Life is journey not a destinantion ...

Pedang Buntung

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Iblis Segala Amarah --oo0oo-- Dewa Lautan Timur



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: PEDANG BUNTUNG

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«::Փ ( 1 ) Փ::»

Perjalanan waktu memang tak dapat dihindari dalam kehidupan ini. Kendati bergeraknya terasa sangat lambat, namun tanpa disadari waktu dapat bergerak laksana meteor, hingga terkadang kita tak menyadari betapa waktu telah membuat kita terkubur dalam hari-hari penuh kesia-siaan.
Alam kembali dinaungi keindahan memukau.
Sang raja siang telah tebarkan sinar merahnya ke seluruh persada sejak dua penanakan nasi lalu.
Mayapada cerah dengan tautan awan putih bagai menghiasi dinding langit dengan taburkan sejuta pesona yang sukar untuk ditepiskan. Burungburung beterbangan menyambut pagi, diiringi kicauan riangnya.
Di satu tempat yang dipenuhi pepohonan, nampak sebuah sungai yang airnya mengalir jernih dan tak begitu deras. Di tengah-tengah sungai itu terdapat beberapa buah batu yang menonjol. Dan di sekitar sungai itu banyak ditumbuhi ranggasan liar semak belukar serta beberapa buah pohon.
Dalam pesona keindahan itu, mendadak saja sebuah kepala menyembul keluar dari dalam sungai.
Byuuurrr!! "Hiiiii!! Dingin!!" Lalu dengan konyolnya kepala itu langsung masuk kembali ke air tanpa perhatikan kiri kanannya. Begitu seterusnya sampai tiga kali, sebelum kemudian pemilik kepala yang ternyata seorang pemuda itu mengusap rambut gondrongnya ke belakang. Wajah anak muda ini tampan dengan sorot mata Jenaka. Sepasang alisnya hitam legam dan menukik laksana kepakan sayap elang.
Dan tiba-tiba saja anak muda ini celingukan sebentar. Lalu buru-buru naik ke tepi sungai. Begitu kedua kakinya menginjak tepian sungai itu, dengan tingkah konyol anak muda ini langsung melompat lagi ke sungai itu.
"Assyiikkkk!!" Byuuurrr!! Muncrat air sungai begitu tubuhnya masuk.
Nah, nah, siapa lagi yang punya tingkah konyol kayak begitu kalau bukan si Urakan dari Lembah Kutukan" Pemuda itu memang pendekar kita yang bau tubuhnya sudah dua belas rupa hingga begitu menemukan sungai yang berair jernih, seperti orang yang terdampar di padang tandus segera membuka pakaian dan menyeburkan diri. Lalu dengan noraknya dia berenang, merendam dan menyelam dengan sesekali berteriak seperti anak kecil.
Begitu kepala si urakan ini muncul kembali, langsung digeleng-gelengkan hingga air yang menempel pada wajah dan rambutnya berlompatan.
"Asyik syekalleee!!" Sambil bernyanyi-nyanyi yang tidak ketahuan irama dan syairnya, Andika berenang-renang ke sana kemari. Lalu menyelam cukup lama.
Tatkala kepalanya disembulkan kembali dari air sungai itu, tiba-tiba didengarnya suara perempuan menjerit,
"Iiiihhhh!!" Kontan anak muda dari Lembah Kutukan ini terkesiap kaget. Kejap itu pula dia langsung menyelam kembali. Lalu masih dengan wajah kaget, hati-hati disembulkan kepalanya hingga leher.
Dilihatnya seorang gadis berpakaian biru muda sedang berdiri dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Namun tidak membalikkan tubuh.
"Monyet pitak! Kapan datangnya gadis itu" Bikin kesenanganku terganggu saja! Brengsek! Eh, kenapa dia tidak, membalikkan tubuh sih?" kata Andika dalam hati. Lalu berseru,
"Hooiiii! Menghadap ke sana! Aku mau pakaian!!" Tetapi gadis itu justru tetap pada kedudukannya berdiri. Malah Andika melihat bibir gadis itu menyeringai dan jari jemari yang menutupi penglihatannya agak melonggar.
"Eh, brengsek betul!" dengus Andika dan berseru lagi,
"Hoooiiii! Menghadap ke sana!!" Gadis berkepang dua itu perlahan-lahan segera balikkan tubuh. Andika sendiri segera melompat dari dalam sungai dan kembali mengenakan pakaian yang diletakkannya di balik ranggasan semak belukar. Kain bercorak catur pun menghiasi lehernya. Setelah berpakaian pemuda urakan ini segera keluar kembali dengan hati agak mangkel karena merasa dipermainkan gadis berbaju biru tadi.
Tetapi niatnya itu langsung putus begitu tak melihat lagi gadis yang menggodanya berada di sana. Sejenak kening anak muda ini berkerut. Sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dia berkata,
"Busyet! Ke mana dia" Kok cepat amat menghilang" Hiii... jangan-jangan dia bukan manusia! Tetapi salah satu penunggu hutan ini! Celaka sepuluh setengah! Kabur, ah!!" Tetapi sebelum Andika putar tubuh, terdengar satu seruan dari atas sebuah pohon,
"Heiii! Kau mau ke mana, hah"!" Lagi Andika segera balikkan tubuh. Kepalanya agak didongakkan ke atas. Cukup lama dia pandangi gadis itu sebelum buka mulut,
"Aku mau ke mana bukan urusanmu, kan"! Kau telah mengganggu keasyikanku mandi! Ngomong- ngomong... kau ini sebangsa monyet atau setan gentayangan sih?"
"Sembarangan ngomong!!" balas si gadis sewot.
"Tadi kupikir, kau ini penunggu sungai itu!!" Sementara Andika nyengir, gadis itu diam-diam membatin,
"Aku tak boleh terlalu percaya pada siapa pun yang kujumpai. Tetapi, aku juga tidak tahu ke mana jalan yang harus kutempuh menuju ke Pesanggrahan Bayu Api. Dialah satu-satunya orang yang tak menampakkan sikap berkeinginan untuk menangkapku. Tetapi, bisa jadi pemuda ini hanya berpura-pura dan akan membokongku dari belakang" Aku harus berhati-hati." Habis membatin demikian, dengan ringannya gadis berpakaian biru muda ini melompat dari pohon itu. Kendati takjub melihat gerakan si gadis, Andika tak bisa menahan diri untuk tidak berseloroh,
"Benar juga nih dugaanku! Kau ini tentunya sebangsa kumpulan monyet-monyet, ya?"
"Brengsek!!" seru si gadis melotot, tetapi di dalam hati membatin,
"Apakah kekonyolan yang dimilikinya itu hanya untuk menutupi siapa dirinya sebenarnya" Atau... dia memang memiliki sifat seperti itu" Waktuku tidak banyak... aku harus mengorek keterangan siapa dia sebenarnya." Sementara itu. Andika sedang nyengir sendirian.
Dia tengah mengagumi kecantikan yang dimiliki gadis yang berdiri sejarak delapan langkah dari hadapannya. Gadis itu memiliki tubuh yang indah dan montok.
Pakaian biru muda yang dikenakannya memang agak ketat, hingga perlihatkan lekuk tubuhnya yang menawan. Wajahnya berbentuk bulat telur. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang memerah indah dan di atas bibir sebelah kanan terdapat sebuah tahi lalat yang menambah kecantikannya. Sepasang alisnya hitam, dihiasi dengan bulu mata lentik dan mata yang cerah terbuka. Kecantikannya dilengkapi dengan indahnya rambut yang dikepang dua.
Ditatap seperti itu si gadis menjadi jengah. Buruburu dia berseru,
"Heiii!! Kenapa matamu itu, hah"!" Andika cuma nyengir. "Kecantikannya begitu sempurna sekali. Tetapi dari sorot matanya, aku menangkap satu kegelisahan yang amat sangat dan berusaha ditutupinya. Hmmm... sebenarnya aku ingin tahu kegelisahan seperti apa yang sedang dialaminya. Tetapi rasanya, tidak enak." Masih nyengir Andika menyahut,
"Biasa deh! Mata inii memang tidak pernah makan bangku sekolah! O ya! Karena kau tentunya punya urusan sendiri begitu juga denganku, kita berpisah di sini! Tapi ngomong-ngomong... tadi kamu sempat melihat... ah, tidak jadi deh." Sambil garuk-garuk kepalanya anak muda berpakaian hijau pupus itu putar tubuh. Namun baru tiga tindak dia bergerak, si gadis berseru, 'Tunggu!" Andika segera hentikan langkah dan tolehkan kepala. Belum lagi si gadis buka mulut, dia sudah berseru mendahului,
"Kamu lihat ya, kamu lihat ya?" Memerah wajah si gadis mendengar selorohan konyol itu. Dan saat ajukan tanya suaranya terdengar tegas,
"Tahukah kau jalan menuju ke Pesanggrahan Bayu Api?" Sejenak Andika kerutkan keningnya. "Pesanggrahan Bayu Api" Rasa-rasanya baru kali ini aku mendengar. Hmmm... menilik nada suaranya, jelas sekali kalau dia terburu-buru. Mungkin karena dia berharap aku dapat menjawab pertanyaannya maka dia tak segera melanjutkan perjalanannya." Habis membatin begitu, buru-buru digelengkan kepalanya seraya berkata. "Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Kalau boleh aku tahu, mengapa kau hendak menuju ke tempat yang namanya angker banget?"
"Itu urusanku! Kalau kau tidak tahu ya tidak usah banyak tanya!!" Nyengir anak muda dari Lembah Kutukan ini mendengar sahutan si gadis. Sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dia berkata,
"Kalau kau tidak mau menjawab, ya tidak apa-apa! Tapi jangan sewot gitu dong! Sudah, ah!! O ya... siapa namamu?" Kali ini si gadis tak segera membuka mulut.
Sambil pandangi tak berkedip anak muda di hadapannya, dia berkata dalam hati,
"Aku masih tidak tahu apakah sikap pemuda ini memang benarbenar tidak tahu siapa aku, atau dia hanya berpurapura" Tetapi nampaknya sikap yang diperlihatkan waktu kusebutkan Pesanggrahan Bayu Api nampaknya biasa-biasa saja dan keterkejutannya wajar. Ah, kepalaku jadi pusing sekarang. Karena orang jahat pun dapat bersikap manis. Hmmm...
lebih baik tak kukatakan siapa aku sebenarnya." Lalu katanya,
"Mengapa justru aku yang mengatakan lebih dulu, mengapa tidak kau yang pertama?" Andika menyeringai sambil berkata,
"Namaku Andika, keren nggak" Kalau kau mengatakan tidak keren, sungguh keterlaluan!" Mendengar selorohan itu mau tak mau si gadis tersenyum. "Lumayan juga."
"Nah! Siapa namamu?" Kembali si gadis terdiam. Sebelum dia membuka mulut Andika sudah mendahului,
"Nampaknya kau ragu-ragu untuk mengatakan namamu, ya" Kalau begitu... bagaimana bila kau kupanggil dengan sebutan Gadis Kayangan" Nah, bagus kan?" Tersenyum gadis berpakaian biru yang sesungguhnya bernama Winarsih itu mendengar kata-kata Andika. Apalagi ketika Andika berkata lagi,
"Wajahmu memang jelita dan rasanya tepat sebutan Gadis Kayangan buatmu. Bagaimana" Setuju" Bila tidak ya dikembalikan saja ke toko sebelah!"
"Benar-benar sulit dimengerti sifat pemuda ini.
Terkadang dia bersikap serius, tetapi bila sudah datang konyolnya minta ampun. Ah... siapakah dia sebenarnya" Apakah dia termasuk salah seorang dari manusia-manusia celaka yang sedang memburuku?" Selagi si gadis membatin demikian, Andika berkata,
"Tidak ada lagi yang kau tanyakan, bukan" Yuk, ah! Aku pergi dulu! Perutku lapar nih!" Habis kata-katanya, Pendekar Slebor segera melompat meninggalkan tempat itu. Terkesiap Winarsih atau yang dijuluki Andika si Gadis Kayangan karena tahu-tahu pemuda itu sudah tak berada di tempatnya.
"Luar biasa! Gerakannya sungguh begitu cepat sekali! Jelas kalau pemuda itu bukan orang yang dapat dipandang sebelah mata. Tetapi, sayangnya aku tidak tahu siapa dia. Apakah dia lawan atau kawan, sukar pula kuduga karena sifatnya yang nampak konyol begitu. Tetapi biar bagaimanapun juga untuk saat ini aku harus berhati-hati dan tak boleh bertindak gegabah. Sayang aku tidak tahu jalan menuju ke Pesanggrahan Bayu Api. Bila aku tahu, tak akan aku kebingungan seperti ini.
Terutama...." Memutus kata-katanya sendiri, si gadis mendadak celingukan. Dari raut wajahnya sekarang, jelas sekali dia mencemaskan sesuatu.
"Aku tidak boleh terlambat. Aku harus ke Pesanggrahan Bayu Api segera! Bila tidak, semuanya akan jadi berantakan. Hmmm... sebaiknya kuambil jalan yang berlawanan dengan pemuda itu.
Siapa tahu dia memang bukan orang baik-baik. Dan sekarang sedang bersembunyi di satu tempat untuk membokongku." Memutuskan demikian, gadis berpakaian biru muda yang sepertinya menyimpan sesuatu yang sangat berat, segera berkelebat ke arah agak menyerong dari yang ditempuh Andika.

***

Senja sudah turun ketika Winarsih yang sedang menuju ke Pesanggrahan Bayu Api tiba di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar dan pepohonan. Tatapan gadis ini begitu bersiaga tatkala memperhatikan sekelilingnya. Bahkan kedua tangannya terkepal tanda dia telah siap bila menghadapi sesuatu yang tak menyenangkan.
Lamat-lamat terdengar desahannya.
"Benar-benar celaka! Waktuku tinggal tiga hari lagi! Bila tidak, semua akan menjadi kacau! Bila benda ini tidak sampai pada Panembahan Agung di Pesanggrahan Bayu Api, semuanya akan jadi berantakan!" Lagi diedarkan pandangannya berkeliling. Rasa cemas dan telah nampak membayang di wajahnya.
Namun kekerasan hati gadis ini, membuatnya berusaha untuk tindih segala cemas dan lelah.
Karena, tugas telah diemban. Dan dia harus berhasil menuju ke Pesanggrahan Bayu Api.
"Sebentar lagi malam akan datang. Aku tak boleh berada di tempat terbuka seperti ini." Memutuskan demikian, Winarsih segera hempos tubuhnya lagi. Namun baru saja dia berlari sejarak tiga tombak, mendadak saja tangan kanannya digerakkan ke samping.
Wusss!! Menghampar satu gelombang angin cukup deras yang segera menghantam ranggasan semak belukar di sampingnya. Disusul dengan makian,
"Manusia kurang ajar! Mengapa harus mengintip bila ingin mampus, hah"!" Sejenak Winarsihyang sudah berdiri tegak dengan kedua mata dibuka lebih lebar, arahkan pandangan pada semak itu. Tak seorang pun yang keluar dari sana. Dan keadaan ini membuatnya yang tadi geram menjadi agak kecut.
Diam-diam dia membatin,
"Celaka! Apakah orang-orang yang menghendaki benda ini telah mengetahui jejakku" Oh! Ini tak boleh dibiarkan! Apa pun yang terjadi, akan kuhadapi sekuat tenaga! Benda ini harus kupertahankan dengan nyawaku!!" Kejap kemudian gadis berkepang dua ini berseru keras,
"Jahanam terkutuk! Perlihatkan tampangmu, hah" Biar urusan cepat selesai!!" Belum lagi kata-kata Winarsih terdengar, mendadak saja satu tawa keras membahana di belakangnya. Serta-merta gadis ini putar tubuh.
Seketika itu pula nampak dia surut ke belakang dua tindak begitu mengenali siapa orang yang berdiri di hadapannya.
"Celaka! Mengapa aku harus bertemu dengan manusia satu ini"!"

***

«::Փ ( 2 ) Փ::»

Sejarak dua tombak dari tempatnya berdiri, satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam pekat telah tegak di hadapannya. Sepasang mata lelaki berambut panjang yang dikuncir itu menatap tak berkedip ke arah Winarsih. Nampak sekali kalau dia sepertinya hendak menelan bulat-bulat gadis itu. Di pergelangan tangan kanan kiri lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu terdapat gelang-gelang penuh duri. Terdengar dengusan berat lelaki berwajah tirus dengan hidung agak bengkok dan kedua mata yang bergelambir,
"Kau tak akan bisa meloloskan diri dari tanganku lagi, Winarsih!!" Kendati nampak cukup terkejut dan agak gentar, tetapi gadis ini kelihatan berusaha tegar. Untuk sesaat dia nampak menindih perasaan kecutnya sebelum keluarkan dengusan. Lalu pasang seringaian mengejek saat berkata,
"Sangga Rantek! Kau tak bosan-bosannya mengejarku, hah" Apakah kau sudah merasa pasti akan dapat merebut benda ini dari tanganku?" Terbahak-bahak lelaki bernama Sangga Rantek ini.
Tawa yang keluar dari mulut besarnya bukan hanya membuat dedaunan berguguran, tetapi juga membuat ranting pohon patah dan bertabrakan satu dengan lainnya, hingga timbulkan suara yang keras. Sementara itu di tempatnya, Winarsih sendiri harus kerahkan tenaga dalam pada kedua telinganya, guna menahan aliran tawa keras yang dikeluarkan lelaki berhidung bengkok itu.
Dan diam-diam gadis ini membatin resah,
"Benarbenar celaka! Sudah tentu dia tak akan melepaskanku! Apalagi... rasanya aku juga tak mungkin dapat meloloskan diri." Tiba-tiba Sangga Rantek memutus tawanya sendiri dan merandek gusar dengan kedua mata membuka mengerikan,
"Gadis keparat! Serahkan potongan pedang itu kepadaku!!" Winarsih keluarkan dengusan pendek. Dengan pandangan melecehkan dia berkata,
"Hhh! Tak semudah itu kau dapatkan, Manusia celaka! Dan sayangnya... kau hanya bermimpi di siang bolong!!"
"Jahanam terkutuk! Akan kukerat tubuhmu satu persatu!!" hardik Sangga Rantek kasar.
"Apa yang hendak kau lakukan urusan belakang! Kau telah membunuh guruku sebelum kau mendapatkan potongan pangkal pedang satunya lagi! Dan tentunya, Pedang Buntung yang menggambarkan sebagian titik-titik gambar, tak ada gunanya bila tak disatukan dengan potongan lainnya karena tak akan utuh gambar-gambar itu! Tetapi sayang, kau terlambat! Potongan pedang satunya memang berada di tanganku sebelum ini! Hanya saja, telah kuserahkan pada pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur yang melilit pada lehernya!"
"Gadis celaka! Jangan dusta di hadapanku!!" menggelegar suara lelaki berpakaian hitam-hitam ini. Kedua tangannya bergetar tanda dia tak kuasa lagi menahan marah.
Kendati hatinya bertambah ciut melihat keangkeran lelaki di hadapannya, Winarsih nampak tak peduli. "Sungguh sangat disayangkan... kau yang sudah berusaha sekian lama untuk mendapatkan potongan pedang itu ternyata harus sia-sia!! Dan sayangnya lagi... kau tak akan pernah dapat menyatukan pedang itu untuk melihat rangkaian titik-titik gambar yang terukir! Sungguh sangat di...."
"Terkutuk!" terputus ejekan Winarsih karena lelaki itu sudah membentak. Lalu melanjutkan dengan wajah memerah gusar,
"Kukirim nyawamu untuk menyusul gurumu di akhirat sana!!" Habis makiannya, lelaki berparas kejam ini sudah mendorong kedua tangannya ke depan. Serta merta menggebah gelombang angin yang luar biasa dahsyatnya, menyeret tanah dan ranggasan semak belukar saat menderu ke arah Winarsih.
Terkesiap Winarsih melihat serangan yang datang.
Apalagi tanah dan ranggasan semak itu menghalangi pandangan. Dalam keadaan seperti itu tak mustahil lawan sudah lakukan serangan susulan.
Cepat dia buang tubuh ke samping kanan. Sambaran gelombang angin itu luput dari sasaran.
Dan yang diduganya memang benar. Karena gelombang angin lainnya telah menderu kembali.
Terburu-buru si gadis menghindari lagi. Kendati berhasil melakukannya, bahu kirinya terkena juga sedikit sambaran angin itu. Dan akibatnya, dirasakan kalau bahu kirinya terasa seperti patah.
Meringis gadis berbaju biru muda itu sambil pegangi bahu kirinya dengan tangan kanan. Wajah jelitanya mendadak menjadi pucat.
"Celaka! Waktu lalu aku memang berhasil meloloskan diri setelah mengelabuinya! Tetapi sekarang, sulit bagiku untuk menghindar lagi!" desisnya dalam hati galau. Namun mendadak terlihat kepalanya digeleng-geldengkan. "Tidak! Tak akan kubiarkan pedang buntung ini jatuh ke tangannya! Manusia celaka itu telah membunuh Guru! Dan sebelum Guru tewas, dia memberikan potongan pedang ini untuk kuserahkan pada Panembahan Agung di Pesanggrahan Bayu Api! Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha untuk mengatasinya!" Belum lagi Winarsih dapat berpikir lebih jernih, mendadak saja gelombang angin lainnya melabrak diiringi seruan,
"Nyawamu menjadi taruhan semua ini, Gadis Celaka!!" Tanpa buang waktu lagi, Winarsih segera melompat ke samping kiri. Namun belum lagi dia menginjak tanah, gelombang angin lainnya sudah menderu. "Heeiiii!!" Terkejut bukan alang kepalang gadis ini.
Sebisanya dia membuang tubuh ke belakang.
Blaaammm!! Blaaammm!! Dua letupan keras terdengar sambung menyambung. Dan dua bagian tanah yang terhantam gelombang angin tadi, langsung muncrat ke udara dan membentuk lubang cukup besar.
Winarsih yang kembali tegak, tanpa sadar tubuhnya bergetar. Keringat dingin sudah mengaliri sekujur tubuhnya. Kedua matanya mengerjapngerjap sementara wajahnya begitu pucat.
"Benar-benar celaka! Mengapa aku harus berjumpa dengan manusia ini lagi" Ah, tak seharusnya aku membuang waktu dengan pemuda berbaju hijau pupus tadi" Tetapi... itu dikarenakan aku mencoba mencaritahu siapa pemuda itu, sebelum akhirnya manusia ini membokongku dari belakang karena termasuk salah seorang yang menginginkan potongan pedang ini...." Dan tanpa sepengetahuan keduanya, sepasang mata tajam namun licik memperhatikan dari balik ranggasan semak belukar sejarak delapan tombak.
"Hmmm... Sangga Rantek. Dari ucapannya tadi, jelas kalau dia telah berhasil membunuh Pemimpin Agung dan sekarang sedang mengharapkan potongan pedang yang dipegang oleh gadis itu yang tentunya murid Pemimpin Agung. Pantas, tatkala aku tiba di Pesanggrahan Bayu Air yang kulihat hanya reruntuhan dan mayat Pemimpin Agung.
Rupanya manusia celaka itu yang telah membunuhnya dan berhasil mendapatkan pedang buntung yang bila disatukan dengan pedang buntung lainnya akan tersatukan titik-titik yang menuju ke satu tempat. Bagus! Kali ini aku tak perlu susah payah! Bila Sangga Rantek telah berhasil memiliki potongan pedang yang ada pada gadis itu, baru kuurus dia! Paling tidak, tenaganya cukup terkuras karena kulihat tentunya gadis itu bukan gadis sembarangan." Terdengar lagi suara Sangga Rantek diiringi seringaian lebar di bibir tebalnya,
"Sebelum terlambat, serahkan potongan pedang itu kepadaku!!"
"Hhhh! Kau hanya pandai bicara! Bila memang kau menghendakinya, ambil dari tanganku!!" balas Winarsih menindih kekalutannya.
"Gadis Keparat!!" Habis bentakannya, Sangga Ranlek langsung mencelat ke depan. Tangan kanan kirinya berkelebat membentuk jotosan. Angin keras mendahului gerakan kedua tangannya.
Bagi Winarsih sendiri, tentu saja dia tak mau mati konyol. Dengan gerakan menakjubkan, gadis ini mencelat dan langsung putar tubuh dua kali di udara, bersamaan dengan itu, kedua jotosannya pun dilepaskan. Namun dengan enaknya jotosan itu dipatahkan Sangga Rantek, bahkan sosok Winarsih sendiri terhuyung ke belakang. Tangan kanan kirinya membiru dan dirasakan seperti patah. Terlebih lagi tangan kirinya yang sebelumnya tadi, sudah terkena sambaran angin Sangga Ranlek di bagian bahu.
Ngilunya bukan alang kepalang. Sangga Rantek sendiri tak mau membuang waktu lebih banyak.
Sambil mencelat kembali dia lepaskan jotosan ke bagian kepala, sementara serangkum angin telah mendahului menerjang ke arah Winarsih.
Gadis berkepang dua ini terkesiap kaget. Segera dilepaskan jurus 'Matahari Tebar Sinar', yang sertamerta udara di sekitar sana berubah menjadi panas.
Namun gelombang angin itu bukan hanya dapat dipatahkan lawan, tetapi juga berbalik ke arahnya.
Kian memucat wajah Winarsih mendapati serangannya berbalik ke arahnya. Sebisanya dia membuang tubuh. Sementara tanah di mana tadi dia berdiri, langsung membentuk sebuah lubang sedalam lutut dan keluarkan asap.
Saat berdiri kembali kendati agak sempoyongan, gadis ini membatin resah,
"Tak mungkin aku bisa menghadapinya! Tidak, aku tidak ingin mati konyol sebelum benda ini sampai ke tangan Panembahan Agung! Lebih baik, segera kutinggalkan tempat ini daripada urusan justru berkembang lebih parah bila lelaki itu berhasil mendapatkan potongan pedang ini!" Memikir demikian, si gadis langsung lepaskan serangan. Dua kali dilepaskan jurus 'Matahari Tebar Sinar' yang dapat diputuskan dengan mengangkat tangan kanannya saja oleh Sangga Rantek. Dan kesempatan itu dipergunakan oleh Winarsih untuk segera menjauh dari sana.
Namun baru saja dia lakukan gerakan itu, mendadak saja terdengar gemuruh angin yang luar biasa dahsyatnya. Terkejut bukan alang kepalang Winarsih yang segera membuang tubuh ke samping kiri dan saat masih bergulingan. Sangga Rantek sudah mencelat ke depan. Kaki kanannya yang telah dialiri tenaga dalam penuh siap dihajarkan pada kepala Winarsih sementara tangan kirinya sudah didorong lebih dulu.
Tubuh Winarsih telak terhantam dan terlempar tiga tombak ke belakang. Masih untung Winarsih memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Bila tidak, tulang penyanggah tubuhnya akan patah berantakan. Meskipun demikian, dia tak mampu lagi untuk bangkit. Darah segar mengalir dari hidungnya Sementara, kaki kanan Sangga Rantek siap mengirim nyawanya ke akhirat diiringi desisan si pemilik sepasang mata yang ternyata seorang perempuan,
"Kini tinggal urusanku! Nyawa gadis itu telah ada di ambang mata!"

***

Namun apa yang diduga perempuan berkerudung merah itu ternyata salah. Karena belum lagi maut menjemput Winarsih, mendadak terdengar salakan petir yang sangat keras. Menyusul terlihat kaki kanan Sangga Rantek terangkat naik sementara tubuhnya mundur beberapa langkah ke belakang.
Namun kejap itu pula lelaki kejam itu mencelat lagi ke depan. Dia seolah tak peduli ada satu tenaga kuat telah menghalangi maksudnya. Kaki kirinya kembali terangkat dan siap menghantam kepala Winarsih kembali.
Untuk kedua kalinya Winarsih terkesiap kaget.
Darahnya seolah siap tumpah dari ubun-ubun.
Akan tetapi, untuk kedua kalinya pula injakan kaki Sangga Rantek terputus. Kali ini terdengar suara gelombang angin disusul dengungan ribuan tawon murka. Blaaaam! Terdengar ledakan hebat saat dua gelombang angin tadi menghantam kaki kiri Sangga Rantek.
Kontan Sangga Rantek terhuyung ke belakang dengan kaki yang terasa ngilu luar biasa.
"Jahanam keparat!!" makinya keras.
Di lain pihak, satu bayangan hijau telah berkelebat dan menyambar sosok Winarsih yang masih terkapar. Gadis itu sendiri yang tak menyangka kalau akan diselamatkan orang, mendesis begitu mengenali siapa yang muncul,
"Andika...." Bayangan hijau yang tadi selamatkan Winarsih dari maut yang diturunkan Sangga Rantek, menyeringai lebar.
"Gadis Kayangan! Kupikir kau sudah menjauh! Tidak tahunya lagi asyik bercanda dengan monyet jelek itu, ya"!" .
"Brengsek! Dia bilang aku bercanda, padahal nyawaku sudah mau putus!" maki Winarsih dalam hati. Sementara itu, pemilik sepasang mata terkesiap melihatnya. "Kurang ajar! Ternyata urusan tak semudah yang kuduga! Siapa pemuda itu" Menilik ciri-cirinya... sepertinya aku pernah mendengar seorang pemuda berciri demikian. Tetapi siapakah pemuda itu dan... keparat betul! Ke mana daya ingatku yang biasanya cemerlang tetapi sekarang sulit menduga siapa pemuda itu?" Di lain pihak. Andika sedang berkata pada Winarsih,
"Kau kenapa sih" Kok bercanda dengan orang seperti itu" Dia itu siapa" Sepertinya sadis amat?" Winarsih yang masih berada dalam bopongan Andika terdiam seraya membatin dalam hati,
"Aku masih belum mempercayai pemuda ini sepenuhnya kendati dia telah menyelamatkanku. Karena di saat rimba persilatan bertambah kacau seperti ini, sulit menentukan mana kawan dan mana lawan.
Terutama, aku yakin banyak orang-orang yang mengincarku untuk mendapatkan potongan pedang yang merupakan titik-titik petunjuk menuju suatu tempat. Dan bila disatukan dengan Pedang Buntung yang ada pada Sangga Rantek, maka jalan menuju tempat itu akan semakin mudah." Habis membatin begitu si gadis menjawab,
"Dia bernama Sangga Rantek. Aku sendiri tak habis pikir mengapa dia menyerang dan menginginkan nyawaku."
"Benar-benar bodoh tuh orang! Masa sih menginginkan nyawamu" Gadis secantik kau ini pantasnya untuk dimiliki! Ngomong-ngomong... aku mulai keberatan nih!" Winarsih tertawa pendek, ketegangannya sudah tidak kentara lagi. Dan dia tahu kalau pemuda yang membopongnya ini sama sekali tidak merasa keberatan. Perlahan-lahan dia pun turun. Namun begitu kedua kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah sempoyongan. Bila saja tidak segera ditangkap oleh Andika, sudah tentu gadis itu akan langsung ambruk. Hati-hati Andika merebahkan tubuh Winarsih yang karena kelelahan akhirnya jatuh pingsan Sebelum memeriksa tubuh Winarsih, Andika melirik dulu ke arah lelaki berpakaian serba hitam yang nampak sedang berdiri dalam kedudukan bersemadi. Rupanya Sangga Rantek masih dapat menahan serangan tenaga 'Inti Petir' yang dilepaskan Andika dan menghantam kaki kanannya tadi. Namun dia tak kuasa menahan sakit pada kaki kirinya akibat terkena sabetan kain bercorak catur yang dikibaskan Andika, yang dilakukan karena waktunya sudah sedemikian sempit untuk menyelamatkan Winarsih.
Andika mendengus tatkala merasakan hawa panas melingkar-lingkar di tubuh gadis berbaju biru muda itu. "Gadis Kayangan... aku tahu kalau kau menyembunyikan sesuatu. Sejak pertama berjumpa, dari pancaran kedua matamu aku tahu kau sangat gelisah dan mencurigaiku. Dan sekarang... lelaki bernama Sangga Rantek itu muncul menghendaki nyawamu. Sudah tentu ada urusan yang memang harus diselesaikan dan harus menelan korban.
Monyet pitak! Ada apa sebenarnya ini?" Lalu dengan hati-hati anak muda dari Lembah Kutukan itu alirkan tenaga 'Inti Petir' melalui kedua ibu jari kaki Winarsih. Namun belum sepenuhnya dilakukan pengobatan, mendadak terdengar suara menggeram keras,
"Pemuda jahanam! Kau mencari mampus di hadapan Sangga Rantek!!" Mendengar ucapan orang, Andika cuma mendengus. Masih dengan kedua tangan memegang ibu jari kaki Winarsih, dia mengomel seenak jidatnya,
"Mampus atau tidak urusan belakangan! Jangan ribut dong! Gadis ini sedang pingsan dan sakit! Kau ini memang tidak tahu sopan santun! Tunggu sebentar kenapa sih?" Mengkelap Sangga Rantek mendengar selorohan orang. Kedua tangannya mengepal saat keluarkan bentakan,
"Sebenarnya, aku tak percaya apa yang dikatakan gadis itu tadi! Tetapi sekarang, melihat kemunculanmu, aku mulai yakin kalau potongan pedang buntung itu memang berada di tanganmu!!"
"Potongan pedang" Potongan pedang apa maksudnya?" desis Andika dalam hati, lalu berucap,
"Busyet! Kalau kau menginginkan potongan pedang, kenapa harus mencari padaku" Tunggu sebentar, nanti kuberi uang agar kau bisa membelinya! Banyak orang yang jual potongan pedang di Kotapraja! Mungkin juga ada Pedang Buntung! Pergi saja ke sana! Sekalian melihat keramaian!! Kok cuma potongan pedang saja diributkan sih"!" Tak sanggup lagi Sangga Rantek untuk menahan diri lebih lama mendengar ucapan yang semakin membuat hatinya kian membara. Dengan kemarahan tinggi, dia sudah dorong kedua tangannya ke depan.
"Keparaaattt!!" Wuussss!!

***

«::Փ ( 3 ) Փ::»

Serta-merta menderu dua gelombang angin yang keluarkan suara menggidikkan yang kemudian menyatu ke arah Andika.
"Kutu monyet!" maki anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini seraya melompat ke samping kanan. Blaaarrr!! Tanah di mana tadi dia berada langsung muncrat ke udara begitu terhantam gelombang angin yang dilepaskan Sangga Rantek. Dan sebelum seluruhnya luruh. Sangga Rantek yang murka sudah kembali lepaskan serangan.
"Kadal buntung! Monyet bau!! Kenapa main serang seenak jidatmu saja, hah"!" maki Andika jengkel sambil menghindar kembali.
"Serahkan potongan pedang itu kepadaku!!" seru Sangga Rantek dari tempatnya. Tangan kanan dan kirinya dikepalkan kuat-kuat. Tatapannya terbuka lebih tajam dan dingin.
"Busyet! Kok kau ini tidak bosan-bosannya meminta potongan pedang" Kan tadi sudah kukatakan, beli saja di Kotapraja, kau akan mendapat sebilah pedang yang bagus!!"
"Serahkan potongan pedang itu kepadaku, maka kau akan hidup lebih lama!!" bentak Sangga Rantek lagi, lebih keras.
"Lagi-lagi potongan pedang" Apa sih maksudnya" Atau... jangan-jangan... gadis ini memiliki sebuah potongan pedang yang diinginkan Sangga Rantek dan dia mengatakan kalau aku memilikinya" Kutu monyet! Kenapa aku yang dibawa-bawa" Lagian, apa sih maunya cuma potongan pedang saja diributkan. Atau bisa jadi... inilah salah satu sebab mengapa gadis itu menanyakan padaku di mana tempat bernama Pesanggrahan Bayu Api berada" Tetapi masa sih cuma urusan potongan pedang saja jadi kapiran seperti ini" Ah, bisa jadi gadis itu punya urusan lain ke tempat yang bernama Pesanggrahan Bayu Api. Hmmm... aku harus tahu dulu dari mulut gadis ini sebelum urusan berkembang panjang." Habis membatin begitu. Pendekar Slebor berseru,
"Iya, iya! Akan kuserahkan potongan pedang itu! Tetapi aku mau tanya dulu nih!"
"Jangan membuang waktu!!" Anak muda urakan ini tak pedulikan hardikan Sangga Rantek. Dia tetap saja nyerocos seenak udelnya,
"Apakah kau memiliki potongan pedang lainnya" Maksudku Pedang Buntung" Kau kan mencari potongan pedang, tentunya akan kusatukan dengan Pedang Buntung itu, ya" Iya"!" Mendengar pertanyaan itu, Sangga Rantek terdiam. Lalu nampak senyumannya mengembang.
Dan merasa kalau si pemuda jeri untuk menghadapinya, lelaki yang di kedua pergelangan tangannya terdapat gelang-gelang penuh duri itu terbahak-bahak.
"Rupanya kau mengerti gelagat, Pemuda picisan! Bagus! Itu namanya kau masih sayang nyawa! Tentunya kau mengenal Ronggo Sewu atau yang berjuluk Pemimpin Agung, bukan" Manusia itu kini telah berkalang tanah di tanganku! Dan aku berhasil mendapatkan potongan pedang yang kau benarkan apa yang kau katakan tadi! Pedang Buntung! Tetapi dasar manusia keparat! Dia telah lebih dulu menyerahkan potongan pedang lainnya kepada muridnya itu!!" Andika yang memang ingin mencari tahu sengaja pendam keingintahuannya yang lain tentang siapakah orang yang berjuluk Pemimpin Agung. Dia berkata lagi,
"Sebenarnya apa sih yang kau inginkan dari potongan pedang itu?"
"Hhhh! Kau berlagak bodoh atau memang bodoh"!"
"Busyet! Itu namanya aku tidak tahu!" dengus Andika jengkel dan dalam hati berseru,
"Ingin kutarik kuncir kudanya itu!!"
"Bagus bila kau tidak tahu dan sekarang tentunya kau akan menyerahkan potongan pedang itu kepadaku! Jika dua potongan pedang itu dijadikan satu, maka akan tergambar titik-titik yang jelas, yang merupakan petun-|iik menuju ke satu tempat! Cepat kau.... Pemuda terkutuk! Kau mencoba mengorek keterangan dariku, hah"!!" Kendati tak terlalu terkejut karena Sangga Rantek dapat mengambil kesimpulan lebih dulu, tetapi Andika mendengus dalam hati. "Brengsek! Ternyata dia punya otak juga! Hhhh! Bila kulayani manusia ini sekarang, nantinya akan membawa dampak yang tidak mengenakkan bagi Gadis Kayangan. Lebih baik aku menyingkir saja dari sini untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut dari gadis ini." Berpikir demikian, anak muda urakan ini berkata sambil garuk-garuk kepalanya,
"Kok aneh ya" Kenapa kau berpikir aku hendak mengorek keterangan" Aku cuma hendak mengatakan, kalau Pedang Buntung yang ada padamu adalah palsu! Yah... dasar kau bodoh! Masa sih tidak bisa membedakan yang asli dan palsu!! Pemimpin Agung sudah menyembunyikannya di satu tempat!" Sesaat nampak wajah Sangga Rantek agak terkesiap. Tanpa sadar tangan kanannya memegang perutnya. Tatkala dirasakan Pedang Buntung yang dibalut dengan kain hitam masih terselip di pinggangnya nampak dia menarik napas lega.
Kendati demikian, tersirat keragu-raguan di wajahnya. Dan kejap berikutnya, lelaki berpakaian serba hitam itu sudah mendengus gusar. Menyusul sosoknya telah mencelat ke depan disertai makian keras,
"Kurobek mulutmu!!" Pendekar Slebor terkesiap merasakan betapa dahsyatnya gelombang angin yang menderu. Sekali rasa saja dia tahu, kalau di balik gelombang angin dingin itu tersimpan hawa panas yang luar biasa.
Cepat dia segera menyambar tubuh VVinarsih yang pingsan. Begitu tubuhnya melompat ke samping, tangan kanannya yang telah dialirkan tenaga 'Inti Petir' dikibaskan. Serta-merta terdengar dentuman menggelegar menyentak tempat itu.
"Gila! Luar biasa sekali tenaganya! Lenganku terasa ngilu!" desis Andika dengan tangan kanan bergetar. Segera dialirkan tenaga dalam untuk hilangkan rasa nyeri. Perlahan-lahan rasa nyeri itu hilang, begitu pula dengan warna kebiruan pada tangannya. "Kura-kura bau!" dengusnya gusar begitu melihat Sangga Rantek kembali siap lepaskan serangannya.
Andika sendiri agak kebingungan sekarang, karena dia harus menyelamatkan Winarsih lebih dulu. Lagi pula, bertarung menghadapi Sangga Rantek yang memiliki ilmu tinggi dengan sosok Winarsih dalam bopongannya sungguh sulit dilakukan. "Aku harus menyelamatkan gadis ini!!" desisnya.
Dan begitu serangan Sangga Rantek menggebrak kembali ke arahnya, anak muda urakan ini segera membuang tubuh ke samping kembali. Begitu kaki kanannya yang lebih dulu menginjak tanah, seperti ada satu tolakan kuat tubuhnya langsung berputar dan dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor, anak muda ini segera meninggalkan tempat itu. Telinganya masih sempat mendengar dentuman yang terjadi akibat serangan Sangga Rantek yang menghantam tanah.
Menggeram setinggi langit lelaki sesat itu. Kedua tangannya terangkai ke atas dengan tubuh tergelar saat berseru,
"Pemuda keparat!! Kau tak akan bisa lolos dari tanganku!!" Kejap berikutnya, lelaki itu sudah berkelebat ke arah yang dituju Andika.
Tiga tarikan napas berikutnya, perempuan berpakaian putih dengan jubah merah keluar dari balik ranggasan semak. Perempuan tinggi semampai ini menyeringai lebar sambil arahkan tatapannya ke arah perginya orang-orang itu.
Saat menyeringai, wajah jelitanya begitu mengerikan sekali. Sorot matanya tajam dan licik.
Kepalanya yang ditutupi kerudung merah itu menggeleng-geleng dan nampak kalau warna rambutnya seperti keemasan.
"Bagus! Kini aku tahu, kalau kedua potongan pedang itu masing-masing berada pada Sangga Rantek dan pemuda itu! Sangga Rantek memiliki Pedang Buntung, sementara pemuda itu potongan pedang lainnya! Hmm... ini kesempatan yang telah lama kutunggu-tunggu! Tetapi sungguh hebat bila ternyata Sangga Rantek berhasil membunuh Pemimpin Agung! Tentunya, kesaktian yang dimilikinya semakin bertambah!" Untuk sesaat perempuan ini terdiam sebelum melanjutkan,
"Hmmm... Pendekar Slebor! Ya, ya...
pemuda itu tak lain Pendekar Slebor! Sungguh menyenangkan' Gairahku untuk mendapatkan potongan pedang dari Sangga Rantek dan dirinya semakin membesar karena tantangan yang akan kuhadapi! Ini kesempatan bagus untuk membunuh Pendekar Slebor!" Kejap kemudian, perempuan berambut keemasan ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu dengan segenap keinginan yang akan dicapainya.

***

Hari telah berganti pagi kembali. Di sebuah hutan kecil nampak sehuah bayangan hijau berkelebat lincah. Gerakannya tak ubahnya bagai angin belaka, menandakan ilmu peringan tubuh yang dimilikinya sudah begitu tinggi.
Bayangan hijau yang tak lain Pendekar Slebor dan masih membopong Winarsih yang pingsan, menghentikan langkahnya di sebuah persimpangan yang terdapat di hutan itu. Sejenak anak muda urakan dari Lembah Kutukan ini perhatikan sekelilingnya. "Hmmm... mudah-mudahan Sangga Rantek belum sampai di sini. Aku harus mengobati Winarsih dulu...." Memutuskan demikian, hanya sekali melompat saja Pendekar Slebor telah berada di balik sebuah semak belukar setinggi dada. Terburu-buru direbahkan tubuh Winarsih. Sejenak ditatapnya wajah gadis itu.
"Begitu jelita... namun sayang harus hidup dalam pengejaran orang-orang seperti Sangga Rantek. Aku jadi penasaran ingin mengetahui seperti apa potongan pedang yang berisikan titik-titik gambar" Gambar apa sih" Jangan-jangan gambar monyet nongkrong!" Kejap berikutnya, kembali Andika mengalirkan tenaga 'Inti Petir' pada tubuh Winarsih. Cukup lama dilakukannya sebelum terdengar suara mengeluh dari bibir ranum si gadis. Kepala gadis itu bergerak sedikit namun sepasang matanya tidak membuka.
Tetapi Andika bisa bernapas lega sekarang.
"Tak lama lagi tentunya dia akan pulih...," desisnya sambil duduk di atas rumput. Lalu dicoba untuk memikirkan urusan yang secara tak langsung melibatkan dirinya "Potongan pedang... Sangga Rantek... Pemimpin Agung... semuanya baru kuketahui sekarang.
Bahkan nama gadis ini aku belum tahu. Tak mungkin Sangga Rantek mau bersusah payah membunuh Pemimpin Agung sementara Gadis Kayangan rela mengorbankan nyawa untuk mempertahankan potongan pedang itu. Tentunya memang ada sesuatu yang tersimpan bila kedua potongan pedang itu dijadikan satu dan membentuk rangkaian titik-titik yang membentuk gambar. Tapi, gambar apa sih?" Kembali anak muda ini terdiam.
"Kadal buntung! Aku belum bisa menduga apa yang tersimpan itu" Benar-benar brengsek! Jalan satu-satunya, aku memang harus coba korek keterangan dari mulut Gadis Kayangan" Sejenak diliriknya gadis berpakaian biru yang telentang dengan kedua mata masih terpejam.
Alunan napasnya kini terdengar teratur.
Ketika pandangannya terbentur pada busungan payudara yang montok dan sekal itu Andika mendengus sambil berpaling,
"Dasar mata tidak makan bangku sekolahan! Lebih baik... aku mencari makanan saja. Bila gadis ini siuman aku...." Kata-kata anak muda itu terputus tatkala mendengar suara dingin dari balik ranggasan semak,
"Kau mungkin bisa melarikan diri dari kejaran Sangga Rantek, Pendekar Slebor... tetapi sayangnya, kau tak akan bisa melarikan diri dari tanganku!!" Seketika anak muda itu berdiri dan melompat keluar dari tempatnya.
Dilihatnya seorang wanita berparas muda dan luar biasa jelita telah berdiri dengan seringaian mengejek. Perempuan itu berpakaian putih bersih dengan jubah merah panjang. Rambutnya yang berwarna keemasan tertutup selendang warna merah.
Kejap kemudian terdengar ucapannya dingin dan angker,
"Kau tak akan bisa mempertahankan nyawamu dari tanganku, Pendekar Slebor! Serahkan potongan pedang itu kepadaku, maka kau akan selamat!!" Andika cuma garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

***

«::Փ ( 4 ) Փ::»

Kejap kemudian, seolah tak ada masalah yang mengganggunya, anak muda yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini nyengir.
"Tak kusangka kalau aku sedemikian ngetopnya! Nah, kau sudah tahu siapa aku yang ngetop ini" Sekarang, coba deh katakan siapa sih kau yang tidak ngetop itu"!" Mendengar sahutan yang seolah menganggap dirinya angin lalu, perempuan berkerudung itu mengkelap. "Jahanam keparat! Baik! Kau masih kuberi kesempatan untuk mengetahui siapa aku! Panggil aku dengan julukan Iblis Rambut Emas!!" Andika kontan melongo (yah... ini cuma dibuatbuat). Sepasang matanya dibuat melotot lebar. Lalu menggeleng-geleng takjub.
"Hebat betul! Bila kau kehabisan uang, hanya dengan menjual selembar rambutmu saja tentunya kau akan kaya mendadak ya" Wah! Aku mau tuh diberi dua lembar saja!!" Makin gusar perempuan berjuluk Iblis Rambut Emas ini. Tangan kanan kirinya bergetar. Andika sendiri bukannya tidak tahu kemarahan orang.
Tetapi dasar urakan, dia masih bersikap santai saja.
Bahkan mulutnya masih nyengir.
Sebelum Iblis Rambut Emas buka mulut, pemuda tampan itu telah mendahului,
"Ngomong-ngomong..
mengapa kau mencari potongan pedang itu kepadaku?"
"Jangan coba mengelabuiku! Cepat serahkan!!" seru Iblis Rambut Emas menggelegar.
Andika tersenyum dan diam-diam membatin dalam hati,
"Menilik kata-katanya yang begitu pasti, jelas kalau dia sebenarnya begitu yakin potongan pedang itu berada di tanganku. Kupikir hanya Sangga Rantek yang sebelumnya mengetahui soal itu. Berarti... dia mengintip saat aku berhadapan dengan Sangga Rantek." Memikir demikian, Andika berkata,
"Wah! Kau pantas juga ya menjadi tukang intip" Eh, apa kau tidak takut matamu jadi bintitan?"
"Jahanam! Aku tak boleh membuang waktu sebelum Sangga Rantek muncul di sini" Masih untung aku memiliki ilmu 'Pelacak Aroma Tubuh' hingga aku dapat mengetahui lebih dulu di mana Pendekar Slebor yang membawa murid Pemimpin Agung itu berada. Hhh! Biar kurebut sekarang!!" Kendati memutuskan demikian, namun perempuan berjubah dan berkerudung merah ini tak segera bertindak. Dia justru perhatikan Andika dengan seksama.
Yang diperhatikan justru bersikap konyol layaknya seorang peragawan. Namun karena selalu nyengir dan garuk-garuk kepala ya jadinya seperti monyet kurang gila.
Sikap Pendekar Slebor semakin memancing amarah Iblis Rambut Emas.
"Sekali lagi kukatakan, serahkan potongan pedang itu sebelum urusan menjadi berlarut-larut!!"
"Wah! Bagaimana bila kuberikan kau sebilah pedang utuh" Itu kan lebih baik dari cuma sepotong"!"
"Setan alas! Habis bentakan yang menggelegar di tempat itu, tangan kanan Iblis Rambut Emas segera digerakkan ke kepala Andika.
Andika yang sudah duga akan hal itu, rupanya tak mau menghindar. Dia memang ingin menjajaki kekuatan Iblis Rambut Emas. Serta-merta dia mencelat ke depan dengan jotosan lurus ke wajah si perempuan. Melengak Iblis Rambut Emas melihat si pemuda justru mencoba memapaki serangannya. Dirasakan bagaimana angin yang keluar di saat pemuda berpakaian hijau pupus itu menggerakkan jotosanny Dia sendiri tak mau tarik pulang jotosannya.
Justru ditambah tenaga dalamnya.
Tak ayal lagi, dua jotosan itu bertemu.
Desss!! Dan masing-masing orang langsung mundur ke belakang tiga tindak. Di tempatnya Pendekar Slebor dengan sikap konyol menggoyang-goyangkan tangan kanannya dan meniup-niupnya.
"Monyet pitak! Kau betul-betulan, ya?" serunya makin konyol. Di seberang, wajah Iblis Rambut Emas memerah.
Karena dia terkejut merasakan tangan kanannya juga ngilu. "Julukan Pendekar Slebor memang bukan omong kosong belaka! Tetapi aku akan tetap menjajakinya! Apalagi dia memiliki potongan pedang seperti yang dikatakan murid Pemimpin Agung! Biar bagaimanapun juga...." Mendadak perempuan ini memutus kata batinnya sendiri. Nampak keningnya berkerut "Gila! Bagaimana bila ternyata pemuda itu tidak memilikinya dan murid Pemimpin Agung hanya coba kelabui Sangga Rantek" Keparat! Akan kugeladah keduanya!!* Di lain pihak, Andika berpikir,
"Bila aku menghadapi perempuan ini dulu, maka akan banyak waktu yang terbuang. Aku tetap berkeyakinan, kalau semua ini berhubungan dengan pertanyaan Gadis Kayangan tentang Pesanggrahan Bayu Api. Mungkin juga Gadis Kayangan memburu waktu. Berarti, aku harus membawanya ke sana kendati pun aku tidak tahu di mana tempat itu berada. Sebaiknya...." Terputus kata-kata Pendekar Slebor karena mendadak saja terdengar seruan geram Iblis Rambut Emas,
"Kau telah menggali lubang kuburmu sendiri, Pendekar Slebor!!" Wusssss!! Serangkum kabut putih berhawa dingin mencelat ke arah Andika. Suara yang ditimbulkan begitu mengerikan sekali.
Mundur dua tindak Andika melihat serangan ganas itu. Segera saja dia mengangkat kedua tangannya yang telah dialiri tenaga 'Inti Petir'.
Blaaammm! Blaammm!! Kabut putih berhawa dingin itu langsung buyar ke udara. Dan untuk kedua kalinya Iblis Rambut Emas terkesiap mendapati serangan balas yang dilakukan Andika. Tubuhnya mundur satu tombak ke belakang. Meskipun demikian, dia segera angkat tangannya dan...
Wusss! Pendekar Slebor memang sengaja berikan gebrakan yang cukup mengejutkan, karena hendak pergunakan kesempatan selagi perempuan berkerudung merah itu mundur untuk menyambar dan membawa Winarsih menjauh dari sana.
Tetapi perempuan di hadapannya itu bukan orang sembarangan, dia termasuk salah seorang dedengkot persilatan, yang dalam keadaan terkejut masih sempat kirimkan serangan hingga mau tak mau Andika buang tubuh ke kiri dan berputar dua kali sebelum hinggap di tanah.
"Monyet buntek! Kalau begini, bisa berabe!!" makinya jengkel.
Di seberang, Iblis Rambut Emas sudah menerjang ke muka. Sementara Pendekar Slebor sendiri harus mengerutkan kening begitu melihat gerakan yang dilakukan lawan. Karena gerakan itu sangat lambat Namun di kejap lain, anak muda yang memiliki otak seencer bubur itu langsung dapat menduga kalau lawan hanya mencoba mengalihkan perhatiannya dengan gerakan yang diperlihatkan.
Karena berpikir demikian, Pendekar Slebor tak mau bertindak ayal ketika tangan kanan dan kiri perempuan berkerudung merah itu mengibas ke depan. Wuuuss! Wusss!! Dua bongkah kabut putih yang diiringi hawa dingin menggigil, menghampar dengan kekuatan maha besar. Andika memekik tertahan karena pada jarak dua tombak dia sudah merasakan hawa dingin yang membuat urat-uratnya menjadi kaku. Namun si pemuda yang sebenarnya sangat jengkel tak mau bertindak ayal pula. Tenaga 'Inti Petir' tingkat kelima sudah dialirkan pada kedua tangannya.
Dan.... Wusss! Tubuhnya pun bergerak ke muka. Sepintas gerakan yang diperlihatkan Andika lebih cepat karena Iblis Rambut Emas memang seperti sengaja memperlambat gerakannya. Namun di dalam gerakan lambat itu tersimpan perangkap yang mematikan. Karena lawan akan lengah dan masuk perangkap begitu merasa serangannya tak mengandung sesuatu yang mengerikan. Namun di balik semua itu, gerakan lambat yang diperlihatkan Iblis Rambut Emas, dapat bergerak sangat luar biasa cepat. Dan itu pun dilakukan oleh Iblis Rambut Emas. Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi terjadi. Ledakan dahsyat terdengar. Tempat itu bagai diguncang sebuah gempa hebat bersamaan dengan pupusnya dua bongkah kabut putih tadi. Tanah di tempat bertemunya benturan itu muncrat setinggi dua tombak. Dedaunan langsung meranggas dan rumput serta semak belukar tercabut paksa dari akarnya. Keadaan itu menghalangi pandangan keduanya.
Iblis Rambut Emas mengibas-ngibaskan tangannya agar pandangannya lebih terbuka. Terdengar makiannya keras,
"Pemuda keparat!! Kubunuh kau!!" Lalu secara membabi buta, perempuan berkerudung merah ini menyerang ganas ke arah Andika yang sengaja menjauh dari sana. Karena dia tak ingin salah satu serangan Iblis Rambut Emas akan melabrak ranggasan semak belukar di mana sosok Winarsih masih pingsan.
Akibat yang terjadi sungguh mengerikan. Pepohonan langsung tumbang berturut-turut dan menimbulkan suara menggemuruh. Ranggasan semak tercabut bersamaan rengkah dan muncratnya tanah ke udara.
"Monyet pitak! Orang gundul! Sambal terasi! Kalau begini caranya aku bisa mampus!!" maki anak muda urakan ini jengkel karena tak sekalipun diberi kesempatan untuk membalas.
Bagaimana bisa membalas kalau dari segenap penjuru Iblis Rambut Emas mengurung dengan serangan kabut putih yang mengandung hawa dingm. Sementara udara senja yang sudah agak dingin pun ditambah menjadi sangat dingin.
"Kutu bantel!!" maki Andika sambil putar tubuh ke depan. Lalu dengan nekat dia buat gerakan seperti hendak menyongsong serangan si perempuan. Akan tetapi, dua tindak ke muka, anak muda ini membuat gerakan setengah lingkaran dengan mengirimkan tendangan kaki kanannya terlebih dahulu.
Iblis Rambut Emas segera angkat tangan kanan untuk menahan tendangan Andika. Tetapi dia kecele, karena pemuda berambut gondrong acakacakan itu telah tarik tendangannya. Justru dengan gerakan mengejutkan dia menyongsong masuk.
Jotosan tangan kanan yang mengandung tenaga "Inti Petir' telak menghantam pinggang Iblis Rambut Emas. Terpekik perempuan berjubah merah ini dengan tubuh terhuyung.
Bila saja Andika menginginkan untuk kirimkan serangan kembali, maka dengan mudah akan dilakukannya. Tetapi anak muda ini justru berdiri dengan selorohan,
"Wah! Kok bisa kena, ya" Padahal aku asal-asalan tuh! Eh! Bagaimana bila kita sudahi dulu canda ria" Aku masih ada urusan sih!!"
"Pemuda keparat!! Aku akan mengadu jiwa denganmu!!" maki Iblis Rambut Emas sambil usap darah yang keluar dari sela-sela bibirnya dengan punggung tangan kanannya.
"Mengadu jiwa" Kenapa tidak mengadu raga?" balas Andika sambil nyengir, lalu menyambung,
"Ah, tidak! Lebih baik kau mengadu raga dengan pohon itu saja"!" Makin murka perempuan ini. Setelah kertakkan rahangnya, dengan wajah membesi dia sudah menerjang kembali dengan lepaskan kabut-kabut putihnya yang berhawa dingin.
"Busyet! Keras kepala amat!!" dengus Andika.
Dan dia pun tak mencoba untuk menghindar.
Malah dia bergerak cepat menyongsong. Kali ini tenaga 'Inti Petir' tingkat ketiga sudah dilepaskan kembali. Blaaarrr!! Untuk kedua kalinya tempat itu laksana diguncang topan. Tanah di mana bertemunya dua tenaga sakti itu, muncrat ke atas bersamaan dengan tumbangnya sebuah pohon.
Tatkala tanah, semak, dan dedaunan terhempas ke tanah, sepasang mata perempuan ini terbuka lebih lebar dengan mulut menganga.
Kejap kemudian terdengar suara gigi dikertakkan disusul dengan makian keras,
"Setan neraka! Ke mana perginya pemuda keparat itu"!" Lalu mendadak saja dia melompat ke balik ranggasan semak di mana Winarsih yang kendati telah disembuhkan oleh Pendekar Slebor namun masih lemah berada. Terlihat bagaimana kaki kanan perempuan berkerudung merah ini dihentakkan di atas tanah, yang seketika amblas hingga lutut.
Tatkala ditarik kembali, tanah itu terbongkar ke udara. Sosok Winarsih sudah tidak ada di tempatnya.
"Jahanam sial! Pemuda itu selain memiliki ilmu yang tinggi juga berotak cerdik! Rupanya dia pergunakan kesempatan ketika seluruh tanah terangkat naik dan menghalangi pandangan, untuk menyambar tubuh gadis itu dan menghilang seperti ditelan bumi! Baik! Urusan telah terbuka! Pemuda itu tak akan pernah lepas dari kematian yang akan kuturunkan!!" Terdiam perempuan ini dengan dada naik turun dan sepasang mata tajam tak berkedip.
"Siapa "pun yang menghalangi keinginanku untuk mendapatkan potongan pedang itu, akan mampus di tanganku!! Hhh! Untuk sementara, aku akan mencari Sangga Rantek untuk mendapatkan potongan pedang lainnya yang berupa Pedang Buntung!!" Habis geramannya, Iblis Rambut Emas segera berkelebat meninggalkan tempat yang telah porakporanda. Satu kejapan mata berikutnya, tempat itu kembali diselimuti sepi.

***

«::Փ ( 5 ) Փ::»

Pendekar Slebor yang membawa lari tubuh Winarsih alias Gadis Kayangan menghentikan kembali langkahnya di sebuah jalan setapak yang dipenuhi ranggasan semak belukar. Sejenak anak muda tampan yang memiliki sepasang alis hitam legam dan menukik laksana kepakan sayap elang ini, palingkan kepala ke belakang. Tatkala tak dilihatnya sosok Iblis Rambut Emas, dia segera hela napas panjang, agak sedikit lega.
"Monyet buduk! Kenapa aku selalu ketiban sial seperti ini"! Rasanya, aku tak pernah bisa tenang! Selalu saja ada urusan yang bikin kepalaku pusing! Urusan potongan pedang yang tentunya bukanlah urusan ringan kini telah mengembang! Dan lagi...
kenapa Gadis Kayangan mengatakan kalau potongan pedang itu ada padaku" Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas... dua orang yang kuketahui menginginkan potongan pedang itu. Mungkin...
masih ada lainnya lagi yang terus memburu potongan pedang itu." Kembali anak muda ini terdiam sambil garukgaruk kepalanya. Lalu berkata lagi,
"Ya... sial atau tidak sial... aku akan terus menuntaskan urusan yang bikin bingung ini. Tetapi dalam hidup...
memang selalu ada kesialan atau ketidaksialan.
Tergantung bagaimana cara kita menerimanya saja.
Mungkin yang kurasakan ini, karena aku sedang jengkel memikirkan urusan yang benar-benar belum dapat kupahami seluruhnya. Bila aku sudah mengerti, tentunya tak kurasakan seperti itu. Ah, masa bodoh! Kayak orang pemikir saja! Biar bagaimanapun juga, akan kutuntaskan semua masalah ini! Sebaiknya, aku mencari makan dulu ketimbang kepalaku seperti mau pecah...." Memutuskan demikian, Pendekar Slebor meletakkan kembali sosok Gadis Kayangan di balik ranggasan semak belukar. Diperiksanya sesaat tubuh gadis itu.
"Hmmm... napasnya semakin normal dan keadaannya semakin membaik. Tetapi seharusnya dia sudah siuman, mungkin karena tenaganya terlalu banyak terkuras saat menghadapi Sangga Rantek. Cari makan dulu, ah! Tempat ini kurasa cukup aman untuk sementara." Setelah kembali perhatikan si gadis sejenak, Pendekar Slebor pun segera berkelebat untuk mencari buah-buahan di sekitar sana. Dan dia beruntung karena mendapatkan buah manggis liar.
Hanya dengan pergunakan dua buah kerikil yang dilemparkan, sepuluh buah manggis hutan didapatnya. Dimakannya dulu dua buah sebagai pengganjal perut. Kejap kemudian dia kembali ke tempat semula. Namun begitu masuk ke balik ranggasan semak di mana tubuh Winarsih diletakkan, anak muda ini terbeliak dengan kepala tegak. Karena sosok Winarsih tak ada di tempatnya! "Celaka! Apa yang terjadi?" desisnya dengan kening dikernyitkan. Segera dia melompat keluar dari ranggasan semak itu tanpa hiraukan lagi manggis-manggis yang buru dipetiknya berhamburan. Di kelilinginya tempat itu dengan membuka pandangan dan pendengarannya lebih lebar. Andika tak berani memutuskan untuk berteriak, karena khawatir orang-orang sesat semacam Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas telah tiba di tempat itu. Karena tak menemukan jejak Winarsih, Andika kembali ke tempat semula. Diperhatikan tempat itu dengan seksama.
"Tak ada tanda-tanda telah terjadi pertarungan.
Tempat ini masih utuh seperti kutinggalkan semula.
Apakah ada seseorang yang mengetahui tempat Winarsih lalu membawanya" Atau... gadis itu sebenarnya telah siuman dan karena mendengar seseorang yang mendekatinya dia memutuskan untuk melarikan diri" Ah, kepalaku jadi makin pusing! Urusan potongan pedang itu saja belum begitu jelas kendati aku dapat menduga bila disatukan dengan potongan pedang yang sebelumnya dimiliki Pemimpin Agung dan sekarang berada di tangan Sangga Rantek, maka akan terbentuk satu rangkaian gambar dari titik-titik yang ada. Dan tentunya gambar-gambar itu, rangkaian petunjuk-petunjuk menuju sebuah tempat. Pantas harus disatukan. Tetapi ada apa di tempat itu" Apa yang dicari" Benar-benar kutu monyet!" Mendumal sendiri anak muda ini dengan hati agak jengkel dan was-was memikirkan keadaan Gadis Kayangan.
"Huh! Kenapa sih dunia ini tak pernah tenang dari orang-orang sesat dan serakah" Bila saja dalam sehari seluruh dunia tak dijamah oleh orang-orang seperti itu, alangkah enaknya. Namun sudah tentu tak mungkin" Kembali anak muda urakan ini hentikan ucapannya. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Nampak pula kalau dia tengah berpikir. "Pesanggrahan Bayu Api... ya, ya... tempat itulah yang ditanyakan Gadis Kayangan sebelumnya. Aku belum tahu ada apa di sana. Barangkali saja bila aku ke tempat itu, akan membawaku pada persoalan yang lebih jelas lagi. Atau... kadal kudis!! Kenapa aku jadi mikir terus" Lebih baik segera cabut oh!" Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera berkelebat ke arah timur. Namun baru saja lima langkah dia bergerak, mendadak terdengar suara cukup keras,
"Berhenti!!" Saat itu pula anak muda urakan ini hentikan langkahnya. Saat dipalingkan tubuh ke belakang, dilihatnya dua sosok tubuh berpakaian kuningkuning telah berdiri sejarak dua tombak dari hadapannya.

***

"Serahkan potongan pedang itu kepada kami, bila kau masih ingin hidup lebih lama, Pendekar Slebor!!" membentak lelaki yang bertubuh tinggi kurus. Sepasang matanya agak menjorok ke dalam dan bersinar penuh kemarahan. Usianya kira-kira lima puluh tahun, begitu pula dengan lelaki kurus lainnya yang berdiri di sebelah kanannya.
Andika tak segera membuka mulut. Sambil balas memandang keduanya secara bergantian, anak muda ini diam-diam membatin,
"Lagi-lagi potongan pedang.... Benar-benar jarum jatuh langsung terdengar di rimba persilatan ini! Berita tentang aku yang dikatakan memiliki potongan pedang itu rupanya sudah terdengar ke mana-mana, termasuk ke telinga kedua orang ini. Tentunya ini kerjaan Iblis Rambut Emas atau Sangga Rantek! Kadal Buntung!" Karena tak mendapati sahutan, lelaki yang satunya lagi, berseru keras,
"Jangan membuangbuang waktu Dua Manusia Goa Setan!!" Mendengar ucapan itu. Andika langsung nyengir kendati hatinya masih diliputi tanya.
"Wah! Tidak usah kalian beri pengumuman seperti itu aku juga sudah bisa menduga! Malah seharusnya, melihat dari tampang-tampang kalian, seharusnya kalian berjuluk Dua Tikus Iblis Dari Selokan Bau!!" Mengkelap wajah Dua Manusia Goa Setan mendengar selorohan Pendekar Slebor. Julukan Dua Manusia Goa Setan cukup angker di daerah selatan.
Bahkan boleh dikatakan, merekalah yang merajai rimba persilatan di daerah selatan. Dan mendengar ucapan yang menyakitkan tadi, sudah tentu kemarahan semakin melimpah di hati masingmasing orang. "Keparaaaatthh!!" membentak yang pertama tadi bersuara. Dia bernama Ki Pasu Suruan. "Kami tahu siapa kau adanya! Dan sudah tentu akan menjadi kebanggaan tersendiri bila berhasil membunuhmu, Pendekar Slebor!! Hanya saja... kau masih dapat hidup bila menyerahkan potongan pedang itu kepada kami!"
"Betul itu! Aku juga akan bangga bila bisa menjitak kepala kalian yang benjol!! Hanya saja...
kalian masih akan memiliki kepala yang tidak benjol bila kalian menyerahkan potongan... eh, potongan apa ya?" Makin mengkelap wajah keduanya. Dan tanpa diperintah lagi, masing-masing orang itu segera salingpan-dang satu sama lain. Lelaki yang berbicara kedua tadi, yang bernama Ki Pancen Dadap berkata, sengaja dikeraskan,
"Kakang Pasu! Apakah tidak sebaiknya kita cincang manusia konyol itu!!"
"Betul! Kita kerat satu persatu dagingnya, lalu kita lemparkan pada anjing-anjing liar!" sahut Ki Pasu Suruan dengan suara keras pula.
Andika yang tahu kalau kedua orang itu mencoba membuatnya keder. cuma tertawa sambil garukgaruk kepalanya.
"Ih! Kalian lucu, deh! Masa aku yang tampan ini akan kalian umpankan pada anjing-anjing liar! Seharusnya kalian yang sudah tinggal daging pembungkus tulang yang diberikan pada anjinganjing geladak!'" Serentak masing-masing orang arahkan pandangan kembali ke depan. Lelaki yang di lehernya menggantung kalung dan bermatakan tengkorak, berseru dingin,
"Aku Ki Pancen Dadap! Tak akan pernah tenang bila belum membunuhmu, Pendekar Slebor!" E dasar tengik, Andika justru menyahut,
"Aku Pendekar Slebor! Tak akan pernah bisa makan enak bila masih melihat tulang-tulang yang berserakan!!" Mengkelap wajah Ki Pancen Dadap. Tanpa buang waktu lagi, lelaki ini sudah menerjang dengan pukulan lurus ke depan. Sekali rasa saja, Andika yakin kalau lawan mempergunakan setengah dari tenaga dalamnya.
Dan anak muda ini sendiri pun tak mau bertindak ayal. Karena dia masih mencemaskan keadaan Winarsih. Apalagi saat ini Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas telah keluar dan tentunya akan memburu gadis itu. Namun yang sedikit menjengkelkan Andika, karena dia yang jadi sasaran. Begitu lawan menerjang ke depan, anak muda ini segera hempos tubuh setelah kaki kanannya dijejakkan dan seolah dijadikan sebagian tumpuan.
Langsung terdengar suara salakan petir tatkala tangan kanannya diayunkan.
Terkesiap sejenak Ki Pancen Dadap begitu merasakan satu tenaga yang kuat menerjang ke arahnya. Namun lelaki berkalung tengkorak ini tak mau urungkan niat atau tarik pulang serangannya.
Justru dia terus menerjang ke depan.
Desss!! Satu bentrokan keras terjadi dan bersamaan dengan itu masing-masing orang surut tiga tindak ke belakang. Kalau tadi Ki Pancen Dadap terkejut, kali ini dia terbahak-bahak karena tak merasakan sakit sedikit pun pada tangan kanannya. Lebih kuat tawanya tatkala melihat Pendekar Slebor sedang meniup-niup tangannya yang membiru.
"Tadi sudah kuberi keringanan untuk tidak membunuhmu bila kau menyerahkan potongan pedang itu! Tetapi kau terlalu keras kepala, Pendekar Slebor!"
"Masa iya sih kepalaku lembek! Memangnya tape!" sungut Andika ngotot.
Ki Pasu Suruan yang sekarang melipat kedua tangannya di depan dada sudah berkata,
"Rasanya., tak perlu aku turun tangan untuk menghajar pemuda keparat itu! Adi Pancen Dadap! Bunuh dia dan ambil potongan pedangnya!!" Tanpa menyahut atau anggukkan kepala, Ki Pancen Dadap sudah menerjang kembali. Kali ini serangannya lebih ganas. Bahkan saat dilepaskan jotosan kanan kirinya, terasa ada hawa panas yang cukup menyengat keluar.
Di tempatnya Andika mendumal dalam hati,
"Kutu monyet! Benar-benar manusia-manusia tak tahu diuntung! Aku tadi sengaja tidak menyerang penuh! Tetapi manusia celaka ini justru bertambah pongah! Hhh! Biar kuberi pelajaran agar urusan cepat selesai!" Memutuskan demikian, lagi-lagi tanpa bermaksud menghindari serangan salah seorang lelaki kurus berbaju kuning ini. Pendekar Slebor sudah melesat ke depan. Tubuhnya sedikit dimiringkan begitu jotosan Ki Pancen Dadap mengarah pada wajahnya.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya langsung menjotos ke arah lambung.
Memekik tertahan Ki Pancen Dadap mendapati gerakan yang begitu cepat diperlihatkan Pendekar Slebor. Cepat dia tekuk sikunya Desss!! Menyusul tangan kirinya diputar ke samping, lalu digerakkan ke depan dengan cara menyentak.
Bila saja Andika tidak merunduk, tak ayal lagi kepalanya akan pecah.
Ya dasar urakan, padahal tidak kena dia justru menjerit-jerit sambil pegangi kepalanya dengan kedua tangannya.
"Wadaawouuu! Waadouuuuu!! Ampouuunnnn!" Sudah tentu Ki Pancen Dadap terkejut melihatnya.
Dan dia meradang gusar menyadari kalau sedang dipermainkan. Sementara itu, Ki Pasu Suruan sudah berseru,
"Mengapa kau masih berlama-lama, bah"! Lepaskan pukulan 'Angin Seribu Topan'!!" Bersamaan seruan itu terdengar. Andika yang sedang bersikap tengik langsung turunkan kedua tangannya dari kepala dan tertawa-tawa sendiri.
"Kalau kau punya pukulan 'Angin Seribu Topan', aku juga punya pukulan 'Angin Dari Bawah Perut'!"
"Bunuh dia!!" menggeram suara Ki Pasu Suruan.
Di tempatnya, Ki Pancen Dadap langsung putar kedua tangannya ke belakang, lalu melewati kedua pinggangnya tangan kanan kirinya disatukan ke depan dada. Sejurus kemudian terlihat kedua tangannya yang merangkap itu keluarkan cahaya biru. "Kali ini... kau akan mampus, Pendekar Slebor!!" Habis bentakannya, lelaki itu segera dorong tangan kanan kirinya. Serta-merta menghampar angin besar yang luar biasa dahsyatnya, menyeret tanah dan ranggasan semak belukar.
Andika sendiri melengak melihat betapa dahsyat gelombang angin yang keluar dan mengarah padanya. Dari jarak sekitar lima langkah saja, dapat dirasakan kalau tubuhnya agak bergetar terkena dorongan angin mengerikan.
"Celaka sepuluh seperempat!" desisnya dan langsung disambarnya kain bercorak catur yang melilit pada lehernya. Menyusul dikibaskannya dengan cepat. Kontan menderu suara gemuruh disertai suara berdengung laksana ribuan tawon meraja sebuah desa. Benturan dahsyat pun tak dapat dielakkan lagi Blaaamm! Blaammm!! Tempat itu seketika berguncang hebat. Tanah hampir sejarak dua tombak muncrat ke udara setelah terjadi letupan laksana diinjak kaki raksasa.
Cukup lama tanah itu sirap kembali ke tanah. Dan yang terlihat kemudian, sosok Pendekar Slebor terhuyung ke belakang dengan tangan kanan bergetar. Dari hidungnya mengalir darah segar. Di lain pihak, Ki Pancen Dadap sudah ambruk di atas tanah. Napas lelaki berkalung tengkorak itu naik turun dengan cepat. Kedua matanya tidak terpejam, tetapi terbeliak dengan pancaran mata kosong.
Kedua tangannya nampak membiru.
Berteriak tertahan Ki Pasu Suruan melihat nasib Ki Pancen Dadap. Dia segera memburu dan berseru,
"Adi! Adi Pancen! Bagaimana keadaanmu"!" Lelaki berkalung tengkorak itu tak menjawab.
Bahkan tatapannya semakin lama semakin kosong.
Darah hitam mendadak mengalir dari hidung dan mulutnya. Bertambah cemas dan tak menyangka kalau Pendekar Slebor memiliki kesaktian luar biasa, Ki Pasu Suruan berseru-seru mencoba menyadarkan Ki Pancen Dadap. Dan lambat laun disadarinya kalau napas yang tadi terengah-engah itu semakin lama semakin melemah. hingga akhirnya lenyap sama sekali.
"Panceeeennnn!!" serunya keras sambil mendekap Ki Pancen Dadap yang telah tewas.
Lalu dengan kegusaran tinggi, lelaki ini palingkan kepalanya ke kanan. Dan teriakannya semakin mengguntur tatkala tidak lagi melihat sosok Pendekar Slebor di tempatnya.
"Jahanam terkutuk!! Kubunuh kau!! Kubunuh kau!!" serunya terus menerus dengan wajah memerah dipenuhi dendam.

***

«::Փ ( 6 ) Փ::»

Kita tinggalkan dulu perginya Pendekar Slebor dan apa yang akan dilakukan salah seorang Dua Manusia Goa Setan. Kita ikuti sekarang ke mana perginya Winar-sih alias Gadis Kayangan.
Tatkala Andika membawanya menjauh dari Iblis Rambut Emas, sebenarnya gadis berkepang dua itu sudah siuman. Namun dia mencoba untuk tetap berlagak pingsan. Kendati dia menduga kalau pemuda berbaju hijau pupus telah menyelamatkannya dari Sangga Rantek, namun Winarsih masih belum mempercayai pemuda itu sepenuhnya. Karena, dalam suasana rimba persilatan yang bertambah kacau ini sangat sulit menentukan mana lawan dan kawan. Tetapi bila saja Winarsih tidak dalam keadaan pingsan saat Andika bertarung dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, tentunya dia dapat berpikir jernih untuk mengetahui siapa pemuda urakan yang sebenarnya baik hati itu.
Begitu didengarnya Andika hendak mencari makanan, winarsih pun memutuskan untuk meninggalkan pemuda itu. Makanya setelah Andika meninggalkan tempat itu, Winarsih segera bangkit dan meraba pinggangnya. Dia menarik napas lega tatkala dirasakan Pedang Buntung yang dibungkus kain putih masih terselip di pinggangnya. Dan dia makin lega setelah membuktikan, benda yang dipegangnya itu memang potongan pedang yang diberikan gurunya tiga bulan lalu. Sejenak dipulihkan tenaganya dulu sebelum berkelebat ke arah timur. Dan sekarang gadis ini terus berlari tanpa bermaksud untuk berhenti. Saat berlari dia membatin,
"Sangga Rantek... ah, manusia sesat itu telah berhasil menemukanku. Tentunya sebelum dia membunuh Guru, dia telah menyelidikinya cukup lama. Dan dia tahu kalau aku adalah murid dari Pemimpin Agung. Bila mengikuti kata hatiku, sudah pasti aku akan melibatkan diri dalam pertarungan yang akhirnya membuat Guru tewas. Potongan pedang buntung lainnya kini berupa pedang buntung berada pada Sangga Rantek. Bila saja tiga bulan lalu Guru tidak memberikan potongan pedang lainnya kepadaku, sudah tentu keduanya akan dimiliki Sangga Rantek. Dan berarti, lelaki jahanam itu akan mendapatkan petunjuk yang jelas dari rangkaian titik-titik pada kedua potongan pedang bila disatukan...." Terus gadis iniberlari cepat, melewati jalan setapak, ranggasan semak belukar, akar yang melintang dan tak berhenti di persimpangan.
Kembali dia membatin,
"Sayangnya, Guru tak pernah menceritakan tentang rangkaian titik yang tergambar pada masing-masing potongan pedang.
Bila kedua potongan pedang itu disatukan, berarti lengkaplah petunjuk-petunjuk yang ada. Bahkan Guru tak pernah menceritakan ada apa sebenarnya pada tempat yang dituju pada kedua pedang buntung itu. Bukan hanya itu saja, Guru juga t:dak pernah mengatakan bagaimana asal mulanya pedang yang telah terpotong menjadi dua itu berada padanya. Ah, semuanya ini sungguh membingungkan. Guru hanya sempat berpesan, bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan, aku harus menjumpai Penembahan Agung di Pesanggrahan Bayu Api. Yang aku tahu, kalau Panembahan Agung adalah kakak seperguruan Guru, tetapi aku tak pernah berjumpa bahkan tak tahu di mana Pesanggrahan Bayu Api berada. Oh, kuatkah kujalani semua ini?" Perasaan gadis yang masih berduka atas tewasnya gurunya itu, kembali teraduk-aduk. Dalam suasana sedih, kalut, marah dan dendam seperti itu, biasanya seorang gadis akan melampiaskannya melalui air mata. Namun Winarsihyang sekitar tiga belas tahun lalu diambil Pemimpin Agung tatkala dusun di mana orangtua Winarsih tinggal diporak- porandakan gerombolan itu, adalah gadis yang memiliki hati tegar.
Dia berusaha untuk tidak melampiaskan semuanya ini melalui air mata. Justru hatinya semakin bertambah penasaran untuk menyelesaikan semua urusan ini.
Bahkan ketika Pemimpin Agung menceritakan siapa Winarsih, dia tetap tegar. Kendati malam harinya dia sesenggukan di kamar mengingat kedua orangluanya tewas dibunuh secara keji oleh para gerombolan. Bahkan seluruh penghuni dusunnya telah tewas pula.
Dan Winarsih merasa masih beruntung karena dia berhasil diselamatkan oleh Pemimpin Agung yang selama tiga kali penanakan nasi berhasil menumpas seluruh anggota gerombolan.
Gadis yang tegar ini menarik napas pendek sambil terus berlari. "Pesanggrahan Bayu Api... Pesanggrahan Bayu Api.... Apa pun yang terjadi, aku akan tetap ke sana...," desisnya lagi, lalu menyambung,
"Tak seharusnya kutinggalkan pemuda bernama Andika itu. Bila dia memang termasuk orang yang menginginkan potongan pedang ini, untuk apa dia menyelamatkanku" Bukankah seharusnya dengan mudah dia akan mengambil potongan pedang di pinggangku ini" Ah... tak tahulah... apakah aku memang telah salah menduga atau tidak. Tetapi semuanya semakin bertambah kacau tangga aku tak bisa berpikir lebih jernih. Bila memang pemuda itu bukan orang jahat, tentunya dia akan mencari dan membantuku menyelesaikan masalah ini. Tetapi...
apakah dia tahu masalah yang kuhadapi?" Dan gadis itu terus berlari dengan membawa segenap persoalan yang menggumpal di dadanya.
Namun karena dia memang tidak tahu lagi ke mana arah yang dituju, gadis ini menghentikan langkahnya di sebuah lembah yang dipenuhi pepohonan dan bebatuan. Saat itu malam sudah melangkah memasuki ruang kerjanya.
Dan mendadak saja Gadis Kayangan terjatuh dengan kedua lutut menekuk menjadi bantalan pinggul. Napasnya terengah-engah. Butiran keringat terus membanjiri sekujur tubuhnya yang mendadak menjadi lengket. Baru dirasakan betapa lelah dan sudah jauh dia berlari.
Dalam keadaan seperti ini Gadis Kayangan teringat akan semua kegembiraannya bersama Pemimpin Agung. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang bijaksana itu sudah dianggap sebagai orangtuanya sendiri. Dan dia selalu mematuhi setiap ucapan yang dikatakan gurunya.
"Guru... mengapa semua ini terjadi" Mengapa harus kau tinggalkan aku dalam kesendirian seperti ini. Mengapa?" keluhnya pelan namun berusaha untuk tidak sampai meneteskan air mata.
Berulang kali Gadis Kayangan menarik dan menghela napas panjang, mencoba membuang dan menindih sebagian kepedihan hatinya.
Cukup lama gadis jelita berpakaian ringkas warna biru ini berlutut dengan kedua tangan menekan tanah dan kepala agak tertunduk. Setelah lamatlamat dirasakan lelahnya agak menghilang, perlahan-lahan dia bangkit.
Pandangannya diedarkan pada Seantero tempat yang lelah menghitam dinaungi malam. Rembulan di alas sana, tak sanggup menembus halangan dan rangkaian saling taut awan hitam.
Kejap kemudian terdengar helaan napasnya lembut,
"Aku harus mencari Pesanggrahan Bayu Api. Seperti pesan Guru tiga bulan lalu. bila terjadi apa-apa, aku harus menyerahkan potongan pedang ini pada Panembahan Agung...." Habis kata-katanya, gadis ini segera menghempos tubuh menembus kegelapan malam dan jalan di lembah yang cukup sulit.

***

Pada saat yang bersamaan di sebuah jalan setapak, satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam hentikan langkahnya. Saat kepalanya dipalingkan ke kanan ke kiri, rambut panjangnya yang diikat kuncir kuda berlompatan. Sesaat lelaki berwajah tirus yang mulai dihiasi kerut merut ini tak buka mulut. Namun kejap berikutnya, terdengar dengusannya yang bernada jengkel,
"Terkutuk! Ke mana perginya pemuda berpakaian hijau pupus yang membawa Winarsih"!! Jahanam sial! Padahal aku tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan potongan pedang itu" Benarbenar keparat!!" Lelaki yang di pergelangan tangan kanan kirinya melingkar gelang penuh duri dan tak lain Sangga Rantek adanya mendengus gusar.
"Semula tak kupercaya kalau potongan pedang itu berada pada pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur! Tetapi setelah dia muncul menyelamatkan murid Pemimpin Agung itu, aku yakin kalau potongan pedang itu ada padanya! Jahanam sial! Tak kusangka kalau pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi!!" Habis makiannya, Sangga Rantek meneruskan larinya. Sambil berlari dia terus memaki-maki gusar.
Hingga di satu tempat yang agak lapang, lelaki berpakaian serba hitam ini hentikan larinya.
Pandangannya tak berkedip menatap satu sosok tubuh berjubah dan berkerudung merah. Sekilas dilihatnya rambut perempuan yang tertutup kerudung merah itu agak berkilat.
Kejap kemudian terdengar desisannya gusar,
"Terkutuk!! Iblis Rambut Emas!!" Perempuan yang menghadang langkahnya dan memang Iblis Rambut Emas menyeringai.
"Sangga Rantek! Nampaknya kau begitu tergesagesa sekali! Ada urusan apa, hah"!"
"Setan alas! Mengapa harus berjumpa dengan perempuan ini" Sejak dulu aku tahu kalau dia memiliki kelicikan dan ilmu yang cukup tinggi! Apakah kehadirannya sekarang dikarenakan dia telah mendengar tentang dua potongan pedang yang dimiliki Pemimpin Agung" Jahanam keparat!!" Tak mau membuang waktu lebih lama, Sangga Rantek sudah membentak,
"Menyingkir dari hadapanku bila tidak ingin nyawamu lepas dari badan!!" Iblis Rambut Emas yang memang memutuskan untuk mencari Sangga Rantek, sungguh tak menyangka kalau dia akan berjumpa dengan orang itu secepat ini. Perempuan berkerudung merah yang kejam dan licik ini cuma tersenyum mendengar ucapan orang. Melihat sikapnya Sangga Rantek makin bertambah gusar.
"Menyingkir kataku!!"
"Sangga Rantek... aku tidak menghalangi langkahmu! Mengapa harus sedemikian gusarnya" Bukankah tak ada urusan antara kita" Kalaupun berjumpa sekarang, hanya kebetulan saja!" Sepasang mata Sangga Rantek menyipit. Diamdiam dia berkata dalam hati,
"Kelicikan perempuan ini sangat terkenal. Namun dari sikapnya jelas kalau dia nampaknya memang tak menghendaki apa-apa dariku. Lagi pula kupikir, dia tak tahu menahu soal Pedang Buntung yang ada padaku. Tetapi aku tak boleh mengambil kesimpulan seperti itu. Perempuan ini dapat bersikap sangat sopan dan manis melebihi seorang bidadari." Seraya maju satu langkah ke depan, Sangga Rantek berkata dengan nada suara diturunkan,
"Bila memang tak ada urusan, silakan kau berlalu dan sini."
"Aku sudah berdiri di sini. Dan rasanya... lebih baik kau yang menyingkir," sahut Iblis Rambut Emas sambil tersenyum.
'Terkutuk! Aku bertambah yakin kalau dia memang menghendaki sesuatu dariku. Dan apa lagi yang diinginkannya bila bukan Pedang Buntung ini?" kata Sangga Rantek dalam hati, lalu berseru,
"Baik! Kalau begitu, aku yang menyingkir!" Sebelum Sangga Rantek bergerak. Iblis Rambut Emas sudah berkata,
"Apakah kau tidak pernah mendengar tentang sebilah pedang yang terpotong menjadi dua dan berisi titik-titik gambar" Yang bila kedua pedang buntung itu disatukan, merupakan petunjuk lengkap menuju ke sebuah tempat?" Menegak kepala lelaki berkuncir kuda ini.
Kembali pandangannya lurus ke depan tanpa kedip.
Lalu dengan suara dibuat bodoh dia ajukan tanya,
"Apa maksudmu?" Iblis Rambut Emas tersenyum tetapi mendengus dalam hati,
"Hebat juga permainanmu, Sangga Rantek!" Kemudian katanya,
"Berita tentang sebilah pedang yang menjadi dua potong itu sudah terdengar ramai di rimba persilatan ini! Dua potongan pedang yang dimiliki oleh Pemimpin Agung! Tetapi sayangnya, tak seorang pun yang tahu siapa yang telah membunuh Pemimpin Agung.
Bahkan satu masalah yang terpenting, dua pedang buntung itu sudah tak ada lagi di tempatnya." Iblis Rambut Emas yang sengaja berkata dusta menghentikan kata-katanya dulu untuk melihat perubahan wajah Sangga Rantek. Dan dia makin tersenyum dalam hati begitu melihat Sangga Rantek tersenyum. "Bodoh! Dia mulai terpancing ucapanku!" desisnya dalam hati lalu berkata,
"Dan berita yang kudengar... kalau orang yang telah membunuh Pemimpin Agung adalah seorang pemuda berpakaian hijau pupus yang di lehernya melilit kain bercorak catur."
"Hei! Dari ucapan pertamanya jelas dia tidak tahu siapa yang telah membunuh Pemimpin Agung! Tetapi ucapannya barusan, dia seperti mengetahui sesuatu tentang pemuda berpakaian hijau pupus itu.
Ada apa ini" Apa yang hendak dimainkannya?" membatin Sangga Rantek dengan kening dikernyitkan. Lalu dengan pandangan curiga dia berseru,
"Dari mana kau tahu soal itu, hah"!" Iblis Rambut Emas makin kembangkan senyum,
"Siapa pun orangnya yang punya telinga sudah tentu akan mendengar semua itu! Dan siapa lagi orangnya yang mempunyai ciri-ciri seperti yang kukatakan tadi kalau bukan Pendekar Slebor!!" Sampai surut satu langkah ke belakang Sangga Rantek mendengar ucapan orang. Nampak kepalanya melegak dengan kedua mata membuka lebih lebar. "Pendekar Slebor! Setan neraka! Jadi pemuda itu adalah Pendekar Slebor" Anjing kurap! Pantas kalau pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi!!" desis Sangga Rantek terkejut dalam hati.
Kemudian katanya,
"Lantas apa maksudmu menceritakan semua ini?"
"Aku mempunyai dendam pada Pendekar Slebor," kata Iblis Rambut Emas terus memainkan peranannya. "Pemuda itu telah membunuh kekasih yang sangat kucintai!"
"Iblis Rambut Emas! Setahuku kau tak mempunyai kekasih" Karena... mana ada lelaki yang mau dengan perempuan keji sepertimu, hah"!" Iblis Rambut Emas mengikik. "Kau memang tidak tahu kalau aku mempunyai seorang kekasih, tak seorang pun yang tahu...." Lalu dalam hati dia melanjutkan,
"Jahanam sial! Rasanya tak sabar untuk merobek mulut si Keparat ini!!"
"Bila memang demikian adanya, mengapa kau tidak langsung mencari pemuda itu"!" seru Sangga Rantek sambil berpikir keras apa tujuan perempuan berkerudung merah itu sebenarnya.
"Sudah tentu aku akan mencarinya bila kumiliki ilmu yang dapat menandingi kesaktiannya! Hanya saja.., aku sadar, kalau aku akan membuang nyawa percuma bila tetap nekat mencari pemuda itu.
Sangga Rantek... apakah kau tidak memikirkan sesuatu dari ceritaku itu?" Sangga Rantek terdiam dulu sebelum berkata,
"Katakan lebih jelas! Karena waktuku tidak banyak!!"
"Mengapa Pendekar Slebor membunuh Pemimpin Agung" Itulah yang seharusnya kau tanyakan! Sudah tentu karena dia menginginkan dua potongan pedang yang berisi titik gambar dan bila dijadikan satu, merupakan petunjuk lengkap menuju sebuah pulau! Apakah kau mendadak menjadi dungu, hah"!" Mengkelap wajah Sangga Rantek mendengar ejekan si perempuan. Dengan kedua tinju mengepal namun berusaha tindih kegusarannya dia berseru,
"Jelaskan!!"
"Hmmrn... dia masih berlagak bodoh," kata Iblis Rambut Emas dalam hati sebelum berkata,
"Bukankah tujuan Pendekar Slebor membunuh Pemimpin Agung untuk mendapatkan dua potongan pedang itu?" Sangga Rantek hanya menatap tajam sementara diam-diam berkata dalam hati,
"Aku benar-benar tak habis pikir, apa yang sebenarnya diinginkan perempuan ini. Masih belum dapat kuduga kalau dia mengetahui salah satu potongan pedang itu, yang merupakan Pedang Buntung berada di tanganku. Dan urusan ini nampaknya memang akan berkembang menjadi panjang. Sebaiknya, kuikuti saja apa maunya perempuan ini. Mudah-mudahan dia memang tidak tahu kalau Pedang Buntung itu ada padaku." Kemudian katanya,
"Jadi dengan kata lain... kau mengajakku untuk bergabung membunuh Pendekar Slebor"!"
"Benar sekali! Ternyata kau memang berotak cerdik! Aku tak menginginkan dua potongan pedang yang diambilnya! Tetapi aku menginginkan nyawanya!!" Sangga Rantek keluarkan dengusan. Jelas dia tak bisa mempercayai ucapan Iblis Rambut Emas.
Sementara si perempuan sendiri tertawa dan berusaha meyakinkan kata-katanya. Padahal dalam hati, dia memang mencoba mengajak Sangga Rantek untuk bergabung membunuh Pendekar Slebor. Bila pemuda itu telah tewas, dan Sangga Rantek berhasil mendapatkan potongan pedang itu, maka dia akan merebutnya. Juga bila dia yang berhasil mendapatkannya, maka potongan pedang lainnya, yang berupa Pedang Buntung dan berada pada Sangga Rantek. juga akan direbutnya.
Dengan kata lain, dia akan mengail di air keruh! "Bila memang itu maumu, bagus! Aku juga punya urusan dengan pemuda itu!"
"Bisa kutebak! Urusanmu tentunya berhubungan dengan potongan pedang itu, bukan?" sambar Iblis Rambut Emas sambil tertawa dalam hati. Dan sebelum Sangga Rantek menyahut dia sudah melanjutkan,
"Kau harus berhati-hati menghadapinya! Karena dia berhasil membunuh Pemimpin Agung!" Mendengar ucapan itu Sangga Rantek yang semula hendak tumpahkan amarahnya, pentangkan senyum. "Perempuan ini jelas-jelas tidak tahu kalau akulah pembunuh Pemimpin Agung dan Pedang Buntung itu berada di tanganku! Bagus! Kudengar ilmunya lumayan tinggi! Berarti membunuh Pendekar Slebor akan lebih mudah ketimbang kulakukan sendiri!!" Sementara itu Iblis Rambut Emas sedang membatin,
"Dia telah masuk perangkap yang kubuat. Urusan sudah tentu akan berada di tanganku. Bila saja aku belum bentrok dengan Pendekar Slebor, sudah kubunuh dan kurebut Pedang Buntung itu dari tangan lelaki jahanam ini! Tetapi ilmunya lumayan tinggi dan tentunya dapat kumanfaatkan dengan mudah! Setelah itu, giliranku untuk membunuhnya!" Lalu sambil pasang senyumnya, perempuan licik ini berkata dengan suara menggoda,
"Hari semakin larut, bagaimana bila kita memulai sekarang?" Sangga Rantek tak keluarkan kata kecuali segera berkelebat ke arah timur.
Senyuman di bibir Iblis Rambut Emas semakin menjadi-jadi dengan kedua bola mata cerah berbinar. "Semuanya... ada di tanganku...," desisnya dan kejap itu pula dia segera berkelebat menyusul perginya Sangga Rantek.

***

«::Փ ( 7 ) Փ::»

Sinar surya kembali menerangi segenap persada.
Udara pagi berhembus sejuk. Sisa-sisa kabut masih mengawang-ngawang di udara yang nampaknya tak lama lagi akan sirna.
Pendekar Slebor yang sengaja meninggalkan pertarungan dengan Dua Manusia Goa Setan, menghentikan langkahnya di bawah sebatang pohon. Di kejauhan nampak sebuah gunung menjulang. Sejarak seratus tombak dari tempatnya agak ke kanan, pematang-pematang sawah jadi pemandangan dengan lenggokan padi menguning yang dihembus angin.
"Ah, tak seharusnya kuturunkan tangan pada lelaki bernama Pancen Dadap itu. Tetapi bila tidak kulakukan, justru nyawaku yang akan putus...," desisnya sambil menarik napas pendek. "Huh, urusan ini memang bikin pusing saja!" Lalu diarahkan pandangannya ke depan.
"Pesanggrahan Bayu Api.... Itulah satu-satunya tempat yang dapat kujadikan patokan untuk menemukan Gadis Kayangan. Kendati aku mulai dapat menebak secara pasti urusan ini, namun belum dapat kuketahui tentang apa yang tergambar pada kedua potongan pedang itu, yang tentunya menunjukkan sebuah tempat. Namun apakah nama tempat itu dan di mana" Apa yang ada di tempat itu" Monyet pitak!! Rasa penasaranku makin menjadi-jadi!!" Kembali anak muda urakan ini terdiam. Tahutahu keningnya berkerut.
"Gadis Kayangan...," desisnya pelan. "Begitu banyak rahasia yang dipendamnya. Bahkan sampai sekarang aku belum mengetahui nama gadis itu sebenarnya. Yang kuketahui kalau dia murid dari seorang lelaki yang berjuluk Pemimpin Agung, tetapi siapa pula Pemimpin Agung yang tinggal di Pesanggrahan Bayu Air" Apakah... hei!! Pesanggrahan Bayu Air... Pesanggrahan Bayu Api....
Dua nama yang berdekatan sekali, dan seolah bertolak belakang. Atau malah sesungguhnya bersatu?" Nampak sekali kalau Pendekar Slebor berusaha berpikir keras. Menyusul terdengar desisannya,
"Jangan-jangan...
orang yang berada di Pesanggrahan Bayu Api, ada hubungan langsung dengan Pemimpin Agung. Bisa kupastikan sekarang... kalau gadis itu hendak menyerahkan potongan pedang yang berada padanya pada orang yang berada di Pesanggrahan Bayu Api. Bila memang demikian... kadal buntung! Sudah tentu gadis itu telah siuman sebelumnya! Tak ada orang yang datang membawanya atau membuatnya menghindar dari orang itu! Setelah dia siuman, dia langsung berlalu menuju ke Pesanggrahan Bayu Api yang rasanya belum diketahui di mana tempatnya.
Tetapi mengapa dia melakukan hal itu" Monyet Pitak!" Andika terdiam lagi sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kejap berikutnya terdengar makiannya,
"Monyet buduk! Sudah tentu hal itu dilakukan karena dia tidak mempercayaiku! Orang utan bau! Berarti dia menduga kalau aku termasuk orang yang menginginkan potongan pedang yang berada padanya" Benar-benar kutu landak! Masa sih pemuda tampan sekeren dan segagah aku ini disamakan dengan orang-orang seperti Sangga Rantek dan Dua Manusia Goa Setan" Wah! Rupanya gadis itu tidak bisa membedakan mana wajah yang tampan dan mana wajah yang jelek!" Pemuda berambut gondrong menggeleng- gelengkan kepalanya, separo gemas dan mangkel.
"Huh! Lebih baik ku teruskan langkah untuk mencari tempat yang bernama Pesanggrahan Bayu Api." Kejap kemudian, Pendekar Slebor sudah berkelebat meninggalkan tempat itu. Dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor, anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini tiba di sebuah dusun yang cukup ramai.
Di dusun itu dia mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Tatkala kakinya menginjak ujung jalan dari desa itu, mendadak saja dilihatnya tiga sosok tubuh berpakaian hitam gombrang muncul dari arah sebelah kiri. Terus melangkah menjauh dari dusun itu.
Bukan kemunculan ketiga orang itu yang membuat Andika tertarik, melainkan tatkala mendengar salah seorang dari mereka yang bercambang bawuk berkata, Tak lama lagi kita akan tiba di Pesanggrahan Bayu Api. Menurut perkiraanku, bila kita terus berlari tanpa henti, tepat matahari masuk ke peraduannya kita sudah tiba di sana."
"Kasma Matur! Apakah kau yakin kalauPanembahan Agung saat ini tidak berada di tempatnya?" tanya yang melangkah di sebelah kanan sambil arahkan pandangan pada si Bawuk yang bernama Kasma Matur, sementara dia sendiri bernama Dirgo Kantas.
Orang yang bicara pertama tadi menganggukkan kepalanya. "Ya! Hari ini hari Kamis Legi. Seperti kebiasannya, Panembahan Agung selalu berjalanjalan di padang rumput yang ada di belakang pesanggrahan miliknya pada malam hari. Ini kesempatan kita untuk menguras seluruh harta yang dimilikinya."
"Tetapi rasanya... aku tak begitu yakin kalau Panembahan Agung memiliki harta seperti yang kau duga," kata lelaki yang melangkah di sebelah kiri.
Dia bernama Suronto Kakak.
"Masa bodoh! Lelaki tua bertubuh kerempeng yang mengenakan sorban kuning di kepalanya itu telah mengupah kita untuk menjarah harta Panembahan Agung. Bukankah ini keuntungan dua kali lipat" Bila kita tidak berhasil menguras harta milik orang itu, toh kita sudah mendapatkan upah yang banyak?" Kedua temannya mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata Kasma Matur. Mendadak masing-masing orang terbahak-bahak dan kejap itu pula mulai berlari.
Sementara itu. Pendekar Slebor yang terus melangkah dengan memasang pendengarannya lebih lebar berkata dalam hati,
"Ketiga orang itu sebangsa cecunguk-cecunguk lapar yang diupah seseorang yang mengenakan sorban kuning di kepala. Hmmm... ada apa lagi" Urasan apa yang akan terjadi" Mengapa orang bersorban kuning itu justru menyuruh mereka menjarah harta milik Panembahan Agung yang ternyata tinggal di Pesanggrahan Bayu Api" Kutu monyet! Urusan jadi kapiran!! Hhh! Aku ingin tahu ada apa iagi. Mudahmudahan Gadis Kayangan memang menuju atau sudah berada di Pesanggrahan Bayu Api." Memutuskan demikian, Pendekar Slebor pun segera berkelebat dan menjaga jarak dari ketiga orang berpakaian hitam gombrang yang terus berlari.

***

Tepat malam mulai menyelimuti alam, ketiga lelaki berpakaian hitam gombrang itu tiba di sebuah jalan setapak yang di kanan kiri dipenuhi pepohonan. Masing-masing orang yang sekarang berada di balik ranggasan semak belukar, memandang ke depan.
Sejarak dua puluh tombak, nampak sebuah bangunan besar berdiri kokoh. Beberapa ekor burung malam melintas di atasnya.
"Kasma Matur... apakah bangunan itu yang disebut Pesanggrahan Bayu Api?" tanya Dirgo Kantas dengan kedua mata tak berkedip. Sedikit banyaknya lelaki ini merasa kecut.
Kasma Matur yang sudah dimabuk bayangan harta yang dapat dikurasnya mengangguk mantap.
"Ya! Menurut orang bersorban kuning, jelas itulah Pesanggrahan Bayu Api! Ayo, kita segera ke sana untuk menguras seluruh harta Panembahan Agung!"
"Kasma Matur...," berkata Suronto Kakak tanpa palingkan kepala dari bangunan besar itu. Lalu sambungnya dengan suara agak tersendat,
"Aku...
aku...."
"Apa aku-aku, hah"!" bentak Kasma Matur gusar.
Suronto Kakak menelan ludahnya. "Tempat itu...
begitu menyeramkan. Lebih baik kita urungkan saja niat untuk menguras hartanya...."
"Bodoh! Keuntungan kita dua kali lipat!"
"Tetapi... tempat itu seperti tempat jin buang anak! Aku sangsi kalau memang ada orang yang meninggali-nya!"
"Jangan berlaku bodoh. Suronto! Coba kau bayangkan! Untuk pekerjaan yang memang selalu kita kerjakan setiap malam, kita mendapat upah sepuluh keping uang perak! Nah! Bukankah ini suatu yang menyenangkan" Lebih menyenangkan lagi karena kita diberi tahu sasaran empuk yang kita tuju...."
"Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian! Ayo, kita segera ke sana!"
"Kasma Matur... apa yang dikatakan Suronto memang benar," kata Dirgo Kantas yang juga merasa tidak enak. Dalam pandangannya bangunan yang terkesan angker itu laksana seorang raksasa yang sedang tertidur dan akan murka bila diusik.
Menggeram Kasma Matur mendengar ucapan Dirgo Kantas. "Dasar kalian orang-orang dungu! Sudah seharusnya kalian senang dengan apa yang telah ada di hadapan kalian! Ayo, kerjakan sekarang juga! Aku yakin, Panembahan Agung sudah mulai berjalan-jalan di padang rumput di belakang pesanggrahannya!!" Dirgo Kantas dan Suronto Kakak saling berpandangan. Wajah masing-masing orang nampak pucat. Sesungguhnya, kedua orang itu memang bukanlah orang pemberani dan kejam. Mereka adalah orang-orang yang memiliki hati pengecut, namun karena desakan perut dan dorongan Kasma Matur, mereka terpaksa menjadi pencuri.
Tetapi sekarang, kepengecutan mereka sudah nampak. Keduanya sama-sama palingkan kepala pada Kasma Matur yang telah berdiri dan menunggu tak sabar.
"Ayo! Kita kerjakan sekarang!!"
"Kasma... aku... aku tidak ikut sajalah," kata Suronto Kakak takut-takut.
"Bodoh!!"
"Aku juga...," sambung Dirgo Kantas.
"Dasar orang-orang dungu! Apa yang kalian takutkan, hah" Kita bebas menjarah harta milik Panembahan Agung! Lagi pula... apakah kalian tidak berpikir kalau orang bersorban kuning itu akan membunuh kita bila kita tidak menjarah harta milik Panembahan Agung?"
"Tetapi... kakek itu... tidak berkata apa-apa.... Dia cuma tersenyum-senyum saja...," kata Dirgo Kantas dengan kening dikernyitkan. "Lagi pula... kita kan tidak mengenal sama sekali siapa dia. Ini patut dicurigai, Kasma Matur."
"Goblok! Sekarang kau ngomong begini! Sebelumnya, waktu kakek itu memberi kita uang, kau tak ngomong apa-apa! Malah petantangpetenteng kayak jagoan!!" Dirgo Kantas cuma terdiam namun dia berusaha keras untuk tidak mencapai bangunan yang nampaknya angker itu.
"Itu kan... itu kan...."
"Dasar bodoh!" potong Kasma Matur dengan kemarahan membuncah. "Kalian boleh pergi dari sini! Tetapi ingat, kalian tak akan mendapatkan apa yang akan kudapatkan!!"
"Aku tidak apa-apa," sahut Suronto Kakak sambil menghela napas lega.
"Aku juga.... Tetapi, tentunya kau masih mau memberikan sekeping uang perak itu, bukan" Hanya sekepiiiing saja...."
"Tidak!!" melotot mata Kasma Matur. "Kalian tak mendapatkan apa-apa! Cepat pergi dari sini sebelum golokku membelah kepala kalian!!" Terbirit-birit dua pencuri pengecut itu mendengar ancaman Kasma Matur. Sepeninggal keduanya, lelaki bercambang bawuk ini mendengus,
"Dasar bodoh! Sasaran sudah ada di depan mata, bahkan tak perlu susah payah untuk mencari sasaran yang bermutu. Tinggal membawanya saja tidak mau!! Huh! Apa sih yang ditakutkan" Tak ada setan gentayangan di sini!" Kasma Matur masih ngoceh melampiaskan jengkelnya, lalu berkata,
"Akan kukerjakan sekarang!!" Memutuskan demikian, lelaki bercambang bawuk ini segera keluar dari balik ranggasan semak belukar. Pandangannya ditujukan ke arah bangunan besar itu. Sejenak ada perasaan ngeri melihat bangunan yang dibayang-bayangi malam itu.
Namun apa yang ada di benaknya adalah memiliki harta dengan cara mudah. Dan mendadak bibirnya mengembang senyuman.
"Aku akan kaya... aku akan kaya...." Sambil menyiapkan goloknya, Kasma Matur melangkah mengendap mendekati bangunan itu.
Namun baru lima langkah dia bergerak, mendadak saja langkahnya terhenti. Karena sejarak tiga tombak dari hadapannya nampak satu sosok tubuh berdiri tegak dibalut kegelapan.
Untuk sejenak Kasma Matur termangu dengan kengerian yang perlahan mulai merangkulnya. Dia mencoba mengira-ngira siapa sosok hitam itu sebenarnya. Di lain kejap dia sudah keluarkan bentakan.
"Keparat!! Siapa kau, hah"!!" Sosok hitam-hitam itu tak menyahut, bahkan tak keluarkan suara sedikit pun. Kasma Matur menjadi gusar. Dengan golok terangkat dia segera memburu.
Namun mendadak pula kembali dihentikan langkahnya, karena tiba-tibasaja sosok tubuh berbalut kegelapan malam itu telah lenyap dari pandangannya. "Heiii!!" melengak lelaki bercambang bawuk ini dengan kepala menegak. Kedua matanya melotot lebar. "Gila! Siapa orang itu" Gerakannya seperti setan! Huh! Aku tak peduli apakah dia orang atau...." Memutus kata-katanya sendiri, Kasma Matur langsung celingukan. Dan mendadak saja dia surut dua tindak ke belakang, karena di samping kanannya sosok tubuh tadi telah berdiri. Tetap tak bergerak dan tak keluarkan suara.
Mulailah rasa takut melingkupi lelaki bercambang bawuk ini. Bahkan tanpa disadarinya keringat dingin mulai keluar. Dan ketakutannya kian menjadi-jadi tatkala sosok tubuh itu lenyap begitu saja. Kemudian muncul lagi di belakangnya.
Kontan melonjak lelaki ini. Kejap berikutnya dia sudah berlari lintang pukang menuju jalan semula.
Jeritannya cukup menggema di malam sepi.
Sepeninggal Kasma Matur, sosok tubuh yang tadi dilihat lelaki itu keluarkan dengusan.
"Huh! Sok berani! Tidak tahunya sebangsa tikus!!" Lalu perlahan-lahan orang yang tadi menakutnakuti Kasma Matur dan tak lain Pendekar Slebor adanya, putar tubuh dan memperhatikan bangunan besar di hadapannya.
"Pesanggrahan Bayu Api...," desisnya tanpa kedip.
"Tak salah lagi kalau memang inilah tempat itu.
Apakah saat ini Gadis Kayangan berada di sini?" Kembali anak muda urakan ini terdiam sebelum mendesis lagi,
"Selain dua potongan pedang yang bila disatukan akan menjadi petunjuk tergambar ke satu tempat yang masih jadi masalah, aku yakin masih ada masalah lain yang akan mengembang.
Siapakah orang bersorban kuning yang menyuruh ketiga lelaki itu menjarah harta milik Panembahan Agung" Dan apa maksudnya menyuruh ketiga bangsa tikus yang sesungguhnya tidak mempunyai nyali untuk melakukannya?" Andika garuk-garuk kepala sambil mencoba memikirkannya. "Apakah urusan ini merupakan satu kesatuan dengan urusan si Gadis Kayangan" Atau memang ada urusan yartg harus diselesaikan?" Selagi anak muda urakan ini berpikir, mendadak saja terdengar bentakan sengit,
"Sejak semula... aku sudah yakin kau bukanlah orang baik-baik! Terbukti akhirnya kau tiba di Pesanggrahan Bayu Api!"

***

«::Փ ( 8 ) Փ::»

Seketika Andika putar tubuh ke samping kiri.
Dilihatnya satu sosok tubuh telah berdiri di hadapannya. Bila saja Andika tidak mengenali suara itu, dapat dipastikan dia akan membutuhkan waktu beberapa kejap untuk mengenali orang yang bersuara tadi. Kejap kemudian anak muda ini tertawa.
"Gadis Kayangan.... Tak salah aku berpikir, kalau kau memang menuju ke Pesanggrahan Bayu Api." Orang yang keluarkan bentakan yang tak lain Winarsih alias Gadis Kayangan, hanya terdiam.
Gadis berpakaian biru muda ini memang masih belum sepenuhnya dapat memutuskan apakah pemuda di hadapannya ini sebangsa kawan atau lawan. Hingga sikapnya agak berhati-hati. Terlebih lagi pemuda itu telah mendahuluinya tiba di Pesanggrahan Bayu Api.
Karena tak terdengar jawaban gadis di hadapannya, Andika berkata,
"Aku datang ke sini...
ya, karena teringat kalau kau sedang menuju ke tempat yang bernama Pesanggrahan Bayu Api.
Terus terang, aku cukup bingung tatkala menyadari kau menghilang. Bingung ya... bukan karena takut kau kenapa-napa. Tapi kapan lagi sih aku bisa menikmati wajah cantik yang sedang terpejam...." Bila saja malam tidak begitu pekat, sudah tentu Andika dapat melihat wajah Winarsih yang memerah. Akan tetapi kejap berikutnya si gadis sudah berkata,
"Aku tahu kau telah menolongku! Ya! Kuucapkan terima kasih! Sekarang, tinggalkan tempat ini!!" Andika nyengir sambil garuk-garuk kepalanya.
"Memangnya kenapa sih" Akukan tidak melakukan apa-apa. Kok bawaannya curigaan melulu?" Sejenak Winarsih agak tergugu sebelum terdengar suaranya,
"Andika! Aku hanya tahu namamu saja, aku tidak tahu siapa kau adanya! Tetapi sebaliknya, tentunya kau telah tahu siapa aku, bukan" Sangga Rantek sudah jelas akan membuka mulut."
"Tidak salah! Dia menginginkan potongan pedang yang ada padamu! Terus terang, semula aku tak begitu memahami persoalan yang ada. Tetapi karena aku punya otak dan mau kugunakan untuk berpikir, lambat laun sedikit banyaknya dapat kuketahui apa yang telah terjadi. Hanya saja, aku tak tahu tempat apa yang menjadi tujuan dari rangkaian titik-titik yang tertera bila dua potongan pedang satu sama lain disatukan."
"Sikap pemuda ini begitu tulus. Sepasang matanya selalu berkilat-kilat Jenaka. Ah, bila saja aku tidak berada dalam suasana seperti ini, sudah tentu aku bersedia menjadi sahabatnya. Namun, di rimba persilatan ini sangat sukar mengetahui kesungguhan hati seseorang," kata Winarsih dalam hati.
Dan sebelum dia buka mulut, Andika sudah mendahului,
"Mengapa kau mengatakannya ada padaku" Nah, nah... kau mau memfitnah, ya" Busyet! Fitnah itu lebih kejam daripada tidak memfitnah, lho!" Agak malu juga Winarsih mendengar kata-kata itu. Tetapi dia tidak peduli.
"Potongan pedang itu memang ada padaku! Dari ucapanmu tadi, kau telah tahu apa yang telah terjadi. Mengapa kau tak segera merebutnya dariku, Andika?"
"Busyet! Kok merebutnya" Buat apa" Mendingan aku membeli yang utuh di Kotapraja!"
"Ah, perasaanku mulai bertambah bingung sekarang. Aku harus mengambil keputusan.
Pesanggrahan Bayu Api sudah berada di hadapan, selekasnya aku harus menyerahkan potongan pedang ini pada Panembahan Agung. Pemuda ini harus kusingkirkan." Memutuskan demikian, dengan pandangan mata masih waspada, Winarsih berkata,
"Bila kau tak menghendakinya... silakan menyingkir atau kita akan bertarung!"
"Monyet pitak! Aku memang tak bisa menyalahkan sikapnya!" kata Andika dalam hati.
Lalu sambil nyengir dia berkata,
"Kalau memang begitu... ya tidak apa-apa. Tapi... apakah kau tidak berpikir, bila aku menginginkan potongan pedang itu, sejak kau pingsan aku sudah mengambilnya.
Bahkan dengan mudah aku dapat membunuhmu atau melakukan sesuatu yang tidak sopan padamu.
Tetapi kan... semuanya tidak kulakukan. Itu bertanda aku ini orang baik-baik. Iya, nggak" Iya, nggak?"
"Yang kupikirkan waktu itu memang demikian adanya. Tetapi aku tak peduli. Aku ingin bertemu dengan Panembahan Agung tanpa ada yang mengganggu!" Habis berpikir demikian, Winarsih berkata,
"Tinggalkan tempat ini, Andika! Sekali lagi kukatakan padamu, aku berterima kasih karena kau telah menyelamatkanku dari tangan Sangga Rantek!!"
"Sama-sama...," sahut Andika sambil membungkuk. Lalu segera berbalik dan melangkah seraya mendengus dalam hati,
"Busyet! Sudah capek-capek sampai di sini, eh, cuma diusir doang! Dasar nasib lagi apes!!" Sementara itu Gadis Kayangan masih tegak di tempatnya. Dia masih hendak meyakinkan kalau pemuda berbaju hijau pupus itu telah berlalu.
Setelah sosok Andika lenyap dari pandangannya, barulah murid mendiang Pemimpin Agung ini balikkan tubuh kembali mengarah pada Pesanggrahan Bayu Api.
Sejenak gadis ini tak lakukan apa-apa sebelum akhirnya berkata,
"Akhirnya aku berhasil juga menemukan Pesanggrahan Bayu Api. Beruntung karena petani yang kutanya tahu di mana pesanggarahan ini berada. Ya, ya... aku tak boleh buang waktu lagi. Potongan pedang ini harus kuserahkan pada Panembahan Agung dan mudahmudahan aku dapat mengetahui ada apa di balik semua ini...." Memutuskan demikian, Gadis Kayangan segera berkelebat cepat mendekati Pesanggrahan Bayu Api.
Tiba di muka halaman tempat itu, dia terkagumkagum sendiri. Karena tiang-tiang penyangga pesanggrahan ini lebih besar dari pesanggrahan di mana dia sebelumnya tinggal bersama Pemimpin Agung. Halamannya luas dikelilingi dinding yang cukup tinggi. Namun pintu gerbang halaman itu tak tertutup, dibiarkan terbuka seolah menyambut kedatangan siapa saja.
Habis kagumi apa yang ada di sekitarnya, Winarsih berkelebat masuk. Sebuah pintu besar bergambar ukiran angin dan api berdiri kokoh di hadapannya. Dan yang mengejutkan, sebelum Winarsih mengetuknya, pintu itu sudah terbuka diiringi suara lembut,
"Silakan masuk, Anakku..." Tercengang Winarsih mendengar suara itu."
"Oh! Suara itu tentunya suara Panembahan Agung. Dia telah tahu aku tiba di sini," katanya dalam hati dan perlahan-lahan melangkah.
Kembali terdengar suara bijaksana itu,
"Berbelok ke kiri. Ada tiga buah pintu di sana. Masuklah melalui pintu yang tengah. Setelah itu berbelok ke kanan. Kau akan menjumpaiku di ruangan itu, Anakku." Sambil memandang sekelilingnya dengan penuh rasa takjub, Winarsih mengikuti petunjuk suara itu.
Akhirnya dia pun tiba di sebuah tempat yang cukup luas. Tiang-tiang penyangga ruang itu berukir angin dan api. Atapnya cukup tinggi.
Namun Winarsih tak melihat siapa pun yang berada di sana.
Tetapi hanya sekejap karena di kejap berikutnya, satu sosok tubuh tinggi kurus telah berdiri di hadapannya. Sosok lelaki tua dengan rambut, kumis, dan jenggot yang memutih itu pentangkan senyum.
Pakaiannya putih panjang dengan sulaman angin dan api berwarna biru dan merah. Pancaran matanya begitu teduh sekali. Winarsih seolah melihat gurunya yang berada di hadapannya.
"Selamat datang di Pesanggrahan Bayu Api, Anakku...," kata orang tua itu dengan suara lembutnya. Segera Winarsih rangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Kakek... terimalah hormatku...."
"Duduklah...." Lalu masing-masing orang duduk bersila sejarak lima langkah satu sama lain.
Winarsih memandangi lelaki tua di hadapannya dengan sorot mata kagum Jadi inilah Panembahan Agung, kakak seperguruan gurunya yang sering diceritakan gurunya. Sikap lelaki ini benar-benar sangat bijaksana.
"Anakku... aku tahu apa maksud kedatanganmu ke sini. Kau hendak menyerahkan potongan pedang itu, bukan?" Winarsih menganggukkan kepalanya. Dilihatnya Panembahan Agung mengusap jenggot putihnya.
"Berarti... dia telah tewas, bukan?" Kembali Winarsih menganggukkan kepalanya.
Dia bisa menduga, bila suatu saat dia akan muncul di Pesanggrahan Bayu Api, berarti secara tidak langsung mengabarkan gurunya yang telah tewas.
Dan tentunya semua itu telah disusun rapi antara gurunya dengan Panembahan Agung.
"Dunia memang kejam, Anakku.... Selama dunia masih berputar maka darah akan bersimbah.
Kekejaman akan terjadi terus menerus. Baik di dalam diri maupun di dalam diri orang lain.
Anakku... siapa yang telah membunuh Pemimpin Agung?"
"Orang yang bernama Sangga Rantek, Kakek."
"Ternyata memang masih ada orang yang menghendaki kedua potongan pedang itu, Anakku...
mana kedua potongan pedang itu?" Dengan hati-hati Winarsih mengambil potongan pedang yang dibungkus kain pulih. Lalu diserahkannya pada lelaki tua di hadapannya.
Panembahan Agung memandang dulu sebelum berkata,
"Rasa beratnya berkurang. Apakah hanya sebuah potongan saja yang berada di dalamnya, Anakku?"
"Betul, Kek. Karena potongan pedang yang lain telah berhasil direbut Sangga Rantek."
"Mengapa yang ini tidak direbutnya?"
"Kakek... nampaknya Guru memang telah menduga, lambat laun akan datang orang yang menginginkan potongan pedang ini. Maka tiga bulan lalu, dia menyerahkan potongan pedang ini padaku sementara potongan pedang lainnya yang berupa Pedang Buntung, tetap berada padanya.
Guru tak pernah menceritakan tempat apa yang tergambar pada kedua potongan Pedang Buntung itu bila disatukan. Bahkan hingga saat ini, aku belum pernah melihatnya, Kakek...." Panembahan Agung mengangguk-anggukkan kepala. Lalu pelan-pelan dia mulai membuka kain putih pembungkus potongan pedang itu. Dengan pergunakan tangan kanannya diambilnya potongan pedang yang merupakan bagian atas dari potongan pedang lainnya yang sekarang berada di tangan Sangga Rantek. Cukup lama lelaki bijaksana ini memperhatikan potongan pedang yang ternyata terbuat dari perak, sebelum akhirnya menghela napas panjang.
"Anakku...," katanya kemudian. "Memang sulit menentukan di mana tempat yang tergambar pada potongan pedang ini bila belum disatukan dengan potongan lainnya. Bahkan kita tak bisa mengirangira sedikit pun juga"
"Lantas... apa yang harus kita lakukan, Kakek?"
"Jalan satu-satunya...
mengambil kembali potongan pedang satunya lagi yang berada di tangan Sangga Rantek." Entah mengapa Winarsih merasa tidak enak mendengar ucapan itu. "Hhh! Sudah capek-capek datang ke sini, eh ternyata justru tak mendapatkan hasil apa-apa. Kalau tahu begitu, aku langsung saja merebut potongan pedang satunya lagi, yang berupa Pedang Buntung dan sekarang berada di tangan Sangga Rantek," kata gadis itu dalam hati. Di kejap lain dia segera menyambung,
"Ah, aku paham apa maksud Guru sebenarnya. Tentunya Guru mencoba untuk menyelamatkan jiwaku. Karena bila potongan pedang ini terus menerus berada di tanganku, sudah tentu orang-orang serakah itu akan terus memburuku. Tetapi, mengapa tidak sejak dulu Guru menyerahkan saja potongan pedang itu pada Panembahan Agung?" Di depan, Panembahan Agung sedang usap-usap jenggot putihnya. Potongan pedang perak itu telah terbungkus rapi kembali.
"Anakku... dua potongan pedang perak ini sebenarnya sudah berpuluh tahun berada di tanganku. Warisan dari seorang guruku dan juga Guru dari gurumu yang bernama Eyang Mega Tantra. Entah apa yang tersembunyi pada tempat yang tergambar pada rangkaian titik yang ada pada dua potongan pedang perak ini. Saat itu, aku berusia sekitar tujuh belas tahun sementara gurumu berusia sekitar lima belas tahun. Kendati hati kami penasaran ingin mengetahui, tetapi kami tak ingin menunjukkannya. Apalagi Eyang Mega Tantra tak mengizinkan kami untuk bertanya kecuali menyimpannya." Penembahan Agung terdiam. Pandangannya memandang jauh ke depan. Lalu melanjutkan,
"Pada Suatu malam, entah bagaimana mulanya, kami tak melihat lagi Eyang Mega Tantra di tempat bersemadinya. Saat itu kami berpikir, kalau Eyang Mega Tantra sedang melakukan satu perjalanan.
Namun sampai lima tahun berlalu, Eyang Mega Tantra tak pernah muncul. Dan dalam waktu lima tahun itu, telah banyak para tokoh sesat yang menghendaki dua potongan pedang perak ini.
Sudah tentu karena amanat, aku dan gurumu tak memberikan. Berulangkali kami harus bertarung mempertahankan dua potongan pedang itu. Hingga kemudian, karena Eyang Mega Tantra tak kembali lagi, kami memutuskan untuk meninggalkan perguruan."
"Lalu apa yang Kakek dan Guru lakukan?" Panembahan Agung tersenyum. "Kau seharusnya memanggilku dengan sebutan Guru juga. Tetapi aku menyukai kau memanggilku Kakek." Lalu dilanjutkan lagi ceritanya,
"Kami terus melangkah dengan menghadapi segala macam halang rintang terutama dari orang-orang yang menginginkan dua potongan pedang ini. Kami memang selalu berhasil mengatasi setiap masalah kendati aku atau gurumu harus menerimanya dengan tubuh penuh luka. Lima tahun pun berlalu dan kami tetap tak menemukan di mana Eyang Mega Tantra berada. Akhirnya kuputuskan untuk berpisah. Masing-masing orang memegang satu potong pedang. Dengan cara berpisah seperti itu, memang akan sulit bagi orang untuk mendapatkan dua potongan pedang secara bersamaan. Setelah tiga puluh tahun kemudian, aku dan gurumu bertemu kembali. Kami pun berpikir untuk mengetahui apa sesungguhnya yang tertera pada kedua potongan pedang itu. Dan yang tergambar kemudian, adalah sebuah pulau yang bernama Pulau Hitam...."
"Pulau Hitam?" ulang Winarsih agak tercekat.
"Ya! Pulau Hitam! Sebuah tempat yang nampaknya cukup jauh bila mengikuti alur perjalanan dalam titik-titik gambar yang merupakan petunjuk pada kedua pedang buntung itu."
"Apakah yang ada di Pulau Hitam itu, Kek?" Panembahan Agung menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu sama sekali. Begitu pula dengan gurumu. Sebenarnya, kami telah melanggar amanat dari guru kami, untuk tidak menyatukan potongan pedang itu. Tetapi sekian puluh tahun kami tak pernah berjumpa dengan Eyang Mega Tantra.
Sampai kemudian aku berdiam di Pesanggrahan Bayu Api, sementara gurumu berada di Pesanggrahan Bayu Air. Dan dia beruntung karena mendapatkan murid jelita sepertimu. Anakku...." Winarsih cuma tersenyum saja.
"Bukankah tadi Kakek mengatakan kalau aku searusnya memanggil Guru pada Kakek" Dengan kata lain, aku juga muridmu, bukan?" Ganti Panembahan Agung tersenyum.
"Terima kasih bila kau bersedia seperti itu."
"Kek... apakah Kakek masih ingat sambungan dari titik-titik gabar pada potongan pedang yang dimiliki Sangga Rontek?"
"Anakku... hal itu sudah berlangsung cukup lama.
Hanya sedikit yang masih kuingat."
"Berarti... bila kedua potongan pedang itu tak disatukan, kita tak akan mendapatkan petunjuk yang pasti" Dengan kata lain, kita tak akan pernah tahu ada rahasia apa di Pulau Hitam, bukan?"
"Begitulah keadaannya. Tetapi kupikir, itu juga jalan yang terbaik hingga darah tak akan tumpah dan nyawa tak akan melayang lagi." Winarsih yang setelah mendengar penuturan Panembahan Agung dan menjadi penasaran, tak berani menunjukkan rasa penasarannya. Sebelum dia membuka mulut, mendadak dia kerutkan kening tatkala mendengar suara Panembahan Agung,
"Sejak tadi aku sudah tahu kau mencuri dengar percakapan kami, Anak Muda. Tetapi apakah kau tidak lebih baik segera masuk secara sopan di tempatku ini?" Belum lagi Winarsih mengerti apa yang dimaksud Panembahan Agung, tiba-tiba dilihatnya lelaki tua bijaksana itu mengangkat tangannya.
Dan entah bagaimana terjadinya, mendadak atap di sebelah kiri di mana dia duduk bersila, terbuka.
Meluncur satu sosok tubuh disertai teriakan terkejut,
"Waddoouuuwww!!" Lalu seperti nangka busuk sosok tubuh itu terhempas ke lantai. Sementara atap yang tadi terbuka, mendadak tertutup kembali tatkala Panembahan Agung menurunkan tangannya yang terangkat. Seketika terdengar suara Winarsih,
"Lagi-lagi kau!! Apa sih sebenarnya yang kau inginkan"!"

***

«::Փ ( 9 ) Փ::»

Pada saat yang bersamaan di sebelah timur Pesanggrahan Bayu Api, dua sosok tubuh hentikan langkahnya. Masing-masing orang memandang tak berkedip pada satu sosok tubuh yang berlari sambil berteriak-teriak ketakutan,
"Setaaann! Setaaannnn!!" Lelaki berpakaian serba hitam yang rambutnya dikuncir kuda merandek dingin.
"Kau tahu apa yang dialami lelaki bercambang itu?" desisnya pada perempuan berjubah dan berkerudung merah yang berdiri di sebelah kirinya.
Si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas adanya mendengus.
"Mengapa kau tak tanyakan sendiri, hah"!" Lelaki berkuncir yang bukan lain Sangga Rantek adanya menggeram dingin. Lalu dengan satu lompatan ringan tangan kanannya telah mencengkeram bahu lelaki bercambang bawuk yang ternyata Kasma Matur.
Kontan Kasma Matur berteriak-teriak makin ketakutan. "Lepaskan! Lepaskan!! Ampuuuunnn! Jangan makan saya! Jangan bunuh saya!!" Menggeram Sangga Rantek,
"Diaaamm! Jangan berlaku bodoh di hadapanku!!" Kasma Matur yang makin ciut hatinya semakin menjadi-jadi berteriak. Hal itu membuat Sangga Rantek menjadi geram. Hampir saja dia turunkan tangan bila Iblis Rambut Emas tidak menahan.
Gusar bukan buatan lelaki kejam itu,
"Apa maksudmu, hah"!"
"Tahan sedikit amarahmu! Aku menangkap sesuatu dari sikap lelaki itu! Usahakan agar dia tenang!!" Dengan hati mangkel, Sangga Rantek melempar tubuh Kasma Matur yang langsung terjerembab ke tanah. Buukkk!! Wajahnya kontan mencium tanah. Dengan kaki kanan Iblis Rambut Emas membalikkan tubuh Kasma Matur yang terlentang tak berani membuka mata. Napas lelaki bercambang bawuk itu naik turun dengan cepat.
"Tenanglah sedikit! Kami orang baik-baik! Katakan... apa yang telah terjadi...." Kendati mendengar suara orang, Kasma Matur belum berani membuka matanya. Bahkan mulutnya semakin dirapatkan.
Sangga Rantek mendengus,
"Tinggalkan dia bila kau masih mau bergabung denganku untuk membunuh Pendekar Slebor!!" Iblis Rambut Emas langsung palingkan kepala.
Pandangan perempuan berjubah merah ini tajam menusuk, tanda dia tak suka mendengar ucapan orang. Dan sesungguhnya dia memang tidak menyukai Sangga Rantek. Hanya karena dia tak mau rencananya gagal, makanya dia terus mengikuti Sangga Rantek. Tanpa sahuti ucapan Sangga Rantek, Iblis Rambut Emas kembali menatap Kasma Matur yang tetap memejamkan matanya. Lalu dengan suara dibuat lembut, dia berkata,
"Katakan pada kami, apa yang telah terjadi?" Lagi-lagi Kasma Matur tak berani membuka mulut. Iblis Rambut Emas yang yakin kalau ada sesuatu yang telah dialami oleh lelaki bercambang bawuk ini mencoba untuk bersabar kendati hatinya sudah tak dapat bersabar.
Sesungguhnya saat berlari bersama Sangga Rantek dia juga sudah tak bisa menahan sabar untuk segera membunuh lelaki berpakaian serba hitam itu. Paling tidak, ini adalah kesempatannya untuk mendapatkan Pedang Buntung yang ada pada Sangga Rantek. Namun dia masih menahan diri karena dia menginginkan sekali kayuh dua pulau terlampaui.
Setelah berhasil mendapatkan potongan pedang yang diyakininya ada pada Pendekar Slebor, barulah dia merebut Pedang Buntung lainnya sekaligus membunuh lelaki berkuncir kuda ini.
Sementara itu, merasa tak mendengar lagi suara orang, Kasma Matur perlahan-lahan membuka matanya. Yang pertama kali dilihat adalah wajah jelita Iblis Rambut Emas. Sejenak lelaki ini ternganga dengan sorot mata tak berkedip. Namun begitu melihat wajah Sangga Rantek, kontan dia menjerit dan bangkit terbirit-birit,
"Setaaaannnn!!" Tetapi Iblis Rambut Emas sudah menahan kerah bajunya, sementara Kasma Matur masih terus berlari sekuat tenaga. Tatkala disadarinya kalau dia hanya lari di tempat, melengak lelaki bercambang bawuk ini menoleh ke belakang. Dan....
Duukkk!! Tangan kanan Iblis Rambut Emas sudah menghantam dadanya hingga lelaki itu tersuruk ke belakang. Bila saja Iblis Rambut Emas menghendaki, saat itu juga Kasma Matur sudah terkapar menjadi mayat. "Jangan bertingkah lagi di hadapan kami!!" menggelegar suara perempuan berkerudung merah.
Kejelitaan wajahnya seketika lenyap. "Katakan! Apa yang terjadi"!" Tersentak mendengar kerasnya suara orang, terburu-buru Kasma Matur menceritakan apa yang terjadi. Saat bercerita, terkadang wajahnya begitu serius, sombong, congkak, dan ketakutan.
Masing-masing orang yang mendengar secara tak sengaja berpandangan.
"Pesanggrahan Bayu Api...," desis Iblis Rambut Emas. Lalu segera ajukan tanya,
"Di mana tempat itu berada?"
"Oh! Jangan! Jangan kalian ke sana! Ada setan gentayangan yang mengganggu!!" seru Kasma Matur dengan wajah pias. Terkenang kembali bagaimana setan hitam mempermainkannya. Dan dia bersyukur karena setan itu tidak mencekik lehernya. "Kami tak peduli! Di mana tempat itu?"
"Jangan! Jangan! Kalian akan menyesal! Kalian akan menyesal!! Kalian akan...." Plak! Kata-kata Kasma Matur terputus karena tangan kiri Sangga Rantek sudah menamparnya.
"Jangan bertele-tele! Di mana tempat itu berada"!!" Sadarlah Kasma Matur kalau dia seharusnya lebih takut pada kedua orang ini ketimbang setan hitam yang dilihatnya. Sambil menahan sakit pada pipi kirinya, terbata-bata Kasma Matur berkata,
"Kalian...
kalian... terus saja berjalan.... Jangan berbelok-belok sedikit pun juga.."
"Bagus! Sekarang katakan, siapa yang telah memerintahkanmu untuk menjarah harta Panembahan Agung"!" seru Sangga Rantek dengan sorot mata tajam.
Sementara itu Iblis Rambut Emas langsung palingkan kepalanya pada lelaki berhidung bengkok itu. "Apa yang dimaksudnya" Mengapa dia menduga ada orang yang menyuruh lelaki dan kedua temannya ini menjarah tempat Panembahan Agung?" Kasma Matur sendiri merasa lebih baik menjawab,
"Aku... aku tidak tahu siapa namanya.... Orangnya tinggi kurus... di kepalanya ada sorban warna kuning...." Sangga Rantek nampak terdiam dengan kening dikernyitkan. Di lain pihak Iblis Rambut Emas membatin,
"Gila! Hebat juga lelaki keparat ini, bisa tahu kalau Kasma Matur dan kedua rekannya yang telah melarikan diri lebih dulu diperintah oleh orang. Tetapi... siapa orang yang mempunyai ciri mengenakan sorban di kepala?" Terdengar suara Sangga Rantek pada Iblis Rambut Emas,
"Apa yang kau pikirkan?"
"Jalan satu-satunya... kita harus ke Pesanggrahan Bayu Api. Barangkali saja Pendekar Slebor memang berada di sana."
"Bagaimana dengan lelaki ini?"
"Untuk apa dia dibiarkan hidup?" Habis kata-katanya, Iblis Rambut Emas langsung menggerakkan tangan kanannya.
Praaakkk!! Kepala Kasma Matur langsung pecah dan sosoknya ambruk setelah keluarkan desisan tertahan. "Jangan bertindak gegabah di sana. Ingat, Pendekar Slebor telah membunuh Pemimpin Agung," kata Iblis Rambut Emas dengan wajah serius, padahal dia tertawa dalam hati.
Dilihatnya bagaimana Sangga Rantek mendengus.
Lalu dengan suara merendahkan dia berkata,
"Jangan terlalu percaya akan kepandaian orang hanya karena julukannya saja. Kalaupun dia berhasil membunuh Pemimpin Agung tentunya hanya kebetulan saja. Lain halnya bila aku yang membunuh." Lalu sambungnya dalam hati,
"Perempuan ini masih tidak tahu kalau akulah yang telah membunuh Pemimpin Agung." Kejap berikutnya dia sudah berlari ke arah yang ditunjuk Kasma Matur.
Iblis Rambut Emas tersenyum penuh arti, lalu segera menyusul.

***

Cukup jauh agak ke kanan dari tempat di mana Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas bertemu dengan Kasma Matur, lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang di lehernya tergantung kalung tengkorak itu, menarik napas pendek. Kejap kemudian meludahi dua sosok mayat yang tak lain Dirgo Kantas dan Suronto Kakak.
"Orang-orang tak berguna! Bila tak memiliki kepandaian apa-apa, jangan menjual lagak!!" dengus orang ini yang tak lain Ki Pasu Suruan.
Setelah menguburkan mayat Ki Pancen Dadap, salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan ini tak mau membuang waktu untuk berdiam lebih lama.
Dengan membawa dendam tinggi dan kemarahan yang alang kepalang, Ki Pasu Suruan segera memburu Pendekar Slebor.
Namun hingga hari ini, dia belum berhasil menemukan jejak Pendekar Slebor. Dan selagi dia berhenti melangkah, dilihatnya dua sosok tubuh sedang berlari. Dari mulut masing-masing orang terdengar suara yang mengisyaratkan kalau mereka sedang merasa lega dan beruntung karena telah terhindar dari sesuatu yang menakutkan.
Karena berharap kedua orang itu dapat dijadikan sebagai tempat bertanya tentang Pendekar Slebor, lelaki bengis ini segera menghadang. Sudah tentu Dirgo Kantas dan Suronto Kakak terkejut. Terlebih lagi tatkala orang di hadapannya menanyakan sesuatu yang tak bisa mereka jawab.
Dan itu merupakan kesalahan yang sangat fatal.
Karena begitu masing-masing orang mengatakan tidak tahu, Ki Pasu Suruan sudah berkelebat cepat.
Tangan kanannya bergerak dua kali dalam waktu yang hampir bersamaan.
Menyusul ambruknya masing-masing orang dengan kepala pecah.
"Hhh! Siapa pun orangnya yang tak bisa memberikan jawaban di mana Pendekar Slebor berada dia akan mampus di tanganku!" dengus Ki Pasu Suruan geram.
Lalu diarahkan pandangannya ke kejauhan. Yang nampak hanya kegelapan semata. Di langit awanawan hitam seolah tak mau bergerak dan terus berupaya memadamkan sinar Ratu Malam. Sementara udara semakin bertambah dingin.
"Bermula urusan kedua potongan pedang yang ingin kudapatkan. Aku telah tiba di Pesanggrahan Bayu Air. Tetapi yang kutemukan hanyalah mayat Pemimpin Agung. Entah siapa yang telah membunuhnya. Kurang ajar! Sudah tentu pembunuh itu telah mendapatkan dua potongan pedang berisikan rangkaian titik gambar sebagai patokan menuju Pulau Hitam." Sesaat lelaki ini terdiam sebelum melanjutkan,
"Urusan masa lalu Guru yang berusaha untuk mendapatkan dua potongan pedang itu selalu gagal.
Bahkan dia harus tewas di tangan Panembahan Agung dan Pemimpin Agung. Dan aku harus melanjutkan cita-cita Guru untuk mendapatkan dua potongan pedang itu. Aku harus tahu apa yang tersimpan di Pulau Hitam. Tetapi... justru nyawa Pancen Dadap yang harus melayang di tangan Pendekar Slebor! Jahanam terkutuk! Pemuda itu harus mampus di tanganku!!" Mendadak saja lelaki ini mendorong tangan kanannya ke depan.
Wusss!! Menghampar satu gelombang angin yang timbulkan suara bergemuruh.
Blaaarrr!! Tanah yang terhantam langsung rengkah dan bermuncratan di udara.
Di tempatnya Ki Pasu Suruan menggeram dengan dada naik turun. Wajah kejamnya menekuk dengan kemarahan yang telah menggunung.
"Pemuda keparat itu harus mampus! Dia harus mampus! Peduli setan aku mendapatkan atau tidak dua potongan pedang perak yang berada padanya!!" Kembali lelaki berkalung tengkorak ini lampiaskan kemarahannya dengan melepaskan pukulan jarak jauhnya berulang kali. Hingga sambung menyambung suara letupan dan tanah terbongkar terjadi.
Tubuh salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan ini menggigil dengan kedua tangan bergetar.
"Pesanggrahan Bayu Air... ya, ya... di sanalah Pemimpin Agung tinggal! Dan Pesanggarahan Bayu Api... di sanalah Penambahan Agung menetap! Lebih baik... aku menuju ke sana! Mudah-mudahan Pendekar Slebor berada di sana! Jahanam sial! Rupanya pendekar yang dipuja banyak orang karena sepak terjangnya, justru tak jauh berbeda denganku! Dengan orang-orang golongan sesat lainnya! Hhh! Beruntung aku mendengar kabar kalau pemuda dari Lembah Kutukan itulah yang memiliki dua potongan pedang perak!!" Habis menggeram sekali lagi, dengan wajah yang menyiratkan dendam setinggi gunung, lelaki berpakaian kuning-kuning ini segera melesat meninggalkan tempat itu.
Bertepatan terdengar kokok ayam jantan di kejauhan, tanda kehidupan awal hari dimulai kembali.

***

«::Փ ( 10 ) Փ::»

Orang yang jatuh dari atap itu bangkit perlahanIahan. Bukannya menunjukkan tanda kesakitan, dia justru cengar-cengir saja. Bahkan mengangkat tangan kanannya ke kening pada Winarsih yang sebelumnya membentak tadi.
"Waduh! Maaf, nih! Caraku tidak sopan! Habisnya aku penasaran! Lagi pula, siapa yang menyangka kalau kehadiranku akan diketahui"!" Winarsih yang belum bisa memutuskan apakah pemuda berpakaian hijau pupus yang sedang nyengir di hadapannya kawan atau lawan, sudah keluarkan bentakan kembali,
"Andika! Jangan memaksaku untuk menurunkan tangan!"
"Wah! Kau masih menduga jelek saja kepadaku" Kan tadi aku sudah berterus terang, aku penasaran.
Tak ada maksud jelek apa pun! Percaya deh!" Sebelum Winarsih membuka mulut, Panembahan Agung sudah berkata,
"Selamat datang di tempatku ini, Pendekar Slebor. Sungguh tak pernah kusangka kalau pagi ini aku dikunjungi pendekar muda yang banyak dibicarakan orang...." Andika segera rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Lalu bersuara sopan,
"Rasanya... aku tidak enak mendengar pernyataanmu tadi, Orang tua. Terimalah rasa hormatku kepadamu...." Sementara Panembahan Agung mengusap-usap jenggotnya dengan kepala agak menganggukangguk, Winarsih justru kerutkan kening. Pandangannya tak berkedip pada sosok pemuda berpakaian hijau pupus yang masih rangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Pendekar Slebor" Oh! Benarkah dia Pendekar Slebor... yang pernah beberapa kali diceritakan Guru" Ya, ampun! Kalau begitu aku benar-benar salah menduga!" Merasa tidak enak dengan sikapnya sendiri setelah mengetahui siapa adanya pemuda itu, Winarsih buru-buru berkata,
"Andika... mengapa kau tak mengatakan kalau engkaulah Pendekar Slebor?" Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Bukannya aku tidak mau! Tetapi nanti kau malah ketawa setelah mendengar julukanku! Eh! Percaya deh! Aku tidak slebor lho! Cuma sedikit doang!" Winarsih tak hiraukan selorohan anak muda tampan itu, dia masih memandang tak berkedip pada Andika. Kemudian katanya lagi,
"Maafkan segala sikapku selama ini...."
"Wah! Kok kau jadi serius begitu" Aku mengerti mengapa kau bersikap demikian! Itu wajar! Karena siapa pun berhak memiliki rasa curiga pada seseorang! Apalagi dalam keadaan semrawut kayak begini" Ngomong-ngomong... apa pembicaraan ini sudah selesai?" Panembahan Agung tersenyum.
Andika nyengir sambil duduk bersila, demikian pula Winarsih. Sesungguhnya, Andika memang sengaja tidak meninggalkan tempat itu setelah diusir oleh Winarsih. Karena selain ingin mengetahui lebih lanjut tentang dua potongan pedang yang diperebutkan banyak orang, dia juga hendak mengatakan tentang kehadiran orang bersorban kuningyang telah memerintahkan tiga lelaki berpakaian hitam gombrang untuk menjarah harta Panembahan Agung.
Anak muda ini berkeyakinan kalau ada urusan lain yang harus dihadapinya selain urusan dua pedang buntung perak. Diam-diam anak muda ini berguna akan kesaktian Penembahan Agung yang mengetahuinya berada di atap. Padahal dia sudah kerahkan ilmu peringan tubuhnya.
Lalu dengan sopan dia berkata,
"Panembahan Agung.... Senang hatiku berjumpa denganmu " Panembahan Agung tersenyum.
"Kupikir, orang yang berjuluk Pendekar Slebor akan tetap slebor selamanya. Tetapi kau ternyata bisa juga bersikap sopan." Kendati cengirannya makin lebar, tetapi Andika mendengus dalam hati. Sementara Winarsih masih memandang separo tak percaya pada anak muda itu.
Lalu didengarnya kembali kata-kata Pendekar Slebor,
"Orang tua Agung... ada sedikit yang hendak kuceritakan padamu."
"Tentang apa?" Lalu Andika segera menceritakan tentang tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang diperintah oleh seorang lelaki tua bersorban kuning.
"Orang tua... bukan maksudku lancang untuk campuri urusan yang ada. Tetapi aku sungguh penasaran ingin mengetahui siapa orang bersorban kuning itu...," kata Andika di akhir ceritanya.
Panembahan Agung kembali mengusap-usap jenggotnya. Wajahnya tadi sedikit melengak tanda dia terkejut mendengar cerita Andika. Sedangkan Gadis Kayangan hanya mendengarkan saja.
Panembahan Agung berkata,
"Dewa Lautan Timur.... Hmm... nampaknya urusan masa lalu memang tak bisa ditutupi lagi. Rupanya dia masih mendendam padaku...." Sejenak Andika terdiam sebelum berkata,
"Kalau boleh aku tahu, siapakah orang berjuluk Dewa Lautan Timur itu, Orang Tua?" Panembahan Agung mengangguk-angguk.
"Dia adalah orang kuat yang menguasai lautan sebelah timur. Orang kejam yang sejak dulu menginginkan nyawaku. Bukan karena persoalan dua potongan pedang perak yang diwarisi oleh Eyang Mega Tantra. Melainkan urusan... Laksmi Harum...."
"Busyet! Laksmi Harum" Nampaknya urusan perempuan nih!" desis Andika dalam hati tanpa membuka mulut. Lalu didengarnya cerita Panembahan Agung.
Setelah berpisah dengan Pemimpin Agung dan masing-masing membawa sepotong potongan pedang perak. Panembahan Agung terus bergerak ke arah timur. Dia yakin kalau orang-orang yang menginginkan dua potong potongan perak itu akan terus mengejarnya.
Beberapa hari melingkari daerah timur, Panembahan Agung tiba di sebuah dusun yang permai. Dan dia merasa di dusun itulah tempat yang dapat dijadikan sebagai persembunyiannya Karena tindak-tanduknya yang sopan, akhirnya Panembahan Agung tinggal bersama seorang duda kaya sebagai tukang memandikan kuda. Orang kaya yang dipanggil dengan sebutan hormat. Juragan Malayang, memiliki seorang putri yang berparas jelita dan bernama Laksmi Harum.
Panembahan Agung yang sebenarnya bernama Purwacaraka, pun mau tak mau akhirnya akrab dengan Laksmi Harum. Apalagi setiap senja, dia selalu menemani Laksmi Harum berjalan-jalan dengan menunggang kuda Namun Purwacaraka tetap bertahan agar dia tidak jatuh tinta pada Laksmi Harum. Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda bernama Dandang Gumilar datang dan bermaksud melamar Laksmi Harum sebagai istrinya. Juragan Malayang yang mengenal sepak terjang jelek pemuda itu menolak mentah-mentah lamarannya.
Namun Dandang Gumilar adalah orang yang gigih, hampir setiap hari dia datang untuk melamar Laksmi Harum. Sikapnya itu justru membuat Juragan Malayang semakin membencinya. Bila saja dia mengenal Dandan Gumilar sebagai pemuda baik-baik. mungkin lamaran itu akan dipertimbangkan.
Selelah dua bulan datang terus menerus namun hasil yang diharapkan tak tercapai, Dandang Gumilar menjadi gusar. Dia segera menghimpun teman-temannya untuk menculik Laksmi Harum.
Namun dengan bantuan Purwacaraka, sepuluh orang termasuk Dandang Gumilar yang berniat busuk dapat diporak-porandakan. Bahkan Dandang Gumilar sendiri terluka parah.
Berkat bantuannya itulah akhirnya Juragan Malayang menjodohkan putrinya dengan Purwacaraka. Di samping itu, Juragan Malayang juga yakin akan sifat dan tabiat baik yang dimiliki Purwacaraka. Laksmi Harum yang diam-diam memang mencintai anak muda gagah itu, sudah tentu tak menolak kendati saat itu dia malu-malu.
Akan tetapi, justru Purwacaraka yang menolak, karena dia berpikir urusan dua potong pedang perak masih belum terselesaikan. Apalagi hingga saat ini, dia belum bertemu dengan Eyang Mega Tantra. Namun Juragan Malayang terus mendesaknya, apalagi dia tahu kalau putrinya mencintai Purwacaraka dan akan menjadi nelangsa bila pemuda itu menolaknya.
Hati Purwacaraka saat itu menjadi galau. Diamdiam dia menyusun rencana untuk meninggalkan tempat itu. Namun sedikit banyaknya dia mengkhawatirkan bila Dandang Gumilar akan datang kembali untuk menuntaskan segala dendam dan amarahnya. Setelah mempertimbangkan semuanya secara rinci, Purwacaraka akhirnya menyetujui untuk menikahi Laksmi Harum.
Pernikahan yang tak terlalu meriah pun dilangsungkan. Kendati sudah menjadi menantu orang kaya, Purwacaraka tetap rajin memandikan kuda. Setelah lima tahun berlalu, sesuatu yang cukup lama dikhawatirkannya pun terjadi. Suatu malam mereka digemparkan dengan munculnya seorang lelaki berpakaian kuning terang dengan mengenakan sorban kuning. Bila tak mengingat wajah Dandang Gumilar, tak seorang pun yang akan mengenal orang itu.
Dia adalah Dandang Gumilar atau yang sekarang menjuluki dirinya Dewa Lautan Timur. Rupanya, lelaki itu masih mendendam pada Purwacaraka.
Dan dia berhasil berguru pada seorang lelaki tua sesat berjuluk Iblis Samudera.
Purwacaraka yang saat itu telah memiliki seorang putra, harus berjuang mati-matian menghadapi keganasan Dewa Lautan Timur. Berkat kegigihan dan kepandaiannya, dia masih mampu menandingi Dewa Lautan Timur.
Namun yang tak disangka, karena mendadak saja sepuluh lelaki berpakaian kuning-kuning dengan parang di tangan menyerbu masuk laksana air bah.
Bukan hanya para pengawal Juragan Malayang yang tewas, beberapa orang penduduk yang membantu pun tewas pula.
Melihat keadaan itu Purwacaraka menjadi cemas tatkala memikirkan nasib istri dan putranya.
Ditinggalkannya Dewa Lautan Timur yang sebenarnya saat itu dapat dihabisi. Dengan lepaskan jotosan hingga dua orang lelaki berpakaian kuningkuning tewas dengan kepala pecah, Purwacaraka berhasil mencapai kamar di mana istri dan anaknya yang berusia tiga tahun berada. Dan saat itulah dia tahu kalau Juragan Malayang telah tewas.
Terburu-buru Purwacaraka berusaha untuk menyelamatkan anak dan istrinya. Namun baru saja mereka keluar dari kamar, lima orang berpakaian kuning-kuning dengan ujung parang bersimbah darah telah mengurung. Menyusul masuknya Dandang Gumilar sambil tertawa-tawa.
Dalam ruangan yang terbatas di samping juga harus menyelamatkan anak dan istrinya, Purwacaraka harus berkerja keras menghadapi orang-orang ganas itu.
Namun malang tak dapat ditolak. Istrinya tewas setelah kepalanya dihajar Dewa Lautan Timur.
Begitu pula dengan putranya yang langsung tewas hanya sekali banting.
Meradang Purwacaraka. Lelaki itu telah berubah menjadi ganas karena melihat nasib anak dan istrinya. Lima orang lelaki berpakaian kuningkuning tewas dengan dada membiru. Sementara dia sendiri berhasil membuat Dandang Gumilar lari kocar-kacir. Kendati demikian, yang sangat menyakitkannya adalah tawa mengejek Dewa Lautan Timur yang telah berhasil membunuh anak dan istrinya. Purwacaraka tak bermaksud mengejar orang itu.
Dengan hati hancur dia mendekati mayat anak dan istrinya. Lalu dengan bantuan para penduduk, dia menguburkan mayat-mayat itu.
Kemarahan dan dendamnya pada Dewa Lautan Timur meraja dan membuatnya tak bisa tidur siang dan malam. Yang dipikirkannya hanyalah membalas kematian orang-orang yang disayanginya. Namun Purwacaraka yang memiliki hati lembut dan bijaksana, dengan cara terus menerus bersemadi, akhirnya dia dapat melupakan dendamnya pada Dewa Lautan Timur. Lalu diputuskan untuk meneruskan perjalanannya mencari Eyang Mega Tantra. Sampai beberapa tahun kemudian dia berjumpa kembali dengan adik seperguruannya yang dijuluki orang sebagai Pemimpin Agung, sementara dia sendiri mendapat julukan Panembahan Agung.
Di ruangan yang besar itu, tak ada yang keluarkan suara sampai Panembahan Agung benar-benar mengakhiri ceritanya.
"Dan yang tak pernah kusangka... kalau Dewa Lautan Timur masih mendendam dan mencariku" Andika menarik napas pendek.
"Orang tua... lalu dengan maksud apa Dewa Lautan Timur menyuruh tiga lelaki berpakaian hitam gombrang menjarah harta milikmu?" Panembahan Agung tersenyum.
"Tak ada harta yang kumiliki selain nyawaku saja. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti...." Sementara Gadis Kayangan yang tak menyangka masa lalu Panembahan Agung cukup menyedihkan, nampak berpikir. Jelas terlihat dari keningnya yang berkerut. Beberapa tarikan napas kemudian Andika berkata,
"Apakah tak mungkin dia bermaksud menyelidiki dulu keadaanmu?"
"Aku tidak tahu." Pertanyaan yang diajukannya justru dijawabnya sendiri dalam hati,
"Menilik cerita Panembahan Agung tadi, nampaknya tak mungkin kalau Dewa Lautan Timur menyelidik dulu atau mengirim ketiga lelaki itu lebih dulu sebelum menyerang. Dia mempunyai kebiasaan menyerang langsung. Lantas... ada apa ini" Atau jangan-jangan... dia sengaja mengirim ketiga lelaki itu, karena ada urusan lain yang harus dikerjakannya" Tetapi urusan apa?" Beberapa saat keadaan cukup hening. Tak seorang pun yang membuka suara. Sinar matahari semakin menerobos celah-celah atap Pesanggrahan Bayu Api.
Dalam keheningan seperti itu, mendadak terdengar suara,
"Rupanya ada tamu yang datang ke tempatku ini. Maaf bila aku terlambat menyambut kalian...." Serentak masing-masing orang arahkan pandangan ke ambang pintu. Kejap kemudian terdengar seruan tertahan Winarsih,
"Oh!!" Sementara Andika berulang kali memandang bergantian pada orang yang baru datang dan Panembahan Agung. Sepasang mata anak muda ini terbeliak lebar tak percaya memandang pada orang yang baru datang.
Sosok lelaki tua dengan rambut, kumis, dan jenggot yang memutih. Mengenakan pakaian putih panjang dengan sulaman angin dan api berwarna biru dan merah. Pancaran matanya begitu teduh sekali. Orang itu... berwajah mirip dengan Panembahan Agung!

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Segera menyusul:
DEWA LAUTAN TIMUR


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Iblis Segala Amarah --oo0oo-- Dewa Lautan Timur


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.