Life is journey not a destinantion ...

Malaikat Bukit Pasir

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Serigala-Serigala Lapar --oo0oo-- Bayangan Kematian



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: MALAIKAT BUKIT PASIR

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«֍[ 1 ]֍»

Saat itu hari Kamis Legi. Siang hari.
Lima ekor kuda hitam yang gagah menderu berderap dengan kecepatan tinggi di jalan penuh batu yang berliku itu. Derap langkah menggebah jalan, meninggalkan debudebu yang tebal. Masing-masing penunggangnya nampak berusaha untuk saling mendahului. Selain nampak ingin tiba di tujuan, juga untuk menghindari panas yang menyengat. Wajah dan tubuh para penunggang kuda itu sudah bermandikan peluh. Ketika melalui sebuah hutan, barulah panas itu tidak terlalu mengena lagi. Dan semakin membuat kelima orang itu memacu kuda dengan semangat, bagai ada yang mengejar karena tak sekali pun mereka menghentikan laju kuda.
Bunyi tarikan napas kuda yang ngos-ngosan terdengar cukup keras. Namun tak satu juga yang pedulikan kalau kuda yang mereka tunggangi sudah kelelahan. Kelima penunggang kuda itu rata-rata berwajah mengerikan, dengan mengenakan ikat kepala berwarna kuning. Mereka pun mengenakan pakaian berwarna hitam yang pekat, dengan parang besar di punggung masing-masing.
Ketika tiba di tepi hutan itu, kelimanya menghentikan lari kuda mereka. Terdengar ringkikan keras bersahutan, selebihnya hanya napas terengah dari kuda-kudaitu.
Pandangan lima orang itu tertuju ke depan, menatap sebuah bukit yang menghitam dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Aneh sekali memang bukit itu, tak sebuah pohon pun yang tumbuh di sana Tak ada tanda-tanda kehidupan di bukit yang menggunung dan terbuat dari tumpukan pasir.
Tumpukan pasir" Ya, seluruh bukit itu memang penuh pasir. Sehingga bukit itu dinamakan Bukit Pasir! "Kakang Grido, jelas sudah kita telah sampai di tujuan.
Bukankah itu Bukit Pasir?" tanya salah se-orangyang berwajah tirus, dengan sepasang mata turun.
Yang dipanggil tadi seorang lelaki yang wajahnya dipenuhi oleh bulu. Kumis dan jenggotnya cukup lebat berwarna hitam pekat. Nama aslinya Grido Kencono.
Nampaknya, dialah pemimpin dari keempat yang lainnya.
"Kau benar," desisnya dengan suara yang berat.
Matanya tak berkesip memandang Bukit Pasir.
"Hhh! Tak sabar aku untuk membunuh Maiaikat Bukit Pasir yang telah menghabisi nyawa kedua orang tuaku dua puluh lima tahun yang lalu. Sekaligus membayar sakit hati guruku, Datuk Pincang Gunung Neraka. Karena kedua orang tuaku, Sepasang Iblis juga muridnya. Kita segera ke sana!" Tanpa membuang tempo lagi, lelaki tinggi besar itu segera menggebrak kudanya dengan suara menggebah.
Yang lainnya pun mengikuti diiringi dengan gemuruh teriak masing-masing. Tiga jam kemudian, matahari sudah nampak lelah menjelajahi alam, karena sebentar lagi jelas-jelas ia akan kembali ke peraduannya. Suasana di Bukit Pasir nampak mulai gelap, kabut mulai turun. Udara berhembus dingin.
Lima lelaki penunggang kuda itu pun tiba di bawah Bukit Pasir. Mata mereka memperhatikan sekeliling bukit yang terdiri dari timbunan pasir dengan tatapan nyalang penuh amarah. Terutama pandangan mata Grido Kencono yang berkilat-kilat.
"Hhhh! Kita tak perlu membuang tempo lagi! Sekian lama aku mencari di mana Maiaikat Bukit Pasir bersembunyi dengan dendam yang semakin berkarat! Kini saatnya lah untuk menghabisi nyawa manusia keparat itu! Heaaaa!!" Kudanya pun digebrak naik ke Bukit Pasir, menyusul dengan empat ekor kuda lainnya. Gemuruh pasir terdengar dan berguguran. Kalau tidak memiliki tenaga dalam yang cukup dan menunggang kuda yang terlatih, sudah tentu kaki-kaki kuda itu sulit untuk dicabut setelah amblas setengah di pasir setiap kali melangkah. Di wajah Grido Kencono jelas sekali kemarahan dan dendam yang menyengatnya sendiri. Kudanya digebrak dengan kecepatan penuh.
Selang beberapa saat, tepat matahari tenggelam, kelima ekor kuda itu tiba di puncak Bukit Pasir. Kalau di bawah bukit itu saja udara sudah dingin, apalagi berada di puncaknya bertambah dingin. Kuda-kuda mereka sampai meringkik keras ketika kaki-kakinya tertanam di pasir.
Grido Kencono langsung melompat turun dan berteriak keras, menggema seantero Bukit Pasir,
"Malaikat Bukit Pasir! Aku datang untuk menuntul dendam dua puluh lima tahun yang lalu atas perbuatanmu!!" Suaranya menggema, menggugurkan pasir-pasir di sebelah timur.
Di satu tempat yang terletak di timbunan pasir itu, seorang laki-laki tua mendesah panjang sambil mengusap jenggotnya. Sulit sekali orang-orang yang belum mengetahui suasana di Bukit Pasir untuk menemukan di mana laki-laki yang tak lain Maiaikat Bukit Pasir berada.
Dengan kekuatan tenaga dalam yang ia patrikan melalui kekuatan tanah, Malaikat Bukit Pasir membuat bangunan kecil sebagai tempat tinggalnya di timbunan pasir.
"Rupanya salah seorang dari yang mendendam padaku sudah datang. Hmm, pasti Grido Kencono yang datang," desis lelaki berusia enam puluh lima tahun yang berwajah bijaksana itu. Rambut dan bulu yang tumbuh di tubuhnya seluruhnya berwarna putih. Ia pun mengenakan pakaian dan jubah panjang menjuntai yang berwarna putih pula.
Ketika melihat ke matanya, orang akan terkejut. Karena, tak ada bola hitam di matanya. Semuanya berwarna putih.
Rupanya Malaikat Bukit Pasir buta! Lelaki itu kembali mendesah lembut,
"Kalau saja Grido Kencono tahu apa yang terjadi dua puluh lima tahun yang lalu, mungkin ia akan sadar, kalau aku membunuh kedua orang tuanya karena kejahatan dan sepak terjang kejam yang mereka lakukan. Tetapi, sudah tentu Datuk Pincang Gunung Neraka sebagai guru dari Sepasang Iblis tak akan membiarkan Grido Kencono tumbuh tanpa dendam."
"Orang tua hina dina! Apakah kau sudah berubah menjadi banci yang penakut, hah" Ataukah kau sudah menetapkan dirimu menjadi tikus Bukit Pasir!!" seruandi ringi tenaga dalamyang kuat itu menggema kembali. Maiaikat Bukit Pasir kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia memang harus memberitahukan apa yang terjadi dua puluh lima tahun yang lalu. Tidak ada jalan lain lagi. Kemudian, perlahan-lahan lelaki itu berdiri sambil mendesah masygul. Mengambil tongkat putihnya yang sejak tadi tergeletak di sisi bersilanya.
Tangannya terangkat ke atas.
Plas! Timbunan pasir itu seolah menjadi bolong karena tertahan oleh tenaga dalamyang dialirkannya. Lalu dengan gerakan yang aneh sekali Malaikat Bukit Pasir melompat melalui lubang pasir yang cukup besar. Hanya ia dan muridnya saja yang tahu bagaimana cara masuk dan keluar dari kediamannya.
Sementara itu, Grido Kencono masih berteriak-teriak tak karuan dengan kerasnya.
"Tak perlu membuang tenaga... aku sudah ada di sini," terdengar satu suara lembut di belakang mereka Bukan hanya lelaki tinggi besar dengan kumis dan cambang bawuk itu saja yang terkejut, begitu pula dengan keempat temannya. Begitu melihat siapa yang muncul, Grido Kencono mengeluarkan tawanya yang keras penuh ejekan.
"Rupanya kau masih mempunyai nyali juga, Orang Tua! Kini bersiaplah untuk mampus! Selama dua puluh lima tahun kau mengasingkan diri di Bukit Pasir, rasanya sudah cukup untuk mengirimkan nyawa busukmu ke neraka!" Maiaikat Bukit Pasir tersenyum.
"Grido... tahan sedikit amarahmu yang sudah setinggi gunung itu. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan apa yang telah terjadi dengan kedua orang tuamu itu."
"Tak perlu kau jelaskan lagi! Aku sudah tahu semuanya dari guruku yang juga kedua orang tuaku. Nyawa harus dibalas nyawa, Malaikat Bukit Pasir. Dan sekarang... bersiaplah untuk mampus!"
"Aku tahu, sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, kita memang harus membela mereka dengan darah dan nyawa sekalipun. Tetapi, bukanlah lebih baik bila kita menghindari bentrokan ini, karena kau sendiri belum mengetahui apa yang terjadi waktu itu."
"Orang Tua hina dina! Tak usah kau banyak komentar! Hari ini juga nyawamu akan kukirim ke neraka!!" bersamaan itu, dengan satu lompalan cepat laki-laki tinggi besar itu melesat dari atas kudanya. Jotosan tangan kanan yang mengandung kekuatan tinggi diarahkan pada kepala laki-laki buta itu yang nampak begitu tenang.
Namun belum lagi jotosan Grido Kencono menghajar kepalanya, laki-laki buta yang berjuluk Malaikat Bukit Pasir itu mengangkat sebeIah tangannya.
Des! Jotosan Grido Kencono terhalang. Sebenarnya, laki-laki buta itu bisa melanjutkan gebrakannya, karena tangkisan tadi merupakan satu rangkaian gerak yang sangat cepat.
Tetapi ia justru terdiam di tempatnya, tak berbuat apa-apa hanya memasang pendengarannya lebih tajam lagi.
Grido Kencono merasakan tangannya ngilu sekali.
Seluruh otot di wajahnya bagai hendak melompat keluar menyadari kalau serangannya ditangkis dengan mudah.
Sementara itu, empat temannya sudah mengurung laki-laki buta yang berjuluk Maiaikat Bukit Pasir. Sikap mereka garang bukan alang kepalang. Parang besar telah diloloskan. Tanpa menunggu perintah, keempatnya segera menerjang. Parang-parang besar bergerak beruntun, mencecar bagian tubuh Maiaikat Bukit Pasir yang berlompatan ke sana kemari. Desingan parang itu menimbulkan suara yang cukup menggetarkan. Pasir di tempat itu bagai beterbangan. Grido Kencono sendiri sudah terjunkan diri dalam pertarungan itu. Menghadapi lima serangan maut yang dilakukan secara beruntun, membuat pertahanan Malaikat Bukit Pasir seperti agak kacau.
Mendapati kalau lawan kebingungan seperti itu, Grido Kencono mencecar membabi buta. Namun meskipun demikian, sampai sejauh itu dan betapapun hebatnya serangan yang mereka lakukan, tak sekali pun mengenai sasarannya. Bahkan yang mengherankan, Malaikat Bukit Pasir tidak membalas serangan orang-orang ganas itu. Hanya menghindari saja. Sedangkan menurut Grido Kencono, kalau lawan sebenarnya memang tak mampu untuk bertindak lebih lanjut. Ia tak menyadari kalau Maiaikat Bukit Pasir sebenarnya mempunyai rencana lain.
Pada saat yang bersamaan, dalam jarak tiga puIuh tombak dari Bukit Pasir, seorang pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di lehernya, sedang duduk di sebatang pohon. Kedua kakinya menjuntai ke bawah. Matanya yang setajam mata elang menatap Bukit Pasir di hadapannya. Rambutnya yang memang acakacakan, bertambah tak karuan ketika dihembus angin.
"Busyet! Baru kali ini aku melihat ada sebuah bukit yang sepenuhnya berisi pasir," desisnya sambil gelenggeleng kepala.
"Memang aneh alam ini. Semakin jauh kita melangkah, semakin aneh terasa. Begitu banyak ciptaan Yang Maha Kuasa yang belum mampu terpecahkan oleh akal." Selagi pemuda tampan itu masih mengagumi keindahan alam, tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam dan terlatih menangkap suara bentakan keras dari kejauhan.
"Hmmm... seperti orang berlarung. Dan asalnya dari Bukit Pasir itu Ada-ada saja! Baru saja aku tenang di sini, sudah ada kejadian. Scbaiknya kulihat apa yang terjadi!" Lalu dengan gerakan yang sangat ringan, pemuda tampan itu melompat turun dan segera kelebatkan tubuh menuju Bukit Pasir.
Pertarungan di puncak Bukit Pasir bertambah sengit dan mengerikan. Serangan lima parang sekaligus yang mengarah pada tubuh Maiaikat Bukit Pasir bertambah gencar. Namun sampai scjauh itu, laki-laki buta itu belum juga membalas. Entah dengan maksud apa. Hanya ia sendiri yang tahu.
Mendadak saja telinganya menangkap bayangan berlari menaiki Bukit Pasir.
"Hmm.... siapa lagi yang datang" Bila mendengar gerakan larinya yang begitu cepat dan ringan, tak mungkin murid bengal itu. Sebaiknya, kujalankan saja rencana.
Bukan orang-orang ini yang kutunggu. Masih ada lagi yang menjadi momok lebih mengerikan!" Dan bagaikan disengaja, Malaikat Bukit Pasir membiarkan tubuhnya ditendang dan dipukul. Ia tak menghindar. Akan tetapi, bila parang-parang itu mengarah padanya, ia selalu menghindar.
Grido Kencono yang menyangka kalau lawan sudah tak mampu bergerak dan melakukan serangan, mencoba menghabisi lawannya. Namun terjangannya yang berkekuatan penuh ke arah Maiaikat Bukit Pasir, mendadak saja bagai menghantam sebuah batu karang yang mendadak meluncur.
Des! Des! Tersentak wajah laki-laki kasar itu. Aliran darahnya naik ke ubun-ubun. Tangannya dirasakan ngilu luar biasa.
"Manusia hina! Siapa kau yang ingin mencari mampus"!" bentaknya sengit, sementara keempat temannya hentikan serangan pada Maiaikat Bukit Pasir.
Lima pandang mata menatap satu sosok tubuh berbaju hijau pupus yang tadi menghalangi serangan Grido Kencono pada Malaikat Bukit Pasir. Sikap pemuda yang baru muncul itu nampak tegang. Matanya yang setajam elang berkilat-kilat.
"Manusia-manusia yang kerjanya hanya mengotori dunia saja," desisnya dalam hati.
Sementara Maiaikat Bukit Pasir menajamkan pendengarannya.
"Siapa gerangan orang ini" Meskipun aku sudah menangkap kelebatan tubuhnya dari jauh, namun bisa kupastikan kalau orang ini mempunyai ilmu yang tinggi. Bila membaui tubuhnya, aku yakin ia masih sangat muda. Tetapi jelas-jelas kalau bukan Imas yang nongol. Ke mana lagi murid nakal itu?" Grido Kencono memasang wajah garang. Kelam sudah menyelimuti wajahnya yarig kasar itu.
"Pemuda hina! Berani mampus lancang mencampuri urusanku!" Dibentak seperti itu si pemuda bukannya menjadi jeri, justru cuma mengangkat kedua alisnya saja. Sikapnya kocak sekali.
"Lho, jadi kalau ikut campur, ilu namanya lancang" Ya, sudah... kalau memang begitu lebih baik kalian menyingkir saja dari sini." Bukan buatan gusarnya Grido Kencono mendengar jawaban si pemuda yang secara tak langsung mengejeknya.
"Sebutkan nama! Hingga aku bisa mengenang orang yang kubunuh!"
"Wah, yakin ya" Padahal badan gede yang berisi kentut itu kosong melompong! Ya... kalau kau memaksa, namaku Andika," sahut si pemuda tetap santai. Ketika mendengar namanya, jelas-jelas kalau ia adalah Andika alias Pendekar Slebor pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan.
Grido Kencono tak mau buang waktu lagi. Hatinya gusar bukan buatan karena serangan pamungkasnya pada Malaikat Bukit Pasir dihalangi dengan ringannya oleh Andika. Dengan suara menggembor dan timbulkan angin gemuruh dahsyat, tubuhnya berkelebat ke arah Andika.
"Heaaa!"

***

«֍[ 2 ]֍»

Mcndapati lawan menyerangnya dengan kekuatan dahsyat, Andika segera buang tubuh ke kiri. Gerakannya tak kalah cepat dengan yang diperlihatkan Grido Kencono.
Hati Andika sebenarnya bukan main geram melihat seorang laki-laki buta diserang lerus menerus seperti itu.
Selagi Andika buang tubuh ke kiri, jotosan tangan kanannya berkelebat deras. Grido Kencono terpekik melihat serangan balasan yang dilakukan lawan.
Cepat ia tekuk sikunya. Des! Jotosan Andika ditahan dengan hebatnya.
Andika langsung jumpalitan ke belakang, ketika ia hinggap di tanah dilihatnya lengannya membiru. Sementara Grido Kencono sendiri terkejut ketika sadar tubuhnya bergetar akibat benturan tenaga dalam yang keras.
"Setan keparat! Rupanya kau memang mempunyai sedikit ilmu untuk dipamerkan! Sayangnya, kau akan menyesali semua tindakanmu hari ini!" Sehabis berkata begitu, Grido Kencono kibaskan kedua tangan ke atas, lalu ke bawah. Saat ia kibaskan tangannya yang dilakukan dua kali berturut-turut, terlihat kedua tangannya bergetar.
Terasa sekali udara berubah menjadi panas.
Andika yang memperhatikan berjingkat ketika kedua kakinya bagaikan menginjak bara.
"Busyet! Ilmu apa ini?" dengusnya dalam hati sambil alirkan hawa muni ke kedua kakinya. Sementara perubahan itu pun dirasakan oleh Malaikat Bukit Pasir.
Laki-laki buta itu mendesis,
"Tak sia-sia Datuk Pincang Gunung Neraka mengambil laki-laki itu sebagai murid. Ia rupanya telah menerima ajaran dari Datuk Pincang. Hhh! Aku tak ingin menambah keri-butan sebenarnya. Yang kutunggu kehadiran Datuk Pincang. Biarlah kurasai saja pertarungan antara pemuda yang bernama Andika itu dengan Grido Kencono." Serangan yang siap dilepaskan oleh Grido Kencono adalah ajian 'Iblis Neraka Cabut Nyawa', salah satu ajian yang diajarkan oleh gurunya. Sebuah serangan ganas yang menimbulkan udara panas.
Tanpa buang tempo lagi, ia sudah kelebatkan tubuhnya. Panas membara menguar dan menderu dahsyat.
Andika pun tak mencoba untuk memapaki. Ia hindari serangan itu sambil mengira kekuatan lawan. Namun lawan nampaknya tak mau berayal lagi, ia terus mencecar Andika yang lama kelamaan mendengus.
"Kadal ompong! Bisa-bisa hangus aku kalau kena!" makinya berusaha mencari sela untuk menyerang. Namun serbuan yang dilakukan Grido Kencono begitu gencar, bahkan berusaha untuk merapat dengan Andika.
Menyusul bahaya lain yang datang dari dua kawan Grido Kencono. Parang besar dikibaskan hingga timbulkan angin besar. Sementara dua orang yang lainnya memburu ke arah Malaikat Bukit Pasir.
Mendapati serangan macam begitu, Andika jadi kalang kabut. Bukan dalam arti ia bingung pertahankan diri, melainkan menurut perasaannya ia harus menyelamatkan laki-laki buta yang sepertinya tak berdaya.
Memikir sampai di situ, membuat Andika jadi nekat. Ia coba potong serangan dari Grido Kencono dengan buang tubuh ke kanan, sambil melompat itu ia lancarkan tendangan keras ke muka. Satu jotosan pun dilepaskan.
Des! Des! Dua kawan Grido Kencono terhuyung.
Bersamaan dengan itu, Andika meneruskan geraknya.
Ia buat satu tendangan melingkar kearah dua penyerang yang siap habisi Malaikat Bukit Pasir.
Rupanya dua orang itu sadar kalau serangan Andika bisa menimbulkan maut Mereka hentikan gerakan, dan kibaskan parang dan jotosan yang dilakukan bersamaan.
Des! Des! Kalau dalam keadaan menyerang langsung, tanpa memotong serangan pertama, benturan itu tak akan membawa akibat apa-apa bagi Andika. Tetapi, karena tadi ia sudah kerahkan tenaga untuk menerobos serangan dari Grido Kencono dan dua temannya, menyusul satu serangan dilakukan ke arah dua orang yang siap habisi nyawa Malaikat Bukit Pasir, mau tak mau gebrakannya jadi sedikit terkuras.
Maka akibat benturan itu, Andika terpental ke belakang beberapa tombak Begitu pula dengan dua lawannya tadi. Namun tanpa pedulikan dirinya sendiri, begitu kedua kakinya menjejak tanah, Andika langsung emposkan tubuh ke arah Malaikat Bukit Pasir.
Disambarnya tubuh laki-laki buta itu yang seperti tak berdaya.
"Hmm... pemuda ini ternyata bermaksud baik," desis laki-laki buta yang sudah berada dalam bopongan Pendekar Slebor.
"Sebaiknya, kubiarkan saja ia melakukan hal ini." Sementara itu Grido Kencono tak mau buang kesempatan, tak akan dibiarkannya. orang yang telah membunuh kedua orangtuanya itu hidup, apalagi mengingat ia mengemban tugas dari gurunya. Makanya, ia segera kibaskan tangan setelah memungut parangnya.
Parang besar itu meluncur deras ke arah Andika.
Wuuuttt! Trak! Dalam keadaan genting semacam itu, Andika masih tunjukkan kelasnya. Masih membopong tubuh Maiaikat Bukit Pasir, kaki kanannya menyepak sebatang ranting, hingga meluncur menghantam parang itu. Lebih hebat lagi, ranting yang terpotong menjadi dua itu meluncur tak ubahnya anak panah ke arah Grido Kencono yang kibaskan tangan hingga kedua potongan ranting itu luluh sambil memaki-maki.
"Kejar manusia keparat itu! Bunuh!"

***

Selang beberapa saat, satu sosok tubuh ramping berbaju putih berkelebat ke arah Bukit Pasir. Wajahnya yang jelita dengan sepasang mulut memerah menggiurkan dipenuhi keringat. Rambutnya yang panjang dan di kat ekor kuda dengan sehelai pita berwarna biru, berlompatan manja saat ia berlari.
Tak lama kemudian, gadis itu pun tiba di puncak Bukit Pasir. Sejenak ia hentikan larinya. Keningnya berkerut, Sepasang matanya yang hitam jernih itu membulat melihat keadaan yang porak-poranda. Hatinya bergetar tidak enak.
"Apakah telah terjadi sesuatu di sini?" desisnya galau.
Mendadak saja kepalanya menegak. Bagai melompat ia berlari dan berseru,
"Guru! Di manakah Guru!" Gadis yang tak lain murid dari Malaikat Bukit Pasir semakin kacau hatinya, apalagi ketika masuk ke tempat tinggal mereka yang kini mulai dipenuhi pasir. Wajah jelitanya pias dan nampak kacau sekali.
Belum lagi ia menemukan di mana gurunya, mendadak kepalanya mendongak. Didengarnya suara berderak.
"Oh, Gusti! Pasir-pasir itu akan runtuh! Aku harus keluar dari sini kalau tidak ingin terkubur!" Gadis itu segera empos tubuhnya, sementara suara berderak itu makin keras lerdengar. Bergemuruh timbulkan suara dahsyat. Bersamaan dengan runtuhnya pasir-pasir itu, tubuh ramping berbaju putih itu sudah mencelat keluar.
Lalu buat gerakan cepat menuruni Bukit Pasir, Dari bawah, dipandanginya Bukit Pasir di mana ia tinggal bersama gurunya yang dijuluki Malaikat Bukit Pasir.
Hati gadis yang bernama Imas itu menjadi galau bukan main. Ia duduk bersimpuh dengan pikiran kacau.
Disesalinya mengapa ia tidak segera kembali dari membeli makanan di kotapraja. Ini dikarenakan ia menyaksikan pertunjukan sulap yang diadakan di sana.
Ditatapnya dengan penuh kerisauan nasi timbel beserta lauknya yang ada di tangan kanannya.
"Guru... maafkan aku, Guru... aku telah lancang mengabaikan pesan Guru untuk segera kembali. Aku tahu, telah lama Guru bersembunyi di sini dari kejaran orangorang yang ingin membalas dendam. Namun nampaknya, tempat ini sudah diketahui.... Oh, Guru... maafkan aku...." Gadis itu terguguk dengan galaunya. Biar bagaimanapun tegarnya Imas, namun ia seorang gadis yang terkadang suka menangis untuk meiampiaskan segenap perasaannya.
Tiba-tiba kepalanya menegak.
"Tidak, aku tidak boleh cengeng! Aku harus segera mencari Guru!" Perlahan-lahan ia berdiri. Diperhatikannya lagi kediamannya yang telah tertimbun pasir. Lalu tanpa buang waktu ia segera kelebatkan tubuh.

***

«֍[ 3 ]֍»

Di tepi sebuah sungai yang terdapat dalam hutan belantara, pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di lehernya sedang berusaha mengobati tubuh Malaikat Bukit Pasir. Pagi sebentar lagi datang, dari kejauhan sudah nampak bias-bias matahari yang terpantul.
Udara masih dingin dan sisa embun masih menggenang.
Diperhatikannya sosok buta yang sejak tadi berusaha diobatinya. Menurut Andika, laki-laki buta ini pingsan karena tak sanggup menahan luka akibat hantaman dari Grido Kencono dan kawan-kawannya.
Tak lama kemudian, Andika menarik napas panjang.
Keringat dihapus dari wajahnya. Sejenak ia geleng-geleng kepala sambil tatap Malaikat Bukit Pasir yang masih terbujur tak bergerak sedikit pun.
"Ada yang aneh kurasa. Mengapa aliran tenaga dalam yang kucoba alirkan padanya justru seperti tersendat" Apakah ini disebabkan peredaran darahnya yang kacau akibat serangan dari lima laki-laki jelek berparang itu, ataukah aliran darahnya memang sudah tersumbat" Kalau tersumbat, aku bisa menemukannya. Aliran darahnya nampak lancar, hanya saja, mengapa aliran tenaga dalamku seperti tertahan?" Lama Andika coba menemukan jawaban dari keanehan yang dirasakannya.
"Hmm... akan kutunggu orang tua ini sadar. Aku jadi penasaran ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi Kalau memang bisa diselesaikan dengan jalan damai silang sengketa antara orang tua ini dengan kelima orang itu, merupakan jalan yang terbaik" Andika mendongak, memperhatikan hutan lebat yang dipenuhi pepohonan tinggi. Tiba-tiba ia merasa perutnya lapar sekali.
"Gila! Dari kemarin sore aku belum makan!" Andika memutuskan untuk mencari buah-buahan sekadar mengganjal perutnya. Dipindahkannya tubuh Maiaikat Bukit Pasir ke balik semak. Setelah itu, ia segera kelebatkan tubuh.
Hanya beberapa menit saja Andika mendapatkan manggis dan jambu hutan. Dipetiknya agak banyak, sekalian akan diberikannya pada Malaikat Bukit Pasir bila orang tua itu sudah siuman.
Ia terkekeh dari kejauhan.
"Hei, Ki! Sadar cepat! Nih ada rezeki yang tak akan kau tolak! Tetapi kalau kau belum sadar juga... apa boleh buat.
Terpaksa aku akan memakannya sendiri." Masih berkatakata ia sibakkan semak di mana tubuh Malaikat Bukit Pasir dipindahkan.
"Ayo cepat kii... heeii ...!" Kata-kata Andika terputus. Matanya melotot.
Keningnya berkerut. Ia tak melihat sosok orang tua yang ditolongnya disana. Untuk sejenak Andika terpaku di tempatnya dengan mulut menganga.
"Busyet! Apa yang terjadi?" Tanpa hiraukan buah-buahan yang ada di tangannya, ia kelebatkan tubuh hingga buah-buahan itu terlempar.
"Hei, Ki! Kalau kau sudah siuman dari pingsanmu, jangan ke mana-mana dong! Sudah bangkotan kau masih nakal juga, ya?" Tak ada sahutan apa-apa kecuali gema suaranya.
Andika coba berteriak kembali sambil kelebatkan tubuh mencari. Namun sosok Malaikat Bukit Pasir tidak ditemukan. Ia kembali ke tempat semula dengan perasaan cemas sekarang. Entah apa yang dicemasinya.
Diperas otaknya guna memecahkan masalah itu Namun belum lagi ia tiba pada satu kesimpulan, telinganya yang tajam menangkap suara berderak di belakangnya.
Sigap Andika putar tubuh dan membcnlak,
"Siapa di sana, hah" Kalau hanya seekor monyet silakan bersembunyi terus! Kalau tikus buduk silakan tinggalkan tempat itu! Kalau manusia jelek, jelas harus keluar tutupi wajah!"

***

Dua sosok tubuh berpakaian merah-merah dengan rambut panjang acak-acakan keluar dari balik semak dengan diiringi tawa yang keras menggema.
Andika picingkan mata melihat kemunculan kedua orang itu. Tetapi mulutnya yang usil tetap nyerocos seperti petasan,
"Kukira siapa" Rupanya hanya orang utan yang nyasar ke sini!" Wajah kedua orang yang satu sama lain serupa itu kelam. Di leher keduanya masing-masing tergantung taring serigala. Yang memiliki codet di pipi kirinya membentak,
"Siapa yang telah menolong Malaikat Bukit Pasir harus mampus! Tetapi, siapa pun kau adanya, nyawamu tetap harus kami cabut!" Andika menjulurkan lidahnya.
"Enaknya ngomong! Memangnya singkong main cabut saja!"
"Aku tahu siapa kau adanya! Nama besar Pendekar Slebor sudah masuk ke Hutan Sejuta Iblis di mana kami tinggal! Hhh! Di mana kau sembunyikan Malaikat Bukit Pasir!" Kali ini Andika terdiam. Lagi-lagi orang yang menginginkan nyawa Maiaikat Bukit Pasir. Sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh laki-laki buta yang sekarang lenyap itu, sehingga begitu banyak yang menginginkan nyawanya"
"Rupanya hari ini aku kedatangan badut-badut bodoh yang seenaknya ngomong! Kalau kau ingin mengetahui di mana Maiaikat Bukit Pasir berada, mengapa tidak bersama-sama denganku" Aku saja sedang mencari. Nah! Jangan-jangan kalian tahu lalu pura-pura bertanya, kan" Iya, kan?" Dasar urakan, Andika masih bisa meledek seperti itu. Meskipun ia bersikap santai saja, namun otaknya berpikir keras kalau kedatangan kedua orang ini tidak main-main.
"Kurang ajar!" bentak orang yang kedua. Sikapnya lebih garang. Matanya memancarkan sinar kemerahan yang mengerikan.
"Cepat kau katakan di mana manusia keparat yang telah membunuh Guru kami sepuluh tahun yang lalu" Ia harus membayar semua perbuatannya sekarang! Selama lima tahun kami meninggalkan Hutan Seribu Iblis Untuk mencari manusia keparat itu! Katakan, bila tidak ingin kupenggal kepalamu! Jangan main-main dengan Jalak Kembar Baju Merah!"
"Mau baju hitam kek, biru kek, mau jadi monyet kembar nangkring di pohon kek, itu urusan kalian!" Andika masih nyerocos saja padahal otaknya masih memikirkan tentang lenyapnya Maiaikat Bukit Pasir.
"Keparat busuk!" Yang kedua tadi sudah menderu dengan satu serangan cepat. Andika yang sudah perhitungkan serangan itu buang tubuhnya dan tangannya dengan sigap lancarkan satu pukulan ke bagian iga lawan.
Namun dengan gerakan yang aneh, lawannya mampu menangkis serangan itu. Bukan dengan tangan, melainkan dengan kaki! Des! Andika mundur dua langkah.
"Gila! Jurus apa yang diperlihatkannya ini?" desisnya dalam hati.
Lawannya siap menyerang lagi, tetapi yang pertama bicara tadi yang bernama Jalak Codet Merah berkata,
"Tahan seranganmu, Adi Jalak Mata Merah! Pendekar Slebor... katakan di mana Malaikat Bukit Pasir" Ingat, kami tak segan-segan turunkan tangan telengas kepadamu!" Ancaman itu jelas bukan ancaman kosong. Sayang yang dihadapi keduanya adalah Pendekar Slebor yang dalam keadaan bagaimanapun masih tetap bertingkah seenaknya. Kata-kata itu hanya disambuti dengan senyuman mengejek, sementara otaknya berpikir,
"Ada sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya dulu pada Malaikat Bukit Pasir, sehingga orang-orang ini menginginkan nyawanya. Peristiwa apa sebenarnya?" Tetapi, sebelum Andika buka mulut, Jalak Mata Merah yang gusar tadi, sudah kelebatkan tubuhnya. Desingan angin bak topan prahara menderu dahsyat ke arah Andika yang cepat menghindar. Namun serangan itu datang susul menyusul, bahkan dilakukan dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan sekaligus.
"Benar-benar hebat!" puji Andika sambil terus menghindar. Dan dengan satu gerak tipu yang manis, Andika bisa menyusup masuk dan siap hantamkan pukulan yang telah dialirkan tenaga 'inti petir' tingkat kelima belas. Namun, Jalak Codet Merah langsung kelebatkan tubuh ke arahnya, hingga Andika urung meneruskan serangannya pada Jalak Mata Merah. Menyusul Jalak Mata Merah yang kembali menderu-deru dengan serangan aneh kakinya.
Andika bergulingan hindarkan serangan gencar yang dilakukan serempak itu Gulingan tubuhnya bukan ke belakang, melainkan ke depan. Kaki kanannya menyepak kaki Jalak Codet Merah, dan langsung melompat dengan pencalan satu kaki ke arah Jalak Mata Merah.
Jalak Mata Merah tak mau tubuhnya dijadikan sasaran empuk serangan Andika. Selagi Andika melompat ke arahnya, ia buang tubuh ke kiri dan mendadak saja terdengar angin dahsyat berdesingan.
Dengan gerakan yang menakjubkan, tubuh laki-laki bermata merah itu berbalik dengan posisi kepala di bawah.
Kedua kakinya bergerak bagai baling-baling. Angin laksana topan prahara menderu hebat. Gemuruh terdengar seketika. Dedaunan berguguran. Kerikil beterbangan. Debu mengepul menjadi satu, memedihkan mata.
Andika yang sudah membuang tubuhnya merasa wajahnyabagai ditampar dari jauh. Selagi Andika kerepotan menghindari serangan Jalak Mata Merah, Jalak Codet Merah sudah berkelebat berkali-kali. Setiap jotosannya mengandung hawa panas.
Mendapati serangan dua lawan yang demikian gencar, tak ada jalan lain kecuali memotong setiap serangan. Di saat Jalak Codet Merah gulingkan tubuh ke arahnya, Andika berkelebat cepat. Melompat dan menjadikan tubuh Jalak Codet Merah sebagai tumpuan. Gerakan semacam itu tak mungkin bisa dilakukan bila tidak memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepatan yang tinggi. Bersamaan tubuhnya melenting dari tubuh Jalak Codet Merah, dengan kerahkan tenaga 'inti petir' tingkat kelima, ia songsong serangan Jalak Mata Merah yang masih menderu dengan kedua kaki di atas dan bergerak bagai baling-baling.
Sergapan yang dilakukan Andika benar-benar harus matang. Ia rundukkan kepala dan kedua kaki Jalak Mata Merah luput dari sasaran. Saat itulah ia lakukan jotosan dua kali berturut-turut.
Des! Des! Tubuh Jalak Mata Merah meluncur ke belakang.
Gerakannya limbung dan masih posisi kepala di bawah tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. Andika sendiri bergulingan ke belakang dan berdiri tegak.
Wajahnya yang tampan nampak berkerut, nyeri menahan sakit. Sementara Jalak Codet Merah menggeram murka melihat adik kembarnya jadi sasaran hantaman Andika.
Dengan gerengan keras ia menggebrak Andika kembali, menyusul Jalak Mata Merah yang sudah bangkit sambil menahan sakit. Ia tak peduli keadaan dirinya. Seluruh wajahnya kelam karena hajaran Andika tadi.
Andika yang sudah alirkan ajian 'Guntur Selaksa' segera menyongsong dua serangan itu sekaligus.
"Heaaa!"
"Yeaaa!" Dua buah tenaga yang dijadikan satu, berbentrokan dengan tenaga ajian 'Guntur Selaksa' milik Pendekar Slebor. Akibatnya sungguh mengerikan. Suara keras berdentum dua kali. Dari benturan itu mengepul asap hitam yang pekat. Tubuh Andika terlempar ke belakang lima tombak. Sementara dua tokoh yang mempunyai dendam pada Maiaikat Bukit Pasir itu mengalami hal serupa. Bahkan Jalak Mata Merah yang masih menahan sakit tadi, tak bisa bangkit kembali. Kepalanya telak terhantam ajian 'Guntur Selaksa' dari Andika.
Melihat adiknya tewas mengerikan, Jalak Codet Merah menjerit keras sambil memelukinya. Hatinya hancur bersamaan geram dan amarah yang tinggi. Ia tolehkan kepalanya dengan tatapan laksana kobaran api ke arah Andika.
"Keparat hina! Sejak semula sudah kuduga kau akan mempertahankan di mana manusia keparat berjuluk Malaikat Bukit Pasir itu! Kini, silang sengketa telah terbuka di mataku!" Andika hanya terdiam sambil tarik napas.
"Kepalaku benar-benar jadi pusing sekarang!" Jalak Codet Merah yang berada dalam kegusaran luar biasa, tak mau meneruskan serangannya sekarang ini. Ia tahu, ia tak akan mampu menghadapi Pendekar Slebor.
Berdua dengan saudaranya saja, jauh dari hasil yang diinginkan. Bahkan harus membayar semuanya dengan kematian Jalak Mata Merah. Namun dendam sudah membara. Ia akan menunggU saat yang tepat.
"Pendekar Slebor... saat ini kau menang. Tetapi, kau akan mendapati balasan alas perlakuan busukmu ini!" Lalu dengankemarahan yang tinggi, Jalak Codet Merah mengangkat mayat adik kembai nya dan kelebatkan tubuh dengan gerengan yang keras.
Tinggal Andika yang mendesah panjang. Masalah apa lagi yang dihadapinya ini" Ternyata keingintahuannya tentang Malaikat Bukit Pasir membawanya ke masalah yang besar. Karena, banyak para tokoh rimba persilatan yang menginginkan nyawa Malaikat Bukit Pasir. Sedikit yang diketahui Andika, kalau mereka memiliki dendam tinggi pada laki-laki buta yang sekarang entah berada di mana. Tak lama kemudian Andika duduk dengan kaki menekuk dan menjadi bantalan pinggulnya. Ia atur napas dan jalan darahnya. Beberapa saat berlalu, ia pun berdiri dan segera tinggalkan tempat itu.

***

«֍[ 4 ]֍»

Pagi kembali datang. Alam memang tak pernah mau menunggu siapa pun juga saat menjalankan tugasnya.
Dua anak manusia hentikan langkah di Hutan Maringgis. Yang seorang laki-laki berparas tampan.
Wajahnya tak ubahnya pangeran-pangeran dalam dongeng.
Rahangnya kukuh. Hidungnya mancung dengan bibir memerah. Dipenuhi dengan cambang halus yang menambah kejantanannya. Tubuhnya tegap tanpa mengenakan baju, memperlihatkan bagian dadanya yang bidang dan penuh otot. Celana pangsinya berwarna hitam.
Rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda. Sayang, dari semua kejantanan dan ketampanan yang dimilikinya, matanya memancarkan sinar culas. Ia bernama Praba Gering atau yang dikenal dengan julukan si Pukulan Maut.
Sedang yang seorang lagi, wanita berparas bidadari.
Begitu jelita sekali. Kejelitaannya hanya bisa ditandingi oleh para dewi-dewi. Ia mengenakan pakaian berwarna keemasan dengan bagian dada terbuka lebar hingga perlihatkan pakaian dalamnya yang tipis. Di pinggang yang ramping terdapat selendang berwarna keemasan pula dengan celana berwarna putih. Rambutnya disanggul. Ia bernama Mantari atau yang dikenal dengan julukan si Selendang Emas.
Julukan keduanya itu bukanlah julukan kosong dan asing bagi orang-orang rimba persilatan. Mereka bukanlah suami-istri. Namun kekejaman dan kesukaan mereka berhubungan badan, menjadikan mereka seperti mendapatkan teman seperjalanan yang sama. Meskipun mereka kerap melakukan hubungan badan, namun bila salah satu dari mereka mendapat mangsa, tak ada yang cemburu. Mereka juga dikenal sebagai para pembunuh bayaran yang tangguh.
Setelah hentikan langkah di Hutan Maringgis, keduanya sambil bergandengan dan sesekali berkecupan, melangkah menuju ke sungai yang terdapat di sana. Dan tanpa malu-malu keduanya buka pakaian dan mandi di sungai itu. Saling terbahak-bahak dan menyelam. Saling raba dan berkecupan. Setelah puas mandi, tanpa malumalu, keduanya naik ke tepi sungai dan berpakaian kembali.
"Kudengar, salah seorang dari Jalak Kembar Baju Merah telah tewas di tangan Pendekar Slebor," desis si Selendang Emas sambil menyanggul rambutnya kembali.
Praba Gering tertawa pendek.
"Mereka adalah orangorang tolol! Memiliki kemampuan tak seberapa, lalu ingin menjegal Pendekar Slebor. Tetapi, dengan adanya berita itu, kita sekarang tahu kalau Pendekar Slebor berada di sekitar daerah ini. Dan ini memudahkan kita untuk menemukannya." Mantari perlihatkan senyum genitnya.
"Kau benar. Dewi Kemuning atau Ketua Partai Tumbal Iblis tak akan sia-sia mengeluarkan uang dan upeti untuk kita bila kita berhasil membunuh Pendekar dari Lembah Kutukan itu."
"Bukankah ini sebuah tugas yang menyenangkan" Pertemuan kita dengan Ketua Partai Tumbal Iblis, membawa kita kepada Pendekar Slebor. Sejak munculnya seorang tokoh sakti yang berjuluk Malaikat Peti Mati, sebenarnya Dewi Kemuning berharap sekali Malaikat Peti Mati yang menantang Pendekar Slebor bisa membunuh pendekar urakan itu. Hanya sayang, entah bagaimana, tiba-tiba saja pertarungan itu tak pernah terjadi. Dan menyenangkan bukan, Dewi Kemuning akan membayar mahal bila kita berhasil membunuh Pendekar Slebor." (Untuk mengetahui tentang Dewi Kemuning dan pertarungan Malaikat Peti Mati dengan Pendekar Slebor, silakan baca : "Malaikat Peti Mati").
"Bodohnya, perempuan itu mengapa tidak turun tangan untuk membunuh Pendekar Slebor yang ia pikir akan menghalangi sepak terjangnya untuk memperluas wilayah kekuasaannya."
"Idenya tidak terlalu bodoh sebenarnya. Dewi Kemuning sedang mempersiapkan diri untuk menyerang Perguruan Partai Timur karena membangkang untuk menjadi sekutunya. Dengan kekuatan gabungan beberapa partai, maka kekuatan nya bertambah dan ia bisa membunuh Pendekar Slebor." Mantari tersenyum.
"Kini giliran kita menjajal kehebatan Pendekar Slebor, sekaligus mendapatkan uang dan upeti yang banyak jumlahnya."
"Ini sangat... cepat sembunyi!" tiba-tiba saja Praba Gering hentikan ucapannya dan langsung lompat ke dahan pohon yang cukup tinggi. Begitu pula dengan Mantari.
Telinganya pun menangkap suara orang berlari ke arah mereka. Tak lama kemudian, satu sosok tubuh tiba di sana.
Wajahnya yang cantik dipenuhi keringat. Ia adalah Imas, murid Malaikat Bukit Pasir.
Telah empat hari gadis jelita itu mencari gurunya, namun sampai sekarang belum ada hasil. Seperti baru sadar, ia merasakan tubuhnya lengket karena keringat.
Dilihatnya sungai yang mengalirkan air jernih. Diraihnya air itu dengan kedua tangannya, dibasuh ke wajahnya yang jadi segar. Ia pun bermaksud ingin mandi.
Diperhatikan sekelilingnya. Lalu perlahan-lahan ia mulai membuka pakaiannya. Namun belum lagi ia melakukan, mendadak saja tangannya sambar dua buah kerikil dan melemparnya ke atas sebuah pohon.
Tass! Tass! Bersamaan dengan meluncurnya dua buah kerikil itu, Praba Gering dan Mantari melompat dan hinggap di tanah dengan ringannya.
Praba Gering langsung perdengarkan tawanya. Sejak tadi matanya sudah tak sabar melihat gadis di tepi sungai itu membuka pakaiannya.
Imas memandang tak berkesip pada keduanya.
"Hmmm... untungnya aku menangkap gerakan salah seorang dari mereka. Kalau tidak, tubuhku akan dilalap oleh mata laki-laki itu." Sambil menekan jengkelnya ia mendesis,
"Rupanya ada monyet-monyet liar yang kerjanya mengintip!" Mantari hanya perlihatkan senyum.
"Anak manis...
mengapa harus marah" Bukankah itu sangat menyenangkan?"
"Perempuan hina! Mulutmu suka bicara ngaco rupanya!" Lagi Mantari perlihatkan senyumnya. Lalu berkata pada laki-laki berparas dewa di sisinya,
"Praba Gering...
apakah kau ingin menikmatinya, ataukah kau ingin membunuhnya?" Praba Gering terbahak-bahak, namun tak mengurangi ketampanan wajahnya.
"Siapa yang akan membuang kesempatan seperti ini, hah?" Imas sadar kalau keduanya bukanlah orang baik-baik.
Dan kata-kata Praba Gering itu membuat wajahnya kelam.
"Manusia hina! Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini sebelum kubuat perhitungan!"
"Mengejutkan. Sangat mengejutkan. Baru kali ini kulihat seekor kelinci berani menantang serigala."
"Hanya serigala tua yang tak bertaring!" Praba Gering terbahak-bahak mendengarnya. Baginya, ejekan itu merupakan buaian lembut di telinganya. Justru Mantari yang memerah wajahnya.
"Cepat kau geluti gadis itu! Aku sudah gatal ingin mengepruk mulutnya!" Mendadak saja, masih tertawa, Praba Gering kelebatkan tubuh. Sangat cepat sekali.

***

Mendapati serangan itu, Imas langsung melompat dan memutar tubuhnya dengan satu tendangan cepat.
Wuuttt! Saat itu juga Praba Gering tersentak. Sejak tadi ia memang yakin kalau gadis ini tidak kosong. Tetapi gerakan yang diperlihatkan barusan cukup mengejutkannya.
Ia segera ubah serangannya. Kalau tadi masih menganggap enteng kali ini dengan disertai seruan keras, ia menerjang cepat. Imas sendiri tak mau membuang waktu. Ia masih harus menemukan gurunya.
Dengan setengah bergulingan, murid Malaikat Bukit Pasir itu buat gerakan mengkontra. Padahal itu hanya serangan pancingan. Selagi lawan menyangka serangannya akan diblok, justru Imas akan melenting ke atas. Gadis itu melihat kalau Praba Gering terpancing tipuannya. Saat itulah ia melenting ke atas dan....
Des! Dada bidang itu terhantam kaki Imas yang telah dialiri tenaga dalam tinggi. Bila Praba Gering tak memiliki keseimbangan terlatih, tubuhnya bisa langsung ambruk. Ia masih sanggup bertahan, meskipun gedoran itu cukup menyakitkannya. Kepalanya tegak. Matanya nyalang penuh geraman.
"Gadis keparat! Kubunuh kau!" sentaknya sambil menyerang kembali. Serangkum angin dingin menggebubu mengikuti gerakan tubuhnya.
Imas tercekat melihat serangan dahsyat itu. Ia tak mau memapaki, justru melompat ke kiri.
Wusss! Imas cepat menarik kepalanya ke belakang ketika kaki Praba Gering sudah mengibas ke arahnya. Meskipun serangan lawan luput, namun tak urung Imas merasakan wajahnya jadi perih karena terkena pukulan angin Praba Gering.
"Bagus!" seru Mantari puas.
"Cepat kau lumpuhkan gadis itu! Aku sudah tak sabar ingin membunuhnya!" Imas masih coba mempertahankan diri dengan meloloskan pedangnya. Namun hasilnya tetap sama.
Gcmpuran lawannya begitu dahsyat. Dalam satu jurus kemudian, ia tak mampu lagi bertahan. Pedangnya sudah berpindah tangan, dadanya terhantam tendangan yang keras.
"Inilah saat yang mengasyikkan!" seru Praba Gering dan siap menotok gadis yang kini terduduk pias. Akan tetapi.... Des! Des! Praba Gering terjajar ke belakang, dadanya bagai remuk belaka. Mantari bersiaga dengan mata nyalang.
Satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur di lehernya, telah berdiri dalam jarak tiga tombak di hadapan keduanya sambil memegangi tubuh Imas. Justru Imas yang gelagapan sambil melepaskan dirinya. Ia merasa risih dipegang oleh seorang pemuda yang tak dikenalnya.
Sejenak hanya dipandanginya saja penolongnya tanpa tahu harus berbuat apa. Tetapi ia menjadi risih karena diperlakukan seperti itu.
Penolong Imas yang tak lain adalah Pendekar Slebor tersenyum sambil lepaskan pegangannya. Justru Imas yang masih terpana menyaksikan penolongnya, menjadi bersiaga kembali setelah mendengar seruan Mantari,
"Rupanya, orang yang kita cari sudah berada di sini, Praba!" Praba Gering yang geram karena serangannya pada Imas dihalangi oleh orang yang tengah mereka cari, berkata dingin,
"Pendekar Slebor... cukup lama kudengar nama besarmu. Sayangnya, hari ini akan punah di tangan kami!"
"Wah... kalau namanya saja sih tidak apa-apa. Asal jangan orangnya! Tetapi, kayaknya tidak pantas orang lain memakai julukan seperti itu. Iya, nggak" Iya, nggak?" sahut Andika sambil kerutkan kening, berpikir keras tentang siapakah kedua orang ini.
"Setan alas! Kepalamu harus kami bawa ke hadapan Dewi Kemuning!" Mendengar nama Dewi Kemuning disebutkan, Andika teringat tentang wanita Pimpinan Partai Tumbal Iblis yang ingin melebarkan sayap kekuasaannya. Bahkan selagi Andika menyamar sebagai Malaikat Bukit Pasir, ia pernah bertarung dengan beberapa orang anak buah Partai Tumbal Iblis (Silakan baca : "Malaikat Peti Mati").
"Hmm... rupanya Dewi Kemuning tetap akan menjalankan niat busuknya itu. Dan keduanya jelas orang yang berpihak padanya," desisnya dalam hati.
Tetapi, dasar urakan dengan tak acuhnya Andika berkata pada Imas,
"Kau tinggalkan tempat ini. Biar aku yang meneruskan urusan ini." ' Enaknya ngomong!" sentak Imas yang masih mendendam pada kedua orang itu.
"Kau ini siapa sih, main perintahku begitu saja" Lagi pula, manusia keparat itu telah memukulku, aku harus membalas!" Andika cuma mengangkat bahunya saja.
"Jadi maumu apa?"
"Manusia itu harus kubalas." Kali ini Andika mengangguk-angukkan kepalanya.
"Orang seperti mereka memang harus dihajar. Kau mampu melakukannya?"
"Ya!"
"Kalau begitu, bagaimana bila aku dulu yang menjitak kepalanya" Tetapi, keenakan ya, kalau kujitak kepalanya!" Imas memperhatikan Andika serius. Batinnya bertanyatanya,
"Siapa pemuda yang bersikap konyol seperti ini" Santai sekali dan seolah tak ada masalah."
"O ya... namaku Andika. Siapa namamu?" Andika masih bersikap santai, padahal ia tengah memancing kemarahan dua orang di belakangnya.
Meskipun keningnya berkerut Imas menyebutkan pula namanya.
"Nah, bagaimana usulmu sekarang, Imas" Apakah mereka harus kita usir, atau kita jitak?" Imas berkata,
"Aku ingin mereka mendapatkan ganjaran atas tindakan yang mereka lakukan tadi. Hhh! Meskipun saat ini aku tengah mencari guruku, tetapi kedua manusia busuk itu harus dihajar!"
"Siapakah gurumu itu, Imas?" Imas menoleh. Matanya yang bagus menatap Andika tak berkesip. Dikira-kira siapa pemuda yang sikapnya rada konyol ini. Bila melihat sikapnya itu, jelas ia tak berpihak pada siapa pun juga, termasuk dirinya. Namun secara tak langsung Imas mengetahui apa yang diinginkan kedua orang itu sekarang. Rupanya, pemuda inilah yang mereka cari dan berjuluk Pendekar Slebor.
Lalu perlahan ia berkata,
"Aku tak pernah tahu nama asli guruku. Tetapi, orang-orang menjulukinya Malaikat Bukit Pasir." Meskipun kata-kata itu pelan, namun terdengar keras di telinga Andika.
"Rupanya gadis ini murid Malaikat Bukit Pasir. Ini sebenarnya kesempatanku untuk mengetahui lebih lanjut siapa gerangan orang tua buta itu. Tetapi, saat ini nampaknya tidak tepat. Dua manusia itu sudah tentu tak akan membiarkanku." Sementara itu, Praba Gering menjadi panas melihat sikap Andika yang seperti tidak menganggap kehadirannya.
Tanpa banyak bicara lagi, ia menderu dahsyat pada Andika yahg seketika menoleh dengan tatapan tajam.
Sedangkan Mantari yang sejak tadi tak melakukan apaapa, segera melurup ke arah Imas.

***

«֍[ 5 ]֍»

Pertarungan sengit yang terjadi di tepi sungai itu terus berlangsung. Puluhan jurus telah lewat. Praba Gering yang tahu akan kehebatan Pendekar Slebor, mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menjatuhkan pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu. Bahkan berkali-kali ia harus menerima serangan balik yang demikian cepat terjadi. Namun Andika sendiri merasakan pukulan-pukulan maut yang dilakukan oleh Praba Gering, yang timbulkan angin menderu-deru dan suara yang keras.
Sementara Imas sudah terdesak hebat oleh Mantari.
Dengan pergunakan jurus 'Ratu Emas Menggulung Api' wanita setengah baya yang genit itu mampu membuat Imas tunggang langgang. Gerakannya begitu cepat dan dahsyat. Setiap kali Mantari menyergap setiap kali angin bergulung hebat menderu. Dedaunan rontok seketika.
Debu di tempat itu beterbangan dengan tebal.
Dalam waktu yang singkat tempat itu bagai diserbu oleh gerombolan gajah ngamuk.
Andika yang sedang mencoba mendesak Praba Gering dengan tenaga 'inti petir' tingkat kelima harus terbagi dua perhatiannya. Di satu segi ia harus mencoba pula untuk menyelamatkan dirinya, di segi lain ia pun harus menolong Imas. Inilah sebabnya, mengapa ia menyuruh gadis itu meninggalkan tempat ini tadi. Karena, ia bisa merepotkannya! Dan gadis itu terlalu keras kepala! Brengsek, padahal ia merasa beruntung karena secara tak langsung bertemu dengan murid Malaikat Bukit Pasir dan ia bisa menjadikannya sebagai tempat bertanya, mengapa begitu banyak orang-orang rimba persilatan yang menginginkan nyawa Malaikat Bukit Pasir" Tiba-tiba saja dengan alirkan tenaga 'inti petir' lingkat pertama pada kedua tangannya, Andika menderu ke arah Praba Gering yang sudah merangkum ajian pamungkasnya pukulan 'Maut Hancurkan Gunung'. Dua buah tenaga berbenturan keras, menimbulkan dentuman yang amat dahsyat sekali.
Buuummm! Bentrokan dua tenaga raksasa itu membuat debu yang beterbangan semakin tebal dan tanah yang dipijak bagaikan bergoyang.
Tubuh Praba Gering terpental ke belakang dengan tangan yang terasa mau patah. Ngilu tak terkira dirasakan.
Begitu pula dengan Andika. Darah keluar dari mulutnya.
Meskipun luka dalam telah dideritanya, Andika segera melenting ke arah Mantari yang sedang menyerang Imas dengan gempuran-gempuran dahsyat.
Wusss! Mendapati angin dahsyat menderu ke arahnya, si Selendang Emas mencelat ke samping dan membuat serangan Andika luput dari sasarannya. Melihat kesempatan itu, Andika tak hentikan gerakannya, langsung putar tubuh ke kiri dan langsung menyambar tubuh Imas.
Namun belum lagi pemuda dari Lembah Kutukan itu berhasil mclakukannya, tiba-tiba saja kaki kirinya bagaikan disentak ke belakang hingga tubuhnya ambruk ke tanah, Imas yang berada dalam gendongannya meskipun tak terlepas mau tak mau menindihnya. Debu betebaran seketika. Andika berbalik ketika dirasakannya satu tenaga menariknya dengan kuat. Rupanya Mantari sudah meloloskan selendang keemasannya dan melilit kaki Andika.
"Monyet pitak!" maki Andika jengkel dan berusaha menahan tarikan selendang Mantari yang menyeringai.
Akan tetapi gerakannya justru terganggu oleh Imas yang meronta-ronta minta dilepaskan dari bopongannya. Dan ini justru menyulitkan Andika sendiri.
Gerakan Andika untuk melepaskan diri dari lilitan selendang Mantari yang juga membetotnya hingga terasa nyeri benar-benar kacau, apalagi di saat yang bersamaan, bahaya lain tengah mengancamnya.
Praba Gering yang tadi mempergunakan kesempatan untuk pulihkan tenaganya kembali, melurup dengan kekuatan penuh! Gerakannya itu begitu cepat, dilakukan hampir bersamaan dengan tarikan selendang yang dilakukan Mantari.
Andika hanya terperangah bagai sapi ompong melihatnya, sementara Imas yang masih berada dalam bopongannya menjerit keras.

***

Des! "Aaaakhhhh!" Jeritan keras menyayat itu terdengar keras. Tetapi, bukan dari mulut Andika. Justru Praba Gering yang tersurut ke belakang beberapa tombak ketika satu hantaman tak terlihat menyambar tubuhnya. Darah menyembur dari mulutnya begitu tubuhnya terlempar lima tombak ke belakang. Tulang iganya patah dua buah. Dadanya terasa remuk dengan napas sesak. Ia tak mampu untuk bangun kembali. Andika sesaat terperanjat. Matanya yang tajam melihat kelebatan bayangan yang menderu ke arah Praba Gering tadi. Melihat keadaan Praba Gering. Mantari berteriak kalap. Wajahnya pias bukan buatan Lalu menjelma menjadi kemarahan makin tinggi. Pandangan matanya bagai lontarkan kobaran api. Pipinya mengeras. Dalam sangkaannya, Andikalah yang menghantam Praba Gering dengan tenaga tak nampak.
Ia cepat menambah aliran tenaga dalam pada selendangnya dan tarik dengan cepat kaki Andika, yang mau tak mau terseret. Namun Andika yang sudah siaga meskipun masih kaget dengan kejadian barusan, segera menahan kakinya.
Tarik menarik terjadi begitu cepat. Keringat mengalir di wajah tampan itu Kakinya terasa nyeri, urat-urat kakinya bagai mau putus. Sementara seluruh otot di wajah dan tangan Mantari bagai menyembul keluar. 'Dari hidungnya mengalir darah karena sentakan tenaga dalamnya sendiri.
Tiba-tiba Andika buat satu gerakan cepat. Julurkan tangan untuk sambar selendang itu, meskipun kakinya terseret lagi. Beeet! Sekali sentak tubuh Mantari sudah terbawa kearahnya. Mantari terperangah, ia coba kendalikan diri.
Namun betotan Andika lebih cepat.
Begitu tubuh wanita genit itu meluncur, Andika segera menyongsongnya dengan tenaga 'inti petir' tingkat keempat. Suara bagaikan petir menyalak terdengar cukup keras. Desss! Tubuh Mantari terpental ke belakang, bergulingan sesaat dan muntah darah. Rupanya wanita itu memiliki tubuh yang kedot, karena ia tak langsung ambruk terkena pukulan Andika yang hebat itu. Namun akibatnya, giginya tanggal Mata kirinya bengkak lebam. Bibirnya pecah dan tiga buah tulang iganya patah.
Andika langsung lepaskan selendang Mantari pada kakinya yang segera ia alirkan hawa murni guna mengurangi rasa sakit. Secepat itu pula ia berdiri.
Celingukan memperhatikan siapa orang yang telah menolongnya tadi. Namun sosok orang itu tak nampak lagi.
Gerakannya tadi bagaikan hantu belaka.
Siapa orang itu" Tiba-tiba ia mendengar teriakan Imas yang keras ke arah Praba Gering yang sudah tak mampu berbuat apaapa. Rupanya, gadis itu sudah menyambar pedangnya yang tadi terjatuh dari tangan Ielaki berparas dewa itu. Dan sekarang siap dihujamkan pada Praba Gering.
"Imas!" Andika tersentak dan bergerak cepat. Tuk! Ia menotok urat di bagian bawah ketiak Imas sebelah kanan, seketika gadis itu mengaduh dan tangannya tak mampu digerakkan. Justru makiannya yang terdengar.
"Tahan! Kita tak patut membunuh lawan yang sudah tak berdaya!"
"Tetapi ia telah memukulku!"
"Menjatuhkan lawan dalam keadaan tak berdaya adalah tindakan pengecut! Kita boleh melakukan apa saja! Curang boleh, menggunakan akal licik pun tak jadi masalah! Hanya saja, melakukan tindakan pengecut adalah perbuatan hina! "Aku tak peduli!" seru gadis itu keras kepala.
"Kalau aku pengecut, kau mau apa" Lagi pula, apakah kau sudah menjadi bodoh sekarang, kalau keduanya tadi menginginkan mengambil nyawamu"!"
"Jangan, Imas... biarkan ia hidup. Toh keduanya sudah tak mampu berbuat apa-apa. Justru kita harus mengetahui siapakah orang yang tadi menolongku!"
"Masa bodoh! Lepaskan totokanmu, aku harus membunuh kedua manusia keparat itu!" Andika cuma menggelengkan kepalanya. Membiarkan gadis itu memaki-maki tak karuan. Ia sendiri mencoba mencari orang yang telah menolongnya tadi. Tetapi tetap tak nampak di depan matanya. Lalu ia kembali lagi ke tempat semula, di mana Imas sedang berusaha membebaskan dirinya dari totokan Andika, namun tak mampu dilakukannya.
"Siapa pun dia, kita patut berterima kasih," kata Andika pelan sambil mengalirkan hawa murninya akibat bentrokan yang terjadi berkali-kali.
"Imas... aku akan membebaskan totokanmu bila kau berjanji tidak akan membunuh lawan yang sudah tak berdaya." Imas masih menolak permintaan Andika.
"Seorang pendekar tak patut melakukan tindakan yang keji," ujar Andika pula.
"Lepaskan totokanmu! Akan kubunuh manusia itu!" Andika menggeleng.
"Lepaskan!"
"Bila kau berjanji untuk tidak melakukan tindakan keji itu, aku akan melakukannya. Kau lihat sendiri, keduanya sudah tak mampu berbuat apa-apa. Dengan luka yang mereka derita, secara tidak langsung ilmu yang mereka miliki sudah lumpuh!" Gadis jelita itu mengeluarkan suara menggembor.
"Brengsek! Lepaskan aku! Akan kubiarkan manusia itu hidup!" Andika tersenyum.
"Aku menyukaimu bila kau menepati janjimu," katanya lalu menggerakkan tangannya.
Tuk! Tubuh Imas terjingkat sebentar. Namun di detik lain, tubuhnya sudah menderu ke arah Praba Gering yang masih terduduk sambil menahan rasa sakit dengan teriakan keras,
"Mampuslah kau!"
"Imas, jangan!" seru Andika dan mengempos tubuhnya untuk menahan serangan Imas. Tetapi, Imas yang sudah memperhitungkan kalau serangannya akan dihalangi oleh Andika, mengibaskan pedangnya.
Wuuutt! Andika merunduk. Dan dengan kecepatan yang luar biasa, hulu pedang di tangan gadis itu menghantam dada Andika. Des! Tubuh pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu terhuyung. Andika mendengus, benar-benar menjengkelkan gadis ini. Tiba-tiba ia memiliki satu pikiran yang jitu untuk menahan kejengkelan Imas.
Tiba-tiba saja tubuhnya limbung. Lalu ambruk dengan mengeluarkan suara pelan,
"Imas...." Imas yang siap menghujamkan pedangnya ke Praba Gering, menoleh ke arah Andika yang mendadak saja ambruk. Ia urung melakukan niatnya pada lelaki berparas dewa yang tak mampu lagi untuk berdiri.
"Andikaaa!" serunya memburu. Galau bercampur kecemasan menjadi satu. Diperiksanya tubuh Pendekar Slebor dengan perasaan tak menentu. Detak jantung Pendekar Slebor sangat lemah. Tubuhnya pun terasa panas. Imas menoleh pada Praba Gering dan Mantari,
"Kalian seharusnya beruntung karena secara tidak langsung diselamatkan oleh orang yang hendak kalian bunuh. Pergi dari sini dan jangan bertemu denganku lagi!" Sambil membopong tubuh Pendekar Slebor, Imas pun berkelebat tinggalkan tempat itu.

***

«֍[ 6 ]֍»

Malam mulai merambat perlahan. Imas masih tepekur di sisi tubuh Pendekar Slebor yang terbujur. Sejak tadi Andika memang berusaha untuk tetap berlagak pingsan.
Dan apa yang dialaminya kemudian sungguh mengejutkan.
Pikirnya, Imas akan segera meninggalkannya begitu saja, namun pada kenyataannya ia berusaha keras untuk menolongnya. Sesaat Andika ingin membuka sandiwaranya, tetapi ia justru khawatir kalau gadis itu akan mengamuk karena merasa dipermainkan. Menghadapi gadis semacam ini, sebenarnya telah sering diterima Andika. Hanya saja, terkadang ia suka kebingungan untuk menghadapinya.
Sebenarnya, saat ini Imas entah mengapa merasa trenyuh melihat keadaan Andika. Terutama akan kebijaksanaan hatinya yang mengampuni lawan yang sudah tak berdaya.
Sedikit banyaknya, bila mengingat hal itu, Imas menjadi tidak enak Saat ini pikirannya memang sedang galau. Nasib gurunya belum ia ketahui.
Ia membawa Andika ke sebuah lembah yang penuh bukit. Rasa khawatir semakin menderanya, semakin membuat perasaannya tak menentu melihat keadaan Andika yang menurutnya sangat berbahaya bagi keselamatan pemuda tampan berbaju hijau pupus itu.
Dikerahkannya seluruh tenaga dalam dan hawa murninya untuk menyadarkan Andika, paling tidak menghilangkan hawa panas yang bagaikan bara. Seluruh ilmu pengobatan yang dipelajarinya dari Malaikat Bukit Pasir dipergunakan untuk mengobati luka-luka Andika.
Padahal saat ini, dalam berpura-pura pingsan, Andika tengah mengeluarkan tenaga 'inti petir' yang dipadukan dengan tenaga dalamnya untuk mengusir luka dalam yang dideritanya. Karena itulah saat Imas memegangnya terasa panas. Dan rasa panas itu akan terus terjadi sebelum Andika hentikan mengalirkan tenaga 'inti petir'nya.
Justru gadis itu yang menjadi cemas.
"Oh, Tuhan... apa yang harus kulakukan lagi untuk menyelamatkannya?" desisnya dengan tubuh penuh keringat, karena ia telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyadarkan Andika. Padahal saat itu udara malam begitu dingin sekali hingga ke tulang.
Dirabanya sekali lagi tubuh Andika, bertambah panas tak ubahnya ia memegang bara belaka. Gadis itu berlari mencari mata air. Tak dihiraukannya lagi keadaan dirinya.
Dibukanya pakaian luarnya hingga kini ia hanya mengenakan pakaian dalam. Dengan pakaian yang telah ia basahi, dibalurinya ke sekujur tubuh Andika.
Saat itulah Andika tersentak ketika diam-diam ia membuka mata dan melihat Imas hanya mengenakan pakaian dalamnya saja, dan pakaian luarnya dibalut ke tubuhnya. Sesaat perasaan tak menentu hinggap di hati Andika. Sementara itu, ia sudah menghentikan mengalirkan tenaga 'inti petir'-nya untuk mengobati luka dalamnya, sehingga tak lagi dirasakan panas ketika Imas meraba tubuhnya.
Didengarnya helaan napas lega dari Imas. Justru pcrasaan Andika semakin bertambah tak karuan.
"Kutu koreng! Kenapa jadi begini?" desisnya dalam hati.
"Padahal maksudku berpura-pura pingsan agar Imas tidak menurunkan tangan telengas pada kedua lawan tadi.
Mereka dalam keadaan tak berdaya, tak seharusnya dihabisi. Bila dalam satu pertarungan jujur, memang tak ada pilihan lain. Tetapi aku yakin, sikap marah gadis itu karena ia sedang kesal. Terutama, kusadari kalau ia tengah mencemaskan gurunya. Ah, ke mana laki-laki buta itu sebenarnya?" Lalu ia merasakan Imas merebahkan tubuhnya di sisinya. Dada Andika menjadi berdebar hebat dengan wajah memanas. Di sebelahnya tengah terbaring seorang dara jelita, hanya mengenakan pakaian dalam belaka! Ditahannya sesuatu yang mengisi hatinya.
"Busyet! Benar-benar kacau! Kekeras kepalaannya gadis ini sebenarnya karena ia tengah galau memikirkan nasib gurunya. Padahal ia memiliki hati yang baik. Terbukti, ia masih berada di sisiku yang menyangka aku pingsan." Ditunggunya beberapa saat sebelum kemudian ia melepaskan pakaian luar Imas yang menyelimuti tubuhnya, lalu diselimutinya tubuh Imas. Saat ia merebahkan tubuhnya kembali, Andika jadi semakin galau saja.
Perasaan aneh di batinnya menjalar, ditahannya sekuat tenaga. Dan karena tak ingin melihat tubuh Imas, Andika pun memejamkan matanya pula. Tetapi, disebabkan rasa lelahnya, ia pun akhirnya lerlelap.

***

Pagi sudah membentang sejak lima jam yang lalu.
Matahari sudah lebih dari sepenggalah. Burung-burung beterbangan bercicitan.
Andika terbangun ketika sehelai daun menerpa wajahnya. Yang pertama kali di ngat adalah Imas. Dengan cepat, Andika bangkit. Tetapi hanya sesaat ia bisa melakukannya, karena setelah itu ia rebah kembali.
Dilihatnya gadis itu tidur hanya mengenakan pakaian dalam saja. Kalau semalam tak begitu kentara, sekarang nyata sekali bentuk tubuhnya. Karena, selain saat ini matahari sudah.muncul juga pakaian luar itu sudah tak pada posisi di mana Andika meletakkannya semalam.
"Busyet! Kacau juga nih!" desisnya sambil menggarukgaruk kepalanya yang tak gatal.
Lalu dengan wajah memerah, Andika mengambil pakaian itu, dan menyelimuti tubuh Imas kembali. Tetapi perbuatannya justru membangunkan Imas dari tidurnya.
"Oh! Mau apa kau?" bentaknya pertama kali sambil mendekap tubuhnya sendiri. Matanya bagai tertarik ke dalam, tak ubahnya mata kelinci yang kelimpungan karena kepungan beberapa ekor serigala.
Andika gelagapan dengan wajah memerah.
"Aku hanya ingin menyelimutimu saja, Imas." Imas langsung berdiri dan menyambar pakaiannya, berlari ke satu tempat.
"Imas!"
"Ceriwis! Kau mempergunakan kesempatan untuk melihati tubuhku rupanya!" seru gadis itu di balik semak.
Malunya tidak ketolongan lagi. Konyol kenapa ia masih tertidur tadi" Astaga, apa yang sebelumnya dilakukan oleh Andika tadi" Bagai disengat kalajengking ia meraba tubuhnya sendiri dan diyakini tak kurang suatu apa.
Meskipun demikian hatinya jengkel bukan main. Andika mengusap rambutnya ke belakang. Edan, kenapa jadi begini sih" Lalu menggerakkan tubuhnya yang terasa pegal. Imas muncul kembali sudah berpakaian.
"Kalau kau sudah siuman dari pingsanmu, jangan mempergunakan kesempatan!" tuding gadis itu ketika muncul dari balik semak.
Andika jelas sekali melihat kalau Imas masih mengantuk. Ia benar-benar merasa tidak enak. Padahal, ia berpura-pura pingsan agar Imas tidak lagi mempersoalkan Praba Gering yang memang sudah mau mampus. Dan ia pikir, gadis itu tak peduli. Tetapi nyata-nya" Ah, Andika jadi pusing sendiri. Dan sudah tentu semakin tak berani untuk mengatakan sesungguhnya.
"Tidak, aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya...."
"Alasan!" seru Imas sengit. Ia kelihatan geram sekali.
Wajahnya merah padam tak karuan. Lalu katanya dengan suara menggcmbor,
"Kalau kau sudah merasa sembuh, aku hendak pergi sekarang!"
"Ke mana?" tanya Andika yang benar-benar jadi tidak enak dan pertanyaan itu terlonlar begitu saja.
"Mencari guruku!" Andika menahan langkah Imas,
"Tunggu!" Gadis itu berbalik sambil mendengus,
"Apa lagi?"
"Ada yang ingin kukatakan tentang gurumu," kata Andika dan tak menunggu pcrsetujuan Imas, ia menceritakan tentang Malaikat Bukit Pasir. Bukannya gembira, Imas justru melotot.
"Kau?" desisnya dengan tubuh bergetar.
"Di mana guruku sekarang, hah?"
"Sungguh aku tidak tahu. Ini memang kesalahanku, Imas. Aku akan berusaha menemukannya. Imas, ceritakan tentang gurumu. Mengapa banyak sekali yang menginginkan nyawanya...."
"Setelah kau tidak tahu di mana guruku berada, kau ingin aku menceritakan apa yang telah terjadi" Justru kau sendiri yang tahu jawabannya!"
"Maksudmu... sebelum kejadian itu. Ceritakan...."
"Kau harus bertanggung jawab atas hilangnya guruku!" Gadis itu hanya berkata-kata tanpa menjawab keingintahuan Andika tentang Malaikat Bukit Pasir.
Andika cuma mendengarkan saja, membiarkan gadis itu mengeluarkan seluruh keinginannya karena ia tahu gadis itu gusar dan risau memikirkan gurunya. Setelah puas memaki, Imas berkelebat meninggalkannya. Tinggal Andika yang terdiam. Setengah penasaran dan gusar. Biar bagaimanapun juga, ia harus mencari Malaikat Bukit Pasir.
Lalu ditinggalkannya tempat itu dengan sejuta pikiran yang mengganggu benaknya.

***

Hujan lebat dan kabut tebal menutup seluruh Gunung Neraka mulai dari puncak hingga ke kaki. Dingin yang menusuk tulang tak terkirakan lagi. Dan tadi siang hujan terus turun dengan derasnya. Suara yang menderu menegakkan bulu roma. Petir sambar menyambar. Kilat sesekali menerangi puncak Gunung Neraka yang mengerikan. Namun satu sosok tubuh yang menunggang kuda tak hiraukan semua itu. Ia terus memacu kudanya, tak peduli sekujur tubuhnya sudah basah. Wajahnya bagaikan ditempa oleh tusukan jarum yang kuat. Sesekali terdengar suaranya memberi semangat pada kudanya. Bila melihat kabut yang tebal dan derap langkah kuda yang ringan itu, seolah tak merasa terhalangi oleh hujan, menandakan kalau penunggang-nya sudah hafal liku-liku sekitar Gunung Neraka yang sulit dan penuh dengan batu-batu terjal yang setiap saat bisa berjatuhan.
Gerakannya pun benar-benar menandakan ia sangat hafal sekali, karena dengan ringannya ia bisa melewati batu-batu terjal dan jalan yang agak licin untuk tiba di puncak Gunung Neraka yang menyeramkan dan gelap karena tertutup kabut tebal.
Tiba di puncak Gunung Neraka, penunggang kuda itu melompat dari kudanya dan tanpa buang waktu langsung kelebalkan tubuh menuju sebuah bangunan kecil yang seakan hendak runtuh ditimpa hujan dan petir yang mampu menggetarkannya. Ia menerobos masuk dan menggerakkan seluruh tubuhnya agar air hujan yang melekat di tubuhnya berjatuhan.
"Tepat sekali kedatanganmu ini, Grido...," terdengar suara dingin itu.
Orang yang baru datang, yang ternyata Grido Kencono langsung jatuhkan tubuh di dasar bangunan kecil yang lembab.
"Maafkan atas keterlambatanku, Guru." Bangunan kecil itu gelap gulita. Mata telanjang saja seakan tak sanggup untuk menembus kegelapan. Namun tiba-tiba satu cahaya bersinar. Ketika terlihat, jelas-jelas sekali api yang muncul itu berasal dari jentikan sebuah tangan. Bahkan api itu menempel di ujung jari telunjuk! Dialah Datuk Pincang Gunung Neraka, guru dari Grido Kencono yang sekaligus guru dari kedua orang tuanya Sepasang Iblis.
"Guru...," desis Grido Kencono lagi.
Orang yang ujung jari telunjuknya menyala api tersenyum dingin. Begitu mengerikan. Wajahnya tak ubahnya bagaikan tengkorak belaka, karena kurus sekali.
Rambutnya berwarna kelabu sekelabu biji matanya.
Hidungnya melesak ke dalam dengan kedua mata yang turun. Bila saja wajahnya tak seperti tengkorak, sudah tentu matanya akan membentuk gelambir. Pakaiannya berwarna hitam panjang. Menutupi seluruh tubuhnya saat ia duduk. Ketika ia menggerakkan kakinya, terlihatlah kaki kirinya lebih kecil dari kaki kanannya. Di sisinya terdapat sebuah tongkat berwarna hitam pula dengan ukiran tengkorak di pangkalnya.
"Sudahkah kau membunuh si Keparat Malaikat Bukit Pasir, Grido?" Grido Kencono menghela napas pelan, lalu sahutnya takut-takut,
"Belum, Guru"
"Murid bodoh!" suara itu keras menggelegar, seakan menyaingi petir yang sambar menyambar. Gubuk itu bagaikan bergerak sesaat. Tangannya bergerak menampar pipi Grido Kencono hingga mengalirkan darah. Sakitnya bukan alang kepalang, di tahannya semua itu dengan merapatkan giginya.
"Tak guna aku mendidikmu selama ini untuk membunuh manusia keparat itu! Ingat Grido, nyawa kedua orang tuamu mati di tangannya! Keduanya adalah muridku yang kusayangi! Dan kau sebagai anaknya, sudah tentu adalah cucuku! Yang harus membalaskan sakit hati kedua orangtuamu, juga sakit hatiku pada Malaikat Bukit Pasir! Yang perlu kau ingat, Grido... laki-laki buta itulah yang membuat hidungku hancur seperti ini dan wajahku yang tak ubahnya mirip setan gentayangan belaka. Selagi aku mencoba menolong dan menyelamatkanmu dari tangan Malaikat Bukit Pasir, pertarungan dahsyat tak bisa kuelakkan. Karena, ada kau di tanganku yang waktu itu masih bayi, gerakanku jadi kacau. Terutama karena aku memang ingin menyelamatkanmu. Hhh! Aku hanya menunggu waktu beberapa hari lagi untuk menyempurnakan ilmu baruku ini! Namun yang perlu kau ketahui pula, kau mampu menggempur Malaikat Bukit Pasir dengan ilmu yang kuajarkan kepadamu. Sejak puluhan tahun lalu, aku dan Malaikat Bukit Pasir selalu berada di jalur yang berbeda. Ia selalu menghalangi sepak terjangku, juga kedua muridku yang tak lain kedua orangtuamu. Kini saatnya bagimu tunjukkan bakti untuk membalas sakit hati kedua orang tuamu." Grido Kencono menyahut tanpa mengangkat wajahnya.
Ia bisa membayangkan kemurkaan Datuk Pincang Gunung Neraka.
"Maafkan saya, Guru. Sebenarnya saya berhasil untuk mengalahkannya, namun scorang pemuda berpakaian hijau pupus telah menolongnya," katanya memberanikan diri.
"Siapa setan keparat itu?" suara itu semakin dingin mengandung kegeraman. Tulang-tulang di wajahnya makin nampak menonjol tak karuan.
"Pendekar Slebor."
"Hhh! Aku pernah mendengar sepak terjang seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor! Seperti apa kehebatan pemuda itu, hah" Kau yang bodoh atau dia yang memang terlalu tangguh untukmu?" Panas wajah Grido Kencono mendengar ejekan gurunya. Namun sudah tentu ia tak menampakkannya.
"Kau cari kedua manusia keparat itu! Bunuh mereka! Jangan mempermainkan aku sebagai gurumu!"
"Saya datang ke sini, justru ingin meminta pelajaran lagi dari Guru. Saya akui, karena saya tak mampu untuk menandingi kehebatan Pendekar Slebor. Kabarnya, ia berasal dari Lembah Kutukan." Datuk Pincang Gunung Neraka terlengak sejenak.
Matanya menyipit.
"Hhh! Ada hubungan apa pemuda itu dengan Ki Saptacakra?" dengusnya, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Grido Kencono yang mendengarnya baru berani mengangkat kepalanya. Ia melihat gurunya seperti termenung. Lalu didengarnya lagi suara gurunya,
"Peduli setan bila ia memang ada hubungan dengan Ki Saptacakra. Kau tak perlu khawatir lagi untuk menghadapinya. Akan kubuat pemuda lancang itu kena batunya di tanganmu. Pejamkan kedua matamu." Serentak Grido Kencono memejamkan matanya dengan hati gembira. Ia tahu, dengan perintah seperti itu gurunya jelas akan menurunkan sebuah ilmu baru.
Memang itulah yang diinginkan.
Dan mendadak saja ia merasakan satu sengatan yang sangat keras sekali, membuat tubuhnya bergetar hebat. Di udara yang sedingin itu, Grido Kencono mengeluarkan keringat yang banyak. Kedua matanya seakan hendak melompat karena tak sanggup menahan panas. Mulutnya menjerit-jerit setinggi langit. Ia merasa seluruh tenaganya bagaikan terkuras, membuatnya kelojotan tak menentu Sengatan itu bagaikan ribuan listrik yang menyerangnya.
Cukup lama juga lelaki berkumis dan berjenggot panjang itu merasakan sakit yang menderanya, hingga kemudian bagaikan sehelai kertas, ia doyong ke belakang dan ambruk.
"Bangun! Pusatkan tenaga dalammu di perut dan hembuskan napasmu perlahan-lahan!" Meski masih menahan rasa sakit yang menderanya, Grido Kencono melakukan perintah dari gurunya, seketika itu juga ia merasakan sekujur tubuhnya membaik kembali.
Sengatan listrik tadi tak begitu dirasakannya lagi, seolah lenyap begitu saja.
"Kau sudah memiliki ajian 'Rembulan Matahari' yang sangat dahsyat, Grido. Kau akan mampu menandingi ajian 'Guntur Selaksa' milik Pendekar Slebor bila ia memang mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Tetapi, aku tak percaya soal itu. Tak seorang pun yang bisa mewarisi ilmu Ki Saptacakra." Grido Kencono mengangguk-angukkan kepalanya dengan gembira.
"Guru, dengan ajian yang baru saja Guru turunkan ini, saya akan secepatnya melaksanakan perintah Guru."
"Kalau begitu, kembalilah kau sekarang juga, Grido! Ingat, aku tak pernah suka menunggu terlalu lama."
"Baik, Guru!" Dengan tertawa gembira Grido Kencono berkelebat keluar dari bangunan itu. Seperti halnya tadi, ia segera menaiki kudanya dan menggebraknya kencang. Terobos hujan dan kabut tebal. Kalau tadi ia datang dengan hati agak waswas karena khawatir kena marah gurunya, kali ini senyum tak pernah pupus sepanjang ia menaiki kudanya selalu bertengger di bibirnya.
Di matanya sudah terbayang bagaimana jasad Pendekar Slebor membujur tak bernyawa. Dan ia tak sabar untuk menunggu saat yang ditunggunya.
Sementara itu, Datuk Pincang Gunung Neraka berada dalam kegelapan kembali. Karena ia sudah memadamkan api yang keluar dari jarinya tadi. Ada sesuatu yang dipikirkannya....

***

«֍[ 7 ]֍»

Andika memaki-maki, kesal sendiri. Ia masih berdiri tegak di sebuah batang pohon, melindungi dirinya dari hujan yang turun dengan derasnya.
"Busyet! Kalau begini terus, aku akan kehilangan jejak Imas!" dengusnya jengkel. Kalau di ngat tentang kejadian itu, Andika jadi malu sendiri. Habis, kalau saat itu ia menahan serangan Imas pada Praba Gering, bisa-bisa gadis itu akan ganti marah padanya. Padahal, Andika membutuhkannya untuk bertanya lebih jauh tentang Malaikat Bukit Pasir. Soal Praba Gering dan Mantari yang ingin dibunuh oleh Imas, sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Karena dugaan Andika, keduanya tak akan mampu hidup lebih lama lagi. Kalaupun hidup, mereka akan menjadi orang cacat selama-lamanya. Pemuda tampanberalis hitam legam mirip kepakan sayap elang itu mendengus membayangkan kekeraskepalaan Imas.
"Menjengkelkan, mengapa aku mencemaskannya sekarang" Apakah karena aku merasa bersalah setelah hilangnya gurunya itu, Malaikat Bukit Pasir" Uh, kenapa harus ada sih gadis menjengkelkan seperti itu?" Tetapi di detik lain, pikirannya berubah.
"Biar bagaimanapun juga, aku harus menemukan Imas. Karena, tak mustahil dialah yang sekarang akan menjadi sasaran manusia-manusia busuk yang mendendam pada gurunya!" Berpikir seperti itu, Andika akhirnya memutuskan untuk meneruskan larinya.
Tubuh itu pun berkelebat menerobos hujan.
Di sebuah tempat yang agak lapang, tiba-tiba saja Andika berteriak keras. Empat buah tali telah mengikat kedua tangan dan kakinya. Serentak Andika mendengus sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
"Heeeiiittt!" Empat buah tali itu menyentak dan empat sosok tubuh berpentalan keluar dari arah yang berlainan, yang bagai dibetot oleh tenaga raksasa, namun segera sigap berdiri.
Mereka cukup kaget melihat tenaga yang diperlihatkan oleh Pendekar Slebor. Karena, membuat tubuh keempatnya bergetar.
Andika mendengus gusar begitu melihat siapa yang muncul.
"Rupanya monyet-monyet kepala kuning! Hhh! Di mana Grido Kencono berada?" Bukannya menyahut keempat orang itu segera menderu secara serempak dengan empat buah parang yang besar. Kibasan parang di tangan mereka seakan mengalahkan suara gemuruh hujan. Andika mendengus sambil menghentakkan tangannya yang dialiri oleh tenaga dalam. Tubuh keempatnya tertarik ke depan dan jatuh bangun. Namun mereka segera berdiri meskipun di bibir mereka mengalirkan darah. Serangan kali ini lebih berbahaya lagi. Andika berkali-kali harus melompat dan membuang tubuhnya kalau tidak ingin dicacah oleh parang-parang besar itu.
Yang lebih membahayakan lagi, karena tiba-tiba saja keempatnya melemparkan parang secara serempak ke arah Andika yang harus berjumpalitan menghindar.
Ia memang berhasil menghindari serangan itu, hahkan tangannya masih sempat mematahkan dua buah parang sekaligus. Namun begitu ia menjejakkan kakinya di tanah yang becek, empat buah jala yang dilemparkan sekaligus dari arah berlainan telah menjeratnya. Menjadikannya bagaikan seekor burung yang terkena perangkap.
Rupanya keempatnya memang telah mempersiapkan jebakan yang lebih hebat lagi. Serentak mereka menariknya dengan mengalirkan tenaga dalam sehingga ikatan jala itu semakin mengencang. Lalu berlarian berputaran, sehingga tali-tali yang menghubungkan dengan jala itu semakin pendek, dan membuat Andika bagaikan terikat erat. Andika berontak dengan suara memaki-maki panjang.
Ia mencoba untuk memutuskan rangkaian jala itu. Namun jala itu begitu kedot sekali. Keempatnya terus berusaha mempertahankan agar Andika tak mampu meloloskan diri.
"Keparat! Kalian ingin mencari mampus!" geram Andika dan berusaha untuk mclepaskan jala-jala itu.
Namun yang anehnya, jala yang terbuat dari rangkaian tali yang bening itu tak mampu untuk diputuskan. Bahkan ajian 'Guntur Selaksa' tak bisa memutuskannya. Bukan karena tak mampu, melainkun karena jala itu sangat lentur sehingga Andika bagaikan memukul angin.
Salah seorang dari mereka itu terbahak-bahak,
"Hebat! Hebat sekali! Kakang Grido Kencono pasti menyukai kerja kita ini begitu tahu siapa yang masuk dalam jala-jala maut!" Andika menyipitkan matanya, tubuhnya tertekuk karena ikatan jala yang menguat Kedua kakinya bagaikan menekan dadanya sendiri. Cukup menyiksa berada dalam ruang gerak yang sempit ini. Bahkan untuk bernapas saja rasanya sulit, karena wajahnya pun tertekan ikatan jala itu.
"Manusia busuk! Kita bertarung sampai mampus!" serunya gusar.
"Mengapa harus repot-repot untuk membunuhmu, Pendekar Slebor! Gara-gara ulah busukmu itulah Malaikat Bukit Pasir lolos dari tangan kami!"
"Keparat! Monyet pitak! Ombak karang! Satu saat akan ku kepruk kepala kalian sampai pecah!" maki Andika dan berusaha meronta kembali, namun semakin ia meronta, semakin kuat jala-jala itu mengikat tubuhnya.
Orang-orang itu terbahak-bahak. Lalu bagaikan dikomando, keempatnya menerjang ke arah Andika yang tengah meringkuk tanpa mampu berontak. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi diterima Andika dengan hati marah.
Namun, ia tak mampu berbuat apa-apa.
Setelah puas memukuli dan menendang Andika, bagaikan mendapat hewan buruan, dengan sekali sentak saja mereka mengangkat tubuh Andika dan meninggalkan tempat itu sambil terbahak-bahak.
Tinggal Andika yang menahan geramnya dengan sekujur tubuh yang terasa sakit sekali. Namun itu tak dirasakannya, karena justru hatinya yang bertambah sakit.
Imas terus berlari menembus hujan yang lebat sekali.
Ia tak peduli semua itu. Yang dipikirkannya hanyalah nasib gurunya. Berbagai pikiran aneh yang mengandung kecemasan selalu bermain di otaknya. Tetapi Imas berusaha untuk segera menghilangkan pikiran buruknya bila setiap kali datang.
Di sebuah tempat yang sunyi, Imas menemukan sebuah gubuk kecil yang tak dipakai lagi. Gubuk itu masih nyaman untuk sekadai melindunginya dari cu-rahan hujan.
Di gubukitulah Imas meringkuk dengan menekuk kedua lututnya di balai-balai yang telah kusam dengan rasa lelah yang mulai dirasakan.
Pikirannya kembali menerawang. Teringat lagi saatsaat yang menggembirakan bersama gurunya. Teringat bagaimana gurunya berlatih ilmu kanuragan. Teringat bagaimana gurunya selalu memberikan wejangan hidup yang berarti. Semua-muanya teringat dan membuat gadis itu berkali-kali menarik napas.
Apa yang dialami gurunya saat ini" Dan berada di manakah dia" Tanya gadis itu dalam hati.
Imas mendesah panjang. Ia sudah mendengar cerita dari gurunya mengapa dua puluh lima tahun yang lalu membunuh kedua orangtua Grido Kencono.
Karena mereka orang jahat yang keijanya hanya membunuh saja dan mengumbar ilmu-ilmu hitam. Saat itu, gurunya datang berkelana seperti kebiasaannya dan ia memiliki seorang musuh bebuyutan yang berjuluk Datuk Pincang Gunung Neraka. Dalam berkelananya, ia pun telah mendengar sepak terjang dari Sepasang Iblis yang mengerikan. Dalam satu perjumpaannya dengan Sepasang Iblis, gurunya berhasil membunuh mereka. Namun harus dibayar mahal dengan indera penglihatannya yang terkena Bubuk Sutera yang ditebarkan oleh Sepasang Iblis.
Gurunya pun tahu kalau Sepasang Iblis memiliki seorang anakyang bernama Grido Kencono. Namun ketika ia mencarinya, ia terlambat. Karena Datuk Pincang Gunung Neraka yang diketahui sebagai guru dari Sepasang Iblis telah membawanya pergi.
Mengetahui kalau Sepasang Iblis ternyata adalah murid dari musuh bebuyutannya, gurunya berusaha mengejar Datuk Pincang Gunung Neraka, namun lelaki berwajah tengkorak itu sudah menghilang. Dan yang tak pernah disangka Imas, kalau begitu banyak yang mendendam pada gurunya. Meskipun ia kini menyadari, kalau dulu gurunya bertindak sebagai pendekar kebenaran dan sudah tentu orang-orang busuk yang pernah dikalahkannya bertambah mendendam saja.
Meskipun cemas bercampur bingung memikirkan nasib gurunya, tetapi Imas bangga karena gurunya adalah tokoh dari golongan lurus.
Tiba-tiba Imas teringat akan Pendekar Slebor. Bibir gadis itu tiba-tiba tersenyum sendiri berbalur malu. Ah, pemuda tampan yang urakan itu telah melihat tubuhnya.
Ini sebenarnya memalukan, makanya Imas merasa lebih baik meninggalkannya saja. Meskipun ia sedih mendengar cerita Pendekar Slebor yang gagal untuk menyelamatkan gurunya. Ah, ke mana gurunya pergi sebenarnya" Desisnya resah. Namun lagi-lagi bayangan Pendekar Slebor yang muncul di benaknya. Eh! Apa-apaan sih ini" Geramnya gusar dan berusaha untuk menghilangkan bayangan Pendekar Slebor.
Akan tetapi, semakin ia berusaha keras untuk menghilangkan bayangan-bayangan itu, justru semakin kuat mengikatnya. Wajah Imas memerah kembali ketika teringat lagi bagaimana Pendekar Slebor menatap tubuhnya.
"Memalukan!" desisnya gusar. Seharusnya ia membunuh saja pemuda brengsek itu yang telah melihat tubuhnya. Dalam keadaan terluka itu, tentunya ia lebih mudah membunuh Pendekar Slebor. Namun entah mengapa di dasar hatinya Imas merasa senang tubuhnya dilihat Pendekar Slebor.
Kembali ia memaki ketika pikiran itu muncul .
"Brengsek! Kenapa sih bayangan pemuda brengsek itu tidak mau hilang juga!" makinya gusar.
Dan semuanya bagaikan film yang diputar belaka.
Kembali lagi bayangan-bayangan itu menguak di benaknya.
Ih, apakah aku sudah jadi perempuan gatal" Makinya.
Lalu ia berusaha mengkonsentrasikan pikirannya pada nasib gurunya. Tetapi, bayangan Pendekar Slebor terus mengikuti jalan pikirannya.
"Brengsek! Brengsek! Kenapa sih jadi begini?" makinya lagi. Apalagi ketika teringat ia meninggalkan Pendekar Slebor dalam keadaan terluka. Justru ia merasa tak tenang sekarang.
"Ah, tidak apa-apa. Pemuda brengsek itu memiliki ilmu yang tinggi! Kalaupun ia terluka, seperti ceritanya karena ia telah bertarung secara beruntun dengan orang-orang yang menginginkan nyawa Guru... aku yakin ia masih mampu mengatasinya." Tetapi gadis itu justru mendesah gelisah. Pendekar Slebor tak tahu masalah apa yang sebenarnya tengah terjadi, tetapi ia sudah terlibat dalam masalah berdarah ini.
Saat itu, Imas benar-benar mencemaskan Pendekar Slebor. Perubahan sikapnya begitu cepat sekali. Semula membenci dan merutuknya karena telah melihat tubuhnya, sekarang justru ia yang merasa tidak tenang.
Ah, mengapa harus jadi seperti ini" Desisnya masih mencoba menutup segala keanehan yang dirasakannya.
Tetapi, justru ia berusaha menutupnya, justru kecemasanitu semakin besar bertalu-talu di hatinya.
"Brengsek! Kenapa aku harus memikirkan pemuda urakan itu" Sialan betul!" Namun sesuatu yang aneh di hatinya bertalu-talu.
Setelah hujan berhenti, Imas bertekad untuk mencari Pendekar Slebor.

***

«֍[ 8 ]֍»

Grido Kencono hanya mendengus ketika penglihatannya yang tajam menangkap satu sosok tubuh berkelebat. Hmmm, ada tikus yang iseng rupanya, dengusnya dalam hati.
Tiba-tiba tangannya mengibas.
Duaaaar! Semak belukar seketika pecah berantakan begitu terkena sambaran pukulan anginnya yang keras. Satu sosok tubuh melenting dari sana sambil menggeram.
Lelaki tinggi besar itu terbahak-bahak melihat sosok di hadapannya.
"Rupanya memang ada tikus iseng yang busuk!" Orang yang baru muncul itu adalah Jalak Codet Merah.
Setelah melarikan diri sambil membawa tubuh saudara kembarnya yang tewas akibat hantaman Pendekar Slebor, ia pun menguburkannya di satu tempat yang sunyi.
Kegeramannya bertambah setinggi langit. Ia berteriak keras bagaikan membedah alam. Dan ia bersumpah untuk membunuh Pendekar Slebor. Makanya ia kembali berbalik arah untuk mencari Pendekar Slebor tanpa mempedulikan lagi kcmampuan dirinya. Yang terpenting sekarang, adalah salah seorang dari mereka harus mati. Dirinya, atau diri Pendekar Slebor. Untuk sejenak dilupakannya tentang dendamnya pada Malaikat Bukit Pasir yang telah membunuh gurunya sepuluh tahun lalu.
Dan sekarang, ia muak diperlakukan seperti ini oleh lelaki berkumis dan berjenggot lebat yang terbahak-bahak di hadapannya.
"Manusia hina! Jangan kau mencari urusan denganku! Biarkan aku meninggalkan tempat ini bila kau ingin selamat!" ancamnya dengan mata memerah tajam.
Grido Kencono terbahak-bahak. Tiba-tiba saja tawanya terhenti dan tubuhnya melompat garang ke arah Jalak Codet Merah, menebarkan hawa panas yang tinggi. Jalak Codet Merah yang sejak tadi sudah mempersiapkan diri, segera meluruk dengan kecepatan yang sama.
Duk! Buk! Dua kali tangan dan kaki keduanya bertemu dan keduanya mundur ke belakang. Jalak Codet Merah mengerutkan keningnya ketika melihat tangannya membiru. Sementara Grido Kencono hanya terbahakbahak.
"Rupanya kau sendiri yang tak akan selamat!" Geram serta penasaran sekali Jalak Codet Merah segera menggerakkan kedua tangannya sekaligus dalam pukulan yang kuat dan mengandung tenaga yang sangat dahsyat. Dengan gerakan itu, Jalak Codet Merah bermaksud menjepit lengan kanan lawan kemudian mematahkannya! Tetapi lagi-lagi Jalak Codet Merah tersentak ketika mendadak saja lawannya membentak keras,
"Awas leher!" Dan laksana cengkeraman seekor elang, kedua tangan Grido Kencono sekaligus menyapu dan menderu ke batang leher Jalak Codet Merah.
"Setttan!" memalri Jalak Codet Merah sambil mengeluarkan suara yang keras. Seketika ia melihat tubuh lawannya bagaikan lenyap dari pandangan. Namun mendadak ia mendengar angin berkesiur dari sisinya.
Sewaktu lengan Grido Kencono menebas ke arah leher, Jalak Codet Merah berhasil mengelakkan dan kini begitu terdengar seruan lawan maka tak ayal lagi ia merunduk cepat dan laksana kilat ia menyodokkan kedua tangannya dengan gerakan beruntun. Satu ke wajah dan satu lagi ke ulu hati.
Namun ia harus tertipu oleh gerak serangan lawannya.
Karena, sesungguhnya dengan kecepatan yang luar biasa tangan Grido Kencono berputar ke bawah dan naik lagi ke atas di antara kedua lengan-nya.
Besss! Tubuh Jalak Codet Merah terjajar ke belakang.
Tangannya mengusap dadanya yang nyeri terpukul.
Matanya memicing dengan kemarahan yang semakin menjadi-jadi.
"Keparat!" makinya dan serentak memutar tubuh dengan gerakan aneh. Tangan kanannya bergerak ke kiri dan kekanan, membuat Grido Kencono sejenak tertegun dengan serangan yang aneh semacam itu. Itu adalah jurus 'Merah Darah Membuyarkan Lautan'.
Kali ini Grido Kencono nampak bagaikan tikus yang terkena perangkap kepungan seekor kucing. Ia mencoba mengelak dengan mempergunakan kecepatannya, namun setiap kali ia bergerak, setiap kali pula serangan Jalak Codet Merah mengarah padanya.
"Anjing! Kau harus mampus!" tiba-tiba saja Grido Kencono bersalto ke belakang dengan lincahnya, bahkan saat bersalto ia masih sempat menendang sehingga Jalak Codet Merah urung untuk mengejar. Saat ia hinggap di tanah, di tangannya telah terangkum ajian 'Rembulan Matahari' yang baru didapatnya dari Datuk Pincang Gunung Neraka. Jalak Codet Merah yang telah dirasuki amarahnya tak sadar kalau bahaya telah mengancam. Dengan sengitnya, dan suara gerengan yang keras ia kembali menyerang.
Dalam pikirannya, manusia yang mengenakan ikat kepala kuning itu hanya membuang waktunya saja untuk mencari Pendekar Slebor.
Namun belum lagi serangannya sampai pada Grido Kencono, Jalak Codet Merah sudah membuang tubuhnya ke kiri dan bergulingan. Ia merasakan satu sentakan tenaga yang kuat dan dahsyat mengarah padanya tadi.
Duaaar! Wajahnya seketika pucat pasi melihat lima buah pohon pecah menjadi serpihan ketika serangan Grido Kencono luput dari sasarannya.
"Gila! Kalau aku nekat meneruskan semua ini, bisabisa aku mampus di tangannya! Kesempatanku untuk mencari Pendekar Slebor akan pupus." Grido Kencono terbahak-bahak melihat wajah lawannya yang pias.
"Kini kau akan mampus, Manusia Busuk!" tawanya sambil mengangkat tangan kanan nya.
Ajian 'Rembulan Matahari' siap dikirimkan pada lawan.
Jalak Codet Merah mengangkat kedua tangannya seraya berseru,
"Tahan! Biarkan aku hidup, maka aku akan mengabdi kepadamu!" Grido Kencono mengeluarkan suara tertawa yang lebih tinggi. Perutnya bagaikan berguncang hebat.
"Usul yang menarik sekali. Silakan kau menjilat kedua kakiku bagaikan seekor anjing untuk mengetahui ketulusan hatimu mengabdimu kepadaku!" Wajah Jalak Codet Merah memerah mendengarnya. Ia berusaha menahan seluruh gelegak amarahnya. Ia memang tak ingin mati dulu sebelum membunuh Pendekar Slebor. Lalu dengan menahan seluruh amarah, dendam, dan malunya, bagaikan seekor anjing ia menjilati kedua kaki Grido Kencono yang terbahak-bahak, tetap dengan tangan yang terangkum ajian 'Rembulan Matahari' bila lawannya ternyata hanya berpura-pura.
"Ha ha ha... bagus! Kau boleh mengabdi kepadaku! Sebutkan namamu dan ceritakan apa yang sedang kaualami!" Jalak Codet Merah menyebut namanya dan menceritakan semua yang dialaminya. Seketika terdengar suara Grido Kencono bagaikan ledakan keras.
"Lagi-lagi pendekar keparat itu!" tiba-tiba tangannya mengibas kembali. Suara ledakan sepuluh kali beruntun terdengar bersamaan sepuluh pohon besar yang menjadi serpihan.
"Aku pun mempunyai dendam yang sama pada Pendekar Slebor! Jalak Codet Merah, pengabdianmu sejalan dengan yang hendak kulakukan pada Pendekar Slebor! Dan yang terpenting lagi, kita pun memiliki dendam pula pada Malaikat Bukit Pasir! Hhh! Keinginanku yang ada sekarang ini membunuh pendekar lancang itu!"
"Kawan Grido, terima kasih bila kau menganggapku sebagai teman seperjalanan!" sahut Jalak Codet Merah tersenyum. Dengan adanya Grido Kencono, ia yakin akan berhasil membunuh Pendekar Slebor.
"Ha ha ha... kau memang pandai menjilat rupanya! Sayang, Jalak Kembar Baju Merah hanya tinggal seorang! Hhh! Pendekar Slebor memang harus mampus di tanganku!" Tiba-tiba terdengar satu suara,
"Kakang Grido! Pendekar busuk ini telah berada di tangan kita!" Grido Kencono menoleh ke arah suara itu. Begitu pula dengan Jalak Codet Merah yang seketika bergerak bagaikan melihat buruannya.
"Keparat hina! Kau harus membayar nyawa adikku! Heaaa!" Bruk! Kaki Grido Kencono lebih dulu menyambar kaki Jalak Codet Merah sehingga lelaki itu tersuruk ke depan.
"Tidak perlu langsung membunuhnya! Ini kesempatan kita untuk memperlihatkan diri pada seluruh isi rimba persilatan, kalau pendekar nomor satu dirimba persilatan berada di tangan kita! Setelah manusia ini kita bikin mampus, usaha yang harus kita lakukan adalah memburu Malaikat Bukit Pasir! Ha ha ha...." Pendekar Slebor yang kali ini benar-benar bagaikan tikus yang masuk perangkap hanya bisa menggeram gusar dengan tatapan sengit.
"Kita bertarung sampai mampus, Orang Busuk!" serunya sambil mencengkeram erat jala yang menyelimuti tubuhnya. Ia tahu, keadaan tak menguntungkan saat ini.
Apalagi dilihatnya Jalak Codet Merah sudah bergabung dengan Grido Kencono.
"Pemuda setan! Kita akan membuat permainan yang sangat menarik!" Tubuh Grido Kencono berkelebat cepat.
Tuk! Tuk! Dua kali ia menotok Andika sehingga pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu semakin tak berdaya saja.
"Keluarkan ia dari jala itu!" Serentak keempat lelaki yang memegang tali masingmasing menggerakkannya.
Bruk! Jala-jala itu terlepas, tubuh Andika terlempar dan jatuh bagaikan nangka busuk.
Sementara sepasang mala Jalak Codet Merah semakin berkilat-kilat dengan dendam yang semakin sarat. Namun ia masih bisa menahan rasa dendamnya untuk tidak menghabisi nyawa Pendekar Slebor. Toh, sebentar lagi ia akan turut menghabisi nyawa Pendekar Slebor. Ini adalah kesempatan yang lebih baik, karena tak perlu bersusah payah mencarinya.
Andika masih memaki-maki dengan tubuh tak bisa bergerak. Kemarahannya sudah membludak sebenarnya.
Tiba-tiba ia mengaduh dengan kepala oleng. Kaki Ekalaya sudah menyepak mukanya.
"Jangan jadi badut di sini!" Andika menggeram pada Ekalaya.
"Kuhajar tungganglanggang kau nanti!" Ekalaya terbahak-bahak.
"Sudah mau mampus masih bertingkah! Kakang, apa yang akan kita lakukan dengan manusia busuk ini"!"
"Ikat kedua kakinya!" Ekalaya segera menjalankan perintah itu. Lalu meneruskan dengan melemparkan tali itu ke sebuah batang pohon.
"Tarik! Biar seluruh darahnya tumpah di kepala!" Apa yang dialami Andika memang benar-benar suatu siksaan. Kini tubuhnya tergelantung di dahan pohon dengan kepala ke bawah. Ia tak mampu untuk meronta sedikit pun kecuali hanya memaki-maki tak karuan.
"Kumpulkan batu!" seru Grido Kencono sambil terbahak-bahak.
Dengan cepat termasuk Jalak Codet Merah, mereka mengumpulkan batu-batu yang cukup besar.
"Nah, kita akan menikmati permainan ini! Barang siapa yang bisa melempar tepat di kepala pemuda sialan itu, maka ia berhak melempar dua kali!" Wajah Andika pias bercampur kemarahan yang tinggi.
Ia menggeram hebat mengumbar seluruh amarahnya.
Namun totokan yang dilakukan Grido Kencono bukanlah totokan sembarangan, ia bukan hanya tak mampu untuk melepaskannya, bahkan untuk menemukan di bagian mana tubuhnya ditotok saja sungguh sulit.
"Keparat busuk! Manusia monyet!"
"Kau boleh memaki sepuasmu, Pendekar Slebor! Ingat, aku bisa menghentikan semua permainan ini, bila kau mau mengatakan di mana Malaikat Bukit Pasir berada?"
"Setan alas! Monyet gundul! Bila aku tahu di mana ia berada, tak akan pernah akan kukatakan padamu! Kau harus mampus, Jelek!" Wajah Grido Kencono memerah.
"Jangan salahkan aku bila kau akan segera mengikuti permainan ini! Lakukan!" Lalu mulailah ia menerima siksaan yang membuatnya gusar dan marah. Batu-batu itu dilempar secara bergantian, mencecar kepalanya. Memang hanya sesekali batu yang dilempar dengan kekuatan penuh itu menimpa kepalanya, namun rasa sakitnya sungguh luar biasa. Darah sudah mengalir dari pelipisnya. Belum lagi bagian-bagiah tubuhnya yang lain yang terhantam oleh batu-batu itu.
Orang-orang itu melakukannya sambil tertawa-tawa.
Jalak Codet Merah benar-benar merasakan satu kesenangan yang telah lama dicarinya. Bahkan ia melempar dengan mempergunakan tenaga dalam yang penuh sehingga setelah sepenanakan nasi Andika menerima siksaan itu, ia pun jatuh pingsan.
"Cukup! Guyur ia dengan air biar sadar kembali! Setelah itu, kita teruskan permainan ini!" seru Grido Kencono dengan senyum puas.
Ekalaya sambil tertawa-tawa segera mengambil air yang terdapat di sebuah sungai.
Ia menemukan sebuah gentong yang terbuat dari tanah liat. Gentong yang cukup besar itu, sudah agak kusam. Namun tak ada bagian yang retak. Dengan gentong itu ia membawa air yang banyak. Ketika ia akan kembali lagi ke tempat semula, mendadak saja satu pukulan keras menimpa punggungnya hingga ia jungkir balik. Tulang punggungnya terasa patah. Gentong yang dipegangnya terlepas, pecah dan airnya tumpah.
Matanya berkeliaran mencari siapa yang membokongnya. Namun tak satu sosok pun yang terlihat.
"Manusia keparat! Tampakkan wajah busukmu bila kau memang jantan!" maki Ekalaya dengan sikap waspada.
Tak ada suara apa pun.
Yang ada hanya kesiur angin yang datang begitu tibatiba. Buk! Kembali Ekalaya bergulingan dan ketika berdiri ia memaki-maki keras. Ia sungguh tak melihat orang yang menyerangnya, Bahkan bayangannya pun tidak. Hanya suara angin yang mendesir saja yang dirasakannya.
Kembali ia memaki-maki keras. Namun makiannya itu tak berguna, karena sejurus kemudian kepalanya sudah pisah dari jasadnya.

***

Grido Kencono mendengus gusar ketika menyadari sudah cukup lama Ekalaya tak kembali. Ia sudah tak sabar untuk mempermainkan Andika kembali.
"Subali! Susul dial" Yang diperintah segera menjalankan tugas. Namun ia pun tak kembali lagi. Karena, suara angin yang aneh itu terdengar lagi dan Subali merasakan tubuhnya terkena hantaman keras. Tulang iganya patah seketika. Belum lagi ia menyadari apa yang terjadi, terdengar suara 'krak' yang cukup keras. Kepalanya pecah terkena keprukan yang dahsyat. Grido Kencono benar-benar murka sekarang. Dengan segera ia memerintahkan dua temannya sekaligus untuk mencari Ekalaya dan Subali.
Keduanya kembali lagidengan teriakan-teriakan keras,
"Kakang! Ekalaya dan Subali sudah menjadi mayat!"
"Apa?" lelaki tinggi besar itu bangkit dari duduknya dengan suara menggelegar. Matanya nyalang dan suaranya semakin keras menggelegar,
"Siapa yang melakukan semua itu?"
"Kami tak melihat siapa-siapa!"
"Kalian tunggu di sini! Jalak Codet Merah, ikut denganku! Rupanya ada manusia lancang yang hendak mencari mati!" serunya keras.
Lalu dengan kegeraman yang sangat besar, Grido Kencono berkelebat bersama Jalak Codet Merah. Apa yang dikatakan Drajit dan Waringko memang benar. Ia menemukan mayat Ekalaya dan Subali dengan leher patah.
Kemarahannya semakin menjadi-jadi. Ia menjerit keras memanggil-manggil si penyerang yang tak ketahuan batang hidungnya. Setelah beberapa saat tak muncul, dengan kegeraman yang sangat Grido Kencono melepaskan pukulan ajian 'Rembulan Matahari' berkali-kali. Seketika suara gemuruh bagaikan puluhan ekor gajah liar mengamuk Setelah puas mengumbar amarahnya, dengan napas terengah-engah menyimpan gelegak amarah, ia segera mengajak Jalak Codet Merah kembali ke tempat semula.
Dan sepasang matanya yang geram seakan melompat keluar ketika melihat Drajit dan Waringko sudah menjadi mayat. Sementara tubuh Pendekar Slebor tak ada di tempatnya! "Bangsat keparat! Kau hanya mencari mampus!" geramnya setinggi langit, membedah tempat yang besar dan sunyi itu. Sementara Jalak Codet Merah hanya terdiam dengan tatapan waspada.

***

«֍[ 9 ]֍»

Andika membuka matanya, yang kembali segera dipejamkan karena silaunya sengatan matahari. Yang diingatnya, hanyalah ketika terakhir ia mengalami siksaan yang dilakukan oleh Grido Kencono. Makanya, seketika ia bangkit berdiri dan bersiaga. Namun tempat itu sepi, tak seorang pun berada di sana.
Diam-diam Andika mendesah. Berada di manakah ia sekarang ini" Bukankah saat itu ia tengah tergantung dengan kepala ke bawah" Baru pula disadarinya kalau luka-lukanya telah sembuh. Bahkan Andika merasa tubuhnya seperti sediakala.
Siapa yang telah menolong aku" desisnya bertanyatanya. Tiba-tiba ia menoleh ketika didengarnya suara ranting patah karena terinjak dan dilihatnya Imas sedang melangkah perlahan. Di tangannya terdapat buah-buahan yang ranum. Andika mendesis, entah kenapa ia jadi gelisah. Melihat kehadiran gadis ini, ia yakin, pasti Imas yang menolongnya. Ah, kalau dulu ia mempermainkan gadis itu dengan berpura-pura pingsan, justru sekarang ia pingsan benaran. Karena merasa seperti itu, Andika langsung mendekat dan berkata.
"Kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu, Imas." Bukannya menjawab sebaliknya gadis itu mendengus,
"Bicaramu ngaco! Aku merasa tidak menolongmu lagi?" Lalu dengan santainya ia duduk di tanah dan tanpa menawari ia memakan buah yang baru dipetiknya.
"Pemuda seperti kau ini justru akan mencuri kesempatan kalau ditolong! Kesudian amat!" Andika hanya membuang napasnya saja. Sikap gadis ini memang masih tetap semaunya saja. Tetapi merasa ia memang harus berterima kasih, Andika berkata lagi,
"Biar bagaimanapun juga, aku berterima kasih padamu."
"Sudah kubilang tadi, aku tidak menolongmu!" Kali ini Andika mengerutkan kening.
"Kalau kau merasa tidak menolongku, lalu siapa yang melakukannya?" tanyanya seolah pada diri sendiri.
Gadis itu menyahut tak acuh,
"Mana aku tahu" Aku menemukanmu dalam keadaan pingsan. Ketika kuperiksa luka-lukamu, kau seperti baru saja diobati. Masih untung sebenarnya! Masih ada yang mau menolongmu!"
"Brengsek, gadis ini bicara seenak perutnya saja!" maki Andika dalam hati.
"Tetapi, siapa yang telah menolongku?" desisnya bagai bergumam.
Imas yang mendengar gumamannya itu membentak,
"Ya ampun! Kau ini bagaimana sih"! Sudah kubilang tadi, mana aku tahu! Hei, kau lapar tidak" Nih, kau nikmati rezekimu!" Andika menangkap buah yang dilemparkan Imas. Lalu dengan masih memikirkan siapa yang telah menolongnya, ia memakan buah itu. Sesaat kemudian dilihatnya Imas telah berdiri,
"Aku mau mencari Guru!"
"Tunggu, Imas!" Gadis itu menghentikan langkahnya. Lalu sambil menghentakkan kakinya ia menoleh dan berseru,
"Apa lagi" Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan" Nah! Selamat tinggal!" Wajah Andika memerah karena jengkel diejek seperti itu. Ia mendengus tanpa berkata lagi.
Gadis itu membuang wajahnya, lalu dengan langkah angkuh ia meninggalkan Andika.
Andika tak menahan kepergian Imas. Sesungguhnya, ia tak tahu apa yang ada di hati gadis itu sebenarnya. Imas memang sengaja hendak meninggalkannya, dengan harapan Andika akan mengikutinya. Atau paling tidak menahannya lagi. Tetapi justru Andika malah membiarkan saja. Huh! Pemuda bodoh! Tidak tahu kalau aku mulai mencintainya, dengus Imas. Tidak tahu kalau aku selalu memikirkannya. Tiba-tiba terdengar teriakannya yang keras.
"Kang Andikaaaa!" Andika yang masih terdiam, melengak lalu dengan satu lompatan ringan ia sudah tiba di sisi Imas.
"Ada apa, Imas?" Gadis itu menunjuk seekor ular yang sedang melata dengan tangan gemetar. Sikapnya begitu ketakutan sekali.
Andika segera mengambil sebutir kerikil, menjentiknya hingga batu itu meluncur laksana anak panah yang dilepaskan dari busur ke arah ular itu Dan seketika kepala ular itu pecah! "Tidak apa-apa! Mengapa hanya dengan ular saja kau takut" Padahal, kau berani membentakku!" Imas memukul bahu Andika dengan manja. Andika mengerutkan keningnya.
"Aneh, tadi ia membentakbentakku, sekarang sikapnya begitu manja. Kenapa sih" Jangan-jangan buah yang dimakannya mengandung racun pengacau otak?" Andika memang tak tahu kalau itu hanyalah akal Imas belaka. Jangankan hanya seekor ular, seekor singa yang menghadangnya, gadis itu pun masih berani menghadapinya. Yang terjadi kemudian, tahu-tahu keduanya sudah saling tatap. Mata mereka seakan magnit yang membuai dan menggerakkan hati. Karena tiba-tiba saja sepasang mata Imas terpejam dengan dada berdebar. Untuk sejenak Andika mengerutkan keningnya. Tidak mengerti.
"Kenapa, Imas" Apakah kau masih ngeri dengan ular itu?" tanyanya, polos.
Imas menjadi gemas dan segera membuka matanya.
"Kang Andika ini!"
"Lho, aku bertanya kan... ha ha ha!" tiba-tiba Andika tertawa. Lalu ia memijit hidung Imas yang bangir setelah menyadari apa yang terjadi.
"Kalau kau ingin kucium, aku mau saja." Justru dikatakan seperti itu Imas jadi malu. Wajahnya memerah tak karuan. Namun hatinya senang bukan main.
Akan tetapi, karena sudah telanjur malu, ia melepaskan rangkulannya pada Andika dan berlari.
"Hei, kau mau ke mana?" seru Andika.
"Kejar aku kalau Kang Andika mampu!"
"Busyet! Dia nantang nih! Tetapi nanti kasih cium ya?" seru Andika masih tertawa geli memikirkan sikap Imas.
"Cium bibir sumur mau?" seru Imas dari kejauhan.
Andika mengejar,
"Kalau kau yang jadi sumurnya, ya...
aku belum tentu mau! Ha ha ha!"

***

Dunia memang berputar, sesuai dengan hukum alam.
Malam pun kembali tlatang. Bentangan langit gelap yang diterangi oleh jutaan bintang membentang indah.
Di bawah pohon yang rindang, Andika dan Imas duduk berdua. Dalam jarak seratus tombak dari mereka, berjejer bukit-bukit indah, namun dilihat pada malam hari tak ubahnya bagai raksasa yang sedang tertidur. Pada siang hari, pemandangan disekitar bukit itu sangat indah.
Imas bersandar di batang pohon, sementara Andika tiduran dengan kepala berbantal kedua paha Imas.
Apa yang dialami oleh Imas ini memang sangat ia harapkan sekali. Sementara bagi Andika sendiri, ia merasa Imas akan lebih aman bersamanya karena seperti diketahui kalau intaian maut siap mengancam mereka.
Meskipun terus terang, berjalan bersama seorang gadis dalam keadaan semacam ini bukanlah hal yang mengenakan. Mengingat gadis itu juga memiliki sifat yang keras kepala. Sampai saat ini Andika masih memikirkan siapakah yang telah menolongnya. Biar bagaimanapun juga, siapa pun orangnya, ia akan tetap berterima kasih padanya. Yang juga masih dipikirkannya, tentang lenyapnya Malaikat Bukit Pasir yang kemungkinan berkaitan dengan seseorang, yang mungkin telah menolong laki-laki buta itu atau bisa pula telah atau akan membunuhnya.
"Kang Andika...," desis Imas dengan suara bergetar sambil membelai rambut Andika yang gondrong. Matanya memandang lembut pada Andika yang mendongak.
"Ya?"
"Aku mencemaskan nasib Guru."
"Begitu pula denganku, Imas. Aku sungguh menyesal karena tidak lebih dulu mengamankannya saat mencari buah-buahan pengisi perut."
"Jangan salahkan dirimu, Kang Andika. Bukankah kau sendiri saat itu yakin kalau Guru akan aman?"
"Kau benar, Imas. Tetapi biar bagaimanapun juga...." Imas menekan mulutnya pada bibir Andika "Tidak usah kau teruskan lagi." Suasana hening. Masing-masing dicekam oleh pikiran sendiri. Malam semakin merambat. Suara binatang malam terdengar cukup ramai. Andika tak ingin memasang api unggun karena tak mau mengundang masalah. Sudah berhari-hari mereka mencari jejak Malaikat Bukit Pasir, namun lelaki itu tetap tak diketahui di mana berada.
Seolah lenyap dari muka bumi begitu saja.
Kesempatan berdua-dua dengan Imas dipergunakan Andika meminta pada gadis itu agar menceritakan tentang Maiaikat Bukit Pasir. Andika mengangguk-anggukkan kepalanya setelah mendengar semua itu.
Kini ia tahu, kalau sesungguhnya dulu Malaikat Bukit Pasir selalu menumpas orang-orang golongan sesat. Dan sekarang, mereka yang masih tersisa masih memendam dendam yang sangat. Terutama dari Grido Kencono yang jelas-jelas ditunggangi oleh Datuk Pincang Gunung Neraka.
Sehabis menceritakan semua itu, Imas merebahkan tubuhnya di tanah, menatap langit yang terhalang oleh pohon tinggi besar. Andika pun melakukan hal yang sama dengan otak yang masih berpikir.
Berada di samping Andika, perasaan Imas jauh lebih aman dan tenteram. Apalagi ketika dingin semakin menyerang dan ia semakin tenteram ketika tangan melingkar di tubuhnya.
"Tuhan, jangan kau biarkan pagi datang terlalu cepat. Aku ingin menikmati semua ini berama-lama," doanya.
Tiba-tiba pesona yang sedang dinikmati gadis itu lenyap ketika Andika berkata sambil cengengesan,
"Imas....
Ada sesuatu yang kurahasiakan sebenarnya." Gadis itu berbalik, menatap Andika dengan kening berkerut. Matanya yang indah seolah memancarkan sinar kelembutan di malam itu. Andika sendiri hampir-hampir tak percaya menyaksikan apa yang dilihatnya.
"Tentang apa?"
"Aku pernah membohongimu." Kali ini Imas lebih serius menatap Andika.
"Berbohong" Maksud Kang Andika bagaimana?"
"Dia sudah terbiasa menyebutku dengan panggilan 'Kang'," desis Andika dalam hati dan merasa tak enakbila mengingat ia pernah membohongi gadis itu. Merasa saat inilah yang tepat untuk mengatakannya, Andika segera bercerita saat ia berpura-pura pingsan.
Imas terduduk sambil berkacak pinggang.
"Kau?" suaranya gemetar dengan tangan menuding.
"Apa lagi" Sudah, sudah! Kan sudah berlalu...." Imas menghentakkan tangannya ke tanah dengan wajah memerah. Tetapi, entah mengapa ia justru senang ketika menyadari hal itu. Hanya saja, sudah tentu tak diperlihatkannya. Lalu dengan bersungut-sungut Imas merebahkan tubuhnya kembali.
"Brengsek! Kau jahat!"
"Tidak apa-apa. Kau beruntung lho, aku yang melihat tubuhmu!" Imas melotot, lalu sejurus kemudian ia menghujani Andika dengan cubitannya.
"Bandel! Urakan! Brengsek!" Andika hanya terkekeh kegelian, sementara gadis itu terus mencubiti sekujur tubuhnya.
Tinggal suara cekikikan saja yang terdengar.

***

«֍[ 10 ]֍»

Dua sosok tubuh itu berhenti di sebuah tempat yang lapang. Keduanya adalah Grido Kencono dan Jalak Codet Merah yang masih mencari Pendekar Slebor. Lenyapnya Malaikat Bukit Pasir masih diyakini oleh keduanya kalau semua ini berhubungan dengan Pendekar Slebor.
"Akan kupatah-patahkan seluruh tulangnya bila kudapati Pendekar Slebor!" geram Grido Kencono dengan wajah memerah. Terutama bila mengingat bagaimana empat orang anak buahnya mati mendadak tanpa diketahui siapa yang menyerangnya.
"Manusia bangsat itu pun harus mampus, siapa pun dia adanya!" Tiba-tiba saja hawa panas menderu ke arah mereka yang serentak bergulingan dan bersamaan datangnya hawa panas itu satu sosok berwajah menyeramkan telah berdiri di hadapan keduanya.
Jalak Codet Merah bersiaga, sementara Grido Kencono langsung menjatuhkan tubuhnya mengetahui siapa yang datang.
"Guru!"
"Aku yakin, kau belum menemukan keparat itu!" suara Datuk Pincang Gunung Neraka mengerikan sekali. Dari napasnya hawa yang panas menguar. Jalak Codet Merah sendiri membuyarkan sikap waspadanya mengetahui kalau guru dari Grido Kencono yang datang.
"Maafkan saya, Guru."
"Kau tak akan pernah menemuinya, Grido."
"Mengapa, Guru" Apakah Guru sudah membikinnya mampus?" Datuk Pincang Gunung Neraka mengeluarkan suara dingin.
"Tidak! Tetapi sebentar lagi ia akan mampus!"
"Ia sendiri sudah akan mampus Guru, bila Pendekar Slebor tak menyelamatkannya." Datuk Pincang terbahak-bahak.
"Meskipun kau sudah menceritakan bagaimana terlukanya Malaikat Bukit Pasir, tetapi tetap saja aku tak bisa mempercayainya." Grido Kencono terbelalak, matanya seperti melompat keluar, suaranya bagai tercekik,
"Guru!"
"Tak mudah untuk menaklukkan Malaikat Bukit Pasir.
Menghadapi Pendekar Slebor saja kau tak mampu. Aku yakin, kesaktian yang dimiliki oleh Malaikat Bukit Pasir berada di atas Pendekar Slebor."
"Tetapi, Guru... aku melihatnya sendiri bagaimana ia sudah kepayahan menghadapi gempuran-gempuranku.
Hhh! Kalau saja tak ada Pendekar Slebor...."
"Tidak, ia pasti mempunyai rencana lain dengan sikap mengalahnya itu!" potong Datuk Pincang Gunung Neraka.
"Hanya aku yang mengetahui kelemahannya, begitu pula dengannya. Hanya ia yang mengetahui kelemahanku. Itu sebabnya, aku meninggalkan Gunung Neraka untuk mencarinya, karena aku yakin.... Malaikat Bukit Pasir sengaja mengalah ketika kau dan teman-temanmu menggempurnya. Hanya satu jawaban yang bisa kudapatkan, ia menginginkan aku keluar dari Gunung Neraka. Dan sekarang, aku sudah keluar untuk mendapatkannya." Sadarlah Grido Kencono sekarang, kalau ternyata Malaikat Bukit Pasir hanya berlagak mengalah. Tetapi, ia jelas-jelas melihat Malaikat Bukit Pasir dalam keadaan luka dilarikan oleh Pendekar Slebor.
Hal ini semakin membuatnya geram.
"Kalau begitu, di manakah saat ini ia berada, Guru?" Datuk Pincang Gunung Neraka menggelengkan kepalanya.
"Aku akan membuktikan ucapanku ini! Tugasmu itu kuambil alih sekarang. Ilmu yang sedang kupelajari tuntas sudah. Tugasmu, membunuh Pendekar Slebor!" Wuuuttt! Seperti datangnya yang menebarkan hawa panas, menghilangnya Datuk Pincang Gunung Neraka pun mengeluarkan hawa yang tak kalah panasnya. Tinggal Grido Kencono yang terdiam. Pikiran-pikiran aneh berkecamuk di benaknya.
Wajahnya mengeras menahan gejolak tak menentu di dadanya. Tidak, Guru pasti salah menduga. Sudah jelas kalau Malaikat Bukit Pasir akan mampus, katanya geram dalam hati. Hhh! Kalau memang yang dikatakannya benar, sudah bisa dipastikan hanya Pendekar Slebor yang mampu menolongnya! Dan ia pula yang telah menyembunyikannya.
Sementara Jalak Codet Merah yang sejak tadi terdiam berkata,
"Bukan aku mengecilkan kemampuanmu, Kawan Grido. Tetapi, ucapan gurumu itu patut kita pikirkan." Grido Kencono takbersuara. Ia tak bisa menerima kenyataan kalau memang ternyata Malaikat Bukit Pasir hanya berlagak mengalah. Tidak mungkin hal itu terjadi.
Sudah jelas Malaikat Bukit Pasir akan mampus terkena ajiannya yang hebat.
Kalau memang begini, dendam pribadi dan den?dam kedua oraugtuanya belum tuntas. Meskipun de-mikian, Grido Kencono masih meragukan kemungkinan Malaikat Bukit Pasir mengalah.
Ia lalu berkata pada Jalak Codet Merah,
"Kita harus secepatnya untuk menemukan Pendekar Slebor! Satusatunya orang yang tahu tentang Malaikat Bukit Pasir, hanya dia! Hhh! Akan kupatah-patahkan tulang pendekar keparat itu!" Wuuut! Wuuuuttt! Dua tubuh itu pun berkelebat dengan cepatnya.
Rumah kayu yang condong ke belakang itu diselimuti kegelapan. Berada di tempat yang terlindung dari sinar matahari, dan berada di balik rimbunnya semak-semak.
Meskipun saat ini baru memasuki rembang petang, namun kengerian di tempat itu tak ubahnya bagai malam belaka.
Satu sosok tubuh berkelebat masuk ke sana. Begitu masuk, ia langsung bersila dan bersemadi, mengatur pernapasannya dengan baik. Gerakannya sangat lincah luar biasa. Setelah beberapa saat, terdengar desahannya yang cukup panjang.
"Hhh! Datuk Pincang Gunung Neraka sudah muncul sekarang. Ini memang yang aku tunggu, karena dialah pangkal dari semua petaka yang terjadi dua puluh tahun yang lalu," desisnya.
"Orang-orang seperti Sepasang Iblis dan keturunannya itu memang harus dimusnahkan dari muka bumi. Juga manusia-manusia sesat lainnya yang masih mendendam kepadaku. Ini memang tak boleh dibiarkan. Dan masalah Imas, nampaknya aku sudah aman sekarang. Biarlah ia bersama Pendekar Slebor.
Kelihatannya pemuda itu memang berhati suci. Tetapi, aku mencium gelagat yang tak menguntungkan bagi Imas.
Jelas sekali Imas mencintai pemuda itu, namun kebalikannya" Ah, sangat sulit diharapkan." Orang itu mendesah sekali lagi. Dan tiba-tiba saja kepalanya menegak. Sepasang matanya yang buta tertuju pada lain tempat, namun telinganya yang tajam mengarah pada sasaran yang mengganggu pendengarannya.
Tiba-tiba saja, bagaikan tersentak ia melompat keluar dari rumah kayunya, bagaikan seekor walet yang memiliki gerakan yang cepat bersalto dengan lincah.
Wrrr! Rumah kayu itu seketika hangus dimakah api yang besar. Puing-puing berderakkan. Suara gemericik api sangat mengerikan. Kalau saja orang itu tidak siaga, sudah pasti ia akan menjadi manusia panggang. Seketika tempat itu jadi terang benderang.
Pendengarannya yang tajam menangkap suara halus di kejauhan.
"Datuk Pincang Gunung Neraka!" dengusnya.
"Aku tidak perlu menghadapinya lebih dulu. Di tempat yang penuh dengan pepohonan ini, justru sangat sulit bagiku menghindari setiap sambaran apinya. Karena, ruang gerakku bisa terkurung oleh api-api setannya. Lebih baik aku pergi saja dulu!" Wuuuttt! Orang itu pun berkelebat cepat, laksana hantu belaka.
Sementara itu, Datuk Pincang Gunung Neraka yang tadi melepaskan apinya berteriak keras,
"Orang tua pengecut! Jangan hanya jadi kambing congek saja kau di rumah kayu yang sudah terbakar hangus! Kau bisa menipu murid-muridku dengan melemahkan dirimu dan berlagak mengalah, tetapi... kau tak akan bisa menipu diriku! Keluar kau, Monyet Keparat!" Tak ada sahutan apa-apa, kecuali bangunan kayu itu yang runtuh berderak.
Datuk Pincang Gunung Neraka kelebatkan tubuh cepat ke arah bangunan kayu itu. Saat melewati api yang menyala itu ia mengibaskan kaki kanan dan kirinya.
Wuusss! Wrrr! Serangkum angin laksana topan menderu ke arah api itu. Bukan hanya segera memadamkan, melainkan juga membuat puing-puingnya yang hangus beterbangan.
Lalu dengan gusarnya lelaki pincang itu mengobrakabrik tempat itu. Setelah beberapa saat ia mendengus,
"Setan alas! Aku yakin, manusia itu pasti tadi berada di sini! Aku masih mencium baunya! Kau tak akan bisa melarikan diri Malaikat Bukit Pasir keparat!" Lalu dengan penuh kegeraman, Datuk Pincang Gunung Neraka berkelebat meninggalkan tempat itu.

***

Setelah lima kali penanakan nasi, di tempat itu Pendekar Slebor dan Imas tiba. Keduanya mengerutkan kening ketika melihat kayu-kayu yang sudah menjadi arang dan debu hitam.
"Ada kebakaran rupanya," desis Imas.
"Apakah ada yang mati, Kang Andika?" 'Tidak," sahut Andika yang tadi melihat-lihat.
"Tetapi, bagaimana cara munculnya api ini?" tanyanya tiba-tiba bagaikan bergumam.
Imas jadi tertarik mendengarnya.
"Maksud Kakang?"
"Tak ada kompor di sini. Maksudku, alat memasak. Tak ada bekas panggangan apa pun di sini. Lalu, bagaimana api itu bisa muncul?"
"Jadi, ada yang membakar tempat ini?"
"Kemungkinannya begitu. Bisa jadi pemiliknya yang tak ingin tempat ini diketahui orang lain. Bisa jadi pula orang lain yang membakarnya. Imas, kupikir lebih baik kita segera tinggalkan tempat ini. Aku tak ingin... awwwaaasss!" Andika berkelebat cepat menubruk tubuh Imas hingga keduanya bergulingan.
Angin besar yang datang tiba-tiba itu menderu kencang menerbangkan sisa puing-puing yang terbakar! Andika yang sudah berdiri kembali dengan sigap segera bersiaga penuh. Matanya yang setajam elang mengedar, memperhatikan segala sesuatunya. Malam mulai merambat perlahan, menambah ketegangan.
Begitu pula dengan Imas. Ia bisa membayangkan, kalau saja Andika tidak sigap, sudah tentu tubuh keduanya akan terlempar jauh, bergulingan muntah darah, pingsan, atau juga bisa langsung mati.
"Manusia hina! Siapa kau, hah?" bentak Imas sambil meloloskan pedangnya. Hatinya benar-benar kesal menerima bokongan seperti itu.
Tak ada sahutan apa pun juga. Bahkan setelah menunggu beberapa saat, tak ada serangan maut mendadak seperti tadi. Andika menyuruh Imas untuk bersiaga di sana, sementara ia berkelebat untuk memeriksa beberapa tempat.
Namun ia tak menjumpai siapa pun juga.
"Siapa sebenarnya orang itu" Kalau ia bermaksud jahat, sudah bisa dipastikan akan sangat mudah untuk melakukannya.
Ilmu meringankan tubuh yang diperlihatkannya, tak akan mudah dimiliki oleh orang sembarangan. Serangannya juga mengandung kekuatan yang hebat luar biasa. Aku jadi penasaran." Setelah menunggu dan memperhatikan beberapa saat, dan tak terjadi apa pun juga, Andika segera kembali ke tempat Imas.
"Bagaimana, Kakang?"
"Nihil! Aku tak menemukan siapa-siapa. Bahkan, gerakannya pun aku tak bisa menebak. Hanya saja, serangan tadi datang dari arah pohon besar itu. Orang yang menyerang kita, pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi." Keduanya tetap bersiaga penuh. Tiba-tiba Andika melompat cepat ketika matanya yang setajam elang menangkap kelebatan satu sosok tubuh yang bergerak bagai setan.
"Tunggu! Siapa kau sebenarnya"!" Namun seperti halnya tadi, ia tak menemukan siapa pun juga. Bahkan lagi-lagi ia heran karena gerakan orang itu sama sekali tak tertangkap oleh pendengarannya.
"Siapa dia, Kakang?" terdengar suara Imas, rupanya ia menyusul. Andika menggelengkan kepalanya dengan kening berkerut.
"Aku tidak tahu. Hanya saja, apakah orang itu yang telah menolong gurumu?"
"Oh!"
"Sayang, nampaknya ia tak ingin kita mengetahui siapa dirinya. Bila memang yang kuduga barusan itu benar, aku ingin sekali tahu apa yang dialami oleh gurumu saat ini." Imas juga memiliki perasaan yang sama dengan Andika. Tetapi mau bagaimana lagi, karena orang itu benar-benar bagaikan setan yang bisa datang dan lenyap laksana kilat. Andika menoleh dengan kening berkerut ketika Imas berkata pelan,
"Tetapi, mengapa ia menyerang kita tadi, Kakang?"

***

«֍[ 11 ]֍»

Malam terus merambat perlahan. Kekuatan dan hukum alam memang tak satu pun manusia yang mampu mengalahkannya. Kebesaran dan kedahsyatan kekuatan milik Yang Maha Kuasa tak akan pernah ada yang menandingi. Pendekar Slebor dan Imas yang sudah mening-galkan tempat di mana mereka menemukan gubuk terbakar, menghentikan larinya di sebuah tempat agak terbuka.
"Mengapa kita berhehti di sini, Kang?" tanya Imas.
Bukannya menjawab, Andika justru mengedarkan pandangannya. Imas bisa mengerti mengapa Andika tunjukkan sikap demikian. Mungkin Andika mencium gelagat yang tidak menguntungkan. Belum lagi ia berkata apa-apa, tiba-tiba Andika sudah meraih tubuhnya, bersalto dua kali dan hinggap di tanah dengan posisi siaga.
Angin yang berdesir kencang itu menghantam ke tanah di mana keduanya berpijak tadi. Duaaar! Seketika tanah yang mereka pijak tadi membentuk sebuah lubang yang cukup besar.
Wajah cantik itu menjadi pias. Lagi-lagi ia diselamatkan oleh Andika. Dan kedua matanya seakan keluar dari tempatnya ketika melihat dua sosok tubuh telah berdiri di hadapan mereka dengan wajah garang.
"Anjing-anjing geladak! Mampuslah kau! Heaaa!" Imas sudah menerjang denganmengibaskan pedangnya dengan cepat. Gadis panasan itu memang tak pernah membiarkan dirinya dihina, apalagi dihantam dengan cara pengecut seperti itu. Jalak Codet Merah segera mengempos tubuhnya untuk mengimbangi serangan Imas.
"Gadis ini bisa jinak di tanganku, Kawan Grido! Aku yakin ia ingin menjadi kawan hidupku! Kau lihat sendiri, ia menyerang atau ingin memelukku!" serunya dan mencoba menerjang dengan mematahkan serangan Imas melalui cecaran pada kedua kaki Imas.
Namun Jalak Codet Merah kecele, karena pedang di tangan Imas bagaikan memiliki mata. Dan sekejap saja pedang di tangan gadis yang sedang marah itu sudah mengurung Jalak Codet Merah yang mendadak menjadi pias, karena ia tak menyangka kalau gadis itu memiliki ilmu pedang yang tinggi. Kini yang nampak hanyalah kilatan-kilatan pedang di tangan Imas, dan sosok seperti bayangan berwarna merah yang berkelebat sambil mendengus dan mengeluarkan suara bagaikan tertekan.
Jalak Codet Merah sebisanya meloloskan diri dengan membalas menggempur dengan jurus 'Si Merah Tebarkan Darah'. Namun Imas yang telah memadukan jurus pedang 'Sambar Langit Tumbangkan Bumi' dengan jurus tangan kosong tangan kirinya 'Kibasan Ular Sanca', membuat Jalak Codet Merah tercekat dengan wajah tertarik ke belakang.
Namun Jalak Codet Merah masih terus berusaha melakukannya. Tiba-tiba saja ia menggerakkan kepalanya.
Puluhan rambutnya bagaikan copot dan mendesing ke arah Imas tak ubahnya jarum-jarum berbisa. Imas mendengus sambil memutar pedangnya.
Rambut-rambut yang mendesing itu bukannya putus, melainkan justru terpental dan menimbulkan suara.
Ting! Tang! Tring! Melihat lawan nampak sedang sibuk mematahkan serangan rambutnya, Jalak Codet Merah menderu kembali sambil mengibaskan rambutnya kembali. Kali ini berjumlah dua kali lipat. Imas benar-benar mendengus hebat dan menggerakkan pedangnya tak ubahnya baling-baling, menimbulkan suara yang keras.
"Keparat! Ini tak boleh dibiarkan terus menerus!" dengus Imas dalam hati. Dan dengan satu gerakan yang benar-benar aneh, sambil memutar pedangnya bagaikan baling-baling, Imas melompat ke depan, melewati puluhan rambut yang siap mencabut nyawanya. Dan....
Seeettt! Pedang itu kembali mengibas ke arah Jalak Codet Merah. Kali ini yang menjadi sasaran Imas adalah rambut manusia codet berkalung taring serigala itu. Hanya tiga kali menggerakkan pedangnya, rambut di kepala Jalak Codet Merah seluruhnya telah lenyap. Saat itulah Imas menderu lagi untuk menghabisi Jalak Codet Merah yang berkali-kali darahnya seakan membeku dengan wajah memerah pasi.
Melihat Jalak Codet Merah benar-benar sudah mati kutu, Grido Kencono yang sejak tadi memperhatikan, mencoba untuk memotong serangan Imas. Namun ia harus mendengus ketika tangannya dipapaki oleh Pendekar Slebor yang sejak tadi memang sudah menunggu. Andika akan bergerak bila Grido Kencono turun tangan. Karena sampai sejauh ini dilihatnya Imas masih mampu mengimbangi serangan dari Jalak Codet Merah. Inilah saat yang tepat. Duk! "Keparat!" maki Grido Kencono sambil melompat ke belakang. Tangannya dirasakan nyeri sekali.
"Wah, marah ya?" ledek Andika, padahal hatinya marah bukan main.
Grido Kencono perdengarkan dengusan dingin.
"Kau akan mampus, Pendekar Slebor!" Dua pertarungan yang sangat dahsyat, yang tak ubahnya bagaikan puluhan gajah liar mengamuk, benarbenar terjadi di tempat itu. Saling desak dan serang diiringi dengan teriakan yang keras kerap terjadi. Imas sendiri saat ini benar-benar berhasil mengurung Jalak Codet Merah dengan jurus-jurus pedangnya yang sangat ampuh. Dalam tiga jurus berikutnya, tubuh Jalak Codet Merah sudah penuh dengan luka-luka. Bahkan menyambar putus tangan kiri Jalak Codet Merah. Disusul dengan satu tendangan memutar yang membuat Jalak Codet Merah bergulingan ke belakang. Raungannya begitu keras sekali. Namun lelaki itu masih mampu menggerakkan kakinya untuk menendang dada Imas hingga gadis itu terguling ke belakang. Sakitnya tak terkira. Tulang iganya bagai terasa patah. Imas menggeram. Sambil menahan sakit ia menyerang lagi. Jalak Codet Merah yang sedang berusaha untuk bangkit merasa bulu kuduknya meremang. Menyadari ia tak akan mampu menghadapi gadis ini, sifat pengecutnya timbul. Menghadapi gadis ini saja ia sudah tungganglanggang dibuatnya, apalagi menghadapi Pendekar Slebor.
Dan sebelum gadis itu mengibaskan pedangnya, ia bergulingan bagai menyongsong serangan Imas.
Gerak semacam itu justru mengejutkan Imas. Namun ia tetap menggerakkan tangannya sambil melompat. Tubuh Jalak Codet Merah lolos dari terkamannya dan tiba-tiba saja tubuh manusia bercodet itu lenyap. Ia merasa lebih baik menghindar dulu untuk sementara, karena dalam keadaan seperti ini jangankan untuk membunuh Pendekar Slebor, mengalahkan gadis itu saja ia belum tentu mampu.
Dan Jalak Codet Merah berjanji, suatu saat ia akan menuntaskan dendamnya pada Pendekar Slebor atas kematian Jalak Mata Merah.
Imas mendengus menyadari serangan itu hanya pancingan belaka. Ketika ia mencoba mengejar, tubuh Jalak Codet Merah sudah hilang dari pandangan.
Dengan geram ia menoleh dan melihat pertarungan antara Pendekar Slebor dengan Grido Kencono yang terus berjalan dengan serunya. Andika cukup terkejut menyadari kalau lawan menjadi lebih tinggi ilmunya dari pertarungan pertama tempo hari.
Mendadak Andika melihat lawan membuang tubuh ke kiri, bukan menghindari serangan dari Andika. Melainkan memang sengaja dilakukannya. Andika semula menyangka lawan melakukan itu hanya untuk mengatur napas, padahal lelaki berkumis lebat itu tengah mempersiapkan diri dengan ajian 'Rembulan Matahari'.
Ketika ia mengatupkan kedua tangannya, terdengar suara bagaikan membelah bumi. Sangat keras sekali dengan kekuatan dahsyat. Daun-daun seketika rontok dari pangkalnya. Satwa hutan yang sejak pertarungan itu dimulai merasa lebih aman berada di kediamannya, berlarian pontang-panting dengan suara-suara aneh yang ramai. Andika tercekat mendengar suara yang mengerikan itu. Begitu pula dengan Imas yang kini telah berkelebat ke sisi Andika dengan tatapan marah. Bila saja keduanya tak memiliki tenaga dalam yang tinggi, bisa dipastikan keduanya akan mengalirkan darah.
Tiba-tiba Grido Kencono menepuk kedua tangannya.
Satu serangan aneh yang datang menderu bagaikan gunung yang dihempaskan, meluncur ke arah Imas.
Suaranya lebih dahsyat dari guntur, menggebubu dengan hempasan sinar hitam menggidikkan bagai menyala.
Andika sadar kalau jurus yang dilepaskan oleh Grido Kencono adalah jurus yang sangat dahsyat. Sambil berkelebat menarik tangan Imas dan membawanya bergulingan, ia berseru,
"Tinggalkan tempat ini, Imas! Cepat!" Bummm! Lima buah pohon besar yang berada di belakang mereka tadi, meledak dan seketika menjadi serpihan.
Grido Kencono terbahak-bahak melihat hasil serangannya.
Lalu dengan tawa yang semakin menggema, ia mengumbar serangan ajian 'Rembulan Matahari'nya. Kali ini bukan hanya Imas yang menjadi berlompatan menyelamatkan diri, Andika sendiri dibuat tunggang-langgang. Sementara di sekitar tempat itu sudah tak terhitung pohon besar yang menjadi serpihan dan tanah yang membentuk lubang.
Untuk menyerang masuk bukanlah suatu hal yang mudah. Karena, setiap kali Andika mencoba bergerak, setiap kali pula serangan dahsyat itu menderu. Sekarang yang terjadi, hanyalah dua sosok manusia yang terus berlompatan bagaikan monyet terbakar ekornya.
"Astaga! Apa yang harus kulakukan sekarang?" maki Andika dalam hati. Jantungnya berdetak dengan cepat dan aliran darah yang kacau.
"Serangan yang dilakukan oleh Grido Kencono mirip sekali dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Hanya bedanya lebih kejam dan mengerikan. Huh! Apakah aku harus terus menerus melompat-lompat seperti monyet liar begini!?" Berpikiran seperti itu, tiba-tiba saja Andika melompat ke depan saat Grido Kencono tengah menghujaninya dengan ajian 'Rembulan Matahari'. Bertepatan dengan terdengarnya ledakan menuju ke arahnya, Andika melepaskan kain bercorak catur warisan Ki Saptacakra.
Dengan mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat pamungkas, ia mengibaskannya ke arah datangnya serangan Grido Kencono. Crrrppp! Sungguh keanehan terjadi, karena kain pusaka itu seakan mampu menangkap lontaran serangan dari Grido Kencono dan setelah menyadari hal itu, Andika melepaskan nya ke arah Grido Kencono yang sudah mengirimkan lagi serangan dahsyatnya.
Akibatnya serangan yang pertama dilepaskannya tadi, berbenturan dengan serangan keduanya menimbulkan ledakan yang bukan alang kepalang. Menyadari hal itu, Andika tidak menurunkan serangannya. Justru ia melurup maju sambil mengibaskan kain pusakanya, berputar dan menimbulkan angin prahara.
Grido Kencono memekik ketika wajahnya terasa bagaikan ditampar oleh ribuan tangan, padahal kain pusaka itu masih berjarak satu tombak dengannya. Tetapi, angin keras yang ditimbulkannya seakan telah menderu ke wajahnya. Menyusul satu kibasan tangan keras di dadanya.
Tubuh Grido Kencono terpelanting keras di tanah.
Imas yang melihat kesempatan itu menukik dengan suara keras dan siap menusukkan pedangnya ke dada lawan. Namun itu adalah kesalahan. Karena, meskipun sudah terdesak, Grido Kencono masih sempat mengirimkan ajian 'Rembulan Matahari'nya yang dahsyat.
Bersamaan dengan itu, Andika yang melihat bahaya mengancam Imas, bergulingan cepat. Kakinya menyepak tubuh Imas yang masih melayang di udara hingga tubuh gadis itu terhuyung ke belakang dengan deras. Detik itu pula Andika membuang tubuhnya kembali.
Buummm! Serangan itu gagal mengenai sasarannya. Namun kesempatan dimiliki oleh Grido Kencono kembali, karena dengan cepat ia berdiri dan menghujani Andika dengan serangan-serangan mematikan. Kali ini diiringi dengan tubuhnya yang berkelebat ke sana kemari.
Suara ledakan terdengar beberapa kali. Andika benarbenar sudah berada di ambang maut. Ia harus bergulingan terus menerus. Matanya beberapa kali harus dipejamkan karena tanah yang terhantam serangan Grido Kencono berpentalan. Tubuh dan wajahnya sudah kotor terkena debu yang banyak Di saat seperti ini, memang sangat sulit sekali untuk membalas. Jangankan membalas, menyelamatkan diri saja bukanlah hal yang mudah. Namun kekerasan dan kebulatan hati Andika sudah terpatri sejak lama di dirinya.
Karena, mendadak saja ia melenting dan membuat gerakan bagaikan menyongsong. Kalau tadi ia mengibaskan kain pusakanya ke arah serangan Grido Kencono, kali ini ia melemparkannya.
Kain pusaka itu meluncur deras bagaikan meriam yang melesat dari porosnya.
Wuuusss!" Lawannya tercekat, dan dengan cepat mengirimkan kembali ajian 'Rembulan Matahari'.
Bagai dihempas oleh tangan raksasa kain pusaka itu meluncur deras entah ke mana. Sementara Andika sudah menyerbu cepat. Ajian 'Guntur Selaksa' sudah terangkum di kedua tangannya.
Grido Kencono yang terkejut melihat Andika sudah melesat bagai anak panah, mencoba menghindar. Namun ia kalah cepat.
Des! Bezzz! Dua kali tepat mengenai sasarannya. Satu menghantam dadanya dan satu lagi menghantam wajah nya, hingga tubuh tinggi besar itu terlontar ke belakang dengan derasnya. Menabrak sebuah pohon besar yang langsung ambruk. Grido Kencono mengerang kesakitan. Dadanya bagaikan jebol. Sementara lima buah giginya langsung tanggal. Andika menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.
Tubuh lawannya masih tetap utuh meskipun di sana-sini nampak menghangus. Itu terjadi karena Grido Kencono sendiri sudah mengaliri tubuhnya dengan ajian 'Rembulan Matahari'. Tetapi, ia tak mau memberi kesempatan lagi pada Grido Kencono, segera menyerbu dengan teriakan keras,
"Heaaaa!" Dalam sekali hajar, Grido Kencono yang sudah sulit untuk menghindar bisa mampus seketika. Namun mendadak saja Andika membuang tubuhnya ke belakang, karena api panas yang menjilat-jilat menderu ke arahnya.
"Rupanya kau yang berjuluk Pendekar Slebor! Bagus, kau harus mampus hari ini juga!" terdengar satu suara yang dingin dan hawa panas yang menebar hebat

***

«֍[ 12 ]֍»

Andika melompat ke belakang, ke sisi Imas dengan wajah tegang. Keduanya melihat satu sosok tubuh mengerikan dengan sepasang mata kelabu sedang terbahak-bahak. Tawanya bukan tawa sembarangan, melainkan menebarkan hawa panas yang menyengat.
Keringat tiba-tiba mengalir di sekujur tubuh Andika dan Imas. Sesaat mereka bergetar. Sementara Grido Kencono sedang bangkit dengan susah payah, dari mulutnya terdengar suara,
"Guru!"
"Hhh! Hanya menghadapi pemuda yang masih bau air tetek ini kau tak mampu menaklukkannya!" dengus sosok berpakaian hitam itu dingin. Mulutnya menyeringai mengerikan. Andika mendengus mendengar sebutan Grido Kencono pada laki-laki bertampang setan itu.
"Aku harus berhatihati," gumamnya.
"Anak muda, kudengar kau memiliki ajian 'Guntur Selaksa'! Ada hubungan apa kau dengan Eyang Saptacakra, hah?" bentak sosok mengerikan itu yang memang tak lain Datuk Pincang Gunung Neraka. Suaranya sangat keras sekali, hingga daun-daun ber-guguran.
Dasar urakan, Andika masih sempatnya mengejek,
"Wah, kau takut ya" Kalau kau takut, kau bunuh diri saja! Atau mogok makan saja biar tubuhmu tak lebih dari seekor cacing!" Imas meliriknya dengan tegang. Hampir ia tak bisa mempercayai sikap Andika itu. Di saat petaka siap menghampiri, pemuda itu masih bisa bersikap santai.
Bahkan kata-kata usilnya seakan tak lepas dari mulutnya.
Wajah Datuk Pincang Gunung Neraka memerah "Pemuda keparat! Enteng banget bacotmu!" Lalu tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa, tangannya bergerak.
Beberapa larik sinar warna merah menggebubu diiringi dengan suara bak air bah tumpah. Tempat itu jadi lebih terang. Andika tercekat, ketika dirasakannya hawa panas yang menyelingkupi dirinya. Ia coba bergulingan. Tetapi rupanya, lima buah sinar merah bagaikan anak panah itu membentuk satu pormasi yang sukar dipercaya. Karena mendadak saja lima buah api itu mengarah pada Andika, menusuk bagian dada, kepala, perut, tangan bahkan kemaluan Andika.
Clep! Clep! Tangan kiri Andika tertusuk api bagaikan mata panah itu. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan mengeluarkan teriakan kaget, panas yang menyengat dirasakannya di tangan kirinya. Dan tubuhnya mencelat dua tombak ke belakang.
"Astaga!" rutuk Andika sambil muntah darah. Entah kenapa ia merasa tengkuknya mulai dingin, padahal panas itu sangat menyiksanya.
"Hanya begini saja kehebatan Pendekar Slebor!" Dalam kondisi yang bagaimanapun juga, Pendekar Slebor tetaplah Pendekar Slebor. Sifat urakannya masih ada, meskipun dirasakan detak jantungnya lebih cepat dan aliran darahnya kacau.
"Kau belum melihatnya sih" Baru berhasil begitu saja sudah bangga! Aku sebenarnya khawatir, kalau nanti sebelah kakimu akan kubuat pincang lagi! Dan aku yakin kau akan berterima kasih kepadaku, karena jalanmu jadi rata, kan?" Datuk Pincang Gunung Neraka mengeluarkan suara bagai kemaluannya dicatek ular. Tangannya bergerak membabi-buta. Kembali beberapa larik sinar merah menderu-deru, membuat Andika harus mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menghindari serangan itu.
Imas sendiri tak luput dari sasaran serangan yang mengerikan. Tempat itu tak ubahnya bagai neraka.
Imas sendiri menjadi pias melihat serangan aneh itu.
Sesaat ia ingin menolong Andika, tetapi ia sadar kalau maut pun akan segera menjemputnya pula.
Tiba-tiba matanya melihat kain pusaka milik Andika tersangkut di dahan sebuah pohon. Setelah melihat keampuhan kain bercorak catur itu yang berhasil menahan serangan Grido Kencono, Imas segera mengempos tubuhnya menyambar kain pusaka itu dan melemparkannya pada Andika.
"Kang Andika! Tangkap!" Wuuuttt! Andika cepat berputar menyambar kain bercorak caturnya yang dilempar oleh Imas, sembari menghindari lurupan sinar merah sebesar mata panah dan dengan gerakan menakjubkan membuang tubuhnya ke kiri. Begitu menjejak tanah, langsung mengemposnya ke arah Datuk Pincang Gunung Neraka, yang lagi-lagi melepaskan sinarsinar merah bagaikan mata anak panah. Kali ini jumlahnya dua kali lipal dari yang pertama. Andika mengebutkan kain pusakanya, hingga menimbulkan suara gemuruh yang hebat. Namun lagi-lagi sinar merah itu mengurungnya, sangat sulit dihalau oleh kain pusakanya.
Datuk Pincang Gunung Neraka perdengarkan tawanya.
"Kini kau mampuslah, Pendekar Slebor!" Tangannya menepuk berkali-kali. Kalau tadi beberapa larik sinar merah mematikan yang menderu-deru ke arah Andika, kali ini kobaran api raksasa bergulung-gulung ke arah Andika dengan cepatnya, menyambar ke sana kemari diiringi suara yang dahsyat mengerikan, membuat Andika kembali bergulingan cepat.
"Kau tak akan mampu menghadapi manusia keparat itu, Pendekar Slebor, sebelum kau menemukan kunci mati dari rahasia jurusnya!" terdengar satu suara bersamaan berkelebatnya bayangan yang menepuk-nepuk api raksasa itu dengan enaknya. Seketika api-api itu padam.
"Guru!" terdengar teriakan Imas keras.

***

Yang hadir di sana dan mematahkan serangan mematikan dari Datuk Pincang Gunung Neraka pada Andika, satu sosok tubuh berjubah putih. Ia tak lain adalah Maiaikat Bukit Pasir.
Luar biasa! Bagaimana ceritanya tahu-tahu lelaki buta yang dicari-cari oleh orang-orang yang mendendam padanya bisa muncul" Sebenarnya, ketika menghadapi Lima Iblis Kepala Kuning, Maiaikat Bukit Pasir dengan sekali gebrak saja mampu menjatuhkan mereka. Tetapi saat itu ia mengerti akan amarah yang ada di hati Grido Kencono. Bahkan Malaikat Bukit Pasir ingin sekali menyadarkan lelaki tinggi besar yang mendendam padanya. Dan lawan yang dikehendaki sebenarnya adalah Datuk Pincang Gunung Neraka.
Selama dua puluh lima tahun secara sembunyisembunyi Maiaikat Bukit Pasir selalu meninggalkan Bukit Pasir untuk mencari kediaman Datuk Pincang Gunung Neraka. Karena, lelaki pincang itulah yang menjadi pangkal petaka ini. Sepasang Iblis adalah murid Datuk Pincang Gunung Neraka, dan Datuk Pincang Gunung Neraka yang melarikan Grido Kencono sudah tentu mendidiknya dan menanamkan dendam yang sangat pada diri Maiaikat Bukit Pasir. Di saat Maiaikat Bukit Pasir memungut Imas menjadi muridnya, tanpa sepengetahuan Imas ia masih mencari jejak Datuk Pincang Gunung Neraka. Selama itu pula ia gagal menemukannya, sampai Grido Kencono muncul.
Dan kesempatan itu dipergunakan untuk memancing keluar Datuk Pincang Gunung Neraka.
Itulah sebabnya ia bagaikan tak mampu menghadapi Lima Iblis Kepala Kuning, sampai kemudian muncul Pendekar Slebor. Sandiwara yang dilakukannya pun semakin baik. Karena ia diselamatkan oleh Pendekar Slebor. Ketika dirasakan sudah cukup, di saat Pendekar Slebor mencari buah-buahan ia pun menghilang. Namun ia selalu memantau kejadian demi kejadian, sampai akhirnya ia melihat Imas murid terkasihnya.
Malaikat Bukit Pasir yang menolong Pendekar Slebor dari maut yang diturunkan oleh Grido Kencono saat dirinya terjerat dari jala lentur. Ia pula yang menyerang Andika dan Imas ketika keduanya berada di depan bangunan kayunya yang habis dibakar oleh Datuk Pincang Gunung Neraka, dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari tempat itu. Karena menurutnya, keduanya tak ada sangkut paut dengan masalah yang akan dihadapinya. Datuk Pincang Gunung Neraka adalah bagiannya.
Dan ia memantau terus setiap kejadian demi kejadian, sampai saat ini, dengan munculnya Datuk Pincang Gunung Neraka. Terdengar suara terbahak-bahak Datuk Pincang Gunung Neraka. Sementara Grido Kencono terbelalak melihatnya. Kini sadarlah ia apa yang telah dikatakan gurunya waktu itu. Tak mudah untuk mengalahkan Malaikat Bukit Pasir. Terbukti sekarang ini, Malaikat Bukit Pasir berdiri tegar dalam keadaan segar bugar.
Dari tawa yang keras taui, suara Datuk Pincang Gunung Neraka merandek "Budi dibalas budi. Darah dibayar darah. Nyawa dituntaskan nyawa. Kematian muridku Sepasang Iblis tak akan pernah kulupakan. Kini saatnya kau membayar tuntas seluruh hutang nyawamu kepadanya!"
"Bila mencium bau busuk yang ada padamu, sudah jelas kau adalah Datuk Pincang Gunung Neraka. Dendam hanya membuat dosa. Dendam hanya menimbulkan petaka. Namun, bila sudah berada dekat, mengapa harus lari?" balas Malaikat Bukit Pasir.
Keadaan semakin bertambah tegang. Pendekar Slebor mendesah pendek melihat Malaikat Bukit Pasir dalam keadaan segar bugar. Imas yang hendak merangkul gurunya tadi menjadi urung.
"Lari pun tak berguna. Tinggalkan nyawa lebih baik!" balas Datuk Pincang Gunung Neraka dengan mata tak berkesip.
"Bermimpi di siang hari hanya selalu ada pada diri orang bodoh. Kesombongan tinggi ada pada orang berjiwa pengecut," sahut Malaikat Bukit Pasir tenang.
"Bangsat! Kalau dulu muridku membuat kau buta, kali ini akan kubikin kau mampus! Heaaaa!" Datuk Pincang Gunung Neraka menyerbu cepat ke arah Malaikat Bukit Pasir yang masih berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Api-api yang dikeluarkan oleh Datuk Pincang Gunung Neraka menderu hebat ke arah lelaki berjubah putih yang buta itu yang masih belum bergerak juga dari tempat-nya.
Ketika api-api itu sudah mendekat, tiba-tiba saja Malaikat Bukit Pasir menghembuskan napasnya. Srrrttt! Lima buah bola api itu mendadak saja berubah menjadi bongkahan batu es ketika hembusan napas Malaikat Bukit Pasir menerpanya.
Wajah Datuk Pincang Gunung Neraka memerah melihatnya.
"Oran buta kurang ajar! Lihat serangan!" Tubuhnya berkelebat laksana setan. Tongkat di tangannya bergerak menimbulkan angin yang menggebubu besar. Bersamaan dengan itu, Malaikat Bukit Pasir pun berkelebat pula. Tongkat di tangannya di gerakkan dengan kecepatan luar biasa. Prak! Prak! Dua buah tongkat yang dialiri oleh tenaga dalam yang tinggi bertemu. Menimbulkan percikan api yang cukup besar. Gebrakan demi gebrakan yang mengerikan dilancarkan. Pertempuran dahsyat pun berkecamuk dengan hebatnya. Saling gempur dan hindar yang manis namun mengandung tenaga dahsyat. Dan yang terlihat kemudian, hanyalah dua sosok tubuh yang satu kelebatan putih dan yang satu kelebatan hitam di ringi dengan bentakanbentakan yang keras.
Sementara itu Grido Kencono kembali menyadari kalau ketinggian ilmu Maiaikat Bukit Pasir yang jelas bukan tandingannya. Ia menjadi malu sendiri, dan dari rasa malunya ia menjadi marah. Tiba-tiba saja ia berteriak keras sambil mengirimkan ajian' Rem?bulan Matahari' ke arah Malaikat Bukit Pasir yang tengah mengimbangi desakan hebat dari Datuk Pincang Gunung N&raka.
Melihat hal itu,Pendekar Slebor segera mengempos tubuhnya seraya berseru,
"Biarkan mereka menyelesaikan urusan masa lalu! Kau hadapi aku!"
"Keparat!" sasaran serangan Grido Kencono berbalik kepada Andika yang berkelit dengan mengirimkan pukulan tenaga 'inti petir' yang digabungkan dengan ajian 'Guntur Selaksa'. Sementara Imas hanya memperhatikan saja dengan tegang. Ledakan demi ledakan terdengar sangat dahsyat dan mengerikan. Tanah yang dipijaknya benar-benar bergoyang sekarang.
Setelah dua jurus berikutnya lewat, Grido Kencono yang memang sudah terluka dalam tadi, meluncur ke belakang setelah terhantam pukulan Andika. Bukan hanya sampai di sana saja Andika melancarkan serangannya. Ia terus menderu dengan suara menggelegar keras.
"Heaaa!" Dalam keadaan kritis dengan luka dalam yang sangat sakit, Grido Kencono berhasil menjatuhkan tubuhnya sejajar dengan tanah. Bahkan kakinya masih sempat dikibaskan. Des! Andika yang melayang di atasnya terjungkir terkena hantaman tepat pada perutnya. Grido Kencono cepat bangkit dan menerjang dengan teriakan yang keras,
"Mampuslah kau, Pendekar Keparat!" Sebisanya Andika bergulingan menghindari serangan Grido Kencono yang menghantam tanah di mana ia tersungkur tadi. Tanah itu membentuk lubang seketika.
Bersamaan dengan itu pula Andika bagaikan melompat menerjang. Grido Kencono tercekat. Gerakannya sudah tidak selincah tadi karena luka dalam yang dideritanya. Tak ayal lagi tubuhnya kembali terhantam jotosan Andika yang keras. Tubuh itu terlempar ke belakang dan ambruk setelah muntah darah.
Andika menarik napas panjang sambil mengusap keringatnya. Ia menghampiri tubuh Grido Kencono. Setelah ia yakin Grido Kencono hanya pingsan, segera ia bersemadi untuk memulihkan tenaganya kembali.
Ketika ia membuka matanya, dilihatnya pertarungan antara Malaikat Bukit Pasir yang memiliki kekuatan dingin dengan Datuk Pincang Gunung Neraka yang memiliki kekuatan panas semakin dahsyat saja. Serangan-serangan aneh benar-benar nampak di matanya, Berkali-kali hampir tiada putus-putusnya Datuk Pincang Gunung Neraka menebarkan serangan-serangannya. Kali ini Malaikat Bukit Pasir seakan tak mampu memunahkan serangan-serangan itu, karena selalu mengarah pada mulutnya hingga ia tak mampu meniup atau memusnahkan serangan Datuk Pincang Gunung Neraka.
"Ha ha ha... sudah kukatakan, kau tak akan pernah mampu mengalahkan aku!" sentak Datuk Pincang Gunung Neraka dengan suara keras, dan hawa panas melingkarlingkar di seluruh tempat itu. Imas sudah hampir berteriak kepanasan bila ia tidak cepat-cepat mengalirkan hawa murninya. Malaikat Bukit Pasir mundur lima tindak. Ia mendesis,
"Sayangnya, kau hanya melihat sesaat."
"Anjing buduk! Manusia buta yang mencari mampus!" geram Datuk Pincang Gunung Neraka dan bergerak lagi secepat setan. Tongkat di tangan kanannya berputar. bagai pusaran angin, sementara setiap kali tangan kirinya bergerak, gulungan api kembali menderu dahsyat.
Malaikat Bukit Pasir benar-benar dibawah angin sekarang. Ia berusaha menghalangi serbuan tongkat dari Datuk Pincang Gunung Neraka.
Trak! Trak! Namun api yang mengeluarkan desingan dan sinar dahsyat menyilaukan itu terus menggebubu. Andika yang melihat keadaan genting dialami oleh Malaikat Bukit Pasir, segera bergerak sambil mengebutkan kain pusakanya dengan cepat. Api yang dilepaskan oleh Datuk Pincang Gunung Neraka musnah seketika.
Sesaat Datuk Pincang Gunung Neraka menggeram.
"Kau hanya cari mampus!"
"Justru aku ingin melihat kau mampus!" maki Andika yang mengalirkan tenaga 'inti petir' pada kain pusakanya.
Terdengar suara bagaikan ribuan tawon marah dan kiblatan sinar-sinar yang menyilaukan.
Namun hanya sesaat serangan itu mampu dilakukan Andika, selebjhnya, justru ia sendiri yang harus kalang kabut dibuat oleh Datuk Pincang Gunung Neraka. Karena, dari mata lelaki pincang yang sedang murka itu melesat api-api panas luar biasa. Itu adalah jujus andalan Datuk Pincang Gunung Neraka, 'Sepasang Mata Api'.
Kepala Datuk Pincang Gunung Neraka bergoyanggoyang. Larikan sinar merah yang panas tak putusputusnya arah Andika yang mengelak berkelebat cepat kian kemari. Ke mana Pendekar Slebor berada, di sanalah Datuk Pincang Gunung Neraka menyerbu.
"Iblis! Benar-benar iblis!" rutuk Andika mencoba pula dengan mengibaskan kain pusakanya lagi. Namun serangan itu semakin membabi-buta saja. Bahkan Imas pun harus tunggang-langgang karena sesaat kemudian justru ia yang menjadi sasaran serangan dari Datuk Pincang Gunung Neraka. Pepohonan yang banyak tumbuh di sana sudah terbakar, mengobarkan api yang besar.
"Ha ha ha... siapapun yang menghalangiku untuk mencabut nyawa manusia buta itu, akan menjadi manusia panggang!"
"Enaknya ngomong! Kenapa tidak kau kecilkan sih apinya" Berapa pula setiap hari kau menelan kompor, hah?" Ejekan yang dilakukan Andika di saat yang membahayakan itu, membuat kemurkaan di hati Datuk Pincang Gunung Neraka semakin memuncak. Serangannya semakin berbahaya.

***

«֍[ 13 ]֍»

"Andika! Apakah api-api itu keluar dari sepasang mata busuknya?" terdengar suara Malaikat Bukit Pasir bagai tertahan. Ia menelengkan telinganya untuk menangkap desingan-desingan bertubi-tubi.
Masih berusaha menghindari serangan Datuk Pincang Gunung Neraka, Andika berseru,
"Kau benar, Ki! Api-api sialan ini mencelat dari mata kelabunya!"
"'Sepasang Mata Api'! Rupanya, manusia itu sudah berhasil menguasainya. Kalian lebih baik menyingkir! Sangat sulit untuk menghadapi serangan 'Sepasang Mata Api itu!" seru Malaikat Bukit Pasir sambil menggerakkan kepalanya, lalu mengempos melayang dan mencoba memusnahkan api-api itu. Tongkatnya diputar hingga menimbulkan desingan yang sangat luar biasa. Angin yang keluar dari sana bagai topan prahara. Namun ia sendiri pun harus mengaduh keras ketika paha kirinya terkena sambaran api, yang cepat dia padamkan.
"Sudah kukatakan tadi, kau akan mampus menyusul kedua muridku!" dengus Datuk Pincang Gunung Neraka dan kembali tak henti-hentinya menyerang ke arah lawanlawannya. Malaikat Bukit Pasir bergerak ke sana kemari dengan cepat. Lalu mengibaskan tangannya, tiba-tiba saja di depannya telah tercipta sebuah tembok yang terbuat dari salju. Ketika api-api itu meluruk ke arah nya, langsung punah ketika menghantam tembok salju itu.
Akan tetapi, di luar dugaannya, api-api yang melesat dari sepasang mata Datuk Pincang Gunung Neraka terus meluncur dahsyat. Membuat Malaikat Bukit Pasir harus bergulingan menghindar.
"Rupanya manusia keparat itu memang sudah bersatu dengan Iblis Raja Api!" Melihat hal itu, Datuk Pincang Gunung Neraka merasa sudah berada di atas angin. Ia yakin dalam dua gebrakan lagi, Malaikat Bukit Pasir akan menemui ajalnya.
Namun Pendekar Slebor tak membiarkan kesempatan itu dimiliki oleh Datuk Pincang Gunung Neraka. Sambil menggebah keras, ia meluruk masuk dengan bergulingan.
Kain pusakanya berhasil menghantam kedua kaki Datuk Pincang Gunung Neraka d n segera membetotnya hingga sempoyongan Saat itulah Andika menderu dengan menghantamkan ajian 'Guntur Selaksa'! "Jangan!" justru terdengar seruan Malaikat Bukit Pasir bernada cemas dan menahan begitu merasakan hawa panas yang luar biasa berkelebat ke arah Datuk Pincang Gunung Neraka. Terlambat, karena ajian 'Guntur Selaksa' sudah menerpa tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka.
Des! Tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka terlontar tiga tombak. Sesaat Andika merighela napas lega, namun hanya sesaat. Karena di detik lain sepasang matanya bagaikan terbelalak melihat tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka justru bertambah segar. Tawanya semakin menggeledek. Andika sadar apa arti peringatan Maiaikat Bukit Pasir.
"Jangan kau serang dia dengan ajian 'Guntur Selaksa', Andika. Karena hawa panas yang terpancar dari ajian 'Guntur Selaksa' akan membuat tenaganya semakin membesar saja!" seru Malaikat Bukit Pasir semakin memperkuat keyakinan Andika apa arti seruannya tadi.
"Andika, 'Sepasang Mata Api' hanya mampu dihadapi dengan hawa panas yang tak nampak!" Sadarlah Andika, kalau sejak tadi ia tak mampu menurunkan tangan pada Datuk Pincang Gunung Neraka, bukan tidak mampu karena ajian yang dilepaskannya tak ampuh, melainkan karena Datuk Pincang Gunung Neraka memang bagaikan membiarkan tubuhnya terhantam serangannya. Menyadari kekeliruannya, Andika justru bertambah marah. Tiba-tiba saja ia menggulung seluruh tubuhnya dengan kain bercorak catur. Hingga kini yang nampaknya hanyalah tubuh yang terbalut saja.
Lalu mendadak tubuhnya berputar bagaikan pusara angin, mengarah pada Datuk Pincang Gunung Neraka yang terbahak-bahak bagaikan melihat sasaran yang sangat empuk sekali. Dengan mengeluarkan gerengan yang keras ia menerjang ke arah Andika.
Des! Tubuh Andika terlontar ke belakang dengan derasnya.
Meskipun ia merasakan tubuhnya bagaikan patah, namun anehnya tak hangus. Bahkan justru tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka yang nampak kelojotan.
Malaikat Bukit Pasir yang hampir saja memotong serangan Datuk Pincang Gunung Neraka karena sangat berbahaya bagi Andika, mengerutkan keningnya tak percaya melihat kenyataan itu. Lebih terkejut lagi ketika Andika tiba-tiba saja memutar tubuhnya, kain pusaka yang membalut tubuhnya terlepas dan langsung disampirkan ke lehernya kembali.
Kali ini ia menerjang dengan cepatnya, sementara tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka masih limbung dengan jeritan yang keras. Malaikat Bukit Pasir dan Imas hanya terbengong-bengong memperhatikan. Karena, mereka tiba-tiba saja merasakan panas yang sangat luar biasa. Bukan terpancar dari tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka, melainkan keluar dari tubuh Andika.
Dedaunan di sekitarnya seketika mengering, lalu berguguran. Dalam keadaan terdesak semacam itu, dan mendengar peringatan dari Malaikat Bukit Pasir, Andika teringat akan ilmu ajaran dari Eyang Sasongko Murti, murid dari Siluman Hutan Waringin yang pernah mengajarkan ajian-ajian bangsa siluman (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Siluman Hutan Waringin").
Saat ini yang dipergunakan oleh Andika adalah ajian bangsa siluman, ajian 'Tapa Geni' yang memancarkan panas bagaikan neraka namun panas itu tak akan nampak bila Andika tidak menggerakkan bagian tubuhnya kepada lawan yang dituju. Dengan ajian bangsa siluman itulah Andika menderu kencang ke arah Datuk Pincang.
"Heaaa! Pergilah kau ke neraka, Manusia Iblis!" Des! Bummm! Tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka terlempar beberapa tombak ke belakang dan bergulingan dengan tubuh yang bagaikan terbakar. Terdengar lolongan bagaikan serigala keras. Rambut lelaki berpakaian hitam yang kejam itu seketika rontok. Pakaian yang dikenakannya langsung lebur menjadi debu. Ia berteriak keras setinggi langit dengan tubuh kelojotan. Tiba-tiba saja kepalanya pecah! Nyawa manusia kejam itu putus seketika. Andika menghentikan serangannya dengan napas terengah-engah. Tatapannya masih setajam elang, masih berbalur kemarahan. Namun ia merasakan nafasnya begitu sesak. Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan darah yang keluar dari mulut dan hidungnya. Benturan itu rupanya juga menyiksanya.
Malaikat Bukit Pasir yang mengandalkan pendengarannya tahu apa yang telah terjadi. Namun ia bertanya,
"Andika... apakah kepala manusia itu pecah?"
"Kau benar,Ki." Terdengar desisan Malaikat Bukit Pasir,
"Andika...
apakah ada cairan warna hijau yang keluar dari kepalanya?" Andika sendiri terkejut mendengar pertanyaan Malaikat Bukit Pasir. Dan hampir ia tak bisa mempercayai dirinya, karena apa yang dikatakan oleh Malaikat Bukit Pasir itu benar adanya. Cairan warna hijau pekat mengalir perlahan dari kepala yang pecah.
"Kau benar, Ki."
"Cepat ambil tanah, tutup seluruh cairan warna hijau itu." Tanpa banyak tanya lagi Andika menjalankan perintah Malaikat Bukit Pasir yang bernada tergesa dan memerintah. Setelah menimbun cairan hijau itu dengan tanah, terlihatlah asap hitam yang mengepul.
"Mengeluarkan asap, Ki!" serunya kaget.
Malaikat Bukit Pasir menganggukkan kepalanya.
"Aku bisa mencium baunya. Hmmm, kesaktian manusia sesat ini telah musnah."
"Tetapi, cairan apakah itu, Ki?"
"Cairan itulah sumber dari hawa panas yang ada dalam tubuhnya. Masih mudanya, Datuk Pincang Gunung Neraka selalu bersemadi. Rupanya setan telah menjadi sekutunya, dengan memasukkan cairan warna hijau itu di kepalanya." Andika terdiam dengan kepala berpendar. Sungguh, ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi.
"Ia telah memilih jalannya sendiri. Dan kematiannya, hanyalah jalan keluar dari seluruh dosa-dosanya," kata Maiaikat Bukit Pasir.
Andika mendesah pendek, lalu meminta agar Malaikat Bukit Pasir menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia menganggukkan kepalanya ketika Malaikat Bukit Pasir selesai menceritakan semua yang telah terjadi.
"Ternyata, dendam manusia itu lebih mengerikan dari pada dendam setan." Malaikat Bukit Pasir hanya tersenyum, lalu berkata,
"Andika... kulihat kelelahan sangat mendera kita.
Bagaimana bila untuk sejenak kita kembali ke Bukit Pasir guna membangun kediamanku kembali" Mudah-mudahan, segala dendam yang ada di tubuh lawan-lawanku, telah sirna. Dan menurut penglihatan batinku, kau sedang terluka dalam Bila dua hari kau tak diobati, maka nyawamu tak akan tertolong lagi-" Tiba-tiba saja Andika memang merasakan kelelahan. Ia cuma menganggukkan kepalanya. Apalagi begitu melihat sepasang mata Imas yang menatapnya penuh harap.
Lumayanlah, sambil membantu Malaikat Bukit Pasir ia bisa bersama Imas lebih lama. Dan yang terpenting lagi, ia harus mengatakan pada Imas, kalau sebenarnya ia hanya menganggap Imas sebagai adiknya.
"Baiklah, Ki... mari kita segera berangkat. Kita tinggalkan Grido Kencono yang pingsan dan sudah kehilangan seluruh ilmu yang dimilikinya.
Malaikat Bukit Pasir cuma mendesah pendek.
Dan tanpa setahu siapa pun juga, satu titik cairan berwarna hijau yang keluar dari.kepala Datuk Pincang Gunung Neraka, tak tertutup oleh pasir yang dilakukan Pendekar Slebor.
Cairan warna hijau itu bagaikan memiliki nyawa, karena tiba-tiba bergerak pelan. Begitu angin mendesir, cairan itu mendadak saja membesar dan membentuk menjadi gumpalan.
Tiba-tiba saja cairan berwarna hijau itu melayanglayang dengan cepatnya di angkasa. Ia akan memasuki kepala siapa saja yang diinginkannya. Karena, dalam cairan hijau itulah seluruh ilmu Datuk Pincang Gunung Neraka masih terpendam....

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Segera menyusul!!!
Serial Pendekar Slebor dalam episode :
BAYANGAN KEMATIAN


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Serigala-Serigala Lapar --oo0oo-- Bayangan Kematian


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers