Life is journey not a destinantion ...

Bayangan Kematian

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Malaikat Bukit Pasir --oo0oo-- Iblis-Iblis Sumur Tua



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: SERIGALA SERIGALA LAPAR

Cetakan pertamac
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


««{ 1 }»»

Jalan setapak berliku itu sepi sekali.. Angin menghampar dan. berlari dari satu pohon ke pohon lain. Tak ada suara burung berkicau. Suasana hening dan angker. Di belakang jalan setapak itu, berdiri perbukitan menghijau. Meskipun demikian, bukit itu bagai mati belaka. Penuh misteri.
Tetapi, satu sosok tubuh ramping dengan wajah cantik jelita, berjalan tenang. Dari cara berjalannya yang melonjak-lonjak, menandakan ia seorang gadis yang riang.
Rambutnya beriap dan sesekali melompat. Wajah bulat telur gadis itu sungguh menggemaskan dengan pakaian warna merah muda. Di pinggangnya terdapat sebuah selendang berwarna kuning. Sungguh kontras sebenarnya, dan membuat kecantikan wajah serta kerampingan tubuhnya semakin nampak.
Sesekali ia berhenti melangkah. Bukan semata untuk menikmati suasana yang benar-benar tak menyenangkan.
Tetapi sepertinya ia sedang mengira-ngira jalan mana yang sedang ditujunya.
Siapa gadis berpakaian ala orang-orang rimba persilatan" Ayu, namanya. Seorang gadis yang memiliki kesaktian tinggi. Datang dari lereng Gunung Karimun, Ia memang belum dikenal oleh orang-orang rimba persilatan. Karena, baru kali ini ia turun gunung.
Sebenarnya, Ayu berasal dari sebuah desa yang jauh dari Gunung Karimun. Desa Sawo Luwih yang cukup ramai.
Selama lima tahun - semenjak ia berusia dua belas tahun ia diambil oleh seorang nenek yang berjuluk Beruang Gunung Karimun, yang sekali waktu bertandang ke Desa Sawo Luwih. Saat itu, Ayu sedang bermain lompat tali bersama temantemannya. Beruang Gunung Karimun, yang nama aslinya ia sendiri sudah lupa, tertarik melihat betapa cekatannya gadis kecil itu. Matanya yang agak masuk ke dalam tak luput sekali pun memperhatikan gadis itu.
"Ia memiliki susunan tulang yang bagus. Rasanya, inilah waktu yang tepat bagiku untuk memiliki seorang murid.
Selama tiga tahun aku keluar dari Gunung Karimun untuk mencari murid yang bisa mewarisi seluruh ilmu yang kumiliki. Gadis kecil itu cocok untukku," desis nenek bersanggul kecil yang diberi tiga buah tusuk konde warna perak. Saat itu senja semakin turun, Ayu memutuskan untuk selesai bermain. Ia berlari pulang. Beruang Gunung Karimun tak berkesip menatap kepergiannya yang seperti seekor kijang muda yang lincah. Rasa ingin tahunya dan ingin memiliki bocah kecil itu sebagai muridnya semakin membesar. Ia pun melangkah untuk mengikuti ke mana Ayu pergi. Dilihatnya Ayu memasuki rumah yang sederhana, terletak agak menepi dari keramaian desa. Lampu sentir di depan rumah itu sudah dinyalakan. Dari kejauhan, Beruang Gunting Karimun bisa menebak kenyamanan yang ada di rumah itu. Didengarnya suara lembut dan dalam rumah itu, "Mengapa begitu senja kau baru pulang, Ayu!"
"Maafkan aku, Ibu. Aku asyik bermain dengan temanteman sampai lupa waktu. Lain kali, aku tidak akan melakukannya lagi, bu," jawab Ayu sambil menundukkan kepala. Ibunya tersenyum. Tak mau membuat anaknya menjadi merasa bersalah.
"Sudahlah. Pergi mandilah. Setelah itu, kita makan bersama, Ayu."
"Bapak sudah pulang, Ibu?"
"Sebentar lagi. Biasanya, sebelum, magrib bapakmu sudah berada di rumah, bukan?" Beruang Gunung Karimun yang mendengarkan semua itu dari sebuah dahan pohon yang rimbun, di kejauhan tampak terlihat seorang laki-laki berwajah sekitar dua puluh tujuh tahun pulang dengan membawa cangkul di bahunya.
Ia bisa melihat dari mana sunan tulang yang dimiliki gadis kecil itu berasal.
Laki-laki yang diyakininya ayahnya gadis bernama Ayu itu, memiliki pula susunan tulang yang baik. Tetapi dalam sekali lihat saja Beruang Gunung Karimun yang memiliki kesaktian tinggi bisa menebak kalau laki-laki itu tak memiliki ilmu kanuragan.
"Aku yakin, meminta pada kedua orangtua gadis kecil itu, tak akan pernah dikabulkan. Masa bodoh! Aku harus mendapatkan gadis itu sebagai muridku. Pilihanku telah jatuh padanya." Memikir demikian, Beruang Gunung Karimun menunggu sampai tengah malam tiba di sebuah pohon besar yang tak jauh dari tempat tinggal Ayu. Lewat tengah malam, nenek bertusuk konde perak itu pun melompat ringan ke tanah. Dan melesat bagai bayangan ke pintu rumah Ayu. Mempergunakan kesaktiannya, dengan mudah ia bisa berada di dalam. Sejenak diperhatikannya gadis kecil yang telah membuatnya jatuh hati tadi sedang tertidur di balaibalai Keinginannya untuk mendapatkan gadis itu semakin membesar. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Beruang Gunung Karimun sangat tinggi, hingga saat ia membopong Ayu keluar, tak sedikit pun Suara terdengar.
"Akan kukabarkan pada kedua orangtua gadis kecil ini, kalau anaknya kuambil untuk sementara waktu. Dan akan kupulangkan setelah lima tahun mendatang." Ia pun melesat cepat kembali ke tempat asalnya yang berjarak sangat jauh dari Desa Sawo Luwih. Desa yang cukup nyaman. itu pun menjadi gempar keesokan paginya.
Bermula Rokayah yang ketika terbangun dari tidur tak melihat putrinya. Dalam pikirnya, Ayu sudah bangun lebih dulu. Tetapi ketika melihat keluar, gelap masih menyelimuti alam, wanita itu tak yakin Ayu sudah bermain-main di luar.
Apakah ia ke kamar mandi" pikirnya, Bergegas Rokayah menuju ke sana. Tak ada tanda-tanda Ayu di sana.
Kepanikan mulai melanda diri wanita itu.
Dibangunkan suaminya yang tak kalah terkejut mendengar penuturannya. Sigap Rahmat bergerak, mencari putrinya. Sampai matahari sepenggalah ia tak menemukan di mana putrinya.
Sementara Rokayah sudah menangis berkepanjangan.
Para tetangga berdatangan dan membantu Rahmat mencari Ayu. Setelah tiga hari lamanya, tak ada kabar yang memuaskan. Ayu dinyatakan lenyap begitu saja. Ada yang mengatakan, Ayu dibawa penunggu Serean Salehraga. Ada yang mengatakan, Ayu diculik. Dan bermacam dugaan yang datang. Sampai dua hari kemudian, ketika Rahmat hendak ke kamar mandi pagi hari, ia merasa ada sesuatu yang jatuh dari atas, menimpa wajahnya.
Yang jatuh itu ternyata sebuah daun lontar. Rasa heran menyelimutinya mengingat tak ada pohon lontar di sana.
Diambilnya daun itu. Yang lebih menarik perhatiannya, ada tulisan di sana.
Sungguh, aku tak bermaksud merepotkan. Putrimu ada bersamaku. Kupinjam untuk kuturunkan semua ilmu yang kumiliki. Lima tahun mendatang, ia akan kukembalikan lagi.
Beruang Gunung Karimun Sejenak Rahmat terdiam. Putrinya yang dinyatakan hilang bersama Beruang Gunung Karimun" Siapakah orang yang berjuluk Beruang Gunung Karimun" Tetapi sedetik kemudian, ia sudah masuk lagi ke rumahnya. Keinginannya untuk buang air lenyap sudah.
Dikabarkannya pemberitahuan itu pada istrinya yang nampak semakin hari bertambah payah memikirkan putri mereka. Mengetahui kalau putrinya baik-baik saja, Rokayah mendesah panjang.
"Istriku... aku yakin, orang yang berjuluk Beruang Gunung Karimun akan mengembalikan putri kita."
"Lima tahun, Kang" Lima tahun cukup lama...," desis Rokayah pelan, namun hatinya agak tenang, senang.
Di Gunung Karimun, Beruang Gunung Karimun menggembleng Ayu untuk mempelajari seluruh ilmu yang dimilikinya. Semakin hari ia semakin sayang pada gadis itu, meskipun terkadang harus membujuk Ayu bila gadis kecil itu menangis karena rindu pada kedua orangtuanya.
"Bapak dan Ibumu menyuruhku untuk mendidikmu, Ayu...."
"Tetapi, Nek... mengapa mereka tidak pernah datang menjengukku?" tanya Ayu sambil menatap Beruang Gunung Karimun dengan pandangannya yang bundar.
"Karena, mereka tak mau mengganggumu yang sedang belajar padaku."
"Ih! Aku kangen mereka sekali, Nek!"
"Mereka menginginkan kau untuk belajar dengan tekun dan menunggumu pulang." Wajah Ayu jadi berseri-seri.
"Kalau begitu, aku akan semakin tekun berlatih, Nek." Ganti wajah Beruang Gunung Karimun yang berseri-seri.
Pelajaran demi pelajaran yang diberikannya diterima Ayu dengan cepat. Setelah satu setengah tahun berlalu, Beruang Gunung Karimun pergi ke Desa Sawo Luwih menemui kedua orangtua Ayu.
"Percayalah... Ayu dalam keadaan baik-baik." Rokayah menggenggam erat tangan suaminya. Sungguh gembira ia mendengar kabar itu.
"Kami menunggu ia pulang, Nek."
"Tiga setengah tahun lagi, ia akan kembali pada kalian.
"
"Kami menitip salam untuknya. Dan kami berharap kau menjaganya sepenuhnya, Nek." Beruang Gunung Karimun hanya menganggukkan kepala. Dan tiga setengah tahun pun berlalu tanpa terasa. Kini Ayu bukanlah gadis kecil seperti lima tahun yang lalu. Kini telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja berwajah cantik jelita. Memiliki perawakan ramping dan budi pekerti yang sopan. Karena selain ilmu kanuragan yang diajarkan Beruang Gunung Karimun, wanita tua itu pun mengajarkan bagaimana cara beradab.
Seperti janjinya pada kedua orangtua Ayu, Beruang Gunung Karimun pun menyuruh Ayu untuk kembali kepada mereka. Di Desa Sawo Luwih. Ia memang sengaja melepas Ayu seorang diri, semata untuk melihat keberanian gadis itu. -0o-dw-ray-o0- Gadis berbaju merah muda itu terus melangkah dengan tenangnya. Samar dalam bayangannya ia teringat kembali pada kedua orangtuanya. Rasa rindu pun semakin menyesakkan dada.
"Bapak dan Ibu... kini aku pulang," desisnya riang.
Gadis itu menengadah. Menatap langit yang mulai kelam. Malam sebenar lagi akan datang. Angin berhembus dingin, membelai rambutnya yang panjang beriap.
"Sebenar lagi pasti akan turun hujan, aku harus meninggalkan jalan setapak ini," membatin gadis itu.
Sebelum Ayu melakukan maksudnya....
"Berhenti!!" Segala yang diniatkannya pupus seketika begitu mendengar bentakan bernada kasar dari belakangnya.
Kepalanya cepat menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertampang kasar dengan wajah mengerikan berdiri sambil menatapnya dengan tatapan nyalang.
Laki-laki itu tinggi besar dengan perawakan tegap.
Pakaiannya berwarna hitam terbuka di dada yang memperlihatkan dada bidang disertai bulu yang lebat.
Celana pangsi hitam yang agak kumal dikenakan. Kumis dan cambangnya menghiasi wajahnya yang lonjong.
Hidungnya cukup bagus sebenarnya, tetapi karena bibir bagian bawahnya agak turun, membuat laki-laki itu jadi begitu mengerikan. Rambutnya diikat ekor kuda.
Sejenak Ayu memperhatikan laki-laki itu sebelum berkata, "Siapa kau adanya" Mengapa membentakku sedemikian rupa?" Bukannya segera menyahut, laki-laki itu justru perdengarkan tawanya yang menyakitkan telinga.
"Hmm... sedang pamer tenaga dalam rupanya," desis Ayu sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
"Nona manis... kau beruntung berjumpa denganku Maharaja Langit Hitam. Tak seorang pun yang berjumpa denganku akan kubiarkan hidup. Tetapi untukmu, suatu pengecualian." Pada dasarnya Ayu memang memiliki kesopanan yang tinggi. Meskipun ia tidak suka mendengar kata-kata bernada penghinaan dari laki-laki yang mengaku berjuluk Maharaja Langit Hitam, namun ia tetap menyahut sopan, "Kuterima pengecualianmu itu. Dan kuhaturkan terima kasih. Tetapi maaf, karena aku agak tergesa, aku akan segera meninggalkanmu." Setelah berkata begitu, tanpa menunggu jawaban Maharaja Langit Hitam, Ayu segera berbalik dan siap berlari.
"Berhenti!!" bentakan sekeras guntur itu kembali terdengar. Rumput kering beterbangan bagai digebah.
Beberapa hewan malam yang muncul kembali masuk ke sarang. Ayu kembali memutar tubuh.
"Sebuah pameran tenaga dalam yang cukup tinggi," desisnya. Lalu ia berkata, "Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan?" Wajah Marahaja Langit Hitam menjadi kelam. Selama hidupnya, tak sekali pun ia pernah mendengar ada yang berani membantah ucapannya, bahkan membantah perintahnya. Laki-laki berwajah mengerikan yang berasal dari Goa Setan itu memang memiliki nama angker yang menakutkan. Ia berasal dari golongan hitam yang tak segansegan menyiksa lawannya.
"Aku menginginkanmu!" suaranya mengguntur kembali.
Sekalipun Ayu tak memperlihatkan rasa takutnya. Ia tetap tenang bahkan senyuman tersungging di bibirnya.
"Maafkan aku... aku tak punya waktu untuk meladenimu."
"Setan alas!!" Tangan Maharaja Langit Hitam yang dilingkari gelang bahar besar mengibas ke arah Ayu.
Kibasan itu bukan kibasan biasa, mengandung tenaga dalam yang tinggi. Dalam sekali kibas, angin yang menderu dahsyat ke arah Ayu akan mampu menerbangkannya.
Tetapi pada kenyataannya, murid Beruang Gunung Karimun hanya terdiam di tempatnya tak bergeser sedikit pun. Hanya saja, ketika angin dahsyat itu dirasakan sudah mendekat, ia membuat gerakkan dengan tangan kanan.
Memutar dua kali.
Angin dahsyat itu mengeluarkan suara yang cukup keras seperti membentur sebuah dinding yang sangat tebal.
Maharaja Langit Hitam tercekat melihatnya. Ia tidak percaya gadis muda itu mampu menahan gebrakan pertamanya.
"Kau"!" geramnya dengan tubuh menggigil.
Ayu yang merasa tak perlu meladeni laki-laki itu tak menghentikan gerakannya. Dan gerakan memutar tadi, ia menggerakkan tangan kanannya ke depan, dengan telapak tangan terbuka.
Wuss! Satu serangan penuh tenaga dalam telah melesat ke arah Maharaja Langit Hitam yang mengeluarkan seruan tertahan dan melompat menghindar.
"Keparat!!" makinya dan terus hinggap di tanah. Namun ia terbelalak dengan kegusaran yang tinggi ketika melihat gadis itu sudah tak ada di hadapannya.
"Tak kusangka gadis semuda itu mampu menahan seranganku. Hhh! Dialah calon istriku yang selama ini kucari-cari! Aku tak akan melepaskannya!" Tak lama kemudian, sosok tinggi besar itu pun berkelebat untuk menyusul ke mana Ayu pergi.

««{ 2 }»»

Desa Sawo Luwih tempat kelahiran Ayu, sejak tiga tahun terakhir ini, bukanlah sebuah desa yang nyaman lagi.
Setelah dua tahun kepergian Ayu, desa itu didatangi gerombolan kejam yang menamakan diri Serikat Baju Merah. Mereka datang dengan niat jahat untuk menguasai Desa itu. Para penduduk sudah tentu tidak menerima keinginan orang-orang itu. Dengan gagah berani mereka angkat senjata mempertahankan tanah leluhur. Namun Serikat Baju Merah yang berjumlah sebelas orang, rata-rata memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan mudahnya mereka membantai habis seluruh perlawanan yang diberikan para penduduk desa. Sementara yang masih sayang nyawanya, harus merelakan diri menjadi abdi dari Serikat Baju Merah dengan menahan sakit hati dalamdalam. Gerombolan itu dipimpin oleh seorang laki-laki yang berwajah bulat. Dua buah codet di pipi kanan kirinya membuat tampangnya begitu menakutkan.
Rambutnya panjang tak beraturan. Di bahunya tersampir dua buah kain berselempangan berwarna hitam. Ia bernama Singgih Murka. Mereka menempati tempat tinggal kepala desa yang mati terbunuh saat memimpin gerakan mempertahankan desa.
Sungguh malang nasib yang dialami istri dan anak gadisnya. Mereka kini menjadi sapi perahan dari Singgih Murka. Kehadiran Serikat Baju Merah yang menguasai Desa Sawo Luwih membuat desa itu bertahun-tahun bagai berubah menjadi neraka. Orang-orang kejam itu melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dan tak segan-segan mencabut nyawa para penduduk yang mencoba menentang, hingga banyak yang mengurungkan diri untuk diam-diam melarikan diri. Karena, gerombolan itu bagai memiliki mata yang sangat banyak. Mereka seperti tahu bila ada penduduk yang nekat melarikan diri.
Bahkan tiga orang yang mencoba melarikan diri, harus menerima nasib yang mengenaskan. Mereka dibunuh dengan kejam dan mayat mereka digantung di tengah alunalun. Sebagai peringatan bagi yang lainnya agar tidak melakukan tindakan konyol yang memancing kemarahan para anggota gerombolan. Tak ada yang berani menentang.
Tak ada yang berani melarikan diri untuk melaporkan hal itu ke Kadipaten Karang Sutra yang selama ini dikenal selalu melindungi desa, tak terkecuali Desa Sawo Luwih, Di rumahnya, Rahmat terpekur dengan wajah kelu.
Lima tahun telah banyak membawa perubahan pada dirinya. Tubuhnya yang dulu tegap, kini menjadi kurus kering. Wajahnya yang selalu segar menjadi tirus dengan rambut tak beraturan.
Tiga tahun berada dalam kekuasaan Serikat Baju Merah, membuatnya terasa hilang sukmanya. Lebih-lebih menyaksikan bagaimana Rokayah diseret oleh tiga orang anggota Serikat Baju Merah dan diperkosa di satu tempat.
Lalu dikembalikan dengan tubuh kuyu dan wajah sembab.
Rahmat mendesah pendek. Ia menyesali mengapa ia tak mampu mencegah perbuatan keji orang-orang itu pada istrinya. Karena saat itu, Rahmat sendiri dalam keadaan pingsan setelah dihajar anggota gerombolan karena sebelumnya ia mencoba mempertahankan istrinya.
Sejak perlakuan tak senonoh terhadap istrinya, Rokayah benar-benar menjadi seperti orang mati suri. Ia tak pernah beranjak dari pembaringannya. Batin wanita itu terinjakinjak penuh kenistaan. Dengan penuh kasih sayang, Rahmat mengurus segala sesuatunya.
Ingatan Rahmat saat ini berpulang pada Ayu, putrinya yang dibawa oleh Beruang Gunung Karimun. Hari demi hari ia selalu menghitung. Menurut perhitungannya, lima tahun sudah berlalu. Dan sudah tiba saatnya putrinya akan pulang.
"Ini mungkin hikmah dari keinginan Beruang Gunung Karimun membawa Ayu pergi. Bila saja Ayu masih berada di sini, sudah tentu ia akan menjadi korban kebuasan para gerombolan yang tak pernah pandang bulu bila menginginkan seseorang," desisnya kelu.
"Ayu, aku berharap Beruang Gunung Karimun memenuhi janjinya.
Menggemblengmu menjadi seorang pendekar wanita yang bisa menghentikan kezaliman ini." Lagi Rahmat terpekur dengan tubuh kuyu. Ia telah letih bekerja. Karena tiga bulan belakangan ini, Singgih Murka berkenan membangun sebuah tempat tinggal yang sangat megah untuknya. Dan ia memeras tenaga rakyat untuk mewujudkan keinginannya itu. Bagi yang menolak, tak ada imbalan lain keeuali mati. Bagi yang bersedia melakukannya pun tak ada imbalan apa-apa, kecuali rasa letih yang bertambah menyiksa. Karena, hanya sekali mereka diperkenankan beristirahat. Itu pun tak mendapatkan makanan atau minuman apa-apa. Setelah itu, bagai seekor kuda tenaga mereka dipacu untuk segera menuntaskan bangunan besar itu.
Brak! Rahmat tersentak ketika mendengar pintu didobrak dengan kerasnya dari luar. Dinding rumahnya yang terbuat dari bilik bambu bagai bergoyang.
Ia cepat-cepat berdiri dan pandangannya melihat,dua orang anggota Serikat Baju Merah muncul sambil terbahakbahak. Kemarahan mulai naik di hatinya.
"Mau... mau apa kalian?" sentaknya terbata. Meskipun merasa tak akan mampu menghadapi keduanya, namun Rahmat memiliki nyali yang tinggi.
Kedua anggota Serikat Baju Merah yang baru muncul itu saling berpandangan dan sama-sama tertawa.
"Tikus ini masih memiliki nyali!" kata yang seorang berwajah tirus dengan mata culas.
"Minggir! Aku menginginkan istrimu!"
"Oh, Tuhan... di mana perikemanusiaan yang kalian miliki" Istriku sudah kalian hina habis-habisan sehingga ia jatuh sakit! Apakah kalian masih tega untuk menghinanya lagi?" seru Rahmat dengan suara lantang. Seluruh sakit hatinya bagai tercurah had ini.
"Persetan dengan ucapanmu! Minggir bila masih sayang dengan nyawamu!!" Laki-laki itu meloloskan parang besarnya. Dan mengayun-ayunkannya di wajah Rahmat.
"Hari ini aku masih bersedia mengampunimu, asalkan kau tarik ucapan sialmu itu!"
"Tidak!" seru Rahmat gagah.
"Tak akan pernah kubiarkan lagi kalian menjamah istriku!!"
"Keparat!!" Laki-laki itu mengayunkan parangnya dengan cepat. Rahmat merundukkan tubuhnya. Gerakan yang dilakukannya hingga serangan itu luput bukanlah karena Rahmat memiliki kepandaian bela diri. Hal itu dilakukan hanya karena naluri pertahanannya saja. Tetapi tendangan yang dilakukan laki-laki berwajah tirus itu membuatnya tersuruk ke belakang.
"Setan! Kau memancing kemarahanku!"
"Habisi saja, Dul!" seru temannya yang bernama Marta.
Gandul menyeringai "Aku menyukai pekerjaan ini!!" Dengan langkah angker ia menghampiri Rahmat yang mencoba untuk bangkit. Tetapi tendangan keras yang dirasakannya dan membuat perutnya sakit luar biasa, tak mampu membuatnya untuk bangkit.
"Hhh! Hanya kematianlah upah dari orang-orang dungu seperti kau ini yang mencoba menentang keinginan Serikat Baju Merah!!" seru Gandul dengan seringaian seperti seekor serigala yang melihat mangsanya.
Tetapi dengan penuh keberanian Rahmat membuka lebih lebar kedua matanya. Matanya bagai siap-siap menyongsong kematian. Gandul menjadi jengkel melihat keberanian yang diperlihatkan Rahmat. Ia menggeram keras. Rahmat tak peduli. Dilihatnya parang yang berkilat itu bergerak ke arah kepalanya.
Crok! Tanpa ampun lagi kepalanya pun pecah. Darah bersimbah. Tak ada suara keluhan atau jeritan yang terdengar. Tubuh Rahmat ambruk dengan nyawa putus.
Gandul terbahak-bahak sambil menjilat parangnya yang penuh darah.
"Itulah akibatnya berani menantangku! Ayo, Marta! Kita sikat bininya! Peduli ia lagi sakit atau tidak!!" Dengan serentak keduanya menyingkap tirai kamar dan melihat Rokayah yang terbaring lemah. Keduanya mendekat sambil tertawa-tawa. Tanpa membuang waktu lagi, mereka menjalankan niat busuk yang sudah tak tertahankan. Selang beberapa lama keduanya selesai dengan tubuh penuh dibasahi peluh.
"Biar sedang sakit... wanita ini masih memiliki Tubuh yang menggairahkan," kata Gandul.
"Apa iya begitu?" Gandul seketika menoleh karena bukan suara Marta yang didengarnya. Marta pun melakukan hal yang sama.
Keduanya melihat seorang bocah sedang duduk di kursi di sisi pintu sambil mengangkat satu kaki di kursi.
-0o-dw-ray-o0- Keduanya berpandangan dengan kening berkerut. Tak mengerti mengapa tahu-tahu bocah itu berada di sana.
"Kenapa pada bengong" Asyik juga ya melihat kalian menggeluti wanita itu?" kata si bocah yang bertampang lusuh. Rambutnya panjang melewati bahu, ikal dan kotor.
Bajunya kuning dihiasi tambalan di beberapa bagian.
Celana panjang hitamnya begitu kotor, sekotor penampilannya. Wajahnya bulat telur menggemasnya.
Hidungnya bangir dengan bibir tipis yang agak kemerahan.
Namun di balik penampilannya yang lusuh itu, wajah si bocah nampak tersenyum-senyum, Matanya berkilat-kilat jenaka. Dan aksi sekali gayanya saat duduk begitu.
"Setan! Anak siapa kau, Bocah?" maki Gandul keras.
Matanya bagai hendak melompat keluar karena ia sama sekali tidak mendengar kehadiran bocah itu.
Bocah itu cuma mengangkat bahunya. Lalu berkata dengan sikap mengejek, "Anak siapa ya" Aku juga tidak tahu, kok. Apa kau mau menjadi bapakku" tidak usah ya! Mana sudi aku memiliki bapak bau berhati jahat seperti kau ini!" Sudah tentu bukan buatan kemarahan Gandul. Ia menggerakkan kakinya dengan cepat.
Wusss! Brak! Tendangannya itu menghancurkan kursi di mana si bocah duduk. Tetapi Gandul tak merasa menghantam bocah, itu. Justru ia terbelalak melihat bocah itu berdiri di ambang pintu sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Sakit kakimu, ya?"
"Bocah keparat! Siapa kau sebenarnya?" maki Gandul tak mengerti. Matanya nanar menatap bocah itu yang masih tersenyum-senyum.
Bocah itu tak berkata apa-apa. Cuma matanya yang jenaka berkedip-kedip. Marta yang sejak tadi menahan geram, segera cabut parangnya.
Srat! Suara tarikan senjata terdengar keras. Sambil menggeram, Marta mengibaskan parangnya. Membabibuta. Di samping jengkel melihat kehadiran bocah itu, juga geram karena dengan mudahnya serangan Gandul diatasi.
Tetapi serangannya pun tak mengenai sasaran apa-apa.
Karena tanpa bisa terlihat oleh mata bocah itu menghindari setiap kibasan parangnya, sampai akhirnya ia justru kehabisan napas. Bocah itu tertawa-tawa, "Yang beginian ini ya anggota Serikat Baju Merah" Wah, lebih baik kalian minggat saja!" Gandul hanya terpaku menatap bagaimana bocah itu menghindari serangan Marta. Tiba-tiba Darahnya naik ke ubun-ubun.
"Bocah setan! Kulumat kau!"
"Heit!" Bocah itu mengangkat kedua tangannya. Gandul jadi ngeri sendiri, karena disangkanya bocah itu kan menyerangnya. Tetapi bocah itu tetap berdiri di tempatnya dengan kilatan mata jenaka.
"Masa kalian marah" Aku kan masih kecil. Boleh saja kan melihat bagaimana kalian asyik menggeluti wanita malang itu" Tetapi, apa kalian tidak salah memilih" Sebenarnya wanita atau batang kayu yang kalian geluti?" Bagai diperintah, Gandul dan Marta menoleh ke arah pembaringan. Keduanya terbelalak dengan jeritan kecil.
Karena ketika melihat ke pembaringan, sosok wanita yang mereka geluti tadi ternyata hanya batang kayu belaka.
"Gila! Bagaimana bisa begini?" sentak Gandul dan tanpa disadarinya kakinya mundur satu langkah.
"Setan! Ini pasti ulah setan!" seru Marta gelagapan.
Bocah itu tertawa lagi.
"Kasihan, ya?" ejeknya, Lalu seperti melihat suatu kejadian yang menyedihkan bocah itu berkata menyentak, "Ya ampun! Mengapa celana kalian mengeluarkan darah begitu?" Bagai mendengar sebuah peringatan, keduanya melihat ke bagian selangkangan mereka. Dan keduanya menjerit kaget karena memang ada darah yang merembes di sana.
Tiba-tiba pula mereka merasakan batang kemaluan mereka kesakitan. Tahu-tahu keduanya menjerit keras dan pingsan.
Bocah itu tertawa.
"Salah sendiri" Batang kayu kok digeluti?"
"Kalau bukan bocah 'palsu' yang bernama Walet, siapa lagi yang bisa melakukan hal itu?" Walet menoleh begitu mendengar suara seorang pemuda dari belakangnya. Seketika ia nyengir sambil garuk-garuk kepalanya begitu melihat pemuda tampan berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahunya yang sedang berdiri dengan tangan bersandar ke palang pintu.
"Wah! Aku jadi heran, mengapa bisa bertemu lagi denganmu, Kang Andika?" seloroh bocah yang disebut Walet. Pemuda tampan berambut gondrong acak-acakan itu tertawa, lalu membalas selorohan Walet, "Bukan hanya kau saja yang heran, aku sendiri tak pernah mengerti. Padahal aku sama sekali tidak mengharapkannya, lho. Memang benar orang pintar berkata, dunia ini bulat." Walet tertawa dan berlari merangkul si pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor.
"Bagaimana kabar Kang Andika?" tanyanya kemudian.
"Baik-baik saja. 0 ya, di mana suami-istri itu kau sembunyikan?"
"Lho" Kang Andika melihat semuanya, ya! Curang! Aku kok tidak tahu sih" Tetapi dasar bodoh, cuma Kang Andikalah yang bisa melihat kekuatan batin yang kukerahkan," sahut Walet dan dengan gaya soknya yang membuat Andika ingin tertawa ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu menyahuti pertanyaan Andika tadi tentang suami-istri atau kedua orangtua Ayu.
"Aman. Mereka aman. Hampir saja aku terlambat menolong mereka tadi, Kang."
"Aku pun tadi ingin menolong mereka. Tetapi ketika kulihat kau masuk tadi dan kuyakini yang muncul seorang pangeran, aku membiarkan saja."
"Brengsek!" maki Walet. (Untuk mengetahui siapa Walet adanya, silakan baca : "Mustika Putri Terkutuk", "Cermin Alam Gaib", dan "Bayang-Bayang Gaib").
Memang, ketika dua orang anggota Serikat Baju Merah Itu muncul dan hendak menjalankan maksud jahatnya pada Rokayah, Walet sebenarnya sudah melihat dia bisa meraba kejadian selanjutnya. Saat Gandul mengayunkan parangnya pada Rahmat yang tak berdaya, cepat ia mempergunakan kekuatan batinnya untuk mengubah sosok Rahmat menjadi batang pisang. Dalam pandangan Gandul dan Marta, tetaplah tubuh Rahmat. Jadi yang dibacok oleh Gandul itu tak lain batang pisang belaka.
Begitu pula ketika keduanya menjalankan niat jahat pada Rokayah. Lagi-lagi Walet mengubah Rokayah menjadi batang kayu. Akibatnya, kini keduanya pingsan dan lumpuh kejantanannya selama-lamanya.
Saat Walet mengubah Rahmat menjadi batang pisang itulah Andika muncul dan hanya tersenyum saja memperhatikannya. Andika alias Pendekar Slebor memang mampu menembus ilmu batin yang dimiliki Walet atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bocah Ajaib.
Walet keluar dan muncul lagi dengan dua sosok tubuh yang dipanggul demikian ringannya. dibantu Andika, ia meletakkan Rahmat dan Rokayah yang pingsan ke pembaringan. Andika memeriksa tubuh keduanya. Lalu memijat di beberapa bagian tubuh keduanya.
"Mereka akan siuman beberapa menit lagi. Hmm...
ceritakan siapa kedua manusia yang pingsan itu."
"Aku hanya tahu mereka anggota Serikat Baju Merah, Kang Andika. Tetapi... ada hal yang penting yang hendak kukatakan padamu," kata Walet.
Andika mengerutkan keningnya.
"Apakah itu"' "Seekor merpati akan pulang kandang. Ia akan dibunuh oleh seekor harimau. Hanya pendekar ugal-ugalan yang mampu menghalang, " kata Walet seperti berpantun.
Andika tertawa mendengarnya.
"Sok benar kata-katamu itu!" Meskipun ia berkata demikian, tetapi hati Andika bertanya-tanya. Apa maksud Walet sebenarnya" Tetapi seperti yang pernah dialaminya lalu-lalu. Walet alias titisan seorang pangeran yang meninggal dengan membawa benih cinta paling dalam pada kekasihnya, tak akan pernah mau memecahkan apa yang dimaksudnya. Jadi, Andika harus memeras otaknya memikirkan kemungkinan jawaban dari kata-kata Walet.
"Kang... aku permisi dulu," kata Walet tiba-tiba.
Andika melongo.
"Kau mau ke mana"'"
"Ada urusan yang harus kukerjakan."
"Busyet! Lagakmu sok kayak orang penting!" Walet membusungkan dadanya.
"Waleeeettt!" desisnya sambil menepuk dadanya sendiri.
Andika cuma tertawa-tawa saja. Padahal lagi-lagi ia penasaran untuk mengetahui apa yang akan dilakukan Walet sebenarnya. Sesungguhnya, ia juga tak menyangka akan berjumpa dengan Walet kembali.
Walet melangkah dengan kepala mendongak. Andika menjadi gemas. Ia ingin menjitak kepala bocah itu.
Sesaat, diperhatikannya dua anggota Serikat Baju,Merah yang pingsan.
"Kini giliranku untuk memberi pelajaran pada anggota yang lainnya," lalu dipanggulnya Gandul dan Marta yang masih pingsan.

««{ 3 }»»

Pagi beranjak pergi, matahari siap menjalankan tugasnya seperti sediakala dan siap menaungi seluruh persada. Di bawah naungan sinar matahari yang memancarkan sinar keemasan itu, di Kadipaten Karang Sutra, Adipati Ganda Manikam sedang mendapat laporan dari seorang anak buahnya tentang kejahatan yang dilakukan oleh Serikat Baju Merah. Adipati Ganda Manikam berwajah tampan dengan kumis tipis. Matanya memancarkan sinar kecerdikan.
Pakaiannya begitu indah berlapis sutera. Ia memiliki dua orang istri, tetapi tak seorang pun dari istrinya yang melahirkan anak-anaknya.
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya menyahuti laporan seorang anak buahnya.
"Siapa sebenarnya mereka?"
"Hamba kurang jelas mengenai mereka, Gusti Yang Agung. Tetapi, saat hamba berpatroli bersama Hardigala, hamba bisa melihat keadaan Desa Sawo Luwih yang porakporanda. Lalu bersama Hardigala hamba menyamar sebagai pekerja kasar yang sedang membangun sebuah bangunan besar yang diperuntukkan sebagai markas Serikat Baju Merah."
"Kau melihat ketua gerombolan itu?"
"Maafkan hamba, Gusti Yang Agung. Hamba dan Hardigala tidak melihatnya. Karena, hamba pun memikirkan cara keluar dari sana. Ketika malam larut dan anggota serikat Baju Merah sedang lengah, hamba dan Hardigala berhasil meloloskan diri dengan kuda yang kami tinggalkan di sebelah barat sana." Adipati Ganda Manikam mengangguk-anggukkan kepalanya kembali.
"Ini tidak boleh dibiarkan. Desa Sawo Luwih berada dalam pengamanan kita pula. Kerahkan dua puluh prajurit untuk mengusir Serikat Baju Merah," katanya penuh wibawa.
"Baik, Tuanku." Sepeninggal anak buahnya, Adipati Ganda Manikam mengusap wajahnya perlahan. Nampak ada sesuatu yang menjadi bahan pikirannya.
-0o-dw-ray-o0- Seorang gadis berpakaian merah muda berhenti di ujung Desa Sawo Luwih. Sejenak gejolak rindu di hatinya berderai-derai. Matanya yang bening mengalirkan air mata keharuan.
"Kini aku telah tiba di tanah kelahiranku sendiri Nenek Beruang Gunung Karimun... sebentar lagi aku akan bertemu dengan kedua orangtuaku. Salammu akan kusampaikan pada mereka," desisnya dalam hati.
Lalu dengan langkah ringan sementara kerinduan semakin menyesakkan dada, Ayu mulai melangkah memasuki desanya. Namun semakin ia melangkah, di hatinya bertalu keheranan yang membuatnya harus mengerutkan kening. Ia melihat perubahan yang sangat jelas sekali pada desanya. Bukan perubahan ke arah yang lebih baik, tetapi perubahan pada kemunduran. .
"Ada apa ini" Apakah para penduduk desaku ini sudah malas semua" Mengapa jalan menjadi kotor" Semuanya kusam. Duh, selokan itu begitu berbau busuk. Mengapa jadi seperti ini?" Selagi gadis itu masih memikirkan perubahan yang nampak di depan matanya, mendadak saja terdengar suara tawa dari belakang. Seketika Ayu menoleh. Keningnya makin berkerut menyadari karena ia tak pernah mengenal ketiga laki-laki ini. Tetapi, pada dasarnya Ayu adalah gadis yang sopan, ia hanya menganggukkan kepalanya dan meneruskan langkah. Justru sikapnya yang sopan itu diartikan sebuah undangan oleh ketiga laki-laki yang tak lain anggota Serikat Baju Merah, jelas dengan tanda baju merah yang dikenakan dan rajutan warna hitam di dada sebelah kiri bermotifkan wajah setan dengan taring panjang dan kuping lebar.
Mereka mengejar dan menahan langkah Ayu.
"Tunggu, Adik Manis!" Ayu menghentikan langkahnya lagi. Kali ini ia tak perlu menoleh, karena ketiga laki-laki itu telah melewatinya dan berdiri di hadapannya dengan seringaian busuk.
Sejenak pertanyaan melintas lagi di benak Ayu.
"Mau apa mereka" Bila melihat gelagat, mereka tentunya bermaksud tidak baik. Tetapi aku tidak ingin mencari masalah. Aku ingin menemui kedua orang tuaku." Salah seorang dari ketiga anggota Serikat Baju Merah berkata sambil memilin kumisnya yang baplang. Tangan kirinya dengan sikap gagah diletakkan di pangkal parangnya.
"Rasanya, baru kali ini aku melihat ada sekuntum mawar yang terbang dipermainkan angin dan jatuh di tempat tandus semacam ini," katanya yang disambut tawa oleh kedua temannya.
Ayu membatin lagi, "Benar dugaanku."
"Adik manis... siapakah kau gerangan?" Pada mulanya, Ayu enggan untuk menanggapi sikap ketiga laki-laki tengik ini. Tetapi menyadari kalau sejak awal tadi saat ia tiba di desa ini begitu terasa asing bahkan tak ada tanda-tanda yang membuatnya masih merasa akrab dengan tanah kelahirannya ia jadi ingin mengetahui apa yang terjadi. Terutama, siapakah ketiga laki-laki berbaju merah ini" Lalu dengan sopan Ayu menyahut, "Namaku Ayu. Aku datang dari jauh." Mendapat sahutan seperti itu, sudah tentu si kumis baplang yang bernama Jagalolo seperti mendapat lotre.
Keceriwisannya semakin menjadi-jadi, kali ini ditunjukkan dengan tatapan mata kurang ajar.
"Tentunya kau lelah, bukan" Bagaimana bila kau kami ajak bersenang-senang" Sekaligus menghibur diri dari kepenatan." Ayu masih berusaha menahan diri dari kemarahan yang mulai membersit.
"Maafkan aku.... Kakiku untuk saat ini belum mau diajak berhenti. Lain kali, kita bisa membicarakannya." Tetapi, sebelum murid Beruang Gunung Karimun itu meneruskan langkah mendadak saja terdengar teriakan keras dari belakang ketiga laki-laki berbaju merah. Seorang laki-laki setengah baya bertelanjang baju berlari dengan golok di tangan, Manusia-manusia biadab! Kalian telah menghancurkan kehidupan desa ini! Pergilah kalian ke neraka!!" Wuuuttt! Golok itu mengarah pada Jagalolo yang dengan sigapnya memiringkan tubuhnya. Lalu menggerakkan tangannya dengan gerakan cepat.
Des! Pukulan keras itu menghantam punggung laki-laki setengah baya yang kalap, hingga jatuh tersungkur. Lalu dengan kejamnya Jagalolo menginjak kepala laki-laki itu hingga pecah. Prak! Ayu terperangah melihatnya. Sungguh, kejadian itu begitu cepat sehingga ia terlambat turun tangan. Hal itu lebih banyak disebabkan karena ia masih memikirkan siapa ketiga laki-laki ini dan mengapa terjadi perubahan pada desanya.
"Kau"!" Ia mendesis dengan tubuh menggigil.
Jagalolo memperlihatkan seringaiannya.
"Itulah upah bagi yang menentang kami!"
"Siapa kalian sebenarnya?" bentak Ayu dengan mata memicing.
"Kami?" Jagalolo tertawa mengejek.
"Sebaiknya, kau ikut dengan kami, Adik Manis! Setelah kau hibur kami, maka kami akan menjelaskan siapa kami sebenarnya!" Ayu menggeram dalam hati. Rasa marahnya mulai naik.
Ia memutuskan untuk tidak banyak bicara lagi. Dengan hati masih geram karena tindakan keji di depan matanya ia terlambat menahan, ia melangkah lagi. Tetapi si kumis baplang justru menangkap tangan Ayu sambil tertawa-tawa.
"Maaf, lepaskan tanganku," kali ini Ayu mulai bersuara dingin. Ia tak menatap Jagalolo. Justru menatap ke depan.
Jagalolo terbahak-bahak mendengar kata-kata itu.
"Kau pikir, kami begitu bodoh untuk melepaskan kau, Adik Manis" Setelah kau menghibur kami, kau akan kami lepaskan ke mana kau suka." Ayu menggeram dalam hati. Ia semakin yakin kalau perubahan desanya yang menjadi kotor dan asing ini salah satunya disebabkan oleh ketiga laki-laki berbaju merah ini.
Masih adakah anggotanya yang lain" desisnya dalam hati.
Ayu menoleh. Tatapannya nyalang setajam serigala.
Tahu-tahu ia menggerakkan tangannya. Gerakannya sangat aneh sekali dan begitu cepat. Jagalolo sendiri sampai terkejut, ketika merasakan tangannya bergetar.
Dan ia baru sadar ketika gadis itu sudah menjauh dalam jarak sepuluh tombak. Kekesalannya beralih pada kedua temannya yang tak menyangka hal itu akan terjadi.
"Bodoh! Tangkap gadis sialan itu!!" Serentak Sentiko dan Kalimonto berlari seraya meloloskan parangnya mengejar Ayu. Tanpa melihat pun pendengaran Ayu yang terlatih bisa menangkap kalau ada yang mengejarnya.
Ia berhenti melangkah dan berbalik dengan tatapan nyalang.
"Jangan membuat kemarahanku bertambah naik! Perbuatan kalian membunuh laki-laki malang itu sebenarnya tak bisa kuampuni! Cukup dengan mengatakan siapa kalian, maka nyawa kalian masih menempel di jasad!" Sentiko dan Kalimonto berpandangan. Seperti dikomando keduanya menggerakkan tangan dengan posisi membacok. Wuttt! Wuuut! Dua parang tajam itu berkelebat ke arah Ayu yang dengan memiringkan tubuhnya berhasil menghindari serangan. Kaki kirinya yang ditekuk tadi melurus kembali, kaki kanannya maju satu tindak dan bersamaan dengan gerakan itu tangannya bergerak.
Tap! Tap! Pergelangan tangan kedua lawannya ditangkap. Bagai sebuah capitan tang yang sangat keras, Ayu memuntir tangan kedua lawannya yang menjerit keras dan parang yang mereka pegang terlepas.
Kaki kanan Ayu bergerak begitu cepat. Membuat dua gerakan sekaligus.
Des! Des! Tubuh Sentiko dan Kalimonto terlempar tiga tombak ke belakang. Sementara itu, Jagalolo yang melihatnya terbengong-bengong. la sama sekali tak menyangka gadis jelita itu memiliki ilmu yang tinggi.
Namun laki-laki yang hanya mengandalkan tenaganya saja tanpa banyak mempergunakan otaknya, segera mencabut parangnya kembali yang tadi dipergunakan untuk membunuh laki-laki setengah baya yang malang.
Ia menggerakkan tangannya yang memegang parang berkali-kali. Wutt! Wuuut! Angin yang keluar dari kibasan parang itu cukup kuat.
Tetapi Ayu hanya menatap dingin.
"Untukmu terpaksa aku memberi pelajaran sebagai ganjaran dari perbuatanmu barusan!!"
"Setan! Kucabik-cabik tubuhmu!!" Lalu dengan gerakan yang cepat Jagalolo menyerang.
Parangnya ditusukkan turus. Begitu Ayu menghindar dengan hanya mengubah posisi kaki kanannya yang tadi berada di depan dan ditarik ke belakang, Jagalolo meneruskan serangannya. Dari gerakan menusuk tadi, kini membacok. Wuuut! Angin cukup keras melewati wajah Ayu yang menjadi bertambah geram. Mengingat ia tak sempat menolong lakilaki setengah baya yang malang, mendadak saja sambil memiringkan tubuhnya tadi, Ayu membuat satu gerakan memutar. Kakinya menendang.
Des! Tepat menghantam dada Jagalolo. Menyusul satu tendangan keras menghantam wajah Jagalolo. Giginya tanggal tiga buah. Hidungnya mengalirkan darah. Dan ia ambruk dengan kerasnya.
"Kau?" desisnya sambil menahan sakit.
"Seharusnya nyawamu kucabut!" geram Ayu sambil mendekat.
"Tetapi, aku masih bermurah hati! Siapa kalian sebenarnya?" Laki-laki yang hanya mempergunakan tenaganya saja menyeringai.
"Kami adalah anggota Serikat Baju Merah," katanya dan dalam sangkanya Ayu akan jeri mendengar nama gerombolannya disebutkan, tetapi gadis itu justru mengerutkan keningnya.
"Apa kerja kalian di sini?"
"Hhh! Kau akan menyesal, Gadis Manis! Desa ini sudah berada dalam kekuasaan Serikat Baju Merah! Ingat, temantemanku tak akan pernah melepaskanmu!"
"Pantas keadaan begitu kacau sekali dan asing," pikir Ayu.
"Rupanya, gerombolan ini sudah menguasai desa. Oh, Tuhan... sudah berapa lamakah mereka melakukan hal itu?" Tiba-tiba Ayu teringat pada kedua orangtuanya.
"Bagaimanakah keadaan mereka?" Melihat gadis itu terdiam, Jagalolo yang menyangka kalau gadis itu menjadi ketakutan berkata lagi dengan pongah, "Tak akan lama lagi kau akan menjadi hiburan kami, Gadis Manis!" Tanpa menoleh pada Jagalolo, tangan Ayu bergerak cepat. Menangkap tangan kanan Jagalolo. Lalu meremas jemarinya hingga remuk. Jagalolo yang tak menyangka hal itu menjadi pias saat jemarinya dipegang dan melolong seperti serigala lapar ketika jemarinya diremas hingga remuk. Ayu tak mempedulikannya lagi. Pikirannya dipenuhi dengan kecemasan terhadap kedua orangtuanya. Ia memutuskan untuk segera tiba di rumahnya.
Lalu tubuh gadis itu pun berkelebat cepat.
-0o-dw-ray-o0- Tanpa sepengetahuan Ayu, hal itu rupanya diperhatikan sejak tadi oleh sepasang mata yang duduk santai di sebuah batang pohon. Selain tubuhnya tertutup oleh rimbunnya dedaunan, ilmu meringankan tubuh yang dikerahkannya tak akan membuat orang lain mendengar. Itu menandakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Si pengintip berbaju hijau pupus tinggi sekali.
"Hmmm... siapa gadis itu sebenarnya" Kemunculannya sejak di batas desa tadi aku sudah melihat. Bila melihat gerakannya, ia bukanlah gadis sembarangan. Bahkan aku yakin, ia memiliki ilmu yang tinggi. Sepak terjangnya barusan memang menakjubkan. Bila melihat sikapnya sejak pertama muncul tadi, ia nampak seperti keheranan. Apakah gadis itu pernah tinggal di desa ini sebelumnya dan sekarang datang kembali" Ataukah ia memang hanya seorang pengembara yang tak sengaja tiba di sini?" Sosok berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur di punggungnya itu tak lain adalah Pendekar Slebor.
Setelah pertemuannya dengan Walet di rumah Rahmat, Andika memang hendak menyelidiki siapa dua orang lakilaki berbaju merah yang dipermainkan Walet.
Walet mengatakan mereka adalah anggota serikat Baju Merah. Makanya, Andika segera membawa dua laki-laki yang pingsan dan hancur kejantanan mereka akibat 'kenakalan' Walet. Andika bermaksud untuk mencari di mana anggota gerombolan yang lainnya berdiam.
Ia memang telah menemukannya dan melihat para penduduk bekerja bakti membuat sebuah bangunan yang cukup besar di sebelah timur dari desa itu. Di sana Andika melihat para laki-laki yang berpakaian merah pula.
Andika berkeyakinan kalau tempat yang dibangun itu adalah tempat yang hendak dijadikan markas. Tetapi di mana mereka berdiam sebelumnya" Andika pun kembali lagi untuk membawa dua laki-laki yang pingsan. Ia akan membuat kejutan di sana. Makanya, ia menunggu sampai besok pagi. Ketika menjelang matahari terbit Andika membawa dua laki-laki anggota Serikat Baju Merah yang masih pingsan, ia melihat seorang gadis datang. Sejenak dikaguminya kecantikan gadis itu.
Dan diperhatikannya bagaimana gadis itu seperti terheranheran melihat keadaan sekitarnya. Tetapi kemudian ia tak mempedulikannya, karena ia hendak menjalankan rencananya.. Hanya saja, ketika dilihatnya tiga orang laki-laki berbaju merah muncul, Andika memutuskan untuk bersembunyi di sebuah batang pohon. Ia akan menolong bila gadis itu diperlakukan tidak senonoh. Tetapi kenyataannya, gadis itu justru membuat ketiga laki-laki berbaju merah itu tungganglanggang dan sekarang gadis itu sudah lenyap dari pandangannya.
"Siapa sebenarnya dia?" desisnya sambil berpikir.
Kata-kata aneh yang dikemukakan Walet masih membuatnya bingung. Andika melirik dua anggota Serikat Baju Merah yang masih pingsan yang tergolek di cabang pohon di mana ia bersembunyi.
"Hmmm... tak lama lagi pasti keduanya ini akan mati.
Melihat dari luka yang mereka derita pada bagian yang fatal, sangat sulit untuk hidup lebih lama." Andika tersenyum.
"Walet memang nakal. Tetapi sebaiknya, biar aku kejutkan Serikat Baju Merah lebih dulu. Sementara setelah itu akan kucari gadis berbaju merah muda itu. Siapa dia sebenarnya?" Memikir sampai di situ, Andika pun mengangkat tubuh kedua laki-laki yang pingsan. Ia bersiap untuk melompat.
Tetapi gerakannya menjadi urung, ketika mendengar suara kuda digebah dari kejauhan.

««{ 4 }»»

Suara kuda menggebah yang didengar Andika semakin lama semakin dekat, berisik dan menarik perhatian. Dari tempatnya bersembunyi, Andika bisa melihat kalau para penunggang kuda rata-rata mengenakan pakaian orangorang kadipaten. Kuda yang mereka tunggangi rata-rata berwarna hitam, di punggung kuda ada sehelai kain yang di setiap sisinya berajut benang emas.
Melihat dari cara berpakaian para penunggang kuda itu, dalam hanya sekali lihat Andika bisa menebak siapa mereka dan apa maksud kedatangan mereka ke Desa Sawo Luwih ini. .
"Hmm... kiranya berita tentang Serikat Baju Merah sudah masuk ke kadipaten. Bagus kalau begitu. Aku tak perlu lagi mengurus soal ini untuk sementara. Biar kutinggal saja dua anggota serikat Baju Merah ini dan sekarang aku mencari tahu siapa' gadis berbaju merah muda tadi." Andika melihat rombongan berkuda itu semakin dekat dengan pohon di mana ia bersembunyi. Ia melihat salah seorang di antara mereka mengangkat tangannya, seketika gerakan kuda-kuda itu terhenti.
Pandangan mata yang mengangkat tangan tadi, menjurus pada tiga anggota Serikat Baju Merah yang pingsan dihajar Ayu.
"Angkat ketiga manusia celaka dan seorang laki-laki tua yang malang itu! Amankan mereka! Kita terus bergerak untuk membasmi yang lain!!" Empat orang anak buahnya bergerak sigap. Lalu membopong dan meletakkan orang-orang itu ke punggung kuda masing-masing. Mereka langsung menggebah kuda ke arah dari mana mereka datang. Bermaksud meletakkan empat sosok laki-laki yang tergolek tak berdaya di punggung kuda masing-masing di tempat yang aman.
"Berpencar!" seru yang pertama tadi memberi komando.
Seketika mereka berpencar. Andika yang memperhatikan kesibukan para prajurit kadipaten berkata sendiri, "Menilik dari keadaan ini, nampaknya Serikat Baju Merah tidak mengetahui kedatangan mereka. Aku yakin, mereka masih berada pada bangunan yang sedang dibuat. Hmm, letaknya cukup lumayan dari tempat ini. Sebaiknya sekarang saja aku mencari gadis itu sebelum kehilangan jejak." Setelah para prajurit Kadipetan berpencar, dengan mempergunakan ilmu larinya Andika berkelebat ke arah di mana Ayu bergerak tadi.
-0o-dw-ray-o0- Di depan sebuah rumah yang menurut Ayu tak pernah berubah, murid Beruang Gunung Karimun itu berdiri.
Matanya tak berkesip menatap rumahnya. Memang tak ada perubahan pada rumah itu, seperti ketika la meninggalkannya dulu. Tetapi kekotorannya sangat menjijikkan. Ayu juga melihat pintu rumahnya melompong. Ia menjadi cemas sekarang. Cepat ia berkelebat ke rumahnya.
"Bapak! Ibu!!" Dalam sekali berkelebat saja Ayu sudah tiba di dalam rumahnya. Ia berteriak lagi. Tetapi sebuah batuk di sebuah kamar, membuatnya cepat ke sana.
Disingkapnya gorden kamar. Dilihatnya seorang wanita yang lebih tua dan usia yang sebenarnya sedang tergolek tak berdaya dan seorang laki-laki yang nampak mengantuk.
Batuk itu berasal dari wanita lemah itu.
Batin Ayu bergetar.
"Inikah kedua orangtuaku" Oh, Tuhan... Serikat Baju Merah pasti yang melakukan semua ini. Lalu ia memanggil perlahan "Bapak... Ibu...." Rahmat yang sedang mengantuk dengan perut lapar mengangkat kepalanya. Sejenak ia mengerutkan keningnya melihat seorang gadis jelita berada di depannya.
Batin Ayu makin bergetar.
"Bapak... ini aku, Ayu..."
"Oh, Tuhan!" Bagai memiliki tenaga kembali, Rahmat berdiri. Ayu... kau Ayu?" desisnya gembira.
Ayu menganggukkan kepalanya dengan keharuan yang menjadi-jadi.
"Oh Tuhan! Ayu, kau memang Ayu!" Rahmat berlari merangkul anaknya dengan penuh sukacita. Ayu membenamkan kepalanya dalam-dalam.
Ditahannya keharuan yang muncul. Ditahannya kegeraman yang menjadi-jadi pada Serikat Baju Merah.
Rahmat berlari mendapati istrinya sambil menarik tangan putrinya. Ia berkata penuh kegembiraan.
"Bu... ini Ayu, Bu. Ayu...." Perempuan lemah yang kini jarang bicara itu, bagai melihat sebuah cahaya di depan matanya. Perlahan-lahan ia menoleh. Kembali Ayu harus menahan semua perasaannya melihat keadaan yang mengibakan ini.
"Ayu...," suara Rokayah bergetar.
Ayu menganggukkan kepalanya. Mencium kening ibunya.
"Aku kembali, Bu...." . .
"Terima kasih, Tuhan Kau cantik sekali, Ayu..." Ayu tersenyum.
"Ibu sedang sakit?" Rokayah menganggukkan kepalanya sambil terbatuk.
"Duduklah, Ayu... kau pasti lelah." Ayu menoleh pada ayahnya, "Bapak... apakah semua ini perbuatan dari Serikat Baju Merah?" Kegembiraan Rahmat menjadi surut kembali ketika mendengar gerombolan itu disebutkan. Ia menganggukkan kepalanya seraya duduk kembali.
"Kau benar! Manusia-manusia biadab itu datang membawa petaka di desa kita, Ayu.... Kau jangan sampai berjumpa dengannya."
"Aku sudah berjumpa dengan tiga orang dari mereka, Bapak."
"Oh! Lalu apa yang terjadi?"
"Berkat ilmu yang diajarkan oleh Nenek Beruang Gunung Karimun, aku berhasil menghajar mereka, Bapak." Kali ini kegembiraan Rahmat nampak kembali.
"Bagus! Mereka memang perlu dihajar, Ayu!"
"Benar, Bapak... aku akan memberi pelajaran pada mereka. Sebaiknya, aku mencari mereka sekarang."
"Untuk saat ini, hal itu tidak usah dilakukan. Orangorang Kadipaten Karang Sutra sedang menumpas gerombolan itu," terdengar seorang dari belakang mereka.
Ayu seketika berdiri. Ia melihat seorang pemuda tampan berbaju hijau pupus sedang berdiri diambang pintu.
"Siapakah kau. Orang Muda?" tanya Ayu tanpa meninggalkan kesopanannya.
Pemuda yang muncul yang tak lain Pendekar Slebor tersenyum. Andika membatin, "Dari jarak sedekat ini, kecantikan gadis ini semakin nyata sekali." Lalu ia berkata menyahuti pertanyaan Ayu, "Maafkan kelancanganku masuk ke rumah ini tanpa permisi. Tetapi, aku penasaran ingin mengetahui siapa kau adanya, Nona. 0 ya, namaku Andika... orang- orang menjulukiku Pendekar Slebor." Ayu menatap Andika dari ujung kaki sampai kepala.
Andika jadi risih sebenarnya ditatap sedemikian rupa oleh seorang gadis cantik seperti Ayu.
"Kau" Kaukah yang berjuluk Pendekar Slebor?" kata gadis itu pelan. Matanya tak berkesip menatap pendekar muda pewaris ilmu pendekar Lembah Kutukan yang berdiri di hadapannya. Andika cuma mengangkat alisnya.
"begitulah orangorang rimba persilatan menjulukiku. Sebuah julukan yang..."
"Yang sangat luar biasa," sambung Ayu. Ia teringat sebelum turun gunung kembali ke rumahnya, gurunya pernah menceritakan seorang pendekar muda yang berasal dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor.
Nenek Beruang Gunung Karimu memang belum pernah bersua dengan Pendekar Slebor, hingga ia tak bisa menggambarkan sosok Pendekar Slebor. Dan yang tak disangka Ayu, kalau pendekar Slebor masih muda seperti ini. paling tidak lebih tua beberapa tahun dari umurnya.
"guruku pernah menceritakan tentang dirimu."
"O ya" Mudah-mudahan cerita yang baik. Boleh kutahu gurumu?"
"Beliau berjuluk Beruang Gunung karimu." Andika tersenyum.
"Aku pernah pula mendengar julukan itu. Tetapi sayangnya, aku belum pernah berjumpa dengannya." Rahmat mempersilakan Andika duduk di ruang dalam ketika mendengar istrinya terbatuk. Sementara Ayu menemani Andika, ia sendiri kembali menemani istrinya yang kini mulai tersenyum. Ia bahagia sekali melihat keadaan istrinya yang mendadak lebih baik setelah bertemu dengan Ayu. Ia tak ingin menceritakan kejadian buruk yang menimpa istrinya pada putrinya.
Sementara di ruang dalam Ayu sedang bertanya, "Kang Andika... apa maksudmu agar aku tak perlu menumpas Serikat Baju Merah?"
"Kenyataannya memang seperti itu. Dua puluh prajurit kadipaten sedang menumpas mereka. Aku yakin, mereka akan berhasil melakukannya karena tentunya, para prajurit yang dikirim bukanlah prajurit sembarangan!"
"Baguslah kalau begitu. Kupikir, gerombolan itu memang sangat kejam, Kang Andika." Sambil meneruskan percakapan, sebenarnya Andika berusaha memecahkan pula kata-kata Walet. Ia penasaran di mana sekarang bocah yang dititisi oleh seorang pangeran itu berada. Ia pun menyesal mengapa tidak menahannya kemarin. Ia bertanya pada Ayu, "Berapa lama kau berguru pada Nenek Beruang Gunung Karimun, Ayu?"
"Lima tahun, Kang Andika."
"Lima tahun," Andika bergumam pelan. Ia teringat akan kata-kata perlama dari Walet. Seekor merpati akan pulang kandang. Ayu - kali yang dimaksud oleh Walet sebagai seekor merpati" Dan merpati itu berada dalam ancaman maut seekor harimau, seperti kiasan yang dilakukan Walet.
Hanya pendekar ugal-ugalan yang mampu menghalang.
Andika mendengus ketika tiba pada kesimpulan kalau pendekar ugal-ugalan yang dimaksud Walet adalah dirinya.
Kalau memang benar itulah jawaban dan pernyataan Walet, berarti Ayu dalam bahaya.
Ayu yang melihat Andika terdiam berkata sambil lurus menatapnya, "Mengapa kan seperti tertegun Kang Andika" Adakah sesuatu yang pikirkan?" Andika tersenyum.
"Hanya sedikit."
"Soal apa?"
"Sebaiknya Ayu tidak perlu mengetahui hal itu dulu" kata Andika dalam hati.
"Biar kupendam dulu, sampai kuketahui siapa yang berniat untuk membunuh gadis jelita ini." Lalu ia berkata sambil tersenyum, "Tidakkah kau ingin kita melihat hasil kerja para pasukan kadipaten, Ayu?" Andika melihat wajah Ayu menggeram.
"Ayolah! Manusia-manusia dajal itu memang sudah seharusnya meninggalkan desa yang dulu nyaman ini!" Sebelum mereka berangkat, Andika mengusulkan untuk memindahkan kedua orangtua Ayu ke tempat yang lebih aman.
"Bukannya aku khawatir ada anggota Serikat Baju Merah yang masih hidup, melainkan kupikir lebih baik bila kita melakukannya. Sebelum aku tiba di desa ini, di sebelah selatan desa ini ada sebuah lembah kecil. Di sana pula kutemui sebuah bangunan yang masih bisa dipergunakan untuk tempat tinggal kedua orangtuamu sementara." Ayu menimbang-nimbang usul itu. Lalu ia mengangguk.
"Baik! Kupikir itu pun yang terbaik!" Ayu mengatakan semua itu pada ayahnya yang hanya menganggukkan kepala. Sambil mengucapkan 'maaf' Andika memegang tangan Rahmat dan tubuhnya berkelebat hingga Rahmat menjerit lirih karena bagai diterbangkan oleh angin. Sementara Ayu membopong ibunya. Dengan gerakan yang cepat pula ia membawa ibunya menyusul Andika. -0o-dw-ray-o0- Kedatangan para pasukan kadipaten ternyata membawa petaka bagi orang-orang Serikat Baju Merah. Dalam waktu hanya lima kali penanakan nasi, seluruh anggota manusia dajal itu berhasil ditumpas.
Wisnusesa yang memimpin gerakan itu tersenyum puas, melihat teman-temannya mengumpulkan mayat-mayat yang rata-rata berbaju merah dengan sulaman sebuah wajah yang mengerikan pada dada kanan mereka.
Sementara ia melihat para penduduk desa yang ketika mereka datang sedang mengerjakan sebuah bangunan besar, duduk berlutut. Anehnya, tak seorang pun yang menunjukkan wajah gembira. Keanehan itu pun tak luput dari pandangan Pendekar Slebor yang kini mengintip dari sebatang pohon besar bersama Ayu.
Hati Pendekar Slebor bertanya-tanya tak mengerti.
"Mengapa mereka bukannya gembira melihat pasukan kadipaten memusnahkan para gerombolan" Mengapa mereka begitu muram. Bahkan tak terdengar suara apaapa." Ayu yang ingin segera turun menjumpai orang-orang itu ditahannya. ' Ia menoleh pada Andika tak mengerti.
"Mengapa, Kang?"
"Tunggu dulu, Ayu. Kita tahan rasa ingin tahu kita untuk melihat ke bawah."
"Ada apa?" tanya Ayu mendapati Andika menjawab tanpa menoleh sedikit pun padanya.
"Tidakkah kau perhatikan wajah para penduduk, Ayu?" Andika berkata sambil mengerutkan keningnya.
Ayu menoleh ke bawah.
"Apa maksud, Kang Andika?" .
"Apa yang akan kau lakukan bila kau melihat kezaliman berhasil diatasi?"
"Aku akan gembira."
"Begitu pula denganku. Tetapi, tidakkah kau melihat kalau para penduduk justru kelihatan tegang?" Ayu memperhatikan sekali lagi kata-kata Andika. Ia pun kini merasa keheranan mendapati apa yang dikatakan Andika benar adanya.
"Mengapa mereka bersikap seperti itu?"
"Aku tidak tahu. Tetapi ada sesuatu yang janggal kurasakan. Ayu, dapatkah kau mengenali seluruh warga desamu ini?" Ayu menggelengkan kepala.
"Tidak semua. Mungkin saja sepeninggalku dari desa ini, ada pendatang yang bermukim di sini. Mungkin pula di antara para laki-laki itu, ada penduduk seberang yang kebetulan menikah dengan wanita dari desa ini." Andika manggut-manggut. Ia masih memandang tak berkesip ke bawah. Pikirannya dikerahkan untuk memecahkan masalah yang mengganggunya.
Tetapi sampai para prajurit kadipaten membawa mayatmayat itu yang diseret di belakang beberapa ekor kuda, Andika belum juga berhasil memecahkan kebingungannya.
Ia tetap menahan Ayu agar tidak bergerak dari tempat mereka. Setelah beberapa saat berlalu, dua orang dari para penduduk yang duduk berlutut itu berdiri. Salah seorang berteriak, "Kawan-kawan! Kita bebas sekarang! Manusiamanusia itu telah kembali ke kadipaten dengan membawa buruannya! Sang Ketua memang cerdik! Manusia-manusia bodoh itu telah membuat kekeliruan!!" Hanya beberapa orang saja yang kemudian berdiri dan menyahuti kata-kata itu dengan sorak keras. Selebihnya hanya terdiam sesaat.
Andika mendesah sambil menepuk keningnya.
"Aku tahu sekarang. Aku tahu. Pantas, aku tidak melihat penjagaan ketat yang dilakukan oleh para gerombolan itu." Ayu menoleh tak mengerti.
"Maksud Kang Andika bagaimana?"
"Rupanya, penyerangan yang dilakukan oleh para prajurit kadipetan bocor."
"Aku tak mengerti."
"Dengar baik-baik, Ayu.... Mayat-mayat yang diseret kuda oleh para prajurit Kadipaten Karang Sutra, bukanlah mayat para Serikat Baju Merah."
"Oh Tuhan! Maksud mu..."
"Ya! Rencana penyerangan ini rupanya bocor. Sehingga para anggota Serikat Baju Merah masih sempat menukarkan pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian beberapa penduduk. Lalu mereka pun bersikap seperti layaknya para penduduk desa itu dan tentunya memaksa para penduduk yang sudah mengenakan pakaian yang mereka kenakan sebelumnya berdiri tegak mengawasi layaknya mereka sendiri. Para prajurit kadipaten sudah tentu tak akan bisa mengenali siapa lawan dan yang mana kawan. Yang mereka jadikan patokan sudah tentu pakaian warna merah yang dikenakan oleh orang-orang yang mereka cari itu."
"Licik sekaligus kejam!" Ayu menggeram.
"Mereka sangat pintar. Hanya saja, bagaimana rencana penyerangan itu berhasil diketahui mereka?" Tak ada yang menjawab. Di bawah, lima orang laki-laki yang bertampang kejam, telah mengambil parang mereka yang tadi disembunyikan di balik semak. Mereka mengenakan lagi sabuk parang itu. Dan dengan geramnya, menendang-nendang dengan makian yang keras pada para penduduk yang memperhatikan mereka dengan tatapan marah. Namun mereka tadi tak ada yang berani mengatakan siapa orang-orang yang dihajar oleh pasukan kadipaten, karena ancaman kematian sudah ditebarkan oleh anggota Serikat Baju Merah sebelum mengganti pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian lima orang teman mereka. Bahkan lima orang lagi dipaksa untuk mengenakan pakaian yang sama yang baru diambil dari tempat yang tersembunyi oleh yang berhidung besar.
"Kerja kalian! Teruskan kerja lagi!"
"Apakah kalian ingin mampus, hah"!" Hiruk-pikuk kembali mewarnai tempat itu. Sampai tibatiba terdengar bentakan keras, "Bodoh kalian semua! Di mana yang lainnya, hah"!" Andika dan Ayu melihat seorang laki-laki tinggi besar yang berdiri di wuwungan sebuah rumah. Mereka melihat kelima orang yang tadi membentak-bentak para penduduk langsung jatuhkan diri dengan sikap hormat.
"Cari kelima manusia itu! Mereka pantas dihukum karena pergi tanpa memberi kabar!! Kalian harus berkumpul besok sore! Karena, seorang kambratku, bila tidak ada halangan yang terlalu mengganggu, akan tiba di sini besok sore!" Sehabis berkata begitu, orang yang berteriak keras yang tak lain adalah Singgih Murka, mendadak saja menghilang.
Kelima orang yang diperintah itu berdiri kembali. Mereka berpandangan, seolah baru menyadari kalau lima orang anggota mereka lainnya, tidak ada di tempat.
Salah seorang berteriak, "Cari mereka sampai dapat!! Jangan-jangan mereka teler di rumah para janda!" Empat orang pun berkelebat cepat.
"Untungnya, kedua orangtuaku telah kita pindahkah, Kang Andika," Kata Ayu, kali ini disertai dengan tatapan kagum atas kecerdikan Andika. Andika pula yang bisa menebak kalau keadaan justru berbalik dari yang diharapkan. Kenyataan para gerombolan itu menukarkan pakaian mereka dengan pakaian para penduduk, sebuah jalan keluar yang sangat licik namun cerdik.
"Siapa yang dimaksud oleh laki-laki tinggi besar itu?" gumam Andika.
"Kupikir, desa ini memang akan dijadikan sebuah tempat untuk bermukim, atau merencanakan sebuah kejahatan. Apa yang hendak mereka lakukan sebenarnya?" Kali ini Ayu tak banyak bertanya. Ia hanya mendengarkan saja kata-kata Andika yang sebenarnya lebih banyak ditujukan pada diri Andika sendiri.
"Ayu... sebaiknya, kita tunda keinginan kita untuk menghancurkan manusia-manusia dajal ini untuk sementara. Aku ingin mengetahui siapa kawan manusia durjana itu yang akan datang ke sini dan apa yang sedang direncanakan mereka." Ayu hanya menganggukkan kepalanya, padahal ia sudah tidak sabar untuk menurunkan tangan pada manusiamanusia itu. Andika bertanya, "Kenalkah kau dengan seorang bocah yang bernama Walet, Ayu?"
"Walet" Tidak. Namanya saja baru kudengar sekarang.
Mengapa, Kang Andika?"
"Tidak apa-apa. Sebaiknya, kita berjaga-jaga saja.
Hmmm... aku mempunyai sebuah rencana yang menarik sambil menunggu kedatangan kambrat manusia keparat itu."

««{ 5 }»»

Dua orang anggota Serikat Baju Merah yang mencari lima temannya yang menghilang, bertemu di tengah desa.
Keduanya saling menggelengkan kepala.
"Setan! Ke mana mereka?" maki yang berambut panjang dan berhidung besar.
"Aku hanya tahu soal Gandul dari Marta," kata kawannya yang bernama Jereng.
"Mereka sedang menuju ke rumah yang terletak di tepi desa sebelah yang istrinya kita gilir waktu itu. Tetapi, ketika kudatangi rumah itu, tak ada siapa pun di sana. Ku pikir Gandul dan Marta pasti telah membunuhnya."
"Setan alas! Bagaimana dengan yang lain.
"Aku tidak tahu."
"Hhhh! Sebaiknya, kita menemui yang lainnya, barangkali saja mereka sudah menemukan setan-setan itu!!"
"Sebaiknya, kalian berada di sini saja. Karena, ada yang ingin kutanya kan," terdengar suara itu di belakang keduanya yang seketika menoleh dan mengerutkan kening.
"Siapa kau?" bentak si hidung besar begitu melihat satu sosok tubuh berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang tersampir di bahunya.
"Aku?" Orang yang baru muncul yang tak lain Andika menunjuk dirinya sendiri.
"0... kalau aku ya aku. Kalau kalian sudah pasti monyet bukan?" Wajah si hidung besar kelam seketika. Ia menggeram, "Sialan! Kau hanya mencari mampus!"
"Wadaowww!" jerit Andika konyol.
"Jangan... jangan kau bunuh aku! Aku masih doyan makan ubi!" Si hidung besar rupanya memiliki sifat pemarah. Ia langsung menarik parangnya dengan geram.
Sraaat! "Kapan kau terakhir makan ubi?" Andika menggaruk-garuk kepalanya dengan sikap konyol.
"Kapan ya" Aku tak ingat lagi."
"Kau tak akan pernah ingat lagi!" maki si hidung besar sambil menyerang dengan parangnya. Si Jereng pun tak mau ketinggalan. Ia pun menyerang dengan ganas pula.
Dua buah parang menderu mengeluarkan angin dahsyat.
Menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
Tetapi, yang mereka hadapi bukanlah begundal banyak omong. melainkan Pendekar Slebor yang disegani oleh orang-orang rimba persilatan.
Hanya dalam dua gebrakan saja, Andika sudah merebut parang dari kedua lawannya. Lalu seperti mematahkan sebuah ranting, dua parang itu dipatahkan sekaligus, hanya dengan mempergunakan ibu jari dan telunjuk.
Kedua lawannya terperangah melihatnya.
"Siapa kau sebenarnya?" ., "Lho, jadi bertanya nih" Namaku Andika... Julukanku Pendekar Slebor!!" Mendengar julukan itu disebutkan, keduanya tanpa sadar mundur satu langkah. Mereka teringat akan kata-kata Singgih Murka, tentang seorang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor yang kemungkinan besar bisa menggagalkan rencana yang telah dijalankan sebagian.
Meskipun Singgih Murka mengatakan Pendekar Slebor tidak akan pernah tiba di desa ini, sungguh terkejut bukan buatan keduanya menyadari kalau hal itu merupakan kekeliruan besar.
Memang, karena langkah Pendekar Slebor begitu panjang.
"Setan keparat! Rupanya kaulah yang berjuluk Pendekar Slebor! Menyerahlah untuk kami bawa ke kaki pimpinan!" maki si hidung besar.
Andika terbahak-bahak sampai perutnya bergoncang.
"Enak benar ngomong! Nyali tikus yang kalian miliki masih kalian coba samarkan dengan menunjukkan nyali serigala! Sudah tentu aku jadi ketakutan, nih!" Keduanya saling pandang. Dan bersamaan dengan teriakan yang keras. keduanya menerjang kembali. Sungguh keduanya berotak bebal, tidak mengetahui siapa yang mereka hadapi. Hanya dengan menggerakkan tubuh sekali saja dan menggerakkan tangan dua kali, keduanya telah kaku tertotok. Andika menjitak kepala keduanya yang melotot tetapi tak bisa bergerak.
"Kalian diam-diam saja dulu. Biar urusan yang lainnya kalian terpaksa tidak ikut."
"Manu...." Tuk! "Nah, kubilang diam kan" Terpaksa aku harus menotok urat leher kalian" Yuk, kita cari tempat yang aman!" Seperti bersikap dengan temannya, Andika membopong keduanya dan membawanya ke tempat persembunyian yang ditemukannya.
"Kalian diam-diam saja di sini! Pokoknya, kalian aman. Cuma ya... terhadap ular berbisa yang akan menggerogoti kalian aku tidak berjanji, ya?" selorohnya sambil ngeloyor pergi.
Tak dihiraukan kedua lawannya yang tak berdaya itu melotot sengit.
Andika melangkahkan kakinya lagi menuju Desa Sawo Luwih. Sebenarnya, ia masih memikirkan kebenaran kemungkinan jawaban atas pernyataan Walet.
Kalau memang yang diduganya itu benar berarti memang ia harus selalu berada di dekat Ayu.
"Sial!" rutuk Andika tiba-tiba.
"Ke mana sih si Bocah Ajaib itu?" Andika berhenti melangkah. Membetulkan letak kain pusakanya yang agak miring. Gerakan yang dilakukannya itu sebenarnya tidak perlu. Karena posisi kain pusakanya seperti biasa terletak pada tempatnya. Tetapi, ada sesuatu yang menarik perhatian pendekar pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu.
Sambil berlagak menyampirkan kembali kain pusakanya, Andika mendesis dalam hati.
"Hmmm... ada anak monyet yang sejak tadi mengintip dari pohon tiga tombak dari hadapanku ini. Siapa manusia itu" Biar kucari tahu siapa dia." Setelah berpikir begitu, dengan santai Andika melanjutkan langkah lagi. Nalurinya yang tajam mengatakan kalau sosok tubuh yang bersembunyi di balik pohon itu sedang memperhatikannya.
"Akan kukecoh dia." Tiba-tiba saja Andika berkelebat cepat.
Wuss! Tubuhnya melompat ke kiri, masuk ke balik semak. Dari semak yang setinggi dada manusia itu ia melihat sosok berpakaian hitam-hitam dengan dada terbuka celingukan memperhatikannya. Begitu, si pengintip melompat turun, Andika berkelebat menjauh. Ia ingin membuktikan apakah manusia itu memang sengaja memperhatikannya atau tidak. Pada kenyataannya, laki-laki berbaju hitam itu memang mengikutinya. Andika terus bergerak laksana kilat.
Gerakannya memang sangat terlatih.
Di sebuah tempat terbuka yang agak jauh dari Desa Sawo Luwih, laki-laki tinggi besar berbaju hitam-hitam itu berhenti. Ia celingukan dengan gertakan keras.
"Setan! Aku yakin pemuda itu Pendekar Slebor, sesuai dengan ciri yang selama ini kudengar! Aku jadi teringat tentang sahabatku si Dewa Api, yang tewas di tangan pendekar urakan itu! Hhh! Keinginanku untuk mencari gadis berbaju merah muda, bisa kutunda dulu untuk menyelesaikan masalah Dewa Api!" Orang yang tak lain Maharaja Langit Hitam menggeram. Ia mencari di beberapa tempat, tetapi sosok Pendekar Slebor tidak ditemukan. Lalu ia pun bermaksud untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi....
"Busyet! Jadi bangga nih dengan diriku sendiri! Kalau aku bermain petak umpet, selama sebulan penuh pasti kau tak bisa menemukanku, ya?" suara itu terdengar dari sebatang pohon.
Maharaja Langit Hitam mendongak. Sejenak ia melengak kaget melihat Pendekar Slebor sedang duduk di sebuah dahan pohon dengan kedua kaki menjuntai.
"Setan alas! Manusia semacam kau sudah selayaknya mati!" makinya dengan wajah tertarik ke dalam. Bibirnya yang turun di bagian bawah nampak mengerikan dan bergoyang-goyang saat ia memaki tadi.
Andika cuma nyengir saja.
"Dugaanku benar ia memang sengaja mengikutiku. Hhh! Siapa dia sebenarnya" Kalau mendengar geramannya tadi ia pasti sahabat si Dewa Api.
Tetapi apakah ia orang yang ditunggu Singgih Murka" Hhh! Tadi pun akan menyelidiki tentang Singgih Murka, tetapi tak kuketahui di mana ia berada?" Setelah mendesis dalam hati Andika berkata konyol, "Mati itu sih gampang kalau memang ajal sudah tiba. Tetapi apa tidak sebaliknya, justru kau yang akan mati?" Kelam wajah Maharaja Langit Hitam. Ia membentak dengan tangan menuding, "Kau harus membayar nyawa sahabatku si Dewa Api, Pendekar Slebor!"
"Busyet, urusan ini jadi panjang, padahal aku harus menemui Ayu," membatin Andika. Lalu, "O...Jadi kau ini sahabatnya ya" Siapa sih kau ini?"
"Julukanku Maharaja Langit Hitam! Cepat kau bersujud sebelum kucabut nyawamu!"
"Busyet! Hebat sekali gayamu itu, ya" seloroh Andika kocak.
"Sebenarnya, kau yang mau sujud, kan" Mau sujud saja" Apa kau mau kukentuti?" Maharaja Langit Hitam tak bisa menahan diri lagi.
Kegeramannya setelah mengingat Dewa Api mati di tangan Pendekar Slebor, membuatnya segera mengibaskan tangan.
Wusss! Serangkum angin dingin menderu ke arah Andika yang dengan sigapnya bersamaan tangan Maharaja Langit Hitam bergerak, ia pun bergerak pula.
Serangan dahsyat itu meleset.
Akibatnya, bukan hanya dahan yang didudukinya saja yang hancur, batang pohon bagian atas pun pecah dan tumbang menimbulkan suara yang cukup keras.
Plok! Plok! Plok! Andika bertepuk tangan.
"Hebat, hebat sekali!" Tetapi manusia dajal itu tak mau bertindak ayal.
Menyusul satu rangkaian serangan yang mengandung hawa dingin luar biasa, menyerbu ke arah Andika. Pendekar urakan yang siap untuk menghindari serangan itu menjadi terkejut sendiri, ketika merasa sekujur tubuhnya bagai membeku.
"Busyet! Apa-apaan ini?" makinya kaget dan tak ada jalan lain kecuali membanting tubuhnya sendiri menghindari serangan aneh itu.
Wusss! Serangan itu meleset kembali. Tetapi kaki kanan Maharaja Langit Hitam sudah siap menjejak di dada Andika. Siap bikin ambrol, tembus dan jantung Andika bisa remuk seketika. Tetapi, rupanya di saat yang kritis itu, dalam keadaan tubuh yang bagai membeku, Andika telah mengalirkan sebagian hawa tenaga 'inti petir' hingga tubuhnya menjadi normal kembali.
Bersamaan kaki Maharaja Langit Hitam menjejak, ia menendang keras.
Buk! Benturan tenaga itu terjadi. Tubuh Maharaja Langit Hitam bergetar, sementara Andika cepat berdiri meskipun kakinya dirasakan sakit pula.
"Pukulannya mengingatkan aku pada Ratu Mesir yang merasuki diri Nofret," pikir Andika sambil bersiaga.
"Hanya saja, pukulan yang dilakukan Maharaja Langit Hitam, belum sedahsyat tenaga 'Inti Es' Ratu Mesir." (Untuk mengetahui hal itu, silakan baca : "Warisan Ratu Mesir").
Sementara itu, Maharaja Langit Hitam sudah dalam keadaan sempurna kembali. Ia cukup digetarkan dengan tenaga dalam yang dirasakan tadi.
"Tak mustahil bila Dewa Api bisa tewas di tangan Pendekar Slebor. Biar kucoba sekali lagi!" Dengan gerakan aneh, bagai melompat-lompat, Maharaja Langit Hitam menyerang kembali. Andika membalas dengan gempuran tak kalah hebat.
Tak terasa lima belas jurus sudah berlalu begitu cepat.
Tempat di mana mereka bertempur bagai diamuk puluhan banteng liar. Mendadak satu ketika, setelah menyerang namun gagal dengan kakinya, tubuh Maharaja Langit Hitam berkelebat ke belakang, berdiri dalam jarak tiga tombak.
"Kau akan merasakan ilmu yang kumiliki ini, Pendekar Siebor." Meskipun tahu lawan sedang kerakan ilmunya yang paling hebat, Andika tetaplah Andika, yang memiliki sejuta akal cerdik dan sifat urakan yang terkadang tidak ketolongan.
"Aku memang belum merasakan apa-apa, kok. Cuma kayaknya seperti menghadapi anak kecil saja. Makanya dari tadi aku belum memukul. Bukan tidak bisa, tetapi tidak tega. Nah, ayo ucapkan terima kasihmu!" Gusar bukan buatan Maharaja Langit Hitam. Ia menggeram setinggi langit, membuncah keras bagai riak yang meluncur dari dasar laut. Kedua tangannya menyilang dahsyat. Gerakannya bagai tak beraturan, tetapi akibatnya, Andika bisa merasakan perubahan udara di sekelilingnya.
Tiba-tiba bagai membengkak dalam dingin yang tinggi.
Andika lagi-lagi terkejut. Ia menambah aliran hawa panas dalam tubuhnya. Maharaja Langit Hitam tak mau membuang waktu lagi. ajian 'Menghampar Gunung Es' sebuah jurus yang sangat dahsyat.
Tubuh Marahaja Langit Hitam berkelebat dengan gerengan yang menjurus. Keras. Membahana. Sekaligus mengerikan. Dingin berkebyar-kebyar.
Pendekar Slebor tak memapaki serangan itu. Ia coba menjajaki kekuatan yang terpancar dari setiap serangan Maharaja Langit Hitam.
Sambil menghindar ia mencoha menemukan titik lemah dari ajian Maharaja Langit Hitam. Serangan susulan datang kembali ke arahnya. Lebih ganas, lebih cepat dan lebih mengerikan. Dingin bukan hanya berkebyar, tetapi juga mendera tubuh Andika hingga gerakannya jadi sedikit lambat.
"Tak ubahnya dengan ajian 'Inti Es' milik Ratu Mesir!" makinya keras. Tubuh Maharaja Langit Hitam bukan hanya berkelebat, tetapi juga bergulingan sembari kirimkan serangan. Begitu cepat, mengerikan sekaligus mematikan.
Des! Kaki kanan Andika terkena hantamannya. Andika merasa aliran dingin begitu cepat naik ke sekujur tubuhnya melalui kaki kanan.
"Kacau! Aku harus cepat memusnahkan tenaga celaka ini kalau tidak ingin mati konyol!" Tetapi terlambat, karena Maharaja Langit Hitam telah menghantam tubuhnya empat kali. Tubuh Andika bukan hanya terasa dingin, tetapi juga membeku. Dan ambruk tak ubahnya batang kayu.
Maharajd Langit Hitam menghentikan serangannya Ia meludah seraya berkata, "Tak perlu membunuhmu. Karena, dalam waktu sepeminuman teh, kau akan mampus, Pendekar Slebor. Dengan tubuh dan aliran darah yang membeku! Hmm... sebaiknya, aku mendatangi Singgih Murka sekarang. Ia pasti sedang menungguku!" Tubuh Maharaja Langit Hitam pun menghilang dengan membawa senyum puas karena berhasil membunuh Pendekar Slebor.
Tamatkah riwayat Pendekar Slebor" Tidak, karena satu sosok tubuh kecil muncul dari balik pohon sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menoleh pada Andika yang sedang bersemadi di balik rimbunnya semak. Bocah itu tak lain adalah Walet, yang muncul di saat keadaan menjadi kritis bagi Andika. Dengan ilmu batin yang dimilikinya ia mengubah tubuh Andika menjadi sebatang kayu, sekaligus membalikkan mata Maharaja Langit Hitam yang begitu bangganya menghajar Andika yang ternyata hanya sebatang kayu.
Dengan langkah pongah Walet mendekati Andika yang sedang bersemadi.
"Kang Andika lengah!" katanya seperti seorang ayah pada anaknya.
"Seharusnya Kang Andika bisa mengalahkan manusia jelek itu!" Andika cuma tersenyum.
"Aku berhutang budi padamu."
"Tidak ada Budi! Yang ada Walet!" Andika tertawa. Selagi ia cari Walet tidak ditemukan, selagi tidak dicari bocah ajaib itu justru nongol sendiri.
"Kau ini keturunan tolol juga rupanya" Yang kumaksud dengan budi itu bukan nama orang!" Walet nyengir.
"Kenapa Kang Andika lengah?"
"Aku masih memikirkan ajian yang dilakukan oleh Maharaja Langit Hitam. Pikiranku tak lepas dari ajian 'Inti Es' milik Ratu Mesir, yang ternyata justru ilmu yang dimiliki oleh si Gila Petualang yang mendendam pada dunia persilatan."
"Ada titik lemah dari ajian yang dimiliki manusia jelek itu." Kalau Walet berkata begitu, Andika percaya. Ia menatapnya lekat-lekat.
"Katakan."
"Katanya cerdik, mengapa tidak memecahkan saja?" Andika tertawa.
"Brengsek kau ini, ya" Eh, Let! Apakah merpati yang kau maksudkan itu...."
"Maaf ya, Kang... aku ada urusan!" potong Walet tibatiba dan sambil bersiul-siul meninggalkan Andika yang melongo. Lenggangnya enak saja, seolah tak peduli Andika mau bersikap bagaimana.
"Busyet! Brengsek juga tuh bocah!" maki Andika sambil berdiri. Tetapi lagi-lagi ia tak bermaksud untuk mengejar Walet meyakini dugaannya.
"Hmm... aku masih yakin, merpati yang dimaksud Walet adalah Ayu. Tetapi siapa yang dimaksudkan dengan serigala oleh Walet!" Andika terdiam sejenak dengan kening berkerut. Lalu ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, mencari Maharaja Langit Hitam dan menuntaskan teka-teki yang berlarian di benaknya. Apalagi ketika ia teringat, Ayu pasti telah menunggu di tempat yang telah ditentukan sesuai dengan rencana. Dalam hati kecilnya, Andika khawatir kalau rencananya itu akan gagal.

««{ 6 }»»

Ayu mengendap di balik semal. Malam telah lewat beberapa jam. Sang Ratu Malam telah berada di sepertiga perjalanan menyongsong pagi.
"Hmm... mengapa Kang Andika belum muncul juga!" desisnya sambil memperhatikan bangunan besar tak ubahnya seorang raksasa yang tengah berlutut.
"Seharusnya ia sudah tiba sejak tadi di sini. Ke mana dia?" Selagi Ayu memikirkan soal Andika, tiba-tiba pendengarannya menangkap suara di belakangnya. Sigap ia menoleh. Dilihatnya satu sosok tinggi menyeramkan berada di hadapannya. Mata orang itu tak berkesip menatapnya, sejurus kemudian terdengar tawa membuncah yang membuat Ayu mendadak sakit perut.
"Hahaha... kita berjumpa kembali, Manis. Mau apa kau mengintip kediaman sahabatku, hah?" Ayu ingat siapa laki-laki jelek di hadapannya ini.
Maharaja Langit Hitam. Apa maksudnya dengan tempat kediaman sahabatnya" Otak gadis yang cerdik itu bisa langsung menemukan jawaban, "Manusia keparat inilah yang ditunggu oleh Singgih Murka." Perlahan-lahan ia berdiri dengan sikap tenang namun waspada. Ketenangannya itu benar-benar mewarisi ketenangan gurunya dalam menghadapi masalah.
"Kau sendiri mau apa ke sini, hah?"
"Pertama, aku hendak menjumpai sahabatku, Singgih Murka. Kedua, sudah tentu untuk menemuimu. Kau harus menjadi istriku!" seru Maharaja Langit Hitam sambil perdengarkan tawanya lagi. Di matanya, Ayu tak ubahnya bagai seekor kelinci belaka.
Wajah Ayu memerah. Dugaannya memang benar.
Manusia itulah yang ditunggu Singgih Murka. Bisa berabe kalau begini. Ayu menimbang kedudukannya sekarang.
"Kau hanya membuang waktu untuk mendapatku menjadi istrimu!" katanya gagah.
"Seharusnya kau menikahi kambing yang diberi obat perangsang!" Maharaja Langit Hitam terbahak-bahak.
"Kita lihat!" Gerakan cepat dengan posisi kedua tangan membuka siap mencengkeram diperlihatkan Maharaja Langit Hitam.
Ayu yang sudah bersiaga sejak tadi, menghindari serangan itu dengan mudah. Bahkan dengan menekuk lututnya, ia melepaskan satu pukulan yang dipapaki dengan tekukan siku lawan.
"Hebat! Kau memang pantas menjadi istriku!"
"Omongan busuk!" Kali ini Ayu mendahului menyerang. Jurus-jurus, yang diajarkan oleh Nenek Beruang Gunung Karimun diperlihatkan. Gerengannya terdengar tak ubahnya beruang marah. Gerakannya lincah, cepat, dan berbahaya.
Maharaja Langit Hitam yang pernah melihat gerakan cepat di!akukan Ayu waktu itu, dilakukan pula gerakan yang tak kalah cepatnya. Ia mengagumi tenaga dalam yang dimiliki oleh lawan. Cukup kuat dan mematikan.
Bahkan dua kali ia terkena gedoran kaki kanan Ayu yang cepat, membuatnya naik darah. Ia menerjang dengan gempuran yang tak kalah berbahaya, yang dibalas Ayu dengan tak kalah lincah. Pertempuran sengit itu pun berlangsung begitu cepat. Saling serang dengan gerakan tipuan telah dipamerkan.
Tetapi bagi laki-laki berbibir turun itu, serangkaian serangan yang dilakukan Ayu bukanlah serangan yang terlalu mengerikan. Apalagi bagi Ayu sendiri, semenjak turun gunung dan menuntaskan pelajarannya, baru kali ini ia bertarung dengan seorang lawan. Hingga pengalamannya masih sangat sedikit sekali. Ia belum tahu bagaimana kelicikan dan kecurangan bisa dipergunakan saat bertarung semacam ini. Dengan mempergunakan ajian yang telah memperdaya Pendekar Slebor, dalam tiga gebrak berikutnya, Ayu sudah berhasil dikalahkan.
Gadis itu memaki jengkel dengan tubuh terbujur di tanah. Kedua kakinya tak bisa digerakkan sama sekali.
Aliran darahnya seolah mati. Wajahnya pucat.
Namun kekenisan hatinya masih memaksanya untuk membuka jalan darahnya. Tetapi hal itu tak bisa dilakukan.
Sambil tertawa, Maharaja Langit Hitam menotoknya. Lalu membopongnya menuju kediaman sahabatnya.
-0o-dw-ray-o0- Singgih Murka menyambut kedatangan sahabatnya sambil terbahak-bahak.
"Kupikir, baru besok siang kau datang."
"Aku tak sabar untuk melihat hasil kerjamu. Bagaimana dengan Pimpinan?" kata Maharaja Langit Hitam sambil mengedarkan pandangan pada bangunan besar yang baru saja selesai dibangun. Tetapi bagian belakang masih melompong.
"Semuanya berjalan baik. Kau membawa seekor kelinci gemuk rupanya?" Singgih Murka tertawa.
Maharaja Langit Hitam menyeringai, "Kau benar. Aku bukan hanya ingin memelihara kelinci ini, tetapi juga mengawininya. Ia milikku."
"Kau akan mendapat kepercayaanku."
"Di mana aku bisa meletakkan kelinci ini?"
"Kamarmu sudah kupersiapkan." Singgih Murka menepuk tangannya dua kali. Dua orang gadis jelita namun berwajah murung muncul dengan sikap hormat. Jelas sekali kalau keduanya terpaksa melakukan hal itu. Karena, keduanya memang gadis yang berasal dari Desa Sawo Luwih.
"Tunjukkan kamar pada Maharaja Langit Hitam." Kedua gadis itu membawa Maharaja Langit Hitam ke kamar yang bagus dan wangi. Sambil tertawa laki-laki itu meletakkan tubuh Ayu di pembaringan.
"Kau tunggu di sini, ada yang harus kubicarakan dengan Singgih Murka. Selebihnya. kita akan bertamasya ke alam jauh dari dunia." Tertawa dan tak menghiraukan pelolotan Ayu, Maharaja Langit Hitam menemui Singgih Murka lagi. Kali ini di meja sudah terdapat tuak dan buah-buahan segar.
"Silakan duduk. Apakah kau sudah menjalankan tugas dari Pimpinan?"
"Aku belum berhasil menemukan Beruang Gunung Karimun. Entah di mana wanita tua itu bersembunyi," sahut Maharaja Langit Hitam sambil menenggak langsung tuak dari kendi. Lalu mengusapnya dengan punggung tangan kiri sambil mendesah puas.
"Bukan main! Kau begitu enak tinggal di sini!"
"Menurut Pimpinan, Beruang Gunung Karimun adalah orang pertama yang harus kita bunuh," kata Singgih Murka tak menghiraukan kata-kata sahabatnya.
"Kau benar. Tetapi, aku belum berhasil menemukannya.
Kesulitanku pertama, aku belum mengenal Beruang Gunung Karimun. Pimpinan hanya mengatakan ciricirinya. Bahkan kemampuan yang dimiliki Beruang Gunung Karimun saja aku belum pernah menjajaki. Kedua, aku memang tak menemui seorang pun di Gunung Karimun. Entah di mana ia bersembunyi. Justru aku telah berhasil membunuh Pendekar Slebor," kata Maharaja Langit Hitam dengan bangga.
"Kau?" Mata Singgih Murka membulat. Tak percaya.
"Tamat sudah riwayat Pendekar Slebor. Kupikir, ia sekarang sudah menjadi mayat membeku. Dendam sahabatku Dewa Api sudah tuntas. Sungguh menyenangkan karena aku tak sengaja bertemu dengan Pendekar Slebor." Singgih Murka tertawa.
"Bagus kalau begitu. Semalam aku mendapat kabar dari Pimpinan kalau ia juga melihat kemunculan Pendekar Slebor. Kau sudah menjalankan tugas sebelum diperintahkan."
"Sangat menyenangkan sekali. Lalu apa tindakan kita selanjutnya?"
"Pimpinan menginginkan tempat ini menjadi markas candu yang hendak diedarkan. Karena letaknya cukup tersembunyi. Aku juga sudah mengundang beberapa kambrat yang lain untuk datang membantu kita. Hanya saja, keanehan terjadi. Anak buahku tinggal seorang tanpa kuketahui siapa pelakunya. Bahkan dua orang mati di depan mata kepalaku sendiri. Di saat aku sedang menerima laporan mereka tentang menghilangnya anak buahku yang lain. Tak bisa kuduga siapa yang melakukannya.
Kelebatannya laksana setan. Tentunya, ia memiliki kesaktian yang tinggi." Maharaja Langit Hitam menggeram.
"Manusia keparat itu harus diberi pelajaran!"
"Kita tunggu sampai kambratku datang!"
"Bagus! Malam makin dingin. Aku harus menikmati hidangan yang tersedia." Singgih Murka cuma menganggukkan kepala. Maharaja Langit Hitam melangkah ke kamar yang disediakan Singgih Murka dengan tak sabar "Aku datang untuk... gila! Keparat!!" laki-laki tinggi besar itu menggeram seraya menghantam sebuah kursi.
"Ke mana gadis itu, hah"!" -0o-dw-ray-o0- Bentakannya terdengar oleh Singgih Murka yang segera mendekat.
"Ada apa?"
"Setan alas! Bagaimana mungkin gadis itu bisa meloloskan diri hah" Ia dalam keadaan tertotok. Kedua kakinya masih membeku akibat tenaga esku. Tak mungkin ia bisa melepaskan semua itu kalau tida ada yang menolong?"
"Tetapi, bagaimana cara orang itu menolongnya" Kau lihat sendiri, tidak ada jendela di sini! Pintu dalam keadaan terkunci. Kau sendiri yang memegang kuncinya!" Maharaja langit hitam menggeram, jengkel luar biasa, wajahnya kelam dengan bibir bergetar.
"Keparat!" makinya.
Singgih Murka berkata," bagaimana dengan orang yang seperti setan yang membunuh kedua anak buahku" Bisa jadi ia yang melakukan hal ini pula!"
"Kita cari manusia itu! Pasti ia masih berada di sekitar sini!" Maharaja Langit Hitam mendahului dengan kegeraman yang sudah singgah di ubun-ubun.
-0o-dw-ray-o0- "Let... sebenarnya, ada apa dengan semua ini?" tanya Andika selesai memusnahkan tenaga es yang membelenggu kedua kaki Ayu dan melepaskan totokan yang dilakukan oleh Maharaja Langit Hitam. Ia tahu, kalau rencana yang disusunnya gagal total. Setelah mematikan langkah beberapa anak buah Serikat Baju Merah, seharusnya Andika menjumpai Ayu yang memata-matai keadaan.
Setelah itu, bersama-sama mereka akan menyerbu ke sana.
Ayu bertugas menyelamatkan para penduduk, sementara Andika mencari Singgih Murka. Tetapi rencana itu gagal karena kehadiran Maharaja Langit Hitam yang di luar perhitungan Andika.
Walet tengah asyik menghisap-hisap rumput Manis.
"Tidak tahu, ya" Aku kan cuma membantu saja."
"Kalau tidak kau bantu, sangat sulit untuk menemukan di mana Ayu saat itu berada. Kau dengan cerdiknya telah menolongnya. Bahkan selagi kedua manusia itu berada di kamar. kau dan Ayu masih berada di sana. Tetapi dengan kekuatan batinmu itu kau bisa mengelabui mata keduanya hingga tak bisa melihat kau dan Ayu. Nah, katakan sekarang...."
"Maaf, Kang Andika.... Sebenarnya, ini urusan pribadiku," sahut Walet masih asyik menghisap rasa manis dari pangkal rumput.
"Tetapi aku tak mengerti dengan semua ini. teka-teki yang bisa kupecahkan sekarang, merpati yang kau maksud adalah Ayu. Dan manusia yang menginginkannya adalah Maharaja Langit Hitam. Masih ada teka-teki lain yang masih melingkar di benakku. Kali ini, aku akan menahanmu bila kau tidak segera menjawabnya, Walet." Walet Cuma nyengir saja mendengar kata-kata Andika.
"Jangan memaksa dong, kang Andika. Aku sendiri tidak tahu apa-apa." Pendekar Slebor yang memiliki sejuta kecerdikan tahu kalau walet sebenarnya justru mengetahui teka-teki di balik semua ini. ia berkata lagi memancing jawaban Walet, "Masihkah kau menganggapku sebagai seorang sahabat?"
"Sudah tentu. Sampai dunia kiamat. Kita tetap bersahabat kan, kang Andika?"
"Mengapa sebagai sahabat kau justru tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi?" Kali ini walet menunduk. Tak acuh lagi sambil menghisap rumput yang dipegangnya, "Justru aku ingin meminta bantuanmu, kang Andika."
"Kalau kau memang meminta bantuanku, mengapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya?"
"Belum saatnya, kang Andika. Ini masih menjadi urusan pribadiku. Aku hanya meminta kau untuk memantau keadaan saja. Selebihnya, aku akan menyelesaikan urusan ini."
"Sejak tadi kau berkata urusan pribadi," kata Andika dongkol, "Kau hendak meminta bantuanku, tapi justru aku yang kau bingungkan dengan teka-teki ini."
"Pecahkanlah Kang Andika," kali ini Walet berdiri dan dengan tak acuhnya ia melangkah meninggalkan Andika yang tidak menahan.
Tetapi Ayu lebih dulu berkata, "biarkan saja dulu, kang.
Barangkali memang ada masalah pribadi yang tak boleh diketahui orang lain." Andika cuma mangut-mangut seperti burung pelatuk.
"Memang, Walet selalu menimbulkan teka-teki bagiku."
"Kang Andika... saat aku tertawan, aku mendapat sebuah keterangan yang cukup berarti," kata Ayu.
Andika menoleh dan menatap gadis jelita yang menjadi agak risih ditatap seperti itu. Menyadari kalau tatapannya terlalu menyolok Andika nyengir.
"Apa itu?"
"Mengapa Serikat Baju Merah menyerang desaku ini" dikarenakan, mereka akan menjadikan desa ini sebagai markas tempat penyimpanan dan jalur pengedaran candu."
"Kurang ajar!" Andika menggeram.
"Satu hal lagi, maharaja Langit Hitam ternyata mendapat tugas dari sang pemimpin untuk membunuh guruku."
"Siapakah pimpinan yang dimaksud itu, Ayu?" Ayu menggelengkan kepala.
"Sayangnya aku tidak tahu soal itu. Tetapi, keduanya bukanlah orang yang menginginkan semua ini. Mereka adalah kaki tangan dari sang Pimpinan."
"Kita harus mencari pimpinan itu, Ayu!"
"Kau benar, Kang Andika. Tetapi, Singgih Murka mengatakan ia telah mengundang beberapa kambratnya untuk bergabung."
"Berbahaya kalau begini. Hmm... berapa jalan masuk ke desa ini, Ayu?"
"Tiga. Dari selatan, barat, dan timur. Bagian utara sebuah hutan belantara yang lebat. Dan sangat sulit bila orang hendak mendatangi desa ini melalui jalan itu!" Andika terdiam. Otaknya tengah berpikir. Lalu katanya, "Sebaiknya, kita cegat mereka di jalan masuk ke desa ini.
Karena bila mereka telah bergabung, kekuatan dari Singgih Murka dan Maharaja Langit Hitam akan bertambah.
Sebaiknya, kita singkirkan satu persatu. Aku ke selatan dan kau ke barat."
"Bagaimana bila mereka masuk dari arah timur?" Andika terdiam lagi.
"Biar, aku yang mengurus." Padahal dalam hati Andika, justru bagian utaralah yang harus diperhatikan. Karena, tak mustahil para kambrat dari Singgih Murka tak mau diketahui kedatangan mereka.
"Kalau begitu, sebaiknya kita mulai berjaga-jaga, Kang Andika."
"Kau benar. Ayu.. hati-hati." Ayu menunduk. Dadanya bergetar. suara Andika bagai menyapu lembut relung hatinya. Lalu sahutnya pelan, "Kau juga, Kang..." Andika menggenggam tangan gadis itu yang di rasakan bergetar.
"Setelah itu, kita bertemu lagi tempat ini." Lalu Andika pun mengempos tubuhnya. Dalam sekali kelebat saja pemuda yang memiliki ilmu lari tersohor itu sudah hilang dari pandangan Ayu.
Gadis jelita murid Beruang Gunung Karimun mendesah panjang. Entah mengapa sekian tahun hatinya tak pernah merasakan sebuah getaran aneh, kali ini justru bergetar.
Bahkan semakin menghebat bila dekat dengan Andika.
Ayu segera membuang perasaannya itu. Ia pun berkelebat menuju sasarannya.

««{ 7 }»»

Pagi beranjak pergi. Matahari perlahan naik menuju tingkat tertinggi singgasananya. Sinarnya cukup menyengat pandangan. Pepohonan agak sedikit meranggas, karena kemarau mulai datang kembali.
Di hutan sebelah utara Desa Sawo Luwih, Andika masih menunggu, duduk di sebuah pohon tinggi. Hutan itu tergolong hutan yang cukup lebat. Pepohonan tinggi berjajar. Semalaman ia tak memejamkan matanya barang sejenak. Tetapi, sampai awal siang ini, Andika belum melihat ada yang datang.
Sejenak ia jadi ragu akan pikirannya sendiri.
"Jangan-jangan, para kambrat Singgih Murka justru mengambil jalan nyata, tidak perlu melalui jalan ini menuju Desa Sawo Luwih. Hhh! Seharusnya aku memperhitungkan pula hal itu. Sebaiknya, aku mengecek saja ke selatan!" Tetapi sebelum Andika melompat, dilihatnya dua sosok tubuh berpakaian hitam berkelebat laksana setan, melewati satu pohon ke pohon lain, berzig-zag begitu cepat.
Andika urung meneruskan niatnya. Ia picingkah mata menatap kejauhan.
"Hmmm... merekakah tamu yang diundang oleh Singgih Murka?" desis Andika.
"Bila melihat dari cara keduanya berlari, jelas bukan orang sembarangan. Hmmm... aku tak boleh buang tempo lagi. Sebaiknya, aku hadang saja mereka!" Memikir sampai di situ, dengan sekali emposan Andika sudah melompat turun, berdiri, tepat ketika keduanya berada dalam jarak tiga tombak di depannya.
Keduanya menghentikan langkah. Dari dekat, Andika bisa melihat kalau keduanya sepasang manusia. Yang lakilaki berwajah tirus dengan rambut panjang. Wajahnya cukup tampan, namun keculasan matanya begitu mengerikan. Sedangkan yang perempuan jauh sekali dikatakan cantik. Wajahnya penuh jerawat memerah.
Rambutnya kotor sekali Tetapi yang membuat Andika mau tertawa, ketika melihat betapa tipisnya pakaian yang dikenakan wanita itu. Samar menampakkan buah dadanya yang tak tertutup apa-apa. Sementara pakaian bawahnya, sebuah celana pangsi yang agak tinggi. Hitam dan kotor.
Sungguh, sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat sebenarnya.
"Siapa kau yang berani menghadang Harimau Tapa dan Dewi Intan?" terdengar suara si laki-laki angker.
Andika bisa merasakan getaran tenaga dalam yang dipancarkan melalui suara itu, meskipun ia merasa masih jauh dari tenaga dalam yang dimilikinya.
Nama Harimau Tapa dan Dewi Intan, sungguh baru kali ini didengarnya.
Ia cuma tersenyum.
"Aku bertanya pada kalian, tahukah di mana Singgih Murka berada?"
"Siapa kau?" Harimau Tapa memicingkan mata, menatap sosok tampan. di hadapannya.
"Aku salah seorang kambratnya yang diundang olehnya!" Harimau Tapa mengubah sikapnya, memikir kalau pemuda di hadapannya ini memiliki tujuan yang sama. Ia tahu Singgih Murka banyak memiliki sahabat, dan tak semua sahabat dari Singgih Murka dikenalnya.
"Kami pun begitu adanya, tengah mencari Singgih Murka pula! Selamat bertemu! Sebutkan julukan!"
"Aku tak mempunyai julukan!" desis Andika dan dalam hati berkata, "Jelas keduanya undangan dari Singgih Murka. Hmm, aku harus berhati-hati menghadapi mereka."
"Bagus! Kita bisa jalan bersama!" kata Harimau Tapa.
"Tunggu!" tahan Andika.
"Ada apa sebenarnya Singgih Murka mengundang kita?"
"Aku tidak tahu. Tetapi, aku yakin, sebuah kesenangan yang akan kita dapatkan. Kita harus menjumpainya sekarang! Dalam pesannya, ia mengatakan telah berhasil menguasai Desa Sawo Luwih!"
"Bagus kalau begitu! Tetapi, lebih baik kalian tinggal di sini saja!" sehabis berkata begitu, Andika menerjang cepat.
Harimau Tapa dan Dewi Intan terkejut melihatnya.
Keduanya cepat kibaskan tangan.
Des! Des! Selagi serangannya ditangkis, Andika meneruskannya dengan mengirimkan dua buah tendangan sekaligus.
Buk! Buk! Tendangan keras itu tepat menghantam dada keduanya, yang terhuyung, segera mengalirkan tenaga dalam dan bangkit dengan tatapan gusar.
"Setan alas! Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Harimau Tapa keras.
Andika nyengir.
"Namaku Andika. Julukanku Pendekar Slebor! Kalian tak akan pernah menemui Singgih Murka!"
"Keparat! Ingin kulihat kehebatan Pendekar Slebor!" Dewi Intan sudah menderu dengan satu terjangan aneh.
Bagai melompat, namun mengerikan. Dalam setiap lompatannya ia mengirimkan pukulan berhawa panas.
Andika terkejut melihat serangan itu. Sejenak ia mengendalikan serangannya mencecar bagian kaki Dewi Intan, karena dalam sekali lihat Andika bisa tahu kalau kedua kaki Dewi Intan merupakan sebuah tumpuan yang dahsyat. Mendapati kelemahan lawan, ia pun membalas dengan tak kalah hebatnya. Harimau Tapa sudah menderu pula dengan jurus-jurus harimaunya yang mengerikan. Setiap kali tangannya yang membentuk cakar mengibas, angin dingin dirasakan Andika.
Meskipun untuk sesaat Andika cukup dikejutkan dengan dua serangan sekaligus, tetapi keduanya bukanlah kelas Andika. Dalam waktu lima jurus, keduanya sudah dibuat tak berkutik. Terkulai dengan tubuh tertotok.
"Keparat! Kita bertarung sampai mampus!" maki Harimau Tapa gusar.
Maaf, aku terpaksa harus membungkam kalian!" Diangkatnya tubuh Harimau Tapa dan dibawanya ke sebuah pohon. Diletakkannya tubuh kaku itu di sana.
Begitu pula yang dilakukannya pada Dewi Intan.
"Bukankah di sini lebih nyaman" Sebaiknya kalian jangan bergerak karena kalau jatuh aku tidak tanggung!" Lalu tangannya menotok urat suara keduanya.
"Maaf, terpaksa aku harus meninggalkan kalian dulu di sini." Dan Andika pun bergegas untuk menjumpai Ayu.
-0o-dw-ray-o0- Ayu sendiri juga telah mengalahkan lawannya yang memang seorang kambrat dari Singgih Murka. Bahkan Ia telah mematahkan kedua kaki lawannya yang berjuluk Hantu Bayangan, yang begitu Ayu muncul tadi sudah memancarkan sinar gairah melihat betapa jelitanya gadis di hadapannya. Namun ia terkejut ketika Ayu menghindari terkamannya yang memang tak boleh melihat gadis cantik. Seketika ia menjadi marah. Tetapi, murid Beruang Gunung Karimun yang telah mendapatkan pengalaman bertempur menghadapi Maharaja Langit Hitam, bisa mengendalikan nafsunya untuk berhati-hati. Bahkan dalam sepuluh jurus berikutnya Ayu berhasil menjatuhkan lawan.
Andika tiba di sana.
"Beres?"
"Ya. Semuanya sudah selesai. Bagaimana dengan Kang Andika sendiri?" tanya Ayu sambil menghapus keringatnya.
Pertarungan itu sungguh bukan buatan hebatnya. Andika melihat beberapa pohon tumbang di dekat Ayu.
"Sama. Ayu, kita sembunyikan manusia yang pingsan itu. Totok urat kaku dan suaranya, setelah itu, kita langsung menyerbu Singgih Murka dan Maharaja Langit Hitam.
Terus terang, aku penasaran ingin mengetahui siapa yang dimaksudkan dengan pimpinan oleh keduanya!" Ayu menyetujui usul itu. Setelah melakukan perintah Andika, keduanya pun berkelebat menuju bangunan besar di mana mereka yakin Singgih Murka yang selama ini tidak diketahui tempatnya berada bersama sahabatnya, si Maharaja Langit Hitam.
Tetapi ketika sampai di sana, justru yang mereka lihat lima belas prajurit kadipaten, tiga kereta kuda dan sebuah kereta kuda yang sangat indah sekali Sedang berjaga-jaga di depan bangunan besar itu. Tak ada para penduduk yang biasanya bekerja paksa untuk meneruskan mengerjakan bangunan besar itu.
"Kita lihat dari sini saja," kata Andika mengerutkan kening. Batinnya mengatakan sesuatu telah terjadi. Entah apa. Menghadapi keanehan itu, ia mengajak Ayu untuk bersembunyi dulu di balik semak, menunggu apa yang tengah terjadi di hadapan mereka berjarak sepuluh tombak.
Selang beberapa saat, mereka melihat seorang laki-laki berpakaian indah dan mempesona, keluar dari bangunan itu dengan dikawal lima orang prajurit gagah bersenjata tombak.
"Kau benar, Hardigala. Keadaan aman! Serikat Baju Merah memang sudah tumpas!" kata orang itu yang tak lain Adipati Ganda Manikam.
"Kita kembali dan nyatakan tempat ini sebagai tempat yang aman.
Barang-barang yang kita bawa tadi, sudah aman di tempatnya, bukan" Itu adalah persenjataan kita, karena aku menginginkan tempat ini pun dijadikan bangsal kekuasaan Kadipaten Karang Sutra!"
"Tunggu, Adipati!" seruan itu terdengar bersaman dua sosok tubuh yang melompat ke depan.
Andika dan Ayu menjura di hadapan Adipati Ganda Manikam yang menjadi keheranan.
"Siapa kalian?"
"Maafkan kami," kata Andika menjura. Lalu mengangkat wajahnya menatap adipati yang nampak geram. Sesaat Andika terkejut melihat sosok di hadapannya. Rasa-rasanya ia tak begitu asing dengan sosok Adipati Ganda Manikam. Tetapi kemudian, diyakininya kalau ia belum pernah bertemu dengan Adipati Ganda Manikam.
"Bukan maksud kami lancang menahan Adipati di sini. Tetapi, saya tidak percaya kalau tidak ada lagi sisasisa dari Serikat Baju Merah." Adipati Ganda Manikam mengerutkan keningnya.
"Apa maksud perkataanmu itu?" Andika menceritakan bagaimana kalau para prajurit kadipaten telah tertipu oleh kelicikan Singgih Murka sewaktu mengadakan penyerangan pertama.
"Tidak mungkin!" seru adipati dengan wajah merah.
Kata-kata Andika barusan bagai sebuah tampan keras di pipinya.
"Para prajuritku adalah prajurit pilihan. Mereka tak akan bisa tertipu dengan akal licik semacam itu." Andika bisa memahami keadaan itu. Ia pun mengambil sikap lebih berhati-hati.
"Sekali lagi maafkan, Adipati. Pada kenyataannya, memang hal itulah yang terjadi. Dan saya yakin, apa yang Adipati katakan tadi belum tuntas. Karena, saya tahu Singgih Murka dan Maharaja Langit Hitam masih berada di bangunan."
"Kau periksa sendiri! Tak ada kedua manusia bangsat yang menyebabkan teror di desa ini!" .
"Mereka pasti bersembunyi di sebuah tempat."
"Tempat ini sudah digeledah! Jangan sembarangan bicara dan mempermalukanku, Anak Muda!" Wajah Andika kelam. Hatinya panas dimaki seperti itu.
Tetapi ia bisa menahan diri dan maklum mengapa Adipati Ganda Manikam berkata agak keras.
"Tanpa mengurangi kesopanan dan rasa hormat saya pada Adipati, saya mohon izin untuk mengecek bangunan itu," kata Andika sopan. Padahal, ia tak senang sama sekali dengan tetek bengek kesopanan semacam itu. Karena baginya, derajat manusia itu sama. Tak ada bedanya baik misalnya ia seorang adipati, pangeran, raja, ataupun kaum bawah sekalipun.
Adipati Ganda Manikam cuma mendengus.
"Silakan!" .
Andika menjura sekali lagi. Kesempatan itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. Ia memasuki bangunan besar itu. Namun seperti yang dikatakan oleh adipati tadi, memang tak ada tanda-tanda kedua manusia itu berada di sana. Penasaran Andika mengeceknya sekah lagi. Tetapi hasilnya nihil.
"Hmm.... pasti ada, tempat tersembunyi di bangunan ini.
Seperti semula tak bisa diketahui di mana Singgih Murka berada. Akan kucari lagi nanti malam." Lalu Andika pun keluar. Adipati Ganda Manikam bertanya dengan mata membesar, "Bagaimana?"
"Apa yang Adipati katakan itu memang benar." Tak ada sahutan dari adipati selain menaiki kereta kudanya. Lalu ia memerintahkan kusir untuk menjalakannya. Salah seorang dari prajurit itu, yaitu Hardigala mendekati Andika dan berkata sinis, "Beruntung kau tidak digantung!!" Lalu ia menyusul rombongan itu.
Sepeninggal mereka, Andika masih terdiam dengan kening berkerut. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang aneh dalam hal ini.
Ayu berkata, "Kau tak menemukan siapa pun juga di sana, Kang Andika?"
"Tidak. Tidak sama sekali. Bahkan yang mengherankanku, para penduduk yang dipaksa bekerja di tempat ini seolah tak mau bekerja lagi. Ini berarti, Singgih Murka sudah mengetahui akan kedatangangan Adipati.
Kau lihatlah Ayu, suasana sangat sepi sekali. Ada sesuatu di balik semua ini?"
"Apakah itu Kang Andika?"
"Aku tidak tahu. Semuanya hanya.... Walet! Ya, Walet yang mengetahui semua ini! Tetapi, ia pasti tak akan mau mengatakannya! Aku kenal betul siapa dia?" Ayu yang tak tahu siapa Walet sebenarnya merasa heran melihat Andika begitu menghargai Walet sekali. Bila saja ayu tahu bocah itu adalah titisan seorang pangeran, ia pasti akan bersikap seperti yang dilakukan andika.
"Kalau begitu, kita cari saja Si Walet, Kang." Andika hanya menganggukkan kepala. Hal itu memang mudah diucapkan, tetapi menjalankannya sangat sulit sekali. Karena andika sangat hafal karakter Walet.
Tetapi, ia akan tetap pada rencananya semula untuk kembali mendatangi bangunan besar itu nanti malam. d "Ayu sebaiknya kita tengok keadaan kedua orangtuamu." Ayu mengiyakan karena sesungguhnya ia lebih ingin menjagai kedua orangtuanya.

««{ 8 }»»

Malam temaram. Kegelapan melanda karena sang Ratu Malam kali ini bagai enggan bersinar. Satu sosok tubuh melompat dari sebuah pohon ke pohon lain. Gerakannya tak ubahnya bagai bajing belaka. Ringan, cepat, dan menakjubkan. Di sebuah pohon yang terletak di sebelah kiri bangunan besar yang belum jadi, sosok tubuh yang tak lain Pendekar Slebor berhenti bergerak. Ia memperhatikan sekeliling bangunan itu. Begitu sepi dan tak ada tanda-tanda kehidupan.
"Aku tak percaya kedua manusia itu tidak ada di sana.
Sebaiknya. aku segera ke bangunan itu sekarang!" Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang kesohor, Andika melompat dari batang pohon.
Hinggap di atap bangunan itu tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Lalu ia melompat turun di bagian belakang bangunan.
Sejenak ia celingukan, hati-hati. Entah mengapa dadanya berdebar cukup keras.
Begitu Andika melangkah, sebuah jaring tebal meluruk ke arahnya. Andika tercekat. Ia bergulingan dan berhasil menghindari jaring itu. Tetapi sebuah jotosan dari belakang menghantam telak punggungnya. Membuatnya terjajar keras ke depan. Sengit ia menoleh dan melotot gusar.
"Manusia jelek, yang beraninya hanya membokong!!" bentaknya. Maharaja Langit Hitam yang tadi menghajar telak punggung Pendekar Slebor justru membelalak melihat kenyataan di hadapannya. Ia tak habis pikir bagaimana Andika bisa selamat dari belenggu ajian kebanggaannya.
Andika mendengar satu suara dingin dari sisi kanannya.
"Kau lihat kenyataan itu, Maharaja! Pendekar Slebor memang memiliki akal yang cerdik! Tetapi, ia tak akan mampu menghindari maut sekarang!" Andika melihat Singgih Murka terbahak-bahak dan melangkah keluar dari sebuah pintu.
"0... rupanya kalian memang jadi cacing pengecut yang ternyata hanya bisa bersembunyi saja?"
"Itulah kecerdikan yang patut kau perhitungkan, Pendekar Slebor! Kau sudah berhasil memecahkan tipuanku terhadap para prajurit kadipaten saat menyerang.
Kau pun berhasil memecahkan tipuanku pula, kalau kami bersembunyi di satu tempat yang tak akan bisa kau ketahui!"
"Sekarang, tak ada tempat bersembunyi lagi! Rencana busuk kalian untuk mengedarkan candu tak akan bisa berlangsung lebih lama! Sungguh malang nasib kalian!"
"Jangan banyak bacot! Kali ini kau akan mati secara mengenaskan, Pendekar Slebor!" bentak Maaraja Langit Hitam yang masih tak habis pikir mengapa Andika masih hidup. Ia menerjang dan tak tanggung lagi mengerahkan ajian 'Menghampar Gunung Es' yang dibanggakannya, Andika yang pernah mengalami nasib apes saat itu, segera kerahkan tenaga 'inti petir' tingkat pertama. Hawa panas pun menguar dari tubuhnya. Namun meskipun begitu, ia tak mau ambil resiko dengan memapaki serangan Maharaja Langit Hitam mengingat pengalamannya yang pertama. ' Akan tetapi, begitu serangan Maharaja Langit Hitam meleset, dengan cepat Andika membuat gerakan merunduk, lalu menyusupkan tangannya.
Wuut! Des! Dada Maharaja Langit Hitam tergedor keras. Sungguh, laki-laki jelek itu sama sekali tidak menyangka gerakan yang dilakukan Andika. Ia merasa tubuhnya menjadi panas.
Dialirkannya segera hawa dingin untuk mengalahkan hawa panas itu. Bila saja Maharaja Langit Hitam tak memiliki kekuatan tinggi, bisa dipastikan dadanya akan jebol.
Melihat lawan sesaat terdiam, Andika bersiap mengirimkan serangan selanjutnya. Tetapi Singgih Murka tidak mau kawannya menjadi sasaran empuk serangan Pendekar Slebor.
Ia bergerak cepat. menyerbu dengan amarah membludak. Tangan kanannya yang telah dialiri tenaga dalam tinggi langsung dihantamkan ke kepala Andika.
"Hiaaaa!!" Wutt! Andika mengurungkan niatnya untuk menghajar habis Maharaja Langit Hitam. Ia menghindari serangan Singgih Murka dengan menggeser tubuh satu langkah ke samping.
Luputnya serangan pertama, disusul dengan serangan kedua. Tubuh Singgih Murka cepat berputar dengan melepaskan tendangan kaki kanan, keras, mematikan ke dada Andika. Kali ini, Andika tidak menghindar. Cepat ia memapaki tendangan berputar Singgih Murka dengan ayunan tangan kanannya. Sementara gerakan beruntun diperlihatkan. Kaki kirinya langsung bergerak, mengirim serangan ke selangkangan Singgih Murka sebagai balasan.
Laki-laki tinggi besar itu mengeluarkan suara menggembor. Ia membuat gerakan menyilang di bagian selangkangannya, hingga benturan tenaga dalam keras terjadi. Baru saja terjadi benturan, Andika langsung melancarkan serangan kembali. Kali ini agak berjingkat dengan kaki kanan, dan membuat gerakan siap meremukkan kepala Singgih Murka. Singgih Murka terkejut. Untuk menunduk sulit dilakukan, karena serangan Andika dari atas, bisa langsung diturunkan menyusul kepalanya. Jalan satu-satunya membuang diri. Cepat ia melakukan gerakan itu. Tetapi Andika tak mau ayal lagi bertindak. Ia menekuk kaki kanannya sementara kaki kirinya menyapu.
Wusss! Des! Kedua kaki Singgih Murka terhantam telak hingga membuatnya terhuyung. Menyusul serangan lainnya dan Andika. Tetapi, Maharaja Langit Hitam sudah bergerak memapaki. Des! Des! Andika terkejut bukan kepalang. Tubuhnya seketika dirasakan dingin luar biasa. Lamat, menjalar ke bagianbagian lain tubuhnya. Cepat Andika alirkan tenaga ajian 'Guntur Selaksa' sambil menutup jalan darahnya. Bila saja ia tak melakukan hal itu, bisa dipastikan ia akan kembali membeku. Maharaja Langit Hitam yang terbahak melihat serangannya berhasil, kali ini bagai tersedak, melotot tak percaya dengan gusar. Andika sudah berdiri seperti sediakala tanpa kekurangan suatu apa.
"Setan! Ilmu apa yang kau pergunakan itu hah?"
"Terpaksa aku harus mengeluarkan maklumat nih!" kata Andika sok penting. Lalu seperti orang berpidato ia berkata dengan sikap makin tengik, "Ilmu tadi, adalah sebuah ilmu yang sangat luar biasa.
Tak ada tandingannya, di dasar bumi di dasar laut maupun dilapis langit ketujuh. Namanya, ajian 'Guntur Selaksa'.
Jadi bila kalian...."
"Seetaaaannn!" Serangan beruntun dilakukan Maharaja Langit Hitam dan Singgih Murka. Keduanya menyerang membabi-buta, mencoba mematikan gerak Andika.
Andika kali ini benar-benar dibuat kalang kabut.
Terutama serangan dari Singgih Murka, yang mengandung kekuatan laksana gunung. Setiap kali menyerang, suara berpendar-pendar keras terdengar. Rupanya laki-laki itu telah mengeluarkan ajian simpanannya, 'Punah Bumi Punah Langit'. Andika menyadari, kalau sebenarnya dari lawan yang dihadapi ini, Singgih Murka yang menyulitkan. Mengingat ia telah menemukan titik lemah dari ajian Maharaja Langit Hitam. Walet memang benar kalau begin. Tetapi, serangan Maharaja Langit Hitam itu masih menyulitkan meskipun tidak sedahsyat sebelumnya. Jadi yang harus dicecar sekarang, Maharaja Langit Hitam, biar ia' agak lebih mudah menghadapi Singgih Murka.
Berpikir sampai di situ, dengan sekali enjot, Andika melayang ke belakang, menyusul dua serangan yang dilakukan lawan. Itu memang pancingan. Begitu lawan mendekat, Andika merunduk, dan meluncur ke arah Maharaja Langit Hitam, sementara tangan kirinya menyambar kain pusaka bercorak catur warisan Eyang Ki Saptacakra ke arah Singgih Murka.
Des! Beettt! Dada Maharaja Langit Hitam telak terhantam ajian 'Guntur Selaksa'. Tubuhnya bukan hanya terjajar, tetapi terlempar ke belakang. Sementara Singgih Murka terkejut ketika mendengar dengung ribuan tawon ke arahnya.
Ia cepat menunduk menghindar. Itu memang salah satu yang diinginkan Andika pula. Masih mengebutkan kain pusakanya, ia mengirimkan satu tendangan keras ke kepala Singgih Murka, yang berteriak keras sambil bergulingan.
Tetapi Andika tak mau membiarkan lawan lebih lama bernapas. Ia meluncur dan menjejakkan kakinya.
Lagi-lagi Singgih Murka bisa menghindar dengan jalan memapaki serangan itu. Tetapi satu gedoran kaki kiri Andika menghantam punggungnya.
"Aaaakhhhh!!" seruan kesakitan terdengar.
"Waddoooowww!!" dengan tengik Andika mengikutinya sambil meneruskan serangannya.
Kalang kabut Singgih Murka dibuatnya. Sebisanya ia menghindar, tetapi lagi-lagi bagai sedang bermain bola Andika menendangi tubuh lawan dengan enaknya.
Sementara itu, Maharaja Langit Hitam tak bisa banyak berbuat. Tubuhnya yang digedor ajian 'Guntur Selaksa' Pendekar Slebor membuatnya bagai lumpuh. Ia hanya memandang gusar melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu. Meskipun kini ia menyadari Pendekar Slebor ternyata masih jauh pada kelasnya, tetapi ada yang tetap mengherankannya. Siapa yang membebaskan Pendekar Slebor dari gempuran 'Menghampar Gunung Es' miliknya.
Tak seorang pun - siapa pun dia - bila sudah membeku tidak akan bisa melepaskan diri. Karena, seluruh jalan darah dan uratnya tak akan pernah bisa dilepaskan.
Pada akhir pemandangannya, Maharaja Langit Hitam melihat Singgih Murka pingsan sete1ah dihajar habishabisan oleh Pendekar Slebor.
"Nah! Masih untung kau kubiarkan hidup, kan?" kata Andika seraya mengusap keringatnya. Maharaja Langit Hitam berlagak pingsan ketika Andika menoleh padanya.
Tetapi pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu tahu kalau lawan berpura-pura. Dengan santai ia mendekat sementara dada Maharaja Langit Hitam menjadi bergemuruh tak karuan.
"O... pingsan, ya" Kasihan. Kalian berdua benar-benar sudah pingsan. Tetapi ya... terpaksa kubuat pingsan deh!" Maharaja Langit Hitam melengak mendengarnya. Tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa ketika Andika menotok urat di bagian bawah ketiaknya. Seketika ia terkulai setelah terjingkat sejenak.
Andika cuma nyengir saja. Masih ada teka-teki yang harus dipecahkannya. Masalah pribadi Walet dan tempat persembunyian keduanya.
Andika memutuskan untuk memeriksa lebih dulu pikiran yang kedua. Ia berkelebat masuk ke dalam bangunan itu.
Ditelusurinya dengan saksama bangunan itu. Setiap ruang, lorong dan kamar, dimasukinya. Tak ada tanda-tanda yang aneh.
"Busyet! Di mana mereka bisa bersembunyi sehingg a Adipati Ganda Manikam tidak bisa menemukan" Menurut Ayu, mereka akan menjadikan tempat ini sebagai markas candu. Adakah candu-candu itu sudah datang?" Andika memeriksa lagi. Sampai kemudian ia tertarik pada sebuah dinding yang agak aneh. Aneh dalam arti karena ia menemukan empat buah titik yang berbentuk persegi panjang, namun tak ada garis yang menghubungi titik itu satu sama lain.
Di depan titik-titik itu Andika mengerutkan kening.
"Hmm... apa maksud titik-titik ini?" desisnya tak mengerti.
"Adakah artinya?" Tanpa sadar Andika meraba keempat titik itu Mendadak terdengar suara bergemuruh hebat. Ia sampai terjingkat, mundur tiga langkah. Mendadak saja, dinding yang terdapat empat buah titik berbentuk persegi panjang itu membuka.
"Gila!" desis Andika takjub.
"Di tempat itulah mereka bersembunyi! Sebuah dinding rahasia yang bisa dikerjakan dengan tenaga dalam. Pasti Singgih Murka yang membuatnya. Sebaiknya ku periksa saja dulu." Andika pun masuk ke dalam. Suasana agak gelap.
Namun matanya yang terlatih dalam kegelapan bisa melihat peti yang bertumpuk-tumpuk.
Andika membukanya. Ia meraba dan merasakan daundaun kering di dalamnya. Lalu ditemukannya bubuk-bubuk halus di sana.
"Hmm... rupanya belum diolah menjadi candu Tetapi, bagaimana cara mereka membawa barang celaka ini?" Andika terdiam.
Lalu, siapa yang memberitahukan mereka yang selalu tahu bila orang-orang kadipaten datang menyerang" Adakah sesuatu yang lebih aneh lagi?" Andika terdiam lagi. Tiba-tiba ia mengangguk- anggukkan kepalanya.
"Aku tahu, aku tahu siapa biang kerok ini. Apakab ini berhubungan dengan masalah pribadi Walet" Biar lebih jelas, aku akan memaksa kedua manusia celaka itu berbicara. Siapa yang mereka maksudkan dengan sang Pemimpin meskipun aku sudah menduganya." Andika pun berkelebat lagi keluar. Tetapi sesampai di halaman belakang bangunan itu, ia terkejut, karena kedua lawan yang pingsan tadi sudah tidak ada di tempat. Yang ada justru sebuah goresan besar di tanah.
"Kau selalu lancang mencampuri urusanku, Pendekar Slebor. Kematian akan datang padamu. Sebuah bayangan kematian."

««{ 9 }»»

Kekadipatenan siang itu nampak lengang. Angin siang berhembus sepoi-sepoi, membuat tiga orang prajurit yang berdiri tegak di depan pintu gerbang setengah mengantuk.
Andika yang tiba di sana berhenti melangkah. Ia terdiam sesaat seperti memikirkan sesuatu. Lalu dengan langkah gagah ia melangkah mendekati tiga prajurit yang menjadi bersiaga. Lebih-lebih setelah mengenali siapa pemuda yang muncul, pemuda lancang yang hampir membuat malu Adipati Ganda Manikam.
"Mau apa kau kesini, Orang Muda?" membentak yang seorang. Sikapnya tak bersahabat. Tombaknya digenggam erat-erat. Andika tersenyum.
"Aku datang, untuk menyampaikan maafku pada Adipati."
"Maaf diterima, silakan meninggalkan tempat ini."
"Mengertilah, perasaanku menjadi tidak enak bila belum melakukan apa yang kuinginkan ini," kata Andika masih tersenyum. Berusaha lebih sopan lagi. Padahal ia ingin menjitak kepala prajurit tengik itu.
"Tinggalkan tempat ini sebelum kemarahanku naik!"
"Busyet! Enteng sekali omongannya," Andika mendumal dalam hati. Tetapi suatu teka-teki yang siap ia pecahkan, membuatnya harus bersikap bersabar.
"Aku akan tetap di sini sampai kalian mengizinkanku untuk masuk menemui Adipati." Prajurit yang berkata tengik itu, mengangkat kepalanya dengan pongah. Sangkanya ia sudah memenangkan permainan kata-kata itu. Dengan sikap yang makin tengik ia berkata, tetapi suaranya bagai tertelan begitu saja, karena sosok Andika tidak lagi nampak di hadapannya.
"Gila! Ke mana pemuda itu?" serunya dengan mata membelalak. Kengerian tiba-tiba datang.
Kedua temannya hanya menggelengkan kepala.
"Jangan-jangan... setan yang kita lihat!"
"Hiii!" Prajurit yang pongah bergidik ngeri. Sesungguhnya ia memang seorang yang pengecut. Di dalam halaman kadipaten, Andika melangkah santai. Dengan mempergunakan kecepatannya, ia berhasil mengelabui ketiga prajurit dungu itu.
Dua orang prajurit menghadangnya kembali. Andika berkata sopan, "Aku datang untuk meminta maaf pada Adipati." Kali ini tak banyak halangan, keduanya membawa Andika ke sebuah ruangan besar. Tetapi dari sikap keduanya itu, terasa sekali kalau Andika seperti digiring.
Untuk kali ini Andika hanya tersenyum saja. Teka-teki yang ada di otaknya harus ia pecahkan.
Ia dipersilakan menunggu, sampai kemudian Adipati Ganda Manikam keluar dengan pakaian ke besarannya.
Ia mendengus saat duduk di kursi yang indah.
"Orang muda, kudengar kau datang untuk meminta maaf. Bagus, aku menyukai kejantananmu itu."
"Begitulah kedatanganku, Adipati. Tetapi, selain itu, kedatanganku ke sini pun untuk mengabarkan tentang kesalahan yang Adipati lakukan." Wajah Adipati Ganda Manikam memerah.
"Apa maksudmu, Orang Muda?"
"Apa yang Adipati duga, ternyata salah besar. Karena, aku telah menemukan dua manusia dajal yang bernama Singgih Murh dan Maharaja Langit Hitam. Keduanya berhasil kukalahkan. Sayangnya, setelah aku keluar dari bangunan besar itu, keduanya tak ada lagi di tempat."
"Jangan membual."
"Tak ada yang kubualkan. Bahkan aku menemukan berpeti-peti candu yang ada di bangunan besar itu."
"Bila kau berbohong, kau akan kugantung di alun-alun!"
"Aku persilakan, Adipati untuk memeriksa. Tetapi, ada satu masalah lain yang membawaku ke sini!! "Katakan!"
"Keherananku, mengapa manusia-manusia itu sepertinya tahu, akan kedatangan para prajurit kadipaten, bahkan mereka langsung tahu kalau Adipati beberapa hari lalu datang mencari mereka.
"Maksudmu bagaimana?"
"Aku meminta pendapat Adipati."
"Jadi... kau mengatakan kalau ada mata-mata kadipaten ini Gila! Ke mana otakmu, Anak. Muda. Kau bicara sembarangan di sini! Kau menyinggung perasaanku!"
"Maafkan aku, Adipati. Keherananku kedua, bagaimana peti-peti itu bisa berada di sana?"
"Aku tidak tahu menahu soal itu!"
"Atau... sesungguhnya Adipati tahu siapa orang yang melakukan semua itu?" Adipati Ganda Manikam berdiri tegak. Tangannya yang menuding bergetar.
"Jangan sembarangan bicara, Anak Muda!"
"Bagaimana bila ternyata Adipati sendiri yang mereka maksudkan dengan sang Pimpinan, merencanakan semua ini dan bermaksud mengambil keuntungan dari manusiamanusia lemah yang Adipati tindas?"
"Setan alas! Jangan membuat kemarahanku naik, Anak Muda! Prajurit! Tangkap pemuda dungu itu!!" Andika cuma tersenyum saja ketika sepuluh orang prajurit bertombak mengurungnya.
"Dugaan itu penuh bukti. Dengar baik-baik, Adipati.
Ketika para prajurit menyerang Serikat Baju Merah, sebenarnya itu merupakan sebuah rencana yang ada di benak Adipati. Dengan cara seperti itu, Adipati mencoba mencari simpati para penduduk, kalau Adipati masih berada dalam jalur kebenaran. Tetapi omong kosong semuanya itu. Padahal semuanya sudah diatur. Adipati telah mengatakan semua itu pada Singgih Murka, entah bagaimana caranya, hingga mereka berhasil luput dari para prajurit kadipaten. Para prajurit yang lugu dan menaati perintah Adipati, tak pernah banyak tanya lagi. Mereka mengerjakan dengan baik sebenarnya, hanya saja yang mereka bunuh bukanlah manusia-manusia keparat itu.
Kedua, ketika Adipati datang pun untuk memeriksa bangunan itu sebenarnya memang sebuah kesepakatan.
Adipati mengatakan pada para prajurit, kalau peti-peti yang dibawa itu berisi senjata untuk persiapan, karena bangunan itu akan dijadikan bangsal kekuatan Kadipaten Karang Sutra. Padahal, di dalam peti-peti itu terdapat candu.
Semalam, aku sudah memeriksa kembali bangunan itu sebelum kubuat pingsan kedua manusia laknat itu." Murka sudah Adipati Ganda Manikam. Teriakannya lantang memberi perintah, bagai meruntuhkan dinding ruangan. Serentak sepuluh prajurit bertombak itu dengan garang menghujamkan tombaknya ke arah Andika.
Bukan serangan itu yang mengejutkan Andika, melainkan teriakan yang dilakukan oleh Adipati Ganda Manikam. Jelas sekali, teriakan itu dialiri tenaga dalam yang tinggi. Berarti, Adipati Ganda Manikam bukan orang sembarangan. Serangan-serangan yang datang bukanlah serangan yang terlalu berbahaya. Hanya berkali-kali mengelebatkan tubuhnya, sepuluh prajurit itu sudah kaku tertotok.
Sekarang, Andika menatap sengit pada Adipati Ganda Manikam yang terbahak-bahak.
"Kau memang sangat cerdik, Pendekar Slebor! Apa yang kau katakan itu benar adanya!"
"Kail sudah mengaku umpannya! Bagus, sekarang ikut aku menghadap raja agar semua dosa-dosamu diadili olehnya!" Hanya tawa yang diperdengarkan Adipati Ganda Manikam.
"Ucapanmu terlalu hebat sebenarnya! Mengapa kau tak segera menangkapku, hah?" Mendengar tantangan semacam itu, membuat Andika geram. Sekali sentak saja tubuhnya sudah menerjang cepat.
Namun sebuah keanehan terjadi, karena sosok Adipati Ganda Manikam yang masih terbahak-bahak bagai membiarkan dirinya dihantam, mendadak saja bagai sebuah asap yang diterobos oleh Andika.
"Hei?" sentak Andika terkejut.
"Kau tak akan bisa menangkapku, Andika!"
"Jangan takabur!"
"Sayangnya, ada urusan yang harus kuselesaikan!" Mendadak keanehan terjadi lagi. Karena tubuh Adipati Ganda Manikam mendadak lenyap.
"Gila! Ilmu apa itu?" sentak Andika benar-benar terkejut.
Tiba-tiba saja ia terdiam, sebuah pikiran melintasi benaknya.
"Hanya seorang bangsat yang memiliki ilmu semacam itu! Mungkin dia yang menjadi dalang semua ini" Manusia keparat yang menjadi musuh bebuyutanku" Kalau memang iya, di manakah Adipati Ganda Manikam yang sebenarnya" Tak akan kubiarkan bangsat itu berhasil dengan rencananya!" Andika memutuskan untuk mengejar, tetapi mendadak saja pintu terkunci rapat. Menyusul suara bergetar yang datang. Lalu....
Jlegh! Sebuah besi merosot dari atas dan melapisi pintu kayu kokoh itu.
"Hmmm... mau mengunci diriku rupanya!!" dengus Andika sambil mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat pertama. Diiringi teriakan keras ia menerjang.
Blammm! Besi itu hanya bergetar. Tak retak sama sekali. Andika mendengus berkali-kali. Siap melakukan gerakan serupa.
Tetapi, entah dari mana datangnya asap hitam mengepul dahsyat.
"Gila! Asap ini bisa merejam jantung!" Mengingat bahaya yang datang, Andika menghajar besi itu berkali-kali. Namun lagi-lagi tak ada gunanya.
Sementara dadanya mulai sesak menghirup udara busuk yang mematikan.
"Aku tak mau mampus di tempat semacam ini selagi keparat itu masih bebas!!" Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, ditahannya napas agar asap mematikan,itu tidak terlalu mendera. Mendadak dengan ajian 'Guntur Selaksa' Andika menerjang.
Dahsyat, sekaligus mengerikan.
Akibatnya, yang jebol bukan hanya besi itu belaka, melainkan pintu di belakang besi itu.
Suara keras terdengar.
Tetapi bahaya lain sudah menanti Andika. Begitu tubuhnya mencelat keluar, puluhan anak panah datang bertubi-tubi ke arahnya.
"Sapi jelek!" serapah Andika sambil menyabetkan kain bercorak caturnya.
Wusss! Puluhan anak panah itu terlontar entah ke mana.
Dengan lincah Andika memutar tubuh, mencelat dan melesat keluar.
Para prajurit yang menghadang itu memburunya. Di halaman depan kadipaten, bahaya lain sudah menanti pula.
Maharaja Langit Hitam dan Singgih Murka yang telah menunggu langsung menyerang dahsyat.
"Benar dugaanku, keparat itulah yang menyelamatkan keduanya," desis Andika sambil menghindar.
Kali ini ia tak mau bertindak tanggung lagi. Dengan geram ia mencecar kedua lawannya membabi buta. Setiap kali tubuhnya bergerak, setiap kali pula terdengar suara menghentak. Menyusul angin panas yang menggidikkan.
Des! Tubuh Singgih Murka terhantam telak, menyusul sebuah tendangan berkekuatan tinggi menghantam punggungnya.
Tubuh manusia itu terlontar ke depan. Tubuhnya menghantam tembok kadipaten hingga jebol. Tubuhnya melengak kesakitan, sejurus kemudian nyawanya pun melayang. Melihat sahabatnya telah mati, timbul kengerian di hati Maharaja Langit Hitam. Ia langsung mengambil langkah seribu setelah sebelumnya menghujani Andika dengan serangan-serangan bertenaga dingin.
Andika menggeram sambil menghindar. Tubuh Maharaja Langit Hitam yang telah menjelma menjadi nyali tikus sudah menghilang. Selagi Andika berdiri tegak seperti itu, serangan para prajurit datang kembali.
Dengan sekali lompat Andika menghilang dari tempat itu. Ia bertekad untuk memburu Adipati Ganda Manikam gadungan. Tetapi, bagaimanakah dengan Adipati Ganda Manikam yang asli" Walet, Walet mengetahui semua ini, desis Andika.
-0o-dw-ray-o0- Suara seruling itu begitu merdu sekali. Tetapi sarat dengan nada kesedihan. Andika menghentikan larinya di sebuah sungai yang mengalir deras.
"Walet! Di manakah kau?" Suara seruling itu makin penuh dengan kesedihan.
Andika mendongak ke atas, dilihatnya si Bocah Ajaib sedang duduk bersandar pada sebatang pohon dengan meniup serulingnya.
Andika langsung melompat. Ia menunggu sampai Walet menyelesaikan permainan serulingnya.
Setelah itu, "Let, ceritakan apa yang telah terjadi," kata Andika sambil menatap Walet.
"Siapa sebenarnya Adipati Ganda Manikam itu?" Walet hanya menatap dengan wajah sendu. Sesaat ia tak berkata apa-apa. Setelah dilihatnya wajah Andika mencerminkan harap, ia mendesah.
"Dulu, ada dua buah kerajaan saling bermusuhan.
Namun, masing-masing putra dan putri mereka jatuh cinta.
Mereka tak peduli dengan segala halangan dan tentangan.
Mereka memutuskan untuk kawin lari. Tetapi kutukan sang ayah pangeran muda yang kasmaran itu, membuat semuanya hancur. Sang putri dari pihak kerajaan lawan, dikutuk menjadi sebuah mustika keramat, sementara sang Pangeran hilang entah ke mana." Andika tahu persis apa yang diceritakan Walet. Karena, sang Pangeran itulah yang menitisi diri Walet. (Baca : "Mustika Putri Terkutuk").
"Lalu... mengapa sang pangeran itu bermaksud menemui Adipati Ganda Manikam?"
"Karena, sang Pangeran yakin, kalau Adipati Ganda Manikam adalah salah seorang dari keturunan raja calon mertuanya yang menentang hubungannya dengan putrinya.
Sang Pangeran lalu memutuskan untuk menemuinya, sesuai dengan mimpi yang diterimanya. Lebih banyak menekankan pada bahaya yang datang.. Karena, seorang tokoh jahat yang tak kelihatan wajahnya dalam mimpinya itu akan menghancurkan diri Adipati Ganda Manikam.
Tetapi sang Pangeran datang terlambat.." Andika bisa menebak apa yang dimaksud oleh Walet.
"Mengapa kau tak mengatakan sebelumnya kepadaku, Let?" .
"Aku tak ingin merepotkanmu, Kang." Bisa dipahami kesedihan Walet. Karena ia menemukan Adipati Ganda Manikam yang asli telah tewas di Lembah Rembulan. Lebih menyedihkan karena ia tak sempat bertemu muka dan bertukar sapa pada keturunan raja pihak lawan ayahnya dulu.
Yang sangat disayangkan Andika, mengapa Walet tidak menceritakan semua itu padanya" Walet menatapnya serius.
"Sekarang aku meminta padamu, Kang... untuk memberi pelajaran pada manusia sesat itu." Andika menganggukkan kepalanya.
"Tanpa kau minta, aku pasti akan melakukannya."
"Kau sudah tahu siapa dia, Kang?" Andika menganggukkan kepalanya.
"Hanya seorang yang bisa menjelmakan dirinya menjadi dua orang dengan kekuatan yang sama. Hanya seorang.
Tetapi, aku tak mengerti bagaimana ia bisa melakukan penyamaran semacam itu. Hanya satu jawaban yang bisa kuberikan, karena aku memang belum mengenal Adipati Ganda Manikam. Mengenai para prajurit yang begitu patuh dan menuruti semua perintahnya tanpa persoalan apakah Adipati Ganda Manikam yang berada di hadapannya sosok asli atau gadungan, aku bisa menangkap jawaban, kalau mereka telah dipengaruhi oleh kekuatannya. Tetapi, ketika pertama kali aku bertemu dengan Adipati Ganda Manikam gadungan itu, aku seperti mengenal sosok siapa yang ada di balik semua ini."
"Lakukanlah, Kang...."
"Aku akan melakukannya."
"Kalau begitu, kita berpisah di sini, Kang." Andika tak menjawab apa-apa. Tak menahan keinginan Walet. Sambil melompat turun dengan ringan, Walet melangkah sambil meniup serulingnya.
Terus melangkah diiringi pandangan Andika.
"Akan kulakukan apa yang kau minta, Let. Masih banyak teka-teki tentang dirimu yang belum kumengerti.
Aku berharap, suatu saat akan bisa mengetahui lebih banyak tentang dirimu." Setelah Walet menjauh, setelah suara seruling itu tidak terdengar lagi, Andika mendadak tertegun "Ayu!" desisnya tersentak.
Lalu dengan tergesa ia berkelebat ke arah timur.

««{ 10 }»»

Pertarungan sengit terjadi di lembah sebelah timur.
Dengan mengandalkan jurus-jurus ajaran Nenek Beruang Gunung Karimun, Ayu mencoba menahan gempuran dahsyat dan Adipati Ganda Manikam gadungan yang melakukannya sambil terbahak-bahak.
"Begitu bodoh Maharaja Langit Hitam yang tak tahu siapa kau sebenarnya, Bocah Ayu" Kalaupun gurumu tak bisa kubunuh, muridnya pun akan menjadi lambang keperkasaanku!!" Ayu yang semula terkejut melihat. kemunculan Adipati Ganda Manikam segera menjura. Rahmat pun melakukan hal yang sama. Bahkan Rokayah yang sudah lebih baik dari sebelumnya, bangkit karena tak menyangka junjungan mereka datang ke sana.
Namun yang mengejutkan, pandangan Adipati Ganda Manikam yang sangat mengerikan. Itu terasa sekali oleh Ayu. Hingga tanpa sadar ia menyuruh kedua orangtuanya masuk ke gubuk.
Belum lagi Ayu mengerti mengapa sikap Adipati Ganda Manikam, mendadak saja adipati menderu dengan satu serangan tangan lurus ke depan.
Terkesiap Ayu menerimanya. Cepat Ia menarik kepalanya ke belakang.
"Adipati!" serunya tersentak.
Tetapi Adipati Ganda Manikam terus menyerang, hingga Ayu pun mulai membalas pula. Semula dengan separo ragu, namun akhirnya ia memutuskan untuk menghadapi gempuran itu, karena dirasakan hawa maut siap menerjangnya.
Kedua orangtuanya yang sejak tadi begitu bangga dikunjungi oleh Adipati Ganda Manikam, keluar lagi.
Mereka terkejut melihat putri mereka satu-satunya tengah menghadapi gempuran yang mengerikan.
Melihat kedua orangtuanya muncul Ayu berseru, "Bapak! Ibu! Cepat tinggalkan tempat ini!"
"Adipati... ada apa ini?" tanya Rahmat tak mengerti.
Sebagai jawaban, Adipati Ganda Manikam meluruk dengan jotosan yang bisa memecahkan kepala Rahmat, kalau tidak segera dihalau oleh Ayu.
Tanpa mempedulikan rasa sakit pada tangannya, Ayu berteriak keras, "Cepat tinggalkan tempat ini, Bapak! Adipati sudah menjadi gila!" Terburu-buru Rahmat, setengah menarik istrinya meninggalkan tempat itu. Hatinya kebat-kebit melihat Ayu pontang-panting menghadapi serangan Adipati Ganda Manikam. Ia pun masih tak percaya dengan yang dilakukan oleh Adipati Ganda Manikam.
Sementara itu, tiga jurus berikutnya, Ayu terdesak hebat.
Gempuran keras dirasakan bertubi-tubi. Semakin dirasakan gempuran hebat, semakin kalut hatinya, mengingat seruan dari Adipati Ganda Manikam yang menginginkan kematian gurunya, Beruang Gunung Karimun.
"Kau harus mampus, Bocah Ayu!" menggeram sekeras guntur suara Adipati Ganda Manikam. Ayu mengangkat tangan kanannya sambil menahan rasa sakit.
"Tahan, Adipati!" Adipati Ganda Manikam hentikan gerakannya.
"Kau kuberi kesempatan untuk bertanya, Bocah Ayu! Cepat katakan, sebelum niatku berubah!"
"Mengapa Adipati menginginkan kematianku?" tanyanya, diam-diam ia mengalirkan tenaga dalamnya untuk menahan rasa nyeri yang berkebyar-kebyar.
"Tak ada jawaban apa-apa! Kau harus mati!"
"Tunggu, siapa Adipati sebenarnya?" Adipati Ganda Manikam tertawa, "Hebat pertanyaanmu, sungguh menyentuh perasaanku! Tetapi, rasanya pertanyaan itu justru mengurangi rasa hormatmu kepadaku.
Mana rasa hormatmu itu, Bocah Ayu?"
"Katakan siapa Adipati sebenarnya. Tak mungkin Adipati bersikap buruk seperti ini?"
"Diam!" suara itu mengguntur kembali. Lebih mengerikan. Dedaunan di sekitar sana menjadi gugur seketika.
"Kini... terimalah kematianmu, Bocah Ayu!" Memburu dengan teriakan sekeras serigala, tubuh Adipati Ganda Manikam melesat dahsyat. Ayu terkesiap melihatnya. Ia merasakan betapa derasnya angin yang memburu ke arahnya. Ia tak berani untuk memapaki gempuran dahsyat itu, karena merasa tenaga dalamnya kalah satu tingkat dari lawan.
Jalan satu-satunya yang terbaik, memang menghindar.
Kecepatan tinggi yang diperlihatkan Ayu, terasa tak membawa hasil. Karena, ia telah terluka dalam akibat gempuran sebelumnya. Satu jotosan keras diterimanya dengan jeritan, darah menyembur keluar.
"Kini, habislah riwayatmu!!" Menderu dingin Adipati Ganda Manikam meluncur ke arah Ayu yang hanya membelalakkan matanya.
Namun.... Des! -0o-dw-ray-o0- Benturan cukup keras terjadi, menahan serangan Adipati Ganda Manikam, sekaligus menyelamatkan Ayu dari maut.
Menyusul satu tendangan berkekuatan tinggi yang dilancarkan si penolong, menggempur tubuh Adipati Ganda Manikam, yang keluarkan suara tertahan dan menekuk kedua tangannya.
Desl Des! Secepat itu pula Adipati Ganda Manikam membuang tubuhnya ke belakang, karena bila lawan yang baru muncul itu menyerang kembali, ia merasa sulit untuk menahan ataupun membalas.
"Kang Andika!" terdengar seruan Ayu dengan wajah gembira. Andika yang baru saja menahan serangan Adipati Ganda Manikam, dan melancarkan tendangan keras, melompat indah, berputar dua kali dan hinggap di sisi Ayu.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Masih lumayan aku belum mati."
"Jangan mati dulu, aku belum menciummu," seloroh Andika yang membuat dada Ayu berdebar.
Sementara itu, Adipati Ganda Manikam memerah wajahnya. Kedua matanya melotot gusar.
"Setan keparat! Lagi-lagi kau!" Andika menoleh dan nyengir.
"Maaf, aku memang tidak tahan melihat kejahatan sih!"
"Kau akan merasakan akibatnya, Pendekar Slebor!"
"Jangan banyak bacot!" bentak Andika dengan tatapan tak berkesip. Suaranya mendesis, seolah menahan gumpalan amarah di dada.
"Rencana kejimu sudah berakhir sampai di sini... Raja Akhirat!" Adipati Ganda Manikam tertawa ganda. Sampai perutnya berguncang-guncang.
Sementara Ayu mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Andika.
Tetapi, ia tak membutuhkan jawaban terlalu lama dari kebingungannya tentang panggilan Andika terhadap Adipati Ganda Manikam.
"Otakmu memang cerdik, hingga tahu siapa aku!" seru Adipati Ganda Manikam sambil mencabik-cabik baju kebesarannya. Yang nampak kemudian, baju merah menyala. Menyusul ia menarik sebuah topeng dari wajahnya. Yang nampak seraut wajah mengerikan dengan bekas luka memanjang di sebelah kiri.
Andika tersenyum sinis.
"Hanya seorang yang bisa mengelabui orang lain dengan ajian 'Melayang Dua'nya."
"Bagus! Bagus sekali! Tetapi, lagi-lagi manusia semacam kau yang selalu menghalangi keinginanku!"
"Sampai kapan juga, kau tetap tak akan berhasil melaksanakan seluruh keinginan busukmu itu, Raja Akhirat!"
"Kuakui, kau memang berhasil menggagalkan seluruh rencanaku. Bahkan belum sampai setengah rencana yang kujalankan kau telah berhasil menghentikannya! Hebat, hebat sekali!" Andika menatap sengit manusia keji yang berjuluk Raja Akhirat. Pertama kali ia mempecundangi keinginan Raja Akhirat untuk menguasai Keraton Barat (Baca: "Raja Akhirat" dan "Neraka di Keraton Barat"). Bahkan saat mengangkangi sembilan iblis dan mencoba mengendalikan mereka untuk menguasai rimba persilatan, lagi-lagi rencana busuk Raja Akhirat berhasil digagalkan oleh Pendekar Slebor (Baca : "Istana Sembilan Iblis").
Sekarang, rencana keji yang dilakukannya pun berhasil dihentikan Pendekar Slebor.
"Kau tak henti-hentinya menyebarkan petaka dalam kehidupan ini, Raja Akhirat! Sudah sepatutnya kau untuk mampus!"
"Kak.... Kak.... Kak... sayangnya, kau tak akan bisa melakukannya lagi, Pendekar Slebor. Meskipun kau telah berhasil memecahkan ajian 'Melayang Dua' yang kumiliki berkat petunjuk kakak seperguruanku di Goa Akhirat, kau tak akan bisa mengalahkan aku lagi.. Karena, kemajuanku sangat tinggi. Bahkan, aku telah mempelajari ilmu menyamar dari 'Kitab Wajah Asli' yang kudapatkan secara tak sengaja di kaki Gunung Malintang.
Dengan menguasai Desa Sawo Luwih dan menindas Singgih Murka atau ketua dari Serikat Baju Merah, aku bermaksud untuk menjalankan siasat baru menuju apa yang kuinginkan. Akan kujadikan Desa Sawo Luwih sebagai tempat pengedaran candu. Akan kupengaruhi orang-orang persilatan hingga mereka lupa diri dan aku dengan mudah membunuhnya. Rencana pertama yang harus kulakukan, tentunya menguasai Kadipaten Karang Sutra. Adipati Ganda Manikam telah kubunuh. Dengan ilmu menyamar yang kupelajari aku bisa mengubah diriku menjadi dirinya.
Tetapi kuakui, dua orang prajurit mengenaliku, hingga keduanya harus kubunuh. Ilmu penyamaranku belum sempurna, dan kupengaruhi puluhan prajurit itu hingga semuanya menuruti kehendakku. Kau benar tentang semuanya, Pendekar Slebor. Dan kau akan membayar semuanya atas kelancanganmu!" Andika menggeram.
"Justru akan kutunaikan janjiku pada sahabat kecilku yang bernama Walet!"
"Kita buktikan!" Sehabis berkata begitu, Raja Akhirat sudah mengirimkan satu gempuran dahsyat. Angin bergemuruh bak hujan deras yang turun. Sejenak Andika terperangah melihatnya, namun kesiagaannya sebagai seorang pendekar tak perlu disangsikan lagi.
Ia merunduk dan berteriak mengguntur mengirimkan serangan balasan. Tak tanggung lagi, ajian 'Guntur Selaksa' sudah dipergunakan. Suara salakan petir sangat keras terdengar. Sementara, Ayu perlahan-lahan beringsut. Sungguh, terkejut bukan main. Ia begitu menyadari kalau laki-laki di hadapannya itu bukanlah Adipati Ganda Manikam. Dari kata-kata yang dilontarkan keduanya, jelas masing-masing musuh bebuyutan.
Bentrokan antara dua musuh lama itu benar-benar mengerikan Dalam waktu singkat, lima belas jurus telah terlewati dengan dahsyat. Serang menyerang terjadi. Hindar menghindar dilakukan. Di hadapan Pendekar Slebor, Raja Akhirat tak berani mengeluarkan ajian andalannya, ajian 'Melayang Dua' yang pernah membuat Pendekar Slebor mati kutu, bahkan berkali-kali dikelabui oleh lawan.
Karena, Pendekar Slebor telah mengetahui rahasia kelemahan ajian dahsyat itu.
Tangan kanan Raja Akhirat-lah yang menjadi kelemahan dari ajian 'Melayang Dua' seperti yang dikatakan Srundul alias si Tapak Darah - kakak seperguruan Raja Akhirat di Goa Akhirat. Justru yang dilakukan adalah menyerang dengan ilmu yang baru diciptakan, ilmu kembangan dari ajian 'Himpunan Surya-Bayu Tanah'. Paduan Panas-Dingin' yang mengerikan.
Wuuus! Wuuusss! Dua gelombang angin dahysat yang mengeluarkan suara menggemuruh melesat cepat ke arah Pendekar Slebor.
Bersamaan dengan itu, suasana berubah panas.
Andika segera menyingkir dengan melompat ke samping.
Lalu dari tempatnya itu, pemuda urakan dari Lembah Kutukan melepaskan pukulan dengan cara mendorong.
Kedua telapak tangannya dikembangkan.
Wuuss! Wusss! Rasa panas yang terasa tadi, makin memanas ketika pukulan kembangan dari ajian 'Guntur Selaksa' dilepaskan.
Terdengar suara ledakan dahsyat. Lembah itu laksana dilanda gempa yang hebat. Daun-daun luruh dan hangus, semak belukar tercabut dari akarnya dan membubung ke angkasa. Tanah muncrat menutupi pandangan.
Keduanya telah mempergunakan tenaga dalam yang sangat tinggi dari yang mereka miliki. Akibat benturan dua tenaga dahsyat itu, tubuh Raja Akhirat mencelat sampai tiga tombak ke belakang, lalu jatuh terduduk di tanah.
Hempasannya cukup keras. Darah mengalir dari mulutnya, bersamaan makian panjang pendek.
Sementara yang dialami Andika tak jauh berbeda. Ia jatuh dengan kedua lutut menekuk. Tubuhnya bergetar hebat dengan wajah menekuk, menahan sakit. Selagi Andika berusaha untuk berdiri, tiba-tiba angin kencang berkesiur ke arahnya.
Tak ada jalan lain bagi Andika selain merebahkan tubuh sejajar dengan tanah, bila tak ingin dadanya jebol dihantam gempuran keras Raja Akhirat.
Bersamaan tubuhnya rebah di tanah, kaki kanannya melayang, menyusul kaki kiri.
Buk! Buk! Raja Akhirat tercekat kaget. Karena dalam posisi sempit, semacam itu, Andika bukan hanya bisa menghindar, tetapi juga membalas. Tubuh Raja Akhirat terlontar ke atas. Andika tak mau membuang waktu lagi. Bersamaan tubuh Raja Akhirat terpental, Andika meluruk cepat.
Des! Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi besar itu terhantam telak ajian 'Guntur Selaksa' Andika. Sesaat Andika terkejut ketika merasakan tubuh Raja Akhirat begitu dingin.
"Kak... kak... jangan gusar, karena inilah ajian 'Paduan Panas-Dingin' yang sangat dahsyat." Andika justru bertambah gusar. Ia, sadar sekarang, ajian 'Paduan Panas-Dingin' itu benar-benar ajian yang mampu mengubah suhu udara dan tubuh berubah-rubah.
Tetapi Andika yang tak mau bertindak tanggung lalu, berkelebat pula dengan cepatnya.
"Heaaaa! Nama busukmu akan terkubur hari ini Raja Akhirat!!" Raja Akhirat terperangah melihat kecepatan yang dilakukan oleh Pendekar Slebor. Belum lagi ia merasakan panas bak api neraka menderu dahsyat.
Bet! Des! Dua kali tubuh Raja Akhirat terpental ke belakang dan menghantam sebuah pohon. Bersamaan dengan itu darah hitam mengalir keluar. Napasnya kembang-kempis.
Wajahnya yang kasar memucat seketika.
Sementara Andika mengatur napasnya baik-baik.
Matanya masih sengit menatap Raja Akhirat. Ia yakin, dalam tempo tidak lama, nyawa Raja Akhirat akan terlepas dari jasad. Ketika teringat akan pesan Walet, Andika berdiri tegak.
Memutar kedua tangannya ke atas, seketika tubuhnya yang sejak tadi diliputi sinar perak tak nampak, kini menjadi nyata. Itu bertanda Andika tengah mengeluarkan ajian 'Guntur Selaksa' pada tingkat paling tinggi.
"Semua kekejaman dan kebusukanmu akan terpuruk hari ini, Raja Akhirat!!" Bersamaan semau itu, Andika menerjang. Ajian 'Guntur Selaksa' yang terangkum pada kedua tangannya, benarbenar siap menghantam kepala Raja Akhirat.
"Heaaaa!" bertambah keras teriakan itu, bertambah cepat lesatan Andika.
Raja Akhirat benar-benar dalam keadaan tak berdaya. Ia hanya melotot dengan gusar dan hantaman keras Andika pun menghajar telak kepalanya.
Prak! Menyusul satu pada dadanya.
Besss!! Kepala Raja Akhirat pecah, dadanya jebol, tubuhnya pun menggelosoh tak berdaya. Darah bersimbah, membasahi tubuh yang sudah menjadi mayat.
Andika melompat ke kiri.
Ia mengatur napasnya lagi.
"Tamat sudah riwayat manusia busuk ini!" Sementara Ayu yang menyaksikan pertarungan terakhir itu segera bangkit setelah dirasakan kondisinya sudah memulih. Ia memegang lengan Andika.
"Bagaimana keadaanmu, Kang Andika?" tanyanya pelan dengan tatapannya yang menyejukkan.
"Aku puas menyaksikan manusia itu telah tewas, Ayu...."
"Begitu pula aku, Kang Andika. Tak kusangka kalau manusia itulah yang mengatur semua rencana keji ini. Tak kusangka pula kalau Adipati Ganda Manikam telah tewas."
"Yah... ia akan mengatur semuanya dengan baik.
Tetapi... pupus sudah keinginan busuknya itu. Ayu... kita cari kedua orangtuamu, setelah itu, kita umumkan kalau Adipati Ganda Manikam telah tewas." Ayu cuma menganggukkan kepalanya.
"Kau sudah mendingan, Kang Andika?" Andika tersenyum nakal.
"Bersamamu, aku selalu merasa segar dan lebih baik." Ayu mencubit lengan Andika. Dasar urakan, meskipun cubitan itu tidak terlalu sakit, tetapi Andika berteriak keras.
Ayu jadi malu sendiri karenanya.
"Nakal!" Andika mengedipkan matanya. Genit! Tetapi sebelum keduanya melangkah, mendadak terdengar suara keras, "Kaak... kak... kak! Pendekar Slebor, kau tak akan bisa membunuhku!!" Kaget Andika menoleh. Sosok Raja Akhirat yang menggelosoh tadi sudah tidak ada. Justru yang ada sosok Raja Akhirat yang duduk dengan seringaian mengejek di sebuah dahan pohon.
"Manusia buduk!" maki Andika sewot. Ia langsung menerjang cepat. Tetapi sosok Raja Akhirat telah melompat dan menghilang entah ke mana. Andika melompat lagi ke bawah sambil memaki panjang pendek.
"Mengapa bisa terjadi seperti itu, Kang Andika?" tanya Ayu tak mengerti.
Andika masih memaki-maki sambil menghentakkan kaki kanannya ke tanah.
"Keparat busuk! Monyet buntung! Manusia itu memang memiliki akal licik! Sejak tadi ia menyerangku tanpa mempergunakan ajian 'Melayang Dua'nya karena aku sudah mengetahui kelemahannya. Dan tanpa kusadari ia justru melakukannya di saat menerima gempuranku! Kurang ajar!"
"Ilmu 'Melayang Dua'?" ulang Ayu "Ya, ajian itulah yang pernah membuatku kecolongan, bahkan hari ini aku pun kecolongan lagi. Hhh! Bila bertemu dengan manusia laknat itu lagi, tak akan kuampuni dia!!" Ayu bisa merasai kejengkelan Andika. Lalu berkata pelan. sambil memegang tangan pemuda dari Lembah Kutukan itu, "Sudahlah, Kang Andika. Bukankah Kang Andika telah berhasil mematahkan semua rencana busuk Raja Akhirat?" Andika menganggukkan kepala.
"Kau benar, Ayu. Tetapi, aku masih mempunyai janji pada Walet," sahutnya sendu.
"Mungkin untuk saat ini,janjimu belum bisa dilaksanakan, Kang. Barangkali, suatu saat kau akan bisa menunaikan janjimu itu pada Walet." Andika berbalik. Menatap wajah jelita di hadapannya yang sedang tersenyum. Lalu katanya sambil menganggukkan kepalanya.
"Ya, suatu saat." Ayu tersenyum. Pijaran aneh meriak-riak di hatinya.
Sungguh, ia merasa begitu dekat dengan Andika. Teramat dekat bahkan, seolah ia bisa mengetahui apa yang dirasakan Andika. Sesuatu yang nyaman pun mengalun di hati Ayu.
Entah apa, murid Beruang Gunung Karimun sendiri tidak tahu. Lalu Andika mengajak Ayu untuk mencari kedua orangtua gadis itu. Andika pun bermaksud untuk memberikan semangat juang lagi pada para penduduk Desa Sawo Luwih yang pernah luntur akibat kedatangan manusia-manusia dajal itu.
Dan tanpa sepengetahuan mereka, satu sosok tubuh yang baru saja datang memperhatikan keduanya dengan seksama. Bibirnya tersungging senyuman.
"Pendekar Slebor... hari ini aku berjumpa denganmu meskipun kita belum bertegur sapa. Tetapi, muridku sudah mewakili kehadiranku. Hmmm... Raja Akhirat. Ya, pernah kudengar nama itu beberapa bulan lalu. Rencana busukmu telah berhasil dihentikan oleh Pendekar Slebor." Sosok itu menatap sepasang muda-mudi yang sudah menghilang dari pandangannya.
"Ayu... beberapa bulan lagi aku akan datang menemuimu. Ada tugas yang harus kau jalankan.
Yah, beberapa bulan lagi...." Lalu sosok itu, Nenek Beruang Gunung Karimun, menghilang dari pandangan. Bibirnya masih tersenyum melihat kebersamaan muridnya dengan Pendekar Slebor.

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Segera hadir
Serial Pendekar Slebor dalam episode :
IBLIS-IBLIS SUMUR TUA


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Malaikat Bukit Pasir --oo0oo-- Iblis-Iblis Sumur Tua


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers