapan. Tanpa sadar tangannya bergerak-gerak cepat memainkan jurusjurus silat.
"Hi hi hi...! Hebat kau, Gol!" Sena Manggala terkekeh melihat tingkah Dogol yang lucu. Mungkin pemuda berkepala botak itu mengira sedang berhadapan dengan musuh.
"Mimpi apa kau, Gol?"
"Aduuh, Kakang Sena, membuatku kaget saja...," ujar Dogol kemudian ketika telah sadar dari rasa kagetnya. Ia mengusap bibirnya yang basah. Ada cairan mengalir di sudut bibir itu.
"Aku mendengar langkah kaki kuda yang saling berkejaran. Tapi, tak lama kemudian mereka berhenti. Lalu barusan kudengar suara jeritan.
Mungkin ini petunjuk pertama bagi kita, Gol. Ayo, kita lihat apa yang terjadi di sana!" Pendekar Gila melesat ke arah timur. Dogol bergegas mengikuti. Ternyata tempat suara jeritan itu berasal masih jauh dari hutan jati. Itu sebabnya meskipun tadi Sena telah mengerahkan ilmu 'Sapta Pangrungu' yang mampu menangkap suara dari jarak jauh, ia tidak dapat mendengar suara pertempuran.
***
"Kalian manusia keji. Biadab!" teriak gadis cantik berambut panjang itu. Ditatapnya satu persatu wajah keempat lelaki berpakaian merah yang telah membunuh Subali dan melukai ayahnya.
"He he he...! Untuk apa kau bersikeras menolak lamaran Mahaguru Kolo Majeksa, Anak Manis" Kau tahu sekarang apa akibatnya. Ayolah, ikut kami!" Lelaki berpakaian merah itu kemudian mendekati Laras. Begitu tiba dekat, tangannya dengan cepat melayang, menotok tubuh wanita cantik itu. Seketika tubuh Laras terkulai lemas.
Gadis itu merintih pilu ketika lelaki berpakaian merah membopong tubuhnya. Sedikit pun ia tak mampu melawan. Sekujur tubuhnya lemas tak berdaya. Laras dimasukkan ke dalam kereta. Salah satu dari keempat anak buah Kolo Mareksa duduk di kursi kusir. Diputarnya arah kereta dan segera dipacunya. Walau salah seekor dari keempat kuda kereta terluka, namun masih dapat berlari. Ketiga kawannya mengiringi dari belakang. Mereka meninggalkan tubuh Ki Lurah Tantrayana dan Subali yang tergeletak berlumuran darah di atas jalan tanah berdebu.
Tidak lama kemudian, sampailah Pendekar Gila dan Dogol di tempat itu. Mereka terkejut menyaksikan pemandangan di sana.
Sena segera berlari mendekati Ki Lurah Tantrayana ketika melihat lelaki berpakaian kuning itu sedikit menggeliatkan tubuhnya. Sena berjongkok ke samping tubuh Ki Lurah Tantrayana.
"Apa yang telah terjadi...?" Ki Lurah Tantrayana membuka sedikit matanya. Setelah tercenung sesaat mendadak mata itu membelalak lebar melihat sosok yang berjongkok di sampingnya.
"Be...
benarkah Tuan yang berjuluk Pendekar Gila...?" tanyanya dengan terputus-putus.
"Begitulah orang menyebutku, Ki. Siapa yang telah melakukan kekejian ini?"
"Tuan Pendekar, tidak sedikit orang yang bernasib buruk seperti diriku ini. Mereka..., akh...." Belum sempat Ki Lurah Tantrayana menyelesaikan kata-katanya, nyawa lelaki itu telah melayang dari raga. Pendekar Gila segera berdiri dan menoleh ke arah Dogol yang tertegun bingung.
"Gol, ayo kita kejar mereka!" Dogol segera melesat mengikuti Pendekar Gila. Baru beberapa tombak keduanya melesat ke arah timur, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"Berhenti...!" Dogol yang menoleh lebih dulu dan bergegas membalikkan tubuh melihat sesosok bayangan putih mendarat sekitar enam tombak di depannya. Pemuda berpakaian putih dengan rambut panjang berkepang itu menatap tajam wajah Dogol. Pendekar Gila yang baru saja membalikkan tubuh, cengengesan melihat pemuda itu.
Dogol yang mendapat tatapan tajam menjadi salah tingkah. Dengan tersenyum lucu dia menoleh ke arah Sena yang juga tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. Masih dengan cengengesan Sena membuang muka dari tatapan tajam pemuda yang belum dikenalnya. Tatapan pemuda itu begitu aneh dan mengandung suatu kekuatan.
Pendekar Gila segera menyadari pemuda di depannya ini bukan orang sembarangan.
Setelah cukup lama tidak terdengar ucapan apa pun dari pemuda itu, Sena membuka suara.
"Aha... kita bertemu lagi, Sobat. Ke mana saja kau" Sekian lama aku mencarimu ternyata kita bertemu di sini...." Sambil mengucapkan katakata itu mulut Sena tak henti-hentinya tersenyum.
Tangannya menggaruk-garuk kepala seperti merasa gatal "Jangan banyak bicara! Rupanya kalian begundal-begundal Kolo Mareksa!" bentak pemuda berambut dikepang. Dengan mata tetap menatap Pendekar Gila, dia mencabut kerisnya.
"Dengar, akulah yang akan menghabisi nyawa kalian. Juga semua begundal Kolo Mareksa...!"
"Ah ah ah...! Tega nian hatimu menuduhku seperti itu, Sobat. Baru berpisah beberapa bulan saja kau telah berubah...," Sena memain-mainkan matanya. Berkedip-kedip, lalu melotot lebar. Sedang mulutnya cengengesan.
Sebenarnya Pendekar Gila telah dapat menerka siapa pemuda itu. Sena yakin pemuda ini bukan dari golongan sesat. Sikapnya yang lugu, jelas memperlihatkan kalau dia belum banyak berpengalaman di dunia persilatan. Namun jelas pemuda ini bukan pemuda sembarangan.
"Sudah tertangkap basah kau masih berusaha mungkir! Heaaatt...!" Pemuda berpakaian putih membentak keras. Tubuhnya melesat hendak melakukan serangan. Kerisnya yang panjang secepat kilat dicabut dari warangkanya dan diputar memburu Pendekar Gila.
"Dogol, menyingkir kau!" teriak Sena seraya melentingkan tubuh menghindari serangan pemuda berpakaian putih.
Dogol segera berlari menjauh. Sementara Sena telah mendarat dengan ringan tiga tombak ke belakang lawan. Namun, dengan cepat pemuda itu bersalto ke belakang dan berdiri dengan kedua kaki terpentang menghadapi Pendekar Gila. Melihat sikap Pendekar Gila yang malasmalasan, pemuda berpakaian putih semakin naik darah. Tubuhnya melesat seraya membabatkan kerisnya.
"He he he...! Tidak kena, Sobat. Baru beberapa hari saja kau sudah lupa jurusjurus yang kuajarkan. Pendekar macam apa kau ini!" dengan mudah Sena berhasil mengelakkan serangan itu.
Tubuhnya diliuk-liukkan ke kiri dan ke kanan mengelakkan serangan keris.
"He he he.... Terlalu panjang kerismu, Sobat. Tampaknya kau keberatan dengan kerismu. Ayo, kejar aku!" Pemuda berpakaian putih merubah serangannya. Kerisnya yang panjang digenggam dengan kedua tangan tepat di depan dada ketika tubuhnya meluncur cepat memburu Sena.
Namun, Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke kanan kemudian melenting ke atas dan bersalto beberapa kali di udara. Mendapati serangannya gagal, pemuda berambut dikepang tampak begitu geram.
"Hi hi hi... Mana ilmu andalanmu, Sobat" Kalau cuma seperti ini anak ingusan juga bisa.
Hayo, keluarkan ajian pamungkasmu! " Pendekar Gila tertawa sambil menggarukgaruk kepalanya.
"Chuih! Percuma mengeluarkan ilmu andalan hanya untuk menghadapi orang gila sepertimu. Heh"!" selesai mengucapkan kata-kata itu pemuda berpakaian putih membelalakkan mata, kaget. Ditatapnya wajah Sena lekat-lekat.
Lalu, matanya memperhatikan suling berkepala naga yang terselip di pinggang pemuda berpakaian rompi kulit ular. Inikah pemuda yang berjuluk Pendekar Gila" tanyanya dalam hati. Ciri-ciri yang dimiliki persisi seperti cerita Buyut. Tingkahnya pun seperti orang kurang waras. Pakaian yang dikenakannya berupa rompi dari kulit ular. Yang jelas, Pendekar Gila memiliki Suling Naga Sakti yang berwarna keemasan dan berkepala naga.
Perlahan pemuda berambut dikepang menyarungkan kerisnya ke dalam warangka.
Namun, betapa terkejutnya Suta Srengenge ketika tiba-tiba Pendekar Gila menyambar tubuh Dogol lalu dibawanya melesat pergi. Dengan mengerahkan ilmu 'Sapta Bayu' Sena melesat begitu cepat. Dia ingin memburu para pelaku yang membunuh Ki Lurah Tantrayana.
Suta Srengenge tidak tinggal diam. Tubuhnya segera melesat mengejar Pendekar Gila.
***
Dogol yang telah diturunkan dari pondongan Sena pun tampak keheranan. Bagaimana mereka dapat begitu cepat menghilangkan jejak.
"Pasti ada jalan rahasia yang tidak diketahui orang...," gumam Sena. Belum selesai Sena mengucapkan kata-katanya, muncul sesosok bayangan putih yang tak lain Suta Srengenge.
"Tuan Pendekar!" Sena dan Dogol menoleh ke belakang.
"Ampunkan saya yang bodoh ini, Tuan Pendekar. Sungguh tak kusangka yang kuhadapi saat ini adalah seorang pendekar besar..."
"Eh eh eh.... Ada apa ini?" Sena tampak keheranan melihat perubahan sikap pemuda yang tadi begitu memusuhinya. Seorang pendekar seharusnya tidak berbuat seperti ini, Sobat. Jika benar akulah yang kau maksud Pendekar Gila... kalau bukan" Tak ada lagi ampunan bagimu. Kau akan mati karena kecerobohanmu."
"Tidak! Justru karena aku yakin Tuanlah si Pendekar Gila yang kesohor itu, aku berani bersikap demikian. Tak ada alasan bagiku untuk meragukan Tuan. Ciri-ciri yang Tuan miliki adalah milik Pendekar Gila. Ampunkan saya, Tuan."
"Sudahlah. Untung saja akulah orangnya yang kau maksudkan," sahut Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Memang begitulah orang menjuluki diriku..."
"Bagaimana Tuan bisa sampai ke daerah ini" Bukankah sangat jauh perjalanan yang harus Tuan tempuh. Yang aku dengar belum lama ini Tuan berada di wilayah barat...?" tanya pemuda berpakaian putih yang tak lain Suta Srengenge, cucu Nyi Buyut Brintik. Banyak yang telah ia ketahui dari neneknya tentang Pendekar Gila.
"Kabar tentang keberhasilan Tuan menumpas Naga Merah Dari Merapi telah tersebar di daerah ini," lanjutnya.
"Sudahlah. Jangan kau panggil aku seperti itu. Panggil saja Sena. Namaku Sena Manggala...," Sena tersenyum-senyum malu.
"Kenapa kau kelihatan begitu dendam pada Kolo Mareksa" O, ya.
Siapa namamu, kalau aku boleh tahu?"
"Suta, Suta Srengenge."
"Aha, matahari! Namamu berarti anak matahari, Suta!" Sena tertawa gembira.
Pemuda berpakaian putih mengangguk, membenarkan ucapan Sena Manggala.
"Bagaimana aku tidak mendendam, Sena," Suta Srengenge ingin mengadukan persoalan yang tengah dihadapinya.
"Kakekku, ayahku, ibuku, pamanku, semua terbunuh oleh keganasan Kolo Mareksa. Bahkan, nenekku kini hidup dengan kebutaan matanya akibat kebengisan iblis itu...!" Suta Srengenge kemudian menceritakan peristiwa tragis yang menimpa keluarganya.
Diceritakannya semua dari peristiwa terbunuhnya sang kakek sampai kepada dirinya yang dididik dan dibesarkan neneknya di suatu tempat terasing.
"Begitu mengenaskan kisah kehidupan yang dialami para pendekar. Tidak sedikit manusia bernasib seperti itu. Apalagi mereka yang jelas-jelas berpihak pada kebenaran. Mereka banyak mempunyai musuh. Banyak bahaya yang harus dihadapi...," tutur Sena ketika dilihatnya Suta Srengenge terdiam.
"Ketahuilah, Suta," ujar Dogol yang sejak tadi hanya membisu di samping Sena.
"Kedatangan kami ke sini juga karena mendengar keganasan sepak terjang Kolo Mareksa."
"Aha. Benar kata kawanku ini," sahut Sena, "Seorang tokoh tua, em... yang tadi kau sebutkan menjadi guru paman dan ayahmu, si Pendekar Kembar itu, beberapa hari yang lalu menemuiku.
Siapa tadi namanya" Aku lupa." Sena menggarukgaruk kepala berusaha mengingatingat.
"Resi Watuhumalang. Iya! Dia juga banyak bercerita tentang kebengisan anak buah Kolo Mareksa. Kabarnya mereka tidak hanya membantai tokoh-tokoh golongan putih. Banyak wanita desa diculik dan dijadikan piaraannya...."
"Itulah yang sangat meresahkan para penduduk, Sena," timpal Suta Srengenge.
"Sebenarnya aku dipesan oleh Buyut agar mencarimu. Ilmu 'Canda Birawa' yang dimiliki Kolo Mareksa menurut dugaan nenekku hanya ilmu sihir yang sangat kuat. Jadi, bukan 'Canda Birawa' sejati." Lalu Suta Srengenge menjelaskan alasan Nyi Buyut Brintik kalau Ilmu 'Canda Birawa' sejati tidak akan bisa digunakan untuk kejahatan.
Pendekar Gila mengangguk-angguk mendengar keterangan itu. Kalau ternyata Kolo Mareksa benar menggunakan ilmu sihir, Sena memiliki ilmu penangkal ilmu sihir.
"Cukup banyak yang kudapat darimu, Suta.
Tampaknya kita harus segera menumpas kejahatan yang dilakukan Kolo Mareksa.
Tapi, bagaimana kita bisa sampai ke sarangnya?" tanya Sena yang masih merasa asing di tempat ini.
"Itulah.... Aku pun baru beberapa hari ini keluar dari tempat pengasingan nenekku. Jadi, belum banyak mengenal tempat ini.
Meskipun sebenarnya aku orang sini, Sena."
"Ya, ya. Aku tahu itu," Sena menganggukangguk.
"Sementara tak satu pun orang desa yang berani berbicara jika ditanya tentang Kolo Mareksa. Nyawa taruhannya kalau mereka sampai berani membicarakan Kolo Mareksa. Apalagi menunjukkan di mana sarangnya," jelas Suta Srengenge.
"Kalau begitu, ayo kita lanjutkan pengejaran ini. Siapa tahu kita masih bisa menemukan jejak mereka...," ajak Pendekar Gila. Pemuda itu lalu melesat ke arah timur. Diikuti Dogol dan Suta Srengenge. Ketiga pemuda itu berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sementara matahari telah mulai condong ke arah barat.
***
≠≠≠↨֍¦ 5 ¦֎↨≠≠≠
Di kanan kiri jalan tanah selebar dua tombak yang menuju rumah itu ditumbuhi ilalang setinggi dada.
Dari jauh terdengar sayup-sayup suara gamelan yang menghentak-hentak. Sesekali diselingi suara sorak dan tepuk tangan. Rupanya, tengah berlangsung suatu pesta di dalam rumah besar itu. Ternyata benar. Di dalam ruangan besar yang terletak di tengah rumah tampak empat orang wanita cantik melenggak-lenggok seiring irama gamelan. Belasan lelaki berpakaian serba merah duduk bersila di lantai mengelilingi keempat penari. Sambil tertawa-tawa gembira mereka menikmati minuman tuak dan menyaksikan para penari melenggak-lenggok. Di antara mereka duduk wanita-wanita cantik.
Dengan tertawa atau tersenyum manja mereka menyandarkan tubuh pada lelaki yang menjadi pasangannya. Ada pula yang tengah asyik bermesraan. Seorang lelaki setengah tua yang duduk di dekat tiang bangkit dari duduknya. Langkahnya sedikit gontai karena mabuk. Dia menghampiri penari yang mengenakan penutup dada berwarna hijau. Teman-teman lelaki itu memberinya tepukan tangan.
"Ayo, Kakang Rego! Kenapa mesti raguragu...!" teriak lelaki beralis tebal.
"Bawa saja dia...!" Lelaki setengah tua yang bernama Regosulung menjawil lengan penari berpenutup dada hijau. Wanita cantik bertubuh sintal itu tersenyum.
Disambutnya Regosulung dengan uluran selendang. Ketika itu para penabuh gamelan semakin mempercepat tabuhannya. Orang-orang pun bertepuk tangan memberi semangat.
Penari berdada mulus dan montok itu segera mengikuti Regosulung yang menggiringnya keluar arena. Keduanya melangkah menuju sebuah kamar yang terletak di sebelah kanan ruangan besar itu.
"He he he.... Berapa lama kau kuat melayaniku, Anak Manis?" tanya Regosulung sambil terkekeh. Dicoleknya dada mulus penari muda berwajah cantik itu.
"Mestinya aku yang bertanya begitu, Ki," sahut wanita berusia dua puluh tahunan itu dengan senyum menggoda.
Sampai di dalam kamar Regosulung langsung mendekap tubuh wanita itu. Dicium dan dijilatinya leher mulus si penari. Napas lelaki bertubuh tinggi itu terdengar memburu. Si penari cantik memejamkan mata. Mulutnya mengeluarkan desahan-desahan nikmat.
Tangan Regosulung telah melepaskan kain kemben yang menutupi dadanya.
"Aahh.... Tutup dulu pintunya, Kakang," ujar si penari dengan suara mendesah lirih di telinga Regosulung. Pintu kamar memang masih terbuka sedikit.
Tanpa mempedulikan ucapan si penari, Regosulung terus menciumi dadanya.
Kemudian, tangannya beralih melepaskan kain wanita itu hingga terlepaslah semua pakaiannya. Kini, tak sehelai benang pun yang menutupi tubuh mulus dan sintal itu.
Si penari menggeser langkahnya untuk menutup pintu. Begitu pintu kamar telah tertutup, sambil mendesah dia melucuti pakaian Regosulung.
"Aku sudah tak kuat lagi. Ayolah...." Regosulung mengangkat tubuh wanita itu dan dibawanya menuju ranjang.
Erangan-erangan lirih pun segera terdengar dari mulut keduanya.
***
Ia dikelilingi tujuh orang gadis berwajah cantik. Di atas lantai beralaskan permadani indah itu mereka bercengkerama. Gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan pakaian tipis tembus pandang itu pun berbaring. Dengan mesra mereka membelaibelai tubuh lelaki berjubah hitam.
Seorang gadis membaringkan kepalanya di paha lelaki berwajah kasar itu. Yang lain tampak mengelus-elus dada lelaki itu yang dipenuhi bulu-bulu bulus.
Dari luar masih terdengar suara gamelan dan ramai sorak-sorai.
Seorang gadis yang mengenakan penutup dada berwarna merah jambu melepas jubah lelaki berwajah kasar.
"Kakang, hari ini giliranku...," desah gadis itu. Kepalanya dibaringkan di dada bidang yang dipenuhi bulu-bulu hitam.
"Aku... aku tak tahan..."
"Ambilkan aku arak!" perintah lelaki berwajah kasar.
Wanita yang terbaring di pahanya bangkit berdiri. Dia melangkah menuju meja kayu berukir untuk mengambil arak. Dengan malas-malasan wanita berpakaian putih itu memberikan arak yang diambilnya.
"He he he.... Kenapa kau tampak lesu, Kedasih?" tanya lelaki berwajah kasar.
"Minumlah ramuan yang telah dibuatkan Nyi Ngadirah!"
"Berapa lama lagi aku berada di sini, Kakang Mareksa?" tanya gadis itu dengan kepala tertunduk.
Lelaki berjubah hitam yang ternyata Kolo Mareksa bangkit dari terbaringnya.
"Pulanglah sekarang! Perempuan tak tahu diuntung!" bentaknya dengan wajah memerah.
Mendengar kemarahan Kolo Mareksa, wanita-wanita yang dijadikan piaraannya langsung terdiam. Tak satu pun yang berani membuka mulut.
Begitulah kalau Kolo Mareksa sedang marah, meskipun mereka baru saja bercengkerama.
Suatu saat nanti mereka memang akan dikembalikan ke rumah masing-masing. Akan berkumpul kembali dengan orang tua. Saat itulah mereka akan mengakhiri kehidupan terkutuk ini. Kehidupan yang setiap saat diwarnai dengan suasana penuh birahi. Para gadis cantik itu tak pernah mengetahui mengapa mereka sampai terjerumus ke dalam keadaan seperti ini. Yang mereka tahu hanya perpisahan secara paksa dari orangtua karena kehendak Kolo Mareksa. Gadis-gadis itu tak tahu Kolo Mareksa telah menggunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi mereka. Sehingga, tak mampu menolak ketika mereka diminta untuk melayani keinginan Kolo Mareksa.
Kolo Mareksa melangkah ke pintu. Lelaki bertubuh tinggi itu memanggil seorang anak buahnya. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh gemuk datang menghadap.
"Antarkan dia pulang!" perintah Kolo Mareksa kepada anak buahnya itu.
"Baik, Ketua." Lelaki bertubuh gemuk membawa Kedasih keluar dari kamar pimpinannya. Sampai di luar mereka segera mendapat sambutan dari kawankawan lelaki gemuk.
"Aiih! Beruntung sekali kau, Bardak!" seru lelaki yang duduk di sudut ruangan bersama seorang wanita cantik.
"Berikan padaku saja gadis itu...!" Namun, belum sampai Bardak turun dari serambi rumah dilihatnya sebuah kereta kuda datang. Di belakang kereta itu tampak tiga orang penunggang kuda mengiringnya. Bardak langsung membalikkan tubuh dan berlari ke dalam. Dia menuju ruangan Kolo Mareksa.
"Ketua, Gajahsura dan anak buahnya berhasil!" lapor Bardak.
Kolo Mareksa melangkah keluar dari kamar.
Sementara orang-orang di ruangan depan yang tengah asyik menyaksikan tarian bangkit berdiri dan melangkah ke serambi.
Kusir kereta yang adalah Gajahsura melompat turun. Lelaki berambut keriting itu bergegas menghadang sang ketua yang telah menunggu di serambi.
"Kami membawa Laras, putri Lurah Tantrayana, Ketua," ujar Gajahsura setelah menjura memberi hormat "Hm. Bagaimana lurah keparat itu?" tanya Kolo Mareksa. Matanya memperhatikan ketiga anak buah Gajahsura yang tengah menyuruh Laras keluar dari kereta.
"Terpaksa kami bunuh...," jawab Gajahsura.
Ketiga anak buah Gajahsura menarik tangan Laras karena gadis itu tak mau turun dari kereta. Gadis cantik berpakaian putih dan berambut panjang tergerai itu meronta-ronta. Namun akhirnya, ketiga anak buah Gajahsura berhasil memaksanya keluar.
Laras diseret sampai di depan tangga serambi. Matanya yang berlinang melihat orangorang berwajah bengis tengah menatap dirinya.
Saat tatapannya beradu dengan tatapan Kolo Mareksa, tiba-tiba Laras merasakan ada getaran hebat di hatinya. Sepasang mata lelaki bertubuh tinggi dan berwajah kasar itu mengandung kekuatan aneh, Laras buru-buru membuang muka. Ia tak tahan menerima tatapan tajam mengandung kekuatan aneh itu. Belum pernah Laras merasakan keanehan seperti ini.
"Bawa dia masuk!" perintah Kolo Mareksa kepada ketiga anak buah Gajahsura.
Bergegas mereka menarik tangan Laras dan membawanya masuk. Gadis itu dibawa ke sebuah ruangan khusus yang biasa digunakan untuk menempatkan wanita baru. Gadis cantik itu berteriak-teriak. Namun, cekalan tangan ketiga lelaki yang menggiringnya terlalu kuat. Ia tak mampu melepaskan diri.
Kolo Mareksa kembali masuk ke ruangan pribadinya, tempat wanita-wanita piaraannya tengah menanti. Suara gamelan pun kembali terdengar. Para penari menari di tengah ruangan besar.
Orang-orang bertepuk tangan dan bergembira sambil menikmati tuak dan arak. Mereka terus bergembira. Hanyut dalam suasana pesta hingga sore hari.
***
≠≠≠↨֍¦ 6 ¦֎↨≠≠≠
Angin kemarau yang kering bertiup semilir membelai rambut seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular. Pemuda itu berjalan bersama dua orang kawannya. Mereka tak lain Sena Manggala, Dogol, dan Suta Srengenge. Saat itu ketiganya tengah melangkah memasuki sebuah desa.
"Kita harus bermalam dulu di desa ini, Suta," ujar Sena. Ditolehnya Suta Srengenge yang berjalan di samping kanannya.
"Ya. Siapa tahu kita mendapat keterangan tentang tempat kediaman Kolo Mareksa," timpal Suta Srengenge.
Dogol yang hanya membisu tampak berjalan dengan langkah berat. Perutnya yang buncit serta tidak tertutup rompi bergoyang ke kanan dan ke kiri. Sesekali lengannya yang besar dan gempal mengusap pipi atau lehernya. Keringat mengalir membasahi tubuhnya.
Ketiganya terus melangkah menyusuri jalan utama desa yang lengang. Sepi sekali suasana desa kecil itu. Rumah-rumah tertutup. Tak seorang pun berada di luar.
Ketika mereka sampai di sebuah tikungan jalan, tampak di tepi jalan ada sebuah kedai. Tapi, kedai itu tertutup.
"Hei, sepi sekali desa ini. Ke mana para penduduknya?" tanya Sena seraya melempar pandangan berkeliling. Tetapi, yang dilihatnya hanya tempat-tempat sepi.
"Tampaknya ada sesuatu yang telah terjadi di sini, Kakang Sena," ujar Dogol dengan mengusapkan lengannya ke leher.
Ketiganya terus melangkah menyusuri jalan. Tak lama kemudian mereka melihat sebuah rumah besar, Belasan orang berkumpul di sana.
Lampu-lampu minyak telah dinyalakan.
Sena mengajak Dogol dan Suta Srengenge mendatangi rumah besar itu. Orang-orang yang berada di serambi rumah berhalaman luas itu menoleh ketika melihat tiga orang lelaki asing memasuki halaman.
Sena menganggukkan kepala memberi hormat. Perbuatannya diikuti oleh Suta Srengenge dan Dogol. Lalu, seorang di antara yang berada di rumah besar datang menyambut.
"Selamat datang, Tuan-tuan!" ucap orang itu. Matanya menatap penuh selidik wajah Sena.
Lalu, pandangannya turun dan berhenti pada suling berkepala naga yang terselip di pinggang pemuda berompi kulit ular itu.
"Boleh kami bertanya, Ki?" tanya Sena memecah keheningan.
"Di mana rumah penginapan di desa ini?"
"Wah, penginapan?" ujar orang itu.
"Dulu ada rumah penginapan di ujung selatan desa ini.
Tapi, semenjak pemiliknya dibunuh orang-orang Kolo Mareksa, sekarang sudah tidak ada lagi.
Orang yang kemalaman biasanya menginap di sini, Tuan." Lelaki setengah baya berpakaian hitam itu menudingkan ibu jarinya ke arah rumah yang saat itu tengah dipenuhi penduduk.
"Inilah rumah kepala desa kami, Ki Lurah Tantrayana. Tapi...."
"Apa yang terjadi, Ki?" potong Suta Srengenge.
"Siang tadi anak buah Kolo Mareksa mengobrak-abrik rumah Ki Tantrayana. Empat orang anak buah Tantrayana terbunuh. Nasib Ki Lurah sendiri dan anak buahnya belum kami ketahui.
Mari, silakan masuk dulu, Tuan." Lelaki setengah baya itu mengajak Sena, Suta Srengenge dan Dogol masuk. Setelah menoleh ke arah Suta Srengenge dan Dogol, Sena akhirnya mengikuti ajakan lelaki itu.
Orang-orang yang berada di rumah kepala desa memperhatikan ketiga pemuda asing itu. Di antara mereka ada beberapa lelaki muda yang kalau dilihat dari perawakan tubuh dan pakaiannya merupakan orang-orang persilatan. Mereka berdiri ketika melihat pemuda berpakaian rompi kulit ular memasuki serambi rumah.
"Tidak salahkah penglihatanku, Kakang Soma" Bukankah pemuda itu..." salah seorang di antara mereka, yang mengenakan pakaian biru dengan golok di pinggang berbisik.
"Benar," sahut kawannya.
"Ayo...." Keempat lelaki yang tadi duduk di sudut kanan serambi melangkah menyambuti Sena, Dogol dan Suta Srengenge.
"Selamat datang, Tuan Pendekar."
"Selamat datang di desa kami...." Orang-orang terkesima melihat Sena Manggala. Ada yang tersenyum ketika melihat Sena yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Di sudut lain terdengar bisikbisik tak jelas.
"Siapa pemuda gila itu?"
"Iya ya. Wajahnya tampan. Tapi, sayang kurang waras!" Sena, Dogol, dan Suta Srengenge dipersilakan duduk di kursi yang terletak di tengah serambi. Namun, ketiganya menolak lalu ikut duduk bersama para penduduk di lantai. Keempat lelaki muda berpakaian silat itu langsung mendekat dan duduk di dekat Sena.
"Ehm.... Benarkah Tuan yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya lelaki muda berpakaian biru.
Sena tidak segera menjawab. Mulutnya tertawa cekikikan sambil tangannya menggarukgaruk kepala.
Melihat tingkah Sena yang persis orang gila orang-orang keheranan. Namun bagi keempat lelaki muda itu justru membuat hati mereka yakin. Orang yang tengah dihadapi ini jelas Pendekar Gila.
"Aha, apa kalian perlu tahu julukanku itu?" tanya Sena.
"Sudahlah. Aku memang dijuluki seperti itu...."
"Wah.... Beruntung Tuan datang! Kami tengah dilanda musibah, Tuah. Anak buah Kolo Ma- reksa telah datang dan memaksa Ki Lurah Tantrayana agar menyerahkan putrinya....
Sampai kini kami belum mengetahui bagaimana nasib Ki Lurah dan putrinya. Kami semua tak berani melawan ketika mereka mengobrak-abrik rumah ini siang tadi.
Empat orang kepercayaan Ki Tantrayana mati. Istri Ki Tantrayana pun tidak luput dari kebengisan mereka." Lelaki berpakaian biru menjelaskan.
"Apa Ki Lurah mengenakan pakaian kuning?" tanya Suta Srengenge beberapa saat kemudian setelah dilihatnya Sena hanya cengengesan sendiri. Rupanya, dia tak sabar ingin segera mengetahui.
"Benar... benar, Tuan. Di mana Tuan melihatnya?" Jawaban seperti itu terdengar dari beberapa orang. Suta Srengenge menghela napas panjang.
"Siang tadi kami menemukan mayat lelaki berpakaian kuning dan seorang lagi mengenakan pakaian lurik. Mereka tergeletak mati di tengah jalan dekat hutan jati." Orang-orang terkejut. Mereka membelalakkan mata kaget, meskipun sebelumnya telah menduga Ki Lurah Tantrayana akhirnya akan mati juga. Kebengisan anak buah Kolo Mareksa sudah terkenal. Mereka tak akan memberi ampun kepada orang yang membangkang atau menolak kemauannya.
Ramailah gumaman para penduduk desa.
Di antara mereka terdapat seorang wanita setengah baya yang menangis dengan menyebut-nyebut nama Subali. Rupanya wanita itu istri Subali, kusir kereta yang membawa Ki Lurah dan putrinya.
Orang-orang segera menolong istri Subali. Wanita itu dibawa masuk ke rumah kepala desa.
"Tolonglah kami, Tuan Pendekar. Kalau dibiarkan berlarut-larut, orang-orang desa akan semakin dicekam rasa takut...," ujar seorang lelaki muda berpakaian coklat yang duduk di samping Dogol.
"Dengar, Saudara-saudara!" ujar Suta Srengenge sambil memandangi wajah orangorang itu.
"Kedatangan Pendekar Gila ke sini memang untuk menumpas kejahatan Kolo Mareksa!" Sena hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Suta Srengenge.
"Siapa di antara kalian yang mengetahui markas Kolo Mareksa dan anak buahnya...?" tanya Suta Srengenge.
Orang-orang terdiam mendengar pertanyaan Suta Srengenge. Selama ini mereka memang tak mengetahui di mana sebenarnya tempat kediaman Kolo Mareksa.
"Kalau saja kami mengetahui, tentu akan kami katakan kepada Tuan Pendekar. Mati pun kami rela asalkan iblis itu dapat ditumpas...," jawab pemuda berpakaian biru.
"Apalagi kini Tuan Pendekar Gila ada di sini. Sayang, tak satu pun di antara kami yang mengetahui tempat persembunyiannya."
"Hh.... Bagaimana, Sena?" tanya Suta Srengenge meminta pendapat Sena.
"Perintahkan saja kepada para penduduk agar kembali ke rumah masing-masing. Kalian jangan khawatir. Malam ini aku dan kedua kawanku akan bermalam di sini," ujar Sena kepada keempat pemuda yang duduk bersamanya.
Mereka pun segera memerintahkan para penduduk yang berada di rumah kepala desa agar pulang ke rumah. Para penduduk pun membubarkan diri. Tinggallah empat lelaki muda dan lelaki setengah baya yang tadi menyambut kedatangan Pendekar Gila. Mereka tetap duduk di serambi rumah.
Pendekar Gila dan Suta Srengenge terlibat pembicaraan dengan keempat lelaki muda itu. Sementara Dogol yang sejak sore tadi telah mengeluh kecapekan tertidur di dekat kursi. Malam kian larut. Keenam pemuda itu masih berada di serambi rumah. Sementara lelaki setengah baya yang tadi menyambut Pendekar Gila tengah berada di dalam rumah untuk membuatkan air minum. Lelaki itu ternyata pembantu Ki Lurah Tantrayana. Tanpa sepengetahuan mereka, di balik pepohonan tak jauh dari rumah kepala desa ada beberapa sosok bayangan tengah mengintai.
"Mana pemuda yang kau maksudkan itu, Gopras?" bisik lelaki berpakaian merah dan berkumis melintang.
"Yang mengenakan pakaian putih, Kebo Kluwuk," jawab lelaki berpakaian hitam yang ternyata Gopras.
"Baik. Barja, Gento, dan kau Kasan, semua siap!" Kebo Kluwuk memperingatkan ketiga anak buahnya. Sena yang tengah mendengarkan keterangan pemuda berpakaian biru, tiba-tiba mengerutkan keningnya. Suta Srengenge melihat perubahan pada wajah Pendekar Gila.
"Ada apa, Sena?" tanya Suta Srengenge dengan kening berkerut.
"Di luar sana ada kecoa-kecoa busuk yang sedang mengintip kita. Ayo kita bermain-main sebentar, Suta!" Sena bangkit dari duduknya. Dia melangkah masuk ke rumah kepala desa diikuti Suta Srengenge. Keempat pemuda yang berbicara bersamanya tadi kelihatan terkejut. Namun mereka berdiam diri dan tetap duduk.
Pendekar Gila ternyata keluar kembali lewat pintu belakang.
"Mau ke mana, Tuan?" tanya pembantu ki lurah yang tengah sibuk di dapur.
"Ssttt...! Jangan keluar dulu," sahut Sena.
Pendekar Gila melesat menuju samping kanan rumah. Suasana gelap membuat tubuhnya tidak kelihatan. Sebentar kemudian, pemuda berompi kulit ular itu telah sampai di belakang Gopras dan kawan-kawannya. Namun mereka tidak tahu sama sekali. Gerakan Pendekar Gila yang begitu ringan dan cepat membuat mereka tak mendengarnya.
"Hi hi hi...!" Tiba-tiba Sena tertawa cekikikan. Suara itu sangat mengejutkan Gopras dan keempat kawannya.
"Siapa kau"!" Keempat lelaki berwajah bengis itu membalikkan tubuh dengan mata membelalak. Di depan mereka telah berdiri Pendekar Gila yang cengengesan.
"Kecoa-kecoa busuk macam kalian beraninya hanya dalam gelap. Apa yang dicari di sini?"
"Kurang ajar! Mestinya aku yang bertanya untuk apa kau mencampuri urusan kami"!" bentak Gopras.
"Siapa bilang urusan kalian bukan urusanku" Urusan kalian juga urusan semua orang...."
"Kurang ajar kau, Bocah Edan. Tangkap dia!" Kali ini yang membentak Kebo Kluwuk.
Gopras, Gento, Barja, dan Kasan langsung merangsek maju menyerang Pendekar Gila. Seketika, bentakan-bentakan keras memecah keheningan malam. Keempat pemuda yang masih duduk di serambi rumah berlarian menuju tempat pertarungan. Begitu pula Suta Srengenge yang melalui samping rumah. Mereka melihat Pendekar Gila tengah menghadapi keroyokan empat lelaki bersenjata golok.
"Mau apa lagi begundal-begundal Kolo Mareksa itu?" gumam pemuda berpakaian biru.
Serangan keempat orang anak buah Kolo Mareksa memaksa Pendekar Gila harus melompat ke tengah halaman rumah Ki Lurah Tantrayana.
Kini tampak jelaslah keempat lelaki yang mengeroyok Pendekar Gila. Cahaya lampu dari serambi rumah yang sampai ke tengah halaman menerangi wajah mereka. Keempat pemuda berpakaian silat yang tadi berbincang-bincang dengan Pendekar Gila tertegun kagum melihat jurus-jurus yang diperagakan Pendekar Gila. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu hanya meliuk-liukkan tubuh sambil sesekali melayangkan telapak tangannya.
Gerakannya lemah seperti tak bertenaga. Tapi, sejak tadi tak satu pun senjata lawan yang mengenai tubuhnya. Bahkan, sambil cengengesan dan sesekali menggarukgaruk kepala, Sena menghadapi lawanlawannya.
"Itukah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang aneh itu?" tanya pemuda berpakaian coklat kepada kawannya. Namun mereka tak ada yang menjawab. Rupanya, ketiganya juga tengah keheranan melihat sikap Pendekar Gila.
"Hi hi hi.... Tentu cecurut eh, kecoa-kecoa ini suruhan Kolo Mareksa keparat itu," ejek Sena.
Di sela-sela kesibukannya menghindarkan serangan lawan, Sena masih sempat menjulurkan lidah meledek. Namun ketika Gopras yang bersenjata golok menyerangnya bertubitubi, Sena sempat kaget.
"Haits! He he he...! Hampir saja sabetanmu kena, Ki. Sayang, kau tak mampu mempergunakan, golokmu!" Sena kemudian melancarkan serangan dengan pukulan telapak tangan. Gerakannya yang lemas dan tampak malas-malasan mengejutkan Gopras.
Plakkk! Gopras terpekik kaget. Tubuhnya terlontar dua tombak ke belakang. Hampir dia tak percaya merasakan pukulan Pendekar Gila. Pukulan yang tampak lemah dan tak bertenaga itu ternyata mendarat telak di dadanya. Lelaki bercambang bauk itu meringis menahan sakit.
Ketiga kawannya tak luput dari keterkejutan itu. Mereka heran melihat jurus lawan yang aneh.
"Gila! Ilmu apa ini...?" gumam Gento.
"Hi hi hi.... Itulah jurus 'Tepukan Kecoa'!" celetuk Sena. Belum lagi ketiga lelaki bengis itu sadar dari rasa terkejutnya, tiba-tiba....
Plakk! Plakk! Bukk! Gento, Kasan, Barja menjerit hampir bersamaan. Sebuah pukulan keras mendarat di dada masing-masing. Tubuh mereka berpentalan, lalu bergulingan di tanah. Erangan kesakitan keluar dari mulut ketiga lelaki itu.
"Kurang ajar! Bocah Edan, Siapa kau sebenarnya"!" Kebo Kluwuk mengayunkan langkah mendekat.
"Aha ah ah...! Siapa yang edan! Kau yang edan, Ki," sahut Sena sambil menggelenggelengkan kepala.
Tiba-tiba, Kebo Kluwuk melompat seraya melancarkan satu tendangan keras. Melihat serangan cepat itu Sena meliukkan tubuhnya ke samping. Tendangan keras Kebo Kluwuk lewat beberapa jari dari tubuhnya. Begitu mendarat lelaki berpakaian merah ini langsung membalikkan tubuh dengan kedua tangan membentuk kuda-kuda. Dikiranya Sena akan melakukan serangan balasan, namun ternyata tidak. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu malah tertawa cengengesan.
"Hi hi hi...! Keluarkan senjatamu yang terselip di pinggang itu, Orang Berkumis!" ujar Sena.
Ditatapnya sepasang gada kuning yang terselip diikat pinggang Kebo Kluwuk.
"Huh! Menghadapi orang gila sepertimu tak perlu senjata ini dikeluarkan!"
"Hi hi hi.... Orang gila! Lebih baik gila tapi menyadari kegilaannya, daripada waras tapi tak tahu kalau dirinya waras. Kau orang waras tapi gila. Wueek!" Sena menjulurkan lidahnya mengejek Kebo Kluwuk. Mendengar ejekan itu, Kebo Kluwuk tak mampu lagi menahan kemarahannya. Wajahnya memerah dengan mata melotot lebar.
"Kunyuk! Kurobek mulutmu!" Kebo Kluwuk merangsek maju dengan kedua tangan membentuk cakar.
"Hih!" Plakk! Bukk! Tubuh Kebo Kluwuk terjungkal. Ketika dia melancarkan serangan, tiba-tiba Sena mengelak dengan meliukkan tubuhnya. Lalu, melancarkan pukulan keras ke dada dan punggung lawan.
Namun dengan cepat lelaki berpakaian merah itu melompat bangkit. Mulutnya menggeram murka. Dicabutnya sepasang gada yang terselip di ikat pinggang. Wukkk! Wukk! Gada berwarna kuning itu berputar cepat di depan dada Kebo Kluwuk ketika tubuhnya bergerak maju.
"Kuremukkan kepalamu, Bocah Edan! Heaaa...!" Gada kuning bergerak mengancam kepala dan dada Sena. Namun dengan tenang Pendekar Gila melompat ke samping. Ketika sabetan gada terus memburu dan hampir mengenai punggungnya, Sena melenting ke atas. Tubuhnya berputar dua kali di udara. Lalu, dengan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa', Pendekar Gila merenggut kedua gada lawan.
Tubuh Sena kemudian berputar cepat bagai gasing. Kebo Kluwuk pun turut berputar karena tangannya tetap mempertahankan gada.
Kebo Kluwuk berteriak merasakan pusing di kepalanya. Rasa itu membuat cekalannya pada gada terlepas. Tubuhnya berputar sempoyongan, lalu jatuh terguling di tanah.
Suta Srengenge dan keempat lelaki muda yang menyaksikan kejadian lucu itu tertawa. Sedangkan keempat anak buah Kebo Kluwuk kaget bukan main. Seketika hati mereka menjadi ciut.
Kalau pimpinan mereka yang sudah terbilang tokoh penting di markasnya mengalami kekalahan, apalagi mereka. Ketika melihat Kebo Kluwuk bangkit dan melesat pergi, mereka langsung mengambil langkah seribu.
"Hua ha ha...! Hoii..., Kecoa-kecoa Busuk! Sampaikan pada Kolo Mareksa, aku akan datang ke tempat kalian...!" Pendekar Gila berteriak sambil tertawa cekakakan.
Suta Srengenge melangkah mendekati Sena.
Begitu pula keempat lelaki muda yang berpakaian silat.
"Kenapa kau biarkan mereka pergi, Sena?" tanya Suta Srengenge.
"Iya. Mestinya mereka kita bunuh saja!" timpal pemuda berpakaian coklat.
"Kalau mereka dibunuh, kita tak ada jalan untuk bertemu Kolo Mareksa. Mereka pasti akan mengadu. Lalu, Kolo Mareksa akan mengirim kembali orang-orangnya mencariku," jawab Sena, membuat. Suta Srengenge mengangguk-angguk mengerti. Mereka kembali masuk ke serambi rumah Ki Lurah Tantrayana. Sampai pagi menjelang tidak ada lagi anak buah Kolo Mareksa yang datang.
Pendekar Gila dan Suta Srengenge sempat tidur beberapa lama. Sementara keempat pemuda itu terus berjaga.
***
≠≠≠↨֍¦ 7 ¦֎↨≠≠≠
Perasaan takut yang hebat melanda hati Gopras. Ketiga kawannya yang gagal menarik upeti dari pasar telah dihukum mati. Ia beruntung dibebaskan dari hukuman itu karena harus memberi petunjuk kepada Kebo Kluwuk yang diperintahkan menangkap Suta Srengenge. Namun, kini kegagalan kembali menimpa dirinya untuk kedua kali.
"Bodoh! Apa yang kalian lakukan"! Menghadapi bocah ingusan saja kalian tak becus!" bentak Kolo Mareksa dengan mata melotot merah.
Dua hari ini kabar buruk telah didengarnya.
Seorang pemuda berpakaian putih telah menggagalkan anak buahnya menagih upeti di pasar. Kini ada lagi pemuda bertingkah seperti orang gila yang menggagalkan penangkapan terhadap pemuda berpakaian putih.
"Haruskah aku sendiri yang turun tangan untuk menghadapi kedua bocah ingusan itu" Orang seperti kalian tak ada gunanya lagi di sini...!" Tanpa diduga, Kolo Mareksa menarik golok Gopras. Lalu....
Jrabs! "Aaakh...!" Gopras menjerit, suaranya melengking tinggi ketika dadanya tertembus goloknya sendiri. Sedangkan Barja tergeletak dengan kepala terbelah.
Kebo Kluwuk tersentak kaget. Tubuhnya gemetaran melihat kedua kawannya tewas. Begitu pula dengan Kasan dan Gento. Mereka menggigil ketakutan. Namun, perasaan gentar itu tidak berlangsung lama. Kolo Mareksa telah memutuskan nyawa ketiganya.
Pekikan kematian terdengar susulmenyusul. Ketiganya berkelojotan dengan tubuh berlumuran darah. Sebentar kemudian, mereka tewas. Darah segar membasahi lantai. Lima lelaki berpakaian merah tergeletak tewas secara mengerikan.
"Regosulung, Bardak, dan kau Siung Warak! Kumpulkan semua anak buah. Bunuh kedua pemuda itu!" terdengar perintah Kolo Mareksa kepada ketiga orang kepercayaannya yang berada di ruang depan.
"Laksanakan cepat, sebelum kedua pemuda itu datang ke sini!" Tanpa menunggu perintah dua kali, Regosulung, Siung Warak, dan Bardak segera mengumpulkan semua anak buahnya. Mereka berangkat pagi itu juga menuju tempat kediaman Ki Lurah Tantrayana.
Sepuluh orang anak buah Kolo Mareksa menggebah kuda meninggalkan markasnya. Debu mengepul di jalanan yang mereka lalui. Gemuruh kaki-kaki kuda memecah keheningan pagi yang dingin.
***
"Bagaimana kalau sepeninggal Tuan Pendekar, anak buah Kolo Mareksa datang lagi kemari?" tanya lelaki muda berpakaian biru yang berjalan di samping Sena.
"Kami jelas tak sanggup menghadapi mereka." Sena menghentikan langkah. Ditolehnya Suta Srengenge. Pemuda berpakaian putih mengangguk-angguk. Tampaknya dia memaklumi kekhawatiran mereka.
"Kalau begitu, biarkan aku dan Dogol yang pergi. Sementara kau tinggal di sini, Suta," ujar Sena kepada Suta Srengenge.
Belum sempat Suta Srengenge menanggapi usul itu, Pendekar Gila mendadak mengerutkan kening. Telinganya ditelengkan hendak mendengar suara yang belum jelas terdengar.
Suta Srengenge melakukan hal yang sama.
Tapi, sia-sia. Dia tidak menangkap ada suara yang mencurigakan. Berbeda dengan Sena yang memiliki ilmu 'Sapta Pangrungu', telinganya dapat menangkap suara yang masih jauh.
"Aha, mereka datang.... Benar juga dugaanmu, Sobat!" ujar Sena kepada pemuda berpakaian biru. Tubuhnya segera melesat menuju jalan utama desa. Melihat gerakan Sena yang begitu ringan, keempat lelaki muda dan pembantu Ki Lurah Tantrayana mendesah kagum. Mereka melihat Sena dalam sekejap telah melesat jauh.
Suta Srengenge segera mengikuti Pendekar Gila. Dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya pemuda berambut dikepang itu melesat.
"Kakang Garu, mudah-mudahan kedua pendekar muda itu mampu menumpas mereka," kata pemuda berpakaian biru kepada lelaki pembantu Ki Lurah Tantrayana.
Mereka pun segera berlari menyusul Dogol yang telah melesat di belakang Suta Srengenge.
***
Ditingkahi bentakan-bentakan keras dari mulut penunggangnya. Ketika sampai di tikungan jalan di mana terletak sebuah kedai makan, mereka berhenti.
Orang-orang yang kebetulan berada di sana terkejut melihat kedatangan mereka.
Tak satu pun yang berani keluar dari kedai.
"Hei, siapa di antara kalian yang mengetahui rumah Ki Lurah Tantrayana?" bentakan keras itu dikeluarkan Regosulung.
Dengan gemetar ketakutan seorang lelaki setengah baya keluar.
"Cepat katakan!" bentak lelaki berpakaian merah yang lain. Di pinggangnya terselip sepasang senjata gading kuning. Dialah Siung Warak, salah satu orang kepercayaan Kolo Mareksa.
"Te... terus saja ke selatan, Tuan. Rumah besar di kanan jalan itulah rumah Ki Lurah Tantrayana...."
"Hei, Orang Tua! Siapa dua pemuda yang semalam menginap di rumah Ki Lurah Tantrayana"!" tanya Regosulung.
"A... ampun, Tuan. Saya tidak tahu...."
"Bodoh! Ada orang asing masuk ke desa ini kamu tidak tahu!" Crrakk! Regosulung melepas rantai baja yang melilit perutnya. Lalu disabetkannya rantai yang mengikat senjata cakra itu.
Wuukkk! Brret! Jeritan menyayat langsung terdengar. Tubuh lelaki tua itu terpental hingga membentur dinding kedai. Darah segar muncrat dari dadanya yang remuk terhantam senjata cakra Regosulung.
Seketika tewaslah orangtua yang naas itu.
Dua orang lelaki keluar dari dalam kedai dengan wajah menyiratkan ketakutan bercampur rasa marah.
"Biadab!" dengus lelaki berpakaian abu-abu kumal seraya mendekati kawannya yang tergeletak berlumuran darah.
"Kalian iblis jahanam. Beraninya hanya pada orang-orang tidak berdaya. Kalau berani, hadapi Pendekar Gila!"
"Ha ha ha...! Mana Pendekar Gendeng itu?" Wukkk! Wuukk! Sambil tertawa terbahak-bahak Regosulung memutar rantai bajanya hendak membabat kedua penduduk desa itu. Namun....
"Hua ha ha...!" Tawa menggelegar yang memekakkan telinga menyambuti suara tawa Regosulung.
Kesepuluh anak buah Kolo Mareksa terkejut. Mereka segera menoleh ke arah asal suara. Sesosok bayangan berkelebat dan mendarat di atas jalan yang tadi mereka lalui. Sosok bayangan itu ternyata seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular. Dengan mulut cengengesan, pemuda yang tak lain Pendekar Gila itu memandangi kesepuluh lelaki penunggang kuda di hadapannya.
"Ah ah ah.... Ternyata kecoa-kecoa busuk seperti kalian hanya berani memeras dan menganiaya orang-orang kecil."
"Bocah Edan. Jangan coba-coba mencampuri urusan kami. Kalau kau sayang dengan nyawamu, pergilah dari sini!" ujar Regosulung yang tampaknya sudah mengetahui siapa pemuda berpakaian rompi kulit ular itu. Bagi orang persilatan sepertinya, nama Pendekar Gila tentu pernah didengarnya.
"Hi hi hi.... Urusan kalian adalah urusanku.
Juga urusan semua orang yang telah kalian buat resah. Sadarkah apa yang kalian lakukan selama ini?"
"Orang gila ternyata pandai juga berbicara.
Terpaksa aku akan membunuhmu, Pendekar Gila.
Regosulung pantang mundur hanya menghadapi bocah gila sepertimu!" Sesosok bayangan putih berkelebat dan mendarat di belakang kesepuluh anak buah Kolo Mareksa.
"Hei, Begundal-begundal Kolo Mareksa" Siapa di antara kalian yang pernah membunuh Pendekar Kembar?" Dengan berkecak pinggang pemuda berpakaian putih yang tak lain Suta Srengenge, berteriak lantang. Kontan kesepuluh penunggang kuda itu menoleh ke belakang.
"Hmm. Ada lagi bocah ingusan yang berani mati!" ejek Siung Warak seraya menatap tajam wajah Suta Srengenge.
"Kaukah orang yang usil di pasar beberapa hari lalu?"
"Iya! Aku akan menuntut balas atas kematian Pendekar Tanpa Nama dan kedua putra kembarnya!"
"Kurang ajar! Tangkap dia...!" Mendengar perintah Regosulung, para penunggang kuda langsung berlompatan turun. Sebagian memburu Pendekar Gila. Sebagian lagi menghadapi Suta Srengenge.
"Hi hi hi.... Kita berpesta, Suta...!" teriak Sena. Tubuhnya melompat dua tombak ke belakang, kemudian tertawa cekikikan. Tiga orang anak buah Kolo Mareksa menyerang bersamaan. Pekikan bentakan penuh kegeraman seketika terdengar. Pertarungan seru pun tak terelakkan lagi.
Ketiga lawan Sena itu ternyata tidak percuma menjadi orang-orang kepercayaan Kolo Mareksa. Tendangan dan pukulan tangan kosong mereka mengandung tenaga dalam tinggi, hingga menimbulkan suara angin menderu.
Mengetahui kemampuan lawan-lawannya, Pendekar Gila tak ingin bermain dengan jurusjurus ringan. Namun, ketiga lelaki berwajah bengis itu sempat terkejut melihat gerakan Sena. Pukulan dan tendangan cepat mereka dengan mudah dielakkan hanya dengan meliuk-liukkan tubuh dan menggerakkan kedua tangannya seperti orang menari.
Ketika Pendekar Gila kembali meliukkan tubuh menghindari pukulan lawan, sebuah tendangan keras melesat cepat ke arah dada. Plakkk! Tendangan itu dapat ditangkisnya dengan tangan kanan, meskipun sempat terkejut. Lawannya yang melancarkan serangan tergetar mundur beberapa langkah. Saat itulah kawannya melepaskan tendangan dengan gerak menyapu ke arah kaki Sena. Brruukk! Sena terjatuh. Melihat kejadian itu, ketiga lawannya langsung menghujani dengan tendangan keras. Namun, Sena dengan cepat menggelinding untuk menghindarinya. Lalu dengan bertumpu pada kedua telapak tangan, pemuda berpakaian rompi kulit ular itu berjumpalitan ke belakang.
Ketiga lelaki berpakaian serba merah tak ingin memberi kesempatan kepada Pendekar Gila. Cepat ketiganya kembali merangsek maju. Pendekar Gila segera melentingkan tubuhnya ke atas dan berputaran beberapa kali di udara ketika salah seorang lawannya melancarkan pukulan jarak jauh. Wuttt! Angin menderu kencang melesat ke arah Pendekar Gila yang masih berada di udara. Merasakan ada hawa panas dari pukulan lawan, Sena menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Jrrass! Dua kekuatan tenaga dalam beradu di udara. Tubuh lelaki berpakaian merah terdorong mundur dua langkah. Sementara Pendekar Gila meluncur turun dan mendarat dengan ringan di tanah. Namun, dua orang lawannya yang lain secara bersamaan telah mencabut pedang yang tersampir di pundak mereka.
Wuukk! Satu babatan pedang hampir saja mengenai kaki Sena. Cepat dia melompat ke belakang menghindarkannya. Kedua lelaki bersenjata pedang itu terus memburu Sena dengan sabetan dan tusukan. Serangan mereka mengarah pada bagianbagian berbahaya di tubuh Pendekar Gila.
"Aha. Boleh juga ilmu pedang kalian...," puji Sena sambil berjumpalitan ke belakang. Dia ingin menjauhi ketiga lawannya untuk mencari kesempatan.
Begitu jarak antara Sena dengan ketiga lawannya berada sekitar empat tombak, pemuda itu bergegas menyatukan kedua telapak tangannya.
Lalu, dengan gerakan mirip seekor kera melempar batu, Pendekar Gila melancarkan serangan.
Angin kencang berlesatan menerjang ketiga lelaki berpakaian merah. Sesaat kemudian, ketiganya berteriak kaget merasakan seperti ada benda keras menghantam tubuh mereka. Ketiganya terpental ke belakang. Saat itulah Pendekar Gila melesat sambil melancarkan serangan.
Pukulan keras yang mengandung tenaga dalam tinggi menghantam tubuh ketiga lelaki berpakaian merah. Tubuh mereka kini terlontar beberapa tombak. Dari mulut mereka terdengar erangan kesakitan.
Melihat ketiga anak buahnya berjatuhan, Regosulung segera memberi isyarat kepada anak buahnya yang lain untuk melakukan serangan.
"Heaaa...!"
***
Kedua lawannya langsung terpental ke belakang terkena tendangan keras Sena.
Namun, keduanya berhasil mematahkan daya dorongan itu.
Dan, kembali melancarkan serangan.
Suta Srengenge yang juga menghadapi dua orang lawan telah mengeluarkan senjata andalannya Keris Sakti Tanpa Wujud warisan dari kakeknya diputar dengan cepat memapaki serangan lawan.
Prrraakkk! Kedua lelaki berpakaian merah tersentak kaget mendapati pedang mereka patah menjadi dua. Sementara keris panjang milik Suta Srengenge terus berputar cepat.
Jrrabs! Lengkingan kematian terdengar ketika salah seorang lawannya terjungkal dengan dada berlubang tertusuk Keris Sakti Tanpa Wujud. Crrass! Tanpa ampun lagi, keris panjang itu memangsa lawan yang lain. Tubuh lelaki bercambang bauk itu sempoyongan dengan lengan hampir buntung. Suta Srengenge hanya memandanginya dengan tersenyum sinis. Matanya yang tajam beralih menatap Regosulung yang tengah memandangnya.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu melompat ke arah Suta Srengenge. Kedua kakinya mendarat dua tombak ke depan pemuda berambut panjang dikepang itu. Dengan kening berkerut diperhatikannya keris panjang di tangan Suta Srengenge. Ia merasa pernah melihat keris itu.
"Hai, siapa kau sebenarnya"!" tanya Regosulung kemudian seraya menatap wajah Suta Srengenge.
"Aku Suta Srengenge, anak Sunu Bagaskara, cucu Pendekar Tanpa Nama!"
"O... jadi, kau anak Nyi Roro Mintarsih?" Regosulung mengerutkan kening. Ia tak percaya mendengar pengakuan Suta Srengenge. Nyi Roro Mintarsih dikiranya sudah mati terlempar ke dasar jurang.
"Dari mana kau tahu nama ibuku?" tanya Suta Srengenge dingin.
"He he he.... Bagaimana tidak" Akulah yang membunuh Sunu Bagaskara, Pratangga, dan Mintarsih!" sahut Regosulung dengan terkekeh. Lelaki setengah tua ini tak memandang sebelah mata pun kepada Suta Srengenge.
"Kalau ayahmu yang seorang pendekar besar saja bisa aku bantai, apa kau mampu melawanku, Bocah Ingusan"!"
"Percuma aku berguru pada Walet Putih Dari Selatan kalau untuk membabat lehermu saja tak mampu!"
"Apa"!"
"Tentu kau tak menduga. Nenekkulah yang menyelamatkan jiwaku...."
"He he he...! Taruhlah ucapanmu benar. Tapi, jangan berbangga hati dulu dengan kerismu itu, Bocah. Jaga seranganku. Haa...!" Regosulung membentak. Kedua tangannya menghentak ke depan melancarkan serangan jarak jauh. Namun, Suta Srengenge yang telah bersikap waspada segera melihat serangan itu. Tubuhnya bergegas dilempar ke samping. Kemudian, melompat bangkit dan siap menghadapi serangan Regosulung berikutnya.
Regosulung telah melepaskan rantai baja pengikat senjata cakra. Diputar-putarnya rantai hingga menimbulkan suara menderu dan bergemeretakan. Kemudian, cepat dikibaskan sehingga cakra yang berada di ujungnya melesat cepat menuju kepala Suta Srengenge.
Suta Srengenge sendiri tampaknya sudah tak sabar ingin segera membantai pembunuh orangtuanya. Setelah bersalto beberapa kali di udara menghindarkan serangan senjata lawan, dia menggenggam erat-erat kerisnya. Diangkatnya keris panjang itu sampai di atas kepala.
"Aji 'Sirna Wujud'.... Heaaa...!"
"Heh"!" Betapa terkejutnya Regosulung melihat pemuda berpakaian putih lenyap dari pandangan. Perasaan serupa juga melanda orang-orang yang menyaksikan jalannya pertarungan.
"Ilmu apa itu?" gumam Dogol yang menyaksikan pertarungan bersama keempat lelaki yang menemani mereka semalam di rumah Ki Lurah Tantrayana. Belum juga hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba terdengar pekikan kaget dari mulut Regosulung. Lelaki berwajah bengis itu membelalakkan mata melihat tangan kanannya telah buntung. Darah segar mengucur deras. Rantai baja yang digenggamnya jatuh bersama lengannya yang terlempar ke tanah.
"Heaaa...!"
***
Kini, kedua kakinya buntung. Darah mengalir deras. Sekujur tubuhnya basah oleh darah yang bercampur debu jalanan.
"Ha ha ha...! Jangan harap kalian mampu melawanku, Begundal-begundal Kolo Mareksa! Akan kuhabisi nyawa kalian dengan Keris Sakti Tanpa Wujud ini...!" Suara Suta Srengenge berkumandang tanpa terlihat sosok tubuhnya.
Regosulung masih menjerit-jerit kesakitan.
Tubuhnya yang sudah tanpa kaki menggeliat-geliat di atas jalan berdebu. Pendekar Gila yang baru saja menyelesaikan pertarungan melawan dua orang anak buah Regosulung terkesima melihat kejadian aneh itu. Bardak dan Siung Warak merasa putus asa.
Mereka tak dapat melihat pemuda berpakaian putih. Kemarahannya yang tak tertahankan segera dilampiaskan kepada Sena Manggala. Kedua lelaki setengah tua itu menerjang Pendekar Gila.
"He he he... Lebih baik kalian tunjukkan di mana tempat persembunyian Kolo Mareksa," ujar Sena dengan terkekeh. Tubuhnya melenting menghindarkan serangan gencar sepasang gading kuning Siung Warak. Sepasang gading itu terus melesat dari tangan Siung Warak, memburu tubuh Pendekar Gila. Melihat sepasang gading melesat memburunya, Sena cepat-cepat menghentakkan kedua tangan. Meluncurlah selarik sinar merah. Dan....
Glarrr! Glarrr! Sinar merah dari pukulan jarak jauh Pendekar Gila menghantam sepasang gading kuning. Ledakan keras terdengar memekakkan telinga.
Gading kuning itu hancur berkeping-keping.
Siung Warak sendiri terdorong beberapa langkah, terkena pengaruh pukulan yang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi itu. Bardak yang menggenggam pedang langsung melompat hendak memapaki tubuh Sena yang meluncur turun. Namun belum sempat dia membabat pedangnya, tubuhnya mendadak terpental balik.
"Aaakh!" Bardak terpekik pendek. Dadanya terkena pukulan yang tak terlihat. Tubuh laki-laki itu terjengkang dan jatuh bergulingan. Bardak segera bangkit berdiri. Siung Warak yang berada di sampingnya memberi isyarat untuk melancarkan serangan secara bersamaan.
Kedua lelaki setengah tua itu melesat menerjang Pendekar Gila. Namun di tengah jalan keduanya menjerit setinggi langit. Tubuh mereka terbelah oleh babatan keris Suta Srengenge yang tak nampak. Siung Warak dan Bardak tewas dengan tubuh berlumuran darah.
Tiga orang yang pertama melawan Pendekar Gila dan terlempar sampai depan kedai kelihatan tegang. Mereka hendak kabur karena semua kawannya telah berjatuhan.
"Hoi! Mau ke mana kalian"!" suara besar dan parau itu ternyata keluar dari mulut pemuda bertubuh tambun dan berperut buncit.
Pemuda berkepala botak yang tak lain si Dogol melangkah mendekati ketiga lelaki itu. Di belakangnya empat lelaki muda yang datang bersama-sama dari rumah Ki Lurah Tantrayana ikut menghampiri. Ketiga lelaki berpakaian merah mau tak mau harus menghadapi Dogol dan kawankawannya. Terjadilah pertarungan di depan kedai.
Dogol yang bertubuh tambun sibuk menghadapi lawannya yang berkumis melintang. Tubuhnya melompat ke sana kemari menghindari pukulan lawan. Meskipun gendut, Dogol ternyata mampu bergerak cepat. Bahkan, sesekali pukulan tangannya yang gempal mendarat di perut lawan. Tidak percuma ia selalu mengikuti Pendekar Gila berkelana. Beberapa ilmu yang pernah diajarkan Sena mampu digunakannya dengan baik.
Keempat lelaki muda kawan Dogol pun dengan penuh semangat terus merangsek kedua lawan mereka. Meskipun anak buah Regosulung itu telah terluka dalam, tapi mereka masih mampu mengatasi serangan lawan. Bahkan tak lama kemudian, lelaki muda berpakaian coklat terjungkal.
Ia terkena babatan golok lawan. Namun ketika pertarungan itu semakin seru, tibatiba.... Tukk! Tuukk! Tukkk! Ketiga lelaki berpakaian merah terkulai lemas. Tubuh mereka jatuh bergeletakan ke tanah.
"Berhenti...!" teriak Suta Srengenge yang belum juga menampakkan diri. Pemuda itu tadi yang bergerak cepat menotok ketiga anak buah Regosulung.
Pendekar Gila yang menyaksikan dari jarak jauh tersentak kaget ketika tiba-tiba saja Suta Srengenge telah berdiri di depannya. Pemuda berpakaian putih itu tersenyum melihat Sena tercengang. Keris Sakti Tanpa Wujud telah dimasukkan kembali ke warangkanya.
"Ah ah ah.... Hebat! Hebat sekali ilmumu, Sobat," puji Sena seraya menggelengkan kepala.
"Belum seberapa dibandingkan dengan yang kau miliki," sahut Suta Srengenge masih dengan tersenyum.
"Lihat! Kita paksa mereka menunjukkan tempat persembunyian Kolo Mareksa." Pendekar Gila dan Suta Srengenge menghampiri ketiga orang anak buah Kolo Mareksa. Mereka segera dinaikkan ke atas punggung kuda. Salah seorang dari ketiga lelaki itu dibebaskan dari totokan. Dialah yang kemudian menjalankan kudanya. Dua ekor kuda di belakang yang membawa kawannya ditarik oleh kudanya.
"Dogol dan kalian bertiga, bantu para penduduk menguburkan mayat-mayat itu...," ujar Sena pada Dogol dan kawan-kawannya.
Sena dan Suta Srengenge kemudian melesat mengikuti anak buah Kolo Mareksa.
***
≠≠≠↨֍¦ 8 ¦֎↨≠≠≠
Sepenanak nasi lamanya perjalanan mereka setelah menyeberang sungai kini di hadapan mereka terbentang padang ilalang kering. Sejauh mata memandang yang tampak hanya hamparan ilalang. Satu dua pohon jati yang meranggas tampak di kejauhan. Lelaki berpakaian merah terus menjalankan kudanya sambil menarik dua ekor kuda yang membawa kawannya. Pendekar Gila dan Suta Srengenge tak lagi bisa bersembunyi. Jalan tanah selebar dua tombak membelah padang ilalang. Jalan inilah satu-satunya yang dapat dilalui sampai di tempat kediaman Kolo Mareksa.
"Suta, hati-hati. Aku mendengar suara langkah kaki tak jauh dari tempat ini...," bisik Sena.
Benar juga ucapan Sena. Baru selesai ia berbicara sesosok bayangan hitam melesat di depan ketiga penunggang kuda. Begitu cepat gerakan sosok bayangan itu. Dalam sekejap saja ketiga penunggang kuda telah berpentalan ke dalam ilalang. Tak jelas apa yang dilakukan sosok bayangan itu. Sesaat kemudian tubuhnya kembali melesat dan menghilang dari pandangan Sena dan Suta Srengenge. Pendekar Gila bergegas melesat, Suta Srengenge segera mengikuti. Tapi, pemuda berpakaian putih ini tak mampu mengimbangi Pendekar Gila, yang mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Bagaikan angin pemuda berpakaian rompi kulit ular itu melesat melalui alang-alang.
Pendekar Gila dapat kembali melihat sosok bayangan hitam. Puluhan tombak di depannya sosok bayangan itu melesat ke timur.
Pendekar Gila terus mengejarnya. Seluruh kemampuan ilmu 'Sapta Bayu' dikerahkan. Sehingga, beberapa saat saja jarak antara dirinya dengan sosok bayangan hitam tinggal beberapa tombak.
"Kepalang tanggung, Kolo Mareksa!" Sena yang merasa yakin sosok bayangan itu adalah tokoh yang dicarinya berteriak mengingatkan.
"Hua ha, ha...! Beginikah rupa tokoh sakti mandraguna pemilik Ilmu Canda Birawa itu...!" Sosok bayangan hitam yang memang Kolo Mareksa menghentikan larinya. Cepat tubuhnya dibalikkan menghadapi Sena Manggala. Secepat itu pula dia menghentakkan kedua belah tangannya. Selarik cahaya keperakan melesat dengan mengeluarkan bunyi berdecit nyaring. Cahaya keperakan yang ternyata puluhan jarum beracun mengancam tubuh Pendekar Gila.
Sena bergegas melenting ke udara. Dari atas, pemuda itu menghentakkan kedua tangannya. Seketika, melesatlah serangkum angin kencang menghantam jarum-jarum beracun hingga buyar berpentalan ke berbagai arah.
Belum sempat Pendekar Gila mendaratkan kakinya di tanah, Kolo Mareksa telah kembali melancarkan serangan. Tubuhnya melesat mengirimkan pukulan yang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Deru angin yang ditimbulkannya membuat dedaunan ilalang tergetar. Sena yang berada di udara segera bersalto menghindari pukulan itu.
Dia tahu jika pukulan Kolo Mareksa ditangkisnya akan sangat berbahaya. Kekuatan pukulan lawan tidak bisa dianggap remeh.
"He he he...! Boleh juga ilmumu, Anak Muda," ujar Kolo Mareksa. Ia menghentikan seran- gannya sejenak. Tubuhnya tegak menghadapi Pendekar Gila.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila...?"
"Ah ah ah.... Mana ada orang gila mengaku sepertimu, Kolo Mareksa," sahut Sena sambil cengengesan.
"Ah, memang kau orang gila!" Mendengar jawaban Sena yang tak karuan marahlah Kolo Mareksa.
"Bocah Edan. Jauh-jauh kau datang hanya untuk menyerahkan nyawa kepadaku!"
"Hi hi hi... Nyawa" Mana Nyawamu, heh"! Tikus busuk dan bau macam dirimu harus segera enyah dari muka bumi ini, Kolo Mareksa. Jauhjauh aku datang ingin mengentuti mulutmu yang bau!"
"Kurang ajar! Heaaa...!" Dengan kemarahan yang menggelegak Kolo Mareksa melesat. Kedua tangan membentuk cakar.
Wrrret! Wrrret! Sambaran tangan Kolo Mareksa bagai merobek udara. Cepat dia memburu tubuh Sena, seperti seekor elang menyergap mangsa. Sementara geraman dari mulutnya menambah kebengisannya.
Sena melesat ke atas, namun Kolo Mareksa terus memburunya. Ia tak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Gila untuk melakukan serangan balasan. Dalam pertarungan jarak dekat itu sebuah pukulan telak mendarat di pundak Pendekar Gila. Pekikan tertahan pun terdengar. Hawa panas menyengat di pundaknya seketika menjalar cepat ke sekujur tubuh. Ketika mendarat tubuh Sena sedikit gontai.
Kolo Mareksa hendak melakukan serangan susulan. Tapi, sesosok bayangan telah berkelebat.
Sosok pemuda berpakaian putih yang tak lain Suta Srengenge. Keris Sakti Tanpa Wujud telah tergenggam di kedua tangan. Keris itu dibabatkan untuk memapaki pukulan Kolo Mareksa yang mengarah ke kepala Pendekar Gila.
Jrrats! Kolo Mareksa terkejut. Sebuah keris panjang telah membabat tangan kanannya.
Seketika darah segar mengalir dari lengannya yang terluka.
Anehnya, tak sedikit pun Kolo Mareksa mengeluarkan jeritan. Dia tak merasakan apa-apa akibat babatan keris. Suta Srengenge yang menyaksikan kenyataan itu sempat terkejut. Begitu pula dengan Pendekar Gila. Namun keduanya segera menyadari siapa tokoh yang tengah mereka hadapi. Seorang tokoh yang memiliki ilmu tinggi. Usia Kolo Mareksa empat atau lima kali lipat dari usia mereka. Telah berpuluh-puluh tahun tokoh pemilik Ilmu 'Canda Birawa' itu malang-melintang di dunia persilatan.
Hampir tak satu pun tokoh-tokoh persilatan yang tak mengenal dirinya.
"Suta, kita buktikan cerita nenekmu...," bisik Sena kepada Suta Srengenge yang telah berdiri di sampingnya.
"Heh"!" Kedua pemuda itu membelalakkan mata.
Mereka tersentak kaget melihat perubahan yang terjadi pada diri Kolo Mareksa. Lelaki berusia empat puluhan dan bertubuh tinggi dan besar itu berubah menjadi dua. Sosok-sosok Kolo Mareksa berdiri dengan gagahnya menghadapi Suta Srengenge dan Pendekar Gila.
"Itu akibat babatan pedangku, Sena," ujar Suta Srengenge.
"Jangan sampai kita melukainya. Berbahaya kalau jumlahnya menjadi banyak," Sena memperingatkan Suta Srengenge.
Kedua sosok Kolo Mareksa berteriak keras dan melesat memburu Suta Srengenge dan Pendekar Gila. Kedua pemuda itu pun kalang kabut menghindari serangan lawan. Serangan mereka begitu tiba-tiba datangnya.
Sosok Kolo Mareksa yang mengejar Suta Srengenge melancarkan serangan dengan pukulan dan tendangan. Beberapa kali Suta Srengenge terpaksa menjatuhkan diri mengelakkan serangan itu. Ketika ia benar-benar terdesak dan tak sempat menghindar, akhirnya kerisnya dibabatkan ke tubuh Kolo Mareksa.
Jrabs! Babatan kencang yang dikerahkan dengan tenaga dalam membuat tubuh Kolo Mareksa tergetar mundur. Saat itulah Suta Srengenge melompat untuk mengambil jarak. Begitu dirinya berada tiga tombak dari lawan cepat Keris Sakti Tanpa Wujud ditarik ke atas kepala.
"Aji 'Sirna Wujud'. Heaaa...!" Tubuh dan keris Suta Srengenge lenyap dari pandangan. Sekejap kemudian...
Sssets! Tangan kanan lawan buntung sampai di bawah pundak. Darah segar mengucur deras. Mulut Kolo Mareksa menggeram keras.
Berubahlah ia menjadi dua. Dua sosok Kolo Mareksa kini berhadapan dengan Suta Srengenge yang tak terlihat. Dia dapat bergerak dengan leluasa ke mana saja ia mau. Di tempat lain, Pendekar Gila terus berusaha mengatasi amukan lawannya. Beberapa kali pukulannya mendarat di tubuh lawan. Tapi sosok tinggi besar itu seperti tak terpengaruh. Sena kewalahan juga menghadapi lawannya ini. Dia semakin kewalahan ketika melihat lawan Suta Srengenge telah berubah menjadi empat orang.
Sena melenting ke atas ketika sebuah pukulan keras yang disertai tenaga dalam tinggi hampir saja menghantam dadanya. Dengan bersalto Sena berusaha menjauh dari lawan. Kedua kakinya mendarat ringan di tengah padang alang-alang.
Begitu mendapat kesempatan Sena Manggala segera mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menggunakan ajian 'Inti Brahma'. Padahal, lawan yang memiliki ilmu sihir atau siluman mestinya dihadapi dengan Ilmu 'Tamparan Sukma'. Namun saat itu Sena belum yakin mana Kolo Mareksa yang asli. Wrrrsss! Serangkum api meluncur deras ketiga sosok Kolo Mareksa melesat hendak melakukan serangan.
Glaarrr!
***
Pendekar Gila berada di seberang lautan api. Sementara keempat sosok yang tadi menghadapi Suta Srengenge berada di seberang lain. Kolo Mareksa yang terbakar sudah tidak terdengar lagi jeritannya. Rupanya, sudah lenyap nyawanya dari raga. Asap hitam mengepul di udara. Pendekar Gila berpikir keras bagaimana caranya memusnahkan ilmu sihir Kolo Mareksa. Ia telah yakin kini kalau ilmu yang dimiliki Kolo Mareksa bukan 'Canda Birawa' sejati. Dari jelmaannya yang mirip iblis, jelas bukan muncul dari kekuatan Ilmu 'Canda Birawa', melainkan sihir yang sangat kuat.
"Sena!" Tiba-tiba terdengar suara Suta Srengenge di samping kanannya.
"Aha. Sudah kubilang jangan sampai kita melukai iblis itu. Dia akan berubah menjadi banyak. Aku yakin dugaan nenekmu benar, Suta. Ilmu itu bukan 'Canda Birawa' sejati. Ini ilmu iblis! Sihir. Hanya dengan 'Tamparan Sukma' dia akan takluk...," Sena menoleh ke samping kanan meskipun dia tak melihat tubuh Suta Srengenge.
"Tetaplah kau dalam keadaan seperti ini. Aku akan mencoba mengatasinya." Baru saja Sena hendak melesat, seleret cahaya kekuningan telah melesat lebih dulu ke arah Sena dan Suta Srengenge. Keduanya langsung bergegas menghindar.
Suara tawa bergelak datang dari seberang kobaran api. Hampir bersamaan dengan itu terdengar pula ledakan keras dikejauhan. Ternyata cahaya tadi menghantam sebatang pohon jati yang berada jauh di belakang Sena dan Suta Srengenge.
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Gila melesat melalui tepi kobaran api. Tak lama dia sudah sampai di dekat keempat sosok Kolo Mareksa.
"Kolo Mareksa...! Inilah saatnya kau harus mengakhiri nafsu setan dan keangkaramurkaanmu!" teriak Sena lantang.
"Heaaa...!" Slasst! Glarrr! Sambutan dari Kolo Mareksa ternyata lesatan api berwarna kemerahan. Kalau saja serangan itu menghantam tubuh manusia, pasti gosong terbakar. Pohon jati saja yang berada seratus tombak dari Sena hangus terbakar. Untung Pendekar Gila sempat melihat salah satu sosok Kolo Mareksa menggerakkan tangan.
Justru karena serangan barusan Pendekar Gila mempunyai dugaan kuat Kolo Mareksa yang asli adalah sosok yang melakukan serangan.
Pendekar Gila pun melesat. Begitu dekat dengan sosok Kolo Mareksa itu, tangannya dipukulkan dengan mengerahkan ilmu 'Tamparan Sukma'. Seketika keluar jeritan menyayat dari mulut Kolo Mareksa. Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang. Kulit tubuhnya telah berubah hitam ketika terbanting di tengah alang-alang yang tidak terbakar. Kolo Mareksa tidak kuat lagi untuk berdiri. Tubuhnya lunglai. Sekejap kemudian, tubuh itu hancur menjadi debu! Bersamaan dengan hancurnya tubuh Kolo Mareksa, sosok-sosok tubuhnya yang lain lenyap entah ke mana. Pendekar Gila menghela napas panjang.
Matanya dipejamkan sesaat. Begitu matanya terbuka di depannya telah berdiri Suta Srengenge. Pemuda tampan itu tersenyum.
"Aku gembira iblis itu telah lenyap dari muka bumi ini...," ujar Suta Srengenge dengan wajah berseri. Pendekar Gila hanya mengangguk-angguk sambil tertawa. Mereka melangkah meninggalkan tempat itu.
"Sena, bagaimana nasib para gadis yang telah diculik anak buah Kolo Mareksa?" tanya Suta Srengenge mengingatkan.
"Aha, ya. Aku sampai lupa, Suta. Ayo kita cari tempat kediaman Kolo Mareksa. Kita harus menyelamatkan mereka." Pendekar Gila berlari ke arah timur dengan diikuti Suta Srengenge. Baru saja sampai di jalan tanah yang membelah hutan alang-alang mereka mendengar teriakan minta tolong. Pendekar Gila segera mempercepat larinya.
"Heh! Ada kobaran api di sana!" seru Suta Srengenge. Kedua pemuda itu sampai di depan sebuah bangunan besar dan megah yang sedang terbakar.
Kobaran api menyala-nyala tertiup angin. Dari rumah besar itu berlarian belasan wanita cantik yang hanya mengenakan kemben. Mereka berteriak-teriak ketakutan. Ada beberapa wanita tergeletak pingsan di halaman rumah yang luas itu.
"Tolong! Tolong!" Ketika melihat kedatangan Pendekar Gila dan Suta Srengenge, mereka segera berlarian menyambut. Belum sempat Suta Srengenge maupun Sena menanyakan kejadiannya, seorang wanita cantik langsung bercerita.
"Beberapa lama setelah kepergian Kolo Mareksa, tiba-tiba saja rumah ini terbakar. Kami tidak ada yang tahu apa sebabnya. Waktu itu kami semua berada di luar rumah. Karena, tak satu pun anak buah Kolo Mareksa yang tinggal. Mereka semua ditugaskan mencari dua orang pemuda yang telah mengganggu ketenangan Kolo Mareksa.
" Suta Srengenge dan Pendekar Gila tersenyum mendengar cerita itu. Sena hanya membisu. Ia tak mau bercerita kepada wanita-wanita lain.
Padahal, ia tahu benar kalau terbakarnya rumah Kolo Mareksa karena lenyapnya Kolo Mareksa dari muka bumi ini. Pendekar Gila dan Suta Srengenge mengeluarkan beberapa ekor kuda dari kandang yang terletak di samping rumah. Kereta kuda milik Ki Lurah Tantrayana ternyata masih ada. Wanitawanita itu segera diperintahkan untuk naik kuda. Sedang sisanya diangkut dengan kereta kuda.
Mereka segera meninggalkan rumah Kolo Mareksa yang masih diamuk kobaran api.
***
Pendekar Gila, Dogol, dan Suta Srengenge memperhatikan dari depan kedai. Tak habishabisnya orang mengucapkan terima kasihnya kepada ketiga pemuda itu. Pendekar Gila segera mengajak Dogol dan Suta Srengenge meninggalkan desa itu.
"Sena, rasanya aku ingin tinggal di desa ini untuk beberapa hari lagi. Entahlah, aku tak tahu kenapa. Perasaan ini muncul sejak kemarin kita datang. Mungkin karena leluhurku berasal dari sekitar daerah sini...." Pendekar Gila mengangguk-angguk dengan tersenyum.
"Sampai jumpa lagi, Suta."
"Mudah-mudahan, kalau Yang Maha Kuasa memberi kesempatan...," balas Suta Srengenge.
Pendekar Gila dan Dogol melangkah pergi meninggalkan desa itu. Orang-orang mengantarnya sampai batas desa dengan wajah menyiratkan rasa terima kasih.
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
Pemberontakan Ki Reksogeni --oo0oo-- Empat Bidadari Lembah Neraka |