Life is journey not a destinantion ...

Tabir Pulau Hitam

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Dewa Lautan Timur --oo0oo-- Rahasia Sebelas Jari



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: TABIR PULAU HITAM

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«¤₪¤| [ 1 ] |¤₪¤»

Terbuka lebih lebar sepasang mata tajam milik Pendekar Slebor. Untuk sesaat dia terdiam memperhatikan sosok lelaki tua bersorban kuning, yang berdiri sejarak dua tombak dari hadapannya.
Otaknya langsung bekerja, "Yang kuketahui, ciri manusia sesat berjuluk Dewa Lautan Timur mengenakan sorban berwarna kuning. Apakah lelaki ini orang yang berjuluk De-wa Lautan Timur?" Tak ada yang keluarkan suara sama sekali. Suasana dibukit kapur itu mencekam. Matahari semakin merambat naik.
Orang yang tadi keluarkan bentakan dan mendadak telah berdiri di hadapan Pendekar Slebor, memandang tak berkedip.
Tajam dan menyiratkan bahaya kematian.
Seperti telah diceritakan pada episode: "Dewa Lautan Timur", setelah berhasil mendapatkan kuda milik salah seorang dari Tiga Iblis Penunggang Kuda, Pendekar Slebor terus bersikeras untuk menemukan Pulau Hitam. Padahal, dia tidak pernah tahu tentang petunjuk ke Pulau Hitam yang dimiliki Sangga Rantek. Dia hanya mengandalkan titik-titik gambar yang ada pada potongan pedang yang dimiliki Gadis Kayangan. Di samping itu sampai saat ini, Pendekar Slebor masih mencari Gadis Kayangan yang lenyap.
Dan tanpa disadarinya dia telah menemukan sebuah air terjun dan akhirnya tiba di dua bukit kapur ini, yang sesungguhnya adalah petunjuk menuju ke Pulau Hitam, yang ada pada potongan pedang yang berada di tangan Sangga Rantek.
Selagi anak muda urakan dari Lembah Kutukan ini mencoba memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan, mendadak terdengar satu suara keras disusul dengan munculnya lelaki tua bersorban kuning.
Keheningan itu dipecahkan oleh suara orang bersorban kuning yang memang Dewa Lautan Timur adanya, "Apakah kau sudah puas mengenali siapa aku"! Berarti... nyawamu akan kukirim juga ke neraka!!" Andika masih terdiam dengan pandangan agak menyipit.
"Dia mengatakan nyawaku akan dikirim juga ke neraka" Apakah... sudah ada orang yang dibunuhnya dalam waktu dekat ini" Apakah Panembahan Agung yang telah dibunuhnya" Ah! Setahuku, Dewa Lautan Timur memang mendendam pada Panembahan Agung! Dan aku yakin, kalau manusia inilah yang menyamar sebagai Panembahan Agung! Tetapi mengapa dia berada di sini" Bukankah dua orang Panembahan Agung kuminta untuk mendatangi Pulau Hitam" Atau sesungguhnya... orang ini tidak tahu di mana Pulau Hitam berada" Dan satu-satunya petunjuk untuk... oh! Jangan-jangan... yang dimaksudnya tadi, dia telah membunuh Gadis Kayangan untuk mendapatkan potongan pedang yang ada padanya" Tetapi bisa jadi Sangga Rantek-lah yang dimaksudnya, karena lelaki berpakaian serba hitam itu memiliki potongan pedang lainnya" Kutu Landak! Otakku jadi rada ngos-ngosan nih!" Terdiam kembali anak muda berpakaian hijau pupus ini sebelum melanjutkan kata dalam hati, "Sulit menduga, Panembahan Agung yang manakah yang adalah samaran Dewa Lautan Timur" Apakah yang sebelumnya bercakap-cakap denganku, atau yang datang belakangan?" Sesungguhnya, memang masih ada persoalan lain di benak Pendekar Slebor, tentang adanya dua orang yang menga-ku sebagai Panembahan Agung. Dari wajah keduanya, cara berbicara, bersikap dan bertindak, sangat sulit menentukan yang manakah Panembahan Agung yang asli dan palsu. Bahkan suara masing-masing orang sama (Untuk mengetahui kebingungan Pendekar Slebor dalam persoalan ini, silakan baca: "Dewa Lautan Timur").
Di depan, Dewa Lautan Timur berkata, lebih dingin dan menusuk, "Aku tak ingin mencabut nyawamu sebenarnya! Keinginanku hanya untuk membalas semua perbuatan Panembahan Agung! Tetapi... akan menyenangkan bila hari ini kulihat kau berkalang tanah!!" Mendengar ancaman orang, anak muda berambut gondrong acak-acakan ini cuma mengangkat kedua bahunya saja.
Lalu menyeringai seraya berkata, "Wah! Sabar dulu sedikit! Orang sabar itu hidupnya subur, lho" Ngomong-ngomong...
aku mau tanya, nih! Siapa sih orang yang sebelumnya kau bunuh?" Kontan Dewa Lautan Timur tertawa keras. Saking kerasnya, seolah ada tenaga yang keluar melalui tawa itu.
Menghantam ranggasan semak yang langsung beterbangan dan membuat kapur-kapur pada dua buah bukit itu berguguran.
Andika sendiri harus kerahan tenaga dalamnya ke telinga guna melindungi indera pendengarannya.
Sekonyong-konyong, Dewa Lautan Timur memutus tawanya. Dan berkata dingin, "Pertanyaan yang sangat bagus! Tetapi banyak orang bilang otakmu seencer air! Dengan kecerdikanmu itu, tentunya kau dapat menduga siapa yang telah kubunuh!!" Dewa Lautan Timur tak mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Sesungguhnya dia telah gagal mempermalukan sekaligus menghabisi hidup Gadis Kayangan. Karena sebelum dilakukannya, seorang nenek berpakaian hitam compang-camping telah menyambar tubuh Gadis Kayangan. Dan nenek itu kemudian diketahui bernama Nyi Genggong (Baca: "Dewa Lautan Timur").
Dengan berucap begitu, Dewa Lautan Timur berharap dapat mengacaukan jalan pikiran Pendekar Slebor.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini memang agak bimbang mendengar ucapan si kakek bersorban kuning. Tetapi ditindihnya segala kebimbangan dengan ter-bitkan segala ketenangan yang dimilikinya. Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia berkata, "Mana bisa aku menebak seperti itu" Memangnya aku ini Tuhan"! Ayo, dong... katakan saja...." (Eh, busyet! Dia merengek! Tapi jangan khawatir, itu cuma pura-pura).
Meledak kembali tawa Dewa Lautan Timur. Lelaki tua yang memiliki dendam setinggi langit pada Panembahan Agung, merasa telah berhasil mengacaukan perasaan Andika.
Tetapi dia belum puas hanya lakukan tindakan seperti itu.
Lalu katanya, "Sebelum orang itu kubunuh, telah ku-nikmati dulu kemolekan tubuhnya! Dan sungguh sebuah pen-galaman yang sangat menyenangkan! Karena selama ini, aku belum pernah melihat tubuh yang begitu indah!" Deg! Jantung Andika mendadak seperti berhenti berdetak. Sesungguhnya dia memang mulai menebak siapakah orang yang dimaksud Dewa Lautan Timur. Orang itu adalah Gadis Kayangan. Andika yang tetap berkeyakinan, kalau Dewa Lautan Timur adalah Panembahan Agung yang palsu, tentunya tidak tahu jalan menuju ke Pulau Hitam. Dan untuk tiba di sana, seperti permainan yang telah diciptakan Andika beberapa hari lalu, berarti si kakek sesat ini harus memiliki dua potongan pedang perak yang pada masing-masing potongan pedang terdapat rangkaian titik berbentuk gambar yang merupakan patokan-patokan menuju ke Pulau Hitam.
Kendati saat ini perasaannya mulai agak kacau, tetapi si anak muda tetap berusaha tenang.
"Waduh! Beruntung banget kau ini, sudah tua tetapi masih bisa melihat tubuh indah! Padahal aku sendiri belum pernah, tuh" Tapi ngomong-ngomong... anak kambing mana sih yang tubuhnya begitu indah" Masa kau nekat juga menikmati seekor anak kambing"! Yang benar saja, ah!!" Senyuman aneh yang bertengger di bibir Dewa Lautan Timur langsung lenyap mendengar ejekan pemuda di hadapannya.
"Keparat!!" menggelegar bentakannya.
"Ealah! Kok jadi malah marah-marah"! Aku justru hendak mengucapkan selamat padamu! Berarti, kau sudah mendapatkan apa yang selama ini kau impikan bukan" Ah, kasi-han sekali anak kambing itu! Kalau dia hamil, anaknya kayak apa ya"!" Meradang kakek bersorban kuning ini. Kejap itu pula tangan kanannya terangkat. Bersamaan tangan yang diangkat itu, mendadak saja menggebrak gelombang angin berkekua-tan tinggi. Menyeret tanah saat melabrak ke arah Pendekar Slebor.
"Eiiittt! Nafsu amat"!" seru Pendekar Slebor sambil buang tubuh ke kanan.
"Sabar dikit, Tong!!" Blaaammm! Tanah di mana tadi dia berdiri, langsung membentuk sebuah lubang cukup besar setelah terhantam gelombang angin tadi. Sementara kuda milik salah seorang dari Tiga Iblis Penunggang Kuda yang diambil Pendekar Slebor, telah terbirit-birit kabur begitu mendengar suara angin menggebah.
E dasar konyol padahal hatinya kebat-kebit, si anak muda yang mencoba untuk menenangkan perasaannya, justru melongok ke dalam lubang itu.
"Sayang ya hari tidak hujan! Kalau ada hujan, aku bisa berendam nih di lubang ini!" desisnya lalu angkat kepala dan digeleng-gelengkan. Setelah pandangi sesaat Dewa Lautan Timur dengan tatapan mengejek dia berkata lagi, "Kau ini panasan sekali, ya" Mengapa kau muncul dengan wajah asli-mu" Mengapa tidak menyamar sebagai-Panembahan Agung seperti yang kau lakukan"!"
"Keparat terkutuk!! Jangan berbicara mengada-ngada!!" bentak Dewa Lautan Timur yang sedikit banyaknya murka sekaligus heran karena selain serangannya dapat dihindari, pemuda itu juga lontarkan ejekan menyakitkan.
"Mana bisa aku mengada-ngada" Kau tentunya memiliki salah satu pecahan genting yang bertuliskan huruf 'PS', bukan" Dan kau sesungguhnya tidak tahu jalan menuju ke Pulau Hitam! Sehingga kau mencoba merebutnya dari tangan Gadis Kayangan atau juga dari Sangga Rantek! Aku memang tidak tahu mengapa kau justru menyamar sebagai Panembahan Agung" Padahal kau mendendam padanya! Bila yang kukatakan ini salah, lebih baik kau bunuh diri saja deh!!"
"Pemuda celaka! Kau bukan hanya terlalu mengada-ada, tetapi ternyata kau tukang fitnah belaka!" maki Dewa Lautan Timur dengan tangan menuding yang bergetar.
"Tak mungkin aku bertindak menyerupai manusia keparat yang ingin kubunuh itu!!" Mendengar ucapan orang, Andika terdiam dengan kening berkerut.
"Monyet pitak! Dari ucapannya itu, dia begitu pasti apa yang kukatakan ini salah! Apakah bukan dia orangnya yang menyamar sebagai Panembahan Agung" Tidak mungkin! Jelas dia orangnya! Karena yang mengetahui urusan masa lalu dan perempuan bernama Laksmi Harum hanyalah Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur! Hmmm... baik! Akan kuikuti permainannya meskipun saat ini aku masih mencemaskan keadaan Gadis Kayangan. Apakah dia memang sudah tewas di tangan kakek celaka ini, atau masih hidup?" Habis berpikir begitu, Pendekar Slebor berkata, "Ih! Tua-tua masih tukang bohong juga! Ngomong-ngomong...
dulu kau pernah menjadi pemain ketoprak yang suka manggung di Kotapraja, ya" Wah! Sayang sekali aku tak pernah menontonnya!!"
"Sinting! Kau bukan hanya slebor, tetapi juga sinting!" maki Dewa Lautan Timur dengan kedua tangan bergetar tan-da amarah makin memuncak. Tetapi ya dasar urakan, ancaman sudah di depan mata Andika masih berkata, "Biar sinting tapi kan tidak sinting! Nah, lo! Bingung, kan" Ya pegangan saja!" Dilihatnya bagaimana si kakek sesat itu terdiam dengan pandangan Man menusuk. Kemudian dengan santai Andika melanjutkan kata-katanya, "Kalau kau tidak mau mengaku juga, ya tidak apa-apa! Biar deh, aku yang menggantikan Panembahan Agung untuk menghajar mu! Ayo, sini maju!!" Menggeram Dewa Lautan Timur mendengar orang mengecilkannya.
"Akan kulumat tubuhmu seperti Gadis Kayangan!!" Menyusul diangkat tangan kanannya ke atas. Kembali bersamaan tangannya diangkat, satu hamparan angin mengerikan melabrak deras, menyeret tanah dan ranggasan semak.
Disusul dengan hamparan angin lainnya.
Andika yang diam-diam telah alirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat kelima, sudah menggebrak maju. Saat di gerakkan tangan kanan kirinya, terdengar dua salakan petir yang mengejutkan. Menyusul....
Blaaammm!! Blaaammm!! Letupan keras dua kali berturut-turut terdengar saat ben-trokan terjadi. Tubuh Pendekar Slebor langsung terdorong ke belakang disertai seruan, "Monyet buduk!!" Dengan sigap dia berusaha untuk kuasai keseimbangannya kembali, karena dalam keadaan kehilangan keseimbangan, lawan dengan mudah akan menjatuhkan.
Apa yang diperkirakannya memang benar.
Dewa Lautan Timur yang hanya surut dua tindak ke belakang, telah susulkan serangan kembali. Kali ini tangan kanan kirinya diangkat dan serta-merta menggebrak dua gelombang angin mengerikan.
Tak ada jalan lain bagi Pendekar Slebor kecuali memapakinya kembali. Sadar kalau serangan lawan lebih besar dari yang pertama, tak tanggung lagi, segera dikerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas. Suara salakan petir yang terdengar lebih keras dan mengerikan.
Blaaammmm!! Blaaammmm!! Kontan tanah di sekitar tempat itu bergetar begitu benturan yang lebih keras terjadi. Bongkahan batu-batu kapur runtuh bergulingan.
Dan... astaga! Tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas yang begitu mengerikan, bukan hanya tak mampu menahan serangan Dewa Lautan Timur. Tetapi juga membuat pemiliknya terlempar ke belakang dan ambruk di atas tanah dengan kedua tangan terentang.
"Kutu monyet! Dadaku sakit sekali!!" desis Andika dan perlahan-lahan berdiri.
Agak sempoyongan dengan tangan kanan menekan dada.
Sejarak tiga tombak, Dewa Lautan Timur nampak sedang rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Jelas kalau dia juga merasakan kedahsyatan tenaga serangan Andika.
"Keparat busuk! Sungguh hebat tenaganya! Tetapi tak terlalu banyak berarti! Akan kulumat pemuda celaka ini sebelum akhirnya membuat seluruh rencanaku berantakan!" desisnya, setelah merasakan keadaannya lebih nya man.
Seraya maju satu langkah ke muka, lelaki tua berwajah mengerikan ini berseru, "Sebelum melihat Panembahan Agung mampus, nyawamu akan kukirim dulu ke akhirat!!"
"Wah, wah! Bagaimana bisa kau mengirimnya" Apakah kau memiliki kurir" Ngomong-ngomong, akhirat itu di mana sih" Apa di sana ada yang menjual kue apem?" Memang konyol anak muda satu ini! Napasnya sudah kembang kempis dia masih dapat berlagak saja.
"Bagus! Kutunjukkan kau jalan ke sana!!" Habis bentakannya, mendadak saja Dewa Lautan Timur berdiri tegak dengan kedua tangan lurus di samping kanan kirinya. Matanya memandang tak berkedip dan lamat-lamat nampak pancarkan sinar agak kemerahan. Mulutnya terlihat mengembung bersamaan kedua tangannya terangkat di depan dada. Disejajarkan satu sama lain tetapi tidak disatukan.
"Monyet Kudisan! Sudah tentu apa yang diperlihatkannya ini ilmu yang sangat dahsyat! Peduli kambing bunting! Aku tetap ingin tahu apa maksud lelaki celaka ini menyamar sebagai Panembahan Agung" Tetapi... dia tetap membantah saat kukatakan demikian! Huh! Pasti cuma omong kosong belaka!!" Lalu diam-diam anak muda ini pun segera alirkan ajian 'Guntur Selaksa'. Lamat namun pasti, terlihat tubuhnya dikeli-lingi sinar warna keperakan. Di depan, Dewa Lautan Timur sejenak melengak dengan mata agak menyipit. Tapi di kejap lain, mendadak saja kedua tangannya yang disejajarkan di depan dada, sudah digerakkan seperti menebas.
Brrrrr!! Saat itu pula menderu angin laksana topan menghantam dua dusun di pesisir pantai. Bukan hanya menyeret tanah dan ranggasan semak belukar saja, tetapi juga menumbangkan dua buah pohon yang laksana tangan-tangan raksasa menderu ke arah Pendekar Slebor. Terkesiap Pendekar Slebor tatkala merasakan gebahan angin dalam jarak dua tombak. Tak mau menunggu lama, dia segera mencelat ke depan, menyongsong serangan dahsyat itu bersama kedua tangannya didorong.
Terdengar suara salakan guntur yang sangat kuat. Dalam suasana panas yang cukup menyengat, munculnya gelombang angin dahsyat dan salakan guntur susul menyusul itu benar-benar akan membuat kening orang berkerut. Dan yang sangat mengejutkan, karena mendadak saja Andika justru membuang tubuh ke samping. Anak muda ini tiba-tiba merasakan tusukan laksana puluhan anak panah yang melesat sedemikian cepat.
Blaammm! Blaammm!! Gelombang angin dahsyat yang keluar dari dorongan kedua tangan Dewa Lautan Timur menghantam hancur tanah, ranggasan semak dan sebuah pohon yang kontan beterbangan di udara membentuk rangkaian kepekatan.
Sementara itu angin laksana tusukan anak panah yang keluar dari mulut Dewa Lautan Timur, mencacah sebuah pohon yang saat itu pula mengering dan beterbangan bagai ser-pihan.
Di tempatnya, Andika yang membuang tubuh ke samping, harus pula merasakan sambaran angin tadi. Langsung dia tekap tangan kanannya yang terasa ngilu. Dan kejap itu pula kedua mata terbeliak karena angin tak ubahnya tusukan anak panah telah meluncur lagi ke arahnya.
Untuk kedua kalinya Dewa Lautan Timur meniup! "Celaka! Aku bisa mampus nih!!" desis Andika seraya melompat ke samping kiri.
Dan dicobanya untuk menyerang dengan ajian 'Guntur Selaksa' yang tadi diurungkan. Glegar!! Salakan guntur terdengar sangat menyakitkan telinga.
Namun pukulan itu putus di tengah jalan, tertabrak dorongan angin raksasa dari kedua tangan Dewa Lautan Timur. Bahkan tidak hanya sampai di sana saja yang terjadi. Karena tubuh anak muda urakan ini pun terlempar deras ke belakang. Belum lagi dia kuasai keseimbangannya, Dewa Lautan Timur yang terbahak-bahak, telah mendorong kedua tangannya kembali.
Tanpa ampun lagi, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini makin terlempar ke belakang. Seruan terta-hannya terdengar keras. Lalu terbanting di atas tanah seperti sebuah nangka busuk. Namun yang mengejutkan, karena tubuhnya terlihat telah terbungkus kain bercorak catur yang sebelumnya melilit pada lehernya. Rupanya dalam keadaan yang sangat kritis, Andika masih dapat bertindak cepat.
Dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, dia telah melindungi tubuhnya dengan kain pusaka warisan Ki Saptacakra.
Bila saja dia tak lakukan tindakan seperti itu, saat itu pula nyawanya akan segera hijrah ke alam baka.
Kendati berhasil lindungi tubuhnya dengan kain bercorak catur, namun apa yang dialaminya sangat menyedihkan.
Napasnya memburu keras dengan dada naik turun. Dari hidung dan mulutnya keluar darah segar.
"Oh! Apakah saat ini aku sudah di akhirat" Tetapi kenapa akhirat panas begini" Ada dua bukit kapur pula" Tidak, ini bukan akhirat!!" Dikerahkan tenaganya untuk bangkit. Namun karena rasa ngilu yang mendera hingga ke dalam tulang, dia seakan tak mampu untuk bangkit. Dewa Lautan Timur sendiri telah berdiri sejarak tiga langkah di samping kanannya. Bibir kakek sesat itu membentuk senyuman aneh.
"Tak seorang pun akan dapat menahan pukulan 'Prahara Lautan'! Tak terkecuali kau dan Panembahan Agung! Pendekar Slebor... urusan kita kucukupkan sampai di sini! Karena kau tak akan mungkin dapat pulih seperti sediakala! Kubiarkan kau hidup dalam segenap penderitaan!!" Pendekar Slebor cuma meringis menahan sakit. Bila menuruti kata hatinya, tak sabar rasanya ingin menjitak kepala kakek celaka itu.
Sementara itu Dewa Lautan Timur sedang tertawa keras.
Masih tertawa kakek bersorban kuning ini segera meninggalkan tempat itu.
"Tinggal kau, Panembahan Agung! Tinggal kau!!" desisannya masih terdengar padahal sosoknya telah lenyap dari pandangan.
Tinggal Pendekar Slebor yang sedang menderita saat ini.
Dibiarkan tubuhnya terbaring. Dipejamkan matanya kuatkuat menahan rasa sakit. Lalu perlahan-lahan, dilepaskan lilitan kain pusaka bercorak catur dari tubuhnya.
Masih dalam keadaan terbaring, anak muda ini mencoba untuk bersemadi.

***

«¤₪¤| [ 2 ] |¤₪¤»

Dua bayangan hitam dan merah terus berlari laksana dikejar setan, menembus senja yang semakin menurun. Masing-masing orang nampak tak mau hentikan lari mereka. Dan tak seorang pun yang buka suara.
Setelah cukup lama berlari, lelaki yang berlari di sebelah kiri dan berpakaian serba hitam dengan rambut di kuncir ku-da, yang tak lain Sangga Rantek berkata, "Kupikir... kita sudah menjauh dari Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan! Kita berhenti dulu di depan"!" Perempuan berpakaian putih dengan Jubah dan kerudung warna merah menganggukkan kepalanya. Nampak untaian rambutnya yang berwarna keemasan. Lalu diikutinya saja keinginan Sangga Rantek dengan hati yang masih diliputi berbagai pertanyaan.
Dua kejap kemudian, masing-masing orang sama-sama telah berhenti berlari. Mereka memperhatikan sekeliling yang dipenuhi dengan pepohonan dan ranggasan semak belukar.
Sejarak dua puluh tombak, samar-samar terlihat sebuah per-simpangan. Dan tatkala pandangan diarahkan ke jalan semu-la, nampak jalan tumpang tindih.
Setelah perhatikan sekelilingnya, Sangga Rantek sejenak memantek pandangan pada si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas.
"Semakin lama aku semakin tak mengerti, mengapa aku masih terus bersama dengannya?" katanya dalam hati.
"Padahal aku tahu, kalau dia tengah merencanakan sesuatu terhadap diriku" Hhh! Biar bagaimanapun juga, tenaganya kuper-lukan untuk menghabisi Pendekar Slebor! Telah kurasakan bagaimana kesaktian anak muda dari Lembah Kutukan itu." Sementara itu Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu kalau sedang diperhatikan. Pandangannya tertuju ke depan. Dan diam-diam perempuan berkerudung merah ini berkata dalam hati, "Aku semakin yakin... kalau lelaki celaka ini memang sedang menuju ke Pulau Hitam. Sebelum berjumpa dengan Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan, aku sudah yakin akan hal itu. Dan keyakinan itu semakin menguat saja. Hhhh! Kalau begini adanya, tak perlu kurebut Pedang Buntung yang berada padanya. Lagi pula, aku mendapatkan keuntungan lain, bersekutu dengan lelaki celaka ini, Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan. Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan memiliki pula keinginan untuk membunuh Pendekar Slebor." Sampai saat ini, Sangga Rantek memang belum tahu kalau sesungguhnya Iblis Rambut Emas mengetahui dia memiliki Pedang Buntung, yang bila disatukan dengan potongan pedang lainnya, akan lengkaplah patokan-patokan menuju ke sebuah tempat yang bernama Pulau Hitam.
Sesungguhnya Sangga Rantek memang sedang menuju ke Pulau Hitam, dengan mengandalkan patokan-patokan tidak utuh yang berupa rangkaian titik gambar pada potongan pedang yang ada padanya.
Sementara potongan pedang yang satunya lagi, sekarang berada di tangan Dewa Lautan Timur yang telah mendapatkannya dari tangan Gadis Kayangan.
Di samping itu mereka baru saja mengadakan persekutuan dengan Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan yang berkeinginan untuk membunuh Pendekar Slebor (Baca: "Dewa Lautan Timur").
Saat ini Sangga Rantek sedang membatin, "Air terjun yang menjadi patokan menuju ke Pulau Hitam telah kutemukan. Tetapi dua bukit kapur belum kulihat sampai saat ini. Menilik keadaan, tak mungkin bila Pendekar Slebor telah menuju ke sana, karena tentunya dia akan kesulitan karena potongan pedang satunya berada di tangan ku.
Perempuan celaka ini tentunya masih menduga kalau kedua potongan pedang perak itu berada di tangan Pendekar Slebor. Bagus! Aku akan tetap mencari dua bukit kapur!" Memang, masing-masing orang yang berlaku sebagai sahabat ini, saling memendam rahasia dan kebencian. Namun keduanya tidak tahu kalau potongan pedang satunya lagi bukan dimiliki oleh Pendekar Slebor. Kalaupun mereka mendu-ga seperti itu, ini disebabkan karena Gadis Kayangan mengatakan soal itu (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Pedang Buntung").
Iblis Rambut Emas yang tak sabar ingin mengetahui apa yang akan dilakukan Sangga Rantek selanjutnya, sudah buka mulut, "Sangga Rantek....Kita telah sepakat untuk bergabung dengan Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan. Tetapi nampaknya, bukan hanya kau saja yang tidak percaya dengan kedua manusia itu. Aku pun tidak percaya pada mereka. Lantas, mengapa kau masih berdiam diri di sini" Apakah kau sengaja menunggu mereka, atau berkeinginan mereka mengetahui apa yang akan kita lakukan?" Mala Sangga Rantek menusuk tajam.
"Perempuan celaka ini memang pandai bicara. Dia bisa mengorek keterangan tanpa disadari oleh orang yang akan di-korek keterangannya. Kendati terpaksa aku bersedia untuk bergabung dan secara tak langsung mengajaknya melacak Pulau Hitam, tenaganya memang dapat dipergunakan." Berpikir demikian, Sangga Rantek berkata, "Tak sudi kulakukan tindakan bodoh menunggu kedua manusia celaka itu, karena..."Kalau begitu mengapa kau masih berdiam di sini?" putus Iblis Rambut Emas yang saat itu pula membuat Sangga Rantek menggeram gusar.
"Jahanam keparat! Tak sabar rasanya untuk merobekrobek mulutnya!" makinya dalam hati. Lalu sambil menahan jengkelnya dia berkata, "Tengah kupikirkan satu masalah yang nampaknya ada di hadapanku"Bila memang begitu adanya, katakan hingga aku tidak banyak tanya lagi!" sahut Iblis Rambut Emas sambil melipat kedua tangannya di atas dadanya yang membusung.
Wajahnya dibuat agak acuh tak acuh.
Kembali Sangga Rantek mendengus.
"Benar-benar terkutuk! Dia dapat memanfaatkan situasi untuk mengorek keterangan! Tetapi karena telah kuputuskan untuk mengajaknya melacak dan menuju Pulau Hitam, mau tak mau kukatakan juga apa yang ku pikirkan!" Memutuskan demikian, lelaki berhidung bengkok ini berkata dingin, "Aku tengah memikirkan jalan menuju Pulau Hitam!" Iblis Rambut Emas melirik seraya membatin, "Tepat dugaanku! Dia memang tengah menuju ke Pulau Hitam. Tentunya dia telah mempelajari Pedang Buntung yang dimilikinya. Hmmm... aku akan tetap berlagak tidak tahu." Kemudian dengan kening dibuat berkerut, dia berkata, "Sangga Rantek! Apakah kau sudah tidak lagi pergunakan otakmu"! Untuk menuju ke Pulau Hitam, kita harus memiliki dua buah potongan pedang, maka akan lengkaplah patokan-patokan menuju Pulau Hitam. Lalu sekarang, kau nekat menuju Pulau Hitam dengan segala bayangan-bayangan kosong?" Mendengar ucapan perempuan berkerudung merah, Sangga Rantek merasa sebagian kesalnya telah hilang.
"Dasar perempuan bodoh! Dia tetap tidak tahu kalau aku memiliki Pedang Buntung!" ejeknya dalam hati. Bila saja Sangga Rantek mengetahui kalau Iblis Rambut Emas berdus-ta, tentunya dia akan marah besar. Kemudian katanya, "Peduli setan apakah aku memiliki petunjuk atau tidak! Aku tetap akan melacak jalan menuju ke Pulau Hitam!" Iblis Rambut Emas memainkan peranannya, "Bila kau memang nekat juga, jalan mana yang akan kau tuju?"
"Itulah yang sedang kupikirkan"!"
"Kau sedang berpikir atau tengah menentukan patokan lain yang kau ketahui setelah menemukan air terjun?" ejek Iblis Rambut Emas dalam hati. Lalu dengan suara dibuat serius dia berkata, "Sangga Rantek! Kau memang lelaki penuh semangat! Bahkan kau berani mengambil keputusan untuk mencoba sesuatu yang masih gelap! Bila saja aku tidak terin-gat pada kekasihku yang dibunuh Pendekar Slebor, sudah tentu dengan mudah aku akan jatuh cinta padamu!" Sangga Rantek hanya mendengus. Dia sama sekali tak percaya dengan cerita Iblis Rambut Emas kalau Pendekar Slebor telah membunuh kekasihnya (Baca: "Pedang Buntung").
Tanpa sahuti ucapan Iblis Rambut Emas, Sangga Rantek arahkan pandangan ke depan.
"Dua bukit kapur.... Hmm... di mana harus kutemukan patokan kedua untuk menuju ke Pulau Hitam" Kalaupun aku telah menemukannya, aku tidak tahu lagi jalan mana yang harus kutuju" Jahanam sial! Seharusnya aku menyusul Pendekar Slebor setelah dia menyelamatkan Winarsih! Sial! Sungguh Sial!!" Iblis Rambut Emas yang melihat perubahan wajah Sangga Rantek tersenyum dalam hati.
"Kau tak pandai bersandiwara rupanya! Dari wajah mu jelas kau kebingungan sendiri! Huh! Benar-benar satu pemandangan yang sangat menyenangkan! Orang dungu berla- ku pintar!" Sebelum Iblis Rambut Emas buka mulut, Sangga Rantek sudah berkata, "Kita teruskan langkah sekarang!" Kejap itu pula, lelaki berpakaian serba hitam ini sudah berkelebat ke depan.
Iblis Rambut Emas sendiri tak mau banyak berpikir, kendati perasaannya, sangat senang menikmati kebodohan yang tanpa disadari diperlihatkan oleh Sangga Rantek.

***

Malam mulai menggelapi alam. Angin berhembus dingin. Bau tanah terasa menusuk hidung, tak sedap. Sangga Rantek terus berlari sambil memikirkan jalan yang harus dituju. Sementara Iblis-Rambut Emas masih tertawa dalam hati.
Setelah cukup jauh mereka berlari, di sebuah persimpangan ketiga jurang mereka lalui, Sangga Rantek memutuskan untuk berbelok ke kiri.
Dia terus mengira-ngira arah barat daya seperti yang tertera pada rangkaian titik-titik yang terdapat pada Pedang Buntung yang dimilikinya.
Sampai kemudian, kembali lelaki bermata bergelambir ini hentikan larinya. Pandangannya tak berkedip ke depan. Iblis Rambut Emas tak perlu bertanya mengapa Sangga Rantek menghentikan larinya. Sejarak lima belas tombak, nampak dua buah bukit berdiri kokoh diselimuti malam.
"Untuk kedua kalinya kulihat wajah lelaki keparat ini seperti menemukan harta karun! Pertama saat melihat air terjun, kemudian dua bukit itu! Hmm... aku tahu! Sudah tentu dua bukit itulah yang dijadikan sebagai patokan kedua menuju ke Pulau Hitam! Sebaiknya, aku tetap berlagak tidak tahu!" kata Iblis Rambut Emas dalam hati.
Lalu dengan suara dibuat agak jengkel, perempuan be rambut emas yang ditutupi kerudung warna merah ini membentak, "Sangga Rantek! Apa yang sebenarnya kau inginkan, hah"! Tadi kau berhenti, lalu mengatakan akan melacak jejak ke Pulau Hitam! Dan sekarang, kau berhenti lagi! Apakah dua bukit kembar itu dulu pernah kau diami hingga kau menjadi terkenang sekarang" Dasar kapiran!" Untuk pertama kalinya Sangga Rantek tidak gusar mendengar ucapan orang yang bernada mengejek. Dia justru menyeringai sendiri.
Tanpa tolehkan kepala pada Iblis Rambut Emas, dia berkata, "Kupikir... bukit itu dapat kita jadikan sebagai tempat peristirahatan! Siapa tahu besok kita harus mcugerahkan tenaga lebih banyak!" Tertawa Iblis Rambut Emas dalam hati.
"Semakin kuat keyakinanku kalau dua bukit itu merupakan patokan menuju ke Pulau Hitam." Lalu katanya, "Keputusanmu itu sungguh tepat! Aku ju-ga membutuhkan istirahat!!" Sangga Rantek hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kejap kemudian dia sudah berkelebat menuju dua bukit kapur. Iblis Rambut Emas kembali hanya mengikuti.
Sesampai di sana, Sangga Rantek kembali menghentikan larinya. Dipandanginya kedua bukit kapur itu dengan mata berbinar-binar.
"Tak salah! Tak sia-sia kulalui semua ini! Kedua bukit ini tentunya patokan kedua menuju ke Pulau Hitam! Sayang.
aku tidak tahu lagi harus ke mana! Biarpun demikian, akan kuselidiki dulu tempat ini! Barangkali saja akan membawaku pada jalan yang tepat menuju ke Pulau Hitam! Jahanam sial! Bila saja saat ini kumiliki potongan pedang lainnya, tentunya tak akan sebingung ini!" katanya dalam hati.
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas yang juga memperhatikan kedua bukit kapur itu membatin, "Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya." Untuk beberapa lama tak ada yang keluarkan suara. Hanya suara burung-burung malam yang berseliweran dan berkaokan. Malam semakin merambat naik.
Kegelapan kian menyelimuti, apalagi saat ini rembulan tak kuasa menembus rangkaian awan hitam yang bergandengan tangan. Sangga Rantek membatin, "Malam terus merambat. Aku tak boleh buang waktu untuk menyelidiki tempat ini." Memutuskan demikian, Sangga Rantek segera berkata pada Iblis Rambut Emas, "Kau tentunya lapar, bukan" Kali ini aku ingin bersikap baik padamu! Kau tunggu di sini! Aku akan mencari kelinci gemuk untuk mengisi perut!" Iblis Rambut Emas pentangkan senyuman aneh.
"Manusia bodoh! Dengan sikap yang kau perlihatkan, kau bukannya menutupi segala kebohongan yang kau lakukan! Malah kau justru menampakkannya!! Akan kuikuti ke mana kau pergi!" Lalu Iblis Rambut Emas menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku memang lapar! Sementara kau mencari kelinci gemuk, aku akan membuat api!" Sudah tentu Sangga Rantek tak mau membuang waktu.
Dia pun segera berlari untuk menyelidiki sekeliling bukit-bukit kapur itu. Namun baru lima langkah dia lalui, mendadak saja terdengar suara orang seperti muntah.
"Huaaakkk!!" Suara itu cukup keras terdengar, karena sekeliling tempat itu sunyi. Bukan hanya Sangga Rantek yang hentikan larinya dan putar tubuh.
Iblis Rambut Emas yang bermaksud mengikutinya pun lakukan hal yang sama.

***

«¤₪¤| [ 3 ] |¤₪¤»

Kedua manusia sesat itu tak ada yang buka suara. Pandangan masing-masing orang membuka lebih lebar. Mereka juga membuka indera pendengaran lebih tajam.
Sampai kemudian terdengar geraman Sangga Rantek, "Jahanam keparat! Rupanya kita tidak hanya berdua di tempat ini! Berpencar! Dan bunuh siapa pun orang itu!!" Habis kata-katanya, Sangga Rantek yang geram karena merasa ada orang yang mendahuluinya tiba di situ, sudah berkelebat ke depan. Iblis Rambut Emas mempertimbangkan dulu apa yang dilakukannya sebelum dia lakukan tindakan yang sama.
Sangga Rantek yang melesat ke bagian kiri dari dua bukit kapur itu, semakin dibuai kemarahan. Dia benar-benar tak menyangka ada orang lain yang tiba di situ. Dan ini sungguh tak dapat diterimanya.
"Setan jahanam! Siapa orang yang seperti muntah darah itu, hah" Dalam keadaan terluka, atau dia memang sengaja agar kehadirannya diketahui" Setan alas!! Jangan-jangan...
orang itu adalah Pendekar Slebor" Tetapi tak mungkin! Dengan hanya memiliki satu potongan pedang yang ada padanya, sudah tentu dia akan tersesat sampai ke tempat ini! Namun bisa pula justru karena tak sengaja dia tiba di sini! Jahanam keparat! Kubunuh saat ini juga bila dia tak mau menyerahkan potongan pedang yang satunya lagi"!" Di lain pihak, Iblis Rambut Emas ternyata juga memikirkan hal yang sama.
"Aku, tahu kalau Sangga Rantek memiliki Pedang Buntung, begitu pula dengan Pendekar Slebor yang memiliki potongan pedang. Bisa jadi orang yang nampaknya sedang menderita kesakitan itu, adalah Pendekar Slebor. Tetapi tak dapat dipungkiri bila ada orang lain yang secara tak sengaja tiba di tempat ini"!" Orang yang tadi keluarkan suara laksana orang muntah, memang Pendekar Slebor adanya. Cukup lama anak muda dari Lembah Kutukan ini bersemadi guna memulihkan keadaan dirinya setelah dihajar Dewa Lautan Timur.
Dan di akhir semadinya, dia muntah darah. Darah yang keluar sangat hitam, pertanda dia terluka dalam. Namun setelah dialirkan tenaga 'Inti Petir', rasa sakit yang dideritanya sedikit banyaknya terobati.
Dihelanya napas perlahan-lahan. Lalu bangkit untuk duduk berlutut. Meskipun dadanya sudah tak terlalu nyeri, tetapi kedua tangannya masih terasa ngilu. Perlahan pula dililitkan kembali kain bercorak catur yang telah melindungi dirinya dari kematian, ke lehernya.
"Monyet buduk! Tak kusangka kalau aku akan berjumpa dengan Dewa Lautan Timur! Kesaktian kakek sesat itu sangat tinggi! Huh! Menurutnya dia telah berhasil membunuh Gadis Kayangan.... Aku tak tahu harus berpikir apa tentang hal itu.
Bisa jadi Gadis Kayangan memang telah. tewas di tangannya.
tetapi bisa jadi pula Dewa Lautan Timur hanya mencoba mengacaukan perasaanku saja. Sungguh masalah yang cukup pelik." Lamat-lamat dialirkan kembali tenaga 'Inti Petir' ke seluruh tubuhnya. Dan hawa panas pun melingkupinya. Sedikit demi sedikit dia dapat bernapas agak longgar.
Untuk beberapa lama, baru dihentikan aliran tenaga 'Inti Petir'.
Anak muda ini tarik napas dalam-dalam. Lalu dihembuskan kembali seraya mendesis, "Yang masih membingungkanku sampai saat ini tentang dua orang Panembahan Agung.
Yang mana yang asli dan yang mana yang palsu" Menurut dugaanku, Dewa Lautan Timur-lah orang yang menyamar sebagai Panembahan Agung. Kendati dia membantah, tetapi aku tetap berkesimpulan kalau manusia itulah yang lakukan tindakan semacam itu.
Terbukti karena dia sesungguhnya tidak tahu di mana Pulau Hitam berada. Karena dapat kupastikan, dia akan berusaha untuk tiba di Pulau Hitam seperti yang kukatakan." (Untuk mengetahui masalah itu, silakan baca: "Dewa Lautan Timur").
Kembali pemuda yang memiliki alis hitam legam dan menukik laksana kepakan sayap elang ini menghela napas, membuang sedikit beban yang menggayuti perasaannya.
Otaknya diperas untuk memikirkan masalah-masalah yang dihadapinya.
"Urusan ini bermula dari dua potongan pedang. Di mulai dengan pembunuhan yang dilakukan Sangga Rantek terhadap Pemimpin Agung dan semuanya berkembang menjadi urusan yang panjang. Kadal buntung! Perjalanan harus kuteruskan! Aku harus tetap bisa mencapai Pulau Hitam! Di samping aku penasaran ingin mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam... aku tetap berkeyakinan kalau dua orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung akan tiba di sana...." Setelah beberapa lamanya terdiam, perlahan-lahan Pendekar Slebor berdiri. Kedua kakinya masih sedikit goyah.
Kali ini dia memaki-maki tak karuan, "Monyet buduk! Hajaran Dewa Lautan Timur bikin aku mati kutu! Huh! Kalau berjumpa lagi dengannya, akan kujitak kepalanya itu! Siapa tahu di balik sorban kuning yang dikenakannya, kepalanya pi-takan!" Diedarkan pandangan ke sekelilingnya yang diliputi malam. Kendati yang nampak hanya kegelapan semata, namun matanya yang terlatih dalam gelap, dapat melihat keadaan di sekitarnya. Bau kapur yang berasal dari dua bukit kapur itu, sungguh tak sedap. Terasa sedikit mengganggu pernapasan.
"Aku harus terus mencari Pulau Hitam...," desisnya ber-semangat.
"Dan aku ingin tahu kebenaran tentang nasib Gadis Kayangan." Lalu perlahan-lahan anak muda ini mulai melangkah ke depan, ke arah perginya Dewa Lautan Timur. Baru dua belas langkah dia bergeser dari tempatnya, mendadak saja satu sosok tubuh berpakaian putih dengan jubah dan kerudung merah telah berdiri di hadapannya! Melengak anak muda ini melihat kehadiran orang yang tak disangka-sangka. Tetapi kejap kemudian, dia sudah senyum-senyum sendiri.
"Eh! Kita berjumpa lagi, nih! Apa kabar" Bagaimana kabar ibu" Bapak" Semua baik" Kalau baik, syukur deh! Ayo, minggir! Tuanmu mau lewat nih!!" Mendengar ucapan konyol dan dilakukan secara beruntun, sosok berkerudung merah yang tak lain Iblis Rambut Emas menggeram.
Pandangannya agak menyipit dan menyiratkan kilatan berbahaya.
"Pendekar Slebor! Rupanya, manusia yang muntah darah itu kau adanya!" desis si perempuan yang seketika otaknya bekerja. Diam-diam dia membatin dalam hati, "Bila aku dapat membunuh pemuda celaka ini, maka urusanku akan selesai! Berarti, potongan pedang itu akan jatuh ke tanganku dan tinggal membunuh Sangga Rantek! Tetapi... tak semudah itu nampaknya kulakukan! Karena tentunya Sangga Rantek akan mendengar suara bila aku menggempurnya!" Pendekar Slebor yang tak menyangka akan bertemu dengan Iblis Rambut Emas, cuma garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sambil pandangi perempuan di hadapannya, dia membatin, "Kehadiran perempuan sesat ini sungguh mengejutkan. Dan melihat kilatan matanya tadi, aku yakin dia tidak sendiri. Sebaiknya, kupancing dulu siapa orang yang datang bersamanya." Berpikir demikian, Pendekar Slebor berkata, "Sudah tentu sesuatu yang bagus kalau kita dapat berjumpa lagi! Ngomong-ngomong... kau mendengar aku muntah darah, ya" Iya nih! Aku lagi sakit! Tolong dong carikan obat"! Kau cantik deh bila mau melakukannya"!"
"Serahkan potongan pedang itu padaku!!" hardik Iblis Rambut Emas dengan wajah membesi.
"Lho, masih urusan itu" Kupikir kau menghendaki nyawa ku" O iya, di mana kawanmu itu, hah"!" Ucapan yang dilakukan Pendekar Slebor hanya merupakan wujud dari nalurinya saja. Tetapi Iblis Rambut Emas nampak terkejut mendengarnya.
"Setan keparat! Rupanya dia tahu kalau aku datang bersama Sangga Rantek! Janganjangan dia telah mengintip tadi! Huh! Terpaksa harus kupanggil Sangga Rantek sekarang!! Dan jalan yang terbaik, menyerang pemuda keparat ini hingga Sangga Rantek mendengarnya dan hadir disini!" Memutuskan demikian, mendadak saja perempuan berkerudung merah ini menggerakkan tangan kanannya ke depan. Wusssss!! Serangkum kabut putih berhawa dingin mencelat ke arah Andika diiringi suara menggidikkan.
Andika yang sebelumnya pernah bertarung dengan perempuan berkerudung merah ini, tak mau bertindak ayal.
Kendati kedua tangannya masih terasa ngilu, namun segera diangkat tangan kanannya yang telah dialirkan tenaga 'Inti Petir', menyusul disabetkan ke depan.
Blaaammm! Blaammm!! Kabut putih berhawa dingin itu langsung buyar ke udara.
Namun karena keadaan Andika belum pulih benar, justru sosoknya yang terhuyung tiga langkah ke belakang.
Melihat hal itu, Iblis Rambut Emas yang tadi hanya merasakan tangannya agak bergetar dan sadar kalau Pendekar Slebor memang dalam keadaan terluka, sudah lakukan serangan susulan.
Wuuuss! Wusss!! Dua bongkah kabut putih yang diiringi hawa dingin menggigit, menghampar dengan kekuatan maha besar. Andika memekik tertahan begitu merasakan hawa dingin yang membuat urat-uratnya menjadi kaku.
Cepat dia kembali memapaki serangan itu.
Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi terjadi. Ledakan dahsyat terdengar disusul dengan goncangan pada tempat itu.
Dua bongkah kabut putih yang dilepaskan Iblis Rambut Emas terlontar dan membuyar di udara. Tanah di mana tadi bertemunya benturan itu muncrat setinggi dua tombak yang seketika menghalangi pandangan.
Tatkala semuanya sirap, nampak sosok Pendekar Slebor terhuyung-huyung dan kelihatan kalau dia berusaha untuk kuasai keseimbangannya.
Di seberang, Iblis Rambut Emas hanya surut tiga tindak ke belakang. Keadaan perempuan berambut emas ini nampak tak kurang suatu apa kecuali merasakan kedua tangannya agak bergetar. Bila saja Pendekar Slebor tidak terluka dalam, sudah tentu sosok Iblis Rambut Emas akan terpental ke belakang.
"Celaka! Dalam keadaan seperti ini, jelas aku tak akan mampu tandingi perempuan celaka itu! Aku yakin, serangan yang dilakukannya selain memang ingin membunuhku, juga sebagai isyarat untuk memanggil temannya yang entah siapa.
Kadal buntung! Sambal bau! Aku harus menjauh dari sini!!" Namun sudah tentu Iblis Rambut Emas tak akan melepaskan buruannya. Seraya maju dua tindak ke muka, perempuan ini berkata mengejek, "Sayang beribu sayang... kalau pendekar yang banyak dipuja orang ternyata tak memiliki kemampuan apa-apa! Tetapi aku masih mengampuni nyawamu, bila kau menyerahkan potongan pedang perak kepadaku!!"
"Menyerahkan potongan pedang itu sih gampang! Tetapi yang sulit, aku mau atau tidak menyerahkannya"!" seru Andika yang berusaha untuk alirkan tenaga dalamnya guna me- mulihkan keadaannya seperti semula.
"Jahanam! Kubunuh kau!!" Habis bentakannya, Iblis Rambut Emas segera angkat kedua tangannya ke atas.
Sementara Andika memaki-maki dalam hati, "Buaya mati! Ketimbang aku yang celaka, terpaksa kupergunakan kain bercorak catur untuk menahan serangannya!!" Namun belum lagi serangan itu dilakukan Iblis Rambut Emas, mendadak terdengar suara keras yang memecah malam, "Tunggu!! Aku juga ingin membunuhnya!" Menyusul satu sosok tubuh berpakaian serba hitam telah berdiri di samping kiri Iblis Rambut Emas.
"Sangga Rantek...," desis Andika dan tanpa sadar surut satu tindak ke belakang.

***

Orang yang muncul itu memang Sangga Rantek. Dia mendengar suara letupan demi letupan yang terjadi hingga memutuskan untuk mencarinya. Tak disangkanya kalau Pendekar Slebor yang nampak di depan mata. Dan menilik gela-gatnya, Sangga Rantek yakin, kalau Iblis Rambut Emas telah menghajar pemuda itu.
"Kematianmu sudah bertambah dekat, Pendekar Slebor! Sebuah kematian yang akan kau nikmati dengan segala penderitaan yang sangat pedih! Serahkan potongan pedang itu kepadaku, maka kau akan dapat melihat matahari besok!!" Kendati sadar dalam keadaan diri belum pulih benar akibat gempuran Dewa Lautan Timur, anak muda ini tetap bersi-fat urakan. Sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal padahal menahan nyeri, dia berseru, "O...
jadi kalian sudah bergabung untuk membunuhku, ya" Ayo katakan, siapa lagi orang yang telah bergabung dengan kalian"!" Sangga Rantek terbahak-bahak.
"Karena kau akan mampus malam ini juga, akan kukatakan apa yang kau tanyakan! Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong pun akan siap mencabik-cabik tubuhmu!!"
"Ki Pasu Suruan... salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan. Tetapi siapa orang yang bernama Nyi Genggong?" desis Andika dalam hati. Lalu dia tertawa sendirian dan berkata, "Busyet! Apa tidak salah kau sebutkan nama orang tadi" Nyi Gonggong" Wah! Sebangsa manusia serigala kali, ya"!"
"Puaskanlah semua ejekanmu itu, Pendekar Slebor! Karena kau tak akan dapat lagi lakukan sikap urakan mu!" hardik Sangga Rantek.
"Ah, masa?" Iblis Rambut Emas yang sudah tidak sabar untuk membunuh Pendekar Slebor, dengan harapan dia dapat lakukan niatnya untuk membunuh Sangga Rantek pula, berkata, "Untuk apa banyak bicara lagi! Kita bunuh pemuda celaka itu!!" Habis kata-katanya, perempuan berkerudung merah ini sudah mendorong kedua tangannya. Dua bongkah kabut pulih yang keluarkan hawa dingin menderu mengerikan.
Melihat lawan telah lancarkan serangannya, Andika yang memutuskan untuk pergunakan kain bercorak catur, sengaja mundur. Disusul dengan gerakkan tangan kanannya yang telah memegang kain pusaka bercorak catur.
Wrrrrr!! Angin raksasa dikawal suara dengungan laksana ribuan tawon murka menggebah. Dua bongkah kabut pulih milik Iblis Rambut Emas kontan putus di tengah jalan. Sementara gelombang angin itu terus menderu ke arah si perempuan yang memekik dan membuang tubuh.
Bersamaan Andika mengibaskan kain bercorak catur, Sangga Rantek sudah lakukan serangan pula. Serangan itu memang dapat dipatahkan oleh Andika.
Iblis Rambut Emas yang telah berdiri tegak, kembali lepaskan serangan pula. Begitu pula dengan Sangga Rantek yang untuk pertama kalinya, loloskan gelang-gelang duri yang melingkar pada kedua pergelangan tangannya.
Empat buah gelang duri melesat dengan suara membeset. Dua mengarah pada kaki dan dua lagi mengarah pada bagian kepala. Belum lagi dilepaskan pukulan jarak jauhnya sementara Iblis Rambut Emas juga lepaskan kabut-kabut putihnya.
Makin kacau gerakan yang dilakukan Pendekar Slebor.
Kendati dia berhasil menghalau setiap serangan dengan pergunakan kain bercorak catur, namun karena keadaannya masih dalam keadaan terluka dalam, sudah tentu lambat laun tenaganya terkuras dengan sendirinya.
Bahkan saat dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa' serangannya seolah tak mengandung tenaga yang diharapkan.
Hingga kemudian dengan satu tendangan yang dilakukan Iblis Rambut Emas, tangan kanan Andika terhajar telak. Kain bercorak caturnya terlepas.
Sementara Sangga Rantek sudah mendorong kedua tangannya didahului dengan lesatan tiga buah gelang-gelang du-rinya.
Apa yang dialami Andika sungguh sesuatu yang mengerikan. Nyawanya bisa putus hari itu juga. Dasar keras kepala, dia masih berusaha untuk melawan kendati tak kuasa dilakukannya lebih lama. Hingga satu jotosan Sangga Rantek bersa-rang di dadanya. Disusul gempuran yang dilakukan Iblis Rambut Emas dari atas.
Namun sebelum jotosan Iblis Rambut Emas memecahkan kepala si anak muda, dan tendangan memutar yang dilakukan Sangga Rantek menghajar dadanya, mendadak saja terdengar suara yang sangat keras seperti membelah udara....
Cltaaarrr!! Seketika masing-masing orang mengurungkan serangannya dan mundur tiga langkah ke belakang.
Tiba-tiba saja terdengar suara yang nyaring, "Aku juga menginginkan nyawanya! Siapa pun orangnya yang menda-huluiku, maka dia akan mampus!!"

***

«¤₪¤| [ 4 ] |¤₪¤»

Kita tinggalkan dulu maut yang nampaknya akan di terima Pendekar Slebor. Kita ikuti perjalanan Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong.
Setelah bersepakat bergabung dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, kedua manusia sesat itu pun meneruskan perjalanannya, meninggalkan Gadis Kayangan yang kemudian dibawa lari oleh seorang kakek yang berwajah arif.
Ki Pasu Suruan yang mendendam pada Pendekar Slebor karena pemuda itu telah membunuh adik seperguruannya, Ki Pancen Dadap, memang sama sekali tak menyangka akan bertemu dengan Nyi Genggong yang sedang membopong Gadis Kayangan. Sebelumnya, Gadis Kayangan dihajar oleh Dewa Lautan Timur.
Tatkala Dewa Lautan Timur hendak mempermalukan gadis itu, muncul Nyi Genggong yang menyambar tubuh Gadis Kayangan.
Saat ini, masing-masing orang sedang hentikan langkahnya di sebuah jalan setapak yang dipenuhi ranggasan semak belukar. Nyi Genggong langsung keluarkan suara pada lelaki setengah baya berpakaian kuning-kuning, "Pasu Suruan! Aku benar-benar tidak mengerti mengapa kau mengajak bersekutu dengan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek! Padahal, aku sudah tak sabar untuk membunuh perempuan berkerudung merah yang menyerangku itu!" Ki Pasu Suruan hanya menatap si nenek berpakaian hitam compang-camping itu. Sebelumnya di saat keduanya memutuskan meninggalkan tempat, satu serangan yang dilakukan oleh Sangga Rantek menghalangi maksud mereka. Dan serangan itu terarah pada Nyi Genggong. Tetapi Iblis Rambut Emas yang merasa harus menunjukkan kesetiakawanannya pada Sangga Rantek, mengatakan dialah yang telah lakukan serangan pada Nyi Genggong.
"Dengan cara begitu, kita dapat membunuh Pendekar Slebor dengan mudah!" sahut Ki Pasu Suruan.
Si nenek menggeram gusar.
"Sejak semula kukatakan, aku tidak punya urusan dengan Pendekar Slebor! Yang kuin-ginkan adalah menuju ke Pulau Hitam! Hanya karena kau mengatakan kalau dua potongan pedang perak itu berada di tangan Pendekar Slebor saja, aku menuruti kata-katamu! Paling tidak, kau membuatku tidak banyak membuang waktu la-gi!"
"Tetapi itu pun satu masukan yang sangat berguna, bukan" Kau menyangka dua potongan pedang itu berada di tangan Gadis Kayangan, padahal tidak sama sekali!"
"Dan seharusnya gadis itu kubunuh!"
"Tanpa kau bunuh pun dia tentunya akan mati! Bukankah kau telah menotoknya?" Nyi Genggong mendengus. Wajahnya masih menyiratkan kemarahan. Dia tetap jengkel pada Iblis Rambut Emas yang mengaku telah menyerangnya. Lelaki berkalung tengkorak ini sendiri lama kelamaan menjadi geram melihat sikap Nyi Genggong. Dengan pandangan dan suara menusuk dia berkata, "Selain Pendekar Slebor... urusan Dewa Lautan Timur pun harus kita pikirkan!"
"Aku tak punya urusan dengannya!!"
"Kau telah menggagalkan niatnya untuk membunuh gadis itu! Apakah kau pikir dia tidak mengetahui siapa adanya kau"!"
"Tak mungkin dia mengenaliku!"
"Lantas bagaimana dengan yang kukatakan, kalau kemungkinan besar Dewa Lautan Timur mengenalimu, hah"! Apakah kau akan berdiam diri saja"!" Mulut si nenek berbibir keriput ini, mencang-mencong tanpa keluarkan suara. Sedikit banyaknya dibenarkan juga ka-la-kata lelaki berpakaian kuning-kuning di hadapannya.
Kemudian katanya jengkel, "Ke mana lagi kita harus pergi" Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas jelas-jelas tak menunggu atau menyenangi kehadiran kita"! Jelas dari sikap Sangga Rantek yang melarang kita untuk berangkat bersama-sama?" Lalu lanjutnya dalam hati, "Setan keparat! Mengapa aku harus bertemu manusia satu ini" Padahal aku bisa bertindak seorang diri! Rasa penasaranku untuk mengetahui ada rahasia apa di Pulau Hitam, harus terjawab!" Ki Pasu Suruan tidak segera menjawab pertanyaan si nenek. Sambil lipat kedua tangannya di depan dada, pandangannya tertuju ke depan.
"Kedua manusia itu menuju ke barat daya. Tetapi hingga saat ini belum juga terlihat di mana sesungguhnya mereka berada. Apakah yang mereka lakukan, hanya untuk mengelabui saja padahal keduanya tak pergi ke arah barat daya?" Untuk beberapa lamanya Ki Pasu Suruan terdiam sebelum terdengar bentakan Nyi Genggong, "Setan laknat! Apakah kau sudah menjadi tuli, hah"!" Tanpa palingkan kepala, Ki Pasu Suruan menjawab, "Ki-ta tetap menuju ke barat daya! Peduli setan apakah dapat bertemu kembali dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas! Nyi Genggong... sasaranku adalah Pendekar Slebor!"
"Dan hingga saat ini kau belum juga menemukan pemu-da yang telah membunuh Pancen Dadap! Dasar kau yang bodoh! Tak berguna sama sekali apa yang kau miliki! Kau bukan hanya dapat dikalahkan oleh pemuda celaka itu, tetapi harus juga ditebus dengan nyawa Pancen Dadap! Apakah itu bukan tindakan bodoh"!" Ejekan Nyi Genggong membuat sepasang telinga Ki Pasu Suruan memerah. Seketika dia palingkan kepala. Matanya menusuk dan berkilatkilat penuh kebencian. Namun tatkala diingatnya kalau dia dapat pergunakan kesaktian Nyi Genggong, ditindih segala jengkelnya.
Kemudian katanya, "Kuakui aku memang tak sanggup mengalahkan pemuda itu! Tetapi dengan bantuan mu, bukankah semuanya akan berlangsung seperti yang kuharapkan?" Berkembang hidung Nyi Genggong mendengar pujian orang. Bibirnya mengembung senyuman senang. Sementara Ki Pasu Suruan memaki-maki dalam hati, "Ku bunuh kau bila urusanku dengan Pendekar Slebor telah selesai!" Karena merasa Ki Pasu Suruan takluk padanya, Nyi Genggong berkata pongah, "Bagus kau sadar akan kemampu-anku! Kini, akan kuceritakan satu masalah lain yang belum kau ketahui!!"
"Katakan!!"
"Aku tahu... bukan hanya gurumu saja yang dulu menghendaki dua potongan pedang perak yang berada di tangan Panembahan Agung dan Pemimpin Agung! Guruku pun menghendakinya! Dan perlu kau ketahui, sebelumnya dia telah berhasil mendapatkan dua potongan pedang perak itu tatkala berada di tangan Pemimpin Agung! Tetapi sayangnya, Pemimpin Agung kembali berhasil mendapatkannya, sekaligus membunuh guruku!"
"Lantas... apa yang hendak kau ceritakan?"
"Jangan memotong setiap ucapanku!! Guruku berhasil mendapatkannya, tatkala Pemimpin Agung sedang bersemadi! Tetapi sayangnya, jejaknya ketahuan hingga dia akhirnya mampus! Yang perlu kau ketahui... guruku telah menghafal seluruh titiktitik yang merupakan rangkaian gambar beberapa patokan yang ada pada kedua potongan pedang itu!"
"Percuma karena dia telah mampus!!" Plaaakk!! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Ki Pasu Suruan merasakan pipinya kena tamparan. Murka sudah lelaki ini. Namun begitu didengarnya kata-kata Nyi Genggong selanjutnya, dia berusaha tindih kemurkaannya.
"Sebelum mampus dibunuh Pemimpin Agung, guruku menceritakan tentang patokan-patokan pada kedua potongan pedang itu padaku!" Bagai menemukan durian runtuh sepasang mata Ki Pasu Suruan langsung membuka lebar.
"Apakah kau sekarang masih mengingatnya?" tanyanya tergesa-gesa.
Nyi Genggong mendengus lebih dulu sebelum menjawab, "Sudah tentu aku mengingatnya! Bahkan telah kutemukan patokan menuju ke Pulau Hitam!"
"Apa... apa itu?" suara lelaki berkalung tengkorak ini begitu bernafsu.
Kembali Nyi Genggong mendengus. Kemudian katanya, "Telah kutemukan sebuah lembah yang sangat curam berikut dua buah pohon besar yang menjadi patokan. Menurut cerita mendiang guruku sebelum mampus, kita harus bergerak ke arah kiri dan terus melangkah hingga akhirnya tiba di Pulau Hitam." Binaran mata Ki Pasu Suruan semakin bertambah. Bibirnya tersenyum lebar penuh kepuasan. Namun mendadak saja keningnya dikerutkan. Pandangannya tak berkedip pada Nyi Genggong.
Yang dipandang menggeram, "Mengapa kau menatapku seperti itu, hah"!"
"Bila memang demikian adanya, mengapa kau masih mencoba memburu dua potongan pedang itu, hah"!"
"Karena setelah kutemukan semua itu, aku masih tidak percaya!"
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu, guruku bukanlah orang baik-baik! Dia manusia sesat yang tak pernah sungkan untuk berbuat apa saja pa-da siapa pun, termasuk aku, muridnya sendiri! Berulang kali aku dipermainkannya! Tetapi karena dia guruku, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali menindih segala kebencian! Dan kupikir, apa yang dikatakannya itu adalah ulahnya untuk mem-permainkanku lagi! Sehingga dikarenakan rasa penasaran yang memenuhi dadaku melihat kematian guruku, kuputuskan untuk melacak jejak Pulau Hitam, Walaupun demikian, kendati aku telah menemukan petunjuk terakhir dari Pulau Hitam, keraguanku kembali datang, hingga kupikir aku kembali dipermainkannya! Itulah sebabnya, kuputuskan untuk mendapatkan dua potongan pedang itu untuk membuatku lebih yakin!"
"Taruhlah apa yang dikatakannya benar! Lantas... mengapa dia tak melacak jejak itu seorang diri?" tanya Ki Pasu Suruan masih tak percaya.
"Aku sendiri pernah memikirkan soal itu. Setelah dia menceritakan tentang titiktitik yang tergambar pada dua potongan pedang itu, aku diperintahkannya untuk pergi. Dan ketika besoknya aku kembali, dia telah mampus sementara dua potongan pedang telah lenyap. Nah! Siapa lagi yang telah melakukannya kalau bukan Pemimpin Agung" Dari tenggang waktu yang sedemikian singkat, sudah jelas kalau dia tak memiliki kesempatan untuk melacak jejak Pulau Hitam!" Kali ini Ki Pasu Suruan terdiam cukup lama. Keningnya berulangkali berkerut tanda dia berpikir keras. Setelah itu, terlihat kepalanya mengangguk-angguk.
Lalu katanya, "Bila memang demikian, tak perlu kita ikuti ke mana perginya Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas! Lebih baik kita jajaki apa yang kau katakan tadi! Dan sangat menyenangkan karena kau telah menemukan petunjuk terakhir menuju ke Pulau Hitam!" Mendengar ajakan itu, Nyi Genggong tak langsung mengiyakan. Dia berkata sinis penuh mengejek, "Dengan berkata begitu, apakah kau melupakan urusan Pendekar Slebor" Atau... sesungguhnya kau memang ingin mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam dan berlagak tidak tertarik lagi karena kau ingin membalas kematian Pancen Dadap di tangan Pendekar Slebor?" Memerah wajah si lelaki berkalung tengkorak mendengar ejekan si nenek, hingga untuk beberapa saat dia tak keluarkan suara. Setelah menemukan jawaban yang menurutnya tepat, dia baru buka mulut, "Dua potongan pedang itu berada di tangan Pendekar Slebor! Tak mustahil pemuda setan itu telah tiba di sana! Bukankah ini sebuah keputusan yang sangat bagus" Dengan kata lain, kita tahu di mana Pendekar Slebor saat ini!" Nyi Genggong cuma menyeringai. Sambil arahkan pandangannya ke depan, dia berkata, "Karena aku telah bersepakat denganmu, tak ada salahnya kita menuju ke lembah curam yang menurut guruku adalah tanda menuju ke Pulau Hitam! Kalau begitu, kita langsung menuju ke selatan!" Habis kata-katanya, si nenek membelokkan arah larinya lebih ke kanan. Kejap kemudian dia sudah bergerak sedemikian cepatnya menembus kegelapan malam.
Ki Pasu Suruan yang sama sekali tak menyangka akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar, segera saja menghempos tubuhnya. Dia tak mau ketinggalan dan dia pun bersiaga penuh bila ternyata si nenek menjebaknya.

***

«¤₪¤| [ 5 ] |¤₪¤»

Masing-masing orang yang berada di bukit kapur itu terdiam dengan pandangan membuka lebih lebar. Terutama Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Sebelum mereka mengetahui siapa orang yang tadi menggagalkan keinginan untuk membunuh Pendekar Slebor, hati mereka sudah diliputi oleh kemarahan yang tinggi. Dapat dibayangkan bila mereka sudah melihat orang yang tadi halangi niat.
Lain halnya dengan Pendekar Slebor yang berusaha agar tidak terjatuh. Suara orang yang tadi barusan membentak itu, begitu akrab di telinganya. Hingga untuk sesaat hatinya menjadi makin tak menentu. Dan semakin kacau tatkala ingatannya tiba pada seseorang. Seraya menghela napas pendek, dia mendesis, "Setan Cambuk Api... Kutu monyet! Mungkin saat ini aku ditakdirkan untuk mampus!!" Selang dua kejapan mata, dari sebelah kanan melangkah satu sosok tubuh sambil geleng-geleng kepalanya. Dengan se-ringaian lebar yang bertengger di bibir keriputnya, orang ini berhenti sejarak dua tombak dari hadapan masing-masing orang. Sosok seorang perempuan tua yang mengenakan pakaian batik kusam ini, memiliki paras bulat telur dan dihiasi rangkaian kulit keriput. Rambutnya panjang tak beraturan.
Saat menyeringai, wajahnya tak lebih dari kuntilanak belaka.
Perempuan tua yang di tangan kanannya tergenggam cambuk berlidah tiga ini mendadak terkikik keras begitu melihat Pendekar Slebor, "Hik hik hik... ke mana pun kau lari, nampaknya kau tak akan luput dari kematian, Pendekar Slebor! Kalaupun kau lolos dari tangan ku, nampaknya kau tak akan bisa lolos dan tangan kedua manusia-manusia keparat itu!! Tetapi kematianmu sudah berada di tanganku! Tak seorang pun yang akan kubiarkan hidup bila halangi keinginanku?" Lalu tanpa hiraukan pandangan tajam dari Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, si nenek yang memang Setan Cambuk Api adanya, melangkah mendekati Pendekar Slebor.
Cambuknya yang berlidah tiga digerak-gerakkan hingga terdengar suara angin tajam berdesir-desir.
Sudah tentu sikapnya membuat Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek tersinggung, karena sejak kedatangannya perempuan berpakaian batik kusam tak sekali pun melirik mereka. Iblis Rambut Emas rupanya sudah tidak kuasa menahan diri lebih lama lagi. Segera saja dia melompat ke depan seraya membentak, "Datang dengan penuh kesetanan sudah tentu dapat kami terima! Tetapi datang dengan bertindak busuk, sudah tentu akan mendapat ganjaran pahit!!" Seketika Setan Cambuk Api menghentikan langkahnya.
Pandangannya menusuk dalam, menyiratkan isyarat kematian yang sebentar lagi akan diturunkan. Senyuman mengejek menghiasi wajah buruknya, hingga membuat orang yang melihatnya dapat berpikir dua kali untuk lakukan tindakan.
"Perempuan berkerudung merah! Sayang sekali aku tak pernah memikirkan soal sopan santun segala!! Jangan mengganggu setiap keinginanku!!" Menggeram Iblis Rambut Emas. Belum lagi dia buka mulut, perempuan tua bersenjatakan cambuk berlidah tiga itu sudah menghardik, "Jangan coba-coba halangi keinginanku! Lebih baik menyingkir dari sini sebelum akhirnya kau sesali diri! Ajak kawan mu itu!" Mendengar hardikan orang, wajah Iblis Rambut Emas kontan mengkelap. Dadanya yang agak membusung naik turun pertanda gusar. Rasa kecut yang tadi sempat hinggap, tatkala melihat tatapan kejam perempuan berpakaian batik kusam itu, sirna seketika.
Seraya maju satu langkah, dia balas membentak, "Ucapanmu sungguh tak enak didengar! Katakan siapa kau adanya sebelum mampus berkalang tanah!" Perempuan tua berpakaian batik kusam ini, menyipitkan matanya. Ada kilatan api di dalam mata kelabunya. Perempuan yang diperintahkan oleh Dewa Lautan Timur untuk menghalangi langkah Pendekar Slebor, sementara Dewa Lautan Timur sendiri mempecundangi Gadis Kayangan, memang sedang memburu Pendekar Slebor. Karena dia pernah dikalahkan oleh pemuda itu. Dan amarahnya kian menjadi-jadi.
Apalagi sekarang, ada orang yang jelas-jelas halangi maksudnya.
Sambil putar tubuh, Setan Cambuk Api mendesis dingin, "Kau berhadapan dengan Setan Cambuk Api! Lekas berlutut sebelum kepalamu pisah dari badan!" Iblis Rambut Emas sesaat melengak mengetahui siapa adanya orang. Namun dia tidak peduli karena kemunculan Setan Cambuk Api justru membuat amarahnya naik.
Seraya menuding dia berkata, "Kau berhadapan dengan Iblis Rambut Emas! Lekas menyingkir dari sini sebelum semuanya kau sesali! Dan satu hal lagi yang perlu kau ingat, jangan coba-coba mengganggu urusanku!!" Terdengar suara rahang dikertakkan, menyusul suara kejam Setan Cambuk Api, "Aku hanya memperingatkan sekali! Lekas menjauh dari sini! Ajak temanmu itu!!" Tak sanggup lagi menahan gejolak amarah di dadanya, Iblis Rambut Emas sudah mendorong kedua tangannya ke depan. Serta-merta menderu dua bongkah kabut putih yang keluarkan hawa sangat dingin. Di tempatnya, Setan Cambuk Api mendengus. Tanpa bergeser dari tempatnya, perempuan tua ini sudah menggerakkan cambuk berlidah tiga. Cltaaarrr!! Suara keras itu terdengar menggidikkan disusul dengan tiga gelombang angin yang menggeledar. Serangan balasan yang dilakukan Setan Cambuk Api memang tak mampu menahan dua bongkah kabut Iblis Rambut Emas.
Namun yang mengejutkan, karena tiga gelombang angin yang membeset tadi, nyeplos dan terus menerjang ke arah Iblis Rambut Emas.
Masing-masing orang segera membuang tubuh.
Terdengar letupan beruntun. Dua bongkah kabut putih itu menghantam tumbang sebuah pohon, sementara tiga gelombang angin yang membeset, menghantam sebuah pohon pula. Seketika terbentuk tiga buah lubang di tubuh pohon itu.
Menyusul mengeringnya pohon itu secara mendadak.
Dan di tempat masing-masing, keduanya saling pandang tanpa kedip. Di lain pihak, Sangga Rantek membatin, "Menilik serangan perempuan berpakaian batik itu, jelas kalau dia dapat mengalahkan Iblis Rambut Emas. Karena tak mustahil dia memiliki pukulan jarak jauh untuk memutuskan bongkahan kabut Iblis Rambut Emas. Sementara cambuk berlidah tiganya sangat berbahaya! Hmmm... biar urusan cepat selesai, sebaiknya kubantu!!" Memutuskan demikian. lelaki setengah baya berkuncir kuda ini sudah mencelat ke depan.
"Kau hanya membuang-buang waktu saja, perempuan celaka!!" bentaknya seraya mendorong kedua tangannya ke depan.
Wuusss!! Wuusss!! Menghampar dua gelombang angin deras ke arah Setan Cambuk Api. Si perempuan berpakaian batik kusam ini cuma mendengus dingin. Kejap itu pula diangkat tangan kirinya. Menggebrak satu gelombang angin yang tak kalah dahsyatnya.
Menyusul digerakkan tangan kanannya yang memegang cambuk berlidah tiga.
Cltaarrr!! Blaaammm!! Benturan dua tenaga sakti itu bertemu. Sosok Sangga Rantek terhuyung tiga langkah ke belakang, disusul dia segera lakukan lompatan, tatkala sambaran cambuk lidah tiga lawan siap membeset tubuhnya.
Di lain pihak, Setan Cambuk Api sendiri masih tegak di tempatnya. Bibirnya menyeringai dingin.
"Sebaiknya kalian memang maju bersama-sama biar urusan cepat selesai!!" Habis kata-katanya, perempuan tua ini langsung menerjang ke depan. Cambuk berlidah tiganya digerakkan berulang kali hingga terdengar suara yang sangat menyakitkan telinga.
Sementara tangan kirinya lakukan serangan yang tak kalah hebatnya.
Sudah tentu Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek tak mau berdiam diri. Apa yang mereka inginkan sudah ada di depan mata, namun kehadiran perempuan bersenjatakan cambuk ini justru memupuskan segala keinginan.
Iblis Rambut Emas menyerang dengan lepaskan bongkahan-bongkahan kabut putihnya yang serta-merta di tempat itu seperti ditindih segenap hawa yang sangat dingin. Sementara Sangga Rantek mencoba menyerang dari belakang den- gan lepaskan pukulan jarak jauhnya.
Pertarungan yang sengit itu terjadi begitu cepat. Teriakan demi teriakan terdengar. Letupan demi letupan terjadi.
Hingga dalam waktu yang singkat saja, tempat itu telah diliputi oleh muncratan tanah dan ranggasan semak belukar ke udara.
Sementara itu, Pendekar Slebor yang makin terluka dalam, diam-diam menyingkir dari tempat itu. Dia belum memutuskan apakah akan menjauh atau melihat pertarungan itu.
Sesungguhnya, di dasar hati kecil anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini merasa sedih, melihat orang-orang kejam dan serakah seperti mereka saling bertarung, hanya untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat. Dan dia selalu berharap agar dunia ini tidak lagi dibanjiri oleh darah dan air mata. Namun setiap kali harapan itu muncul, setiap kali pula segera ditindihnya dalam-dalam.
"Memang tak mungkin aku menghadapi ketiganya sekaligus dalam keadaan terluka seperti ini. Kemunculan Setan Cambuk Api nampaknya membawa keberuntungan tersendiri bagiku. Sebaiknya... untuk sementara aku menyingkir dulu untuk mencari tempat sunyi guna memulihkan keadaanku...." Setelah memperhatikan sejenak pertarungan yang semakin mengerikan itu, perlahan-lahan dengan langkah agak terhuyung, Pendekar Slebor meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek terus berusaha keras untuk mencecar Setan Cambuk Api.
Kendati dikeroyok berdua oleh orang-orang yang sebenarnya tak bisa dipandang sebelah mata, Setan Cambuk Api agaknya masih dapat kuasai pertarungan. Ini disebabkan karena cambuk berlidah tiganya yang berhasil membuat jarak para pe-nyerangnya. Belum lagi, bila dia lakukan tindakan yang sangat cepat dengan gerakan-gerakan yang mengejutkan.
Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, karena setiap kali dia gerakkan cambuk berlidah tiganya, melesat bola-bola api sebesar kepalan tangan orang dewasa yang keluarkan suara mengerikan.
Terkesiap Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek. Masing-masing orang berusaha untuk menghindar sekaligus memutuskan bola-bola api itu. Namun yang membuat mereka harus bertambah hati-hati, karena lidah-lidah cambuk si perempuan siap mengirim nyawa mereka ke akhirat.
Untuk beberapa lamanya Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek seperti kehilangan bentuk penyerangan. Iblis Rambut Emas memang masih agak beruntung, karena dia berhasil memutuskan bola-bola api lawan dengan bongkahanbongkahan kabut putihnya. Kendati demikian, dia pun tak dapat segera bernapas lega. Cltaarr!! Cltaarr! Cltaarr!! Tiga kali suara keras itu terdengar dan terlihat tanah kembali membentuk garis lurus sedalam pergelangan tangan. Sangga Rantek yang tadi menghindari serangan itu, menjadi pias wajahnya. Namun kegeramannya tak surut sedikit pun juga.
Sementara itu, Setan Cambuk Api yang bertambah beringas, menggerak-gerakkan cambuknya lebih cepat. Kejap itu pula beruntun menderu bola-bola api sebesar kepalan tangan mengarah pada kedua lawannya.
Sementara di tempat itu, sebagian telah terbakar dan langsung mengepulkan asap putih yang tebal.
Merasa asap putih itu dapat menghalangi pandangan, Sangga Rantek yang berpikir lain langsung mendekati Iblis Rambut Emas seraya berbisik, "Kita tinggalkan tempat ini!"
"Tidak! Perempuan celaka itu harus mampus"!" dengus Iblis Rambut Emas geram.
"Selagi dia masih memiliki cambuk itu, kita dapat di buatnya tak berdaya!"
"Kalau begitu, kita rebut cambuknya!"
"Kita akan banyak membuang waktu! Lebih baik kita tinggalkan tempat ini!"
"Mengapa kau jadi pengecut seperti itu, hah"!"
"Karena aku memikirkan satu kemungkinan lain ketimbang melayani perempuan tua itu!"
"Bagaimana dengan Pendekar Slebor"!" tanya Iblis Rambut Emas yang menyangka Pendekar Slebor masih berada di sana.
"Biarkan dia! Karena perempuan itu berkeinginan untuk membunuhnya pula! Berarti, kita tak perlu mengotori tangan kita dengan darah pemuda setan itu!" Mendengar alasan yang dikemukakan Sangga Rantek, Iblis Rambut Emas akhirnya setuju. Kendati demikian, keinginan keduanya tak mudah dilakukan begitu saja. Karena Setan Cambuk Api terus berusaha menghajar keduanya. Puluhan bola-bola api yang keluar dari lidah-lidah cambuknya, terus mengejar masing-masing orang yang memaki panjang pendek seraya mencoba lepaskan serangan balasan.
Iblis Rambut Emas yang merasa dapat menahan bola-bola api itu dengan serangan kabut-kabut putihnya, mencoba memapaki sementara Sangga Rantek menyerbu ke bagian bawah.
"Sekarang!!" mendadak Iblis Rambut Emas melayang ke atas, seraya menggempur membabi buta. Bongkahan-bongkahan kabut putihnya menyerbu ganas.
Kian terpancing kemarahan Setan Cambuk Api seraya menggerakkan tangan kiri disusul dengan bola-bola api yang keluar dari cambuk berlidah tiganya.
Sementara itu, begitu mendengar seruan Iblis Rambut Emas, Sangga Rantek sudah mencelat menjauh dan melarikan diri. Perempuan berkerudung merah sendiri telah pergunakan kesempatan itu untuk meninggalkan tempat itu pula selagi Setan Cambuk Api menghalau setiap serangannya.
Sadar kalau kedua lawannya sudah berlalu, menggeram setinggi langit Setan Cambuk Api. Sambil mencelat ke depan dia mencoba menggerakkan cambuk berlidah tiganya.
Wiiinggg! Sembilan buah bola-bola api melesat mencoba menahan larinya Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Namun kedua orang itu telah menjauh dari tempatnya.
"Terkutuk!! Tak akan kulepaskan nyawa kalian!!" maki perempuan berpakaian kusam ini. Kemarahannya makin menggila tatkala tak menemukan sosok Pendekar Slebor di tempat semula.
"Sial!! Setan keparat sial!! Ini gara-gara kedua manusia sialan!! Kubunuh mereka! Kubunuh mereka!!" Dengan penuh kegeraman, perempuan bersenjatakan cambuk berlidah tiga ini segera berkelebat menyusul perginya Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas.

***

«¤₪¤| [ 6 ] |¤₪¤»

Hamparan sinar matahari pagi mulai mendesak masuk ke persada bumi, menggeser sisa-sisa sinar rembulan. Burung-burung beterbangan riuh rendah penuh kegembiraan. Langit membiru cerah dihiasi gumpalan awan-awan putih.
Udara saat ini sejuk berhembus, menebarkan pesona yang tak dapat ditepiskan begitu saja.
Di balik sebuah ranggasan semak belukar, nampak satu sosok tubuh terbaring dengan mata terpejam. Tatkala sinar matahari menerpa wajahnya, sosok yang tak lain Pendekar Slebor adanya perlahan-lahan mulai membuka kedua matanya.
Kejap itu pula kembali dipejamkan. Ada rasa nyeri yang dirasakan di sekujur tubuhnya.
Cukup lama anak muda urakan ini membiarkan tubuh nya terbaring dimandikan cahaya matahari, sebelum akhirnya kembali menggeliat.
Dibuka kedua matanya dengan hati-hati, dikerjapkerjapkan agar tidak terlalu menyilaukan.
"Buju buneng... kenapa aku tidur di sini?" desisnya dengan suara mengkerepet.
Begitu dirasakan ngilu pada kedua tangannya, dia perlahan-lahan bangkit. Duduk dengan kedua kaki berselonjor. Lalu hati-hati direntangkan kedua tangannya.
Terdengar suara berkerutuk.
"Kutu monyet!" desisnya lalu mendengus. Dibawa ingatannya pada kejadian semalam.
Setelah meninggalkan pertarungan Setan Cambuk Api menghadapi Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek, dengan mengandalkan sisa-sisa tenaganya, anak muda- urakan ini terus menjauh. Membawa langkah dengan segenap semangat yang menyala di dada.
Namun melewati tiga perempat malam, Andika tak kuasa lagi menahan keletihan yang menderanya. Dia langsung ambruk dan tertidur.
Saat terbangun sekarang, masih dirasakan lelah yang cukup meletihkan. Lalu perlahan-lahan anak muda urakan ini bersemadi. Setelah itu, kembali dipikirkan persoalan demi persoalan yang ada.
"Hmmm... langkahku seperti dikurung oleh enam orang manusia sesat. Dewa Lautan Timur. Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek. Setan Cambuk Api. Lalu Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong. Yang terakhir ini belum kuketahui seperti apa rupanya. Tapi menilik pasangan yang ada, tentunya dia bersahabat kental dengan Ki Pasu Suruan." Mendesah pendek pemuda dari Lembah Kutukan ini.
Otaknya terus diperas memikirkan jalan keluar dari masalah yang mengkungkunginya.
Dan yang masih membuatnya cemas, adalah ketidakjelasan akan nasib Gadis Kayangan. Baginya, dia harus menemukan gadis itu lebih dulu. Hidup atau mati.
Setelah dirasakan keadaannya agak lebih baik, anak muda ini pun berdiri. Dipandangi sekelilingnya dengan seksama.
"Hmmm... aku akan mencari sungai untuk membersihkan tubuh dulu!" Lalu dicobanya untuk melompat. Happ! Kembali dia lakukan loncatan berulang kali. Dan setiap kali meloncat, kedua tangannya direntangkan ke atas, ke bawah dan ke samping.
Tak lagi dirasakan ngilu pada kedua tangan dan kakinya.
Dadanya yang sebelumnya terhantam pukulan Dewa Lautan Timur pun mulai dirasakan agak normal.
Mulailah Andika mencari sungai.
Begitu menemukannya, dia langsung membersihkan tubuh. Caranya begitu cepat (gaya bebek) karena dia merasa memburu waktu.
Setelah mandi, dia segera mencari buah-buahan sebagai pengisi perut. Sambil memakani buah-buahan yang didapatkannya, dia segera meninggalkan tempat itu menuju ke selatan.

***

Sampai matahari tepat berada di atas kepala, anak muda urakan ini masih terus berlari. Dia bersikeras untuk menemukan sebuah lembah yang merupakan patokan ketiga menuju ke Pulau Hitam. Secara tidak sengaja Andika memang telah menemukan patokan pertama dan kedua menuju ke Pulau Hitam.
Tepat ketika malam kembali melingkupi alam, anak muda ini tiba di sebuah lembah yang sangat curam. Saat ini rembulan bersinar terang. Kendati demikian, sulit menemukan kedalaman lembah itu.
Sambil mengatur napas, anak muda ini berpikir keras.
"Selama aku berlari menuju ke selatan, baru kali ini kutemukan sebuah lembah.
Apakah lembah ini yang dimaksudkan dalam rangkaian titik gambar pada potongan pedang perak yang dimiliki Gadis Kayangan?" Dicobanya untuk melongok ke dalam lembah. Namun hanya kegelapan semata yang nampak, meskipun dindingdinding lembah itu cukup kelihatan.
"Untuk membuktikan apakah memang lembah ini yang menjadi patokan, aku harus menemukan dua buah pohon yang berdekatan. Setelah itu... kalau tidak salah ingat, aku harus ke kiri. Hmm, waktuku sangat sempit! Aku yakin, sudah banyak orang yang menuju ke Pulau Hitam...." Memikirkan demikian, segera saja anak muda urakan ini berkelebat ke kiri. Namun baru saja dia melakukan, mendadak saja dirasakan satu dorongan keras dari belakang.
"Heeiiii!!" Terkejut bukan alang kepala si anak muda. Dia berusaha untuk tidak kehilangan keseimbangan. Karena bila dia kehilangan keseimbangan, tanpa ampun lagi tubuhnya akan terlempar masuk ke dalam lembah.
Dengan gerakan yang sangat menakjubkan Pendekar Slebor langsung menangkap tangan orang yang mendorongnya. Dia memang berhasil melakukannya.
Namun yang mengejutkan, karena orang itu telah meliukkan tubuh hingga pegangan tangannya terlepas. Menyusul dia lakukan tendangan pada kaki kanannya.
Desss!! Untuk kedua kalinya Andika berseru kaget, "Heeiii!!" Terhuyung anak muda ini ke belakang. Dia masih berusaha untuk kendalikan dirinya. Namun mendadak saja dirasakan deru angin mengarah deras ke arahnya dari samping kanan.
Dalam keadaan seperti itu, tak mungkin Andika dapat memapakinya. Menghindar pun tak bisa dilakukan karena orang yang mendorongnya sudah melepaskan jotosan. Ketimbang dirinya terhantam gelombang angin deras itu lalu akhirnya jatuh pula ke dalam lembah, mau tak mau Andika merelakan dirinya masuk ke dalam lembah! Terdengar teriakannya yang sangat keras, "Aaaakhhhh!!" Teriakan itu menggema ke atas.
Sementara itu, dua orang yang tadi lakukan bokongan pada Andika menyeringai penuh kepuasan.
"Dendamku telah terbalas! Pancen Dadap pasti tenang di alam sana!!" terdengar suara lelaki berpakaian kuning-kuning.
Menyusul satu suara, "Jadi dialah pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor" Sungguh tak patut julukannya begitu disan-jung banyak orang! Pasu Suruan! Seluruh dendammu pa- danya telah sirna hari ini, bukan"!"
"Kau betul, Nyi Genggong! Untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasakan kepuasan yang teramat sangat!!" Kedua orang yang tak lain Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong itu terbahak-bahak lebar.
Seperti kita ketahui, kedua manusia sesat itu segera menuju ke Pulau Hitam setelah mendengar penjelasan dari Nyi Genggong. Sepenanakan nasi sebelum Pendekar Slebor tiba di tempat itu, keduanya telah lebih dulu tiba di sana.
Di saat hari masih cukup terang, keduanya tak bisa melihat kedalaman lembah itu.
Apalagi di saat hari sudah malam begini.
Saat itu Nyi Genggong sedang memikirkan tentang dua buah pohon yang menjadi patokan ke empat menuju ke Pulau Hitam. Dia mengajak Ki Pasu Suruan untuk berkeliling mencarinya. Setelah tak ditemukan, keduanya kembali ke tempat semula.
Dan tanpa disangka, masing-masing orang melihat satu sosok tubuh yang berdiri di permukaan lembah. Ki Pasu Suruan yang mengenali siapa adanya orang itu, sudah tak kuasa menahan diri lagi. Tetapi Nyi Genggong melarangnya untuk menyerang.
Karena dia telah memikirkan cara yang lebih baik. Ki Pasu Suruan sendiri dapat menerima rencana Nyi Genggong kendati kemarahannya sudah tak dapat dibendung lagi.
Dan disaat Andika hendak meninggalkan tempat itu, Nyi Genggong sudah bergerak cepat mendorongnya! Sementara gelombang angin yang menggebah tadi dilepaskan oleh Ki Pasu Suruan. Sekarang, kedua manusia sesat itu terbahak-bahak penuh kepuasan melihat rencana yang mereka jalankan berhasil dilakukan.
"Biar kau mampus terkubur selama-lamanya di dalam sana, Pendekar Slebor!!" seru Ki Pasu Suruan sambil membuat corong dengan kedua tangannya.
"Bertemanlah kau dengan setan-setan neraka!!" Nyi Genggong menyeringai lebar.
"Kau berhutang padaku, Pasu Suruan!" Ki Pasu Suruan yang sedang gembira melihat orang yang dibencinya berhasil didorong masuk ke dalam lembah, cuma tertawa-tawa saja.
"Kupenuhi setiap janjiku padamu! Apa pun yang ada di Pulau Hitam, akan kuserahkan padamu!"
"Bagus!"
"Tapi perlu kau ingat, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek sudah tentu tak akan tinggal diam! Bisa jadi keduanya akan tiba pula di Pulau Hitam!"
"Apa maksudmu?" tanya Nyi Genggong tajam.
"Nyi! Apakah kau tidak berpikir, kalau kedua manusia itu menghendaki hal yang sama denganmu" Sudah tentu mereka tak akan membiarkan sesuatu yang akan mereka da- patkan di Pulau Hitam." Sejenak Nyi Genggong terdiam sebelum buka mulut, "Aku paham maksudmu. Tetapi, mengapa kau mau bersekutu dengannya?"
"Bodoh! Aku bersekutu dengannya, dengan harapan tak terlalu mengotori tangan kita dengan kematian Pendekar Slebor! Biar mereka yang membunuhnya!"
"Licik juga akal manusia satu ini," dengus Nyi Genggong dalam hati, Kemudian katanya, "Dengan kata lain, lawan kita saat ini adalah Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek?"
"Tak salah! Tapi jangan lupa... Dewa Lautan Timur pun nampaknya menginginkan apa yang ada di Pulau Hitam!"
"Peduli setan dengan orang tua bau tanah itu! Akan ku-cincang tubuhnya sampai sekecil-kecilnya bila dia berani mengganggu keinginanku!" dengus Nyi Genggong dengan pandangan berapi-api. Namun sesuatu yang mendadak disadarinya membuatnya buru-buru berkata, "Lagi pula, kita tak punya urusan dengannya! Karena yang kuketahui, dia hanya punya urusan dengan Panembahan Agung! Berarti... kita akan aman-aman saja bila berjumpa dengannya!" Ki Pasu Suruan yang menangkap nada kecut pada kalimat terakhir Nyi Genggong, menyeringai lebar dan berkata penuh ejekan, "Mengapa kau mendadak menjadi takut seperti itu, hah" Apakah kau tak sanggup menandingi kesaktian De-wa Lautan Timur." Kendati sadar kalau sedang diejek, Nyi Genggong yang tiba-tiba saja menjadi tidak enak dengan perkataannya sendiri, berkata, "Aku tak takut sama sekali pada kakek keparat itu! Siapa pun dia, bila menghalangi niat ku, maka akan kubunuh!"
"Bagus! Dan sudah tentu aku tak akan tinggal diam bila kita terpaksa berhadapan dengan Dewa Lautan Timur!" kata Ki Pasu Suruan masih mengejek.
Nyi Genggong mendengus dalam hati.
"Gila! Apa apaan aku ngomong tadi" Sampai saat ini aku tak mengetahui kesaktian Dewa Lautan Timur! Tetapi menurut cerita guruku, dia saja tak sanggup menandinginya! Huh! Masih untung Dewa Lautan Timur tak berada di sini! Tapi kalaupun ada, terpaksa aku tak tinggal diam. Hanya saja... bila bertemu dengannya, aku akan menunjukkan sikap baik!" Sementara itu, lelaki berkalung tengkorak yang secara tidak langsung berhasil mengejek Nyi Genggong berkata lagi, "Bila memang demikian adanya, berarti Panembahan Agung-lah orang yang harus kita singkirkan pula!"
"Aku tak tahu kesaktian yang dimilikinya!"
"Jangan khawatir! Kita buat permainan baru!" bibir Ki Pasu Suruan mengembang senyum aneh.
"Apalagi yang ada di benak manusia satu ini?" geram Nyi Genggong dalam hati. Lalu katanya serius, "Apa maksudmu dengan permainan baru itu?"
"Sebelum kita membunuh Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek, kita akan tetap berlaku sebagai sekutu mereka. Bi-la kita berempat, kupikir bukanlah hal yang sulit untuk membunuh Panembahan Agung"Hmmm... dengan kata lain, kau menduga Panembahan Agung akan muncul di Pulau Hitam?"
"Tepat! Sudah tentu dia mendengar berita tentang banyaknya orang-orang yang menuju ke Pulau Hitam. Mustahil bila dia berdiam diri saja! Terbukti selama bertahun-tahun, dia tak mengizinkan siapa pun memiliki dua potongan pedang yang bila disatukan akan menjadi patokan-patokan lengkap menuju ke Pulau Hitam!" Mendengar ucapan orang, Nyi Genggong menganggukanggukkan kepala. Sementara itu, diam-diam Ki Pasu Suruan tersenyum dalam hati.
"Pendekar Slebor tentunya telah mampus di lembah itu! Berarti semua urusanku telah selesai! Tinggal mendapatkan apa yang di Pulau Hitam! Setelah berhasil membunuh Panembahan Agung, Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, ti-ba giliran perempuan tua keparat ini untuk mampus!" Sesaat tak ada yang keluarkan suara, angin terus berhembus dingin. Sampai kemudian Nyi Genggong berkata, "Kita telah mengelilingi lembah ini, tetapi tak mendapatkan patokan dua buah pohon. Lebih baik..."Kau sendiri yang sebenarnya bodoh! Katamu, kau telah menemukan dua pohon itu sebelumnya!"
"Tutup mulutmu!" menggelegar suara Nyi Genggong.
"Sudah kukatakan tadi, waktu itu aku datang ke sini siang ha-ri, hingga aku masih ingat patokannya! Tetapi sekarang, semuanya nampak samar dan samar! Apakah kau..."Sudah, sudah!" sahut Ki Pasu Suruan yang tak mau bu-ka urusan dengan Nyi Genggong. Perempuan tua itu memang cepat sekali panasan. Lalu katanya, "Sekarang kita bergerak ke kiri. Barangkali kita akan menemukan dua buah pohon itu...." Kendati masih mendengus gusar, Nyi Genggong mengiyakan.
"Kau akan kubunuh bila sudah kuketahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam, Manusia terkutuk!" makinya geram dalam hati.
Sementara itu, Ki Pasu Suruan membatin gusar, "Tak lama lagi, kau akan mampus di tanganku, Perempuan Celaka!!" Lalu masing-masing orang pun bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Namun belum lagi mereka melakukannya, mendadak saja satu gelombang angin yang maha dahsyat menggebah. Terkejut bukan alang kepalang keduanya.
Dengan sigap mereka berusaha untuk menghindari gempuran angin itu. Namun dua gelombang angin yang datang kemudian, tak kuasa mereka elakkan.
Telak masing-masing orang terseret ke belakang. Tidak terlempar jatuh ke dalam lembah. Namun akibat yang terjadi sungguh mengenaskan.
Karena begitu masing-masing orang terbanting di atas tanah, terdengar suara 'krak' yang cukup keras. Disusul keluhan tertahan menandakan Sakit yang luar biasa.
"Apa yang terjadi?" desis Nyi Genggong yang merasakan tulang punggungnya patah.
"Aku tak tahu! Ada orang yang telah menyerang kita!" sahut Ki Pasu Suruan bagai rintihan. Tulang punggungnya pun patah.
"Siapa?" desis Nyi Genggong menahan sakit.
Dan masing-masing orang tak tahu siapa yang melakukan serangan mengerikan itu. Karena mendadak saja satu gelombang angin lainnya telah menerjang.
Kali ini sudah tentu tak mungkin mereka dapat hindari lagi ganasnya labrakan angin yang datang. Dan tanpa ampun lagi, masing-masing orang telak terhantam. Diiringi teriakan yang sangat keras, tubuh keduanya terlempar sejarak tiga tombak dari tempat semula.
Lalu terbanting keras di atas tanah dengan nyawa melayang. Kepala mereka pecah. Dari mulut dan hidung keluar darah segar. Dan beberapa tulang di tubuh masing-masing orang patah.
Kejap kemudian, berkelebat satu sosok tubuh tinggi bersorban kuning. Dengan langkah dan pandangan angker, orang itu mendekati mayat keduanya. Lalu meludahinya dengan penuh kebencian.
"Manusiamanusia tak tahu diri! Ilmu baru sejengkal sudah berani me-nantangku!!" desis orang yang tak lain Dewa Lautan Timur adanya ini.
Rupanya, selagi Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong merencanakan apa yang akan mereka lakukan, Dewa Lautan Timur telah tiba di tempat itu.
Sudah tentu mendidih darah kakek sesat yang mempunyai dendam setinggi langit pada Panembahan Agung, begitu mendengar orang mengecilkan dirinya.
Tanpa mau buang waktu lagi, dia langsung lancarkan serangannya. Kalaupun saat itu Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong menghadapinya, sudah tentu mereka tak akan mampu menandingi kesaktian sekaligus keganasan Dewa Lautan Timur.
Dan kedua orang yang mempunyai akal licik itu telah tewas tanpa mengetahui siapa pembunuh mereka.
Dewa Lautan Timur perhatikan sekelilingnya. Lalu dibukanya kain putih pembungkus potongan pedang yang direbutnya dari Gadis Kayangan.
"Dua buah pohon! Aku harus melangkah ke kiri! Dan...
akan tiba di Pulau Hitam! Ha ha ha...." Tawa kakek sesat ini menyentak malam, bertalu-talu mengalahkan lolongan serigala.
"Di Sana, di Pulau Hitam, akan menjadi kuburanmu, Panembahan Agung!!" Masih tertawa keras, Dewa Lautan Timur segera berkelebat meninggalkan tempat itu, sambil memasukkan kembali bungkusan kain putih ke balik pakaiannya.

***

«¤₪¤| [ 7 ] |¤₪¤»

Lalu bagaimana dengan nasib naas yang dialami secara beruntun oleh Pendekar Slebor" Begitu tubuhnya terlontar ke dalam lembah, anak muda urakan ini masih dapat pergunakan otak dan kecepatannya. Tangannya menggapai apa saja yang dapat digapainya. Namun karena gelapnya lembah itu, diiringi luncuran tubuhnya yang begitu cepat, sulit baginya untuk mendapatkan apa yang bisa digapainya.
"Kutu monyet! Aku belum mau mampus!!" serunya geram. Sebisanya dia untuk menggapai apa saja. Namun tak di-dapatnya apa yang diharapkan.
Dan secara mendadak dilepaskan lilitan kain bercorak catur pada lehernya. Dengan tubuh yang terus meluncur, Andika segera menggerakkan kain bercorak caturnya.
Plaakk! Sleebb!! Kain bercorak catur itu menghajar sesuatu yang patah dan terpental, menyusul masuk ke dalam dinding lembah.
Begitu kain bercorak catur itu masuk ke dinding lembah, dengan menjadikan kain bercorak catur sebagai tuas dan pergunakan ilmu peringan tubuhnya, Andika memutar tubuh ke atas, ke arah dinding lembah. Karena dia yakin, pasti di dinding lembah itu ditumbuhi pepohonan merambat.
Pan nasib naas nampaknya tidak lagi berpihak padanya.
Begitu dia memutar tubuh dengan kaki ke atas hingga menabrak dinding lembah, dirasakan sesuatu menyentuh kedua kakinya. Tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung menggerakkan kedua kakinya untuk mengepit apa yang dirasakannya.
Hanya dalam Waktu satu kejapan mata Andika membiarkan kedua kakinya mengepit apa yang dirasakannya itu, sebelum menghempos tubuhnya ke atas seraya menarik kain bercorak catur yang tadi sempat menyelamatkan dirinya.
Kali ini lontaran tubuhnya agak meninggi. Tangan kirinya menggapai asal saja dan didapatkan akar pohon merambat di dinding lembah.
Dengan terus kerahkan ilmu peringan tubuhnya, anak muda urakan yang hampir mati konyol ini, bergelantungan sambil memaki-maki.
"Monyet pitak! Bisa-bisa aku nggak pernah mencicipi nasi uduk lagi nih!" Dasar urakan! Sudah mau ko'it begitu masih juga bersikap konyol. Bergelantungan pada pohon merambat nampaknya tak bisa dilakukan lebih lama lagi. Karena Andika yakin kalau pohon merambat itu tak akan mampu menahan bobot tubuhnya lebih lama, kendati dia telah kerahkan ilmu peringan tubuhnya.
Didongakkannya kepala. Dari dalam lembah, terlihat jelas permukaan lembah yang kira-kira masih sejarak tujuh tombak.
"Busyet! Bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat celaka ini" Sial betul nasibku! Baru saja selamat, sudah dibikin kayak begini! Huh! Biar kujitak kepala orang-orang celaka yang membuatku jadi kayak tarzan kemalaman begini!" Diperkirakannya jarak di mana dia berada sekarang dengan permukaan lembah. Dikuatkan hati dan dibulatkan tekad.
Dengan perlahan-lahan Andika meraba-raba dengan pergunakan tangan kanannya, sementara kain bercorak catur telah disampirkan di bahu kirinya.
"Hmmm... pohon merambat ini nampaknya tumbuh ke atas dan ke bawah. Dapatkah aku menitinya?" Baru saja dia bertanya pada dirinya sendiri, mendadak saja pohon merambat yang dipegangnya tercabut.
"Heeiii!!" Kontan tubuhnya meluncur kembali ke bawah. Namun sebelum meluncur terlalu jauh, Andika cepat menyentakkan kaki kanannya pada dinding lembah. Dan dengan cepat pula, di saat hentakan kaki kanannya yang membuat tubuhnya agak terlontar itu, dia menyentak tubuhnya, hingga terpental ke atas. Dan.... Tap! Pohon merambat di bagian atas terpegang lagi.
"Bangun-bangun makan nasi sama ayam panggang!" desisnya dengan tubuh berkeringat.
"Bisa garing tubuh ku kalau terhempas dalam lembah yang tak kuketahui berapa dalamnya ini! Aku harus... hei!!" Memutus kata-katanya sendiri, Andika mendongak kembali. Meyakinkan diri kalau pohon merambat itu terus tumbuh hingga ke permukaan lembah.
"Pohon merambat ini jelas tak kuasa menahan bobot tu-buhku lebih lama. Tadi secara tak sengaja aku berhasil ter-hindar dari kematian. Kalau begitu... akan kucoba lagi." Dengan hati-hati dan kerahkan ilmu peringan tubuhnya, Andika menyentakkan kaki kanannya ke dinding lembah.
Tap! Begitu menyentak, dia langsung memutar tubuh ke atas dan menangkap pohon merambat di bagian atas. Berhasil melakukannya, dia segera melakukannya lagi, hingga akhirnya berhasil keluar dari dalam lembah.
Begitu tiba di atas, dijatuhkan tubuhnya di atas tanah dengan napas megap-megap. Angin malam membelai dingin wajahnya. Tapi dirasakan sangat sejuk ketimbang berada dalam lembah yang berudara lembab.
"Nasibku masih beruntung...," desisnya. Dua tarikan napas kemudian, dia telah berdiri dengan sigap. Khawatir kalau orang yang tadi mencela-kakannya masih berada di sekitar sana. Pandangannya dibuka lebih lebar dan berhati-hati dia memutar tubuh tanpa bergeser dari tempatnya.
Begitu disadari tak ada siapa pun di sana, anak muda slebor ini menarik napas lega.
"Kadal buntung! Kenapa sih begitu banyak orang yang menginginkan nyawaku"!" sungutnya jengkel. Lalu dia me-nyambung, kali ini agak kege-eran, "Mungkin mereka iri karena aku ganteng begini kali ya" Monyet buduk! Lebih baik kuteruskan saja untuk mencari dua pohon yang menjadi patokan terakhir menuju ke Pulau Hitam! Siapa tahu orang-orang yang mencelakakanku itu telah tiba di Pulau Hitam! Hebat betul bila ternyata ada juga orang yang berhasil tiba di sana!" Setelah perhatikan sekelilingnya sekali lagi, Pendekar Slebor pun segera berlari. Sejarak sepuluh tombak dari tempat semula, dihentikan larinya. Pandangannya tak berkedip melihat dua sosok tubuh yang tergeletak tanpa nyawa. Untuk sejenak anak muda ini mengerutkan keningnya.
"Ki Pasu Suruan...," desisnya sambil menahan napas.
"Gila! Siapa yang bikin orang ini mampus" Dan... apakah perempuan berpakaian hitam compang-camping itu yang bernama Nyi Genggong" Bukankah Sangga Rantek mengatakan kalau Ki Pasu Suruan bersama orang yang bernama Nyi Genggong" Kura-kura bau! Siapa yang telah membunuh keduanya secara kejam seperti ini?" Pendekar Slebor terdiam sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Pandangannya tak lepas dari kedua mayat di hadapannya.
"Menilik serangan yang datang padaku sebelumnya, tak pelak lagi kalau kedua orang ini yang telah melakukannya! Tapi, bagaimana ceritanya mereka bisa mampus" Dan nampaknya, si pembunuh bukan hanya memiliki kesaktian tinggi, tapi juga kekejaman yang luar biasa! Huh! Bikin kepala jadi makin runyam saja!" Kembali dia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal seraya berkata, "Huh! Buat apa memikirkan kedua manusia celaka ini" Mereka mampus toh tak ada ruginya!!" Setelah pandangi sekali lagi mayat Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong, Pendekar Slebor segera berkelebat untuk menemukan dua buah pohon yang menjadi patokan menuju ke Pulau Hitam. Setelah ditemukannya, kembali dia hentikan langkah.
Diingat-ingatnya apa yang harus dilakukan setelah menemukan dua pohon besar ini. Memang, di sekitar sana yang nampak hanya padang pasir. Sungguh aneh kelihatannya kalau ada dua buah pohon yang tumbuh di sana.
Dapat di- bayangkan bagaimana panasnya tempat ini bila siang hari.
"Hmmm... setelah menemukan kedua pohon ini, aku harus sedikit agak ke barat. Ya, ke barat! Setelah itu... Pulau Hitam akan kutemukan! Huh! Semakin dekat dengan tujuan, mengapa hatiku semakin tak menentu" Dapat kurasakan kalau sesuatu yang sangat mengerikan akan terjadi di Pulau Hitam...." Tak mau memikirkan lebih lama, anak muda urakan yang baru saja selamat dari kematian, sudah berlari ke arah kiri.

***

Menjelang malam mengakhiri perjalanannya, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek tiba di tempat itu. Mereka sangat terkejut melihat mayat Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong.
"Gila! Siapa yang telah membunuh keduanya?" desis Iblis Rambut Emas sambil memeriksa kedua mayat itu.
Pertanyaan itu seperti ditujukan pada dirinya sendiri. Tetapi Sangga Rantek menjawab, "Tentunya... orang yang memiliki kesaktian tinggi"Apakah Pendekar Slebor?"
"Tak mungkin!" sahut Sangga Rantek. Iblis Rambut Emas berdiri kembali.
"Mengapa tak mungkin?"
"Bukankah saat bertarung dengan kita dia sudah terluka parah" Dan sudah tentu saat ini dia sudah mampus dibunuh Setan Cambuk Api?"
"Bagaimana bila ternyata Pendekar Slebor masih mampu mengalahkan Setan Cambuk Api?"
"Kemungkinan itu tipis! Dia sudah terluka parah! Tak mungkin dapat berbuat lebih banyak!" Mendengar jawaban itu, Iblis Rambut Emas terdiam.
Otaknya berpikir keras.
Mendadak dia ajukan tanya, "Bagaimana bila ternyata di saat kita menghadapi Setan Cambuk Api, Pendekar Slebor mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri?" Terkesiap Sangga Rantek mendengar pertanyaan orang.
Sesaat lelaki berpakaian serba hitam ini terdiam. Pandangannya nampak agak menyipit. Menyusul dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kemungkinan itu dapat terjadi! Jahanam sial! Sudah seharusnya kita bunuh Setan Cambuk Api lalu membunuh Pendekar Slebor!" Iblis Rambut Emas mendengus.
"Jangan mendumal! Bukankah kau sendiri yang mengajak untuk meninggalkan Setan Cambuk Api?" Sangga Rantek menggeram dingin. Separo menyesali tindakannya. Tetapi nampak lelaki berkuncir kuda ini menggelenggelengkan kepala. Kemudian katanya, "Kemungkinan itu memang bisa terjadi! Tapi, tak mungkin dia yang membunuh Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong!"
"Apa lagi yang ada di pikiranmu itu, hah"!" dengus Iblis Rambut Emas..
"Melihat kematian mengenaskan yang dialami Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong, nampaknya dia tak banyak melakukan perlawanan! Dalam keadaan masih terluka, taruhlah Pendekar Slebor memang telah berhasil menyembuhkan luka dalamnya, tak mungkin dia berhasil membunuh Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong seperti ini! Kuakui... kendati aku membenci dan ingin membunuh Pendekar Slebor, tetapi pemuda itu bukanlah orang yang memiliki hati kejam!"
"Huh! Kau mulai memujinya!"
"Tutup mulutmu! Tak ada sedikit pun keinginanku untuk memujinya! Tapi.."Kalau memang bukan dia yang membunuhnya, siapa orang yang melakukannya?" putus Iblis Rambut Emas dengan pandangan melotot, Sangga Rantek tak menjawab. Mulutnya nampak berkemak-kemik namun tak keluarkan suara. Dari sinar matanya yang tajam, nampak dia tak suka mendengar bentakan si perempuan berkerudung merah di hadapannya ini.
Sesaat tak ada yang keluarkan suara.
Dan kesunyian itu dipecahkan oleh kata-kata Sangga Rantek, "Orang yang membunuhnya, sudah tentu memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Aku yakin, Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong tak diberi kesempatan untuk melakukan perlawanan. Bila bukan Pendekar Slebor, bisa jadi Setan Cambuk Api.
Akan tetapi, menghadapi Setan Cambuk Api, keduanya masih dapat melawan. Mungkin mengalahkannya. Berarti..."Berarti apa"!" sengat Iblis Rambut Emas.
"Kau ingat cerita Nyi Genggong pada Ki Pasu Suruan waktu itu?" tanya Sangga Rantek tanpa pedulikan bentakan Iblis Rambut Emas.
"Tentang Dewa Lautan Timur?"
"Ya! Kala itu kita men-guping pembicaraan Nyi Genggong dengan Ki Pasu Suruan! Kupikir satu-satunya orang yang dapat membunuh keduanya dengan mudah adalah Dewa Lautan Timur!" Mendengar jawaban orang, perempuan berambut emas itu terdiam. Wajahnya menekuk dan terlihat kecemasan membayangi wajahnya.
Sangga Rantek sendiri terdiam sebelum akhirnya berkata, "Peduli setan siapa pun orang yang telah membunuh kedua manusia celaka ini! Firasatku mengatakan, kita telah mendekati Pulau Hitam! Kita bergerak sekarang!!" Habis kata-katanya, Sangga Rantek sudah berkelebat mendahului. Disusul Iblis Rambut Emas. Dan tanpa sepenge-tahuan satu sama lain, masing-masing orang mencemaskan kemungkinan munculnya Dewa Lautan Timur.

***

«¤₪¤| [ 8 ] |¤₪¤»

Pulau Hitam. Sebuah tempat yang begitu sangat mengerikan. Pulau itu cukup luas, dipenuhi dengan ranggasan semak belukar dan pepohonan. Namun yang cukup aneh, karena tak ada pepohonan yang berwarna hijau seperti lazimnya. Semua berwarna hitam. Bahkan hamparan langit pun begitu kelam. Tak ada sinar matahari yang masuk. Di tempat mengerikan itu, hanya kegelapan yang agak samar-samar yang nampak. Di kejauhan terdengar debur ombak, pertanda tak jauh dari Pulau Hitam terdapat lautan yang cukup luas.
Keanehan itu dirasakan oleh Pendekar Slebor yang tiba di sana. Untuk beberapa saat anak muda urakan ini terdiam dengan kening berkerut memperhatikan sekelilingnya yang serba hitam.
"Gila! Udara di sini sangat menusuk sekali! Apa-apa yang nampak begitu mengerikan! Aku yakin, saat ini hari telah memasuki siang! Tetapi apa yang nampak di sini, hanya samar-samar laksana malam!!" desisnya. Dan tanpa disadarinya, hatinya terasa sedikit agak bergetar.
Hati-hati pemuda berambut gondrong acak-acakan ini melangkah. Angin menghembus wajahnya, terasa sangat menusuk. Seraya melangkah dia membatin, "Aku yakin... inilah Pulau Hitam... pulau yang menyimpan segala misteri. Namun rahasia apa yang terdapat di pulau ini?" Dengan penuh kesiagaan Pendekar Slebor terus melangkah dengan membuka kedua matanya lebih lebar, dan hati diliputi berbagai pertanyaan. Mendadak saja anak muda ini hentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, tatkala pendengarannya menangkap langkah suara orang.
Begitu dia putar tubuh, dilihatnya Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas di belakangnya.
"Hmmm... mereka akhirnya tiba pula di pulau ini," desisnya dalam hati.
Sementara itu Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek saling pandang dengan kening berkerut, begitu melihat pemuda yang dibencinya berada sejarak delapan tombak dari tempat mereka berdiri.
"Ternyata apa yang kita duga itu benar, kalau pemuda celaka itu belum mampus!" desis Sangga Rantek geram.
"Dia memiliki kecerdikan yang tinggi! Juga memiliki nyawa rangkap!" dengus Iblis Rambut Emas.
"Ketimbang akan jadi urusan, sebelum ada lagi orang yang datang ke sini, lebih baik kita bunuh saja!!" Usul Sangga Rantek langsung disetujui Iblis Rambut Emas. Seketika masing-masing orang menerjang ke depan dengan teriakan mengguntur.
Di depan, Pendekar Slebor sendiri mendengus dan bersiap untuk menerima labrakan kedua orang itu.
Namun sebelum dia lakukan satu tindakan, sebelum serangan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek mengenai sasarannya, mendadak saja kedua orang itu terpelanting ke belakang.
"Aaaakhhhh!!" teriakan keras terdengar secara bersamaan.
Sementara Andika mengerutkan keningnya, tubuh kedua orang itu terbanting keras di atas tanah.
"Aneh! Mengapa tahu-tahu mereka terbanting seperti itu" Tak kurasakan ada tenaga yang telah menyerangnya! Oh, apakah ini termasuk salah satu rahasia yang ada di Pulau Hitam?" Belum lagi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini memecahkan apa yang baru saja terjadi, mendadak saja terdengar suara menggema yang begitu agung, "Barang siapa yang menginjakkan kaki di Pulau Hitam, dia harus berpikir jernih dan berhati suci! Pulau Hitam adalah pulau kera-mat! Tak boleh dikotori oleh tangan-tangan penuh dosa! Bila kalian menerima semua ini, rahasia akan terbuka!!" Bukan hanya Pendekar Slebor yang terheran-heran mendengar suara menggema itu. Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek yang telah berdiri lagi dan merasakan ngilu pada dada mereka, pun harus mengerutkan kening.
Pandangan mereka segera diputar ke berbagai tempat.
Namun tak satu sosok tubuh pun yang berada di sana, kecuali mereka dan Pendekar Slebor. Di lain pihak, Pendekar Slebor sedang mengerutkan keningnya. Hatinya bertanya-tanya, "Suara itu begitu agung sekali. Apakah...
Panembahan Agung yang telah bicara" Bisa jadi orang yang bersuara itu yang menahan serangan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek kepadaku"Bila kalian dapat memenuhi semua itu, maka berjalan-lah kalian ke muka! Karena sebentar lagi satu urusan pahit akan ada di hadapan kalian! Aku tak tahu siapa yang dapat memecahkan urusan itu, karena dua anak manusia mau tak mau akan bertarung sengit sampai salah seorang anak tewas! Bila ada yang berhasil memecahkan rahasia di antara mereka, maka dialah orang yang berhak mendapatkan apa yang menjadi rahasia di Pulau Hitam ini"!" Kembali tak ada yang keluarkan suara. Sangga Rantek berbisik setelah melirik geram pada Pendekar Slebor, "Apakah kau punya dugaan siapa orang yang bicara itu?" Perempuan berambut emas yang ditutupi kerudung merah menggelengkan kepalanya.
"Sulit menebak siapa dia adanya. Bahkan suaranya seperti terdengar dari berbagai penjuru"Kau paham apa yang dikatakannya?" aju Sangga Rantek kembali.
Iblis Rambut Emas menggelengkan kepalanya. Tanpa disadarinya, hati perempuan berjubah merah ini merasa tak menentu.
Sementara itu Pendekar Slebor membatin, "Aku masih tak mengerti sebenarnya.
Ternyata, setiba di Pulau Hitam ini, masih ada urusan, yang harus diselesaikan sebelum mengetahui rahasia apa yang terpendam. Lalu siapa yang dimaksud-kan akan melakukan satu pertarungan?" Untuk beberapa lama pemuda yang memiliki sepasang alis hitam legam dan menukik laksana kepakan sayap elang ini terdiam, sebelum kemudian dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Menilik kata-kata orang yang sulit kuketahui siapa dan di mana adanya, jelas hanya dua orang yang akan bertarung.
Dan setahuku, Panembahan Agung serta Dewa Lautan Timur akan berusaha untuk tiba di tempat ini. Jangan-jangan... kedua orang itulah yang dimaksud orang yang bersuara tadi" Tetapi, bagaimana mungkin bisa diketahui" Sementara aku sendiri belum melihat kehadiran Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur" Hanya saja, jelas kalau Dewa Lautan Timur tak akan hadir dengan wujud aslinya! Kutu monyet! Tentunya dia akan menyamar sebagai Panembahan Agung dan membuat orang yang melihat, termasuk aku, akan kebingungan menentukan yang mana yang asli dan yang mana yang palsu! Monyet gundul!!" Suara orang yang terdengar dari berbagai penjuru itu menggema kembali, "Matahari semakin naik menuju puncak-nya! Tak lama lagi pertarungan sengit tak dapat dihindarkan! Bila ada yang berhasil memecahkan persoalan di antara kedua orang itu, maka dia berhak mendapatkan rahasia yang terpendam di Pulau Hitam ini"!" Di tempatnya, kembali Andika membatin, "Tak kulihat matahari dan tak kurasakan sengatannya. Namun orang itu mengatakan hari sudah menuju siang. Hmmm...
dugaanku semakin kuat kalau Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur-lah yang dimaksud orang itu! Lalu... oh! Mengapa se-pertinya semua serba kebetulan" Bukankah aku orang yang berusaha memecahkan masalah di antara Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur" Karena, akulah yang pertama sekali bersama dengan Gadis Kayangan, telah masuk pada persoalan dendam lama antara Dewa Lautan Timur dengan Panem- bahan Agung" Aneh! Semuanya terasa serba kebetulan, tetapi aku yakin, semuanya seperti memang telah diatur. Tetapi oleh siapa" Siapa yang bisa memikirkan masa depan secara pasti" Atau...." Pendekar Slebor terdiam. Otaknya diperas kuat-kuat.
Tak lama kemudian, terlihat kepalanya mengangguk-angguk.
"Ya, ya... aku punya dugaan kuat siapa orang yang barusan bicara.... Sudah tentu dia.... Tetapi, ini baru dugaan. Masih banyak yang harus kuyakini lebih dulu.
Kendati demikian, memang hanya seorang yang dapat mengetahui semua ini.
Mungkin dengan ilmu dan kesaktiannya, dia telah meramalkan kalau semua ini terjadi. Semenjak puluhan tahun yang la-lu. Bila memang demikian, berarti...." Kata batin Pendekar Slebor mendadak terputus. Karena tiba-tiba saja terdengar angin berkesiur cukup keras. Tak ada letupan yang terdengar, namun pasir hitam sejarak lima tombak di hadapannya membuyar ke udara.
Mendadak saja telah berdiri satu sosok tubuh berpakaian putih panjang dengan sulaman angin dan api berwarna biru dan merah. Pancaran mata kakek yang memiliki rambut, kumis, dan jenggot putih itu, begitu teduh sekali.
Bukan hanya Pendekar Slebor yang keluarkan suara, "Panembahan Agung!" Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek pun berucap kata yang sama. Orang tua yang mendadak muncul itu memang sosok Panembahan Agung. Dan dia kembangkan senyumnya yang begitu tenang pada ketiga orang yang berada di sana.
Tak seperti yang dialami Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek yang begitu melihat kemunculan si kakek mendadak menjadi membenci, Pendekar Slebor justru merasakan hatinya agak bergetar keras.
"Oh! Salah seorang dari Panembahan Agung telah muncul di sini! Apakah kakek ini adalah Panembahan Agung yang asli" Atau justru Panembahan Agung yang palsu" Dan menilik kehadirannya, jelas apa yang dimaksud orang yang bersuara tadi, memang pertarungan antara Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur. Tapi, apakah...." Terputus kata-kata Pendekar Slebor, tatkala kembali terdengar angin berkesiur keras. Pasir yang muncrat akibat kesi-uran angin itu lebih tinggi dari yang pertama. Seperti kedatangan si kakek, mendadak pula telah berdiri satu sosok tubuh dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Sosok berpakaian putih panjang dengan sulaman angin dan api berwarna biru dan merah. Sosok yang berwajah tenang dihiasi rambut, kumis, dan jenggot memutih.
Sosok Panembahan Agung! Kalau Pendekar Slebor yang telah mengetahui semua ini hanya mendengus, lain halnya dengan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek.
Kedua manusia sesat itu melongo dengan kedua mata terbuka lebih lebar. Bahkan saking kagetnya, tanpa sadar masing-masing orang surut satu tindak ke belakang.
Lagi tanpa mereka sadari keduanya berucap kaget, "Panembahan Agung!" Disusul suara Sangga Rantek, "Gila! Apa yang telah terjadi" Apakah Panembahan Agung ternyata kembar"!"

***

Dua sosok Panembahan Agung telah berada di sana.
Masing-masing perlihatkan sikap yang tak jauh berbeda. Keduanya tersenyum bijak dan bersikap tenang.
Andika yang merasa dirinyalah yang harus memecahkan yang manakah Panembahan Agung yang sesungguhnya, hanya garuk-garuk kepala.
"Kutu monyet! Dua orang Panembahan Agung telah tiba di sini" Dan nampaknya pertarungan memang tak dapat dielakkan! Aku tetap berkeyakinan, kalau salah seorang dari mereka adalah Dewa Lautan Timur yang menyamar" Tetapi, yang mana orangnya?" Untuk beberapa saat Pendekar Slebor memperhatikan dua sosok Panembahan Agung yang bersikap tenang, bergantian.
Seraya maju satu langkah ke muka, anak muda ini berkata, "Wah! Kuucapkan selamat atas keberhasilan kalian yang berhasil mendatangi Pulau Hitam! Selamat, deh!" Kedua Panembahan Agung itu tersenyum. Yang datang pertama kali berkata, "Anak muda! Bukan hanya diriku yang telah tiba di sini, tetapi kawan yang serupa denganku pun telah tiba! Apa yang akan kau lakukan sekarang" Apakah kau akan menunjuk siapa Panembahan Agung yang asli dan palsu" Atau, kau punya pikiran lain untuk menentukan yang ma-na di antara kami Panembahan Agung yang asli"!" Mendengar ucapan itu, Andika menggaruk-garuk lagi kepalanya. Otaknya cukup runyam menghadapi masalah ini.
Diliriknya Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek yang nampak hanya berdiam diri dengan pandangan tak berkedip. Kening masing-masing orang masih berkerut, tak percaya dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka.
Lalu Andika berkata, "Mana bisa aku langsung menunjuk yang mana di antara kalian yang asli dan yang mana orang celaka yang lakukan tindakan busuk seperti ini" Habis-nya, kalian satu sama lain tak berbeda! Cuma saja... o ya, mana tanda yang telah kuberikan pada kalian"!" Sementara itu, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek yang masih keheranan, perlahan-lahan tahu apa yang telah terjadi. Ada dua orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung. Dan Pendekar Slebor telah mengalami masalah rumit ini sebelumnya, hingga memberikan tanda pada masing-masing orang.
Panembahan Agung yang datang belakangan berkata tenang, "Anak muda! Apakah kau pikir tanda yang kau berikan pada kami, dapat kau jadikan sebagai petunjuk siapa yang asli dan siapa yang palsu?" Andika menggelengkan kepalanya, agak ragu. Lalu katanya, "Sudah tentu tidak! Kan waktu itu kukatakan, aku cu-ma memastikan siapa Panembahan Agung yang sebelumnya bercakap-cakap denganku dan Gadis Kayangan, lalu siapa yang tahu-tahu muncul di ambang pintu!! Seingatku, yang pertama berbicara denganku, mendapatkan pecahan genting bertuliskan huruf" 'PS' yang putih. Sementara yang datang belakangan, mendapatkan yang agak menghitam! Ayo, kalian serahkan kepadaku! Biar kepa-laku tidak jadi makin pusing!" Panembahan Agung yang datang belakangan, mendadak melempar sesuatu ke arah Andika. Gerakan yang dilakukannya ringan saja, namun hasil lemparannya cukup mengejutkan. Bila saja Andika tidak kerahkan tenaga dalamnya, begitu pecahan genting ditangkapnya, sudah pasti tubuhnya agak terjerembab ke belakang.
"Brengsek!" makinya kesal dalam hati. Segera dibuka telapak tangannya. Dilihatnya pecahan genting bertuliskan huruf 'PS' berwarna putih.
"Anak muda... sekarang giliranku!" kata Panembahan Agung yang datang pertama.
Andika langsung mengangkat kepalanya. Dengan cara yang sama, Panembahan Agung ini melemparkan potongan genting itu. Dengan kerahkan tenaga dalamnya, sigap Andika kembali menangkapnya.
Lalu segera dibuka telapak tangannya. Saat itu juga terdengar desisannya terkejut, begitu melihat pecahan genting di telapak tangannya.
"Oh!" Pecahan genting itu, bertuliskan huruf 'PS' yang berwar-na putih pula!

***

«¤₪¤| [ 9 ] |¤₪¤»

"Monyet pitak! Sudah tentu salah seorang dari mereka telah mengubah warna hitam pada pecahan genting yang dimilikinya menjadi putih!" desisnya mangkel.
"Kutu busuk! Seingatku, Panembahan Agung yang tahu-tahu muncul di ambang pintu, mendapatkan pecahan genting yang berwarna agak kehitaman! Dan sudah tentu dialah orang yang telah mengubahnya menjadi warna putih! Tetapi sekarang, yang mana di antara keduanya yang telah lakukan hal semacam ini" Kadal buntung! Sambel terasi! Badak bau!!" Panembahan Agung yang datang pertama berkata lagi, "Anak muda! Kulihat perubahan pada wajahmu" Apakah kau tak bisa menentukan sekarang juga"!"
"Brengsek!" dengus Andika. Lalu seperti tukang obat, tangan kanan kirinya mengangkat dua pecahan genting yang bertuliskan huruf 'PS' itu.
"Ayo, siapa yang nakal nih" Siapa yang telah mengubah warna pada salah satu pecahan genting hingga menjadi serupa dengan yang lain"!" Sudah tentu kedua Panembahan Agung itu tak ada yang berucap. Namun wajah masing-masing orang sama sekali tak menampakkan kekagetan.
Malah tenang-tenang saja.
Melihat hal itu, Andika mendengus, "Kadal pitak! Masa sih tidak ada yang mau bertanggung jawab"!" Di lain pihak, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek, hanya tetap memperhatikan. Kali ini mereka tak berkeinginan untuk membunuh Pendekar Slebor. Pertama, karena mereka telah berhasil tiba di Pulau Hitam. Kedua, mereka tertarik untuk mengetahui apa yang telah terjadi sekarang. Ketiga, bila urusan dua Panembahan Agung selesai, barulah mereka bertindak.
Tetapi sedikit banyaknya, mereka merasa kecut mengingat kata-kata orang yang tak diketahui berada di mana.
"Barang siapa yang berhasil mengatasi pertarungan yang akan terjadi, maka dialah yang berhak mendapatkan rahasia Pulau Hitam." Kedua manusia ini yakin, kalau yang dimaksud adalah pertarungan dua Panembahan Agung itu.
Selagi tak ada yang keluarkan suara, mendadak terdengar ucapan Panembahan Agung yang datang kedua, "Anak muda! Kesabaran orang ada batasnya! Bila kau tak dapat membuktikan siapa di antara kami yang asli dan palsu, nampaknya, pertarungan jelas tak dapat dihindari!!"
"Tunggu!" desis Andika, lalu membuang dua pecahan genting yang menurutnya saat ini tak berguna sama sekali.
"Apalagi yang akan kau bicarakan?" tanya Panembahan Agung yang datang belakangan, suaranya tetap bijak.
Andika yang tak tahu lagi harus berbuat apa, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sementara dia terus berpikir untuk memecahkan masalah di hadapannya.
"Memang sulit menentukan siapa di antara kalian yang asli dan palsu! Tapi..."Tak ada tapi lagi! Aku khawatir, orang yang menyamar sebagai diriku, telah membuat onar, hingga namaku menjadi cemar!" putus Panembahan Agung yang bicara tadi.
"Aku paham soal itu! Tentunya, Panembahan Agung yang datang lebih dulu darimu, pun berpikir demikian! Tetapi, sekali lagi kukatakan, memang sulit untuk menentukan siapa di antara kalian yang asli dan palsu! Hanya saja, aku minta kesempatan sebentar sebelum kalian kupersilakan untuk bertarung habis-habisan!!" Selesai kata-katanya, mendadak saja Pendekar Slebor mencelat ke samping kanan. Tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggang Sangga Rantek. Lelaki berpakaian serba hitam yang masih terpaku pada perhatiannya, terkejut, karena tak menyangka kalau Pendekar Slebor akan lakukan tindakan seperti itu.
Dia mencoba menahannya dengan jotosan tangan kanannya, namun tangan kiri Pendekar Slebor sudah menepaknya dan....
Wuuuttt!! Anak muda urakan ini telah kembali ke tempat semula.
Tetapi kali ini, di tangannya terdapat bungkusan kain hitam.
Sangga Rantek yang gusar bersiap untuk menerjang, tetapi ditahan oleh Iblis Rambut Emas.
"Tahan amarahmu! Biarkan dia! Toh, Pedang Buntung itu sudah tidak digunakan! Aku ingin melihat apa yang akan dilakukannya! Siapa tahu kita dapat memetik keuntungan dari sikap kita menahan amarah." Kendati masih geram, Sangga Rantek hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Di depan, Pendekar Slebor membuka bungkusan kain hitam itu. Lalu dengan tangan kanannya, diangkatnya Pedang Buntung bagian hulu ke atas.
"Kita tahu bukan, kalau titik-titik gambar yang merupakan patokan pertama dan kedua menuju ke Pulau Hitam terdapat pada Pedang Buntung ini! Nah! Barang siapa yang berhasil menyatukan Pedang Buntung ini, dengan potongan pedang lainnya, maka dialah Panembahan Agung yang asli!!" Tetapi di antara kedua Panembahan Agung itu tak ada yang melakukan seperti yang dimintanya.
"Monyet pitak! Semula kuharap aku berhasil menjebaknya dengan cara seperti ini! Aku masih berkeyakinan kalau Dewa Lautan Timur-lah salah seorang dari Panembahan Agung ini! Dan dia telah mendapatkan potongan pedang satunya lagi dart tangan Gadis Kayangan! Bila ada salah seorang yang menunjukkan potongan pedang itu, maka dialah yang palsu! Huh! Nasib Gadis Kayangan sendiri sampai saat ini masih membingungkanku!" Habis mendumal tak karuan dalam hatinya, Pendekar Slebor membungkus lagi potongan pedang perak itu. Lalu memasukkannya ke balik bajunya sendiri.
Lalu berkata, "Kalau tak ada yang bisa menyatukan Pedang Buntung ini, dengan potongan pedang lainnya ya sudah! Kalian bertarung deh!!" Panembahan Agung yang datang pertama berkata bijak, "Anak muda! Kecerdikanmu memang sungguh hebat! Tetapi, kau menghadapi orang yang lebih cerdik!" Andika cuma mengangguk-angguk.
"Betul! Malah juga licik!"
"Lalu sekarang, kau tak mampu mengatakan siapakah yang asli dan palsu?"
"Pada kenyataannya seperti itu! Ayo, deh! Kalian bertarung!!" kata Andika seperti pasrah. Padahal anak muda ini tengah memikirkan sesuatu yang dapat diraihnya dari pertarungan kedua Panembahan Agung itu.
Panembahan Agung yang kedua berkata bijak, "Anak muda... bila memang tak ada lagi yang dapat kau lakukan untuk memecahkan masalah di antara kami, mungkin dengan cara bertarunglah kau akan dapat melihat siapa yang asli dan palsu!" Andika yang sedang memikirkan sesuatu, mendadak mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu?" Panembahan Agung ini tersenyum, "Aku yakin, kau akan dapat memetik apa yang kau inginkan! Tetapi perlu kau ingat, lawanmu sangat cerdik! Melebihi kecerdikanmu!" Mendengar ucapan Panembahan Agung yang satu ini, Andika terus mengerutkan keningnya. Pikirannya diperas berulang kali. Sampai kemudian dia tertawa sendiri.
"Kau betul! Lawan yang kuhadapi ini memang sangat cerdik! Melebihi kecerdikan Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong yang telah tewas! Mungkin juga melebihi kecerdikan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek! Ah, ternyata kecerdikan itu memang lebih penting ketimbang kesaktian! Tetapi kupikir, kedua-duanya mengikat! Tak seperti Setan Cambuk Api yang hanya memiliki kesaktian tetapi tak memiliki kecerdikan! Makanya, dengan mudah dia dapat kubunuh! Yah...
semuanya terpaksa! Ayo deh, kalian bertarung!!" Mendengar ucapan Pendekar Slebor, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek berpandangan.
"Gila! Rupanya Pendekar Slebor berhasil membunuh Setan Cambuk Api!" desis Iblis Rambut Emas.
"Ya! Padahal dia sudah hampir sekarat! Menilik keadaan itu, bisa jadi kita salah menduga, kalau ternyata Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong memang dibunuh olehnya?" desis Sangga Rantek dengan kening berkerut.
Iblis Rambut Emas tak menyahut, hanya nampak bibirnya bergetar. Sementara itu, Panembahan Agung yang kedua terdiam, Panembahan Agung yang pertama membuka mulut, "Anak muda... siapakah orang yang berjuluk Setan Cambuk Api?" Andika mengangkat kedua bahunya.
"Aku sendiri tidak tahu siapa perempuan tua itu sebenarnya! Tetapi dia sangat ganas! Ya... terpaksa dia kubunuh daripada bikin urusan bertambah banyak!"
"Tak seharusnya kau membunuhnya, Anak muda. Barangkali saja dia mau bertobat"Urusan bertobat itu bukan ditentukan olehku, Kek! Tetapi oleh dirinya sendiri! Hanya kupikir... tak mungkin dia akan bertobat! Dosanya sudah melimpah ruah. Ya terpaksa harus kubunuh..."Tak kusangka jalan pikiranmu begitu sempit, Anak Muda." Sebelum Andika menyahut, Panembahan Agung yang kedua yang tadi terdiam, bicara, "Kau terlalu telengas, Anak Muda. Tanganmu terlalu ringan"Terpaksa! Apa kau tidak mendengar tadi kukatakan, aku terpaksa melakukannya"!" desis Andika dengan mata melotot.
"Huh! Masa sih aku harus mengulanginya lagi"! Kek! Apakah kau mengenal perempuan itu?" Panembahan Agung yang kedua ini menggelenggelengkan kepalanya.
"Aku tidak mengenalnya!"
"Kalau kau tidak mengenalnya, ya sudah! Tidak usah dibikin pusing!" Panembahan Agung yang kedua ini tersenyum seraya berkata, "Memang malang nasib perempuan tua berpakaian batik kusam dengan senjata cambuk berlidah tiga itu. Tetapi, mungkin sudah nasibnya yang harus tewas di tanganmu! Sekarang, apakah kau tetap berusaha untuk memecahkan siapa Panembahan Agung yang asli di antara kami?"
"Tidak, deh! Kalau kalian mau bertarung, ya silakan!" sahut Andika sambil menggedikkan bahunya.
Panembahan Agung yang datang kedua memutar tubuh menghadap Panembahan Agung yang datang pertama.
Lalu sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada, Panembahan Agung ini berkata sopan, "Maafkan sikapku, Kawan! Terpaksa ini kulakukan, karena kau telah berlaku buruk di hadapanku!" Panembahan Agung yang datang pertama pun rangkapkan kedua tangannya pula.
"Kupikir, memang tak ada cara lain lagi. Padahal sesungguhnya, aku tak ingin semua ini terjadi. Tetapi, mungkin ini telah digariskan"Kalau begitu... lebih baik kita mulai sekarang." Habis kata-katanya, Panembahan Agung yang kedua ini melangkah agak menjauh dari sana. Langkahnya begitu ringan sekali. Menyusul Panembahan Agung yang datang pertama berjalan menjauh pula.
Lalu masing-masing orang berdiri sejarak lima tombak satu sama lain. Keduanya masih saling memperhatikan dengan pandangan teduh.
"Aku tak menghendaki pertarungan ini sebenarnya," kata Panembahan Agung yang kedua sambil menghela napas panjang.
"Begitu pula denganku," sahut Panembahan Agung yang datang pertama.
"Tapi nampaknya... semua ini memang sulit dihindari lagi..."Kau benar! Silakan mulai!" kata Panembahan Agung yang kedua sambil membuka tangan kanannya sejajar dengan pinggang, sementara tangan kirinya memegang bagian ping-gir kiri pakaiannya.
"Terima kasih!" sahut Panembahan Agung yang pertama.
"Tetapi. aku ingin justru kau yang memulainya." Lalu nampak Panembahan Agung yang kedua mulai membuka kedua tangannya. Kaki kirinya ditarik ke belakang.
Dengan kedudukan kuda-kuda seperti itu, jelas dia akan lakukan satu terjangan yang tentunya sangat dahsyat.
Namun sebelum pertarungan itu terjadi, mendadak saja Andika berteriak, "Tunggu!!"

***

«¤₪¤| [ 10 ] |¤₪¤»

Panembahan Agung kedua yang siap lancarkan serangan, palingkan kepala, "Ada apa lagi, Anak Muda?" Andika nyengir seraya berkata, "Yah... memang aku terpaksa harus membunuh Setan Cambuk Api. Tetapi, itu belum kulakukan, kok! Tentunya saat ini dia masih segar bugar kalau memang ajal belum menjemputnya! Justru aku yang dibuatnya hampir mampus!" Orang-orang yang berada di sana terkejut mendengar penjelasan pemuda berbaju hijau pupus itu. Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek berpandangan tak mengerti.
"Apa maksudmu mengatakan kau telah membunuh Setan Cambuk Api, Anak Muda?" tanya Panembahan Agung yang pertama.
"Cuma iseng saja, kok! Yah... kalian mengaku tidak mengenal Setan Cambuk Api.
Kan tidak apa-apa bila aku sedikit berbohong pada kalian. Cuma yang mengherankanku...." Andika mengarahkan pandangannya pada Panembahan Agung yang kedua, lalu melanjutkan, "Mengapa bila kau mengaku tak mengenalnya kau justru mengatakan ciri-ciri Setan Cambuk Api" Seorang perempuan, mengenakan pakaian batik kusam dan bersenjatakan cambuk berlidah tiga" Mungkin kau lupa kali ya, kalau kau mengenalnya lalu mengatakan tidak?" Panembahan Agung yang kedua ini nampak terkejut. Tetapi di lain saat dia sudah tertawa.
"Ha ha ha... aku memang mulai pikun, hingga lupa kalau aku mengenal perempuan tua itu"Yah... kumaklumi deh! Tapi, mengapa kau tadi begitu yakin kalau aku dapat memetik hasil yang memuaskan bila melihat kalian bertarung" Apakah kau berpikir, aku akan melihat potongan pedang yang sebelumnya berada pada tangan Gadis Kayangan ada pada dirimu bila kalian bertarung?" Kalau tadi agak melengak wajah Panembahan Agung yang kedua, kali ini nampak agak memias. Untuk beberapa lamanya dia tak keluarkan suara. Andika mengangkat bahunya.
"Setahuku, Setan Cambuk Api diperintahkan oleh Dewa Lautan Timur untuk membunuhku. Dan tentunya, De-wa Lautan Timur sangat mengenal siapa perempuan itu. Juga kupikir, salah seorang Panembahan Agung yang palsu adalah orang yang berjuluk Dewa Lautan Timur, mengingat dialah satu-satunya orang yang mengetahui tentang perempuan bernama Laksmi Harum yang merupakan istri dari Panembahan Agung. Juga, Panembahan Agung palsulah yang langsung mengetahui keuntungan apa yang dapat kupetik dari pertarungan kalian berdua.
Yah... dengan berat hati, kukatakan, kalau engkaulah Panembahan Agung yang palsu dan tak lain Dewa Lautan Timur!!" Mundur satu tindak Panembahan Agung yang kedua mendengar kata-kata Pendekar Slebor. Wajahnya yang memias nampak mulai mengkelap.
Sementara itu, Panembahan Agung yang pertama diamdiam tersenyum.
"Cerdik. Dia sangat cerdik. Tak kusangka kalau dia bermaksud menjebak dengan kata-katanya. Dan seperti dugaanku, memang Dewa Lautan Timur-lah yang me- nyamar sebagai diriku, karena dialah yang tahu mengenai Laksmi Harum." Dalam keheningan seperti itu, mendadak saja Panembahan Agung yang kedua menyentakkan pakaian yang dikenakannya. Breeettt! Nampaklah pakaian warna kuning di balik pakaian putih panjangnya. Dengan kegeraman yang menjadi-jadi dia menuding Pendekar Slebor, "Pemuda keparat! Kecerdikan mu memang luar biasa! Terus terang, aku terkejut begitu melihatmu berada di sini! Karena kupikir, kau sudah mampus terkena hajaranku!"
"Betul sih aku akan mampus! Tetapi bila tak ada kain bercorak catur ini! Tetapi ya... orang baik-baik selalu panjang umur lho!!" Mendengar ejekan Pendekar Slebor, Panembahan Agung kedua yang memang Dewa Lautan Timur yang menyamar, sudah kibaskan tangan kanannya ke arah Pendekar Slebor.
Wuussss!! Segera menghampar gelombang angin raksasa yang keluarkan suara sangat mengerikan, menyeret pasir-pasir hitam dan menggebrak ke arah Pendekar Slebor.
Namun sebelum labrakan angin itu mengenai sasarannya, mendadak terdengar letupan yang sangat keras.
Blaaaammmm!! Punah gelombang angin yang dilepaskan Dewa Lautan Timur, terhantam gelombang tenaga dari samping kiri.
Seketika kakek sesat ini palingkan kepalanya ke kanan.
Sepasang matanya seakan melompat keluar, disusul suaranya menggelegar keras, "Panembahan Agung!! Kini tiba saatnya kau untuk mampus!!" Orang yang tadi halangi serangan Dewa Lautan Timur pada Pendekar Slebor cuma tersenyum.
"Dewa Lautan Timur... ternyata dendammu memang seluas dan sedalam lautan. Apakah tak pernah terpikirkan di benakmu, kalau kita sudah sama-sama tua dan tak layak untuk saling simpan dendam dan menumpahkannya?"
"Tutup mulutmu, Panembahan Agung!!" sentak Dewa Lautan Timur keras.
"Dendamku tak akan pernah padam sebelum melihatmu mampus!!"
"Dewa Lautan Timur... tidakkah kau masih terbayang akibat ulahmu puluhan tahun lalu, hingga menewaskan Laksmi Harum, perempuan yang sama-sama kita cintai?"
"Ini semua gara-garamu! Bila kau tak menahan seluruh keinginanku, perempuan itu masih hidup dan akan menjadi istriku!!"
"Kau terlalu dibutakan oleh cinta hingga urusan..."Tutup mulutmu!! Lebih baik kau mampus sekarang juga!!" Habis kata-katanya, dengan kemarahan tinggi, Dewa Lautan Timur mendorong kedua tangannya. Wrrrr!! Gelombang angin yang perdengarkan suara laksana ombak lautan mengamuk, menggebrak dahsyat.
Panembahan Agung sendiri tak mau bertindak lebih lama. Segera dia balas mendorong kedua tangannya. Bongkahan awan putih yang semakin lama semakin membesar dan keluarkan suara menggemuruh tak kalah kerasnya, melesat cepat. Akibatnya....
Blaaaammmm!! Pulau Hitam seakan bergetar tatkala benturan keras terjadi. Bukan hanya pasir-pasir hitam yang muncrat ke udara, tetapi juga tanah terbongkar ke atas.
Tatkala semuanya sirap, nampak masing-masing orang terhuyung lima tindak ke belakang dengan kedua tangan yang terasa sangat ngilu.
Pendekar Slebor yang telah kerahkan tenaga dalamnya, pun harus terpental tiga langkah akibat kerasnya benturan itu.
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek yang terpelanting di atas tanah, megap-megap dengan wajah pias.
"Celaka! Rasanya lebih baik kita meninggalkan tempat ini!" desis Iblis Rambut Emas dengan wajah pias.
"Apa maksudmu, hah"!" maki Sangga Rantek.
"Jangan berlaku bodoh! Kita bisa mati konyol di sini akibat pertarungan kedua orang itu! Lagi pula, apakah kau lupa kalau orang yang bicara dan entah berada di mana tadi, hanya akan mengatakan rahasia apa yang ada di Pulau Hitam ini pada orang yang berhasil..."Aku tahu! Aku tahu!" putus Sangga Rantek.
"Berarti, Pendekar Slebor-lah yang akan mengetahui! Dengan kata lain, kita tetap akan mempunyai kesempatan untuk mengetahuinya! Baik, kita tinggalkan tempat celaka ini dan terus memburu Pendekar Slebor!!" Habis kata-katanya, tak mau buang waktu lagi, Sangga Rantek sudah melesat meninggalkan tempat itu. Iblis Rambut Emas pun lakukan hal yang sama. Di lain pihak, Dewa Lautan Timur yang merasakan kedua tangannya ngilu, mendesis dingin.
"Kau masih tetap tangguh, Panembahan Agung! Tetapi, aku tak akan mundur sebelum melihatmu terkapar"!!" Panembahan Agung hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku sama sekali tak ingin menurunkan tangan! Tetapi bila memang itu yang terjadi, rasanya..."Tak perlu banyak cakap lagi!!" bentak Dewa Lautan Timur sambil lancarkan serangan kembali.
Pertarungan yang terjadi kemudian sungguh luar biasa mengerikannya. Gelombang angin setiap kali melesat keluarkan suara menggidikkan.
Pulau Hitam bergetar berulang kali. Pendekar Slebor sendiri harus terus kerahkan tenaga dalamnya untuk menjaga keseimbangannya.
Hampir lima belas jurus pertarungan mengerikan itu terjadi. Hingga kemudian, nampak masing-masing orang menggebah ke depan dengan tenaga dalam tingkat tinggi.
Benturan keras tak dapat dielakkan kedua orang ini.
Blaammmm!! Bersamaan bertemunya dua pukulan sakti itu, masingmasing orang terlempar deras ke belakang dan terpelanting keras.
Dewa Lautan Timur terjingkat dua kali setelah terbanting. Pada bantingan yang kedua terdengar suara 'krak'. Rupanya tulang punggung lelaki tua sesat ini patah. Nampak kalau dia berusaha untuk mengatasi kesakitannya. Menyusul dia muntah darah. Darah kental menghitam membasahi pakaiannya. Satu bungkusan kain putih terlempar dari balik pakaiannya.
Di seberang, nampak Panembahan Agung yang begitu terbanting, duduk bersila dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada. Nampak sekali kalau tubuh lelaki tua bijaksa-na itu bergetar hebat.
"Huaaakkk!!" Dia pun muntah darah berulang kali dengan tubuh yang semakin terasa lemah. Dan mendadak saja tubuhnya terjatuh di atas pasir hitam.
Andika yang melihat keadaan masing-masing orang, menarik napas pendek. Lalu dengan sigap dia menyambar bungkusan kain putih yang terlempar dari balik pakaian De-wa Lautan Timur. Hatihati dibukanya bungkusan itu.
"Tepat dugaanku. Dewa Lautan Timur bisa tiba di sini, tentunya dengan pergunakan potongan pedang ini. Sungguh cerdik dia melakukannya. Hmm... aku harus menolong keduanya..."Anak muda... kau tak perlu membantu mereka! Biar aku yang melakukannya!!" mendadak saja terdengar suara orang yang entah berada di mana itu. Belum lagi habis suara itu terdengar, mendadak saja satu sosok tubuh berpakaian jingga telah berdiri sejarak tiga langkah di hadapan Andika. Keterkejutan Andika semakin men- jadi-jadi, begitu melihat sosok Gadis Kayangan berdiri di samping kanan orang tua yang sangat tua itu.
"Gadis Kayangan!" Gadis berkepang dua itu tersenyum.
"Andika!"
"Kau... kau... selamat?" Gadis Kayangan menganggukkan kepalanya.
"Yah...
Eyang Mega Tantra yang menyelamatkanku...." Andika menatap dulu pada orang tua di hadapannya sebelum haturkan sembah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Eyang...," desisnya.
Orang tua yang di pergelangan kedua tangannya melingkar gelang-gelang baja itu tersenyum.
"Aku hanya kebetulan melihat gadis ini pingsan. Tetapi, kau begitu cerdik sekali, Anak Muda." Andika mengangkat kepalanya. Diam-diam dia membatin, "Sudah kuduga, kalau orang tua inilah yang berbicara.
Sebelumnya, Panembahan Agung telah menceritakan tentang gurunya yang sekian puluh tahun menghilang setelah menyerahkan dua potongan pedang perak yang satu kepadanya dan yang satu lagi pada Pemimpin Agung. Dan setelah tiba di si-ni, aku berpikir, kalau menghilangnya Eyang Mega Tantra adalah berdiam di Pulau Hitam.
Apakah kehadirannya merupakan rahasia Pulau Hitam" Atau masih ada lainnya?" Lalu, apa yang sebenarnya dialami oleh Gadis Kayangan" Setelah ditinggalkan oleh Iblis Rambut Emas, Sangga Rantek, serta Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong, Gadis Kayangan yang pingsan, ditolong oleh seorang lelaki tua berpakaian jingga.
Dengan ilmunya, lelaki tua yang tak lain Eyang Mega Tantra ini segera membawa Gadis Kayangan ke Pulau Hitam.
Begitu siuman dari pingsannya Gadis Kayangan terkejut bukan alang kepalang. Dia hampir saja melarikan diri dari Pulau Hitam bila saja tak mendengar penjelasan dari Eyang Mega Tantra, kalau dialah guru dari gurunya, si Pemimpin Agung.
Kendati merasa tenang di samping Eyang Mega Tantra, Gadis Kayangan masih memikirkan pula tentang Pendekar Slebor. Dan diam-diam, gadis yang telah jatuh cinta pada si Urakan itu, merasa tak tenang sebelum mengetahui keadaan pemuda yang dicintainya.
Selama di Pulau Hitam, Gadis Kayangan memang tak tahu apakah saat ini hari masih pagi, siang, sore ataukah malam. Karena tak ada kelihatan kalau saat itu pagi, siang, sore atau malam.
Dan sekarang, begitu melihat pemuda yang dicintainya berada di situ tanpa kurang suatu apa, hati Winarsih alias Gadis Kayangan bukan main senangnya.
Sementara itu, Panembahan Agung menarik napas panjang.
"Sekian puluh tahun tak berjumpa dengan Guru, hari ini aku berjumpa kembali.
Guru nampak masih segar-bugar." Dengan berusaha untuk bangkit, Panembahan Agung berkata hormat, "Guru..."Tetaplah kau berbaring. Luka dalammu akan bertambah bila kau mencoba untuk bangkit." Dengan langkah perlahan, Eyang Mega Tantra menghampiri Panembahan Agung. Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak ke atas, ke bawah dan ke samping kanan kiri.
Satu kejap kemudian, Panembahan Agung merasakan jalan napasnya agak melonggar. Aliran darahnya yang tadi kacau, agak lancar sekarang.
Lalu dengan langkah perlahan, Eyang Mega Tantra mendekati Dewa Lautan Timur. Sambil tersenyum dia berka-ta, "Kau masih dibutakan oleh dendammu.... Padahal bila kau sadari dan mau berpikir sedikit, dendam itu sama sekali tak ada gunanya." Sepasang mata Dewa Lautan Timur melotot gusar. Dia hendak memaki, tapi yang keluar justru keluhan tertahan, "Aaaakhhh..."Tulang punggungmu telah patah. Mungkin akan sulit untuk menyembuhkannya lagi"Peduli setan dengan ucapanmu!!" bentak Dewa Lautan Timur. Di tempatnya, Pendekar Slebor mendengus, "Kadal buntung! Sikapnya masih sok saja!!" Eyang Mega Tantra tak pedulikan bentakan orang. Seperti yang dilakukannya pada Panembahan Agung, dia pun menggerakkan tangan kanannya ke arah Dewa Lautan Timur.
Saat itu pula lelaki sadis ini merasakan napasnya melonggar dan tubuhnya lebih nyaman dari semula. Namun dasar tak tahu berterima kasih, dia malah memaki-maki tak karuan.
Eyang Mega Tantra tersenyum.
Mendadak saja dia menggedikkan kaki kanannya di pasir hitam. Menyusul lenyapnya tubuh Dewa Lautan Timur da-ri pandangan.
Pendekar Slebor melengak kaget, "Busyet! Ternyata di dunia ini, masih ada ilmuilmu aneh yang menakjubkan"!" Dari mulut Eyang Mega Tantra terdengar ucapan, "Mudah-mudahan... setelah nanti dia siuman, dia akan sadar atas semua tindakannya." Lalu katanya pada Andika, "Anak mu-da... bolehkah kuminta kedua potongan pedang itu?" Andika segera menyerahkannya pada Eyang Mega Tantra. Orang tua arif itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memperhatikan dua potongan pedang di tangannya.
"Sebenarnya, dua potongan pedang ini adalah ciptaanku.
Semata kuberikan pada muridku, Purwacaraka atau yang kalian kenal sekarang berjuluk Panembahan Agung dan Ronggo Sewu alias Pemimpin Agung. Sengaja ku lakukan, untuk menguji kecerdikan mereka. Agar mereka memecahkan rahasia titik-titik gambar pada kedua potongan pedang ini. Mak-sudku, untuk mencariku yang sengaja meninggalkan mereka.
Tapi nyatanya kedua potongan pedang ini justru menimbulkan masalah hebat, akulah sebenarnya yang menjadi rahasia Pulau Hitam. Anak muda, kau sangat cerdik.
Tapi...." Mendadak Eyang Mega Tantra memukul potongan pedang perak pada potongan yang berupa hulu.
Traaangg!! Blaaammm!! Kejap itu pula terdengar suara letupan yang sangat dahsyat di kejauhan. Orang-orang yang berada di sana terkejut bukan alang kepalang.
Nampak gumpalan tanah mengepul di udara.
"Kedua potongan pedang ini, menyimpan satu kekuatan dahsyat yang dapat menyerang lawan. Sekarang, kalian akan kuperlihatkan rahasia lain di Pulau Hitam ini." Habis kata-katanya, Eyang Mega Tantra menancapkan kedua potongan pedang perak itu ke pasir hitam di atasnya.
Mendadak terdengar suara letupan dari dalam tanah. Berulang-ulang dan suaranya laksana terobosan air yang muncrat ke atas. Dan mendadak saja, tanah sejarak delapan tombak dari tempat masing-masing orang, meletup dan membuka. Muncratan tanah itu untuk sesaat halangi pandangan.
Tatkala semuanya sirap, nampaklah sebuah lubang yang cukup besar. Sebelum masing-masing orang menyadari ada apa di lubang itu, mendadak terlihat cahaya putih yang bening.
Keterkejutan mereka bertambah, tatkala perlahan-lahan terangkat naik sebuah rantai sebesar lengan orang dewasa yang bersinar indah.
Hanya tiga kejapan mata rantai yang bersinar terang indah itu mengambang, lalu jatuh kembali ke dalam lubang. Anehnya, begitu rantai itu masuk, tanah yang tadi terbuka, kini menutup kembali.
"Itulah rahasia yang ada di Pulau Hitam. Sebuah rantai sakti bernama Rantai Naga Siluman." Andika yang tak tahan untuk tidak bertanya sudah membuka mulut, "Eyang... mengapa kita tak mengambilnya?" Eyang Mega Tantra tersenyum.
"Masih ada teka-teki lain yang harus kau pecahkan, Anak Muda. Mendekatlah. Kau akan kuberitahukan teka-teki itu." Perlahan-lahan Andika mendekati Eyang Mega Tantra.
Sejarak lima langkah dia berhenti. Saat itu pula telinganya mendengar ucapanucapan Eyang Mega Tantra sementara Panembahan Agung dan Gadis Kayangan tak mendengarnya sama sekali.
"Ingat," kata Eyang Mega Tantra kemudian.
"Waktumu hanya satu kali bulan purnama. Bila kau gagal memecahkan-nya, maka dunia persilatan akan kembali dipenuhi dengan darah dan air mata." Lalu dia berpaling pada Panembahan Agung, "Kembalilah kau ke Pesanggrahan Bayu Api. Habisi hidupmu di sana." Habis kata-katanya, mendadak saja lelaki tua arif itu lenyap dari pandangan, laksana ditelan bumi.
Gadis Kayangan langsung mendekati Pendekar Slebor dan berkata, "Katakan apa yang kau ketahui tentang rahasia itu?" Andika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, Masih menggeleng anak muda ini melangkah meninggalkan Pulau Hitam. Gadis Kayangan merengut. Dia melirik Panembahan Agung. Setelah dilihatnya Panembahan Agung tersenyum dan menganggukkan kepala, disusulnya anak muda urakan itu.
Sementara itu, Panembahan Agung pun perlahan-lahan bangkit. Angin berhembus dingin. Pulau Hitam tetap mencekam.
Dua potongan pedang tetap menancap di atas pasir hitam, yang di saat angin berhembus, butiran-butiran pasir itu perlahan-lahan mengubur dua potongan pedang perak....

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Segera menyusul:
RAHASIA SEBELAS JARI


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Dewa Lautan Timur --oo0oo-- Rahasia Sebelas Jari


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers