Life is journey not a destinantion ...

Empat Bidadari Lembah Neraka

INDEX PENDEKAR GILA
Ajian Canda Birawa --oo0oo-- Misteri Dendam Berdarah

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


₪₪₪↨֍¦ ① ¦֎↨₪₪₪

Empat sosok bayangan berlari di tengah semak-semak penuh onak dan duri. Mereka melesat begitu cepat ke arah barat. Ketika sampai di sebuah jalan tanah selebar dua tombak yang membelah hamparan semak, keempatnya berhenti. Mereka ternyata para wanita cantik yang mengenakan pakaian serba merah.
Matahari hampir tenggelam di kaki langit sebelah barat. Cahayanya yang kemerahan membias di wajah-wajah cantik keempat dara itu. Di pundaknya mereka tersampir pedang. Angin berhembus mempermainkan rambut keempat dara cantik yang panjang tergerai. Mereka sedang ragu untuk mengambil arah utara atau selatan. Sesaat kemudian, wanita yang mengenakan ikat pinggang berwarna hijau memberi isyarat dengan tangannya agar melanjutkan perjalanan ke selatan.
Ketiga kawannya segera mengikuti. Keempatnya berlari ke selatan menyusuri jalan tanah yang membelah semak.
Melihat gerakan mereka yang begitu ringan, jelas keempat dara cantik itu memiliki ilmu tinggi.
Setidak-tidaknya dalam ilmu meringankan tubuh.
Hanya dalam waktu singkat mereka telah mencapai ujung selatan hamparan semak belukar.
Tanpa sepengetahuan mereka, tiga sosok bayangan lain berlari jauh di belakang. Sesekali ketiga sosok yang adalah tiga lelaki berpakaian coklat, berhenti. Tampaknya, mereka ingin mengatur jarak agar tidak terlalu dekat dengan keempat dara itu. Ketika sampai di persimpangan jalan, ketiga lelaki bersenjata golok itu menghentikan larinya.
Mereka pun ragu ketika harus memilih jalan ke utara atau ke selatan.
"Hm. Ke mana mereka?" tanya lelaki berambut panjang yang diikat dengan kain hitam.
Kedua kawannya tengah meneliti tanah. Barangkali ada petunjuk dari jejak kaki keempat dara cantik itu.
"Untuk apa mencari jejak mereka, Jan?" Lelaki berambut panjang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau mereka menuju ke perguruan kita, berarti berlari ke selatan. Ayo kita kejar mereka!" Kedua lelaki berpakaian coklat segera menyusul kawannya yang sudah berlari ke selatan.
Baru beberapa tombak mereka melangkah, tibatiba....
"Haaai...! Berhenti...!" Terdengar bentakan keras dari arah belakang.
Ketiga lelaki itu tersentak kaget dan menghentikan larinya. Empat sosok bayangan merah berlompatan turun dari sebatang pohon besar tak jauh dari persimpangan jalan.
"He he he he.... Ternyata kalian masih di sini," sambut lelaki berambut panjang. Matanya memandangi keempat dara cantik dengan liar.
"Kenapa kalian membuntuti kami?" tanya dara cantik yang mengenakan ikat pinggang hijau.
Wajahnya merah menatap lelaki di depannya.
"He he he.... Mestinya aku yang bertanya. Kalian telah memasuki wilayah ini tanpa seizin kami...," sahut lelaki lain yang berkumis tebal.
"Tapi tidak apa. Yang datang gadis-gadis cantik seperti kalian. Kebetulan sudah lama aku tak menikmati pelukan wanita. Betul tidak, Kakang Sadran?" Ketiga lelaki berpakaian coklat kemudian tertawa terbahak-bahak. Lelaki berambut panjang yang dipanggil Sadran melangkah mendekati dara berpakaian merah.
"Ayolah, Cah Ayu!" Sadran mengulurkan tangan hendak mencolek dagu dara berikat pinggang hijau. Plakkk! Betapa terkejutnya Sadran, dengan cepat dara cantik itu memukul tangannya. Lebih mengejutkan lagi, tangkisan gadis itu membuat tubuhnya sempoyongan. Sadran merasakan sekujur lengannya sakit.
"Jangan sembarangan kalian terhadap Empat Bidadari Lembah Neraka! Hiaaa...!" Sring! Sring! Sring! Dara cantik itu melompat sambil meloloskan pedang di pundaknya. Ketiga kawannya melakukan hal yang sama. Dara-dara cantik itu merangsek maju menyerang ketiga lelaki berpakaian coklat, Sadran yang belum sempat berdiri tegak jadi gelagapan menghadapi serangan itu. Begitu pula dengan kedua kawannya. Mereka tak menduga sama sekali keempat dara cantik itu akan menyerang.
Maka.... Cras! Sadran terpekik kaget. Pedang lawan membabat dadanya hingga robek. Darah segar mengalir dari tubuhnya yang terjungkal ke tanah.
Lelaki berambut panjang itu kelojotan sebentar. Tak ampun lagi, dara cantik berikat pinggang hijau menghujamkan pedangnya ke perut Sadran.
Seketika darah menyembur keluar bersama ususnya yang terburai. Lelaki berambut panjang ini tewas dengan tubuh berlumur darah.
Kedua kawan Sadran yang sempat mencabut golok berhasil menangkis serangan kilat ketiga gadis berpakaian merah. Terjadilah pertarungan sengit dua melawan tiga.
Dara-dara cantik itu tak ingin memberi kesempatan pada lawan. Mereka terus memburu dengan babatan dan tusukan pedang. Wajah mereka yang cantik kini berubah bengis dan menggiriskan.
Hawa nafsu membunuh tersirat jelas di mata ketiganya. Tampaknya, kemampuan kedua lelaki berpakaian coklat jauh di bawah lawan-lawannya.
Dalam sebentar saja mereka telah terdesak hebat.
Kedua lelaki itu terus melangkah mundur menghindari serangan dahsyat. Sedikit pun kedua kawan Sadran itu tak mampu melancarkan serangan. Yang dapat mereka lakukan hanya memapaki atau melompat untuk mengelakkan serangan. Serangan gencar ketiga dara berpakaian merah berakhir dengan pekikan kedua kawan Sadran. Kedua lelaki berpakaian coklat itu tewas dengan dada dan perut tertembus pedang lawan.
"Hhh.... Ini baru permulaan dari tugas kita," ujar dara berikat pinggang hitam seraya memasukkan pedang.
"Ratri, Laksmi, Kinanti, ayo kita teruskan...!" ajak dara berikat pinggang hijau.
"Ke mana kita ambil arah, Isyana?" tanya Laksmi.
"Mereka telah memberi petunjuk kepada kita harus pergi ke selatan," sahut Ratri yang mengenakan ikat pinggang kuning.
"Ayo. Hups!"
"Hups!" Keempat dara berpakaian merah itu melesat ke arah selatan. Dalam sekejap mereka telah berada jauh dari persimpangan jalan.

***

Empat orang murid Perguruan Tapak Bumi terkejut melihat empat sosok dara cantik berpakaian merah memasuki pintu gerbang perguruan. Keempat lelaki muda bertubuh gagah yang mengenakan pakaian coklat itu terkesima begitu menyaksikan kecantikan para tamunya. Wajah keempat dara berambut panjang tergerai itu benar-benar cantik jelita. Kulit mereka yang kuning langsat begitu serasi dipadu dengan warna merah pakaian yang membalut tubuh-tubuh langsing itu. Belum lagi hidung yang bangir dan sepasang mata bening yang terhias alis lentik. Bibir tipis dan ranum berwarna merah delima, menggairahkan setiap lelaki yang memandangnya. Siapa lagi mereka kalau bukan Empat Bidadari Lembah Neraka. Empat dara cantik yang baru saja membantai tiga orang murid Perguruan Tapak Bumi di tengah perjalanan mereka ke sini.
Isyana yang mengenakan ikat pinggang hijau tersenyum.
"Kalau boleh aku tahu, Nona sekalian mencari siapa?" tanya salah satu dari keempat murid Perguruan Tapak Bumi.
"Sampaikan kepada guru kalian, Empat Bidadari Lembah Neraka ingin bertemu. Cepat!" Tersentak keempat murid Perguruan Tapak Bumi mendengar ucapan Isyana. Ucapan itu lebih mirip bentakan ketimbang permintaan. Tentu saja keempat lelaki berpakaian coklat tersinggung.
Tamu-tamu mereka ternyata kasar dan tak mengerti tata krama.
"Nona, tidak bisakah Nona bersikap sopan sedikit?" tanya lelaki berpakaian coklat yang bertubuh tinggi. Nada suaranya tetap lembut, msekipun dalam hati merasa jengkel.
"Kapan saja Ki Aji Darmagati bersedia menerima tamu. Tengah malam sekalipun. Tapi tidak untuk orang-orang tak tahu sopan seperti Nona-nona ini."
"Cuih! Kami akan menemui langsung kalau kalian tak bersedia memanggilnya!" dengus Laksmi yang memang berwatak kurang sabaran. Matanya menatap tajam keempat lelaki di depannya.
"Hanya orang yang bermaksud tidak baik mempunyai sikap seperti ini. Huh. Hadapi dulu kami!" Serentak keempat lelaki berpakaian coklat mencabut golok masing-masing. Namun, keempat dara cantik telah lebih dulu meloloskan pedang.
Hampir bersamaan Empat Bidadari Lembah Neraka memutar pedang di tangannya. Bunyi angin berkesiutan terdengar dari putaran pedang yang bagaikan sebuah titiran.
Semakin tercengang keempat murid Perguruan Tapak Bumi. Saat itu pula mereka menyadari kalau yang dihadapi bukanlah wanitawanita sembarangan. Ilmu mereka jelas tinggi dan tak dapat dianggap remeh.
Sementara keempat dara cantik itu tertawa mengejek.
"Hiaaa...!" Tiba-tiba, Laksmi melesat dan membabatkan pedangnya. Serangan itu membuat keempat murid Perguruan Tapak Bumi terpencar. Tiga dara cantik yang lain segera menerjang dengan serangan cepat dan menggiriskan. Pertarungan pun tak terelakkan.
Dentingan golok dan pedang yang saling berbenturan memecah keheningan malam.
Suara pertempuran tentu saja terdengar oleh para murid yang lain. Mereka berlarian dari pondokpondok menuju tempat pertarungan. "Siapa mereka?"
"Hei! Gadis-gadis cantik, Mat!"
"Tapi lihat permainan pedang mereka. Gila, mengharukan sekali!" Belum sempat para murid Perguruan Tapak Bumi menegaskan siapa keempat dara cantik yang tengah bertarung dengan kawan-kawan mereka, tiba-tiba.... Jrabs! Cras! Pekikan kematian berkumandang. Dua orang murid perguruan terbabat dan tertusuk pedang.
Kedua lelaki berpakaian coklat itu tergelimpang dengan tubuh berlumur darah. Setelah berkelojotan sebentar, keduanya tewas dengan menyedihkan.
Beberapa saat kemudian kembali terdengar berturut-turut lengking kesakitan. Tidak berbeda dengan yang pertama, kedua lelaki itu pun tewas dengan tubuh bermandikan darah.

***



₪₪₪↨֍¦ 2 ¦֎↨₪₪₪

"Serbu...!"
"Serang...!" Pekikan-pekikan penuh kemarahan dikumandangkan. Murid-murid Perguruan Tapak Bumi mengepung Empat Bidadari Lembah Neraka.
Namun, keempat dara cantik berpakaian merah itu sedikit pun tidak menampakkan kegentaran. Mereka terus memainkan pedang dengan gerakan yang indah dan cepat Pertempuran yang lebih seru segera berlangsung. Murid-murid Perguruan Tapak Bumi yang marah melihat empat kawan mereka tewas langsung melancarkan serangan secara keroyokan.
Meskipun menghadapi belasan lawan, Empat Bidadari Lembah Neraka tetap gesit dan cekatan.
Mereka melompat dan melenting ke sana kemari menghindarkan serangan lawan. Murid-murid perguruan itu tampaknya tak mampu mengimbangi kekompakan permainan pedang Empat Bidadari Lembah Neraka. Dalam waktu yang begitu singkat tiga orang lelaki berpakaian coklat telah berjatuhan terbabat pedang.
Jeritan kematian yang susul-menyusul mengiringi jatuhnya tubuh-tubuh lelaki berpakaian coklat. Darah berceceran membasahi halaman perguruan.
"Berhenti...!" Tiba-tiba, bentakan keras menggelegar terdengar dari pintu bangunan induk. Sesosok tubuh lelaki tua yang berjenggot putih dan mengenakan jubah coklat berdiri di serambi rumah.
Pandangannya nanar menatap ke arah tempat pertempuran. Delapan mayat tergeletak tewas berlumuran darah.
"Siapa kalian...?" suara lelaki tua itu bergetar, menyiratkan kemarahan yang ditahan.
"Orang Tua, kaukah Aji Darmagati, pendekar yang memiliki Ilmu Pukulan Tapak Bumi...?" Isyana balik bertanya. Tak dihiraukannya pertanyaan lelaki berjubah coklat yang memang Ki Aji Darmagati.
Seorang yang pada zamannya terkenal dengan julukan Pukulan Tapak Bumi.
"Aku tanya, siapa kalian?" Ki Aji Darmagati mengulang pertanyaannya dengan wajah memerah.
"Kami Empat Bidadari Lembah Neraka, datang untuk meminta Kitab Candra Catur Pamukti yang kini berada di tanganmu!" ujar Isyana dengan mata menentang pandang tatapan lelaki berjenggot putih. Tangan kanannya masih menggenggam pedang yang ternoda darah.
"Huh. Mimpi apa kalian" Kitab kuno itu sudah lama musnah dari muka bumi," ujar Ki Aji Darmagati dengan tersenyum sinis.
"Berarti kau tak sayang dengan nyawamu, Darmagati! Juga, puluhan muridmu akan mampus di ujung pedang Bidadari Lembah neraka!" Setelah mengucapkan kata-kata itu Isyana memberi isyarat kepada ketiga kawannya agar memulai pembantaian. Seketika, keempat dara cantik berpakaian merah bergerak melancarkan serangan mendahului murid-murid Perguruan Tapak Bumi. Meskipun beberapa murid-murid sempat menghindar, namun kawan-kawannya mengerang kesakitan tertusuk pedang Empat Bidadari Lembah Neraka.
Pertempuran yang tadi sempat terhenti kini berlangsung kembali. Jeritan kematian meningkahi suara pedang dan golok yang saling berbenturan.
Keempat dara cantik bersenjata pedang itu menunjukkan kelebihan mereka. Dalam kepungan rapat murid-murid Perguruan Tapak Bumi, mereka mampu bergerak cepat seraya melancarkan serangan mematikan.
Melihat para muridnya berjatuhan, Ki Aji Darmagati tak bisa berdiam din lagi. Dia sadar keempat dara cantik itu bukan wanita sembarangan.
Kemampuan murid-muridnya berada jauh di bawah mereka. Kalau dibiarkan, bukan tak mungkin mereka akan tewas semua.
Dengan mengeluarkan bentakan keras, Ki Aji Darmagati melesat menuju kancah pertempuran.
"Haits!" Blukkk! Plakkk! Dalam sekali gebrakan saja dua buah serangan lelaki tua itu mendarat di tubuh dua dara cantik. Kedua wanita berpakaian merah itu meringis menahan rasa sakit di dada dan punggung mereka.
Namun, keduanya segera bangkit berdiri dan melancarkan serangan kepada Ki Aji Darmagati.
Sementara Isyana dan Laksmi masih terus membantai lawan-lawan mereka yang berjumlah dua belas orang. Serangan kedua gadis itu yang bagai binatang buas terluka tak mampu diatasi muridmurid Ki Aji Darmagati. Dalam beberapa gebrakan saja mereka telah berjatuhan.
Ki Aji Darmagati yang menghadapi keroyokan Ratri dan Kinanti pun menghadapi keadaan yang sama. Lelaki berjubah coklat itu pontang-panting menghadapi serangan gencar pedang lawan. Susulmenyusul mereka membabat dan mengibaskan pedang. Sedikit pun tak ada kesempatan bagi Ki Aji Darmagati untuk melancarkan serangan.
Dalam suatu kesempatan, ketika Ki Aji Darmagati melenting tinggi, Ratri memburu ke atas.
Cras! Ki Aji Darmagati terpekik ngeri. Babatan pedang Ratri menggores pangkal pahanya. Darah mengucur membasahi jubah pada paha sebelah kiri.
Begitu mendarat di tanah lelaki tua berjenggot putih itu nampak sempoyongan. Belum sempat ia mengatur keseimbangan tubuhnya Kinanti telah melesat seraya membabatkan pedang.
Ki Aji Darmagati melihat bahaya maut mengancam jiwanya. Cepat tubuhnya dilempar ke samping kanan, lalu bergulingan mengelakkan tusukan pedang lawan yang terus memburunya.
Bagai makhluk haus darah, Kinanti dan Ratri terus mengejar tubuh Ki Aji Darmagati. Mereka dengan bengis menusukkan pedang ke arah tubuh lawan yang kini berjumpalitan ke belakang dengan bertumpu pada kedua lengannya. Rupanya, meskipun usianya sudah lanjut, Ki Aji Darmagati masih gesit. Ketika mendapat satu kesempatan, lelaki tua itu segera melesat untuk mengambil jarak.
Kini Ki Aji Darmagati dengan kedua lawannya terpaut sekitar tiga tombak. Lelaki tua itu bergegas meletakkan kedua tangannya ke bumi. Sebentar kemudian, diangkat dan dihentakkan seraya mengeluarkan bentakan keras menggelegar.
Wuuus! Brakkk! Serangkum angin kencang melesat sangat cepat. Namun karena Kinanti dan Ratri sempat melihat apa yang dilakukannya, mereka telah melompat menghindar. Serangan dahsyat itu pun tak mengenai sasaran. Pintu rumah Ki Aji Darmagati yang terkena serangan langsung ambruk.
"Hiaaa...!" Bagai telah disepakati sebelumnya, Ratri dan Kinanti melesat bersamaan, Pedang mereka tertuju lurus ke tubuh lawan Jrabs! Meskipun Ki Aji Darmagati sempat melompat, namun serangan Kinanti berhasil mendarat di punggungnya. Pekikan keras pun dikeluarkan mulut lelaki tua itu. Tubuhnya terjungkal ke tanah. Setelah berkelojotan sebentar, kemudian diam tak bergerak lagi. Isyana dan Laksmi pun baru saja menyelesaikan pertarungan. Dua belas mayat bergeletakan tak karuan.
"Cepat geledah rumahnya!" ajak Laksmi.
Keempat dara berpakaian merah itu menggeledah seisi rumah Ki Aji Darmagati. Namun sebentar kemudian, mereka keluar tanpa membawa hasil.
Keempat dara itu segera melesat meninggalkan Perguruan Tapak Bumi. Bau anyir darah dan suasana kematian menyelimuti perguruan itu. Bulan pucat pasi di langit yang berawan menjadi saksi kebengisan keempat dara cantik berpakaian merah.....

***



₪₪₪↨֍¦ 3 ¦֎↨₪₪₪

Kabut menyelimuti sekitar perbukitan Gunung Pring yang ditumbuhi pepohonan bambu yang sangat lebat. Sang surya mestinya sudah sepenggalah tingginya. Namun karena mendung tebal menutup langit di atasnya, cahaya matahari tidak sampai ke bumi. Gerimis turun menyiram lembah dan perbukitan yang hijau subur itu.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar teriakan orang seperti tengah berlatih silat. Agaknya mereka lebih dari sepuluh orang. Sesekali terdengar satu orang memberi aba-aba, kemudian disusul suara bentakan keras beramai-ramai.
Memang benar. Di lembah yang merupakan hamparan rumput dan perdu berdiri sebuah rumah cukup besar. Halamannya yang luas dipagari bambu-bambu yang tersusun rapi. Inilah tempat kediaman Ki Dungkut Marta, seorang tokoh tua dunia persilatan yang kini mendidik tak kurang dari empat puluh muridnya.
Hampir tiga dasa warsa ini Ki Dungkut Marta mengundurkan diri dari dunia persilatan. Hariharinya disibukkan untuk mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya. Perguruan Bambu Wulung, begitulah nama perguruan yang dipimpinnya.
Bambu Wulung dulu adalah nama senjata andalan Ki Dungkut Marta. Sebuah bambu hitam sepanjang tombak yang selalu dibawa ke mana Ki Dungkut Marta pergi. Konon, kekuatan Bambu Wulung tak kalah dengan pedang atau keris yang terbuat dari besi baja. Pagi itu di rumahnya yang dipagari bambu hitam Ki Dungkut Marta sedang kedatangan tamu.
Seorang sahabat lama yang sudah lima belas tahun tidak pernah berjumpa.
"Sebenarnya aku belum berminat mengunjungi perguruanmu ini, Dungkut," ujar tamu Ki Dungkut Marta, seorang lelaki berusia tujuh puluhan yang mengenakan jubah kuning. Di pundak kakek berambut putih itu tersampir sebilah pedang yang disarungkan dalam warangka berwarna hitam.
"Hhh.... Aku maklum, Langgengpura. Beberapa muridku yang pernah kuutus ke perguruanmu beberapa tahun lalu telah menceritakan semuanya. Kau sama sepertiku, sibuk mengurus murid-muridmu...."
"Ya. Habis, apa yang mesti dilakukan orangorang tua seperti kita ini, kecuali mengajarkan ilmu yang pernah kita miliki. Bukan begitu, Dungkut?" kakek bernama Ki Langgengpura itu tersenyum melihat Ki Dungkut Marta mengangguk.
"Aku merasa lebih tenang setelah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan mendidik murid-murid. Kini banyak pendekar berilmu tinggi yang telah menggantikan kita. Ilmu mereka tidak kalah hebat dibandingkan kita-kita yang sudah tua ini. Langgeng."
"Itulah yang membuatku sampai mengunjungi tempatmu itu, Dungkut" Senyum Ki Langgengpura tiba-tiba lenyap, berganti dengan rasa khawatir yang tergambar jelas di wajahnya yang telah keriput Ki Dungkut Marta mengernyitkan kening. Ia tak tahu apa yang dimaksud kawannya.
"Aku tak mengerti apa maksudmu, Langgeng...?"
"Apa kau belum mendengar kabar buruk yang menimpa dua perguruan di wilayah selatan?" tanya Ki Langgengpura sambil menuang air minum dari poci kecil di depannya.
"Salah satunya Perguruan Banyu Putih milik Ki Ragil." Ki Dungkut Marta terbelalak kaget. Kepalanya digeleng-gelengkan tak percaya mendengar kabar itu.
"Apa yang telah terjadi dengan perguruan mereka?"
"Tak satu pun murid Ki Ragil yang hidup.
Semua tewas dibantai secara keji. Bahkan, Ki Ragil sendiri mati dengan keadaan mengerikan...."
"Siapa yang melakukan kebiadaban itu, Langgeng?" Ki Dungkut Marta kelihatan penasaran.
"Beberapa murid Perguruan Tapak Bumi yang sempat melarikan diri mengatakan, empat wanita muda berpakaian merah telah membantai guru dan kawan-kawan mereka."
"Empat wanita muda...?" gumam Ki Dungkut Marta.
"Empat Bidadari Lembah Neraka. Begitu julukan yang disebutkan keempat dara berpakaian merah itu!" jelas Ki Langgengpura.
"Hhh.... aku belum pernah mengenal julukan itu," ujar Ki Dungkut Marta dengan kening berkerut "Orang-orang muda di dunia persilatan pun tak ada yang mengenal julukan itu. Apalagi tokoh tua seperti kita, Dungkut. Tapi jelas mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kalau tidak, mana mungkin mampu membantai murid-murid perguruan yang berjumlah sekian banyak. Ki Ragil pun yang dulu kita anggap sangat tinggi ilmunya, tak berdaya menghadapi mereka."
"Apa yang mereka inginkan dengan menghancurkan kedua perguruan itu?"
"Kabarnya mereka mencari Kitab 'Candra Catur Pamukti'. Bukankah kitab kuno itu sudah lama lenyap?"
"Ya. Mungkin sudah satu abad lebih kitab itu hilang dari dunia persilatan. Sebenarnya, agak aneh kalau orang-orang persilatan memperebutkan kitab itu. Peristiwa beberapa puluh tahun lalu, ketika banyak tokoh persilatan memperebutkan Kitab 'Candra Catur Pamukti', sebenarnya hanya pekerjaan sia-sia," tutur Ki Dungkut Marta.
Ketua Perguruan Bambu wulung itu teringat peristiwa beberapa puluh tahun silam. Ketika itu ia masih muda belia. Di kalangan dunia persilatan tersebar kabar bahwa Kitab Canda Catur Pamukti telah dicuri dari seorang pertapa yang bertugas menjaganya. Tak satu pun di antara tokoh-tokoh persilatan waktu itu yang berhasil mendapatkannya.
"Kenapa kau bisa mengatakan peristiwa itu sebagai pekerjaan sia-sia, Dungkut?" tanya Ki Langgengpura.
"Aneh memang," gumam Ki Dungkut Marta.
"Mereka tidak tahu isi kitab kuno itu. Kalau saja mereka mengetahuinya, mungkin tak akan terjadi saling memperebutkan benda yang sebenarnya tak berarti banyak bagi dunia persilatan itu. Mereka tentu mengira kitab yang sesungguhnya merupakan peninggalan sebuah kerajaan kuno itu berisi pelajaran ilmu silat...."
"Jadi, apa sebenarnya isi Kitab Candra Catur Pamukti itu, Dungkut?" Lama Ki Dungkut Marta terdiam, seakanakan merasa enggan untuk membuka rahasia kitab kuno itu. Namun kemudian, karena Ki Langgengpura adalah kawan akrabnya sejak masih muda, Ki Dungkut Marta pun bercerita.
"Kau pun tentu mengira kitab itu merupakan lembaran-lembaran daun lontar atau kulit binatang.
Lalu, di dalamnya berisi tulisan yang berupa pelajaran suatu ilmu seperti kitab-kitab yang kita kenal selama ini. Padahal bukan, Langgeng. Kitab Candra Catur Pamukti hanya terdiri dari satu helai daun lontar. Itu pun sudah tak karuan bentuknya karena saking tuanya...."
"Isi kitab itu sendiri mengenai apa, Dungkut?" Ki Langgengpura sudah tak sabaran.
"Kitab itu hanya berisi petunjuk untuk mencapai suatu tempat yang digunakan untuk menyimpan harta kekayaan sebuah kerajaan yang aku lupa namanya," jawab Ki Dungkut Marta.
"Nama kitab itu sendiri mengandung arti Bulan Empat Kemuliaan. Aku kurang paham maksud ketiga kata itu." Ki Langgengpura mengangguk-angguk mendengar cerita kawannya.
"Dari mana kau mengetahui banyak tentang kitab kuno itu, Dungkut?"
"Guruku pernah menceritakan tentang hal ini kepadaku. Mungkin maksudnya agar aku tidak perlu ikut memperebutkan kitab itu."
"Tapi, sekarang muncul kembali orang-orang yang menginginkan kitab kuno itu..."
"Aku yakin mereka bukan orang-orang golongan putih, Langgeng. Para pendekar dari golongan putih tak layak mempunyai maksud seperti itu. Tapi jika benar, kitab itu hanya berisi petunjuk tentang harta benda kerajaan," ujar Ki Dungkut Marta dengan menggeleng-gelengkan kepala.
"Hm. Bagaimanapun aku mempunyai alasan untuk bersikap waspada, Dungkut. Aku khawatir mereka akan membabi buta dalam usahanya mencari keterangan tentang kitab itu. Kita harus berhati-hati, Dungkut. Jangan-jangan mereka datang kemari dalam waktu dekat ini. Kabar yang kudengar, mereka telah membunuh beberapa tokoh putih yang berupaya mencegah tindakan keji Empat Bidadari Lembah Neraka itu." Ki Dungkut Marta membisu mendengar ucapan kawannya. Ki Langgengpura pun tidak meneruskan kata-katanya. Suasana berubah menjadi hening. Terdengar teriakan-teriakan para murid Perguruan Bambu Wulung yang berlatih silat di bawah siraman gerimis pagi.
"Aku tidak bermalam di sini, Dungkut. Pagi ini juga aku akan kembali. Dalam keadaan seperti ini aku harus berada di antara murid-muridku."
"Biar hujan reda dulu. Mestinya aku melarangmu kembali sekarang, Langgeng. Aku ingin kau bermalam di pondokku. Lama kita tak berjumpa. Rasa kangenku belum habis hanya dengan perjumpaan sekejap ini," ujar Ki Dungkut Marta seraya tersenyum. Ki Langgengpura pun ikut tersenyum.
"Mungkin lain waktu kita bisa berjumpa lagi.
Mudah-mudahan Hyang Widi memberi umur panjang kepada kita, Dungkut. Aku mohon diri sekarang juga...."
"Baiklah. Hati-hati!" Ki Dungkut Marta mengantarkan tamunya sampai di pintu gerbang perguruan. Murid-murid Perguruan Bambu Wulung memberi hormat dengan menghentikan latihan mereka ketika melihat kedua orang tua itu berjalan di halaman rumah.
Ki Langgengpura yang mengenakan jubah kuning segera naik ke punggung kuda. Di bawah gerimis yang masih turun lelaki berambut putih itu menggebah kudanya meninggalkan lembah tempat Perguruan Bambu Wulung.

***



₪₪₪↨֍¦ 4 ¦֎↨₪₪₪

Kabar tentang pembantaian dua perguruan di wilayah selatan segera tersebar ke berbagai pelosok.
Orang-orang persilatan mulai menghubunghubungkan peristiwa itu dengan berita tentang penculikan yang sering terjadi akhir-akhir ini. Di wilayah timur dan tengah telah terjadi penculikan terhadap beberapa pemuda tanggung yang tak diketahui pelakunya. Dengan terjadinya peristiwa pembantaian itu mereka mulai menaruh curiga, bahwa pelaku penculikan mungkin Empat Bidadari Lembah Neraka. Dunia persilatan mulai gempar. Bukan hanya karena berita tentang pembantaian dan penculikan, melainkan karena Empat Bidadari Lembah Neraka merupakan tokoh-tokoh yang belum mereka kenal sama sekali. Orang-orang awam pun tak ketinggalan ramai membicarakan hal itu. Mereka yang mempunyai anak perjaka mulai dilanda keresahan. Kian hari peristiwa penculikan itu kian merajalela.
"Yang semakin membingungkan kita, antara penculikan dan pembantaian murid-murid Perguruan Tapak Bumi tidak ada hubungannya sama sekali, Kakang Brasta," kata seorang lelaki muda berpakaian putih kepada kawannya. Mereka tengah duduk di sebuah kedai makan.
Seperti kedua lelaki muda ini, para pengunjung kedai pun membicarakan hal itu. Siang ini kebetulan kedai makan Ki Durga yang terletak di ujung selatan Desa Nariban ramai dikunjungi orang.
Letaknya yang strategis, di tepi persimpangan jalan yang menghubungkan beberapa desa, membuat kedai selalu ramai. Mereka yang sengaja datang maupun yang kebetulan tengah berada dalam perjalanan menuju kota kerajaan. Di samping itu, tak jauh dari Desa Nariban terdapat sebuah pasar yang cukup besar.
"Iya. Aku juga tak habis pikir," sahut lelaki muda berambut sebahu yang tadi dipanggil Kakang Brasta.
"Untuk apa mereka menculik para pemuda tanggung?" Dilihat dari pakaian dan pedang yang disandang kedua lelaki muda berwajah tampan itu, jelas mereka orang-orang persilatan.
"Jangan-jangan mereka penganut aliran sesat yang memerlukan para pemuda untuk tumbal memperdalam ilmu mereka, Gan," lanjut Brasta.
Belum sempat kedua lelaki muda itu melanjutkan pembicaraan, mereka menoleh ke arah pintu kedai. Begitu pula para pengunjung yang lain.
Pandangan mereka segera tertuju kepada seorang pemuda berwajah tampan yang mengenakan pakaian rompi kulit ular. Pemuda itu berjalan santai memasuki kedai.
Pemuda berambut panjang ikal itu tertawatawa sendirian sambil seraya menggelenggelengkan kepala. Sebentar kemudian, mulutnya cengengesan sambil matanya memandang ke sana kemari. Tentu saja kelakuannya yang seperti orang kurang waras membuat para pengunjung kedai tersenyum geli.
Ada pula yang sinis memandangnya.
Ki Durga, pemilik kedai, berdiri terpaku di depan pintu belakang. Ada rasa khawatir terhadap pemuda gila itu. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri pemuda berpakaian rompi kulit ular dengan perasaan bimbang.
"Aha. Aku minta disediakan ayam panggang yang masih hangat, Ki...," pinta pemuda itu dengan cengengesan.
"Siapa namamu, Ki?"
"Sa... saya, Durga," sahut lelaki tua agak bongkok itu. Melihat Ki Durga tampak ragu-ragu, pemuda berpakaian rompi kulit ular segera mengeluarkan beberapa keping uang logam. Diserahkannya uang itu pada pemilik kedai.
"Ba... baik. Akan saya sediakan pesananmu...." Ki Durga bergegas melangkah menuju dapur. Pemuda bertingkah seperti orang gila itu menempati kursi di tengah ruangan. Orang-orang tetap memandanginya. Baru ketika pemuda itu sudah diantarkan makanan mereka melanjutkan kesibukan masing-masing. Terdengar lagi obrolan seputar masalah penculikan dan pembunuhan yang dilakukan Empat Bidadari Lembah Neraka.
"Gandra, aku pernah mendengar nama pendekar kesohor yang ciri-cirinya mirip pemuda ini...," bisik Brasta. Gandra yang mendengar bisikan Brasta mengerutkan kening sambil menganggukangguk kecil.
"Kau lihat suling emas di pinggangnya" Itu senjata yang dimiliki Pendekar Gila." Gandra menoleh dan memandangi suling yang terselip di pinggang pemuda berpakaian rompi kulit ular.
"Jangan-jangan dialah orangnya, Kakang Brasta, " bisik Gandra lirih. Dia takut suaranya terdengar orang yang tengah mereka bicarakan.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular terus sibuk menikmati ayam panggangnya. Namun kemudian ia berhenti. Keningnya dikerutkan.
Pemuda itu mendengar ada orang yang membicarakannya.
Tapi hanya sebentar ia tercenung, lalu kembali melanjutkan makannya.
Setelah selesai, pemuda berambut ikal dan berompi kulit ular itu bangkit berdiri. Dia melangkah mendekati Ki Durga yang tengah memberesi sisa makan di meja lain.
"Ki Durga, aku ingin bertanya kepadamu.
Tahukah kau ke mana aku harus pergi untuk sampai ke Perguruan Bambu Wulung?" tanya pemuda itu. Orang-orang menoleh mendengar pertanyaan pemuda itu. Tiga orang lelaki setengah baya yang berpakaian ungu dan duduk di pojok ruangan langsung membelalakkan mata. Ada rasa curiga tersirat di wajah mereka.
"A... aku tidak mengetahui di mana perguruan itu, Anak Muda...," jawab Ki Durga tergagap. Lalu, wajahnya menoleh ke arah ketiga lelaki berpakaian ungu di pojok ruangan.
"Hi hi hi.... Baiklah, kalau kau tak mengetahuinya. Terima kasih atas pelayananmu." Pemuda berpakaian rompi kulit ular lalu melangkah pergi meninggalkan kedai.
Baru saja kakinya selangkah keluar dari ambang pintu, seseorang menegurnya.
"Hei, Anak Muda! Untuk apa kau hendak pergi ke Perguruan Bambu Wulung"!" Pertanyaan itu berasal dari salah seorang lelaki berpakaian ungu.
Dua orang lainnya telah melangkah menghampiri pemuda berpakaian rompi kulit ular.
"Ah ah ah.... Galak nian kau," sahut pemuda itu sambil cengengesan. Tangannya menggarukgaruk kepala.
"Dalam suasana seperti sekarang ini semua orang dituntut untuk selalu waspada. Janganjangan kaulah orang yang telah membuat keonaran.
Akui saja kalau kau termasuk orang-orang yang membantai Perguruan Tapak Bumi!"
"Hi hi hi.... Bagaimana aku harus membantah tuduhanmu, Kawan. Kedatanganku kemari justru karena mendengar kabar buruk itu...."
"Ah, banyak alasan! Kakang Busro, tangkap saja pemuda itu!" sergah lelaki berpakaian ungu yang berkumis tebal. Sebilah golok terselip di pinggangnya. Lelaki yang dipanggil Busro langsung melangkah mendekati pemuda berpakaian rompi kulit ular.
"Ah ah ah.... Jangan-jangan kalianlah begundal-begundal Empat Bidadari Lembah Neraka...," ujar pemuda berpakaian rompi kulit ular.
Ia kelihatan tidak gentar sedikit pun. Bahkan bibirnya terus tersenyum.
"Kurang ajar! Ketahuilah, kami orang-orang dari Perguruan Bambu Wulung. Murid Ki Dungkut Marta! Heaaa...!" Selesai mengucapkan kata-kata itu, Busro segera merangsek maju mengirimkan serangan.
Pemuda berompi kulit ular hanya meliukkan badannya perlahan. Serangan Busro pun lewat.
Melihat Busro tak berhasil, kedua kawannya berlompatan memberikan serangan susulan. Dua buah tendangan keras hampir saja mengenai kepala dan dada pemuda berpakaian rompi kulit ular.
Namun sambil cengengesan dia melentingkan tubuh, hingga tak satu pun serangan itu yang mengenai sasaran. Kedua lelaki berpakaian ungu semakin geram. Lawannya begitu mudah mengelakkan serangan mereka. Keduanya segera mencabut golok.
Di depan kedai para pengunjung telah keluar.
Mereka ingin menyaksikan pertarungan yang tak disangka-sangka akan terjadi. Gerimis saat itu turun membasahi bumi.
Para pengunjung kedai dan prang-orang yang lemah menggeleng-gelengkan kepala melihat jalannya pertarungan. Ada yang berdecak kagum menyaksikan kelincahan pemuda berpakaian rompi kulit ular. Yang mengherankan, pemuda berambut ikal itu hanya meliuk-liukkan tubuh perlahan untuk menghindari serangan lawan. Dengan gerakan seperti itu dia berhasil mengelakkan semua serangan. Babatan dan tusukan golok tidak satu pun yang mendarat di tubuhnya.
"Tak salah lagi dugaan kita, Brasta," bisik Gandra yang berdiri di depan pintu kedai.
"Dia pasti Pendekar Gila." Sementara itu, pemuda berpakaian rompi kulit ular yang memang Pendekar Gila terus berusaha mengelakkan serangan ketiga lawannya.
Tampaknya dia tak ingin balas menyerang. Dia tahu ketiga lelaki berpakaian ungu ini bukan orang-orang dari golongan hitam. Meskipun sikap mereka tadi begitu kasar dan menuduhnya tanpa alasan. Sena Manggala memakluminya. Keadaan yang terjadi di daerah ini memang menuntut setiap orang untuk bersikap waspada.
Ketiga lelaki berpakaian ungu yang mengaku murid Perguruan Bambu Wulung, mendadak melakukan serangan secara serentak. Tiga batang golok membabat cepat mengancam keselamatan jiwa Sena. Melihat keberingasan lawan-lawannya, Sena bergegas meliukkan tubuh mengelakkan serangan maut itu. Kemudian, langsung melancarkan serangan balasan dengan kedua telapak tangan terbuka. Gerakannya lentur sekali dan seperti tak mengandung tenaga. Namun....
Plakkk! Bukkk! Dua orang berpakaian ungu terlontar dua tombak ke belakang. Keduanya menjerit kaget dan kesakitan. Mereka tak menduga serangan lawan akan membuat tubuh mereka terlontar.
Busro yang masih berdiri tegap di depan Sena pun membelalakkan mata penuh keheranan.
"Ilmu apa itu...?" gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Namun karena kemarahannya telah memuncak, dia segera melesat kembali melancarkan serangan dengan goloknya. Babatan golok itu terarah ke dada Sena yang masih cengengesan.
Wuuut! Trap! Busro terkejut bukan main. Goloknya berhasil ditangkap lawan. Busro mencoba menghentakkan goloknya, tapi tak berhasil menariknya dari tangan Sena.
"Hi hi hi.... Kalian terlalu gegabah, Kawan.
Seharusnya jangan seperti ini jika kalian memang murid-murid Ki Dungkut. Seberapa pun kecurigaan kalian, harus bersikap baik terhadap orang yang belum kalian ketahui pasti...."
"Huh. Siapa kau sebenarnya" Untuk apa hendak datang ke perguruan kami?" Belum sempat Sena menjawab pertanyaan itu, terdengar sahutan dari orang lain.
"Dia Pendekar Gila, Kawan. Kalian salah besar telah menuduhnya sebagai anak buah Empat Bidadari Lembah Neraka...." Brasta yang menyambuti pertanyaan Busro.
Pemuda berpakaian putih itu melangkah mendekati Busro dan Sena Manggala.
"Heh" Ampunkan kami, Tuan Pendekar.
Ampunkan kami yang bodoh ini..."
"Aha. Sudahlah. Jangan kalian ulangi lagi sikap seperti tadi. Selidiki dulu semuanya baru kita menentukan sikap. Dan, jangan panggil aku seperti itu. Namaku Sena Manggala. Panggil saja Sena," ujar Sena dengan mulut cengengesan lucu.
"Selamat datang di daerah kami, Sena. Kami memang pernah mendengar namamu. Tapi, Ki Dungkut tidak banyak memberi penjelasan tentang dirimu."
"Kalau begitu, bisakah kalian antarkan aku ke Perguruan Bambu Wulung" Aku mempunyai keperluan dengan Ki Dungkut Marta."
"Tentu saja bersedia. Mari kami antar!" Ketiga lelaki berpakaian ungu itu kemudian melangkah mengantarkan Pendekar Gila. Sementara kedua pemuda berpakaian putih, Brasta dan Gandra, mengikuti.
"Kami juga sedang dalam perjalanan menuju Perguruan Bambu Wulung," ujar Brasta ketika Sena menoleh kepadanya.
"Berapa jauh Perguruan Bambu Wulung dari sini, Kawan?" tanya Gandra kepada salah seorang murid Ki Dungkut Marta.
"Kalau kita terus, tanpa bermalam di sebuah desa, lewat tengah malam nanti kita baru sampai di perguruan kami," jawab Busro menjelaskan.
"Ya. Kita bisa bermalam di rumah Kepala Desa Tuksanga. Di sanalah kami selalu bermalam.
Ki Marjan pun bekas murid Bambu Wulung," tambah kawan Busro yang berjalan paling depan.
Mereka lalu melesat ke arah utara meninggalkan kedai makan. Orang-orang di depan kedai menggelengkan kepala menyaksikan kepergian mereka.

***



₪₪₪↨֍¦ 5 ¦֎↨₪₪₪

Di sebuah lembah terjal dan berbatu-batu tampak sesosok bayangan kuning melesat menuruni jalan setapak. Meskipun jalanan yang dilewati sempit dan sangat licin, sosok bayangan kuning bergerak sangat cepat. Tampaknya ia sudah terbiasa melalui jalan itu.
Sampai di bawah tebing cadas yang cukup tinggi, sosok bayangan yang ternyata seorang lelaki tua berhenti berlari. Disekanya keringat di kening dengan lengan tangannya. Dia mengedarkan pandangan berkeliling. Setelah yakin tidak ada orang yang melihatnya, lelaki tua berpakaian kuning itu melenting ke atas. Sekali hentak saja tubuhnya telah hinggap pada sebongkah batu cadas setinggi sepuluh tombak, Gerakannya sangat ringan dan cepat. Lelaki berambut putih itu agaknya memiliki ilmu cukup tinggi. Terutama dalam ilmu meringankan tubuh.
Dari bongkahan batu cadas kakinya melangkah beberapa tindak. Tampaklah seutas tali dari kulit kayu yang dililit-lilit. Tali yang basah dan berwarna kehitaman itu menjulur dari atas tebing cadas yang sangat tinggi.
Dengan menggunakan tali itu lelaki berpakaian kuning memanjat tebing cadas. Bagi orang yang belum terbiasa tentu akan menemui kesulitan memanjat tebing yang tegak lurus.
Terlebih dinding tebing berlumut dan mengandung air yang mengalir dari atas. Namun lelaki berusia tujuh puluhan itu tidak menemui kesulitan sama sekali. Kedua kakinya bergerak cepat mencari bagian dinding yang berlobang. Sekali saja kedua tangannya terlepas memegang tali yang sangat licin itu, akan melayanglah tubuhnya ke bawah. Dan, terhempas di atas bebatuan cadas yang runcing bagai gigi-gigi raksasa.
Kakek berpakaian kuning terus merambat ke atas setapak demi setapak. Hingga akhirnya dia sampai pada sebongkah batu cadas berbentuk segi empat, mirip sebuah meja yang menempel pada dinding tebing. Ternyata, di balik batu cadas itu terdapat dinding tebing yang menjorok ke dalam.
Sebuah lobang besar setinggi dua tombak menganga. Air dari atas menetes melewati mulut gua. Kakek berpakaian kuning kini berdiri di atas batu cadas persegi. Diusapnya keningnya. Lalu, sekujur wajahnya yang basah kuyup. Rambutnya yang putih juga basah. Begitu pula pakaiannya.
Bahkan, kotor oleh lumut bercampur lumpur.
Setelah menghela napas dalam-dalam dia melangkah memasuki mulut gua yang gelap.
Kakinya terus melangkah ke dalam melewati lorong berdinding batu cadas. Setelah melalui tikungan tampaklah seberkas sinar dari dalam gua. Kakek itu melangkah mendekati cahaya. Ternyata sinar terang itu berasal dari beberapa obor yang terpancang di sebuah ruangan cukup besar.
Baru dua langkah kakek itu menuruni tangga berundak untuk masuk ke ruangan, terdengar sebuah suara menegurnya, "Bagaimana hasil yang kau peroleh, Langgengpura...?" suara seorang wanita tua. Belum terlihat di mana wanita itu berada.
"Ada kabar baru, Nyai," jawab kakek berpakaian kuning yang ternyata Ki Langgengpura.
Kakinya melangkah mendekati ruangan yang tertutup pintu dari batu besar.
Ketika Ki Langgengpura sampai di depannya, pintu itu terbuka perlahan-lahan. Dia terus melangkah ke dalam. Ruangan itu terang benderang.
Beberapa obor terpancang di dinding-dinding ruangan. Di satu sudut duduk seorang wanita tua berambut putih. Ia mengenakan pakaian longgar berwarna merah. Wajahnya yang terkena bias cahaya obor terlihat sangat buruk. Kasar dan kehitaman. Raut wajah kasar itu menunjukkan kebengisan yang dimiliki wanita berusia delapan puluh tahun ini.
"Kabar apa itu, Langgeng?" Nenek itu menggoyangkan kepalanya yang berambut putih.
"Sungguh tak kusangka, Nyai Cangkring Abang. Sahabatku yang kini memimpin Perguruan Bambu Wulung ternyata banyak mengetahui tentang Kitab Candra Catur Pamukti. Kemarin aku mengunjunginya. Banyak kudapat keterangan penting tentang kitab kuno itu. Sayang, dia tidak menjelaskan di mana kitab itu kini berada..." Ki Langgengpura kemudian menceritakan apa yang didengarnya dari Ki Dungkut Marta.
Mendengar penuturan Ki Langgengpura, nenek berpakaian merah terkekeh-kekeh, "Heh he he he,..! Kau ternyata lebih bodoh, Langgeng! Kalau Dungkut tahu banyak tentang kitab itu, tentu dia pun tahu di mana kitab itu kini berada. Biar Empat Bidadari nanti yang akan mengoreknya."
"Tidak bisa, Nyai."
"Apa yang tidak bisa?"
"Dungkut sudah tahu kabar pembantaian yang dilakukan Laksmi dan adik-adiknya. Sebaiknya aku saja yang mendatangi Dungkut. Dia belum menaruh curiga kepadaku," sahut Ki Langgengpura.
"Terserah.
Atur bagaimana baiknya, Langgeng. Yang penting, aku harus tahu di mana kitab itu berada," Nyai Cangkring Abang lalu bangkit dari duduknya.
"Pergilah sekarang!" Ki Langgengpura hanya memandangi ketika Nyai Cangkring Abang memasuki ruangan lain yang dipisahkan dinding batu cadas. Di dalam ruangan itu tampak beberapa pemuda berwajah tampan dan bertubuh gagah tengah berbaring di lantai. Tubuhtubuh gagah yang tak mengenakan pakaian secuil pun itu bangkit berdiri ketika Nyai Cangkring Abang memasuki ruangan.
Nenek berwajah kasar dan bengis itu tersenyum, tapi terus melangkah menuju ruangan lain, ia memasuki ruangan yang tidak seberapa luas dan remang-remang. Di atas meja batu terdapat bejana besar mirip penggorengan. Nyai Cangkring Abang melepaskan pakaiannya satu-persatu. Kini tubuh perempuan tua berambut panjang itu tak tertutup sehelai benang pun. Tubuhnya yang renta sudah keriput. Buah dadanya kendor dan menggantung lemas.
Nyai Cangkring Abang mendekati bejana besar yang berisi cairan merah mirip darah.
Matanya terpejam dengan mulut berkomat-kamit merapal mantera. Tak lama kemudian, kedua tangannya dijulurkan ke dalam bejana. Dicelupkan ke cairan merah. Lalu, nenek itu membasuh wajah dan sekujur badannya dengan kedua telapak tangan yang sudah basah oleh cairan merah. Sekujur badan yang telah keriput dan kendor itu kini berwarna merah tak beraturan. Namun, apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan. Tubuh tua renta itu menjelma menjadi sesosok tubuh sintal, mulus, dan muda. Masih dalam keadaan tanpa sehelai pakaian pun Nyai Cangkring Abang melangkah keluar ke tempat para pemuda tampan. Begitu cahaya obor menerangi tampaklah sesosok wanita cantik jelita bertubuh sintal dan mulus. Rambutnya yang hitam panjang tergerai. Senyum Nyai Cangkring Abang benar-benar mengagumkan. Nenek yang menjelma menjadi wanita cantik itu menjulurkan kedua belah tangan menyambut para pemuda tampan yang berebut hendak memeluknya.
Mereka saling berebut mencium dan memeluk tubuh wanita cantik itu. Ada yang menjilati dada, perut, bahkan kakinya. Para pemuda itu mendesahdesah dalam pelukan dan belaian Nyai Cangkring Abang. Rintihan kemesraan memenuhi ruangan yang terang-benderang. Keempat pemuda itu kemudian mengangkat Nyai Cangkring Abang, lalu dibawa ke sebuah tempat tidur dari batu halus dan licin sekali.
Mereka menciumi dan menjilati sekujur tubuh sintal Nyai Cangkring Abang.
Ki Langgengpura yang belum juga beranjak dari tempatnya semula memejamkan mata rapatrapat. Ia tak tahan mendengar desahan-desahan penuh kenikmatan dari mulut Nyai Cangkring Abang di antara dengusan nafas para pemuda piaraannya.
Tak lama kemudian, kakek berpakaian kuning itu melangkah keluar dan melesat turun melalui tali.
Hari telah menjelang malam ketika Ki Langgengpura meninggalkan lembah terjal berbatubatu. Suasana gelap dan hujan gerimis tak dihiraukannya. Ia terus berlari meninggalkan lembah yang sunyi dan sepi itu.

***



₪₪₪↨֍¦ 6 ¦֎↨₪₪₪

Pagi baru saja mengantarkan cahaya sang surya menerangi bumi. Seekor kuda melesat menuju Lembah Gunung Pring. Kakek berpakaian kuning itu terus menggebahnya. Sampai di depan pintu gerbang Perguruan Bambu Wulung, kakek yang tak lain Ki Langgengpura melompat turun.
Beberapa murid Perguruan Bambu Wulung segera menyambutnya dengan ramah. Mereka tahu Ki Langgengpura sahabat Ki Dungkut Marta.
Dengan langkah tergesa-gesa, Ki Langgengpura menuju rumah Ki Dungkut Marta.
Seorang murid perguruan Bambu Wulung berlari untuk memberitahu Ki Dungkut Marta. Tak lama kemudian, Ki Dungkut Marta keluar dari bangunan induk yang dijadikan tempat tinggalnya. Lelaki tua berpakaian ungu itu mengerutkan kening menyaksikan kedatangan kawannya yang begitu tergesa-gesa.
"Apa yang telah terjadi, Langgeng?" tanya Ki Dungkut Marta dengan suara parau.
Ki Langgengpura tidak segera menjawab.
Kakinya terus melangkah tergesa-gesa menaiki anak tangga serambi rumah. Sementara, Ki Dungkut Marta terus memandangi dengan berbagai perasaan aneh di hatinya.
"Masuklah! Kita bicara di dalam...," ajak Ki Dungkut Marta. Kedua lelaki tua itu segera masuk. Sampai di dalam keduanya duduk seperti beberapa hari lalu, ketika membicarakan tentang sepak terjang Empat Bidadari Lembah Neraka.
"Ada kabar buruk, Dungkut. Semua muridku kudapati tewas bergelimpangan di pelataran rumahku. Ini pasti perbuatan Empat Bidadari Lembah Neraka...," lapor Ki Langgengpura dengan napas terengah-engah. Wajahnya dibuat sedih dan tegang. Kegelisahan melanda hati Ki Dungkut Marta.
Wajah lelaki berpakaian ungu itu tampak muram.
Kesedihan tergambar jelas di matanya yang tajam dan terhias alis tebal berwarna putih.
"Hhh..... Cepat atau lambat mereka pasti akan kemari juga," ujar Ki Dungkut Marta setelah menghela napas berat, seolah hendak membuang perasaan sedihnya.
"Beruntung aku tidak ada di rumah, Dungkut. Tapi, aku tak tega melihat nasib muridmuridku. Tubuh mereka habis dicincang! Aku pun tak yakin dapat menghadapi Empat Bidadari Lembah Neraka. Mulai sekarang kau harus berhatihati, Dungkut! Mungkin hari ini mereka menuju kemari." Ki Langgengpura menatap wajah Ki Dungkut Marta dalam-dalam.
"Satu-satunya pilihan bagi kita hanya mengatakan di mana kitab itu berada. Kecuali kalau kita ingin mati konyol di tangan mereka." Tercengang Ki Dungkut Marta mendengar kata-kata kawannya. Hatinya menaruh rasa curiga pada Ki Langgengpura. Ucapan Ki Langgengpura dirasakan sebagai desakan agar ia mengatakan di mana kitab kuno itu.
"Hm. Apa kau juga menginginkan kitab itu, Langgeng?" tanya Ki Dungkut Marta, datar.
"Jangan salah sangka, Dungkut. Aku hanya menginginkan keselamatanmu...."
"Keselamatan dengan menjual harga diri, Langgeng?" sahut Ki Dungkut Marta lagi. Ia mulai merasa kesal.
"Katakan di mana Kitab Candra Catur Pamukti berada, Dungkut! Jangan sampai aku harus bertarung denganmu...!" Terkejut bukan main Ki Dungkut Marta mendengar tantangan Ki Langgengpura. Sungguh tak disangka sahabatnya itu akan bertindak demikian. Rasa curiga yang ada sejak kedatangan Ki Langgengpura tadi kini semakin jelas terasa.
Namun, lelaki tua berambut panjang digelung ini tetap tenang duduk bersila di lantai. Sementara Ki Langgengpura telah bangkit berdiri di depannya.
"Terpaksa kugunakan kekerasan kalau kau tak bersedia menunjukkan di mana kitab itu, Dungkut!" Mata Ki Langgengpura berkilat menatap Ki Dungkut Marta.
Ki Dungkut Marta tetap duduk bersila.
Matanya yang tajam menentang pandang tatapan Ki Langgengpura. Sekarang jelas terlihat di mata Ki Langgengpura sinar kejahatan. Lelaki tua berjubah ungu itu baru menyadari Ki Langgengpura bukanlah sahabatnya yang dikenal dulu. Ki Langgengpura yang ada di depannya kini telah menjadi seorang kakek yang hatinya diliputi keangkaramurkaan.
Sebagai tokoh tua yang telah kenyang makan asam garam kehidupan dunia persilatan, Ki Dungkut Marta dapat membaca sinar mata berkilat milik Ki Langgengpura.
"Dungkut, tak ada waktu untuk berlama-lama di sini. Cepat katakan, di mana kitab itu berada! Atau, katakan siapa orang yang mengetahuinya.
Cepat...!" Melihat Ki Dungkut Marta tetap membisu, habislah kesabaran Ki Langgengpura. Dicabutnya pedang yang tersampir di pundak. Lalu, dengan cepat dan tanpa ragu-ragu dibabatkan ke kepala Ki Dungkut Marta yang masih duduk di depannya.
Siut! Braaakkk! Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Ki Dungkut Marta menggulingkan tubuh ke belakang.
Pedang Ki Langgengpura pun membabat lantai yang terbuat dari kayu. Melihat lawan berhasil mengelak, Ki Langgengpura langsung melompat memburunya.
Tetapi Ki Dungkut Marta yang telah melompat ke belakang setelah berdiri dari bergulingan berhasil merenggut senjata andalannya. Sebatang tongkat dari bambu hitam yang tadi tergantung di dinding.
Trakkk! Babatan pedang Ki Langgengpura berhasil dipapaki dengan tongkat bambu hitam. Anehnya, sedikit pun tak ada bekas yang terlihat pada tongkat bambu. Hanya tubuh Ki Dungkut Marta yang tergetar ketika terjadi benturan dengan pedang lawan. Ki Langgengpura pun demikian. Tubuhnya terdorong mundur dua langkah. Namun kemudian, dengan penuh nafsu kakek berpakaian kuning itu merangsek maju. Pertarungan sengit terjadi di dalam ruangan utama rumah besar itu.
Teriakan dan benturan kedua senjata didengar oleh murid-murid Perguruan Bambu Wulung yang berada di luar rumah. Mereka berlarian masuk ke rumah. Ketika melihat guru mereka tengah bertarung dengan kawannya, muridmurid itu tampak ragu untuk bertindak.
"Menyingkirlah kalian! Ini bukan urusan kalian...!" seru Ki Dungkut Marta kepada muridmuridnya. Itu semakin membuat murid-murid Bambu Wulung tak berani bertindak.
Perhatian kepada murid-muridnya membuat Ki Dungkut Marta lengah. Satu babatan secepat kilat yang dilancarkan Ki Langgengpura tak mampu dielakkan. Tangannya dengan cepat mengangkat tongkat Bambu Wulung untuk menangkisnya.
Benturan keras pun terjadi. Tubuh Ki Dungkut Marta terdorong hingga membentur dinding. Sementara Ki Langgengpura yang hanya tergetar sedikit segera melancarkan serangan susulan berupa tusukan ke arah perut.
Tusukan itu pun tidak mengenai sasaran, melainkan menghujam bilik bambu. Ki Dungkut Marta telah lebih dulu menggeser tubuhnya ke samping kanan. Lalu, dengan tak kalah cepat pula lelaki tua berjubah ungu itu menghantamkan tongkat Bambu Wulung-nya ke punggung lawan.
Blukkk! Ki Langgengpura terpekik kaget. Tubuhnya tersungkur ke depan dan membentur dinding rumah. Ki Dungkut Marta sengaja tidak menusukkan tongkatnya. Padahal kalau mau, dia mampu menghabisi nyawa sahabatnya dengan ujung tongkat Bambu Wulung yang runcing. Namun pertimbangan lain telah membuatnya hanya menggebuk punggung Ki Langgengpura.
"Langgeng, untuk apa kau mencari kitab itu?" tanya Ki Dungkut Marta. Ia tidak melanjutkan serangannya. Ki Langgengpura bangkit berdiri dan membalas tatapan Ki Dungkut Marta.
"Aku hanya ingin menyelamatkan dunia persilatan dan mengamankan keresahan orang banyak. Dengan menyerahkan kitab itu kepada Empat Bidadari Lembah Neraka mungkin keadaan akan berubah.
Sebelum korban jatuh lebih banyak lagi, Dungkut.
Kuminta, serahkan kitab itu padaku sekarang!" ujarnya bernada memaksa.
"Sudah kukatakan, kitab itu telah lenyap dari muka bumi ini. Ke mana pun akan kau cari takkan ketemu, Langgeng."
"Kau sejak dulu memang keras kepala.
Dungkut!" Wuuuttt! Belum habis ucapan Ki Langgengpura pedangnya telah berkelebat membabat tubuh Ki Dungkut Marta. Namun, Ki Dungkut Marta dapat mengelakkannya dengan melompat ke belakang.
Lelaki tua berjubah ungu itu melanjutkan lompatannya untuk keluar dari rumah lewat pintu belakang. Melihat lawannya melesat keluar, Ki Langgengpura pun memburunya. Terjadilah pertarungan di halaman belakang.
Saat itulah tiga sosok bayangan hijau melesat memasuki pintu gerbang Perguruan Bambu wulung.
Murid-murid Ki Dungkut Marta segera menyambut ketiga lelaki berpakaian hijau itu. Di pundak mereka tersampir pedang panjang dengan sarung berwarna hitam legam. Ketiganya memiliki rambut panjang dan ikal.
"Benarkah ini Perguruan Bambu Wulung?" tanya lelaki yang berwajah bersih tanpa kumis dan cambang.
"Benar. Siapakah Saudara sekalian?" Seorang murid Perguruan Bambu Wulung balik bertanya.
"Kami ingin menemui Ki Dungkut Marta.
Kami bertiga diutus oleh guru kami untuk menyampaikan surat ini...." Lelaki berpakaian hijau itu menunjukkan segulungan lembaran kulit.
Tiba-tiba, terdengar pekik menyayat hati dari arah belakang rumah. Suara itu tentu saja mengejutkan ketiga lelaki berpakaian hijau. Mereka tidak mengetahui apa yang tengah terjadi.
Mendadak sesosok bayangan kuning melayang di atas atap rumah. Lalu, mendarat di depan mereka.
"Ha ha ha.... Guru kalian telah tewas! Siapa di antara kalian yang mengetahui di mana Kitab Candra Catur Pamukti berada?" tanya kakek berpakaian kuning yang tak lain Ki Langgengpura.
Mendengar pertanyaan Ki Langgengpura, ketiga lelaki muda berpakaian hijau membelalakkan mata. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan saat itu. Tujuan mereka datang kemari adalah hendak menemui Ki Dungkut Marta. Ternyata beliau baru saja tewas di tangan kakek yang berdiri gagah di depan mereka ini.
"Hei, siapa kalian"!" bentak Ki Langgengpura kepada ketiga lelaki berpakaian hijau.
"Seraaang...!"
"Serbuuu...!"

***

Beberapa murid Perguruan Bambu Wulung langsung berlompatan menerjang Ki Langgengpura.
Pedang dan golok di tangan mereka berkelebatan tertuju ke tubuh kakek berpakaian kuning itu.
Ki Langgengpura bergegas melenting menjauhi murid-murid Ki Dungkut Marta. Tapi, mereka terus memburu dengan kemarahan yang meluap-luap mendengar guru mereka tewas di tangan Ki Langgengpura.
Begitu mendarat beberapa tombak dari ketiga lelaki berpakaian hijau, Ki Langgengpura memutar pedangnya memapaki semua serangan murid Ki Dungkut Marta. Bentakan penuh kemarahan pun meningkahi suara pedang dan golok yang saling beradu. Tak lama kemudian, dua orang murid Perguruan Bambu Wulung terjungkal dengan dada tergores pedang Ki Langgengpura.
Melihat kedua kawan mereka tewas, muridmurid yang lain serentak merangsek maju ke arah Ki Langgengpura. Mereka dengan berani membabatkan golok dan pedangnya. Dengan cepat Ki Langgengpura melenting dan melompat ke sana kemari seraya mengibaskan pedangnya memapaki serangan lawan. Kakek berambut panjang ini masih tangguh dalam usianya yang telah lebih dari tujuh puluh tahun. Tak satu pun serangan murid-murid Ki Dungkut Marta yang berhasil melukai tubuhnya.
Bahkan, sekali Ki Langgengpura memperoleh kesempatan pedangnya berputar dan membabat tubuh mereka. Jeritan kesakitan pun berkumandang susul-menyusul dari murid-murid Perguruan Bambu Wulung.
Sungguh tak ada yang mampu menandingi ilmu meringankan tubuh kakek itu. Meskipun belasan murid Ki Dungkut Marta mengeroyoknya, Ki Langgengpura dengan mudah mengelak dan menangkis setiap serangan.
Suatu ketika, salah seorang murid Perguruan Bambu Wulung berhasil menyarangkan goloknya di punggung Ki Langgengpura. Golok itu mendarat telak. Namun keterkejutan segera terjadi. Golok itu membalik kembali bagai membabat benda kenyal yang tak mempan dengan benda tajam.
"Ilmu setan...," gumam ketiga lelaki berpakaian hijau.
"Ha ha ha ha...! Jangan terlalu gegabah menghadapiku! Kalau kalian sayang dengan nyawa, katakan di mana kitab kuno itu berada...?" Namun, tak satu pun di antara murid-murid Ki Dungkut Marta yang memberikan jawaban.
"Hei, Orang tua! Siapa kau sebenarnya?" seru salah seorang lelaki berpakaian hijau sambil menatap Ki Langgengpura.
"Untuk apa kau tanyakan namaku, Anak Muda" Aku Ki Langgengpura...," jawab Ki Langgengpura.
"Heh" Kakang Panji dialah orang yang disebutkan Ki Hajar dalam surat ini!" gumam lelaki berpakaian hijau kepada kawannya.
Rupanya, gumaman itu didengar Ki Langgengpura. Tubuh kakek berpakaian kuning itu melesat menghampiri ketiga lelaki berpakaian hijau.
"Rupanya kalian murid-murid Hajar Barada.
Surat apa yang kalian bawa?" tanya Ki Langgengpura. Sementara murid-murid Perguruan Bambu Wulung telah bergerak mendekati kakek itu.
Mendapati dirinya telah terkepung, Ki Langgengpura melesat cepat. Tangan kirinya menyambar surat yang dipegang lelaki berpakaian hijau. Namun dengan cepat lelaki berwajah bersih itu menariknya ke belakang, hingga Ki Langgengpura tak berhasil merebut surat itu.
Kedua kawannya telah menyebar ke kanan dan kiri sambil meloloskan pedang. Ki Langgengpura yang melihat ketiga lelaki berpakaian hijau telah menghunus pedang segera memutar tubuh. Lalu, melenting ke atas keluar dari kepungan.
"Heaaa...!" Murid-murid Perguruan Bambu Wulung yang berjumlah lima belas orang merangsek maju ke arah Ki Langgengpura. Dua orang murid berpakaian ungu itu melompat melancarkan serangan dengan tendangan kaki. Namun Ki Langgengpura telah membabatkan pedang ke belakang.
Crakkk! Pekik kesakitan pun berkumandang. Salah satu murid Ki Dungkut Marta terjungkal dengan kaki kanan buntung terbabat pedang Ki Langgengpura. Satu orang lagi yang juga tak berhasil menyarangkan serangan mendapat pukulan tangan kiri. Keduanya terjungkal ke tanah.
Setelah berhasil menjatuhkan kedua lawannya, Ki Langgengpura bergerak cepat.
Tubuhnya diputar gasing. Sementara pedang yang ikut berputar menyambar ke sana kemari memburu mangsa. Wut! Wut! Wut! Cras! Cras! Dari serangan kilat itu tiga orang murid Perguruan Bambu Wulung berjatuhan dengan tubuh terbabat pedang. Tanpa mempedulikan ketiga korbannya, Ki Langgengpura terus mengirimkan serangan gencar. Bagai sebuah kitiran pedangnya hanya menampakkan cahaya keperakan yang berputar. Deru angin putarannya terdengar berkesiutan. Sekejap kemudian, dua orang lelaki berpakaian ungu kembali terjungkal dengan punggung robek.
Tiga lelaki berpakaian hijau yang tadi hanya menonton dan membawa surat untuk Ki Dungkut Marta kini melesat melakukan serangan. Dengan bersenjata pedang mereka menerjang Ki Langgengpura. Namun, kakek berpakaian kuning itu mengetahui serangan mereka.
"Heaaa...!" Trang! Trang! Dua benturan keras terdengar ketika Ki Langgengpura berhasil menangkis serangan ketiga lelaki berpakaian hijau. Ki Langgengpura maupun ketiga murid Ki Hajar Barada tergetar mundur.
Tampaknya, Ki Langgengpura mengerahkan kekuatan tenaga dalam ketika melakukan tangkisan. Kakek berjubah kuning ini lebih dulu berhasil menguasai keadaan. Ketika ketiga lawannya tengah merasakan getaran di tangan mereka, Ki Langgengpura sudah melompat menerjang. Pedangnya berkelebat cepat menyambar tubuh lawan. Craaas! Pekik kesakitan mengiringi terhuyunghuyungnya tubuh salah seorang murid Ki Hajar Barada. Sambaran pedang Ki Langgengpura mendarat di pundak kanannya. Darah mengucur deras dari pundak lelaki berpakaian hijau itu. Namun, dia mampu bertahan untuk berdiri. Kini pedangnya digenggam dengan kedua tangan, siap menghadapi Ki Langgengpura.
Kedua kawannya yang sempat menghindar dari sambaran pedang Ki Langgengpura cepat berlompatan memberikan serangan dari kanan dan kiri. Serangan yang tak diperhitungkan sama sekali itu membuat Ki Langgengpura kelabakan.
Tangan kanannya mengibaskan pedang untuk menangkis. Trang! Bekkk! Ketiga lelaki berpakaian hijau tersentak kaget.
Tusukan pedang Panji yang mendarat telak di pinggang Ki Langgengpura terpental balik. Bagai menusuk benda kenyal pedang itu tak mampu menembusnya. Mereka baru menyadari kalau lawan yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan. Ilmu kebal tubuhnya tak mampu ditembus pedang.
Ki Langgengpura sejak muda memang telah memiliki ilmu yang mampu membuat kebal tubuhnya. Dia yang dulu dikenal sebagai Pendekar Seribu Pedang sangat kesohor di dunia persilatan. Ia bersahabat dengan Ki Dungkut Marta yang menjadi murid Ki Hajar Barada. Kakek itu kini masih hidup dan berdiam di kaki Gunung Sumbing.
Namun, siapa yang menyangka sekarang pendekar yang mampu memainkan pedang secepat kilat itu menggabungkan diri dengan tokoh sesat bernama Nyai Cungkring Abang.
"He he he he.... Mana mungkin kalian muridmurid Ki Hajar mampu mengalahkanku."
"Ki Langgeng, ketahuilah! Kedatangan kami kemari memang untuk menyelidiki sepak terjangmu.
Ki Hajar Barada telah mencium kegiatanmu. Kami menduga kau telah bersekongkol dengan Empat Bidadari Lembah Neraka...!"
"Huh. Kepalang tanggung bagiku untuk menyembunyikan diri. Aku memang bekerja sama dengan mereka," ujar Ki Langgengpura mengakui.
"Bosan aku malang melintang di rimba persilatan.
Aku ingin menghabiskan masa tua untuk menikmati kebahagiaan hidup di dunia. Maka ketika aku dikalahkan Nyai Cangkring Abang beberapa bulan yang lalu, aku memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Aku tahu Dungkut banyak mengetahui tentang Kitab Candra Catur Pamukti.
Terpaksa aku menghabisi nyawanya karena dia bertahan tak mau menerangkan di mana kitab itu berada. Lalu, apa yang kalian inginkan sekarang...?" tanyanya sambil terus menggenggam pedang dengan kedua tangan. Matanya yang mencorong tajam menatap Panji dan kedua kawannya.
'Terpaksa kami pun akan menggunakan kekerasan kalau kau tak bersedia kembali ke jalan lurus. Maafkan sebelumnya jika kami terpaksa menantangmu, Ki Langgeng."
"He he he.... Sungguh berani mati kalian menantang Pendekar Pedang Seribu!" Ki Langgengpura terus mengawasi ketiga murid Ki Hajar Barada yang telah bergerak menyebar.
Ketiganya mengepung kakek berpakaian kuning itu dari tiga penjuru. Sementara murid-murid Perguruan Bambu Wulung hanya menyaksikan.
Mereka tahu ketiga lelaki berpakaian hijau itu bukan orang-orang sembarangan. Ki Hajar Barada telah mempercayakan mereka, tentu karena ketiganya merupakan murid-murid andalan.
"Pedang Seribu Membelah Badai. Heaaah...!" teriakan keras mengguntur dikeluarkan salah seorang lelaki berpakaian hijau.
Tampaknya, mereka memiliki ilmu yang hampir sama dengan Ki Langgengpura. Melihat ketiga lawannya telah melesat melancarkan serangan, Ki Langgengpura segera mempersiapkan kuda-kuda. Begitu kedua tangannya menggenggam pedang terangkat ke atas, tubuhnya segera berputar bagai gasing. Pedangnya ikut berputar cepat. Bentuk pedang panjang itu lenyap. Yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya keperakan yang berputar cepat. Deru angin mengiringi putaran pedang Ki Langgengpura.
Ketiga murid Ki Barada telah merangsek dalam jarak dekat. Benturan pedang yang bergerak cepat memperdengarkan suara rentetan keras bagai ratusan pedang yang saling beradu.
Demikian cepat gerakan yang mereka lakukan hingga sulit diikuti mata biasa. Mereka saling berputar dan berkelebatan dalam jarak dekat. Tibatiba, terdengar pekik kesakitan mengiringi terlontarnya salah seorang lelaki berpakaian hijau.
Darah segar muncrat dari bagian lehernya yang tersayat ujung pedang Ki Langgengpura.
"Brata...!" Panji terpekik kaget melihat kawannya terjungkal dengan leher hampir putus.
Lelaki berpakaian hijau itu berkelojotan sebentar kemudian diam tak bergerak-gerak.
Murid-murid Perguruan Bambu Wulung yang menyaksikan pertarungan pun terkejut. Mereka tak melihat apa yang dilakukan Ki Langgengpura.
Tubuh Brata telah terlontar beberapa tombak dari kancah pertarungan.
Tewasnya Brata membuat kekuatan ketiga murid Ki Hajar Barada mulai tak seimbang. Namun, mereka tanpa kehilangan semangat terus bertahan dan memburu Ki Langgengpura. Bentakan dan pekikan penuh kegeraman terdengar dari mulut kedua lelaki berpakaian hijau. Sementara Ki Langgengpura sedikit pun tidak mengeluarkan suara, kecuali bunyi berkesiutan pedang di tangannya. Dalam satu kesempatan yang baik, Panji dan kawannya berhasil menggempur pertahanan lawan.
Kakek berpakaian kuning itu bergerak mundur, meskipun pedang di tangannya tidak berhenti berputar. Sebuah bentakan keras dari mulut Panji mengiringi serangan maut pedangnya. Babatan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi berhasil membabat bawah pundak Ki Langgengpura.
Akibatnya, Ki Langgengpura terdorong ke belakang beberapa langkah. Namun tak sedikit pun luka pada pundaknya. Ilmu kekebalan tubuhnya tak mampu ditembus 'Pedang Seribu Membelah Badai' murid Ki Hajar Barada.
Melihat lawan sempoyongan dan kehilangan keseimbangan, Panji langsung memburu dengan serangan susulan. Namun...
"Hiiih...!" Jrabs! Pekikan menyayat mengiringi terjungkalnya tubuh pemuda berpakaian hijau itu. Darah segar muncrat dari dadanya yang tertusuk pedang Ki Langgengpura.
"He he he.... Sudah kubilang, kalian tak akan mampu menghadapi Pendekar Pedang Seribu! Boleh juga ilmu kalian. Sayang, kalian terlalu gegabah....!" Nampaknya Ki Langgengpura tadi hanya berpura-pura untuk memberi kesempatan lawan menyerangnya. Ternyata benar. Ketika dengan penuh nafsu Panji mengirimkan serangan, pedang Ki Langgengpura bergerak cepat menusuknya.
Kini tinggal satu lawan yang harus dihadapi Pendekar Pedang Seribu. Lelaki muda berpakaian hijau itu meskipun tinggal sendirian tak sedikit pun menampakkan kegentaran. Ditatapnya wajah kakek di depannya seraya menarik kedua tangannya yang menggenggam pedang sampai di depan dada.
Kemudian, tubuhnya melesat cepat sambil membabatkan pedang ke tubuh Ki Langgengpura.
Namun hanya dengan sedikit menarik tubuh ke samping kanan, kakek itu berhasil mengelakkan serangan. Lalu, pedangnya cepat dikibaskan memotong pedang lelaki berpakaian hijau.
Mendapat tebasan pedang Ki Langgengpura, lelaki berpakaian hijau hampir tersuruk jatuh.
Namun secepatnya ia mengatur keseimbangan tubuh. Bahkan dengan gerakan yang manis dia bersalto ke belakang.
Bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki lelaki muda itu babatan pedang Ki Langgengpura meluncur ke arahnya! Cepat ditangkisnya pedang lawan hingga memperdengarkan bunyi berdentang. Tetapi Ki Langgengpura hanya ingin mengecohnya. Setelah terjadi benturan, kaki kanannya melayang dan mendarat di atas pinggang lawan.
Bluk! Lelaki muda berpakaian hijau itu terpental dua langkah ke samping kiri. Ketika tubuhnya terhuyung-huyung, Ki Langgengpura melanjutkan serangan dengan babatan pedang. Hingga....
Crasss! Murid Ki Hajar Barada menjerit kesakitan.
Pedang Ki Langgengpura membabat punggungnya.
Tanpa ampun lagi tubuh pemuda berpakaian hijau terjungkal. Ki Langgengpura segera memburunya dengan serangan susulan.
Namun pemuda itu mengetahuinya. Tubuhnya yang tergeletak di tanah dengan cepat digulingkan ke kanan. Maka, sambaran pedang lawan hanya mengenai tanah. Pemuda berpakaian hijau terus bergulingan menjauh, mengelakkan tusukan pedang lawan yang terus memburu. Darah yang keluar dari punggungnya berceceran membasahi tanah.
Tiba-tiba, pemuda itu menghentikan gulingannya. Lawan tak lagi mengejarnya. Dengan cepat dia bangkit berdiri. Ki Langgengpura telah melompat ke arah tubuh Panji yang tergeletak berlumuran darah. Kakek itu menyambar gulungan surat yang berada di tangan Panji. Kemudian, cepat melesat meninggalkan tempat pertarungan.
"Pengecut, jangan lari...!" Lelaki berpakaian hijau hendak mengejar. Namun, dalam sekejap saja sosok Ki Langgengpura telah berada jauh. Mengingat tubuhnya yang mengalami luka parah, pemuda itu mengurungkan niatnya.
Enam orang murid Perguruan Bambu Wulung segera memberikan pertolongan. Mereka sebagian mengangkat tubuh Panji dan kawannya serta kawan-kawan mereka yang tewas. Yang lain mengajak pemuda berpakaian hijau yang terluka masuk ke dalam rumah untuk diberikan pengobatan.

***



₪₪₪↨֍¦ ⑦ ¦֎↨₪₪₪

Murid-murid Perguruan Bambu Wulung masih sibuk menguburkan kawan-kawan mereka yang tewas ketika enam orang pemuda memasuki pintu gerbang perguruan. Keenam pemuda itu tidak lain Busro dan kedua kawannya yang mengantarkan Pendekar Gila serta dua pendekar lain yaitu Brasta dan Gandra. Ketiga murid Perguruan Bambu Wulung yang baru datang itu terkejut bukan main melihat pemandangan di depan rumah Ki Dungkut Marta.
Mayat-mayat berlumuran darah bergelimpangan di sana-sini. Perasaan serupa pun menyelimuti hati Brasta dan Gandra. Sementara Pendekar Gila justru tertawa-tawa sendirian.
"Apa yang terjadi...?" tanya Busro kepada salah seorang kawannya yang hendak mengangkat mayat lelaki berpakaian hijau.
"Ki Langgeng telah membunuh guru kita, Kang Busro," jawab murid itu dengan wajah murung.
"Heh"! Di mana...?"
"Mayat Ki Dungkut masih di belakang." Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, Busro dan kedua kawannya bergegas berlari ke belakang rumah. Pendekar Gila, Brasta, serta Gandra segera mengikuti. Sampai di belakang rumah mereka melihat dua orang murid Ki Dungkut Marta tengah mengangkat lelaki tua itu untuk dibawa masuk ke rumah. Tampaknya Ki Dungkut Marta masih hidup.
Busro dan yang lainnya bergegas mengikuti masuk ke rumah. Tubuh lelaki tua berpakaian ungu itu diletakkan di atas balai-balai bambu. Pakaiannya penuh bersimbah darah. Namun, wajahnya tampak bersinar-sinar, seolah semangat hidup masih bertahan di sana.
Pendekar Gila segera mendekati Ki Dungkut Marta. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu berdiri di samping balai-balai bambu. Ditatapnya wajah lelaki tua berjenggot putih itu yang juga tengah menatapnya. Bibir Ki Dungkut Marta tersenyum. Ia hendak mengucapkan kata-kata, tapi tak mampu. Dari wajahnya terbaca keinginan untuk bangkit duduk ketika melihat Pendekar Gila ada di hadapannya. Namun, luka-luka di dada dan perutnya menghalangi hasratnya yang besar itu.
Sebagai seorang pendekar yang memiliki ketajaman naluri perasaan Sena Manggala mampu membaca keinginan Ki Dungkut Marta. Kini dia berjongkok di samping tempat pembaringan.
Telinganya didekatkan. Barangkali lelaki tua itu ingin mengucapkan sesuatu. Ternyata benar.
Ucapan itu lirih sekali. Tak seorang pun yang ada di situ dapat mendengarnya kecuali Sena sendiri.
"Aku tahu, kau murid Singo Edan...," bisik Ki Dungkut Marta setelah menarik napas dalam-dalam.
"Hanya kau yang mampu mengatasi kekacauan ini, Pendekar Gila..." Sena tersenyum. Ki Ageng Mantingan memang banyak bercerita tentang dirinya kepada Ki Dungkut Marta. Maka ketika Ki Ageng Mantingan memintanya untuk mengunjungi Perguruan Bambu Wulung ini, beliau mengatakan Ki Dungkut Marta pasti sudah mengenalnya, meskipun belum pernah berjumpa dengan Sena.
Sebenarnya sudah lama Ki Ageng Mantingan menyuruh Sena agar memenuhi undangan Ki Dungkut Marta. Namun Sena tampaknya tak banyak memiliki waktu untuk perjalanan yang cukup jauh. Selama perjalanan saja pasti ada persoalan yang harus dihadapi. Ketika terbetik kabar adanya kekacauan yang dilakukan Empat Bidadari Lembah Neraka, Sena segera memutuskan untuk berangkat menemui Ki Dungkut Marta.
Kini setelah sampai di Perguruan Bambu Wulung ternyata yang ditemui sungguh di luar dugaan. Orang yang akan ditemuinya tengah sekarat akibat pertarungan dengan sahabatnya sendiri.
"Akulah murid singo Edan, Ki. Sudah lama aku ingin berkunjung ke sini. Tapi, baru kali ini niat itu terpenuhi. Ternyata malapetaka telah menimpamu," ujar Sena dengan suara batin.
Pembicaraan itu hanya dapat didengar Ki Dungkut Marta yang menggunakan pendengaran batinnya.
Cara itu dilakukan karena Ki Dungkut Marta tampaknya sudah tidak mampu membuka mulut.
Entah ilmu apa yang digunakan Ki Langgengpura hingga Ki Dungkut Marta tak mampu membuka mulutnya.
"Seorang sahabat lamaku telah bekerja sama dengan Empat Bidadari Lembah Neraka. Dialah yang membuatku seperti ini. Aku bertahan untuk merahasiakan di mana kitab itu berada. Pendekar Gila..., kau harus menyelamatkan Kitab Candra Catur Pamukti. Ki Hajar Barada, guruku, adalah pewaris yang berhak atas kitab kuno itu. Dia sebenarnya seorang kerabat kerajaan yang mengasingkan diri karena tak ingin hidup di lingkungan istana," tutur Ki Dungkut Marta dengan suara batinnya. Kemudian, lelaki tua yang sudah payah itu menceritakan tentang Kitab Candra Catur Pamukti kepada Sena.
Di situlah Sena baru dapat mengetahui secara jelas mengenai Kitab Candra Catur Pamukti. Kitab kuno yang hanya berisi sehelai kulit binatang itu ternyata merupakan sebuah petunjuk. Di dalam kitab itu disebutkan bahwa untuk mencapai suatu kemuliaan seperti yang disebutkan dalam kitab orang harus bisa mencapai suatu tempat tertentu yang telah ditetapkan. Ada empat kunci utama agar dapat mencapai tempat rahasia itu. Diterangkan bahwa di suatu tempat orang akan menemukan empat buah batu hitam berbentuk bulan. Jadi, sesuai dengan nama kitab itu: Canda Catur Pamukti, berarti empat bulan untuk mencapai tujuan kemuliaan.
Sayang, Ki Dungkut Marta sendiri tidak mengetahui di mana keempat batu hitam itu disimpan. Yang mengetahui tentang hal itu hanya Ki Hajar Barada. Belum tuntas memberikan keterangan mengenai kitab itu, Ki Dungkut Marta sudah tak kuat lagi. Lelaki tua itu menghembuskan napas terakhir dengan wajah menggambarkan kepuasan.
Mungkin karena pada saat-saat terakhir hidupnya dia dapat menemui pendekar yang telah banyak menggemparkan dunia persilatan.
Sena bangkit berdiri setelah menghela napas berat. Rasa haru menyelimuti hatinya. Namun rasa gembira juga timbul. Sedikit banyak ia telah mengetahui rahasia kitab kuno yang bertahuntahun menjadi rebutan banyak tokoh persilatan. Sena menatap berkeliling, kemudian bertanya, "Siapa di antara kalian yang mengetahui tempat kediaman Ki Hajar Barada?" Keenam murid Perguruan Bambu Wulung yang berada di ruang itu tak ada yang menjawab.
Mereka hanya saling berpandangan. Selama ini mereka memang tidak pernah mendengar di mana tempat kediaman guru Ki Dungkut Marta itu.
Belum sempat Sena melanjutkan pertanyaannya, seorang lelaki berpakaian hijau masuk. Dialah salah seorang pembawa surat Ki Hajar Barada yang selamat. Rupanya tadi dia mendengar pertanyaan Pendekar Gila. Matanya menatap tajam pada Sena Manggala yang hanya tersenyum-senyum lucu. Keningnya lalu berkerut, seolah tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Benarkah Tuan yang berjuluk Pendekar Gila...?" tanyanya ragu-ragu.
"Begitulah orang menjuluki diriku, Kawan," sahut Sena masih dengan tersenyum.
"Aku murid Ki Hajar Barada. Kami bertiga diutus Guru untuk mengantarkan surat kepada Ki Dungkut Marta. Kami juga ditugaskan untuk menyelidiki Ki Langgengpura, sahabat Ki Dungkut Marta. Ki Hajar Barada telah mencium kabar kalau Ki Langgengpura bergabung dengan Empat Bidadari Lembah Neraka," tutur lelaki berpakaian hijau.
"Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kedua kawanku tewas di tangan Ki Langgengpura. Surat itu pun berhasil direbutnya...."
"Surat apa sebenarnya yang kalian bawa...?" tanya Sena.
"Kami kurang tahu pasti. Yang jelas, menyinggung tentang Ki Langgengpura. Aku khawatir jangan-jangan surat itu menyebutkan tentang tempat rahasia. Soalnya, aku tahu Ki Hajar Barada mempercayakan kepada Ki Dungkut Marta untuk mengamankan Kitab Candra Catur Pamukti.
Ki Dungkut Marta adalah murid utama Ki Hajar Barada...."
"Kalau begitu, aku harus secepatnya menemui Ki Hajar," ujar Pendekar Gila.
"Kuharap kau dapat menunjukkan tempat kediaman beliau."
"Apa tak sebaiknya aku mengantarkan Tuan Pendekar ke sana?"
"Hm. Keadaanmu tidak memungkinkan.
Kurasa lebih baik kau beristirahat dulu di sini.
Jelaskan saja di mana tempat tinggal gurumu."
"Perguruan kami terletak di kaki timur Gunung Sumbing. Dua hari dua malam kalau kita melakukan perjalanan biasa. Tapi, aku yakin kau dapat menempuhnya lebih cepat. Tanyakan kepada penduduk di sekitar kaki Gunung Sumbing. Mereka banyak mengetahui tentang perguruan Ki Hajar Barada." Setelah mendapat penjelasan dari murid Ki Hajar Barada, Sena Manggala segera meninggalkan Perguruan Bambu Wulung. Ia tak ingin membuangbuang waktu. Sena mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'-nya. Sementara itu, murid-murid Perguruan Bambu Wulung menguburkan mayat Ki Dungkut Marta. Suasana berkabung menyelimuti perguruan yang terletak di lembah Gunung Pring itu.

***



₪₪₪↨֍¦ 8 ¦֎↨₪₪₪

Ki Langgengpura berhenti dari berlarinya sebelum mencapai jalan menuju lembah tempat kediaman pimpinannya. Semula ia bermaksud menemui Nyai Cangkring Abang yang berada di Lembah Neraka. Namun, tiba-tiba muncul di hatinya perasaan bimbang.
Setelah menoleh ke sana kemari, kakek itu membuka surat dari kulit binatang yang direbutnya dari murid Ki Hajar Barada.
Dungkut Marta, kini saatnya bagimu mengamankan Kitab Candra Catur Pamukti. Hampir setengah abad aku membiarkan kitab itu tersimpan di bawah bangunan suci. Kalau sampai kitab kuno itu jatuh ke tangan orang-orang durjana akan hancurlah dunia persilatan.
Kudengar Empat Bidadari Lembah Neraka telah memulai perburuan mereka. Dungkut Marta, ketahuilah, Langgengpura juga menjadi calon musuhmu. Hati-hatilah terhadapnya. Dia bukan Langgengpura yang dulu. Tindakan yang dilakukannya di wilayah barat telah banyak meresahkan tokoh persilatan. Beberapa pemuda tanggung telah diculiknya. Aku sendiri tak mengetahui untuk apa para perjaka itu. Sayang, aku tak pernah bertemu dengannya.
Dungkut, tugasmu mendatangi bangunan suci.
Selamatkan kitab warisan itu. Aku berharap kitab itu suatu saat akan sampai di tangan seorang pendekar sejati yang benar-benar pembela kebenaran.
Dengan usia yang sudah mencapai satu abad ini, jelas aku tak mungkin lagi mempelajari isinya.
Apalagi mencari kemuliaan dan kesaktian seperti yang disebutkan di dalamnya. Biarkan mereka yang muda mendapatkan isi kitab itu, Dungkut....
Sampai di situ Ki Langgengpura berhenti membaca. Surat itu ternyata terdiri dari dua lembar.
Dibukanya lembar yang kedua, lalu dilanjutkan membaca. Sekarang ikutilah petunjukku ini! Berjalanlah ke arah barat daya dari tempat kediamanmu. Jika kau berangkat bersama sang surya, maka bersama sang surya kau sampai di tempat yang kumaksudkan. Kau akan melihat sebuah tempurung raksasa yang tertelungkup. Tempurung itu terbuat dari batu-batu besar. Berjalanlah ke timur! Jika bertemu dengan bangunan setinggi delapan tombak yang terbuat dari batu, kau tak boleh singgah di sana. Kitab itu kusimpan di bawah bangunan lain yang terletak tak jauh dari bangunan ini. Berjalanlah ke utara. Inilah bangunan suci itu, Dungkut. Di bawahnya akan kau temukan lorong yang menghubungkan dengan ruangan besar di bawah tanah. Di tanganmu kitab itu berada! Tersentak Ki Langgengpura membaca kalimat yang terakhir. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud Ki Hajar Barada dengan kalimat terakhir itu. Sudah dua kali dibacanya surat itu, tapi tak juga dapat ditemukan maksudnya.
Perlahan-lahan digulungnya kembali surat itu, lalu disimpan di balik pakaiannya. Dengan hati mantap kakek berjubah kuning itu membalikkan tubuh dan melesat pergi. Dia tak jadi kembali ke tempat kediaman Nyai Cangkring Abang. Ki Langgengpura hendak mencari sendiri kitab itu dengan mengikuti petunjuk dalam surat Ki Hajar Barada. Namun, belum jauh Ki Langgengpura meninggalkan tempat itu....
"Berhenti...!" Seruan melengking nyaring terdengar dari arah belakang. Ki Langgengpura segera menghentikan larinya, dan bergegas membalikkan tubuh. Dilihatnya empat sosok wanita muda berwajah cantik yang sudah sangat dikenalnya.
Empat sosok wanita yang tak lain Empat Bidadari Lembah Neraka itu keluar dari balik batubatu cadas tak jauh dari tempat Ki Langgengpura tadi membaca surat. Rupanya, keempat dara cantik berpakaian merah ini mengintai apa yang dilakukan Ki Langgengpura.
"Surat apa yang kau baca tadi, Ki Langgeng?" tanya Isyana dengan bibir tersenyum sinis.
Dara cantik berpakaian merah dan mengenakan ikat pinggang hijau itu melangkah mendekati Ki Langgengpura.
"Ini bukan urusan kalian! Juga bukan urusan Nyai Cangkring Abang!"
"Hm. Baik, kalau begitu. Lalu, bagaimana urusanmu dengan Ki Dungkut Marta..." Kami diperintahkan untuk menyelidikinya."
"Sudah kukatakan, aku yang akan membereskan sahabatku itu!"
"Lalu?" desak Laksmi yang juga sudah melangkah mendekati Isyana.
"Terpaksa kubunuh dia! Aku belum mendapat keterangan di mana Kitab Candra Catur Pamukti berada," jawab Ki Langgengpura berusaha meyakinkan. Namun, Isyana dapat membaca sinar mata kakek itu. Ada kedustaan yang tak dapat disembunyikan di sana. Dara cantik ini terus menatap wajah Ki Langgengpura. Namun sebagai tokoh tua yang sudah berpengalaman, Ki Langgengpura mengetahui kecurigaan dara berpakaian merah itu.
"Sudahlah. Aku tak banyak waktu bercakapcakap dengan kalian...." Ki Langgengpura segera melesat pergi meninggalkan Empat Bidadari Lembah Neraka. Laksmi dan Isyana yang telah menaruh kecurigaan terhadap Ki Langgengpura langsung melesat mengejarnya.
"Langgeng! Ada yang belum kau katakan tentang surat itu," teriak Laksmi yang telah sampai di depan Ki Langgengpura. Dara cantik itu berdiri dengan kaki terpentang menghadang jalan Ki Langgengpura. Dengan mata agak menyipit, Ki Langgengpura memandang wajah Laksmi. Sementara Kinanti dan Ratri juga telah berlari mendekati Ki Langgengpura.
Isyana yang berdiri di samping Laksmi memberi isyarat dengan kepala agar kedua kawannya waspada.
"Huh! Ternyata keliru Nyai Cangkring Abang memelihara empat bidadari cantik seperti kalian.
Sekian lama bekerja hanya sia-sia belaka. Puluhan korban telah jatuh, tapi tak membawa hasil apa pun...," ujar Ki Langgengpura dengan nada meremehkan. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
"Perlukah kami buktikan bahwa kaulah yang mesti pergi dari Nyai Cangkring Abang" Justru Nyai Cangkring Abang kuanggap gegabah menerimamu untuk bergabung, Langgeng. Orang berhati busuk sepertimu harus mampus! Seraaang...!" Laksmi yang sudah tak sabar segera memberi perintah.
Ki Langgengpura secepat kilat memutar tubuhnya dalam jurus 'Ilmu Pedang Seribu'.
Tampaknya kakek ini pun sudah tak sabar ingin segera menghabisi Empat Bidadari Lembah Neraka.
Itu bisa dimaklumi. Ki Langgengpura ingin buruburu menuju tempat penyimpanan Kitab Candra Catur Pamukti. Trang! Trang! Benturan-benturan pedang terdengar susulmenyusul. Empat Bidadari Lembah Neraka telah mengeluarkan ilmu andalan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawan. Dalam sekejap pertarungan seru dan menegangkan pun terjadi. Masing-masing mengandalkan ilmu meringankan tubuh untuk bergerak. Sosok-sosok merah berkelebatan mengepung Ki Langgengpura yang terus berputar.
Tiba-tiba, tanpa terlihat dengan jelas, sesosok tubuh berpakaian merah terlempar dari kancah pertarungan. Ternyata sosok tubuh Kinanti. Lengan kirinya mengeluarkan darah. Gadis itu telah tersambar pedang Ki Langgengpura.
Melihat kawannya terjatuh, Isyana, Laksmi, dan Ratri semakin geram. Bentakan-bentakan nyaring semakin sering terdengar mengiringi serangan mereka. Namun, kakek berjenggot putih itu memang bukan tokoh sembarangan. Sekian lama pertarungan berlangsung, Ki Langgengpura masih sanggup mengelak dan menangkis setiap serangan lawan. Mendadak, bagai diberi perintah, ketiga gadis berpakaian merah itu berhenti menyerang. Mereka berkumpul menjadi satu berhadapan dengan Ki Langgengpura. Kinanti meskipun terluka mampu melesat menyatu dengan ketiga kawannya.

***

'"Bidadari Membelah Langit'! Hiaaah...!" Serentak keempat dara berpakaian merah itu berteriak nyaring. Seketika itu pula Empat Bidadari Lembah Neraka berlompatan menerjang ke arah Ki Langgengpura. Melihat gerakan lawan yang sangat cepat, Ki Langgengpura sempat tercengang. Tahu-tahu keempat lawannya telah berada di sekitar tubuhnya.
Mereka mengepung dengan sambaran dan tusukan.
pedang. Bunyi angin menderu berkesiutan di telinga.
Ki Langgengpura melenting ke udara.
Sungguh tak disangka, keempat dara berpakaian merah seolah mengetahui apa yang hendak dilakukan lawan. Keempatnya melesat menyusul ke udara. Pertarungan pun terjadi di atas.
Tak lama kemudian, keunggulan Empat Bidadari Lembah Neraka terlihat. Ketika mereka memburu tubuh lawan yang meluncur ke tanah, serangan-serangannya terus berdatangan. Mereka tak ingin memberi kesempatan kepada lawan untuk menginjakkan kaki di tanah.
"Hahhh"!" Pekikan pendek dikeluarkan Ki Langgengpura. Keempat dara berambut panjang secara bergantian melancarkan serangan. Satu menyerang yang lain bersiap untuk menyusul.
Ketika kawannya mundur dari hadapan lawan, yang lain telah menyambar datang.
Menghadapi serangan gencar yang tak habishabisnya bagai ombak samudera, Ki Langgengpura semakin kewalahan. Hingga, satu ketika serangan Empat Bidadari Lembah Neraka yang dilakukan secara bersamaan benar-benar membuatnya tak bisa bergerak.
"Aaakh...!" Ki Langgengpura menjerit tertahan ketika dadanya berhasil disambar pedang. Tubuhnya tergetar mundur. Saat itulah Empat Bidadari Lembah Neraka dengan bengis saling menusukkan pedang ke tubuh lawan.
Jrabs! Satu tusukan menghujam di perut kakek itu.
Tubuhnya terhuyung ke belakang.
Wuttt! Trang! Tusukan lain yang meluncur deras ke arah pinggangnya mampu ditangkis Ki Langgengpura dengan babatan pedang. Namun, sebuah tendangan keras dari Laksmi mendarat telak di tengkuknya.
Ketika tubuh tua berpakaian kuning itu tersungkur ke depan, tusukan pedang Isyana langsung menyambutnya.
Jrabs! Pekikan melolong pun berkumandang. Ketika Isyana mencabut pedang dari dada Ki Langgengpura, darah segar muncrat bersamaan dengan tergulingnya tubuh kakek itu.
"Ha ha ha ha...! Mana ilmu kebalmu, Langgeng"!" teriak Laksmi dengan tertawa gembira.
Dipandanginya tubuh Ki Langgengpura yang tergeletak berlumuran darah.
"Tak ada ilmu kebal bagi pedang-pedang Bidadari Lembah Neraka...!" Ki Langgengpura yang sekarat tak mampu menjawab ejekan dara cantik itu. Hanya geraman lirih keluar dari mulutnya. Tubuhnya menggeliatgeliat menahan rasa sakit yang sangat. Sambil menyarungkan kembali pedangnya, Isyana melangkah mendekati Ki Langgengpura. Ia yakin lawannya sudah tak berdaya. Pengalamanpengalaman yang lalu menunjukkan setiap lawan yang terbabat pedangnya tanpa ampun lagi pasti menemui ajalnya.
Gadis cantik yang mengenakan ikat pinggang hijau itu hendak mengambil surat yang tersimpan di balik pakaian Ki Langgengpura.
"Isyana, tunggu...!" Ratri berteriak memperingatkan.
"Jangan terlalu gegabah menganggap lawan tak berdaya!" Ratri, Kinanti, maupun Laksmi masih menggenggam pedang. Ratri mendekati ke arah Isyana yang telah berdiri dua tombak dari Ki Langgengpura. Namun tiba-tiba....
Siiing! Siiing! Siiing! Ki Langgengpura yang diduga telah sekarat ternyata masih mampu melemparkan senjata rahasia yang diambil dari balik pakaiannya.
"Awaaas!" Trang! Trang! Trang! Kinanti yang paling dulu bergerak dapat membabat tiga batang pisau kecil yang meluncur menuju Isyana. Sementara Ratri dan Laksmi hanya mampu mengelakkan pisau-pisau yang mengarah kepada mereka. Keduanya bergulingan ditanah dan bergegas melompat bangkit. Kinanti yang sudah telanjur melompat meneruskan serangannya dengan babatan pedang ke tubuh Ki Langgengpura.
Pedang di tangan Kinanti menghujam dada kakek itu. Tanpa mengeluarkan pekikan, Ki Langgengpura langsung tak bergerak lagi. Rupanya, nyawanya melayang saat itu juga. Kinanti segera menggeledah pakaian Ki Langgengpura. Segulungan kulit berwarna coklat yang terpercik darah diambil Kinanti.
"Ayo, cepat tinggalkan tempat ini...!" ajak Laksmi. Tubuhnya melesat menuju lembah Neraka untuk menemui Nyai Cangkring Abang.
Ketiga kawannya segera menyusul. Mereka berlari cepat menuruni lembah terjal berbatu-batu cadas itu.

***

Tanpa sepengetahuan Empat Bidadari Lembah Neraka, Ki Langgengpura yang dikira sudah menjadi mayat menggeliat dan perlahan bangkit berdiri. Kakek berjubah kuning yang telah berlumuran darah itu terkekeh memandangi Empat Bidadari Lembah Neraka yang terus melesat menuju lembah. Dengan langkah tertatih-tatih, Ki Langgengpura berjalan ke arah barat meninggalkan tempat pertempuran.

***



₪₪₪↨֍¦ 9 ¦֎↨₪₪₪

Kakek berjubah putih itu terbaring di atas bale-bale bambu. Di samping bale-bale bambu duduk seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular.
Di belakangnya empat orang lelaki berusia empat puluhan yang mengenakan pakaian hijau duduk bersila. Mereka tengah mendengarkan pembicaraan Pendekar Gila dengan kakek itu.
"Aku sungguh tak menduga kau akan datang ke tempat kediamanku ini, Sena...," ujar kakek yang ternyata Ki Hajar Barada.
"Memang, sudah lama aku mendengar julukanmu disebut-sebut para tokoh persilatan yang berkunjung ke sini. Tapi, tak pernah kumimpikan kau akan datang. Tempatku ini terlalu jauh dan sulit ditempuh. Terima kasih atas semua yang kau sampaikan kepadaku." Kakek itu menggeliat, lalu memiringkan tubuhnya menghadap Pendekar Gila. Ditatapnya wajah tampan yang selalu tersenyum-senyum sendirian itu. Meski baru kali ini berjumpa, Ki Hajar Barada telah memaklumi sikap yang dimiliki Sena.
"Saya sendiri tidak mengira Ki Hajar ternyata guru Ki Dungkut Marta. Ki Ageng Mantingan hanya menceritakan kalau Ki Dungkut Marta memiliki perguruan di Lembah Gunung Pring," ujar Sena melihat Ki Hajar Barada terdiam untuk memberi kesempatan kepadanya berbicara.
"Aku tak bisa berlama-lama berada di sini, Ki. Kalau benar surat itu telah sampai di tangan Empat Bidadari Lembah Neraka lewat Ki Langgengpura, sebaiknya secepat mungkin aku menuju ke sana...." Ki Hajar Barada mengangguk-anggukkan kepala menyetujui ucapan Sena.
"Ya.... Kini semuanya kuserahkan kepadamu, Sena. Rupanya sudah kehendak Hyang Widhi, aku pasrahkan tugas itu kepadamu. Seperti yang kusebutkan dalam suratku itu, aku berharap suatu saat Kitab Candra Catur Pamukti akan sampai kepada seorang pendekar sepertimu. Dalam usiaku yang sudah mencapai satu abad tubuhku tak mungkin mempertahankan kitab kuno itu. Hatiku selalu dilanda kecemasan. Aku khawatir kitab itu jatuh ke tangan orang-orang durjana. Aku tak tahu apa yang akan terjadi dengan dunia persilatan jika mereka dapat menguasai kitab itu. Itulah sebabnya aku selalu berpesan kepada Dungkut Marta yang banyak mengetahui tentang Kitab Candra Catur Pamukti. Kupesan kepadanya agar selalu mengatakan kepada siapa saja bahwa kitab itu sudah lenyap dari muka bumi ini. Dungkut memang murid yang patuh. Dia selalu berbohong kepada siapa pun yang menanyakan kitab itu. Orang-orang hanya tahu kitab itu berisi petunjuk untuk sampai pada tempat penyimpanan harta karun sebuah kerajaan. Asal kau tahu saja, Sena. Kitab itu sebenarnya berisi petunjuk tempat penyimpanan senjata pusaka yang sangat ampuh...." Kakek itu menghentikan ucapannya. Sena Manggala mengangguk-angguk mengerti. Sejak puluhan tahun lalu para tokoh persilatan memang memperebutkan Kitab Candra Catur Pamukti.
Ternyata nama kitab itu pun hanya samaran agar orang mengartikan sebagai suatu petunjuk untuk mendapat kemuliaan. Candra berarti bulan. Catur artinya empat. Sedangkan Pamukti mengandung arti kemuliaan. Orang akan segera mengartikan sebagai harta benda peninggalan kerajaan yang akan membuat orang hidup berbahagia di dunia.
"Sena, Berangkatlah. Kuserahkan kepadamu untuk menyelamatkan kitab itu. Berjalanlah sesuai dengan petunjuk yang kukatakan tadi. Kuharap kau dapat mendahului Langgengpura atau Empat Bidadari Lembah Neraka." Ki Hajar Barada menepuk bahu Pendekar Gila yang duduk bersila di samping kanannya. Sena bangkit berdiri. Lalu, memberi hormat kepada kakek berjubah putih.
"Kumohon doa restumu, Ki...," ujarnya sebelum melangkah mundur dari hadapan Ki Hajar Barada.
Keempat murid Ki Hajar Barada menyertai Sena sampai pagar halaman rumah yang terletak di lereng Gunung Sumbing itu.
Keempat lelaki berpakaian hijau itu kelihatan kagum sekali, melihat gerakan Sena yang berlari begitu cepat. Dalam sekejap tubuh pemuda berpakaian rompi kulit ular itu telah berada jauh.
Pendekar Gila memang tak ingin membuangbuang waktu. Segera dikerahkannya ilmu lari 'Sapta Bayu' yang membuat dirinya melesat bagai angin!

***

Di dalam gua tempat kediamannya Nyai Cangkring Abang tengah menerima kedatangan empat anak buahnya, Empat Bidadari Lembah Neraka. Nenek berpakaian longgar berwarna merah itu menggulung lembaran surat yang baru saja dibacanya.
"Hi hi hi hi.... Kalian tak perlu mengikuti petunjuk dalam surat ini. Aku sudah tahu bangunan suci mana yang dimaksud Barada. Inilah yang kutunggu-tunggu hampir setengah abad lamanya. Baru kali ini ku tahu kalau kitab itu tersimpan di sana. Sekarang, berangkatlah kalian sesuai dengan petunjukku!" Nyai Cangkring Abang kemudian menjelaskan petunjuk baru yang berbeda dengan petunjuk dalam surat.
Rupanya, nenek itu sangat mengenal wilayah selatan yang dijadikan tempat pembangunan bangunan-bangunan suci berupa candi. Lebih dari itu, ia ternyata mengetahui siapa Ki Hajar Barada sesungguhnya. Meskipun tadinya Nyai Cangkring Abang tidak menduga Ki Hajar Baradalah tokoh yang menyimpan Kitab Candra Catur Pamukti.
Pada zamannya Nyai Cangkring Abang memang seangkatan dengan Ki Hajar Barada. Hanya Nyai Cangkring Abang termasuk tokoh golongan hitam sedangkan Ki Hajar Barada sebaliknya. Dalam usianya yang telah mencapai satu abad Nyai Cangkring Abang ternyata masih kuat. Itu terjadi karena ia memiliki ilmu yang mampu merubah bentuk tubuhnya menjadi muda kembali. Ilmu itulah yang digunakannya untuk menikmati kehidupan bersama para perjaka peliharaannya.
Setiap kali hendak bercengkerama bersama para pemuda di dalam gua ia selalu merubah tubuhnya. Dengan menggunakan darah dari pemuda-pemuda yang dibunuhnya, setelah bosan dikerjai, nenek itu menjelmakan diri menjadi seorang wanita muda berwajah cantik jelita.
"Sudah. Tunggu apa lagi"!" ujar Nyai Cangkring Abang kepada anak buahnya.
"Aku akan mengawasi kalian dari sini. Jangan khawatir jika ada yang berbuat usil terhadap kalian. Aku akan segera datang membantu."
"Baik. Kami mohon diri, Nyai!" ujar Isyana.
Gadis tertua di antara keempat dara cantik. Gadis berpakaian merah dengan ikat pinggang hijau itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan ruangan. Ketiga kawannya bergegas mengikuti. Keempat gadis cantik itu tidak melewati pintu depan yang biasa dilewati Ki Langgengpura. Berarti mereka tidak harus menuruni tebing tinggi dan licin dengan menggunakan tali. Mereka berjalan lewat belakang. Ternyata di sana terdapat sebuah pintu yang langsung tembus dengan dataran di atas lembah. Empat Bidadari Lembah Neraka segera melesat ke arah barat. Suasana gelap menjelang malam membuat tubuh-tubuh berpakaian merah itu lenyap dari pandangan.

***

Ketika sampai di tempat mereka bertempur melawan Ki Langgengpura siang tadi, Empat Bidadari Lembah Neraka menghentikan lari mereka.
Keempatnya tercengang melihat mayat Ki Langgengpura tidak berada di sana.
"Ke mana tua bangka itu?" tanya Isyana sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu. Memang malam sudah mulai turun. Tapi, mata mereka yang tajam dan terlatih dapat melihat jelas.
Laksmi melangkah mendekati tempat tadi siang mayat Ki Langgengpura tergeletak. Yang didapatinya hanya bercak-bercak darah di tanah.
Kakinya pelahan mengikuti bekas-bekas darah.
Ketiga kawannya mengikuti apa yang dilakukan Laksmi. Mereka berjalan menuruti bercak darah yang ditinggalkan Ki Langgengpura.
"Tampaknya dia belum mampus, Isyana...," ujar Kinanti setengah bergumam.
"Hhh.... Ilmu apa yang dimiliki Ki Langgeng?" sahut Isyana dengan wajah memperlihatkan kegelisahan.
"Aku yakin ini pasti jejak tua bangka itu." Rasa curiga yang bercampur menyelimuti hati keempat dara cantik itu. Itu memang beralasan. Ki Langgengpura tokoh tua yang tak bisa dianggap remeh. Mereka tidak tahu kalau Ki Langgengpura memiliki ilmu yang mampu menahan rasa sakit.
Dengan begitu, tusukan dan babatan pedang mereka tadi sebenarnya tidak dirasakan oleh Ki Langgengpura. Namun karena merasa terdesak dan tak mungkin bertahan dari gempuran Empat Bidadari Lembah Neraka, Ki Langgengpura segera mencari akal untuk menipu mereka.
Kakek itu memutuskan untuk mengalah.
Apalagi ketika menyadari ia tidak dapat memahami petunjuk yang ada di dalam surat Ki Hajar Barada.
Sementara dia tahu benar Nyai Cangkring Abang telah mengetahui banyak tentang Ki Hajar Barada.
Kesempatan itu segera dimanfaatkannya. Dan, ternyata berhasil.
Keempat gadis berpakaian merah terus melangkah mengikuti jejak yang ditinggalkan Ki Langgengpura. Mereka berharap dapat menemukan kakek itu. Namun sudah hampir tiga puluh tombak jauhnya mereka berjalan, tetesan darah masih juga terlihat. Sampai pada sebongkah batu cadas sebesar kerbau mereka mendapati tetesan darah di atasnya.
Empat Bidadari Lembah Neraka kembali menemui keanehan. Tetesan darah berhenti di atas batu cadas yang berpermukaan rata itu.
"Hhh.... Aneh!" gumam Laksmi seraya menggeleng-gelengkan kepala. Dia tak habis pikir melihat kejadian ini. Apa yang telah terjadi pada diri kakek itu sungguh tak masuk akal mereka.
"Kita kehilangan jejak di sini...," lanjutnya dengan memandangi ketiga kawannya.
"Langgeng...! Langgeng Keparat, tunjukkan dirimu! Hadapi Empat Bidadari Lembah Neraka kalau kau memang lelaki sejati!" Saking kesalnya Isyana berteriak-teriak memanggil Ki Langgengpura. Namun tak ada sahutan. Yang terdengar hanya gema suaranya.
Tiba-tiba....
"Hi hi hi hi...! Untuk apa kalian mencari-cari Langgeng" Sampai kapan pun kalian tak akan menemukannya. Dia memiliki ilmu lari secepat angin yang mampu menerbangkan tubuhnya."
"Heh"!" Isyana terkejut mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Siapa lagi kalau bukan suara Nyai Cangkring Abang.
Laksmi, Kinanti, maupun Ratri menoleh ke arah asal suara. Tetapi mereka tak melihat sosok Nyai Cangkring Abang.
"Teruskan saja langkah kalian. Jangan khawatir. Kalau dia menghalangi jalan kalian, aku yang akan menghadapinya!" lanjut Nyai Cangkring Abang yang rupanya melihat keempat anak buahnya dari dalam gua.
Mendengar perintah Nyai Cangkring Abang, Isyana segera memberi isyarat kepada ketiga kawannya agar melanjutkan perjalanan. Keempat dara cantik berpakaian merah itu pun melesat ke arah barat.


₪₪₪↨֍¦ ⑩ ¦֎↨₪₪₪

Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular melompat-lompat dari satu batu ke batu lain yang bersembulan di sungai besar dan berair deras.
Begitu riangnya pemuda tampan yang tak lain Pendekar Gila menyeberangi sungai berair coklat itu.
Sebentar saja dia telah sampai di seberang.
Baru melangkah dua tindak Sena berhenti karena matanya melihat sesuatu di atas pasir.
Langkahnya segera terayun mendekati. Terdapat bercak-bercak darah yang belum lama mengering.
Sena meneliti ke sekitar tempat itu. Tidak ditemukannya tetes darah lain. Ia merasa heran, kenapa hanya di tempat ini ada tetesan darah. Sena segera melesat ke arah barat. Baru beberapa tombak dia kembali berhenti. Di depannya ditemui lagi bercak-bercak darah.
Kakinya melangkah mengikuti arah yang mungkin ditempuh pemilik darah. Setelah berjalan sekitar dua puluh tombak, Sena kembali menemukan tetesan darah hanya pada satu tempat.
Pendekar Gila segera berpikir orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.
Buktinya, dia mampu melesat sampai belasan tombak. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tercenung. Kemudian, dia menajamkan telinganya berusaha mendengar sesuatu. Namun, tak ada suara yang mencurigakan. Hanya kicau burung, desau angin, dan gemercik air sungai yang terantuk batu-batu. Meski begitu, naluri kependekarannya merasa ada sesuatu yang mencurigakan. Orang yang meninggalkan bercak darah itu bergerak ke arah yang sama dengan tujuannya.
Tubuh Sena melesat ke arah barat dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Ia ingin orang yang dicurigai tidak bisa menangkap suara gerakannya.
Matahari yang baru saja terbit belum mampu mengusir seluruh kabut yang menyelimuti hutan.
Sena terus berlari sesuai petunjuk Ki Hajar Barada.
Sampailah dia di suatu tempat yang merupakan lembah sangat luas. Di sebelah selatan terdapat pegunungan yang memanjang bagai memagari lembah hijau yang subur itu. Di tengah-tengah lembah tampak sebuah bukit tidak seberapa tinggi.
Di atas bukit itulah berdiri sebuah bangunan candi.
Inilah bangunan dari batu yang oleh Ki Hajar Barada disebut tempurung raksasa. Bangunan itu memang mirip tempurung dalam keadaan tertelungkup. Di sini Sena tak lagi menemukan bercakbercak darah. Dia segera melesat ke arah timur mengikuti petunjuk Ki Hajar Barada. Begitu melihat bangunan lain setinggi delapan tombak, Sena tidak berhenti tapi langsung berlari ke utara.
Setelah menyeberangi sebuah sungai yang tidak seberapa lebar, Sena baru menemukan bangunan yang digunakan untuk tempat menyimpan Kitab Candra Catur Pamukti. Jarak Sena dengan bangunan candi setinggi lima belas tombak itu masih terlalu jauh. Namun, langkahnya terhenti karena di atas rumput dia kembali menemukan bercak-bercak darah.
Karena menaruh curiga Sena melenting ke atas dan hinggap di atas sebatang pohon besar. Dari atas pohon itu dia berharap dapat melihat apa yang terjadi di sekitar bangunan candi. Matanya yang tajam memandang ke sekitar tempat itu. Tapi, tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Tak lama kemudian, empat sosok bayangan merah melesat menuju pintu candi. Sosok-sosok bayangan itu adalah Empat Bidadari Lembah Neraka.
"Itukah Empat Bidadari Lembah Neraka?" tanya Sena dalam hati sambil terus mengawasi mereka. Keempat dara cantik berpakaian merah itu memasuki pintu candi melalui anak-anak tangga.
Saat mereka lenyap dari pandangan, melesatlah sesosok bayangan mendekati pintu candi. Seorang kakek yang mengenakan jubah kuning berlumuran darah. Dialah Ki Langgengpura.
"Ini rupanya orang yang meninggalkan tetesan darah itu...." Sena mengucek-ucek matanya, seolah ingin meyakinkan pandangannya.
Ki Langgengpura duduk di lantai batu candi.
Rupanya, dia menunggu Empat Bidadari Lembah Neraka keluar. Matanya memandangi ke sekitar tempat itu, seperti khawatir kalau-kalau ada pihak lain yang tengah mengintai.

***

Empat Bidadari Lembah Neraka telah sampai di dekat pintu yang menuju ruang bawah tanah.
Mereka melangkah masuk, lalu menuruni anakanak tangga yang berjumlah sepuluh. Di anak tangga kesepuluh mereka menemukan lorong gelap yang di kanan kirinya berdinding batu. Air bertetesan dari atas memperdengarkan suara gemercik yang bergema. Hawa dingin dan pengap membuat napas terasa sesak.
Keempat dara cantik berpakaian merah itu menajamkan pandangannya untuk melihat di tempat gelap. Tidak satu pun di sudut ruangan yang lepas dari pengawasan mereka. Semakin ke dalam semakin terasa ketegangan hati keempat dara itu.
Dan, semakin tinggi pula kewaspadaan mereka untuk menjaga hal-hal yang tak terduga.
Isyana yang berjalan paling depan mendadak menghentikan langkah. Gadis itu menoleh ke belakang menatap ketiga kawannya.
"Buntu...," bisik Isyana, lirih.
Dua tombak di depan mereka sebuah dinding batu hitam menghadang. Isyana menggelenggelengkan kepala merasa putus asa.
"Hhh.... Kita kembali ke atas!" usul Kinanti.
Lalu, membalikkan tubuh dan melangkah pergi.
"Tunggu! Kita lihat dulu barangkali ada pintu rahasia di sini...." Laksmi melangkah mendekati dinding batu penghalang. Namun....
Srrrak! "Akh!" Laksmi menjerit pendek ketika tiba-tiba tubuhnya terjeblos. Batu lantai yang diinjaknya anjlok ke bawah. Untung dengan cepat gadis itu meraih bibir lobang, sehingga tubuhnya menggantung dengan kedua tangan berpegangan lantai. Serta-merta ketiga kawannya memegang kedua tangan Laksmi. Mereka tersentak kaget ketika melongokkan kepala ke dalam lobang. Terdapat lobang besar yang sangat dalam, bahkan tak terlihat dasarnya.
"Gila. Sumur tanpa dasar!" seru Laksmi setelah berhasil naik dengan dibantu ketiga kawannya.
"Mampuslah aku kalau terperosok ke sana." Mereka kemudian dengan hati-hati memeriksa dinding batu penghalang lorong. Mereka yakin akan menemukan pintu lain di tempat itu.
Perlahan-lahan Isyana dan Kinanti meraba batubatu bersegi empat yang tertata rapi pada dinding.
"Jangan-jangan di sumur tanpa dasar itu Kitab Candra Catur Pamukti tersimpan...." Laksmi memandangi lobang yang tadi menjebloskannya.
"Tidak mungkin. Itu hanya penghalang bagi siapa saja yang berusaha mengambilnya. Mungkin sudah ada orang lain terperosok ke sana. Untung saja kau sempat meraih lantai, Laksmi."
"Hei, lihat!" Kinanti berseru mendapati sebuah batu yang disentuhnya bergerak ke dalam.
"Dorong terus!" perintah Isyana. Maka, didoronglah batu persegi itu ke dalam.
Srrrak! Blukkk! Laksmi dan Ratri berlompatan menghindar ketika sekonyong-konyong sebuah batu besar meluncur dari atas dan tepat jatuh pada lobang.
Lobang yang menjebloskan Laksmi kini tertutup batu besar. Anehnya, batu itu begitu pas menempati lobang sehingga kembali rata seperti semula.
Krrrek! Bersamaan dengan tertutupnya lobang itu, dinding batu yang menghalangi lorong perlahan terbuka. Empat Bidadari Lembah Neraka terbelalak menyaksikan kejadian ini. Terbukalah dinding batu setebal satu tombak itu.
Keempat dara berpakaian merah semakin terperangah melihat pemandangan di depan mereka.
Di balik dinding yang terbuka ternyata terdapat sebuah ruangan luas. Di sini keadaan sudah tidak lagi gelap gulita.
Isyana memberi isyarat kepada ketiga kawannya untuk masuk. Mereka segera melangkah ke dalam. Entah dari mana asalnya sumber cahaya, ruangan itu terang-benderang. Seolah semua batu yang menjadi dinding ruangan dapat memancarkan cahaya. Apa saja yang terdapat di dalam ruangan tampak jelas. Sebuah meja batu selebar satu tombak terletak di tengah ruangan. Berdiri di atas lantai bagai sebuah altar persembahan. Pada dindingdinding batu ada bagian-bagian yang menjorok ke dalam, seperti sebuah tempat untuk meletakkan sesuatu. Namun, tak ada benda apa pun di dalamnya.
"Di mana kira-kira kitab itu disimpan?" tanya Kinanti setelah beberapa lama memeriksa ruangan tapi tak menemukan yang dicari.
"Coba kau ingat kalimat terakhir dalam surat Ki Hajar Barada. Di tanganmu kitab itu berada..., begitu bunyinya. Apa maksud kalimat itu,..?" ujar Isyana dengan kening berkerut.
Keempat gadis cantik berambut panjang itu tampak kebingungan. Mereka tak dapat memahami maksud kata-kata terakhir dalam surat uang ditujukan kepada Ki Dungkut Marta.
"Mungkin memang Ki Dungkut Marta sendiri yang harus mengambil kitab itu.'" tukas Ratri yang sejak tadi hanya membisu.
"Jangan terlalu polos mengartikan maksud surat itu, Ratri. Kata-kata itu hanya kiasan yang artinya jauh berbeda dengan bunyinya..,." Tiba-tiba, terdengar suara tawa mengikik.
"Hi hi hi hi...! Aku lupa menerangkan kepada kalian kemarin," suara itu milik Nyai Cangkring Abang yang entah dari mana mengucapkannya.
"Duduklah kau Isyana atau Laksmi, atau siapa saja, di atas batu altar itu.
Pusatkan batin dan pikiran kalian kepada seorang tokoh tua pemimpin Perguruan Bambu Wulung.
Laksanakan segera sebelum Langgengpura datang! Si keparat itu tengah menunggu kalian di luar Candi. Cepat!" Isyana segera melangkah mendekati meja batu berwarna hijau yang terdapat di tengah ruangan. Gadis itu lalu duduk bersila dengan memejamkan mata. Suasana hening menyelimuti ruangan bawah tanah. Laksmi, Ratri, dan Kinanti terdiam dengan perasaan tegang, Beberapa saat kemudian, tubuh Isyana tergetar. Keringat mengucur di kening dan lehernya yang putih. Laksmi, Ratri, maupun Kinanti tak mengerti apa yang tengah terjadi pada diri Isyana.
"Akh...!"'

***

Di tempat kediamannya, Ki Hajar Barada yang terbaring di atas bale-bale bambu menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Tubuhnya gemetaran hebat dengan keringat bersembulan di kening dan leher. Keempat muridnya yang menunggui terlihat kebingungan, tak mengerti.
Mulut kakek berusia seratus tahun itu berkomat-kamit merapal mantra yang tak jelas kedengaran. Lalu, meluncurlah kata-kata yang didengar jelas oleh murid-muridnya.
"Jangan! Jangan kau datang ke sana. Jangan, Dungkut!" dengan suara gemetar dan parau Ki Hajar Barada mengucapkan kata-kata larangan itu.
"Jangan, Dungkut! Tenangkanlah dirimu.
Dunia akan kacau kalau Srintil sampai mendapatkan kitab itu!" Keringat sebesar biji-biji jagung terus bersembulan di kening Ki Hajar Barada yang tengah berhubungan dengan arwah muridnya, Ki Dungkut Marta. Ucapan larangan itu terus keluar dari mulutnya. Semakin keras dan semakin jelas!

***

Di tempat lain, Nyai Cangkring Abang ternyata tengah melakukan hal yang sama dengan Ki Hajar Barada. Apa yang dilakukannya dari jarak jauh itu ternyata suatu tandingan untuk melawan Ki Hajar Barada. Di dalam ruangan pribadinya yang gelap nenek itu berteriak-teriak memberi perintah kepada Isyana. Ucapannya berkumandang di telinga Isyana yang tengah melakukan semadi, duduk di atas batu altar di dalam ruangan bawah candi.
Isyana yang bagaikan patung tak mampu lagi menahan suara-suara yang terus memasuki telinganya dan mempengaruhi pikirannya. Tubuh gadis berpakaian merah itu bergetar hebat.
Rintihan-rintihannya terdengar parau dan semakin keras. Glaaar...! Suara menggelegar terdengar bersamaan dengan runtuhnya dinding batu di belakang Isyana.
Laksmi, Ratri, dari Kinanti terkejut bukan main.
Sesosok kakek berjubah ungu muncul dari reruntuhan batu-batu dinding. Di tangan lelaki berambut putih yang tak lain Ki Dungkut Marta itu tergenggam sehelai kulit berwarna putih.
Ki Dungkut Marta berjalan mendekati Isyana yang kini terkulai lemas di atas batu. Dilemparkannya lembaran kulit yang tak lain Kitab Candra Catur Pamukti. Wajah Ki Dungkut Marta yang pucat pasi tidak memperlihatkan senyum sedikit pun. Kakek itu seperti sedang menderita suatu kekalahan. Setelah melemparkan kitab, sosok Ki Dungkut Marta mendadak lenyap dari pandangan. Laksmi, Ratri, dan Kinanti terbengongbengong melihat kejadian di luar akal sehat itu. Suatu peristiwa gaib yang sangat aneh. Sampai keadaan di ruangan itu kembali sunyi bam mereka tersadar. Ketiganya bergegas mendekati Isyana yang terkulai tak sadarkan diri.
"Isyana...! Isyana... Bangunlah!" bisik Laksmi dan Kinanti di telinga Isyana. Ratri memijit-mijit tumit Isyana dengan keras.
Isyana menggeliat disertai rintihan lirih dari mulutnya.
"Di mana kita..." Apa yang terjadi... Laksmi, Ratri, Kinanti?" Bagai orang baru bangun dari mimpi panjang, gadis itu bertanya-tanya dengan wajah memperlihatkan rasa heran.
"Kita berhasil, Isyana. Lihat..., kitab itu sekarang ada di tangan kita. Ayo, kita segera keluar...!"
"Pulihkan dulu tenagamu, Isyana. Kita akan menghadapi Langgengpura," ujar Laksmi menyela ucapan Kinanti.
Isyana segera duduk bersila. Kedua telapak tangannya disatukan di depan dada. Mata gadis itu terpejam. Beberapa kali gadis cantik itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan untuk memulihkan tenaga dalam yang banyak terkuras tadi.
Setelah Isyana menyelesaikan semadinya, Empat Bidadari Lembah Neraka melangkah keluar melalui jalan yang tadi mereka lewati.

***



₪₪₪↨֍¦ ⑪ ¦֎↨₪₪₪

"Pendekar Gila...." Sena tersentak kaget mendengar bisikan di telinganya. Ia tak tahu dari mana suara itu berasal.
Yang jelas, terasa begitu dekat. Namun, sesaat kemudian dia teringat suara itu milik Ki Hajar Barada. Sena tersenyum. Dengan mata tetap tertuju ke pintu candi, Sena menyahuti bisikan itu dengan mengerahkan ilmu pengirim suara jarak jauh.
"Aku telah sampai di bangunan suci, Ki...."
"Pendekar Gila, Kitab Candra Catur Pamukti telah jatuh ke tangan anak buah Nyai Srintil. Kau datang terlambat. Mereka telah mendahuluimu. Kini kitab itu berada di tangan mereka...," jelas Ki Hajar Barada.
"Ah. Siapa Nyai Srintil, Ki...?" Sena belum mengenal nama tokoh itu.
"Nyai Srintil adalah tokoh tua seangkatan denganku. Ia mempunyai julukan Nyai Cangkring Abang..."
"Apa hubungannya dengan Empat Bidadari Lembah Neraka...?" tanya Sena.
"Aku tidak tahu pasti, Sena. Tapi, di mana mereka?" Ki Hajar Barada balik bertanya.
"Aku melihat empat dara berpakaian merah memasuki candi. Mungkin mereka yang berjuluk Empat Bidadari Lembah Neraka. Yang ku tahu, ciriciri mereka mengenakan pakaian merah."
"Hhh.... benar, Sena. Mereka berarti anak buah Srintil! Jelas, mereka anak buah Srintil. Baru ku tahu kini Empat Bidadari Lembah Neraka ternyata anak buah perempuan laknat itu. Sena, berhati-hatilah terhadap mereka. Empat Bidadari Lembah Neraka hanya boneka-boneka yang dikendalikan ilmu iblis Nyai Cangkring Abang.
Musuhmu yang utama bukan mereka, tapi Nyai Cangkring Abang. Usahakan jangan sampai mereka terbunuh, Sena. Lenyapkan saja pengaruh iblis Nyai Cangkring Abang!"
"Heh"!" Sena tercengang melihat keempat gadis berpakaian merah telah melompat keluar dari bangunan candi.
"Ki Hajar, mereka kini berhadapan dengan tokoh tua yang tubuhnya berlumuran darah..."
"Itu pasti Langgengpura. Sena, kuserahkan kepadamu untuk menyelamatkan kitab itu...!" Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Ki Hajar Barada. Ketika Sena mencoba menghubungi lagi, tidak ada sahutan dari kakek ahli waris Kitab Candra Catur Pamukti itu, Sena tak tahu apa yang terjadi dengan Ki Hajar Barada. Perhatiannya segera tertuju ke tempat pertarungan Empat Bidadari Lembah Neraka melawan Ki Langgengpura Pertarungan seru berlangsung di depan pintu candi. Meskipun luka-luka parah telah diderita Ki Langgengpura, kakek itu masih kelihatan tegar.
Tubuhnya yang berlumur darah melesat dan melenting seraya memutar pedang. Di tengah gempuran dahsyat keempat lawannya, dia tetap mampu mengatasi.
"Heaaa...!" Lengking penuh kemarahan dikeluarkan Laksmi yang mencelat ke atas memburu Ki Langgengpura. Trang! Trang! Suara pedang beradu terdengar beberapa kali.
Bayangan kuning berkelebat di tengah kepungan bayangan kemerahan yang bergerak sangat cepat.
Suara-suara benturan pedang beruntun dan cepat sekali. Rupanya, mereka telah mengerahkan ilmu andalan. Meskipun keempat dara cantik itu tahu lawan memiliki ilmu kebal, mereka tidak putus asa.
Keempatnya terus melakukan serangan bertubi-tubi.
Sambil menunggu datangnya bantuan yang dijanjikan Nyai Cangkring Abang, Empat Bidadari Lembah Neraka terus menyerang bagai tak ingin memberi kesempatan pada lawan untuk balas menyerang.

***

"Heeeaaa...!" Werrrsss...! Tiba-tiba, kakek yang tubuhnya telah penuh luka-luka mengeluarkan bentakan keras menggelegar. Dari tubuhnya yang berputar kencang bagai gasing berhembus angin keras laksana badai.
Angin itu menghempaskan tubuh keempat dara cantik berpakaian merah. Seketika tubuh-tubuh Empat Bidadari Lembah Neraka berpentalan lalu jatuh bergulingan di tanah.
Keempat dara cantik itu meringis-ringis menahan rasa nyeri di tubuhnya. Mereka tak tahu ilmu apa yang digunakan Ki Langgengpura. Yang jelas, akibat bentakan menggelegar yang diiringi deruan angin itu menimbulkan rasa nyeri di sekujur tubuh mereka. Keempat dara berpakaian merah tak mampu bangkit kembali. Tulang-belulang mereka seperti dilolosi. Untuk mengangkat pedang saja tak mampu. Tenaga dalam yang sangat tinggi telah disalurkan lewat bentakan keras kakek berjubah kuning. Pendekar Gila yang menyaksikan pertarungan dari jarak jauh saja merasakan getaran tadi. Sena menggeleng-geleng penuh takjub melihat kejadian itu. Terkesima juga pemuda berpakaian rompi ini menyaksikan dahsyatnya ilmu yang dimiliki Ki Langgengpura. Kini ia baru maklum, mengapa Ki Dungkut Marta yang konon hampir tak tertandingi dapat dikalahkan.
"He he he he...!" Sambil melangkah tersaruk-saruk, Ki Langgengpura terkekeh melihat keempat lawannya tergeletak tidak berdaya. Didekatinya Isyana yang masih menggenggam Kitab Candra Catur Pamukti, lalu diambilnya kitab itu.
"He he he.... sungguh lancang kalian mengambil barang yang bukan miliknya. Akulah sekarang pewaris tunggal kitab ini...!" Ki Langgengpura melangkah meninggalkan Empat Bidadari Lembah Neraka. Keempat gadis cantik itu hanya mampu memandang dengan hati penuh kejengkelan. Namun apa daya, tubuh mereka lemas akibat pengaruh ilmu tenaga dalam lawan.
Hanya satu harapan mereka, menanti kedatangan Nyai Cangkring Abang.
Dengan wajah menyiratkan kepuasan, Ki Langgengpura terus melangkah meninggalkan pelataran candi. Ia kini yang berhak atas kitab kuno itu. Ki Ragil telah binasa dibantai Empat Bidadari Lembah Neraka. Begitu pula Ki Aji Darmagati, pemimpin Perguruan Tapak Bumi. Dan, terakhir Ki Dungkut Marta yang sahabatnya dan orang kepercayaan Ki Hajar Barada. Siasat yang diterapkannya dengan menggabungkan diri kepada Nyai Cangkring Abang dan memperalat Empat Bidadari Lembah Neraka ternyata berhasil.

***

Sampai sejauh itu Pendekar Gila belum melakukan tindakan apa pun. Dia masih ingin mengamati apa yang terjadi selanjutnya. Begitu Ki Langgengpura lenyap dari pandangan, sesosok bayangan merah berkelebat menuju pelataran candi.
"Inikah Srintil itu...?" gumam Sena. Matanya terus tertuju kepada sosok bayangan merah yang ternyata seorang nenek.
Perempuan tua yang tak lain Nyai Cangkring Abang atau Srintil menggerakkan telapak tangan kanannya seperti menaburkan sesuatu. Tangan kirinya menggenggam sebatang kayu sebesar lengan.
Warnanya hitam mengkilap. Batang kayu sepanjang tombak itu dipenuhi duri-duri besar dan runcing.
Inilah senjata ampuh andalannya.
"Hi hi hi hi...! Bangunlah, Anak-anakku. Dia memang bukan lawan kalian," ujar Nyai Cangkring Abang sambil mengikik nyaring.
Keempat dara cantik berpakaian merah langsung bangkit berdiri. Tubuh-tubuh sintal dan ramping itu kembali segar seperti semula. Suatu kekuatan yang mengandung hawa murni telah disalurkan melalui telapak tangan kanan Nyai Cangkring Abang.
Keheranan Pendekar Gila semakin menjadi menyaksikan kehebatan nenek berpakaian merah.
Bagi Sena, untuk memberikan pertolongan seperti itu harus mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Itu pun dilakukan dengan meletakkan kedua telapak tangan pada tubuh orang yang ditolongnya.
"Ah ah ah.... Ternyata di dunia ini banyak tokoh-tokoh golongan hitam yang berilmu sangat tinggi...." Sena menggeleng-gelengkan kepala.
Ketika dilihatnya Nyai Cangkring Abang dan Empat Bidadari Lembah Neraka mengejar Ki Langgengpura, Sena segera melompat dari atas pohon. Seluruh kemampuan lari cepatnya dikerahkan agar tidak menimbulkan suara.
Pendekar Gila mengambil jalan lain untuk dapat menyusul mereka. Dalam waktu singkat Sena berhasil menemukan Ki Langgengpura.
Dari kejauhan Sena terus menguntit kakek itu. Ki Langgengpura ternyata memiliki ilmu peringan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Tubuhnya mampu melesat sampai puluhan tombak. Itu sebabnya percik-percik darah yang ditemui Sena tidak tercecer seperti layaknya orang berlari.

***

"Hi hi hi hi...!" Tiba-tiba saja terdengar suara tawa melengking nyaring.
Ki Langgengpura menghentikan larinya. Sena segera menyelinap di balik sebatang pohon besar.
Sena belum melihat siapa pemilik suara tawa. Tapi, dia dapat menduga orang itu pasti Nyai Cangkring Abang.
"Mau lari ke mana, Langgeng" Sampai ke ujung dunia sekalipun aku akan mengejarmu!"
"Bedebah! Tunjukkan wujudmu, Nenek Peyot! Kalau kau memang betina sejati, hadapi aku sekarang!"
"Hi hi hi hi.... Lupakah kau pada kekalahanmu dulu denganku" Jangan harap akan menang menghadapi Nyai Srintil, Langgeng! Barada saja tak mampu menandingiku sekarang. Asal kau tahu saja, dia telah mampus beberapa saat yang lalu. Barada tak mampu menahan kedahsyatan ilmuku dalam pertarungan jarak jauh mempertahankan kitab itu...." Ki Langgengpura tampak terkejut mendengar kabar kematian guru sahabatnya. Dia tak menyangka Ki Hajar Barada akan tewas di tangan Nyai Cangkring Abang. Yang dia tahu, belum pernah nenek ini mampu mengalahkan kehebatan Ki Hajar Barada. Keterkejutan itu juga melanda hati Pendekar Gila yang mengawasi dari kejauhan. Pantas, setelah memberikan pesan terakhir Ki Hajar Barada tak dapat dihubungi lagi.
Namun, sebagai tokoh tua yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan rimba persilatan, Ki Langgengpura segera menutupi rasa kagetnya dengan tawa mengejek.
"Hua ha ha ha...! Percuma kau binasakan Ki Hajar Barada, Nyai Srintil. Kitab itu sekarang berada di tanganku. Asal kau tahu saja, Srintil.
Kekalahanku beberapa bulan lalu hanya tipu muslihat untuk mengelabuhimu, agar kau dapat memperoleh kitab ini dengan memperalat anak buahmu!" Ki Langgengpura membuka kedok dirinya.
"Bedebah! Keparat busuk kau, Langgeng!" geram Nyai Cangkring Abang.
Makian itu disusul dengan teriakan melengking yang memekakkan telinga. Sesosok bayangan merah berkelebat cepat di depan Ki Langgengpura. Meskipun tersentak kaget, Ki Langgengpura masih sempat melompat ke belakang menghindari serangan cepat itu. Kini, Nyai Cangkring Abang berdiri tiga tombak di hadapan Ki Langgengpura.
Diangkatnya tinggi-tinggi tongkat hitam berduri, lalu diputarnya. Suara menderu mengiringi putaran tongkat Seiring dengan itu berhembus angin kencang yang mengandung hawa panas menyengat "Keluarkan setinggi apa pun kemampuanmu, Pengkhianat!" bentak Nyai Cangkring Abang menantang Ki Langgengpura.
Tongkat hitam mengkilat itu diputar semakin cepat. Deru angin pun berubah menjadi suara berkesiutan tajam.
Melihat lawan mengerahkan ilmu andalannya, Ki Langgengpura tidak tinggal diam. Tubuh kakek yang berlumuran darah itu menggigil. Kedua tangannya menggenggam pedang dan diangkat tinggi sampai melewati kepala. Kemudian, tubuhnya berputar kencang laksana sebuah gasing.
Bersamaan dengan bergeraknya tubuh Nyai Cangkring Abang, Ki Langgengpura melesat memapak. Kakek ini rupanya merasa yakin akan kemampuannya. Sehingga, dia nekat untuk saling mengadu kekuatan dengan lawan. Bunyi berkesiutan bercampur deru angin dari tongkat Nyai Cangkring Abang dan pedang Ki Langgengpura terdengar aneh dan menggiriskan.
Trrrak! Trrraaak! Tubuh kedua orang itu saling belit dalam gerakan yang sangat cepat. Suara benturan pedang dan tongkat berduri berkali-kali terdengar.
Beberapa jurus tingkat tinggi telah mereka keluarkan. Namun, belum ada tanda-tanda siapa yang akan memenangkan pertarungan sengit itu.
Tiba-tiba, pekikan menyayat terdengar bersamaan dengan terlontarnya tubuh Nyai Cangkring Abang. Nenek berpakaian merah itu bergulingan beberapa tombak jauhnya. Namun, dengan penuh kegeraman dia segera melompat bangkit.
"He he he he...! Itu baru jurus awal dari Pedang Seribu, Nyai Srintil," ejek Pendekar Pedang Seribu dengan terkekeh. Ejekan itu dilanjutkan dengan memasukkan pedang ke dalam warangka yang tersampir di pundak. Kakinya kemudian melangkah ke samping seraya memandangi Nyai Cangkring Abang dengan menyipitkan sebelah matanya.
"Cuih! Jangan besar kepala dulu, Langgeng! Aku tahu seberapa tinggi ilmu yang kau miliki....
Jaga seranganku!" Tak mampu menahan kesabarannya, Nyai Cangkring Abang melesat sambil mengibaskan tongkat berduri di tangannya.
Wuuut!

***

Kedua sosok berpakaian merah dan kuning itu berkelebat membangun serangan kembali.
Sena masih memperhatikan dari jauh pertarungan kedua tokoh tua itu. Ia tak ingin bertindak gegabah mencampuri urusan mereka.
Meski begitu, Sena tetap akan melaksanakan amanat Ki Hajar Barada. Sekarang lebih baik menunggu siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Baru kemudian menentukan sikap untuk meminta kembali kitab itu.
Sena membelalakkan mata melihat Nyai Cangkring Abang melesat jauh dari tempat pertarungan. Sena menduga nenek itu tak mampu menghadapi Ki Langgengpura. Namun ternyata dugaan itu meleset.
Nenek berambut panjang itu buru-buru duduk bersila di atas rerumputan. Tongkat hitamnya digenggam dengan kedua belah tangan dan diletakkan persis di depan wajah. Sesaat kemudian, tongkat itu berubah kemerahan dan memancarkan cahaya yang terus membungkus tubuh Nyai Cangkring Abang.
Ki Langgengpura yang menyaksikan lawannya mengerahkan ilmu aneh segera menghentikan langkah. Tiba-tiba, dirasakan ada hawa panas menyengat lebih keras dari yang pertama. Segera dikerahkannya seluruh kekuatan tenaga dalam untuk menahan pengaruh hawa panas itu.
Tubuhnya menggigil.
"He he he he...! Kerahkan seluruh Ilmu Pati Rasa dan kekebalan tubuhmu, Langgeng. Hayo..., hadapi ilmu 'Tongkat Api Neraka'-ku ini...!" Kini, ganti Nyai Cangkring Abang yang mengejek lawannya. Tubuh nenek itu kemudian bangkit berdiri dan melesat ke arah lawan. Gerakannya begitu cepat hingga tak terlihat mata Ki Langgengpura. Karena, kakek berjubah kurung berlumuran darah itu sebentar-sebentar memejamkan mata dalam usahanya menahan serangan hawa panas.
Srrraaats! Glaaar...! Pekikan menyayat mengiringi terlemparnya tubuh Ki Langgengpura. Lelaki berpakaian kuning itu melayang beberapa tombak dan baru berhenti ketika menabrak sebatang pohon besar. Tubuhnya telah hangus kehitaman ketika terbanting di bawah pohon. Saat itu juga nyawanya melayang ke alam baka!

***

"Nyai...! Bagaimana kitab itu?" Isyana terkejut melihat tubuh Ki Langgengpura yang hangus. Gadis itu rupanya mengkhawatirkan kitab Candra Catur Pamukti yang masih tersimpan di balik pakaian Ki Langgengpura. Kekhawatiran itu juga melanda Laksmi, Ratri, dan Kinanti yang telah tiba di tempat itu. Mereka terlambat sampai karena tentu saja kemampuan lari cepat Empat Bidadari Lembah Neraka masih di bawah Nyai Cangkring Abang.
"He he he.... Jangan khawatir. Kitab itu tak akan hancur oleh ilmu apa pun...," ujar Nyai Cangkring Abang seraya melangkah menghampiri mayat Ki Langgengpura. Nenek berpakaian merah itu membuka pakaian Ki Langgengpura yang sudah hangus. Ternyata ucapannya benar. Kitab yang hanya terdiri dari sehelai kulit berwarna putih itu masih utuh. Diambilnya kitab itu lalu disimpan di balik pakaiannya.
"Hi hi hi hi...! Kini tercapai sudah cita-citaku untuk memperoleh kitab ini." Nyai Cangkring Abang tertawa gembira.
"Aku akan mempelajari isinya untuk mendapatkan senjata ampuh yang tak ada bandingannya di dunia ini. Kepada kalian berempat, selesai sudah tugas kalian!" Nenek itu lalu memberi isyarat kepada Empat Bidadari Lembah Neraka agar mengikutinya.
Tubuhnya melesat pergi, disusul keempat dara cantik berpakaian merah.

***



₪₪₪↨֍¦ ⑫ ¦֎↨₪₪₪

"Nyai Srintil..., berhenti!" Nyai Cangkring Abang dan Empat Bidadari Lembah Neraka tersentak kaget mendengar seseorang memanggilnya. Mereka segera menghentikan larinya dan bergegas menoleh ke belakang. Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular telah berdiri sekitar sepuluh tombak di belakang mereka. Pemuda itu tertawa cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Sikap konyol dan lucunya membuat Nyai Cangkring Abang mengerutkan kening. Begitu pula keempat dara cantik berpakaian merah.
"Apa urusanmu menghentikan langkahku, Anak Muda?" tanya Nyai Cangkring Abang yang memiliki nama asli Srintil.
"Aha. Aku ingin meminta Kitab Candra Catur Pamukti itu kalau kau memperbolehkan, Nyai...," jawab pemuda berambut ikal yang tak lain Sena Manggala. Mendengar permintaan konyol itu, Empat Bidadari Lembah Neraka saling berpandangan.
Sementara Nyai Cangkring Abang terdiam. Senyum sinisnya tampak tersungging di bibirnya yang kecoklatan.
"Siapa kau sebenarnya, Bocah Edan?" tanya Laksmi. Gadis ini memang paling tidak sabaran. Ia cepat naik pitam jika melihat sesuatu yang tak disukai.
"Dari mana kau kenal nama Nyai Srintil..."!" lanjutnya dengan mata tajam menatap Sena yang terus cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi hi.... Siapa yang tak kenal dengan nama Nyai Srintil?" jawab Sena sambil menggelenggelengkan kepala.
"Jawab pertanyaanku. Jangan main-main!" bentak Laksmi. Kakinya melangkah maju setindak.
"Ba... ba... baik, Nona. Ah ah aha.... Begitu saja marah...." Sena pura-pura gugup.
"Aku diutus Ki Hajar Barada untuk mengambil Kitab Candra Catur Pamukti. Maka, kuminta agar kalian menyerahkannya kepadaku. Itu kalau kalian memperbolehkannya..."
"Heh. Kalau tidak?" desak Laksmi.
"Aku tetap memintanya...," sahut Sena cepat.
"Bocah edan. Langkahi dulu mayat Empat Bidadari Lembah Neraka! Mampus kau!" Laksmi melompat ke arah Sena.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa mengejek sambil menggerakkan kaki ke samping kanan. Begitu serangan tangan kosong Laksmi sampai di depan wajahnya, tubuh Sena meliuk gemulai mengelakkan serangan itu.
Serangan Laksmi pun hanya mengenai tempat kosong. Namun, dengan cepat kaki kiri gadis cantik itu menendang ke dada Sena.
Wuuut! "Haits! Hampir, Nona...." Sena kembali meliukkan tubuhnya ke belakang.
Mendengar ejekan itu, Laksmi bertambah marah. Wajahnya memerah dengan mata berkilat.
Kinanti, Isyana, dan Ratri terheran-heran menyaksikan pertarungan itu. Pemuda berpakaian rompi kulit ular dapat dengan mudah mengelakkan setiap serangan Laksmi.
"Boleh juga pemuda ini!" ujar Isyana menggeleng-gelengkan kepala.
"Lihat, tak satu pun serangan Laksmi yang mengenai sasaran!" Rupanya, Laksmi telah telanjur menganggap remeh lawan. Itu karena penampilan dan sikap Sena yang mirip orang gila. Sehingga gadis itu tidak mengeluarkan pedangnya. Laksmi ternyata tak mampu mengimbangi ilmu Pendekar Gila.
Melihat Laksmi semakin kewalahan, Isyana segera memberi isyarat kepada Kinanti dan Ratri agar membantunya. Ketiga gadis itu pun merangsek maju mengepung Sena Manggala.
Kini terjadilah pertarungan sengit antara Empat Bidadari Lembah Neraka melawan Pendekar Gila. Keempat dara cantik itu tetap tidak menggunakan senjata mereka. Ini membuat Sena tidak menemukan kesulitan dalam menghadapi mereka. Tendangan dan pukulan Empat Bidadari Lembah Neraka terus mencecar tubuh Sena.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu dengan mudah mengelakkan dengan lentingan dan lompatan. Gerakan kedua tangannya yang seperti tak bertenaga sesekali memukul ke arah dada atau perut lawan. Sampai beberapa jurus pertarungan itu Sena belum juga mendaratkan pukulannya.
Rupanya, Pendekar Gila masih teringat pesan Ki Hajar Barada bahwa empat dara cantik ini hanya boneka-boneka yang dikendalikan Nyai Cangkring Abang. Inilah yang membuat Sena tak ingin membunuh Empat Bidadari Lembah Neraka.
Meskipun dia tahu benar bagaimana sepak terjang empat dara cantik ini.
Laksmi yang sudah tak sabar ingin segera menjatuhkan lawan mencabut pedang yang tersampir di pundak. Gerakan itu diikuti ketiga kawannya. Makin beringas sekarang keempat dara berpakaian merah itu. Dengan gerakan yang hampir sama mereka memutar dan mengibaskan pedangnya. Siut! Siut! Siut! Empat Bidadari Lembah Neraka berlompatan menerjang Pendekar Gila dengan babatan dan tusukan yang dilancarkan dengan menggunakan tenaga dalam. Suara berkesiutan dari pedangpedang yang berputar menandakan mereka telah mengerahkan tenaga dalam tinggi.
Melihat perubahan sikap dan raut wajah keempat dara cantik itu, Sena pun tak ingin bertindak gegabah. Sekali saja terlena pedangpedang Empat Bidadari Lembah Neraka akan memutus nyawanya.
Ketika serangan gencar itu mengurung dirinya. Pendekar Gila melentingkan tubuh ke atas.
"Hiaaa...!" Namun, di luar dugaan Sena, Empat Bidadari Lembah Neraka ternyata telah bergerak lebih dulu.
Mereka memburu tubuh Sena yang melayang di udara. Dalam sekejap saja Pendekar Gila tampak kewalahan menghadapi serangan gencar mereka.
Begitu kompak dan serentaknya keempat dara cantik berpakaian merah melancarkan serangan.
Babatan dan tusukan pedang mereka terus berdatangan. Secepat kilat pemuda berompi kulit ular itu meluncur turun dan menjejakkan kaki dengan ringan di tanah.
Hampir bersamaan Empat Bidadari Lembah Neraka meluncur turun. Belum sampai kaki mereka di tanah, keempatnya segera melancarkan serangan susulan yang tak kalah dahsyatnya ketika masih berada di udara. Sena secepat kilat melempar tubuhnya ke belakang, lalu bergulingan di tanah.
Melihat lawan mereka bergulingan, Empat Bidadari Lembah Neraka memburu dengan babatan dan tusukan. Gulingan Sena bergerak cepat menghindari serangan lawan-lawannya. Ketika terpaut dua tombak dengan mereka, dengan bertumpu pada kedua telapak tangan, Sena melenting ke atas dan bersalto beberapa kali. Begitu mendarat di tanah dia telah menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Heaaat...!" Wuuus! Dengan diiringi bentakan keras Sena menghentakkan kedua telapak tangannya ke arah Empat Bidadari Lembah Neraka. Seketika itu melesat serangkum angkin kencang yang telak menghantam keempat dara cantik berpakaian merah. Empat Bidadari Lembah Neraka terlempar ke belakang beberapa tombak jauhnya. Mereka terhantam pukulan 'Inti Bayu' Pendekar Gila. Sena mengejar tubuh keempat lawannya yang masih melayang di udara. Kemudian dengan gerakan yang sulit diikuti mata, karena sangat cepatnya, tangannya berkelebat melakukan totokan pada tubuh keempat dara cantik itu.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! Tubuh Empat Bidadari Lembah Neraka berjatuhan ke tanah dengan tubuh lunglai. Jalan darah mereka telah terbelenggu. Hanya keluhan pendek terdengar dari mulut mereka.
Pendekar Gila segera membalikkan tubuh menghadapi Nyai Cangkring Abang yang terkesima melihat perbuatannya.
"Aha. Bolehkah aku minta kitab itu, Nyai Srintil...?" tanya Sena sambil cengengesan.
"Anak Muda, apa hubunganmu dengan Singo Edan dari Gua Setan?" Tiba-tiba Nyai Cangkring Abang melontarkan pertanyaan yang sungguh di luar dugaan Sena.
"He he he...!" Sena tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau di sini, sedang Singo Edan jauh di sana. Rupanya kau mengenalnya juga, Nyai Srintil."
"Heh. Percuma aku malang-melintang di rimba persilatan kalau tidak mengenalnya. Jawab pertanyaanku, Anak Muda!"
"Baik. Aku murid Singo Edan!" jawab Sena tegas, membuat Nyai Cangkring Abang membelalakkan mata kaget.
Pantas tingkah lakunya mirip orang gila. Jadi, diakah rupanya yang disebut-sebut kalangan persilatan sebagai Pendekar Gila" gumam Nyai Cangkring Abang dalam hati.
"Lalu, dari mana kau kenal nama mudaku?"
"Ki Hajar Barada," sahut Sena.
"Dia mengutus aku untuk mengambil Kitab Candra Catur Pamukti."
"Jangan bermimpi kau dapat mengambil kitab ini, Pendekar Gila. Sekali berada di tanganku, siapa pun takkan mampu merebutnya lagi!"
"Aha. Kalau begitu terpaksa aku berbuat lancang melawan orang tua sepertimu, Nyai Srintil.
Aku, seperti juga Ki Hajar Barada, tak rela kalau kitab itu jatuh ke tangan orang sepertimu...."
"Sejak semula kau telah kuanggap lancang, Bocah Edan! Kita sama-sama tidak berhak atas kitab ini. Tapi, kini telah berada di tanganku. Maka, hadapi Nyai Cangkring Abang kalau kau berhasrat ingin memilikinya." Nyai Cangkring Abang menggeser langkahnya ke kanan. Matanya terus menatap tajam wajah Pendekar Gila.
"Ah ah ah. Aku hanya ingin meminta kitab itu dari tanganmu, Nyai. Maafkan jika aku terpaksa menggunakan kekerasan."
"Kurang ajar! Heaaa...!"

***



₪₪₪↨֍¦ ⑬ ¦֎↨₪₪₪

Nyai Cangkring Abang melesat melancarkan serangan dengan memutar senjata andalannya yang berupa tongkat hitam berduri. Begitu cepat gerakannya, dalam sekejap telah berada di dekat tubuh Pendekar Gila.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu melentingkan tubuh menghindarkan serangan maut lawan. Begitu mendarat di tanah nenek berpakaian merah telah kembali merangsek maju. Karena tadi Sena telah cukup lama menyaksikan pertarungan nenek itu melawan Ki Langgengpura, maka jurusjurus yang dikeluarkan Nyai Srintil dapat dibacanya.
Setelah berhasil mengelakkan serangan susulan, Sena mengirimkan serangan balasan dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Dia melompat untuk mengambil jarak dengan lawan. Kemudian, dengan gerakan mirip seekor monyet melemparkan batu, Sena melancarkan serangan.
Serangan dengan jurus aneh itu berhasil mendorong tubuh Nyai Cangkring Abang beberapa langkah. Padahal, serangan Pendekar Gila tidak menampakkan benda yang dilemparkannya.
Ketika berhasil mematahkan tenaga dorongan, Nyai Cangkring Abang langsung duduk bersila. Kedua tangan menggenggam erat-erat tongkatnya. Beberapa saat kemudian, tongkat hitam berduri itu berubah kemerahan dan memancarkan cahaya yang lalu membungkus sekujur tubuhnya.
Sena hanya tersenyum. Ia tahu apa yang akan dilakukan Nyai Cangkring Abang. Sena telah menyaksikan ilmu itu ketika digunakan untuk membinasakan Ki Langgengpura. Namun, Sena tak kehabisan akal untuk menghadapi ilmu yang mampu mengeluarkan hawa panas itu.
Sebelum Nyai Cangkring Abang sempat melancarkan serangan ilmu 'Tongkat Api Neraka'nya, Pendekar Gila telah mengerahkan ajian 'Inti Salju' yang mampu menciptakan hawa dingin bagai salju. Maka, yang dilakukan Nyai Cangkring Abang sia-sia belaka. Hawa panas yang mampu menghanguskan tubuh lawan berubah dingin. Hawa di sekitar tempat pertarungan terasa dingin. Sedikit demi sedikit hawa dingin menyusup ke dalam tubuh Nyai Cangkring Abang. Nenek itu menggigil kedinginan. Nyai Cangkring Abang terus memperkuat tenaga dalamnya. Pada tingkat tertentu ilmu 'Tongkat Api Neraka' akan mampu menjelmakan dirinya menjadi kobaran api yang sangat dahsyat.
Hal itu terbukti beberapa saat kemudian. Terdengar letusan dari tongkat Nyai Cangkring Abang. Tubuh nenek berpakaian merah itu menyala-nyala bagai terbakar. Pendekar Gila sempat tertegun melihat kobaran api melesat ke arahnya. Tapi, secepat kilat tubuhnya melenting ke atas.
"Heaaa...!" Werrrss! Kobaran api yang membungkus tubuh Nyai Cangkring Abang berputar cepat memburu Pendekar Gila. Rupanya, ajian 'Inti Salju' yang dikerahkan Sena tak mampu mengatasi kobaran api. Dalam keadaan kalut Pendekar Gila teringat kata-kata Ki Hajar Barada, bahwa Nyai Srintil banyak memiliki ilmu setan. Sena-segera mencari kesempatan untuk mengambil jarak dengan lawan. Ketika kobaran api kembali meluncur ke arahnya, Sena melenting ke atas dan melesat menjauhkan diri. Buru-buru kedua telapak tangannya disatukan untuk menghimpun tenaga dalam. Sena bermaksud mengeluarkan ilmu 'Tamparan Sukma'. Sebuah ilmu yang mampu membinasakan kekuatan ilmu setan.
Namun, Pendekar Gila tercengang. Sena kebingungan bagaimana harus melakukan pukulan terhadap tubuh lawan yang diselubungi kobaran api.
Sena kembali mengerahkan 'Inti Salju' untuk melindungi diri dari sengatan panas. Lalu, tubuhnya melesat memapaki luncuran api di tubuh Nyai Cangkring Abang.
Werrrsss...! Jrrratsss...! Suara seperti besi panas dimasukkan ke dalam air terdengar ketika hawa sedingin salju menabrak kobaran api. Sena terlontar ke belakang empat tombak lalu bergulingan di tanah. Dengan sempoyongan pemuda berpakaian rompi kulit ular itu bangkit berdiri.
Api yang membungkus tubuh Nyai Cangkring Abang terlihat padam. Nenek itu pun terlempar jauh ke belakang. Sedikit saja tidak nampak tubuhnya baru saja terbakar kobaran api. Pakaian yang dikenakannya masih utuh.
"Ilmu setan...," gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya.
Tanpa mengucapkan kata-kata, Nyai Cangkring Abang melesat kembali melakukan serangan. Tongkat hitam berduri di tangan kanannya berputar mengancam Pendekar Gila.
Bagi Sena inilah kesempatan yang paling baik untuk melancarkan pukulan 'Tamparan Sukma'.
Pemuda itu memapaki serangan Nyai Cangkring Abang. Terjadilah saling pukul dan tendang dalam jarak dekat Blukkk! Pendekar Gila terpekik ketika tubuhnya terkena pukulan tongkat berduri Nyai Cangkring Abang. Dia kembali terlontar beberapa tombak ke samping kiri. Pukulan itu mengandung kekuatan sangat besar hingga tak mampu menahannya.
Namun, Sena segera melompat bangkit Dengan wajah bengis dan menyeramkan Nyai Cangkring Abang menatap Sena. Dilemparkan tongkatnya ke arah Sena yang terhuyung-huyung.
Tongkat itu meluncur bagai anak panah lepas dari busurnya. Sena tahu luncuran tongkat pasti mengandung tenaga dalam tinggi. Karena itu, ia tak berani memapaki dengan tangan. Tubuhnya dilempar hingga kembali bergulingan.
Glaaar...! Sebatang pohon besar yang terhantam tongkat hitam tumbang. Ledakan keras memekakkan telinga terdengar dari belakang Sena.
Pendekar Gila cepat bangkit berdiri, lalu melompat ke arah Nyai Cangkring Abang yang tengah melesat ke arahnya! Terjadilah perkelahian tangan kosong. Meskipun usianya sudah lanjut ternyata Nyai Srintil masih mampu menunjukkan ketangguhannya. Gerakan-gerakannya tak kalah cepat dengan Empat Bidadari Lembah Neraka yang masih muda. Sena berusaha keras mengimbangi pukulan dan tendangan Nyai Cangkring Abang.
Namun, dalam satu kesempatan Pendekar Gila berhasil melancarkan pukulan dengan ilmu 'Tamparan Sukma'.
"Aaakh...!" Nyai Cangkring Abang menjerit keras memecah kesunyian di sekitar tempat itu. Tubuhnya terlontar hampir lima belas tombak. Dan, baru terhenti ketika menghantam sebatang pohon besar hingga bergetar hebat. Tubuh nenek berpakaian merah itu terbanting di bawah pohon. Seketika tubuhnya tak bergerak. Ilmu 'Tamparan Sukma' milik Pendekar Gila tak mampu ditahannya.
Sebentar kemudian, tubuhnya berubah kehitaman bagai terbakar.
Tamatlah riwayat Nyai Cangkring Abang.
Sena menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan mata. Lalu, kakinya melangkah menghampiri Empat Bidadari Lembah Neraka yang terkulai lemas karena terkena totokan tadi.
Keempat dara cantik berpakaian merah itu termangu-mangu dengan mata membelalak melihat kedatangan Sena.
"Tu... Tuan siapa?" pertanyaan aneh itu terlontar begitu saja dari mulut Laksmi yang menatap Sena penuh keheranan.
Keempat dara cantik itu baru saja terbebas dari pengaruh iblis Nyai Cangkring Abang. Begitu nenek itu binasa, lenyaplah pengaruh yang merasuki jiwa keempat gadis cantik ini.
"Tak perlu kalian tahu siapa namaku," sahut Sena dengan tersenyum haru melihat keempat gadis itu terbebas dari kekuatan jahat. Mereka mungkin baru berusia tujuh atau delapan belas tahun.
Dilihat dari bentuk tubuh dan wajah cantik mereka, keempat gadis ini tentu putri-putri orang terpandang. Jiwa mereka terlalu polos untuk mengarungi kehidupan rimba persilatan yang keras dan penuh kekejaman.
"Yang penting, sekarang kalian sudah kembali menjadi diri kalian sendiri," ujar Sena lagi.
"Maksudku, kalian telah terbebas dari pengaruh nenek jahat itu...." Keempat gadis itu baru tersadar. Wajah-wajah cantik ini mendadak berubah. Mata mereka menerawang ke atas dengan tatapan kosong, seperti tengah berusaha mengumpulkan ingatan mereka tentang masa lampau.
Empat gadis cantik ini memang telah diculik Nyai Cangkring Abang. Mereka lalu diberikan ilmu yang mampu mempengaruhi jiwanya. Sehingga, akhirnya dapat dikendalikan secara batin oleh Nyai Cangkring Abang.
"Ayo, kuantarkan kalian pulang...!" ajak Sena.
Dengan wajah sedih keempat gadis cantik itu mengikuti langkah Sena. Namun beberapa langkah mereka berjalan, Sena tiba-tiba menghentikan langkah.
"Tunggu sebentar!" ujar Sena. Kemudian, ia melesat menuju tempat tergeletaknya mayat Nyai Cangkring Abang.
Pendekar Gila menggeledah pakaian nenek itu. Ternyata, Sena mengambil lembaran Kitab Candra Catur Pamukti dari balik pakaian Nyai Cangkring Abang.
"Ah ah aha.... Bodoh sekali aku ini!" Sena memukul keningnya sendiri dengan telapak tangan. Segera disimpannya lembaran kulit berwarna putih ke balik rompinya. Ketika dia hendak melesat kembali ke tempat empat gadis cantik tadi, tiba-tiba hatinya tercekat kaget.
Pemuda berompi kulit ular itu bergegas menghampiri empat gadis yang tadi ditinggalkan.
Sampai di sana Sena kembali membelalakkan mata.
Dilihatnya keempat gadis berpakaian merah itu tergeletak berlumuran darah. Beberapa batang pisau kecil menghujam dada dan punggung mereka.
Sena menelengkan telinganya sambil mengerutkan kening. Dia berusaha mendengar suara yang mencurigakan. Tiba-tiba....
Siiing! Siiing! Siiing! Belasan benda keperakan meluncur deras tertuju ke tubuh Sena. Pendekar Gila langsung menghentakkan kedua belah telapak tangannya.
Seketika, melesatlah serangkum angin kencang memapaki benda-benda keperakan yang tak lain pisau terbang. Prrrak! Prrrrak! Pukulan jarak jauh Sena menghantam pisaupisau terbang hingga berjatuhan ke tanah. Sebagian lagi berbalik ke tempat pisau-pisau itu meluncur datang. Jrrrebs! Jrebs! "Akh...!" Dari balik pepohonan dan semak terdengar pekik kesakitan. Pisau-pisau yang terpental balik tadi menghujam pemiliknya sendiri.
Sesaat kemudian, beberapa sosok bayangan melesat menuju tempat Sena berada. Sosok-sosok bayangan hijau itu ternyata empat orang murid andalan Ki Hajar Barada.
"Banyak orang yang menginginkan kitab itu, Pendekar Gila!" ujar lelaki bertubuh tinggi besar yang mengenakan ikat kepala lurik.
"Bertahuntahun kami berguru kepada Ki Hajar Barada agar mengetahui di mana kitab itu berada. Ketika kini kami mengetahui ternyata kau yang mendapatkannya...."
"Ah ah ah.... Apa maksudmu, Kawan?" tanya Sena sambil tertawa.
"Serahkan kitab itu kepada kami! Kami, murid-murid Ki Hajar Barada, yang berhak atas kitab itu!"
"Kalian memang murid Ki Hajar. Tapi, aku bersalah kalau menyerahkan kitab ini kepada kalian. Ki Hajar memintaku untuk menyelamatkan kitab ini...."
"Serang!" Lelaki bertubuh tinggi memberi perintah kepada ketiga kawannya untuk menggempur Pendekar Gila.
Keempat lelaki berpakaian hijau itu langsung merangsek maju menerjang Pendekar Gila. Dengan menghunus pedang mereka terus mencecar Sena.
Melihat serangan yang sangat berbahaya dari empat murid Ki Hajar Barada ini, Sena tak ingin bertindak sembrono. Keempat murid utama ini memiliki ilmu yang tak bisa dianggap remeh.
Setelah pertarungan berjalan beberapa jurus, Pendekar Gila segera dapat membaca permainan pedang mereka. Jurus-jurus yang mereka lancarkan mempunyai kemiripan dengan ilmu Pedang Ki Langgengpura. Sena menaruh kecurigaan. Janganjangan keempat murid utama Ki Barada ini anak buah Ki Langgengpura.
Babatan pedang lelaki tinggi besar hampir saja menyambar bagian atas tubuh Sena. Untung dengan cepat dia segera menarik tubuhnya ke belakang. Bersamaan dengan itu, kaki Sena menendang ke arah perut lawan.
Bluk! Satu orang lawannya terhuyung-huyung terkena tendangan keras Pendekar Gila. Dengan cepat Sena melenting ke atas, kemudian melancarkan tendangan dengan kedua kaki.
Tendangan lurus itu tepat mengenai kepala dan punggung dua orang lawannya. Pekikan kesakitan pun terdengar dari mulut kedua lelaki berpakaian hijau. Tubuh mereka tersungkur jatuh.
Satu orang lagi yang melompat sambil membawa pedang ke kepala Sena dapat ditangkis dengan tangan seraya meliukkan tubuh. Pukulan susulan yang dilakukan Sena mendarat di pinggang, membuat lelaki berkumis tebal jatuh.
Keempat lelaki berpakaian hijau itu saling berlompatan bangkit berdiri. Mereka dengan beringas kembali melakukan serangan lagi. Babatan dan tusukan pedang mereka semakin gencar, mengarah pada bagian-bagian sangat berbahaya di tubuh Sena. Satu tusukan meluncur ke arah leher.
Namun, dengan cepat Sena menarik tubuhnya ke belakang. Lalu, melancarkan pukulan dengan kedua telapak tangan.
Plakkk! Blukkk! Dua orang lawannya terlempar ketika mendapat pukulan telak pada dada dan perut mereka. Keduanya muntah darah dan tak bangkit lagi. Melihat kedua kawannya terluka, dua orang.
lainnya jadi bertambah geram. Serentak mereka merangsek ke arah Sena. Satu menyerang dari sebelah kanan, yang lain dari kiri. Keduanya mengarahkan pedang ke kepala dan pinggang Pendekar Gila. Sena bergegas melesat ke atas.
Kemudian, secepat kilat tangannya meraih kepala kedua lawannya dan dibenturkan dengan keras.
Prakkk! Kedua lelaki berpakaian hijau itu tewas seketika dengan kepala remuk.
"Keserakahan dan nafsu angkara murka telah membutakan mata hati mereka...," gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu kemudian melangkah pergi. Satu pengalaman lagi telah dialami Sena Manggala. Sungguh tak diduga sebelumnya ia akan sampai ke tempat ini dan mendapatkan sebuah kitab kuno yang banyak diperebutkan orang.
Sena terus melangkah ke arah barat melanjutkan pengembaraannya. Entah apa lagi yang akan ditemuinya selama dalam perjalanan ini....

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Ajian Canda Birawa --oo0oo-- Misteri Dendam Berdarah


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.